Biografi Kyai Haji Abdurrahman Wahid [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Biografi Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gud Dur) Biografi Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gud Dur). Mantan Presiden Keempat Indonesia ini lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Dia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil atau "Sang Penakluk", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren. Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Akhir 1949, dia pindah ke Jakarta setelah ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dia belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Gus Dur juga diajarkan membaca buku non Islam, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Pada April 1953, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Pendidikannya berlanjut pada 1954 di Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas, tetapi bukan karena persoalan intelektual. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan. Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan Majalah Budaya Jaya. Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak menyelesaikannya



karena kekritisan pikirannya. Gus Dur lalu belajar di Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970. Dia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971. Gus Dur kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah Prisma di mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utamanya dan sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Saat inilah dia memprihatinkan kondisi pesantren karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan dan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Dia kemudian batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren. Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk Tempo dan Kompas. Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, sehingga dia harus pulang-pergi Jakarta dan Jombang. Pada 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas. Satu tahun kemudian, Gus Dur menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam. Pada 1977, dia bergabung di Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan misiologi. Ia lalu diminta berperan aktif menjalankan NU dan ditolaknya. Namun, Gus Dur akhirnya menerima setelah kakeknya, Bisri Syansuri, membujuknya. Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga memilih pindah dari Jombang ke Jakarta. Abdurrahman Wahid mendapat pengalaman politik pertamanya pada pemilihan umum legislatif 1982, saat berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan empat partai Islam termasuk NU.



Reformasi NU NU membentuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Pada 2 Mei 1982, para pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan memintanya mengundurkan diri. Namun, pada 6 Mei 1982, Gus Dur menyebut pilihan Idham untuk mundur tidak konstitusionil. Gus Dur mengimbau Idham tidak mundur. Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu ini. Gus Dur lalu menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar NU fokus pada masalah sosial. Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai ketua PBNU dan dia menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai pemerintah. Pada 1987, dia mempertahankan dukungan kepada rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar. Ia menjadi anggota MPR dari Golkar. Meskipun disukai rezim, Gus Dur acap mengkritik pemerintah, diantaranya proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai Bank Dunia. Ini merenggangkan hubungannya dengan pemerintah dan Suharto. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren



dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah sekular. Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua PBNU pada Musyawarah Nasional 1989. Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati Muslim. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati intelektual muslim di bawah dukungan Soeharto dan diketuai BJ Habibie. Pada 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung, tapi ditolaknya karena dianggap sektarian dan hanya membuat Soeharto kian kuat. Bahkan pada 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan merencanakan acara itu dihadiri paling sedikit satu juta anggota NU. Soeharto menghalangi acara tersebut dengan memerintahkan polisi mengusir bus berisi anggota NU begitu tiba di Jakarta. Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran. Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan diri untuk masa jabatan ketiga. Kali ini Soeharto menentangnya. Para pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko, berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah Advertisement nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat ABRI, selain usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU priode berikutnya. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang popularitasnya tinggi berencana tetap menekan Soeharto. Gus Dur menasehati Megawati untuk berhati-hati, tapi Megawati mengacuhkannya sampai dia harus membayar mahal ketika pada Juli 1996 markasnya diambilalih pendukung Ketua PDI dukungan pemerintah, Soerjadi. Pada November 1996, Gus Dur dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU. Desember tahun itu juga dia bertemu dengan Amien



Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Juli 1997 merupakan awal krisis moneter dimana Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi itu. Gus Dur didorong melakukan gerakan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun terkena stroke pada Januari 1998. Pada 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama delapan pemimpin komunitas Muslim, dipanggil Soeharto yang memberikan konsep Komite Reformasi usulannya. Gus Dur dan delapan orang itu menolak bergabung dengan Komite Reformasi. Amien, yang merupakan oposisi Soeharto paling kritis saat itu, tidak menyukai pandangan moderat Gus Dur terhadap Soeharto. Namun, Soeharto kemudian mundur pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto. Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah lahirnya partai politik baru, dan pada Juni 1998, komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Baru pada Juli 1998 Gus Dur menanggapi ide itu karena mendirikan partai politik adalah satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Partai itu adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya.



Pemilu April 1999, PKB memenangkan 12% suara dengan PDIP memenangkan 33% suara. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara. Semasa pemerintahannya, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial serta menjadi pemimpin pertama yang memberikan Aceh referendum untuk menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti di Timor Timur. Pada 30



Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Jayapura dan berhasil meyakinkan pemimpinpemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua. Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM. Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut. Ia juga berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sementara dia juga menjadi tokoh pertama yang mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik. Muncul dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate, yang kemudian menjatuhkannya. Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri. Pada Pemilu April 2004, PKB memperoleh 10.6% suara dan memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis dan KPU menolak memasukannya sebagai kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Di Pilpres putaran dua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur golput. Agustus 2005, Gus Dur, dalam Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu bersama Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama dalam soal pencabutan subsidi BBM. Kehidupan pribadi Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zanubba Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Yenny aktif berpolitik di PKB dan saat ini adalah Direktur The Wahid Institute. Gus Dur wafat, hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo, Jakarta, pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, diantarnya jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat dia harus menjalani cuci darah rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Surabaya usai mengadakan



perjalanan di Jawa Timur. Penghargaan Gusdur Pada 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, penghargaan cukup prestisius untuk kategori kepemimpinan sosial. Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004. Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas. Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study. Gus Dur memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga pendidikan, yaitu: 



Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)







Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)







Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)







Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)







Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)







Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)







Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)







Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)







Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)







Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)



Pembaharuan Abdurrahman Wahid: Gagasan dan Strategi Kesulitan pertama di dalam upaya membentangkan pemikiran-pemikiran Abdurrahman Wahid (selanjutnya Gus Dur, sesuai sebutan akrabnya) terletak pada luasnya spektrum yang menjadi minatnya selama ini. Gus Dur bukan seorang akademisi yang setia menghuni perguruan tinggi dan menumpahkan perhatiannya pada satu dua topik masalah saja. Ia adalah seorang cendikiawan-aktivis, dan boleh dikata juga, seorang eksiklopedis, dengan perhatian luas dan beragam, yang membentang mulai topik agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan hingga soal-soal praktis seperti sepak bola dan film. Segera saja kesulitan ini harus diatasi dengan suatu ikhtiar mengumpulkan seluruh tulisannya dan kemudian menyeleksinya sesuai dengan topik yang dibutuhkan. Tapi sampai di sini pun kesulitan itu belum seluruhnya bisa teratasi, karena seperti disebut di atas, Gus Dur –sekali lagi— bukanlah seorang yang secara resmi menulis dengan sistematis dan tuntutan ilmiah yang ketat. Misalnya saja ia jarang menyebutkan sumber-sumber rujukannya ketika menulis. Harus segera diingat, memang sasaran tulisan dan ceramahnya tidak terbatas untuk kalangan akademisi perguruan tinggi, tapi juga masyarakat muslim kelas menengah ke bawah. Tulisantulisannya juga tidak semata hadir di jurnal-jurnal ilmiah tapi juga di koran-koran nasional maupun lokal. Tapi hal itu bukan berarti tulisan-tulisannya tidak memiliki bobot ilmiah. Dalam hal yang satu ini, misal dalam kemampuannya merumuskan pertanyaan-pertanyaan pada masalah yang disorotinya dan sekaligus dengan itu refleksi filosofis yang menyertainya, Gus Dur jauh melampaui seorang ilmuwan sosial atau ilmuwan agama, yang semata bersandar pada dan hanya mengutip buku ‘teks’ saja. Barangkali telah menjadi tugas seorang penelitilah untuk menelusuri, mengumpulkan, menyusun, dan akhirnya menafsirkan pemikiran-pemikirannya yang banyak tersebar tersebut. Pekerjaan ini diharapkan akan memberikan sosok dan jejaknya lebih jelas dalam ranah



‘pembaharuan’ pemikiran dan struktur masyarakat Islam (Indonesia), terutama dalam hal agenda dan strategi pembaruannya.[1] Tapi sebelum lebih jauh, dan sebagai bagian dari usaha penelusuran itu, akan terlebih dulu dikemukakan riwayat hidupnya, riset-riset sebelumnya, pemahamannya mengenai ‘pembaharuan,’ dan ikhtiar-ikhtiar pembaruan yang telah ditawarkan dan dilakukannya. Sketsa Biografi Gus Dur berasal dari keluarga pesantren Tebuireng yang merupakan cikal bakal kelahiran sejumlah ulama terkemuka dan pemimpin-pemimpin pesantren terdepan di Jawa. Kakeknya K. H. Hasjim Asy’ari adalah pendiri organisasi NU (Nahdlatul Ulama, berdiri 1926) dan ayahnya adalah Menteri Agama Republik Indonesia yang pertama. Silsilah keluarga Gus Dur juga terhubung dengan raja Brawijaya VI, penguasa Jawa pada abad ke-15 M.[2] Sejak usia 12 tahun, Gus Dur ditinggal ayahnya yang wafat karena kecelakaan mobil. Sejak itu, ia lebih banyak dididik oleh ibunya. Tapi menjelang remaja, seperti anak-anak muda di lingkungannya, Gus Dur juga belajar di sejumlah pesantren terkemuka, seperti di Tegal Rejo, Magelang, dan Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia juga pernah mondok di rumah seorang tokoh Muhammadiyah di Yogyakarta ketika bersekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di kota itu. Pesantren, sebagai kita tahu, adalah pintu gerbang yang harus dilewati seorang muda. Masa bertahun-tahun di pesantren adalah masa di mana si anak muda tersebut menyerap seluruh pengetahuan, melatih jiwa, dan menimba pengalaman untuk kelak menggantikan generasi di atasnya sebagai pemimpin masyarakat. Latar belakang pendidikannya ini menunjukkan bahwa pemuda Gus Dur sejak dini telah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin bagi lingkungan masyarakat dan bangsanya. Meski lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren, bukan berarti seluruh pendidikannya semata-mata bersifat keagamaan. Terutama dalam hal pendidikan yang bersifat informal, Gus Dur sejak kecil sudah banyak diperkenalkan dengan bacaan-bacaan di luar literatur tradisi pesantren: novel, biografi tokoh dunia, dan ideologi sosial-politik. Kesempatan yang luas ini bertemu dengan minat baca Gus Dur sendiri yang sangat tinggi. Jadilah dia seorang pembaca,



pembelajar, dan pencari yang penuh gairah dan sampai tingkat tertentu membentuknya menjadi seorang otodidak sejati.[3] Ketika berusia 20-an tahun, Gus Dur berangkat ke Mesir untuk kuliah di Al-Azhar. Tapi kuliahnya ini hanya berlangsung dua tahun dan juga lebih banyak dihabiskannya dengan jalan-jalan, menonton film, dan membaca. Pendidikan Al-Azhar yang terlalu menekankan metode hapalan dan juga banyak mengulang pelajaran agamanya di tanah air, sangat tidak memuaskannya. Tapi di Mesir ini ia menyaksikan kejayaan ‘sosialisme Arab’ Nasser dan tarik-ulur Kelompok Ikhwanul Muslimin dengan negara, yang mengajarkannya banyak hal berkaitan dengan eksperimintasi-eksperimintasi sebuah gagasan ideologi. Ia kemudian pindah ke Baghdad dan kuliah di Universitas Baghdad. Di universitas ini belajar sastra Arab, filsafat, dan teori sosial. Tetapi kuliah formal ini hanya ia tempuh selama dua tahun. Setelah itu, ia sempat ke Eropa dan Kanada dengan harapan bisa meneruskan kuliah, tetapi kualifikasi alumni Timur Tengah rupanya tidak diakui di Eropa. Ia akhirnya memutuskan pulang ke Indonedia. Meski gagal dalam pendidikan formal, sebagai otodidak Gus Dur terus belajar dan mengasah diri. Di Indonesia, Gus Dur memulai karirnya dari pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, yang didirikan kakeknya. Dari kota yang sepi yang jauh dari Jakarta ini, selain mengelola pesantren dan mengajar, ia menyiarkan pemikirannya melalui sejumlah tulisan populer di media massa. Ketika ia kemudian memutuskan pindah ke Jakarta, namanya sudah mulai berkibar sebagai intelektual muda yang menjanjikan dan brilian. Pemikirannnya yang terbuka dan sikapnya yang kosmopolit, membawanya ke lingkungan pergaulan elite intelektual, budayawan, aktivis sosial, dan politisi Jakarta. Bintang Gus Dur sebagai intelektual-aktivis pun jadi terang benderang. Dengan latar belakang keluarga pesantren, kakek yang menjadi pendiri Nahdhatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam besar di Indonesia, ayah yang menjadi salah seorang founding fathers Indonesia, moyang yang terhubung dengan raja-raja masa lalu di Jawa, serta bacaanbacaan dan pergaulan-pergaulan modern, membentuk sosok Gus Dur yang kompleks dan penuh paradoks. Penelitian-Penelitian Terkait Sebelumnya



Laksana sebuah ‘gunung’ yang indah dan menantang, pemikiran Gus Dur sejauh ini telah didaki dan ditelusuri oleh banyak orang. Saya akan menggambarkan jalur yang ditempuh oleh sebagian para ‘pendaki’ sebelumnya ini, mempergunakannya, dan akhirnya melanjutkan pendakian baru dari mana para pendaki terdahulu itu berhenti. Ada banyak orang yang telah mempelajari pemikiran Gus Dur. Tapi saya ingin merujuk pada dua saja yang mungkin paling luas dan konferehensif –setidaknya dalam pandangan saya— yaitu dari Greg Barton dan Djohan Effendi.[4] Greg Barton menempatkan Gus Dur –bersama Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib— sebagai sebagai salah seorang cendikiawan neo-modernis Indonesia garda depan. Istilah neomodernisme diambil dari cendikiawan Pakistan, Fazlur Rahman, yang menggambarkannya sebagai suatu gerakan intelektual yang mengolah kembali modernisme Islam yang kemudian dipadu dengan apresiasi aktual terhadap kekayaan tradisi klasik. Gerakan ini masih menempatkan ijtihad sebagai intinya dan perhatian penuh pada rasionalisme, tapi pada saat yang sama, ia dengan sadar dan kepercayaan diri juga memberi tempat pada kekayaan tradisi intelektual Islam sendiri sebagai suatu titik tolak. Neomodernisme dengan demikian merupakan suatu gerakan yang memiliki akar pada sejarah dan masyarakatnya, dan bukan suatu loncatan tiba-tiba dan serta merta. Neomodernisme, bagi Rahman, adalah alternatif terhadap gerakan revivalisme pra-modernis, modernisme maupun neo-revivalisme, yang hadir di dunia Islam dalam rentang dua abad sebelumnya. Rahman sendiri menempatkan dirinya sebagai seorang neomodernis.[5] Dengan kategori konseptual itu, Greg menelusuri tulisan-tulisan Gus Dur dari tahun 1970-an hingga 1980-an awal. Ia mengklasifikasi ada lima hal yang menjadi perhatian Gus Dur yaitu: 1.) Kekuatan Islam Tradisional dan Sistem Pesantren, 2). Kelemahan Islam tradisional di Indonesia saat ini, 3). Dinamisasi – Tanggapan terhadap Modernitas, 4.) Pluralisme, dan 5.) Humanitarianisme dan Kebijakan Sosio-Politik. Sesuai dengan kategori yang dipungut, penelusuran ini menegaskan bahwa Gus Dur memang seorang neomodernis, seorang yang melakukan pembaruan dengan tetap berpegang teguh pada dan mendayakan seluruh warisan intelektual Islam yang ada. Djohan Effendi, rekan Gus Dur –baik dalam pengertian sesama pemikir neo-modernis maupun dalam pengertian harfiah[6]—berangkat dari halte di mana Greg Barton berhenti. Ia melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh Greg dengan menyigi pengaruh dan jejak



pembaruan pemikiran keagamaan yang dilakukan Gus Dur dalam tiga dekade ini, khususnya di kalangan NU. Pengaruh ini tampak misal dalam hal diterimanya ‘tajdid’ (pembaharuan) sebagai suatu jalan yang dimungkinkan di dalam NU yang sebelumnya telah dicap tradisional dan anti-tajdid. Tajdid ini membuka jalan ‘ijtihad’ dan penolakan pada taqlid, perumusan baru dalam bermazhab, dari bermazhab secara hukum, yang semula terbatas pada Imam Syafi’i saja menjadi bermazhab secara manhaji, bermazhab secara metodologi, yang melingkupi tiga pemikiran Imam Mazhab lainnya. Dengan rumusan ini, bermazhab menjadi suatu yang tak lagi membatasi tapi memberikan keleluasaan. Pilihan ‘mauquf’, yakni menunda jawaban atas suatu persoalan lantaran dianggap tidak atau belum ditemukan pendapat hukum atasnya, yang kerap membuat umat gamang, kini (bisa) dihindari. Bermazhab secara metodologis memungkinkan para kiai untuk ‘merumuskan’ jawaban, bukan sekadar ‘menemukan’ jawaban yang sudah tersedia di dalam kitab-kitab keagamaan. Dunia berkembang, masalah yang dimunculkannya pun berkembang, karena itu responnya pun juga harus berkembang. Bagian dari tawaran tajdid di atas, semarak juga gerakan apa yang disebut sebagai ‘kontekstualisasi’ kitab kuning. Sejak awal harus diketahui bahwa khazanah lama pemikiran Islam dalam Bahasa Arab, yang disebut ‘kitab kuning’ masih terpelihara dan dibaca dengan baik di kalangan pesantren dan NU. Tradisi kitab kuning ini membuat kalangan kiai NU dan pesantren selalu memiliki panduan dan keterkaitan historis dengan warisan-warisan intelektual Islam sebelumnya, tetapi pada saat yang sama mereka juga terkurung dan terbatasi dengan warisan-warisan intelektual Islam tersebut. Pembacaan secara ‘kontekstual,’ yang terutama menekankan metodologi suatu pemikiran, membuat khazanah pemikiran lama ini jadi menyala dan hidup lagi. Topiknya pun jadi luas, tidak semata soal ibadah agama saja, tapi juga menyentuh soal-soal sosial modern seperti perkara tanah, pajak, demokrasi, dan kesadaran gender. Gerakan-gerakan ‘tajdid’ gaya NU ini, yang terutama marak dilakukan di kalangan kaum muda dan NGO bekerjasama dengan sejumlah pesantren progresif, menurut Djohan (2009:xxxiv), tidak bisa dipisahkan dari peran dan kontribusi Gus Dur, terutama selama memimpin PB. NU (1984-1999). Kini setelah lebih dari duapuluh tahunan, pemikiranpemikiran ini sudah menjadi sesuatu yang lazim saja di kalangan pesantren dan NU.



Adalah tidak mengejutkan jika pemikiran dan gerakan Gus Dur memiliki jejak dan pengaruhnya. Di antara sejumlah cendikiawan muslim Indonesia yang disebut-sebut sebagai ‘pembaharu,’ Gus Durlah yang memiliki pengikut yang riil dan paling besar. Keterkaitan dengan massa pengikut yang luas ini membawakan gaya pemikiran Gus Dur yang khas juga. Di satu sisi, ia seperti hendak menggebrak kejumudan yang melingkupi umatnya, sehingga ia membuat beberapa gagasan yang mengejutkan dan kontroversial, tapi di sisi lain, ia menggunakan bahasa-bahasa, contoh-contoh, dan perumpamaan-perumpamaan setempat yang telah diakrabi warganya, sehingga seolah-olah tak ada yang baru yang hendak ditawarkannya. Dalam kaitan ini tepat sekali judul buku Djohan Effendi, A Renewal Without Breaking Tradition, yang mendeskripsikan dengan sangat baik, ‘pembaharuan’ semacam apa yang telah dilakukan Gus Dur. Pembaharuan Menurut Gus Dur Sebelum lebih jauh, penting mengetahui lebih dulu pengertian ‘pembaharuan’ yang selama ini dikenal dalam dunia Islam dan bagaimana pandangan Gus Dur terhadap ‘pembaharuan’ tersebut. Pembaruan adalah topik yang telah menjadi perhatian para pengamat dan pemerhati Islam sejak awal abad ini. Dalam arti longgarnya, pembaruan dimaknai sebagai suatu upaya penyesuaian pemikiran-pemikiran keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang diakibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Segala penghalang bagi kemajuan Islam disingkirkan, sebaliknya segala yang bisa menunjang bagi kemajuan Islam, diambil dan dipungut. Pembaruan Islam sebagian besar merupakan reaksi terhadap kenyataan sosial umat Islam: sebagai bangsa terjajah, terkebelakang, miskin dan bodoh, serta terjerat dalam pikiranpikiran penuh takhyul (superstition), bid’ah (heretic), dan khurafat. Pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam muncul silih berganti dalam rentang abad ke7 M hingga abad ke-20. Seperti banyaknya istilah yang merujuknya, ada banyak juga pola dan jenisnya.[7] Namun dalam pembacaan dan evaluasi menyeluruh terhadap gerakan pembaruan ini, maka karakternya meliputi sejumlah kecenderungan berikut; seruan untuk kembali ke dasar Islam: Qur’an dan Hadits. Sebagai bagian dari usulan ini, dilakukan permurnian dan pembersihan pemikiran dan ajaran Islam dari unsur-unsur yang dianggap non-Islam. Seruan penting lainnya adalah pembukaan pintu ijtihad, yang memungkinkan perumusan pemikiran baru dan tidak lagi taqlid, memungut semata pemikiran usang tanpa



reserve. Tetapi ketika pintu ijtihad ini dibuka serentak itu juga ia sebenarnya ditutup, karena upaya merumuskan pemikiran baru itu kehilangan energi dan instrumennya ketika mereka menyingkirkan warisan intelektual Islam abad pertengahan yang mereka tuding biang taqlid dan pengaburan ajaran murni Quran. Pembacaan Quran dan Hadits secara langsung, tanpa didukung instrumen pengetahuan dan metodologi yang diwariskan dari generasi ke generasi itu, menjadi terbatas, harfiah, dan kering. Ijtihad hanya ditegaskan pentingnya, tapi tak pernah sungguh-sungguh bisa dilakukan. Ia hanya menjadi slogan. Watak antiintelektualisme dari gerakan pembaruan keagamaan ini membuat tubuh Islam menjadi kurus kering, dengan sikap yang kaku dan angkuh. Kalangan modernis –sebagai bagian dari gerakan pembaruan ini— yang awalnya bertumbuh di permulaan abad lalu, memungut seluruh semangat pembaruan di atas, terutama usulan dibukanya pintu ijtihad itu, dan melengkapinya dengan mengadopsi gagasan-gagasan dan sistem barat dalam berbagai bidang, terutama bidang pendidikan. Bagi mereka, Islam menyentuh dan mengajarkan seluruh aspek kehidupan. Lalu kita kenal gagasan politik Islam, pendidikan Islam, ekonomi Islam, dan seterusnya. Tapi dengan tetap mengabaikan warisan intelektual Islam Abad Pertengahan, gerakan ini menjadi ahistoris dan tak memiliki akar yang kuat, dan dalam banyak hal dianggap ‘(terpengaruh) barat.’ Sesuai dengan gambaran itu, pemikiran dan gerakan pembaruan (di Indonesia) selama ini sering dialamatkan sebagai misi dan visi utama organisasi-organisasi Islam yang dianggap ‘modern’ saja seperti Persis (Persatuan Islam) dan Muhammadiyah. Di lain pihak, seluruh kalangan organisasi yang dianggap ‘tradisional’ sama sekali tidak dan menolak melakukan pembaruan. Sesungguhnya, menurut pandangan Gus Dur, tidak ada satu kelompok keagamaan pun (di Indonesia) yang tidak melakukan pembaruan (tajdid), hanya lingkup tajdid mereka tidak bersifat menyeluruh dan sebagian saja.[8] Kenyataan bahwa organisasi-organisasi kecil seperti Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah, berdiri 1926) yang dianggap tradisional dan antitajdid, sebagai misal, bisa bertahan hingga saat ini menunjukkan bahwa ada daya adaptif, keinginan untuk berubah dan menyesuaikan diri pada perubahan, seminim apapun derajatnya, yang menunjukkan ada usaha-usaha tajdid di dalamnya. Kelompok-kelompok yang dianggap tradisional ini, diakui atau tidak, sadar atau tidak sadar, dan cepat maupun lambat, telah melakukan gerak pembaruan sendiri, yang bisa disebut sebagai ‘pembaruan terbatas.’ Istilah



ini dipakai Gus Dur untuk menyebut adanya upaya pelestarian pemikiran keagamaan dengan melakukan pembaruan secara terbatas.[9] Pembaruan dengan demikian bukanlah pemikiran dan gerakan yang bisa dimonopoli satu dua orang pemikir saja. Juga tidak oleh satu dua organisasi keagamaan saja. Pembaruan juga bukan merupakan suatu proyek yang sekali jadi, tapi proses yang tak pernah mengenal berhenti. Pembaruan ada selama kehidupan dan perubahan itu diakui ada. Pembaruan adalah respon untuk ada dan bertahan. Menarik bahwa jika selama ini Gus Dur dikenal dengan lontaran-lontarannya yang sering mengundang kontroversi, dalam hal ‘pembaruan,’ pandangannya justru bisa dikatakan lunak. Pembaruan, bagi Gus Dur, adalah suatu gerakan yang mesti dilakukan secara bertahap dan menggunakan pendekatan yang persuasif. Dalam parafrase yang sangat dikenal di dunia Islam, ia mestilah menggunakan ‘bahasa’ yang dimengerti oleh kaum itu sendiri. Karena itu, meski dikenal sebagai salah seorang ‘pembaharu,’ tapi numeklatur ‘pembaharuan’ ini dengan segala bentukannya, jarang sekali digunakan Gus Dur sebagai nama proyek pemikirannya. Greg Barton menemukan kalimat yang sering digunakan Gus Dur, yaitu ‘dinamisasi’ atau ‘dinamisme’ yang menurut interpretasinya, tidak lain dan tidak bukan, adalah kata ganti dari pembaruan. Dinamisme diartikan bukan saja sebagai kualitas yang enerjetik dan hidup, melainkan juga sebagai kemampuan mengadaptasi dan merespon persoalan-persoalan masyarakat secara kreatif.[10] Dalam bahasa Gus Dur sendiri: “…Dinamisasi, pada dasarnya mencakup dua buah proses, yaitu penggalakan kembali nilainilai hidup positif yang telah ada, di samping mencakup pula pergantian nilai-nilai lama itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Proses penggantian nilai itu dinamai modernisasi. Jelaslah dari keterangan ini, bahwa pengertian modernisasi sebenarnya telah terkandung dalam kata dinamisasi. Sedangkan kata dinamisasi itu sendiri, dalam penggunaannya di sini, akan memiliki konotasi/mafhum “perubahan ke arah penyempurnaan keadaan,” dengan menggunakan sikap hidup dan peralatan yang telah ada sebagai dasar. Dikemukakan prinsip itu di sini, karena ada keyakinan, konsep-konsep yang dirasa asing oleh pesantren, akan menghadapi hambatan luar biasa nantinya. Kita percaya, pendekatan untuk memperoleh penerimaan dari pesantren sendiri, dalam jangka panjang akan memberikan hal yang lebih baik…”[11]



Tampaknya Gus Dur sadar dengan reaksi kalangan konservatif di lingkungan internal umat Islam sendiri yang kadang tidak produktif bagi program ‘pembaruan’ itu sendiri. Ia, karena itu, menggunakan bahasa yang lebih lunak dan halus, namun dengan bobot pengertian yang sama dan sebangun dengan ‘pembaharuan’ itu sendiri. Di sini jelas sekali bahwa Gus Dur sangat memperhitungkan ‘pendekatan’ di dalam melakukan pembaharuan dan penyegaran pemikiran Islam. Ia yakin Islam dapat menerima kebutuhan akan perubahan besar, termasuk dalam norma-norma hukum agamanya, suatu aspek yang selama ini ‘riskan’ disentuh perubahan, sejauh penerimaan atas kebutuhan akan perubahan itu senantiasa dikendalikan oleh batasan-batasan yang telah ditentukan bagi pengambilan keputusan hukum. Yang penting juga, perubahan norma-norma hukum agama itu dilakukan tanpa menggoyahkan batasan-batasan yang telah digariskan. Dalam istilahnya, bagaimana ‘memperoleh telur emas dengan tidak mengganggu ayamnya.’[12] Dalam hal pendekatan ini, ada siasat lain yang ditawarkan Gus Dur, yaitu melakukan apa yang disebutnya sebagai “membudayakan terobosan.” Mereka yang ingin melakukan perubahan, harus memulainya di lingkungan sendiri, tentu dengan resiko juga harus ditanggung sendiri. Jika nanti terbukti hasil positif dari upaya rintisan itu, barulah akan ada pengakuan dan peniruan dari umat. Gus Dur memberi contoh hal ini dengan gagasan madrasah nizamiyah dari ayahnya, Wahid Hasjim, semasa masih hidup di Pesantren Tebuireng, yakni berupa pendidikan agama dengan sistem kurikulum campuran. Ternyata tidak sampai satu dekade, madrasah ini ditiru dan menjadi model bagi banyak madrasah di sekitarnya, setelah menyaksikan kualitas tinggi dari para alumninya. Dengan “budaya terobosan” itu, tambah Gus Dur, derajat toleransi umat terhadap inovasi jadi cukup besar.[13] Bagi Gus Dur, pembaruan, akhirnya, bukan sekadar gagasan yang tinggi mengawang di atas langit, tapi juga sebuah tindakan. Sebuah praksis. Gagasan hanya akan membumi jika disertai dengan penerapannya. Barangkali karena itulah Gus Dur sangat memperhitungkan reaksi apa yang akan diberikan masyarakat dan menawarkan pentingnya sebuah strategi pendekatan. Pada bagian berikut, kita akan memeriksa dua proyek ‘pembaharuan’ Gus Dur, yaitu pribumisasi Islam dan penuntasan hubungan agama dan negara, dua yang sangat penting dan hingga kini masih relevan. Pribumisasi Islam



Berbeda dengan arus gerakan pembaruan yang selama ini dipahami, yang kebanyakan jatuh pada gerakan purifikasi atau pemurnian, yang sebagian besar efeknya menjadi semacam ‘arabisasi,’ Gus Dur justru melakukan apa yang disebut sebagai pribumisasi atau indigenisasi. Secara khusus pokok ini termuat dalam salah satu tulisannya,[14] tetapi secara umum semangat pribumisasi ini tercermin di hampir seluruh pemikirannya, terutama yang berkait dengan agama dan budaya. Pribumisasi Islam merupakan salah satu agenda pembaruan pemikiran Gus Dur yang penting. Menarik bahwa watak dan semangat pemikiran ini seolah seperti melawan gerakan pembaruan yang selama ini dikenal, yang lebih terarah pada universalisasi ajaran Islam. Berbeda dengan itu, pribumisasi Islam mengarah pada ‘partikularisasi’ Islam atau memberi tempat pada jenis Islam lokal. Mengutip pemetaan Charles Kuzman, pribumisasi Islam tampak lebih mendekati apa yang disebutnya sebagai ‘Islam adat’ (customary Islam), yang ditandai dengan percampuran praktik-praktik lokal dan ajaran-ajaran Islam universal. ‘Islam adat,’ boleh dikatakan, merupakan buah dari proses pribumisasi Islam yang panjang dan penuh tarik-ulur, sadar atau tidak sadar proses itu dijalankan. Tapi ‘Islam adat’ ini, setara dengan ‘Islam revivalis,’ menurut Charles Kuzman, tidak bisa diharapkan menjadi acuan Islam di masa depan, karena ia tidak bisa menjadi fenomena pemersatu umat Islam di berbagai kawasan. Setiap daerah, menurut Charles, pasti memiliki jenis dan pola Islam adatnya sendiri.[15] Karena itu, ia tidak berharap pada jenis Islam ini. Mungkin karena alasan ini, topik ini diabaikan Greg Barton. Padahal, di tengah semangat ‘arabisasi’ yang deras sekarang ini, gagasan ini, bagi saya, justru sangat relevan dan mendesak untuk diketengahkan kembali. Kenyataannya, gagasan ini memang merupakan pokok pembaharuan Gus Dur yang unik dan penting. Pribumisasi Islam merupakan suatu proses yang tak terelakkan ketika agama bertemu dengan budaya lokal. Agama (Islam) diyakini bersumber pada wahyu Allah, sebaliknya budaya adalah produk dari pemikiran manusia. Agama bersifat permanen, sementara budaya berubah-ubah. Tetapi hubungan antara agama dan budaya tak mudah dilerai seperti minyak dan air. Keduanya memiliki hubungan yang kompleks, yang bisa saling bertumpang tindih dan bertukar. Suatu yang semula teologis, dalam jangka panjang bisa jadi suatu yang kultural. Sebaliknya, suatu yang semula kultural bisa bernilai ‘teologis’ dalam waktu yang lama.



Islam, menurut Gus Dur, harus mengakomodasi pola pertukaran dan perhubungan agama dan budaya yang sering bersifat alami ini. Akomodasi ini yang pada giliran berikutnya melahirkan pribumisasi. Gus Dur memberi banyak contoh kasus: misal dalam hal hukum Islam dirumuskannya apa yang disebut sebagai adat pamantangan sebagai mekanisme pembagian waris di kawasan Suku Banjar, Kalimantan Selatan, atau gono-gini, di kalangan orang Jawa. Mekanisme ini memang berbeda dengan aturan hukum waris Islam, tapi bukan berarti bertentangan. Pribumisasi seperti ini terjadi ketika wahyu diinterpretasikan dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya. Dalam ‘pertemuan’ yang panjang antara Islam sebagai ajaran yang universal dengan budaya sebagai ekspresi lokal, telah berkembang banyak bentuk dan produk pribumisasi ini. Baik itu berupa ajaran, pemikiran maupun karya-karya budaya yang bersifat fisik seperti arsitekturarsitektur bangunan, makam, masjid, rumah, dan lainnya hingga festival-festival dan perayaan-perayaan keagamaan. Tetapi gerakan-gerakan pembaruan sering menganulir produk-produk budaya ini dengan dalih bid’ah dan mencemari ajaran Islam yang murni. Pribumisasi dilakukan agar ‘kita’, menurut Gus Dur, tidak tercerabut dari akar budaya. Sebaliknya, kecenderungan ‘arabisasi’ bukan saja sering membuat kita jadi terasing dengan budaya sekitar, tapi juga dalam banyak hal kerap tidak cocok dan bahkan bertentangan dengan kebutuhan. Pribumisasi juga bukan upaya untuk menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya setempat, tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Agama di sini, dengan demikian, tidak hadir sebagai ‘buldozer’ yang melindas budaya lokal – sebagaimana selama ini dituduhkan— tapi juga berfungsi sebagai konservatoriomnya yang strategis. Lalu, bagaimanakan proses pribumisasi berlangsung dan dikawal? Gus Dur menawarkan pola yang cukup sederhana, yaitu dengan mempergunakan variasi pemahaman nash dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qaidah fiqhiyah. Qaidah fiqhiyah seperti al-‘adah muhakkamah (adat istiadat bisa menjadi hukum) dan al-muhafazatu bi qadimis ashshalih wal-ahdzu bil jadid al-ashlah (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik) misalnya bisa menjadi petunjuk untuk mendorong, mengawal, dan sekaligus mengevaluasi gerak pribumisasi ini.[16]



Ada sebagian kalangan yang khawatir bahwa pribumisasi akan mengarah pada pencampuradukan Islam dan membuat Islam menjadi ajaran yang singkretik. Terhadap pandangan ini dapat dikatakan bahwa kepentingan pribumisasi adalah hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Pemikiran itu juga tidak bermaksud menanggalkan ‘norma’ demi untuk budaya, tetapi agar norma-norma itu mampu menampung kebutuhan-kebutuhan setempat. Karena itu, menurut Gus Dur, pribumisasi bukanlah ‘sinkretisme’ dan juga bukan ‘jawanisasi.’ Proyek pribumisasi Islam memiliki nilai sosial-politik yang tinggi. Dalam konteks regional, pribumisasi agama, termasuk Islam, saya kira, bisa mengelimir ketegangan antara Islam sebagai ajaran universal dengan budaya lokal, atas nama primordialisme apapun budaya lokal itu diusung dan dipraktikkan. Di sisi lain, pribumisasi juga bisa mengurangi semangat kontestasi dan ketegangan antara agama-agama semitik yang datang ke suatu kawasan. Dengan sama-sama membagi budaya lokal, agama-agama semitik itu bisa membangun ‘titik temu kultural,’ kebersamaan, dan solidaritas. Tentu sekali lagi, pribumisasi di situ berlangsung di tataran manifestasi-menifestasinya, dan sama sekali bukan pada normanormanya. Resikonya, akan ada banyak variasi jenis Islam lokal jika gagasan pribumisasi ini diterima. Tapi hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena di tingkat norma-normanya, antara satu Islam lokal dengan Islam lokal lainnya tetap memiliki kesamaan. Dengan demikian, betapa sangat strategis dan pentingnya gagasan pribumisasi ini.[17] Agama, Negara, Ideologi Nasional Salah satu aspek lain yang penting dicatat dari Gus Dur adalah pemikirannya mengenai hubungan agama dan negara. Gus Dur, menurut saya, telah ikut ‘menuntaskan’ hubungan agama dan negara yang penuh dilema, ketegangan, dan kadang sering saling meniadakan satu sama lain. Ini termanifestasikan dalam sejarah konflik agama-negara di negara-negara (berpenduduk) muslim dalam masa-masa awal kemerdekaan mereka, termasuk di Indonesia. Bagi Gus Dur, Islam dan negara adalah suatu entitas yang terpisah. Kehadiran negara merupakan suatu hukum, kebutuhan, tetapi manifestasinya bisa mengambil bentuk bermacam-macam, dan tidak mesti ‘formal Islam.’ Apalagi kenyataannya, dalam pandangan Gus Dur, Islam sendiri tidak memiliki konsepsi negara dan sistem pemerintahan yang definitif. Dalam soal yang pokok, misal soal suksesi kekuasaan, Islam periode awal memiliki



pengalaman yang bermacam-macam dan tidak konsisten. Terkadang memakai istikhlaf, bai’at, dan ahl halli wa aqdi (sistem formatur).[18] Meski tidak mempunyai konsepsi negara yang definitif, ia yakin Islam mempunyai norma dan prinsip-prinsip etiknya. Norma dan etik inilah –di antaranya al-mushawah (persamaan), al-‘adalah (keadilan), dan syura’ (demokrasi) yang bisa dimasukkan ke dalam konsepsi sebuah negara modern, yang sekaligus bisa menjadi acuan umum untuk mengawal dan mengevaluasi jalannya negara tersebut. Sekali lagi, ini tidak harus bersifat formal sebuah ‘negara Islam,’ lebih-lebih kenyataan sosial, baik di lingkungan internal umat Islam sendiri maupun masyarakat bangsa secara umum yang plural dan beragam, sama sekali tak memungkinnya. Pilihan negara yang ‘tidak formal Islam’ itu bukan merupakan masalah selama masih diikuti dengan pola perilaku formal negara yang tidak bertentangan dengan agama. Agama –yang dalam kasus ini terumuskan dalam beberapa pemikiran fiqih dah kaidah-kaidahnya— lalu menjadi instrumen untuk mengontrol dan mengevaluasi jalannya pemerintahan. Pemerintahan sendiri tidak dilihat dari norma formal eksistensialnya, tetapi lebih dari fungsionalnya.[19] Tentu saja gagasan pemisahan agama dan negara bukan suatu yang baru. Jauh hari, Syeikh Ali Abdurraziq, ulama dari Mesir, pada tahun 1925 sudah memperkenalkan gagasan serupa dalam Al-Islam wal Ushul Hukm, sebuah gagasan kontroversial yang membuatnya terlempar dari kursi guru besar Univesitas Al-Azhar. Tetapi, penting dicatat, di Indonesia gagasan ini masih terbilang ‘baru’ dengan mengingat bahwa dalam periode awal kemerdekaan hingga beberapa dekade sesudahnya, sejumlah individu dan gerakan-gerakan Islam, termasuk NU di dalamnya, seperti yang tercermin dalam debat mengenai dasar negara di awal kemerdekaan dan isu ‘tujuh kata’ yang diwariskannya,[20] terus menuntut keberadaan ‘negara Islam’ secara formal. Di lain pihak, di kalangan sejumlah besar umat Islam Indonesia yang tidak setuju dengan gagasan ‘negara Islam’ secara formal itu, soal ini masih ‘mengambang’ karena tidak adanya ‘gagasan tandingan’ yang tegas dan berani. Mengingat ini semua betapa penting tawaran Gus Dur mengenai hubungan Islam dan negara ini. Hubungan ini makin dituntaskan ketika NU yang dipimpinnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila, menurut Gus Dur, merupakan ideologi negara yang memiliki posisi netral, yang bisa memayungi dan mengayomi keberagaman masyarakat. Dengan penerimaan Pancasila sebagai ideologi nasional ini, Indonesia menjadi sebuah ‘negara damai’ (dar al-sulh), kategori terakhir dari tiga kategori negara yang dikemukakan Imam Syafi’i setelah dar al Islam (negara Islam) dan



dar al-harb (negara perang). Sebagai ‘negara damai’ yang di dalamnya syari’ah –berupa hukum agama/fiqih dan etik masyarakat— masih dengan leluasa dan bebas dilaksanakan oleh kaum muslim, maka menjadi kewajiban umat Islamlah untuk juga membela dan mempertahankan negara tersebut, meski syari’ah di situ tidak diikuti dengan legislasi dalam bentuk undang-undang negara. Bila etik masyarakat Islam dijalankan, tak ada alasan lain bagi umat Islam selain mempertahankannya sebagai kewajiban agama.[21] Konsensus nasional, berupa penerimaan Pancasila sebagai asas ini, tidak berhenti sampai di sini. Langkah-langkah selanjutnya adalah menempatkan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan pengintegrasian ‘perjuangan Islam’ ke dalam ‘perjuangan nasional,’ dengan meletakkan perjuangan Islam itu ke dalam konteks demokratisasi berjangka panjang di berbagai bidang dan tingkatan masyarakat. Dengan proposal pemikiran ini, Gus Dur ingin menandingi dan mengimbangi pemikiran kalangan Islam yang disebutnya arus idealistis dalam memahami hubungan negara dan Islam. Dalam arus idealitis ini, kerangka negara sepenuhnya dirumuskan berdasarkan wawasan Islam. Konsep kenegaraan Islam harus dirumuskan secara penuh, in toto dalam sebuah bangunan masyarakat yang seratus persen islami. Berbeda dengan itu, Gus Dur, sebagai eksponen arus pemikiran realistis, lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis dapat ditampung dalam pandangan Islam tentang negara. Benar bahwa hingga saat ini, masih ada sejumlah individu dan gerakan-gerakan Islam, termasuk di Indonesia, yang berada di dalam arus idealistis, yang masih menginginkan dan mengangankan berdirinya negara atas nama Islam, ‘negara Islam,’ baik dengan cara yang ‘keras’ maupun halus. Bahkan ada yang mengangankan semacam ‘kekhalifahan’ Islam, satu ‘Pemerintahan Islam Raya’ yang membawahi dan meliputi seluruh umat Islam di seantero dunia. Gagasan ini terus aktif dijajakan oleh kalangan ‘Islam garis keras’ dan memang telah menjadi inti dari cita-cita politik mereka. Justru di sinilah pentingnya pemikiran Gus Dur mengenai topik ini, karena ia dalam waktu yang dekat dan periode yang panjang gagasan ini –bersama gagasan cendikiawan muslim progresif lainnya— akan selalu menjadi ‘tandingan’ terhadap gagasan dan gerakan yang selalu dan terus mengalami ‘reinkarnasi’ dari generasi ke generasi, lebih-lebih di masa krisis ekonomi dan kebangkrutan (etika) politik akhir-akhir ini. Penutup: Gus Dur Sebagai Presiden



Pada tahun 1999, Gus Dur diangkat sebagai Presiden Indonesia ke-4 dari hasil Pemilu demokratis pertama yang diadakan setelah lebih dari tiga dekade pemerintahan Orde Baru. Pengangkatan ini jelas menunjukkan penghargaan dan apresiasi terhadap sosok Gus Dur sebagai pemikir, aktivis, dan politisi yang pluralis dan demokratis. Tidaklah mudah memimpin sebuah negara yang memiliki wilayah yang luas dan penduduk yang afiliasi sosialnya beragam, plus keadaan ekonomi-politik yang compang-camping. Belum lagi masih bercokolnya aktor-aktor politik lama hasil ‘reformasi setengah hati’ yang tak sepenuhnya bisa mengakhiri petualangan politik mereka. Serta ditambah oleh keadaan fisik Gus Dur sendiri yang terbatas, dengan kedua mata yang tak mampu lagi melihat. Namun dengan segala situasi ekonomi-politik yang muram dan keterbatasan itu, Gus Dur memperlihatkan sosoknya sebagai seorang demokrat dan pluralis. Dalam periode yang sangat singkat dari pemerintahannya ini, ia misalnya mengusulkan rekonsiliasi nasional dengan di antaranya usulan pencabutan TAP MPRS No XXV Th 1966 mengenai pelarangan terhadap PKI dan ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme. TAP ini menjadi landasan perlakuan diskriminasi terhadap bekas para aktivis dan anggota (atau yang dituduhkan terlibat sebagai anggota) Partai Komunis Indonesia (PKI).[22] Mereka yang dikaitkan langsung atau pun tidak langsung dengan partai ini, sepanjang pemerintahan Orde Baru kehilangan hak-haknya sebagai warga negara, tidak berhak memilih dan dipilih, tidak bisa menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), terkena wajib lapor karena dianggap ‘tidak bersih lingkungan,’ kesulitan mencari pekerjaan, dan KTP mereka tertulis ET (eks tapol [tahanan politik]), yang mengharuskan mereka untuk ‘wajib lapor’ ke aparat keamanan secara rutin dan berkala, serta yang paling menyakitkan adalah ‘dijauhi’ masyarakat sekitar karena dianggap ‘berbahaya.’ Maka betapa mendalamnya arti usulan Gus Dur untuk mencabut TAP dengan segala efek diskriminatifnya itu. Seorang pengarang mengenang apa yang dilakukan Gus Dur ini dalam sebuah cerpennya bertajuk “Ode untuk Selembar KTP.” Sebagian kutipannya: “…Dan tanda penderita lepra yang berlambang ETP itu sudah dihapuskan pemerintah. Gong sudah ditalu. Siksa harus diakhiri. Karena Presiden Republik yang sekarang ini, ketika dia masih seorang kiai yang buta namun memiliki yang baik setinggi langit, telah diterangi Tuhan pikirannya untuk meminta maaf atas kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang seperti aku ini.”[23]



Gus Dur dengan itu jelas bukan membela PKI, atau ajaran Komunisme, Marxisme Leninisme, tetapi membela suatu prinsip. Yaitu prinsip demokrasi dan HAM, suatu prinsip yang telah ditancapkan dengan kokoh dalam UUD 1945 Republik Indonesia. Gus Dur menunjukkan bahwa TAP itu bertentangan dengan UUD 1945 dan berlawanan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM. [24] Kebijakan pluralis Gus Dur lainnya yang penting dicatat adalah Keputusan Presiden (Keppres) No 6/2000 yang mencabut Instruksi Presiden (Inpres) No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Dengan Keppres No 6/2000 itu, warga keturunan Tionghoa diperbolehkan menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa tanpa harus meminta izin khusus. Selama pemerintahan Orde Baru, warga keturunan Tionghoa terlarang mengekspresikan berbagai bentuk kepercayaan dan istiadat mereka, seperti aksara, bahasa, dan perayaan keagamaan.[25] Memang usulan pencabutan TAP itu ditolak oleh parlemen dan Gus Dur diprotes di sana-sini karena dianggap bersimpati dengan ‘komunisme.’ Rekonsiliasi nasional yang diusulkannya menabrak tembok beton yang besar. Demikian juga, dengan pencabutan Inpres No. 14, tidak berarti diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa berakhir serta merta. Di dalam banyak kasus, perlakuan diskriminatif itu masih tersisa seperti ketika mereka mengurus suratsurat penting: akte kelahiran, akte perkawinan, paspor, dan lainnya. Dua kebijakan ini bukan datang tiba-tiba. Jauh sebelum jadi presiden, Gus Dur sudah terkenal dengan gagasan-gagasan pluralistik dan sekaligus pembelaan politiknya terhadap kalangan minoritas agama, ras, politik maupun etnik ini. Ia selalu tampil ke depan sebagai ‘jaksa penuntut umum’ terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggapnya diskriminatif, termasuk dalam hal ini perlakuan diskriminatif terhadap para eks-Tapol dan keturunan Tionghoa. Dengan dua kebijakan ini, tampak sekali bagaimana antara gagasan pemikiran dan tindakan politik di dalam diri Gus Dur demikian konsisten dan koheren. Tak ada pemisahan antara ‘aku berpikir’ dan ‘aku bertindak.’ Yang penting dicatat juga dari ini adalah bagaimana komitmen dan keteguhan Gus Dur untuk membela kalangan minoritas ini. Lontaran itu diajukan ketika kritik terhadap kepemimpinannya sangat deras, sehingga (usulan) kebijakan itu sebenarnya secara politik sangat tidak strategis untuk kelangsungan kekuasaannya. Sementara, sebagai bagian dari sisa-



sisa konflik kekuasaan paskareformasi, tuntutan terhadap pemakzulannya, secara terbuka maupun diam-diam, dirancang dengan sangat kuat dan sistematis.[26] Tapi Gus Dur bukan seorang pragmatis dan lemah pendirian. Komitmen ini tetap hendak ditegakkannya. Perlakuan diskriminatif yang merupakan akibat produk perundang-undangan yang diskriminatif, dalam jangka panjang melahirkan juga kultur diskriminatif. Dalam kultur diskriminatif, sebuah tindak diskriminasi tidak lagi dianggap sebagai suatu salah dan keliru. Ia telah menjadi hal yang wajar dan biasa. Kultur diskriminatif ini kemudian dalam tempo yang singkat dan tidak disadari telah menjadi lahan subur bagi produksi berbagai perundangan dan perlakuan diskriminatif. Ia, mengutip Dom Helder Camara, teolog pembebasan dari Amerika Latin –yang kerap dikutip Gus Dur— telah menjadi ‘spiral kekerasan.’ Di sinilah arti penting era singkat masa kepemimpinan Gus Dur sebagai presiden. ‘Budaya terobosannya” dengan usulan mencabut dua ‘ketentuan’ di atas kelak akan mendorong anak bangsa untuk merenungkan kembali hakikat sebagai masyarakat bangsa, dengan tanpa diskriminasi satu sama lain. Gus Dur memang akhirnya terjungkal dari kursi presiden oleh berbagai sebab dan faktor yang kompleks. Tetapi dalam periode yang singkat itu, ia menanamkan kemungkinankemungkinan bagaimana membangun bangsa yang beragam ini. Agenda-agenda pluralistiknya memang belum sepenuhnya sempat diperkenalkan. Tetapi dari yang sedikit itu pun masyarakat Indonesia bisa belajar dan memetik pengalaman.



[1]Tulisan ini adalah suatu penghampiran awal. Saya membayangkan kelak bisa melakukan upaya ilmiah semacam yang dilakukan Abdullah Ahmed Na’im ketika menelusuri, mengumpulkan, dan menafsirkan, serta akhirnya merekonstruksi pemikiran gurunya Ustaz Mamoud Muhammad Thaha, terutama yang menyangkut metodologinya. [2] Lih. Aboebakar Atjeh, K. H. A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, Panitia Hari Peringatan K H. A. Wahid Hasjim, Departemen Agama, 1957, hal. 958. [3] Untuk paparan yang lebih rinci mengenai riwayat Gus Dur, lih. Greg Barton, Biografi Gus Dur: the Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, LKiS, Yogyakarta, 2006.



[4] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pustaka Antara-Yayasan Paramadina, Jakarta, 1999 dan Djohan Effendi, A Renewal Without Breaking Tradition: The Emergence of a New Discourse in Indonesia’s Nahdlatul Ulama During the Abdurrahman Wahid, Interfidei, Yogyakarta, Agustus, 2008. [5] Lihat secara khusus Fazlur Rahman, “Islam: Challenges and Opportunities,” dalam Alford T. Welch dan Pierre Cachia (ed.), Islam: Past Influnce and Present Challenge, Edinburgh University Press London, 1979. Edisi Indonesianya “Gerakan Pembaharuan dalam Islam di Tengah Tantangan Dewasa Ini,” dalam Harun Nasution & Azyumardi Azra (ed.), Perkembangan Modern dalam Islam, Yayasan Obor, 1985. [6] Dalam bukunya itu, Djohan mengakui bersahabat dengan Gus Dur lebih dari tigapuluh tahun, jauh sebelum Gus Dur memimpin NU. Persahabatan ini pula yang membuka kesempatan Djohan untuk mengalami dan menyelami dinamika kehidupan pesantren dan NU, sebelum dan selama di bawah kepemimpinan Gus Dur (2009: xxxv). [7] Kembali di sini perlu dirujuk karya Fazlurrahman (catatan kaki 3 di atas) yang membuat pemetaan dan penilaian kritis terhadap gerakan-gerakan pembaruan Islam selama ini. Lih. juga Chandra Muzaffar, “Kebangkitan Kembali Islam: Tinjauan Global dengan Ilustrasi dari Asia Tenggara,” dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta, 1988. [8] Abdurrahman Wahid, “Peranan Umat Islam dalam Berbagai Pendekatan,” dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Rosdakarya, Bandung, 1990, hal. 193. [9] Lih. Abdurrahman Wahid, “Penyesuaian ataukah Pembaruan Terbatas,” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, hal. 248-252. [10] Lih. Barton (1999: 370). [11] Lih. Abdurrahman Wahid, “Dinamisasi dan Modernisasi Pesantren (1973),” dalam Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, LKiS, Yogyakarta, 2001. hal. 38. [12] Lih. Abdurrahman Wahid, “Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan (1975),” dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, LKiS, Yogyakarta, 1999. hal. 34.



[13] Lih. Abdurrahman Wahid, “NU dan Islam di Indonesia Dewasa ini (1984),” dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, LKiS, Yogyakarta, 1999. hal. 161-2. [14] Lih. Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam,” dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Shaleh, ed., Islam Indonesia Menatap Masa Depan, P3M, Jakarta, 1989. [15] Lih. Charles Kuzman, Liberal Islam: A Sourcebook, Oxford University Press, OxfordNew York, 1998, hal. 5. Charles sendiri menganggap hanya jenis ‘Islam Liberal’ yang layak menyongsong masa depan. Alasannya, seruan ‘Islam Liberal’ untuk kembali ke masa Islam awal dan menyingkirkan praktik-praktik lokal yang mewarnai wajah Islam, memungkinkannya untuk menjadi ‘Islam universal,’ yang dianut di berbagai kawasan, di samping kesesuaian pandangannya dengan liberalisme Barat. [16] Penggunaan secara maksimal ushul fiqh dan qaidah fiqhiyyah ini dalam tingkatan tertentu hampir menjadi metodologi ‘pembaruan’ pemikiran Gus Dur, juga secara umum di dalam lingkungan NU. Hanya saja dalam kasus-kasus pemikiran mengenai isu-isu politik praktis yang membutuhkan keputusan segera, argumen fiqhiyyah-nya terkesan disusun belakangan alias post-factum sehingga seperti upaya ‘pembenaran’ atau ‘pengabsahan’ keputusan-keputusan politik yang diambil itu saja. Lihat Ali Haidar, Nahdalatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik, Gramedia, Jakarta, 1994. [17] Hingga baru-baru ini, Gus Dur masih konsisten mengajukan gagasan pribumisasi ini. Lihat himpunan esai-esainya, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, terutama bab V: Islam, Pendidikan, dan Masalah Sosial Budaya. Perhatikan judul esai-esainya seperti “Arabisasi, Samakah dengan Islamisasi?,” “Sistem Budaya Daerah Kita dan Modernisasi,” dan lainnya. Gagasan dan proyek pribumisasi mungkin bisa dipadankan di dunia Katolik dengan ‘inkulturasi.’ Selain ketidakmungkinannya menjadi faktor pemersatu Islam, Charles Kuzman juga menganggap ‘Islam adat’ (Islam lokal) cenderung tidak apresiatif terhadap gagasan-gagasan masyarakat modern seperti demokrasi, penghormatan hak asasi, hak-hak perempuan, dan lainnya,. Menurut saya, pandangan ini menunjukkan ketidakmampuan dan keterbatasannya dalam melihat gerak dinamis Islam jenis ini, yang sebagiannya bersumber dari bias-modern dalam pemikirannya. Justru dukungannya terhadap ‘Islam liberal’ yang dalam definisinya di antaranya berwatak ‘universal’ dalam arti semangatnya yang hendak menghidupkan Islam seperti pada periode awalnya— tak lain semacam gerak purifikasi dan arabisasi, sebuah efek



yang entah disadari atau tidak olehnya, telah menjadi ‘kolonisasi’ budaya lokal. Apresiasi kalangan ‘Islam liberal’ ini terhadap gagasan-gagasan sosial modern akhirnya tertelan oleh semangat ‘arabisasi’ ini. [18] Lih. Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran & Aksi Politik; Abdurrahman Wahid, M. amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rahmat, Penerbit Zaman Wacana Mulia, Bandung, 1998, hal. 169. [19] Lih. Abdurrahman Wahid, “NU dan Islam di Indonesia Dewasa ini (1984),” dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, LKiS, Yogyakarta, 1999. hal. 159. [20] Dalam debat pada awal kemerdekaan, sebagai kompromi akhirnya kalangan Islam menerima penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi “…dengan kewajiban menjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” Belakangan, sebagian kalangan Islam, menafsirkan kompromi ini sebagai kekalahan umat Islam. Sebaliknya segelintir kalangan non-muslim memahaminya sebagai kemenangan. Karena itu beberapa kalangan politisi Islam, mengikhtiarkan untuk mengembalikan tujuh kata yang telah dihapuskan itu. Gerakan ‘pengembalian’ tujuh kata ini, sudah barang tentu, menimbulkan kekhawatiran di sebagian besar kalangan non-muslim dan menganggapnya sebagai langkah awal menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Mengenai debat ini terekam di bagian awal buku Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Grafiti, Jakarta, 1987. [21] Untuk latar belakang yang luas mengenai penerimaan NU atas Pancasila ini, lihat Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, Jakarta, Sinar Harapan, 1989. [22] Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang pembunuhan tujuh jenderal pada peristiwa peralihan kekuasaan politik tahun 1965. Menyusul ini terjadi pembunuhan besar-besaran, dan juga penangkapan tanpa pengadilan, terhadap mereka yang dianggap memiliki ‘kaitan,’ langsung tidak langsung, dengan PKI. Himpunan riset akademis mengenai peristiwa ini, plus memoar dan catatan-catatan yang dibuat oleh para pelaku –baik di pihak kiri maupun kanan— dan juga korban kekerasan politik ini, dengan segala kesemwarutan fakta dan fiksinya, telah membentuk historiografi tersendiri mengenai topik politik 1965 ini. Untuk riset terbaru, lihat John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Institut sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, Jakarta, 2008.



[23] Baca Martin Aleida, “Ode untuk Selembar KTP.” Cerpen ini semula dimuat Kompas (17 Februari 2002), dan kini diterbitkan lagi dalam Leontin Dewangga, kumpulan cerpen, Penerbit Kompas, Jakarta, 2003. [24] Lih. penjelasan luas Budiawan mengenai kebijakan Gus Dur ini dan reaksi-reaksi yang mengiringnya dalam, Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca Soeharto, Elsam, Jakarta, 2004. terutama hal. 46-67. [25] Lebih lengkap mengenai keppres ini dan kaitannya dengan diskriminasi warga keturunan Tionghoa, lih. Anas Saidi (ed.), Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru, Desantara, Jakarta, 2004. [26] Lasykar Jihad, sebuah kelompok paramiliter berhaluan “wahabi” misalnya dikreasi saatsaat itu oleh ‘segelintir’ militer, dengan program utama menjatuhkan Gus Dur. Lih. Norhaidi Hasan, Lasykar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca Orde Baru, LP3ES-LITLV, Jakarta, 2008. Kalangan militer, terutama AD, kecewa dengan langkah politiknya yang menarik militer ke barak dan membatasi keterlibatan mereka dalam politik dan ekonomi, kecuali melalui proses ‘pensipilan’ terlebih dulu. https://haisa.wordpress.com/2010/01/02/pembaharuan-abdurrahman-wahid-gagasan-danstrategi/



MAKALAH PEMIKIRAN GUS DUR BAB I PENDAHULUAN



Di tengah-tengah situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah: ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya, sangat dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif. K.H. Abdurahman Wahid yang lebih akrab dipanggil Gus Dur termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari tradisi Ahl Al-Sunnah wal Jama’ah menyebabkan ia menjaditokoh kontroversial. Perannya sebagai Presiden Republik Indonesia yang keempat menyebabkan ia memiliki kesempatan dan peluang untuk memperjuangkan tercapainya gagasan-gagasan itu. Sebagai seorang ilmuan yang genius dan cerdas, ia juga melihat bahwa untuk memberdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan cara memperbarui pesantren. Atas dasar ini ia dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaharu pendidikan Islam.



BAB II



PEMBAHASAN A. BIOGRAFI 1. Latar Belakang Abdurahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, dan dengan nama lengkap Abdurahman al-Dakhil, lahir pada tanggal 4 Agustus 1940, di Denanyar, Jombang Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 4 Agustus, sebenarnya hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu. Sebagaimana juga dengan banyak aspek dalam hidupnya dan pribadinya, banyak hal tidaklah seperti apa yang terlihat. Memang Gus Dur dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan. Namun perlu diketahui bahwa tanggal itu menurut penanggalan Islam, yaitu bahwa ia dilahirkan pada bulan Sya'ban, bulan kedelapan dalam penanggalan itu. Sebenarnya tanggal 4 Sya'ban 1940 adalah tanggal 7 September. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim, mantan menteri Agama tahun 1949. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jami'yah Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi masa Islam terbesar di Indonesia. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Kakek dari ibunya adalah K.H. Bisri Syamsuri juga merupakan tokoh NU setelah K.H. Abdul Wahab. Secara geneologis, Abdurahman Wahid memiliki keturunan “darah biru” dan, menurut Clifford Geertz, ia termasuk golongan santri dan priyayi sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya, Abdurahman Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial tertinggi dalam masyarakatIndonesia. Ia adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh terbesar bangsa Indonesia. Kakeknya, Kiai Bisri Syamsuri dan Kiai Hasyim Asy’ari sangat dihormati di kalangan NU, karena kedudukannya sebagai ulama karismatik. Pada masa kecilya, Abdurahman Wahid tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama kakeknya daripada tinggal bersama ayahnya. Melalui kakeknya ia belajar membaca al-qur’an di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Berkat tinggal bersama kakeknya yang merupakan tokoh yang banyak dikunjungi tokohtokoh politik dan orang-orang penting lainnya, maka dari sejak kecil Abdurahman Wahid sudah mengenal tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting tersebut. 2.



Pendidikan



Mengenai riwayat pendidikannya, Abdurahman Wahid mulai menuntut ilmu :



a. SD Jakarta 1947-1953 b. SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta dan Yogyakarta, 1953-1957 c. Pondok pesantren Rapyak, Yogyakarta, 1954-1957 d. Pondok pesantren Tegalrejo, Magelang Jawa Tengah, 1957-1959 e. Pondok pesantren tambak beras, sambil mengajar di Madrasah Mualimat Tambak Beras Jombang, 1959-1963. f. Belajar di Ma’had al-Dirosah al-Islamiyah (Departement og Higer Islamic and Arabic Studies) al-Azhar Islamic University, Cairo Mesir, 1964-1969. g. Belajar di Fakultas Sastra Universitas Bagdad Irak, 1970-1972. h. Menjadi dekan dan dosen Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asyari Tebu Ireng Jombang., 1972-1974. i. Sekretaris pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang 1974-1979. j. Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, 1979 sampai sekarang. k. Pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Denanyar Jombang, 1996 sampai sekarang. l. Anggota Dewan Universitas Saddam Husain Bagdad. [1] Abdurahman Wahid adalah seorang tokoh besar bertarap Internasional yang banyak memiliki kemampuan. Padanya terdapat bidang ilmu Islam bertarap ulama besar. Kiyai, bahkan wali juga terdapat keahlian dalambidang ilmu pengetahuan umum dan kombinasi dari berbagai kemampuan tersebut menyebabkan Ia banyak memiliki kesempatan untuk mengekpresikannya dalam berbagai aktifitas.[2] Guru Abdurahman Wahid antara lain; Hasyim Asyari, Wahid Hasyim, Kiyai Khudari, Rufiah, Iskandar, K.H. Fatah, K.H. Masduki, Bisri Samsuri, Kiyai Fatah. B. PEMIKIRAN Abdurahman Wahid dan orang-orang yang tertarik dengannya merupakan generasi neo-modernis Islam, termasuk tokoh-tokoh lain seperti Nurcholis Madjid, Jalaludin Rahmat, Dawam Raharjo dan Amien Rais yang menganjurkan Islamisasi atau re-Islamisasi bangsa



Indonesia, Abdurahman Wahid menekankan Indonesia, pribumisasi atau kontekstualisasi Islam. Dengan cara ini, ia ingin menggabungkan nilai-nilai dan keyakinan Islam dengan kultur setempat. ”Sumber Islam adalah wahyu yang mempunyai norma-norma sendiri, karena sifatnya yang permanent. Di sisi lain budaya adalah ciptaan manusia dan oleh karena itu berkembang sesuai dengan perubahan sosial, tetapi hal ini tidak menghalangi manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.”[3] Masalah pribumisasi Islam ada dua tulisan Gus Dur yang berkaitan langsung dengan tema sentralnya yaitu : “Salahkah jika dipribumikan? Dan pribumisasi Islam”. Menurut Gus Dur pribumisasi Islam adalah suatu pemahaman islam yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hokum-hukum agama, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dan budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi ushul al-fiqh dan qowaid al-fiqh. Dalam proses ini Gus Dur pembauran Islam dengan budaya tidak boleh terjadi sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat keIslamannya. Al-qur’an harus tetap dalam bahasa arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini merupakan norma. Sedangkan terjemahan al-qur’an hanyalah untuk mempermudah pemahaman bukan menggantika al-qur’an itu sendiri. Abdurahman Wahid benar-benar sebuah teka-teki, ia bukan tradisionalis konserfatif, bukan pula modernis islam. Dia seorang pemikir liberal, seorang pemimpin organiasasi islam berbasis tradisi terbesar. Sebagai seorang cendekiawan inovatif yang memeragakan profesional biasa atau intelektual, dia memimpin suatu organisasi ulama (NU). C. RESPON MASYARAKAT Dinatara



gagasan



yang



menjadi



mengatakan Assalamu’alaikum seperti Ahlan



kotrofersi



adalah



Wasahlan atau Sobahul



ketika



Gus



Dur



Khoirartinya



bisa



diganti dengan “selamat pagi” atau “apa kabar”. Gagasan ini membuat geger umat, termasuk kalangan NU sendiri, wakil ketua PBNU Syaiful Madjad mengakui bahwa ucapan Gus Dur tentang masalah tersebut sempat membuat gelisah warga NU, dan sejumlah kiyai sepuh NU. Golongan NU yang tidak sepakat dengan Gus Dur lebih banyak sampai akhirnya kurang lebih dari 200 kiyai berkumpul di Darul Tauhid untuk mengadili Gus Dur.[4] D. CORAK PEMBAHARUAN



Sebagai ulama, budayawan dan pemikir, ia banyak mengeluarkan gagasan-gagasan diantaranya membentuk kelompok warung pemikir yang bertujuan untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam NU, mendirikan kelompok Forum demokrasi pada tahun 1991.[5] Gus Dur adalah intelektual bebas dari tradisi akademik pesantren sehingga tulisantulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas. Dengan adanya tulisan-tulisannya menjadi bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampir teori atau tanpa visi, yang sewaktu-waktu bisa terjerumus pada fragmatisme politik. Jika dilihat dari segi cultural Gus Dur melintasi tiga cultural : 1. Kultural dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal. 2. Budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras. 3. Lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler.[6]



Pilar pemikiran Abdurahman Wahid yaitu : a) Keyakinan bahwa Islam harus secara aktif dan substantif ditafsirkan ulang agar tanggap terhadap tuntunan kehidupan modern. b) Keyakinannya bahwa dalam konteks Indonesia, Islam tidak boleh menjadi agama negara. c) Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif, demokratis dan pluralis, bukan ideologi negara yang inklusif. Legalisme islam adalah produk masa lalu, suatu realitas sejarah yang dibolehkan yang kemudian menjadi agenda reformasi Islam kontemporer. Islam historis menyibukkan gerakan atau tradisi dari dinamisme ke formalisme legal. Karena islam menjadi dilembagakan terutama melalui hukum. Abdurahman Wahid yakin bahwa islam bermula sebagai suatu reformasi dinamis yang mengangungkan status manusia sebgai kholifah Allah di muka bumi yang bertanggungjawab untuk menyaksikan menyebarkan dan menerapkan cara hidup yang dibenarkan Tuhan.[7] Dalam buku bunga rampai pesantren terdapat 12 artikel yang secara umum bertemakan pesantren. Di dalamnya mennujukkan sikap optimismenya bahwa pesantren dengan ciri dasarnya mempunyai potensi yang lues untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama pada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan



fleksibilitasnya pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi dalam seting sosial budaya bahkan politik dan ideologi negara. Gus Dur berpendapat perlunya agama diterjemahkan ke dalam budaya setempat. Sesuai dengan tradisi dan lingkungan NU yang dekat dengan budaya setempat. Pandangan Gus Dur menekankan korelasi antara pemahaman agama dan realitas sosial budaya. Dengan kata lain, dalam pengembangan pemahaman agama, aspek kontekstual harus ikut dipertimbangkan. Pandangan ini sejalan dengan sikap para kiai tradisional di Jawa, yang selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa interaksi antara agama dan budaya setempat tidak dapat dielakkan. Walaupun demikian, Gus Dur mengingatkan bahwa penerjemhan agama ke dalam budaya setempat harus dikontrol supaya ciri khas Islam tidak hilang. Hal itu berarti ”Jawanisasi Islam” ataupun ”Islamisasi Jawa”. E. KESIMPULAN Dilihat dari corak gagasan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur dapat dikategorikan sebagai pemikir multi warna. Karena dalam pemikirannya terdapat gagasangagasan yang unik yang dibangun atas dasar pandangan keagamaan, kemodernan dan kerasionalannya yang membawanya menjadi orang yang mempunyai pemikir ultradisional, rasional, liberal dan sekaligus kultural dan aktual. Gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan secara signifikan berkisar pada modernisasi pesantren, mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, menejemen dan kepemimpinan yang ada di pesantren harus diperbaiki sesuai dengan perkembangan zaman era globalisasi. PENUTUP Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nyalah pemakalah dapat menyelesaikan pembuatan makalah PPMDI, meskipun di dalamnya banyak kekurangan dan kesalahan baik segi penulisan, pengetikan, redaksionalnya, karena kami percaya bahwa kebenaran itu hanyalah milik Allah, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami perlukan dari pembaca. Kurang lebihnya kami ucapkan terimakasih. DAFTAR PUSTAKA Bisri Mustafa, Beyond The Simbolic, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. 1



Nata Abudin, Tokoh-tokoh Pembauran Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, Cet. 3 Jhon Esposito. L-Jhon Vall, O, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Cet. 1 Kosasih, Hak Gus Dur Untuk Nyeleneh, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000, Cet. 1 Muslim Romdono, 72 Tokoh Muslim Indonesia, Jakarta: Restu Ilahi, 2005 Dedy Malik Jamaludin – Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia,Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998. Cet. 1



[1] K.H. Mustafa Bisri, Beyond The Simbol, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet.1 h. 23-24 [2] Prof. Dr. H. Abudinata, M.A. Opcit, h. 334 [3] Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) h. 261-262 [4] E. Kosasih, Hak Gus Dur Untuk Nyeleneh, (Bandung: Pustaka Hidayat, 2000) cet. 1 h. 55 [5] Romdono Muslim, S.Ag, Tokoh Muslim Indonesia, (Jakarta : Restu Ilahi, 2005) h. 32 [6] K.H. Mustafa Bisri, Opcit, h. 36 [7] Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Opcit, h. 234-235 http://rizaladriene.blogspot.co.id/2013/04/makalah-pemikiran-gus-dur.html



Pemikiran Pendidikan Islam KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Majid Ditulis Oleh: *Abdul Katar Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) IAIN STS Jambi



PENDAHULUAN Di tengah-tengah situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan sebagainya, sangat dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif. K.H. Abdurrahman Wahid yang lebih akrab dipanggil Gus Dur, termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari tradisi Ahl-Sunnah wal Jama’ah, menyebabkan ia menjadi tokoh kontroversial. Perannya sebagai presiden Republik Indonesia yang keempat, menyebabkan ia memiliki kesempatan dan peluang untuk memperjuangkan dan tercapainya gagasannya itu. Ia selalu membela golongan-golongan yang tertindas. Gus Dur juga diberi gelar Bapak Pluralisme Indonesia karena sikap toleransi yang tinggi tehadap perbedaan-perbedaan yang ada, seperti masalah agama, ras dan sebagainya. Sebagai seorang ilmuwan yang jenius dan cerdas, ia juga melihat bahwa untuk memperdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan cara memperbarui pendidikan dan pesantren. Atas dasar ini ia dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaru pendidikan Islam.



Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang konsep pendidikan Islam perspektif K.H. Abdurrahman Wahid. Nurcholis Madjid adalah tokoh pembaharu yang tidak asing lagi untuk banyak orang. Pemikiran-pemikirannya tak luput dari sorotan banyak ahli baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Tidak jarang banyak pemikirannya yang dijadikan sebagai rujukan dalam pembahasan terkait keIslaman, keIndonesiaan, Politik bahkan Pendidikan. Pemikirannya yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”. Ia ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam. Bagaimana halnya dengan pemikiran KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid tentang pendidikan? Dalam makalah ini akan dibahasan gagasan-gagasan beliau mengenai pendidikan yang meliputi: riwayat hidup, pendekat teori, isi teori, ide pokok pemikiran serta analisis relevansi teori KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid dengan pendidikan saat ini.



PEMBAHASAN A.



KH. ABDURRAHMAN WAHID (GUS DUR)



1.



Biografi Gus Dur KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, lahir di Denanyar Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Nama kecilnya adalah Abdurrahman Ad Dakhil. Ad Dakhil berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol.1[1] Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra dari K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia dan pendiri Pesantren Tebuireng, Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar, Jombang. Dari silsilah atau trahnya, Gus Dur merupakan campuran darah biru (kalangan priyayi) dan darah putih 1



(kalangan kiai). Selain itu, trahnya Gus Dur adalah trahnya pahlawan. Karena kakek dan ayahnya adalah salah satu dari beberapa tokoh NU yang menjadi tokoh pahlawan nasional. Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak, yaitu Alissa Qothrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafshoh, Annita Hayatunnufus dan Inayah Wulandari. Sejak kecil Gus Dur sudah mengenal beragam pengetahuan dan beragam lingkungan. Di awal masakecilnya ia dikenalkan pada dunia pesantren di Jombang. Kemudian, pada usia 4 tahun ia langsung melompat ke wilayah paling metropolis dan glamor di Jakarta dan berkenalan dengan berbagai tokoh pergerakan. Di Jakarta, Gus Dur belajar banyak hal. Tidak hanya dari ayahnya, tetapi dari pergaulan ayahnya dari kalangan pesantren, nasionalis bahkan komunis. Inilah yang menjadikan Gus Dur di kemudian hari sangat minat akan pengetahuan, dan mampu menjembatani secara dialogis dan berkesinambungan antara tradisi pesantren dengan dunia modern. Gus Dur memperkaya bahasanya dengan mempelajari bahasa Perancis ketika ia belajar di kota Baghdad. Selain bahasa, ia juga belajar tentang sejarah, tradisi dan komunitas Yahudi. Hal ini didukung oleh perpustakaan di Universitas Baghdad yang menyediakan sumber informasi yang sangat luas. Di kota ini pula, Gus Dur belajar sufisme dan sering melakukan ziarah kubur ke makam-makam para wali kelas dunia. Ketika pulang ke Indonesia, ia menerapkan semua ilmu yang diperolehnya. Apa yang diperjuangkan Gus Dur tidak lain adalah perjuangan kemanusiaan,



pluralisme dan



mempertahankan nasionalisme.2[2] Gus Dur wafat pada hari Rabu tanggal 30 Desember 2009, di rumah sakit Cipto Mangunkusomo Jakarta, pada pukul 18.45 WIB. Akibat penyakit komplikasi diantaranya penyakit jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya sejak lama.3[3] 2.



Perkembangan dan Tipologi Pemikiran Perkembangan intelektual Gus Dur dibentuk oleh pendidikan Islam klasik dan pendidikan Barat modern. Faktor-faktor ini merupakan prasyarat baginya untuk



2 3



mengembangkan ide- ide liberalnya.4[4] Dalam kegiatan- kegiatannya yang berkaitan dengan perjalanan, membaca dan memperdebatkan ide, Gus Dur mensintesiskan kedua dunia pendidikan ini. Menurut Greg Barton, barangkali ia mengerjakan hal ini secara lebih lengkap dari pada mayoritas inteletual Islam Indonesia lainnya.5[5] Secara kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan sulit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri. Terlepas dari kontroversi yang ada, semua aktifitas tersebut mendapat apresiasi oleh banyak pihak, termasuk yang tampak dari penghargaan Megsaysay dari pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993) dan Penghargaan Dakwah Islam Dari Pemerintah Mesir (1991).6[6] Cendikiawan liberal seperti Gus Dur dan kebanyakan ulama NU terbuka untuk berlajar dari tradisi lain, termasuk tradisi-tradisi yang terdapat di jantung spiritualitas Jawa dan Asia Tenggara sebelum datangnya Islam. Greg dalam Syafi’i Ma’arif, menyebut Gus Dur sebagai seorang tokoh yang berhasil membawa NU menembus dan membebaskan batas-batas orientasi, visi, dan wawasan tradisionalisme NU untuk masuk ke wacana modern, liberal, dan kosmopolitan sambil tetap menjaga kelestarian tradisi klasik Islam. Melalui Gus Dur, NU sebagai organisasi Islam tradisional yang telah “mendunia” dan diperhitungkan dunia luar. 7



[7] Hal ini sejalan dengan keyakinan yang dianut secara luas oleh kaum tradisionalis bahwa



segala sesuatu yang tidak secara jelas diharamkan oleh Al-Qur’an dan sunnah Nabi maka hal itu diizinkan selama terdapat konsistensi dengan prinsip-prinsip dan nilai –nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Sebaliknya kaum cendikiawan konservatif 4 5 6 7



dengan latar belakang modernis, jika sesuatu tidak ada acuannya dalam Al-Qur’an dan sunnah, maka hal itu harus diperlakukan secara hati- hati; dan jika sesuatu mengandung unsur bertentangan dengan monoteisme Islam maka hal itu juga harus dihindari.



Dalam prakteknya, keterbukaan Gus Dur terhadap tradisi, dituangkannya dalam kehidupan sehari- hari. Pada saat itu Gus Dur mencoba menggabungkan studi Islam dengan pendekatan yang sama sekali berbeda terhadap ilmu dan pemahaman. Ia sangat tertarik pada sisi sufistik dan mistik dari kebudayaan Islam tradisional. Dalam pandangan Gus Dur terdapat perbedaan antara panteisme yang terdapat dalam mistisme kaum abangan dan priyai yang sangat tidak Islami dengan monoteisme yang terdapat dalam sufisme Islam tradisional. Hal inilah yang menurut Greg Barton, merupakan perbedaan yang fundamental antara pendekatan yang digunakan kaum modernis dan tradisional terhadap kebudayaan Indonesia. Pola pemikiran Gus Dur, kiranya dapat ditelusuri sejak tahun 1970-an. Pada periode awal ini ia banyak mencurahkan perhatiannya tentang dunia pesantren yang memang digelutinya secara langsung. Ia telah menulis sejumlah artikel, dan bagian- bagian terpentingnya dipublikasikan dalam buku “Bunga Rampai Pesantren (1978)”,. Di samping ia memperkenalkan kepada orang luar prihal kekuatan yang ada di pesantren, misalnya percaya diri dan gaya hidup sederhana. Gus Dur mengingatkan kepada orang dalam bahwa pesantren kini sedang dipersimpangan jalan, bahkan dalam ambang kemandegan. Hal itu diantaranya disebabkan karena imbas modernitas di satu sisi dan di sisi lain karena kurang terakomodasinya tuntutan- tuntutan masyarakat yang mengalami perubahan secara cepat. Maka tidak ada jalan lain menurutnya kecuali harus dilakukan “dinamisasi”, yaitu usaha untuk membangkitkan kualitas secara progresif yang memungkinkan Islam tetap relevan dan dapat diterima. Yang dapat dicatat di sini bahwa pada tahap awal ini Gus Dur telah menempatkan dirinya sebagai “penyambung budaya”, yaitu membawa sub- kultur (pesantren) ke perbincangan multi-kultur (modernitas), seolah ia berharap orang-orang pesantren dapat mencari jalan keluar sendiri dalam menangani tantangan modernitas.8[8] Ketika Gus Dur memulai eksplorasi keilmuannya di luar negeri, ia adalah seorang pemuda yang tengah bergulat dengan masalah bagaimana Islam dapat mengadakan perubahan. Menjelang masa dewasanya, ia pernah terpukau oleh Islamisme yang radikal. Tujuh tahun kemudian ia kembali ke Indonesia sebagai seorang yang penuh komitmen 8



terhadap pemahaman liberal mengenai Islam. Adapun pengaruh-pengaruh yang membentuk liberalismenya tidaklah sulit untuk diidentifikasi, dan juga tidak mengejutkan bahwa daya tarik Islamisme radikal tidak berumur panjang. Menurut John L. Exposito dalam Greg Barton, pengaruh-pengaruh tersebut adalah: pertama, faktor keluarga yang senantiasa mengajarkannya untuk selalu berfikir terbuka dan mempertanyakan sesuatu secara intelektual; kedua, bahwa ia dibesarkan di dunia mistik Islam tradisional Indonesia; ketiga, ia dipengaruhi oleh orientasi budaya dan masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluralisme dan egalitarianisme. Akhirnya ia sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca dan dipelejarinya karena keduanya memberikan kesempatan kepada dirinya untuk mencoba mengintegrasikan pemikiran Barat modern dan Islam. Pada perkembangan selanjutnya, tepatnya ketika Gus Dur kembali ke Indonesia setelah menjalankan studinya di luar negeri, bersama dengan para intelek lainnya, ia tergabung dalam sekelompok kecil pemikir-pemikir perintis yang tengah bergulat untuk memperbarui pemikiran hukum Islam. Masa tahun-tahun ini, Gus Dur sering terlibat dalam pemikiran intensif dalam merumuskan pemahaman keIslaman yang integral dan komprehensif. Ia mulai melakukan terobosan-terobosan pemikiran, yang kemudian mengantarkannya sebagai pemikir kritis termasuk pada tradisi keagamaannya sendiri. Pemikiran barunya terlihat nyata dalam perumusannya tentang konsep Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja) yang berbeda dengan mainstrem umum pemahaman masyarakat.9[9] Sebagaimana diketahui, doktrin ini merupakan landasan paling pokok dalam pandangan keagamaan kaum tradisionalis. Begitu mendasarnya doktrin ini sampai- sampai dapat disebut, wujud kongkrit tentang apa yang disebut Islam di kalangan ini adalah Aswaja itu sendiri, yang dipahami dalam dimensi ideologi sebagai benteng pertahanan tradisionalisme atas serangan modernisme. Dalam pada itu, berkat komunikasi intelektual dengan berbagai pihak ditambah improvisasinya sendiri Gus Dur mampu menampilkan doktrin Aswaja menjadi konsep akademis yang membawa semangat kemanusiaan universal. Doktrin Aswaja menurutnya merupakan serangkaian pandangan tentang berbagai sendi kehidupan masyarakat baik berupa pandangan ideologis maupun orientasi kehidupan, di samping seperangkat nilai-nilai yang melandasi kehidupan masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya bidang Aswaja mencakup beberapa segi, yaitu: 1.



Pandangan tentang manusia dan tempatnya dalam kehidupan. 9



2.



Pandangan tentang ilmu, pengetahuan, dan teknologi.



3.



Pandangan tentang pengaturan kehidupan bermasyarakat.



4.



Pandangan tentang hubungan individu dan masyarakat.



5.



Pandangan tentang tradisi dan dinamisasinya melalui. pranata hukum, pendidikan, politik, dan budaya.



6.



Pandangan tentang cara- cara pengembangan masyarakat, dan



7.



Asas-asas internalisasi dan sosialisasi yang dapat dikembangkan dalam konteks doktrin yang formal diterima saat ini.10[10] Masing-masing poin di atas dielaborasi oleh Gus Dur sedemikian rupa sehingga jelas konseptualisasinya. Dengan demikian, sampai di sisni terlihat ciri universalisme pemikiran keagamaan Gus Dur, suatu model yang hendak mentransformasikan nilai-nilai keagamaan dalam praktek kehidupan yang luas. Tetapi lebih jauh dari itu, ia sesungguhnya juga seorang liberal, dalam arti memiliki kecenderungan pemikiran bebas, tidak mau terkungkung oleh batasan apa pun an siapa pun. Dengan pola pemikiran yang cenderung liberal ini, Gus Dur semasa hidupnya menggagas ide pembaruan hukum Islam di Indonesia bersama dengan pemikir muslim lainnya seperti Nurcholish Madjid. Kebebasan berfikir (liberalisme) Gus Dur inilah yang kemudian memberikan menginspirasi para intelektual Islam Indonesia untuk “bebas” pula memilih istilah yang tepat bagi tipologi pemikiran Gus Dur menurut versi masing-masing. Greg Barton memasukkannya ke dalam kelompok neo-modernisme yang pernah digagas oleh Fazlur Rahman. Dalam tipologi ini, Gus Dur disandingkan dengan Nurcholish Madjid (Cak Nur), Ahmad Wahib dan Djohan Effendy. Sebelumnya, Wiiliam Liddle memasukkan Gus Dur sebagai pemikir Indigenist.11[11] Sementara itu, M. Syafi’i Anwar memasukkan Gus Dur sebagai pemikir substanvistik.12[12] Bahkan yang terakhir, Mujamil Qomar, memasukkan Gus Dur sebagai pemikir divergen, yaitu berpikir yang menjelajah keluar dari cara-cara berpikir konvensional.13[13] 10 11 12 13



3.



Pemikiran K.H Abdurrahman Wahid tentang Pendidikan Islam



a.



Pengertian dan Konsep Pendidikan Islam Pendidikan Islam merupakan sistem yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan pendidikannya. Tujuan dikembangkannya Islam adalah untuk mendidik budi pekerti. Oleh karenanya, pendidikan budi pekerti atau akhlak merupakan jiwa pendidikan Islam yang menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.14[14] Konsep dan gagasan K.H Abdurrahman Wahid tentang pendidikan Islam secara jelas terlihat pada gagasannya tentnag pembaruan pesantren. Menurutnya, semua aspek pendidikan pesantren, mulai dai visi, misi, tujuan, kurikulum, manajemen dan kepemimpinannya harus diperbaiki dan disesuaikan dengan perkembangan zaman era globalisasi. Meski demikian, menurut Gus Dur, pesantren juga harus mempertahankan identitas dirinya sebagai penjaga tradisi keilmuan klasik. Dalam arti tidak larut sepenuhnya dengan modernisasi, tetapi mengambil sesuatu yang dipandang manfaat positif untuk perkembangan.15[15] Gus Dur pada sikap optimismenya bahwa pesantren dengan ciri-ciri dasarnya mempunyai potensi yang luas untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, Terutama pada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibelitasnya, pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi juga dalam setting sosial budaya, bahkan politik dan ideologi negara, sekalipun. Singkatnya, konsep pendidikan Gus Dur ini adalah konsep pendidikan yang didasarkan pada keyakinan religius dan bertujuan untuk membimbing atau menghantarkan peserta didik menjadi manusia yang utuh, mandiri dan bebas dari belenggu penindasan. Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran Barat modern. Sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai dengan tuntunan zaman. Artinya, sistem pendidikan Islam merupakan sebuah



14 15



perpaduan antara pemikiran tradisionalis dan pemikiran Barat modern, dengan tidak melupakam esensi ajaran Islam. b.



Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia merupakan hal yang mutlak adanya. Hal itu karena pendidikan Islam adalah wahana untuk pemerdekaan dan pembebasan manusia untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya, sehingga akan tampak karakteristik dari pola-pola yang dikembangkan oleh pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam secara filosofis bertujuan sesuai dengan hakikat pencitaan manusia, yaitu untuk menjadi hamba dan mengabdi kepada Allah Swt.16[16] Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju aktif (pendewasaan), baik secara akal, mental, maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya.



c.



Kurikulum Pembelajaran Sistem pembelajaran yang diharapkan menjadi tawaran pemikiran alternatif dan inovatif tidak harus bersifat doktrinal yang kadang kala tidak sesuai dengan potensi peserta didik, sehingga akan menyebabkan kurangnya daya kritis terhadap problem yang dihadapi. Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H. Abdurrahman Wahid, diantaranya:



1)



Orientasi pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik pembekalan ketrampilan, agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekedar mengandalkan aspek-aspek kognitif (pengetahuan);



2)



Dalam proses mengajar, guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga membentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif, dan inovatif pada diri peserta didik;



3)



Guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak hanya mereduksi batas pengajaran saja. artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk 16



membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya transfer of knowledge, melainkan pembelajaran harus mengikuti transfer of value and skill dan pembentukan karakter (character building). Oleh sebab itu, kurikulum pendidikan Islam perspektif Gus Dur, haruslah sesuai dengan kondisi zaman, bahwa pendekatan yang harus dilakukan bersifat demokratis dan dialogis antara murid dan guru. Maka, tidak bisa dipungkiri, pembelajaran aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu bersifat kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Sehingga kurikulum tersebut diharmonisasikan dengan konteks zaman yang ada disekitarnya.17[17] d.



Metode pembelajaran Salah satu metode pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur, yaitu pendidikan Islam haruslah beragam, mengingat penduduk bangsa Indonesia yang majemuk secara geografis. Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur haruslah mempunyai metode yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia, khususnya pada pendidikan Islam.18[18] Terkait pembelajaran, Gus Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran di pesantren harus mampu merangsang kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan juga merangsang peserta didik untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak didik.



e.



Konsep pendidik Menurut Gus Dur, pendidik harus memiliki perpaduan antara corak kharismatik dan corak yang demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern. Guru juga harus benarbenar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya.



f.



Konsep peserta didik Peserta didik dituntut untuk selalu berfikir kritis terhadap problem yang terjadi disekitarnya dan selalu bertanya tentang berbagai hal sepanjang hayatnya guna menghadapi suatu problem yang dihadapi. Selain itu, peserta didik juga diharapkan dapat mengikuti 17 18



pembelajaran secara aktif dan kreatif, karena penekanan Gus Dur pada proses pendidikan adalah pada aspek afektif dan psikomotorik. g.



Evaluasi Pembelajaran Gus dur menilai, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan yang berorientasi proses (process oriented) yaitu, proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan diatas rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau title dikalangan praktisi pendidikan dan pendidik.



4.



Analisis Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik. Oleh karena itu, yang menjadi kepedulian utamanya, minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas. Ketiga, berupaya melakukan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam Indonesia. Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap khazanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi. Jika dilacak dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras. Ketiga, lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur membentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi.



5.



Relevansi Pemikiran Gus Dur dengan Pendidikan Saat Ini Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid sangat relevan dengan dunia pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia. Menurut Gus Dur, tujuan pendidikan Islam ialah untuk memanusiakan manusia. Tujuan tersebut sampai saat ini masih dipertahankan dalam dunia



pendidikan di Indonesia. Artinya, dengan adanya pendidikan, diharapkan manusia bebas dan terarah dalam mengembangkan fitrah yang telah diberikan Allah SWT pada dirinya. Bukan malah menjadi robot-robot yang dikendalikan oleh golongan atau segelintir orang yang mempunyai kepentingan tertentu. Bahkan tidak hanya pendidikan dalam perspektif Islam saja, namun juga berlaku untuk semua agama. Orientasi pendidikan lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Selain itu, pembelajaran aktif, kreatif, dan objektif akan mengarahkan peserta didik mampu bersifat kritis dan selalu bertanya sepanjang hayat. Pemikiran beliau yang satu ini nampaknya sudah diterapkan dalam sistem pembelajaran di Indonesia saat ini, yakni dengan adanya metode active learning, dimana baik pendidik maupun peserta didik harus sama-sama aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Dari segi kurikulum pun sangat cocok diterapkan dalam pendidikan di Indonesia ini. Menurut beliau, pendidikan seyogyanya tidak hanya mencakup transfer of knowladge saja, tetapi juga harus mencakup transfer of value serta pembentukan karakter. Pendidikan di Indonesia jelas sepakat dengan pemikiran tersebut. Ini dibuktikan dengan munculnya kurikulum 2013 yang mengedepankan pendidikan berkarakter. Pembaruan pendidikan harus terus dilakukan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, namun tidak meninggakan nilai-nilai agama Islam. Meski pemikiran dan konsep pendidikan dari Gus Dur ini lebih ditekankan kepada Islam, namun jika dikaji lebih dalam, semua pemikiran serta konsep beliau mengenai pendidikan tersebut masihlah umum. Semua yang beliau sajikan ini dapat pula diterapkan dalam pendidikan-pendidikan di luar konteks Islam. 6.



Karya-Karya Intelektual KH. Abdurrahman Wahid Gus Dur adalah seorang intelektual bebas (independen), atau mungkin -meminjam istilah Antonio Gramsci- "intelektual organik" dari tradisi akademik pesantren, sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas, bahkan senantiasa bermotifkan transformatif. Referensi formal akademis dan pengikatan diri terhadap satu metodologi tidaklah menjadi penting, sepenting substansi yang disampaikannya. Sejumlah karya tulis ini membuktikan intelektualisme Gus Dur yang kaya dengan gagasan dan pemikiran yang kreatif-transformatif dan inovatif. Tulisan-tulisan ini juga



mungkin suatu bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampa teori atau tidak tanpa visi, yang suatu waktu dapat terjerumus pada oportunisme dan pragmatisme politik. Ketajamannya membaca realitas dan kekritisannya mengambil keputusan dapat dilihat dari kecenderungan tulisan-tulisan tersebut. Sebanding dengan waktu dan kepentingan tulisan-tulisan tersebut dibuat, tema pembicaraan atau wacana yang dikembangkannya pun sangat beragam dan kompleks: mengenai apa saja. Mulai dari wacana fiqih praktis di pesantren hingga wacana global "rekayasa masa depan" disinggung oleh Gus Dur. Jenis tulisannya pun beragam. Mulai dari bentuk tulisan yang serius-akademis hingga tulisan ringan-populer, semuanya dilakukan Gus Dur. Namun begitu, untuk kepentingan pemahaman makro pemikiran Gus Dur, secara simplifikasi tulisan-tulisan tersebut saya kelompokkan ke dalam tujuh tema pokok. Ketujuh tema pokok ini juga menandai gagasan besar yang menjadi perhatian Gus Dur selama ini, baik melalui tulisannya maupun visi gerakannya. Tujuh hal yang dimaksud adalah: 1)



Pandangan dunia pesantren.



2)



Pribumisasi Islam.



3)



Keharusan demokrasi.



4)



Finalitas, negara-bangsa pancasila.



5)



Pluralisme agama.



6)



Humanitarinisme universal, dan



7)



Antropologi kiai. Ketujuh tema pokok ini secara umum menjelaskan keluasan wawasan dan besarnya perhatian Gus Dur terhadap tema-tema kontemporer yang menjadi isu global abad XX, yakni demokrasi, HAM, Lingkungan hidup, dan gender. Tema- tema pokok inilah barangkali yang melandsi seluruh gerakan Gus Dur selama ini, baik dalam wilayah keagamaan, politik, kebudayaan maupun ekonomi. Seluruh tema tersebut, dalam banyak tulisan dibidik Gus Dur dari pemahaman keagamaan (Islam) melalui kekeyaan intelektual dan kebudayaan pesantren. Ini tidak lain karena pemikiran Gus Dur mengenal agama diperoleh dari dunia pesantren yang sangat akrab dengan budaya lokal. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan Gus



Dur. Sementara pengembaraannya di timur tengah dan di barat telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai isu mondial yang membuatnya harus berfikir kosmopolit dan progresif. Dalam artikel berjudul “Peranan Umat Islam dalam Berbagai Pendekatan”,19[19] Gus Dur juga berargumen bahwa konvergensi nilai-nilai hukum Islam terdiri dari dua model pendekatan, yaitu nilai inspiratif dan normatif. Model inspiratif bahwa nilai- nilai Islam menjadi titik tolak bagi pengembangan moral aturan. Sedangkan model yang kedua, normatif yaitu dapat dilakukan dengan cara melihat Islam dalam bentuk norma. Sehingga menurutnya kedua pendekatan ini sangat penting untuk dikembangkan, dan keduanya harus ada dan saling mendukung.20[20] Menurut penulis, hal inilah yang mungkin digunakan Gus Dur sebagai landasan pendekatan antropologi-budaya pada ide ‘pribumisasi Islam’ miliknya. Ide pribumisasi Islam yang fenomenal Gus Dur berpandangan bahwa dalam memahami wahyu haruslah dipertimbangkan aspek kontekstual ataupun adat istiadat setempat, sepanjang hal tersebut tidak mengubah makna dan substansi agama dengan berdasarkan pada “al-‘ādatu muhakkamah”.21[21] Pandangan Gus Dur tersebut merupakan buah pemikirannya tentang universalisme Islam sebagaimana yang terdapat dalam artikel berjudul “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”, menurutnya universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manivestasi penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya yang meliputi berbagai bidang seperti hukum agama (fiqh), ketauhidan (tauhīd), etika (akhlāq) yang dalam masyarakat seringkali disempitkan hingga menjadi kesusilaan belaka dan sikap hidup, menampakkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan.22[22] Sementara itu, dalam artikel berjudul “Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan”, Gus Dur berargumen bahwa hukum Islam memiliki kedudukan kunci dalam kehidupan bergama. Sebagai kumpulan peraturan dan tata cara yang harus diikuti oleh seseorang yang petuh memeluk agamanya. Menurutnya hukum Islam memiliki pengertian yang lebih dari sekedar luas lingkup yang dikenal orang pada umumnya. Di samping itu juga 19 20 21 22



mengandung pengertian hal-hal yang lazimnya dikenal sebagai bidang yuridis juga meluputi soal-soal liturgi dan ritual keagamaan. Dalam artikel berjudul “Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia”, Gus Dur berpandangan bahwa dengan mengutip kembali fatwa muktamar NU 1935 di Banjar Masin yang menyentuh dua hal yang sangat esensial yaitu bahwa Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslim untuk melaksanakan ajaran agama dan membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik mereka ditentukan oleh proses negara.23[23] Terdapat juga tulisan-tulisan kumpulan esai yang ditulis Gus Dur pada periode 1980an yang diterbitkan oleh Tempo. Sebuah periode yang dapat disebut sebagai “periode ilmiah”nya Gus Dur. Diantara judul esai-esai tersebut antara lain seperti: Pesantren Dan Ludruk, Kiyai Nyentrik Membela Pemerintah, Kiyai Khasbulloh Dan Musuhnya, Sulit Masuknya Mudah Keluarnya, Kiyai Ikhlas Dan Ko- Edukasi, Reorientasi Kiyai Adlan, Kiyai Razaq Yang Terbakar, Ketat Tapi Longgar, Kiyai Iskandar Dan Pak Damin, Bersatu Dalam Menuntut Ilmu, Baik Belum Tentu Bermanfaat, Tokoh Kiyai Syukri, Sang Kiyai Dan Keyakinannya, Dunia Nyatakiyai Zainal, Ustadz Yang Hidup Dalam Dua Dunia, Bila Kiyai Berdebat, Kiyai Dolar Berdakwah, Syeikh Mas’ud memburu Kitab, Kiyai Mencari Mutiara, Yang Umum Dan Yang Khusus, Akar Prioritas Ibadah, Dokter Idealis Kiyai Formalis dan Muallim Syafi’i: In Memoriam. Berbagai judul esai ini dapat pula ditemukan dalam buku “Kiyai Nyentrik Membela Pemerintah.” Dalam buku yang cukup fenomenal berjudul “Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita”, Gus Dur menunjukkan bagaimana potret pemikirannya tentang Islam dalam kaitannya dengan isu-isu mutakhir, seperti nasionalisme, demokrasi pluralisme, Hak Asasi Manusia (HAM), kapitalisme, sosialisme dan globalisasi. Pembahasannya tentang Islam selalu mampu menerobos wilayah-wilayah yang sering tidak terpikirkan oleh para ulama pada umumnya. Dalam konteks ini, Gus Dur ternyata mampu menghadirkan Islam mulai dari masa awal kehadirannya hingga saat ini, dari nuansa tekstual hingga kontekstual, dari aspek struktural hingga kultural. Dalam buku ini, Gus Dur memberikan tiga kerangka keberIslaman yang patut kita apresiasi bersama secara serius dan mendalam, terutama dalam menciptakan Islam yang damai. Pertama, Islamku, yaitu keberIslaman yang berlandaskan pada pengalaman pribadi 23



perseorangan. Kedua, Islam Anda, yaitu keberIslaman yang berlandaskan pada keyakinan. Dalam hal ini harus diakui bahwa setiap komunitas mempunyai keyakinan tersendiri terhadap beberapa hal tertentu. Pandangan kalangan Nahdlatul Ulama dapat jadi berbeda dengan pandangan kalangan Muhammadiyah. Demikian pula sebaliknya. Ketiga, Islam Kita, yaitu keberIslaman yang bercita-cita untuk mengusung kepentingan bersama kaum Muslimin. Dalam buku setebal 412 halaman ini, Gus Dur menekankan pentingnya menerjemahkan konsep kebajikan umum sebagai jembatan untuk mengatasi problem Islamku dan Islam Anda.24[24] Pada umumnya, diskursus keberIslaman hanya terhenti pada kedua model tersebut. Oleh karena itu, Gus Dur menawarkan solusi akan pentingnya merajut antara keberIslaman yang berbasis pada pengalaman dan keyakinan untuk membangun pemahaman keagamaan yang berorientasi pada perdamaian dan keadilan sosial. Seperti pernyataan Dr. M. Syafi’i Anwar, dalam kata pengantarnya, dalam buku ini, benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syariatisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat kejayaan Islam justru terletak pada kemampuannya untuk berkembang secara kultural. Oleh karena itu, Gus Dur lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi dibanding upaya ideologisasi. Pemahaman seperti inilah yang menggugah Gus Dur untuk melantangkan pentingnya pribumisasi Islam, terutama dalam konteks keIndonesiaan. Sementara Moeslim Abdurrahman, sahabat dekat Gus Dur, mengibaratkan Gus Dur sebagai tokoh yang hendak membebaskan umat dari beban sejarah politik masa lalunya, seraya menyeru agar umat Islam Indonesia mampu menjawab beberapa persoalan mendesak, seperti kemajemukan dalam berbangsa dan bernegara, demokratisasi, dan keadilan sosial. Di sisi lain, Gus Dur, menurutnya, termasuk salah satu tokoh penting yang melengkapi khazanah intelektual Islam Indonesia lewat literatur klasik. Dalam konteks inilah, ia -bersama Nurcholish Madjid- lantas disebut sebagai kelompok neo-modernis. Kompleksitas wacana yang menjadi perhatian Gus Dur menunjukkan bahwa Gus Dur adalah seorang generalis, bukan spesialis keilmuan tertentu. Hampir setiap isu kontemporer direspon Gus Dur. Ini mungkin berkaitan dengan posisinya sebagai pemimpin publik dan aktivis gerakan sosial, terutama di organisasi Nahdlatul Ulama. Sebagai pemimpin berjutajuta umat pada level nasional dan internasional (selaku Presiden WCRP) memaksa Gus Dur 24



untuk terlibat dalam segala urusan publik, mulai dari wacana internal keagamaan dan ke-NUan hingga wacana global yang menjadi trend Dunia Ketiga. Meski secara kuantitatif garis statistiknya kian meningkat, namun belum tentu untuk kualitas tulisan-tulisan tersebut. Untuk mengetahui secara pasti kualitas masing-masing tulisan tersebut kiranya butuh penelitian khusus. Tetapi dengan asumsi bahwa standar tulisan di jurnal ilmiah, seperti Prisma, lebih serius dan lebih bermutu dari pada tulisan artikel atau kolom di Majalah atau Surat Kabar Harian, maka periode pertengahan akhir 1970-an hingga pertengahan pertama 1980-an merupakan puncak keemasan intelektual Gus Dur. Kurun waktu inilah kiranya dapat disebut "periode ilmiah" Gus Dur. Sepanjang tahun tersebut, Gus Dur mencurahkan energi intelektualnya ke berbagai media massa terkemuka, seperti di Prisma, Tempo, dan Kompas. Sementara pada periode pertengahan akhir 1980-an hingga pertengahan awal 1990-an, tulisan Gus Dur memang tersebar ke berbagai media massa dengan jangkauan lebih luas lagi. Bukan hanya Prisma, Tempo, Kompas, Pesantren, melainkan juga di Panji Masyarakat, Aula, Pelita, Editor, Amanah, Media Indonesia, Jawa Pos, Forum Keadilan, dan sejenisnya. Akan tetapi, tulisan-tulisan periode ini relatif lebih pendek dan singkat ketimbang pada periode sebelumnya. Sebagian tulisannya diterbitkan dalam bentuk antologi. Sedangkan dalam bentuk bunga rampai hanya satu, yakni “Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi”.25[25] Seiring dengan kesibukannya pada akhir tahun 1990-an, tulisan-tulisan ilmiah bermutu Gus Dur di atas pada akhirnya berganti dengan komentar-komentar dan statemenstatemen yang hampir tiap hari menghiasi wacana Koran atau Majalah. Apalagi setelah nuansa gerakan politiknya kian pekat di penghujung 1990-an, di mana Gus Dur menjadi deklarator PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan sekarang menjadi Presiden RI Keempat, maka tulisan-tulisan itu tampaknya akan berubah menjadi pidato-pidato dan statemenstatemen politik saja. Demikian gambaran singkat spektrum intelektualitas Gus Dur dan hubungannya dengan gerakan praksis sosialnya. Dengan pemaparan data-data karya tulis intelektual ini, tampak jelas bahwa Gus Dur ternyata bukan hanya seorang aktifis gerakan sosial dan gerakan politik semata, melainkan juga seorang intelektual dan pemikir cerdas yang terkemuka, sejajar dengan pemikir-pemikir besar lainnya, baik di Indonesia maupun di kalangan internasional. Meski ia tak pernah 25



belajar di dunia akademik yang terdepan dalam ilmu-ilmu sosial, tetapi dalam daftar karya intelektual Gus Dur itu jelas terlihat kedalamannya meramu ilmu-ilmu sosial dengan pengetahuan keagamaan yang kritis.



B.



NURCHOLIS MADJID (CAK NUR)



1.



Biografi Cak Nur Nurcholis Madjid lahir di Jombang Jawa Timur, 17 maret 1939 (26 muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Cak Nur, bagitu panggilan angkrabnya ketika kecil bercitacita menjadi masinis kereta api. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore) ; Pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang ; KMI (Kuliyatul Mutaalimin al-Islamiyah) Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Sarjana Sastra Arab 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984).26[26] Beliau aktif dalam gerakan kemahasiswaan, antara lain: Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat; Ketua Umum PB HMI (1966-1969 dan 1969-1971); Presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), 1967-1976; Wakil sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Studens Organizations), 1969-1971 dan sejak tahun 1991 Nurcholis Madjid menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Kegiatan dalam bidang pendidikan, antara lain: mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-2005; peneliti pada LIPI, 1978-2005; guru besar tamu di Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri 1990. Beliau banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan di berbagai majalah, surat kabar dan buku sutingan. Sejak tahun 1986, bersama kawan-kawan di ibukota mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia.27[27] Nurcholis Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur, hidup ditengah keluarga NU yang kental. Ayahnya adalah tokoh terkemuka (kiyai) sekaligus seorang pemimpin partai Islam 26 27



(Masyumi) kala itu. Riwayat pendidikannya yang beraruskan paham keagamaan yang kental menjadikannya seorang yang kritis dan mapan dalam pemikiran ke-Islaman. Berdasarkan hasil lacakan atas genealogi keluarga dan komunitas sosialnya, Cak Nur berasal dari lingkaran Islam borjuis. Tipologi Islam borjuis digunakan untuk mengidentifikasi kelas menengah atas muslim perkotaan yang secara ekonomi mapan, ideologinya cenderung mengusung simbol-simbol Masyumi-HMI, dan cenderung mengurung simbol-simbol Islam formal. Cak Nur adalah seorang yang sering dijuluki “Guru Bangsa” karena banyak memikirkan bagaimana Indonesia menjadi sebuah bangsa yang berperadaban tinggi. Pemikiran-pemikirannya tidak hanya terbatas mengenai Islam, tetapi juga meliputi pemikiran keindonesiaan modern. Iapun menjadi pelopor banyak isu pembaharuan politik, seperti ide pentingnya osisi loyal, civil society, demokrasi, pancasila sebagai common platform bangsa ditengah nilai-nilai keagamaan, pluralisme, dan hak asasi manusia. kontribusi pemikiran Cak Nur bukan hanya berkaitan dengan umat Islam, tetapi juga bangsa Indonesia. Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.28[28] 2.



Pendekatan Teori Nurcholis Madjid Berbicara mengenai Cak Nur tidak akan terlepas dari anggapan tentang konotasi Islam liberal ataupun plural. Menurut Khalik, pluralisme Cak Nur bertumpu pada pada gagasan Islam sebagai agama universal dan tetap berputar di orbit komunal partikular karena masih melihat kebenaran agama lain dengan perspektif agama sendiri.29[29] Cak Nur mengusung pemikiran pluralisme positif. Pluralisme positif menupakan semangat yang menjadi salah satu hakikat islam. Pluralisme oleh islam yang tidak pernah hilang itu sekarang harus dengan penuh kesadaran diterapkan dalam pola-pola yang sesuai dengan tuntutan zaman moderen, demi memenuhi tugas sucinislam sebagai agama tauhid



28 29



(ketuhanan YME) untuk ikut serta menyelamatkan umat manusia dan kemanusiaan di zaman mutakhir ini.30[30] Pendekatan lain yang dibawa Cak Nur adalah pendekatan neomodernis. Dalam bingkai neomodernis inilah sebenarnya Cak Nur meletakkan pondasi pemikiran Islam. Gagasannya jauh kedepan karena ia amat menyadari bahwa untuk mengubah karakter umat Islam, dan bangsa Indonesia secara lebih umum diperlukan waktu sekitar 25 tahun. Disini Cak Nur melihat potensi pesantren di Indonesia. Dilihat dari historisnya, pesantren sebagai sistem pendidikan tradisional dan tertua telah memainkan peran cukup penting dalam membentuk kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pada era 70-an Cak Nur telah memprekdidikan pesantren sebagai sesuatu yang dapat dijadikan alternatif terhadap sistem yang ada.31[31] 3.



Pemikiran Pendidikan Islam Cak Nur



a.



Kondisi objektif pesantren Pesantren di Indonesia lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Pesantren terdiri dari 5 pokok elemen, yaitu: kyai, santri, masjid, pondok dan pengajaran kitab-kitab klasik. Keberadaan kyai dalam pesantren laksana jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas kyai memperlihatkan peran yang otoriter karena kyailah perintis, pendiri, pengasuh, pemimpin bahkan pemilik tunggal sebuah pesantren.32[32] Segala urusan yang berkaitan langsung dengan pesantren menjadi dan bahkan bisa dicampuri oleh kyai langsung. Sehingga banyak pesantren yang tutup pasca wafatnya sang kyai. Dalam proses pembelajaran para santri mempelajari kitab-kitab klasik dimana kitabkitab tersebut dapatmengidentifikasikan kazanah keilmuan yang yang bernuansa kultural, akhlak, ilmu, karomah, integritas keimanan, kefaqihan, dan sebagainya. Masjid juga menjadi hal utama dalam sistem pembelajaran pesantren. Disini, masjid bukan hanya fijadikan sebagai sarana kegiatan saja, namun juga sebagai pusat belajar mengajar. Dari sikap terhadap tradisi pesantren kepada jenis salafi dan khalafi. Jenis salafi merupakan jenis pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik 30 31 32



sebagai inti pendidikannya. Berbeda dengan pesantren khalafi yang tampaknya menerima hal-hal baru yang dinilai baik disamping tetap mempertahankan tradisi lama yang baik.33[33] Pada kondisi objektif tersebut, guna menjadikan pesantren lebih ideal, Nurcholis menawarkan perlu adanya rekonstruksi tujuan pesantren, adanya pembaharuan pesantren serta membaharui manajemen pesantren.34[34] b.



Tujuan pendidikan pesantren Faktor pertama kurangnya kemampuan pesantren dalam merespon dan mengikuti perkembangan zaman terletak pada lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan pesantren. Pada dasarnya tujuan dari pendidikan pesantren adalah mencipta dan mengembangkan kepribadian muslim yang bermanfaat bagi agama, masyarakat dan negara,35[35] serta membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ilmu pengetahuan Islam sesungguhnya meliputi lingkup yang amat luas,yaitu tentang Tuhan, manusia dan alam termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi matematis sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah moderen (barat) di bidang-bidang itu berasal dari para ilmuan muslim. Tujuan akhirnya adalah beriman, berilmu dan beramal.36[36]



c.



Kurikulum dan metode pendidikan pesantren Nurcholis Madjid menyatakan bahwa dalam aspek kurikulum, pelajaran agama masih dominan dilingkungan pesantren. Pada umumnya pembagian keahlian lulusan atau produk pendidikan pesantren berkisar pada bidang-bidang berikut: Nahwu-sharaf, Tafsir, Hadits, Bahasa Arab dan Tasawuf Nurcholis Madjid menekankan agar dalam penerapan kurikulum dipesantren adanya check and balance. Perimbangan ini dimaksudkan agar pengetahuan keislaman dan pengetahuan umum agar dapat berjalan sejalan satu dengan yang lainnya.



d.



Sistem nilai pesantren 33 34 35 36



Ada tiga aspek yang mengakar dalam kultur pesantren yang digunakan sebagai sistem nilai yang dikenal sebagai Ahl-al-sunnah wa al-jamaah , yaitu:37[37] -



Teologi Al-Asy’ari



-



Fiqh madzhab



-



Tasawuf praktis



4.



Ide Pokok Pemikiran Nurcholis Madjid Pendidikan Islam menurut Nurcholis Madjid harus dapat memberikan arah pengembangan dua dimensi bagi peserta didik, yakni dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan. Jika diklasifikasikan, maka konsep pembaharuan pendidikan Islam Nurcholis Madjid merupakan sebentuk corak pendidikan progresif plus spiritualitas. Hal ini dibuktikan dengan memperhatikan dua orientasi pendidikan di atas dan prinsip-prinsip pemikiran Nurcholis Madjid yang kerap menekankan sikap terbuka, fleksibel, kritis dalam berpikir; gagasan tentang demokrasi; desakralisasi atau sekularisasi; atau cita-cita masyarakat madani yang toleran dan plural. Kesemua modalitas ini kemudian diwujudkan sebagai agenda pembaharuan pendidikan Islam melalui seperangkat metodologi yang beberapa di antaranya telah penulis identifikasi sebagai metode berpikir rasional, metode pemecahan masalah, eksperimen, kontemplasi, diskusi, dan penguasaan bahasa asing.38[38] Kegiatan menanamkan nilai-nilai, sesungguhnya akan membentuk pendidikan keagamaan. Nilai-nilai itu antara lain: Islam, iman, ihsan, taqwa, ikhlas, tawakal, syukur dan sabar. Kemudian nilai-nilai akhlak yang akan mendorong kepada kemanusiaan antara lain: silaturrahmi, persaudaraan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, dan sebagainya.39[39] Fokus utama yang menjadi pemikiran Nurcholish Madjid, terkait dengan pembaharuan pemikiran Islam, ialah bagaimana memperlakukan ajaran Islam yang merupakan ajaran universal dan dalam hal ini dikaitkan sepenuhnya dengan konteks (lokalitas) Indonesia. Bagi Nurcholish Madjid, Islam hakikatnya sejalan dengan semangat kemanusiaan universal. Hanya saja, sekalipun nilai-nilai dan ajaran Islam bersifat universal, pelaksanaan tersebut 37 38 39



harus disesuaikan dengan pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan sosio-kultural masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks Indonesia, maka harus juga dipahami kondisi riil masyarakat dan lingkungan secara keseluruhan termasuk lingkungan politik dalam kerangka konsep “Negara bangsa”.40[40] 5.



Analisis Pemikiran Nurcholis Madjid Dari berbagai pemaparan tentang tawaran konsep pendidikan Nurcholis Madjid yang hampir sebagian besar mengerucut pada pembaharuan pesantren, saya rasa sangan relevan jika diterapkan pada saat ini. Hal ini karena, masih banyak pesantren di Indonesia yang masih termajinalkan. Kaum santri yang masih dikonotasikan udik dan tidak intelek. Dengan pembaharuan pendidikan pesantren yang bisa mengintegralkan antara pendidikan umum dan agama bisa diharapkan akan terwujudnya para santri intelek.



6.



Aktivitas Intelektual dan Karya-karya Nurcholih Madjid Kelincahan Nurcholish Madjid di dunia organisasi selama menjadi mahasiswa tidak terlepas dari pengaruh sosiologis dan ideologis KMI Gontor, tempat ia mengenyam pendidikan keagamaan. KMI Gontor bukan saja berbentuk pesantren yang semata-mata menyuguhi para santrinya materi keagamaan klasik an sich, tidak hanya menyuguhi para santrinya untuk menguasai materi pelajaran di kelas, tetapi lebih dari itu semua, Gontor merupakan pesantren modern yang mengajarkan mereka bagaimana cara berorganisasi dengan baik. Hal itulah yang dirasakan oleh Nurcholish Madjid. Selama di KMI Gontor, Nurcholish Madjid sudah terbiasa dengan dinamika keilmuan, aktivitas keorganisasian, yang karenanya, ia begitu berwujud sebagai mediator kepemimpinan tatkala terjun di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) selama berkiprah di dunia kampus. Dalam menjalankan roda organisasi Nurcholish Madjid banyak menerapkan komitmen keKMIannya41[41] yang memang diajarkan oleh para pengasuhnya. Di organisasi HMI ini, Nurcholish Madjid akhirnya terpilih sebagai ketua umum PB HMI untuk dua tahun berturut-turut yakni periode 1966 sampai 1969 dan periode 1969 sampai 1971. Berkat kepiawaiannya sebagai mantan ketua umum PBHMI, selama menjadi mahasiswa di Amerika ia pun dipercaya untuk menjadi presiden persatuan mahasiswa Islam 40 41



Asia Tenggara (PEMIAT) pada tahun 1967-1969 dan berikutnya ia dipercaya pula untuk menjabat sebagai wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Student Organization/ Federasi Organisasi-Organisasi Mahasiswa Islam Internasional) pada tahun 1967-1971.42[42] Dalam perkembangan karirnya, Nurcholish Madjid menduduki beberapa posisi sentral. Di antara beberapa karir sentral yang dicapainya adalah; menjadi staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta tahun 1972-1974, menjadi pemimpin umum majalah mimbar Jakarta tahun 1971-1974, dan juga menjadi pemimpin redaksi majalah Forum. Bersama teman-temannya, ia mendirikan dan memimpin LSIK (Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan), pada tahun 1972-1976 dan LKIS (Lembaga Kebijakan Islam Samanhudi) tahun 1974-1977. Nurcholish Madjid bekerja di LEKNAS LIPI (Lembaga Peneliti Ekonomi dan Sosial) di Jakarta tahun 1978-1984, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 1986 Nurcholish Madjid mendirikan dan menjadi ketua Yayasan Wakaf Paramadina Mulya, yang aktif dalam kajian keislaman dan menjadi penulis tetap harian pelita, Jakarta pada tahun 1988. Nurcholish Madjid menjadi anggota MPR RI, pada bulan Agustus 1991 dan menjadi dosen tamu di Institut of Islamic Studies, Mc Gill University, Montreal, Canada. Sejak tahun 1988 Nurcholish Madjid dikukuhkan sebagai guru besar luar biasa dalam ilmu filsafat Islam sekaligus menjadi Rektor Paramadina Mulya, Jakarta.43[43] Tahun 1991 Nurcholish Madjid juga menjabat sebagai ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI). Menjadi anggota Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dan pada tahun 1993 tercatat sebagai salah seorang anggota MPR RI.44[44] Pada tanggal 3 Januari 1970, dalam acara malam silaturrahmi organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa dan sarjana muslim yang tergabung dalam HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) Nurcholish Madjid menggantikan pidatonya Dr. Alfian yang berhalangan datang. Pidato yang disampaikannya dalam acara besar tersebut berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.45[45] 42 43 44 45



Dari pidato yang disampaikannya ini Nurcholish Madjid mulai menuai pandangan yang sangat kontroversial termasuk dari para seniornya, semisal. Rasjidi, dikarenakan anjurannya terhadap sekularisasi. Isi pembahasan dari judul pidato, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” yakni mencakup; Islam Yes, Partai Islam No; kuantitas versus kualitas, liberalisasi pandangan terhadap ajaran Islam sekarang (sekularisasi, kebebasan berfikir, idea of progress, dan sikap terbuka), dan perlunya kelompok pembaharuan “liberal”. Liberalisasi pemikiran Nurcholish Madjid dimulai dari penyampaian pidatonya pada acara HUT ke-3 HMI di Jakarta, 5 Pebruari 1970, dengan judul “pembaharuan pemikiran dalam Islam”. Kegigihannya untuk mengembangkan pola-pola penyegaran paham keagamaan Islam dilakukannya pada saat memberikan kuliah di pusat kesenian Jakarta, 30 Oktober 1972, dengan judul “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”.46[46] Nurcholish Madjid adalah seorang dari sedikit intelektual muslim Indonesia dan menjadi orang nomor satu di Paramadina. Ia dilahirkan dari kalangan Islam tradisionalis yang kuat. Nurcholish Madjid sejak memperoleh pendidikan di Pesantren Gontor, yaitu pesantren yang menerapkan semboyan “berfikir babas setelah berbudi tinggi, berbadan sehat dan berpengetahuan luas”, sangat mempengaruhi pemikirannya untuk tidak memihak pada salah satu madzhab Islam. Pada saat Nurcholish Madjid masih aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), satu periode di mana Republik Indonesia sedang bergejolak dan merupakan masa transisi dari rezim lama ke rezim baru yang membawa paradigma baru, termasuk paradigma dalam membangun Indonesia ke depan saat itu yang kemudian menjadi “latar belakang” yang sedikit banyak menjadi variabel signifikan bagi lahirnya gagasan dan pemikiran keislaman Nurcholish Madjid yang relatif “asing” bagi umat Islam saat itu.47[47] Nurcholish Madjid sejak menjadi mahasiswa telah aktif menulis tentang kajian keislaman maupun politik, sehingga dia sempat mendapatkan gelar “Natsir Muda”. Gelar tersebut didapat Nurcholish Madjid dengan ciri khas orang yang anti dan sangat membenci Barat, akan tetapi sikap itu pada akhirnya runtuh ketika Nurcholish Madjid usai melakukan



46 47



kunjungannya di Amerika Serikat dan beberapa Negara Timur Tengah48[48] yang akhirnya gelar tersebut dicopot. Pada saat Nurcholish Madjid melaksanakan pendidikan di Chicago, Amerika Serikat, beliau menjadi murid seorang ilmuan muslim ternama neomodernisme dari Pakistan yaitu Fazlur Rahman. Diperguruan inilah Fazlur Rahman mengotak-atik pemikiran Nurcholish Madjid untuk dibawa ke bidang kajian keislaman. Pengaruh Fazlur Rahman terhadap gerakan intelektual Nurcholish Madjid bukan untuk mengubah pola pemikiran Nurcholish Madjid. Hanya saja, bukan mengatakan sama sekali, Fazlur Rahman telah begitu berpengaruh dalam mengantarkan pemikiran Nurcholish Madjid untuk kembali kepada warisan klasik kesarjanaan Islam. 7.



Karya-karya Intelektual Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan pada penulis yang produktif. Sekembalinya dari studi, bersama kawan dan koleganya pada tahun 1986 mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina.49[49] Di lembaga inilah sebagian besar Nurcholish Madjid mencurahkan hidup dan energi intelektualnya (sehingga pada akhirnya melahirkan Universitas Paramadina Mulya, dengan obsesi mampu menjadi pusat kajian Islam kesohor di dunia) di samping sebagai peneliti LIPI sebagai profesi awalnya dan sekaligus sebagai Profesor Pemikiran Islam di IAIN (kini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Dalam perjalanan hidupnya, ia telah menghasilkan banyak artikel ataupun makalah yang telah dibukukan. Beberapa karyanya antara lain adalah sebagai berikut:



1)



Khazanah Intelektual Islam. Karya ini menurut penulisnya dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu aspek kekayaan Islam dalam bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan teologi. Dalam buku ini dibahas pemikiran al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun, Jamal al-Din alAfghani dan Muhammad Abduh.



2)



Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Dalam buku ini, yang merupakan kumpulan tulisan selama dua dasawarsa melontarkan gagasan Nurcholish Madjid tentang korelasi kemodernan, keislaman dan keindonesiaan, sebagai respon terhadap berbagai persoalan dan isu-isu yang berkembang di saat itu. 48 49



3)



Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan.50[50] Buku ini merupakan karya monumentalnya pasca studi di Chicago. Dalam buku ini, Cak Nur berusaha mengungkapkan ajaran Islam yang menekankan sikap adil, inklusif dan kosmopolit.



4)



Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-Pikiran Nurcholish Madjid “Muda”.(1994)



5)



Pintu-Pintu Menuju Tuhan (1994). Buku ini merupakan kumpulan sebagian besar tulisan Cak Nur di harian Pelita dan Tempo. Menurut penulisnya, buku ini merupakan penjelasan lebih sederhana dan “ringan” (populer) dari gagasan Islam inklusif dan Universal yang menjadi tema besar buku Islam Doktrin dan Peradaban.



6)



Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (1995). Dalam buku ini pemikiran Cak Nur lebih terarah pada makna dan implikasi penghayatan Iman terhadap perilaku sosial yang senantiasa mendatangkan dampak positif bagi kemajuan peradaban kemanusiaan.



7)



Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (1995). Buku ini sama dengan karya monumentalnya, hanya saja, Cak Nur menyajikannya dengan wawasan yang lebih kosmopolit dan universal sekaligus mempertimbangkan aspek parsial dan kultural paham-paham keagamaan yang berkembang.



8)



Masyarakat Religius (1997). Buku ini mengetengahkan konsep Islam tentang kemasyarakatan, antara komitmen pribadi dan komitmen sosial serta konsep tentang eskatologi dan kekuatan adi-alami.



9)



Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam pembangunan di Indonesia (1997). Dalam buku ini Cak Nur mengetengahkan tentang peran dan fungsi Pancasila, organisasi politik, demokratisasi, demokrasi dan konsep oposisi loyal.



10) Kaki Langit Peradaban Islam (1997), mengetengahkan tentang wawasan peradaban Islam, kontribusi tokoh intelektual Islam semisal Al-Shafi’i dalam bidang hukum, al-Gazali dalam bidang tasawuf, ibn Rusyd dalam filsafat dan Ibn Khaldun dalam filsafat sejarah dan sosiologi. 11) Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah potret Perjalanan (1997), yang membahas tentang dinamika pesantren serta kontribusinya dalam peradaban Islam di Indonesia. 50



12) Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (1997). Buku yang merupakan transkrip wawancara yang pernah dilakukan oleh Cak Nur memiliki mainstream bagaimana nilainilai universal dan kosmopolit Islam diaktualisasikan dalam praktik politik kontemporer. 13) Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-Kolom di Tabloid “Tekad” (1999). Dalam buku ini Cak Nur berusaha menjelaskan pemikiran-pemikirannya tentang keterkaitan antara dimensi keislaman dengan dimensi keindonesiaan dan kemodernan sekaligus. Buku ini merupakan kumpulan tulisan Cak Nur di Tabloid Tekad yang merupakan suplemen dalam harian Republika, sebuah koran harian yang diterbitkan oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). 14) Cita-cita Politik Islam di Era Reformasi (1999). Buku ini merupakan perjalanan panjang politik NurcholishMadjid dalam wacana perpolitikan di Indonesia. Dalam buku ini prototype negara Madinah yang telah didirikan Nabi Muhammad sedemikian ditekankan oleh Cak Nur sebagai sesuatu yang sangat cocok untuk diterapkan kini, mengingat nilainilainya sedemikian modern bahkan terlalu modern untuk masanya sehingga tidak bertahan lama. 15) Indonesia Kita (2003). Dalam buku yang merupakan karya tulis terakhirnya, Nurcholish Madjid berusaha memahami secara lebih luas dan mendalam tentang hakikat dan persoalan bangsa dan negara Republik Indonesia sejak dari masa lampau sampai sekarang yang menantang. Dalam buku ini dimuatpokok pemikiran Cak Nur ketika mencalonkan diri sebagai Presiden RI yang meskipun kandas melalui konvensi Partai Golkar yang terkenal dengan Sepuluh Platform Membangun Kembali Indonesia. Di samping itu, terdapat beberapa ceramahnya yang juga dibukukan, seperti Perjalanan Religius Umrah dan Haji; Pesan-Pesan Takwa Nurcholis Madjid: Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina; 30 Sajian Ruhani: Renungan di Bulan Ramadhan. Pada sisi lain, ia juga banyak menulis artikel yang tersebar di beberapa buku suntingan orang lain, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, yang tersebar di beberapa jurnal nasional maupun jurnal internasional. a. 1)



Karya-karya dalam Bahasa Inggris The Issue of Modernization Among Muslimin in Indonesia: From a participant’s Paint of View, dalam Gloria Davies (ed.)



2)



What is Modern Indonesia Culture? (Athens, Ohio, University of Ohio Southeast Asia Studies, 1979)



3)



Islam in the Contemporary World, (Notre Dame, Indiana, Cross Roads Books, 1980)



b.



Karir dan aktivitas intelektual Nurcholish Madjid di tingkat internasional.



1)



Presenter, Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”, November 1992, Bellagio, Italia.



2)



Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, April 1993, Wina, Austria.



3)



Presenter, Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei 1993, Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.



4)



Presenter, Seminar Internasional tentang “Persesuaian aliran Pemikiran Islam”, Mei 1993, Teheran, Iran.



5)



Presenter, Seminar internasional tentang “Ekspresi-ekspresi kebudayaan tentang Pluralisme”, Jakarta 1995, Casablanca, Maroko



6)



Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, Maret 1995, Bellagio, Italia



7)



Presenter, seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Juni 1995, Canberra, Australia



8)



Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, September 1995, Melbourne, Australia



9)



Presenter, seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia Abad ke21,” Juni 1996, Leiden, Belanda.



10) Presenter, seminar internasional tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni 1996, Tokyo, Jepang 11) Presenter, seminar internasional tentang “Dunia Melayu”, September 1996, Kuala Lumpur, Malaysia 12) Presenter, seminar internasional tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997 Kuala lumpur



13) Pembicara, konferensi USINDO (United States Indonesian Society), Maret 1997, Washington, DC, Amerika Serikat 14) Peserta, Konferensi Internasional tentang “Agama dan Perdamaian Dunia” (Konperensi Kedua), Mei 1997, Wina, Austria 15) Peserta, Seminar tentang “Kebangkitan Islam”, November 1997, Universitas Emory, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat 16) Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” November 1997, Universitas Georgetown, Washington, DC, Amerika Serikat 17) Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Pluralisme”, November 1997, Universitas Washington, Seattle, Washington DC, Amerika Serikat 18) Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang Timur Tengah), November 1997, San Francisco, California, Amerika Serikat 19) Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan AAR (American Academy of Religion) Akademi Keagamaan Amerika, November 1997, California, Amerika Serikat 20) Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia”, Oktober 1998, Jenewa, Swiss 21) Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Hakhak asasi Manusia”, November 1998 State Department (Departemen Luar Negeri Amerika), Washington DC, Amerika Serikat 22) Peserta Presenter “Konferensi Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999, Brisbane, Australia 23) Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia, pesan-pesan dari Asia Tenggara”, November 1999, Ito, Jepang 24) Peserta, Sidang ke-7 Konferensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP), November 1999, Amman, Yordania.51[51]



51



PENUTUP Pendidikan Islam dalam perspektif Gus Dur merupakan sebuah kombinasi antara pemikiran pendidikan Islam tradisional dan pemikiran Islam yang diadopsi oleh pemikiran Barat modern sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan dalam konsep pembaruan, sesuai dengan tuntunan zaman. Tujuan pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia merupakan hal yang mutlak adanya. Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju aktif (pendewasaan), untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta dan sebagai pemelihara (khalifah) pada semesta. Dengan demikian tujuan akhir pendidikan Islam adalah sebagai proses pembentukan diri peserta didik agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Kurikulum pendidikan Islam menurut K.H Abdurrahman Wahid, diantaranya, orientasi pendidikan harus lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik. Terkait pembelajaran, Gus Dur menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran dipesantren harus mampu merangsang kemampuan berfikir kritis, sikap kreatif dan juga merangsang peserta didik untuk bertanya sepanjang hayat. Ia menolak sistem pembelajaran doktiner yang akhirnya hanya akan membunuh daya eksplorasi anak didik. Menurut Gus Dur, pendidik harus memiliki perpaduan antara corak kharismatik dan corak yang demokratis, terbuka dan menerapkan manajemen modern. Pemikiran Cak Nur memang tidak akan pernah bisa terlepas dari ke-Islaman. Begitu pula dengan pemkirannya terkait dengan pendidikan. Cak Nur lebih banyak menyorot pesantren yang memang masih dirasa perlu memberikan perhatian khusus. Tawaran yang Cak Nur berikan adalah penertiban manajemen pesantren, merumuskan kembali tujuan pesantren, kurikulum pesantren, sistem nilai pesantren serta penanaman value (nilai) kepada peserta didik. Beriman, berilmu dan beramal. Dari berbagai pemaparan tentang tawaran konsep pendidikan KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid yang hampir sebagian besar mengerucut pada pembaharuan pesantren. Dengan pembaharuan pendidikan pesantren yang bisa mengintegralkan antara pendidikan umum dan agama bisa diharapkan akan terwujudnya para santri intelek. Pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik. Oleh karena itu, yang menjadi kepedulian utamanya, minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl As-Sunnah Wal



Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas. Ketiga, berupaya melakukan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam Indonesia



DAFTAR PUSTAKA A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia), 1999 Abdurrahman Wahid, Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi, Jakarta: RMI dan Jawa Pos, 1989 Ahmad A. Sofyan dan Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara dan Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003 Akhmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, Gagasan Sentral Nurkholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta: Rinek Cipta, 1999 Aris Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais, Yogyakarta: Laelathinkers, 2003 Dawam Rahardjo, Islam dan Modernisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung : Mizan, 1987 Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2013 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (terj.) Jakarta: Paramadina, 1999). http://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid, diakses tanggal 28 Juni 2015 http://info-biografi.blogspot.com/2010/02/dr-nurcholis-madjid.html diakses 22 Juni 2015 http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/04/definisi-pendidikan-perbandingan.html diakses tanggal 22 Juni 2015 Kamaruzzaman Bustamam- Ahmad, Wajah Baru Islam di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004 M. Husaini, “Pribumisasi Islam ala Gus Dur”. Dalam http//www.nu.or.id, diakses pada 26 Oktober 2010. M. Mansur Amin dan Ismail S. Ahmad, Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1993



M.Sugeng Sholahuddin, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Pekalongan: Stain Press, 2005 Muhammad Rifa’i, Gus Dur, Yogyakarta: Garasi, 2009 Mujamil Qomar, NU “Liberal”: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002 Mujamil Qomar, Pesantren: dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2005 Mukhtar Ganda Atmaja dan M.Shodiq (peny.), Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990 Muntaha Azhari dan Mun’im Saleh (ed.), Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989 Nurchois Madjid, Bilik-bilik pesantren, Jakarta: Paramadina, 1997 Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban; sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992 Nurcholish Madjid, Biografi dalam Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Muhamad Roem, Jakarta: Djambatan, 2004 Nurcholish Madjid, ed., Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987 Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999 Sufyanto, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutik Masyarakat Madani Nurcholish Madjid, Yogyakarta: LP2IF dan Pstaka Pelajar Offset, 2001 Tjun Surjaman, Hukum Islam di Indonesia; Pemikiran dan Praktek, Cet. II, (Bandung: Remaja Posdakarya, 1994 Yasmadi, Modernisasi pesantren,Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional Jakarta: Ciputat Press, 2002 Zainal Ali, 100 Orang Indonesia Paling Berpengaruh, (Jakarta: PT. Buku Kita, 2008 http://sosioakademika.blogspot.co.id/2015/10/pemikiran-pendidikan-islam-kh.html



persamaan PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM



PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM



A.



Pengertian Pembaharuan Pemikiran Islam Kata “Pembaharuan” merupakan terjemahan dari kata “modern” dalam bahasa Inggris dan/atau “Tajdid” dalam bahasa Arab. Dalam bahasa Indonesia juga telah lazim digunakan kata modern, modernisasi, modernisme, dan modernitas. Istilah modern sering dipakai para tokoh, daiantaranya : Aliran modern dalam Islam dan Perkembangan modern dalam Islam (Harun Nasution), Islam komodernan dan ke-Indonesiaan (Nurcholis Madjid), Alam pikiran Islam modern (HA. Mukti Ali), Islam dan modernisme (Maryam Jamilah), gerakan Islam modern di Indonesia (Deliar Noor) Islam dan tantangan modernitas (Taufik Adnan Amal) dan sebagainya.



Modernisme dalam tatanan masyarakat Barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah



faham, adat-istiadat, institusi lama, dan sebagainya, untuk



disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemanjuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemikiran dan



aliran baru tersebut



segera mamasuki



lapangan agama.



Modernisme dalam kehidupan keagamaan di Barat mempunyai tujuan untuk menyesuaikan ajaran yang terdapat dalam ajaran agama Katholik dan Protestan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern. Aliran ini akhirnya menimbulkan sekularisme di kalangan masyarakat Barat. Modernisme dalam pandangan Margaret Marcus setelah masuk Islam berganti nama menjadi Maryam Jamilah- (1982 : 39) merupakan “pemberontakan radikal” terhadap nilai-nilai yang dianggap sudah mapan, terutama menyangkut agama dan nilai-nilai spiritual. Menurutnya, saat ini modernisme seolah-olah sudah menjadi semacam kepercayaan universal. Semua orang yang menganut faham ini, akan dipuji sebagai bangsa yang maju dan terbaharukan.



Sebaliknya, orang yang mengabaikannya bahkan anti terhadapnya, akan dipandang sebagai yang tradisional, bahkan konservatif, statis, dan kuno. Dalam pandangan Maryam Jamilah, modernisme muncul dalam bentuk serta tingkat yang berbeda-beda, seperti Sekularisme, Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme, Pragmatisme, Kamalisme, Nasionalisme, dan sebagainya. Hampir semua ideologi kaum modernis yakin bahwa, kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akhirnya bisa memberikan kepada manusia semua kekuatan Tuhan. Bentuk pengaguman manusia tersebut kemudian menimbulkan nasionalisme yang pada gilirannya menjadi kekuatan untuk menjadikan komunitas dan bangsanya bergerak ke arah kemajuan dan terbaharukan. Ideologi kaum modernis, tanpa kecuali berusaha untuk menolak nilai-nilai transcendental. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu yang mutlak tentang sebuah kebenaran hasil berfikir manusia. Semuanya secara obyektif harus difahami sebagai sesuatu yang relatif. Mereka menganggap bahwa nilai-nilai moral serta kebenaran merupakan sesuatu yang relative dan validitasnya terbatas pada ruang, waktu, dan kondisi. Bahkan kaum modernis memandang bahwa masyarakat yang



selalu didasarkan pada wahyu Tuhan adalah statis. Mereka



sebaiknya senantiasa berfikir, menggunakan daya nalarnya untuk memperoleh penalaran baru serta nilai-nilai baru bagi kehidupan ummat manusia. Nilai yang paling baik menurut modernisme adalah nilai yang selalu “up to-date”. Pembaruan (at-tajdid, modernisme) dalam Islam mempunyai arti pemikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. (Harun Nasution, 1996:1). Melalui upaya ini, maka para pemikir dan pembaru pemikiran Islam modern mengharapkan agar ummat islam terlepas dari suasana stagnan, statis, serta kemunduran dan berubah ke arah kemajuan dan kehidupan yang terbaharukan. Jadi istilah Pemikiran modern dalam Islam adalah kepanjangan dari pemikiran yang berkembang pada masa modern (1800 M sampai sekarang) dalam kalangan ummat yang memeluk agama Islam. Pemaham atau pemikir yang hidup pada masa modern (1800 M hingga sekarang) dalam kalangan ummat yang beragama Islam disebut juga pembaharu karena mereka memperbaharui pemahaman dan pemikiran tentang al-Qur’an dan al-Hadits untuk menjawab masalah-masalah yang berkembang pada masa modern. Mata kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam sering juga disebut dengan Pembaharuan dalam Islam.



Pembaharuan dalam konteks percaturan dunia ini merupakan sebuah keniscayaan. Essensi pembaharuan terletak pada perubahan. Dunia selalu berubah. Manusia dengan potensi yang dimilikinya mengubah dunia. Berubah ke arah yang lebih baik dan bermartabat. Sebuah perubahan yang menciptakan kehidupan yang lebih manusiawi (humanistik). Jika manusia tidak berubah ke arah yang lebih baik, maka sesungguhnya essensi kehidupannya hilang. Sebab perubahan adalah essensi kehidupan. Rienald Kasali (2006 : 2) pernah menyatakan bahwa, “change is the evidence of life” (perubahan adalah bukti adanya kehidupan). Secara historis, tatanan kehidupan dan peradaban Islam mengalami pasang-surut. Beberapa dekade terdahulu, terutama pada masa klasik (650-1250 M), Islam mengalami perubahan yang sangat dahsyat dalam menciptakan tatanan kehidupan dunia yang beradab, sehingga dunia pada periode tersebut dipandang memiliki keadaban (civility) dan bahkan peradaban (civilization) yang tinggi. Sejarah mencatat, dua-pertiga dunia ini dikuasai oleh Islam. Tidak heran kalau kemudian kehidupan ummat manusia menjadi sangat manusiawi. Inilah keberhasilan Rasulullah dalam “menata” dunia dan membangun karakter ummat dari kehidupan biadab menjadi sangat beradab. Dalam perkembangannya, dunia Islam mengalami kemunduran. Menurut Harun Nasution (1975 : 14) zaman kemunduran ini ditandai dengan runtuhnya Kerajaan Utsmani di Turki, Syafawi di Persia, dan kekuasaan Kerajaan Mughal di India diperkecil oleh pukulan rajaraja India. Kekuatan militer dan politik Islam mulai menurun. Bahkan akhirnya ummat Islam berada dalam kondisi mundur dan statis. Dunia berubah ke arah peradaban Barat. Periode ini disebut dengan abad pertengahan (1250-1800 M). Pada periode ini, justru Barat mengalami perubahan yang sangat luar biasa. Peradaban Islam digantikan dengan peradaban Barat yang mengalami kemajuan dalam berbagai bidang, terutama berkembangnya ilmu-pengetahuan modern. Kita fahami dalam sejarah, Barat pada periode ini mengalami apa yang disebut dengan “Zaman Keemasan” (The Golden-Age). Mereka menyebutnya dengan istilah “Renaissance” atau “Aufklarung’. Di Eropa terjadi Revolusi Industri yang sangat besar-besaran. Tatanan kehidupan berubah menjadi semakin modern.



Sarana kehidupan dan infrastruktur tertata dengan rapi dan megah. Ilmu



pengetahuan dan teknologi dikuasai. Alam pikiran manusia mengalami kemajuan yang pesat. Periode setelah itu berlanjut ke arah perubahan yang lebih dahsyat Kehidupan manusia semakin modern lagi. Hampir seluruh tatanan kehidupan bergerak dengan cepat. Dunia



berubah. Dunia menjadi lebih terbaharukan. Kehidupan dunia berada pada suatu zaman yang disebut Zaman Modern (1800-sekarang). Dari sudut pandang pola berfikir, pemikiran manusia menjadi lebih rasional, kontekstual, dan faktual. Banyak hal yang dipikirkan. Dan banyak pula hal yang dapat dihasilkan dari hasil pemikiran manusia. Manusia semakin menyadari, inilah kekuatan dan kelebihan makhluk yang bernama manusia. Manusia diberikan akal (rasio) untuk berfikir dan membedakan yang benar dari yang salah. Dan dengan itu pula perabadan dunia mengalami perubahan dalam seluruh aspeknya. Dalam tatanan Islam, terjadi pembaharuan pemikiran yang luar biasa di dunia Arab dan hampir seluruh dunia Islam. Dunia Islam bergerak menjadi lebih maju dan rasional. Pada periode ini, muncullah banyak para pemikir Islam yang handal. Mereka menjadi pioneer pembaharuan dalam Islam. Ajaran Islam dirasionalisasikan dan difahami dalam konteks kekini-an dan kemodernan. Islam difahami tidak hanya difahami dari sudut pandang local, tetapi juga dalam perspektif universal dan kontekstual Sejarah mencatat munculnya para pemikir Islam di dunia Arab, seperti di Arab, Mesir, dan Turki. Demikian juga di India dan Pakistan. Tidak ketinggalan di Indonesia dan dunia Islam lainnya. Sejarah juga mencatat, para pemikir dan tokoh pembaharuan Islam yang sangat popular. Pemikiran dan ide pembaharuannya terus dipelajari. Bahkan pengaruhnya dapat dirasakan sampai sekarang. Di dunia Arab, dikenal tokoh Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Kemal Attaruk, Hasan Hanafi, Muhammad Syahrur, Abdul halim Mahmud, dan sebagainya. Di India dan Pakistan, dikenal tokoh pembaharu seperti Muhammad Iqbal, Ali Jinah, Kalam Azad, Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani, dan lainlain. Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Tokoh pembaharuan yang cukup popular, dapat disebutkan diantaranya : Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Munawir Sadjali, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan sebagainya.



B.



Model Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Pembaharuan dalam Islam dilakukan sebagai reaksi terhadap kemunduran kekuasaan politik dan pemikiran Islam. Kekuasaan Islam sudah runtuh dan pemikiran ummat islam tidak boleh dibiarkan dalam kondisi stagnan dan statis. Pintu ijtihad memungkinkan



harus dibuka, sehingga



untuk melahirkan pemikiran dan penafsiran baru. Ummat Islam harus



disadarkan kembali bahwa tidak semua aspek ajaran Islam bersifat obsolut (qath’i), tetapi



sangat banyak (paling banyak) aspek ajaran Islam yang masih bersifat relative (dzanni) memerlukan pemikiran dan rasionalisasi, tetapi tetap didasarkan pada semangat untuk kembali pada konsep ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Semua ini akan terwujud, jika ummat Islam melakukan gerakan pembaharuan secara sinergis dan terus-menerus. Secara garis besar, gerakan pembaharuan pemikiran di dunia Islam, dapat difahami dalam empat model gerakan sebagai berikut : A.



Gerakan Wahabiyah atau Salafiyah. Pelopornya adalah Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di Jazirah Arabia. Tumbuh dan lebih berkembang di Hijaz sebagai jantung ummat Islam sedunia, ketika itu. Gerakan ini dipandang sebagai gerakan puritanisme Islam. Gerakan yang hampir serupa tumbuh hamper bersamaan di India yang dipelopori oleh Syah Waliyullah Delhi (meninggal tahun 1762) dan Syekh Ahmad Sihrin di India (meninggal tahun 1625). Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang pemimpin yang dengan aktif dan progresif berusaha menyebarkan dan mewujudkan pemikirannya untuk melepaskan ummat islam dari kesesatan, tokoh ini berpendapat bahwa ummat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya (asli), yakni Islam yang dianut oleh Nabi saw, sahabat, tabi’in sampai abad ke-3 Hijriyyah. Sumber ajaran islam hanyalah al-Quran dan al-Hadits. Untuk memahami ajaran yang terkandung dalam dua sumber tersebut, maka dipergunakan ijtihad. Oleh karena itu, pintu ijtihad belum tertutup, bahkan harus tetap dibuka. Dalam upayanya melakukan pemurnian ajaran Islam, Syekh Ahmad Sihrin agak berbeda dengan Muhammad bin Abdul Wahab. Hal ini, tidak hanya disebabkan oleh situasi politik yang berbeda, melainkan juga karena lingkungan spiritual India yang sangat berbeda dengan kondisi Arabia.



Oleh karena itu, Syekh Waliyullah



tidak melakukan penolakan total



terhadap sufisme, tetapi mengadakan suatu asimilasi antara artodoksi dan sufisme, dan dalam batas-batas tertentu memanfaatkan sufisme untuk tujuaan pembaharuan sosio-politik dan sosio-ekonomi masyarakat islam di anak benua India. B.



Gerakan pembaharuan dalam Islam. Kadang-kadang disebut juga dengan modernisme Islam. Gerakan ini dirintis dan dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897). Kemudian diikuti dan dikembangkan oleh Muhammad Abduh (1849-1905) dan dilanjutkan oleh muridnya, Rasyid Ridla (1865-1935). Gerakan ini tumbuh dan berkembang di Mesir,



ketika itu (bahkan sampai sekarang) menjadi pusat intelektualisme Islam. Gerakan ini –sesuai dengan namanya- berusaha mengadopsi kemajuan Barat dan menyesuaikannya (adaptasi) dengan peri-kehidupan ummat Islam. Gerakan ini meolak selalu bersandar pada kejayaan Islam masa lalu dan lebih memilih hikmah-hikmah yang dapat diambil dari masa itu, kemudian menghidupkannya kembali di tengah-tengah kaum Muslimin. Hal ini bisa diwujudkan dalam pemikiran politik, social, budaya, agama, dan sebagianya. Secara langsung maupun tidak langsung, hasil pemikirannya disebarkan



melalui berbagai tulisan, terutama dalam majalah dan ceramah-ceramah di



berbagai tempat dan waktu. Ideide atau pemikiran dasarnya adalah sebagai berikut : a.



Kembali kepada sumber dasar ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu al-Quran dan al-Hadits;



b.



Pintu ijtihad tetap terbuka. Ijtihad perlu dilakukan untuk emamahami sumber ajaran Islam (al-Quran dan al-Hadits) yang disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman (interpretasi baru);



c.



Akal (rasio) adalah alat untuk melakukan ijtihad. Menggunakan rasio (akal) dan penalaran menjadi sangat penting dan memiliki posisi yang sangat tinggi;



d.



Percaya kepada hukum alam (law of nature, sunnatullah). Hukum alam tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu ilmu pengetahuan modern yang berdasarkan hokum alam, dan Islam yang sebenarnya berdasarkan wahyu adalah dua hal yang tidak bertentangan. Ilmu pengetahuan



modern, idealnya



sesuai dengan islam. Saat ini yang



mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi adalah Barat. Maka untuk mencapai kemajuan seperti yang diraih di masa lampau (yang sekarang telah hilang dan dimiliki Barat),



ummat Islam harus



kembali dan mempelajari serta menguasai ilmu



pengetahuan; e.



Percaya kepada kebebasan berkehendak dan bertindak (free-will and free-act) seperti faham Qadariyah (Harun Nasution, 1975 : 66).



3. Westernisme dalam Islam. Westernisme diartikan sebagai faham ke-Barat-Baratan atau “berkiblat” ke Barat Faham ini mengajak ummat Islam untuk menerima dan mengadopsi pengetahuan Barat dan semua yang berasal dari Barat. Gerakan ini tumbuh dan berkembang di India, salah satu pusat politik Islam (tempat kerajaan Mughal yang besar itu). Gerakan ini dipelopori oleh Sir Ahmad Khan (1817-1989). Ia mendirikan Universitas Aligarh dengan



nama “Muhammadiyyun” untuk mengembangkan dan menyebarkan ide-idenya. Ide-ide dasarnya sebenarnya memiliki kesamaan dengan ide-ide dasar yang disampaikan oleh Muhammad Abduh. Hanya saja Ahmad Khan melihat bahwa ummat Islam India mengalami kemunduran karena



tidak mengikuti perkembangan zaman. Islam pernah mengalami



kemajuan yang luar biasa pada masa klasik, tetapi peradaban dan kemajuan itu telah hilang. Saat ini yang mengalami kemajuan adalah Barat. Oleh karena itu menurutnya, ummat Islam India akan mengalami kemajuan jika bukan hanya belajar dengan Barat, tetapi sebaiknya bekerja sama dengan Barat (Inggris). Dasar kekuatan Barat adalah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk mengalami kemajuan, maka ummat Islam harus mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Jalan yang harus ditempuh adalah memperkuat hubungan dengan Barat (Inggris) dan mengambil berbagai aspek kemajuan dan ketinggian yang ada di Barat (Harun Nasution, 1975:167) 4. Sekularisme dalam Islam, tumbuh dan berkembang di Turki sebagai pusat politik islam bekas wilayah Daulah Utsmaniyyah (Turki-Utsmani). Pelopornya adalah Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938). Mustafa kamal, sebenarnya adalah seorang Nasionalis pengagum Barat. Ia menginginkan Islam mengalami kemajuan. Oleh karena itu menurutnya, perlu diadakan pembaharuan dalam agama untuk disesuaikan dengan bumi Turki. Menurutnya, Islam adalah agama rasional dan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Tetapi agama rasional itu telah dirusak oleh para ulama. Ajaran Islam memerlukan sekularisasi.



Usaha sekularisasinya berpusat pada upaya menghilangkan ulama dari



kekuasaan Negara dan politik. Yang difahami sebagai ulama adalah orang atau komunitas yang menguasai syariat dan ajaran Islam serta menentukan masalah social, ekonomi, hokum, politik, dan pendidikan). Menurut Attaturk, negara harus dipisahkan dari agama. Inilah essensi dari sekularisasi. Dengan pandangan Mustafa Kemal Attaturk tersebut, ia berpendapat bahwa alQuran perlu diterjemahkan kedalam bahasa Turki, adzan dan khutbah menggunakan bahasa Turki. Madrasah yang sudah ketinggalan zaman ditutup, digantikan oleh fakultas “Ilahiyah” yang mendidik imam shalat, khatib-khatib, dan mengembangkan berbagai pembaharuan yang diperlukan. Pendidikan agama dan bahasa Arab dihilangkan dari sekolah-sekolah. Namanama orang Turki harus mengikuti namanama orang Eropa. Hukum syariat tentang perkawinan diganti oleh hukum Barat (Swiss). Wanita mempunyai hak cerai yang sama dengan kaum pria. Di ada kan hukum-hukum baru, seperti hukum dagang, hukum pidana,



hukum perdata, dan lain-lain yang diambil dari hkum-hukum Barat (Musyrifah Sunanto, 2005 : 306).



C.



Perkembangan Pemikiran Pembaharuan Islam di Indonesia Jika melihat kronologi



sejarah pemikiran peradaban Islam di Indonesia, maka akan



ditemukan tiga periode perkembangan pemikiran Islam sebagai berikut : Pertama, periode ketika kepemimpinan ulama sangat dominan dalam masyarakat muslim. Kepemimpinan ulama berlangsung sejak Islam datang ke Indonesia hingga berlangsungnya masa penjajahan. Pada periode ini, ulama merupakan satu-satunya sumber rujukan dalam pemahaman keagamaan dan wacana ke-Islaman, termasuk dalam berbagai tindakan. Mereka menjadi referensi dalam prilaku individual, social, dan politik. Ketika terjadi penjajahan, maka peran ulama



tetap tidak tergoyahkan, bahkan menjadi symbol perlawanan dalam



peperangan besar melawan penjajah. Dalam hal ini, kita dapat menyebutkan peran Fatahilah (Faletehan) mengusir penjajah Portugis di Sunda Kelapa, Kyai Maja membantu peran Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dalam Perang Paderi, dan lain-lain. Periode ini terjadi sekitar tahun 1900-an, yakni ketika muncul gerakan pembaharuan di dunia Islam. Kedua, peran Ulama digantikan oleh para pemimpin Islam yang bergerak dalam bidang organisasi kepartaian dalam politik Indonesia. Periode ini diawali oleh peran organisasi social keagamaan, seperti : 1.



Haji Abdul Karim Amarullah (ayah Buya Hamka), Zainuddin Labai al-Yunusi dan para pemimpin organisasi Thawalib di Sumatera;



2.



Syekh Ahmad Soerkati dari Al-Irsyad;



3.



Haji Andul Halim dari Perserikatan Ulama Majalengka;



4.



Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadyah di Yogyakarta;



5.



Haji Ahmad Hasan dari Persis, di bandung;



6.



HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Muhammad Roem, Syafruddin Prawiranegara, dari Syarikat Islam;



7.



Syekh Tahir Jalaluddin, alumnus Al-Azhar, Cairo Mesir;



8.



Buya HAMKA, dan lain-lain (Deliar Noer, 1996 : 37). Dalam hal ini, Muhammad Natsir pernah menyatakan bahwa, Islam sesungguhnya bukan hanya merupakan system



agama saja,



tetapi Islam mencakup seluruh aspek



kehidupan, baik spiritual, politik, dan intelektual (Anwar Syafi’I, 1995 : 27) Jika para ulama memimpin ummat Islam di pesantren sekitar pedesaan, di lereng bukit, dan sebagainya, untuk meningkatkan kesadaran keagamaan atau melawan penjajah, maka para periode kedua ini, para pemimpin keagamaan melakukan pergerakan dan pembaharuan di perkotaan. Pada umumnya mereka menggunakan organisasi yang diadopsi dari Barat untuk melawan penjajah. Melalui organisasinya, mereka melakukan gerakan pembaharuan, sebagai berikut : 1.



Bidang da’wah : dengan ceramah, pengajian, da’wah, dan lain-lain;



2.



Bidang social : dengan menghimpun dana bagi dlu’afa, yatim-piatu, dan bencana alam;



3.



Bidang pendidikan : mendirikan sekolah formal dan madrasah formal, bukan hanya pesantren saja;



4.



Bidang politik : menuntut hak-hak rakyat dan menyadarkan mereka tentang arti penting sebuah bangsa dan Negara; Para apemimpin yang bergerak dalam bidang social kegamaan, memperoleh pengaruh pemikiran dan pembaharuan dari Mesir, terutama Muhamamd Abduh dan Rasyid ridla. Kelompok ini disebut pembaharu,



sehingga Indonesia seolah-olah mereproduksi



pembaharuan Mesir. Tetapi yang bergerak dalam bidang politik ada juga yang mengira dipengaruhi oleh Jamaluddin al-Afghani dari Mesir. Ada juga yang mengatakan pengaruh Muhammad Iqbal dari India. Bahkan ada juga yang menyatakan sebagai reaksi terhadap pemikiran Belanda. Tokoh-tokoh seperti



HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Muhammad



Natsir, memang alumnus pendidikan Belanda (Deliar Noer, 1996 : 118). Selain muncul golongan pembaharu dalam Islam di Indonesia, muncul juga organisasi tradisional yang terhimpun dalam Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi massa keagamaan ini didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah pada tahun 1926. Semula menggunakan pesantren sebagai basis kegiatan dan melestarikan tradisi lama, kemudian bergerak dalam bidang social keagamaan (Deliar Noer, 1996 : 243).



Dalam konteks social politik, kaum tradisionalis memiliki kesadaran yang sama dengan bentuk khalifah Umayyah dan Abasiyah. Hubungan antara ulama dan pemerintah berjalan dengan harmonis. Mereka relative tidak mempersoalkan, apakah bentuk Negara nya Islam atau bukan. Bagi mereka bentuk pemerintahan yang dzalim relatif lebih baik daripada tidak ada pemerintahan sama sekali. Ketiga, periode kabangkitan para intelektual



Muslim. Periode ini terjadi ketika peran



politisi intelektual Muslim dipertanyakan di hadapan kekuasaan sitem politik waktu itu (orde Baru). Hal ini dimulai sejak tahun 1970. Ditandai dengan munculnya beberapa literature yang mencoba mencermati secara sistematis perkembangan dunia intelektual Muslim Indonesia. Pada tahun 1980 sampai dengan 1990-an, marak penerbitan buku-buku keagamaan serta merebaknya buku-buku ke-Islam-an “intelektual” yang berbasisi pemikiran. Hal ini cukup berdampak pada perkembangan dunia intelektual Muslim. Kemudian juga merupakan



bagi respon yang menolak terhadap nilai-nilai cultural Barat yang menyertai



modernisasi. Bahkan ada yang menganggap bahwa Barat sebagai musuh peradaban. Namun, dalam



masa berikutnya, periode kebangkitan intelektual dan pembaharuan



Islam ini



memiliki berbagai corak pemikiran, yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1.



Neo-Modernisme, yakni faham pemikiran ke-Islaman yang diasumsikan menggabungkan dua aliran modernisme dan tradisionalisme (termasuk literature Barat modern dan klasik/salaf). Diantara tokoh yang terkenal adalah Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib (Bargon Greg, 1999 : 27);



2.



Sosialisme-Demokrat, yaitu gerakan pemikiran yang melihat kondisi social dan demokrasi sebagai unsur



pokok Islam. Tokoh-tokohnya : Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan



Kuntowijoyo (Musyrifah sunanto, 2005 : 313); 3.



Universalisme, gerakan pemikiran Islam yang memandang bahwa Islam merupakan ajaran universal, dengan obsesi Islam sebagai perangkat nilai alternative dari kemerosotan nilai-nilai Barat. Tokoh-tokohnya adalah : Amin Rais, Jalaluddin Rahmat, AM. Saefudin, dan lain-lain;



4.



Neo-Revivalis sering dianalogikan sebagai gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Di Indonesia variannya muncul dalam berbagai organisasi, seperti Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam (FPI), Hamas, dan Majlis Mujahidin. Meskipun mereka berbeda-beda, mereka secara



umum adalah kelompok yang “menjaga jarak” dengan peradaban Barat dan banyak hal yang berasal dari Barat. Barat dipersepsi sebagai musuh.



Maka simbol-simbol identitas dan



peradaban, senantiasa digunakan dalam kesadaran keberagamaannya, misalnya berjenggot, bersorban, dan lain-lain. Methodologinya, menjadikan al-Quran as-Sunnah, dan warisan generasi salaf (sahabat, tabi’in, dan tabi at-tabi’in) sebagai poros utama ajaranya. Pada umumnya, mereka menginginkan tegaknya kembali bentuk dan praktek keagamaan generasi salaf, baik dalam dimensi ritual, maupun dimensi social politik. Oleh karena itu, formulasi syariat Islam, khilafah Islamiyyah, dan puritanisasi menjadi agenda perjuangannya (Musyrifah Sunanto, 2005:313).



D.



Ciri-Ciri dan Tema Central Gerakan Pembaharuan Islam Gerakan pembaharuan dalam Islam, pada prinsipnya memiliki



kesamaan



dasar antara



gerakan pembaharuan yang satu dengan yang lainnya. Amien Rais (dalam John Donohue, 1995 : xii) menyebutkan beberapa persamaan sebagai berikut : 1.



Gerakan-gerakan itu, pada umumnya datang dari masyarakat muslim sendiri (gerakan kultural) dan terutama didorong oleh ajaran Islam sendiri. Jadi, bukan karena sentuhan dan desakan Barat, seperti difahami oleh sementara orang;



2.



Gerakan-gerakan itu pada dasarnya melakukan kritik terhadap sufisme yang cenderung menjauhi tugas-tugas manusia Muslim dalam pergumulan social di dunia nyata. Sufisme dianggap sebagai sebab terbesar, mengapa masyarakat muslim menjadi mandeg, stagnan, statis dan kehilangan etos dan kreativitas;



3.



Hampir semua gerakan pembaharuan dalam Islam, menekankan secara mutlak perlunya rekonstruksi social-moral dan sosio-etnik masyarakat Islam, agar sesuai atau paling tidak mendekati dengan ajaran Islam ideal. Islam histories, yakni Islam dalam praktek harus diretransformasikan menjadi Islam ideal;



4.



Semua gerakan pembaharuan Islam mengobarkan semangat ijtihad, yaitu mencurahkan segala kemampuan dan mengoptimalkan akal-pikiran untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat Islam, dengan referensi utama al-Quran dan as-Sunnah. Pelopor pembaharuan dalam Islam selalu mengingat kan bahwa, dengan menutup pintu ijtihad, maka kum muslimin akan mengalami kejumudan atau stagnasi berfikir. Hal ini



bertentangan dengan spirit alQuran dan al-hadits sendiri. Dengan kata lain, tanpa melakukan ijtihad, maka kaum muslimin akan menjadi ummat yang “anakronistik” di panggung sejarah dunia; 5.



Yang terakhir, pada umumnya gerakan-gerakanpembaharuan itu juga menggaris bahwahi pentingnya jihad dalam makna yang sebenarnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Jihad atau “badzlal- juhdi” adalah upaya untuk mengerahkan segenap dana dan daya ummat secara total untuk merealisasikan cita-cita pembaharuan.



Perbedaan Pengertian Pembaharuan Islam Diposkan oleh ZABAZ di20.04 KONTROVESRI PEMBAHARUAN DAN KEPENTINGANNYATERHADAP AJARAN ISLAMOLEH : DRS. IHSANSesungguhnya Allah akan membangkitkanBagi umat ini dalam tiap-tiap seratus tahunSeorang yang akan melakukan pembaharuan bagi agamanya (al Hadits)Pembaharuan atau Tajdid dalam bahasa keagamaan merupakan aktifitas dan kegiatan yangsangat alami, sesuatu yang sering dan mesti terjadi dalam kehidupan manusia, sebab kehidupanmanusia mempunyai permulaan dan penghabisan; Sesuatu yang telah berkembang akanmengalami perubahan, dan perubahan tersebut memerlukan upaya perbaikan untuk memperolehkinerja dan efektifitas bagi suatu ajaran itu sendiri dalam menyahuti perkembangan jaman.Tajdid berasal dari akar kata Arab “JADADA” yang dari kata tersebut terdapat kata “JADID”yang berarti baru. Dalam beberapa teks, kata-kata jadada mempunyai tiga pengertian yang berbeda tetapi mempunyai makna yang hampir sama, yaitu :· Jadid (Baru) artinya menjadikan sesuati itu baru.· Al Qath’u (Putus) artinya menjadikan sesuatu itu tidak lagi mempunyai hubungan.· Roj’i (Kembali) artinya menjadikan sesuatu kembali pada asal dan orisinalitasnya.Dalam beberapa kesempatan, Al Qur’an menggunakan terminologi Jadid/Tajdid untuk memberikan justifikasi atas kekuasaan Allah dan ketidak mampuan manusia atau bahkan ayattersebut dipakai untuk menguji ulang kekuasaan Allah yang untuk sementara diper-tanyakanoleh hamba-Nya dalam rangka memperkuat keimanannya, misalnya pada surat Al Isro 51, As-Saba’ 7, As- Sajdah 10 dan Qof 15. Oleh sebab itu Tajdid diperlukan dalam rangkameningkatkan keimanan dan memprbaharui keberagamaan itu sendiri.Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tajdid (pembaharuan) adalah proses untuk mengembalikan dan menjadikan sesuatu itu kembali kepada asalnya dalam rangka aktualisasiajaran itu sendiri. Dari pengertian tersebut dapat ditarik satu kesimpulan bahwa inti dari pembaharuan itu ada 3 (tiga), yaitu :· Eksistensi awal artinya terdapat ajaran yang dijadikan kerangka acuan yang orisinalitas dankebenarannya bersifat absolut.· Terdapat



penyimpangan dan kerusakan atau ketidakmampuan melakukan aktualisasi ajaran itusendiri, sehingga kehilangan daya tariknya.· Terdapat usaha untuk melakukan aktualisasi (menghidupkan) kembali konsep tersebut.



Disamping terminologi Tajdid (Pembaharuan), juga kita temukan teminologi lain yangsebenarnya mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda. Kata-kata tersebut digunakan untuk mengungkapkan proses reformulasi, pembentukan dan aplikasi ulang Islam sebagai sistemkehidupan dan sumber nilai kehidupan manusia. Reformasi atau pembaharuan tersebut ber-kembangan karena akumulasi sejarah kehidupan umat yang senantiasa dalam ketergantunganstruktural dan politik. Ketergantungan Struktural dan Politik pada jaman pertengahan melahirkansikap hidup yang pesimis, tidak progresif dan menggantungkan nasib hidupnya kepada kekuatanselain Allah; sikap hidup yang didominasi oleh Takhayyul, Bid’ah dan Khurofat menjadi sesuatuyang tidak terhindarkan.Sikap hidup yang kurang progresif tersebut nampaknya memberi dorongan terbesar bagi tum- buhnya budaya “Taklid”, menerima konsep dan ajaran tampa melakukan proses pengkajian dananalisa terlebih dahulu. Sikap hidup seperti itu rentan terhadap berkembangnya penyakit sosial- psykis lainnya. Maka dalam kurun waktu yang sangat lama, umat Islam tidak mampumelepaskan diri dari dominasi bangsa Barat sampai ketika muncul pemikir-pemikir Islam yangdikenal sebagai Reformis seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Bin Abd. Wahab (Wahabi),Muhammad Abduh, M. Rasyid Ridho, Jamaluddin Al Afghoni dll. Gerakan tersebut tenyatasangat efektif untuk menumbuhkan kesadaran beragama sekaligus melahirkan gerakan baru yangdisebut “Gerakan Kebangkitan Islam”.PEMBAHARUAN : PERLUKAH TERHADAP PROSES AKTUALISASI AJARAN ISLAMKetika pembaharuan pertama kali dikumandangkan oleh Ibnu Taimiyah dan berkembang pesatdi penjuru dunia, sebagian orang beranggapan bahwa program tersebut hanya mimpi di siang bolong. Statemen tersebut lahir karena kehidupan umat Islam telah jatuh pada sikap hidup yangsangat naif dan sufistis. Hidup di jaman pertengahan bagi mereka tidak lagi memerlukan sisidunia tetapi sisi keahiratan, bahkan berfikir dalam Islam pada waktu itu telah diharamkan seiringdengan mundurnya tradisi berfikir di dunia Islam.Untuk itu “Pintu Ijtihad” telah dinyatakan tertutup bagi umat Islam. Menurut hemat sayaStatemen tersebut merupakan pernyataan “Bodoh” yang pernah lahir dalam sejarah kehidupanmanusia. Belum pernah ada di dunia manapun seorang dilarang untuk berfikir dan berkaryakecuali di Dunia Islam pada waktu itu. Di satu pihak, kita



memang harus mempertanyakankeberadaan dan motif lahirnya pernyataan tersebut, tetapi barangkali hal tersebut muncul karenamereka memang tidak mempunyai kualifikasi berfikir sama sekali atau diadakan untuk mem- berangus tradisi bid’ah atau bahkan yang paling menyedihkan jika hal tersebut dimunculkanuntuk menyumbat tradisi berfikir dikalangan umat Islam.Apapun motif lahirnya pernyataan tersebut, yang pasti bahwa umat islam telah mengidap penyakit yang sangat kronis dan perlu segera disembuhkan agar ia mampu berkembang dan tetapdapat berdiri dengan nilai dan kerangka acuan yang disepakatinya. Penyakit kronis yang sempatdiderita oleh umat Islam, sebagaimana yang disebutkan diatas (kebekuan berfikir/lemahnyatradisi keilmuan dan sikap hidup Taklid/tidak mempunyai pendirian, pengamalan agama yang banyak berasal dari bid’ah, takhayyul dan khurafat, ketergantungan struktural dan politik), perludiadakan atau dibangun dan dikembangkan format baru dunia Islam yang bebas dari TBC,ketergantungan struktural dan politik, kebekuan berfikir dan memulai kehidupan baru duniaIslam dengan sikap yang progresif, bebas dari ketergantungan struktural dan politik dan berkembangnya tradisi keilmuan Islam. Misalnya gerakan Muhyi Ats Tsaris salaf yangdikembangkan oleh Ibnu Taimiyah memberikan inspirasi kepada pakar Islam. Di saudi Arabiamuncul Muhammad Bin Abdul Wahab (Wahabi) dan di bumi Allah yang lain berkembanggerakan pembaharuan seperti di Mesir dan Indo-Pakistan. Muhammad Bin Abd wahab (Gerakan Wahabi) melakukan proses pembaharuan di Saudi Arabia.Gerakan wahabi ini memperoleh dukungan politik dari keluarga Ibnu Suud yang berupayamembangun kerajaan di Saudi Arabia. Menurut sejarawan, bahwa keberhasilan gerakan pembaharuan di Saudi Arabia sangat ditentukan oleh kolaborasi antara dua kepentingan tersebut,kepentingan agama dan politik.Gerakan Wahabi adalah gerakan puritanisasi yaitu pemurnian kembali ajaran Islam dari unsur-unsur bid’ah artinya lebih mengarah pada aspek ubudiyah dan konsep keyakinan. Gerakantersebut kemudian menyebar kepenjuru dunia lewat pegualatan keilmuan Islam dan per-singgungan beberapa umat Islam dengan umat Islam lainnya lewat perjalanan Ibadah Haji,sedangkan gagasan pembaharuan di Pakistan dan Mesir yang lebih menitik beratkan pada pembangunan kembali pola berfikir dan tradisi keilmuan di dunia Islam, berkembangan ke- penjuru dunia melalui media cetak Al Manar.Bagaimanapun bentuk dan modelnya, pembaharuan sang diperlukan untuk revitalisasi umatIslam dan membangun kembali semangat keberagamaan yang selama ini hilang akibatketidakmampuan umat mengkaji dan memahami agamanya, terutama sisi keilmuan dansemangat berfikirnya.MODERNISASI : SEBUAH TAWARAN UNTUK



PEMBERDAYAAN UMAT ISLAMModernisasi adalah sebuah program aksi untuk memberdayakan umat Islam agar dapat ber-kembang mengiukuti alur zaman. Program tersebut tidak berarti menjadikan Islam sebagaisumber nilai yang harus mengikuti perkembangan zaman itu sendiri, akan tetapi lebih me-rupakan usaha untuk mengkaji sumber nilai tersebut agar dapat memberi warna.Menurut Dr. Harun Nasution, modernisasi (Modern/Modernisme) adalalah pikiran, aliran, usahadan gerakan untuk mengubah paham, adat istiadat, institusi lama dsb sesuai dengan pendapat dankeadaan yang berkembang akibat kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi. Sedangkanmenurut Encyclopedia Americana V : 284, modernisasi adalah keseluruhan visi di dalam agamayang didasarkan pada keyakinan bawa ajaran agama perlu ditafsirkan dengan pemahamanfilsafat dan ilmiyah populer agar sesuai dengan kemujuan jaman dan budaya kontemporer.Perkembangan jaman akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong terjadinya perubahan prilaku manusia terutama dalam menanggapi persoalan hidup mereka. Orientasi hidupmereka menjadi demikian rasional dan segala sesuatu nampaknya ingin selalu dapat dibuktikandengan formatformat keilmuan.Apapun bentuk dari tawaran tersebut, Agama yang selama ini hanya dijalani dengan pe-ngerahanketaatan dan kepasrahan optimal menjadi tidak relevan dihadapan masyarakat yang hanyamenonjolkan sisi rasionalitasnya saja. Cerita Goib yang selama ini hanya membutuhkan pengimanan tampa pertanyaan balik menjadi tidak populer dikalangan manusia terpelajar danrasional.Sebagai umat beragama, fenomeno sosial tersebut membuat kita harus mengkaji ulang dansekaligus bertanya ; Sudah sedemikiankah kondisi obyektif masyarakat kita !, Sudah hilangkankemampuan agama dalam mensuport dan mempengaruhi pemeluknya ! Maka mau atau tidak mau nampaknya kita harus melakukan “Modernisasi”. Modernisasi dalam pengertian yangseluas-luasnya bukan modernisasi karena suatu desakan yang temporer saja. Ada beberapa alasanyang dapat kita kemukakan untuk menjadikan modernisasi sebagai alternatif, yaitu :1. Perkembangan dan kemajuan jaman ternyata telah memicu perubahan mendasar terhadaporientasi dan tujuan hidup manusia.



Perbedaan ilmu kalam



Rate This



BAB I PENDAHULUAN Gerakan pembaharuan Islam (Study Tokoh, aliran kalam modern)



Berbicara mengenai pembaharuan dalam pemikiran Islam, maka akan timbul sebuah pertentangan yang terjadi antara dua generasi yang berbeda. Kedua generasi tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh A.Ghibson Al-Busthami sewaktu menjadi narasumber dalam dialog Publik (senin, 10/05/10) dikategorikan menjadi : kaum konservatif-tradisionalis (kaum tua) dan kaum rasionalis-modernis (kaum muda). Kata-kata kaum tua dan muda, penulis sandarkan dalam hal pemikirannya. Proses pemikiran jumud, yang hanya terpaku pada teks-teks normativitas saja mengindikasikan adanya sebuah pemikiran yang hanya “nrimo” apa adanya, tanpa mau mengembangkan potensi akalnya untuk memeperdalam keilmuan Islam yang ada. Sehingga, jika hanya seperti itu yang kita lakukan, pada akhirnya kita hanya terpaku pada aspek ritualitas saja dan cenderung melupakan aspek yang lainnya, baik aspek intelektual dan aspek sosial. Beda halnya, dengan mereka yang mau memanfaatkan potensi akalnya, kemudian senanatiasa diiringi dengan landasan normativitas yang kuat (baik Al-qur’an maupun sunnah), akan lebih bersifat “legowo” terhadap pemikiran yang ada dan berbeda dengannya. Alhasil, kalau kita demikian, sifat parokial, picik, berwawasan sempit, dan merasa diri paling benar akan mudah untuk diminimalisasikan dalam diri kita. Satu hal yang harus kita ingat ialah bahwa, sikap apatis terhadap perbedaan yang ada, akan mengantarkan pada sebuah ikhtilaf, ilhtilaf yang menurut penulis akan mengantarkan pada sebuah firqah. Jalaluddin Rakhmat, dalam bukunya Islam Aktual, menulis sebuah refleksi dengan judul “benarkah perpecahan itu takdir?” dalam tulisan tersebut Jalaluddin mengkritisi keadaan Umat Islam dewasa ini, yang hanya terpaku pada masalah ritualitas saja, mempertentangkan perbedaan pemahaman dalam aspek ritual dan melupakan aspek sosial yang justeru sebenarnya aspek sosial ini mempunyai problematika yang lebih kompleks. Apa penyebabnya? Jawabnya ialah karena Umat Islam belum mampu bersikap terbuka (keterbukaan makna) dan mempertahankan ketertutupan yang menurut Alvin Toffler dikenal sebagai peradaban yang sekarat. Pakar komunikasi ini mencoba membuka pemahaman Umat dengan meyentuh kepekaan mereka terhadap problematika sosial yang ada. Sebenarnya, dengan kepatuhan mereka secara formalitas, kita bisa melihat bahwasnya mereka patuh secara ritual, tapi cenderung kurang menampakkan ukhuwah Islamiah di antara mereka. Walhasil, firqah yang ada bukan berkurang, melainkan semakin bertambah dan mencapai titik akut yang mengkhawatirkan.



kemudian, Prof. M. Amin Abdullah dalam bukunya Islamic Studies, telaah interkonektifinterogatif di Perguruan Tinggi, mengkritisi kembali permasalahan yang ada di kalangan Umat Islam. Tulisannya, yang banyak dipengaruhi oelh pemikir-pemikir Islam seperti Hasan Hanafi, Fazlur Rahman dan yang lainnya, mencoba mengungkap tabir permasalahan Umat saat ini yang tengah melembaga. Saat ini, menurut Amin Abdullah mayoritas Umat hanya berkutat pada aspek normativitas saja, penafsiran-penafsiran yang kemudian telah dilakukan oleh ulama-ulama klasik terdahulu diterima begitu saja tanapa ada proses berfikir yang mendalam. Sehingga pada akhirnya, tidak ada proses kritis-solutif dalam perkembangannya. Lantas apa penyebabnya? Penyebabnya ialah Umat Islam belum mampu melihat aspek historisitas yang ada dalam tubuh kita. Romantisme sejarah kejayaan Islam dahulu, kemudian konteks pemahaman yang tercipta belum bisa terjamah oleh sebagian besar Umat Islam sekarang. Sama halnya dengan Jalaluddin, Amin Abdullah juga menyayangkan sikap apatis Umat terhadap permasalahan sosial yang terjadi. Mereka cenderung memaksakan kehendak tanpa mau memberikan suatu pencerahan. Sikap doktrinal yang ditampakan menjadi isyarat ketertutupan makna secara intelektual. Ia pun mencoba menyentuh kawasan intelektual Umat dengan memberikan sebuah proses kritik bepikir terhadap pemahaman Islam yang parsial. Islam parsial yang menurut Abuddin Nata merupakan sebuah pemahaman yang parsi/tidak utuh terhadap Islam, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan sikap rasa diri paling relevan dan paling benar. Beda halnya dengan Islam universalitik, yakni Islam yang akan mampu menampakan keIslaman yang universal. Sehingga, Islam yang rahmatan lil alamin benarbenar bisa teraktualisasikan. Kemudian, Hasan Hanafi dalam konsep pemikirannya yang tertuang dalam Kiri Islam, antara Modernisme dan Post-Modernisme mencoba memberikan penjelasan kepada kita tentang konsep pemikiran pembaharuan Islam, yang mana Hasan Hanafi merupakan seorang pakar hukum Islam dan seorang guru besar filsafat. Sudah tentu konsep pemikirannya pun banyak dipengaruhi oelh kondisi atau upaya penegakan hukum Islam. Abdurrahman Wahid, atau yang akrab dipanggil Gus Dur, mencoba memberikan kejelasan kepada kita tentang pemikiran Hasan Hanafi. Yang mana, Gus Dur memandang universalitas pemikiran Hasan Hanafi melalui dua pendekatan. Pertama, dapat kita lihat dengan upaya pengintegrasian wawasan kehidupan kaum muslimin ke dalam upaya penegakan martabat individual untuk menegakan kedaulatan hukum, HAM, kultural ekonomis dan politis. Kedua, pendekatan secara epistemologi ilmu pengetahuan Islam. Kembali kita lihat bahwasanya,



pemikiran Hasan Hanafi dilatarbelakangi oleh imperialisme barat, dan upaya pengangkatan martabat manusia (dalam hal ini aspek sosial masyarakat). Tentunya, dengan munculnya kondisi Umat yang seperti itu, jumud dalam berfikir, tak ada keinginan untuk mengkritisi, dan cenderung bersikap taqlid terhadap hukum yang ada tanpa mau mengembangkan potensinya tersebut, menyebabkan betmunculan para pemikir-pemikir Islam, pembaharu-pembaharu kehidupan kaum muslimin dalam berbagai aspek kehidupan, tidak hanya rirual saja, tapi juga aspek intelektual dan sosial. Upaya i’adatul Islam (pengembalian romantisme sejarah Islam) menjadi kentara dilakukan. Banyak tokoh-tokoh Islam yang senantiasa menggali potensinya untuk mengembalikan kejayaan Islam dalam berbagai aspek kehidupan. upaya-upaya seperti revolusioner, reformis, modernis, dan lain hal sebagainya gencar dilakukan, hal ini tiada lain sebagai upaya i’adatul Islam tersebut. Munculnya gerakan wahabi, menjadi titik awal kemunculan pembaharuan tersebut. Kemudian tokoh-tokoh seperti Jamaluddin Al-afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Muhammad Iqbal, Imam Khoemenei, Ali Syariati, Naquib Alatas, Ahmad Khan, Hasan Hanafi dll, muncul sebagai gerakan pembaharu yang banyak mempengaruhi gerakan-gerakan keIslaman di negara-negara Islam lainnya. Seperti di Turki, India, Malaysia, bahkan sampai ke Indonesia. Pada perkembangannya, gerakan-gerakan pemabaharu ini didukung oleh beberapa motif yang menyebabkan terjadinya gerakan tersebut, motif-motif tersebut muncul baik dari segi interna maupun eksternal. Dan motif eksternal yang paling terasa ialah gerakan imperialisme yang digencarkan oleh barat. Pada kesempatan ini pembicaraan mengenai modernisme dalam Islam, khususnya aliran kalam modern akan kita batasi pada tiga tokoh besar yakni M.Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan M.Iqbal. yang mana ketiga tokoh ini dalam hal pemikirannya mempengaruhi pemikiran Umat Islam di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia sendiri muncul Harun Nasution, Amin Abdullah, Jalaluddin Rakhmat yang penulis pandang pemikiran-pemikirannya banyak terpengaruh oleh gerakan-gerakan pembaharuan tersebut di atas. Dan mungkin kelak, akan muncul pula gerakan-gerakan pembaharuan yang lain. Bukankah dalam sebuah hadits dikatakan bahwa setiap seratus tahun akan muncul seorang tokoh pembaharu dalam Islam? BAB II



PEMBAHASAN MASALAH 1. 1. Sebuah PengantarOrang yang bijak adalah ia yang tahu bahwa dirinya tidak tahu… -si dukun gagasan, SocratesIlmu kalam, merupakan sebuah disiplin ilmu yang senantiasa mempergulatkan antara otoritas wahyu Tuhan dan potensi Aqliyah. Kemunculan ilmu tersebut ditopang dengan adanya permasalahn politis-teologis di kalangan Umat Islam dahulu. Munculnya gerakan atau yang lebih pas penulis sebut sebagai sekte aliran kalam menjadi parameter keberagaman Umat Islam dalam hal pemahaman makna. Kesamaan pedoman yang kuat sebagai konsepsi keilmuan Umat menjadi jaminan bahwasanya Umat Islam akan kuat secara konsepsi bilamana ia mampu mengaktualkan konsepsi tersebut. Sama secara konsepsi tapi beda secara pemahaman adalah sesuatu yang lumrah, wajar dan memang harusnya begitu. Setiap orang dianugerahi akal oleh Tuhan untuk dikembangkan sehingga ada proses kritik-solutif dalam kehidupannya terhadap apapun. Begitupun dalam ilmu kalam, mencari keyakinan tentang ketuhanan dan diperkuat dengan argumentasi akal menjadi penyokong utama dalam disiplin ilmu ini. Seperti yang telah penulis katakan bahwasanya, Umat Islam senantiasa akan berbeda pemahaman dalam menafsirkan konsepsi yang ada. Perbedaan itu indah, tapi tidak akan indah lagi jikalau perbedaan itu diikuti oleh upaya memaksakan pemahaman terhadap yang lain. Munculnya sikap merasa paling benar, dan mudah menjudge pemahaman orang lain salah menandakan kedangkalan pengetahuannya. Sehingga, pada akhirnya dengan sikap seperti itu cenderung menjustifikasi kesalahan orang lain dan senantiasa memaksakan kehendak dirinya. Bukankah Allah mengatakan dalam firman-Nya bahwa di atas orang pandai masih ada yang maha pandai. Sebagaimana dalam Q.s Yusuf ayat 72. Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwasanya, janganlah kita merasa diri paling benar, paling bisa dan paling segalanya di banding dengan yang lainnya. Jikalau kita demikian, akibatnya akan senantiasa muncul sebuah ikhtilaf yang mengantarkan pada firqah di kalangan Umat Islam. Bukankah dalam hal apapun kewajiban kita sebagai Umat yang mempunyai pemahaman yang berbeda dengan yang lain hanyalah menyampaikan. Banyak ayat-ayat yang berkenaan dengan dakwah mengatakan hal demikian. Jika kita memaksakan maka akan



muncul tradisi salinng mengkafirkan, saling menyesatkan di kalangan Umat Islam dengan adanya pemahaman yang berbeda. Keadaan Umat Islam seperti di atas, yang cenderung hanya mau menerima hukum apa adanya, tidak ada prose pengkritisian, tak mau mengembangkan potensi akalnya mennyebabkan lahirnya gerakan-gerakan pemabahruan dalam Islam, gerakan pemabaharu yang tidak hanya mencoba mendobrak pemikiran Umat Islam secara intelektual tapi juga mendobrak aspek sosial dengan gerakan-gerakan yang tercipta dalam bidang sosial. Dan hal ini sukses dilakukan dengan muncuylnya pemikir-pemikir Islam yang tidak hanya memikirkan Umat secara intelektual saja tapi juga secara sosial. Muhammad Abduh muncul dengan konsepsi pembaharuannya yang signifikan dalam Umat, ketertarikannya pada pendidikan menjadi tanda bahwa pembaharuan yang ia lakukan berlangsung secara intelektual-sosial. Kemudian Muhammad Iqbal juga muncul dengan gerakan intelektual-politik, yang mana ia tercatat mampu membawa Pakistan keluar dari pemerintahan India dan mampu mendirikan sebauh Republik Islam pakistan. Begitu juga dengan Ahmad Khan. Dan masih banyak gerakan-gerakan reformis, gerakan-gerakan modernis dan gerakan lainnya yang mulai menjamah konsepsi pemikiran Umat Islam, sehingga pada akhirnya Islam tidak hanya bersifat parsialis, tapi benar-benar universalis. Pada perkembangan selanjutnya, ketiga tokoh yang disebutkan di atas, dipandang sebagai gerakan pembaharu yang banyak mempengaruhi perjuangan Umat Islam di berbagai negara Islam. Selain itu, ketiga tokoh ini pun dipandang sebagai aliran modernisme dalam ilmu kalam. 1. 2. Aliran-aliran Modern Ilmu Kalam 2. A. Gerakan Muhammad Abduh (1849-1905) Riwayat hidup Muhammad Abduh lahir pada tahun 1266.H atau 1849.M disebuah distrik bernama sibsyir kota mahallah nasr dari profinsi bakhirhah,Mesir. Dari keluarga berperekonomian menengah yang berprofesi sebagai petani. Beliau belajar Al-quran di rumah ayahnya saat beliau berusia10 tahun. Dan selesai menghafalnya setelah dua tahun. Kemudian ayahnya mengutus



beliu ke profinsi thonto guna memperbaiki bacaan tajwid disebuah sekolah al-quran bernama al-jamie al-ahmadi. Diusianya yang masih remaja Muhammad Abduh dikenal sebagai anak yang tekun dan semangat dalam menuntut ilmu. Hal ini terlihat dari hasil gemilang yang kerap ia peroleh. Kemudian beliau pindah ke Universitas Al-Azhar pada pertengahan syawal 1282.H atau 1862.M guna melanjutkan jenjang pendidikan. Beliau slalu konsisten dan istiqomah menuntut ilmu dari guru-gurunya (suyukh). Hingga ia bertemu dengan Sayyid Syaid Jamaluddin AlAfghani pada bulan muharram 1287.H. yang darinya beliau banyak belajar berbagai macam ilmu:ilmu riyadi,filsafat,dan ilmu kalam. Keterikatan beliau dan Jamaluddin Al-Afghani sangatlah erat. Sehingga dalam waktu singkat dampak pemikiran Jamaladdin Al-Afghani tampak jelas pada diri Muhammad Abduh. Banyak buku yang telah dibaca dan dikuasai. Kemudian beliau mulai menulis dan menerbitkan buku. Beliau banyak menulis dalam ilmu mantiq dan ilmu kalam. Ulasan dan pembahasan yang sistematis sampai beberapa mahasiswa memujinya dangan ungkapan: tak pernah sebelumnya aku membaca yang sehebat ini. Sejak itu beliau mulai terkenal. Terlebih setelah beliau mendapatkan sahadah alamiyah dari AlAzhar pada tahun 1294 H atau 1877 M. Selanjutnya beliu mengajar dibeberapa sekolah. Pada tahun 1300 H atau 1882 M beliau dideportasi karena dianggap terlibat dalam revolusi arab. Kemudian beliau berdiam di syam. Ditengah masa pengasingannya beliau sempat tinggal di Paris selama sepuluh bulan hingga menerbitkan sebuah jurnal urwatul wusqa bersama guru beliau Jamaluddin Al-Afghani. Beliau kembali ke Mesir pada tahun 1307 H atau 1889 M dan diangkat menjadi anggota Majlis idaroh Al-Azhar. Kemudian mendapat kedudukan sebagai mufti mesir pada tahun 1317 H atau 1899 M. Metode Muhammad Abduh dalam pembaharuan Dalam melakukan perbaikan Muhammad Abduh memandang bahwa suatu perbaikan tidaklah selamanya datang melalui revolusi atau cara serupa. Seperti halnya perubahan sesuatu secara cepat dan drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui perbaikan metode pemikiran pada Umat Islam. Melaui pendidikan,pembelajaran,dan perbaikan akhlaq. Juga dengan pembentukan masyarakat yang berbudaya dan berfikir yang bisa melakukan pembaharuan dalam agamanya. Sehingga dengannya akan tercipta rasa aman dan keteguhan dalam menjalankan



agama Islam. Muhammad Abduh menilai bahwa cara ini akan membutuhkan waktu lebih panjang dan lebih rumit. Akan tetapi memberikan dampak perbaikan yang lebih besar dibanding melalui politik dan perubahan secara besar-besaran dalam mewujudkan suatu kebangkitan dan kemajuan. Sebagaimana telah didefinisikan bahwa pembaharuan(tajdid) adalah kebangkitan dan penghidupan kembali dalam bidang keilmuan Islam dan aplikasi sebagaimana pada zaman Rasullullah dan para sahabat. Yang selama ini sempat hilang,terlupakan,bahkan terhapus dari tubuh Umat Islam. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Muhammad Abduh bahwa metodenya dalam perbaikan adalah jalan tengah (al-man’haj al-wusto). Dalam hal ini beliau membagi Umat Islam kepada 2 bagian yaitu: 1.mereka yang condong kepada ilmu-ilmu agama dan apa yang berhubungan dengan itu semua. Mereka itu yang biasa disebut al-muqallid. 2.mereka yang condong pada ilmu-ilmu dunia. Yang silau dan kagum akan barat serta berbagai disiplin ilmu yang dimiliki,dan kemajuannya dalam bidang materi. Metode dalam pembaharuan yang digunakan oleh Muhammad Abduh adalah mengambil jalan tengah antara kedua kelompok diatas. Menyeimbangkan antara kedua jalan tersebut. Yaitu antara kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid dan mereka yang berlebihan dalam mengikuti barat baik itu pada budaya dan disiplin ilmu yang mereka miliki. Sebagaimana yang diungkapan oleh Muhammad Abduh dalam metode pembaharuannya: “sesengguhnya aku menyeru kepada kebebasan berfikir dari ikatan belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana salaful ummat terdahulu”. Yang dimaksud dengan salaful Umat di sini adalah kembali kepada sumber-sumber yang asli yaitu al-qur’an dan al-hadist sebagaimana yang dipraktikkan oleh para salafus shaleh terdahulu. Di antara ide-ide pemikiran pembaharuan Muhammad abduh ialah : 1. Penghapusan paham jumud yang berkembang di dunia Islam saat itu 2. Pembukaan pintu ijtihad sebagai dasar yang penting dalam menginterpretasikan kembali ajaran Islam 3. Kekuasaan negara harus dibatasi konstitusi yang telah dibuat negara bersangkutan



4. Memodernisasikan sistem pendidikan Islam di Al-azhar, dan salah satunya dengan memasukan mata kuliah filsafat. Dampak pemikiran Muhammad Abduh dalam pemikiran Islam kontemporer Mohammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran Islam.Ide-idenya yang cemerlang,meninggalkan dampak yang besar dalam tubuh pemikiran Umat Islam.beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada manusia. Walau guru beliau Jamal Al-Afghani adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya,akan tetapi Imam Muhammad Abduh sebagai mana diungkapkan Doktor.Mohammad Imarah,adalah seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan reformasi atau sekolah pemikiran modern. Melebihi guru beliu Jamaluddin Al-Afghani. Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang beliau lakukan diantaranya: 1.Reformasi pendidikan Mohammad Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna menyelamatkan masyarakat mesir. menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim yang shaleh. 2.mendirikan lembaga dan yayasan sosial. Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya perbaikan pendidikan dan Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga mendirikan beberapa lembaga-lembaga sosial. Diantaranya: Jami’ah khairiyah Islamiyah,jami’ah ihya al-ulum al-arabiyah,dan juga jami’ah at-taqorrub baina al-adyan. 3.mendirikan sekolah pemikiran. Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran Islam dan kebangkitan akal Umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang sedang dengan gencar menyerang Umat muslim saat ini.



Pemikirannya tentang Akal dan Kebebasan Manusia Dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada aqal. Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada aqal daripada Mu’tazilah. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 57] Menurut Muhammad Abduh, aqal dapat mengetahui hal-hal berikut ini: 1. Tuhan dan sifat-sifat-Nya. 2. Keberadaan hidup di akhirat. 3. Kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat. 4. Kewajiban manusia mengenal Tuhan. 5. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat. 6. Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu. Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan aqal di atas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (almu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi aqal manusia. Wahyu, katanya, menolong aqal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat; mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya; menyempurnakan pengetahuan aqal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya; dan mengetahui cara beribadah serta bersyukur kepada Tuhan. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 58-61] Dengan demikian, wahyu bagi Muhammad Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan aqal dan informasi. Lebih jauh, Muhammad Abduh memandang bahwa menggunakan aqal merupakan salah satu dasar Islam. Iman



seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada aqal. Islam, katanya, adalah agama yang pertama kali ‘mempersaudarakan’ antara aqal dan agama. Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan aqal. Kemudian dia beranggapan bahwa wahyu yang dibawa Nabi tidak mungkin bertentangan dengan aqal. Kalau ternyata antara keduanya terdapat pertentangan, menurutnya, terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi, sehingga diperlukan interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaian. Kebebasan Manusia Dalam paham Ahlus Sunnah, manusia bebas untuk memilih, namun Allah yang menciptakan/mewujudkan perbuatan manusia. Ada pun dalam paham Mu’tazilah dan Qodariyah, manusia bebas untuk memilih dan manusia pula yang mewujudkan perbuatannya. Lalu bagaimana dengan Muhammad Abduh? Apakah ia cenderung kepada Ahlus Sunnah, atau justeru cenderung kepada Mu’tazilah? Bagi Muhamad abduh, di samping mempunyai daya fikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, maka ia bukan manusia lagi, tetapi makhluq lain. Manusia dengan aqalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 65] Sungguh mirip paham mu’tazilah. Karena yaqin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat muthlaq. Tuhan telah membatasi kehendak muthlaq-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan (qudrah) kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Kehendak muthlaq Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnatullah yang telah ditetapkan-Nya. Di dalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnatullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 75 dan 77] Muhammad Abduh sefaham dengan Mu’tazilah yang beranggapan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 80]



Wafatnya Muhammad Abduh Beliau wafat pada tanggal 11 juli 1905 di Alexandria.setelah banyak mewarisi peninggalan berharga bagi generasi selanjutnya. Pembaharuan dalam pemikiran keIslaman serta perbaikan dibidang politik dan ekonomi. 1. B. Muhammad Iqbal (1896-1939) Biografi Singkat M. Iqbal Iqbal dilahirkan di Sialkot-India (suatu kota tua bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan Kashmir) pada tanggal 9 November 1877/ 2 Dzulqa’dah 1294 , dan wafat pada tanggal 21 April 1938. Meski terlahir dari keluarga miskin, berkat kecerdasannya dalam memahami ilmu, bantuan beasiswa ia peroleh dari tingkat sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Iqbal pun mendapatkan pendidikan yang baik. Setelah pendidikan dasarnya selesai di Sialkot, ia masuk Government College (Sekolah Tinggi Pemerintah) Lahore. Iqbal tercatat sebagai murid kesayangan dari Sir Thomas Arnold. Iqbal lulus pada tahun 1897 dan mendapatkan dua medali emas karena kemampuannya yang baik dalam bahasa Inggris dan Arab, serta memperoleh beasiswa. Hingga pada tahun 1909, ia mendapatkan gelar master dalam bidang filsafat. Iqbal dilahirkan dari kalangan keluarga yang taat beribadah. Sejak kecil ia telah mendapatkan bimbingan langsung dari sang ayah, Sayyid Mohammad Noor dan Muhammad Rafiq kakeknya. Pendidikan dasar sampai tingkat menengah ia selesaikan di Sialkot untuk kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Lahore, di Cambridge-Inggris dan terakhir di Munich-Jerman dengan mengajukan tesis berjudul The Development Of Metaphysics in Persia. Sekembalinya dari Eropa tahun 1909 ia diangkat menjadi Guru Besar di Lahore dan sempat menjadi pengacara. Karya-karya Iqbal yang tercatat diantaranya adalah Bang-i-dara (Genta Lonceng), Payam-iMashriq (Pesan Dari Timur), Asrar-i-Khudi (Rahasia-rahasia Diri), Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia-rahasia Peniadaan Diri), Jawaid Nama (Kitab Keabadian), Zarb-i-Kalim (Pukulan Tongkat Nabi Musa), Pas Cheh Bayad Kard Aye Aqwam-i-Sharq (Apakah Yang Akan Kau Lakukan Wahai Rakyat Timur?), Musafir Nama, Bal-i-Jibril (Sayap Jibril), Armughan-iHejaz (Hadiah Dari Hijaz), Devlopment of Metaphyiscs in Persia, Lectures on the Reconstruction of Religius Thought in Islam -‘Ilm al-Iqtishâd, A Contibution to the History



of Muslim Philosopy, Zabur-i-‘Ajam (Taman Rahasia Baru), Khusal Khan Khattak, dan Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia Peniadaan Diri). Sebagai seorang pemikir, tentu tidak dapat sepenuhnya dikatakan bahwa gagasan-gagasannya tersebut lahir tanpa dipengaruhi oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Jika dilihat dari kondisi sosial politik di masanya, Iqbal hidup pada masa kekuasaan kolonial Inggris. Pada masa ini, pemikiran kaum muslimin di benua India sangat dipengaruhi oleh seorang tokoh religius, yaitu Syah Waliyullah Ad-Dahlawi dan Sayyid Ahmad Khan . Kecuali Ahmad Khan, Syah Waliyullah adalah pemikir muslim pertama yang menyadari bahwa kaum muslimin tengah menghadapi jaman modern yang di dalamnya ada tantangan serius dari Inggris mengenai masalah pemahaman Islam, terlebih ketika Dinasti Mughal terakhir di India mengalami kekalahan saat melawan Inggris pada tahun 1857, yang juga sangat mempengaruhi 41 tahun kekuasaan Imperium Inggris , dan bahkan pada tahun 1858 British East India Company dihapus dan Raja Inggris bertanggungjawab atas pemerintah imperium India . Pemikiran Muhammad Iqbal Menurut Dr. Syed Zafrullah Hasan dalam pengantar buku Metafisika Iqbal yang ditulis oleh Dr. Ishrat Hasan Enver, Iqbal memiliki beberapa pemikiran yang fundamental, yaitu intuisi, diri, dunia, dan Tuhan. Baginya, Iqbal sangat berpengaruh di India, bahkan pemikiran Muslim India dewasa ini tidak akan dapat dicapai tanpa mengkaji ide-idenya secara mendalam. Namun yang diketahui dan difahami oleh masyarakat dunia dengan bukti berupa literaturliteratur yang beredar luas, Iqbal adalah seorang negarawan, filosof dan sastrawan. Hal ini tidak sepenuhnya keliru karena memang gerakan-gerakan dan karya-karyanya mencerminkan hal itu. Dan jika dikaji, pemikiran-pemikirannya yang fundamental (intuisi, diri, dunia, dan Tuhan) itulah yang menggerakkan dirinya untuk berperan di India pada khususnya dan di belahan dunia timur ataupun barat pada umumnya, baik sebagai negarawan maupun sebagai agamawan. Karena itulah ia disebut sebagai Tokoh Multidimensional. Dengan latar belakang itu pula maka penulis akan memaparkan gagasan-gagasan Iqbal dalam dua hal, yaitu pemikirannya tentang politik dan tentang Islam. 1. Pemikiran Politik



Sepulangnya dari Eropa Iqbal terjun ke dunia politik, bahkan menjadi tulang punggung Partai Liga Muslim India. Ia terpilih menjadi anggota legislatif Punjab dan pada tahun 1930 terpilih sebagai Presiden Liga Muslim. Karir Iqbal semakin bersinar dan namanya pun semakin harum ketika dirinya diberi gelar ‘Sir’ oleh pemerintah Kerajaan Inggris di London atas usulan seorang wartawan Inggris yang aktif mengamati sepak terjang Iqbal di bidang intelektual dan politiknya. Gelar ini menunjukan pengakuan dari Kerajaan Inggris atas kemampuan intelektualitasnya dan memperkuat bargaining position politik perjuangan ummat Islam India pada saat itu. Ia juga dinobatkan sebagai Bapak Pakistan yang pada setiap tahunnya dirayakan oleh rakyat Pakistan dengan sebutan Iqbal Day. Pemikiran dan aktivitas Iqbal untuk mewujudkan Negara Islam ia tunjukkan sejak terpilih menjadi Presiden Liga Muslimin tahun 1930. Ia memandang bahwa tidaklah mungkin ummat Islam dapat bersatu dengan penuh persaudaraan dengan warga India yang memiliki keyakinan berbeda. Oleh karenanya ia berfikir bahwa kaum muslimin harus membentuk Negara sendiri. Ide ini ia lontarkan ke berbagai pihak melalui Liga Muslim dan mendapatkan dukungan kuat dari seorang politikus muslim yang sangat berpengaruh, yaitu Muhammad Ali Jinnah (yang mengakui bahwa gagasan Negara Pakistan adalah dari Iqbal) , bahkan didukung pula oleh mayoritas Hindu yang saat itu sedang dalam posisi terdesak saat menghadapi front melawan Inggris. Bagi Iqbal, dunia Islam seluruhnya merupakan satu keluarga yang terdiri atas republik-republik, dan Pakistan yang akan dibentuk menurutnya adalah salah satu republik itu. Sebagai seorang negarawan yang matang, tentu pandangan-pandangannya terhadap ancaman luar juga sangat tajam. Bagi Iqbal, budaya Barat adalah budaya imperialisme, materialisme, anti spiritual dan jauh dari norma insani. Karenanya ia sangat menentang pengaruh buruk budaya Barat. Dia yakin bahwa faktor terpenting bagi reformasi dalam diri manusia adalah jati dirinya. Dengan pemahamannya yang dilandasi di atas ajaran Islam itulah maka ia berjuang menumbuhkan rasa percaya diri terhadap ummat Islam dan identitas keIslamannya. Ummat Islam tidak boleh merasa rendah diri menghadapi budaya Barat. Dengan cara itu kaum muslimin dapat melepaskan diri dari belenggu imperialis. Sejalan dengan hal itu, Muhammad Asad mengingatkan bahwa imitasi yang dilakukan ummat Islam kepada Barat baik secara personal maupun sosial dikarenakan hilangnya kepercayaan diri, maka pasti akan menghambat dan menghancurkan peradaban Islam. Diantara paham Iqbal yang mampu ‘membangunkan’ kaum muslimin dari ‘tidurnya’ adalah “dinamisme Islam”, yaitu



dorongannya terhadap ummat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah menciptakan, maka Iqbal menyeru kepada ummat Islam agar bangun dan menciptakan dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia menyebut bahwa seolah-olah orang kafir yang aktif kreatif ‘lebih baik’ dari pada muslim yang ‘suka tidur’. Iqbal juga memiliki pandangan politik yang khas, yaitu gigih menentang nasionalisme yang mengedepankan sentimen etnis dan kesukuan (ras). Bagi dia, kepribadian manusia akan tumbuh dewasa dan matang di lingkungan yang bebas dan jauh dari sentimen nasionalisme. M. Natsir menyebutkan bahwa dalam ceramahnya yang berjudul Structure of Islam, Iqbal menunjukkan asas-asas suatu negara dengan ungkapannya : “Didalam agama Islam spiritual dan temporal, baka dan fana, bukanlah dua daerah yang terpisah, dan fitrah suatu perbuatan betapapun bersifat duniawi dalam kesannya ditentukan oleh sikap jiwa dari pelakunya. Akhir-akhirnya latar belakang ruhani yang tak kentara dari sesuatu perbuatan itulah yang menentukan watak dan sifat amal perbuatan itu. Suatu amal perbuatan ialah temporal (fana), atau duniawi, jika amal itu dilakukan dengan sikap yang terlepas dari kompleks kehidupan yang tak terbatas. Dalam agama Islam yang demikian itu adalah adalah seperti yang disebut orang “gereja” kalau dilihat dari satu sisi dan sebagai “negara” kalau dilihat dari sisi yang lain. Itulah maka tidak benar kalau gereja dan negara disebut sebagai dua faset atau dua belahan dari barang yang satu. Agama Islam adalah suatu realitet yang tak dapat dipecah-pecahkan seperti itu”. Demikian tegasnya prinsip Iqbal, maka ia berpandangan bahwa dalam Islam politik dan agama tidaklah dapat dipisahkan, bahwa negara dan agama adalah dua keseluruhan yang tidak terpisah. Dengan gerakan membangkitkan Khudi (pribadi; kepercayaan diri) inilah Iqbal dapat mendobrak semangat rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan yang dialami dewasa ini. Ia kembalikan semangat yang dulu dapat dirasakan kejayaannya oleh ummat Islam. Ujung dari konsep kepercayaan diri inilah yang pada akhirnya membawa Pakistan merdeka dan ia disebut sebagai Bapak Pakistan. 2. Pemikirannya Tentang Landasan Islam a. Pemikiran Tentang al-Qur’an



Sebagai seorang yang terdidik dalam keluarga yang kuat memegang prinsip Islam, Iqbal meyakini bahwa al-Qur’an adalah benar firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dengan pernyataannya “The Qur’an Is a book which emphazhise deed rather than idea” (alQur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun dia berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah undang-undang. Dia berpendapat bahwa penafsiran al-Qur’an dapat berkembang sesuai dengan perubahan jaman, dan pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan utama al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, jika al-Qur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah yang dituntut untuk mengembangkannya. Dalam istilah fiqh hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam pandangan Iqbal adalah sebagai prinsif gerak dalam struktur Islam. Disamping itu al-Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al-Qur’an tidak melarang untuk memperimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Akibat pemahaman yang kaku terhadap ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya. Iqbal juga mengeluh tentang ketidakmampuan masyarakat India dalam memahami al-Qur’an disebabkan tidak memahami bahasa arab dan telah salah mengimpor ide-ide India (Hindu) dan Yunani ke dalam Islam dan Al-Qur’an. Iqbal begitu terobsesi untuk menyadarkan ummat Islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun ummat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan legalitas kehidupan duniawi. Sedangkan kegagalan Kristen adalah dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan Negara, undang-undang dan organisasi disebabkan terlalu mementingkan segi ibadah ritual. Dalam kegagalan kedua agama tersebut, menurut Iqbal, al-Qur’an berada di tengah-tengah dan sama-sama mengajarkan keseimbangan kedua kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali. Inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya Negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.



Satu segi mengenai al-Qur’an yang patut dicatat adalah bahwa ia sangat menekankan pada aspek Hakikat yang bisa diamati. Tujuan al-Qur’an dalam pengamatan reflektif atas alam ini adalah untuk membangkitkan kesadaran pada manusia tentang alam yang dipandang sebagai sebuah symbol. Iqbal menyatakan hal ini seraya menyitir beberapa ayat, diantaranya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. (QS. 30:22) b. Pendapat tentang Al-Hadits Iqbal memandang bahwa ummat Islam perlu melakukan studi mendalam terhadap literatur hadits dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilainilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al-Qur’an. Iqbal sepakat dengan pendapat Syaikh Waliyullah tentang hadits, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya, Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh ummat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk ummat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadits yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadits-hadits pada jamannya belum dikumpulkan, karena Abu Malik dan Az-Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadits daripada koleksi belaka. c. Pandangannya Tentang Ijtihad Menurut Iqbal, ijtihad adalah “Exert with view to form an independent judgment on legal question” (bersungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang, baik hadits maupun al-Qur’an memang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut. Disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul sehingga melahirkan aneka ragam pendapat



(madzhâb). Sebagaimana mayoritas ulama, Iqbal membagi ijtihad ke dalam tiga tingkatan, yaitu : 1. Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhâb-mazhâb saja. 2. Otoritas relative yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhâb. 3. Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terkait pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhâb. Iqbal menggaris bawahi pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl al-sunnah, tetapi dalam kenyataannya dipungkiri sendiri sejak berdirinya mazhâb-mazhâb. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam suatu sistem hukum al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibat ketentuan ketatnya ijtihad ini, menjadikan hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang . Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajiankajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konsekuensinya, hukum Islam pun statis tidak berkembang selama beberapa abad. 1. C. Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) Riwayat Hidup Sayyid ahmad Khan Sayyid Ahmad Khan berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW melalui Fatimah dan Ali dan dia dilahirkan di Delhi pada tahun 1817 M. Nenek dari Syyaid Ahmad Khan adalah Syyid Hadi yang menjadi pembesar istana pada zaman Alamaghir II ( 17541759 ) dan dia sejak kecil mengenyam pendidikan tradisional dalam wilayah pengetahuan Agama dan belajar bahasa Arab dan juga pula belajar bahasa Persia. Ia adalah sosok orang



yang gemar membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan dia ketika berumur belasan tahun dia bekerja pada serikat India Timur. Bekerja pula sebagai Hakim, tetapi pada tahun 1846 ia kembali pulang ke kota kelahirannya Delhi. Di kota inilah dia gunakan waktunya dan kesempatannya untuk menimba ilmu serta bergaul dengan tokoh – tokoh , pemuka Agama dan sekaligus mempelajari serta melihat peninggalan – peninggalan kejayaan Islam, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan,Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin. Selama di Delhi Sayyid Ahmad Khan memulai untuk mengarang yang mana karyanya yang pertama adalah Asar As – Sanadid. Dan pada tahun 1855 dia pindah ( hijrah ) ke Bijnore, di tempat ini pula dia tetap mengarang buku – buku penting mengenai Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan di akibatkan politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan ( anarkis ) terhadap penduduk India. Ketika dia melihat keadaan masyarakat India kususnya Delhi, ia berfikir untuk meninggalkan India menuju Mesir, tetapi dia sadar dan terketuk hatinya harus memperjuangkan umat Islam India agar memjadi maju, maka ia berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan konflik, serta mejadi penolong orang Inggris dari pembunuhan, hingga di beri gelar Sir, tetapi ia menolaknya atas gelar yang di berikan tersebut. Pada tahun 1861 ia mendirikan sekolah Inggris di Muradabad, dan pada tahun 1878 ia juga mendirikan sekolah Mohammedan Angio Oriental College ( MAOC ) di Aligarh yamg merupakan karya yamg paling bersejarah dan berpengaruh untuk memajukan perkembangan dan kemajuan Islam di India. Ketika Inggris menginjakkan kakinya dan menancapkan benderanya di India, kemudian runtuhlah perbendaharaan Kerajaan Timur (diambil dari nama Timurlenk pendiri kedaulatan Mongol pada abad ke enambelas Masehi). Yang menjadi tujuan mereka adalah untuk melemahkan aqidah ummat Islam dan agar mereka (ummat Islam) menganut paham orangorang Inggris. Tujuan yang lain adalah untuk mempersempit kehidupan ummat Islam dengan mengadakan berbagai penekanan dan paksaan-paksaan. Dengan demikian maka ummat Islam tidak akan mengenal aqidah Islam yang sebenarnya dan akan melalaikan kewajibannya. Ketika para pemerintah lalim itu gagal memanfaatkan cara pertama, mereka mempergunakan cara yang kedua. Mereka mulai merencanakan untuk menghilangkan Agama Islam dari India, sebab mereka hanya takut menghadapi kaum muslimin yang kehilangan pemimpin dan hakhak mereka.



Maka datanglah seorang bernama Sayyid Ahmad Khan (gelar bangsawan di India) mendekati penjajah Inggris untuk meraih keuntungan. Mulai dia melangkah untuk meninggalkan agamanya (Islam) dan menganut agama yang dipeluk oleh bangsa Inggris. Ia mulai menulis sebuah buku dimana ia menyatakan bahwa Taurat dan Injil tidak pernah diubah-ubah oleh tangan manusia, untuk mendapatkan pangkat dari tangan penjajah. Orang Inggris tidak percaya kepadanya sehingga ia benar-benar menyatakan bahwa dirinya adalah “seorang Kristen”. Ia sadar bahwa usahanya yang hina ini sia-sia belaka dan ia tidak mampu mengubah agama penganut Islam kecuali beberapa orang saja. Maka ia memulai cara lain dalam pengabdiannya kepada pemerintah Inggris: dengan memecah belah persatuan ummat Islam. Ia memunculkan dirinya sebagai seorang naturalis ateis dan menyatakan bahwa tak ada sesuatu apapun kecuali alam (nature) dan bahwa alam ini tidak ada Tuhan yang menciptakan, Ia menyatakan bahwa semua Nabi adalah naturalis, tidak percaya kepada Tuhan yang membuat undang-undang. Pemerintah Inggris merasa bahagia dengan usahanya itu, dan melihat bahwa cara tersebut adalah yang paling baik untuk merusak hati kaum Muslimin. Mereka menghormati dan menjunjung Ahmad Khan dan membantu dia untuk mendirikan sekolah di Alighar dengan nama sekolah “Muhammadiyin”, sebagai perangkap untuk menghimpun pemuda-pemuda Mu’min dan dididik menurut pemikiran Ahmad Khan. Ahmad Khan juga menulis sebuah tafsir Al Qur’an, dimana ia banyak mengubah maksud yang sebenarnya. Ia menerbitkan majalah bernama Tahdzibul-Akhlaq yang isinya hanya membingungkan pikiran kaum Muslimin dan memecah belah mereka serta menyalakan api permusuhan antara ummat Islam India dan yang lain, khususnya warga kerajaan Ottoman. Secara terus terang ia menghilangkan seluruh agama yang ada, namun pada hakekatnya agama Islam, Ia mengajak manusia untuk kembali ke “alam”, dengan alasan bahwa bangsa Eropa tidak akan maju peradabannya dan tidak akan memiliki ilmu pengetahuan, kerendahan hati dan kekuatan yang begitu tinggi kecuali dengan membuang agama dan kembali kepada maksud agama yang sebenarnya, yaitu menyelidiki nature (alam). Itulah pendapatnya. Sistem penafsiran Ahmad Khan terhadap Al Qur’an didasarkan atas dasar nature (alam), yang menentang adanya Mu’jizat dan hal-hal yang ada diluar kebiasaan. Maka ia menyatakan bahwa “kenabian” adalah tujuan yang dapat diperoleh dengan jalan latihan jiwa (Riyadloh Nafsiyah), tujuan tersebut adalah alami dan manusiawi, dan caranya pun manusiawi tidak luar biasa. Namun demikian ia mengakui Muhammad sebagai penutup Risalah Ilahi.



Ketika menerangkan ayat tentang peperangan, ia melemahkan kewajiban jihad pada masa yang akan datang. Dan ayat yang berhubungan dengan Ahlul Kitab, ia tafsirkan bahwa tak ada jarak antara ahlul kitab dan ummat Islam. Ia mengajak kerja sama antara orang-orang Islam dan orang-orang Barat, ia mengajak kepada Humanisme Agama (yakni kemanusiaan yang dianjurkan oleh semua agama samawi). Dalam konsep tersebut tak ada perbedaan negara, bangsa, agama, dan paham. Dengan demikian Ahmad Khan memiliki jasa di bidang politik dan pendidikan disertai motivasi pembaharuan agama. (Al Bahiy, M, Dr. 1986:4-8). Sayyid Ahmad Khan yang kemudian dihujat dan dicap kafir oleh para ulama’ Makkah, beliau tidak langsung putus asa dalam memperjuangkan pendapatnya, bahkan beliau tidak menggubrisnya. Sementara menurut cendekiawan muda Muslim India, beliau diagungkan karena memiliki ide-ide yang cemerlang untuk membangkitkan ummat Islam India dari keterpurukan. Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa peningkatan kedudukan umat Islam India, dapat diwujudkan hanya dengan bekerja sama dengan Inggris. Inggris merupakan penguasa yang terkuat di India dan menentang kekuasaan, itu tidak akan membawa kebaikan bagi umat Islam India. Hal ini akan membuat mereka tetap mundur dan akhirnya akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindhu India. Jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan itu bukanlah bekerja sama dengan Hindu dalam menentang Inggris tetapi memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan Inggris. Ia berusaha meyakinkan pihak Inggris bahwa dalam pemberontakan 1857, umat Islam tidak memainkan peranan utama. Untuk itu Ia keluarkan pamflet yang mengandung penjelasan tentang hal-hal yang membawa pada pecahnya pemberontakan 1857. diantara sebab-sebab yang ia sebut adalah yang berikut: 1. Intervensi Inggris dalam soal keagamaan, seperti pendidikan agama Kristen yang diberikan kepada yatim piatu di panti-panti yang diasuh oleh orang Inggris, pembentukan sekolahsekolah misi Kristen, dan penghapusan pendidikan agama dari perguruan-perguruan tinggi. 2. Tidak turut sertanya orang-orang India, baik Islam maupun Hindu, dalam lembagalembaga perwakilan rakyat, hal yang membawa kepada:







· Rakyat India tidak mengetahui tujuan dan niat Inggris, mereka anggap Inggris datang untuk merobah agama mereka menjadi Kristen.







· Pemerintah Inggris tidak mengetahui keluhan-keluhan rakyat India.







· Pemerintah Inggris tidak berusaha mengikat tali persahabatan dengan rakyat India, sedang kestabilan dalam pemerintahan bergantung pada hubungan baik dengan rakyat. Sikap tidak menghargai dan tidak menghormati rakyat India, membawa kepada akibat yang tidak baik.



Atas usaha-usahanya dan atas sikap setia yang ia tunjukkan terhadap Inggris, Sayyid Ahmad Khan akhirnya berhasil dalam merobah pandangan Inggris terhadap umat Islam India. Dan sementara itu anjuran supaya jangan mengambil sikap melawan tetapi sikap berteman dan bersahabat dengan Inggris untuk menjalin hubungan baik antara orang Inggris dan umat Islam. Agar umat Islam dapat ditolong dari kemundurannya, telah dapat diwujudkan dimasa hidupnya. Diantara ide-ide yang cemerlang itu adalah sebagai berikut: 1. Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa peningkatan kedudukan ummat Islam India, dapat diwujudkan dengan hanya bekerjasama dengan Inggris. Inggris merupakan penguasa terkuat di India, dan menentang kekuasaan itu tidak membawa kebaikan bagi ummat Islam India. Hal ini akan membuat mereka tetap mundur dan akhirnya akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India. Disamping itu dasar ketinggian dan kekuatan barat, termasuk didalamnya Inggris, ialah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk dapat maju, ummat Islam harus pula menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Jalan yang harus ditempuh ummat Islam untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang diperlukan itu bukanlah kerjasama dengan Hindu dalam menentang Inggris tetapi memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan Inggris. Ia berusaha meyakinkan pihak Inggris bahwa dalam pemberontakan 1857, ummat Islam tidak memainkan peranan utama. Atas usahausahanya dan atas sikap setia yang ia tunjukkan terhadap Inggris. Sayyid Ahmad Khan akhirnya berhasil dalam merobah pandangan Ingris terhadap ummat Islam India. Dan sementara itu kepada ummat Islam ia anjurkan supaya jangan mengambil sikap melawan, tetapi sikap berteman dan bersahabat dengan inggris. Cita citanya untuk menjalani hubungan baik antara inggris dan umat islam, agar demikian ummat islam dapat di tolong dari kemunduranya ,telah dapat di wujudkan di masa hidupnya.



2. Sayid Ahmad Khan melihat bahwa ummat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Peradaban Islam klasik telah hilang dan telah timbul peradaban baru di barat. Dasar peradaban baru ini ialah ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi modern adalah hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu akal mendapat penghargaan tinggi bagi Sayyid Ahmad Khan. Tetapi sebagai orang Islam yang percaya kapada wahyu, ia berpendapat bahwa kekuatan akal bukan tidak terbatas. Karena ia percaya pada kekuatan dan kebebasan akal, sungguhpun mempunyai batas, ia percaya pada kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam menentukan kehendak dan melakukan perbuatan Alam, Sayyid Ahmad Khan selanjutnya, berjalan dan beredar sesuai dengan hukum alam yang telah ditentukan Tuhan itu. Segalanya dalam alam terjadi menurut hukum sebab akibat. Tetapi wujud semuanya tergantung pada sebab pertama (Tuhan). Kalau ada sesuatu yang putus hubungannya dengan sebab pertama, maka wujud sesuatu itu akan lenyap. 3. Sejalan dengan ide-ide diatas, ia menolak faham Taklid bahkan tidak segan-segan menyerang faham ini. Sumber ajaran Islam menurut pendapatnya hanyalah Al Qur’an dan Al Hadist. Pendapat ulama’ di masa lampau tidak mengikat bagi ummat Islam dan diantara pendapat mereka ada yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Pendapat serupa itu dapat ditinggalkan. Masyarakat manusia senantiasa mengalami perubahan dan oleh karena itu perlu diadakan ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan suasana masyarakat yang berobah itu. Dalam mengadakan ijtihad, ijma’ dan qiyas baginya tidak merupakan sumber ajaran Islam yang bersifat absolute. Hadits juga tidak semuanya diterimanya karena ada hadits buat-buatan. Hadits dapat ia terima sebagai sumber hanya setelah diadakan penelitian yang seksama tentang keasliannya. 4. Yang menjadi dasar bagi system perkawinan dalam Islam, menurut pendapatnya, adalah system monogamy, dan bukan system poligami sebagaimana telah dijelaskan oleh ulama’ulama’ dizaman itu. Poligami adalah pengecualian bagi system monogamy itu. Poligami tidak dianjurkan tetapi dibolehkan dalam kasus-kasus tertentu. Hukum pemotongan tangan bagi pencuri bukan suatu hukum yang wajib dilaksanakan, tetapi hanya merupakan hukum maksimal yang dijatuhkan dalam keadaan tertentu. Disamping hukum potong tangan terdapat hukum penjara bagi pencuri. Perbudakan yang disebut dalam Al Qur’an hanyalah terbatas pada hari-hari pertama dari perjuangan Islam. Sesudah jatuh dan menyerahnya kota Makkah, perbudakan tidak dibolehkan lagi dalam Islam. Tujuan sebenarnya dari do’a ialah merasakan



kehadiran Tuhan, dengan lain kata do’a diperlukan untuk urusan spiritual dan ketenteraman jiwa. Faham bahwa tujuan do’a adalah meminta sesuatu dari Tuhan dan bahwa Tuhan mengabulkan permintaan itu, ia tolak. Kebanyakan do’a, demikian ia menjelaskan, tidak pernah dikabulkan Tuhan. 5. Dalam ide politik, Sayyid Ahmad Khan, berpendapat bahwa ummat Islam merupakan satu ummat yang tidak dapat membentuk suatu Negara dengan ummat Hindu. Ummat Islam harus mempunyai Negara tersendiri,. Bersatu dengan ummat Hindu dalam satu Negara akan membuat minoritas Islam yang rendah kemajuannya, akan lenyap dalam mayoritas ummat Hindu yang lebih tinggi kemajuannya. Inilah pokok-pokok pemikiran Sayyid Ahmad Khan mengenai pembaharuan dalam Islam. Ide-ide yang dimajukannya banyak persamaannya dengan pemikiran Muhammad Abduh di Mesir. Kedua pemuka pembaharuan ini sama-sama memberi penghargaan tinggi kepada akal manusia, sama-sama menganut faham Qadariyah, sama-sama percaya kepada hukum alam ciptaan Tuhan, sama-sama menentang taklid, dan sama-sama membuka pintu ijtihad yang dianggap tertutup oleh ummat Islam pada umumnya diwaktu itu. D. Usaha-usaha yang dicapai oleh Sayyid Ahmad Khan. Sebagai telah tersebut diatas, jalan bagi ummat Islam India untuk melepaskan diri dari kemunduran dan selanjutnya mencapai kemajuan, ialah memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern Barat. Dan agar yang tersebut akhir ini dapat dicapai sikap mental ummat yang kurang percaya kepada kekuatan akal, kurang percaya pada kebebasan manusia dan kurang percaya pada kebebasan manusia dan kurang percaya pada adanya hukum alam, harus dirubah terlebih dahulu. Perubahan sikap mental itu ia usahakan melalui tulisan-tulisan dalam bentuk buku dan artikel-artikel dalam bentuk majalah Tahzib Al Akhlaq. Usaha melalui pendidikan juga ia tidak lupakan, bahkan pada akhirnya kedalam lapangan inilah ia curahkan perhatian dan pusatkan usahanya.Di tahun 1876 ia dirikan sekolah Inggris di Muradabad. Di tahun 1879 ia mendirikan sekolah Muhammedan Anglo Oriental College (MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang bersejarah dan berpengaruh dalam cita-citanya untuk memajukan ummat Islam India.



BAB III PENUTUP Semacam Analisa Dari uraian yang kami paparkan di atas, dapatlah kita sampai pada sebuah hipotesa yang mana penulis mengamati bahwa proses berpikir dan pemikiran ketiga tokoh di atas merupakan sebuah konstruksi berpikir yang mulai harus dikembangkan oleh Umat Islam dewasa ini. Otoritas wahyu akan senantiasa sejalan dengan perkembangan zaman yang ada manakala kita, sebagai Umat yang dianugerahi akal oleh Tuhan senantiasa mau mengambangkan potensi tersebut guna memperoleh sebuah kebenaran hakiki yang sejati. Kebenaran hakiki itu akan sampai kepada kita jikalau potensi tersebut senantiaasa kita gunakan adan senantiasa seiring dengan teks dan konreks yang tercipta dari zaman itu. jangan bersikap tertutup terhadap perkembangan yang ada. Akal mempunyai otoritas yang besar dalam menafsirkan teks-teks kehidupan. teks-teks kehidupan Umat Islam telah tertera dalam literatur kalam Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an. Gerakan pemabaharuan yang mereka lakukan terpengaruh oleh kondisi Umat saat itu, dimana saat itu hanya berpijak pada aspek-aspek normativitas saja, sehingga munculah kejumudan berpikir di kalangan Umat Islam. Mereka memandang bahwa pintu ijtihad bagi Umat Islam telah tertutup dan kita diharuskan untuk senantiasa taqlid terhadap penafsiran yang dilakukan oleh ulama-ulama klasik tempo dulu. Hal-hal seperti itu yang coba didobrak oleh tokoh kalam modern di atas, sehingga kelak Umat Islam mempunyai ghiroh yang tinggi dalam mengembangkan potensi akal yang dimilikinya. Proses pengkritikan yang bersifat solusi di kalangan Umat Islam saat ini tengah berkembang dan sejauh pengamatan penulis perkembangan yang terjadi saat ini seperti tersebut merupakan salah satu hasil dari gerakan pemabaharuan yang mereka lakukan. Selain itu, kami mencatat bahwasanya bagi mereka penafsiran Al-qur’an akan senantiasa sejalan dengan perkembangan yang zaman yang ada. Setiap orang adalah penafsir. Dan universalitas Islam akan tercipta manakala Islam senantiasa sesuai dengan perkembangan yang ada. Dan karenanya, akal sebagai sosok yang potensi Tuhan harus senantiasa dikembangkan. Banyak orang yang keliru dengan mengatakan bahwa pemabaharu semacam Abduh, Iqbal yang cebderung menggunakan rasionalitas berpikir, telah melupakan wahyu



dan otoritasnya. Padahal, penulis mempunyai penadangan bahwa setiap pemabaharu dan pemikir manapun tidak akan pernah bisa terlepas dari wahyu. Kami pun mencatat bahwasanya, gerakan pemikiran yang mereka kembangkan tidak hanya dalam tataran wacana saja, ada semacam nilai prakstisnya yang bisa mewujudkan pemikiranpemikiran yang mereka kembangkan. Semacam wadah pergerakan mereka. Gerakan sosialis Abduh mampu merealisasikan konsepsi pemikirannya. Abduh memandang bahwa gerakan pemabaharuan tidak hanya bisa dilakukan dengan sebuah revolusi negara saja, tapi juga melalui pendidikan yang seyogiannya mempunyai kontribusi yang besar bagi perkembangan Umat Islam. Dengan gerakannya sebagi pemabaharu konsepsi berpikir, budaya diskusi dan menulis telah digalakan olehnya. Selain itu, dengan di angkatnya Abduh sebagai Rektor AlAzhar memudahkan gerakan pemabaharuan yang dilakukannya. Ia memasukan mata kuliah Filsafat untuk mahasiswa-mahasiswanya. Hal ini dilakukan agar tidak ada kejumudan berpikir di kalangan Umat Islam. Beda halnya dengan Iqbal, ia cenderung bergerak di bidang politik. Baginya, untuk mengadakan perubahan di kalangan Umat Islam harus dimulai dengan sistem tata kelola pemerintahan yang ada. Pemikiran-pemikiran yang ia cetuskan bisa teraktualkan dengan gerakan-gerakan politik yang ia lakukan. Ia tercatat berhasil mendirikan pemerintahan Pakistan yang dulunya berada di bawah kenadali India. Gerakannya itu megantarkan semacam revolusi di kalangan Umat Islam dalam hal politik. Keduanya, baik Abduh maupun Iqbal sama-sama mengedepankan prosesi berpikir di kalangan Umat Islam. Potensi akal adalah sesuatu yang signifikan untuk perubahan Umat Islam. Bagi mereka pintu ijtihad akan senantiasa terbuka selama masih muncul problematikaproblematika di kalangan Umat Islam. Selama zaman masih berkembang akan muncul pula permasalahan-permasalahan lain di kalangan Umat Islam. Hal ini pula yang menjadi penilaian uamt Islam terhadap pemikirannya, mereka dikategorikan sebagai ulama rasionalis yang membawa faham rasionalisme dalam menafsirkan teks-teks. Tapi, perlu diingat, keberhasilan yang mereka lakukan sedikit banyaknya mempengaruhi perjuangan Umat Islam yang lainnnya yang bisa membawa perubahan di negaranya masingmasing. Banyak negara-negara Islam yang melakukan perubahan dengan terpengaruh oleh gerakan pembaharuan mereka. Terlebih di Indonesia, munculnya para pemikir rasionalis sebagaimana M. Amin Abdullah, Harun Nasution, Jalaluddin Rakhmat, Amien Rais, Gus Dur,



Azyumardi Azra dan tokoh-tokoh lainnya mengindikasikan peranan pemabaharuan yang mereka lakukan begitu kentara terasa. Berkembangnya filsafat di Indonesia juga merupakan salah satu dampak dari pembaharuan yang mereka lakukan. DAFTAR PUSTAKA Rakhmat, Jalaluddin. 1999. Islam Aktual. Bandung : Penerbit Mizan. ————————–. 1998. Islam Alternatif. Bandung : Penerbit Mizan. N.Abbas Wahid. 2006. Sejarah Kebudayaan Islam. Solo : PT.Tiga serangkai. Nasution, Harun. 1978. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional. Jakarta : UI Press. ——————-—. 2008. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jakarta : UI Press. Shimogaki, Kazuo. 2000. Kiri islam; antara modernisme dan Post-modernisme; telaah kritis Hasan Hanafi. Yogyakarta : LKIS Nata, abuddin. 2004. Metodologi Studi Islam. Jakarta : Rajawali Press. Asmuni, Yusran. 1998. Dirasah Islamiah III ( Studi Pemikiran dan gerakan Pembaharuan Islam). Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Prof. M. Amin Abdullah. 2008. Islamic Studies (telaah interkonektif-interogatif Di Perguruan Tinggi). Gibson Al-Bushtomi. 2010. Dialog Publik tentang “reinterpretasi-epistemik konsep wahyu memandu ilmu di lingkungan UIN”. Bandung, 10-15-2010. Ahmad Hasan Ridwan. 2010. Dialog Publik tentang “reinterpretasi-epistemik konsep wahyu memandu ilmu di lingkungan UIN”. Bandung, 10-15-2010. UKM LPIK. Kajian seputar Islamic Studies. 2010. Berbagai artikel dan sumber. Bandung, lingkungan UIN SGD BDG. Hamdani. 2010. Ilmu kalam. Bandung : Sega Arsy.



Munir, A Drs. 1994. Aliran Modern Dalam Islam. Jakarta : Rineka Cipta. Jostein Gaarder. 1999. Novel Filsafat “ Dunia Sophie”. Bandung : Penerbit Mizan. WWW. PEMBAHARUISLAM.COM



Positif GUSDUR DAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA Penutup Menjelaskan sesuatu, kata Daniel L. Pals, atau melihatnya dengan dimensi yang baru, meskipun keliru, adalah lebih baik dan lebih penting dari upaya mengemukakan sesuatu yang semua orang dengan mudah dapat mengklaim sebagai hal yang biasa. Sebuah teori tidak dapat diberikan jastifikasi benar atau salah, sebab ia sendiri berada di luar hukum benar-salah itu.Selanjutnya, sebuah teori juga tidak bertujuan memberikan jastifikasi, tetapi ia hanya melihat persoalan dengan dimensi yang berbeda. Barangkali dalam perspektif seperti inilah apresiasi yang memadai terhadap pemikiran Gus Dur dapat diberikan. Gus Dur selalu menampilkan wajah baru dari pemikirannya meski isinya hanyalah penegasan kembali apa yang telah pernah dikemukakan orang lain. Ia mencoba melihat sesuatu dengan kaca mata berbeda; dengan cara seperti itulah ia berupaya menunjukkan kepada orang lain bahwa kebenaran dapat disentuh lewat pendekatan yang tidak sama, dan kebenaran tidak perlu



diklaim sebagai milik siapa pun. Dalam analisa terakhir, Gus Dur telah banyak berperan dalam menghiasi dinamika perkembangan pemikiran Keislaman di negeri ini sebagai upaya meresponi tantangan modernitas yang sedang dihadapi masyarakat Muslim Indonesia. Ini pantas dihargai. Wallâhu a‘lam!



Positif PEMIKIRAN ISLAM KH. ABDURRAHMAN WAHID PENDAHULUAN Segala puji bagi Allah SWT, tuhan semesta alam yang telah memberikan karunia, rahmat, hidayah dan inayah-NYA kepada kita semua, sehingga dapat menyelesiakan makalah ini. Dalam makalah ini menjelaskan tentang kritik KH. Abdurrahman Wahid (gus dur) dalam soal Islam kaitannya dangan masalah sosial dan budaya. Ia menangkap adanya gejala “arabisasi” dikalangan masyarakat Islam. Kritik tersebut diungkapkan gus dur sekitar tahun 1980-an. Gus Dur selanjutnya menawarkan gagasan “Pribumisasi Islam” sebagai solusi untuk memahami Islam dalam relasinya dengan masalah-masalah sosial dan budaya. Menurut Gus Dur, adannya Islamisasi merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri ketika ‘kemajuan barat’ yang sekuler. Jalan satu-satunya adalah dengan mensubordinasi diri



kedalam konstruk Arabisasi yang diyakini sebagai langkah kearah Islamisasi. Padahal seperti sering dikatakan Gus Dur, Arabisasi bukanlah Islamisasi. Oleh karena itu, makalah ini menjelaskan mengenai “Metodologi Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid Tehadap Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia” sebagai bahan kajian ulang dalam berijtihad didalam era globalisasi ini. BAB II PEMBAHASAN Tidak seperti para pembaru hukum Islam lainnya, metodologi ijtihad hukum Islam Gus Dur nyaris tidak dapat ditemukan dalam buku yang secara spesifik membahasnya. Bahkan hal ini juga terjadi pada para intelektual Islam lainnya yang tergolong kaum modernis awal yaitu antara 1970-an sampai 1980-an.[1] Menurut Marzuki Wahid, anggapan seperti ini tidak dapat disalahkan, sebab perhatian mereka sendiri yang memaksa demikian untuk menyikapi realitas sosial, politik, dan ekonomi ketika Orde Baru secara sistematis dan terus- menerus malakukan intervensi secara berlebihan terhadap umat Islam dan bentuk -bentuk pengamalan keagamaannya. Oleh karena itu, menurut Wahid, aspek metodologis dan substansi ajaran Islam atau sumbersumber pengambilannya yang selama ini disakralkan tidak terjamah oleh pembaruan mereka. Kalaupun masuk, lanjut Wahid, mereka berhenti pada kritik bangunan (sejarah) pemikiran Islam masa lampau tanpa memberikan tawaran baru yang berarti. Isu-isu yang menjadi label pemikiran mereka tidak dilengkapi dengan kerangka metodologi dan epistemologi yang cukup atau belum tuntas. Mareka, sejauh ini, hanya mengadvokasi betapa pentingnya kontekstualisasi, reaktualisasi, reinterpretasi, dan pribumisasi maupun tema sejenis (sebagai pendekatan ijtihad), tanpa memberikan bukti contoh (rekonstruksi) pemikiran Islam baru seperti apa yang tepat untuk zaman ini.[2] Namun demikian, pendekatan ijtihad oleh sarjanasarjana Indonesia ini dianggap lebih mendalam, karena mereka mengawinkan keserjanaan Islam klasik dengan metode-metode analitik modern Barat.[3] Namun demikian, bukan berarti hal tersebut tidak dapat dilacak secara keseluruhan. Sebab, dalam kaitannya dengan bangunan metodologi ijtihad hukum Islam Gus Dur, menurut penyusun, banyak sekali tertuang dalam berbagai artikel ataupun tulisan-tulisan dalam bentuk lain. Dalam melaksanakan pembaruan hukum Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman, akurat dan faktual, pada hasil pelacakan terhadap ijtihad Gus Dur, dia menggunakan dua metode ijtihad, yaitu sebagai berikut:



1. Metode Istislahi Dari segi metodologi pembaruan hukum Islam, Menurut John L. Esposito, seringkali pembaharuan dilakukan melalui metode Istislāh dan Adat atau ‘Urf. Keduanya dipandang paling sesuai, karena memberikan kesempatan yang luas untuk berijtihad dan dengan jelas menekankan pada tujuan hukum Islam itu sendiri, yaitu keadilan dan kemaslahatan.[4] Istislāh dapat disebut juga dengan al-maslahah al-mursalah yang berarti kemaslahatan yang terlepas. Said Ramadhan al-Buthi berpandangan bahwa al-maslahah almursalah adalah setiap manfaat yang termasuk dalam maqāsid al-syari’, baik ada nash yang mengakui maupun menolaknya.[5] Dan Abu Zahrah mendefinisikan al-maslahah almursalah dengan kemaslahatan yang sejalan dengan maksud syari’, tetapi tidak ada nash secara khusus yang memerintahkan dan melarangnya.[6] Sementara al-Ghazali menyatakan bahwa al-maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak mudarat dalam rangka memelihara tujuan syara’ (al-kulliyāt al-khams).[7] Dari beberapa definisi tersebut di atas, maka dapat ditegaskan bahwa istislāh merupakan kemaslahatan yang sejalan dengan apa yang terdapat dalam nash, meskipun secara khusus nash tidak memerintahkan atau melarangnya. Atau dapat juga diartikan sebagai penetapan hukum suatu masalah yang semata-mata berdasarkan pertimbangan maslahat dan menolak mafsadat bagi kehidupan umat manusia. Dengan demikian, maka Ijtihad Istislāhi dapat didefinisikan dengan mencurahkan segala kemampuan untuk menentukan hukum berbagai masalah baru yang didasarkan pada kemaslahatan yang tidak disebutkan secara tegas dalam nash. Dalam pandangan Yusuf al-Qardhawi, ijtihad istislāhi merupakan istilah lain dari ijtihad kontemporer yang merupakan hasil gabungan dari ijtihad intiqā’i, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menyeleksi pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih sesuai dan lebih kuat; dan ijtihad insyā’i, yaitu mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan, di mana permasalahan tersebut baik baru maupun lama belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu. Sehingga makna gabungan ijtihad intiqā’i dan ijtihad insyā’i adalah menyeleksi pendapat para ulama terdahulu yang dianggap sesuai dan lebih kuat, dengan memasukkan unsur-unsur ijtihad baru.[8] Ada empat faktor yang menjadi tujuan dan pendorong bagi para fuqaha menggunakan metode istislāh dalam menetapkan hukum baru sesuai dengan perintah syara’ sehingga akan terwujud hasil yang terbaik dalam rangka memperbarui hukum-hukum sosial, sebagaimana disebutkan oleh al-Zarqa’,[9] Keempat faktor tersebut adalah :



a.



Jalb al-masālih (menarik maslahat), yaitu perkara-perkara yang diperlukan masyarakat dalam membangun kehidupan manusia di atas pondasi yang kokoh.



b.



Dar al-mafāsid (menolak mafsadat), yaitu perkara-perkara yang memadaratkan manusia baik secara individu maupun kelompok, baik berupa materi maupun moral.



c.



Sadd al-zarā’i (menutup jalan), yaitu menutup jalan yang dapat membawa kepada menyianyiakan perintah syara’ dan memanipulasinya, atau dapat membawa kepada larangan syara’ meskipun tanpa disengaja.



d.



Tagayyur al-azmān (perubahan zaman), yaitu kondisi manusia, akhlak-akhlak, dan tuntutan-tuntutan umum yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada dasarnya mayoritas ahli usul fiqih menerima metode maslahāt mursalāt atau istislāh. Untuk menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Imam Malik memberikan persyaratan sebagai berikut:[10]



a.



Maslahat tersebut bersifat reasonable (masuk akal) dan relevan (munāsib) dengan kasus hukum yang ditetapkan.



b.



Maslahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri dan menghilangkan kesulitan (rad’u al-harāj), dengan cara menghilangkan masyaqqāt dan madharrāt.



c.



Maslahat tersebut harus sesuai dengan maksud disyari’atkan hukum (maqāshid alsyarī’ah) dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qath’i. Sementara itu Al Ghazali menetapkan beberapa syarat agar maslahat dapat dijadikan sebagai penemuan hukum.[11]



1.



Kemaslahatan itu masuk kategori peringkat daruriyyāt. Artinya bahwa untuk menetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus diperhatikan, apakah akan sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas tersebut.



2.



Kemaslahatan itu bersifat qath’i, artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut benarbenar telah diyakini sebagai maslahat tidak didasarkan pada dugaan (zhān) semata-mata.



3.



Kemaslahatan itu bersifat kullī, artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif, tidak bersifat individual. Apabila maslahat itu bersifat individual maka syarat lain yang harus dipenuhi adalah bahwa maslahat itu sesuai dengan maqāshid al-syarī’ah. Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum dengan istislāh itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu i’tibār. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijmā’ atau qiyās yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislāhi seperti pembukuan Al Quran dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah ketiga. Hal itu



tidak dijelaskan oleh nash dan ijmā’, melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syara’ untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al-Quran.[12] Dalam hubungannya dengan legislasi Al-Qur’an, yang dalam metodologi Arab biasanya digunakan istilah tasyrī’ yaitu pernyataan Al-Qur’an yang bermuatan hukum. Dalam pandangan Gus Dur, meskipun Al-Qur’an mengandung beberapa pernyataan aturan hukum yang penting, tetapi menurutnya hal itu hanya seruan moral saja, bukan sebuah kitab dokumen hukum. Oleh karena itu, legislasi Al-Qur’an dapat diamati secara jelas menuju seruan moral tersebut, yaitu menuju terciptanya keadilan sosial bagi masyarakat.[13] Gus Dur berusaha menciptakan dan membuktikan pesannya itu dengan sejumlah legislasi dalam AlQur’an dalam bidang perkawinan, riba, zakat, hukum perbudakan (slavery) yang banyak menghiasi Al-Qur’an dan Hadis.[14] Dan beberapa bidang lainnya yang semua bertujuan untuk mengangkat derajat manusia menuju terwujudnya kondisi yang lebih baik dan menciptakan persamaan esensial derajat manusia sebagaimana merekat pada doktrin Aswaja (Ahlussunnah wal jamā’ah).[15] Menurut pandangan KH. Abdurrahman Wahid, orientasi paham ke-Islaman sebenarnya adalah kepentingan orang kecil dalam hampir seluruh persoalan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan memahami secara mendalam kedudukan maslahah al-’āmmah yang berarti kesejahteraan umum dalam Islam. Wahid melanjutkan, hal tersebut seharusnya yang menjadi objek segala macam tindakan yang diambil oleh seorang ulama atau pemirintah. Dalam masalah fiqih, terkait hal di atas, Gus Dur memandang bahwa dalam fiqih selalu dikemukakan keharusan seorang pemimpin mementingkan kesejahteraan rakyat, sebagai tugas yang harus dilaksanakan.[16] Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam kaidah: ‫تصيرفّ المام عّلى اليرعّيية منوط باالمصلحة‬ “Tindakan Imam terhadap rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan”. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam Islam tujuan berkuasa bukanlah kekuasaan itu sendiri melainkan kemaslahatan (maslahah al’ammah).[17] Dengan demikian, menurutnya, tingginya kesejahteraan suatu bangsa menjadi sesuatu yang sangat esensial dalam Islam. Adapun yang tidak terkait langsung dengan kepentingan orang banyak dapat dilihat dalam adagium lain yaitu:



‫درأ المفاسد مقدم عّلى جلب المصالح‬ “Menghindarkan



kesusahan/kerugian



diutamakan



atas



upaya



membawakan



keuntungan/kebaikan”. Menurut Gus Dur, hal tersebut mengandung pengetian bahwa menghindari hal-hal yang merusak umat lebih diutamakan atas upaya membawakan kebaikan bagi mereka. Dengan demikian, menurut Gus Dur, menghindari kerusakan dianggap lebih berarti dari pada mendatangkan kebaikan.[18] Sebab, lanjut Gus Dur, adagium inilah yang digunakan Gus Dur dalam menerima pencalonan dirinya oleh Amin Rais sebagai Presiden beberapa tahun yang silam. Sebab, keduanya meyakini bahwa bangsa ini pada saat itu belum dapat menerima seorang wanita (Megawati) sebagai Presiden, sehingga dikhawatirkan akan terjadi perang saudara. Metodologi pemikiran Gus Dur sebagaimana telah disebutkan di atas adalah identik dengan konsep pemikiran para ahli ushul fiqh yang terdapat dalam beberapa kitab metodologi hukum Islam, yakni konsep tujuan penetapan hukum (al-maqāshid al-syari’āt). Konsep ini tidak jauh berbeda dengan konsep pemikiran Gus Dur tentang keadilan (al-‘adālah alijtimā’iah). Seluruh konsep-konsep metodologi Gus Dur dirumuskan dalam dua upaya metodis yang masing-masing terdiri dari serangkaian kerja intelektual. Upaya pertama pada dasarnya merupakan perjalanan dari tiga pendekatan pemahaman pada penafsiran Al-Qur’an, yakni pendekatan historis, pendekatan kontekstual, dan pendekatan sosiologi. Upaya pertama ini lebih dukhususkan terhadap ayat-ayat hukum dengan metode berfikir induktif, yakni berfikir dari aturan-aturan legal spesifik menuju kepada moral sosial, yang bersifat umum yang terkandung di dalamnya. Di sini (pendekatan pertama) terdapat dua “perangkat lunak” untuk dapat menyimpulkan prinsip moral sosial, yaitu: pertama, perangkat ‘illat hukum (ratio logis) dinyatakan oleh Al-Qur’an secara eksplisit, yang dapat diketahui dengan cara menggeneralisasikan beberapa ungkapan spesifik. Kedua, perangkat sosio historis, berfungsi untuk menguatkan ‘illat hukum implisit untuk menetapkan arah tujuannya. Sedangkan upaya kedua merupakan upaya perumusan prinsip-prinsip umum, nilai- nilai dan tujuan Al-Qur’an yang telah disistematikan melalui upaya tadi terhadap situasi dan kasus aktual yang terjadi sekarang. 2. Pendekatan Sosio-Kultural



Interpretasi terhadap teks-teks agama (Al-Qur’an dan al-Hadis), bagi wacana agama merupakan salah satu mekanisme -jika bukan yang terpenting- untuk melontarkan konsepkonsep dan pandangan-pandangannya. Sedangkan interpretasi yang sesungguhnya adalah yang menghasilkan makna teks, menuntut pengungkapan makna melalui analisis atas berbagai level konteks. Namun wacana agama biasanya cenderung mengabaikan keseluruhannya, demi memprotek pelacakan makna yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam pandangan Gus Dur, ajaran Islam senantiasa berubah melalui perubahan zaman, dengan menggunakan cara tertentu. Di antara cara tertentu itu, adalah penafsiran ulang (re-interpretasi) oleh kaum muslimin sendiri, atas sesuatu yang tadinya diterima sebagai kebenaran tetap oleh mereka. “Kebenaran relatif” itu lalu berubah dengan adanya penafsiran ulang itu. Dalam pandangan Gus Dur, bahwa masih banyak penafsiran lain tentang hal tersebut di atas. Dia melanjutkan, di sinilah sangat terasa kegunaan sebuah adagium “perbedaan pendapat para pemimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmatu al-ummah). Menurutnya, kalau umat Islam berpegangan pada adagium ini, maka yang dilarang hanyalah perpecahan dan pertentangan saja di antara kita. Sekarang, bila sebuah hukum agama sudah ada dalam sumber tertulis al-Qurân dan al-Hadits (qath’iyah al-tsubût), sementara keadaan membutuhkan penafsiran baru. Kemudian apakah yang harus diterapkan dalam hal seperti itu? Dalam hal ini, kita menggunakan sebuah kaidah hukum Islam (qa’idah al-fiqh), bahwa keadaan tertentu dapat memaksakan sebuah larangan untuk dilaksanakan (al-dharûratu tubîhu al-mahdhûrât). Namun demikian, menurut Gus Dur, interpetasi yang dilakukan pada ‘ulama kontemporer cenderung memiliki banyak kelemahan. Untuk memenuhi kelemahan yang terdapat metode interpretasi sebagaimana dijelaskan tersebut, Gus Dur menggagas suatu pendekatan yang disebut pendekatan sosio-kultural. Pendekatan ini menurut Gus Dur adalah sebagai alat pembantu dalam menunjukkan konteks sosial terkait penerapan suatu hukum, yaitu dengan menganalisis aspek-aspek lokal yang dapat ditampilkan dengan wajah yang ramah terhadap budaya lokal dan persoalanpersoalan keIndonesiaan, khususnya problema pluralitas agama dan kepercayaan, yaitu dengan cara menerapkan metode ushul fiqh dan al-qawā’id al-fiqhiyah dalam memahami teks dan konteks. Dengan kata lain, Gus Dur menggunakan pendekatan sosio-kultural ini sebagai alat pembantu dalam menunjukkan konteks sosial terkait penerapan suatu hukum. Hal ini bertujuan untuk memberikan perspektif baru terhadap teks. Maksudnya, teks dipahami dari



konteks dan sosio-kultural di mana ia menjadikan manusia sebagai subjek penafsiran keagamaan. Hal ini ditujukan untuk memperpendek jarak antara teks dan realitas. Sangat terkenal dalam hal ini hukum agama (fiqh) mengenai Keluarga Berencana (KB), yang bersifat rincian dan mengalami perubahan-perubahan. Adapun polemik yang muncul adalah terkait penafsiran ulang atas ucapan Rasulullah Saw yang artinya: “Maka Aku (akan) membanggakan kalian (di hadapan) umat-umat (lain) pada hari kiamat (fainnî mubâhin bikum al-umam yauma al-qiyâmah)”. Dalam penafsiran lama, kaum muslim mengartikan kebanggaan beliau itu bertalian dengan jumlah (kuantitas) kaum muslimin, hingga merekapun memperbanyak jumlah anak. Tafsiran ulang yang baru, yang didukung oleh kenyataan meluasnya program Keluarga Berencana (KB) di kalangan kaum muslimin, minimal di negeri ini, menunjuk pada arti lain dari apa yang dibanggakan itu: kebanggaan akan mutu (kualitas) kaum muslimin sendiri. Dengan demikian, Islam dapat berkembang sesuai dengan perubahan tempat dan waktu (Shālihun li kulli zamânin wa makânin). Gus Dur lebih lanjut menjelaskan bahwa persoalan KB sebelumnya sama sekali ditolak, padahal waktu itu ia adalah satu-satunya cara untuk membatasi peningkatan jumlah penduduk. Dasarnya adalah program ini sebagai campur tangan manusia dalam hak reproduksi manusia yang berada di tangan Tuhan sebagai Sang Pencipta. Namun, kemudian manusia merumuskan upaya baru untuk merencanakan kelahiran (tanzīm an-nasl atau family planning) sebagai ikhtiar menentukan jumlah penduduk sebuah negara pada suatu waktu. Dengan demikian, dipakailah cara-cara, alat-alat dan obat yang dapat dibenarkan oleh agama, seperti pil KB, kondom dan sebagainya. Penggunaan metode dan alat-alat tersebut sekarang ini, dilakukan karena ada penafsiran kembali ayat suci dalam upaya mengurangi jumlah kenaikan penduduk dari pembatasan kelahiran (birth control) ke perencanaan keluarga (family planning). Contoh sederhana di atas, jelas menunjukkan bahwa menurut Gus Dur proses penafsiran ulang tersebut merupakan upaya yang sangat penting. Tanpa kehadirannya Islam akan menjadi agama yang mengalami “kemacetan”. Hal itu menyalahi ketentuan agama itu sendiri yang tertuang dalam ucapan “Islam sesuai untuk segenap tempat dan masa (al-Islâm yasluhu li kulli makânin wa zamânin).” Lahirnya Teori “Pribumisasi Islam” merupakan kritik terhadap cara berteologi yang berkembang dikalangan intelektual muslim Indonesia, yang menurut Abdurrahman Wahid tidak mampu menjawab akar persoalan kemiskinan yang lebih disebabkan oleh struktur sosial dan politik yang timpang.



Untuk mengatasi kebuntuan peran kritis agama tersebut, Abdurrahman Wahid mengkontruksikan sebuah cara berteologi yang di satu sisi tetap berpijak pada ortodoksi dan di sisi lain terkait denagan ortopraksis. Teologi ini melihat peran agama kepada manusia dalam dua hal, yaitu teologi positif (amar ma’ruf) dan teologi negative (nahi mungkar). Teologi positif bergfungsi untuk mendorong etos kerja manusia sebagai khalifah Tuhan di dunia. Sedangkan teologi negative diletakkan dalam kerangka kritik sosial terhadap struktur dan praktik-praktik yang menagrah pada proses dehumanisasi. Dalam mengkotruksi Pribumisasi Islam ini, Abdurrahman Wahid, setidaknya, melakukan pembacaan terhadap Islam (normatif) dalam tiga hal, yaitu Islam sebagai kerangka nilai, model pembacaan pribumisasi terhadap wahyu dan realitas, dan akhirnya menempatkan pribumisasi Islam sebagai Islam yang memihak. Gagasan Pribumisasi Islam yang dimaksud Gus Dur adalah wahyu Tuhan dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya. Pribumisasi Islam perlu dipahami sebagai sebuah usaha untuk melakukan “rekonsiliasi” atau mendialogkan Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya lokal. Tujuannya agar kedatangan Islam tidak menghilangkan budaya local yang memiliki sifat orisinil. Menurut Gus Dur, Pribumisasi harus dilihat sebagai sebuah kebutuhan, bukannya sebagai upaya mensubordinasi Islam lokal, karena dalam pribumisasi Islam harus tetap ada sifat Islamnya. Pribumisasi Islam juga bukan semacam “Jawanisasi” atau sinkretisme, sebab Pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan budaya local didalam merumuskan hokum-hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukan meninggalkan norma agama itu demi budaya. Tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul figh dan qaidah fiqh.



BAB III KESIMPULAN Penulis memandang, gagasan “Pribumisasi Islam” ini bisa dikatakan sebagai benang merah dari pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Islam. Penolakan terhadap upaya syari’atisasi Islam, formalisasi Islam, dan ideologi Islam yang menggiring pada upaya pembentukan Negara Islam sebenarnya bisa dirujuk dari bagaimana Gus Dur memahami Islam dalam kaitannya dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Islam memiliki nilai-nilai yang bersifat universal, yang harus disepakati oleh seluruh umatnya. Namun dalam implementasinya diruang sejarah kemasyarakatan, baik itu berkaitan dengan massalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya, Islam bisa tampil berbeda antara didaerah satu dan daerah lainnya. Itu terjadi karena terjadi proses rekonsiliasi antara nilai-nilai Islam dengan kekuatan yang bersifat lokal. Dengan demikian, gagasan Gus Dur tentang pribumisasi Islam itu tidak lain adalah upaya pembaharuannya yang mempertegas perspektif gerakan cultural dan gerakan kemasyarakatan, yang lebih popular dengan sebutan membangun civil society yang bersifat komolementer dan mendukung sebuah Negara pancasila yang telah dimulai oleh para bapak pendiri bangsa (founding father).



Positif Pemikiran Pembaharuan Muhammad Iqbal B.Riwayat Singkat Muhammad Iqbal (1877-1938 M) lahir di Sialkot, Punjab, wilayah Pakistan (sekarang), 9 Nopember 1877M, dari keluarga yang religius. Ayahnya, Muhammad Nur adalah seorang tokoh sufi, sedang ibunya, Imam Bibi, juga dikenal sebagai muslimah yang salehah. Pendidikan formalnya dimulai di Scottish Mission School, di Sialkot, di bawah bimbingan Mir Hasan, seorang guru yang ahli sastra Arab dan Persia. Kemudian di Goverment College, di Lahore, sampai mendapat gelas BA, tahun 1897, dan meraih gelar Master dalam bidang filsafat, tahun 1899, dibawah bimbingan Sir Thomas Arnold, seorang orientalis terkenal. Selama pendidikan ini, Iqbal menerima beasiswa dan dua medali emas karena prestasinya dalam bahasa Arab & Inggris2 Iqbal kemudian menjadi dosen di Goverment College dan mulai menulis syair-syair dan buku. Akan tetapi, di sini tidak dijalani lama, karena pada tahun 1905, atas dorongan Arnold, Iqbal berangkat ke Eropa untuk melanjutkan studi di Trinity College, Universitas Cambridge, London, sambil ikut kursus advokasi di Lincoln Inn. Di lembaga ini ia banyak belajar pada James Wird dan JE. McTaggart, seorang neo-Hegelian. Juga sering diskusi dengan para pemikir lain serta mengunjungi perpustakaan Cambridge, London dan Berlin. Untuk keperluan penelitiannya, ia pergi ke Jerman mengikuti kuliah selama dua semester di Universitas Munich yang kemudian mengantarkannya meraih gelar doctoris philosophy gradum, gelar doctor dalam bidang filsafat pada Nopember 1907, dengan desertasi The Development of Metaphysics in Persia, di bawah bimbingan Hommel. Selanjutnya, balik ke London untuk meneruskan studi hukum dan sempat masuk School of Political Science3. Yang penting dicatat dalam kaitannya dengan gagasan seni Iqbal adalah tren pemikiran yang berkembang di Eropa saat itu. Menurut MM Syarif, masyarakat Jerman, saat Iqbal tinggal di sana, sedang berada dalam cengkeraman filsafat Nietzsche (1844-1990 M), yakni filsafat kehendak pada kekuasaan. Gagasannya tentang manusia super (superman) mendapat perhatian besar dari para pemikir Jerman, seperti Stefen George, Richard Wagner dan Oswald Spengler. Hal yang sama terjadi juga di Perancis, berada dibawah pengaruh filsafat Henri Bergson (1859-1941 M), élan vital, gerak dan perubahan. Sementara itu, di Inggris, Browning menulis syair-syair yang penuh dengan kekuatan dan Carlyle menulis karya yang memuji pahlawan dunia. Bahkan, dalam beberapa karyanya, Lloyd Morgan dan McDougall,



menganggap tenaga kepahlawanan sebagai essensi kehidupan dan dorongan perasaan keakuan (egohood) sebagai inti kepribadian manusia. Filsafat vitalitis yang muncul secara simultan di Eropa tersebut memberikan pengaruh yang besar pada Iqbal4. Selanjutnya, saat di London yang kedua kalinya, Iqbal sempat ditunjuk sebagai guru besar bahasa dan sastra Arab di Universitas London, menggantikan Thomas Arnold. Juga diserahi jabatan ketua jurusan bidang filsafat dan kesusastraan Inggris di samping mengisi ceramahceramah keislaman. Ceramahnya di Caxton Hall, yang pertama kali diadakan, kemudian disiarkan mass media terkemuka Inggris. Namun, semua itu tidak lama, karena Iqbal lebih memilih pulang ke Lahore, dan membuka praktek pengacara di samping sebagai guru besar di Goverment College Lahore. Akan tetapi, panggilan jiwa seninya yang kuat membuat ia keluar dari profesi tersebut. Ia juga menolak ketika ditawari sebagai guru besar sejarah oleh Universitas Aligarh, tahun 1909. Iqbal lebih memilih sebagai penyair yang kemudian mengantarkannya ke puncak popularitas sebagai seorang pemikir yang mendambakan kebangkitan dunia Islam5. Akhir tahun 1926, Iqbal masuk kehidupan politik ketika dipilih menjadi anggota DPR Punjab. Bahkan, tahun 1930, ia ditunjuk sebagai presiden sidang Liga Muslim yang berlangsung di Allahabad, yang menelorkan gagasan untuk mendirikan negara Pakistan sebagai alternatif atas persoalan antara masyarakat muslim dan Hindu. Meski mendapat reaksi keras dari para politisi, gagasan tersebut segera mendapat dukungan dari berbagai kalangan, sehingga Iqbal diundang untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar di London, tahun 1932, juga konferensi yang sama pada tahun berikutnya, guna membicarakan gagasan tersebut. Tahun 1935 ia diangkat sebagai ketua Liga Muslim cabang Punjab dan terus berkomunikasi dengan Ali Jinnah. Namun, pada tahun yang sama, ia mulai terserang penyakit, dan semakin parah sampai mengantarkannya pada kematian, tanggal 20 April 19386. Iqbal mewariskan banyak karya tulis, berbentuk prosa, puisi, jawaban atas tanggapan orang atau kata pengantar bagi karya orang lain. Kebanyakan karya-karya ini menggunakan bahasa Persia, semua ia maksudkan agar karyanya bisa diakses oleh dunia Islam, tidak hanya masyarakat India. Sebab, saat itu, bahasa Persi adalah bahasa yang dominan di dunia Islam dan dipakai masyarakat terpelajar. Karya-karyanya, antara lain, The Development of Metaphysic in Persia (desertasi, terbit di London, 1908), Asra-I Khudi (Lahore, 1916, tentang proses mencapai insan kamil) Rumuz-I Bukhudi (Lahore, 1918), Javid Nama (Lahore, 1932), The Reconstruction of Religious Thought in Islam (London, 1934), Musafir (Lahore, 1936),



Zarb-I Kalim (Lahore, 1937), Bal-I Jibril (Lahore, 1938), dan Letters and Writings of Iqbal (Karachi, 1967, kumpulan surat dan artikel Iqbal) C.Gagasan dan pemikiran M. Iqbal Methafisika Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain itu beliau juga menyatakan bahwasanya pusat dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada ego mutlak, Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoanya adalah perjuangan terus menerus untuk menaklukkan rintangan dan halangan demi tergapainya Ego Tertinggi. Dalam hal ini, karena rintangan yang terbesar adalah benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertentu dalam dirinya, seperti daya indera, daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat mengatasi penghalangpenghalang tersebut. Selain itu, manusia juga harus terus menerus menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (`isyq), keberanian dan kreativitas yang merupakan essensi dari keteguhan pribadi. Seni dan keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut7. Kendati mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan Tuhan, namun Iqbal tidak menjadikannya membunuh ego kreasi yang bersemayam di kedalaman diri. Ia selalu membuka katup cakrawala pemikirannya atas dunia di luar Islam (terutama Barat). Ketika Iqbal meramu postulat, “Saya berbuat, karena itu saya ada (I act, therefore I exist)”, membedakannya dengan pemikir Muslim terdahulu yang banyak terjebak kenikmatan “asketisme di sana “. Menyatukan diri dengan Tuhan, tetapi ego kreasi dalam diri terkikis habis. Gejala tersebut oleh Iqbal diistilahkan dengan “kesadaran mistis” dan tentunya sangat bertentangan dengan “kesadaran profetik”. Kesadaran mistik adalah istilah yang digunakan Iqbal untuk mengategorikan konsep wahdah al-wujud sebagai salah satu usaha yang dilakukan manusia dengan menafikan kehendak pribadi ketika mengidentifikasikan diri dengan Tuhan. Maka, aktivitas kreatif menjadi tidak terlihat dalam hidup keseharian. Sedangkan, kesadaran profetik adalah sebuah cara mengembangkan kesadaran melalui aktivitas kreatif yang bebas dan melalui kesadaran bahwa aktivitas kreatif manusia adalah aktivitas Ilahi. Jadi, konsep wahdah al-wujud dalam perspektif Iqbal adalah pengidentifikasian keinginan



pribadi dengan kehendak Tuhan melalui cara penyempurnaan diri, bukan penafian diri. Kehendak manusia pada posisi demikian menjadi otonom, tetapi tetap dalam koridor bimbingan Ilahi. Iqbal tidak serta merta mengakui kedaulatan postulat milik Descartes, cogito ergo sum, karena eksistensi manusia tidak ada hanya dengan melakukan kegiatan berpikir untuk mengeksiskan diri. Intelektualisme yang hanya mendewakan rasionalitas tidak akan eksis tanpa ada aktivisme yang berdimensi praktis. Estetika Berdasarkan konsep kepribadian yang memandang kehidupan manusia yang berpusat pada ego inilah, Iqbal memandang kemauan adalah sumber utama dalam seni, sehingga seluruh isi seni –sensasi, perasaan, sentimen, ide-ide dan ideal-ideal— harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni tidak sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran yang lahir berdasarkan dan penuh kandungan emosi sehingga mampu menggetarkan manusia (penanggap)8. Seni yang tidak demikian tidak lebih dari api yang telah padam. Karena itu, Iqbal memberi kriteria tertentu pada karya seni ini. Pertama, seni harus merupakan karya kreatif sang seniman, sehingga karya seni merupakan buatan manusia dalam citra ciptaan Tuhan. Ini sesuai dengan pandangan Iqbal tentang hidup dan kehidupan. Menurutnya, hakekat hidup adalah kreativitas karena dengan sifat-sifat itulah Tuhan sebagai sang Maha Hidup mencipta dan menggerakan semesta. Selain itu, hidup manusia pada dasarnya tidaklah terpaksa melainkan sukarela, sehingga harus ada kreativitas untuk menjadikannya bermakna. Karena itu, dalam pandangan Iqbal, dunia bukan sesuatu yang hanya perlu dilihat atau dikenal lewat konsep-konsep tetapi sesuatu yang harus dibentuk dan dibentuk lagi lewat tindakan-tindakan nyata. Dalam pemikiran filsafat, gagasan seni Iqbal tersebut disebut sebagai estetika vitalisme, yakni bahwa seni dan keindahan merupakan ekspresi ego dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup yang berdenyut di balik kehidupan sehingga harus juga memberikan kehidupan baru atau memberikan semangat hidup bagi lingkungannya, atau bahkan mampu memberikan “hal baru” bagi kehidupan9. Dengan menawan sifat-sifat Tuhan dalam penyempurnaan kualitas dirinya, manusia harus mampu menjadi “saingan” Tuhan. Di sinilah hakekat pribadi yang hidup dalam diri manusia dan menjadi kebanggaannya dihadapan Tuhan. Mari kita lihat syairnya. Kedua, berkaitan dengan pertama, kreatifitas tersebut bukan sekedar membuat sesuatu tetapi



harus benar-benar menguraikan jati diri sang seniman, sehingga karyanya bukan merupakan tiruan dari yang lain (imitasi), dari karya seni sebelumnya maupun dari alam semesta. Bagi Iqbal, manusia adalah pencipta bukan peniru, dan pemburu bukan mangsa, sehingga hasil karya seninya harus menciptakan ‘apa yang seharusnya’ dan ‘apa yang belum ada’, bukan sekedar menggambarkan ‘apa yang ada’ (Azzam, 1985, 141). Dalam salah satu puisinya, Iqbal mengecam dan menyebut sebagai kematian terhadap seni Timur yang meniru seni Barat. Di negeri ini berjangkit kematian imaginasi Karena seni asing dan mengikuti Barat Kulihat awan kelabu dan Behzad masaku Merombak dunia Timur yang kemilau nan abadi O, para seni di Timur Usai sudah kreasi masa kini dan masa lalu Berapa banyak kreasi tercipta Tunjukkan pada kami pribadi Pada semua bidang membumbung tinggi Konsep-konsep seni dan keindahan Iqbal tersebut hampir sama dengan teori seni Benedetto Croce (1866-1952 M), seorang pemikir Italia yang sezaman dengan Iqbal. Menurutnya, seni adalah kegiatan kreatif yang tidak mempunyai tujuan dan juga tidak mengejar tujuan tertentu kecuali keindahan itu sendiri, sehingga tidak berlaku kriteria kegunaan, etika dan logika. Kegiatan seni hanya merupakan penumpahan perasaan-perasaan seniman, visi atau intuisinya, dalam bentuk citra tertentu, baik dalam bentuk maupun kandungan isinya. Jika hasil karya seni ini kemudian diapresiasi oleh penanggap, hal itu disebabkan karya seni tersebut membangkitkan intuisi yang sama pada dirinya sebagaimana yang dimiliki oleh sang seniman10. Dengan pernyataan seperti ini, mengikuti Syarif, teori Croce berarti terdiri atas empat hal, (1) bahwa seni adalah kegiatan yang sepenuhnya mandiri dan bebas dari segala macam pertimbangan etis, (2) bahwa kegiatan seni berbeda dengan kegiatan intelek. Seni lebih merupakan ekspresi diri atas pengalaman individu (intuitif) dan menghasilkan pengetahuan langsung dalam bentuk individualitas kongkrit, sedang intelek lebih merupakan kegiatan analitis dan menghasilkan pengetahuan reflektif. (3) bahwa kegiatan seni ditentukan oleh perkembangan kepribadian seniman, (4) bahwa apresiasi adalah penghidupan kembali pengalaman-pengalaman seniman didalam diri penanggap. Pandangan seni Iqbal tidak berbeda dengan teori Croce tersebut, kecuali pada bagian pertama. Iqbal menolak keras kebebasan seni dan keterlepasaannya dari etika. Iqbal justru



menempatkan seni dibawah kendali moral, sehingga tidak ada yang bisa disebut seni – betatapun ekspresifnya kepribadian sang seniman— kecuali jika mampu menimbulkan nilainilai yang cemerlang, menciptakan harapan-harapan baru, kerinduan dan aspirasi baru bagi peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat. Dengan demikian, gagasan seni Iqbal tidak hanya ekspresional tetapi sekaligus juga fungsional. Etika Dalam filsafat tentang etika Iqbal menghimbau masyarakat timur (umat Islam), untuk kembali kepada ajaran Islam yang agung serta menjauhi peradaban Barat (Eropa) yang merusak. Iqbal memandang bahwasanya sebab kemunduran umat Islam adalah kecendrungan yang membabibuta terhadap kebudayaan Barat yang telah membunuh karakter mereka dengan terus mengadopsi budaya-budaya Barat tanpa proses filterisasi. Iqbal mengungkapkan pandangannya terhadap budaya Barat: “Akan tetapi terpulanglah kepada kalian dan peradaban tanpa agama yang menghadapi pertarungan yang berkepanjangan dengan al-Hak. Sesungguhnya malapetaka ini telah menghasilkan bencana yang besar kepada dunia seperti kembalinya al-Latta dan al-Uzza (keberhalaan) ke Tanah Haram Mekah, dimana hati manusia menjadi buta dengan sihirnya dan jiwa menjadi mati. Ia telah memadamkan cahaya hati atau menghilangkan hati dari pemiliknya. Ia juga telah mengubah siang yang terang benderang dengan meninggalkan insan tanpa roh dan tanpa nilai apa-apa lagi”. “Walaupun ilmu pengetahuan berkembang dan perusahaan maju di Eropa, namun lautan kegelapan memenuhi kehidupan mereka. Sesungguhnya ilmu pengetahuan, hikmah, politik dan pemerintahan yang berjalan di Eropa tidak lebih dari ketandusan dan kekeringan. Perkembangan itu telah mengorbankan darah rakyat dan jauh sekali dari arti nilai kemanusiaan dan keadilan. Apa yang terjadi ialah kemungkaran, meminum arak dan kemiskinan terbentang luas di negeri mereka. Inilah akibat yang menimpa umat manusia yang tidak tunduk kepada undang-undang Samawi ciptaan Ilahi. Inilah dia negeri-negeri yang hanya berbangga dengan terang benderang cahaya listrik dan teknologi modern. Dan sesungguhnya negeri-negeri yang dikuasai oleh alat-alat dan industri ini telah memusnahkan hati-hati manusia dan membunuh kasih sayang, kesetiaan dan makna kemanusiaan yang mulia”. Selanjutnya kata Iqbal, gerakan perkembangan ilmu pengetahuan dan rasionalisasi yang berlangsung dikalangan peradaban Barat tidak hanya membawa bahaya bagi bangsa mereka sendiri. Perkembangan teknologi informasi di era modern telah membawa kerusakan ini



merasuki negeri-negeri Islam, yang merusak kejiwaan dan spritual umat Islam. Bagaimanapun, apa yang dikhawatirkan ialah munculnya gejala kebekuan dan kelumpuhan di kalangan umat Islam itu sendiri. Walaupun di satu sisi peradaban Barat dilihat secara positif dari aspek ilmiah, tetapi bagi Iqbal, beliau merasakan bahwa di dalam jiwa bangsa Barat tidak ada lagi wujud kasih sayang sesama umat manusia walaupun mereka sering mendengungkan nilai-nilai humanisme. Dan tidak ada lagi kepercayaan Barat kepada kebebasan, keadilan atau persamaan. Apa yang terjadi hanyalah bersifat teori dan bukannya praktek. Dalam pengulasan lebih lanjut, Iqbal secara berani mengeluarkan pernyataan: “Perkembangan Eropa itu sebenarnya tidak pernah memasuki kehidupan kemasyarakatan dalam bentuk yang amali dan hidup. Apa yang mereka slogankan dengan konsep demokrasi hanyalah pembahasan ilmiah, tetapi apa yang sebenarnya adalah penimbunan kekayaan golongan hartawan di atas air mata golongan fakir miskin”. Justru bagi Iqbal, hanya Islam yang mampu menyelesaikan semua permasalahan manusia. Ini karena kaum Muslimin memiliki pemikiran dan akidah yang kukuh dan sempurna – diasaskan atas petunjuk wahyu (al-Quran; S 3 : 110). Pemikiran dan pegangan yang kukuh ini dapat menjadi solusi kepada pelbagai problem kehidupan karena mempunyai kekuatan sama ada dari segi rohani maupun jasmani. Di sisi lain, Islam mengandung kekuatan yang mampu menangani semua permasalahan hidup manusia disebabkan sistem hidupnya yang bersandarkan kepada keimanan dan keagamaan. Dalam waktu yang sama Islam juga mendukung prinsip kebebasan, keadilan sesama manusia dalam kelompok sosialnya (al-Quran; S 4 : 36). Oleh karena itu ia mendorong manusia untuk melaksanakan ajaran Islam demi tercapainya tujuan tersebut. Adapun peraturan ciptaan manusia telah gagal mengemukakan gagasan penyelesaian dan mengangkat derajat kemanusian kerana ia bersifat lemah (sementara). Dunia yang selama ini ditafsirkan dari pendekatan materialisme adalah dunia yang buta dan kosong. Apa yang bergerak selama ini adalah gerakan tanpa nilai dan tanpa memiliki apa-apa tujuan. Berbeda sekali dengan pendekatan al-Quran terhadap kejadian alam, di mana dunia dan alam menurut ajaran Islam adalah berasaskan kepada kebenaran dan keadilan (al-Quran; S 4 : 135, S 6 : 153 dan S 16 : 90). Sesungguhnya, gagasan pemikiran yang diberikan oleh Iqbal telah memberikan harapan yang baik kepada Islam di masa depan . Bagaimanapun, apa yang diragukan hanyalah, sejauh manakah perlaksanaan Islam dalam kehidupan masyarakatnya pada waktu ini?. Adakah Islam yang hakiki terwujud dikalangan umatnya atau hanya sekadar dari aspek syiar semata-mata?.



D.Kesimpulan Muhammad Iqbal merupakan sosok pemikir multidisiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik, filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang sesungguhnya, Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam demi kemajuan kaum muslimin. Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak dan perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendakNya. Oleh sebab itu, Islam dihadapkan kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah Islam memberi jawaban yang cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak dan perubahan ini?. Iqbal tidaklah menetapkan suatu pandangan praktis dalam filsafatnya, namun ia berusaha mengugah cara pandang kaum muslimin yang selama ini terjebak dalam cara pandang yang statis dalam memandang dunia. Namun karena kehidupan manusia yang cendrung dinamis malah menjadikan umat Islam menjadi pembebek terhadap Bangsa Barat, dengan menanggalkan baju keislaman mereka. Dari sinilah Iqbal merekonstruksi paradigma kaum muslimin agar mampu hidup dalam dinamika kehidupan yang normal namun tetap dalam koridor sebagai seorang muslim yang mengabdi kepada Tuhannya. Daftar Pustaka 1.Muhammad Iqbal. Drs., “Rekonstruksi Pemikran Islam”, Kalam Mulia, 1994, hal. 126 2.Mukti Ali, “Alam Pikiran Islam Modern di India & Pakistan”. Mizan. 1998. Hal. 174 3.Bilgrami, “Iqbal Sekilas Tentang Hidup dan Pikiran-Pikirannya”, terj. Djohan Effendi. Bulan Bintang. 1982. Hal. 16 4.Syarif, “Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan”, terj. Yusuf Jamil. Mizan, 1993. Hal. 93-94 5.Bilgrami, “Iqbal Sekilas Tentang Hidup dan Pikiran-Pikirannya”, terj. Djohan Effendi. Bulan Bintang. 1982. Hal. 15 6.Abd Wahhab Azzam. “Filsafat dan Puisi Iqbal”, terj. Rafi Utsman. Pustaka. 1985. Hal. 3843 7.Syarif, “Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan”, terj. Yusuf Jamil. Mizan. 1993. Hal. 99 8.Ibid, 133 9.Ali Mudhaffir. “Kamus Teori & Aliran dalam Filsafat”. Liberty. 1988. Hal. 100 10.Syarif, “Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan”, terj. Yusuf Jamil. Mizan. 1993. Hal. 131



Negative MUHAMMAD IQBAL oleh Fat Hurrahman I. PENDAHULUAN Muhammad Iqbal, penyair, pujangga dan filosof besar abad ke-20, dilahirkan di Sialkot, Punjab, Pakistan pada 9 Nopember 1877[1]. Dalam makalah ini, penulis mencoba mengangkat seorang pemikir, pujangga, pembaharu Islam Iqbal yang bukan saja berpengaruh di negerinya Pakistan tapi juga di Indonesia sendiri[2]. Disini penulis menitik beratkan pada pemikirannya di bidang hukum Islam walaupun disinggung sedikit tentang perannya dibidang perpolitikan. Di dalam kehidupannya Iqbal berusaha secara serius terhadap perumusan dan pemikiran kembali tentang Islam. Meskipun Iqbal tidak diberi umur panjang tapi lewat tarian



penanyalah yang menghempaskan bangunan unionist dan meratakan jalan untuk berdirinya Pakistan, memang pena lebih tajam dari pada pedang. Dia mengkritik sebab kemunduran Islam kerena kurang kreatifnya umat Islam, konkritnya bahwa pintu Ijtihad telah ditutup. Sehingga umat Islam hanya bisa puas dengan keadaan yang sekarang didalam kejumudan. II. LATAR BELAKANG Iqbal berasal dari keluarga miskin, dengan mendapatkan beasiswa dia mendapat pendidikan bagus[3]. Keluarga Iqbal berasal dari keluarga Brahmana Kashmir yang telah memluk agama Islam sejak tiga abad sebelum kelahiran Iqbal, dan menjadi penganut agama Islam yang taat[4]. Pada usia sekolah, Iqbal belajar Al Qur’an di surau. Disinilah Iqbal banyak hapal ayatayat Al Qur’an yang selanjutnya jadi rujukan pengembangan gagasannya dalam pembaharuan keislamannya. Selanjutnya di meneruskan ke Scottish Mission School, Sialkot. Disini dia bertemu guru ternama sekaligus teman karib ayahnya, Sayid Mir Hasan. Pengaruh Mir Hasan ini sangat kuat pada dirinya ini dibuktikannya dengan menolak pemberian gelar Sir oleh pemerintah inggris pada tahun 1922, sebelum gurunya mendapat gelar kehormatan pula, yaitu Syams al- ‘Ulama. Dalam sebuah sajaknya Iqbal mengakuinya : Cahaya dari keluarga Ali yang penuh berkah Pintu gerbangnya dibersihkan senatiasa Bagiku bagaikan Ka’bah Nafasnya menumbuhkan tunas keinginanku, penuh gairah hingga menjadi kuntum bunga yang merekah indah Daya kritis tumbuh dalam diriku oleh cahayanya yang ramah [5].



Pada tahun 1895 Iqbal menyelesaikan pelajarannya di Scottish dan pergi ke Lahore. Disini ia melanjutkan studi Government College gurunya adalah – Sir Thomas Arnold[6]. Disini dia mendapatkan dua kali medali emas karena baiknya bahasa Inggris dan Arab karena kejeniusannya pula dia menjadi mahasiswa kesayangan Sir Thomas Arnold[7]. Arnoldlah yang mendorongnya agar -melanjutkan pendidikannya ke Inggris karena melihat kejeniusan Iqbal. Setelah selesai di Government College Iqbal belajar ke Eropa pada tahun 1905. Dari sini pengembangan intelektual Iqbal dimulai[8]. Iqbal memilih melanjutkan di Cambridge University, Inggris, ia belajar filsafat dengan Mc. Taggart, kemudian mengambil gelar doktor (Ph.D) di Munich, Jerman dan lulus pada tahun1908 dengan disertasi berjudul The development of Methapysics of Persia[9]. Didalam disertasi inilah Iqbal mengkritik tajam ajaran tasawwuf dengan mengatakan tidak mempunyai dasar yang kukuh dan historis dalam ajaran Islam yang murni. Iqbal melihat ada nilai-nilai baik yang transendental yang tak dimiliki oleh Eropa. Barat, menurut Iqbal, kehilangan semangat spritual dan terlalu menumpukan pada rasio dalam menjawab setiap problematika.”Meskipun ia mengakui Eropa baik, tapi ia yakin Islam lebih baik[10]. Dia kembali dari Eropa sebagai Pan-Islamis bahkan bisa dikatakan sebagai puritan. Perubahan spritual dan ideologis Iqbal makin dalam dari nasionalis menjadi kampiun kebangsaan Muslim dia merasa yakin bahwa antara Hindu dan Islam harus punya negara masing-masing secara terpisah dan tindakannya sendiri sudah jelas. III. KEMBALI KE PAKISTAN. Iqbal kembali pada tahun 1908. Dia berprofesi sebagai pengacara, guru besar di Universitas dan penyair sekaligus. Namun dia meninggalkan profesinya dan menjadi penyair sejati[11]. Ia berpendapat bahwa kemunduran ummat Islam selama lima ratus tahun terakhir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran[12]. Di masa Pakistan inilah bukunya banyak dihasilkan. 1. Karya yang berbahasa Persia Asrar-i– Khindi, Rumuz-i-Berkhudi, Payam-i-Masriq, Zaburi-i– Ajam, Jawid Namah, Pasceh Baid Aye Aqwam-i-Syarq dan Lala-i-Thur. 2. Yang berbahasa Urdu : Ilmu Al-Iqtisad (ilmu ekonomi), Bang-i-Dara, Bal-i– Jibril, Zarb-i-Kalim, Arughan-i-Hijaz, Iblis ki Majlis-i-Syura, Iqbal Namas, Makatib Iqbal, dan Bagiyat-i-Iqbal.



3. Yang berbahasa Inggris : Develoment of Methaphysies in Persia : A Contribution to the history of Moslem, Philoshopy (perkembangan metafisika Persia suatu sumbangan untuk sejarah filsafat Islam) dan the Reconstroction of Religius Thought in Islam (pengembangan kembali alam pikiran Islam)[13]. Pergeseran pemikiran Iqbal ini lebih memprlihatkan bentuknya dalam karyanya Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam. Buku ini kumpulan dari enam ceramahnya di Madras, Hyderabad dan Aligarh. Edisi pertama buku ini terbit di Lahore pada 1930, berjudul Six Lecturer on the Reconsturction of Religious Thought in Islam. Pada edisi berikutnya disederhanakan menjadi – The Reconstruction of Religious Thought in Islam disini dia telah mencapai posisinya sebagai pemikir liberal yang telah mencapai kematangan intelektual. Dia mengecam terhadap filsafat Yunani, terutama Plato, sebagai penyebab mundurnya ummat Islam[14]. IIV. PEMIKIRAN IQBAL TENTANG SUMBER HUKUM ISLAM A. AL-QUR’AN Sebagai seorang Islam yang di didik dengan cara kesufian[15], Iqbal percaya kalau al-Qur’an itu memang benar diturunkan oleh Allah kepada – Nabi Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril dengan sebenar-benar percaya, kedudukannya adalah sebagai sumber hukum yang utama dengan pernyataannya “The Qur’an is a book which emphazhise ‘deed’ rather than ‘idea’ “ (al Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita)[16]. Namun demikian dia menyatakan bahwa bukanlah al – Qur’an itu suatu undang-undang. Dia dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan sebenarnya al Qur’an adalah – membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta,



Qaur’an



tidak



memuatnya



secara detail



maka



manusialah



dituntut



pengembangannya.Ini didalam rumusan fiqh dikembangkan dalam prinsip ijtihad, oleh iqbal disebut prinsip gerak dalam struktur Islam. Disamping itu al – Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al – Qur’an tidak melarang untuk mempertimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat juga harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. “ Akibat



pemahaman yang kaku terhadap pendapat ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya”.[17] Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al Qur’an, namun dia melihat ada dimensi-dimensi didalam al Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus dikonservasikan, sebab ketentuan itu berlaku konstan. Menurutnya para mullah dan sufi telah membawa umat Islam jauh dari maksud al Qur’an sebenarnya. Pendekatan mereka tentang hidup menjadi negatif dan fatalis. Iqbal mengeluh ketidakmampuan umat Islam India dalam mamahami – al -Qur’an disebabkan ketidakmampuan terhadap memahami bahasa Arab dan telah salah impor ide-ide India ( Hindu ) dan Yunani ke dalam Islam dan – al-Qur’an. Dia begitu terobsesi untuk menyadarkan umat islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun umat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan segi-segi legalita dan kehidupan duniawi. Sedangkan Kristen gagal dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan negara, undang-undang dan organisasi, karena lebih mementingkan segi-segi ritual dan spritual saja. Dalam kegagalan kedua agama tersebut al-Qur’an berada ditengah-tengah dan sama-sama mementingkan kehidupan individual dan sosial ;ritual dan moral. Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan kedua sisi kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali, inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu. Pandangan Iqbal tentang kehidupan yang equilbirium antara moral dan agama ; etik dan politik ; ritual dan duniawi, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam pemikiran Islam. Namun, dalam perjalanan sejarah, pemikiran demikian terkubur bersama arus kehidupan politik umat Islam yang semakin memburuk, terutama sejak keruntuhan dan kehancuran Bagdad, 1258. sehingga masyarakat Islam tidak mampu lagi menangkap visi dinamis dalam doktrin Islam – (al-Qur’an). Akhirnya walaupun tidak ditegaskan kedalam konsep oleh para mullah lahirlah pandangan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama yang menyeret umat untuk meninggalkan kehidupan duniawi, akibatnya, hukum pun menjadi statis dan al-Qur’an tidak mampu di jadikan sebagai referensi utama dalam hal menjawab setiap problematika.



Inilah yang terjadi dalam lingkungan sosial politik umat Islam. Oleh sebab itu, Iqbal ingin menggerakkan umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al – Qur’an. Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al – Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturanperaturan yang mati dan kaku. Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al – Qur’an, namun ia melihat ada dimensi-dimensi didalam al – Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus di konservasikan ( pertahankan), sebab ketentuan itu berlaku konstan[18]. B. AL-HADIST Sejak dulu hadist memang selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam itu lewat ajaran Islam itu sendiri. Kalangan orientalis yang pertama kali melakukan studi tentang hadist adalah Ignaz Goldziher. Menurutnya sejak masa awal Islam dam masa-masa berikutnya , mengalami proses evolusi, mulai dari sahabat dan seterusnya hingga menjadi berkembang di mazhab-mazhab fiqih. Iqbal menyimpulkan bahwa dia tidak percaya pada seluruh hadist koleksi para ahli hadist[19]. Iqbal setuju dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadist, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan Da’wah Islamiyah adalah memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi



Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadist yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadist-hadist pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abdul Malik dan Al Zuhri telah membuat koleksi hadist tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadist daripada koleksi belaka. Oleh karenanya, Iqbal memandang perlu umat Islam melakukan studi mendalam terhadap literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyu-Nya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al – Qur’an. Pandangan Iqbal tentang pembedaan hadist hukum dan hadist bukan hukum agaknya sejalan dengan pemikiran ahli ushul yang mengatakan bahwa hadist adalah penuturan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw.yang berkaitan dengan hukum; seperti mengenai kebiasaankebiasaan Nabi yang bersifat khusus untuknya, tidak wajib diikuti dan diamalkan. C. IJTIHAD Katanya “exert with a view to form an independent judgement on legal question”, (barsungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang baik hadist maupun al-Qur’an mamang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut, disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabadabad dikembangkan dan dimodifikasi oleh para ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul, sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (mazdhab), Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, Iqbal membagi kualifikasi ijtihad kedalam tiga tingkatan, yaitu : 1. Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja. 2. Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab.



3. Otoritas Khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzdab. Namun Iqbal lebih memberi perhatian pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl- al- sunnah, tetapi dalam kenyataannya telah dipungkiri sendiri sejak berdirinya madzhab-madzhab. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam satu sistem hukum al Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibat ketatnya ketentuan ijtihad ini, akhirnya hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang. Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan para ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konskuensinya, hukum Islam pun statis tak berkembang selama beberapa abad. Iqbal mendeteksi penyebab kemunduran Islam itu ada tiga faktor : 1. Gerakan rasionalisme yang liar, dituduh sebagai penyebab disintegarasi umat Islam dengan melempar isu keabadian al – Qur’an[20].Oleh karena itu, kaum konservatif hanya memilih tempat yang aman dengan bertaklid kepada imamimam mazhab. Dan sebagai alat yang ampuh untuk membuat umat tunduk dan diam[21]. Disamping itu, perkembangan ini melahirkan fenomena baru, yaitu lahirnya kecendrungan menghindari duniawi dan mementingkan akhirat dan menjadi apatis. Akhirnya Islam menjadi lemah tak berdaya. 2. Setelah Islam menjadi lemah penderitaan terus berlanjut pada tahun 1258 H kota pusat peradaban Islam diserang dan diporak-porandakan tentara mongol pimpinan Hulagu Khan. 3. Sejak itulah lalu timbul disintegrasi. Karena takut disintegrasi itu akan menguak lebih jauh, lalu kaum konsrvatif Islam memusatkan usaha untuk menyeragamkan



pola kehidupan sosial dengan mengeluarkan bid’ah-bid’ah dam menutup pintu ijtihad. Ironisnya ini semakin memperparah keadaan dalam dunia Islam. Bagi Iqbal untuk membuang kekakuan ini hanya dengan jalan menggalakkan kembali ijtihadijma’ dan merumuskannya sesuai dengan kebutuhan zaman modern saat sekarang. Namun demikian, rumusan ijtihad juga harus tetap mengacu kepada kepentingan masyarakat dan kemjuan umum. Bukan berdasarkan pemikiran-pemikiran spekulatif subjektif yang bertentangan dengan semangat dan nilai dasar hukum Islam. Oleh karenanya Iqbal memandang perlu mengalihkan kekuasaan ijtihad secara pribadi menjadi ijtihad kolektif atau ijma’. Pada zaman modern, menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili madzhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah satu-satunya bentuk paling tepat bagi ijma’. Hanya cara inilah yang dapat menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang selama ini telah hilang dari dalam tubuh umat Islam[22]. V. ANALISIS Dari pemikiran-pemikiran Iqbal diatas tadi, sudah saatnya kita bergerak dan tidak terpaku dengan keadaan sekarang didalam kejumudan. Kita ingin umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al – Qur’an. Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al – Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku. Dan jangan sampai kebebasan yang ada disalah gunakan untuk kepentingan sendiri dan golongan dengan mengatas namakan hukum agama. Kita sekarang memang sedang krisis ketauladanan. Yang ada hanya pembodohan umat dimana-mana. Hukum dibuat bagai mainan. Bahkan yang lebih parah lagi kalau sudah seorang ulama memperalat masyarakat Islam hanya untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga. VI. PENUTUP



Muhammad Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik, filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang sesungguhnya, Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam secara liberal dan radikal. Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak dan perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hukum Islam dihadapkan kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah hukum Islam memberi jawaban yang cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak dan perubahan ini?. Dengan tepat Iqbal menjawab, “bisa, kalau umat Islam memahami hukum Islam seperti cara berfikir ‘Umar Ibn Al Khathtab”.