Bisnis Dan Etika Dalam Dunia Modern [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ETIKA BISNIS



BAB I Bisnis Dan Etika Dalam Dunia Modern



Tiga Aspek Pokok Dari Bisnis Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks. Banyak faktor yang turut mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis. Antara lain ada faktor organisatoris – manajerial, ilmiah – teknologis, dan politik – sosial – kultural.Bisnis sebagai kegiatan sosial bisa disoroti sekurang – kurangnya dari tiga sudut pandang yang berbeda tetapi tidak selalu mungkin dipisahkan, yaitu sudut pandang ekonomi, hokum, dan etika. a.Sudut Pandang Ekonomis Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah tukar menukar, jual – beli, memproduksi – memasarkan, bekerja – memperkerjakan, dan interaksi manusiawi lainnya dengan maksud memperoleh untung. Bisnis dapat dilogiskan sebagai kegiatan ekonomis yang kurang lebih terstruktur atau terorganisasi untuk menghasilkan keuntungan. Dalam bisnis modern, untung diekspresikan dalam bentuk uang. Tetapi hal itu tidak hakiki untuk bisnis. Bisnis berlangsung sebagai komunikasi sosial yang menguntungkan untuk kedua belah pihak yang melibatkan diri. Bisnis bukanlah karya amal. Bisnis justru tidak mempunyai sifat membantu orang dengan sepihak, tanpa mengharapkan suatu kembali. Teori ekonomi menjelaskan bagaimana dalam sistem ekonomi pasar bebas para pengusaha dengan memanfaatkan sumber daya langka, menghasilkan barang dan jasa yang berguna bagi masyarakat. Efisiensi ekonomis artinya hasil maksimal akan dicapai dengan pengeluaran minimal. Efisiensi merupakan kata kunci dalam ekonomi modern. Dipandang dari sudut ekonomis, good business atau bisnis yang baik adalah bisnis yang membawa banyak untung.



b. Sudut Pandang Moral Dengan tetap mengakui peranan sentral dari sudut pandang ekonomis dalam bisnis, perlu segera ditambahkan adanya sudut pandang lain yang tidak boleh diabaikan, yaitu sudut pandang moral. Bisnis yang baik (good business) bukan saja bisnis yang menguntungkan. Bisnis yang baik adalah juga bisnis yang baik secara moral. Malah perlu ditekankan, arti moralnya merupakan salah satu arti penting bagi kata “ baik “. Perilaku yang baik merupakan perilaku yang sesuai dengan norma – norma moral, perilaku yang buruk bertentangan atau menyimpang dari norma – norma moral. Suatu perbuatan dapat dinilai baik menurut arti terdalam justru kala memenuhi standard etis tersebut.



c.Sudut Pandang Hukum Tidak bisa diragukan lagi, bisnis terikat juga oleh hukum. “ Hukum Dagang “ atau “ Hukum Bisnis “merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Seperti etika pula, hukum merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Terdapat kaitan erat antara hukum dan etika. Dalam kekaisaran Roma sudah dikenal pepatah : “ Quid leges sine moribus? “, yang berarti “ Apa artinya undang – undang, kalau tidak disertai moralitas? “ Walaupun terdapat hubungan erat antara norma hukum dan norma etika, namun dua macam norma itu tidak sama. Disamping sudut pandang hukum, kita tetap membutuhkan sudut pandang moral. Untuk itu dapat dikemukakan beberapa alasan. Pertama, banyak hal bersifat tidak etis, sedangkan menurut hukum tidak dilarang. Tidak semuanya yang bersifat immoral adalah ilegal juga. Malah ada perilaku yang dari segi moral sangat penting, tetapi tidak diatur oleh hukum. Kedua, bahwa proses terbentuknya undang – undang atau peraturan hukum memakan waktu lama, sehingga masalah – masalah baru tidak bisa segera diatur secara hukum. Ketiga, bahwa hukum itu sering kali bisa disalahgunakan. Perumusan hukum tidak pernah sempurna sehingga orang yang beritikat buruk bisa memanfaatkan celah – celah dalam hukum. Alasan yang keempat cukup dekat dengan itu. Bisa terjadi, hukum memang bisa dirumuskan dengan baik, tetapi karena salah satu alasan sulit untuk dilaksanakan, misalnya, karena sulit dijalankan control yang efektif. Kelima, hukum kerap kali mempergunakan pengertian yang dalam konteks hukum itu sendiri tidak di definisikan dengan jelas dan sebenarnya diambil dari konteks moral.



Tolak Ukur Untuk Tiga Sudut Pandang Ini a. Hati Nurani Suatu perbuatan adalah baik jika dilakukan sesuai hati nurani dan suatu perbuatan adalah buruk jika dilakukan bertentangan dengan hati nurani. Hati nurani adalah norma yang sering kali sulit dipakai dalam forum umum dan harus dilengkapi dengan norma – norma yang laen.



b. Kaidah Emas Cara lebih objektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya dengan kaidah emas yang berbunyi : “ hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana anda sendiri ingin diperlakukan. “ Kaidah emas dapat dirumuskan dengan cara positif maupun negatif. Tadi diberikan perumusan positif. Bila dirumuskan secara negatif, kaidah emas berbunyi : “ janganlah melakukan terhadap orang lain, apa yang anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri anda. “



c. Penilaian Umum Cara ketiga dan barangkali yang paling ampuh untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah menyerahkannya kepada masyarakat umum untuk dinilai. Cara ini bisa disebut juga “ audit sosial. “ Sejauh masyarakat yang menilai masih terbatas, hasil penilaiannya mudah bersifat subjektif. Untuk mencapai suatu tahap objektif, perlu penilaian moral dijalankan dalam suatu forum yang seluas mungkin. Karena itu “ audit sosial “ menuntut adanya ketebukaan. Dapat disimpulkan, supaya patut disebut good business, tingkah laku bisnis harus memenuhi syarat – syarat dari semua sudut pandang tadi.



2.Apa Itu Etika Bisnis?



Kata “ etika “ dan “ etis “ tidak selalu dipakai dalam arti yang sama. Untuk menganalisis arti – arti etika adalah membedakan antara “ etika sebagai praksis “ dan “ etika sebagai refleksi. “ Etika sebagai praksis berarti : nilai – nilai dan norma – norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan, walaupun seharusnya dipraktekkan. Dapat juga dikatakan, etika sebagai praksis adalah apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral. Etika sebagai praksis sama artinya dengan moral atau moralitas : apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dsb. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi, kita berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku seseorang. Etika sebagai ilmu mempunyai tradisi yang sudah lama. Tradisi ini sama panjangnya dengan seluruh sejarah filsafat, karena etika dalam arti ini merupakan suatu cabang filsafat. Karena itu etika sebagai ilmu sering disebut juga filsafat moral atau etika filosofis. Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari baik buruknya manusia. Karena itu etika dalam arti ini disebut juga filsafat praktis. Seperti etika terapan pada umumnya, etika bisnis dapat dijalankan pada tiga taraf : taraf makro, meso, dan mikro. Pada taraf makro, etika bisnis mempelajari aspek – aspek moral dari sistem ekonomi sebagai keseluruhan. Jadi, disini masalah – masalah etika disoroti pada skala besar. Pada taraf meso, etika bisnis menyelidiki masalah – masalah etis dibidang organisasi. Pada taraf mikro, yang difokuskan ialah individu dalam hubungan dengan ekonomi atau bisnis. Disini mempelajari tanggung jawab etis dari karyawan dan majikan, bawahan dan manajer, dll.



3.Perkembangan Etika Bisnis



Sepanjang sejarah, kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika. Sejak manusia terjun dari perniagaan, kegiatan ini tidak terlepas dari masalah etis. Aktivitas perniagaan



selalu sudah berurusan dengan etika, artinya selalu harus mempertimbangkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Belum pernah dalam sejarah, etika bisnis mendapat perhatian begitu besar dan intensif seperti sekarang ini. Richard De George mengusulkan untuk membedakan antara etika dalam bisnis dan etika bisnis. Etika dalam bisnis berbicara tentang bisnis sebagai salah satu topik disamping sekian banyak topik lainnnya. Etika dalam bisnis belum merupakan suatu bidang khusus yang memiliki corak dan identitas tersendiri. Etika dalam bisnis mempunyai riwayat yang sudah panjang sekali, sedangkan umur etika bisnis masih muda sekali. Etika bisnis dalam arti khusus ini pertama kali timbul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Dengan memanfaatkan dan memperluas pemikiran De George ini kita dapat membedakan lima periode dalam perkembangan etika dalam bisnis menjadi etika bisnis, yaitu situasi dahulu, masa peralihan : tahun 1960an, etika bisnis lahir di Amerika Serikat tahun 1970an, etika bisnis meluas ke Eropa tahun 1980an, dan etika bisnis menjadi fenomena global tahun 1990an.



4.Profil Etika Bisnis Dewasa Ini



Praktis di segala kawasan dunia etika bisnis diberikan sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Menurut dugaan De George, tahun 1987, di Amerika Serikat saja diberikan lebih dari 500 kuliah etika bisnis, yang melibatkan lebih dari 40.000 mahasiswa. Banyak sekali publikasi diterbitkan tentang etika bisnis. Pada tahun 1987 De George menyebut paling sedikit 20 buku pegangan tentang etika bisnis dan 10 buku kasus di Amerika Serikat. Sekurang – kurangnya ada tiga seri buku tentang etika bisnis, yaitu The Ruffin Series In Business Attics, Issues In Business Attics, Sage Series In Business Attics. Sudah ada cukup banyak jurnal ilmiah khusus tentang etika bisnis. Dalam bahasa Jerman sudah tersedia kamus tentang etika bisnis : Lexikon der Wirtschaftsethik (Kamus Etika Ekonomi) Sekarang dapat ditemukan juga cukup banyak institut penelitian yang mendalami masalah etika bisnis. Sudah didirikan beberapa asosiasi dengan tujuan khusus memajukan etika bisnis. Di Amerika Serikat dan Eropa Barat disediakan beberapa program studi tingkat S2 dan S3 khusus di bidang etika bisnis.



5.Faktor Sejarah Dan Budaya Dalam Etika Bisnis



Dewasa ini orang akan merasa bangga, bila dapat menunjukkan kartu nama yang menyingkapkan identitasnya sebagai direktur atau manajer perusahaan yang ternama. Bisnis sebagai pekerjaan tidak dinilai kurang dari profesi lain, terutama kalau menghasilkan pendapatan tinggi.



Jika kita mempelajari sejarah dunia barat, sikap positif ini tidak selamanya menandai pandangan terhadap bisnis. Sebaliknya, berabad – abad lamanya terdapat tendensi cukup kuat yang memandang bisnis atau perdagangan sebagai kegiatan yang tidak pantas bagi manusia beradab. Pedagang tidak mempunyai nama baik dalam masyarakat barat di masa lampau. Orang seperti pedagang jelas – jelas dicurigai kualitas etisnya. Sikap negatif ini berlangsung terus sampai zaman modern dan baru menghilang seluruhnya sekitar waktu industrialisasi.



6.Kritik Atas Etika Bisnis



Etika bisnis sebagai usaha intelektual dan akademis yang baru pasti masih menderita banyak “ penyakit anak. ” Banyak hal yang perlu dikerjakan lagi dan banyak hal yang sudah dikerjakan perlu disempurnakan. Karena itu etika bisnis harus terbuka bagi kritik yang membangun. Dibawah ini akan dibahas beberapa contoh. Barangkali penjelasan ini bisa membantu mendapatkan gambaran lebih lengkap tentang maksud etika bisnis sekarang ini.



a.Etika Bisnis Mendiskriminasi



Kritik pertama ini berasal dari Peter Drucker, ahli ternama dalam bidang teori manajemen. Inti keberatan Drucker ialah bahwa etika bisnis menjalankan semacam diskriminasi. Mengapa dunia bisnis harus dibebankan dengan etika? Mereka berpendapat bahwa perbuatan yang tidak bersifat immoral atau ilegal kalau dilakukan orang biasa menjadi immoral atau ilegal kalau dilakukan oleh orang bisnis. Dan Drucker menyimpulkan bahwa etika bisnis itu menunjukkan adanya sisa – sisa dari permusuhan yang lama terhadap bisnis dan kegiatan ekonomis. Kritiknya berasal dari salah paham besar terhadap etika bisnis. Justru karena orang bisnis merupakan orang biasa, mereka membutuhkan etika. Adanya etika bisnis membuktikan bahwa bagi bisnis justru tidak ada pengecualian.



b.Etika Bisnis Itu Kontradiktif



Kritik ini ditemukan dalam kalangan populer yang cukup luas. Orang – orang ini menilai etika bisnis sebagai suatu usaha naïf. Dunia bisnis itu ibarat rimba raya dimana tidak ada tempat untuk etika. Etika dan bisnis bagaikan air dan minyak.



c.Etika Bisnis Tidak Praktis



Andrew Stark, seorang dosen manajemen di Universitas Toronto memberikan kritik yang cukup pedas. Menurut Stark, etika bisnis adalah “ too general, too theoretical, too impractical. “ Ia



menilai, kesenjangan besar menganga antara etika bisnis akademis dan para professional di bidang manajemen. Dan ia memberi komentar : apa yang mereka hasilkan itu seringkali lebih mirip filsafat sosial yang muluk – muluk daripada advis etika yang berguna untuk para profesional. Karena itu kita mencoba untuk menanggapinya sebagai berikut. Pertama, Stark hanya memandang dan mengutip artikel dan buku ilmiah tentang etika bisnis. Kedua, Stark merupakan contoh tentang tendensi Amerika Utara untuk mengutamakan tahap mikro dalam etika bisnis. Ia hanya memperhatikan aspek – aspek etis dari keputusan yang harus diambil manajer dan kurang berminat untuk kerangka menyeluruh dimana pekerjaannya ditempatkan. Ketiga, sebagai ilmu, etika bisnis selalu bergerak pada taraf refleksi dan akibatnya pada taraf teoritis juga.



d.Etikawan Tidak Bisa Mengambil Alih Tanggung Jawab



Kritisi ini meragukan entah etika bisnis memiliki keahlian etis khusus, yang tidak dimiliki oleh para pebisnis dan manajer itu sendiri. Kritik tersebut merupakan salah paham. Etika bisnis sama sekali tidak bermaksud mengambil alih tanggung jawab etis dari para pebisnis. Etika bisnis tidak berpretensi memiliki keahlian yang sama sifatnya seperti banyak keahlian yang lain. Etika bisnis tidak bermaksud mengganti tempat dari orang yang mengambil keputusan moral. Etika bisnis bisa membantu untuk mengambil keputusan moral yang dapat dipertanggungjawabkan, tapi tidak berniat mengganti tempat dari para pelaku moral dalam perusahaan. Bagi etika bisnis berlaku peribahasa inggris : “ you can lead the horse to the water, but you cannot make him drink. “



BAB II TEORI ETIKA 1. Pengertian Etika Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” = Adat Istiadat Etika merupakan nilai-nilai, tata cara, aturan hidup yang baik dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain yang terwujud dalam pola perilaku dan dilakukan berulang dalam waktu yang lama. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak.



A. Norma Norma merupakan sebuah aturan atau ukuran mengenai bagaimana manusia hidup dan bertinda dengan baik dan menjadi dasar baik buruknya suatu perilaku / tindakan. Norma dibagi menjadi 2 macam: (1) Norma Umum Norma Umum bersifat umum dan sampai pada tingkat tertentu boleh dikatakan bersifat universal. –Norma Sopan Santun atau norma etiket : norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah dalam pergaulan sehari-hari Etika tidak sama dengan Etiket, Etiket hanya menyangkut perilaku lahiriah yang menyangkut sopan santun atau tata krama –Norma Hukum: norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. – Norma Moral: aturan mengenai sikap dan perilaku manusia (2) Norma Khusus : aturan yang berlaku dalam bidang kegiatan khusus / tertentu. contoh: aturan pendidikan



B. Teori Etika 1. Etika Teleologi Berasal dari kata Yunani, telos = tujuan -> Mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Contoh: seorang anak kecil yang mencuri demi biaya pengobatan



ibunya yang sedang sakit (tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan tindakan, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Kalau tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik). Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa etika teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu.Adapun Alirannya adalah: – Egoisme Etis Inti pandangan egoisme -> tindakan setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Egoisme akan menjadi persoalan yang serius ketika cenderung menjadi hedonistis ( ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar) – Utilitarianisme Berasal dari bahasa latin “utilis” -> Bermanfaat Menurut teori ini, suatu tindakan atau perbuatan dikatakan baik jika membawa manfaat, tidak hanya 1 atau 2 orang saja melainkan bermanfaat untuk masyarakat Dalam rangka pemikirannya, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu tindakan atau perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar. Utilitarianisme, dibedakan menjadi dua macam : a. Utilitarianisme Perbuatan (Act Utilitarianism) b. Utilitarianisme Aturan (Rule Utilitarianism)



2. Deontologi Berasal dari kata Yunani “deon” -> kewajiban. ‘Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai buruk’, deontologi menjawab : ‘karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’. Ada tiga prinsip yg harus dipenuhi : – Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan kewajiban – Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu, berarti kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik – Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal



3. Teori Hak: pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku.



Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.



4. Teori Keutamaan ( Virtue): Memandang sikap atau akhlak seseorang. Apa yang dimaksud dengan keutamaan?keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut: diposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Ada banyak keutamaan dan semua keutamaan dan semua keutamaan untuk setiap orang dan untuk setiap kegiatan. Diantara keutamaan yang harus menandai pebisnis perorangan bisa disebut: kejujuran, fairness, kepercayaan, dan keuletan. Kejujuran secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang harus dimiliki oleh pelaku bisnis. Orang yang mempunyai keutamaan kejujuran tidak akan berbohong atau menipu dalam transaksi bisnis, bahkan kalau penipuan sebenarnya gampang. Perlu diakui, tentang keutamaan kejujuran kadang-kadang ada kesulitan juga. Garis perbatasan antara kejujuran dan ketidakjujuran tidak selalu bisa ditarik dengan tajam. Keutamaan kedua adalah fairness. Kata inggris ini sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kerap kali diberi terjemahan “keadilan” dan memang fairness dekat dengan paham “keadilan” tapi tidak sama juga. Barangkali terjemahan yang tidak terlalu meleset adalah: sikap wajar. Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang dengan semeua orang dan dengan “wajar” dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua orang yang terlibat dalam suatu transaksi. Kepercayaan (trust) juga adalah keutamaan yang pentng dalam konteks bisnis. Kepercayaan harus ditempatkan dalam relasi timbale balik. Ada beberapa cara untuk mengamankan kepercayaan. Salah satu cara ialah member garansi atau jaminan. Keutamaan keempat adalah keuletan (Solomon menggunakan kata toughness). Pebisnis harus bertahan dalam banyak situasi yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan negosiasi yang terkadang seru tentang proyek atau transaksi yang bernilai besar. Ia harus berani juga mengambil risiko kecil ataupun besar, karena perkembangan banyak faktor tidak bisa diramalkan sebelumnya. Kelompok keutamaan lain menandai orang bisnis pada taraf perusahaan. Dengan kata lain, keutamaan-keutamaan ini dimiliki manajer dan karyawan sejauh mereka mewakili perusahaan. Keempat keutamaan ini adalah: keramahan, loyalitas, kehormatan, dan rasa malu.



BAB III EKONOMI DAN KEADILAN Hakikat keadilan Keadilan dapat diartikan sebagai to give everybody his own (memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya). Ciri khas keadilan : 1. Keadilan tertuju pada orang lain 2. Keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan 3. Keadilan menuntut persamaan (equality) 4. Pembagian keadilan Pembagian keadilan menurut Thomas Aquinas (1225-1274) yang mendasarkan pandangan filosofisnya atas pemikiran Aristoteles (384-322 SM) disebut juga pembagian klasik, membedakan keadilan menjadi : 1. Keadilan Umum (general justice) : berdasarkan keadilan ini para anggota masyarakat diwajibkan untuk memberi kepada masyarakat (negara) apa yang menjadi haknya. 2. Keadilan Distributif (distributive justice): berdasarkan keadilan ini negara (pemerintah) harus membahi segalanya ddengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat. 3. Keadilan Komutatif (commutative justice) : berdasarkan keadilan ini setiap orang harus memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Pembagian keadilan yang dikemukakan oleh pengarang modern tentang etika bisnis, khususnya John Boatright dan Manuel Velasquez dapat dibedakan menjadi : 1. Keadilan Distributif (distributive Justice) 2. Keadilan Retributif (retributive justice) : berkaitan dengan terjadinya kesalahan 3. Keadilan Kompensatoris (compensatory justice) : berdasarkan keadilan ini orang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada orang atau instansi yang dirugikan Disamping pembagian tersebut, keadilan juga dapat dibedakan menjadi keadilan sosial dan keadilan individu 1. Keadilan distributif pada khususnya Dalam teori etika modern, ada dua macam prinsip untuk keadilan distributif, yaitu : prinsip formal dan prinsip material. Prinnsip formal yang dirumuskan dalam bahasa Inggris berbunyi “equals ought to be treated equally and unequals may be treated unequals”. Yang dapat diartikan bahwa kasus-kasus yang sama harus diperlakukan dengan cara yang sama, sedangkan kasus-



kasus yang tidak sama boleh saja diperlakukan dengan cara yg tidak sama. Sedangkan prinsip material menunjukkan kepada salah satu aspek relevan yang bisa menjadi dasar untuk membagi dengan adil hal-hal yang dicari oleh berbagai orang. Beauchamp dan Bowie menyebut enam prinsip keadilan distributif terwujud apabila diberikan kepada setiap oraang dengan syarat : 1. Bagian yang sama 2. Sesuai dengan kebutuhan individualnya 3. Sesuai dengan haknya 4. Sesuai dengan usaha individualnya 5. Sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat 6. Sesuai dengan jasanya Berdasarkan prinsip material tersebut, telah dibentuk beberapa teori keadilan distributif. Antara lain : 1. Teori egalitariasme (membagi dengan adil berarti membagi rata) 2. Teori sosialistis (membagi adil sesuai dengan kebutuhan individualnya) 3. Teori liberalistis



BAB IV LIBERALISME DAN SOSIALISME SEBAGAI PERJUANGAN MORAL



1. Tinjuan historis 1.1.



John Locke dan milik pribadi



John Locke (1623-1704), seorang filsuf inggris yang banyak mendalami masalah-masalah social politik, secara umum diakui sebagai orang yang pertama kali mendasarkan teori liberalisme tentang milik. Menurut Locke, manusia mempunyai tiga “hak kodrat: (natural right): “life, freedom, and property”. Yang penting adalaha hak atas milik karena keidupan dan kebebasan kita miliki juga. Jadi, hak atas milik menyedia pola untuk memahami kedua hak lain juga. Argumentasinya mempengaruhi secara mendalam pemikiran tentang milik di kemudian hari. Dalam pandangan Locke ini, sudah tampak beberapa cirri kapitalisme liberal yang dengan tegas akan ditolak oleh Karl Marx. Pertama, Locke mengandaikan begitu saja bahwa pekerjaan pun harus diukur atas dasar nilai tukarnya, artinya sebagai komoditas pasaran. Kedua, Locke mengandaikan juga bahwa hasil kerja karyawan menjadi milik sah dari pemilik tanah atau pemilik sarana produksi. 1.2.



Adam Smith dan pasar bebas



Tokoh lain yang pantas dibahas dalam rangka liberalism adalah orang Skotlandia, Adam Smith (1723-1790). Adam Smith menjadi terkenal karena dengan gigih membela pasar brbas di bidang ekonomi. Adam Smith tentu bukan filsuf pertama yang membedakan antara kepentingan-diri dan egoisme, tapi ia melihat pentingnya khusus untuk relasi-relasi ekonomis. Kepentingan diri merupakan motIvasi utama yang mendorong kita untuk mengadakan kegiatan ekonomis. Kegiatan ekonomis di pasar bukan saja menguntungkan bagi pihak-pihak yang langsung terlibat di dalamnya, tetapi bermanfaat juga untuk masyarakat sebagai keseluruhan. Smith menekankan bahwa dengan mengejar kepentingan diri masing-masing dalam sistem pasar para anggota masyarakat mewujudkan kesejahteraan umum yang paling besar. 1.3.



Marxisme dan kritiknya atas milik pribadi



Yang dimaksud dengan marxisme adalah pemikiran Karl Marx (1818-1882) bersama dengan teman seperjuangannya, Friedrich Engels (1820-1895). Marxisme adalah ajaran socialekonomis-politik yang sangat kompleks dan tidak mudah untuk disingkatkan tanpa mengorbankan cukup banyak unsure yang sebenarnya hakiki juga. Bisa dikatakan juga marxisme menolak pemilikan pribadi atas capital atau modal, sebab yang memiliki capital dengan sendirinya memilki juga sarana-sarana produksi. Ciri kapitalisme yang jelek adalah bahwa mereka memperkerjakan orang lain untuk memperkaya diri sendiri. Menurut Marxisme, lembaga pribadi pada dasarnya merupakan penindasan atau eksploitasi kaum pekerja. Di sini dengan jelas tampak inspirasi etis dari marxisme. Tujuannya bukan menghapus milik pribadi begitu saja,



melainkan secara radikal menentang penindasan atau eksploitasi yang berasal dari pemilikan eksklusif atas sarana-sarana produksi. Menurut mereka, cara pemilikan itu harus diganti dengan sistem milik kolektif. 1. Pertentangan dan perdamaian antara liberalism dan sosialisme 2.1.



Liberalisme



Inti pemikiran liberalism adalah tekanannya pada pada kebebasan individual (liber Lat.=bebas). Tugas pokok Negara menurut pandangan liberalism secara klasik dilukiskan sebagai nighwatch state, “Negara jaga malam”, karena Negara hanya membatasi diri pada perlindungan dan pengamanan para warga Negara. 2.2.



Sosialisme



“Sosialisme” berasal dari kata Latin socius yang berarti “teman” atau “kawan”. Sosialisme memandang manusia sebagai makhluk social sebagai sesame yang hidup bersama orang lain. Liberalisme lebih cenderung melihat manusia sebagai individu yang mempunyai kebebasan masing-masing. Masyarakat yang diatur secara liberalism ditandai egoism, sedangkan masyarakat yang diatur secara sosialistis atau kesetiakawanan. 1. Sosialisme komunistis Sosialisme komunistis atau komunisme (communis Lat.=bersama) menolak milik pribadi. Menurut mereka, milik harus menjadi milik bersama atau milik kolektif. Tetai, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Karl Marx tidak menolak semua milik pribadi. Marx dan pengikutpengikutnya membedakan antara pemilikan barang konsumsi dan pemilikan sarana-sarana produksi. Barang konsumsi adalah barang yang dipakai oleh seseorang bersama dengan keluarganya, seperti rumah, kendaraan, fasilitas olah raga, koleksi buku dan lain sebagainya. Yang tidak boleh menjadi milik pribadi adalah sarana-sarana produksi, seperti pabrik. 1. Sosialisme demokratis Sosialisme demokratis juga menempatkan masyarakat di atas individu. Tetapi berbeda dengan komunisme, mereka tidak bersedia mengorbankan sistem pemerintahan demokratis yang mereka anggap sebagai sebuah perolehan modern yang sangat berharga. 2.3.



Kekuatan dan kelemahan



Kekuatan lliberalisme adalah bahwa milik pribadi diakui sebagai cara penting untuk mewujudkan kebebasan pribadi. Tetapi liberalisme juga mempunyai kelemahan. Kelemahannya yang utama adalah bahwa mereka kurang memperhatikan nasib kaum miskin dan orang kurang beruntung dalam perjuangan hidup, seperti kaum buruh dalam masyarakat berindustri. Kekuatan Sosialisme adalah mereka menemukan dimensi transindividual dari milik. Milik selalu mempunyai suatu fungsi social dan tidak boleh dibatasi pada kepentingan pribadi saja.Tetapi, sosialisme mempunyai juga kelemahan dan kelemahan itu terasa cukup besar, bahkan menjadi fatal untuk sistem pemerintahan sosialistis. Ekonomi yang direncakan dengan ketat dari atas ternyata tidak bisa berhasil.



1. Kapitalisme dan demokratisasi Demokratisasi dalam ekonomi dijalankan secara kapitalistis di Negara-negara industry Barat merupakan fenomena yang sangat menarik. Pertama, sistem pemerintahan demokratis berhasil mengoreksi beberapa ekses kapitalisme. Kedua, antagonism antara kelas-kelas seperti dimengerti marxisme, dalam sistem pemerintahan demokratis cukup teratasi. Kaum pekerja tidak lagi berpolarisasi dengan kau majikan karena mereka menyadari mempunyai banyak kepentingan bersama. Ketiga, fenomena yang barangkali menarik adalah pemilikan sarana produksi yang semakin merata.



1. Etika pasar bebas Pandangan Gauthier yang pernah mengemukakan pendapat bahwa pasar tidak membutuhkan moralitas. Pasar sempurna dimaksudkan pasar di mana kompetisi berjalan dengan sempurna. Pada kenyataanya, proses-proses di pasaran selalu disertai macam-macam kegagalan dan kekurangan. Namun demikian, sistem pasar bebas yang bisa dijalankan sekarang tetap merupakan sistem ekonomi yang paling unggul. Pentingnya etika dalam semuanya ini terutama tampak dari dua segi. Pertama dari segi keadilan social, supaya kepada semua peserta dalam kompetisi di pasar diberikan kesempatan yang sama. Kedua, dalam konteks pasar bebas etika sangat dibutuhkan sebagai jaminan agar kompetisi berjalan dengan baik dari sudut moral. Semua peserta dalam pasar bebas harus berlaku dengan fair.



BAB V KEUNTUNGAN SEBAGAI TUJUAN PERUSAHAAN



Perdagangan memiliki arti yang luas hingga meliputi kegiatan ekonomis seperti barter. Sedangkan bisnis merupakan perdagangan yang bertujuan khusus memperoleh keuntungan finansial. Robert Solomon menekankan bahwa keuntungan atau profit merupakan buah hasil suatu transaksi moneter. Profit berkaitan dengan kegiatan ekonomis, dimana kedua pihak menggunakan uang. Profit diperoleh tidak kebetulan tapi berkat uapaya khusus dari orang yang mempergunakan uang. Karena hubungan dengan transaksi uang itu, perolehan profit secara khusus berlangsung dalam konteks kapitalisme. Dan keterikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu alasan khusus mengapa bisnis selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika. ’Tidak semua kegiatan usaha menguntungkan’, merupakan salah satu contoh penjelasan tentang keuntungan sebagaimana dibahas dalam beberapa poin dibawah ini: Tidak bisa dikatakan bahwa setiap kegiatan bisnis menghasilkan keuntungan Keuntungan atau profit baru muncul dalam kegiatan ekonomi yang memakai sistem keuangan Dalam penukaran barang dengan barang (barter) tidak diperoleh profit, walaupun kegiatan itu bisa menguntungkan kedua belah pihak. Profit diperoleh tidak secara kebetulan, tetapi berkat upaya khusus dari orang yang mempergunakan uang. Uang diperoleh berdasarkan kupon undian atau karena main judi tidak bisa dikatakan profit, berbeda dengan uang yang dihasilkan dengan perdagangan saham. Profit berkonotasi ganjaran bagi upaya yang berhasil, tetapi tidak berarti seluruhnya tergantung pada kepiawaian si pebisnis, untuk sebagian orang perolehan profit tergantung juga pada faktor mujur atau sial. Karena hubungan dengan transasksi uang, perolehan profit secara khusus berlangsung dalam konteks kapitalisme. Menurun pandangan ini, kapitalis meliputi 3 unsur pokok: lembaga milik pribadi, praktek pencarian keuntungan, dan kompetisi dalam sistem ekonomi pasar bebas. Keuntungan hanya dapat diperoleh dengan menggunakan modal yang menjadi milik pribadi, dan perolehan keuntungan hanya dimungkinkan dalam rangka pasar bebas. Akumulasi modal merupakan inti kapitalis, dengan meningkatnya keuntungan bobot modal akan bertambah besar, kemudian dapat diinvestasikan dalam usaha produktif, sehingga menghasilkan kekayaan yang lebih besar lagi, dst..



1. Maksimalisasi Keuntungan Sebagai Cita-cita Kapitalisme Liberal Jika maksimalisasi keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, maka dengan sendirinya timbul keadaan tidak etis. Memperalat karyawan, berarti tidak menghormati mereka sebagai manusia dan tidak menghormati martabat manusia. Karena semua dikerahkan dan dimanfaatkan demi tercapainya tujuan, termasuk karyawan yang bekerja dalam perusahaan tersebut. Hal diatas sesuai dengan statement dari Immanuel Kant, seorang filsafat Jerman pada abad ke-18, prinsip etis yang paling mendasar dapat dirumuskan: ” Hendaklah meperlakukan manusia selalu juga sebagai tujuan pada dirinya, dan tidak pernah sebagai sarana belaka”. Nasib buruh anak merupakan prototipe dari penderitaan kaum buruh pada permulaan industrialisasi. Tetapi gerakan sosialisme berhasil memperbaiki nasib kaum buruh. Yang dalam hal ini menjadi sarana ampuh adalah serikat buruh: dengan bersatu kaum buruh bisa menuntut haknya.



2. Masalah Pekerja Anak Yang dimaksud masalah disini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh anak di bawah umur demi pembayaran uang yang digunakan untuk membantu keluarganya. Tidak bisa diragukan, pekerjaan yang dilakukan oleh anak (child labor) merupakan ttopik dengan banyak implikasi etis. Dari sudut pandang etika, pekerjaan anak ini ditolak karena, pertama, bahwa pekerjaan itu melanggar hak para anak. Kedua, bahwa mempekerjakan anak merupakan cara berbisnis yang tidak fair. Sebab, dengan cara itu pebisnis berusaha menekan biaya produksi dan dengan demikian melibatkan diri dalam kompetisi kurang fair terhadap rekan-rekan pebisnis yang tidak mau menggunakan tenaga anak, karena menganggap hal itu sebagai cara berproduksi yang tidak etis. Namun tidak semua pekerjaan yang mempekerjakan anak dibawah umur dianggap tidak etis. contoh yang mempunyai tradisi yang sudah lama dan tersebar luas dapat ditemukan dalam sektor pertanian dan peternakan. Dimana-mana didaerah pertanian anak-anak diikutsertakan pada perkerjaan dalam masa panen, terutama bila mekanisme pertanian belum begitu maju. Dalam konteks peternakan tradisional, anak-anak sering diluar waktu sekolah membantu orangtuanya menjalankan tugas-tugas rutin seperti memeras sapi atau memberi pakan kepada ternak. Kasuskasus seoerti itu pada umumnya belum menimbulkan masalah-masalah etis. Pekerjaan anak baru menjadi sutu masalah etis yang serius dalam zaman indusrtrialisasi.



Dalam convention on the rights of child yang diterima dalam sidang PBB pada 1989 diserahkan kepada masing-masing negara anggota untuk “menetapkan usia minimum atau usiausia minimum memasuki lapangan kerja” (pasal 32,2-a). Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) menganjurkan negara-negara anggota untuk ILO untuk meningktakan usia minimum, yaitu 18 tahun untuk pekerjaan berbahaya dan 16 tahun untuk pekerjaan yang ringan. Sementara Indonesia menyerahkan usia minimum bekerja kepada ILO pada 1999 yaitu pada usia 15 tahun, yang sebelumnya adalah pada usia 14 tahun. Betapa pun banyaknya upaya menetapkan batas usia minimum pekerja, namun dalam sebuah laporan ILO pada tahun 1996, diestimasikan bahwa di negara-negara berkembang masih ada 250 juta anak dibawah umur 14 tahun yang bekerja. Diantaranya 120 juta anak bekerja purna waktu, sedangkan 130 juta anak bekerja penggal waktu. Anak-anak yang bekerja itu umunya memiliki 9 jam waktu bekerja selaa enam atau malah 7 hari seminggu. Dihitung secara absolut paling banyak anak bekerja di Asia, tetapi secara proporsional paling banyak di afrika, yaitu 40% dari semua anak disana. India dianggap sebagai negara dimana keadaannya paling jelek, yaitu sekitar 100 juta anak dibawah umur 14 disitu bekerja secara ilegal dalam pabrik atau tempat lain, sering kali penuh dengan resiko. 3. Relativasi Keuntungan Bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung dimutlakkan dan segi moral dikesampingkan. Seandainya keuntungan menjadi hal mutlak dalam berbisnis, perdagangan heroin, kokain, marijuana atau obata terlarang lainnya harus dianggap sebagai good business, karena sempat membawa untung sangat banyak. Namun hal tersebut tidak sesuai dan tidak etis (tidak good secara moral) maka hal ini menjadi dilarang, karena maksud bisnis adalah menjediakan produk atau jasa yang bermanfaat untuk masyarakat. Keuntungan tidak merupakan maksud bisnis, tetapi merupakan motivasi untuk mengadakan bisnis. Manajemen modern sering disifatkan sebagai management by objective. Manajemen yang ingin berhasil harus menentukan dengan jelas tujuan yang dicapai. Dan dalam manajemen ekonomi, salah satu unsur yang penting adalah cost – benefit analisys. Untuk mencapai sukses, hasil dari suatu bisnis harus melebihi biaya yang dikeluarkan. Usaha ekonomis baru bisa dianggap berhasil apabila dapat memungkinkan laba. Semua hal tersebut dapat diterima, asalkan tetapat atas pertimbangan etis. Beberapa cara lain untuk melukiskan revalitas keuntungan dalam bisnis dalah sebagai berikut:



Keuntungan merupakan tolok ukur untuk menilai kesehatan suatu perusahaan atau efisiensi suatu perusahaan, Keuntungan adalah suatu pertanda bahwa produk atau jasanya dihargai oleh masyarakat, Keuntungan adalah cambuk utnuk meningkatkan usaha, Keuntungan adalah syarat kelangsungan perusahaan, Keuntungan mengimbangi resiko dalam usaha.



4. Keuntungan Merupakan Efek Samping dari Bisnis Menurut Norman Bowie, bahwa kebahagiaan merupakan efek samping dari kerja; seorang suami hidup dan bekerja demi isteri dan anaknya, dia memperoleh gaji, yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama isteri dan anaknya, dia bahagia. Demikian pula dengan keuntungan, apabila suatu bisnis berjalan dengan baik, sesuai rencana, serta memperhatikan halhal etis dalam menjalankannya keuntungan adalah timbal balik atau efek dari kegiatan tersebut. 5. Manfaat Keuntungan bagi Perusahaan Beberapa manfaat keuntungan bagi sebuah perusahaan dijelaskan dalam poin-poi berikut ini : Merupakan tolok ukur untuk menilai kesehatan perusahaan atau efisiensi manajamen dalam perusahaan Merupakan pertanda bahwa produk atau jasanya dihargai masyarakat Merupakan cambuk untuk meningkatkan usaha Merupakan syarat kelangsungan hidup perusahaan Mengimbangi resiko dalam usaha 6. Manfaat Keuntungan bagi Stakeholder Selain manfaat bagi perusahaan, keuntungan tentu saja memberikan manfaat sendiri bagi Stakeholder, antara lain sebagai berikut: Pelanggan : memperoleh produk yang aman dan berkualitas, memperoleh pelayanan yang memuaskan Pemasok : menerima pembayaran tepat waktu, memperoleh order secara teratur



Pemodal : pemegang saham memperoleh deviden, kreditur menerima bunga dan pengembalian pokok pinjaman sesuai dengan yang sudah ditetapkan Karyawan : memperoleh gaji yang wajar dan kepastian kelangsungan pekerjaan Pemerintah : mengharapkan pertumbuhan ekonomi dan mengatasi pengangguran, memperoleh pajak Masyarakat : peran serta perusahaan dalam program kesejahteraan Media massa : menginformasi semua kegiatan perusahaan yang berkaitan dengan isu etika, nilainilai, kesehatan, keamanan dan kesejahteraan



BAB VI kewajiban karyawan dan perusahaan Kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual. Dengan kata lain kewajiban adalah suatu yang sepatutnya diberikan. Seorang filosof berpendapat bahwa selalu ada hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban. Pandangan yang disebut “teori korelasi” itu mengatakan bahwa setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain dan sebaliknya setiap hak seseorang berkaitan dengan kewajiban orang lain untuk memenuhi hak tersebut.



A.



KEWAJIBAN KARYAWAN Ada 3 kewajiban karyawan :



1.



Kewajiban ketaatan Bagi orang yang memiliki ikatan kerja dengan perusahaan, salah satu implikasi dari statusnya sebagai karyawan adalah bahwa ia harus mematuhi perintah dan petunjuk dari atasannya. Tetapi, karyawan tidak perlu dan malah tidak boleh mematuhi perintah yang menyuruh dia melakukan sesuatu yang tidak bermoral. Selain itu karyawan tidak wajib juga mematuhi perintah atasannya yang tidak wajar, walaupun dari segi etika tidak ada keberatan. Kemudian, karyawan juga tidak perlu mematuhi perintah yang memang demi kepentingan perusahaan, tetapi tidak sesuai dengan penugasan yang disepakati, ketika ia menjadi karyawan di perusahaan itu.



2.



Kewajiban konfidensialitas Kewajiban konfidensialitas adalah kewajiban untuk menyimpan informasi yang bersifat konfidensial dan kareana itu rahasia yang telah diperoleh dengan menjalankan suatu profesi. Konfidensialitas berasal dari kata Latin confidere yang berarti mempercayai. Dalam konteks perusahaan konfidensialitas memegang peranan penting. Karena seseorang bekerja pada suatu perusahaan, bisa saja ia mempunyai akses kepada informasi rahasia. Sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa karyawan harus menyimpan rahasia perusahaan karena alasan etika mendasari kewajiban ini yaitu bahwa perusahaan menjadi pemilik informasi rahasia itu. Membuka rahasia itu berarti sama saja dengan mencuri. Milik tidak terbatas pada barang fisik saja, tetapi meliputi juga ide, pikiran, atau temuan seseorang. Dengan kata lain, disamping milik fisik terdapat juga milik intelektual. Jadi, dasar untuk kewajiban konfidensialitas dari karyawan adalah intellectual property rights dari perusahaan. Alasan kedua adalah bahwa membuka rahasia perusahaan bertentangan dengan etika pasar bebas.



3.



Kewajiban loyalitas



Kewajiban loyalitas pun merupakan konsekuensi dari status seseorang sebagai karyawan perusahaan. Dengan mulai bekerja di suatu perusahaan, karyawan harus mendukung tujuan-tujuan perusahaan, karena sebagai karyawan ia melibatkan diri untuk turut merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, dan karena itu pula ia harus menghindari segala sesuatu yang bertentangan dengannya. Dengan kata lain, ia harus menghindari apa yang bisa merugikan kepentingan perusahaan. Faktor utama yang bisa membahayakan terwujudnya loyalitas adalah konflik kepentingan artinya konflik antara kepentingan pribadi karyawan dan kepentingan perusahaan. Karyawan tidak boleh menjalankan kegiatan pribadi, yang bersain dengan kepentingan perusahaan. Karena bahay konflik kepentingan potensial itu, beberapa jenis pekerjaan tidak boleh dirangkap. Dalam konteks ini termasuk juga masalah etis seperti menerima komisi / hadiah selaku karyawan perusahaan. Masalh komisi berkaitan erat dengan apa yang sekarang dikenal sebagai triade “Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)”. Jalan keluar dari permasalahan ini sebagian besar tergantung dari sikap yang diambil perusahaan bersangkutan. Begitupun tantang hadiah yang diberikan oleh perusahaan / intansi lain kepada karyawan waktu menjalankan tugasnya. Hal itu dimaksudakan untuk mempengaruhi karyawan tersebut. Jalan keluarnya pun dengan membuat peraturan yang jelas dalam kode etik perusahaan / dengan cara lain. Selain memiliki kewajiban karyawan pun memiliki hak.Hak itu dicantumkan dalam kontrak kerja, dimana pasti ada ketentuan bahwa karyawan wajib memberitahaukan satu, dua, tiga bulan sebelumnya (tergantung posisinya dan kesulitan mencari pengganti), jika ia mau meninggalkan perusahaan. Kewajiban loyalitas memang tidak meniadakan hak karyawan untuk pindah kerja.



B.



MELAPORKAN KESALAHAN PERUSAHAAN



Dalam etika, whistle blowing mendapat arti khusus yaitu menarik perhatian dunia luar dengan melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh sebuah organisasi. Dalam rangka bisnis whistle blowing dibagi menjadi whistle blowing internal dan whistle blowing eksternal. Whistle blowing internal dimengerti pelaporan kesalahan di dalam perusahaan sendiri dengan melewati atasan langsung. Sedangkan whistle blowing eksternal adalah pelaporan kesalahan perusahaan kepada instansi di luar perusahaan, entah kepada instansi pemerintah atau kepada masyarakat melalui media komunikasi. Pelaporan kesalahan perusahaan itu dinilai dengan cara yang sangat berbeda. Di satu pihak seorang whistle blower bisa dipuji sebagai pahlawan, karena ia menempatkan nilai-nilai moral yang benar dan luhur di atas kesejahteraan pribadi. Dilain pihak justru disebut sebagai penghianat, karena ia mengekspos kejelekan dari perusahaannya. Ia dianggap melanggar kewajiban loyalitas dengan sangat merugikan kepentingan perusahaan.



Dari sudut pandang etika jelas bertentangan dengan kewajiban loyalitas. Kalau memang diperbolehkan whistle blowing dapat dipandang sebagai pengecualian dalam bidang kewajiban loyalitas. Dasarnya adalah kewajiban lain yang lebih mendesak. Jadi, kadang-kadang mungkin ada kewajiban untuk melaporkan suatu kesalahan demi kepentingan orang banyak. Meskipun sulit sekali untuk memastikan kapan situasi seperti itu secara obyektif terealisasi. Pada kenyataannya hati nurani si pelapor harus memutuskan hal itu, setelah mempertimbangkan semua faktor terkait. Pelaporan bisa dibenarkan secara moral, bila memenuhi syarat berikut : 1.



Kesalahan perussahaan harus besar



2.



Pelaporan harus didukung oleh fakta yang jelas dan benar



3.



Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kerugian bagi pihak ketiga, bukan karena motif lain.



4.



Penyelesdaiaan masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum kesalahan perusahaan dibawa keluar.



5.



Harus ada kemungkinan real bahwa pelaporan kesalahan akan mencatat sukses. Adanya whistle blowing selalu menunjukan bahwa perusahaan gagal dalam menjalankan kegiatannya sesuai dengan tuntutan etika. Asalkan perusahaan mempunyai kebijakan etika yang konsisten dan konsekuen, semua kesulitan sekitar pelaporan kesalahan tidak perlu terjadi.



C.



KEWAJIBAN PERUSAHAAN TERHADAP KARYAWAN



Berturut-turut akan dibicarakan tentang kewajiban perusahaan untuk tidak diskriminasi, untuk menjamin kesehatan dan keselamatan kerja, untuk memberi imbalan kerja yang pantas dan untuk tidak memberhentikan karyawan dengan semena-mena. Kewajiban perusahaan biasanya sepadan dengan hak karyawan. 1.



Perusahaan tidak boleh mempraktekan diskriminasi Diskriminasi adalah masalah etis yang baru nampak dengan jelas dalam paro kedua dari abad ke 20. Biasanya mengenai warna kulit dan gender (jenis kelamin). Di Indonesia diskriminasi timbul berhubungan dengan status asli / tidak asli, pribumi / non-pribumi, dari para warga negara dan agama.



a.



Diskriminasi dalam konteks perusahaan Istilah diskriminasi berasal dari bahas Latin “discernee” yang berarti membedakan, memisahkan, memilah. Dalam konteks perusahaan diskriminasi dimaksudkan membedakan antara pelbagai karyawan karena alasan tidak relevan yang berakar dari prasangka. Membedakan antara karyawan



tentu sering terjadi karena alasan yang sah. Dalam menerima karyawan baru, perusahaan sering menentukan syarat seperti mempunyai pengalaman kerja sekian tahun, memiliki ijazah S-1 (malah bisa ditambah dengan IPK minimal 2,75), menguasai bahasa Inggris, baik lisan maupun tertulis dll. Dalam hal imbalan, bisa terjadi bahwa suatu karyawan mendapat bonus akhir tahun karena lebih berprestasi daripada karyawan lainnya. Hal-hal diatas adalah alasan yang relevan. Bila beberapa karyawan diperlakukan dengan cara yang berbeda, karena alasan yang tidak relevan. Biasanya alasan itu berakar dalam suatu pandangan stereotip terhdap ras, agama atau jenis kelamin bersangkutan. Dengan kata lain, latar belakang terjadinya diskriminasi adalah pandangan rasisme, sektarianisme / seksisme. b.



Argumentasi etika melawan diskriminasi



1)



Dari pihak utilitarisme dikemukakan argumen bahwa diskriminasi merugikan perusahaan itu sendiri. Terutama dalm rangka pasar bebas, menjadi sangat mendesak bahwa perusahaan memiliki karyawan berkualitas yang menjamin produktivitas terbesar dan mutu produk terbaik. Sumber daya manusia menjadi kunci dalam kompetisi di pasar bebas. Jika perusahaan memperhatikan faktor-faktor lain selain kualitas karyawan ia bisa ketinggalan dalam kompetisi dengan perusahaan lain. Karena itu perusahaan harus menghindari diskriminasi demi kepentingannya sendiri.



2)



Deontologi berpendapat bahwa diskriminasi melecehkan martabat dari orang yang didikriminasi.Berarti tidak menghormati martabat manusia yang merupakan suatu pelanggaran etika yang berat.



3)



Teori keadilan berpendapat bahwa praktek diskriminasi bertentangan dengan keadilan, khususnya keadilan distributif / keadilan membagi. Keadilan distributif menuntut bahwa kita memperlakukan semua orang dengan cara yang sama, selama tidak ada alasan khusus untuk memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda. Pikiran itu sudah dikenal sebagai prinsip moral keadilan distributif.



c.



Beberapa masalah terkait Tidak bisa disangkal, penilaian terhadap diskriminasi bisa berubah karena kondisi historis, sosial / budaya dalam masyarakat. Karena keterkaitan dengan faktor sejarah dan sosio-budaya ini, masalah diskriminasi tidak bisa ditangani dengan pendekatan hitam putih. Artinya tergantung dengan tempatnya sehingga bersifat relativitas. Dalam konteks perusahaan, favoritisme dimaksudkan kecenderungan untuk mengistimewakan orang tertentu (biasanya sanak saudara) dalam menyeleksi karyawan, menyediakan promosi, bonus, fasilitas khusus dll. Seperti diskriminasi, favoritisme pun memperlukan orang dengan cara tidak sama, tapi berbeda dengan diskriminasi, favoritisme tidak terjadi karena prasangka buruk, melainkan justru prefensi dan bersifat positif (mengutamakan



orang-orang tertentu). Favoritisme terjadi, bila perusahaan mengutamakan karyawan yang berhubungan famili, berasal dari daerah yang sama, memeluk agama yang sama, dll. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa menghindari favoritisme selalu merupakan pilihan terbaik dari sudut pandang etika. Dengan itu pula lebih mudah dihindari nepotisme, yang bertentangan dengan keadilan distributif. Tetapi sulit untuk ditentukan pada saat mana favoritisme pasti melewati ambang toleransi etika. Untuk menanggulangi akibat diskriminasi, kini lebih banyak dipakai istilah affirmative action “aksi afirmatif”. Melalui aksi itu orang mencoba mengatasi / mengurangi ketertinggalan golongan yang dulunya di diskriminasi. 2.



Perusahaan harus menjamin kesehatan dan keselamatan kerja



a.



Beberapa aspek keselamatan kerja Keselamatan kerja dapat terwujud bilamana tempat kerja itu aman. Dan tempat kerja itu aman kalau bebas dari risiko terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan si pekerja cedera atau bahkan mati. Kesehatan kerja dapat direalisasikan karena tempat kerja dalam kondisi sehat. Tempat kerja bisa dianggap sehat kalau bebas dari risiko terjadinya gangguan kesehatan / penyakit. Di Indonesia masalah keselamatan dan kesehatan kerja dikenal sebagai K3 dan banyak perusahaan mempunyai Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3). Sedangkan di Amerika Serikat didirikan Occupational Safety and Health Administration (OSHA) untuk mengawaasi pelaksanaan UU yang bertujuan untuk to assure as far as possible every working man and woman in the nation safe and healthful working conditions.



b.



Pertimbangan etika Tiga pendasaran segi etika dari masalah perlindungan kaum pekerja.



1)



The right of survival (hak untuk hidup)



2)



Manusia selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka.



3)



Kewajiban etis harus sejalan dengan cost benefit analysis. Masyarakat sendiri dan terutama ekonomi negara akan mengalami kerugian besar jika proses produksi tidak berlangsung dalam kondisi aman dan sehat. Kebebasan si pekerja adalah faktor yang membenarkan moralitas pekerjaan beresiko. Si pekerja sendiri harus mengambil resiko dengan sukarela. Tetapi supaya si pekerja sungguhsungguh bebas dalam hal ini, perlu beberapa syarat :



1)



Harus tersedia pekerjaan alternatif.



2)



Diberi informasi tentang resiko yang berkaitan dengan pekerjaannya sebelum si pekerja mulai bekerja.



3)



Perusahaan selalu wajib berupaya, agar risiko bagi pekerja seminimal mungkin.



c.



Dua masalah khusus Si pekerja sendiri harus mengambil keputusan, setelah diberi informasi tentang risiko bagi pekerja. Mereka sendiri harus mempertimbangkan kesejahteraan ekonomis mereka (gaji yang lebih tinggi) dan resiko bagi keturunannya. Jika tidak sanggup bisa mengajukan permohonan untuk dipindahkan ke bagian produksi lain dengan konsekuensi gaji yang lebih rendah. Begitupun dengan kebijakan yang diterapkan suatu perusahaan, terkadang secara tidak langsung terlihat memaksakan kepada para pekerja jika didukung juga oleh suasana resesi ekonomi saat mencari pekerjaan lain menjadi sulit. Sehingga membuat para pekerja tidak memiliki alternatif lain dan akhirnya bertahan dengan resiko yang tidak kecil.



3.



Kewajiban memberi gaji yang adil Motivasi seseorang untuk bekerja tidak lepas dari untuk mengembangkan diri, memberi sumbangsih yang berguna bagi pembangunan masyarakat namun yang sangat penting adalah untuk memperoleh upah atau gaji. Namun dalam gerakan sosial zaman industri upah yang adil sering menjadi pokok perjuangan yang utama.



a.



Menurut keadilan distributive Gaji / upah merupakan kasus jelas yang menuntut pelaksanaan keadilan, khususnya keadilan distributif. Di kebanyakan negara modern, dilema antara liberalisme dan sosialisme ini sekarang tidak dirasakan lagi. Tanpa banyak kesulitan, langsung diakui bahwa dalam menentukan gaji yang adil, baik prestasi maupun kebutuhan harus berperan. Prinsip pertama adalah bagian yang sama. Supaya adil, gaji semua karyawan memang tidak perlu sama, tetapi perbedaan juga tidak boleh terlalu besar. Jelas pemerataan pendapatan adalah tuntutan etis yang berkaitan dengan prinsip ini. Prinsip-prinsip hak, usaha dan kontribusi kepada masyarakat ikut pula menentukan gaji yang adil. Dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia masalah gaji yang adil disinggung juga. Adil tidaknya gaji menjadi lebih kompleks lagi, jika kita akui bahwa imbalan kerja lebih luas daripada take home pay saja. Fasilitas khusus seperti rumah, kendaraan, bantuan beras dll harus dipandang sebagai imbalan kerja. Lebih penting lagi adalah asuransi kerja, jaminan kesehatan, prospek pensiun dll. Gaji yang relatif rendah bisa mencukupi asalkan dikompensasi oleh jaminan sosial yang baik serta fasilitasfasilitas lain.



b.



Tujuh faktor khusus Berikut adalah usulan dari Thomas Garrett dan Richard Klonoski supaya gaji / upah itu adil / fair :



1)



Peraturan hokum. Di sini yang paling penting adalah ketentuan hukum tentang upah minimum sebagai salah satu perjuangan sosialisme dalam usahanya memperbaiki nasib kaum buruh. Adanya upah minimum berarti bahwa kebutuhan diakui sebagai kriteria untuk menentukan upah.



2)



Upah yang lazim dalam sektor industri tertentu / daerah tertentu. Dalam semua sektor industri, gaji / upah tidaklah sama. Karena itu rupanya suatu kriteria yang baik adalah : gaji / upah bisa dinilai adil, jika rata-rata diberika dalam sektor industri bersangkutan asalkan keadaan di sektor itu cukup mantap. Namun gaji yang sama belum tentu menjamin daya beli yang sama. Karena perbedaaan daya beli itu di Indonesia upah minimum ditetapkan sebagau upah minimum regional (UMR).



3)



Kemampuan perusahan. Perusahaan kuat yang menghasilkan laba besar, harus memberi gaji yang lebih besar pula daripada perusahaan yang mempunyai marjin laba yang kecil saja. Di sini berlaku pandangan sosialistis tentang hak karyawan mengambil bagian dalam laba. Harus dinilai tidak etis, bila perusahaan mendapat untung besar dengan menekan gaji karyawan.



4)



Sifat khusus pekerjaan tertentu. Beberapa tugas dalam perusahaan hanya bisa dijalani oleh orang yang mendapat pendidikan / pelatihan khusus, kadang-kadang malah pendidikan sangat terspesialisasi. Kelangkaan tenaga mereka boleh diimbangi dengan tingkat gaji yang lebih tinggi.



5)



Perbandingan dengan upah / gaji lain dalam perusahaan. Kalau pekerjaan tidak mempunyai sifat khusus, seperti menuntut pengalaman lebih ama / mengandung resiko tertentu, maka gaji / upah harus sama. Sehingga berlaku prinsip equal pay for equal work.



6)



Perundingan upah / gaji yang fair. Perundingan langsung antara perusahaan dan para karyawan merupakan cara yang ampuh untuk mencapai gaji dan upah yang fair. Tentu saja, perundingan seperti itu menuntut keterbukaan cukup besar dari pihak perusahaan. Lebih bagus bila perundingan gaji itu dilakukan untuk suatu sektor industri sehingga dihasilkan kesepakatan kerja bersama.



7)



Senioritas dan imbalan rahasia. Senioritas sebagai kriteria untuk menentukan gaji karena dilihat dari pengalamannya bekerja dengan waktu yang begitu lama dan kesetiaannya pada perusahaan, zaman sekarang sudah tidak diperhitungkan lagi. Zaman modern sekarang lebih memperhatikan prestasi dan hak. Pembayaran



sama untuk pekerjaan yang sama memang dilatarbelakangi suasana modern itu dan karenanya dapat di mengerti jika tekanan pada senioritas akan berkurang. Pembayaran khusus / kenaikan gaji yang dirahasiakan terhadap teman-teman sekerja pun tidak etis karena tidak mengadakan kontrol sosial dan akan merusak suasana kerja. Jelas, disini berlaku prosedur yang terbuka dan demokratis untuk menjamin mutu etis sebuah sistem. 3.



Perusahaan tidak boleh memberhentikan karyawan dengan semena-mena. Menurut Garret dan Klonoski ada tiga alasan yang lebih konkrit untuk memberhentikan karyawan, yaitu :



a.



Majikan hanya boleh memberhentikan karena alasan yang tepat



b.



Majikan harus berpegang pada prosedur yang semestinya.



c.



Majikan harus membatasi akibat negatif bagi karyawan sampai seminimal mungkin.



BAB VII MASALAH ETIS SEPUTAR KONSUMEN



Konsumen mereupakan stakeholder yang sanagt hakiki dalam bisnis modern . bisnis tidak mungkin berjalan , kalau tidak ada konsumen yang menggunakan produk / jasa yang dibuat dan ditawarkan oleh pebisnis . dalam hal ini tentu tidak cukup , bila konsumen tampil stu kali saja pada sa’at bisnis dimulai . supaya biasnis berkesinambungan , perlulah konsumen yang secara teratur memakai serta membeli produk / jasa tersebut dan dengan demikian menjadi pelanggan . “the customer is king” sebenarnya tidak merupakan slogan saja yang dimaksud sebanyak mungkin pembeli . ungkapan inimmenunjukkan tugas pokok bagi perodusen / penmyedia jasa : mengupayakan kepuasan konsumen . Pelanggan adalah raja damal arti bahwa dialah yang harus dilayani dan dijadikan tujuan utama kegiatan produsen. Tidak mengherankan , kalau peter drucker , perintis teori manajemen , menggaris bawahi peranan sentral pelanggan atau konsumen dengan menandaskan bahwa maksud bisa didefinisikan secara tepat sebagai “too creat a cutomer” Bahwa konsumen harus diperlakukan dengan baik secara moral , tidak saja merupakan tuntutan etis , melainkan juga syarat mutlak untuk mencapai keberhasilan dalam bisnis . sebagaimana halnya dengan banyak topik etika bisnis lainnya , disini pun berlaku bahwa etika dalam praktek bisnis sejalan dengan kesuksesan bisnis . perhatian untuk etika dalam hubungan dengan konsumen , harus dianggap hakiki demi kepentingan bisnis itu sendiri . perhatian untuk segi etis dari relasi bisnis – konsumen itu mendesak , karena posisi konsumen sering kali agak lemah . walaupun konsumen digelari raja , pada kenyata’annya “kuasanya” sangat terbatas karena berbagai alasan . dalam konteks modern si konsumen justru mudah dipermainkan dan dijadikan korban manipulasi produsen . karena bisnis itu mempunyai kewakjiban moral untuk melindungi konsumen dan menghindari kerugian baginya . Perhatian untuk konsumen Secara spontan bisnis mulai dengan mencurahkan segala perhatiannya kepada produknya , bukan kepada konsumen . perkembangan itu juga terlihat dalam sejarah bisnis amerika serikat yang dari banyak segi menjadi perintis dalam bisnis modern . disitupun perhatian buat konsumen hal yang masih agak baru . selangkah penting dalam memutarkan fokus ke arah konsumen ditempuh oleh presiden John F. Kenedy . pada tahun 1962 ia mengirim pada kongres amerika yang disebut special message on protecting the consumer interest , dimana ia mendapatkan 4 hak yang dimiliki setiap konsumen . maka dari itu ada baiknya kita mempertimbangkan 4 hak ini secara rinci . Hak atas keamanan Banyak produk mengandung resiko tertentu untuk konsumen , khususnya resiko untuk kesehatan dan keselamatan . sebagai contoh dapat disebut pestisida , obat obatan . makanan , mainan anak , kendaraan bermotor dan alat kerja . konsumen berhak atas produk yang aman , artinya produk



yang tidak mempunyai kesalahan teknia atau kesalahan lainnya yang bisa merugikan kesehatan atau bahkan membahayakan kehidupan konsumen . bila sebuah produk karena hakikatnya selalu menganmdung resiko , contohnya gergaji listrik : resiko itu harus dibatasi sampai tingkat seminimal mungkin . Hak atas informasi Konsumen berhak memperoleh informasi yang relevan mengenai produk yang dibelinya , baik apa sesungguhnya produk itu ( bahan bakunya , umpamanya ), maupun bagaimana cara memakainya , maupun juga resiko dari pemakaiannya . hak ini meliputi segala aspek pemasaran dan periklanan . semua informasi yang disebut pada label produk tersebut haruslah benar : isinya , beratnya , tanggal kadarluarsanya , ciri – ciri khusus dan sebagainya . informasi yang relevan seperti “makanan ini halal untuk umat islam“atau”makanan ini tidak mengandung kolestrol”harus sesuai kebenaran . Hak untuk memilih Dalam sistem ekonomi pasar bebas , dimana kompetisi merupakan unsur hakiki , konsumen berhak untuk memilih antara berbagai produk / jasa yang ditawarkan . kualitas dan harga produk bisa berbeda . konsumen berhak membandingkannya sebelum mengambil keputusan untuk membeli . Hak untuk didengarkan Karena konsumen adalah orang menggunakan produk/jasa , ia berhak bahwa keinginannya tentang produk /jasa itu didengarkan dan dipertimbangkan , terutama keluhannya . hal itu juga berati bahwa para konsumen harus dikonsultasikan , jika pemerintah ingin membuat peraturan atau undang – undang yang menyangkut produk/jasa tersebut . hak – hak konsumen ini tentu tidak boleh dimengerti sebagai hak dalam arti sempit . hak – hak ini tidak merupakan hak legal yang dapat dituntut di pengadilan , umpamanya . lebih baik hak hak konsumen dipahami sebagai cita – cita atau tujuan yang harus direalisasikan dalam masyarakat . Hak konsumen atas pendidikan . Melalui produk yang digunakannya , konsumen memanfa’atkan sumber daya alam . ia berhak bahwa produk dibikin sedemikian rupa , sehingga tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan atau merugikan keberlanjutan proses – proses alam . Hak konsumen atas pendidikan Tidak cukup, bila konsumen mempunyai hak , ia juga harus menyadari hak nya . bahkan menyadari hak saja belum cukup , karena konsumen harus mengemukakan kritik atau keluhannya , apabila haknya dilanggar . karena itu konsumen mempunyai hak juga untuk secara positif dididhk ke arah itu . terutama melalui sekolah dan meddia massa , masyarakat juga hrus dipersiapkan menjadi konsumen yang kritis dan sadar akan haknya . dengan itu ia sanggup memberikan sumbangan yang berarti kepada mutu kehidupan ekonomi dan mutu bisnis pada umumnya.



Kini dinegara maju gerakan konsumen merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam duinia bisnis . seperti banyak hal lain dalam bidang ekonomi dan bisnis , gerakan konsumen pun berkembang dia amerika serikat . sejak kira – kira tahun 1950-an konsumen mulai memperdengarkan suaranya . Kita di indonesia bisa belajar dari gerakan konsumen di amerika serikat dan negara maju lainnya . sejauh ekonomi kita sudah tumbuh dan daya beli masyarakat semakin tinggi , peranan gerakan konsumen harus semakin bertambah pula . undang – undang tentang perlindungan konsumen (1999) yang disebut diatas merupakan selangkah maju yang menggembirakan . pemerintah sepatutnya mendukung terus gerakan konsumen itu , tapi inisiatif dan pelaksanaan mestinya berasal dari komsumen sendiri yang mengorganisasikan dirinya dalam bentuk lembaga swadaya masyarakat . Tanggung jawab bisnis untuk menyediakan produk yang aman . Disini produsen harus menjamin bahwa produknya pada sa’at pembelian dalam keada’an prima sehingga biosa dipakai dengan aman . jadi , terhadap suatu produk yang baru dibeli dan dipakai , produsen maupun konsumen masing – masing mempunyai tanggung jawab . Untuk mendasarkan tanggung jawab produsen , telah dikemukakan 3 teori yang mendukung nuansa yang berbeda : teori kontrak , teori perhatian semestinya dan teori biaya sosial . Teori kontrak Pandangan kontrak ini sejalan dengan pepatah romawi kuno yang berbunyi caveat emptor “hendaknya si pembeli behati – hati” . senagaimana sebelum menandatangani sebuah kontrak , kita harus membaca dengan teliti seluruh teksnya termasuk huruf – huruf terkecil sekalipun , demikian sipembeli dengan hati – hati harus mempelajari keada’an produk serta ciri – cirinya . sebelum dengan membayar ia menjadi pemiliknya . transaksi jual beli harus dijalankan sesuai dengan apa yang tertera dlam kontrak itu dan hak pembeli maupun kewajiban penjual memperoleh dasarnya dari situ.



Tetapi tudak bisa dikatakan juga bahwa hubungan produsen – konsumen , selalu dan seluruhnya berlangsung dalam kerangka kontrak . karena itu pandangan kontrak dari beberapa segi tidak memuaskan juga terutama ada 3 keberatan berikut terhadap pandangan ini . Teori kontrak mengandalkan bahwa produsen dan konsumen berada pada taraf yang sama . tetapi pada kenyata’annya tidak terdapat persamaan antara produsen – konsumen . khususnya dalam konteks bisnis modern . Kritikl kedua menegaskan bahwa teori kontrak mengandalkan hubungan langsung antara produsen dan konsumen . padahal konsumen pada kenyata’annya jarang sekali berhubungan langsung dengan produsen .



Konsepsi kontrak tidak cukup untuk melindungi konsumen dengan baik . kalau perlindungan terhadap konsumen hanya tergantung pada ketentuan dalam kontrak maka bisa terjadi juga bahwa konsumen terlkanjur menyetujui kontrak jual beli . padahal disitu tidak terjamin bahwa produk bisa diandalkan , akan berumur lama , akan bersifat aman n dan sebagainya . bila konsumen dengan “bebas” mengadakan kontrak jual beli hal itu belum berarti juga bahwa perlindungan konsumen terlaksana . Teri perhatian semetinya Pandangan “perhatian semestinya” ini tidak memfokuskan kontrak atau persetujuan antara konsumen dan produsen , melainkan terutama kualitas produk serta tanggung jawab produsen . karena itu tekanannya bukan dari segi hukum saja , melainkan dalam etika dalam arti luas . norma dasar yang melandasi pandangan ini adalah bahwa seseorang tidak boleh merugikan orang lain dengan kegiatannya . Teori biaya sosial Teori biaya sosila merupakan versi yang paling ekstrim dari senboyan caveat venditor. walaupun teori ini paling menguntungkan bagi konsumen , rupanya sulit juga mempertahankan . kritik yang dikemukakan dalam teori ini , bisa disingkatkan sebagao berikut : teori biaya soaial tampaknya kurang adil , karena menganggap orang bertanggung jawab atas hal – hal yang tidak diketahui atau tidak dihindarkan . menurut keada’an kompensatoris orang yang bertanggung jawab atas akibat perbuatan yang diketahui dapat terjadi dan bisa dicegah olehnya . Tanggung jawab bisnis lainnya terhadap konsumen Selain harus menjamin keamanan produk , bisnis juga mempumyai kewajiban lain terhadap konsumen . disini kita menyoroti tiga kewajiban moral lain yang masing – masing berkaitan dengan kualitas produk , harganya , dan pemberian label serta pengemasan . Kualitas produk Dengan kualitas produk, disini dimaksudkan bahwa produk sesuai dengan apa yang dijanjikan produsen dan apa yang secara wajar boleh diharapkan konsumen . konsumen berhak atas produk yang berkualitas , karena ia membayar untuk itu . dan bisnis berkewajiban untuk menyampaikan produk yang berkualitas , misalknya produk yang tidak kadarluarsa (bila ada batas waktu seperti obat obatan atau makanan ). harga harga merupakan buah hasil perhitungan faktor – faktor seperti biaya produksi , biaya investasi , promosi , pajak , ditambah tentu laba yang wajar . dala, sistem ekonomi pasar bebas , sepintas lalu rupanya harga yang adil adalah hasil akhir dari perkembangan daya pasar . kesan spontan adalah bahwa harga yang adil dihasilkan oleh tawar menawar sebagaimana dilakukan dipasar tradisional , dimana sipembeli sampai pada maksimum harga yang mau ia bayar dan sipenjual sampai pada minimum harga yang mau dipasang . tramsaksi itu terjadi bila maksimum dan minimum itu bertemu .



pengemasan dan pemberiaan label pengemasan dan label dapat menimbulkan masalah etis . dalam konteks ini tuntutan etis yang pertama ialah bahwa informasi yang disebut pada kemasan itu benar . informasi yang kurang benar atau tidak pasti bukan saja merugikan konsumen tetapi pihak lain juga . disini contoh yang jelas ialah diskusi beberapa tahun lalu diamerika serikat tentang kemungkinan kelapa sawit bisa meningkatkan kadar kolestrol dalam darah . kalau hal itu disampaikan sebagai informasi yang benar , sedangkan pada kenyata’annya belum terbukti , negara kelapa sawit sangat dirugikan dan penyiaran informasi itu merupakan cara berbisnis yang tidak fair



BAB VIII PERIKLANAN DAN ETIKA Iklan merupakan salah satu strategi pemasaran yang dimaksudkan untuk mendekatkan barang yang hendak dijual kepada konsumen dengan kata lain mendekatkan konsumen dengan produsen. Tujuan iklan sendiri yaitu sebagai kekuatan ekonomi dan sosial yang menginformasikan konsumen perihal produk produk barang dan jasa yang bisa dijadikan sebagai pemuas kebutuhan. 1. FUNGSI PERIKLANAN Periklanan bermaksud untuk memberi informasi. Tujuan terpentingnya adalah memperkenalkan sebuah produk atau jasa. Fungsi periklanan : 1. Informatif : 



Menginformasikan pasar mengenai keberadaan produk atau jasa







Memperkenalkan cara pemakaian baru dari suatu produk tertentu







Menyampaikan perubahan harga







Menjelaskan kerja suatu produk







Menginformasikan jasa-jasa yang disediakan lembaga







Membangun citra perusahaan



2. Persuasif: 



Mempengaruhi atau membujuk konsumen







Membentuk pilihan merk







Mengalihkan pilihan ke merk tertentu







Mengubah persepsi pelanggan terhadap produk







Mendorong pembeli untuk membeli saat itu juga



3. Pengingat (Reminder) 



Mengingatkan pembeli bahwa produk yang dibutuhkan tersedia dalam waktu dekat







Mengingatkan pembeli akan tempat atau outlet penjualan







Membuat pembeli tetap ingat walau sedang tidak ada promosi



2. PERIKLANAN DAN KEBENARAN Pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai pelindung atau pejuang kebenaran. Sebaliknya, kerap kali iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik. Iklan mempunyai unsur promosi. Iklan merayu konsumen Pada intinya, masalah kebenaran dalam periklanan tidak bisa dipecahkan dengan cara hitam putih. Banyak tergantung pada situasi konkret dan kesediaan publik untuk menerimanya atau tidak. 3. MANIPULASI DENGAN PERIKLANAN Ada 2 cara untuk memanipulasi orang dengan periklanan : 1. Subliminal advertising Maksudnya adalah teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tapi tinggal di bawah ambang kesadaran. Teknik ini bisa dipakai di bidang visual maupun audio. Teknik subliminal bisa sangat efektif, contohnya, dalam sebuah bioskop di New Jersey yang menyisipkan sebuah pesan subliminal dalam film yang isinya “Lapar. Makan popcorn”. Dan konon waktu istirahat popcorn jauh lebih laris dari biasa. 2. Iklan yang ditujukan kepada anak Iklan seperti ini pun harus dianggap kurang etis, Karena anak mudah dimanipulasi dan dipermainkan. Iklan yang ditujukan langsung kepada anak tidak bisa dinilai lain daripada manipulasi saja dan karena itu harus ditolak sebagai tidak etis. 4. PENGONTROLAN TERHADAP IKLAN Pengontrolan ini terutama harus dijalankan dengan tiga cara berikut ini : 1. Kontrol oleh pemerinah Tugas penting bagi pemerintah, harus melindungi masyarakat konsumen terhadap keganasan periklanan. Di Amerika Serikat instansi-instansi pemerintah mengawasi praktek periklanan dengan cukup efisien, antara lain melalui Food and Drug Administrationdan Federal Trade Commission. Di Indonesia iklan diawasi oleh Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan. 2. Kontrol oleh para pengiklan Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri (self regulation) oleh dunia periklanan. Biasanya dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik,



sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh para periklan, khususnya oleh asosiasi birobiro periklanan. 3. Kontrol oleh masyarakat Masyarakat luas tentu harus diikutsertakan dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dengan mendukung dan menggalakkan lembaga-lembaga konsumen, kita bisa menetralisasi efek-efek negatif dari periklanan. Laporan-laporan oleh lembaga konsumen tentang suatu produk atau jasa sangat efektif sebagai kontrol atas kualitasnya dan serentak juga atas kebenaran periklanan. Selain itu, ada juga cara yang lebih positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan penghargaan kepada iklan yang di nilai paling baik. Di Indonesia ada Citra Adhi Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 5. PENILAIAN ETIS TERHADAP IKLAN Ada empat faktor yang selalu harus dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip-prinsip etis jika kita ingin membentuk penilaian etis yang seimbang tentang iklan. 1. Maksud si pengiklan Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan itu menjadi tidak baik juga. Jika maksud si pengiklan adalah membuat iklan yang menyesatkan, tentu iklannya menjadi tidak etis. Sebagai contoh: iklan tentang roti Profile di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa roti ini bermanfaat untuk melangsingkan tubuh, karena kalorinya kurang dibandingkan dengan roti merk lain. Tapi ternyata, roti Profile ini hanya diiris lebih tipis. Jika diukur per ons, roti ini sama banyak kalorinya dengan roti merk lain. 2. Isi iklan Menurut isinya, iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan. Iklan menjadi tidak etis pula, bila mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa iklan diadakan dalam rangka promosi. Karena itu informasinya tidak perlu selengkap dan seobyektif seperti laporan dari instansi netral. Contohnya : iklan tentang jasa seseorang sebagai pembunuh bayaran. Iklan semacam itu tanpa ragu-ragu akan ditolak secara umum. 3. Keadaan publik yang tertuju Yang dimengerti disini dengan publik adalah orang dewasa yang normal dan mempunyai informasi cukup tentang produk atau jasa yang diiklankan.



Perlu diakui bahwa mutu publik sebagai keseluruhan bisa sangat berbeda. Dalam masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang sederhana yang mudah tertipu, tentu harus dipakai standar lebih ketat daripada dalam masyarakat dimana mutu pendidikan rata-rata lebih tinggi atau standar ekonomi lebih maju. Contohnya : Iklan tentang pasta gigi, dimana si pengiklan mempertentangkan odol yang biasa sebagai barang yang tidak modern dengan odol barunya yang dianggap barang modern. Iklan ini dinilai tidak etis, karena bisa menimbulkan frustasi pada golongan miskin dan memperluas polarisasi antara kelompok elite dan masyarakat yang kurang mampu. 4. Kebiasaan di bidang periklanan Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Dimana ada tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk kuat, tentu masuk akal saja bila beberapa iklan lebih mudah di terima daripada dimana praktek periklanan baru mulai dijalankan pada skala besar.



BAB IX Tanggung Jawab Sosial Perusahaan



Seperti yang sudah disinggung, sebuah perusahaan dalam mengambil keputusan untuk kepentingan usahanya harus memperhatikan etika dan tanggung jawab sosial. Adapun bentuk tanggung jawab sosial perusahaan seperti: 1. Tanggung jawab sosial kepada konsumen Tanggung jawab sosial perusahaan kepada konsumen tidak hanya seputar masalah penyediaan produk atau jasa saja tetapi juga harus memperhatikan aspek-aspek lain. Merujuk pendekatan utilitarian, maka perusahaan harus menghasilkan produk atau jasa yang memiliki banyak manfaat kepada masyarakat. 2. Tanggung jawab sosial kepada karyawan Perusahaan wajib memberikan rasa aman dan nyaman kepada karyawannya, memperlakukan karyawan dengan adil. Selain itu, perusahaan juga memberikan kesempatan dan fasilitas untuk pengembangan diri karyawan. 3. Tanggung jawab sosial kepada kreditor Misalnya pada saat perusahaan harus menyelesaikan kewajiban atau utangnya namun ia sedang memiliki masalah keuangan maka perusahaan wajib memberitahukan kepada kreditor. 4. Tanggung jawab kepada pemegang saham Perusahaan juga bertanggung jawab kepada pemegang saham. Sehingga dalam operasional nya, perusahaan juga harus memastikan keputusan yang diambil juga untuk kepentingan pemegang saham. 5. Tanggung jawab sosial kepada lingkungan Tanggung jawab ini berkaitan dengan lingkungan, misal dengan tidak membuang limbah sembarangan, mencegah polusi disekitar tempat usaha, mencegah penggunaan bahan berbahaya. Jadi perusahaan diharapkan ramah terhadap lingkungan. 6. Tanggung jawab sosial kepada komunitas Tanggung jawab sosial ini dapat dilakukan dengan cara memberikan corporate social responsibility atau CSR. Memberikan bantuan seperti sarana prasarana untuk pendidikan, kesehatan, infrastuktur atau hal lain yang dibutuhkan oleh masyarakat. Manfaat Etika Bisnis & Tanggung Jawab Sosial Perusahaan



Menjalankan etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan tentu saja akan memberikan manfaat yang banyak bagi perusahaan, seperti:  Memberikan citra positif dan nilai lebih bagi perusahaan, 



Mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik internal maupun eksternal perusahaan,







Meningkatkan motivasi untuk semua pihak yang terlibat, dan lain sebagainya.



BAB X BISNIS, LINGKUNGAN HIDUP, DAN ETIKA



Krisis lingkungan hidup Masalah sekitar lingkungan hidup kita sadari bagaimana industri mengakibatkan timbulnya kota – kota yang suram dan kotor. Tempat penghunian yang ada disekitar pabrik – pabrik diasosiasikan dengan suasana asap, jelaga, dan bau tak sedap. Keadaan suram dan gelap didaerah industri pada waktu dulu sering dipertentangkan dengan keadaan romantis dikawasan pertanian dan perternakan. Jika didaerah pertanian bau pupuk alam kadang – kadang bisa menyengat hidung juga tetapi faktor kurang bagus itu hanya bersifat sementara dan hilang dalam suatu suasana menyeluruh yang positif. Sekarang polusi yang disebabkan oleh industri mencapai tahap global dan tak terbatas pada beberapa industri saja. Cara berproduksi besar-besaran dalam industri modern dulu mengandaikan begitu saja dua hal yang sekarang diakui sebagai kekeliruan besar. Pertama bisnis modern mengandaikan bahwa komponen – komponen lingkungan seperti air dan udara merupakan barang umum sehingga boleh dipakai seenaknya saja. Kedua diandaikan pula bahwa sumber alam seperti air dan udara itu tidak terbatas. Sebaiknya kita memandang enam problem masalah lingkungan hidup : 



Akumulasi bahan beracun







Efek rumah kaca







Perusakan lapisan ozon







Hujan asam







Deforestasi dan penggurunan







Keanekaan Hayati



Lingkungan hidup dan Ekonomi Lingkungan hidup sebagai “the commons“ Sebelumnya kita lihat bahwa bisnis modern mengandaikan begitu saja status lingkungan hidup sebagai ranah umum. Dianggapnya disini tidak ada pemilik dan tidak ada kepentingan pribadi. Pengandaian ini adalah keliru. Kekeliruan itu dapat kita mengerti dengan lebih baik jika kita membandingkan lingkungan hidup dengan the commons. The commons adalah ladang umum yang dulu dapat ditemukan dalam banyak daerah pedesaan di Eropa dan dimanfaatkan secara bersama – sama oleh semua penduduknya. Sering kali the commons adalah padang rumput yang dipakai oleh semua penduduk kampong tempat pengangonan ternaknya.



Dizaman modern dengan bertambahnya penduduk sistem ini tidak dipertahankan lagi dan ladang umum itu diprivatisasi dengan menjualnya kepada penduduk perorangan. Masalah lingkungan hidup dan masalah kependudukan dapat dibandingan dengan proses menghilangnya the commont. Jalan keluarnya adalah terletak pada bidang moralnya yakni dengan membatasi kebebasan. Solusi ini memang bersifat moral karena pembatasan harus dilaksanakan dengan adil. Pembatasan kebebasan itu merupakan suatu tragedi karena kepentingan pribadi harus dikorbankan kepada kepentingan umum. Tetapi tragedi ini tidak bisa dihindari. Membiarkan kebebasan semua orang justru akan mengakibatkan kehancuran bagi semua. Lingkungan hidup tidak lagi eksternalitas Dengan demikian serentak juga harus ditinggalkan pengandaian kedua tentang lingkungan hidup dalam bisnis modern yakni bahwa sumber-sumber daya alam itu tak terbatas. Mau tak mau kita perlu akui lingkungan hidup dan komponen – komponen yang ada didalamnya tetap terbatas, walaupun barangkali tersedia dalam kuantitas besar. Sumber daya alam pun ditandai dengan kelangkaan. Jika para peminat berjumlah besar maka air, udara, dan komponen – komponen yang ada didalamnya akan menjadi barang langka dan karena itu tidak dapat dipergunakan lagi secara gratis. Akibatnya faktor lingkungan hidup pun merupakan urusan ekonomi karena ekonomi adalah usaha untuk memanfaatkan barang dan jasa yang langka dengan efisien sehingga dinikmati oleh semua peminat.



Hubungan Manusia dengan alam Masalah lingkungan hidup menimbulkan suatu cabang filsafat baru yang berkembang dengan cepat yaitu filsafat lingkungan hidup. Salah satu ciri khas sikap manusia modern adalah usahanya untuk menguasai dan menaklukan alam. Alam dipandang sebagai binatang buas yang perlu dijinakan oleh manusia. Tujuan itu dibantu dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekarang perlu disadari bahwa hubungan manusia dengan alam tidak dapat dipisahkan apalagi bertentangan dengan alam karena ia termasuk alam itu sendiri seperti setiap makhluk hidup lainnya. Pandangan manusia modern dengan alam adalah antroposentris karena menempatkan manusia pada pusatnya. Pandangan baru yang kita butuhkan bila kita ingin mengatasi masalah lingkungan hidup maka harus bersikap ekosentris dimana menempatkan alam dalam pusatnya. Mencari dasar etika untuk tanggung jawab terhadap lingkungan Hasil analisa kita sampai sekarang adalah bahwa hanya manusia mempunyai tanggung jawab moral terhadap lingkungannya walaupun manusia termasuk alam dan sepenuhnya dapat dianggap sebagai sebagian dari alam namun hanya ialah yang sanggup melampaui status alaminya dengan memikul tanggung jawab. Isi tanggung jawab dalam konteks ekonomi dan bisnis adalah melestarikan lingkungan hidup atau memanfaatkan sumber daya alam sedemikian rupa hingga kualitas lingkungnnya tidak dikurangi tetapi bermutu sama seperti sebelumnya. Disini kita mencari dasar etika untuk tanggung jawab manusia itu sendiri seperti sering terjadi dasar etika itu disajikan oleh beberapa pendekatan yang berbeda yaitu 



Hak dan deontologi







Utilitarisme







Keadilan Dibawah ini tiga cara untuk mengaitkan keadilan dengan masalah lingkungan hidup:







Persamaan







Prinsip penghematan adil







Keadilan sosial



Implentasi tanggung jawab terhadap lingkungan hidup Jika polusi memang merugikan lingkungan salah satu tindakan yang logis adalah dengan melarang semua kegiatan yang akan mengakibatkan polusi. Tanggung jawab kita untuk melindungi lingkungan hidup harus dipertimbangkan terhadap faktor – faktor lain khususnya tentang kegiatan ekonomis kita.



BAB XI ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL Hubungan perdagangan dengan pengertian “asing” rupanya masih membekas dalam bahasa Indonesia, karena salah satu arti “dagang” adalah “orang dari negeri asing”. Dengan saran transportasi dan komunikasi yang kita miliki sekarang, bisnis internasional bertambah penting lagi. Berulang kali dapat kita kita dengar bahwa kini kita hidup dalam era globalisasi ekonomi: kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara tercantum dalam “pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar ekonomi. Gejala globalisasi ekonomi ini berakibat positif maupun negatif. Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diberi perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis internasional. Dalam bab ini kita akan membahas beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional. Norma-norma moral yang umum pada taraf internasional? Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Kami berpendapat bahwa pandangan yang menganggap norma-norma moral relatif saja tidak bisa dipertahankan. Namun demikian, itu tidak berarti bahwa norma-norma moral bersifat absolut atau tidak mutlak begitu saja. Jadi, pertanyaan yang tidak mudah itu harus bernuansa. Masalah teoritis yang serba kompleks ini kembali lagi pada taraf praktis dalam etika bisnis internasional. Apa yang harus kita lakukan, jika norma di negara lain berbeda dengan norma yang dianut sendiri? Richard De George membicarakan tiga jawaban atas pertanyaan tersebut, ada 3 pandangan mengenai pertanyaan di atas sebagai berikut : a) Menyesuaikan Diri Untuk menunjukkan sikap yang tampak pada pandangan ini menggunakan peribahasa(Kalau di Roma, bertindaklah sebagaimana dilakukan orang roma) Artinya perusahaan harus mengikuti norma dan aturan moral yang berlaku di negara itu, yang sama dengan peribahasa orang Indonesia (Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung). Norma-norma moral yang penting berlaku di seluruh dunia. Sedangkan norma-norma non moral untuk perilaku manusia bisa berbeda di berbagai tempat. Itulah kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini. Misalnya, norma-norma sopan santun dan bahkan norma-norma hukum di semua tempat tidak sama. Yang di satu tempat dituntut karena kesopanan, bisa saja di tempat lain dianggap sangat tidak sopan. b) Rigorisme Moral Pandangan kedua memilih arah terbalik. Pandangan ini dapat disebut “rigorisme moral”, karena mau mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negerinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak mungkin menjadi kurang baik di tempat lain. Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan regorisme moral ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat di tempat lain. Namun para penganut rigorisme moral kurang memperhatikan bahwa situasi yang berbeda turut mempengaruhi keputusan etis. c) Imoralisme Naif



Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada norma-norma etika. Kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum (dan itupun hanya sejauh ketentuan itu ditegakkan di negara bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang merugikan, karena daya saingnya akan terganggu. Masalah “dumping” dalam bisnis internasional Yang dimaksudkan dengan dumping adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain dengan harga dibawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Yang akan merasa keberatan terhadap praktek dumping ini bukannya para konsumen, melainkan para produsen dari produk yang sama di negara di mana dumping dilakukan. Dumping produk bisa diadakan dengan banyak motif yang berbeda. Salah satu motif adalah bahwa si penjual mempunyai persediaan terlalu besar, sehingga ia memutuskan untuk menjual produk bersangkutan di bawah harga saja. Motif lebih jelek adalah berusaha untuk merebut monopoli dengan membanting harga. Praktek dumping produk itu tidak etis karena melanggar etika pasar bebas. Sebagaimana doping dalam perlombaan olah raga harus dianggap kurang etis karena merusak kompetisi yang fair, demikian juga praktek seperti dumping menghancurkan kemungkinan bagi orang bisnis untuk bersaing pada taraf yang sama. Kalau dilakukan dengan maksud merebut monopoli, dumping menjadi kurang etis juga karena merugikan konsumen. Akan tetapi, tidak etis pula bila suatu negara menuduh negara lain mempraktekkan dumping, padahal maksudnya hanya melindungi pasar dalam negerinya. Jika negara lain bisa memproduksi sesuatu dengan harga lebih murah, karena cara produksinya lebih efisien atau karena bisa menekan biaya produksi, kenyataan ini harus diterima oleh negara lain. Melanjutkan perbandingan tadi, sebagaimana kita memiliki metode-metode yang objektif dan pasti untuk membuktikan adanya praktek doping dalam bidang olah raga, demikian juga kita membutuhkan prosedur yang jelas untuk memastikan adanya dumping. Kita membutuhkan suatu instansi supranasional yang sanggup bertindak dan sekaligus diakui sebagai wasit yang objektif. Tetapi dalam situasi dunia sekarang instansi seperti itu belum dimungkinkan. Dalam rangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah dibuat sebuah dokumen tentang dumping, tetapi hanya sebagai model untuk membuat peraturan hukum di negara-negara anggotanya. Aspek-aspek etis dari korporasi multinasional Yang dimaksud dengan korporasi multinasional adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, dengan demikian belum mencapai status korporasi multinasional (KMN), tetapi perusahaan yang memiliki pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya. Kita semua mengenal KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson, AT & T, General Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony, Philips, Unilever yang mempunyai kegiatan di seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan orang. Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat besar dan karena beroperasi di berbagai tempat yang berbeda dan sebab itu mempunyai mobilitas tinggi, KMN menimbulkan masalah-masalah etis sendiri. Di sini kita membatasi diri pada masalah-masalah yang berkaitan dengan negara-negara berkembang. Tentu saja, negara-negara berkembang sudah mengambil berbagi tindakan untuk melindungi diri. Misalnya, mereka tidak



mengijinkan masuk KMN yang bisa merusak atau melemahkan suatu industri dalam negeri. Beberapa negara berkembang hanya mengijinkan KMN membuka suatu usaha di wilayahnya, jika mayoritas saham (sekurang-kurangnya 50,1%) berada dalam tangan warga negara setempat. Karena kekosongan hukum pada taraf internasional, kesadaran etis bagi KMN lebih mendesak lagi. De George merumuskan sepuluh aturan etis yang dianggap paling mendesak dalam konteks ini. Tujuh norma pertama berlaku untuk semua KMN, sedangkan tiga aturan terakhir terutama dirumuskan untuk industri berisiko khusus seperti pabrik kimia atau instalasi nuklir. Sepuluh aturan itu adalah: 1. Korporasi Multinasional tidak boleh dengan segaja mengakibatkan kerugian langsung. 2. Korporasi Multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi negara di mana mereka beroperasi. 3. Dengan kegiatannya, Korporasi Multinasional itu harus memberi konstribusi kepada pembangunan negara di mana ia beroperasi. 4. Korporasi Multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua karyawannya. 5. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, Korporasi Multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan menentangnya. 6. Korporasi Multinasional harus membayar pajak yang “fair”. 7. Korporasi Multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkan dan menegakkan “background institutions” yang tepat. 8. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut. 9. Jika suatu Korporasi Multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman. 10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, Korporasi Multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara baru yang belum berpengalaman. Masalah korupsi pada taraf internasional Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional, namun perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika bisnis terutama diarahkan kepada konteks internasional.



BAB XII Peranan Etika Bisnis Terhadap Bisnis Etika bisnis dalam perusahaan mempunyai peran penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai ( value-creation ) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.



Tidak dipungkiri, tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat sehingga akan kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi dan lain sebagainya. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai etika bisnis, pada umumnya termasuk perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis. Misalnya diskriminsi dalam sistem jenjang karier.



Peranan Etika dalam Bisnis : Menurut Richard De George, bila perusahaan ingin sukses/berhasil memerlukan 3 hal pokok yaitu : 1. Produk yang baik 2. Managemen yang baik 3. Memiliki Etika Biasanya dimulai dari perencanaan strategis, organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang handal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang, karena : Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik intern perusahaan maupun dengan eksternal. Mampu meningkatkan motivasi pekerjaan Melindungi prinsip kebebasan berniaga Mampu meningkatkan keunggulan bersaing. Etika bisnis memang memiliki peranan penting dalam keberhasilan ataupun kegagalan sebuah usaha. Etika bisnis sangat berpengaruh besar dalam hasil suatu usaha tingkah wirausaha yang baik akan menentukan suatu usahanya tersebut dapat kearah yang berhasil atau gagal.



Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Perannya etika dalam suatu bisnis sangatlah berpengaruh besar,tingkat keberhasilan sutu usha yng mempengaruhi salah satunya adalah etika yang dimiliki oleh seorang wirausahawan tersebut. Etika bisnis perusahhan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki dsaya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai yang tinggi,diperlukan suatu landasan yang kokoh.



Biasanya dimulai dari perencanaan strategis, organisasi yang baik, system prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang handal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Karena itu, tindakan perusahaan berasal dari pilihan dan tindakan individu manusia, indivdu-individulah yang harus dipandang sebagai penjaga utama kewajiban moral dan tanggung jawab moral : individu manusia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan perusahaan karena tindakan perusahaan secara keseluruhan mengalir dari pilihan dan perilaku mereka. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan itu disebabkan oleh pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan itu, jika perusahaan bertindak secara moral, hal itu disebabkan oleh pilihan individu dalam perusahaan bertindak secara bermoral. Etika bisnis mempunyai prinsip dalam kaitan ini berhubungan dengan berbagai upaya untuk menggabungkan berbagai nilai-nilai dasar (basic values) dalam perusahaan, agar berbagai aktivitas yang dilaksanakan dapat mencapai tujuan.