Blow Out Fracture (Case Report) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAGIAN ILMU BEDAH



AGUSTUS 2018



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO



BLOW OUT FRACTURE DEXTRA (ENOPHTALMUS + DIPLOPIA)



Oleh : Ershanty Rahayu Safitrinas Yasin K1A1 10 046



Pembimbing : dr. Saktrio Darmono S., Sp. BP-RE



KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2018



BAB I LAPORAN KASUS



a. IdentitasPasien Nama



: Tn. M



Umur



: 17 tahun



Jenis kelamin



: Laki-Laki



Alamat



: Wanci



No. RM



: 534652



Tanggal masuk



: 13 juli 2018



b. Anamnesis Keluhan Utama



: Penglihatan ganda



Anamnesis terpimpin



:



pasien masuk RS dengan keluhan penglihatan ganda yang dirasakan kurang lebih 2 minggu yang lalu setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Awalnya pasien mengendarai motor tanpa menggunakan helm dan mengalami kecelakaan lalu lintas lalu mengalami benturan dikepala. Mekanisme kecelakaannya tidak diketahui. Pasien mengeluh kurang lebih sejak 2 minggu lalu mengaku mengalami penglihatan ganda setelah kecelakaan dan dibawa kerumah sakit seminggu setelah kecelakaan. Pasien juga merasa nafsu makan menurun. BAB dan BAK dalam batas normal. riwayat keluhan yang sama sebelumnya (-)



1



Riwayat penyakit lain (-), Riwayat pengobatan mata (+) pasien pernah dapat pengobatan dari rumah sakit di Wanci selama 4 hari diberikan terapi tetes mata xendocytrol, di lakukan penjahitan di daerah supra orbita,untuk obat-an pasien tidak mengetahui. kemudian dirujuk di RS bayangkara selama 4 hari dan diberikan terapi injeksi tetapi keluarga tidak mengetahui nama obatnya dan diberikan kembali terapi tetes mata xendocytrol. c. PemeriksaanFisik 1. Status Generalis Keadaan umum : Composmentis, tampak sakit sedang. Tanda Vital : Tekanan Darah



: 110/70 mmHg



Nadi



: 78x/menit



Pernapasan



: 20x/ menit



Suhu



: 36°C



Kepala



Bentuk normocephal



Wajah



Deformitas (-), luka (-)



Mata



Deformitas(+)enophtalmus dan diplopia, Perdarahan(+), luka (+) Luka jahit daerah palpebra pars supratarsalis dextra, kojungtiva anemis (-)



Telinga



Perdarahan (-), sekret (-)



Hidung



Perdarahan (-), sekret (-)



Mulut



Perdarahan (-), Bibir kering (+), pucat (-)



2



Leher



Eritem (-) , udem (-), emfisema subkutis (-)



Thorax



Inspeksi : Pergerakan dinding dada spontan, simetris kiri dengan kanan Palpasi : Nyeri tekan (-) Perkusi : Sonor kiri dan kanan Auskultasi : Vesikuler



Abdomen



Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas Auskultasi : Peristaltik kesan normal Perkusi : Timpani (+) Palpasi : Nyeri tekan (-)



Punggung



Dalam batas normal



Ekstremitas



Superior : vulnus excoriatum regio manus dextra (+) Inferior : normal



2. Status Lokalis 



Regio orbitalis : deformitas (+) blow out fraktur (+), enophtalmus(+), diplopia (+) , udema (+), simblefaron (+), sinekia (+)



3



d. Foto Klinis



e. PemeriksanPenunjang



CT-Scan Kepala : 1. Tidak tampak kelainan intracranial 2. Hematositis maxillaries dan ethmoidalis kanan 3. Deviasi septi nasi kekiri 4. Fraktur floor orbital inferior kanan bagian posterior f. Diagnosa Kerja Blow out fracture + diplopia +enophtalmus



4



g. Terapi a. Terapi Non Farmakologi Konsul Bedah Plastik b. Terapi Farmakologis IVFD RL 20 tpm Inj. Ceftriaxone 1gram/12 jam /IV Inj. Ketorolac 30mg /8 jam /IV h. Resume Laki-laki usia 17 tahun dengan luka keluhan penglihatan ganda yang dirasakan kurang lebih 2 minggu yang lalu setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Awalnya pasien mengendarai motor tanpa menggunakan helm dan mengalami kecelakaan lalu lintas lalu mengalami benturan dikepala. Mekanisme kecelakaannya tidak diketahui. Pasien juga merasa nafsu makan menurun. BAB dan BAK dalam batas normal. riwayat keluhan yang sama sebelumnya (-) Riwayat penyakit lain (-), Riwayat pengobatan mata (+) pasien pernah dapat pengobatan dari rumah sakit di Wanci selama 4 hari diberikan terapi cendoxytrol dan penjahitan didaerah supra orbita, obat-obatan tidak diketahui. Selanjutnya dirujuk di RS bayangkara selama 4 hari dan mendapat kembali terapi cendoxytrol. Keadaan umum: composmentis, tampak sedang. Tanda-tanda vital: TD: 100/70 mmHg, N: 84x/m regular, kuat angkat, P: 20x/m tipe thoracoabdominal, S: 38,7°C (aksila).



5



Pemeriksaan fisik didapatkan regio orbitalis terdapat deformitas blow out fracture + diplopia + simblefaron + sinekia dan region manus didapatkan vulnus excoriatum. i. Foto operasi Pre operasi



Intra operasi



Post operasi



6



Nama/macam operasi : operasi rekonstruksi pre orbital floor dextra, repair eyelid dextra dilakukan pada tanggal 14 juli 2018. j. Follow Up Hari/tanggal



Perjalanan penyakit S : nyeri intra orbita, anxietas



Planning T: -



IVFD RL 20 TPM



TD : 100/70 mmHg



-



Ceftriaxon 1gr/12 jam



N



-



Ketorolac 30mg/ 8 jam / iv



O:



: 72x/m, regular kuat



13/07/18 angkat P



: 20x/m



S



: 36° C



A : PH0 blow out fracture T : instruksi post op -



IVFD RL 20 TPM



-



Inj. Ketorolac 30mg/IV/8jam



-



Inj. Ceftriaxon 1gr/12 jam/IV



-



Inj dexametason 5mg / 8 jam/IV



-



Inj ranitidine 50mg / 12 jam / IV



-



Operasi hari ini



S : nyeri intra orbita, anxietas O: TD : 90/60 mmHg N



: 72x/m



P



: 18x/m



S



: 36,6°C



14/06/2018



A : ph1 blow out fracture + poh1 rekonstruksi orbital floor dextra



7



S : nyeri orbita post operasi



T:



O:



instruksi post op:



15/07/2018



TD : 90/60



-



Inj ketorolac 30mg / 8 jam



N



: 70x



-



Inj ranitidine 50mg / 12 jam



P



: 18



-



Inj Ceftriaxon 1 gram /12 jam



S



: 36,7



-



Inj dexametason 5mg/ 8 jam



Diet : TKTP



A : PH2 + poh1 post rekonstruksi orbital floor dextra



T:



16/07/18



-



IVFD RL 28 tpm



S : ku lemah, kesadaran



-



Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/IV



membaik, nyeri orbita



-



Inj. Ranitidin 50mg/12 jam/iv



O:



-



Inj. Ceftriaxon 1gr/12 jam/iv



TD : 90/60



-



Inj dexamethason 5mg/12jam/iv



N



: 80



-



Diet TKTP



P



: 20



S



: 37,8



A : PH4 + P.O H2 rekonstruksi orbital floor dextra



8



S : kesadaran membaik



T -



IVFD RL 20 tpm



TD : 100/60



-



Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/IV



N



: 89



-



Inj. Ranitidin 50mg/12 jam/iv



P



: 20 x / menit



-



Inj. Ceftriaxon 1gr/12 jam/iv



S



: 37ºC



-



Dexamethason 5gr/12jam /iv



O:



17/07/18



A : PH4 + P.O H3 rekonstruksi orbital floor dextra



S : kesadaran membaik



T Boleh rawat jalan



O: TD : 100/60



08/06/18



N



: 84



P



: 20 x / menit



S



: 36,8ºC



A : PH5 blow out fracture+ P.O H4 post rekonstruksi orbital floor dextra



9



BAB II TINJAUAN PUSTAKA I.



DEFINISI Blow-out fracture adalah fraktur tulang dasar orbita yang disebabkan peningkatan tiba-tiba dari tekanan intraorbital tanpa keterlibatan rima orbita. Sebagian besar blow-out fracture terjadi pada dasar orbita dan sebagian kecil terjadi pada dinding medial dengan atau tanpa disertai fraktur dasar orbita. Blowout fracture merupakan fraktur yang sering terjadi pada trauma wajah. Tingkat keparahan bervariasi mulai dari fraktur minimal yang kecil yaitu bergesernya salah satu dinding orbita yang tidak memerlukan tindakan bedah hingga kerusakan dinding orbita yang parah yang menyebabkan deformitas tulang dan perubahan kedudukan bola mata (Furuta dkk, 2006). Blow out fracture atau fraktur dasar orbita adalah fraktur yang terjadi pada daerah basis orbita (murni), yang dapat disertai kombinasi dari fraktur lengkungan zygomatikum, fraktur Le Fort (maxilaris), dan tulang – tulang orbital lain (tidak murni).1 Blow-out fracture pertama kali ditemukan oleh Lang pada awal tahun 1900. Nama blow-out fracture sendiri dikemukakan pertama kali oleh Smith dan Regan pada tahun 1957. Sebagian besar fraktur ini melibatkan tulang dasar orbita dan 20% melibatkan dinding orbita yang lain (Zubair & Touseef, 2005; Furuta dkk, 2006).



10



II.



ANATOMI MATA Orbita secara skematis digambarkan seperti piramid berdinding empat yang berkonvergensi ke arah belakang. Orbita berbentuk buah pir, dengan nervus optikus sebagai tangkainya. Lingkaran anterior lebih kecil sedikit daripada lingkaran di bagian dalam tepinya.2 Volume orbita dewasa kira – kira 30 cc dan bola mata hanya menempati sekitar seperlima bagian ruangnya. Lemak dan otot menempati bagian terbesarnya. Orbita berhubungan dengan sinus frontalis di atas, sinus maksilaris di bawah, dan sinus ethmoidalis serta sphenoidalis di medial.2 Dasar orbital yang tipis mudah rusak oleh trauma langsung terhadap bola mata, berakibat timbulnya fraktur blow out dengan herniasi isi orbita ke dalam antrum maksilaris. Infeksi dalam sinus ethmoidalis dan sphenoidalis dapat mengikis dinding medialnya yang setipis kertas (lamina papyracea) dan mengenai isi orbita. Defek pada atapnya (misalnya neurofibromatosis) dapat berakibat terlihatnya pulsasi pada bola mata yang berasal dari otak.2



11



Gambar 1. Anatomi Mata



Gambar 2. Anatomi Mata 12



Dinding orbita Atap orbita terutama terdiri dari facies orbitalis ossis frontalis. Kelenjar lakrimal terletak di dalam fossa lakrimalis di bagian anterior lateral atap. Di posterior, ala parva ossis sphenoidalis yang mengandung kanalis optikus, melengkapi atapnya. Dinding lateral dipisahkan dari atap orbita oleh fisura orbitalis superior, yang memisahkan ala parva dan ala magna ossis sphenoidalis. Bagian anterior dinding lateral dibentuk oleh facies orbitalis ossis zygomatici (malar). Tulang ini adalah bagian terkuat dari tulang orbita.3 Dasar orbita dipisahkan oleh dinding lateral oleh fisura orbitalis inferior. Ossis maksilaris membentuk daerah sentral yang luar pada dasar orbita dan merupakan daerah yang paling sering terjadi fraktur. Pars frontalis ossis maksilaris di medial dan os zygomaticum di lateral melengkapi tepian inferior orbita. Processus orbitalis ossis palatini membentuk segitiga kecil pada dasar posterior.[3] Batas dinding medial kurang jelas. Os ethmoidalis yang setipis kertas menebal ke arah anterior saat bertemu os lakrimale. Korpus sphenoidale membentuk bagian paling posterior dari dinding medial, dan prosesus angularis ossis frontalis membentuk bagian atas crista lakrimalis posterior, bagian bawah crista lakrimalis posteriordibentuk oleh os lakrimalis.



13



Gambar 3. Potongan sagital mata dan aksesorisnya



Apeks orbita adalah tempat masuk semua saraf dan pembuluh darahke mata dan tempat asal semua otot ekstra okuler kecuali obliqus inferior (fossa lakrimal).[3] Nervus optikus dan arteri oftalmika berjalan melalui kanalis optikus yang juga terletak di dalam anulus Zinn, vena oftalmika inferior dapat melalui sembarang bagian fisura orbitalis superior.[3] Fisura orbita superior di sudut orbita astas temporal dilalui oleh saraf lakrimal (V), saraf frontal (V), saraf troklear (IV), saaraf okulomotor (III), saraf nasosiliar (V), abdusen (VI), dan arteri vena optalmik.[1] Peredaran darah mata Suplai darah utama orbita dan strukturnya merupakan turunan dari arteri oftalmika (cabang besar pertama dari arteri karotid interna),cabang ini berjalan di bawah nervus optikus dan bersama – sama melewati kanalis optikus masuk kedalam orbital. Cabang pertama saat memasuki orbita (intraorbita) adalah arteri retina sentralis yang 14



memasuki nervus optikus 8 – 15 mm di belakang bola mata. Cabang – cabang lain dari arteri oftalmika antara lain adalah arteri lakrimalis (yang memperdarahi glandula lakrimalis dan kelopak mata atas), cabang – cabang arteri muskularis (ke berbagai otot orbita), 2 arteri siliaris posterior longa (memperdarahi korpus siliaris dan saling beranastomosis satu sama lain ditambah arteri siliaris anterior dari cabang – cabang muskularis membentuk sirkulus arterialis mayor iris) arteri siliaris posterior brevis (memperdarahi khoroid dan bagian – bagian nervus optikus), arteri palpebralis media (ke kedua kelopak mata), arteri supraorbital dan supra trokhlearis. Vena orbita terutama melalui vena oftalmika superior dan inferior yang juga menampung darah dari vena – vena vorteks, vena siliaris anterior dan vena retina sentralis. Vena oftalmika melalui fisura orbitalis superior berhubungan dengan sinus kavernosus dan melalui fisura orbitalis inferior berhubungan dengan pleksus venosus pterigoideus. Vena oftalmika superior (dibentuk dari vena supreorbita, supratrokhlear dan 1 cabang vena angularis) mengalirkan darah dari kulit daerah periorbital. Vena ini membentuk hubungan langsung antara kulit wajah dengan sinus kavernosus yang potensial fatal bila terkena infeksi superfisial di kulit periorbital.[3]



15



Gambar 4. Peredaran darah mata Otot Penggerak mata Otot ini menggerakan mata tergantung pada letak dan sumbu penglihatan sewaktu aksi otot. Terdiri atas 6 otot, yaitu:[4] 



Oblik inferior: pergerakan ke luar dan ke atas mata







Oblik superior: pergerakan ke dalam dan ke bawah mata







Rektus lateral: pergerakan ke luar mata







Rektus medial: pergerakan ke dalam mata







Rektus superior: pergerakan ke atas mata







Rektus inferior: pergerakan ke bawah mata



Masing – masing keenam otot sesungguhnya berperan dalam menetapkan letak mata kurang lebih 3 axis rotasi. Aksi primer otot mata adalah gerakan utama yang dimiliki otot tersebut terhadap rotasi mata. Efek yang lebih kecil disebut aksi sekunder atau tersier.[3] 16



Gambar . fungsi otot ocular Muskulus Rekti Keempat muskulus rekti mempunyai origo pada anulus Zinn (yang mengelilingi nervus optikus dan apeks orbita -membentuk seperti cincin-). Mereka disebut sesuai insersionya ke dalam sklera pada permukaan medial, lateral, inferior, dan superior mata. Fungsi mata otot – otot tersebut berturut – turut adduksi, abduksi, menurunkan dan mengangkat mata. Otot – otot itu panjangnya kira – kira 40 mm. Menjadi tendo kira – kira 4 – 9 mm dari titik insersio, lebar 10 mm. Perkiraan jarak dari titik insersio ke limbus kornea adalah rektus medialis 5 mm, rektus inferior 6 mm, rektus lateralis 7 mm, rektus superior 8 mm.[3] Muskulus Oblique Kedua muskulus oblique terutama mengendalikan gerak torsional, ke atas dan ke bawah.[3]. Oblikus superior (otot mata terpanjang dan paling tipis), origonya diatas medial foramen optikum dan menutupi sebagian origo muskulus levator palpebra superior. Oblikus superior berbentuk fusiformis langsing (40 mm) dan berjalan ke anterior berupa tendo ke trokhlea (katrolnya). Otot ini kemudian melipat balik dan berjalan ke bawah untuk tertambat berupa kipas kipas pada sklera di bawah rektus 17



superior. Trokhlear adalah struktur bertulang rawan yang melekat pada os frontal 3 mm di belakang tepian orbita. Tendo oblikus superior dibungkus selubung sinovial sewaktu menembus trokhlear.[3] Muskulus obliqus inferior, berorigo pada sisi nasal dinding orbital tepat di belakang tepian inferior orbita dan lateral dari duktus nasolakrimalis. Ia berjalan di bawah rektus inferior, kemudian ke bawah muskulus rektus lateral untuk berinsertio pada sklera (ke dalam segment posterotemporal bola mata sedikit ke daerah makula) dengan tendo pendek. Panjang muskulus ini 37 mm.[3] Fascia Otot Mata Semua otot ekstraokuler dibungkus fascia. Dekat titik insertio otot – otot ini, fascia itu menyatu dengan kapsula tenon dan kondensasi fasial ke struktur – struktur orbita berdekatan, berfungsi sebagai ligamen check (membatasi kerja otot mata). Segmen bawah kapsula tenon tebal menyatu dengan fasia muskulus rektus inferior dan muskulus oblikus inferior membentuk ligamentum suspensorium bulbi (ligamentum Lock-wood), tempat terletaknya bola mata.[3] Persyarafan Otot Mata Nervus okulomotor (III): muskulus rektus medialis, inferior, superior dan obliqus inferior. Nervus abdusen (VI): muskulus rektus lateralis. Nervus trokhlearis (IV): muskulus obliqus superior.[3]



18



III. Epidemiologi Blow-out fracture umumnya terjadi pada orang dewasa dan jarang terjadi pada anak-anak. Blow-out fracture pada wanita dewasa sering terjadi karena kekerasan. Blow-out fracture dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan olahraga, terjatuh atau karena kekerasan. Trauma maksilofasial sering terjadi pada mereka yang tidak mengenakan sabuk pengaman saat mengendarai mobil, terutama terjadi pada negara berkembang (Kakati dkk, 2010; Gennaro dkk, 2012). Kasus blow out fracture sebagian besar hanya diobservasi untuk melihat penyerapan hematom. Indikasi operasi yang disarankan untuk dilakukan operasi adalah adanya diplopia, enophtalmus, fraktur luas dan hasil CT scan menunjukkan adanya otot yang terjepit dan tidak ada perbaikan klinis dalam 1-2 minggu. Komplikasi dapat terjadi akibat trauma awal maupun terapi pembedahan. Prognosis umumnya baik, bila dilakukan penatalaksanaan yang tepat (American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b). Fraktur dasar orbita sendiri atau dikombinasikan dengan fraktur tulang fasial lain merupakan fraktur terbanyak pada fraktur midfasial. Frekuensi dari fraktur dasar orbital tergantung dari demografi dan kondisi sosioekonomi.3 IV. Patofisiologi Fraktur dasar orbita merupakan akibat dari peningkatan yang mendadak tekanan hidrolik intraorbital. Objek berkecepatan tinggi yang menghantam bola mata dan palpebra atas mengantarkan energi kinetik ke struktur periorbital. Energi ini menghasilkan tekanan ke vektor bawah dan vektor regio medial yang biasanya menargetkan ke arah alur infraorbital. Kebanyakan fraktur muncul di 19



medioposterial yang tipis. Mekanisme Buckling juga menggambarkan, dengan kecepatan yang tinggi pula dapat hanya terjadi lekukan dasar orbita tanpa pergeseran isi orbita. Fraktur dasar orbita yang terjadi pada regio medial dapat mengakibatkan tipe fraktur apapun pada segala ukuran & bentuk. Fraktur ini biasanya terjadi bila suatu objek tumpul yang lebih besar dari diameter rima orbita seperti tinju, siku, bola tenis, dan lain – lain. Jika daya dari objek yang lebih kecil dari diameter rima orbita, bola mata akan ruptur atau isi orbita akan mengalami kerusakan, tanpa terjadi adanya fraktur.[2] 1. Fraktur zygomatikum Fraktur zygomatikum merupakan fraktur ketiga terbanyak dari fraktur tulang fasial. Dengan 85% terjadi pada laki – laki. Trauma tumpul terutama disebabkan kecelakaan saat berkendara atau karena olahraga. Fraktur ini sering disebut fraktur trimalar, yang artinya fraktur zygomatik frontal, zygomatik maxilaris, dan garis sutura zygomatik temporal. Dan apabila mengenai sutura zygomatik sphenoid, hal ini disebut fraktur quadramalar. Nervus infraorbital keluar melalui foramen infraorbital pada persambungan zygomatikum dan maksila. Kerusakan pada nervus ini mengakibatkan hipesthesia pada dagu hingga mengenai hidung lateral. Dari badan tulang zygomatikum keluar 2 nervus sensoris yaitu zygomatik frontal dan zygomatik temporal. Keseluruhan bola mata dapat tertarik ke bawah akibat penempatan kebawah yang salah dari ligamen suspensorium Lockwood, yang mana menempel ke tuberkel Whitmall yang berlokasi pada bagian lateral dari prosesus orbital zygoma.6



20



Pasien merasa nyeri terlokalisir sekitar mata dan rasa baal yang ipsilateral pada pipi. Bila terjadi herniasi lemak sekitar orbita, otot rekti inferior dan otot oblique inferior ke sinus maksila, dapat menghasilkan keluhan diplopia, dan walaupun tanpa herniasi yang terjadi pada organ – organ tersebut, penempatan yang salah pada bagian inferior sinus zygomatik yang mengganggu tuberkel Whitnall serta ligamentum Lockwood, akan menyebabkan keluhan diplopia juga. Trismus (biasanya tidak dapat membuka lebih dari 3 cm)dapat terjadi bila terjadi spasme terhadap otot masseter dan temporalis bila terjadi kontusio pada area itu. Epistaxis juga dapat terjadi. Pada inspeksi mata juga dapat tampak, ekimosis periorbital berat, perdarahan subkonjungtiva akibat robekan pembuluh darah kantus mata, hifema pada COA juga dapat terjadi dan hal ini merupakan tanda adanya cidera yang serius terhadap bola mata sehingga



merupakan



kondisi



kegawat



daruratan



pada



mata.



Enophthalmus dapat terjadi bila terjadi herniasi lemak – lemak sekitar bola mata. Pada perabaan teraba ketidaksimetrisan lengkung zygomatik dan tulang – tulang sekitar malar (walau pada cidera yang tidak serius), teraba krepitasi dan pembengkakan, fraktur yang terjadi juga dapat teraba.[6]



21



Gambar 6. Fraktur zygoma Fraktur sutura zygomatik maxila dan dasar orbita tanpa fraktur zygomatik frontal atau frontal temporal merupakan fraktur blow out yang tidak murni, sedangkan fraktur blow out murni tidak mengikutsertakan fraktur rima orbita.[6] Dapat dilihat melalui pemeriksaan radiologi foto Waters (tanda teardrop pada herniasi isi orbita, untuk melihat rima orbita, garis sutura frontozygomatik dan badan zygoma) dan foto posisi submentovertex (berguna untuk melihat lengkung zygomatik). Teknik klasik menempatkan plat (plat mini rigid) atau kabel (kabel Kirschner) ke dalam fraktur garis frontal zygomatik dan garis sutura zygomaticomaxilaris pada rima infraorbital, sehingga menghasilkan stabilisasi yang adekuat terhadap fraktur mayor yang besar.Pembedahan terbuka yang dapat dilakukan dengan menggunakan teknik Gillies (insisi temporal hairline), insisi blepharoplasty, insisi transkonjungtiva yang dapat di perbesar dengan kantotomi lateral, dan insisi stair-step (insisi infra silier).[6]



22



2. Fraktur Maxila (Le Fort fracture) Fraktur maxila sering disebabkan oleh trauma tumpul akibat kecelakaan lalu lintas. Benturan tersebut (biasanya akibat benturan horizontal, yaitu dari



23



lateral, oblique atau anterior) perlu mematahkan tulang maxila dan tulang pterygoid dari sphenoid, yang mana memang merupakan dua tulang yang seringkali patah pada fraktur Le Fort.[6] Klasifikasi Le Fort mengarah pada tiga garis yang paling sering fraktur pada fraktur midfasial. Fraktur Le Fort 1 adalah fraktur palatal bagian bawah & sering disebut fraktur Guerin. Fraktur Le Fort II mengarah pada fraktur piramidal. Fraktur Le Fort III juga disebut pemisahan kraniofasial (craniofacial dysjunctions).[6]



Diagnosis radiologi Fraktur Le Fort sangat penting untuk tindakan penatalaksanaannya. Fraktur midfasial dapat dinilai melalui gambar sinus radiografi. CT scan sangat berguna dalam melihat seberapa luas dan tingkat keparahan fraktur midfasial. MRI hanya memiliki sedikit peran yaitu hanya untuk melihat apakah ada trauma serebral atau gangguan nervus optik.[6] Penatalaksanaan yang utama adalah menjaga jalan nafas, karena komplikasi dari bengkak yang masif pada lidah dan orofaring. Insisi fraktur Le Fort I terisolasi dapat dilakukan melalui insisi sublabial.6 24



3. Fraktur naso orbita ethmoid (NOE) Fraktur NOE melibatkan bagian hidung, orbita dan ethmoid. Rekonstruksi yang terlambat menambah kesulitan dalam perbaikan. Klasifikasi yang paling berguna dipaparkan oleh Markowirz et al, yang membagi mereka melalui merlekatan mereka ke ligamen kantus medial.[5] Tanda dan gejala yang sering muncul adalah hilangnya proyeksi nasal dan terangkatnya ujung hidung ke atas, hal tersebut merupakan hal wajar yang sering terjadi pada cidera ini. Perenggangan akar nasal dan telekantus mengindikasikan banyaknya pecahan fraktur. Biasanya nampak tumpulnya angulus kantus dan perubahan kantus media dapat diperoleh pergeseran ligamen palpebra lateral.[5] Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada tipe I yaitu dengan menggunakan miniplates (plat mini), dan pembedahan dilakukan melalui penutup koronal intraoral dan insisi subsiliar mungkin diperlukan. Pada tipe II dan III, fraktur juga diperbaiki dengan miniplates namun diperlukan canthopexy transnasal untuk mengurangi telekantus serta guna menahan posisi ligamen kantus medial. Perlukaan terhadap duktus lakrimal dapat diperbaiki dengan baik, kecuali laserasi sudah merusak sistemnya.[5] V.



Tanda dan gejala Diagnosis



blow-out



fracture



ditegakkan



berdasarkan



anamnesa,



pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Adanya riwayat trauma tumpul pada wajah dapat digali dari anamnesa. Standar baku emas untuk menegakkan diagnosa blow-out fracture adalah CT scan kepala dimana terlihat adanya fraktur di tulang dasar orbita dan atau di dinding medial orbita. Diagnosa banding dari



25



blow-out fracture adalah zigomaticomaxillary complex fracture dan naso-orbitoethmoidal



fracture (Joseph



&



Glavas,



2011;



American



Academy of



Ophthalmology staff, 2011-2012b) Tanda cardinal dari fraktur dasar orbita adalah enophthalmus dan hipoglobus. Enophthalmus lebih mudah terlihat bila mata kontralateralnya normal, dan terkadang tidak nampak pada tanda awal karena tertutupi oleh jaringan mata yang membengkak. Tanda lain adalah penurunan ketajaman mata, blepharoptosis, diplopia vertikal atau oblique (terutama ke atas), hipestesia ipsilateral atau bahkan hiperalgesia pada distribusi persyarafan infraorbital, pasien mungkin mengeluh epistaxis, dan pembengkakan kelopak mata. Patahan kecil dasar orbita dapat menimbulkan fenomena pintu jebakan. Lemak di sekitar orbital atau muskulus obliqus inferior terperangkap pada fraktur tersebut, maka dapat mengganggu kerja otot – otot orbita yang ditandai oleh diplopia dengan arah bola mata ke atas(bila mengenai m. Rekti inferior) atau ke bawah (bila mengenai m. Oblique inferior).[2,3,5]



26



VI. Pemeriksaan 1. Gambaran radiologis Dulu, untuk mendapatkan hasil apakah terdapat fraktur dasar orbita hanya bergantung dari foto polos radiografi oksipitomental. Dalam penggunaan foto polos, posisi yang sering digunakan adalah proyeksi Caldwell dan Waters. Poyeksi Caldwell dapat memperlihatkan dasar orbita, prosesus orbital dan zygomatik diatas piramida petrosa. Sedangkan gambaran yang lebih luas pada orbita dapat terlihat melalu proyeksi Waters (biasanya nampak gambaran klasik tanda “teardrop” yang merupakan gambaran herniasi isi orbita ke dalam sinus maxila pada fraktur dasar orbita yang disertai fraktur maxila). Sudut datang sinar x-ray dapat digunakan untuk mengevaluasi dasar orbita, isi orbita yang terjebak dan air-fluid level pada sinus maxila.[2,6] CT scan juga dapat digunakan dan lebih baik dari foto polos saja. Belakangan ini, ultasound (USG) juga mulai digunakan untuk mendiagnosa fraktur dasar orbita.[5]



27



2. Pemeriksaan fisik 



Lakukan pemeriksaan tulang – tulang fasial untuk melihat deformitas







Pemeriksaan kelopak mata dan soft tissue (periorbita edema, kerusakan saraf sensori infraorbita hingga ke bibir atas dan muka, adanya defek kontinuitas rima orbita)







Inspeksi perforasi dari bola mata, perdarahan subkonjungtiva, hipoglobus, enophthalmus







Lihat visus melalui Snellen Chart







Diplopia test 9 arah (atas kiri kanan, tengah kiri kanan, bawah kiri kanan), diplopia pada pandangan ke atas (patognomonik fraktur blow out), keterbatasan melihat ke atas, nyeri pada saat melihat ke atas. Periksa respon pupil, ukuran dan bentuk, pemeriksaan buta



warna, pemeriksaan ligamen kantus medial (pemeriksaan jarak interkantus, biasanya melebar = telekantus; Normal rata – rata 32 mm)[7] VII. Penatalaksanaan



Fraktur dasar orbita yang bermakna membutuhkan eksplorasi dan perbaikan yang lebih serius. Hal ini ditentukan olehukuran dan posisi dari fraktur blow out yang terjadi. Komponen soft tissue harus dipindahkan dan diganti dengan transplantasi. Berbagai macam bahan yang biasa digunakan sebagai 28



transplant adalah silastic dan polydimethylsiloxane (PSD) yang banyak tersedia dan biasa digunakan dan paling cocok pada defek yang kecil. Silastic memiliki kecenderungan untuk ditolak dan infeksi. Untuk fraktur blow out yang lebih besar, dibutuhkan tulang – tulang dari krista iliaka, costae, dan tulang tengkorak. Titanium alloplast sangat berguna terutama pada fraktur dasar orbita yang diikuti fraktur zygomatikum yang kompleks. Perbaikan menggunakan endoscopic transantral, sangat berguna untuk diagnosa.[5] Indikasi dilakukannya pembedahan untuk perbaikan fraktur blow out adalah: 



Terjadi diplopia yang terus menerus / menetap dengan pergeseran posisi bola mata > 30 derajat dari posisi seharusnya







Nampak bukti adanya soft tissue yang terjebak







Fraktur yang besar (setengah dari tulang dasar orbita)[3]



Kontra indikasi pembedahan adalah kondisi pasien yang belum stabil dan apabila pasien tidak dapat menoleransi anasthesi.[3] Menunda pembedahan 1 – 2 minggu akan membantu ahli bedah untuk melihat apakah diplopia dapat sembuh sendiri tanpa intervensi. Namun bila menunggu lebih lama dari itu, akan menurunkan angka keberhasilan enophthalmus karena proses perlukaan yang progresif, namun hasil operasi terhadap strabismus cukup baik. Pembedahan untuk perbaikan yang segera diperlukan bila terjadi reflex okulokardiak yang persisten, tipe fraktur “trapdoor” pada anak – anak, dan enophthalmus atau hypoglosus yang terjadi segera.[3]



29



Pembedahan untuk perbaikan biasanya dicapai dengan rute infrasiliaris atau rute traskonjungtiva, meskipun dapat juga dilakukan melalui transantral dan infraorbital. Periorbita diinsisi dan di angkat untuk melihat lokasi fraktur pada dasar dan dinding medial. Jaringan yang mengalami herniasi ditarik kembali ke rongga orbita, dan defeknya ditutup menggunakan implan alloplastik, dengan harapan tidak merusak berkas – berkas neurovaskular infraorbital. VIII.



Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi antaralain kebutaan, diplopia, implan yang extrusion, atau pergeseran implan yang dapat menekan sakus lakrimal, yang dapat menyebabkan obstruksi dan dakriosistitis. Komplikasi lainnya dapat berupa perdarahan, infeksi, rekraksi kelopak bawah dan rasa baal pada infraorbital.[3] Komplikasi dapat terjadi akibat trauma awal maupun terapi pembedahan. Komplikasi dari operasi blow-out fracture adalah penurunan tajam penglihatan atau kebutaan, diplopia, undercorrection / overcorrection dari enophtalmus, retraksi palpebra inferior, hipoesthesia nervus infraorbita, infeksi, ekstrusi implan, lymphedema dan kerusakan sistem aliran air mata (Joseph & Glavas, 2011; American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b). Komplikasi yang dapat terjadi karena trauma awal adalah pergeseran bola mata, selulitis orbita dan kebutaan. Pergeseran bola mata dapat terjadi karena proptosis, pergeseran vertikal, pergeseran horizontal, herniasi traumatik menuju sinus maksilaris dan enophtalmus. Proptosis dapat disebabkan haematom dan pembengkakan jaringan orbita yang dapat diresorpsi spontan. Bila terjadi hematoma subperiosteal, kemungkinan akan terjadi proptosis 30



persisten. Pergeseran vertikal sering terjadi pada fraktur orbital karena hematom. Pergeseran horizontal terjadi bila terkena ligamen medial atau terjadi pergeseran kompleks naso-ethmoidal. Pergeseran ini juga terjadi bila margin lateral orbita bergeser ke lateral (Chaudhry, 2010). Herniasi traumatik yang terjadi biasanya menuju sinus maksilaris. Komplikasi ini sangat jarang, terjadi hanya jika defek pada dasar orbita sangat besar. Enophtalmus merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada blowout fracture namun sering tetutupi oleh edema dan hematom. Enophtalmus dapat terjadi karena perluasan rongga orbita, atropi lemak, kontraktur sikatrik dan traksi ke belakang oleh otot yang terjepit. Pergeseran bola mata umumnya terjadi karena perubahan volume orbita atau pendorongan mata ke belakang. Implikasinya pada saat dilakukan eksplorasi orbita, dilakukan perbaikan defek untuk mengembalikan volume awal dari orbita dan melepaskan otot yang terjepit (Simon dkk, 2005; Chaudhry, 2010). Blow-out fracture menyebabkan hubungan langsung antara orbita dan sinus sehingga beresiko terjadi selulitis orbita bila terdapat sinusitis. Sumbatan aliran darah meningkatkan resiko ini. Fraktur dasar orbita menyebabkan suplai darah ke lemak infraorbita berkurang sehingga terjadi selulitis anaerob. Selulitis orbita merupakan kondisi yang serius karena dapat menyebabkan kebutaan, trombosis sinus kavernosus, meningitis dan abses cerebral (Simon dkk, 2005; Chaudhry, 2010). Kebutaan yang terjadi karena trauma pada bola mata dan pada nervus optikus. Trauma pada bola mata ini dilaporkan terjadi pada 30% kasus fraktur tulang orbita. Penurunan tajam penglihatan dapat terjadi pada perdarahan



31



retrobulbar, adanya benda asing dan fragmen tulang yang mengenai nervus optikus (Simon dkk, 2005). IX.



Prognosis Perbaikan melalui pembedahan fraktur dasar orbita yang berhasil tetap mungkin memiliki masalah yang persisten. Neuralgia sesuai distribusi saraf infraorbital dapat lebih hebat setelah pembedahan, perbaikan dapat mencapai 6 bulan atau lebih.[2] Yang lebih bermasalah adalah diplopia yang persisten, bila terisolasi dalam posis yang ekstrim dan mengganggu fungsi penglihatan, lebih baik dilakukan koreksi melalui pembedahan yaitu mereposisi otot ekstraokular sehingga mendapatkan fiksasi gambar orthophoric.[2] Enophthalmus dapat memburuk sewaktu – waktu, meskipun telah dilakukan perbaikan fraktur, atrofi lemak orbita dapat muncul menghasilkan enophthalmus.



32



BAB III DISKUSI KASUS Laki laki 17 tahun pasien masuk RS dengan keluhan penglihatan ganda yang dirasakan kurang lebih 2 minggu yang lalu setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Awalnya pasien mengendarai motor tanpa menggunakan helm dan mengalami kecelakaan lalu lintas lalu mengalami benturan dikepala. Mekanisme kecelakaannya tidak diketahui. Pasien mengeluh kurang lebih sejak 2 minggu lalu mengaku mengalami penglihatan ganda setelah kecelakaan dan dibawa kerumah sakit seminggu setelah kecelakaan. Pasien juga merasa nafsu makan menurun. BAB dan BAK dalam batas normal. riwayat keluhan yang sama sebelumnya (-), Riwayat penyakit lain (-), Riwayat pengobatan (+) pasien pernah dapat pengobatan dari rumah sakit di Wanci. Diagnosis dari blow-out fracture ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penderita mengeluh nyeri intraokular, mati rasa pada area tertentu di wajah, tidak mampu menggerakkan bola mata, melihat ganda bahkan kebutaan. Pemeriksaan fisik dari penderita blow-out fracture murni didapatkan edema, hematoma, enophtalmus, restriksi gerakan bola mata, anasthesia infraorbital, trauma nervus cranialis. Hasil rontgen kepala memperlihatkan gambaran alis mata hitam sedangkan pemeriksaan CT scan memperlihatkan tulang dasar orbita atau dinding medial yang mengalami fraktur, ukuran fraktur dan keterlibatan otot ekstraokular. Diagnosis banding dari blow out fracture adalah Zygomaticomaxillary complex fracture (ZMC) dan Naso-orbitoethmoidal fracture (NOE).



33



Pemeriksaan untuk menilai terjadinya blow out fracture Evaluasi ABC (airway, breathing and circulation) selalu dilakukan pada setiap kasus trauma wajah karena trauma pada daerah wajah sangat potensial menyebabkan gangguan ABC. Pengamanan ABC harus dilaksanakan segera setelah pasien datang. Pemeriksaan dan penatalaksanaan trauma awal dilaksanakan setelah ABC pasien terkendali (Gleinser, 2010). Kasus blow-out fracture sebagian besar tidak memerlukan tindakan operasi. Blow-out fracture orbita biasanya hanya diobservasi 5-10 hari untuk melihat penyerapan hematom. Pemberian steroid oral 1 mg/kgBB/hari selama 7 hari pertama dapat mengurangi edema dan resiko diplopia yang disebabkan kontraktur dan fibrosis musculus rektus inferior (American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b). Penderita blow-out fracture disarankan untuk tidak meniup hidung mereka selama beberapa minggu untuk mencegah emphysema orbita. Dekongestan hidung sering digunakan sebagai pencegahan. Antibiotika profilaksis digunakan untuk mencegah selulitis orbita jika fraktur menyebabkan hubungan langsung obita dengan rongga sinus (Joseph & Glavas, 2011). Indikasi operasi pada blowout fracture masih kontroversial, namun beberapa indikasi yang disarankan untuk dilakukan operasi adalah adanya diplopia, enophtalmus, fraktur luas yang melibatkan setengah dari dasar orbita dan hasil CT scan menunjukkan adanya otot yang terjepit dan tidak ada perbaikan klinis dalam 12 minggu. Operasi dilakukan pada diplopia dengan restriksi gerakan ke atas dan atau ke bawah 300 dari posisi primer dengan hasil forced duction test positif dalam 7-10 hari setelah trauma. Hal ini menunjukkan jaringan yang terjebak mempengaruhi



34



fungsi musculus rektus inferior. Diplopia bisa bertambah parah setelah dua minggu sehubungan dengan edema orbita, dan perdarahan. Vertikal diplopia akan persisten jika dalam waktu dua minggu tidak dilakukan tindakan (Joseph & Glavas, 2011; American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b). Enophtalmus lebih dari 2 mm atau secara kosmetik mengganggu penderita merupakan indikasi dilakukannya operasi. Enophtalmus biasanya tertutupi oleh edema orbita pada saat awal trauma bahkan hingga beberapa minggu setelahnya sehingga pengukuran yang teliti sangat diperlukan. Pengukuran enopthalmus dengan eksopthalmometer harus diulang bila edema orbita sudah berkurang yang biasanya terjadi 10 hari hingga 2 minggu setelah trauma. Jika enopthtalmus terjadi pada fraktur dasar orbita yang besar, maka tindakan operasi dapat mencegah terjadinya enophtalmus yang lebih besar di kemudian hari (Furuta dkk, 2006; American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b). Fraktur luas yang melibatkan setengah dari dasar orbita, khususnya jika melibatkan fraktur luas dinding medial karena berhubungan dengan kosmetik dan deformitas fungsional memerlukan tindakan operasi. Fraktur yang luas ini ditakutkan akan menyebabkan enopthalmus susulan. Hasil CT scan yang menunjukkan adanya otot yang terjepit dan tidak terjadi perbaikan klinis dalam 1-2 minggu juga merupakan indikasi tindakan operasi (Furuta dkk, 2006; Joseph & Glavas, 2011; American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b). Pasien pediatri umumnya diperlukan tindakan operasi karena musculus rectus inferior terjepit sangat kuat diantara celah fraktur. Pergerakan vertikal bola mata sangat terbatas dan hasil CT scan menunjukkan musculus rektus inferior terletak di sinus maksilaris. Pergerakan bola mata dapat merangsang oculocardiac reflex, nyeri,



35



mual dan bradikardia. Tindakan operasi harus segera dilakukan untuk melepaskan otot yang yang terjebak. Hasil akhir pergerakan bola mata semakin baik bila semakin cepat dilakukan operasi karena dapat mengurangi fibrosis otot (Bansagi & Meyer, 2000 ; American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b; John, 2012).



Gambar 17. A. Pasien usia 13 tahun mengalami trauma tumpul pada mata kiri. Mata kiri tidak dapat digerakkan ke atas. B. CT scan potongan coronal menunjukkan fraktur kecil pada dasar orbita dan musculus rektus inferior prolaps menuju sinus maksilaris. C. Reposisi musculus rektus inferior. D. Dua bulan post operasi (American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b).



Waktu untuk dilakukan operasi pada blow-out fracture sebenarnya masih merupakan kontroversial. Beberapa ahli menyarankan operasi dilakukan 3 hari setelah trauma bila terdapat diplopia dan enophtalmus. Dulley B dkk menyarankan operasi 10-14 hari setelah trauma sedangkan Putamen dkk menyarankan 4-6 bulan menunggu hingga diplopia dan enopthalmusnya stabil. Namun beberapa ahli menyatakan operasi akan lebih mudah dilakukan dalam beberapa minggu dibandingkan beberapa bulan karena sikatrik akan menyulitkan operasi sehingga tindakan operasi pada blowout fracture sebaiknya 36



dilakukan dalam dua minggu setelah trauma (Kakati dkk, 2010; American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b). Pendekatan operasi blow-out fracture melalui transkutaneus, transantral, incisi infrasiliar atau incisi konjungtiva (fornik inferior). Kombinasi dengan kantolisis lateral dapat juga dilakukan. Pendekatan melalui palpebra inferior melalui tahapan : elevasi periorbita dari dasar orbita, melepaskan jaringan yang prolaps, menempatkan implan pada fraktur. Implan berfungsi untuk mencegah adhesi berulang dan mencegah prolaps jaringan orbita (Joseph & Glavas, 2011 ; American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b). Tehnik endoskopi dengan transmaxilla dan transnasal juga dapat dikerjakan. Keuntungan dari tehnik endoskopi adalah visualisasi fraktur lebih akurat, insisi kecil, insisi wajah dapat dihindari, diseksi soft tissue minimal, mengurangi lamanya rawat inap, hasil baik secara kosmetik. Perkembangan sistem miniplate dan mikroplate serta variasi implan metalik orbita telah memajukan penatalaksanaan fraktur dasar orbita yang luas dan tidak stabil. Implan orbita dapat berupa alloplastik (porous polyethylene, supramid, gore-tex, teflon, silicon sheet, titanium mesh) ataupun autogenous (tulang kranial, iliaka, fascia) (Metzger dkk, 2006; Ducic & Verret, 2009; American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012b; Thiagarajan & Ulaganathan, 2012).



37