8 0 177 KB
PANDUAN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN RSUD CILEUNGSI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEUNGSI JL. RAYA CILEUNGSI – JONGGOL KM 10
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Budaya
Keselamatan
pasien
merupakan
hal
yang
mendasar didalam pelaksanaan keselamatan di rumah sakit. Rumah sakit harus menjamin penerapan keselamatan pasien pada pelayanan kesehatan yang diberikannya kepada pasien Upaya dalam pelaksanaan keselamatan pasien diawali dengan penerapan budaya keselamatan pasien. Hal tersebut dikarenakan berfokus pada
budaya
keselamatan
akan
menghasilkan
penerapan
keselamatan pasien yang lebih baik dibandingkan hanya berfokus pada program keselamatan pasien saja. Budaya keselamatan pasien merupakan pondasi dalam usaha penerapan keselamatan pasien yang merupakan prioritas utama dalam pemberian layanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang bermutu tidak cukup dinilai dari kelengkapan teknologi, sarana prasarana yang canggih dan petugas kesehatan yang profesional, namun juga ditinjau dari proses dan hasil pelayanan yang diberikan. Rumah sakit harus bisa memastikan penerima pelayanan kesehatan terbebas dari resiko pada proses pemberian layanan kesehatan. Dalam upaya meminimalisir terjadinya kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tindakan yang seharusnya tidak diambil terkait dengan aspek keselamatan pasien dan kualitas rumah sakit, maka sangat diperlukan pentingnya membangun
budaya
keselamatan
pasien.
RSUD
Cileungsi
berkomitmen menjalankan budaya keselamatan pasien sehingga terwujudnya patient safety di lingkungan RSUD Cileungsi.
B. Tujuan 1. Tujuan Umum Terciptanya budaya keselamatan pasien di lingkungan RSUD Cileungsi 2. Tujuan Khusus 1. Terlaksananya program keselamatan pasien rumah sakit secara sistematis dan terarah 2. Terlaksananya pencatatan insiden di rumah sakit dan pelaporannya 3. Sebagai acuan penyusunan instrument akreditasi rumah sakit.
BAB II RUANG LINGKUP
1. Definisi Budaya keselamatan pasien adalah nilai-nilai, sikap, persepsi kompetensi dan pola perilaku dari individu yang menentukan komitmen dan gaya kemampuan manajemen rumah sakit dalam meminimalkan pajanan yang membahayakan atau mencelakakan
karyawan,
manajemen
pasien,
atau
anggota
masyarakat lainnya. Budaya keselamatan pasien di suatu rumah sakit dapat diketahui dengan melakukan kajian evaluasi yaitu untuk mengetahui seberapa jauh budaya keselamatan pasien di suatu rumah sakit. Budaya
keselamatan
pasien
merupakan
kesadaran
konstan dan potensi aktif oleh staf sebuah organisasi dalam mengenali sesuatu yang tampak tidak beres. Staf dan organisasi yang mampu mengakui kesalahan, belajar dari kesalahan, dan mau
mengambil
tindakan
untuk
mengadakan
perbaikan
dikatakan sudah melaksanakan budaya keselamatan . Budaya keselamatan pasien didefinisikan sebagai pola terpadu perilaku individu dan organisasi berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai bersama yang terus berusaha untuk meminimalkan tindakan yang dapat membahayakan pasien yang mungkin timbul dari proses perawatan. Organisasi dengan budaya keselamatan positif memiliki karakteristik bahwa ada komunikasi yang dibentuk
dengan
rasa
saling
percaya
tentang
pentingnya
keselamatan, dan dengan keyakinan dalam tindakan pencegahan yang efektif, serta membangun organisasi yang terbuka (open), adil (just), informatif dalam melaporkan kejadian keselamatan pasien yang terjadi (reporting), dan belajar dari kejadian tersebut.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa budaya keselamatan pasien merupakan produk dari nilai-nilai, sikap, kompetensi individu dan kelompok yang terbuka, adil, informatif dalam pelaporan insiden keselamatan pasien, serta belajar dari kejadian. Budaya keselamatan pasien menentukan komitmen dan gaya dari suatu organisasi serta dapat diukur dengan kuesioner. Menurut Agency of Healthcare Research and Quality (AHRQ) dalam menilai budaya keselamatan pasien di rumah sakit terdapat beberapa aspek dimensi yang perlu diperhatikan yaitu harapan
dan
tindakan
manajer
dalam
mempromosikan
keselamatan pasien, pembelajaran berkelanjutan, kerja sama dalam unit, keterbukaan komunikasi, umpan balik terhadap kesalahan, respon tidak persepsi secara keseluruhan, dukungan manajemen, kerja sama tim antar unit, pemindahan pasien, dan frekeunsi pelaporan. 2. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien James Reason dalam Reiling (2006) dan NPSA (2004) menyebutkan bahwa budaya keselamatan pasien dapat dibagi menjadi beberapa dimensi seperti: a. Budaya keterbukaan (open culture) Budaya keterbukaan dalam suatu organisasi merupakan proses pertukaran informasi antar perawat dan staf. Dimensi ini memiliki karakteristik bahwa perawat akan merasa nyaman membahas insiden yang terkait dengan keselamatan pasien serta mengangkat isu-isu terkait keselamatan pasien bersama dengan rekan kerjanya, juga supervisor atau pimpinan. Komunikasi
terbuka
dapat
diwujudkan
dalam
kegiatan
supervisi dan dalam kegiatan tersebut perawat melakukan komunikasi terbuka tentang risiko terjadinya insiden dalam
konteks keselamatan pasien, membagi dan bertanya informasi seputar isu-isu keselamatan pasien yang potensial terjadi dalam
setiap
kegiatan
keperawatan.
Keterbukaan
juga
ditujukan kepada pasien. Pasien diberikan penjelasan akan tindakan dan juga kejadian yang telah terjadi. Pasien diberikan informasi tentang kondisi yang akan menyebabkan resiko terjadinya
kesalahan.
Perawat
memiliki
motivasi
untuk
memberikan setiap informasi yang berhubungan dengan keselamatan pasien. b. Budaya pelaporan (reporting culture) Budaya pelaporan merupakan bagian penting dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien. Perawat akan membuat pelaporan jika merasa aman. Aman yang dimaksud apabila membuat laporan maka tidak akan mendapatkan hukuman. Perawat yang terlibat merasa bebas untuk menceritakan atau terbuka terhadap kejadian yang terjadi. Perlakuan yang adil terhadap perawat, tidak menyalahkan secara individu tetapi organisasi lebih fokus terhadap sistem yang berjalan akan meningkatkan budaya pelaporan.
Menciptakan
program
evaluasi
atau
sistem
pelaporan, adanya upaya dalam peningkatan laporan, serta adanya mekanisme reward yang jelas terhadap pelaporan merupakan langkah nyata dalam membangun dimensi budaya ini. c. Budaya keadilan (just culture) Perawat saling memperlakukan secara adil antarperawat ketika terjadi insiden, tidak berfokus untuk mencari kesalahan individu (blaming), tetapi lebih mempelajari secara sistem yang mengakibatkan terjadinya kesalahan. Aspek dalam budaya keadilan yang perlu mendapat perhatian adalah keseimbangan
antara kondisi laten yang mempengaruhi dan dampak hukuman yang akan diberikan kepada individu yang berbuat kesalahan.
Perawat
dan
organisasi
bertanggung
jawab
terhadap tindakan yang diambil. Perawat akan membuat laporan kejadian jika yakin bahwa laporan tersebut tidak akan mendapatkan
hukuman
atas
kesalahan
yang
terjadi.
Lingkungan terbuka dan adil akan membantu untuk membuat pelaporan yang dapat menjadi pelajaran dalam keselamatan pasien. Budaya tidak menyalahkan perlu dikembangakan dalam menumbuhkan budaya keselamatan pasien. Cara organisasi membangun budaya keadilan dengan memberikan motivasi
dan
keterbukaannya
terhadap
perawat
untuk
memberikan informasi kejadian yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Hal ini juga termasuk kerjasama antar perawat sehingga mengurangi rasa takut untuk melaporkan kejadian berkaitan dengan keselamatan pasien. d. Budaya pembelajaran (learning culture) Budaya pembelajaran memiliki pengertian bahwa sebuah organisasi memiliki sistem umpan balik terhadap kejadian kesalahan atau insiden dan pelaporannya, serta pelatihanpelatihan
untuk
meningkatkan
kualitas
perawat
dalam
melaksanakan asuhan keperawatan. Setiap lini di dalam organisasi, baik perawat maupun manajemen menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses belajar. Perawat dan manajemen berkomitmen untuk mempelajari insiden yang terjadi, mengambil tindakan atas insiden untuk diterapkan guna mencegah terulangnya kesalahan. 3. Penerapan Budaya Keselamatan Pasien Penerapan budaya keselamatan bermanifestasi sebagai iklim keselamatan
dan
merupakan
sebuah
potret
dari
budaya
keselamatan yang berlaku dalam individu dan kelompok, serta
dapat diukur dengan kuesioner (Agnew et al, 2013). Organisasi yang menerapkan budaya keselamatan pasien berarti anggota dalam organisasi tersebut harus membangun organisasi yang terbuka (open), adil (just), informatif dalam melaporkan kejadian yang terjadi (reporting), dan belajar dari kejadian tersebut (learning). 4. Manfaat Penerapan Budaya Keselamatan Pasien Manfaat utama dalam penerapan budaya keselamatan pasien adalah organisasi menyadari apa yang salah dan pembelajaran terhadap kesalahan tersebut (Reason 2000 dalam Cahyono, 2008).
Fleming
(2006)
juga
mengatakan
bahwa
fokus
keseluruhan terhadap penerapan budaya keselamatan pasien dengan melibatkan seluruh komponen yang terlibat dalam organisasi akan lebih membangun budaya keselamatan pasien dibandingkan apabila hanya fokus terhadap programnya saja. Adapun manfaat dalam penerapan budaya keselamatan pasien secara rinci antara lain (NPSA, 2004): a. Membuat organisasi kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi atau jika kesalahan terjadi b. Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan yang terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian yang sama berulang kembali dan keparahan dari insiden keselamatan pasien. c.
Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah error dan melaporkan jika ada kesalahan.
d. Berkurangnya perawat yang merasa tertekan, bersalah, malu karena kesalahan yang telah diperbuat. e.
Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang pernah mengalami
insiden,
pada
umumnya
akan
mengalami
perpanjangan hari perawatan dan pengobatan yang diberikan lebih dari pengobatan yang seharusnya diterima pasien.
f.
Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan terapi.
g. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan pasien. Membuat organisasi kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi atau jika kesalahan terjadi h. Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan yang terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian yang sama berulang kembali dan keparahan dari insiden keselamatan pasien. i.
Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah error dan melaporkan jika ada kesalahan.
j.
Berkurangnya perawat yang merasa tertekan, bersalah, malu karena kesalahan yang telah diperbuat.
k. Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang pernah mengalami
insiden,
pada
umumnya
akan
mengalami
perpanjangan hari perawatan dan pengobatan yang diberikan lebih dari pengobatan yang seharusnya diterima pasien. l.
Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan terapi.
m. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan pasien n. Membuat organisasi kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi atau jika kesalahan terjadi o. Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan yang terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian yang sama berulang kembali dan keparahan dari insiden keselamatan pasien. p. Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah error dan melaporkan jika ada kesalahan. q. Berkurangnya perawat yang merasa tertekan, bersalah, malu karena kesalahan yang telah diperbuat.
r.
Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang pernah mengalami
insiden,
pada
umumnya
akan
mengalami
perpanjangan hari perawatan dan pengobatan yang diberikan lebih dari pengobatan yang seharusnya diterima pasien. s.
Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan terapi.
t.
Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan pasien.
u. Membuat organisasi kesehatan lebih tahu jika ada kesalahan yang akan terjadi atau jika kesalahan terjadi v.
Meningkatnya laporan kejadian yang dibuat dan belajar dari kesalahan yang terjadi akan berpotensial menurunnya kejadian yang sama berulang kembali dan keparahan dari insiden keselamatan pasien.
w. Kesadaran akan keselamatan pasien, yaitu bekerja untuk mencegah error dan melaporkan jika ada kesalahan. Berkurangnya perawat yang merasa tertekan, bersalah, malu karena kesalahan yang telah diperbuat x. Berkurangnya turn over pasien, karena pasien yang pernah mengalami
insiden,
pada
umumnya
akan
mengalami
perpanjangan hari perawatan dan pengobatan yang diberikan lebih dari pengobatan yang seharusnya diterima pasien. y. Mengurangi biaya yang diakibatkan oleh kesalahan dan penambahan terapi. Mengurangi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi keluhan pasien
BAB III TATA LAKSANA
Salah
satu
alat
untuk
mengukur
penerapan
budaya
keselamatan pasien adalah dengan instrument kuesioner The Hospital Survey of Patient Safety Culture (HSOPSC) yang dikembangkan oleh Agency for Health Care Research and Quality (AHRQ). Agency for Health Care Research and Quality merupakan suatu komite untuk kualitas kesehatan di Amerika yang memimpin lembaga Federal untuk peneltian
tentang
keselamatan
kualitas
pasien.
kesehatan,
AHRQ
mendanai
biaya, 100
outcome,
penelitian
dan untuk
mengidentifikasi instrumen yang dijadikan alat untuk menilai budaya keselamatan pasien. Pada dasarnya empat dimensi budaya keselamatan pasien yakni
budaya
keterbukaan,
pelaporan,
keadilan,
dan
budaya
pembelajaran digunakan dalam menilai budaya keselamatan pasien dalam suatu organisasi kesehatan. The
Hospital
dikembangkan
oleh
Survey AHRQ
of
Patient
menggunakan
Safety
Culture
yang
komponen-komponen
sebagai indikator masing-masing dimensi budaya keselamatan pasien. Yaitu : a. Indikator dimensi budaya keterbukaan antara lain: 1. Komunikasi terbuka 2. Kerjasama dalam unit, 3. Kerjasama antar unit 4. Persepsi keselamatan pasien. b. Indikator dimensi budaya keadilan adalah: 1. Umpan balik (feedback) dan komunikasi 2. Staffing
3. Respon tidak menghukum. c. Indikator dimensi
budaya pelaporan mengandung
komponen: 1. Pelaporan kejadian 2. Hand over d.
indikator dari dimensi budaya pembelajaran mengandung komponen : 1. Pembelajaran oleh perawat 2. Ekspektasi manajer 3. Dukungan manajemen (Fleming, 2006
BAB IV DOKUMENTASI 1.
SPO budaya keselamatan pasien
2.
SPO insiden keselamatan pasien
3.
Kuisioner pengukuran budaya keselamatan pasien
Ditetapkan di Cileungsi Pada tanggal : 05 Februari 2018 DIREKTUR
MIKE KALTARINA