Budaya Malu Orang Jepang [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BUDAYA MALU



OLEH DEWI DIAH RAMADHANI (119112657) NI LUH PUTU FEBI YASANTI (119112625) KADEK AYU PUSPITARINI (119112609) MADE AYU ASTARINA SUARI (119112641) I GUSTI BAGUS SUANTARA ADITYA (119112603) GEDE AGUS SURYANATHA (119112633) I GEDE SUDI ADNYANA PUTRA (119112646)



2020 UNDIKNAS FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS



Budaya Malu Orang Jepang Jepang adalah salah satu negara maju di dunia, dapat di bilang pemerataan di negara itu sudah sangat stabil. Jadi bisa dikatakan sebagian besar rakyat Jepang berada dalam ketercukupan kebutuhan, baik kebutuhan sandang pangan, pendidikan, interaksi sosial dan lain-lain. Jadi secara nalar, mereka telah mendapatkan kehidupan yang layak. Namun begitu, negara yang di juluki matahari terbit ini memiliki sebuah tradisi yang di anggap ambigu oleh mata dunia, yaitu tradisi Harakiri. Harakiri adalah bunuh diri yang di lakukan untuk menjaga kehormatan keluarga atau jika seseorang telah merasa tidak kuasa untuk menanggung beban hidup. Harakiri juga di lakukan sebagian orang, karena merasa dirinya tidak mampu bekerja keras layaknya orang-orang di sekitarnya dan menganggap dirinya tak berguna, lantas mengambil jalan pintas. Harakiri atau tradisi bunuh diri yang berasal dari Negeri Sakura ini telah dikenal oleh bangsa lain. Hanya saja di negaranya, harakiri lebih dikenal dengan sebutan Seppuku. Walaupun di Jepang sendiri istilah harakiri dianggap sebagai istilah yang kasar. Tindakan bunuh diri, dalam bahasa Jepang disebut dengan seppuku (切腹) atau harakiri ( 腹 切 り ) yang jika dilihat dari kanjinya dapat diartikan sebagai tindakan memotong atau merobek perut. Tindakan ini dahulu merupakan salah satu ritual yang dilakukan oleh para kaum bushi atau ksatria samurai. Bushi akan melakukan ritual harakiri apabila mereka tertangkap oleh musuh karena berprinsip lebih baik mati daripada harus disiksa oleh musuh, dan jika bushi tersebut melakukan pengkhianatan atau gagal dalam tugasnya, sebagai wujud dari penyesalan dan tanggung jawabnya karena telah mengecewakan kelompoknya. Ritual harakiri ini akan dilakukan di depan kelompoknya (jika berupa hukuman karena gagal bertugas) dengan sebuah pisau tradisional yang bernama tanto, setelah membuka kimono yang dikenakan, perut dirobet dari arah kiri ke kanan hingga isi perut bushi tersebut keluar. Harakiri sebenarnya sudah resmi dihapuskan pada tahun 1873, segera setelah restorasi Meiji, namun seiring berjalannya waktu aksi harakiri tersebut masih terjadi hingga saat ini dan



menjadi tradisi yang membumi dan mengakar di Jepang. Dalam tradisi Jepang, harakiri tidak hanya tradisi milik para samurai, harakiri dilakukan oleh siapa saja untuk menjaga kehormatan keluarga atau jika seseorang telah merasa tidak kuasa untuk menanggung beban hidup atau menanggung malu. Prinsip lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup menanggung malu, bagi orang Jepang sungguh-sungguh dilakukan. Bagi mereka, tidak ada gunanya lagi melanjutkan hidup bila sudah kehilangan kehormatan. Oleh karena itulah di Jepang, tradisi harakiri bukan sesuatu yang tabu. Maka dari itu, Jepang menjadi negara dengan angka bunuh diri terbesar di dunia, bersama Rusia dan Hungaria, dengan skala mencapai 30.000 individu yang melakukan bunuh diri. Bahkan di jepang, angka bunuh diri mencapai lebih dari 30.000 selama 8 tahun terakhir ini. Harakiri juga kadang dilakukan sebagai bentuk dari hukuman mati bagi samurai yang telah melakukan pelanggaran serius seperti pembunuhan yang tidak beralasan, pemerkosaan, perampokan, korupsi, pengkhianatan dan kejahatan lain yang tak termaafkan. Dalam perkembangannya, harakiri tetap hidup sebagai spirit, falsafah dan kode etik kepemimpinan dalam pemerintahan Jepang modern. Harakiri politik sudah menjadi hal yang lumrah, karena semangat bushido meletakkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi. Harakiri biasanya dilakukan dengan upacara atau ritual yang rumit. Orang yang hendak bunuh diri mandi dulu bersih-bersih, lantas pakai pakaian putih-putih, makan dulu, baru sesudahnya siap-siap untuk memulai penusukan. Orang yang bersangkutan akan duduk diam dengan tanto diletakkan di depannya. Kemudian menulis puisi terlebih dahulu. Setelah menyelesaikan puisinya, orang itu mengambil tanto yang lantas ditusukan ke perut agak ke kiri lantas tanto digeser ke kanan, yang terakhir ke atas sedikit, agar isi perutnya keluar. Setelah aksi penusukan tersebut, sekarang giliran Kaishakunin beraksi menyabet lehernya. tanto bekas pakai tadi lalu diletakkan di piring bekas makan tadi. Ritual yang telah membudaya di Jepang ini dianggap sesuatu yang sah, walaupun agak sukar untuk dilakukan orang biasa. Namun harakiri juga dianggap sebuah kekerasan karena setiap kali ada orang atau warga Jepang yang melakukan salah, maka ia akan berorientasi untuk bunuh diri, seperti dipaksa oleh keadaan sekitar. Tapi ini juga yang membuat bangsa Jepang menjadi sangat maju dalam perkembangannya. Mereka menginginkan segala hal yang dilakukan bersifat perfeksionis, tak ada cacat sama sekali. Semangat inilah yang menjadikan Jepang dikenal



sebagai bangsa beretos kerja tinggi, memiliki dedikasi dan loyalitas yang jarang dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Berpijak dari spirit inilah Jepang mampu mengukuhkan diri sebagai salah satu negara maju di dunia, baik dalam ekonomi, budaya politik, teknologi, industri maupun olahraga, khususnya sepakbola. Tindakan harakiri pertama kali dilakukan oleh Minamoto no Yorimasa ketika perang Uji pada tahun 1180. Tindakan harakiri ini banyak dilakukan oleh daimyo (pemimpin tertinggi kaum bushi) yang kalah pada suatu perang atas perintah daimyo yang memenangkan perang tersebut. Tindakan bunuh diri dari daimyo yang kalah ini akan memberikan dampak psikologis bagi pengikutnya, sehingga tidak akan ada yang berani untuk melakukan perlawanan. Toyotomi Hideyoshi sering menggunakan metode ini untuk melumpuhkan kekuatan musuhnya yang sudah kalah. Peristiwa yang paling dramatis terjadi ketika Hideyoshi berhasil memimpin klan Odawara untuk mengalahkan klan Hojo, keluarga daimyo terkuat di Jepang bagian timur, pada tahun 1590. Saat itu ia memerintahkan Hojo Ujimasa, mantan daimyo dari klan Hojo untuk melakukan harakiri kemudian mengasingkan putranya Ujinao agar putranya aman dan bisa melanjutkan kehidupan seperti layaknya manusia normal lainnya. Dalam perkembangannya, harakiri dilakukan oleh seseorang untuk menunjukkan rasa ketidak-setujuannya kepada keputusan penguasa (baik raja maupun pemerintah modern). Kejadian yang terkenal adalah harakiri yang dilakukan oleh sastrawan terkenal Jepang, Mishima Yukio di markas besar tentara Jepang pada tahun 1970 sebagai bentuk protesnya kepada kebijakan pemerintah pada masa itu. Bahkan sekarang ada seseorang yang menulis tata cara dan panduan lengkap bunuh diri. Namanya Wataru Tsurumi. Menurutnya, bunuh diri adalah sesuatu yang tidak salah, karena itu merupakan hak dan kebebasan dari setiap individu, setiap orang berhak menentukan jalan yang ingin di tempuhnya sendiri. Dalam bukunya, bahkan Tsurumi memaparkan denagn gamblang metode-metode untuk bunuh diri, mulai dari meminum obat-obatan yang mematikan, memotong urat nadi, menggunakan karbon monoksida, dan sebagainya. Namun Tsurumi mengecam aksi bunuh diri massal yang juga marak di lakukan di Jepang akhir-akhir ini. Dia menilai bunuh diri adalah hak setiap individu, namun tidak boleh mengajak-ajak atau memprovokasi orang lain untuk ikut melakukannya. Namun begitu, Tsurumi berharap agar orang yang ingin bunuh diri



dan membaca bukunya, tetap hidup. Menurutnya, bunuh diri hanya boleh di lakukan jika orang merasa dalam tekanan hebat dan tidak kuat lagi menjalani kehidupan. Seiring dengan berkembangnya zaman, harakiri tidak hanya dilakukan dengan aksi bunuh diri, sekarang ini telah berkembang istilah "Harakiri politik" yakni bunuh diri jabatan. Yaitu mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan nasional (bangsa) yang juga merupakan simbol keberanian seorang pemimpin dalam menghadapi kegagalan, kesalahan dan kekalahan dalam tugas. Harakiri politik adalah tolok ukur bangsa yang bermartabat dan terhormat. Sedikit belajar dari negara tetangga Jepang, sikap ksatria prajurit samurai para pemimpinnya yang menjunjung tinggi etos pengorbanan tiada batas terbukti membawa negeri sakura kepada martabat terhormat yang diakui dunia. Harakiri politik ini berguna untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih besar dan menjaga kehormatan sebagai ciri khas watak ksatria. Dan sekarang pemikiran harakiri politik itu sebenarnya bukan hanya tradisi bangsa Jepang. Beberapa negara di dunia yang dikenal memiliki semangat nasionalisme tinggi juga tak lepas dari sejarah yang sama. Dua contoh teranyar dari harakiri politik adalah mundurnya Perdana Menteri Jepang Naoto Kan pada 26 Agustus 2011 akibat krisis nuklir pasca gempa besar (tsunami) yang melanda negeri itu dan ketidakpuasan publik dengan penanganan pemerintah terhadap krisis itu. Kemudian disusul dengan mundurnya Menteri Industri Yashio Hachiro pada 12 September 2011 hanya gara-gara salah ucap dengan menyebut Jepang sebagai “Kota Kematian” pasca gempa besar itu. Padahal, setahun sebelumnya, pada 2 Juni 2010, PM Jepang Yukio Hatoyama juga melakukan hal yang sama. Hatoyama yang hanya menjabat selama 9 bulan mengundurkan diri setelah popularitasnya menurun drastis akibat keputusannya mempertahankan pangkalan militer AS di Okinawa. Mundur dari jabatan merupakan tradisi bangsa Jepang dalam menjaga etika kepemimpinan khas samurai. Harakiri politik. Bunuh diri kekuasaan adalah bagi pemimpin politik dan kekuasaan Jepang adalah simbol kehormatan prajurit samurai yang telah terdidik untuk tidak menerima kekalahan, kesalahan dan kegagalan. Menang, benar dan sukses atau mati! Demi kepentingan dan kehormatan partai (atau negara), nyawa (kepentingan pribadi) rela dikorbankan.



Begitu kuatnya masyarakat Jepang dalam menjaga tradisi samurai, bahkan belum lama terjadi, seorang Presiden Perusahaan Kereta Api Hokkaido di Jepang, Naotoshi Nakajima, memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan harakiri (bunuh diri). Ia merasa bersalah atas terjadinya kecelakaan kereta api di Hokkaido, pada bulan Mei 2011 lalu. Padahal kecelakaan tersebut mengakibatkan 35 orang luka-luka, meski tidak ada korban jiwa. Meski begitu, negara kita Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai agama, moral dan perilaku. Oleh karena itu, sangat tidak disarankan apabila Indonesia juga mengikuti jejak yang sama, yaitu tradisi harakiri atau bunuh diri tersebut. Pemaparan di atas hanya untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai sejarah bangsa Jepang yaitu tradisi harakiri, jadi tidak sepantasnya kita juga mencoba meniru adegan berbahaya tersebut.



SHICHI ATAU MALU KHUSUS Pada dasarnya malu akan timbul ketika seseorang mendapat kritik dari orang lain. Akan tetapi, bagi masyarakat Jepang rasa malu juga akan timbul pada saat ia mendapat pujian. Seperti yang dikatakan Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:14), kita merasa malu hanya ketika kita dihadapkan pada penolakan dariorang lain. Baik itu merupakan penolakan maupun pujian, pada saat kita mendapat perhatian khusus dari orang lain pun, kita akan merasa malu. Dari pernyataan Sakuta tersebut dapat kita simpulkan bahwa selain kritik,perhatian khusus dari orang lain juga dapat menimbulkan malu dalam diri orang Jepang. Hal inilah yang disebut shichi atau malu khusus. Namun, muncul atau tidaknya shichi pada diri seseorang tergantung pada bagaimana ia menempatkan keberadaannya. Munculnya shichi atau malu khusus dalam diri seseorang diakibatkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam diri orang tersebut. Berikut ini merupakan dua faktor yang menyebabkan munculnya shichi dalam diri orang Jepang, yaitu Shikou no Kuichigai dan Yuretsu Kijun. 1.



Shikou no Kuichigai Shikou no Kuichigai ialah salah pengertian atau salah paham. Shikou no Kuichigai



merupakan faktor yang muncul dari dalam diri orang yangbersangkutan yang disebut juga



dengan naimenteki. Faktor ini muncul akibat dariadanya perhatian khusus dari pihak lain, sehingga timbul rasa malu di dalam diriorang yang bersangkutan. Hal ini dapat kita lihat pada kasus seorang pasien yang canggung atau malu ketika memeriksakan dirinya ke dokter. Pada dasarnya, setiap dokter akan menempatkan dirinya kedalam eksistensi universal. Namun beberapa pasien menempatkan dirinya ke dalam eksistensi partikular. Kesalah pahaman seperti inilah yang biasanya akan menimbulkan rasa malu. Dari sini dapat kita lihat bahwa shiko no kuichigai merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan rasa malu bagi orang Jepang. Dan dapat kita simpulkan bahwa malu yang timbul merupakan malu yang berasal dari dalam diri orang yang bersangkutan yaitu shichi. 2.



Yuretsu Kijun Yuretsu Kijun merupakan faktor kedua yang dapat menimbulkan shichi. Yaitu



standarisasi yang digunakan oleh orang Jepang untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Di dalam yuretsu kijun, terdapat dua golongan standar yang selalu digunakan orang Jepang yaitu superior dan inferior. Superior merupakan makna yang menyatakan lebih baik daripada orang lain, sedangkan inferior ialah makna kurang atau lebih rendah dibandingkan orang lain. Dengan adanya yuretsu kijun, seseorang akan masuk ke dalam golongan superior atau inferior. Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:22) berpendapat bahwa selain berlaku secara umum di masyarakat luas, yuretsu kijun juga berlaku secara khusus dan bersifat pribadi.