Budidaya Cacing Tanah (Lumbricus Rubellus) Dengan Media Dan Pakan Fermentasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



1. PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Perkembangan masyarakat dunia pada abad ke 21 telah menunjukkan kecenderungan adanya perubahan perilaku dan gaya hidup serta pola konsumsinya ke produk perikanan. Dengan keterbatasan kemampuan pasok hasil perikanan dunia, ikan akan menjadi komoditas strategis yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia. Oleh karena itu, permintaan komoditas perikanan dimasa datang akan semakin tinggi sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk, kualitas dan gaya hidup masyarakat dunia (Sukadi, 2002). Perikanan budidaya merupakan andalan bagi pemenuhan kebutuhan sumber protein ikan yang semakin meningkat sementara sumber dari penangkapan semakin menurun.Berdasarkan hal tersebut, maka dibutuhkan benih ikan yang berkualitas dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan. Penyediaan benih bermutu dapat dilakukan dengan memperhatikan berbagai faktor salah satunya adalah manajemen pakan yang harus mencukupi kebutuhan gizi untuk proses tumbuh kembang bagi ikan komoditas budidaya (Kristanto, 2007). Cacing tanah termasuk dalam kelas Oligochaeta yang mempunyai banyak suku (famili).Terdapat 4 spesies cacing tanah yang sudah banyak dibudidayakan yaitu Lumbricus rubellus, Eisenia foetida, Pheretima asiatica, dan Eudrilus eugeniae (Hadisoewignyo dan Rendy, 2013). Cacing tanah sangat potensial untuk dikembangkan dengan kandungan gizinya yang cukup tinggi, terutama kandungan protein yang mencapai 6476%.Protein yang sangat tinggi pada tubuh cacing tanah terdiri dari setidaknya sembilan macam asam amino essensial dan empat macam asam amino nonessensial yang berguna bagi kesehatan manusia.



2



Pemanfaatan cacing tanah sebagai pakan ikan didasarkan pada hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa cacing tanah memiliki kandungan protein, lemak dan mineral yang sangat tinggi.Kualitas protein cacing tanah olahan yang lebih tinggi daripada protein daging maupun ikan tersebut membuat cacing tanah sangat berpeluang sebagai bahan pakan ikan (Palungkun, 1999). Hasil analisis didapatkan bahwa kandungan protein tepung cacing tanah sebesar 60-70%, lemak kasar 7%, kalsium 0,55%, fosfor 1%, serat kasar 1,08% (Palungkun, 1999). Lumbricus rubellus mempunyai kandungan Lumbricin yang merupakan antibiotika berupa peptide, berasal dari protein bersifat bakteriostatik sehingga termasuk anti bakteri bakteriosin. Bakteriosin sendiri berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan bakteri lain dengan cara absorbs ke dalam permukaan dinding sel bakteri (Pelczar et al.,1998). Dengan memperhatikan banyaknya manfaat cacing tanah inilah, dewasa ini masyarakat termotivasi untuk melakukan budidaya cacing tanah.Pada praktek kerja lapang ini mengambil judul budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus) dikarenakan perlunya informasi dan pengetahuan tentang cara budidaya cacing tanah yang baik dan benar sehingga proses produksi cacing tanah dapat maksimal dan menghasilkan profit yang besar. 1.2 Maksud dan Tujuan Maksud dari Praktek Kerja Lapang ini adalah untuk mengetahui dan mempelajari secara langsung serta mendapatkan gambaran secara jelas dan menyeluruh tentang teknik budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus) di Unit Pengelola Budidaya Air Tawar (UPBAT) Kepanjen, Malang, Jawa Timur. Tujuan dari Praktek Kerja Lapang ini adalah untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan pengalaman kerja dalam bidang budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus) di Unit Pengelola Budidaya Air Tawar (UPBAT)



3



Kepanjen.Juga untuk membandingkan antara teori yang telah dipelajari dengan kenyataan yang ada di lapangan. 1.3 Kegunaan Praktek Kerja Lapang ini dilakukan dengan harapan agar mahasiswa dapat menambah wawasan, informasi dan pengetahuan serta dapat memadukannya dengan teori yang telah didapatkan tentang budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus) sehingga mahasiswa dapat menjadi lebih tanggap dalam menghadapi masalah-masalah yang dihadapi di lapangan.Selain itu, dapat dijadikan informasi bagi para usahawan atau siapa saja yang berkeinginan membuka usaha di bidang ini.



1.4 Tempat dan Waktu Praktek Kerja Lapang (PKL) ini dilaksanakan di Unit Pengelola Budidaya Air Tawar (UPBAT) Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2014.



4



II. METODE PELAKSANAAN



2.1 Metode Pengambilan Data Menurut Suryabrata (1991), metode deskriptif adalah suatu metode yang menggambarkan keadaan atau kejadian-kejadian pada suatu daerah tertentu. Dalam metode ini pengambilan data dilakukan tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tapi meliputi analisis dan pembahasan tentang data tersebut.Metode ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum, sistematis, aktual dan valid mengenai fakta dan sifat-sifat populasi daerah tersebut. 2.2 Teknik Pengambilan Data Pengambilan data pada Praktek Kerja Lapang akan dilakukan dengan mengambil dua macam data, yaitu data primer dan data sekunder, dimana data primer pengumpulannya dilakukan dengan cara mencatat hasil observasi, wawancara serta partisipasi aktif, sedangkan data sekunder diperoleh dari lapangan. 2.2.1 Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dilapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Data ini diperoleh secara langsung dengan melakukan pengamatan dan pencatatan dari hasil observasi, wawancara dan partisipasi aktif (Hasan, 2002). a.



Observasi Menurut



Menurut



Arikunto



(2002),



observasi



dapat



disebut



juga



pengamatan, yang meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan alat indra yaitu melalui penglihatan, penciuman,



5



pendengaran, peraba dan pengecap.Dalam participant observation, peneliti melakukan hal meliputi melibatkan diri dalam kegiatan sehari-hari. Mencatat kejadian, perilaku dan setting social secara sistemik. Adapun data yang dikumpulkan selama observasi adalah deskripsi program, perilaku, perasaan dan pengetahuan, mencatat apa yang terjadi, bagaimana terjadinya dan siapa yang ada disana, dan semua kejadian atau perilaku yang dianggap penting oleh peneliti. Dalam praktek kerja lapang ini kegiatan observasi dilakukan dengan cara



mengamati



dan



mencatat



serta



mendokumentasikan



kegiatan



pembudidayaan cacing tanah (Lumbricus rubellus) di Unit Pengelola Budidaya Air Tawar (UPBAT) Kepanjen, Malang, Jawa Timur. b. Wawancara Wawancara merupakan suatu cara untuk memperoleh informasi dengan cara tanya jawab kepada nara sumber secara langsung. Menurut Kusumawati et al. (2011), wawancara merupakan proses perolehan keterangan untuk tujuan penelitian yang dilakukan dengan tanya jawab secara langsung dengan responden. c. Partisipasi Aktif Menurut Natzir (1983), partisipasi aktif adalah keterlibatan dalam suatu kegiatan yang dilakukan secara langsung di lapang. Pada partisipasi aktif, peneliti ikut melakukan apa yang dilakukan oleh narasumber, tetapi data yang diperoleh belum sepenuhnya lengkap. Partisipasi aktif pada praktek kerja lapang iniyaitu



suatu



kegiatan



turut



serta



dan



berperan



langsung



dalam



kegiatanpemudidayaan Lumbricus rubellus di Unit Pengelola Budidaya Air Tawar (UPBAT) Kepanjen guna mendapatkan data dan informasi mengenai teknik pemudidayaan cacing tanah Lumbricusrubellus di Unit Pengelola Budidaya Air Tawar (UPBAT) Kepanjen, Malang, Jawa Timur.



6



2.2.2 Data Sekunder Menurut Koswara et al. (2001), penelitian dalam menggunakan data sekunder tidak perlu hadir, kapan dan di manapun data dikumpulkan. Informasi yang mula-mula dikumpulkan, apakah diperoleh melalui wawancara, kuisioner, observasi atau gabungan di antara ketiganya, dibatasi konteks ruang dan waktu si peneliti. Hanya ketika orang lain bisa menggunakannya, data itu menjadi bebas dari pembatasan ini. Keterbatasan semacam itu tidak ditemukan, ketika penelitian menggunakan sumber sekunder. Data dikumpulkan untuk tujuan ilmiah yang tidak terikat konteks ruang dan waktu sebagaimana data yang mula-mula dikumpulkan.



7



III. HASIL PRAKTEK KERJA LAPANG



3.1 Keadaan Umum Lokasi Praktek Kerja Lapang 3.1.1 Sejarah UPBAT Kepanjen UPBAT Kepanjen berdiri pada tahun 1957. Di awal mula berdirinya, balai ini merupakan Dinas Perikanan Darat Kabupaten Malang. Pada tahun 1963, UPBAT Kepanjen berubah menjadi Kursus Pengamat Perikanan Darat Kepanjen. Dalam kurun waktu lima tahun (1968), balai ini kemudian berubah fungsi menjadi Training Centre Perikanan Darat. Empat tahun kemudian, pada tahun 1972 UPBAT Kepanjen berubah menjadi Training Centre Aquaculture. Dalam kurun waktu tujuh tahun, pada tahun 1979 UPBAT Kepanjen berfungsi sebagai Unit Pembinaan Budidaya Air Tawar. Kemudian pada tahun 2002, berubah nama menjadi Balai Benih Ikan Kepanjen. Akhirnya, berdasarkan SK Kepala Dinas Perikanan Dan Kelautan Provinsi Jawa Timur No. 061/6614/116.01/2010, BBI Kepanjen berubah nama menjadi Unit Pengelola Budidaya Air Tawar (UPBAT) Kepanjen. 3.1.2 Letak Geografis dan Topografis Secara geografis, UPBAT Kepanjen terletak di Jalan Trunojoyo No. 12, Desa Panggungrejo, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Berada pada garis 112o 34’ 30’’ BT dan 8o 7’ 30’’ LS. Daerah ini termasuk dataran rendah dengan ketinggian 358 meter di atas permukaan laut. Suhu rata-rata berkisar antara 25-30oC dan curah hujan rata-rata 600-1.000mm/tahun. Batas sebelah utara dari balai ini adalah Jalan Raya Kepanjen–Gondanglegi.Sebelah selatan merupakan tanah hak dari suatu yayasan, sebelah timur berbatasan langsung dengan perumahan penduduk dan persawahan, sebelah barat berbatasan dengan Jalan Raya Kepanjen–Sengguruhyang terdapat markas tentara angkatan



8



darat Batalyon Zeni Tempur (Yon Zipur 5). Luas total areal UPBAT ini adalah 31.400 m2 dengan luas perumahan, kantor, aula dan asrama ± 12.990, 39 m2 serta luas sarana fisik kegiatan produksi, budidaya dan laboratorium adalah ±18.409, 61 m2. Denah dan lokasi UPBAT Kepanjen pada citra satelit digambarkan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. 3.1.3 Struktur Organisasi Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur Nomor: 061/6614/116.01/2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pengelola Teknis Dinas pada Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur, susunan organisasi UPBAT Kepanjen secara skematis digambarkan pada Gambar 1 sebagai berikut:



Gambar 1. Struktur Organisasi UPBAT Kepanjen 3.1.4. Tugas dan Fungsi UPBAT Kepanjen Unit Pengelola Budidaya Air Tawar (UPBAT) melaksanakan sebagian tugas dinas di bidang kegiatan produksi, penerapan teknologi perbenihan dan budidaya perikanan air tawar, pelaksanaan pengujian secara laboratories kesehatan ikan dan lingkungan serta pelatihan dan keterampilan bagi masyarakat umum.



9



Fungsi dari UPBAT Kepanjen adalah : 1. Penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan budidaya/ perbenihanserta kaji terap teknologi budidaya air tawar; 2. Pelaksanaan distribusi perbenihan dan budidaya perikanan air tawar; 3. Pelaksanaan pelatihan dan kaji terap teknologi perbenihan dan budidaya perikanan air tawar kepada petugas teknis lapangan; 4. Pelaksanaan pengujian secara laboratories kesehatan ikan dan lingkungan; 5. Pelaksanaan dan memfasilitasi standarisasi mutu benih dan hasil budidaya air tawar; 6. Pelaksanaan ketatausahaan dan rumah tangga; 7. Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas. 3.1.5 Tugas, Pokok dan Fungsi Masing-masing Bagian 1. Kepala UPBAT Tugas



dari



kepala



UPBAT



yaitumemimpin,



mengkoordinasikan,



mengarahkan, mengawasi dan mengendalikan penerapan budidaya air tawar, ketatausahaan dan pelayanan masyarakat. 2. Sub Bagian Tata Usaha Tugas dari Sub Bagian Tata Usaha meliputi : a.Melaksanakan pengelolaan surat menyurat, urusan rumah tangga, kehumasan dan kearsipan; b. Melaksanakan pengelolaan administrasi kepegawaian; c. Melaksanakan pengelolaan administrasi keuangan; d. Melaksanakan pengelolaan perlengkapan dan perlengkapan kantor; e. Menghimpun, menyusun, mengusulkan rencana kerja dan mengevaluasi serta melaporkan pelaksanaan kegiatan unit;



10



f. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Unit. 3. Seksi Produksi Benih Dan Teknik Budidaya Tugas dari Seksi Produksi Dan Teknik Budidaya meliputi : a. Melaksanakan tugas perawatan ikan, memproduksi induk, benih danpellet (makanan ikan); b. Melaksanakan pencatatan data kegiatan produksi benih sebagai bahan evaluasi dan laporan; c. Melaksanakan kegiatan perawatan kolam/ saluran/ pematang, pengujian, pengelolaan kolam percontohan serta usaha penanggulangan hama penyakit ikan; d. Melaksanakan tugas penjualan induk/ benih ikan dan pellet; e. Melaksanakan tugas perawatan dan keamanan perlengkapan/ peralatan; f. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Unit. 4. Seksi Pengamatan dan Perlindungan Lingkungan Tugas dari Seksi Pengamatan dan Perlindungan meliputi : a. Melaksanakan tugas yang meliputi kegiatan pengamatan dan upaya penanggulangan pencemaran perairan; b. Melaksanakan tugas perawatan dan keamanan terhadap lingkungan; d. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Unit. 3.1.6 SDM (Sumber Daya Manusia) UPBAT Kepanjen memiliki jumlah personalia sebanyak 21 orang yang dalam pelaksanaan kegiatan produksinnya terdiri dari beberapa tim, misalnya tim produksi ikan Nila (Oreochromis niloticus). Secaraumum, personalia UPBAT Kepanjen terdiri dari 18 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 3 orang tenaga



11



kontrak. Data-data tentang jumlah pegawai UPBAT Kepanjen terinci pada Tabel2. Tabel 2. Data jumlah pegawai UPBAT Kepanjen



NO 1 2



Status PNS Tenaga kontrak Jumlah



IV -



Ruang/ Golongan III II 12 5 12 5



I 1 3 4



Jumlah 18 3 21



3.2 Prasarana dan Sarana UPBAT Kepanjen 3.2.1 Prasarana Bangunan dan fasilitas yang dimiliki oleh UPBAT Kepanjen, selain terdapat kolam-kolam tempat budidaya ikan dan produksi calon induk ikan Lele, juga tersedia fasilitas-fasilitas prasarana penunjang yang terdapat pada Tabel 3 berikut ini: Tabel 3. Prasarana UPBAT Kepanjen No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14



Fasilitas Jalan dan Transportasi Jaringan Listrik Perpustakaan Ruang kelas/pertemuan Auditorium/gedung pertemuan Asrama Ruang makan Ruang dapur Kamar mandi Bangunan unit produksi pellet Guest house Rumah jaga Musholla Genset



Luas/kapasitas 24 m2 50 orang 250orang,385 m2 35 orang, 515 m2 66 m2 9 unit 54 m2 -



-



Jumlah 1 1 1 1 1 1 1 1 7 9 1 1 1 2



3.2.2 Sarana UPBAT Kepanjen dilengkapi dengan banyak sarana pendukung dan fasilitas-fasilitas yang memadai serta luas bangunan yang cukup untuk



12



mendukung proses produksinya. Kolam induk, kolam pemuliaan, kolam pendederan, kolam pembenihan, kolam budidaya pakan alami hingga tong pembesaran belut semua tersedia dan masih dalam keadaan baik serta terawat. UPBAT Kepanjen memiliki tiga laboratorium, diantaranya ialah Laboratorium Kualitas Air dan Hama Penyakit, Laboratorium Basah dan Laboratorium kering. Bak tandon air, bak pengendapan air, kandang katak serta ruang kantor. Adapun sarana pendukung proses produksi budidaya yang terdapat pada UPBAT Kepanjen dapat dilihat pada Tabel 4 adalah sebagai berikut : Tabel 4. Sarana UPBAT Kepanjen No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27



Nama ruangan Ruang kantor Laboratorium kering Laboratorium basah Lab. Kualitas air dan hama penyakit Kolam induk lele produksi Kolam pembenihan dan pendederan lele Kolam induk lele pemuliaan Kolam pembenihan dan pendederan lele pemuliaan Kolam induk ikan mas Kolam pembenihan ikan mas Kolam pendederan ikan mas Kolam pembenihan ikan nila Kolam pembenihan tawes Kolam induk gurami Kolam pendederan gurami Kolam induk koi Kolam pembenihan koi Kolam pendederan benih koi Kolam induk patin Kolam pembenihan patin Kolam induk betutu Kolam induk belut Tong pembesaran belut Kandang katak Kolam budidaya pakan alami Bak pengendapan air Bak tandon air



Luas 103 m2 60 m2 54 m2 -



Jumlah 1 1 1 1



-



5



-



6 27 24 2 2 4 6 2 3 4 2 1 1 1 1 1 2 7 16 8 1 2



13



3.3 Biologi Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) 3.3.1 Klasifikasi dan Morfologi Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Klasifikasi Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) menurut Sugiri (1988) adalah sebagai berikut : Filum



: Annelida



Kelas



: Oligochaeta



Ordo



: Opisthophora



Famili



: Opisthophora



Genus



: Lumbricus



Spesies



: Lumbricus rubellus



Sugiri (1984), menyatakan bahwa Cacing tanah Lumbricus rubellus mempunyai bentuk tubuh yang gilig dengan panjang tubuh 8-14 cm. Tubuh bagian ventral lebih pipih dan pucat dari bagian dorsal. Warna tubuh cacing ini adalah merah sampai coklat dengan bagian dorsal yang lebih merah tua. Cacing Lumbricus rubellus mempunyai tubuh bersegmen dimana pada seluruh tubuhnya terdapat 85-140 segmen. Setiap segmen kecuali segmen pertama dan terakhir terdapat 4 pasang seta menjulur ke arah lateral dan ventral. Gambaran umum cacing tanah (Lumbricus rubellus) terdapat pada Gambar 2.



Gambar 2.Lumbricus rubellus (Dokumen pribadi, 2014)



14



3.3.2 Habitat dan Penyebaran Cacing tanah dapat ditemukan pada kedalaman 8-12 inci dari permukaan tanah. Cacing tanah juga sangat sensitive terhadap konsentrasi ion hydrogen (kadar keasaman tanah). Banyak spesies cacing tanah yang menyukai pH sekitar 7,0. Ada juga yang berpendapat bahwa cacing tanah umumnya menyukai pH media pada kisaran 6,0-7,2 (Herayani, 2001). Cacing tanah umumnya hidup di tempat yang kadar kelembabannya terjaga dan stabil. Kelembaban yang terlalu tinggi akan berdampak kurang baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah, karena makin lembab udara maka kandungan oksigen yang



berada dalam sarang akan semakin



berkurang. Sebaliknya, jika kelembaban rendah berarti udara terlalu kering yang akan merusak kulit cacing tanah yang berdampak pada pernafasannya. Secara ekologi, cacing tanah diklasifikasikan menjadi lima kategori umum yaitu epigeic, aneceiq, endogeic, coprophagic dan arboricolous. Cacing tanah epigeic merupakan cacing tanah yang aktif di permukaan tanah, memililiki pigmen tubuh dan pada umumnya tidak suka membuat terowongan dalam tanah. Cacing tanah aneceiq memiliki tubuh besar dan dapat membuat terowongan yang dalam. Cacing tanah endogeic merupakan cacing tanah yang hidup dekat dengan permukaan tanah yang mengandung bahan organic. Cacing tanah coprophagic merupakan cacing tanah yang hidup di dalam kotoran hewan ternak, sedangkan cacing tanah arboricolous adalah kategori cacing tanah yang hidup dalam hutan hujan tropis (Paoletti, 1999). Cacing tanah (Lumbricus rubellus) ini tergolong dalam cacing epigeic seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Hidupnya di permukaan tanah dengan kandungan bahan organic yang tinggi. Secara umum, terdapat dua golongan cacing berdasarkan warna. Akan tetapi cacing tanah (Lumbricus rubellus) ini tergolong dalam cacing merah (the red worm).



15



3.3.3 Reproduksi Cacing tanah merupakan binatang yang bersifat hemaprodit atau biseksual karena di dalam tubuhnya terdapat alat kelamin jantan dan betina. Cacing ini tergolong dalam hemaprodit protandri, yakni bagian kelamin jantan dulu yang mengalami kematangan pada saat dalam stadia benih untuk kemudian pada saat usia dewasa, alat kelamin betina mengalami proses pematangan. Alat kelamin jantan terdiri atas dua pasang testis yang terletak pada segmen ke-10 dan ke-11. Sperma yang sudah matang mengalir ke kantong testis, corong sperma, tabung sperma dan keluar melalui porus genital di bagian ventral segmen ke-15. Alat kelamin betina terdiri dari ovarium yang membentuk telur dan terdapat dalam segmen ke-13. Telur yang sudah matang akan masuk ke dalam infundibulum yang terletak di permukaan posterior segmen ke-13, kemudian menuju ke ovidak yang bermuara pada bagian ventral segmen ke-14. Lubang dalam ovidak berhubungan secara langsung dengan kantong telur yang merupakan tempat penyimpanan telur yang sudah matang. Untuk melakukan proses pembuahan, cacing tanah tidak dapat melakukannya sendiri dan harus dilakukan oleh sepasang cacing tanah (Herayani, 2001). Telur dan sperma dikeluarkan dari masing-masing induk ke dalam kokon yang disekresikan oleh klitelium, sehingga fertilisasi terjadi secara eksternal. Cacing tanah berkembang mulai dari telur yang tersimpan dalam kokon yang akan menetas sekitar 14-21 hari setelah terlepas dari tubuh cacing tanah. Embrio mendapat nutrisi dari cairan yang terdapat di dalam kokon (Pechenik, 2000). 3.3.4 Siklus Hidup Siklus hidup cacing tanah dimulai dari kokon, cacing muda (juvenile), cacing produktif, dan cacing tua. Lama siklus hidup ini tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan, dan jenis cacing tanah. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, diperoleh lama siklus



16



hidup cacing tanah Lumbricus rubellus mulai kokon hingga mati adalah 1-5 tahun (Palungkun, 2010). Siklus produktif cacing tanah berkisar 40-60 hari. Hal ini dikarenakan cacing tanah memiliki kemampuan untuk memperbanyak jumlahnya dalam waktu yang singkat. Cacing tanah yang telah berumur 35-45,5 hari (dewasa kelamin) akan menghasilkan kokon setiap 7-10 hari sekali melalui alat reproduksinya (klitelium). Butuh waktu 14-21 hari bagi kokon agar menetas, dan setiap kokon akan menghasilkan 1-8 ekor anak. Kokon cacing tanah berdiameter sekitar 1.2 cm (Sihombing, 2002).



3.4 Manfaat Cacing Tanah Bagi Perikanan Palungkun (2010), menyatakan bahwa manfaat cacing tanah diantaranya adalah sebagai umpan pancing. Manfaat cacing tanah sebagai umpan pancing dapat ditunjukkan oleh kegemaran memancing yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, dan semakin menjamurnya tempat memancing hampir di seluruh wilayah nusantara. Akibatnya, permintaan cacing sebagai umpan pun semakin meningkat. Selain sebagai umpan memancing, cacing tanah dapat dijadikan alternatif pakan ikan. Selain kandungan gizinya yang baik, cacing tanah merupakan salah satu cacing yang diproduksi secara massal dan paling banyak dikomersilkan. Cacing tanah sebagai alternatif pakan disajikan sebagai pakan segar untuk ikan dengan berbagai cara pemberian tergantung pada ukuran ikannya. Pada ikan besar seperti ikan Lele, cacing bisa diberikan dalam bentuk utuh, namun terlebih dahulu dibersihkanseperlunya. Sedangkan untuk ikan-ikan kecil perlu dipotong-potong terlebih dahulu disesuaikan dengan ukuran mulut ikan tersebut.



17



Dalam penelitiannya Palungkun (1999), menjelaskan kandungan asam amino yang terkandung dalam tubuh cacing tanah seperti yang terdapat pada Tabel 5 berikut ini : Tabel 5. Kandungan asam amino cacing tanah (Lumbricus rubellus) Asam Amino Asam amino essensial  Arginin  Histidin  Isoleusin  Leusin  Lisin  Metionin  Fenilalanin  Treonin  Valin Asam amino non-esensial  Sistein  Glisin  Serin  Tirosin



Kandungan (%) 4, 13 1, 56 2, 58 4, 84 4, 33 2, 18 2, 25 2, 95 3, 01



2, 29 2, 92 2, 88 1, 36



Dalam bidang perikanan, cacing tanah juga di produksi sebagai pengganti tepung ikan. Lazim diketahui bahwa tepung ikan merupakan bahan baku pembuat pakan atau pelet. Tepung ikan mengandung protein yang mutlak diperlukan dalam ransum pakan, akan tetapi mahalnya harga bahan baku tepung ikan membuat harga pakan ikan ikut terderak naik. Hal inilah yang melatar belakangi penggunaan tepung cacing tanah sebagai pengganti tepung ikan. Pemanfaatan cacing tanah sebagai pakan ternak unggas didasarkan pada hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa cacing tanah memiliki kandungan protein, lemak dan mineral yang sangat tinggi. Kualitas protein cacing tanah olahan yang lebih tinggi daripada protein daging maupun ikan tersebut membuat cacing tanah sangat berpeluang sebagai bahan pakan ternak unggas dan ikan. Tepung cacing pernah juga dilaporkan mampu menekan pengaruh racun dalam ternak (Palungkun, 1999).



18



3.5 Persyaratan Lokasi dan Konstruksi Bangunan Budidaya 3.5.1 Persyaratan Lokasi dan Konstruksi Bangunan Budidaya Hermawan (2014), menjabarkan persyaratan lokasi untuk budidaya cacing tanah adalah sebagai berikut : a. Bahan organik yang tinggi Tanah sebagai media hidup cacing tanah harus mengandung bahan organik dalam jumlah yang besar. Bahan organik tanah dapat berasal dari serasah, kotoran ternak atau tanaman dan hewan yang mati. Ini disebabkan karena cacing tanah menyukai bahan-bahan yang mudah membusuk karena lebih mudah dicerna oleh tubuhnya. b. pH Untuk pertumbuhan yang baik, cacing tanah memerlukan tanah yang sedikit asam sampai netral dengan kisaran pH 6-7,2 karena dengan kondisi ini, bakteri yang tedapat dalam tubuh cacing tanah dapat bekerja secara optimal untuk mengadakan pembusukan atau fermentasi. c. Kelembaban Kelembaban optimal bagi pertumbuhan dan perkembang biakan cacing tanah berkisar antara 15-30%. d. Suhu Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan cacing tanah dan penetasan kokon adalah sekitar 15-25oC atau suam-suam kuku. Suhu yang lebih dari kisaran tersebut dinilai masih baik asal ada naungan yang cukup dan kelembaban dalam kisaran optimal. e. Lokasi Lokasi pemeliharaan cacing tanah sebisa mungkin ditempatkan pada tempat yang teduh dan tidak terkena sinar matahari secara langsung. Selain itu, lokasi haruslah mudah dijangkau dengan tujuan mempermudah pengawasan



19



dan penanganan sepanjang proses budidaya mulai dari awal sampai akhir. Wadah budidaya juga sebaiknya terbuat dari bahan-bahan yang bersifat tidak meneruskan sinar matahari dan tidak menyimpan panas. Konstruksi bangunan budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus) bermacam-macam jenisnya. Kolam beton, rak dari alumunium dan juga rak dari kayu dapat dijadikan sebagai tempat budidayanya. Kotak bekas yang tidak terpakai juga bisa dimanfaatkan sebagai wadah budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus). Hal inilah yang membuat usaha budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus) layak untuk dijadikan usaha sampingan skala rumah tangga karena tidak memerlukan lahan yang luas.



Gambar 3. Konstruksi kolam beton (Dokumen pribadi, 2014) Gambar 3, Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan beberapa jenis konstruksi wadah budidaya yang didapat dari beberapa tempat di kota Malang tepatnya di Kecamatan Sukun.



Gambar 4.Konstruksi rak dengan wadah ember berukuran sedang (Dokumen pribadi, 2014)



20



Gambar 5. Konstruksi rak bambu dengan wadah karung bekas (Dokumen pribadi, 2014) 3.5.2 Bangunan Pelindung Budidaya cacing tanah harus terletak ditempat yang teduh, artinya tidak terpapar cahaya matahari ataupun terkena air hujan secara langsung yang akan berdampak pada usaha cacing tanah (Lumbricus rubellus) yang sedang dibudidayakan. Bangunan pelindung mutlak diperlukan untuk memaksimalkan proses budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus). Konstruksi bangunan pelindung di UPBAT Kepanjen digambarkan pada Gambar 6 berikut ini.



Gambar 6. Bangunan Pelindung (Dokumen pribadi, 2014) Bangunan pelindung dapat disiasati dengan memanfaatkan bahan-bahan yang



mudah



didapat



di



sekitar



rumah



dan



harganya



murah.



Dalam



pembuatannya Hermawan (2014), berpendapat bahwa konstruksi bangunan pelindung adalah sebagai berikut :  Bangunan sederhana, terbuat dari papan/sisa-sisa pakan  Bangunan permanen, yang terbuat dari bahan kayu atau beton.



21



3.6 Media Budidaya 3.6.1 Tanah Terdapat banyak jenis media dalam budidaya cacing tanah. Paradigma masyarakat Indonesia secara umum, cacing tanah dibudidayakan dalam media tanah. Secara umum komposisi tanah terdiri dari empat komponen utama yaitu bahan mineral, bahan organik, udara dan air tanah. Kadar komposisi tanah ini nantinya akan berpengaruh terhadap bentuk, warna, tekstur dan kesuburan tanah (Wahyudi, 2011). Suhardi (1983), menyatakan bahwa tanah merupakan lapisan permukaan bumi yang memiliki tiga fungsi utama. Secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuhnya akar tanaman serta sebagai suplai kebutuhan air dan udara. Secara kimiawi, tanah berfungsi gudang penyuplai hara atau nutrisi. Dan secara biologi, tanah berfungsi sebagai habitat organisme yang berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara seperti cacing tanah Lumbricus rubellus untuk menghasilkan biomass dan produksi yang baik. 3.6.2 Log Jamur Serbuk



kayu



mengandung



beragam



zat



yang



didalamnya



dapat



menstimulasi pertumbuhan atau sebaliknya. Zat-zat yang dibutuhkan jamur untuk tumbuh yaitu karbohidrat, serat dan lignin. Zat yang dapat menghambat pertumbuhan yaitu zat metabolit sekunder atau yang umum dikenal sebagai getah dan atsiri. Dalam pembuatan 100 kg log jamur diperlukan serbuk gergaji sebanyak 100 kg pula, bekatul 10 kg, kapur 0,5 kg, tepung jagung 0,5 kg, air 4560% dari total berat, TSP 0,5 kg dan gipsum 0,5 kg (Muchlisin, 2013). Log



jamur



tiram



merupakan pencampuran dari beberapa bahan,



diantaranya serbuk gergaji kayu (Susilawati dan Budi, 2010). Komposisi yang mengandung bahan organik tinggi inilah yang membuat log jamur merupakan media yang baik untuk budidaya cacing tanah. Selain itu, dengan atau tanpa



22



fermentasi, log jamur merupakan bahan yang siap digunakan untuk budidaya cacing tanpa perlu melewati banyak proses yang rumit terlebih dahulu. 3.6.3 Rumen Sapi dan Kotoran Sapi Menurut Arora (1989), kandungan nutrisi dalam rumen sapi terdiri dari air 16,30%; abu 13,25%; PK 16,20%; SK 28,32%; kalsium 0,38%; dan phospor 0,55%. Selain itu isi rumen juga kaya akan vitamin khususnya vitamin B kompleks dan K yang merupakan hasil sintesa mikroorganisme di dalam rumen dan mineral. Kotoran sapi merupakan bahan organik yang secara spesifik berperan dalam meningkatkan ketersediaan phospor dan unsur mikro. Kotoran sapi banyak mengandung hara yang dibutuhkan tanaman seperti nitrogen, phospor, kalium, kalsium, magnesium dan boron (Nurmawati dan Anang, 2000). 3.7 Teknik Budidaya Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) 3.7.1 Persiapan Media Sebelum dilakukan budidaya cacing tanah, terlebih dahulu dilakukan sejumlah persiapan antara lain persiapan media dan persiapan wadah budidaya. Di UPBAT Kepanjen, kegiatan budidaya cacing tanah dilakukan dengan media log jamur. Log jamur merupakan media yang terbuat dari sisa proses budidaya jamur tiram. Seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, pemilihan media log jamur disebabkan oleh ketersediaan bahan organik yang tinggi pada log jamur itu sendiri karena komposisi log jamur yang terbuat dari serbuk gergaji dan bahan-bahan lain. Sehingga log jamur merupakan bahan jadi siap pakai untuk budidaya.Namun, untuk meningkatkan nilai kandungan unsur hara itu sendiri terlebih dahulu dilakukan proses fermentasi media menggunakan probiotik. Media pemeliharaan cacing tanah terdiri dari serbuk gergaji dengan campuran kompos (kotoran hewan) dan bahan organik (limbah pertanian dan



23



limbah pasar) dengan perbandingan 2:1:1, kemudian di fermentasi dengan menggunakan probiotik dengan dosis 1 liter/m3selama 1 bulan lamanya dalam kondisi tertutup, tidak terkena sinar matahari secara langsung dan tidak tembus udara.Proses ini dilakukan pada bak fiber dan ditutup meggunakan terpal. Log jamur dapat dilihat pada Gambar 7.



Gambar 7. Log Jamur (Dokumen pribadi, 2014) Adapun langkah-langkah persiapan media meliputi fermentasi dan pengering-anginanseperti yang ditunjukkan pada Gambar 8 dan Gambar 9 adalah sebagai berikut :  Dipersiapkan media log jamur pada kolam yang sebelumnya telah dilapisi terpal.  Disiapkan probiotik sebanyak 1 liter. Dosis ini digunakan untuk fermentasi media sebanyak 1m3.  Dihomogenkan probiotik dan media dengan cara pengadukan manual menggunakan tangan.  Pemberian probiotik dilakukan sedikit demi sedikit agar kelembaban media dapat merata pada seluruh bagian media.  Difermentasi selama 1 bulan dengan kondisi kedap udara serta tidak terkena cahaya matahari secara langsung.  Setelah 1 bulan dibuka lalu dikering-anginkan dan siap digunakan.



24



Gambar 8. Fermentasi log jamur (Dokumen pribadi, 2014)



Gambar 9. Proses pengering-anginan media (Dokumen pribadi, 2014) Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai indikator media yang baik adalah sebagai berikut :  Media harus terdiri dari bahan organik yang berserat dan sudah mengalami pelapukan serta tidak mengeluarkan gas yang tidak diinginkan cacing tanah.  Media harus mampu menahan kelembaban. Kelembaban yang baik untuk perkembangan cacing tanah adalah 35-50%  Media harus gembur dan mudah terdekomposisi.  Kandungan protein media rendah (15%) dan suhu sekitar 20-30oC. Setelah media siap digunakan, maka media diletakkan pada wadah budidaya. Untuk wadah berupa kolam beton, maka ketebalan media yang optimal untuk pertumbuhan cacing pertama kali adalah 10 cm. Sedangkan untuk sistem rak, ketebalan media berkisar antara 2 sampai 5 cm. Fermentasi yang dilakukan memang bertujuan untuk menambah nilai nutrisi yang ada pada media. Hal ini sependapat dengan pernyataan Pumphrey dan Julien (1996), yang mengemukakan bahwa fermentasi merupakan suatu



25



teknologi yang memanfaatkan mikroorganisme untuk melakukan proses produksi dalam rangka mendapatkan sebuah produk yang baru dan produk yang dihasilkan akan mengalami pertambahan kandungan nutrisi. 3.7.2 Wadah Pemeliharaan Wadah yang digunakan dalam pemeliharaan cacing tanah memiliki banyak jenis. Di UPBAT Kepanjen sendiri, wadah budidaya cacing tanah terdiri dari kolam beton dan sistem rak. Kolam beton yang digunakan untuk budidaya cacing tanah di UPBAT Kepanjen berukuran 3mx3m dan 2,5mx2,5m dengan ketinggian masing-masing kolam adalah 100 cm atau 1 meter.Untuk sistem rak dengan wadah berupa karung bekas berukuran 90 cm x 30 cm dengan kapasitas volume karung terhadapmedia setebal 15 cm, masing-masing rak terdiri dari 3 shaf sebanyak 60 unit. Ketinggian optimum bagi budidaya cacing tanah system kolam beton adalah 10 cm dengan padat tebar per meter persegi sebanyak 2,5 kg. Media pada system rak setebal 5 cm dengan padat tebar sebanyak 0,5 kg. Karung bekas digunakan karena efektif, efisien dan mudah didapat. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan oleh pembudidaya dalam pemeliharaan dengan sistem rak adalah jarak antara susunan rak sebaiknya tidak terlalu rapat, juga tidak terlalu renggang. Jarak dari lantai ke alas rak pertama sebaiknya tidak terlalu mepet. Hal ini untuk menghindari jangkauan hama atau binatang pengganggu dan wadah tidak mudah terendam genangan air pada saat hujan. Jarak yang baik dari lantai ke alas pertama minimal 50 cm. Semua jenis wadah ini sesuai untuk semua fase stadia perkembangan cacing tanah. Baik itu indukan, telur, larva maupun bibit cacing tanah. Tidak ada ketentuan berapa jumlah shaf maksimal dalam satu rak, karena jumlah shaf menyesuaikan dengan jangkauan ketinggian masing-masing orang yang berbeda.Wadah budidaya di UPBAT Kepanjen ditunjukkan pada Gambar 10, Gambar 11 dan Gambar 12.



26



Gambar 10. Wadah pemeliharaan sistem rak (Dokumen pribadi, 2014)



(a) (b) Gambar 11(a) Kolam beton berukuran 2,5 m x 2,5 m x 1 m (b) Kolam beton berukuran 3 m x 3 m x 1 m (Dokumen pribadi, 2014) Hermawan (2014) mengemukakan bahwa selain kolam beton dan sistem rak, wadah yang digunakan dapat berupa kotak plastik berukuran 45 cm x 35 cm x 16 cm, kotak kayu yang berukuran 45 cm x 45 cm x 25 cm dan anyaman bambu (besek). 3.7.3 Pemeliharaan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) a. Pemilihan Bibit Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Salah satu indikator bibit cacing tanah yang baik adalah yang sudah dewasa dan sehat. Cacing tanah yang sudah dewasa adalah cacing tanah yang sudah memiliki klitelium pada tubuhnya.Klitelium adalah bagian tubuh yang menebal dan terletak pada segmen 26-32 dari bagian atas tubuh cacing. Pada 1 kg cacing dewasa diasumsikan terdapat sebanyak 1.000 ekor cacing tanah. Bibit



27



cacing tanah (Lumbricus rubellus) yang siap menjadi induk ditunjukkan pada Gambar 12. Cacing tanah dewasa adalah cacing yang sudah memasuki umur 2,5-3 bulan sejak menetas dari kokon dengan panjang tubuh sekitar 8-14 cm. Warna tubuh bagian punggung merah hingga ungu kemerahan serta berwarna krem pada bagian perut. Jika sudah memenuhi beberapa indikator seperti ini, maka cacing tanah sudah dapat dikategorikan cacing tanah yang sudah dewasa dan siap untuk dijadikan bibit cacing tanah untuk diperbanyak jumlahnya dan diproduksi dalam skala besar (Hermawan, 2014).



Gambar 12. Bibit Cacing Tanah (L. rubellus) (Dokumen pribadi, 2014) b. Penebaran Bibit Setelah bibit cacing tanah tersedia, selanjutnya dilakukan penebaran bibit pada media yang telah disiapkan. Pada kolam beton, padat penebaran yang optimal per meter persegi sebanyak 2 kg. Wadah berupa sak berukuran 90 cm x 30 cm dengan kapasitas volume karung terhadap media setebal 15 cm, masingmasing rak terdiri dari 3 shaf sebanyak 60 unit pada sistem rak dapat diisi dengan 400-500 gram cacing tanah. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pemantauan pertumbuhan cacing tanah pada sak. Cara penebaran bibit di gambarkan pada Gambar 13. Adapun cara penebaran bibit cacing tanah adalah sebagai berikut :



28



 Bibit cacing tanah yang telah disiapkan dikeluarkan sebagian dari dalam wadah pengangkutan dan bibit cacing tanah dihindarkan dari sinar matahari langsung.  Ambil bibit cacing tanah dan letakkan di beberapa titik media secara merata. Amati beberapa saat, bila terlihat bibit langsung masuk dalam media, maka bibit yang lainnya dapat dimasukkan. Artinya, media pemeliharaan telah sesuai dengan syarat hidup cacing. Apabila terjadi sebaliknya, maka media tersebut tidak disukai cacing akibat media terlalu kering dan perlu dilakukan pemberian air secukupnya sedikit demi sedikit hingga dirasa media sudah cukup lembab dan tidak terlalu basah. Jika media terlalau basah, maka media harus segera diganti dengan yang baru atau diberikan penambahan media secukupnya. Jika media mengeluarkan bau, maka media harus segera diganti.



Gambar 13. Penebaran Bibit Cacing Tanah (L. rubellus) (Dokumen pribadi, 2014) Dalam beternak cacing tanah secara komersial, sebaiknya digunakan bibit yang sudah ada karena diperlukan pengembangan dalam jumlah yang besar. Namun, bila akan dimulai dari skala kecil dapat pula digunakan bibit dari alam, yang diperoleh dari tumpukan sampah yang membusuk atau dari tempat pembuangan kotoran hewan (Hermawan, 2014).



29



c. Pembesaran Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Setelah bibit ditebar lalu dilihat bagaimana responnya terhadap media selama 12 jam dan ternyata cacing menyebar ke dalam media, maka dapat disimpulkan bahwa media telah sesuai untuk cacing dan cacing telah mampu beradaptasi dengan baik pada media tersebut. Kegiatan yang dilakukan berikutnya adalah pemeliharaan atau pembesaran cacing tanah (Lumbricus Rubellus). Pada masa awal usaha budidaya cacing, diperlukan waktu selama 2-3 bulan agar cacing dapat tumbuh dan jumlahnya semakin banyak. Hal ini bertujuan untuk proses budidaya yang berkelanjutan. Pada saat cacing berumur 2 bulan, cacing dikategorikan cacing dewasa dan siap kawin. Cacing yang sedang dalam proses perkawinan, maka keduanya akan saling melekat rapat. Meskipun cacing adalah hewan hemaprodit protandri, tetapi untuk menghasilkan kokon tetap dilakukan oleh sepasang cacing. Seekor cacingmenghasilkan 1 kokon dan setiap kokon akan menetaskan rata-rata 4 ekor anakan cacing. Dalam penelitiannya, Mubarok dan Lili (2000) menyatakan bahwa sejak awal siklus hidupnya, cacing tanah (Lumbricus rubellus) akan mengalami masa produktif pada bulan ke 4 – 10 masa pemeliharaan sebelum kemudian produktifitasnya akan menurun hingga cacing mengalami kematian. d. Pemberian Pakan Cacing tanah diberi pakan sekali dalam sehari semalam sebanyak berat cacing tanah yang ditebar. Apabila cacing yang ditebar sebanyak 2 kg, maka pakan yang diberikan sebanyak 2 kg pula. Secara umum pakan cacing tanah adalah berupa semua kotoran hewan, kecuali kotoran yang hanya dipakai sebagai media serta dapat pula digunakan limbah bahan organik sebagai pakan. Pemberian pakan di hari selanjutnyaterlebih dahulu dilakukan pengamatan pada media budidaya, apabila masih tersisa pakan pada media, maka pakan harus diaduk kedalam media dan pemberian pakan dikurangi. Tetapi apabila tidak



30



terdapat sisa pakan dalam media, maka pemberian pakan perlu dilakukan penambahan jumlahnya. Pakan yang diberikan berupa limbah sayur pasar serta ampas tahu yang terlebih dahulu di fermentasi. Pakan berupa limbah sayur di fermentasi maksimal 4 hari dalam wadah yang kedap udara dan diletakkan pada ruangan tertutup untuk mempercepat proses fermentasi. Apabila fermentasi melebihi waktu 4 hari, maka akan terjadi penurunan nilai nutrisi pada pakan yang difermentasi dan memicu tingginya kadar alkohol di dalam pakan sehingga pakan tidak layak untuk diberikan pada cacing karena dikhawatirkan akan terjadi keracunan yang menyebabkan kematian cacing dalam jumlah yang besar. Pakan ampas tahu dan sayuran fermentasi di tunjukkan pada Gambar 14.



Gambar 14. Ampas tahu dan limbah sayur fermentasi (Dokumen pribadi, 2014) Adapun cara pembuatan pakan limbah sayur fermentasi adalah sebagai berikut :  Limbah sayur terlebih dahulu dicacah sampai ukurannya menjadi kecil.  Limbah sayur ditempatkan pada bak fermentasi  Ditambahkan probiotik secukupnya dan dihomogenkan  Dimasukkan kedalam kantung plastik lalu ditutup rapat dan jangan sampai ada rongga udara di dalam plastik  Plastik dimasukkan ke dalam karung yang lebih besar dengan tujuan mencegah kebocoran udara dan terhindar dari sinar matahari langsung.



31



 Dibiarkan selama maksimal 3 - 4 hari dan pakan fermentasi siap diberikan pada cacing  Pakan ampas tahu bisa langsung di fermentasi dan dibiarkan maksimal selama 3 – 4 hari pula lalu diberikan pada cacing. Dalam kondisi yang tepat, cacing tanah dapat makan sebanyak berat tubuh mereka per harinya. Dengan kata lain, FCR cacing adalah 1. Untuk menghasilkan 1 kg cacing maka harus diberikan pakan sebanyak 1 kg pula. Namun, pada awal pemeliharaan sebaiknya cacing diberi makan sebanyak setengah dari berat tubuhnya untuk selanjutnya disesuaikan dengan kemampuan makan cacing. Jika makanan terlalu banyak dan cacing tidak mampu menghabiskan dalam waktu yang relatif lama, maka media dan tempat pemeliharaan akan menjadi bau. Tetapi jika terlalu sedikit, cacing akan kelaparan dan stress (Hermawan, 2014). e. Penanganan Telur (Kokon) Cacing merupakan hewan hemaprodit yang pembuahan sel telur terjadi secara eksternal atau diluar tubuh induk. Maka letak kokon dalam media akan sangat sulit dibedakan karena bentuknya yang tidak terlalu besar. Apabila tidak diamati secara jeli dan mendetail, tidak akan dapat dibedakan mana kokon dan seresah-seresah sisa pakan yang ada didalam media. Kokon akan menetas pada hari ke 14 sampai 21 hari setelah terlepas dari tubuh induknya. Di UPBAT Kepanjen tidak dilakukan pemanenan kokon. Dalam artian, apabila kokon ditemukan didalam media maka kokon tersebut dibiarkan menetas didalam media hinggamenjadi larva dan anakan cacing. Setelah dirasa media terlalu padat karena pertumbuhan cacing dan jumlah cacing yang semakin banyak, barulah dilakukan pemanenan secara parsial cacing dewasa yang sudah berada dibagian atas media. Sementara cacing yang masih anakan dan berada



32



dibagian tengah ditinggalkan dan dibesarkan. Begitu seterusnya. Kokon cacing tanah (Lumbricus rubellus) dapat dilihat pada Gambar 15.



Gambar 15. Kokon (Dokumen pribadi, 2014) Hermawan (2014), mengemukakan bahwa perkembangan kokon dimulai dari 2 minggu setelah cacing bertelur. Kokon yang baru dihasilkan masih berwarna kuning kehijauan dan akan menjadi kemerahan saat akan menetas. Faktor yang mempengaruhi produksi kokon adalah kelembaban media, cadangan makanan yang cukup serta lingkungan yang bersuhu antara 16-60oC. Apabila tanah lembab, maka kokon akan diletakkan di permukaan tanah. Namun apabila tanahnya kering, maka kokon diletakkan didalam tanah. f. Pemeliharaan Larva Setelah kokon menetas, maka dihasilkan larva cacing. Pemeliharaan larva dilakukan pada wadah yang sama. Artinya, tidak dilakukan pemindahan atau pemanenan larva. Hal ini dikarenakan ukuran larva yang masih sangat kecil. Larva dipelihara pada media dengan ketinggian optimal 10 cm. Namun jika dilakukan pemanenan pada induk secara total beserta penggantian media, maka media yang ditempati larva akan dikembalikan pada tempatnya dan diberikan sedikit penambahan media baru. Larva diberi perlakuan berbeda pada pakan dan komposisinya, namun tetap dilakukan proses fermentasi terlebih dahulu. Pakan larva cacing berupa bubur. Ini untuk memudahkan cacing dalam mencerna pakan. Larva dan pemberian pakan larva dalam bentuk bubur di tunjukkan pada



33



Gambar 16 dan Gambar 17. Berikut penjelasan tentang komposisi pakan, cara membuat serta pemberian pakan bagi larva :  Limbah sayur dan kotoran hewan digiling menggunakan air dengan perbandingan antara bahan dan air sebanyak 1:1  Difermentasi menggunakan probiotik selama 2 minggu  Pakan dimasukkan kedalam plastik lalu ditutup dengan karung bekas atau terpal atau bahan lain yang tidak tembus cahaya.  Pakan siap diberikan  Cara pemberian pakan yaitu dengan cara bubur yang sudah jadi ditaburkan rata diatas media, tetapi bagian media tidak boleh tertutup agar tetap ada sirkulasi udara.



Gambar 16. Larva cacing tanah (L. rubellus) (Dokumen pribadi, 2014)



Gambar 17. Pemberian pakan larva (Dokumen pribadi, 2014)



34



Mubarok dan Lili (2000), pemberian pakan pada larva cacing tanah dilakukan sebagaimana mestinya saat pembesaran cacing tanah. Artinya, tidak dilakukan pembedaan perlakuan pemberian pakan antara cacing tanah yang sudah dewasa dengan yang berada pada stadia larva. Pengontrolan pakan harus dilakukan dengan tujuan agar pakan selalu habis tepat waktu dan menghindari kekurangan jumlah pakan. Bila ternyata tidak habis tepat waktu maka pakan akan menggumpal dan secepatnya harus diaduk atau diremahkan dan disebar di seluruh bagian permukaan agar merata dan dapat di makan secara langsung oleh cacing tanah. g. Pemanenan Pada proses budidaya cacing tanah, terdapat 2 produk utama yang dapat dihasilkan, yaitu cacing tanah itu sendiri serta kascing (bekas cacing) yang sangat baik untuk kegiatan pertanian. Cacing dapat dipanen untuk kali pertama pada saat berumur 3 bulan. Ini bertujuan untuk memperbanyak jumlahnya terlebih dahulu dalam rangka proses budidaya yang berkelanjutan. Setelah itu, cacing tanah dapat dipanen setiap 1 bulan sekali. Rata-rata, survival rate (SR) dari cacing tanah adalah 100% dengan jumlah produksi yang dihasilkan sebanyak 2 kali lipat populasi awal. Artinya, jika dalam tebar awal per meter persegi diberi bibit sebanyak 2 kg maka akan didapat hasil panen sebanyak 4 - 5 kg. Teknik pemanenan cacing tanah di UPBAT Kepanjen yaitu dengan cara memanfaatkan sifat alami cacing tanah yang tidak menyukai cahaya. Dengan menggunakan lampu petromaks, cacing tanah akan berkumpul dibagian bawah media lalu dilakukan pengambilan cacing. Juga dengan cara yang lain yakni dengan cara mengambil cacing yang bergerombol beserta medianya pada bagian pinggir wadah budidaya lalu cacing tanah ditempatkan pada tempat yang terang. Cacing yang terkena cahaya akan berusaha melarikan diri dan masuk



35



kedalam media serta bergerombol dalam jumlah besar. Untuk memisahkan antara cacing dengan media, cara yang paling mudah dilakukan yakni dengan mengambil media beserta cacing yang terambil digundukkan lalu dikikis sedikit demi sedikit medianya. Hindari proses penyinaran yang terlalu lama karena akan berakibat pada kematian cacing. Hal ini dikarenakan ketika cacing terkena panas, maka ia akan memproduksi lendir dalam jumlah besar untuk “mendinginkan” tubuhnya. Apabila dalam kondisi seperti ini, maka cacing akan lemas kemudian mati. Pemanenan cacing tanah ditunjukkan pada Gambar 18di bawah ini. Ada cara panen yang lebih ekonomis, yakni dengan membalikkan sarang. Cara ini diaplikasikan pada wadah yang tidak terlalu besar seperti besek maupun bak plastik. Dibalik sarang yang gelap ini, cacing biasanya berkumpul dan akan lebih mudah terkumpul. Kemudian sarang dibalik kembali dan dipisahkan antara cacing yang dipanen dan cacing yang sengaja ditinggal untuk dibesarkan lagi dan akan dipanen pada tahap selanjutnya (Hermawan, 2014).



Gambar 18. Pemanenan Cacing tanah (Lumbricus rubellus) (Dokumen pribadi, 2014) h. Pemasaran Setelah proses pemanenan selesai dilakukan, tahap selanjutnya adalah pengepakan. Cacing diletakkan pada jaring dan pada jaring itu diberi media serta pakan dan memiliki ukuran rongga tidak terlalu besar agar cacing tidak melarikan



36



diri lalu ujungnya diikat rapat, kemudian diletakkan pada wadah berupa sterofoam. Tujuan pemberian media dalam wadah adalah agar cacing dapat bertahan hidup selama dalam perjalanan dan tentu saja kelembaban media merupakan perhatian utama. Karena apabila media terlalu kering akan mengakibatkan cacing stress. Ketika cacing stress maka cacing akan mengeluarkan



lendir



untuk



menyesuaikan



diri.



Ketika



dalam



kondisi



mengeluarkan banyak lendir dan media tidak sesuai inilah yang menyebabkan turunnya bobot cacing sampai 50% dari berat awal biomassnya serta kematian. Pemberian pakan juga bertujuan agar persediaan pakan selama dalam perjalanan mencukupi kebutuhan. Setiap wadah berisi cacing sebanyak 1 kg. Cacing siap di pasarkan. Selama ini, cacing dipasarkan pada pengepul di daerah Sukun, Malang untuk kemudian didistribusikan pada wilayah yang lebih luas lagi. Packing cacing tanah (L. rubellus) ditunjukkan pada Gambar 19 berikut ini.



Gambar 19. Pengepakan Cacing Tanah (L. rubellus) (Dokumen pribadi, 2014) Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum pendistribusian cacing tanah (L. rubellus) menurut Hermawan (2014) adalah sebagai berikut :  Cacing disimpan terlebih dahulu dalam penampungan selama 2 hari  Diberi makanan ampas tahu atau ongok untuk meningkatkan bobot atau perbaikan gizi



37



 Bila produk cacing akan digunakan sebagai bahan pembuat obat, tepung cacing dan cacing kering sebaiknya cacing dibudidayakan pada media yang halal atau bukan kotoran ternak. Misalnya media ampas aren atau ampas tebu. Ini berfunsi untuk perbaikan gizi, juga agar bakteri yang bersifat merugikan hilang  Saat cacing akan dikirim, perlu diperhitungkan lama waktu transportasi untuk menentukan berapa banyak media yang diperlukan agar cacing tidak mati karena kekurangan media  Gunakan bahan-bahan yang tembus udara dan kuat. i. Pengendalian Hama dan Penyakit Dalam suatu usaha budidaya, selalu terdapat banyak kendala. Begitu pula dengan budidaya cacing tanah. Kendala yang dihadapi dalam usaha budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus) pun beragam. Mulai dari faktor lingkungan yang sulit diatasi seperti suhu dan musim yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan cacing tanah, juga adanya hama maupun penyakit yang menyerang cacing tanah. Selama ini, hama yang menyerang cacing tanah berupa semut, tikus, predator seperti ayam dan bebek serta kutu tanah yang berperan sebagai kompetitor pakan. Salah satu usaha pencegahan hama penyakit pada cacing tanah (L. rubelllus) ditunjukkan pada Gambar 20. Berbagai langkah dilakukan untuk menanggulangi gangguan hama ini. Diantaranya adalah sebagai berikut :  Pemberian kapur semut pada bagian luar wadah budidaya untuk mencegah semut masuk kedalam media.  Pemberian jaring (paranet) pada bagian atas media budidaya untuk mencegah predator seperti tikus, ayam dan bebek masuk ke dalam wadah.



38



 Pemberian air (perendaman) pada bagian kaki rak atau bagian luar wadah budidaya.  Pengontrolan secara rutin.



Gambar 20. Pencegahan hama dengan pemberian paranet (Dokumen pribadi, 2014) Selain semut, tikus, ayam dan bebek, terdapat juga hama yang lain. Hermawan (2014), menuliskan dalam bukunya bahwa lintah juga merupakan hama bagi cacing. Lintah membunuh cacing tanah dengan menghisap darah cacing tanah sampai habis. Cara mencegah lintah sederhana saja, yakni dengan cara menaburkan tembakau pada permukaan media. j. Perawatan Media Selain memperhatikan dan memantau kualitas media (kelembaban) secara rutin, hal lain yang perlu dilakukan adalah perawatan media. Gambar 21 menunjukkan proses perawatan media budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus). Log jamur merupakan media yang siap pakai dan mengandung bahan organik yang tinggi. Sementara itu, peranan cacing tanah di alam sebagai dekomposer juga menjadikan kandungan bahan organik yang ada dalam log jamur



lama-lama akan habis. Oleh sebab itu media akan menjadi kehitam-



hitaman menyerupai tanah. Rata-rata penggantian media dilakukan dalam jangka waktu berkisar 5-6 bulan. Apabila dibiarkan tanpa dilakukan penggantian maka cacing tanah akan terhambat proses pertumbuhannya bahkan menurun



39



produktifitasnya karena mengalami kematian. Untuk itu, pergantian atau pembongkaran media akan dilakukan secara total apabila :  Dilakukannya proses panen total  Media berbau busuk, yang ditandai dengan banyaknya cacing tanah yang keluar dari media budidaya  Mortilitas yang tinggi  Ketinggian media sudah lebih dari 80 cm  Jika media terendam air karena hujan atau sebab lain. Hermawan (2014), berpendapat bahwa selain penggantian media, maka juga dilakukan proses pengadukan agar media menjadi gembur dan sirkulasi oksigen dalam media menjadi lancar. Pengadukan dilakukan setiap 3-4 hari sekali. Penyiraman media dilakukan saat pengadukan media tampak kering dengan jumlah air secukupnya agar media tidak terlalu basah. Media yang terlalu basah atau terlalu kering bisa menyebabkan cacing stress dan mati. Serta pengukuran suhu dan pH agar tumbuh kembang dapat berjalan secara optimal.



Gambar 21. Pembalikan media (Dokumen pribadi, 2014)



3.8 Hambatan dan Potensi Pengembangan Usaha 3.8.1 Permasalahan yang Dihadapi Hambatan atau permasalahan yang sering dihadapi pada saat budidaya cacing tanah di UPBAT Kepanjen adalah sebagai berikut :



40



 Suhu udara yang fluktuatif, sehingga menyebabkan proses tumbuh kembang yang tidak maksimal karena cacing mengalami stress.  Ketersediaan log jamur. Log jamur terkadang sulit di dapat karena jarangnya pemilik usaha budidaya jamur tiram di wilayah sekitar UPBAT Kepanjen.  Sulitnya mendapat pakan ampas tahu karena berebut dengan peternak sapi dan jauhnya lokasi pabrik tahu.  Pemasaran yang hanya terbuka pada satu jalur atau satu pengepul. Kendala-kendala ini dapat diatasi dengan cara mempersiapkan tahap awal dengan baik. Dalam artian, pelaku budidaya harus mempunyai contact person dari beberapa pembudidaya jamur tiram dalam rangka ketepatan dan ketepatan suplai log jamur. Juga dengan cara pemasaran yang lebih variatif berkenaan dengan kemajuan teknologi dan komunikasi.



3.8.2 Potensi Pengembangan Usaha Pengembangan dan peningkatan usaha budidaya cacing tanah (L. rubellus) masih memiliki peluang yang besar. Hal ini seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap produksi cacing tanah (L. rubellus) sebagai bahan baku dari berbagai jenis produk kebutuhan manusia. Peningkatan tersebut dapat dicapai jika ditunjang dengan fasilitas yang baik serta keterampilan pembudidaya dalam mendukung aspek-aspek budidaya.



3.9 Analisis Usaha Usaha apapun akan kehilangan daya tariknya apabila usaha tersebut tidak menjanjikan keuntungan yang besar. Untuk mengetahui besarnya keuntungan yang



akan



diperoleh



maka



diperlukan



analisis



usaha



yang



dapat



41



dipertanggungjawabkan. Secara umum, analisis usaha hanya dilihat dari sisi ekonomis saja. Dengan adanya analisis usaha dalam budidaya ini maka biaya-biaya yang tidak penting dapat dihindari, selain itu dapat juga diperkirakan seberapa besar modal yang diperlukan. Analisis usaha adalah perhitungan biaya usaha dan hasil yang diperoleh dari usaha tersebut. Tujuan disusunnya analisis usaha adalah untuk mengetahui berapa banyak modal yang perlu diinvestasikan dalam usaha dan berapa besar keuntungan yang akan diperoleh selanjutnya. Perhitungan analisis usaha dapat dilakukan dengan berbagai metode sesuai kebutuhan pembudidaya. Adapun perhitungan yang digunakan dalam analisis usaha pada laporan ini mencakup perhitungan tentang permodalan, biaya produksi, analisis keuntungan, R/C ratio, rentabilitas dan BEP (Break Event Point). 3.9.1 Analisis Jangka Pendek a. Analisis Rugi Laba Analisis rugi laba bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan atau kerugian dari usaha yang dikelola. Keuntungan diperoleh dari jumlah total penerimaan selama 1 siklus produksi dikurangi dengan total biaya produksi (Rahardi et al., 2005). Keuntungan = penerimaan - biaya operasional = Rp. 9.000.000,00 – Rp. 300.000,00 = Rp. 8.700.000,00 Budidaya cacing tanah (L. rubellus) menghasilkan keuntungan Rp. 8.700.000,00 selama 1 siklus atau 3 bulan (perhitungan dapat di lihat pada Lampiran 2). b. AnalisisBreak Event Point (BEP)



42



Menurut Suryanto (2008) menjelaskan bahwa analisisBreak Event Point (BEP) adalah keadaan dimana seluruh penerimaan (total revenues) secara persis hanya mampu menutup seluruh pengeluaran (total cost). Dengan kata lain pendapatan yang diperoleh sama dengan total biaya yang dikeluarkan. Keadaan ini menunjukkan bahwa usaha ini berada pada posisi tidak memperoleh keuntungan dan tidak mengalami kerugian. Pada usaha budidaya cacing tanah (L. rubellus) diperoleh nilai BEP unit sebesar 0,33kg. Artinya, produksi yang dihasilkan berada pada kondisi impas apabila produksi per siklusnya dapat dijual minimal 0,33 kg cacing tanah. Sedangkan nilai BEP atas dasar rupiah sebesar Rp.589.057,00 yang berarti bahwa usaha pembenihan ini impas apabila jumlah pendapatan dalam 1 siklus sebesar Rp. 589.057,00 (perhitungan selengkapnya dapat di lihat pada Lampiran 2). c. AnalisisRevenue Cost Ratio (R/C) Analisis R/C ratio merupakan alat analisis untuk melihat keuntungan relatif suatu usaha dalam satu tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Menurut Praptowo (2008), R/C rasio merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya yang digunakan untuk melakukan proses produksinya. Suatu usaha dikatakan layak apabila R/C lebih besar dari 1 (R/C > 1), impas apabila (R/C = 1) dan tidak layak apabila (R/C < 1). Hal ini menggambarkan semakin tinggi nilai R/C maka tingkat keuntungan suatu usaha akan semakin tinggi. Dalam kegiatan budidaya cacing tanah (L. rubellus) ini diketahui nilai R/C (perhitungan dapat di lihat pada Lampiran 2) adalah 2,8. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan produksi dapat dikatakan layak untuk dikembangkan karena nila R/C dapat melebihi 1. d. Analisis Rentabilitas



43



Menurut Riyanto (1984), rentabilitas merupakan suatu perusahaan menunjukkan perbandingan antar laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut. Besarnya nilai rentabilitas pada usaha budidaya cacing tanah (Lumbricus rubeluus) adalah 171%. Angka tersebut berarti bahwa dari Rp 100,00 yang diinvestasikan akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 171,00. Untuk lebih jelasnya, perhitungan rentabilitas dapat dilihat pada Lampiran 2. 3.9.2 Analisis Jangka Panjang (Payback Period) Payback Periode adalah suatu periode yang menunjukkan berapa lama modal yang ditanamkan dalam kegiatan tersebut dapat kembali (Niwanputri, 2007). Dari perhitungan PP (perhitungan dapat di lihat pada Lampiran 2) diketahui bahwa keseluruhan modal yang digunakan untuk budidaya cacing tanah (L. rubellus) dapat dikembalikan dalam jangka waktu 0, 09 tahun atau 1,16 bulan.



44



IV. KESIMPULAN DAN SARAN



4.1 Kesimpulan Dari Praktek Kerja Lapang (PKL) yang telah dilaksanakan di UPBAT Kepanjen, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :  Budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus) terdiri dari persiapan media, persiapan wadah, pemilihan bibit, penebaran bibit, pembesaran, pemberian pakan, pemeliharaan larva, pemanenan dan pemasaran.  Lama waktu pemeliharaan cacing tanah (Lumbricus rubellus)selama 1 siklus adalah 3 bulan untuk proses produksi awal dan selanjutnya 1 bulan.  Pemberian pakan dilakukan sebanyak sekali dalam sehari dengan FCR 1. Sedangkan untuk larva, pakan yang diberikan haruslah dijadikan bubur terlebih dahulu agar dapat dicerna dengan mudah oleh larva cacing tanah itu sendiri.  Padat tebar optimum untuk budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus)sistem kolam beton adalah sebanyak 2 kg per meter persegi dan 0,5 kg untuk budidaya sistem rak. Ketebalan media yang baik dalam proses budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus) berkisar antara 5-10 cm.  Survival rate (SR) cacing tanah sebesar 100%, jumlah produksi dapat mencapai 3 kali lipat jumlah tebar awal.  Harga beli bibit cacing tanah adalah sebesar Rp. 50.000 per kilogram serta harga jual cacing tanah adalah Rp. 30.000 per kilogram  Analisis usaha dari budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus)dilakukan dengan menghitung keuntungan, R/C ratio, BEP dan Payback periode. Dari kegiatan budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus) ini diperoleh keuntungan sebesar Rp. 8.700.00,00, R/C Ratio sebesar 2,8, BEP (unit) sebesar 0,33kg



45



dan BEP (rupiah) sebesar Rp. 589.057,00 dan Payback Period (PP) dalam jangka waktu 0,085 tahun atau 1,02 bulan serta nilai rentabilitas sebesar 171%. 4.2 Saran Berdasarkan hasil Praktek Kerja Lapang dapat disarankan agar budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus) dilakukan dengan baik dan benar agar para pembudidaya tidak mengalami kerugian. Selain itu, perlu juga dikembangkan budidaya cacing tanah spesies lain misalnya, Eisenia foetida, Pheretima asiatica, dan Eudrilus eugeniae agar semakin beragam jenis cacing tanah yang dibudidayakan.



46



DAFTAR PUSTAKA



Arikunto, S. 2002. Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktek. Rineka Cipta. Jakarta. 85 hlm. Arora, S. P. 1989. Pencernaan mikroba pada ruminansia. Gadjah Mada University Press: Jogyakarta. 39 hlm. Hadisoewignyo, Lannie dan Yohanes Rendy. 2013. Formulasi kapsul ekstrak Lumbricus rubellus dengan laktosa sebagai bahan pengisi dan PVP K-30 sebagai bahan pengikat. Jurnal Farmasi. 1 (1): 1-7. Herayani, Yanti. 2001. Pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah Lumbricus rubellus dalam media kotoran sapi yang mengandung tepung daun murbei Morus multicaulis. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. IPB. Bogor. Hermawan, Rudi. 2014. Usaha budidaya cacing Lumbricus multiguna dan prospek ekspor tinggi. Pustaka Baru Press. Yogyakarta. 176 hlm. Hoerunisa, Novia. 2013. Pengaruh pendekatan taktis terhadap hasil belajar permainan bola tangan dan implikasinya terhadap nilai-nilai kerjasama. Skripsi.Universitas Pendidikan Indonesia. Hasan, I. 2002. Pokok-pokok materi metodologi penelitian dan aplikasinya. Ghalia Indonesia. Jakarta. 260 hlm. Koswara, E., Salam, D., dan Ruzhendi, A. 2001. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Refika Aditama. Bandung. 348 hlm. Terjemahan dari Black, J.A.



dan Champion, D.J. 1999.Methods and issues in sosial research. Kristanto, Anang Hari. 2007. Penguasaan teknologi budidaya untuk menghasilkan benih ikan air tawar. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. 30 hlm. Kusumawati, P., A. Rosyid., dan A.M. Kohar. 2011. Upaya peningkatan kinerja usaha perikanan melalui peningkatan lingkungan usaha pada alat tangkap cantrang (boat seine) dan kebijakan pemerintah daerah di kabupaten rembang. J. Saintek Perikanan. 6 (1): 36-45. Mubarok, Ahmad dan Lili Zalizar. 2000. Budidaya cacing tanah sebagai usaha alternatif di masa krisis ekonomi. Karya Alternatif Mahasiswa. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. 7 hlm. Muchlisin, C. 2013. Membedah komposisi media tanam (baglog) jamur tiram.http://cincinjamurmurah.blogspot.com/p/membedah-komposisimedia-tanam-baglog_19.html. Diakses pada 24 Agustus 2014 pukul 08.00 WIB.



47



Natzir. 1983. Metode penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Niwanputri, G. S. 2007. Penggunaaan pohon dalam decision tree analysisuntuk pengambilan keputusan investasi dalam perencanaan bisnis. Diakses dari http://www.informatika.org pada tanggal 30 September 2014pukul 21.00 WIB. Nurmawati, S dan Anang, S. 2000. Studi perbandingan penggunaan pupuk kotoran sapi dengan pupuk kascing terhadap produksi tanaman selada (Lactuca Sativa var.crispa).IPB. Bogor. 47 hlm. Palungkun, R. 1999. Sukses beternak cacing tanah Lumbricus rubellus.PT. Penebar swadaya. Bogor. 124 hlm. Palungkun, R. 2010. Usaha ternak cacing tanah.Swadaya. Jakarta. 124 hlm. Paoletti, M. G. 1999. The role of earthworm for assessment of sustainability and as bioindicators.Journal of Agriculture, Ecosystems and Environment.74 (2): 137-155. Pechenik, J.A. 2000. Biology of The Invertebrates. Fourth edition.McGraw Hill. Companies Inc: Boston. 578p. Pelczar, M.J dan Chan E. C. S. 1998. Dasar-dasar mikrobiologi 2. Angka Penerbit UI-Press. Jakarta. 78 hlm. Praptowo, K.W. 2008. Analisis trend penjualan dan prospek usaha obatphyllanthus pada agroindustri obat tradisional tradimun kasus pada agroindustriobat tradisional tradimun kabupaten gresik. Diakses dari http://digilib.unej.ac.idpada tanggal 20September 2014. Pumphrey, Brian and Christian Julien. 1996. An introduction to fermentation. Fermentation Basics. Netherlands. 24 p. Rahardi, F, Regina K dan Nazaruddin. 2005. Agribisnis perikanan. Penebar Swadaya. 63 hlm. Riyanto, B. 1984. Dasar-dasar pembelanjaan perusahaan. Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada. Yogyakarta. 318 hlm. Sihombing, D. T. H. 2002. Satwa harapan I. pengantar ilmu dan teknologi budidaya. Wirausaha muda: Bogor. 254 hlm. Sugiri, N. 1984.Zoo avertebrata Vol 1. Pusat Antar Universitas. IPB. Bogor. 120 hlm.



48



Sugiri, N. 1988.Zoo avertebrata Vol 2. Pusat Antar Universitas. IPB. Bogor. 120 hlm. Suhardi. 1983. Dasar-dasar bercocok tanam. Kanisius: Yogyakarta. 217 hlm. Sukadi, M. Fatuchri. 2002. Peningkatan teknologi budidaya perikanan. Jurnal Iktiologi Indonesia.2 (2): 61-66. Suryabrata. 1991. Metodologi penelitian. CV. Rajawali. Jakarta. 96 hlm. Susilawati dan Budi H. 2010. Budidaya jamur tiram (Pleorotus ostreatus var florida) yang ramah lingkungan. Materi Pelatihan Agribisnis bagi KMPH. 9 hlm. Wahyudi. 2011. Panen cabai sepanjang tahun. PT. Agromedia Pustaka: Jakarta. 179 hlm.