Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pasien baru dengan hematuria mikroskopik asimtomatik I



Disingkirkan penyebab hematuria antara lain: menstruasi, olahraga yang belebihan , aktivitas seksual, infeksi virus, infeksi bakteri, trauma



+ Bila diternukan 1 atau lebih dari :



+



I



Hematuria mikroskopik + proteinuria** Eritrosit dismolfik , silinder eritrosit Peningkatan kreatinin serum dari normal



I



(-1



+



ada riwayat sebagai berikut : Merokok pekejaanberhubungan dengan bahan kimia (amin aromatik) riwayat gross hematuria Usia > 40 tahun



v



Evaluasi penyakit ginjal primer



gangguan pengosongan kandung kemih (iritatif) lnfeksi saluran kemih berulang



1 Gambar 1. Evaluasi pemeriksaan hematuria mikroskopik



lain misalnya menstruasi, adanya laserasi pada organ genitalia, sedangkan pada laki-laki apakah disirkumsisi atau tidak.



Vaskular Gangguan koagulasi Kelebihan obat anti koagulan Trombosis atau emboli arterial Malforrnasi arteri-vena Fistula arteri-vena Nutcracker syndrome Trombosis vena renalis Glomerular Nefropati IgA Alport sindrom Glomerulonefritisprimer dan sekunder lnterstisial lnterstisial nefritis alergi Nefropati analgesik Penyakit ginjal polikistik Pielonefritis akut Tuberkulosis Rejeksi ginjal alograf Uroepltellum Keganasan ginjal dan saluran kemih Latihan yang berlebihan Trauma Nekrosis papillaris Sistitisluretritislprostatitis(biasanya disebabkan infeksi) Penyakit parasit (misalnya skistosomiasis) Nefrolitiasisatau batu vesika urinaria Penyebab Lalnnya Hiperkalsiuria Hiperurikosuria Sickle cell diseaselpenyakit sel sabit



Bila pada urinalisis ditemukan eritrosit, leukosit dan silinder eritrosit, merupakan tanda sugestif penyakit ginjal akut atau penyakit ginjal kronik, perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut. Diagnosis banding hematuria persisten antara lain glomerulonefritis, nefritis tubulointerstisial atau kelainan urologi. Adanya silinder leukosit, leukosituria menandakan nefritis tubulointerstisial. Bila disertai hematllria juga merupakan variasi dari glomerulonefritis. Pada kelompok faktor risiko penyakit ginjal kronik harus dilakukan evaluasi pemeriksaan sedimen urin untuk deteksi dini. Pemeriksaan sitologi urin dilakukan pada risiko tinggi untuk mendeteksi karsinoma sel transisional, kemudian dilanjutkan pemeriksaan sistoskopi. Kelainan urologi yang lain seperti karsinoma sel transisional pada ginjal, sistem pelviokaliks, ureter dapat dideteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi, IVU, CT scan atau MRI.



Apablla dltemukan protelnuria yang bermakna, hematuria, silinder erltroslt, insufisiensl ginjal atau dltemukan sel darah merah yang predominan adalah bentuk dlsmorflk, segera dilakukan evaluasi kelainan parenkim g i n j a l l penyakit ginjal primer. Erltrosit



200-1.000 -< 200 mglg



hereditary nepk Hereditary nept small vessels (r Cystic kidney d neoplasms or u other than kidn~ Tubulointerstiti~ Urinary tract les disease May be present disease, but mc tubular necrosi: kidney disease failure)



200-1.000 mglg



Non-inflammatc disease, non-in tubulonterstitial affecting mediu



Modified with permissions (KDOQI CKD guideline, 2002) Detection of red blood cell casts requires careful preparation and thorough and repeated examination of sedil obtained urine specimens. Even under ideal conditions, red blood cell casts may not always be detected in p proliferative glomerulonephritis. ** Oval fat bodies, fatty casts, free fat + Cut-off values are not precise Abbreviations and symbols: RBC, red blood cells. WBC, white blood cells: +, abnormality present: -, abnorms abnormality may or may not be present *



I



+



paslen dengan hamaturia aslmptomatlk adanya tanda-tanda sugestif penyakit ginjal plmer 1



+ risiko linggi I I Pasien dengan



I Pasisn dengan risiko rendah]



I



I



+



pemeribaan IVU (urografi intravenous ) I



I fi



I



I



I Pemeriksaanlengkap IVU, sitologi j I



AA



Sitologi



Posilif



Ne atif



urinalisis,tekanan darah, sitologi ulang pada 6. 12, 24. 36 bulan



Evaluasi urologl



L Gambar 2. Evaluasi urologi pada hematuria asimtomatik mikroskopik



evaluasi



Coe FL. Proteinuria, hematuri, azotemia and oliguria. HarrisonMs principles of internal medicine. 10th edition. New York: McGraw Hill; 1983. p. 211-8. Fegazzi GB. Urinalysis. In: Comprehensive clinical nephrology. 2nd edition.Mosby.p.35-40. Grossfeld GD. Asymptomatic microscopic hematuri in adult. Am Fam Physi. 2001. KlDOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease. evaluation, classification, and stratification. Part 5. Evaluation of laboratory measurement for clinical assement of kidney disease, 2002. Silkensen JR, Kasiske BL. Laboratory assessment of renal disease: clearance, urinalysis, and renal biopsy. The kidney. 2nd edition.2004.p. 1107- 12. Sukandar E. Masalah umum glomemlopati. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 2. 3* edition. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 325.



PROTEINURIA Lucky Aziza Bawazier



PENDAHULUAN Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mg/m2. Dalam keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional. Ada kepustakaan yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap fisiologis jika jumlahnya kurang dari 150 mglhari pada dewasa (pada anak-anak 140 mg/m2),tetapi ada juga yang menuliskan, jumlahnya tidak lebih 200 mghari. Sejumlah protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin, baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal dan mungkin suatu bukti adanya penyakit ginjal yang serius. Walaupun penyakit ginjal yang penting jarang tanpa adanya proteinuria, kebanyakan kasus proteinuria biasanya bersifat sementara, tidak penting atau merupakan penyakit ginjal yang tidak progresif. Lagipula protein dikeluarkan urin dalamjumlah yang bemariasi sedikit dan secara langsung bertanggung jawab untuk metabolisme yang serius. Adanya protein di dalarn urin sangadah penting, dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan penyebablpenyakit dasarnya. Adapun prevalensi proteinuria yang ditemukan saat pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat sekitar 33%. Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi kelainan ginjal. Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya d i atas 200 mglhari pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan proteinuria persisten jika protein urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya hanya sedikit di atas nilai normal. Dikatakan proteinuria masif bila terdapat protein di urin melebihi 3500 mghari dan biasanya mayoritas terdiri atas albumin. Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah protein yang cukup besar atau beberapa gram protein



plasma yang melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang muncul di dalam urin. Ini disebabkan 2 faktor utama yang berperan yaitu: 1. Filtrasi glomerulus 2. Reabsorbsi protein tubulus



PATOFISIOLOGI PROTEINURIA Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara dari ke-4 jalan di bawah ini: 1. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan filtrasi dari protein plasma normal terutama albumin. 2. Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal difiltrasi. 3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low Molecular Weight Protein (LMWP) dalam jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus. 4. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel clan sekresi IgA (Irnunoglobulin A) dalam respons untuk inflamasi. Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat molekul besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus. Jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran protein plasma ke dalarn urin (proteinuria glomerulus). Protein yang lebih kecil (lo0 kDal) sementara foot processes dari epitellpodosit akan memungkinkan lewatnya air dan zat terlarut kecil untuk transpor melalui saluran yang sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya akan glutamat, aspartat, dan asam silat yang krmuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan negatif akan menghalangi transpor molekul anion seperti albumin. Beberapa penyakit glomerulus seperti penyakit minimal change menyebabkan bersatunya foot processes glomerulus sehingga terjadi kehilangan albumin selektif. Fusi foot processes meningkatkan tekanan sepanjang membran basalis kapiler yang berakibat terbentuknya pori yang lebih besar sehingga terjadi proteinuria non selektif atau proteinuria bennakna. Mekanisme lain dari timbulnya proteinuria ketika produksi berlebihan dari proteinuria abnormal yang melebihi kapasitas reabsorsi tubulus. Ini biasanya sering dijumpai pada diskrasia sel plasma (mieloma multipel dan limfoma) yang dihubungkan dengan produksi monoklonal imunoglobulin rantai pendek. Diskrasia sel plasma (mieloma multipel) dapat dihubungkan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendek di urin, yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstik. Rantai pendek ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan direabsorbsi kapasitasnya pada tubulus proksimal. Bila ekskresi protein urin total melebihi 3,5 gram sehari, sering dihubungkan dengan hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (sindrom nefrotik). Ekskresi yang melebihi 3,5 gram dapat timbul tanpa gambaran atau gejala lain dari sindrom nefrotik pada beberapa penyakit ginjal yang lain.



PROTElNURlA FlSlOLOGlS Proteinuria sebenarnya tidaklah selalu menunjukkan kelainanlpenyakitginjal. Beberapa keadaan fisiologis pada individu sehat dapat menyebabkan proteinuria. Pada keadaan fisiologis sering ditemukan proteinuria ringan yang jumlahnya kurang dari 200 mglhari dan bersifat sementara. Misalnya: pada keadaan demam tinggi, gagal jantung, latihan fisik yang kuat terutama lari maraton dapat mencapai lebih dari 1 gramlhari), pasien dalam keadaan transfusi darahlplasma atau pasien yang kedinginan, pasien hematuria yang ditemukan proteinuria masif, yang sebabnya bukan karena kebocoran protein dari glomerulus tetapi karena banyaknya protein dari eritrosit yang pecah dalam urin akibat hematuri tersebut (positif palsu proteinuria masif). Proteinuria fisiologis dapat pula terjadi pada masa remaja dan juga pada pasien yang lordotik (ortostatik proteinuria).



PROTEINURIA PATOLOGIS Sebaliknya, tidak semua penyakit ginjal menunjukkan proteinuria, misalnya pada penyakit ginjal polikistik, penyakit ginjal obstruksi, penyakit ginjal akibat obat-obat analgesik dan kelainan kongenital kista dan sebagainya, sering tidak ditemukan proteinuria.Walaupun demikian, proteinuria adalah manifestasi besar penyakit ginjal dan merupakan indikator perburukan fungsi ginjal. Baik pada penyakit ginjal diabetes maupun penyakit ginjal non diabetes, sejak dahulu protenuria dianggap sebagai faktor prognostik yang bermakna dan paling akurat. Risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular juga meningkat secara bermakna dengan adanya proteinuria. Di dalam kepustakaan, banyak definisi diberikan untuk menyatakan berapa jumlah protein sebenarnya dalam urin yang dianggap patologis. Ada kepustakaan yang menyatakan, protein di dalam urin tidak boleh melebihi 150 mgl24jam, tetapi ada pula yang menyebutkan protein urin di bawah 200 mglhari. Proteinuria yang berat, sering kali disebut masif, terutama pada keadaan nefrotik, yaitu protein di dalarn urin yang mengandung lebih dari 3 gram124 jam pada dewasa atau 40 mglm2/jampada anak-anak, biasanya berhubungan secara bermakna dengan lesilkebocoran glomerulus. Sering pula dikatakan bila protein di dalam urin melebihi 3,5 gram124jam. Penyebab proteinuria masif sangat banyak, yang pasti keadaan diabetes melitus yang cukup lama dengan retinopati, dan penyakit-glomerulus. Terdapat 3 jenis proteinuria patologis: 1). Proteinuria glomerulus, misalnya: mikroalbuminuria, proteinuria klinis; 2). Proteinuria tubular; 3). Overj-low proteinuria.



PROTElNURlA GLOMERULUS Bentuk proteinuria ini tampak pada hampir semua penyakit ginjal di mana albumin adalah jenis protein yang paling dominan (60-90%) pada urin, sedangkan sisanya protein dengan berat molekul rendah ditemukan hanya sejumlah kecil saja. Dua faktor utama yang menyebabkan filtrasi glomerulus protein plasma meningkat: 1). Ketika barier filtrasi diubah oleh penyakit yang mempengaruhi glomerulus. Protein plasma, terutama albumin, dapat melalui glomerulus. Pada penyakit glomerulus dikenal penyakit perubahan minimal, albuminuria disebabkan kegagalan selularitas yang berubah. Pada penyakit ginjal yang lain sebagaimana GN proliferatif dan nefropati membranosa, terjadi defek pada ukuran; 2). Faktor-faktor hemodinamik seperti peningkatan tekanan kapiler glomeruluslfraksi filtrasi mungkin juga menyebabkan proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang meningkat tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik



dinding kapiler glomerulus. Mekanisme ini mungkin terdapat pada proteinuria ringan, transien yang kadangkadang terlihat pada pasien hipertensi dan gagal jantung kongestif. Pemeriksaan dikntukan dengan pemeriksaan semi kuantitatif misalnya: dengan uji Esbach dan Biuret. Proteinuria klinis dapat ditemukan > 1glhari.



PROTEINURIA TUBULAR Jenis proteinuria ini mempunyai berat molekul yang rendah antara 100-150 mg perhari, terdiri atas P-2 mikroglobulin dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit yang biasanya menimbulkan proteinuria tubular adalah: renal tubular acidosis (RTA), sarkoidosis, sindrom Fankoni, pielonefritis kronis, dan akibat cangkok ginjal.



OVERFLOW PROTEINURIA Diskrasia sel plasma (pada mieloma multipel ) berhubungan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendeklprotein berat molekul rendah (kurang dari 40000 dalton) berupa Light Chain Imunoglobulin, yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstiklyang umumnya mendeteksi albuminlpemeriksaan rutin biasa, tetapi harus pemeriksaan khusus. Protein jenis ini disebut protein Bence Jones. Penyakit lain yang sering menimbulkan protein Bence Jones adalah amiloidosis dan makroglobulinemia. Protein berat molekul rendahlrantai ringan ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan kemampuan reabsorbsi tubulus proksimal. Presipitat asam sulfosalisilat tidaklah terdeteksi dengan dipstik, hanya memperkirakan rantai terang (protein Bence Jones) dan rantai pendek yang secara tipikal dalam bentuk presipitat, karena protein Bence Jones mengendap pada suhu 45" dan larut kembali pada suhu 95- 100". Gagal ginjal dari kelainan ini timbul melalui berbagai mekanisme obstruksi tubulus (nefropati silinder) dan deposit rantai pendek.



Pada keadaan normal albumin urin tidak melebihi 30 mgl hari. Bila albumin di urin 30-300 mglhari atau 30-350 rngl hari disebut mikroalbuminuria. Biasanya terdapat pada pasien DM dan hipertensi esensial dan beberapa penyakit glomerulonefritis (misal, glomerulonefritis prolqeratif mesangial difus). Mikroalbuminuria merupakan marker (pertanda) untuk proteinuria klinis yang disertai penurunan faal ginjal LFG (laju filtrasi glomerulus) dan penyakit kardiovaskular sistemik. Albuminuria tidak hanya pertanda risiko penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal, tetapi



juga berguna sebagai target keberhasilan pengobatan. Monitor albuminuria sebaiknya dilakukan dalam praktek sehari-hari pada pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular dan ginjal. Albumin dapat menjadi target untuk memperoleh proteksilperlindungan kardiovaskular dan diharapkan pedomannya dibuat untuk membantu dokter dalam memutuskan bagaimana meilgukur albumin urin, berapa angka normalnya, kadar abnormalnya, dan berapa kadar terendah yang hams dicapaj. Peningkatan ekskresi albumin urin dapat menjadi prediktor kerusakan fungsi ginjal pada populasi umum. Albuminuria dapat dipakai sebagai "alat yang berharga" untuk menentukan risiko perkembangan lebih lanjut gagal ginjal, tanpa dipe~igaruhifaktor-faktor risiko lain kardiovaskular. Peranan albuminuria pada diagnosis awal dan pencegahan penyakit ginjal dan kardiovaskular sangat penting ditinjau dari sudut demografi dan epidemiologi di negara sedang berkembang. Pada pasien diabetes melitus tipe-I dan 11, kontrol ketat gula darah, tekanan darah dan mikroalbuminuria sangat penting. Hipotesis mengapa mikroalbuminuria dihubungkan dengan risiko penyakit kardiovaskular adalah karena disfungsi endotel yang luas. Belum jelas apakah mikroalbuminuria secara spesifik berhubungan dengan kegagalan sintesis nitrit oksid pada individu dengan atau tanpa diabetes melitus tipe-11. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan peranan kegagalan sintesis nitrit oksid pada sel endotel yang berhubungan antara mikroalbuminuria dengan risiko penyakit kardiovaskular.



PROTEINURIA TERlSOLASl Proteinuria terisolasi adalah sejumlah protein yang ditemukan dalam urin tanpa gejala pada pasien sehat yang tidak mengalami gangguan fungsi ginjal atau penyakit sistemik. Proteinuria ini hampir selalu ditemukan secara kebetulan dapat menetaplpersisten, dapat pula hanya sementara, yang mungkin saja timbul karena posisi lordotik tubuh pasien. Biasanya sedimen urin normal. Dengan pemeriksaan pencitraan ginjal tidak ditemukan gangguan abnormal ginjal atau saluran kemih dan tidak ada riwayat gangguan ginjal sebelumnya. Biasanya total ekskresi protein urin kurang dari 2 glhari. Data insidens dan prevalensi terisolasi isolated proteinuria ini pada grup usia berapa dan populasi yang mana, belum ada.Yang jelas pada berbagai populasi prevalensinya bervariasi antara 0,610,7%. Proteinul-ia terisolasi dibagi dalam 2 kategori: 1). Jinak, termasuk yang fungsional, idiopatik, transienltidak menetap, ortostatik, dan intermiten; 2). Yang lebih serius lagi adalah yang mungkin tidak ortostatik dan timbul secara persisten.



Proteinuria Fungsional Ini adalah bentuk umum proteinuria yang sering terlihat pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena berbagai penyakit. Biasanya berhubungan dengan demam tinggi, latihan sternosus, terpapar dengan dinginlkedinginan, stres emosi, gagal jantung kongestif, sindrom obstruksi sleep apnea, dan penyakit akut lainnya. Sebagai contoh: ekskresi protein meningkat 23 kali setelah latihan sternosus tetapi hilang kembali setelah istirahat. Sebenarnya, kunci keadaan ini proteinuria tidak tampak dengan segera. Proteinuria tersebut adalah jenisltipe glomerulus yang diyakini disebabkan oleh perubahan hemodinamik ginjal yang meningkatkan filtrasi glomerulus protein plasma. Penyakit ginjal yang progresif tidak timbul pada pasien ini. Proteinuria Transien ldiopatik Merupakan kategori proteinuria yang umum pada anakanak dan dewasa muda, yang ditandai oleh proteinuria yang timbul selama pemeriksaan urin rutin orang sehat tetapi hilang kembali setelah pemeriksaan urin dilakukan kembali. Pasien tidak mempunyai gejala, proteinuria selalu ditemukan secara insidentil pada penapisan urin rutin, atau selama pemeriksaan kesehatan terhadap pekerja dan pemeriksaan rutin dari asuransi yang biasanya merupakan fenomena fisiologis pada orang muda. Sebenamya, jika contoh urin diperiksa cukup sering, banyak orang sehat muda kadang-kadang akan menimbulkan hasil proteinuria kualitatif positif. Proteinuria tidak dihubungkan dengan keadaan yang buruk sehingga tidak diperlukan evaluasi lebih lanjut. Proteinuria Intermiten Terdapat pada lebih dari separuh contoh urin pasien yang tidak mempunyai bukti penyebab proteinuria. Berbagai studi menunjukkan variasi luas dari bentuk abnormalitas ginjal yang berhubungan dengan keadaan ini. Pada beberapa kasus dengan berbagai lesi minor pada glomeruluslinterstitium, tidak ditemukan kelainan pada biopsi ginjal. Prognosis pada kebanyakan pasien adaiah baik dan proteinuria kadang-kadang menghilang setelah beberapa tahun. Kadang-kadang, walaupun jarang, terdapat insufisiensi ginjal progresif dan risiko untuk gagal ginjal terminal tidak lebih besar daripada populasi umum. Keadaan ini biasany a tidak berbahay a pada pasien lebih muda dari 30 tahun, sedangkan pada pasien yang lebih tua, lebih jarang, biasanya harus dimonitor tekanan darahnya, gambaran urinalisis, dan fungsi ginjalnya.



Proteinuria Ortostatik (Postural) Pada semua pasien dengan ekskresi protein masif, proteinuria meningkat pada posisi tegak dibandingkan posisi berbaring. Perubahan ortostatik pada ekskresi protein tampaknya tidak mempunyai kepentingan diagnostik dan prognostik Dengan perkataan lain, pertimbangan prognostik yang bermakna dapat dilakukan pada situasi proteinuria yang ditemukan hanya ketika pasien dengan posisi tegak dan hilang pada waktu pasien berbaring. Ini merujuk pada posisi tegaklortostatik proteinuria. Ekskresi protein per hari harnpir selalu di bawah 2 gram (walaupun lebih dari 2 gram kadang-kadang dilaporkan). Proteinuria ortostatik sering pada usia dewasa muda, dengan prevalensi secara umum 2-5%, jarang terdapat pada usia di atas usia 30 tahun. Walaupun dapat timbul selamafase penyembuhan dari berbagai penyakit glomerulus, kurang lebih 90% dewasa muda dengan proteinuria ortostatik menunjukkan kondisi yang baik. Pada 80% kasus, kondisi transien disebut proteinuria ortostatik transien. Hasil biopsi pada pasien ini menunjukkan perubahan lesi minimal glomerulus dan tidak adanya deposit imunoglobulin. Kondisi ini mempunyai prognosis sangat bagus sebagai proteinuria transien non ortostatik dan tekanan darah yang masih normal. Pada 20% pasien, proteinuria ortostatik dikatakan menetap dan berproduksi kembali, akan tetapi follow up studi lebih dari 20 tahun menunjukkan proteinuria hilang secara perlahan-lahan pada kebanyakan kasus. Kurang lebih 15%kasus, hilang selama 5 tahun, pada 50% kasus hilang 10 tahun dan lebih dari 80% hilang dalam 20 tahun. Walaupun proteinuria menetap secara persisten untuk 20 tahun, insufisiensi ginjal tidak dapat diobservasi dan tekanan darah tidak ditemukan lebih tinggi daripada populasi mum. Studi kecil melaporkan tidak adanya bukti dari insufisiensi ginjal atau proteinuria 40 tahun setelah diagnosis dari proteinuria ortostatik yang pertama dibuat. Evaluasi secara rinci tidak mempunyai bukti nyata ditemukannya penyakit ginjal dan biopsi ginjal menunjukkan hasil histologi yang normal, penebalan dinding kapiler yang minimal sarnpai dengan moderat atau hiperselular mesangial fokal. Hasil mikroskop elekwon menunjukkan tingkat perubahan segmental dan fokal dengan matriks mesangial yang meningkat dan penggabungan foot process dan pewamaan imunodifusi untuk komplemen dan imunoglobulin memberikan hasil yang bervariasi. Patofisiologi proteinuria ortostatik tidaMah diketahui. Diduga bahwa pengumpulan darah pada lengan dapat menyebabkan perubahan hemodinamik glomerulus yang mempengaruhi filtrasi protein. Walaupun biasanya prognosis proteinuria ortostatik baik, persisten (non ortostatik) proteinuria berkembang pada segelintir orang. Kemaknaannya tidaklah dekat dan mungkin tidaklah penting. Namun, bila proteinuria masih menetap, maka pada



pasien secara teratur (tiap 1-2 tahun), dilakukan monitor tekanan darah dan pemeriksaan urin. Jika proteinuria berubah ke bentuk yang persisten, evaluasi ginjal sangat diperlukan dan biopsi harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit ginjal serius. PROTElNURlA TERlSOLASl YANG MENETAPI PERSISTEN Anamnesis secara lengkap (termasuk riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga) dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyakit ginjaypenyalut sistemik yang menjadi penyebabnya. a Jika ditemukan tanda-tanddgejala, lakukan pemeriksaan darah, pencitraan, dan atau biopsi ginjal untuk mencari kausa. b Jika tidak ditemukan bukti, ulangi tes kualitatif untuk proteinuria dudtiga kali, 1. Jika tidak ada proteinuria dalam spesimen urin berarti kondisi ini hanya transien atau fungsional. Nilai kembali dan tidak perlu melakukan tes ulang . 2. Jika proteinuria ditemukan tiap saat, periksa Blood Urea Nitrogen (BUN),heatinin dan klirens kreatinin, ukw ekskresi protein urin 24jam, USG ginjal dan tes protein ortostatik/postural. Jika fungsi ginjal I hasil USG tidak normal, kembali ke Ia. Jika fungsi ginjal dan hasil USG normal dan proteinuria adalah tipe postural, tidak diperlukan tes berikutnya. Follow up pasien tiap 1-2 tahun, kecuali: a. Proteinuria menjadi persisten: ikuti pedoman Ipenuntun proteinuria (NB) b. Proteinuria membaik atau menjadi intermiten: ikuti follow up berikutnya. Jika fungsi ginjal dan USG normal dan proteinuria non postural, ulang pemeriksaan protein urin 24 jam 2-3x untuk menyingkirkan proteinuria intenniten. a. Jika proteinuria intenniten. Pasien dewasa muda umur kurang dari 30 tahun, hams di-follow up tiap 1-2 tahun dan pasien dewasa yang berusia lebih tua (>30 tahun) di-follow up tiap 6 bulan. b. Jika proteinuria persisten, evaluasi lebih lanjut tergantung pada tingkat proteinuria. 1. Jika proteinuria 45 tahun, pemeriksaan elektroforesis urin diperlukan untuk menyingkirkan multipel rnieloma. Jika semua hasil negatif, periksa ulang pasien tiap 6 bulan. 2. Jika proteinuria lebih dari 3 gram/24jam, lanjutkan ke-I A.



Cara Mengukur Protein di Dalam Urin Metode yang dipakai untuk mengukur proteinuria saat ini sangat bervariasi dan bermakna. Metode dipstik mendeteksi sebagian besar albumin dan memberikan hasil positif palsu bila pH >7.0 dan bila urin sangat pekat atau terkontaminasi darah. Urin yang sangat encer menutupi proteinuria pada pemeriksaan dipstik. Jika proteinuria yang tidak mengandung albumin dalam jumlah cukup banyak akan menjadi negatif palsu. Ini terutama sangat penting untuk menentukan protein Bence Jones pada urin pasien dengan multipel mieloma. Tes untuk mengukur konsentrasi urin total secara benar seperti pada presipitasi dengan asam sulfosalisilat atau asam triklorasetat. Sekarang ini, dipstik yang sangat sensitif tersedia di pasaran dengan kemampuan mengukur mikroalbuminuria (30-300 mgl hari) dan merupakan petanda awal dari penyakit glomerulus yang terlihat untuk memprediksi jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini.



Proteinuria (Deteksl dengan dipstick)



dan mikroskopis urin



Bukti penyaklt ginjallsistemik



TlDAK ADA



Fungsi ginjal dan USG: Normal



Fungsi ginjal dan USG: abnormal



Prote~nuna ortostatiklpostural



Protelnuna



I



I



I



Test lain (-) F o l l o w u tiap ~ 1-2 thnl



I



U l a n g urin kwantitatif2-3x



Gambar 1. Cara pemeriksaan proteinuria



1



Ekskresi protein urin 24 jam Atau rasio proteinlkreatinin urin pagi (mglg)



30-300 mghari atau 30-350 mglg



>3500 mglhari atau > 3500 mglg



300-3500 mglg



Keteranaan aambar:



/



Mikroalbuminuria



-'Awal diabetes melltus Hipertensi essensial - Stagingltingkat awal olomemlonefritis



-



(Terutama bila disertal silinder eritmsit atau



Silinder eritrosit I sel-sel darah merah oada urinalisis



Pendekatan pasien dengan proteinuria. Perneriksaan proteinuria sering diawali dengan pemeriksaan dipstik yang positif pada perneriksaan urinalisis rutin. Dipstik konvensional mendeteksi rnayoritas albumin dan tidak dapat mendeteksi kadar albumin urin antara 30-300 mgthari.



hematuria



kelainan dibawah ini



-Amiloidosis m:



- Penyakit !esi minimal - FSGS (Fokal Segmental - Proteinuria postural - Gagal jantung kongestif - Glomerulosklerosis) Glomerulonefritis membranosa - Demam - MPGN (Membranoproliferativ - Proteinuria intermiten



Glomerulonefritis)



I



/\



Horsfall I 1 - p mikrobulin 1



~ , 7 A q * l (temtamaalbumin) lrnenaaambarkan berberbaaa~sebab - Penyaki lesi kmtk-protein ~i~erte&i 'minimal plasma) - Gagal ginjal kronik - FSGS I- Diabetes I I



1I



I



I



I1-



I



I



rantai pendek (Ka t y A )



(



'



I



I



Pemeriksaan lebih pasti dari proteinuria sebaiknya memeriksa protein urin 24 jam atau rasio protein pagitkreatinin (mglg). Bentuk proteinuria pada elektroforesis protein urin dapat diklasifikasikan sebagai bagia'n dari glomerulus, tubular, atau abnormal tergantung asal protein urin. Protein glomerulus disebabkan oleh permeabilitas glomerulus yang abnormal. Proteinuria tubular seperti Tamm-Horsfall secara normal dihasilkan tubulus ginjal. Protein sirkulasi yang abnormal seperti rantai ringantpendek kappallambda telah siap disaring karena ukurannya yang kecil. FSGS



: Fokal Segmental ~lomerulosklerosis



MPGN



: Membrano proliferatif Glomerulonefritis



Gambar 2. Skema evaluasi proleinuria



Anavekar NS, Pfeffer MA. Cardiovascular risk in chronic kidney disease. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66 (suppl. 92):Sll-S5. Becker GJ. Which albumin should we measure? Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66 (supp1.92):S16-S7. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, et al. Harrison's principles of internal medicine.15th edition. New York: The ~c~rab- ill; 2001; p. 266-8. Brenner BM. The kidney. 5th edition. Boston: WB. Saunders Co; 1996, 1981. 2003, 1864. De Zeeuw D. Albuminuria, not only a cardiovascular/renal risk marker, put also a target for treatment? Kidney Int. 2004:66:suppl 92:SZ-S6. Hoy W, McDonald SP. Albuminuria: marker or target in indigenous populations. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S25-S3 1. ~a'cobsonHR, Striker GE, Klahr Saulo. The principles and practice of nephrology. USA: Mosby; 1995. p. 114-1056. Johnson RJ, Feehally J.Comprehensive clinical nephrology., London: Mosby; 2000. Mitch WE, Shahinfar S, Dickson TZ. Detecting and managing patients with type 2 diabetic kidney disease: proteinuria and cardiovascular disease. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S97-S8.



Nijad KZ, Eddy AA, Glassock. Which is proteinuria an oniinous biomarker of progressive kidney disease? Kidney Int. 2004:66 (supp1.92): S76-S89. Remuzzi G, Chiurchiu C, Ruggenenti P. Proteinuria predicting outcome in renal disease: non diabetic nephropathies (REIN). . Kidney Int. 2004:66 (supp1.92):S90-S6. Rotter RC, Naicker S, Katz IV. Demographic and epidemiologic transition in the developing world: role of albuminuria in the early diagnosis and prevention of renal and cardiovascular disease. Kidney Int. 2004: 66(supp1.92):S32-S7. Russo LM, Comper WD, Osicka TM. Mechanism of albuminuria associated with cardiovascular disease and kidney disease. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int.



2004:66:(suppl.92):S67-S78. Sukandar E. Nefrologi klinik. 2nd ed. Bandung: Penerbit ITB; 1997. Verhave JC, Gansevoort RT. An elevated urinary albumin excretion predicts de ilovo development of renal function impairment in the general population. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92):S18S21. Warnock DG. Inclusion of albumin as a target in therapy guidelines: guidelines for chronic kidney disease. Kidney Int. 2004:66:(supp1.92): S 12143.



SINDROM POLIURIA Shofa Chasani



Poliuria adalah suatu keadaan di mana volume air kemih dalam 24 jam meningkat melebihi batas normal disebabkan gangguan fungsi ginjal dalam mengkonsentrasi air kemih. Definisi lain adalah volume air kemih lebih dari 3 liter1 hari, biasanya menunjukkan gejala klinik bila jumlah air kemih antara 4-6 literlhari. Poliuri biasanya disertai dengan gejala lain akibat kegagalan ginjal dalam memekatkan air kemih antara lain rasa haus, dehidrasi dan lain-lain. Menurut Brenner poliuri dibagi 2 rnacam: 1. Poliuria non fisiologis: pada orang dewasa, poliuri didapatkan bila air kemih lebih dari 3 literhari. 2. Poliuria fisiologis: volume air kemih dibandingkan dengan volume air kemih yang diharapkan karena rangsangan yang sama, dikatakan poliuri bila volume air kemih lebih besar dari volum yang diharapkan. Poliuri terdapat pada berbagai keadaan, meskipun diabetes insipidus mempakan penyebab yang sering terjadi. Adapun penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah diabetes melitus yang tidak terkontrol, polidipsi psikosis, hiperkalsemia, hipokalemi dll.



Tujuan 1. Mampu menerangkan definisi poliuria 2. Mampu menerangkan tentang regulasi cairan tubuh oleh ginjal dan pengaruh hormon ADH terhadap tubulus ginjal. 3. Mampu menerangkan mekanisme terjadinya poliuri baik karena faktor osmotik rnaupun faktor hormonal. 4. Mampu menerangkan penyebab poliuria, gambaran klinik serta diagnosis banding dan gejala ikutannya. 5. Mampu menerangkan mekanisme penanganan poliuria.



Kehilangan air tubuh dapat melalui. berbagai jalan yaitu melalui paru (respirasi), melalui kulit (perspirasi), melalui gastrointestinal (feses) dan melalui ginjal. Ginjal merupakan jalan yang terpenting, regulasi pengeluaran air diatur dengan mempertahankan osrnolalitas cairan tubuh. Osrnolalitas serum normal dipertahankan pada rentang yang sempit yaitu 285-295 mOsm /kg. Rentang osmolalitas urin antara 100-200 mOsrn/kg, tergantung adanya kebutuhan mempertahankan atau mengeluarkan air bebas. Bila kemampuan ginjal untuk mernekatkan air kemih terganggu maka terjadi peningkatan jumlah air kemih yang bisa disebabkan oleh beberapa keadaan, antara lain: 1. Ketidak mampuan sekresi ADH oleh hipofisis posterior 2. Kerusakan mekanisme arus balik. Hiuerosrnotik intestisium medula dibutuhkan untuk memekatkan air kemih yang maksirnal, tidak peduli berapa banyak ADH yang tersedia dalam tubuh; 3. Ketidak rnarnpuan tubulus distal dan tubulus koligentes untuk merespons ADH. Ada dua reseptor ADH yaitu vasopressin 1 (VI) memiliki aktivitas vasokontriksi dan prostaglandin dan vasopressin 2 (V2) merniliki aktivitas antidiuretik, vasodilator dan mediator faktor koagulasi. Bila reseptor V2 yang aktif rnaka akan terjadi peningkatan permeabilitas terhadap air sehingga air kemih berkurang, sebaliknya bila respetor VI yang aktif maka permeabilitas turun dan akibatnya jumlah air kemih meningkat. Mekanisme urnpan balik osrnoreseptor ADH dapat dilihat pada Gambar 1.



SINDROM POLIURIA



-



DIABETES INSIPIDUS



eDefisit air



TSekresi ADH oleh hipofisis Posterior TADH plasma



f Perrneabilitas H20 Tubulus distal dan tubulus koligenitas



f Reabsorbsi H20



Garnbar 1. Mekanisrne urnpan balik osmoreseptor ADH



A



A



t



Cortex



Diabetes insipidus merupakan penyakit yang jarang terjadi, kurang lebih 3 per 100 000 orang. Pasien tampil dengan poliuri yang nyata dan polidipsi dengan osmolalitas serum yang tinggi (lebih dari 295) dan tidak sesuai dengan osmolalitas air kemih yang rendah. Diabetes insipidus disebabkan adanya insufisiensi atau tidak adanya hormon anti diuretik (ADHIAVP) atau tidak pekanya tubulus ginjal terhadap rangsangan AVP. Biasanya pasien tidak sanggup untuk mempertahankan air bila mendapatkan tambahan cairan. Kekurangan AVP (Arginin Vasopressin) atau efek AVP dihubungkan dengan ketidak adekuatan mengkonsentrasikan urin akan meningkatkan pengeluaran urin (Poliuria) dan biasanya akan disertai rasa haus (polidipsi) sebagai kompensai bila mekanisme haus masih baik. Bik mekanisme haus mengalami gangguan maka akan terjadi kenaikan osmolalitas dengan kenaikan natrium plasma (hipematremia). Sehingga kekurangan AVP atau disebut diabetes insipidus akan mempunyai sindroma klinik seperti kenaikan pengeluaran urin, yang hipotonik d m hal ini berbeda dengan diabetes mellitus yang bersifat hipertonik. Beberapa perbedaan patofisiologi terjadinya poliuri hipotonik ini menjadikan poliuria hipotonik dibagi menjadi: 1. CDI (diabetes insipidus sentral) 2 Disfungsi osmoreseptor (sebagai variasi dari CDI) 3. Gestasional diabetes insipidus 4. NDI (diabetes insipidus nefrogenik) 5. Polidipsi primer (diabetes insipidus dipsogeniW psychgenic polydipsi)



ETlOLOGl CDI



1. Kongenital (Congenital malformations, Autosomal dominant,AVP-Neurophysingene mutation. 2. drug/toxin -induce (ethanol, diphenylhydantion, snake venom) 3. Granulomatous (histiositosis, sarkoidosis) 4. Neoplastik (craniopharyngioma,germinoma,lymfoma, leukemia, meningioma, tumor pituitari, metastasis). 5. infeksi (meningitis, tuberkulosis, encephalitis) 6. Trauma (neurosurgery, deceleration injury) 7. Vaskular (cerebralhemorrhage or infarction, brain death)



ETlOLOGl OSMORECEPTOR DYSFUNCTION



Garnbar 2. Mekanisrne pernekatan dan pengencaran air kemih (Brenner 2007)



1. Granulomatous (histiositosis, sarkoidosis) 2 Neoplastik (kraniofaringioma, pinealoma, meningioma, metastasis) 3. Vaskular (anterior communicating artery aneurysm/ ligation, intrahypothalamic hemorrhage)



4. Other (hydrocephalus, ventricularlsupersellar cyst, trauma, degenerative deseases). 5. Idiofatik ETIOLOGI "INCREASED AVP METABOLISh4"



2. Diabetes insipidus didapat: karena kelainan intra kranial (trauma, pembedahan, tumor di kepala, infeksi (tuberkulosis, ensefalitis, meningitis) . Istilah lain dari keadaan dimana ADH meningkat di luar batas fisiologis karena sebab yang bermacam-macam disebut SIADH (Syndrome of Inappropriate Secretion of ADH).



PREGNANCY PATOFlSlOLOGlOSMORECEPTORDYSFUNCTION E'I'IOLOGI NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS Congenital (X-linked recessive, AVP V2Receptor gene mutations, autosomal recessive or dominant, aquaporin2 water channel gene mutations). Drugs induced (demeclocycline, lithium, cisplatin, mrthoxyflurane) Hypercalcemia. Hypokalemia. Infiltrating lesions (sarcoidosis, amyloidosis). Vascular (sickle cell anemia). Mechanical (polycystic kidney disease, bilateral ureteral obstruction) Solute dieresis (glucose, mannitol, sodium, radiocontrast dyes) Idiophatic.



ETIOLOGI PRIMARY POLYDlPSlA Psychogenic (schizophrenia, obsessive-compulsive behaviors) Dipsogenic (downward restring of thirst threshold, idiophatic or similar lesions as with central diabetes insipidus).



PATOFlSlOLOGl CDI Pada umumnya basal AVP hams turun kurang dari 10 -20% dari normal sebelum oamolality urine basal turun kurang dari 300mOsm/kg H 2 0 dan aliran urin naik ke level sirnptomatik (>50 mllKgBW1day). Hasil dari hilangnya air akan menaikkan osmolalitas plasma dan akan merangsang rasa haus, sehingga tejadi polidipsi. Kemampuan kompensasi dari polidipsi terbatas, pada keadaan mencapai ambang batas maka perlu bantuan suplementasi AVP. Karena konservasi ginjal terhadap natrium tidak terganggu maka adanya kekurangan AVP ini tidak disertai kekurangan natrium. Pada kasus dimana AVP sama sekali tidak disekresi (complete DI) pasien akan tergantung seluruhnya pada intake air untuk keseimbangan air dalam tubuh. Diabetes Insipidus Sentral ada 2 macam yaitu: 1. Diabetes insipidus idiopatik (autosomal dominan familial) diduga karena autoimun.



Defek utama pada pasien dengan gangguan ini adalah tidak adanya osmoreseptor yang meregulasi rasa haus. Dengan perkecualian (walau jarang) osmoregulator AVP juga terganggu, walau respons hormonal terhadap rangsangan nonosmotik tetap utuh, ada 4 macam disfungsi osmoreseptor yang khas dengan defek rasa haus dan I atau respon sekresi AVP : Upward resetting osmostat untuk rasa haus dan latau respons sekresi AVP Destruksi osmoresceptor partial (respons sekresi AVP yang kurang dan rasa haus) Destruksi osmoreseptor total (tidak ada sekresi AVP dan rasa haus) Disfungsi selektif dari osmoregulasi haus dengan sekresi AVP yang utuh) Berbeda dengan CDI dimana polidipsi mempertahankan osmolalitas dengan batas normal, pasien dengan disfungsi osmoreseptor secara khas mempunyai osmolalitas antara 300- 340 mOsmlKg H20.



GESTATIONAL DIABETES INSIPIDUS Defisiensi relative plasma AVP, dapat juga karena kenaikan kecepatan metabolism AVP, kondisi ini hanya ada pada pasien hamil , oleh karenanya pada umumnya disebut Gestational DI. Hal ini dapat karena aktivitas enzyme - juga "cystine aminopeptidase" (oxytocimeatau vasopressinase) yang secara normal dihasilkan plasenta yang berguna untuk mengurangi oxytosin dalam sirkulasi dan mencegah kontraksi uterus prematur. Pada pasien ini umunya kadarnya meningkat, biasanya berhubunganm dengan pasien preeklampsia, acut fatty liver dan coagulopathy. Patofisiologinya sama dengan CDI, bedanya bahwa poliuria biasanya tidak dapat dikoreksi dengan pemberian AVP, sebab secara cepat akan didegradasi. DGI dapat dikontrol dengan DDAVP, AVP V2 receptor agonist karena resisten terhadap degradasi oleh oxytosinase atau vasopressinase.



NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS (NDI) NDI terjadi karena adanya resistensi anti diuretika AVP. Pertama kali dikenal th 1945 pada pasien dengan kelainan



genetik yaitu (sex-linked). Poliuria didapati sejak lahir sedangkan level plasma AVP normal atau meningkat, resitensi efek antidiuretik AVP bisa parsial maupun komplit, biasanya paling banyak pada laki-laki, walaupun tidak selalu pada wanita biasanya ringan atau tidak ada karier padit wanita, 90% kasus kongenital NDI disebabkan mutasi reseptor AVPV2. Kongenital NDI dapat juga diebabkan mutasi gene autosomal yang mengkode AQP2 yaitu protein yang membentuk kana1 air di tubulus kolektivus di medulla dan penyebab lain adalah (lihat etiologi NDI). NDI merupakan ketidakmampuan ginjal (tubulus distal dan koligentes) untuk berespon dengan ADH. Banyak jenis penyakit ginjal yang dapat mengganggu mekanisme pemekatan air kemih terutama yang mengenai medula ginjal. Juga kerusakan ansa henle seperti yang teqadi pada diuretika yang menghambat reabsorbsi elektrolit oleh segmen ini. Obat-obat tertentu seperti litium (anti manikodepresi pada kelainan jiwa) dan tetrasiklin dapat merusak kemampuan segmen tubulus distalis untuk berespons terhadap ADH. Diabetes insipidus nefrogenik dibagi menjadi 2 macam: 1. IdiopatiMfamiliaVgenetik:ada 2 macam gen yaitu AVP V2 (arginin vasopresin reseptor)-(x linked) dan AQP2 (autosomal resesif dan autosomal dominant). NDI yang paling sering diturunkan secara x-linked (90%). NDI yang diturunkan secara autosomal resesif (9%) dan autosomal dominan (1%). 2 ~ i d a ~ a Akibat t: obat (litium, demeklosiklin, metoksifluran), Metabolik (hipokalemia,hiperkalsiuria biasanya dengan hiperkalemia). Penyakit ginjal (polikistik ginjal, obstruktif uropati, pielonefritis kronis, nefropati sickle cell, sarkoid, gagal ginjal h n i k , rnieloma multipel,penyakit sjogren,nefmpati analgetik).



Seperti halnya CDI, sensitivitas ginjal terhadap efek antidiuretika AVP juga menghasilkan kenaikan ekskresi "dilute"urin, penurunaxx air dalam tubuh dan kenaikan osmolalitas plasma, ha1 ini akan merangsang rasa haus untuk mengkompensasi meningkatkan intake air. Besarnya poliuri maupun polidipsi tergantung sensitivitas ginjal terhadap AVP, setiap individa berbeda "setpoint"nya, sensitivitas rasa haus dan sekresi AVP.



encer (dilutes urine). Besar kecilnya poliuria dan polidipsi bervariasi tergantung intensitas rangsangan untuk minum. Pada pasien dengan abnormalitas rasa haus, polidjpsi dan poliuri relatif konstan dari hari ke hari tetapi pada psychogenic polydipsi intake air dan output urine cendemng fluktuatif, kadang hisa sangat besar. Kadang dengan intake air yang tinggi maka akan terjadi "dilutional hyponatremia".



DIAGNOSIS KLlNlK



-



Manifestasi Klinik Diabetes lnsipidus Pada umumnya manifestasi klinik diabetes insipidus sentralis (CDI) maupun NDI adalah berupa poliuri dan polidipsi. Dibandingkan NDI, poliuri pada CDI bisa lebih dari 15 literhari Secara umum NDI mempunyai gejala klinis sering haus akan air dingin, nokturia, osmolaritas serum mendekati 300 mOsrnIKg dan berat jenis urin 75%



Kategori RIFLE



Kriteria Kreatinin serum



Kriteria UO Irmvesibk?AKI or persislent



(A) The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) criteria for the definition and classification of AKI (i.e. RIFLE criteria) I .5x nilai dasar atau penurunan GFR 225% Injury



1 AKIeadesl Ume point for pmviskn of RRT



Kenaikan kreatinin serum



->2.0x 5x nilai dasar atau



M I= weeks -I



ESRD



ESRD >3monlhs



4 mg dengan peningkatan mendadak minimal 0.5 mg



24 jam



Kriteria Kreatinin serum



Kriteria UO



anuria 212 jam



pritmria



Kriteria produksi urin



Tahap



Kriteria kreatinin serum



1



Kenaikan kreatinin serum 2 0.3 mgldl 26.4 pmolll) atau kenaikan ~150% to 200% (1.5- sampai 2 kali lipat) dari nilai dasar



Kurang dari 0.5 mllkg per jam lebih dari 6 jam



2



Kenaikan kreatinin serum > 200% 300% (> 2 - 3 kali lipal) dari kenaikan nilai dasar kreatinin serum 200% - 300% (> 2 - 3 kali lipat) dari nilai dasar Kenaikan kreatinin serum > 300% (> 3 kali lipat) dari nilai dasar (or serum creatinine of more than or equal to 4.0 mgldl 354 pmoll~) with an acute increase of at least 0.5 mgldl [44 umollll)



Kurang dari 0.5 mllkg per jam lebih dari 12 jam



3



Kurang dari 0.3 mllkg per jam lebih dari 24 jam atau anuria 12 jam



Klasifikasi ini kenilai tahap GGA dari nilai kreatinin serum dan diuresis. Kemudian ada upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk mempertajam kriteria RIFLE sehingga pasien GGA dapat dikenali lebih awal. Klasifikasi ini lebih sederhana dan memakai batasan waktu 48 jam. Disadari bahwa GGA merupakan kelainan yang kompleks, sehingga perlu suatu standar baku untuk, penegakan diagnosis dan klasifikasinya dengan berdasarkan kriteria RIFLE. Atas sistem ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Diharapkan penelitian seperti ini dilakukan oleh kelompok perhimpunan



Gambar 1. RIFLE Criteria for Diagnosis of AKI. Adapted with permission from Lameire et al.



nephrologi dan perhimpunan kedokteran gawat darurat. Atas dasar klasifikasi dan kriteria RIFLE dapat dibuat penelitian b e r s q a memakai kaidah -kaidah yang sama. Sehingga dapat dilakukan usaha - usaha pencegahan dan pengobatan GGA yang lebih baik. AKIN sebagai bentuk kebersamaan dalam satu sistem jaringan yang.luas diharapkan dapat memfasilitasi kerjasama penelitian. Kriteria AKIN dapat meningkatkan insidens GGA tahap awal, walaupun belum cukup kuat untuk perbaikan prognosis dibandingkan dengan kriteria RIFLE.



Definisi GGA Penurunan mendadak fad ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum 20.3 rng/dl(> 26.4pmoUI), presentasi kenaikan kreatinin serum 250% (1.5 x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat 5 0.5 mVkg/jam dalam waktu lebih dari 6jam). Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun nilai persentasi dari perdbahan kreatinine untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender, indeks masa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya diperlukan 2 kali pengukuran dalam 48 jam. Produksi air seni diasukan sebagai kriteria karena mempunyai prediktif dan mudah diukur. Kriteria diatas harus memperhatikan adanya obstruksi saluran kernih dan sebab-sebab oliguria lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan yang cukup. Perjalanan GGA dapat : 1. Sembuh sempuma



-



2 Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK (CKD tahap 1 - 4) 3. Eksaserbasi berupa naik'turunnya progresivitas GGK / CKD tahap 1 - 4 4. Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5) hal ini dapat dilihat di gambar berikut.



100



Z



B C-



0



Z



2 2 4



5 a



~-AUJTE-~~CMWNIC



KIWYlnsms€



0



TIME Garnbar 2. Natural history of AKI. Patients who develop AKI may experience (1) complete recovery of renal function, (2) development of progressive chronic kidney disease (CKD), (3) exacerbation of the rate of progression of preexisting CKD; or (4) irreversible loss of kidney function and evolve into ESRD.



DIAGNOSIS Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan GGA pre-renal, GGA renal dan GGA postrenal. Dalam menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut



perlu diperiksa: 1).Anamnesis yang baik, serta pemeriksaan jasmani yang teliti ditujukan untuk mencari sebab gangguan ginjal akut seperti misalnya operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit, infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat bengkak, riwayat kencing batu. 2). Membedakan gangguan ginjal akut (GGA) dengan gangguan ginjal kronik (GGK) misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil menunjukkan gaga1 ginjal kronis. 3). Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal yaitu kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien yang dirawat selalu diperiksa asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada gangguan ginjal akut yang berat dengan berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan edema bahkan sampai terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi pernapasan kussumaul. Umumnya manifestasi GGA lebih di dominasi oleh faktor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya. 4). Penilaian pasien GGA: a). Kadar kreatinin serum. Pada gangguan ginjal akut faal ginjal dinilai dengan memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat laju filtrasi glomerulus karena tergantung dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh dan ekskresi oleh ginjal. b). Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara umum nilai serum cystatin C dapat menjadi indikator gangguan ginjal akut tahap awal yang cukup dapat dipercaya. c). Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indikator yang spesifik untuk gangguan ginjal akut, yang dapat terjadi sebelum perubahaan, nilai-nilai biokimia darah. Walaupun dernikian volume urin pa& GGA bisa bermacam-macam. GGA pre-renal biasanya hampir selalu disertai oliguria (< 400 mljhari), walaupun kadang-



Etiologi Prerenal



Sedirnen Torak hialin



lskemia



Sel epitel, muddy-brown cats, pigmented granular casts Lekosit (WBC),Torak lekosit, eosinophilis, Eritrosit (RBC), sel epitel Dysmorphic RBCs, RBC cast Beberapa torak hialin, eritrosit Kristal asam urat



Nefritis interstitial akut GN Akut Postrenal Lysis tumor Arterial Ivenous thrombosis Ethylene glycol



FENA+ Fe-urea 50 >1



6 mEq/L Ureum darah > 200 mg/dL pHdarah 5 hari) Fluid overloaded Hemodialisis di Indonesia dimulai padc tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sak~t rujukan Umumnya dipergunakan ginjal buatan yan! kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermeabel (hollowfibre kidney) Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.



REFERENSI Bregman H, Dougirdas JT, Ing TS. Complications during hemodialysis. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2, Little Brown am Company: 1994. 149-68. Daugirdas JT. Chronic hemodilysis prescription: a urel kinetic approach. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2. Little Brown am Company; 1994.92-120. Dialysis Therapy, Ed. Nissenson AA, Fine AN Philadelphia: Hanley & Belfus; 1986. Kaaono SD, Darmarini F, Aahimy A. Penyusunan diet pada gagal ginjal kronik dengan dialisis. Dalam: Sidabutar AP, Suhardjono (ed). Gizi pada gagal ginja kronik. Beberapa aspek penatalaksanaan. PERNEFRI 1992.60-74.



DIALISIS PERITONEAL Imam Parsudi, Parlindungan Siregar, Rully M.A. Roesli



PENDAHULUAN Dialisis peritoneal (DP) sudah lama dikenal. Sarjana pertama yang melakukan DP di klinik pada seorang pasien uremia karena obstruksi ureter akibat kanker kandungan adalah Ganter ( 1923).Perkembangan selanjutnya memakan waktu cukup lama dan baru Maxwell (1959) mengajukan teknik dialisis intermiten yang merupakan modifikasi dari teknik yang diajukan Grollman, dkk (195 1 ). Sampai saat ini teknik ini masih tetap terpakai. Perkembangan selanjutnya ditunjang dengan tersedianya antibiotik serta cairan dialisat komersial. Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu penanganan pasien GGA (Gagal Ginjal Akut) maupun GGK (Gagal Ginjal Kronik), menggunakan membran peritoneum yang bersifat semipermeabel.Melalui membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan Dialisis Peritoneal (DP) bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara teknik lebih sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Pada saat ini pun DP masih menempati kedudukan cukup penting untuk menangani kasus-kasus tertentu dalam rumah sakit besar dan modern.



pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium dan toksin lajn yang dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginial, pada gangguan faal gjnjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui membran peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sudah dikeluarkan diganti dengan cairan dialisat baru.



Cairan Dialisat Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan kadar seperti pada plasma darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat bervariasi. namun prinsipnya kurang lebih seperti terlihat pada Tabel 1.Pada umumnya cairan dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal. Bila DP dilakukan pada pasien dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk mencegah terjadinya hipokalemia. dalam cairan dialisat dapat ditambahkan kalium 33-4,5 mEq1 liter cairan dialisat.



Elektrolit



MEqlL



Tek. Osmosis lmOsmlLl



Mg++ CILaktatGlukosa



1,5 102,O 43.5



03 102,O 83,3



PRlNSlP DASAR DIALISIS PERITONEAL Untuk dialisis peritoneal akut biasa dipakai styletcatheter (kateter peritoneum) untuk dipasang pada abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam kavum Douglasi. Setiap kali 2 liter cairan dialisis dimasukkan dalam kavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum bertindak sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam



291,O rnEq/L



15,O gr/L



371,6 rnOsrn/L



Tiap 1 liter cairan dialisat mengandung: 5.650 gram NaCI, 0294 gram CaCI,, 0,153 gram MgCI,, 4.880 gram NaIaktat dan 15.000 gram glukosa. Bila cairan dialisat



-



mengandung kadar glukosa lebih dari 1.5% kita sebut cairan dialisat hipertonik (2,5; 3 5 ; dan 4,25%). Berdasarkan prinsip perbedaan tekanan osmotik, maka cairan dialisat hipertonik ini dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan tubuh yang berlebihan. Heparin ditambahkan dalam cairan dialisat dengan tujuan untuk mencegah pelnbentukan fibrin yang dapat mengganggu aliran cairan, biasanya diberikan pada permulaan dialisat dengan dosis 500-1000 U tiap 2 liter cairan.



lndikasi Pemakdian Dialisis Peritoneal Dialisat peritoneal dapat digunakan pada pasien : 1. Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut) 2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam basa. 3. Intoksikasi obat atau bahan lain 4. Gagal ginjal .kronik (dialisat peritoneal kronik) 5. Keadaan klinis lain di mana D P telah terbukti manfaatny a. Kontraindikasi Dialisais Peritoneal 1. Kontraindikasi absolut : tidak ada 2. Kontraindikasi relatif : keadaan-keadaan yang kemungkinan secara teknis akan mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi seperti gemuk berlebihan, perlengketan peritoneum, peritonitis lokal, operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi, kelainan intraabdomen yang beluln diketahui sebabnya, luka bakar dinding abdomen yang cukup luas terutama bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak adekuat.Salah satu cara yang seiing digunakan untuk menilai efisiensi D P adalah dengan menentukan peritoneal clrc~r-ance (klirefls peritoneal) dengan rumus: Cp



=w



P Cp : Peritoneal Cleamrzce U : Konsentrasi zat tersebut dalam cairan dialisat y ang kel~lardari kavum peritoneum (mg%). p : Konsentrasi zat tersebut dalam darah atau plasma (mg%) V : Volume cairan dialisat tiap menit (mL) Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneum adalah besar kecilnya molekul, kecepatan cairan dialisat, equilibration-time (dwell tirne = lamanya cairan dialisat berada dalam kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan osmosis cairan dialisat, pe~meabilitasperitoneum, dan aliran darah dalam kapiler peritoneum.



KOMPLlKASl DIALISIS PERITONEAL Komplikasi DP dapat berupa komplikasi mekanis dan komplikasi radang.



a. Komplikasi mekanis Perforasi organ abdomen (vsus, aorta, kandung kencing, atau hati). Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat kateter . Gangguan drainasr (aliran cairan dialisat) Bocornya cairan dialisat Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut. b. Komplikasi metabolik Gangguan keseimbangan cairan, elek- tronit dan asam basa. Gangguan metabolisme karbohidrat perlu diperhatikan terutama pada penyandang DM berupa hiperglikemia tak terkendali d m kemungkinan dapat juga terjadi hipoglikemia post dialisis. Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan dialisat. Sindrom disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas kumpulan gejala-gejala berupa sakit kepala, muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan tekanan cairan serebrospinal, koma, dan dapat menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini dapat terjadi pada pasien dengan kadar ureum tinggi, di mana koreksi kelainan biokimiawi terjadi terlalu cepat dan lebih sering terjadi pada pasien dengan overhidrasi. Patogenesis sindrom ini belum diketahui dengan pasti. Salah satu teori yang banyak dianut adalah karena lambatnya koreksil penurunan ureum dalam otak d a n cairan serebrospinal bila dibandingkan dengan darah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan tekanan osmotik dengan akibat edema otak. Teori lain: teori hipoglikemia, perubahan p C 0 2 dan pH. pergeseran elektrolit ovemidrasi, dan kenaikan perbandingan WCa serum. c. Komplikasi radang Infeksi alat pernapasan. biasanya berupa pneumonia atau bronkitis purulenta. Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan infeksi fokal di luar peritoneum seperti pneumonia atau pielonefritis. Peritonitis.



INDlKASl DP PADA GAGAL GlNJAL AKUT Pasien GGA dapat dilakukan D P atas dasar : 1. DP pencegahan :DP dilakukan setelah diagnosis GGA ditegakkan. 2 DP dilakukan atas indikasi : a. Indikasi klinis :keadaan umum je1ek.b gejala klids nyata. b. Indikasi biokimiawi: Ureum darah >200 mg%, Kalium roton punzp inhibitor" tidak menghambat sekresi faktor intrinsik dari sel-sel parietal.



Anemia Pernisiosa Anemia pernisiosa, dianggap yang paling lazim sebagai penyebab defisiensi kobalamin. Ini disebabkan karena tidak adanya faktor intrinsik dan adanya atrofi dari mukosa maupun destruksi autoimun dari sel sel parietal. Untuk orang orang Asia ha1 tersebut jarang terjadi. Ini merupakan penyakit untuk manusia usia lanjut, jarang untuk usia di bawah 30 tahun, meskipun anemia pernisiosa yang khas dapat terjadi pada anak umur di bawah 10 tahun (Juvenile pernicious anemia). Adanya kondisi kelainan yang diwariskan dimana keadaan histologik lambung yang normal dan mengeluarkan faktor intrinsik baik yang abnormal maupun sama sekali tidak disekresi akan mengakibatkan defisiensi pada bayi atau anak sangat muda. Kejadian anemia pernisiosa secara substansial meningkat pada penyakit penyakit imunologik, termasuk penyakit Grave, miksedema, tiroiditis, insufisiensi adenokortikal idiopatik, vitiligo, dan hipoparatiroidisme. Pasien anemia pernisiosa juga inempunyai antibodi dalam sirkulasi yang abnormal, yang berkaitan dengan penyakitnya: yaitu 90% mempunyai antibodi sel antiparietal, yang langsung melawan H+, K+-ATPase, sedangkan 60% mempunyai antibodi antifaktor intrinsik. Antibodi sel antiparietal juga dijumpai pada 50% para pasien atrofi gaster tanpa anemia pernisiosa, demikian pula terdapat pada 10 sampai 15% dari populasi pasien yang tak diseleksi, tetapi antibodi antifaktor intrinsik bjasanya tidak ada pada para pasien tersebut. Sanak keluarga dari para pasien anemia pernisiosa terdapat peningkatan kejadian penyakit, walaupun keluarga yang terkena kemungkinan juga mempunyai antibodi antifaktor intrinsik dalam serumnya. Akhirnya pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat memperbaiki penyakitnya. Pada anemia pernisiosa, sel sel T sitotoksis dapat juga mempunyai andil dalam destruksi sel sel parietal. Anemia pernisiosa tidak jarang terdapat pada para pasien dengan agammaglobinemia. Hal ini menunjang peran pada sistem imun seluler sebagai patogenesisnya. Dan berbeda dengan Helicobacter pylori yang tidak mengakibatkan destruksi sel parietal pada anemia pernisiosa. Ciri yang sering dijumpai pada anemia pernisiosa adalah atrofi lambung yang mempengaruhi bagian yang mensekresi asam dan pepsin darl lambung; terkecuali antrum. Perubahan patologis lain adalah defisiensi kobalamin sekunder; ini termasuk perubahan megaloblastik dalam lambung clan epitel intestinum dan



perubahan neurologik. Abnormalitas epitelium gaster tampak sebagai cell~llaratypia dalam preparat sitologik lambung, dapatan ini hams dibedakan dengan hati hati dari abnormalitas yang tampak pada keganasan.



Pasca Gastrektomi Setelah gastrektomi atau kerusakan mukosa lambung yang luas karena bahan obat yang merusak, maka akan terjadi anemia megaloblastik, karena sumber faktor intrinsik telah dibuang. Pada para pasien yang demikian absorbsi kobalarnin yang diberikan oral akan terganggu. Anemia megaloblastik dapat pula timbul karena gastrektomi parsial, yang sebabnya belum jelas. Organisme Intestinal Anemia rnegaloblastik dapat tampak pada stasis dari lesi anatomik (striktur, divertikel, anastomosis, blind loops) atau pseudo obstruksi (diabetes melitus, skleroderma, amiloid). Anemia disini disebabkan oleh kolonisasi dari sejumlah besar kumpulan bakteri dalam usus halus yang mengkonsumsi kobalamin intestinal sebelum diabsorbsi. Steatorrhea mungkin juga dapat dijumpai dalam keadaan demikian, karena metabolisme garam empedu terganggu bila intestinum dihuni lebih banyak oleh kolonisasi bakteri. Respons hematologis telah diabsorbsi setelah pemberian antibiotik oral seperti tetrasiklin dan ampisilin. Anemia megaloblastik dapat dijumpai pada orang-orang pengidap cacing pita karena adanya kompetisi dari cacing dalam memakan kobalamin. Dengan membinasakan cacing pita tersebut maka problema tersebut dapat diatasi. Abnormalitas Ileum Definisi kobalamin sering dijumpai pada "tropical sprue", sedangkan ha1 ini merupakan komplikasi yang diluar kebiasaan dari "~zontropicalsprue" (gluten-sensitive enteropathy). Sebenarnya tiap gangguan yang bersamaan dengan kapasitas absorbsi pada ileum distal dapat menimbulkan defisiensi kobalamin. Keadaan khusus yaitu termasuk enteritis regional, penyakit Whipple, dan tuberkulosis. Keterlibatan segmental dari ileum distal oleh suatu penyakit dapat mengakibatkan anemia megaloblastik tanpa adanya lain manifestasi dari malabsorbsi intestinal seperti steatorrhea. Malabsorbsi kobalamin dapat juga tampak setelah reseksi ileum. ~ i n d r b mZollinger-Elison (hiperasiditas lambung yang hebat karena tumor yang mensekresi gastrin) dapat mengakibatkan malabsorbsi kobalamin oleh pengasaman usus halus, akan menghambat transfer vitamin dari ikatan R ke faktor intrinsik dan mengganggu ikatan kobalamin-FI komplex ke reseptor ileum. Pankreatitis kronik dapat juga mengakibatkan malabsorbsi kobalamin, tetapi ini hanya selalu ringan dan jarang menimbulkan defisiensi kobalamin secara klinis. Akhirnya, gangguan kongenital yang jarang



dijumpai, yaitu penyakit Imerslund-Grasbeck, yang melibatkan suatu defek yang selektif dalarn absorbsi kobalamin yang bersamaan dengan proteinuri. Para individu yang mempunyai suatir mutasi cubulin, yaitu suatu reseptor yang menjadi perantara absorbsi intestinal dari kompleks kobalamin-FI.



Nitrous Oxide Menghirup nitrous oxide sebagai obat bius menghancurkan kobalainin yang endogen. Pemakaian seperti biasanya dan besarnya pengaruh obat bius tidak cukup untuk menimbulkan defisiensi kobalamin secara klinis, tetapi pemakaian berulang atau yang berkepanjangan (>6 jam), utamanya pada pasien tua yang mempunyai simpanan kobalamin pada ambang batas, akan dapat menyebabkan anemia megaloblastik dan defisit neurologik akut. Defisiensi Asam Folat Penambahan asam folat dalam produk dari biji-bijian dan padi-padian .telah disarankan oleh US Food and Drug Administrution sejak Januari 1998,maka kejadian defisiensi asam folat nyata menurun. Para pasien dengan defisiensi asam folat lebih sering kurang gizi dibanding dengan defisiensi kobalamin. Manifestasi gastrointestinal adalah serupa tetapi dapat lebih meluas dan lebih berat dari anemia pernisiosa. Diare sering ada, dan cheilosis dan glossitis juga dialami. Namun, berlawanan dengan defisiensi kobalamin, tidak tampak adanya abnormalitis neurologik. Manifestasi hematologik dari defisiensi asam folat adalah sama dengan defisiensi kobalamin. Defisiensi asam folat secara umum berhubungan dengan satu atau lebih faktor seperti: asupan yang tak memadai, keperluan yang meningkat, atau malabsorbsi. Asupan yang tak memadai. Para peminum alkohol akan dapat mengalami defisiensi asarn folat karena sumber utama asupan kalori yang dikonsumsi berasal dari minuman beralkohol. Alkohol dapat mengganggu metabolisme folat. Pecandu narkotik juga mudah menjadi defisiensi folat karena malnutrisi. Banyak individu fakir miskin dan usia lanjut yang mendapat makanan yang kurang akan menderita defisiensi folat. Keperluan yang meningkat.Jaringan jaringan yang relatif pembelahan selnya sangat cepat seperti sumsum tulang, mukosa usus, rnemerlukan cukup besar akan folat. Karenanya, para pasien anemia hemolitik kronik atau penyebab lain terjadinya eritropoiesis yang aktif akan mengalami deflsiensi. Perempuan hamil mempunyai risiko tinggi untuk terjadi defisiensi folat karena keperluan yang meningkat bersamaan dengan perkembangan janin. Bila defisiensi timbul pada minggu pertama kehamilan, maka dapat mengakibatkan defek saluran saraf pada neonatus.



Kadang kadang l>;rtl;r kchitmilan tersebut tak dapat mendeteksi, sampai clcl'ck tcrsebul telah berkembang; jadi, ketentuan suplcmcn~nsiI'ol:rl pada perernpuan setelah mereka mengetahui hamil, licl;tkl;rh cl'ektif. Namun dernikian, si~plenientasirnakanan yang ~ncngandungfolat, dapat menguntrigi defek saluran saral' sirmpai lebih dari 50%. Dei'isiensi rolat dapal lampak seli~rnalnasa pertumbuhan cepal bayi dim remaja. Para pasicn dengan hemodialisa kronik perlu diberi suplementasi folal guna mengganti folat yang hilang. Mslabsorbsi. Ilcf'isiensi folat sering menyertai Tropical spnie, baik gejala gastrointestinal maupun malabsorbsi akan membaik dengan pemberian asam folat atau dengan antibiotik oral. Pada pasien dengan nontripocal sprue (gluten-sensitive enterolmtlzy) dapat pula berkembang secara nyata timbulnya defisiensi asam folat yang sejalan dengan parameter dari malabsorbsi. Hal yang serupa, adalah defisiensi folat pada pecandu alkohol dapat pula karena kemungkinan dari malabsorbsi. Termasuk pula gangguan usus halus kadang-kadang bersamaan dengan defisiensi folat.



Obat- obatan Selanjutnya masalah defisiensi folat atau kobalarnin yang sering menjadi penyebab anemia megaloblastik adalah obat obatan. Bahan obat yang mengakibatkan anemia megaloblastik, disebabkan karena mengganggu sintesis DNA, baik secara langsung atau melawan kerja folat. Ini dapat diklasifikasi sebagai berikut: Langsung penghambat sintesis DNA, mereka terrnasuk analog purin (6-tioguanin, azatioprin, 6-merkaptopurin), analog pirimidin (5-fluorourasil, sitosin arabinose), dan obat yang mengganggu sintesis DNA dengan berbagai macam mekanisme (hidroksiurea, prokarbazin). Obat antivirus zidovudin (AZT), yang digunakan untuk pengobatan HIV, sering menimbulkan anemia megaloblastik berat. Antagonis folat. yang paling toksik dari golongan ini adalah metotreksat, suatu penghambat yang kuat pada dihidrofolat reduktase, yang digunakan untuk pengobatan keganasan tertentu dan penyakit-penyakit reumatik tertentu. Yang kurang toksik tetapi mampu untuk menimbulkan anemia megaloblastik adalah beberapa penghambat dihidrofolat reduktase yang lemah, yang digunakan untuk pengobatan berbagai macam kondisi nonmalignan. Obat-obatan tersebut termasuk pentamidin, trimetoprim, triamteren, dan pirimetamin. Lain-lain. Sejumlah obat yang melawan folat dari mekanismenyayang sukar dimengerti, akan tetapi dipikirkan ikut serta dan menyangkut pada absorbsi dari vitamin oleh intestinum. Dalam kelompok ini adalah "anticonvulsants" fenitoin, primidon, dan fenobarbital.Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh obat obat tersebut adalah ringan.



Mekanisme Lain Sebab herediter. Anemia megaloblastik dapat tampak pada beberapa penyakit herediter. "Orotic aciduria" suatu defisiensi orotidilik dekarboksilase dan fosforilase, karena defek dalam metabolisme pirimidin dan dengan ciri adanya pertumbuhan yang terlambat dan perkembangan maupun dari ekskresi sejumlah besar dari asam orotik. Malabsorbsi folat yang kongenital penyebab anemia megaloblastik, bersamaan dengan ataksia dan retardasi mental. Anemia megaloblastik yang responsif dengan tiamin yang disertai dengan ketulian saraf dan diabetes melitus pernah dilaporkan pada beberapa anak. Perubahan megaloblastik yang disertai berinti banyak dari pendahulu sel darah merah dapat dilihat dalam sumsum dari para pasien tertentu dengan anemia dyserythropoietik kongenital, suatu golongan gangguanlpenyakit yang diwariskan dengan ciri anemia ringan sarnpai sedang dan perjalananny a tidak ganas. Defisiensi TC 11, seperti abnormalitas yang diwariskan pada absorbsi kobalamin sebagai penyebab defisiensi yang mencolok dari kobalamin pada bayi atau awal masa kanak kanak. Anemia megaloblastik tak dijumpai pada defisiensi TC I yang diwariskan. ANEMIA MEGALOBLASTIKYANG REFRAKTER Eritropoiesis megaloblastik kadang kadang dapat tampak pada mielodisplasia. Perubahan megaloblastik terbatas pada seri sel darah merah. Mielodisplasia sering menghasilkan perbedaan gambaran morfologik yang lebih jelas pada normoblas ortokromatik dimana inti megaloblastik berhubungan dengan sitoplasma yang sangat hipokromik. Varian ini disebut " megaloblastoid " yang merujuk pada defek maturasi inti dan sitoplasma. "Megaloblastoid " tidak berarti " megaloblastoid ringan". Seperti halnya bentuk lain dari mielodisplasia, anemia megaloblastik refrakter ada hubungannya dengan peningkatan kejadian leukemia akut. Perubahan megaloblastik tampak pada mielosis eritremik dan eritrolekemia akut, di mana pendahulu sel darah merah nyata terlibat.



Diagnosis Guna menegakkan diagnosis anemia megaloblastik, perlu menelusuri baik pemeriksaan fisis maupun pemeriksaan laboratoris darah juga sumsum tulang. Pemeriksaan laboratorium darah meliputi hemoglobin, hematokrit, retikulosit, leukosit, trombosit, hitung jenis, laju endap darah, serum vitamin B 12, serum folat, folat eritrosit,MCV dan lain-lain tes khusus yang sesuai. Pemeriksaan film1 hapusan darah perifer perlu diperhatikan bentuk bentuk sel sel darah merah, leukosit, dan trombosit. Didapatkan secara nyata makrositosis yaitu MCV lebih dari 100fl maka



perlu dipikirkan akan adanya anemia megaloblastik. Penyebab lain makrositosis termasuk hemolisis, penyakit hati, alkoholisme, hipotiroidisme, dan anemia aplastik.Bila makrositosis nyata yaitu MCV lebih dari 110fl, makapasien tersebut lebih condong pengidap anemia megaloblastik. Makrositosis jarang tampak bersamaan dengan defisiensi besi atau thalassemia. Indeks retikulosit yang rendah, dan jumlah leukosit maupun trombosit mungkin pula menurun, terutama pada para pasien dengan anemia berat. Dari gambaran darah perifer, tampak dengan nyata adanya anisositosis dan poikilositosis, bersamaan dengan makroovalositosis, yaitu sel darah merah dengan hemoglobinisasi penuh merupakan ciri dari anemia megaloblastik. Dapat dijumpai pula adanya beberapa bintik basofilik, dan kadang kadang ditemukan sel darah merah yang berinti. Pada seri leukosit, yaitu adanya netrofil yang tampak adanya inti dengan segmen lebih dari 5 atau 6 dan dikenal dengan istilah hipersegmen. Temuan ini merupakan ciri khas, maka hendaknya meningkatkan dugaan kearah anemia megaloblastik. Myelosit yang jarang mungkin pula tampak. Juga dapat pula ditemukan bentuk trombosit yang aneh. Dari pemeriksaan sumsum tulang ditemukan adanya hiperselular dengan penurunan rasio mieloid/eritroid dan berlimpah besi yang tercat. Perintislpendahulu sel darah merah tampak adanya sel yang besar abnormal dan mempunyai inti yang tampaknya kebanyakan kurang matur, ha1 ini perlu diperkirakan dari perkembangan sitoplasma (nuclear-cytoplasmic asynchrony). Kromatin inti lebih tersebar dari yang diduga, dan ia memadat dalam gambaran yang sangat khas sebagai ciri dari eritropoiesis megaloblastik. Mitosis abnormal dapat tampak. Perintis granulosit juga dirusak, tampak banyak yang menjadi besar dari yang normal, termasuk band yang sangat besar dan metamielosit. Jumlah megakariosit menurun dan tampak morfologi yang abnormal. Ciri anemia megaloblastik adalah eritropoiesisyang tak efektif. Pada pasien dengan megaloblatik berat, sebanyak 90% perintis sel darah merah mungkin dihancurkan dan mereka diedarkan dalam aliran darah, dibanding dengan 10% sampai 15% pada individu normal. Meningkatnya penghancuran eritroblas dalam medula sumsum tulang akan berakibat peningkatan bilirubin yang tak terkonjugasi dan asam laktat dehidrogenase (isoenzim 1) dalam plasma. , Guna mengevaluasi pasien dengan anemia megaloblastik, sangat penting untuk menentukan apakah ada defisiensi vitamin yang spesifik dengan mengukur kadar serum kobalarnin dan folat. Nilai kobalamin normal dalam serum adalah antara 300 sampai 900 pglml; nilai kurang dari 200 mglml menunjukkan adanya defisiensi yang nyata secara klinis. Tampaknya ini berbeda dengan kriteria WHO seperti yang tertera di depan. Pengukuran dari kobalamin yang terikat pada TC 11, sebenarnya lebih fisiologik guna pengukuran status kobalamin, tapi



ANEMIA ~ B L A S T I K



6ynifrome")atau penyakit ileum (termasuk defek absorbsi ileum sekunder karena defisiensi kobalamin itu sendiri). Malabsorbsi kobalamin karena kelebihan pertumbuhan bakteri sering dapat dikoreksi dengan pemberian antibiotik. Tes Schilling dapat menetapkan informasi yang cukup dipercaya setelah pasien mendapat terapi yang memadai dengan kobalamin parenteral. Tes Schilling yang normal pada pasien yang telah dibuktikan dengan defisiensi kobalamin, akan memberi petunjuk adanya absorbsi yang jelek dari vitamin bila dicampur dengan makanan. Ini dapat ditegakkan dengan mengulang tes Schilling dengan kobalamin radioaktif yang diaduk dengan telur. Kadar serum dari asam metilmalonat dan homosistein juga berguna untuk diagnosis anemia megaloblastik. Keduanya meningkat pada defisiensi kobalamin, namun peningkatan homosistein, tapi bukan asam metil malonik dapat terjadi pada defisiensi folat. Tes-tes tersebut mengukur simpanan vitamin dalam jaringan dan dapat menunjukkan suatu defisiensi meskipun bila pemeriksaan yang sederhana, tapi kurang dipercaya pada kadar folat dan kobalamin yang didapatkan dan hasilnya pada ambang batas atau dalam batas normal. Para pasien terutama usia lanjut, tanpa anemia dan dengan kadar serum kobalamin normal, tetapi terdapat peninggian kadar serum asam metil malonat dapat mengakibatkan abnormalitas neuropsikiatrik. Pengobatan para pasien defisiensi kobalamin yang tak kentara biasanya akan mencegah kemerosotan lebih lanjut dan munghn berhasil memperbaiki kesehatan pasien. Alur pikir guna menetapkan anemia megaloblastik dapat disimak pada Gambar 5.



pengukuran kadar dengan cara tersebut belum dapat dilakukan secara rutin saat ini. Kadar serum normal dari asam folat berkisar antara 6 sampai 20 nglml; nilai sama atau di bawah 4 nglrnl secara umum dipertimbangkanuntuk diagnostik dari defisiensi folat. Tidak seperti serum kobalamin, kadar serum folat dapat menggambarkan adanya perubahan baru pada asupan makanan. Pengukuran kadar folat dalam sel darah merah sangat berguna untuk mendapat informasi, tetapi ini bukannya subyek guna melihat fluktuasi jangka pendek dari asupan folat dan ha1 ini lebih dari serum folat sebagai indeks dari simpanan folat. Saat defisiensi kobalamin telah dipikirkan, maka patogenesisnya dapat dilacak dengan menggunakan tes Schilling. Pasien diberi kobalamin radioaktif oral, dan segera diikuti setelah itu dengan penyuntikan intramuskular kobalamin tanpa dilabel. Proporsi radioaktivitas yang diberikan akan dikeluarkan dalam urin selama 24 jam berikutnya, ha1 ini akan menetapkan suatu ketelitian ukuran dari absorbsi kobalamin dan dianggap bahwa sampel urin yang menyeluruh telah dikumpulkan. Karena defisiensi kobalamin hampir selalu karena malabsorbsi, tingkat pertama dari tes Schilling hams abnormal (misal didapat sejumlah kecil radioaktivitasdalam urin). Kemudian pasien diberi kobalamin terikat pada faktor intrinsik yang dilabel. Absorbsi dari vitamin akan mencapai normal pada pasien yhng menderita anemia pernisiosa atau beberapa tipe lain dari defisiensi faktor intrinsik. Bila absorbsi kobalamin rflhsih tetap rendah, maka pasien mungkin terdapat pertumbuhan berlebihan dari bakteri ("blind loop



ANEMl A



I



Hitung Sel Darah, Jumlah Retikulosit I



Morfologi SDM I



Normositik Normokromik



I Hipoproliferatif I



I



I



I Index > 2,51



Ilndex < 2,51



Hemolisisl Hemorrhagia I



Mikro atau Makrositik Gangguan maturasi



- Kehilangan darah - Hemolisis intravaskular - Defek



metabolik



-Abnormalitas membran - Hemoglobinopati - Defek autoimun



- Hemolisis fragmentasi



- Defek sitoplasma



- Defisiensi Fe - Talasemia -Anemia side - Roblastik - Defek inti - Defisiensifolate



- Defisiensi vitamin 812 - Keracunan obat -Anemia refrakter



Gambar 5. Alur plkir menetapkan anemia megaloblastik



HEMATOLOCl



Pengobatan Setelah diagnosis defisiensi kobalamin ditegakkan maka perlu memberikan terapi spesifik berkaitan dengan penyakit dasar yang melatar belakangi, misalnya adanya pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam intestinum perlu diberi antibiotik, sedangkan terapi utama untuk defisiensi kobalamin adalah terapi pengganti. Sebab defek yang ada, biasanya selalu malabsorbsi, maka para pasien diberi pengobatan parenteral, terutama dalam bentuk suntikan kobalamin intramuskular. Awal pelnberian terapi parenteral dengan kobalan~in 1000 ug i.m, tiap minggu sampai 8 minggu, keniudian dilanjutkan suntikan i.m kohalamin 1000 ug tiap bulan dari sisa hidup pasien. Defisiensi kobalamin dapat dikelola secara efektif dengan pemberian terapi oral dengan kristalin B12 sejumlah 2 mg per hari; namun ketidak patuhan lehih besar pada terapi oral dibanding terapi i.ni. Respons terapi adalah memuaskan. Segera setelah terapi dimulai, dan beberapa hari sebelum respons hematologis tampak nyata dalam darah perifer, pasien merasakan kekuatan meningkat dan ada perbaikan kesehatannya. Morfologi sumsum tulang mulai kembali ke keadaan normal dalam waktu beberapa jam setelah terapi dimulai. Retikulositosis mulai pada hari ke-4 sampai hari ke-5 setelah terapi dimulai dan mencapai puncak kurang lebih 7 hari, dan remisi berikutnya dari anemia setelah beberapa minggu. Bila retikulositosis Lidak tampak, atau bila kurang cepat dari yang diharapkan dari kadar hematokrit, maka perlu dicari kemungkinan faktor lain yang mengakibatkan anemia (a.1. infeksi, bersamaan dengan defisiensi besi atau folat, atau hipotiroidisme). Hipokalemia dan retensi garam dapat tampak lebih awal dalam perjalanan terapi. TrombosiLosis mungkin ditemukan. Pada kebanyakan kasus, terapi pengganti adalah semua yang diperlukan guna pengobatan defisiensi kobalamin. Kadang kadang pasien menunjukkan anemia yang berat disertai pula gangguan yang membahayakan keadaan kardiovaskular yang gawat maka diperlukan transfusi. Ini perlu dilakukan dengan hati hati, sebab pasien yang demikian dapat berkemba~igmenjadi gagal jantung karena adanya kelebihan cairan. Darah harus diberikan pelan pelan dalam bentuk PRC (Pocked Red Blood Cells), dan harus selalu dalam pengawasan. Volume PRC yang diberikan sedikit demi sedikit akan cukup guna menghindari nasala ah gagal kardiovaskular akut. Dengan pengobatan jangka lama selama hidupnya, para pasien akan mengalami Lidak berlanjutnya manii'cs~asi defisiensi kobalamin, namun gejala neurologiknya tidak sepenuhnya dapat dikoreksi meskipun dengan terapi yang optimal. Pada pasien anemia pernisiosa perlu dengan cermat diawasi dan selalu diikuti perkembangannya karena adanya potensi untuk berkembang menjadi karsinoma lambung.



Folat, terutama dalam dosis besar, dapat mengoreksi anemia megaloblastik karena defisiensi kobalamin tanpa mengubah abnormalitas neurologik. Manifeslasi neurologik mungkin tetap tidak menjadi huruk oleh Lerapi folat. Defisiensi folat, akan terselubung pada pasien yang makan folat dosis tinggi. Dalam ha1 yang demikian, respons hematologis folat jangan digunakan sebagai tolok ukur untuk keberhasilan pasien dengan defisiensi kobalamin; dan defisiensi kobalamin hanya dapat disingkirkan dengan evaluasi laboratorium yang memadai. Pada pasien usia lanjut kejadian defek absorbsi kobalamin ringan frekuensinya tinggi, dan mungkin risikonya meningkat. Defisiensi kobala~ninyang berat akan member1 gejala neurologis dari pada gejala hematologis, dan beberapa ahli menyarankan pemberian kcis$sJin\ kobalamin oral dengan dosis 0,I mg per hari guna profilaksis pada usia di atas 65 tahun.



DEFlSlENSl FOLAT Seperti defisiensi kobalamin, defisiensi folat perlu diobati dengan terapi pengganti. Dosis yang lazim diberikan adalah I mg per hari per oral, namun dosis tinggi sampai 5 mg per hari mungkin diperlukan pada defisiensi folat yang disebabkan karena malabsorbsi. Pemberian folat parenteral jarang diperlukan. Respons he~natologissama dengan yang dapat dijumpai setelah terapi pengganti pada defisiensi kobalamin, misalnya terjadinya retikulositosis yang nyata setelah kurang lebih 4 hari, kemudian diikuti dengan terkoreksinya anemia setelah 1 sampai 2 bulan kemudian. Lama terapi tergantung pada keadaan dasar defisiensi. Para pasien dengan keperluan yang terus menerus lneningkat seperti pada pasien anemia hemolitik atau mereka yang dengan malabsorbsi atau malnutrisi kronik, hendaknya terus menerus didorong guna memelihara dan mengajarkan diet yang optimal dengan kecukupan folat.



Penyebab Lain Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik karena obat obatan dapat diobati, bila mungkin, dengan mengurangi dosis obat atau menyingkirkan. Efek antagonis folat yang menghambat dihidrofolat reduktase dapat dilawan oleh asam folinik (5formil tetrahidrofolat (THF) dalam dosis 100 sampai 200 mg per hari, yang akan menghambat metabolisme folat dengan caw menycdiakan suatu benluk folat yang dapat diubah menjadi 5,10 - methylene T H E Untuk bentuk megaloblastik dari anemia sideroblastik, pemberian piridoksin dengan dosis sampai 300 mg per hari dapat dicoba, karena ada anemia sideroblastik yang tidak respons dengan piridoksin. Anemia megaloblastik yang refrakter perlu dipikirkan terapi suportif.



ANEMIA MU;ALOBLASTIK



KESIMPULAN Anemia megaloblastik adalah gangguan yang disebabkan oleh defek sintesis DNA dalam sel-sel terutama dari hematopoietik. Klasifikasi anemia megaloblastik dapat dikelompokkan dalam: defisiensi kobalamin, defisiensi asam folat dan sebab sebab lain. Asain folat dan vitamin B12 adalah zat yang berhubungan dengan unsur makanan yang sangat diperlukan bagi tubuh. Peran utama dari asam folat dan vitamin B 12ialah dalam metabolisme intraselular. Bila kedua zat tersebut mengalami defisiensi, akan menghasilkan tidak sempurnanya sintesis DNA. Hematopoiesis sangat sensitif pada defisiensi vitamin tersebut, dan gejala awal ialah anemia megaloblastik. Untuk membuat diagnosis perlu diperhatikan gejala klinis dan laboratoris. Terapi ditujukan untuk penggantian atau menghilangkan defisiensi tersebut.



Adamson JW, Longo DL. Anemia and polycythemia. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih edition. Volume 1. New York: McGraw -Hill; 200S.p. 329-36. Babior BM, Bunn H E Megaloblastic anemias. Harrison's principles of internal medicine. 16"' edition. Volume 1. New York: McGrawHill; 2005. p. 601-7. Hillman RS. Hematopoietic agent. Growth factors, minerals and vitamins 111, vitamin B12, folic acid, and the treatmeyt of megaloblastic anemias. In: Goodman & Gilman's The Ph,armacological Basis of Theurapeutic, editors. l o r hedition International edition. New York: Mc Graw-Hill; 2001. p. 1503-14. Lipschitz DA. Anemia in the elderly. Principle of geriatric medicine and gerontology. 2ndedition. New York: Mc Grawth-Hill, Inc; 2000. p. 662-8. Russel RM. Vitamin and trace mineral defisiensi and excess. Hanison's principles of internal medicine. 16'h edition. Volume I. New York: McGraw-Hill; 2005. p. 403-1 1. Soenarto. Permasalahan pengelolaan anemia. Kedaruratan medik I1 2001. Pertemuan Ilmiah Tahunan ke V Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Semarang. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2001. p. 48-67.



ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN Elias Parjono, Kartika Widayati Taroeno-Hariadi



Anemia hemolitik imun (autoimmune hemolytic anemia = AIHA 1AHA) merupakan suatu kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek.



Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi sistem komplemen, aktifasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya. 1. aktifasi sistem komplemen. Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan hancumya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler.yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri. Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur altematif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG 1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh. a aktifasi komplemen jalur klasik. Reaksi diawali dengan aktivasi C 1 suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. C 1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (dkenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformational sehingga



I



'



mempu berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalarn sel sehingga sel membengkak dan ruptur. h aktifasi komplemen jalur alternatif. Aktifator jalur altematif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah meiijadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran. 2. Aktifasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular. Jika sel darah disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi pemsakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.



I. Anemia Hemolitik Auto lmun (AIHA) A. AlHA tipe hangat 1. idiopatik 2. sekunder (karena cll, limfoma, SLE) B. AlHA tipe dingin 1. idiopatik 2. sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus, keganasan limforetikuler) C. Paroxysmal Cold hemoglobinuri 1. idiopatik 2. sekunder (viral, dan sifilis) D. AlHA Atipik 1. AIHA tes antiglobulin negatif 2. AlHA kombinasi tipe hangat dan dingin II. AlHA diinduksi obat Ill. AlHA diinduksi aloantibodi A. Reaksi Hemolitik Transfusi B. Penyakit Hemolitik pada Bayi Baru Lahir



Anemia Hemolitik Imun dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (Tabel 1)



DIAGNOSIS Gambar 1. Aktifasi komplemen pada AlHA



ETlOLOGl Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan tejadi karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.



Gambar 2. Skema Direct Antiglobulin Test



Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit DirectAntiglobulin Test (direct Coomb's test):sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplomen, terutarna IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan tejadi aglutinasi.



Gambar 3. Indirect Antiglobulin Test



Indirect antiglobulin test (indirect Coomb's test): untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi. Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi secara optimal pada suhu 37OC. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain. 1. Gejaia dan tanda: Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan dernam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri abdomen, dan anemia berat. UM berwama gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali w a d i pada 50-60%,hepatomegali terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan lirnfonodi. 2. Laboratorium: Hemoglobin sering dijumpai di bawah 7 gldl Pemeriksaan Coomb direk biasanya positip Autoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi dengan semua sel eritrosit normal. Autoantiodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh. 3. Prognosis dan survival. Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyqmbuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%. Anemia, DVT, emboli pulmo, infark lien, dan kejadian kardiovaskuler lain bisa terjadi selamaperiode penyakit aktif. Mortalitas selama 5-10 tahun sebesar 1525%. Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit yang mendasari. 4. Terapi: a. Kortikosteroid : 1- 1.5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan menunjukkan respon klinis baik



(Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes c o o positip lemah, tes coomb indirek negatip). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke90. Bila ada tanda respons terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu sarnpai mencapai dosis 10-20 mglhari. Terapi steroid dosis < 30mglhari dapat diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah, namun bila dosis perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain. b. Splenektorni.Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukantapering dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancumn sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, narnun akan dibutuhkanjurnlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%, namun tidak bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi. c. Imunosupresi.Azathioprin 50-200mg/hari (80 mg/m2), siklofosfarnid50-150 mg/hari (66 mgIm2) d. Terapi lain: Danazol 600-800 mglhari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol diturunkanmenjadi 2 0 0 4 0 mg.hari. Kombinasi Danazol dan prednison memberikan hasil yang bagus sebagai terapi inisial dan memberikan respon pada 80% kasus. -Efekdanazol berkurang bila diberikan pada kasus relaps atau Evan's Syndrome Terapi immunoglobulininiravena(400 mg/kgBB per hari selama 5 hari) menunjukkan perbaikan pada beberapa pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada beberapa pasien lain. Menurut Flores respon hanya 40%Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan responsnya bersifat sementara. Mycophenolatemofetil500mg perhari sampai l000mg per hari dilaporkan memberikan hasil yang bagus pada AIHA refrakter.



-



Rituximab dan alemtuzumab pada beberapa laporan memperlihatkan respon yang cukup menggembirakan sebagai salvage therapyi7.Dosis Rituximab 100 mg per minggu selama 4 minggu tanpa memperhitungkan luas permukaan tubuh. Terapi plasmafaresis masih kontroversial. e. Terapi transfusi: terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada kondisi yang mengancam jiwa (rnisal Hb 5 3 gtdl) transfusi dapat diberikan, sambil menunggu steroid dan immunoglobulin untuk berefek.



ANEMIA HEMOLlTlK IMUN TlPE DlNGlN Terjadinya hemolisis diperantarai antibodi dingin yaitu aglutinin dingin dan antibodi Donath-Landstainer. Kelainan ini secara karakteristik memiliki aglutinin dingin IgM monoklonal. Spesifisitas aglutinin dingin adalah terhadap antigen Ui. Sebagian besar IgM yang punya spesifisitas terhadap anti-I memiliki VH4-34. Pada ummnya aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan titer ini akan meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Antigen Ili bertugas sebagai reseptor mycoplasma yang akan meyebabkan perubahan presentasi antigen dan menyebabkan produksi autoantibodi. Pada limfoma sel B, aglutinin dingin ini dihasilkan oleh sel limfoma. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan sel darah merah dan terjadi lisis langsung dan fagositosis. a. gambaran klinik: sering terjadi aglutinisasi pada suhu dingin. Hemolisi berjalan kronik. Anemia biasanya ringan dengan Hb: 9-12 gldl. Sering didapatkan akrosianosis, dan splenomegali b. laboratorium: anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs positif, anti-I, anti-I, anti Pr, anti- M, atau anti-P. c. Prognosis dan survival. Pasien dengan sindrom kronik akan merniliki survival yang baik dan cukup stabil d. Terapi: menghindarai udara dingin yang dapat memicu hemolisis Prednison dan splenektomi tidak banyak membantu Chlorambucil2-4mglhari Plasmafaresis untuk mengurangi antibodi IgM secara teoritis bisa mengurangi emolisis, namun secara praktik ha1 ini sukar dilakukan.



PAROXYSMAL COLD HEMOGLOBINURI Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi secara masif dan bemlang setelah terpapar suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan, karena berkaitan dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim autoandibodi Donath-Landsteiner dan protein komplemen



.



berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali 37 C, terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein komplemen yang lain. a. gambaran klinis; AIHA (2-5%), hemolisis paroksismal disertai menggigil, panas, mialgia, sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam. Sering disertai urtikaria b. laboratorium: hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositos. Coombs positif, antibodi DonathLandsteiner ~erdisosiasidari sel darah merah. c. Prognosis dan survival: pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki prognosis. Prognosis pada kasus-kasus idiopatik pada umumnyajuga baik dengan survival yang panjang. d. Terapi: menghindari faktor pencetus. glukokortikoid dan splenektomi tidak ada manfaatnya.



ANEMIA HEMOLlTlK IMUN DllNDUKSl OBAT Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu: haptenlpenyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan kompleks ternary(mekanisme kompleks imun tipe innocent bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerayanladsorpsi protein nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes Coomb positip tanpa kerusakan eritrosit. Pada mekanisme haptenladsorpsi obat, obat akan melapisi eritrosit.dengan kuat Antibodi terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan eritrosit. Eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dimsak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan dari eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang sama (misal penisilin). Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit obat, tempat ikatan obat perrnukaan sel target, antibodi, dan aktifasi komplemen. Antibodi melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target tersebut lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi tersebut memiliki spesifisitas terhadap antigen golongan darah tertentu seperti Rh,Kell, Kidd, atau Vi. Pemeriksaan Coomb biasanya positif. Setelah aktifasi komplemen terjadi hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia dan hemoglobinuri. Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide, sulfonylurea, dan thiazide. Banyak obat menginduksi pembentukan autoantibodi terhadap eritrosit autolog, seperti contoh methyldopa. Methyldopa yang bersirkulasi dalam plasma akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh



-



pada permukaan sel darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah adalah autoantibodi, obat tidak melekat. Mekanisme bagaimana induksi formasi autoantibodi ini tidak diketahui. Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif. Eritrosit yang tua makin mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis karena proses oksidasi adalah dengan ditemukannya methemeglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz bodies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid. Pasien yang mendapat terapi sefalosporin biasanya tes Coomb positip karena adsorpsi nonimunologis, immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen dan plasma protein lain pada membran eritrosit. a. Gambaran klinis: riwayat pemakaian obat tertentu positip. Pasien yang timbul hemolisis melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisi ringan sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolis akan terjadi secara berat, mendadak dan disertai gaga1 ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, rnaka hemolisis sudah dapat terjadi pada pemaparan dengan dosis tunggal. b. Laboratorium: anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes Coomb positip. Lekopenia, trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada hemolisis yang diperantarai kompleks ternary. c. Terapi: Dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu, hemolisis dapat dikurangi. Kortikosteroid dan transfusi darah dapat diberikan pada kondisi berat.



ANEMIA HEMOLlTlK ALOIMUN 'TRANSFUSI



KARENA



Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan karena ketidaksesuaian ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A pada penderita golongan darah 0 yang memiliki antibodi IgM anti -A pada serum) yang akan memicu aktifasi komplemen dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam beberapa menit pasien akan sesak napas, demam,nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah, dan syok. Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya disebabkan karena adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap antigen minor ertrosit. Setelah terpapar dengan sel-sel antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat kadarnya dan menyebabkan hemolisis ekstravaskular.



Thomas AT. Autoimmune Hemolytic Anemia. In Lee GR, Foerster J, Lukens J eds. Wintrobe's Clinical Hematology. lothed. Williams&Wikins, Baltimore. 1999: 1233-1255 Petz LD, Allen DW, Kaplan ME. Hemolytic Anemia: Congenital and Aquired in Mazza JJ ed. Manual of Clinical Hematology. 2"d ed. Little, Brown and Co, Boston, 1995 : 87-1 14 Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis of Autoimmune Hemolytic Anemia: cold agglutinin disease.Uptodate 2004 (12) 2 Rosse WF, Schrier SL. Clinical Features and Treatment of Autoimmune Hemolytic anemia: warm agglutinin.Uptodate 2004 (12) 2 Rosse WF, Schrier SL. Pathogenesis of Autoimmune Hemolytic anemia: warm agglutinin and Drugs.Uptodate 2004 (12) 2 Janeway C, Travers P, Walport M. Sclomchik M. lmmunobiology: the immune system in health and disease.5Ih ed. Churcil Livingstone. 2001 Dhaliwal G, Cornet PA, Tierney LM. Hemolytic Anemia. Am Fam Physician 2004;69:2599-2606. Lichtman MA,Beutler E, Kipps TI, Williams WJ. Hemolytic Anemia Resulting from Warm-Reacting Antibodies. Williams Manual of Hematology. 6Ih ed. McGraw Hill, 2003: 127-132. Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Cryopathic Hemolytic Anemia Williams Manual of Hematology. 6Ih ed. McGraw Hill, 2003: 133-136. Kelton JG, Chan h, Heddle N, Whittaker S. Acquired Hemolytic Anemia. Blood and Bone Marrow Pathology: 185-202 Stiene-Martin EA, Lotsoeich-Steininger CA, Koepke JA. Acquired lmmune Anemias of lncreased Destruction. Clinical Hematology: Principles, Procedures, Correlation. 2"* ed. Lippincott, Philadelphia, 1998:280-292 Rosse WF. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria. Uptodnte 2004 (12) 2 Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Drug induced Hemolytic Anemia. Williams Manual of Hematology. 6"'ed. McGraw Hill, 2003: 137-142 Lichtman MA,Beutler E, Kipps TJ, Williams WJ. Transfusion of Blood and Red Cells. Williams Manual of Hematology. 6Ih ed. McGraw Hill, 2003: 513-520 Hoffman PC, Gertz MA, Brodsky RA. Immune Hemolytic AnemiaSelected Topic. Hematology 2006: 1-6 Reardon JE, Marques MB. Laboratorium Evaluation and Transfusion Support of Patients with Autoimmune Hemolytic Anemia Am J Clin Pathol 2006: 125(Supl ) : S7 1 -S77 Shanafelt TD, Madueme HL, Wolf RC, Teferri A,. Rituximab for Immune Cytopenia in Adults: Idiopathic Thrombocytopenia. Autoimmune Hemolytic Anemia, Evan's syndrome. Mayo Clin Proc 2003:78: 1340-1346 Provan D, Butler T, Evangelista ML. Activity and Safety Profile of Low Dose Rituxzimab for the treatment of Autoimmune Cytopenias in Adults. Haematologica 2007;92:1695- 1698.



ANEMIA HEMOLITIK NON IMUN :Ikhwan Rinaldi, Aru W. Sudoyo



PENDAHULUAN Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya.



Etiologi dan Klasifikasi Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena: 1). defek molekular: hemoglobinopati atau enzimopati; 2). abnormalitas struktur dan fungsi membran-membran; 3). faktor lingkungan seperti trauma, mekanik atau autoantibodi. Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi:



Anemia hemolisis herediter, yang termasuk kelompok ini adalah: Defek enzim/enzimopati - Defek jalur Embden Meyerhof - Defisiensi piruvat kinase - Defisiensi glukosa fosfat isomerase - Defisiensi fosfogliserat kinase - Defek jalur heksosa monofosfat - Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase



- Defisiensi glutation reduktase Hemoglobinopati - Thalassemia - Anemia sickle cell - Hemoglobinopati lain Defek membran (membranopati): sferositosisherediter



Anemia hemolisis didapat, yang termasuk kelompok ini adalah: Anemia hemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan autoimun, infeksi, transfusi Mikroangiopati, misalnya: Trombotik Trombositopenia



Purpura (TTP), Sindrom Urernik Hemolitik (SUH), Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)lDisseminated Intravascular Coagulatioan (DIC), preeklampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium Berdasarkan ketahanan hidupnya dalam sirkulasi darah resipien, anemia hemolisis dapat dikelompokkan menjadi: 1).Anemia hemolisis intrakorpuskular. Sel eritrosit pasien tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibe1,'sedangkansel eritrosit kompatibel normal dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien; 2). Anemia hemolisis ekstrakorpuskular. Sel eritrosit pasien dapat bertahan hidup di sirkulasi darah resipien yang kompatibel, tetapi sel eritrosit kompatibel normal tidak dapat bertahan hidup di sirkulasi darah pasien. Berdasarkan ada tidaknya keterlibatan imunoglobulin pada kejadian hemolisis, anemia hemolisis dikelompokkan menjadi: Anemia hemolisisis imun. Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibodi yang biasanya IgG atau gM yang spesifik untuk antigen eritrosit pasien (selalu disebut autoantibodi).



Anemia hemolisis non imun. Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan imunoglobulin tetapi karena faktor defek molekular, abnormalitas struktur membran, faktor lingkungan yang bukan autoantibodi seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eiitrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan klostridium. Pada bagian ini yang dibahas hanya anemia hemolisis non imun yang bukan disebabkan oleh thalasemia dan hemoglobinopati lain.



-



Patofisiologi Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular.Hal ini tergantung pada patologi yang mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravaskular, destruksi e~itrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik, fiksasi komplernen dan aktivasi sel pe~mukaanatau >infeksiyang langsung mendegradasi dan mendestruksi men~bransel eritrosit. Hemolisis intravaskularjarang terjadi. Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis .ekstravaskular. Pada hemolisis ekstravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga 'difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.



Manifestasi Klinis Penegakkan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pasien mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien mungkin juga mengeluh kuning dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan terpajan toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting yang harus ditanyakan saat anamnesis. Pada perneriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa kuning. Splenomegali didapati pada beberapa anemia 'hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardia dan aliran murmur pada katup jantung. . Selain hal-ha1 umum yang dapat ditemukan pada anemia hemolisis di atas, perlu dicari saat anamnesis dan pemeriksaan fisik hal-ha1 yang bersifzt khusus untuk anemia hemolisis tertentu. Misalnya, ditemukannya ulkus tungkai pada anemia sickle cell.



Pemeriksaan Laboratorium Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis. Retikulositosis mencerminkan adanya hiperplasia eritroid di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum tulang tidak selalu diperlukan. Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari setelah penurunan hemoglobin. Diagnosis banding retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielotisis dan perbaikan supresi eritropoeisis. Anemia pada hemolisis bisanya normositik, meskipun retikulositosis meningkatkan ukuran mean corpuscular volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukkan adanya hemolisis dan penyebabnya. Misalnya sferosit pada sferositosis herediter, anemia hemolitik autoimun; sel target pada thalasemia, hemoglobinopati, penyakit hati; Schistosit pada mikroangiopati, prostesis intravaskular dan lain-lain. Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain, peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutama LDH 2, dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan destruksi eritrosit. Baik hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular,



meningkatkan katabolisme heme dan pembentukan bilirubin tidak terkonjugasi. Hemoglobin bebas hasil hemolisis terikat dengan haptoglobin. Hemoglobinhaptoglobin ini segera dibersihkan oleh hati hingga kadar haptoglobin rnenjadi rendah sampai tidak terdeteksi. Pada hemolisis intravaskular kadar hemoglobin bebas dapat melebihi kadar haptoglobin sehingga hemoglobin bebas difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi oleh tubulus proksimal dan mengalami metabolisme. Hasil metabolisme di ginjal ini menghasilkan ikatan antara besi heme dengan simpanan protein (feritin dan hemosiderin). Selanjutnya hemosiderin dikeluarkan ke urin dan terdeteksi sebagai hemosiderinuria. Pada hemolisis intravaskular yang masif, ambang kapasitas absorpsi heinoglobin oleh tubulus proksimal terlewati, sehingga hemoglobin dikeluarkan ke urin dalarn bentuk hemoglobinuria.



Pada sel eritrosit terjadi metabolisme glukosa untuk menghasilkan energi (ATP). ATP digunakan untuk kerja pompa ionik dalam rangka mempertahankan milieu ionik yang cocok bagi eritrosit. Sebagian kecil energi hasil' metabolisnie tersebut digunakan juga untuk penyediaan besi hemoglobin dalam bentuk ferro. Pembentukan ATP ini berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof yang melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase dan piruvat kinase. Selain digunakan untuk membentuk energi, sebagian kecil glukosa mengalami metabolisme dalam eritrosit melalui jalur heksosa monofosfat dengan bantuan enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD) untuk menghasilkan glutation yang penting untuk melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan. Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fofat isomerase dan glukosa 6 fosfat dehidrogenase dapat mempermudah dan mempercepat hemolisis. Berturut-turut prevalensi tersering kejadian defisiensi enzim tersebut adalah G6PD, piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase.



Defek Jalur Heksosa Monofosfat Metabolisme glukosa melalui jalur ini meningkat beberapa kali ketika eritrosit terpajan dengan obat-obatan atau toksin yang membentuk radikal oksigen. Dengan ini terjadi regenerasi glutation tereduksi, perlindungan gugus sulfhidril hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidasi. Jika jalur ini terganggu karena faktor herediter, maka kadar glutation tereduksi yang adekuat tidak dapat dipertahankan sehingga gugus sulfhidril hemoblobin teroksidasi, terpresipitasi dalam eritrosit dan membentuk Heinz bodies. Terganggunya jalur ini dapat disebabkan oleh defisiensi G6PD dan glutation reduktase. Namun dernikian, kelainan pada glutation reduktase belum terbukti berhubungan bermakna dengan hemolisis.



1159



ANEMIAHEMOIS~~K NON AUTOIMUN



Defisiensi GGPD



Etiologi dan epidemiologi.Defisiensi enzim ini paling sering mengakibatkan hemolisis. Enzim ini dikode oleh gen yang terletak di kromosom X sehingga defisiensi G6PD lebih sering mengenai laki-laki. Pada perempuan biasanya carrier dan asimptomatik. Di seluruh dunia, terdapat lebih dari 400 varian G6PD. Berbagai varian ini terjadi karena adanya perubahan subtitusi basa berupa peggantian asam amino. Banvaknva , , varian ini menimbulkan variasi manifestasi klinik lebar, mulai dari hanya anemia hemolitik nonsferositik tmpa stres oksidan, anemia hemolitik yang hanya terjadi ketika distimulasi dengan stres oksidan ringan, sampai pada abnormalitas yang tidak terdeteksi secara klinis. G6PD normal disebut tipe B. Diantara varian G6PD yang bermakna secara klinik adalah tipe A-. Tipe ini terutama ditemukan pada orang keturunan Afrika. Tipe Mediteranian relatif sering ditemukan diantara orang Mediteranian asli, dan lebih berat dari varian A- karena dapat mengakibatkan anemia hemolitik nonsferositik tanpa adanya stres oksidatif yang jelas. 1Wanifestasi klinis. Aktivitas G6PD yang normal menurun -50% pada waktu umur eritrosit mencapai 120 hari. Pada Tipe A- penurunan ini terjadi sedikit lebih cepat dan lebih cepat lagi pada varian Mediteranian. Meskipun umur eritrosit pada tipe A- lebih pendek namun tidak menimbulkan anemia kecuali bila terpajan dengan infeksi virus dan bakteri di samping obat-obatan atau toksin yang dapat berperan sebagai oksidan yang mengakibatkan hemolisis. Obat-obatan atau zat yang dapat mempresipitasi hemolisis pada pasien dengan defisiensi G6PD adalah asetanilid, fuzolidon (furokson),isobutil nitrit, metilen blue, asam nalidiksat, naftalen, niridazol, nitrofurantoin, fenazopiridin (piridium), primakuin, pamakuin, dapson, sulfasetamid, sulfametoksazol, sulfapiridin, tiazolsulfon, toluidin blue, trinitrotoluen, urat oksidase, vitamin K, doksorubisin. Asidosis metabolikjuga dapat mempresipitasi hemolisis pada pasien defisiensi G6PD. Hemolisis akut terjadi beberapa jam setelah terpajan dengan oksidan, diikuti hemoglobinuria dan kolaps pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis biasanya self-limited karena yang mengalami destruksi hanya populasi eritrosit yang tua saja. Pada tipe A- massa eritrosit menurun hanya 25-30%. Ketika hemolisis akut hematokrit turun cepat diiringi oleh peningkatan hemoglobin dan bilirubin tak terkonyugasi dan penurunan haptoglobin. Hemoglobin mengalami oksidasi dan membentuk Heinz bodies yang tampak pada pewarnaan supravital dengan violet kristal. Heinz bodies tampak pada hari pertama atau saqpai ketika badan inklusi ini siap dikeluarkan oleh limpa sehingga membentuk "bite cells". Mungkin juga ditemukan beberapa sferosit. Sebagian kecil pasien defisiensi G6 PD ada yang sangat sensitif dengan fava beans (buncis) dan dapat mengakibatkan krisis hemolisis fulrninan setelah terpajan.



Diagnosis. Diagnosis defisiensi G6PD dipikirkan jika ada episode hemolisis akut pada laki-laki keturunan Afrika atau Mediteranian. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang kemungkinan terpajan dengan zat-zat oksidan, misalnya obat atau zat yang telah disebutkan di atas. Pemeriksaan aktivitas enzim mungkin false negatif jika eritrosit tua defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu pemeriksaan aktivitas enzim perlu diulang dua sampai tiga bulan kemudian ketika ada sel-sel yang tua. Terapi. Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, hemolisis terjadi self- limited sehingga tidak perlu terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan hindari obat-obatan atau zat yang mempresipitasihemolisis serta mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena adanya hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis berat, yang bisa terjadi pada varian Mediteranian, mungkin diperlukan transfusi darah. Yang terpenting adalah pencegahan episode hemolisis dengan cara mengobati infeksi dengan segera dan memperhatikan risiko penggunaan obat-obatan, zat oksidan dan fava beans. Khusus untuk orang Afnka atau Mediteranian sebaiknya sebelum diberikan zat oksidan harus dilakukan skrining untuk mengetahui ada tidaknya defisiensi G6PD. Defek Jalur Embden Meyerhof



Etiologi dan epidemiologi. Enzim yang dapat terganggu pada jalur ini dan mengakibatkan anemia hemolisis adalah piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat kinase. Yang terbanyak adalah defisiensi piruvat kinase (95%). Sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase hanya sekitar 4%. Defek enzim glikolisis ini bisanya diturunkan secara autosomal resesif kecuali fosfogliserat kinase yang diturunkan terkait seks. Kelainan ini mengakibatkan eritrosit kekurangan ATP dan ion kalium keluar sel. Sel eritrosit menjadi kaku dan lebih cepat disekuestrasi oleh sistem fagosit mononuklir. Defisiensi piruvat kinase hanya mengenai sel eritrosit, sedangkan defisiensi glukosa fosfat isomerase dan fosfogliserat kinase juga mengenai sel leukosit meskipun tidak mempengaruhi fungsi leukosit. Manifestasi klinis. Beratnya anemia bervariasi dan gejalanya relatif ringan karena terjadi disosiasi kurva hemoglobin ke kanan. Hemolisis berat terjadi pada masa awal kanak-kanak dengan anemia, ikterus dan splenomegali. Pada perempuan dengan defsisiensi piruvat kinase dapat sangat pucat ketika hamil sehingga sering didiagnosis pertama kali saat itu. Anemia pada pasien ini berupa anemia normositik (makrositik ringan) normokram deogan retikulositosis. Pada defisiensi piruvat kinase dapat ditemukan eritrosit bizar di antaranya sel prickle terutama setelah splenektomi. Diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan



enzimatik khusus dengan menggunakan konsentrasi substrat yang sesuai untuk mendeteksi varian-varian berafinitas rendah terhadap substrat. Terapi. Sebagian besar pasien tidak membutuhkan terapi kecuali pasien dengan hemolisis berat hams diberikan asam folat 1 mglhari. Transfusi darah diperlukan ketika krisis hipoplastik. Splenektomi bermanfaat pada pasien dengan defisiensi piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase. Dengan splenektomi retikulosit di sirkulasi meningkat.



Tipe



Sebab



.



Kegagalan degradasi faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa



Thrombotic Trombocytopenia Purpura



Trombus trombositfibrin predominan di ginjal



Pajanan dengan toksin Shiga



Klasik, kanak-kanak atau Hemolytic Uremic Syndrome yang berhubungan dengan E. Coli Hemolytic Uremic Syndrome (HUS) familial (atau rekuren)



Defek faktor H plasma



Pada hemolisis rnikroangiopatik terjadi kerusakan membran sel eritrosit secara mekanik dalam sirkulasi darah karena adanya fibrin atau mikrotombi trombosit yang tertimbun di arteriol. Sel eritrosit terperangkap dalam jala-jala fibrin dan mengakibatkan terfragmentasinya sel eritrosit. Hemolisis mikroangiopatik dapat terjadi pada abnormalitas dinding pembuluh darah, misalnya pada hipertensi maligna, eklampsia,rejeksi allograft ginjal, kanker diseminata, hemangioma atau disseminated intravascular coagulation (DIC), dan mikroangiopati trombotik: Trombotic Thrombocytopenia Purpura (TTP) dan Hemolytic Uremic Syndrome (HUS).



Mikroangiopati Trombotik Mikroangipati trombotik adalah sumbatan mikrovaskular yang terjadi karena agregasi trombosit sistemik atau intra,?.~lal, disertai adanya trombositopenia, dan trauma mek,.;ni.ksel eritrosit.Yang termasuk kelompok kelainan ini adalah: Thrombotic Trombositopenia Purpura (TTP) dan Hemolytic Uremic Syndrome (HUS). Thrombotic Trombocytopenia Purpura (TTP) ~ e l a i n a nini ditandai dengan agregasi trombosit pada arteriol berbagai organ yang mengakibatkan trombositopenia dan memicu kerusakan sel eritrosit yang mengalami fragmentasi (schistocytes atau sel helmet). Agregasi trombosit dapat mengakibatkanoklusi baik parsial atau total sehingga terjadi disfungsi organ yang biasanya terjadi pada sistem saraf atau ginjal. Oklusi ini menyebabkan jaringan iskemia atau nekrotik sehingga meningkatkan kadar laktat dehidrogenase. Adapun eritrosit yang mengalami fragmentasi terjadi karena adanya aliran darah melalui area turbulen dari rnikrosirkulasi mengalami oklusi parsial karena agregasi trombosit. TTP dapat terjadi pada semua usia terutama dewasa muda dan lebih sering perempuan. Patogenesis. Pada TTP trombus tombositlagregasi trombosit mengandung banyak faktor von Willebrand sedangkan pada DIC tombus trombosit mengandung banyak fibrin tetapi tidak mengandung faktor von



Presentasi klinis -



Trombus tombosit sistemik



Trombus renal atau sistemik



Transplantasi atau obat (mytomicin, cyclosporin, tacrolimus, quinine)



Hemolytic Uremic Sydrome atau Thrombotic Trombocytopenia Purpura



Wilebrand. Situasi ini karena agregasi trombosit pada?TP diperantarai oleh faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa, yang lebih mudah:berikatan dengan Iba. Adanya faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa ini karena adanya defek atau defisiensi enzim metaloprotease, ADAMTS 13, yang bertugas memecah multimer faktor von Wilebrand.Defek atau defisiensi enzim ini dapat terjadi karena mutasi gen atau adanya antibodi yang menghambat enzim tersebut. Sehingga ditemukan dua tipe TTP yaitu familial dan didapat. Pada kedua tipe ini aktivitas ADAMTS 13 kurang dari 5 persen normal. Manifestasi klinik. Manifestasi klinik klasik TTP adalima, yang sering disebut dengan pentad TTP, yaitu anemia hemolitik dengan fragmetasi eritrosit, trombositopenia, kelainan neurologik fokal atau difus, penuiunan fungsi ginjal dan demam. Secara praktis triad ITP:trombositopenia, skistositosis, dan peningkatan LDH cukup untuk menduga adanya TTP. Gejala dan tanda TTP bervariasi tergantung pada jumlah dan lokasi lesi arteriol. Anemia pada TTP bisa sangat ringan sampai sangat berat dan derajat trombositopenia biasanya paralel dengan derajat anemia. Gejala neurologi biasanya tarnpakjika jumlah trombosit (40.000-30.000). Demam tidak selalu ada. Onset TTP akut tetapi bisa berlangsung dalam hitungan bulan. Proteinuria dan peningkatan urea nitrogen darah (BUN) mungkin ditemukan dan terus meningkat jika berkembang menjadi gagal ginjal. Gejala neurologis berkembang pada >90% pasien yang penyakitnya berakhir dengan kematian. Awalnya terjadi perubahan mental seperti bingung, delirium, perubahan kesadaran. Pasien dapat mengalami kejang, hemiparesis, afasia, dan kelainan lapang pandang mata. Gejala neurologis ini berfluktuasi dan berakhir dengan koma. Keterlibatan pembuluh darah jSCntung bisa mengakibatkan kematian mendadak. Beratnya kelainan dapat diperkirakan dengan derajat



ANEMIA H E M o m NON AVrOIMUN



anemia, trombositopenia, dan kadar serum LDH. Masa protrombin, masa tromboplastin parsial, dan . konsentrasi fibrinogen serta kadar fibrin degradation product (FDP) biasanya normal atau hanya abnormal ringan. Bilapemeriksaan koagulasi menunjukkan konsumsi faktor pembekuan yang berlebihan maka diagnosis TTP diragukan. Pada 20% pasien didapatkan Anti nuclear antibody (ANA) yang positif.



Klasifikasi Ada dua tipe TTP: 1). Familial. Muncul pada masa bayi atau kanak-kanak dan kambuh dengan interval teratur tiga minggu (dirujuk sebagai thrombotic trombositopenia kronik kambuh); 2). Idiopatik didapat. Muncul pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua dan biasanya merupakan episode akut tunggal. Hanya 11-36% yang kambuh dengan interval tidak teratur. Biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah terapi awal trombosis arteri pada pasien trombosis arteri yang mendapat tiklopidin, inhibitor adenosis disfosfat (ADP) dan sebagian kecil yang pasien yang menerima Mopidogrel. Kelainan ini juga bisa terjadi pada waktu kehamilan terutama trimester akhir atau periode postpartum. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya anemia hemolitik dengan fragmentasi eritrosit, tes koagulasi normal, demam, kelainan neur~logidan gangguan fungsi ginjal, yang merupakan kelainan patognomonik untuklTP. Meski tidak selalu dibutuhkan untuk diagnosis, biopsis kulit dan otot, gusi, kelenjar getah bening, atau sumsum tulang, menunjukkan kelainan arteriol yang khas. Diagnosis Banding. Idiopathic trombocytopenic purpura (ITP) atau Evan's Syndrome. Pada kedua kelainan ini ditemukan juga fragmentasi eritrosit tetapi bukan eritrosit sferositik. Pada TTP tes Coombs negatif Terapi. Pada TTP familial, episode TTP dapat dicegah dengan pemberian fresh frozen plasma yang mengandung sedikit trombosit, plasma mengandung sedikit kriopresipitat (cryosupernatant) atau plasma yang dicampur dengan pelarut dan detergen yang berisi metaloprotease aktif yang diberikan tiap tiga minggu. Tidak dibutuhkan plasmaferesis. Pada TTP idiopatik didapat perlu dilakukan plasma exchage (plasma tukar) yaitu kombinasi plasmaferesis dengan infus FFP atau cryosupernatant, setiap hari. Plasmaferesis bertujuan untuk mengeluarkan faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa dan autoantibodi terhadap ADMTS 13). Jika respon baik (trombositmeningkat dan LDH menurun) frehensi plasma tukar dapat dikurangi tetapi kadang-kadang diteruskan untuk beberapa minggu atau bulan. Lebih dari 90% pasien dapat bertahan hidup dengan pemberian segera terapi ini. Pada keadaan dimana autoantibodi ADAMTS 13



titernya tinggi terapi plasma tukar mungkin tidak memperbaiki keadaan. Pada kondisi ini dapat diberikan vincristine, siklofosfamid, atau dilakukan splenektomi. Koma tidak merupakan kontraindikasi terapi karena perbaikan status neurologi pasien merupakan parameter respons terapi. Transfusi trombosit tidak boleh diberikan karena dapat mempresipitasi kejadian trombosis kecuali terbukti adanya ancaman perdarahan intrakranial. Aspirin dapat inemprovokasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia berat.



Hemolytic Uremic Syndrome ( H U S ) Etiologi, epidemiologi dan patogenesis. HUS terjadi pada 9-30% anak-anak. Di Buenos Aires Argentina, dan Calgary, Canada, infeksi enterohemoragik E. Coli endemik dan HUS menjadi sebab umum gagal ginjal akut pada anak-anak. Biasanya diawali dengan diare berdarah yang disebabkan oleh Eschericia Coli 0157:H7 yang menghasilkan toksin Shiga 1 dan 2 dan Shigela dysentriae yang menghasilkan toksin Shiga, yang sering mengkotaminasi daging, susu, dan keju yang tidak dimasak dengan matang. Diare berdarah biasanya terjadi satu minggu sebelum HUS. Toksin shiga masuk ke dalam sirkulasi intestinal dan berjalan di dalam plasma dan permukaan trombosit atau monosit. Toksin berikatan dengan molekul endotel kapiler glomerular, sel mesangial, dan sel epitel glomerulardan tubular, yang kemudian merusak endotel sel melalui pembentukan faktor von Wilebrand multimer besar yang tidak biasa. HUS bisa familial tapi jarang (5-10%). Meski jarang, mortalitas HUS familial lebih tinggi (54%) daripadaHUS pada anak-anak (5%). Sebagianbe.sar pasien HUS familialmengalami defisiensi atau defek faktor komplemen H yang bertugas mencegah kerusakan sel melalui jalur altematif komplemen. Defek faktor H ini terjadi karena adanya mutasi pada gen faktor H yang dapat diturunkan secara resesif dan dominan. Herediter resesif bermanifestasi HUS pa& dewasa muda sedangkan herediter dominan bermanifestasi HUS dipresipitasi oleh infeksi atau kehamilan. Di sarnping dua tipe di atas, ditemukanjuga HUS yang terjadi pada pasien yang diterapi dengan obat antikanker mitomycin C, bisanya dalam kombinasi dengan obat lain dan pasien yang menerima kemoterapi dosis tinggi dengan transplantasi sumsum tulang autologus. Manifestasi klinik. Kelainan ini hampir sama dengan lTP, bercirikan lesi arteriol dan temuan laboratoriunyang sama. Lesi arteriol HUS hanya terjadi di ginjal sehingga jarang menimbulkan kelainan neurologi. Anemia hemolitik, trombositopenia purpura, dan gagal ginjal akut oligurik. Kebanyakanpasien mengalami hemoglobinuriaatau anuria. Pemeriksaan darah tepi dan tes koagulasi tidak dapat



-



dibedakan dengan 'M'P. Terapi. Pada HUS ringan pada anak-anak dengan oligoanuria - 30.000/pL, AT >50.000/pL setelah 10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespon bila peningkatan AT < 30.0001pL, AT 50.0001pL setelah terapi 10 hari. Respon menetap bila AT menetap > 50.0001pL setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simptomatik persisten dan trombositopeniaberat (AT < 10.000lpL) setelah mendapat terapi prednison perlu dipertimbangkan untuk splenektomi. Imunoglobulin intravena. Imunoglobulin intravena (IgN) dosis 1 glkglhari selama 2 - 3 hari berturut-tumt digunakan bila terjadi perdarahan internal, saat AT < 5.000lpLmeskipun telah mendapat terapi kortikosteroid dalam beberapa hari atau adanya purpura yang perogresif. Harnpir 80% penderita berespon baik dengan cepat meningkatkan AT namun perlu pertimbangan biaya. Gaga1 ginjal dan insufisiensi paru dapat terjadi serta syok anafilaktik pada penderita yang mempunyai defisiensi IgA kongenital. Mekanisme kerja IgIV pada PTI masih belum banyak diketahui, namun meliputi blokade fc reseptor; antiidiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.



Splenektomi.Splenektorni untuk terapi PTI telah digunakan sejak tahun 1916 dan digunakan sebagai pilihan terapi setelah steroid sejak tahun 1950-an.Splenektomi pada PTI dewasa dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua yang gagal berespon dengan terapi kortikosteroid atau yang perlu terapi trombosit terus menenis. Efek splenektomi pada kasus yang berhasil adalah menghilangkan tempat-tempat antibodi yang tertempel trombosit yang bersifat merusak dan menghilangkan produksi antibodi anti trombin. Indikasi splenektomi sebagai berikut: a. Bila AT < 50.000/pL setelah 4 minggu (satu studi menyatakan bahwa semua pasien yang mengalami remisi komplit mempunyai AT > 50.000lpLdalam 4 rninggu). b. Angka Trombosit tidak menjadi normal setelah 6 - 8 minggu (karena problem efek samping). c. Angka Trombosit normal tetapi menurun bila dosis diturunkan (tapering om. Respon post splenektomi didefinisikan sebagai: Tak ada respons bila gagal mempertahankan AT 250.0001pL beberapa waktu setelah splenektomi,Relaps bila AT turun < 50.000 /& Angka 50.000 dipilih karena diatas batas ini, penderita tidak diberi terapi. Respons splenektomi bervariasi antara 50% sarnpai dengan 80%. Penanganan Relaps pertama Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang tidak berespon dengan kortikostroid, immunoglobulin iv dan immunoglobulin anti-D. Dari garnbar 4 dijelaskan bahwa lebih banyak spesialis menggunakan AT < 30.0001pL sebagai ambang batas untuk memulai terapi pada PTI daripada AT > 30.000/pL. Tidak ada konsensus yang menetapkan lama terapi kortikosteroid. Penggunaan immunoglobulin anti-D sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan hanya cocok untuk penderita Rh-positif. Apakah penggunaan IgIV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal tergantung pada beratnya trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan apakah terapi penderita yang mempunyai AT 30.000/pL sampai 50.000lpL bergantung pada ada tidaknya faktor risiko perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya risiko tinggi untuk trauma. Pada AT >50.000/pL perlu diberi IgIV sebelurn pembedahan atau setelah trauma pada beberapa pasien. Pada penderita PTI kronik dan AT < 30.000lpL I g N atau metilprednisolon dapat membantu meningkatkan AT dengan segera sebelum splenektomi.Daftar medikasi untuk terapi PTI kronik pada pasien yang mempunyaiAT < 30.0001 pL dapat dipergunakan secara individual, namun danazol atau dapson sering dikombinasi dengan prednison dosis rendah dibutuhkan untuk mencapai suatu AT hemostasis. I g N dan anti-D imunoglobulin umurnnya sebagai cadangan untuk PTI berat yang tidak respon dengan terapi oral. Untuk memutuskan apakah perlu dilakukan splenektomi, kemudian terapi medis diteruskan atau dosis ditumnkan



dan akhirnya terapi dihentikan pada penderita PTI kronik dengan AT 30.000lmL atau lebih, bergantung pada intensitas terapi yang diperlukan, toleransi efek samping, risiko yang berhubungan dengan pembedahan dan pilihan penderita.



morbiditas yang signifikan terhadap penyakit ini dan terapinya serta memiliki mortalitas sekitar 16%. FTI refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria sebagai berikut: a. PTI menetap lebih dari 3 bulan b. Penderita gaga1 berespon dengan splenektomi. c. AT < 30.0001pL.



Terapi PTI Kronik Refrakter Pasien refrakter (+ 25% - 30% pada PTI) didefinisikan sebagai kegagalan terapi kortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok ini memiliki respon terapi yang rendah, mempunyai



Pendekatan Terapi Konvensionai Lini Kedua Untuk penderita yang dengan terapi standar kortikosteroid tidak membaik, ada beberapa pilihan terapi yang dapat digunakan sebagai berikut: (i) Steroid dosis tinggi; (ii) IVIg dosis tinggi; (iii) Anti-D Intravena; (iv) Alkaloid vinka; (v)



1



Diagram Perdarahan



Trornboslt 40.000 lmrn3



1



1



Transfusi trombosit lmunoglobulinintravena (lglkglhari atau 2-3 hari) Metilprednisolon (lglhari atau 3 hari)



Trornboslt 30.000-50.000/mrn3



Trombosit r50.000lrnm~



1



1



Prednison (1-1.5 rnglkglhari) lmunoglobulin Anti-D (75 pgikg)



Prednison atau tidak diterapi



lidak diterapi



I



Purpura trornbositopenia lmun kronls



,



Trornbosit 30.000-50.0001mm3



+I



Trornbosit i30.0Wmm3



4



4



Pradnison atau tidak diterapi



,



Penjarahan



aktif



1



lmunoglobulin intravena Metilprednisolon Solenektomi



lidak ada perdarahan aktif r Prednison danazol (10-15 mglkglhari) dapson (75-100 mglhari) lmunoglobulin anti-D intravena: medis lmunoglobulin intravena



I



Trombosit c30.0001mm3 ,



$- i



Trombosit ~30.0001mm3



Spleniktomi



Splenektomi



Hentikan terapi secara perlahan atau terapi medis dilanjutkan



lmun refraktor kronis Purpura trornbositopenia Trombosit >~1).1)~/m&3 Tdak d~terap~



Trombosit k0.0001mm3



Tdak dlterapi



Penahambat kllreno t r o m h l t Prednison lmunoglobulin lntravena Alkaloid vinka Danazol



I Terapi q d i s



0 b q t ~ b aImunooupreoU t Azatioprin Siklofosfamid Sikloporin



Obat-ohat percobaan Antibodi penyerang CD 20 Antibodi penyerang CD.145 Transplantasi sumsum tulang Trombopoietin



Gambar 3. Pengelolaan PTI awitan dewasa (Sumber: Cines DB, Blanchette VS, 2002)



Danazol; (vi) Obat imunosupresif; azathioprin, siklofosfamid, (vii) kemoterapi kombinasi; dan (viii) Dapsone. Luasnya variasi terapi untuk terapi lini kedua menggambarkan relatif kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual. Steroid Dosis tinggi. Terapi penderita PTI refrakter selain prednisolone dapat digunakan deksametason oral dosis tinggi. Deksarnetason 40 mglhari selama4 hari, diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus. Dari 10 penderita dalam penelitian kecil ini semua memberi respons yang baik (dengan AT > 100.000/yL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan. Pasien yang tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya. Metilprednisolon Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini kedua dan ketiga pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dari penelitian Weil pada penderita PTI berat menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mglkg iv kemudian dosis diturunkan tiap 3 hari sampai I mgl kg sekali sehari dibandingkan dengan penderita PTI klinis ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis konvesional. Penderita yang mendapat terapi metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan mempunyai angka respon (80% vs 53%). Respon steroid intravena bersifat sementara pada sernua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap adekwat. IgIV dosis tinggi Imunoglobulin intravena dosis tinggi I mglkglhari selama 2 hari berturut-turut, sering dikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan cepat. Efek samping, terutama sakit kepala, namun jika berhasil maka dapat diberikan secara intermiten atau disubtitusi dengan anti-D intravena. Anti-D intravena Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan AT 79-90% pada orang dewasa. Dosis anti-D 50 - 75 yg/kg perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel darah merah rhesus D-positif yang secara khusus dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi bersaing dengan autoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade. *. Alkaloid vinka Semua terapi golongan alkaloid vinkajarang digunakan, meskipun mungkin bernilai ketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan cepat, misalnya Vinkristin I mg atau 2 mg iv, Vinblastin 5- 10 mg, setiap minggu selama 4-6 minggu Danazol Dosis danazol200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon sering lambat. Fungsi liver hams a



diperiksa setiap bulan. Bila 'respon terjadi, dosis ditenlskan sampai dosis niaksimal sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mglhari setiap 4 bulan. Immunosupresif dan kemoterapi kombinasi Immunosupresif diperlukan pada penderita yang gagal berespon dengan terapi lainnya. Terapi dengan azathioprin (2 mglkg maksimal 150 mglhari) atau siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat dipertimbangkan dan responnya bertahan sampai 25%. Pada penderita yang berat, simptomatik, PTI kronik refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya. Pemakaian siklofosfamid, vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah efektif dugunakan seperti pada limfoma . Siklofosfamid 50- I00 mg p.o atau 200 mg/iv/ bulan selama 3 bulan. Azathioprin 50- 100 mg p.0, bila 3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respon sampai 3 bulan turunkan sampai dosis terkecil . Dapsone Dapson dosis 75 mg p.0. per hari, respon terjadi dalam 2 bulan. Pasien-pasien hams diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai risiko hemolisis yang serius.



Pendekatan Penderita yang Gagal Terapi Standar dan Terapi Lini Kedua Sekitar 25% PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini pertama atau kedua dan memberi masalah besar. Beberapa diantaranya rnengalami perdarahan aktif namun lebih banyak yang berpotensi untuk perdarahan serta masalah penanganannya. Pada umumnya PTI refrakter kronis bisa mentoleransi trombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitas hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan terapi lini pertama dan kedua hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-a, ii) anti-CD20, (iii) Campath-IH, (iv) mycophenolate mofetil, (v) protein A columns, dan (vi) terapi lainnya.



REKOMENDASITERAPI PTI YANG GAGAL TERAPI LINIPERTAMA DAN KEDUA Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien tidak berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya perdarahan aktif). Mycophenolate mofetil tampak efektif pada beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi lebih besar diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan keamanannya. Dalam ha1 risiko: rasio manfaat, terapi dengan interferon-a, protein A columns, plasmapheresis dan liposomal doxorubicin tidaklah direkomendasikan. Rituximab adalah suatu antibodi monoklonal anti-CD 20 yang mendeplesi CD20+ sel B secara sementara yang



PURPURA TROMBOSFOPENIA lMUN



selama ini dipergunakan sebagai pengobtan limfoma NonHodgkin, telah dipergunakan untuk pengobatan PTI pada beberapa penelitian pendahuluan dengan respon berlansung 12 bulan sejak dihiyung dari onset pengobatan awal diberikan. Relaps jarang terjadi setelah 2,5 tahun dan sekitar 50% pasien diperkirakan akan terus berespon tanpa tambahan terapi untuk 5 tahun selanjutnya. Penelitian di Italia menggunakan dosis pemberian rituximab dosis tinggi 375 mgrlm2 tiap minggu selarna 4 ininggu didapatkan angka respon secara keseluruhan adalah 52%. Penelitian di London, Inggris menggunakan rituximab dosis rendah 100 mg per minggu selama 4 minggu menunjukkan rituximab dosis rendah dapat menghasil kan respon yang signifikan dan bertahan lama sehubungan dengan deplesi sel B.



PELUANG PEMAKAlAN AGEN TERKlNl Beberapa agen terapi baru menjadi peluang untuk pengobatan PTI. Beberapa penelitian terkini memberi perhatian akan peluang terhadap studi yang tentang efikasi dari agen stimulai trombopoiesis. Yang pertama melalui Agen trombopoietin (TPO) dan yang kedua melalui inhibitor spesifik terhadap Phagocyte-mediated Comsumption of Platelet.



PROGNOSIS Respon terapi dapat mencapai 50%-70% dengan kortikosteroid . Pasien PTI dewasa hanya sebagian kecil dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian pada PTI biasanya disebabkan oleh perdarahan intra kranial yang berakibat fatal berkisar 2,2 % untuk usia lebih dari 40 tahun dan sampai 47,8 % untuk usia lebih dari 60 tahun.



Braendstrup P, Bjenrum OW, Nielsen OJ, Jensen BA, Clausen NT. Hansen PB, Andersen I, Schmidt K, Andersen TM, Peterslund NA, Birgens HS, Plesner T, Pedersen BB, and Hasselbalch HC.. Rituximab Chimeric Anti - CD20 monoclonal Antibody treatment for Adult refractory Idiopathic thrombocytopenic purpura. Am J of Hematol. 2005 ;78 : 275-280. Cheng Y, S.M. Raymond, MB. Wong. Initial Treatment Idiopathic Thromocytopenic Purpura with High Dose Dexamethason. N Engl J Med. 2003; 349: 831-6.



Cines LIB, Blanchette VS. Immune Thrombocytopenic Purpura. N Engl .I Mcd. 2002: 346 (1.3): 995-1006. Eniilia G. Morcclli M: Luppi M, Longo G, Marasca R, Gandini 13, Ferraro L. Long-term Salvage Therapy with Cyclosporin A in Refractory Idiopathic Thro~nbocytopenic Purpura. Blood. 2002;99(4): 1482-5. George JN, Rizvi MA. Clinical Manifestations and Diagnosis of Idiopathic Thrombocitopenic Purpul-a 1-11 in: Up ToDate, Rose B.D. editor. Up ToDate, Wellesley, MA, 2004. George, JN. Treatment and prognosis of Idiopathic Thrombocitopenic Purpura in: Up ToDate, Rose B.D. (Ed). Up ToDate, Wellesley, MA. editors. 2004. Handin RI. Platelet Disorder and Vascular Wall in: KJ. Isselbacher. E. Braunwald, JD Wilson, JB. Martin, AS. Fauci, DL. Kasper editors. Harrison's Principles of Internal Medicine, 15Ihed. 2001. Levine SP. Thrombocytopenia Caused by Immunologic Platelet Destruction in GR. Lee, J Foerster, J Lukens, F Paraskevas, JP.Greer. GM. Rodgers editors. Wintrobe's Clinical Hematology. 10"' edition. Baltimore, Philadelphia, London.: William & Wilkins a Waverly Company; 1999. p. 1583-61 1. McMillan R. Therapy for Adults with Refractory Chronic lmmunc Thrombocytopenic Purpura. Ann Int Med. 1997; 126; 307-3 14. Provan D, Newland A. Fifty Years of Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (PTI): Management of Refractory in Adults. British J Hematol. 2002; 118: 933-944. Provan D, Norfolk D. Bolton-Maggs P, Newland PA, Lilleyman JP, Greer PI, May A, Murphy M, Ouwehand W, Watson S. Guidelines for the Investigation and Management of PTI in Adults, Children and in Pregnancy. British J Hematol. 2003; 120574596. Provan, D., Butler. T., Activity and safety profile of Low-dose Rituximab for the Treatment of Autoimmune Cytopenia in Adults. Haematologica. 2007; 92(12): 1695-98 Psaila. B.. Podolanczuk, AJ., Bussel. J.. 2007. Recent Advances in the Treatment of immune Thrombocytopenic Purpura. ww.medscape.com. Schwartz J, Leber MD, Gillis S, Giunta A. Eldor A, Bussel JB. Long Term Follow-Up after Splenectomy Performed for Immune Thrombocytopenic Purpura (PTI). Am JHematol. 2003; 72: 94-98. Stasi R, Pagano A, Stipa E, Amadori S. Rituximab Chimeric AntiCD20 Monoclonal Antibody Treatment for Adult with Chronic Idiopathic Thrombocytopenia Purpura. Blood. 2001;98:952957 Vesely S, Buchanan GR, Cohen A. Raskop G, George J. Self-reported diagnostic and management strategies in childhood idiopathic thrombocytopenic purpura: Result of a survey of practicing, pediatric hematology/oncology specislists.J Pediatric Hematol Oncol. 2000: 22: 55-61.



PAROXYSMAL NOCTURNAL HEMOCLOBINURIA (PNH) Made Putra Sedana



PENDAHULUAN Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) adalah suatu kelainan kronis didapat (acquired) yang ditandai terjadinya hemolisis intravaskuler dan hemoglobinuria yang umumnya terjadi pada saat pasien tidur dimalam hari., yang disebabkan oleh kelainan seluler karena mutasi somatic pada totipoten Hematopoetic stem cell yang menyebabkan kerusakan intrinsic pada membrane sel darah merah sehingga lebih rentan terhadap aksi lisis dari komplemen, hal ini dapat pula menimblkan trombositopenia, lekopenia dan kegawatan akibat trombosis vena. Gambaran kelainan ini pertarna kali dipublikasikan oleh Strubbing pada tqhun 1882, sedangkan karateristik Winisnya pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan Nazari pada tahun 1911serta Micheli ditahun 1931, karena itulah kelainan PNH sering juga disebut MarchiavafaMicheli syndrome. Meskipun PNH umumnya terjadi pada dekade keempat dan kelima ,tetapi dapat pula terjadi pada anak-anak dan orang tua. Secara umum gambaran klinis PNH meliputi gejala anemia, hemoglobinuria, tanda-tanda perdarahan, serta keluhan gastrointestinal. Penegakan diagnosis dapat ditentukan melalui pemeriksaan darah, urine, sumsum tulang dan sitogenetik.



Penderita dengan kelainan PNH pertama kali dipublikasikan oleh Strubing pada tahun 1882, tetapi garnbaran klinis yang khas penderita PNH pertama kali dijelaskan oleh Marchiavafa dan Micheli di Italia. Insiden PNH sangat bewariasi pada berbagai populasi dan lebih



sering terjadi di Asia Tenggara. PNH adalah penyakit yang jarang, dengan pemeriksaan yang tepat angka kejadian PNH hampir sama dengan Anemia Aplastik. PNH biasanya terjadi pada usia muda tetapi juga bisa terjadi pada anakanak dan orang tua. Perjalanan PNH umumnya terjadi pada usia lanjut, dengan "Median Suwival " 8 - 10 tahun, umumnya sebagai penyebab kematian adalah terjadinya trombosis vena yang disertai dengan infeksi sekunder oleh karena Neutropenia berat dan perdarahan oleh karena trombositopenia.



Patogenesis terjadinya PNH adalah akibat gangguan mutasi somatic pada totipotent haematopoetic stem cell. Mutasi somatic ini kemudian menyebabkan terjadinya defesiensi berbagai jenis protein yang diperlukan bagi pembentukan glycosylphosphatidylinositol anchored (GPI anchored), yakni antara lain leucocyte alkaline phosphatase, acethylcholineesterase, decay accelerating factor (DAECD55), membrane inhibitor of reactive lysis (MIRL,CD59), FcgammaRIIIb , c8 binding protein, lymphocyte function associated antigen 3, CD14, dun urokinase receotor Akibat defesiensi ini, GPI anchored yaitu suatu struktur kompleks yang berfungsi mengatur protein permukaan sel haematopoetik serta mengatur kadar complement-mediated lysis. Juga mengalami defesiensi absolute atau relative. Hal ini kemudian memberikan efek langsung terhadap proses hemolisis normal lewat dua cara. Pertama, bahwa kekurangan satu atau lebih protein GPI anchored akan menimbulkan kegagalan dalam menginhibisi alternative pathway dari proses hemolisis fisiologik dan akibatnya terjadilah pengaktifan comple-



PAROXYSMAL NOCTURNAL HENIOGLOBINURlA (PNH)



ment-mediated hemolytic Sebagai akibatnya, sel eritrosit PNH akan mengikat lebih banyak C3 aktif dari pada eritrosit normal dan banyaknya jumlah ikatan C3 ini selanjutnya berpengaruh terhadap sensitivitas lysis eritrosit. Semakin besar proporsi eritrosit yang sensitive terhadap complement-mediated lysis semakin berat derajat dari hemolisisnya. Kedua : tejadinya defisiensi dari proteinprotein anchored akan rnenyebabkan terganggunya struktur dan kadar protein permukaan hemopoetik serta terjadinya kerusakan membrane sel hemopoetik, yang menyebabkan eritrosit PNH lebih peka terhadap proses Lysis dari kornplemen. Berdasar sensitivitasnya terhadap kornplemen, secara invitro PNH dibagi menjadi 3 type yaitu :PNH I,II,III.PNH I : adalah sel eritrosit PNH yang memiliki sensitivitas normal terhadap komplemen. PNH 11dan JIIsecara berturutturut memiliki sensitivitas 3 -4 kali serta 15 - 25 kali dari sensitivitas normal. Mutasi somatic yang terjadi pada PNH tidak hanya terbatas pada eritrosit, tetapi dapat juga mencakup trombosit, leukosit dan sel-sel pluripoten hematopoesis. Karena itulah, kelainan ini dapat bermanifestasi pula sebagai kelainan displasia sumsum tulang seperti : anemia aplastik, sindroma mielodisplastik dan leukemia akut.



TANDA DAN GEJALA KLlNlS Anemia, ikterus, splenomegali. Hemoglobinuria, terutama pagi hari. Sebagian besar kasus hemoglobinuria tidak tampak dengan jelas, walaupun terjadi hemolisis kronis. Adanya anemia hemolitik kronik. Kekurangan zat besi sebagai akibat keluarnya zat besi melalui urine. Perdarahan akibat terjadinya trombositopenia. Trombosis vena ditempat-tempat yang tidak biasa : vena hepatica, sindroma Budd-Chiari, vena serebral, vena lienalis, vena subkutis , vena mesenterika Kehamilan pada pasien PNH dapat dihubungkan dengan aborsi dan trombosis vena. Manifestasi pada ginjal : hypostenuria ,kelainan fungsi tubulus, gaga1 ginjal akut dan kronik.



LABORATORIUM Gambaran anemia hemolitk. Hapusan darah tepi : sesuai dengan gambaran anemia hemolitik, sering disertai gambaran anemia defesiensi besi, dapat pula menyerupai anemia aplastik. Retikulositosis ~ s ~ h asumsum si tulang : hyperplasia eritropoesis atau hypoplasia.



Leukosit Alkalin Fosfatase rendah. Sucrose Waters Test dan Acid Hams Test : Positif. Pada pemeriksaan Urine didapatkan : Hemoglobinuria, Hemosiderinuria. Karena itu warna urine paling berwarna gelap (seperti the) pada pagi hari waktu bangun tidur dan makin siang warna urine makin terarig, seperti tampak pada gambar berikut:



Gambar 1. Urin tampung pada penderita dengan PNH



DIAGNOSIS Gejala : anemia, hemoglobinuria. Hapusan Darah Tepi : gambaran anemia hemolitik, sering disertai gambaran anemia defesiensi besi, dapat juga menyerupai anemia aplasrik. Aspirasi Sumsum Tulang : hiperplasi eritropoesis atau hypoplasi. Flowsitometri :pemeriksaan CD 59 pada eritrosit; CD 55 atau CD 59 pada granulosit. Sucrose waters Test dan Acid Hams Test : positif. Manifestasi trombosis Pada Urine : hemoglobinuria; hemosiderinuria.



DIAGNOSIS BANDING Anemia Hemolitik Lain. Anemia Defesiensi besi Anemia aplastik Black water fevel: Paroxysmal cold hemoglobinuria.



PENGOBATAN Bila anemia transfusi darah dengan Washed Erythrocyte.



Asam folat 1 mg/hari. Bila ada defesiensi besi diberi sulfas ferosus 3 X 1 tab. Prednison 20 - 60 m g k , tetapi tidak untuk pemberian jangka panjang.. Hormon androgen :Fluoxymesteron : 5 - 30 mglhari; Oxymetholon 10 - 50 mg/hari diberikan selama 6 - 8 minggu, bila tidak ada respon obat dihentikan. Antikoagulan : tidak terbukti bermanfaat untuk mencegah tejadinya trombosis. Streptokinase; urokinase :bila ada trombosis. Transplantasi sumsum tulang merupakan indikasi defenitiflcemudiandilanjutkan dengan imunosupresan. Perkembangan pengobatan PNH dengan obat antibody rnonoklonan yaitu Eculizumab yang langsung mengikat komplemen C5. Dengan memblokade kaskade C5, antibodi ini dapat mengontrol tejadinya hemolisis pada PNH yang tergantung komplemen. Pada penelitian International "Multicenter Placebo Controlled Trial" pada 87 pendrita yang sudah ketergantungan dengan transfuse diberikan Eculizumab dengan dosis 600 mg IV tiap minggu selama 4 minggu, 1minggu kemudian 900 mg IV selanjutnya 900 mg IV tiap minggu sampai. minggu ke 26. Untuk penderita dengan PNH-AA syndrome dapat diberikan pengobatan imunosupresif dengan Antilirnfosit Globulin (ALG atau ATG) dan Cyclosporin.



PROGNOSIS Penderita PNH rata-rata hidup 10 - 50 tahun. Kematian biasanya disebabkan oleh karena komplikasi: trombosis; pansitopenia. Penderita PNH dapat mengalami perubahan menjadi: Leukemia akut; SindromaMielodisplasia;Mielofibrosis;



Leukemia Limfositik Kronik; Leukemia Mielositik Kronik; Polisitemia Vera dan Eritroleukernia. Prognosis buruk bila: Usia diatas 55 tahun saat diagnosis ditegakan; adanya trombosis; perubahan menjadi : pansitopenia, sindroma mielodisplasia atau leukemia akut



Hillmen P, Young NS, Schubert J et al (2006). The Complement Inhibitor Eculizumab in Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. N.Engl.J.Med. 355: 1233. Lichtman MA, Bentlii E, Kipps TJ, Williams WJ (2003). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Williams Manual of Hematology, 6 th edition. Eds : Lichtman MA, Bentlir E, Kipps TJ, Williams WJ. Mc Graw Hill, Toronto, p 233. Luzatto L (1996). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Hematology 1996. Education Programme of the 26 th Congress of International Society of Haematology. Ed : Mc Arthur JR, Sinagapore August, 25-26. Parker CJ. Lee GR (1999). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Wintrobes Clinical Hematology, 10 th edition. Eds : Lee GR, Foerster J, Rodger GM. Lippincott William & Wilkins, Philadelphia, p. 1264. Parker C, Omine M, Richards S et a1 (2005). Diagnosis and Management of Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. Blood 106 : 3699. Rosse W, Bunn HF (2008). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. In : Harrisons Principle of Internal Medicine, 17 th edition . Eds : Fauci AS, BraunwaldE,Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,Loscalzo J. Mc Graw Hill Publishing Co, New York, p. 660. Socie G, Mary JY, de Gramont A, Rio B, Lepporier M, Rose C, Heudier. Rochant H, Cahn JY, Gluckman E. Paroxysmal Nocturnal Haemoglobinuria : Long-term follow-up an Prognostic Factors. Lancet. 348 : 573.



KELAINAN HEMATOLOCI PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Zubairi Djoerban



PENDAHULUAN Lupus eiitematosus siste~nik(systemic lupi~sel:\~thenzaionrs, SLE) daprzt mempengaruhi banyak organ di t ~ ~ b udan h menunjukkan manifestasi klinis dan imunologis dengan spektrum yaiig luas. Kelainan hematologi seringkali diremukan pada SLE. Anemia dan trombositopenia, kelainan hematologi yang sering terjadi pada perjalanan penyakit pasien SLE, biasanya bukan melvpakan kondisi yang fatal, namun pada beberapa pasien dapat terjadi gangguan yang berat sehingga membutuhkan manajemen yang agresif. Leukopeniajuga sering terjadi, halnpir selalu merupakan limfopenia, bukan granulositopenia,kondisi ini jarang menjadi predisposisi terjadinya infeksi dan biasanya tidak niembutuhkan terapi. Trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Q-iteria Diagnosis SLE d a r i pads ~ ~197 ~1 menyatakan bahwa leukopenia, trombo~ito~enia, dan anemia hemolitik lnerupakan kriteria individual untuk SLE. Sementara pada revisi tahun 1982 dinyatakan bahwa kelainan hematologi dikelompokkan menjadi satu kelompok yang terdiri dari: 1) anci~iiahelnolitik autoimun, 2) leukopenia (ire~.rantiglobulin tes (DAT) atau hen~olisisdapat tcrjndi karena adanya anti A atau anti B. Reaksi yaiy licl:tk clih;~raphiarneliputi malaise. panas. niual, dan menggigil. I'acla Lclii~irriiany a y tinggi. konsc~lll.atF Vlll lebih jarang mttnimbulkan e t k samping. Dosis dan Cara Pemberian Banyaknya aktivitas F Vlll koagulan digunakan dengnn mempergunakan Inrelnntional Utzits (IU). Satu 1U adalah jumlah aktivitas F VIll koagulan dalam I mL plasma normal. Dosis pel-rnulaan untuk rnencapai kadar 30- 100% dihitung dengan rumus: Plasma Volume (PV mL) = 40 mUkg x 66 (kg) F Vlll yang diinginkan (unit) = PV x [ kadar vana d e i ~ k ~ a _ n . l ~kadar / ~ ) sekarana(?/oi]



Cara lain adalah: tiap unit F VllIIkgBB akan ~neningkatkan 2% (0.02 1UImlj Peinberiannya dapat inelalui infus dengan menggunakan saringanlfilter darah standar atau dengan jarum suntik dengan filter yanp telah tersedia bcrsama sediaannya.



KONSENTRAT FAKTOR I X (FACTOR IX CONCENTRATES) Dua konsentrat F IX sekarang tersedia sebagai husil rekombinan. Sediaan ini steril, stabil dan kering beku sebagai hasil dari fraksinasi plasma yang dikumpulkan. Kompleks F IX nierupakan sediaan yang mengandung selain FIX juga sejumlah F 11, VII, X dan beberapa protein. Selama pembuatan konsentrat ini beberapa aktivasi dari faktor koagulasi dapat terjadi. lsi dari F VII dalam beherapa produk agak bervariasi. Jumlah masing masing faktor yang terkandung dalam sediaan ini biasanya tertera pada label botol tapi paling banyak mengandung 1-5 IU F IXlmg protein. Hal sebaliknya dengan kompIeks F IX, F IX koagulasi merupakan sediaan murni yang mengandung sedikit F 11, F VII dan F X. Sediaan ini dibuat dengan metode kromatografi atau antibodi monoklonal sehingga mengurangi terjadinya trombogenik. Kira kira 30-30%dari produk ini adalah F IX di~nanasediaan ini mengandung 50 dan 200 IU F IXImg protein. Konsentrat F 1X dibuat dengan heat treated solvent/ detergent treated dcngan teknik rekombinan untuk menurunkan risiko hepatitis. HIV dan infeksi virus lainnya.



lndikasi Konsentrat F IX ini digunakan untuk mengobati pasien dengan defisiensi F IX yang dikenal sebagai hemofilia B. Pasien dengan inhibitor dapat diobati dengan kompleks konsentrat F IX, yang mengandung bypass aktivitas inhibitor F VIII.



lndikasi Albumin digunakan untuk meningkatkan volume sirkulasil resusitasi misalnya pada pasien luka bakar, pasien pada keadaan hipovolernia dan hipoproteinemia misalnya pasien dengan syok, pada sindrom nefrotik atau untuk meningkatkan protein plasma.



Kontraindikasi dan Perhatian Kompleks F IX sebaiknya diberikan dengan hati hati pada pasien yang mempunyai penyakit hati. Terdapat laporan terjadinya trombosis dan DIC pada adanya defisiensi anti trombin khususnya pada pasien dengan penyakit hati. Etiologi komplikasi ini mungkin berhubungan dengan penurunanbersihan hati, akumulasi faktor kOagulasitersebut Konsentrat IX koagulasi t a m ~ a k n ~ a lebih kurang trombogenik dibandingkan dengan kompleks F M.Efek samping dari kompleks F M bila diberikan secara cepat adalah menggigil, demam, nyeri kepala,nausea dan cepat dari IX k o a ~ l a sadalah i vasomotor.



Kontraindikasi dan Perhatian Larutan albumin 25 % tidak boleh diberikan pada pasien dengan dehidrasi dan hanya dapat diencerkan dengan salin normal dan dekstrosa 5%.



Dosis dan Cara Pemberian 1 unit F IX setara dengan 1 ml plasma manusia. Dosis yang diberikan tergantung gejala klinis dan kebutuhan pasien. Sejumlah konsentrat F IX diinfuskan dengan rumus seperti menghitung penggunaan dosis F VIII, namun secara in vivo hanya sekitar 50 % yang dipakai karena distribusi ke ekstravaskular. Jadi setiap unit F IX yang diinfuskan per kg BB akan meningkatkan 1% F



IX. ALBUMIN DAN FRAKSI PROTEIN PLASMA (ALBUMIN AND PLASMA PROTEIN FRACTION) Albumin merupakan derivat plasma yang diperoleh dari darah lengkap atau plasmaferesis, terdiri dari 96% albumin dan 4% globulin dan beberapa protein lain yang dibuat dengan proses fraksinasi alkohol dingin. Derivat ini kemudian dipanaskan 60" C selama 10jam sehingga bebas virus. Fraksi protein plasma adalah produk yang sama dengan albumin hanya dalam pemurniannya lebih kurang dibandingkan dengan albumin dalam proses fraksinasi. Fraksi protein plasma ini mengandung 83% albumin dan 17% globulin. Albumin yang tersedia adalah larutan 25% dan 5%, sementara fraksi protein plasma yang tersedia adalah larutan 5%. Tiap sediaan mengandung natrium 145 mmoll L (145 mEqlL). Larutan albumin 5%, osmotik dan onkotiknya sama dengan plasma sedangkan larutan albumin 25% osmotik dan onkotiknya lima kali lebih besar dari plasma. Albumin memiliki waktu paruh 16jam dan dapat disimpan lebih dari 5 tahun pada suhu 2-10" C.



Dosis dan Cars Pemberian Albumin dan fraksi plasma tidak memerlukanfilter dalam pemberiannya. Pengobatan hipotensi dengan albumin hendaklah disesuaikan dengan hemodinamik pasien. Dosis 500 mL 0-20 mUkg pads anak diberikan secara cepat untuk mengatasi syok. Pada pasien luka bakar protein diberikan &lam dosis albumin atau fraksi dosis tertentu untuk mempertahankan kadar protein plasma 5.2 gldL atau lebih tinggi.Albumin tidakdapat memperbaiki hipoalburninemia kronik dan tidak digunakan untuk jangka panjang.



IMUNOGLOBULIN(IMMUNE GLOBULIN) Imunoglobulin biasanya dibuat melalui proses fraksinasi dengan etanol dingin dari plasma yang dikumpulkan.Berisi imunoglobulin G (IgG) dengan sedikit IgA dan IgM. Terdapat dua sediaan yakni intramuskular (IMIG) dan intravena (IVIG). Pada sediaan intramuskular (IM), produk ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu pada pemberiannya diperlukan waktu 4-7 hari untuk mencapai kadar puncak dalam plasma, dosis maksimum yang dapat diberikan dibatasi oleh massa otot dan pada pemberiannya menyebabkan nyeri . Sediaan IM saat ini diberikan hanya untuk profilaksis. Sediaan ini merupakan larutan steril dengan konsentrasi protein kurang lebih 16.5 g/dL. Sediaan intravena gammaglobulin (IVIG) meminimalisasi kelemahan dari pemberian intramuskular. Produk IVIG cepat mencapai puncak plasma begitu diinfuskan. Waktu paruh dari IMIG dan IVIG bervariasi antara 18-32hari.



lndikasi Preparat Imunoglobulin dapat digunakan untuk profilaksis antibodi secara pasif pada orang yang rentan terhadap penyakit-penyakit tertentu dan sebagai terapi pengganti pada orang dengan imunodefisiensi primer (misalnya Sindrom Wiskott Aldrich). IVIG dapat digunakan sebagai imunomodulator pada pasien-pasien dengan kelainan autoimun misalnya ITP akut dan ITP kronik pada anak anak dan dewasa. Dapat pula digunakan untuk



DARAH DAN KOMPONEN: KOMPOSISI.INDIKASIDAN CARA PEMBER~AN



trombositopenia pada HIV, purpura pasca transfusi dan sindrom Guillan Barre .Juga untuk pengobatan infeksi serta profilaksis GVHD pada pasien penerima cangkok sumstun tulang.



"



Kontraindikasi dan Perhatian Orang dengan riwayat defisiensi Ig A (dengan anti Ig A) atau terjadinya reaksi anafilaksis berat terhadap plasma sebaiknya jangan diberikan sediaan ini. Sediaan IM jangan diberikan secara IV karena mengandung agregat , immuglobulin yang dapat mengaktitkan komplemen serta sistim kinin yang dapat menyebabkan I-eaksianafilaktik. Reaksi yang tidak diinginkan lainnya dari pe~nberian i~nunoglobulinadalah nyeri kepala, menggigil. kepalii tclasa ringan, demam, nyeri punggung, terasa panas dan niual. Dosis dan Cara Pemberlan Tergantung indikasi, karakter pasien serta sediaan yang digunakan (IM, IV). , ITP dan penyakit autoimun lainnya: 1V 400mgkglhr selama 2-5 hari atau 0.8- 1 .O g/kg/hr selama 1-2 hari. Defisiensi imunoglobulin kongenital: - IM: 0.7 mWkg Ibulan - IV: 200-800 mgkglbulan. Profilaksis hepatitis A: IM 0.02-0.04 f i g . Hepatitis B: 0.06 mLAg IM diulang satu bulan Varicella zooster: 1 'vial (2.5 mL)/10 kg (maks 5 vial) IM diberikan dalam 72 jam pasca paparan. * Virus citomegalo: , - Protilaksis: 100-150mgkg - Pengobatan infeksi: 200 mglkg (IV)



RH IMMUNE GLOBULIN



RhIG dibuat dari plasma yang dikumpulkan dan mengandung IgG anti D. Terdapat 2 sediaan yaitu intra muskular (IM) dan intravena (IV). Sediaan IV dosis 120 ug dan 300 ug telah disetujui oleh FDA untuk supresi imun terhadap antigen D dan untuk pengobatan ITP. Sediaan IM yang tersedia adalah dosis 300 ug dan 50 ug. Dosis 300 ug RhIG baik 1V maupun Ih4akan melindungi efek imun lebih dari 15 ml darah dengan D positif. Semua sediaan ini aman dari transmisi penyakit infeksi dan virus dan dipakai untuk mencegah terjadinya penyakit hemolitik pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh antigen Rh (D).



lndlkasl dan Dosis Sebelum persalinan, untuk perempuan dengan (Rh) D negatif, 50 ug IM RhIG dapat melindungi terjadinya aborsi atau terminasi kehamilan ektopik yang terjadi dalam 12 minggu kehamilan. Setelah 12 minggu kehamilan, dosis



1197



penuh 1M RhlG dapat diberikan. Dosis penuh juga dian-jurkan setelah dilakukan amniosentesis. I'asca persalinan, seniua perenipuan dengan (Rh) D negatif y;ing mclahirkan bayi dengan D positif diberi 300 ug RhIG sc.c;lrn IM atnu 120 ug secara IV. Pemberian hendaknya dilakukan dalam 72 jam setelah melahirkan.



American Association of Blood Banks. Blood component therapy: a physician's handbook. 6"' edition. Bethesda: 1999. Boshkov LK. Platelet tranfusion. In: Goodnight SH, Hathaway WE. editors. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2""edition. New h r k : The Mc Graw Hill Co: 2001. p. 489-94. Friedman ,KD, Menitove. JE. Prepwation and clinical use of plasma and plasnla fractions. In: Beutler E, Lichtman MA. Coller BS. et PI, editors. Williams henlatology. 6Ih edition. New York: Mc Graw Hill: 2001. p. 1917. Goodnight SH, Hathaway WE. Plasma. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2"'edition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 495-500. Goodnight SH, Hathaway WE. Cryoprecipitate. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. Zn%dition. New York: The Mc Graw Hill Co: 2001. p. 501-4. Goodnight SH. Hathaway WE. Coagulation factor concentrates. Disorders of hemostasis and thrombosis: a clinical guid edition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. Goodnight SH. Hathaway WE. Intravenous immunoglobulin. .guyders of hemostasis and thrombosis: a clinical guide. 2""edition. New York: The Mc Graw Hill Co; 2001. p. 523-7. Kruskall MS, Mandell BF. General principles of the use o intravenous immune globul~n.In: Up To Date. Rose Wellesley MA. editors. 2004. Kruskall. Use of intravenous immune globulin in hematologic disorders. In: UpToDate. Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Ljungman P. Risk of CMV transmission by blood product to immunocompromi~edpatiens and means for reduction. Br J Haematol. 2004; 135: 107. Mollison PL, Engelfriet CP, Contreras M. The trnnfusion of platelets, leukocytes, haemopoietic cells and plasma component. In: Mollison PL, Engelfriet CP, Contreras M, editors. Blood tranfusion in cli&al medicine. I(rh edition. USA: Blackwell Science; 1997. p. 459-86. Murphy S. What so bad about old platelets? Transfusion. 2002;433. Pamphilon D. Viral inactivation of fresh frozen plasma. Br J Haematol. 2000; 109:680. Secord A, Goldfinger D MD. Clinical and laboratory aspects of platelet tranfusion therapy. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Seftel, Growe GH, Petraszko T, et al. Universal prestorage leukoreduction in Canada decrease; platelet alloimmunization and refractoriness. Blood. 2004;103:333. Silvergleid AJ. Tranfusion of plasma components. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004. Silvergleid AJ. Preparation of blood component. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editon. 2004. Wallas CH. Use of red blood cells. In: UpToDate, Rose BD, Wellesley MA, editors. 2004.



PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASI TRANSFUSI D A M IY.Tamtoro Harmono



PENDAHULUAN Sejak diterimanya transfusi sebagai cara pengobatan, pengertian bahwa darah mengalir di dalam sistem sirkulasi dan ruang intravaskular dapat diisi cairan dari luar tubuh,perkembanganya lambat. Trasfusi itu sendiri dikejakan pertama kali pada tahun 1667. Kemudian selama perang dunia pertama dan sesudahnya, barulah transfusi sebagai alat pengobatan berkembang pesat. Pengertian adanya perbedaan genetik antar individu. yang diungkapkan oleh Landsteiner merupakan ha1 yang penting. Pengembangan antikoagulan,pengawetan dan teknik pengerjaan yang steril, memungkinkan pengumpulan dan penyimpanan darah untuk diberikan dikemudian hari. Perkembangan teknik terus berkembang 'kususnya dibidang penggunaan komponen dan fraksi darah donor,perbaikan cara shining donor,pengembangan inaktivasi kuman patogen, perkembangan mecing (matching) imunologi produk darah donor dengan resipien (penerima darah), pengembangan produk rekombinan, jadilah transfusi medis (transfusion medicine) menjadi suatu spesialisasi di bidang hematologi.Adanya epidemi acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan penularan infeksi oleh bahan infeksius lain menyebabkan terjadinya revolusi kemajuan di bidang transfusi medis.



&



KOMPLIKASITRANSFUSI Potensi komplikasi transfusi darah itu banyak,tapi pada saat ini masalah komplikasi hanya terdapat pada pasien yang perlu berulang-ulang mendapat transfusi atau memerlukan sejumlah darah yang banyak. Reaksi imunologi ini disebabkan oleh rangsangan al~antigen~asing yang terdapat



pada eritrosit, leukosit, lrombosit dan protein plasma. Bila resipien mendapat transfusi yang mengandung antigen tersebut maka akan tejadi pembentukan antibodi sehingga kelak bila mendapat tranfusi dapat terjadi reaksi mediasi imunologi,misalnya reaksi hemolitik karena ketidakcocokan eritrosit, panas atau reaksi pulmonal yang disebabkan oleh antigen leukosit atau trombosit, alergi atau reaksi anafilaksis yang disebabkan antibodi yang bereaksi dengan antigen terlarut di dalam bahan transfusi, biasanya protein plasma.



Komplikasi dapat di golongkan menurut: Komplikasi Imunologi Aloimunisasi: antigen eritrosit, antigen HLA - Antigen trombosit - Antigen netrofil - Protein plasma Reaksi transfusi hemolitik : segera, tertunda (delayed) Reaksi febris transfusi Kerusakan paru akut karena transfusi Reaksi transfusi alergi Purpura pasca transfusi Pengamh imunosupresi Penyakit graft versus host KomplikasiNon Imunologi Kelebihan (overload) volum Transfusi masif: metabolik, hipotermi, pengenceran, mikroembolisasi paru Lainnya: plasticizer, hemosiderosis transfusi Infeksi: Hepatitis A,B,C ,delta dan lainya; Human immunodeficiency virus- 11-2; H u m n T lymphotropic virus-11-11; Virus sitomegalo; Virus Epstein Barr; Kontaminasi bakteri; Sifilis; Parasit malaria, babesiosis, tripanosoma; organisme lain



PENCECAHAN DAN PENANMAN KOMPLIKASI TRANSFUSI DARAH



KOMPLIKASI IMUNOLOGI Aloimunisasi kepada Antigen Transfusi Aloantibodi bereaksi terhadap antigen eritrosit, sedikit saja resipien dengan multitranfusi berkembang menjadi aloantibodi eritrosit. Umumnya terdapat pada mereka yang telah menerima sekitar 10 kali transfusi, biasanya antibodi terhadap sistem Rh, Kell (K), lalu Duffy (Fy),dan Kid (Jk). Aloantibodi bereaksi terhadap antigen leukosit, terdapat pada resipien yang ditrasnfusi 2 leukosit dan trombosit, umumnya mereka ini wanita multipara dengan multi transfusi. Aloantibodi terhadap protein plasma, misalnya reaksi anafilaksis disebabkan karena adanya anti-IgA antibodi. Reaksi Transfusi Hemolitik Berkembangnya antibodi yang dapat bereaksi dengan antigen eritrosit menyebabkan perusakan eritrosit, biasanya eritrosit donor. Klinis dapat berat,mengancam kehidupan atau ringan saja. Hemolisis segera terjadi di daiiiln sirkulasi, yang lanibat terjadi di sistem retikulo endotelial. Uinuninya terjadi karena kesalahan pencatatan dan 'ABO mismatching'. Dapat juga hemolisis terjadi pada darah resipien, bila plasma yang ditransfusikan mengandung antibodi. Reaksi transfusi hemolitik segera. Gejala dan keluhan transfusi hemolitik segera, terjadi segera sesudah darah yang tidak cocok dilakukan. Klinis kebanyakan berupa timbulnya panas, dapat dengan menggigil. Dapat juga dengan cemas, nyeri dada atau punggung, sesak napas, takikardia dan hipotensi. Keadaan mengancam kehidupan pada adanya gagal ginjal akut, syok, dan koagulasi intravaskular. Reaksi hemolisis segera ini terjadi pada: 600.000 transfusi eritrosit, kematian meningkat hingga 44% bila darah transfusi meningkat mencapai 1 L. Patogenesis kelainan ini dimulai dengan interaksi antara antibodi dan membran sel eritrosit yang mengembang menjadi terbentuknya kompleks imun, aktivasi kaskade komplemen, mekanisme koagulasi lewat sitokin dan faktor XII. Mediator vasomotor disini yaitu histamin, serotonin dan sitokin. Renjatan terjadi karena pelepasan bahan vasoaktif. Gaga1 ginjal dipikirkan karena iskemia disebabkan oleh kombinasi hipotensi, vasokonstriksi dan koagulasi intravaskular. Penanganan, transfusi harus segera dihentikan begitu dicurigai adanya reaksi hemolisis. Contoh darah pasca transfusi dan sisa darah dalam kantung dikirim ke bank darah (PMI) untuk diteliti penyebab terjadinya reaksi hemolisis. Beratnya reaksi berhubungan dengan volume eritrosit yang dimasukkan, walau hanya 30 cc darah yang tidak cocok mungkin mematikan. Semua reaksi yang berat memerlukan lebih dari 200cc darah donor. Hidrasi harus dimulai segera untuk mencegah gagal ginjal. Diberikan



1199



infus garam fisiologis untuk memelihara tekanan darah dan meningkatkan air kencing agar mencapai 100cc/jam. Manitol atau furosemid dapat digunakan untuk memelihara terbentuknya kencing. Bila terjadi oliguri karena gagal ginjal cairan harus dibatasi. Obat vasoaktif seperti dopamin mungkin efektif mengatasi hipotensi dan gangguan perfusi ginjal. Sekali terbentuk gagal ginjal pengobatan suportif termasuk pembatasan cairan, memelihara kesetimbangan elektrolit dan dialisis diperlukan. Koagulopati mungkin memerlukan penanganan khusus. Pemberian heparin awal disarankan dengan dosis moderat, bila tidak ada kontraindikasi khusus, tapi penggunaannya masih kontroversial. Pada reaksi transfusi hemolitik intravaskular yang berat mungkin diperlukan 'exchange transfusiotz '. Pemeriksaan pada reaksi transfusi segera. Langkahlangkah berikut hams dilakukan: Identitas pasien harus ditegaskan, semua catatan tentang pasien dan label darah donor harus diperiksa untuk menentukan adanya kesalahan pencatatan. Darah pasien harus diarnbil lagi, dikirim ke bank darah. Darah pasca transfusi harus dilihat adanya hemolisis. Harus diperinci kemungkinan adanya aloantibodi. Tes direk antiglobulin harus dilakukan pada saat reaksi hemolisis terjadi. Bila tes positif darah pretransfusi juga harus diperiksa untuk melihat pasien mungkin mempunyai direk antiglobulin. Penieriksaan 'typing' eritrosit harus dilanjutkan. Bila sistem ABO dan Rh pasca transfusi tidak cocok dengan pratransfusi maka ada kesalahan identifikasi pasien atau typing. Pasien dengan reaksi transfusi hemolitik mayor hams dinilai untuk kemungkinan adanya koagulasi intravaskular dan fungsi ginjal harus dimonitor. Urin hemosiderin atau hemoglobin bebas di dalam urin harus juga diperiksa, adanya urin benvarna anggur khas pada hemolisis intravaskular. Pencegahan. Semua reaksi transfusi hemolitik segera dapat dicegah. Hampir semua sebabnya karena kesalahan manusia, misalnya kesalahan memberi label pada contoh darah pasien. Prosedur memastikan identifikasi pasien, contoh darah atau komponen transfusi harus benar penempatannya. Reaksi transfusi hemolitik tertunda. Biasanya lebih ringan dari yang segera dan terjadinya perusakan eritrosit terutama ekstravaskular. Terjadi pada 2-10 hari sesudah transfusi,antibodi eritrosit pratransfusi tidak ditemukan. Tes direk antiglobulin sering positif tapi reaksinya hanya sementara, tes dapat kembali negatif bila eritrosit yang tak cocok disingkirkan dari sirkulasi. Reaksi ini umurnnya bersifat sekunder, terjadi sesudah kemasukan antigen eritrosit, respons terbentuknya antibodi lambat, puncak reaksi tercapainya juga lambat. Pada reaksi transfusi hemolitik lambat ini, perusakan eritrosit donor terjadi ekstravaskular, di mana eritrosit yang terbungkus IgG dihilangkan di sistem retikulo endotelial.



-



Pemeriksaan yang hams dilakukan disini,bila pasien dicurigai kemungkinan terjadinya hemolitik lambat, darah segar diambil untuk pemeriksaan antibodi direk. Bila positif, dokter hams memberi tahu dan memberi kartu identitas yang menunjukkan adanya antibodi. Penanganan. Umumnya tidak ada terapi khusus, tapi pasien yang dengan reaksi berat diusahakan dilakukan hidrasi.



Febris Non Reaksi Transfusi Hemolitik Terjadi pada 0,5-3% pasien yang diberikan transfusi, umumnya pada yang sudah dengan multipel transfusi. Gambaran khas berupa menggigil lalu diikuti panas, terjadi umumnya dalam waktu beberapa jam sesudah transfusi. Pening,mual muntah dapat terjadi. Kadang reaksinya dapat berat, termasuk dengan keluhan pulmonal, tapi umumnya reaksi ini ringan Reaksi ini disebabkan oleh aloimunisasi terhadap antigen leukosit dan trombosit. Sebab lain yaitu transfusi sitolun, yang berkembang di dalam trombosit asal dasah segar (whole blood) yang disirnpan pada suhu karnar. Kemungkinan adanya kontaminasi bakteri pada reaksi ini harus dipertimbangkan. Pendekatan menangani febris ini harus berdasar atas pengertian pada ha1 yang mendasarinya.Bila terjadi reaksi panas ini maka transfusi hams dihentikan. Kemungkinan adanya reaksi hemolitik harus dipertimbangkan. Darah donor dan contoh serum pasien harus dikirim ke bank darah. Dapat diberikan antipiretik dan hidrokortison. Pencegahan, sebaiknya diberikan darah dengan pengurangan jumlah leukosit. Kerusakan Paru Akut karena Transfusi Umumnya berupa 'respiratory distress' berat yang tibatiba, disebabkan oleh sindrom edema pulinonal non kardiogenik, mirip 'adult respiratory distres.~ s,vnclrot~zr'. Menggigil, panas, nyeri dada, hipotensi dari sidnosis, sebagaimana umumnya edema paru, mungkin ada. Radiologis nampak edema paru. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa jam selama transfusi. Pada awalnya rnungkin berat, umumnya akan mereda dalam 48-96 jam dengan bantuan pernapasan, tanpa gejala sisa. Reaksi ini lebih jarang daripada febris, dengan angka kejadian I dalam 5000 tanfusi. Ini disebabkan transfusi antibodi di dalam plasma donor, yang bereaksi dengan granulosit resipien. Diduga aglutinasi granulosit dan aktivasi komplemen terjadi dalam jaringan vaskular paru, rnenyebabkan endotel kapiler rusak sehingga terjadi kebocoran cairan kedalam alveoli. Penanganan dengan tindakan mengatasi edema paru dan hipoksia, termasuk bantuan pernapasan bila diperlukan. Dosis tinggi kortikosteroid mungkin menguntungkan, karena menghambat agregasi granulosit. Umumnya donor berasal dari perempuan multipara.



Reaksi Transfusi Alergi Reaksi alergi pada donor sering terjadi dengan angka kejadian sekitar 1-3%, mungkin lebih tinggi lagi karena tak dilaporkan. Gambaran berupa urtikaria, 'skin rashes',. spasme bronkus, angio edema sampai renjatan anafilaksis. Untunglah kejadian renjatan anafilaksis transfusi yang berat sangat rendah, karena reaksi ini dapat mengancarn kehidupan. Semua reaksi alergi ini dipikirkan diperantarai oleh IgE resipien terhadap protein atau bahan terlarut di dalam plasma donor, interaksi antara antigen dengan IgE merangsang dikeluarkanya antihistamin dari sel mast dan basofil. Untuk pasien yang dengan riwayat alergi berulang, dapat diberi antihistamin sebagai pencegahan. Biladengan antihistamin alergi tak terkontrol sebaiknya plasma dikurangi atau diberi eritrosit yang sudah dicuci.Pada reaksi anafilaksis berat,adanya antibodi terhadap IgA donor hendaknya diperhitungkan. Reaksi ini dicegah dengan eritrosit yang dicuci. Purpura Pasca Transfusi Ini merupakan pengembangan trombositopeni yang rnengancam kehidupan, terjadi pada hari ke 5- 10 sesudah transfusi. Ini disebabkan oleh berkembangnya aloantibodi yang ditujukan kepada antigen khusus trombosit. Kebanyakan pasien didahului oleh kehamilan atau transfusi. Terapi kortikosteroid mungkin bermanfaat. lmunomodulasi yang Berhubungan dengan Transfusi Transfusi darah alogenik tidak hanya berarti memberikan eritrosit,tapijuga sejumlah efektor sel imun, produk sitokin, dan berbagai bahan, yang dapat dikenali sistem kekebalan resipien sebagai antigen asing. Substansi yang iuemodulasi sistem kekebalan host oleh bahan yang ditransfusikan,meningkatkan kemungkinan sindrom klinis yang umumnya dikenali dengan transfusion-related immunomodulation. Keuntungan dari imunomodulasi transfusi ada juga misal pada cangkok ginja1,hasilnyalebih baik bila sebelum operasi dilakukan transfusi lebih dulu, tapi bagaimana prosesnya tidak diketahui. Tapi umumnya dikatakan imunomodulasi transfusi ini banyak merugikan, misalnya karnbuh kankernya atau infeksinya sesudah transfusi. Penyakit Donor Cangkok Versus Host Semua sel darah mengandung 'immunocompetent T lymphocyte', bila ditransfusikan ke resipien yang non imunokom~eten,makasel limfosit T ini akan memperbanyak diri, dan menyebabkan reaksi penolakan donor transplan (reaksi penolakan). Reaksi penolakan biasanya berupa panas, diikuti 'rash' kulit berupa eritema, makulopapula mulai dari sentral ke tepi (tubuh ke anggauta). Gangguan faal hati, nausea, diare berdarah. Leukopeni diikuti



PENCEClAHAN DAN PENANGANAN KOMPLIKASI TRANSFUSl D



pansitopeni karena kegagalan sumsum tulang. Umumnya terjadi reaksi penolakan pada 2-3 minggu semenjak adany a keluhan yang perlama. Diagnosis berdasar gambaran klinis, ditegakkan dengan biopsi kulit. Pcngobatan dilakukan dengan pemberiali kortrikosreroid, g l o b ~ ~anti l~n timosit, siklosporin dan 'g,wl~'th,firctol.'. tapi hasilnya lidak memuaskan.



KOMPLlKASl NON IMUNOLOGI Kelebihan Cairan Transfusi eritrosit atau plasma dapat menyebabkan kelebihan cairan di dalam sirkulasi. Pada anemia berat terjadi ekspansi volume sehingga volum cairan normal,maka pada anemia dengan gaga1 jantung, transfusi harus hati-hati karena dapat menyebabkan edema paru yang bet-akibat fatal. Pada orang tua transfusi diberikan dengan ritrne 3- ml darahlkg berat badanljam. Transfusi Masif Pengaruh metabolik, komposisi darah yang disimpan lain dengan darah di dalaln sirkulasi, bila sejumlah besar darah simpanan diberikan dengan cepat lnaka ion K menyebabkan risiko pada pasien dengan gaga1 ginjal, syok dengan asidosis, atau pada hemolisis. Adanya sitrat sebagai antikoagulan dapat menyebabkan hipokalsemia. Hipotermia. Hipoter~niaterjadi bila sejumlah besar darah yang dingin diinfuskan. Anak dan orang tua sensitif akan ha1 ini. Pada pasien berat, denga transi'usi masif ini dapat mengalami asidosis, hipoksemia, hipotermia, hipokalsemi, dan hip0 atau hiperkalemia dapat terjadi, dengan risiko aritmiajantung. Pengaruh pengenceran. Transfilsi dzngan sejumlah besar produk darah lnenyebabkan pengenceran trombosit dan faktor koagulasi yang labil. Sejumlih pasien dengan sepsis, renjatan dan koagulasi intravaskul&dapat memberat dengan pengar~~h transfusi ini. Mikroagregat dan mikroembolisasi paru. Selama penyimpanan eritrosit, terbentuk agregat yang terdiri dari trombosit, leukosit dan fibrin. Semua produk darah disaring dengan saringan berlubang 170 um, tapi alat ini tidak dapat menghilangkan mikroagregat, lalu disaring dengan saringan yang lubangnya 40 um. Seorang dengan transfusi sejunilah besar darah simpanan lalu mengalami sindrom disfungsi pulmonal dengan hipoksia, dipikirkan karena tersebarnya obstruksi mikrovaskular karena mikroagregat. Lain-lain. Dapat saja komplikasi berupa emboli udara, terutama jika wadah yang dipakai sebagai tempat darah berupa gelas (botol), tapi setelah yang dipakai plastik maka ini terhindarkan.



M



1201



Plasticizer. Bila kantong plastik dibuat dari PVC yang mengandung 'phthcilnte', bahan ini lipofilik maka dapat larut kedalam cairan darah tergantung kepada suhu dan waktu penyimpanan. Bahan ini memungkinkan keracunan, maka kantong plastik diganti dengan bahan lain. Hemosiderosis transfusi, terjadi karena transfusi yang berulanp ulang, misalnya anemia kronik karena kegagalan sumsum tulang. Tiap kantong darah mengandung besi sekitar 0.25g. KOMPLlKASl INFEKSI PADA TRANSFUSI DARAH Sekilas Tentang Skrining Darah Donor untuk Penyakit lnfeksi Di tahun 1960, hepatiti karena transfusi lnencapai 30% pada pasien dengan multipel transfusi. Setelah dilakukan tes HbsAg bagi donor maka kejadian hepatitis B sangat menurun, tapi hepatitis C tidak. Kemudian diawal tahun 1980 terdapat tantangan baru sehubungan dengan munc~llnyapenyakit AIDS, ~ ~ n t uinik dilakukan pemeriksaan antibodi HBc dan sel T donor untuk menurunkan risiko tertular AIDS lewat transfusi. Selanjutnya kemajuan pemeriksaan donor untuk mencegah penularan AIDS dan hepatitis C dicapai pada tahun 1992 di AS, seterusnya komplikasi infeksi ini sangat menurun, Penyakit infeksi yang diperiksa untuk donor (di AS) ialah: Hepatitis B HbsAg,IgM dan IgG untuk HBc antigen Hepatitis C IgG untuk hepatitis C peptid Asam nukleat virus hepatitis C HIV -1 1-2 IgM dan IgG anti HIV- 11-2 Asam n~lkleatHIV-I 1-2 HTLV-I/-Il IgG anti HTLV-11-11 Sipilis IgM dan IgG pada treponema antigen, atau reaktivitas serologi non treponemal (rapid plasma reagin). Hepatitis karena Transfusi Sebelum pemeriksaan serologi dapat menentukan sebab hepatitis pada transfusi, semua hepatitis ini disebut serum hepatitis. Setelah tes HbsAg ditemukan,diketahui 30% dari hepatitis tadi merupakan Hepatitis B. Selanjutnya dapat disingkirkan hepatitis virus A, CMV (cyto megalo virus), dan EBV (Epstein Barr virus) sebagai penyebab hepatitis pada transfusi. Pada tahun 1988, ditemukan penyebab hepatitis NANB (non Anon B) ialah virus hepatitis C. Sesudah tahun 1992, tes virus hepatitis C yang diperbaiki tersedia, sehingga kemudian hepatitis karena transfusi yang semua marker tes serologi-nya negatif, disebut hepatitis non ABC.



-



Virus Hepatits B Virus ini merupakan DNA virus,dengan bungkus lipoprotein, padanya terdapat HbsAg, dan 'inner m r ' l inti. Inti ini berisi DNA, DNA polimerase, protein kinase, dan di ekspresikan dengan nntigenik determinan sebagai 'hepatitis B core' (HBc) antigen. Virus utuh dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron sebagai benda s berukuran 42 nm. Bungkus virus, dengan b u n g k ~ ~dobel HbsAg, di dalam serum dapat diidentifikasi dengan metode serologi. Di dalam sirkulasi, HbsAg ini dapat utuh sebagai virion atau tidak lengkap sebagai partikel 'sphere' dan tubulus. Hepatitis B ini ditularkan oleh orang yang sakit hepatitis B akut atau yang mengidap HbsAg, lewat parented, hubungan seksual, atau pada perinatal dari ibu yang infeksius kepada bayinya. Masa inkubasi antara 1-6 bulan. Hanya sekitar 25-40% pasien hepatitis B dengan jindis, infeksi fulminan (berat) dengan resiko kematian menimpa sekitar 0,2-0,5YoSemuapasien mengalami hepatitis sub klinis sementara,yang hanya diketahui dengan pemeri ksaan laboratorium. Sering dinyatakan infeksi pada dewasa sekitar 5 1 0 % menjadi karier kronik,kini diduga yang menjadi kronik lebih rendah lagi, yaitu I%.Dari 1 % ini,sekitar 25% dapat berkembang menjadi hepatitis kronik, setelah bertahun-tahun dapat sembuh atau menjadi sirosis hepatis yang fatal ataupun menjadi karsinoma hepatoselular. Setelah 12 minggu dnri awal serangan, umumnya HbsAg menghilang, anti HBs muncul. Pasien yang menjadi kronik biasanya dengan HbsAg yang tinggi dan anti HBc positip, tapi anti HBs tidak.Hepatitis Be antigen (HbeAg) berhubungan dengan 'core subcornponen ', merupakan protein yang larut tapi tak berhubungan dengan struktur yang dapat dilihat, keberadaanya berhubungan dengan kadar virus yang tinggi, mempunyai arti adanya infeksi sekarang atau masih berlangsung infeksinya dan bersifat infeksius. HbeAg ini menghilang dari serum mendalui HbsAg, lalu diikuti munculnya anti Hbe. Semua orang dengan HbsAg harus dianggap infeksius, walau dengan bervariasi tingkatannya, tapi adanya HbeAg positip berarti dengan tingkat infeksius yang tinggi. Skrining donor untuk hepatitis B. Dengan ditemukannya HbsAg dan tes sera yang dikembangkan, niaka penurunan angka kejadian penularan lewat transfusi sangat dramatis. Sisa infeksius disebabkan oleh menghilangya HbsAg, tapi membentuk antiHBc, bukanya anti HNs, kini dengan ditemukanya reaksi rantai polimerase (polymerase chairz reaction) yang sangat peka, pasien demikian ditemukan HBV DNAdi dalam serumnya. Kasus demikian di AS diduga terdapat pada 1per 50000 kasus.



positip untuk petanda virus (VHA30%, dan trombosit c100.000/mm3.Secara klinis, fase ini dapat diduga bila lirnpa yang tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertarnbah berat, timbul petekie, ekimosis. Bila disertai demam, biasanya ada infeksi.



Seperti telah disinggung di atas, gen BCR-ABL pada krornosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel induk pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasinya berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCRABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme di atas adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhimya mendesak sistem hematopoiesis lainnya. Pernahanan mekanisne kerja gen BCR-AFJL mutlak diketahui, mengingat besarnya peranan gen ini pada diagnostik,perjalanan penyakit, prognostik, serta irnplikasi terapeutiknya. Oleh karena itu perlu diketahui sitogenetik dan kejadian di tingkat molekular.



Sitogenetik Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum diket'ahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan Nagasaki, diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli berpendapat akibat mutasi spontan. Sejak



..-.-..



BCR



ABL



BCR ABL



Gambar 2. Translokasi kromosom 9 dan 22. Dikutip dari Savage and Antman. N Engl J Med 2002



Gen hibrid BCR-ABL yang berada dalarn kromosom Ph ini selanjutnya mensintesis protein 210 kD yang berperan dalam leukemogenesis, sedang peranan gen resiprokal ABL-BCR tidak diketahui (Silver, 1990; Diamond, 1995; Melo, 1996;Verfaillie, 1998). Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph, seperti tampak pada Tabel 2. Varian-varian ini dapat terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian lain juga dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah q l l , akan tetapi dapat juga di daerah q12 atau q13 (Heim dan Mitelrnan, 1987), dengan sendirinya protein yang dihasilkan juga berbeda berat molekulnya.



Karyotipik t(9;22)(q34;q12) t(9;22)(q34;q13) t(9;22)(q34;qlI ) t(8;22)(pll;ql I ) t(4;22)(ql2;qI 1) t(9;12)(q34;p13) De1(4)(q12)



Gen-gen yang Terlibat BCR-JAK BCR-PDGFRB BCR-FGFRI BCR-FGFRI BCR-PDGFRA ABL-TEL FIPILI-



lstilah Klinik LGK atipik LGK atipik LGK BCR-ABL negatif LGK BCRABL negatif LGK atipik LGK atipik LGK hipereosinofilia



PDGFRA



Jadi sebenarnya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q) selalu terdapat pada semua pasien LGK, tetapi gen BCRABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien LGK. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, ha1 ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalarni fase



krisis blas dtemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang lcromosom 17 i(17)q. Dengan kata lain selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang .berperan dalam patofisiologi LGK atau terjadi abnormalitan dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p16 dan gen Rb.



Biologi Molekular pada Patogenesis LGK Pada kebanyakan pasien LGK, patahan pada gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau di daerah e13-el4 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr), kemudian gen BCR-ABL-nya akan mensintesis protein dengan berat molekul 210 kD, selanjutnya di tulis p2 10BCR-ABL Patahan lainnya ditemukan di daerah 54,4-kb atau e l yang dikenal sebagai minor bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL-nya akan mensintesa p190 (Melo, 1996). Saglio db pads tahun 1990 menemukan satu lagi variasi patahan ini pada 3' gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk p230. Daerah patahan ini kemudian dikenal sebagai micro bcr (y -bcr) (Melo, 1996). Melo (1997) menemukan bahwa 3 variasi letak patahan pada gen BCR ini yaitu mayor (M-bcr), minor (m-bcr), dan mikro (ybcr) ternyata berhubungan dengan gambaran klinik penyakitnya. Pasien LGK yang patahan pada gen BCRnya di M-bcr berhubungan dengan trombositopenia, patahan di m-bcr berhubungan dengan monositosis yang prominen, sedang patahan di y-bcr berhubungan dengan netrofilia dantatau trombositosis. mempunyai Pada gambar 2 tampak bahwa p210BCR-ABL potensi leukemogenesisdengan cam sebagai berikut: gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini mempunyai kemampuan untuk oto-fosforilasi yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-homologi 1 (SHl), sehingga tejadi deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen sel-sel terhadap stroma sumsum tulang, dan berkurangnya respon apoptosis. Selanjutnya fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam sitoplasma sehingga terjadilah transduksi sinyal yang bersifat onkogenik, seperti tampak pada Gambar 3. Sinyal ini akan menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan pada proses proliferasi sel dan juga proses apoptosis. Diagnosis Banding : LGK fase kronik: leukemia mielomonositik kronik, trombositosis esensial, leukemia netrofilik kronik LGK fase krisis blas: leukemiarnieloblastik akut, sindrom mielodisplasia



Gambar 3. Fusi Gen BCR-ABL. Gen ABL ( ~ 1 4 5yang ~ ~ ~normal ) dikontrol oleh Exon l a , Ib dan Exon a2. Apabila terjadi fusi dengan gen BCR, maka terjadi otofosforilasi sehingga terjadi aktivasi dari gen ABL pada gugus SH1 dengan tidak terkendali. Dikutip dari Goldman and Melo. N Engl J Med 2003.



Gambar 4. Proses Aktivasi Sinyal Transduksi oleh Fusi Gen BCR-ABL. Dikutip dari Goldman and Melo. N Engl J Med 2003.



PEMERIKSAANPENUNJANG



~ematologirutin. Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikitmenurun, lekosit antara 20-60.000/mm3. Persentasi eosinofil dan atau basofil meningkat. Trombosit biasanya meningkat antara 500-600.000/rnm3.Walaupun sangat jarang, pada beberapa kasus dapat normal atau trombositopenia. Apus Darah Tepi Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit, persentasi sel mielosit dan metarnielosit meningkat, demikianjuga persentasi eosinofil dan atau basofil.



Apus Sumsum Tulang Selularitas meningkat (hiperselular)akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio rnieloid: eritroid meningkat. Megakariosit juga tampak lebih banyak. Dengan pewarnaan retikulin, w p a k bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis. Karyotipik Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini teknik ini sudah mulai ditinggalkan dan peranannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi kromosom yang sering ditemukan pada LGK, antara lain: +8, +9, +19, +21, i(17). Pemeriksaan laboratorium lain. Sering ditemukan hipenuikemia. PENGOBATAN Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai rernisi lengkap, baik remisi hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan dengan terapi interferon dan atau cangkok sumsum tulang. Indikasi cangkok sumsum tulang: 1. Usia tidak lebih dari 60 tahun, 2. Ada donor yang cocok, 3. Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan Sokal. Obat-obat yang digunakan pada LGK adalah: Hydroxyurea (Hydrea) - Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologik pada LGK. - Lebih efektif dibandingkan busulfan, melfalan, dan klorarnbusil. - Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Tidak seperti busulfan yang dapat menyebabkan anemia aplastik dan fibrosis paru. - Dosis 30mglkgBBlhari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit > 300.000/mm3,dosis boleh ditinggikan sampai' maksirnal2.5 grarn~hari. - Penggunaannya dihentikan dulu bila lekosit 3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat



Chronic Myeloid Leukemia Trialists' Collaborative Group. Interferon alf'a versus chen~otherapy for chronic myeloid leukemia: a meta-analysis of seven randomized trials: Chronic Myeloid Leukemia Trialists' Collaborative Group. J Natl Cancer 111st. 1997;89(2 I ) : 16 16-20. Druker BJ, Tnlpaz M. Resta DJ, et al. Efficacy and safety of a specific inhibitor of the BCR-ABL tyrosine kinase in chronic myeloid leukemia. N Engl J Med. 2001;344(14): 1031-7. Druker BJ, Sawyers CL, Kantarjian H, et al. Activity of a specific inhibitor of the BCR-ABL tyrosine kinase in the blast crisis of chronic myeloid leukemia and acute lymphoblastic leukemia with the Philadelphia chromosome. N Engl J Med. 2001:344(14): 1038-42. Giles FJ, Corles JE. Kantarjian HM, O'Brien SM. Accelerated and blastic phases of chronic ~nyelogenousleukemia. Hematol Oncol Clin North An). 2004; 18(3):753-74. Goldman JM. Druker BJ. Chronic myeloid leukemia: current treatment options. Blood. 2001;98(7):2039-44. Goldman JM and Melo JV. Chronic myeloid leukemia- advances in biology and new approaches to treatment. N Engl J Med. .2003;349(15): 145 1-64. Italian Cooperative Study Group on Chronic Myeloid Leukemia. Interferon alfa-2a as compared with conventional chemotherapy for the treatment of chronic myeloid leukemia. The Italian Cooperative Study Group on Chronic Myeloid Leukemia. N Engl J Med. 1994;330( 12):820-5. Kantarjian H, Sawyers C, Hochhaus A, et al: Hematologic and cytogenetic responses to imatinib mesylate in chronic myelogenous leukemia. N Engl J Med. 2002;346(9):645-52. Kantarjian HM. Cortes JE, O'Bricn S. lmatinib mesylate therapy in newly diagnosed patients with Philadelphia chromoso me-positive chronic myelogenous leukemia: high incidence of early complete and major cytogenetic responses. Blood. 2003;101(1):97-100. Kantarjian HM, Talpaz M. Chronic myelogenous leukemia. Hematol Oncol Clin North Am. 2004;18(3):15-6. Lee SJ, Anasetti C, Horowitz MM, Antin JH. Initial therapy for chronic myelogenous leukemia: playing the odds. J Clin Oncol. 1998; 16(9):2897-903. McGlave PB. Beatty P, Ash R, Hows JM. Therapy for chronic myelogenous leukemia with unrelated donor bone marrow transplantation: results in 102 cases. Blood. 1990;75(8):1728-32. Savage DG and Antman KH. lmatinib mesylate-a new oral targeted therapy. N Engl J Med. 2002;346(9):683-93. Sawyers CL, Hochhaus A, Feldman E, et al. lmatinib induces hematologic and cytogenetic responses in patients with chronic myelogenous leukemia in myeloid blast crisis: results of a phase I1 study. Blood. 2002;99(10):3530-9. Sneed TB, Kantarjian HM, Talpaz M, et al. The significance of myelosuppression during therapy with imatinib mesylate in patients with chronic myelogenous leukemia in chronic phase. Cancer. 2004;100: 116-21. Talpaz M, Silver RT, Druker BJ. lmatinib induces durable hematologic and cytogenetic responses in patients with accelerated phase chronic myeloid leukemia: resultsof aphase 2 study. Blood. 2002;99(6): 1928-37.



,



'



POLISITEMIA VERA M. Darwin Prenggono



PENDAHULUAN Suku kata polisitemia (bahasa Yunani) mengandung arti poly (banyak), cyt (sel), dan hemia (darah) sedang Vera (benar) adalah suatu penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif di mana terjadi klon abnormal pada hemopoetik sel induk (heniatopoietic stern cells) dengan peningkatan sensitivitas pada growth factors yang berbeda untuk terjadinya maturasi yang berakibat terjadi peningkatan banyak sel. Ada dua istilah yang sering diartikan sama antara polisitemia dan eritrositosis, pada polisitemia (banyak sel) menggambarkan peningkatan dari dari total kuantitas atau volum (mass) dari sel darah pada tubuh tanapa memperdulikan jumlah leukosit atau trombosit.Sedang peningkatan jumlah dan volume saja dengan pengukuran hitung eritrosis, hemoglobin dan hematokrit adalah lebih benar disebut eritrositosis. Eritrositosis menggambarkan peningkatan dari volume sel darah merah atau mass (polisitemia, juga disebut eritrsitosis absolute) atau menghasilkan penurunan volume plasma (disebut polisitemia/eritrositosisrelatif atau spurious). Polisitemia rubra Vera atau polisitemia Vera nama sinonim lainnya tercatat sebagai polisitemia splenomegalik, eritrositosis megalosplenik (Senator), penyakit VaquezS, penyakit Osler S, polisitemia mielopati (Weber), polisitemia kriptogenik (R. C. Cubot). Polisitemia Vera selanjutnya disingkat PV, merupakan suatu penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif yang melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum tulang mulainya diam-diam tetapi progresif, kronik terjadi karena sebagian populasi eritrosit berasal dari satu klon sel induk darah yang abnormal. Berbeda dengan keadaan normalnya, sel induk darah yang abnormal ini tidak membutuhkan eritropoietin untuk proses pematangannya (eritropoietin serum 49% pada perempuan (kadar Hb > 16 mg1dL) dan >52% pada pria (kadar Hb >17 mgIdL), dan di dapati peningkatan jumlah eritrosit total (hitung eritrosit >5,5 jutd mL pada perempuan dan >6 j u t d m l pada pria). Kelainan ini terjadi pada populasi klon sel induk darah (stem cell) sehingga seringkali terjadi juga produksi yang berlebihan dari leukosit dan trombosit. Permasalahan yang ditimbulkan berkaitan dengan massa eritrosit, basofil dan trombosit yang bertambah, serta perjalanan alamiah penyakit menuju ke arah fibrosis sumsum tulang. Fibrosis sumsum tulang yang ditimbulkan bersifat poliklonal dan bukan neoplastik jaringan ikat.



EPIDEMIOLOGI Polisitemia Vera biasanya mengenai pasien berumur 40-60 tahun, rasio perbandingan antara pria dan perempuan antara 2: 1 dan dilaporkan insiden polisitemia Vera adalah 2.3 per 100. 000 populasi dalam setahun. Keseriusan penyakit polisitemia Vera ditegaskan bahwa faktanya survival median pasien sesudah terdiagnosis tanpa diobati 1,5 - 3 tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10 tahun.



Penyebab terjadinya Polisitemia Vera tidak diketahui, tetapi Ada pendekatan penelitian yang didefinisikan adanya kelainan molekul. Salah satu penelitian sitogenetika menunjukkan adanya kariotipe abnormal di sel induk hemopoisis pada pasien dengan polisitemia Vera dimana tergantung dari stadium penyakit, rata-rata 20% pada pasien polisitemia Vera saat terdiagnosis sedang meningkat 80% setelah diikuti lebih dari I0 tahun. Beberapa kelainan tersebut sama dengan penyakit mielodisplasia sindrom yaitu: deletion 20q (8,4%), deletion 13q (3%), trisomi 8 (7%), trisorni 9 (7%), trisomi lq (4%), deletion 5q atau rnonosomi 5 (3%), deletion 7q atau monosomi 7 (1%).



KLASIFIKASI DAN PENDEKATAN PADA PASIEN DENGAN ERlTROSlTOSlS Klasifikasi eritrositosis tergantung volume sel darah merah (red cell muss) (eritrositosisrelatif atau polisilernia dengan polisitemia aktualj. Polisitemia terbagi dalam polisitemia primer (polisitemia Vera dan polisitemia famili primer) dan polisitemia yang dipengaruhi oleh produksi eritropoeitin (polisitemia sekunder).



--



--



-



-



-



-



-



-- -



-



-



-



Eribositosis relatif atau polisitemia (pseudoerbositosis) Hemokonsentrasi Polisitemia spurious (sind rom Gaisbok) Polisitemia (eritrositosis absolu t) Polisitemia primer - Polisitemia Vera - Polisitemia familial primer Polisitemia sekunder - Se ku nder ole h kerena pen urunan oksigenisasi pada jari ngan (Pl7ysiologically app ropria te polycythemia atau hypoxia e ytrhocytosis) - High-altitude erytrhrocytosis (Monge disease) - Penyakit paru (contoh: kor pulmonal kronik, sindrom Ayerza) - Cyanotc congenital heart disease - Sindrom hipoventilasi - Hemoglobin abnormal - Polisitemia familial - Sekunder oleh karena penympangan respon atau produksi e ritropoie tin (physiologically inappropriate polycythemia) Polisitemia idiopatik



Tanda dan gejala yang predominan terbagi dalam 3 fase: Gejala awal (early symptoms). Gejala awal dari PV sangat minimal dan tidak selalu ada kelainan walaupun telah diketahui rnelalui tes laboratorium.Gejala awal yang tejadi biasanya sakit kepala (48%), telinga berdenging (43%), mudah lelah (47%), gangguan daya ingat, susah bernapas (26%), darah tinggi (72%), gangguan penglihatan (31%),



rasa panas pada tangan atau kaki (29%), gatal (pruritus) (43%), juga terdapat perdarahan dari hidung, lambung (stomach ulcers) (24%) atau sakit tulang (26%). Gejala Akhir (latersymptoms) dan Komplikasi. Sebagai penyakit progresif, pasien dengan PV mengalami perdarahan (hemorrhage) atau trornbosis. Trombosis adalah penyebab kematian terbanyak dari PV. Komplikasi lain peningkatan asam urat dalam darah sekitar 10% berkembang ,menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus pepticum (10%). Fase Spenomegali (Spentphase). Sekitar 30% gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali.Pada fase ini tejadi kegagalan sumsurn tulang dan pasien rnenjadi anemia berat, kebutuhan transfusi meningkat, liver dan lirnpa mernbesar. Beberapa ha1 yang penting berhubungan dengan gejala yaitu: Hiperviskositas. Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kernudian akan menyebabkan: Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih jauh lagi akan menimbulkan eritrostasis sebagai akibat dari penggurnpalan eritrosit, dan Penurunan laju transport oksigen. Kedua ha1 tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat tirnbul karena terganggunya oksigenasi target organ (iskern~alinfark)seperti di otak, penglihatan, pendengaran, jantung, paru, ekstremitas. Penurunan kecepatan aliran (shear rate). Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hernostasis primer yaitu agregasi trornbosit pada endotel ha1 tersebut akan rnengakibatkan tirnbulnya perdarahan, walaupun jurnlah trombosit > 450 ribu/mL. Perdarahan tejadi pada 10-30%kasus PV, manifestasinya &pat berupa epistaksis, ekiposis, dan perdarahan gastrointestinal. Trombositosis (hitung trombosit >400.000/mL). Trombositosisdapat menirnbulkan trombosis, pa& PV tidak ada korelasi trornbositosis dengan trombosis. Trombosis vena atau trornboflebitis dengan emboli terjadi pada 3050% kasus PV. Basofilia (hitung basofit >65/mL).Lima puluh persen kasus PV datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh terutarna setelah rnandi air panas, dan 10% kasus PV datang dengan urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar histamin dalarn darah sebagai akibat dari basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung terjadi karena peningkatan kadar histarnin. Splenomegali. Splenornegali tercatat pada sekitar 70% pasien PV. Splenomegaliini terjadi sebagai akibat sekunder dari hiperaktif hemopoesis ekstra rnedular. Hepatomegali. Hepatornegali dijumpai pada kira-kira sejurnlah 40% PV. Sebagaimana halnya splenomegali,



'



-



hepatomegali juga merupakan akibat sekunder dari hiperaktif hemopoesis ekstra medular. Laju siklus sel yang tinggi. Sebagai konsekuensi logis dari hiperaktif hemopoesis dan splenomegali adalah sekuestrasi sel darah makin cepat dan banyak dengan demikian maka produksi asam urat darah akan meningkat. disisi lain laju filtrasi gromerular menurun karena penurunan shear rate. Artritis Gout dijumpai pada 5-10% kasus PV Defisiensi vitamin B,,, dan asam folat. Laju siklus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisiensi asam folat dan vitamin B ,,, ha1 ini dijumpai pada + 30% kasus PV karena penggunaan/metabolisme untuk pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein tidak tersaturasi pengikat vitamin B I 2(UB,, - Protein binding capacity) dijumpai meningkat pada >75% kasus. Sepel-ti diketahui defisiensi kedua vitamin ini memegang peran dalam tinibulnya kelainan kulit dan mukosa, neuropati, atrofi N.Optikus, serta psikosis.



PEMERIKSAAN LABORATORILIM Eritrosit Untuk menegakkan diagnosis polisitemia Vera pada sad1 perjalanan penyakit ini, peninggian massa eritrosit haruslah didemonstrasikan. Hitung sel jumlah eritrosit dijumpai >6 jutalml pada pria dan >5,5 jutdml pada perempuan, dan sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik kecuali jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan anisositosis menunjukkan adanya transisi ke arah metaplasia mieloid di akhir perjalanan penyakit. Granulosit Granulositjumlahnya meningkat terjadi pada 2/,kasus PV, berkisar antara 12-25 ribulml tetapi dapat sampai 60 nbul mL. Pada dua perliga kasus ini juga terdapat basofilia. Trombosit Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribul mL, bahkan dapat > I jutdmL. Sering didapatkan dengan morfologi trombosit yang abnormal.



B,, Serum B,, serumdapat meningkat ha1 ini dijumpai pada 35% kasus dan dapat pula menurun ha1 ini dijumpai pada k 30% kasus, dan kadar UB ,,BC meningkat pada >75% kasus PV. Pemeriksaan Sumsum Tulang Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali ada kecurigaan terhadap penyakit mieloproliferatif lainnya seperti adanya sel blas dalam hitung jenis leukosit. Sitologi sumsum tulang menunjukkan peningkatan selularitas normoblastik berupa hiperplasi trilinier dari seri eritrosit,



megakariosit, dan niielosit. Sedangkan dari histopatologi sumsum tulang adanya bentuk morfologi megakariosit yang patologis/abnormal dan sedikit fibrosis merupakan petanda patognomonik PV. Pemeriksaan Sitogenetika Pada pasien PV yang belum mendapat pengobatan P,, atau kemoterapi sitostati ka dapat dijumpai karyotip ((lihat etiologi). Variasi abnormalitas sitogenetikadapat dijumpai selain tersebut di atas terutama jika telah mendapatkan pengobatan P,, atau kemoterapi sitostatika sebelumnya.



Anti Rh,(D)



Kontrol Rh



Positif Negatif Positif



Negatif Negatif Positif



Tipe Rh



D+ D- (d) Harus diulang atau diperiksa dengan Rh,(D) typing (Saline tube test)



DIAGNOSIS Sebagai suatu kelainan mieloproliferatif,PV dapat memberikan kesulitan dengan gambaran klinis yang hampir sama dengan berbagai keadaan polisitemia lainnya (polisitemia sekunder). Karena kompleksnya penyakit ini, lnrernational Polycythemia Study Group ke dua menetapkan 2 kriteria pedoman dalam menegakkdn diagnosis polisitemia Vera dari 2 kategori diagnostik, diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria: a).Dari kategori: Al+A2+A,,atau, b). Dari kategori: Al+A,+ 2 kategori B.



Kategori A Meningkatnya massa sel darah merah, ha1 ini diukur dengan krom-radioaktif CrS1.Pada pria 2 36 rnLkg, dan pada perempuan 2 32 mL/kg. Saturasi oksigen arterial > 92%. Eritrositosis yang terjadi sekunder terhadap penyakit atau keadaan lainnya juga disertai massa sel darah merah yang meningkat. Salah satu pembeda yang digunakan adalah diperiksanya saturasi oksigen arterial, di mana pada PV tidak didapatkan penurunan. Kesulitan ditemui apabila pasien tersebut berada dalam keadaan: - Alkalosis respiratorik, di mana kurva disosiasi p02 akan bergeser ke kiri, dan - Hemoglobinopati, di mana afinitas oksigen meningkat sehingga kurva PO, juga akan bergeser ke kiri. Spenomegali.



1217



POL~S~TEM~A VERA



Kategori B Trombositosis: trombosit 2 400.000/mL, Leukositosis: leukosit 2 12.000/mL (tidak ada infeksi). Neutrophil alkaline phospharase (NAP) score meningkat lebih dari I00 (tanpa adanya panas atau infeksi). Kadar vitamin B ,>900 pg/mLdan atau UBl,BC dalam serum> 2200 p g / k . Dalarn beberapa leteratur disebutkan usulan modifikasi kriteria diagnostik PV sebagai berikut:



Spenomegali pada pemeriksaan radio isotop atau ultrasonografi Penurunan serum ertropoietin atau BFU-E growth yang karakteristik Diagnosis polisitemia Vera: Kategori :A 1 + A2 dan A3 atau A4 atau Kategori :A1 +A2 dan 2 kriteria katagori B.



PENATALAKSANAAN



Kategori A Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25% di atas ratarata angka normal atau Packed Cell Volume pada lakilaki >0,6 atau pada perempuan 0 5 6 Tidak ada penyebab polisitemia sekunder spenomegali yang teraba Petanda klon abnormal (kariotipe abnormal)



Prinsip Pengobatan Menurunkan viskositas darah sarnpai ke tingkat normal kasus (individual) dan mengontrol eritropoesis dengan flebotomi. Menghindari pembedahan elektif pada fase eriuositiw polisitemia yang belum terkontrol. Menghindari pengobatan berlebihan (over treabnent). Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia muda. Mengontrol panmielosis dengan dosis tertentu fosfor ' radioaktif atau kernoterapi sitostatika pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan:



Kategori B Trombositosis >4 00 000 per mm" Jumlah neutropil r I0 x 109/ L dan bagi perokok r 12,5 x lo9k



Flebotomy untuk mempertahankan hematokrit < 0,45



b Urnur



70 th



aspirin dosis rendah jika ada riwayat



ya



tidak



Adanya r~wayatatau ada trornbosis atau phlebotomy yang seringkali atau jumlah trombosit > 400.000 atau splenomegali yang progresif



ya



Tanpa rnielosupresi .':.



;



ada komplikasi



Gambar 1. Manajemen terapi polisitemia Vera



Terapi mielosupresi dengan hydroxiurea (pertirnbangkan interferon atau anagrelld pada pasien rnuda) dan asplrin sebagai profilaksis



- Trombositosis persisten di atas 800.000/mL, -



-



terutama jika disertai gejala trombosis. Leukositosis progresif. Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematik. Gejala sistemik yang tidak terkontrol seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.



Media Pengobatan Flebotomi. Flebotomi dapat merupakan pengobatan yang adekuat bagi seorang pasien polisitemia selama bertahun-tahun d a n merupakan pengobatan yang dianjurkan. Indikasi flebotomi: Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% (target Ht 555%). Polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada derajat beratnya gejala yang ditimbulkan akibat hiperviskositas dan.penurunan shear rate, atau sebagai penatalaksanaan terbatas gawat darurat sindrom paraneoplastik. Pada PV tujuan prosedur flebotomi tersebut ialah mempertahankan hematokrit 1 4 2 % pada perempuan, dan 5 4 7 % pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate. lndikasi flebotomi terutama pada semua pasien pada permulaan penyakit, dan pada pasien yang masih dalam usia subur. Prosedur flebotomi : a).Pada permulaan, 250-500 cc darah dapat dikeluarkan dengan blood donor collection set standard setiap 2 hari. Pada pasien dengan dengan usia >55 tahun atau dengan penyakit vaskular aterosklerotik yang serius, flebotomi hanya boleh dilakukan dengan prinsip isovolemik yaitu mengganti plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti plasma (coloid/plasma expander) setiap kali, untuk mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral atau jantung karena hipovolemik; b). Sekitar 200 mg besi dikeluarkan pada tiap 500 cc darah (normal total body iron + 5 g). Defisiensi besi merupakan efek samping pengobatan flebotomi berulang. Gejala defisiensi besi seperti glositis, keilosis, disfagia, dan astenia dapat cepat hilang dengan pemberian preparat besi. Fosfor radioaktif (PJ.Pengobatan dengan fosfor radioaktif ini sangat efektif, mudah, dan relatif murah untuk pasien yang tidak kooperatif atau dengan keadaan sosio-ekonomi yang tidak memungkinkan untuk berobat secara teratur. P,, pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3 mCi/m2 secara intravena, apabila diberikan per oral maka dosis dinaikkan 25%. Selanjutnya apabila setelah 3-4 minggu pemberian P,, pertama: 1). Mendapatkan hasil, re-evaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat diulang akan tetapi ha1 ini jarang dibutuhkan. 2). Tidak mendapatkan hasil selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25%



dari dosis pertama, dan diberikan sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama. Dengan cara ini panmielosis dapat dikontrol pada sekitar 80% pasien untuk jangka waktu sekitar 1-2 bulan dan mungkin berakhir 2 tahun atau lebih lama lagi. Sitopenia yang serius setelah pengobatan ini jarang terjadi. Pasien diperiksa sekitar 2-3 bulan sekali setelah keadaan stabil. Trombositosis dan trombositemia yang mengancam (hiper aggregasi) atau terbukti menimbulkan trombosis masih dapat terjadi meskipun eritrositosis dan lekositosis dapat terkontrol. Kemoterapi sitostatika. Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatika adalah sitoreduksi. Saat ini lebih dianjurkan menggunakan Hidroksiurea salah satu sitostatika golongan obat anti metabolik, sedangkan penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi karena efek leukemogenik, dan mielosupresi yang serius. Walaupun demikian FDA masih membenarkan (approvecT) Chlorambucil dan Busulfan digunakan pada



a! Indikasi penggunaan kemoterapi sitostatika: hanya untuk Polisitemia rubra primer (PV), flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan >2 kali sebulan, trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis, urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistarnin, splenomegali simptomatiMmengancam ruptura limpa. Cara pemberian kemoterapi sitostatika: Hidroksiurea ("Hydrea 500mgltablet) dengan dosis 800-1200 mg/m2/hariatau diberikan sehari 2 kali dengan dosis 10- 15 mg/kgBB/kali, jika telah tercapai target dapat dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk pemeliharaan. Chlorambucil (@LeukeranSmgltablet) dengan dosis induksi 0,l-0,2 mg/kgBB/hari selama 3-6 minggu, dan dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu. Busulfan (@Myleran2mgltablet) O,O6mg/kgBB/hari atau 1,8 mg/m2/hari, jika telah tercapai target dapat dilanjutkan dengan pemberian intermitten untuk pemeliharaan. Pasien dengan pangobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar dua sampai tiga minggu sekali). Kebanyakan klinisi menghentikan pemberian obat jika hematokrit: Pada pria 9 7 %dan memberikannya lagi jika >52%, Pada perempuan 142% dan memberikannya lagi jika >49%. Kemoterapi biologi (sitokin). Tujuan pengobatan dengan produk biologi pada PV terutama adalah untuk mengontrol trombositemia (hitung trombosit >800.000/mm'), produk biologi yang digunakan adalah Interferon a. Interjeron a (%~tron-A3 & 5 juta Iu, "overon-A 3 & 9 jutaIu) digunakan



WLISlTEMlA VERA



terutama pada keadaan trombositemia yang tidak dapat di kontrol, dosis yang dianjurkan 2 juta Iu/m2/s.c, atau i.m. 3 kali seminggu. Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya dengan sitostatika Siklofosfamid (Tytoxan 25mg & 50mgltablet) dengan dosis 100mglm21hari,selama 10-14 hari atau sampai target telah tercapai (hitung trombosit < 800.000/mm3) kemudian dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 100mg/m2 1-2 kali seminggu. Pengobatan Suportif Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-600 mg/ hari oral pada pasien dengan penyakit yang aktif dengan memperhatikan fungsi ginjal. Pruritus dan urtikaria dapat diberikan antihistamin, jika diperlukan dapat diberikan Psoralen dengan penyinaran Ultraviolet range A (PUVA) * Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H,. Antiaggregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin disebutkan juga dapat menekan trombopoesis.



PEMBEDAHAN PADA PASIEN PV Pembedahan Darurat Pembedahan segera sedapat-dapatnya ditunda atau dihindarkan. Dalam keadaan darurat dapat dilakukan flebotomi agresif dengan prinsip isovolemik dengan mengganti plasma yang terbuang dengan plasmafusin 4% atau cairan plasma ekspander lainnya bukan cairan isotonis atau garam fisiologis, suatu prosedur yang dapat digolongkan sebagai tindakan penyelamatan hidup (lqe-saving). Tindakan splenekromi sangat berbahaya untuk dilakukan pada semua fase polisitemia, dan harus di hindarkan karena dalam perjalanan penyakitnya jika terjadi fibrosis sumsum tulang organ inilah yang masih diharapkan sebagai pengganti hemopoesisnya. Pembedahan Berencana Pembedahan berencana dapat dilakukan setelah pasien terkontrol dengan baik. Lebih dari 75% pasien dengan PV tidak terkontrol atau belum diobati akan mengalami perdarahan atau komplikasi trombosis pada pembedahan, kira-kira sepertiga dari jumiah pasien tersebut akan meninggal. Angka komplikasi akan menurun jauh jika eritrositosis sudah di kontrol dengan adekuat sebelum pembedahan. Makin lama telah terkontrol, makin kecil kemungkinan terjadinya komplikasi pada pembedahan. Darah yang di dapat dari flebotomi dapat disimpan untuk transfusi autologus pada saat pembedahan.



Pencegahan Tromboemboli Peri Operatif Pencegahan tromboemboli perioperatif dapat dilakukan dengan: Penggunaan alat-alat bantu mekanik seperti kaos kaki elastik (elastic stocking) atau pulsatting boots. Heparin dosis rendah jika tidak ada indikasi kontra dapat diberikan. Untuk dewasa, heparin i.v drip dengan dosis 1 0-20 Iu/kgBB/jam dengan target A m 40"-60 sampai pasien dapat berjalan atau ambulatorik. Kemudian 50100 Iu/kgBB/subkutan dapat diberikan setiap 8-12jam sampai pasien kembali ke aktivitas normal.



PROGNOSIS Polisitemia adalah penyakit kronis dan keseriusan penyakit Polisitemia Vera ditegaskan bahwa faktanya survival median pasien sesudah terdiagnosa tanpa diobati 13-3 tahun sedang yang dengan pengobatan lebih dari 10 tahun. Penyebab utamamorbiditi dan mortaliti adalah: Trombosis dilaporkan pada 15-60% pasien, tergantung pada pengendalian penyakit tersebut dan 10-40% penyebab utama kematian. Komplikasi perdarahan timbul 15-35% pada pasien polisitemia Vera dan 6-30% menyebabkan kematian Terdapat 3-10% pasien polisitemia Vera berkembang menjadi mielofibrosis dan pansitopenia Polisitemia Vera dapat berkembang menjadi leukemia akut dan sindrom mielodisplasia pada 1 3 % pasien dengan pengobatan hanya phlebotomy. Peningkatan risiko transformasi 13,5% dalam 5 tahun dengan pengobatan klorambusil dan 10,2% dalam 6- 10 tahun pada pasien dengan pengobatan 32P.Terdapatjuga 5.9% dalam 15 tahun risiko terjadinya transformasi pada pasien dengan pengobatan hydroxyurea.



Means RT. Erytrhocytosis. In: Greer JP, Rodgers GM, Foeerster JF. Paraskevas F, Lukens JN, et al, editors. 11th edition. Volume 2. Wintrobe's clinical hematology; 2004. p. 1495-505. Mossuz P, Girodon F, Donnard M. Diagnostic value of serum erythropoietin level in patients with absolute erythrocytosis. Haematologica. 2004;l 194-8. Person TC, Messinezy M, Westwood N, Green AR, Bench,AJ, et al. A polycythemia Vera update: diagnosis, pathology, and treatment. American Sociaety of Hematology. 2000;51-65. Radin AI. Polycythemia rubra vera. Current therapy in hematology-oncology. 5* edition. 1995. p. 236-42. Spivak JL. Polycythemia vera. Harrison's principles of internal medicine. 16Ih edition. 1997. p. 679-81. Stuart BJ, Viera AJ. Polycythemia vera. American family physician. 2004. White P. Myeloproliferative and myelodysp1astic syndromes: polycythemia vera. Handbook of cancer chemotherapy. 3Ih edition. In: Skeel RT, editor. Boston: Little, Brown & Co; 1991. p. 324-5.



TROMBOSITOSIS ESENSIAL Irza Wahid



PENDAHULUAN Di Amerika Serikat istilah trombositosis esensial disebut primary (essential) thrombocythemia, sedangkan di Eropa disebut thromboc.ythenlia Vera. Trombositosis esensial merupakan anggota dari kelompok gangguan mieloproliferatif. Schafer A1 menggabungkan trombositosis esensial dengan gangguan mieloproliferatif lainnya dengan istilah trombositosis klonal. Dalam ha1 ini yang digolongkan sebagai trombositosis klonal adalah trombositosis esensial, polisitemia primer dan mielofibrosis. Penyakit mieloproliferatif lainnya adalah leukemia granulositik kronik (BCRJABL positif), leukemia eosinofilik kronik, leukemia netrofilik kronik serta penyakit mieloproliferatif yang tidak tergolongkan. Trombositosis esensial diperkirakan terdapat pada 400 orang dari 1.000.000 populasi. Hampir semua pasien trombositosis esensial berusia lebih dari 50 tahun, walaupun demikian pemah dilaporkan kasus pada anak berusia 2 tahun. Kurang dari 10 % pasien berusia kurang dari 10 tahun. Prevalensi trombositosis esensial lebih tinggi pada perempuan dibandingkan pria. Cortelazzo S dkk pada penelitiannya terhadap 100 orang pasien dengan trombositosis esensial memperlihatkan rerata usia pasien adalah 50 tahun (interval 17-82 tahun) dengan perbandingan pria dan perempuan 39 %:61 %.



Trombopoetin merupakan hormon kunci dalam pengaturan diferensiasi dan proliferasi megakariosit. Walaupun demikian beberapa sitokin seperti interleukin-6 dan interleukin-11juga berperan dalam proses ini. Dalarn keadaan normal, pengaturan produksi trombosit dari megakariosit di sumsum tulang melibatkan pengikatan



trombopoetin bebas di plasma dengan megakariosit. Hal inilah yang merangsang aktifnya megakariositopoetik memproduksi trombosit (Gambar 1A). Pada trombositosis reaktif, penyakit dasarnya akan merangsang peningkatan sintesis trombopoetin dengan mediator berbagai sitokin diantaranya interleukin-6 yang selanjutnya akan meningkatkan aktivitas megakariositopoetik memproduksi trombosit (Gambar IB). Pada trombositosis klonal, terdapat gangguan pengikatan trombopoetin terhadap trombosit dan megakariosit abnormal, sehingga terdapat peningkatan kadar trombopoetin bebas di plasma. Walaupun reseptor trombopoetin (c-Mpl) berkurang, tetapi megakariosit menjadi hipersensitif terhadap aksi trombopoetin, yang akhirnya menyebabkan peningkatan megakariositopoetik dan produksi trombosit (Gambar 1C). Mutasi somatik tunggal protein tirosin kinase JAK2 terlihat bertanggung jawab terhadap berbagai gambaran trombositosis klonal termasuk trombositosis esensial. Data terakhir memperlihatkan bahwa JAK2 ini berperan terhadap berkurangnya c-MPL. Beberapa peristiwa patofisiologi yang terlihat pada pasien dengan trombositosis esensial, yaitu: 1). Adanya bukti perubahan endovaskular pada pasien dengan eritromelalgia. Perubahan ini meliputi pembengkakan vaskular dengan penyempitan lumen yang disebabkan proliferasi otot polos dengan vakuolisasi, pembengkakan sitoplasma, deposisi material interselular dan fragmentasi lamina elastika intema, 2). Perubahan arsitektur dan fungsi trombosit yang meliputi heterogenitas ukuran, perubahan ultrastruktur, peningkatan jumlah protein spesifik trombosit, peningkatan tromboksan dan ekspresi epitop pada permukaan trombosit, 3). Perubahan genetika berperan penting dalam regulasi ekspresi trombopoetin, 4). Terdapat hubungan terbalik antara peningkatanjumlah trombosit dengan faktor von Willebrand multimers.



4). Peningkatan j u d a h trombosit yang menyebabkan produksi berlebihan prostasiklin (PGI,) yang akan menekan penglepasan granul trombosit dan agregasi.



GAMBARAN KLlNlS



Garnbar 1. Regulasi norrnallabnorrnal produksi trornbosit



Trombosis merupakan manifestasi klinis mayor trombositosis esensial. Patogenesis terjadinya trombosis pada trombositosis esensial bersifat multifaktorial. Mekanisme trombositosis esensial dalam menimbulkan trombosis masih dieksplorasi secara luas. Karena trombosis ,tidak biasa terjadi pada trombositosis reaktif, maka diduga jumlah trombosit saja tidak merupakan dasar untuk terjadinya trombosis. Perubahan arsitektur megakariositltrombosit dengan trombosit yang abnormaIlmembesar ditemukan pada pasien trombositosis esensial, tetapi beberapa studi gagal membuktikan hubungan ini dalam menimbulkan trombosis. Interaksi endotel dan trombosit serta peningkatan platelet factor (pf 4)heta tromboglobulin menyokong aktivasi trombosit yang berlebihan pada trombositosis esensial, merupakan mekanisme penting untuk terjadinya trombosis. Walaupun lebih jarang manifestasi hemoragis juga dapat muncul pada trombositosis esensial. Hemoragis dapat terjadi melalui beberapa mekanisme: 1). Abnormalitas fungsi trombosit; 2). Trombosis dengan infark yang mengalami ulserasi; 3). Konsumsi faktor koagulasi;



Sepertiga pasien trombositosis esensial mempunyai gambaran klinis yang silent. Lima puluh persen pasien trombositosis esensial, minimal mengalami sekali episode trombosis dalam waktu 9 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Lesi oklusi vaskular merupakan gambaran klinis utama pada .trombositosis esensial yang gejalanya bervariasi mulai dari episode iskemia transient pada retina, susunan saraf pusat, sampai dengan adanya gambaran klinik yang lengkap, sekunder dari penurunan aliran darah dengan manifestasi angina pektoris, infark miokard akut, strok dan trombosis vena dalam. Aspek klinis khusus lesi trombotik pada trombositosis esensial adalah eritromelalgiadan trombosis mikrosirkulasi. Eritromelalgia hampir dapat disebut sebagai penemuan patognomonis pada pasien dengan trombositosis esensial. Keluhan ini biasanya dimulai dengan acroparesthesis atau sensasi gatal pada kaki yang bisanya dikuti dengan rasa nyerilterbakar serta kemerahan dan bendungan yang kadang dapat dicetuskan oleh exerciselpanas. Trombosis mikrosirkulasi berupa lesi pada arteri dan arteriol menghasilkan gejala berupa episode iskemia yang transient dengan manifestasi berupa gangguan visus, claudicatio intermittent dan infark pada jari. Karena oklusi hanya terjadi pada mikrovaskular maka denyut nadi sering masih teraba pada pada palpasi. Adanya gangren pada jari kaki dengan pulsasi arteri perifer yang masih baik pada pasien dengan peningkatan jumlah trombosit merupakan petanda kuat trombositosis esensial. Walaupun istilah thrombohemorrhagica umum digunakan untuk gambaran klinis trombositosis esensial, perdarahan lebih jarang muncul dibandingkan dengan trombosis. Perdarahan yang muncul biasanya ringan berupa ekimosis superfisial terutama pada ekstremitas, tetapi dapat juga berupa perdarahan spontan epistaksis, ginggiva ataupun perdarahan ringan pada gastrointestinaygenitourinarius. Splenomegali didapatkan pada 70% pasien trombositosis esensial, sedangkan hipertensi didapatkan sebanyak 30%. Trombosis vaskular plasenta dengan infark berkaitan tingginya insiden abortus pada perempuan dengan trombositosis esensial. Abortus spontanfberulang dan retardasi pertumbuhan janin terjadi pada 50% pasien perempuan dengan trombositosis esensial. Cortelazzo S dkk pada penelitiannya terhadap 100 orang pasien dengan trombositosis esensial memperlihatkan 76% pasien tanpa komplikasi trombosis



ataupun hernoragis, 20% dengan rnanifestasi trornbosis, dan hanya 4% dengan rnanifestasi hernoragis. Walaupun jarang, dalarn perjalanan penyakitnya trombositosis esensial dapat rnengalarni transforrnasi menjadi rnielofibrosis dan leukemia rnieloblastik akut.



DIAGNOSIS Peningkatan jurnlah trornbosit yang rnenetap rnerupakan gambaran diagnosis utarna trornbositosis esensial. Walaupun dernikian penyebab lain peningkatan jurnlah trombosit harus disingkirkan. Trornbositosis yang disertai dengan splenornegali lebih rnengarahkan diagnosis kepada trombositosis esensial dibandingkan dengan trombosis reaktif. Kriteria diagnosis: Hitung trornbosit A50.000 ul (dikonfirmasi lebih dari I Tidak diternukan penyebab lain peningkatan hitung trornbosit Tidak diternukan sindrorn mielodisplasia atau gangguan mieloproliferatif lainnya. Surnsurn tulang dengan: hiperplasia rnegakariositik fibrosis < 113 bagian Kriteria tarnbahan: Splenornegali Invitro: pernbentukan koloni rnegakariositik spontan



Campbell PJ dan Green AR rnengusulkan kriteria diagnosis untuk trornbositosis esensial sebagai berikut: Al. Hitung trornbosit >600 x 109/1minimal dalarn waktu 2 bulan A2. Mutasi JAK2 B1. Tidak didapatkan penyebab trornbositosis reaktif B2. Tidak didapatkan bukti defisiensi besi B3. Tidak didapatkan bukti polesiternia Vera B4. Tidak didapatkan bukti leukemia rnielositik kronik B5. Tidak didapatkan bukti rnielofibrosis B6. Tidak didapatkan bukti sindrorn rnielodisplasia Diagnosis trornbositosis esensial dapat ditegakkan apabila A1 + A2 + B3 - B6 (V617F-tronzbositosis esensial positif) atau A1 + Bl - B6 (V617F-trombositosisesensial negatif ) Keadaan klinis yang berkaitan dengan trornbositosis reaktif:



Akut dan transient Menetap (menit-jam): epinefrin, berkuat *. Menetap (jam-beberapa hari): - Kehilangan darah akut - Penyernbuhan infeksi akut - Pasca (rebouizd) trornbositopenia - Pasca irnunisasi - Pasca kernoterapi qtoreductive - Pasca anemia rnegaloblastik - Pasca trornbositopenia alkoholik Kronik Menetap dalarn waktu yang lama: kehilangan darah kronik dengan defisiensi besi, penyakit inflarnasi kronik, penyakit infeksi kronik, kanker, anemia hernolitik Menetap dan potensial untuk berlangsung seumur hidup Pasca splenektorni



DIAGNOSIS BANDING



Gambar 2. Gambaran Histologi Trombositosis Esensial. A. Gambaran darah tepi yang menunjukkan peningkatan jumlah trombosit termasuk adanya trombosit raksasa. B. Gambaran sumsum tulang yang menunjukkan peningkatan jurnlah megakariosit



Pada keadaan diternukannya peningkatan jurnlah trombosit (>450.000/rnrn" terlebih dahulu harus disingkirkan bahwa ha1 ini bukanlah disebabkan oleh suatu keadaan trornbositosis reaktif. Pada trornbositosis reaktif sering diternukan adanya penyakit dasar dan tidak diternukan adanya keadaan trornbosis/hernoragis serta splenornegali. Di samping itu fungsi trornbosit, garnbaran darah tepi dan garnbaran surnsurn tulang dalarn batas normal, Selanjutnya harus dibedakan antara trombositosis esensial dengan gangguan rnieloproliferatif lainnya yakni polisiternia primer, rnielofibrosis idiopatik, leukemia granulositik kronik, leukemia easinofilik kronik dan leukemia netrofilik kronik.



TROMBOSITOSIS ESENSIAL



Trombosis Klonal Penyakit dasar lskemla D~g~tallserebmvaskular Trombosis arteri lvena besar Hemoragis Splenomegah Gambaran darah tepi Fungsl trombosit Gambaran sum-sum tulang Jumlah Morfologl



Trombosis Reaktif



Tidak ada Karakteristik



Sering Tidak ada



Risiko t~nggi



Tidak ada



Risiko Tinggi Ya, sekltar 40 % Trombosit raksasa Mungkln abnormal



Tldak ada Tidak ada Trombosit normal Normal



Meningkat Giant, dysplastic forms with increased ploydy associated with larges masses of platelet debris



Meningkat Normal



Trombositosis Esensial



Pollsltemla Vera



Mlelofibrosls ldlopatlk



Normal IL



777



.1



12 - 25



Bervariasi,



600 - 2500



450 - 800



450 - 1000



Eritrosit berinti



Jarang



Jarang



Umum



Alkali fosfatase leukosit



Normal



Biasanya 7



Normal - 7 7



Sum-sum tulang



Hiperselular Megakariosit 7TT



Hiperselular Cadangan Fe T



Fibrosis, dry tap



Fibroblast



(-1 -7T



(-) - 7



77- 777



40% - 50%



80%



80%- 99%



Transformasi blastik (%)



5%



10 - 15%



5%- 20%



Pemeriksaan khusus



Tes fungsi platelet abnormal



Masa eritrosit 7 Etitropoetin L



Marrow imaging



tlemog!obin Leukosit (xloBn) Trombosit (~10~11)



Splenomegali



("1



Be~ariaSi



PENATALAKSANAAN Hidroksiucea ~nerupakanterapi pilihan pertama pada trombositosis esensial dengan risiko tinggi. Hal ini disebabkan oleh efektifitas serta jarangnya timbul efek samping. Hidroksiurea tidak hanya efektif dalam nlengurangijurnlah trombosit tetapi juga dalam mengurangi risiko timbulnya trombosis. Dosis yang digunakan adalah 15 mglkgbb. Efek samping yang dapat timbul adalah anemia, netropenia, lebih jarang lagi dapat timbul ulkus pada kakilmulut dan lesi pada kulit. Efek leukemogeniknya masih dalam perdebatan. Anagrelid suatu derivat quinazolin dapat menghambat proliferasi dan diferensiasi megakariosit. Anagrelid telah



terbukti dapat dijadikan sebagai terapi alternatif pada trombositosis esensial. Dosis dimulai dengan 2 mglhari (terbagi dalam 2-4 dosis) dan dapat ditingkatkan 0,5 mgl hari setiap 7 hari sampai tercapai target jumlah trombosit dengan dosis maksimal 10 mgthari. 30% pasien tidak dapat mentoleransi anagrelid karena efek vasodilator dan inotropik positifnya. Efek samping meliputi retensi cairan, palpitasi dan aritmia. Storen EC dan Tefferi Amelaporkan pemakaian jangka panjang anagrelid berkaitan dengan penurunan efek samping yang timbul pada awal terapi. Normalisasi jumlah trombosit dibutuhkan untuk meminimalkan efek trombohemoragis selama terapi. Pemakaian interferon alfa dibatasi oleh beratnya efek samping yang ditimbulkannya. 20% pasien tidak dapat mentoleransi efek samping ini. Pada perempuan trombositosis esensial denagn risiko tinggi yang berkeinginanlsedang hamil maka interferon alfa lnenjadi pilihan pertama. Hal ini disebabkan oleh efek teratogenik hidroksiurea dan diketahuinya anagrelid dapat melewati plasenta sehingga keamanannya menjadi tidak terjamin. Trombosit dapat dikurangi hingga 60 tahun atau hitung trombosit >I500 X 1Wll. Aspirin dosis rendah ditambah hydroxy urea (anagrelide atau interferon alfa sebagai pilihan kedua); 3). Pasien dengan risiko menengah yakni pasien dengan usia 40-60 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko tinggi. Aspirin dosis rendah dan pertimbangkan terapi cytoreductive jika didapatkan faktor risiko kardiovaskular; 4). Pasien dengan risiko rendah yakni pasien dengan usia < 40 tahun dan tidak didapatkan gambaran risiko tinggi. Aspirin dosis rendah.



Anagrelide Study Group. Anagrelide, a theraphy for thrombocythemic states: experience i n 577 Patients. A m J Med. 1992;92:69-76. Barbui T, Finazzy G. When and how to treat essential thrombocythemia. N Engl J Med. 2005;353:85-6. Campbell PJ, Green AR. Management o f polycythemia Vera and essential thrombocytheniia. Hematology. 2005:201-9.



Caldwell BS. Chronic myeloproliferative disorders. Harmening DM Clinical hematology and fundamentals of hernostasis. 4Ih edition. In: Fratantoro C, Waltner P, Brandt J, editors. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2002. p. 331-57. Cortelazzo S, Finazzi G Ruggeri M, et al. Hydroxyurea for patients with essential thrornbocythemia and high risk of thrombosis. N Engl J Med. 1995;332:1132-6. Frenkel EP, Mammen EF. Sticky platelet syndromeand thrombocythemia. Hernatol Oncol Clin N Am. 2003;17:63 83. Harrison CN. Platelets and thrombosis in myeloproliverative diseases. Hematology. 2005:409-15. Kausansky KO. The molecular origins of the chronic myeloproliferative disorders: it all makes sense. Blood. 2005;105:418790.



Messinezy M. Pearson TC. ABC of clinical haernatology: polycythernia, primary (essential) thrornbocythemia and myelofibrosis. BMJ. 1997;314:587. Schafer AI. Thrornbocytosis. N Engl J Med. 2004;350:1211- 9. Spivak JL, Barosi G Tognoni G et al. Chronic myeloproliferative disorders. Hematology. 2005:200-24. Storen EC. Teffery A. Long-term use of anagrelide in young patients with essential thrombocythernia. Blood. 2001;97:8636. Tomer A. Effects of anagrelide on in vivo rnegakaryocyte proliferation and maturation in essential thrombocythernia. Blood. 2002;99: 1602-9.



MIELOFIBROSIS Suradi Maryono



PENDAHULUAN Mielofibrosis merupakan suatu kelainan yang dihubungkan dengan adanya tirnbunan substansi kolagen berlebihan dalam sumsum tulang. Kelainan ini secara definitif rnerupakan kelainan sel stem hematopoiesisklonal, dihubungkandengan chronic myeloproliferative disorders ( C M P D ) , dimana adanya hematopoeisis ekstramedular merupakan gambaran rnenyolok. Penyakit ini termasuk jarang didapatkan dalam praktek sehari-hari, pertama kali dilaporkan oleh Heuck G., pada tahun 1879 (Sit. Clark dan William 2005), dengan narna lebih 30 macam, termasuk: Mielofibrosis primer, osteomielofibrosis, metaplasia mieloid agnogenik, rnielofibrosis idiopatik dan lebih sering disebut sebagai Mielofibrosis dengan Metaplasia Mieloid (MMMJ. MMM perlu dibedakan dengan beberapa jenis lainnya, dimana mielofibrosis disini merupakan fenomena sekunder. ( Tabel 1) Terdapat kelainan bersifat familial yang jarang terdapat, misalnya primer hyperthrophic osteoarthropathy, mielofibrosis yang terjadi primer akibat gangguan pertumbuhan fibroblas sumsum tulang.



ETlOLOGl DAN PATOGENESIS Penyebab MMM belum diketahui dengan jelas. Tidak diketemukan adanya faktor pencetus, secara epidemiologi ada beberapa substansi diperkirakan sebagai penyebab, misalnya: Toluen, benzen, radiasi ionisasi. Insidensi tertinggi MMM pada pasien akibat pemberian material kontras radiografi dengan bahan dasar torium yaitu, Torotras. Korban akibat bom atom Hiroshima juga mempunyai risiko MMM 18 kali lebih besar daripada populasi lainnya, simtom pertama rnuncul



Kondisi Neoplastik. ~angguanmielo~roliferatif kronik Metaplasia mieloid agnogenik Polisitemia rubra Vera Leukemi mieloid kronik Kondisi neoplastik lainnya. Leukemia megakarioblastikakut (Mi') Fibrosis dengan mielodisplasia Agnogenik transisional Mielodisplatik metaplasia mieloid Sindrom mieloproliferatif Mieoloid akut lain Leukemia Leukemia limfoid akut Leukemia Hairy cell Mieloma Karsinoma Mastositosis sistemik Kondisi Non Neoplastik. Penyakit granulomatosa Penyakit paget Hipoparatiroidisme Hiperparatiroidisme Osteoporosis Osteodistrofi ginjal Defisiensi Vitamin D Gray pletelet syndrome Lupus eritematosus sistemik Sklerosis sistemik Diadaptasi dari Clark dan William (Wintrobe's clinical hematology, 2005).



6 tahun setelah eksposur.Tefferi (2003) menemukan insidens MMM di Amerika utara 0,3- 1,5 kasus per 100.000populasi.



HEMATOPOIESISKLONAL Pada tahun 1951, Dameshak mengelompokkan MMM dengan CML (chronic myeloid leukemia), PV



(Policythemia vera) dan ET (Essential thromhocythemia) seperti halnya CMPD, karena klinis dan morfologi hampir sama. Semua memperlihatkan adanya: hiperplasia sumsum tulang, hematopoiesis yang tidak tergantung rangsangan fisiologis, suatu fase adanya kenaikan konsentrasi sel darah dalam sirkulasi, tendensi fibrosis sulnsum tulang dan suatu tendensi terhadap terlninasi leukemia akut. Semua gambaran CMPD yang muncul, adalah suatu lnutasi somatik sel stem hematopiesis pluripoten. Beberapa observasi memperjelas adanya hematopoiesis klonal neoplastik pada MMM. Separuh pasien yang terdiagnosis, memperlihatkan abnormalitas sitogenetik klonal. Petanda lain klonalitas yang diobservasi adalah: neutrofil sirkulasi, eritrosit, platelet, limfosit dan beberapa prekusornya dalam sumsum tulang, meliputi distribusi isoenzim glukose-6-fosfat dehidrogenase, pola inaktivasi kromosom x pada perempuan, defek sel ~nembrandan mutasi gen N-ras. Konsentrasi sel progenitor dala~nsirkulasi pada MMM, 10-20 kali normal dan CD34+ sel progenitor dalam sirkulasi meningkat 400 kali di atas level normal. Sel progenitor dari MMM hipersensitif terhadap sitokin dan dapat terjadi proliferasi secara in vitro tanpa rangsangan sitokin. Sifat-sifat di atas konsisten dengan semua gambaran pada CMPD. Progenitor megakariosit pada pasien MMM mungkin juga mengalami deferensiasi yang tidak tergantung trombopoietin (TPO), sebagai rangsangan fisiologis.



PERUBAHANTINGKAT MOLEKULAR Adanya mutagen diperkirakan sebagai faktor pencetus yang menghasilkan hemopatia klonal pada MMM. Abnormalitas sitogenetik ternyata tidak konsisten seperti halnya perubahan gene bcr/abl pada CML, yang dihadirkan sebagai kandidat gen penting pada patogenesisnya. Perubahan tingkat molekular terjadinya MMM belum jelas, sampai sekarang masih dalam penelitian. Perbedaan ekspresi panel gen kandidat telah diteliti antara sel progenitor cytokine-independent dari pasien MMM dengan progenitor cytokine-dependent (diperkirakan normal). Immunophilin FKBP5 1 berekspresi berlebihan pada semua pasien yang diteliti dan fungsi ini terutama pada cytokine- independence. Faktor transkripsi GATA- 1 aktif pada diferensiasi rnegakariosit normal. Pada penelitian tikus terdapat kegagalan ekspresi GATA-1 menghasilkan sindrom yang menyerupai MMM. Sehingga peru-bahan langsung pada GATA-1 penting untuk terjadinya MMM. Beberapa gen yang berhubungan dengan pertumbuhan lain telah diteliti, misalnya: Gen retino-blastoma yang mungkin mengalami delesi atau perubahan ekspresi dan gen kalsitonin yang mengalami metilasi. Perkembangan MMM mungkin berhubungan dengan abnormalitas gen p53 atau gen ras.



FIBROSIS SLIMSUM TULANG DAN HEMATOPOlESlS EKSTRAMEDULARE Mielofibrosis pada MMM merupakan reaksi sekunder terhadap helnopatia klonal. Sel fibroblas mensekresi kolagen yang akan diakumulasi. sel ini normal dan bersifat poliklonal. Mereka distimulasi oleh sitokin yang dibebaskan dari megakariosit neoplastik dan dari klonal sel hemopoietik yang dikembangkan lainnya. Perusakan dan sintesis kolagen terjadi sehingga adanya konsentrasi prokolagen (hasil pemecahan kolagen) merupakan petanda sintesis kolagen baru yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit tersebut. Kolagen ditimbun dalam ruang ekstraselular dan elemen vaskular dalam sumsum tulang. Empat dari linia tipe kolagen terdapat disini. Kolagen tipe 1 dan 3 merupakan komponen fibrosis utama pada MMM, dan tinlbunan kolagen nieningkat setara dengan lamanya penyakit. Pada tahap awal MMM persentase kolagen tertinggi adalah tipe 3, sedangkan pada tahap akhir kolagen tipe 1 (kolagen polimerik) tertinggi. Pada MMM sebagian kecil terdapat ~nolekul matrik yang lebih banyak mengandung heksosamin daripada normal. Vaskularisasi juga meningkat, luasnya neovaskularisasi ini berhubungan dengan luasnya penyakit dan mungkin ha1 ini penting terhadap timbulnya fibrosis. Transforming growth factor (TGF)-P sebagai mediator utama terhadap akumulasi kolagen pada MMM. Sitokin ini disintesa oleh megakariosit dan sel endotel seperti halnya pada sistem monosit-makrofag. TGF-P lebih poten dalam mensekresi kolagen daripada growth factor derivat platelet atau epidermal growth factor dan mungkin meregulasi kedua sitokin tersebut. TGF-P juga stimulus yang poten terhadap angiogenesis. Peningkatan angiogenesis ini sesuai penelitian Lundberg et al (2000), dengan membandingkan penyakit mieloproliferatif (PV, CMLdan mielofibrosis/ MF) dengan pemeriksaan biorsi sumsum tulang normal, disini terjadi peningkatan vaskularisasi secara bermakna pada CML dan MF, sedikit peningkatan pada PV dibandingkan dengan normal ( G a m b a r l c ) . Peningkatan vaskularisasi ini akibat adanya neoangiogenesis karena rangsangan faktor angiogenetik yang dipicu adanya sel ganas. Faktor angiogenetik tersebut adalah: basic Fibroblast growth factor (bFGF) dan vascular endothial cell growth factor (VEGF), yang akan memicu sel endotel untuk migrasi, proliferasi dan membentuk jaringan pembuluh darah pada tempat tersebut. Kenaikan kadar TGF-P dapat dideteksi dengan naiknya sirkulasi platelet dan megakariosit yang merupakan fragmen MMM. Beberapa growth factor lain diperkirakan juga merangsang fibroblas pada MMM, antara lain: Platelet derived growth factor yang terdapat pada megakariosit MMM, epidermal growth factor, endothelial cell growth factor, interleukin- 1, basic fibroblast



growth factor dan kalmodulin. Beberapa mekanisme bebasnya kenaikan kadar sitokin ke dalam lingkungan sumsumtulang antara lain: Sekresi sederhana dari granulaclmegakariosit,megakariosit displastik yang msak dalam sumsum Mang dan ~ s a k n y megakariosit a sitoplasrna oleh leukosit PMN. Tikus percobaan yang diberi TPO konsentrasi tinggi, akan terjadi sindrom yang menyerupai MMM. Tikus yang diinjeksi secara cepat dengan polietilen-glikolconjugated TPO untuk mempercepat hiperplasia megakariosit, trombositosis, fibrosis sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedulare.Walaupun begitu peranan TPO pada MMM belum jelas, walaupun kadar TPO pada MMM meningkat tetapi tidak berkorelasi dengan masa megakariosit. Kenaikan kadar TPO ini diperkirakankarena mekanisme klirens yang berubah. Lebih lanjut ternyata TPO menghambat proliferasi sel stem hemopoietik pada MMM. Distribusi hematopoiesis ekstrarnedular pada MMM fetus melibatkan l e e r dan limpa. Model mielofibrosis dengan merusak pembuluh darah, pada pemeriksaan ultrastruktur memperlihatkan hematopoiesis yang meningkat diluar sumsum yang memadat, dan mulai melepaskan prekusor hematopoiesis. Ruangan ekstramedular ditumbuhi pindahan sel hematopoiesis. Lepasnya prekursor sumsum serupa dengankerusakan sinusoid hasil hematopoiesis ekstramedular pada metastasis kanker dan mungkin merupakan mekanisme uIllum



GAMBARAN KLlNlS UNTUK DIAGNOSIS MMM menyerang golongan umur menengah dan tua, rerata umur 60 tahun, pria dan perempuan mempunyai kemungkinan sama. MMM kurang sering mengenai umur muda dan jarang pada anak. Anak lelaki 2 kali daripada perempuan. Pada beberapa kasus dilaporkan adanya faktor familial.



GWALA Pada 25% kasus MMM berpenampilan asimptomatis, diagnosis disugesti dengan adanya pemeriksaan darah yang abnormal atau secara insidensil terdapat splenomegali.(Tabel 2) Gejala klinis pada umumnya: kelelahan otot dan penurunan berat badan (7-39%),sindrom hipermetabolik (demam, keringat malam terdapat 5-20% pasien), perdarahan dan memar, kadang terdapat masa dalam perut, Gout dan kolik renal terdapat 4-6%, tophi jarang didapatkan, diare dengan sebab tak jelas dan nyeri substernal kadang diketemukan.



Sangatsedng ditemukan (>50% kasus) Splenomegali Hepato megali



Fatique Anemia Le ukositasis Trombositosis Senng ditemukan (10-50% kasus) Asimtomatik Penuru nan berat badan Keringat malam Perdar ahan Nyeri spleni k Le ukositopenia Trombositopenia Kurang sering ditemukan ( 4 0 % kasus) Edema perifer Hipertensi portal Lim fadenopati Kuning Gout -



- -



'Diadaptasi dari Clark and Williams (Wintrob's, 2005)



TANDA Splenomegali yang cukup besar mempakan penemuan fisik yang utama (Tabel 2). Hepatomegali diketemukan separuh pasien, 2-6% terdapat hipertensi portal, mungkin diikuti komplikasi: asites, varises esofagus, perdarahan gastrointestinal dan ensefalopatia hepatik. Juga ditemukan petekie, ekhimosis dan limpadenopati. Beberapa pasien mernperlihatkan adanya dermatosis neutrofilik serupa pada sweet-syndrome dan mengalami hematopoiesis ekstramedular dermal, osteosklerosisyang sebagian diikuti periostetis dengan nyeri tulang dan ketulian. Bila permukaan serosa terlibat dalam hematopoiesis mungkin akan terdapat efusi pleura dan perikard atau asites. Kadang diikuti komplikasi neuroplogis berupa: tekanan intralcranial meninggi, delirium, koma, perdarahan subdural, kemsakan motorik, sensorik dan paralasis.



PEMERIKSAAN LABORATORIUM Darah Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan sel eritrosit bentuk tear drop yang dihubungkan adanya eritrosit berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil imatur dan platelet besar abnormal (Gambar la,lb). Retikulosit meningkat; eritrosit polikromasi, fragmentasi dan sel target juga sering diketemukan.Abnormalitas morfologi ini diakibatkan adanya perubahan hematopoiesis, bebasnya sel lebih awal dari sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedular. Bagaimana perubahan ini terjadi masih belum jelas.



Anemia dengan Hb kurang 10 grldl, ditemukan 60% kasus, yang dapat terjadi akibat hemodilusi akibat volume plasma yang meningkat, gangguan produksi sumsum tulang dan hemolisis. Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis: anisopoikilositosis, oval dari eritrosit, reaksi leukomoid (samping granulosit terdapat satu metamielosit, satu promielosit dan satu normoblas). (Sumber: Atlas hematologi, Heckner & Freud, 1999) Hasil, A: Terdapat mikrovaskular lurus, sedikit bercabang dan jarang berkelok. B: Mikrovaskular lurus, sedikit bercabang, tidak berkelok. C: Terdapat mikrovaskular pendek, banyak bercabang dan berkelok. D: Terdapat mikrovaskular banyak bercabang dan sedikit berkelok. (Sumber: Lunberg et al., 2000) Sedangkan penyebab hemolisis diperkirakan: hipersplenisme, autoantibodi eritrosit, hemoglobin H yang didapat dan adanya sensitivitas membran komplemen yang serupa PNH (Paroxysmal noctrunal hemoglobinuria). Morfologi anemia tidak khas pada umumnya normositik normokromik, makrositik bila defisiensi asam folat dan mikrositik hipokromik bila defisiensi Fe atau perdarahan gastrointestinal. Jumlah'leukosit meningkat pada 50% kasus, diikuti eosinofilia dan basofilia, sedangkan jumlah limfosit normal. Beberapa mieloblas ditemukan dalam sirkulasi perifer dan mungkin tidak dipikirkan adanya konversi ke arah leukemia akut, tetapi konsentrasi mieloblas >1% memberikan prognosis jelek. Juga ditemukan neutrofil hipersegmen, kenaikan enzim neutrofil, trombosit meningkat pada awal MMM, pada progresifitas penyakit dapat terjadi trombositopenia. Platelet biasanya berukuran besar, dalam sirkulasi ditemukan megakariosit yang utuh ataupun mengalami fragmentasi. Fungsi platelet sering tidak normal, gangguan waktu perdarahan dan retraksi jendalan dan penurunan: kadar platelet factor 3, platelet adhesiveness dan aktivitas lipogenesis. Perubahan pada faktor pembekuan yang terlarut dapat terjadi pada penyakit tersebut. Koagulasi intravaskular diseminatal Disseminated Zntravascular Coagulation (KIDIDIC) subklinik dapat ditemui pada 15% pasien MMM bentuk lanjut dan defisiensi faktor V yang didapat dapat terjadi pada pasien tersebut di atas. Kadar asam urat dan enzim laktat dehidrogenase hampir selalu meningkat, menggambarkan adanya massa yang berlebihan dari sel hematopoietik atau adanya hematopoiesis yang tidak efektif atau keduanya. Juga dapat terjadi kenaikan kadar enzim alkalinefosfastase serum yang merupakan keterlibatan tulang, terjadi penurunan kadar albumin, kolesterol dan lipoprotein. Dapat terjadi kenaikan kadar vitamin B12 pada pasien dengan leukositosis, yang merupakan refleksi dengan peningkatan masa neutrofil.



Gambar l a . Teardrop poikilocytes dan sel darah merah berinti dari darah pasien mielofibrosis (pembesaran 400x) (Sumber: Clark dan william, Wintrob's 2005).



;?&;?Fif ;"" u., I



.::, . -.



.'k>. ,



,



:



-.,,,



Gambar l b . Hapusan darah tepi pasien mielofibrosis: aniso-poikilositosis,oval dari eritrosit, reaksi leukemoid (samping granulosit terdapat satu metamielosit, satu promielosit dan satu normoblast). (Sumber:Atlas hematologi, Heckner 8 Freud,1999)



Gambar I c . Pemeriksaan mikroskopis laser confokal hasil biopsi sumsum tulang normal (A), PV. (B), MF.(C) dan CML (D)



SUMSUM TULANG Aspirasi pada sumsum tulang mungkin tidak berhasil (dvtap) dan memerlukan biopsi sumsum tulang untuk menegakkan diagnosis MMM. Suatu konsensus telah dibuat oleh Italian Society of Hematology. Data morfologi dan klinis digabungkan untuk mendiagnosis banding MMM dari penyakit CMPD lainnya, dan dari sindroma mielodisplasia dengan fibrosis sumsum tulang. Kriteria tersebut adalah: fibrosis sumsum tulang dan kelainan morfologi hiperplasia sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedular. Ketiga elemen tersebut di atas harus terdapat untuk diagnosis MMM. (Tabel 3) Gambar 2a. Reticulin stain dari spesimen biopsi sumsum tulang menampilkan peningkatan kolagen (diperbesar 400x) (Sumber:Clark dan William, Wintrob's 2005) Kriteria Mayor Fibrosis sumsum tulang difus Hilangnya t9:22 kromosom atau bcr/abl rearrangement pada sel darah perifer Splenomegali. Kriteria Minor Anisopoikilositosis dengan tear dropred cells Sel darah merah berinti dalam sirkulasi Clustred marrow megakaryoblastdan anomalous megakariocytes Metaplasia mieloid 'Catatan : Ketiga kriteria mayor ditambah dua'kriteria minor manapun atau dua kriteria mayor pertama ditambah empat kriteria minor manapun harus didapatkan, untuk diagnosis



MMM. *Diadaptasi dari Clark and Williams (Wintrob's, 2005)



Fibrosis hams terjadi pada semua kasus MMM, dan biasanya pada pasien lanjut. Pada stadium awal fibrosis minimal dan hiperplasia sumsum tulang mungkin lebih jelas. Keadaan tersebut disebut fase selular MMM. Bilamana fibrosis sumsum tulang tidak terbukti pasien yang dicurigai MMM, perlu diambil material dari tempat lain, karena penyebaran tidak merata. Fibrosis mungkin perlu digradiasi menurut sistem yang telah dipublikasi dan bukt~adanya osteosklerosis (Gambar 2a, 2b). Bila fibrosis masif, selularitas keseluruhan akan turun, tetapi adanya hiperplasia megakariosit tetap ada. Sinusoid sumsum tulang akan meluas, disini akan terjadi hematopoiesis intravaskular (Gambar 3). Kenaikan jumlah sel mast dapat diobservasi pada pasien menjadi fibrosis pada saat biopsi. Pada sediaan apus sumsum, sepintas tidak terlihat kelainan, tetapi sering didapatkan hiperplasia neutrofilik dan megakariosit. Adanya mikromegakariosit dan makromegakariosit dapat ditemukan, sehingga menimbulkan nuclear-cytoplasmic asynchrony.



Gambar 2b. Ada fungsi sumsum tulang: Fibrosis sumsum tulang total, kegagalan hematopiesis. (Sumber: Heckner 8 Freud, Atlas hematologi,7999).



Granulosit dapat hip0 atau hiperlobulated sehingga memperlihatkan anomali Pelger-Huet didapat atau adanya nuclear-cytoplasmic asynchrony. Prekusor eritroid normal atau meningkat, yang dapat diperiksa dengan scanning isotop sumsum tulang dengan koloid sulfur untuk sel retikuloendotelial dan dengan koloid besi untuk sel eritroid yang menunjukkan adanya ekspansi sumsum tulang sampai pada tulang panjang normal inaktif.



ABNORMALITAS KROMOSOM Separuh pasien MMM terdapat abnormalitas klonal kariotipe. Hanya sedikit pasien memperlihatkan abnormalitas pada metafase, yang membuktikan pada pasien MMM. menyisakan sel hematopoiesis



PEMERIKSAAN PATOLOGI



Gambar 3. Potongan biopsi surnsurn tulang dari 2 pasien metaplasia mieloid agnogenik menampilkan fase proliferatif sumsum tulang dengan hiperplasia yang melibatkan semua fibrosis cell lines dan relatif sedikit (Pembesaran 200x) (A) Fibrosis intens dengan pembentukan tulang baru, dilated sinusoids, dan residualmegakaryocytes (hematoksilindan eosin, pembesaran 100x) (0) (Sumber: Clark dan William, Wintrob's 2005).



normal. Sering ditemukan delesi pada segmen kromosom yang dihubungkan dengan gene retinoblastoma, del 13(q13q21)dan del20q. Kromosom yang sering terganggu adalah: 1,5,7,8,9,13,20 dan 21. Bentuk trisomi dan monosomi, delesi partial dan translokasi juga sering ditemukan. Fibroblas tidak berperan terhadap abnormalitas kromosom pada MMM.



KERUSAKANSISTEM IMUN Secara klinis abnormalitas sistem imun sering terjadi pada MMM, hal ini kontras dengan CMPD lainnya. Sel lirnfosit T dan B langsung terpengaruh oleh defek sel stem pada MMM dan defek fungsional sel B dan T mungkin dapat diperlihatkan. Variasi abnormalitas sistem imun humoral telah ditemukan. Menurumya kadar C3 dapat terjadi dan menyebahkan naiknya kemungkinan infeksi bakterial. Autoantibodi patologis dapat ditemukan antara lain: autoantobodi antieritrosit, antibodi antiplatelet, antibodi antinuklir, antiimunoglobulin dan antibodi antifosfolilpid. Pada MMM sumsum tulang difiltrasi limfoid. Gamopati monoklonal dapat timbul 10% pasien MMM, pada beberapa kasus kejadian simultan MMM dan diskrasia sel plasma pemah dilaporkan.



Gambaran khas pada MMM adalah adanya fibrosis sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedulare. Fibrosis sumsum tulang diikuti adanya osteosklerosis 3070% kasus, terutama mengenai kerangka aksial dan bagian proksimal tulang panjang. Korteks tulang mengalami penebalan dan pola normal trabekula menghilang. Hematopiesis terutama terjadi di lien dengan adanya splenomegali, liver dan beberapa organ lain juga dapat terlibat, misalnya: limfonodi, ginjal, adrenal, periosteum, usus, pleura, paru, jaringan lemak, kulit, marnmae, dura, ovarium dan thimus. Gugusan hematopoiesis mungkin mengandung beberapa campuran turunan prekusor rnieloid dan kemungkinan terlihat sebagai infiltrat mikroskopis atau tumor makroskopis. Proporsi eritroid lebih tinggi pada sisi ekstramedular daripada dalam sumsum tulang dan hematopoiesis ekstramedular, ada tendensi adanya indeks mitosis rendah, sel imatur dan megaloblastik yang tinggi daripada hematopiesis medular. Kerusakan organ target dapat terjadi akibat tekanan fisis sekitar jaringan normal, tetapi architektur normal tetap dapat dipertahankan. PERKEMBANGAN ALAMl DAN KEMAMPUAN HlDUP Pada MMM rata-rata dapat bertahan hidup 3-7 tahun dan kurang 20 % dapat hidup lebih 10 tahun. Prognosis ini diperkirakan diperkirakan sesuai dengan waktu pertengahan timbulnya krisis blastik pada CML dan kemungkinan lebih jelek dari kemampuan hidup pada ET dan PV. Pasien dengan bukti penyakit lebih banyak memberikan survival lebih pendek. Prognosis lebih baik bila: Tidak terdapat simptom konstitusi, Hb 210 grldl, platelet 2 100 x 109/Ldan tidak ada hkpatomegali. Pasien lebih muda mempunyai kemampuan survival lebih baik, seperti halnya rendahnya konsentrasi mieloblas dalam sirkulasi. Adanya abnomalitas sitogenetik termasuk single clone dengan translokasi kromosom I, 5q-, bisomy 8,13qatau 20q-, mungkin dengan prognosis lebih baik, tetapi secara keseluruhan pasien dengan kromosom abnormal mempunyai prognosis lebih jelek daripada kariotipe normal. Demikian juga pasien dengan peningkatan volume plasma atau peningkatan kadar reseptor IL-2 terlarut mempunyai survival lebih jelek. Reilly, Snowden dan Spearing et a1 (1997) membuat beberapa skor prognosis meliputi: usia, kadar Hb,simptom konstitusi dan kariotipe. Pasien dikelompokan berdasar grup risiko dengan kemungkinan hidup terpendek 16 bulan dan terpanjang 180 bulan. Dengan berjalannya waktu simptom dan sitopenia menjadi memberat walaupun secara spontan terjadi perbaikan. Beberapa masalah yang timbul misalnya: penurunan berat badan, edema ekstremitas, bawah, infeksi terutama pnemonia. Hampir semua pasien



;



tejjadi semakin ~ ei.r'!5.!!z.:' m b , e r asehingga t~ . ;sp],enomegali..yang . , .... ,+,;!,! r , . ..... :!:



-\:.-.I,;



t i q b y \ w s a k.i t. _danan-nyeri _ . _ . _ ~ I,_., I _tulang.. _ ,,, g ; j ,.--i:,, .; ; * ; i . ;:;19fb,a;gsianpasien terjadi lGpertens1 portal' dengan vaiises esofagus, akiba't . . . . . dari: . . ,~.eriaikan ..:.. .. aliran _:. darah . splenoportal, trombosis vena hepitika, trombosisvena portal, hernokromatosis pasca transfusi dan hematopoiesis intrasinusoidal. Perdarahan dapat akibat: trombositopenia, defek platelet, Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau defisiensi faktor pernbekuan. Kematian pasien MMM, bervariasi antara lain: infeksi, perdarahan, gagal jantung, cerebrovascular accidents, gagal ginjal, gagal hati dan trombosis. Konversi ke arah leukemia dilaporkan 5-20% kasus. Perubahan ke arah leukemia tidak jelas, beberapa kasus tanpa eksposur terapi sitostatika,kejadian kearah leukemia limfositik akut serupa dengan leukemia mieloid akut. .Ci.,ll



,



.I!!:!!



&.



.,



_ i l



PENATALAKSANAAN



MMM mungkin &pat disernbuhkan dengan hematopoietic sfets; ce11.~Transplantation (HSCT), tetapi HSCT biasanya



berhasil untuk pasien mu& dm merupakan risiko kematian yang bermakna. Tidak ada bentuk terapi lain untuk memperpanjang survival atau rnencegah progresi rnielofibmsis. Terapi suportif diarahkan langsung terhadap komplikasi yang terjadi. Beberapa pasien asimptornatis dan rnernerlukan observasi. Allopurinol diberikan untuk mempertahankan urat darah tetap normal, untuk menghambat: nefropatia urat, renal kalkuli dan gout. Anemia dan trombositopenia dapat timbul, dan akan berkembang terus sampai timbul gejala. Bila beberapa terapi gagal memperbaiki hernatopoiesis, transfusi diperlukan untuk mempertahankan hitung darah. Suplemen asam folat diperlukan karena seringnyakejadian hemolisis.



ALLOGENEIC HEMATOPOIETIC STEM CELL Transplantation (AHSCT) Hampir semua pasien CMPD rnungkin dapat disembuhkan dengan HSCT. Terbatasnya pendekatan ini karena faktor umur dan kondisi pasien, dengan rnenggunakan donor yang cocok serasi dan morbiditas serta mortalitas yang dihubungkan dengan prosedur. Adanya fibrosis sumsum tulang dan splenornegali rupanya bukan hambatan untuk HSCT. Dilaporkan oleh Guardiole et a1 (1999) dm Jurado et al. (200 1) &.Clark dan William (2005) kelornpok lnternationul cooperative trial dengan 55 pasien, hampir semua umur muda, umur rerata 42 tahun, dengan HLA-identical



. : Pada seri, Seatle . . . .8 .dari . , , 19 . pasien. , donor related: &nor. matcled tetapi; unrelated, 2 dari 19,dqnor adalah . :, . . ,, one-antigen mismatches. kurvival ke'selunihan dalam 5 tahun sebanyak 50%. Adanya kariotipe abnormal, anemia uhur tua diikuti outcome yang jelek. MMM dengan umur > 45 tahun kemampuan hidup 5 tahun sebanyak 14%. Sernakin menjadi jelas, bahwa pada pasien lebih muda dengan 2 faktor risiko, dengan prediksi survival rendah, tanpa pengobatan kuratif, dipertimbangkan dilakukan HSCT secepatnya setelah diagnosis tegak. Untuk pasien lebih tua dengan HSCT mungkin memberikan outcome yang rendah dan faktor risiko jelek tidak ditemukan, maka sebaiknya ditunda dahulu sampai faktor risiko muncul, walaupun data tentang ha1 ini belum banyak dilaporkan. .I



' '.I..



,



bmaHc mutatlonr in-av



Gambar 5. Limfoma sel B dan perkembangan sel B



'.
0,35. Setiap pernbesaran KGB dicatat ukurannya. Stadium A bila tidak ditemui gejala sistemik dan B bila diternui 1 atau lebih gejala sistemik.



FAKTOR PROGNOSTIK LNH dapat dibagi kedalarn 2 kelompok prognostik: Indolent Lymphomu dan AgresifLymphoma. LNH Indolen memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki



perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat disembuhkan secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif. Risiko kambuh lebih tinggi pada pasien dengan gambaran histologis "divergen" baik pada kelompok Indolen maupun Agresif. International Prognostik Index (IPI) digunakan untuk memprediksi outcome pasien dengan LNH Agresif Difus yang mendapatkan kemoterapi regimen kombinasi yang mengandung Antrasiklin, namun dapat pula digunakan pada hampir semua subtipe LNH. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi prognosis, yaitu usia, serum LDH, status performans, stadium anatomis, dan jumlah lokasi ekstra nodal. Tiap faktor memiliki efek yang sama terhadap outcome, sehingga abnormalitas dijumlahkan untuk mendapatkan indeks prognostik. Skor yang didapat antara 0-5. Pada pasien usia 10 % dalam waktu 6 bulan sebelumnya) X Bulky disease (pembesaran mediastium >1/3, adanya massa kelenjar dengan diameter maksimal10 cm) E Keterlibatan 1 organ ekstranodal yang contiguous atau proksimal terhadap regio kelenjar getak bening CS Clinical stage PS Pathologic stage (rnisalnya ditentukan pada laparotomi)



Karakteristik



Limfoma ,odgkin



Ternpat asal



Nodal



Distribusi nodal



Sentripetal (aksial)



Penyebaran nodal Keterlibatan susunan saraf pusat Keterlibatan hepar Keterlibatan surnsurn tulang Keterlibatan surnsurn tulang mempengaruhi buruknya prognosis Sembuh dengan kemoterapi



Contiguous Jarang (el %) Jarang Jarang



Limfoma n o n Hodgkin In termedia t l Low grade high grade Ekstranodal (10%) Sentrifugal



Ekstranodal (35%) Sentrifugal



Noncontiguous Noncontiguous Jarang (< 1 %)



Sering (> 50 %) Sering (>50 %)



(< 10%)



Jarang (~10%) Jarang Jarang (c20 %)



Ya



Tidak



Ya



Ya



Tldak



Ya



Biopsi kelenjar secara eksisi biasanya memberi hasil gambaran histopatologis lebih jelas dari biopsi cucuk jamm (Fine Needle Biopsy);



Klaslfikasi Rye: Lymphocyte Predominant Nodular sclerosis Mixed cellularity Lymphocyte depletion



-



and Parker



Lukes and Butler



Rye Conference



WHO classification



REAL classification



Paragranuloma



Lymphocytic or histiocytic, nodular Lymphocytic or histiocytic, diffuse



Lymphocytepredominant



Nodular lymphocyte-predominant classic HD Lymphocyte -rich classic HD



Lymphocyte predominant,nodular HD Lymphocyte-rich classic HD



Granuloma



Nodular sclerosis Mixed cellurarity



Nodular sclerosis Mixed cellularity



Nodular sclerosis Mixed cellularity



Nodular sclerosis Mixed cellularity



Sarcoma



Diffuse fibrosis Reticular



Lymphocyte-depleted



Lymphocyte-depleted



Lymphocyte -depleted Unclassifiable classic HD



Klasifikasi WHO: Nodular lymphocyte predominance Hodgkin Lymphoma (Nodular LPHL):Saat ini dikenal sebagai indolent B-cell Non Hodgkin Lymphoma dan bukan true Hodgkin Disease. Tipe ini mempunyai sel limfosit dan histiosit, CD 20 positif tetapi tidak memberikan gambaran sel Reed-Stenberg. Classic Hodgkin Limphoma: Lymphocyte rich, Nodular sclerosis, Mixed cellurarity, Lymphocyte depleted.



Pengobatan lirnfoma Hodgkin adalah radioterapi ditambah kemoterapi, tergantung dari staging (Clinical stage = CS) dan faktor risiko. Radioterapi meliputi Extended Field Radiotherapy (EFRT), Involved Field Radiotherapy (IFRT) dan radioterapi (RT) pada Limfoma Residual atau Bulky Disease. Faktor risiko untuk terapi menurut German Hodgkin's Lymphomastudy Group (GHSG) meliputi: Massa mediastinal yang besar Ekstranodal Peningkatan laju endap darah, 2 50 untuk tanpa gejala atau 2 30 untuk dengan gejala (B) Tiga atau lebih regio yang terkena Menurut EORTCIGELA (European Organization for Research and Treatment of CarcinomdGroupe dJEtude des Lymphomes de I'Adulte) faktor risiko yaitu: Massa mediastinal yang besar Usia SO tahun atau lebih Peningkatan laju endap darah 4 regio atau lebih Dalam guideline yang dikeluarkan oleh National Comprehensive Cancer Network (2004) kemoterapi yang direkomendasikan adalah ABVD dan Stanford V sebagai kemoterapi terpilih. Terapi lain Penyakit Hodgkin yang masih diteliti adalah: Imunoterapi dengan antibodi monoklonal anti CD 20,



imunotoksin anti CD 25, bispesifik monoklonal antibodi C D 16ICD 3 0 bispesifik antibodi dan radio immunoconjugates.



PENYAKIT HODGKIN DAN KEHAMILAN Penyakit Hodgkin dapat dijumpai pada kehamilan, beberapa ha1 penting yang perlu diketahui: Tidak ada transmisi penyakit Hodgkin ke bayi Bila memerlukan radiasi sebaiknya ditunda sampai melahirkan kecuali pada "BulkyDisease" dan diberikan dengan pelindung. Bila diperlukan radiasi pada semester pertama dapat dipertimbangkan abortus terapeutik. Malformasi fetus terjadi pada 15% kasus bila kemoterapi diberikan pada semester pertama, tidak terjadi pada semester berikutnya. Hindarkan kemoterapi dalam 3 minggu sebelum melahirkan untuk menghindari netropeni pada bayi.



Kelompok



Stadium



Rekomendasl



Stadium dini (favorable)



CS I-IIA 16 tanpa faktor risiko



EFRT (30-36 Gy) atau 4-6 siklus kemoterapi + IFRT 20-36 Gy



Stadium dini (unfavorable)



CS 1-11 N B + RF



4-6 siklus kemoterapi + IFRT 20-36 Gy



Stadium lanjut



CS IIB +RF;CS IIINB CS IV N B



6-8 siklus kemoterapi + RT 20-36 Gy pada limfoma residual dan bulkv disease



PROGNOSIS Ada tujuh faktor risiko independen untuk memprediksi masa bebas progresi penyakit FFR (Freedom From Progression), yaitu : 1). Jenis Kelarnin, 2). Usia >45 tahun; 3). Stadium W,4). Hb < l o gr%;5). Leukosit > 15000/mm3; 6). Limfosit wanita Pria > wanita Pria c wanita Pria = wanita Pria = wanita Pria > wanita Pria = wanita Pria wanita



biasanya akibat desakan cairan yang berada di sekitar jaringan yang mengalami inflamasi (kapsul sendi, sinovia, atau bursa). Kaku sendi makin nyata pada pagi hari atau setelah istirahat. Setelah digerak-gerakkan, cairan akan menyebar dari jaringan yang mengalami inflamasi dan pasien merasa terlepas dari ikatan (wears o f l . Lama dan beratnya kaku sendi pada pagi hari atau setelah istirahat biasanya sejajar dengan beratnya inflamasi sendi (kaku sendi pada artritis reumatoid lebih lama dari osteoartritis; kaku sendi pada artritis reumatoid berat lebih lama daripada artritis reumatoid ringan). Bengkak Sendi dan Deformitas Pasien yang sering mengalami bengkak sendi, ada perubahan warna, perubahan bentuk atau perubahan posisi struktur ekstremitas.Biasanya yang dirnaksud pasien dengan deformitas ialah posisi yang salah, dislokasi atau sublukasi. Disabilitas dan Handicap Disabilitas terjadi apabila suatu jaringan, organ atau sistem tidak dapat berfungsi secara adekuat. Handicap terjadi bila disabilitas mengganggu aktivitas sehari-hari, aktivitas sosial ataumengganggu pekerjaanljabatanpasien. Disabilitas yang nyata belum tentu menyebabkan handicap (seorang yang amputasi kakinya di atas lutut mungkm tidak akan mengalami kesukaran bila pekerjaan yang bersangkutan dapat dilakukan sambil duduk saja). Sebaliknya disabilitas ringan justru dapat mengakibatkan handicap. Gejala Sistemik Penyakit sendi inflamatoir baik yang disertai maupun tidak disertai keterlibatan multisistem lainnya akan mengakibatkan peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau CRP. Selain itu akan disertai gejala sistemik seperti panas, penurunan barat badan, kelelahan, lesu dan mudah temngsang. Kadang-kadang pasien mengeluh ha1 yang tidak spesifik, seperti merasa tidak enak badan. Pada orang usia lanjut sering disertai gejala kekacauan mental. Gangguan Tidur dan Depresi Faktor yang berperan dalam gangguan pola tidur antara lain: nyeri kronik, terbentuknya fase reaktan, obat anti inflamasi nonsteroid (indometasin). Pada artropati berat terutama pada koksae dan lutut akan berakibat gangguan aktivitas seksual yang akhirnya akan menimbulkan problem perkawinan dan sosial. Perlu diperhatikanpula adanyagejala depresi terselubung seperti rqtardasi psikomotor, konstipasi, ; mudah menangis dsb.



Kaku Sendi



Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa sukar untuk menggerakan sendi (worn



on.Keadaan ini



Pemeriksaanjasmani khusus pada sistem muskuloskeletal meliputi :



ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN P~SSP E N Y MUSKU~SKELETAL ~



Inspeksi pada saat diam 1 istirahat Inspeksi pada saat gerak Palpasi



Gaya Berjalan Gaya berjalan yang normal terdiri dari 4 fase, yaitu heel strike phase, loading/stance phase, toe off phase dan swingphase. Pada heel strikephase, lengan diayun diikuti gerakan tungkai yang berlawanan yang terdiri dari fleksi sendi koksae dan ekstensi sendi lutut. Pada loading/ stance phase, pelvis bergerak secara simetris dan teratur melakukan rotasi ke depan bersamaan dengan akhir gerakan tungkai pada heel strikephase. Pada toe offphase, sendi koksae ekstensi dan turnit mulai terangkat dari lantai. Pada swingphase sendi lutut fleksi diikuti dorsofleksi sendi talokruralis. Gaya berjalan Heel strike phase Loading/stance phase Toeoflphase Swing phase. rya berjalan yang abnormal : Gaya berjalan antalgik,yaitu gaya berjalan pada pasien artritis di mana pasien akan segera mengangkat tungkai yang nyeri atau deformitas sementara pada tungkai yang sehat akan lebih lama diletakkan di lantai; biasanya akan diikuti oleh gerakan lengan yang asimetri. Gaya berjalan Trendelenburg, disebabkan oleh abduksi koksae yang tidak efektif sehingga panggul kontralateral akan jatuh pada swing phase. Waddle gait, yaitu gaya berjalan Trendelenburg bilateral sehingga pasien akan berjalan dengan pantat bergoyang. Gaya berjalan histerikaltpsikogenik, tidak memiliki pola tertentu. Gaya berjalan paraparetik spastik, kedua tungkai melakukan gerakan fleksi dan ekstensi secara kaku dan jari-jari kaki mencengkeram h a t sebagai usaha agar tidak jatuh. Gaya berjalan paraparetik flaksid (high stepping gait=steppage gait), yaitu gaya berjalan seprti ayam jantan, tungkai diangkat vertikal terlalu tinggi karena terdapat foot drop akibat kelemahan otot tibialis anterior. Gaya berjalan hemiparetik, tungkai yang parese akan digerakkan ke samping dulu barn diayun ke depan karena koksae dan lutut tidak dapat difleksikan. Gaya berjalan ataktiklserebelar(broad basegait), kedua tungkai dilangkahkan secara bergoyang goyang ke depan dan ditapakkan secara ceroboh di atas lantai secara berjauhan satu sarna lain. Gaya berjalan parkinson (stopping,festinant gait), gerak berjalan dilakukan perlahan, setengah diseret, tertatih-



2447



tatih dengan jangkauan yang pendek-pendek. Tubuh bagian atas fleksi ke depan dan selama gerak berjalan, lengan tidak diayun. Scissor gait, yaitu gaya berjalan dengan kedua tungkai bersikap genu velgum sehingga lutut yang satu berada di depan lutut yang lain secara bergantian.



Gays Berjelan 1. Heel sfrike phaser, 2. Loadinglsfancaphaser, 3. Toe-offphase; ISwingphas



Garnbar 1. Gaya berjalan 1. heel strike phase; 2. loading/stance phase;3. toe off phase;4. swing phase



Sikaplpostur Badan Perlu diperhatikanbagaimana cara pasien mengatur posisi bagian badan yang sakit. Sendi yang meradang biasanya mempunyai tekanan intra-artikularyang tinggi, oleh karena itu pasien akan berusaha menguranginya dengan mengatur posisi sendi tersebut seenak mungkin, biasanya dalam posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering diganjal dengan bantal. Pada sendi bahu (glenuhomeral) dengan cara lengan diaduksi dan endorotasi, mirip dengan waktu menggendong tangan dengan kain pada fraktur lengan. Sebaliknya bila dilakukan abduksi dan eksorotasi maka pasien akan merasa sangat kesakitan karena terjadi peningkatan tekanan intraartikular. Ditemukannya postur badan yang membengkok ke depan disertai pergerakan vertebra yang terbatas merupakan gambaran khas spondilitis ankilosa. Deformitas Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan diam, tetapi akan lebih nyata pada keadaan gerak. Perlu dibedakan apakah deformitas tersebut dapat dikoreksi (misalnya disebabkan gangguanjaringan lunak) atau tidak dapat dikoreksi (misalnya restriksi kapsul sendi atau kerusakan sendi). Berbagai deformitas di lutut dapat terjadi antara lain genu varus, genu valgus, genu rekuvatum, subluksasi tibia posterior dan deformitas fleksi. Demikian pula deformitas fleksi di siku. Pada jaringan tangan antara lain boutonniere finger, swan neck yifirtger, ulnar deviation, subluksasi sendi metalcarpal dan pergelangan tangan. Pada ibu jari tangan ditemukan unstable-Zshaped



'



thumbs. Pada kaki ditemukan telapak kaki bagian depan melebar dan miring ke samping disertai subluksasi ibu jari kaki ke atas. Pada pergelangan kaki terjadi valgue ankle.



merupakan tanda artropati atau penyakit kapsular. Nyeri raba periartikular agak jauh dari batas daerah sendi merupakan tanda bursitis atau entesopati.



~erubahanKulit Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau penyakit kulit sering pula disertai penyakit reumatik. Kelainan kulit yang sering ditemukan antara lain psoriasis dan eritema nodosurn. Kemerahan disertai deskuamasipada kulit di sekitar sendi menunjukkan adanya inflamasi periartikular,yang sering pula merupakan tanda arttitis septik atau artritis kristal.



Pergerakan Pada pemeriksaan perlu dinilai luas gerak sendi pada keadaan pasif dan aktif dan dibandingkan kiri dan kanan Sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak sendi pada semua arah. Tenosinovitis atau lesi periartikular hanya menyebabkan berkurangnya gerak sendi pa& satu arah saja. Artropati akan memberikan gangguan yang sama dengan sinovitis. Bila gerakan pasif lebih luas dibandingkan dengan gerakan aktif maka kemunghan ada gangguan pula pada otot atau tendon. Nyeri gerak merupakan tanda diagnostik yang bermakna, nyeri ringan hingga sedang yang meningkat tajam bila dilakukan gerakan semaksimal mungkin sampai terasa tahanan disebut sebagai stress pain. Bila didapatkan stress pain pada semua arah gerak, maka maka keadaan tersebut merupakan tanda khas untuk gangguan yang berasal dari luar sendi (tenosinovitis). Nyeri yang dirasakan sama kualitasnya pada semua arah gerak sendi, lebih menunjukkan gangguan mekanik dari nyeri inflamasi. Resisted active movement merupakan suatu cara pemeriksaan untuk menemukan adanya gangguan periartikular.Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan cara pasien melawan gerakan yang dilakukan oleh tangan pemeriksa, akibatnya terjadi kontraksi otot tanpa disertai gerakan sendi. Bila timbul rasa nyeri maka ha1 tersebut barasal dari otot, tendon, atau insersi tendon, misalnya pada : Tahanan pada aduksi sendi koksae yang mengakibatkan timbulnya rasa nyeri pangkal paha merupakan tan& tendinitis aduktor. Tahanan pada aduksi glenohumeral yang mengakibatkan timbulnya rasa nyeri pada lengan atas merupakan tanda gangguan otot suprasinatus dan lesi pada tendon. Tahanan pada ekstensi siku yang menyebabkan nyeri pada epikondilus lateralis merupakan tanda tennis elbow. Sama halnya dengan di atas, pada passive stress test, bila pasien mengkuti gerakan tangan pemeriksa akan timbul rasa nyeri sebagai akibat regangan ligamen atau tendon, misalnya uji Finkelstein pada tenosinovitis De Quervain (passive stress otot abduktor polisis longus dan ekstensor polisis brevis menimbulkan rasa nyeri).



Kenaikan Suhu Sekitar Sendi Pada perabaan dengan menggunakan punggung tangan akan dirasakan adanya kenaikan suhu disekitar sendi yang mengalami inflamsi.



.



Bengkak Sendi Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan lunak atau tulang. Cairan sendi yang terbentuk biasanya akan menumpuk di sekitar daerah kapsul sendi yang resistensinya paling lemah dan mengakibatkan bentuk yang khas pada tempat tersebut, misalnya : Pada efusi lutut maka cairan akan mengisi cekungan medial dan kantung suprapatelar mengakibatkan pembengkakan di atas dan sekitar patela yang berbentuk seperti ladam kuda. Pada sendi interfalang pembengkakan terjadi pa& sisi posterolateral di antara tendon ekstensor dan ligamen kolateral bagian lateral. Efusi sendi glenohumeral akan mengisi cekungan segitiga di antara klavikula dan otot deltoid di atas otot pektoralis. Pada efusi sendi pergelangan kaki akan terjadi pembengkakan pa& sisi anterior.



Bulge sign ditemukanpada keadaan efusi sendi dengan jumlah cairan yang sedikit &lam rongga yang terbatas. Misalnya pada efusi sendi lutut bila dilakukanpijatanpada cekungan medial maka cairan akan berpindah sendiri ke sisi medial. Baloon sign ditemukan pada keadaan efusi denganjumlah cairan yang banyak. Bila dilakukan tekanan pada satu titik akan menyebabkan penggelembungan di tempat lain. Keadaan ini sangat spesifik pada efusi sendi. Pembengkakan kapsul sendi merupakan tanda spesifik sinovitis. Pada pembengkakan tergambar batas kapsul sendi, yang makin nyata pada pergerakan dan teraba pada pergerakan pasif. Nyeri Raba Menentukan lokasi nyeri raba yang tepat merupakan ha1 yang penting untuk menentukan penyebab keluhan pasien. Nyeri raba kapsuldartikular terbatas pa& daerah sendi



Krepitus Krepitus merupakan bunyi berderak yang dapat diraba sepanjang gerakan struktur yang terserang. Krepitus halus merupakan krepitus yang dapat di dengar dengan menggunakan stetoskop dan tidak dihantarkan ke tulang di sekitarnya. Keadaan ini ditemukan pada radang sarung



ANAMNESIS DAN PEMEWCSAAN PISISPENYAKIT MUSKULOSKELXTAL



tendon, bursa atau sinovia. Pada krepitus kasar, suaranya dapat terdengar dari jauh tanpa bantuan stetoskop dan dapat diraba sepanjang tulang. Keadaan ini disebabkan kerusakan rawan sendi atau tulang. Bunyi Lainnya Ligamentous snaps merupakan suara tersendiri yang keras tanpa rasa nyeri. Keadaan ini merupakan ha1 yang biasa terdengar di sekitar femur bagian atas sebagai clicking hips. Cracking merupakan bunyi yang diakibatkan tarikan pada sendi, biasanya pada sendi jari tangan, keadaan ini disebabkan terbentuknya gelembung gas intraartikular. Cracking tidak dapat diulang selama beberapa menit sebelum gas tersebut habis diserap. Cloncking merupakan suaril yang ditimbulkan oleh permukaan yang tidak teratur (iregular), suara ini ditemukan misalnya pada gesekan antara skapula dengan iga. Atrofi dan Penurunan Kekuatan Otot Atrofi otot merupakan tanda yang sering ditemukan. Pada sinovitis segera terjadi hambatan refleks spinal lokal terhadap otot yang bekerja untuk sendi tersebut. Pada artropati berat dapat terjadi atrofi periartikular yang luas. Sedangkan pada jepitan saraf, gangguan tendon atau otot terjadi atrofi lokal. Perlu dinilai kekuatan otot, karena ini lebih penting dari besar otot. KetidakstabilanlGoyah Sendi yang tidak stabiVgoyah dapat terjadi karena proses trauma atau radang pada ligamen atau kapsul sendi. Pada artropati dapat terjadi sendi goyah sebagai akibat kerusakan rawan sendi atau inflamasi kapsul atau ruptur ligamenl perlu dibandingkan sendi yang goyah dengan sendi sisi lainnya. Gangguan Fungsi Fungsi sendi dinilai dengan obsewasi pada penggunaan normal; seperti bangkit dari kursi dan berjalan dapat digunakan untuk menilai sendi koksae, lutut dan kaki. Kekuatan genggam dan ketepatan menjepit benda halus untuk manilai tangan. Sedangkan aktivitasnya hidup sehari-hari (activities of daily living = ADL) seperti menggosok gigi, buang air besar, memasak dan sebagainya lebih tepat ditanyakan dengan kuesioner daripada diperiksa langsung. Nodul Nodul sering ditemukan pada berbagai artropati, umurnnya ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan, siku, tumit belakang, sakrum). Nodul sering ditemukan pada artritis gout (tofi) dan artritis reumatoid (nodul reumatoid).



2449



Perubahan Kuku Perubahan kuku sering ditemukan pada penyakit reumatik, antara lain: Jari tabuh (clubbing finger) berhubungan dengan osteoartropati hipertrofik pulmoner dan alveolitis fibrotik. Thimble pitting onycholysis (lisis kuku berbentuk lubang) dan distrofi kuku berhubungan dengan artropati psoriatik dan penyakit Reiter kronik. Serpihan berdarah (splinter haemorhages) pada vaskulitis pembuluh darah kecil. Lesi Membran Mukosa Keadaan ini sering tanpa gejala (pada penyakit Reiter atau artropati reaktif) atau dengan gejala (lupus eritematosus sistemik, vaskulitis, sindrom Behcet). Perlu diperhatikan adanya ulkus pada oral, genital dan mukosa hidung, telangiektasia. Gangguan Mata Gangguan mata meliputi : Episkleritis dan skleritis pada artritis reumatoid, vaskulitis dan polikondritis. Intis pada spondilitis ankilosis dan penyakit Reiter kronik. Irdosklitis pada arh-itisjuvenilkronik jenis pausiartikular. Konjungtivitis pada penyakit Reuter akut dan sindrom sika. EVALUASI SEND1SATU PERSATU Sendi Temporomandibular (temporomandibular joint = TMJ) TMJ terletak di anterior liang telinga, dibentuk oleh kondilus mandibula dan fossa temporalis. Sendi ini dapat di palpasi dengan meletakkanjari di anterior liang telinga dan menyuruh pasien untuk membuka dan menutup mulut dan menggerakan mandibula ke lateral kiri dan kanan bergantian. Gerak vertikal TMJ dapat diukur dengan mengukurjarak gigi seri atas dan bawah pada pada waktu pasien membuka mulut secara maksimal, normal sekitar 3-6 cm. Berbagai artritis dapat mengenai TMJ, seperti artritis kronik juvenilis yang dapat menyebabkan pertumbuhan tulangmandibula terhenti dan mengakibatkan mikrognatia. Pada artritis yang berat, dapat dipalpasi dan diauskultasi bunyi krepitus atau clicking. Sendi Sternoklavikular, Manubriosternal dan Sternokostal Sendi sternoklavikular dibentuk oleh ujung medial klavikula dan kedua sisi batas atas sternum. Di keduanya terdapat sendi sternokostal I. Sendi manubriosternal



terletak setinggi sendi sternokostalI1. Sendi stemokostal 111 sampai dengan VII terletak sepanjang kedua sisi sternum di distal sendi sternokostal 11. dari ketiga sendi tersebut, hanya sendi sternoklavikular yang bersifat diartrosis., sedangkan sendi yang lain merupakan amfiartrosis atau sinkondrosis. Sendi sternoklavikular, berada tepat di bawah kulit, sehingga sinovitis pada sendi ini akan mudah dillhat dan dipalpasi. Sendi ini juga sering terserang spondilitis ankilosa, artritis reumatoid dan osteoahtis. Pada sendi sternokostal, sering hdapatkan nyeri pada sendi tersebut atau rawan iga, keadaan ini disebut osteokondritis. Sendi Akromioklavikular(acromioclavicularjoint ACJ) ACJ dibentuk oleh ujung lateral klavikula dan tepi medial prosesus akromion skapula. Pada orang tua sering didapatkan penebalan tulang pada sendi ini. Nyeri lokal pada bahu bersamaan dengan aduksi lengan melewati depan dinding dada, menunjukkan adanya kelainan pada ACJ. Sendi Bahu Sendi bahu merupakan sendi peluru yang dibentuk oleh kaput humeri dan fossa glenoid skapula. Nyeri pada bagian lateral sendi ini mungkin berasal dari bursa subdeltoid, sedangkan nyeri sepanjang kaput longus bisep biasanya berasal dari tendinitis bisipitalis. Efusi, bila terlihat, akan menggembung ke anterior. Palpasi sendi bahu dan strkturstruktur di sekitarnya hams di ikuti dengan pemeriksaan lingkup gerak sendi. Pertama kali, pemeriksa harus memeriksa kemungkinan cedera dan rotator cuff. Tendon yang membentuk rotator cuff terdiri dari ligamen supraspinatus, infraspinatus. Teres minor dan subskapularis. Untuk mencari adanya lesi pada tendontendon bahu, dilakukan resisted active movements sendi bahu, yaitu tes Speed dan tes Yergasson untuk mencari lesi pada tendon bisep, resisted active abduction untuk mencari lesi pada tendon supraspinatus, resisted active external rotation untuk mencari lesi pada tendon infiaspinatus dan teres minor dan resisted active internal rotation untuk mencari lesi pada tendon suskapularis. Tes Speeddilakukanpadaposisi siku ekstensi, kemudian pasien melakukan fleksi sendi bahu sementara pemeriksa menahannya. Tes ini positif bila pasien merasa nyeri pa& bahunya. Pada tes Yergasson, siku pasien difleksikan 90°, kemudian pasien melakukan supinasi, sementarapemeriksa berusaha menahan agar supinasi tidak terjadi. Tes positif bila pasien kesakitan. Pada resistedactiveabduction pasien melakukan abduksi sendi bahu dan pemeriksa menahannya. Tes positif bila pasien kesakitan. Bila pasien nyeri pada lateral sendi bahu tetapi resisted actived abduction pasien tidak menimbukan nyeri, maka nyeri berasal d m bursa subakrornnion. Pada resistedactive external rotation pasien



.



melakukan rotasi eksternal sendi bahu dan pemeriksa menahannya. Tes positif bila pasien kesakitan, sedangkan resisted active internal rotation pasien melakukan rotasi internal sendi bahu dan pemeriksamenahannya.Tes positif bila pasien kesakitan. Selain kelainan di atas, juga hams dicari kemungkman robekan rotator cuffyangdapat diperiksa dengan drop-armsign, yaitu pasien tidak mampu menahan abduksi pasif 90" sendi bahu. Sendi Siku Sendi siku dibentuk oleh 3 sendi, yaitu sendi humeroulnar yang merupakan sendi engsel serta sendi radiohumeral dan radioulnar proksimal yang memungkinkan rotasi lengan bawah. Untuk memeriksa sendi siku, jempol pemeriksa diletakkan di antara epikondilus lateral dan lateral sulkus paraolekranon, sedangkan latau 2 jari lainnya pada medial olekranon. Siku harus dalam keadaan santai, digerakkan fleksi, ekstensi dan rotasi secara pasif, dicari keterbatasan gerak dan krepitus. Bursitis olekranon, akan tampak dan teraba di atas olekranon, biasanya timbul setelah trauma atau akibat artritis. Pada siku pasien gout juga dapat timbul tofus. Nyeri pada epikonhlus lateral dan medial menandakan adanya epikondilitis lateral



m



i



BAHU



--



: ;.-.A



7



a---,*



*- .



J



a



o



BAHU atduksii adduks!



10mm



Garnbar 2. Gerak sendi siku



I



a mm 1 0



b



R



ANAMNESIS DAN PENlEWCSAAN FISIS PENYAKIT MUSKULOSI



(tennis elbow) dan epikondilitis medial (golfer elbow). Dalam keadaan normal, sendi siku dapat difleksikan 150° - 160" dan ekstensi 0". Gangguan ekstensi penuh menunjukkan tanda awal sinovitis. Hiperekstensi lebih dari 5" menunjukkan hipermobilitas. Pergelangan Tangan Pergelangan tangan merupakan sendi yang kompleks. Tulang-tulangkarpal, terdiri dari 8 tulang pendek skafoid, lunatum, trikuetrum, pisiform, trapezium, trapezoid, kapitatum dan hamatum. Kedelapan tulang tersebut, di proksimal bersendi dengan radius dan ulna, sedangkan di distal bersendi dengan tulang-tulang metakarpal. Tendon otot-otot fleksor longus tangan melewati bagian folar pergelangan tangan di dalam sarung tendon di bawah fleksor retinakulurn (ligarnen transversum karpal). Fleksor retinakulum dan dasar tulang-tulang karpal membentuk terowongan karpal. N e w s medianus melalui terowongan ini superfisial terhadap tendon fleksor. Aponeurosis palmar juga menyebar keluar ke daerah palma manus dari fleksor retinakulum. Pada kontraktur Dupuytren, aponeurosispalmar menebal dan kontarktur sehinggajarijari terfleksi pada sendi metakarpal. Yang sering terkena adalah jari ketiga, disusul jari keempat dan kelima. Jari pertama dan kedua jarang terkena. Pada sisi dorsal pergelangan tangan, sering timbul pembesaran kistik yang disebut ganglion. Sinovitis pada pergelangan tangan, lebih mudah terlihat dari sisi dorsal, karena banyak tendon pada sisi polar yang tumpang tindih. Dalam keadaan normal, pergelangan tangan dapat difleksikan 80"-90°, ekstensi 70°, deviasi ulnar 50" dan deviasi radial 30". Jepitan n e w s medianus pada terowongan karpal, akan menyebabkan carpal tunnel syndrome, yang dapat diketahui dengan melakukan perkusi nervus medianus pada retinakulum fleksor yang akan menyebabkan parestesia pada daerah yang dipersarafi nervus medianus, yaitu jempol, telunjuk dan jari tengah (tanda tinel). Palmar fleksi sendi pergelangan tangan selama 30-60 detik juga PERGELANGAN TANGAN FIebl- ebtend



PERGELANGAN TANGAN dwlasl radlwnler



L



u



u



R



Gambar 3. Gerak pergelangan tangan Sendi metakarpopalangeal, interfalang proksimal dan distal (Metacarpophalangeal, proximal and distal interphalangeal joints = MCP, PIP, DIP)



akan mencetuskan parestesi (Phallen 's wristflexion sign). Pada tenosinovitis otot abduktor polisis longus dan ekstensor polisis brevis (de quervain's stenosing tenosynovitis), deviasi ulnar secara pasif dengan posisi jari-jari dalam keadaan fleksi akan menimbulkan nyeri pada daerah radial pergelangan tangan (tes Finkelstein). Berbagai deformitas yang dapat terjadi antara lain adalah squaring pada tangan, akibat osteofitosis pada sendi karpometakarpal. Sendi MCP, PIP dan DIPmerupakan sendi engsel. Pada waktu jari-jari fleksi, dasar proksimal falang akan bergeser ke depan kaput metakarpal. Kulit pada permukaan palmar tangan cukup tebal yang menutupi lemak dan tulang metakarpal di bawahnya sehingga palpasi pada permukaan palmar tangan lebih sukar di bandingkan permukaan dorsal tangan. Artritis reumatoid merupakan kelainan yang sering terjadi pada pergelangan tangan dan tangan yang di tandai oleh pembengkakan pada sendi interfalang proksimal menyebabkan jari berbentuk fusiformis; deviasi ulnar; deformitas &an neck yang merupakan fleksi kontraktur sendi MCP, hiperekstensi sendi PIP dan fleksi sendi DIP; dan deformitas boutonniere yang merupakan kontraktur fleksi sendi PIP dan hiperekstensi sendi. Selain itu dapat juga di temukan deformitas Z jari I yang merupakan kombinasi fleksi sendi metakarpofalangeal I dan hiperekstensi interfalangI. Pada osteoartritistangan sering didapatkan adanya nodus Herberden pada sendi interfalang distal dan nodus Bouchard pada sendi interfalang proksimal. Kelainan lain adalah jari teleskopik akibat resorpsi falang pada artritis psoriatik sehingga menimbulkan lipatan kulit yang konsentrik (opera-glass hand atau la main en lorgnette). Selain kelainan sendi, kelainan pada kulit dan kukujuga harus diperhatikan, misalnya fenomen Reynaud, sklerodaktili pada sklerosis sistemik, onikolisis dan hiperkeratosis subungual yang khas untuk artritis psoriatik dan jari tabuh (clubbingfinger) yang khas untuk osteoartritis hipertrofik. Sendi Koksae Sendi koksae dibentuk oleh kaput femoris dan asetabulurn. Lingkup geraknya cukup luas, tapi tidak seluas sendi bahu. Stabilitas sendi dijaga oleh kapsul sendi yang h a t dan dikelilingi oleh berbagai ligamen seperti lig iliofemoral Bertini, lig pubofemoral clan lig iskiokapsular.Send koksae juga dikelilingi oleh otot-otot yang h a t . Otot fleksor yang utama adalah otot iliopsoas yang dibantu oleh otot sartorius dan rektus femoris. Aduksi koksae, dilakukan oleh otot-otot aduktor longus, brevis dan magnus dan dibantu oleh otot grasilis dan pektineus. Otot gluteus maksimus merupakan otot abduktor utama, sedangkan gluteus maksimus dan harmstring muscle merupakan otot



6070



a 4 30



&



d, B"



KOKSAE



-



Fleksi (Tungkai Hiprekstensi lurus)



60 70 6o 50 40 Y)



20



20



10



-------



10



m



- --. ..



.



.~. ..



-



.



8



10



.0



.



I



I



.-,--.' , ,



10 ‘



lW "O,,



60 70



KOKSAE



-



Fleksl (lulut d~tekuk)



50 40



10



-



,



m



50



4



-



-0



10



M



KOKSAE M.



M QO



adukasi -adukasl



70



,



40



40 Y)



L



Em.



Y)



INT.



INT.



; '



a



10



' Y )



10



20



Em.



R.



Gambar 4. Gerak 'sendi koksae



ekstensor koksae. Pemeriksaan koksae dimulai dengan mengamati pasien dalam keadaan berdiri di muka pemeriksa. Bila panggul terlihat miring, maka munglun terdapat skoliosis, anatomic leglength discrepancy atau kelainan koksae. Kontraktur koksae akan ditandai oleh deformitas abduksi dan aduksi. Pada kontraktur aduksi, pelvis akan miring ke atas pada sisi yang sehat, dan kedua tungkai ekstensi. Pasien dengan kelainan sendi koksae, akan memiliki 2 gaya berjalan yang abnormal yaitu gaya berjalan antalgik akibat nyeri pada koksae danlatau gaya berjalan Trendelenburg pada kelemahan otot abduktor. Untuk menilai kelemahan otot abduktor gluteus medius, dapat dilakukan tes Trendelenburg,yaitu dengan menyuruh pasien berdiri pada sisi tungkai yang sakit; pada keadaan normal, otot abduktor akan menjaga agar pelvis tetap mendatar, bila pelvis pada sisi yang sehat jatuh, maka dikatakan tes positif dan terdapat kelemahan otot gluteus medius. Pada posisi terlentang, kontraktur fleksi koksae dapat dilihat dari adanya lordosis lumbal dan pelvis yang miring sehingga tungkai tetap lurus pada meja pemeriksaan. Untuk menilai adanya kontraktur fleksi, dapat dilakukan tes Thomas, yaitu dengan memfleksikantungkai yang sehat sehingga lordosis lumbal hilang, akibatnya tungkai yang sakit akan ikut fleksi. Pada posisi terlentang, juga dapat diukur leg-length discrepancy, yaitu pada posisi kedua tungkai ekstensi. True leg-length discrepancy diukur dari



SIAS ke maleolus medialis dengan perbedaan yang dapat di toleransi adalah 1 cm atau kurang. Bila pelvis miring atau terdapat kontraktur abduksi atau aduksi, maka pengukuran dilakukan dari maleolus medial ke titik tubuh yang tetap, misalnya xifisternum dan hasilnya disebut apparent leg-length discrepancy. Lokasi nyeri pada sendi koksae sangat penting untuk menilai sumber nyeri. Nyeri pada daerah lateral, biasanya diakibatkan oleh bursitis trokanterik. Nyeri pada daerah anterior atau inguinal biasanya berasal dari bursitis iliopsoas, atau kelainan lain seperti hernia, aneurisma femoral atau abses psoas. Sedangkan nyeri di daerah posterior biasanya berasal dari sendi sakroiliaka, vertebra lumbal atau bursa iskial. Nyeri akibat kelainan sendi koksae biasanya terasa di daerah anterior atau inguinal. Untuk menilai secara cepat geraksendi koksae, dapat dilakukan tes Patrick, yaitu dengan meletakkan turnit pada bagian medial lutut kontralateral, kemudian menekan lutut ke lateral menuju permukaan meja. Bila kedua lutut dalam keadaan fleksi 90' clan dilakukan prosedur yang sama, maka disebut tes Fabere. Sendi Lutut Sendi lutut merupakan gabungan dari 3 sendi, yaitu patelofemoral, tibiofemoral medial dan tibiofemoral lateral. Pada sendi tibiofemoral, terdapat meniskus lateral dan medial. Sendi lutut diperkuat oleh kapsul sendi yang kuat, ligamen kolateral lateral dan medial yang menjaga kestabilan lutut agar tidak bergerak ke lateral dan medial; dan ligamen krusiatum anterior dan posterior yang menjaga agar tidak terjadi hiperfleksi dan hiperekstensi sendi lutut. Fleksi lutut, akan diikuti rotasi internal tibia, sedangkan ekstensi lutut akan diikuti rotasi eksternal femur. Patela mempunyai fimgsi untuk memperbesar momen gaya pada waktu lutut ekstensi sehingga kerja otot quadriseps femoris tidak terlalu berat. Pada inspeksi lutut, hams diperhatikan kemungkinan adanya genu varus, genu valgus dan genu rekurvatum. Pembengkakandi atas patela, biasanya berasal dari bursitis prepatelar, sedangkan sinovitis lutut biasanya lebih difus. Pembengkakan posterior di fossa poplitea, biasanya berasal dari kista baker. Nyeri pada sisi medial tibia di bawah sendi lutut, biasanya berasal dari bursitis anserin. Nyeri pada bagian bawah patela pada usia muda biasanya berasal dari sindrom Sinding-Larsen-Johansson, sedangkan pada usia yang lebih tua biasanya berasal dari tendinitis patelar (jumper b knee). Nyeri pada tuberositas tibia pada anak muda, biasanya disebabkan oleh epifisiolisis (Osgood-Schlatter5. disease) Pada waktu palpasi lutut, dapat teraba krepitus pada waktu lutut difleksikan atau diekstensikan. Hal ini menunjukkan kerusakan rawan sendi, misalnya pada osteoartritis. Selain itu, pada waktu palpasi juga dapat diperiksa adanya ehsi sendi. Stabilitas ligamen kolateral



-



2453



ANAMNIBIS DAN PEMER~KSAAN FISISPENYAKIT MUSKULOSKELETAL



dapat diperiksa dengan memfleksikan lutut 100°;kondilus femoral dipegang dengan tangan pemeriksa yang satu sernentara tangan yang lain menggerakan tungkai bawah ke depan dan kebelakang. Untuk menilai stabilitas ligamen krusiatum, lutut di fleksikan 90°, kemudian tungkai bergerak (drawersignp~sitfi,berarti sudah ada kelemahan ligamen krusiatum. Kerusakan meniskus dapat diperiksa dengan melakukan tes Mc-Murray, yaitu tungkai diekstensikan secara penuh, kemudian tangan pemeriksa yang satu menggenggam lutut pasien dengan posisi jempol pada 1 sisi dan jari-jari yang lain pada sisi yang satu lagi, kemudian tangan pemeriksa yang satu lagi memegang pergelangan kaki pasien. Pada posisi tungkai bawah rotasi eksterna 15", bunyi snap yang teraba atau terdengar pada waktu tungkai bawah pasien di gerakkan dari posisi ekstensi ke fleksi 90" menunjukkan adanya robekan meniskus medial. Bunyi yang sama yang terdengar pada waktu tungkai bawah dirotasi internal 30" dan digerakkan dari fleksi ke ekstensi, menunjukkan robekan pada meniskus lateral.



Gambar 5. Deforrnitas sendi lutut dan Gerak sendi lutut



Pergelangan Kaki Pergelangan kaki terdiri dari 2 sendi, yaitu sendi tibiotalar (true ankle joint) yang merupakan sendi engsel dengan pergerakan dorsofleksi dan plantar-fleksi, sedangkan sendi subtalar memunglunkan gerak inversi dan eversi dari kaki. Maleoli tibia dan fibula memanjang ke bawah, menutupi talus dari medial clan lateral dan memberikan kestabilan sendi pergelangan kaki. Kapsul sendi pergelangan kaki sangat h a t pada bagian posterior dan memungkinkan untuk pergerakan dorso dan plantar-fleksi. Pada bagian belakang sendi ini terdapat tendon achiles yang merupakan tendon otot gastroknemius dan soleus yang memanjang ke bawah dan berinsersi pada permukaan posterior os kalkaneus. Radang pada tendon ini, menyebabkan rasa nyeri bila banyak berjalan atau bila



tendon itu di tekan atau penekanan pada insersinya di kalkaneus. Gerak plantar-fleksi dilakukan oleh otot gastroknemius dan soleus, dorso-fleksi oleh otot tibialis anterior, sedangkan inversi oleh otot tibialis posterior dan eversi oleh otot peroneus longus dan brevis. m - o Q 4 0 ~ 'O



EmEWMW Fleksi ~lantar-dorsal



Gambar 6. Gerak pergelangan kaki



Kaki Yang dimaksud dengan kaki adalah midfoot yang terdiri dari 5 tulang-tulang tarsal selain talus dan kalkaneus dan fore foot yang terdiri dari tulang-tulang metatarsal dan jari-jari k&. Kaki mempunyai struktur melengkung ke dorsal yang memungkinkan penyebaran berat badan ke kalkaneus di posterior dan ke-2 tulang sesamoid pada tulang metatarsal I dan kaput metatarsal 11-V di anterior. Fungsi lengkung kaki adalah untuk menjaga fleksibilitas kaki pada waktu bejalan dan berlari. Lengkung ini dapat betambah akibat kelainan neurologik dan disebutpes cavus atau berkurang dan disebut pes planus. Deformitas lain pada kaki adalah hallux valgus, hammertoe deformity, mallet toe dan cock-up toe. Hallux valgus adalah deviasi medial metatarsal sehingga kaki menjadi lebar dan kadangkadang timbul bunion. Hammertoe deformity adalah hiperekstensi sendi metatarsofalangeal(MTP) diikuti fleksi sendi PIP. Deformitas fleksi sendi DIP manghasilkan mallet toe, sedangkan fleksi sendi PIP dan DIP yang diikuti ekstensi dan subluksasiglantar sendi MTP disebut cock-up toe deformity. Nyeri pada turnit, sering disebabkan oleh plantar, spur, sedangkan peradangan pada MTP I, sering disebabkan oleh artritis gout.



Gambar7. kaki



Vertebra Vertebra hams diperiksa dalarn posisi duduk atau berbaring telungkup, tetapi untuk menilai kesegarisan vertebra, pemeriksaan harus dilakukan dalam posisi berdiri. Kemiringan pelvis dan bahu mancurigakan ke arah kelainan kurvatura vertebra atau leg-length discrepancy. Otot-otot



paraspinal hams selalu di palpasi untuk mencari adanya nyeri dan spasmus. Gerak vertebra servikal, meliputi antefleksi45", ekstensi 50"-60°, laterofleksi 45" dan rotasi 60"-80". Separuh dari fleksi dan ekstensi total servikal terjadi pada ketinggian oksiput C 1, sedangkan,sisanya terbagi rata pada C2-C7. Selain itu, separuh dari rotasi servikal terjadi pada sendi atlantoaksial (odontoid) sedangkan sisanya terbagi rata pada C2-C6. Pada laterofleksi, semua vertebra servikal mempunyai andil yang sama besar. Pemeriksaan khusus yang harus dilakukan vertebra servikalis adalah foraminal compression test, tes Valsava dan tes Adson. Tiga tes yang pertama digunakan untuk menilai adanya jepitan saraf. Pada foraminal compression test, leher dirotasi dan dilaterofleksi ke sisi yang sakit, kemudian kepala ditekan kebawah, bila ada jepitan saraf akan menimbulkan nyeri yang menjalar ke lengan atau sekitar skapula. Bila kepala distraksi ke atas (distraction test), nyeri akan berkurang. Pada shoulder depression test, 1 tangan pemeriksa diletakkan pada bahu dan tangan pemeriksa yang lain diletakkanpada kepala kemudian bahu di tekan ke bawah sedangkan kepala dilaterofleksi ke arah yang berlawanan, jepitan pada saraf servikal akan menyebabkan nyeri radikular atau parestesia. Tes Valsava digunakan untuk menilai adanya tumor intra tekal atau hernia nukleus pulposus. Pasien disuruh ekspirasi dalam keadaan glotis tertutup, adanya kelainan di atas akan menyebabkan nyeri yang menjalar ke dermatom yang sesuai. Tes Adson, digunakan untuk menilai adanyajepitan pada arteri subklavia. Pemeriksa melakukan palpasi pada denyut arteri radialis, kemudian pasien melakukan inspirasi maksimal sambil melakukan rotasi maksimal kepala ke sisi yang diperiksa, jepitan arteri subklavia akan menyebabkan denyut arteri radialis melemah atau menghilang. Pada pemeriksaan vertebra lumbal, pasien sebaiknya disuruh melepaskan pakaiannya, sehingga dapat dinilai berbagai deformitas seperti lordosis lumbal, kifosis torak dan skoliosis. Gaya berjalan dan gerakan pinggul juga hams diperhatikan. Lingkup gerak tulang-tulang spinal, dapat dinilai dengan melakukan tes Schober, yaitu dengan menyuruh pasien melakukan antefleksi maksimal, kemudian ditentukan4 titik mulai dari prominentia spinosus sakralis superior ke arah atas denganjarak antara satu titik dengan titik lainnya masing-masing 10 cm. Kemudian pasien disuruh berdiri tegak dan jarak titik-titik tersebut diukur lagi, dalam keadaan normal akan tejadi pemendekan



jarak titik-titik tersebut berturut-turut dari bawah ke atas adalah 50%, 40% dan 30%. Cara lain adalah dengan mengukurjarak C7-Th 12dan T 1 2 41dalam keadaan berdiri tegak, kemudian pasien disuruh antefleksi maksimal, maka jarak C7-T12 akan memanjang 2-3 cm, sedangkan jarak T12 - S1 akanmemanjang7-8cm. Untuk menilai iritasi radiks, dapat dilakukan tes Lasegue dan Femoral nerve stretch test. Tes Lasegue (SLR = sraight legraising) merupakan tes yang sering dilakukan. Pasien disuruh berbaring telentang dalam keadaan santai, kemudian tungkai bawah difleksikan perlahan-lahan sampai 70" dengan lutut dalam keadaan ekstensi, catat sudut yang dicapai pada waktu pasien merasakan nyeri. Kemudian pasien disuruh memfleksikan lehemya sampai dagunya menyentuh dinding dada, atau secara pasif kakinya didorsofleksikan,nyeri yang timbul menandakan regangan dura, rnisalnya pada HNP sentral; bila nyeri tidak timbul, maka nyeri SLR diakibatkan oleh kelainan otot harmstring, atau nyeri dari daerah lurnbal atau sakroiliakal. Bila pada waktu SLR dilakukan, timbul nyeri pada tungkai kontra latecal (cross over sign atau well leg raises test), menandakan adanya kompresi intratekal oleh lesi yang besar. Bila kedua tungkai difleksikan bersarna (SLR



Blleteral SLR



Garnbar 8. Gerak sewikal



--snemw



Garnbar 8. Schober test, Laseque test, Femoral Nerve Strech Test



ANAMNESIS DAN-P



PISISPENYAKIT MUSKULQSKELETAL



bilateral), nyeri yang timbul sebelum sudut mencapai 70" mungkin berasal dari sendi sakroiliaka, sedangkan bila nyeri timbul pada sudut 70" mungkin berasal dari daerah lumbal. Pada femoral nerve stretch test, pasien disuruh berbaring pada sisi yang tidak sakit dengan koksae dan lutut sedikit fleksi, pinggang dan punggung lurus dan kepala difleksikan. Kemudian secara perlahan, fleksi lutut ditambah dan koksae diekstensikan.Bila timbul nyeri pada tungkai bagian anterior, menandakan adanya iritasi pada L2, L3 dan LA. Sendi sakroiliakajuga hams diperiksa dengan seksama, karena pada spondiloartropati seronegatif, sering disertai sakroilitis. Pemeriksaan khusus untuk sendi ini adalah tes distraksi dan tes lutut ke bahu. Pada tes distraksi, kedua sisi pelvis ditekan ke bawah pada pasien dalam keadaan berbaring terlentang atau pada satu sisi, tes positif bila timbul nyeri. Pada tes lutut ke bahu, pasien dalam posisi berbaring terlentang, koksae difleksikan dan di aduksi, kemudian lutut difleksikan ke arah bahu kontralateral. Tes mi hanya bermakna bila lumbal clan koksae dalam keadaan normal.



2455



Doherty M, Doherty J. Clinical examination rheumatology. London :Wolfe Publishing; 1992. Gattler RA, Scumacher HR. A practical handbook of joint fluid analysis. 2nded. Philadelphia: Lea & Febiger; 1991. Michet CJ, Hunder GC. Evaluation of the joint. In: Kelly WN,Hans JED. Ruddy S et al eds. Textbook of Rheumatology. 4Ih ed. Philadelphia :WB Saunders; 1993.p.35 1-67. Shmeiling RH, Liang MH. Laboratory evaluation of rheumatic disease. In: Scumacher HR, Klippel JH,Koopman WJ,eds. Primer o n t h e rheumatic diseases. loahed. Arthritis Foundation. 1993.p.64:6



ARTROSENTESIS DAN ANALISIS CAIRAN SENDI Sumariyono



PENDAHULUAN



SlNOVlA



Artrosentesis (aspirasi cairan sendi) dan Analisis cairan sendi merupakan pemeriksaan yang sangat penting di bidang reumatologi, baik untuk diagnosis maupun tatalaksana penyakit reumatik. Analisis cairan sendi bisa di analogikanseperti pemeriksaan urinalisis untuk menilai kelainan traktus urinarius. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan makros, mikroskopis, dan beberapa pemeriksaan khusus, dimana dari pemeriksaan ini cairan sendi abnormal dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu non inflamasi, inflamasi, purulen dan hemoragik. Walaupun dari masing-masing kategori tersebut terdapat beberapa penyakit yang menyebabkanya, tetapi paling tidak pemeriksaan ini dapat mempersempit diagnosis banding. Berdasarkan hasil analisis sejumlah penelitian, Shrnerling menyimpulkan bahwa ada dua alasan terpenting dari analisis cairan sendi adalah untuk identifikasi infeksi sendi dan diagnosis artropati kristal. Pa& umumnya cairan sendi diperoleh dari lutut, walaupun dapat juga dari sendi-sendi lainnya seperti bahu, siku, dan pergelangan kaki.



Sinovia (cairan sendi) adalah lapisan cairan tipis yang mengisi mang sendi normal, cairan sendi ini memberikan nutrisi esensial dan membersihkan sisa metabolisme &ri kondrosit di dalam rawan sendi. Selain itu sinovia juga befingsi sebagi pelumas dan sebagai perekat. Sebagai pelumas sinovia melumasi permukaan sendi yang mendapat beban mekanik, sedang sebagai perekat, sinovia meningkatkan stabilitas clan menjaga agar permukaan sendi tetap pada posisi normalnya (pada relnya) pada saat sendi digerakkan. Viskositas yang tinggi dari cairan sendi terjadi karena adanya asam hyaluronat yang disekresi oleh $broblas-like B cells di dalam sinovium.



Sinovium adalahjaringan yang menutupi semua permukaan sendi, kecuali weight bearing surface sendi diartrodial manusia normal. Jaringan ini terdiri dari 1-3 lapis sel dan menutupi suatu matriks, dimana matriks tersebut bisa berupa jaringan lemak, jaringan fibrosa, areolar atau periosteal, tergantung dari lokasinya di dalam sendi. Sinovium normal memiliki vaskularisasi yang baik dan menghasilkan sinovia atau cairan sendi.



FlSlOLOGl SlNOVlA (CAIRAN SENDI) Cairan sendi normal adalah ultra filtrat atau dialisat dari plasma. Dengan demikian kadar ion-ion dan molekulmolekul kecil ekivalen dengan kadarnya didalam plasma, sedang protein kadarnya lebih rendah. Molekul-molekul yang berpindah dari plasma ke cairan sendi pertama hams melewati endotel mikrovaskular, kemudian hams melalui matriks di sekeliling sel sinovia. Barier yang paling kritikal adalah endotel. Protein plasma yang melewati barier ini bergerak melalui difusi dengan tingkat kecepatan yang berbanding terbalik dengan ukuran molekulnya. Sebaliknya kembalinya cairan dari cairan sendi ke plasma tidak size selective . Setelah molekul protein melewati endotel dan masuk ke interstitiel, protein ini akan dibersihkan kembali ke plasma melalui saluran limfe. Konsentrasi protein-protein tertentu di dalam cairan



ARTROSENTESIS DAN ANALlSA CAIRAN SEND1



sinovia mencerminkan keseimbangan dari dua proses tersebut. Hal inilah yang menjelaskan kenapa rasio konsentrasi cairan sendi dengan plasma (CSIP) dari protein besar lebih rendah dari protein yang lebih kecil seperti albumin. Rasio albumin adalah 0.2-0.3pada sendi lutut normal, sedang rasio fibrinogenjauh lebih kecil karena ukuranya jauh lebih besar. Relatif tidak adanya fibrinogen pada cairan sendi ini menjelaskan kenapa cairan sendi normal tidak membeku. Pada efusi patologis, permeabilitas endotel meningkat dan kadar proteinya meningkat mendekati kadarnya di plasma, sehingga kadar fibrinogen juga meningkat yang menyebabkan aspirat cairan sendi menjadi beku.



Bahan dan Alat Spuit sesuai dengan keperluan Jarum spuit :no 25 untuk sendi kecil, no 21 untuk sendi lain, no 15 -8 untuk efusi purulen @us) Desinfektan iodine Alkohol Kasa steril Anestesi lokal (bila diperlukan) Sarung tangan Pulpen Plester Tabung gelas Tabung steril untuk kultur Lain-lain sesuai kebutuhan : media kultur, kortikosteroid



ARTROSENTESIS lndikasi Diagnostik Membantu diagnosis artritis Memberikan konfirmasi diagnosis klinis Selama pengobatan artritis septik, artrosentesis dilakukan secara serial untuk menghitung jumlah leukosit, pengecatan gram dan kultur cairan sendi. Terapeutik Artrosentesis saja - Evakuasi kristal untuk mengurangi inflamasi pada pseudogout akut dan crytal induced arthritis yang lain. - Evakuasi serial pada artritis septik untuk mengurangi destruksi sendi. Pemberian kortikosteroid intraartikular - Mengontrol inflamasi steril pada sendi, bila obat anti inflamasi non steroid telah gagal, kemungkman akan gagal atau merupakan kontraindikasi. - Mempersingkat periode nyeri pada artritis gout. - Menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat - Membantu terapi fisik pada kontraktur sendi. Kontraindikasi Diagnostik Infeksi jaringan lunak yang menutupi sendi Bakteriemi Secara anatomis tidak bisa dilakukan Pasien tidak kooperatif Terapeutik Kontraindikasi diagnostik Instabilitas sendi Nekrosis avaskular Artritis septik



Prosedur Tindakan (umum) Sebelum melakukan aspirasi cairan sendi : - Lakukan pemeriksaan fisik sendi dan bila perlu periksa foto sendi yang akan diaspirasi - Harus dikuasai anatomi regional sendi yang akan diaspirasi untukmenghindari kerusakan struktur-struktur vital seperti pembuluh darah dan saraf. Harus dilakukan teknik yang steril untuk menghindari terjadinya artritis septik. Untuk desinfekti dipakai iodine dan alkohol. Dokter hams memakai sarung tangan untuk menghindari kontak dengan darah dan cairan sendi pasien. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat digunakan semprotan etiklorida. Bila diperlukan dapat digunakan prokain untuk anastesi lokal. Selama dilakukan prosedur aspirasi harus diingatkan kepada pasien untuk selalu rileks dan tidak banyak menggerakkan sendi. PROSEDURTINDAKAN (KHUSUS) Sendi Lutut Pada efusi sendi lutut yang besar, tusukan dari lateral secara langsung pada tengah-tengah tonjolan suprapatela lebih mudah dan lebih enak untuk pasien.Tonjolan suprapatela ini dapat diperjelas dengan menekan ke lateral dari bagian medial. Dengan menggunakan ujung pulpen dilakukan pemberian tanda pada daerah target yaitu lebih kurang pada tepi atas patella (cephalad border of patella). Tada ini akan masih terlihat dalam waktu yang cukup untuk melakukan desinfeksi, anastesi dan artrosentesi. Pada efusi sendi yang sedikit lebih baik dilakukan tusukan dari medial di bawah titik tengah patella.



purulen atau 5) hemoragik. Diagnosis spesifikjarang bisa dibuat hanya berdasar pemeriksaan makroskopis saja. Gambaran analisis cairan sendi normal dan patologis dapat dilaihat pada Tabel 2 dan 3.



Gambar 1. Tusukan sendi lutut dari lateral pada efusi sendi yang banyak.



Jenis pemeriksaan



Nilai normal



Rata rata



PH Jumlah leukosiffrnrn3 PMN Limfosit Monosit



7.3 - 7.43 13 -180 0 -25 0 -78 0 -71



7.38 63 7 24 48



0 -12



4



Protein total gldl



1.2- 3.0



1.8



Albumin (%)



56



Globulin (%)



37 -44



Sel sinovia



Garis tengah patela



- 63



0.3



Hyaluronat gldl



~oninflamasi n f l a m a s i (grup 11) (grup 1) Biasanya > 4 Biasanya > 4 Xantokrom Xantokrom atau putih Transparan Translusen atau opak Rendah Tinggi



Pumlen (Grup Ill) Biasanya > 4 Putih



Sedang sampai buruk Sering 3.000 -50.000



Buruk



Bekuan spontan Jumlah leukositlmm3



Sedang sampai baik Sering < 3000



Polimorfonuklear (%)



< 25 %



> 70 %



Kriteria



Gambar 2. Tusukan sendi lutut dari medial



Volume (ml, lutut) Warna Kejernihan Viskositas



Jenis-jenis Pemeriksaan Cairan Sendi Jenis-jenis pemeriksaan yang dilakukan pada analisis cairan sendi dapat dilihat pada Tabel 1.



Rutin Perneriksaan makroskopis: warna, kejernihan, viskositas, potensi terbentuknya bekuan, volume Perneriksaan mikroskopis: jurnlah leukosit, hitung jenis leukosit, pemeriksaan sediaan basah dengan mikroskop polarisasi dan fase kontras Khusus Mikrobiologi: pengecatan khusus (silver, PAS, Ziehl Nielsen), kultur bakteri, jamur, virus atau M tuberkulosis, analisis antigen atau asarn nukleat rnikroba (PCR) Serologi: kadar kornplernen hernolitik (CHSo), kadar Komponen kornplernen (C3 dan C4), autoantibodi (RF. ANA, Anti CCP) Kimiawi: glukosa, protein total, pH, p02, asarn organik (asarn laktat dan asam suksinat), LDH (lactate dehydrogenase) Keterangan : ANA: antinuclear antibody; CCP :cyclic citrullinated peptide; PAS : periodic acid Schiff, RF : rheumatoidfactor



60 40



Bekuan musin



Opak Sangat rendah



Sering 50.000300.000 > 90 %



BEKUAN Cairan sinovia sedikit sekali kandungan protein pembekuan seperti fibrinogen, protrombin, faktor V, faktor VII dan tromboplastin jaringan. Sehingga cairan sinovia normal tidak akan membeku. Tetapi pada kondisi inflamasi "membran dialisat " sendi menjadi msak sehingga protein dengan berat molekul yang lebih besar seperti proteinprotein pembekuan akan menerobos masuk ke cairan sinovia, sehingga cairan sinovia pada penyakit sendi inflamasi bisa membeku dan kecepatan terbentuknya bekuan berkorelasi dengan derajad inflamasi sinovia.



VOLUME PEMERIKSAAN MAKROSKOPIS Pemeriksaan makroskopis cairan sendi merupakan pemeriksaan bedside. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menentukan cairan sendi tersebut termasuk dalam kelompok : 1) normal, 2) non inflamasi, 3) inflamasi, 4)



Sendi normal umumnya hanya mengandung sedikit cairan sendi., bahkan pada sendi besar seperti lutut hanya mengandung 3 -4 ml cairan sinovia. Pada kondisi sinovitis, yang mengakibatkan msaknya "membran dialisat" sendi, sejumlah besar cairan bisa berakumulasi pada mang sendi.



ARTROSENTESIS DAN ANALlSA CAlRAN SEND1



Meskipun volume cairan sendi tidak dapat membedakan kelainan sendi inflamasi dan noninflamasi, tetapi volume aspirat pada aspirasi serial bermanfaat untuk menilai hasil pengobatan karena penurunan volume aspirat biasanya sesuai dengan perbaikan klinis.



Cairan sendi normal sangat kental, karena tingginya konsentrasi polimer hyaluronat . Asam hyaluronat merupakan komponen non protein utama cairan sinovia dan berperan penting pada lubrikasi jaringan sinovia. Pada penyakit sendi inflamasi asam hyaluronat rusak atau mengalami depolimerisasi, yang m e n d a n viskositas cairan sendi.viskositas merupakan penilaian tidak langsung dari konsentrasi asam hyaluronat pada cairan sinivia. Penilaian viskositas cairan sendi dilakukan dengan pemeriksaan "string test", yaitu melihat cairan sendi pada saat dialirkan dari spuit ke tabung gelas. Pada cairan sendi normal akan dapat membentuk juluran (string out) 7 cm - 10 cm atau lebih. Pemeriksaan lain adalah dengan menggunakan viscometer. Pemeriksaan bekuan musin juga merupakan pemeriksan untuk menilai konsentrasi polimer asam hyaluronat. Pemeriksaan bekuan musin dilakukan dengan cara menarnbahkan 1 bagian cairan sendi ke dalam 4 bagian asam asetat 2%. Pada cairan sendi normal atau kelompok I akan membentuk bekuan, sedang pada cairan sendi kelompok I1 dan I11 (inflamasi dan purulen) akan terbentuk bekuan yang buruk atau kurang baik.



selanjutnya akan mengalami kerusakan yang akan memberikan warna kekuningan (xantochrome)pada cairan send inflarhasi. Leukosit akan membuat wama cairan sendi menjadi putih, sehingga semakin tinggi jumlah leukosit cairan sendi akan berwama putih atau krem seperti pada artritis septik. Selain dipengaruhi oleh jumlah eritrosit dan leukosit, warna cairan sendi juga dipengaruhi oleh jenis kuman dan kristal yang ada dalam cairan sendi. Staphylococcus aureus akan memberikan pigmen keemasan, serratia marcescens akan memberikan warna kemerahan dan laistal monosodium urat akan memberikan warna putih seperti susu.



Normal



Inflamasi



Purulenlseptik Hemoragk



Gambar 4. Warna beberapa kelompok cairan sendi



Jumlah dan hitung Jenis Leukosit Pemeriksaan jumlah dan hitung jenis leukosit sangat membantu dalam mengelompokkan cairan sendi. Paling tidak pemeriksaan ini dapat membedakan kelompok inflamasi clan non inflamasi. Pada caiian sendi kelompok I1 seperti artritis reumatoid jumlah leukosit umumnya 3000-50.000 s e l l ml, sedang pada kelompok I11 jumlah leukosit biasanya di atas 50.000/ml. Pada cairan sendi normal umurnnya PMN kurang dari 25%, sedang pada kelompok inflamasi PMN umumnya lebih dari 70% (inflamaii kelompok I1 PMN > 70%, kelompok 111> 90%).



Gambar3. Pemeriksaan viskositas (kekentalan) cairan sendi dengan string test



WARNA DAN KEJERNIHAN Cairan Sendi normal tidak berwarna seperti air atau putih telor. Pada sendi inflamasi jumlah leukosit dan eritrosit pada cairan sinovia meningkat. Eritrosit pada sinovia



Kristal Pemeriksaan kristal sebaiknya dilakukan pada sediaan basah segera setelah aspirasi cairan sendi. Kristal monosodium urat dapat diperiksa dengan mikroskop cahaya biasa, tetapi untuk pemeriksaan yang lebih baik memerlukan mikroskop polarisasi. Pada mikroskop polarisasi ini terdapat dua polarizing plate. Pertama disebut polarizer yang diletakkan antara sumber cahaya dan gelas objek (bahan), kedua disebut analyzer yang diletakkan antara gelas objek (bahan) dan observer dan diletakkan pada posisi 90 derajad dari polarizel: Dengan posisi demikian tidak ada cahaya yang ke mata observer,



yang dilihat observer hanya lapangan gelap. Setiap bahan yang membiaskan cahaya (termasuk MSU atau CPPD) bila diletdckan pada objek gelas di antara kedua polarizing plate tersebut akan membiaskan cahaya dan tamp& sebagai warna putih pada lapangan gelap. Gambaran pada lapangan gelap dapat .diperkuat dengan menambahkan kompensator merah yang diletakkan di antara kedua polarizingplate. Aksis dari kompensator ini diletakkan 45 derajat terhadap analzer maupun . -polarizer. Kompensator ini akan menghambat komponen merah dari cahaya sebesar seperempat panjang gelombang, yang mengakibatkan lapangan pandang menjadi berwarna merah. Pada kondisi demikian kristal MSU atau CPPD akan berwarna kuning atau biru tergantung posisi aksis dari kristal terhadap aksis dari slow vibration dari cahaya pada kompensator. Dengan cara memutar MSU atau CPPD 90 derajad akan merubah kristal biru menjadi kuning dankuning menjadi biru Kristal MSU berbentuk batang dengan ukuran sekitar 40 urn (4 kali leukosit). Kristal ini sangat berpendar sehingga pada mikroskop polarisasi tampak sangat terang. Pada mikroskop polarisasi yang ditambahkan kompensator merah, MSU akan berwama kuning bila arah kristal paralel, dan berwarna biru bila arah kristal tegak lurus dengan aksis dari slow vibration dari kompensator. Kristal CPPD ukuranya hampir sama dengan MSU, tetapi lebih sering berbentuk rhomboid. CPPD berpendar lemah sehinggabagi yang belum berpengalaman sulit untuk melihat kristal ini. Kebalikan dari kristal MSU, pada mikroskop polarisasi yang ditambahkan kompensator merah, kristal CPPD akan berwarna biru bila arah kristal paralel, dan akan berwarna kuning bila arah kristal tegak lurus dengan aksis dari slow vibration dari kompensator.



PEMERIKSAAN MlKROBlOLOGl



Artritis septik hams selalu dipikukan terutarna pada artritis inflamasi yang : tejadi bersama dengan infeksi ditempat lain (endokarditis, selulits, pneumonia), sebelumnya terdapat kerusakan sendi serta pada pasien-pasien diabetes dan pasca transplantasi. Pada pengelompokkan cairan sendi, arhitis septik termasuk kelompok 111, yang



EVEPIECE BirsMngent Crystal on mse background



ANALYZER



c o m ~ ~ k s m ~



SODIUM URATE cmAL



r i 6 '



Garnbar 6. Kristal Monosodium urat a.Kristal MSU pada mikroskop cahaya biasa. b.Kristal MSU pada lapangan pandang gelap dengan menggunakan mikroskop polarisasi tanpa kompensator.



Garnbar 5. Prinsip-prinsip mikroskop polarisasi



biasanya jumlah leukositnya lebih dari 50.000/ml. Tetapi kadang-kadang cairan sendi septik dapat memberi gambaran sebagai kelompok 11, sebaliknya cairan sendi kelompok I11 dapatjuga terjadi pada artritiis inflamasi non



c.Krista1 MSU pada mikroskop polarisasi dengan kompensatar merah; disini tampak kristal MSU berwarna kuning bila aksis kristal paralel dengan aksis dari slow vibration dari kompensator, dan berwarna biru bila aksis kristal MSU tegak lurus dengan aksis slow vibration dari kompensaror.



Gambar ini dibuat oleh Divisi Reumatologi, Dept. Ilmu Penyakit Dalm FKUYRSCM.



2461



ARTROSENTESISDANANALISA CAIRAN SENDI



infeksi seperti gout dan pseudogout. Pada umumnya pemeriksaan dengan pengecatan gram dan kultur bakteri cukup untuk analisis cairan sendi, tetapi beberapa pengecatan dan biakan pada media khusus sangat membantu pada kondisi tertentu seperti misalnya untuk mycobacterium tuberkulosis dan jamur.



serta identifikasi kristal terutama monosodium urat dan CPPD dengan menggunakan mikroskop biasa dan lebih baik lagi bila dilakukan dengan menggunakan mikroskop polarisasi. Manfaat lain dari pemeriksaan ini adalah dapat mempersempit diagnosis banding artritis.



REFERENSI KESIMPULAN Artrosentesi dan analisis cairan sendi m e r u ~ a k a n pemeriksaan yang penting dibidang reumatologi baik untuk tujuan diagnostik maupun terapeutik. Analisis cairan sendi terdiri dari pemeriksaan makroskopis, mikroskopis dan beberapa pemeriksaan khusus. Berdasarkan pemeriksaan analisis cairan sendi, cairan sendi abnormal dapat diielompokkan menjadi cairan sendi non inflamasi, inflamasi, purulen dan hemoragik. Manfaat utama analisis cairan sendi adalah identifikasi infeksi dengan pengecatan gram dan biakan cairan sendi,



Fye KH. Arthrocentesis, synovial fluid analysis, and synovial biopsy. In: Klippel JH. Primer on the rheumatic diseases. 12Ih edit. 2001 : 138-144. Gatter RA, Schumacher HR. A practical handbook of joint fluid analysis. 2" edit. 199 1. Mikuls TR. Synovial fluid analysis. In : Koopman WJ and Moreland LW. Arthritis and allied conditions. ISth edit. 2005 : 81-96. Setiyohadi, sumaryono. Aspirasi cairan sendi I artrosentesis. In : Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW . Prosedur tindakan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. 1999 : 227-233.m Swan A, Amer H, Dieppe P. The value of synovial fluid assay in the diagnosis of joint disease : a literature survey. Ann Rheum Dis 2002 ; 61: 493-498.



PEMERIKSAAN CRP, FAKTOR REUMATOID, AUTOANTIBODI DAN KOMPLEMEN Arnadi, IUG Suryadhana, Yoga IKasjmir



Pada sebagian besar penyakit reumatik,proses inflamasi merupakan garnbaran patologik jaringan yang utama. Pada proses inflamasi akan terjadi peningkatan protein fase akut akibat kerusakanjaringan.Di samping itu faktor imunologis juga mendasari sebagian besar penyakit reumatik. Oleh karena itu, dalam menegakkan diagnosis dan penatalaksanaanpenyakit reumatik diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium.



C-REACTIVE PROTEIN (CRP)



CRP merupakan salah satu protein fase akut. CRP terdapat dalam konsentrasi rendah (trace) pada manusia. CRP adalah suatu alfa globulin yang timbul dalarn serum setelah terjadinya proses inflamasi.Awa1nyaprotein ini disangka mempunyai respons spesifik terhadap C polisakarida dari pneumokokus, tetapi ternyata protein ini adalah suatu reaktan fase akut yang timbul akibat proses inflamasi. CRP terdiri atas berbagai ligan biologik yaitu berupa fosfokolin,fosfolipid lainnya serta protein histon dan merupakan konstituen dari membran sel dan inti sel, yang akan terpapar bila terjadi kerusakan jaringan. CRP mempunyai kemampuan untuk mengaktivasi jalur klasik komplemen setelah berintegrasi dan berikatan dengan berbagai ligan biologik, kemudian memacu perubahan sel fagosit melalui jalurproinflamasi dan anti inflamasi.Pada proses tersebut., CRP diduga mempunyai peranan dalam proses inflamasi. Adanya stimulus inflamasi akut, konsentrasi CRP akan meningkat secara cepat dan mencapai puncaknya setelah 2-3 hari.Secara umum, konsentrasi CRP merefleksikan luasnya kerusakan jaringan. Bila tidak ada stimulus inflamasi maka konsentrasi CRP serum akan turun dengan



relatif cepat dengan waktu paruh sekitar 18 jam. Peningkatan konsentrasi CRP secara persisten menggambarkan adanya proses inflamasi kronik seperti arthritis rheumatoid, tuberkulosis dan keganasan. Pengukuran konsentrasi CRP secara akurat menggunakan immunoassay atau nefelometri laser. Kadar CRP pada manusia dewasa sehat < 0,2 mgldl.



Normal atau peningkatan tidak signifikan ( < 1 mgldl )



Peningkatan Sedang ( 1 - 10 mgldl )



Peningkatan tinggi ( > 10 mgldl )



Kerja berat Common cold Kehamilan Gingivitis Stroke Kejang Anaina



lnfark miokard Keganasan Pankreatitis lnfeksi mukosa bronkitis, sistitis ) Penyakit reumatik



lnfeksi bakteri akut Trauma berat Vaskulitis sistemik



Hamplr selalu ada



Serlng ada



Kadangkadangada



Demam reumatik, artritis reumatoid, infeksi bakteri akut, hepatitis akut



Tuberkulosis aktif,tumor ganas stadlum lanjut, leprosy, sirosis aktif, luka bakar luas, peritonitis



Sklerosis multipel, sindroma Guillain Barre, cacar air, pasca bedah, penggunaan alat kontrasepsi intrauterin



*



Pengukuran CRP berguna untuk menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit reumatik seperti halnya pengukuran laju endap darah. Hanya pengukuran CRP menawarkan suatu kelebihan sebagai pengukuran yang dapat dilakukan secara langsung dalam menentukan adanya protein fase akut yang mencerminkan besaran



inflamasi dan perubahan-perubahan fase akut oleh peralihan yang relatif cepat dari CRP.' Terutama pada penyakit-penyakit yang manifestasi kliniknya tidak begitu mudah di evaluasi secara berkesinambungan misalnya penyakit crohn, vaskulitis, infeksi bakteri yang sulit di monitor. Melalui teknik biologi baku berupa seri pemeriksaan CRP akan lebih mudah diikuti perkembangan dari hasil suatu pengobatan. Determinasi CRP terutama di anjurkan dalam situasi sebagai berikut: 1. Penapisan proses radanglnekrotik 2. Diagnosis/monitoring proses radang seperti neonatal, septikemia, meningitis, pneumonia, pyelonefritis, komplikasi pasca bedah, kondisi keganasan. 3. Penilaian gambaran klinik pada kondisi radang seperti kelompok penyakit reumatik atau selama episode akut ataupun infeksi intermiten 4. Diagnosis diferensial kondisi radangseperti SLE, AR ataupun penyakit artritis lainnya, kolitis ulseratif dan kistitis akutlpielomielitis



CARA PEMERIKSAAN CRP



Semula CRP dideteksi melalui reaksi endapan dengan polisakarid C kuman pneumokokus. Setelah tahun 1947 berhasil dilakukan kristalisasi CRP dan dari sini dapat dibuatkan antisera yang spesifik sehingga membuka peluang pemeriksaan protein secara irnunokimiawi. Teknik endapan kapiler merupakan cara imunokimiawi yang pertama dan digunakan secara luas sampai lebih dari 25 tahun. Cara pemeriksaan semi kuantitatif tidak dapat mendeteksi konsentrasi yang kurang dari 10 mikrograd cc. Pengenalan teknik imunodifusi radial memungkinkan penghitungan CRP yang lebih tepat sampai ambang 2 mikrogradcc, sementara teknik radioimunoassay yang amat sensitif telah pula dikembangkan tetapi cara ini sebenarnya tidak diperlukan untuk tujuan klinik karena tidak praktis tetapi lebih di utarnakan &lam pengembangan penelitian laboratorium klinik. Bagaimanapunjuga, akhirakhir ini dikembangkan cara nephelometrik yang mengandalkan penggunaan peralatan yang rnenjamin ketepatan dan kecepatan pemeriksaan kuantitatif. Sementara itu telah banyak dipasarkan pemeriksaan CRP dengan menggunakan sistem aglutinasi lateks dalam bentuk kit yang rneskipun tidak kuantitatif tetapi mungkin memiliki nilai terbatas dalam kecepatan sebagai awal penapisan adanya CRP.



Prinsip kerja pemeriksaan ini menggunakan partikel lateks polystyrene yang permukaannya dibungkus dengan anti CRP sehingga dapat direaksikan dengan serum kontrol positif ataupun negatif pada permukaan kaca benda atau



slide plastik hitam. Pertama-tamaserum pasien di inaktifkan pada suhu 56" Celcius. Lalu diencerkan dan masing-masing diteteskan di atas kaca benda. Kemudian masing-masing satu tetes suspensi lateks anti-CRP ditempatkan di atasnya, dicampur dengan menggunakan batang kayu yang telah disediakan atau digerak-gerakkan menggunakan alat penggoyang (shaker). Diperhatikan ada tidaknya endapan yang biasanya akan tampak setelah 2 menit. Perlu kehatihatian atas kemungkinan terjadinya fenomena prozone yaitu terhadap hasil positif yang sebenarnya sangat h a t tetapi tidak tampak pada serum yang tidak di encerkan sehingga perlu dibuktikan dengan cara pengenceran. Dengan teknik kit ini dapat dikembangkan lebih lanjut ke arah semi kuantitatif. Di samping itu CRP juga dapat ditentukan dengan teknik endapan kapiler, difusi Ouchterloni, imuno difusi radial dan nephelometri. Yang perlu diperhatikan dengan teknik ini ialah kemungkinan positif semu oleh adanya faktor reumatoid. Terutamakalau kadar FR nya >I200 I.U/cc. Karenaitu &lam pemasaran kit selalu disertakan larutan absorbsi yang terdiri dari larutan antibodi diperoleh dari biri-biri yang digunakan untuk menyisihkan faktor reumatoid tersebut. Bahan Pemeriksaan Dapat diperoleh dari sekitar 2cc darah pasien yang dibiarkan membeku dalam keadaan segar penyimpanan maksimum 8 hari pada suhu 2 sampai 8 celcius atau sementara dapat disimpan dalam lemari es suhu di bawah minus 25" Celcius sampai 3 bulan. Serum bekuan ini dihindari pencairan yang berulang-ulang. Bahan serum hams dijaga kejernihannya dengan memusingkan sehingga benar-benar tidak mengandung partikel-partikel ataupun fibrin setelah sentrifugasi.



FAKTOR REUMATOID



Faktor Reumatoid (FR) merupakan antibodi sendiri terhadap determinan antigenik pada fragmen Fc dari imunoglobulin. Klas imunoglobulin yang muncul dari antibodi ini ialah IgM, IgA IgG dan IgE. Tetapi yang selama ini diukur ialah faktor reumatoid kelas IgM. Istilah reumatoidnya diberikan karena faktor ini kebanyakan diberikan pada penyakit artritis reumatoid. Berbagai teknik telah dikembangkan, untuk mengukur adanya antibodi tersebut. Dapat disebutkan seperti uji aglutinasi, presipitasi, pengikatan komplemen, imunofluoresensidan radioimun. Sejarah Faktor Reumatoid Faktor Reumatoid pertamakali di introduksi oleh patolog Nonvegia, Eric Waaler, tahun 1937. Pada waktu itu beliau melihat bahwa eritrosit biri-biri yang tersensitasi dengan zat antinya yang diperoleh dari serum kelinci, dapat



-



digumpalkan oleh serum pasien lues dan artritis reumatoid (AR). Hasilnya, suatu aglutinasi yang agak aneh dibanding hernolisis biasa, kemudian ditelusuri berbagai literatur clan ternyata peneliti lainnya juga menemukan fenomena yang sama, pada pasien sirosis hati dan bronkitis kronis. Terputus oleh perang dunia kedua, hasil penemuan Waaler ini, seakan-akan telah dilupakan. Akhirnya fenomenayang sama ditemukan oleh Rose dkk (1948) yang pada waktu itu bekerja untuk pasien Rickettsia. Lebih lanjut mereka melakukan pemeriksaan yang sama terhadap pasien AR, Spondilitis Ankilosa, demam reumatik dan penyakit reumatik lainnya. Hasilnya amat menyolok, dibanding pasien AR sendiri yang sekaligus menunjukkan korelasi yang kuat dengan aktivitas penyakit. Meskipun, penerapan klinik yang dilakukan Waaler, masih belum jelas dibandingkan dengan Rose tetapi Waaler dengan jelas menampilkan aspek-aspek imunologiknya sehingga uji pemeriksaan FR, sampai sekarang dikukuhkan sebagai pemeriksaan Waaler-Rose /Rose Waaler. Istilah Reumatoid Faktor, pertamakali digunakan oleh Pike dkk, tahun 1949, karena faktor ini kebanyakan ditemukan pada penyakit AR. Mulai sejak itu, berbagai upaya modifikasi telah dilakukan, di antaranya Heler dkk (1956) menyatakan kelemahan uji Rose-Waaler oleh adanya faktor imunoglobulin manusia sebagai penghambat aglutinasi. Atas dasar itu, maka diajukan suatu cara yang lebih sensitif yang sifatnya non-imunologik, dengan mengabsorbsikan imunoglobulin manusia pada tanned eritrosit biri-biri. Dasar sistem ini selanjutnya lebih berkembang lagi dengan menggunakan partikel lateks, partikel bentonit, partikel bakteri. Uji Rose-Waaler, memang amat spesifik terhadap AR, terbukti dari sekitar 90% pasien dengan RW pos, menunjukkan AR. Sebaliknya uji RW hanya positip pada sekitar 60% pasien AR. Pengamatan lebih lanjut, menunjukkan bahwa FR itu bukan suatu antibodi tetapi merupakan suatu kelompok zat anti IgG dengan aviditas dan afinitas yang berbeda.



Ciri-ciri Faktor Reumatoid Faktor Reumatoid mencakup semua klas imunoglobulin, tetapi yang mendapat perhatian khusus hanyalah IgM-FR dan IgG-FR. Sedangkan FR klas imunoglobulin lainnya, sifat patologiknya belum banyak diketahui. Misalnya IgEFR, kadang-kadang dapat ditemukan pada pasien AR dengan manifestasi ekstra artikular ataupun penyakit paru. IgM-FR mudah ditemukan dalam darah dengan daya aglutinasinya yang kuat. Tidak dapat bergabung mandiri seperti yang terjadi pada IgG-FR. IgM-FR juga menunjukkan kemampuan mengikat komplemen yang lebih besar dibanding IgG-FR. Faktor Reumatoid merupakan suatu reaksi normal imunitas humoral tubuh terhadap rangsangan antigen tertentu, yang tersebar secara luas dalam irama kehidupan.



Reaksi positif uji FR yang selama ini ditunjukkan baik terhadap gamma globulin manusia ataupun kelinci, terutama termasuk dalam kelas IgM antibodi. Kemungkinan klas lainnya juga ditemukan yaitu IgG dan IgA antibodi dalam bentuk intermediate complex dan terdapat terutama di dalam cairan sendi. Titer yang tinggi bukanlah indikasi beratnya penyakit. Kebanyakan pasien dengan AR hasil pemeriksaan FR nya bisa positif ataupun negatif dengan titer yang berfluktuasi dalam hitungan bulan/tahun4 Sedangkan pemberian NSAID tidak selamanya dapat mempengaruhi titer FR. Sebaliknya penicillamine dan preparat emas dqpat menurunkan secara perlahan sampai menjadi seronegatif. FR yang negatif, dapat digunakan sebagai petunjuk penyakit-penyakit reumatik lainnya seperti ankilo spondilitis, sindrom reiter, enteropati berasosiasi artritis, psoriatik artropati, gout, kondrokalsinosis, piogenik artritis dan penyakit Still.



Terjadinya Faktor Reumatoid Banyak teori yang mencoba mengungkapkan mekanisme terjadinya FR. Faktor reumatoid itu sendiri sebenarnya tidak patogenik. Dasar imunopatogenik AR, dimulai dengan aktivitas imunologik yang berlangsung terusmenerus. Aktivitas ini berperan sentral dalam patogenesis penyakit AR dan terjadi sebagai respons terhadap seuantigen (endogenous) ataupun non self-antigen (exogenous). Pada keadaan pertama, tubuh seakan-akan sudah tidak mengenal lagi komponen tubuhnya sendiri, yang kemudian menjadi konsep dasar penyakit oto-imun. Kegagalan pengenalan diri ini dapat terjadi sebagai akibat perubahan komponen tubuh sendiri (altered antigen), ataupun perubahan respons imunologik tubuh terhadap komponen tubuh yang normal. Masalahnya kemudian adalah mengapa perubahan-perubahan itu terjadi. Maka mulai dipikirkan adanya faktor luar (exogenous) yang bertindak sebagai Special Stimulating Antigene yang justru menjamin kelangsungan aktivitas imunologik tersebut. Faktor-faktor luar yang akhir-akhir ini paling banyak di bicarakan, ialah virus yang berperanan sebagai infective agent. Dalam hubungan dengan terjadinya FR, dimulai dengan terjadinya infeksi yang cenderung bersifat kronik dan berkembang dalam persendian merangsang pembentukan antibodi. Zat ini lalu bergabung dengan infective agent tersebut dan menimbulkan perubahan antigenik molekul IgG-nya. Adanya ikatan kompleks dan altered IgO sebagai antigen baru inilah yang membangkitkan produksi zat antibodi baru yang dikenal sebagai zat anti antibodi. Zat inilah yang pada hakekatnya dikenal sebagai Faktor Reumatoid (FR). Selanjutnya sarana yang paling adekuat bagi perkembangan lanjut reaksi ini ialah persendian. Karena itu tidak jarang terjadi pada tiap infeksi asalkan melibatkan



PEMEW(SAAN CPR, FAIClDR REUMATOID, AmANTlBODI DAN KOWLEhIEN



h s u r imunologik, selalu membawa dampak kesakitan pada persendian yang maksudnya' agar individu yang bersangkutan menjalani istirahat sehingga proses pemulihan dapat berlangsung secara alami. Ternyata persendian, memiliki kualifikasi yang cocok bagi berkembanglmenetapnya respons imun. Tiadanya anyaman pembuluh darah dalam tulang rawan memungkinkan kompleks Ag-Ab menjadi tersembunyi sehingga terhindar dari jangkauan aparat imun. Kombinasi antara FR dan IgG membentuk kompleks imun yang mengaktifkan sistem komplemen dengan manifestasi timbulnya pemanggilan sel-sel neutrofil ke tempat terjadinya radang (kemotaksis). Sel-sel ini kemudian akan memfagosit kompleks imun tadi, dengan melepaskan enzim lisozim. Namun enzim ini sebalilcnyaakan bertindak sebagai mediator kimiawi atas terjadinya radang sinovitis. Juga Cell-mediated immunity ikut berperanan dengan melepaskan limfokin yang juga dapat menimbulkan radang tersebut yang ditujukan untuk melawan oto-antigen yang persisten. Memang telah dibuktikan bahwa FR diproduksi didalam sel-sel plasma pada jaringan subsinovial dan persendian yang meradang. Dengan demikian maka FR terdapat di dalam darah ataupun di dalam cairan sendi. Beberapa kemungkinan mekanisme kejadian FR ditunjukan dalam beberapa postulat sebagai berikut: 1. Agregat IgGI kompleks imun melahirkan nilai antigen baru pada bagian Fc dari IgGI denaturasi. 2. Daya gabung yang meningkat dari agregat IgG terhadap reseptor dengan afinitas rendah dari sel-sel yang berpotensi membentuk FR. 3. Anomali struktur IgG nya sendiri 4. Kegagalan fungsi kendali dari sel-T penekan, menimbulkan kecenderungan pembentukan autoantibodi terhadap IgG oleh sel B. 5. Interaksi antara ideotip-antiideotip 6. Reaksi silang antara nilai antigenik Fc. IgG dengan antigen lain terutama antigen dari bahan inti sel. 7. Sensitisasi selama kehamilan 8. Latar belakang genetik yang dikaitkan dengan HLA-DR4. Penemuan terakhir menunjukkan bahwa artritis reumatoid seropositif, berhubungan erat dengan antigen keselarasan jaringan yaitu HLA-D yang diekspresikan oleh limfosit B dan makrofag. Lebih dari 50% pasien seropositif memiliki HLA-D ini. Sel B poliklonal, memang berpotensi h a t dalam menginduksi produksi FR. Spesifisitas I Sensitivitas IgM-FR poliklonal memiliki aneka sfesifisitas. Tidak dapat disebutkan, suatu kekhasan antigenik tertentu, yang benarbenar memegang peranan penting dalam proses terjadinya AR. Dengan demikian, spesifitas FR pada AR, cenderung lebih heterogen daripada penyakit kronik lainnya yang bukan AR. Karena itu FR pada AR cenderung lebih banyak



2465



bereaksi dengan IgG hewan daripada FR non reumatik. Demikian juga aviditasnya terhadap agregat IgG lebih tinggi dibanding FR monomerik oleh multivalensi kompleks IgG. Mengenai IgG-FR poliklonal, tidak banyak yang diketahui. Petanda antigenik dari bagian Fc IgG bagi FR klas imunoglobulin lainnya, juga belum jelas. Kenyataan, FR itu merupakan bagian dari imunoglobulin biasa dari orang sehat. Seperti telah dikemukakan dalam banyak kepustakaan (Suryadhana dkk, 198l), FR ini tidak spesifik terhadap AR. Kenyataan, faktor ini secara urnum ditemukan pada pasienpasien keradangan akut dan kronis, bahkan juga pada individu normal. Berbagai penyakit kronis lain dengan nama RF yang menunjukkan adanya faktor ini dapat di klasifikasikan sebagai berikut : Infeksi viral akut: mononukleosis, hepatitis, influenza dan banyak yang lainnya, sebagai akibat vaksinasi. Infeksi parasit: tripanosomiasis, kala azar, malaria, schistosomiasis, filariasis, dsb. Penyakit radang kronik: TBC, lepra, lues, brucellosis endokarditis bakterial subakut, salmonellosis, periodontitis. Hepatitis, paru, Cryobulinemia Polutan: silikosis, asbestosis Neoplasma: setelah iradiasi ataupun kemoterapi. Adanya faktor ini cenderung ditandai oleh antigemia persisten yang lebih lanjut dapat dibuktikan melalui percobaan hiper imunisasi kelinci dengan antigen bakteri. Banyak kelainan ini dikaitkan dengan keadaan hipergammaglobulinemia ataupun kompleks imun yang beredar dalam darah, maka dapat pula di masukan, penyakit hati kronik, paru kronik, cryobulinemia. Dengan kenyataan ini, maka FR itu sendiri sering merupakan indikator in vivo terhadap penyakit-penyakit dengan latar belakang kompleks imun dengan kecenderungan menjadi kronik. Walaupun tak spesifikAR, tetapi faktor ini dapat menjadi perintis timbulnya penyakit AR. Sementara hasil positifjuga ditemukan pada penyakit reumatik laimya seperti sjogren, SLE, sklerosis sistemik dan penyakit jaringan ikat campuran (MCTD). Pada individu normal sehat, prevalensi lateks positif cenderung meningkat seiring meningkatnya usia. Arti spesifitas bagi imunolog ialah adanya struktur imunokimiawi tertentu pada IgG-nya sedangkan bagi reumatolog, hanya mempersoalkan efisiensi diagno sisnya. Dalam hubungan ini berbagai upaya modifikasi telah dicoba seperti yang tiada henti-hentinya dilakukan Klein dkk Tempat Diproduksinya Faktor Reumatoid Pada pasien AR, seperti juga pada individu yang sehat hanya sedikit imunoglobulin ataupun FR yang diproduksi oleh sdl-sel yang berada dalam sirkulasi. Bagaimanajuga, limfosit-limfosityang terdapat dalam



-



aliran darah, dapat dirangsang oleh mitogen sel-sel-B untuk memproduksi imunoglobulin secara in vitro. Tetapi sejumlah besar sel-sel dari kompartemen lainnya, telah dapat ditunjukkanmemproduksi FR. Telah diketahui bahwa cairan sinovial reumatoid kaya dengan IgG-FR, IgM-FR dan IgA-FR. Jadi FR pada cairan sendi, kemungkinan besar diproduksi secara lokal oleh limfosit-limfosit yang terletak dalam membran sinovial ataupun cairannya sendiri. Agen yang merintis produksi lokal, sampai saat ini masih belum dlketahui.Agaknya memang berbagai faktor itu datangnya. secara bertahap ataupun simultan yang tanpa disadari terekam oleh tubuh sedikit demi sedikit dan akhirnya tinggal memerlukan hadirnya suatu penyulut (trigger) untuk timbulnya penyakit tersebut. Mengenai tempat diproduksinya FR pada penyakit kronik lainnya belum dapat diungkapkan, tetapi kemungkinan seperti modus produksi imunoglobulin umurnnya. lmunopatogenesis Faktor Reumatoid Sebenarnya, FR bersifat non-patogenik. Terbukti pada tranhsi dengan IgM-FR tidak dapat menginduksi artritis bahkan IgM-FR dapat mengurangi serum sickness, lisis oleh komplemen dan aktivitas sitotoksik selular, tetapi hadirnya FR dapat menjadi pemacu clan pemantapan proses yang ditunjang oleh hal-ha1 sebagai berikut: Pasien seropositif, menunjukkan penampilan klinik dan komplikasi yang lebih berat dibanding seronegatif. Pasien seronegatif, mempunyai prognosa yang lebih baik. Pengamatan in-vitro menunjukkan bahwa IgM-FR diproduksi secaxa spontan oleh limfosit perifer pa& seropositif, sedang seronegatif, tidak. *. Pasien dengan titer FR yang tinggi, menunjukkan prognosis yang buruk dan lebih sering tampil dalam manifestasi ekstra artikular seperti nodul-nodul subkutan, fibrosis paru, vaskulitis, perikarditis. Hal ini dikaitkan dengan ditemukan CIC (Circulating Immune Complex). IgM-FR poliklonal mampu mangaktifkan kom-plemen, sehingga tidak diragukan keterlibatannya, dalam berbagai kerusakanjaringan. Meningkatnya kadar IgG-FRYdikaitkan dengan meningkatnya kekerapan timbulnya nodul subkutan, LED, jumlah persendian yang terlibat dan menurunnya kadar komplemen.



Kemungkinan efek patologiknya ialah kenyataan data klinik yang menunjukkan hubungan FR dengan aktivitas penyakit terutama manifestasi ekstra-artikularnya.Hal ini juga berlaku bagi IgG-FR, yang lebih cenderung berkaitan dengan penyakit sistemik dan vaskulitis dibanding sinovitis. Efek biologiknya, yang utama ialah kemampuannya mengikat komplemen melalui kompleks imun. Dan sinilah



dimulai rangkaian reaksi imun berkepanjangan, yang berakhir dengan kerusakanjaringan. Hampir semua klinisi reumatologi, telah mengamati tidak jelasnya hubungan titer IgM-FR yang tinggi dengan jumlah sendi yang meradang. Tetapi pada negara yang sedang berkembang, titer yang tinggi, dengan jelas menampilkan gambaran khas AR. Pada anak-anak, adanya IgM-FR menunjukkan poli-artikular tipe dewasa dari JRA. Beberapa studi,justru IgG-FR yang menunjukkan korelasi lebih baik dibanding IgM-FR dengan aktivitas penyakit dan manifestasi ekstra artikular, termasuk nodul-nodul subkutan dari pasien AR seropositif. Hal ini berarti, bahwa IgG-FR kemungkinan lebih berperan di banding IgM-FR dalam patogenesis AR. Inflamasi dan respons imun pada hakekatnya merupakan suatu penampilan dari mekanisme pertahanan tubuh yang saling kait mengkait. Berbagai kerusakan persendian yang terjadi pada AR dimulai dengan suatu inflamasi yang melepaskan zat-zat prostaglandin dari tipe-tipe sel makrofag, sel dendrit, sel endothelial dan beberapa sel limfosit. Hadirnya prostaglandin justru mempunyai arti penting dalam ikut mempertahankan keseimbangan imunologik. Hal ini dimungkinkan karena prostaglandin langsung bekerja terhadap sel-T penekan yang memiliki reseptor prostaglandin, lalu menghambat aktivitas sel-T penekan sehingga meningkatkan hngsi sel-T penolong. Akibatnya sel-T penolong, bekerja tanpa kendali dengan tidak lagi mengindahkan norma-norma sel recognition sehingga terbentuklah antibodi yang tidak dikehendaki (Auto-antibodi). Kenyataan dengan ditemukannya prostaglandin yang berlebihan pada daerah sendi inflamasi, praktis menutup kerja sel-T penekan. Rangkaian proses ini dimungkinkan karena sel-T penolong melepaskan zat IL-2 dan IL-3. Interleukin-2, menjamin aktivitas sel-TA, sedangkan IL-3 sebagai mediator aktif dalam proses radang. Dalam situasi seperti ini, maka FR lah yang pertama dibentuk dari tempat terjadinya inflamasi. Dari sinilah kemudian dimulai rangkaian proses imunologi yang berkelanjutan dengan berbagai efek kliniknya. Artntis reumatoid, merupakan penyakit kompleks imun ekstravaskular, yang terutama menyerang daerah persendian. Karena cairan sendi pasien AR tidak seperti serumnya, sering mangandung agregat IgG dengan kadar komplemen yang rendah. Jadi faktor ini, justru memegang peranan utama dalam patogenesis penyakit kompleks imun ekstravaskular yang nantinya menghasilkan sinovitis reumatoid, tetapi dengan kenyataan ditemukan faktor ini pada penyakit-penyakit lainnya yang bukan AR, telah menurunkan arti dan peranan FR tersebut, tetapi dengan berbagai alasan dan respek terhadap peranan faktor ini, maka hadirnya FR ini, antara penyakit AR dan penyakit non-reumatik, masih dapat dibedakan pada Tabel 4. Jadi spesifitas jaringan dan kronisitas sinovitis reumatoid, sebagian besar dapat diterangkan dengan kemampuan unik dari faktor reumatoid. Masih ada contoh



.



PEMERlKSAANCPR,FAKTQR REUMATOID,AUTOANTIBOD1DAN KOMPLEMEN



Penvakit Rematik



Artritis Reumatoid. L u ~ u s Eritematosus ~istemik. Skleroderma, Mixed Connective Tissue Disease, Sindrom Sjogren's Acquired immunodeficiency syndrome, mononukleosis, hepatitis, influenza dan setelah vaksinasi Trypanosomiasis, kala azar, malaria, schistomiasis, filariasis Tuberkulosis, leprosi, sifilis, brucelosis, infektif endokarditis, salmonelosis Pasca radiasi atau kemoterapi, PurPura hipergammaglobulinemia, kryoglobulinemia, penyakit hati kronik, penyakit paru kronik



lnfeksi Viral



lnfeksi parasit lnfeksi bakterialis kronik



Neoplasma Hyperglobulinemic state



Faktor Reumatoid



Artritis Reumatoid



Penyakit nonreumatik



-



Tinggi



Rendah



lengkap



tidak lengkap



klM, IgG, IgA Sinovium dan tempat ekstravaskular lainnya



terutama IgM tidak jelas, tetapi bukan pada daerah sinovial.



Titer Heterogenitas - Reaksinyaterhadap gammaglobulin manusia dan hewan - Klas imunoglobulin - Lokasi produksi



++



+



lain dari autoantibodi dengan afinitas rendah dengan ciriciri unik yang membawakan sifat patogeniknya dalam situasi khusus. Memang secara teoritis, hadirnya faktor ini, justru menunjukkan salah satu kegagalan sistem imun tubuh dalam menangani infiltrasi benda asing secara tuntas. Antibodi yang mula pertama dilepaskan ternyata tidak mampu menetralkan benda asing yang masuk. Upaya tubuh menyelesaikan masalah karena kegagalan pengenalan diri, justru melahirkan antigen-antigen baru, akibatnya timbul perkembangan baru, sebagai reaksi terhadap kenyataan tersebut, dengan membentuk zat antiantibodi yang dikenal dengan sebutan FR.



KEMAKNAAN KLlNlK



Faktor r eumatoid IgM. Klas ini sepertijuga antibodi IgM lainnya, bersifat multivalen yang karenanya memiliki daya aglutinator yang kuat terhadap partikel-partikel yang terbungkus oleh antigen yang bersangkutan. Faktor ini



2467



kemungkinan meningkatkan efek biologik kompleks imun yang berinteraksi lemah dan menekan efek kompleks imun yang berinteraksi h a t . Antibodi inijuga akan mengendapkan agregat IgG, baik dalam bentuk larutan ataupun dalam bentuk gel. Lebih sering terjadi, antibodi ini bergabung dengan IgG monomerik membentuk kompleks yang larut, yang dapat diperlihatkan dalam banyak serum AR melalui cara ultrasentrifugal. Perubahan titer FR selama perjalanan penyakit tidak memberi makna apapun bagi penyakit yang bersangkutan. Walaupun suatu obat berhasil menurunkan titer FR sampai pada keadaan menjadi seronegatif tetapi dapat kembali menjadi seropositif walaupun secara klinik menunjukkan adanya pemulihan. Titer FR yang tinggi pada AR mengindikasikan prognosis buruk dan kecenderungan manifestasi ekstra artikuler.



Faktor reumatoid IgG Antibodi ini terdapat berlebihan dalam serum, terutama cairan sendi dari banyak pasien dengan AR berat. Konsentrasi IgG yang tinggi dalam serum dan kecenderungan antibodi ini untuk bergabung sendiri, daripada bergabung dengan agregat IgG,justru akan menyulitkan pengenalannya. Pada prinsipnya FR-IgG ini, dapat dikenal dengan profil sedimentasinya yang tersendiri sebagai kompleks intermediate dalam analisis ultrasentrifugal. Teknik pengenalan antibodi ini telah dikembangkan secara khusus oleh Feltkamp dkk dengan imunofluoresensitidak langsung. Sebelumnya memang banyak cara telah diperkenalkan tetapi praktis tidak dapat dilakukan secara rutin ataupun dengan cara radio-imun yang ternyata laborious, demikian juga teknik Elisa. Teknik yang diungkapkan oleh Feltkam ini amat sederhana yaitu kaca benda yang telah berisi hapusan suspensi eritrosit 10% golongan darah 0 , diinkubasi dengan serum kelinci anti eritrosit, kemudian dengan 1/10 serum pasien ataupun serum kelola. Akhirnya dibubuhi dengan konyugat serum kelinci anti IgG. Kalau yang hendak diteksi FR dari klas IgA tentu saja digunakan konyugat serum kelinci anti IgA. Adanya IgG-FR dalam jumlah besar justru membawa implikasi yang lebih serius dibanding IgM-FR. Para ahli menemukan IgG-FR dalam 60% serum pasien reumatoid vaskulitis dan hanya 9% pada pasien AR. Ditemukan hubungan kuat antara menurunya kadar IgG-FR dan respons pengobatan dari vaskulitis. Evaluasi kompleks imun (IgG-FR) yang dideteksi dengan Clq dan FR berkorelasi lemah dengan gambaran klinik yang didapat, demikian juga IgM dan IgA-FR Titer IgG-FR yang tinggi, dikaitkan dengan kejadian vaskulitis nekrotikan.dan justeru membawa implikasi yang lebih serius dibanding IgM-FR. Faktor reumatoid IgA. Mengenai antibodi dari klas IgA, di samping dengan ca,ra tersebut di atas, juga dapat



-



ditunjukkan dengan cara imuno-elektroforesis dan irnunoabsorbsi kuantitatif. Di samping terdapat dalam serum,juga dapat ditemukan dalam saliva. Kepentingan pemeriksaan antibodi ini masih dipertanyakan, karena itu belum dapat dilakukan secara rutin, namun faktor ini belum banyak dipelajari karena dipertanyakan nilai kliniknya. Koopman dkkmenemukan bahwa polimer IgA-FR dibuat oleh sel-sel plasma sinovial secara in vitro dan produksinya relatif tidak sensitif terhadap efek stimulasi dari zat-zat mitogenik. Kenyataan ini menunjukkan perbedaan yang jelas antara sistesis IgA-FR dan IgM-FR. Dalam ha1 ini dipertanyakan apakah perbedaan itu mempunyai arti penting secara klinik pada pasien AR. Faktor reumatoidIgE. Faktor ini hanya ditemukan dalam jumlah kecil (50-600 nglcc). Zuraw dkk menemukan peningkatan kadar faktor ini pada 18 dari 20 pasien AR seropositif. Karena kompleks imun IgE dapat melepaskan histarnin dam mediator-mediator lainnya dari sel-sel mastosit maka kemungkinan bahwa faktor ini mungkin berperanan dalam memicu terjadinya vaskulitis reumatoid dengan meningkatkan deposit kompleks IgG dalam dinding pembuluh darah.



Cara yang paling mudah dalam mengukur IgM-FR ialah teknik aglutinasi yaitu cara non imunologik menggunakan lateks dan cara imunologik menggunakan sel darah biri-biri. Baik lateks ataupun sel darah biri-biri ini dimaksudkan sebagai perantaralamboseptor yang memungkinkan pemunculan ikatan antigen antibodi. Untuk mendapatkan konsistensi hasil pemeriksaan maka perlu digunakan gabungan serum positif h a t dan serum positif lemah yang telah diketahui titernya sebagai kontrol kualitas internal. Idealnya ialah merujuk dua kontrol sera dari WHO sehingga pengukurannya dapat diseragarnkan dalam hitungan unit internasional.



Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit otoimun termasuk di dalamnya kelompok penyakit reumatik otoimun seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE), Rheumatoid arthritis (RA), sindrom Sjogren dan sebagainya. Proses patologik yang terjadi berkatan erat dengan adanya kompleks (oto)antigen (0to)antibodi yang keberadaannya dapat menimbulkan berbagai masalah yang seius. Perkembangan yang pesat terhadap deteksi antibodi membawa pengaruh terhadap fungsi pemeriksaan antibodi.



Adanya antibodi termasuk otoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis maupun evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan. Menjadi suatu pertanyaan sejauh mana peran pemeriksaan otoantibodi atau antibodi secara umum dalam proses patogenik penyakit reumatik. Pembentukan otoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan terdapat kekacauan dalam sistem toleransi imun dengan sentralnya pada T-helper dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi otoantigen, kemiripan atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactivepeptide terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklcnal dan sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan ini semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan sernakinbertambahnya usia seseorang. Otoantibodi relatif mudah ditemukan pada seseorang tanpa disertai penyakit otoimun. Tentunya ha1 tersebut hams ditunjang oleh sensitivitaspemeriksaan labaoratoriurn yang tinggi. Apabila demikian maka otoantibodi dapat ditemukan secara universal sebagai mekanisme normal di dalam badan terhadap produk sel. Dengan kata lain otoantibodi dapat merupakan ha1 fisiologik. Dari sudut pemeriksaan laboratorium, adanya anggapan demikian menimbulkan dua ha1 yang dapat menjadi hambatan dalam terapan imunologik klinik. Dasarnya adalah, pertama, otoantibodi dapat ditemukan dalam serum orang normal tanpamanifestasi penyakit. Umurnnya otoantibodi tersebut berada dalam titer rendah dan memiliki afinitas buruk terhadap antigen yang berkesuaian, serta sebagian besar tergolong imunoglobulin M. Kedua, deteksi otoantibodi pada umumnya memerlukan data ernpink dalam ha1 ambang batas nilai positif. Dengan kata lain apabila nilai terukur berada di atas ambang tersebut baru dikatakan memiliki kemaknaan klinis. Umumnya otoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit. Oleh karenanya, lebih baik otoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi. Kompleks (oto)antigen dan otoantibodilah yang akan memulai rangkaian penyakit otoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah otoantibodi baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik otoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya. Otoantibodi yang terbentuk terhadap suatu antigen dapat dimiliki oleh sejumlah penyakit yang berbeda dan yang demikian itu dikenal sebagai antibodi yang tidak spesifik. Salah satunya yang dapat dikelompokkan pada



PENIEW(SAAN CPR. FAlCTOR REUMATOID. AUTOANllEODl DAN KOMPLEMEN



otoantibodi ini adalah anti nuclear antibody (ANA). Ditemukannya satu jenis antibodi terhadap satu jenis penyakit reumatik otoimun saja merupakan harapan dari banyak ahli. Narnun ha1 ini masihjauh dari kenyataan karena adanya tumpang tindih berbagai penyakit yang mendasarinya, serta besarnya kemaknaan klinis suatu otoantibodi. Sayangnya disinilah letak kebanyakan keterbatasan pemeriksaan otoantibodi. Antibodi Antinuklear (ANA) Antinuklear antibodi merupakan suatu kelompok autoantibodi yang . - spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, diternukan pada connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, mixed connective tissue diasease (MCTD) dan sindrom sjogren's primer. ANA pertama kali ditemukan oleh Hargraves pada tahun 1948 pada sumsum tulang pasien SLE. Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitasANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Rol SS-A dan LaISS-B.ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.Dengan pemeriksaan yang baik, 99% pasien SLE menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68% pada pasien sindrom Sjogrens dan 40% pada pasien skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun. Antibodi terhadap DNA (Anti dsDNA) Antibodi terhadap DNA dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif terhadap DNA natif (double stranded DNA).Anti dsDNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan prognostik. Kadar anti dsDNA yang rendah ditemukan pada sindrom Sjogrens, artritis reumatoid. Peningkatan kadar anti dsDNA menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit. Pada SLE,anti dsDNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktivitas penyakit SLE. Pemeriksaan anti dsDNA dilakukan dengan metoderadioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae immunofluoresens. Antihiston (Nukleosom) Antibodi antihiston merupakan suatu antibodi terhadap komponen protein nukleosom yaitu kompleks DNAprotein (suatu substruktur dari inaktif kromatin transkripsi). Potein histon terdiri dari Hl,H2A,H2B,H3 dan H4.Antibodi ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan ELISA, indirect immuno~uoresenceatau imunoblot. Pada 50-70% LES terdapat antibodi antihiston terutarna terhadap protein H1, H2B diikuti H2A, H3 serta H4, dan biasanya berhubungan anti dsDNA.Antibodi inijuga ditemukan pada lupus induksi obat dan berhubungan dengan anti ssDNA. Antibodi antihiston juga ditemukan dengan kadar yang rendah pada artritis reumatoid, artritis reumatoid juvenile, sirosis bilier



primer, hepatitis autoimun, sklerodenna,Epstein Barr virus, penyakit Chagas, schizofrenia, neuropati sensorik, gammopati monoklonal dan kanker. Anti-Ku Anti-Ku adalah suatu antibodi terhadap antigen Ku yang terdapat pada kromatin 10s. Anti-Ku terdapat pada scleroderma-polymyositisoverlap syndrome.Anti-Kujuga ditemukan pada 20-40% serum pasien LES, > 20% pada pasien hipertensi pulmonal primer dan > 50% serum pasien penyakit Graves. Anti snRNP Anti snRNP adalah suatu auto antibodi terhadap partikel small nuclear ribocleoprotein dari RNA. Anti-Sm dan anti U1 snRNP tennasuk golongan anti snRNP. Anti U1 snRNP memiliki hubungan klinis sebagai petanda untuk MCTD dan dijumpai 30-40% pasien SLE.Anti Sm mempunyai spesifisitas yang tinggi terhadap SLE (spesifisitas 99%),walaupun hanya ditemukan pada 20 -30% pasien SLE. SS-Alanti Ro Antibodi ini mempuyai spesifisitas yang berbeda terhadap partikel ribonucleoproteinyaitu partikel ribonucleoprotein 60 kD dan 52 kD. Antibodi Ro ditemukan pada 40-95% sindroma Sjogren dengan manifestasi ekstraglandular (keterlibatan neurologis, vaskulitis, anemia, limfopenia, trombositopenia) dan 40% pasien SLE. SS-Blanti La Targen antigen oleh antibodi ini adalah partikel ribonucleoprotein 47 kD yang mempunyai peranan dalarn proses terminasi transkripsi RNA polimerase 111. Antibodi ini dijumpai pada 80% pasien sindroma Sjogren, 10% pasien SLE'&-n 5% pasien skleroderma



Scl70 atau Anti Topoisomerase 1 Topoisomerase 1 merupakan antigen yang terdapat dalam sitoplasma.Anti topoisomerase 1terdapat pada 2240% pasien skleroderma dan 25-75% pasien sklerosis sistemik.Secara umum anti tropoisomerase 1merupakan faktor pediktor untuk keterlibatan kulit yang difus, lama penyakit atau hubungan dengan kanker, fibrosisparu, timbulnya parut (scar)pada jari jari dan keterlibatan jantung. Antisentromer Antibodi antisentromer mempunyai target pada proses mitosis. Antisentromer ditemukan pada 22-36% pasien sklerosis sistemik.Antisentromer mempunyai korelasi yang erat dengan fenomena Raynauds, CREST (Calcinosis, Raynauds phenomenon, esophageal dysmotility, sclerodactily dan telengiectasia)



-



PEMERIKSAANKOMPLEMEN Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik.Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai mediatoryang aktif untuk menghancurkA antigen tersebut. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari & 20 protein palasma dan bekerja secara berantai (sevamplifying) seperti model kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis: Komplemen sudah ada dalam serum neonatal, sebelum dibentuknya IgM. Dalam mobilitas elektroforesis,termasuk kelompok alfa dan beta globulin. Komplemen dihasilkan terutama oleh sel hati dan beredar dalam darah sebagai bentuk yang tidak aktif (prekursor), bersifat termolabil. Pengaktifan, berlangsung kelalui dua jalur, yaitujalur klasik (imunologk)danjalur alternatif (nonimunologik). Kedua jalur berakhir dengan lisis membran sel atau komplek Ag-Ab. Jalur klasik diprakarsai oleh :CIq, Clr, Cls, C4 dan C2. Sedangkan jalur alternatifnya dicetuskan oleh properdin, faktor B, faktor D dan ~ 3 . Terminal penghancur kedua jalur tersebut ialah C5-9. Aktivasi ini, masih diimbangi oleh beberapa protein pengatur yaitu inhibitor C1, inaktivator C3b, protein pengikat C4, dan faktor H. sebagai konsekuensi biologik dari aktivitas membranolisis ini dilepaskan berbagai subkomponen dari beberapa komponen yaitu: Aktivitas kemotaktik oleh C3a, dan Anafilatoksin oleh C3a clan C5a, yang melepaskan histamin dari basofil ataupun mastosit dan seritinin dari platelet. Aktivasi seperti kinin oleh C2 dan C4, yang bekerja meningkatkan permebilitas vaskular dalam sisteh arnplikasi humoral Memacu fagositosis oleh C3b



Komplemen clq Clr CIS CI-INH C4



Penyaklt SLE, glomerulonefritis, poikilodema kongenital SLE, glomerulonefritis, lupus like syndrome SLE SLE,lupus diskoid SLE,rheumatoid vasculitis,dermatomyositis.lgA



nephropathy, subacute sclerosing panecephalitis.sclerodema,sjogrens



C2



syndrome,grave disease SLE, discoid lupus, polymyositis, HenochSchonlein purpura,Hodgkins disease,vasculitis,glomerulonefritis,hypog



C3 C5 C6



C7 C8 C9



ammaglobulinemia Vasculitis, lupus like syndrome. glornerulonefritis SLE, infeksi Neisseria infeksi Neisseria SLE, rheumatoid arthritis, Raynauds phenomenon, sclerodactyly, vasculltis, infeksi Neisseria SLE ,infeksi Neisseria infeksi Neisseria



Fagositosis dapat terjadi terhadap kompleks AgAb-C3b, karena pemilikan reseptor C3b pada sel neutrofil, makrofag, trombosit dan sel B. ha1 ini memeperbesar bangunan ikatan kompleks tersebut . sehingga lebih mempermudah pengenalan benda asing tersebut yang akhimya mempercepat aksi pembersihan. Dengan demikian C3b mempunyai efek ganda yaitu di samping sebagai trigger dalam menggiring proses penghancuran melalui jalur alternatif, juga sebagai opsonin dalam memacu proses fagositosis. Konsentrasi C3 dan C4, ditemukan meningkat dalam cairan saku gusi dari gingiva yang meradang. Jadi komplemen mampu menyingkirkan kuman setelah bergabung dengan antibodi. Pada SLE, kadar C 1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus kutaneus normal.Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada pasien dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih dahulu dibanding gejala klinis.



REFERENSI Breedveld F. New Insight in the pathogenesis of RA. J. Rheumatol 25; 1998: 3-7. Cohen A S. Laboratory diagnostic procedures in the rheumatic diseases. Gmne & Stratton, Inc. Sidney, Tokyo 1985. Dunne J. V, Carson DA, Spiegelberg H, dkk. IgA Rheumatoid factor in the sera and saliva of patient, with RA and Sjogren syndrom. Ann. Rheum Dis. 38; 1979:161. Edmonds J. Immunological Mechanism and Investigations, in Rheumatic Disorders Med Int. 1985:896-900 Feltkamp TEW. Immunopathogenese van Rheumatoide arthritis. Het Medischyaar 1981. Utrech : Scheltme & Holkema, 1980: 452-464. Klein F, Bronsveld W, Norde W, dkk. A modified Latex Fixation Test of the detection of Rheumatoid factors. J Clin Path 1979; 32: 90. H H Chng. Laboratory test, in rheumatic diseases Singapore med J. 1991; 32: 272-275. Klippel JH, Crofford LJ, Stone JH, Weyand CM in Primer on Rheumatic Disease 12Ih ed,Atlanta,Arthritis Fondation 2001. Kalim H, Handono K, Arsana PM ed in Basic Immuno Rheumatology, Malang, Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 200 Maddison, P J. the use of the laboratory in diagnostic rheumatology. Proc 4Ih Asean congress of rheumatology Singapore 1993: 117-122. Monestier. M, Bellon B, Manheimer dkk, Rheumatoid factor Ann N Y Acad. Sc 475; 1986: 107. N.G. Suryadhana. dkk Membandingkan hasil lateks dan tes hemaglutinasi dalam diagnosis penyakit reumatoid arthritis. Kopapdi V, 1981: ha1 1675-1691. Ruddy S, Harris ED, Sledge CB, Budd RC, Sergent JS in Kelleys Textbook Of Rheumatology 6'h ed,Philadelphia,WB saunders Company,2001. Roitt 1. Essential Immunology. Oxford: Blackwell Science. 1997: 399-405 Rose NR. The use of autoantibodies. In. Peter JB, Shoenfeld Y, eds: Autoantibodies. Elsevier Sciences B.V. 1996: xxvii-xxix



PEMEWWAN CPR,FAKTOR REUMATOID,IA -



DAN KWWUMW



Suryadhana N G. Pemeriksaan laboratorium pada penyakit sendi, bull Rheumatol ind. 1994; 1: 7-1 1. Suryadhana N G clan Nasution A R. Mekanisme dan pemeriksaan imunologi pada penyakit sendi. MKI 1993; 43: 24 - 29. Suryadhana. dkk Hubungan titer FR dengan keaktifan penyakit. Kopapdi VI, Jakarta 1984 page 2040-2044 Siegert CE, Daha MR, Tseng CM, Coremans IE, Es LA van, Breedveld FC. Predictive value of IgG autoantibodies against C l q for nephritis in systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis 1993; 52: 851-6. Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA in Current Medical Diagnosis & Treatment 43' ed, Lange Medical Books/McGiawHi11,2004.



2471



Tighe H dan Carson DA. Rheumatoid factors. Dalam : Kelley's. Textbook pf rheumatology. WB. Saunders Co. Tokyo. 1997 : p 24 1-249 Tan E M. Role of autoantibodies: Diagnostic markers, immune system reporters and initiator of pathogenesis. Proceeding 9th APLAR Congress. Beijing: Chinese Rheumatology Association. 2000: 10-19. Yanossy. G, Duke 0.Poultier L.W dkk. RA : A Disease of T Lymfhosyte I Macrophage immunoregulation Lancet 2; 1981:839.



PEMERIKSAAN PENCITRAAN DALAM BIDANC REUMATOLOCI Zuljasri Albar



PENDAHULUAN Teknik pencitraan dapat membantu penegakan diagnosis, memungkinkan penilaian aktivitasiberatnya penyakit, distribusi penyakit, respons terhadap pengobatan secara obyektif, menilai komplikasi dan kelainan ekstra-artikuler serta meningkatkan pemahaman bam tentang proses penyakit. Beberapa pemeriksaan pencitraan yang penting dalam bidang reumatologi ialah foto polos, tomografi, computerizedtomography (CT-scan), magnetic resonance imaging (MRI), ultrasound, radionuclide imaging, artrografi, pengukuran densitas tulang dan angiografi. Sangat diperlukan pengetahuan dasar tentang keuntungan dan keterbatasan pemeriksaan di atas, sehingga dapat diketahui pemeriksaan mana yang paling tepat dan paling cost-effective. Di bawah ini akan dibicarakan teknik pencitraan dasar dengan melihat aspek spatial dan resolusi (yang menentukan struktur mana yang dapat dilihat dengan baik), dosis radiasi terhadap pasien, kemudahan didapat, tingkat keahlian yang diperlukan untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan dan pemakaian spesifik dalam menilai keluhan dan gejala muskuloskeletal.



FOTO POLOS Pemeriksaan foto polos mempakan titik tolak sebagian besar pemeriksaan pencitraan penyakit-penyakit reumatik walaupun mungkin setelah itu akan dilakukan pemeriksaan MRI.Biayanya murah dan resolusi spatial tinggi, sehingga detil trabekula dan erosi kecil tulang dapat dilihat dengan baik. Jika diperlukan, resolusi dapat ditingkatkan dengan teknik pembesaran. Resolusi kontrasnya memang tidak sebaik CT-scan atau MRI. Keterbatasan ini terutama



dirasakan jika kita ingin mengevaluasi jaringan lunak. Meskipun foto polos mempakan sarana yang berguna untuk menilai pengamh massa jaringan lunak terhadap tulang yang berdekatan atau untuk mendeteksi kalsifikasi dalam jaringan lunak, teknik ini tidak cocok untuk mengevaluasi jaringan lunak. Dosis radiasi yang dihasilkan pada pemeriksaan struktur perifer seperti tangan dan kaki relatif rendah, sehingga pemeriksaan serial dapat dilakukan tanpa hams kuatir terhadap radiasi yang berlebihan. Dilain pihak, pemeriksaan terhadap struktur sentral seperti vertebra lumbal dan bagian lain tubuh mengakibatkan radiasi dosis tinggi terhadap pasien. Kedekatan dengan kelenjar kelamin dan sumsum tulang meningkatkan potensi timbulnya efek yang merugikan terhadap pasien. Sedapat mungkin daerah panggul perempuan hamil atau yang masih dapat hamil tidak terkena radiasi. Demikian juga radiasi terhadap anakanak hendaklah diusahakan seminimal munglun. Jikapada pasien ini memang diperlukan pemeriksaan radiologii, ahli fisika radiasi &pat menghitung dosis radiasi minimum yang diperlukan untuk pemeriksaan pencitraan. Prinsip dasar ini berlaku untuk semua jenis pemeriksaan pencitraan. Pemeriksaan radiologi konvensional mudah didapat dan menyenangkan. Tambahan lagi, pengetahuan tentang kelainan radiologi (konvensional)pada bermacam-macam penyakit reumatik sudah banyak diketahui dan sudah tersebar luas.



Teknik ini sangat berguna untuk pemeriksaan daerah dengan anatomi yang kompleks, dimana struktw yang berhimpitan akan mengaburkan gambaran anatomi. Biayanya harnpir sarna dengan CT-scan. Resolusi struktur



PEMEW(SAAN PENCITRAAN DALAM BIDANG REUMAMLOGl



tulang sedikit lebih baik, sedangkan visualisasi jaringan lunak jauh lebih buruk. Dosis radiasi lebih tinggi daripada CT-scan. Dalam praktek, teknik ini telah digantikan oleh CT-scan.



COMPUTED TOMOGRAPHY



Meskipun relatif mahal, CT-scan lebih murah daripada MRI. Resolusi spatial lebih baik daripada MRI, tetapi lebih buruk daripada foto konvensional. CT-scan dapat memperlihatkan kelainan jaringan lunak lebih baik daripada foto konvensional, walaupun tidak sebaik MRI. CT tersebar luas dan banyak dokter dapat membaca hasil fotonya. CT-scan merupakan teknik yang sangat baik untuk mengevaluasi penyakit degeneratif diskus intervertebralis dan kemungkinan herniasi diskus pada orang tua. Penekanan tulang pada kanalis spinalis dan foramen intervertebralis lebih mudah dievaluasi daripada MRI. Mielografi CT dan CT-scan dengan bahan kontras intravena merupakan teknik tomografi lain yang digunakan untuk mengevaluasi penyakit diskus intervertebralis dan kelainan vertebra lain. MRI lebih disukai sebagai pilihan kedua-setelah foto polos-untuk menyelidiki penyakit diskus intervertebralis,tetapi CT-scan merupakan alternatif yang baik dan mungkin bermanfaat pada situasi di mana keterangan lebih lanjut tentang osteofit sangat diperlukan. CT-scan juga bermanfaat untuk mengevaluasi struktur di daerah dengan anatomi yang kompleks di mana struktur yang saling berhimpitan menyulitkan pandangan pada foto konvensional. Misalnya koalisi talokalkaneus yang tidak dapat dilihat pada foto konvensional, sakroilitis (terutama yang disebabkan infeksi) dan kolaps kaput femoris akibat osteonekrosis yang memerlukanjoint replacement. Sendi sternoklavikular yang sangat sulit dilihat dengan foto konvensional, cukup jelas terlihat dengan CT-scan. Dosis radiasi CT-scan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan satu foto konvensional pada daerah yang sama. Tetapi dosis radiasi ini sebandingjika diperlukan beberapa foto konvensional pada satu daerah. Akibatnya, dosis radiasi lebih rendah daripada tomografi konvensional pada banyak keadaan. Berhubung sejumlah penyakit reumatik berkaitan dengan kelainan paru-paru, cukup beralasan bahwa pemeriksaan CT-scan dengan resolusi tinggi pada paru-paru dapat memperlihatkan detil penyakit yang tidak dapat dilihat dengan CT-scan irisan tebal. Terlihatnya infiltrat 'ground glass' menunjukkan proses aktif yang mungkin memberikan respons terhadap pengobatan.



MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI)



MRI membawa keuntungan besar bagi pencitraan muskuloskeletal karena kesanggupannya memperlihatkan



struktur jaringan lunak yang tidak dapat diperlihatkan oleh pemeriksaan radiologi konvensional. Teknik ini memperoleh informasi struktur berdasarkan densitas proton dalam jaringan dan hubungan proton ini dengan lingkungan terdekatnya. MRI dapat memberi penekanan pada jaringan atau status metabolik yang berbeda-beda. Dengan perkataan lain, pencitraan yang berbeda dapat diperoleh dari tempat anatomi yang sama dengan mengubah parameter tertentu. MRI relatif lebih mahal daripada pemeriksaan pencitraan lain, terutama karena harga peralatan dan waktu yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan. Di masa depan, perlu dipertimbangkan pengurangan sekuens pencitraan sehingga dapat menurunkan biaya pemeriksaan. Juga perlu dikembangkan sekuens pencitraan yang lebih cepat, yang dapat mengurangi waktu dan biaya MRI di samping memungkmkanstudi dinamika gerakan sendi. MRI bebas dari bahaya ionisasi akibat radiasi, suatu keuntungan besar dalam memeriksa bagian sentral tubuh di mana pemeriksaan radiologi menimbulkan dosis radiasi yang tinggi. Meskipun demikian, ada juga beberapa bahayanya. Medan magnet yang kuat dapat menggerakkan obyek metal seperti logam asing dalam mata, menyebabkan gangguan alat pacu jantung, memanaskan bahan logam sehingga menimbulkan luka bakar dan menarik bahan logam kedalam magnet. Bahan logam yang berdekatan dengan medan magnet juga dapat mempengaruhi kualitas pencitraan MRI. Karena itu, operator MRI hams menyaring pasien dan pengunjung lain dengan teliti. Kadang-kadang pasien kurang cocok dengan gadolinium, suatu bahan kontras yang digunakan pada pemeriksaan MRI. Akhirnya, pasien perlu dilengkapi dengan proteksi telinga karena pengaktifan medan magnet menimbulkan bising. Struktur jaringan lunak sendi seperti meniskus dan ligamen krusiatum lutut dapat diperlihatkan dengan jelas. Jaringan sinovium juga dapat dilihat, terutama dengan menggunakan bahan kontras paramagnetik intravena seperti gadolinium. Demhan juga kelainan lain seperti ehsi sendi, kista poplitea, ganglioma, kista meniskus dan bursitis dapat dilihat dengan jelas dan intergritas tendo dapat dinilai. MRI makin populer untuk mengevaluasi ligamen antara tulang-tulang karpal dan fibrokartilago trianguler. Kalsifikasijaringan ikat terlihat tidak sebaik foto biasa karena pancaran sinyal yang rendah. Mula-mula diduga bahwa tulang yang juga mempunyai pancaran sinyal yang rendah akan menimbulkan problem. Tetapi karena sumsum tulang yang mempunya sinyal tinggi, MRI menjadi sangat sensitif untuk mendeteksi kelainan tulang. Dalam praktek, mikrofraktur akibat trauma atau stres sering disebut bone bruises tidak dikenal sebelum MRI. Sekarang, keberadaan mikrofraktur ini penting untuk diketahui. Sebagai contoh, kebanyakan nyeri yang menyertai robekan meniskus akut mungkin disebabkan oleh mikrofraktur yang ditemukan bersama-sama. Ketika mikrofraktur menyembuh, nyeri



-



hilang walaupun robekan meniskus masih ada. Penemuan ini mempunyai pengaruh penting dalam pengobatan. Ini juga membantu menerangkan mengapa MRI lutut pada usia tua sering menunjukkan robekan meniskus yang asimtomatik. Mikrofrakturjuga mempunyai hubungan erat dengan cedera ligarnen. Setelah foto polos, MRI merupakan cara yang bagus untuk mempelajari tulang belakang dan isinya seperti pada kasus tersangka hemiasi diskus intervertebralis terutama pada pasien muda karena tidak menimbulkan ionisasi. MRI merupakan sarana terbaik untuk mendiagnosis osteonekrosis. Osteonekrosis dapat menyerupai penyebab lain nyeri sendi, terutama sendi panggul. Pada masa awal penyakit, foto polos tidak menunjukkankelainan. MRI juga merupakan cara terbaik untuk mengevaluasi luasnya neoplasma jaringan lunak dan tulang, dan telah menggantikan CT-scan dalam ha1 ini, meskipun foto polos tetap merupakan cara terbaik untuk mendiagnosis tumor tulang. CT-scan mungkin juga bermanfaat dalam mengidentifikasikarakteristikkalsifikasi matriks yang akan membantu diagnosisjenis tumor. MRI sensitif terhadap adanya infeksi tulang karena perubahan sinyal sumsum tulang. Ini merupakan pilihan yang baik untuk mengevaluasi daerah tertentu yang diduga terkena osteomielitis, meskipun radionuclide bone scan lebih disukai untuk penilaian proses hematogenik yang multifokal. MRI juga dapat mengidentifikasi abses jaringan lunak. Kelainan otot seperti robekan dan memar dapat diidentifikasi dengan MRI. Aktivitas masing-masing otot selama gerakan sendi dapat dipelajari dengan memperhatikan perubahan sinyal yang terjadi selama aktivitas otot. MRI merupakan pemeriksaan terpilih untuk mengevaluasi osteokondritis disekans jika kita ingin mengetahui apakah sebuah hgmen tulang terlepas atau tidak. Perubahan rawan sendi dapat dilihat dengan MRI. Tetapi hams diingat bahwa penemuan kelainan minimal hanya bermanfaat secara klinis jika ha1 ini mengubah pengobatan yang diberikan. Pengobatan medikamentosa biasanya diteruskan sampai diperlukan penggantian sendi, yang dapat didiagnosis dengan foto polos biasa. Pada keadaan tertentu, MRI merupakan pilihan pertarna yang cost efective dalam menilai sendi lutut di mana diduga terdapat kerusakan internal, karena artroskopi terbukti tidak perlu pada sebagian besar kasus.



Tehik ini merupakan cara yang mudah untuk melihat pola keterllbatan sendi dan keadaan aktivitas penyakit. Sintigrafi setelah pemberian intravena beberapa bahan seperti 99m teknisiurn metilen difosfat (99mTc MDP) untuk sken tulang, 99mTc sulfur koloid untuk sken sumsum tulang, galium sitrat (67Ga sitrat) dan leukosit yang diberi label dengan



Indium (111In-labeled WBCs) berguna untuk mengevaluasi berbagai macam kelainan muskuloskeletal. Biaya pemeriksaannya hampir sama dengan CT-scan dan dosis radiasinya sebanding dengan pemeriksaan CT-scan abdomen. Sintigrafi cukup sensitif untuk menemukan banyak proses penyakit, dan seluruh tubuh dapat diperiksa sekaligus. Tetapi t e h i k ini tidak spesifik karena sejurnlah proses penyakit dapat menyebabkan akumulasi radionuklid. Jika terdapat daerah dengan uptake yang meningkat, sering diperlukan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan radiologik untuk meningkatkan spesifisitas guna mengidentifikasi jenis kelainan. Pada situasi Minis di mana kelainan tulang tidakjelas, sken tulang mungkin berguna untuk menyingkirkan penyakit. Sendi yang terkena oleh proses inflamasi atau degeneratif menunjukkan uptake yang meningkat dan dapat memetakan luas penyakit dalam 1 kali pemeriksaan. Secara umum ini tidak selalu berguna, tetapi mungkin bermanfaat pada keadaan tertentu. Misalnya pada pasien dengan artritis inflamasi dan kelainan yang luas pada pemeriksaan radiologik, sintigrafi dapat membantu menentukan daerah di mana terdapat inflamasi aktif. Sken tulang merupakan pilihan yang masuk aka1 untuk penemuan dini osteonekrosis jika tidak ada MRI. Sken tulang juga dapat mendeteksi cedera akibat stres seperti avulsi tendo, fraktur akibat stres, shin splints yang kadangkadang menyerupai keluhan artritis.



USG memberikan informasi unik dengan menimbulkan gambaran berdasarkan lokasi interface akustik dalam jaringan. Relatif murah, mudah didapat dan bebas dari bahaya radiasi. Resolusi spatial sama dengan CT-scan dan MRI, bergantung kepada transducer. Tetapi resolusi dibatasi oleh dalamnya jaringan yang diperiksa. Resolusi jauh lebih baik pada jaringan superfisial. Salah satu kekurangan USG ialah ketergantungannya kepada operator. Seorang peneliti tidak selalu dapat mengulang hasil pemeriksaan peneliti lain. Karena USG tidak memiliki gambaran potong lintang yang lengkap untuk menentukan orientasi, sulit bagi orang yang tidak hadir pada waktu pemeriksaan dilakukan menginterpretasikan hasil pemeriksaan orang lain. Pada beberapa pusat pemeriksaan telah terbukti bahwa USG dapat mendeteksi robekan rotator cufdengan tepat. Hasilnyajuga baik dalam mengevaluasipenumpukan cairan seperti efusi sendi, kista poplitea dan ganglioma, sehingga dapat dipakai untuk menuntun aspirasi cairan sendi maupun ditempat lain. Tendo yang terletak superfisial seperti tendo Achiles dan patela dapat diperiksa untuk kemungkinan adannya robekan. USG sangat baik untuk membedakan tromboflebitis dengan pseudotromboflebitis. Dengan teknik real-time



dan penekanan, trombosis vena dan kista poplitea dapat diidentifikasi. USG tampak menjanjikan untuk evaluasi osteoporosis. Hantaran gelombang melalui tulang memberikan informasi tentang struktur mikrotrabekula yang berkaitan dengan kekuatan tulang, tetapi tidak dapat dinilai langsung dengan teknik radiografi. Informasi ini salingmelengkapi dengan informasi tentang komposisi mineral tulang dalam mengevaluasi risiko ffaktur pada pasien. USG juga telah dipakai untuk menilai sifat permukaan rawan sendi.



ARTROGRAFI Pada artrografi diperlukan suntikan bahan kontras kedalam sendi, diikuti oleh pemeriksaan radiologi. Pada artrografi konvensional, ruang sendi diisi dengan bahan kontras yang mengandung yodium dan kadang-kadarig udara. Biaya pemeriksaan lebih mudah daripada CT-scan atau MRI dan dapat dilakukanjika tersedia fluoroskopi. Tetapi kenlungkinan masuknya bakteri kedalam sendi atau adanya reaksi terhadap bahan kontras atau anestesi lokal hams dipertimbangkan, meskipun komplikasi ini sangatjarang. Salah satu alasan utama melakukan artrografi ialah untuk memeriksa struktur dalam sendi seperti meniskus sendi lutut yang tak dapat dilihat dengan pemeriksaan radiologi konvensional. Sekarang struktur ini sudah dapat dilihat secara non-invasif dengan MRI. Meskipun demikian, masih ada ha1 tertentu yang memerlukan artrografi. Artrografi konvensional menggunakan bahan kontras yang mengandung yodium, baik sendiri maupun dikombinasikan dengan udara dapat dengan tepat mendeteksi robekan total rotator cufl CT-scan dapat ditambahkan pada artrogram udara kontras (artrografi CT), memberikan hasil yang sangat baik untuk mempelajari labrurn glenoidalis yang sebanding dengan atau mungkin lebih baik daripada MRI. Artrogram lutut dapat memastikan diagnosis kista poplitea dan memungkinkan dilakukannya suntikan steroid pada waktu yang sama. Teknik ini merupakan pengganti yang tepat untuk mengevaluasi meniskus pada pasien klaustrofobia atau pasien yang ukuran badannya menyebabkan pemeriksaan MRI tidak mungkin dilakukan. Artrografi pergelangan tangan sangat baik untuk mengevaluasi integritas fibrokartilago trianguler, ligamen antara os skafoid dan os lunatum serta ligamen antara os lunatum dan os trikuetrum. Dalam keadaan ini sebagian besar klinikus lebih menyukai artrografi daripada



MRI. Artrografi MRI dilakukan dengan mengembangkan sendi bahu memakai bahan kontras larutan encer Gadolinium. Teknik ini telah dipelajari dengan mendalam dan mungkin meningkatkan ketepatan diagnosis robekan labrum glenoidalis dan rotator cufl



Artrografi dengan kontras digunakan untuk memastikan lokasi jarum intraartikuler setelah aspirasi cairan sendi dari sendi yang diduga terinfeksi. Artrografi merupakan satu-satunya cara yang dapat diandalkan untuk memastikan asal spesimen.



DENSITOMETRITULANG Densitometri tulang digunakan terutama untuk mengevaluasi osteoporosis. Dua teknik yang akurat dan telah dipergunakan secara luas ialah dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA) dan quantitative computed tomography (QCT). DEXA menggunakan berkas sempit sinar-X yang mengubah enersi. Sebuah reseptor yang sensitif mendeteksi fraksi sinar-X yang melintasi tubuh, yang menghasilkan profil jumlah radiasi yang didefleksikan oleh tubuh. Karena karakteristik absorpsi tulang dan jaringan lunak tidak sama pada tingkat enersi sinar x yang berbedabeda, jumlah radiasi yang diabsorpsi oleh tulang dapat dihitung. Dari hasil ini, jumlah tulang pada jalur sinar x pada setiap titik sepanjang penyidik dapat ditentukan. DEXA relatif murah dan radiasinya rendah. Jadi merupakan pilihan yang baik untuk pemeriksaan yang hams diulang-ulang. Setiap bagian tubuh dapat diperiksa. Telah dibuat nilai standar untuk vertebra lumbal dan bagian proksimal femur, yang merupakan bagian yang paling banyak dipelajari. QCT menyidik beberapa vertebra lumbal bersama-sama dengan sebuah fantom yang berisi materi yang bone-equivalent dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Dari nilai konsentrasi materi dan pengaruhnya terhadap pengurangan CT dibuat sebuah kurve standar, dan kemudian densitas tulang pada setiap lokasi yang disidik ditentukan dengan merujuk ke kurve standar. Biaya pemeriksaannya sedang dan dosis radiasi cukup rendah, meskipun tidak serendah DEXA. Keuntungan teknik ini ialah dapat mengevaluasi bagian tengah vertebra karena korteks dan bagian posterior vertebra tidak diukur. Bagian trabekular lebih cepat terpengaruh dibandingkan dengan korteks pada waktu terjadi kehilangan massa tulang.



Angiografi berguna dalam mendiagnosis penyakit reumatik di mana terdapat komponen vaskular. Pada poliarteritis nodosa, adanya aneurisma kecil yang multipel pada arteri viseral yang berukuran sedang merupakan gambaran yang penting. Pada lupus eritematosus sistemik, angiografi mungkin bermanfaat dalam mendiagnosis keterlibatan susunan saraf pusat. Biaya angiografi lebih tinggi daripada MRI dan merupakan prosedur invasif. Sebaiknya hanya dilakukan



-



pada situasi tertentu di mana cara lain tidak dapat memberikan data diagnostik yang diperlukan. Teknik pencitraan lain yang kadang-kadang dipakai misalnya: Sialografi: untuk memperlihatkanpengaruh sindrom sika terhadap kelenjar ludah dan membedakannya dengan sumbatan mekanis akibat batu kelenjar ludah. Tenografi: untuk memperlihatkan ruptur tendo atau massa akibat hipertrofi sinovium. Mielografi, radikulografi, ascending lumbar venography dan diskografi : untuk menilai nyeri pinggang atau penyakit reumatik pada vertebra serfial. Tennografi:dasarnya ialah pancaran panas infra-merah dari kulit di atas tulang dan sendi. Aktivitas sinovitis dan respons terhadap pengobatan dapat dilihat dan diukur. Teknik inijuga dapat digunakanuntuk menyelidiki aliran darah perifer yang berkurang misalnya pada fenomen Raynaud dan peningkatan aliran darah pada tulang, misalnya pada penyakit Paget.



Harnpir semua pemeriksaan pencitraan sebaiknya dimulai dengan foto polos. Sering pemeriksaan foto polos ini saja sudah cukup. Jika diperlukan informasi diagnostik lain yang mungkin akan mengubah tindakan klinis, MRI sering merupakan pilihan kedua. Dalam banyak kasus, hasil pemeriksaan MRI hams dikorelasikan dengan foto polos karena MRI tidak dapat memperlihatkan kalsifikasi atau erosi ringan pada korteks. Penelitian MRI akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sering terdapat kelainan anatomi yang tidak berkaitan dengan keluhan. Karena itu gejala klinis dan kelainan pencitraan hams dinilai bersama-sama. Pemeriksaan pencitraan sebaiknya tidak dilakukan, kecuali jika mereka mempunyai potensi untuk menjawab pertanyaan klinis. Pada kebanyakan kasus, pemeriksaan pencitraan yang biayanya murah sudah dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan klinis. Jika foto



polos bahu memperlihatkan subluksasi kaput humeri keatas dan menyentuh bagian inferior akromion, klinikus &pat memastikan tanpa pemeriksaan MRI bahwa rotator cufltelah robek dan atrofi. Foto lutut anteroposterior dan posteroanterior (fleksi) dalam keadaan berdiri baru dapat memperlihatkan kelainan jika rawan sendi sudah habis, tetapi tidak dapat memperlihatkan erosi minimal yang tampak pada MRI. Akhirnya, sangat penting bagi klinikus untuk bekerja sama dengan ahli radiologi untuk memutuskan dengan tepat apa yang diharapkan dari pemeriksaan pencitraan, lalu menetapkan pemeriksaan apa yang dipilih untuk memperoleh informasi tersebut. MRI dapat memberikan banyak informasi dari beragam struktur, sehingga pemeriksaan MRI secara mendalam mungkin tepat pada penyakit sendi yang membingungkan. Pada situasi lain, pemeriksaan MRI standar atau pemeriksaan pencitraan lain yang lebih sederhanamungkindapat memberikan informasi diagnostik yang spesifik dalam waktu yang lebih singkat dengan biaya yang lebih murah.



Bellamy N, Buchanan WW.Clinica1 evaluation in the rheumatic diseases. 1n:Koopman WJ Editor. Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology. 13Ih ed., Ba1timore:Williams and Wilkins; 1997, Vol. I, Ch. 3, p 47-70. Katthagen B-D. Ultrasonography of the shoulder. New York:Thieme Med Publ; 1990. Marcelis S, Daenen B, Ferrara MA. Peripheral musculoskeletal ultrasound atlas. Dondelinger RF editors, New York:Thieme Med Publ; 1996. Peterfy C 4 Genant HK : Magnetic resonance imaging in arthritis. In: Koopman WJ,editor. Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology. 13'h ed. Baltimore:Williams and Wilkins; 1997.p.115-49. Resnic D, Yu JS, Sartoris D.Diagnostic tests and procedures in rheumatic diseases - imaging. 1n:Kelley WN editors.Textbook of rheumatology. 5Ih ed., WB Saunders; 1997.p. 626-86. Scott Jr WW. Imaging techniques. 1n:Klippel JH, editor. Primer on the rheumatic d i ~ e a s e s l l ' ~ ed. At1anta:Arthritis Foundation;1997.p. 106-1 5. Van Holsbeeck M, Introcaso JH. Musculoskeletal Ultrasound. St. Louis:Mosby-Year Book; 1991.



Bambang Setiyohadi



Osteoporosis adalah kelainan skeletal sistemik yang ditandai dengan compromised bone strength sehingga tulang mudah fiaktur. Osteoporosis merupakan keadaan yang sering didapatkan karena setelah menopause, seorang wanita akan kehilangan hormon estrogen didalarn tubuhnya dan proses resorpsi tulang menjadi tidak terkendali dan tidak dapat diimbangi oleh proses formasi tulang. Di Amerika, 44 juta penduduknya mengalami osteoporosis atau densitas massa tulang yang rendah. Osteoporosis merupakan keadaan yang serius karena akan mengakibatkan fiaktur dan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Dianosis osteoporosis sangat mudah dilakukan, yaitu dengan cara mengukur densitas massa tulang (Bone Mineral Density, BMD) dan osteoporosis akan dapat dideteksi lebih dini sebelum fiaktur terjadi. Pengobatan osteoporosis juga tersedia lengkap saat ini yang dapat menurunkan risiko fiaktur sampai 50%. Densitometri tulang merupakan tehnik yang noninvasif yang dapat mengukur kepadatan tulang. Ada bermacam-macam tehnik densitometri mulai dari yang sederhana sampai yang canggih. Saat ini yang banyak digunakan adalah tehnik Dual X-ray absorptiometry



@=I.



Sebelum membicarakan DXA secara lebih detail, ada baiknya dibicarakan dulu berbagai tehnik densitometri secara garis besar yang meliputi teknik radiografik, single energy densotimetry, dual energy densitometry, quantitative computed tomography dan quantitative ultrasound.



TeKnik radiografik. Berkembang sebelum densitometer kuantitatif berkembang seperti saat ini. Tehnik ini membandingkan gambaran tulang pada film radiografik



yang lebih terang dibandingkan dengan sekitarnya yang lebih gelap. Pada tulang yang mengalami demineralasisi, gambarannya akan lebih gelap mendekati gambaran jaringan lunak. Walaupun dernikian, dibutuhkan kehilangan massa tulang mkinimal30% agar didapatkan gambaran yang jelas pada pemeriksaan radiologik konvensional. Karena metode ini tidak sensitif, maka dikembangkan metode pengukuran secara radiologik yaitu dengan cara absorpsiometri radiografik uotodensitometri) dan radiogrametri. Pada tehnik absorpsiometi radiografik, keabu-abuan gambaran radiografik dikalibrasi dengan menggunakan potongan alumunium atau hidroksiapatit yang berbentuk baji yang diletakkan dipermukaan film dan difoto bersama dengan obyeknya. Sedangkan tehnik radiogrametri mengukur ketebalan korteks tulang pada film, biasanya diambil tulang-tulang tangan, humerus atau radius. Yang tersering diambil adalah pada mid-metakarpal 11. Single Energy Densitometry. Tehnik ini menggunakan gelombang radiasi yang melalui lengan bawah distal dan dibandingkan antara radiasi yang dipancarkan oleh alat (radiasi insiden) dengan radiasi yang keluar setelah melalui obyek (disebut radiasi tarnsmisi) sehingga didapatkan penipisan radiasi (atenuasi) karena diserap oleh obyek tersebut. Makin tinggi mineralisasi tulang, makin besar atenuasinya. Densitas massa tulang (Bone Mineral Density, BMD) diukur dengan cara membagi Bone content (sesuai dengan atenuasi) &ngan area tulkg yang diukur. Walaupun demikian, cara ini memiliki beberapa kelemahan, misalnya : 1. Teknik ini membutuhkan isotop radioaktif sebagai sumber radiasi yang harganya mahal dan dapat menghasilkan eror pada pengukuran bila sumber tersebut diganti. Karena itu tehnik ini disebutjuga Single photon absorptiometv (SPA). 2. Teknik ini tidak praktis, karena obyek yang akan diukur harus direndam dalam air debngan tujuan untuk



-



menghilangkan absorpsi radiasi pada jaringan lunak yang akan mengganggu pengukuran densitas tulang. Oleh sebab itu, tehnik ini hanya dapat mengukur densitas tulang perifer, seperti lengan bawah distal atau tumit dan tidak dap'at digunakan untuk mengukur densitas tulang aksial. Dengan berkembangnya tehnik radiologik, maka penggunaan isotop sebagai sumber radiasi akhirnya diganti dengan sinar-X dan tehnik ini disebut Single Xray absorptiometry (SXA).



Dual Energy Absorptiometry. Menggunakan 2 energi radiasi sehingga pengaruhjaringan lunak dapat dieliminir. Semula sumber energi yang digunakan adalah isotop sehingga tehnik ini disebut Dua photon absorptiometry (DPA), kemudian sumber energinya diubah menjadi sinarX dan teknlk ini disebut DualX-ray absorptiometry (DXA). Tehnik DXA inilah yang saat ini banyak digunakan, karena dapat mengukur densitas tulang di daerah lumbal, femur proksirnal, lengan bawah, dan bahkan total body. Dengan perkembangan tehnologi, digunakan tehnik fan beam geometry yang dapat meningkatkan waktu scanning. Quantitative Computed Tomography (QCT),mempakan satu-satunya tehnik non-invasif yang dapat mengukur densitas tulang secara 3 dimensi. Hasil dari tehnik QCT adalah densitas volumetrik (dalam gram/cm3).QCT sangat baik digunakan untuk mengukur densitas tulang belakang dan sementara ini belurn dapat digunakan untuk mengukur area yang lain. Walaupun demiluan, QCT membutuhkan radiasi yang besar dibandingkandengan DXA, karena DXA hanya membutuhkan radiasi 1-5 mSv, sedangkan QCT membutuhkan radiasi sampai 60 mSv. Quantitative Ultrasound (QUS). Dengan menggunakan tehnik ultrasonografik,dapat diukur densitas tulang, tetapi terbatas pada tulang-tulang perifer, rnisalnya tumit,jari atau lengan bawah. Walaupun demikian, sampai saat ini tidak jelas, struktur tulang yang mana yang diukur dengan tehnik ini, mungkin ukuran trabekula atau ukuran kristal atau struktur lainnya. Walaupun tehnik ini sangat menjanjikan karena ukurannya yang kecil, waktu scanning yang relatif cepat dan tidak ada radiasi, tetapi presisinya buruk dan akurasinyajuga diragukan bila dibandingkan dengan tehnik sinar-X, sehingga sementara ini hanya digunakan untuk penapisan massal dan belum digunakan untuk patokan terapi.



DXA merupakan tehnik BMD yang banyak dipakai secara luas. Di Arnerika sendiri saat ini terdapat sekitar 10.000alat DXA. Di Indonesia terdapat sekitar 15 alat DXA yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan dan Makassar. DXA mempakan baku emas untuk pengukuran BMD yang dapat mengukur tulang-



tulang sentral (aksial) yang meliputi tulang belakang dan femur proksimal; maupun tulang-tulang perifer seperti lengan bawah, bahkan dapat mengukur BMD seluruh tubuh (total body). Data-data epidemiologik osteoporosis dengan menggunakan DXA juga sudah banyak dipublikasikan dan secara in vitro diketahui berkorelasi baik dengan kekuatan tulang. Tujuan pengukuran BMD adalah untuk mendiagnosis osteoporosis, memprediksi risiko fralctur dan memonitor terapi. Pada pengukuran BMD dengan DXA, akan didapatkan nilai BMD areal (dalam satuan gr/cm2),T-score dm Z-score. T-score adalah perbadingan nilai BMD pasien dengan BMD rata-rata orang muda normal dan dinyatakan dalam skore deviasi standard (SD); sedang Z-score membandingkan nilai BMD pasien dengan BMD rata-rata orang seusia pasien, juga dinyatakan dalam skore deviasi standard. Pada pengukuran BMD spinal (tulang belakang), maka semua L 1-L4 hams diukur rata-rata BMDnya, kecuali bila terdapat perubahan struktur atau artefak pada ruas vertebra yang bersangkutan. Dalam ha1 ini, gunakan 3 mas vertebra bila 4 mas tidak mungkin, atau 2 ruas bila 3 ruas tidak mungkin, tetapi tidak dapat diukur bila hanya digunakan 1 ruas vertebra. Selain itu pengukuran spinal lateral juga tidak dapat digunakan untuk diagnosis, kecuali untuk pemantauan, karena memiliki presisi yang lebih buruk dibandingkan dengan BMD spinal PA, tetapi memiliki respons yang baik terhadap pengobatan. Pada penyakit degeneratif (osteoartritis) lumbal atau adanya fraktur pada mas-mas tulang lumbal, akan menyebabkan BMDnya lebih tinggi, sehingga dalam ha1 ini mas-mas lumbal yang mengalami penyakit degeneratif atau mengalami fraktur tidak dapat ikut dinilai untuk mendiagnosis osteoporosis. Beberapa artefak lain yang juga dapat mengganggu penilaian BMD spinal adalah kalsifikasi aorta, larninektomi, fusi spinal, kontras gastrointestinal, tablet kalsium, batu ginjal atau kandung empedu, kalsifikasi pankreas, alat-alat metal yang diimplan kedalam tubuh, kancing baju, dompet, perhiasan dan lain sebagainya. Pada BMD panggul, dapat dipilih apakah akan diukur sisi kiri atau kanan, karena tidak ada perbedaan BMD yang bermakna. Dari ROI ini yang dapat digunakan untuk diagnosis adalah BMD yang terendah dari femoral neck, totalproximalfemur atau trokanter. Ward's area tidak boleh digunakan untuk diagnosis osteoporosis karena akan didapatkan hasil positif palsu, karena area Ward pada hasil DXA hanya menunjukan area kecil di leher femur yang terendah BMDnya dan tidak sesuai dengan area Ward secara anatomis. Selain itu BMD pada Wardarea memiliki presisi dan akurasi yang buruk dan tidak termasuk dalam kriteria WHO. Selain itu pengukuran rata-rata BMD panggul kiri dan kanan juga tidak perlu dilakukan, karena tidak ada data yang menggambarkan nilai rata-rata tersebut lebih baik untuk diagnosis osteoporosis.



Wanita berusia di atas 65 tahun Wanita pasca menopause berusia < 65 tahun dengan faktor risiko Laki-laki berumur 70 tahun atau lebih . Orang dewasa dengan fraktur fragilitas = Orang dewasa dengan risiko fraktur panggul, misalnya tinggi badan > 5 t l 7 in, berat badan < 127 Ib, riwayat merokok, riwayat maternal dengan fraktur panggul. Orang dewasa dengan penyakit atau kondisi yang berhubungan dengan densitas massa tulang yang rendah atau kehilangan massa tulang, misalnya hiperparatiroidisme, sindrom malabsorpsi, hemigastrektomi, hipertiroidisme dsb Orang dewasa yang minum obat-obatan yang potensial menyebabkan densitas massa tulang rendah atau kehilangan massa tulang, misalnya glukokortikoid, anti konvulsan, heparinisasi kronik dsb Setiap orang yang dipertimbangkan memerlukan terapi farmakologik untuk osteoporosis Seseorang dalam terapi osteoporosis, untuk memantau efek pengobatan Seseorang yang terbukti mengalami kehilangan massa tulang yang karena satu dan lain ha1 sehingga tidak mendapatkan terapi, walaupun sesungguhnya membutuhkan terapi .



BMD pasien - BMD rata-rata orang dewasa muda T-score = 1 SD BMD rata-rata orangdewasa muda



BMD pasien - BMD rata-rata orang seusiapasien Z-score = 1 SD BMD rata-rata orang seusia pasien



Z-score yang rendah (< -2,O) mencurigakan kearah kemungkinan osteoporosis sekunder, walaupun tidak ada data pendukung. Selain itu setiap penderita harus dianggap menderita osteoporosis sekunder sampai terbukti tidak ada penyebab osteoporosis sekunder



Bagian-bagian tulang yang diukur (Region of Interest, ROI): 1. Tulang belakang (Ll-L4) 2. Panggul - Femoral neck - Total femoral neck - Trokanter 3. Lengan bawah (33% radius), bila : - Tulang belakang danlatau panggul tak dapat diukur - Hiperparatiroidisme - Sangat obese Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T-score yang terendah yang digunakan untuk diagnosis osteoporosis



Klasifikasi Normal Osteopenia Osteoporosis Osteoporosis berat



T-score -1 atau lebih besar Antara -1 dan -2,5 -2,5 atau kurang -2.5 atau kurang damfraktur fragilitas



T-score



Risiko fraktur



Tindakan



> +1



Sangat rendah



0 sld +1



Rendah



-



-1 sld 0



Rendah



-1 sld -2,5



Sedang



7,5 mg/hari), maka terapi dapat dimulai bila nilai T-score - 1 3 atau lebih rendah. Selain itu nilai T-score yang rendah juga tidak berhubungan dengan penyebab osteoporosis, sehingga hams dilakukan evaluasi terhadap kemungkinan adanya faktor risiko osteoporosis yang mungkin membutuhkan penatalaksanaantersendiri. Setiap pasien osteoporosis harus dianggap menderita osteoporosis sekunder sampai dapat disingkirkan semua kemungkinan penyebab osteoporosis yang diderita pasien, apalagi bila didapatkan 2-score -2 atau lebih rendah. Mengapa untuk diagnosis osteoporosis digunakan T-score dan bukan Z-score ? Nilai T-score berhubungan dengan kekuatan tulang dan risiko fraktur. Bila digunakan nilai Z-score untuk diagnosis osteoporosis maka akan didapatkan banyak hasil negatif palsu walaupun terdapat fraktur fragilitas dan osteoporosis tidak akan makin meningkat dengan bertambahnya umur.



PREDlKSl RlSlKO FRAKTUR Sampai saat ini masih diperdebatkan, apakah BMD yang endah merupakan prediktor fraktur fragilitas yang penting. Beberapa faktor risiko fraktur yang lain yang juga hams diperhatikan adalah tinggi badan >5 ft 7 in, berat badan 3 bulan



Pausiartrikular 5 4 Poliartikular 2 5 IgM RF + IgM RF Artritis Sistemik Artrltis psorlatik Entesitis Lain-lain



-



Menurut kriteria ARJ yang dipakai di AS, artritis ini dibagi dalam 3 subtipe berdasarkan gejala penyakit yang berlangsung minimal terjadi selama 6 bulan Sistemik: ditandai dengan demam tinggi yang mendadak disertai bercak kemerahan dan manifestasi ekstraartrikular lainnya. Pausiartrikular ditandai dengan artritis yang mengenai sendi 5 4 Poliartrikular ditandai dengan nyeri sendi 2 5



-



Penyaklt



Krlterla



Eksklusl



Diskripsi



Artritis sistemik



Demam setiap hari Minimal selama 2 minggu Artritis Disertai satu atau lebih dari berikut ini : Bercak kemerahan yang tidak - menetap Limfadenopati, - Serositis, - hepatosplenomegali Artritis 1-4 sendi pada 6 bulan awal dibagi dalam 2 kelompok. Persisten: menyerang tidak lebih dari 4 sendi. Eksten: menyerang >4 sendi setelah 6 bulan pertama.



Menyingkirkan infeksi keganasan



Umur saat artritis. Pola artritis pada 6 bulan pertama: oligoartritisl poliartritisl tanpa artritis. Pola artritis setelah 6 bulan oligoartritis,lpoliartritisltanpa artritis. Faktor rematoid positif kadar CRP meningkat



Riwa~atkeluarga + ~soriatik, spondilitis ankilosing (HLA 827). Faktor rematoid + laki-laki HLA B27+, munculnya artritis setelah Btahun menderita artritis slstemlk



Umur saat artritis Pola artritis 6 bulan Hanya sendi besar Hanya sendi kecil Terutama ekstremitas bawah Artritis simetris Uveitis anterior Tes ANA positif HLA klas 11II faktor predeposisi Umur saat artritis Artritis simetris Tes ANA positif Uveitis akut Ikronis umur saat artritis artritis simetris tes ANA positif imunogenetik umur saat artritisl psoriatik pola artritis 6 bulan pertama hanya sendi besar terutama ekstremitas bawah sendi yang terserang khas, dan simetris. bentuk artritis : oligolpoliartritistes ANA positif uveitis anterior kronis lakut umur saat terjadinya arthritis1 entesitis pola artritis 6 bulan pertama hanya sendi besar terutama ekstremitas bawah sendi yg terserang khas, dan simetris bentuk artritis : oligolpoliartritis tes ANA positif uveitis anterior kronis lakut



-



Oligoartritis



Poliartritis RF negatif



artritis > 4 sendi pertama RF negatif



pada 6 bulan



RF positif artritis sistemik



Poliartritis RF positif



artritis > 4 sendi pada 6 bulan pertama RF positif



RF negatif arthritis sistemik



artritis psoriatik



artritis dan psoriasis dan minimal 2 gejala daktilitis, nail pitting onikolisis. dengan riwayat keluarga + psoriasis



RF positif artritis sistemik



Entesitis terkait artritis



Artritis dan entesitis artritis atau entesitis dengan gejala minimal 2 nyeri SII inflamasi spinal positif HLA 827 riwayat keluarga positif



Riwayat keluarga + psoriasis



EPlDEMlOLOGl DAN E'TIOLOGI ARJ merupakan artritis yang lebih sering dijumpai pada anak-anak, insidennya dilaporkan hanya sekitar 1% pertahunnya dengan perjalanan penyakit ARJ bervariasi, 17% berkembang menjadi artritis kronik, 20% dengan gangguan mata. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa pasien ARJ yang berlangsung lebih 7 tahun, 60% mengalami kecacatan. Prevalensi ARJ dilaporkan sekitar 1-21100.000populasi, di Rochester sekitar 111100.0001tahun dan Minnesota 351100.000ltahun.ARJ banyak menyerang anak-anak dengan tingkat umur terbanyak sekitar 4-5 tahun. Perempuan lebih banyak dengan perbandingan 3: 1. Faktor suku diduga kuat sangat terkait pada ARJ. Suku Afrika dibanding suku Amerika dan Kaukasia lebih sering terkena di Amerika. Di AS Schwartz melaporkan bahwa



ARJ lebih sering menyerang anak-anak yang lebih dewasa, khususnya pada kelompok oligo-artrikular, dengan RF positif. Etiologi penyakit ini belum banyak diketahui, diduga terjadi karena respons yang abnormal terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran imunogenetik diduga sangat kuat mempengaruhi



ARJ merupakan penyakit autoimun multisistem, yang terdiri dari beberapa kelompok penyakit dengan perbedaan klinik dan derajat penyakit. Sampai sekarang patogenesisnya belum banyak diketahui. ARJ merupakan penyakit artritis kronis heterogen yang umumnya menyerang perempuan ditandai dengan amitis kronik yaitu



ditemukannya tanda keradangan pada sinovium. Tanda adanya respons imun yai9 ditemukan autoantibodi pada pasien ARJ. Adapun autoantibodi tersebut antara lain antibodi ANA, faktor rematoid dan antibodi heat shock protein. Peran HLA juga sangat besar dalam patogenesis



ART. Secara histopatologi sinovium ARJ didapatkan sebukan sel radang kronik yang didominasi sel mononuklir, hipertrofi vilus, peningkatan jumlah fibroblast, dan makrofag. Mediator inflamasi juga ditemukan pada sinovium. Mediator-mediator tersebut antara lain IL-2, IL-6, TNF- a, GM-CSF. Jelaslah bahwa sangat besar peran sel T dalam meni~libulkankeradangan di sinovium. Bagaimana sel T menjadi autoreaktif itu yang masih menjadi pertanyaan. Dari berbagai laporan penelitian pencetus sel T autoreaktif tak lepas dari peran HLA, ha1 ini dibuktikan dengan dilakukan penghambatan gen TCR (TCRVI14+) yang bertanggung jawab klonasi sel T. HLA yang bertanggung jawab pada manifestasi klinik antara lain HLADRB1*0801,DQA 1*0401,clan DQB 1*0402. Sitokinjuga memegang peran dalam patogenesisARJ. Berdasarkan sitokin yang dikeluarkan, ada 2 tipe sel T. Sel T tipe I lebih banyak melepaskan sitokin IL-2, IFNy dan TNF P, sedangkan pada tipe 2 sitokin yang dilepaskan IL-4, IL-5, IL-6, IL-1 0, dan IL-13. Secara klinis sitokin ini mempengamhi keseimbangan respons selular dan humoral. Pada artritis rematoid dewasa diketahui bahwa sel T tipe I yang lebih dominan, temyata demikianjuga yang ditemukan pada ARJ, kecuali padapausiarbikular,sel T tip2 yang dominan. Kemokm diduga ikut berperan dalam patogenesis ARJ. Kemokin merupakan faktor penentu migrasi subtipe sel T. Beberapa reseptor kemokin bertangung jawab terhadap klonasi sel T, yaitu reseptor CCR3, CCR4, CCR8 yang bertanggung jawab proliferasi sel T tipe 2, CXCR3 dan CCR5 biasanya dominan pada ekspresi sel T tipe 1,



Acute diseases Initiator



* lnhibitoiy



lmmunelinflammatory response



Chronic diseases lnhibito$'y' loop



d



7



Damagelapoptosis



Irnrnunelinflammatory Autoamplifying loop



Garnbar 1. Peran infeksi dalarn mencetuskan penyakit autoimun



sedangkan CXCR4 dan CCR2 bertanggungjawab terhadap kedua tipe sel T. Adanya perbedaan ekspresi inilah yang menentukan perbedaan patogenesis. Dari penelitian Thompson SD dkk, melaporkan bahwa pada ARJ CCR4 sel T memegang peran patogenesis ARJ dan yang menentukan subtipenya. Aktivasi komplemen banyak dilaporkan pada penelitian-penelitian tentang patogenesis ARJ. Dilaporkan bahwa aktivasi komplemen yang membentuk terminal attack complex yang terbanyak dijumpai pada sinovium pasien ARJ, kulit, dan limpa. Aktivasi komplemen pada ARJ dapat melalui 2 jalur baik klasik maupun alternatif. Dari beberapa laporan pada ARJ aktivasi komplemen terbanyak melalui jalur alternatif. Infeksi virus dan bakteri sebagai faktor lingkungan yang berperanan dalam patogenesis ARJ. Infeksi dikatakan dapat sebagai bahan pencetus terjadinya autoreaksi sel T. Hal ini ditunjukkan pada penelitian tentang peran HSP 60 dalam pengontrolan aktivasi sel T yang menimbulkan artritis. GAMBARAN KLlNlK Artritis Sistemik Penyakit ini merupakan kelompok ARJ yang sangat seriys dibanding dengan kelompok lainnya, lebih sering dijumpai pada kelompok umur di bawah 4 tahun. Gejalanya sangat spesifik. ditandai dengan anak mendadak sakit berat yang diawali dengan panas tinggi mendadak, dan mencapai puncaknya pada sore hari dan selanjutnya kembali normal keesokan harinya. Saat panas kadang disertai bercak kemerahan seperti warna daging ikan salmon. Bercak ini dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Sifat bercaknya biasanya berkelompok, bentuknya makula atau pruritus, biasanya bercak menghilang bila panas turun. Pada pemeriksaan patologi anatomi bercak hanya didapatkan edema dan inflitrasiperiarhikuler. Gejala lainnya berupa kelelahan, iritatif, nyeri otot dan hepatosplenomegali. Beberapa pasien didapatkan serositis atau perikarditis. Pada % kasus ditemukan limpadenopati yang secara patologi anatomi hanya didapatkan gambaran hiperplasi. Artritis mungkin dapat terus berlangsung beberapa minggu atau bulan, sehingga diagnosis sangat sulit. Sendi yang sering terkena adalah lutut dan pergelangan kaki. Temporomandibula dan jarijari tangan dapat terkena tetapi jarang. Gambaran laboratoriknya menunjukkan lekositosis dengan jumlah leukosit di atas 20.000mm3, anemia non hemolitik yang berat. LED yang meningkat, tes ANA negatif dan kadar feritin yang tinggi, jumlah trombosit meningkat, seringkali tipe inidengan komplikasi KID. Gejala inibiasanya membak setelah satu tahun, sedangkan 50% pasien jatuh ke kronik artritis dan 25% dengan gambaran erosi pada sendinya,



komplikasi lainya yaitu karditis, hepatitis, anemia, infeksi dan sepsis. Diagnosis bandingnya leukemia atau sepsis.



OligoartritislPausi-Artrikular Insidennya 35% dari ARJ, ditandai dengan artritisnya pada 1-4 sendi, tanpa gejala sistemik. Sebanyak 40-70% mempunyai tes ANA positif, lebih sering pada anak perempuan dengan umur 1-3 tahun dan sering dengan komplikasi uveitis kronik, unilateral atau bilateral. Dari beberapa kasus merupakan kelompok artritis psoriatik atau ankilosing spondilitis. Sendi yang sering terserang adalah lutut, pergelangan kaki, siku, danjari-jari tangan. Pada lakilaki lebih sering terkait spondilitis ankilosing dengan HLA ~ 2 positif. 7 Dikelompokkan 2 yaitu persisten dan eksten. Kelompok persisten ditandai dengan artritis yang tidak bertambah meskipun telah lebih 6 bulan, sedangkan kelompok eksten artritisnya semakin meluas setelah 6 bulan. Angka mortalitasnya rendah dengan komplikasi yang tersering kemakan artikular maupun periartrikular dan uveitis kronis.



Poliartritis Insidennya sekitar 30-40% dari ARJ, 75% menyerang perempuan, gambaran artritisnya mirip artritis rematoid dewasa, lebih banyak menyerang perempuan, umur sekitar 12-16 tahun, biasanya disertai gejala sistemik yang ringan, RF bisa positif maupun negatif.



Gejala lainnya lemah, demam, penurunan berat badan, dan anemia. Uveitis sangat jarang pada kelompok ini, artritisnya bersifat simetris, baik pada sendi kecil maupun besar, tetapi dapat pula diawali dengan artritis yang hanya pada beberapa sendi dan baru beberapa bulan kemudian terjadi poliartritis, sendi servikal C1-2 seringkali terkena dan seringkali menimbulkan subluksasi. Pada kelompok RF positif biasanya pada usia yang lebih muda, ditandai erosi sendi yang hebat, dengan manifestasi ekstra-artrikular jarang, 25% didapatkan tes ANA positif, pada RF negatif hanya terdapat 5%.



Entesitis yang Terkait dengan Artritis Hanya 15-20% dari ARJ yang biasa menyerang anak umur 8 tahun dengan HLA B27 positif. Artritisnya asimetrik, menyerang sendi besar. Keluhan yang sering dijumpai adalah nyeri pinggang khususnya pagi hari, kesulitan duduk maupun berdiri lama, jarang sekali tidur nyenyak, pada pemeriksaan fisik didapatkan entesitis pada patela atau kalkaneus gambaran sendi sakroilika pada awal penyakit normal. Artritis psoariatik hanya terjadi sekitar 40-50%.



Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan darah lengkap, urin lengkap, faal hati, faal ginjal, tes ANA, dan faktor rematoid. Pada ARJ didapatkan kadar CRP



~RTRITIS KRONISJUVENIL)



meningkat khususnya pada kelompok artritis sistemik. Selain peningkatan CRP terdapat pula peningkatan LED, C3, C4 amiloid serum, feritin, kadar trombosit, dan leukosit. Protein-protein ini selain disintesis hati, juga disintesis makrofag dan sel endotel pada daerah inflamasi.CRP yang disintesis di hati dirangsang pembentukannya oleh IL-6, karena CRP merupakan komponen komplemen. Peningkatan CRP ini merefleicsikan aktivasi komplemen yang meningkat. CH'O, C3, C4 tidak berkorelasi dengan aktivitas penyakit karena adanya peningkatan komponen. Pemeriksaan Radiologi Tidak semua sendi kelompok ARJ menunjukkan gambaran erosi, biasanya hanya didapatkan pembengkakan jaringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya didapatkan pada kelompok poliartrikular.



Diagnosis Banding Infeksi: bakteri, virus, tuberkulosis Post-infeksi streptokokus Trauma Kelainan hematologi: leukemia, hemofilia Penyakit kolagen



PROGNOSIS Perjalanan penyakit ARJ berkembang dengan variasi yang sangat banyak tergantung umur saat onset penyakit serta tipe dari ARJ pada tipe sistemik artritis dengan demam tinggi,' membutuhkan steroid dosis tinggi, dan trombositosis menunjukkan prognosis yang jelek, hanya 25% tipe poliartrikular remisi dalam 5 tahun dan 213 pasien ARJ mengalami erosi sendi. Beberapa faktor merupakan indikator prognosis buruk: Tipe sistemik yang aktif pada 6 bulan pertama Poliartritis Perempuan



2523



Faktor reumatoid positif Kaku sendi yang persisten Tenosinovitis Nodul subkutan Tes ANA + Artritis pada jari tangan dan kaki pada awal penyakit Erosi yang progresif Pausiartrlkular tipe eksten



PENGELOLAAN Tujuan pengobatan ARJ ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri. Banyak ha1 yang harus diperhatikan selain mengatasi nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi juga tak kalah penting. Pada pasien ARJ pertumbuhannya sangat terganggu baik karena konsumsi zat gizi yang kurang atau menurunnya nafsu makan akibat sakit atau efek samping obat. Mengontrol Nyeri Pengelolaan nyeri kronik pada anak tidak mudah. Masalahnya sangat kompleks, karena pada urnumnya anakanakbelum dapat mengutarakan nyeri. Obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) merupakan.antinyeri pada umumnya yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak. Selain untuk mengurangi nyeri OAINS juga dapat digunakan mengontrol kaku sendi. Efek analgesik sangat cepat. Efek samping yang sering dijumpai antara lain nyeri perut, anoreksia, gangguan fungsi hati, ginjal, dan gastrointestinal. Nehtis interstitial merupakan efek samping pada ginjal yang sering dijumpai, sehingga dianjurkan pemeriksaan urinalisis setiap 3 bulan. Adanya peningkatan SGOT dan SGPT maka dianjurkan evaluasi hati dilakukan secara teratur setiap 3-6 bulan sekali, dan para orang tua hams tahu dan waspada terhadap efek-efek samping ini. Macam OAINS yang sering digunakan pada anak-anak: Aspirin 75-90 mgkg/hari. Dosis yang lebih tinggi dapat ditoleransi pasien yang lebih dewasa. Pemberiannya 4 kali sehari setelah makan. Peningkatan kadar SGOT, SGPT dapat terjadi pada beberapa anak. Tolmetin 25 mgkg/hari, dibagi dalam 4 dosis. Naproksen 15 mgkghari dibagi dalam 2 dosis. Ibuprofen 35 mgkghari dibagi dalam 4 dosis. Diklofenak 2-3 mgkghari terbagi dalam 2 d~sis.



DMARD (DiseaseModiflying Antirheumatic Drugs). Digunakan untuk menekan inflamasi dan erosi yang lebih lanjut Hidroksiklorokuin:4-6 mglkghari, maksimal300 mg/ hari. Mempunyai efek itnunomodulatordan menghambat enzim kolagenase. Efek samping yang sering dilaporkan



adalah toksik pada retina sehingga dianjurkan evaluasi retina tiap 6 bulan. Efek samping lainnya urtikaria, iritasi saluran cerna dan supresi sumsum tulang. Angka kesembuhan berkisar antara 15-75%. Preparat emas oral maupun intra muskular dosis 5 mgl minggu. Dosis dapat ditingkatkan 0,75-1 mg /kglminggu. Efek sampingnyaadalah supresi sumsum tulang dan ginjal. D-penisilamin: 10 mg/kg/hari, tidak banyak laporan tentang efektivitas penggunaan obat ini. Obat-obat sitotoksik: - Azatioprin: Tidak banyak laporan tentang pengunaannya - Sulfasalazin dilaporkan efektif untuk mengontrol ARJ. Dosis yang dianjurkan 50 mg/kg/hari sampai 2,5gr/kg/hari. Tidak dianjurkan untuk anak-anak yang sensitif terhadap sulfasalazin. - Metotreksat (MTX): Dosis 10mghd luas permukaan tubuhlminggu. MTX aman digunakan jangka panjang. Saat ini MTX lebih banyak dipilih oleh para rematologis oleh karena efek sampingnya yang lebih ringan dan memberikan respons yang sangat tinggi. Efek samping MTX yang tersering yaitu oral ulcer, gangguan gastrointestinal, supresi sumsum tulang, gangguan fungsi hati. Dilaporkan kejadiannya sangat tinggi, ha1 ini dapat dikurangi dengan cara mengurangi konsumsi alkohol dan mengurangi obat-obat hepatotoksik. - Leflunamid: tidak banyak laporan tentang pengggunaan leflunamid pada ARJ meskipun banyak laporan tentang efektivitas obat ini pada artritis rematoid dewasa. - Etanercept: belum banyak anjuran meskipun beberapa penelitian menunjukkan hasil yang baik. - Infliximab laporan penggunaan infliximabpada ARJ juga masih belum banyak.



Glukokortikoid Baik untuk mengontrol gejala sistemik artritis, perikarditis,dan demam. Dosis yang dipakai 0,5-2 mg/kgl hari. Dosis tinggi hanya digunakan pada kasus-kasus yang berat. Injeksi intra-artrikular bermanfaat artritis yang tidak terlalu banyak menyerang sendi. Pada kasus dengan uveitis anterior biasanya diberikan topikal. Bila berat &pat diberikan per oral dengan dosis 30 mg/kg/hari selama 3 hari berturut-turut. Pada kasus tertentu membutuhkan imunosupresan. Fisioterapi Banyak manfaat terapi dengan fisioterapi. Kegunaannya antara lain untuk mengontrol nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin, hidroterapi, dan TENS. Hidroterapi pemanasan dengan air pada suhu 96OF sangat membantu mengurangi nyeri. Selain dapat membantu mengurangi nyeri, fisioterapi berguna bagi anak-



anak untuk melakukan peregangan otot yang dapat berguna memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan dengan pengawasan. Latihan aktif, dengan atau tanpa beban sangat membantu menambah massa otot. Fisioterapi juga berguna untuk mempertahankan fungsi gerak sendi serta mempertahankan pertumbuhan normal.



Pengelolaan Nutrisi Seringkali didapatkan gangguan pertumbuhan, baik lokal karena kerusakan pusat pertumbuhan tulang maupun umun karena asupan nutrisi yang kurang dan menurunnya produksi insulin like growth factor. Anak-anak dengan inflamasi laonis mempunyai risiko untuk terjadi malnutrisi oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping obat-obatan juga mempengaruhi penuninan nafsu makan. Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan antara lain OAINS, klorokuin. Penyebab lain penuninan nafsu makan adalah adanya keradangan pada temporo mandibula. Obesitas mungkin dijumpai pada beberapa kasus, ha1 ini disebabkan karena kurangnya aktivitas, intake makanan yang berlebihan atau akibat efek samping kortikosteroid. Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin, zat besi, dan kalsium sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet. Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin D. Dosis untuk anak umur 1- 10 tahun adalah vitamin D 400IU dan kalsium 400 mg sedangkan kalsium 800 mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.



REFERENSI Aggraval A, Bhadwaj A, Alam S,Misra R. Evidence for activation of the alternate complement pathway in patients with juvenile rheumatoid arthriti~.Rheumato2003;39: 189-92. Carter BD, Kronenenberger WG, Edwards JF, Marshal GS, Schikler KN, Causey DL. Psychological symptoms in chronic fatigue and juvenile rheumatoid arthritis.Pediatric.1999;103:975-9. Gottlieb BS, Keenan GF, Lu Theresa,Illowite NT. Discontinuation o f methotrexate in juvenilew rheumatoid arthritis. Pediatric. 1997; 100;994-7. Giannini EH, Ruperto N, Ravelli A, Lovell DJ, Felson DT,Martini A. Prelimanary definition of improvement in juvenile arthritis. Haskes PJ, Friedland 0,Uziel Y. New treatments for juvenile idiopathic arthritis. IMAJ 2002;4:39-43. ilowite NT. Current treatment of juvenile rheumatoid arthritis. Pediatric.2002; 109-1 5. Jarvis JN, Dozmorov I, Jiang K, Frank MB, Szodoray P, Alex P,et al. Novel approaches to gene expression analysis o f active polyarticular juvenile rheumatoid arthritis. Arthritis Res Ther. 2004;6: R15-R32 Kietz DA, Pepmueller PH, Moore TL. Therapeutic use of etanercept in polyarticuler couse juvenile idiopathic arthritis over atwo year period. Ann. Rheum.Dis. 2002; 61 : 171-3.



ARTRITISREUMATOIDJUVENIL (ARTIUTIS~DIOPATIK JUVENWARTRITISKRONIS JUVENIL)



Malleson PN, Beauchamp RD. Rheumato: diagnosing musculos keletal pain in children . CMAJ. 2001;24:183-188 Murray K, Thomson SD, Glass DN. Pathogenesis of juvenile chronic arthritis: genetic and environmental factors. Arch.Dis.Child.1997; 77:530-4 Meeder G, Van eden W, Rijkers GT, Prakken BJ, Kuis W Voorhorst Ogink MM,et al. Juvenile chronic artrhitis: T cell reactivity to human HSP60 in patients with a favorable course of arthritis. J Clin. Invest 1995;95:934-40. Nepom B. The immunogenetic of juvenile rheumatoid arthritis . Rheum Dis.Clin.North. Am. 1991;17:825-42. Patience W. Juvenile chronic arthritis. In : Rheumatology.Klippe1 JH, Dieppe K PA. I" Edition .Hongkong: Mosby -Year Book Europe Limited; 1994.p.3.17.1-10 Rose CD and Singsen BH. Pathology and pathogenesis. In : Rheumatology Klippel JH, Dieppe K PA,eds. 1" edition .Hongkong: Mosby-Year Book Europe Limited; 1994.p.3.19.1-6 Seppanen OK,Savolainen A.Changes in the incidence of juvenile rheumatoid arthritis in Finland. Rheumato2001;40:928-32. Thomson SD, Luyrink LK, Graham BT, Soras M, Ryan M, Passo MH,et al. Chemokin reseptor CCR4 on CD+4 T cells in juvenile rheumatoid arthritis synovial fluid defines a subset of cells with increased IL-4:IFN-g mRNA ratios. The Journal Of Immunology 2001; 166:6899-6906



2525



Thomson SD, Grom AA, Luyrink LK, Passo M, Glass DN,Enmund C. Dominant T-cell-receptor 1 chain variable region V i14+ clones in juvenile rheumatoid arthritis. Proc Natl. Acad.Sci.USA 1993; 90;11104-8. Villla J, Lee S, Giannini EH, Braham TB, Passo MH, Filipovich A,et al. Natural killer cell dysfunction is a distinguishing feature of systemic onset juvenile rheumatoid arthritis and macrophage activation syndrome. Arthritis Res Ther. 2005;7:R30-R37 Smolewska E, Brozik H, Smolewski P, Zielinska MB, Danynkiewicz Z,Stanczyk J. Apoptosis of pheripheral blood lymphocytes in patients with juvenile idiopathic arthritis. Ann.Rheum.Dis 2003;62:761-3. Victoria M, Morin G, graham TB, Blebea JS, Dardzinski BJ, Laor T, et al.Knee in early juvenile rheumatoid arthritis: MR imaging findings.Radio200 1;220:696-706. Weyand CM, Gorony JJ. Pathogenesis of rheumatoid arthritis. Med.Clin.North. Am 1997;8 1:29-55 Warren RW,Perez MD, Curry MR, Wilking AP, Myones BL. Juvenile idiopathic arthritis Cjuvenile rheumatoid arthritis). In: Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology. 14 ed edition.Philladelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2005.p.1270-323. Wilkinson N, Jackson G, Medwin JG. Biologic therapies for juvenile arthritis. Arch.Dis.Child. 2003;88:186-91.



SPONDILITIS ANKILOSA Jeffrey A.Ongkowijaya



PENDAHULUAN Spondilitis ankilosa merupakan prototipe dari spondiloatropati seronegatif, yang terdiri atas artritis psoriatik, artritis reaktif dan artritis enteropati . Berasal dari bahasa Yunani ankylos yang berarti bengkok dan spondylos yang berarti vertebra. Spondilitis ankilosa merupakan inflamasi kronik yang melibatkan sendi-sendi aksial dan perifer, entesitisdan bisa mempunyai manifestasi ekstraarthlar.



Garnbar 1. Famili Spondiloartropati seronegatif



Prevalensi spondiloartropati mencapai 1-2% dari populasi urnurn dan risiko akan meningkat menjadi 20.kali lipat pada individu dengan HLA-B27 positif. Spondilitis ankilosa terutama mengenai laki-laki, dewasa muda dengan awitan pada umur kurang dari 40 tahun dan puncaknya pada 20-30 tahun. Rasio pada laki-laki dibanding wanita mencapi 3 : 1.Di Amerika Serikat,prevalensi mencapai 1,4% dengan variasi pada berbagai kelompok etnis; ha1 ini menggambarkan perbedaan ekspresi HLA-B27 pada kelompok etnis tersebut. Ekspresi HLA-B27 lebih banyak ditemukan pada populasi kulit putih dibandingkan kulit



hitam. Populasi spondilitis ankilosa pada individu dengan HLA-B27 positif mencapai 10-20% sedangkan jumlah pasien spondilitis ankilosa yang menekspresikan HLAB27 mencapai 80-95%. Perjalanan penyakit sangat bervariasi dari ringan tanpa gangguan status hngsional sampai berat dengan berbagai disabilitas. Keterlibatan vertebra merupakan determinan utama yang mempengaruhi status fungsional pasien.



Etiologi clan spondilitisankilosa belurn dlketahui. Penelitian menunjukkan hubungan kuat dengan HLA-B27 yang berarti ada faktor imun yang berperan, dan diperlukan peran dari infeksi bakteri gram negatif untuk mencetuskan penyakit. Hasil riset yang ada menggambarkan peran Klebsiela pneumonia dalam patofisiologi spondilitis ankilosa. Klebsiela mempunyai 6 asam amino yang homolog dengan HLA-B27 yang mengesankan adanya moIecuIar mimicry. Ekspresi HLA-B27 menyebabkan peningkatan respon imunologik atau setidaknya menyebabkan perubahan toleransi imun terhadap bakteri gram negatif. Banyak bukti yang mendukung peran sitokin proinflamasi seperti TNFa dan IL-1 serta adanya infiltrasi sel-sel inflamasi pada jaringan patologis pasien spondilitis ankilosa. HLA-B27 sendiri mempunyai 45 subtipe dimana sebagian berhubungan dengan spondilis ankilosa seperti HLA-B2705, -B2702 dan -B2704 sehngkan-B2706 dan -B2709 malah tidak berhubungan. Populasi di Indonesia umumnya mempunyai HLA-B2706. HLA-B60 dan HLA-DR1 dilaporkanjuga mempunyai keterkaitan dengan penyakit ini.



Gambaran patologis spondilitis ankilosa yang unik pertama kali .dideskripsikanoleh Ball (1971) dan disempumakanoleh Bywaters (1984). Lokasi patologis primer adalah entesis yaitu insersi dari ligament, kapsul dan tendon ke tulang. Perubahan .entesopati yang terjadi adalah fibrosis dan osifikasi jaringan. Pada vertebra, entesopati pada situs insersi annulus fibrosus menyebabkan squaring dari korpus vertebra, destruksi vertebral endplate, dan formasi sindesmofit.Osifikasi pada regio diskus, epifiseal dan sendi sakroiliaka serta ekstraspinal diinisiasi oleh lesi pada insersi ligament.



menyebabkan resorpsi tulang yang diikuti perubahan reparasi pada korpus vertebra akan berperan dalam terjadinya squaring. Jaringan granulasi akan mengalami metaplasia kartilago yang diikuti dengan kalsifikasi pada tepi vertebra dan sisi luar annulus; dan menyebabkan gambaran sindesmofit pada foto polos. Kertelibatan menyeluruh seluruh vertebra memberikan gambaran bamboo spine. Lesi ekstraspinal terjadi di daerah artikular dan nonartikular. Lesi artikular meliputi sendi sinkondrotik seperti simfisis pubis dan sendi manubriosternal, sendi synovial seperti sendi panggul dan lutut dan entesis. Inflamasi pada situs nonartikular meliputi uvea, katup jantung, fibrosis apeks paru.



GAMBARAN KLlNlS



Gambar 2. Squaring korpus vertebra. Tanda panah adalah sklerosis tulang pada situs entesopati



Spondilitis ankilosa dapat bermanifestasi pada skeletal maupun ekstraskeletal. Presentasi klasik terjadi pada dewasa muda yang mengeluh nyeri punggung bawah dan kekakuan yang sering memburuk pada pagi hari atau setelah istirahat lama. Nyeri akan menghilang dengan aktivitas fisik dan biasanya terpusat di vertebra lumbosacral meski bisa juga terasa pada sendi panggul dan pantat dan kadang-kadang menjalar ke paha. Kekakuan biasanya berlangsung lebih dari 30 menit.



Gambar 4. Distribusi nyeri pada pasien spondilitis ankilosa Gambar 3. Sindesmofit



Perjalanan penyakit tipikal dirnulai dari sendi sakroiliaka. ~akroilitisditandai dengan sinovitis dan formasi panus dan jaringan granulasi. Semua proses tersebut akan mengerosi, mendestruksi dan mengganti rawan sendi dan tulang subkondral. Tulang parartikular juga akan menipis akibat peningkatan aktivitas osteoblastik. Inflamasi pada sendi sakroiliaka mempunyai predileksi pada sisi iliaka, ha1 ini mungkin karena jaringan fibrokartilago yang lebih banyak dan shear stress yang lebih besar pada sisi tersebut. Pada vertebra terjadi inflamasi kronik di annulus fibrosus, khususnya pada insersi ke tepi vertebra,



Pasien bisa mengeluh nyeri dan kaku pada vertebra torakalis, leher dan bahu. Keterlibatan kostovertebral menyebabkan gangguan ekspansi dada. Sendi perifer dapat mengalami sinovitis, terutama sendi besar dan proksimal seperti bahu dan panggul. Umumnya monoartikular atau oligoartikular asimetris. Nyeri pergelangan kaki bisa tejadi akibat entesopati di calcaneus sedangkan Tendinitis Achiles cukup sering ditemukan. Manifestasi ekstraskeletal yang bisa timbul adalah gejala konstitusional seperti kelemahan, penurunan berat badan dan subfebril; gangguan mata, kardiovaskuler, paru, neurologis dan ginjal



-



-



-



-



-



Nyeri punggung bawah inflamasi pada usia muda Keluhan berlangsung sekurangnya 3 bulan Gambaran radiologis menunjukkan sakroilitis Berkurangnya mobilitas vertebra Berkaitan dengan anterior uveitis Riwayat keluarga yang menderita spondilits ankilosa. psoriasis, inflammatory bowel disease Risiko meningkat pads individu dengan HLA-627 positif



Garnbar 5. Tes Schobe



Keterlibatanmata merupakan manifestasi ekstraskeletal yang cukup sering pada pasien spondilitis ankilosa,berupa uveitis anterior atau iridosiklitis. Umumnya unilateral dan sering berulang dengan terjadi jaringan parut dan glaucoma sekunder. Manifestasi kardiovaskuler bempa aortitis, regurgitasi katup aorta, gangguan konduksi dan perikarditis. Keterlibatan paru cukupjarang dan mempakan manifestasi lanjut dari spondilitis ankilosa, berupa fibrosis lobus superior yang progresif lambat. Nefropati IgA dan amiloidosis sekunder dapat ditemui pada pasien spondilitis ankilosa. Komplikasi neurologi yang sering timbul adalah akibat fraktur, instabilitas, kompresi atau inflarnasi. Fraktur sering pada vertebra C5-C6 or C6-C7, instabilitas mengakibatkan subluksasi sendi atlantoaksial dan atlanto oksipitalis. Osifikasi dari' ligament longitudinal posterior akan menyebabkan kompresi mielopati dan stenosis spinalis. Sindroma kauda equina jarang terjadi tapi merupakan komplikasi serius.



PEMERIKSAAN FlSlK Kelainan dini pada spondilitis ankilosa adalah nyeri pada sendi sakroiliaka d m nyeri akibat spasme otot paraspinal vertebra lumbalis. Tes SLR (straight leg-raising test) yang sering dipakai untuk mendeteksi iritasi nervus sciatic biasanya negatif. Untuk mendeteksi adanya sakroilitis dapat dilakukan beberapa tes sepertipelvic rock sign, kompresi lateral dari pelvis dan tes Gaenslen. Gangguan pada vertebra biasanya timbul seiring dengan perjalanan penyakit. Manifestasinya bempa berkurangnya kurvatura lordosis dan restriksi pergerakan pada semua bidang dari vertebra terutama lumbal. Tes Schober berguna untuk mendeteksi keterbatasan gerakan fleksi dari vertebra lumbal. Tes ini dilakukan dengan memberi tanda pada prosesus spinosus vertebra lumbal V (setinggi spina iliaka posterosuperior) lalu beri tanda lagi 10 cm diatasnya. Pasien diminta untuk membungkuk semaksimal mungkin tanpa membengkokkan kaki. Pada orang normal jarak antara kedua titik akan mencapai 15 cm. Gerakan fleksi ke lateral juga berkurang dan rotasi spinal bisa merangsang nyeri. Kelaingn yang mengenai vertebra torakalis akan



menyebabkan gangguan ekspansi dada. Pengukuran dilakukan pada ruang antar iga V saat inspirasi dan ekspirasi maksimal, normalnya .mencapai 5 cm. Keterbatasan ini disebabkan fusi dari sendi kostovertebral. Gangguan pada vertebra servikalis biasanya merupakan manifestasi lambat dari spondilitis ankilosa. Kekakuan menyebabkan pasien kesulitan untuk mengekstensi kepala. Beratnya deformitas ini dapat diukur dengan mengukur jar& oksipital-dinding. Manifestasi lain yang bisa didapatkan pada pemeriksaan fisik pasien spondilitis ankilosa adalah artritis perifer, biasanya asimetris dan pada sendi proksimal, yang cenderung menyebabkan kontraktur dini dan manifestasi ekstraartikular seperti uveitis, regurgitasi aorta.



PEMERIKSAANPENUNJANG Pemeriksaan laboratorium tidak mempunyai gambaranyang khas untuk pasien spondilitis ankilosa. HLA-B27 akan didapatkan pada lebih dari 90% pasien dan akan mencapai 100%jika disertai dengan uveitis atau gangguan jantung. Laju endap darah (LED) dan C-reactiveprotein (CRP) akan meningkat tapi tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit. Bisa didapatkan anemia normokrom normositer ringan dan trombositosis ringan. Kadar IgA serum juga meningkat tapi belum diketahui hubungan dengan spondilitis ankilosa. Tes fungsi paru biasanya baru menunjukkan kelainan jika vertebra torakalis sudah terlibat dimana akan terjadi penurunan kapasitas vital paru dan peningkatan volume residual pam. Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk mendeteksi abnormalitas yang terjadi. Kelainan yang paling mendukung adalah ditemukannya inflamasi pada sendi sakroiliaka. Gambaran yang tampak adalah erosi pada sisi iliaka temtama pada sepertiga bawah sendi sakroiliaka. Seiring dengan perjalanan penyakit akan terjadi pseudowidening dari sendi dan selanjutnya akan mengalami fusi. Teknik yang lebih superior adalah MRI dan CT yang bisa mendeteksi kelainan lebih dini. Keunggulan MRI adalah bisa memvisualisasi



Grade



0 1



2 3 4



PenAaian Normal Mencurigakan Sklerosis, sedikit erosi Erosi berat, pelebaran celah sendi, sebagian ankilosis Ankilosis kom



lesi katilago dan entesis. Perubahan pada vertebra pada fase awal spondilitis adalah erosi yang dikelilingi sklerosis pada tepi korpus vertebra sebagai akibat inflamasi pada situs insersi annulus fibrosus di korpus vertebra (tanda Romanus). Selanjutnya periostitis di perifer korpus vertebra akan menyebabkan terbentuknya squaring. Karakteristik yang penting adalah formasi sindesmofit akibat dari kondritis vertebra dan osteitis subkondral yang diikuti dengan fibrosis dan osifikasi. Orientasi dari sindesmofit adalah vertical yang akan membedakannya dengan osteofit akibat penyakit degeneratif. Pada tahap akhir, gambaran radiologis vertebra dikenal dengan nama bamboo spine.



Kriterla 1.



Nyerl punggung bawah sekurangnya berlangsung 3 bulan, membaik dengan latihan dan tldak berkurang dengan istirahat 2. Llmitasi pergerakan vertebra lumbal~spada bidang r; frontal dan sagital & , 3. Berkurangnya ekspansi dada 4. a Sakrollltls unilateral gr 3-4 5. b. Sakrollitls bilateral gr 2-4 ' Diagnosis pasti jika dldapatkan kriterla 4a atau 4b diserta~ salah satu kritena 1 - 3 Diagnosis probable hanya ada kriterla klinis saja atau hanya kr~teriaradlologis tanpa gejala kllnis



DIAGNOSIS BANDING Beberapa penyakit yang hams dipikirkan sebagai diagnosis banding adalah spondylosis lumbalis, strain lumbal, penyakit lain dalam kelompok spondiloartropati seronegatif, diffuse idiopathic skeletal hyperostosis (DISHIpenyakit Forestier) dan osteitis condensan iliaka. ~engawasan Status Penyakit Spondilitis Ankilosa Untuk mengawasi perkembangan spondilitis ankilosa, beberapa parameter yang dapat dipakai adalah Bath AS Disease Activity Index (BASDAI), Bath AS Punctional Index (BASFI), Bath AS Patient Global Score (BAS-G), Bath AS Metrology Index (BASMI), visual analog scale (VAS) untuk menilai nyeri, pemeriksaan radiologis k t u k menil'aikemsakan strukturaldan manifestasi ekstra artikular.



Gambar 6.Tampak fusi dari sendi sakroiliaka bilateral dan bamboo spine



DIAGNOSIS Seperti penyakit lain dengan etiologi yang belum sepenuhnya jelas, diagnosis spondilitis ankilosa bergantung pada kombinasi gambaran klinis, radiologis dan hasil laboratorium. Kriteria klasifikasi untuk spondilitis ankilosa yang banyak dipakai saat ini adalah kriteria New York modifikasi 1984 (Tabel 3). Meskipun demikian, keberatan utama pada kriteria ini adalah kurang sensitif untuk mendeteksi pasien dengan penyakit yang masih dini.



Penatalgksanaan Modalitas penata1aksr)naanadalah program fisioterapi dan modifrkasi gaya hidup, terapi farmakologis untuk nyeri dan kekakuan serta deteksi dan penanganan yang tepat untuk komplikasi artikular dan ekstra artikular. Sangat penting bagi pasien untuk mendapatkan edukasi tentang perjalanan penyakit dan berbagai modalitas penatalaksanaan yang dianjurkan. Menghentikan merokok sangat dianjurkan pada pasien spondilitis ankilosa. Program fisioterapi bertujuan untuk mempertahankan postur tubuh ysng tepat u ~ t u kberbagai aktivitas. Pasien hams tidur pada kasur yang agak keras dengan bantal tipis. Berjalan dan berenang merupakan cara yang cukup baik untuk mempertahankan mobilitas sendi. Tujuannya adalah untuk mempertahankan mobilitas spinal atau setidaknya mencegah deformitas dan disabilitas spinal. Terapi farrnakologis biasanya membutuhkan OAINS untuk mengatasi nyeri dan kekakuan dengan mempertimbangkan.risiko efek samping yang mungkin terjadi. Sulfasalazip dapat mengatasi keluhan spinal terutama pada tahap dini. Metotreksat, siklofosfamid dan



-



Steroid eyedrops If symptoms persisx r 3 days refer to opthalrnologin (or if symptoms are severe or recurrent)



Upper bbe pulmonary (sbm Treatment: ignore!



Cheat wall pain Secondary w enthesopathy. maunem-local



icrjcctbn



Psorluk 1. Trea skin lesions with local therapy



2. Conslder sulfuahrjm if mild anhropathy or methotrerate if additional -re ythrltis Treat as separate entity



~rea&n+gd



Cardiac dbsease Usually mild. No specific rreatment needed



Irritable hlp Mildlmoderate,withou severc radiographic change: intra-anicular steroid If sewre-rota1 hip reflacement



Dactytldr fnflltrate with steroid



Arth-thy Imra-artlcutar steroid



ptWpks



1. Education 2 Exercise = keep fit 3. Stop smoking 4. Specik physiotherapy and hydrotherapy 5. NSAlD for rpinal d l s e a ~ 6. ? Sulfardazinefor periphval joint disease 7. Self-help group ifavailable (e.6 NASS)



A c h l W tendlntds lntratesional steroid with Feat c a n to avoid ruprure



Gambar 7. Beberapa modalitas penatalaksanaan pada spondilitis ankilosa



azatioprinjuga &pat membantu walaupun efikasinya belum didukung penelitian klinis. Pemberian anti malaria tidak bermanfaat. Pemberian steroid sistemik dan lokal dapat diberikan pada keadaanflare. Terapi anti reumatik baru yang mempunyai potensi pengobatan pada spondilitis ankilosa adalah anti TNF-a.Dengan penghambatan sitokin tersebut, dilaporkan terjadi penurunan kekakuan dan nyeri nokturnal, perbaikan asesment global pasien, indeks fungsional dan memperbaiki ROM spinal dan dada serta resolusi entesitis. Operasi merupakan pilihan jika ada deformitas yang mengganggu f h g s i tubuh atau keluhan nyeri yang tidak teratasi dengan terapi farmakologis. Beberapa prosedur yang sering dilakukan pada pasien dengan spondilitis ankilosa adalah total hip replacement (THR), total knee replacement (TKR), osteotomi servikal dan lumbal untuk mengurangi derajat kifosis dan stabilisasi subluksasi atlanto-axial.



PROGNOSIS Perjalanan spondilitis ankilosa sangat bervariasi. ~ e b e r a ~ a pasien mengalami progresi yang berat meski dengan terapi. Sebagian mengalami ankilosis secara gradual dengan



sedikit ketidaknyamanan dan beberapa hanya mengalami sakroilitis tanpa keterllibatan spinal. Meski spondilitis ankilosa tidak bisa disembuhkan, program rehabilitasi mempunyai pencapaian yang cukup impresif sehingga dianjurkan untuk tetap dilaksanakan.



DAFTAR PUSTAKA Alvares I, Lopez de Castro. HLA-B27 and immunogenetics of spndyloarthropathies. Curr Opin Rheumatol 2000; 12: 248 253 Aufdermaur M. Pathogenesis of square bodies in ankylosing spondylitis. Ann Rheum Dis 1989;48:628-631 Barkham N, Kong KO, Tennant A, Fraser A, Hensor A et al. The unmet need for anti-tumour necrosis factor (anti-TNF) therapy in ankylosing spondy litis. Rheumatology 2005;44: 1277-1281 Brandt I, Listing I, Haibel H, Sorensen H et al. Long-term efficacy and safety of etanercept after readministration in patients with active ankylosing spondylitis. Rheumatology 2005;44:342-348 Brown MA. Breakthrough in genetics studies of ankylosing spondylitis. Rheumatology 2008;47;132-137 Ebringer A, Rashid T ,Wilson C, Ptaszynska T,Fielder M. Ankylosing Spondylitis, HLA-B27 and Klebsiella - An Overview: Proposal for early diagnosis and Treatment. Cum Rheumatol Rev 2006, 2: 55-68 Gadsby K, Deighton C. Characteristics and treatment responses of



-



patients satisfying the BSR guidelines for anti-TNF in ankylosing spondylitis. Rheumatology 2007;46:439-441 Gorman JD, Imboden JB. Ankylosing Spondylitis and the Arthritis of Inflammatory Bowel Disease. In: lmboden JB, Hellmann DB, Stone JH (eds). Current Rheumatology Diagnosis and Treatment 20d ed. McGraw Hill, New York. 2007: 175 - 182 Jois RN, Leeder J, Gibb J, Gaffney K et al. Low-dose infliximab treatment for ankylosing spondylitis: clinically and cost-effective. Rheumatology 2006;45: 1566-1569 Sidiropoulos PI, Hatemiz G, Song IH et al. evidence based recommendations for the management of ankylosing spondylitis: systematic literature search of the 3E Iniatiative in Rheumatology involving a broad panel of experts and practicing rheumatologist. Rheumatology 2008; 47: 355-361 Sieper J, Braun J, Rudwaleit M, Boonen A, Zink A. Ahkylosing Spondylitis: an overview. Ann Rheum Dis 2002; 6l(supl 111): iii8 - iiil8



. '



Van der Heijde D. Ankylosing Spondylitis. A. Clinical Features. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH (eds). Pnmer on the Rheumatic Diseases 13Ihed. Spinger, New York. 2008; 193199 Van der Linden S, Valekburg HA. Cats A. Evaluation of diagnostic criteria for ankylosing spondylitis. A Proposal for modification of New York Criteria. Arthritis Rheum 1984; 27: 361-368 Van der Linden S, van der Heijde D, Maksymowych WP.Ankylosing Spondylitis. In: Firestein GS, Budd RC. Harris Jr ED et a1 (eds). Kelley's Textbook of Rheumatology 81h ed. Saunders, Philadelphia. 2009; 1169 -- 1190 Yoong KCJ. Ankylosing Spondylitis. N Engl J Med 2008; 359:4 Zeboulon N, Dougados M, Gossec L. Prevalence and characteristics of uveitis in the spondyloarthropathies: a systematic literature review. Ann Rheum Dis 2008;67:955-959 Zochling J, van der Heijde D. Burgos-Vardas R, Collanter E et al. ASASJEULAR recommencation for the management of ankylosing spondylitis. Ann Rheum Dis 2006; 65: 442-452



ARTRITIS PSORIATIK Zuljasrl Albar



Spondiloartropati seronegatif merupakan sekelompok penyakit radang multisistem yang saling berhubungab satu sama lain. Sebagai penyakit reumatik, mereka mengeriai tulang belakang, sendi perifer struktur periartikuler atau ketiga-tiganya. Mereka juga berkaitan dengan manifestasi ekstra-artikuler yang berbeda-beda. Misalnya inflamasi traktus gastrointestinal atau traktus urinarius baik akut maupun kronik yang kadang-kadang akibat infeksi bakteri, inflamasi mata bagian anterior, lesi kulit dan kuku yang psoriasiform dan- jarang lesi pangkal aorta, sistem konduksi jantung dan apeks paru. Kebanyakan kelainan ini menunjukkan peningkatan prevalensi pada individu yang memiliki gen HLA-B27. Kelainan-kelainan yang telah diketahui sebagai diagnostic entity dalam kelompok spondiloartropati seronegatif ini ialah spondilitis ankilosa, artritis reaktif, spondilitis dan artritis perifer yang berkaitan dengan psoriasis atau penyakit radang usus, spondiloartropati juvenile onset dan beragam kelainan yang agak sulit diklasifikasikan yang sering disebut undifferentiated spondiloarthropathy atau - lebih singkat - spondiloartropati saja. Berbagai kriteria diagnostik untuk bermacam-macam spondiloartropati telah diajukan dalam 3 dekade terakhir. Dalam makalah ini akan dibicarakan diagnosis dan pengobatan salah satu kelainan yang termasuk dalam kelompok spondiloartropati seronegatif, yaitu artritis psoriatika.



GEJALA KLlNlS Variasi gambaran klinis artritis psoariatika sangat luas. Dari segi diagnosis dan pengobatan, penderita dapat dibagi dalam tiga kelompok : 1. Monoartritis atau oligoartritis asimetris :30 % - 50 %. 2 Poliarhitis, sering simetris sehingga rnirip dengan artritis reumatoid : 30 % - 50 %. 3. Terutama mengenai sendi aksial (spondilitis, sakroiliitis dan atau artritis sendi panggul dan bahu yang menyerupai spondilitis ankilosa) dengan atau tanpa kelainan sendi perifer :5 %. Terkenanya sendi DIP (prevalensi 25 %), artritis mutilans (5 %), sakroiliitis (35 %) dan spondilitis (30 %) dapat ditemukan pada setiap kelompok ini. Perubahan gambaran klinis dari satu bentuk ke bentuk lain tidak jarang tejadi sehingga menghasilkan gambaran klinis yang heterogen. Pada sekitar 70 % penderita, psoriasis timbul bertahuntahun sebelum artritis, atau timbul bersamaan dengan artritis (+ 15 %). Walaupun onset artritis biasanya sarnarsamar, pada 113 kasus onsetnya akut. Jarang terdapat gejala konstitusional. Pada sebagian kecil penderita dewasa (+I5 %) - lebih sering pada anak-anak artritis timbul sebelum terdapat perubahan pada kulit atau kuku (artritis sine psoriasis). Kebanyakan penderita mempunyai riwayat psoriasis atau gambaran klinis tertentu pada anggota keluarga yang lain, sehingga dapat membantu diagnosis.



-



Kelainan sendi



Prevalensi artritis psoriatika di Amerika Serikat + 0.1 %. Artritis timbul pada + 5-7 % penderitapsoriasis. Psoariasis relatif sering pada bangsa kulit putih dan jarang pada penduduk Asia.



Oligoartritis atau monoartritis. Manifestasi awal yang paling sering, ditemukan pada 213 kasus ialah oligo- atau monoartritis yang mirip dengan artritis perifer pada spondiloartropati lain. Pada 113 - 112 penderita ini, artritis akan berkembang menjadi poliartritis simetris yang sulit dibedakan dari artritis reumatoid.



Oligoartritisyang klasik mengenai sendi besar misalnya sendi lutut- dengan 1 atau 2 sendi interfalang dan daktilitis salah satu jari atau ibu jari. Pada beberapa kasus artritis timbul setelah trauma. Jika pada anamnesis didapatkan riwayat psoriasis pada keluarga, pencarian psoriasis pada daerah yang tersembunyi (kulit kepala, umbilikus dan daerah perianal) disertai kelainan radiologis yang khas akan menghasilkan bukti penting untuk diagnosis yang tepat. Lesi psoriatik mungkin terbatas pada 1 atau 2 tempat dengan atau tanpa terkenanya kuku. Terkenanya sendi DIP merupakan tanda yang khas dan hampir selalu berkaitan dengan perubahan psoriatik pada kuku. Poliartritis. Poliartritis simetris yang mengenai sendi kecil pada tangan dan kaki, pergelangan tangan, pergelangan kaki, lutut dan siku merupakan pola arhitis psoriatik yang paling sering. Artritis mungkin sukar dibedakan dari AR, tetapi sendi DIP lebih sering terkena dan terdapat kecenderungan ankilosis tulang pada sendi PIP dan DIP yang mengakibatkan deformitas 'claw' atau 'paddle' pada tangan. Penderita dengan poliartritis simetris dan psoriasis tetapi tanpa gambaran klinis (daktilitis, entesitis, terkenanya sendi DIP atau sakroiliaka) atau radiologis yang khas serta faktor reumatoidnya positif mungkin secara bersamaan juga menderita AR. Artritis mutilans. Artritis mutilans akibat osteolisis jari dan tulang metakarpal Cjarang pada kaki) jarang, tetapi jika ada merupakan gambaran yang sangat karakteristik untuk artritis psoriatika. Kelainan ini mengakibatkan timbulnya jari teleskop, ditemukan pada 5 % kasus. Kelainan sendi aksial. Kelairlan sendi aksial &pat terjadi pada penderita artritis perifer yang faktor reumatoidnya negatif dan sering asimtomatik. Pria dan wanita sama kemungkinan terkenanya. Biasanya timbul beberapa tahun setelah artritisperifer. Keluhan low back pain inflamatif atau nyeri dada mungkin tidak ada atau minimal meskipun kelainan radiologis tarnpak lanjut. Manifestasi lain. Peradangan pada tempat melekatnya tendo dan ligarnen pada tulang (entesitis) sebuah gambaran yang karakmistik untuk spondiloartropati sering ditemukan terutama pada insersi tendo Achilles dan fasia plantaris pada hlhneus. Entesopati cenderung lebih sering terjadi pada bentuk oligoartritis. Konyungtifitis tidak jarang,. ditemukan pada 113 kasus. Sebagaimana halnya dengan spondilitis ankilosa, komplikasi seperti insufisiensi aorta, uveitis, fibrosis paru yang mengenai lobus superior dan amiloidosis dapac$rjadi tetapi jarang.



_



Kelainan Kulit Lesi psoriatik yang khas berupa plak kemerahan yang berbatas tegas disertai sisik seperti perak yang tampak jelas. Ditemukan pada permukaan ekstensor siku, lutut, kulit kepala, telinga dan daerah presakral.



Dapat juga ditemukan pada bagian tubuh yang lain seperti telapak tangan dan kaki, bagian fleksor, pinggang bawah, batas rambut, perineum dan genitalia. Ukurannya bervariasi, berkisar dari 1 rnm atau kurang pada psoriasis akut awal sampai beberapa sentimeter pada penyakit yang well-established. Terkenanya kuku merupakan satu-satunya gambaran klinis untuk mengetahui penderita psoriasis mana yang mungkin akan mengalami artritis. Kelainan kuku dapat berupa pitting, onikolisis (terlepasnyakuku dari nail-bed), depresi melintang (ridging) dan retak, keratosis subungual, warna kuning-kecoklatan (oil drop sign) dan leukonychia dengan permukaan yang kasar. Tidak ada kelainan kuku yang spesifik untuk artritis psoriatik. Meskipun pitting tidak jarang pada orang normal, multipel pit (biasanya lebih dari 20) pada satu kuku pada jari yang mengalami daktilitis atau peradangan sendi DIP dianggap khas untuk artritis psoriatik.



PEMERIKSAAN RADIOLOGIS Ada beberapa kelainan radiologis yang khas untuk penyakit ini. Perubahan tulang pada artritis psoriatik merupakan gabungan antara erosi - yang membedakan dengan spondilitis ankilosa - dan produksi tulang dengan distribusi yang spesifik - yang membedakan dengan AR. Gambaran yang khas ialah : 1. Pembengkakan jaringan lunak yang fusifom dengan distribusi bilateral asimetris, mineralisasi yang normal; 2 Hilangnya celah sendi dengan atau tanpa ankilosis sendi IP tangan dan kaki 3. Destruksi sendi IP dengan pelebaran celah sendi; 4. Proliferasi tulang pada pangkal falang distal dan resorpsi ujung falang distal yang bersangkutan; 5. Erosi sendi dengan pengecilan falang proksimal disertai proliferasi tulang falang distal (pencil-in-cup deformity) 6. Flu& periostitis. Kelainan radiologis ditemukan pada (dimulai dari yang paling sering) tangan, kaki, sendi sakroiliaka dan tulang belakang. Sakroiliitis mungkin unilateral atau sirnetris pada fase awal, tetapi dapat berlanjut menjadi fusi bilateral.



DIAGNOSIS BAN.DING Artritis psoriatik perlu dibedakan terutama dari spondiloartropati lain dan AR. Kelainan tulang belakang tidak seberat pada spondilitis ankilosa dan timbul pada usia yang lebih tua (> 30 tahun). Perbedaan lain ialah kelainan psoriatik pada kulit atau kuku, riwayat psoriasis



pada keluarga dan kelainan radiologis yang kurang sirnetris. Adanya daktilitis dan entesitis, kelainan psoriatik pada kulit dan kuku, riwayat psoriasis pada keluarga, terkenanya sendi DIP, faktor reumatoid negatif, adanya kelainan tulang belakang atau sakroiliitis dan adanya pembentukan tulang baru atau ankilosis tulang yang tampak pada pemeriksaan radiologis dapat membantu membedakannya dari AR. Yang lebih sulit ialah membedakan artritis psoriatik dari spondiloartropati seronegatif lain. Artritis reaktif, artritis yang berkaitan dengan penyakit radang usus dan artritis psoriatik memiliki banyak kemiripan dalam gejala klinis.



dihindarkan suntikan steroid lokal melalui lesi psoriatik karena mungkin terdapat koloni kuman disana. Penggunaan anti-TNF untuk pengobatan artritis psoriatik menunjukkan efek yang baik terhadap keluhan artritis perifer dan tulang belakang. Preparat yang banyak digunakan adalah ialah Infliximab dan Etanercept Pada penderita dengan nyeri sendi yang tidak dapat diatasi (intractable) dan hilangnya fungsi sendi, diperlukan tindakan operatif.



PROGNOSIS PENGOBATAN Pembicaraan dalam ha1 ini dititlk beratkan pada pengobatan kelainanlkeluhan sendi. Prinsip dasar penganganan penderita AR atau spondilitis juga berlaku untuk artritis psoriatik. Pengobatan bergantung kepada jenis penyakit sendi (aksial atau perifer) dan beratnya kelainan sendi dan kulit. Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) efektif pada sebagian besar penderita. Pada penderita yang responnya terhadap OAINS tidak adekwat serta penderita dengan penyakit poliartikuler,progresif dan erosif, DMARD hendaknya diberikan sedini mungkin. Metotreksat efektifbaik pada kelainan kulit maupun artritis perifer pada penderita oligoartritis dan monoartritis. Diberikan 7.5 mg - 25 mglminggu, disesuaikan dengan respon dan toleransi penderita. Sulfasalazin 2-3 g/hari bermanfaat pada artritis aksial dan artritis perifer, tetapi tidak bermanfaat untuk kelainan kulit. Kortikosteroid boleh digunakan dalam dosis rendah baik dalam bentuk kombinasi dengan DMARD maupun sebagai bridge therapy sambil menunggu DMARD berkerja. Pengobatan kombinasi ini dipertimbangkan pada penderita dengan penyakit yang agresif dan destruktif, yang tidak memberikan respon adekwat terhadap 1 macam obat, Flare yang hanya mengenai 1 atau 2 sendi dapat diatasi secara baik dengan suntikan kortikosteroid lokal. Hams



Secara ynurn, keluhan sendi artritis psoriatika tidak seberat pada AR. Faktor prognostik yang pasti belum ada. Meskipun demikian, riwayat keluarga adanya artritis psoriatik, onset penyakit dibawah 20 tahun, adanya HLA-DR3 atau DR4, kelainan sendi poliartikuler atau erosif dan kelainan kulit yang luas diduga berkaitan dengan prognosis yang buruk. Penderita seperti ini memerlukan pengobatan yang lebih agresif.



Khan MA : An overview of Clinical Spectrum and Heterogeneity of ~~ond~loarthropathie's. Rheum Dis Clin North Amer 18:1, 1-10, Febr 1992. Boumpas DT, Tassiulas I 0 : Psoriatic Arthritis. Dalam Klippel JH (Ed.) Primer on the Rheumatic Diseases. 11th ed, Arthr Foundation, Atlanta, GA, 1997. Gladman DD : Psoriatic Arthritis : Recent Advances in Pathogenesis and Treatment. Rheum Dis Clin North Amer 18:1, 247-256, Febr 1992. Jackson CG, Clegg DO : The Seronegative Spondyloarthropathies (Ankylosing Spondylitis, Reactive Arthritis, Psoriatic Arthritis). Dalam Weisman MH et al (Eds.) Treatment of the Rheumatic Diseases. Companion to Kelley's Textbook of Rheumatology. 2nd ed., Philadelphia, WB Saunders Co., 200 1 . Inman RD : Treatment of Seronegative Spondyloarthropathy. Dalam Klippel JH (Ed.) Primer on the Rheumatic Diseases. 1 lth ed, Arthr Foundation, Atlanta, GA, 1997.



REACTIVE ARTHRITIS Rudi Hidayat



PENDAHULUAN



PATOGENESIS



Reactive arthritis (ReA) atau sindrom Reiter merupakan salah satu bentuk atau varian dari spondiloartropati seronegatif. ReA didefinisikan sebagai suatu kondisi inflamasi yang steril, setelah adanya infeksi ekstraartikular, terutama infeksi urogenital dan enterik. Banyak studi yang telah dilakukan untuk memahami bagaimana patogenesa terjadinya ReA, dan diduga adanya reaksi imun baik serologis maupun seluler terhadap suatu patogen penyebab, meskipun patogen tersebut tidak dapat diidentifikasi lagi di jaringan maupun cairan sinovial. Insidens lebih banyak ditemukan pada usia dewasa muda (20-40 tahun), tidak ada perbedaan pada laki-laki dan perempuan. Suatu studi prospektif di Swedia mendapatkan insidens ReA adalah 28 kasus 100.000 penduduk, lebih tinggi dibandingkan insiden RA (241100.000). Pada studistudi yang lain seperti di Yunani, Finlandia, dan Norwegia, rata-rata didapatkan 33-10 kasus per 100.000 penduduk. Angka kejadian ini juga dipengamhi oleh karakteristik populasi tertentu, seperti ReA yang lebih sering ditemukan pada populasi Eskimo Alaska, atau ReA yang ditemukan lebih banyak pada kelompok dewasa dibandingkan anak-anak setelah adanya wabah Salmonella. Faktor genetik terutama yang berkaitan dengan human leukocyte antigen-B27 (HLA-B27) juga dianggap berperan. Dari suatu studi epidemologi didapatkan lebih dari 50% kasus ReA atau oligoartritisyang tidak terklasifikasi, didapatkan hubungan dengan patogen yang spesifik baik dengan pemeriksaan serologis maupun kultur. Organisme yang terdeteksi terutama Chlamydia sp (patogen urogenital), Salmonella, Shigella, Yersinia dan Campylobacter sp (patogen enterik). Beberapa organisme yang lain juga terdeteksi dari beberapa studi regional.



Dari berbagai organisme yang telah terbukti menjadi pemicu terjadinya ReA, Chlamydia sp merupakan penyebab paling sering, dan juga paling sering diamati. Pada jaringanlcairan sinovial, atau darah tepi penderita ReA dapat ditemukan Chlamydia DNA, mRNA, rRNA maupun Chlamydia like-cells. Menetapnya Chlamydia sp atau komponennya, karena kemampuan organisme ini untuk menurunkan ekspresi major outer membrane protein, meningkatkan ekspresi heat shock protein (HSP) dan lipopolysaccharide(LPS). Selain itu juga menurunkan ekspresi major histocompatibility complex (MHC) antigen pada permukaan sel yang terinfeksi, meriginduksi apoptosis sel-T dengan cam merangsang produksi lokal tumor necrosing factor (TNF), serta menghambat apoptosis sel host dengan menurunkan pelepasan cytocrome C dan menghilangkanprotein kinase C-delta. Hingga saat ini masih menjadi pertanyaan bagaimana infeksi sebelumnyadapat menyebabkan inflamasi dan erosi (proses autoimun) pada persendian tanpa adanya organisme yang viable. Selain adanya komponen mikroorganisme yang menetap, juga diduga adanya molecular mimicry yang menyebabkan reaktivitas silang sel host dengan antigen microbial. Analisa pada tikus yang terinfeksi S. typhimurium ternyata menghasilkan pembahan peptida tertentu yang homolog dengan peptida dari DNA C. trachomatis. HLA-B27 juga dianggap berperan pada mekanisme molecular mimicry, dimana struktur antigeniknya dapat menyerupai protein dari mikroorganismepencetus. Proses inflamasinya melibatkan fibroblas sinovial yang menimbulkan diferensiasi dan aktifasi osteoklas. Sebagaimana kelompok spondiloartropati seronegatif yang lain, kaitan ReA dengan HLA-B27 telah banyak dianalisa, namun masih belum dapat dibuktikan adanya



hubungan yang kuat seperti pada kasus ankilosing spondilitis. Kecuali dua ha1 yang telah diketahui berhubungan dengan HLA-B27, yaitu sel imun dengan HLA-B27 ternyata kurang efektif kemampuannya membunuh salmonella dibandingkan sel kontrol, dan adanya perangsangan LPS yang menghasilkan peningkatan sekresi TNF. Selain itu dianalisajuga besamya peran sel T CD8+ yang herhubungan dengan molekul MHC kelas I temasukHLA-B27. Observasi pada kelompok individu dengan defisiensi sel T CD4+ termasuk acquired immune deficiency syndrome (AIDS), ternyata masih terdapat manifestasi ReA. GAMBARAN KLlNlS Karakteristik klinis dari ReA adalah oligoartritis asimetrik terutama pada ekstrimitas bawah, meskipun pada 20% kasus dapat berupa poliartritis. Keterlibatan daerah panggul dan 'ekstrimitas atas sangat jarang. Sendi yang terlibat mengalami bengkak, hangat dan nyeri sehingga menyerupai gambaran artritis septik. Aspirasi dan analisa cairan sendi akan membedakan kedua keadaan tersebut. Gejala khas yang lain yaitu entesitis (inflamasi pada insersi ligamenltendon ke tulang), terutarna tendinitis achilles dan fasiitis plantaris. Keluhan sakit pingganghlang belakang dan bokong ditemukan pada lebih dari 50% pasien, tapi tidak progresif seperti pada ankilosing spondilitis. Beberapa manifestasi ekstraartikular dapat membantu penegakan diagnosis, terutama pada keadaan dimana infeksi pemicunya tidak diketahui. Keratoderma blenoragika adalah ruam papuloskuamosa yang mengenai telapak tangan dan kaki. Gambaran klinis dan histopatologinya menyerupai psoriasi pustular, termasuk adanya distropi kuku. Balanitis sirsinata adalah ulkus yang dangkal di batang atau glans penis, berupa plak dan hiperkeratotik. napat ditemukan eritema maupun ulkus yang tidak nyeri di palatum durum atau lidah, lebih jarang di uvula, palatum mole atau tonsil. Sedangkan uveitis anterior akut dapat ditemukan pada 20% kasus, dengan keluhan mata merah, nyeri, berair, kabur dan fotofobia. Gejala sistemik seperti demam dan malaise, atau keterlibatan organ lain seperti ginjal dan jantung lebih jarang ditemukan. Perjalanan penyakitnya diperkirakan akan mereda dalam jangka waktu 3-6 bulan. kecuali pada sekitar 20% kasus yang menetap sampai lebih dari 12 bulan, sebagian besar berhubungan dengan HLA-B27 positif. DIAGNOSIS Hingga saat ini belum ada kriteria diagnosis ReA yang tervalidasi dengan baik, tetapi pada tahun 1996 the Yd International Workshop on Reactive Arthritis telah menyepakati kriteria untuk ReA, yaitu didapatkannya dua



gambaran : 1. Inflamasi akut arthritis, sakit pinggang inflamasi, atau entesitis 2. Bukti adanya infeksi 4-8 minggu sebelumnya Bukti adanya infeksi diperoleh dan hail tes laboratoriurn seperti kultur dari feses, urin, atau swab urogenital, maupun ditemukannya antibodi terhadap patogen. Pemeriksaan laboratoriurnyang lain menunjukkan proses inflamasi yaitu , peningkatan laju endap darah (LED) dan C-reactive protein (CRP). Diagnosis semakin h a t dengan adanya suseptibilitasgenetik HLA-B27, dan ha1 ini ditemukanpada 30-60% kasus. Jika dilakukan pemeriksaan analisa cairan sinovial didapatkan gambaran inflamasi ringan sampaiberat, sedangkan pada biopsi sinovialjuga menunjukkan adanya reaksi inflamasi. Penunjang radiologis dapat diharapkan gambaran entesitis atau sakroilitis dari pemeriksaan ultrasonografi, foto polos, MRI atau CT scan. Probabilitas penegakan diagnosis ReA dapat diperkirakan berdasarkan gambaran klinis, radiologis maupun laboratoris yang ditemukan:



pinggang inflarnasi, atau entesitis PLUS Riwayat adanya gejala uretritis, servisitis atau enteritis akut PLUS Tes bakteri positif (kultur atau serologi) PLUS HLA-627 positif



30 - 50% 70 - 80% >80%



Diagnosis banding yang hams dipikirkan antara lain arthritis septik dengan konsekuensi tata laksana yang sangat berbeda. Selain itu juga hams dibedakan dengan arthritis gout, rheumatoid arthritis, arthritis psoriatik, dan ankilosing spondilitis. Dengan anmnesis yang baik banyak informasi yang dapt digunakan untuk membedakan berbagai diagnosis tersebut.



TATA LAKSANA



. .



Pilihan pertama tata laksana ReA adalah obat anti-inflarn~i' non-steroidal (OAINS), yang pada banyak keadaan marnpu memperbaiki keluhan arthritis, entesitis dan sinovitis akut. Selain itu juga perlu disarankanuntuk menghindari aktifitas yang berlebihan pada sendi yang terlibat. Pada monoartritis dapat diberikan injeksi kortikosteroid intraartikular (pada tempat-tempat yang aman untuk dilakukan injeksi). Sedangkan untuk keratoderma blenoragika, balanitis sirsinata dan uveitis anterior digunakan kortikosteroid topikal yang ringan, seperti golongan hidrokortison valerat. Pilihan berikutnya pada keadaan sinovitis yang menetap



2537



REACTIVE ARTHRITIS



adalah penggunaan sulfasalazin dan metotreksat, seperti pada RA. Kortikosteroid sistemik dianggap tidak banyak memberikan manfaat klinis. Patogenesa ReA yang berkaitan dengan adanya pemicu infeksi sebelumnya, menimbulkan pertanyaan tentang penggunaan antibiotika. Beberapa studi mengmakan siprofloksasin 2x500 mg atau lyrnecyclin 3x300 mg selama tiga bulan, mendapatkan manfaat perbaikan yang signifikan hanya pada ReA dengan pencetus Chlamidya. Penggunaan antibiotika ini dianggap hanya mampu mencegah penyebaran infeksinya, terutama pada kasus yang dapat diisolasi mikroorganisme penyebabnya, dan dianggap tidak mempengaruhi perjalanan penyakit KeA.



PROGNOSIS I'ada umurnnya prognosis baik, dan sebagian besar sembuh total setelah bebernpa bulan. Hanya beberapa kasus rnenjadi kronik dan menetap lebih lama, atau terjadi rekurensi dengan pencetus infeksi yang baru atau faktor stress non-spesifik. Pada beberapa studi juga didapatkan sekitar 20-70% kasus, pada follow-up selanjutnya diketahui mengalami masalah di persendian termasuk osteoartritis.



REFERENSI lnman RD. Reactive and enteropathic arthritis. In : Klippel JH, Stone JH, Croford LJ, White PH, editors. Primer o n the rheumatic diseases. 13Ih ed. New York: Arthritis Foundation; 2008. p. 217-23. Toivanen A. Reactive arthritis: clinical features and treatment. In: Horcberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblat ME, Weisman MH, editors. Rheumatology. 3* ed. Edinburg 2003: Elsevier; 2003, p. 1233-40. David TYY, Peng TF. Reiter's syndrome, undifferentiated spondyloarthropathy, and reactive arthritis. In: Harris ED, Budd RC, Firestein GS, Genovese MC. Sergent JS, Ruddy S, editors. Kelley's textbook of rheumatology. 7" ed. Philadelphia: Elsevier; 2005. p. 1142-54. El-Gabalawy HS, Lipsky PE. Reactive arthritis: etiology and pathogenesis. In: In: Horcberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblat ME, Weisman MH, editors. Rheumatology. 3'* ed. Edinburg 2003: Elsevier; 2003. p. 1225-32. Burmester GR, Dorner T, Sieper J. Spondyloarthritis and chronic idiopathic arthropathies. In: Rose NR, M a ~ k a y , ~ ~ ! ~ e d i t o r s . The autoimmune Diseases. 4Ih ed. Amsterdam: E'lsevler; 2006. p. 437-41. Sieper J, Fendler C, Laitho S, Sorensen H, Gripenberg LC, Hiepe F, et al. No benefit of long-term ciprofloxacin treatment in patients with reactive arthritis and undifferentiated oligoarthritis: a three-month, multicenter, double-blind, randomized, placebo-controlled study. Arthritis Rheum 1999;42(7): 1386-96. Laaslla K, Laasonen L, Repo ML. Antibiotic treatment and long term prognosis of reactlve arthrltls. Ann Rheum Dis 2003;62:655-8.



OSTEOARTRITIS Joewono Soeroso, Harry Isbagio, Handono Kalim, Rawan Broto, Riardi Pramudiyo



PENDAHULUAN Osteoae(~(fis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA. Prevalensi OA lutut radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada pria, dan 12.7% pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang lebih berat nyeri dapat -dirasakanterus menerus sehingga sangat mengganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi yang cukup tinggi dan sifatnya yang kronik-progresif,OA mempunyai dampak sosio-ekonomik yang besar, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena OA. Pada abad mendatang tantangan terhadap dampak OA akan lebih besar karena semakin banyaknya populasi yang berumur tua. Terapi OA pada umumnya simptomatik, misalnya dengan pengendalian faktor-faktor risiko, latihan, intervensi fisioterapi, dan terapi farmakologis, pada OA fase lanjut sering diperlukan pembedahan. Untuk mernbantu mengurangi keluhan nyeri pada OA, biasanya digunakan analgetika atau obat anti-inflamasi non steroid (OAMS). Karena keluhan nyeri pa& OA yang kronik dan progresif, penggunaan OAINS biasanya berlangsung lama, sehingga tidak jarang menimbulkan masalah. Di Amerika, penggunaan OAINS menelurkan sekitar 100.000 pasien tukak lambung dengan 10.000-15.000 kematian setiap tahun. Atas dasar masalah-masalah tersebut di atas, para ahli berusaha mencari terapi farmakologis yang dapat memperlambat progresifitas kerusakan kartilago sendi, bahkan kalau mungkin mencegah timbulnya kerusakan kartilago. Beberapa obat telah dan sedang dilakukan uji pada binatang maupun uji klinis pada manusia. Obat-obat



baru tersebut sering disebut sebagai chondroprotective agents atau disease modifying osteoarthritis drugs (DMOADs).



ETIOPATOGENESIS OSTEOARTRITIS Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer dan OA sekunder. Osteoartritis primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, perturnbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama. Osteoartritis primer lebih sering ditemukan dibanding OA sekunder (Woodhead, 1989;Sunarto, 1990;Rahardjo, 1994). Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari suatu proses ketuaan yang tidak dapat dihindari. Para pakar yang meneliti penyakit ini sekarang berpendapat bahwa OA ternyata merupakan penyakit gangguan homeostasis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas diketahui (Woodhead, 1989). Jejas mekanis dan kimiawi pada sinovia sendi yang terjadi multifaktorial antara lain karena faktor umur, sees mekanis atau penggunaan sendi yang berlebihan, defek anatomik, obesitas, genetik, humoral dan faktor kebudayaan (Moskowitz, 1990).Jejas mekanis dan kimiawi ini diduga merupakan faktor penting yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago didalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadi inflamasi sendi, kerusakan kondrosit dan nyeri (Ghosh, 1990: Pelletier, 1990). Osteoartritisditandai dengan fase hipertrofi kartilago yang berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari sintesis matriks makromolekul oleh kondrosit sebagai kompensasi perbaikan (repair) (Brandt, 1993).Osteoartritis



terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan &Mi, ~bhdddllih&tulitig dan inflarhasi cairan sendi (Woodhead, 1989). Beberapa penelitian membuktikan bahwa rawan sendi ternyata dapat melakukan perbaikan sendiri dimana kondrosit akan mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru (Woodhead, 1989; Dingle, 1991). Proses perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel. Faktor ini menginduksi kondrosit untuk mensistesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan protein seperti kolagen serta proteoglikan. .Eaktor pertumbuhan yang berperan adalah insulin-like growth factor (IGF-I), growth hormon, transforming growth factor p (TGF-P) dan coloni stimulating factors (CSFs). Faktor pertumbuhan seperti IGF-1 memegang peranan penting dalam proses perbaikan rawan sendi. Pada keadaan inflamasi, sel menjadi kurang sensitif terhadap efek IGF- 1 (Pelletier, 1990). Faktor pertumbuhan TGF-P mempunyai efek multipel pada matriks kartilago yaitu merangsang sintesis kolagen dan proteoglikan serta menekan stromelisin, yaitu enzym yang mendegradasi proteoglikan, meningkatkan produksi prostaglandin E, (PGE,) dan melawan efek inhibisi sintesis PGE, oleh interleukin-1 (IL-I). Hormon lain yang inempengaruhi sistesis komponen kartilago adalah testosteron, P-estradiol, platelet derivat growth factor (PDGF), jibroblast growth factor dan kalsitonin (Moskowitz, 1990; Pelletier, 1991) Pathogenesis of OA Pathogenesis of OA T ~ a t r i xdegeneration Cytokin



' Enzymes



1



I



Nitric oxide Genetic



4



Chondroitin $Matrix synthesis



1



Chondroitin



+ Chondroitin



4



Chondroitin IGF-I = insulin like gmwth fector TGF-p transforming gmwth fector



Garnbar 1. Patogenesis OA. Proses perbaikan rawan sendi dan faktor keseimbangan antara sintesis matriks dan hilangnya matriks (surnber : Doherty & Jones, 1994)



Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan metabolisme rawan sendi. Kelebihan produk hasil degradasi matriks rawan sendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan sendi serta mengawali suatu respons imun yang menyebabkan inflamasi sendi (Woodhead, 1989; Pelletier, 1990).Rerata perbandingan antara sintesis dan pemecahan, matriks rawan sendi pada pasien OA kenyataannya lebih



rendah.$$anding,no,rmal yaitu 0,29 dibanding 1 (Dingle, . ,1991j. Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosisjaringan subkhondral tersebut (Ghosh, 1992). Ini mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina lewat subkhondral yang diketahui mengandung ujung saraf sensibel yang dapat menghantarkan rasa sakit (Moskowitz, 1987). Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi (Brandt, 1987), peregangan tendo atau ligamentum serta spasmus otot-otot ekstra artikuler akibat kerja yang berlebihan (Ruoff, 1986). Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses remodelling pada&Ma dan subkondrial(Moskowitz, 1987;Brandt, 1987). Peran makrofag didalam cairan sendi juga penting, yaitu apabila dirangsang oleh jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs, akan memproduksi sitokin aktivator plasminogen (PA) yang disebut katabolin. Sitokin tersebut adalah IL-1, IL-6, TNF a dan P, dan interferon (IFN) a dan z (Moskowitz, 1990; Pelletier, 1990; Dingle, 1991). Sitokin-sitokin ini akan merangsang kondrosit melalui reseptor permukaan spesifik untuk memproduksi CSFs yang sebaliknya akan mempengaruhi monosit dan PA untuk mendegradasi rawan sendi secara langsung. Pasien OA mempunyai kadar PA yang tinggi pada cairan sendinya (Moskowitz, 1990). Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan sendi (Ghosh, 1992). Interleukin-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi, yaitu meningkatkan sistesis enzim yang mendegradasi rawan sendi yaitu stromelisin dan kolagenosa, menghambat proses sintesis dan perbaikan normal kondrosit. Pada percobaan binatang ternyata pemberian human recombinant IL- 1a sebesar 0,O 1ng dapat menghambat sistesis glukoaminoglikan sebanyak 50% pada hewan normal (Dingle, 1991). Kondrosit pasien OA mempunyai reseptor IL-1 2 kali lipat lebih banyak dibanding individu normal (Pelletier, 1990) dan khondrosit sendiri dapat memproduksi IL- 1 secara lokal (Dingle, 1991). Faktor pertumbuhan dan sitokin tarnpaknya mempunyai pengaruh yang berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks rawan sendi, sebaliknya faktor pertumbuhan merangsang sintesis, padahal IGF-1 pasien OA lebih rendah dibandingkan individu normal pada umur yang sama (Moskowitz, 1990;Pelletier, 1990). Percobaan pada kelinci membuktikan bahwa puncak aktivitas sintesis terjadi



-



setelah 10 hari perangsangan dan kembali normal setelah 3-4 minggu (Dingle, 1991).



Kelainan disekitar rawan sendi tergantung pada sendi yang terkena, tetapi prinsipnya adalah adanya tanda-tanda inflamasi sendi, perubahan fungsi dan struktur rawan sendi seperti persambun-gan sendi yang tidak normal, gangguan fleksibilitas, pembesaran tulang serta gangguan fleksi dan ekstensi, terjadinya instabilitas sendi, timbulnya krepitasi baik pada gerakan aktif maupun pasif.



Peran NO (nitric Oxide) pada Kerusakan Kartilago N O merupakan gas yang diproduksi oleh berbagai sel tubuh dan mempunyai peran sentral pada pertahanan tubuh dan imunitas.Produksi NO di rangsang oleh nitric oxide synthase (NOS), dimana terdapat 3 isoforin NOS: Constitutively expressed NOS (cNOS, mis; neuronal cNOS = ncNOS = NOS-I) -. Endothelial cNOS (ecNOS =NOS-III) InducibleNOS (iNOS=NOS-II) NeuronalcNOS dan ecNOS adalah konstitutif dan fisiologis, sedangkan iNOS bersifat patologis. iNOS merangsang produksi NO berlebihan yang kemudian bereaksi dengan 0, membentukperoksinitrit yang toksik. Sakurai dkk. (1995), mendapatkan peningkatan kadar inducible nitric oxide synthase (iNOS) pada pasien OA maupun rheumatoid arthritis (RA). Mc Innes (1996), juga melaporkan peningkatan kadar NO pada kultur kartilago pasien kedua penyakit tersebut. Hayashi dkk (1997), juga mendapatkan adanya peningkatan ekspresi iNOS mRNA pada kartilago pasien OA. Pada eksplan (kultur dari eksisijaringan) kartilago yang di tambah dengan S-nitroso- acetyl penicillamine (donor NO), juga terjadi peningkatan produksi tumor necrosisfactor (TNF) a oleh makrofag dan sinoviosit. NO dapat bersifatpro- inflamasi, karena NO mempunyai efek vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler, walaupun secara kostitutif N O mempunyai efek anti-inflamasi (Tabel 2.) . Efek NO terhadap kondrosit meliputi: inhibisi produksi kolagen dan proteoglikan aktivasi metaloproteinase meningkatkan kepekaan trauma oksidan lain (H,O,) menurunkan ekspresi IL-1 reseptor antagonis inhibisi polimerisasi &tin dan sinyal IL-1 integrin apoptosis (programmed cell death) Kartilago normal tidak memproduksi T W kecuali atas rangsangan IL-1, tetapi pada eksplan kartilago pasien OA dan RA produksi NO masih berlangsung setelah 72 jam pada keadaan tanpa rangsangan lipopolysacharide (LPS),



IL-1 atau TNF yang dapat memperpanjang waktu p a d NOS rnRNA atau protein tertentu. Ini menunjukkan adanya NOS up-regulating factors lain pada kartilago yang meliputi: 1. sitokin dan growth factors produksi kondrosit 2. interaksi dengan komponen matriks yang meningkatkan NOS 3. difusi soluble stimuli ke matriks dari sumber sinovial lain.



cNOS (NOS-I) Lokasi



Stimuli



Lokalisasi kromosom Lokalisasi enzim



Neuron susunan syaraf pusat dan perifer, platelet, sel b, pankreas, sel epitel NMDA, insulin, trombin



Cnos



(NOS-Ill)



(iNOS atau NOS-11)



Endotel, neuron, miosit jantung



Makrofag, endotel, kondrosit, hepatosit, sinoviosit, set otot polos



Asetilkolin, ADP, trombin, shear stress,



Endotoksin, Interferon g, IL-I, TNF a



12 (rnanusia)



VEGF 7 (manusia)



Sitosol



Kaveolae



17 (manusia). Il(tikus)



Sitosol



Pro-inflamasi Vasodilatasi dan hiperpermeabilitas Hypotensi dan kolaps vaskular pada sepsis Efek sitotoksik Aktivasi cyclo-oxygenase Bereaksi dengan 0 2 membentuk peroksinitrit yang toksik lnhibisi sintesis NO pada artritis eksperimental Stimulasi produksi TNFa pada sinoviosit



Pada kartilago sendi sapi yang diberi stres oksidan, menunjukkan NO pada cairan sendi merupakan mediator apoptosis kondrosit yang tergantung IL-1 (IL-1 dependent apoptosis). Proses ini disertai deplesi nicotiamide adenine dinucleotide (NAD) dan aktivasi ensim stress activated protein kinase (SAPK). Pada kultur kartilago pasien OA juga ditunjukkan adanya deplesi NAD dan peningkatan aktivitas SAPK. Aktivasi SAPK juga merangsang produksi metaloproteinase pada kartilago dengan OA. Pada IL- 1 dependent apoptosis IL- 1 yang berperan adalah IL- 1P.



Regulasi NO dan Mediator Radang pada Kartilago Eksplan kartilago OA juga mengekspresikan cyclooxygenase-2 (COX-2) dan prostaglandin E, (PGE,). Inhibisi NOS dengan L-monomethyl-L-arginine (L-NMA) meningkatkan PGE, maupun matrix metalloproteinase-3



(MMP-3) dua kali lipat pada kartilago OA, sedangkan penambahan nitroprusid natrium yang merupakan donor NO, dapat menghambat PGE2 dan MMP-3. Produksi spontan dari mediator inflamasi (NO dan PGE,) pada eksplan kartilago OA dan RA menghasilkan stimuli yang berlanjut dengan degradasi kartilago, misalnya ekspresi IL-1P yang menyebabkan pelepasan NO dan PGE,. IL-6, IL-8 dan TNF juga terlibat dalam degradasi kartilago. NO dan PGE, juga meningkatkan IL-17 yang independen dengan peningkatan IL- 1P.



FAKTOR-FAKTOR RlSlKO OSTEOAR'TRITIS



Untuk penyakit dengan penyebab yang tak jelas, istilah faktor risiko (faktor yang meningkatkan risiko penyakit) adalah lebih tepat. Secara garis besar faktor risiko untuk timbulnya OA (primer) adalah seperti di bawah ini. Hams diingat bahwa masing-masing sendi mempunyai biomekanik, cedera dan persentase gangguan yang berbeda, sehingga peran faktor-faktor risiko tersebut untuk masing-masing OA tertentu berbeda. Dengan melihat faktor-faktor risiko ini, maka sebenarnya semua OA individu dapat dipandang sebagai Faktor yang mempengaruhi predisposisi generalisata. Faktor-faktor yang menyebabkan beban biomekanis tak normal pada sendi-sendi tertentu. Kegemukan, faktor genetik dan jenis kelarnin adalah faktor risiko umum yang penting. Umur Dari semua faktor risiko untuk timbulnya OA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya OA semakin meningkat dengan bertambahnya umur. OA hampir tak pemah pada anak-anak, jarang pada umur di bawah 40 tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun. Akan tetapi harus diingat bahwa OA bukan akibat ketuaan saja. Perubahan tulang rawan sendi pada ketuaan berbeda dengan perubahan pada OA. Jenis Kelamin Wanita lebih sering terkena OA lutut dan OA banyak sendi, dan lelaki lebih sering terkena OA paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan, di bawah 45 tahun frekuensi OA kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi di atas 50 tahun (setelah menopause) frekuknsi OA lebih banyak pada wanita daripada pria. Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis OA. Suku Bangsa Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada OA nampaknya terdapat perbedaan di antara masing-masing suku bangsa. Misalnya OA paha lebih jarang di antara orang-orang kulii hitam dan Asia daripada Kaukasia. OA lebih sering



dijumpai pada orang-orang~merikaasli (Indian) daripada orang-orang kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan Genetik Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA misalnya, pada ibu dari seorang wanita dengan OA pada sendi-sendi interfalang distal (nodus Heberden) terdapat 2 kali lebih sering OA pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya perempuan cenderung mempunyai 3 kali lebih sering, daripada ibu dan anak perempuanperempuan dari wanita tanpa OA tersebut. Adanya mutasi dalam gen prokolagen I1 atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan XII, protein pengikat atau proteoglikan dikatakan berperan dalam timbulnya kecendemgan familial pada OA tertentu (terutama OA banyak sendi). Kegemukan dan Penyakit Metabolik Berat badan yang berlebih nyata berkaitan dengan meningkatnya risiko untuk timbulnya OA baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan temyata tak hanya berkaitan dengan OA pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan OA sendi lain (tangan atau stemoklavikula). Oleh karena itu di samping faktor mekanis yang berperan (karena meningkatnya beban mekanis), diduga terdapat faktor lain (metabolik) yang berperan pada timbulnya kaitan tersebut. Peran faktor metabolik dan hormonal pada kaitan antara OA dan kegemukan juga disokong oleh adanya kaitan antara OA dengan penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan hipertensi. Pasien-pasien osteoartritis temyata mempunyai risiko penyakit jantung koroner dan hipertensi yang lebih tinggi daripada orang-orang tanpa osteoartritis. Cedera Sendi, Pekerjaan dan Olah raga Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi yang terus menerus (misalnya tukang pahat, pemetii kapas) berkaitan dengan peningkatan risiko OA tertentu. Demikian juga cedera sendi dan olah raga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan risiko OA yang lebih tinggi. Peran beban benturan yang berulang pada timbulnya OA masih menjadi pertentangan. Aktivitas-aktivitastertentu dapat menjadi predisposisi OA cedera traumatik (misalnya robeknya meniscus, ketidak stabilan ligamen) yang dapat mengenai sendi. Akan tetapi selain cedera yang nyata, hasil-hasil penelitian tak menyokong pemakaian yang berlebihan sebagai suatu faktor untuk timbulnya OA. Meskipun demikian, beban benturan yang berulang dapat menjadi suatu faktor penentu lokasi pada orang-orang yang mempunyai predisposisi OA dan dapat berkaitan dengan perkembangan dan beratnya OA.



-



Kelainan Pertumbuhan Kelainan kongenital dan pertumbuhan paha (misalnya penyakit Perthes dan dislokasi kongenital paha) telah dikaitkan dengan timbulnya OA paha pada usia muda. Mekanisme inijuga diduga berperan pa& lebih banyaknya OA paha pada laki-laki dan ras tertentu. Faktor-faktor Lain Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan risiko timbulnya OA. Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (kern) talc membantu mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi. Akibatnya tulang rawan sendi menjadi lebih mudah robek. Faktor ini diduga berperan pada lebih tingginya OA pada orang gemuk dan pelari (yang umumnya mempunyai tulang yang lebih padat) dan kaitan negatif antara osteoporosis dan OA. Merokok dilaporkan menjadi faktor yang melindungi untuk timbulnya OA, meskipun mekanismenya belum jelas. Faktor-faktor untuk Timbulnya Keluhan Bagaimana timbul rasa nyeri pada OA sampai sekarang masih belum jelas. Demikian juga faktor-faktor apa yang membedakan OA radiografik saja (asimtomatik)dan OA simtomatik masih belum diketahui. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita clan orang yang gemuk cenderung lebih sering mempunyai keluhan daripada orang-orang dengan perubahan yang lebih ringan. Faktor-faktor lain yang diduga meningkatkan timbulnya keluhan ialah hipertensi, merokok, kulit putih dan psikologis yang tak baik. Gangguan



1



Cedera



1



Ketidaksfabllan



Kelainan metabolik



Ketuaan. faktor-faktor intrinsik. ekstrinsik



lama.



Pada umumnya pasien OA mengatakan bahwa keluhankeluhannya sudah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan-lahan.



Nyeri Sendi Keluhan ini merupakan keluhan utama yang seringkali membawa pasien ke dokter (meskipun mungkin sebelumnya sendi sudah kaku dan berubah bentuknya). Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibanding gerakan yang lain. Nyeri pada OA juga dapat berupa penjalaran atau akibat radikulopati, misalnya pada OA semikal dan lumbal. OA lumbal yang menimbulkan stenosis spinal mungkin menimbulkan keluhan nyeri di betis, yang biasa disebut dengan claudicatio intermitten. Hambatan Gerakan Sendi Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.



Keluhanlketldakmarnpuan: rlngadudak ada



,



tulang belakang, lutut dan paha) adalah nyata sekali. Sebagai perbandingan, OA siku, pergelangan tangan, glenohumeral atau pergelangan kaki jarang sekali dan terutama terbatas pada orang tua. Distribusi yang selektif seperti itu sampai sekarang masih sulit dijelaskan. Salah satu teori mengatakan bahwa sendi-sendi yang sering tekena OA adalah sendi-sendi yang paling akhir mengalami perubahan-perubahan evolusi, khususnya dalam kaitan dengan gerakan mencengkeram dan berdiri dua kaki. Sendi-sendi tersebut munglun mempunyai rancang bangun yang sub optimal untuk gerakan-gerakan yang mereka lakukan, mempunyai cadangan mekanis yang tak mencukupi, dan dengan demikian lebih sering gagal daripada sendi-sendi yang sudah mengalami adaptasi lebih



Dekwrnpensata



Keluhan/keUdakrnarnpuan:



I(



Osteoflt Osteoflt



I



Metabolsme Kondrcslt



Jawaban Slnovlel



Reaksl kapsul



I1



I



Gambar 4. Penggambaran OA sebagai suatu proses petbalkan yang dapat kornpensata atau gagal dalamjawaban pada betbagai gangguan



Kaku Pagl Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur.



SENDlSENDl YANG 'TERKENA



Krepltasl Rasa gemeretak (kadang-kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit.



Adanya predileksi OA pada sendi-sendi tertentu (carpometacarpal I, metatarsophalangeal I, sendi apofiseal



Pembesaran Sendi (deformltas) Pasien mungkin menunjukkan bahwa salah satu sendinya



(seringkali terlihat di lutut atau tangan) secara pelan-pelan membesar. Perubahan Gaya Berjalan Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan paasien. Hampir semua pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul berkembang menjadi pincang. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA yang umumnya tua.



PEMERIKSAAN FlSlS Harnbatan Gerak Perubahan ini seringkali sudah ada mekipun pada OA yang inasih dini (secara radiologis). Biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa dogoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja). Krepitasi Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinis OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar sampai jarak tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif di manipulasi. Pernbengkakan Sendi yang Seringkali Asirnetris Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tak banyak (< 100 cc). Sebab lain ialah karena adanya osteofit, yang dapat mengubah permukaan sendi. Tanda-tanda Peradangan Tanda-tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada OA karena adanya sinovitis. Biasanya tanda-tanda ini tak menonjol dan timbul belakangan, seringkali dijumpai di lutut, pergelangan kaki dan sendi-sendi kecil tangan dan kaki. Perubahan Bentuk (deformitas) Sendiyang permanen Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahan permukaan sendi, berbagai kecacatan dan gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan sendi.



Perubahan Gaya Berjalan Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan. Terutama dijumpai pada OA lutut, sendi paha dan OA tulang belakang dengan stenosis spinal. Pada sendi-sendi lain, seperti tangan bahu, siku dan pergelangan tangan, osteoartritis juga menimbulkan gangguan fungsi.



PEMERIKSAANDlAGNOSTlK Diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis. Radiografis Sendi yang Terkena Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi yang terkena osteoartritis sudah cukup memberikan garnbaran diagnostik yang lebih canggih. Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA ialah : Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung beban). Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral. Kista tulang Osteofit pada pinggir sendi Perubahan struktur anatomi sendi. Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi di atas, secara radiografi OA dapat digradasi menjadi ringan sampai berat (kriteria Kellgren dan Lawrence). Harus diingat bahwa pada awal penyakit, radiografi sendi seringkali masih normal. Pemeriksaan penginderaan dan radiografi sendi lain. Pemeriksaan radiografi sendi lain atau penginderaan magnetik mungkin diperlukan pada beberapa keadaan tertentu. Bila osteoartritis pada pasien dicurigai berkaitan dengan penyakit metabolik atau genetik seperti alkaptonuria, oochronosis, displasia epifisis, hiperparatiroidisme, penyakit Paget atau hemokromatosis (terutama pemeriksaan radiografi pada tengkorak dan tulang belakang). Radiografi sendi lain perlu dipertimbangkanjuga pada pasien yang mempunyai keluhan banyak sendi (osteoartritis generalisata). Pasien-pasien yang dicurigai mempunyai penyakitpenyakit yang meskipun jarang tetapi berat (osteonekrosis, neuropati Charcot, pigmented sinovitis) perlu pemeriksaan yang lebih mendalam. Untuk diagnosis pasti penyakit-penyakit tersebut seringkali diperlukan pemeriksaan lain yang lebih canggih seperti sidikan tulang, penginderaan dengan resonansi magnetic (MRI), artroskopi dan artrografi. Pemeriksaan lebih lanjut (khususnya MRI) dan mielografi mungkinjuga diperlukan pada pasien dengan



----



-~



-



.



.



.,



.



.'



.



OA tulang belakang untuk menetapkan sebabLsebab gejala dan keluhan-keluhan kompresi radikulk atau medulla spinalis.



i,,.;:



Hasil pemeriksaan laboratorium p a d a - biasanya ~~ tak banyak berguna. Darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah) dalam batas-batas normal, kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan artritis peradangan. Pemeriksaan imunologi'(ANA, faktor reumatoid dan komplemen) juga normal,.Pada OA yang disertai peradangan, mungkin didapatkan . penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan ringan sel peradangan (10 mmHg; bruit pada aorta atau cabang-cabang utamanya; hipertensi (relatif terhadap data normotensi pada anak) Kriteria wajib: Suatu penyakit sistemik yang khas dengan adanya vaskulitis nekrosis arteri kecil dan sedang pada biopsi ATAU angiografi yang abnormal (aneurisma atau oklusi) ditarnbah 22 kriteria berikut: keterlibatan kulit (livedo retikularis; nodul subkutaneus yang nyeri pada penekanan dan lesi vaskulitis lain); mialgia atau nyeri tekan otot; hipertensi sistemik (relatif terhadap data normotensi pada anak); mononeuropati atau polineuropati; analisis urin yang abnormal atau gangguan fungsi ginjal; nyeri dan nyeri tekan testis; tanda dan gejala mengarah pada vaskulitis sistim organ tubuh (gastrointestinal,jantung, pulmonal atau sistim saraf pusat) Kriteria wajib: Demam menetap sekurang-kurangnya 5 hari ditarnbah 24 dari 5 kelainan berikut: Adanya perubahan pada ekstremitas bagian perifer atau area perineal; - eksantem polimorfi; injeksi konjungtiva bilateral; perubahan pada bibir dan rongga mulut (injeksi mukosa mulut dan farings); limfadenopati servikal; Jika terdapat keterlibatan arteri koronaria (terdeteksi lewat ekokardiografi maka demam ditambah 100.000/uldarah mknandakan infeksi yang berat. Hitung parasit pentiig untuk menentukan prognosa penderita malaria, walaupun komplikasi juga dapat timbul dengan jumlah parasit yang minimal. Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, atau Leishman's, atau Field's dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang cukup baik.



Tes Antigen : P-F test Yaitu mendeteksi antigen dari PFalciparum (Histidine Rich Protein II). Deteksii sangat cepat hanya 3 - 5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, tidak memerlukan alat khusus. Deteksi untuk antigen vivaks sudah beredar di pasaran yaitu dengan metode ICT. Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium (pLDH) dengan cara immunochromatographic telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL. Optimal dapat mendeteksi dari 0 - 200 parasidul darah dan dapat membedakan apakah infeksi P Falciparum atau P viva. Sensitivitas sampai 95% dan hasil positif salah lebih rendah dari tes deteksi HRP-2. Tes ini sekarang dikenal sebagai tes cepat (Rapid Test). Tes ini tersedia dalam berbagai nama tergantung pabrik pembuatnya Tes Serologi Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tehnik indirectfluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibodi specifik terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200 dianggap sebagai infeksi baru; dan test > 1: 20 dinyatakan positip. Metode-metode tes serologi antara lain indirect haemagglutination test, immuno-precipitation techniques, ELISA test, radio-immunoassay. Pemeriksaan PCR (PolymeraseChain Reaction) Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.



DIAGNOSIS BANDING MALARIA Demam merupakan salah satu gejala malaria yang menonjol, yang juga dijumpai pada hampir semua penyakit infeksi seperti infeksi virus pada sistim respiratorius, influenza, bruselosis, demam tifoid, demam dengue, dan infeksi bakterial lainnya seperti pneumonia, infeksis saluran kencing, tuberkulosis. Pada daerah hiper-endemik sering dijumpai penderita dengan imunitas yang tinggi sehingga penderita dengan infeksi malaria tetapi tidak menunjukkan gejala klinis malaria. Pada malaria berat diagnosa banding tergantung manifestasi malaria beratnya. Pada malaria dengan ikterus, diagnosa banding ialah demam tifoid dengan hepatitis, kolesistitis, abses hati, dan leptospirosis. Hepatitis pada saat timbul ikterus biasanya tidak dijumpai demarn lagi. Pada malaria serebral harus dibedakan dengan infeksi pada otak lainnya seperti meningitis, ensefalitis, tifoid ensefalopati, tripanososmiasis. Penurunan kesadaran dan koma dapat terjadi pada gangguan metabolik (diabetes, uremi), gangguan serebrovaskular (strok), eklampsia, epilepsi, dan tumor otak.



MALARIA PADA KEHAMILAN Malaria lebih sering dijumpai pada kehamilan trimester I dan I1 dibandingkan pada wanita yang tidak hamil. Malaria berat juga lebih sering pada wanita hamil dan masa puerperium di daerah mesoendemik dan hipoendemik. Hal ini disebabkan karena penurunan imunitas selama kehamilan. Beberapa faktor yang menyebabkan turunnya respon imun pada kehamilan seperti : peningkatan dari hormon steroid dan gonodotropin, a foetoprotein dan penurunan dari lmfosit menyebabkan kemudahan terjadinya infeksi malaria. Ibu hamil dengan infeksi HIV cenderung mendapat infeksi malaria dan sering mendapatkan malaria congenital pada bayinya dan berat bayi lahir rendah. Komplikasi pada kehamilan karena infeksi malaria ialah abortus, penyulit pada partus (anemia, hepatosplenomegali), bayi lahir dengan berat badan rendah, anemia, gangguan fungsi ginjal, edema paru, hipoglikemia dan malaria kongenital. Oleh karenanya perlu pemberian obat pencegahan terhadap malaria pada wanita hamil di daerah endernik. Pencegahan terhadap malaria pada ibu hamil dengan pemberian klorokuin 250 mg tiap minggu mulai dari kehamilan trimester I11 sampai satu bulan postP.-



PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN MALARIA Yaitu penyakit atau keadaan klinik yang sering dijurnpai



MALARIA



pada daerah endemik malaria yang ada hubungannya dengan infeksi parasit malaria yaitu Sindrom Splenomegali Tropik (SST), Sindroma Nefiotik (NS) dan Burkit Lirnfoma @L).



Sindrom Splenomegali Tropik (SST) SST sering dijumpai dinegara tropik yang penyebabnya antara lain malaria, kala-azar, schistosomiasis, disebutjuga Hyperreactive Malarial Splenomegaly (Big Spleen Disease) SST berbeda dengan splenomegali karena malaria. Splenomegalikarena malaria sering dijumpai di daerah endernik malaria dengan parasitemia intermitendan ditemukan hemozoin (pigmen malaria) pada sistem retikulo-endotelial. Sering pada umur dewasa dengan terbentuknya imunitas, parasitemia men&lang dan limpa mengecil. Pada SST terjadi pada penduduk daerah endemik biasanya anak-anak, spleen tidak mengecil, bahkan membesar, terjadi peningkatan serum IgM and antibodi terhadap malaria. Etiologi diduga merupakanrespon imunologkterhadap malaria dimana terjadi peningkatan dari IgM. Gejala klinik berupa bengkak pada perut karena splenomegali, merasa lemah, anoreksia, berat badan turun dan anemia. Pembesaran limpa mencapai umbilikus sampai fossa iliaka (derajat 4-5 Hackett). Anemia biasanya normokromik-normositik dengan peningkatan retikulosit. Anemia hemolitik dapat terjadi pada kehamilan dengan SST, sedangkan trombositopenia jarang menyebabkan manifestasi perdarahan. Kriteria diagnostik yang dipakai untuk menegakkan SST yaitu : splenomegali (limpa > 10 cm bawah arcus costarum) dan anemia. antibodi terhadap malaria meningkat IgM meningkat > 2 SD dari normal setempat penurunan besarnya limpa, IgM dan antibodi setelah 3 bulan pengobatan kemoprofilaktis limfositosis pada sinusoid hati respons imunitas selluler dan hurnoral normal terhadap antigen. respons limfosit normal terhadap Phytohaemagglutinin (PHA) . hipersplenism terjadi hanya pada beberapa kasus dan berhubungan dengan besarnya splenomegali limfositosis perifer dan pada sumsum tulang. volume plasma meningkat. Pengobatan : pemberian kemoprofilakstis dalam jangka waktu panjang akan menurunkan besarnya limpa dan immunogolbulin. splenektomi tidak dianjurkan karena mortalitas yang meningkat karena memudahkan terjadinya infeksi. tanpa pengobatan prognosis jelek, 50% meninggal dalamfollow up.



2821 Sindrom Nefrotik Sindrom nefrotik (SN) dengan gambaran karakteristik berupa albuminuria, hipoalbumin, edema dan hiperkolesterolemia, dapat terjadi pada penderita anakanak dengan infeksi plasmodium malariae. Gambaran patologi dapat bervariasi berupa penebalan setempat dari kapiler glomerulus, sklerosis sebagian, dan peningkatan sel-sel mesangial. Gambaran klinik penderita umumnya < 15 tahun, edema, proteinuria > 3 g/24 jam, serum albumin < 3 g/dl, dan dijumpai asites. Hipertensi dan uremi dijumpai pada penderita SN dewasa dan jarang pada anak-anak. Komplikasi berupa infeksi, trombosis yang dapat menyebabkan kematian. Pengobatan secara konservatif dengan pemberian diuretika, diet, mengkontrol hipertensi dan mencegah infeksi. Pemberian steroid hanya bermanfaat pada lesi minimal dan biasanya mudah relaps. Apabila steroid tidak berhasil dapat dicoba dengan siklofosfamid, azathioprin. Pemberian hanya obat antimalaria pada SN oleh karena malaria tidak menunjukkan manfaat, akan tetapi penulis lain menyatakan perbaikan yang dramatik. Akan tetapi Giles dalam penelitian di Nigeria mengobati SN dengan anti malaria selarna 6 bulan temyata tidak membawa hasil. Burkitt's Limfoma (BL) Pada daerah hiper atau holo-endemik malaria sering dijumpai Burkttt's limfoma yaitu merupakan tumor limfosit B. Terjadinya tumor ini belum diketahui, diduga gangguan pada sel-sel penolong/supresi T dipengaruhi oleh P falciparum sehingga sel limfosit T kurang menghambat pembiakan virus Epstein Ban: BL sering dijumpai pada usia 2 - 16 tahun dengan puncak pada usia 4 dan 9 tahun, dan pria lebih sering dari wanita. Tumor dijumpai pada rahang atau massa pada perut, ovarium, ginjal dan kelenjar limfe mesenterial. Tumor dapat berkembang dengan cepat, ukuran dapat menjadi dobbel dalam 3 hari dan pada gastro intestinal dapat memberikan tanda-tanda obstruksi. Pengobatan dengan sitostatika memberikan survival yang panjang kira-kira 50%.



Malaria Oleh Karena Trasfusi Darah Malaria karena transfusi darah dari donor yang terinfeksi malaria cukup sering terutama pada daerah yang menggunakan donor komersial. Dilaporkan 3500 kasus malaria oleh karena transfusi darah dalam 65 tahun terakhir. Parasit malaria tetap hidup dalam darah donor kira-kira satu minggu bila dipakai anti-coagulant yang mengandung dekstrose dapat sampai 10 hari. Bila komponen darah dilakukan ciyopresewed, parasit dapat hidup sampai 2 tahun. Inkubasi tergantung banyak faktor, asal darah, berapa banyak darah dipakai, apa darah yang disimpan di Bank Darah, dan sensitivitas dari penerima darah. Umumnya inkubasi berkisar 16 - 23 hari (bervariasi P



falciparum 8 - 29 hari, l?vivax 8 - 30 hari). Bila seseorang pernah mendapat transhsi darah, dan setelah 3 bulan terjadi demam yang tak jelas penyebabnya, harus dibuktikan terhadap infeksi malaria dengan pemeriksaan darah tepi berkali-kali tiap 6-8 jam.



Pencegahan terhadap malaria akibat transfusi : deteksi darah donor dengan pemeriksaan tetes tebal : biasanya sulit karena parasit malaria biasanya hanya sedikit. pemeriksaan serologis donor dengan metode indirect fluorescent antibody (IFA), bila negatif boleh sebagai donor, bila hasill :256 tidak boleh sebagai donor (infeksi baru). pengobatan pencegahan untuk semua donor darah rutin. pengobatan terhadap donor tiba-tiba, 48 jam sebelum Parah diambil. pengobatan terhadap recipient (penerima darah)



RESlSTENSl TERHADAP OBAT MALARIA Kira-kira 40 tahun lalu telah terdeteksi beberapa strain PFalciparum yang resisten terhadap proguanil dan pirimetamin. Ini menandakan kemampuan PFalciparum tetap hidup dengan pemberian kemoterapi anti malaria. Beberapa laporan tentang resisten terhadap obat malaria, yaitu terhadap 4 Aminokuinolin (Klorokuin dan Amodiakuin) tahun 1957 di Thailand dan tahuii 1959 diperbatasan Kolumbia dan Venezuela. Tahun 1978 dilaporkan beberapa daerah Afrika yang resisten terhadap klorokuin, yaitu Kenya, pulau Komoro, Madagaskar, Tanzania,Uganda dan Zambia, dan tahun 1983 di daerah Pasifik Barat, India dan Cina Selatan.Tahun 1993beberapa daerah PFalciparum yang masih sensitif terhadap klorokuin antara lain Karabia, Terusan Panama, Oman dan daerah perbatasan Yaman dengan Arab Saudi. Malaria Falsiparum yang resisten terhadap klorokuin in vitro atau in vivo pernah dilaporkan di 27 propinsi Indonesia dengan bervariasi dari derajat RI - RIII. Resistensi terhadap sulfadoksin-pirimetamindi 11 propinsi (Irianjaya, Lampung, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Aceh, Riau, Sulawsi Selatan, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara), dengan derajat RI-RII, resisten terhadap kina di 5 propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, NTT, Irian Jaya dan Kalimantan Timur) sedangkan terhadap meflokuin di 3 propinsi (Jawa Tengah, Irian Jaya dan Kalimantan Timur) dengan derajat RI - RIII dan Halofantrin di Kalimantan Timur, walaupun obat-obatan tersebut belum dipakai di Indonesia. Kasus resistensi yang ditemukan di DIU Jakartadan Bali adalah merupakan kasus impor. Dalam 5 tahun terakhir perkembangan kasus resistensi sudah demikian meluas, tercatat sudah lebih dari 10 propinsi yang mengalami resistensi lebih dari 25% terhadap obat klorokuin maupun SP.



Respons



Keterangan



Kegagalan Pengobatan Dini (ETF= Early Treatment Failure)



Bila penderita berkembang dengan salah satu keadaan : - Ada tanda bahayalmalaria berat pada H1,H2,H3 dan parasitemia. - Parasitemia pada H2 > HO. - Parasitemia pada H3 >= 25 % HO. - Parasitemia pada H3 dengan Temp. > 37,5 C Kegagalan Bila penderita berkembang dengan salah Pengobatan satu keadaan sbb pada H4-H28 yang Kasep sebelumnya tidak ada persaratan ETF (LTF=Late sbb: Treatment Failure) - Ada tanda bahayal malaria berat setelah H3 dan parasitemia (jenis parasit =HO). - Parasitemia pada H4 - H 28 disertai temperature > 37,5C disebut Late clinical Failure = LCF ) - Parasitemia pada H71 HI41 H211 H28 (jenis parasit=HO), tanpa demam disebut Late ParasitologicalFailure ( LPF) Respon Klinis Bila pe;lderita sebelumnya tidak Memadal berkembang dengan salah satu (ACR=Appropriate persaratan ETF dan LTF, dan tidak ada Clinical Respon) parasitemia selama diikuti.



DETEKSI RESlSTENSl TERHADAP OBAT MALARIA Tes In Vivo Secara praktis, dugaan resistensi terhadap obat malaria dapat dilihat pada kasus akut malaria falsiparum yang tidak berespon dengan pengobatan standar atau terjadi rekrudesensi dari gejala dan parasit dalam darah yang terdeteksi setelah hilang sementara waktu oleh karena pengobatan. Kriteria untuk mengetahui parasit malaria resisten terhadap 4 Aminokuinolin dipergunakan sejak tahun 1974 sebagai prosedur baku untuk menentukan respons parasit malaria terhadap klorokuin dan telah direkomendasi oleh WHO. Tes in vivo meliputi tes standard yaitu dilakukan pemeriksaan darah tets tebal malaria setiap hari selama 7 hari yang biasanya dilakukan di RS atau PUSKESMAS rawat nginap; atau tes diperpanjangllengkap (extended test) yang basanya dilakukan di lapangantdi lokasi yaitu tes selama 28 hari, pemeriksaan malaria ditambah dengan hari 14,21 sarnpai 28 hari setelah pengobatan. Untuk mengetahui resistensi lebih awal dipergunakan tes 3 hari (SimpliJied 3 days resistency test), yaitu dilakukan pemeriksaan malaria tiap hari sampai 48 jam setelah pengobatan (hari ke-3). Interpretasi hasil tes : resisten derajat I11 : bila parasit tidak menurun atau malahan naik pada standard tes 7 hari; atau hitung



parasilt pqd8 48 jam pengobatan tidak turun di bawah 75 % m Q n l& a q hari I (sebelum terapi) pada tes 3 hari. 9 resisten' hrajat I1 : bila parasit menurun tetapi tidak pernah hilang selama 7 hari atau hilang sementara kemudian mupcul kembali pada hari ke-7 pada tes standar. * resistensi derajat I dini : parasit menjadi negatip selama 7 hari, tetapi muncul kembali setelah hari ke-8 sampai hari ke-14. * resistensi derajat I kasep :parasit menjadi negatif selama 7 hari, tetapi muncul kembali setelah hari ke- 15 sampai hqi ke- 28. Tes resistensi di atas hanya ditentukan berdasarkan pemeriksaan parasit, oleh karena WHO pada tahun 1996 yang disempurnakan pada tahun 2001 menetapkan penentuan respons terhadap pengobatan yang memasukkan kriteria klinis di samping pemeriksaan parasitologis. ,



,



Tes In Wtro Dengan menggunakan:tes standar kit yang didistribusi oleh WHO di Manila. Medium yang sama digunakan pada TRAGER'S kultur. Tes terdiri dari :



Nama Obat Artesunat



KemasanfrableV C ~ D Oral : 50 m i l 200mg lnjeksl imliv : 60 mglamp



Artemeter



Suppositoria : 1001 200 mglsup Oral : 40mgI 50mg lnjeksi 80 mglamp



Artemisinin



Oral 250mg Suppositoria: 100120013001 4001 500mglsupp



1



Dihidroarte mlslnin



Artheether



Asam artellnlk



Oral : 20/60/80 mg Suppositoria : 80 mgl sup lnjeksi i.m : 150mglamp



Dosis Hari 1 : 2 mglkg BE, 2 x sehari, hari II-V : dosis tunggal 2,4 mglkg hari 1; 1,2 mglkgl hari minimal 3 hari Ibisa minum oral 1600 mgl 3 hari atau 5 mglkgl12 jam 4mglkg dibagi 2 dosis hari I; 2rngIkgl hari untuk 6 hari 3,2 mglkg BE pada hari I; 1,6 mglkg selama 3 haril bisa minum oral 20mgIkg dibagi 2 dosis hrl; l0mgIkg untuk 6 hari 2800mgl3 harl; yaitu 600 mg dan 400mg hari I dan 2 x 400 mg , 2 hari berikutnya 2mglkg BBIdosis 2 x seharl hari I dan Ix sehari 4 hari selanjutnya



p arteeher (artemotil) : 4,8 dan 1,6 rnglkg 6 jam kemudian dan hari 1; 1,6 mglkg 4 harl selanjutnya



piringan plastik ukuran 8 X 12 cm,mengandung 12 obat yang diencerkan (klorokuin, quinine atau meflokuin sesuai kebutuhan) dan kontrol. darah heparinEDTAditeteskanpadamedi~rn~kemudian diinkubasi pada suhu 37,50 C selama 24 - 26 jam setelah itu supernatan diambil dan dibuat preparat tebal. setelah pengecatan, hasil tes didapat dengan menghitung proporsi schizont dewasa dibandingkan dengan kontrol.



PENANGANAN PENDERITATANPAKOMPLlKASl (MALARIA BIASA)



Semua individu dengan infeksi malaria yaitu mereka dengan ditemukannya plasmodium aseksual didalam darahnya, malaria klinis tanpa ditemukanparasit dalam darahnya perlu diobati. Prinsip pengobatan malaria : I). Penderita tergolong malaria biasa (tanpa komplikasi) atau penderita malaria berat/ dengan komplikasi. "Penderita dengan komplikasil malaria berat memakai obat parenteral (lihat bab. Penanganan Malaria berat), malaria biasa diobati dengan per oral"; 2). Penderita malaria harus mendapatkan pengobatan yang efektif, tidak terjadi kegagalan pengobatan dan mencegah terjadinya transmisi yaitu dengan pengobatan ACT (Artemisinin base Combination Therapy); 3). Pemberian pengobatan dengan ACT hams berdasarkan hasil pemeriksaan malaria yang positif dan dilakukan monitoring efeklrespon pengobatan; 4). Pengobatan malaria klinisl tanpa hasil pemeriksaan malaria memakai obat non-ACT PENGOBATAN PENDERITA MALARIA



Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria dengan memakai obat ACT (Artemisinin base Combination Therapy). Golongan artemisinin (ART) telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten dengan pengobatan. Selain itu artemisinin juga bekerja membunuh plasmodium dalam semua stadium termasuk gametosit. Juga efektif terhadap semua spesies, I?falciparum, I?vivax maupun lainnya. Laporan kegagalan terhadap ART belum dilap~rkansaat ini. Golongan Artemisinin Berasal dari tanaman Artemisia annua. L yang disebut dalam bah. Cina sebagai Qinghaosu. Obat ini termasuk kelompok seskuiterpen lakton mempunyai beberapa formula seperti : artemisinin, artemeter, arte-eter, artesunat, asam artelinik dan dihidroartemisinin. Obat ini bekerja sangat cepat dengan paruh waktu kira-kira 2 jam, larut dalam air, bekerja sebagai obat sizontocidal darah. Karena



-



beberapa. penelitian bahwa pemakdan obat tunggal menimbulkan terjadinya rekrudensi, makii direkomendasikan untuk dipakai dengan kombinasi obat lain,. Dengan demikianjuga akan memperpendek pemakaian obat. Obat ini cepat diubah dalam bentuk aktifnya dan penyediaan a& yang oral, parenterallinjeksi dan suppositoria.



PengobatanACT (Artemisinin base Combination Therapy) Penggunaan golongan artemisinin secara monoterapi akan mengakibatkan terjadinya rekrudensi. Karenanya WHO memberikan petunjuk penggunaan artemisinin dengan mengkombinasikan dengan obat anti malaria yang lain. Hal ini disebut Artemisinin base Combination Therapy (ACT). Kombinasi obat ini dapat berupa kombinasi dosis tetap fixed dose) atau kombinasi tidak tetap (non-Jxed dose). Kombinasi dosis tetap lebih memudahkan pemberian pengobatan. Contoh ialah "Co-Artem" yaitu kombinasi artemeter (20mg)+ lumefantrine (120mg). Dosis Coartem 4 tablet 2 x 1 sehari selama 3 hari. Kombinasi tetap yang lain ialah dihidroartemisinin(40mg) +piperakuin (320mg) yaitu "Artekin". Dosis artekin untuk dewasa : dosis awal2tablet, 8 jam kemudian 2 tablet, 24 jam dan 32 jam, masingmasing 2 tablet. Kombinasi ACT yang tidak tetap misalnya : Artesunat + meflokuin Artesunat + amodiakin Artesunat + klorokuin Artesunat + sulfadoksin-pirimetamin Artesunat + pironaridin Artesunat + chlorproguanil-dapson (CDAlLapdap plus) Dihidroartemisinin-t Piperakuin + Trimethoprim (Artecom) Artecom + primakuin (CV8) Dihidroartemisinin+ naptokuin Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesia saat ini ialah kombinasi artesunate + amodiakuin dengan nama dagang "ARTESDIAQUINE" atau Artesumoon. Dosis untuk orang dewasa yaitu artesunate (5Omgltablet)200mg pada hari 1-111(4 tablet). Untuk Arnodiakuin (200mgltablet) yaitu 3 tablet hari I dan I1 dan 1112 tablet hari 111. Artesumoon ialah kombinasi yang dikemas sebagai blister dengan aturan pakai tiap blister1 hari (artesunate + amodiakuin) diminum selama 3 hari. Dosis amodiakuin adalah 25 -30 mgkg BB selama 3 hari. Pengembangan terhadap pengobatan masa depan ialah dengan tersedianya formula kombinasi yang mudah bagi penderita baik dewasa maupun anak (dosis tetap) dan kombinasi yang paling poten dan efektif dengan toksisitas yang rendah. Sekarang sedang dikembangkan obat semi sinthetik artemisinin seperti artemison ataupun trioksalon sintetik. Catatan :Untuk pemakaian obat golongan artemisinin



HARUS disertaildibuktikan dengan pemeriksaan parasit yang positif, setidak-tidaknya dengan tes cepat antigen yang positif. Bila malaria klinisltidak ada hasil pemeriksaan parasitologik TETAP menggunakan obat non-ACT.



Pengobatan Malaria Dengan Obat-obat Non-ACT Walaupun resistensi terhadap obat-obat standar golongan non ACT telah dilaporkan dari seluruh propinsi di Indonesia, beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap klorokuin maupun sulfadoksin pirimetamin (kegagalan masih kurang 25%). Dibeberapa daerah pengobatan menggunakan obat standard seperti klorokuin dan sulfadoksin- pirimetamin masih dapat digunakan dengan pengawasan terhadap respon pengobatan. Obat non - ACT ialah Klorokuin DifosfatlSulfat, 250 mg garam (150 mg basa), dosis 25 mg basalkg BB untuk 3 hari, terbagi 10 mgkg BB hari I dan hari 11, 5 mg /kg BB pada hari 111. Pada orang dewasa biasa dipakai dosis 4 tablet hari I & I1 dan 2 tablet hari 111. Dipakai untuk P Falciparum maupun P Vivax. Sulfadoksin-Pirimetamin(SP),(500 mg sulfadoksin + 25 mg pirimetamin), dosis orang dewasa 3 tablet dosis tunggal (1 kali). Atau dosis anak memakai takaran pirimetamin 1,25 mglkg BB. Obat ini hanya dipakai untuk plasmodium falciparum dan tidak efektif untuk Pvivax. Bila terjadi kegagalan dengan obat klorokuin dapat menggunakan SP



Kina Sulfat : (1 tablet 220 mg), dosis yang dianjurkan ialah 3 x 10mgl kg 'BB selama 7 hari, dapat dipakai untuk P Falciparum maupun P Vivax.Kina dipakai sebagai obat cadangan untuk mengatasi resistensi terhadap klorokuin dan SP. Pemakaian obat ini untuk waktu yang lama (7 hari) menyebabkan kegagalan untuk memakai sampai selesai. Primakuin : (1 tablet 15 mg), dipakai sebagai obat pelengkaplpengobatan radical terhadap P Falciparum maupun P Vivax. Pada P Falciparum dosis nya 45mg (3 tablet) dosis tunggal untuk membunuh gamet; sedangkan untuk I? Eva dosisnya 15mgl hari selama 14 hari yaitu untuk membunuh gamet dan hipnozoit (anti-relaps).



Penggunaan Obat Kombinasi Non-act Apabila pola resistensi masih rendah dan belum terjadi multiresistensi, dan belum tersedianya obat golongan artemisinin, dapat menggunakan obat standar yang dikombinasikan. Contoh kombinasi ini adalah sebagai berikut : a). Kombinasi Klorokuin + SulfadoksinPirimetamin; b). Kombinasi SP + Kina; c). Kombinasi Klorokuin + Doksisiklid Tetrasiklin; d). Kombinasi SP + DoksisiklidTetrasiklin; e). Kina + Doksisiklin Tetrasiklin; f). Kina + Klindamisin Pemakaian obat-obat kombinasi ini juga harus



dilakukan monitorillg respon pengobatan sebab perkembangan resistensi terhadap obat malaria berlangsung cepat dan meluas.



PENCEGAHAN DAN VAKSIN MALARIA Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk individu yang non-imun, khususnya pada turis nasional maupun internasional. Kemo-profilaktis yang dianjurkan ternyata tidak memberikail perlindungan secara penuh. Oleh karenanya masih sangat dianjurkan untuk memperhatikan tindakan pencegahan untuk mepghindarkan diri dari gigitan nyamuk yaitu dengan cara : 1). Tidur dengan kelambu sebaiknya dengan kelambu impregnated (dicelup peptisida : pemethrin atau deltamethrin). 2). Menggunakan obat pembunuh nyamuk (mosquitoes repellents) : gosok, spray, asap, elektrik; 3). Mencegah berada di alam bebas dimana nyamuk dapat menggigit atau harus memakai proteksi (baju lengan panjang, kauslstocking).Nyamuk akan menggigit diantara jam 18.00 sampaijam 06.00. Nyamukjarang pada ketinggian di atas 2000 m; 4). Memproteksi tempat tinggavkamar tidw dari nyamuk dengan kawat anti-ny amuk. Bila akan di gunakan kemoprofilaktis perlu di ketahui sensitivitas plasmodium di tempat tujuan. Bila daerah dengan klorokuin sensitif (seperti Minahasa) cukup profilaktis dengan 2 tablet klorokuin (250 mg klorokuin diphosphat) tiap minggu 1 minggu sebelum berangkat dan 4 minggu setelah tiba kembali. Profilaktis ini juga dipakai pada wanita hamil di daerah endemik atau pada individu yang terbukti imunitasnya rendah (sering terinfeksi malaria). Pada daerah dengan resisten klorokuin dianjurkan doksisiklin 100mglhari atau mefloquin 250 mglminggu atau klorokuin 2 tablet1 minggu ditambah proguanil 200 mgl hqri. Obat baru yang dipakai untuk pencegahan yaitu primakuin dosis 0,5 mgkg BBI hari; Etaquin, Atovaquonel Proguanil (Malarone) dan Azitromycin. Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembanganl. Hal yang menyulitkan ialah banyaknya antigen yang terdapat pada plasmodium selain pada masing-masing bentuk stadium pada daur plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalah Pfalciparum sekarang baru ditujukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi tehadap l? falciparum. Pada dasarnya ada 3 jenis vaksin yang dikembangkan yaitu



vaksin sporozoit (bentuk intra hepatik), vaksin terhadap bentuk aseksual dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk gametosit. Vaksin bentuk aseksual yang pernah dicoba ialah SPF-66 atau yang dikenal sebagai vaksin Patarroyo, yang pada penelitian akhir-akhir ini tidak dapat dibuktikan manfaatnya. Vaksin sporozoit bertujauan mencegah sporozoit menginfeksi sel hati sehingga diharapkan infeksi tidak terjadi. Vaksin ini dikembangkan melalui ditemukannya antigen circumspol-ozoit.Uji coba pada manusia tampahnya memberikan perlindungan yang bermanfaat, walaupun demikian uji lapangan sedang dalam persiapkan. HOFFMAN berpendapat bahwa vaksin yang ideal ialah vaksin yang multi-stuge (sporozoit, aseksual), multivalen (terdiri beberapa antigen) sehingga memberikan respon multi-imun. Vaksin ini dengan teknologi DNA akan diharapkan inemberikan respon terbaik dan harga yang h a n g mahal.



Krogstad DJ :Plasmodium spesies ( Malaria). In. G.L. Mandell, J.E. Bennett, R. Dolin (eds). Mandell, Douglas and Bennett's Principles and Practice of Infectious Diseases..Sth edition. U.S.A: Churchill Livingstone; 2000.p. 28 17 - 283 1. Olliaro PL, Taylor WR : Developing artemisinin based drug combinations for the treatment of drug resistant falciparum malaria: A review. Journal of Post Graduate Medicine 2004; 50 :40-44 RBM : ACT : the way foeward for treating malaria. Http:ll www.rbm.who.int/cmc~upload/0100010 1513641 RBM Infosheet-9. htm Taylor TE, Strickland GT: Malaria. In. Strickland GT. Hunter's Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases, 8th edition., USA: WB Saunders; 2000.p. 614 - 43 White NJ, Breman JG: Malaria and Babesiosis: Diseases caused by Red Blood Cell Parasites. In Kasper DL, Fauci AS, Braunwald E, Hauser SL, et al (eds), Harrison's Principles of Internal Medicine. Vol.1, 16 th ed. New York: Mcgraw -Hill; 2005, p : 1218 1233. White NJ. : Malaria. In : Cook GC (Ed). Manson's Tropical Disease, 20th ed.,London: W.B. Saunders; 1996 : 1087 - 64 WHO : A global strategy for malaria control, Geneve, World Health Organization : Geneva, 1993 WHO : The use of Artemisinin & Its derivates as AntiMalarial Drugs. Report of ajoint CTD/DMP/TDR, Geneve June, 1998 . WHO : Antimalarial Drug Combination Therapy. Report of a WHO Technical Consultation, April 2001 Woodrow CJ, Haynes RK and Krishna S : Review. Artemisinins. Postgraduate Medical Journal 2005; 81:71-8.



Iskandar Zulkarnain, Budi Setiawan, Paul N. Harijanto



PENDAHULUAN Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan protozoa, genus plasmodium dan hidup intra sel, yang dapat bersifat akut atau kronik. Transmisi berlangsung di lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia Oceania, Amerika Latin, Kepulauan Karibia dan Turki. Kira-kira 1,6 miliard penduduk daerah ini berada selalu dalam risiko terkena malaria. Tiap tahun ada 100 juta kasus dan meninggal 1 juta di daerah Sahara Afrika. Sebagian besar yang meninggal adalah bayi dan anak-anak. P.malariae dan Pfalcifarum terbanyak di negara ini. Di negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Australia dan lain-lain, malaria telah dapat diberantas. Hanya Plasmodium falcifarum yang dapat menyebabkan malaria berat. Selain J?falcifarum malaria berat dapat juga disebabkan J? Vivax dan P. knowlesi. Malaria berat terutama malaria serebral yang merupakan komplikasi terberat yang sering menyebabkan kematian.



KOMPLIKASI MALARIA BERAT Komplikasi malaria umumnya disebabkan karena



J? falciparum dan sering di sebut pernicious manyestations. Sering terjadi mendadak tanpa gejala-gejala sebelumnya, dan sering terjadi pada penderita yang tidak imun seperti pada orang pendatang dan kehamilan. Komplikasi terjadi 5- 10% pada seluruh penderita malaria yang dirawat di RS dan 20% dari padanya merupakan kasus yang fatal. Data di Minahasa insiden malaria berat ialah 6% dari kasus yang dirawat di RS dengan mortalitas 10-20%. Penderita malaria. dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO



didefinisikan sebagai infeksi J? falciparum dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut: 1. Malaria Serebral (coma) yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau lebih dari 30 menit setelah serangan kejang; derajat penurunan kesadaran hams dilakukan penilaian berdasar GCS (Glasgow Coma Scale); 2. Acidemialacidosis:pH darah < 7.25 atau plasma bicarbonate < 15mrnoV1, kadar laktat vena o 5 mmoY1, klinis pernafasan dalamlrespiratory distress; 3. Anemia berat (Hb < 5 g/dl atau hematokrit < 15%)pada keadaan parasit > 10.000/ul; bila anemianya hipokromik danlatau miktositik hams dikesampingkan adanya anemia defisiensi besi, talasemial hemoglobinopati lainnya; 4. Gagal ginjal akut (urine kurang dari 400 my24 jam pada orang dewasa atau 12 mVkg BB pada anak-anak) setelah dilakukan rehidrasi, disertai kreatinin > 3 mgldl; 5). Edema paru non-kardiogeniWARDS (Adult Respitarory Distress Syndrome); 5. Hipoglikemi : gula darah < 40 mg/dl; 7). Gagal sirkulasi atau Syok :tekanan sistolik < 70 mmHg (anak 1-5 tahun 100C; 8). Perdamhan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna, danl atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler; 9). Kejang berulang lebih dari 2 kali.124 jam; 10). Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti malaria 1 kelainan eritrosit (kekurangan G-6-PD); 11). Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler pada jaringan otak. Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan gambaran klinis daerah setempat ialah : 1). gangguan kesadaran ringan (GCS < 15) di Indonesia sering dalam keadaan delirium;2). kelemahan otot (tak bisa duduk/ berjalan) tanpa kelainan neurologik;



3). hiperparasitemia > 5% pada daerah hipoendemik atau daearah tak stabil malaria; 4). ikterik (bilirubin > 3 mgldl) bila disertai gaga1 oragan lain; 5). hiperpireksia (temperatur rektal > 400 C) pada orang dewasalanak. Pada kriteria WHO 2006 telah dimasukkan ke dalam kriteria malaria berat ialah malaria dengan klinis klinis jaundiceliktorik dan juga malaria dengan hiperlaktemia.



Penelitian patogenesis malaria berat terutama malaria slrebral berkembang pesat akhir-akhir ini, meskipun demikian penyebab yang pasti masih belum diketahui dengan jelas. Perhatian utama dalam patogenesis malaria berat adalah sekuestrasi eritrosit yang berisi parasit stadium matang kedalam mikrovaskuler organ-organ vital. Faktor lain seperti induksi sitokin TNF-a dan sitokinsitokin lainnya oleh toksin parasit malaria dan produksi nitrik oksid (NO) juga diduga mempunyai peranan penting dalam patogenesa malaria berat. (Gambar 1) .-~ m K s l



u T m 0-



-



.



e'?tR$+Y1 . -



~~Too'~(aIs FALBIFARUM



Garnbar 1. lnteraksi sel-sel utama dalam patogenesis malaria. (Sumber: Elsevier. Infectious diseases. 2nd edition. www.idreference.com. 2004)



Seperti pada penyakit-penyakit infeksi lainnya faktorfaktor yang berperan dalam terjadinya malaria berat antara lain : a). Faktor Parasit antara lain meliputi intensitas transmisi, dan virulensi parasit. Densitas parasit dengan semakin tingginya derajat parasitemia berhubungan dengan semakin tingginya mortalitas, dernikian pula halnya dengan virulensi parasit; b). Faktor host meliputi endemisitas, genetik, umur, status nutrisi dan imunologi. Pada daerah endemis malaria yang stabil, malaria berat terutama terdapat pada anak kecil, sedangkan di daerah endemisitasrendah, malaria berat terjadi tanpa memandang usia.



Setelah sporozoit dilepas sewaktu nyamuk anopheles menggigit manusia selanjutnya akan masuk kedalam selsel hati (hepatosit) dan kemudian terjadi skizogoni ekstra eritrositer. Skizon hati yang matang selanjutnya akan pecah (ruptur) dan selanjutnya merozoit akan menginvasi sel eritrosit dan terjadi skizogoni intra eritrositer, menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit (EP) mengalami perubahan struktur dan biomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme transpot membran sel, penurunan deformabilitas, perubahan reologi, pembentukan knob, ekspresi varian neoantigen dipermukaan sel, sitoaderen, rosseting dan sekuestrasi. Skizon yang matang akan pecah, melepaskan toksin malaria yang akan menstimulasi sistim RES dengan dilepaskamya sitokin proinflamasi seperti TNF alfa dan sitokin lainnya dan mengubah aliran darah lokal dan endoteliumvaskular, mengubah biokimia sistemik, menyebabkan anemia, hipoksia jaringan dan organ.



GEJALA KLlNlS Manifestasi malaria berat bervariasi, dari kelainan kesadaran sampai gangguan organ-organ tertentu dan gangguan metabolisme. Manifestasi ini dapat berbedabeda menurut katagori umur pada daerah tertentu berdasarkan endemisitas setempat. Pada daerah hipoendemik malaria serebral dapat terjadi dari usia anak sampai dewasa. Faktor predisposisi terjadinyamalaria berat : 1).An&anak usia balita; 2). Wanita hamil; 3). Penderita dengan daya tahan tubuh yang rendah, misalnya penderita penyakit keganasan, HIV, penderita dalam pengobatan kortiko streroid; 4). Penduduk dari daerah endemis malaria yang telah lama meninggalkan daerah tersebut dan kembali ke daerah asalnya; 5). Orang yang belum pernah Itinggal di daerah malaria. Gejala-gejalaklinis meliputi :



Malaria Serebral Terjadi kira-kira 2% pada penderita non-imun, walaupun demikian masih sering dijumpai pula didaerah endemik seperti di Jepara (Jawa Tengah), Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya. Secara sporadikjuga ditemui pada beberapa kota besar di Indonesia umumnya sebagai kasus import. Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan memberikan mortalitas '20-50% dengan pengobatan . Penelitian di Indonesia mortalitas berkisar 21,5%- 30,5%. Gejala malaria serebral dapat ditandai dengan koma yang tak bisa dibangunkan, bila dinilai dengan GCS (Glasgow Coma Scale) ialah di bawah 7 atau equal dengan keadaan klinis soporous. Sebagian penderita terjadi gangguan kesadaran yang lebih ringan seperti apati, somnolen, de-



lirium dan perubahan tingkah laku (penderita tidak mau bicara). Dalam praktek keadaan ini harus ditangani sebagai malaria serebral setelah penyebab lain dapat disingkirkan. P e n m a n kesadaran menetap untuk waktu lebih dari 30 menit, tidak sementara panas atau hipoglikemi membantu meyakinkan keadaan malaria serebral. Kejang, kaku kuduk dan herniparese dapat terjadi walaupun cukupjarang. Pada pemeriksaan neurologikreaksi mata divergen, pupil ukuran normal dan reaktif, funduskopi normal atau dapat terjadi perdarahan. Papiledemajarang, refleks kornea normal pada orang dewasa, sedangkan pada anal refleks dapat hilang. Refleks abdomen dan kremaster normal, sedang Babinsky abnormal pada 50% penderita. Pada keadaan berat penderita dapat mengalami dekortikasi (lengan flexi dan tun* extensi), decerebrasi (lengan dan tungkai extensi), opistotonus, deviasi mata ke atas dan lateral. Keadaan ini sering disertai dengan hiperventilasi. Lama koma pada orang dewasa dapat 2-3 hari, sedang pada anak satu hari. Diduga pada malaria serebral terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak sehingga terjadi anoksia otak. Sumbatan tersebut terjadi karena eritrosit yang mengandung parasit sulit melalui pembuluh kapiler karena proses sitoaderensi dan sekuestrasi parasit. Akan tetapi penelitian Warrell DA menyatakan bahwa tidak ada perubahan cerebral blood flow, cerebro vasculer resistence, ataupun cerebral metabolic rate for oxygen pada penderita koma dibandingkan penderita yang telah pulih kesadarannya. Kadar laktat pada cairan serebro-spinal (CSS) meningkat pada malaria serebral yaitu > 2.2 rnrnoV 1(19,6 mg/dl) dan dapat dijadikan indikatorprognosis; yaitu bila kadar laktat > 6 mmoVl mempunyai prognosa yang fatal. Pada pengukuran tekanan intrakranial meningkat pada anak-anak (80%), sedangkan pada penderita dewasa biasanya normal. Pada pemeriksaan CT scan biasanya normal, adanya edema serebri hanya dijumpai pada kasus-kasus yang agonal. Pada malaria serebral biasanya dapat disertai gangguan h g s i organ lain seperti ikterik, gagal ginjal, hipoglikemia dan edema paru. Bila terjadi lebih dari 3 komplikasi organ, maka prognosa kematian > 75%. Gagal Ginjal Akut (GGA) Kelainan fungsi ginjal sering terjadi pada penderita malaria dewasa. Kelainan h g s i ginjal dapat pre-renal karena dehidrasi (> 50%) dan hanya 5-10% disebabkan nekrosis tubulus akut. Gangguan ginjal diduga disebabkan adanya anoksia karena p e n m a n aliran darah ke ginjal akibat dari sumbatan kapiler. Sebagai akibatnya terjadi p e n m a n filtrasi pada glomerulus. Secara klinis dapat terjadi fase oliguria ataupun poliuria. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan yaitu urin mikroskopk, berat jenis win, natrium urin, serum natrium, kalium, ureum, kreatinin, analisa gas darah serta produksi win. Apabila berat jenis (B.9urin < 1.010 menunjukkan dugaan nekrosis tubulus akut; sedangkan urin yang pekat B.J. > 1,015,



rasio urea urin: darah > 4:1, natrium urin < 20 mmoM menunjukkan keadaan dehidrasi. Beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadmya GGA ialah hiperparasitemia, hipotensi, ikterus, hemoglobinuri. Penanganan penderita dengan kelainan fungsi ginjal di Minahasa memberikan mortalitas 48%. Dialisis merupakan pilihan pengobatan untuk menurunkan mortalitas. Seperti pada hiperbilirubinemia, anuria dapat terus berlang negatif Ditandai dengan tanda-tanda penurunan kesadaran berupa apatis, disorientasi, somnolen, stupor, sopor, koma yang dapat terjadi secara perlahan dalam beberapa hari atau mendadak dalam waktu hanya 1-2 jam, yang sering kali disertai kejang. Gejala lainnya berupa gejala-gejala upper motorneuron, tidak didapatkan gejala-gejala neurologi yang fokal, kelumpuhan saraf kranial, kaku kuduk, deserebrasi, deviasikonjuge, dan kadang-kadang ditemukan perdarahan retina. Penilaian penurunan kesadaran ini dievaluasi berdasarkan GCS (Glasgow Coma Score). P e n m a n kesadaran ini selain karena kelainan neurologis, tetapi juga dapat diperberat karena gangguan metabolisme, seperti asidosis, hipoglikemi, yang berarti gangguan ini dapat terjadi karena beberapa proses patologis. Kelainan Hati (Malaria Biliosa) Jaundice atau ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria falsiparum. Pada penelitian di Minahasa dari 836 penderita malaria, hepatomegali 15,9%, hiperbilirubinemi 14,9% dan peningkatan serum transarninase 5,7%. Pada malaria biliosa (malaria dengan ikterus) dijumpai ikterus hemolitik 17,2%; ikterus obstruktip intra-hepatal 11,4% dan tipe campuran parenkimatosa, hemolitik dan obstruktip 78,6%, peningkatan SGOTrata-rata 121rnUln-11dan SGPT 80,8 mu/ ml dengan ratio de Ritis 1,5. Peningkatan transaminase biasanya ringan sampai sedang dan jarang melebihi 200 iu, ikterus yang berat sering dijumpai walaupun tanpa diikuti kegagalan hati. Penelitian di Minahasa pada 109 penderita malaria berat, kadar bilirubin tertinggi ialah 36,4 mgldl, bilirubin normal (< 1,2 mgldl) dijumpai 28 penderita (25%) mortalitasnya 1 1%, bilirubin 1,2 mg% - 2 mgldl dijumpai pada 17 penderita (16%) mortalitasnya 17%, bilirubin > 2 mgldl - 3mgldl pada 13penderita (12%) dengan mortalitas 29% serta bilirubin > 3 mgldl dijumpai pada 5 1 penderita (46%) dan mortalitasnya 33%. Serum SGOT bervariasi dari 6 -243 d l sedangkan SGPT bervariasi dari 4 - 154 d l . Alkali fosfatase bervariasi dari 5 534 u/l dan gamma-GT bervariasi 4 - 603 d l . White (1996) memakai batas bilirubin >2,5 mgldl, SGOTI SGPT > 3 x normal menunjukkan prognosis yang jelek. Penderita malaria dengan ikterus termasuk dalam kriteria malaria berat.



-



Hipoglikemia Hipoglikemi dilaporkan sebagai keadaan terminal pada binatang dengan malaria berat. Hal ini disebabkan karena



kebutuhan metabolik dari parasit telah menghabiskan cadangan glikogen dalam hati. Hipoglikemia dapat tanpa gejala pada penderita dengan keadaan umum yang berat ataupun penurunan kesadaran. Pada penderita dengan malaria cerebral di Thailand dilaporkan adanya hipoglikemi sebanyak 12,5%, sedangkan di Minahasa insiden hipoglikemia berkisar 17,4%-21,8%. Penyebab terjadinya hipoglikemi yang paling sering ialah karena pemberian terapi kina (dapat terjadi 3jam setelah infus kina). Penyebab lainnya ialah kegagalan glukoneogenesis pada penderita dengan ikterik, hiperparasitemia oleh karena parasit mengkonsumsi karbo-hidrat, dan pada TNF-a yang meningkat. Hipoglikemi &pat pula terjadi pada primigravida dengan malaria tanpa komplikasi. Hipoglikemia kadangkadang sulit diobati dengan cara konvensionil, disebabkan hipoglikemia yang persisten karena hiperinsulinemiaakibat kina. Mungkin dengan pemberian diazoksid dimana terjadi hambatan sekresi insulin merupakan cara pengobatan yang dapat dipertimbangkan. Blackwater Fever (Malaria Haemoglobinuria) Adalah suatu sindrom dengan gejala karakteristikserangan akut, menggigil, demam, hemolisis intravaskular, hemoglobinemi, hemoglobinuri dan gagal ginjal. Biasanya terjadi sebagai komplikasi dari infeksi l?falciparum yang berulang-ulang pada orang non-imun atau dengan pengobatan kina yang tidak adekuat. Akan tetapi adanya hemolisis karena kina ataupun antibodi terhadap kina belurn pemah dibuktikan. Malaria hemoglobinuria dapat terjadi pada penderita tanpa kekurangan ensim G-6-PD dan biasanya parasit falsiparum positif, ataupun pada penderita dengan kekurangan G-6-PD yang biasanya disebabkan karena pemberian primakuin. Malaria Algid Yaitu terjadinya syok vaskular, ditandai dengan hipotensi (tekanan sistolik kurang dari 70 mrnHg), perubahan tahanan perifer dan berkurangnya pefisi jaringan. Gambaran klinik berupa perasaan dingin dan basah pada kulit, temperatur rektal tinggi, kulit tidak elastik, pucat. Pemafasan dangkal, nadi cepat, tekanan darah turun dan sering tekanan sistolii tak terukur dan nadi yang normal. Keadaan ini sering dihubungkan dengan terjadinya septisemia gram negatif Hipotensi biasanya berespon dengan pemberian NaCl 0,9% dan obat inotropik.



.



Kecenderungan Perdarahan Perdarahan spontan berupa perdarahan p s i , epistaksis, perdarahan di bawah kulit berupa petekie, purpura, hematoma dapat terjadi sebagai komplikasi malaria tropika. Perdarahan ini dapat terjadi karena trombositopenia, atau gangguan koagulasi intravaskular ataupun gangguan koagulasi karena gangguan fungsi hati. Trombositopenia disebabkan karena pengaruh sitokin. Gangguan koagulasi



intravaskular jarang terjadi kecuali pada stadium akhir dari suatu infeksi l?falciparum yang berat. Edema Paru Sering terjadi pada malaria dewasa dan jarang pada anak. Edema paru merupakan komplikasi yang paling berat dari malaria tropika dan sering menyebabkan kematian. Edema paru dapat terjadi karena kelebihan cairan atau adult respiratory distress syndrome. Beberapa faktor yang memudahkan timbulnya edema paru ialah kelebihan cairan, kehamilan, malaria serebral, hiperparasitemi, hipotensi, asidosis dan uremi . Adanya peningkatan respirasi merupakan gejala awal, bila fiekwensi pernafasan> 35 kalil menit prognosanya jelek. Pada otopsi dijumpai adanya kombinasi edema yang difus, kongestif paru, perdarahan, dan pembentukan membran hialin. Oleh karenanya istilah edema paru mungkin kurang tepat, bahkan sering disebut sebagai insuffisiensi paru akut atau adult respiratory distress syndrome. Pada pemeriksaan radiologik dijumpai peningkatan gambaran bronkovaskular tanpa pembesaran jantung . Manifestasi Gastro-intestinal Manifestasi gastro-intestinal sering dijumpai pada malaria, gejala-gejalanya ialah : tak enak diperut, flatulensi, mud, muntah, diare dan konstipasi. Kadang-kadang gejala menjadi berat berupa sindroma billious remittent fever yaitu gejala gastro-intestinal dengan hepatomegali, ikterik (hiperbilirubinemia dan peningkatan SGOTISGPT) dan gagal ginjal, malaria disenteri menyerupai disenteribasiler, dan malaria kolera yang jarang pada l? falciparum berupa diare cair yang banyak, muntah, kramp otot dan dehidrasi Hiponatremia Hiponatremia sering dijumpai pada penderita malaria falsiparum dan biasanya bersamaan dengan penurunan osmolaritas plasma. Terjadinya hiponatremia dapat disebabkan karena kehilangan cairan dan garam melalui muntah dan mencret ataupun terjadinya sindroma abnormalitas hormon anti-diuretik (SAHAD), akan tetapi pengukuran hormon diuretik yang pemah dilakukan hanya dijumpai peningkatan pada 1 diantara 17 penderita. Gangguan Metabolik Lainnya Asidosis metabolik ditandai dengan hiperventilasi (pemafasan Kussmaul), peningkatan asam laktat, pH turun dan peningkatan bikarbonat. Asidosis biasanya disertai edema paru, hiperparasitemia, syok, gagal ginjal dan hipoglikemia. Gangguan metabolik lainnya berupa : Hipokalsemia dan hipophosphatemia Hipermagnesemia Hiperkalemia (pada gagal ginjal) Hipoalbuminemia Hiperfosfolipedemia



-



Hipertriglisererniadan hipokolesterolemia T-4 rendah, TSH basal normal (sick euthyroid syndrome)



PENANGANAN PENDERITA MALARIA BERAT Penanganan malaria berat tergantung kecepatan dan ketepatan dalam melakukan diagnosa seawal mungkin. Sebaiknyapenderita yang diduga menderita malaria berat dirawat pada bilik intensif untuk dapat dilakukan pengawasan serta tindakan-tindakan yang tepat. Pada setiap penderita malaria berat, maka tindakan penanganan dan pengobatan yang perlu dilakukan adalah: Tindakan umurnl suportif Pengobatan simptomatik Pemberian obat anti malaria Pengobatan komplikasi



Tindakan umumlsuportif : Apabila fasilitas tidaklkurang memungkinkan untuk merawat penderita malaria berat maka persiapkan penderita dirujuk ke rumah sakitlfasilitaspelayanan yang lebih tinggi, yang memiliki fasilitas perawatan intensif. Tindakan tersebut antara lain : 1. Pertahankan fungsi vital : sirkulasi, kesadaran, kebutuhan oksigen, cairan dan nutrisi. 2. Hindarkan trauma : dekubitus,jatuh dari tempat tidur 3. Hati-hati komplikasidari tindakan kateterisasi, i n h s yang dapat memberikan infeksi nosokomial dan kelebihan cairan yang menyebabkan edema paru 4. Monitoring : temperatur, nadi, tensi, dan respirasi tiap 112 jam. Perhatikan timbulnya ikterus dan perdarahan, ukuran dan reaksi pupil, kejang, tonus otot. 5. Baringkanl posisi tidur sesuai dengan kebutuhan 6. Pertahankan sirkulasi: bila hipotensi, lakukan posisi Tredenlenburg's; perhatikan wama dan temperatur kulit 7. Cegah hiperpireksi: 1). tidak pemah memakai botol panasl selimut listrik, 2). kompres airlair eslalkohol, 3). kipas dengan kipas anginkertas 4). baju yang tipisl terbuka, 5). cairan cukup 8. Pemberian cairan : Pemberian cairan merupakan bagian yang penting dalam penanganan malaria berat. Pemberian cairan yang tidak adekuat (kurang) akan menyebabkan ti&bulnya tubuler nekrosis ginjal akut. Sebaliknya pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru. Pada sebagian penderita malaria berat sudah mengalami sakit beberapa hari lamanya sehingga mungkin intake sudah kurang, penderita juga sering muntah-muntah, dan bila panas tinggi akan memperberat keadaan dehidrasi. Ideal bila pemberian cairan dapat diperhitungkan secara lebih tepat, dengan cara : 1). Maintenence



cairan diperhitungkan berdasar BB, misal untuk BB 50 kg dibutuhkan cairan 1500cc. ( 30 mVkg BB). Derajat dehidrasinya:dehidrasi ringan ditambah 10 %, dehidrasi sedang ditambah 20% dan dehidrasi berat ditambah 30% dari kebutuhan maintenence, 2). Setiap kenaikan suhu l o ditambah 10% kebutuhan maintenence, 3). Monitoring pemberian cairan yang akurat dilakukan dengan pemasangan CVP line, 4). Cara diatas tidak selalu dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan tingkat Puskesmas/RS Kabupaten. Sering kali pemberian calran Jenyan perkiraan , misalnya 1500 - 2000 ccl 24 jam dapat sebagai pegangan. Mashaal membatasi cairan 1500 cc I 24 jam untuk menghindari edema paru. Cairan yang sering dipakai ialah 5% Dekstros untuk menghindari hipoglikemi khususnya pada pemberian kina. Bila dapat diukur kadar elektrolit (natrium)dan natrium rendah ( 70 thn atau QT interval yang panjang. Dosis ini sesuai rekomendasi WHO dan memberikan bersihan parasit lebih cepat. Bila penderita sadar setelah pemberian kina perinfus, kina dilanjutkan per oral dengan dosis 3 x IOmglkgBB 1hari sampai hari ke 7. Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena dapat menyebabkan kadar dalam plasma sangat tinggi sehingga menyebabkan toksisitas pada jantung dan kematian. Bila karena alasan kina tidak dapat diberikan melalui infus, maka dapat diberikan IM dengan dosis yang sama pada paha bagian depan masing-masing 112 dosis pada setiap paha (jangan diberikan pada bokong). Bila mungkin untuk pemakaian IM, kina diencerkan dengan normal saline untuk mendapatkan konsenhasi 60- 100 mdd



Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam kina parenteral, maka dosis maintenance kina diturunkan 112 nya dan lakukan pemeriksaan parasitologi serta evaluasi klinik terhadap kemungkinan diagnosis lain. Dosis kina yang diperlukan : Hari 0 : 30 mgKg BB Dosis maksimum dewasa : 2.000 mghari. Bila pada hari ke-3 keadaan tidak membaik, dosis kina diturunkan menjadi : 15-20 mg/Kg BB Hindari sikap badan tegak pada pasien akut sela~na terapi kina untuk menghindari hipotensi postural berat. .* Monitor.ii~gpada pengobatan kina parenteral ialah : 1). Kadar gula darah tiap 8 jam, 2). Tekanan darah dan nadi, bila nadi ireguler buat EKG, 3). Serum bilirubin dan kreatinin pada hari ke-3, 4). Hitung parasit tiap hari Cara pemberian yang lain : Dosis loading 20 mglkg BB sebagai dosis awal pemberian kina, diberikan per-infus dengall larutan dextrose 5% atau NaCl250 ml diberikan selama 2 - 4 jam. Dosis ini dilanjutkan dengan dosis 10 mglkg BB selama 2-4 jam setiap 8 jam berikutnya. Bila dipakai dosis loading, beberapa ha1 hams diperhatikan : BB penderita hams ditimbang, TIDAK diperkirakanl diduga. . 24 jam sebelumnya tidak memakai kina/ meflokuin Tidak ada pemanjangan QTc interval pada EKG Pemberian cepat di ICU, 7mglkg BB i.v injeksi melalui pumpa infus selama 30 menit, diikuti 10 mglkgBB perinfus selama 4 jam



sodium artesunate, kemudi& dilarutkan dalah 5 ml5% dextrose untuk siap diberikan intra-ve;;ouslintr~-r;)uscular Dosis 2,4 mglkg BB pada hari pertama diberikan tiap 12 jam, kemudian dilanjutkan dosis 2,4 mglkg BB pada hari ke-2 - 71 24 jam. Tidak diperlukan penyesuaianl penurunan dosis pada gangguan fungsi ginjall hati; tidak menyebabkan hipo- glikemia dan tidak menimbulkan aritmial hipotensi Artemeter ( 1 flacon=80 mg) Dosis : 3,2 mg1kgBB i.m sebagai dosis loading dibagi 2 dosis (tiap 12 jam) hari pertama, diikuti dengan 1,6 mgIkgBB1 24 jam selama 4 hari. Karena pemberian intramuskuler absorpsinya sering tidak menentu. Tidak menimbulkan hipoglikemia Kina HCL (1 Ampul = 220 mg) Dosis 10 mglkgBB Kina HCI dalam 500cc cairan 5% Dextrose (atau NaCl 0,9%) selama 6 jam8 jam, selanjutnya diberikan dengan dosls yang sama diberikan tiap 6-8 jam. Tergantung status kebutuhan cairan 1500 2000cc. Dosis loading 20 mglkg BB dipakai bila jelas TIDAK memakai kina 24 jam sebelumnya atau mefloquin, penderitanya tidak usia lanjut dan tidak ada Q-Tc memanjang pada rekaman EKG. Kina HCL dapat juga diberikan intra muskuler yang dalam pada paha. Kinidin Gluconate Dosis 10 mglkg BB per infuse selama 2 jam dilanjutkan 0,02 mglkglmenit sampai parasit < 1 %, digantikan oral 3 x 600 mg sampai negatif Artesunate ( 50mgl100 m g l 400 m g ) Dosis 10mglkg BB diberikan dosis tunggal 400mg pada orang dewasa Artemislnln Dosis 10-40mglkgBB diberikan pada 0 jam, 4, 12,24.48, dan 72 jam. Dihydroartemisinln 40 mg. 80 mg Dosis dewasa 80 mg dan dilanjutkan 40mg pada jam 24 dan 48.



MALARIABERAT



Manifestasil Komplikasi Koma (malaria serebral)



Hiperpireksia Convulsilkejang Hipoglikemia (GI darah < 40 mg%) Anemia berat ( Hb < 5 gr% atau PCV < 15% ) Edema Paru Akut, sesak napas, resp > 35 x r. Gagal Ginjal Akut Perdarahan spontanl koagulopati Asidosis Metabolik Syok Hiperparasitemia



Tindakan awal Pertahankan oksigenasi, letakkan pada sisi tertentu, sampingkan penyebab lain dari koma (hipoglikemi, strok, sepsis, diabetes koma, uremia, gangguan elektrolit), hindari obat tak bermanfaat, intubasi bila perlu. Turunkan suhu badan dengan kompress, fan, air condition, anti-piretika Pertahankan oksigenasi, pemberian anti-kejang ivl per rektal diazepam, i.m. paraldehyde Beri 50 ml dextrose 40% dan infus dextrose 10% smapai gula darah stabil, cari penyebab hipoglikemia Berikan transfusi darah darah segar, cari penyebab anemianya Tidurkan 450, oksigenasi, berikan Furosemide 40 mg iv, perlambat cairan infus, intubasiventilation PEEP Kesampingkan gagal gijal pre-renal, bila dehidrasi 3 koreksi; bila gagal ginjal renal segera dialysis Berikan vitamin K 10 mgl hari selama 3 hari; transfusi darah segar; pastikan bukan DIC Kesampingkanl koreksi bila hipoglikemia, hipovolemia, septichaemia. Bila perlu dialisisl hemofiltrasi Pastikan tidakhipovolemia, cari tanda sepsis, berikan anti-biotika broad-spektum yang adequat Segera anti malaria (artesunate), transfusi ganti (exchange transfusion)



Transfusi ganti :(exchange transfusion) Parasitemia > 30 % tanpa komplikasi berat Parasitemia > 10 % disertai komplikasi berat seperti : serebral malaria, ARF, ARDS, jaundice (bilirubin total > 25 mg%) dan anemia berat. Parasitemia > 10 % dengan gagal pengobatan setelah 12-24jam anti malaria. Parasitemia > 10 % disertai prognosis buruk (lanjut usia, late stage parasiteslskizon pada darah perifer) Pastikan darah transfusi bebas infeksi (malaria, HIV, Hepatitis) PENANGANANKERUSAKANIGANGGUANFUNGSI ORGAN. TindakanlPengobatan Tambahan Pada Malaria Serebral Kejang merupakan salah satu komplikasi dari malaria serebral. Penangananlpencegahan kejang penting untuk menghindarkan aspirasi. Penanganan kejang dapat dipilih di bawah ini : Diazepam : i.v 10 mg; atau intra-rektal0,5- 1,O mgkgBB. Paradelhid :0,l mgkgBB K1ormetiazol (bila kejang bemlang-ulang) dipakai 0,8% larutan infus sampai kejang hilang Fenitoin : 5 mgkgBB i.v diberikan selama 20 menit. * Fenobarbital Pemberian fenobarbital 3,5 mg/kgBB (umur di atas 6 tahun) mengurangi terjadinya konvulsi. Anti-TNF dan pentoksifilin dan desferioksamin, prostasiklin, asetilsistein merupakan obat-obat yang pemah dicoba untuk malaria serebral dan tidak terbukti manfaatnya, sedangkan heparin, dekstran, sislosporin,



epinefrin dan hiperimunglobulintidak terbukti berpengaruh menurunkan mortalitas. Kortikosteroid seperti deksametason baik dengan dosis sedang ataupun dosis tinggi tidak terbukti menurunkan mortalitas pada malaria serebral, karena itu seyogyanyatidak dipergunakan lagi. Penggunaan steroidjustru memperpanjang lamanya koma dan menimbulkan banyak efek samping seperti pneumoni dan perdarahan gastrointestinal. TindakanlPengobatan pada Gagal Ginjal Akut Bila terjadi oliguri (dehidrasi) infus 300-500 ml NaCl0,9 untuk rehidrasi sesuai dengan perhitungan kebutuhan cairan , kalau produksi urin kurang dari 60 mll jam, diberikan hosemid 40-80 mg i.v. Setelah2 - 3 jam tak ada urin, pertimbangan melakukan dialysis, semakin dini 'dialysis dilakukan prognosa lebih baik. Bila penderita hipotensi, dopamin dapat diberikan dengan dosis 2,5-5,O ugkglmenit. Kebutuhan protein dibatasi 20 ghari dan kalori diberikan dengan diet karbohidrat 200 glhari. Hemodialisis lebih baik dari peritoneal-dialisis karena efek samping perdarahan dan infeksi. Indikasi dialisis antara lain ialah gejala uremia, gejala kelebihan cairan seperti edema paru atau gagal jantung kongestif, adanya bising gesek perikard, hiperkalemia, asidosis HC03 < 15 meqll. Bila terjadi hiperkalemia, diberikan regular insulin 10unit i.vl i.m bersama-sama 50 ml dekstrose40%, monitor gula damh dan serum kalium. Sebagai pilihan lain dapat diberikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% i.v pelan-pelan.Altematif lain yaitu resonium A 15 g/8 jam per oral atau resonium enema 30 g/8 jam. Bila pemeriksaankadar kaliurn darah tak tersedia dapat dilakukan monitoring dengan pemeriksaan elektrokardiografi. Hipokalemi terjadi 40% dari penderita malaria serebral. Bila kalium 3,O - 3,5 meqll diberikanKC1per infus 25 meq;



i



i



kalium 2,O - 2,9 meqll diberikan KC1 per infus 50-75 meq. Pemberian KC1 tidak melebihi 100 meqlhari dan tidak diberikan i.v bolus. Hiponatremi dapat memberikan penurunan kesadaran. Kebutuhan Natriuin dapat dihitung: BB (kg) x 60% x Na. defisit (meqll). Satu liter NaCl0,9% = 154 meq; 1 g NaCl puyer = 17 meq. Asidosis (pH < 7,15) merupakan komplikasi akhir dari malaria berat dan sering bersama-sama dengan kegagalan fungsi ginjal. Pengobatannya dengan pemberian bikarbonat. Kebutuhan Bikarbonat (meq) = 113 B.B(kg) x defisit bikarbonat dikonfersikan dalam jumlah ml 8,4% NaHC03. Bila pemberian natrium dikuatirkan terjadinya edema paru, dapat diberikan THAM (tris-hydroxymethyl-aminomethan) atau pyruvate dehydrogenase activator dichloroacetate. Dialisis merupakan pilihan terbaik. Tindakan Terhadap Malaria Biliosa Vitamin K dapat diberikan 10 mg/hari i.v selama 3 hari untuk memperbaiki faktor koagulasi yang tergantung vitamin K. Gangguan faktor koagulasi lebih sering dijumpai pada penderita dengan ikterik yang berat. Hati-hati dengan obat-obatan yang mengganggu fungsi hati seperti parasetamol, tetrasiklin.



Periksa kadar gula darah secara cepat dengan glukometer pada setiap penderita malaria berat (malaria serebral, malaria dengan kehamilan,malana biliosa). Bila kadar gula darah kurang dari 40 mg/dl, maka diberikan 50 ml Dekstrose 40%i.v dilanjutkan dengan glukosa 10% per infus. Monitor gula darah tiap 4-6 jam, bila gula darah masih di bawah 40 mgldl, diulang pemberian bolus 50 ml Dextrose 40%. Bilaperlu obat yang menekan produksi insulin seperti diazokside, glukagon atau somatostatin analogue. Penanganan Malaria Algid Tujuan dalam penanganan malaria algidlmalaria dengan syok yaitu memperbaiki gangguan hemodinamik. Diberikan cairan infus plasma atau NaCl0,9% untuk mengembalikan volume darah (1 L cairan mengandung dekstranlplasma diberikan dalam 1jam). Bila belum ada perbaikan tekanan darah dan denyut jantung, di berikan lagi 1 L cairan isotonis (NaCl 0,9%). Hipotensi biasanya berespon terhadap cairan. Bila tak berhasil dapat dipakai dopamin dengan dosis 2-4 ampul dopamin (lamp = 200 mg) dalam 500 ml Dekstrose 5%, dengan tetesan infus mulai 1-2 mcg/ kglmenit. Tetesan sampai 5 mcglkglmenit dopamin menyebabkan vasodilatasi dan memperbaiki sirkulasi ginjal. Penanganan Edema Paru Edema paru merupakan komplikasi yang fatal, pada



malaria berat sebaiknya dilakukan penanganan untuk mencegah terjadinya edema paru. Pemberian cairan dibatasi, sebaiknya menggunakan monitoring dengan CVP line. Peinberian cairan melebihi 1500 ml cenderung memberikan edema panl. Bila ada anemi, transfusi darah diberikan perlahan-lahan. (1 unit darah dalam 4 jam). Mengurangi beban jantung kanan dengan tidur setengah duduk, pada edema paru karena kelebihan cairan dapat diberikan diuretika, yaitu furosemide 40 mg i.v. Untuk memperbaiki hipoksia diberikan oksigen konsentrasi tinggi (6-8 llmenit) dan bila mungkin dengan bantuan respirator mekd. Penanganan Anemi Bila anemi kurang dari 5 gldl atau hematokrit kurang dari 15% diberikan tranfusi darah whole blood atau packed cells. Darah segar lebih baik dibanding darah biasa. Transfusi sebaiknya pelan-pelan, kalau perlu dengan monitoring CVP line atau dengan memberikan hrosemid 20 mg sebelum transfusi. Penanganan Terhadap lnfeksi SekunderlSepsis Infeksi sekunder yang sering terjadi yaitu pneumonia karena aspirasi, sepsis yang berasal dari infeksi perut dan infeksi saluran kencing karena pemasangan kateter. Antibiotika yang dianjurkan sebelum diperoleh hasil kultur ialah kombinasi ampisilin dan gentamisin, atau bila mungkin sefalosporin generasi ke I11 (seftizoksim, seftriakson atau ceftazidime), atau karbapenem Prognosis Pada infeksi malaria hanya terjadi mortalitas bila mengalami malaria berat. Pada malaria berat, mortalitas tergantung pada kecepatan penderita tiba di RS, kecepatan diagnosa dan penanganan yang tepat. Walaupun demikian mortalitas penderita malaria berat di dunia masih cukup tinggi bervariasi 15%-60% tergantung fasilitas pemberi pelayanan. Makin banyak jumlah komplikasi akan diikuti dengan peningkatan mortalitas, misalnya penderita dengan malaria serebral dengan hipoglikemi, peningkatan kreatinin, dan peningkatan bilirubin mortalitasnya lebih tinggi dari pada malaria serebral saja. Prognosis pada malaria berat tergantung pada: Kecepatanlketepatandiagnosis dan pengobatan. Makin cepat dan tepat dalam menegakkan diagnosis dan pengobatannya akan memperbaiki prognosisnya serta memperkecil angka kematiannya.



Kegagalan fungsi organ. Kegagalan fungsi organ dapat tejadi pada malaria berat terutama organ-organ vital. Semakin sedikit organ vital yang terganggu dan mengalami kegagalan dalam fungsinya, semakin baik prognosisnya.



Ke~adatanparasit. Pada pemeriksaan hitung parasit (paiasite count) semakin padat/banyak jumlah parasitnya yang didapatkan, semakin bumk prognosisnya, terlebih lagi bila didapatkan bentuk skizon dalam pemeriksaan &rah tepinya.



REFERENSI Baird JK. Effectiveness of antimalarial drugs. New Eng J Med. 2005;352: 1565-77. Barnes KI, Mwenechanya J, Tembo M et all : Efficacy of rectal artesunate compared with parenteral quinine in initial treatment of moderately severe malaria in Afrika children and adults: a radomised study. Lancet 2004 : 363 (9421) : 1598 - 605 Harijanto, PN : Management of Cerebral Malaria. Medical Progress 1999 : 23 -7. Harijanto PN : Penanganan Malaria Berat. Penerbit Buku Kedokteran ECG 2000 : 224 -236 Harijanto PN. Gejala klinik malaria berat. Da1am:Harijanto PN (ed). Malaria: Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganan. Jakarta:EGC. 1999.p. 166-84. Krudsood S, Wilairatana P, Vannaphan S, et all : Clinical experience with intravenous quinine, intramuscular artemether and intravenous artesunate for the treatment of severe malaria in Thailand. SouthEast Asia J. Trop Med Public Health 2003: 34(1): 5 4 -61.



Njuguna PW, Newton CR : Management of severe fakiparum malaria. Journal of Post Graduate Medicine 2004; 50 :45- 50 Pasvol G. Malaria. 1n:Cohen J. Powderly WG,(eds). Infectious Diseases. Edinburgh. London. New York. Oxford. Philadelphia. St.Louis. Sydney Toronto. Mosby, 2004. p.1579-91. . Squth East Asian Quinine Artesunate Malaria Trial (SEAQUAMAT) group. Artesunate versus quinine for treatment of severe falcifarum malaria: a randomized trial. Lancet. 2005;366:77-25. .Trapuz A, Jereb M, Muzlovic I et all : Clinical review : Severe Malaria. Critical Care 2003 : 7 :315 -323 Warrell DA, Molyneux ME, Beales PF. Severe and Complicated Malaria. 2nd ed. World Health Organization Division of Control of Tropical Diseases. White NJ, Breman JG. In: Braunwald E, Fauci A, 15th ed. Harrison's Principles of Internal Medicine, 2001 .p.1203-13. White NJ 1n:Sherman IW. Malaria : Parasite Biology, Pathogenesis and Protection. 1998.p.371-85. WHO : Severe Falcipamm Malaria. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 2000 WHO. The diagnosis and management of severe and complicated falsifamm malaria. Paret I1 Tutor's Guide. Training Unit Division of Control of Tropical Diseases World Health Organization. Geneva, 1995. WHO. Severe falsifarum malaria. World Health Organization 2000. WHO. Guidelines for the treatment of malaria 2006. World Health Organization 2006. ~



.



~



DIARE AKUT



ENA INFEKSI



Budi Setiawan



3iare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang neningkat dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari lengan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan 3ersifat mendadak datangnya serta berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu. Menurut WHO (1980) diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari. Diare akut adalah diare yang awalnya mendadak dan berlangsung singkat, dalam beberapa jam atau hari dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu, dan disebut diare persisten hila berlangsung selama 2 sampai dengan 4 minggu. Bila berlangsung lebih dari 4 minggu disebut sebagai diare kronik. I



Pada tahun 1995 diare akut karena infeksi sebagai penyebab kematian pada lebih dari 3 juta penduduk dunia. Kematian karena diare akut dinegara berkembang terjadi terutama pada anak-anak berusia kurang dari 5 tahun, dimana dua pertiga diantaranya tinggal didaerahllingkungan yang buruk, kumuh dan padat dengan sistem pembuangan sampah yang tidak memenuhi sarat, keterbatasan air bersih dalam jumlah maupun distribusinya, kurangnya sumber bahan makanan disertai cara penyimpanan yang tak memenuhi syarat , tingkat pendidikan yang rendah, serta kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan . Di Amerika Serikat dengan perbaikan sanitasi dan tingkat pendidikan, prevalensi diare karena infeksi berkurang. Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukan bahwa infeksi karena Salmonella, Shigella. Listeria, Escherichia coli, dan Yersinia berkurang berkisar 20-30% berkat perhatian atas kebersihan &n keamanan makanan. Sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia data menunjukan diare akut karena



infeksi masih menduduki peringkat pertama sampai dengan keempat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit.



Lebih dari 90% diare akut disebabkan karena infeksi, sedangkan sekitar 10% karena sebab-sebab lain antara lain obat-obatan,bahan-bahan toksik, iskemik dan sebagainya. Diare akut karena infeksi dapat ditimbulkan oleh :



Bakteri. Escherichia coli, Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A/B/C, Salmonella spp, Shigella dysentriae, Shigella jlexneri, Vibrio cholerae 01 dun 0139, Vibrio cholerae non 01, Vibrio parachemolyticus, Clostridium perfringens, Campylobacter (Helicobacter) jejuni, Staphlyllococcus spp, Streptococcus spp, Yersinia intestinalis, Coccidosis. Parasit. Protozoa : Entamoeba hystolitica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis, Isospora sp. Cacing: A. lumbricoides, A. duodenale, N. americanus, Ttrichiura, O.vermicularis, S.stercoralis, I: saginata, T sollium. Virus. Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus. Pola mikro organisme penyebab diare akut berbedabe& berdasarkan umur, tempat dan waktu. Di negara maju penyebab paling sering Nonvalk virus, Holicobacter jejuni, Salmonella sp, Clostridium dvficile, sedangkan penyebab paling sering di negara berkembang adalah Enterotoxicgenic Escherichia coli (ETEC), Rota virus dan Y cholerae. Penelitian di RS. PersahabatanJakarta T i(1993- 1994) pada 123 pasien dewasa yang dirawat di bangsal diare akut, didapatkan hasil isolasi sebagaimana terlihat pada Tabel 1.



DIAREAKUT KARENA INFEKSI



Jenis



E. coli V. cholarae ogawa Aerornonas sp S. flexneri Salmonella sp. E. hystolitica A. lumbriciodes Rotavirus Candida sp. NAG vibrio T. trichiura P. shigelloides B. horninis Jumlah



Jumlah



YO



67 32 25 11 10 9 6 5 3 2 2 1 1



38.29 18,29 14,29 6,29 5,71 5,14 3,43 2,86 1,71 1,14 1 ,I4 0,57 0,57



175



100



(Surnber dari : Budi Setiawan. Pola mikrobiologi penyebab diare akut pada penderita dewasa yang dirawat di bangsal Gastroenteritis UPF. Penyakit Dalarn RSUP. Persahabatan Jakarta Timur. Final paper 1995)



Sebanyak sekitar 9- 10 liter cairan memasuki saluran cerna setiap harinya, berasal dari luar (diet) dan dari dalam tubuh kita (sekresi cairan lambung, empedu dan sebagainya) Sebagian besar (75%-85%) dari jumlah tersebut akan diresorbsi kembali di usus halus dan sisanya sebanyak 1500 ml akan memasuki usus besar. Sejumlah 90% dari cairan tersebut di usus besar akan diresorbsi, sehingga tersisa sejumlah 150-250 ml cairan yang akan ikut membentuk tinja. Faktor-faktor faali yang menyebabkan diare sangat erat hubungannya satu sama lain, misalnya saja, cairan intraluminal yang meningkat menyebabkan terangsangnya usus secara mekanismemeningkatnya volume, sehingga motilitas : usus meningkat. Sebaliknya bila waktu henti makanan di usus terlalu cepat akan menyebabkan gangguan waktu penyentuhan makanan dengan mukosa usus sehingga penyerapan elektrolit, air dan zat-zat lain terganggu. Bagan patofisiologi diare secara sederhana dapat dilihat pada gambar 1. Jelas bahwa meskipun infeksi merupakan penyebab diare akut terbanyak di Indonesia narnun ia hanya merupakan sebagian dari faktor-faktor faal yang berperan dalam patofisiologi diare.



Dua ha1 umum yang patut diperhatikan pada keadaan diare akut karena infeksi adalah faktor kausal (agent) dan faktor penjamu (host). Faktor penjamu adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap organisme yang dapat menimbulkan diare akut, terdiri atas faktor-faktor daya tangkis atau lingkungan intern traktus intestinalis



seperti keasamam lambung, motilitas usus, imunitas dan juga mencakup lingkungan mikroflora usus, sekresi mukosa, dan enzim pencernaan. Penurunan keasaman lambung pada infeksi shigella terbukti dapat menyebabkan serangan infeksi yang lebih berat dan menyebabkan kepekaan lebih tinggi terhadap infeksi oleh Fcholerae. Hipomotilitas usus pada infeksi usus memperlama waktu diare dan gejala penyakit, serta mengurangi absorbsi air dan elektrolit, tambahan lagi akan mengurangi kecepatan eliminasi sumber infeksi. Peran imunitas dibuktikan dengan didapatkannya frekuensi pasien Giardiasis yang lebih tinggi pada mereka yang kekurangan IgA, demikian pula diare yang terjadi pada penderita HIVIAIDS karena gangguan imunitas. Percobaan lain membutikan bahwa bila lumen usus dirangsang oleh suatu toksoid berulang kali, akan terjadi sekresi antibodi. Pada percobaan binatang untuk mempelajari hubungan antara mikroflora usus dan tantangan infeksi, didapatkan perkembangan Salmonella typhi murium dapat dikurangi pada mikroflora usus yang normal. Faktor kausal yang mempengaruhi patogenesis antara lain adalah daya lekat dan penetrasi yang dapat merusak sel mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang mempengaruhi sekresi cairan di usus halus. Kuman tersebut dapat membentuk koloni-koloni yang juga dapat menginduksi diare. Patogenesis diare disebabkan infeksi bakteri terjadinya oleh: Bakteri Non-invasi (Enterotoksikgenik) Diare yang disebabkan oleh bakteri non-invasi disebut juga diare sekretorik, atau watery diarrhea. Pada diare tipe ini disebabkan oleh bakteri yang memproduksi enterotoksin yang bersifat tidak merusak mukosa. Bakteri non-invasi misalnya V.cholerae non 0 1, V.cholerae 0 1 atau 0 139, Enterotoxigenic E.coli (ETEC), C.perf?ingens, Staph.aureus, B.cereus, Aeromonas spp. V.cholerae eltor mengeluarkan toksin yang terikat pada mukosa usus halus 15-30 menit sesudah diproduksi dan enterotoksin ini mengakibatkan kegiatan berlebihan nikotinamid adenin dinukleotid pada dinding sel usus, sehingga meningkatkan kadar adenosin 3',5'-siklik monfosfat (siklik AMP) dalam sel yang menyebabkan sekresi aktif anion klorida ke dalarn lumen usus yang diikuti oleh air, ion bikarbonat, kation Natrium dan Kalium. Namun demikian mekanisme absorbsi ion Na melalui mekanisme pompa Na tidak terganggu; karena itu keluamya. ion C1(disertai ion HCO;, H20,Na+dan K+)dapat dikompensasi oleh meningkatnya absorbsi ion Na (didiringi oleh H20, K+,HCO; dan C1-). Kompensasi ini dapat dicapai dengan pemberian larutan glukosa yang diabsorbsi secara aktif oleh dinding sel usus. Glukosa tersebut diserap bersama air, sekaligusdiiringi oleh ionNa+,K+,C1-dan HCO;. Inilah dasar terapi oralit per oral pada kolera, sebagaimanaterlihat pada skema berikut (Gambar 1).



Dindlna - eDnel . Enlem loksln



Lumen



1



Sel epltel usus



Plnlu absorbsi glukw Glukosa (dllrlngl (HpK.ka. ACO)



CI



,



Na*(dlinngl (HQK. Na, VCO)



Diare pada keadaan ini ditandai dengan kerusakan dan kematian enterosit, dengan peradangan minimal sampai berat, disertai gangguan absorbsi dan sekresi. Setelah kolonisasi awal, kemudian terjadi perlekatan bakteri ke sel epithel dan selanjutnya terjadi invasi bakteri kedalam sel epithel, atau pada IBD mulai terjadinya inflamasi. Tahap berikutnya terjadi pelepasan sitokin antara lain interleukin 1 (IL-l), TNF-a, dan kemokin seperti interleukin8 (IL-8)dari epithel clan subepithelmiofibroblas (Gambar2).



HCO, I DIRECTCEU D A M O E DEITH



Pompa naiiium (sodium pump)



PUUNl



~hblDYUsl



w d " ,



Romrlnn



m l l a 9010111



BrUm



A



Gambar 1. Mekanisme keja enterotoksin AMF siklik dan cara kornpensasioleh larut glukosa elektrolit (Dikutip dari Hendarwanto, 2000)



Secara klinis dapat ditemukan diare berupa air seperti cucian beras dan meninggalkan dubur secara deras dan banyak(vo1uminous). Keadaan ini disebut sebagai diare sekretorik isotonikvoluminial. (watery diarrhea). ETEC mengeluarkan 2 macam enterotoksin ialah labile toxin (LT) dan stable toxin (ST). LT bekerja secara cepat terhadap mukosa usus halus tetapi hanya memberikan stimulasi yang terbatas terhadap enzim adenilat siklase. Dengan demikianjelas bahwa diare yang disebabkan E.coli lebih ringan dibandingkan diare yang disebabkan V.cholerae. Clostridium perfringens (tipe A) yang sering menyebabkan keracunan makanan menghasilkan enterotoksin yang bekerja mirip enterotoksin kolera yang menyebabkan diare'yang singkat dan dahsyat. Bakteri Enterovasif Diare yang disebabkan bakteri enterovasifdisebut sebagai diare Inflammatory. Bakteri non-invasif misalnya: Enteroinvasive E.coli (EIEC), Salmonella spp, Shigella spp, Cjejuni, Kparahaemolyticus, Ersinia, C.petjhgens tipe C, Entamoeba histolytica, Pshigelloides, C.d@cile, Campylobacter spp. Dihe terjadi disebabkan kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi. Sifat diarenya sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat tercarnpur dengan lendir dan darah. Walau demikian infeksi oleh kuman-kuman ini dapat juga bermanifestasi sebagai suatu diare sekretorik . Pada pemeriksaan tinja biasanya didapatkan sel-sel eritrosit dan leukosit.



U IMMUNE 8 Y 8 l W Y W l T C D CEU DIMLOE ID U T H



C



1 muuld-'



DyplmmFwa LHlP



Gambar 2. 1. Kerusakanlkematian sel-sel entrosit akibat invasi mikroorganisme secara langsung; II. Kenrsakanlkematiansel-sel entrosit berdasarkan mekanisme imunologi



IL-8 adalah molekul kemostatik yang akan mengaktikm sistim fagositosis setempat dan merangsang sel-sel fagositosis lainnya ke lamina propia. Apabila substansi kemotaktik (IL-8) dilepas oleh sel epitel, atau oleh mikroorganisme lumen usus (kemotaktik peptida) dalam konsentrasi yang cukup kedalam lumen usus, maka neutrofil akan bergerak menembus epitel dan membentuk abses kripta, dan melepaskan berbagai mediator seperti prostaglandin, leukotrin, actifating factor, dan hidrogen peroksida dari sel fagosit akan merangsang sekresi usus oleh enterosit, dan aktifitas saraf usus. -Terdapat3 mekanisme dare inflamatori, kebanyakan disertai kerusakan brush border clan beberapa kematian sel enterosit disertai ulserasi. Invasi mikroorganisme atau parasit ke lumen usus secara langsung akan merusak atau membunuh sel-sel, enterosit. Jika infeksi mikrorganisme begitu kompleks, misalnya



infeksi Nematoda (cacing tamhang) maka diare yang tejadi terutama karena terjadinya reaksi anafilaksis usus. Infeksi cacing akan mengakibatkan enteritis inflamatori yang ringan yang disertai pelepasan antibodi IgE dan IgG untuk melawan cacing. Selama terjadinya infeksi atau reinfeksi, maka akibat reaksi silang reseptor antibodi IgE atau IgG di Mast sel, terjadi pelepasan mediator inflamasi yang hebat seperti histamin, adenosin, prostaglandin, dan lekotrin. Respons patofisiologi di usus hampir sama seperti seperti yang terjadi di dalam saluran nafas pada rhinitis alergika atau asthma, yang mana terdapat respon anafilaksis di usus yang diikuti oleh peradangan (infla~nasi)dengan akibat lebih lanjut terjadi proses sekresi yang hebat disertai kontraksi otot usus untuk mengeluarkan nemotoda dari usus. Mekanisme imunologi akibat pelepasan produk dari sel lekosit polimorfonuklear, makrophage epithelial, limfosit T akan mengakibatkan kerusakan dan kematian sel-sel enterosit. Pada keadaan-keadaan di atas sel epitel, makrofag, dan subepithel miofibroblas akan melepas kandungan (matriks) metaloprotein dan akan menyerang membrana basalis dan kandungan molgkul interstitial, dengan akibat akan terjadi pengelupasan sel-sel epithel dan selanjutnya terjadi remodeling matriks (isi sel epithel) yang mengakibatkan vili-vili menjadi atropi, hiperplasi kriptakripta di usus halus dan regenerasi hiperplasia yang tidak teratur di usus besar (kolon). Pada akhirnya terjadi kerusakan atau sel-sel imatur yang rudimenter dimana vilivili yang tak berkembang pada usus halus dan kolon. Selsel imatur ini akan mengalami gangguan dalam fungsi absorbsi dan hanya mengandung sedikit (defisiensi) disakaridase, hidrolase peptida, berkurangnya Itidak terdapat mekanisme Nu-coupled sugar atau mekanisme transport asam amino, dan berkurangnyaftakterjadi transport absorbsi NaC1. Sebaliknya sel-sel kripta dan sel-sel baru vili yang imatur atau sel-sel permukaan mempertahankan kemampuannya untuk mensekresi C1(mungkin HC0,-). Pada saat yang sama dengan dilepaskannya mediator inflamasi dari sel-sel inflamatori di lamina propia akan merangsang sekresi kripta hiperplasi dan vili-vili atau sel-sel permukaan yang irnatur. Kerusakan immune mediated vaskular mungkin menyebabkan kebocoranprotein dari kapiler. Apabila terjadi ulserasi yang berat, maka eksudasi dari kapiler dan limfatik dapat beperan terhadap terjadinya diare. Setelah mengalami kerusakan, epitel akan mengalami pemulihan dan proliferasi dan secara sekunder akan terjadi pelepasan prostaglandin dan faktor pertumbuhan, seperti transforming growth factor, hepatocyt growth factor , keratinocyt GI;: epidermal GI;: danfzbroblast GF dari sel-sel epithel, sel-sel imun, miofibroblas.Proses-proses inilah yang akan memperbaiki sel-sel epitel permukaan.Bila terjadi peradangan (infiamasi)



yang berulang maka terjadinya fibrosis akan lebih dominan dibanding proses penyembuhan. Aktifasi limfosit dan netrofil akan melepaskan IL- 1 dan TNF-or ke dalam darah, selanjutnya di otak akan menyebabkan timbulnya gejalagejala sistemik berupa reaksi peradangan yang berat (demam, malaise, anoreksia, dan obtudation). Sitokinsitokin juga akan menggiatkan corticotropin-realesing factor di otak yang akan merangsang aksis hipotalamusadrenal dan memprakasai respon stress glukokortikoid. Terdapat 4 katagori inflamatori diare : infeksi, hipersensitif, sitostatik (anticancer) agent, dan penyakit idiopatik (mungkin autoimun).



Penularan diare akut karena infeksi melalui transmisi fekaloral langsung dari penderita diare atau melalui makananl minumaan yang terkontaminasi bakteri patogen yang berasal dari tinja manusiakewan atau bahan muntahan penderita. Penularan dapat juga berupa transmisi dari manusia ke manusia melalui udara (droplets infection) misalnya Rotavirus, atau melalui aktifitas seksual kontak oral-genital atau oral-anal. Diare akut karena infeksi bakteri yang mengandungl memproduksi toksin akan menyebabkan diare sekretorik (watery diarhhea) dengan gejala-gejala mual, muntah, dengan atau tanpa demam yang umumnya ringan, disertai atau tanpa nyerikejang perut, dengan feses lembeklcair. Umumnya gejala diare sekretorik timbul dalam beberapa jam setelah makadminuman y ang terkontaminasi. Diare sekretorik (watery diarrhea) yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi bempa asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang akan merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik. Sedangkan kehilangan bikarbonas dan asam karbonas berkurang yang mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (pernafasan Kussmaul). Reaksi ini adalah usaha badan untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH darah dapat kembali normal. Gangguan kardiovaskular pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat (> 120/menit),tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah muka pucat ujung-ujung ektremitas dingin dan kadang sianosis karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmiajantung. Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi



ginjal menurun dengan sangat dan akan timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang dapat mengakibatkan gaga1 ginjal akut. Sedangkan keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi kepincangan pada pembagian darah dengan pemusatan darah yang lebih banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting sekali karena dapat menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali. Bakteri yang invasif akan menyebabkan diare yang disebut sebagai diare inflarnasi dengan gejala mual, muntah dan demam yang tinggi, disertai nyeri perut, tenemus, diare disertai lendir Can darah. Pada diare akut karena infeksi, dugaan terhadap bakteri penyebab dapat diperkirakan berdasarkan anamesis makananlminuman dalam beberapajamlhari terakhir (Tabel I), dan anamesis/observasi bentuk diare (Tabel 2).



Sarana Air



Makanan Unggas Sapi, Juice buah yg tidak dipasteurisasi Babi Seafood & kerang



Keju, susu Telur Mayonnaise + makanan & cream Nasi goreng Berrie segar Sayuran atau buahbuahan kaleng Kecamba h Hewan ke manusia Manusia ke manusia (termasuk seksual kontak) Day care center



Rumah sakit, antibiotic, Khemoterapi Kolam renang Wisatawan asing



Bakteri Patogen Vibrio cholerae, Norwalk agent, Giardia, Cryptospordium (termasuk makanan yg dicuci dengan air tsb) Salmonella, Campylobacter, dan Shigella spp. Enterohemorrhagic Escherichia coli. Cacing pita (Tapeworm). V.cholerae non 01, V.parahaernolyticus;vibrio spp, Salmonella Spp, Aeromonas spp, Hepatitis A,B,C. Tapeworm dan anisakla. Listeria spp. Salmonella spp. Staphylococcus dan Clostridium. Bacillus cereus. Cycklospora spp. Clostridium.spp. Enterohemorrhagic E.coli dan Salmonella spp. Salmonella,Campylobacter, Crypt osporidium, Giardia spp. Semua bakteri enterik, virus, parasit.



Yersinia dapat menginvasi mukosa ileum terminalis dan kolon bagian proksimal, dengan nyeri abdomen disertai nyeri tekan di regio titik Mc. Burney dengan gejala seperti Apendisitis akut. Diare akut karena infeksi dapat disertai gejala-gejala sistemik lainnya, seperti Reiter Z syndrome (arthritis, uretritis, dan konjungtivitis) yang dapat disebabkan oleh Salmonella, Campylobacter, Shigella, dan Yersinia. Shigella dapat menyebabkan hemolytic-uremic syndrome. Diare akut dapat juga sebagai gejala utama beberapa infeksi sistemik antara lain hepatitis virus akut, listeriosis, legionellosis, dan toksik renjatan sindrom.



Travelers Diarrhea Sebagian besar travelers diarrhea bersifat watery diarrhea. Penyebab travelers diarrhea paling sering enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC), Shigella spp, Campylobacter jejuni, Samonella spp, Plesiomonas shigeloides, non cholerae vibrio, dan Aeromonas spp. Watery diarrhea yang berat, dan segera disertai dehidrasi yang berat patut dicurigai kemungkinan disebabkan oleh K cholerae 0 1 atau 0 139. Diare Karena Antibiotika Kemungkinan terjadinya diare pada penderita yang sedang mendapat pengobatan antibiotika berspektrum luas sekitar 20%, tetapi hanya sekitar 30-50% yang dapat diketahui penyebabnya yaitu Clostridium dzjficile yang mengakibatkan kolitis pseudomembran. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa diare yang hebat yang dapat mengakibatkan kematian. Diare pada Perawatan Sehari-hari Diare dapat terjadi pada perawatan sehari (day-care), umumnya dapat terjadi dengan penularan bakteri dalarn jumlah rendah misalnya Shigella, Giardia, Cryptosporidium, atau karena rotavirus, astrovirus, adenovirus. PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah - Darah perifer lengkap. - Ureum, kreatinin. - Serum elektrolit :Na', K', C1-. - Analisa gas darah apabila didapatkan tanda-tanda gangguan keseimbangan asam basa (pernafasan Kusmaull) - Immunoassay : toksin bakteri (C.dzflcile), antigen virus (rotavirus), antigen protozoa (Giardia, E.histolytica) Feses - Feses lengkap (mikroskopis : peningkatan jumlah ,



Shigella, Campylobacter, Cryptosporidium, Giardia spp., Virus,, Clostridium difficle. C.difficile. Giardia dan Cryptospondium spp. E.coli,Salmonella, Shigella, Campylobacter, Giardia, Cryptosporidium spp., Entamoeba histolytica.



-



lekosit di feses pada injlamatoly diarrhea; parasit : amoeba bentuk tropozoit, hypha pada jamur) Biakan dan resistensi feses (colok dubur)



Pemeriksaan penunjang diperlukan dalam penatalaksanaan diare akut karena infeksi, karena dengan tata cara pemeriksaan yang terarah akan sampai pada terapi definitif



DIAGNOSIS



Diare akut karena infeksi dapat ditegakkan diagnostik etiologi bila anamesis, manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang menyokongnya. Beberapa petunjuk anamnesis yang mungkin dapat membantu diagnosis : 1). Bentuk feses (wately diarrhea atau disentri diare); 2). Makanan clan minuman 6-24 jam terakhir yang dimakadminum oleh penderita. (Tabel 2); 3). Adakah orang lain sekitarnya menderita ha1 serupa, yang mungkin oleh karena keracunan makanan atau pencemaran sumber air; 4). Dimana tempat tinggal penderita. Asrama, penampungan jompolpengungsi dan lain-lain, dapat merupakan tempat kontak dengan Shigella, Giardia; 5). Siapa: Wisatawan asing patut dicurigai kemungkinan kholera, E.coli, amoebiasis, Giardiasis. Pola kehidupan seksual. Umumnya diare akut bersifat ringan dan merupakan selJllimiteddisease.Indikasi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu diare berat disertai dehidrasi, tampak darah pada feses, panas > 38,5O C, diare > 48 jam tanpa tandatanda perbaikan, kejadian luar biasa (KLB), nyeri perut hebat pada penderita berusia > 50 tahun, penderita usia lanjut > 70 tahun, dan pada penderita dengan daya tahan tubuh yang rendah. PENATALAKSANAAN



Penatalaksanaan diare akut karena infeksi pada orang dewasa terdiri atas: 1). Rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan; 2). Memberikan terapi simptomatik; 3). Memberikan terapi definitif. ' Rehidrasi sebagai Prioritas Utama Pengobatan Ada ha1 yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan akurat, yaitu : Jenis cairan yang hendak digunakan. Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena tersedia cukup banyak di pasaran, meskipunjumlah kaliumnya lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar Kalium cairan tinja. Apabila tidak tersedia cairan ini, boleh diberikan cairan NaCl isotonik. Sebaiknya ditambahkan satu ampul



Nabikarbonat 7,5% 50 ml pada setiap satu liter infus NaCl isotonik. Asidosis akan dapat diatasi dalam 1-4jam. Pada keadaan diare akut awal yang ringan, tersedia di pasaran cairanlbubuk oralit, yang dapat diminum sebagai usaha awal agar tidak terjadi rehidrasi dengan berbagai akibatnya. Jumlah cairan yang hendak diberikan.Pada prinsipnya jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai denganjumlah cairan yang keluar dari badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai cara : B.D. Plasma dengan memakai rumus : Kebutuhan cairan : BD plasma- 1.025 x BB x 4 ml 0.00 1



Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberikan penilaiadskor sebagai berikut: Jalan masuk atau cara pemberian cairan. Rutepemberian cairan pada orang dewasa terbatas pada oral clan intravena. Untuk pemberian per oral diberikan larutan oralit yang komposisinya berkisar antara 29g glucosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g Na bikarbonat dan 1,5 g KC1 setiap litemya. Cairan per oraljuga digunakan untuk mempertahankan hidrasi setelah rehidrasi inisial. Jadwal pemberian cairan. ~ n t u jadwil k rehidrasi inisial yang dihitung dengan rumus BD plasma atau sistem skor Daldiyono diberikan dalam waktu 2 jam. Tujuannyajelas agar tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin. Jadwal pemberian cairan tahap kedua yakni untuk jam ke-3, didasarkan kepada kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya, rehidrasi diharapkan lengkap pada akhirjam ke-3. Melakukan Terapi Simtomatik Pemberian terapi simtomatik haruslah berhati-hati dan setelah benar-benar dipertimbangkan karena l'ebihbanyak kerugian daripada keuntungannya. Anti motilitas seperti Loperamid akan memperburuk diare yang diakibatkan oleh bakteri yang entero invasif karena potensial akan memperpanjang waktu kontak antara bakteria dengan epitel usus. Kalau memang dibutuhkan karena pasien amat kesakitan diberikan dalam jangka pendek (1-2 hari saja) dan jumlah sedikit serta memperhatikan ada tidaknya glaukoma atau hipertropi prostat. Hal yang sama harus sangat diperhatikan pada pemberian antiemetik, karena Metoklopropamid misalnya dapat memberikan kejang pada anak dan remaja akibat rangsangan ekstrapiramidal. Pada diare akut yang ringan kecuali rehidrasi peroral, bila tak ada kontraindikasi dapat dipertiinbangkan pemberian Bismuth subsalisilat maupun loperamid dalam waktu singkat. Pada diare yang berat obat-obat tersebut dapat dipertimbang dalam waktu pemberian yang singkat



dikombinasi dengan pemberian obat antimikrobial. Pada penderita diare mungkin &pat disertai dengan keadaan lactosa intolerance, oleh karena itu sementara hindari pemberian makanan/minuman yang mengandung susu sampai diarenya membaik. Makanan yang pedas atau banyak mengandung lemak dapat memperberat penyakitnya.



Melakukan Terapl Definltlf Pada infeksi saluran cerna pencegahan sangat penting. Higiene perorangan, sanitasi lingkungan dan imunitas melalui vaksinasi memegang peran. Terapi kausal dapat diberikan pada infeksi : * Kolera eltor : Tetrasiklin 4x500 mghari, selama tiga hari atau Kortimoksazol, dosis awal2x3 tab, kemudian 2x2 tab selama 6 hari atau Kloramfenikol, 4x500 mg/ hari selama 7 hari atau golongan Fluoroquinolon K parahaemolyticus E. coli : ETEC, enterohemorrhagic E.coli C.pet@ingens : spesifik S.aureus :kloramfenikol4x500 mghari Salmonellask :Ampisilin 4x1g M atau kotrikmoksazol 2x2 tab masing-masing selama 10-1 hari atau golonganfluoroquinolon seperti Siprofloksasin 2x500 mg selarna 3-5hari. Shigellasis : Ampisilin 4xlghari selama 5 hari atau Kloramfenikol 4x500 mghari selama 5 hari. Telah dilaporkan adanya Shigella yang resisten terhadap Ampisilin. Infeksi helikobakterjejunieritromisin 3x500 atau 4x500 mg/hari selama 7 hari. a. Amubiasis :Metronidazol4~500mg/hari selama 3 hari atau Tinidazoldosis tunggal2ghari selama 3 hari atau Seknidazol dosis tunggal 2g/hari selarna 3 hari atau tetrasiklin 4x500 mghari selama 10hari.



Giardiasis : Quinakrin 3xlOOmghari selama 1 minggu atau Khloroquin 3x100 mghari selama 5 hari atau Metronidazol3~250mghariselama 7 hari. Balantidiasis :Tetrasiklin 3 x500 mghari selama 10 hari. Kandidosis :Nistatin 3~500.000unit selama 10hari Virus : simtomatik dan suportif.



REFERENSI Ahlquist David A, Camilleri M. Diarrhea & Costipation. Dalam buku: Horrison's Principles of Internal Medicine. l 51h edition. Braunwald, Fauci, Kasper et all (Editor). 2001, 241 - 50. Cook G.C, Tropical Gastroenterological Problems. Dalam buku: Manson's Tropical Diseases. 21" edition. Cook GC, Zumla A. (Editor). London : WB Saunders Co Itd; 2003.p. 817-22. Daldiyono. Diare. Buku ajar Gastro Enterologi Hepatologi, Infonnatika, 1990 edisi 1: 21. Hendarwanto. Diare akut karena infeksi. Dalam buku: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sarwono WP (Editor),Jakarta: Balai Penerbit U1; 2000.p.451 - 7. Nelwan R.H.H dan Soemarsono. Pathogenesis dan Pathofisiologi Diarre pada Orang Dewasa, Diare , Penaggulangan dan hasilhasilnya, editor Broto Warsito, Dirjen P3M Depkes RI, 1979,70. Nelwan R.H.H dan Soemarsono. Penatalaksanaan diare pada orang dewasa, Diare, penanggulangan dan hasil-hasilnya, editor Broto Warsito, Dirjen P3M Depkes RI, 1979,70. Pavia AT. Diarrhea and food borne Illness. Dalam buku: Infectious Diseases. 2ndedition. Cohen J, Powderly W.G (Editor). London : Mosby. Elsevier Ltd; 2004.p. 1445 - 591. Pietzak M, Fasano A. Acute Infectious Diarrhea. Dalam buku: Conn's Current Therapy 2003, Rakel R.E, Bope E.T (Editor). Philadelphia USA: Elsevier Science; 2003.p. 20-27. Powel Don W: Approach to the patient with diarrhea. Dalam buku : Textbook of Gastroenterology. 4Ih edition. Yamada T (Editor). Philadelphia . USA: Limphicot Williams & Wiekeins; 2003.p.844 - 893.



KOLERA H. Soemarsono



PENDAHULUAN Kolera adalah penyakit infeksi yang disebabkan Vibrio cholerae dengan manifestasi diare disertai muntah yang akut dan hebat akibat enterotoksinyang dihasilkan bakteri tersebut. Bentuk manifestasi Minisnya yang h a s adalah dehidrasi, berlanjut dengan renjatan hipovolemik dan asidosis metabolik yang terjadi dalarn waktu sangat singkat akibat diare sekretorik dan &pat berakhir dengan kematian bila tidak ditanggulangi dengan adekuat. Kolera dapat menyebar sebagai penyakit yang endemlk, epidemik, atau pandemik. Meskipun sudah banyak penelitian berskala besar dilakukan, namun kondisi penyalut ini tetap menjadi suatu tantangan bagi dunia kedokteran modern.



fibrio cholerae adalah kuman aerob, Gram negatif bendcuran 0,2-0,4 mm x 1,5-4,Ornrn, mudah dikenal dalam sediaan tinja kolera dengan pewarnaan Gram sebagai batang-batang pendek sedikit bengkok (koma), tersusun berkelompok seperti kawanan ikan yang berenang. Z cholerae dibagi menjadi 2 biotipe, Masik d& El Tor, yang dibagi berdasarkan struktur biokimiamya dan parameter laboratorium lainnya. Tiap biotipe dibagi lagi menjadi 2 serotipe, Inaba dan Ogawa. Diagnosis presumtif secara cepat dapat dibuat dengan menggunakan mikroskop fluoresensi. dengan memakai antibodi tipe spesifik yang telah dilabel dengan fluoresein, atau dengan uji mobilisasi vibrio dengan memakai serum tipe-spesifik dan dilihat dengan mikroskop lapangan gelap atau mikroskop fase. Vibrio chalerae tumbuh cepat dalam berbagai macam media selektif seperti agar garam empedu, agar-gliserintelurit-taurokolat, atau agar thiosulfate-citrate-bile salt-



sucrose (TCBS). Kelebihan medium TCBS ialah pemakaiannya tidak memerlukan sterilisasi sebelumnya. Dalam medium ini koloni vibrio tampak berwana kuningsuram. Identifikasi Vibrio cholerae biotipe El Tor penting untuk tujuan epidemiologis. Sifat-sifat penting yang membedakannya dengan biotipe kolera klasik ialah resistensi terhadap polimiksin B, resistensi terhadap kolerafaga tipe IV (Mukerjee) dan menyebabkan hemolisis pada eritrosit kambing.



Sejak tahun 1917 dikenal tujuh pandemi yang penyebarannya bahkan mencapai Eropa. Vibrio yang bertanggungjawab terhadap tejadinya pandemik ke-7 yaitu cholerae 0 1, biotipe El Tor. Pandernik ke-7 baru-baru ini dimulai pada tahun 1961 ketika Vibrio pertama kali muncul menyebabkan epidemi kolera di Sulawesi, Indonesia. Penyakit ini lalu menyebar dengan cepat ke Negara Asia timur lainnya dan mencapai Bangladesh pa& tahun 1963, India pada tahun 1964, dan Uni soviet, Iran dan Iraq pada tahun 1965-1966. Pada tahun 1970kolera menyebar ke Afiika barat, suatu wilayah yang belum pernah mengalami penyakit ini selama lebih dari 100 tahun. Penyakit ini menyebar dengan cepat ke beberapa negara dan menjadi endemik pada banyak benua. Pada tahun 1991 kolera menyerang Amerika latin, di mana penyakit ini juga telah hilang selama lebih dari satu abad. Dalam waktu setahun penyakit ini menyebar ke 11 negara dan secara cepat menyebar lintas benua.. Sampai tahun 1992, hanya serogrup E cholerae 01 yang menyebabkan epidemi kolera. Serogrup lainnya dapat menyebabkan kasus-kasus diare yang sporadis, tapi tidak dapat menyebabkan epidemi. Pada akhir tahun 1992 ledakan kasus kolera dimulai di India dan Bangladeshyang



disebabkan oleh serogrup K cholerae yang sebelumnya belum teridentifdcasi, yaitu serogrup 0 139 atau Bengal. Keadaan ini dikenal pula sebagai pandemik ke-8. Isolasi dari Vibrio ini telah dilaporkan dari 11 negara di Asia Tenggara..Namun masih belum jelas apakah K cholerae 0 1 39 akan menyebar ke daerahlwilayah lain, dan pengawasan epidemiologik yang cermat dari situasi ini sedang dilakukan.



Pada daerah endemik, air terutama berperan dalam penularan kolera; namun pada epidemi yang besar penularan juga terjadi melalui makanan yang terkontaminasi oleh tinja atau air yang mengandung K cholerae. Khususnya pada kolera El Tor, yang dapat bertahan selama beberapa bulan di air. Penularan dari manusia ke manusia dan dari petugas medis jarang terjadi. Pasien dengan infeksi yang ringan atau asimtomatik berperan penting pada penyebaran penyakit ini. Perbandingan antara penderita asimtomatik dengan simtomatik (bermanifestasi klinis yang khas) pada suatu epidemi diperkirakan4: 1 pada kolera Asiatika, sedangkan untuk kolera El Tor, diperkirakan 10: 1 . Dengan kata lain terdapat fenomena gunung es. Hal ini merupakan masalah khususnya dalam upaya pemberantasan kolera El Tor. Pada kolera El Tor angka karier sehat (pembawa kuman) mencapai 3 %. Pada karier dewasa Mbrio cholerae hidup dalam kantong empedu. Prevalensi kolera di daerah endemik pada anak lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa yaitu 10:1. Pada orang dewasa insiden pada pria lebih tinggi dari wanita. Pada keadaan epidemis, insiden tidak berbeda pada kelompok umur maupun jenis kelamin tertentu.



Gambar 1. Pandemic spread of vibrio cholerae



PATOGENESIS DAN IMUNITAS Kolera ditularkanmelalui jalur oral. BilaVibrioberhasil 1010s dari pertahanan primer dalam mulut dan tertelan, bakteri ini akan cepat terbunuh dalam asam lambung yang tidak diencerkan. Bila Vibrio dapat selamat melalui asam lambung, maka ia akan bekembang di dalam usus halus. Suasana alkali di bagian usus halus ini merupakan medium yang menguntungkan baginya untuk hidup dan memperbanyak diri. Jumlahnya bisa mencapai sekitar 10 per ml cairan tinja. Langkah awal dari patogenesis terjadinya kolera yaitu menempelnya Vibrio pada mukosa usus halus. Penempelan ini dapat terjadi karena karena adanya membran protein terluar dan adhesin flagella. Vibrio cholerae merupakan bakteri non invasif, patogenesis yang mendasari terjadinya penyakit ini disebabkan oleh enterotoksin yang dihasilkan K cholerae yang menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit yang masif yang disebabkan oleh kerja toksin pada sel epitel usus halus, terutama pada duodenum dan yeyunum. Enterotoksin adalah suatu protein, dengan berat molekul84.000 Dalton, tahan panas dan tak tahan asam, resisten terhadap tripsin tapi dirusak oleh protease. Toksin kolera mengandung 2 sub unit yaitu B (binding) dan A (active). Sub unit B mengandung 5 polipeptida, dimana masing-masing molekul memiliki berat 11500 dan terikat pada gangliosid monosialosil yang spesifdc, reseptor GM1, yang terdapat pada sel epitel usus halus. Sub unit A kemudian dapat masuk menembus membran sel epitel. Sub unit ini memiliki aktivitas adenosine diphospate (ADP) ribosyltransferase dan menyebabkan transfer ADP ribose dari nicotinamide-adenine dinucleotide(NAD) ke sebuah guanosine triphospate (GTP) binding protein yang mengatur aktivitas adenilat siklase. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi CAMP,yang menghambat absorpsi



NaCl dan merangsang ekskresi klorida, yang menyebabkan hilangnya air, NaCI, kalium dan bikarbonat. (Tabel 1)



Natrium



Kalium



124 I01



16 27



Klorida



Bikarbonat



90 92



48 32



-



Dewasa Anak



Toksin-toksintambahan dan faktor-faktor lain sekarang telah diketahui terlibat pada patogenesis kolera. Zonula occludens toxin (Zot) meningkatkan permeabilitas mukosa usus halus dengan mempengaruhi struktur tight junction interseleluler.Accessoly cholera exotoxin (Ace) ditemukan pada tahun 1993 dan diketahui meningkatkan transpor ion transmembran. Imunitas terhadap toksin kolera clan antigen permukaan bakteri sama dengan respon infeksi alami. Kebanyakan studi terhadap respon imun telah mengukur antibodi bakterial serum, meskipun proteksi in vivo kemungkinan besar dimediasi oleh IgA sekretorik. Kolera ditandai dengan diare yang sangat berat yang dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit dan hipovolemia, dengan angka kematian (mortality rate) yang berkisar kurang dari 1% hingga 40%. Terdapat spektrum yang luas mulai dari yang asimtomatik, ringan hingga berat.



Ada beberapa perbedaan pada manifestasi klinis kolera baik mengenai sifat dan beratnya gejala. Terdapat perbedaan pada kasus individual maupun pada terjadi epidemi. Masa inkubasi kolera berlangsung antara 16-72 jam. Gejala klinis dapat bervariasi mulai dari asimtomatik sampai dengan gejala klinis berupa dehidrasi berat. Infeksi terbanyak bersifat asimtomatik atau terjadi diare ringan dan umumnya pasien tidak memerlukan perawatan. Manifestasi klinis yang khas ditandai dengan diare yang encer dan berlimpah tanpa didahului oleh rasa niulas maupun tenesmus. Dalam waktu singkat tinja yang semula berwarna dan berbau feses berubah menjadi cairan putih keruh (seperti air cucian beras), tidak berbau busuk maupun amis, tapi 'manis' menusuk. Cairan yang menyerupai air cucian beras ini bila diendapkan akan mengeluarkan gumpalan-gumpalanputih. Cairan ini akan keluar berkalikali dari anus pasien dalam jumlah besar. Muntah timbul kemudian setelah diare, dan berlangsung tanpa didahului mual. Kejang otot dapat menyusul, baik dalam bentuk fibrilasi atau fasikulasi, maupun kejang klonik yang nyeri dan mengganggu. Otot-otot yang sering terlibat ialah betis, biseps, triseps, pektoralis dan dinding perut. Teriakan



ataupun rintihan pasien karena kejang yang nyeri itu dapat disangka sebagai teriakan nyeri karena kolik. Kejang otot ini disebabkan karena berkurangnya kalsium dan klorida pada sambungan neuromuskular. Gejala dan tanda kolera terjadi akibat kehilangan cairan dan elektrolit serta asidosis. Pasien berada dalam keadaan lunglai, tak berdaya, namun kesadarannya relatif baik dibandingkan dengan berat penyakitnya. Koma baru akan terjadi pada saat-saat terakhir. Pada kurang lebih 10% bayi dan anak-anak, dapat dijumpai kejang sentral dan stupor, yang disebabkan hipoglikemia. Tanda-tanda dehidrasi tampakjelas, nadi menjadi cepat, nafas menjadi cepat, suara menjadi serak seperti suara bebek Manila (vox cholerica), turgor kulit menurun (kelopak mata cekung memberi kesan hidung yang mancung dan tipis, tulang pipi yang menonjol), mulut menyeringai karena bibir kering, perut cekung (skafoid) tanpa ada stelJirng maupun kontur usus, s w a peristaltik usus bila ada jarang sekali. Jari jari tangan dan kaki tampak kurus dengan lipatan-lipatan kulit, terutama ujung jari yang keriput (washer women hand), diuresis berangsur-angsur berkurang dan berakhir dengan anuria. Diare akan bertahan hingga 5 hari pada pasien yang tak diobati. TANDA-TANDAGAGAL SlRKULASl



Berkurangnya volume cairan disertai dengan viskositas darah yang meningkat, akhirnya menyebabkan kegagalan sirkulasi darah. Tanda utama yang dianggap khas adalah suhu tubuh yang rendah (34 hingga 24,5OC), sekalipun sedang berlangsung infeksi. Frekuensi nadi menjadi cepat dengan isi yang kurang dan akhirnya menjadi cepat dan kecil (filiform). Denyut jantung cepat, suara jantung terdengar jauh dan kadang-kadang hanya suara sistolik yang terdengar, namun dengan irama yang tetap teratur.Tekanan darah menurun sebagai tanda renjatan hipovolemik, akhirnya terukur hanya dengan palpasi. Warna kulit, bibir dan selaput mukosa serta kukujadi ungu akibat sianosis, memberi kesan pasien berwarna hitam pada orang yang berkulit gelap; pada perabaan kulit terasa lembab. Sianosis yang terjadi adalah bersifat perifer. Asidosis metabolik terjadi akibat kehilangan bikarbonat jumlah besar dan metabolisme anaerob akibat kegagalan sirkulasi. Tampilan klinis berupa pernapasan yang cepat, mula-mula dangkal, namun akhirnya dalam (Kussmaul). Perubahan patofisiologis ireversibel lainnya pada organ agaknya tidak terjadi, bahkan homostasis masih tetap dapat dipertahankan atau masih mudah dikoreksi. Penyakit kolera dapat berakhir dengan penyembuhan ad integrum (sehat utuh) atau kematian. Penyulit yang diakibatkan oleh penyakitnya sendiri tidak ada. Penyulit yang terjadi biasanya disebabkan oleh keterlambatan pertolongan atau pertolongan yang tidak adekuat, seperti



uremia dan asidosis yang tidak terkompensasi. Gaga1 ginjal dengan anuria yang berkepanjangan terjadi dalam persentase kecil berupa nekrosis tubular yang akut (ATN) yang umumnya dapat diatasi dengan terapi konsematif dan tidak memerlukan dialisis. Penyulit lain yang perlu perhatian ialah abortus pada pasien dengan hamil muda, komplikasi iatrogenik seperti gaga1 jantung, reaksi infus berupa demam, infeksi nosokomial (tromboflebitis, sepsis bakterial). Pada umumnya dengan pengobatan dini dan adekuat, prognosis pasien kolera cukup baik dan tidak sampai menyebabkan kematian.



DIAGNOSIS Diagnosis kolera meliputi diagnosis klinis dan bakteriologis. Tidak sukar untuk menegakkan diagnosis kolera berat, terutama di daerah endemik. Kesulitan menentukan diagnosis biasanya terjadi pada kasus ringan dan sedang, terutama di luar endemik atau epidemik. Kolera yang khas dan berat dapat dikenali dengan gejala diare sering tanpa mulas diikuti dengan muntah tanpa didahului rasa mual, cairan tinja serupa air cucian beras, suhu badan tetap normal atau menurun, dan keadaan bertambah buruk secara cepat karena pasien mengalami dehidrasi, renjatan sirkulasi dan asidosis. Bila gambaran klinis menunjukkan dugaan yang kuat ke arah penyakit ini, pengobatan hams segera dimulai, tanpa menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis. Diare sekretorik lain dengan gambaran klinis mirip dengan kolera, dapat disebabkan oleh enterotoxigenic Eschericia coli (ETEC). Berbagai bakteri penyebab diare sekretorik dapat dilihat pada Tabel 2.



Vibrio cholerae Vibrio cholerae non 0 group 1 Escherichia coli Clostridium perfringens Bacillus cereus Staphylococcus aureus



Jika tinja segar pasien kolera yang tanpa pewarnaan diarnati di bawah mikroskop lapangan gelap, akan tampak mikroorganisme berbentuk spiral yang memiliki pola motilitas seperti shootingstar. Untukpemeriksaan biakan, cara pengambilan bahan pemeriksaan tinja yang tepat adalah apus rektal (rectal swab) yang diawetkan dalam media transport carry-blair atau pepton alkali, atau langsung ditanam dalam agar TCBS, akan memberikan persentase hasil positif yang tinggi. K cholerae 0 1 menghasilkan koloni yang oksidase-positif yang berwarna kuning, yang dapat dikonfirmasi dengan slide aglutinasi spesifik dengan antiserum.



PENATALAKSANAAN Dengan diketahuinya patogenesis dan patofisiologi penyakit kolera, saat ini tidak ada masalah dalam pengobatannya. Dasar pengobatan kolera adalah terapi simtomatik dan kausal secara simultan. Tatalaksana mencakup penggantian kehilangan cairan tubuh dengan segera dan cermat, koreksi gangguan elektrolit dan bikarbonat (baik kehilangan cairan melalui tinja, muntahan, kemih, keringat, dan kehilangan insensibel), serta terapi antimikrobial. Rehidrasi dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu terapi rehidrasi dan rumatan. Pada kedua tahap ini perlu diperhitungkan kebutuhan harian akan cairan dan nutrisi, terutama bila diare berlangsung lama dan pada pasien pediatri. Pada dehidrasi berat yang disertai renjatan hipovolemik, muntah yang tak terkontrol, atau pasien dengan penyulit yang berat yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan, terapi rehidrasi hams diberikan secara infus intravena. Pada kasus sedang dan ringan, rehidrasi dapat dilakukan secara per oral dengan cairan rehidrasi oral atau oral rehydration solution (ORS). Sedang tahap pemeliharaan dapat dilakukan sepenuhnya dengan cairan rehidrasi oral, baik pada kasus dehidrasi berat, sedang maupun ringan. Untuk keperluan rumatan dapat diberikan cairan dengan konsentrasi garam yang rendah seperti: air minum biasa, atau susu yang diencerkan, dan air susu ibu terutama untuk bayi dan anak-anak. Petunjuk terapi rehidrasi dan pemeliharaan secara umum dapat dilihat masing-masing pada Tabel 3 dan 4.



Derajat dehidrasi



Macam cairan



Ringan



ORS



Sedang



ORS



Berat



lntravena Ringer Laktat



Jumlah cairan 50 ml1kgBB Maks. 750 mlljam 100 mllkgBB Maks. 750 mlljam 110 mllkgBB



Jangka waktu pemberian 3-4 jam 3 jam



3 jam pertama guyur sampai nadi teraba kuat, sisanya dibagi dalam 2 jam berikutnya



KRI'TERIA DERAJAT DEHlDRASl Untuk dapat memberikan panatalaksanaan pengobatan sebaiknya pada pasien diare akut perlu dilakukan penentuan derajat dehidrasinya antara lain berdasarkan: 1). Penilaian klinis, 2). Perhitungan skor Daldiyono, 3). Berat jenis plasma/plasma specific gravity (PSG), 4). Tekanan vena sentral (CVP).



Jumlah Diare Dlare rlngan Tidak lebih dari I x mencret setiap 2 jam atau lebih lama, atau kurang dari 5 ml tinjal kgBBljam Dlare sedang Leblh dari I x mencret setlap 2 jam atau lebih dari 5 ml tinjal kgBB1jam



Dlare berat Dengan tanda tanda dehidrasil renjatan



-



Macam Calran



Jumlah Cairan



Cara Pemberlan



ORS .



100 mllkg BB/hari sampai diare berhenti



Oral di rumah



ORS



Ganti kehliangan volume tinja dengan volume cairan. Bila tak terukur beri 10-15 mllkgbbljam



Oral di rumahl rumah sakit



Beri pengobatan untuk dehidrasi berat (tabel31



Penilaian Klinis Cara menentukan penilaian tingkat dehidrasi yang tepat secara klinis sulit didapat karena pengaruh subyektivitas. Secara klinis derajat dehidrasi dibagi menurut tingkatan dehidrasi ringan, sedang, dan berat, sesuai kehilangan cairan 5%, 8% dan 10%dari berat badan. Kriteria ini praktis penggunannya untuk pengobatan massal pada suatu wabah dan dapat dilakukan oleh tenaga paramedik setelah dilatih. Skor Daldiyono Modifikasi cara penilaian klinis dilakukan Daldiyono dengan menilai derajat dehidrasi inisial berdasarkan gambaran klinis yang diterjemahkan ke dalam nilai skor (Tabel 5). Kemudian penjumlahan skor tersebut dibagi dengan nilai skor maksimal yaitu 15.Defisit cairan dihitung dengan mengkalikan hasil perhitungan tersebut dengan defisit cairan pada dehidrasi berat yaitu 10% dari berat badan. Secara matematis perhitungan tersebut dituangkan dalam rumus empirik: Defisit cairan (ml)= Skor/lS x berat badan (Kg) x 0,1 x 1000



Berat Jenls Plasma Cara penilaian derajat dehidrasi yang lebih tepat untuk mengukur kebutuhan cairan yang akan diberikan ialah dengan menentukan berat jenis plasma, dengan memakai rumus: '



Berat jenis pbma/0,001 (ml) = 1,025 x berat badan (Kg) x 4 ml



Cara yang digunakan di rumah sakit ini lebih tepat dan bila perlu dapat pula diusahakan pemakaiannya di suatu pusat rehidrasi danuat pada suatu endemi.



Klinis



Skor



Rasa haus Imuntah Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg Tekanan darah sistolik < 60 mmHg Frekuensi nadi >I20 xlmenit Kesadaran apatis Kesadaran somnolen, sopor atau koma Frekuensi napas >30 xlmenit Fasies kolerika Vox cholerica Turgor kullt rnenurun 'Washer woman's hand" tangan keriput seperti kena air Ekstremitas dingin Sianosis Umur 50-60 tahun Umur >6O tahun



1 1 2 1 1 2 1 2 2 I I 1 2 -1 -2



Tekanan Vena Sentral Cara menghitung keperluan cairan yang tepat lainnya ialah dengan pengukuran tekanan vena sentral (CVP). Cara yang invasif ini memerlukan keahlian dan tidak dapat diterapkan di lapangan. Nilai CVP normal adalah 12-14cm air. Menentukan pemilihan jenis cairan yang akan diberikan adalah langkah berikutnya. Dalam sejarah pengobatan kolera sejumlah besar cairan telah diciptakan orang, kebanyakan tidak memberikan hasil baik karena tidak sesuai dengan patofisiologi penyakit ini. Cairan yang terbukti baik manfaatnya ialah ringer laktat yang komposisinya kurang lebih sama dengan susunan elektrolit tinja kolera dan terbukti dapat perfhi ke sel tubuh dengan baik. Cairan lainnya yang juga bermanfaat ialah NaCl fisiologis dan larutan segar isotonik bikarbonas natrikus 1 !4 % dalam perbandingan 2: 1. Sebagai pengganti bikarbonas, dapat pula diberikan larutan 116 mol Na laktat dalam larutan Darrow glukosa, yang lebih stabil berada dalam larutan daripada bikarbonas natrikus. Dalam pemakaianjenis cairan ini perlu diberikan substitusi kaium dalam bentuk oral atau parenteral. Susunan elektrolit tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Suatu perkembangan maju dalam usaha pengobatan kolera ialah tindakan rehidrasi oral dengan cairan khusus rehidrasi oral (ORS). Dasar patofisiologinya ialah kemampuan usus pasien kolera untuk resorpsi elektrolit dan cairan dari dalam lumen bila ditambahkan glukosa dalam jumlah yang tepat akan meningkatkan resorpsi tersebut. Suhu suam cairan oral akan membantu tercapainya net gut balance (balans usus netto) yang maksimal. Rehidrasi oral dengan ORS diberikan sebagai terapi inisial pada kasus ringan dan sedang, serta sebagai terapi pemeliharaan pa& kasus berat. Pada keadaan terpaksa ORS dapat diberikan pada kasus berat sekalipun. Pemberian secara konsekuen dan sabar terbukti juga berhasil baik (Tabel 6).



-



2848



TROPIKINFEKSI



3



Cairan camDuran: 1. a) 2 L ga;am isotonik b) 1 L 1,3 % Bik. Nat. 2. a) 2 L garam isotonik b)lL116Nalaktat Cairan Tunggal: 1. 5:4:1 5 a NaCl 4 NaHC03 1 g KCllliter 2. Ringer laktat Cairan Rehidrasi Oral:



175



-



I55



158



-



lo355



27



133 130



14 4



99 109



28



s9



9



48



-



1. WHO 2. Orqlit 3. Kristalit 4. P3M 5. Pediallt



-



I



Terqpi rehidrasi dengan cairan oral (ORS) pelaksanaannya sederhana sekali, namun memerlukan pencatat& yang seksama tentang pengeluaran cairan tinja clan pemasukan cairan oral. Untuk memperkirakan volume cairan pemeliharaan, dapat dipakai cholem cot. Cara pengobatan yang efektif ini mempunyai efisiensi &lam segi klinis berupa meminirnalkan risiko seperti hidrasi berlebihan dengan segala akibatnya, efek samping pada terapi infus, di samping keuntungan dalam penghematan cairan infus dengan 50-80%, sekaligus memecahkan problem logistik pada keadaan epidemi. Selai~ terapi rehidrasi secwa intravena maupun dengan cairan oral pada kolera, tidak kalah pentingnya adalah terapi kausal dengan antibiotika. Terapi antibiotik dini mungkin dapat segera mengeradikasi Vibrio dan mengurangi fiekuensi serta volume diare secara bermakna. Tetrasiklin dengan dosis 500mg 4 kali sehari secara oral selama 3 hari pada umumnya cukup efektif. Sebagai alternatif dapat dipilih obat-obat lain seperti siprofloksasin, doksisklin dan trirnetoprim-sulfametoksasol. (Tabel 7).



Terapi Lini Pertama Dewasa



Tetrasiklin 500 mg per oral 4 kali sehari selama 3 hari Doksisiklin 300 mg per oral dosis tunggal



Anak



Tetrasiklin 12,5 mg kg per oral 4 kali sehari selama 3 hari + Doksisiklin 6 mglkg per oral dosis tunggal



PENCEGAHAN Imunisasi dengan vaksin komersial standar (cholera sec) yan$mengandung 10milyar Vibrio mati per ml,mernberikan proteksi 60-80% untuk masa 3-6bulan, Valcsin ini tidak berpengaruh pada karier dalam pencegahan penularan hingga vaksinasi kolera tidak lagi menjadi persyaratan sertifikat kesehatan internasional. Imunisasi dengan toksoid pada manusia tidak memberikan hasil lebih baik daripada vaksin standar, sehingga pada saat ini perbaikan higiene saja yang qemberikan perlindungan yang berarti dalam mewegah kolera.



Alternatif Siprofloksasin 1000 mg per oral dosis tunggal Eritromisin 250 mg per oral 4 kali sehari selama 3 hari trimetoprimsulfametoksasole (5 mgl kg trimetroprim + 25 mglkg sulfametoksasol) per oral 2 kali sehari selama 3 hari Furazolidon 100 mg peroral 4 kali sehari selama 3 hari Eritromisin 10 mglkg per oral 3 kali sehari selama 3,hari Trimetoprimsulfametoksasol(5 mglkg trimetroprim + 25 mglkg sulfametoksasol) per oral 2 kali sehari selama 3 hari Furazolidon 1,25 mglkg per oral 4 kali sehari selama 3 hari



Dipakai jika dicurigai lini pertama telah resisten @taupaslen alergi terhadap terapi linl pertama ' Tldak dianjurkan pada anak di bawah 8 tahun



'



REFERENSI Arduino RC, W o n t HL. enteritis, Enterocolitis and Infectious Diarrhea Syndromes. In: Cohen's Infectious Disease. Hq1 35.1-39, Bannister BA, Begg NT. Imported and Travel-assacigted Disgese, In: Infectious ~ i & a s e2nd edition. Losd~n;Blwltwall 8ci$n~@, 2OOO.p.440-2.



Daldiyono, Muthalib A, Gultom' L, Ruslyn E, Nasution R, Soemarsono.' Experiences with a Scoring System for the Determination of Rehydration Fluid Needed in patients with Acute Gastroenteritis. Act Med Ind. 1972; 111 (3-4): 1-6. ~ a m i rDH, Cash RA. Secretory Diarrheas: Cholera and Enterotoxigenic Eschericia Coli. In: Cohen's Infectious Disease. Hal 22.1 -4. Hart CA, Shears P. Gastrointestinal Bacteria. In: Manson's Tropical Diseases 21st edition. London: Saunders: 2003.p. 928-32. Keusch GT, Walder MK. Cholera and Other Vibriosess. In: ~arrisbns Priciples of Internal Medicine 15th edition. New York: McGrawHill; 2001.p.980-6. Kolopaking MS. Penatalaksanaan Muntah dan Diare Akut. Si_mposium Penatalaksanaan Kedamratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam 11, Jakarta: 2002. ~ o e m a r s o n o , Nelyan RHH. Beberapa Pengalaman dalam Penggunaan cairan Elektrolit Glukosa per os Pada Penderita Kolera Eltor. Dalam: Koiman I, Prosiding Pertemuan Ilmiah Penyakit Diare di Indonesia. Badan Litbang Kes. RI. Jakarta, 1983; 256. '



'



'



Soemarsono. Effort on Development of Method of Treatment of Dehydration and Shock in Cholerae, with special reference on the Estimation of amounts of Rehydration Fluid Needed, with Method of Clinical Scoring System. Proceeding Seareo Interreginal Meeting on the Treatment of acute Diarrhea (WHO) i,:,.: ,.~akarta,Jan 10-19 1983: 1-11. :i. ~oem&sono.Beberapa Pandangan Baru Tentang Pengelolaan Diare Akut. Proceeding Symposium Hospital Administration dan Penyakit Tropik Infeksi. Jakarta 5 Nov 1983: 1-1 1. . "?wCitd:;~~~lth Organization: Guidelines for cholera control. Geneva: . . world' Health Organization; 1993. World Health organization: Management of the patient with cholera. Geneva: World Health Organization; 1992. woiid ~ k a l t hOrganization: Cholera fact sheet. Geneva: World Health Organization; 2000 World Health Organization: Cholera: basic facts for travelers. Geneva: World Health Organization; 1998. World Health Organization: WHO cholera web pages. Geneva: World Health Organization; 2000. World Health Organization: Cholera cases reported to WHO, by country, 1998 (annual). Geneva: World Health Organization; 1999.



Eddy Soewandojo Soewondo



PENDAHULUAN Amebiasis (disentri ameba, enteritis ameba, kolitis ameba) adalah penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit usus Entamoeba histoiytica. Penyakit ini tersebar hampir di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang yang berada di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena faktor kepadatan penduduk, higiene individu, dan sanitasi lingkungan hidup serta kondisi sosial ekonomi dan kultural yang menunjang. Sekitar 90% infeksi asimtomatik, sementara sekitar 10% lainnya menimbulkan berbagai sindrom klinis, mulai dari disentri sampai abses hati atau organ lain.



Penyakit ini ditularkan secara fekal oral baik secara langsung (melalui tangan) maupun tidak langsung (melalui air minum atau makanan yang tercemr). Sebagai sumber penularan adalah tinja yang mengandung kista amuba yang berasal dari carrier (cyst passer). Laju infeksi yang tinggi didapatkan di tempat-tempat penampungan anak cacat atau pengungsi dan di negara-negara sedang berkembang dengan sanitasi lingkungan hidup yang buruk. Di negara beriklim tropis lebih banyak didapatkan strain patogen dibandingkan di negara maju yang beriklim sedang. Oleh karena itu di negara sudah maju banyak dijumpai penderita asimtomatik, sementara di negara sedang berkembang yang beriklim tropis banyak dijumpai pasien yang simtomatik. Kemungkinan faktor diet rendah protein, di samping perbedaan strain ameba, memegang peran. Di negara yang sudah maju misalnya Amerika Serikat prevalensi amebiasis berkisar antara 1-5%. Walaupun selama tiga dekade terakhir insidensnya menurun, akan tetapi penyakit ini masih tetap ada, terutarna



di daerah atau di tempat-tempat dengan keadaan sanitasi yang buruk, misalnya di tempat perawatan pasien cacat mental serta tempat penampungan Indian dan imigran. Di Indonesia, laporan mengenai insidens amebiasis sampai saat ini masih belum ada. Akan tetapi berdasarkan laporan mengenai abses hati ameba pada beberapa rumah sakit besar, dapat diperkirakan insidensnya cukup tinggi. Penularan dapat terjadi lewat beberapa cara, misalnya: pencemaran air minum, pupuk kotoran manusia,juru masak Cfood handlers), vektor lalat dan kecoak, serta kontak langsung seksual oral-anal pada homoseksual. Penyakit ini cenderung endemik, jarang menimbulkan epidemi. Epidemi sering terjadi lewat air minum yang tercemar. Sekitar 10% populasi hidup terinfeksi entamoeba, kebanyakan oleh entamoeba dispar (E. Dispar) yang non infeksius. Perbedaan dan persamaan sifat antara E.histolytica dan E. Dispar dapat dilihat pada Tabel 1.



Persamaan 1. Kedua spesies dibedakan lewat adanya infeksi kista (cvste) 2. Kista dari kedua spesies tersebut secara morfologi sama (identik) 3. Kedua s~esiesini menakolonisasi intestinal luar Perbedaan 1. Hanya E. histolytica yang dapat mengakibatkan penyakit 2. Hanya infeksi E. histolytica yang menunjukkan serologi ameba positif 3. Kedua spesies mempunyal perbedastlgekudnei mRNA. 4. Kedua spesies mempunyai perbedaan Bntigen permukaan dengan masker isoantigen 5. SallSalNAC lectin dapat dipakai untuk membedakan kedua spesies dalam stool ELISA. 6. E. dispar tidak mempunyai kapasitas mgnyebabkan penyaklt infeksi.



E. histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi mengijinkan dapat berubah menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi. Siklus hidup ameba ada 2 macam bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat bergerak dan bentuk kista. Bentuk trofozoit ada 2 macam, trofozoit komensal (10 rnm). Trofozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkangejala penyakit. Bila pasien mengalami diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja. Pada pemeriksaan tinja di bawah mikroskop tampak trofozoit bergerak aktif dengan pseudopodinya dan dibatasi oleh ektoplasma yang terang seperti kaca. Di dalamnya ada endoplasma yang berbentuk butir-butir kecil dan sebuah inti di dalamnya. Sementara trofozoit patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus (intraintestinal) maupun di luar usus (ekstraintestinal), mengakibatkan gejala disentri. Diameternya lebih besar dari trofozoit komensal (sampai 50 mrn) dan mengandung beberapa eritrosit di dalamnya, karena trofozoit ini sering menelan eritrosit (haernatophagous trophozoite). Bentuk trofozoit ini bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala penyakit namun cepat mati apabila berada di luar tubuh manusia. Bentuk kista ada 2 macam yaitu kista muda dan kista dewasa. Kista muda berinti satu mengandung satu gelembung glikogen dan badan-badan kromatoid yang berbentuk batang berujung tumpul. Kista dewasa berinti empat. Kista hanya terbentuk dan dijuvpai di dalam lumen usus, tidak dapat terbentuk di luar tubuh dan tidak dapat dijumpai di dalarn dinding usus atau di jaringan tubuh di luar usus (Gambar 1). Bentuk kista bertanggung jawab terhadap penularan penyakit, dapat hidup lama di luar tubuh manusia, tahan terhadap asam lambung, dan kadar klor standard di dalam sistem air minum. Diduga faktor kekeringan akibat penyerapan air sepanjang usus besar, menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista. E. histolytica oleh beberapa penulis dibagi menjadi dua ras yaitu ras besar dan ras kecil, bergantung pada apakah dapat membentuk kista berdiameter lebih besar atau lebih kecil dari 10 mrn. Strain kecil ternyata tidak patogen terhadap manusia, dan dinyatakan sebagai spesies tersendiri yaitu E. hartmanni. Dengan teknik elektroforesis, enzim yang dikandung trofozoit dapat diketahui. Pola enzim dapat menunjukkan patogenitas ameba (zymodeme).Ameba yang didapat dari pasien dengan gejala penyakit yang invasif menunjukkan pola zymodeme. Imunitas terhadap ameba sampai saat ini masih belum banyak diketahui dengan pasti perannya. Beberapa sarjana meragukan adanya peran tersebut, karena di daerah endemik banyak terjadi infeksi berulang, dan morbiditas



Gambar I. Skematis E. histolytica (pembesaran 2000 X) A : Trofozoit mengandung eritrosit B : Ameba benhdc pre kisw C : Kista muda berinti sahl D : Kista berinti dua E : Kista dewasa berinti empat



c ect



: chromatoid bodies



end g k n r.b.c



: endoplasma



: ectoplasma



: glycogen V ~ C U O ~ ~



: karyosoma : nucleus/inti : sel darah merah



(dikutip dari Textbook of Clinical Parasitology. 2nd ed., 1952, New York, Appleton-Cenruy-Crogts).



serta mortalitasnya meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pendapat tersebut kurang tepat karena telah terbukti bahwa ullcus ameba dapat kambuh kembali apabila pasien menerima tindakan yang menurunkan daya tahan tubuh, misalnya splenektomi, radiasi, obat-obat imunosupresif, dan kortikosteroid. Berdasarkan penyelidikan pada binatang dan manusia dapat dibuktikan bahwa E. histolytica dapat merangsang terbentuknya imunitas humoral dan selular. In vivo, imunitas humoral mampu membinasakan ameba, tetapi in vitro tidak. Belum diketahui apa sebabnya keadaan tersebut dapat terjadi. Tampaknya irnunitas yang terbentuk tidak sempurna dan hanya dapat mengurangi beratnya penyakit, tidak dapat mencegah terjadinya penyakit. Diduga imunitas selular lebih besar perannya daripada imunitas humoral.Antibodi di dalam serum (terutama klas IgG) terutama berperan dalam uji' serologik. PATOGENESIS DAN PATOFlSlOLOGl Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di dalarn lumen usus besar, dapat berubah menjadi patogen, menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus. Faktor yang menyebabkan perubahan sifat trofozoit tersebut sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi) ameba, maupun lingkungamya mempunyai



peran. Faktor-faktor yang dapat menurunkan kerentanan tubuh misalnya kehamilan, kurang gizi, penyakit keganasan, obat-obat imunosupresif, dan kortikosteroid. Sifat keganasan ameba ditentukan oleh strainnya. Strain ameba di'daerah tropis ternyata lebih ganas daripada strain di daerah sedang. Akan tetapi sifat keganasan tersebut tidak stabil, dapat berubah apabila keadaan lingkungan mengizinkan. Beberapa faktor lingkungan yang diduga berpengaruh, misalnya suasana anaerob dan asam (pH 0,6 - 6,5), adanya bakteri, virus dan diet tinggi kolesterol, tinggi karbohidrat, dan rendah protein. Ameba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk ulkus ameba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di lapisan submukosa dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi ulkus di permukaan mukosa usus menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Gambaran ini sangat berbeda dengan disentri basiler, di mana mukosa usus antara ulkus meradang. Pada pemeriksaan mikroskopik eksudat ulkus. tampak sel leukosit dalarn jumlah banyak, akan tetapi lebih sedikitjika dibandingkan dengan disentri basiler. Tampak pula kristal Charcot Leyden dan kadangkadang ditemukan trofozoit. Ulkus yang terjadi dapat menimbulkan perdarahan dan apabila menembus lapisan muskular akan terjadi pefforasi dan peritonitis. Ulkus dapat terjadi di semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan frekuensi dan urut-urutan tempatnya adalah sekum, kolon asenden, rektum, sigmoid, apendiks, dan ileum terminalis. Infeksi kronik dapat menimbulkan reak-si terbentuknya massa jaringan granulasi yang disebut ameboma, yang sering terjadi di daerah sekum dan sigmoid. Dan ulkus di dalam dinding usus besar, ameba dapat mengadakan "metastasis" ke hati lewat cabang vena porta dan menimbulkan abses hati. Embolisasi lewat pembuluh darah atau pembuluh getah bening dapat pula terjadi ke paru, otak, atau limpa, dan menimbulkan abses di sana, akan tetapi peristiwa ini jarang terjadi.



Berdasarkanberat ringannya gejala yang htirnbulkan maka amebiasis dapat dibagi menjadi: carrier (cyst passer), amebiasis intestinal ringan (disentri ameba ringan), amebiasis intestinal sedang (disentri ameba sedang), disentri ameba berat, disentri ameba kronik.



Carrier (Cyst Passer) Pasien tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini



disebabkan karena ameba yang berada di dalam lumen usus besar, tidak mengadakan invasi ke dinding usus. Amebiasis Intestinal Ringan (Disentri Ameba Ringan) Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita biasanya mengeluh perut kembung, kadangkadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang-kadang tinja bercampur darah dan lendir. Sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid. Jarang nyeri di daerah epigastrium yang mirip ulkus peptik. Keadaan tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa atau disertai demam ringan (subfebril). Kadang-kadang terdapat hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan. Amebiasis Intestinal Sedang (Disentri Ameba Sedang) Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibanding disentri ringan, tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari, tinja disertai darah dan lendir. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan, disertai hepatomegali yang nyeri ringan. Disentri Ameba Berat Keluhan dan gelala klinis lebih hebat lagi. Penderita mengalami diare disertai darah yang banyak, lebih dari 1.5 kali sehari. Demam tinggi (40°C - 40,5"C), disertai mual dan anemia. Pada saat ini tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan sigmoidoskopikarena dapat mengakibatkan perforasi usus. Disentri Ameba Kronik Gejalanya menyerupai disentri ameba ringan, seranganserangan diare diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare biasanya terjadi karena kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna.



PEMERIKSAANPENUNJANG Pemeriksaan tinja merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat penting. Pada disentri ameba biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Untuk pemeriksaan mikroskopik, perlu tinja yang masih baru (segar). Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan berulangulang, minimal 3 kali seminggu, dan sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan. Apabila direncanakan akan dibuat foto kolon dengan barium enema, pemeriksaan tinja harus dikerjakan sebelurnnya atau



minimal 3 hari sesudahnya. Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk (pasien tidak diare), perlu dicari bentuk kista, karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan. Dengan sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat, berkilau seperti mutiara. Di dalamnya terdapat badan-badan kromatoid yang berbentuk batang, dengan ujung tumpul, sedang inti tidak tampak. Untuk dapat melihat intinya dibuat sediaan dengan larutan lugol. Sebaliknya badan-badan kromatoid tidak tampak pada sediaan dengan lugol ini. Bila jumlah kista sedikit, dapat dilakukan pemeriksaan dengan metoda konsentrasi yaitu dengan larutan seng sulfat dan eterformalin. Dengan larutan seng sulfat, kista akan terapung di permukaan, sedang dengan larutan eterformalin kista akan mengendap. Di dalam tinja pasien akan ditemukan bentuk trofozoit. Untuk itu diperlukan tinja yang masih segar. Apabila pemeriksaan ditunda untuk beberapa jam, maka tinja dapat disimpan di lemari pendingin (4OC) atau dicampur di dalam larutan polivinil alkohol. Sebaiknya diambil bahan dari bagian tinja yang mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung dapat dilihat trofozoit yang masih bergerak aktif seperti keong, dengan menggunakan pseudopodinya yang seperti kaca. Jika tinja berdarah, akan nampak ameba dengan eritrosit di dalamnya. Bentuk inti akan nampak jelas bila dibuat sediaan dengan larutan eosin. Untuk membedakan dengan leukosit (makrofag), perlu dibuat sediaan dengan cat supravital, misalnya buf-fered methylene blue. Dengan menggunakan mikrometer, dapat disingklrkan kemungkinan E. hartmanni. Pemeriksaan prostoskopi, sigmoidoskopi, dan kolonoskopi berguna untuk membantu diagnosis penderita dengan gejala disentri, terutama apabila pada pemeriksaan tinja tidak ditemukan ameba. Pemeriksaan ini tidak berguna untuk carrier. Tampak ulkus yang khas dengan tepi menonjol, tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal. Pemeriksaan mikroskopis bahan eksudat atau bahan biopsi jaringan usus akan ditemukan trofozoit. Foto rontgen kolon tidak banyak membantu, karena sering ullcus tidak tampak. Kadang-kadang pada amebiasis kronik, foto rontgen kolon dengan barium enema tampak ulkus disertai spasme otot. Pada ameboma nampakJilling defect yang mirip karsinoma. Ameba hanya dapat dibiakkan pada media khusus, misalnya media Boeck Dr. Bohlav. Tetapi tidak semua strain dapat dibiakkan. Oleh karena itu pemeriksaan ini tidak dikerjakanrutin. Pemeriksaan uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati amebik dan epidemiologis. Uji serologi positif apabila ameba menembus jaringan (invasif). Oleh karena itu uji ini akan positif pada pasien abses hati dan disentri ameba, dan negatif pada earner. Hasil uji serologi positif belum tentu menderita amebiasis aktif, tetapi bila negatif pasti bukan amebiasis. Indirect ji'uores-cent antibody (IFA) dan enzyme linked



immunosorbant assay (ELISA) merupakan uji yang paling sensitif. Juga up indirectfluorescent anti-body (IFA) dan agar gel difjsionprecipitin. Sedang uji serologi yang cepat hasilnya adalah latex aglutination test dan cellulosa acetate dijiusion. Oleh karena antibodi yang terbentuk lama sekali menghilang, maka nilai diagnostlknyadidaerah endemis rendah.



DIAGNOSIS Amebiasis intestinal kadang-kadang sukar dibedakan dari irritable bowel syndrome (IBS), divertikulitis, enteritis regional, dan hemoroid interna, sedang disentri ameba sukar dibedakan dengan disentri basilar (shigellosis) atau salmonelosis, kolitis ulserosa, dan skistosomiasis (terutarna di daerah endemis). Pemeriksaan tinja sangat penting. Tinja penderita amebiasis tidak banyak mengandung leukosit, tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan apabila ditemukan ameba (trofozoit). Akan tetapi dengan diketemukan ameba tersebut tidak berarti menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain, karena amebiasis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain pada seorang pasien. Sering amebiasis terdapat bersamaan dengan karsinoma usus besar. Oleh karena itu bila pasien amebiasis yang telah mendapat pengobatan spesifk masih tetap mengeluh perutnya sakit, perlu dilakukan pemeriksaan lain misalnya endoskopi, foto kolon dengan barium enema, atau biakan tinja. Abses hati ameba sukar dibedakan dengan abses piogenik, neoplasma dan kista hidatidosa. Ultrasonografi dapat membedakannya dengan neoplasma, sedang ditemukan echinococcus dapat membedakannya dengan abses piogenik. Salah satu cara adalah dengan pungsi abses.



Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri ameba, baik berat maupun ringan. Sering sumber penyakit di usus sudah tidak menunjukkan gejala lagi atau hanya menunjukkan gejala ringan, sehingga yang menonjol adalah gejala penyulitnya (komplikasi). Keadaan ini sering terjadi pada penyulit ekstra intestinal, yang disebut amebiasis ekstra intestinal. Berdasarkan lokasinya, penyulit tersebut dapat dibagi menjadi:



Komplikasi Intestinal Perdarahan usus. Terjadi apabila ameba mengadakan invasi ke dinding usus besar dan merusak pembuluh darah. Bila perdarahan hebat dapat berakibat fatal. Perforasi usus. Terjadi apabila abses menembus lapisan muskular dinding usus besar. Sering mengakibatkan peri-



tonitis yang mortalitasnya tinggi. Peritonitis juga dapat terjadi akibat pecahnya abses hati ameba.



Ameboma. Terjadi akibat infeksi kronik yang mengakibatkan reaksi terbentuknya massa jaringan granulasi. Biasa terjadi di daerah sekum dan rektosigmoid, sukar dibedakan dengan karsinoma usus besar. Sering mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan usus. Intususepsi. Sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic) yang memerlukan tindakan operasi segera. Penyempitan usus (striktura). Dapat terjadi pada disentri kronik, akibat terbentuknya jaringan ikat atau akibat ameboma. Komglikasi Ekstra Intestinal Amebiasis hati. Abses hati ameba merupakan penyulit ekstra intestinal yang paling sering terjadi. Di daerah tropis, terutama di Asia Tenggara, insidensnya berkisar 5-40%. Lebih banyak terdapat pada laki-laki daripada wanita, tersering pada usia 30-40 tahun. Abses dapat timbul beberapa minggu, bulan atau tahun sesudah infeksi ameba; kadang-kadang terjadi tanpa diketahui menderita disentri ameba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat embolisasi ameba dan dinding usus besar lewat vena porta, jarang lewat pembuluh getah bening. Mula-mula terjadi "hepatitis ameba" yang merupakan stadium dini abses hati, kemudian timbul nekrosis fokal kecil-kecil (mikro abses), yang akan bergabung menjadi satu, membentuk abses tunggal yang besar. Dapat pula terjadi abses majemuk. Sesuai dengan arah aliran vena porta, maka abses hati ameba terutama banyak terdapat di lobus kanan. Abses berisi "nanah" kental yang steril tidak berbau, berwama kecoklatan (cho-colatepaste), terdiri atas jaringan sel hati yang rusak bercampur darah. Kadang-kadang berwama kuning kehijauan, karena bercampur dengan cairan empedu. Pasien sering mengeluh nyeri spontan di perut kanan atas, kalau berjalan posisinya membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya. Hati teraba di bawah lengkung iga, nyeri tekan disertai demam tinggi yang bersifat intermiten atau remiten. Kadang-kadang terasa nyeri tekan lokal di daerah antara iga ke-8, ke-9 atau ke-10,jarang terjadi ikterus. Padapemeriksaanlaboratorium ditemukan leukositosis moderat (15.000- 25000/mm3)yang terdiri atas 70% leukosit polimorfonuklear. Faal hati jarang terganggu dan jarang ditemukan ameba di dalam tinja. Ameba dapat ditemukan di dalam bahan cairan aspirasi abses bagian terakhir atau bahan biopsi dinding abses. Pada pemeriksaan penerawangan tampak peninggian hemidiafragma kanan, gerakannya menurun atau kadangkadang terjadi gerakan paradoksal (pada waktu inspirasi diafragma justru bergerak ke atas). Pada pemeriksaan foto dada postero-anterior maupun lateral kanan, tampak sudut kostofienik kanan tumpul di bagian depan (pada abses



hati piogenik, tumpul di bagian belakang).



Amebiasis pleuropulmonal. Dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses hati. Kira-kira 10-20% abses hati ameba dapat mengakibatkan penyulit ini. Dapat timbul cairan pleura, atelektasis, pneumonia, atau abses paru. Abses paru dapat pula terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar. Dapat terjadi hiliran (fistel) hepatobronkial,penderita batuk-batuk dengan sputum berwama kecoklatan yang rasanya seperti hati. Abses otak, limpa, dan organ lain. Abses otak, limpa, dan organ lain dapat terjadi akibat embolisasi ameba langsung dan dinding usus besar maupun dari abses hati walaupun sangat jarang terjadi. Amebiasis kulit. Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar, dengan membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perianal atau di dinding perut. Dapat pula terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi ameba yang berasal dari anus.



PENGOBATAN Ameba dapat ditemukan di dalam lumen usus, di dalam dinding usus maupun di luar usus. Hampir semua obat amebisid tidak dapat bekerja efaktif di semua tempat tersebut, terutama bila diberikan obat tunggal. Oleh karena itu sering digunakan kombinasi obat untuk meningkatkan hasil pengobatan.



Amebiasis Asimtomatik (CarrierAtau Cyst Passer). Carrier atau cyst passer, walaupun tanpa keluhan dan gejala klinis, sebaiknya diobati. Hal ini disebabkan karena ameba yang hidup sebagai komensal di dalam lumen usus besar, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi patogen. Di samping itu carrier juga merupakan sumber infeksi utama. Trofozoit banyak dijumpai di lumen usus besar tanpa atau sedikit sekali menimbulkan kelainan mukosa usus. Ulkus yang ditimbulkan hanya superfisia1,tidakmencapai lapisan submukosa. Kelainan tersebut tidak menyebabkan gangguan peristaltik usus, sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala klinis. Obat yang diberikan adalah amebisid luminal, misalnya:



Diloksanit furoat (diloxanitefuroate). Dosis : 3 x 500 mg sehari, selama 10 hari. Saat ini obat ini merupakan amebisid luminal pilihan, karena efektivitasnya cukup tinggi (8085%), sedangkan efek sampingnya sangat minimal hanya berupa mual dan kembung. Diyodohidroksikin (Diiodohydroxyquin).Dosis : 3 x 600 mg sehari, selama 10 hari. YodoMorohidroksikin (lodochlorohydroxyquin) atau Miokinol (clioquinol). Dosis : 3 x 250 mg sehari, selama 10 hari.



Kedua obat tersebut termasuk halogenated hydroxyquinolin yang cukup efektif sebagai amebisid luminal. Efektivitasnya60-70%. Efek samping yang terjadi biasanya ringan, berupa mual, muntah, tetapi dapat juga berat, berupa subacute myelooptic neuropathy (SMON). Efek samping ini hanya terjadi apabila dosis dan jangka waktu pemberian obat melebihi aturan pakai yang telah ditentukan. Oleh karena itu, obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan kepada penderita yang mengidap penyakit optic neuropathy. Juga sebaiknya tidak diberikan kepada penderita yang mengidap penyakit kelenjar gondok, karena obat ini dapat mengakibatkan pembesaran kelenjar gondok.



Karbarson (Carbarsone). Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari. Bisthmuth glycoarsanilate. Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari. Kedua obat tersebut merupakan obat golongan arsen, yang saat ini sudah jarang dipakal lagi. Sering timbul efek samping diare. Klefamid (Clefamide). Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 10-13 hari. Paromomycin. Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 5 hari. Oleh karena ada kemungkinan invasi amuba ke mukosa usus besar, maka walaupun tidak mengakibatkan gangguan peristaltik usus, dianjurkan untuk menambah amebisid jaringan sebagai profilaksis. Obat amebisidjaringan yang dapat dipakal adalah :



Klorokuin difosfat (chloroquine diphosphate). Dosis 2 x 500 mg sehari, selama 1-2 hari, kemudian dilanjutkan dengan 2 x 250 mg sehari, selama 7-12 hari. Obat anti malaria ini mudah diserap dan saluran pencemaan, tetapi lambat ekskresinya. Konsentrasi obat di dalam jaringan, terutama jaringan hati sangat tinggi sehingga dipakai untuk profilaksis timbulnya abses hati ameba. Efek samping obat berupa mual, pusing dan nyeri kepala. ,Pemberian jangka lama dapat mengakibatkan retinopati. Tidak dianjurkan untuk diberikan kepada wanita hamil, karena dapat mengakibatkan anak lahir tuli. Metronidazol.Dosis 35-50 mgkg berat badan atau 3 x 500 mg sehari, selama 5 hari. Tinidazol. Dosis 50 mgkg berat badan atau 2 g sehari, selama 2-3 hari. Ornidazol. Dosis 50-60 mgkg berat badan atau 2 gm sehari, selama 3 hari. Ketiga obat tersebut termasuk golongan nitroimidazol yang dapat bekerja baik di dalam lumen usus, di dalam dinding usus maupun di luar usus (ekstraintestinal). Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, pusing dan nyeri kepala. Tidak dianjurkan untuk diberikan kepada pasien yang mengidap penyakit darah (blood



discrasia), juga kepada ibu hamil karena terbukti pada binatang percobaan obat ini mempunyai sifat karsinogenik dan teratogenik serta dapat mengakibatkan mutasi bakteri. Disentri Ameba Ringan-Sedang Pada pasien ditemukan ulkus di mukosa usus besar yang dapat mencapai lapisan submukosa, dan dapat mengakibatkan gangguan peristaltik usus. Pasien akan mengalami diare atau disentri, tetapi tidak berat, sehingga tidak memerlukan infis cairan elektrolit atau transksi darah. Oleh karena didapatkantrofozoit di &lam lumen dandi &lam dinding usus besar, maka sebagai obat pilihan adalah mettonidazol dengan dosis 3 x 750 mg sehari selarna 5-10 hari. Dapat pula dipakai tinidazol atau ornidazol dengan dosis seperti tersebut di atas. Oleh karena pada pasien yang sudah sembuh dengan pengobatan metronidazol dapat timbul abses hati ameba dalam jangka waktu 3-4 bulan kemudian, maka dianjurkan untuk menambah dengan obat amebisid luminal. Obat ini akan memberantas sumber trofozoit di dalam lumen usus. Dapat dipakai diyodohidroksikin, kliokinol, atau diloksanid firoat dengan dosis seperti tersebut di atas. Dapat pula diberi tetrasiklin, dengan dosis 4 x 500 mg sehari, selama 5 hari.



I.



"Carrier" Asirntomatik (Luminal Agents) : 1. lodoquinol (tablet 650 rng), dosis 650 rng tiga kali sehari selama 20 hari. 2. Paromomycin (tablet 250 rng), dosis 500 rng tiga kali sehari selama 10 hari.



II. Kolitis Akut Metronidazole (tablet 250 atau 500 mg), dosis 750 mg per oral atau "intravena" (IV) tiga kali sehari selarna 5-10 kali ditambah dengan bahan luminal dengan dosis yang sama. Ill. Abses Hati Ameba 1. Metronidazole, dosis 750 rng per oral atau i.v tiga kali sehari selama 5-10 hari. 2. Tinidazole, dosis 2 g per oral 3. Omidazole, dosis 2 g per oral ditambah bukan luminal dengan jumlah yang sama.



Disentri Ameba Berat Pasien ini tidak hanya memerlukan obat amebisid saja, tetapi juga memerlukan infus cairan elektrolit atau transfusi darah. Selain pengobatan seperti pada disentri ameba ringan dan sedang perlu ditambah emetin atau dehidroemetin. Obat ini diberikan secara suntikan intramuskular atau subkutan yang dalam. Tidak diperbolehkan memberikan secara intravena. Dosis emetin 1 mgkg berat badan sehari (maksirnurn 60 mg sehari)selama 3-5 hari; dehidro-emetin 11,s mglkg berat badan sehari (maksimum 90 mg sehari) selama 3-5 hari. Penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit dan tirah baring selama pengobatan. Hal ini disebabkan karena bahaya efek



samping emetin terhadap jantung. Pemberian dosis tinggi dapat mengakibatkan nekrosis otot jantung dan penderita meninggal mendadak. Oleh karena itu penderita perlu diobservasi dengan teliti, terutama tekanan darah, denyut nadi, dan elektrokardiografi. Kelainan EKG yang sering terjadi adalah kelainan gelombang T yang mendatar atau terbalik. Dapat pula terjadi aritmia. Amebiasis Ekstra Intestinal dan Ameboma Penderita abses hati ameba dapat diberi metronidazol atau obat lain golongan nitroimidazol dengan dosis seperti tersebut di atas. Dapat pula diberi klorokindifosfat dengan dosis 1 g sehari, selama 1-2 hari; dilanjutkan dengan 600 mg sehari, selama 4 minggu. Masing-masing obat tersebut perlu ditambah dehidroemetin atau emetin dengan dosis seperti tersebut di atas selama 10 hari. Kadang-kadang apabila abseS hati sangat besar (lebih dari 5 cm), akan sukar sembuh, sehingga perlu dipertimbangkan tindakan pungsi abses untuk mempercepat penyembuhan. Pada amebiasis ekstraintestinallainnya dan ameboma obat-obat tersebut di atas dapat diberikan, kecuali klorokin.



PROGNOSIS Prognosis ditentukan oleh berat-ringannya penyakit, diagnosis dan pengobatan dini yang tepat, serta kepekaan ameba terhadap obat yang diberdcan. Pada umumnya prognosis amebiasis adalah baik terutama yang tanpa komplikasi. Pada abses hati ameba kadang-kadang diperlukan tindakan pungsi untuk mengeluarkan nanah. Demikian pula dengan amebiasis yang disertai pe~yulit ehsi pleura. Prognosis yang kurang baik adalah abses otak ameba.



PENCEGAHAN Makanan, minuman, dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi syarat kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat penting. Air minum sebaiknya dimasak dulu, karena kista akan binasa bila air dipanaskan 50°C selama 5 menit. Pemberian klor dalam jumlah yang biasa digunakan dalam proses pembuatan air bersih, ternyata tidak dapat membinasakan kista. Penting sekali adanya jamban keluarga, isolasi, dan pengobatan carrier. Carrier dilarang bekerja sebagai juru masak atau segala pekerjaan yang berhubungan dengan makanan. Sampai saat ini belum ada vaksin khusus. Pemberian kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan mengunjungi daerah endemis tidak dianjurkan. Pengobatan massal secara berkala dengan metronidazol dan dilosanid furoat hanya dikerjakan dalam keadaan tertentu.



ASPEK KHUSUS Oleh karena amebiasis erat hubungannya dengan kebersihan individu dan lingkungan hidup maka higiene dan sanitasi merupakan faktor yang penting. Air dari persediaan air minum (PAM) perlu dimasak dulu sebelum diminum karena kista ameba tahan terhadap kadar klor standar yang ada didalamnya. Vaksinasi merupakan pencegahan penyakit yang ideal bagi individu atau masyarakat yang belum memiliki kekebalan terhadap amebiasis.



Adam EB, McLeod. Invasive amebiasis. Medicine 1977;56:315-7. Akbar N, Sulaiman A, Noer HM. Combined treatment of metronidazole and chloroquine in fulminant amebic dysentri complicated by hepatic and lung amoebiasis. Acta Medica Indoneslana 1975:19-25. Amebae. In: Joklik EK. Willet HP, Bernard Amos D. Zinsser Microbiology 18" ed. Norwalk, Connec-ticut: Appleton Century-crofts 1984: 1206-9. Balasegaram M. Amoeblasis: diagnosis and sur-gical treatment with emphasis on hepatic aspects. Med.Progr 1976; 16-17. Behrens MM. Optic atrophy in children after diiodohydroxyquin therapy. JAMA 1974: 228-693. Garcia EG. Treatment of amebiasis in Southeast Asia. Mod. Progr. 1981; 8: 11-4. Hunter GW, Swartnvelder JC, Clyde DR. Amebiasis. In: Trop. Mod. 5"' Ed. Phi1adelphia:WB Saunders;1976.p.323-44. Krupp IM, Powell SJ. Antibody respons to invasive amebiasis in Durban, South Africa. Am.J.Trop. Med.Hyg. 1971; 20: 414-20. Latonio AA. Treatment of amebiasis : reminders and pit falls. Med.Progr. 1976; 5: 13-4. Moerdowo R, Bakta IM. Beberapa segi klinis abses hati amubik dl RSUP Sanglah, Denpasar Bali. Naskah Lengkap Simposium Penyakit Hati Menahun, Jakarta 1979: 351-7. Paterson M, Heaty GR, Shabot JM. Serologic testing for amoebiasis. Gastroenterology 1980;78: 136-41. Plorde JJ. Amebiasis. 1n:Harrison's Principles of Inter-nal Medicine. Editors: Wllson JD, Braunwald E, Isselbacher KJ, Martin JB, Petersdorf RQ, Fauci AS, Root RK. I l t hEds. New YorkToronto: McGrawHill. Inc; 1991.p.778-8 1. Reed SL. Amebiasis and infection with free-living amebas. In: 1n:Harrison's Principles of Inter-nal Medicine. Editors:Kasper DL, Fauci DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jarneson JL. 16 Eds. New York-Toronto: McGrawHill. Inc; 2005.p. 1214-18. Signh U. Diagnosis and management of amebiasis. Clin Infect Dis 29.1999:117. Stamm WP. Amoebic aphorism. Lancet 1970; 2:1355-6. Sulaiman A, Pang RTL. Noer HMS. Amubiasis hati: diagnosis dan pengobatannya. KPPIK FKUI VII, 1972: 12-16. TrissI D. Immunology of Entamoeba histolytica in human and animal hosts. Rev Inf Dis. 1982; 1154-71 Zaman V. Amoebiasis in Southeast Asia. Life-cycle and pathology of Entameba histolytica. Med. Progr. 1976; 5: 11-2.



"



DISENTRI BASILER Akmal Sya'roni



PENDAHULUAN



CARA INFEKSI



Disentri basiler atau shigellosis adalah suatu infeksi akut pada kolon yang disebabkan kuman genus shigella. Shigella adalah basil nonmotil, gram negatif, famili enterobacteriaceae. Ada 4 spesies shigella yaitu S. dysentriae, S.Jexneri, S.bondii dan S.sonnei. Terdapat 43 serotipe 0 dari shigella. S. sonnei adalah satu-satunya spesies yang memiliki serotipe tunggal. Karena kekebalan tubuh yang didapat bersifat serotipe spesifik, maka seorang dapat terinfeksi beberapa kali oleh tipe yang berbeda Genus ini mempunyai kemampuan menginvasi sel epitel intestinal dan menyebabkan infeksi dalam jumlah lo2-1O3 organisme. Penyakit ini, kadang-kadang ringan dan kadang-kadang berat. Suatu keadaan lingkungan yang jelek akan menyebabkan mudahnya penularan penyakit. Secara klinis mempunyai tanda-tanda sebagai berikut : diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, kram perut dan tenesmus.



Shigella memasuki host melalui mulut. Karena secara genetik bertahan terhadap PH yang rendah, mereka dapat melewati barier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien. Secara endemik pada daerah tropis penyebaran melalui air yang tercemar oleh tinja pasien, makanan yang tercemar oleh lalat, dan pembawa hama (carrier). Untuk menemukan carrier diperlukan pemeriksaan biakan tinja dengan teliti karena basil shigella mudah mati, untuk itu diperlukan tinja yang baru.



Di dunia sekurangnya 200juta kasus dan 650.000 kematian terjadi akibat disentri basiler pada anak-anak di bawah umur 5 tahun. Kuman penyakit disentri basiler didapatkan di mana-mana di seluruh dunia, tetapi kebanyakan ditemukan di negara-negara sedang berkembang, yang kesehatan lingkungannya masih kurang. Di Amerika Serikat, insidensipenyakit ini rendah. Setiap tahunnya kurang dari 500.000 kasus yang dilaporkan ke Centersfor Disease Control and Prevention (CDC). Hasil penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia dari Juni 1998 sampai dengan Nopember 1999,dari 3848 orang penderita dime berat, ditemukan 5 % shigella.



Gambar 1. Siklus transmisi (Contoh transmisi: makanan, jari-jari. tangan, air, lalat



KELAINAN ANATOMIS



Basil disentri tidak ditemukan di luar rongga usus dan tidak merusak selaput lendir. Kelainan pada selaput lendir disebabkan oleh toksin kuman. Lokasi usus yang terkena adalah usus besar dan dapat mengenai seluruh usus besar,



-



dengan kelainan yang terberat biasanya di daerah sigmoid, sedang pada ileum hanya ditemukan hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal ditemukan mukosa usus hiperemis, lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada daerah folikel limfoid, dan pada selaput lendir lipatan transversum didapatkan ulkus yang dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan adanya infiltrat, tetapi tidak pernah berbentuk ulkus bergaung (seperti pada disentri amuba). Selaput lendir yang rusak ini mempunyai warna hijau yang khas. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk selaput tebalnya sampai 1,5 cm sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus mengecil. Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum.



tetapi bisa juga subnormal. Nadi cepat halus, muntahmuntah. Nyeri otot dan kejang kadang-kadang ada. Perkembangan selanjutnya berupa keluhan-keluhan yang bertambah berat, keadaan umum memburuk, inkotinensia urin dan alvi, gelisah, tapi kesadaran masih tetap baik, kelainan-kelainan menjadi bertambah berat. Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria, dan koma uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi, dan keadaan darurat misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik secara perlahan-lahan tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang lama, penyembuhan yang cepat jarang terjadi.



KELUHAN DAN GEJALA KLlNlS



Bentuk yang sedang. Keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya lebih berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darahllendir



Masa tunas penyakit ini berlangsung dari beberapa jam sampai 3 hari, jarang lebih dari 3 hari. Mulai terjangkit sampai timbulnya gejala khas biasanya berlangsung cepat, sering secara mendadak, tetapi dapat juga timbul perlahanlahan. Gejala yang timbul bervariasi : defekasi sedikitsedikit dan dapat terus-menerus, sakit perut dengan rasa kolik dan mejan, muntah-muntah, sakit kepala. Sifat kotoran mulanya sedikit-sedikit sampai isi usus terkuras habis, selanjutnya pada keadaan ringan masih dapat mengeluarkan cairan, sedangkan bila keadaan berat tinja berlendir dengan warna kemerah-merahan (red currant jelly) atau lendir yang bening dan berdarah, bersifat basa. Secara mikroskopik didapatkan sel-sel pus, sel-sel darah putihlmerah, sel makrofag yang besar, kadang-kadang dijumpai Entamoeba coli. Suhu badan bervariasi dari rendah-tinggi, nadi cepat, dan gambaran sel-sel darah tepi tidak mengalami perubahan. Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai yang berat. Bentuk yang berat (jiulminating cases) : biasanya di sebabkan oleh S.dysentriae. Berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air, muntahmuntah, suhu badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik, dan dapat meninggal bila tidak cepat ditolong. Kadang-kadang gejalanya tidak khas dapat berupa seperti gejala kolera atau keracunan makanan. Pada kasus yang berat ini gejala-gejalanya timbul secara mendadak dan berat, dengan pengeluaran tinja yang banyak berlendir dan berdarah serta ingin berak yang terus menerus. Akibatnya timbul timbul rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena dehidrasi. Muka menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin, dan viskositas darah meningkat (hemokosentrasi). Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Di daerah anus terjadi luka dan nyeri, kadang-kadang timbul proplaps. Bila ada hemoroid yang biasanya tidak timbul akan menjadi mudah muncul ke luar. Suhu badan tidak khas biasanya lebih tinggi dari 39°C



Bentuk yang ringan. Keluhan-keluhadgejala tersebut di atas lebih ringan. Bentuk yang menahun. Terdapat serangan seperti bentuk akut secara menahun. Bentuk ini jarang sekali bila mendapat pengobatan yang baik.



GAMBARAN ENDOSKOPI



Gambaran endoskopi, memperlihatkan mukosa hemoragik yang terlepas dan ulserasi. Kadang-kadang tertutup dengan eksudat. Sebagian besar lesi berada dibagian distal kolon dan secara progresif berkurang di segmen proksimal usus besar.



KOMPLIKASI DAN GEJALA SlSA



Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler, terjadi pada pasien yang berada di negara yang masih berkembang dan seringnya kejadian ini dihubungkan dengan infeksi oleh S.dysentriae tipe 1 dan S.$exneri pada pasien dengan keadaan gizi yang buruk. Misalnya bakteremia, relatifjarang terjadi di Amerika Serikat, tetapi di Dacca Bangladesh, bakteriemia tercatat 8% dari seluruh pasien disentri basiler yang dirawat. Adanya bakteriemia, akan menyebabkan angka kematian yang tinggi pada pasien yang berumur kurang dari 1 tahun. Faktor lain yang memperberat bakteriemia di Amerika Serikat yaitu apabila pasien dengan acquired immunodefiency syndrome (AIDS). Komplikasi lain disenti basiler oleh infeksi S.dysentriae tipe 1 adalah izaemolytic uremic syndrome (HUS). Biasanya HUS ini timbul pada akhir minggu pertama disentri basiler, pada saat disentri basilernya mulai membaik. Tanda-tanda HUS dapat berupa oliguria, penurunan hematokrit ( sampai 10% dalam 24 jam) dan secara progresif timbul



anuria dan gagal ginjal atau anemia berat dengan gagal jantung. Dapat pula dengan HUS ini, terjadi reaksi leukemoid (leukosit lebih dari 50.000 per mikro liter), trombositopenia (30.000-100.000 trombosit per mikro liter). Juga dapat tiinbul hiponatremia dan hipoglikemia berat. Bisa pula timbul gejala susunan saraf pusat, termasuk disini keluhan ensefalopati, perubahan kesadaran dan sikap yang aneh. Selanjutnya pada disentri basiler, dapat timbul komplikasi berupa artritis, yang biasanya timbul pada masa penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar terutama lutut, biasanya dihubungkan dengan infeksi S.jlexneri. Kelainan ini dapat terjadi pada kasus yang ringan, cairan sinoval sendi mengandung leukosit polimorfonuklear. Penyembuhan dapat sempurna, sedangkan keluhan artritis ini dapat berlangsung sampai berbulan-bulan. Stenosis terjadi bila ulkus sirkular pada usus menyembuh, bahkan dapat pula terjadi obstruksi usus, walaupun ha1 ini jarang terjadi. Neuritis periferjarang terjadi, biasanya timbul setelah serangan S.dysentriae yang toksik. Iritis atau iridosiklitis biasanya timbul bersama dengan artritis. Komplikasi intestinal seperti tokslk mega kolon, prolaps rektal dan perforasi. Peritonitis karena perforasi jarang terjadi. Kalaupun terjadi biasanya pada stadium akhir atau setelah serangan berat. Peritonitis dengan perlekatan yang terbatas mungkin pula terjadi pada beberapa tempat mempunyai angka kematian yang tinggi. Komplikasi lain yang dapat timbul adalah bisul dan hemoroid.



DIAGNOSIS BANDING



Diagnosis banding disentri basiler ialah radang kolon yang disebabkan oleh kuman enteroheinoragik dan enteroinvasif E.coli, Campylobacter jejuni, Salmonella entereditis serotipe, Yersinia enterocolitica, Clostridium diSJicile dan protozoa Entamoeba histolytica. Diagnosis banding yang tidak berhubungan dengan infeksi yaitu kolitis ulseratif atau Chron k colitis.



DIAGNOSIS DENGAN CARA KHUSUS



Pemeriksaan lain yang dapat membantu untuk menegakkan diagnosis disentri basiler ialah pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab juga untuk ameba dan kista ameba serta biakan hapusan (rectal swab). Metode diagnostik lainnya adalah polymerase chain reaction (PCR) yang spesifik dan sensitif, tetapi belum dipakai secara luas. Pemeriksaan enzim immunoassaydapat rnendeteksi toksin di tinja pada sebagian besar penderita yang terinfeksi dengan S. dysentriae tipe 1, atau toksin yang dihasilkan E.coli. Pada stadium lanjut dilakukan



pengerokan daerah sigmoid untuk pemeriksaan sitologi (sigmoidoskopi). Aglutinasi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua, maksimum pada hari keenam. Pada S.dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada pengenceran 1/50, dan pada S.jlexneri aglutinasi antibodi sangat kompleks, dan oleh karena adanya banyak strain maka jarang dipakai.



PROGNOSIS



Pada bentuk yang berat, angka kematian tinggi kecuali bila mendapatkan pengobatan dini. Tetapi pada bentuk yang sedang, biasanya angka kematian rendah; bentuk dysentriae biasanya berat dan masa penyembuhan lama meskipun dalam bentuk yang ringan. Bentuk j7exneri mempunyai angka kematian yang rendah.



PENGOBATAN



Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat mencegah atau memperbaiki dehidrasi, dan pada kasus yang berat diberikan antibiotika. Cairan dan Elektrolit Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral. Jika frekuensi buang air besar terlalu sering, dehidrasi akan terjadi dan berat badan penderita akan turun. Dalam keadaan ini perlu diberikan cairan melalui i n h s untuk menggantikan cairan yang hilang. Akan tetapi jika penderita tidak muntah, cairan dapat diberikan melalui minuman atau pemberian air kaldu, atau dapat juga oralit. Jika penderita berangsur sembuh, susu tanpa gula mulai dapat diberikan. Diet Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5 kalikari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan. Pengobatan Spesifik Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tak ada perbaikan antibiotika diganti dengan jenis yang lain. Jika dengan pengobatan dengan antibiotika yang kedua pasien tidak menunjukkan perbaikan diagnosis hams ditinjau ulang dan dilakukan pemeriksaan mikroskopis tinja, kultur dan resistensi mikroorganisme. Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, klorainfenikol dan tetrasiklin, hampir universal terjadi dan



banyak shigella saat ini resisten terhadap ampisilin dan sulfametoksazol. Situasi pada tiap wabah penyakit ini menimbulkan resistensi yang berbeda-beda, karena itu pada wabah sebaiknya disiapkan obat khusus yang hanya diberikan pada pasien-pasien yang gawat. Sangat ideal bila pada setiap kasus dilakukan uji resistensi terhadap kuman penyebabnya, tetapi tindakan ini akan mengakibatkan pengobatan dengan antibiotika jadi tertunda. Kuman Shigella biasanya resisten terhadap ampisilin, namun apabila ternyata dalam uji resistensi kilman terhadap ampisilin masih peka, maka masih dapat digunakan, dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mglhari, selama 5 hari. Begitu pula dengan trimetoprimsulfametoksazol, dosis yang diberikan 2x 960 mglhari selama 3-5 hari. Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler, karena tidak efektif. Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal fluorokuinolon seperti siprofloksasin, atau makrolide azithromisin berhasil baik untuk pengobatan disentri basiler. Dosis siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x 500 mghari selama 3 hari. Pemberian siprofloksasinmerupakan suatu kontraindikasi terhadap an&-anak dan wanita hamil. Dosis azitromisin yang dianjurkan adalah 1 g dosis tunggal dan untuk sefiksim 400 mglhari selama 5 hari. Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman S. dysentriae tipe 1 yang multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam nalidiksik dengan dosis 3x1 ghari selama 5 hari. Tidak ada antibiotika yang dianjurkan dalam pengobatan stadium carrier disentri basiler. Obat-obat antispamodik (misal, tinktura beladona) dapat menolong dalam pengobatan bila terjadi kram yang berat. Obat-obat yang menghambat peristaltik usus (paregorik, difenoksilat dengan atropin dan loperamid) belum jelas penggunaannya dalam fase permulaaan disentri basiler. Obat-obat ini, mempunyai efek membantu dalam membatasi diare. Obat-obat ini tidak diindikasikan pada fase disentri.



Belum ada rekomendasi pemakaian vaksin untuk shigella. Penularan disentri basiler dapat dicegah dengan lingkungan yang bersih dan diri yang bersih. Membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang tidak terkontaminasi, penggunaan jamban yang bersih dapat mengurangi penularan disentri basiler. Pengobatan antibiotikatidak dianjurkan untuk karier yang asimptomatik.



Arizona Department of Health Services. Shigellosis. Arizona Department of Health Services.com. August, 2004. Centre for Disease Control and Prevention National Centre for Infectious Diseases. Shigellosis. September, 2003. Chambers HF. Infectious diseases: bacterial and chlamydial. In: Tiemey LM, McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Current medical diagnostic and treatment. 43 th ed. USA: Mc Graw Hill; 2004.p.1363-64. ICD-9 004; ICD-10 A03. Shigellosis (Bacillary Dysentery).527-531. Keusch GT. Shigellosis. In: Isselbacher, Wilson, Braunwald et al, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16Ih ed. USA: Mc Graw Hill; 2005.p. 902-6. Kroser JA. Shigellosis. eMedicine.com. Inc. May 17, 2002. Listing of disease related to water and environmental sanitation. Bacillary Dysentery, Shigellosis. Controlling and Preventing Disease. Maryland Department of Health and Mental Hygiene- Epidemiology and Disease Control Program. Shigellosis fact sheet. May, 2002. Master PA, 0 Bryan TA, Zurlo J, Miller DQ. Trimethoprime sulfamethoxazole revisited. Archieves of Internal Medicine. 2003;163: 402-10. Nivogi SK. Shigellosis. The Journal of Microbiology. Vo1.43. No.2. Apri1,2005: 133-143. Smith.JF. Medical library. Shigellosis. May I I, 2005.http :// www.cholibrary.org Subekti D, Oyofo BA, Tjaniadi P et al. Shigella spp. Surveillance in Indonesia: the Emergence or Re-emergence of S. dysenteriae. Emerging Infectious Diseases. Vo1.7 No. I. January, 2001. WHO. Weekly Epidemiological Record. September, 2004:355-356.



HIVIAIDS Dl INDONESIA Zubairi Djoerban, Samsuridjal Djauzi



PENDAHULUAN Masalah HIVIAIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, Badan WHO yang mengurusi masalah AIDS, memperkirakan jumlah odha di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIVIAIDS. HIVIAIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIVIAIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV.



AIDS (Acquired lmmunodejiciency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodejiciency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi H N



SWARAH Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Meskipun demikian, dari beberapa literatur sebelurnnya ditemukan kasus yang cocok dengan definisi sumeilans AIDS pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika Serikat. Sampel jaringan potong beku dan serum dari seorang pria



berusia 15 tahun di St. Louis, AS, yang dirawat dengan dan meninggal akibat Sarkoma Kaposi diseminata dan agresif pada 1968, menunjukkan antibodi HIV positif dengan Western Blot dan antigen HIV positif dengan ELISA. Pasien ini tidak pernah pergi ke luar negeri sebelumnya, sehingga diduga penularannya berasal dari orang lain yang juga tinggal di AS pada tahun 1960-an, atau lebih awal. Virus penyebab AIDS diidentifikasi oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 yang pada waktu itu diberi nama LAV (lymphadenopathy virus) sedangkan Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada 1984 yang saat itu dinamakan HTLV-111. Sedangkan tes untuk memeriksa antibodi terhadap HIV dengan cara Elisa baru tersedia pada tahun 1985. Istilah pasien AIDS tidak dianjurkan dan istilah Odha (orang dengan HIVIAIDS) lebih dianjurkan agar pasien AIDS diperlakukan lebih manusiawi, sebagai subjek dan tidak dianggap sebagai sekadar objek, sebagai pasien. Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa tiga kali diulang, menyatakan positif. Hanya, hasil tes Western Blot, yang saat itu dilakukan di Amerika Serikat, hasilnya negatif sehinggatidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada bulan Maret 1986di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia dan termasuk jenis non-progessor, artinya kondisi kesehatan dan kekebalannya cukup baik selama 17 tahun tanpa pengobatan, dan sudah dikonfirmasi dengan Western Blot, serta masih berobat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002.



TROPIK IN-I



Penularan HIVIAIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok rislko tinggi terhadap HIVIAIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya, serta narapidana. Narnun, infeksi HIVIAIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok rislko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada awalnya, sebagian besar odha berasal dari kelompok homoseksual maka kini telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual dan pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bayi yang terbukti tertular HIV dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan heteroseksual. Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan di Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari kelompok homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIVIAIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. Sampai dengan akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIVIAIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu masih sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksl HIV adalah antara 90.000 sampai 130.000 orang. Sebuah survey yang dilakukan di Tanjung Balai Karimun menunjukkan peningkatan jumlah pekerja seks komersil (PSK) yang terinfeksi HIV yaitu dari 1% pada tahun 19951 1996 menjadi lebih dari 8,38% pada tahun 2000. Sementara itu survey yang dilakukan pada tahun 2000 menunjukkan angka infeksi HIV yang cukup tinggi di lingkungan PSK di Merauke yaitu 5-26,5%, 3,36% di JakartaUtara, dan 5 3 % di Jawa Barat. Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan infeksi HIV yang semakin nyata pada pengguna narkotika. Padahal sebagian besar odha yang merupakan pengguna narkotika adalah remaja dan usia dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif. Anggapan bahwa pengguna narkotika'hanya berasal dari keluarga broken home dan kaya juga tampaknya semakin luntur. P e n g a ~ hteman sebaya (peer group) tampaknya lebih menonjol. Pengguna narkotika suntik mempunyai risiko tinggi untuk tertular oleh virus HIV atau bibit-bibit penyakit lain yang dapat menular melalui darah. Penyebabnya adalah penggunaan jarum suntik secara bersama dan berulang yang lazim dilakukan oleh sebagian besar pengguna narkotika. Satu jarum suntik dipakai bersama antara 2 sampai lebih dari 15 orang pengguna narkotika. Survey



sentinel yang dilakukan di RS Ketergantungan Obat di Jakarta menunjukkan peningkatan kasus infeksi HIV pada pengguna narkotika yang sedang menjalani rehabilitasi yaitu 15% pada tahun 1999, meningkat cepat menjadi 40,8% pada tahun 2000, dan 47,9% pada tahun 2001. Bahkan suatu survei di sebuah kelurahan di Jakarta Pusat yang dilakukan oleh Yayasan Pelita Ilmu menunjukkan 93% pengguna narkotika terinfeksi HIV. Surveilens pada donor darah dan ibu hamil biasanya digunakan sebagai indikator untuk menggambarkan infeksi HIVIAIDS pada masyarakat umum. Jikapada tahun 1990 belum ditemukan darah donor di Palang Merah Indonesia (PMI) yang tercemar HIV, maka pada periode selanjutnya ditemukan infeksi HIV yang jumlahnya makin lamamakin meningkat. Persentase kantung darah yang dinyatakan tercemar HIV adalah 0,002% pada periode 199211993, 0,003% pada periode 199411995,0,004% pada periode 19981 1999 dan 0,016% pada tahun 2000." Prevalensi ini tentu perlu ditafsirkan dengan hati-hati, karena sebagian donor darah berasal tahanan di lembaga pemasyarakatan, dan dari pasien yang tersangka AIDS di nunah sakit yang beluln mempunyai fasilitas laboratorium untuk tes HIV. Saat ini, tidak ada lagi darah donor yang berasal dari penjara. Pada narapidana, suatu survey cross sectional di penjara narkotika di Bandung, memperlihatkan prevalensi HIV pada warga binaan yang 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan angka nasional. Survey yang dilakukan pada tahun 1999-2000 pada beberapa klinik KB, puskesmas dan rumah sakit di Jakarta yang dipilih secara acak menemukan bahwa 6 (1,12%) ibu hamil dari 537 orang yang bersedia menjalani tes HIV ternyata positif terinfeksi HIV.



Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ behngsi mengoordinasikan sejumlah fimgsi imunologis yang penting. Hilangnya hngsi tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif. Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian ImmunodeJiciency firus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada m k o s a vagina. Virus dibawa oleh antigen-presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening makaka dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridisasi in s i b dalam 7 sampi 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi. Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah , bening berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid



'



HIV/AlDS Dl INDONESIA



kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit CD8. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respons sel limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan 'steady-state' beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relatif stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikan juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogeneitas kapasitas replikatif virus dan heterogeneitas intrinsik pejamu. Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level 'steady- state'. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan melakukan adaptasi pada amplop-nya, termasuk kemampuannya mengubah situs glikosilasi-nya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantarai antibodi tidak dapat terjadi.



Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (non-progressor). Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksijamur, herpes, dll.



Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan akhimya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi yang disebut laten secara klinik (tanpa gejala), sebetulnyabukan laten bila ditinjau dari sudut penyakit HIV. Manifestasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10partikel setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar lo9sel setiap hari. Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna: narkotika. Lebih dari 80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang dijumpai pada odha pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada odha yang tertular dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan dengan infeksi pneumonia dan' tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunakan narkotika suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat' pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya lebih progresif. Perjalanan penyakit HIV yang lebih progresif pada pengguna narkotika ini juga tercermin dari hasil penelitian di RS dr. Cipto Mangunkusumo pada 57 pasien HIV asimptomatik yang berasal dari pengguna narkotika, dengan kadar CD4 lebih dari 200 sel/mm3.Temyata 56,14% mempunyai jumlah virus dalam darah (viral load) yang melebihi 55.000 kopilml, artinya penyakit infeksi HIV nya progresif, walaupun kadar CD4 relatif masih cukup baik. i



TES HIV Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang terinfeksi HIV sangatlah penting, karenc pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru terlihat setelah' bertahun-tahun lamanya. Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar



-



dapat di$&i meqjqdi pemeriksan serologik untuk mendeteks'i adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya virus HIV dalarn tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetik dalam darah pasien. Pemeriksaan yang lelrih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi HIV, Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELIS4 (enzyme-linked immunosorbent assay), aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang biasanya digunakaq di Indonesia adalah dengan ELISA. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV ini yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian. World Health Organization (WHO) menganjurkan pemakaian salah satu dari 3 strategi pemeriksaan antibodi terhadap HIV di bawah ini, tergantung pada tujuan penyaringan keadaan populasi dan keadaan pasien (Tabel 1).



~ u j u a nPemeriksaan Keamqnan .,. transfusi dan transplantasi Surveillance Diagnosis



.



.



Prevalensi infeksi HIV



Strategi Pemeriksaan



Semua prevalensi



I



>I0 %



Bergejala infeksi HIV /AIDS Tanpa gejala



-30 %



-c30 %



>I0 % 4 0% -



Pada keadaan yang memenuhi dilakukannya Strategi I, hanya dilakukan 1kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan non-reaktif dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini hams memiliki sensitivitasyang tinggi (> 99%). Strategi I1 menggunakan 2 kali pemeriksaanjika serum pada pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama hasilnya non-reaktif, maka dilaporkan hasil tesnya negatif. Pemeriksaan pertama menggunakan reagensia dengan sensitivitas tertinggi dan pada pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta berbeda jenis antigen atau tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila hasil



pemeriksaan kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun jika hasil pemeriksaan yang kedua adalah non-reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan ke-2 metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate. Strategi I11 menggunakan 3 kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan pertama, kedua, dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil tes pertama reaktif, kedua reaktif dan ketiga non-reaktif atau pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai equivocal atau indeterminate bila pasien yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau berisiko tinggi tertular HIV. Sedangkan bila hasil seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada orang tanpa riwayat pemaparan terhadap HIV atau tidak berisiko tertular HIV, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif. Perlu diperhatikan juga bahwa pada pemeriksaan ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal antigen atau tekniknya, serta memiliki spesifisitas yang lebih tinggi. Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HlV, yang paling sering dipakai saat ini adalah tehnik Western Blot



W). Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis hams mendapatkan konseling pra tes. Hal ini hams dilakukan agar ia dapat mendapat infoimasi yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIVI AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survei tidak diperlukan konseling pra tes karena orang yang dites tidak akan diberitahu hasil tesnya. Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil tes positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai pengobatan untuk memperpanjangmasa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko.



KRI'TERIA DIAGNOSIS



Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan meteode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik (Tabel 2) atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/rnrn3.



HIV/AlDS Dl INDONESIA



getah bening) CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan) Ensefalopati HIVa Herpes sirnpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronkitis, pneurnonitis, atau esofagitis Histoplasrnosis, diserninata atau ekstraparu Isosporiasis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan) Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru Kandidiasis esofagus Kanker sewiks invasive Koksidiodornikosis, diserninata atau ekstraparu Kriptokokosis, ekstraparu Kriptosporidiosis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan) Leukoensefalopati rnultifokal progresif Lirnforna, Burkitt Lirnforna, irnunoblastik Lirnforna, primer pada otak Mikobakteriurn aviurn kompleks atau M. kansasii, diserninata atau ekstraparu Mikobakteriurn tuberkulosis, paru atau ekstraparu Mikobakteriurn, spesies lain atau spesies yang tidak dapat teridentifikasi, diserninata atau ekstrapulrnoner Pneumonia Pneumocystis carinii Pneumonia rekurenb Sarkoma Kaposi Septikernia Salmonella rekuren Toksoplasrnosis otak Wasting syndromeC 'Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang mengganggukerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan pemeriksaan lumbal punksi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT Scan atau MRI) b~erulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun qerdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal 2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan dernam lama (>30 hari, intermiten atau konstan), tanpa dapat dijelaskan oleh penyakitlkondis~lain (mis. kanker, tuberkulosis. enteritis spesifik) selain HIV



PENATALAKSANAAN HIVIAIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat anti retroviral, disingkat obat ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang dengan HIVIAIDS menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan produktif. Manfaat ARV dicapai melalui pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan odha terhadap infeksi oportunistik. Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu: a). pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), b). pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIVJAIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks, c). pengobatan suportif, yaitu



makanan yang mempunyai nilai' gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang. T E M P I ANTIRETROVIML (ARV) Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan odha menjadijauh lebih baik. Infeksi kriptosporidiasisyang sebelumnya sukar diobati, menjadi lebih mudah ditangani. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat, seperti infeksi virus sitomegalo dan infeksi mikobakteriumatipikal, dapat disembuhkan. Pneumonia Pneumocystis carinii pada odha yang hilang timbul, biasanya mengharuskan oclha minum obat infeksi agar tidak kambuh. Namun sekarang dengan minum obat ARV teratur, banyak odha yang tidak memerlukan minum obat profilaksis terhadap pneumonia. Terdapat penurunan kasus kanker yang terkait dengan HIV seperti Sarkoma Kaposi dan limfoma dikarenakan pemberian obat-obat antiretroviral tersebut. Sarkoma Kaposi dapat spontan membaik tanpa pengobatan khusus. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan Sarkoma Kaposi. Selain itu pulihnya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh dapat membentuk respons imun yang efektif terhadap human herpesvirus 8 (HHV-8) yang dihubungkan dengan kejadian sarkoma kaposi. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease. Tidak semua ARV yang ada telah tersedia di Indonesia (Tabel 3). Waktu memulai terapi ARV hams dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Obat ARV direkomendasikanpada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk masuk dalam kriteria diagnosis AIDS,atau menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik dengan llimfosit CD4+ kurang dari 200 sell mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350 se1/mm3dapat ditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sell mm3danviral load leblh clan 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda.Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3danviral Ioadkurang dari 100.000kopi/ml. Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV.Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan(Tabe1 4), dengan



Dagang Duviral



Tablet, kandungan: zidovudin 300 rng, 2 x I tablet larnivudin 150 rng Kapsul: 2 x 4 0 mg 60 kq: 2 x 200 mg, atau 1 x 400 mg < 60 kq: 2 x 125 mg, atau 1 x 250 mg 1 x 600 mg, malam



Nelvex , PI Tablet 250 mg 2 x 1250 mg Viracept NsRTI= nucleoside reverse transcriptase inhlbitor, NNRTl = non-nucleosidereverse transcnptase inhibitor, PI = protease inhibrtor Diperbaharui dari: (37)



keunggulan dan kerugiannya masing-masing. Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV)/lamivudin (3TC), dengan nevirapin (NVP) . ObatARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV @ostexposure prophylaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi. Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV penting untuk mendapat perhatian lebih besar mengingat sudah ada beberapa bayi di Indonesia yang tertular HIV dari ibunya. Efektivitaspenulamn HIV dari ibu ke bayi adalah sebesar 10-30%.Artinya dari 100 ibu harnil yang terinfeksi HIV, ada 10 sampai 30 bayi yang akan tertular. Sebagianbesar penularan terjadi sewaktu proses melahirkan, dan sebagian kecil melalui plasenta selama kehamilan dan sebagian lagi melalui air susu ibu. Kendala yang dikhawatirkan adalah biaya untuk nevirapin dosis tunggal untuk ibu dan anak dinilai sangat mudah untuk diterapkan dan ekonomis. Sebetulnya pilihan yang terbaik adalah pemberian ARV yang dikombinasikan dengan operasi caesar, karena dapat menekan penularan sampai 1%. Namun sayangnya di negara berkembang seperti Indonesia tidak mudah untuk melakukan operasi sectio caesaria yang murah dan aman.



lnteraksi dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Masalah koinfeksi tuberkulosis dengan HIV merupakan masalah yang sering dihadapi di Indonesia. Pada



prinsipnya, pemberian OAT pada odha tidak berbeda dengan pasien HIV negatif. Interaksi antar OAT dan ARV, terutama efek hepatotoksisitasnya, harus sangat diperhatikan. Pada odha yang teIah mendapat obat ARV sewaktu diagnosis TB ditegakkan, maka obat ARV tetap diteruskan dengan evaluasi yang lebih ketat. Pada odha yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian obat disesuaikan dengan kondisinya (Tabel 5) Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali ddI yang hams diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai bufjr antasida. Interaksi dengan OAT terutama terjadi pada ARV golongan non-nukleosida dan inhibitor protease. Obat ARV yang dianjurkan digunakan pada odha dengan TB pada kolom B (Tabel 4) adalah evafirenz. Rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82% dan dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%. Namun, jika evafirenz tidak memungkinkan diberikan, pada pemberian



Kolom A lamivudin + zidovudin lamivudln + dldanosin lamivudln + stavudin lamivudln + zldovudln lamivudln + stavudin lamivudin + didanosin lamivudin + zidovudin ,,,-- . lamivudin + stavudin , lamivudin + didanosin



Kolom B Evaflrenz* Nevlrapln Nelvinafir



Tidak dianjurkan pada WX hamil trimester pertarn? atau r . wani$ yang berpotensi tinggi untuk hamil Catatan.: kombinasi vana - - sama sekali tidak boleh adalah : ~id~vudin + stavudin



WIV/AU)S Dl INDONESIA



Kondisi



Rekomendasi



TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau TB ekstrapulmonal



Mulai terapi OAT. Segera mulai terapi ARV jika toleransi terhadap OAT telah tercapai. Mulai terapi OAT. Terapi ARV dimulai setelah 2 bulan.



TB paru, CD4 50-200 sel/mrn3atau hitung limfosit total < 1200 sel/rnrn3 TB paru, CD4 > 200 sel/rnm3atau hitung limfosit total > 1200/mrn3



lstilah



Definisi



Kegagalan virologis



Gagal untuk mencapai: VL (viral load) < 400cImL dalam 24 minggu atau VL < 50cIrnL dalam 48 minggu atau Konsisten (pada 2 pengukuran berurutan) VL > 50cImL setelah VL < 50cImL. Catatan: kebanyakan pasien akan rnengalami penurunan pada VL > Iloglo c/rnL pada 1-4 rninggu. Hitung CD4 gagal meningkat menjadi 2550 cell/mm3 dalarn satu tahun. Catatan: kebanyakan pasien mengalami peningkatan hitun 1 CD4 150 celllmm3 dalarn 1 tahun pertarna dengan HAART pada pasien yang belum pernah diobati. Terjadinya atau kekarnbuhan gejala terkait HIV lebih dari 3 bulan setelah terapi HAART dirnulai. Catatan: diagnosis sindrom rekonstitusional imunologis harus disinakirkan.



Mulai terapi TB. Jika rnemungkinkan monitor hitung CD4. Mulai ARV sesuai indikasi setelah terapi TB selesai. Kegagalan imunologis



bersama rifampisin dan nevirapin, dosis nevirapin tidak perlu dinaikkan. Kegagalan klinis



EVALUASI PENGOBATAN Pemantauan jumlah sel CD4 di dalam darah merupakan. indikator yang dapat dipercaya untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV, dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan memberikan pengobatan ARV. Jika tidak terdapat sarana pemeriksaan CD4, maka jumlah CD4 dapat diperkirakan dari jumlah limfosit total yang sudah dapat dikerjakan di banyak laboratorium pada umumnya. Sebelum tahun 1996, para klinisi mengobati, menentukan prognosis dan menduga staging pasien, berdasarkan gambaran klinik pasien dan jumlah limfosit CD4. Sekarang ini sudah ada tambahan parameter baru yaitu hitung virus HIV dalam darah (viral load) sehingga upaya tersebut menjadi lebih tepat. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa dengan pemeriksaan viral load, kita dapat memperkirakan risiko kecepatan perjalanan penyakit dan kematian akibat HIV. Pemeriksaan viral load memudahkan untuk memantau efektifitas obat ARV. Sejak awal pengobatan ARV, masalah kegagalan terapi ARV lini pertama menjadi ha1 yang banyak diteliti. Definisi kegagalan terapi dapat dilihat pada Tabel 6. Obat-obat golongan protease inhibitor (PIS) seperti lopinavirl ritonavir, atazanavir, saquinavir, fosamprenavir, dan darunavir memiliki barier genetik yang tinggi terhadap resistensi. Obat golongan lain memiliki barier yang rendah. Walau demikian, kebanyakan pasien yang mendapatkan PIS- terkait HAART (highly active anti-retmviral therapy) yang mengalami kegagalan virologis biasanya memiliki strain virus HIV yang masih sensitif,kecuali bila digunakan jangka panjang. Obat golongan lain biasanya menjadi resisten dalam waktu yang lebih singkat ketika terdapat kegagalan virologis. Indikasi untuk merubah terapi pada kasus gagal terapi adalah progresi penyakit secara klinis dimulai setelah > 6 bulan memakai ARV



Pada WHO stadium 3: penurunan BB > 10 %, diare atau demam > 1 bulan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, oral hairy leukoplakia terdapat infeksi bakterial yang berat atau "bedridden " lebih dari 50% dari satu bulan terakhir Tes resistensi seharusnya dilakukan selama terapi atau dalam 4 minggu penghentian regimen obat yang gagal. Interpretasi hasil tes resistensi merupakan ha1 yang kompleks, bahkan terkadang lebih baik dikerjakan oleh ahlinya.



lndikasi



Tidak diindikasikan



Kegagalan virologis dengan VL (viral load) > 1.000 c/mL Supresi viral suboptimal dengan VL > 1.000clrnL lnfeksi HIV akut Baseline, untuk mendapatkan terapi inisial. Setelah penghentian terapi antiretroviral > 1 bulan terapi VL < 1.000 c/mL



UPAYAPENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN Ada beberapa jenis program yang terbukti sukses diterapkan di beberapa negara dan amat dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, untuk dilaksanakan secara sekaligus, yaitu a). pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda; b). program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk berbagai kelompok sasaran; c). program kerjasama dengan media cetak dan elektronik; d). paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika, termasuk program pengadaanjarum suntik steril;



-



'



e). program pendidikan agama; f). program layanan pengobatan infeksi menular seksual (IMS); g).prograin promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat; h), pelatihan ketrampilan hidup; i). program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling; j). dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak; (k) integrasi program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan dan dukungan untuk odha; dan (1) program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV. Sebagian besar program tersebut sudah dijalankan di Indonesia. Dengan kata lain, kita sebenarnya sudah inampu melakukannya. Hanya sayangnya program-program tersebut belum dilaksanakan secara berkesinambungan dan belum merata di seluruh Indonesia. Program pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda, perlu dipikirkan strategi penerapannya di sekolah, akademi dan universitas dan untuk remaja yang ada di luar sekolah. Walaupun sudah ada SK Mendiknas mengenai masalah ini, namun secara nasional belum diterapkan. Selain itu, sampai saat ini kurikulum nasional pendidikan HIVIAIDS untuk mahasiswa kedokteran, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, dan tenaga keperawatan masih dalam proses awal penyusunan. Penyelesaian kurikulum ini penting untuk disegerakan mengingat kebutuhan akan tenaga kesehatan yang mengerti seluk-beluk HIVIAIDS sudah amat mendesak. Untuk program penyuluhan sebaya, cukup banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai pengalaman dengan sasaran yang berbeda-beda. Program magang, akan berguna untuk daerah-daerah yang belum mengerjakan atau ingin memperluas cakupan kelompok sasarannya. Sistem magang antar LSM yang sekarang ini sudah berjalan terasa sekali manfaatnya dan perlu ditingkatkan. Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik sudah terbina dengan baik, sehingga tinggal melanjutkan agar ada kesinambungan. Setiap momentum yang terkait dengan HIVIAIDS perlu dimanfaatkan untuk mendorong partisipasi media untuk mendukung kegiatan-kegiatan tersebut. Kehidupan beragama yang berjalan baik selama ini tentu tidak lepas dari pendidikan agama di sekolah dan di rumah. Namun demikian ada beberapa ha1 yang mungkin dapat diperbaiki. Di antaranya, diperlukan strategi belajar-mengajar yang berpijak pada kehidupan sehari-hari, termasuk dalam penggunaan bahasa dan idiom-idiom yang disesuaikan dengan peserta didik. Sebagai misal, istilah khamr atau alkohol tidak dikenal dalam bahasa sehari-hari remaja. Demikan pula istilah heroin, metiletilendioksi metamfetamin, kokain, dan LSD tidak begitu dikenal oleh remaja kita. Mereka lebih mengenalnya dengan nama putauw, ekstasi, dan cimeng.



Pelatihan keterampilan hidup amat diperlukan oleh remaja agar mengenal potensi diri, tahu memanfaatkan sistem informasi, serta mengenal kesempatan dan cara-cara mengembangkan diri. Bila kehidupan ekonomi dan pendidikan membaik, niscaya penularan HIVIAIDS dapat ditekan. Pengadaail tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling yang mudah dicapai dan suasana akrab dengan klien akan menyebabkan orang-orang yang merasa mempunyai risiko tinggi beringan kaki mendatangi tempat-tempat tes dan konseling HIV tersebut. Dengan konseling, diharapkan orang yang terinfeksi HIV akan menerapkan seks aman dan tidak menularkan HIV ke orang lain. Sayangnya teinpat-tempat tersebut masih langka sekali. Di Jakarta hanya ada beberapa buah, sementara di luar Jakarta sukar ditemukan. Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak memang bukan merupakan kegiatan yang mudah dikerjakan. Untuk melaksanakan kegiatan ini diperlukan kepedulian dan partisipasi aktif berbagai lapisan masyarakat seperti LSM, ahli hukum, ahli ilmu sosial, media massa, kepolisian, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, dan lain-lain. Mengintegrasikan program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan, dan dukungan untuk odha merupakan syarat mutlak untuk keberhasilan program penanggulangan HIVIAIDS. Bila kita melaksanakan program pencegahan saja, hasilnya tidak akan sebaik bila dilakukan bersama program pengobatan, layanan dan dukungan untuk odha. Masyarakat yang mendapat penyuluhan saja, kemudian merasa mempunyai perilaku risiko tinggi tidak akan mau melakukan tes HIV bila ia melihat tidak ada yang mau merawat odha, atau bila ia mengetahui ada odha yang dipecat dari pekerjaannya, dan dikucilkan dari keluarga dan masyarakat. Sudah cukup banyak program kegiatan penanggulangan HIVIAIDS yang terbukti efektif dan mampu laksana, yang sudah kita terapkan untuk menekan kecepatan peningkatan prevalensi HIVIAIDS di Indonesia. Namun demikian perbaikan masih hams dilakukan di sana-sini. Bukan hanya yang menyangkut kualitas program, namun juga perluasan cakupan penerima program.



REFERENSI Borrow P, Lewicki H, Hahn BH, Shaw GM, Oldstone MB. Virusspecific CD8+ cytotoxic T-lymphocyte activity associated with control o f viremia in primary human immunodeficiency virus type 1 infection. J Virol 1994; 68:6103-10. CDC. 1993 revised classification system for HIV infection and expanded surveillance case definition for AIDS among adolescents and adults. MMWR 1992;41(no. RR-17). Chakrabarti L, Isola P, Cumont M-C, et al. Early stages of simian immunodeficiency virus infection in lymph nodes. Am J Pathol 1994; 144: 1226-34.



-



CD8(+) T cell depletion in simian immunodeficiency virusinfected macaques. J Exp Med 1999; 189:991-8. ted Sarcoma: Biology and ndvel theraKrown SE. ~ l ~ s - ~ e i aKaposi's peutic strategies. Dalam: Perry MC, Chung M, Spahlinger M, editor. Proceeding of 38th Annual Meeting of ASCO; 18- 21 May 2002; Orlando,FL.Alexandria:ASC0;2002.h. 249-59.. Komlsi Penanggulangan AIDS Nasional. Ancaman HIVIAIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata. Jakarta: Depkes RI; 2002. Kovacs JA, Masur H. Prophylaxis against opportunistic infection in patients with human immunodeficiency patients. N Eng J Med 2Ob0;342(19): 1416-29. Lederman MM, Valdez H. Immune restoration with antiretroviral therapies. JAMA 2000;284(2):223-8. Lathey JL, Hughes MD,Fiscus Sa, Pi T, Jacson B, Rasheed S et al. Variability and Prognostic Values of Virologic and CD4 Cell Measures in Human Immunodeficiency Virus Type1 - Infected Patients with 200-500 CD4 cells/mm3 (ACTG 175). J Infect Dis 1998; 177:6 17-24. Lydia A. Hitung Limfosit Total sebagai Prediktor Hitung Limfosit CD4 pada Pasien AIDS. Tesis Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu Penyakit Dalam, FKUI. 1996 Internal error: Invalid file format. I In-line.WMF *]Gal~yRF, Witte MH, Gottlieb AA, Elvin-Lewis M, Gottlieb MS, Witte CL, Alexander SS, Cole WR, Drake WL Jr. Documentation of an AIDS virus infection in the United States in 1968. JAMA. 1988 Oct 14;260(14):2085-7. Montagnier L, Chermann JC, Barre-Sinoussi F, Klatzmann D, WainHobson S, Alizon M, et al.Lymphadenopathy associated virus and its etiological role in AIDS. Princess Takamatsu Symp. 1984;15:3 19-31. Monitoring the AIDS Pandemic (MAP). The Status and Trends of HIVIAIDSISTI Epidemics in Asia and the Pacific. Washington DC:;2001. Mercader M, Nickoloff BJ, Foreman KE. Induction of Human Immunodeficiency Virus I Replication by Human Herpesvirus 8. Arch Pathol Lab 2001;125:785-9. Palella FJ,DelaneyKM, Moorman AC, Loveless MO,FuhrerJ, Satten health/rtis/MTCT/mtct~consultation~october~2000/ GA,et al. Declining Morbidity and Mortality among Patients consultation~documents/efficacy~of~arv~regimens/ with Advanced Human Immunodeficiency Virus Infection. N efficacy~of~antiretroviral~regimens.en.html Eng J Med 1998,38(13):853-60 Gotlieb MS. AIDS-Past and Future. N Engl J Med 2001;344(23):1788Pantaleo G, Graziosi C, Demarest JF, et al. Role of lymphoid organs 90. in the pathogenesis of human immunodeficiency virus (HIV) Goldie SJ, Kaplan JE, Losina E, Weinstein MC, Paltiel AD, Seage GR infection. Immunol Rev 1994; 140: 105-30. 3rd, et al.Prophylaxis for human immunodeficiency virus-reReimann KA, Tenner-Racz K, Racz P, et al. lmmunopathogenic lated Pneumocystis carinii pneumonia: using simulation modelevents in acute infection of Rhesus monkeys with simian iming to inform clinical guidelines. Arch Intern Med munodeficiency virus of Macaques. J Virol 194;68:2362-70. 2002;162(8):921-8. Sarngadharan MG, DeVico AL, Bmch L, Schupbach J, Gallo RC. HTLVGortmaker SL, Hughes M, Cervia J, Brady M, Johnson GM, Seage 111: the etiologic agent of AIDS. Princess Takamatsu Symp. GR. Effect of Combination Therapy including Protease Inhibi1984; 15:30 1-8. tors on Mortality among Children and Adolescents Infected Subdit PMS & AlDS Ditjen PPM & PLP Depkes RI. Statistik Kasus with HIV-I. N Engl J Med 2001; 345: 1522-28 HIVIAIDS di Indonesia: s.d Maret 2005. Majalah Support. Huminer D, Rosenfeld JB, Pitlik SD. AIDS in the pre-AIDS em. Rev Jakarta: Yayasan Pelita Ilmu.2005. Infect Dis. 1987 Nov-Dec;9(6): 1102-8. Suryamin M. Hitung limfosit total sebagai indikasi memulai terapi Jones JL, Hanson DL, Dworkin MS, et al. Surveillance for AIDS antirehoviral pada pasien HIVIAIDS. Tesis Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu Penyakit Dalam, FKUI.2002. defining opportunistic illnesses, 1992-1997. MMWR CDC Surveil1 Summ 1999;48(SS-2): 1-22. UNAIDS-WHO. Revised recommendations for the selection and Jones JL,Hanson DL, Dworkin MS,et al. Incidence and trends in use of HIV antibody tests. Weekly Epidemiological Report Kaposi's sarcoma in the era of effective antiretroviral therapy. 1997;72:81-8. J Acquir Immune Defic Syndr 2000;24:270-4. O'Brien WA, Hartigan PA, Martin D, Esinhart J, Hill A, Benoit S et Jin X, Bauer DE, Tuttleton SE, Lewin S, Gettie A, Blanchard J, Irwin al. Changes in Plasma HIV-1 RNA and CD4+ Lymphocyte Counts CE, Safrit JT, Mittler J, Weinberger L, Kostrikis LG, Zhang L, and the Risk of Progression to AIDS, N Engl J Perelson AS, Ho DD. Dramatic rise in plasma viremia after Med1996;334:426-43.



Collier AC, Coombs RW, Schoenfeld DA, Bassett RL, Timpone J, Baruch A. Treatment of Human Immunodeficiency Virus Infection with Saquinavir, Zidovudine, and Zalcitabine. N Engl J Med 1996; 334: 101 1-8. Djoerban Z. Membidik AIDS: lkhtiar memahami HIV dan odha. Ed 1 . Yogyakarta:Penerbit Galang;1999 Ditjen PPM & PL Depkes RI. Pedoman Nasional - Perawatan, dukungan dan pengobatan bagi odha.Jakarta:Departemen Kesehatan RI, 2003. Djoerban Z, Wydiatna, Solehudin U, Sri Wahyuningsih. KAP STUDY on Narcotics and HIVIAIDS among Teenagers in South Jakarta. Proceeding of the XI11 International AIDS Conference . 9-14 Juli 2000; Durban, South Africa. Bologna:Monduzzi Ed;2000. D~tjenPPM & PL Depkes RI. Rencana strategis penanggulangan HIVIAIDS di Indonesia 2003-2007,Jakarta:Departemen Kesehatan RI.2003 Djauzi S, Djoerban Z, Eka B, Djoko P, Sulaiman A, Rifayani A,dkk. Profile of drug abusers in Jakarta's urban poor community. Med J Ind 2003;Kustin, Djauzi,dkk. Hasil survey pada wanita hamil di Jakarta 1999-2000. Yayasan Pelita Ilmu, 2000. Djauzi S. Penatalaksanaan indeksi HIV. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Uji Diri. Jakarta: Yayasan Penerbit ID1,1997.UNAIDS/WHO. AlDS epidemic update 2004. [accessed Jan 20 20051. Available at url: http://www.unaids.org/ wad2004lreport.html Djoerban Z. Viral Load Profiles in Drug Users with Asymptomatic HIV Infection with Normal CD4 Cell Counts. Med J Ind 2002; 1 l(3). Depkes RI. Protap TB Panel on Clinical Practices for Treatment of HIV Infection. Guidelines for the Use of Antiretroviral Agents in HIV-Infected Adults and Adolescents.0ctober 29 2004. [access 10 Jan 20051, available at url: http://aidsinfo.nih.gov/ Farley T, Buyse D, Gaillard P, Perriens J. Efficacy of Antiretroviral Regimens for the Prevention of Mother to Child Transmission of HIV and Some Programmatic Issue. Background documents for WHO Technical Consultation October 2000. [accessed 20 Feb 20031, available at url:http:/lwww.who.int/reproductive-



Vaccher E, Spina M, Talamini R, Zanetti M, di Gennaro Ci Nasti 4 et al. Improvement of systemic human immunodeficiency virus-related non-Hodgkin lymphoma outcome in the era o f highly active antiretroviral therapy. Clin Infect Dis. 2003;37(11):1556-64. Wei X, Decker JM, Wang S, Hui H. Kappes JC, Wu X, SalazgrGonzalez JF, Salazar MG, Kilby JM, Saag MS. Komarova NL, Nowak MA, Hahn BH, Kwong PD, Shaw GM. Antibody neutralization and escape by HIV-I. Nature 2003; 422:307-12. Wigati. Hubungan antara pola penggunaan jarum suntik dengan risiko terjadinya infeksi rnaupun penurunan sistem imun selular pada



pengguna heroin suntik. Tesis Program Pendidikan Dokter Spesialis I llmu Penyakit Dalam, FKUI. 2003. Wahl SM, Greenwell-Wild T, Peng G, Hale-Donze H, Doherty 'TM, Mizel D, Orenstein JM. Mycobacterium Avium Complex augments macrophage HIV-I production and increases CCRS expression. Proc Natl Acad Sci 1998;95: 12574-9. WHO. The use o f antiretroviral therapy: A simplified approach for resource-constrained countries. New Delhi. World Health Organization.2002.



INFEKSI JAMUR Nasronudin



PENDAHULUAN Infeksi jamur, dikenal sebagai mikosis semakin dikenal sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas pada pasien yang rawat inap di rumah sakit terutama yang imunokompromis. Indonesia sebagai negara berkembang belum sepenuhnya berhasil membasmi penyakit infeksi jamur, kini dihadapkan pada masalah baru dengan hadirnya infeksi HIVJAIDS. Penyakit ini potensial mendesak status imun penderita kearah imunokompromais sehingga infeksi jamur dapat tumbuh kembang dengan subur. Infeksi jamur pada manusia dibagi menjadi infeksi jamur endemik dan infeksi jamur oportunistik. Infeksi jamur oportunistik tidak saja merupakan bagian dari infeksi HIVIAIDS tetapi juga merupakan infeksi oportunistik pada leukemia, tumor padat, limfoma maligna, transplantasi organ. Beberapa keadaan dapat mendorong individu terinfeksi jamur. Infeksi jamur umumnya akibat paparan dari sumber lingkungan dan aktivasi flora jamur endogen akibat penyakit yang melandasi maupun sebagai akibat dari intewensi diagnostik dan terapi. Infeksi jamur tidak hanya mengenai bagian tubuh luar saja, tetapi juga menimbulkan penyakit sistemik yang mengancam jiwa. Akibat paparan jamur sangat tergantung dari derajat dan jenis respons imun host. Respons imun selular merupakan mediator utama perlawanan terhadap infeksi jamur. Neutrofil dan fagosit mempunyai peran penting dalam mengeliminer infeksi jamur. Di masa lalu infeksijamur mash kurang diperhitungkan, maka kini harus mendapatkan perhatian serius karena bukan saja diagnosisnya yang sering terlewatkan, tetapi potensi mendorong penderita ke kearah kematian semakin tinggi.



Infeksi jamur atau mikosis digolongkan menjadi infeksi jamur endemik (histoplasmosis, blastomikosis, koksidioidomikosis, dan parakoksidio-idomikosis), dan infeksijamur oportunistik. Kandidiasis, merupakan mikosis dengan insidens tertinggi pada infeksi oportunistik. Hal tersebut disebabkan karena jamur tersebut merupakan bagian dari mikroba flora normal yang beradaptasi dengan baik untuk hidup pada inang manusia, terutama pada saluran cerna, saluran urogenital, dan kulit. Histoplasmosis, meskipun ditemukan diberbagai belahan dunia, terutama di Amerika utara dan tengah. Koksidioidomikosis,terutama di Arizona dan California, Mexico dan Texas, sertaAmerika selatan. Kriptokokus, kebanyakan ditemukan di daerah subtropik dan tropik termasuk Australia, Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika. Sebelum era highly active antiretroviral theraphy (HAART), kriptokokus meliputi 5-10% penderita AIDS terutama bila CD4 kurang 50 seV mm3. Pada populasi non AIDS, kriptokokus terutama sebagai infeksi oportunistik pada individu yang mengalami transplantasi organ, penderita yang mendapatkan imunosupresan jangka lama, penderita diabetes melitus, gaga1 ginjal, penyakit hati kronik, penyakit paru kronik. Sekitar 20% terjadi infeksi kriptokokus tanpa diketahui penyakit yang mendasari.



STRUKTUR DAN PERTUMBUHANJAMUR Ada dua tipe jamur, yaitu : yeasts atau ragi dan molds. Yeasts tumbuh kembang melalui sel tunggal secara aseksual. Molds tumbuh kembang dengan bentuk filamen panjang (hyphae) dan berbentuk kusut semacam tikar (mycelium). Beberapa hifa membentuk dinding transversal (septate hyphae).



-



TROPIK INFEKSI



Pertumbuhan dalam bentuk mold melalui produksi koloni filamentosa multisenter. Koloni ini mengandung tubulus silindns dari 2- 10mm. Kumpulan hifa jalin-menjalin dan berakumulasi selama pertumbuhan aktif disebut miselium. Beberapa hifa terbagi oleh dinding pemisah atau septa, yang secara khas terbentuk pada interval yang teratur selama pertumbuhan hifa. Ragi merupakan sel tunggal, biasanya berbentuk bulat atau elips, diametemya bervariasi dari 3-15 mm. Kebanyakan ragi bereproduksi melalui pertunasan. Spesies yang gaga1 melepaskan diri menghasilkan ragi rantai panjang disebut pseudohifa. Semua jamur mempunyai dinding sel kaku yang penting untuk menentukan bentuknya. Struktur sel jamur terdiri dari dua bagian penting, yaitu: 1). Dinding sel jamur terdiri dari chitin. Chitin tersusun dari rangkaian panjang N-acetylglocosamine. Dinding sel jamur juga mengandung polisakarida yang merupakan bagian penting yaitu beta-glucan, merupakan polimer D-glukosa. Di bidang medis beta-glucan ini mempunyai arti penting karena merupakan tempat interaksi obat antifungal caspofungin. 2). Membran sel jamur mengandung ergosterol, tidak seperti meinbran sel manusia yang mengandung kolesterol. Aktivitas obat-obatan anti jamur seperti amfoterisin B, azole (flukonazol, ketokonazol) terhadap jamur sangat tergantung dari perbedaan sterol mernbran. Beberapa karakter penting dari jamur antara lain adalah dimorfik termal ;membentuk struktur yang berbeda-beda pada temperatur yang berbeda. Molds terbentuk pada keadaan saprofit, situasi yang bebas pada temperatur ambient dan yeasts pada jaringan host pada temperatur tubuh. Kebanyakan jamur adalah obligate aerobes ; beberapa facultative anaerobes ; tetapi tidak ada yang obligate anaerobes. Semua jamur memerlukan karbon organik. Habitat alamiahjamur sebagian besar berada bebas di lingkungan,kecuali Candida albicans yang merupakan flora normal pada manusia. Beberapa jamur berkembang biak secara seksual melalui mating dan membentuk spora seksual yaitu zygospores, ascospores, dan basidiospores. Zygospore merupakan spora sederhana dan besar dengan dinding tebal; ascospora berbentuk semacam kantong yang disebut ascus; dan basidiospores dibagian luar terdapat pedestal yang disebut basidium. Kebanyakan jamur berkembang biak secara aseksual dengan membentuk conidia (asexual spores). Bentuk, warna, dan susunan conidia membantu di dalam identifikasi jamur. Beberapa conidia penting adalah: 1). arthrospores,yang berkembang melalui fiagmentasi melalui ujung hyphae dan cara transmisi pada Coccidioides immitis;2). chlamydospores,berbentuk bulat, mempunyai dinding tebal, dan tidak mudah terlepas (bagian terminal chlamydospores C.albicans); 3). blastospores, berbentuk semacam bintang; 4). sporangiospores, berbentuk kantong (sporangiurn).



Berbagaijenis jamur dapat menginfeksi manusia dan hidup dalam jaringan ekstraseluler maupun dalam fagosit. Kulit yang intak sangat efektif sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi jamur (kandidiasis, dermatofitosis),kulit yang lesi memudahkan masuknya jamur. Asam lemak di kulit dapat menghambat pertumbuhan dermatofit. Saluran nafas, membran mukosa nasofaring penting untuk melindungi tubuh dari pengaruh invasi sporajamur yang terinhalasi, demikian juga makrofag alveolar. Jamur yang masuk kedalam tubuh akan mendapat tanggapan melalui respons imun host. IgM dan IgG didalam sirkulasi diproduksi sebagai respons terhadap infeksi jamur, tetapi peranan didalam proteksi tubuh masih belum diketahui. Respons cell-mediated immune (CMI) adalah protektif karena dapat menekan reaktivasi infeksi jamur asimptomatis dan mencegah terjadinya infeksi jamur oportunistik. Respons imun yang terjadi terhadap infeksi jamur merupakan kombinasi pola respons imun terhadap mikroorganisme ekstraselulerclan respons imun intraseluler fakultatif. Respons imun seluler merupakan mediator utama perlawanan terhadap infeksi jamur. Sel T CD4+ dan CD8+ bekerja sama untuk mengeliminer jamur. Dan subset sel T CD4+, respons sel Thl merupakan respons protektif, sedangkan respons sel Th2 merugikan host. Oleh karena itu inflamasi granulomatosa sering merupakan penyebab kerusakan jaringan pada host yang terinfeksi jamur intraselular Respons cell-mediated immune (CMI) dapat menginduksi terbentuknya granuloma. Granuloma terutama terbentuk oleh berbagai penyakit jamur sistemik, misalnya koksidioidomikosis, histoplasmosis, dan blastomikosis Supurasi akut, ditandai oleh adanya neutrofil di dalam eksudat, juga terjadi pada penyakit jamur tertentu seperti aspergilosis dan sporotrichosis. Jamur tidak memiliki endotoksin pada dinding sel dan tidak memiliki produk bakterial seperti eksotoksin. Aktivasi sistem CMI menghasilkan respons delayed hypersensitivity pada tes kulit. Skin tes positif menunjukkan adanya paparan antigen jamur di masa lampau. Skin tes negatif untuk diagnosismenyulitkan bagi penderita imunokompromais. Karena pada umumnya individu membawa kandida sebagai flora normal, tes kulit dengan menggunakan antigen kandida berguna untuk menentukan apakah CMI normal. Kulit yang terinfeksi akan berusaha menghambat penyebaran infeksi dan sembuh, menimbulkan resistensi terhadap infeksi berikutnya. Resistensi ini diduga berdasarkan reaksi imunitas seluler, karena penderita umumnya menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap jamur bersangkutan.Gangguan dalam reaksi hipersensitivitas tipe IV menyebabkan terjadinya infeksi kronik atau kepekaan untuk kandidiasis. Hal ini sering terjadi pada penderita yang mendapat obat imunosupresif.



Diagnosis Ada 4 pendekatan diagnosis laboratoris pada infeksi jamur, yaitu: 1). pemeriksaan mikroskopik langsung, 2). biakan, 3). DNA probe test, dan 4). pemeriksaan serologi. Pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan dengan bahan dari sputum, biopsi pam, kulit, kuku. Beberapa yang dapat didiagnosis melalui pemeriksaan mlkroskopik adalah : 1). sphemles pada C.immitis dan 2). kapsul Ciyptococcus neoformans dengan pengecatan India ink. Pemeriksaan dengan DNA probe mampu mendiagnosis lebih cepat. Dapat menentukan infeksi Cocciodiodes, Histoplasma, Blastomyces, dan Ciyptococcus. Kebanyakan diagnosis definitif ditegakkan memakai berbagai pemeriksaan yang berbeda-beda dari satu dengan daerah lain pada daerah endemik. Untuk menegakkan diagnosis definitif dapat dilakukan biopsi, dilanjutkan pemeriksaan histopatologi, serta biakan. Pemeriksaan serologis temtama digunakan untuk pemeriksaan histoplasmosis dan koksidioidomikosis. ELISA terutama untuk menentukan antigen guna membantu menentukan keterlibatan histoplasmosis pada pasien AIDS. Pada infeksi jarnur oportunistik, diagnosis invasif sering mengalami kesulitan. Kandida sp. merupakan flora normal, dapat tumbuh pada tempat yang kotor seperti sputum. Penentuan antibodi, antigen dan metabolit kandida umumnya kurang sensitif dan spesifik. Pemeriksaan yang spesifik dan sensitif melalui pengukuran aglutinasi latex terhadap kapsul polisakharida C. Neofomzans.Pemeriksaan histopatologis dari jaringan oleh intervensi infeksi jamur oportunistik penting dilakukan untuk diagnostik, terutama pada individu dengan sakit berat. Terapi Obat-obatan untuk terapi bakteri tidak mempengaruhi penyakit jamur. Penisilin dan aminoglikosida dapat menghambat pertumbuhan berbagai bakteri tetapi tidak mempengaruhi pertumbuhann jamur. Hal tersebut dimungkinkan akibat perbedaan struktur, misalnya pada bakteri terdapat peptidoglikan dan 70s ribosom, tetapi tidak dimiliki oleh jamur. Obat antifungal yang efektif adalah amfoterisin B dan golongan azole karena adanya ergosterol pada membran sel jamur tetapi tidak terdapat pada bakteri maupun membran sel manusia. Antifimgal lain, caspofungin (Candidas), dapat menghambat sintesis beta glucan. Terapi mutakhir anti jamur meliputi target ergosterol membran seljarnur (polyenes, azoles, allylamines), glucans pada dinding seljarnur (echinocandins), serta sintesis DNA dan RNA jamur (flucytosine). Amfoterisin B merupakan obat terpilih pada semua infeksi jamur, tetapi terdapat keterbatasan yaitu pada toksisitasnya. Efek toksik pada ginjal terjadi pada pasien



yang mendapatkan terapi amfoterisin. Formulasi lipid dapat mengurangi toksisitas amfoterisin B. Ada 3 formulasi amfoterisin saat ini yaitu: amfotericin B liposomal, amfoterisin B kompleks lipid, dan amfoterisin dispersi koloid. Ada 4 azole yang belakangan dapat dipergunakan secara sistemik, yaitu: ketokonazol, itrakonazol, flukonazol, dan varigonazol. Golongan azole bersifat hngistatik tetapi preparat terbaru m&un)ai sifat fungisid temtama untuk jamur filamentous. Toksisitas golongan azole sangat bervariasi tergantung spesifitas dalam mengikat ergosterol pada sel jamur. Karena besarnya toksisitas, absorpsinya kurang baik, serta aktivitas spektrum moderate maka ketokonazol sekarang sudah jarang digunakan. Itrakonazol mempakan azole terpilih temtama untuk infeksi jamur endemik, juga digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh beberapa infeksi jamur oportunistik dan beberapa infeksi jamur superfisial. Karena absopsi yang kurang baik pada kapsul itrakonasol, maka penggunaan secara oral digunakan bentuk suspensi atau pemberian secara intravenus. Flukonazol dapat diberikan secara oral maupun intravenal. Sering digunakan untuk pengobatan berbagai infeksi jamur termasuk kandida sp, C.neoforman, koksidioides immitis dan beberapa infeksi jamur oppoutinistik. Efek farmakologis flukonazol sangat sempurna tetapi aktivitas spektmmnya paling sempit diantara azole yang lain, termasuk tidak mempunyai aktivitas aspergillus Vankonazol tersedia dalam bentuk oral (50 dan 200 mg), dan maupun intravena (vial 200 mg), mempakan bentuk triazol terbam. Pada dewasa diberikan rerata 6 mg/kg i.v. setiap 12 jam, dilkuti 4 mglkg i.v. tiap 12 jam. Bila telah memungkinkan atau menunjukkan perbaikan di teruskan per oral 200 mg, 2 kali sehari, kalau dipandang perlu dosis peroral dapat dinaikkan menjadi 2 kali 300 mg per hari. Aktivitas genetik polirnorfismedi kendalikan oleh CYP2C19, yang memandu dan menentukan berbagai substansi yang dilibatkan didalam metabolisme voriconazol. Variconazol diabsorbsi dengan baik pada mukosa s a l u ~ ncerna dan di metabolisisme sempurna oleh liver melalui kendali CYP2C9, CYP2C 19 dan CYP3A4. Varikonazol mempunyai spektrurn yang luas termasuk terhadap semua spesies kandida dan C.neoforman, mempunyai efek fbngisid terhadap aspergillus dan beberapa filamen jamur. Semua bentuk azol berinteraksi secara berbeda-beda dengan enzim sitokrom p-450. Potensi terjadinya interaksi obat hams selalu diperhatikan sebelum pemberian. Semua azole mempunyai efek hepatotoksik, oleh karena itu pemeriksaan secara berkala terhadap faal hati perlu dilakukan. Bentuk obat lain adalah yang mempakan sintesis ergosterol adalah allylamine terbinafine. Digunakan pada infeksi primer kulit tetapi kadang-kadang digunakan secara



kombinasi dengan anti jamur yang lain pada infeksijamur opportunistik berat. Caspofimgin merupakan echinocandin pertama yang digunakan pada nianusia. Echinocandin bermanfaat untuk menghambat sintesis betaglucan pada dinding sel jamur, bekerja fungisid terhadap spesies kandida dan aspergillus tetapi tidak mampu melawan C.neoformans. Caspofungin hanya tersedia intravena dan memiliki toksisitas minimal. Flucytosine (5-fluorocytosine) merupakan bentuk oral fluorinated pyrimidine yang merupakan konversi ke 5-fluorourasil yang mempunyai kinerja terhadap sintesis DNA dan RNA jamur. Terutama digunakan untuk terapi kriptokosis dan kandidiasis. Selama penggunaannya perlu difollow up terhadap terjadinya efek samping penekanan sumsum tulang.



yang terkontaminasi kotoran burung dan sebagai yeast di jaringan. Meskipun namanya kapsulatum, tetapi jamur ini tidak mempunyai kapsula. Epidemiologi Histoplasmosis,meskipun ditemukan diberbagai belahan dunia, terutama di Amerika utara dan tengah. Merupakan penyebab infeksi jamur endemik tersering di Amerika, terutama di lembah Missisipi dan Ohio. Infeksi ini self limited, tetapi dapat menyebabkan infeksi pulmoner alcut berat. Patogenesis Masuknya mikrokonidia per inhalasi kedalam alveoli, menimbulkan infeksi pulmoner lokal. Neutrofil dan makrofag berusaha memfagositosisjamur tersebut. Jamur yang mampu bertahan dari terkaman makrofag akan meningggalkan makrofag menuju nodus lirnfatikusdi hilar dan mediastinum, ke sistem retilculoendotelial. Setelah beberapa minggu sel T tersensitisasi oleh antigen H. Capsulatum, kemudian mengaktifasi neutrofil, makrofag untuk mengeliminerjamur intreaseluler. Di jaringan mikroorganisme yang berada di dalam makrofag berubah menjadi oval yeast sehingga masuk ke &lam fase yeast. Di &lam makrofag tetap mempertahankan hidupnya dengan memproduksi substansi alkalin, seperti bikarbonat, amonia, meningkatkan pH sehingga terhindar dari pengaruh degradasi enzim fagolisosom. Mikroorganisme yang mencoba tetap bertahan di dalam makrofag akan menuju ke pembuluh limfe hilus dan mediastinal. Selanjutnya menyebar luas secara hematogen ke seluruh tubuh, sehingga mencapai organ-organ penting , terutama hati dan limpa. Individu dapat mengalami infeksi simtomatis maupun asimtomatis. Meskipun demikian sebagian besar infeksi berlangsung asimtomatis, fokus granulomatus kecil-kecil sembuh dengan meninggalkan kalsifikasi. Bila paparan terjadi terus-menerus akan berkembang ke arah manifestasi klinis histoplasmosis pulmonalis primer akut. Pada keadaan tertentu, terutama pada sistem kekebalan yang tertekan seperti pada AIDS. atau pada saat terjadi penurunan aktivitas CMI, maka infeksi berkembang kearah kronik. Manifestasinya berupa histoplasmosis pulmonalis progresif kronik yang dapat disertai terbentuknya kavitas dan jaringan fibrosis. Pada situasi tersebut penyakit dapat berkembang menjadi histoplasmosis diseminata berat yang progresif dan berakhir fatal. Pada pasien AIDS, lesi ulseratif pada lidah merupakan ciri khas histoplasmosis diseminata kemudian memunculkan infeksi pulmoner.



Garnbar 1. Histoplasma capsulatum. Yeast di dalam makrofag (dikutip dari Levinson).



INFEKSI JAMUR ENDEMIK Infeksi jamur: histoplasmosis, blastomikosis, koksidioidomikosis,dan parakoksidioidomikosispotensial menimbulkan infeksi jamur endemik. Derajat beratnya infeksi tergantung dari intensitas paparan maupun status imun host. Jamur yang terinhalasi melalui saluran nafas selanjutnya memasuki sirlculasi hematogen dan menjadi reaktif beberapa tahun kemudian. Infeksi jamur endemik menyerupai dengan infeksi bakteriil yang menyerang paru, kulit, maupun berbagai organ lain. Diagnosis infeksi jamur di daerah nonendemik kurang mendapat perhatian dari pada daerah endemik. Dengan semakin lajunya mobilisasi penduduk akhir-akhir ini kemungkinan terinfeksijamur di daerah endemik dan non endemik meningkat.



HISTOPLASMOSIS Histoplasmosisdisebabkan oleh Histoplasma capsulatum. Merupakanjamur dimorfik, sebagai mold di tanah terutama



Manifestasi Klinis '



Histoplasmosispulmoner akut. Meskipun ada infeksi



tetapi sering asimtomatik. Infeksi pulmoner simtomatik umumnya selflimited beberapa minggu setelah paparan. Simtomatikterutarna ditandai panas, menggigil, kelelahan, batuk non produktif, rasa kurang enak di dada depan, nyeri otot: Artritis dan artralgia, sering ditandai eritema nodartralgiaosum yang terjadi pada 5-10% pasien dengan histoplasmosis pulmoner akut. Pada foto toraks tampak gambaran nodul lobar atau multilobar infiltrat. Deferensial diagnosis histoplasmosis pulmoner akut adalah dengan pneumonia yang disebabkan oleh Blastomises dermatidis, Mikoplasma pneumoniae, Legionella spp., dan Chlamydia pneumoniae.Kecurigaan kuat ke rah infeksi Histoplasmosis pulmoner akut bila didapatkan pembesaran nodus limfatikus pada hiler dan mediastinal. Histoplasmosis pulmoner kronik. Histoplasmosis pulmoner kronik berjalan progresif, berkembang ke penyakit pulrnoner obstruktif dan berakhir fatal. Keluhan terutama panas, kelemahan, nafsu makan menurun, penurunan berat badan, batuk produktif dengan sputum purulen, dan hemoptoe. Foto toraks menunjukkan gambaran infiltrat uni atau bilateral pada lobus atas dengan multipel kavitas, serta fibrosis luas pada lobus bawah. Fistula bronkopleural serta pneumotoraks sering terjadi. Histoplasmosis pulmonar kronik sering bersamaarn dengan tuberkulosis, pneumonia fungal lain terutama blastomikosis, dan sporotrikosis. Histoplasmosis diseminata. Histoplasmosis simtomatik diseminata terjadi terutama pada pasien imunokomprornais. Pasien AIDS dengan CD4 kurang dari 150 sel/mm3, keganasan hematologi, transplantasi organ atau terapi kortikosteroidberislko tinggi mengalami histoplasmosis diseminata akut. Keluhan dan gejala yang muncul diseminata adalah menggigil, panas, nafsu makanmenurun, berat badan menurun, hipotensi, sesak nafas, hepatosplenomegali, lesi pada kulit dan mukosa. Pansitopenia, infiltrat pulmoner difus pada gambaran radiologis, koagulasi intravaskular diseminata, gaga1 nafas akut sering terjadi.Gejala tersebut sulit dipisahkan dengan sepsis karena bakteri maupun virus. Pada pasien AIDS, diferensial diagnosis dengan infeksi sitomegalo, infeksi mikobakterium avium kompleks diseminata, dan tuberkulosis. Histoplasmosis diseminata progresif kronik merupakan bentuk histoplasmosis yang fatal. Ditandai demam, berkeringat malam, penurunan berat badan, nafsu makan menurun, dan kelemahan. Penderita nampak mengalami sakit kronik, hepatosplenomegali, ulserasi mukokutaneus, dan adrenal insufisiensi. Peningkatan laju endap darah, peningkatan posfatase alkali, pansitopenia, dan infiltrat retikulonoduler difus pada gambaran foto toraks. Untuk ini perlu disingkirkan tuberkulosis milier, limfoma, dan sarkoidosis. Hampir semua organ terdapat kelainan pada infeksi ini.



Diagnosis Sampel dari biopsi jaringan atau aspirasi sumsum tulang, sel jamur oval di dalam makrofag dapat terlihat pada pemeriksaan mikroskop. Biakan memakai agar Sabouraud5 dapat terlihat hyphae dengan makronidia tuberkulae. Antigen Histoplasma dapat ditentukan dengan radioimmunoassay atau DNA probe. Pada kondisi irnunokompromais bila antibodi dalam urin tidak terdeteksi, dapat dilakukan pemeriksaan antigen dalam urin. Kultur dapat dilakukan melalui sampel yang diambil darijaringan, lavas brokhoalveoler, cairan tubuh, sputum, dan darah. Biakan darah merupakan langkah terbaik menggunakan sistem lysis-centrifugation (isolator tube). Biopsi liver dan sumsum tulang perlu dilakukan untuk membuat diagnosis H.capsulatum dseminata. Jika histoplasmosis pulmoner dicurigai, maka pemeriksaan biakan dengan medium khusus dari sampel pulmoner. Terhadap penderita serangan akut, biopsi jaringan harus dikerjakan guna menentukan adanyajamur oval, ukuran 2-4 mm. Biopsi hams segera disusul dengan melakukan pengecatan dengan methenamine silver atau pengecatan periodik acid- Schiff: Pada penderita diseminata, sampel yang diambil dari susum tulang, liver, kulit, dan lesi mukokutaneus dapat menunjukkan beberapa organisme. Organisme juga dapat ditunjukkan melalui pengecatan Wright 5 dari darah perifer penderita infeksi diseminata. Bagi penderita histoplasmosis pulmoner kronik atau mediastinitisgranulomatous,biopsi paru atau nodus limfatikus dapat menunjukkan organisme. Pemeriksaan serologi mempunyai peran penting pada beberapa bentuk histoplasmosis. Complement-assay dapat dipergunakan untuk membedakan miselial dan jamur. Pemeriksaan immunod~fision(ID) lebih spesifik dari pada CF tes, tetapi CF tes lebih sensitif. Titer antibodi CF sering memberikan hasil positif pada titer rendah jamur setelah terinfeksi. Pemeriksaan serologis merupakan sarana diagnostik penting guna menentukan diagnosis histoplasmosis pulmoner akut. Diagnosis ditegakkan bila ada kenaikan titer empat kali lipat titer CF. Pemeriksaan serologis kurang definitif pada pasien limpadenopati mediastinal dan hams selalu dikonfirmasi dengan biopsi jaringan. Hasil positif palsu CF terjadi pada limfoma, tuberkulosis, sarkoidosis, dan infeksijamur lain. Pemeriksaan enzim immunoassay ferhadap antigen polisakarida H.capsulatum pada urin dan serum sangat membantu penderita diseminata yang dilandasi AIDS. Terapi Itrakonazol merupakan obat terpilih bagi infeksi histoplasmosis ringan dan sedang, dan amfoterisin B bagi infeksi berat. Flukonazol kurang aktif dan perlu dipertimbangkan penggunaan sebagai lini kedua. Ketokonazol dapat menjadi obat lini kedua karena toksisitasnya yang tinggi daripada itrakonazol.



Histoplasmosis pulmoner asimtomatis tidak memerlukan pengobatan khusus. Tetapi bila gejala muncul dapat diberikan itrakonazol200 mg per hari selama 6-12 minggu. Pada keadaan outbrake atau pada kondisi imunokompromais hams diberikan terapi. Terapi awal diberikan amfoterisin B 0.7-1 mg/kg perhari diikuti itrakonazol oral. Terapi antifungal perlu diberikan bagi histoplasmosis pulmoner kronik. Itrakonazol200 mg satu atau dua kali sehari untuk 12-24 bulan. Itrakonazol6-12 bulan di rekomendasikan terhadap pasien mediastinitis granulomatus simtomatis. Bila nodus menyebabkan obstruksi pembedahan diindikasikan. Semua pasien histoplasmosis diseminata simtomatik perlu mendapatkan terapi antifungal. Pasien dengan infeksi simtomatik ringan-sedang diseminata akut dan histoplasmosis diseminata progresif kronik dapat diberikan itrakonazol 200 mg dua kali sehari. Terapi adekuat bila diberikan 12 bulan. Pasien AIDS perlu terus mendapat terapi itrakonazol 200 mg per hari setelah sebelumnya mendapat itrakonazol dua kali sehari selama 12 minggu. Pasien imunokompromais dengan infeksi sedang hingga berat harus diberi amfoterisin B 0.7- 1 mglkg per hari. Kebanyakan pasien dapat diteruskan oral itrakonazol begitu telah membaik.



I



Gambar 2. Stadium Coccidioides lmmitis (dikutip dari Levinson).



KOKSlDlOlDOMlKOSlS Merupakan penyakit jamur sistemik disebabkan Koksidioides Spp. Penyebab C. Immitis dan C. posadasii merupakan fungi dimorfik yang diklasifikasikan sebagai ascomisetes yang homolog gen ribosom. C. immitis mempunyai dua bentuk, yang pada sebagian besar media perbenihan tumbuh sebagai bentukjamur yang putih tetapi pada jaringan tubuh pejamu atau pada keadaan khusus, tumbuh berbentuk sferis tanpa tunas, yaitu bentuk sperula. Setelah infeksi, arthrokonidium membesar, berdiameter 75 mm,berubah menjadi sperula. Pa& kondisi matur, sperula berdinding tebal, refraktil ganda, diameter 80 mm. Sperula terbungkus bersama endospora, bila



dindingnya pecah akan melepaskan endospora dan kemudian membentuk sperula baru. C. Immitis menghasilkan koloni seperti kapas. Hifa membentuk rantai arthrokonidia, yang mudah terpecah menjadi arthrokonidia individual. Bentuk ini mudah tersebar di udara, sangat resisten terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Arthrokonidia individual, ukuran 3 x 6 mm, dapat bertahan lama bertahun-tahun, dan sangat infeksius. Epidemiologi Koksidioides sp. dapat ditemukan di tanah, ditempattempat dengan curah hujan yang sedang, suhu udara dingin dan kelembaban yang rendah. Infeksi ini bersifat endemis di daerah terbatas dari Amerika barat daya, Arnerika tengah, Amerika selatan. Risiko infeksi pada daerah endemik sekitar 3%, dengan 150.000 infeksi baru setiap tahunnya. Lebih dari 60% infeksi baru terjadi di Arizona. Patogenesis Rangkaian arthrokonidia yang terbentuk dari hifa bersifat mudah terlepas menjadi arthrokonidia tunggal. Bentuk ini mudah tersebar di udara, sangat resisten terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Arthrokonidia tunggal, ukuran 3 x 6 mrn, dapat bertahan lama hingga bertahun-tahun, dan sangat infeksius. Infeksi pada manusia teQadi &bat inhalasi artrospora yang berasal dari tanah yang terbawa oleh angin. Arthrokonidia yang terhisap tersebut akan masuk ke bronkioli terminal mengawali terjadinya infeksi koksidioida. Inhalasi arthrokonidia menyebabkan infeksi primer yang asimtomatis pada 60 % penderita. Adanya infeksi dapat diketahui dengan terbentuknya presipitin serum dan terjadinya konversi tes kulit menjadi positif dalam waktu 2-4 minggu. Empat puluh persen yang lain menunjukkan simtom infeksi berupa sindroma semacam flu, yaitu batuk, demam, malaise, nyeri sendi, nyeri otot, dan sakit kepala. Kurang lebih 1% penderita mengalami infeksi sistemikberat atau koksidioidomikosissekunder yang mengancamjiwa. Potensi terjadinya infeksi sistemik ini umurnnya dilandasi oleh adanya umur ekstrim, gangguan imunitas cell mediated Laki-laki umurnnya lebih rentan daripada wanita, kecuali wanita hamil yang ha1 ini dipengaruhi oleh efek hormon seks terhadap jamur. Hal ini dimungbkan karena C. Immitis mengandung protein spesifik yang mampu berikatan dengan estrogen serta progesteron yang kemudian menstimulir pertumbuhan jamur. Pada penderita AIDS karena terjadi imunosupresi seluler, terganggunya respons imun cell-mediated, maka mempunyai potensi besar terinfeksi koksidioidomikosis sistemik. Pada individu yang terserang AIDS, manifestasi koksidioidomikosis merupakan pneumonitis retikulonoduler difusa. C. immitis memicu reaksi granulomatosakronikdi &am jaringan tubuh penjamu dengan nekrosis yang disertai proses kaseasi. Lesi pada paru dan kelenjar limfe hiler &pat



INFEKSIJAMUR



.



memperlihatkan kalsifikasinya. Baik antibodi IgM maupun IgG yang bereaksi terhadap C. immitis akan ditimbulkan dengan adanya infeksi. Jumlah antibodi IgG yang spesifik merupakan patokan kasar untuk mengukur masa antigen, yaitu intensitas infeksi, dan titer antibodi IgG yang tinggi merupkan tanda prognostik yang jelek. Timbulnya hipersensitivitaslarnbat terhadap antigen C. immitis sering ditemukan diantara bentuk klinis penyakit ini dengan pronosis baik, seperti penyakit pulmoner primer yang sembuh sendiri. Hasil tes kulit yang negatif terhadapantigen Coccidioides terdapat pada kurang lebih separuh penderita dan menunjukkan pronosis yang buruk. Pada pemenksaan radiologis, infeksi koksidioidomikosis dapat memberikan gambaran adenopati hilus disertai adanya infiltrat pulmoner, garnbaran pneumonia, terkadang efusi pleura maupun nodul-nodul atau kavitas. Selain paru sebagai organ sasaran, infeksi ini juga bisa mengenai organ lain termasuk tulang, kulit, persendian dan selaput otak. Manifestasi Klinis Infeksi pulmoner primer yang simtomik manifestasinya adalah febris, batuk, nyeri dada, malaise, kadang-kadang reaksi hipersensitivitas.Foto toraks dapat memperlihatkan infitrat, adenopati hiler, ataupun efusi pleura. Pemeriksaan darah tepi dapat menunjukkan eosinofilia yang ringan. Pembentukan kavitas kronik dengan dinding tipis ditandai gejala batuk atau hemoptisis pada separuh kasus, sebagian pasien lain tetap asimtomatik. Koksidioidomikosis pulmonalis progresif kronik menyebabkan gejala batuk kronik, disertai sputum, febris, dan penurunan berat badan. Pada beberapa kasus akan mengalami reaktivasi, dan penyebarluasan infeksi (diseminasi) setelah beberapa tahun kemudian. Keadaan tersebut terutama jika terdapat penyakit Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, transplantasi ginjal, penyakit AIDS, atau keadaan imunosupresi lainnya. Proses diseminasi tersebut harus dicurigai bila terdapat gejala febris, malaise, limfadenopati hiler atau paratrakeal, kenaikan laju endap darah, dan titer fiksasi komplemen yang tinggi. Diagnosis Bila ada kecurigaan infeksi koksidioidmikosis, maka spesimen untuk biakan meliputi sputum, eksudat dari lesi kulit, cairan spinal, urine, biopsi jaringan, dan pus hams diperiksa untuk menemukan C. Immiti. Permintaan pemeriksaan laboratorium hams menyebutkan dengan jelas adanya kecurigaan terhadap kemungkinan koksidioidmikosis karena jenis jamur ini hams ditangani dengan ekstra hati-hati untuk mencegah terjadinya infeksi pada petugas laboratorium. Pada biopsi, sperula bedcuran kecil, hams dibedakan dengan bentuk tanpa tunas dari Blastomyces dan Cryptococcus, namun gambaran sperula yang matur merupakan petunjuk diagnosis.



Tes serologi sangat membantu dalam menegakkan diagnosis koksidioidmikosis. Tes aglutinasi lateks dan difusi gel agar merupakan pemeriksaan yang berguna untuk melakukan skrining serum guna menemukan antibodi terhadap jamur, terutama 2-4 minggu setelah infeksi. Tgs fiksasi komplemen (CF) dipakai pada pemeriksaan cairan serebrospinal dan untuk memastikan serta mengukur kadar antibodi (IgG) dalam serum yang terdeteksi lewat tes skrining. Jumlah kasus dengan hasil tes fiksasi komplemen positif akan tergantung pada beratnya penyakit dan laboratorium yang mengerjakan tes tersebut. Hasil tes positif setidaknya sering ditemukan diantara pasien-pasien dengan kavitas pulmoner yang soliter atau dengan infeksi paru, sementara pemeriksaan serum dari pasien dengan penyakit diseminata pada lebih dari satu organ tubuh hampir seluruhnya memperlihatkan hasil yang positif. Serokonversi amat membantu dalam menegakkan diagnosis koksidioidmikosispulmonalis primer tetapi mungkin baru ditemukan 8 minggu setelah paparan. Hasil tes fiksasi komplemen positif pada cairan serebrospinal yang tidak dipekatkan merupakan petunjuk diagnostik untuk meningitis. Kadang-kadang fokus para meningen akan menyebabkan hasil pemeriksaan serologi cairan serebrospinal yang positif. Pada pasien AIDS dengan kokosidioidomikosis, pemeriksaan serologi tersebut sering memberi hasil negatif. Konversi tes kulit dari hasil positif menjadi negatif (indurasi2 5 rnm setelah 24 atau 48jam), dengan koksidiodin dan sferulin 2 jenis antigenjamur yang tersedia dipasaran, terjadi pada hari ketiga hingga ke-21 setelah timbulnya gejala pada gejala koksidiodomikosis pulmonalis primer. Tes kulit juga dapat membantu dalam penelitian epidemiologi, seperti penyelidikan terhadap kelompok kasus atau penentuan daerah endemik. Terapi Koksidioidomikosis pulmonalis primer biasanya akan sembuh spontan. Amfoterisin B intravena selama beberapa minggu diberikan bila pasien memperlihatkan kecenderungan ke arah berat atau infeksi primer yang berlarut-larut, dengan harapan mencegah terjadinya penyakit pulmonalis kronik atau diseminata. Pasien koksidioidomikosis diseminata yang berat atau yang berjalan progesif dengan cepat hams segera dimulai pengobatannya dengan penyuntikan amfoterisin B intravena yang dosisnya 0,5 hingga 0,7 mglkg BB per hari. Pasien yang keadaannya membaik setelah penyuntikan amfoterisin B atau memperlihatkan infeksi diseminata yang tidak aktif dapat dilanjutkan ketokonazol, 400 hingga 800 mg/hari, atau itrakonazol, 200 hingga 400 mghari. Preparat oral ini berguna untuk tindakan supresi infeksi jangka panjang dan harus dilanjutkan selama beberapa tahun. Untuk pasien meningitis koksidioides, pengobatan biasanya dapat dimulai dengan flukonazol400mg per hari tetapi pasien tersebut mungkm pula memerlukan pemberian



amfoterisin B intratekal. Hidrosefalus merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada meningitis yang tidak terkontrol. Tindakan debridemen lesi tulang atau drainase abses dapat membantu. Reseksi lesi pulmoner yang progesif kronik merupakan tindakan pelengkap kemoterapi kalau infeksi hanya terbatas pada paru dan pada satu lobus. Kavitas berdinding tipis yang tunggal cenderung menutup spontan dan biasanya tidak direseksi. lnfeksi Jamur Oportunistik ~ e n i n ~ k a t ninfeksi ~ a jamur dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien imunokoinpromais di rumah sakit. Infeksi jamur oportunistik dapat disebabkan oleh organisme semacam jamur maupun filamen jamur. Penyebab tersering infeksi jamur oportunistik adalah kandidiasis. Spesies kandida merupakan flora normal pada manusia terutama pada saluran cerna maupun saluran urogenital, serta kulit. Infeksi terjadi melalui inhalasi atau inokulasi kulit. Kebanyakan non kandida patogen adalah filamen jamur termasuk genus Aspergillus dan klas Zygomycetes serta Ciyptococcus neoformans. Kejadian infeksi ini sering akibat berbagai keadaan yang menginduksi imunosupresan. Pada situasi imunokompromais terjadi penyebar luasan infeksi secara angioinvasijamur temtama Aspergillus, Pseudallescheria, Zygomycetes, danFusarium, C.neoformans.Berbagaijenis jamur tersebut dapat menyebabkan meningitis dengan atau tanpa melibatkan organ lain.



Individu dalam posisi imunokompeten umumnya resisten terhadap infeksi jamur, tetapi pada situasi imunokompromise sangat rentan terhadap infeksi jamur. Candida albicans merupakan penyebab kandidiasis yang paling sering di temukan, namun C. tropicalis, C. parapsilosis, C. guilliermondii, C. glabrata, C. krusei serta beberapa spesies lainnya dapat menyebabkan kandidiasis profundus dan bahkan membawa akibat yang fatal. C . parapsilosis sering sebagai penyebab endokarditis. C. tropicalis menyebabkan sekitar sepertiga kandidiasis profundus pada pasien neutropenia. Semua spesies kandida yang patogenik untuk manusia juga ditemukan sebagai mikroorganisme komensal pada manusia, khususnya di kulit, dalam mulut, tinja, dan vagina. Spesies ini tumbuh dengan cepat pada suhu 25 hingga 37°C pada media perbenihan sederhana sebagai sel-sel oval dengan pembentukan tunas. Pada media perbenihan yang khusus akan terbentuk hifa atau struktur cabang memanjang yang .dinamakan pseudohifa. C. albicans dapat dikenali secara presumtif dengan kemampuanya untuk membentuk tabung benih (gemr



tubes) dalam serum atau dengan tebentuknya spora besarbesar berdinding tebal yang diriamakan klamidospora. Identifikasi akhir semua spesiesjamur tersebut memerlukan tes biokimiawi. Patogenesis Kandidiasis merupakan infeksi jamur sistemik yang paling sering. Respons imun cell-mediated terutama sel CD4 penting dalam mengendalikan kandidiasis mukokutan. Neutrofil penting terutama dalam resistensi terhadap kandidiasis sistemik. Kandidiasis sistemik terjadi bila kandida masuk ke dalam aliran darah terutama pada saat ketahanan fagositik host menurun. Faktor-faktor lokal atau sistemik dapat mempengaruhi invasi Candida ke dalam jaringan tubuh. Usia mempakan faktor penting mengingat kolonisasi neonatal sering kali menyebabkan kandidiasis oral (oral thrush). Perempuan dengan kehamilan trimester ketiga cenderung untuk mengalami kandidiasis vulvoginal. Pasien diabetes mellitus, keganasan hematologi, pasien yang mendapatkan antibiotik spektrum luas atau kortikosteroid dosis tinggi rentan terhadap kandidiasis. Kandidiasis oral sering dijumpai kapan saja dalam perjalanan infeksi HIV. Dengan terjadinya penurunan jumlah sel CD4, esofagitis Candida juga sering ditemukan. Terganggunya keutuhan kulit atau membran mukosa dapat memberikanjalan ke jaringan tubuh yaiig lebih dalam. Contohnya adalah perforasi traktus gastrointestinal oleh trauma, pembedahan serta ulserasi peptikum; pemasangan kateter indwelling untuk pemberiaan alimentasi intravena (enternal feeding), dialisisperitoneal serta drainase traktus urinarius; luka bakar yang berat; dan penyalahgunaan obat bius intravena. Kandidemia merupakan penyebab urutan keenam sepsis akibat penggunaan kateter intravena atau infus. Spesies Cundida, kecuali C. glabrata tampak dalam jaringan sebagai jamur maupun pseudohifa. Lesi viseral ditandai oleh nekrosis dan respons inflamatorik neutrofilik. Sel neutrofil membunuh sel jamur Candida serta merusak segmen pseudohifa secara in vitro. Kandidiasis viseral akan menimbulkan komplikasi neutropenia sehingga menunjukkan peranan utama neutrofil dalam mekanisme pertahanan pejamu terhadap jamur ini. Melalui sirkulasi, kadida dapat menimbulkan berbagai infeksi pada ginjal, hepar, menempel pada katup jantung buatan, meningitis, arthritis, endophthalmitis. ManifestasiKlinis Kandidiasis kulit dan mukosa sering menyertai berbagagai keadaan seperti penyakit AIDS, diabetes, kehamilan, usia ekstrim, trauma. Kandidiasis oral (oral thrush) ditemukan sebagai bercak berwarna putih yang konfluen dan melekat pada mukosa oral serta faring, khususnya di dalam mulut dan lidah. Lesi ini biasanya tanpa rasa nyeri tetapi pembentukan fisura pada sudut mulut dapat menimbulkan



MFEKSl JAMUR t ,



nyeri. Kandidiasis kulit ditemukan sebagai dherah intertriginosa yang mengalami maserasi serta menjadi . merah, paronikia, balanitis, ataupun pruritus ani. Kandidiasis kulit di daerah perineum dan skrotum dapat disertai dengan lesi pustuler yang diskrit pada permukaan dalam paha. Kandidiasis mukokutaneus kronik atau kandidiasis granulomatosa secara khas ditemukan sebagai lesi kulit sirkumskripta yang mengalami hiperkeratosis, kuku ' jari yang mengalami distrofi serta hancur, alopesia parsial di daerah lesi pada kulit kepala, dan kandidiasis oral serta vagina. Gejala lainnya mencahp epiderrnofitosis kronik, displasia gigi, dan hipofungsi kelenjar paratiroid, adrenal, serta tiroid. Kandidiasis vulvaginalis menyebabkan gejala pruritus, terkadang nyeri pada saat hubungan sek atau buang air kecil. Pemeriksaan dengan speculum memperlihatkan mukosa yang mengalami inflamasi dan eksudat encer yang sering dengan cairan bewarna putih. Ulserasi kecil, dangkal, soliter hingga miltipel akibat Candida dapat terlihat dalam esophagus cenderung terdapat pada bagian sepertiga distal dan dapat menyebabkan keluhan disfagia atau nyeri subternal. Lesi laimya seperti itu cenderung bersifat asimtomatik tetapi mempunyai arti yang penting pada pasien leukemia sebagaiport d 'entreuntuk kandidiasis diseminata. Dalam traktus urinarius, lesi yang paling sering ditemukpn dapat berupa abses renal atau kandidiasis kandung kemih. Invasi ke dalam kandung kemih biasanya terjadi setelah tindakan kateterisasi. Atau instnunentasi pada penderita diabetes atau pada pasien yang mendapatkan antibiotik berspektrum-luas. Lesi umumnya asimtomatik dan benigna. Invasi retrograd ke dalam pelvis renalis menyebabkan nekrosis papilla renal. Penyebar luasan kandida secara hematogen diternukan dengan gejala demam tinggi. Dapat timbul abses di retina, perlahan-lahan abses ini meluas ke dalam vitreus. Pasien dapat mengeluh nyeri orbital, penglihatan yang kabur, skotoma, atau opasitas yang melayang-layang dan menghalangi lapangan penglihatan. Kandidiasis pulmonalis hampir selalu terjadi secara hematogen dan terlihat pada foto toraks, bila abses tersebut cukup banyak untuk menimbulkan infiltrat noduler yang samar-samar atau . difus. Kandidiasis pada endokard atau di sekitar prostesa intrakardial menyerupai infeksi bakteri pada tempat-tempat ini. Meningitis atau arthritis kandida kronik dapat terjadi akibat penyakit diseminata atau penyisipan prostesa dalam ha1 arthritis atau infeksi pintas ventrikuloperitoneal. Manifestasi fokal penyakit diserninatayangjarang dijumpai mencakup ostemiolitis, lesi kulit yang pustuler, miositis, dan abses serebri. t



Diagnosis Diagnosis laboratorik dapat dilakukan melalui pemeriksaan spesimen, pemeriksaan mikroskopis, biakan, dan serologi. Gambaran psedohifa pada sediaan apus, dikonfirmasi



lewat pemeriksaan kultur merupakan pilihan untuk menegakkan diagnosis kandidiasis superficial. Kerokan untuk pembuatan sediaan apus dapat di lakukan pada kulit, kuku, dan mukosa oral serta vaginal. Diagnosis pada lesi kandida yang lebih dalam lagi dapat dilakukan dengan pemeriksaan histologi terhadap sayatan spesimen hasil , biopsi atau dengan pemeriksaan kultur cairan serebrospinal, darah, cairan sendi, atau spesimen bedah. Pemeriksaan kultur darah sangat berguna untuk endokarditis kandidiasis dan sepsis. Pemeriksan ini sering tidak memberikan hasil yang positif pada bentuk penyakit diseminata lainnya.



Terapi Kandidiasis oris dan kandidiasis mukokutan dapat diobati dengan nystatin topikal, gentian violet, ketokonazol, maupun flukonazol. Terapi kandidiasis kulit pada daerah yang mengalami maserasi, memperlihatkan respons terhadap upaya untuk mengurangi kelembaban kulit dan iritasi dengan pemakaian preparat antifungus yang dioleskan secara topikal dalam bahan dasar nonoklusif. Serbuk nisatin atau krem yang mengandung preparat siklopiroks atau azol cukup berkasiat. Klotrimazol, mikonazol, ekonazol, ketonazol, sulkonazol, dan oksikonazol tersedia dalam bentuk krem atau losion. Vulvovaginitis Candida memberikan respons yang lebih baik terhadap golongan azol daripada terhadap preparat supositorianistatin. Di antara formula vaginal klotrimazol, mikazol, tikonazol, butakonazol, dam terkonazol hanya terdapat sedikit perbedaan pada khasiatnya. Pengobatan sistemik terhadap vulvovaginitis Candida dengan menggunakan ketokonazol atau flukonazol lebih mudah dilakukan daripada pengobatan topikal, tetapi potensi preparat tersebut untuk menimbulkan efek merugikan yang lebih besar. Preparat troches klotrimazol yang dapat diberikan lima kali sehari lebih efektif untuk mengatasi kandidiasis oral dan esophagus dibandingkan suspensi nistatin. Ketokonazol dengan dosis 200 hingga 400 mg per hari juga berkhasiat untuk esofagitis Candida tapi banyak pasien yang kurang dapat menyerap obat tersebut dengan baik karena mendapatkan preparat antagonis reseptor H-2 atau karena menderita penyakit AIDS. Pada pasien penyakit AIDS, flukonazol dengan dosis 100 hingga 200 mg per hari merupakan preparat yang paling efektif untuk mengatasi kandidiasis oral dan asofagus. Kalau gejala esophagus yang terjadi sangat menonjol atau pada kandidiasis sistemik, pemberiaan amfoterisin B intravena dengan dosis 0,3 mgkg BB per hari selama 5 hingga 10 hari dapat bermanfaat. Kandidiasis kandung kemih akan memperlihatkan respons terhadap tindakan irigasi dengan larutan amfoterisin B, 50 gImL, selama 5 hari. Jika tidak ada kateter kandung kemih, preparat oral flukonazol dapat digunakan untuk mengendalikan kandiduria. Ketokozanol dengan dosis dewasa 200 mg per



hari kemungkinan merupakan obat pilihan untuk kandidiasis mukokutsneus yang kronik. Amfoterisin B intravena merupakan obat pilihan pada kandidiasis diseminata,dosis 0,4 hingga 0,5 m a g BB per hari. Candidayang diisolasi dari pemeriksaan kultur darah yang diambil dengan benar hams dianggap signifikan; hasil positif- palsu yang sejati jarang terdapat. Semua pasien dengan Candida yang dikultur dari darah perifer hams mendapatkan amfoterisi B intravena untuk mengatasi infeksi yang akut dan memcegah sekuele lanjut. Pa& pasien tanpa neutropenia, endokarditis, atau fokus infeksi yang dalam lainya, pengobatan selama 2 minggu sering sudah memadai. Pemeriksaan funduskopi lewat pupil yang dilatasi sangat bermanfaat untuk mendeteksi endoftalmitis sebelum kehilangan penglihatan permanen terjadi. Kesulitan sering didapatkan terutama dalam menentukan diagnosis awal dari kandidiasis sistemik karena gejala klinis kurang spesifik, biakan sering negatif. Penelitian terhadap resipien cangkok sumsum tulang, terapi profilaksis setiap hari dengan flukonazol, 400mg, akan menurunkan jumlah kasus kandidiasis profundus. Flukonazol juga dapat digunakan untuk melengkapi pengobatan kandidiasis diseminata kronik, terutarna bila amfoterisin B diberikan sampai pasien tidak lagi memperlihatkan neutropenia.



REFERENSI Abbas AK, Lichtman AH . Effector Mechanisms of Cell-Mediated Immunity. In: Cellular and Molecular Immunology. Fifth edition. International edition. China. 2005.p.298-317. Bennett JE. Diagnosis and Treatment of Fungal Infections. In: Harrison's Principles of Internal Medicine. Vol.1. 16 th Edition. Editors: Kasper DL, Fauci AS, Longo D, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division. 2005.p. 1176-88. Burik JV,Myerson D, Schreckhise RW, Bowden RA (1998). Panfungal PCR Assay for Detection of Fungal Infection in Human Blood



Specimens. Journal of Clinical Microbiology 36, 1169-75. Chen KY, KO SC, Hsueh PR, Luh KT, Yang CP. Pulmonary Fungal Infection: Emphasis on Microbiological Spectra, Patient Outcome, and Prognostic Factors. Chest 2005; 120, 177-84. Digby J, Kalbfleisch J, Glen A, Larsen A, Browder W, Williams D (2003). Serum Glucan Levels Are Not Specific for Presence of Fungal Infections in Intensive Care Unit Patients. Clinical and Diagnostic Lboratory Immunology 10, 882-5. Findik D . Nosocomial Fungal Infections in a Teaching Hospital in Turkey: Identification of the Pathogens and Their Antihngal Susceptibility Patters. Turk J Med Sci 2002;32-35 Galgiani JN . Coccidioidomycosis. In: Cecil Textbook of Medicine. 22nd ed. Editors: Goldman L, Ausiello D.Philadelphia: 2004.p.2046-47. Jawetz,'Melnick, Adelberg's. Medical Mycology.In: Medical Microbiology.Editors: Brooks GF, Butel JS, Morse SA. McGrawHill Companies Inc.2005.p. 313-352. Kauffman CA. Introduction to the Mycosis. In: Cecil Textbook of Medicine. 22" ed. Editors: Goldman L, Ausiello D.Philadelphia: 2004.p. 2042-43. Kauffman CA Histoplasmosis. In: Cecil Textbook of Medicine. 22nd ed. Editors: Goldman L, Ausiello D.Philadelphia: 2004.p.2043-45. K a u h CA. Candidiasis. In: Cecil Textbook of Medicine. 22"d ed. Editors: Goldman L, Ausiello D. Philadelphia, 2004.p.2053-56. Kresno SB . Respons lmun Terhadap Infeksi Jamur. Dalam: Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. FKUI, Jakarta:ZOO.p. 181-2. Levinson W, Jawetz E Mycology. In: Medical Microbiology and Immunology. Seventh Edition. Editors: Levinson W, Jawetz E. International Edition. Singapore, 2003.p.299-313. Rex JH, Walsh TJ. Sobel JD, Filter SG, Pappas PG, Dismekes WE, Edwards JE. Practice Guidelines for the Treatment of Candidiasis. Clinl Infectious Diss 2000;30: 662-78. Sobel JD. Practice Guidelines for the Treatment of Fungal Infections. Clin Infectious Dis 2000;30:652. Spicer WJ. Fungi. In: Clinical Bacteriology, Mycology and Parasitology. Melbourne:, 2000.p.62-70 Wheat J. Sarosi G, McKinsey D, Hamill R, Bradsher R, Johson P, Loyd J, K a u t h a n C . Practice Guidelines for the Management of Patients with Histoplasmosis. Clin Infectious Dis 2000); 0:688-95.



.



.



TOKSOPLASMOSIS Herdiman T. Pohan



PENDAHULUAN Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh parasit Toxoplasmagondii, yang dikenal sejak tahun 1908. Toksoplasma (Yunani: berbentuk seperti panah) adalah sebuah genus tersendiri. Infeksi akut yang didapat setelah lahir dapat bersifat asimtomatik,namun lebih sering menghasilkan kista jaringan yang menetap kronik. Baik toksoplasmosis akut maupun kronik menyebabkan gejala klinis termasuk limfadenopati,ensefalitis, miokarditis, dan pneumonitis. Toksoplasmosis kongenital adalah infeksi pada bayi baru lahir yang berasal dari penularan lewat plasenta pada ibu yang terinfeksi. Bayi tersebut biasanya asimtomatik, namun manifestasi lanjumya bervariasi baik gejala maupun tanda-tandanya, seperti korioretinitis, strabismus, epilepsi, dan retardasi psikomotor. Toxoplasma gondii pada tahun 1908 pertama kali ditemukan pada binatang mengerat, yaitu Ctenodactylus gundi, di suatu laboratorium di Tunisia dan pada seekor kelinci di suatu laboratorium di Brazil. Pada tahun 1973 parasit ini ditemukan pada neonatus dengan ensefalitis. Walaupun transmisi intrauterin secara transplasental sudah diketahui, tetapi baru pada tahun 1970 daur hidup parasit ini menjadi jelas, ketika ditemukan daur seksualnya pada kucing (Hutchison). Setelah dikembangkan tes serologi yang sensitif oleh Sabin dan Feldman (1948), zat anti T. Gondii ditemukan kosmopolit, terutama di daerah dengan iklim panas dan lembab.



EPlDEMlOLOGl Di Indonesia prevalensi zat anti I: gondii yang positif pada manusia berkisar antara 2% dan 63%. Sedangkan pada orang Eskimo prevalensinya 1% dan di El Salvador, Amerika Tengah 90%. Prevalensi zat anti i7 gondii pada



binatang di Indonesia adalah sebagai berikut: pada kucing 25-73%, pada babi 11-36%, pada kambing 11-61%, pada anjing 75% dan pada ternak lain kurang dari 10%. Di Amerika Serikat didapatkan sekitar 3-70% orang dewasa sehat telah terinfeksi dengan Toxoplasma gondii. Toksoplasmagondiijuga menginfeksi 3500 bayi yang barn lahir di Amerika serikat. Pada pasien dengan HIV positif didapatkan angka sekitar 45% telah terinfeksi Toxoplasma gondii. Di Eropa Barat dan Afrika prevalensi Toxoplasma gondii pada penderita HIVIAIDS sekitar 50-78%. Sementara itu prevalensi ensefalitis toksoplasma (ET) pada pasien HIV di Amerika Serikat sekitar 16% dan 37% di Perancis. Pada umumnya prevalensi zat anti yang positif meningkat dengan umur, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Di dataran tinggi prevalensi lebih rendah, sedangkan di daerah tropik prevalensi lebih tinggi. Keadaan toksoplasmosis di suatu daerah dipengamhi oleh banyak faktor, seperti kebiasaan makan daging kurang matang, adanya kucing yang temtama dipelihara sebagai binatang kesayangan, adanya tikus dan burung sebagai hospes perantara yang merupakan binatang buruan kucing, adanya sejumlah vektor seperti lipas atau lalat yang &pat memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan. Cacing tanah juga berperan untuk memindahkan ookista dari lapisan dalam ke permukaan tanah.



Toxoplasma gondii adalah parasit intraselular yang menginfeksi burung dan mamalia. Tahap utama daur hidup parasit adalah pada kucing (pejamu definitif). Dalam sel epitef usus kecil kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur seksual (gametogoni, sporogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan bersarna tinja.



Ookista yang bentuknya lonjong dengan ukuran 12,5 mikron menghasilkan 2 sporokista yang masing-masing mengandung 4 sporozoit. Bila ookista ini tertelan oleh mamalia lain atau burung (hospes perantara), maka pada berbagai jaringan hospes perantara ini dibentuk kelompok-kelompok trofozoit yang membelah secara aktif dan disebut takizoit (tachyzoit = bentuk yang membelah cepat). Takizoit dapat menginkksi dan bereplikasi seluruh sei pada mamalia kecuali sel darah merah. Kecepatan takizoit Toksoplasma membelah berkurang secara berangsur dan terbentuklah kista yang mengandung bradizoit (bentuk yang membelah perlahan); masa ini adalah masa infeksi klinis menahun yang biasanya merupakan infeksi laten. Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual, tetapi dibentuk stadium istirahat, yaitu kista jaringan. Hasil dari proses ini adalah infeksi organ yang memberikan gambaran sitopatologi khas. Kebanyakan takizoit dielirninasi oleh respon imun pejamu. Gsta jaringan yang mengandung banyak bradizoit berkembang 7-1 0 hari setelah infeksi sistemik oleh takizoit. Kista jaringan terdapat di berbagai organ, namun menetap terutama di sistem saraf pusat (SSP) dan otot. Infeksi aktif pada pejamu imunokompromais biasanya diakibatkan pembebasan spontan parasit di dalam kista yang kemudian bertransfomasi cepat menjadi takizoit di SSP. Bila kucing sebagai hospes definitif makan hospes perantara yang terinfeksi, maka terbentuk lagi berbagai stadium seksual di dalam sel epitel usus kecilnya. Bila hospes perantara mengandung kista jaringan Toksoplasma maka masa prapaten (sampai dikeluarkan ookista) adalah 3-5 hari, sedangkan bila kucing makan tikus yang mengandung takizoit, masa prapaten biasanya 5-10 hari. Tetapi bila ookista langsung tertelan oleh kucing, maka masa prapaten adalah 20-24 hari. Kucing lebih mudah terinfeksi oleh kista jaringan daripada oleh ookista. Di berbagai jaringan tubuh kucing juga ditemukan trofozoit dan kista jaringan. Pada manusia takizoit ditemukan pada infeksi akut dan dapat memasuki tiap sel yang berinti. Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan satu ujung yang runcing dan ujung lain yang agak membulat. Panjangnya 4-8 mikron dan mempunyai satu inti yang letaknya kira-kira di tengah. Takizoit pada manusia adalah parasit obligat intraselular. Takizoit berkembang biak dalam sel secara endodiogeni. Bila sel penuh dengan takizoit, maka sel menjadi pecah dan takizoit memasuki sel-sel di sekitarnya atau difagositosis oleh sel makrofag. Kista jaringan dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk dinding. Kista jaringan ini dapat ditemukan di dalam hospes seumur hidup terutama di otak, ototjantung, dan otot lurik. Di otak kista berbentuk lonjong atau bulat, sedangkan di otot kista mengikuti bentuk sel otot.



PATOGENESIS



,



Jika kista jaringan yang mengandung bradizoit atau ookista yang mengandung sporozoit tertelan oleh pejamu, maka parasit akan terbebas dari kista oleh proses pencemaan. Bradizoit resisten terhadap efek dari pepsin dan menginvasi traktus gastrointestinal pejamu. Di dalam eritrosit, parasit mengalami transfonnasi morfologi, akibatnyajumlah taluzoit invasif meningkat. Takizoit ini mencetuskan respon IgA sekretorik spesifik parasit. Dari traktus gastrointestinal, parasit kemudian menyebar ke berbagai organ, terutama jaringan limfatik, otot lurik, miokardium, retina, plasenta, dan SSP. Di tempat-tempat tersebut, parasit menginfeksi sel pejamu, bereplikasi, dan menginvasi sel yang berdekatan. Terjadilah proses yang khas yakni kematian sel dan nekrosis fokal yang dikelilingi respon inflamasi akut. Pada pejamu imunokompeten, baik imunitas humoral maupun seluler mengontrol infeksi. Respon imun terhadap takizoit bemacam-macam, termasuk induksi antibodi parasit, aktivasi makrofag dengan perantara radikal bebas, produksi interferon gamma, dan stimulasi limfosit T sitotoksik. Limfosit spesifik antigen ini mampu membunuh baik parasit ekstraselular maupun sel target yang terinfeksi oleh parasit. Selagi takizoit dibersihkan dari pejamu yang mengalami infeksi akut, kista jaringan yang mengandung bradizoit mulai muncul, biasanya di dalam SSP dan retina. Padapejamu imunokompromaisatau pada janin, faktor-faktor imun yang dibutuhkan untuk mengontrol penyebaran penyakit jumlahnya rendah. Akibatnya takizoit menetap dan penghancuran progresif berlangsung menyebabkan kegagalan organ (necrotizing encephalitis, pneumonia, dan miokarditis). Infeksi menetap dengan kista yang mengandung bradizoit biasa ditemukan pada pejamu imunokompeten. Infeksi ini biasanya menetap subklinis. Meski bradizoit menjalani fase metabolik lambat, kista tidak mengalami degenerasi dan ruptur di dalam SSP. Proses degeneratif ini bersamaan dengan perkembangan kista baru yang mengandung bradizoit merupakan sumber infeksi bagi individu imunokompromais dan merupakan stimulus untuk menetapnya titer antibodi pada pejamu imunokompeten. Pada pasien dengan keadaan imunokompromais seperti pada pasien HIVIAIDS, terjadi suatu keadaan adanya defisiensi imun yang disebabkan oleh defisiensi kuantitatif dan kualitatif yang progresif dari subset limfosit T yaitu T helper. Subset sel T ini digambarkan secara fenotip oleh ekspresi pada permukaan sel molekul CD4 yang bekerja sebagai reseptor sel primer terhadap HIV. Setelah beberapa tahun, jumlah CD4 akan turun di bawah level yang kritis (< 2001~1)dan pasien menjadi sangat rentan terhadap infeksi oportunistik. Walaupun demikian, dengan kontrol viremia plasma dengan terapi antiretroviral yang efektif, bahkan pada individu dengan CD4 yang sangat rendah, telah dapat meningkatkan survival meskipun jumlah CD4nya tidak meningkat secara signifikan.



Oleh karena itu infeksi oportunistik seperti Toxoplasma gondii mudah menyerang penderita HIVIAIDS yang tidak mendapatkan terapi antiretroviral yang efektif. Imunitas seluler menjadi sangat penting dalam mengontrol infeksi Toksoplasma dengan bantuan dari imunitas humoral. Interferon gamma dan Interleukin-12 (IL- 12) merupakan substansi pertahanan tubuh yang sangat penting untuk menghadapi infeksi. Interferon gamma menstimulasi aktivitas anti Tgondii, tidak hanya makrofag tetapi juga sel non fagosit. Produksi Interferon gamma dan IL- 12 distimulasi oleh CD 154 (diekspresikan pada sel CD4 yang teraktivasi) yang bertindak dengan menstimulasi sel dendritik dan makrofag untuk memproduksi IL- 12 dan produksi Interferon gamma oleh sel T. Pada pasien dengan demam yang berkepanjangan dan tubuh yang terasa lemah terdapat limfositosis,peningkatan sel T supresor dan penurunan ratio sel T helper-sel T supresor.Pada pasien ini memilikijumlah sel T helper yang lebih sedikit. Pada pasien dengan infeksi yang berat terjadi penurunan yang sangat drastis jumlah sel T helper dan ratio sel T helper dibanding dengan sel T supresor. Mekanisme timbulnya infeksi oportunistik dalam ha1 ini Toxoplasma gondii pada pasien HIVIAIDS sifatnya multipel. Mekanisme ini termasuk penurunan kadar sel CD4, gangguan produksi IL- 12 dan interferon gamma, serta gangguan hngsi limfosit T sitotoksik. Fungsi dan jumlah sel pertahanan tubuh pada pasien HIVIAIDS terutama IL-12, interferon gamma, serta sel CD154 yang menurun sebagai respons terhadap Toxoplasma gondii. Defisiensi sistem imun ini memegang peranan dalam timbulnya infeksi Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii dapat menular ke manusia melalui beberapa rute, yaitu: pada toksoplasmosis kongenital transmisi Toksoplasma kepada janin terjadi in utero melalui plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu ia hamil pada toksoplasmosis akuisita infeksi dapat terjadi, bila makan daging mentah atau kurang matang (misalnya sate), kalau daging tersebut mengandung kista jaringan atau takizoit Toksoplasma. Pa& orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang yang bekerja dengan binatang percobaan yang diinfeksi dengan i? gondii, melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang terkontaminasi dengan i? gondii. Wanita hamil tidak dianjurkan untuk bekerja dengan i? gondii yang hidup. Infeksi dengan i? gondii juga pemah terjadi waktu mengerjakan autopsi. infeksi dapat terjadi dengan transplantasi organ dari donor yang menderita toksoplasmosis laten. transfusi darah lengkap juga dapat menyebabkan infeksi.



Walaupun makan daging kurang matang merupakan cara transmisi yang penting untuk i? gondii, transmisi melalui ookista tidak dapat diabaikan. Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10juta butir ookista sehari selama 2 minggu. Ookista menjadi matang dalam waktu 1-5 hari dan dapat hidup lebih dari setahun di tanah yang panas dan lembab. Ookista mati pada suhu 45"-5S°C, jugamati bila dikeringkan atau bila bercampur formalin, amonia, atau larutan iodium. Transmisi inelalui bentuk ookista menunjukkan infeksi i? gondii pada orang yang tidak senang, makan daging atau terjadi pada binatang herbivora.



Kematian sel dan nekrosis fokal sebagai akibat replikasi takizoit menginduksi respon inflamasi mononukleus di semua jaringan atau sel yang khas terinfeksi. Takizoit jarang terlihat pada pewarnaan histopatologik rutin lesi inflamasi. Namun, pewamaan imunofluoresensi dengan antibodi spesifik antigen parasit dapat menampakkan organisme atau antigen. Sebaliknya, kista yang mengandung bradizoit hanya menyebabkan inflamasi pada tahap awal perkembangan. Saat kista mencapai maturitas, proses inflamasi tidak dapat terdeteksi lagi, dan kista menetap di otak sampai mengalami ruptur. Kelenjar Getah Bening (KGB) Selama terjadinya infeksi akut, biopsi KGB menunjukkan gambaran khas termasuk hiperplasia folikular dan kluster tidak beraturan makrofag jaringan dengan sitoplasma eosinofilik. Granuloma jarang ditemukan. Meski takizoit biasanya tidak terlihat, mereka dapat terlihat dengan subinokulasijaringan terinfeksi ke mencit atau dengan PCR. Mata Pada mata, infiltrat monosit, limfosit, dan sel plasma dapat menghasilkan lesi uni atau multifokal. Lesi granulomatosa dan korioretinitis dapat dilihat di bilik mata belakang mengikuti kejadian retinitis nekrotik akut. Komplikasi infeksi lainnya termasuk iridosiklitis,katarak, dan glaukoma.



SSP Jika SSP terlibat, dapat terjadi meningoensefalitis lokal maupun difus dengan ciri khas nekrosis dan nodul mikroglia. Ensefalitis nekrotikans pa& pasien tanpa AIDS memiliki ciri khas lesi difus berukuran kecil denganperivascular cufJing pada daerah berdekatan. Pada pasien AIDS, selain monosit, limfosit, dan sel plasma dapat pula ditemukan leukosit PMN. Kista mengandung bradizoit sering ditemukan bersebelahan dengan perbatasan jaringan nekrotik.



-



TROPIK INFEKSI



Paru Di antara pasien AIDS yang meninggal akibat toksoplasmosis, sekitar 40-70% memiliki keterlibatan pada jantung dan pprunya. Pneumonitis interstisial dapat terjadi pada neonatus dan pasien imunokompromais. Tampak penebalan dan edema septum alveolus yang terinfiltrasi dengan sel monondcleus dan sel plasma. Inflamasi ini dapat meluas ke dinding endotel. Takizoit dan kista yang mengandung bradizoit ditemukan pada membran alveolus. Bronkopneumonia superimposed dapat disebabkan oleh mikroba lain. Jantung Kista dan parasit yang mengalami agregasi di otot jantung ditemukan pada pasien AIDS yang meninggal akibat toksoplasmosis.Nekrosis fokal yang dikelilingi sel lnflamasi berhubungan dengan terjadinya nekrosis' hialin dan kekacauan struktur sel rniokardium. Perikarditis terjadi pada beberapa pasien. Lain-lain Otot lurik, pankreas, lambung, dan ginjal pasien AIDS dapat terlibat disertai nekrosis, invasi sel inflamasi, dan ditemukannya takizoit pada pewarnaan rutin (jarang). Lesi nekrosis besar dapat menyebabkan destruksi jaringan secara langsung. Efek sekunder infeksi akut organ-organ tersebut antara lain pankreatitis, miositis, dan glomerulonefritis.



GAMBARAN KLlNlS Setelah invasi yang biasanya terjadi di usus, maka parasit memasuki sel atau difagositosis. Sebagian parasit mati setelah difagositosis,sebagian lain berkembang biak dalam sel, menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang selsel lain. Dengan adanya parasit di dalam makrofag dan limfosit, maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh badan mudah terjadi. Parasitemia berlangsung selama beberapa minggu. T gondii dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah merah (tidak berinti). Kista jaringan dibentuk bila sudah ada kekebalan dan dapat ditemukan di berbagai alat dan jaringan, mungkin untuk seurnur hidup. Kerusakan yang terjadi pada jaringan tubuh, tergantung pada: 1). umur, pada bayi kerusakan lebih berat daripada orang dewasa; 2). virulensi strain Toksoplasma, 3). jumlah parasit, dan 4). organ yang diserang. Lesi pa& susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih berat dan permanen, oleh karena jaringan ini tidak mempunyai kemampuan untuk beregenerasi. Kelainan pada susunan saraf pusat berupa nekrosis yang disertai dengan kalsifikasi. Penyumbatan akuaduktus Sylvii oleh



karena ependimitis mengakibatkan hidrosefaluspada bayi. Pada infeksi akut di retina ditemukan reaksi peradangan fokal dengan edema dan infiltrasi leukosit yang dapat menyebabkan kerusakan total dan pada proses penyembuhan menjadi parut (sikatriks) dengan atrofi retina dan koroid, disertai pigmentasi. Di otot jantung dan otot bergaris dapat ditemukan T gondii tanpa menimbulkan peradangan. Di alat tubuh lainnya, seperti limpa dan hati, parasit ini lebih jarang ditemukan. Untuk kemudahan dalam penanganan klinis, toksoplasmosis dapat dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu : 1). Infeksi pada pasien imunokompeten (didapatl acquired, baru dan kronik); 2). Infeksi pada pasien imunokompromais (didapat dan reaktifitas); 3). Infeksi mata (okular); 4). Infeksi kongenital. lnfeksi Akut pada Pasien lmunokompeten Pada orang dewasa hanya 10-20% kasus toksoplasmosis yang menunjukkan gejala. Sisanya asimtomatik dan tidak sampai menimbulkan gejala konstitusional. Tersering adalah limfadenopati leher, tetapi mungkinjuga didapatkan pembesaran getah bening mulut atau pembesaran satu gugus kelenjar. Kelenjar-kelenjar biasanya terpisah atau tersebar, ukurannya jarang lebih besar dari 3 cm, tidak nyeri, kekenyalannya bervariasi dan tidak bernanah. Adenopati kelenjar mesentrial atau retroperitoneal dapat menyebabkan nyeri abdomen. Gejala dan tanda-tanda berikutnya yang mungkin dijurnpai adalah demam, malaise, keringat malam, nyeri otot, sakit tenggorok, eritema makulopapular, hepatomegali, splenomegali. Gambaran klinis umum seperti yang disebabkan infeksi virus mungkin juga dijumpai. Korioretinitis dapat terjadi pada infeksi akut yang baru, biasanya unilateral. Berbeda dengan korioretinitis bilateral pada toksoplasmosis kongenital. Perjalanan penyakit pada pasien yang imunokompeten seperti yang diterangkan terdahulu bersifat membatasi diri (selflimiting). Gejalagejala bila ada, menghilang dalam beberapa minggu atau bulan dan jarang di atas 12 bulan. Limfadenopati dapat bertambah atau menyusut atau menetap &lam waktu lebih dari satu tahun. Pada orang yang kelihatannya sehat,jarang sekali penyakit ini menjadi terbuka atau meluas mengancam maut. Karena manifestasi klinis toksoplasmosis tidak khas, diagnosis banding limfadenopati yang perlu diperhatikan antara lain tuberkulosis, limfoma, mononukleosis infeksiosa, infeksi virus sitomegalo, penyakit gigitan kucing (cat bite fever, tularemia), penyakit cakaran kucing (cat scratch fever), sarkoidosis, dan sebagainya. Toksoplamosis yang melibatkan banyak organ tubuh dapat menyerupai gambaran penyakit hepatitis, miokarditis, polimiositis dengan penyebab lain atau demam berkepanjangan yang tidak diketahui sebabnya (F.U.0). Amat disayangkan bahwa limfadenopati kurang banyak diingat sebagai diagnosis banding, padahal



Oleh karena itu infeksi oportunistik seperti Toxoplasma gondii mudah menyerang penderita HIVIAIDS yang tidak mendapatkan terapi antiretroviral yang efektif. Imunitas seluler menjadi sangat penting dalam mengontrol infeksi Toksoplasma dengan bantuan dari imunitas humoral. Interferon gamma dan Interleukin-12 (IL- 12) merupakan substansi pertahanan tubuh yang sangat penting untuk menghadapi infeksi. Interferon gamma menstimulasi aktivitas anti Tgondii, tidak hanya makrofag tetapi juga sel non fagosit. Produksi Interferon gamma dan IL- 12 distimulasi oleh CD 154 (diekspresikan pada sel CD4 yang teraktivasi) yang bertindak dengan menstimulasi sel dendritik dan makrofag untuk memproduksi IL-12 dan produksi Interferon gamma oleh sel T. Pada pasien dengan demam yang berkepanjangan dan tubuh yang terasa lemah terdapat limfositosis,peningkatan sel T supresor dan penurunan ratio sel T helper-sel T supresor. Pada pasien ini memiliki jumlah sel T helper yang lebih sedikit. Pada pasien dengan infeksi yang berat terjadi penurunan yang sangat drastis jumlah sel T helper dan ratio sel T helper dibanding dengan sel T supresor. Mekanisme timbulnya infeksi oportunistik dalam ha1 ini Toxoplasma gondii pada pasien HIVIAIDS sifatnya multipel. Mekanisme ini termasuk penurunan kadar sel CD4, gangguan produksi IL-12 dan interferon gamma, serta gangguan fungsi limfosit T sitotoksik. Fungsi dan jumlah sel pertahanan tubuh pada pasien HIVIAIDS terutama IL- 12, interferon gamma, serta sel CD154 yang menurun sebagai respons terhadap Toxoplasma gondii. Defisiensi sistem imun ini memegang peranan dalarn timbulnya infeksi Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii dapat menular ke manusia melalui beberapa rute, yaitu: pada toksoplasmosis kongenital transmisi Toksoplasma kepada janin terjadi in utero melalui plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu ia hamil pada toksoplasmosis akuisita infeksi dapat terjadi, bila makan daging mentah atau kurang matang (misalnya sate), kalau daging tersebut mengandung kista jaringan atau takizoit Toksoplasma. Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang yang bekerja dengan binatang percobaan yang diinfeksi dengan T. gondii, melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang terkontarninasi dengan T gondii. Wanita hamil tidak dianjurkan untuk bekerja dengan T. gondii yang hidup. Infeksi dengan T. gondii juga pernah terjadi waktu mengerjakan autopsi. infeksi dapat terjadi dengan transplantasi organ dari donor yang menderita toksoplasmosis laten. transfusi darah lengkap juga dapat menyebabkan infeksi.



Walaupun makan daging kurang matang merupakan cara transmisi yang penting untuk T. gondii, transmisi melalui ookista tidak dapat diabaikan. Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10juta butir ookista sehari selama 2 minggu. Ookista menjadi matang dalam waktu 1-5 hari dan dapat hidup lebih dari setahun di tanah yang panas dan lembab. Ookista mati pada suhu 45"-55"C, juga mati bila dikeringkan atau bila bercampur formalin, amonia, atau larutan iodium. Transmisi ~nelaluibentuk ookista menunjukkan infeksi T. gondii pada orang yang tidak senang, makan daging atau terjadi pada binatang herbivora.



Kematian sel dan nekrosis fokal sebagai akibat replikasi takizoit menginduksi respon inflamasi mononukleus di semua jaringan atau sel yang khas terinfeksi. Takizoit jarang terlihat pada pewarnaan histopatologik rutin lesi inflamasi. Namun, pewarnaan imunofluoresensi dengan antibodi spesifik antigen parasit dapat menampakkan organisme atau antigen. Sebaliknya, kista yang mengandung bradizoit hanya menyebabkan inflamasi pada tahap awal perkembangan. Saat kista mencapai maturitas, proses inflamasi tidak dapat terdeteksi lagi, dan kista menetap di otak sampai mengalami ruptur. Kelenjar Getah Bening (KGB) Selama terjadinya infeksi akut, biopsi KGB menunjukkan gambaran khas temasuk hiperplasia folikular dan kluster tidak beraturan makrofag jaringan dengan sitoplasma eosinofilik. Granuloma jarang ditemukan. Meski takizoit. biasanya tidak terlihat, mereka dapat terlihat dengan subinokulasijaringan terinfeksi ke mencit atau dengan PCR. Mata Pada mata, infiltrat monosit, limfosit, dan sel plasma dapat menghasilkan lesi uni atau multifokal. Lesi granulomatosa dan korioretinitis dapat dilihht di bilik mata belakang mengikuti kejadian retinitis nekrotik akut. Komplikasi infeksi lainnya termasuk iridosiklitis, katarak, dan glaukoma.



SSP Jika SSP terlibat, dapat terjadi meningoensefalitis lokal maupun difus dengan ciri khas nekrosis dan nodul mikroglia. Ensefalitis nekrotikans pada pasien tanpa AIDS memiliki ciri khas lesi difus berukuran kecil denganperivascular cuffing pada daerah berdekatan. Pada pasien AIDS, selain monosit, limfosit, dan sel plasma dapat pula ditemukan leukosit PMN. Kista mengandung bradizoit sering ditemukan bersebelahan dengan perbatasan jaringan nekrotik.



Paru Di antara pasien AIDS yang meninggal akibat toksoplasmosis, sekitar 40-70% memiliki keterlibatan pada jantung dan p w y a . Pneurnonitis interstisial dapat terjadi pada neonatus dan pasien imunokompromais. Tampak penebalan dan edema septum alveolus yang terinfiltrasi dengan sel mononukleus clan sel plasma. Inflamasi ini dapat meluas ke dinding endotel. Takizoit dan kista yang mengandung bradizoit ditemukan pa4a membran alveolus. Bronkopneumonia superimposed dapat disebabkan oleh mikroba lain. Jantung Kista dan parasit yang mengalami agregasi di otot jantung ditemukan pada pasien AIDS yang meninggal akibat toksoplasmosis. Nekrosis fokal yang dikelilingi sel inflarnasi berhubungan dengan terjadinya nekrosis hialin dan kekacauan struktur sel miokardium. Perikarditis terjadi pada beberapa pasien. Lain-lain Otot lurik, pankreas, lambung, clan ginjal pasien AIDS dapat terlibat disertai nekrosis, invasi sel inflamasi, dan ditemukannyatakizoit pada pewarnaan rutin (jarang). Lesi nekrosis besar dapat menyebabkan destruksi jaringan secara langsung. Efek sekunder infeksi akut organ-organ tersebut antara lain pankreatitis, miositis, dan glomerulonefiitis.



GAMBARAN KLlNlS Setelah invasi yang biasanya terjadi di usus, maka parasit memasuki sel atau difagositosis. Sebagian parasit mati setelah difagositosis, sebagian lain berkembang biak dalam sel, menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang selsel lain. Dengan adanya parasit di dalam makrofag dan limfosit, makapenyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh badan mudah terjadi. Parasitemia berlangsung selama beberapa minggu. T gondii dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah merah (tidakberinti). Kista jaringan dibentuk bila sudah ada kekebalan dan dapat ditemukan di berbagai alat dan jaringan, mungkin untuk seumur hidup. Kemsakan yang terjadi pada jaringan tubuh, tergantung pada: 1). umur, pada bayi kemsakan lebih berat daripada orang dewasa; 2). virulensi strain Toksoplasma, 3). jumlah parasit, dan 4). organ yang diserang. Lesi pa& susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih berat dan permanen, oleh karena jaringan ini tidak mempunyai kemampuan untuk beregenerasi. Kelainan pada susunan saraf pusat berupa nekrosis yang disertai dengan kalsifikasi. Penyumbatan akuaduktus Sylvii oleh



karena ependimitis mengakibatkan hidrosefalus pada bayi. Pada infeksi akut di retina ditemukan reaksi peradangan fokal dengan edema dan infiltrasi leukosit yang dapat menyebabkan kerusakan total dan pada proses penyembuhan menjadi parut (sikatriks) dengan atrofi retina dan koroid, disertai pigmentasi. Di otot jantung dan otot bergaris dapat ditemukan T gondii tanpa menimbulkan peradangan. Di alat tubuh lainnya, seperti limpa dan hati, parasit ini lebih jarang ditemukan. Untuk kemudahan dalam penanganan klinis, toksoplasmosis dapat dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu : 1). Infeksi pada pasien imunokompeten (didapatl acquired, baru dan kronik); 2). Infeksi pada pasien imunokompromais (didapat dan reaktifitas); 3). Infeksi mata (okular);4). Infeksi kongenital. lnfeksi Akut pada Pasien lmunokompeten Pada orang dewasa hanya 10-20% kasus toksoplasmosis yang menunjukkan gejala. Sisanya asimtomatik dan tidak sampai menimbulkan gejala konstitusional. Tersering adalah limfadenopati leher, tetapi mungkin juga didapatkan pembesaran getah bening mulut atau pembesaran satu gugus kelenjar. Kelenjar-kelenjar biasanya terpisah atau tersebar, ukurannya jarang lebih besar dari 3 cm, tidak nyeri, kekenyalannya bervariasi dan tidak bernanah. Adenopati kelenjar mesentrial atau retroperitoneal dapat menyebabkan nyeri abdomen. Gejala dan tanda-tanda berikutnya yang mungkin dijumpai adalah demam, malaise, keringat rnalam, nyeri otot, sakit tenggorok, eritema makulopapular, hepatomegali, splenomegali. Gambaran klinis umum seperti yang disebabkan infeksi virus mungkin juga dijumpai. Korioretinitis dapat terjadi pada infeksi akut yang baru, biasanya unilateral. Berbeda dengan korioretinitis bilateral pada toksoplasmosiskongenital. Perjalanan penyakit pada pasien yang imunokompeten seperti yang diterangkan terdahulu bersifat membatasi diri (selflimiting). Gejalagejala bila ada, menghilang dalam beberapa minggu atau bulan dan jarang di atas 12 bulan. Limfadenopati dapat bertambah atau menyusut atau menetap dalam waktu lebih dari satu tahun. Pada orang yang kelihatannya sehat,jarang sekali penyakit ini menjadi terbuka atau meluas mengancam maut. Karenamanifestasi klinis toksoplasmosis tidak khas, diagnosis banding limfadenopati yang perlu diperhatikan antara lain tuberkulosis, limfoma, mononukleosis infeksiosa, infeksi virus sitomegalo, penyakit gigitan kucing (cat bite fever, tularemia), penyakit cakaran kucing (cat scratch fever), sarkoidosis, dan sebagainya. Toksoplamosis yang melibatkan banyak organ tubuh dapat menyerupai gambaran penyakit hepatitis, miokarditis,polimiositis dengan penyebab lain atau demam berkepanjangan yang tidak diketahui sebabnya (F.U.0). Amat disayangkan bahwa limfadenopati kurang banyak diingat sebagai diagnosis banding, padahal



toksoplasmosis merupakan 7- 10% dari limfadenopati yang klinis jelas. Titer tes serologi untuk diagnosis toksoplasmosis akut biasanya didapatkan sesudah biopsi kelenjar yang dicurigai sebagai toksoplasmosis. lnfeksi Akut Toksoplasmosis pada Pasien lmunokompromais Pasien imunokompromais mempunyai risiko tinggi untuk mengidap toksoplasmosis yang berat dan sering fatal akibat infeksi baru maupun reaktifitas. Penyakitnya dapat berkembang dalam berbagai bentuk penyakit susunan saraf pusat seperti ensefalitis, meningoensefalitis atau space occupiying lesion (SOL). Selanjutnya dapat pula miokarditis atau pneumonitis, pada transplantasi jantung toksoplasmosis timbul pada pasien seronegatif yang menerima jantung dari donor yang seropositif, dan nlanifestasinya dapat menyerupai rejeksi organ seperti yang terbukti dengan biopsi endomiokard. Penemuan lain ialah bahwa pasien yang menerima jantung dari donor seropositif menunjukkan titer antibodi IgM dan IgG yang meningkat sesudah transplantasi. Pada pasien dengan transplantasi sumsum tulang, toksoplasmosis timbul sebagai akibat reaktivitas infeksi yang laten. Pada pasien HIV, manifestasi klinis terjadi bila jumlah limfosit CD4 < 100lml. Manifestasi klinis yang tersering pada pasien HIVIAIDS adalah ensefalitis. Ensefalitis terjadi pada sekitar 80% kasus. Rabaud et al. menunjukkan bahwa selain otak terdapat beberapa lokasi lain yang sering terkena, yaitu mata (50%), paru-paru (26%), darah tepi (3%), jantung (3%), sumsum tulang (3%), dan kandung kemih (1%). Pada pasien dengan ET, gejala-gejala yang sering terjadi adalah gangguan mental (75%), defisit neurologik (70%), sakit kepala (50%),demam (45%),tubuh terasa lemah serta gangguan nervus kranialis. Gejala lain yang juga sering terdapat yaitu gejala parkinson, focal dystonia, rubral tremor, hemikorea-hemibalismus, dan gangguan pada batang otak. Medula spinalis juga dapat terkena dengan gejala seperti gangguan motorik dan sensorik di daerah tungkai, gangguan berkemih d m defekasi. Onset dari gejala ini biasanya subakut. Pneumonitis akibat Toxoplasma gondii juga makin meningkat akibat kurangnya penggunaan obat antiretroviral serta profilaksis pengobatan toksoplasma pada penderita HIVIAIDS. Pneumonitis ini biasanya terjadi pada pasien dengan gejala AIDS yang sudah lanjut dengan gejala demam yang berkepanjangan dengan batuk dan sesak nafas. Gejala klinis tersebut kadang susah dibedakan dengan pneumonia akibat Pneumocystis carinii dengan angka kematian sekitar 35% meski sudah diterapi dengan baik. Gejala lain yang juga sering timbul adalah gangguan pada mata. Biasanya timbul korioretinitis dengan gejala seperti penurunan tajam penglihatan, rasa nyeri pada mata,



melihat benda berterbangan, serta fotofobia. Pada pemeriksaan funduskopik terdapat daerah nekrosis yang multifokal atau bilateral. Keterlibatann. Optikus tejadi pada 10% kasus. Gejala klinis lain yang jarang timbul pada pasien HIVI AIDS dengan toksoplasmosis yaitu panhipopituari dan diabetes insipidus, gangguan gastrointestinal dengan nyeri perut, asites, serta diare. Gaga1 hati akut dan gangguan muskuloskeletal juga dapat timbul. Kegagalan multiorgan dapat terjadi dengan manifestasi klinis gaga1 nafas akut serta gangguan hemodinamik yang menyerupai syok sepsis. Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan pembesaran KGB yang kenyal, tidak nyeri, berkonfluens, clan paling sering timbul di daerah servikal. Pemeriksaan fisik lain biasanya menunjukkan low grade fever, hepatosplenomegali d m timbul rush pada kulit. Pada pemeriksaan hduskopik menunjukkan multipleyellowish white,bercak menyerupai wol dengan batas yang tidak jelas di daerah kutub posterior. Pada ET pemeriksaan fisik yang mendukung adalah gangguan status mental, kejang, kelemahan otot, ganggguan nervus kranialis, tanda-tanda gangguan serebelum,meningismus, serta movement disorder. Sebenarnya dalam klinik dewasa, toksoplasmosis ini sangat underdiagnosed pada pasien-pasien imunokompromais. Hal ini terlihat dari banyaknya kasuskasus yang terdiagnosis pada beberapa institusi, besarnya jumlah kasus positif pada laporan-laporan otopsi, dan dari persentase toksoplasma yang non spesifik dan beraneka ragam ini. Infeksi akut susunan saraf pusat hams dibedakan dengan meningoensefalitis oleh penyebab lainnya seperti herpes simpleks, fungus dan tuberkulosis, abses otak, lupus, dan sebagainya. Pada pasien imunokompromais, bila ditemukan pleiositosis mononuklear dengan kadar protein tinggi, tanda-tanda adanya bakteri atau fungus perlu dipertimbangkanadanya toksoplasmosis. Toksoplasmosis Mata Pada Orang Dewasa Infeksi toksoplasma menyebabkan korioretinitis. Bagian terbesar kasus-kasus korioretinitis ini merupakan akibat infeksi kongenital. Pasien-pasien ini biasanya tidak menunjukkan gejala-gejalasampai usia lanjut. Korioretinitis pada infeksi baru bersifat khas unilateral, sedang korioretinitis yang terdiagnosis waktu lahir khasnya bilateral. Gejala-gejala korioretinitis akut adalah :penglihatan kabur, skotoma, nyeri, fotofobia dan epifora. Gangguan atau kehilangan sentralterjadi bila terkena rnakula. Dengan membaiknya peradangan, visus pun membaik, namun sering tidak sempurna. Panuveitis dapat menyertai korioretinitis. Papilitis dapat ditemukan apabila ada kelainan susunan saraf pusat yang jelas. Diagnosis banding adalah tuberkulosis, sifilis, lepra, atau histoplasmosis.



-



lnfeksi Kongenital



antaranya memiliki IgM positif saat diperiksa dalam 4 bulan setelah onset limfadenopati. 22% di antaranya tetap positif saat diperiksa lebih dari 12 tahun setelah onset. Pada beberapa kasus, IgM reaktif tidak dapat terdeteksi. Anti-IgE immunosorbent agglutination assay diduga merupakan pemeriksaan yang lebih akurat untuk mendeteksi toksoplasmosis akut. Namun, pemeriksaan ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Pemeriksaan CT Scan otak pada pasien dengan ensefalitis toksoplasma (ET) menunjukkan gambaran menyerupai cincin yang multipel pada 7040% kasus. Pada pasien dengan AIDS yang telah terdeteksi dengan IgG Toxoplasnza gondii dan gambaran cincin yang multipel pada CT Scan sekitar 80% merupakan TE. Lesi tersebut terutama berada pada ganglia basal dan corticomedullary junction. MRI merupakan prosedur diagnostik yang lebih baik dari CT Scan dan sering menunjukkan lesi-lesi yang tidak terdeteksi dengan CT Scan. Oleh karena itu MRI merupakan prosedur baku bila memungkinkan terutama bila pada CT Scan menunjukkan gambaran lesi tunggal. Namun gambaran yang terdapat pada MRI dan CT Scan tidak patognomonik untuk ET. Salah satu diagnosis banding yang penting adalah limfoma dengan lesi multipel pada 40% kasus. Pengapman Polymerase Chain Reaction (PCR) dalarn mendeteksi Toxoplasma gondii telah digunakan dewasa ini. Dengan teknik ini dapat dibuat diagnosis dini yang cepat dan tepat untuk toksoplasmosis kongenital prenatal dan postnatal dan infeksi toksop!asmosis akut pada wanita hamil dan penderita imunokompromais. Spesimen tubuh yang digunakan adalah cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal,cairan amnion, dan darah. Jose E Vidal et a1 mendapatkan bahwa PCR memiliki sensitivitas yang tinggi yaitu 100% dengan spesifitas 94,4%. Lamoril J et a1 menunjukkan bahwa PCR memiliki spesifitas yang rendah (16%) bila bahan yang diambil berasal dari darah. PCR juga menjadi negatif apabila sebelum dilakukan PCR pasien telah diberikan pengobatan.



Toksoplasmosis yang didapat dalam kehamilan dapat bersifat asimtomatik atau dapat memberikan gejala setelah lahir. Risiko toksoplasmosis kongenital bergantung pada saat didapatnya infeksi akut ibu. Transmisi T gondii meningkat seiring dengan usia kehamilan (15-25% dalam trimester I, 30-54% dalam trimester 11, 60-65% dalam trimester 111). Sebaliknya, derajat keparahan penyakit kongenital meningkat jika infeksi terjadi pada awal kehamilan. Tanda-tanda infeksi saat persalinan ditemukan pada 21-28% dari mereka yang terinfeksi pada trimester 11, dan kurang dari 11% pada trimester 111.Ringkasnya, 10% mengalami infeksi berat. Manifestasi klinis toksoplasmosis kongenital termasuk strabismus, korioretinitis, ensefalitis, mikrosefalus, hidrosefalus, retardasi pslkomotor, kejang, anemia, ikterus, hipotemia, trombositopenia, diare, dan pneumonitis. Trias karakteristik yang terdiri dari hidrosefalus, kalsifikasi serebral, dan korioretinitis berakibat retardasi mental, epilepsi, dan gangguan penglihatan. Hal ini merupakan bentuk ekstrim dan paling berat dari penyakit mi. Korioretinitis pada pasien imunokompeten hampir selalu akibat sekunder dari infeksi kongenital. Diperkirakan 213 individu dengan infeksi kongenital asimtomatik mengalami korioretinitis dalam hidupnya (biasanya dalam 4 dekade). Lebih dari 30% mengalami relaps setelah terapi.



DIAGNOSIS



Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dipastikan bila menemukan takizoit &lam biopsi otak atau sumsum tulang, cairan serebrospinal dan ventrikel. Tetapi dengan cara pulasan yang biasa takizoit sukar ditemukan dalam spesimen ini. Isolasi parasit dapat dilakukan dengan inokulasi pada mencit, tetapi ha1 ini memerlukan waktu lama. Isolasi parasit dari cairan badan menunjukkan adanya infeksi akut, tetapi isolasi darijaringan hanya menunjukkan adanya kista dan tidak memastikan adanya infeksi akut. Tes serologi dapat menunjang diagnosis toksoplasmosis. Tes yang dapat dipakai adalah tes warna Sabin Feldman (Sabin-Feldman dye test) dan tes hemaglutinasi tidak langsung (IHA), untuk deteksi antibodi IgG, tes zat anti fluoresen tidak langsung (IFA), dan tes ELISA untuk deteksi antibodi IgG dan IgM. Tes Sabin-Feldman didasarkan oleh rupturnya T gondii yang hidup dengan antibodi spesifik dan komplemen di dalam serum yang diperiksa. Pemeriksaan ini masih merupakan rujukanpemeriksaan serologi.Hasil serologi menjadi positif dalam 2 minggu setelah infeksi, dan menurun setelah 1-2 tahun. . Serologi IgG banyak digunakan untuk infeksi lama. Awalnya IgM muncul terlebih dahulu sebelum IgG, kemudian menurun cepat, dan merupakan petanda infeksi dini. Pada kasus limfadenopati toksoplasmosis, 90% di



PENATALAKSANAAN



,.



Obat-obat yang dipakai sampai saat ini hanya membunuh bentuk takizoit T gondii dan tidak membasmi bentuk kistanya, sehingga obat-obat ini dapat memberantas infeksi akut, tetapi tidak dapat menghilangkan infeksi menahun, yang dapat menjadi aktif kembali. Pirimetamin dan sulfonamid bekerja secara sinergistik, maka dipakai sebagai kombinasi selama 3 minggu atau sebulan. Pirimetamin menekan hemopoiesis dan dapat menyebabkan trombositopenia dan leukopenia. Untuk mencegah efek sampingan ini, dapat ditambahkan asam falinik atau ragi. Pirimetamin bersifat teratogeruk,maka obat ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil.



Pirimetamin diberikan dengan dosis 50-75 mg sehari untuk dewasa selam 3 hari dan kemudian dikurangi menjadi 25 mg sehari (0,5- 1mg/kgBB/hari) selama beberapa minggu pada penyakit berat. Karena half-lifenya adalah 4-5 hari, pirimetamin dapat diberikan 2 kalihari atau 3-4 kali sekali. Asam folinik diberikan 2-4 mg sehari. Sulfonamide dapat menyebabkan trombositopenia dan hematuria, diberikan dengan dosis 50- 100 mglkgBB1hari selama beberapa minggu atau bulan. Spiramisin adalah antibiotika makrolid, yang tidak menembus plasenta, tetapi ditemukan dengan konsentrasi tinggi di plasenta. Spiramisin diberikan dengan dosis 100 mgkgBBhari selama 30-45 hari. Obat ini dapat diberikan pada wanita hamil yang mendapat infeksi primer, sebagai obat profilaktik untuk mencegah transmisi T. gondii ke janin dalam kandungannya. Klindamisin efektif untuk pengobatan toksoplasmosis, tetapi dapat menyebabkan kolitis pseudomembranosa atau kolitis ulserativa, maka tidak dianjurkan untuk pengobatan mtin pada bayi dan wanita hamil. Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi peradangan pada mata, tetapi tidak dapat diberikan sebagai obat tunggal. Obat makrolid lain yang efektif terhadap T. gondii adalah klaritromisin dan azitromisin yang diberikan bersama pirimetamin pada penderita AIDS dengan ensefalitis toksoplasma. Obat yang bam adalah hidroksinaftokuinon (atovaquone) yang bila dikombinasi dengan sulfadiazin atau obat lain yang aktif terhadap I: gondii, dapat membunuh kista jaringan pada mencit. Tetapi hasil penelitian pada manusia masih ditunggu. Toksoplasmosis akuisita yang asimtomatik tidak perlu diberikan pengobatan. Penderita imunokompromais (AIDS, keganasan) yang terjangkit toksoplasmosis akut hams diberi pengobatan. lnfeksi pada Kehamilan dan Kongenital Pada toksoplasmosis kehamilan, pengobatan dapat ditujukan untuk ibu, janin, atau bayi baru lahir. Spiramisin merupakan antibiotik makrolid yang terkonsentrasi di plasenta, sehingga mengurangi infeksi plasenta sebesar 60%. Obat ini tidak secara terus-menems melalui barier plasenta dan digunakan untuk mengurangi transmisi vertikal. Spiramisin 3 g/hari dalam dosis terbagi 3 selama 3 minggu diberikan pada wanita hamil yang mengalami infeksi akut sejak diagnosis ditegakkan hingga kelahiran, kecuali terbukti terjadi infeksi pada janin. Pada kasus demikian, regimen terapi diubah ke sulfadiazin 4 g dan pirimetamin 25 mg, serta asam folat 15 mghari hingga persalinan. Risiko mengidap penyakit serius pada kehamilan dini membawa risiko efek teratogenik antifolat. Semua bayi baru lahir yang terinfeksi hams mendapat pengobatan anti I: gondii (sulfadiazin 50 mglkg 2 kali per hari dan pirimetamin 1 mg/kgBBhari, serta asam folat 5 mgkgBBhari selama sedikitnya 6 bulan). Belum ada pengobatan yang menurunkan angka kejadian



korioretinitis. Untuk memastikan terjadinya infeksi janin, diperlukan pemeriksaan USG dan cairan amnion untuk pemeriksaan PCR dan kultur I: gondii. Pengambilan darahjanin dengan kordosentesis telah sering digunakan untuk mendeteksi antibodi janin dan kultur I: gondii. Pengakhiran kehamilan biasanya ditawarkan pada wanita dengan serokonversi dalam 8 minggu pertama kehamilan dan mereka yang mengalami infeksi dalam 22 minggu pertama jika infeksi janin terbukti. Pendekatan yang lebih konservatif untuk menganjurkan aborsi adalah hanya jika pada USG didapat hidrosefalus, meski hanya kasus dalam presentasi kecil mengalami gangguan neurologik pada saat lahir. lnfeksi pada Pasien lmunokompromais Pasien AIDS hams diterapi untuk toksoplasmosisnya, karena pada pasien imunokompromais infeksi dapat menjadi fatal bila tidak diobati. Regimen untuk pasien dengan ensefalitis adalah pirimetamin (dosis awa1200 mg, lanjutan 50-75 mghari) dan sulfadiazin (4-6 ghari dosis terbagi 4) selama 4-6 minggu sampai tampak perbaikan radiologik. Leucovorin (calcium folinate, 10-15 mghari) diberikan untuk pencegahan toksisitas sumsum tulang berkaitan dengan pirimetamin. Baik pirimetamin maupun sulfadiazin melewati sawar darah-otak. Komplikasi obat ini antara lain gangguan hematologik, kristaluria, hematuria, batu ginjal radiolusen, dan nefrotoksisitas. Pirimetamin dan sulfadiazin hanya aktif untuk takizoit, sehingga pada pasien imunokompromais terapi awal hams diberikan selama 4-6 minggu. Merekajuga hams mendapat terapi supresif seumur hidup dengan pirimetamin (25-50 mglhari) dan sulfadiazin (2-4 ghari). Jika sulfadiazintidak dapat ditoleransi, kombinasi pirimetamin (75 mghari) dan klindamisin (450 mg 3 kali per hari) dapat digunakan. Dapsone (diaminodiphenylsulfone) merupakan alternatif efektif pengganti sulfadiazin karena memiliki waktu paruh lebih lama dan berkurangnya toksisitas. Spiramisin diberikan untuk mengurangi transmisi plasenta. Klindamisin diabsorbsi baik oleh saluran cerna dan kadar puncak dalam serum tercapai 1-2 jam setelah pemberian. Kombinasi pirimetamin oral (25-75 mglhari) beserta klindamisin intravena (1200-4800 mghari) terbukti efektif untuk pasien AIDS dengan ensefalitistoksoplasmosis. Efek samping klindamisin termasuk mual, muntah, netropenia, ruam, dan kolitis pseudomembranosa. Penelitian menunjukkan bahwa makrolid tunggal tidak efektif, namun kombinasi pirimetamin dan klaritromisin tampaknya efektif. Atovaquone (750 mg 3-4 kali per hari) merupakan pilihan bagi mereka yang intoleransi obat lain. Glukokortikoid dapat digunakan untuk terapi edema intraserebral. Antikonvulsan kadang diperlukan untuk mengatasi kejang, namun harus diperhatikan interaksi potensial antara sulfadiazin dan fenitoin. Regimen kotrimoksazol atau dapson beserta pirimetamin dengan



TROPIK llVFEKSl



leukovorip dapat mencegah perkembangan ensefalitispada pasien HIV dengan seropositif I: gondii setelah jumlah limfosit CD4 berkurang hingga mencapai 100/ul.



Toksoplasmosis pada pasien imunodefisiensi mempunyai prognosis yang buruk.



REFERENSI Toksoplasmosis dapat dicegah di tiga tingkatan yang berbeda: pencegahan infeksi primer * pencegahan transmisi vertikal dalam penyakit kongenital pencegahan penyakit pada individu yang imunokompromais Untuk mencegah infeksi primer, pajanan parasit dapat dikurangi dengan edukasi kesehatan. Faktor risiko utama adalah makan daging belum matang Cjarang) dan hidup bersama kucing. Kistajaringan dalam daging tidak infektif lagi bila sudah dipanaskan sampai 66°C atau diasap. Setelah memegang daging mentah Cjagal, tukang masak), sebaiknya tangan dicuci bersih dengan sabun. Makanan hams ditutup rapat supaya tidak dijamah lalat atau lipas. Sayur-mayur sebagai lalap hams dicuci bersih atau dimasak. Kucing peliharaan sebaiknya diberi makanan matang dan dicegah berburu tikus dan burung. Saat ini belum tersedia vaksin untuk mencegah toksoplasmosis. Imunitas maternal akibat toksoplasmosis yang diturunkan sebelum terjadi konsepsi melindungijanin dari infeksi. Pasien imunokompromais yang mendapat kotrimoksazol sebagai profilaksis untuk infeksi pneumosistis juga terlindungi dari toksoplasmosis. Serologi IgG untuk I: gondii hams dilakukan pasien sebelum dilakukannya transplantasi organ. Transplantasi organ padat dari donor seropositif ke resipien seronegatif hams dihindari. Jika transplantasi seperti itu dilakukan, maka resipien harus mendapat terapi anti I: gondii setidaknya selama 2 bulan. Individu dengan HIV dan yang memiliki seronegatif hams dihindari dari pajanan dengan parasit. Skrining maternal masih merupakan kontroversi. Skrining serologik ditujukan untuk mendeteksi infeksi maternal akut. Namun, kadang sulit untuk menentukan apakah benar terjadi infeksi maternal akut dan janin. Saat diagnosis infeksi akut ditegakkan pada wanita hamil, terapi anti T gondii dan pemeriksaan lanjutan atas kemungkinan infeksi pada janin diberikan, dan aborsi ditawarkan.



PROGNOSIS Toksoplasma akut untuk pasien imunokompeten mempunyai prognosis yang baik. Toksoplasmosis pada bayi dan janin dapat berkembang menjadi retinokoroiditis. Toksoplasmosis kronik asimtomatik dengan titer antibodi yang persisten, umurnnya mempunyai prognosis yang baik I dan berhubungan erat dengan imunitas seseorang.



Carlos S Subauste. Toxoplasmosis and HIV. University of Cincinnati College o f Medicine. HIV Insite. Knowledge Base Chapter.January. 2004. Diakses dari www.hivinside.com pada tanggal 16 September 2005. Cohen 0 , Weissman D, Fauci AS. The immunopathogenesis of HIV infection. In: Paul WE, ed. Fundamental Immunology. Philadelphia: Lippincott-Raven, 1999:1455-1509. Ezpinosa, Luis. Toxoplasmosis. In : HIV/AIDSPrimary Guide. FloridaICarribean AIDS Education and Training Center. Florida. USA. 2005; Chapter 11-section 6. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus (HIV): AIDS and Related disorders. In: Braunwald, et.al (Eds). Hamson's Principles of Internal Medicine 15th ed. New York: McGraw-Hill; 2001: 1852-1913. Frenkel JK. Toxoplasmosis. Hunter's London, WB Saunders. 7 th ed 1991: 200-2 Ganda Husada S, Sutanto I. Kumpulan makalah Simposium Toxoplasmosis. 1990. Gandahusada S. Toxoplasma gondii. Dalam: Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2000: 153-161. Jones JL, Hanson DL,Dworkin MS. Survailance for AIDS-defining Oportunistic IIlnesses, 1992- 1997. MMWR CDC Surveil1 Summ. 1999. Apr;48(2): 1-22. Jose E Vidal, Fabio A Colombo, Roberto Foccacia. PCR Assay Using Cerebrospinal fluid for Diagnosis of Cerebral Toxoplasmosis in Brazilian AIDS Patient. Journal o f Clinical Microbiology. October 2004. Vol. 42, No 10; p4765-4768. Juwono R. Perkembangan diagnosis dan indikasi pengobatan toksoplasmosis. Dalam Jotas : Alkatiri J, Akil Ham ed : Naskah Lengkap KOPAPDI VII jilid 111. Ujung Pandang, Agustus 1987.p. ' 124-32. Kasper LH. Toxoplasma Infection. In: Braunwald, et.al (Eds). Harrison's Principles of Internal Medicine 15th ed. New York: McGraw-Hill; 200 1: 1222-1226. Lamoril J, Molina JM. Detection by PCR of Toxoplasma gondii in blood in the Diagnosis of Cerebral Toxoplasmosis in Patients with AIDS. Journal Clinical Pathology. January. 1996. 49(1):89-92. Mathew MJ, Chandy MJ. Central nervous system toxoplasmosis in acquired immunodeficincy syndrome : An emerging disease in India. Neurol India 1999; 47: 182-7. Mcleod R. Remington, JS. Dalam : Hamson's Principles of Internal Medicine 11th edition. New York. Mc. Grawhill. I988 : 791-7 Nelwan RHH, Kusharyono, Daldiyono, Soemarsono. Toxoplasmosis in Indonesia. Acta Med. Indones. 1975; 36. Nicole and Manceauk. Toxoplasma. Dalam : Manson's Tropical Disease. Ed Balliere-Tindal London, 17 th edition. 1980; 148-52, 886-7. Rabaud C, May T, Amiel C. Extracerebral Toxoplasmosis in Patients Infected with HIV. A French National Survey. Baltimore. 1994. November;73(6) :306-14. Remington J S and Desmonts GS: Toxoplasmosis. Dalam Proc. Symposium Bio Merieuk. Ed. Rhone-Puollenc, 187-201. Spicer WJ. Sporozoa. In: Clinical Bacteriology, Mycology and Parasitology. London: Churchill Livingstone; 2000.~: 72-3.



A. Guntur H.



INFEKSI DAN INFLAMASI Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan di sebut penyakit infeksi. ~ a d penyakit a infeksi terjadijejas sehingga timbulah reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sisternik. Inflamasi ialah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas. Pada dasamya inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di tempat jejas. Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini terhadap agen penyebab jejas dan kejadian yang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar dimungkinkan oleh produksi dan pelepasan berbagai macam mediator kimia. Meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasi berbeda, mediator yang dilepaskan adalah sama. Manifestasi klinik yang berupa inflamasi sistemik disebut sistemic injlammation respons syndrome (SIRS). Sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa sepsis adalah SIRS dengan dugaan infeksi.



Definisi untuk sepsis dan gaga1 organ serta petunjuk penggunaan terapi inovatif pada sepsis berdasarkan Bone et al. Systemic Injlammatory Response Syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut:



1. 2. 3. 4.



Suhu > 38 OC atau < 36 OC. Denyut jantung > 90 denytimenit. Respirasi >20/menit atau Pa CO, < 32 mrnHg. Hitung leukosit > 12.000/mm3atau > 10% sel imatur (band).



Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan biakan positip terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak hams positip. Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak hams terdapat bakteriemia. Bakteriemia adalah keberadaan bakteri hidup dalam komponen cairan darah. Bakteriemia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada permukaan mukosa, primer (tanpa fokus infeksi teridentifikasi) atau seringkali sekunder terhadap fokus infeks'i intravaskuler atau ekstravaskular. Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan h i p o p h s i meliputi ( tetapi tidak terbatas ) pada: 1. Asidosis laktat. 2. Oliguria. 3. Atau perubahan akut pada status mental. Berdasarkan konferensi intemasionalpada tahun 200 1, terdapat tambahan terhadap kriteria sebelumnya. Dimana pada konferensi tahun 2001 menambahkan beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Bagian yang terpenting adalah dengan memasukkan petanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein (CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan Predisposition, insult Infection, Response, and Organ disfunction (PIRO) untuk menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan resiko yang individual.



yang disebut faktor nekrosis tumor (Tumor necrosis factor/TNF) dan interleukin 1 (IL-I), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat tinggi pada penderita immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.



Gambar 1. Faktor predisposisi, infeksi, respons klinis, dan disfungsi organ pada sepsis (PIRO) (Dikutip dari Levy MM, et al. 1256)



ETlOLOGl SEPSIS Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60 sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk dapat menstimulasi sel irnun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator \ inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida(LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang terinfeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggungjawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphylococci, Pneumococci, Streptococci dan bakteri gram positip lainnya jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian 20 sampai 40% dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes) atau protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang. Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian i f i s substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin. Peptidoglikan diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam b a n , misalnya a-hemolisin (S. A m ) , E. Coli haemolisin @. Coli) dapat merusak integritasmembran sel imun secara langsung. Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS endotoksin gram negatip dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung mengaktifkan sistem irnun seluler dan humoral, yang dapat inenimbulkanperkembangan gejala septikemia. LPS sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida,



Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan fokus infeksijaringan sebagai sumber bakteriemia, ha1 ini disebut sebagai bakteriaemia sekunder. Sepsis gram negatip merupakan komensal normal dalam salwan gastrointestinal, yang kemudian menyebar ke struktur yang berdekatan, seperti pada peritonitis setelah perforasi apendikal, atau bisa berpindah dari perineum ke urethra atau kandung kemih. Selainitu sepsis gram negatif fokus primernya dapat berasal dari saluran genitourinarium, saluran empedu dan saluran gastrointestinum. Sepsis gram positip biasanya timbul dari infeksi M i t , saluran respirasi dan juga bisa berasal dari luka terbuka, misalnya pada luka bakar. Inflamasi sebagai tanggapan imunitas tubuh terhadap berbagai macam stimulasi imunogen dari luar. Inflamasi sesungguhnya merupakan upaya tubuh untuk menghilangkan dan eradikasi organisme penyebab. Berbagai jenis sel akan teraktivasi dan memproduksi berbagai jenis mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Mediator inflamasi sangat komplek karena melibatkan banyak sel dan mediator yang dapat mempengaruhi satu sama lain. Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis. Masih banyak faktor lain (non sitokin) yang sangat berperanan dalam menentukan perjalanan suatu penyakit. Respon tubuh terhadap suatu patogen melibatkan bermacam-macam komponen sistem imun dan berbagai macam sitokin baik itu yang bersifat proinflamasi dan antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF,IL- 1, Interferon (EN-y) yang bekerja rnembantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang mengmfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1reseptor antagonis (IL- 1ra), IL-4, IL- 10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila keseimbangan kerja antara pro-inflamasi dan anti-inflarnasimediator ini tidak tercapai dengan sempurna maka dapat memberikan kerugian bagi tubuh. Penyebab sepsis dan syok septik yang paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari endotoksin gram (-) maupun eksotoksin gram (+). Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk LPSab (Lipo Poli Sakarida Antibodi). LPSab yang berada dalam darah penderita akan bereaksi dengan makrofag m e l a l ~ TLRs4 (Toll Like Receptors 4) sebagai reseptor transmembran



SEPSIS



dengan perantaraan reseptor CD 14-t dan makrofag mengekspresikan imuno modulator, ha1 ini hanya dapat terjadi pada bakteri gram negatip yang mempunyai LPS dalam dindingnya. Pada bakteri gram positif eksotoksin dapat merangsang langsung terhadap makrofag dengan melalui TLRs2 (Toll Like Receptors 2 ) tetapi ada juga eksotoksin sebagai superantigen. Padahal sepsis dapat terjadi pada rangasangan endotoksin, eksotoksin, virus dan parasit, maka mekanisme tersebut diatas masih kurang lengkap dan tidak dapat menerangkan patogenesis sepsis dalam arti keseluruhan, oleh karena konsep tersebut tidak melibatkan peran limfosit T dalam keadaan sepsis dan kejadian syok septik. Di Indonesia dan negara berkembang sepsis tidak hanya disebabkan oleh gram negatip saja, tetapi juga disebabkan oleh gram positip yang mengeluarkan eksotoksin. Eksotoksin, virus, dan parasit yang dapat berperan sebagai superantigen setelah di fagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Processing Cell dan kemudian ditampilkan dalam Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocornpatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan peptida MCH kelas I1 akan berikatan dengan CD4' (limfosit Thl dan Th2) dengan perantaraan TCR (T Cell Receptor). Sebagai usaha tubuh untuk beraksi terhadap sepsis maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari Thl yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu : IFN-y, IL-2 dan M-CSF (Macrophage colony stimulatingfactor).Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. IFN-y merangsang makrofag mengeluarkan IL-1b dan TNFa . IFN-y, IL-1P dan T N F - a merupakan sitokin proinflamatori, sehingga pada keadaan sepsis terjadi peningkatan kadar IL- 1 P dan TNF-a serum penderita. Pa& beberapa kajian biasanya selama terjadi sepsis tingkat ILL P dan TNF-a berkolerasi dengan keparahan penyakit dalam kematian, tetapi ternyata sitokin IL-2 dan TNF-a selain merupakan reaksi terhadap sepsis dapat pula merusakkan endotel pembuluh darah yang mekanismenya sampai dengan saat ini belum jelas. IL-1 P sebagai imuno regulator utama juga mempunyai efek pada sel endotelial tennasuk di dalamnya pembentukan prostaglandin E2 (PGE,) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulatingfactor (GMCSF) akan mudah mengadakan adhesi. Interaksi endotel dengan neutrofil terdiri dari tiga langkah, yaitu : 1. Bergulirnya neutrofil, P dan E-selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-selektin neutrofil dalam mengikat ligan respektif. 2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang mengikat intergretin CD-11 atau CD- 18, yang melekatkan neutrofil pada endotel dengan



molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel. 3. Transmigrasi netrofil menembus dinding endotel. Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan megeluarkan lisosim yang akan menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk dalam radial bebas yang akan mempengaruhi oksigenasipada mitokondria dan siklus GMPs. Akibat dari proses tersebut endotel menjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Ternyata kerusakan endotel pembuluh darah tersebut akan menyebabkan terjadinya gangguan vaskuler (Vascular leak) sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel sesuai dengan pendapat Bone bahwa kelainan organ multipel tidak disebabkan oleh infeksi tetapi akibat inflamasi yang sistemik dengan sitokin sebagai mediator. Pendapat tersebut diperkuat oleh Cohen bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian. Syok septik merupakan diagnosis klinik sesuai dengan sindroma sepsis disertai dengan hipotensi (tekanan darah turun < 90 mmHg) atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik > 40 mmHg dari tekanan darah sebelumnya. Organ yang paling penting adalah hati, paru dan ginjal, angka kematian sangat tinggi bila terjadi kerusakan lebih dari tiga organ tersebut. Dalam suatu penelitian disebutkan angka kematian syok septik adalah 72% dan 50% penderita meninggal bila terjadi syok lebih dari 72 jam, 30% - 80% penderita dengan syok septik menderita ARDS. Menurut Dale DC, bahwa pada penderita diabetes melitus, sirosis hati, gaga1 ginjal kronik dan usia lanjut yang merupakan kelompok IC lebih mudah menderita sepsis. Pada penderita IC bila mengalami sepsis sering terjadi komplikasi yang berat yaitu syok septik dan berakhir dengan kematian. Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan,Th-2 mengekspresikan IL-10 sebagai sitokin anti inflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-% TNF-a dan fungsi APC. IL-10 juga memperbaikijaringan yang rusak akibat paradanganApabila 1L-10 meningkat lebih tinggi, kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat dicegah. Dengan mengetahui konsep patogenesis sepsis dan syok septik, maka kita dapat mengetahui, sitokin yang berperan dalam syok septik dan dapat diketahui apakah terdapat perbedaan peran sitokin pada beberapa penyakit dasar yang berbeda.



GEJALA KLlNlK Gejala klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda-tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak



-



I



macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat infeksi yang palkg sering : paru, tr&tur digestifus,traktus urinaris, kulit, jaringan lunak dan saraf puaat. Sumber infeksi merupakan diterminan penting untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulosiopenia.Yang sering diikuti gejala MODS sampai dengan terjadinya syok sepsis. Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi : sindroma distress pernafasan pada dewasa, koagulasi intravaskular, gagal ginjal akut, perdarahan usus, gagal hati, *. disfungsi sistem saraf pusat , *. gagal jantung, 8). kematian



Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis yang cermat,pemeriksaan fislk, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status hemodinamik. . .



Riwayat Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari kornunitas atau nosokomial dan apakah pasien imunokompromis. Rincian yang hams diketahui meliputi paparan pada hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya di tempat kerja, penggunaan alkohol, seizure, hilang kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang mengarahkan pasien kepada agen infeksius tertentu. Beberapa tan& terjadinya sepsis meliputi: 1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi. 2. Hipotensi, Oliguria atau anuria. 3. Takipnea atau hiperpnea, Hipotermia tanpa penyebab jelq. 4. Perdarahan.



.



Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua pasien neutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan rekturn, pelvis, dan genital. Pemeriksaan tersebut akan mengungkap abses rektal, perirektal, dadatau perineal, penyakit danlatau abses inflamasi pelvis, atau prostatitis.



Datq laboratorium Uji lab~ratoriurnmeliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi,



glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit,uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan ronsen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan ternpat lain yang terinfeksi hams dilakukan. Lakukan Gram stain di tempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular, ruang pleura) dengan aspirasi. Minimal 2 set (ada yang menganggap 3) biakan darah hams diperoleh dalam periode 24 jam. Volume sampel sering terdapat kurang dari 1 bakteriurnlml pada dewasa (pada anak lebih tinggi). Atnbil 10.20 ml per sampling pada dewasa (1-5 ml pada anak) dan inokulasikan dengan trypticase soy broth dan thioglycolate soy broth. Waktu sampel untuk spike demam interrniten, bakteremia dominan O,5jam sebelum spike. Jika terapi antibiotik sudah dimulai, beberapa macam antibiotik &pat dideaktivasi di laboratorium klinis. Tergantung pada status klinis pasien dan resiko resiko terkait, penelitian dapat juga mengunakan foto ronsen abdomen, CT Scanning, MRI, ekokardiografi, danlatau lumbar puncture.



Temuan laboratorium lain: Sepsis awal. leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Neutrofil mengandung granulasi toksik, badan Dohle, atau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respirator. Hipoksemia dapat dikoreksi dengan oksigen. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat. Se1anjutnya.Trombositopeniamemburuk disertai perpanjangan waktu trombin, penurunan fibrinogen, &n keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azoternia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver) meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik (peningkatan gap anion) terjadi setelah alkalosis respirator. Hipoksemia tidak dapat dikoreksi bahkan dengan oksigen 100%. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi. Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jurnlah gejala SIRS dan berat proses penyakit.



Sindroma distres pernapasan dewasa (ARDS, adult respiratory disease syndrome) Koagulasi intravaskulardiserninata (DIC, disseminated intravascular coagulation) , Gagal ginjal akut (ARF, acute renalfailure) Perdarahan usus Gagal hati Disfungsi sistem saraf pusat 'Gagaljantung . Kematian



SEPSIS



Insidensi komplikasi tersebut yang dilaporkan pada SIRS dan sepsis dalam penelitian berbeda adalah 19% untuk dishngsi CNS, 2-8% untuk ARDS, 12% untuk gagal hati, 9-23% untuk ARF, dan 8- 18% untuk DIC. Pada syok septik, ARDS dijumpai pada sekitar 18%, DIC pada 38%, dan gagal ginjal50%.



Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu: 1. Stabilisasi Pasien Langsung Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah pemulihan abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC: airway, breathing, circulation). Pemberian resusitasi awal sangat penting pada penderita sepsis, dapat diberikan kristaloid atau koloid untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik. Perubahan status mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan perlindungan langsung terhadap jalan napas pasien. Intubasi diperlukanjuga untuk memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu inenurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan peningkatan ketersediaan oksigen untuk jaringan lain. Peredaran darah terancam, dan penurunan bermakna pada tekanan darah memerlukan terapi empirik gabungan yang agresif dengan cairan (ditambah kristaloid atau koloid) dan inotroplvasopresor (dopamin, dobutamin, fenilefrin, epinefrin, atau norepinefrin). Pada sepsis berat diperlukan pemantauan peredaran darah. CVP 8-12 mm Hg; Mean arterialpressure > 65mm Hg; Urine output > 0.5 mL/kgl/ jam-'; Central venous (superior vena cava) oxygen saturation 2 70% atau mixed venous > 65%. (Sepsis Campaign, 2008). Pasien dengan sepsis berat hams dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien (tekanan darah, denyut jantung, laju napas, dan suhu badan) hams dipantau. Frekuensinya tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal, dopamin, dobutamin, atau norepinefiin. 2. Pemberian antibiotlk yang adekuat Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini bahwa antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien. Antimikrobial yang tidak menyebabkan pasien memburuk adalah: karbapenem, seftriakson, sefepim, glikopeptida, aminoglikosida, dan quinolon. Perlu segera diberikan terapi empirik dengan antimikrobial, artinya bahwa diberikan antibiotikasebelum hasil kultur dan sensivitas tes terhadap kuman didapatkan.



Pemberian antimikrobial secara dini diketahui m e n d a n perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah hasil kultur dan sensivitas didapatkan maka terapi empirik dimbah menjadi terapi rasional sesuai dengan hasil kultur dan sensivitas, pengobatan tersebut akan mengurangi jumlah antibiotikayang diberikan sebelumnya (dieskalasi). Diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas sesuai dengan hasil kultur. Hal ini karena terapi antimikrobial hampir selalu diberikan sebelum organisme yang menyebabkan sepsis diidentifikasi. Obat yang digunakan tergantung surnber sepsis* 1. Untuk pneumonia dapatan komunitas biasanya digunakan 2 regimen obat. Biasanya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepim) diberikan dengan aminoglikosida(biasanya gentamisin). 2. Pneumonia nosokomial: Sefipim atau iminem-silastatin dan aminoglikosida 3. Infeksi abdomen: imipenem-silastatin atau pipersilintazobaktam dan aminoglikosida 4. Infeksi abdomen nosokomial: imipenem-silastatin dan aminoglikosida atau pipersilin-tazobaktam dan amfoterisin B. 5. Kulitljaringan lunak: vankomisin dan imipenemsilastatin atau piperasilin-tazobaktam. 6. Kulitljaringan lunak nosokomial: vankomisin dan sefipim. 7. Infeksi traktus urinaris: siprofloksasin dan aminoglikosida 8. Infeksi traktus urinaris nosokomial: vankomisin dan sefipim 9. Infeksi CNS: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau meropenem 10. Infeksi CNS nosokomial: meropenem dan vankomisin *Obat berubah sejalan dengan waktu. Pilihan obat tersebut hanya untuk menunjukkan bahwa bahan antimikrobial yang berbeda dipilih tergantung pada penyebab sepsis. Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan bila organisme penyebab sepsis telah diidentifikasi dan uji sensitivitas antibiotik menunjukkan macam antimikrobial yang terhadapnya organisme memiliki sensitivitas.



3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi. Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang gangren. 4. Pemberian Nutrisi yang adequat Pemberian nutrisi merupakan terapi tarnbahan yang sangat penting bempa makro dan mikronutrient. Makronutrient terdiri dari omega-3 clan golongan nukluetida yaitu glutamin sedangkan mikronutrient berupa vitamin dan trace element.



5. TerM sqpalttif Eli Lillywd Company mengurnumkanbahwa hail uji klinis Phase 111 menunjukkan drotrecogin alfa (protein C tera&i%an rekombinan, Zovant) menurunkan resiko relatif kematian qkibat sepsis dengan disfungsi organ akut terkait (dikenal sebagai sepsis berat) sebesar 19,4persen. Zovant merupakan antikoagulan.



Penggunaan kortikosteroid masih banyak kontroversial, ada yaog mengunakan pa* awal terjadinya sepsis, ada yang menggunakan terapi steroid seusai dengan kebutuhan dan kekurangan yang ada di dalam darah dengan memeriksa kadar steroid pada saat itu (pengobatan suplementasi). Penggunaan steroid ada yang menganjurkan setelah terjadi septic shock. Penggunaan kortikosteroid direkomendasikanpdalah dengan low doses corticosteroid > 300 mg hydrocotisone per hari dalam keadaan septic shock. Penggunaan high dose corticosteroid tidak efektif sama sekali pada keadaan sepsis dan septic shock. (sepsis campaign, 2008).



GLUKOSA KONTROL Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula darah yang tidak mengalami dan yang mengalami diabetes mellitus. Sebaiknya kadar gula darah dipertahankan sampai dengan < 150mg 1 dL. Dengan rnelakukan monitoring pada gula darah setiap 1-2jam dan dipertahankan minimal sampai dengan 4 hari. Mencegah terjadinya stress ulcer dapat diberikan profilaksis dengan menggunakan H, broker protonpan inhibitor. Apabila terjadi kesulitan pernafasan penderita memerlukan ventilator dimana tersedia di ICU.



PENCEGAHAN Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri Gram-negatif Gunakan trimetoprirn-sulfametoksazolsecaraprofilaktik pada anak penderita leukemia Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazin perak, atau sulfamilon secara profilaktik pada pasien luka bakar. Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring posterior untuk mencegah pneumonia Gram-negatif nosokomial Sterilisasiflora aerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin dengan vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis Gram-negatif pada pasien neutropenia.



Lingkunganyang protektif bagi pasien beresiko kurang berhasil karena sebagian besar infeksi berasal dari dalarn (endogen). Untuk melindungi neonatus dari sepsis strep Grup B ambil apusan (swab) vaginalrektum pada kehamilan 35 hingga 37 minggu. Biakkan untuk Streptococcus agalactiae (penyebab utama sepsis pad neonatus). Jika positif untuk strep Grup B, berikan penisilin intraparturn pada ibu hamil. Hal ini akan menurunkan infeksi Grup B sebesar 78%.



Barron RL. Patophysiology Septic Shock and Implicat~onsfor Therapy. Clinical Pharmacy. 1993.12: 829-845. Belanti J. Immunologi III Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 1993. 443-448. Billiau A, Vandeckerckhove. Cytokines and Their Interactions with other Inflammatory Mediator. In the Pathogenesis of Sepsis and Septic Shock. Eur J Clin Invest. 1991. 21: 73-559. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. The ACCPISCCM Consensus Conference Committee. American College of Chest PhysicianslSociety of Critical Care Medicine. Chest. 1992. 10I:I644-1655. Bone RC, Grodzin CJ, Balk RA. Sepsis: A New Hypothesis of Pathogenesis of the Disease Proces. Chest. 1997. 112 : 235-243. Bone RC. Gram-positive organisme and Sepsis. Arch Intern Med. 1994. 54: 26-35. Carrigan SD, Scott G, Tabrizian M. Toward Resolving the Challenges of Sepsis Diagnosis. Clinical Chemistry. 2004. 50(8):1301-1314. Cohen J. Sepsis Syndrom. Journal of Med Int. Infection. 1996. 31-34. Cotran RS, Kumar V, Collins T. Pathologic Basic of Disease. WB Saunders Co. London Toronto. 1999. 6Ih edition. Dale DC. Septic Shock. In Horison's Text Book of Internal Medicine. 1995. 232-238. Endo YYS, Kikuchi SM, Wakabayashi N 4 Tanaka T, Taki K, Inada K. Interleukin 1 Receptor Antagonis and Interleukin 10 Level Clearly Reflect Hemodynamics during Septic Shock. 1999. Hamblin AS. Cytokines in pathology and therapy. Citokines And Citokines Receptor. 1993. 65-75. Hoeprich MC, Miyajima A, Coffman R. Cytokines Paul Fundamental Immunology. 1994. 3Ihedition. 763-790. Howard MC, Miyajima A, Coffman R. Cytokines Paul Fundamental Immunology. 1994. 3Ihedition. 763-790. Israel LG, Israel ED. Neutrophil function mechanism hematology. 1997. 2" edition. 121-123. Janeway, Traver. The Immune System In Health And Disease. Immunobiology. 1996. 2" edition. 9-15. Jawetz E, Melnick J, Adelberg E. Review of Medical Microbiology. 14. 1997. Kelly JL, Sulivan, Riordain M. Is circulating endotoxin the trigger for systemic Inflammatory respons syndrom seen after injury. Ann Surg. 1997. 225 ( 5 ): 530-541. Kremer JP, Jarrar D, Srckholzer U, Ertel W. Interleukin-I, -6 and TNF-alfa release is down regulated in whole bloodfrom septic patients. 1996. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, et al. 2001 SCCMI



SEPSIS



ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Crit Care Med. 2003. 3 1: 1560-1567. Muraille E and Leo 0.Resiviting the Thl / Th2 Paradigm. Scandinavian Journal of Immunology. Instistute of immunology and Rheumatology Norway. 1997. 1-6. Openheim JJ. Cytokines Basic and Clinical Immunology. 1995. 7Ih edition. 78-98. R.Phillip Dellinger et al, 2008, Surviving Sepsis Campaign : International guidelines for management of severe sepsis and septic shock. CritCare Med 2008 Vol 36 No.1 Rangel-Frausto, M. Ptett D., Costigan M., et al. The natural history of the systemic inflammatory response syndrome (SIRS). JAM. 1995. 273:117-123. Roger, Bone C. The Pathogenesis of Sepsis. Ann in Med. 1991. 1 15: 68-457. Sands KE. Epidemiology of Sepsis Syndrom in 8 Academic Medical Centers. .JAMA. 1997. 278: 234-240. Sissons P & Carmicael A. The Immunology of Infection. Med.



Intertrational Infection. Australia and Far East Edition. 1996. 35 (10): 1-5. Srikadan S, Cohen J. The Pathogenesis of Septic Shock. Journal of Infection. 1995. 30: 20 1-206. Thijs LG Introduction To Mediators Of Sepsis. 5'" Symposium On Shock & Critical Care. 1998. 67-70. Unenue ER. Macrophages, Antigen - Presenting Cell and the Phenomena of Antigen Handling and Presentation. In Fundamental Immunology. Raven Press. 1993. 3'd edition. 111-118. Warren J. Sepsis in Textbook of the Biologic & Clinic Basic of Infectious Diseases. Stanford. 1994. 4Ih edition. 52 1-437. Werdan K, Pilz G. Suplement immunoglobulin in sepsis : a critical apprasial. Clin Exp Immunol. 1996.104: 83-90. Whitnack E. Sepsis in Mechanisme of Microbial Disease. Williams & Wilkins. 1993. 2"* edition. 770-778. Yoshida M. Human response in Endotoxemia, endotoxin Pathophysiology and Clinical Aspects. One Day Sympos~umon Endoroxin. Jakarta. 1994. 7-10.



PEMAKAIAN ANTIMIKROBA SECARA RASIONAL DI KLINIK R.H.H. Melwan



PENDAHULUAN



KEADAAN KLlNlS PASIEN



Beberapa masalah yang berupa dampak negatif pada penggunaan antimikroba yang tidak rasional meliputi : 1. pesatnya pertumbuhan kuman-kuman yang resisten; 2). efek samping yang potensial berbahaya untuk pasien; 3. beban biaya untuk pasien yang tidak memiliki asuransi kesehatan. Kenyataan menunjukkan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang urutan penyakit-penyakit utama nasional masih ditempati oleh berbagai penyakit infeksi yang memerlukan antibiotikalantimikroba sehingga amplifikasi permasalahan dengan sendirinya akan terjadi bilamana penggunaan antimikroba tidak rasional. Perlu selalu diingat bahwa pemakaian obat antimikroba yang tidak tepat akan memboroskan dana yang tersedia baik milik pemerintah maupun pasien sendiri. Selain itu seperti telah diutarakan di atas akan dapat membahayakan kenyamanan pasien.



Beberapa faktor yang perlu diperhitungkan pada pemberian antimikroba dari segi keadaan pasien adalah :



KRlTERlA POKOK PENGGUNAAN ANTlBlOTlKA



Sebelum pemberian antimikroba dimulai, selalu hams dipertanyakan lebih dahulu apakah ada pembenaran pemakaian antimikroba. Pertanyaan berikut menyangkut obat yang akan digunakan, dosis, cara dan lamapemberian, serta apakah perlu tindakan tambahan seperti insisi dan sebagainya. Selanjutnya perlu untuk selalu diingat agar obat yang akan digunakan efektif untuk hampir semua pasien dengan penyakit sejenis. Pemilihan antimikroba ditentukan oleh : 1. keadaan klinis pasien; 2. kuman-kuman yang berperan (parameter mikrobiologis); 3. sifat obat antibiotika itu sendiri (parameter farmakologis).



Kegawatan atau Bukan Kegawatan Dalam suatu kegawatan yang mungkin didasari infeksi berat, diperlukan lebih dari satu jenis antimikroba. Sebaliknya suatu keadaan yang tidak gawat dan baru mulai serta tidakjelas etiologinya tidak memerlukan antimikroba kecuali bilamana dapat ditunjukkan dengan jelas melalui pemeriksaan penunjang bahwa yang sedang dihadapi adalah suatu infeksi bakterial. Usia Pasien Pasien usia lanjut sering memiliki patologi multipel clan perlu diingat bahwa kelompok pasien ini lebih peka terhadap pemberian obat. Juga distribusi dan konsentrasi obat dapat berbeda mengingat penurunan konsentrasi albumin darah dan fungsi ginjal. lnsufisiensi Ginjal Beberapa antimikroba seperti bensilpenisilin dan gentamisin ekskresinya hanya melalui ginjal sedangkan yang lainnya masih memilik mekanisme ekskresi altematif atau mengalami metabolisme dalam tubuh. Antimikroba yang nefrotoksik seperti amfoterisin B (untuk jamur sistemik) tidak boleh diberikan pada insufisiensi ginjal berat. Aminoglikosid potensial nefrotoksik dan bila terjadi akurnulasi dapat juga bersifat neurotoksik. Mengukur konsentrasi obat dalam darah &pat memandu pengobatan. Pa& anuria beberapa antimikroba yang tidak berbahaya yang dapat diberikan tanpa mengurangi dosis antara lain



kloramfenikol, eritromisin, rifampisin dan kelompok penisilin (kecuali tikarsilin). Pada pasien dengan dialisis perlu diingat baBwa beberapa antimikroba seperti : amfoterisin B, klindamisin, linkomisin dan teicoplanin tidak dapat dibersiM6.n melalui dialisis. Penisilin yang stabil terhadap penisilinase hanya sebagian dapat dibersihkan melalui dialisis. Gangguan Faal Hati Hati berperan dalam metabolisme dan detoksifikasi obat. Antimikroba yang tidak dapat didetoksifikasi karena terdapat gangguan pada faal hati akan dapat memberikan efek samping yang serius. Kloramfenikol, asam nalidiksik, sulfonamida dan norfloksasin dikonjungasi dengan asam glukuronida dalarn hati untuk selanjutnya diekskresi dalam urin. Jenis antibiotika ini merupakan kontraindikasi pada penyakit hati yang berat terutama bila terdapat gangguan fungsi hepatorenal. Demikian pula antibiotika yang diekskresi melalui hepar ke dalam saluran cerna seperti siprofloksasin, sefoperason, seftriakson dan eritromisin hams digunakan secara hatihati pada pasien dengan hepatitis dan sirosis. Dosis tetrasiklin sebanyak 2-4 glhari dapat menyebabkan distrofi hepar dengan akibat fatal. Obat-obat tuberkulostatik oral seperti rifampisin, isoniazid dan pirazinamida dapat pula menyebabkan gangguan fungsi hati. Gangguan Pembekuan Darah Bilarnana pada pasien terdapat dugaan gangguan pembekuan darah, obat-obat antimikroba yang cenderung menyebabkan masalah perdarahan seperti latamoksef, tikarsilin sefoperason, aztreonam dan imipenem perlu dihindari. Gangguan Granulositopenia Pada keadaan granulositopenia daya tahan tubuh sangat menurun sehingga perjalanan penyakit selanjutnya cenderung untuk didominasi oleh infeksi-infeksiberat kulit, selaput lendir dan organ-organ tubuh. Daya tahan terhadap infeksi makin menurun pada penggunaan kelompok obat sitostatik untuk keganasan. Setelah diambil spesimen u'ntuk pemeriksaan mikrobiologik,kombinasi obat bakterisidal perlu diberikan segera dan biasanya sesuai suatu protokol tertentu. Penurunan demam merupakan petunjuk terbaik berhasilnya pengobatan yang diberikan. Bila belum ada respons dapat diberikan lagi obat antimikroba lainnya dan bila tetap masih belum ada perbaikan hams dipertimbangkan apakah diperlukan obat antijamur. Kehamilan dan Laktasi Dalam trimester pertama semua antimikroba yang memiliki efek sitotoksik seperti kloramfenikol, kotrimoksasol,



rifampisin, kuinolon, nitrofurantoin, nitromidazol, serta obat anti jamur seperti amfoterisin B, flusitosin dan griseofulvin perlu dihindari. Dalam trimester kedua dan ketiga, obat antimikroba seperti tetrasiklin dan kelompok amimoglikosid perlu dihindari terkecuali pada keadaan di mana jiwa pasien terancam. Dalam minggu terakhir kehamilan sulfonamid, kotrimoksasol dan nitrofurantoin merupakan kontra indikasi. Pada umumnya penisilin, sefalosporin dan eritromisin aman diberikan bila tidak terdapat alergi terhadap obat-obatan ini. Pada masa laktasi obat-obat seperti metronidazol dan tetrasiklin sebaiknya dihindari karena kemungkinan timbulnya efek samping pada bayi.



PARAMETER MlKROBlOLOGlS Tiga ha1 yang perlu dikuasai dari segi milcrobiologis adalah 1. Pengertian kepekaan, 2. Relevansi hasil pemenksaan laboratorium, 3. Bagaimana cara untuk membatasi dan menghindari penyebaran galur-galur yang resisten. Pengertian Kepekaan Kadar hambat minimal merupakan konsentrasi terendah obat antimikroba.yang dapat menghambat pertumbuhan kuman setelah diinkubasi selama satu malam. Karena metoda dilusi untuk menetapkan. ini agak rumit untuk dikerjakan, yang lebih popular dan lebih mudah untuk dilaksanakan adalah metoda difusi. Lempeng (disc) antimikroba yang diletakkan di tengahtengah pembiakan kuman akan mengakibatkan ketidaktumbuhankuman di sekitarnya dan tergantung zona yang tampak sekitarnya yaknijarak antara pinggir lempeng dan batas kuman yang tumbuh dan tidak tumbuh dapat diinterpretasikan sebagai sensitif, indiferen atau resisten. Relevansi Hasil Pemeriksaan Laboratorium Situasi di mana pasien ternyata dapat disembuhkandengan sebuah antibiotika tertentu walaupun laporan laboratorium menunjukkan kuman tersebut sudah resisten terhadap antibiotika yang digunakan dapat dijumpai diklinik d& sebaliknya tidak asing juga keadaan di mana kuman yang tidak resisten terhadap antibiotika yang dipakai tetapi pasien tidak dapat disembuhkan dengan obat yang sudah tepat tersebut. Inkonsisten seperti h i dapat mengakibatkan polifannasi dan preskripsi irasional. Perlu selalu diingat bahwa obat yang digunakan in vivo sangat dipengaruhi faktor-faktor environmental. Kadang-kadang hanya diperlukan analisis sederhana untuk dapat menginterprestasi hasil yang inkonsisten tersebut dan kadang-kadang baru dapat dijawab setelah proses penelitian yang panjang.



TROPIK INFEKSI



Antimikroba yang in vitro berkhasiat terhadap suatu jenis kuman tertentu tidak automatis juga efektif in vivo. Untuk memastikan khasiat ini perlu dilaksanakan uji klinis yang obyektif dan pedoman penggunaan antimikroba tersebut harus berdasarkan hasil-hasil uji klinis yang telah dilaksanakan sesuai GCRP (good clinical research practice). Mencegah Berkembangnya Resistensi Mikroba Penggunaan rasional antimikroba akan mengurangi perkeinbangan resistensi. Setiap wilayah perlu mengembangkan suatu kebijaksanaan penggunaan antimikroba sesuai prevalensi resistensi setempat. Kebijaksanaan ini perlu diterapkan untuk setiap antibiotika yang akan dapat digolongkan sebagai antibiotika yang boleh digunakan secara bebas atau yang perlu dibatasi pemakaiannya (restriktif). Kadangkadang perlu dilarang penggunaan antibiotika tertentu untuk sementara waktu. Situasi penggunaan antibiotika memang perlu dievaluasi dari waktu ke waktu dan disesuaikan dengan hasil monitoring kepekaan kuman yang mutakhir serta masukan yang dapat diberikan oleh para klinikus.



PARAMETER FARMAKOLOGIS Parameter ini dapat dibagi dalam farmakodinamik, farmakokinetik, penggunaan kombinasi antimikroba dan efek samping antimikroba. Farmakodinamik Antimikroba Ciri antibiotika yang ideal adalah bebas dari efek pada. sistem atau organ pasien. Terjadinya depresi sistem hemopoetik pada penggunaan kloramfenikol dan gangguan vestibular pada kelompok obat aminoglikosid sebenarnya sangat tidak ideal sehingga untung rugi pemakaian obat ini perlu selalu diperhitungkan atau digunakan obat alternatif lainnya yang tidak menyebabkan efek samping tersebut. Efek farmakodinamik pada kuman dapat berupa pengrusakan terhadap sintesis dinding luar (kelompok betalaktam) atau gangguan pada sintesis komponen sitoplasma (kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosid dan eritromisin) atau gangguan pada sintesis asam nukleat (kuinolon dan rifampisin). Pengetahuan mengenai mekanisme kerja akan dapat memperbaiki pemilihan obat kombinasi yang tepat agar tercapai sinergi atau potensiasi kerja terutama bilamana kombinasi yang digunakan memiliki mekanisme kerja yang berlainan. Tetapi segala sesuatu dengan sendirinya harus melalui proses pengujian dalam klinik.



Farmakokinetik Antimikroba Untuk antibiotika yang diberikan secara oral perlu dipastikan agar absorpsi berlangsung dengan baik sehingga konsentrasi yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan kuman dapat tercapai. Pada infeksi-infeksi serius atau di mana terdapat gangguan seperti mual dan muntah perlu diberikan terapi parenteral. Selanjutnya perlu selalu diingat bahwa tempat infeksi hams dapat dicapai oleh obat dalam konsentrasi yang cukup untuk menghambat pertumbuhan dan penyebaran kuman. Difusi obat dalam jaringanlorgan atau sel-sel tertentu sangat menentukan dalam pemilihan antimikroba. Beberapa antimikroba seperti misalnya seftriakson mencapai konsentrasi berpuluh kali lebih tinggi di empedu dibandingkan dengan konsentrasi dalam darah. Selain itu juga selalu harus diingat cara ekskresi obat sehingga dapat dicegah gangguan negatif dan akumulasi obat dalam tubuh pasien. Pada umumnya dianggap bahwa hanya bagian antibiotika yang tidak terikat protein darah memberikan efek antimikrobial. Tetapi sebenamya yang hams diingat adalah bahwa keadaan ini berupa suatu ekuilibrium. Dalam jaringan yang mengalami radang dapat terkumpul banyak protein sehingga konsentrasi antibiotika yang aktif bekerja pada tempat-tempat tersebut lebih besar. Proses metabolisme antibiotika sangat bervariasi. Melalui proses oksidasi, reduksi, hidrolisis atau konjungasi dihasilkan senyawa-senyawa yang inaktif tetapi kadang-kadang dapat terjadi produk yang toksik inisalnya pada asetilisasi sulfonamid. Sebaliknya beberapa antibiotika memiliki metabolit yang aktif seperti misalnya metabolit sefotaksim sehingga mempakan suatu sifat yang sangat menguntungkan pada penggunaannya. Eliminasi antibiotika pada umumnya melalui ginjal, beberapa jenis seperti seftriakson, sefoperason dan rifampisin mengalami eliminasi terutama melalui empedu. Konsentrasi intraluminal antimikroba tersebut dalam saluran cerna dapat meningkat terutama bila diekskresi secara utuh. Kombinasi Antimikroba Biasanya digunakan pada infeksi berat yang belum diketahui dengan jelas kuman atau kuman-kuman penyebabnya. Dalam ha1 ini pemberian kombinasi antimikroba ditujukan untuk mencapai spektrum antimikrobial yang seluas mungkin. Selain itu kombinasi digunakan untuk mencapai efek sinergistik dan juga untuk menghambat timbulnya resistensi terhadap obat-obat antimikroba yang digunakan. Efek Samping Antimikroba Efek samping dapat berupa efek toksis, alergis atau biologis. Efek samping seperti paralisis respiratorik dapat terjadi setelah instilasi neomisin, gentamisin, tobramisin,



PEMMWANANTIWKROBA SECARA RASIONAL DI KWNIK



streptomisin atau amikin secara intraperitoneal atau intrapleural. Eritromisin estolat sering menyebabkan kolestasisl hepatitis. Perlu juga diingat bahwa antimikroba yang bekerja pada metabolisme kuman seperti rifampisin, kotrimoksasol dan isoniasid potensial hemato dan hepatotoksik. Yang dapat menekan hngsi sumsum tulang adalah pemakaian kloramfenikol yang melampaui batas keamanan dan menyebabkan anemia dan neutropenia. Anemia aplastik secara eksplisit merupakan efek samping yang dapat mengakibatkan kematian pasiem setelah pemakaian kloramfenikol. Efek samping alergi lainnya terutama disebabkan oleh penggunaan penisilin dan sefalosporin. Yang paling jarang adalah kejadian renjatan anafilaktik. Lebih sering timbul r u m , urtikaria dan sebagainya. Pasien yang alergi terhadap sulfonamid dapat mengalami sindrom Steven Johnson. Efek samping biologis disebabkan karena pengaruh antibiotika terhadap flora normal di kulit maupun di selaput-selaput lendir tubuh. Biasanya terjadi pada penggunaan obat antiinikroba berspektrum luas. Candida albicans dalam hubungan ini dapat menyebabkan super infeksi seperti stomatitis, esofagitis, pneumonia, vaginitis dan sebagainya. Di lingkungan rumah sakit selalu dikhawatirkan penyebaran dari jenis kuman Meticillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). Enterokolitis yang berat dan yang memerlukan pengobatan intensif dapat juga disebabkan oleh penggunaan antibiotika seperti klindamisin, tetrasiklin dan obat antibiotika berspektrum lebar lainnya.



POLA PEMBERIANANTlMlKROBA Berdasarkan parameter yang telah diuraikan di atas, kemoterapi antimikrobial dapat diberikan berdasarkan beberapapola tertentu, antara lain: a).direktif, b). kallculatif, c). interventif, d). omnispektrif dan e). profilaktif. Pzlda terapi antimikroba direktif kuman penyebab infeksi sudah diketahui dan kepekaan terhadap antimikroba sudah ditentukan, sehingga dapat dipilih obat



EFEK SAMPING



FARMAKOLOGI ANTIMIKROBIAL



I



1 I



HOSPES



/



\



MlKROBlOLOGl



SlTUS (EVIDENCE BASED) -



Garnbar 1. lnteraksi terapi rasional



-



-



---



.



antimikroba efektif dengan spektrum sempit, misalnya infeksi saluran napas dengan penyebabnya Streptococcus pneumoniae yang sensitif terhadap penisilin diberikan penisilin saja. Jelas bahwa kesulitan yang dihadapi dalam ha1 ini terletak pada tersedianya fasilitas pemeriksaan mikrobiologis yang cepat dan tepat. Pada terapi antimikrobakalkulatif, obat diberikan secara best guess. Dalam ha1 ini pemilihan hams didasarkan pada antimikroba yang diduga akan ampuh terhadap mikroba yang sedang menyebabkan infeksi pada orgadjaringan yang dikeluhkan. Misalnya infeksi kulit yang sering disebabkan stafilokok berbeda pemilihan antimikroba dengan infeksi saluran kemih yang sering disebabkan enterobakteri. Penilaian keadaan klinis yang tepat dan kemungkinan kuman penyebab sangat penting dalam penerapan terapi antimikroba kalkulatif. Pada infeksi tertentu metoda penggunaan antimikroba selalu hams berpedoman pada sebuah protokol pemberian antimikroba dan dapat menambah kelompok obat antimikroba lainnya bilamana tidak berhasil didapat respons yang memuaskan dengan terapi antimikroba inisial. Protokol-protokol ini akan menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan dan pengalamanpengalaman mutakhir dengan penggunaan berbagai jenis antimikroba yang baru. Misalnya protokol penggunaan obat antimikroba pada infeksi pasien keganasan yang mengalami granulositopenia. Cara pengobatan ini juga dikenal sebagai terapi antimikrobial interventif bertahap. Terapi antimikroba omnispektrif diberikan bilamana hendak dijangkau spektrum antimikroba seluas-luasnya dan dapat diberikan secara empirik. Beberapa keadaan yang memerlukan terapi semacam ini meliputi infeksi pada leukemia, luka bakar, peritonitis dan renjatan septik. Sebagai profilaksis, obat antimikroba dapat digunakan untuk mencegah infeksi baru pada seseorang atau untuk mencegah kekambuhan dan terutama digunakan untuk mencegah komplikasi-komplikasi serius pada waktu dilakukan tindakan pembedahan.



L



-



PENUTUP \



Keinginan dari segi individual pasien perlu kita hormati yakni pemberian obat yang akan menyebabkan dirinya cepat sembuh dari infeksi dalam jangka waktu sependek mungkin dan tanpa menimbulkan reaksi-reaksi yang tidak diinginkan. Sisi lain dari keinginan ini bermakna global. Dari segi pengertian global perlu dirumuskan apa yang diartikan dengan pemberian obat rasional. Sesuai perumusan yang telah disepakati dalam jajaran organisasi kesehatan sedunia pengertian ini meliputi pemilihan tepat jenis, dosis, cara pemberian dan penghentian obat yang berkualitas baik yang manfaatnya sudah terbukti, aman pada pemakaian dan terjangkau harganya oleh pasien.



REFERENSI Nelwan RHH.Usaha ke arah penggunaan antibiotika secara rasional di Jakarta. Dalam : Naskah lengkap Lokakarya Nasional Penggunaan Antibiotika Sacara Rasional 11, Surabaya, Januari 1992.



Simon C, Stlle W, Wilkens PJ. Antibiotic Therapy in Clinical Practice 24Ih Edition, Schattauen-Stutgart.1993



RESISTENSI ANTIBIOTIK Usman Hadi



PENDAHULUAN Resistensi antibiotika merupakan suatu masalah yang besar yang berkembang diseluruh dunia. Kurnan-kuman resisten yang muncul akibat penggunaan antibiotika yang berlebihan, akan menimbulkan masalah yang serius dan sulit diatasi. Saat ini kuman resisten antibiotika yang sudah banyak dikenal dan menimbulkan banyak masalah di seluruh dunia diantaranya adalah methicillin-resistance Staphylococcus aureus (MRSA) , vancomycin resistance enterococci, penicillin-resistance pneumococci, extendedspectrum betalactamme-producingKlebsiela pneumoniae (ESBL), carbapenem-resisten Acinetobacter baumanni, dan multi resisten lMycobacterium tuberculosis. Banyak faktor yang mempengaruhi munculnya kuman resisten terhadap antibiotika, faktor yang paling penting adalah faktor penggunaan antibiotika dan pengendalian infeksi. Oleh karena itu penggunaan antibiotika secara bijaksana merupakan ha1 yang sangat penting, di samping penerapan pengendalian infeksi secara baik untuk mencegah berkembangnya kuman-kuman resisten tersebut ke masyarakat.



TERMlNOLOGl RESlSTENSl Resistensi antibiotika dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: resistensi alami dan resistensi yang didapat. Resistensi alami merupakan sifat dari antibiotika tersebut yang memang kurang atau tidak aktif terhadap suatu kuman, contohnya Pseudomanas aeruginosa yang tidak pernah sensitive terhadap khlorampenikol, juga Streptococcus pneumoniae secara alami 25% resisten terhadap antibiotika golongan makrolid (erythromycin, clarithromycin, azithromycin).



Resistensi yang didapat yaitu apabila kuman tersebut sebelumnya sensitif terhadap suatu antibiotika kemudian berubah menjadi resisten. Contohnya resistensi yang didapat ialah Paeuruginosa resisten terhadap ceftazidime, Haemophillus influenzae resisten terhadap imipenem, P.aeruginosa resisten terhadap siprofloksasin, H.influenzae resisten terhadap ampisiliin, dan Escherichia coli resisten terhadap ampisilin. Resistensi antibiotika yang didapat dapat bersifat relatif atau mutlak. Resistensi antibiotika didapat yang relatif: yaitu apabila didapat secara 'bertahap peningkatan dari minimal inhibitory concentration (MIC) dari suatu ltuman terhadap antibiotika tertentu contohnya resistensi yang didapat pada gonococci;, dan pneumococci. Resisten antibiotika didapat yang mutlak (absolute) terjadi apabila berdapat suatu mutasi genetic selama atau setelah terapi ailtibiotika sehingga kurnan tersebut yang sebelumnya sensitif berubah menjadi resisten dengan peningkatan yang: sangat tinggi M C yang tidak dapat dicapai dengan pernberian antibiotika dengan dosis terapi. Psuedo-resistance: pada test kepekaan didapat hasil resisten tetapi di dal.amtubuh (in vivo) masih efektif, contoh E coli dan Klebsiela pneumoniae resisten terhadap sulbactam/ampicill~in,Paeruginosa resisten terhadap ameonam. Resistensi silanp (cross-resistance):contoh Extendedspectrum B-lactam~rs'eyang diproduksi untuk cefiazidime menghasilkan res istensi untuk seluruh sefalosporin generasi ke 111.



MEKANISME TEIRJADINYA RESlSTENSl Selaput Bagia~nLuar Kuman Gram-negatif (Gram-negative( Outer Membrane) Untuk mendapatka~n effek terapi, antibiotika pertarna kali



-



sebagaimana pada a-laktam binding protein yang normal.



hams mencapai target kedalam sel kuman. Kuman gram negatif mempunyai outer membrane yang sedikit menghambat antibiotika masuk kedalam sitoplasma. Selanjutnya apabila terjadi mutasi dari lubang pori outer membrane berakibat antibiotika menjadi lebih sulit masuk ke dalam sitoplasma atau menurunnya permeabilitas membrane terhadap antibiotika, oleh karena lubang pori dari outer membrane tersebut tidak bersifat selektif maka satu mutasi dari pori tersebut dapat menghambat masuknya lebih dari satu jenis antibiotika.



Resistensi terhadap antibiotika golongan glikopeptida. Mekanisme resistensi pada vancomycin masih belum diketahui secarajelas, tetapi nampaknya melibatkan 2 gen (vanA dan vanB) merupakan pengkode protein yang menggabungkan D-ala-D-hydroxybutirate sebagai pengganti D-ala-D-ala kedalam UDP-muramilpentapeptida. Bentuk D-hydroxybutyrate tidak mengikat vankomisin tapi masih dikenal oleh enzyme transglycosylating dan transpeptidation dari bakteri. Jadi sintesis peptidoglikan terus berlangsung dengan adanya antibiotika.



lnaktivasi Antibiotika Melalui Jalur Enzimatik Resistensi terhadap antibiotika golongan b-Laktam. Salah satu mekanisme timbulnya resistensi terhadap antibiotika golongan b-laktam terutama pada kuman gram negatif adalah enzim b-laktamase yang dapat memecah cincin b-laktam sehingga antibiotika tersebut menjadi tidak aktif. b-laktamase disekresi ke rongga periplasma oleh kuman gram negatif dan ke cairan ekstra selular oleh kuman gram positif.



Resistensi terhadap tetrasiklin. Tipe resistensi yang penting terhadap tetrasiklin ini adalah perlindungan terhadap ribosome. Perlindungan ini diberikan oleh protein sitoplasma, bila protein sitoplasma ini muncul pada sitoplasma bakteri maka tetrasiklin tidak akan mengikat ke ribosome. Tipe resistensi ini sekarang sudah diketahui secara luas pada beberapa kuman patogen, termasuk kuman-kuman gram positif, mikoplasma, dan beberapa kuman gram negatif seperti Neisseria, Haemophillus, dan Bakteriodes. Tiga jenis pengkode genetik untuk tipe resistensi ini adalah tetM, tetO, dan tetQ.



Resistensi terhadap golongan aminoglikosida. Berbeda dengan b-laktamase yang berkerja dengan memecah ikatan C-N pada antibiotika maka aminoglycosida-modzbing enzyme menginaktifkan antibiotika dengan menambah group phosphoryl, adenil atau aceryl pada antibiotika. Pada kuman gram negatif aminoglycoside-modzbing enzyme terletak di luar membrane sitoplasma. Modifikasi dari antibiotika tersebut akan mengurangi transport dari antibiotika ke dalam sel sehingga fungsi antibiotika akan terganggu. Serta pengeluaran secara aktif antibiotika dari dalam sel kuman (active efflx).



Resistensi terhadap makrolide dan linkosamide. Mekanisme kerja antibiotika ini adalah dengan mengikat ribosome dengan adanya perubahan pada ribosome oleh enzyme rRNA methylase maka tidak terjadi ikatan antibiotika dengan ribosome kurnan. Resistensi terhadap kuinolon dan rifampin. Resistensi terhadap quinolon pada umumnya muncul dari titik mutasi yang merubah afinitas dari DNA gyrase B-subunit untuk antibiotika. Resistensi terhadap rifampin oleh karena adanya mut~si pada B-subunit dari RNA polymerase yang mengurangi afinitas sub unit tersebut terhadap antibiotika tetapi RNA polymerase tersebut masih tetap berhngsi.



Resistensi terhadap tetrasiklin. Telah ditemukan bahwa terdapat enzim yang menginaktifkan tetrasiklin, tetapi cara kerjanya masih belum diketahui dengan jelas. Modifikasi pada Target Antibiotika Resistensi Terhadap Antibiotika Golongan b-Laktam. Terjadi perubahan pada target antibiotika sehingga antibiotika tersebut tidak dapat berikatan dengan kuman. Ikatan yang spesifik daripenicillin-bindingprotein (PBP) telah dirubah pada strain resisten. Mekanisme resistensi ini yang pada umumnya terjadi pada kuman-kuman gram positif, dan saat ini yang menyebabkan banyak masalah di klinik. Resistensi oleh karena P-laktamase dapat ditanggulangi dengan P-laktamase inhibitor, tetapi tidak dapat pada resistensi oleh karena perubahan pada penisilin binding protein. Contoh mekanisme resistensi tipe ini adalah mecagene pengkode resisten terhadap meticilin yang ditemukan pada S.aureus. Gene resisten ini mengkode penisilin binding protein 2' (PBP2 '), yang tidak mengikat metisilin



Kuman Mengembangkan Jalur Metabolisme Lain yang Memintas (Bypass) Reaksi yang Dihambat oleh Antibiotika



'



Penyebaranlperpindahan gene resisten. Kuman dapat menjadi kebal terhadap antibiotika dengan cara mutasi gen yang sudah ada, tetapi sebagian besar kasus resistensi terjadi oleh karena mendapat gen baru yang resisten. Walaupun kuman dapat memperoleh gen baru melalui bacteriophage, transduction atau melalui transformation, tipe transfer seperti ini hanya terjadi terutama diantara anggota-anggota spesies yang sama. Masalah klinis yang besar ialah adanya perpindahan gene pada genus atau spesies yang berbeda, penyebaran secara luas ini sangat mungkin diperantarai dengan conjugation (perpindahan) dari DNA melalui saluran yang dibentuk dari



penggabungan sel membrane dua bakteria. Ada dua jenis bahan konjugat yaitu plasmid dan conjugatiftransposons Plasmid. Plasmid yang dapat berpindah sendiri dari satu sel ke sel yang lain harus membawa sejumlah gene pengkode protein yang diperlukan untuk konjugasi (tra genes). Beberapa plasmid yang tidak dapat berpindah sendiri masih dapat berpindah melalui konjugasi .Plasmid tersebut dapat lebih kecil dari plasmid yang bisa berpindah sendiri karena hanya memerlukan satu atau dua gene saja (mob genes). Kedua jenis plasmid tersebut dapat membawa beberapa gene resistensi antibiotika. Conjugatif Transposons. Merupakan elemen konjugasi yang biasanya terletak pada kromosom bakteri dan dapat berpindah sendiri dari kromosom donor ke kromosom penerima, dan dapat pula berintegrasi ke dalam plasmid. Conjugatiftransposons ini dapat berpindah dari kuman gram negatif ke kuman gram positif atau sebaliknya.



ART1 KLlNlS RESISTENS1AN'I'IBIOTIK Beberapa contoh berikut akan menunjukkan pengaruh penggunaan antibiotika terhadap munculnya kumankurnan resisten terhadap antibiotika tersebut. Gonokokus: Ketika sulfonamid pertama kali digunakan untuk pengobatan gonore pada akhir tahun 1930-an, hampir semua kasus dapat disembuhkan dengan obat ini. Beberapa tahun kemudian, sebagian besar strain gonokukus sudah menjadi resisten terhadap sulfonamid dan gonore jarang dapat disembuhkan dengan obat ini. Namun, sebagian besar gonokukus masih sangat peka terhadap penisilin. Beberapa dasawarsa berikutnya, pelanpelan resistensi terhadap penisilin meningkat, tetapi dengan dosis tinggi obat ini masih dapat menyembuhkan penyakit itu. Pada tahun 1970-an timbul gonokukus penghasil b-laktamase, pertama-tama di Filipina dmAfXca Barat, kemudian menyebar sehingga menimbulkan pusat endemik diseluruh dunia. Infeksi gonokukus ini tidak dapat diobati secara efektif dengan penisilin, tetapi diobati dengan spektinomisin. Sekarang mulai timbul resistensi terhadap spektinomisin. Dianjurkan menggunakan . sefalosporin generasi kedua dan ketiga atau kuinolon untuk mengobati gonoroe. Meningokokus :Sampai tahun 1962, semua meningokukus peka terhadap sulfonamid, dan obat ini efektif untuk profilaksis maupun terapi. Kemudian, meningokukus yang resisten terhadap sulfonamid menyebar luas, dan sekarang sulfonamid telah kehilangan kegunaannya untuk infeksi meningokukus. Penisilin masih efektif untuk terapi, dan rifampin digunakan untuk profilaksis. Namun, mengingokukus resisten rifampin masih terdapat pada sekitar 1% penderita yang telah mendapat rifampin untuk profilaksis.



Stapilokokus: pada tahun 1944, sebagian besar stapilokukus peka terhadap penisilin, meskipiun ditemukan beberapa strain yang resisten. Setelah meluasnya penggunaan penisilin, pada tahun 1948, 65-85% staphilokukus yang diisolasi di rumah sakit ternyata menghasilkan P-laktamase sehingga resisten terhadap penisilin-G. Ditemukannya penisilin yang resisten terhadap P-laktamase (misalnya, metisilin) dapat mengatasi sementara, tetapi sekarang kadang-kadang timbul wabah infeksi MRSA. Pada tahun 1986,MRSA tidak hanya dijumpai pada bakteri yang ditemukan di rurnah sakit, tetapi juga pada 80-90% stapilokukus yang diisolasi di>masyarakat. Organisme ini juga cenderung resisten terhadap obat lain, misalnya tetrasiklin. MRSA kadang-kadang menyebabkab wabah di rumah sakit, tetapi untung masih peka terhadap vankomisin. Pneumococcus :Sampai tahun 1963, sebagian besar pneumokukus peka terhadap penisilin-G, pada tahun itu juga, ditemukan beberapa pneumokukus yang relatif resisten terhadap penisilin di New Guinea. Sejak tahun 1977,organisme ini telah ditemukan dalam berbagai wabah di rurnah sakit, mula-mula di Afiika Selatan dan kemudian di tempat lain. Meskipun pneumokukus tidak menghasilkan P-laktamase, resistensinya terhadap penisilin G, mun&n akibat PBP yang berubah. Bakteri usus gram-negatif. Sebagian besar resistensi obat pada bakteri usus disebabkan oleh perluasan penularan plasmid resistensi pada berbagai genus. Pada saat ini di banyak tempat di dunia kira-kira separuh strain Shigella sp resisten terhadap obat. Bakteri Salmonella yang dikandung oleh hewan juga berkembang menjadi resisten, terutama terhadap obat (khususnya tetrasiklin) yang digunakan dalam makanan temak. Kebiasaan mencampurkan obat dalam makanan hewan menyebabkan temak tumbuh lebih cepat tetapijuga menyebabkan peningkatan organisme usus yang resisten terhadap obat dalam flora usus para pekerja petemakan. Peningkatan infeksi Salmonella yang resisten obat di Inggris menyebabkan dibuatnya aturan pembatasan penambahan antibiotika pada makanan ternak. Penggunaan tambahan tetrasiklin pada makanan temak di Amerika Serikat ikut menyebabkan penyebaran plasmid resisten dan salmonela yang resisten obat. Plasmid pembawa gen - resistensi obat terdapat pada banyak bakteri gram negatif pada flora usus normal. Penggunaan obat antimikroba secara berlebihan khususnya pada penderita di rumah sakit menyebabkan penekanan organisme yang peka obat dalam flora usus dan membantu pertumbuhan bakteri yang resisten obat, termasuk Enterobacter, Klebsiella, Proteus, Psedomonas, Serratia, dan jamur. Organisme ini menimbulkan masalah yang sulit terutama pada penderita dengan granulopenia . dan imunitasnya tertekan. Rumah sakit, yang merupakan lingkungantertutup, membantu penularan organisme yang



resisten melalui personelnya dan peralatan, juga kontak langsung.



PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIBIOTIKA



Kuman tuberkulosis. Telah timbul mutan resisten obat pada tuberkulosis, khususnya pada pasien yang terinfeksi dengan HIV. Kuman tuberkulosis resisten dapat men~ulitkanpengobatan ~enderitatuberlculosis dan dapat ditularkan pads orang-orang Yang berkontak dengan penderita tersebut, sehingga menimbulkan infeksi primer yang resisten obat.



Pembatasa n Anti biotika pads Formularium Rumah Sakit Pada pemilihan antbiotik dalam formularium faktor resistensijuga hams diperhatikan.Antibiotika yang sudah diketahui rnenimbulkan masalah resistensi hams dibatasi penggunaannya atau dimasukkan&lam fomularium atau penggunaannya hams disetujui oleh ahli penyakit



Antibiotik



Target utama sel



B-Lactams (Penisillin dan sefalosporin)



Dinding sel



Vancomycin



Dinding sel



Bacitracin



Dinding sel



Macrolides (erythromycin) Lincosamides (clindamycin



Sintesa Protein Sintesa Protein



Cars kerja



Mekanisme Utama Resistensi



Menghambat dinding sel



inaktivasi obat (p-latamase) membuat target sel menjadi tidak sensitif menurunkan permeabilitas pengeluaran antibiotik secara aktif



Penambahan pada struktur dinding sel (muramilpepta-pepti) Merusak dinding sel



Tidak dijelaskan



Bind to 50s ribosomal subunit Bind to 50s ribosomal subunit



perubahan dari target sel pengeluaransecara aktif Perubahan pada target sel (ribosomal methylation)



Binds to 50s ribosomal subunit Binds to 30s ribosomal subunit



lnactivasi obat (chloramphenicol acetyltransferase) pengeluaran secara aktif membuat target sel menjadi tidak sensitif inaktivasi obat (aminoglicoside-modifying enzyme) penurunan permebialitas pengeluaran obat secara aktif



Perubahan pada target sel



Chloramphenicol



Sintesa Protein



Tetracycline



Sintesa Protein



Aminoglycosides (gentamicin



sintesa protein



Bind to 30s ribosomal subunit



Mupirocin



Sintesa Protein



Inhibits isoleucine tRNA synthetase



Mutasi genetik pada target protein atau penerimaan gen baru yang menyebabkan target sel tidak sensitive terhadap antibiotik



Quinupristinldatfopri stin (Synercid)



Sintesa Protein



Bind to 50s ribosomal subunit



perubahan dari sel target (ribosomal methylation: dalfoprist~n) pengeluaran secara aktif inaktivasi dari obat (quinipristinand dalfopristin)



Linezolid



Sintesa Protein



Sulfonamides dan trimethoprim



Metabolisme sel



Bind to 50s ribosomal subunit



Perubahan dari target sel (mutation of 23s rRNA)



Kompetisi hambatan enzim pada sintesa asam folat



Produksi sel target yang tidak sensitif (dihydropteroate synthetase) (sulfonamides)) dan produksi dihydrofolate reductase (trimethoprim) yang memintas hambatan metabolis dari antibiotik.



Rifampin



Sintesa asam nukleat



menghambat DNAdependent RNA polymerase



Membuat target menjadi tidak sensitii (mutasi dari gen polymerase)



Metronldazole



Sintesa asam nukleat



Merusak DNA sel



Tidak dijelaskan



Quinolones (ciprofloxacin)



Sintesa DNA



Menghambat DNA gymse (A subunit) dan topoisomerase IV



membuat target menladl tldak eensltif (mutetion of gymse genes) pengeluaran antibiotik secara aktif (active efflux)



Novobiocin



Sintesa DNA



Polymyxins (polymixin B)



Membrane sel



Menghambat DNA gyrase (6 subunit) Menurunkan permebialitas sel



Tidak dijelaskan Tidak dijelaskan



infeksi. Sedangkan antibiotika yang diketahui tidak menimbulkan masalah resistensi penggunaannya tidak perlu dibatasi. Pelaksahaan pengendalian infeksi yang baik dapat meminimalkan masalah resistensi oleh karena penyebaran kuman resisten di rumah sakit ataupun antar rumah sakit dapat dibatasi. Pengendalian resistensi-antibiotika di masyaraKat tergantung pada pemilihaii antibiotika oleh para dokter di masyamkat, biasanya penggunaan antibiotikaoral. Umurnnya para dokter memberikan antibiotika tidak memperhitungkan efek jangka panjang yaitu munculnya kuman resisten. Jadi faktor penting mencegah terjadinya kuman resisten di masyarakat adalah dengan mendidik para dokter untuk menggunakan antibiotika secara lebih bijaksana yaitu menggunakan antibiotika dengan indikasi yang jelas. Suweilans dari kuman-kuman resisten sangat penting dilakukan dalam upaya mencegah munculnya kuman resisten. Dan pelaporan hasil suweilans secara teratur dapat dipakai dasar untuk melihat kecenderungankuman yang akan menjadi resisten clan kebijakan yang hams dilakukan.



PENGENDALIAN RESlSTENSl ANTlBlOTlKA Dl RUANG PERAWATAN INTENSIF (INTENSIVE CARE UNIT)



Ruang perawatan intensif merupakan lokasi yang sangat penting untuk pertumbuhan dan penyebaran kuman resisten ini oleh karena itu monitoring penggunaan antibiotika dan surveilans kuman resisten ditempat tersebut perlu menjadi perhatian. Muncul dan berkembangnya kuman resisten sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu pengendalian infeksi yang kurang baik dan penggunaan antibiotika (antibiotic selective pressure). Tiga kuman utama yang hams menjadi perhatian pada pengendalian kuman resisten antibiotika adalah: Methicillin resistant S.aureus (MRSA), Cephalosporinresistant (Extended spectrum beta-1actamaselESBL) Klebsiela pneumoniae, dan Vancomycin-resistantentero-



Strategl pencegahan yang terbukti berhasil Ellmlnasl antlblotlk darl makanan binatana Pembatasan formularium rumah sakit (pingendahan secara ketat penggunaan antibiotik yang mempunyai potensi resistensi yang tinggi) Pengendalian resistensi antibiotik yang berhasil Pengendalian infeksi nosokomial Suveilance kuman-kuman untuk mendeteksi masalah resistensi secara dini lmplementasi pengendalian infeksi secara cepat untuk membatasi penyebaran kuman-kuman resisten Pembatasan forrnularium rumah sakit (mengendalikan antibiotik yang mempunyai potensi resisten secara ketat)



coccusfaecium (VRE). Untuk kuman MRSA, pengendalian infeksi merupakan kunci utama untuk mencegah penyebaran MRSA tersebut. Dari data di Belanda dan Denmark menunjukkan bahwa pengendalian infeksi yang ketat dapat menekan penyebaran kuman tersebut. Diduga bahwa kolonisasi MRSA pada rongga hidung petugas kesehatan yang sehat merupakan faktor utama dari MRSA. Untuk Klebsiela pneumoniae penggunaan antibiotika secara bijaksana merupakan kunci pengendalian resistensi antibiotika pada kuman ini. Penggunaan golongan sefalosporin spektrum luas yang berlebihan akan memunculkan strain Enterobacteriaceae yang resisten terutama K. pneumoniae yang resisten terhadap extendedspectrum cephalosporin. Untuk VRE, pengendalian infeksi dan penggunaan antibiotika secara bijaksana keduanya merupakan faktor penting untuk mengendalikan kuman ini.



Bronzwaer S.L.A.M., Cars O., et all. A European Study on the Relationship between Antimicrobial Use and Antimicrobial Resistance.Emerg Infect Dis 2002; 8(3):278-82. Brooks GF., Butel JS, and Ornston LN. In :Jawet, Melnick and Adelberg. Mikrobiology Kedokteran.(Medical Microbiology) Alih Bahasa: dr. Edi Nugroho dan dr. RF Maulany editor: dr Irawati Setiawan Edisi 20 Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1996.p. 157-9. Christidou A., Gikas A., Sculica E. at all. Emergence of vancomycinresistant enterococci in a tertiary hospital in Crete, Greece: a cluster of cases and prevalence study on intestinal colonization. Clin M~cribiolInfect 2004;10:999-1005. Cunha B.A. Antibiotic Therapy, Part I. The Medical Clinics of North America. 2000;84: 1407-2 1. Delisle S., Per1 TM. Antimicrobial management measures to limit resistance: A process-based conceptual framework. Crit Care Med 2001; 29(4) suppl.: N121 - N127. Directorate General of Medical Care Ministry of Health, Republic of Indonesia.Antirnicrobia1 Resistance, Antibiotic usage and Infection control : A self-assessment program for Indonesian hospitals (2005) Filius PMG., and Gyssens IC. Impact of Increasing Antimicrobial Resistance on Wound Management. Am J Clin Dermatol 2002; 3(1) 1-7. Man P., Verhoeven BAN., Verbrugh HA. An antibiotic policy to prevent emergece of resistant bacilli. Lancet 2000;355: p.973-8. Rice LB. Controlling antibiotic resistance in the ICU: Different bacteria, different strategies. Clev Clin J of Med 2003.; 70(9) p.793-800. Salmenlinna S., Lyytikainen O.,and Vuopio-Varkila J. CommunityAcquired Methicillin-Resiatant Staphylococcus aureus, Finland. Emerg Inf Dis 2002 ; 8(6): 602 - 605. Salyers A.A., and Whitt D.D. Antibiotic: Mechanisms of Action and Mechanism of Bacterial Resistance. In Bacterial Pathogenesis A. Molecular approach, Washington, D.C: ASM Press; 2005. p.97 -110. WHO Global Strategy for Containment of Antimicrobial Resistance. World Health Organization 2001.



INFEKSI NOSOKOMIAL Iskandar zulkarnain



PENDAHULUAN , ,



Seorang pasien yang masuk rumah sakit untuk menjalani perawatan tentu berharap mendapat kesembuhan atau perbaikan penyakitnya, setidaknya mendapat keringanan keluhannya. Sebagian besar, terutama pengidap penyakit akut berhasil memperoleh perbaikanlpenyembuhan tadi. Namun ada kalanya, terutama pada pengidap penyakit kronik atau yang keadaan umumnya buruk, justm ia dapat terkena infeksi baru yang mei~gakibatkanpenyakitnya lebih berat, lebih lama dirawat, lebih banyak tindakan diagnostik dan obat yang diperlukan, biaya meningkat dan mungkin menyebabkankematian. Infeksi yang didapatnya di rumah sakit tersebut disebut sebagai infeksi yang didapat di rumah sakit (hospital acquired infection), untuk membedakannya dengan infeksi yang didapat di masyarakat (community acquired Infection). Infeksi yang didapat di rumah sakit lebih dikenal sebagai infeksi nosokomial (lN). Definisi Infeksi Nosokomial adalah : Infeksi yanq didapat di rumah sakit. Infeksi yanq timbuyterjadi sesudah 72 jam perawatan pada pasien rawat inap. Infeksi yanq terjadi pada pasien yang dirawat lebih lama dari masa inkubasi suatu penyakit. Pada suatu rumah sakit yang mempunyai ICU, angka (rate) infeksi nosokomial-nya lebih tinggi dibanding yang tidak mempunyai ICU. Kejadian infeksi nosokomial juga lebih tinggi di rumah sakit pendidikan oleh karena lebih banyak dilakukan tindakan pemeriksaan (diagnostik) dan pengobatan yang bersifat invasif.



Penularan dapat terjadi melalui cara silang (crossinfection) dari satu pasien kepada pasien lainnya atau infeksi diri sendiri di mana kuman sudah ada pada pasien, kemudian melalui suatu migrasi (gesekan) pindah tempat dan di tempat yang baru menyebabkan infeksi (selfinfection atau auto infection). Tidak hanya pasien rawat yang dapat tertular, tapi juga seluruh personil rumah sakit yang berhubungan dengan pasien, juga penunggu dan pengunjung pasien. Infeksi ini dapat terbawa ke tengah keluarganya masing-masing. Infeksi rumah sakit sering terjadi pada pasien berisiko tinggi yaitu pasien dengan karakteristik usia tua,berbaring lama, penggunaan obat imunosupresan dan steroid, daya tahan tubuh yang menurun pada pasien luka bakar, pada pasien yang dilakukan prosedur diagnostik invasif, infus lama atau pemasangan kateter urin yang lama dan infeksi nosokomial pa& luka operasi. Sebagai sumber penularan dan cara penularan terutama melalui tangan, jarum suntik, kateter intravena, kateter win, kain hatverban, cara keliru dalam menangani luka, peralatan operasi yang terkontarninasi,dan lain-lain



EPlDEMlOLOGl



Bagan di bawah ini sering digunakan untuk memperjelas bagaimana infeksi nosokomial dapat terjadi di suatu rumah sakit.



Kuman penyebab infeksi nosokomial yang tersering adalah Proteus, E.coli, S.aureus, clan Pseu-domonas. Selain itu terdapat juga peningkatan lN oleh kuman Enterocococus faecalis (Streptococcus faecalis) . Dibandingkan dengan kuman yang sama yang ada di masyarakat



2906