Buku Argumentasi Hukum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ARGUMENTASI HUKUM



ADITYA YULI SULISTYAWAN



Aditya Yuli Sulistyawan



ARGUMENTASI HUKUM ISBN : 978-602-0896-64-9 Penerbit Yoga Pratama Jl. Puspowarno Selatan No. 53 Semarang 50143 Telp. 024-7625016, 7615670 Fax. 024-7625016 e-mail : [email protected] vi, 126 hal, 160 X 240 mm Lay-out / Setting : Apriya Heri Setiyawan



Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip, memperbanyak, dan mengedarkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Undang undang Nomor 28 Tahun 2014 Pasal 112



Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan pasal 7 ayat (3) dan atau pasal 52 untuk penggunaan secara komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).



Pasal 113



(1). Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (2). Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (3). Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secra komesial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah) (4). Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah)



Pasal 114



Setiap orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan atau hak terkait ditempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)



Argumentasi Hukum



iii



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah, Tuhan pencipta semesta dan seisinya yang maha segalanya, telah senantiasa memberikan rahmat yang tak terhingga, sehingga di tengah aktivitas Tri Dharma Perguruan Tinggi dan berbagai kewajiban publikasi jurnal ilmiah, penulis dapat menyelesaikan penulisan buku dengan judul Argumentasi Hukum ini untuk hadir di tangan para pembaca sekalian. Sebagai akademisi yang berkecimpung dalam ilmu hukum, filsafat hukum, dan juga mengajar pada mata kuliah Argumentasi Hukum, penulis merasa perlu untuk menulis buku Argumentasi Hukum ini, karena keterbatasan literatur buku tentang Argumentasi Hukum di Indonesia yang dapat dijadikan pegangan bagi mahasiswa Fakultas Hukum. Padahal keberadaan pilihan literatur tema ini penting bagi mereka untuk menelusuri seluk beluk argumentasi hukum, berikut cara bagaimana mempelajarinya sebagai keterampilan bagi mereka sebagai seorang pemikir hukum yang baik. Oleh karena itu, penulis menyelesaikan buku ini sebagai upaya penulis menghadirkan buku literatur yang baik di tengah keterbatasan referensi tentang tema ini. Kehadiran buku ini dalam edisi pertama pasti tidaklah bisa disebut sempurna dalam penyusunannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan dari para pemikir hukum dan pembaca sekalian untuk menyempurnakan substansi buku ini di kemudian hari. Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca sekalian, sekaligus menyampaikan harapan semoga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Lebih khusus, semoga buku ini dapat menjadi pegangan para mahasiswa fakultas hukum di Indonesia untuk menjadi calon akademisi dan praktisi hukum yang handal dan memiliki kemampuan argumentasi hukum yang mumpuni. Semarang, Februari 2021 Penulis



iv



Argumentasi Hukum



Argumentasi Hukum



v



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................. iii DAFTAR ISI ............................................................................................... v BAB I HUKUM DALAM POSISI KEILMUAN: LANDASAN AWAL MEMBANGUN PEMAHAMAN HUKUM.................... 1 A. Hukum dalam Posisi Keilmuan............................................... 1 1. Ilmu Hukum sebagai Bagian dari Ilmu Alam (?)............... 2 2. Ilmu Hukum sebagai Bagian dari Ilmu Sosial (?)............. 3 3. Ilmu Hukum sebagai Bagian dari Ilmu Humaniora (?)..... 4 4. Ilmu Hukum sebagai Ilmu Sui Generis (?)........................ 5 B. Dikotomi yang Menyederhanakan: Normatif vs Empiris....... 8 C. Lapisan Ilmu Hukum ............................................................. 10 BAB II ARGUMENTASI HUKUM, LOGIKA, DAN PENALARAN.... 15 A. Urgensi Argumentasi Hukum bagi Calon Sarjana Hukum..... 15 B. Logika dan Penalaran.............................................................. 16 C. Bentuk Pemikiran Manusia..................................................... 19 D. Model Proses Penalaran.......................................................... 20 1. Penalaran Deduktif (Silogisme)......................................... 22 2. Penalaran Induktif ............................................................. 37 BAB III ARTI PENTING LOGIKA DALAM HUKUM........................... 42 A. Arti Penting Logika Terhadap Ilmu Hukum ........................... 42 B. Relevansi Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum.......... 43 1. Makna Penting Penalaran Silogisme Dalam Hukum......... 46 2. Makna Penting Kausalitas Dalam Hukum......................... 48 3. Analogi Dalam Hukum...................................................... 53 BAB IV KESESATAN DALAM PENALARAN (FALLACY)................... 55 A. Pemahaman Kesesatan Berpikir.............................................. 55 B. Model Kesesatan Berpikir....................................................... 56 BAB V PENEMUAN HUKUM................................................................ 65 A. Pengertian Penemuan Hukum (Rechtsvinding)....................... 65 1. Istilah Penemuan Hukum................................................... 66 2. Dasar Hukum Penemuan Hukum (Rechtsvinding)........... 67 B. Metode Penemuan Hukum...................................................... 68 1. Metode Interpretasi............................................................ 69 2. Konstruksi Hukum............................................................. 73



vi



Argumentasi Hukum



BAB VI PENALARAN DALAM ALIRAN FILSAFAT HUKUM........... 78 A. Membangun Pemikiran Logis................................................. 78 B. Sedikit Mengenal Filsafat Hukum........................................... 79 C. Aliran-Aliran Filsafat Hukum................................................. 81 1. Positivisme Hukum............................................................ 81 2. Aliran Hukum Alam.......................................................... 88 3. Sociological Jurisprudence................................................ 91 4. Realisme Hukum............................................................... 96 5. Critical Legal Studies (CLS)............................................. 98 6. Feminisme Hukum (Feminist Jurisprudence)................... 101 D. Dari Aliran kepada Filsafatnya (Paradigma)........................... 102 BAB VII ARGUMENTASI HUKUM DAN LEGAL OPINION ................................. 106 A. Argumentasi Hukum............................................................... 106 1. Hakikat Argumentasi Hukum............................................ 107 2. Peran Logika dan Bahasa sebagai Dasar Argumentasi Hukum............................................................................... 108 3. Argumentasi Hukum Dalam Pertimbangan Hukum.......... 109 B. Legal Opinion.......................................................................... 110 1. Pengertian Legal Opinion.................................................. 111 2. Fungsi Legal Opinion........................................................ 112 3. Prinsip-Prinsip dalam Pembuatan Legal Opinion.............. 113 4. Mekanisme Penyusunan Legal opinion............................. 114 DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 122



Argumentasi Hukum



1



BAB I HUKUM DALAM POSISI KEILMUAN: LANDASAN AWAL MEMBANGUN PEMAHAMAN HUKUM A.



Hukum dalam Posisi Keilmuan



Sebelum lebih lanjut membahas tentang argumentasi hukum, pada bagian awal ini penulis ingin menunjukkan terlebih dahulu tentang bagaimana posisi ilmu hukum dalam peta keilmuannya. Hal ini merupakan suatu hal yang penting untuk dipahami lebih awal kepada siapapun yang sedang belajar mengenai argumentasi hukum, karena pemahaman ini akan menentukan bagaimana argumentasi hukum akan terbangun? Argumentasi hukum seseorang akan terkait dengan bagaimana ia melihat hukum. Cara seseorang melihat hukum akan terlihat pada bagaimana ia memahami hukum dalam peta keilmuannya, karena setiap pemahaman itu akan menimbulkan konsekuensi yang berbeda. Itu artinya, cara pandang seseorang dalam memahami hukum bisa saja berbeda satu sama lain, karena pemikiran manusia tentang hukum memang tidak pernah selalu sama, terbukti dari banyaknya aliran pemikiran tentang hukum yang tumbuh dan berkembang selama ini [bagian ini akan dibahas tersendiri dalam bab selanjutnya pada buku ini]. Perbincangan tentang posisi ilmu hukum dalam peta keilmuan merupakan pembahasan yang tidak pernah “selesai”. Perbedaan [kalau tidak mau disebut perdebatan] sejak awal mengemuka, tentang pertanyaan dimanakah ilmu hukum berkedudukan secara ilmu? Apakah ilmu hukum merupakan bagian dari ilmu alam, atau bagian dari ilmu humaniora, atau bagian dari ilmu sosial, atau bahkan ilmu yang berdiri sendiri [dalam istilahnya disebut “sui generis”]? Jawaban dari pertanyaan sederhana ini memang tidak pernah sederhana. Pilihan menempatkan posisi ilmu hukum sebagaimana opsi dalam pertanyaan diatas tidak pernah dijawab secara sama oleh pemikir hukum di dunia ini. Pada setiap opsi tersebut, memiliki penganutnya masing-masing sesuai dengan pemikiran yang diyakininya. Setiap pilihan memiliki argumentasinya masingmasing yang dibangun secara meyakinkan.



2



Argumentasi Hukum



Sebagian pemikir hukum mungkin bersetuju bahwa ilmu hukum merupakan bagian dari ilmu alam, karena memiliki sifat kepastian yang diinginkan untuk mewujudkan objektivitas dan persamaan dalam hukum. Namun, tidak sedikit juga yang berkeyakinan bahwa ilmu hukum adalah bagian dari ilmu sosial karena hukum hidup dalam ruang sosial yang mengatur hubungan antar manusia dan berkehendak mewujudkan ketertiban sosial. Sebagian lain meyakini bahwa ilmu hukum adalah bagian dari ilmu humaniora karena berkenaan dengan human, memiliki sifat kemanusiaan karena berhubungan dengan manusia. Atau juga mayoritas kelompok lainnya yang justru menempatkan ilmu hukum bukan sebagai bagian dari ilmu lainnya, tetapi merupakan ilmu yang berdiri sendiri karena kekhasannya, inilah yang mereka sebut ilmu sui generis itu. Faktanya, tempo dulu gelar lulusan bagi mereka yang studi S2 Ilmu Hukum berbeda-beda. Ada yang bergelar Magister Sains (M.S.), Magister Humaniora (M.Hum.), ataupun Magister Hukum (M.H.) sesuai kebijakan perguruan tinggi tempat belajar mahasiswa. Gelar ini kemudian pada perkembangannya diseragamkan menjadi Magister Hukum (M.H.) seiring dengan keinginan untuk menampilkan keilmuan hukum secara spesifik dalam label atau gelar keilmuan. 1.



Ilmu Hukum sebagai Bagian dari Ilmu Alam (?)



llmu alam (bahasa Inggris: natural science) adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu di mana obyeknya adalah bendabenda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun dan di mana pun.1 Sains (science) diambil dari kata latin scientia yang arti harfiahnya adalah pengetahuan. Sains sebagai proses merupakan langkahlangkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Dari sini tampak bahwa karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala alam dapat berbentuk kuantitas. Ilmu alam mempelajari aspekaspek fisik & nonmanusia tentang bumi dan alam sekitarnya. Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu terapan, yang keduanya dibedakan dari ilmu sosial, humaniora, teologi, dan seni. Formulasi sains modern yang dikonstruksi di atas logika murni Rene Descartes telah membawa akibat buruk terhadap dimensi ontologi, epistemologi 1



Dani Vardiansyah. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Indeks. (Jakarta). Hlm. 11.



Argumentasi Hukum



3



dan aksiologi ilmu. Perngertian ilmu dibatasi pada cabang natural science murni (an-sich) dan pengertian epistemologi ilmu juga dipagari sebatas metode eksperimental belaka, sehingga cabang ilmu yang tidak berobyek benda alam dan tidak menggunakan metode eksperimental dianggap bukan sains. Keadaan ini telah mengakibatkan terputusnya sains dari perspektif global dan aksiologinya. Maka “sains menjadi bidang pengetahuan yang eksklusif dan tidak memberikan manfaat apapun terhadap lingkungannya” kata Lili Rasjidi.2 Konsekuensi dari keadaan ini digambarkan sebagai:3 “Mengaburnya status saintifik cabang ilmu yang berobyek bukan benda alam adalah influensi yang paling menonjol dari filfasat Cartes secara paradoksal: Pertama, timbulnya sikap pengingkaran terhadap status saintifik ilmu-ilmu non-alamiah di kalangan ahli-ahli ilmu alam. Sikap ini berjalan seiring dengan sikap kultus – subjektif terhadap ilmu alam dengan asumsi bahwa ilmu alamlah satu-satunya ilmu yang berhak menyandang status kesaintifikan karena obyek dan metodenya. Kedua, timbulnya reaksi yang kuat dari kalangan ilmuwan kemanusiaan untuk membuktikan sifat saintifik dari cabang ilmu mereka. Reaksi ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu: mereka yang membuktikan dengan cara menggunakan metode-metode otonom yang sesuai dengan obyek ilmunya dan mereka yang membuktikan dengan cara menerapkan metode ilmu alamiah ke dalam ilmu kemanusiaan. Dari sinilah kemudian terlihat upaya menerapkan cara berlakunya ilmu alam ke dalam ilmu hukum. Saintifikasi ilmu hukum terjadi dan membawa pengaruh besar dalam pengembangan keilmuannya. Hingga saat ini, kelompok yang berpandangan demikian tetap eksis dan memiliki penganutnya. Demikianlah penempatan ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu alam dalam kelompok ini dapat dijelaskan. 2.



Ilmu Hukum sebagai Bagian dari Ilmu Sosial (?)



Ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu sosial menitikberatkan objek kajiannya pada masyarakat yang kita pahami sebagai suatu sistem sosial, sehingga memiliki banyak segi. Oleh karenanya, tidak tepat jika hukum hanya dipahami sebagai satu bentuk peraturan perundang-undangan saja. Lebih dari itu, hukum musti dilihat dari ilmu sosialnya adalah suatu gejala sosial yang nyata lahir dari realita dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dilihat sebagai suatu gejala yang nyata merupakan perwujudan dari kebutuhan masyarakat 2 Lili Rasyidi dalam Suparto Wijoyo. “Hukum dalam Perspektif Filsafat Ilmu”. diakses dari http://supartowijoyo-fh.web.unair.ac.id. 3 Ibid.



4



Argumentasi Hukum



akan suatu ketertiban dan keteraturan dalam pergaulan hidup masyarakat. Hukum selain difungsikan sebagai alat untuk mengendalikan masyarakat (control social), hukum juga merupakan alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan substansial. Hukum sebagai suatu tatanan tertib sosial memiliki banyak dimensi sehingga hukum juga harus dikaji dalam tataran empiriknya. Karena ciri hukum tidak dapat dipahami tanpa ada kajian empirik mengenai hubungan-hubungan ketergantungan antara aspek-aspek ketertiban hukum yang bervariasi yang mengarahkan kepada kecenderungan ciri hukum tertentu. Dalam kehidupan bermasyarakat, hukum dibutuhkan karena terjadinya hubungan sosial diantara manusia. Hukum diperlukan karena manusia tidak hidup sendiri, melainkan hidup bersama dengan manusia lainnya, setidaknya sejak minimal ada dua orang, mereka membutuhkan hukum. Kalau manusia hidup sendiri, manusia akan bebas merdeka untuk berperilaku dan menuruti setiap kehendaknya, namun tidak demikian jika ia hidup dengan orang lain, diperlukan pengaturan bersama untuk terwujudnya tertib sosial, inilah mulai dibutuhkan hukum. Faktanya saat ini, manusia banyak jumlahnya dan hidup bersama-sama di muka bumi dalam bingkai komunitas bernama negara. Masingmasing negara memiliki tujuan negara dan ingin mewujudkan ketertiban sosialnya masing-masing, melalui hukum nasionalnya, juga di level pengaturan antar-bangsa dalam wujud hukum internasional sebagai upaya pencapaian harmoni antar-negara di dunia. Inilah esensi hukum di tengah kehidupan sosial, hingga kemudian dalam perkembangan keilmuannya secara alami dipahami sebagai bagian dari ilmu sosial. Pendirian hukum sebagai bagian dari ilmu sosial diterima oleh banyak pemikir hukum melalui banyak literatur yang ada. Pengkajian ilmu hukum sebagai ilmu sosial juga berkembang dalam berbagai dinamika keilmuan, seperti aliran law and society, sosiologi hukum, penggunaan pendekatan sociolegal studies, atau bahkan pengadopsian gagasan paradigma4 dalam ilmu sosial kepada ilmu hukum, menunjukkan bukti relasi ilmu hukum sebagai bagian daripada ilmu sosial. 3.



Ilmu Hukum sebagai Bagian dari Ilmu Humaniora (?)



Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), humaniora dimaknai sebagai: (1) ilmu pengetahuan yang meliputi filsafat, hukum, sejarah, bahasa, sastra, seni, dan sebagainya; (2) makna intrinsik nilai-nilai humanisme. 4 Paradigma sebagai sistem filsafat payung/induk/utama dalam penelitian sosial diantarkan dalam buku yang ditulis N.K Denzin dan Y. S. Lincoln (eds). Handbook of Qualitative Research. (London: Sage Publication, Inc, 1994).



Argumentasi Hukum



5



Berdasarkan makna tersebut, hukum merupakan bagian daripada ilmu humaniora bersamaan dengan filsafat, sejarah, bahasa, sastra, seni, dan sebagainya. Humaniora adalah seperangkat ilmu yang ingin agar manusia (humanus) menjadi bertambah manusiawi (humanior). Ketika ilmu-ilmu humaniora diadopsi ke dalam lingkup pendidikan tinggi, ilmu-ilmu ini dipandang penting untuk diajarkan kepada semua mahasiswa dari jurusan manapun. Itulah sebabnya, pengajaran humaniora lalu diberi predikat studium generalis. Adopsi atas ilmu-ilmu ini ke dalam pembelajaran di kampus dilatarbelakangi oleh keprihatinan atas terjadinya alienasi di antara ilmu-ilmu anak (vak) yang mereduksi hakikat kemanusiaan. Berikut ini merupakan beberapa pengertian dari pendidikan humaniora:5 a. Pendidikan humaniora lebih mengutamakan pada pendidikan nilainilai. Nilai moral dipandang sebagai nilai yang menjadi dasar bagi manusia dalam membudayakan diri dan alam lingkungannya; b. Bidang studi yang merupakan sumber bahan bagi pendidikan humaniora adalah bidang-bidang studi kebudayaan, sebab pada hakekatnya kebudayaan merupakan kristalisasi pengembangan nilainilai manusiawi; c. Pendidikan humaniora dikembangkan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya. Berdasarkan uraian ini, ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu humaniora memiliki karakteristik untuk mengedepankan nilai-nilai humanisme, karena hukum merupakan bagian dari sistem kebudayaan. E. B Taylor, melihat kebudayaan sebagai komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaankebiasaan yang didapatkan manusia sebagai warga masyarakat.6 4.



Ilmu Hukum sebagai Ilmu Sui Generis (?)



Sebelum memahami tentang ilmu hukum sebagai ilmu sui generis yang diyakini oleh sebagian pemikir hukum, penting untuk terlebih dahulu mengetahui tentang dua perbedaan besar tentang sifat hukum sebagai norma dan sifat hukum sebagai nomos. Perbedaan inilah yang menjadi pangkal dalam mana para pemikir hukum menempatkan hukum dalam kelompok keilmuannya. Penting untuk memahami perbedaan mendasar ini, bahwa hukum bisa dimengerti sebagai norma ataupun sebagai nomos. Pengertian ini yang 5 A. Daliman. “Pendidikan Humaniora dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional”. Cakrawala Pendidikan: Jurnal Ilmiah Pendidikan. Vol. 3, No. 3. Tahun 1983. Hlm. 4. 6 Anak Agung Gede Oka Parwata, dkk. Buku Ajar Memahami Hukum dan Kebudayaan. (Tabanan: Pustaka Ekspresi, 2016). Hlm. 9.



6



Argumentasi Hukum



selanjutnya menjadi landasan untuk memahami apakah ilmu hukum merupakan ilmu yang berdiri sendiri atau menjadi bagian dari ilmu lain, atau juga meletakkannya dalam pemahaman berbagai aliran filsafat hukum yang ada. Berikut ini adalah perbedaan antara hukum sebagai norma dan hukum sebagai nomos sebagaimana pernah disampaikan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yang disarikan melalui Shidarta:7 a. Sebagai norma, hukum memungkinkan terjadinya penyimpangan. Sedangkan jika sebagai nomos tidak mungkin terjadi penyimpangan. Contoh hukum sebagai norma: Di taman-taman kota ada tulisan “jangan petik aku”. Sebagai norma yang berisikan larangan memetik bunga atau tanaman hias, apakah norma itu pasti akan dipatuhi? Tentu tidak. Artinya, mungkin sekali terjadi penyimpangan, orang-orang yang membaca itu tetap punya pilihan mematuhi atau menyimpangi (melanggar). Inilah sifat norma yang paling jelas. Contoh hukum sebagai nomos: Setiap benda yang dijatuhkan, pasti akan turun ke bawah karena gaya gravitasi, ini adalah hukum yang pasti dan tidak memungkinkan adanya penyimpangan. b. Norma menuntut atau memerlukan adanya kesadaran, sedangkan nomos tidak menuntut atau memerlukan adanya kesadaran. Contoh hukum sebagai norma yang memerlukan adanya kesadaran: Saat berjalan-jalan di sebuah kota di Jepang, ada banyak norma pengaturan tertib di jalanan yang ada di sepanjang jalan, semua dalam huruf dan bahasa Jepang. Sebagai orang Indonesia yang sedang berkunjung ke Jepang dan tidak tahu bahasa dan penulisan huruf Jepang, Budi abai saja terhadap ketentuan-ketentuan itu. Inilah contoh bahwa norma memerlukan kesadaran mengenai pengetahuan bahasa norma yang bersangkutan. Contoh hukum sebagai nomos yang tidak memerlukan kesadaran: Sebagai manusia, kita diciptakan dengan hukum semakin menua, sebagai kepastian alam. Hari ini kita lebih tua dari hari kemarin, begitu pula tahun depan usia kita juga makin tua daripada hari ini. Perihal hukum yang seperti ini sama sekali tidak memerlukan kesadaran, bahkan jika seseorang dalam kondisi koma (dalam kondisi tidak sadar) di kamar ICU suatu rumah sakit, usianya juga akan tetap bertambah tua seiring waktu berjalan. 7 Wignjosoebroto dalam Shidarta, disampaikan dalam Perkuliahan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. November 2014.



Argumentasi Hukum



7



c. Orang yang melanggar norma akan mendapatkan beban pertanggungjawaban, sedangkan orang yang melanggar nomos tidak akan mendapatkan beban pertanggung-jawaban karena tidak akan mungkin ada penyimpangan. Beban pertanggungjawaban bagi siapapun yang melanggar norma adalah adanya sanksi yang akan ditanggung, sementara penyimpangan nomos tidak dimungkinkan sehingga tidak ada beban pertanggungjawaban berupa sanksi. d. Norma hanya dapat diberlakukan bagi manusia, sedangkan nomos berlaku secara universal tidak hanya kepada manusia. Contoh bahwa norma hanya dapat ditujukan kepada manusia: Suatu malam, Anton terbangun dari tidurnya karena banyak nyamuk di kamarnya. Karena dia seorang mahasiswa Fakultas Hukum, terbersit ide di kepalanya bahwa ia akan membuat norma untuk mengatur kehadiran nyamuk-nyamuk tersebut di kamarnya. Diambilnya kertas dan spidol, ia tuliskan norma “Nyamuk dilarang masuk”. Tulisan itu ditempelnya di depan pintu kamarnya. Lantas apa yang terjadi selanjutnya, apakah setelah itu ia aman dari serangan nyamuk-nyamuk itu? Tentu saja tidak. Norma itu jelas tidak bisa ditujukan kepada nyamuk yang tidak memiliki kesadaran untuk memahami norma tersebut. e. Pemahaman hukum sebagai norma melahirkan sifat hukum yang preskriptif, sedangkan pemahaman hukum sebagai nomos melahirkan sifat hukum yang deskriptif. f. Hukum sebagai norma merupakan pattern for behaviour, sementara hukum sebagai nomos merupakan pattern of behaviour. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, hukum sebagai pattern for behaviour terdiri dari dari dua konsep yaitu: hukum sebagai ius constituendum dan hukum sebagai ius constitutum. Sedangkan hukum sebagai pattern of behaviour melahirkan konsep hukum sebagai pola perilaku sosial yang terlembagakan dan hukum sebagai makna-makna simbolik dalam perilaku sosial. Melalui pemahaman tentang perbandingan dua bentuk sifat hukum yaitu sebagai norma dan nomos, dikotomi tentang hukum normatif versus hukum empiris berasal. Hukum sebagai norma melahirkan hukum yang normatif sedangkan hukum sebagai nomos melahirkan sifat hukum yang empiris.



8



B.



Argumentasi Hukum



Dikotomi yang Menyederhanakan: Normatif vs Empiris



Dalam perkembangannya, dikotomi hukum normatif dan hukum empiris ini yang disebut secara jamak sebagai dua pendekatan berseberangan ini, semakin meruncing. Dalam dunia pemikiran hukum umumnya, para pemeluk pendekatan hukum normatif hampir selalu menafikan mereka yang memiliki pendekatan empiris, atau juga sebaliknya. Mengklaim sebagai lebih unggul, mereka yang belajar hukum dalam keterjebakan “chauvinisme pendekatan” (istilah penulis untuk menggambarkan eksklusifitas masing-masing kelompok) ini tidaklah bijak. Terlebih jika dipahami dalam pemahaman Soetandyo Wignjosoebroto melalui perbedaan norma dan nomos, maka keterpisahan diantara kelompok hukum normatif dan hukum empiris tidaklah begitu nyata jika ditelusuri sampai kepada aliran-aliran pemikiran hukum yang dilahirkannya. Aliran hukum kodrat (ius constituendum) dan aliran positivisme hukum (ius constitutum) sebagai dua aliran yang berpijak dari pemahaman hukum sebagai norma. Di sisi lain, ada aliran realisme hukum, aliran interaksionisme simbolik, aliran sejarah sebagai buah dari pemahaman hukum sebagai nomos, atau aliran sociological jurisprudence sebagai aliran yang ada diantara pemahaman hukum sebagai norma dan hukum sebagai nomos. Lebih lanjut mengenai aliran-aliran pemikiran ini akan dibahas dalam bab VI dalam buku ini. Tajamnya perbedaan kubu pemikiran normatif dan empiris mengemuka dengan mengakibatkan saling tuduh, saling kritik diantara satu dengan yang lain. Satu kubu merasa lebih baik dari yang lain sehingga merendahkan keberadaan yang lain. Dwi Putro dan Herlambang P. Wiratraman bahkan menyebut:8 “Tidak bisa disembunyikan, di fakultas hukum-fakultas hukum di Indonesia terjadi permusuhan permanen antara penganut metodologi penelitian hukum normatif yang mengklaim bahwa objek studi hukum itu norma/hukum positif dengan penganut metodologi penelitian hukum empiris yang lebih melihat kenyataan bekerjanya hukum di masyarakat. Dikotomi itu menyebabkan dua metodologi selalu saling berlawanan dan menutup diri untuk selalu bekerjasama. Perselisihan epistemologi direduksi menjadi hanya mempertahankan dan melemahkan dua imperium ini. Perdebatan panjang di fakultas hukum hanya tentang apakah metodologi yang valid sepenuhnya normatif-deduktif atau sepenuhnya empirik-deduktif. Perdebatan yang kadang berujung pada saling “mengharamkan” metodologi yang lain, membuat ilmu hukum menjadi kerdil dan tidak berkembang” 8 Widodo Dwi Putro & Herlambang P. Wiratraman. “Penelitian Hukum: Antara yang Normatif dan Empiris”. Digest Epistema Vol. 5. 2015. Hlm. 3-4.



Argumentasi Hukum



9



Untuk menunjukkan kedua pemikiran yang meruncing secara dikotomis ini, berikut ini disajikan perbandingan ilmu hukum empirik dan ilmu hukum normatif sebagaimana penulis kutip dari J.J.H. Bruggink:9 Tabel 1. Perbandingan Ilmu Hukum Empirik dan Ilmu Hukum Normatif Hubungan Dasar Sikap Ilmuwan Perspektif Teori Kebenaran Proposisi Metode Moral Hubungan antar moral dan hukum Ilmu



Ilmu Hukum Empirik Subjek - objek Penonton (toeschouwer) Ekstern Korespondensi Hanya informatif atau empiris Hanya metode yg bisa diamati panca-indra Non kognitif Pemisahan tegas



Ilmu Hukum Normatif Subjek - subjek Partisipan (doelnemer) Intern Pragmatik Normatif dan evaluatif Juga metode lain kognitif Tidak ada pemisahan



Hanya sosiologi hukum empiris Ilmu hukum dalam arti luas dan teori hukum empiris



Perbedaan antara ilmu hukum empiris dan ilmu hukum normatif menurut D.H.M. Meuwissen digambarkan dalam sifat ilmu hukum empiris, antara lain:10 a) secara tegas membedakan fakta dan norma; b) gejala hukum harus murni empiris, yaitu fakta sosial; c) metode yang digunakan adalah metode ilmu empiris; dan d) bebas nilai. Implikasi dari perbedaan mendasar antara ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empirik adalah: Pertama, dari hubungan dasar sikap ilmuwan. Dalam ilmu hukum empirik ilmuwan adalah sebagai penonton yang mengamati gejalagejala obyeknya yang dapat ditangkap oleh pancaindra, sedangkan dalam ilmu hukum normatif, yuris secara aktif menganalisis norma sehingga peranan subyek sangat menonjol. Kedua, dari segi kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmu hukum empirik adalah kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sesuatu itu benar karena didukung fakta dengan dasar kebenaran pragmatik yang pada dasarnya adalah konsensus sejawat sekeahlian.11 9 J.J.H. Bruggink. Refleksi tentang Hukum. Terjemahan Bernard Arief Sidharta. (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999). Hlm. 189. 10 Philipus M. Hadjon dalam Titik Triwulan Tutik. “Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum Ditinjau dari Sudut Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum”. Jurnal MIMBAR HUKUM.Vol 24. No. 3. Oktober 2012. Hlm. 450. 11 Ibid.



10



Argumentasi Hukum



Dalam studi filsafat hukum melalui gagasan berpikir barunya yaitu paradigma, sejatinya silang pendapat diantara pemikiran hukum seperti yang direngkuh kubu normatif dan kubu empiris, atau bahkan lebih luas lagi dari hanya kedua perbedaan ini, dapat dijelaskan dan dijembatani dengan telaah paradigmatik. Perbedaan yang selama ini terbentang di antara aliran-aliran filsafat hukum, teori-teori hukum, dapat ditinjau kembali melalui filsafat utamanya, sehingga akan terlihat perbedaan itu dalam nuansa atau gradasi yang lebih lengkap. Satu sama lain perbedaan akan terpahami secara rinci sehingga tidak mempertajam pertentangan dan ekslusifitas satu terhadap yang lain. Semua akan dipahami di ujung pemikirannya mengenai latar belakang lahirnya pemikiran tersebut sehingga jelas pada tataran ontologi, epistemologi, dan metodologinya. Semua perbedaan pemikiran itu akan terkelompok hanya kepada 5 paradigma (sebagai paradigma utama) yang ada sehingga ‘belantara’ dan bentang ragam perbedaan pemikiran yang ada dapat secara ringkas dipahami dalam lima perbedaan besar bertajuk paradigma tersebut. Lima paradigma utama tersebut adalah Positivisme, Post-Positivisme, Partisipatory, Critical Theory et. al., dan Constructivism.12 Pada akhirnya, mengenai pertanyaan dimana ilmu hukum terletak dalam peta keilmuannya juga akan terjawab melalui telaah paradigma. Penempatan hukum dalam pemetaan keilmuannya menjadi relatif menurut pemikiran dari kelompok pemikir yang berbeda (dalam paradigma yang berbeda). Analisis bahwa hukum sebagai ilmu yang sui generis memahami hukum secara normatif sebagai teks-teks yang objektif lahir dalam payung filsafat paradigma positivisme. Demikian pula hukum yang dipahami sebagai bagian dari ilmu alam, terlahir dalam paradigma yang sama. Sedangkan, hukum yang dipahami sebagai bagian dari ilmu sosial dan ilmu humaniora berada pada rentang filsafat paradigma Post-Positivisme hingga Constructivism (tergantung pada penekanan hakikat hukumnya). Dengan demikian, perbedaan pemetaan ilmu hukum merupakan suatu keniscayaan karena berbedanya latar pemikiran manusia dalam filsafatnya, yang dalam hal ini adalah paradigma. 5.



Lapisan Ilmu Hukum



J. Gijssels dan Mark van Hoecke, membedakan ilmu hukum berdasarkan pelapisan ilmu hukum, yang meliputi filsafat hukum, teori hukum, dan dogmatik hukum, ketiga lapisan ilmu hukum tersebut selanjutnya diarahkan kepada praktik hukum. Selanjutnya ketiga lapisan ilmu hukum ini dapat ditunjukkan pada gambar berikut ini:13 12 Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonna S. (ed). The Sage Handbook of Qualitative Research 1 Third Edition, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) 13 Ibid. Hlm. 453.



hukum, yang meliputi filsafat hukum, teori hukum, dan dogmatik hukum, ketiga lapisan ilmu hukum tersebut selanjutnya diarahkan kepada praktik hukum. Selanjutnya ketiga lapisan ilmu hukum ini dapat ditunjukkan pada gambar berikut ini:13 Argumentasi Hukum



11



Gambar 1. Gambar 1. Alur Pengembanan Hukum/Lapisan Ilmu Hukum dalam Telaah Alur Pengembanan Hukum/Lapisan Ilmu Hukum dalam TelaahFilsafat FilsafatHukum



Hukum



FILSAFAT HUKUM TEORI HUKUM DOGMATIK HUKUM



PRAKTIK HUKUM



Senada dengan alur lapisan ilmu hukum tersebut, Erlyn Indarti Senada dengan alur lapisan ilmu Erlyn Indarti mengemukakan juga mengemukakan mengenai tigahukum lapisan tersebut, ilmu hukum tersebut yangjuga mengarah terwujudnya praktik hukum,yang sehingga dapat juga disebut empat lapisan mengenai kepada tiga lapisan ilmu hukum tersebut mengarah kepada terwujudnya praktik hukum, hukum dalam telaah filsafat hukum. Alur ini dapat dilihat dalam telaah filsafat sehingga dapat juga disebut empat lapisan hukum dalam telaah filsafat hukum. Alur ini dapat hukum dalam arti luas (philosophy of law) dimana masing-masing lapisan ini law) dimana yaitu masing-masing dilihat dalam telaah filsafat luas (philosophy diposisikan sejajarhukum dengandalam telaaharti filsafati dalam kajianofparadigmatik, epistemologi, metodologi, metoda. Lapisan filsafat hukum [dalam lapisan ini ontologi, diposisikan sejajar dengan telaahdan filsafati dalam kajian paradigmatik, yaitu ontologi, arti sempit/legal philosophy] berdiri sejajar sebagai makna ontologi (hakikat); epistemologi, metodologi, dan metoda. Lapisan filsafat hukum [dalam arti sempit/legal teori hukum berdiri sejajar sebagai telaah epistemologi; dogmatika hukum philosophyatau ] berdiri maknasebagai ontologi (hakikat);sedangkan teori hukum berdiri sejajar sebagai ilmusejajar hukum sebagai berdiri sejajar metodologi; praktik hukum berdiri sejajar dengan metoda. lapisan-lapisan hukum yang selama telaah epistemologi; dogmatika hukum Inilah atau ilmu hukum berdiri sejajar sebagaiinimetodologi; dibiarkan saling terlepas satu sama lain, sedangkan filsafat hukum mampu mengorganisasikannya secara terkait, satu sama lain.14 13 Ibid. Hlm. 453. Secara kronologis, perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat dan disusul oleh dogmatik hukum (ilmu hukum positif). Dua disiplin ini 10 memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Filsafat Hukum sangat spekulatif, sedangkan hukum positif sangat teknis. Oleh karenanya perlu disiplin lain yang menjembatani keduanya di tengah-tengah. Disiplin itu mula-mula berbentuk ajaran hukum umum (algemene rechtsleer) yg berisi ciri-ciri umum seperti asasasas hukum dari berbagai sistem hukum. Disiplin ini kemudian berkembang menjadi teori hukum. Dogmatik hukum, teori hukum, filsafat hukum pada akhirnya harus diarahkan kepada praktik hukum. Praktik hukum ini menyangkut 2 aspek utama, yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum. 14 Erlyn Indarti. Pembaruan Hukum Nasional: Suatu Telaah Paradigmatik tentang Dinamika Penyusunan RUU KUHP. Dalam Webinar IKA FH Undip, 23 Januari 2021.



12



Argumentasi Hukum



Berikut ini adalah perbandingan di antara karakteristik filsafat hukum, teori hukum, dan dogmatika hukum: Tabel 2. Karakteristik Filsafat, Teori, dan Dogmatik Hukum



Lapisan Ilmu Hukum Filsafat Hukum Teori Hukum Dogmatik Hukum



Konsep



Eksplanasi



Reflektif Grondbegrippen begrippen Analitis Algemene Technischjuridisch Teknis yuridis begrippen



Sifat Spekulatif Normatif Empiris Normatif



Perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat hukum dan disusul dogmatik hukum atau ilmu hukum positif. Hal ini sejalan dengan pendapat Lili Rasjidi,15 bahwa filsafat hukum adalah refleksi teoritis (intelektual) tentang hukum yang paling tua, dan dapat dikatakan merupakan induk dari semua refleksi teoritis tentang hukum. Filsafat hukum adalah filsafat atau bagian dari filsafat yang mengarahkan refleksinya terhadap hukum atau gejala, sebagaimana dikemukakan J. Gijssels,16 filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum dan gejala hukum. Hal yang sama juga dalam dalil D.H.M. Meuwissen, bahwa rechtfilosofie is filosofie. Filsafat hukum adalah filsafat karena itu ia merenungkan semua persoalan fundamental dan masalah-masalah perbatasan yang berkaitan dengan gejala hukum. Filsafat hukum adalah lapisan paling abstrak. Filsafat hukum merupakan bagian dari dan dipengaruhi oleh filsafat umum. Filsafat hukum juga meresapi teori ilmu hukum dan ilmu-ilmu hukum. Objek telaahnya adalah hukum sebagai demikian (the law as such). Selanjutnya, filsafat hukum juga membahas pokok kajian dwitunggal pertanyaan inti, yaitu landasan daya ikat hukum serta landasan penilaian keadilan dari hukum.17 Sementara itu, teori hukum diartikan sebagai ilmu yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan 15 Bernard Arief Sidharta. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. (Bandung: Mandar Maju, 2000). Hlm. 119. 16 Philipus M. Hadjon. “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)”. Yuridika Jurnal Hukum. No. 6 Tahun IX. November-Desember 1994. Hlm. 4. 17 Shidarta. “Ulasan Tokoh dan Pemikiran Hukum, Bernard Arief Sidharta: Dari Pengembanan Hukum Teoretis ke Pembentukan Ilmu Hukum Nasional Indonesia”. Undang: Jurnal Hukum. Vol. 3. No. 2. 2020. Hlm. 456.



Argumentasi Hukum



13



sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat.18 Teori hukum merupakan ilmu eksplanasi hukum yang sifatnya interdisipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis sedangkan dalam dogmatik hukum merupakan eksplanasi teknik yuridis dan dalam bidang filsafat sebagai eksplanasi reflektif. Sifat interdisipliner dapat terjadi melalui dua cara: Pertama, menggunakan hasil disiplin lain untuk eksplanasi hukum; Kedua, dengan metode sendiri meneliti bidang-bidang seperti: sejarah hukum, sosiologi hukum dan lainnya.19 Pada lapisan teori [ilmu] hukum ditekankan tentang objek telaah berupa tatanan hukum positif sebagai sistem.20 Teori [ilmu] hukum ini membahas tentang ajaran hukum (analisis pengertian hukum; analisis asas-kaidah, figur (pranata), dan sistem hukum; analisis konsep-konsep yuridis; dan hubungan antar-konsep yuridis). Juga dibahas tentang hubungan hukum dan logika (analisis teori argumentasi yuridis dan logika deontik).21 Selanjutnya, dogmatik hukum merupakan ilmu hukum dalam arti sempit. Titik fokusnya adalah hukum positif. D.H.M. Meuwissen (1979),22 memberikan batasan pengertian dogmatik hukum sebagai memaparkan, menganalisis, mensistematisasi dan menginterpretasi hukum yang berlaku atau hukum positif. Berbeda dengan M. van Hoecke (1982)23, mendefinisikan dogmatik hukum se- bagai cabang ilmu hukum (dalam arti luas) yang memaparkan dan mensistematisasi hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari suatu sudut pandang normatif. Berdasarkan definisi tersebut, tujuan dogmatik hukum bekerja tidak hanya secara teoritis, dengan memberikan pemahaman dalam sistem hukum, tetapi juga secara praktis. Dengan kata lain, ia berkenaan dengan suatu masalah tertentu, menawarkan alternatif penyelesaian yuridik yang mungkin. Hal itu menyebabkan bahwa dogmatik hukum bekerja dari sudut perspektif internal, yaitu menghendaki dan memposisikan diri sebagai partisipan yang ikut berbicara (peserta aktif secara langsung) dalam diskusi yuridik terhadap hukum positif.24 Dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum pada akhirnya harus diarahkan kepada praktik hukum. Praktik hukum menyangkut 2 (dua) 18 Sidharta. Op. Cit., Hlm. 122. 19 Philipus M. Hadjon. Op. Cit., Hlm. 3. 20 Sidharta. Op. Cit., Hlm. 170-176. 21 Shidarta, Loc. Cit. 22 J.J.H. Bruggink (Terj. Bernard Arief Sidharta). Op. Cit., Hlm. 169. 23 Ibid. 24 Titik Triwulan Tutik. Op.Cit., Hlm. 453.



14



Argumentasi Hukum



aspek utama, yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum. Sementara itu, menurut Erlyn Indarti, praktik hukum merupakan pelaksanaan atau penerapan tentang metoda yang dipilih dan bersifat aplikatif/teknis.25 Melalui lapisan-lapisan yang terbaca dalam telaah filsafat hukum [dalam arti luas] ini, terlihat dengan baik rentang hubungan filsafat, teori, ilmu, dan praktik hukum yang selama ini tercerai satu sama lain. Publik sering mendikotomikan hubungan antara teori dan praktik, bahkan memisahkannya seolah tidak ada relasinya, sementara di sisi lain publik sering juga memisahkan antara ilmu dan filsafat, seolah ilmu bisa hadir tanpa filsafatnya. Namun melalui filsafat hukum dalam arti luas (philosophy of law), keempat lapisan ini dapat duduk dengan baik di posisinya sekaligus menunjukkan relasinya satu sama lain secara tepat.



25 Erlyn Indarti. Memahami Filsafat Hukum, Materi Kuliah Filsafat Hukum Prodi S1 Hukum Fakultas Hukum Undip Semarang. 2015. Hlm. 10.



Argumentasi Hukum



15



BAB II ARGUMENTASI HUKUM, LOGIKA, DAN PENALARAN A.



Urgensi Argumentasi Hukum bagi Calon Sarjana Hukum



Sejak menjadi seorang mahasiswa di Fakultas Hukum, penulis menyadari bahwa bekal paling utama yang harus dimiliki seorang pembelajar hukum adalah dua hal, yaitu berbicara dan menulis. Dua hal ini bahkan menjadi syarat mutlak bagi sarjana hukum untuk dapat sukses di ranah pekerjaannya masing-masing. Ya, saya bahkan menyebutkan bahwa “seorang sarjana hukum itu dapat uang dari mulutnya dia sendiri. Berbeda dengan mereka dokter gigi yang mendapat uang dari mulutnya orang lain”. Mungkin ini terlihat sebagai kelakar saja, meski senyatanya memang demikian adanya. Selain berbicara, sarjana hukum juga dituntut mampu untuk menulis. Dalam berbagai bidang pekerjaan, sarjana hukum diharapkan mampu menyusun bahasa tulis yang baik, dalam konten hukum tentu saja. Sebutlah itu sebuah kontrak, legal opinion, dakwaan, eksepsi, tuntutan, pledoi, replik, duplik, atau bahkan putusan, semuanya adalah hasil produk tulis dari para sarjana hukum di bidang pekerjaannya masing-masing. Membaca dan menulis mungkin terlihat sebagai perkara yang mudah. Iya, semua orang memang bisa membaca dan menulis. Jangankan kita yang dewasa ini, anak-anak usia 6 tahun saja sudah bisa melakukan dua kemampuan ini. Nah, bukan ini yang penulis maksud. Bukan ini kemampuan dasar yang tadi penulis maksudkan itu. Kemampuan berbicara dan menulis dalam konteks seorang sarjana hukum yang wajib dipunyai, adalah kemampuan berargumentasi hukum. Bagaimana seorang sarjana hukum mampu menyampaikan analisis hasil pemikiran atas persoalan hukum secara nalar, runtut, sistematis, baik dalam bahasa lisan (berbicara) maupun dalam bahasa tulis, inilah inti kemampuan yang diharapkan. Belakangan ini, kurikulum pendidikan tinggi hukum merespon baik perihal ini kebutuhan kemampuan ini. Beberapa kampus hukum di Indonesia kemudian mengeksekusi mata kuliah-mata kuliah yang dikhususkan untuk membekali kemampuan berargumentasi hukum secara baik di tingkat S1. Beberapa kampus menamai itu dalam mata kuliah bertajuk “Argumentasi Hukum”, “Logika dan Argumentasi Hukum”, atau “Penalaran Hukum” dan



16



Argumentasi Hukum



sejenisnya. Inilah upaya memberi kemampuan bagi calon-calon sarjana hukum untuk bernalar hukum dalam argumentasi hukum yang dibangunnya. Lalu, apakah urgensi argumentasi hukum bagi calon sarjana hukum? Jawaban atas pertanyaan ini tentu saja luas dan kompleks, menggambarkan begitu besar urgensi argumentasi hukum bagi seorang calon sarjana hukum. Secara khusus, urgensi tersebut dapat dinarasikan sebagai berikut: 1. Kemampuan berargumentasi hukum yang baik akan menunjukkan kemampuan seorang calon sarjana hukum dalam melihat, mengidentifikasi dan menganalisis suatu peristiwa hukum sehingga tepat dalam menentukan penyikapan/penyelesaian masalah. 2. Argumentasi hukum merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki calon sarjana hukum yang menunjukkan tingkat penguasaan pemahaman terhadap substansi dan diwujudkan dalam bentuk lisan ataupun tertulis. Semakin baik argumentasi hukum yang dibangun, menunjukkan tingkat penguasaan pemahaman yang semakin baik. 3. Argumentasi hukum dibangun melalui penalaran hukum yang menunjukkan organisasi pemikiran yang logis, runut, dan sistematis dalam memahami peristiwa hukum, sehingga hal ini mutlak dipunyai oleh calon sarjana hukum yang nantinya terus berhadap-hadapan dengan peristiwa hukum di masyarakat. 4. Argumentasi hukum diperlukan sebagai proses dalam pengembangan keilmuan hukum dalam kajian-kajian/penelitian hukum. Seorang peneliti/pengkaji harus mempunyai kemampuan menganalisis permasalahan penelitian secara baik dalam konteks pengembangan keilmuan. Argumentasi hukum merupakan proses yang senantiasa dilakukan oleh para pemikir hukum, para calon sarjana hukum itu. Dalam menghadapi peristiwa hukum, mereka senantiasa diharapkan argumentasi hukumnya untuk memahami peristiwa itu secara baik. Argumentasi hukum ini dilahirkan melalui proses penalaran yang dilakukan. Penalaran hukum ini dimaknakan sebagai cara (hal) berpikir, menggunakan, mengembangkan atau mengendalikan sesuatu masalah (di bidang) hukum dengan nalar. B.



Logika dan Penalaran



Logika dan penalaran merupakan bagian paling penting dalam membangun argumentasi hukum yang baik. Dua hal ini juga merupakan hal



Argumentasi Hukum



17



yang sangat terkait, logika manusia menghasilkan sebuah penalaran, penalaran dibutuhkan dalam membangun argumentasi hukum yang baik. Sebelum lebih lanjut, definisi mengenai hal ini harus dipahami dengan baik. Pertama mengenai logika. Logika berasal dari kata dalam bahasa Yunani Kuno, yaitu “logos” yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan lewat bahasa. Logika juga termasuk cabang dari filsafat yang membahas mengenai kesimpulan serta juga proses pemikiran dalam mendapatkan suatu kebenaran. Sebagai cabang ilmu filsafat, logika fokus menelaah sesuatu dari ukuran benar-salahnya, sementara dua cabang lainnya dari ilmu filsafat, yakni filsafat etika dan filsafat estetika menelaah hal lainnya. Etika menelaah sesuatu dalam konteks baik-buruk, sedangkan estetika melihat sesuatu dari nilai indah-tidaknya. Dari pemahaman ini, logika sejatinya adalah proses berpikir yang dihasilkan dari akal manusia, ukurannya adalah apa yang dapat diterima benar oleh akal manusia, sesuai dengan proses penerimaan akal budi manusia. Untuk memahami pengertian logika secara luas, berikut ini adalah risalah definisi logika yang penulis rangkum dari berbagai sumber: • • • • • •



Logika adalah ilmu berpikir (Solso). Logika merupakan pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir lurus/ tepat (Maran). Logika merupakan suatu pertimbangan akal atau juga pikiran yang diatur lewat kata serta juga dinyatakan dalam bahasa. (Jan Hendrik Rapar) Logika merupakan suatu metode atau juga teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan menalar (Soekadijo). Logika merupakan suatu ajaran mengenai berpikir yang secara ilmiah membicarakan bentuk pikiran itu sendiri serta juga hukum-hukum yang menguasai pikiran (Aristoteles). Logika merupakan studi mengenai penyimpulan, dengan secara lebih cermat usaha untuk menetapkan ukuran-ukuran guna memisahkan penyimpulan yang sah serta yang tidak sah (William Alston).



Dari logika, kita bisa menemukan parameter benar-salah yang diterima oleh akal manusia – kita menyebut dalam kategori “logis atau tidak”, atau dalam diksi lain kita mengenalinya sebagai “rasional atau tidak”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “logis” artinya “sesuai dengan logika; benar menurut penalaran; masuk akal”. Senada, arti kata “rasional” dalam KBBI adalah “menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal”.



18



Argumentasi Hukum



Dalam kehidupan, logika terus menjadi kontrol bagi manusia untuk menyelami hidup. Manusia perlu berpikir logis untuk terus menghadapi masalah dalam hidup, termasuk juga dalam berpikir tentang hukum. Pepatah mengatakan “banyak orang akan cepat mati daripada berpikir” nyatanya juga benar adanya. Banyak manusia yang malas menggunakan otaknya sehingga mereka tenggelam dalam masalah, larut dalam perasaan yang juga menggelayuti di sepanjang cara pandang mereka menghadapi masalah. Berapa banyak manusia yang lebih memilih menggunakan emosi dan perasaan semata untuk menghadapi masalahnya, hasilnya mereka tidak bisa melepaskan diri dari permasalahan yang dihadapi. Logika yang merupakan hasil olah akal manusia disini memerankan fungsinya yang penting, dimana emosi perasaan sebagai hasil olah rasa manusia tidak selalu dapat diandalkan berjalan sendiri. Dalam konteks hukum, selama ini dominasi cara berpikir hukum yang logis memang menjadi kenyataan yang terlihat di sepanjang penelaahan tentang hukum, baik sejak pembuatan hingga penegakan hukum. Namun, perkembangan ide berhukum dengan hati nurani juga menjadi buah pikir yang tidak bisa diabaikan dari dinamika perkembangan pemikiran hukum saat ini. Kedua model penalaran hukum tersebut terakomodir dalam berbagai aliran pemikiran hukum yang eksis, memiliki penganutnya masing-masing dalam standpoint pemikirannya masing-masing. Dalam hal ini, cara penelaahan kita tentang hukum berkaitan dengan penalaran sebagai metode atau cara untuk mendapatkan kebenaran. Dalam konteks ini, metode untuk mendapatkan kebenaran sesungguhnya terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Metode Penalaran, yaitu usaha untuk memperoleh kebenaran/proses berpikir untuk menemukan kebenaran dengan menggunakan nalar (akal pikiran yang logis). Dalam hal ini manusia memahami setiap realitas dengan mengedepankan cara bekerjanya akal, melalui caracara berpikir lurus dengan nalarnya, berlandaskan secara umum pada hubungan sebab-akibat. 2. Non Penalaran, yaitu usaha memperoleh kebenaran dengan tidak menggunakan nalar atau akal pikiran yang logis. Dalam metode ini, diyakini bahwa realitas itu eksis diterima dalam keyakinan kebenaran yang tidak berdasarkan ukuran nalar saja. Dalam konteks ini, kehadiran keyakinan hati nurani misalnya bisa menjadi pertimbangan dalam menafsirkan realitas. Selain itu, realitas historis berupa mitos juga nyatanya eksis dalam sebagian masyarakat hingga saat ini. Mitos-



Argumentasi Hukum



19



mitos yang hidup dan terpelihara merupakan salah satu contoh nyata cara berpikir non penalaran dalam meyakini kebenaran. Lebih lanjut menelisik pengertian penalaran sebagai metode dalam menemukan kebenaran, maka perlu dilihat makna penalaran secara etimologis, yaitu berasal dari kata “nalar”. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan “nalar” sebagai:26 a. Pertimbangan tentang benar, salah dan sebagainya: akal budi; misalnya: setiap keputusan harus didasarkan nalar yang sehat. b. Aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir yang logis; jangkauan pikir dan kekuatan pikir. Sedangkan “penalaran” diartikan sebagai:27 a. cara (perihal) menggunakan nalar; pemikiran atau cara berpikir logis; jangkauan pemikiran; b. hal mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan dengan perasaan atau pengalaman; c. proses mental dalam mengembangkan pikiran dari beberapa fakta atau prinsip. C.



Bentuk Pemikiran Manusia



Sebelum memahami bagaimana penalaran logis dilakukan oleh manusia melalui cara kerja otaknya, kita mesti mengenal dahulu tentang bentuk-bentuk pemikiran manusia dari yang paling sederhana. Manusia dalam hidupnya mengenal tiga bentuk pemikiran, yang mulai dikembangkan sejak manusia hidup, yaitu: 1. Pengertian (concept/terma) Yaitu bentuk pemikiran manusia yang paling sederhana. Sejak manusia hidup, mereka belajar tentang hal ini, mengenal berbagai pengertian/ konsep dalam kehidupannya. Sejak bayi, kita mulai dikenalkan dengan banyak konsep. Bayi belajar tentang konsep ibu, ayah, saudara, cinta, dan lain sebagainya. Semakin besar ia semakin banyak mengenal konsep, tentang apa itu sekolah, apa itu teman, apa itu agama, apa itu Tuhan, dan lain sebagainya. Inilah bentuk pemikiran yang sederhana, memahami satu demi satu pengertian. Meskipun, sejatinya tidak pernah mudah memahami hakikat [kebenaran] sesuatu, namun manusia senantiasa disodori pengertian demi pengertian sehingga makin lama ia mengenal dan memahami dunia ini. 26 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, diakses dari https://kbbi.web.id/nalar-2. 27 Ibid.



20



Argumentasi Hukum



2. Pernyataan (proposisi/statement) Pernyataan atau proposisi merupakan rangkaian beberapa pengertian/ konsep/terma menjadi suatu kalimat. Contoh dari suatu pernyataan atau proposisi adalah: sebagian anak laki-laki menyukai permainan sepakbola; semua ibu menyayangi anaknya. Dua kalimat tersebut adalah contoh pernyataan, dimana setiap pernyataan terdiri dari beberapa pengertian/konsep yang membentuk makna pemikiran baru. 3. Penalaran (reasoning) Penalaran merupakan bentuk yang lebih rumit dari pemikiran manusia yang merupakan gabungan dari semua bentuk pemikiran, baik pengertian ataupun pernyataan. Bentuk pemikiran ini memerlukan proses berpikir karena harus diolah-nalarnya oleh akal manusia untuk sampai kepada suatu kesimpulan yang dapat diterima. Dengan demikian, penalaran merupakan hasil kerja akal dalam menemukan suatu kebenaran pemikiran. D.



Model Proses Penalaran



Sebagaimana telah dipahamkan di awal, bahwasannya istilah ‘penalaran hukum’ sejatinya tidak hanya menunjukkan bentuk penalaran lain di luar logika, melainkan penerapan asas-asas berpikir dari logika dalam bidang hukum itu sendiri. Dimana hal ini memiliki arti bahwa tidak ada penalaran hukum tanpa logika (sebagai ilmu tentang kaidah berpikir yang tepat dan valid). Dalam perkembangannya, para logikawan kemudian membagi penalaran ke dalam dua kategori utama, diantaranya: 1. Penalaran Deduktif Apabila dalam suatu penalaran, kesimpulan (konklusi) lebih sempit dari pernyataan (premis), maka penalaran tersebut disebut dengan deduktif. Metode yang digunakan dalam penalaran deduktif adalah dengan bertolak dari hal-hal yang umum ke khusus kemudian ditarik suatu kesimpulan. 2. Penalaran Induktif Suatu penalaran yang bertolak dari hal-hal khusus ke umum kemudian ditarik suatu kesimpulan. Dalam penalaran induktif memiliki perbedaan yang sangat menonjol dari penalaran deduktif, yaitu bahwa hukum yang disimpulkan di fenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti.



Argumentasi Hukum



21



Penalaran deduktif memiliki bentuk dasar atau teknik penalaran yang disebut ‘Silogisme’. Silogisme terdiri dari kalimat-kalimat pernyataan, yang dalam logika disebut ‘Proposisi’. Dimana unsur setiap proposisi dalam silogisme disebut sebagai ‘Terma’. Silogisme juga berfungsi sebagai proses pembuktian terkait kebenaran suatu pendapat, tesis atau juga hipotesis tentang suatu permasalahan. Sebelum mengetahui lebih lanjut mengenai bagaimana dan apa saja bentuk maupun contoh-contoh silogisme, perlu dipahami terlebih dahulu apa itu proposisi, premis, konklusi, terma, jenis-jenis terma, dan lain sebagainya. Contoh Silogisme Deduktif: Proposisi : Semua manusia hidup saatnya nanti akan mati. Aktivis mahasiswa adalah manusia hidup. Konklusi : Maka aktivis mahasiswa pada saatnya nanti akan mati. Proposisi adalah pernyataan yang dijadikan sebagai suatu fenomena yang dihadapkan. Dua proposisi pertama disebut sebagai ‘Premis’. Proposisi pertama disebut Premis Mayor, karena menyatakan hal, keadaan dan/atau prinsip umum (semua manusia pasti akan mati). Proposisi kedua disebut Premis Minor, karena menyatakan peristiwa atau kenyataan khusus (aktivis mahasiswa adalah manusia hidup). Konklusi merupakan proposisi yang menutup proses penalaran deduktif dan merupakan konsekuensi logis akibat adanya hubungan antara premis mayor dan premis minor. Setiap premis, tersusun dari beberapa terma. Terma merupakan kata atau sekumpulan kata yang telah disepakatkan bersama sebagai suatu simbol yang merepresentasikan suatu subyek atau obyek (obyek benda atau obyek peristiwa). Sehingga bisa dikatakan bahwa terma merupakan unsur pembentuk (the building blocks) dari suatu proposisi. Dalam sebuah silogisme, suatu terma memiliki posisi yang berbeda-beda. Berdasarkan posisinya terma dibedakan menjadi tiga, diantaranya: 1. Terma Mayor Serangkaian kata-kata yang umumnya berfungsi sebagai predikat dan mesti dijumpai dalam premis mayor dan dalam konklusi. Terma mayor memiliki kode terma berupa ‘T’ (t-besar) atau ‘P’ (predikat). Contoh : • “Saatnya nanti akan mati” 2. Terma Minor Subyek atau pokok kalimat yang terdapat di premis minor dan konklusi. Terma minor memiliki kode terma berupa ‘t’ (t-kecil) atau S (subyek).



22



Argumentasi Hukum



Contoh : • “Aktivis mahasiswa” 3. Terma Tengah Terma yang diperoleh sebagai subyek dalam premis mayor dan premis minor tetapi tidak lagi didapati dalam kalimat konklusi. Terma tengah memiliki kode terma berupa ‘M’ (Medium). Contoh : • “Semua manusia hidup” Dalam pembahasan selanjutnya, untuk dapat dipahami penulis akan memakai kode ‘P’ (predikat) untuk terma mayor dan kode ‘S’ (subyek) untuk terma minor. 1.



Penalaran Deduktif (Silogisme)



Penalaran hukum memperlihatkan hubungan yang erat antara logika dan hukum. Bisa dikatakan bahwa logika menjadi landasan berpikir utama bagi orang hukum. Dalam penyelesaian sebuah permasalahan hukum, seorang praktisi hukum sudah seharusnya mampu menarik kesimpulan secara valid dengan menerapkan pola pikir serta memahami prinsip, aturan, data, fakta dan proposisi hukum. Kesimpulan yang diambil berdasarkan proses penalaran oleh seorang penegak hukum terhadap suatu permasalahan hukum diibaratkan sebagai obat yang diracik oleh seorang dokter. Apabila dalam mengambil kesimpulan terhadap suatu penyakit pasien melalui berbagai proses diagnosa tidak tepat, maka obat yang diberikan pun tidaklah tepat. Hal tersebut tidaklah menyembuhkan pasien bahkan justru semakin memperparah kondisi pasien. Begitupun dengan orang hukum, apabila kesimpulan/argumen yang dilakukan tidaklah tepat, hal tersebut akan berdampak pada tidak selesainya suatu perkara, bahkan akan semakin mencederai nilai hukum yang seharusnya ditegakkan dalam perkara tersebut. Syarat Diterimanya Kebenaran Silogisme Suatu penarikan kesimpulan berdasarkan proses penalaran dapat diterima kebenarannya apabila memenuhi dua unsur, yaitu absah dan benar. Keabsahan (valid) diperoleh apabila penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan prosedur penyimpulan yang sesuai dengan patokan/aturan. Sedangkan kebenaran berkaitan dengan suatu pernyataan yang didukung dengan fakta, jika sesuai fakta ia adalah benar, jika tidak ia adalah salah. Sehingga hanya konklusi dari premis yang benar dan prosedur yang valid itu yang di akui. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memahami suatu keabsahan dan kebenaran dalam suatu penalaran, yaitu:



Argumentasi Hukum



23



a. Prosedur Valid, Premis Salah dan Konklusi Benar. Contoh: Premis Mayor : Semua yang baik itu haram (salah) Premis Minor : Semua yang memabukkan itu baik (salah) Konklusi : Semua yang memabukkan itu haram (benar). Penalaran seperti ini tidak dapat diakui kebenarannya. Sekalipun prosedur valid dan konklusi benar, namun proposisi baik premis mayor dan premis minor tidak dapat dibenarkan. Karena pada faktanya hal yang baik itu tidak haram dan hal yang memabukkan itu tidaklah baik. Sehingga hal ini tidak memenuhi unsur kebenaran (suatu pernyataan di dudkung dengan fakta). b. Prosedur invalid (tidak sah), premis benar dan konklusi salah. Contoh: Premis Mayor : Plato adalah filosof (benar) Premis Minor : Aristoteles bukan Plato (benar) Konklusi : Aristoteles bukan filosof (salah). Penalaran seperti ini tidak dapat diakui kebenarannya. Sekalipun premis benar, namun prosedur penarikan kesimpulan tidak sesuai aturan (invalid). Hingga konklusi yang diambil salah, karena Aristoteles adalah seorang filosof. c. Prosedur invalid (tidak sah), premis salah dan konklusi benar. Contoh: Premis Mayor : Sebagian politikus adalah binatang (salah) Premis Minor : Sebagian manusia adalah binatang (salah) Konklusi : Jadi, sebagian manusia adalah politikus (benar) Penalaran seperti ini tidak dapat diakui kebenarannya. Seperti yang telah diketahui, hanya konklusi dari premis yang benar dan prosedur yang valid lah yang dapat diakui kebenarannya. d. Prosedur valid, premis salah dan konklusi salah. Contoh: Premis Mayor : Semua yang keras tidak berguna (salah) Premis Minor : Adonan roti adalah keras (salah) Konklusi : Adonan roti tidak berguna (salah) Penalaran seperti ini tidak dapat diakui kebenarannya. Suatu pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta bahkan kesimpulan yang diambil adalah suatu kesalahan, adalah mutlak bahwa suatu penalaran tersebut tidak dapat diakui kebenarannya.



24



Argumentasi Hukum



Seperti yang telah disinggung diawal bahwa salah satu bentuk dasar penalaran deduksi adalah silogisme. Dapat dipahamkan bahwa silogisme adalah proses penarikan kesimpulan yang bertolak dari proposisi universal sebagai premis untuk sampai pada konklusi berupa proposisi universal, partikular atau singular. Dalam perkembangannya, dikenal beberapa macam silogisme, diantaranya: 1.1.



Silogisme Kategorik



Silogisme kategorik adalah silogisme yang semua proposisinya merupakan proposisi kategorik. Suatu konklusi lahir dari sebuah premis mayor yang merupakan proposisi universal dan premis minor yang tidak selalu partikular (sebagian) atau singular (tunggal), tetapi yang terpenting harus menjadi pernyataan yang tercakup kepada premis mayornya. Contoh: Premis Mayor : Semua manusia tidak lepas dari kesalahan. Premis Minor : Semua cendekiawan adalah manusia. Premis mayor sebagai proposisi universal, ditandai dengan kuantifier “semua” yang menegaskan sifat berlaku bagi manusia secara menyeluruh. Premis minor, meskipun merupakan pernyataan universal tetapi berada dibawah aturan pernyataan pertama atau ruang lingkup lebih sempit dari pernyataan pertama. Sehingga diperoleh kesimpulan: Konklusi



: Semua cendekiawan tidak lepas dari kesalahan.



a. Hukum-Hukum Silogisme Kategorik 1. Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus partikular juga. Contoh: Premis Mayor : Semua yang halal dimakan menyehatkan Premis Minor : Sebagian makanan tidak halal Konklusi : Sebagian makanan tidak menyehatkan (kata “sebagian” menunjukkan sifat partikular) 2. Apabila satu premis negatif, kesimpulan harus negatif. Contoh: Premis Mayor : Semua mahasiswa terdidik Premis Minor : Sebagian manusia tidak terdidik Konklusi : Sebagian manusia bukan mahasiswa 3. Dari dua premis yang sama-sama partikular tidak sah (valid) diambil kesimpulan. Contoh: Premis Mayor : Beberapa orang kaya adalah kikir



Argumentasi Hukum



4.



5.



6.



7.



25



Premis Minor : Beberapa pedagang adalah kaya Konklusi : Beberapa pedagang adalah kikir Kesimpulan yang diturunkan dari premis yang sama-sama partikular tidak pernah menghasilkan kebenaran yang pasti. Apabila melihat contoh, dalam faktanya, apakah sebagian pedagang adalah orang yang kikir? tentu jawabannya mungkin iya, mungkin tidak. Sehingga tidak ada kepastian dalam kesimpulan yang diambil. Dua premis yang sama-sama negatif tidak menghasilkan kesimpulan apapun, kesimpulan dapat diambil apabila salah satu premisnya positif. Kesimpulan yang ditarik dari dua premis negatif tidak sah. Contoh: Premis Mayor : Kucing bukan ayam Premis Minor : Bebek bukan ayam Konklusi : (tidak ada kesimpulan) Salah satu terma penengah harus tertebar (mencakup) keseluruhan. Diantaranya proposisi dalam bentuk A = universal positif, E = universal negative, O = partikular negatif. Jika tidak merupakan salah satunya, maka kesimpulan yang dihasilkan adalah salah. Contoh: Premis Mayor : Semua ikan berdarah dingin Premis Minor : Binatang ini berdarah dingin Konklusi : Binatang ini adalah ikan. Konklusi yang dihasilkan salah, karena bisa saja “binatang ini” adalah selain ikan, semisal: hewan melata, hewan darat, dan lainlain. Terma predikat dalam kesimpulan harus konsisten pada terma predikat yang ada pada premisnya. Contoh: Premis Mayor : Kerbau adalah binatang Premis Minor : Kambing bukan binatang Konklusi : Kambing bukan binatang Konklusi yang dihasilkan salah, karena binatang pada konklusi merupakan terma negatif, sedangkan pada premis adalah terma positif. Terma tengah harus bermakna sama, baik dalam premis mayor maupun premis minor. Jika tidak, maka kesimpulan akan salah.



26



Argumentasi Hukum



Contoh: Premis Mayor : Bulan itu bersinar di langit Premis Minor : Januari adalah bulan Konklusi : Januari itu bersinar di langit Konklusi yang dihasilkan salah, karena terma baik di premis mayor maupun premis minor memiliki makna yang berbeda. Makna ‘bulan’ dalam premis mayor bermakna benda luar angkasa, sedangkan makna ‘bulan’ dalam premis minor bermakna atau berkaitan dengan kalendar. 8. Silogisme harus terdiri dari tiga terna, terma subyek (S), terma predikat (P) dan terma tengah (M). tidak lebih dan tidak kurang. Karena jika lebih atau kurang dari tiga terma, perbandingan tidak dapat dilakukan dan tidak bisa ditarik kesimpulan. b. Sifat Proposisi Dalam sebuah proposisi terdapat dua sifat dalam pembentukan suatu pernyataan itu sendiri. Kedua sifat tersebut adalah Affirmatio dan Nego. Affirmatio adalah ketika suatu proposisi saling ‘mengiyakan’, menyetujui dan/atau mendukung proposisi lainnya. Kode Affirmatio adalah A dan I. Sedangkan, Nego adalah ketika suatu proposisi ‘menidakkan’, mengelakkan dan/atau tidak menyetujui proposisi lainnya. Kode Nego adalah E dan O. Kedua kata ini (affirmatio dan nego) digunakan untuk menyatakan apakah dalam setiap premis suatu terma ‘M’ atau ‘S’ itu memang benar terbilang ke dalam kelas terma ‘P’. Pernyataan positif Pernyataan negatif



: M = P atau S = P → A : M ≠ P atau S ≠ P → E



c. Cara Menentukan Kode Sifat Proposisi 1. Proposisi Universal (semua/tidak semua) Pernyataan positif : M = P atau S = P → A Pernyataan negatif : M ≠ P atau S ≠ P → E 2. Proposisi partikular (sebagian, beberapa atau kata lain yang menyatakan tidak semua) atau singular (individu atau langsung menyebut nama/identitas). Pernyataan positif : M = P atau S = P → I Pernyataan negatif : M ≠ P atau S ≠ P → O Dibawah ini penulis akan memberikan beberapa contoh penerapan dari sifat proposisi baik universal maupun partikular/singular.



Argumentasi Hukum



27



Contoh 1: Premis Mayor : Tidak semua usulan masyarakat serta merta menjadi kebijakan pemerintah. Premis Minor : Semua yang dibahas dalam rapat gerakan anti korupsi merupakan usulan masyarakat. Konklusi : Tidak semua dibahas dalam rapat gerakan anti korupsi serta merta menjadi kebijakan pemerintah. Sifat Proposisi : EIO Contoh 2: Premis Mayor : Semua pejabat negara seharusnya menyerahkan daftar kekayaan pada KPKPN. Premis Minor : Beberapa menteri kabinet SBY yang tidak mau diaudit merupakan pejabat negara. Konklusi : Maka, beberapa menteri kabinet SBY yang tidak mau diaudit seharusnya menyerahkan daftar kekayaan pada KPKPN. Sifat Proposisi : AOO Contoh 3: Premis Mayor : Semua anggota DPR yang tahu kode etik harus bekerja tanpa mau disuap uang oleh siapapun. Premis Minor : Marzuki Ali sebagai pimpinan adalah anggota DPR yang tahu kode etik. Konklusi : Oleh sebab itu, Marzuki Ali sebagai pimpinan harus bekerja tanpa mau disuap uang oleh siapapun. Sifat proposisi : AII d. Bentuk-Bentuk Silogisme Kategorik Bentuk silogisme dibedakan berdasarkan letak terma tengah “M” dalam premis, baik premis mayor maupun premis minor. Ada empat macam bentuk silogisme, diantaranya: 1. Figur I : Sub Pre Prima Premis Mayor : (M) (P) Premis Minor : (S) (M) Konklusi : (S) (P) Terma tengah (M) menjadi subjek pada premis mayor dan menjadi predikat pada premis minor. Ketentuan khusus bagi bentuk-bentuk ini adalah: - Premis mayor harus universal - Premis minor harus afirmatif



28



Argumentasi Hukum



Bentuk yang sah dari figure ini adalah: AAA, EAE, AII, EIO. (Barbara, Celarent, Darii, Ferio). Contoh: Premis Mayor bahaya. (A) Premis Minor Konklusi



: Semua yang dilarang Tuhan mengandung : Mencuri adalah dilarang Tuhan (I) : Mencuri adalah mengandung bahaya (I)



2. Figure II : Pre Pre Secunda Premis Mayor : (P) (M) Premis Minor : (S) (M) Konklusi : (S) (P) Medium menjadi predikat baik pada premis mayor maupun premis minor. Ketentuan khusus bagi bentuk-bentuk dalam figure ini adalah: - Premis mayor harus universal. - Premis minor kualitasnya harus berbeda dengan premis mayornya. Bentuk yang sah dari figure ini adalah: EAE, AEE, EIO, AOO. (Cecare, Camestres, Festino, Baroco). Contoh: Premis Mayor : Semua tumbuhan membutuhkan air (A) Premis Minor : Tidak satu pun benda mati membutuhkan air (O) Konklusi : Jadi, tidak satu pun benda mati adalah tumbuhan (O) 3. Figur III : Sub Sub Tertia Premis Mayor : (M) (P) Premis Minor : (M) (S) Konklusi : (S) (P) Medium menjadi subjek pada premis mayor maupun premis minor. Peraturan khususnya adalah: - Premis minor harus afirmatif. - Konklusi harus particular. Bentuk yang sah dari figure ini adalah: AAI, AII, IAI, EAO, OAO, EIO. (Darapti, Datisi, Disamis, Felapton, Bocardo, Ferison). Contoh:



Argumentasi Hukum



29



Premis Mayor : Semua pembawa acara adalah pandai berbicara (A). Premis Minor : Beberapa pembawa acara adalah sarjana (I) Konklusi : Jadi, sebagian sarjana adalah pandai berbicara (I) 4. Figure IV : Pre Sub Quarta Premis Mayor : (P) (M) Premis Minor : (M) (S) Konklusi : (S) (P) Medium menjadi predikat pada premis mayor dan menjadi subjek pada premis minor. Peraturan khususnya adalah: - Bila premis mayornya afirmatif, premis minor harus universal. - Apabila premis minor negatif, maka premis mayor harus universal. Bentuk yang sah dari figure ini adalah: AAI, AEE, IAI, EAO, EIO. (Bramantip, Camenes, Dimaris, Fesapo, Fresion). Contoh: Premis Mayor : Semua pendidik adalah manusia (A) Premis Minor : Semua manusia akan mati (A) Konklusi : Sebagian yang akan mati adalah pendidik (I). 1.2.



Silogisme Hipotetik



Silogisme hipotetik adalah argumen yang premis mayornya berupa proposisi hipotetik, sedangkan premis minornya adalah proposisi kategorik yang menetapkan atau mengingkari terma antecedent atau konsekuen premis mayornya. Pada silogisme ini, terma konklusi semuanya dikandung oleh premis mayornya, mungkin bagian antecedent mungkin juga bagian konsekuensinya. Tergantung oleh bagian yang diakui atau di pungkiri dari premis minornya. Contoh: Premis Mayor : Jika Ismail menangis, Rico senang Premis Minor : Ismail menangis Konklusi : Jadi, Rico senang. Penjelasan: Premis minor pada proposisi tersebut menetapkan terma antecedent premis mayor. Sehingga konklusi yang diambil adalah sepenuhnya dari terma konsekuensi premis mayor. Sekali lagi, bahwa konklusi dalam silogisme hipotetik hanyalah diambil dari terma antecedent atau terma konsekuensi sebagaimana disebutkan dalam premis mayor, sehingga tidak membuat sebuah



30



Argumentasi Hukum



pernyataan/kalimat baru diluar itu. Tergantung oleh bagian yang diakui atau dipungkiri dari premis minornya. a. Macam-Macam Silogisme Hipotetik 1. Silogisme yang premis minornya mengakui bagian antecedent. Contoh: Premis Mayor : Jika hujan, saya naik becak. Premis Minor : Sekarang hujan. Konklusi : Jadi, saya naik becak 2. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian konsekuensinya. Contoh: Premis Mayor : Bila hujan, bumi akan basah. Premis Minor : Sekarang bumi telah basah. Konklusi : Jadi, hujan telah turun. 3. Silogisme yang premis minornya mengingkari antecendent. Contoh: Premis Mayor : Jika politik pemerintahan dilaksanakan dengan paksa, maka kegelisahan akan timbul. Premis Minor : Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa. Konklusi : Jadi, kegelisahan tidak akan timbul. 4. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya. Contoh: Premis Mayor : Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah. Premis Minor : Pihak penguasa tidak gelisah. Konklusi : Jadi mahasiswa tidak turun ke jalan. b. Hukum-Hukum Silogisme Hipotetik Untuk memudahkan pemahaman, penulis akan melambangkan antecedent dengan A dan Konsekuen dengan B. Kebenaran suatu silogisme hipotetik harus dijelaskan dengan penyelidikan. Maka, hukum-hukum silogisme hipotetik diantaranya: 1) Apabila A terlaksana maka B juga terlaksana. Contoh: Premis Mayor : Bila terjadi peperangan harga bahan makanan membumbung tinggi. Premis Minor : Peperangan terjadi. Konklusi : Jadi, harga bahan makanan membumbung tinggi.



Argumentasi Hukum



31



Ini adalah penalaran yang sah. Peperangan sebagai salah satu sebab bahan makanan membumbung tinggi, ketika peperangan benar-benar terjadi maka salah satu akibatnya adalah harga bahan makanan membumbung tinggi. Sehingga hal ini adalah sah. 2) Apabila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana (tidak sah = salah). Contoh: Premis Mayor : Bila terjadi peperangan harga bahan makanan membumbung tinggi. Premis Minor : Peperangan tidak terjadi. Konklusi : Jadi, harga bahan makanan tidak membumbung tinggi. Ini adalah penalaran yang tidak sah atau salah. Apabila melandaskan pada logika, pecahnya peperangan bukan satu-satunya sebab naiknya harga bahan makanan. Hal ini bisa saja terjadi karena sebab lain. Sehingga ini tidak sah. 3) Apabila B terlaksana maka A terlaksana (tidak sah = salah). Contoh: Premis Mayor : Bila peperangan terjadi maka harga bahan makanan membumbung tinggi. Premis Minor : Harga bahan makanan membumbung tinggi. Konklusi : Jadi, peperangan terjadi. Ini adalah penalaran yang tidak sah atau salah. Sama dengan hukum ke dua, apabila melandaskan pada logika, membumbungnya harga makanan tidak hanya disebabkan oleh terjadinya peperangan. Hal ini bisa saja terjadi karena sebab lain, seperti bencana alam yang mengakibatkan sulitnya produksi suatu bahan makanan dan sebab yang lain. Sehingga hal ini tidak sah. 4) Apabila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana. Contoh: Premis Mayor : Bila peperangan terjadi maka harga bahan makanan membumbung tinggi. Premis Minor : Harga bahan makanan tidak membumbung tinggi. Konklusi : Peperangan tidak terjadi. Ini adalah penalaran yang sah. Apabila harga makanan tidak membumbung tinggi, berarti tidak ada sebab yang mendahuluinya, termasuk peperangan yang menjadi salah satu sebabnya. Sehingga hal ini sah.



32



Argumentasi Hukum



1.3.



Silogisme Disjungtif



Silogisme disjungtif adalah silogisme yang premis mayornya berupa keputusan disjungtif dan premis minornya berupa keputusan kategorik yang mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor (premis mayor dan premis minor hanya merupakan analog). a. Macam-Macam Silogisme Disjungtif 1) Silogisme disjungtif dalam arti sempit, yaitu yang premis mayornya mempunyai alternatif kontradiktif, seperti: Premis Mayor : Ia lulus atau tidak lulus. Premis Minor : Ia lulus. Konklusi : Ia bukan tidak lulus. 2) Silogisme disjungtif dalam arti luas, yaitu yang premis mayornya mempunyai alternatif bukan kontradiktif, seperti: Premis Mayor : Hasan di rumah atau di pasar. Premis Minor : Hasan di rumah. Konklusi : Hasan tidak di pasar. Apabila kita perhatikan dengan seksama, dua macam silogisme diatas memiliki tipe yang berbeda antara satu dengan yang lain, perbedaannya yaitu: 1) Premis minornya mengingkari salah satu alternatif, maka konklusinya mengakui alternatif yang lain, seperti: Premis Mayor : Ia berada di luar atau di dalam. Premis Minor : Ternyata tidak berada di luar. Konklusi : Jadi, ia berada di dalam. 2) Premis minornya mengakui salah satu alternatif, maka konklusinya mengingkari alternatif yang lain, seperti: Premis Mayor : Budi di masjid atau di sekolah. Premis Minor : Ia berada di masjid. Konklusi : Jadi, ia tidak berada di sekolah. b. Hukum-Hukum Silogisme Disjungtif 1) Silogisme disjungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan selalu benar, apabila prosedur penyimpulannya valid. Ingat, di awal telah penulis sampaikan bahwa konklusi yang diakui hanyalah apabila premis didukung dengan fakta dan pengambilan kesimpulan melalui prosedur yang valid (sesuai aturan dan patokan). Contoh: Premis Mayor : Hasan berbaju putih atau tidak putih. Premis Minor : Ternyata Hasan berbaju putih.



Argumentasi Hukum



33



Konklusi : Jadi, ia bukan tidak berbaju putih. Penjelasan: Yang dimaksud berbaju tidak putih adalah warna selain putih (merah, kuning, hijau). Ketika ternyata Hasan berbaju putih, berarti jelas ia tidak memakai baju dengan warna selain putih. Sehingga konklusi ini sah. 2) Silogisme disjungtif dalam arti luas, kebenaran konklusinya adalah sebagai berikut: • Apabila premis minor mengakui salah satu alternatif, maka konklusinya sah (benar). Contoh: Premis Mayor : Budi menjadi guru atau pelaut. Premis Minor : Budi adalah guru. Konklusi : Jadi, Budi bukan pelaut. • Apabila premis minor mengingkari salah satu alternatif, maka konklusinya tidak sah (salah). Contoh: Premis Mayor : Penjahat itu lari ke Yogya atau ke Solo. Premis Minor : Ternyata penjahat itu tidak lari ke Yogya. Konklusi : Jadi, ia lari ke Solo. Penjelasan: dalam silogisme disjungtif dalam arti luas, logika pilihan mengingkari salah satu alternatif dalam premis minor tidak bisa dimaknakan bahwa pilihan lainnya yang terjadi, karena secara logis pilihan alternatifnya bukan terbatas antara a dan bukan a (seperti disjungtif dalam arti sempit), sehingga jika salah satu diingkari maka pilihan selain a dan b, bisa jadi c, d, e, dan lain sebagainya. Jadi dalam konteks contoh diatas, jika penjahat itu tidak lari ke Yogya, tidak berarti bahwa ia lari ke Solo. 1.4.



Dilema



Hampir semua orang pernah merasakan dilema dalam hidupnya. Mulai dari remaja sampai orangtua pernah merasakannya. Ketika seseorang telah dewasa, biasanya yang menjadi dilema adalah seputar masalah pasangan hidup, keluarga, pekerjaan dan lain-lain. Contohnya seorang wanita karir yang harus memilih antara keluarga dan pekerjaannya. Ia merasa wajib membantu keuangan keluarga dengan bekerja, akan tetapi konsekuensinya ia harus rela



34



Argumentasi Hukum



kehilangan waktu dengan anak-anaknya. Sementara jika ia berhenti bekerja dan mengurus anak-anaknya maka keuangan keluarga akan mengalami kesulitan. Sering kita temui orang-orang yang mengalami dilema seperti ini. Lantas, apakah hubungan antara ilustrasi dilema di atas dengan bidang hukum bahkan seorang penegak hukum? Dilema adalah situasi sulit dimana seseorang harus menentukan pilihan antara dua pilihan atau kemungkinan yang sama-sama tidak menguntungkan atau tidak menyenangkan.28 Dilema juga diartikan sebagai argumentasi yang bentuknya merupakan campuran antara silogisme hipotetik dan silogisme disjungtif.29 Hal ini terjadi karena premis mayornya terdiri dari dua proposisi hipotetik dan premis minornya satu proposisi disjungtif. Konklusinya berupa proposisi disjungtif, akan tetapi bisa proposisi kategorik. Syarat mutlak seorang lawyer, hakim, jaksa, praktisi hukum hingga mahasiswa hukum dalam menghadapi persoalan hukum harus mampu berpikir kritis dan argumentatif dalam memahami prinsip, asumsi, aturan, proposisi dan praktik hukum. Kemampuan penalaran dan argumentasi yang memadai di bidang hukum, maka kebenaran dan keadilan hukum dapat ditemukan, diungkap, diuji dan dijustifikiasi. Namun, tidak jarang dalam pengambilan asumsi-asumsi atau makna-makna dari suatu persoalan hukum, seorang praktisi hukum dihadapkan pada kondisi sulit dan sama-sama tidak mengenakkan untuk dipilih, sehingga harus mampu membuat serta mempertahankan argumentasi berdasarkan prinsip logika dengan tetap memperhatikan relevansi dari suatu persoalan yang dihadapi. Kondisi yang dihadapai tersebut kemudian dinamakan dengan dilema. Dalam dilema, terkandung konsekuensi yang kedua kemungkinannya sama berat. Adapun konklusi yang diambil selalu tidak menyenangkan. Dalam debat khususnya, dilema dipergunakan sebagai alat untuk menyudutkan posisi lawan bicara melalui argumentasi yang disampaikan, sehingga alternatif apapun yang dipilih, lawan bicara selalu dalam situasi tidak menyenangkan. Penulis akan mencoba memberikan contoh melalui beberapa ilustrasi, diantaranya: 1. Ketika seorang ibu yang membujuk anaknya untuk tidak terjun ke dalam dunia politik mengatakan bahwa “apabila engkau berbuat adil, manusia akan membencimu. Namun, apabila engkau berbuat tidak adil, maka Tuhan akan membencimu. Sedangkan, engkau harus bersikap adil atau tidak adil. Berbuat adil ataupun tidak, engkau akan tetap dibenci”. 28 29



Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan. Diakses dari https://kbbi.web.id/dilema Mundiri. Logika. (Penerbit Rajawali Pers, 1994).



Argumentasi Hukum



35



2. Seorang paman mengobrol dengan keponakannya dengan berkata “apabila para mahasiswa suka belajar, maka motivasi menggiatkan belajar tidak berguna. Sedangkan, apabila mahasiswa malas belajar, motivasi itu tidak akan membawa hasil. Karena itu motivasi menggiatakan belajar itu tidak bermanfaat atau tidak membawa hasil.” Pada kedua contoh tersebut, konklusi berupa proposisi disjungtif. Contoh pertama adalah dilema bentuk baku sedangkan kedua bentuk non baku. Sekarang kita akan melihat contoh dilema yang konklusinya merupakan keputusan kategorik, yaitu: 1. Jika Budi kalah dalam perkara ini, ia harus membayarku berdasarkan keputusan pengadilan. Bila ia menang ia juga harus membayarku berdasarkan perjanjian. Ia mungkin kalah dan mungkin pula menang. Karena itu ia harus tetap harus membayar kepadaku. 2. Setiap orang yang saleh membutuhkan rahmat supaya tekun dalam kebaikan. Setiap pendusta membutuhkan rahmat supaya dapat ditobatkan. Dan setiap manusia itu pasti saleh atau pendusta. Sehingga, setiap manusia membutuhkan rahmat. Sebagai seorang praktisi hukum nantinya, sudah sepatutnya memahami bahwa setiap persoalan hukum memiliki arah penyelesaian sendiri, sehingga membutuhkan pola pemikiran tersendiri pula untuk menyusun kriteria bagaimana mengevaluasi suatu argument yang benar. Sekalipun dalam dilema tidak bisa dikatakan bahwa konklusi yang diambil adalah konklusi yang tepat dan menyenangkan. Dalam buku ini, penulis mencoba untuk meyampaikan aturan dan cara mengatasi apabila kita menghadapi suatu dilema, diantaranya: a. Aturan-Aturan Dilema 1) Disjungsi harus utuh. Masing-masing bagian harus benar-benar selesai, sehingga tidak akan ada lagi kemungkinan lain. Apabila terdapat kemungkinan lain, hal ini akan menjadi sebuah jalan keluar baru. Menjadi sebuah tuntutan bagi kita untuk mampu menutup jalan keluar tersebut. Hal yang harus diwaspadai adalah untuk tidak tergelincir dalam sofisme, yaitu pemikiran yang terlihat benar, namun sesungguhnya adalah suatu kesalahan. 2) Konsekuen haruslah sah disimpulkan dari masing-masing bagian. Ketika kita dihadapkan pada sebuah dilema, harus benarbenar memahami setiap pernyataan yang ada. konsekuensi dari penyimpulan yang tidak berdasarkan pada pernyataan yang ada akan mengakibatkan adanya kesalahan.



36



Argumentasi Hukum



3) Kesimpulan yang ditarik dari masing-masing bagian, haruslah merupakan satu-satunya kesimpulan yang mungkin diambil. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka lawan kita akan sanggup mengambil kesimpulan yang berlawanan dengan kesimpulan kita. b. Cara Mengatasi Dilema 1) Dengan meneliti kausalitas premis mayor. Sering benar terjadi dalam dilema terdapat hubungan kausalitas tidak benar yang dinyatakan dalam premis mayornya. Dalam contoh di atas dikemukakan bahwa motivasi peningkatan belajar tidak berguna atau tidak membawa hasil. Konklusi yang diambil tidak benar, karena ditarik dari premis mayor yang mempunyai hubungan kausalitas tidak benar. Dalam kenyataannya, tidak semua mahasiswa yang tidak suka belajar mempunyai sebab yang sama. Dari sekian mahasiswa yang tidak suka belajar, bisa disebabkan karena kurangnya kesadaran, sehingga motivasi sangat berguna bagi mereka. Untuk mengatasi dilema model seperti ini, kita tinggal menyatakan bahwa premis tidak mempunyai dasar kebenaran yang kuat. 2) Dengan meneliti alternatif yang dikemukakan. Alasan kenapa kita harus meneliti alternatif yang dikemukakan, hal ini dikarenakan mungkin sekali alternatif pada permasalahan yang ada, tidak hanya sekedar dinyatakan, akan tetapi lebih dari itu. Salah satu contohnya, yaitu di masa lalu seorang pemimpin sering berkata: “Pilihlah Soekarno atau biarlah negara ini hancur”. Lantas, apakah benar hanya Soekarno yang bisa menyelamatkan negara ini? Apakah tidak ada orang lain yang bisa menggantinya? Tentu saja ada, sehingga alternatifnya lebih dari dua. 3) Dengan Kontra Dilema. Tidak jarang ditemui bahwasanya dilema yang kita hadapi tidak mengandung beberapa kemungkinan, maka hal ini bisa kita atasi dengan mengemukakan dilema tandingan. Banyak sekali dilema yang dihadapkan seseorang kepada kita hanyalah merupakan alat pemojok saja, namun sebenarnya dilema tersebut tidak mempunyai kekuatan. Keadaan tersebut bisa kita hadapi dengan membuat pernyataan dalam bentuk lain yang mempunyai konklusi berlainan dengan penampilan semula. Sebagai contoh adalah pendapat orang yang menyatakan bahwa hidup ini adalah penderitaan, hendak memaksakan keyakinan itu



Argumentasi Hukum



37



dengan mengajukan dilema kepada kita sebagai berikut: Premis Mayor : Bila kita bekerja maka kita tidak bisa menyenangkan diri kita. Premis Minor



: Bila kita tidak bekerja, kita tidak dapat uang.



Konklusi



: Jadi bekerja atau tidak bekerja, kita dalam keadaan tidak menyenangkan.



Dilema tersebut dapat kita jawab dengan kontra dilema, Premis Mayor



: Bila kita bekerja, kita mendapat uang.



Premis Minor : Bila kita tidak bekerja menyenangkan diri kita. Konklusi



kita



dapat



: Jadi bekerja atau tidak, selalu menyenangkan kita



Bila dilema yang kita hadapi tidak mungkin kita atasi dengan teknik diatas, maka jalan terakhir adalah memilih alternatif yang paling ringan. Pada dasarnya tidak ada dilema yang menampilkan alternatif yang benarbenar sama beratnya. Dalam dilema serupa dibawah ini kita hanya dapat memilih alternatif yang paling ringan. Contoh: Apabila tuan masih tercatat sebagai pegawai negeri, maka tuan tidak bisa menduduki jabatan tertinggi pada PT “ Buana Jaya“ ini. Untuk menduduki jabatan tinggi pada PT ini maka anda harus rela melepaskan status tuan sebagai pegawai negeri. Sementara itu anda berat melepas pekerjaan sebagai pegawai negeri, sedangkan bila tidak menjabat pimpinan pendapatan anda di PT itu tetap sedikit. 2.



Penalaran Induktif



Para logikawan umumnya membagi penalaran ke dalam dua kategori utama, yaitu penalaran induksi dan penalaran deduksi. Penalaran industi didasarkan pada generalisasi pengetahuan atau pengalaman yang sudah kita miliki. Berdasarkan pengetahuan atau pengalaman kita tersebut, dirumuskan atau disimpulkan suatu pengetahuan atau pengalaman baru. Dengan kata lain, induktif adalah proses penarikan kesimpulan universal berdasarkan pengalaman, data, fakta atau pengetahuan terbatas sebagai premis yang kita miliki. Contoh: • Kucing berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan. • Kelinci berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan. • Panda berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan.



38



Argumentasi Hukum



• Kesimpulan: Semua hewan yang berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan. Berikut adalah bentuk-bentuk penalaran induktif, diantaranya: 2.1.



Generalisasi Generalisasi adalah proses penalaran yang bertolak dari fenomena individual menuju kesimpulan umum. Proses penalaran generalisasi induktif bersumber dari prosedur kerja ilmuwan (sciences).30 Para ilmuwan melakukan observasi dari berbagai data dan/atau fakta tertentu, kemudian merumuskan hipotesis tentang hasil observasi atas fakta tersebut. Hipotesis tersebut dilakukan dengan sebuah bentuk penalaran induktif. Hasil hipotesis yang memberikan hasil sama (berulang) terhadap setiap observasi yang dilakukan, maka bisa disimpulkan bahwa hal tersebut adalah benar, sekalipun itu masih dalam tahap probabilitas. Contoh: Dian Sastro adalah bintang film, dan ia berwajah cantik. Chelsea Islan adalah bintang film, dan ia berwajah cantik. Generalisasi : Semua bintang film berwajah cantik. Pernyataan “semua bintang film berwajah cantik” hanya memiliki kebenaran probabilitas karena belum pernah diselidiki kebenarannya. Macam-macam generalisasi: 1) Generalisasi Sempurna Generalisasi sempurna adalah generalisasi dimana seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan diselidiki. Contoh: sensus penduduk. 2) Generalisasi Tidak Sempurna Generalisasi tidak sempurna adalah generalisasi dimana kesimpulan diambil dari sebagian fenomena yang diselidiki diterapkan juga untuk semua fenomena yang belum diseldiki. Contoh: • Lionel menyukai film Dinosaurus; Raffael menyukai film Dinosaurus; Sandra menyukai film Dinosaurus; begitu juga Tahta dan Syailendra. • Semua anak-anak menyukai film dunia Dinosaurus. Dari contoh tersebut kemudian muncul pertanyaan, apakah benar semua anak-anak menyukai film Dinosaurus? jawabannya tentu tidak. Oleh 30 Urbanus Ura W. “Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum.” Jurnal Konstitusi. Vol. 14. No. 2. 2017. Hlm. 374-395.



Argumentasi Hukum



39



karena yang diselidiki hanya sebagian namun diterapkan pada semua yang belum diselidiki, maka hal ini menjadikan suatu generalisasi tidak sempurna. 2.2.



Analogi Analogi dalam ilmu Bahasa adalah persamaan antar bentuk yang menjadi dasar terjadinya bentuk-bentuk yang lain. Analogi merupakan salah satu proses morfologi dimana dalam analogi, pembentukan kata baru dari kata yang telah ada. Analogi dilakukan karena antara sesuatu yang dibandingkan dengan pembandingnya memiliki kesamaan fungsi atau peran. Melalui analogi, seseorang dapat menerangkan sesuatu yang abstrak atau rumit secara konkrit dan lebih mudah dicerna. Contoh : Untuk menjadi seorang pemain bola yang hebat atau berprestasi dibutuhkan latihan yang rajin dan ulet. Begitu juga dengan seorang doktor untuk dapat menjadi doktor yang hebat dibutuhkan pembelajaran atau penelitian yang rajin yang rajin dan ulet. Oleh karena itu untuk menjadi seorang pemain bola maupun seorang doktor diperlukan latihan atau pembelajaran. Macam-Macam Analogi: 1) Analogi Induktif Bentuk dasar dari penalaran analogi induktif adalah bahwa karena dua hal yang sama atau serupa dalam banyak hal, maka mereka juga sama atau serupa dalam hal khusus yang lain. Swisher menulis, “An analogy is simply a comparison, and an argument from analogy is an argument from comparison. An argument from analogy begins with a comparison between two things, X and Y. It then proceeds to argue that these twothings are alike in certain respects, A, B and C, and concludes that therefore they are also alike in another respect, D, in which they have not [previously] been observed to resemble one another ... It will be apparentat once that an argument from analogy is never conclusive”.31 Argument analogis dilakukan dengan membandingkan dua hal atau lebih dari unsur yang sama kemudian menarik kesimpulan dari kesamaan hal atau unsur yang dibandingkan tersebut. Contoh : Tim Thomas Indonesia mampu masuk babak final karena berlatih keras setiap hari. Maka Tim Uber Indonesia akan masuk babak final jika berlatih keras setiap hari. 31 Peter Nash Swisher. “Teaching Legal Reasoning in Law School: the University of Richmond Experience”. 1981. Hlm. 537.



40



Argumentasi Hukum



2) Analogi Deklaratif merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal. Cara ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah kita ketahui atau kita percayai. Contoh: Untuk penyelenggaraan negara yang baik diperlukan sinergitas antara kepala negara dengan warga negaranya. Sebagaimana manusia, untuk mewujudkan perbuatan yang benar diperlukan sinergitas antara akal dan hati. 2.3.



Hubungan Kausal Adalah penalaran yang diperoleh dari gejala-gejala yang saling berhubungan. Hubungan kausal (kausalitas) merupakan perinsip sebab-akibat yang sudah pasti antara segala kejadian, serta bahwa setiap kejadian memperoleh kepastian dan keharusan serta kekhususan-kekhususan eksistensinya dari sesuatu atau berbagai hal lainnya yang mendahuluinya. Hubungan kausalitas merupakan hal-hal yang diterima tanpa ragu dan tidak memerlukan sanggahan. Keharusan dan keaslian sistem kausal merupakan bagian dari ilmu-ilmu manusia yang telah dikenal bersama dan tidak diliputi keraguan apapun. Macam Hubungan Kausal: 1) Sebab – Akibat Contoh: Penebangan liar di hutan mengakibatkan tanah longsor. 2) Akibat – Sebab Contoh: Andri juara kelas karena dia rajin belajar. 3) Akibat – Akibat Contoh: Toni melihat kecelakaan di jalan raya, sehingga Toni beranggapan adanya korban kecelakaan. Akan tetapi perlu diketahui bahwa penalaran induktif bukanlah sesuatu yang pasti, melainkan hanya sampai pada tingkat kemungkinan atau probabilitas semata. “A conclusion reached by inductive reasoning is not considered a truth; rather, it is a proposition that is more probably true than not.”32 Sehingga dalam argument induktif, berapapun jumlah fenomena atau premis yang ditampilkan, tidak menjamin kepastian penyimpulan induktif. Karena data, fakta atau proposisi yang terbatas tidak bisa dipastikan bahwa kebenaran penyimpulan induktif bersifat universal. Maka kebenaran penyimpulan induktif hanya sampai pada kemungkinan atau probabilitas semata.33 32 33



Mary Massaron Ross. “A Basis for Legal Reasoning: Logic on Appeal”. 2006. Hlm. 180. Ibid.



Argumentasi Hukum



41



Meskipun kebenaran penyimpulan induktif hanya sampai pada tingkat kemungkinan semata. Namun, kebenaran penyimpulan induktif tergantung pada factor-faktor probabilitasnya. Faktor probabilitas adalah faktor-faktor yang menentukan tinggi atau rendahnya probabilitas konklusi induksi. Faktorfaktor probabilitas tersebut diantaranya:34 1. Faktor Jumlah Fakta Faktor jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif. Kaidahnya: “semakin besar jumlah fakta yang dijadikan sebagai dasar penalaran induktif, semakin tinggi probabilitas konklusinya, dan sebaliknya”. 2. Faktor Analogi Faktor analogi adalah faktor yang sama yang terdapat dalam setiap premis. Kaidahnya: “semakin besar jumlah faktor analogi di dalam premis, semakin rendah probabilitas konklusinya dan sebaliknya”. 3. Faktor Disanalogi Faktor disanalogi adalah faktor yang tidak sama atau beragam yang ada di dalam premis. Kaidahnya adalah: “semakin besar jumlah faktor disanaloginya di dalam premis, semakin tinggi probabilitas konklusinya dan sebaliknya”. 4. Faktor Luas Konklusi Kaidahnya adalah: “semakin luas konklusinya semakin rendah probabilitasnya dan sebaliknya”.



34 R.G. Soekadijo. Logika Dasar, Tradisional, Simbolik, dan Induktif. cet. Ke-9, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003). Hlm. 135-138



42



Argumentasi Hukum



BAB III ARTI PENTING LOGIKA DALAM HUKUM A.



Arti Penting Logika Terhadap Ilmu Hukum



Dalam bab sebelumnya, penulis telah menyampaikan pengertian logika terkhusus dalam bidang hukum. Kemudian dalam bab ini mari kita bersamasama semakin memahami kedudukan hingga arti penting logika terhadap ilmu hukum. Seperti yang kita ketahui, bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna, karena akal yang dimilikinya. Dengan akal, manusia dapat mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya hingga memahami hakikat kebenaran dan kesalahan terhadap hal yang diketahuinya tersebut. Manusia karena akalnya yang dituangkan dalam bahasa menjadi makhluk istimewa yang senantiasa terdorong untuk berpikir sepanjang hayatnya sesuai dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya. Sehingga bisa dikatakan, logika adalah pertimbangan hasil pemikiran diungkapkan melalui kata-kata, dinyatakan dalam bahasa terkhususnya untuk menghadapi masalah dalam hidup, termasuk berpikir tentang hukum. Menurut Munir Fuadi, logika berfungsi sebagai suatu metode untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari suatu penalaran, sedangkan penalaran adalah suatu bentuk pemikiran.35 Ketika seorang praktisi hukum dihadapkan kepada suatu persoalan hukum, berdasarkan akal yang dimilikinya, maka keberadaan akal sebagai alat untuk berpikir logis (penalaran) sangat penting keberadaannya untuk meneliti kebenaran dan ketepatan dari proses penyelesaian terhadap persoalan yang dihadapi. Hal-hal tersebut dipengaruhi karena pada dasarnya, logika menyampaikan pemikiran yang benar, terlepas dari berbagai prasangka emosi dan keyakinan seseorang. Oleh karena itu, logika mendidik manusia bersikap obyektif, tegas dan berani, suatu sikap yang dibutuhkan dalam segala suasana dan tempat.36 Logika dalam ilmu hukum memiliki karakternya sendiri, sehingga sangat perlu mengetahui bagaimana berlogika hukum yang benar. Lantas, apa hubungan logika dengan hukum? Hubungan antara logika dan hukum adalah dari sifat logisnya, yaitu suatu sifat khusus dari hukum dimana norma-norma dari hukum sesuai dengan asas-asas logika. Sesuai dengan pengertiannya, logika hukum adalah penarikan kesimpulan dengan menggunakan nalar yang 35 Surajiyo & Sugeng Astanto & Sri Andini. Dasar-Dasar Logika. (Jakarta: Bumi Aksara, 2012). Hlm. 10. 36 Mundiri. Logika. (Depok: Rajawali Press, 2017). cetakan ke-19. Hlm. 17.



Argumentasi Hukum



43



tepat terhadap persoalan hukum. Dalam berlogika berarti melakukan penalaran. Penalaran adalah proses berpikir untuk menghasilkan kesimpulan-kesimpulan tentang sesuatu dari beberapa fenomena yang dihadapkan. Penalaran hukum adalah penerapan prinsip-prinsip berpikir lurus (logika) dalam memahami prinsip, aturan, data, fakta dan proposisi hukum.37 Logika hukum (legal reasoning) dalam perkembangannya, dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dan lain-lain) hingga kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata maupun administrasi) dan pada akhirnya memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada. Dari pengertian ini, dapat dikatakan juga logika hukum (legal reasoning) juga tentang bagaimana pencarian dasar oleh hakim dalam memutuskan perkara atau kasus hukum, seorang pengacara mengargumentasikan hukum, bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum hingga bagi para penyusun undang-undang dan peraturan, logika hukum berguna untuk mencari dasar mengapa suatu undangundang atau peraturan tersebut perlu disusun dan dikeluarkan, sehingga tidak hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan tujuan. B.



Relevansi Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum



Seperti telah dijelaskan diawal, bahwa logika dan penalaran hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari studi hukum. Hanson menyatakan bahwa studi hukum secara kritis dari sudut pandang logika, penalaran hukum dan argumentasi hukum dibutuhkan karena pemahaman hukum dari perspektif semacam ini berusaha menemukan, mengungkap, menguji akurasi dan menjustifikasi asumsi-asumsi atau berbagai makna tersembunyi dalam peraturan atau ketentuan hukum yang ada berdasarkan kemampuan rasio (akal budi) manusia.38 Hal ini salah satunya didasarkan pada setiap produk hukum baik tertulis ataupun tidak tertulis adalah berdasarkan intelektualitas manusia, dimana tingkat intelektualitas setiap manusia terbatas pun berbeda antara satu dengan yang lain. Sehingga dengan adanya akal yang dimiliki, manusia dapat menggali serta memahami berdasarkan tingkat rasio yang dimilikinya. Kemampuan semacam ini tidak hanya dibutuhkan bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang hukum melainkan juga dalam seluruh bidang ilmu dan pengetahuan lain di luar hukum. 37 Urbanus. Loc.cit., Hlm. 381. 38 Sharon Hanson (ed), Legal method, Skills and Reasoning, (Milton Park-Abingdon_Oxon: Routledge-Cavendish, 2010). Hlm. 5-8.



44



Argumentasi Hukum



Dalam perkembangannya, memang harus diakui bahwa pengambilan keputusan hukum (decision-making) tidak hanya berbicara mengenai persoalan penalaran baik penalaran induksi, deduksi hingga analogi. Akan tetapi, tuntutan terhadap setiap putusan yang dapat dinalar secara akal sehat dan logis, selalu merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar. ”That a body of rules exists, even in the form of a written constitution, does not abolish judicial discretion, since thejudge might not apply them, nor does it prevent the decisive influence of nonlegal considerations, such as the community’s collective conscience.”39 Yang pada faktanya, suatu keharusan tersebut bukan hanya sesuatu yang dituntut setelah menghadirkan fakta-fakta yang ada dalam proses hukum, namun juga inheren dalam proses hukum itu sendiri. Dewasa ini, mahasiswa hukum sering dituntut untuk memiliki pola pikir selayaknya seorang ahli hukum, “to think like a lawyer”. Pola pikir yang dimiliki haruslah pola pikir yang dapat memahami suatu persoalan hukum dengan kritis, rasional dan argumentatif berdasarkan rumusan undang-undang, opini maupun pendapat hukum. Hal ini tidak lain dan tidak bukan, berangkat dari harapan bahwa kelak mahasiswa hukum harus mampu menganalisis kasus hukum melalui medium penalaran hukum, baik kasus hukum dalam wilayah publik, akademik atau pengadilan. Keterampilan dasar dalam memahami serta menggali kemampuan dalam penalaran hukum lebih baik diberikan kepada mahasiswa hukum daripada tidak sama sekali. Apabila senjata seorang koki dalam melakukan pekerjaannya adalah pisau, maka senjata seorang mahasiswa hukum adalah kemampuan penalaran hukum yang memadai. Peter Nash Swisher menegaskan bahwa mahasiswa hukum perlu diajarkan prinsip-prinsip logika dasar dan penalaran hukum. Ibarat seorang perenang yang perlu mempelajari teknik dan cara berenang agar tetap survive, demikian juga mahasiswa hukum perlu dibekali dengan pemahaman dan keterampilan penalaran hukum agar bisa survive.40 Dengan logika dan penalaran hukum, mahasiswa dan para praktisi hukum nantinya, akan mampu memahami hukum secara kritis dan rasional berdasarkan metode berpikir lurus dan tepat tersebut. Dalam konteks yang lebih luas, logika adalah suatu alat untuk mengontrol emosi, ego, perasaan bahkan prasangka manusia yang berkecamuk pada saat menghadapi suatu persoalan, dalam hal ini ialah persoalan hukum. Pada saat melakukan perumusan, pelaksanaan dan penerapan hukum, seorang 39 Thomas Halper. “Logic in Judicial Reasoning”. Indiana Law Journal. Vol.44, Iss. 1, article 2. 1968. Hlm. 33. 40 Peter Nash Swisher, “Teaching Legal Reasoning in Law School: the University of Richmond Experience”. 1981, Hlm. 537



Argumentasi Hukum



45



praktisi hukum harus mampu melakukan pertimbangan dan penalaran logis untuk menjamin objektivitas hukum. Ketika seorang praktisi hukum terlalu bemain di wilayah rasa, maka akan semakin menjauhkan hukum dari objektivitas dan imparsialitas. Karena dengan penalaran logika, hukum tidak lagi mendasarkan diri pada kepentingan dan pertimbangan lain di luar nalar dan akal sehat. Dengan menggunakan logika, kepastian hukum akan bermuara pada relasi antara logika dan penalaran dalam proposisi logis yang dirumuskan secara objektif. Dengan demikian jelas bahwa logika dan penalaran hukum selalu relevan, karena logika dan penalaran hukum:41 1) Menjamin kesahihan suatu argumentasi dan salah satu jalan untuk mendekatkan diri pada kebenaran dan keadilan; 2) Membantu para calon praktisi hukum, lawyer, para jaksa dan hakim, menganalisis, merumuskan, dan mengevaluasi fakta, data, dan argumentasi hukum; kemampuan dalam bidang ini merupakan makhkota dan jantung keterampilan para lawyer dan hakim dalam memutuskan suatu perkara hukum; 3) Pemahaman terhadap prinsip-prinsip penyimpulan logis, baik deduksi, analogi, maupun generalisasi induksi, tidak hanya berguna dalam memahami persoalan, praktik, dan putusan hukum, melainkan juga pengalaman-pengalaman empiris sehari-hari serta observasi ilmiah; 4) Domain utama dan esensi praktik atau putusan hukum tidak lain dari penalaran praktis dengan logika sebagai basisnya. Praktik hukum memang lebih dari sekedar logis (logika). Dengan mempelajari buku ini, penulis sampaikan bahwa mempelajari logika, penalaran dan argumentasi hukum sangat penting bagi seorang mahasiswa hukum, khususnya untuk menganalisa isu-isu hukum yang aktual, sebab suatu penalaran tersebut dilakukan untuk menguji serta mencapai suatu kebenaran. Kebenaran disini ialah tentunya terkait dengan tujuan hukum itu sendiri. Isu hukum yang sedang berkembang di masyarakat, dapat di analisa dengan baik apabila penalaran mahasiswa hukum terarah. Oleh karena itu, alur pikir mahasiswa diharapkan dapat mencapai kebenaran serta searah dengan tujuan hukum itu sendiri. Hal-hal tersebut diatas, dapat kita pahami bahwa setiap penalaran hukum memiliki karakteristik yang berbeda-beda, terikat pada kaidah-kaidah penalaran yang tepat seperti hukum-hukum silogisme hingga ketepatan penalaran induksi 41 Urbanus Ura Weruin. “Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum (Logic, Reasoning and Legal Argumentation).” Jurnal Konstitusi. Vol 14. No 2. 2017. Hlm. 381



46



Argumentasi Hukum



dan lain sebagainya. Sebagai salah satu contoh, penanganan perkara sejak penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan perkara di pengadilan selalu berawal dari proses berpikir induksi berupa generalisasi. Langkah atau proses pertama adalah merumuskan fakta, kemudian identifikasi hukum, mencari hubungan sebab-akibat, hingga mereka-reka probabilitas barulah melakukan penerapan hukum. Berikut penulis akan sampaikan, beberapa peranan penting penalaran silogisme dan induksi (hubungan kausalitas dan analogi) dalam penangan perkara atau penyelesaian masalah hukum, diantaranya: 1.



Makna Penting Penalaran Silogisme Dalam Hukum



Dalam bab sebelumnya, penulis telah menyampaikan mengenai pengertian penalaran silogisme, bentuk silogisme hingga berbagai hukum yang menyertainya. Apabila kita hanya memandang sebelah mata dan mempelajari silogisme hanya untuk sekedar bacaan dikala luangnya waktu, maka yang kita pahami hanyalah bahwa silogisme adalah salah satu jenis pertanyaan atau soal psikotes di berbagai bentuk ujian masuk perguruan tinggi saja. Tidak sedikit orang yang memahami silogisme hanya berhenti pada suatu soal berupa suguhan beberapa pernyataan dan tinggal dicari kesimpulannya saja. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak mutlak akan kebenarannya. Silogisme harus dipahami secara meluas sebagai uji logika dalam kehidupan sehari-hari pada akal manusia dalam kehidupannya. Silogisme secara logis, bisa kita pahami sebagi penarikan kesimpulan yang bertolak dari proposisi universal sebagai premis untuk sampai pada konklusi atau kesimpulan berupa proposisi universal, partikular dan/atau singular (dari umum ke khusus). Ketika beberapa fenomena dihadapkan satu sama lain, maka sebagai seorang manusia yang diberkati dengan akal, harus mampu mengambil suatu kesimpulan dari beberapa fenomena tersebut. Ketika proses berpikir dilandaskan pada logika dan penalaran, maka akan ditemukan mengenai hakekat kebenaran suatu hal. Proses berpikir inilah yang harus dibentuk dan ditanamkan pada setiap mahasiswa hukum, yang nantinya pada saat menjadi praktisi hukum, mampu menganalisis suatu persoalan hukum secara kritis dan implementatif berdasarkan prinsip, data, fakta dan proposisi hukum yang tepat. Menurut Sudikno Mertokusumo, seorang sarjana hukum khususnya hakim, selayaknya menguasai kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan utama, yakni : Merumuskan, masalah hukum (legal problem identification), memecahkannya



Argumentasi Hukum



47



(legal problem solving) dan terakhir mengambil keputusan.42 Dengan penalaran yang tepat, suatu pertimbangan hukum dan/putusan dapat diketahui logika berpikir yang digunakan hakim untuk membuktikan benar tidaknya suatu hukuman dijatuhkan kepada seorang terdakwa. Contoh penggunaan penalaran silogisme yang menuntun hakim berpikir logis hingga menghasilkan suatu simpulan yang terwujud dalam putusan yang disusunnya adalah dengan menempatkan logika berpikir umum ke khusus yaitu pasal-pasal hukum sebagai Premis Mayor, peristiwa atau kasus hukum sebagai Premis Minor, dan hasil putusannya sebagai Konklusi. Premis Mayor : Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun (Pasal 362 KUHP) Premis Minor : Suyanto mengambil HP milik orang lain secara tidak sah, kemarin. (Peristiwa Hukum) Konklusi : Maka Suyanto akan dipidana penjara karena pencurian setinggi-tingginya 5 (lima) tahun. Dari contoh di atas, dapat diketahui bahwa ketika hakim bertolak dari aturan hukum yang berlaku pada kasus individual secara umum dan digunakan untuk mendapatkan kesimpulan dari hal yang bersifat umum terhadap kasus individual secara konkrit (khusus), maka hakim tersebut menggunakan penalaran silogisme. Bisa dikatakan pula bahwa penalaran silogisme berfungsi sebagai suatu proses pembuktian akan kebenaran dan kesalahan suatu pendapat, tesis dan juga hipotesis tentang suatu permasalahan. Apabila hal ini kita kaitkan dengan bidang hukum, maka penalaran silogisme sangat erat kaitannya dengan penyusunan suatu legal reasoning berdasarkan penafsiran undang-undang. Ketetapan yang diambil dari kata-kata yang ada dalam undang-undang, sifatnya adalah dari suatu hal yang umum kemudian ditarik ke dalam suatu kasus tertentu secara khusus. Dalam menganalisis suatu persoalan hukum, proses legal reasoning diperlukan untuk menjaga supaya suatu persoalan hukum tersebut tetap dalam koridor ketentuan hukum yang berlaku. Demikian pula, proses penyelesaian suatu sengketa hukum, legal reasoning sangat diperlukan untuk mendapatkan 42 Sudikno Mertokusumo.Pendidikan Hukum di Indonesia Dalam Sorotan, dalam Sidharta. Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Kofonteks Keindonesiaan, (Bandung: C.V. Utomo, 2006). Hlm. 196.



48



Argumentasi Hukum



esensi dari sengketa agar dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya dalam lingkup hukum yang berlaku. Oleh karenanya, berbagai bentuk penalaran silogisme beserta hukum yang menyertainya adalah salah satu hal yang harus dipahami sebagai hal yang penting untuk dikuasai oleh seorang praktisi hukum. 2.



Makna Penting Kausalitas Dalam Hukum



Sebagai seorang mahasiswa hukum dan/atau praktisi hukum, sudah seharusnya memiliki kemampuan untuk menganalisis suatu persoalan hukum mengenai berbagi faktor penyebab hingga akibat yang terjadi dalam persoalan tersebut. Tepat atau tidaknya suatu penarikan kesimpulan terkait peristiwa hukum, tergantung kepada daya pikir dalam memahami rangkaian hubungan sebab akibat yang ada. Dalam hal ini, seorang praktisi hukum dituntut tidak hanya berpikir maju atau hanya melihat suatu persoalan ketika persoalan telah terjadi dan muncul akibat dari fakta-fakta yang ditemukan, namun juga harus mampu berpikir mundur, mencari serta merangkai sebab yang berhubungan dengan akibat yang ada, sehingga timbullah suatu penarikan kesimpulan atau putusan hukum yang tepat. Sebagai contoh, setiap kali terjadi kasus pembunuhan, aparat penegak hukum dituntut untuk mampu menangkap dan mengungkap motif tindakan pelaku. Penegak hukum, dalam hal ini polisi, harus mampu bekerja keras mengolah tempat kejadian perkara, mencari bukti-bukti hingga pada akhirnya menangkap pelaku. Hal yang tak kalah penting adalah memastikan sebab meninggalnya korban pembunuhan tersebut. Apakah akibat tindakan pelaku atau ada sebab lain di luar tindakan pelaku. Penegak hukum harus mampu menggali rangkaian hubungan sebab akibat perbuatan pelaku dengan meninggalnya korban. Dari ilustrasi yang penulis sampaikan di atas, dapat dipahami bahwa hubungan kausalitas atau sebab akibat memainkan peranan penting dalam penanganan perkara atau penyelesaian masalah hukum. Sehingga kausalitas mempunyai makna sangat penting dalam bidang hukum. Selanjutnya, penulis akan mencoba menyampaikan makna penting kausalitas dalam setiap bidang hukum, diantaranya: 2.1.



Dalam Bidang Hukum Pidana Dalam bidang hukum pidana, ajaran tentang kausalitas atau sebab akibat berkaitan dengan tiga hal, yaitu: a) Delik Materiil Dalam delik-delik yang dirumuskan secara materi, harus ada keadaan tertentu yang dilarang atau dipenuhi unsur-unsur perbuatan



Argumentasi Hukum



49



yang dilukiskan dalam aturan tersebut. Misalnya, untuk dapat menunutut seseorang karena disangka membuat meninggalnya si A, maka harus dibuktikan bahwa karena perbuatan orang itu lalu menimbulkan akibat berupa meninggalnya si A. Dengan kata lain, bahwa akibat kelakuan orang itulah menjadi sebab dari meninggalnya si A. Sehingga harus dipahami dengan betul apakah orang tersebut melakukan perbuatan yang memberikan akibat hukum sebagaimana dilukiskan dalam aturan yang mengatur terhadap perbuatannya. b) Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang dilarang, maka ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbuatan tersebut melanggar hukum. Tentunya, apabila dilihat dari kemampuan bertanggungjawab, maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. c) Delik dengan Pemberatan Selain dalam delik-delik yang dirumuskan secara materiil, maka penentuan kausal diperlukan pula dalam delik-delik yang dikualifisir oleh akibatnya, yaitu di mana karena timbul suatu akibat tertentu yang memberatkan, maka ancaman pidana terhadap delik tersebut juga diberatkan. Contohnya adalah pencurian dengan membongkar, penganiayaan yang mengakibatkan kematian, pembunuhan berencana. Delik dengan pemberatan dapat dijumpai dalam Pasal 365 KUHP terhadap Pasal 362 KUHP, Pasal 374 KUHP terhadap Pasal 372 KUHP. 2.1.1. Teori Kausalitas Dalam Hukum Pidana Untuk menentukan hubungan sebab akibat (hubungan kausal) dalam peristiwa pidana dikenal beberapa teori atau ajaran, yaitu: 1) Teori Conditio Sine Quanon (Teori Mutlak dari Von Buri) Menurut Von Buri bahwa setiap perbuatan adalah merupakan sebab daripada akibat yang timbul. Sehingga dalam teori ini menganggap bahwa perbuatan atau masalah harus dianggap sebagai sebab dari suatu akibat, apabila perbuatan itu menjadi syarat dari akibat itu. Selain



50



Argumentasi Hukum



itu, teori ini menganggap bahwa setiap sebab adalah sama nilainya. Contoh, orang mengisi pelita dengan minyak dan orang yang membuat korek api adalah dua hal yang memiliki nilai sama. Hal ini disebabkan keduanya mempunyai syarat yang sama untuk menyalakan pelita tadi. Dalam teori ini hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir, karena setiap “sebab” sebenarnya merupakan akibat dari sebab yang terjadi sebelumnya. Misalnya, ada seseorang yang mati ditembak oleh seseorang. Menurut teori ini, kematian orang tersebut bukan hanya ditembak, melainkan juga oleh orang yang menjual senjata api bahkan sampai pada perusahaan yang memproduksi senjata api tersebut. Namun, kemudian oleh Van Hammel, teori ini dilengkapi bahwa setiap perbuatan adalah sebab dari akibat yang timbul, dengan keharusan adanya unsur kesalahan (schuld). Hal ini sesuai dengan asas hukum pidana yaitu Geen Starft Zonder Zshuld (tiada hukuman tanpa kesalahan). Karena teori ini hubungan kausal membentang tanpa akhir, sehingga perlu adanya pembatasan dengan adanya unsur kesalahan yang harus dipenuhi terlebih dahulu. 2) Theori Adequate (Traiger) Menurut teori ini, dari sekian banyak sebab yang menimbulkan suatu akibat, hanya dicari satu sebab saja, yaitu perbuatan manakah yang menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan hukum oleh undang-undang. Berkaitan dengan hal ini, dikenal dua teori, diantaranya: -



Teori Individualisasi Sebab dilihat in concreto, yakni secara konkret diukur menurut pandangan individual. Salah satu penganut aliran ini adalah Birckmayer. Menurutnya sebab adalah faktor yang paling menentukan untuk timbulnya akibat.



-



Teori Generalisasi Sebab dilihat in abstracto. Menurut perhitungan yang layak/ pandangan secara umum, dari sekian sebab, diambil satu sebab yang kiranya menimbulkan akibat. Salah satu penganut teori ini adalah Von Kries dengan teori Adequat-nya, mengatakan bahwa sebab harus seimbang dengan akibat yang timbul.



2.1.2. Teori Kausalitas Dalam Praktik Peradilan Dari berbagai macam teori tersebut dalam praktek ternyata teori yang digunakan oleh hakim (Hoge Raad/Mahkamah Agung Negara Belanda)



Argumentasi Hukum



51



berbeda-beda dari waktu ke waktu. Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa MA menganut satu teori/ajaran saja. Misalnya, pada tahun 1911, HR/MA menyerahkan kepada kebijaksanaan Hakim, pada tahun 1929, HR/MA menganut teori Von Buri, sedangkan pada tahun 1935 HR/MA menganut teori Adequat. Bahkan dalam dalam praktek berikutnya, ternyata yurisprudensi menganut teori akibat langsung dan teori Adequat (sebab yang secara wajar dapat diduga menimbulkan suatu akibat). 2.2.



Dalam Bidang Hukum Perdata Teori kausalitas dalam bidang Hukum Perdata mempunyai makna penting dalam penentuan kerugian akibat wanprestasi (pasal 1243 BW) atau perbuatan melawan hukum (pasal 1365 BW). Perlu diketahui, bahwa seseorang dikatakan wanprestasi adalah ketika ia melanggar suatu perjanjian yang telah disepakati dengan pihak lain. Sehingga bisa dikatakan bahwa tidak ada wanprestasi apabila tidak ada perjanjian sebelumnya. Sedangkan, perbuatan melawan hukum adalah ketika seseorang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan. Sebab akibat dalam Hukum Perdata, dikenal beberapa teori hubungan kausalitas, yaitu diantaranya: 1) Teori Conditio Sine Quanon Sebelumnya telah penulis bahas, bahwasanya menurut teori ini menganggap bahwa setiap perbuatan adalah sebab dari akibat yang timbul serta setiap sebab adalah sama nilainya. Kekurangan teori ini terletak pada terlalu luasnya hubungan kausal yang ada. Sehingga dalam perkembangannya teori ini dibatasi oleh Van Hamel yang menyatakan bahwa setiap perbuatan adalah sebab dari akibat yang timbul dengan keharusan adanya unsur kesalahan yang dapat dibuktikan. 2) Teori Individualisasi Teori ini berusaha mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan. Dengan kata lain peristiwa dan akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post factum). Menurut teori ini tidak semua faktor merupakan penyebab. Dan faktor penyebab itu sendiri adalah faktor yang sangat dominan atau memiliki peran terkuat terhadap timbulnya suatu akibat. Pendukung teori ini adalah Birkmayer dan Karl Binding.



52



Argumentasi Hukum



Kekurangan dari teori ini adalah penentuan ukuran paling kuat dari beberapa faktor yang menimbulkan suatu akibat, jika semua faktor sama-sama kuat untuk menimbulkan suatu akibat tersebut. 3) Teori Causa Proxima Hampir sama dengan teori individualisasi, yaitu bahwa menurut teori ini, sebab adalah syarat yang paling dekat dan tidak dapat dilepaskan dari akibat. 4) Teori Adequato Menurut teori ini, dari sekian banyak sebab yang menimbulkan suatu akibat, hanya dicari satu sebab saja, yaitu perbuatan manakah yang menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan hukum oleh undang-undang. Berkaitan dengan hal ini, dikenal dua teori, diantaranya: - Teori Indivdualisasi Sebab dilihat in concreto, yakni secara konkret diukur menurut pandangan individual. Salah satu penganut aliran ini adalah Birckmayer. Menurutnya sebab adalah faktor yang paling menentukan untuk timbulnya akibat. - Teori Generalisasi Sebab dilihat in abstracto. Menurut perhitungan yang layak/ pandangan secara umum, dari sekian sebab, diambil satu sebab yang kiranya menimbulkan akibat. Salah satu penganut teori ini adalah Von Kries dengan teori Adequatnya, mengatakan bahwa sebab harus seimbang dengan akibat yang timbul. 2.3.



Dalam Bidang Hukum Administrasi Teori Kausalitas dalam bidang Hukum Administrasi mempunyai makna penting dalam menentukan kerugian akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha negara. Teori yang digunakan adalah teori akibat langsung, yaitu berdasarkan ketetapan atau keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, Instansi, Badan, bahkan hingga Pejabat Tata Usaha Negara yang mengakibatkan kerugian yang dapat diderita langsung oleh pihak yang disebutkan dalam ketetapan atau keputusan tersebut. Contoh: keputusan TUN Kerugian Sebab Akibat Dalam Pasal 1 ayat (9) Undang Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan: “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara



Argumentasi Hukum



53



yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata“. 3.



Analogi Dalam Hukum



Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa dalam praktik, aturan hukum tertulis tidak pernah lengkap dan selalu tertinggal satu langkah dari kemajuan zaman. Hukum tertulis adalah bentuk produk hukum hasil dari intelektualitas manusia, dimana intelektualitas manusia sangatlah terbatas. Dengan terbatasnya intelektualitas tersebut, suatu produk hukum yang dilahirkan baik yang berlaku untuk saat ini ataupun untuk masa yang akan datang, tetap tidak akan bisa mengikuti perubahan yang ada. Roda ekonomi dan arus sosial akan terus bergerak tanpa menunggu pembentukan hukum tertulis. Oleh karena itu diperlukan peran “analogi” untuk menutup berbagai celah kekosongan hukum. Dengan analogi, maka peristiwa yang sejenis, mirip, serupa dengan yang diatur dalam undang-undang dapat diberlakukan sama dengan yang dimaksud dalam undang-undang. Suatu Undang-Undang yang ada, terkadang terlalu sempit ruang lingkup yang diaturnya, sedangkan suatu peristiwa demikian pesat berkembang dan beragam. Ketika undang-undang secara eksplisit tidak mengatur suatu peristiwa khusus yang terjadi, maka boleh jadi hakim akan menggunakan pola pikir analogi untuk menemukan hukumnya. Hal ini bisa kita pahamkan, bahwa seorang hakim tidak pernah diperbolehkan mengatakan atau menganggap suatu peristiwa hukum tidak ada aturannya atau undang-undangnya, sehingga ia diwajibkan untuk menggali hukum dari berbagai sumber hukum. Oleh karena itu, analogi bisa dikatakan masuk ke dalam penemuan hukum atau konstruksi hukum. Analogi terkadang juga disebut sebagai analogi induktif, yaitu proses penalaran dari satu fenomena menuju fenomena lain yang sejenis kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena yang pertama juga akan terjadi pada fenomena yang lain. Sehingga, ketika dikaitkan dengan hukum, maka akan ada perluasan mengenai berlakunya ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, logika seorang hakim (khususnya) sangatlah dituntut untuk dijadikan pondasi dalam membandingkan kasus yang sedang dihadapi dengan kasus yang secara eksplisit diatur dalam sebuah aturan hukum atau undang-undang.



54



Argumentasi Hukum



Oleh karena itu, berdasarkan titik perbedaan atau persamaan antara kedua kasus yang sedang dihadapi, ditentukan apakah kasus yang tengah dihadapi termasuk dalam jangkauan keberlakuan atau wilayah penerapan aturan hukum tersebut atau tidak. Salah satu contohnya ialah: Menurut Pasal 1576 KUH Perdata bahwa jual beli tidak menghapuskan sewa menyewa. Bagaimana kalau dalam praktek dijumpai peristiwa hukumnya bukan jual beli, akan tetapi hibah? Apakah hibah tidak menghapuskan sewa menyewa? Antara hibah dan jual beli memiliki persamaan esensial, yaitu peralihan hak. Dengan demikian, secara analogis hibah juga tidak menghapuskan sewa menyewa.



Argumentasi Hukum



55



BAB IV KESESATAN DALAM PENALARAN (FALLACY) A.



Pemahaman Kesesatan Berpikir



Ilmu logika lahir bersamaan dengan lahirnya Filsafat Barat di Yunani. Dalam usaha untuk penyebarluasan pemikiran para Filsuf, oleh karena itu banyak Filsuf-Filsuf yang saling menunjukkan teori kesesatan penalaran untuk mencoba membantah pemikiran satu sama lain. Dalam sejarah filsafat, dikenal dua pelaku fallacy, yaitu: 1. Paralogisme Apabila seseorang mengemukakan sebuah penalaran yang sesat dan ia sendiri tidak melihat kesesatannya, maka penalaran ini disebut paralogis dan pelaku tersebut masuk ke dalam paralogisme. Dewasa ini, banyak sekali seseorang yang berpikir sesat akan tetapi tidak menyadarinya. Mengubah opini publik, memutar balikkan fakta, pembodohan public, provokasi, memecah belah hingga meraih kekuasaan dengan janji palsu adalah seseorang yang sebenarnya berpikir seolah mengenai kebenaran namun sebenarnya sesat, namun ia sendiri tidak memahami kesesatannya. 2. Sofisme Penalaran yang sesat dengan sengaja digunakan untuk menyesatkan orang lain, maka ini disebut sofisme. Kesesatan yang sengaja dilakukan untuk menyesatkan orang lain, padahal orang yang menyampaikan pendapat tersebut tidak sesat. Disebut demikian karena yang pertama-tama mempraktekkannya adalah kaum sofis, nama suatu kelompok cendekiawan yang mahir berpidato pada Zaman Yunani Kuno. Mereka selalu berusaha memengaruhi khalayak ramai dengan argumentasi yang menyesatkan hanya untuk agar diakui sebagai orator ulung. Umumnya yang sengaja melakukan kesesatan adalah orang yang menyimpan tendensi pribadi hingga ingin menolak atau menyaingi penalaran orang lain. Sejak awal, logika telah menaruh perhatian atas kesesatan penalaran tersebut. Kesesatan penalaran ini yang kemudian disebut sebagai kesesatan berpikir (fallacy). Kesesatan berpikir adalah proses penalaran atau argumentasi



56



Argumentasi Hukum



yang sebenarnya tidak bisa diterima kebenarannya (tidak logis), salah hingga menyesatkan. Kesesatan dalam penalaran bisa terjadi karena yang sesat itu karena suatu hal, kelihatan tidak masuk akal. Penalaran dapat sesat karena bentuknya tidak sah (tidak valid), hal itu terjadi karena pelanggaran terhadap kaidah-kaidah logika. Dalam bab sebelumnya, penulis telah menyampaikan mengenai kaidah logika termasuk suatu penalaran yang sah atau dapat diterima kebenarannya hanyalah penalaran yang kesimpulannya ditarik dengan prosedur yang benar dan premis-premisnya didukung oleh fakta sebenarnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa penalaran sesat karena tidak ada hubungan logis antara premis dan konklusi atau disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya. Fenomena kesesatan dalam penalaran ini seringkali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari para politikus yang kerap melakukan adu argumentasi di depan layar televisi atau pada saat proses kampanye, masyarakat di sekitar kita yang sering berdebat akan suatu hal, hingga aktivis mahasiswa yang melakukan orasi yang hanya menitikberatkan pada tatanan dialektika tanpa mengutamakan logika dan kebanaran, secara tidak sadar mereka sedang melakukan kesesatan berpikir. B.



Model Kesesatan Berpikir



Ada beberapa jenis kesesatan dalam berpikir dan/atau penalaran sebagai sebuah kesesatan penalaran hukum (khususnya), artinya penalaran keliru tersebut jika diterapkan dalam bidang hukum bukan merupakan sebuah kesalahan. Berikut, penulis sampaikan beberapa model kesesatan berpikir dan/ atau penalaran: 1. Argumentum ad Ignorantium Kesesatan ini terjadi ketika suatu argumentasi seseorang mengenai suatu proposisi atau pernyataan dianggap benar. Hal ini terjadi karena suatu proposisi tersebut tidak dapat dibuktikan kesalahannya, begitupun ketika suatu proposisi atau pernyataan dianggap salah, karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Kesesatan ini muncul disebabkan oleh adanya penyimpangan konklusi atas dasar bahwa negasinya tidak terbukti salah atau penyimpulan suatu konklusi yang dianggap salah karena negasinya tidak terbukti benar. Contoh Argumentum ad Ignorantium: 1. Suatu pernyataan bahwa “saya pasti betul, karena tidak ada yang pernah membuktikan salah”.



Argumentasi Hukum



57



2. Tuduhan konspirasi Covid-19 tidak bisa diterima sepanjang tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan tuduhan tersebut. Dua pernyataan di atas, merupakan kesesatan berpikir, karena belum tentu ketika seseorang tidak mengetahui keberadaan adanya sesuatu, bukan berarti sesuatu itu benar-benar tidak ada. Sehingga ketika seseorang tidak bisa membuktikan suatu hal dengan indera yang dimilikinya, kemudian menganggap hal tersebut tidak ada, maka ia telah melakukan kesesatan berpikir. Kesesatan Argumentum ad Ignorantium, terkadang tidak dianggap sesat termasuk salah satunya di bidang hukum. Untuk bidang hukum perdata, dalam pasal 1865 BW, penggugat harus membuktikan kebenaran dalilnya, sehingga apabila dia tidak dapat mengemukakan bukti yang cukup kuat, maka gugatan dapat ditolak dengan alasan bahwa si penggugat tidak dapat membuktikan kebenaran akan dalil gugatannya. Namun, dalam kondisi lain mungkin saja beban pembuktian dialihkan kepada tergugat, salah satunya seperti dalam UU Perlindungan Konsumen. Penegak hukum menerima suatu kebenaran atau keyakinan ketika pihak yang berperkara mampu membuktikan dalil-dalilnya melalui bukti yang diberikan dalam pembuktian. Kebenaran yang diterima hakim adalah berdasarkan pembuktian yang dilakukan oleh para penggugat dan/atau tergugat. Sehingga dalam praktik hukum khususnya perkara acara perdata, jenis kesesatan ini justru lazim digunakan oleh praktisi hukum termasuk hakim, ketika hakim memutuskan suatu perkara, dia hanya akan melihat atas apa yang dibuktikan sepanjang persidangan, terhadap keterangan saksi dan alat bukti yang dapat diyakini kebenarannya. Oleh karena itu, kita memahami bahwa suatu dalil dianggap benar, apabila dalil tersebut dapat dibuktikan melalui pembuktian, terlebih lagi dalil yang saling dipertentangkan oleh pihak yang berperkara, maka pihak yang mampu membuktikan dalilnya adalah pihak yang dianggap benar dan akan dimenangkan perkaranya. 2. Argumentum ad Hominem Menolak atau menerima sebuah argumentasi atau usul bukan karena penalaran yang disampaikan, akan tetapi karena keadaannya orangnya. Argumen ini diarahkan untuk menyerang manusianya, misalkan menolak pendapat si A, karena orangnya kecil, negro atau beragama tertentu.



58



Argumentasi Hukum



Contoh Argumentum ad Hominem: 1. Seorang juri lomba pencarian bakat menyanyi, memilih kandidat yang cantic sebagai pemenangnya, bukan karena suaranya yang bagus, melainkan karena parasnya yang lebih cantik dibandingkan dengan kandidat lainnya, walaupun suara kandidat lain ada yang lebih bagus. 2. Pembicara G mengatakan bahwa “saya tidak setuju dengan apa yang Pembicara S katakan, karena ia bukan orang Islam.” Contoh di atas menegaskan bahwa Argumentum ad Hominem, lebih mengacu pada keadaan seseorang dan lebih menyerang manusianya. Ukuran logika (pembenaran) pada sesat pikir Argumentum ad Hominem pada contoh pertama adalah kondisi pribadi dan karakteristik personal yang melibatkan: gender, fisik, sifat dan prikologi. Sedangkan, pada contoh kedua menitikberatkan pada perhubungan antara keyakinan seseorang dan lingkungan hidupnya. Dalam bidang hukum, argumentasi demikian bukanlah suatu kesesatan apabila digunakan untuk mendiskreditkan seorang saksi yang pada dasarnya tidak mengetahui secara pasti akan kejadian yang sebenarnya.43 Hal ini dilakukan jelas karena alasan bahwa keterangan yang dapat diterima dari seorang saksi adalah keterangan yang berdasarkan kejadian yang dia lihat, dengar dan rasakan secara langsung serta kemampuan bertanggungjawab atau dewasanya seorang saksi juga berpengaruh terhadap diyakini atau tidaknya kesaksian yang diberikan. 3. Argumentum ad Verecundiam Menolak atau tidak menerima sebuah argumentasi bukan karena nilai penalarannya, akan tetapi karena orang yang mengemukakan adalah orang yang ahli, berkuasa, berwibawa dan dapat dipercaya. Hal ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Argumentasi ini bisa dikatakan mirip dengan Argumentasi ad Hominem. Perbedaannya terletak pada acuan dalam argumentasi, apabila Argumentum ad Hominem yang menjadi acuan adalah pribadi orang yang menyampaikan gagasan dilihat dari disenangi atau tidak disenangi), sedangkan dalam Argumentasi ad Verecundiam ini dilihat dari siapa (posisinya dalam masyarakat atau keahliannya atau kewibawaannya) yang mengemukakan. 43 Philipus M. Hadjon. Argumentasi Hukum (Legal Argumentation/Legal Reasoning). (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005). Hlm: 16



Argumentasi Hukum



59



Contoh dari Argumentum ad Verecundiam: Pidato seorang Kepala Desa, langsung diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat desa tanpa memahami dan menilai akan isi pidato tersebut. Kemudian, seorang warga masyarakat mengatakan “saya yakin apa yang di katakan beliau adalah benar, karena beliau adalah seorang pemimpin yang disegani dan tokoh masyarakat yang di hormati.” Hal tersebut jelas dilakukan semata-mata karena yang menyampaikan pidato adalah seorang Kepala Desa yang diterima akan kewibawaan dan kekuasaan yang dimilikinya. Dari contoh tersebut, ditegaskan bahwa kalimat tersebut didasarkan pada kebesaran nama, kewibawaan dan kekuasaan yang mengajukan argumentasi. 4. Argumentum ad Misericordiam Suatu argumentasi yang bertujuan menimbulkan belas kasihan. Misericordiam berasal dari Bahasa latin. Misericordia artinya belas kasihan. Sehingga argumen ini sesat disebabkan oleh adanya menuntut belas kasihan. Contoh Argumentum ad Misericordiam: 1) Terdakwa yang meminta kepada hakim agar dibebaskan dari semua tuduhan karena dia punya tanggungan keluarga. 2) Pencuri motor yang menyampaikan di muka persidangan bahwa ia miskin dan tidak bisa membeli makan untuk anak istrinya sementara ia baru saja dipecat. Perlu diketahui pula, dalam bidang hukum, argumentasi semacam ini lazim digunakan misalnya dalam Nota Pembelaan (Pledoi) seorang terdakwa sebagaimana penulis contohkan di atas. Penggunaan argumentasi demikian termasuk sebagai kesesatan karena tidak menggunakan prinsip logika. Dalam logika kita mengenali hubungan kausalitas, bahwa suatu akibat adalah konsekuensi dari suatu sebab. Seorang yang melakukan kesalahan atau tindak pidana harus dihukum menurut ketentuan logika kausalitas. Argumentasi yang condong kepada upaya untuk mengedepankan subjektifitas merupakan kesesatan berpikir (dalam konteks kebenaran logis). Manusia memiliki akal dan hati sebagai dua ‘pondasi hidup’. Keduanya memiliki kecenderungan kegunaan yang berbeda. Akal dalam hal ini menuntun pada logika berpikir (rasionalitas), sementara hati menuntun tentang nilai yang dapat dirasakan oleh manusia (perasaan, empati, simpati, dan sebagainya).



60



Argumentasi Hukum



Sehingga ketika terdapat penyimpangan dimana seharusnya praktisi hukum melandaskan proses berpikir dengan logika, namun justru fokus kepada wilayah rasa maka objektivitas dan kebenaran suatu hal akan semakin bias dan jauh dari kebenaran logika. Karena kebenaran logika hanya akan diperoleh ketika konklusi berangkat dari proses yang berdasarkan data, fakta, dan proposisi hukum yang valid, baik berupa penalaran deduktif (misalnya silogisme), ataupun dengan penalaran induktif (misalnya kausalitas). 5. Argumentum ad Baculum Menerima atau menolak suatu argumentasi hanya karena suatu ancaman. Argumen ancaman dilakukan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan jika menolak, maka akan membawa akibat yang tidak diinginkan. Sikap yang wajar, bahwa ketika seseorang dihadapkan pada kondisi mendesak dan menakutkan, maka ia mau tidak mau akan memilih opsi yang dapat menyelamatkannya dari kondisi tersebut. Contoh Argumentum ad Bacalum: 1. Seorang mahasiswa yang belajar bukan karena ingin pintar, tapi karena mahasiswa itu takut mendapatkan nilai jelek. 2. Pengendara sepeda motor tersebut akan berhenti di lampu merah, apabila tidak berhenti di lampu merah, akan ditilang oleh polisi lalu lintas. 3. Seorang majikan mengancam akan memecat bawahannya kalau tidak menaati perintahnya. Dari contoh di atas dapat diketahui, bahwa terkadang seseorang melakukan suatu hal bukan karena “tujuan” dari hal tersebut diciptakan, namun untuk tujuan lain yang dirasakan adalah suatu ancaman. Semisal, pada contoh kedua: seorang pengendara motor berhenti di lampu merah karena takut ditilang oleh polisi lalu lintas. Seharusnya, ia berhenti di lampu merah karena sadar itu untuk keselamatan diri sendiri di jalan raya. Ini adalah kesesatan penalaran. 6. Argumentum ad Populum Argumentasi ini sesat disebabkan oleh adanya tujuan menggugah emosi massa. Pembuktian sesuatu secara logis tidaklah diperlukan. Dalam argumen ini, yang diutamakan hanyalah suatu argumen yang disampaikan dapat menggugah perasaan massa sehingga emosinya terbakar dan akhirnya akan menerima sesuatu konklusi tertentu.



Argumentasi Hukum



61



Contoh Argumentum ad Populum: Pidato politik yang sengaja membakar emosi massa, tanpa menghiraukan kelogisan penalarannya. Dari contoh di atas, dapat penulis katakan bahwa tidak jarang para aktivis mahasiswa melakukan kesesatan ini, ketika ia melandaskan suatu argument atau orasi hanya kepada tatanan dialektika semata tanpa mendasarkan pada logika. Karena tujuannya hanyalah menggugah emosi massa, sehingga cenderung bersifat emosional. Setiap argumentasi yang dibangun secara emosional, maka akan berpotensi menyimpangi logika berpikir. Hal tersebut terjadi karena, ketika kita emosi maka yang menguasai kita adalah amarah, ketika amarah menguasai maka yang mengambil alih kendali apa yang kita kerjakan masih dalam proses menyusun suatu keputusan (terburuburu), sehingga ketika terburu-buru maka kita tidak bisa berpikir dan mengambil tindakan yang seharusnya bisa lebih baik secara rasional. Oleh karena itu, lahirlah suatu pepatah “amarah itu tak pernah tanpa alasan, tetapi jarang yang alasannya benar.” 7. Petitio Principi Kesesatan yang terjadi dalam mengambil kesimpulan atau pernyataan pembenaran dimana di dalamnya premis dipakai sebagai kesimpulan dan sebaliknya, kesimpulan dijadikan premis. Sehingga meskipun rumusan (teks/kalimat) yang digunakan sangat berbeda, sebenarnya maknanya sama. Jenis kesesatan ini juga dikenal karena pernyataan berupa pengulangan prinsip dengan prinsip. Contoh Petitio Prinsipi: Pimpinan : “Anda tahu kantor masuknya jam 8, kenapa baru masuk jam 9?” Pegawai : “Ya karena saya telat, pak.” Dari contoh di atas, apakah pertanyaan pimpinan terjawab? Tentu tidak, hal tersebut terjadi karena sebenarnya pegawai hanya mengulang maksud dari perkataan pimpinan dengan kalimat atau kata yang berbeda, padahal maknanya sama. Hal demikian sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal mana dikategorikan sebagai kesesatan penalaran yang disebut Petitio Principi. 8. Kesesatan Ignorantio Elenchi Kesesatan yang terjadi saat seseorang menarik kesimpulan yang sebenarnya tidak memiliki relevansi dengan premisnya. Loncatan dari



62



Argumentasi Hukum



premis ke kesimpulan semacam ini umum dilatarbelakangi prasangka, emosi dan perasaan subyektif. Contoh Kesesatan Ignorantio Elenchi: Seorang wanita terlihat di lokalisasi pasti pelacur. Padahal faktanya, ia hanyalah pedagang nasi bungkus. Kesesatan ini pun sering terjadi di sekitar kita. Tidak sedikit orang yang langsung menarik kesimpulan terhadap apa yang ia lihat, dengar dan rasakan, tanpa melakukan pengecekan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, dalam bidang hukum, seorang hakim tidak bisa langsung mengatakan bahwa suatu perbuatan itu melanggar hukum hanya karena mendengarkan keterangan dari seorang terdakwa tanpa melihat bukti, keterangan saksi-saksi, serta kebenaran yang lainnya. 9. Kesesatan Non Causa Pro Causa Kesesatan ini muncul jika seseorang menganggap sesuatu sebagai sebab, padahal sebenarnya bukan sebab atau bukan sebab yang lengkap. Orang selalu cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa pertama merupakan penyebab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua adalah akibat dari peristiwa pertama. Padahal urutan waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-akibat. Kesesatan ini dikenal pula dengan nama kesesatan “post-hoc ergo propter hoc” (sesudah maka karenanya). Contoh Non Causa Pro Causa: Seorang pemuda diketahui baru putus dengan pacarnya, esoknya sakit. Tetangganya menyimpulkan bahwa pemuda tersebut sakit karena baru putus cinta. Padahal diagnosis dokter adalah si pemuda terkena radang paru-paru karena kebiasaannya merokok tanpa henti sejak sepuluh tahun yang lalu. Dari contoh di atas, kita dapat belajar bahwa tidak sulit sebenarnya membuktikan kesalahan ini. Kita hanya perlu menunjukkan bahwa hubungan “setelah” tidak sama dengan ”karena”. Hanya saja, banyak orang yang terjebak berpikir menggampangkan seperti ini. Oleh karena itu kita lagi-lagi harus berhati-hati dalam menyimpulkan suatu fenomena. Dalam realitas kehidupan sosial, manusia sering terjebak dalam kesesatan berpikir seperti ini, terlebih dalam kehidupan bersosial media saat ini. Warganet sering melakukan kesesatan Non Causa Pro Causa dengan menghubung-hubungkan postingan status dari seorang selebritas, yaitu mengaitkan postingan satu dengan postingan berikutnya, sehingga menghasilkan persepsi-persepsi yang liar.



Argumentasi Hukum



63



10. Kesesatan Aksidensi Kesesatan yang terjadi jika seseorang menerapkan prinsip umum kepada peristiwa-peristiwa yang bersifat aksidental (sewaktu-waktu). Ketika seseorang memaksakan aturan-aturan atau cara-cara yang bersifat umum pada suatu keadaan atau situasi yang bersifat aksidental, yaitu situasi yang bersifat kebetulan, tidak seharusnya ada atau tidak mutlak, maka orang itu telah melakukan kesesatan aksidensi. Sehingga apabila sautu penalaran sesat secara aksidensi maka yang terjadi adalah penerapan penalaran tersebut tidak cocok atau bahkan salah. Contoh Kesesatan Aksidensi: 1) Gula baik karena gula adalah sumber energi, maka gula juga baik untuk penderita diabetes. 2) Orang yang makan banyak daging akan menjadi kuat dan sehat, karena itu vegetarian juga seharusnya makan banyak daging supaya sehat. 11. Kesesatan Karena Komposisi Dan Divisi Kesesatan karena komposisi terjadi bila seseorang berpijak pada anggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi individu atau beberapa individu dari suatu kelompok tertentu, pasti juga benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif. Sehingga, apabila kita meyimpulkan bahwa suatu pernyataan itu berlaku juga untuk kelompok kolektif secara keseluruhan, maka penalaran kita sesat karena komposisi Sedangkan, ketika kita menyimpulkan suatu pernyataan berlaku untuk kelompok kolektif juga berlaku untuk setiap anggota dari kelompok kolektif tersebut, maka kita sesat karena divisi. Contoh Kesesatan Karena Komposisi Dan Divisi: 1) Si A anggota KPU sekaligus dosen di Universitas X melakukan korupsi, maka seluruh anggota KPU yang juga dosen di Universitas X pasti koruptor. 2) Banyak anggota dewan yang melakukan korupsi. Si C adalah anggota DPR, maka si C juga korupsi. Dari dua contoh di atas, diketahui bahwa contoh pertama adalah kesesatan karena komposisi, sedangkan contoh kedua adalah kesesatan karena divisi. 12. Kesesatan Karena Pertanyaan yang Kompleks Kesesatan ini bersumber pada pertanyaan yang sering kali disusun sedemikian rupa sehingga sepintas tampak sebagai pertanyaan yang



64



Argumentasi Hukum



sederhana, namun sebetulnya bersifat kompleks. Biasanya kesesatan ini terjadi karena adanya kondisi-kondisi yang menekan lawan bicara, sehingga seringkali jawabannya yang diberikan tidak bisa dijawab dengan sederhana. Kesesatan ini bersumber pada pertanyaan atau perintah yang bukan merupakan pertanyaan yang tunggal. Oleh karena itu pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab dengan sekedar mengatakan ya atau tidak. Contoh Kesesatan Karena Pertanyaan yang Kompleks: “Apakah kamu mengambil majalahku?” Pertanyaan tersebut sulit dijawab hanya dengan ya dan tidak, apalagi bila yang ditanya merasa tidak pernah mengambilnya. Kesesatan ini sering dilakukan dalam bidang hukum berupa pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan oleh penyidik kepada calon tersangka atau saksi. Hal ini dilakukan karena mengajukan pertanyaan kompleks adalah salah satu cara untuk mendapatkan jawaban terhadap suatu permasalahan secara jelas dan detail.



Argumentasi Hukum



65



BAB V PENEMUAN HUKUM A.



Pengertian Penemuan Hukum (Rechtsvinding)



Salah satu fungsi dari hukum adalah sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia. Salah satu upaya perlindungan tersebut sudah semestinya harus dilaksanakan secara layak dan sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri. Dinamika hidup manusia dalam kehidupan sosial di masyarakat dapat berlangsung secara damai dan normal (sebagaimana mestinya), juga bisa terjadi suatu penyimpangan atas norma dan terjadinya pelanggaran hukum. Dalam hal terjadinya keadaan yang kedua, hukum yang dilanggar haruslah ditegakkan dan dapat mengembalikan tatanan sosial menjadi lebih baik. Harapannya, penegakan hukum ini dapat bekerja secara ideal untuk memenuhi kepentingan manusia dan mewujudkan keadilan. Produk hukum yang digunakan untuk penegakan hukum, adalah hasil intelektualitas manusia yang diwujudkan dalam bentuk tertulis dan/atau tidak tertulis. Perwujudan intelektualitas manusia dalam produk hukum yang tertulis pada khususnya, selalu saja tidak pernah sempurna ketika diimplementasikan pada peristiwa hukum yang konkrit. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan intelektualitas yang dimiliki oleh manusia. Konsekuensi dari hal tersebut adalah segala produk hukum yang ada harus dapat diterapkan dengan tepat, meskipun di tengah-tengah keterbatasan teks-teks yang ada, yang tadi disebut tidak sempurna itu. Perlu kita ingat kembali, bahwa dalam penegakan hukum terdapat tiga unsur oleh Gustav Radbruch yang dinamakan sebagai tiga nilai dasar hukum, yang harus selalu diperhatikan dan dijadikan sebagai pegangan dalam menerapkan hukum guna mewujudkan hakikat, fungsi dan tujuan hukum itu sendiri, yaitu: Kepastian Hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassaigkeit) dan keadilan (gerechtgkeit).44 Ketika penegakan hukum tidak berpegangan kepada tiga nilai hukum tersebut, maka yang akan terjadi adalah ketidakseimbangan hukum yang berakir pada kecacatan hukum yang mencederai makna hukum itu sendiri. Akan tetapi, dalam prakteknya sangat sulit untuk mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga nilai tersebut. 44 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Historis. (Cet. I, Jakarta: Chandra Pratama, 1996). Hlm. 95



66



Argumentasi Hukum



Dewasa ini, diakui atau tidak banyak sekali penegak hukum yang hanya berpegangan kepada kepastian hukum. Mereka hanya berangkat dari apa yang ada dalam bunyi undang-undang secara tekstual saja. Apa yang mereka lakukan bukanlah suatu kesalahan, namun juga bukan suatu kebenaran yang mutlak nilainya. Ketika kita hanya berpegang pada tekstual undang-undang, pada akhirnya suatu putusan hukum hanya akan menimbulkan keresahan dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan rasa ketidakadilan. Terlalu menitkberatkan kepastian hukum, akan berdampak pada terlalu kakunya suatu hukum, dan terkadang undang-undang akan terasa kejam apabila dilaksanakan secara kaku atau ketat (lex dura sed tamen scripta). Apabila kita berbicara mengenai pelanggaran undang-undang, penegak hukum khususnya hakim harus mampu melaksanakan dan menegakkan undangundang. Hakim tidak diperbolehkan untuk menangguhkan atau menolak suatu perkara hukum dengan alasan karena hukumnya tidak ada, tidak lengkap dan/ atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang.45 Oleh karena itu, ketika suatu undangundang tidak lengkap atau tidak jelas untuk memutus suatu perkara, saat itulah hakim harus mencari dan menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Sebelum lebih jauh, dalam telaah filsafat hukum melalui kajian paradigmatik, sejatinya upaya penemuan hukum ini hanya bisa dilakukan di luar ranah paradigma Positivisme. Paradigma Positivisme tidak menghendaki adanya penemuan hukum karena hukum tidak perlu ditemukan kembali mengingat hukum merupakan realitas yang naif dan diterima secara sempurna. 1.



Istilah Penemuan Hukum



Istilah “Penemuan Hukum” oleh beberapa pakar sering dipermasalahkan, apakah lebih tepat jika menggunakan istilah “Pelaksanaan Hukum”, “Penerapan Hukum”, “Pembentukan Hukum” atau “Penciptaan Hukum”.46 Hal ini khususnya terkait dengan penggunaan ketepatan istilah yang bisa mencakup keseluruhan makna yang dimaksud dalam definisi tertentu. Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya yang berjudul Penemuan Hukum Sebuah Pengantar47 apabila kita membedah satu persatu dari beberapa istilah tersebut, diantaranya: 1) Istilah “Pelaksanaan Hukum” dapat berarti menjalankan hukum tanpa sengketa atau pelanggaran. Namun, disamping itu pelaksanaan hukum 45 Pasal 27 UU Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. 46 Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Cetakan 1. (Yogyakarta: Liberty, 1996). Hlm. 36 47 Ibid



Argumentasi Hukum



67



dapat pula terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh hakim dan hal ini sekaligus merupakan penegakan hukum. 2) Istilah “Penerapan Hukum” tidak lain berarti menerapkan peraturan hukum yang sifatnya abstrak kepada suatu peristiwa. Menerapkan hukum atau peraturan hukum pada peristiwa konkrit secara langsung tidak mungkin. Peristiwa konkrit itu harus dijadikan peristiwa hukum (memenuhi unsur-unsur yang dilukiskan dalam undang-undang) terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan. 3) Istilah “Pembentukan Hukum” adalah merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku umum, bagi setiap orang. Kalau lazimnya pembentukan hukum dilakukan oleh pembentuk undang-undang, maka hakim dimungkinkan pula membentuk hukum, yaitu apabila hasil penemuan hukumnya merupakan yurisprudensi yang dikuti oleh para hakim pada perkara hukum yang sama dan merupakan pedoman bagi masyarakat yang mengandung asas-asas hukum yang dirumuskan dalam peristwia konkrit dan memperoleh kekuatan berlaku umum. 4) Istilah “Penciptaan Hukum” terasa kurang tepat karena memberikan kesan bahwa hukumnya itu sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan (dari tidak ada menjadi ada). Seperti yang kita pahami, bahwa hukum bukanlah suatu hal yang selalu berkaitan dengan kaedah baik tertulis maupun tidak tertulis, akan tetapi dapat juga berupa perilaku dan/atau peristiwa. Dimana, dalam perilaku itulah terdapat hukumnya yang harus digali serta ditemukan. Dengan demikian, maka kiranya istilah “Penemuan Hukum” adalah istilah yang rasanya lebih tepat untuk digunakan.48 2.



Dasar Hukum Penemuan Hukum (Rechtsvinding)



Dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dijelaskan bahwa seorang hakim dilarang menolak perkara. Kalimat “dilarang menolak perkara” memberikan konsekuensi bagi hakim, bahwa ketika dihadapkan pada suatu peristiwa hukum yang tidak diatur secara jelas dan/atau lengkap dalam undang-undang, olehnya tidak diperbolehkan menolak atau tidak menerima perkara tersebut. Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkret yang harus diselesaikan atau dipecahkan dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya. Keharusan menemukan hukum baru ketika aturannya tidak jelas, tidak lengkap bahkan bisa saja memang tidak ada, diperlukan penemuan hukum. 48



Ibid



68



Argumentasi Hukum



Penemuan hukum di samping didasarkan pada ketentuan di atas, menemukan dasar hukumnya dengan jelas dan tegas teradapat pada Pasal 5 Ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Kata menggali dalam ayat tersebut diasumsikan bahwa hukum itu ada tetapi tersembunyi, agar sampai pada permukaan, maka dia harus digali, dicari dan diketemukan, barulah kemudian diciptakan. Apabila keadilan diidentikkan dengan hukum positif, mengandung konsekuensi bahwa pencarian keadilan dibatasi dan terbatas hanya pada rumusan hukum positif.49 Oleh karena itu, bisa kita pahami bersama, bahwasannya hukum pun bisa berbentuk dan/ atau bersumber dari nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, dan hukum kita pun mengakui demikian. Hal-hal tersebut di atas sudah menjadi kewajiban bagi seorang hakim untuk dapat menggali berdasarkan banyak hal, mulai dari menganalogikan dengan perkara yang (mungkin) sejenis, menetapkan parameter tertentu yang akan dijadikan sebagai patokan di dalam menjatuhkan putusan dan yang lebih penting lagi adalah memperhatikan elemen keadilan yang hidup dan berkembang di masyarakat.50 Kemudian, hasil penemuan hukum itu akan menjadi hukum apabila diikuti oleh hakim berikitnya atau dengan kata lain menjadi yurisprudensi. B.



Metode Penemuan Hukum



Hakim dalam melakukan penemuan huku, tentunya tidak serta merta hanya berdasarkan keinginannya semata. Hakim tetap berpedoman pada metode-metode penemuan hukum yang telah ada. Metode-metode dalam penemuan hukum meliputi metode interpretasi (interpretation method) dan metode konstruksi hukum atau penalaran (redeneeruweijizen). Interpretasi hukum terjadi apabila ketentuan Undang-Undang yang secara langsung dapat ditetapkan pada peristiwa konkret yang dihadapi51, sedangkan konstruksi hukum terjadi apabila tidak ditemukan ketentuan undang-undang yang secara langsung dapat diterapkan pada masalah hukum yang dihadapi atau dalam hal peraturannya tidak ada. Dimana hal tersebut mengakibatkan adanya kekosongan hukum (recht vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet 49 Nuryanto C. “Penegakan Hukum oleh Hakim dalam Putusannya antara Kepastian Hukum dan Keadilan”. Jurnal Hukum Khaira Ummah. Vol 13. No. 1. 2018. Hlm. 71-84. 50 Muhammad Helmi. “Penemuan Hukum Oleh Hakim Berdasarkan Paradigma Konstruktivisme”. Jurnal Ilmu Hukum. Vol 22, No. 1. (April, 2020). Hlm. 111-132. 51 Bambang Sutiyoso. Metode Penemuan Hukum. (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2006). Hlm. 52.



Argumentasi Hukum



69



vacuum). Untuk mengisi kekosongan hukum dan/atau undang-undang inilah, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang.52 Selanjutnya penulis akan menyampaikan berbagai metode penemuan hukum yang masih dianut dalam dunia peradilan di Indonesia saat ini. Adapun metode penemuan hukum akan diuraikan sebagai berikut: 1.



Metode Interpretasi



Interpretasi atau penafsiran, merupakan metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang dengan masih tetap berpegangan terhadap bunyi teks tersebut. Interpretasi juga dapat dipahami sebagai metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Metode interpretasi hukum meliputi: 1.1.



Interpretasi Bahasa atau Gramatikal



Bahasa merupakan sarana yang penting yang dipakai oleh pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu pembuat undang-undang harus memilih kata-kata dengan singkat, jelas, namun yang terpenting tidak dapat di tafsirkan secara berbeda-beda. Hal ini tidaklah mudah dilakukan, sehingga tetap saja memerlukan penafsiran. Titik tolak dalam penafsiran menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari. Ketentuan atau kaidah hukum yang tertulis dalam undang-undang diberi arti menurut kalimat atau bahasa sehari-hari. Metode interpretasi ini disebut interpretasi gramatikal karena untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan cara menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Dalam interpretasi bahasa ini biasanya digunakan kamus bahasa atau dimintakan keterangan ahli bahasa sebagai narasumber. Contoh:



Putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 1590K/Pid/1997 tentang pencurian. Pada perkara ini, hakim menafsirkan yang dimaksud dengan “mencuri” dalam bahasa sehari-hari mengandung pengertian mengambil barang orang lain untuk dimilikinya sendiri “tanpa sepengetahuan pemiliknya”.53 52 Jazim Hamidi. Hermeneutika Hukum, Sejarah, Filsafat dan Metode Tafsir. (Malang: UB Press, 2011). Hlm. 40. 53 John Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia, 2011). Hlm. 218.



70



Argumentasi Hukum



Dalam Bahasa hukum, “tanpa sepengetahuan pemiliknya” dapat dikatakan sebagai tindakan melawan hukum. Dari contoh tersebut dapat kita pahami bahwa, metode interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau penejelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi ini juga dapat dikatakan tidak hanya sekedar membaca undang-undang, namun juga memahami makna ketentuan undang-undang menurut bahasa sehari-hari yang umum. 1.2.



Interpretasi Menurut Sejarah atau Historis



Untuk mengetahui makna suatu kaidah dalam perundang-undangan sering pula dilakukan dengan meneliti sejarah, atau riwayat peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dengan kata lain, interpretasi historis meliputi interpretasi menurut sejarah undang-undang (recht historischeinterpretatie) dan sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan (wet historische-interpretatie). 1.2.1. Interpretasi Menurut Sejarah Hukum (Rechts HistorischeInterpretatie) Penafsiran atau interpretasi menurut sejarah hukum adalah suatu penafsiran yang luas yaitu meliputi pula penafsiran sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan dan sejarah sistem hukumnya. Penafsiran sejarah hukum menyelidiki asal peraturan perundangundangan dari suatu sistem hukum yang dulu pernah berlaku dan sekarang tidak berlaku lagi atau asal- usul peraturan itu dari sistem hukum lain yang masih berlaku di negara lain. Contoh: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Seperti yang kita ketahui, bahwa KUHP kita berasal dari KUHP Belanda yang diberlakukan berdasarkan asas konkordansi. Ditinjau sejarah sistem hukumnya KUHP itu sendiri sebenarnya adalah berasal dari Code Penal Napoleon, hal ini dikarenakan Belanda pada waktu itu dijajah oleh Perancis 1.2.2. Interpretasi Menurut Sejarah Penetapan Suatu Ketentuan Perundang-Undangan (Wet Historische-Interpretatie) Untuk mengetahui maksud pembuat undang-undang pada waktu undang-undang dibuat atau ditetapkan dilakukan dengan menggunakan interpretasi sejarah perundang-undangan. Sumber yang dicari dalam melakukan interpretasi ini adalah surat menyurat, pembicaraan atau pembahasan di dalam badan legislatif, yang kesemuanya itu memberi gambaran tentang apa yang di kehendaki oleh pembentuk undang-undang.



Argumentasi Hukum



71



Sejarah terbentuknya undang-undang dapat diteliti melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) termasuk pernyataan atau keterangan pemerintah sewaktu RUU diajukan ke DPR, rísalah-risalah perdebatan baik dalam komisi maupun sub komisi atau pleno. Sering juga dalam interpretasi sejarah meneliti tentang rangkaian kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelum RUU diajukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui alasan pertimbangan mengapa RUU tersebut di ajukan. Hal ini apabila kita pahami lebih mendalam lagi, sangatlah penting bagi kita sebagai calon penegak hukum nantinya untuk tidak hanya sekedar mengerti isi suatu aturan perundang-undangan, akan tetapi juga memahami alasan hingga tujuan undang-undang tersebut dilahirkan. 1.3.



Interpretasi Sistematis atau Interpretasi Dogmatis



Setiap peristiwa hukum senantiasa terjadi interdependensi (saling ketergantungan atau saling berhubungan) dengan peristiwa yang lain. Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan peraturan hukum yang lain. Interpretasi ini memerlukan pemahaman bahwa peraturan perundang-undangan itu saling berhubungan dengan peraturan hukum yang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum dengan menerapkan prinsip bahwa perundang-undangan satu negara merupakan sistem yang utuh. Berangkat dari pemahaman di atas, menafsirkan undang-undang yang menjadi bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan cara menghubungkan dengan undang-undang lain itulah yang dinamakan interpretasi sistematis. Dengan metode penafsiran sistematis ini hendak dikatakan bahwa dalam menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang dari sistem perundang-undangan. Contoh: Pasal 1330 KUH Perdata mengemukakan tidak cakap untuk membuat perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa. Bunyi lengkapnya Pasal 1330 KUHPerdata ialah: “Tidak cakap membuat perjanjian adalah: a. Orang yang belum dewasa b. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan dalam UndangUndang dan pada umumnya semua orang kepada siapa UndangUndang telah melarang membuat persetujuan tertentu”. Siapakah yang dimaksud orang yang belum dewasa? Dalam hal ini dilakukan penafsiran sistematis dengan melihat Pasal 330 KUH Perdata yang memberikan batas belum berumur 21 tahun.54 54



Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2017). Hlm. 102-103



72



1.4.



Argumentasi Hukum



Interpretasi Teleologis atau Sosiologis



Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka menjelaskan bahwa interpretasi teleologis yaitu menafsirkan undang-undang dengan menyelidiki maksud pembuatan dan tujuan dibuatkannya undang-undang tersebut. Dengan interpretasi teleologis ini, undang-undang yang masih berlaku (tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi) diterapkan terhadap suatu peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan pada masa kini. Di sini, peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Interpretasi ini digunakan sebagai suatu penafsiran yang dilakukan dengan jalan mencari maksud atau tujuan pembuatan undang-undang di dalam masyarakat. Dengan demikian penafsiran ini merupakan metode penafsiran terhadap suatu ketentuan perundang-undangan dengan melihat kondisi atau situasi sosial yang ada. Contoh: Dalam ketentuan Pasal 362 KUHP tentang pencurian, hakim harus memperluas makna kalimat “barang” dalam pasal tersebut dengan berbagai macam benda yang dapat dimiliki, baik berwujud maupun tidak berwujud. Misalnya aliran listrik, pulsa dan lain-lain. Sehingga apabila seseorang dengan sengaja tanpa hak mengambil aliran listrik, atau pulsa telepon untuk dimiliki harus dihukum. Berdasarkan contoh di atas, dapat kita pahami bahwa hukum pada hakikatnya akan selalu tertinggal oleh zaman, hukum selalu ada dibelakang perubahan itu sendiri. Oleh karena itu hukum disini harus mampu diinterpretasikan sesuai dengan aturan yang berlaku supaya masih tetap relevan dalam menjaga kepentingan manusia yang selalu berubah di setiap waktunya. 1.5.



Interpretasi Komparatif atau Interpretasi Perbandingan Hukum



Interpretasi komparatif dilakukan dengan jalan memberi penjelasan dari suatu ketentuan perundang-undangan dengan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara atau beberapa konvensi internasional, menyangkut masalah tertentu yang sama, akan dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan perundang-undangan. Menurut Sudikno Mertokusumo, metode penafsiran ini penting terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional, karena dengan pelaksanaan yang seragam akan dapat direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif atau kaidah hukum untuk beberapa negara. Di luar hukum perjanjian internasional, kegunaan metode ini terbatas.



Argumentasi Hukum



73



Contoh: Dalam permasalahan waris, dapat dibandingkan menurut sistem hukum adat, hukum islam maupun perdata barat.55 Dari contoh di atas, dapat dipahamkan kembali bahwa interpretasi ini menafsirkan dengan cara memperbandingkan peraturan pada suatu sistem hukum dengan sistem hukum lainnya. Sistem hukum lain yang dimaksud dapat saja berupa peraturan hukum negara lain termasuk perjanjian internasioal. 1.6.



Interpretasi Futuristis Intepretasi ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini dilakukan dengan menafsirkan ketentuan perundangundangan dengan berpedoman pada kaidah-kaidah perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum). Contoh: 1. Pada saat undang- undang tentang pemberantasan tindak subversi yang pada saat itu sedang di bahas di DPR akan mencabut berlakunya undang-undang tersebut, maka jaksa berdasarkan interpretasi futuristik, menghentikan penuntutan terhadap orang yang disidik berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana subversi. 2. Rumusan “wilayah pesisir” Menurut Pasal 1 Butir 3 RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir ditafsirkan sebagai “Kawasan perairan yang menghubungkan ekosistem darat dan laut, yang sangat rentan terhadap perubahan akibat aktivitas manusia di darat dan dilaut, secara geografis ke arah darat sejauh pengaruh dari darat, seperti air sungai, sedimen, dan pencemaran dari darat,”. Apabila RUU ini sudah diundangkan, maka penafsirannnya tidak dapat lagi dikatakan futuristis. 2. Konstruksi Hukum Selain metode interpretasi, dalam penemuan hukum dikenal pula metode kontruksi hukum, yang akan digunakan oleh hakim pada saat ia dihadapkan pada situasi adanya kekosongan hukum (rechts vacuum) dan/atau kekosongan Undang-Undang (wet vacuum). Hal ini dikarenakan pada prinsipnya hakim tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya (asas ius curia novit). Hakim harus terus menggali dan menemukan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Konstruksi hukum dapat digunakan oleh hakim sebagai metode penemuan hukum apabila dalam mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara khusus mengenai peristiwa yang terjadi. Metode kontruksi hukum bertujuan agar hasil putusan hakim dalam peristiwa yang konkret yang ditanganinya dapat memenuhi rasa keadilan serta memberikan kemanfaatan bagi para pencari keadilan. 55



Bambang. Op.cit., Hlm. 117.



74



Argumentasi Hukum



Adapun penemuan hukum melalui konstruksi hukum yang dikenal ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut: 2.1.



Argumentum per Analogiam Argumentum per Analogiam dalam perkembangannya sering disebut juga analogi. Analogi merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh Undang-Undang maupun yang belum ada peraturanya. Sebagai salah satu jenis kontruksi yang sering digunakan dalam lapangan hukum perdata, dan hal ini tidak akan menimbulkan persoalan, sedangkan penggunaanya dalam hukum pidana sering terjadi perdebatan dikalangan para yuris. Konstruksi hukum model ini dipergunakan apabila hakim harus menjatuhkan putusan dalam suatu konflik yang tidak tersedia peraturannya, tetapi peristiwa itu mirip dengan yang diatur dalam Undang-Undang.56 Dengan kata lain, pada analogi peristiwa yang berbeda namun serupa, sejenis atau mirip yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama. Contoh: Pasal 1576 KUH Perdata menyatakan jual beli tidak memutuskan hubungan sewa menyewa. Bagaimana dengan hibah? Apakah hibah juga memutuskan hubungan sewa menyewa. Mengingat tidak ada aturan tentang hibah ini, maka Pasal 1576 KUH Perdata ini dikonstruksikan secara analogi, sehingga berlaku ketentuan penghibahan pun tidak memutuskan hubungan sewa menyewa. Dengan dilakukannya analogi ini, maka sifat keberlakuan atau makna suatu undang-undang akan semakin meluas. Makna dalam undang-undang akan dapat dikenakan pula terhadap setiap peristiwa yang unsur-unsurnya bisa disamakan, serupa dan sejenis dengan peristiwa yang telah diatur dalam undang-undang tersebut. 2.2.



Argumentum a Contrario Argumentum a contrario atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Menurut Zaenal Asikin, “argumentum a contrario berarti menggunakan penalaran terhadap Undang-Undang yang didasarkan pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi.”57 Penafsiran a contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan atas 56 Abdul Manan. “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama”, Jurnal Hukum dan Peradilan. Vol 2. No. 2. Juli 2013. Hlm. 8. 57 Zainal Asikin. Pengantar Ilmu Hukum. (Rajawali Press, 2012). Hlm.112.



Argumentasi Hukum



75



pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang. Berdasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada di luar peraturan perundang-undangan. Pada hakikatnya penafsiran a contrario sama dengan penafsiran analogis hanya saja hasilnya berlawanan. Analogi membawa hasil positif (memperluas makna hukum dalam fenomena hukum yang sama, sejenis dan serupa), sedangkan penafsiran a contrario hasilnya negatif, yaitu mempersempit perumusan hukum atau perundang-undangan. Tujuannya ialah untuk lebih mempertegas adanya kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan keraguan. Contoh: Pada Pasal 34 KUH Perdata disebutkan bahwa “seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat waktu 300 hari sejak saat perceraian.” Dalam Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa: “Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari; b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurangkurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari. c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.” Lalu, apakah seorang laki-laki juga harus menunggu waktu 300 hari? Jawabannya adalah tidak. Jadi, berdasarkan argumentum a contrario (berlawanan), dapat dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki karena soal yang dihadapi tidak diliputi oleh pasal tersebut. Pasal 34 KUH Perdata, tidak menyebutkan apa-apa tentang seorang laki-laki tetapi khusus ditujukan pada perempuan. Penafsiran berlawanan itu diperbolehkan dalam rangka penemuan hukum. Penafsiran berlawanan itu disebut juga dengan argumentum a contrario yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada



76



Argumentasi Hukum



perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Apabila kita hanya membaca sekilas antara Argumentum per Analogiam dan Argumen a Contrario, maka yang terjadi adalah kebingungan akan makna dan ruang lingkup keduanya. Oleh karena itu, penulis akan menyampaikan beberapa perbedaan dan persamaan antara keduanya, yaitu: a) Perbedaan Penggunaan Undang-Undang Secara Analogi dan Berdasarkan Argumentum a Contrario: - Menggunakan undang-undang secara analogi memperoleh hasil yang positif; sedangkan argumentum a contrario memperoleh hasil negatif. - Menggunakan undang-undang secara analogi adalah memperluas berlakunya ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan; sedangkan secara a contrario akan mempersempit berlakunya ketentuan undang-undang. b) Persamaan Analogi dan Argumentum a Contrario: - Penggunaan undang-undang secara analogi dan argumentum a contrario sama–sama berdasarkan konstruksi hukum. - Kedua cara tersebut dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu masalah. - Kedua cara tersebut diterapkan sewaktu pasal dalam peraturan perundang-undangan tidak menyebut masalah yang dihadapi. - Maksud dan tujuan antara kedua cara tersebut adalah sama-sama untuk mengisi kekosongan di dalam Undang-Undang. 2.3.



Penyempitan Hukum/Penghalusan Hukum (Rechtsservijnings) Kadang kala peraturan perundang-undangan mempunyai cakupan ruang lingkup yang terlalu umum atau sangat luas. Itulah sebabnya perlu dilakukan penyempitan hukum/penghalusan hukum agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Dalam hal ini, dibentuklah pengecualianpengecualian atau penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat umum. Dengan kata lain, pada penyempitan hukum, peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khhusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri. Contoh: Pasal 1365 BW yang berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada pihak lain, mewajibkan si pelaku yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu, untuk mengganti kerugian itu”.



Argumentasi Hukum



77



Apa yang dimaksud perbuatan melanggar hukum di sini? Bagaimana kriteria salah? apakah hanya terbatas pada melanggar undang-undang atau lebih luas? Undang-undang jelas tidak memberikan jawaban. Untuk itu hakim harus menggunakan metode rechtsvervijning atau penyempitan hukum. Dari contoh di atas, diketahui bahwa pengkontruksian dengan cara mengabstraksi prinsip suatu undang-undang dengan “seolah-olah” atau ciri tertentu, akan mempersempit keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret yang belum ada pengaturannya. Penegakan hukum berjalan beriringan dengan kewajiban menguraikan makna dan tujuan hukum itu sendiri. Penegak hukum khususnya hakim, tidak hanya menerapkan aturan perundang-undangan yang tertulis sebagai pemenuhan dari tanggung-jawab menjadi “corong undang-undang” saja, namun hakim wajib menghadirkan tujuan hukum dan/atau nilai hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Sehingga, hakim wajib untuk senantiasa memutus perkara dengan keyakinannya serta dilandasi pada kebijaksanaannya. Hakim dalam menghubungkan antara teks undang-undang dengan suatu peristiwa konkrit yang diadilinya, wajib menggunakan pikiran dan nalarnya. Dalam memilih metode penemuan hukum mana yang paling cocok dan relevan untuk diterapkan dalam suatu perkara, hakim harus jeli dan memiliki profesionalisme tinggi dalam menerapkan metode penemuan hukum. Apabila seorang hakim dapat menggunakan metode hukum yang relevan dan sesuai dengan yang diharapkan dalam kasus yang sedang diperiksanya, maka putusan yang dilahirkan akan mempunyai nilai keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum bagi pencari keadilan.



78



Argumentasi Hukum



BAB VI PENALARAN DALAM ALIRAN FILSAFAT HUKUM A.



Membangun Pemikiran Logis



Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna, dengan dibekali oleh akal dan nafsu menjadikan manusia memiliki rasa keingintahuan mengenai sesuatu. Objek keingintahuan tersebut bisa berupa sesuatu yang konkret atau nyata seperti meja, kursi, buku, dan lain sebagainya. Baginya apa yang nampak dan diketahui secara nyata akan menjadi sebuah pengetahuan yang sebelumnya belum pernah dikenalnya. Dalam mendapatkan pengetahuan itu, tentunya pengenalan akan pengalaman indrawi sangat menentukan dalam kemampuan berpikirnya. Seseorang dapat membuktikan suatu pemikiran adalah suatu pengetahuan yang benar, apabila dapat membuktikan secara indrawi, secara konkret dan secara faktual berdasarkan penglihatan, pendengaran hingga argumen-argumen yang menguatkannya. Hampir sebagian besar orang memegang teguh apa yang menjadi pemikirannya adalah suatu hal yang logis dan benar, ketika pemikiran tersebut berangkat dari pengamatan dan pengalaman pribadinya terhadap suatu fenomena tertentu. Pengamatan berupa interaksi antara objek dengan subjek kemudian ditafsirkan dan menjadi sebuah pemahaman yang terarah serta sistematis sehingga mampu memahami hakikat suatu fenomena tentu akan semakin meneguhkan kelogisan pemikiran terhadap fenomena tersebut. Selain itu, pemikiran yang lebih didasarkan pada pengalaman pribadi tentang sesuatu dan terlebih lagi apabila terjadi berulang kali, juga dapat membentuk suatu pengetahuan yang logis baginya. Sebagai contoh, Fikri selalu berangkat ke kampus pukul 07.30 dari rumah (kuliah di mulai pukul 9 pagi). Padahal, jarak rumah dengan kampusnya cukup jauh dan membutuhkan waktu dua jam perjalanan. Selama ini ia sering terlambat masuk kuliah karena berangkat dari rumah pukul 07.30 pagi. Untuk itu, ia telah berpikir dan memutuskan untuk berangkat pukul 06.30 di setiap paginya, agar tidak terlambat di kampus. Contoh tersebut menunjukkan bahwa pengalaman pribadi dapat membentuk pemikiran yang diyakini akan kelogisan dan/atau kebenarannya. Berdasarkan uraian di atas, lantas apa sebenarnya berpikir logis itu? Berpikir logis adalah suatu proses penalaran mengenai suatu objek dengan



Argumentasi Hukum



79



cara menghubungkan serangkaian pendapat untuk sampai pada sebuah kesimpulan menurut aturan-aturan logika.58 Berpikir logis haruslah memhami suatu fenomena secara konsisten sesuai dengan prosedur dan/atau tata cara berpikir yang benar. Pola pikir atau pemikiran yang demikian diyakini dapat memperoleh suatu kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan (logis). Sesungguhnya, perdebatan dalam membangun pemikiran logis khususnya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar pengetahuan sudah berlangsung sejak lama, mulai dari era klasik dan berlanjut pada era modern bahkan sampai era pasca modern abad dewasa ini. Keingintahuan terhadap pemahaman akan hakekat realitas selalu ingin dicarikan jawabannya oleh para filsuf-filsuf di dunia ini. Namun perlu diketahui bersama, bahwa perdebatan epistimologis antar filsuf tentu berangkat dari latar belakang aliran yang berbeda dalam pengembangan cara berpikir manusia dalam memahami realitas itu sendiri. Apabila kita hanya membaca sekilas berbagai literatur yang menunjukkan aliran filsafat hukum, maka yang akan kita ketahui adalah pemahaman mengenai metode penalaran yang logis atau rasional mungkin hanya akan ditemukan pada “keluarga” aliran positivisme hukum saja, sementara yang lain tidak ditemukan, karena aliran lain mulai beranjak ke arah subjektifitas dan tidak bersandar pada logika (rasional). Namun, apakah pemahaman penalaran dalam positivisme adalah penalaran yang mutlak nilainya, sedangkan penalaran aliran lain merupakan suatu bentuk penalaran yang salah? Oleh karena itu, dalam bab ini penulis akan mencoba memberikan suatu pemahaman sederhana mengenai bagaimana proses penalaran dalam setiap aliran-aliran filsafat hukum khususnya, serta apa saja aliran-aliran filsafat hukum itu sendiri. B.



Sedikit Mengenal Filsafat Hukum



Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan kata majemuk dari rangkaian istilah: Philein yang berarti “mencintai” dan shopia yang berarti “kebijaksanaan”. Sehingga menurut asal katanya secara etimologi filsafat (philo-shopia) berarti “cinta kebijaksanaan” (love of wisdom)59, atau “mencintai hikmat/pengetahuan”. Cinta dalam hal ini memiliki arti yang luas, yaitu ingin dan selalu berusaha untuk mencapai keinginan tersebut. Sedangkan kebijaksanaan lebih lanjut berarti “pandai”, tahu secara mendalam dan seluasluasnya, baik secara teoritis sampai dengan keputusan untuk bertindak.60 58 Arif Rohman. Epistemologi dan Logika (Filsafat untuk Pengembangan Pendidikan). (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014). Hlm. 127. 59 Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Hlm. 3 60 Paulus Wahan. Filsafat Pancasila. (Yogyakarta: Kanisius, 1993). Hlm. 18.



80



Argumentasi Hukum



Secara sederhana sebenarnya bisa dikatakan bahwa berfilsafat adalah berpikir. Namun, tidak semua kegiatan berpikir adalah suatu hal yang dapat dikatakan sebagai berfilsafat. Hanya kegiatan berpikir tentang hakikat segala sesuatu yang dilakukan secara sunguh-sungguh dan mendalamlah yang bisa disebut sebagai berfilsafat. Apabila kita mengambil contoh, ketika kita berpikir mengenai berapa jarak Solo ke Semarang? Pertanyaan tersebut memanglah proses berpikir, namun bukanlah berfilsafat karena pemikiran tersebut tidak dilakukan secara mendalam dan hanya didasarkan pada kebutuhan ilmu pengetahuan semata. Mari kita ambil contoh yang lain, saat hidup mungkin kita pernah mengalami masa dimana kita ‘galau’ dalam beragama, malas menjalankan ibadah yang diperintahkan-Nya, hingga mempertanyakan eksistensi Tuhan itu sendiri. Kegelisahan yang berujung pada proses berpikir secara keras untuk menjawab, siapakah itu Tuhan merupakan salah satu contoh mengenai pertanyaan hakikat sesuatu yang dilakukan dalam konteks filsafat. Disini, berfilsafat adalah berpikir secara sungguh-sungguh dan mendalam untuk mencari hakikat atau makna kebenaran sesuatu. Dalam kaitannya dengan penalaran, filsafat logika sangat diandalkan menjadi salah satu ujung tombak manusia untuk menemukan kebenaran. Rasionalitas juga merupakan salah satu ciri berpikir filsafat, karena manusia secara dominan berpikir dengan mengandalkan akalnya yang logis. Sementara itu, filsafat hukum adalah cabang dari filsafat. Demikianlah dinyatakan dalam banyak literatur, bahwa dalam taksonomi keilmuannya, filsafat hukum merupakan bagian bagian dari ilmu filsafat. Sehingga filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, karena yang menjadi objeknya adalah hukum dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya yang kemudian disebut sebagai hakikat. Pertanyaan tentang “apa hakikat hukum itu?” merupakan pertanyaan utama dalam filsafat hukum. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang tidak mudah dijawab oleh siapapun. Para pemikir hukum berpikir keras dan mendalam untuk menjawab ini. Lalu dalam penelaahan masing-masing, lahirlah banyak hakikat tentang hukum, seolah menegaskan perbedaan satu cara berpikir yang satu dengan yang lain. Inilah yang kemudian muncul dan disebut aliran filsafat hukum. Banyak perbedaan yang dapat terlihat dalam ragam aliran filsafat hukum yang ada. Pada masing-masingnya juga akan menunjukkan perbedaan cara melihat hukum, sehingga akan terlihat begitu rupa pemahaman tentang hukum yang ada. Mengaitkan studi filsafat hukum dalam konteks argumentasi hukum sangatlah relevan. Pada bagaimana seseorang berargumentasi hukum sejatinya



Argumentasi Hukum



81



akan tergantung pada bagaimana dia mendefinisikan hukum. Dengan demikian, pemahaman seseorang dalam melihat hukum (sesuai aliran filsafat hukumnya) tentu melandasi setiap argumentasi hukum yang dibangunnya. C. Aliran-Aliran Filsafat Hukum Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakikat hukum, apa tujuan, mengapa ada hingga mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Filsafat (filsafat hukum) mengajak kita untuk berpikir kritis dan spekulatif, sehingga selalu ingin mengetahui mengenai kebenaran hukum. Tumbuh dan berkembangnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukkan pergulatan pemikiran yang terus berkembang dan tidak pernah berhenti dalam bidang ilmu hukum. Perbedaan dan dinamika pemikiran tersebut melahirkan banyaknya aliran dalam filsafat hukum. Setiap aliran tersebut terjadi dialektika yang membahas asal-usul terciptanya hukum dan/atau cara pandang mengenai hukum yang berbeda-beda sesuai dengan kebenaran yang diyakininya. Berikut ini akan disajikan beberapa aliran filsafat hukum yang banyak dipelajari dalam berbagai literatur buku-buku filsafat hukum, termasuk juga karena pengaruh besarnya dalam pemahaman para pemikir hukum. Dalam aliran-aliran filsafat hukum berikut ini akan terlihat kekhasan pemikiran masing-masing yang juga menunjukkan bagaimana penalaran di dalamnya: 1. Positivisme Hukum Latar belakang dari aliran Positivisme Hukum (Legal Positivism) adalah filsafat Positivisme yang dikembangkan oleh Auguste Comte (1978-1857) yang di dorong oleh perkembangan ilmu-ilmu alam sejak tahun 1600. Auguste Comte sebagai sosiolog ingin menerapkan metode ilmu alam (Naturwissenscahft) yang sifat utamanya eksperimental-empiris (experimenteel empirisch), sehingga ilmu hukum, menurut Comte dalam pengkajiannya melakukan penelitian atau hasil pengamatan pancaindra. Alasan mengapa Comte berpendapat demikian, bisa dilihat dari beberapa tesis pokok Positivisme, diantaranya:61 a. Hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang sah; b. Hanya fakta yang dapat menjadi obyek pengetahuan; c. Metode filsafat tidak berbeda dengan metode ilmu; d. Tugas filsafat adalah menemukan asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan menggunakannya sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadi landasan bagi organisasi sosial. e. Semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan semata-mata atas pengalaman (empiris-verifikatif); f. Bertitik tolak pada ilmu-ilmu alam; 61 Bernard, L. Tanya, Yoan N Simanjuntak dan Markus Y. Hage. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. (Yogjakarta: Genta Publishing, 2010). Hlm. 118



82



Argumentasi Hukum



g. Berusaha memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia fisik maupun dunia manusia, melalui aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan hasil-hasil ilmu alam. Bagi Comte hanya hasil pengamatan pancaindra yang berharga sebagai bahan ilmu pengetahuan. Sebenarnya pandangan tersebut sudah dikenal sebelumnya sejak abad ke-17 oleh John Locke (1632-1704), yang olehnya merumuskan secara sistematis mengenai empirisme. Akan tetapi, Auguste Comte memberikan tambahan dengan menakankan penggunaan metode ilmiah dalam empirisme. Menurut Comte, semua ilmu berkembang menurut tiga tahap yang disebutnya hukum tiga tahap (law of three phases), sebagaimana dalam teori terkenal yang dikembangkannya yaitu “De drie stadien leer” atau tiga tingkat (stadium) perkembangan pikiran manusia (de drie phasen van ontwikkeling van het menselijk denken), diantaranya:62 a. Theologisch Phase Manusia belum belajar berpikir sendiri, semua kejadian disandarkan kepada kemauan Tuhan yang tercermin dalam kitabkitab suci. Fase ini dikatakan juga sebagai fase kepasrahan kepada kehendak Tuhan. Untuk tahap ini, Comte menunjuk pada masa sebelum Revolusi Perancis 1789. b. Metaphysische Phase Manusia mulai melihat seusatu yang bersifat metafisik dalam melihat suatu kebenaran. Dalam fase ini manusia mulai berpikir sendiri, membuat pengertian dan penjelasan sendiri, abstrak, spekulatif (trancendent) berdasarkan penalaran (reasoning) tetapi belum ada pembuktian yang solid karena belum diuji dengan kenyataan atau belum didasarkan pada pengalaman atau observasi dengan pancaindra. Untuk tahap ini, Comte menunjuk pada periode awal dari masa sesudah Revolusi Perancis, di mana orang-orang percaya pada konsep-konsep seperti hak-hak manusia (de droit d’homme). Hak-hak seperti ini tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Bisa dikatakan pula fase ini melahirkan keyakinan terhadap mitos dan lain sebagainya. c. Positieve Phase Manusia lebih mengedepankan kenyataan. Kenyataan adalah hasil observasi pancaindra. Aksioma, dalil, hukum, proposisi dan segala 62 Telly Sumbu, dkk. Filsafat Hukum. Bahan Ajar Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado. 2016



Argumentasi Hukum



83



bentuk statement dianggap benar jika sudah teruji secara empiris. Fase ini telah memasuki fase modernisme. Manusia mulai mengedepankan logika dengan berbasis kenyataan. Logika didasarkan pada kenyataan yang dan merupakan hasil observasi panca indera. Serta dapat dianggap benar apabila dapat diuji secara empirik. Sehingga pemikiran manusia sangat berkembang dalam fase ini. Pandangan dasar Positivisme Hukum, yaitu bahwa hukum adalah perintah yang mengalir dari sumber tertentu, dalam hal ini ialah pemberi kekuasaan/perintah atau yang memiliki kewenangan. Ekspektasi pembuat perintah terhadap perintah yang diberikan adalah pihak yang diperintah dapat berbuat sesuatu atau menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu. Terhadap perintah yang diberikan oleh penguasa tersebut, apabila perintah diabaikan akan memiliki konsekuensi salah satunya berupa sanksi. Ini erat dengan hubungan sebab akibat atau kausalitas, melanggar peraturan sama dengan terkena sanksi atau hukuman. Dalam hal ini juga ada pola generalisasi, bahwa hukum itu dibuat oleh orang yang berkuasa berlaku untuk semua, mulai dari pembuat perintah sampai yang diperintahkan. Hukum dibuat oleh negara (mereka yang mempunyai otoritas). Sumber hukum adalah kemauan yang berdaulat (The source of a law is the will of the sovereign). Negara adalah pembentuk hukum, sebagai kekuatan dan kekuasaan moral di belakang hukum, dengan kata lain negara sebagai “Tuhan” dunia hukum (the god of the world of law). Orang sering melihat hukum sebagai sesuatu yang sempurna, sehingga apa kemauan hukum harus dilaksanakan. Bahkan pada faktanya banyak penegak hukum yang selalu mengagungkan kepastian hukum (terkhusus bagi mereka yang menganut aliran positivisme hukum). Bagi positivisme hukum, satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum adalah tata hukum yang berwujud tertulis dan nyata, karena bentuk nyatanya hukum itu sangat determinan dan pasti sifatnya. Hukum hanya berlaku karena bentuk positifnya yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Salah seorang penganut Positivisme Hukum yaitu Rudolf Van Jhering. Jhering melihat hukum sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan, bersifat memaksa (semua orang harus tunduk dalam hal ini). Keadilan diwujudkan dalam bentuk teks-teks seragam. Hak untuk memaksa adalah monopoli mutlak negara. Baginya, hukum adalah aturan hidup bersama, yang dianggap sesuai dengan kepentingan negara (bicara hukum dalam makna seperti ini). Hukum adalah pernyataan egoisme nasional, Indonesia sebagai negara tentu memiliki



84



Argumentasi Hukum



egoisme seperti ini. Hukum dikembangkan secara sistematis dan rasional (tidak sembarang, ada prosedurnya) bisa dikatakan sesuai dengan kebutuhan hidup bernegara. Dalam aliran Positivisme Hukum ini ada 3 (tiga) teori terkenal, diantaranya: 1) Teori dari H.L.A. Hart Dalam teorinya, Hart mengakui bahwa hukum dan moralitas memiliki hubungan yang penting. Meskipun hubungan tersebut bukanlah hubungan yang mutlak. Maksud dari hubungan yang tidak mutlak ialah definisi hukum tidak harus selalu melibatkan moralitas. Pemahaman positivisme adalah hukum yang dibuat oleh negara, yang ada wujudnya sehingga bisa dikatakan hukum adalah legalitas negara. Terkait dengan legalitas tersebut, Hart berpendapat bahwa legalitas tidak harus ditentukan oleh moralitas, sehingga hubungan hukum dan moralitas haruslah dipisahkan. Pemisahan ini menurutnya diperlukan agar kritik moral terhadap hukum dimungkinkan dan untuk menghindari konservatisme. Konsekuensi dari hal ini ialah, ketika kita berbicara hukum dalam wujud yang tertulis, dibelakangnya pasti tetap ada pengaturan tentang moral atau bermula dari substansi moralitas. Sehingga, ketika suatu hukum hanya berhenti pada wujud tertulis berupa teks, maka moralitasnya pun akan berhenti. Di sisi lain, Hart juga memiliki pandangan bahwa validitas hukum tidak ditentukan oleh moralitas melainkan oleh aturan pengakuan yang berlaku dalam sistem hukum. Hal tersebut berarti bahwa aturan-aturan yang bertentangan dengan moralitas dan rasa keadilan, sepanjang aturan tersebut dibuat melalui prosedur yang resmi atau terdapat dalam buku undang-undang, dianggap sebagai aturan yang valid. Jika benar demikian maka hukum tidak lagi bisa dikritik berdasarkan moralitas. Dan jika ini yang terjadi maka hukum akan menjadi sewenang-wenang. Hart dalam teorinya juga memberikan lima esensi atau arti penting Positivisme Hukum, diantaranya:63 1. Bahwa hukum dan/atau undang-undang adalah perintah-perintah manusia. 2. Bahwa tidak ada hubungan yang diperlukan antara hukum dan moral atau hukum sebagaimana adanya dan hukum sebagaimana mestinya. 63 Romli Atmasasmita. Teori Hukum Integratif: Rekontruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012). Hlm. 30-31



Argumentasi Hukum



85



3. Bahwa analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum adalah studi yang penting untuk dibedakan dari (walaupun sama sekali tidak) penyelidikan historis, penyelidikan sosiologis dan penilaian kritis hukum dalam hal atau moral, tujuan sosial, fungsi. 4. Bahwa sistem hukum adalah sistem logis tertutup dimana keputusan yang benar dapat disimpulkan dari aturan hukum yang telah ditentukan dengan cara logis saja. Dengan kata lain, putusan-putusan hukum dikatakan tepat apabila dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan terlebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan dan norma-norma moral. 5. Bahwa penilaian-penilaian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan, seperti halnya dengan pernyataan-pernyataan tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk, atau bukti (non kognitivisme dalam etika). 2) Teori Perintah (Command Theory) dari John Austin Dalam teorinya, Austin berpendapat bahwa hukum positif (positive law) adalah perintah dari yang berdaulat (command of the sovereignty). Karenanya teori ini dinamakan teori perintah (command theory). Berdasarkan teori ini, Austin menyatakan bahwa apa yang disebut hukum internasional dan hukum kebiasaan (customary law) bukanlah hukum positif, karena tidak bersumberkan pada perintah dari yang berdaulat. Hukum internasional dan hukum kebiasaan hanyalah moralitas positif (positive morality). Dalam perkembangannya, John Austin membagi hukum dalam arti luas, yaitu: 1) Hukum ciptaan Tuhan. 2) Hukum yang dibuat manusia, terdiri atas: a) Hukum dalam arti sebenarnya atau hukum untuk disebut sebagai hukum. Jenis hukum inilah yang selanjutnya disebut juga sebagai hukum positif (positive law). Hukum yang sesungguhnya ini terdiri atas:64 1. Hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang, peraturan pemerintah dan lain-lain. 2. Hukum yang disusun atau dibuat oleh rakyat secara individual yang dipergunakan untuk melaksanakan hak64



Lily Rasyidi. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. (Bandung, 1984). Hlm. 41



86



Argumentasi Hukum



hak yang diberikan kepadanya. Sebagai contoh ialah hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian. b) Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yaitu hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang. Contohnya, ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu dalam bidang keolahragaan, mahasiswa dan sebagainya. Penting diperhatikan bahwa John Austin membedakan secara tajam antara:65 1) Jurisprudence (ilmu hukum) yang mempelajari hukum sebagaimana adanya saja, dalam hal ini mempelajari hukum positif (positive law), dan 2) Science of legislation (ilmu perundang-undangan) yang mempelajari bentuk-bentuk ideal dari hukum yang berdasarkan pada asas manfaat (utility). Berdasarkan hal-hal yang telah penulis sampaikan di atas, inti ajaran John Austin dapat penulis ikhtisarkan dalam beberapa butir sebagai berikut: 1) Hukum adalah perintah pihak yang berdaulat atau dalam bahasa aslinya Law Was the Command of Sovereign. Bagi Austin “No Law, No Saver, and no sovereign, no law”. 2) Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-kententuan lain yang secara tegas dapat disebut demikian, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hal ini dikarenakan John Austin juga menganggap bahwa hukum positif adalah suatu sistem logis tertutup (closed logical sistem). Penerapan hukum positif terhadap kasus-kasus konkrit adalah menggunakan metode deduksi. Dalam hal ini Austin menekankan bahwa dalam menjalankan deduksi, hakim tidak boleh menilai isi peraturan dari segi moralitas, keadilan dan sebagainya. Apabila hakim tidak melaksanakan suatu hukum positif karena hakim memandangnya bertentangan dengan hukum alam (natural law) misalnya, maka menurut Austin akan menyebabkan anarki. 66 65 66



Sumbu, Op.cit., Hlm. 22. Ibid.



Argumentasi Hukum



87



3) Konsep tentang kedaulatan negara (doctrine of soveireignty) mewarnai hampir keseluruhan dari ajaran Austin. 3) Teori Hukum Murni dari Hans Kelsen Menurut asal-usulnya, teori hukum murni merupakan suatu bentuk pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yaitu ajaran yang hanya mengembangkan hukum sebagai alat pemerintahan suatu rezim dari negara-negara totaliter.67 Teori ini hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturanperaturan yang ada. Menurut Kelsen teori hukum murni adalah teori hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan “apakah hukumnya?” dan bukan “bagaimanakah hukum yang seharusnya?”. Karena titik tolak yang demikian itulah maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana lazimnya dipersoalkan hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Dasar pokok teori Kelsen adalah sebagai berikut:68 1. Tujuan teori tentang hukum, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity). 2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehandak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada. 3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam. 4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum. 5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik. 6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positip tertentu seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada. Menurut Kelsen, hukum adalah suatu sistem dari peraturanperaturan (a sistem of rules) yang berisi apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan. Peraturan-peraturan (rules) itu sendiri merupakan “Wille des Staates” (kehendak negara). Menurutnya, sebagaimana ahli matematika tidak menghiraukan apakah hasil pekerjaannya akan digunakan membuat jembatan atau menciptakan 67 68



Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012). Hlm. 278 Ibid, Hlm. 279.



88



Argumentasi Hukum



suatu sistem, demikian pula ahli hukum hanya perlu memperhatikan hukum sebagai norma murni.69 Sehingga metode dalam ilmu hukum, khususnya pada saat mengkaji atau menerapkan kaidah haruslah dijauhkan dari unsur-unsur yang tidak relevan seperti politik, sosiologi, etika, keyakinan agama dan sebagainya. Metode lain yang diajarkannya yaitu mengenai tata urutan perundang-undangan (Stufenbau der Rechtsordnung). Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Kelsen menyebut hukum sebagai suatu susunan berjenjang, menurun dari norma positif tertinggi sampai kepada perwujudannya yang paling rendah. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Sehingga norma yang lebih rendah tersebut tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi di atasnya. Semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya, begitupun sebaliknya semakin rendah kedudukannya maka akan semakin konkret sifat dan/atau wujud norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida disebut oleh Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar) atau Ursprungnorm. Dalam perkembangannya, dalam teori ini pula terdapat fungsi khusus dari norma yang bersifat menyampingkan atau membatalkan (derogation) terhadap norma lain. Untuk itu, kita mengenal adanya beberapa asas seperti:70



2.



- Lex superior derogate legi inferiori, yaitu hukum yang kedudukannya lebih tinggi mengesampingkan hukum yang kedudukannya lebih rendah darinya. - Lex specialist derogate legi generalis, yaitu peraturan perundangundangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. - Lex posteriori derogate legi priori, yaitu perturan perundnagundangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan perundnag-undangan yang berlaku terdahulu. Aliran Hukum Alam



Para filosof Yunani Kuno melihat adanya keteraturan alam dan menyimpulkan bahwa alam memiliki tujuan, sasaran atau arah tertentu. Manusia sebagai bagian dari alam tentunya juga memiliki tujuan yang sesuai dengan 69 Rasyidi, Op. Cit., Hlm. 24 70 Sidharta dan Petrus Lakonawa. Lex Specialis Derogat Legi Generali: Makna dan Penggunaannya. (Jakarta: Binus University,2018) https://business-law.binus.ac.id/2018/03/03/ lex-specialis-derogat-legi-generali/. 3 Maret 2018. (Diakses 02 Februari 2021)..



Argumentasi Hukum



89



tujuan alam. Pandangan yang melihat alam dan tempat manusia yang berada di dalamnya dalam rangka tujuan, sasaran dan arah tertentu kemudian disebut sebagai pandangan teleologis (yang berasal dari kata Yunani kuno “telos” yang berarti tujuan atau sasaran).71 Dalam aliran hukum alam ini, filosof banyak memikirkan tentang berbagai gejala kehidupan, termasuk persoalan hukum seperti hakikat hukum, bentuk pemerintahan yang baik dan sebagainya. Mereka mendasarkan pemikiran terhadap akal budi, nalar (reason) yang hasilnya berupa dikesampingkannya para dewa sebagai kekuatan pengatur jagad raya dan menerima hukum alam (natural law) untuk menjelaskan bebagai gejala.72 Di sisi lain aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam mencari keadilan yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku secara universal dan abadi. Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat mahkluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Aliran hukum alam merupakan aliran filsafat hukum yang paling tua dan nama ini masih bertahan sampai sekarang. Aliran ini dimulai oleh para filosof Yunani Kuno kemudian mengalami perkembangan dan perubahan. Aliran hukum alam berdasarkan sumbernya dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: a. Irasional atau Teori Hukum Alam Theologis Hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain: Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wyclife. Tokoh paling menonjol dari teori hukum alam theologis adalah Thomas Aquinas (1225-1274). Menurut Aquinas, terdapat kebenaran akal di samping kebenaran wahyu, namun disisi lain terdapat pengetahuan yang tidak diketahui oleh akal, sehingga untuk itulah diperlukan iman. Dalam perkembangannya Aquinas membedakan antara pengetahuan alamiah (kemampuan pemikiran dengan mendasarkan pada akal) dan pengetahuan iman (keyakinan yang berpegang teguh pada wilayah rasa terkait keberadaan suatu kebenaran). Pembedaan tersebut digunakan 71 Jeffrie G. Murphy dan Jules L. Coleman, Philosophy of Law. An Introduction to Jurisprudence. (Westview Press, Inc., 1990). Hlm. 13. 72 Surya Prakash Sinha. Jurisprudence. Legal Philosophy in a Nutshell. (West Publishing Co, St. Paul, Minn., 1993). Hlm. 10.



90



Argumentasi Hukum



untuk menjelaskan antara filsafat dan teologis. Hukum alam bagian dari hukum Tuhan yang diungkapkan dalam pikiran alam untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Dalam bukunya Summa Theologica, Aquinas membedakan empat macam hukum, yaitu:73 1) Lex Aeterna (Hukum Abadi) Tatanan ini disebut sebagai hukum abadi, yaitu suatu tatanan rasional dan memiliki maksud tertentu yang mengatur alam semesta. Letak pemikiran tatanan ini yaitu bahwa melalui rasio Ketuhanan diciptakan segala-galanya. Dalam Tuhan terletak suatu rencana tentang berjalannya semesta alam. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum adalah rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia. 2) Lex Divina (Hukum Sakral) Hukum dalam hal ini adalah segala hal yang diwahyukan oleh Tuhan dalam Kitab Suci. Dengan diwujudkannya rasio tersebut dalam bentuk kitab suci, manusia mulai bisa menangkap apa yang dimaksudkan dari suatu fenomena di dalamnya. Dengan kata lain, hukum di sini adalah hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia. 3) Lex Naturalis (Hukum Alam) Pengertian dari hukum alam disini adalah ketika manusia sebagai makhluk yang memiliki akal atau nalar (reason) mulai turut serta ke dalam Lex Aeterna (Hukum Abadi). Manusia, sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki akal atau nalar (reason) membuatnya mampu sedikit banyak menangkap rasio Tuhan sekalipun tidak seluruhnya. 4) Lex Positivis (Hukum Manusia) Segala hal yang terdapat dalam hukum alam, sudah menjadi sesuatu yang bersifat nyata. Sehingga rasio Tuhan dapat ditangkap dengan rasio manusia dalam bentuk positivistis. Manusia menggunakan akalnya dalam memproses lebih lanjut setiap fenomena yang ada. sehingga bisa dikatakan bahwa Lex Positivis adalah penerapan Lex Naturalis dalam kehidupan manusia di dunia nyata. b. Rasional atau Teori Hukum Alam Rasionalistis Tokoh teori hukum alam rasionalistis antara lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel Pufendorf. 73 Dariji Darnodihardjo dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006). Hlm. 92



Argumentasi Hukum



91



Namun, diantara tokoh tersebut yang paling menonjol adalah Hugo de Groot atau Grotius (1583-1645). Grotius menentang teori hukum alam theologis yang diajarkan oleh Thomas Aquinas. Dasar pertentangan tersebut adalah, menurutnya sumber hukum adalah rasio manusia. Hukum alam adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia. Prinsip hukum menurutnya terlepas sama sekali dari perintah Tuhan dan Tuhan pun tidak dapat merubahnya, sebagaimana 2 x 2 = 4. Sehingga tidak mungkin dapat dirubah bahkan oleh Tuhan sekalipun. Meskipun hukum alam ini diperoleh oleh manusia melalui akalnya, namun Tuhanlah yang memberikan kekuatan mengikat. Berdasarkan uraian di atas, salah satu pemikiran hukum alam yang khas adalah tidak dipisahkannya secara tegas antara hukum dan moral. Berbeda halnya dengan Kaum Positivisme yang secara tegas membedakan antara moral dan hukum. Pada umumnya, penganut hukum alam memandang hukum dan moral sebagai pencerminan dan pengaturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia serta hubungannya sesama manusia. Kant misalnya, menekankan bahwa moralitas mengatur kehidupan manusia dan menjadi penuntun bagi motivasinya. Hukum mengatur kondisi-kondisi manusia dalam kaitannya dengan standar yang dibutuhkan mereka. 3.



Sociological Jurisprudence



Awal abad 20 merupakan masa lahirnya pandangan-pandangan hukum yang memanfaatkan temuan-temuan dalam Sosiologi. Roscoe Pound (18701964) adalah pelopor lahirnya aliran sosiologis. Pandangannya dikenal sebagai ilmu hukum sosiologis (sociological jurisprudence) yang berpengaruh besar sampai sekarang. Roscoe Pound melihat bahwa aliran positivisme hukum abad 18 yang berakar pada rasionalisme (tesis) dan aliran sejarah dari abad 19 yang berakar pada empirisme (antitesis), masing-masing berat sebelah, sehingga diperlukan aliran yang memahami hukum sebagai akal dan juga pengalaman (sintesis). Selanjutnya Pound mengemukakan pandangan yang dikenal dalam Sociological Jurisprudence. Pemahaman di atas dapat dimaknakan bahwa Sociological Jurisprudence, memandang hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Artinya, bahwa hukum itu haruslah mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dengan



92



Argumentasi Hukum



hukum yang hidup di masyarakat (the living law). Sociological Jurisprudence timbul dari hasil dialektika antara Positivisme Hukum (tesis) dan Mazhab Sejarah (antitesis).74 Positivisme hukum memandang hukum hanya sebagai perintah penguasa, sedangkan Mazhab Sejarah memandang hukum timbul dan berkembang bersama masyarakat. Para tokoh dalam aliran ini, diantaranya: 1. Eugene Ehrlich (1826-1922) Eugene Ehrlich adalah seorang ahli hukum dari Austria, turut dianggap sebagai pelopor dari aliran Sociological Jurisprudence berdasarkan hasil karyanya berjudul “Fundamental Principles of the Sociology of Law”. Ehrlich melihat adanya pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law). Pembedaan tersebut terletak antara kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Menurutnya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.75 Titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada badanbadan legislatif, undang-undang, putusan hakim ataupun ilmu hukum, akan tetapi justru terletak pada masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, menurut Ehrlich sumber dan bentuk hukum yang utama adalah kebiasaan. Tetapi dalam perkembangannya, menurut Friedman, ia meragukan posisi kebiasaan ini sebagai sumber hukum pada masyarakat modern.76 Ketika tata tertib dalam masyarakat didasarkan pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara, maka hukum tidak mungkin akan efektif. Hal tersebut dikarenakan ketertiban dalam masyarakat didasarkan karena penerapannya secara resmi oleh negara bukan didasarkan pada pengakuan sosial terhadap hukum. Kebaikan dari analisis Ehrlich adalah dapat mengarahkan perhatian para ahli hukum pada ruang lingkup sistem sosial, dimana akan diketemukan kekuatan-kekuatan yang mengendalikan hukum dan juga untuk lebih memahami hukum dalam konteks sosial. Hal ini perlu kita pahami bersama, bahwa pengakuan hak masyarakat (hukum) tidak hanya terbatas pada bentuk pengakuan dalam hukum negara, akan tetapi juga harus secara faktual diperoleh melalui hukum yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Tujuan dari hal tersebut adalah 74 I Ketut Wirawan. Pengantar Filsafat Hukum. Bahan Ajar Fakultas Hukum Universitas Udayana. 2016. Hlm. 40-41. 75 Rasyidi. Op. cit., Hlm. 55. 76 Ketut, Loc.cit.



Argumentasi Hukum



93



ketika kita mampu memahami hukum dalam konteks sosial maka akan membawa manfaat bagi masyarakat berupa nilai kepuasan hukum bagi masyarakat itu sendiri. Sedangkan kekurangan dari analisis ini yaitu bahwa akan sulit untuk menentukan ukuran-ukuran apa yang dipakai untuk menentukan bahwa suatu kaidah hukum benar-benar merupakan hukum yang hidup (dan dianggap adil). Karena apabila kita mendasarkan pada keadilan, keadilan adalah suatu hal yang bersifat relatif dan memiliki tolak ukur yang berbeda bagi setiap individu. 2. Roscoe Pound (1870-1964) Ajaran aliran Sociological Jurisprudence berkembang dan menjadi populer di Amerika Serikat terutama atas jasa Roscoe Pound (18701964). Sociological Jurisprudence mencapai puncak perkembangannya antara tahum 1900an sampai dengan tahun 1920an. Sebagaimana telah penulis sampaikan diawal, Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan tugas dari ilmu hukum adalah untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi dengan maksimal. Selain itu, dianjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang dibedakannya dengan hukum yang tertulis (law in books). Roscoe Pound dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat (law is a tool of social engineering). Untuk memenuhi perannya sebagai alat merekayasa tersebut, Pound membuat penggolongan-penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut:77 1) Kepentingan Umum (public interest): a) Kepentingan negara sebagai badan hukum; b) Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat. 2) Kepentingan Masyarakat (social interest): a) Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban; b) Perlindungan lembaga-lembaga sosial; c) Pencegahan kemerosotan akhlak; d) Pencegahan pelanggaran hak; e) Kesejahteraan sosial. 77



Ibid. Hlm. 41-42.



94



Argumentasi Hukum



yaitu:78



3) Kepentingan Pribadi (private interest): a) Kepentingan individu; b) Kepentingan keluarga; c) Kepentingan hak milik. Dalam ajarannya, Roscoe Pound menekankan pada beberapa prinsip,



1. Mengubah fokus analisis tentang hukum dari semata-mata memfokuskan diri pada doktrin-doktrin hukum (aturan dan praktik hukum) ke fokus pada efek hukum dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, dilakukan dengan menggunakan metode, praktik, dan temuan dari ilmu sosial; 2. Hakim tidak hanya menerapkan undang- undang untuk semua kasus. Hakim harus diberikan ruang untuk diskresi (kebebasan) yang luas dalam menerapkan hukum dan aturan hukum hanya merupakan pedoman umum bagi hakim; 3. Titik sentral ajaran Roscoe Pound adalah teori tentang kepentingan (theory of interest) dan “rekayasa sosial” (social engineering). Ada berbagai kepentingan dalam masyarakat, yaitu kepentingan individu, sosial, dan publik (kepentingan publik merupakan bagian dari kepentingan sosial). Kepentingan-kepentingan tersebut dilegitimasi dan diseimbangkan oleh hukum, sehingga hukum dalam hal ini akan dipandang sebagai alat untuk rekayasa masyarakat (social engineering). 1. Prinsip-prinsip etika suatu masyarakat beradab (civilized society). Bahkan, masyarakat beradab tersebut merupakan tujuan dan sasaran akhir dari hukum substantif, yaitu adanya suatu pengaturan bahwa seseorang tidak boleh menyakiti atau merugikan orang lain; seseorang dapat memiliki dan mengawasi harta bendanya; orangorang harus bertindak dengan itikad baik dalam membuat kontrak satu sama lain; jika seseorang memiliki benda-benda berbahaya, dia harus menjaganya dengan baik sehingga tidak mengancam keselamatan harta bendanya, atau kesenangan orang lain; seseorang harus diberikan upah yang layak atas pekerjaannya dan sebagainya. 2. Mengembangkan teorinya tentang perkembangan hukum dari bentuk-bentuk primitif ke bentuk-bentuk sosialisasi hukum. Bentuk sosialisasi hukum mempunyai tujuan akhir untuk memaksimumkan pemenuhan keinginan dan kehendak manusia dan masyarakat 78



George Gurvitch. Sosiologi Hukum. (Jakarta: Bhratara, 1996). Hlm. 142-143.



Argumentasi Hukum



95



Perlu menjadi perhatian bersama, bahwa hendaknya dibedakan antara Sociological Jurisprudence dengan apa yang dikenal dengan sosiologi hukum. Dalam mencoba menelaah antara sosiologi hukum Eropa dan Sociological Jurisprudence di Amerika Serikat, terlebih dahulu akan dibedakan antara ilmu hukum sosiologis (Sociological Jurisprudence) dengan sosiologi hukum (the sociology of law). Apabila dilihat dari sudut sejarahnya, istilah sosiologi hukum untuk pertama kalinya dipergunakan oleh seorang Italia yang bernama Anzilotti pada tahun 1882. Tradisi sosiologi hukum di Eropa Kontinental bertolak dan melakukan penyelidikan di lapangan sosiologi dengan membahas hubunganhubungan antara gejala-gejala kehidupan kelompok dengan hukum (sociology of law). Menurut Apeldoorn, sosiologi hukum mengambil telaah mengenai hal berlakunya hukum dalam masyarakat. Dari pandangan Apeldoorn di atas dapat diidentifikasi bahwa sosiologi hukum mencakup 3 (tiga) hal, antara lain:79 1. Menelaah hal berlakunya hukum di dalam masyarakat; 2. Menelaah hubungan dan pengaruh hukum terhadap gejala-gejala sosial; 3. Mengadakan temu kenal yang berlaku dalam masyarakat. Sementara itu, pandangan di Amerika Serikat mempunyai karakteristik untuk mengarahkan telaah terhadap masalah-masalah praktis dari ketertiban hukum dan melakukan penyelidikannya di lapangan ilmu hukum serta pertaliannya dengan cara-cara menyesuaikan hubungan dan penertiban kelakuan yang menyangkut kehidupan kelompok dikenal dengan ilmu hukum sosiologis (Sociological Jurisprudence). Dengan demikian, tampak dengan nyata perbedaan antara keduanya, yaitu apabila Sociological Jurisprudence merupakan aliran dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut disamping juga diselidiki sebaliknya pengaruh hukum terhadap masyarakat. Yang terpenting adalah bahwa Sociological Jurisprudence cara pendekatannya bermula dari hukum ke masyarakat sedangkan sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum.801 79 Apeldoorn, van. L.J. Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding Tot de Studie Van Het Nederlandse Recht), (Djakarta: Noordhoff-Kolff N.V, 1959) 80 Rasyidi. Op. cit., 47



96



4.



Argumentasi Hukum



Realisme Hukum



Realisme hukum (Legal Realism) muncul di awal abad 20. Gerakan ini diawali oleh sejumlah hakim yang menentang positivism hukum atau analytical jurisprudence. Sehingga sebenarnya realisme hukum pada hakikatnya bukan merupakan suatu aliran, melainkan suatu gerakan yang dipelopori terutama oleh sejumlah hakim.81 Latar belakang munculnya realisme hukum, secara singkat akan penulis sampaikan diantaranya:82 1. Adanya gerakan-gerakan untuk menguji nilai-nilai tradisional yang ada pada tahun 1920. Contohnya adalah ketika adanya anggapan yang mengatakan bahwa raja yang baik itu pastilah adil, dan anggapan yang dipercayai oleh masyarakat tersebut ternyata adalah salah. 2. Munculnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi sebagai salah satu contohnya. Dengan memanfaatkan psikologi, para eksponen aliran ini mengkaji perilaku manusia (terhadap hukum) untuk menemukan arti hukum yang sebenarnya. 3. Banyaknya disparitas (perbedaan/ketidakseimbangan) putusanputusan. Sehingga muncul ketidakpercayaan terhadap hukum tertulis dan menumbuhkan rasa kepercayaan kepada hukum yang berdasarkan fakta yang real. Teori realisme hukum merupakan teori yang lahir dari teori empirisme yang oleh David Hume dipadukan menjadi pengetahuan yang pada intinya mempunyai pandangan bahwa hukum itu didapatkan pada kenyataan empiris (real). Empirisme menolak pengetahuan yang hanya mengandalkan penalaran logis ala rasionalisme abad 18. Ide-ide rasional menurut empirisme bukanlah segala-galanya. Ia tidak bisa diandalkan sebagai sumber tunggal. Ide-ide itu perlu dipastikan kebenarannya dalam dunia empiris. Dari situlah kebenaran sejati dapat diraih.83 Beberapa tokoh terkenal disebut-disebut sebagai peletak dasar aliran ini, diantaranya ialah ialah: Karl Llewellyn (1893-1962), Jerome Frank (18891957) dan Justice Oliver Wendell Holmes (1841-1935) ketiga-tiganya orang Amerika. Ahli-ahli pemikir dari aliran ini menaruh perhatian yang sangat besar terhadap keadilan, walaupun mereka berpendapat bahwa secara ilmiah tidak dapat ditentukan apa yang dinamakan hukum yg adil. Pokok-pokok pikiran dari 81 Sumbu. Op.cit., Hlm. 37 82 Adji Samekto. Justice for All. Cet 1. (Yogyakarta: Genta Press, 2008). Hlm. 66 83 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage. Teori Hukum (Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta Publising, 2003). Hlm. 165.



Argumentasi Hukum



97



aliran ini banyak dikemukakan oleh Justice Holmes di dalam hasil karyanya yang berjudul The Path of the Law, antara lain mengatakan bahwa kewajiban hukum hanyalah merupakan suatu dugaan bahwa apabila seseorang berbuat atau tidak berbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan suatu pengadilan. Dalam pandangan realisme hukum, hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Pandangan dalam realisme hukum adalah bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara itu. Pendapat Holmes tersebut di atas, apabila kita kaitkan dengan alasan dari hakim-hakim yang melakukan gebrakan terhadap positivisme, salah satunya karena tugas hakim yaitu juga untuk menciptakan hukum. Seorang penemu hukum yang bebas tugasnya tidak hanya sekedar menerapkan undangundang, akan tetapi juga menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret. Sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Hal tersebut merupakan inti dari realisme hukum, yaitu tidak hanya mengandalkan undang-undang sebagai sumber hukum utama. Sumber hukum yang paling utama adalah kenyataankenyataan sosial yang kemudian diambil alih oleh hakim ke dalam setiap putusannya. Kemudian, di sisi lain Karl Llewellyn juga mengembangkan teori tentang hubungan antara peraturan-peraturan hukum dengan perubahanperubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Di dalam teorinya ini Llewellyn terutama menekankan pada fungsi hukum. Tugas pokok dari pengadilan adalah menetapkan fakta dan rekontruksi dari kejadian-kejadian yang telah lampau yang menyebabkan terjadinya perselisihan. Apabila kita membahas mengenai tujuan hukum bagi penganut aliran ini, maka menurut Karl Llewellyn tujuan hukum harus senantiasa dikaitkan dengan tujuan masyarakat dimana hukum itu berada. Hukum haruslah diterima sebagai suatu yang terus menerus berubah sehingga hukum bukanlah suatu hal yang statis. Masyarakat yang selalu berproses secara terus menerus dan berubah secara berkesinambungan, harus disikapi dengan kemampuan melihat perubahan hukum sebagai sesuatu yang esensial dan diperlukan penekanan pada evaluasi hukum terhadap dampaknya pada masyarakat. Lebih lanjut oleh Llewellyn dikemukakan ciri-ciri aliran ini, yaitu:84 1. Realisme merupakan suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum; 84 Otje Salman. Filsafat Hukum: Perkembangan dan Dinamika Masalah. (Bandung : Reflika Aditama, 2010). Hlm. 30



98



Argumentasi Hukum



2. Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial, maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada hukum; 3. Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara Sollen dan Sein untuk keperluan suatu penyelidikan. Agar penyelidikan itu mempunyai tujuan, maka hendaknya diperhatikan adanya nilainilai, dan observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak pengamat maupun tujuantujuan kesusilaan; 4. Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional karena realisme bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan termasuk orang-orang di dalamnya. Untuk itu dirumuskan definisi dalam peraturan-peraturan yaitu merupakan ramalan umum tentang apa yang akan dikerjakan oleh pengadilan. 5. Gerakan realisme menekankan bahwa pada perkembangan setiap bagian hukum haruslah diperhatikan dengan seksama akibatnya. 5.



Critical Legal Studies (CLS)



Sampai dengan pertengahan tahun 1970-an pendidikan dan praktek hukum di Amerika Serikat didominasi oleh aliran formalisme hukum (legal formalism). Aliran ini sama dengan positivisme hukum yang muncul di Eropa Barat pada abad 19 seiring dengan munculnya positivisme ilmu-ilmu sosial. Seperti halnya positivisme hukum, mazhab formalisme hukum menganggap hukum sebagai sebuah sistem yang netral, obyektif dan otonom. Hukum adalah norma yang berbeda dari politik, moral, kebudayaan atau kebiasaan sehari-hari. Para penganut aliran ini, sudah mulai berani untuk membongkar, mengkritisi hingga melawan formalisme hukum. Upaya perlawanan terhadap formalisme hukum, pada saat yang bersamaan muncul di Eropa Barat. Pada masa itu pengaruh positivisme hukum begitu kuat, semua hukum harus diselenggarakan secara objektif. Sehingga muncul ketidakadilan sehingga mendorong para pemikir yang ada untuk mengkritik formalisme hukum yang bekerja. Bersama-sama untuk melakukan sebuah studi dan membahas suatu disebut Critical Legal Studies. Para penganut aliran ini memahami bahwa hukum terdiri dari teori sosial dan teori politik. Teori sosial digunakan untuk pemetaan, perwajahan,



Argumentasi Hukum



99



sentimental dan segala hal yang berkaitan dengan masyarakat, sedangkan teori politik digunakan sebagai pembidik (latar belakang) atas lahirnya peraturan perundang-undangan yang lahir dari lembaga-lembaga politik dan lembaga hukum yang banyak sekali berbagai pengaruh politik pada saat membuat peraturan perundang-undangan (legislasi perundangan atau putusan hakim).85 Sehingga hal-hal tersebut menjadikan hukum sangat kental nuansa politiknya. Berangkat dari kenyataan hukum yang selalu dipengaruhi politik dan norma-norma hukum lainnya, konsekuensi dasarnya adalah harapan untuk menjadikan hukum yang netral, objektif dan otonom tidak akan tercapai, bahkan dalam kenyataannya pun tidak pernah tercapai. Hukum dengan segala kepentingan-kepentingan yang melatar belakanginya baik dalam realitas hukum dengan kaitannya politik, ekonomi, modal, kapitalisme dan lain sebagainya, menjadikan hukum semakin jauh dengan nafas keadilan. Oleh karenanya, para penganut aliran ini berusaha bersikap kritis terhadap hukum untuk menjadikan keadilan adalah muara dari segala wujud hukum yang ada. Latar belakang lahirnya Critical Legal Studies adalah kritik terhadap Formalisme Hukum pada tahun 1977 di kota Madison, negara bagian Wisconsin, Amerika Serikat diadakan “Conference on Critical Legal Studies”. Penyelenggara konferensi ini adalah para akademisi hukum yang terlibat dalam gerakan hak-hak sipil dan kampanye anti perang Vietnam. Mereka menganggap formalisme hukum tidak dapat menjawab berbagai bentuk diskriminasi di masyarakat Amerika dan juga Perang Vietnam. Jadi, konferensi ini mencari cara baru dalam menafsirkan hukum dan lahirlah Critical Legal Studies. Tokoh dibalik Critical Legal Studies ini adalah Dunkan Kennedy, Karl Klare, Mark Kelman, Mark Tushnet, Morton Horwitz, Jack Balkin dan Roberto M. Unger. Ideologi keilmuan para tokoh hukum ini beragam. Dunkan Kennedy adalah seorang Marxis, sementara Roberto M. Unger adalah seorang liberalradikal. Walau ideologi keilmuan mereka beragam, tapi mereka disatukan oleh anggapan bahwa hukum tidak terpisahkan dari politik. Sehingga para pemikir studi hukum kritis (Critical Legal Studies) tetaplah bersatu dalam pokok pemikiran yang tidak puas dan melancarkan kritik terhadap konsep hukum liberal. Roberto M. Unger salah seorang tokoh yang mengembangkan studi hukum kritis (Critical Legal Studies) melihat sebenarnya para ahli diabad ke 19 telah terlibat dalam usaha yang kuat mencari struktur hukum yang didalamnya terkandung (built-in) konsep demokrasi dan pasar bebas. Akar tumbuhnya studi 85 Farkhani. Filsafat Hukum “Paradigma Modernisme Menuju Post Modernisme”. (Solo: Khafilah Publishing, 2018). Hlm.97-98.



100



Argumentasi Hukum



hukum kritis (Critical Legal Studies) dapat dirunut ke belakang sekitar tahun 1960-an, ketika mereka-mereka yang di kemudian hari menjadi pelopor-pelopor studi hukum kritis (Critical Legal Studies) melibatkan diri dalam aktivitas sosial untuk memperjuangkan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Aktivitas mereka dilandasi oleh keprihatinan melihat kenyataan betapa banyaknya problema sosial politik dan hukum yang disebabkan oleh pengambilan keputusan yang berlindung dibalik ketentuan hukum, tetapi sangat sepihak demi kepentingankepentingan politik dalam bidang ekonomi dan militer yang tidak lagi mudah dikontrol oleh rakyat pencari keadilan yang ada pada saat itu.86 Itu sebabnya Unger mengatakan, bahwa hukum tak terpisahkan dari politik dan berbagai norma non-hukum lainnya. Hukum dibentuk oleh berbagai faktor non-hukum seperti kepentingan ekonomi, ras, gender, atau politik. Pembentukan hukum senantiasa mengandaikan interaksi dan negosiasi antar berbagai kelompok masyarakat. Akibatnya analisa hukum doktrinal hanya akan mengisolasi hukum dari konteks sosial politiknya, dan membuat hukum tidak bisa mengatasi berbagai masalah sosial politik: diskriminasi ras, gender, agama, atau kelas. Ciri Hukum menurut aliran CLS antara lain:87 1) Serangkaian struktur, sebagai suatu realitas virtual atau historis, yang merupakan hasil proses panjang kristalisasi nilai-nilai politik, ekonomi, sosial, budaya, etnik, gender, dan agama; 2) Sebagai instrumen hegemoni yang cenderung dominan, diskriminatif dan eksploitatif; 3) Setiap saat terbuka bagi kritik, revisi, dan transformasi, guna menuju emansipasi. Pada akhirnya esensi dari Critical Legal Studies ini adalah para ahli menyatakan bahwa pemikiran studi kritis (Critical Legal Studies) terletak pada kenyataan bahwa hukum adalah politik. 88 Berdasarkan pemikiran law is politics itu, studi hukum kritis (Critical Legal Studies) berarti sudah langsung menolak dan menyerang keyakinan para positivistis dalam ilmu hukum yang mengembangkan pemikiran hukum liberal. Studi hukum kritis (Critical Legal Studies) mengkritik hukum yang berlaku, yang nyatanya memihak ke politik dan sama sekalitidak netral. Studi hukum kritis (Critical Legal Studies) berusaha 86 FX Adji Samekto. Studi Hukum Kritis: Kritik Terhadap Hukum Modern. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005). Hlm.10 87 Erlyn Indarti. Aliran Filsafat Hukum dan Paradigma. Paparan Perkuliahan Filsafat Hukum Prodi S1 Hukum, (Semarang: Fakultas Hukum Undip, 2015). Hlm. 4 88 Nadir. “Filsafat Hukum dan Dekonstruksi Critical Legal Studies: Sebuah Paradigma Pembaruan Hukum dalam Menggugat Eksistensi Dominasi Asumsi Kemapanan Hukum”. Jurnal Yustitia. Vol 20. No 2. 2019. Hlm.161.



Argumentasi Hukum



101



untuk membuktikan bahwa dibalik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang netral, sebenarnya di dalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi.89 6. Feminisme Hukum (Feminist Jurisprudence) Aliran ini merupakan arus pemikiran lain yang berkembang dalam tradisi hukum di Amerika Serikat (1970-1980). Secara singkat, latar belakang lahirnya aliran ini antara lain:90 a. Tulisan-tulisan tentang perempuan dari berbagai lapangan studi yang mempengaruhi studi ilmu hukum. b. Banyaknya perempuan yang masuk sekolah hukum di Amerika menjelang tahun 1960 an. c. Akibat dari reaksi para feminis yang berperkara di pengadilan dan mengadakan tuntutan terhadap masalah hukum yang khas. Feminis dalam hukum mencoba secara fundamental menentang beberapa asumsi penting dalam teori hukum konvensional dan juga beberapa kebijaksanaan konvensional dalam penelitian hukum kritis. Goldfarb menunjukkan banyak pemikiran kaum feminis telah memperlihatkan patriarki sebagai suatu ideologi yang lebih mengancam terhadap kehidupan mereka daripada ideologi hukum dan telah mengarahkan upayanya untuk mengurangi ideologi patriarki bahkan melalui penggunaan ideologi hukum. Kaum feminis sangat dipengaruhi pula feminisme dalam filsafat, psikoanalisis, semiotik, sejarah, antropologi, postmodernisme, kritik sastra dan teori politik, tetapi lebih jauh dan mendasar gerakan ini lebih melihat dan mengambil dari pengalaman-pengalaman yang dialami kaum wanita selama ini. Ahli-ahli hukum feminis dengan sangat kritis mencoba melihat bahwa hukum pada dasarnya memiliki sejumlah keterbatasan untuk merealisasikan nilai-nilai sosial, bahwa hukum (baik pembentukan aturan, maupun substansinya) sangat bersifat phallocentris (yaitu lebih memihak kepentingan laki-laki), sehingga hukum berjalan untuk kepentingan status quo. Feminisme dalam hukum juga menolak bagaimana posisi wanita senantiasa dimarjinalkan dalam perjanjian, pekerjaan dan berbagai kehidupan sosial, kaum feminis melihat bahwa sekalipun para wanita telah berusaha untuk memperbaiki masa depannya namun tetap saja hukum selalu dibayang-bayangi oleh ideologi-ideologi yang lebih maskulin. 89 Peter Fitzpatrick, dalam Munir Fuady. Aliran Hukum Kritis: Paradigma Ketidakberdayaan Hukum. (Bandung: Tp., 2003). Hlm. 5 90 Aditya Yuli Sulistyawan. Penalaran Aliran Filsafat Hukum. Materi Kuliah Argumentasi Hukum.Prodi S1 Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.



102



Argumentasi Hukum



Pemikiran dan aliran feminis lahir dari suatu refleksi atas realitas ketidak-adilan sosial yang dialami perempuan dalam dunia hukum. Para pemikir feminist jurisprudence percaya bahwa tatanan sosial dibentuk dan didefinisikan dari perspektif laki-laki dan untuk kepentingan laki-laki. Demikian pula hukum diciptakan dan dibangun dari perspektif laki-laki sebagai instrumen untuk melanggengkan posisi subordinasi perempuan di hadapan laki-laki. Feminisme telah membuat banyak perbedaan dalam hukum, banyak penjelasan penting mengenai fungsi hukum yang represif dan ideologi telah dan terus-menerus dilakukan perombakan. Feminisme Hukum tidak hanya melakukan pencarian secara komprehensif untuk mengungkap institusi hukum yang represif dan struktur ideologi yang melegitimasikannya, tetapi juga mencoba menawarkan pendekatan yang cukup kritis dalam agenda rekonstruksinya. Pada intinya, pemikiran dalam aliran ini mendapat pengaruh besar dari Critical Theory. Aliran ini munul karena keresahan perempuan yang merasa selalu disubordinasikan sebagai kelas kedua, termasuk dalam bidang hukum. Para perempuan tersebut kemudian mulai sadar untuk mengenyam pendidikan dan membuat suatu misi besar berupa memberdayakan sesama perempuan. Ketika hukum tertalu didominasi oleh laki-laki bahkan dipandang sebagai produk laki-laki, maka berangkat dari pemikiran seperti ini mereka mulai melakukan perlawanan. Beberapa bentuk perlawan yang dilakukan salah satunya adalah pemberian edukasi kepada sesama perempuan (khususnya) untuk berani menyuarakan segala keresahan yang ada ketika berhadapan dengan kondisi ketidak-adilan dalam hukum. D.



Dari Aliran kepada Filsafatnya (Paradigma)



Lebih jauh dari pergulatan pemikiran hukum di level aliran sebagaimana telah dibahas, sejatinya penalaran dari aliran-aliran filsafat hukum tersebut dapat diurai lebih ringkas dan tepat dalam telaah filsafat hukum melalui kajian paradigmatik. Telaah paradigmatik dalam studi filsafat hukum mulai dikenalkan dan dikembangkan oleh Erlyn Indarti di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro melalui pijakan pemahaman Egon G. Guba & Yvonna S. Lincoln dalam buku Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln pada buku “The Handbook of Qualitative Research” (1994) hingga edisi revisinya pada tahun 2011 yang menghadirkan 5 (lima) paradigma utama: Positivisme, PostPositivisme, Participatory, dan Critical Theory et. al., Constructivism.



Argumentasi Hukum



103



N.K. Denzin dan Y.S. Lincoln dalam The Handbook of Qualitative Research mendefinisikan paradigma sebagai: “Suatu sistem filosofis utama, induk, atau ‘payung’ yang terbangun dari ontologi, epistemologi, dan metodologi tertentu, yang masingmasingnya terdiri dari satu ‘set belief dasar’ atau worldview yang tidak dapat begitu saja dipertukarkan [dengan belief dasar atau worldview dari ontologi, epistemologi, dan metodologi paradigma lainnya]. Paradigma mem-presentasi-kan suatu sistem atau set belief ‘dasar’ tertentu yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama atau pertama, yang mengikatkan penganut/penggunanya pada world-view tertentu, berikut cara bagaimana ‘dunia’ harus dipahami dan dipelajari, serta yang senantiasa memandu setiap pikiran, sikap, kata, dan perbuatan penganutnya.” Melalui lima paradigma sebagai filsafat utama yang ada, semua aliranaliran filsafat hukum akan dapat diorganisasi atau ditempatkan ke dalam paradigmanya masing-masing. Perbedaan yang selama ini terlihat membentang diantara aliran-aliran filsafat hukum akan dapat ditelaah melalui set basic beliefnya (ontologi, epistemologi, dan metodologi-nya) sehingga perbedaan dapat tersaji lebih ringkas hanya kepada lima kelompok perbedaan besar tersebut, yaitu lima paradigma yang ada. Tabel 3. Paradigma: 5 Worldview Menjelaskan – Memahami Dunia91 Pertanyaan



Ontologi



PostPositivisme Realisme Naif: Realisme Kritis: Positivisme



realitas eksternal, objektif, real, dan dapat dipahami.



Participatory Realisme Partisipatif:



Critical Theory et. al. Realisme Historis:



Konstruktivis-me Relativisme:



realitas Realitas realitas majemuk eksternal, subjektif – realitas & be-ragam, objektif, dan objektif yang ‘virtual’ yang berdasarkan real yang diupayakan terbentuk oleh pengalaman dipahami scr bersama [secara faktor sosial, sosial-individual, tidak sempurna. partisipatif] politik, budaya, lokal, dan spesifik. oleh pikiran dan ekonomi, etnis, cosmos yang dan ‘gender’. ada



91 Lincoln, Lynham, & Guba dalam Erlyn Indarti, Pembaruan Hukum Nasional: Suatu Telaah Paradigmatik…, Hlm. 7.



104 Pertanyaan



Argumentasi Hukum Positivisme Dualis / Objektivis:



Epistemologi



Metodologi



peneliti dan objek investigasi adalah dua entity independen; bebas nilai.



PostPositivisme Modifikasi Dualis / Objektivis: dualisme surut dan objektivitas menjadi kriteria penentu; eksternal objektivitas.



Participatory Subjektivitas Kritis dalam Transaksi Partisipatoris dengan Cosmos:



Critical Theory Konstruktivis-me et. al. Transaksional / Transaksional / Subjektivis: Subjektivis: peneliti dan peneliti dan objek objek investigasi investigasi terkait terkait scr secara interaktif; interaktif; temuan di-’cipta’/ temuan didi-’konstruksi’ ’mediasi’ oleh bersama. nilai yang dipegang semua pihak.



Penelaah dan realitas terkait dalam sebuah epistemologi pengetahuan ‘eksperensial’, ‘proposisional’, dan ‘praktis’ yang diperluas. Eksperimental / Modifikasi Partisipasi Dialogis / Hermeneutikal / Manipulatif: Eksperimental / Politis: Dialektikal: Dialektikal: Manipulatif: Pengutamaan falsifikasi yang praktis; uji empiris dengan cara penggunaan ada ‘dialog’ ‘konstruksi’ dan verifikasi critical bahasa yang antara peneliti ditelusuri melalui research multiplism atau membumi; dengan objek interaksi antara question dan modifikasi temuan diinvestigasi, peneliti dan hipotesa; ‘triangulasi’; ‘upaya’-kan bersifat objek investigasi; manipulasi dan utilisasi teknik Bersama. dialektikal: dengan teknik kontrol terhadap kualitatif: men-’transform’ hermeneutikal kondisi setting lebih kemasa-bodohan dan pertukaran berlawanan; natural, dan kesalahdia-lektikal utamanya informasi lebih pahaman ‘konstruksi’ metoda situasional, dan menjadi di-interpretasi; kuantitatif. cara pandang kesadaran utntuk tujuan: distilasi emic. mendobrak. / konsensus / resultante.



Sumber: Diolah dari Lincoln, Lynham, dan Guba (2011)



Pembahasan aliran-aliran dalam penalaran khasnya [sebagaimana diuraikan dalam bab ini] dengan demikian juga dapat disederhanakan kepada penalaran menurut lima paradigma utama yang ada. Melalui telaah ontologi, epistemologi, dan metodologi dari masing-masing paradigma, dapat disimpulkan bahwa paradigma positivisme adalah paradigma yang menggunakan penalaran secara logis (dapat dilihat pada ontologi-nya bahwa realitas dinyatakan dalam hubungan sebab akibat, generalisasi, dsb.). Selain Positivisme, paradigma Post-Positivisme dan Participatory juga masih menggunakan penalaran secara



Argumentasi Hukum



105



logis (dalam kadarnya yang terbatas sebagaimana epistemologinya), sedangkan paradigma Critical Theory et. al. dan Konstruktivisme mulai menggunakan metode non penalaran, karena penelaahan yang dilakukan secara subjektif (sebagaimana epistemologinya).



106



Argumentasi Hukum



BAB VII ARGUMENTASI HUKUM DAN LEGAL OPINION A.



Argumentasi Hukum



Seperti yang telah penulis uraikan dalam Bab II mengenai logika, penalaran dan argumentasi hukum, pada bab ini tentunya perlu kita tekankan kembali mengenai hakikat argumentasi hukum sampai dengan struktur dan bentuk dari argumentasi hukum itu sendiri. Hal ini sangatlah penting, karena perlu diketahui pula apabila kita melihat setiap persidangan tidak jarang para penegak hukum hanya mengemukakan pendapat hukum, sehingga yang tercipta bukanlah argumentasi hukum. Menurut penulis, pendapat hukum tentu berbeda dengan argumentasi hukum. Argumentasi hukum akan melahirkan sebuah penalaran hukum yang kemudian dituangkan dalam pertimbangan hukum, misalnya dalam bentuk putusan hukum. Sedangkan, pendapat hukum belum tentu dapat dijadikan dasar sebagai penalaran hukum. Pendapat hukum itu sendiri bisa disampaikan kapan dan di mana saja, termasuk pada saat terjadi debat hukum di acara salah satu stasiun televisi swasta “Indonesia Lawyer Club” yang digawangi oleh Karni Ilyas sebagai host. Dalam setiap persidangan perkara, kita dapati bahwa setiap hakim tentu akan memberikan pendapat dalam bentuk argumentasi hukum dalam rangka mencapai ‘kesepakatan’ dalam mengambil keputusan. Yang menarik dari sebuah persidangan adalah masing-masing hakim tersebut, pasti akan memberikan kontribusi pemikirannya dengan menggunakan pendekatan pengetahuan yang berbeda, baik dalam memahami penerapan hukum acara (formal) maupun penerapan hukum materiilnya. Pendapat hakim yang berbeda tentunya menjadi suatu hal yang lumrah didapati dalam persidangan suatu perkara, sehingga olehnya sering kita jumpai persidangan harus sampai pada mekanisme dissenting opinion. Ketika terjadi dissenting opinion (perbedaan pendapat), maka hakim tersebut pada kenyataannya telah melakukan penalaran yang dilalui berdasarkan sebuah argumentasi hukum. Seorang hakim dan/atau praktisi hukum lainnya harus memiliki keterampilan ilmiah yang dijadikan pijakan olehnya dalam mendapatkan serta memberikan solusi hukum yaitu melalui proses argumentasi hukum yang baik. Sehingga pemahaman terhadap setiap



Argumentasi Hukum



107



substansi hukum dalam pasal-pasal dapat diselami dengan baik. Di sinilah tingkat pemahaman terhadap pasal-pasal perundang-undangan bagi seorang hakim tidak cukup jika hanya selalu melihat pada aspek normatif saja, sehingga diperlukan kemampuan memahami ruh dari sebuah peraturan perundangundangan. Hal ini menunjukkan aktivitas profesi yang menuntut kualitas dan kedalaman pemahaman terhadap suatu fenomena yang dibangun melalui sebuah argumentasi hukum yang baik.92 1.



Hakikat Argumentasi Hukum



Argumentasi hukum berasal dari istilah argumenteren (Belanda) atau argumentation (Inggris) yang dalam perkembangannya dimaknakan sebagai argumentasi hukum atau nalar hukum. Argumentasi adalah suatu proses akal yang digunakan sebagai landasan untuk menyampaikan suatu keteguhan. Kemudian argumentasi hukum merupakan keterampilan ilmiah (ars) yang bermanfaat untuk dijadikan pijakan oleh para ahli hukum dalam mendapatkan dan memberikan solusi hukum. Argumentasi hukum selain digunakan untuk berlangsungnya penerapan hukum, juga digunakan untuk membentuk peraturan yang rasional dan acceptable. Peraturan hukum yang dibentuk dengan ketentuan yang rasional dan memenuhi rasa keadilanlah yang menumbuhkan kesadaran hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Berbagai macam ilmu yang digunakan sebagai pengantar untuk mendapatkan pemahaman yang baik terhadap argumentasi hukum, diantaranya: 1) Ilmu Logika (memberikan landasan tentang logika berpikir atau penalaran); 2) Ilmu Hukum itu sendiri (dogmatika hukum adalah bagian inti yang harus dikuasai karena ilmu hukum disediakan untuk mengatasi persoalan hukum dalam praktik hukum); 3) Filsafat Hukum yang memberi pemahaman tentang ragam pemikiran yang ada, menuntun setiap pemikiran dan perbuatan dari filsafatnya masing-masing (karena kita mengenal banyaknya ragam aliran pemikiran dalam filsafat hukum dan juga adanya beberapa paradigma utama sebagai filsafat utama dalam kehidupan). Kesemuanya ini memberikan pemahaman awal untuk pengembangan argumentasi hukum. Katakanlah misalnya, seorang hakim yang tanpa pemahaman terhadap cabang ilmu yang disebutkan di atas, dapat diduga bahwa hakim yang bersangkutan tidak cukup alat untuk mengajukan pendapat yang memiliki nilai argumentasi hukum. Pada dasarnya argumentasi hukum bertujuan untuk “to give a reason” yang dalam pelaksanaannya digunakan pada saat mengambil pertimbangan 92 Ruslan H.R. “Argumentasi Hukum Sebagai Strategi Hakim Dalam Berpendapat”. Diakses dari http://www.pta-bengkulu.go.id/images/file_pdf/argumentasi%20



hukum%20sebagai%20strategi%20dalam%20berpendapat.pdf



108



Argumentasi Hukum



sehubungan dengan perkara yang akan diselesaikan. Dalam hal ini penyampaian argumentasi hukum dalam praktik hukum dapat dikategorikan menjadi 2 bidang, yaitu: a. Preventif (Non-Litigation Area) Misalnya: Legal Consultation, Legal Negotiation, Legal Opinion. Praktisi hukum menggunakan argumentasi hukum di ranah ini untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapi klien di luar ranah peradilan. b. Represif (Litigation Area) Berupa argumentasi hukum yang disampaikan dalam berkas-berkas perkara seperti gugatan, permohonan, pledoi, replik, putusan dan sebagainya. Argumentasi hukum ini terjadi di ranah peradilan untuk meneguhkan pendirian atas kebenaran fakta-fakta hukum di muka persidangan. Dalam arti luas, argumentasi hukum (Legal Reasoning) merupakan landasan yang dibangun oleh setiap pemikir hukum dalam menguraikan permasalahan yang dihadapinya, baik dalam konteks ilmiah maupun dalam proses penegakan hukum. Hal tersebut diperlukan untuk menjaga agar peristiwa atau perbuatan hukum berada dalam koridor ketentuan hukum yang berlaku dalam hal pengkajian suatu peristiwa dan/atau perbuatan hukum. Penyusunan undang-undang, peraturan pemerintah, maupun dalam penyusunan peraturan internal di perusahaan atau instansi, legal reasoning ini dilakukan dengan tujuan supaya tidak terjadi pertentangan antara suatu peraturan dengan undangundang atau peraturan lainnya, demikian pula untuk menyelesaikan suatu sengketa hukum yang terjadi, proses legal reasoning sangat diperlukan untuk mendapatkan esensi dari sengketa agar dapat menyelesaikannya dengan sebaik mungkin dalam lingkup hukum yang berlaku. 2.



Peran Logika dan Bahasa sebagai Dasar Argumentasi Hukum



Dewasa ini, tidak dapat kita sangkal bahwa dalam mempelajari dan memahami argumentasi hukum sangat dibutuhkan pemahaman mengenai bahasa dan logika. Dalam hal ini secara khusus adalah bahasa hukum dan logika hukum. Apakah terdapat kekhususan dalam bahasa hukum bila dibandingkan dengan ilmu bahasa pada umumnya? Jelas iya, bahasa hukum selalu mendasarkan kepada konsep hukum dalam merumuskan kalimat-kalimat termasuk di dalamnya seperti apa dan bagaimana perwujudan norma hukum, baik dalam bentuk rumusan pasal-pasal maupun rumusan klausul yang ada dalam undang-undang.



Argumentasi Hukum



109



Argumentasi pada dasarnya merupakan salah satu cara untuk melakukan komunikasi atau untuk menyampaikan suatu pendapat. Demikian dengan pemahaman logika, hal ini sangat diperlukan karena untuk menyatakan suatu pendapat bahwa seseorang sangat membutuhkan dasar berpikir yang baik, tepat dan benar. Sehingga alur berpikir harus didasarkan pada argumentasi yang baik, tentunya dilandaskan pada prinsip-prinsip dasar logika dan implementasi dalam pernyataan tertulis atau secara lisan dengan tetap memerhatikan tata bahasa yang baik dan benar. Bisa dibayangkan sebelumnya dalam hal ini, bagaimana jika suatu rumusan pasal dalam sebuah peraturan perundang-undangan tidak jelas menyebutkan subjek kalimatnya? Hal ini akan mengakibatkan ketidakpahaman dan/atau sulit melakukan pemaknaan terhadap esensi pasal tersebut. Sehingga subjek dan objek hukum harus dapat dimaknai dengan jelas dalam koridor hukum itu sendiri. Ketepatan dalam merumuskan norma yang memenuhi prinsip dasar logika maupun ketepatan dari segi bahasa sangat memengaruhi dasar berpijak praktisi hukum dalam menerapkan hukum melalui suatu pertimbangan dan/atau putusan hukum. 3.



Argumentasi Hukum Dalam Pertimbangan Hukum



Argumentasi hukum merupakan salah satu jenis penalaran yang melibatkan proses intelektual praktisi hukum dalam melakukan justifikasi berdasarkan rasionalitas, konsistensi logika dan konsistensi doktrinal untuk mencapai kesimpulan dalam memutuskan suatu permasalahan hukum. Argumentasi hukum yang rasional (Drie Niveaus van rationale jurisfische argumentatie) terdiri dari tiga lapisan, diantaranya:93 a. Lapisan Logika Lapisan ini merupakan struktur intern dari suatu argumentasi, juga bagian dari logika tradisional. Isu yang muncul dalam hal ini berkaitan dengan premis-premis yang digunakan untuk menarik suatu kesimpulan logis dan langkah dalam menarik kesimpulan, misalnya deduksi dan analogi. b. Lapisan Dialektika Lapisan ini membandingkan argumentasi pro dan argumentasi kontra. Ada dua pihak yang berdialog atau berdebat, yang bisa saja pada akhirnya tidak menemukan jawaban karena memiliki kekuatan yang sama. c. Lapisan Prosedural Lapisan ini berkaitan dengan struktur hingga acara penyelesaian 93 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005). Hlm: 38-40.



110



Argumentasi Hukum



sengketa. Prosedur dalam hal ini tidak hanya mengatur perdebatan, namun perdebatan sendiri juga turut mengatur prosedur. Suatu aturan dialog harus berdasarkan pada aturan main yang sudah ditetapkan dengan syarat-syarat prosedur yang rasional dan syarat penyelesaian sengketa yang jelas. Dengan demikian terdapat keterkaitan antara lapisan dialektika dan lapisan prosedural. Dalam menyajikan argumentasi hukum sebagai bentuk dari pertanggungjawaban, argumentasi harus disusun dengan menggunakan penalaran hukum, baik secara induktif maupun deduktif. Hal ini didasarkan karena pada faktanya, sering terjadi kegagalan dalam berargumentasi, antara lain:94 1. Memuat premis (pernyataan) dari proposisi yang keliru. Jika premis keliru maka argumen tersebut akan gagal dalam menetapkan kesimpulan. Salah satu alasan dari salahnya suatu premis yaitu fenomena yang dijadikan sebagai pernyataan tidak didukung dengan fakta yang sebenarnya. 2. Kegagalan dapat terjadi karena argumen ternyata memuat premispremis yang tidak berhubungan dengan penarikan kesimpulan. 3. Penalaran yang disebabkan karena kecerobohan dan kurangnya perhatian orang terhadap pokok persoalan yang terkait. Kemudian, dalam tahap berikutnya seorang praktisi hukum khususnya hakim akan menggabungkan penalaran deduktif dan induktif dengan mendasarkan berbagai teori hukum yang relevan dengan perkara yang sedang dihadapi. Dengan mendasarkan pada teori-teori yang relevan dan rasional, suatu argumentasi hukum secara metodologis akan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Begitupun dengan pertimbangan hukum yang dibuat melalui analisis dengan metodologi yang tepat, maka putusan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis pula. Hal ini dapat dilakukan dalam kerangka besar penalaran hukum pada kelompok paradigma positivisme dan post-positivisme sebagai kelompok paradigma yang dominan dan mengandalkan rasionalitas. B.



Legal Opinion



Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan masyarakat di bidang jasa hukum semakin meningkat. Salah satu dampak nyata adalah saat ini tugas seorang pengacara (lawyer) tidak hanya terbatas mennjalankan fungsi beracara di muka hakim dan/atau pengadilan semata. Secara lebih luas, seorang 94 Abdullah. Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan. (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 2008). Hlm. 84



Argumentasi Hukum



111



pengacara nantinya akan sering berhubungan dengan banyak orang baik di dalam maupun di luar pekerjaannya, baik dengan mereka yang mengerti hukum ataupun tidak mengerti hukum. Berbagai pertanyaan seputar permasalahan hukum akan menghampiri diri seorang pengacara dan konsekuensi pasti adalah pengacara harus mampu menjawab serta menjelaskan kepada seorang klien dengan penjelasan yang semudah mungkin, sehingga dapat dimengerti oleh mereka khususnya yang kurang mengerti hukum namun tetap memprioritaskan ketepatan substansi dalam memberikan penjelasan hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka sangat diperlukan kemampuan bagi praktisi hukum untuk memberikan pendapat hukum darinya terhadap suatu permasalahan. Legal Opinion merupakan jawaban seorang sarjana hukum mengenai pertanyaan seorang klien yang sedang menghadapi persoalan hukum. Apabila pendapat hukum seorang sarjana hukum ini dijadikan oleh hakim sebagai tempat menemukan hukum, maka pendapat hukum tersebut sudah bisa dikatakan sebagai doktrin.95 Artinya ada hubungan antara Legal Opinion dan doktrin yang merupakan sumber hukum. Satjipto Rahardjo mengatakan proses pembuatan hukum salah satunya yaitu sosio-politis yang artinya gagasan masyarakat yang menginginkan suatu masalah bisa diatur oleh hukum, gagasan tersebut diolah oleh masyarakat sendiri, dikritik, dibicarakan dan dipertahankan melalui pertukaran pendapat antar berbagai golongan atau kekuatan dalam masayarakat.96 Hal ini memiliki makna bahwa pendapat hukum merupakan hal terpenting dalam pembuatan hukum, tanpa adanya pendapat hukum maka suatu masalah yang ingin diselesaikan dalam masyarakat tidak akan diketahui cara penyelesaiannya. Berdasarkan paparan di atas, apabila kita mengambil kesimpulan bahwa ketika Legal Opinion sama pentingnya selayaknya doktrin sebagai sumber hukum, maka dalam bab ini penulis akan mencoba menyampaikan mengenai pengertian Legal Opinion, tujuan, fungsi hingga sistematika penulisan Legal Opinion, dengan harapan supaya para pembaca khususnya nanti yang akan terjun sebagai seorang praktisi hukum, memiliki bekal yang cukup untuk mampu membuat sebuah Legal Opinion dengan baik dan benar. 1.



Pengertian Legal Opinion



Sampai saat ini tidak ada definisi yang baku mengenai Legal Opinion. Akan tetapi, apabila mengacu pada literatur yang telah ada sebelumnya dan yang 95 Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. (Yogyakarta: Liberty, 2008). Hlm. 116 96 Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. (Semarang: Citra Aditya Bakti, 2014). Hlm. 187



112



Argumentasi Hukum



telah berlaku secara internasional, maka menurut Black’s Law Dictionary97, Legal Opinion diartikan sebagai: “A written document in which an attorney provides his or her understanding of the law as applied to assumed facts. The attorney may be a private attorney or attorney representing the state or other governmental entity”. A party may entitled to rely on a legal opinion, depending on factors such as the identity of the parties to whom the opinion was addressed and the law governing these opinion.” Pada intinya, diartikan sekumpulan dokumen tertulis yang dibuat oleh pengacara untuk kliennya dimana pengacara tersebut memberikan pandangan atau pendapat hukum sebagaimana yang diterapkannya terhadap suatu fakta hukum tertentu untuk tujuan tertentu. Istilah Legal Opinion dalam Bahasa Latin disebut dengan Ius Opinion, dimana Ius artinya Hukum dan Opinion artinya pandangan atau pendapat. Legal Opinion adalah istilah yang dikenal dalam sistem hukum Common Law (Anglo Saxon), sedangkan dalam sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dikenal dengan istilah Legal Critics yang dipelopori oleh aliran Kritikus Hukum. Dalam Bahasa Latin disebut sebagai Ius Opinion, yang berarti: Ius (hukum) dan Opinion (pandangan atau pendapat). Sehingga singkatnya, pendapat hukum (Legal Opinion) adalah tulisan yang berupa pendapat hukum yang dibuat oleh pengacara atau paralegal untuk kepentingan kliennya. Biasanya pendapat hukum tersebut dimaksudkan untuk memberikan keterangan atas segala sesuatu yang berkenaan dengan permasalahan yang dihadapi. 2.



Fungsi Legal Opinion



Sesuai dengan pengertian yang penulis uraikan di atas, maka Legal Opinion biasanya digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan klien mengenai suatu permasalahan hukum tertentu. Legal Opinion ini memang dimaksudkan untuk memberikan keterangan kepada klien yang ingin mengetahui segala hal yang berkenaan dengan permasalahan yang dihadapinya, maka isinya juga harus dapat memenuhi harapan dari klien tersebut.98 Berdasarkan hal tersebut, apabila ditarik kesimpulan maka bisa diketahui bahwa fungsi dari Legal Opinion adalah untuk memberikan pendapat hukum atas suatu persoalan hukum agar didapati suatu keputusan atau tindakan yang tepat atas persoalan hukum tersebut. 97 Henry Campbell Black. Black’s Law Dictionary. 1999. Hlm.1120 98 Paulus Hadisuprapto. “Pendapat Hukum (Legal Opinion)”. Hlm. 3-4 (Makalah disajikan sebagai Materi Kuliah “Legal Opinion” pada Pendidikan Khusus Profesi Advokat, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 11 Maret 2007)



Argumentasi Hukum



113



Pendapat hukum (Legal Opinion) bagi dunia usaha mempunyai dua fungsi. Pertama, sebagai pendapat tanpa syarat dan menguntungkan (an unquailed favourable opinion), artinya bahwa pendapat hukum menjadi pertimbangan pengusaha agar mengambil tindakan yang menguntungkan bagi bisnisnya. Kedua, dalam hal penasehat hukum tidak dapat memberikan pendapat hukum tanpa syarat dan menguntungkan, maka pendapat ini dapat merupakan suatu peringatan bagi pengusaha, mengenai adanya kemungkinan resiko yang harus menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan komersial.99 Di sisi lain, perlu diketahui pula bahwa Legal Opinion biasanya dibuat oleh para praktisi hukum dan/atau intelektual akademis yang pada umumnya berisikan masukan (input) dari sudut pandang fungsi penerapan hukum dan manfaatnya bagi masyarakat pengguna. Sehingga dalam implementasinya, Legal Opinion tidak hanya dibuat kepada klien semata dengan tujuan rekomendasi berupa berbuat atau tidak berbuat sesuatu, namun juga dapat digunakan hanya sebagai pertimbangan hukum semata (dari sudut akademisi). 3.



Prinsip-Prinsip dalam Pembuatan Legal Opinion



Prinsip yang harus dipegang dalam menyusun Legal Opinion, adalah sebagai berikut:100 a. Legal Opinion dibuat dengan mendasarkan pada hukum Indonesia. Pengacara yang bekerja di wilayah Republik Indonesia, tentunya hukum yang dikuasai adalah hukum Indonesia, sehingga tidak berkompeten untuk menyampaikan pendapat hukum yang didasarkan pada hukum selain hukum Indonesia. b. Legal Opinion disampaikan secara lugas, jelas dan tegas dengan tata bahasa yang benar dan sistematis. Legal Opinion yang dibuat haruslah dapat dipahami oleh klien dan/ atau pihak yang membacanya. Hal ini bertujuan agar Legal Opinion tersebut tidak multitafsir (bias) dan diharapkan melalui Legal Opinion tersebut tercipta suatu kepastian hukum. c. Legal Opinion tidak memberikan jaminan terjadinya suatu keadaan. Dalam Legal Opinion, pengacara tidak boleh membrikan jaminan atau kepastian akan kondisi suatu penyelesaian persoalan hukum yang dihadapi. Hal ini tentu juga didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 butir c Kode Etik Advokat yang berbunyi: “Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada klien nya bahwa perkara yang 99 D. Sidik Suraputra. “Pendapat Hukum Dalam Transaksi Komersial”. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Vol 35. No 2, 2005. Hlm. 146 100 Ery Agus Priyono dan Kornelius Benuf. “Kedudukan Legal Opinion Sebagai Sumber Hukum”. Jurnal Suara Hukum. Vol 2. No. 1. Maret 2020. Hlm. 63



114



Argumentasi Hukum



ditanganinya akan menang”. Dilihat dari isi Kode Etik Advokat tersebut dapat disimpulkan bahwa advokat di dalam Legal Opinionnya tidak boleh memberikan jaminan kepada klien bahwa perkara yang ditanganinya akan menang. d. Legal Opinion harus diberikan secara jujur dan lengkap. Penjelasan dalam Legal Opinion harus diberikan dengan selengkapnya. Dalam Legal Opinion advokat tidak memberikan pendapat yang mengharuskan klien untuk melakukan tindakan tertentu. Legal Opinion hanya bersifat memberikan pendapat mengenai tindakantindakan apa yang harus dilakukan oleh klien tetapi klien sendiri yang akan memutuskan apakah akan melakukan tindakan tersebut atau tidak. Oleh karena itu Legal Opinion harus memberikan penjelasan yang selengkapnya, sehingga klien memiliki bahan pertimbangan yang cukup untuk mengambil suatu keputusan. e. Legal Opinion tidak mengikat bagi pengacara dan bagi klien. Pengacara bertanggungjawab atas isi dan juga bertanggungjawab atas kebenaran dari Legal Opinion yang dibuatnya. Namun, perlu dipahami bahwa seorang pengacara tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian yang timbul akibat klien mengambil tindakan berdasarkan Legal Opinion tersebut. Legal Opinion yang dibuat oleh seorang pengacara tidak mengikat klien atau pihak lain yang meminta Legal Opinion untuk wajib melaksanakan sebagian atau seluruh isi dari Legal Opinion. Keputusan untuk mengambil atau tidak, terhadap tindakan yang direkomendasikan di dalamnya, sepenuhnya dikembalikan kepada klien yang bersangkutan serta menjadi tanggung jawab dari pengambil keputusan. 4. Mekanisme Penyusunan Legal opinion. 4.1.



Langkah-Langkah Penyusunan Legal Opinion: 1. Identifikasi Masalah Hukum (Isu Hukum) - Identifikasi seluruh masalah hukum dan lakukan kualifikasi. - Rumuskan masalah secara tepat. 2. Identifikasi Fakta Hukum - Identifikasi fakta hukum dan bukan fakta hukum. - Fakta hukum dijadikan sebagai acuan utama untuk mendukung analisis hukum. 3. Inventarisasi Aturan Hukum - Pengumpulan aturan-aturan hukum untuk menjadi landasan permasalahan. - Menentukan aturan hukum yang relevan.



Argumentasi Hukum



115



4. Aplikasi Aturan Terhadap Permasalahan Hukum - Apakah aturan yang ada dapat menjawab permasalahan hukum. - Hasil aplikasi harus mendukung analisis. 5. Buat Analisis Hukum - Semua permasalahan harus dianalisis dengan menggunakan dan mengacu pada semua aturan yang telah dikumpulkan. - Pada tiap permasalahan/isu telusuri ketentuan hukum, yurisprudensi, pendapat akademis yang diberikan dengan isu tersebut. - Berikan pendapat dan bagaimana ketentuan hukum tersebut diterapkan dalam kasus tersebut. 6. Buat Kesimpulan - Kesimpulan harus menjawab pertanyaan permasalahan hukum. - Mermuskan rekomendasi strategis yang bisa dijalankan. 4.2.



Struktur Legal Opinion Konsep, formula atau struktur yang sering digunakan dalam pembentukan Legal Opinion yaitu disebut dengan IRAC (Issue, Rule, Analysis, Conclusion) yang ditawarkan oleh Prof. Peter Suber, dari Philosophy Department, Earlham University. IRAC ini merupakan bentuk-bentuk dasar dari argumentasi hukum, khususnya alur pembentukan legal opinion dalam mencermati setiap permasalahan hukum. Formula IRAC, terbentuk dari empat elemen, yaitu:101 1. Issue : Fakta-fakta dan keadaan apa saja yang telah membawa para pihak ke pengadilan. Langkah pertama adalah menemukan serta mencermati isu hukumnya. Satu hal yang harus senantiasa diingat pada saat mencermati isu hukum ini adalah bahwa “Fakta hukum dari suatu perkara memberikan petunjuk tentang permasalahan atau isu hukum yang dihadapi”. Selanjutnya, kunci untuk mencermati isu hukum adalah kemampuan seorang praktisi hukum salah satunya hakim untuk mengidentifikasikan fakta hukum apa dan telah memunculkan isu hukum apa. Karena pada asasnya isu hukum itu sangat kompleks, maka setiap pembahasan atau penambahan suatu fakta hukum juga akan mengurangi atau menambah isu hukum dalam perkara yang bersangkutan, sehingga dapat memunculkan upaya penegakan hukum yang baru pula.



101



M. Arsyad Sanusi. Legal Reasoning Dlam Penafsiran Konstitusi. Dalam artikel



https://saepudinonline.wordpress.com/2010/12/12/legal-reasoning-dalam-penafsirankonstitusi/.



116



Argumentasi Hukum



Dalam studi hukum seringkali dijelaskan bahwa cara termudah untuk membatasi permasalahan atau isu hukum adalah dengan mengidentifikasi isu hukum yang relevan dan isu hukum yang tidak relevan dari perkara yang bersangkutan, misalnya mengenai masalah pencemaran nama baik dan sebagainya. Sekalipun demikian, tetap penting bagi praktisi hukum untuk secara mandiri mengasah dan mengembangkan keterampilan mencermati isu hukum yang relevan dan tidak relevan agar dapat meningkatkan kemampuan serta dapat menjadi praktisi hukum yang professional, efektif dan implementatif. Salah satu masukan bagi seorang yang ingin mempelajari cara menyusun legal opinion yang benar adalah, ketika kita dihadapkan dalam suatu perkara hukum, hendaknya selalu menyusun daftar pertanyaan terkait dengan permasalahan atau isu hukum yang sedang dicermati. Dengan demikian, kita akan memiliki semacam database untuk permasalahan atau isu hukum yang sedang dicermati tersebut. Database inilah yang akan memudahkan kita dalam membuat Legal Opinion dengan tetap bertanggungjawab terhadap seluruh isi secara efektif dan efisien. Sebaliknya, apabila kita tidak memiliki database yang tertata secara rinci, maka terdapat kemungkinan akan terjadi kesalahan dalam upaya menemukan fakta-fakta hukum yang relevan, sehingga dapat berakibat salah dalam membedah tahapan berikutnya dalam formula IRAC, yaitu tahapan Rules (menemukan aturan hukumnya). 2. Rule: aturan hukum apakah yang berlaku terhadap isu hukum tersebut? Selanjutnya, langkah kedua dalam formula IRAC adalah menemukan Rule (aturan hukum) mana yang akan diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum. Satu hal yang harus diyakini terkait dengan elemen Rule ini adalah bahwa “Permasalahan atau isu hukum tertentu diatur oleh aturan hukum tertentu pula”. Untuk setiap perkara yang kita hadapi, cobalah untuk membedah penegakan hukumnya dengan menguraikan perkara tersebut menjadi beberapa komponen. Dengan kata lain, ajukan pertanyaan mengenai elemen aturan hukum manakah yang harus dibuktikan agar penegakan hukum dapat dilaksanakan secara benar? Untuk itu, pertanyaan-pertanyaan yang dapat dikemukakan, diantaranya: - Elemen-elemen apa saja yang dapat membuktikan keberlakukan aturan hukum yang dijadikan sebagai batu uji?



Argumentasi Hukum



117



- Adakah faktor-faktor sosial kemasyarakatan yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan? - Apa saja pengecualian bagi pemberlakuan aturan hukum tersebut? - Keluarga sistem hukum (family of legal sistem) yang manakah yang akan menjadi sumber dari aturan hukum tersebut? Apakah bersumber dari yurisprudensi, peraturan perundang-undangan atau yang lain? - Adakah kebijakan publik, freiz ermessen dan sebagainya yang menjadi dasar di balik aturan hukum yang diterapkan tersebut? Namun, yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah, jangan terlalu fokus dan terpaku terhadap aspek legal formal atau aturan hukum saja. Sekalipun aturan hukum harus ditegakkan, sesungguhnya seni dari Legal Opinion ini dalam praktiknya terletak pada kemampuan praktisi hukum yang bersangkutan dalam membuat analisis hukum atu dapat dikatakan sebagai tolak ukur ketajaman berpikir hukumnya. 3. Analysis: apakah aturan-aturan hukum tersebut dapat diterapkan terhadap fakta-fakta khusus dari isu hukum tersebut? Berikutnya, langkah ketiga dalam formula IRAC adalah Analysis. Perlu dipahami sebelumnya bahwa seni berpraktik hukum sejatinya terletak pada kemampuan praktisi hukum untuk membuat analisis hukum. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk membentuk analisis hukum itu? Jawaban sederhana yang dapat penulis berikan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah “Untuk membentuk analisis hukum, bandingkan dan cermatilah fakta hukum yang anda temukan dengan aturan hukum yang anda terapkan” Kesalahan terbesar yang sering terjadi yaitu terdapat kecenderungan untuk hanya menyoroti permasalahan atau isu hukumnya saja kemudian mengutip aturan-aturan hukum yang hendak diterapkan, tanpa membuat atau melakukan analisis sama sekali. Padahal, yang terpenting bukanlah sekedar menemukan hukumnya saja, melainkan juga menerapkan aturan hukum tersebut terhadap serangkaian fakta atau keadaan yang dijumpai. Analisis merupakan bagian terpenting dari formula IRAC, karena di sinilah terjadi proses berpikir atau penalaran (reasoning) yang sesungguhnya.



118



Argumentasi Hukum



Mengingat begitu pentingnya elemen analisis ini, maka berikut ini beberapa pertanyaan panduan yang dapat membantu dalam menganalisis suatu perkara, diantaranya: - Fakta hukum apakah yang dapat membantu membuktikan dengan tepat penerapan suatu aturan hukum? - Mengapa suatu fakta hukum dianggap relevan? - Bagaimana fakta hukum tersebut dianggap memenuhi unsurunsur dari suatu aturan hukum? - Jenis-jenis fakta hukum apa saja yang dapat diterapkan terhadap aturan hukum tersebut? - Adakah argumentasi yang bertolak belakang untuk mendapatka solusi lain? Dari pertanyaan-pertanyaan hukum di atas diharapkan dapat diperoleh jawaban analisis hukum yang tepat. 4. Conclusion: bagaimana simpulan atas pendapat hukum yang disusun? Berikutnya, langkah terakhir atau langkah keempat dari formula IRAC adalah Conclusion atau simpulan. Dengan membuat simpulan berarti seseorang telah mengambil sikap berdasarkan hasil analisis yang telah dibuatnya. Dengan kata lain, “berangkat dari analisis, kita akan sampai pada simpulan, misalnya simpulan bahwa aturan hukum yang digunakan dapat diterapkan terhadap fakta-fakta hukum yang ada dalam setiap permohonan” Simpulan merupakan bagian terpendek dari rangkaian langkahlangkah dalam formula IRAC. Simpulan dapat berupa kalimat sederhana “ya” atau “tidak”, atau kalimat yang menyatakan apakah aturan hukum tertentu dapat diterapkan terhadap serangkaian fakta hukum tertentu pula (bisa dalam bentuk rekomendasi hukum). Rekomendasi hukum disini apabila kita mengaitkan suatu legal opinion yang dibuat oleh seorang pengacara untuk kliennya dapat berupa rekomendasi untuk tetap mengajukan gugatan atau tidak, sekalipun mengajukan gugatan, gugatan seperti apa dan bagaimana untuk melakukannya. Kesalahan yang sering terjadi adalah membuat simpulan tanpa memberikan landasan atau dasar yang kuat bagi pendapat yang dituangkan dalam simpulan tersebut. Dengan kata lain, praktisi



Argumentasi Hukum



119



hukum atau hakim hanya sekedar menyoroti suatu isu hukum, menyebutkan aturan hukum yang diterapkan sebagai batu uji hukumnya dan kemudian membuat simpulan tanpa memberikan analisis yang memadai dan baik. Pastikan bahwa apa pun sikap yang diambil, seorang praktisi hukum harus selalu menyertakan landasan atau dasar yang kuat dalam analisisnya.



120



Argumentasi Hukum



Contoh Sistematika Penulisan Legal Opinion: PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION) TENTANG POLEMIK PELAKSANAAN PILKADA DI TENGAH PANDEMI I.



FAKTA HUKUM Berikut ini adalah kronologi yang menyajikan uraian mengenai polemik pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi: Memuat fakta hukum dari kasus yang sedang dianalisis berupa data/ fakta yang valid, setelah sebelumnya telah dilakukan penyeleksian terhadap fakta yang ada sebagai fakta hukum atau bukan fakta hukum.



II.



ISU HUKUM Dalam Legal Opinion ini, terdapat dua isu hukum yang akan dibahas, yaitu: Memuat pertanyaan-pertanyaan hukum yang harus dijawab berdasarkan fakta hukum yang ada. Disusun dalam rangka untuk mengatur pembuatan analisis, sehingga harus memberikan fokus dan arah analisis hukum.



III.



DASAR HUKUM Dasar hukum yang digunakan untuk menganalisis permasalahan ini antara lain: Memuat aturan-aturan hukum yang berlaku berdasarkan prinsip-prinsip hukum, dan digunakan sebagai dasar hukum untuk memecahkan pertanyaan-pertanyaan hukum. Disusun dalam bentuk poin-poin dengan menggunakan angka.



IV.



ANALISIS Memuat jawaban-jawaban beserta analisis yang harus dijawab berdasarkan fakta hukum, sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan pada bagian isu hukum.



Argumentasi Hukum



121



Memuat setiap kemungkinan peristiwa yang terjadi dan harus dirumuskan secara terperinci. Analisis dapat dilengkapi dengan sumbersumber hukum lain seperti doktrin dan/atau putusan pengadilan. V.



KESIMPULAN A. Kesimpulan Memuat kesimpulan yang berisi jawaban-jawaban langsung dan bersifat final dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan. B. Saran Berdasarkan pendapat hukum ini, beberapa saran yang dapat diberikan adalah: (Memuat beberapa rekomendasi/saran berdasarkan analisis yang telah dilakukan) Disusun oleh, Nama Penyusun LO Kapasitas Penyusun LO (Akademisi/Advokat/dsb)



Contoh tersebut adalah template sederhana dari sebuah Legal Opinion yang dapat dijadikan panduan bagi yang sedang belajar menyusun Legal Opinion. Pada praktiknya, format ataupun template LO bersifat fleksibel atau berkembang sesuai dengan gaya penulisan. Namun demikian, struktur pokok dalam LO (sebagaimana dibahas sebelumnya) merupakan bagian minimal yang harus muncul dalam suatu Legal Opinion.



122



Argumentasi Hukum



DAFTAR PUSTAKA Buku: Abdullah. Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan. (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 2008). Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Historis. (Cet. I, Jakarta: Chandra Pratama, 1996). Apeldoorn, van. L.J. Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding Tot de Studie Van Het Nederlandse Recht), (Djakarta: Noordhoff-Kolff N.V, 1959) Asikin, Zainal. Pengantar Ilmu Hukum. (Rajawali Press, 2012). Atmasasmita, Romli. Teori Hukum Integratif: Rekontruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012). Bernard, L. Tanya, Yoan N Simanjuntak dan Markus Y. Hage. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. (Yogjakarta: Genta Publishing, 2010). Darnodihardjo, Dariji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006). Farkhani. Filsafat Hukum “Paradigma Modernisme Menuju Post Modernisme”. (Solo: Khafilah Publishing, 2018). Fitzpatrick, Peter, dalam Munir Fuady. Aliran Hukum Kritis: Paradigma Ketidakberdayaan Hukum. (Bandung: Tp., 2003). Gurvitch, George. Sosiologi Hukum. (Jakarta: Bhratara, 1996). Hadjon, Philipus M. Argumentasi Hukum (Legal Argumentation/Legal Reasoning). (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005). Hamidi, Jazim. Hermeneutika Hukum, Sejarah, Filsafat dan Metode Tafsir. (Malang: UB Press, 2011). Ibrahim, John. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia, 2011). J.J.H. Bruggink. Refleksi tentang Hukum. Terjemahan Bernard Arief Sidharta. (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999).



Argumentasi Hukum



123



Jeffrie G. Murphy dan Jules L. Coleman, Philosophy of Law. An Introduction to Jurisprudence. (Westview Press, Inc., 1990). Mertokusumo, Sudikno. Pendidikan Hukum di Indonesia Dalam Sorotan, dalam Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung: C.V. Utomo, 2006). Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. (Yogyakarta: Liberty, 2008). Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Cetakan 1. (Yogyakarta: Liberty, 1996). Mundiri. Logika. Cetakan ke-19. (Depok: Rajawali Press, 2017). N.K Denzin dan Y. S. Lincoln (eds). Handbook of Qualitative Research. (London: Sage Publication, Inc, 1994). Parwata, Anak Agung Gede Oka, dkk. Buku Ajar Memahami Hukum dan Kebudayaan. (Tabanan: Pustaka Ekspresi, 2016). R, Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2017). Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012). Rasyidi, Lily. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. (Bandung, 1984). Rohman, Arif. Epistemologi dan Logika (Filsafat untuk Pengembangan Pendidikan). (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014). Salman, Otje Salman. Filsafat Hukum: Perkembangan dan Dinamika Masalah. (Bandung: Reflika Aditama, 2010). Samekto, Adji. Justice for All. Cet 1. (Yogyakarta: Genta Press, 2008). Samekto, FX Adji. Studi Hukum Kritis: Kritik Terhadap Hukum Modern. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005). Sharon Hanson (ed), Legal method, Skills and Reasoning, (Milton ParkAbingdon_Oxon: Routledge-Cavendish, 2010). Soekadijo, R. G. Logika Dasar, Tradisional, Simbolik, dan Induktif. Cetakan ke-9, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003). Surajiyo, Sugeng Astanto, dkk. Dasar-Dasar Logika. (Jakarta: Bumi Aksara, 2012).



124



Argumentasi Hukum



Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Sutiyoso, Bambang. Metode Penemuan Hukum. (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2006). Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Indeks. (Jakarta). Wahan, Paulus. Filsafat Pancasila. (Yogyakarta: Kanisius, 1993). Jurnal: C, Nuryanto. “Penegakan Hukum oleh Hakim dalam Putusannya antara Kepastian Hukum dan Keadilan”. Jurnal Hukum Khaira Ummah. Vol 13. No. 1. 2018.. Daliman, A. “Pendidikan Humaniora dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional”. Cakrawala Pendidikan: Jurnal Ilmiah Pendidikan. Vol. 3, No. 3. Tahun 1983. Hadisuprapto, Paulus. “Pendapat Hukum (Legal Opinion)”. Hlm. 3-4 (Makalah disajikan sebagai Materi Kuliah “Legal Opinion” pada Pendidikan Khusus Profesi Advokat, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 11 Maret 2007) Hadjon, Philipus M. dalam Titik Triwulan Tutik. “Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum Ditinjau dari Sudut Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum”. Jurnal MIMBAR HUKUM. Vol 24. No. 3. Oktober 2012. Halper, Thomas. “Logic in Judicial Reasoning”, Indiana Law Journal, Vol.44, Iss. 1, article 2. 1968. Helmi, Muhammad. “Penemuan Hukum Oleh Hakim Berdasarkan Paradigma Konstruktivisme”. Jurnal Ilmu Hukum. Vol 22, No. 1. (April, 2020). Manan, Abdul. “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama”, Jurnal Hukum dan Peradilan. Vol 2. No. 2. Juli 2013. Nadir. “Filsafat Hukum dan Dekonstruksi Critical Legal Studies: Sebuah Paradigma Pembaruan Hukum dalam Menggugat Eksistensi Dominasi Asumsi Kemapanan Hukum”. Jurnal Yustitia. Vol 20. No 2. 2019. Peter Nash Swisher, “Teaching Legal Reasoning in Law School: the University of Richmond Experience”. 1981.



Argumentasi Hukum



125



Priyono, Ery Agus dan Kornelius Benuf. “Kedudukan Legal Opinion Sebagai Sumber Hukum”. Jurnal Suara Hukum. Vol 2. No. 1. Maret 2020. Putro, Widodo Dwi & Herlambang P. Wiratraman. “Penelitian Hukum: Antara yang Normatif dan Empiris”. Digest Epistema Vol. 5. 2015. Ross, Mary Massaron. “A Basis for Legal Reasoning: Logic on Appeal”. 2006. Shidarta. “Ulasan Tokoh dan Pemikiran Hukum, Bernard Arief Sidharta: Dari Pengembanan Hukum Teoretis ke Pembentukan Ilmu Hukum Nasional Indonesia”. Undang: Jurnal Hukum. Vol. 3. No. 2. 2020. Sinha, Surya Prakash. “Jurisprudence. Legal Philosophy in a Nutshell”. (West Publishing Co, St. Paul, Minn., 1993). Suraputra, Sidik. “Pendapat Hukum Dalam Transaksi Komersial”. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Vol 35. No 2, 2005. Weruin, Urbanus Ura. “Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum (Logic, Reasoning and Legal Argumentation).” Jurnal Konstitusi. Vol 14. No 2, 2017. Website: Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan. Diakses dari https://kbbi.web. id/nalar-2. Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan. Diakses dari https://kbbi.web. id/dilema R. Ruslan H. “Argumentasi Hukum Sebagai Strategi Hakim Dalam Berpendapat”. Diakses dari http://www.pta-bengkulu.go.id/images/ file_pdf/argumentasi%20hukum%20sebagai%20strategi%20 dalam%20berpendapat.pdf Rasyidi, Lili dalam Suparto Wijoyo. “Hukum dalam Perspektif Filsafat Ilmu”. diakses dari http://supartowijoyo-fh.web.unair.ac.id. Sanusi, M. Arsyad. Legal Reasoning Dlam Penafsiran Konstitusi. Dalam artikel https://saepudinonline.wordpress.com/2010/12/12/legal-reasoningdalam-penafsiran-konstitusi/ Sidharta dan Petrus Lakonawa. Lex Specialis Derogat Legi Generali: Makna dan Penggunaannya. (Jakarta: Binus University,2018) https://businesslaw.binus.ac.id/2018/03/03/lex-specialis-derogat-legi-generali/. 3 Maret 2018. (Diakses 02 Februari 2021).



126



Argumentasi Hukum



Sumber Lainnya: Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. 1999. Indarti, Erlyn. Aliran Filsafat Hukum dan Paradigma. Paparan Perkuliahan Filsafat Hukum Prodi S1 Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. 2015. Indarti, Erlyn. Memahami Filsafat Hukum, Materi Kuliah Filsafat Hukum Prodi S1 Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. 2015. Indarti, Erlyn. Pembaruan Hukum Nasional: Suatu Telaah Paradigmatik tentang Dinamika Penyusunan RUU KUHP. Disampaikan dalam Webinar IKA FH Undip, 23 Januari 2021. Sulistyawan, Aditya Yuli. Penalaran Aliran Filsafat Hukum. Materi Kuliah Argumentasi Hukum. Prodi S1 Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. 2019. Sumbu, Telly, dkk. Filsafat Hukum. Bahan Ajar Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado. 2016 Wignjosoebroto dalam Shidarta, disampaikan dalam Perkuliahan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. November 2014. Wirawan, I Ketut. Pengantar Filsafat Hukum. Bahan Ajar Fakultas Hukum Universitas Udayana. 2016.