Makalah Logika Dan Penalaran Hukum (Argumentasi Hukum) FIX-converted-1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang



Hukum sebagaimana diharapkan dalam pembentukannya, direncanakan sebagai sarana alat rekayasa sosial (tool of social engineering). Dalam posisi sepeti itu maka semestinya hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat. Law as a tool of sosial engineering merupakan teori yang di-kemukakan oleh Roscoe Pound, yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Dengan disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi “law as a tool of social engineering” yang merupakan inti pemikiran dari aliran pragmatic legal realism itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja kemudian dikembangkan di Indonesia. Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya, alasannya oleh karena lebih menonjolnya perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia (walau yurisprudensi memegang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi mekanisme daripada konsepsi tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil yang sama daripada penerapan faham legisme yang banyak ditentang di Indonesia. Sifat mekanisme itu nampak dengan digunakannya istilah “tool” oleh Roscoe Pound.1 Itulah sebabnya mengapa Mochtar Kusumaatmadja cenderung menggunakan istilah “sarana” daripada alat. Disamping disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia konsepsi tersebut dikaitkan pula dengan filsafat budaya dari Northrop dan policy-oriented dari Laswell dan Mc Dougal.2 Pesoalan utamanya ialah seringkali produk hukum yang dihasilkan oleh pembuat hukum, utamanya legislatif, sering tertinggal jauh oleh perkembangan masyarakat. Hukum yang dibuat DPR dalam kenyataannya acapkali memuat konflik norma (conflict of norms), terjadi kekosongan norma ( haziness norm, vacum of norm) dan kekaburan norma (void of norm , blurring of norm). Menghadapi persoalan yang demikian itu maka penegak hukum dan masyarakat tentunya harus mampu melakukan “ terobosan hukum “ agar hukum benar



1 2



Zainal Asikin, Mengenal Filsafat Hukum, Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2014 , hlm 133 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta,2001 hlm.9



1



benar mencapai tujuannya. Salah satu sarana dalam melakukan terobosan hukum melalui penalaran hukum (lega reasoning). Berbagai macam ilmu yang digunakan sebagai pengantar untuk mendapatkan pemahaman yang baik terhadap Argumentasi Hukum (AH), diantaranya: ilmu Logika Dasar, ilmu Mantiq dan Logika Praktis, yang kesemuanya memberikan pemahaman awal untuk pengembangan Argumentasi Hukum. Pengunaan istilah yang berbeda hanya merupakan faktor bahasa, sehingga AH lazim juga disebut dengan Legal Reasoning. Hanya saja pengisian kekosongan hukum, konflik norma dan kekaburan norma tidaklah mudah dilakukan, dan tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, melainkan dengan cara cara yang rasional dan oleh oleh orang orang yang punya keahlian. Melalui tulisan dan analisis di bawah ini akan didiskusikan tentang Terobosan Hukum melalui argumentasi hukum yang benar.



B. Rumusan Masalah



1. Bagaimanakah konsep dan terminologi dalam penalaran hukum? 2. Apa sajakah unsur-unsur dalam penalaran hukum? 3. Bagaimanakah hubungan antara konsep, proposisi dan penalaran hukum? 4. Apa sajakah struktur dan jenis-jenis penalaran hukum? 5. Bagaimanakah peranan Interpretasi dalam legal reasoning? 6. Apakah manfaat legal reasoning bagi penegak hukum?



C. Tujuan



1. Untuk mengetahui konsep dan terminologi dalam penalaran hukum. 2. Untuk mengetahui unsur-unsur dalam penalaran hukum. 3. Untuk mengetahui hubungan antara konsep, proposisi dan penalaran hukum. 4. Untuk mengetahui struktur dan jenis-jenis penalaran hukum. 5. Untuk mengetahui peranan Interpretasi dalam legal reasoning. 6. Untuk mengetahui manfaat legal reasoning bagi penegak hukum.



2



BAB II PEMBAHASAN



A. Konsep dan Terminologi dalam Penalaran Hukum Legal Reasoning adalah penalaran tentang hukum yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara meng-argumentasi-kan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum.3 Namun pengertian sederhana ini menjadi tidak lagi sederhana apabila pertanyaan dilanjutkan kepada: apakah yang dimaksud dengan hukum dan bagaimana sebenarnya atau seharusnya seorang hakim memutuskan suatu perkara/ kasus hukum dan bagaimana seorang pengacara meng-argumentasi-kan hukum? Pengertian lainnya yang sering diberikan kepada Legal Reasoning adalah: suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dan lain-lain) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada. Bagi para hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil pertimbangan untuk memutuskan suatu kasus. Sedangkan bagi para praktisi hukum legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar bagi suatu peristiwa atau perbuatan hukum dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila terjadi sengketa mengenai peristiwa ataupun perbuatan hukum tersebut.4 Bagi para penyusun undang-undang dan peraturan, legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar mengapa suatu undang-undang disusun dan mengapa suatu peraturan perlu dikeluarkan. Sedangkan bagi pelaksana, legal reasoning ini berguna untuk mencari pengertian yang mendalam tentang suatu undang-undang atau peraturan agar tidak hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan tujuannya yang hakiki. Penalaran hukum (legal reasoning) adalah kegiatan berpikir problematistersistematis (gesystematiseerd probleemdenken) dari subjek hukum (manusia)sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Penalaran hukum dapat didefinisikan sebagai kegiatan berpikir yangbersinggungan dengan pemaknaan hukum 3 4



Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993 Ibid



3



yang multiaspek (multidimensional danmultifaset).Penalaran hukum sebagai kegiatan berpikir problematis tersistematis mempunyai ciri-ciri khas dan konsep. Menurut Berman ciri khas penalaran hukum adalah: 1) Penalaran hukum berupaya mewujudkan konsistensi dalam aturan-aturanhukum dan putusan-putusan hukum. Dasar berpikirnya adalah asas (keyakinan)bahwa hukum harus berlaku sama bagi semua orang yang termasuk dalamyuridiksinya.Kasus yang sama harus diberi putusan yang sama berdasarkan asassimilia similibus (persamaan); 2) Penalaran hukum berupaya memelihara kontinuitas dalam waktu (konsistensi historikal). Penalaran hukum akan mengacu pada aturan-aturan hukum yangsudah terbentuk sebelumnya dan putusan-putusan hukum terdahulu sehinggamenjamin stabilitas dan prediktabili-tas; 3) Dalam penalaran hukum terjadi penalaran dialektikal, yakni menimbang-nimbang klaim-klaim yang berlawan-an, baik dalam perdebatan padapembentukan hukum maupun dalam proses mempertimbangkan pandangan danfakta yang diajukan para pihak dalam proses peradilan dan dalam proses negosiasiJadi terminologi dari penalaran hukum ( legal reasoning ) adalah suatu kegiatanuntuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baikyang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dll) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada.



B. Unsur-unsur dalam Penalaran Hukum



1. Topik, yaitu ide sentral dalam bidang kajian tertentu yang spesifik dan berisi sekurang-kurangnya dua variabel. 2. Dasar pemikiran, pendapat, atau fakta dirumuskan dalam bentuk proposi yaitu kalimat pernyataan yang dapat dibuktikan kebenarannya atau kesalahannya. 3. Proposisi mempunyai beberapa jenis, antara lain: a. Proposisi empirik, yaitu proposi berdasarkan fakta, misalanya: anak cerdas dapat memanfaatkan potensinya. b. Proposisi mutlak, yaitu pembenaran yang tidak memerlukan pengujian untuk melakukan benar atau salahnya. Misalnya: gadis yaitu wanita muda yang belum pernah menikah.



4



c. Proposisi hipotetik, yaitu persyaratan hubungan subjek dan predikat yang harus dipenuhi. Misalnya: jika dijemput, X akan kerumah. d. Proposisi kategoris, yaitu tidka adanya persyaratan hubungan subjek dan predikat. Misalnya: X akan menikahi Y. e. Proposisi positif universal, yaitu peryataan positif yang mempunyai kebenaran mutlak. Misalnya: semua hewan akan mati. f. proposisi positif persial, yaitu peryataan bahwa sebagian unsur peryataan tersebut bersifat positif. Misalnya: sebagian orang ingin hidup kaya. g. Proposisi negatif universal, yaitu kebalikan dari proposisi positif universal. Misalnya: tidak ada gajah tidak berbelalai. h. Proposisi negatif persial, yaitu kebalikan dari proposisi positif persial. Misalnya: sebagian orang hidup menderita. 4. Proses berfikir ilmiah, yaitu kegiatan yang dilakukan secara sadar, teliti, dan terarah menuju suatu kesimpulan. 5. Logika, yaitu metode pengujian ketepatan penalaran, penggunaan (alasan), argumentasi (pembuktian), fenomena, dan justifikasi (pembenaran). 6. Sistematika, yaitu seperangkat proses atas bagian atau unsur-unsur proses berfikir ke dalam suatau kesatuan. 7. Permasalahan, yaitu pernyataan yang harus dijawab (dibahas) dalam karangan. 8. Variabel, yaitu unsur satuan pikiran dalam sebuah topik yang akan dianalisis. 9. Analisis (pembahasan, penguraian) dilakukan dengan mengidentifikasi analisis (pembahasan, penguraian) dilakukan dengan mengidentifikasi, mengklasifikasi, mencari hubungan (korelasi), membandingkan, dan lain-lain. 10. Pembuktian (argumentasi), yaitu proses pembenaran bahwa proposisi itu terbukti kebenarannya atau kesalahannya. 11. Hasil, yaitu akibat yang ditimbulkan dari sebuah analisis induktif dan deduktif. 12. Kesimpulan (simpulan), yaitu penafsiran atau hasil pembahasan, dapat berupa implikasi atau referensi. C. Hubungan antara Konsep, Proposisi dan Penalaran Hukum Untuk dapat berbuat lebih lanjut terhadap sesuatu, maka tindakan “mengerti” merupakan langkah awal yang perlu dilakukan. Untuk mengkomunikasikan lebih lanjut apa yang dimengerti tersebut digunakan “bahasa”, digunakan “kata-kata”. 5



Untuk dapat berpikir lebih lanjut secara tepat diperlukan pengertian pengertian yang tepat pula. Akal budi yang memanfaatkan panca indra untuk menangkap gambaran tentang sesuatulah yang menimbulkan pengertian. Jadi, pengertian adalah tanggapan atau gambaran yang dibentuk oleh akal budi tentang kenyataan yang dimengertinya melalui tangkapan panca indra. Pengertian disebut pula sebagai konsep. Kemudian konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun gejala sosial yang dinyatakan dalam “istilah atau kata”. Untuk bisa mengkomunikasikan pengertian yang diperolehnya secara lebih bermakna maka diperlukan alat pemikiran lebih lanjut yaitu “pernyataan atau proposisi”.



Contoh : a. Dalam Pasal 362 KUH Pidana ditentukan bahwa : “Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara. melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”. b. Dalam Pasal 372 KUH Pidana ditentukan bahwa : “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”. Sehubungan dengan pengertian dapat terjadi beberapa kemungkinan sebagai berikut : a. sinonim. b. istilah bermakna ganda. c. pengertian yang kabur.



Sinonim adalah istilah yang menyatakan pengertian yang sama. Sinonim terdapat baik dalam bahasa pergaulan (misalnya, goal = tujuan) maupun bahasa hukum misalnya vonis sama artinya dengan putusan hakim. Kemudian istilah bermakna ganda, misalnya desa di Bali dapat bermakna desa adat (desa pakraman) dan desa dinas (desa administrasi). Pengertian yang kabur maksudnya, pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara persis sehingga lingkupannya tidak jelas. Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang 6



Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa “Peraturan Daerah dapat dibatalkan jika bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi”. Kepentingan umum mempunyai makna yang kabur. Penalaran dalam hukum beranjak dari pengertian atau konsep. Salah satu cara yang seringkali digunakan untuk menjelaskan konsep adalah definisi. Definisi lazimnya dibedakan atas definisi nominal dan definisi riil. Definisi nominal terdiri atas tiga macam definisi yakni definisi leksikal, presisi dan definisi stipulatif. Dalam bidang hukum definisi yang populer adalah definisi presisi dan stipulatif. Namun demikian, ketiga definisi ini akan diuraikan sebagai berikut :



a. Definisi leksikal. Ini adalah penentuan isi suatu pengertian berdasarkan pemakaian yang lazim dari istilah itu. Kebanyakan hal ini berkenaan dengan pemakaian istilah itu dalam bahasa pergaulan, tetapi juga dalam Bahasa-bahasa teknikal pemakaian yang mapan (ajeg) dari istilah-istilah tertentu dengan isi yang khusus adalah mungkin. Definisi jenis ini sering ditemukan dalam kamus-kamus.



b. Definisi presisi. Dalam bahasa sehari-hari sebuah kata atau frase seringkali mempunyai lebih dari satu arti dalam rumusan leksikal. Untuk kepastian hukum dan penegakan hukum secara fair dibutuhkan suatu batasan yang pasti tentang suatu konsep hukum. Sebagai contoh “keputusan tata usaha negara”. Rumusan KTUN harus pasti sehingga tidak menyulitkan dalam penetapan apakah suatu tindak pemerintahan termasuk kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara. Unsur kepastian tercermin dalam elemen-elemen yang mendukung konsep itu. Sebagai contoh, rumusan KTUN menurut Pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 didukung oleh enam unsur sebagai berikut : 1. penetapan tertulis; 2. oleh badan atau pejabat tata usaha negara; 3. merupakan tindakan hukum tata usaha negara; 4. bersifat konkret dan individual; 5. final; 6. menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. 7



Definisi presisi mengandung unsur leksikal dan stipulatif. Pada satu sisi definisi presisi beranjak dari suatu konsep yang sudah lazim dalam bahasa sehari-hari, dalam contoh keputusan tata usaha negara kiranya istilah keputusan sudah merupakan hal yang lazim dikenal. Unsur stipulatifnya pada penegasan unsur-unsur baru yang sifatnya untuk memberikan makna khusus yang baru seperti nampak dalam unsur konkret dan individual.



c. Definisi stipulatif. Definisi stipulatif dapat berupa pengenalan terminologi baru atau memberikan pengertian baru terhadap term yang sudah ada. Dalam perkembangannya agar semakin banyak memperoleh pengertian yang berdasarkan pengamatan empirik, dalam pemikiran tidak hanya terbentuk pengertian-pengertian saja tetapi juga terjadi penggabungan dan perangkaian terhadap berbagai pengertian tersebut. Rangkaian pengertian disebut “proposisi atau pernyataan”. Contoh : Si A dihukum penjara dua bulan karena ia mencuri ayam. Apa yang dinyatakan dalam preposisi di atas adalah fakta yakni pengamatan yang dapat diuji kecocokannya secara empirik dengan menggunakan indera. Karena proposisi ini didasarkan atas pengamatan empirik maka disebut proposisi empirik. Tidak semua proposisi merupakan proposisi empirik tetapi ada yang kebenaran atau kesalahannya langsung nampak dalam pikiran sehingga oleh karenanya harus diterima. Proposisi demikian disebut proposisi mutlak (absolute statement atau necessary statement). Proposisi mutlak adalah jelas benar dengan sendirinya (self evident). Misalnya : - Duda itu adalah laki-laki yang pernah kawin. Proposisi atau pernyataan itu lambangnya dalam bahasa adalah berupa kalimat berita. Hanya kalimat beritalah yang dapat “benar atau salah”. Kalimat tanya atau kalimat perintah bukan lambang proposisi. Kalimat tanya masih mencari apakah ada hubungan diantara subyek dan predikat. Kalimat perintah justeru menuntut adanya hubungan diantara subyek dan predikat yang belum ada. Kalimat tanya dan kalimat perintah tidak menyatakan adanya suatu kaitan diantara subyek dan predikat padahal itulah yang merupakan inti dari proposisi.



8



D. Struktur dan Jenis-jenis Penalaran Hukum



Struktur Penalaran Hukum



Tiga lapisan hukum argument hukum yang rasional ( drie nieveaus van rationale juridische argumentatie) adalah :



1) Lapisan logika Lapisan ini masuk kedalam wilayah logika tradisional. Isu utama dalam lapisan ini adalah apakah alur premis sampai kepada konklusi dari suatu argumentasi itu logis. Langkah penalaran deduksi, analogi, abduksi dan indikusi menjadi focus. Dengan langkah deduksi, pendekatan undang-undang dengan pendekatan preseden berbeda. Dalam civil law system jelas pertama-tama adalah pendekatan undang-undang ( statute approach). Dengan pendekatan undang-undang, dalam menghadapi suatu fakta hukum, ditelusuri ketentuan hukum yang relevan, ketentuan hukum itu berada dalam pasal yang berisi norma. Norma dalam logika merupakan suatu proposisi atau normative. Menjelaskan norma bahwa harus diawali dengan pendekatan konseptusi karena norma sebgaai suatu bentuk proposisi yang tersusun atas rangkaian konsep. Dengan demikian kesalahan konsep dapat mengakibatkan alur nalar sesat dan adanya suatu kesimpulan yang menyesatkan. Contoh: menyalah gunaan wewenang Orang yang tidak memahami hukum administrasi mungkin mengartikan penyalahgunaan wewenang sama dengan menyalahi prosedur. Kalau konsep ini dijadikan dasar jelas kesimpulannya menyesatkan. Dalil logika merumuskan: -



Ex falso quolibet ( dari kesimpulan yang seenaknya) Ex vero nonnisi verum ( dari yang benar kesimpulannya benar) Jadi seseorang yang mengartikan penyalah gunaan wewenang sama dengan menyalahi suatu prosedur akan menyimpulkan bahwa dalam pengadaan barang untuk keperluan pemeritah harus melalui tender, maka kalau tanpa tender maka sudah terjadi penyalah gunaan wewenang.



9



2) Lapisan delik Dengan dialektik, suatu argumentasi akan terbentuk tidak monoton. Dalam dialektik, suatu argumentasi diuji terutama denagn adanya argumentasi yang prokontra. Proses dialektik adalm argumentasi menguji kekuatan nalar suatu argumentasi sesorang. Dan kekuatan nalar tersebut terletak dalam kekuatan logika, dengan demikian maka dialektif berhubungan dengan suatu logika. Contoh : dalam kasus Tata Usaha Negara, pengumuman suatu surat penolakan program penjaminana oleh Bi ( Bank Indonesia ) digugat. Yang digugat pengumuman bukan surat penolakan. Para pihak menghadirkan apara ahli dan mendapatkan pendapat masingmasing dari ahli tersebut. Dari argumentasi prokontra tersebut pertaanyaan kita tertuju kepada argumentasi para ahli penggugat. Futuristic, pengumuman merupakan KTUN. Pertanyaan yang muncul adalah: -



Apakah futuristic merupakan hukum positif? Apakah hakim menentukan berdasarkan ius constitutum ataukah berdasarkan futuristic Ahli tergugat :” berdasarkan ketentuan pasal 1.3 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 jo, Undang-undang No. 9 Tahun 2004, pengumuman sifatnya bekend makiing (publikasi ) atas suatu KTUN. Pengumuman bukan KTUN.” Ahli penggugat :” berdasrkan ketentuan hukum yang berlaku, pengumuman bukan termasuk dalam KTUN tapi futuristic, pengumuman merupakan KTUN.” Dari kedua pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa jawabnnya adalah tidak, dengan demikian argumentasi tersebut tidak logis.



3) Lapisan prosedur Hukum acara merupakan aturan main dalam proses argumentasi dalam penanganan perkara di Pengadilan, dengan demikian prosedur dialektik dipengadilan diatur oleh Hukum Acara. Contoh: beban pembuktian. Siapa yang harus membutikan? Jawabannya adalah ketentuan hukum acara.



10



Jenis- jenis penalaran hukum



Proses nalar merupakan suatu proses berfikir yang sistematik untuk memperoleh suatu kesimpulan berupa pengetahuan. Dari proses bernalar, maka penalaran dibagi atas :



1. Penalaran induktif yaitu proses penlaran untuk menarik kesimpulan dari prinsip/ sikap yang berlaku umum berdasarkan pada fakta-fakta yang bersifa khusus (induksi). Atau dengan rumusan lain, induksi adalah proses penarikan kesimpulan universal berdasarkan pengalaman, data, fakta, atau pengetahuan yang terbatas sebagai permis yang kita miliki. Contoh: - Doni, melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum; - Jodi, melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum; - Johan, melanggar lalu lintas, bukan orang yang menaati huku. Kesimpulannya : semua orang yang melanggar lalu lintas bukan orang yang menaati hukum. 2. Penalaran deduktif yaitu menarik suatu kesimpulan dari prinsip atau sikap yang beralku khusus berdasarkan fakta-fakta yang umum atau universal.5 Pada paragraph deduktif menempatkan kalimat utama pada awal paragraph. Kita dapat menarik kesimpulan bahwa deduksi atau silogisme sebagai proses penarikan kesimpulan yang bertolak dari proposisi universal sebagai premis untuk sampai pada konklusi atau kesimpulan berupa proposisi universal, particular, atau singular. Contoh:



-



Premis: semua pencuri harus dihukum menurut hukum, Johan seorang pencuri Konklusi : Johan harus dihukum menurut hukum.



E. Peranan Interpretasi dalam legal reasoning



Yang dimaksud dengan Interpretasi atau Penafsiran Hukum adalah cara mencari arti dan makna suatu peraturan perundang- undangan.Ada berbagai macam interpretasi. Bruggink mengelompokkannya dalam 4 model yaitu:6



5 6



Kinayati Djojosuroto, Filsafat Bahasa, Pustaka Book Publisher, Jogyakarta, 2007, hlm.202. J.J.H. Bruggink, Op Zoek Naar Het Recht, Wolters-Noordhoft Groningsen, The Netherlands, 1987, hal 90



11



1. Interpretasi bahasa atau tata bahasa (de tallkundige interpretatie) Di sini ketentuan atau kaidah hukum (tertulis) diartikan menurut arti kalimat atau bahasa sebagaimana diartikan oleh orang biasa yang menggunakan bahasa secara biasa (seharihari). “Peralatan rumah tangga” dan “alat angkutan” misalnya harus diartikan secara wajar dalam hubungannya dengan perkara yang diperiksa pengadilan. Ini tidak menghalangi kemungkinan penggunaan istilah yang lebih teknis bila hal itu diperlukan. Contoh : kendaraan (air) : Segala alat angkutan orang atau barang, yang bergerak dari suatu tempat ke tempat lain di atas atau di bawah permukaan air.



2. Penafsiran Historis atau Sejarah (de wetshistorische interpretatie) Penafsiran cara ini adalah meneliti sejarah daripada undang-undang yang bersangkutan. Penafsiran historis ini dibagi menjadi dua macam yaitu sebagai berikut :







Penafsiran



Menurut



Sejarah



PemUndang-



undang (Wetshistorische Interpretatie) Penafsiran wetshistorische ini juga dinamakan penafsiran sempit dan hanya menyelidiki “apakah maksud pembuat undang-undang dalam menetapkan peraturan perundang-undangan itu atau siapa yang membuat rancangan



untuk



undang-undang,



apa



dasar-dasarnya,



apa



yang



diperdebatkan dalam sidang-sidang Lembaga Legislatif (DPR, DPRD, Propinsi, DPRD Daerah Kabupaten/Kota) dan sebagainya sehingga undang-undang itu dapat ditetapkan secara resmi.



b. Penafsiran Menurut Sejarah Hukum (Rechtshistorische Interpretatie)



Penafsiran historis ini dinamakan penafsiran yang luas, karena penafsiran wetshistorische termasuk di dalamnya. Penafsiran menurut sejarah hukum ini menyelidiki apakah asal-usul peraturan itu dari suatu sistem hukum yang dahulu pernah berlaku atau dari sistem hukum lain yang sekarang masih berlaku atau dari sistem hukum lain yang sekarang masih berlaku di 12



negara lain, misalnya KUH Perdata yang berasal dari Burgerlijk Wetboek (BW) Negeri Belanda. BW ini berasal dari Code Civil Prancis atau Code Napoleon. Masuknya Code Civil Prancis ke Negeri Belanda (BW) berdasarkan asas kankordansi sama halnya dengan masuknya BW Negeri Belanda ke Indonesia sebagai negara jajahan juga melalui asas konkordansi (Concordantie Reginsel).



3. Penafsiran Sistematis (de systematische intrepretatie) Yang dimaksud dengan penafsiran sistematis, ialah suatu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundangundangan yang bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum lainnya, atau membaca penjelasan suatu perundang-undangan, sehingga kita mengerti apa yang dimaksud dalam Peraturan Perundang- undangan yang bersangkutan. Contoh : -



Pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa.



Untuk mengetahui pengertian orang dewasa kita dapat melihat ketentuan Pasal 330 KUH Perdata yang memberikan batas belum berumur 21 tahun, akan tetapi meskipun belum berumur 21 tahun apabila telah kawin orang tersebut dikualifikasikan telah dewasa. Jadi dalam hal ini ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata ditafsirkan secara sistematis dengan ketentuan Pasal 330 KUH Perdata.



4. Penafsiran Sosiologis atau Kemasyarakatan (de maatshappelijke interpretatie) Penafsiran sosiologis ialah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan sosial yang di dalam masyarakat agar penerapan hukum dapat sesuai dengan tujuannya ialah kepastian hukum berdasarkan asas keadilan masyarakat. Contoh penafsiran sosiologis :



-



Dalam Pasal 362 KUH Pidana, ditegaskan larangan untuk mencuri barang kepunyaan orang lain. 13



Bunyi Pasal 362 KUH Pidana sebagai berikut “Barangsiapa mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama- lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900.”



Apakah yang dimaksud dengan barang itu ? Mula-mula pengertian barang ialah segala yang bisa dilihat, diraba dan dirasakan secara riil. Waktu itu listrik tidak termasuk sebagai barang dan pencuri listrik tidak dapat dihukum berdasarkan Pasal 362 KUH Pidana. Kemudian penafsiran sosiologis berlaku terhadap listrik yang dianggap sebagai barang, karena listrik itu mempunyai nilai. Untuk mengadakan proyek perlistrikan diperlakukan penafsiran sosiologis atas listrik, maka siapa yang mengkait kabel listrik PLN di jalan, dapat dikatakan melakukan pencurian dan berlaku Pasal 362 KUH Pidana. Interpretasi sebetulnya sudah dilakukan oleh kelompok Scholatica dalam usahanya memahami Condex Juris Civilis (kitab Undang-Undang Perdata). Ada 5 langkah dalam motode analisis: 1. Expositio permodum questiones et sestetia (mengajukan pertayaan) 2. Expositio Litterae (interpretasi) 3. Summae (ringkasan) 4. Dialectica (investigasi) dengan model dialektik dan antitesis 5. Divisio (klasisifikasi), Distinctio (pembedaan), Disputatio (debat) dan pada akhirnya menarik hal khusus yang berkaitan dengan Logoca Nova (New Logic) Dengan motode demikian, pengetahuan hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tertutup dengan begitu jelas beda dengan teknik ilmiah.7seorang Praktisi Hukum Advokat dalam menjalankan Profesinya baik secara Litigasi maupun Non Litigasi untuk memberikan layanan hukum dengan melakukan Legal Reasoning (Penalaran Hukum) berdasarkan sumber-sumber Hukum Formal yang ada, Konstruksi Hukum dan Interpretasi / Penafsiran Hukum.



7



Geoffrey Samuel, The Foundations of Legal Reasoning, Metro, 1994, hal 43-45



14



F. Manfaat legal reasoning bagi Penegak Hukum



Pengertian legal reasoning digunakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, legal reasoning berkaitan dengan proses psikologi yang dilakukan Hakim, untuk sampai pada keputusan atas kasus yang dihadapinya. Legal Reasoning dalam arti sempit , berkaitan dengan argumentasi yang melandasi satu keputusan.8 Studi ini menyangkut kajian logika suatu keputusan. Logika sebagai istilah, berarti suatu metoda atau teknik yang diciptakan untuk meneliti ketepatan penalaran. Untuk memahami logika, orang harus mempunyai pengertian yang jelas mengenai penalaran. Suatu dalil yang kuat dibangun berdasarkan logika dimana sistem logika formal merupakan syarat mutlak dalam berargumentasi. Argumentasi yang merupakan hasil ijtihad hakim dari pada putusan itu harus dicantumkan dengan jelas dan pertimbangan hukumnya dan sesuai dengan sistem penalaran hukum. Dengan demikian bagi pihak yang membaca putusan lebih memahami bahwa putusan itu mempunyai kepastian hukum, kemanfaatan, seni bahasa (keindahan) dan keadilan bagi para pihak pencari keadilan. Argumentasi sebagai dasar dan cara penemuan hukum hakim atau ijtihad hakim dalam putusan tersebut terdiri dari: 1. Argumentasi yuridis (Peraturan Perundang-undangan dan Hukum Islam/ Kompilasi Hukum Islm (KHI). 2. Argumentasi Yurisprudensi 3. Argumentasi hukum kebiasaan atau adat, Ushul Fiqh, Fiqh, Kaidah Ushul Fiqh, dan lain-lain. 4. Argumentasi moral 5. Argumentasi sosiologis 6. Argumentasi penafsiran atau interpretasi hukum Hakim dalam merumuskan dan menyusun pertimbangan hukum harus cermat , sistematik dan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pertimbangan disusun dengan cermat artinya pertimbangan hukum tersebut harus lengkap memuat fakta hukum, peristiwa hukum, hukum kebiasaan dan lain-lain. Pertimbangan hukum disusun dengan sistematik artinya runtut mulai dari kewenangan Peradilan smapai dengan biaya perkara dibebankan seperti adalah sebagai berikut : 8



Golding, Martin P. Legal Reasoning, New York: Alfreda A. Knoff Inc., 1984, hal 1



15



1.



Pertimbangan hukum tentang kewenangan absolute



2.



Pertimbangan hukum legal standing



3.



Pertimbangan dalil pokok dan cabang penggugat a. Pertimbangan dalil jawaban pokok dan cabang tergugat mungkin dalil eksepsi dan rekonvensi : b.



Pertimbangan dalil gugatan yang harus dipertimbangkan



c.



Pertimbangan dalil jawaban yang harus dipertimbangkan



d.



Pertimbangan alat-alat bukti apakah memenuhi syarat formal dan materiil dan bukti tersebut diterima atau ditolak



e.



Pertimbangan fakta-fakta baik fakta peristiwa maupun fakta hukum yang dapat dibuktikan



f.



Pertimbangan perumusan hubungan hukum antara peristiwa hukum dengan fakta hukum yang telah dibuktikan



g.



Pertimbangan argumentasi-argumentasi hukum baik yng berhubungan dengan hukum-hukum positif, kebiasaan, sosiologi hukum moral hukum dan lain sebagainya atau hukum yang hidup dalam masyarakat.



h.



Pertimbangan hukum yang berkaitan dengan biaya perkara



i.



Pertimbangan atau judgement apakah gugatan ditolak, dikabulkan atau tidak diterima.



Pada umumnya fungsi Legal Reasoning adalah sebagai sarana mempresentasikan pokok-pokok pemikiran tentang problematika konflik hukum antara seseorang dengan seorang lainnya, atau antara masyarakat dengan pemerintah terhadap kasus-kasus yang menjadi kontroversi atau kontraproduktif untuk menjadi replica dan duplika percontohan terutama menyangkut baik dan buruknya sistem penerapan dan penegakan hukum, sikap tindak aparatur hukum dan lembaga peradilan. 9 Dalam situasi tersebut maka untuk memperoleh kepastian tentang kaidah yang relevan dapat ditempuh dengan pendekatan kasus, yakni membangun argumentasi hukum dengan mengacu pada pendapat hukum yang dirumuskan hakim dalam sebuah putusan pengadilan.



Begitu pentingnya penalaran, termasuk penalaran hukum sebagai sebuah alat dalam argumentasi hukum. Maka tidak satupun orang terlepas dari fungsi dan penggunaan 9



Abraham, Amos HF. Legal Opinion Teoritis & Empirisme. Jakarta: PT. Grafindo Persada , 2007, hal 29



16



penalaran, baik di kalangan hakim, advokat, ataupun masyarakat pencari keadilan pada umumnya. Dan dalam penggunaan penalaran hukum itu, hakim atau penegak hukum lainnya kadang-kadang sering ditemukan kesalahan dalam mengaplikasikan argumentasi dan logika hukum. Sehingga timbul penafsiran hukum yang keliru. Namun kekeliruan dalam penafsiran hukuk ini bisa diperbaiki dengan pembelajaran formal maupun informal seperti dilakukan pembinaan karir hakim dengan promosi dari satu tempat ke tempat lain, sehingga hakim tersebut bisa mendapatkan pengalaman yang lebih dari masalah-masalah baru yang ditemukan dengan sistem penalaran dan logika hukum yang baik.



17



BAB III PENUTUP



Kesimpulan



Logika merupakan dalil yang kuat untuk mengemukakan argumentasi yang baik. Maka dari itu diperlukan sistem penalaran melalui konstrukti dan interpretasi (penafsiran hukum) bagi para penegak hukum, seperti hakim, pengacara, praktisi hukum, mahasiswa hukum untuk mengemukakan pendapat hukumnya atau yang dikenal dengan istilah Legal Opinion. Legal Reasoning dalam arti sempit , berkaitan dengan argumentasi yang melandasi satu keputusan. Studi ini menyangkut kajian logika suatu keputusan. Maka istilah Legal Reasoning atau Penalaran Hukum sejatinya merupakan penerapan asas-asas berpikir yang tepat dan valid dari logika dalam bidang hukum itu sendiri. Sehingga urgensi bagi para penegak hukum adalah bisa menggunakan penalaran dalam mengemukakan pendapat hukumnya sesuai dengan kaidah yang berlaku agar mampu berpikir kritis dan argumentatif dalam memahami persoalan hukum dalam praktiknya.



18



Daftar Pustaka Buku Abraham, Amos HF. Legal Opinion Teoritis & Empirisme. Jakarta: PT. Grafindo Persada , 2007 Geoffrey Samuel, The Foundations of Legal Reasoning, Metro, 1994 Golding, Martin P. Legal Reasoning, New York: Alfreda A. Knoff Inc., 1984 J.J.H. Bruggink, Op Zoek Naar Het Recht, Wolters-Noordhoft Groningsen, The Netherlands, 1987 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina cipta,2001 Philipus M.Hadjonn, Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2005 Zainal Asikin, Mengenal Filsafat Hukum, Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2014



Jurnal Urbanus Ura Weruin. 2017. Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum, Jurnal Konstitusi, Vol 14 H.Enju Juanda, S.H.,M.H. 2017. Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Universitas Galuh, Vol.5 Nur Iftitah Isnantiana, 2017. Legal Reasoning Hakim dalam Pengambilan Putusan Perkara di Pengadilan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Jurnal Pemikiran Islam (Islamadina), Vol XVIII Ruslan H.R, Argumentasi Hukum Sebagai Strategi Hakim dalam Berpendapat.



19