Interpretasi Dan Penalaran Hukum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH TUGAS 3



Nama Mahasiswa



: T SODIPTA KARINA NAINGGOLAN



Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 041593408



Kode/Nama Mata Kuliah



: HKUM4401/Interpretasi Dan Penalaran Hukum



Kode/Nama UPBJJ



: 17/UPBJJ JAMBI



Masa Ujian



: 2021/22.1 (2021.2)



KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TERBUKA



1. Saudara mahasiswa, anda bebas menentukan asumsi-asumsi apa saja yang semestinya melekat, diberikan dan ada di dalam konteks contoh kasus peristiwa yang diberikan dalam Soal ini. Sehingga anda-pun dapat berinterpretasi secara relevan faktor-faktor apa saja yang semestinya masuk dalam analisis kasusnya tersebut. Anggap bahwa anda seorang ahli hukum/hakim yang perlu memperhatikan dalam memeriksa dan memutus perkara. Sehubungan dengan itu anda diminta menginterpretasikan persoalan hukum atas soal norma yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan seperti dalam soal kasus tersebut atas; namun anda diminta menggunakan penafsiran literal dan penafsiran doctrinal (Max 500 kata). Jawab: Di sinilah peran hakim memahami dan menafsir teks perundang-undangan sekaligus menginterpretasi kenyataan yang menimbulkan masalah hukum. Begitu pula pemahaman yang ditarik sejumlah pengkaji hermeneutika hukum seperti B. Arief Sidharta. Guru Besar Universitas Padjadjaran Bandung ini telah menghadap sang Khalik pada 24 November 2015 lalu, tetapi namanya dikenang sebagai seorang akademisi Indonesia yang mengawali kajian tentang hermeneutika hukum di Tanah Air. Dapat disebut bahwa tulisan tentang hermeneutika dalam ilmu hukum belum banyak. Tulisan Arief, yang menjadi bagian dari disertasinya, termasuk yang paling awal, termasuk tulisan Ruslan Saleh, “Pandangan Hukum Hermeneutis”. Mengutip Hans George Gadamer (1965), Arief Sidharta memaparkan ilmu hukum ada sebuah eksemplar hermeneutik in optima forma, yang diaplikasikan pada aspek hukum kehidupan bermasyarakat. “Hermeneutika itu suatu aliran kefilsafatan,” kata Muhammad Ilham Hermawan kepada hukumonline. Hermeneutika itu adalah rumah besar pembacaan teks atau hal tertentu yang di dalamnya banyak aliran pemikiran. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Pancasila itu tertarik menggunakan hermeneutika dalam penulisan disertasinya setelah mendengarkan kuliah Arief Sidharta. Ia menjelaskan hermeneutika penting bagi ilmu hukum sebagai tendensi lawan terhadap suatu fondasi berpikir yang telah mapan dan menghegemoni semua pemikiran. Minimal, hermeneutika hadir sebagai tendensi lawan atas kegelisahan hegemoni positivisme. Hermeneutika berbeda dari penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum. “Pemikiran hermeneutik itu tidak tunggal seperti penafsiran dalam ilmu hukum,” jelasnya. “Itu beyond interpretasi,” sambungnya. Ilham adalah generasi penerus di bawah Prof. B Arief Sidharta yang menekuni hermeneutika hukum. Bisa disebut literatur tentang hermeneutika hukum belum banyak dibandingkan kajian tentang keadilan, misalnya. Tetapi semakin banyak kajian hermeneutik yang dapat ditelusuri. Untuk melihat bagaimana penafsir menggunakan hermeneutika, maka harus dilihat aliran mana yang dipilih.



2. Saudara mahasiswa, anda bebas menentukan asumsi-asumsi apa saja yang semestinya melekat, diberikan dan ada di dalam konteks contoh kasus peristiwa yang diberikan dalam Soal ini. Sehingga anda-pun dapat berinterpretasi secara



relevan faktor-faktor apa saja yang semestinya masuk dalam analisis kasusnya tersebut. Masih kerkait dengan soal kasus di atas, anda diminta menganalisa dengan menggunakan penafsiran literal hukum ( Max 500 kata). Jawab: Penyalahgunaan wewenang dianggap sama dengan unsur melawan hukum. Seperti kita ketahui bahwa Unsur "melawan hukum" merupakan "genus"nya, sedangkan unsur "penyalahgunaan wewenang" adalah "species" nya. "Penyalahgunaan wewenang" subjek deliknya adalah pegawai negeri atau pejabat publik, berbeda dengan unsur "melawan hukum" subjek deliknya setiap orang. Dalam konsep hukum administrasi, setiap pemberian wewenang kepada suatu badan atau kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan maksud“ diberikannya wewenang itu, sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai dengan “tujuan dan maksud“ diberikannya wewenang itu. Dalam hal penggunaan wewenang tersebut tidak sesuai dengan “tujuan dan maksud“ pemberian wewenang itu maka telah melakukan penyalahgunaan wewenang (“détournement de pouvoir”). Parameter “tujuan dan maksud“ pemberian wewenang dalam menentukan terjadinya penyalahgunaan wewenang dikenal dengan asas spesialitas (specialialiteitsbeginsel). Asas ini dikembangkan oleh Mariette Kobussen dalam bukunya yang berjudul De Vrijheid Van De Overheid. Secara substansial specialialiteitsbeginsel mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Dalam kepustakaan hukum administrasi sudah lama dikenal asas zuiverheid van oogmerk (ketajaman arah atau tujuan). Menyimpang dari asas ini akan melahirkan “détournement de pouvoir”. Penyalahgunaan wewenang dalam terdiri dari: 1. Diskresi Philipus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan pemahaman tentang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan cara melihat ruang lingkupnya. Kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi: (a) kewenangan untuk memutus sendiri, (b) kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar atau vage normen (Philipus M. Hadjon, 2004:6). Pendapat Indriyanto Seno Adji yang mengutip dari W. Konijnenbelt menyatakan bahwa untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan parameter sebagai berikut: (a) unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif. (b) Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atau zorgvuldigheid ini diterapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya (Indriyanto Seno Adji, 2009:75-76). Parameter penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat menggunakan peraturan perundang-undangan (written rules), atau menggunakan parameter asas legalitas; sedangkan pada kewenangan bebas (diskresi) parameter penyalahgunaan wewenang menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas “wetmatigheid” tidaklah memadai.



2. Cacat Prosedur Di dalam hukum administrasi asas legalitas/keabsahan (legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup 3 (tiga) aspek yaitu: wewenang, prosedur dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya. Di dalam praktik peradilan sering dipertukarkan/dicampur adukan antara penyalahgunaan wewenang dengan cacat prosedur yang seolah-olah cacat prosedur itu in haeren dengan penyalahgunaan wewenang (Nur Basuki Minarno, 2009:82-85). Terbuktinya penyalahgunaan wewenang membawa implikasi yang lebih luas dibandingkan dengan adanya cacat prosedur, yaitu di samping berakibat pada pencabutan ketetapan (beschikking) bisa berimplikasi pidana jika dengan penyalahgunaan wewenang menimbulkan kerugian negara. Unsur delik ”Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan, atau Sarana yang Ada Padanya Karena Kedudukan/Jabatannya”. Détournement de pouvoir atau a bus de droit dalam kepustakaan hukum administrasi diterjemahkan dengan penyalahgunaan wewenang, oleh karenanya dalam penulisan ini istilah yang dipergunakan adalah penyalahgunaan wewenang, sedangkan dalam UUPTPK mempergunakan istilah menyalahgunakan kewenangan. Sebenarnya antara istilah penyalahgunaan wewenang dengan menyalahgunakan wewenang tidak ada perbedaan pengertian. 3. Saudara mahasiswa, anda bebas menentukan asumsi-asumsi apa saja yang semestinya melekat, diberikan dan ada di dalam konteks contoh kasus peristiwa yang diberikan dalam Soal ini. Sehingga anda-pun dapat berinterpretasi secara relevan faktor-faktor apa saja yang semestinya masuk dalam analisis kasusnya tersebut. Sehubungan dengan jawaban anda pada soal No. 1 dan No. 2 di atas, berikan argumen anda tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ratio decidendi anda sebagai ahli hukum/hakim yang harus diperhatikan ( Max 500 kata) Jawab: Pertimbangan hakim atau ratio decidendi atau legal reasoning menurut Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya Penelitian Hukum (hal. 119), adalah argumen atau alasan yang digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar memutus perkara. Pertimbangan hukum biasanya ditemukan pada konsideran “menimbang” atau “pokok perkara”. Ratio decidendi dapat ditemukan dengan memperhatikan fakta materiil dan putusan didasarkan atas fakta materil tersebut. Dengan demikian, dari suatu fakta materiil dapat terjadi dua kemungkinan putusan yang saling berlawanan. Yang menentukan adalah ratio decidendi atau alasan-alasan hukum yang dipertimbangkan dalam putusan tersebut. Menurut Goodheart yang dikutip oleh Ian McLeod dalam bukunya Legal Method (Palgrave Macmillan Law Masters), (hal. 144), ratio decidendi dapat ditemukan dengan melakukan interpretasi dan memperhatikan fakta materiil.[2] Judicial interpretation atau penafsiran oleh hakim menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar (hal. 57-61), berfungsi sebagai



metode perubahan terhadap suatu aturan hukum. Lebih lanjut Sudikno mengemukakan bahwa terdapat beberapa metode penemuan hukum melalui penafsiran oleh hakim, yaitu interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis, interpretasi historis, interpretasi teleologis atau sosiologis.[3] Metode penafsiran hukum pun sangat beragam sehingga setiap hakim berhak untuk melakukan penafsiran terhadap suatu aturan (konstitusi), sehingga hal ini menimbulkan adanya peluang pendapat hakim yang saling bertentangan dalam menafsirkan suatu aturan hukum terhadap suatu perkara. Pada umumnya, fungsi ratio decidendi atau legal reasoning menurut Abraham Amos H.F dalam bukunya Legal Opinion Teoritis & Empirisme (hal. 34) adalah sebagai sarana mempresentasikan pokok-pokok pemikiran tentang problematika konflik hukum antara seseorang dengan orang lain atau antara masyarakat dengan dengan pemerintah terhadap kasus-kasus yang menjadi kontroversi atau kontraproduktif untuk menjadi replika dan duplika percontohan, terutama menyangkut baik dan buruknya sistem penerapan dan penegakan hukum, sikap tindak aparatur hukum dan lembaga peradilan.



Maruar Siahaan yang dikutip oleh Abraham Amos H.F dalam bukunya Legal Opinion Teoritis & Empirisme (hal. 205), menjelaskan bahwa terdapat dua hal yang menjadi bagian dalam pertimbangan hukum. Pertama, bagian yang disebut dengan ratio decidendi yang merupakan bagian pertimbangan sebagai dasar atau alasan yang menentukan untuk diambilnya suatu putusan yang dirumuskan dalam amar putusan. Bagian pertimbangan ini tidak dapat dipisahkan dari amar putusan dan mempunyai kekuatan mengikat secara hukum yang dapat dirumuskan sebagai kaidah hukum. Berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan suatu perkara tertentu, Mahkamah mempertimbangkan berbagai aspek yang salah satunya yaitu pendapatpendapat hukum para hakim konstitusi sehingga pertimbangan tersebut tidak dapat dikesampingkan. Kedua, bagian yang disebut dengan orbiter dicta, yaitu merupakan serangkaian pendapat hukum yang tidak berkenaan langsung perkara maupun dengan amar putusan dan tidak mengikat. Menurut Miftahul Huda dalam Majalah Konstitusi No. 48 Januari 2011, ratio decidendi merupakan dasar hukum suatu putusan dijatuhkan. Ratio decidendi secara hukum mengikat pengadilan yang lebih rendah melalui doktrin “stare decisis”, tidak seperti obiter dicta, seperti komentar yang dibentuk sehubungan dengan kasus yang mungkin relevan atau menarik, tetapi tidak menarik dari keputusan hukum. Lebih lanjut dijelaskan oleh Miftahul Huda ratio decidendi dapat dikatakan mengikat untuk masa depan. Semua pernyataan lain tentang hukum dalam pendapat pengadilan, semua pernyataan yang tidak membentuk bagian dari putusan pengadilan pada isu-isu yang benar-benar memutuskan dalam kasus tertentu (apakah mereka adalah pernyataan yang benar dari hukum atau tidak) disebut dengan obiter dicta. Masih menurut Miftahul Huda, dissenting opinion juga termasuk obiter dicta. Namun, dalam perkembangannya yang semula merupakan obiter dicta dalam perkara lain atau di kemudian hari dapat menjadi ratio decidendi.