Tugas 1 Interpretasi Dan Penalaran Hukum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas 1 Interpretasi dan Penalaran Hukum I Kadek Dodi Riawan Saputra 041841588



Soal Kasus:  Sesat Pikir Melawan Berpikir Benar dalam Aplikasi Hermenautika Sebagian sarjana hukum itu menafsirkan tulisan hukumnya adalah dilakukan secara metodologis, sembari melengkapinya dengan landasan filosofisnya dengan merujuk pada hermeneutika “hukumnya Hans-Georg Gadamer” (Gadamer, Hans-Georg. 2004). Namun Hermeneutika Hans-Georg Gadamer ini adalah hermeneutika filosofis yang dapat diaplikasikan dalam bidang hukum, teologi dan filologi. Sehingga, hermeneutika ini bekerjanya bersifat umum dalam tataran ontologis. Padahal pemahaman yang demikian ini bukan merupakan ranah utama dalam ilmu hukum, karena penafsiran dalam ilmu hukum itu lebih berkarakter epistemologis atau sebut saja metodologis, yang dianggap keliru oleh pandangan Gadamer itu. Pandangan yang hanya ontologis ataupun epistemologis bisa secara potensial membuat sesat pikir mengenai pemanfaatan hermeneutika hukum.



Hans George Gadamer (1965) menyebutkan bahwa ilmu hukum satu lembaran  hermeneutik yang diaplikasikan pada aspek hukum di kehidupan bermasyarakat. Hermeneutika adalah aliran kefilsafatan dalam pemahaman teks atau hal tertentu. Diawali mitos Yunani hermeneutika (Hermes) adalah menjembatani kesenjangan antara “bahasa dewa dengan bahasa manusia” yaitu “hermeneuin” yaitu menafsirkan atau menginterpretasikan. Dalam perjalanan waktu faham hermeneutic membuahkan banyak aliran dan metodologi.



Saat ini penggunaan hermeneutika begitu luas dan sering dipergunakan, yang menunujukkan urgensinya untuk dibutuhkan . Di Indonesia para ahli hukum maupun para pihak di dunia peradilan, meraka makin melihat urgensi penggunaan metode hermeneutika yang filosofis daripada menafsirkan teks gramatikal untuk memahami hukum. Problema hukum begitu kompleks, penafsiran hukum merupakan bagian



problematika yang selalu hadir di dunia peradilan ataupun kajian positivisme hukum, yang harus diselesaikan dengan benar dan baik berdasarkan asas-asas legalitas dan legitimasi secara bersamaan. Karena penafsiran yang memenuhi unsur-unsur ‘legalitas’ belum tentu memenuhi unsur-unsur ‘legitimasi’. Demikian pula sebaliknya kecukupan penafsiran yang mencukupi unsur-unsur ‘legitimasi’ belum tentu memenuhi unsurunsur ‘legalitas’.



Pertanyaan Saudara mahasiswa, anda bebas menentukan asumsi-asumsi apa saja yang semestinya melekat, diberikan dan ada di dalam konteks contoh kasus peristiwa yang diberikan dalam Soal ini.  Sehingga anda-pun dapat berinterpretasi secara relevan faktor-faktor apa saja yang semestinya masuk dalam analisis kasusnya tersebut.



SOAL 1. Nilai 35 SOAL 2 Nilai Lakukan analisa 35 alasan pemanfaatan hermeneutika berdasarkan urgensinya sebagai Hubungkan metode interpretasi dalam satu hukum mata dalam rantai konteks perkembangan koherensi aliran interpretasi hermeneutika hukum dalam dengan dunia ciri khas penggunaan peradilan dan kajian metodologi positivisme ilmu hukum. hukumnya (Maxsesuai 500 kata) periode waktunya (Max 500 kata).



SOAL 3 Nilai 30 Simpulkan arti dan makna hermeneutika hukum dengan menggunakan kata-kata kunci dari berbagai berbagai aliran dan definisi yang dikenal ( Max 500 kata).



JAWABAN :



1.



Sebuah hukum, yang berbentuk teks yang jelas dan tegas, tidak dimaksudkan untuk dipahami sebagai sebuah teks sejarah semata. Hukum adalah produk sejarah yang harus diaplikasikan pada peristiwa sekarang dengan jalan interpretasi hakim. Dengan demikian, naskah hukum harus bisa dipahami dalam setiap kesempatan, setiap keadaan, dengan cara yang baru dan berbeda. Dalam hal ini, proses pemaknaan teks hukum dan usaha penerapannya dalam kasus tertentu bukanlah dua hal yang berbeda, melainkan sebuah kesatuan proses.



Dalam memahami teks hukum, ada perbedaan tugas (tujuan) yang hendak dicapai oleh hakim dan ahli sejarah hukum. Hakim memahami makna hukum dari perspektif kasus masa kini dan demi kepentingan saat sekarang. Sementara itu, ahli sejarah hukum tidak memiliki kasus tertentu sebagai pijakan, melainkan berusaha memahami makna hukum dengan cara membangun keseluruhan kerangka aplikasinya. Dalam usaha pemahaman itu, ahli sejarah harus memediasi antara penerapan awal dan penerapan sekarang dari teks hukum. Dengan kata lain, tugas ahli sejarah adalah “merekonstruksi makna asli dari peraturan hukum” sementara tugas hakim adalah “harmonisasi makna tersebut dengan situasi dan kondisi saat sekarang”.



Dalam tataran praktis, hermeneutika penting dalam ilmu hukum karena interpretasi terhadap teks-teks hukum adalah keniscayaan untuk mendapatkan makna yang dikehendaki si pembuat hukum (the law maker). Makna tersebut terkadang jelas tersurat, tetapi tidak jarang hanya tersirat. Selain itu, hermeneutika hukum juga mendukung teori penemuan hukum dalam rangka membantu hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara yang tidak secara jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan. Penemuan hukum pada dasarnya termasuk dalam proses penciptaan dan pembentukan hukum.



Menurut Gadamer ada empat faktor yang memiliki peranan penting dalam proses interpretasi, yaitu : a. Bildung (Latin: formatio, Inggris: form, formation) yang berarti bentuk atau jalan pikiran yang mengalir secara harmonis. Dalam proses penafsiran, latar belakang seseorang akan menentukan hasil penafsiran yang dia peroleh. b. Sensus Cummunis, berarti pertimbangan praktis yang baik. Pemahaman tentang sebuah konsep sangat diperlukan untuk hidup bermasyarakat. Sensus cummunis diperlukan oleh sejarawan untuk memahami arus yang mendasari pola sikap manusia. c. Pertimbangan (judgement), terkait dengan penggolongan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan yang universal. d. Taste, berhubungan dengan sikap subyektif yang melibatkan rasa.



Keempat aspek tersebut menurut Gadamer, penting dalam kajian tentang ilmu-ilmu tentang manusia (sosial dan humaniora). Gadamer mengkritisi perkembangan ilmu sosial dan humaniora yang terlalu mengekor pada ilmu alam. Akibatnya, ilmu sosial dan humaniora cenderung berusaha untuk membuat persamaan, keterlangsungan, dan juga kesesuaian dengan aturan sehingga memungkinkan untuk meramalkan fenomena dan proses-proses individu. Akan tetapi metode semacam ini membuat ilmu sejarah tidak bisa dikategorikan sebagai “ilmu/ science” dalam pengertian apapun. Penelitian sejarah tidak akan mampu untuk menghasilkan fenomena yang kongkret sebagai hasil aturan yang universal. Kasus-kasus individu idealnya dipahami dalam keunikan dan fakta sejarahnya.



Seorang hakim, harus memahami makna normatif dari teks hukum yang akan diterapkan dalam kasus-kasus tertentu. Dalam hal ini sejarah yang melingkupi penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut penting dipelajari oleh hakim agar dapat dipahami makna asal yang dikehendaki oleh undang-undang. Akan tetapi hakim tidak bisa berhenti hanya sampai di situ saja. Kasus yang terjadi di masyarakat sekarang ini tidak sama dengan kasus yang terjadi dan dihadapi oleh para pembuat hukum pada masanya. Oleh karena itu, hakim perlu untuk mempertimbangkan perubahan kondisi untuk selanjutnya merumuskan makna normatif baru atas teks hukum tersebut. (Hans-George Gadamer, 1989:323) Dengan demikian konsep hermeneutika hukum merupakan contoh nyata konsep bahwa semua teks memiliki makna tertentu.



2.



Sebagai istilah ilmiah, Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak munculnya buku dasar-dasar logika, Peri Hermeneias karya Aristoteles. Sejak saat itu pula konsep logika dan penggunaan rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis. Konsep



ini



terbawa



pada



tradisi



beberapa agama ketika



memasuki abad



pertengahan (medieval age). Hermeneutika diartikan sebagai tindakan memahami pesan yang disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya secara rasional. Dalam tradisi Kristen,



sejak



abad



tradisi paripatetik menggunakan



3 konsep



menginterpretasikan Alkitab. Sedangkan



M, Gereja yang



kental



dengan



tawaran



Aristoteles



ini



dalam



tradisi filsafat



untuk Islam,



ulama kalam menggunakan istilah Takwil sebagai ganti dari hermeneutika, untuk menjelaskan ayat-ayat Mutasyabbihat.



Ketika Eropa memasuki masa pencerahan (rennaisance), dari akhir abad 18 M sampai awal 19 M, kajian-kajian hermeneutika yang dilakukan pada abad pertengahan dinilai tidak berbeda sama sekali dengan upaya para ahli Filologi Klasik. Empat tingkatan interpretasi yang berkembang pada abad pertengahan, yaitu, literal eksegesis, allegoris eksegesis, tropologikal eksegegis, dan eskatologis eksegesis, direduksi menjadi Literal dan gramatikal eksegesis. Pemahaman ini diawali oleh seorang ahli Filologi bernama Ernesti pada tahun 1761, dan terus dikembangkan oleh Friedrich August Wolf dan Friedrich Ast.



Hermeneutika kemudian keluar dari disiplin filologi bahkan melampaui maksud dari



empat



tingkatan



interpretasi



abad



pertengahan



ketika Schleiermacher menyatakan bahwa proses interpretasi jauh lebih umum dari sekadar mencari makna dari sebuah teks. Ia kemudian menjadikan hermeneutika sebuah disiplin filsafat yang baru. Hal tersebut disetujui dan dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey di ujung abad 19 M. Ia memadukan konsep sejarah dan filsafat serta menjauhi dogma metafisika untuk melahirkan pemahaman yang baru terhadap Hermeneutika. Ia kemudian memahami bahwa proses hermeneutika adalah sesuatu yang menyejarah, sehingga harus terus-menerus berproses di setiap generasi. Walaupun melahirkan pemahaman yang tumpang-tindih, hubungan keilmuan yang dinamis akan sangat berperan untuk menyatukan kembali pemahaman dalam sudut pandang yang bersifat obyektif.



Abad



20



M,



ditandai



barat, fenomenologi lahir



sebagai



hermeneutika. Adalah Martin Hermeneutis



sebagai



merupakan



era post-modern dalam



paham



Heidegger, proses



baru



yang



yang



merambah



mengatakan



pengungkapan



sejarah filsafat



jati



bahwa diri



dunia proses dan



permasalahan eksistensi manusia yang sesungguhnya. Usahanya mendapat respon postif dari Hans-Georg Gadamer yang kemudian memadukan Hermeneutika Heidegger dengan konsep estetika. Keduanya sama-sama sepakat bahwa Yang-



Ada berusaha menunjukkan dirinya sendiri melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia, terutama bahasa.



Hermeneutika di akhir abad 20 M mengalami pembaharuan pembahasan ketika Paul



Ricoeur memperkenalkan



teorinya.



Ia



kembali



mendefinisikan



Hermeneutika sebagai cara menginterpretasi teks, hanya saja, cara cakupan teks lebih luas dari yang dimaksudkan oleh para cendikiawan abad pertengahan maupun modern dan sedikit lebih sempit jika dibandingkan dengan yang dimaksudkan oleh Heidegger. Teks yang dikaji dalam hermeneutik Ricoeur bisa berupa teks baku sebagaimana umumnya, bisa berupa simbol, maupun mitos. Tujuannya sangat sederhana, yaitu memahami realitas yang sesungguhnya di balik keberadaan teks tersebut.



3.



Hermeneutika adalah



salah



satu



jenis filsafat yang



mempelajari



tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuein yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani yang



bertugas



sebagai



pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus. Fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasiltidaknya misi itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan. Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.