Tugas Interpretasi Dan Penalaran Hukum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NAMA : I PUTU SURYA LESMAN NIM : 041836095 INTERPRETASI DAN PENALARAN HUKUM 1. Penafsiran literal ini Hakim memaknai suatu ketentuan dalam peraturan berdasarkan pada makna kata, kalimat, dan tata bahasa dalam pengertian sehari-hari. Hal ini karena pada dasarnya melakukan penafsiran adalah memberi arti pada kata, kalimat, dan tata bahasa suatu rumusan ketentuan tersebut. 1 Penafsiran literal dalam contoh kasus tersebut, hakim menafsirkan tentang penyalahgunaan wewenang berdasarkan kata, tata bahasa sehari-hari sehingga penyalahgunaan wewenang berdasarkan penafsiran literal sebagai berikut: 2 Dalam KBBI, Penyalahgunaan dapat diartikan proses, cara, perbuatan menyalahgunakan; penyelewengan; menyalahgunakan sesuatu yang tidak sebagaimana mestinya; menyelewengkan: orang yang suka mementingkan kepentingan pribadinya cenderung untuk kekuasaan miliknya. Wewenang dalam KBBI artinya: hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan; kekuasaan untuk membut keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain; hak fungsi yang boleh tidak dilaksanakan. Sedangkan berdasarkan penafsiran doktrin, tolak ukur penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat menggunakan peraturan perundang-undangan (written rules), atau menggunakan parameter asas legalitas; sedangkan pada kewenangan bebas (diskresi) parameter penyalahgunaan wewenang menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas “wetmatigheid” tidaklah memadai. Sejalan dengan doktrin ini, meskipun suatu kebijakan terjadi suatu penyimpangan, baik yang dinamakan detournement de pouvoir (penyalahgunaan wewenang) dan abus de droit (sewenangwenang), maka penilaian terhadap penyimpangan harus dalam ranah hukum administrasi, baik dilakukan koreksi oleh penerbit kebijakan, atasan maupun oleh Peratun, bukan hukum pidana yang melakukan judgement-nya. Oleh karena itu, dalam soal kebijakan kiranya aspek pidana atau kriminalisasi baru dapat dilakukan apabila ternyata dalam pengambilan keputusan atau kebijakan itu ditemukan tindakan yang merupakan ranah hukum pidana, misalnya ditemukan adanya penyuapan, pemalsuan, dan lain-lain. 2. Dalam penafsiran literatur hukum, pengertian penyalahgunaan wewenang (excess of power atau excès de pouvoir) secara sederhana dapat diartikan sebagai tindakan yang melebihi batas-batas kewenangannya (unlawful act) sehingga akibat hukumnya menjadi tidak sah (illegal), sama seperti keputusan/tindakan yang dilakukan tanpa dasar kewenanganun (authorized). Administrasi pemerintahan yang bertindak tanpa dasar kewenangan secara mutatis mutandis akan bertentangan dengan peraturan perundangundangan, sebab sesuai asas legalitas, setiap keputusan/tindakan administrasi pemerintahan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. 3



1



https://setkab.go.id/bagaimana-menafsir-peraturan/, diakses pada tanggal 2 Desember 2021 https://kbbi.web.id, diakses pada tanggal 2 Desember 2021. 3 Mohammad Sahlan, Unsur Menyalahgunakan Kewenangan dalam Tindak Pidana Korupsi sebagai Kompetensi Absolut Peradilan Administrasi, Jurnal IUS QUIA IUSTUM No. 2 Vol.23 April 2016. , 2



Secara yuridis, penyalahgunaan wewenang ini dalam UU Administrasi Pemerintahan dinyatakan terjadi ketika “badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan/atau bertindak sewenang-wenang.” Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan melampaui wewenang ketika keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan dengan a). melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang; b). melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau c). bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” Sedangkan keputusan dan/atau tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan wewenang apabila dilakukan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan.”23 Terakhir Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dinyatakan sewenangwenang manakala keputusan dan/atau tindakannya dilakukan tanpa dasar kewenangan dan/atau bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Pada dasarnya, UU Administrasi Pemerintahan tidak menjelaskan definisi, pengertian, maupun konsep penyalahgunaan wewenang. Pasal 17 UU Administrasi Pemerintahan hanya mengatur tentang larangan penyalahgunaan wewenang dan tiga spesies larangan penyalahgunaan wewenang, yang meliputi larangan melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang, yang secara konseptual dan teoritis menurut ahli Hukum Administrasi Negara dan praktisi Hukum Administrasi Negara (hakim PTUN) tidak tepat dan cenderung menyesatkan. Namun demikian, perluasan makna penyalahgunaan wewenang dalam UU Administrasi Pemerintahan dan perdebatan yang menyertainya tidak boleh menghalangi keberlakuan norma penyalahgunaan wewenang dalam undang-undang dimaksud, karena sebagai undang-undang yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang yaitu legislatif, maka sesuai dengan asas legalitas undang-undang tersebut mengikat secara umum dan harus dilaksanakan serta tidak dapat disimpangi sebelum di cabut atau dibatalkan oleh lembaga Negara yang berwenang. 4 3. Format dari ratio decidendi di dalam putusan hakim itu dinyatakan dalam suatu proposisi hukum. Proposisi dalam konteks ini adalah premis yang memuat pertimbangan hakim. Proposisi ini dapat diungkapkan secara eksplisit atau implisit. Hal ini mengingatkan kita pada definisi lain tentang ratio decidendi dari Sir Rupert Cross dalam buku ‘Precedent in English Law’ (editor J.W. Harris, 1991) yang menyatakan, “Any rule expressly or impliedly treated by the judge as a necessary step in reaching his conclusion”(Setiap aturan yang tersurat atau tersirat yang diterapkan oleh hakim sebagai langkah yang perlu dalam mencapai kesimpulan). Kata “rule” (aturan) di sini mohon dibaca dalam perspektif sistem common law di Inggris, sehingga bukan semata aturan perundang-undangan, tetapi lebih sebagai proposisi hukum buah dari pertimbangan rasional sang hakim. Dalam sistem common law, putusan hakim terdahulu merupakan sumber hukum utama yang mutlak untuk dicermati tatkala kita menghadapi suatu perkara serupa. Kata ‘serupa’ di sini menunjukkan adanya kesamaan dari karakteristik fakta-fakta yang terjadi di antara perkara-perkara tersebut. Fakta ini merupakan yang menjadi faktor yang mempengaruhi ratio decidendi putusan hakim. Fakta-fakta di sini harus merupakan fakta-fakta 4



Ibid



material (the material facts), yang memang dipakai sebagai basis oleh hakim saat ia membangun pertimbangan-pertimbangannya menuju pada kesimpulan.5 Dalam sistem hukum Indonesia yang tidak mengenal asas preseden yang mengikat, maka hakim-hakimnya sangat perlu untuk lebih cermat dalam memilih dan memilah putusanputusan terdahulu, yang notabene telah diklaim sebagai yurisprudensi. Mereka perlu mencari ratio decidendi dari suatu putusan hakim yang berlabel yurisprudensi itu, dengan menelaah fakta material yang terjadi pada perkara terdahulu dan membandingkannya dengan fakta dari kasus yang tengah dihadapinya. mereka tidak disarankan untuk langsung mengutip kaidah yurisprudensi tanpa terlebih dulu memahami fakta-fakta material ini. Jika itu dilakukan, berarti mereka sudah masuk ke dimensi preskriptif tanpa melewati dimensi deskriptif dari putusan tersebut. Dan, patut juga diperhatikan bahwa kaidah yurisprudensi pada hakikatnya adalah kaidah penemuan hukum. Tidak layak suatu putusan disebut sebagai yurisprudensi apabila di dalamnya tidak dapat dilacak adanya penemuan hukum, baik yang memberi tafsir baru (melalui interpretasi di luar tafsir gramatikal) atau menetapkan norma baru (melalui konstruksi), yang berbeda dengan ketentuan dari berbagai sumber hukum yang sudah berlaku saat ini. 6



5



https://birokratmenulis.org/dilematisnya-unsur-penyalahgunaan-wewenang-antara-persektif-administrasi-danpidana/, diakses pada tanggal 2 Desember 2021. 6 https://business-law.binus.ac.id/2019/03/04/ratio-decidendi-dan-kaidah-yurisprudensi/ , diakses pada tanggal 2 Desember 2021.