Tugas 3 - Interpretasi Dan Penalaran Hukum HKUM4401 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas III Soal Kasus: Detournement de pouvoir Manakala seorang hakim diberi tugas mengadili dan menyelesaikan suatu masalah hukum, maka ia acapkali melakukan kegiatan interpretasi. Bagaimanapun, hakim berkewajiban secara moral memahami fakta yang terjadi dan masalah hukum yang timbul dari peristiwa. Lalu, ia menerapkan hukum yang benar terhadap kasus tersebut. Jadi, seorang hakim bukan hanya berusaha memahami dan menginterpretasi teks yuridis, tetapi juga interpretasi terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum. Konsep ‘penyalahgunaan wewenang’ merupakan konsep hukum yang tepat dijadikan bahan analisis, sehingga tergambarkan peran penting para pemangku kepentingan hukum dalam menggunakan hermeneutika. Detournement de pouvoir (bahasa Perancis), dimuat dalam Pasal 53 ayat (2) hurub b UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Konsep menyalahgunakan wewenang ini diatur pula dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga dimuat dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan kemudian juga menyinggungnya. Lantas, apakah berbeda istilah ‘penyalahgunaan wewenang’ dan ‘penyalahgunaan kewenangan’ yang digunakan dalam perundang-undangan tersebut?. Cara pandang hermeneutika hukum melihat makna ‘penyalahgunaan wewenang’ tentu tidak sederhana karena bersifat multi-dimensional. Di sinilah peran hakim memahami dan menafsir teks perundang-undangan sekaligus menginterpretasi kenyataan yang menimbulkan masalah hukum. Dapat dimengerti bahwa hermeneutika penting bagi ilmu hukum sebagai tendensi lawan terhadap suatu fondasi berpikir yang telah mapan dan menghegemoni semua pemikiran. Minimal, hermeneutika hadir sebagai tendensi lawan atas kegelisahan hegemoni positivisme. Hermeneutika berbeda dari penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum. “Pemikiran hermeneutik itu tidak tunggal seperti penafsiran dalam ilmu hukum,” Saudara mahasiswa, anda bebas menentukan asumsi-asumsi apa saja yang semestinya melekat, diberikan dan ada di dalam konteks contoh kasus peristiwa yang diberikan dalam Soal ini. Sehingga anda-pun dapat berinterpretasi secara relevan faktor-faktor apa saja yang semestinya masuk dalam analisis kasusnya tersebut. Pertanyaan SOAL 1 NILAI 30 Anggap bahwa anda seorang ahli hukum/hakim yang perlu memperhatikan dalam memeriksa dan memutus perkara. Sehubungan dengan itu anda diminta menginterpretasikan persoalan hukum atas soal norma yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan seperti dalam soal kasus tersebut atas; namun anda diminta menggunakan penafsiran literal dan penafsiran doctrinal (Max 500 kata).



1



SOAL 2 NILAI 35 Masih kerkait dengan soal kasus di atas, anda diminta menganalisa dengan menggunakan penafsiran literal hukum ( Max 500 kata). SOAL 3 NILAI 35 Sehubungan dengan jawaban anda pada soal No. 1 dan No. 2 di atas, berikan argumen anda tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ratio decidendi anda sebagai ahli hukum/hakim yang harus diperhatikan ( Max 500 kata). Jawaban 1. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengemukakan, Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-Undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Penafsiran hukum atau interpretasi hukum merupakan suatu metode untuk mengetahui maksud atau makna dari suatu peraturan dalam perundang-undangan sehingga dapat memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat. Hakim berusaha untuk mengetahui makna suatu kata dalam peraturan perundangundangan. Menurutnya, seorang hakim wajib mencari tahu arti kata dalam UU dalam kamus atau pada ahli tata bahasa. Jika hakim belum menemukan makanannya, maka dia mencarinya dengan memperhatikan dan mempelajari susunan kalimat dan mencari hubungannya dengan peraturan-peraturan lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk menafsirkan suatu perundang-undangan hakim menggunakan pendekatan bahasa dalam memaknai suatu peraturan. Penafsiran hukum Literal/ leterlijk merupakan salah satu metode penafsiran hukum yang menekankan pada arti atau makna kata-kata yang tertulis (what does the word mean). Penafsiran doktrinal merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan cara memahami aturan undang-undang melalui sistem presiden atau melakukan praktik peradilan. James A. Holland dan Julian S. Webb mengemukakan bahwa common law is used to describe all those rules of law that have evolved through court cases (as opposed to those which have energed fron parliament). Menurut Bobbitt, metode penafsiran doktrinal ini banyak dipengaruhi oleh tradisi Common law yang digunakan sebagai pendekatannya. Manakala seorang hakim diberi tugas mengadili dan menyelesaikan suatu masalah hukum, maka ia acapkali melalukan kegiatan interprestasi. Bagaimanapun, hakim berkewajiban secara moral memahami fakta yang terjadi dan masalah hukum yang timbul dari peristiwa. Lalu, ia menerapkan hukum yang benar terhadap kasus tersebut. Jadi, seorang hakim bukan hanya berusaha memahami dan menginterpretasi teks yuridis, tetapi juga interpretasi terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum. Di sinilah peran hakim memahami dan menafsir teks perundang-undangan sekaligus menginterpretasi kenyataan yang menimbulkan masalah hukum. Begitu pula pemahaman yang ditarik sejumlah pengkaji hermeneutika hukum seperti B. Arief Sidharta. 2



Mengutip Hans George Gadamer (1965), Arief Sidharta memaparkan ilmu hukum ada sebuah eksemplar hermeneutik in optima forma, yang diaplikasikan pada aspek hukum kehidupan bermasyarakat. “Hermeneutika itu suatu aliran kefilsafatan,” kata Muhammad Ilham Hermawan kepada hukumonline. Hermeneutika itu adalah rumah besar pembacaan teks atau hal tertentu yang di dalamnya banyak aliran pemikiran. hermeneutika hadir sebagai tendensi lawan atas kegelisahan hegemoni positivisme. Hermeneutika berbeda dari penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum. Dalam bahasa Yunani, kata kerja hermeneuindiartikan sebagai ‘menafsirkan’, dan kata bendanya adalah hermeneia yang bermakna ‘interpretasi’. Dalam kamus hukum karya M. Marwan dan Jimmy P, hermeneutika diartikan sebagai semua hal yang diasumsikan memiliki makna sejauh yang diungkap dalam sarana komunikasi dan dapat dimengerti manusia. Pendekatan hermeneutis, tulis Soetandyo Wignjosoebroto (2002: 104), adalah pendekatan untuk memahami objek (produk perilaku manusia yang berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesamanya) dari sudut pelaku aksi-interaksi. Pendekatan hermeneutic berasumsi secara paradigmatik bahwa setiap bentuk dan produk perilaku antarmanusia, juga produk hukum, akan selalu ditentukan oleh interpretasi yang dibuat dan disepakati para pelaku yang terlibat dalam proses itu Ini menunjukkan bahwa penggunaan hermeneutika begitu luas dan semakin sering dipergunakan. Para ahli hukum di Indonesia, termasuk di dunia peradilan, juga makin familiar dengan metode hermeneutika yang lebih filosofis ketimbang menafsirkan teks gramatikal semata. Menafsirkan adalah aktivitas yang dekat dengan ilmu hukum. Dan, hermeneutika adalah jalan falsafati untuk memahami hukum.



Sumber:



Daryono, Triyanto dan Seno Wibowo Gunbira.2019.Interpretasi dan Penalaran Hukum.Tangerang Selatan:Universitas Terbuka. Hukumonline.com.2019.Hermeneutika Hukum, Jalan Filsafat memahami Teks-teks Hukum.https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d558d3f13f30/hermeneutikahukum--jalan-falsafati-memahami-teks-teks-hukum/?page=all.Diakses pada 12 Desember 2021. 2. Dalam aliran ortodoks Hukum seorang penafsir dalam hal ini Hakim harus lebih memfokuskan diri menafsirkan suatu peraturan pada makna Literal atau kata-katanya. Proses interpretasi literal sendiri dapat dibagi dalam beberapa tahap, yaitu: 1. Aturan terutama atau primer dalam penafsiran. Jika makna atau arti dalam suatu kata berhasil diketahui oleh hakim, maka hakim wajib memberlakukannya sesuai dengan maksud di pembuat peraturan. 2. Jika kata-kata dengan jelas bermakna: a. Ambigu, tidak jelas atau menyesatkan atau b. Jika kata yang ditafsir menghasilkan penafsiran yang tidak masuk akal c. Maka pengadilan dapat menyimpang dari arti harfiah untuk menghindari seperti absurd d. Hal ini dikenal sebagai interpretasi “aturan emas” 3. Kemudian pengadilan akan beralih ke alat bantu sekunder interpretasi untuk menemukan maksud dari legislatif, misalnya: a. Judul panjang undang-undang 3



b. Judul untuk bab dan bagian c. Teks dalam bahasa resmi lainnya d. Dll 4. Untuk membantu menginterpretasi maka dibutuhkan “alat bantu sekunder”, pengadilan akan memiliki alat “bantu tersier” untuk mengkontruksikan yang disebut dengan praduga hukum common law. Metode penafsiran hukum literal sangatlah populer dalam sistem legal tetapi dipengaruhi oleh hukum Inggris yang menganut common law sustem. Empat faktor menyebabkan adopsi pendekatan tekstual di Inggris: 1. Kesalahpahaman tentang pemisahan kekuasaan (Trias politica) dan kedaulatan parlemen mengakibatkan penerimaan gagasan bahwa fungsi pengadilan dibatasi dalam hal interpretasi dan penerapan dan harus sesuai dengan maksud si pembuatan peraturan yang tercantum dalam kata-kata di undang-undang 2. Doktrin positivisme hukum mempengaruhi pendektan literal di Inggris. a. Ide positivis didasarkan pada validitas ketetapan: bahwa ketetapan negara merupakan hukum b. Peran pengadilan dibatasi untuk analisis hukum seperti itu, tidak seperti seharusnya. c. Sebuah perbedaan yang tegas dibuat antara black letter law dan moralitas karena nilai penilaian oleh pengadilan akan mengarah pada panjastifikasian isu kebijakan publik 3. Inggris memiliki tradisi sistem hukum common law, dimana pengadilan tradisional memainkan peran yang sangat kreatif dalam berkenan dengan prinsipprinsip hukum umum. Perundang-undangan dipandang sebagai legislasi dipandang sebagai pengecualian terhadap aturan, mengubah hukum umum sesedikit mungkin 4. Undang-undang di rancang sedemikian mungkin untuk mencapai kepastian. Menurut UU Pemberantasan Tipikor di atas, tindakan menyalahgunakan wewenang dalam melakukan tindak pidana korupsi tidak harus selalu berupa dikeluarkannya keputusan yang bertentangan atau menyalahi suatu aturan. Cukup perbuatan itu melanggar aturan tertulis sebagai dasar kewenangannya, memiliki maksud yang menyimpang, dan berpotensi merugikan negara, maka perbuatan tersebut sudah dikatakan sebagai menyalahgunakan wewenang. Di samping itu, jika dilihat dari perspektif HAN, apabila tindakan yang ia lakukan itu melampaui batas kekuasaannya atau secara sewenang-wenang, maka tindakan tersebut juga dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang. pada Putusan MA ini juga dibahas soal pengertian Detournement de pouvoir. Menurut Prof. JeanRivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu: 1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan; 2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain; 3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana;



4



Sumber:



Daryono, Triyanto dan Seno Wibowo Gunbira.2019.Interpretasi dan Penalaran Hukum.Tangerang Selatan:Universitas Terbuka. Hukumonline.com.2015.Arti “Menyalahgunakan Wewenang” dalam Tindak Pudana Korupsi.https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt54fbbf142fc22/ arti- menyalahgunakan-wewenang-dalam-tindak-pidana-korupsi/.Diakses pada 12 Desember 2021 3. Rasio decidendi Istilah ini sangat dikenal dalam konteks sistem hukum common law. Secara harfiah istilah tersebut berarti “alasan untuk menjatuhkan putusan” (the reason for the decision). Ratio decidendi, menurut Michael Zander dalam bukunya ‘The Law Making Process’ (2004), dapat diartikan sebagai “A proposition of law which decides the case, in the light or in the context of the material facts ”(Suatu proposisi hukum yang memutuskan suatu kasus dilihat dari sudut atau dari konteks fakta-fakta material). Jadi, format dari ratio decidendi di dalam putusan hakim itu dinyatakan dalam suatu proposisi hukum. Proposisi dalam konteks ini adalah premis yang memuat pertimbangan hakim. Proposisi ini dapat diungkapkan secara eksplisit atau implisit. Hal ini mengingatkan kita pada definisi lain tentang ratio decidendi dari Sir Rupert Cross dalam buku ‘Precedent in English Law’ (editor J.W. Harris, 1991) yang menyatakan, “Any rule expressly or impliedly treated by the judge as a necessary step in reaching his conclusion” (Setiap aturan yang tersurat atau tersirat yang diterapkan oleh hakim sebagai langkah yang perlu dalam mencapai kesimpulan). Kata “rule” (aturan) di sini mohon dibaca dalam perspektif sistem common law di Inggris, sehingga bukan semata aturan perundang-undangan, tetapi lebih sebagai proposisi hukum buah dari pertimbangan rasional sang hakim. Dalam sistem common law, putusan hakim terdahulu merupakan sumber hukum utama yang mutlak untuk dicermati tatkala kita menghadapi suatu perkara serupa. Kata ‘serupa’ di sini menunjukkan adanya kesamaan dari karakteristik fakta-fakta yang terjadi di antara perkara-perkara tersebut. Fakta-fakta di sini harus merupakan fakta-fakta material (the material facts), yang memang dipakai sebagai basis oleh hakim saat ia membangun pertimbangan-pertimbangannya menuju pada kesimpulan. Jadi, ada bagian deskriptif dari ratio decidendi itu yang harus dilihat dan kemudian diperbandingkan antara perkara terdahulu dan perkara yang tengah dihadapi sekarang. Di Indonesia, istilah ratio decidendi memang tidak cukup populer digunakan. Biasanya kita memakai terminologi lain yang serupa dengan itu, yakni kaidah yurisprudensi. Apabila suatu putusan sudah diklaim atau diberi label sebagai yurisprudensi, maka harus ada kaidah yurisprudensi yang bisa ditarik dari putusan tersebut. Kaidah ini harus dapat diformulasikan sebagai proposisi dan di kemudian hari akan menjadi premis mayor saat hakim menerapkannya dalam pengambilan kesimpulan. Boleh jadi, proposisi yang dimaksud tidak benar-benar secara eksplisit tertuang di dalam putusan tadi, namun seperti apapun cara hakim mencantumkannya, proposisi ini tetap dapat diangkat dan diformulasikan kembali sebagai sebuah premis. Dalam sistem hukum Indonesia yang tidak mengenal asas preseden yang mengikat, maka hakim-hakimnya sangat perlu untuk lebih cermat dalam memilih dan memilah putusan-putusan terdahulu, yang notabene telah diklaim sebagai yurisprudensi. Mereka perlu mencari ratio decidendi dari suatu putusan hakim yang berlabel yurisprudensi itu, dengan menelaah fakta material yang terjadi pada perkara terdahulu



5



dan membandingkannya dengan fakta dari kasus yang tengah dihadapinya. mereka tidak disarankan untuk langsung mengutip kaidah yurisprudensi tanpa terlebih dulu memahami fakta-fakta material ini. Jika itu dilakukan, berarti mereka sudah masuk ke dimensi preskriptif tanpa melewati dimensi deskriptif dari putusan tersebut. Dan, patut juga diperhatikan bahwa kaidah yurisprudensi pada hakikatnya adalah kaidah penemuan hukum. Tidak layak suatu putusan disebut sebagai yurisprudensi apabila di dalamnya tidak dapat dilacak adanya penemuan hukum, baik yang memberi tafsir baru (melalui interpretasi di luar tafsir gramatikal) atau menetapkan norma baru (melalui konstruksi), yang berbeda dengan ketentuan dari berbagai sumber hukum yang sudah berlaku saat ini. Persoalan teknis yang dihadapi saat ini adalah hakim-hakim kita terkadang mengalami kesulitan untuk mengakses putusan terdahulu itu secara lengkap. Mereka hanya mendapati nomor putusannya dan sedikit potongan dari kaidah yurisprudensi itu. Inilah yang kemudian mereka kutip dan ditampilkan dalam putusannya. Potongan dari kaidah yurisprudensi itupun boleh jadi juga dikutip dari buku atau putusan hakim lain yang juga mengutipnya secara tidak lengkap. Bahkan, tidak mengherankan apabila nomor putusan terdahulu itupun ternyata diketik secara keliru. Ironisnya, tidak banyak pihak yang berminat untuk melacak akurasi dari kutipan-kutipan kaidah yurisprudensi tersebut dalam tumpukan putusan-putusan hakim di Indonesia dewasa ini. Sumber:



Binus.ac.id.2019.Ratio Decidendi dan Kaidah Yurisprudensi.https://businesslaw.binus.ac.id/2019/03/04/ratio-decidendi-dan-kaidah-yurisprudensi/.Diakses pada 12 Desember 2021



6