BUKU TOEMIN - Stratifikasi Sosial [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Melvin M. Tumin (ed.) Universitas Princeton



BACAAN TENTANG STRATIFIKASI SOSIAL



Terjemahan : DRS. ALIMANDAN, SU & DRS. NURHAMLIN, MS



Prentice – Hall, Inc. / Englewood Cliffs New Jersey 1970



Pengantar Kumpulan bacaan tentang stratifikasi sosial ini dimaksud untuk menemani bukuajar karyaku terdahulu, berjudul Stratifikasi Sosial (Prentice-Hall, Inc., 1967). Hampir seluruh artikel yang dihimpun di sini mengacu pada berbagai bagian dalam buku-ajar itu. Kumpulan bacaan ini memang dimaksud sebagai pengembangan dari buku-ajar itu. Batas-batas bidang studi “stratifikasi sosial” sudah tegas atau pasti. Ini karena fakta bahwa berbagai pakar berbeda konsepsi tentang apa yang sepantasnya dimasukkan ke dalam kajian stratifikasi sosial. Perbedaan konsepsi ini mulai dari versi minimum yang hampir semata memusatkan perhatian pada ketimpangan evaluasi atau tingkatan unit-unit sosial hingga versi maksimum yang memperhatikan ketimpangan kekuasaan, kekayaan dan kepuasan psikis sebagai dimensi stratifikasi yang sama pentingnya. Versi minimalis cenderung melihat perbedaan kekuasaan dan kekayaan terutama sebagai penyebab atau pembentuk evaluasi dan sebagai akibat evaluasi. Versi maksimalis cenderung melihat jaringan interaksi yang lebih bersifat timbal-balik antara berbagai jenis ketimpangan utama yang menandai semua masyarakat. Perbedaan pandangan inilah yang mencerminkan perbedaan versi tentang apa yang menjadi penyebab utama dan sekunder dalam struktur dan fungsi ketimpangan sosial. Aku sendiri (M. M. Tumin) lebih condong pada konsepsi maksimalis. Masalah utama yang dihadapi dalam meramu kumpulan bacaan ini adalah masalah memilih. Bahan yang menarik dan terpuji keilmiahannya berlimpah. Di samping itu tersedia pula sejumlah besar literatur fiksi, reportase dan karya filsafatsosial yang dapat dipilih. Tak diragukan lagi masih banyak bahan lain yang sama bernilainya yang dapat dihimpun, yang dapat membantu pembaca dalam meningkatkan pemahamannya. Peluang ini membuktikan betapa luasnya literatur yang tersedia dan harus dipilih baik diantara yang menonjolkan bahasannya tentang



ketimpangan sosial maupun yang menekankan pada teori sosial maupun yang menekankan pada teori ilmiah semata. Diringkasnya bacaan individual yang dihimpun di sini dan relatif sedikitnya jumlah bacaan yang dimasukkan, semata karena alasan biaya penerbit dan harga jual buku ini. Kita baru saja mulai membangun pemahaman sistematis tentang cara muncul, bentuk dan berfungsinya ketimpangan dalam masyarakat lama dan baru, prasejarah dan moderen. Bidang kajiannya baru saja mulai diakui bentuknya ; prioritas riset dan teorinya makin bertambah jelas karena kualitas materialnya terus bertambah baik. Dalam bacaan ini dan dalam buku-ajar terdahulu aku berupaya menjadi sensitif dalam memahami literatur stratifikasi sosial yang “lebih kuno” dan kumpulan bahan yang lebih baru yang mencerminkan kelihaian dan kekuasaan teori dan riset yang telah diikuti belakangan ini.



Melvin M. Tumin



Daftar Isi 1. Sejarah Pemikiran dan Teori Teori Kelas Marx oleh Ralf Dahrendorf Adakah Kelas Sosial di Amerika oleh W. Lloyd Warner, Marchia Meeker dan Kenneth Eells. Kelas, Status, Kekuasaan oleh Max Weber Ketimpangan dan Struktur Sosial oleh RH. Tawney 2. Proses Dasar Analisis Kekuatan Sosial oleh Robert Bierstedt Pekerjaan dan Stratifikasi Sosial oleh Paul K. Hatt Tingkat Ketaksesuaian Status dan Pengaruhnya oleh Andrzej Malewski 3. Variasi dalam Sistem Strattifikasi Sosial dalam Masyarakat Industri oleh John H. Goldthorpe Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat “Tanpa Kelas” oleh Eva Rosenfeld Pandangan Orang Puertoriko Tentang Kelas Sosial oleh Melvin M. Tumin dan Arnold Feldman. 4. Peluang Hidup Kecenderungan Fertilitas Kelas oleh Dennis H. Wrong Ketakstabilan dan Kepuasan Perkawinan : Analisis Kelas Lintas-Kultural Angka Perceraian oleh William J. Goode Perbedaan Angka Kematian Menurut Kelas Sosial dan Pekerjaan oleh I. M. Moriyama dan L. Guralnick 5. Gaya Hidup Kelas dan Kebahagiaan oleh Alex Inkeles. Sistem Nilai Kelas Berlainan : Kontribusi Psikologi Sosial Terhadap Analisis Stratifikasi oleh Herbert H. Hyman. Kelas Sosial dan Sosialisasi Melalui Ruang dan Waktu oleh Urie Bronfenbrenner 6. Metode Studi Stratifikasi Sosial oleh W. Lloyd Warner Makna Variabel Kelas Sosial oleh Thomas E. Lasswell



Evaluasi Kritis Terhadap Karya Warner Tentang Stratifikasi Komunitas oleh Harold



W. Pfautz dan Otis Dudley Duncan.



Kelompok Rujukan dan Orientasi Kelas oleh Melvin M. Tumin dan Arnold Feldman. 7. Mobilitas I : Pola dan Struktur Mobilitas yang Disponsori dan yang Diperjuangkan dan Sistem Sekolah oleh Ralph H. Turner. Variasi Dalam Negeri : Stratifikasi Pekerjaan dan Mobilitas oleh Thomas Fox dan SM. Miller Keluarga dan Mobilitas oleh William J. Goode. 8. Mobilitas II : Reaksi terhadap Evaluasi Akibat yang Tak Dihargai dari Mobilitas Sosial dalam Masyarakat Massa oleh Melvin M. Tumin Anomia dan Perbedaan Akses dalam Mencapai Tujuan Hidup oleh Dorothy L. Meier dan Wendell Bell. Inventarisasi Psikodinamis Kepribadian Negro oleh A. Kardiner dan L. Ovesey 9. Teori Beberapa Prinsip Stratifikasi oleh Kingsley Davis dan Wilbert E. Moore. Beberapa Prinsip Stratifikasi : Analisis Kritis oleh Melvin M. Tumin. Jawaban oleh Kingsley Davis Komentar oleh Wilbert E. Moore Jawaban Untuk Kingsley Davis oleh Melvin M. Tumin Tetapi Sebagian Lebih Setara Ketimbang yang Lain oleh Wilbert E. Moore Ketimpangan oleh Melvin M. Tumin Balasan oleh Wilbert E. Moore Teori Stratifikasi Fungsionalis : Dua Dekade Kontroversi oleh George A. Huaco Ketidaksesuaian dan Perselisihan dalam Evaluasi oleh Melvin M. Tumin dan Arnold Feldman. Teori Mobilitas Sosial oleh Seymour Martin Lipset dan H. L. Zetterberg.



Bab 1



SEJARAH PEMIKIRAN DAN TEORI



Meski masalah ketimpangan sosial telah menarik perhatian filosof sosial dan politik serta mahasiswa yang menstudi masyarakat sejak ribuan tahun yang lalu, kiranya benar bahwa bentuk pemikiran paling moderen tentang ketimpangan sosial sangat dipengaruhi oleh Karl Marx, ekonom, filosof dan teoritisi Jerman abad 19. Marx memusatkan perhatian pada sumber ketimpangan dan ia menemukan sumbernya terutama terletak pada perbedaan posisi yang diduduki manusia didalam pola produksi. Orang yang memiliki alat produksi –apakah tanah atau kapital – menggunakan posisi mereka yang menguntungkan itu untuk menghimpun bagian hasil produksi yang tak seimbang dan dalam proses selanjutnya mereka merampas bagian anggota kelas buruh yang memproduksi barang dan jasa. Eksploitasi kelas buruh oleh kelas pemilik kapital menurut Marx adalah tema sentral dalam struktur ketimpangan. Orang mungkin mengira bahwa Das Kapital akan mengangkat tema ini menjadi fokus pengembangan logika analisis masyarakat kapitalis. Tetapi naskah Das Kapital Marx hanya terputus hingga di sini dan ia rupanya ingin beralih untuk menganalisis struktur kelas kapitalis. Dahrendorf berupaya membayangkan cara membaca bab tentang “Teori Kelas” Marx yang terputus itu. Dengan menggabungkan berbagai kutipan dari tulisan lain Marx dengan versinya sendiri tentang apa yang mungkin hendak dikatakan Marx, Dahrendorf memberikan kita versi lengkap pemikiran Marx tentang kelas. Kelas, kesadaran kelas, konflik kelas adalah esensi organisasi sosial, ketimpangan sosial dan gerakan sejarah sosial. Pada dasarnya perbedaan obyektif posisi dalam pola produksi dan perbedaan kepentingan yang muncul dari posisi yang berbeda itu menentukan agregasi, organisasi dan konflik sosial.



1



Weber adalah sosiolog Jerman abad 20 yang banyak jasanya dalam membentuk pemikiran sosiologi moderen. Banyak sosiolog kini yang memperlagakan gagasan Weber tentang kelas dan ketimpangan sosial dengan gagasan kelas dan ketimpangan sosial versi Marx seolah-olah kedua pandangan itu berada dalam konflik fundamental. Kenyatannya sebenarnya tak demikian. Weber banyak kesamaan pandangannya dengan Marx bahwa pengendalian atas kekayaan produktif memberikan pengendalian penting atas kehidupan masyarakat dan membentuk pemikiran dan tindakan orang yang melaksanakan pengendalian itu. Namun Weber memperluas pemikiran Marx (karena Marx mungkin enggan mengembangkannya sendiri berdasarkan pengaruh pemikiran Weber) dengan mengingatkan bahwa kesamaan posisi obyektif dalam pola produksi semata belum cukup menjadi landasan atau basis yang menyebabkan orang saling mengenali satu sama lain atau untuk membentuk kehidupan kelompok dengan tujuan bersama. Menurut Weber adalah penting bahwa orang harus merasakan adanya kepentingan bersama mereka. Hanya dengan perasaan demikian ada kemungkinan mereka akan membentuk kelompok kepentingan bersama, betapapun “secara obyektif” kepentingan mereka mungkin sama. Jadi menurut Weber masih ada basis selain basis ekonomi yang mendorong orang untuk membentuk kelompok atau untuk saling mengenali satu sama lain. “Kehormatan” menurut Weber menjadi faktor dominan. Hasrat untuk mendapatkan kehormatan sosial mendorong orang membentuk perilaku dan “gaya hidup” mereka pada umumnya dalam upaya menuntut penghormatan diri dari orang lain. Kehormatan berasal dari, atau dapat dijelaskan dari sudut atau dapat ditentukan oleh “status”. Dan “status” dapat ditetapkan sebagai posisi seseorang pada tangga penilaian harga sosial seseorang. Dalam penilaian ini, barang sesuatu seperti uang, latar belakang keluarga, fungsi sosial dan pertimbangan ekonomi dan non ekonomi lain mungkin berperan penting. Seperti sering terjadi, pemikiran orang besar yang serius, sistematis dan hati-hati sering berbeda bentuknya ketika diterima oleh muridnya kemudian. Inilah yang terjadi dalam teori W.Lloyd Warner yang mencoba mengembangkan gagasan tentang 2



persyaratan universal stratifikasi, membayangkan ketimpangan “tingkatan sosial” diluar dari dua gagasan Weber : (1) pentingnya kehormatan , dan (2) persyaratan perbedaan kekuasaan dalam memimpin organisasi sosial yang melibatkan banyak orang. Bagaimanapun Warner mungkin memutar-balikan pemikiran Weber namun ia telah menjadi salah seorang penulis paling berpengaruh dibidang studi stratifikasi sosial Amerika dan seri tulisannya berjudul the Yankee City benar-benar menjadi karya empiris awal paling penting dibidang studi stratifikasi. Karena itu rangkuman pemikiran Warner tentang apa yang dimaksud dengan kelas sosial di Amerika disajikan di sini mengingat peran pentingnya di bidang studi ini. Richard Towney, teoritisi ketimpangan abad 20 paling cerdas dan mengesahkan sayangnya telah tak menarik perhatian belakangan ini. Akibatnya karyanya jarang dibaca mahasiswa akhir-akhir ini. Sebagai contoh keluwesan gaya tulisan dan pemikirannya pilihan dari karya Tawney tentang ketimpangan telah dimasukkan kedalam buku ini. Tawney memadukan banyak pemikiran Marx dan Weber dalam analisisnya tentang dasar ketimpangan sosial dan ekonomi. Ia mengungkapkan caracara kekuasaan dihasilkan oleh pengendalian alat produksi dan symbol status dan dikelola dengan cerdik oleh orang yang memilikinya untuk melestarikan posisi mereka yang menguntungkan dan untuk merasionalkan posisi mereka dilihat dari sudut keperluan, kesejahteraan dan produktivitas sosial. Belum pernah ada orang yang membuat analisis tentang dasar ketimpangan struktur sosial masyarakat Inggeris lebih jelas dari pada yang dibuat Tawney. Karyanya adalah sisa yang menyegarkan dari ketentraman yang menyebabkan kita cenderung menerima situasi status quo sebagai sesuatu yang biasa dan bagaimana kita dapat tersesat dalam menganalisis masyarakat bila kita tidak mencari sumber mendasar kemunculan fenomena sosial mutakhir.



3



Teori Kelas Marx Oleh : Ralf Dahrendorf.



Telah banyak terjadi percekcokan keras tentang interpretasi karya Marx tetapi tak ada seorang tukang ulas pun yang meragukan pentingnya teori kelas dalam karya Marx. Kemegahan dan kehancuran karyanya tampak dalam teori kelas Marx. Marx menggabungkan tiga dasar pemikiran dalam teori kelasnya. Istilah kelas diambilnya dari pemikiran ekonom-politik Inggeris awal; penerapannya terhadap “kapitalis” dan “Proletariat” berasal dari pemikir sosialis “Utopia” Perancis; konsepsi perjuangan kelas didasarkan atas dialektika Hegel. Teori kelas menyediakan hubungan problematis antara analisis sosiologi dan spikulasi pilosofis dalam karya Marx. Keduanya dapat dipisahkan dan harus dipisahkan tetapi dalam proses ini teori kelas dibagi dua. Teori kelas sangat penting bagi pilsafat-sejarah Marx dan bagi analisisnya tentang dinamika masyarakat kapitalis. Marx menganggap teori kelas sedemikian penting sehingga ia menunda penjelasan sistematisnya berulang-kali agar dapat disempurnakan melalui analisis empiris. Akibatnya kita hanya mengetahui teori kelas Marx itu melalui penerapannya terhadap masalah konkrit dan melalui generalisasi berkala yang terjadi diseluruh karya Marx. Ini bukanlah menjadi penyebab paling kecil munculnya berbagai kontroversi tentang makna konsep dan teori kelas Marx yang sebenarnya. Analisis Geiger (2) dan Bendix dan Lipset (1) akhir-akhir ini sajalah yang mengakhiri perdebatan itu sekurang-kurangnya dalam sosiologi “Barat”. Dengan menyajikan penafsiranku



tentang



pendekatan



Marx



ini



bukanlah



dimaksudkan



untuk



menghidupkan kembali api kontroversi itu. Bahasan tentang konsep dan teori kelas dalam karya Marx berikut ini, meski bahannya berasal dari Geiger atau Bendix dan Lipset, dimaksud untuk melengkapi karya mereka dan menambahkan substansi atas



4



penelitian yang berhutang budi pada Marx bahkan dalam kritikan paling radikal sekalipun terhadap karyanya. Marx menunda penyajian sistematis teori kelasnya hingga kematian merenggut pena dari tangannya. Ironisnya telah sering dicatat bahwa bab terakhir (bab 52) dari volume terakhir (ketiga) das Kapital yang berjudul “Kelas-Kelas” tidak selesai. Setelah ditulis sedikit lebih dari sehalaman, naskahnya berakhir dengan ungkapan pendek editornya, Engels : “Hingga di sini manuskrip terputus”. Namun bagi pembaca karya Marx yang cermat, ini bukan alasan untuk berputus-asa. Bila ia mau, ia dapat melengkapkan bab karya Marx yang terputus itu. Tentu saja takkan persis sama dengan yang seharusnya ditulis Marx dan juga bukan tanpa interpretasi tetapi tanpa menambah secara substansial atas apa yang telah dikatakan Marx sendiri. Di seksi berikut, aku akan mencoba berbuat demikian. Dengan menata secara sestematis sejumlah kutipan dan menghubungkannya dengan naskah yang berkaitan secara logis aku akan berupaya menyediakan basis dan titik rujukan diskusi kritis tanpa mendahului interpretasi manapun.



“Masyarakat Tanpa Kelas : Bab 52 Vol. III Das Kapital Yang Tak Tertulis.” Masalah Tujuan akhir karya ini adalah untuk mengungkapkan hukum-hukum ekonomi perkembangan masyarakat moderen (12,I: 7f). Karena itu kami tak hanya memusatkan perhatian pada kondisi yang ada tetapi ingin menerangkan aspek revolusionernya. Akan ditunjukkan bahwa mode produksi kapitalis sangat membatasi kekuatan produksi yang dimilikinya sendiri. Revolusi sudah dekat. Tetapi revolusi ini bukanlah produk kekuatan ekonomi produksi atau hubungan produksi melainkan produk rakyat dan kelompok yang mencerminkan struktur ekonomi ini. Kekuatan 5



terbesar produksi diantara semua instrumen produksi ini adalah kelas revolusioner itu sendiri (6:188). Hampir selama 40 tahun kami telah menekankan perjuangan kelas sebagai motif utama kekuatan sejarah terutama perjuangan kelas antara borjuasi dan proletariat sebagai tenaga pengungkit besar perubahan sosial moderen (II: 102). Begitu peradaban dimulai, produksi pun mulai didasarkan atas antagonisme antara kerja langsung dan kerja yang diakumulasikan. Tanpa konflik takkan ada kemajuan: inilah hukum yang diikuti peradaban hingga kini. Hingga kini kekuatan produksi berkembang berkat dominannya konflik kelas (6:80). Selama ini selalu dianggap bahwa perubahan dalam hubungan kelas adalah perubahan sejarah (5,II:475). Jadi kita harus menentukan secara umum apakah kelas sosial itu dan bagaimana konflik kelas muncul dan menyatakan dirinya sendiri. Dalam penelitian tentang konflik kelas ini umumnya selalu diasumsikan bahwa kondisi nyata berkaitan dengan konsepsinya atau kondisi nyata hanya muncul sejauh konflik kelas itu menyatakan tipe umum yang dimilikinya sendiri (12,VI: 121). Karena itu kita takkan melukiskan konflik kelas masyarakat tertentu tetapi akan menemukan hukum-hukum umum yang menentukan kecenderungan perkembangan sosial. Bila kita mengamati negara tertentu dari sudut pandang ekonomi politik, kita mesti memulai dari penduduknya, distribusinya menjadi kelas-kelas sosial, daratan, lautan, perbedaan perkembangan industri, ekspor dan impor, produksi dan konsumsi tahunan, harga komoditi dan seterusnya (7:256). Namun metode ini menimbulkan kesukaran. Metoda seperti itu menyebabkan kita tersasar bila dalam abstraksi kita tak menemukan cara untuk sampai ke premis nyata dan konkrit. Konsep populasi adalah sebuah abstraksi yang terdiri dari kelas-kelas. Kelas-kelas ini menjadi kata kosong bila kita tak mengetahui unsur-unsur yang melandasinya misalnya buruh-upahan, pemilik kapital dan sebagainya (7:256). Jadi



pertanyaan pertama kita adalah



mengenai unsur-unsur yang melandasi kelas sosial. Dan karena masyarakat borjuasi moderen menjadi sasaran perhatian utama kita (7:237) maka kini kita gunakan sebagai contoh. 6



Pemilik tenaga kerja, pemilik kapital dan pemilik tanah yang sumber pendapatannya secara berurutan adalah upah, keuntungan dan sewa- dengan demikan buruh-upahan, kapitalis dan pemilik tanah _merupakan tiga kelas besar masyarakat moderen berdasarkan atas cara produksi kapitalis. Di Inggeris masyarakat moderen telah mengalami kemajuan paling pesat tetapi struktur ekonominya paling klasik. Namun di Inggeris struktur kelas ini tak lagi tampak dalam bentuk aslinya. Tingkat menengah dan transisi melenyapkan garis batas kelas yang ada seperti yang terjadi di tempat lain (meski kurang nyata di pedesaan ketimbang di perkotaan). Tetapi hal ini tak menjadi soal bagi penelitian kita. Telah ditunjukkan bahwa ada kecenderungan terus-menerus dalam hukum perkembangan cara produksi kapitalis untuk makin memisahkan alat produksi dari tenaga kerja dan untuk makin lama makin mengkonsentrasikan alat produksi yang terpisahkan itu di tangan kelompok –kelompok besar. Dengan kata lain, ada kecenderungan cara produksi kapitalis untuk merubah tenaga kerja menjadi tenaga kerja upahan, dan merubah alat produksi menjadi kapital. Pada waktu bersamaan pemilikan tanah cenderung dipisahkan dari kapital dan tenaga kerja dan merubahnya menjadi tipe pemilikan tanah yang sesuai dengan cara produksi kapitalis. Pertanyaan yang akan dijawab selanjutnya adalah : Apakah kelas sosial itu ? dan jawabannya secara langsung dihasilkan dari jawaban pertanyaan lain: Apakah yang menyebabkan tenaga kerja upahan, kapitalis dan pemilik tanah menjadi kekuatan utama ketiga kelas sosial besar itu ? (12,III: 421f).



Dua kesalahan Pendekatan. Kesalahan pertama adalah menyamakan pendapatan dan sumbernya. Ada tiga kelompok sosial besar yang komponennya dalam arti orang yang membentuknya mendapatkan nafkahnya melalui upah, keuntungan dan sewa yakni dengan memanfaatkan tenaga kerja, kapital dan pemilikan tanah mereka. Tetapi dilihat dari sudut pendangan ini, katakanlah dokter dan pegawai negeri misalnya juga akan



7



menjadi dua kelas karena mereka termasuk dua kelompok sosial yang berbeda yang pendapatan anggotanya berasal dari sumber yang sama. Hal yang sama juga berlaku bagi fragmentasi kepentingan dan posisi yang tak terbatas yang menghasilkan pembagian kerja dikalangan buruh seperti dikalangan kapitalis dan pemilik tanah (dikalangan pemilik tanah misalnya akan terbagi menjadi pemilik kebun anggur, pemilik sawah, pemilik hutan, pemilik tambang, pemilik tempat memancing) (12,III:422) Karena itu pendekatan ini tak mengarah kepada definisi yang berguna. Hal yang sama berlaku pula bagi pendekatan kedua yang sering dipakai dalam menerangkan perbedaan kelas dan konflik. Fikiran kasar “merubah perbedaan kelas menjadi perbedaan ukuran dompet dan merubah konflik kelas menjadi percekcokan perdagangan”. Perbedaan ukuran dompet benar-benar perbedaan kuantitatif, berdasarkan perbedaan ukuran dompet ini dua individu yang sama kelasnya dapat dipertentangkan secara sewenang-wenang. Sudah sangat terkenal bahwa Gilda di abad pertengahan cekcok satu sama lain karena perdagangan. Tetapi sama sangat terkenalnya bahwa perbedaan kelas moderenpun berdasarkan perdagangan. Rupanya pembagian kerja telah menciptakan jenis pekerjaan yang sangat berbeda di dalam kelas yang sama (5,II:466f). Masalah esensial yang terabaikan dalam kedua kasus di atas adalah: kekayaan, pendapatan dan sumber pendapatan itu sendiri sebenarnya adalah hasil dari struktur kelas dalam arti hasil dari struktur



kondisi ekonomi. Pendapatan dan kekayaan



adalah kriteria yang termasuk kedalam bidang distribusi dan konsumsi. Namun penggunaan produk ditentukan oleh hubungan sosial konsumen dan hubungan sosial itu sendiri berdasarkan konflik kelas (6:81). Karena distribusi itu sendiri adalah produk dari produksi, maka jenis partisipasi dalam proses produksi menentukan pola distribusi, menentukan cara orang berpartisipasi dalam distribusi (7:250). Bukanlah kekayaan yang menyebabkan hubungan dominasi dan penundukan yang berlaku dalam produksi dan politik dan dalam hubungan yang jauh lebih konkrit (7:258).



8



Karena itu kita harus meneliti unsur-unsur kelas dalam proses produksi dan dalam hubungan kekuasaan yang ditentukannya.



Kekayaan dan Kekuatan Ekonomi. Kondisi esensial yang menentukan cara produksi suatu zaman dan yang menyediakan unsur pokok kelas sosial maupun momentum perubahan sosial adalah kekayaan. Persoalan kekayaan dalam kaitannya dengan tahap perkembangan industri yang berbeda, selalu menjadi persoalan hidup kelas sosial tertentu. (5:459). Namun pernyataan di atas membuka peluang munculnya kesalahan interpretasi. Karena pertentangan antara ketiadaan kekayaan dan kekayaan adalah persoalan biasa saja dan tidak menyatakan suatu hubungan aktif dengan struktur bagian dalamnya dalam arti sebagai suatu kontradiksi, sepanjang tidak difahami sebagai pertentangan antara tenaga kerja dan kapital. (3:176). Bahkan dalam spesifikasi ini, kekayaan masih merupakan sebuah abstraksi atau sebuah konsep kosong. Dalam setiap periode sejarah, kekayaan telah berkembang secara berbeda dan di bawah kondisi sosial yang berbeda pula. Untuk merumuskan kekayaan berjuasi berarti harus melukiskan seluruh kondisi sosial produksi borjuasi. Upaya untuk merumuskan kekayaan sebagai sebuah



hubungan bebas, sebuah



kategori khusus, sebuah gagasan abstrak dan abadi tak lebih dari sebuah ilusi metapisika atau yurisprudensi (6:169). Hanya jika kita memahami kekayaan dalam kontek khusus masyarakat borjuasi yakni sebagai pemilikan pribadi alat produksi, sebagai pengendalian kekayaan masyarakat oleh segolongan kecil, barulah kita dapat memahami inti antagonisme yang ada dalam produksi dan yang menciptakan konflik kelas. Kekuatan masyarakat dengan demikian menjadi kekuatan pribadi orang secara perorangan (12, I:138) Kondisi esensial keberadaan dan dominasi kelas borjuasi adalah akumulasi kekayaan di tangan orang perorangan, pembentukan dan penumpukan kapital; kondisi



9



kapital adalah tenaga kerja upahan (14: 8) dengan demikian, keberadaan kapital maupun tenaga kerja upahan, keberadaan borjuasi maupun proletariat dapat dijelaskan menurut kondisi bentuk khusus kekayaan dalam masyarakat borjuasi yakni pemilikan alat produksi. Hubungan kekuasaan dalam produksi yang ditentukan oleh ada atau tak adanya kekayaan efektif, yang ditentukan oleh pengendalian atas alat produksi, jelas bukan merupakan hubungan kelas itu sendiri. Untuk menentukan hubungan kelas ini kita harus meneliti akibat yang muncul dari hubungan produksi dan memahami antagonisme sosial berdasarkan akibat hubungan produksi itu.



Hubungan Produksi, Situasi Kelas dan Kekuatan Politik. Akibat penting hubungan produksi telah dikemukakan. Pembagian kekayaan dibidang distribusi berkaitan dengan pembagian kekayaan di bidang produksi. Dengan demikian, kondisi material atau situasi kelas seseorang berdasarkan atas posisinya dalam produksi. Kondisi ekonomilah yang merubah massa rakyat menjadi buruh. Hukum kapitallah yang telah menciptakan situasi bersama massa rakyat ini (6 : 187). Orang pun dapat menyatakan : sejauh jutaan keluarga hidup berdasarkan kondisi ekonomi yang memisahkan cara hidup mereka, kepentingan mereka dan pendidikan mereka dari orang yang berasal dari kelas lain dan bertentangan dengan kelas lain itu maka jutaan keluarga itu merupakan sebuah kelas (8 : 104). Tetapi kondisi ekonomi yang ada itu saja belum cukup untuk membentuk sebuah kelas. Itu baru merupakan kelas pasif dan meski kondisi ekonomi telah menciptakan jurang pemisah antara situasi kehidupan buruh dan kapitalis (12, I :548) perbedaan kondisi ekonomi itu saja belum dapat menciptakan antagonisme yang nyata. Sejauh yang ada hanya kontak eksternal belaka antara orang yang sama kondisi materialnya atau situasi kehidupannya, sejauh identitas kepentingan mereka belum menciptakan sebuah komunitas, asosiasi nasional dan organisasi politik, maka orang yang berada dalam kondisi material yang sama itu belum merupakan sebuah kelas. Karena itu



10



kelompok yang berada dalam situasi bersama demikian belum akan mampu membuat kepentingan kelas mereka didengar di Parlemen (8 : 104). Kedua dan akibat lebih penting dari distribusi kekayaan dalam bidang produksi adalah bahwa distribusi kekayaan itu menentukan distribusi kekuasaan politik dalam masyarakat. Hubungan produksi moderen meliputi kekuasaan ekonomi pemilik kekayaan pribadi, yakni kapitalis. Kekuasaan politik kelas borjuis muncul dari hubungan produksi moderen ini (5 :455). Dapat dikatakan, negara moderen tak lain sebuah asosiasi yang menyelenggarakan bisnis bersama keseluruhan kelas borjuasi (14 :83). Hubungan kekuasaan dalam produksi menentukan hubungan kekuasaan dalam masyarakat pada umumnya. Dalam bentuk ekonomi khusus dimana surplus tenaga kerja yang tak dibayar disingkirkan, produsen menentukan hubungan dominasi dan penundukan yang muncul secara langsung dan selanjutnya menentukan produksi. Hubungan produksi menentukan seluruh struktur komunitas dan dengan demikian pada waktu bersamaan menentukan struktur politiknya. Didalam hubungan produksi inilah terdapat rahasia terakhir, basis tersembunyi keseluruhan bangunan masyarakat termasuk pola politik kedaulatan dan ketergantungan, singkatnya bentuk khusus pemerintahan (12,III: 324f). Ketiga, terakhir dan akibat distribusi kekayaan dalam produksi juga membentuk gagasan yang menentukan watak periode sejarah tertentu. Keseluruhan superstruktur sosial terutama sentimen, ilusi, cara berfikir dan konsepsi tentang kehidupan terbentuk berdasarkan perbedaan kekayaan dan kondisi sosial yang ada. Seluruh kelas menciptakan dan membentuk superstruktur sosial ini diluar landasan materialnya (8: 37). Karena itu dapat dikatakan bahwa gagasan yang menentukan dalam suatu zaman adalah selalu gagasan dari kelas yang berkuasa (14 :93). Di setiap zaman, pemikiran kelas yang berkuasa adalah sekaligus menjadi pemikiran yang menentukan. Artinya kelas yang menguasai kekuatan material masyarakat pada waktu bersamaan menguasai kekuatan intelektual masyarakat bersangkutan. Kelas yang mengendalikan 11



alat produksi material masyarakat pada waktu bersamaan mengendalikan cara produksi intelektual masyarakat itu. (13, II :37)



Kepentingan Kelas Hubungan kekayaan dan wewenang merupakan basis pembentukan kelas sosial. Tetapi kita belum lagi meneliti kekuatan yang mempengaruhi pembentukan kelas itu. Kelas tak muncul dalam keadaan terpisah, terlepas dari kelas lain yang akan ditentangnya. Individu hanya akan membentuk kelas sejauh mereka terlibat dalam perjuangan bersama melawan kelas lain (13,II :59) dan kekuatan yang mempengaruhi pembentukan kelas adalah kepentingan kelas. Dalam hal ini, kepentingan kelas mendahului pembentukan kelas. Demikianlah borjuasi Jerman sudah bertentangan dengan proletariat jauh sebelum mengorganisir dirinya sebagai sebuah kelas dibidang politik (5 :469). Di awal perkembangannya proletariat mempunyai kepentingan bersama tertentu namun masih merupakan massa yang belum terorganisir. Dengan demikian masa itu telah menjadi sebuah kelas yang bertentangan dengan kapitalis meski belum menjadi sebuah kelas bagi dirinya sendiri (6 :187). Dengan mempostulatkan kepentingan kelas sebagai mendahului kelas itu sendiri maka jelaslah bahwa kepentingan kelas bukan berarti kepentingan pribadi secara acak seseorang atau banyak orang sekalipun. Kita tak berurusan dengan apa yang dibayangkan seorang proletar atau keseluruhan proletariat sebagai tujuan mereka saat ini. Tujuannya dan tindakan historisnya jelas dan tak dapat disangkal, ditentukan oleh situasi kehidupan mereka yang ditentukan oleh keseluruhan organisasi masyarakat borjuasi kontemporer



(4 :207). Jadi kepentingan bersama sebuah kelas tak hanya



ada dalam imajinasi tetapi terutama sebagai sebuah realitas, sebagai saling ketergantungan individu dikalangan tenaga kerja yang dipecah-pecah (13,II:23). Dalam kehidupan perorangan, kita membedakan antara apa yang difikirkan dan dikatakan seseorang tentang dirinya sendiri dan apa yang sebenarnya ia fikirkan dan lakukan sehingga dalam perjuangan historis kita harus membedakan dengan lebih



12



hati-hati kata slogan dan fantasi partai dari organisme dan kepentingan nyata partai itu, harus dibedakan konsepsi dari realitas partai yang sebenarnya (8 :18). Kepentingan kelas sebagai kepentingan “obyektif” menggolongkan anggota kelas berdasarkan kekuatan umum yang tak hanya dapat berbeda dari kepentingan individual atau perorangan tetapi juga dapat bertentangan dengan kepentingan perorangan itu. Meski misalnya seluruh anggota borjuasi moderen mempunyai kepentingan yang sama lantaran mereka merupakan sebuah kelas yang berlawanan dengan kelas lain, namun mereka mempunyai kepentingan berlawanan segera setelah mereka berkonfrontasi satu sama lain (6 :160). Konflik kepentingan dikalangan kelas borjuasi ini bukan hanya sebuah kemungkinan belaka; konflik kepentingan ini muncul dari kondisi ekonomi kehidupan borjuasi itu sendiri (6 :140). Konflik antara kepentingan kapitalis secara individual dan kelas kapitalis menyebabkan dirinya sendiri merasa bahwa masalah yang dihadapi bukanlah masalah distribusi keuntungan melainkan



masalah



distribusi



kerugian,



sebagaimana



sebelum



kepentingan



menemukan wujud praktisnya melalui kompetisi (12, III : 235). Substansi kepentingan kelas sejauh berdasarkan posisi ekonomi kelompok tertentu dapat dinyatakan dalam berbagai cara – kepentingan utama proletariat adalah upah dan kepentingan utama borjuasi adalah keuntungan. Dalam hal ini sekali lagi kita harus membedakan kedua kategori besar itu dimana kepentingan borjuasi dibagi menjadi kepentingan pemilik tanah dan pemilik kapital (8 : 38). Semua kepentingan selanjutnya berasal dari bidang produksi ini. Karena masyarakat itu berkembang, kepentingan yang semula berbeda menjadi semakin menyatu. Tipe produksi makin lama makin spesifik dan hubungan produksi makin menentukan tingkatan dan pengaruh semua aktivitas lain (7 :264). Ini berarti bahwa kedua kepentingan khusus semula makin diartikulasikan menjadi kepentingan konservatif kelas berkuasa dan kepentingan revolusioner kelas tertindas. Dari seluruh kelas yang dihadapi borjuasi kini hanya proletariatlah yang benar-benar merupakan kelas revolusioner (14 : 88). Kelas yang memusatkan kepentingan revolusioner masyarakat, segera setelah bangun langsung menemukan kepuasan dan materi aktivitas revolusionernya di dalam situasi 13



dirinya sendiri. Musuh dimusnahkan, tindakan ditentukan oleh kebutuhan perjuangan yang akan dilakukan akibat perbuatannya sendiri berasal dari kebutuhan perjuangan (9:42). Berdasarkan kepentingan kelas ini, dalam berjuang mewujudkannya atau mempertahankannya, kelompok-kelompok yang ditentukan oleh distribusi kekayaan dalam produksi dan oleh distribusi kekuasaan politik yang berasal dari distribusi kekayaan itu mengorganisir diri mereka menjadi kelas-kelas sosial.



Organisasi dan Perjuangan Kelas Organisasi kelas mengikuti kemajuan konflik dalam bidang produksi itu sendiri. Meningkatnya bentrokan antara tenaga kerja individual dan borjuis individual dianggap sebagai tanda bentrokan antara kedua kelas. Buruh mulai membentuk koalisi menentang borjuasi; mereka bergabung untuk mempertahankan upah mereka (14:87). Tetapi upah yang tak meningkat itu hanyalah kepentingan prarevolusioner proletariat. Tahap pengorganisasian kelas ini dapat disamakan dengan fase awal perkembangan kapitalis. Sejauh kelas borjuasi belum sepenuhnya mengorganisir dirinya sendiri, oposisi dari kelas lain belum akan muncul dalam bentuk aslinya dan bila muncul dalam bentuk aslinya maka bahayanya yang tak terelakan akan merubah setiap perjuangan menentang pemerintah menjadi perjuangan menentang kapitalis (8 :54). Untuk memungkinkan pembentukan kelas, perkembangan kekuatan produksi harus jauh lebih maju karena organisasi unsur revolusioner sebagai kelas menghendaki adanya seluruh kekuatan produksi yang mampu berkembang dalam kandungan masyarakat lama (6:188). Pembentukan kelas selalu berarti pengorganisasian kepentingan bersama dibidang politik. Dalam hal ini perlu ditekankan : kelas adalah kelompok politik yang disatukan oleh kepentingan bersama. Perjuangan antara dua kelas adalah perjuangan politik (6:187). Karena itu kita berbicara tentang kelas hanya di bidang konflik politik. Dengan demikian setiap gerakan dimana kelas buruh menentang kelas



14



penguasa dan berupaya menghancurkan kekuasaannya dengan menekan dari luar adalah gerakan politik. Upaya untuk memperpendek jam kerja di sebuah pabrik dan dari seorang kapitalis melalui pemogokan misalnya adalah murni gerakan ekonomi; namun bila gerakan itu bertujuan memaksa DPR menetapkan jam kerja 8 jam sehari adalah gerakan politik. Gerakan politik seperti ini dimana-mana berkembang terlepas dari gerakan ekonomi buruh. Gerakan politik seperti ini adalah gerakan kelas untuk mewujudkan kepentingannya dalam bentuk yang memiliki kekuatan memaksa yang bersifat universal (10 : 90). Seiring dengan pertumbuhan organisasi politik kelas berkembang pula kesadaran kelas secara teoritis (12,I:13) yakni kesadaran dipihak individu tentang kepentingan kelasnya secara umum. Tujuan positif proletariat menjadi nyata dan dapat dirumuskan oleh teoritisinya. Selama proletariat belum mampu mengorganisir dirinya menjadi sebuah kelas, karenanya selama perjuangan proletariat melawan borjuasi belum berwatak politik, teoritisi kelas hanyalah menjadi seorang utopia yang menciptakan sistem untuk memuaskan kebutuhan kelas penindas (6 : 142). Jadi kelas adalah kekuatan politik berdasarkan atas hubungan kekayaan dan kekuasaan. Namun meski tiap individu dapat dikenali sebagai anggota satu kelas menurut kekayaan dan kekuasaan yang dimilikinya, ada kemungkinan bahwa tindakan seseorang tak selalu ditentukan oleh kelas dimana ia menjadi anggotanya. Tetapi kasus individual seperti ini tak relevan dengan perjuangan kelas yang dilakukan sebagian bangsawan yang menyeberang ke Negara Ketiga dalam revolusi Perancis 1789 (5:467). Sirkulasi atau pertukaran antara kelas-kelas ini (7:266) jelas terjadi dalam dua tahap pengorganisasian kelompok kepentingan menjadi kelas. Peristiwa seperti ini ditemukan pertama kali di AS. Di AS meski ada kelas sosial tetapi belum stabil karena unsur-unsurnya terus berpindah dan bertukar (8 :18). Pertukaran unsurnya ini terjadi ditahap awal pembentukan kelas ketika kelas penguasa masih memusatkan perhatian pada upaya mengkonsolidasikan kekuasaannya. Makin mampu kelas penguasa menyerap orang-orang terbaik dari kelas tertindas makin solid dan 15



berbahaya kekuasaannya (12,III:140). Tahap kedua dimana terjadi pertukaran antara anggota kelas, mendahului sebuah revolusi. Ketika perjuangan kelas mendekati keputusannya, proses disintegrasi di dalam tubuh kelas yang berkuasa dan di dalam keseluruhan masyarakat lama terjadi semacam kekerasan dan ciri-ciri yang mencolok dimana sebagian kecil anggota kelas yang berkuasa meninggalkan kelasnya dan bergabung dengan kelas revolusioner yang akan memegang kekuasaan dimasa depan. Sebagaimana dahulu sebagian bangsawan menyeberang ke borjuasi, kini sebagian borjuasi menyeberang ke proletariat khususnya idiolog borjuasi tertentu yang telah berhasil mencapai pemahaman teoritis tentang keseluruhan gerakan historis.(14 : 87f). Organisasi proletariat ini sebagai sebuah kelas dan sebagai sebuah partai politik (14 :87) akhirnya menyediakan landasan perjuaangan kelas. Setiap perjuangan kelas adalah perjuangan politik (14: 87). Perjuangan politik mengarikulasikan konflik antara dua kepentingan yang berlawanan yakni antara kepentingan yang hendak melestarikan dan yang hendak menjungkir-balikan hubungan kekuasaan dan pranata yang ada. Pembentukan kelas sebagai kelompok kepentingan terorganisir, antagonisme antara kelas yang menindas dan yang tertindas merupakan hukum perkembangan seluruh sejarah hingga kini. Kelas tertindas senantiasa ada dalam setiap masyarakat yang berdasarkan konflik kelas. Dengan demikian pembebasan kelas tertindas memerlukan penciptaan suatu masyarakat baru (6 :188). Sejarah seluruh masyarakat hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas (14: 81).



Masyarakat Tanpa Kelas. Dengan mengikuti hukum perkembangan historis ini proletariat mengorganisir diri dalam rahim masyarakat borjuasi dan memulai perjuangannya menentang borjuasi. Apakah ini berarti bahwa setelah kehancuran masyarakat lama akan muncul kelas penguasa baru di puncak kekausaan politik baru itu ? Tidak!



16



Syarat pembebasan kelas buruh adalah melenyapkan setiap kelas sebagaimana syarat pembebasan Negara Ketiga dalam arti pembentukan tatanan borjuasi adalah melenyapkan seluruh tingkatan sosial. Dalam perkembangan sejarah, kelas buruh akan menggantikan masayarakat borjuis lama dengan menyatukan kelas-kelas yang semula terpisah dan berkonflik dan takkan adalagi kekuasaan politik. Itulah yang menyebabkan konflik kelas dalam masyarakat borjuasi lama. Hingga kini konflik antara proletariat dan borjuasi adalah perjuangan satu kelas menentang kelas lain, perjuangan yang dalam pernyataan tertingginya berarti sebuah revolusi total. Adakah alasan yang mengherankan bahwa masyarakat yang berdasarkan konflik kelas akan menimbulkan penentangan brutal dan akhirnya akan menimbulkan bentrokan antar individual ? Tak seorangpun akan mengatakan bahwa masyarakat berkembang terlepas dari kekuasaan politik. Tak ada gerakan politik yang bukan merupakan gerakan sosial pada waktu bersamaan. Hanya dalam tatanan masyarakat yang tak ada kelas dan konflik kelaslah evolusi sosial tak lagi menjadi revolusi politik (6:188f).



Unsur Sosiologis Teori Kelas Marx. Sekiranya Marx sendiri yang menulis bab ini, niscaya akan lebih panjang, lebih mengundang polemik dan lebih dihubungkan dengan masyarakat di zamannya.1 Bagaimanapun, upaya menyajikan pendekatan Marx tentang teori konflik kelas yang sebagian besar dengan kata-kata Marx sendiri lebih dari sekedar sebuah permainan untuk menyenangkan orang belaka. Hasilnya dapat membantu sebagai landasan yang bermanfaat bagi penelitian yang lebih umum yang akan terbukti berguna bagi pemikiran kritis berikutnya. Unsur-unsur teori kelas Marx berikut ini akan sangat berguna bagi analisis sosiologi :



17



1. Perlu disadari apa yang disebut Geiger “Tujuan heuristik dibalik konsep kelas “(bab 46: ii). Dimanapun Marx menggunakan konsep kelas dalam artian sosiologis, ia tak bermaksud untuk melukiskan keadaan masyarakat yang ada. Ia justru lebih memusatkan perhatian untuk menganalisis hukum perkembangan sosial tertentu dan untuk menganalisis kekuatan yang terlibat dalam perkembangan sosial itu. Dengan menggunakan istilah sosiologi moderen yang menyesatkan, tujuan heuristik konsep kelas bagi Marx bukanlah “statis” tetapi “dinamis”, bukanlah “diskriptif” tetapi “analitis”. Apa yang dimaksud dan apa yang bukan dimaksud oleh istilah itu akan dibahas lebih rinci pada kesempatan berikutnya. Di sini cukup ditekankan bahwa bagi Marx teori kelas bukanlah sebuah teori yang mewakili keseluruhan masyarakat yang terikat pada waktu tertentu, khususnya bukanlah sebuah teori tentang stratifikasi sosial melainkan sebuah alat untuk menerangkan perubahan dalam masyarakat total. Dalam menguraikan dan menerapkan teori kelasnya, Marx tidak dibimbing oleh pertanyaan “ Bagaimana masyarakat tertentu memandang zaman tertentu?” tetapi dibimbing oleh pertanyaan “Bagaimana Struktur suatu masyarakat berubah ?” atau dengan kata-katanya sendiri “ Hukum (ekonomi) apa yang menggerakkan masyarakat moderen ?” 2. Tujuan heuristik ini menjelaskan model dua kelas yang melandasi teori dinamis Marx yang sering dikritik itu. Sekiranya Marx ingin melukiskan masyarakat dengan ketepatan fotografi maka penggunaan model dua kelas itu jelas sangat tak memuaskan. Adakalanya Marx menunjuk pada sejumlah kelas (tanpa selalu menggunakan konsep kelasnya secara jelas). Ia menunjuk pada “dua kategori besar yakni kelas proletariat dan borjuasi. Kelas borjuasi terbagi dua : kepentingan pemilik tanah dan kapital “ (8 :43) lalu ia menyebut pula borjuasi kecil sebagai sebuah “kelas transisi” (8:49) dan menunjuk pula pada kelas Petani kecil (8:118). Tetapi “kelas transisi ini pada dasarnya tak menjadi sasaran perhatian kita “(12,III;421). Borjuasi kecil dan petani kecil ini selain tak stabil, cepat atau lambat akan tertarik kedalam kelas borjuasi dan proletariat dan peran 18



historisnya sangat tak berarti dibandingkan dengan peran historis kedua kelas dominan dalam masyarakat kapitalis itu. Konsep kelas adalah sebuah kategori analisis. Seperti dikatakan Marx dalam ungkapan metodologisnya, “kondisi nyata hanya akan disajikan sejauh mengungkapkan tipe umumnya sendiri (12,III:121). Tipe umum kondisi nyata konflik yang menimbulkan perubahan adalah pertentangan antara dua kekuatan dominan yakni kelas borjuasi dan proletariat. Geiger telah memangkal keberatan yang tak pada tempatnya atas model dua kelas Marx dengan sangat meyakinkan sehingga bahasan lebih lanjut mengenai hal itu tak diperlukan lagi (2:37ff). Tetapi keabsahan anggapan untuk tujuan analisis bahwa hanya ada dua kelas yang berkonflik tak mesti membutakan kita terhadap fakta bahwa Marx telah menghubungkan model dua kelasnya itu dengan sejumlah postulat tambahan yang keabsahannya nampaknya lebih menimbulkan keraguan. Menurut Marx kategori kelas menegaskan satu sisi antagonisme yang memerlukan isu dominan tentang konflik dalam setiap masyarakat maupun arah perkembangannya. Menurut Marx ini berarti bahwa (a) tiap konflik yang mampu menggerakan perubahan struktural adalah konflik kelas, (b) kandungan konflik kelas selalu mencerminkan isu dominan konflik sosial, dan (c) dua kelas senantiasa berada dalam hubungan “tesis” dan “antitesis” Hegel dalam arti bahwa satu kelas ditandai oleh pemilikan keistimewaan yang sama sekali tak dimiliki oleh kelas lain. Postulat ini masih dapat diperdebatkan apakah pendekatan terakhir ini merekomendasikan dirinya sendiri dalam ilmu sosial atau tidak. Kedua postulat yang lain yang berkaitan dengan model dua kelas Marx merupakan generalisasi empiris yang kebenarannya masih harus dibuktikan. Model dua kelas Marx ini baru layak menjadi prinsip ilmu pengetahuan bila dibebaskan dari penjelasan tambahannya itu. 3. Marx telah mencoba menyatakan ketiga postulat di atas dibagian paling sukar dari teorinya yakni dibagian mengenai asal-usul kelas sosial. Kondisi struktural apa yang menyebabkan terbentuknya kelas sosial ? Untuk sederhananya aku (Ralf Dahrendorf) akan menjelaskan teori kelas Marx ini dengan merujuk pada analisis 19



Marx tentang masyarakat kapitalis karena pertanyaan yang tetap membimbangkan hingga kini apakah teori ini dapat diterapkan pada tipe masyarakat lain. Pernyataan Marx yang cukup jelas adalah bahwa konflik kelas bukan berasal dari perbedaan pendapatan atau perbedaan sumber pendapatan. Kelas Marx bukanlah kelas pajak seperti kategori penduduk yang dibuat di zaman Romawi. Faktor yang menentukan kelas sosial adalah “kekayaan’. Tetapi kekayaan bukan berarti kekayaan pasif murni melainkan kekayaan sebagai kekuatan efektif produksi, sebagai “pemilikan alat produksi” dan penolakannya terhadap yang lain. Dalam hal ini, “hubungan produksi” dalam arti hubungan kekuasaan yang dihasilkan dari distribusi kekayaan efektif dibidang produksi (industri) merupakan faktor menentukan pembentukan kelas yang mengembangkan konflik kelas. Kapitalis yang memiliki pabrik dan mesin, membeli satu-satunya kekayaan proletariat (tenaga kerja mereka) untuk menghasilkan nilai lebih dengan alat produksi dan memperbesar kapital mereka. Namun pertanyaan kita tak dapat dijawab seluruhnya dengan mudah. Peran kekayaan dalam teori kelas Marx mengandung masalah interpretasi dan berdasarkan interpretasi inilah kesahihan teori kelas Marx itu dpertahankan atau digugurkan. Apakah Marx memahami hubungan kekayaan atau produksi, hubungan pengendalian faktual dan subordinasi dalam perusahaan industri atau semata-mata hubungan wewenang sejauh hubungan itu didasarkan atas pemilikan legal kekayaan ? Apakah Marx membayangkan kekayaan dalam arti longgar (sosiologis) yakni dilihat dari sudut keterpisahan pengendalian yang syah (dimana maneger juga melaksanakan fungsi kekayaan)_ atau semata-mata sebagai hak kekayaan menurut hukum dalam kaitannya dengan pengendaliannya ? Apakah kekayaan menurut Marx merupakan persoalan khusus wewenang atau sebaliknya wewenang merupakan persoalan khusus kekayaan ? Pertanyaan di atas sangat penting. Bila orang bekerja dengan konsep kekayaan sempit, konflik kelas merupakan ciri khusus dari sebuah bentuk produksi berdasarkan pernyatuan pemilikan dan pengendalian alat produksi. Dalam masyarakat yang pengendalian atas alat produksi misalnya dilaksanakan oleh fungsionaris negara, 20



perdefinisi berarti disitu tak ada kelas-kelas sosial maupun konflik kelas. Sebaliknya bila orang bekerja dengan konsep kekayaan yang lebih luas, struktur kelas ditentukan oleh struktur wewenang dalam perusahaan dan kategori kelas akan dapat diterapkan terhadap semua “hubungan produksi”. Marx tak selalu memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan kita di atas. Namun dapat ditunjukkan bahwa analisisnya pada dasarnya didasarkan atas konsep kekayaan dalam arti sempit. Prosedur ini dan hanya prosedur inilah yang memungkinkan Marx mengaitkan sosiologinya dengan filsafat sejarahnya _sebuah upaya brilian tetapi pada waktu bersamaan merupakan kesalahan karena merampas kekerasan dan keyakinan anlisis sosiologinya, sebuah kesalahan yang tak dapat lagi diterima oleh fakta bahwa penganut Marxian ortodok yang tetap yakin terhadap guru mereka dalam hal ini hingga kini . Bukti paling mencolok mengenai interpretasi ini dapat ditemukan dalam upaya pendahuluan untuk membuat analisis bentuk baru ciri-ciri kepemilikan perusahaan perseroan yang disajikan Marx dalam volume III das Kapital. Di sini Marx secara eksplisit memusatkan perhatian pada fenomena yang kini biasanya dilukiskan sebagai pemisahan antara pemilikan dan pengendalian. Marx membahas apa yang ia sebut “ transformasi fungsi direktur semata, menjadi administratur kapital milik orang lain, dan tranformasi pemilik kapital mejadi pemilik semata” (12,III:477). “Dalam perusahaan perseroan, fungsi dipisahkan dari pemilikan alat-alat produksi dan dari surplus tenaga kerja” (:478). Kini yang sukar dibayangkan menurut pemikiran biasa adalah mengapa transformasi dalam ukuran dan struktur legal perusahaan industri ini harus mengakhiri konflik antara pengusaha yang memimpin dan buruh yang harus mematuhi (konflik yang dipostulatkan Marx berlaku bagi perusahaan kapitalis “murni”). Marx menganggap Perusahaan perseroan berasal dari tempat khusus dalam sejarah. Marx berulang kali melukiskan perusahaan perseroan sebagai “produksi Privat tanpa pengendalian kekayaan privat” (:480), dan juga sebagai “penghapusan cara produksi kapitalis di dalam cara produksi kapitalis itu sendiri’ (: 479). Menurut Marx perusahaan perseroan adalah hal penting menuju perubahan kembali kapital 21



menjadi kekayaan produsen sehingga tak lagi menjadi kekayaan privat produsen individual tetapi menjadi kekayaan bersama mereka dalam arti menjadi kekayaan sosial “. (:478). Perusahan perseroan adalah suatu fase menuju transformasi seluruh fungsi dalam proses reproduksi hingga kini yang berkaitan dengan pemilikan kapital mejadi fungsi produsen bersama semata, menjadi fungsi sosial”(:478). Dengan kata lain, perusahaan perseroan adalah separo jalan menuju masyarakat komunis dan itu berarti masyarakat tanpa kelas. Di sini kita takkan mengikuti berbagai akibat analisis aneh ini yang sekiranya Marx masih hidup tentu ia akan dihadapkan dengan berbagai pertanyaan oleh pengikutnya yang paling ortodok sekalipun. Namun satu hal meyakinkan yang ditunjukkan oleh analisis ini adalah bahwa menurut Marx, hubungan produksi sebagai faktor yang menentukan pembentukan kelas adalah juga hubungan wewenang tetapi hubungan wewenang adalah hubungan kekayaan dalam arti sempit dari distribusi pengendalian pemilikan privat. Melalui hubungan kekayaan tercipta hubungan wewenang dan bukan sebaliknya dalam arti bukan melalui hubungan wewenang tercipta hubungan kekayaan. Karena itu bila fungsi “direktur” dan “pemilik semata” atau fungsi manejer dan strockholder dipisahkan ini berarti langkah pertama menuju penghapusan menyeluruh kekayaan privat itu sendiri dan hubungan wewenang yang tergantung padanya dan dengan demikian merupakan satu langkah menuju masyarakat komunis. Menurut Marx, kelas sosial berkaitan erat dengan keberadaan kekayaan privat yang efektif. Keberadaan, pembentukan dan perjuangan kelas hanya dapat terjadi dalam masyarakat dimana sebagian orang memiliki dan sebagian lain tidak memiliki kekayaan privat sehingga sebagian orang mengendalikan alat-alat produksi dan sebagian yang lain tidak mengendalikannya. 4. Salah satu titik penting teori kelas Marx adalah mengidentifikasi kekuasaan dan wewenang ekonomi dan politik. Meski kelas didirikan di atas landasan “hubungan produksi” yakni distribusi kekayaan efektif dalam arti sempit produksi komoditi, namun kelas hanya mempunyai makna sosial dalam bidang politik saja. Tetapi bidang politik dan ekonomi ini sebenarnya tak terpisahkan. “Kekuasaan 22



politik” suatu kelas menurut Marx muncul dari “hubungan produksi” (5: 455). Hubungan



produksi



adalah



rahasia



terakhir, landasan tersembunyi dari



keseluruhan bangunan masyarakat” (12,III: 324f). Kelas-kelas industri eo ipso adalah juga kelas sosial dan konflik kelas industri adalah konflik kelas politik. Landasan proposisi empiris ini tak dibahas Marx dan juga tak dijelaskannya apakah proposisi ini lebih dimaksudkannya sebagai proposisi empiris ketimbang sebuah premis atau postulat. Tesis yang menyatkan kondisi politik ditentukan oleh kondisi industri menurut Marx rupanya berasal dari pernyataan umum tentang keutamaan universal



dan absolut produksi terhadap semua struktur



ekonomi dan masyarakat yang lain. Postulat seperti ini jelas memerlukan pengujian secara empiris. Hasil pengujiannya akan ditunjukkan berikut ini. 5.



Meski kurang sistematis, namun Marx



telah melukiskan langkah-langkah



pembentukan kelas yang muncul dari kondisi struktur sosial. Menurut Marx, tahap pertama proses pembentukan kelas secara langsung ditentukan oleh distribusi kekayaan privat yang efektif. Memiliki dan tidak memiliki kekayaan privat yang efektif menciptakan dua “situasi bersama” yang khas, “kondisi kehidupan” atau situasi kelas. Situasi kelas ini mempunyai tiga aspek yang saling melengkapi : (a) distribusi kekayaan efektif saja yakni aspek pemilikan atau tak memiliki alat-alat produksi dan wewenang; (b) aspek pemilikan atau tak memiliki barang dan nilai yang dapat memenuhi kebutuhan perorangan yakni hadiah (reward) dalam pengertian sosiologi moderen.; dan (c) aspek situasi bersama yang menentukan kepentingan orang yang berada dalam situasi kelas bersama itu. Menurut Marx, kepentingan bersama bukan berarti kecenderungan kesadaran kehendak individual melainkan kecenderungan yang tak disadari (atau “kesadaran palsu”) perilaku aktual yang dimiliki bersama oleh individu dalam situasi kelas bersama. Seperti dikatakan Marx, kepentingan bersama muncul, “bukan dalam imajinasi belaka, tetapi terutama dalam realitas sebagai saling ketergantungan individu yang mengalami pembagian kerja dikalangan mereka” (13,II;23). Ini adalah sebuah gagasan yang sukar, karena kita menggunakannya untuk 23



membayangkan kepentingan terutama pada tingkat psikologis. Hingga kini kita dapat menyimpulkan bahwa teori pembentukan kelas Marx dimulai dari postulat tentang situasi kelas bersama, yang komponen utamanya adalah hubungan bersama terhadap kekayaan privat efektif, situasi sosio-ekonomi bersama dan kecenderungan bersama perilaku aktual yang ditentukan oleh kepentingan “obyektif”. Sesuai



dengan premis tentang kelas, kita telah menemukan dikhotomi



fundamental situasi kelas dalam suatu masyarakat tertentu dan dikhotomi fundamental anggota suatu masyarakat melalui situasi kelas mereka. Adakalanya dalam menentukan kelas Marx mengacu pada kumpulan. “sejauh berjuta keluarga hidup dibawah kondisi ekonomi yang memisahkan cara hidup mereka, kepentingan mereka dan pendidikan mereka dari anggota kelas lain dan bertentangan dengan mereka, maka mereka merupakan sebuah kelas” (8:104). Konsep kelas yang didefinisikan sedemikian jauh berkaitan dengan rumusan Max Weber kemudian, bahwa “kelas berarti sekelompok orang yang berada dalam situasi kelas bersama” (4:177).3 Definisi ini bermasalah. Perlu dipertanyakan apakah situasi bersama itu sudah cukup untuk membentuk sebuah kelompok dalam arti sebenarnya. Bila demikian masih dapat dipertanyakan lagi; berapa banyak orang yang berada dalam situasi yang sama itu tanpa kontak atau hubungan dapat menjadi kekuatan efektif dalam konflik dan perubahan sosial. Marx telah mengajukan pertanyaan ini dan karena itu ia menekankan bahwa “perbedaan kondisi kehidupan” saja, “”identitas kepentingan dan situasi kelas “ saja adalah perlu untuk membentuk kelas. Karena itu dibagian yang dikutip diatas ia melanjutkan :”sejauh ada kontak lokal (diantara orang yang berada dalam situasi kelas bersama) – sejauh kesamaan kepentingan mereka tidak menghasilkan komunitas, asosiasi nasional dan organisasi politik – maka mereka bukan merupakan kelas. Karenanya mereka takkan mampu membuat kepentingan kelas mereka didengar … “ (8:104) 6. Proposisi berikut ini mungkin menjadi langkah paling penting dalam teori pembentuk kelas Marx : kelas takkan terbentuk dengan sendirinya sebelum 24



berpartisipasi dalam konflik politik sebagai kelompok terorganisisr. Meski Marx adakalanya menggunakan konsep kelas dalam arti yang kurang tetap, dalam arti yang lebih komprehensif namun dari sejumlah pernyataannya hampir tak diragukan lagi bahwa pembentukan kelas dan konflik kelas menurutnya adalah fenomena yang termasuk kedalam bidang politik. “Selama proletariat belum membangun organisasinya sendiri sebagai sebuah kelas, perjuangan proletariat menentang borjuasi belum dapat dianggap berwatak politik” (6:142). Sebaliknya ini berarti bahwa pembawa konflik kelas harus mengorganisir diri mereka sendiri sebagai kelas dan hanya akan menjadi kelas bila konflik kelas telah memikul watak politik. Menurut Marx tahap terakhir pembentukan kelas ini mempunyai dua aspek yang saling melengkapi. Struktur sosial ditingkat faktual menimbulkan asosiasi orang yang berada dalam situasi kelas bersama menjadi kelompok, partai atau organisasi politik dalam arti sebenarnya. Marx mengacu pada “organisasi proletariat sebagai sebuah kelas dan yang berarti sebagai sebuah partai politik” (14:87). Kedua struktur sosial di tingkat normative dan ideology yang menimbulkan artikulasi “kesadaran kelas“ dalam arti transformasi kepentingan kelas “obyektif” menjadi kesadaran yang secara subyektif merumuskan tujuan dari tindakan yang terorganisir. Kelas yang sempurna bukan ditandai oleh tindakan yang disadarinya untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. 7.



Teori pembentukan kelas Marx dilekatkan dalam karyanya tentang teori konflik kelas yang lebih luas sebagai kekuatan yang mendorong perubahan sosial. Dengan merangkum unsur-unsur teori konflik kelas Marx yang sangat besar manfaatnya bagi sosiolog itu, kita akan tiba pada sebuah kesimpulan bahwa Marx adalah sosiolog dan filosof sekaligus.



a. Dalam setiap masyarakat ada yang memiliki dan ada yang tak memiliki kekayaan privat efektif. Karena itu dalam setiap masyarakat ada yang memiliki dan ada yang tak memiliki kekuasaan yang syah. “Hubungan produksi” menentukan perbedaan situasi kelas dalam arti yang dikemukakan di atas. 25



b. Diferensiasi situasi kelas menuju ke arah kategori pemilikan dan tak memiliki kekayaan privat efektif yang ekstrim makin meningkat bersamaan dengan tingkat perkembangan masyarakat. c. Karena jurang pemisah antara situasi kelas berkembang maka kondisi pembentukan kelas menjadi matang. Dengan kata lain, kondisi pembentukan organisasi politik dan kondisi pembentukan kepentingan kelas makin nyata. Perjuangan kelas politik antara “penindas” dan “yang tertindas” dimulai. d. Dititik klimaknya konflik ini menciptakan perubahan revolusioner dimana kelas penguasa kini kehilangan posisi kekuasaannya dan digantikan oleh kelas yang kini tertindas. Masyarakat baru muncul dimana kelas tertindas baru muncul dan proses pembentukan kelas dan konflik kelaspun dimulai lagi. Teori Marx yang lebih luas ini terbukti mendapat kritik dari sudut pandang sosiologi meski aspek yang paling problemati dari teori Marx itu seperti gagasan tentang masyarakat tanpa kelas sedemikian jauh masih belum dibahas. Di sini kita hanya memusatkan perhatian pada resume unsur sosiologis teori kelas Marx. Kini kita dapat mengatakan bahwa teori kelas Marx adalah sebuah teori perubahan struktural melalui revolusi berdasarkan konflik antara kelompok kepentingan yang berlawanan antagonistis. Marx melukiskan secara rinci kondisi struktural dan proses pembentukan kelompok kepentingan ini. Ia juga melukiskan proses konflik antara kelompok kepentingan ini dan solusinya dalam bentuk perubahan revolusioner meski kurang rinci tetapi cukup jelas. 8. Sebelum kita meninggalkan sosiologi Marx, satu lagi ciri formal teori kelasnya perlu diperhatikan karena penting bagi teori sosiologi sekarang ini. Dengan menganalisir perubahan struktur sosial menurut kategori yang diutarakan diatas, Marx secara implisit memperkenalkan citra tertentu tentang masyarakat. Meski citra tentang masyarakat seperti itu mungkin tak ada relevansi empirisnya dengan riset sosiologi, bagaimanapun dapat menjadi ukuran kedekatan konstruksi teoritis dengan realitas dan menyediakan fungsi penting sebagai bimbingan dalam merumuskan masalah riset.5 26



Menurut Marx masyarakat terutama bukanlah sebuah bentuk organisme sosial,sistem sosial atau pabrik sosial statis yang berfungsi secara lancar. Ciri dominannya adalah perubahan terus-menerus baik unsur-unsurnya maupun strukturnya. Perubahan ini selanjutnya mencerminkan keberadaan konflik sebagai gambaran esensial setiap masyarakat. Konflik tak terjadi secara acak; konflik adalah produk sistematis struktur masyarakat itu sendiri. Menurut citra ini tak ada keteraturan kecuali dalam sifat beraturannya perubahan. Tanpa konflik tak ada kemajuan: inilah hukum yang diikuti peradaban hingga kini” (6:80).6 Citra tentang masyarakat seperti ini jelas bertentangan dengan citra tentang masayarakat yang menjadi landasan pemikiran sebagian sosiolog belakangan ini. Dalam pada itu citra masayrakt Marx ini nampaknya jauh lebih bermanfaat untuk menyelesaikan



berbagai



masalah



analisis



sosiologi



ketimbang



citra



yang



menganalogikan antara masyarakat dan organisme atau yang menganalogikan antara masyarakat dan sistem fungsional yang lain secara implisit atau eksplisit. Realitas masayarakat adalah konflik dan perubhaan terus-menerus. Meski kita melancarkan kritikan radikal terhadap teori kelas Marx, dasar pemikirannya dapat dipelihara sebagai prinsip hearustik yang berguna.



Bibliografi 1. Bendix, Reinhard and S.M.Lipset, eds., “Karl Marx’s Theory of Sosial Classes” dalam Class, Status and Power : A Reader in Sosial Stratification, NY : The Free Press, 1953. 2. Geiger, Theodore. Die Klassengesellscaft in Schmesztigel. Cologne and Hagen, 1949. 3. Renner, Karl. Die Wirtschaft als Gesamtprozess und die sozialisisierung, Berlin, 1924. 4. Weber, Max. The Theory of Sosial and Economic Organization, trans. AM, Henderson and Talcott Parsons. NY : Oxford Univ. Press, 1950. 27



Catatan kaki. 1. Seluruh kutipan dari Marx dalam seksi berikut dicetak-miring. Yang lain adalah naskahku. 2. Upaya Renner merekonstruksi bab Das Kapital ini (3 : 374 ff) lebih dekat pad isi dan gaya Marx ketimbang upaya yang dilakukan Tumin dalam membuat sketsa unsur-unsur yang sangat umum dari teori kelas Marx. 3. Weber menyadari benar masalah yang dibahas karena itu ia membedakan “kelas kekayaan” (tak dinamis ) dari “kelas pendapatan” dan “kelas sosial”. Tetapi karena Weber melukiskan ketiga kelas itu meliputi semua orang yang berada dalam situasi kelas bersama, teori kelasnya kekurangan kekuatan analisis ketimbang teori kelas Marx yang jauh lebih tepat dalam hal ini. 4. Ini terutama berlaku untuk Proposisi (a) dan (b) yang hanya dapat digeneralisir secara empiris dan karena itu tak dapat dipertahankan meski Marx membuangnya untuk kedua masyarakat yang ia temukan : “masyarakat orisinil” dan “masyarakat final “ dari sejarah. Proposisi (c) pun problematic; lihat seksi tentang “konflik kelas dan revolusi” di bab IV. 5. Untuk bahasan lebih rinci mengenai “Citra tentang masyarakat” lihat bab III hal. 112ff dan bab V hal. 157ff [Class and Class Conflict in Idustrial Society oleh Ralf Dahrendorf. 6. Sayangnya kalimat “hingga kini” secara tersirat berarti bahwa pada suatu hari nanti hukum ini tak lagi dapat dipertahankan. Disini seperti di bagian lain Marx merusak nilai sosiologinya dengan menambahkan filsafat Hegelian yang sedikit masuk akal. Citra masyarakat yang ditunjukkan di paragraph terakhir bagi Marx adalah citra tentang masyarakat historis dalam periode alinasi. Masyarakat komunis adalah lain dan dalam berbagai hal bukan tak sama dengan konstruksi teori sosiologi moderen.



28



Adakah Kelas Sosial di Amerika. Oleh : W. Lloyd Warner, M.Mecker dan K. Eells.



Impian Orang Amerika dan Kelas Sosial. Dalam suasana impian orang Amerika, semua orang dilahirkan bebas dan sederajat. Tiap orang mempunyai hak dan sering mempunyai kewajiban yang sama untuk mencapai sukses dan mengerjakan yang terbaik untuk mencapai puncak. Kedua tema dan proposisi fundamental yang menyatakan semua orang (Amerika) sederajat dan setiap orang berpeluang yang sama untuk mencapai puncak adalah saling berlawanan karena bila semua orang sederajat berarti tak ada tingkat puncak yang akan dicoba untuk dicapai. Tak ada tingkat dasar yang akan dijauhi; dalam masyarakat itu takkan ada posisi superior atau inferior, tetapi hanya ada satu tingkatan bersama tempat semua orang Amerka dilahirkan dan menjalani hidupnya. Kita semua tahu bahwa kesetaraan posisi dan peluang yang sempurna seperti itu tidak ada. Semua orang Amerika tidak lahir dari keluarga yang sederajat posisinya. Sebagian lahir dari keluarga aristokrasi kaya di Pantai Emas; sebagian lahir dari keluarga kelas menengah suburban; dan sebagian yang lain lahir dari kalangan keluarga yang hidup di kawasan kumuh. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa anak lelaki dan wanita keluarga yang tinggal di Pantai Emas, Jalan Utama dan Park Avenues di Amerika lebih besar kemungkinannya menerima penghargaan atas upaya mereka ketimbang yang diterima anak yang berasal dari kawasan kumuh. Jarak yang ditempuh anak muda yang beruntung ini dalam mencapai sukses lebih pendek dan jauh lebih mudah ketimbang jalan panjang dan berliku yang perlu dilalui anak ambisius keluarga kelas menengah yang kurang beruntung. Meski tiap orang mempunyai hak yang sama untuk mencapai sukses, namun itu bukanlah “hak” yang setara; meski ada kesetaraan tingkatan untuk sebagian orang Amerika namun tak ada kesetaraan tingkatan untuk semua orang Amerika. 29



Ketika beberapa orang mendengar bahwa seluruh impian orang Amerika tak ada yang sesuai dengan realitas kehidupan sebenarnya mereka lalu mencari impian itu dan menyangkal kebenarannya. Untungnya kebanyakan orang Amerika makin bijaksana dan makin baik menyesuaikan diri dengan realitas sosial. Kita menyadari bahwa meski disebut impian dan meski sebagian tak benar, berkat kuatnya keyakinan kita kepadanya kita telah membuat sebagian impian itu menjadi benar. Meski adanya hirarki sosial yang menempatkan orang pada tingkat lebih tinggi dan lebih rendah dalam komunitas Amerika, namun prinsip demokrasi tetap berjalan. Dogma Kristen yang menyatakan semua manusia sederajat dihadapan Tuhan ditopang oleh keyakinan demokrasi tentang persamaan manusia dan desakan persamaan hak sebagai warga negara besar pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari orang Amerika. Sejak dari SD dan seterusnya kita telah belajar memuji bab dan ayat yang terbukti dari kehidupan orang-orang besar dalam sejarah Amerika bahwa kita dapatmemulai dari bawah dan memanjat ke puncak tertinggi prestasi bila kita mempunyai sedikit kepintaran dan kemauan bekerja. Majalah dan Koran mencetak dan mencetak-ulang riwayat legendaries imigran lelaki dan wanita yang datang dengan pakaian compangcamping lalu berkat usaha kerasnya menjadi kaya-raya. Cerita demikian diterbitkan berulang-ulang. Tokohnya mungkin berubah-ubah namun temannya tetap sama. Kita tak pernah bosan atas cerita kesuksesan itu karena cerita itu mengatakan apa yang kita perlukan untuk diketahui dan apa yang ingin kita dengar. Adakalanya kita mengenali orang di sekitar kita yang telah mengalami kemajuan, yang telah sukses mengalami mobilitas ke atas dan yang telah mencapai tingkat prestasi melampaui yang diimpikan kebanyakan orang. Banyak orang Amerika melalui kesuksesan mereka sendiri menyadari bahwa bagi mereka Impian itu adalah benar dan membuat impian itu menjadi nyata. Contoh dari sejarah, dari kehidupan di sekitar kita, dan dari pengalaman kita sendiri memberikan bukti meyakinkan bahwa meski tak ada persamaan penuh namun peluang untuk maju cukup tersedia sehingga memungkinkan sebagian kecil orang terangkat dari dasar dan lebih banyak lagi orang dari lapisan menengah yang terangkat ke tingkat sosial dan ekonomi lebih tinggi. 30



Meski kita tahu pernyataan bahwa setiap orang adalah sederajat tetapi sebagian lebih tinggi dari pada yang lain adalah bertentangan dan meski sebagian kita tersenyum atau marah ketika kita mendengar bahwa “seluruh kita adalah sederajat tetapi sebagian lebih sederajat dari pada yang lain”’ kita masih tetap menerima kedua bagian proposisi di atas dengan menekankan satu bagian atau menilai keduanya paradok, kita merasa bahwa kita benar. Masyarakat kita melakukan tugas yang sangat baik dengan memberikan kita pengetahuan eksplisit dan argumen yang baik tentang aspek kesetaraan kehidupan kita. Kita mempunyai pengetahuan sarjana tentang berperannya demokrasi tetapi kita sedikit sekali mempunyai pengetahuan ilmiah tentang betapa kuatnya pengaruh status sosial baik dampak positif maupun negatifnya dalam kehidupan semua orang Amerika. Tetapi untuk dapat sukses hidup dan menyesuaikan diri di Amerika, setiap orang harus menyesuaikan hidupnya dengan masing-masing proposisi yang kontradiktif ini, tak cukup hanya menyesuaikan hidup dengan salah satunya saja. Pengetahuan kita tentang aspek demokrasi kehidupan Amerika dipelajari secara langsung sebagai bagian dari warisan sosial kita tetapi pemahaman kita tentang prinsip status sosial cenderung didapat secara implisit dan dipelajari secaa tak langsung dan melalui pengalaman susah dan adakalanya sangat pahit. Banyak kehidupan orang yang hancur karena mereka tak memahami peran kelas sosial.1 Penulis berharap buku ini akan menjadi instrumen korektif yang memungkinkan orang Amerika membuat penilaian lebih baik atas situasi sosial mereka dan karena itu dapat menyesuaikan diri dengan cara lebih baik terhadap realitas sosial dan menyesuaikan impian dan aspirasi mereka dengan apa yang mungkin. UUD, pidato orang besar, prinsip dan pernyataan politisi dan negarawan menjelaskan kepada kita tentang persamaan semua orang. Tiap anak sekolah mempelajarinya dan mempelajari-ulang. Tetapi kebanyakan kita tergantung pada pengalaman dan pernyataan tak langsung untuk mempelajari tentang “sisi keliru jalan yang ditempuh”, “Pantai Emas dan kawasan kumuh”, dan tentang “puncak dan dasar tumpukan sosial”. Kita membanggakan fakta kehidupan orang Amerika yang sesuai 31



dengan pola yang diajarkan kepada kita tetapi entah bagaimana kita sering malu menghadapi fakta sosial yang sama pentingnya yang menunjukkan adanya kelas sosial. Akibatnya kita cenderung menyangkalnya atau jeleknya lagi mencelanya dan dengan



berbuat



demikian



menyangkal



keberadaannya



dan



secara



gaib



melenyapkannya dari kesadaran kita. Kita menggunakan ungkapan seperti “Abad persamaan manusia” untuk menuntut keyakinan demokratis kita. Namun kita tahu bahwa biasanya persamaan manusia muncul sebagai sebuah kelas. Kita tahu tiap kota di AS mempunyai “Country Club” dan kelompok ini biasanya tinggal di Pantai Emas, Pantai Utara, Jalan Utamanya atau Nob-Hill dan merupakan puncak dari tumpukan sosial komunitas. Dari novel kita tahu kelas orang tertentu yang tinggal di Jalan Utama kota yang lebih tegas lagi terdiri dari kelas menengah-atas. Dari novelpun kita tahu di dalam kota ada jalan-becek tempat dibangunnya rumah gubuk kulit putih miskin di Selatan dan gubuk terpal-bekas di kawasan kumuh. Novel lain menceritakan tentang kawasan suburban dan Jalan Utama tempat bermukim kelas menengah dan Jalan Tembakau dan kawasan kumuh kota untuk kelas yang lebih rendah. Novel itu memberikan pemahaman bahwa diseluruh kota Amerika, warganya terbagi menurut tingkatan status masing-masing dengan ciri-ciri,nilai dan gaya hidup tertentu. Berbicara dengan dan mengamati mereka menunjukkan bahwa merekapun mengetahui betapa nyatanya tingkatan status itu bagi mereka dan mereka membuktikannya dengan mengakui dikalangan sesama mereka tentang tingkatan status dan siapa saja yang termasuk ke dalam tingkatan status mereka di kota mereka. Meski amat mengetahui tentang kelas sosial, ilmuan sosial lebih memusatkan perhatian pada teori mereka dan saling berdebat tentang apakah kelas sosial itu ketimbang mempelajari realitasnya dalam kehidupan sehari-hari rakyat. Hingga belakangan ini ilmuan sosial jauh tertinggal dibelakang novelis dalam menyelidiki apakah kelas sosial dalam masyarakat Amerka dan apa pengaruh kelas sosial itu terhadap kehidupan individual orang Amerika. Namun studi ilmiah tentang kelas sosial di beberapa negara bagian AS belakangan ini menunjukkan bahwa kelas sosial menjadi faktor utama yang 32



menentukan keputusan individual dan tindakan sosial. Setiap bidang utama kehidupan orang Amerika secara langsung atau tak langsung dipengaruhi oleh urutan kelas mereka. Keputusan utama kebanyakan individu, sebagian dipengaruhi oleh urutan kelas mereka. Untuk bertindak bijaksana dan untuk mengetahui dengan sungguh-sungguh bagaimana faktor mendasar dalam kehidupan orang Amerika ini mempengaruhi orang Amerikan dan masyarakat Amerika, kiranya perlu memahami apakah kelas sosial Amerika itu, bagaimana perannya dan apa pengaruhnya terhadap kehidupan dan kepribadian orang yang hidup didalamnya. Institusi sosial Amerika yang paling demokratis termasuk sekolah, gereja, organisasi bisnis, pemerintahan dan bahkan kehidupan keluarga dibentuk oleh kelas sosial yang sangat halus namun sangat besar pengaruhnya. Riset tentang kelas sosial di beberapa kawasan AS memungkinkan untuk mengganti pengetahuan keliru yang diperlukan untuk memberikan orang Amerika pengetahuan eksplisit tentang kelas sosial dan untuk menjawab beberapa pertanyaan penting yang kita kemukakan mengenai kelas sosial ketika menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan kita. Pertanyaan sederhananya adalah : Apakah kelas sosial itu ? Bagaimana cara kelas sosial itu diorganisir ? Bagaimana cara kelas sosial berfungsi terhadap individu dan komunitas ? Bagaimana cara kita menggunakan pengetahuan tentang kelas sosial untuk menyesuaikan diri kita dengan memuaskan terhadap kehidupan disekitar kita ? Apa pengaruh kelas sosial terhadap pembelian dan penjualan dan terhadap masalah bisnis lain, terhadap masalah perorangan, terhadap sekolah dan pendidikan, terhadap gereja dan agama, terhadap penerimaan dan penolakan komunikasi media-massa seperti radio, majalah, Koran dan filem ? Lebih dari itu adakah tehnik sederhana dan efektif untuk mempelajari dan menerapkan konsep kelas sosial sehingga orang yang bukan spesialis dalam menganalisis kelas sosial pun dapat menerapkan pengetahuan demikian terhadap masalah praktis bisnis atau profesi mereka atau terhadap masalah riset ilmuan ? Jawaban atas pertanyaan penting terakhir ini adalah “Ya”.



33



Keharusan Struktural Mengapa Kita Mempunyai Sistem Kelas. Pengenalan atas kelas sosial dan hirarki status lainnya di AS tak mengherankan siswa yang mempelajari masyarakat. Riset tentang kehidupan sosial suku-suku dan peradaban dunia jelas menunjukkan bahwa bentuk tingkatan selalu ada dan perlu bagi masyarakat kita. Sebagaimana siswa biologi menunjukkan bahwa struktur pisik binatang primat tentu mempunyai organ tertentu untuk bertahan hidup, begitu pula siswa antropologi sosial telah menunjukkan bahwa struktur sosial masyarakat yang lebih kompleks tentu mempunyai urutan tingkatan untuk melaksanakan fungsi tertentu guna mempertahankan kehidupan kelompok. Bila masyarakat adalah kompleks dan melayani banyak anggota, masyarakat itu selalu memiliki sejenis sistem status, yang berdasarkan nilai miliknya sendiri, menempatkan orang pada posisi lebih tinggi atau lebih rendah. Hanya suku pemburu dan pengumpul bahan makanan yang sangat bersahaja yang tak mempunyai sistem tingkatan. Tetapi bila masyarakat menjadi kompleks, bila terdapat sejumlah besar individu didalamnya melakukan berbagai aktivitas berbeda dan melaksanakan anekaragam fungsi, maka posisi dan perilaku individu dinilai dan diberi tingkatan. Ini terutama terjadi karena untuk mempertahankan dirinya sendiri, masyarakat harus mengkordinir upaya seluruh anggotanya menjadi usaha bersama yang diperlukan untuk melestarikan kehidupan kelompok dan masyarakat harus menguatkan dan mengintegrasikan seluruh usahanya menjadi kerja bersama. Dengan kata lain, karena pembagian kerja meningkat dan unit sosial makin banyak dan aneka-ragam maka keperluan kordinasi dan integrasi pun meningkat dan bila persyaratan itu terpenuhi memungkinkan kelompok lebih besar bertahan hidup dan berkembang. Orang yang menempati posisi mengkoordinir memperoleh kekuasaan dan gengsi. Kordinator berbuat demikian karena tindakan mereka, sebagian mengendalikan perilaku individu lain yang mengharapkan bimbingan. Di dalam pengendalian



34



sederhana ini terdapat kekuasaan sederhana. Kordinator yang melaksanakan kekuasaan



demikian



memperoleh



gengsi



langsung



dari



kekuasaan



yang



dilaksanakannya atau memperoleh gengsi dari sumber lain yang cukup yang ditimbulkan oleh posisi kerdinatornya. Contoh, dikalangan kebanyakan suku primitif ekspedisi penangkapan ikan mungkin diorganisir sedemikianrupa sehingga orang yang menangkap ikan dan menangani tiap sampan berada dibawah pimpinan seorang pemimpin. Upaya menangkap ikan masing-masing sampan dipimpin oleh pimpinan dan selanjutnya tiap sampan diitegrasikan menjadi usaha bersama oleh pimpinan yang menetapkan aturan berdasarkan keunggulannya. Situasi yang sama berlaku juga dalam pabrik moderen. Pabrik kecil dengan tenaga kerja sedikit dan dengan masalah sederhana mempunyai hirarki terbatas, mungkin tak lebih dari seorang pemilik yang menjadi bos seluruh pekerjanya. Tetapi perusahaan industri besar dengan aktivitas dan masalah yang kompleks seperti GM misalnya, memerlukan hirarki supervisi yang rinci. Posisi dalam sebuah kekaisaran industri raksasa yang mengintegrasikan dan mengkordinir seluruh posisi yang berada dibawahnya di seluruh tingkatan supervisi hingga ke tingkat pekerja, mempunyai kekuasaan dan gengsi yang besar. Kekuasaan dan gengsi yang besar demikian terdapat pula dalam lembaga politik, keagamaan, pendidikan dan lembaga sosial lain. Makin kompleks sebuah kelompok dan makin beraneka-ragam fungsi dan aktivitas, makin terinci sistem statusnya yang ada. Studi tentang masyarakat lain menunjukkan satu hal mendasar lainnya : makin kompleks struktur tehnologi dan ekonomi, makin kompleks struktur sosialnya. Demikianlah ada pakar yang menyatakan (teoritisi Marxian dan beberapa ekonom klasik) bahwa kemajuan tehnologi menjadi penyebab kompleksitas sosial dan semua sistem status dan sistem kelas. Tak dapat disangkal bahwa faktor ekonomi dan tehnologi penting perannya dalam menentukan susunan kelas dan status. Namun kita tak boleh mengabaikan fakta bahwa sistem sosial dengan keyakinan, nilai dan aturannya, yang mempengaruhi perilaku manusia mungkin sangat menentukan jenis teknologi dan jenis institusi ekonomi apa yang dapat bertahan hidup atau berkembang pesat dalam suku atau bangsa tertentu. Bagaimanapun kompleksitas sosial diperlukan 35



untuk kemajuan ekonomi. Lagi pula, kompleksitas sosial adalah faktor dasar yang menentukan ada atau tak adanya kelas. Marxian menyatakan, perubahan ekonomi masyarakat kita (AS) selalu dihasilkan melalui perang kelas dimana “proletariat” akan menang dan akhirnya akan tercipta “masyarakat tanpa kelas”. Penulis tak sependapat dengan Marxian karena beberapa alasan. Alasan prinsipnya adalah L1) keberadaan urutan kelas tak perlu berarti konflik kelas. Hubungan kelas dapat berlangsung dalam suasana ramah dan damai; kenyataannya sering demikian; (2) masyarakat tanpa kelas (tanpa perbedaan sistem status) adalah tak mungkin karena berbagai alasan seperti yang telah dikemukakan terdahulu. Sistem komunis Rusia yang diduga direncanakan untuk menghasilkan masyarakat sama rata murni itu, perlu mempunayi warga yang berada ditingkat atas dan ditingkat bawah satu sama lain. Tenderal di Rusia jelas lebih tinggi pangkatnya dari pada prajurit biasa; komisaris adalah rakyat biasa; anggota Politbiro, kawan biasa. Orang yang berada pada tingkatan lebih tinggi di Rusia cenderung berteman bersama; mereka yang berada pada tingkatan lebih rendah membentuk kelompok mereka sendiri. Anak-anak mereka dididik sesuai dengan tingkatan sosial orang tua mereka. Ini berarti bahwa generasi lebih muda mempelajari perbedaan status ini, karena itu memperkuat perbedaan status diantara tingkatan yang ada dan membantu perkembangan kelas sosial dalam masyarakat komunis Rusia. Semua ini telah terjadi meski fakta menunjukkan bahwa orang Rusia telah memindahkan alat produksi dari tangan pribadi dan meletakkannya di bawah kendali negara (“rakyat”). Faktor ekonomi yang menurut doktrin Marxian menciptakan kelas sosial, sebagian besar sudah tak ada; tetapi hirarki sosial dan kelas sosial ada karena alasan bahwa Rusia adalah sebuah masyarakat yang kompleks dan memerlukan kelas sosial itu untuk dapat bertahan hidup. Keanekaragaman status sosial di Rusia ini tak diragukan lagi cenderung akan berlanjut karena penduduknya sangat banyak, rakyatnya bermaacam-macam; masalah yang dihadapinya sangat kompleks; dan sistem kordinasi dan kontrol yang rinci untuk bangsa seperti itu sangat diperlukan untuk mempertahankan dirinya sendiri. Cita-cita 36



komunis tentang kesetaraan ekonomi dan politik tak dapat menciptakan persamaan hak sempurna dalam kehidupan orang Rusia yang kompleks itu. Tetapi mari kita kembali ke AS. Amerika juga mempunyai masyarakat yang beraneka ragam dan kompleks. Amerika juga mempunyai pembagian kerja yang rinci dan tehnologi yang banyak cabangnya. Amerika pun mempunyai bermacam-macam sistem tingkatan sosial yang dibangun untuk mempertahankan kohesi dan persatuan. Orang yang menempati posisi tinggi dan rendah itu memiliki keluarga. Keluarga orang yang sama posisinya cenderung berkawan bersama. Mereka bergaul secara informal atau melalui klik, asosiasi atau institusi lain. Matrik sosial ini menyediakan struktur bagi sistem kelas masyarakat Amerika. Anak-anak selalu dilahirkan menurut posisi keluarga mereka. Selama hidupnya, status mereka mungkin meningkat atau menurun. Karena itu keluarga memperkuat dan membantu memepertahankan urutan kelas kita. Status sosial di Amerika hampir menyerupai saluran pencernaan manusa. Ia mungkin ingin melupakan bahwa bagian tertentu darinya adalah bagian dirinya, tetapi ia tahu itu perlu bagi kelangsungan hidupnya. Demikianlah sistem status yang sering menjadi sasaran celaan kita itu ada dan perlu dalam kehidupan sosial kita yang kompleks ini.



Gambaran Umum Kelas Sosial Orang Amerika. Kinilah saatnya untuk menanyakan apakah yang menjadi ciri-ciri mendasar status sosial umum komunitas seluruh kawasan di AS dan segera setelah kita menjawab pertanyaan ini, lalu kita meneliti apakah ada variasi diantara beberapa sistem. Faktor ekonomi adalah signifikan dan penting dalam menentukan posisi kelas keluarga atau orang seorang; faktor ekonomi mempengaruhi jenis perilaku yang ditemukan disetiap kelas dan berpengaruh terhadap bentuk sistem status kita yang sekarang. Tetapi meski signifikan dan perlu, faktor ekonomi saja tak cukup untuk memprediksi pada posisi status yang mana keluarga atau individu terentu berada. Atau faktor ekonomi saja tak cukup untuk menerangkan fenomena kelas sosial secara lengkap. Posisi sosial yang



37



tinggi tak hanya memerlukan pendapatan yang besar saja. Uang harus diterjemahkan menjadi perilaku dan pemilikan yang diakui secara sosial dan uang selanjutnya harus diterjemahkan menjadi partisipasi akrab dengan dan diterima oleh anggota kelas superior. Untuk masuk kedalam tingkat tertentu sistem kelas sosial Amerika, keluarga atau individu harus mendapat pengakuan sederajat oleh orang lain yang menjadi anggota kelas bersangkutan. Perilaku dalam kelas ini dan partisipasi orang yang masuk kedalamnya harus dinilai oleh anggota komunitas lain yang telah mendapat tempat khusus dalam skala sosial. Meski warisan demokrasi kita tidak menyetujuinya, namun urutan kelas kita membantu mengendalikan sejumlah fungsi penting. Pembagian barang yang bernilai tak merata dikalangan orang yang berstatus sosial tinggi dan rendah. Aturan perkawinan kita sesuai dengan aturan kelas karena sebagian besar perkawinan belangsung antara lelaki-wanita yang sama kelasnya. Tetapi tak ada sistem kelas yang demikian kaku yang melarang orang kawin dengan pasangan yang berbeda kelasnya. Lagi pula sistem kelas terbuka seperti di AS memungkinkan orang selama hidupnya mengalami mobilitas kelas ke atas atau ke bawah. Mobilitas sosial vertical bagi individu atau keluarga merupakan ciri semua sistem kelas. Bentuk prinsip mobilitas di AS adalah melalui penggunaan uang, pendidikan, pekerjaan, bakat, keterampilan, kedermawanan, jenis kelamin dan perkawinan. Meski mobilitas ekonomi masih penting namun kini lebih banyak orang mengalami perubahan status karena pendidikan ketimbang faktor lain. Di atas telah dikemukakan bahwa pemilikan uang semata tak cukup untuk mendapatkan dan memelihara posisi sosial lebih tinggi. Ini berlaku pula untuk semua bentuk mobilitas sosial yang lain. Dalam setiap kasus harus ada penerimaan sosial. Kelas berbeda dari komunitas ke komunitas yang lain. Kota yang baru berdiri lebih kecil kemungkinannya mempunyai susunan kelas yang terorganisir baik dibandingkan dengan kota lama. Ini juga berlaku bagi kota yang tumbuh sangat cepat dibandingkan dengan kota yang tak diganggu oleh pertambahan penduduk yang 38



sangat besar dari daerah atau negara (bagian) lain atau oleh cepatnya pergantian industri lama oleh industri baru. Hirarki status kota pabrik lebih besar kemungkinannya mengikuti hirarki pekerjaan di pabrik ketimbang hirarki berdasarkan penilaian atas partisipasi yang ditemukan di kota perdagangan atau di kota yang industrinya beraneka ragam. Kawasan suburban metropolitan besar cenderung dipengaruhi faktor selektif yang mengurangi jumlah kelas menjadi satu atau sangat sedikit. Kawasan suburban ini tidak mencerminkan atau menyatakan seluruh faktor kultural yang menandai pola sosial sebuah kota biasa. Tetapi studi sistematis dari pantai ke pantai di kota besar dan kota kecil dan di kota-kota dengan berbagai tipe ekonomi, menunjukkan bahwa meski bervariasi dan berbeda-beda tingkatan kelasnya ada dan menyesuaikan diri dengan pola khusus organisasi kotanya.



Bagaimana Kelas Sosial Berperan Dalam Kehidupan Sehari-hari Kita Karena kelas sosial meresapi seluruh bagian kehidupan kita, maka mustahil berbuat lebih dari sekedar menunjukkan bagaimana kelas sosial itu disadari atau tak disadari mempenaruhi kesuksesan atau kegagalan bisnis, professional dan jenis pekerjaan lain atau menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang pengaruh kelas sosial itu adalah perlu untuk meningkatkan kualitas prediksi riset yang dilakukan oleh psikolog dan ilmuan sosial. Kelas sangat penting perannya dalam perkawinan dan mendidik anak maupun dalam kebanyakan aktivitas sosial sebuah komunitas. Status memainkan peran menentukan dalam pembentukan kepribadian di berbagi tingkat perkembangannya karena bila anak muda dalam masyarakat kita akan menyesuaikan diri menjadi orang dewasa, mereka harus dididik melalui kontrol informal masyarakat sehingga dapat berperan sesuai dengan status mereka. Pendidikan kini bersaing dengan mobilitas ekonomi sebagai jalan utama untuk mencapai sukses. Kini makin sedikit orang yang meningkat dari dasar ke puncak 39



dalam industri dan bisnis ketimbang yang dialami orang satu generasi yang lalu. Makin lama makin banyak anak dari eksekutif yang menggantikan ayah mereka di posisi eksekutif; berarti makin sedikit posisi eksekutif yang tersisa yang dapat diisi oleh anak eksekutif yang semula meniti karir dari bawah. Kapten industri mendidik anak mereka untuk dapat mengambil-alih posisi mereka atau untuk menduduki posisi serupa di industri lain. Juga makin lama makin banyak jabatan puncak di industri yang diisi oleh orang yang berasal dari pendidikan tehnik dan insinyur atau dari universitas. Jalan yang mereka tempuh menuju puncak manajemen dan pemilikan perusahaan tidak lagi melalui hirarki kenaikan keterampilan seperti yang dialami orang dua generasi sebelumnya. Orang bijaksana kini harus menyiapkan dirinya sendiri dengan pendidikan bila ia ingin mengisi jabatan penting dan menyediakan keluarganya uang dan gengsi yang diperlukan untuk mendapatkan “kehidupan yang lebih baik”. Riset kelas sosial menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita (AS) melaksanakan dua tugas : membantu mobilitas sosial dan pada waktu bersamaan berperan sangat efektif merintanginya. Ketika semua fakta diperiksa ternyata kedua tugas pendidikan itu tak lagi paradok. Ditingkat lebih rendah, sekolah negeri AS diisi oleh anak-anak dari semua lapangan kehidupan. Karena pendidikan gratis di sekolah negeri, karena tiap orang berhak masuk sekolah negeri dan peraturan hukum. Kita berupaya agar anak-anak tetap sekolah dan karena sudah menjadi pengetahuan umum bahwa “bila anda ingin maju, anda harus mendapatkan pendidian” maka dapat diasumsikan bahwa anak-anak yang berada pada dan di bawah tingkat Orang Biasa akan tinggal di sekolah dan memperlengkapi diri mereka untuk maju. Kenyataannya tidak demikian sistem sosial dan pendidikan berperan menyisihkan sebagian besar mereka dan hanya sebagian kecil saja yang berpeluang menyelesaikan pendidikannya. Telah ditaksir bahwa meski 80% anak-anak kelas atas dan menengah yang memasuki kolej tetapi hanya 20 % anak dari kelas menengah-bawah dan 5% anak kelas bawah yang masuk Kolej.2 Bukti menunjukkan bahwa sebagian besar jika tak seluruh anak yang bersal dari kelas atas menamatkan SLTA dan masuk ke kolej, sedangkan anak dari kela 40



lebih rendah mulai putus-sekolah ditingkat Sekolah Dasar dan angka DO-nya terus meningkat ditingkat SLTA. Hanya sebagian kecil mereka yang memasuki kolej. Lembaga pendidikan meninggalkan anak kelas lebih rendah ini di awal dan di dasar rute pendidikan dan membuat jarak pendidikan mereka tertinggal jauh di belakang anak kelas atas yang hampir seluruhnya berhasil menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat akhir. Bila guru dan administrator sekolah di SD dan SLTA tahu posisi kelas anak yang memasuki sekolah mereka, mereka dapat memprediksi siapa diantara anak-anak itu yang akan dan tak akan memasuki kolej. Lebih dari itu, berbekal pengetahuan seperti itu pendidik dapat bertindak untuk merubah prediksi negatif menjadi prediksi positif anak kelas menengah-bawah dan kelas bawah yang pintar dan yang berambisi yang peluang mereka untuk memasuki tingkat pendidikan lebih tinggi sangat kecil. Alasan tingginya angka kematian dikalangan anak kelas lebih rendah menjadi nyata ketika seorang peneliti mempelajari hubungan antara guru dan murid lain dengan anak kelas rendah ini. Kini kita tahu bahwa tingkat kecerdasan anak kelas bawah ini tak bertanggungjawab atas kegagalan mereka di sekolah karena sering IQ mereka sama dengan IQ anak yang berasal dari kelas atas. Meski kerendahan IQ paling sering dijadikan sebagai penjelasan masuk-akal 3, namun tes IQ yang sama terhadap orang yang berbeda kelas sosialnya menunjukkan tak ditemukan perbedaan tingkat kecerdasan yang signifikan. Harus dikatakan, guru meski merupakan kelompok yang berfikir paling demokratis di AS, namun cenderung lebih menyukai anak kelas sosial di atas Orang Biasa dan kurang memberikan perhatian pada anak yang berasal dari kelas lebih rendah dari Orang Biasa. Studi di Selatan, New England dan Middle West menunjukkan, guru memberi nilai lebih tinggi terhadap kerja anak dari kelas lebih tinggi menurut posisi kelas sosial keluarga anak dan sebaliknya memberi nilai lebih rendah terhadap karya anak dari kelas sosial lebih rendah. Pendidik yang berfikiran demokratis mempertanyakan mengapa ini terjadi. Jawabannya adalah bahwa sebagian besar guru berbuat demikian karena 41



ketidaktahuan tentang kelas sosial dan bagaimana berperannya dalam kehidupan masyarakat AS. Lebih khusus lagi, sebagian jawaban umum terletak pada guru sebagai produk sistem kelas kita. Guru sungguh-sungguh menerapkan nilai terbaik miliknya sendiri untuk menilai anak didiknya. Guru kelas menengah dan lebih dari tigaperempat jumlah guru adalah anggota kelas menengah, menerapkan nilai-nilai kelas menengah. Menurutnya anak kelas atas dan menengah atas memiliki ciri-ciri yang tergolong tinggi tingkatannya dan positif; anak dari kelas rendah mempunyai ciri-ciri negatif dan rendah mempunyai ciri-ciri negatif dan rendah tingkatannya. Agaknya pengaruh kelas sosial paling besar tehadap karir pendidikan anak-anak kita dan situasi paling menentukan dan penting dalam menetapkan posisi kelas terakhir dari Orang Biasa dan tingkatan kelas lebih rendah adalah pengaruh anak lain terhadap keinginan anak untuk tetap sekolah. Bila kehidupan anak menyenangkan, menguntungkan dan meningkatkan harga dirinya, ada kemungkinan ia mau tetap sekolah dan belajar giat. Bila sekolah menghukum dan menurunkan harga-dirinya ada kemungkinan ia malas belajar dan ingin berhenti. Dalam studi tentang penilaian anak terhadap anak lain disebuah komunitas di Midwest, Neugarten menemukan bahwa anak yang berasal dari kelas atas dan menengah-atas dinilai tinggi oleh semua anak lain untuk ciri-ciri seperti tampan, rajin ke sekolah, suka memimpin, suka berteman dan banyak lagi ciri-ciri kepribadian yang menyenangkan lainnya. Sedangkan anak dari kelas sosial lebih rendah diberi nilai rendah, diberi nilai negatif dan dikatakan jelek, kotor dan sebagai “orang yang tak ingin anda berteman dengannya”.4 Bila diingat bahwa anak-anak ini hanya baru kelas lima dan enam SD dan tiap anak dikelas itu dinilai oleh anak lain yang tak mempunyai rujukan status, kita dapat memahami kini betapa cepatnya nilai kelas mempengaruhi perilaku dan berpengaruh menentukan dalam membentuk kepribadian dan mempengaruhi perjalanan karir orang Amerika mulai dari tahun paling awal. Bagi anak dari kelas bawah, sekolah bukanlah menjadi tempat yang menyenangkan ketimbang bagi anak dari kelas menengah dan atas. Bahkan anak-anak dengan tingkat kecerdasan, kemampuan dan minat yang cenderung sama dapat diprediksi dengan 42



menggunakan analisis kelas bahwa persentase terbesar anak dari kelas rendah akan berhenti sekolah sebelum tahun kedua di SLTA dan tak seorangpun anak kelas atas kecuali yang cacat pisik atau mental yang berhenti sekolah. Bila masyarakat kita akan menggunakan otak dan bakat alamiah pemuda yang besar jumlahnya itu dengan lebih efektif, harus dipelajari cara mendidik mereka. Mereka harus dipertahankan bersekolah cukup lama guna membekali mereka ketrampilan dan disiplin yang mereka perlukan untuk berfungsi memuaskan dalam kehidupan sosial dan ekonomi kita. Anak-anak maupun guru dan administratur sekolah harus mempunyai kesadaran dan pemahaman eksplisit tentang kelas sosial dan menemukan cara sederhana dan mudah untuk memanfaatkan pengetahuan demikian dalam menyelesaikan masalah. Tes IQ dan kepribadiabn adalah instrumen penting untuk membimbing guru tetapi kedua instrumen itu saja tak cukup kalau guru tak dilengkapi dengan instrumen untuk mengukur dan menilai pengaruh dari kelas sosial. Studi tentang hubungan antara buruh dan menejer dalam bisnis dan industri menunjukkan cara kelas sosial meneruskan perannya menseleksi ketika anak muda meninggalkan sekolah. Manajemen menempatkan tenaga tamatan Kolej menjadi supervisor tingkat rendah dan makin sedikit yang dipromosikan ke tingkat itu karena ditemukan bahwa pekerja, meski mempunyai keterampilan tehnis yang baik tak mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk menangani masalah hubungan manusia dan untuk menghubungkan diri mereka sendiri secara efektif dengan manajemen lebih tinggi. Pendidikan mereka sering tak cukup untuk membuat mereka mendapatkan peluang yang baik untuk melanjutkan promosi. Merintangi mobilitas pekerja dan mengobarkan semangat tenaga kerja tamatan Kolej adalah hadiah terakhir dari apa yang dimulai di Sekolah Dasar. Mobilitas untuk buruh menjadi makin sukar. Bagi AS ini berarti bahwa Impian Orang Amerika menjadi kurang nyata.5



43



Studi tentang kepribadian buruh dan manejer kini menunjukkan bahwa pengaruh kelas sosial dan dorongan mobilitas terlihat dengan jelas dan terbukti menjadi bagian kepribadian individu.6 Di bidang lain, studi tentang langganan majalah menunjukkan bahwa faktor kelas nyata pentingnya dalam memilih majalah. Pembaca dari tingkat kelas berbeda lebih menyukai bermacam majalah atas dasar daya tarik cerita dan gambar yang berbeda. Riset di Yankee-City menunjukkan bahwa kelas tak hanya mempengaruhi pembelian majalah tetapi juga terhadap Koran yang dibaca.7 Riset kemudian menunjukkan bahwa kelas berpengaruh menentukan atas siaran radio yang didengar. Penelitian sambil lalu atas iklan yang dipajang diberbagai majalah menunjukkan bahwa agen iklan dan langganan mereka sering membuang-buang uang karena mereka tak mengetahui peran nilai kelas dalam bisnis mereka. Ini tak mengherankan karena demikian banyak faktor status yang harus dipertimbangkan. Distribusi kelas dari pembaca terbitan berkala di AS sangat beragam. Pembaca majalah tertentu terbatas pada batas sempit kelas-kelas di atas Orang Biasa, pembaca majalah lain terbatas pada kelas rendah dan pembaca majalah lain lagi terbatas pada Orang Biasa tetapi ada majalah yang pembacanya tak terbatas pada satu segmen tertentu, terdistribusi dengan baik ke seluruh tingkatan kelas. Redaktur majalah yang ditunjuk terakhir itu berdasarkan intuisi melakukan trial and error atau cara yang lebih baik telah memilih bahan bacaan yang menarik bagi semua tingkatan kelas. Redaktur lain tak tahu cara memperbanyak pembacanya atau dengan sengaja menarik minat segolongan kecil pembaca. Pembaca yang menjadi sasaran pemasang iklan mungkin manjadi pembeli potensial produk yang diiklankan atau mungkin tidak1). produk yang diiklankan mungkin demikian alamiah sehingga hanya menarik perhatian sebagian kecil anggota masyarakat. Mengiklankan produk seperti itu dalam media yang pembacanya sebagian besar berasal dari strata lain atau mengiklankan dalam jurnal yang menarik perhatian tiap tingkatan kelas adalah membuang-buabng uang saja.



44



Meski agen iklan sering mengeluarkan uang mereka secara tolol bila dinilai menurut criteria kelas, kesalahan tak selalu pada mereka karena sering pabrikan atau pengecer tak tahu bagaimana produknya menarik bagi kelas berlainan. Adakalanya produk tertentu hanya menarik bagi satu kelas tetapi sering terjadi, produk mungkin menarik bagi dan digunakan oleh semua tingkatan kelas karena produsen menyadari bagaimana produknya dinilaiditingkatan sosial berbeda. Yang pasti adalah bahwa pemakaian dan makna sebagian besar barang yang dijual di pasar AS bergeser dari kelas ke kelas. Opera sabun adalah produk radio kontemporer. Rerata pendengar radio dari kelas menengah-atas sedikit sekali perhatiannya terhadap opera-sabun. Kenyataannya sebagian besar anggota kelompok ini secara aktif menusuhi drama kecil yang mengherankan ini yang mengisi siaran radio sepanjang hari. Tetapi jutaan wanita Amerika tiap hari mendengarkan siaran opera sabun favorit mereka ini dan pemasang iklan produk tertentu menemukan nilainya yang tak terhingga dalam menjual produk mereka. Risetpun menunjukkan bahwa opera-sabun menarik terutama bagi tingkatan Orang Biasa. Masalah yang diangkat dalam drama rakyat ini, karakternya, flotnya dan nilainya sangat menarik bagi kelas Orang Biasa ini sebaliknya kurang menarik bagi wanita yang berada diatas tingkatan Orang Biasa.8 Riset lain menunjukkan bahwa perabot termasuk gorden, karpet, kursi dan fasilitas tempat duduk lainnya dibuat menurut tipe kelas. Fenomena kelas lain, mobilitas sosial sangat penting dalam kehidupan sehari-hari orang Amerika dan hingga taraf tertentu menentukan cara mereka berperilaku di tempat kerja atau di rumah. Studi tentang eksekutif di perusahaan raksasa akhir-akhir ini jelas menunjukkan bahwa kesuksesan atau kegagalan para eksekutif ini sebagian ditentukan oleh ada atau tak adanya “dorongan mobilitas- Riset kami menunjukkan bahwa bila sebuah keluarga kehilangan hasratnya untuk berprestasi dan memajukan dirinya, ini sangat sering tercermin dalam “kemunduran” eksekutif atau tak berkeinginan melakukan upaya yang diperlukan guna mencapai sukses sebagai 45



seorang manejer. Sebaliknya ada orang yang berupaya sangat agresif dan menimbulkan persoalan karena keinginannya yang terlalu ambisius dan karena semangat kompetisinya yang keterlaluan. Tes yang digabungkan dengan pengetahuan tentang kelas sosial dan kepribadian manunjukkan perlunya mengetahui apa status sosial seseorang, apa prestasinya, apa saja aspirasinya, apakah keyakinan dan nilai kelas pendidikan awalnya telah menjadi bagian integral kepribaiannya, apa yang ia fikirkan dan bagaimana cara ia bertindak. Pertanyaan tes di atas diperlukan untuk menyeleksi calon eksekutif dan untuk memprediksi bagaimana seseorang akan berfungsi dalam jabatan tertentu. Materi pertanyaan itu juga diperlukan untuk mengetahui apakah pengalamannya dalam urutan status (AS) telah berpengaruh terhadap struktur karakter dan individualitasnya. Tiap aspek pemikiran dan tindakan orang Amerka sangat dipengaruhi oleh kelas sosial. Untuk berfikir realistis dan bertindak efektif, kita harus mengetahui dan memahami sistem status kita.



Catatan kaki. 1. Jurgen Ruesch, M.B.Loeb,et.al.Chronic Disease and Psychological Invalidism; a Psychosomatic Study (NY: American Society for Research in Psychosomatic Problems, 1946). 2. R.J.Havighurst and H. Taba, Adolescent Character and Personality (NY: John Wiley & Sons. Inc., 1948). 3. Hasil studi yang tak diterbitkan dari A.Davis, RJ.Havighurst dan kawan mereka tentang prasangka kelas dalam tes IQ itu sendiri menyediakan bukti kuat yang menunjukkan bahwa tes IQ itu sendiri tidak “bebas kultur” tetapi mencerminkan prangka kultur kelas menengah dan atas dari orang yang membuat materi tes itu. 4. B.L. Neugarten, “Sosial Class and Friendship among School Children”, American Journal of Sociology, LI, No 4 (Jan, 1946: 305 – 313).



46



5. Lihat W.L.Warner and J.O.Low, The Sosial Sistem of the Moderen Faktory, vol. IV, “Yankee City Series” (New Haven : Yale Univ. Press, 1947). 6. Tes biasa terhadap pegawai kantor sama sekali gagal menerangkan mobilitas sosial dan faktor kelas tetapi nilai prediktif faktor ini untuk kesuksesan manejer diberbagai jenis jabatan, sangat tinggi. 7. Lihat Warner and Lunt, The Sosial Life of a Moderen Community, bab XIX; dan W.L.Warner and W.E.Henry, “Radio Day time Serial : A Symbolic Analysis”, Genetic Psychology Monographs, XXXVII (1948 : 3 – 71). 8. Ibid.



47



Kelas, Status, Partai Max Weber. 1. Kekuasaan Menentukan Ekonomi dan Ketertiban Sosial. Hukum ada ketika ada peluang ketertiban akan ditegakkan oleh staf khusus yang menggunakan paksaan pisik atau psikhis bertujuan menghasilkan penyesuaian perilaku terhadap peraturan atau memberikan sanksi bagi yang melanggarnya.1 Struktur tiap peraturan hukum, secara langsung mempengaruhi distribusi kekuasaan, ekonomi atau aspek lain di dalam komunitasnya masing-masing. Ini berlaku bagi seluruh peraturan hukum dan tidak hanya bagi peraturan hukum negara saja. Pada umumnya yang kita fahami sebagai “kekuasaan” adalah peluang seseorang atau kelompok untuk mewujudkan kemauannya sendiri di dalam tindakan komunal bahkan terhadap perlawanan orang lain yang berpartisipasi dalam tindakan komunal itu. Kekuasaan “ekonomi” tidak sama dengan “kekuasaan” sebenarnya. Sebaliknya, kemunculan kekuasaan ekonomi mungkin akibat dari kekuasaan yang ada berdasarkan sumber lain. Manusia berjuang mendapatkan kekuasaan tidak hanya untuk memperkaya diri sendiri secara ekonomi – kekuasaan, termasuk kekuasaan ekonomi mungkin bernilai “untuk kepentingan dirinya sendiri”. Sering terjadi, perjuangan mendapatkan kekuasaan juga disyaratkan oleh “kehormatan” sosial yang dibawanya. Tetapi tak semua kekuasaan membawa kehormatan sosial : Bos khas Amerika maupun spikulator besar lain dengan sengaja melepaskan kehormatan sosial. Umumnya kekuasaan “ekonomi semata” dan terutama kekuasaan uang “sebenarnya” bagaimanapun diakui sebagai basis kehormatan sosial. Kehormatan sosial atau gengsi dapat pula menjadi basis kekuasaan politik atau kekuasaan ekonomi dan sangat sering terjadi demikian. Kekuasaan maupun kehormatan mungkin dijamin oleh peraturan hukum tetapi biasanya peratutan hukum bukanlah sumber utama kekuasaan atau



48



kehormatan. Peraturan hukum adalah faktor tambahan yang dapat memperbesar peluang mendapatkan kekuasaan atau kehormatan; tetapi peraturan hukum tak selalu dapat melindungi kekuasaan atau kehormatan. Cara kehormatan sosial didistribusikan dalam keomunitas diantara kelompok yang berpartisipasi dalam distribusi ini akan kita sebut “ketertiban sosial”. Ketertiban sosial dan ketertiban ekonomi tidak sama. Ketertiban ekonomi semata menunjuk pada cara pendistribusian dan penggunaan barang ekonomi dan jasa. Ketertiban sosial memang sangat dipengaruhi oleh ketertiban ekonomi dan selanjutnya ketertiban ekonomi dipengaruhi oleh ketertiban sosial. “Kelas”, “kelompok status” dan “partai” adalah fenomena distribusi kekuasaan dalam komunitas.



2. Situasi Kelas Ditentukan oleh Situasi Pasar. Menurut terninologi kita di sini, “kelas” bukanlah komunitas; kelas semata mencerminkan kemungkinan dan sering berdasarkan pada tindakan komunal. Kita dapat berbicara tentang kelas, bila (1) sejumlah orang mempunyai komponen sebabmusabab khusus bersama peluang hidup mereka. Sepanjang (2) komp9onen ini semata-mata dicerminkan oleh kepentingan ekonomi dalam pemilikan barang dan peluang untuk memperoleh pendapatan, dan (3) dicerminkan berdasarkan kondisi pasar komoditi atau tenaga kerja. Hal ini menunjuk kepada “situasi kelas” yang dapat kita ungkap lebih rinci lagi sebagai peluang khusus untuk mendapatkan pasokan barang, kondisi kehidupan material (eksternal) dan pengalaman hidup pribadi sejauh peluang ini ditentukan oleh jumlah dan jenis kekuasaan atau kekurangannya untuk mengatur barang atau ketrampilan demi pendapatan dalam ketertiban ekonomi tertentu. Istilah “kelas” mengacu kepada sekelompok orang yang ditemukan berada di dalam situasi kelas yang sama. Fakta ekonomi paling mendasar adalah bahwa cara mengatur distribusi kekayaan material dikalangan orang banyak adalah melalui persaingan di pasar untuk tujuan



49



petukaran; dan pertukaran di pasar itu dengan sendirinya menciptakan peluang hidup khusus. Menurut hukum kegunaan terbatas, cara distribusi ini meniadakan peluang non pemilik untuk berkompetisi mendapatkan barang yang bernilai tinggi; cara distribusi ini menguntungkan pemilik dan dalam kenyataan membrikan mereka monopoli untuk mendapatkan barang yang bernilai tinggi itu. Dalam keadaan yang lainnya



sama,



cara



distribusi



monopoli



ini



menawakan



transaksi



yang



menguntungkan bagi semua orang yang menyediakan barang tanpa harus mempertukarkannya. Barang yang dimiliki meningkatkan kekuasaan pemiliknya dalam perang harga dengan orang yang tak memiliki barang, yang tak memiliki apapun untuk ditawarkan kecuali jasa mereka dalam bentuk asli atau barang dalam bentuk tenaga kerja mereka sendiri dan orang yang baru saja menjual tenaga kerjanya untuk mendapatkan nafkah mempertahankan hidup. Cara distribusi ini memberikan monopoli kepada pemilik barang untuk mengalihkan penggunaan kekayaannya dari bidang “kekayaan” belaka ke bidang penggunaan sebagai “barang kapital”; artinya kekayaan memberikan fungsi kewirausahaan (entrepreneurial) dan menyediakan semua peluang untuk mendapatkan bagian keuntungan secara langsung atau tak langsung atau tak langsung dari barang kapital. Dalam kondisi pasar bebas murnipun hukum ini tetap berlaku. Karena itu “kekayaan” dan ketiadaan kekayaan menjadi kategori dasar seluruh situasi kelas. Tak persoalan apakah kedua kategori ini efektif dalam perang harga atau perjuangan kompetisi. Di dalam kedua kategori ini situasi kelas selanjutnya mengalami diferensiasi : di satu pihak menurut jenis kekayaan yang dapat digunakan untuk menghasilkan keuntungan; dan dilain pihak menurut jenis jasa yang dapat ditawarkan di pasar. Pemilikan bangunan rumah; perusahaan produktif; gudang; toko; lahan pertanian; saham dalam jumlah besar dan kecil- perbedaan kuantitatif; pemilikan tambang; ternak; budak; pengaturan terhadap alat produksi bergerak atau barang kapital semua jenis terutama uang atau benda yang dapat dipertukarkan dengan uang dengan mudah dan kapan saja; pengaturan terhadap produk tenaga kerja sendiri atau produk tenaga kerja orang lain yang berbeda-beda menurut jaraknya dari konsumen; pengaturan 50



terhadap setiap jenis monopoli yang dapat dialihkan. Semua tanda yang membedakan situasi kelas ini memberikan makna seperti yang diberikannya kepada penggunaan kekayaan terutama terhadap kekayaan yang setara dengan uang. Karena itu, kekayaan termasuk yang dimiliki kelas pelepas uang (pembungan) atau yang dimiliki kelas pengusaha. Orang yang tidka memiliki kekayaan tetapi menawarkan jasa, dapat dibedabedakan menurut jenis jasa yang ditawarkan atau yang digunakan oleh penerimanya. Inilah yang selalu menjadi konotasi umum dari konsep kelas : bahwa jenis peluang I pasar adalah saat menentukan yang menunjukkan kondisi umum nasib individu. Menurut pengertian ini “situasi kelas” pada dasarnya adalah “situasi pasar”. Pengaruh pemilikan yang sebenarnya per-se yang dikalangan peternak tidak memberikan kekuasaan untuk memiliki kepada budak yang memelihara ternak itu adalah satusatunya pertanda pembentukan “kelas” yang nyata. Tetapi dalam peminjaman ternak dan dalam kekerasan hukum hutang dalam komunitas pengembala itu untuk pertama kali “pemilikan” muncul sebagai penentu nasib individu. Hal ini snagat berbeda dengan komunitas petanian berdasarkan tenaga kerja. Hubungan debitor-kreditor tenaga kerja menjadi dasar “situasi kelas”, hanya di kota dimana “pasar kreditnya” masih primitif dengan suku bunga meningkat sesuai dengan derajat kekurangan dan derajat monopoli kredit yang dikembangkan oleh plutokrasi. Bersamaan dengan itu “perjuangan kelas” pun dimulai. Orang yang nasibnya tak ditentukan oleh peluang menggunakan barang dan jasa untuk dirinya sendiri di pasar seperti budak misalnya, bukan termasuk “kelas” dalam pengertian tehnis istilah kelas. Mereka adalah “kelompok status”.



3. Tindakan komunal Berasal Dari Kepentingan Kelas. Menurut terninologi kita, faktor yang menciptakan “kelas” adalah kepentingan ekonomi yang jelas, tak samar-samar. Memang hanya orang yang mempunyai kepentingan ekonomi yang jelas itulah yang terlibat dalam keberadaan “pasar”.



51



Bagaimanapun, konsep “kepentingan kelas” adalah konsep yang berarti-dua (ambiquous). Bahkan sebagai konsep empiris, arti-dua konsep ini segera diketahui orang melalui makna selain dari arah faktual kepentingan yang mengikuti peluang tertentu dari situasi kelas “rerata” sejumlah orang tertentu yang tunduk kepada situasi kelas itu. Dalam situasi kelas dan keadaan lain tetap sama, buruh secara individu ada kemungkinan mengejar kepentingannya yang berbeda-beda menurut apakah ia memenuhi syarat untuk tugas yang dipikulnya tergolong tingkat tinggi, rerata atau rendah. Menurutcara yang sama, arah kepentingan dapat berbeda-beda menurut apakah sebagian kecil atau sebagian besar tindakan komunal mereka dipengaruhi oleh “situasi kelas” atau oleh perserikatan dikalangan mereka misalnya “serikat buruh” menciptakan situasi kelas yang hasilnya mungkin diharapkan atau tak diharapkan individu. Tindakan komunal mengacu kepada tindakan yang ditujukan kepad perasaan kebersamaan aktor. Sebaliknya tindakan kemasyarakatan diarahkan kepad amotivasi rasional penyesuaian kepentingan. Munculnya tindakan komunal ataupun tindakan kemasyarakatan dari situasi kelas bersama, merupakan fenomena universal. Situasi kelas mungkin terbatas pengaruhnya untuk menimbulkan reaksi yang pada dasarnya serupa dengan yang menurut terminologi kita disebut “tindakan massa”. Tetapi situasi kelas ini tidak harus selalu menghasilkan “tindakan massa”. Yang sering dihasilkannya justru tindakan komunal tak berbentuk. Contohnya,”gunjingan” dikalangan buruh yang dikenal dalam etika masyarakat timur kuno : celaan moral buruh atas tindakan majikannya yang makna praktisnya kira-kira setara dengan fenomena yang muncul dalam perkembangan masyarakat industri terakhir berupa “mengurangi kegiatan” kerja dipihak buruh atas dasar persetujuan tahu sama tahu. Derajat peluang kemunculan “tindakan komunal” dan “tindakan kemasyarakatn” dari tindakan massa anggota kelas berkaitan dengan kondisi kultural umum terutama berkaitan dengan tingkat intelektual angota kelas. Juga berkaitan dengan derajat yang telah bekembang dan terutama berkaitan derajat transparansi hubungan antara penyebab dan akibat “situasi kelas”. Perbedaan peluang hidup bagaimanapun dapat menimbulkan “tindakan kelas” (tindakan komunal oleh anggota sebuah kelas). Fakta 52



tentang adanya kondisi dan akibat dari situasi kelas harus dikenali dengan jelas. Karena hanya dengan mengenali dengan jelas maka perbedaan peluang hidup dapat dirasakan bukan sebagai fakta yang harus diterima secara absolut tetapi sebagai akibat dari (1) kecenderungan distribusi kekayaan atau (2) struktur tatanan ekonomi konkrit. Orang bereaksi terhadap struktur kelas tak hanya melalui tindakan protes sebentar. Sebentar dan tak rasional tetapi juga dalam bentuk asosiasi rasional. Contoh situasi kelas golongan pertama adalah kecenderungan distribusi kekayaan di pusat urban Abad Pertengahan terutama ketika kekayaan terbesar terakumulasi di tangan perusahaan besa yang memonopoli produk industri local atau memonopoli distribusi bahan makanan. Selanjutnya berdasarkan keadaan tertentu dalam perekonomian di periode yang berbeda-beda, pertanian semakin dieksploitasi untuk mencari keuntungan. Contoh sejarah paling penting dari kategori kedua (struktur tatanan ekonomi konkrit) adalah situasi kelas “proletariat” moderen.



4. Tipe “Perjuangan Kelas” Tiap kelas mungkin menjadi penyebar salah satu bentuk dari “tindakan kelas” yang tak terhitung jumlahnya, tetapi tak harus selalu demikian. Bagaimanapun, sebuah kelas bukanlah merupakan sebuah komunitas di dalam dirinya sendiri. Memperlakukan “kelas” secara konseptual mempunyai nilai yang sama dengan “komunitas” dapat menimbulkan distorsi. Bahwa orang yang berada dalam situasi kelas yang sama biasanya beraksi dalam tindakan massa terhadap situasi nyata seperti situasi ekonomi menurut arah kepentingan orang yang paling memadai jumlahnya adalah penting dan bagaimanapun merupakan fakta sederhana untuk memahami kejadian sejarah. Terutama fakta ini jangan sampai menimbulkan sejenis operasi pseudo ilmiah dengan konsep “kelas” dan “kepentingan kelas” seperti yang sering ditemukan sekarang dan pengungkapannya yang paling klasik ditemukan dalam pernyataan penulis berbakat Marx bahwa individu dapat keliru mengenai kepentingannya tetapi “kelas” tak mungkin keliru mengenai kepentingannya. Tetapi



53



karena kelas bukanlah komunitas, maka situasi kelas bagaimanapun hanya muncul berdasarkan komunalisasi. Tindakan komunal yang menimbulkan situasi kelas pada dasarnya bukanlah tindakan antara anggota kelas yang sama; tindakan itu adalah tindakan antara anggota kelas yang berbeda. Tindakan komunal yang langsung menentukan situasi kelas buruh dan pengusaha adalah : pasar komoditi dan perusahaan kapitalistis. Tetapi selanjutnya, keberadaan perusahaan kapitalistis mensyaratkan tindakan komunal yang sangat khusus dan tindakan itu terstruktur sangat khusus untuk melindungi pemilikan barang perse dan terutama untuk melindungi kekuasaan individu untuk mengatur alat produksi sebebas-bebasnya. Keberadaan perusahaan kapitalis dipersiapkan sebelumnya oleh sejernis “peraturan hukum” yang sangat khusus. Tiap jenis situasi kelas dan terutama bila berdasarkan atas kekuasaan kepemilikan perse jelas akan sangat manjur bila semua faktor hubungan timbal-balik lainnya dilenyapkan arti pentingnya. Menurut cara inilah penggunaan kekuasaan kepemilikan di pasar menghasilkan kekuasaannya yang tertinggi. Kini “kelompok status” merintangi terlaksananya prinsip pasar sempurna kelompok status ini hanya akan diperhatikan dari sudut pandang fungsi perintangnya ini saja. Sebelum membahasnya lebih rinci perlu diingat bahwa tak banyak yang dapat dibicarakan mengenai ciri lebih khusus antagonisme antara “kelas-kelas” (menurut makna kelas yang kita berikan). Pergeseran besar yang terus-menerus terjadi di masa lalu dan yang terjadi hingga kini dapat dirangkum meski dengan mengorbankan derajat ketetapan tertentu : perjuangan yang efektif situasi kelasnya makin lama makin bergeser dari kebanggaan konsumsi menuju pertama perjuangan persaingan di pasar komoditi dan kemudian menuju perang harga di pasar tenaga kerja. Perjuangan kelas di zaman kuno (sepanjang asli perjuangan kelas dan bukan perjuangan antara kelompok-kelompok status) mula-mula dilakukan oleh petani berhutang dan mungkin juga oleh pengrajin berhutang yang terancam menjadi budak dan perjuangan menentang kreditor urban. Ancaman menjadi budak bagi orang yang tak mampu melunasi hutangnya adalah akibat biasa dari perbedaan kekayaan di kota54



kota dagang, terutama di kota-kota pelabuhan. Situasi serupapun terdapat dikalangan komunitas peternak kuno. Hubungan hutang-piutang demikian menciptakan tindakan kelas hingga di zaman raja Catalilna. Bersamaan dengan ini dan meningkatnya persediaan gandum untuk kota dengan mengangkutnya dari desa, muncul perjuangan memperebutkan bahan makanan. Perjuangan ini mula-mula berkisar di sekitar penyediaan roti dan penentuan harga roti. Ini berlangsung sejak zaman kuno dan berlanjut di Abad Pertengahan. Orang miskin bergabung menentang orang yang benar-benar dan yang diduga menginginkan terjadinya kekuarangan persediaan roti. Pertempuran ini menyebar hingga melibatkan seluruh komoditi penting bagi kehidupan dan bagi produksi kerajinan. Percekcokan harga di zaman kuno dan di Abad Pertengahan ini baru belakangan ini saja dibahas. Padahal percekcokan harga ini pelan-pelan makin meningkat di zaman moderen. Dalam periode lebih awal, peang harga ini sama sekali menjadi faktor kedua bagi pemberontakan budak maupun perang di pasar komoditi. Orang miskin di zaman kuno dan di Abad Pertengahan melancarkan protes terhadap monopoli, memiliki lebih dahulu, pencegahan, dan penyembunyian barang dari padar untuk meningkatkan harga. Kini masalah pokoknya adalah penentuan harga tenaga kerja. Transisi ini dicerminkan oleh pertempuran untuk mendapatkan akses ke pasar dan untuk menentukan harga produk. Pertempuran ini terjadi antara pedagang dan pekerja dalam menciptakan sistem kerajinan rumahtangga selama masa transisi hingga zaman moderen. Karena perang ini merupakan fenomena umum, perlu dikemukakan disini bahwa antagonisme kelas yang dipersiapkan melalui situasi kelas itu paling sengit terjadi antara orang yang benar-benar dan langsung terlibat sebagai lawan dalam perang harga. Bukan pelepas uang, pemegang saham dan bankir yang menjadi sasaran sakit hati buruh tetapi adalah pengusaha pabrik dan pemimpin perusahaanlah yang menjadi lawan langsung buruh dalam perang harga. Demikianlah keadaannya meski fakta menunjukkan bahwa keuntungan justru mengalir ke kantong pelepas uang, pemegang saham dan bankir yang menerimanya leih banyak “tanpa kerja” 55



ketimbang



yang diterima pengusaha pabrik atau pempinan bisnis. Kejadian



sederhana ini sangat sering menentukan peran yang dimainkan situasi kelas dalam pembentukan partai politik. Contoh situasi kelas ini telah melahirkan bemacam sosialisme patriarchal dan sering berupaya mengancam kelompok status agar membentuk aliansi dengan proletariat menentang borjuasi.



5. Kehormatan Status. Berbeda dari kelas, kelompok status biasanya adalah komunitas. Tetapi kelompok status ini seing tak berbentuk. Berbeda dengan “situasi kelas” yang murni ditentukan faktor ekonomi, “situasi status” adalah setiap komponen khusus nasib kehidupan manusia yang ditentukan oleh penilaian sosial tentang kehormatan secara khusus, positif atau negatif. Kehormatan ini mungkin dikaitkan dengan kualitas yang diberikan oleh orang banyak dan memang dapat dikaitkan dengan situai kelas : perbedaan kelas dikaitkan dengan perbedan status. Kekayaan saja tak selalu diakui sebagai pembatas status tetapi dalam jangka panjang diakui dan dengan keteraturan yang luar biasa. Dalam hubungan pertetanggaan dengan perekonomian subsistensi, sangat sering terjadi orang terkaya dijadikan pimpinan. Tetapi ini hanya berarti sebutan kehormatan yang lebih disukai. Contoh, dalam kehidupan “demokrasi” moderen murni, ada kemungkinannya keluarga yang kira-kira sama kelas pajaknya saja yang mau berdansa satu sama lain. Contoh ini dilaporkan dari pengalaman di kota kecil di Swis. Tetapi kehormatan status tak memerlukan dikaitkan dengan “situasi kelas”. Sebaliknya, biasanya bertolak-belakang dengan pretensi kekayaan belaka. Orang kaya dan yang tak kaya dapat termasuk ke dalam kelompok status yang sama dan sering menimbulkan konsekuensi yang sangat nyata. Tetapi “persamaan” penghargaan sosial ini dalam jangka panjang menjadi sangat berbahaya. Persamaan status dikalangan “gentlemen” Amerika misalnya dinyatakan oleh fakta bahwa selain subordinasi yang ditentukan oleh perbedaan fungsi “bisnis”, dianggap sangat



56



menjijikkan (di tempat tradisi kuno masih berlaku) bila seorang “bos kaya” meski mau main kartu atau biliar dengan pelayannya diklubnya malam hari namun ia takkan mau memperlakukan pelayannya itu sederajat dengan dirinya. Akan menjijikkan bila bos Amerika dengan penuh kebajikan menampakkan tanda-tanda merendahkan diri kepad pelayannya. Sedangkan bos Jerman takkan pernah melepaskan tanda penuh kebajikan demikian dari sikapnya. Inilah alasan sangat penting yang menyebabkan klub ala Jerman di AS tak mampu menarik perhatian seperti klub ala Amerika.



6. Garansi Stratifikasi Status. Kehormatan status biasanya dijelmakan melalui gaya hidup khas yang dikembangkan oleh semua orang yang termasuk ke dalam lingkaran status tertentu. Selain itu berkaitan dengan harapan ini adalah pembatasan pergaulan sosial (pergaulan yang tak tunduk pada tujuan fungsional ekonomi atau aktivita bisnis lain). Pembatasan pergaulan ini meliputi pembatasan perkawinan hanya di dalam lingkarqn status saja dan dapat mengarah kepada sistem perkawinan endogamy murni. Pembentukan “status” berlangsung segera setelah individu tak ada lagi yang meniru gaya hidup kelompok lain yang tak relevan dengan gaya hidup mereka sendiri. Bentuk khas stratifikasi menurut “kelompok status” berdasarkan gaya hidup konvensional di AS saat ini berkembang dari demokrasi tradisional. Contohnya, hanya penduduk di jalan tertentu saja yang dianggap sebagai anggota “masyarakat” yang memenuhi syarat pergaulan sosial, yang dikunjungi dan yang diundang. Diferensiasi ini berkembang sedemikian rupa untuk menciptakan kepatuhan penuh terhadap kebiasaan yang dominan dalam masyarakat pada waktu tertentu. Kepatuhan terhadap kebiasaan dominan ini hingga tahap tertentu juga ada dikalangan orang Jerman. Kepatuhan demikian dapat dianggap sebagai indikasi fakta bahwa orang tertentu menganggap dirinya memenuhi syarat sebagai gentleman. Kepatuhan ini prima-facie menentukan bahwa sekurang-kurangnya ia ingin diperlakukan sebagai gentleman. Dan pengakuan ini sangat penting artinya bagi dirinya untuk mendapatkan



57



peluang kerja dalam jabatan mapan yang “megah” dan terutama untuk dapat bergaul dan kawin dengan anggota keluarga “terhormat” sebagaimana memenuhi syarat untuk “berduel” dikalangan orang Jerman di hari Kaiser. Lainnya; tempat tinggal keluarga tertentu sejak lama berkaitan erat dengan kekayaan, misalnya “F.F.V (First Family of Virginia) atau dinyatakan keturunan “Pangeran Indian” Pocahontas, Pilgrim Fathers atau the Knickerbockers, anggota sekte eksklusif dan semua tatacara yang mereka kembangkan sendiri ….. semua unsur ini “merebut kehormatan status”. Pembangunan status pada dasarnya adalah persoalan stratifikasi berdasarkan perampasan kekuasaan. Perampasan itu menjadi sumber hampir seluruh kehormatan status. Tetapi jalan dari situasi konvensional murni menuju hak istimewa berdasar hukum ini, positif atau negatif, mudah ditempuh segera setelah stratifikasi ketertiban sosial tertentu telah hidup dan mencapai stabilitas berdasarkan distribusi kekuasaan ekonomi yang stabil.



7. Segregasi Etnik dan Kasta. Dimana kemuliaan telah mencapai puncaknya, kelompok status akan berkembang menjadi “kasta” tertutup. Kehormatan status kemudian tak hanya dijamin oleh konvensi dan hukum semata tetapi juga oleh ritual. Ini terjadi sedemikian rupa sehingga setiap kontak pisik dengan anggota kasta yang dianggap berada di “bawah” oleh anggota kasta “lebih tinggi” dianggap sebagai najis dan cacat yang harus dibersihkan melalui tindakan keagamaan. Masing-masing kasta mengembangkan dewa-dewa dan cara memuja yang berbeda. Tetapi umumnya struktur status mencapai konsekuensi ekstrim demikian hanya dimana terdapat perbedaan yang melandasi yang berpegang pada perbedaan etnik. Kasta memang bentuk normal dimana komunitas etnik biasanya hidup berdampingan satu sama lain secara kemasyarakatan. Komunitas etnik ini percaya akan hubungan darah dan melarang perkawinan eksogami dan pergaulan sosial antar etnik. Situasi kasta seperti ini bagian dari fenomena orang “pariah” dan ditemukan diseluruh dunia.



58



Orang pariah ini merupakan sebuah komunitas, mengerjakan jenis pekerjaan tertentu seperti kerajinan tangan tradisional atau kerjainan lain dan mengembangkan kepercayaan dalam komunitas etnik mereka. Mereka hidup dalam “diaspora” yang dipisahkan sama sekali dari pergaulan pribadi keculai dari semacam pergaulan yang memang tak terhindarkan dan situasi mereka menurut hukum benar-benar sulit. Tetapi berkat peran ekonomi merka sangat diperlukan, mereka dibiarkan, sering mendapat hak istimewa dan mereka hidup di sela-sela komunitas politik. Orang Yahudi adalah contoh historis yang sangat mengesankan. Segregasi “status” yang menjadi “kasta” berbeda strukturnya dari segragasi etnik: struktur kasta merubah kehidupan berdampingan secara horizontal dan tak berhubungan dari kelompok yang terpisah secara etnis menjadi sebuah sistem sosial vertical yang terdiri dari kelompok berkuasa dan yang dikuasai. Bila dirumuskan secara tepat : sistem kemasyarakatannya secara menyeluruh menyatukan komunitas etnis yang semula terpisah-pisah ke dalam tindakan komunal dan politik khusus. Akibatnya mereka justru berbeda dalam hal ini : secara etnis hidup berdampingan dalam kondisi saling menolak dan saling melecehkan tetapi masing-masing komunitas etnik menganggap komunitasnya sendiri yang paling terhormat; struktur kasta menghasilkan subordinasi sosial dan pengakuan atas kasta dan kelompok status yang mempunyai hak istimewa sebagai yang “leih terhormat”. Ini karena fakta bahwa dalam struktur kasta, perbedaan etnik saja menjadi perbedaan “fungsional” di dalam kehidupan politik (prajurit, pendeta, pekerja tangan terampil yang secara politik penting untuk perang dan membangun dsb). Tetapi orang pariah yang dipandang sangat hinapun biasanya yakin atas “kehormatan khusus mereka sendiri” Hanya dengan hak istimewa negatif “perasaan bermartabat” kelompok status memerlukan deviasi khusus. Perasaan bermartabat adalah endapan kehormatan sosial dan tuntutan konvensional individual yang digunakan kelompok status yang mempunyai hak istimewa positif untuk meningkatkan sikap anggotanya. Perasaan bermartabat yang menandai kelompok status berhak istimewa positif biasanya berkaitan dengan “tubuh” mereka dalam arti “kecantikan dan keunggulan” mereka. 59



Mereka hidup untuk masa kini dan dengan mengeksploitasi kejayaan masa lalu mereka. Perasaan strata yang berhak istimewa negatif jelas mengacu pada masa depan yang terletak di luar masa kini apakah tentang kehidupan ini atau tentang hal lain. Dengan kata lain, perasaan itu dipelihara oleh keyakinan atas “tugas” yang ditakdirkan dan oleh keyakinan khusus kehormatan di hadapan Tuhan. Martabat “orang terpilih” dipelihara melalui keyakinan bahwa di akhirat, “orang terakhir akan menjadi orang perama” atau dalam kehidupan ini Al-Maseh akan muncul membangkitkan kehormatan tersembunyi orang pariah. Keadaan sederhana ini dan yang sangat ditekankan dalam Geneology of Moral karya Nietzche adalah sumber keyakinan agama yang ditanamkan oleh kelompok status pariah. Selintas dapat diketahui bahwa kebencian hanya dapat diterapkan pada tingkat terbatas; menurut Nietzche, untuk Budhisme tak dapat diterapkan sama sekali. Perkembangan kelompok status dari segregasi etnik adalah fenomena biasa. Sebaliknya, karena “perbedaan rasial” obyektif menjadi dasar perasaan subyektif tiap komunias etnik, akhirnya dasar rasial struktur status secara mutlak menjadi masalah individual konkrit. Sangat sering terjadi kelompok status menjadi pembantu dalam menghasilkan tipe manusia berdarah murni. Kelompok status sangat efektif dalam menghasilkan tipe manusia ekstrim, karena kelompok itu memilih sendiri individu yang memenuhi syarat untuk menjadi anggotanya. Tetapi seleksi bukan satu-satunya cara pembentukan kelompok status. Keanggotaan secara polits atau situasi kelas, sepanjang waktu sering menjadi faktor penentu pula. Kini situasi kelas, terutama gaya hidup yang diharapkan anggota kelompok status biasanya ditentukan oleh kondisi ekonomi.



8. Hak Istimewa Status. Untuk tujuan praktis, stratifikasi menurut status berhubungan erat dengan monopolisasi gagasan dan barang material atau kesempatan secara khusus. Disamping kehormatan status khusus yang selalu berdasarkan jarak dan keterpisahan



60



(exclusiveness) kita menemukan semua jenis monopoli material. Preferensi panggilan kehormatan mungkin terdiridari hak istimewa untuk memakai pakaian khusus, makan diatas piring khusus yang pantang dipakai oleh orang lain, memanggul senjata yang paling nyata akibatnya hak untuk mengikuti kegemaran latihan kesenian nonprofesional tertentu seperti memainkan instrumen musik tertentu. Monopoli material memang memberikan dorongan yang sangat efektif bagi keterpisahan kelompok status; meski monopoli material ini jarang yang cukup namun hingga taraf tertentu ada perannya. Di dalam lingkaran status ada persoalan tentang kawin dalam keluarga : kepentingan keluarga untuk memonopoli calon penganten lelaki sekurangkurangnya setara pentingnya dan paralel dengan kepentingan untuk memonopoli anak gadis. Anak gadis dalam lingkaran status harus disediakan dalam jumlah yang cukup bagi calon penganten lelaki. Dengan semakin tertutupnya kelompok status, kesempatan preferensial konvensional mengerjakan jenis pekerjaan tertentu berkembang menjadi monopoli hukum atas jabatan khusus bagi anggota kelompok status itu. Barang-barang tertentu menjadi obyek monopolisasi oleh kelompok status. Dalam cara khas ini meliputi “tanah milik”, dan sering pula pemilikan budak atau orang tanaman dan akhirnya perdagangan khusus. Monopoli ini terjadi secara positif bila kelompok status secara eksklusif memiliki dan mengelolanya sendiri; dan monopoli negatif bila untuk mempertahankan gaya hidupkhasnya, kelompok status tidak memiliki dan mengelola barang tersebut. Peran menentukan “gaya hidup” dalam “kehormatan” status berarti bahwa kelompok status adalah pembawa khusus seluruh “konvensi”. Menurut cara apapun dijelmakan, seluruh gaya hidup berasal dari dalam kelompok status atau sekurangkurangnya dipelihara oleh kelompok itu. Meski prinsip konvensi status sangat berbeda-beda namun menampakkan ciri khas tertentu terutama dikalangan strata yang mempunyai hak istimewa sangat besar. Umumnya dikalangan kelompok status yang mempunyai hak istimewa, ada ketentuan diskualifikasi status yang berguna untuk menentang penggunaan tenaga kerja pisik. Diskualifikasi ini kini di AS bertentangan dengan tradisi lama yang menghargai tenaga kerja. Sering terjadi setiap usaha 61



ekonomi rasional, terutama aktibita kewirausahaan dianggap sebagai pembatalan status. Aktivitas artistic dan kesusastraanpun dianggap sebagai pekejaan yang menurunkan martabat segera setelah kegiatan itu ditujukan untuk mencari nafkah atau sekurang-kurangnya ketika kegiatan itu dikaitkan dengan kerja keras secara pisik. Contohnya adalah pemahat yang bekrja seperti tukang batu dengan baju luar yang kotor, berlawanan dengan pelukis yang bekerja di dalam studionya dan pekerjaan sebagai pemusik yang dapat diterima oleh kelompok status.



9. Kondisi Ekonomi dan Pengaruh Stratifikasi Status. Pembatalan pekejaan menguntungkan begitu saja sering adalah akibat langsung prinsip stratifikasi-status khusus untuk ketertiban sosial dan prinsip ini tentu saja berlawanan dengan prinsip distribusi kekuasaan yang secara tersendiri diatur melalui pasar. Kedua faktor ini (prinsip stratifikais status dan prinsip distribusi kekuasaan) beserta berbagai faktor individual, dibahas berikut ini. Di atas terlihat bahwa pasar dan prosesnya “tak mengenal perbedaan pribadi”; “kepentingan fungsionallah yang menentukanya. Pasar tak mengenal “kehormatan”. Tingkatan statuslah yang mengenal kehormatan. Stratifikai yang dilihat dari sudut “kehormatan” dan gaya hidup, hanya dikenal dalam kelompok status saja. Bila pendapatan dan kekuasaan ekonomi saja dapat memberikan kehormatan yang sama dengan kehormatan orang yang statusnya berdasarkan gaya hidup yang mereka nyatakan khas untuk kelompok mereka sendiri, maka tingkatan status akan terancam diakarnya yang terdalam. Kekayaan per se melambangkan kehormatan meskipun secara lahiriah tak diakui seperti itu. Tetapi bila pendapatan ekonomi dan kekuasaan benar-benar memberikan seseorang kehormatan juga, maka kekayaannya akan menghasilkan kehormatan lebih besar ketimbang orang yang berhasil menuntut kehormatan berdasarkan gaya hidup. Karena itu seluruh kelompok yang berkepentingan terhadap tingkatan status, pasti secara terang-terangan beraksi menentang keinginan mendapatkan kehormatan status berdasarkan pendapatan



62



ekonomi murni. Dalam kebanyakan kasus, makin dahsyat reaksi kelompok status, makin besar ancaman yang mereka rasakan. Perlakuan Calderon yang menghormati petani misalnya seperti bertentangan dengan kebersamaan Shakespeare dan penghinaan nyata Canaille, melukiskan perbedaan cara dimana tingkatan status yang benar-benar terstruktur dengan ketat dibandingkan dengan tingkatan status yang telah menjadi genting secara ekonomi. Inilah contoh keadaan yang terulang dimana-mana. Justru karena reaksi hebat terhadap tuntuan kekayaan per se, “parvenu” tak pernah diterima secara pribadi dan tanpa syarat oleh kelompok status yang berhak istimewa, tak soal betapa lengkap gaya hidupnya yang telah disesuaikan dengan gaya hidup mereka. Mereka hanya mau menerima keturunan “parvenu” yang telah terdidik menurut adat kelompok status mereka dan yang tak pernah ternoda kehormatannya oleh kegiatan ekonomi mereka sendiri. Mengenai pengaruh umum tingkatan status, hanya satu akibat yang dapat dinyatakan tetapi sangat penting : rintangan perkembangan pasar bebas mula-mula terjadi bagi barang-barang



kelompok status yang langsung disembunyikan dari



pertukaran bebas melalui monopolisasi. Monopolisasi ini mungkin mempengaruhi hukum atau kebiasaan. Contoh diberbagai kota Yunani dan juga berawal di Romawi di zaman itu, kelompok yang mewarisi status (seperti ditunjukkan melalui formula kuno tentang penuntutan terhadap pemboros) memonopoli status seperti kesatria, petani, pendeta dan terutama langganan pengrajin dan pedagang. Pasar dibatasi dan kekuasaan dari kekayaan yang sebenarnya per-se yang memberikan capnya atas “pembentukan kelas “, didorong ke belakang. Akibat proses ini sangat beraneka ragam. Namun tak mampu memperlemah perbedaan dalam situasi ekonomi. Malah sering memperkuat perbedaan situasi ekonomi ini dan dimana stratifikasi berdasarkan status yang merasuki komunitas, benar-benar sama dalam seluruh komunitas politik di zaman kuno dan di Abad Pertengahan. Orang tak mungkin berbicara tentang kompetisi pasar bebas murni seperti yang kita fahami kini. Pengaruhnya lebih luas dari pada pengeluaran langsung barang tertentu dari pasar. Dari pertentangan antara tingkatan status dan tingkatan ekonomi murni yang dikemukakan di atas, dalam 63



banyak hal diikuti gagasan kehormatan khusus status yang secara mutlak tak menyukai sesuatu yang sangat penting bagi pasar, yakni higgling. Kehormatan tak menyukai higgling



dikalangan teman dan biasanya haggling tabu bagi anggota



kelompok status umumnya. Karena itu dimana-mana ada kelompok status dan biasanya yang paling berpengaruh, menganggap hampir setiap jenis partisipasi nyata dalam kegiatan ekonomi sebagai noda mutlak. Dengan agak terlalu disederhanakan, orang dapat mengatakan bahwa “Kelas” adalah stratifikasi menurut prinsip konsumsi barang mereka seperti yang dilukiskan oleh “gaya hidup” khusus “kelompok pekerjaan” adalah juga kelompok status. Biasanya untuk berhasilnya tuntutan kehormatan sosial hanya berdasrkan gaya hidup khusus yang mungkin ditentukannya. Perbedaan antara kelas dan kelompok status sering tumpang-tindih. Justru komunitas status yang paling keras dipisahkan kehormatannya (yakni kasta di India) yang nampak kini, meski dengan batas sangat kaku, tingkat ketakacuhan terhadap pendapatan yang berkaitan dengan uang relatif tinggi. Namun kasta Brahmana mencari uang dengan berbagai cara. Mengenai kondisi ekonomi umum menuju keunggulan stratifikasi berdasarkan “status” sangat sedikit yang dapat dikatakan. Bila basis pendapatan dan distribusi barang relatif stabil, stratifikasi berdasarkan status akan disetujui. Setiap penolakan tehnologi dan transformasi ekonomi, mengancam stratifikasi berdasarkan status dan mendorong situasi kelas ke depan zaman dan negeri dimana situasi kelas yang sebenarnya berkuasa, biasanya merupakan periode transformasi ekonomi dan tehnologi. Dan setiap pergeseran stratifikasi ekonomi berjalan lambat menimbulkan pertumbuhan struktur status dan menimbulkan kesadaran tentang peran penting kehormatan sosial.



10. Partai Tempat asli “kelas” adalah didalam tatanan ekonomi, tempat asli “kelompok status” adalah di dalam tatanan sosial yakni di dalam bidang distribusi “kehormatan”.



64



Dilihat dari bidang ini, kelas dan kelompok status saling mempengaruhi dan keduanya mempengaruhi ketertiban hukum dan selanjutnya keduanya dipengaruhi oleh ketertiban hukum. Tetapi “partai” tinggal di dalam rumah “kekuasaan”. Tindakan partai ditujukan kepada uapaya untuk mendpatkan “kekuasaan” sosial dalam arti untuk mempengaruhi tindakan komunal, apapun maksudnya. Pada dasarnya partai dapat muncul dalam “klub” sosial maupun dalam kehidupan bernegara. Berbeda dari tindakan kelas dan kelompok status, tindakan komunal “partai” selalu berarti tindakan kemasyarakatan. Tindakan partai selalu ditujukan kepada tujuan memperjuangkan tujuan yang direncanakan sebelumnya. Tujuan jpartai ini mungkin menjadi “penyebab” (partai mungkin bertujuan mewujudkan program yang mengandung tujuan ideal atau material) atau tujuan partai mungkin bersifat “personal” (pekerjaan yang sangat enteng, kekuasaan dan dari sini kehormatan pimpinan dan anggota partai itu). Biasanya tindakan partai secara serentak ditujukan untuk mencapai semuanya ini. karena itu parai hanya mungkin ada dalam komunitas yang terlembagakan dalam arti yang mempunyai tatanan rasional dan tersedianya pengurus yang siap untuk melaksanakan tatanan rasional itu. Partai justru bertujuan mempengaruhi staf pengurus ini dan bila mungkin, merekrut pengurus ini dari anggotanya. Dalam kasus individual, partai mungkin mencerminkan kepentingan seluruh “situasi kelas” atau”situasi status” dan partai mungkin merekrut anggotanya berturutturut dari situasi kelas atau dari situasi status. Namun partai sebenarnya tak memerlukan anggota murni dari situasi kelas atau dari situasi “status. Artinya partai tak perlu menjadi partai “kelas” atau partai “status”. Dalam kebanyakan kasus ada sebagian partai kelas dan ada partai status tetapi adakalanya bukan partai kelas dan bukan partai status. Partai demikian mencerminkan struktur sementara atau struktur abadi. Cara untuk mendapatkan kekuasaan dari partai mungkin berbeda-beda mulai dari penggunaan berbagai jenis kekerasan terang-terangan maminta dukungan suara secara kasar (menakut-nakuti orang sebelum memasuki bilik-suara) atau dengan cara halus : menggunakan uang, pengaruh sosial, kekuatan berpidato, sugesti, tipu daya 65



canggung hingga penggunaan taktik yang lebih kasar atau yang lebih licik dengan menimbulkan gangguan di dalam tubuh parlemen. Struktur sosiologis partai berbeda-beda sesuai dengan jenis tindakan komunal yang mereka perjuangkan untuk dipengaruhi. Partaipun berbeda menurut apakah komunitasnya terstratifikasi oleh status atau oleh kelas atau tidak. Partai juga berbeda menurut struktur dominasi di dalam komunitasnya. Pimpinannya biasanya berurusan dengan upaya merebut hati rakyat (komunitas). Menurut konsep umum yang dipertahankan disini, pimpinan partai tak hanya berfungsi menciptakan bentuk-bentuk dominasi khas dalam kehidupan moderen. Partai di zaman kuno dan diabad pertengahan juga kita nyatakan sebagai partai, meski fakta menunuukkan bahwa strukturnya secara mendasar berbeda dari struktur partai moderen. Berdasarkan atas perbedaan struktur dominasi ini mustahil untuk membicarakan sesuatu mengenai struktur partai tanpa membahas bentuk-bentuk struktural dominasi sosial per-se. partai yang selalu merupakan sebuah struktur untuk memperjuangkan dominasi, sangat sering diorganisir menurut cara yang sangat “autoritarian”….. Mengenai “kelas”, “kelompok status” dan “partai” secara umum dapat dikatakan bahwa ketiganya memerlukan pengorganisasian secara komprehensif terutama kerangka politik tindakan komunal dimana ketiganya beroperasi. Ini tak berarti bahwa partai akan dibelenggu oleh batas-batas komunitas politik secara individual. Sebaliknya, di seluruh zaman ditemukan adanya organisasi partai yang melampaui batas-batas politik. Contohnya terjalinnya solidaritas kepentingan dikalangan oligarkhi dan dikalangan demokrat di Hellas, dikalangan Guelf dan dikalangan Ghibellines di Abad Pertengahan dan didalam partai Calvinis selama periode perjuangan agama. Ikatan partai yang melintasi batas kelas dan status ini banyak contohnya dalam sejarah. Tujuannya tak perlu membentuk politik internasional baru dalam arti dominasi territorial. Tujuan utamanya adalah untuk mempengaruhi dominasi yang ada.2



66



Catatan Kaki. 1. Wirtscahft und Gessellschaft, part.III, Chap.4: 631-640. 2. Naskah yang diterbitkan setelah Weber mati, dipotong disini. Sketsa tentang tipe “warrior estates” diabaikan.



67



Ketimpangan dan Struktur Sosial Oleh : R. H. Tawney Ketimpangan dikecam dan persamaan didambakan bukan karena sekedar menghargai ilusi romantis yang mengesankan bahwa manusia sama watak dan kecerdasannya. Meski watak manusia berbeda-beda, namun tiap masyarakat beradab selalu ditandai oleh upaya untuk melenyapkan sumber ketimpangan, bukan yang berasal perbedaan watak dan kecerdasan individual, melainkan yang berasal dari organisasi sosialnya sendiri. Sedangkan perbedaan bakat individual yang dianggap sebagai sumber energi sosial, lebih besar kemungkinannya akan dimatangkan dan menemukan perwujudannya ketika ketimpangan sosial sudah berkurang seoptimal mungkin. Hambatan untuk mengembangkan persamaan adalah sesuatu yang lebih sederhana dan lebih sukar dari pada hambatan dalam menyadari kebenaran ahwa manusia memang berbeda-beda mental dan moralnya, ciri-ciri fisik dan wataknya, dan berbeda pemikiran penting dan yang berharga yang mereka miliki. Juga benar bahwa individu yang berbeda-beda itupun memerlukan perlengkapan hidup yang berbeda, tipe ketentuan yang berbeda. Ada kebiasaan yang berfikir yang tak dapat disesalkan, namun alamiah dan diinginkan, yang mengira bahwa bagian-bagian berbeda sebuah komunitas tentu dibedakan satu sama lain oleh perbedaan tajam status ekonomi, lingkungan, pendidikan, kultur dan kebiasaan hidup. Memang ada watak yang lebih menyetujui institusi sosial dan ekonomi yang menekankan dan meningkatkan perbedaan antara individu dan tak percaya atas segala upya untuk mengurangi perbedaan dan ketimpangan yang ada. Institusi sosial dan ekonomi serta kebijakan yang mencerminkan watak seperti itu tak terhitung jumlahnya. Institusi dan kebijakan yang mencerminkan perbedaan individual ini adakalanya meronai hubungan antara jenis kelamin berbeda. Adakalnya mewarnai hubungan antara orang yang berbeda agama. Di saat lain mewarnai hubungan antara orang yang berbeda rasnya. Namun dalam komunitas, lelaki dan wanita diperlakukan sama secara ekonomi dan politik dan pembagian yang masih 68



ada, bagaimanapun menjadi tidak signifikan lagi. Gejala eksternal paling menonjol dari perbedaan status ekonomi dan posisi sosial adalah system pembagian kelas, sosial secara bertingkat. Upaya yang selalu dilakukan untuk memeperlunak atau menghapuskanya, bukanlah perbedaan individual melainkan tingkatan kelas sosial. Gerakan histories sebenarnya menuju ke arah lengkapnya ketimpangan sosial, selalu diupayakan untuk dicapai. Karena itu, untuk memahami masalah ketimpangan sosial, terlebih dahulu harus ditemukan system kelas yang melatar belakanginya. Dan dengan memperhatikan sikap mereka terhadap hubungan antara kelas, orang yang berwatak dan berpandangan hidup egalitarian (percaya bahwa semua orang sederajat) dapat dibedakan dari orang yang berwatak dan berpandangan hidup sebaliknya. Masyarakat yang menganut nilai persamaan akan memberikan arti sangat tinggi pada perbedaan watak dan kecerdasan antara individu berlainan dan akan memberikan arti yang rendah tingkatannya pada perbedaan sosial dan ekonomi antara kelompok berlainan. Dalam membentuk organisasi sosial dan kebijakannya, masyarakat demikian akan memberikan perhatian dan berusaha keras untuk mendorong perkembangan perbedaan watak dan kecerdasan antara individu dan untuk menetralisir dan menganggap tidak sopan dan kekanak-kanakan menekankan ketimpangan ekonomi dan sosial itu bila ketimpangan itu masih ada. Masyarakat yang menyintai ketimpangan sosial dan ekonomi akan mengambil langkah sangat berbeda. Mereka akan membolehkan katimpangan meresapi seluruh aspek kehidupan seperti kehidupan ekonomi, yang menjadi sumber awal ketimpangan lainnya, dan sukar melenyapkannya karena ketimpangan itu menjadi semacam obsesi yang mewarnai keseluruhan hubungan sosial. Makna Kelas. Kebanyakan pengamat yang jujur mengakui bahwa gagasan “kelas” adalah kategori sosial sangat berpengaruh. Arti penting kelas adakalnya ditolak karena kelompok yang digambarkan sebagai kelas itu mungkin terjadi dari berbagai kelas itu mungkin terdiri dari berbagai persoalan yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa 69



bagian. Tetapi fikiran ini mencampur adukkan antara fakta kelas dan kesadaran kelas. Fakta kelas dan kesadaran kelas adalah dua fenomena berbeda. Fakta kelaslah yang menciptakan kesadaran kelas, bukan sebaliknya. Kelas mungkin ada tanpa kesadaran kelas dan kelompok kelas mungkin ditandai oleh ciri-ciri bersama dan menepati posisi tersendiri Vis-à-vis kelompok lain tanpa menyadari keadaan demikian kecuali disaat terjadinya ketegangan luar biasa. Meski konsep kelas merupakan kategori sosial sangat berpengaruh namun ia juga berarti-dua. Karena itu tak heran adanya perbedaan besar penafsiran yang diberikan oleh sosilog maupun oleh orang awam. Perang, institusi kekayaan privat, ciri-ciri biologis, pembagian kerja, semuanya dikemukakan untuk menerangkan fakta pembentukan kelas dan perbedaan kelas. Adanya bermacam-macam doktrip sebenarnya disebabkan fakta kelas itu sendiri bermacam-macam. Jelas ada masyarakat yang posisi dan hubungan kelompok yang membentuknya akhirnya telah ditentukan oleh pengaruh penaklukan. Jelas, aturan yang menjadi landasan pengusahaan dan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Jelas ada keadaan dimana ciri-ciri biologis kelompok berlainan menjadi pertimbangan yang revelan. Jelas munculnya kelompok sosial baru secara alamiah menyertai perbedaan fungsi ekonomi –misalnya memisah –misah masyarakat yang semula relatif sederhana dan belum mengenal diferensiasi menjadi sejumlah besar profesi dan keahlian spesialis masing-masing dengan peran ekonominya yang berbeda, dengan pendidikan, pandangan dan kebiasaan hidupnya yang berbeda yang telah menimbulkan akibat sangat nyata berupa transisi sebagian besar masyarakat Eropa dari peradaban yang didominan oleh industri kini. Tetapi beberapa faktor berbeda tersebut di atas berbeda-beda tingkatan perannya menurut zaman, komunitas dan koneksi nerlainan. Di Eropa barat misalnya, gangguan satu ras terhadap ras lain melalui kekuatan militer sangat besar perannya selama periode awal sejarahnya tetapi diabad belakangan ini sudah kecil perannya merubah struktur sosialnya. Nampaknya kelompok tertentu ditandai oleh ciri-ciri biologis berlainan. Namun ciri-ciri biologis berbeda itu memerlukan periode sangat 70



panjang untuk menimbulkan akibatnya sedangkan perubahan struktur sosial dapat terjadi dalam satu generasi sukar mengira perubahan besar dalam klasifikasi sosial yang terjadi dimasa lalu – perubahan besar-besaran dalam hubungan kelas misalnya apakah akibat Revolusi Perancis atau karena munculnya tipe baru sistem kelas dan karena lenyapnya sistem kelas lama yang dimana-mana menyertai perkembangan industri besar atau pertumbuhan lebih belakangan dari tehnisi, manejer, pakar ilmiah, administrator profesional dan pegawai negeri-tepatkah ditafsirkan sebagai fenomena biologis. Mungkin benar bahwa konsep kelas yang sangat berguna adalah yang menganggap kelas sebagai kelompok sosial yang sangat mewarnai kepentingan ekonomi komunitas. Tetapi meski kelas adalah kelompok sosial, tidak semua kelompok sosial bahkan ketika mereka mempunyai kepentingan ekonomi yang sama pun dapat dilukiskan sebagai kelas. Menurut Lord Bryce yang menulis tentang AS satu generasi yang lalu, “kelas di AS sama dengan sebuah negara lebih besar di Eropa. Untuk tujuan politik, orang tak mesti membagi kelas sebagai kelas atas dan kelas bawah, kelas lebih kaya dan kelas lebih miskin, tetapi lebih tepat menurut tingkatan pekerjaan yang mereka kerjakan”. Pembedaan buatan Bryce antara pekerjaan dan pembagian sosial masih terpelihara signifikansinya hingga kini. Pedagang saham, dokter, penambang, masinis KA, dan pemintal kapas mewakili setengah lusin kelas. Tukang pos, tukang bata dan insinyur mengerjakan pekerjaan yang sangat berbeda dan sering mempunyai kepentingan ekonomi berlainan; tetapi mereka tidak dibedakan satu sama lain oleh perbedaan status ekonomi, lingkungan, pendidikan dan peluang yang menurut opini publik dikaitkan dengan perbedaan antar kelas. Komunitas yang ditandai oleh tingkat diferensiasi ekonomi yang rendah mungkin mempunyai sistem kelas yang garis batasnya dapat ditarik secara tajam dan ditetapkan secara kaku seperti yang terdapat misalnya diberbagai bagian masyarakat agraris di Eropa abad 18. Komunitas itu mungkin juga ditandai oleh tingkat diferensiasi ekonomi tergolong tinggi dan sistem kelasnya masih nampak bila dinilai



71



menurut standard Inggeris seperti yang terdapat di beberapa kawasan yang menjadi dominion Inggeris. Karena itu konsep kelas selain lebih mendasar juga lebih sukar difahami ketimbang pembagian antara tipe pekerjaan berlainan. Konsep kelas tidak hanya berhubungan dengan cir-ciri khusus sebuah kelompok tetapi berhubungan dengan totalitas kondisi yang mempengaruhi beberapa sisi kehidupan klasifikasi dapat berbeda-beda sesuai dengan tujuan membuatnya dan hal yang dipilih untuk memperhatikan. Pembuatan klasifikasi konvensional tidak memperhatikan struktur sosial secara rinci tetapi memperhatikan garis besarnya dan pada ciri-cirinya yang menonjol, membuat pembagian individu secara kasar menurut sumber nafkah dan cara hidup mereka, menurut jumlah pendapatan mereka, dan dari mana pendapatan itu berasal, menurut pemilikan kekayaan mereka atau menurut hubungan mereka dengan orang yang memiliki kekayaan itu, menurut keamanan atau ketakamanan posisi ekonomi mereka, menurut tingkat pendidikannya dan dengan strata sosial mana biasanya ia bergaul, siapa saja yang diperintahnua atau sebaliknya siapa biasanya yang menentukan nasibnya. Singkatnya batas kelas itu sebagian menunjuk pada konsumsi, sebagian pada produksi; sebagian menurut standar pengeluaran; sebagian menurut posisi yang diduduki individu dalam sistem ekonomi. Meski kriterianya berubah dari generasi dan kini jelas berubah dengan kecepatan mengagumkan namun kecenderungan umumnya sudah jelas. Disatu titik ujung skala terdapat orang berpendapatan sbesar dan dititik ujung lain terdapat orang yang berpendapatan kecil dan hidup dengan tenaga kerja manual. Antara dua titik ujung ini terdapat orang yang berpendapatan lebih besar dari pada pendapatan orang kedua tetapi lebih kecil daripada pendapatan orang pertama dan yang memiliki kekayaan lebih sedikit atau posisinya dekat ke orang yang memiliki kekayaan itu. Kini pemakaian kriteria kelas konvensional telah diabaikan dan ditekankan pada batas utamanya. Dengan berbuat demikian, dengan segala kekasaran ukurannya akan lebih dapat memhami sisi signifikan tertentu realitas ketimbang memahami gagasan kelas semata hanya dengan melihat ekspresi sosial dari pembagian kerja 72



antara kelompok-kelompok yang terlibat dalam tipe kegiatan ekonomi berlainan saja. Karena, meski perbedaan kelas dan perbedaan pekerjaan sering berasal dari sumber yang sama, namun segera setelah terbentuk, perbedaan itu mendapatkan vitalitas dan momentumnya sendiri dan sering mengalir dalam saluran berbeda. Esensi perbedaan pekerjaan adalah perbedaan fungsi ekonomi : perbedaan pekerjaan adalah organ kerjasama melalui pembagian kerja-Esensi perbedaan kelas adalah perbedaan status dan kekuasaan : perbedaan kelas biasanya menyatakan tingkat wewenang dan subordinasi yang berbeda. Kenyataannya sistem kelas biasanya dihubungkan dengan perbedaan posisi sosial, bukan hanya dengan perbedaan tingkatan ekonomi semata. Dengan demikian, kelompok berlainan tidak hanya dibedakan satu sama lain seperti perbedaan profesi oleh pelayanan yang mereka sumbangkan tetapi dibedakan status dan kekuasaan : perbedaan kelas biasanya menyatakan tingkat wewenang dan subordinasi yang berbeda. Kenyataannya sistem kelas biasanya dihubungkan dengan perbedaan posisi sosial, bukan hanya dengan perbedaan tingkatan ekonomi semata. Dengan demikian, kelompok berlainan tidak hanya dibedakan satu sama lain seperti perbedaan profesi oleh pelayanan yang mereka sumbangkan tetapi dibedakan dalam status, pengaruh dan adakalanya dalam perhatian dan penghormatan. Bahkan kini, meski agak kurang terbiasa seperti dulu, kelas cenderung menentukan pekerjaan ketimbang pekerjaan menentukan kelas. Diseluruh zaman opini publik telah diserang oleh ciri-ciri dalam organisasi sosial ini dan telah menggunakan istilah dengan berbagai tingkat ketepatannya untuk membedakan strata atas dari strata bawah, adakalanya dengan melukiskan strata atas itu sebagai indah dan bagus, adakalanya sebagai orang yang dilahirkan kedua kali atau sebagai anak Tuhan dan pahlawan, adakalanya sebagai orang terbaik. Pengungkapan seperti itu, meski adakalanya bukan dengan istilah yang tetapi menunjukkan fenomena yang menerimanya. Dalam kebanyakan masyarakat tak hanya terdapat diferensiasi vertikal seperti antara rekan sekerja dengan tugas berbeda dalam usaha bersama tetapi juga terdapat diferensiasi horizontal seperti antara orang



73



yang menempati posisi dengan mendapat keuntungan tertentu dan orang yang tak mendapatkannya. Tingkat pembagian horizontal yang berlaku sangat berbeda dan dalam komunitas yang sama pada waktu yang sama. Pembagian horizontal ini lebih menandai sebagian besar masyarakat Eropa ketimbang AS, dan Dominion Inggeris di bagian timur Amerika ketimbang di bagian barat, di Inggeris ketimbang di Perancis; dan jelas lebih menandai masyarakat Inggeris setengah abad yang lalu ketimbang kiin. Dalam keadaan berubah terus-menerus, pembagian horizontal ini tak mudah digambarkan dan sukar dilukiskan sebelum diskripsinya ketinggalan zaman. Namun hingga taraf tertentu pembagian horizontal itu ada dalam kebanyakan masyarakat dan dimanapun pembagian itu ada, besar kemungkinannya akan menjadi sumber kejengkelan. Dimasa lalu pembagian horizontal ini diterima secara acuh tak acuh, pembagiannya menyerupai pembagian horizontal di bawah kondisi politik dan ekonomi moderen, menyerupai syaraf sensitif yang bergetar bila tersentuh atau seperti gigi yang setelah mulai berlobang harus segera ditenangkan atau dicabut sebelum sakitnya dapat dilupakan dan perhatian harus dicurahkan terhadap urusan kehidupan yang serius. Ada kemungkinan pembagian horizontal ini juga mempunyai kerugian seram tertentu. Bila ada, keuntungannya sangat besar kemungkinannya dapat dinikmati dan kerugiannya dapat disingkirkan bila ciri-ciri utamanya sedari awal tidak dicela atau dihargai tetapi difahami. Persamaan dan Kultur Karena kehidupan cepat berubah dan teori lambat berkembang maka tak mengherankan bermacam-macam organisasi kelas tak tercermin secara memadai dalam terminologi ilmu politik. Ketiadaan kata untuk melukiskan tipe masyarakat yang menggabungkan bentuk demokrasi politik dengan pembagian ekonomi dan sosial yang tajam menyebabkan kaburnya realitas praktis yang penting untuk dipegang.



Klasifikasi



konfensional



komunitas



menurut



ciri-ciri



struktur



konstutisionalnya berguna dizaman ketika tujuan utama usaha dan spikulasi adalah 74



untuk memperluas hak-hak politik. Kekuatan ekonomi dan sosiallah yang sangat besar pengaruhnya dalam menentukan operasi praktis institusi politik dan hubungan ekonomi dan sosiallah yang menciptakan masalah internal paling mendesak yang dihadapi komunitas industri. Perbedaan sangat signifikan yang membedakan antara satu masyarakat dari masyarakat lain bukanlah perbedaan bentuk konstitusi dan pemerintahan melainkan perbedaan tipe struktur ekonomi dan struktur sosialnya. Perbedaan yang paling mendasar adalah yang membagi komunitas menjadi dua belah. Disatu pihak terdapat tipe komunitas yang prakarsa ekonominya tersebar luas dan perbedaan dimensi kelasnya kecil dan spele pengaruhnya. Dilain pihak ada tipe komunitas yang sebagian besar orang melaksanakan pengaruh sangat kecil dalam kegiatan ekonomi dan gradari ekonomi dan cultural menurun dengan cepat dari satu strata ke strata lain. Kedua tipe komunitas ini mungkin mempunyai institusi perwakilan, hak suara yang luas dan pemerintah yang bertanggung jawab; karena itu keduanya dapat dilukiskan sebagai masyarakat demokratis. Namun dengan menganggap kedua tipe serupa, berarti mengabaikan perbedaan besar semangat dan kualitas antara demokrasi dimana pembagian kelas memainkan peran yang tergolong tak penting dalam kehidupan dan demokrasi dimana pengaruh pembagian kelas meresap ke segala aspek kehidupan. Semua mamalia mempunyai struktur anatomi yang sama. Pemandangan di Inggris serupa dengan di Swis karena kedua negara terletak dikawasan beriklim sedang. Keanekaragaman demikian oleh ilmuan politik harus diperlakukan sebagai sepsis terpisah dan harus diberi nama berbeda. Inggris mengandung unsur demokrasi sangat luas, bukan hanya demokrasi politik tetapi disana juga terdapat oligarki sosial. Oligarki sosial ada dalam kondisi material dan budaya ekonomi yang sangat berbeda-beda. Di masa lalu, oligarki sosial ini secara khusus berkaitan dengan organisasi feodal masyarakat agraris. Diawal pertumbuhan ekonomi moderen, perluasan



perdagangan



dan



manufaktur



disambut



sebagian



orang



dengan



kekhawatiran dan oleh sebagian lain disambut dengan gembira sebagai asam yang akan melarutkan oligarki sosial. Kini, sejak sebagian besar petani Eropa telah 75



memiliki tanah pertaniannya sendiri komunitas yang tinggi tingkat perkembangan industrinya menjadi benteng pertahanan ologarki sosial. meski di negara seperti Inggeris dan Jerman perkembangan puncaknya industri besar tak hanya menyesuaikan diri dengan tradisi lama aristokratis tetapi juga menciptakan tradisi baru. Industri besa ini membentuk organisasi sosial yang dalam ketiadaan tindakan yang menentangnya, industri besar itu sendiri cenderung tercipta secara spontan, ketika ledakan energi mudanya yang mula telah berlalu, ketika fase individualistis, penyamarataan dan fase merusaknya digantikan oleh system dan organisasi. Ilustrasi paling memberi pelajaran tentang kecenderungan itu diberikan oleh sejarah perkembangan industri AS karena di AS-lah operasi industri besar berkembang sangat cepat dan paling kurang terantisipasi. AS memulai membangun industrinya sama menaggumkan dengan keadaan ketika mereka memabngun masyarakat mula-mual. AS tak mengalami abad pertengahan yang harus dilupakan AS bebas dari ketakadilan hukum pertanahan feodal dan system kelas Eropa. AS dimulai sebagai masyarakat yang terdiri dari petani, pedagang dan pengrajin kecil tanpa proletariat yang besar jumlahnya atau sisa budak pengolah tanah yang tetap hidup di Eropa hingga seabad lalu. Di AS diyakini bahwa semua orang mempunyai hak untuk hidup, kemerdekaan dan mengejar kebahagiaan yang sama. Yakin dengan harapan bahwa takkan tercela oleh perbedaan kekuasaan dan kekayaan yang disalahgunakan di Eropa, menjadi inspirasi bagi orang seperti Thomas Jefferson yang melihat dalam revolusi tak hanya kelahiran negara baru tetapi juga munculnya masyarakat yang lebih bahagia. Remisasi harapan itu sekurang-kurangnya dibagian tertentu AS, yang telah menjadi magnit bagi orang Eropa selama seabad yang lalu, masih memberikan daya tarik bagi kehidupan orang Amerika. Memang banyak ditandai oleh ketimpangan ekonomi; tetapi juga ditandai oleh persamaan sosial yang merupakan warisan dari fase awal peradaban ekonominya, meski berapa lama lagi akan bertahan hidup dalam kondisi kini adalah sebuah pertanyaan lain, dimana orang Amerika sendiri adakalanya mengkhawatirkannya.



Persamaan



sikap 76



dan



kebebasan



dari



pengekangan



konvensional tertentu sekurang-kurangnya sebagian yang ada kini bukan disebabkan perkembangan industri Amerika. Hapir seabad yang lalu Dengan Tocqueville dalam bukunya De la Democratic en Amerique menulis bahwa persamaan umum kondisi di AS adalah fakta fundamental dari mana seluruh kondisi lain berasal, menimbulkan pertanyaan “Bagaimana mungkin aristokrat dilahirkan oleh manufaktur”. Jika sekiranya ketimpangan permanen dan aristokrasi sekali lagi merembes keseluruh dunia, mungkin diramalkan bahwa AS inilah yang menjadi gerbang tempat masuknya. Organisasi ekonomi Amerika sering menjadi sasaran penelitian dan sekiranya hasil penelitian itu dapat dipercayai, sejauh menyangkut industrin AS dapat diramalkan kini tak jauh dari terpenuhi. Dan apa yang berlaku pula bagi kecenderungan alamiah industri besar itu adalah menghasilkan konsentrasi kekuasaan ekonomi dan ketimpangan keadaan dan kondisi yang disebut De Tocquiville sebagai tanda ketertiban sosial aristokratis. Hak untuk mengejar kebahagiaan tidak identik dengan hak untuk mendapatkannya dan menyatakan fakta bukan berarti menyatakan penilaian terhadapnya. Dengan melihat konsentrasi ekonomi dan stratifikasi sosial, misteri ketidakadilan dan tanda-tanda kebinatangan dapat dianggap sebagai hasil kualitas persengkokolan sengaja dan menakutkan yang sebagian adalah akibat kegagalan mengendalikan kekuatan impersonal, sebagian bukan karena kecerdasan licik dan tak mengindahkan moral, melainkan akibat keserakahan dalam mendapatkan uang dan kekuasaan dikalangan segelintir orang dan penghormatan berlebih-lebihan atas kesukaan dalam mendapatkannya dikalangan orang banyak, tak diragukan lagi menjadi sikap yang tak dibuat-buat (naïve). Namun betapapun dianggap tak rasional, ciri-ciri keserakahan seperti itu dalam sebuah komunitas yang cerdas harus dilenyapkan. Betapa tak masuk akal menganggap sikap serakah itu sebagai tak terelakkan dan terpuji, menanamnya dengan penuh kebanggaan dan menyesalinya ketika landasan ekonominya terancam, ketika peradaban menjadi hancur. Sebuah bangsa tergolong tak beradab karena segelintir anggotanya berhasil mendapatkan 77



sejumlah besar uang dan membujuk pengikutnya sambil menyatakan malapetaka akan terjadi bila mereka tak mendapatkannya, melebihi bangsa Dahomey yang beradab karena rajanya bertahtakan emas dan mempunyai sejumlah besar budak atau melebihi Judea karena Suleiman memiliki ribuan selir dan mengimpor kera dan merak dan dikelilingi oleh pengikut yang memuja-mujanya. Bagi sebuah masyarakat, lebih besar masalah yang dihadapinya dalam cara membagi dan menggunakan kekayaan yang dimilikinya ketimbang mengatasi kekurangannya. Sebuah masyarakat tergolong beradab sejauh perilaku anggotanya dibimbing hanya oleh penghormatan atas cita-cita dan tujuan spritual, sejauh masyarakat itu menggunakan sumber materialnya untuk meningkatkan martabat dan kehalusan budi individu yang menjadi anggotanya. Perbedaan kekayaan dan kekuasaan yang mencolok dan kesetiaan membabi-buta terhadap pranata yang mempertahankan dan meningkatkan perbedaan mencolok itu jelas takkan mendorong upaya untuk mencapai tujuan meningkatkan kehalusan budi anggota masyarakat, melainkan merintanginya. Karena itu ada tanda-tanda ketiadaan peradaban, tetapi barbarisme seperti cincin emas di hidung penguasa (monarch) yang biadab atau intan permata pada perhiasan isteri-isteri mereka dan rantai-belenggu pada budak-budak mereka. Perbedaan mencolok itulah yang menentukan landasan tempat terjadinya perjuangan sosial dan yang memimpin pejuang yang terlibat dalam perjuangan itu. Ketimpangan material dan kekuasaan itu adalah sebuah penyakit yang harus diobati dan menjadi masalah yang memerlukan penyelesaian. Namun benarkah ketimpangan material dan kekuasaan itu merupakan penyakit? Pertanyaan ini adakalanya dijawab bahwa ketimpangan ekonomi yang tajam menciptakan ketamakan dan tebal muka, tak berperasaan dan bagi yang beruntung mereka anggap sebagai pelindung, yang tanpa kekayaan berlebihan itu akan membinasakan diri mereka. Dalam bukunya yang menarik, Bell menyatakan bahwa ciri-ciri masyarakat beradab adalah kepantasan dan perasaan dan perasaan berharga dan kualitas ini menurut persetujuan umum mungkin menemukan wujudnya yang tertinggi dan abadi 78



karena menjadi sasaran elite untuk memerdekakan tenaga kerja budak dan petani dengan mendapatkan perasaan berharga itu. Apa yang benar di Athena dizaman Pericles dan Italia dizaman Renaisan dan di Perancis di zaman Voltaire adalah benar dalam ukuran lebih sederhana tiap masyarakat yang cukup dewasa untuk memahami bahwa energi ke bebasan dan kecerdasan adalah lebih penting (vitual) bagi kesejahteraannya ketimbang pemuasan kebutuhan materialnya secara mekanis. Bila energi kebebasan dan kecerdasan itu tak hanya dinikmati tetapi dihormati keberadaannya, maka orang tentu akan keranjingan akan sesuatu yang sangat bermutu. Energi itu tentu akan menegakkan standard kesempurnaan dan mempertahankannya terhadap tuntutan sehari-hari dari orang kebanyakan yang berselara rendahan. Namun standard kesempurnaan itu adalah prestasi minoritas dan ketimpangan adalah pagar yang melindunginya. Standard kesempurnaan ibarat hutan kecil yang menjaga tempat suci terhadap gangguan binatang. Seperti oasis yang sedikit orang yang mendiaminya, namun dengan membayangkannya saja menimbulkan kesegaran dan harapan bagi musafir di gurun pasir, ketimpangan melindungi



kehormatan



hidup



dari



kehinaan



sehari-hari.



Ketimpangan



mempertahankan tradisi kultur dengan memastikan bertahan hidupnya sebuah kelas dan mempertahankan tradisi yang mempertahankan dirinya sendiri. Dibandingkan dengan segolongan besar yang melalui peradaban memahami perkembangan aparatur dan permesinan pemerintahan yang ada meskipun Athena atau ratu Elizabeth dari Inggeris menjadi saran penghormatan dan kasih sayang bila dijejer berdampingan dengan London atau New York moderen,orang yang menekankan pertimbangan demikian jelas berada dipihak lapisan atas. Bila di kerajaan syurga tidak memerlukan makan dan minum makin ruwet cara orang mencapai tujuan y adakalanya tak ada gunanya untuk dicapai. Benar bahwa keunggulan mustahil dalam ketiadaan standard pencapaian dan penghargaan yang keras dan pasti yang mencegah selera kesuksesan murahan dan prestasi buruk yang mengembangkan watak diskriminasi yang kejam antara orang yang dikagumi dan yang direndahkan. Benar bahwa watak seperti itu sudah tak ada lagi atau tak lagi 79



menjadi musuh yang lebih berbahaya dari pada perbuatan yang memutar-balikkan nilai yang mencampuradukkan antara tujuan hidup dan cara mencapainya dan meningkatkan kesejahteraan material terlepas dari persoalan apakah penafsirannya ditekankan pada penumpukan kekayaan atau penyebaran kesenangan. Untuk lari dari satu ilusi tak perlu memeluk ilusi lain. Bila peradaban bukan produk dapur taman ia jelas bukan produk yang tumbuh dalam rumah-panas. Bunganya mungkin lembut namun batangnya tentulah tegap dab ketinggian tumbuhnya tergantung pada pegangan akarnya ditanah sekelilingnya. Kultur mungkin cerewet namun kecerewetan bukanlah kultur; dan meskipun kekasaran adalah musuh kepantasan dan perasaan berharga namun kekasaran masih kurang menjadi musuh yang mematikan dibandingkan dengan budibahasa yang halus dan kepuasan dengan diri sendiri. Kehalusan budibahasa dengan mengisolasi diri dan tak bertoleransi atas upaya tentulah tegap dan ketinggian tumbuhnya tergantung pada pegangangan akarnya di tanah sekelilingnya. Kultur mungkin cerewet namun kecerewetan bukanlah kultur; dan meskipun kekasaran adalah musuh kepantasan dan perasaan berharga namun kekasaran masih kurang menjadi musuh yang mematikan dibandingkan dengan budibahasa yang halus dan kepuasan dengan diri sendiri. Kehalusan budibahasa dengan mengisolasi diri dan tak bertoleransi atas upaya kreatif bukanlah peradaban tetapi adalah salah satu bentuk keputusasaan, bentuk kemenangan barbarian dan mencoba mencari kompensasi dari kekalahan dengan menulis catatan-kaki kultur besar yang tak mampu mereka hasilkan. Orang pintar dikesankan oleh perbedaannya dari pengikutnya; orang bijaksana adalah orang yang menyadari kesamaannya degan orang lain. Humanisme mempunyai banyak makna karena sifat manusia banyak sisinya dan upaya untuk menyediakannya sebagai label sekte atau mazhab jelas tidak tepat. Ada humanisme suatu zaman dengan kata yang sangat umum digunakan untuk melukiskannya adalah seperti berikut. Ada humanisme Renaisan yang menemukan kembali prestasi manusia dalam kesenian dan kesusateraan. Ada humanisme abad 18 dengan keyakinannya akan terbukanya era baru bagi kemanusiaan melalui 80



kemenangan ilmu dan kebenciannya terhadap kebodohan yang menghalangi kemajuannya. Ada humanisme yang membedakan antara manusia dan Tuhan atau sekurang-kurangnya membedakan manusia dari Tuhan teologi tertentu; dan ada humanisme yang membedakan manusia dari orang yang kejam dan bengis dan menyatakan bahwa ia sedikit lebih rendah dari pada malaikat. Makna humanisme yang berbeda-beda ini sering berada dalam suasana berperang satu sama lain; sejarah memang meninggalkan parut pertiakaian antara makna humanisme yang banyak. Seharusnya tak sukar bagi tokoh humanisme itu untuk saling memahami faham mereka satu sama lain. Jadi humanisme bukanlah milik org yang menolak doktrin agama tertentu saja atau yang menerimanya. Humanisme bukanlah tanda khusus sebuah generasi yang telah kehilangan perasaannya tentang sesuatu yang bersifat supernatural dan yang mencari-cari penggantinya. Untuk merasa tenang di dunia ini sayangnya tak cukup hanya dengan tak meyakini sesuatu yang lain. Dan dalam kepentingan intelektualnya dan untuk keteraturan kehidupan dan hubungan ekonomi, generasi demikian harus bertanggungjawab tak hanya untuk kepuasan dirinya sendiri melainkan juga untuk orang lain Humanisme adalah antitetis, bukan aliran ketuhanan (theism) atau agama Kristen. Humanisme adalah materialisme. Esensi humanisme itu sederhana. Humanisme adalah sikap yang menilai kehidupan duniawi melalui pengaruhnya dalam membantu atau merintangi kehidupan spirit. Humanisme adalah keyakinan bahwa permesinan yang ada (barang milik dan kekayaan materil dan organisasi industri dan keseluruhan pabrik dan mekanisme institusi sosial) dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan dan bahwa tujuan ini adalah pertumbuhan menuju kesempurnaan manusia individual. Seperti semangat keagamaan, semangat humanisme tidak mengabaikan tujuan kesempurnaan



manusia



individual.



Semangat



keagamaan



dan



humanisme



memandang kesempurnaan manusia individual sama penting. Namun semangat humanisme menentang melanggar batas bidang yang bukan termasuk bidangnya. Semangat humanisme berpendirian manusia individual bukanlah tujuan kehidupan 81



melainkan alat kehidupan yang akan dipertahankan bila dapat digunakan dan akan dirubah bila tak dapat digunakan. Tujuan humanisme adalah untuk membebaskan dan memperkuat kekuasaan yang mampu menghasilkan energi dan kehalusan budi. Karena itu semua bentuk organisasi perlu berkorban secara spontan terhadap mekanisme atau yang berupaya mencapai efisiensi sekonomi ataukah keadilan sosial harus mengurangi perbedaan watak individual dan keseragaman monoton yang membosankan. Namun hasrat memupuk kekuasaan ini harus ditanamkan didalam seluruh individu tidak hanya dalam diri sebagian saja. Humanisme berkeyakinan bahwa perbedaan antara manusia individual adalah kurang penting dan mendasar ketimbang kemanusiaan bersama mereka. Pembagian sewenang-wenang dan tak teratur antara anggota keluarga yang bukan berdasarkan kemampuan berperan tetapi berdasarkan perbedaan lahiriah menurut kelahiran atau kekayaan, menjadi musuh dari humanisme. Perbedaan



tajam



peluang



dan



keadaan



sekitar



yang



menyebabkan



terampasnya kelas tertentu dari alat untuk mengembangkan diri yang dianggap penting oleh kelas lain adakalanya dipertahankan atas dasar pemikiran bahwa dengan merampasnya tentu akan menghasilkan pemerataan atau keadaan sedang. Derajat kesedangan apakah ditemukan dilapisan bawah masyarakat atau dilapisan satas yang bukan tak sering terjadi, selalu diupayakan untuk diturunkan meski hampir tak bisa disembuhkan melalui proses sederhana dengan menerapkan sanksi positif dan negatif sistem sosial. Namun tak semua setan yang menghiasi diri mereka dengan metafora sama pentingnya dan apakah tingkat kesedangan itu disesalkan atau tidak tergantung pada apa yang dimaksud dengan kesedangan itu. Orang yang ketakutan satas tingkat pendapatan atau kekayaan sedang di Inggeris rupanya tidak takut atas tingkat kesedangan hukum dan ketertiban dan tingkat kesedangan keamanan hidup dan kekayaan. Mereka tidak mengeluhkan seseorang yang diberkati oleh alam dengan kualitas kekuatan, keberanian atau kecerdikan luar biasa yang dapat tercegah dari perampokan atau diteror oleh tetangga mereka. Sebaliknya mereka mempertahankan sistem kepolisian untuk menjamin agar 82



penggunaan kekuasaan sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa dapat dikurangi seminimal mungkin. Mereka menuntut agar tingkat kesedangan dipertahankan karena mereka mengetahui bahwa dengan mencegah orangkuat menggunakan kekuatannya untuk menindas orang lemah, mereka tidak melumpuhkan perkembangan kepribadian melainkan membantunya. Mereka tidak mengabaikan standard usaha dan prestasi yang tinggi. Sebaliknya mereka menghilangkan jenis prestasi tertentu untuk mendorong orang lainmenyesuaikan perkembangan watak individualnya sehingga makin kondusif dengan kebaikan masyarakat. Kekerasan dan kelicikan bukan satu-satunya kekuatan yang menghalangi individu dalam melaksanakan kekuasaannya atau menyebakan standard prestasi palsu harus diganti dengan standard yang benar. Dalam kebanyakan masyarakat juga ada keuntungan khusus yang diberikan oleh kekayaan dan oleh institusi sosial yang menguntungkan pemilik kekayaan itu. Di suatu ketika ada semangat aristokratis yang di Inggeris kini sudah mati yang penekanannya pada penundukan dan penghormatan strata lebih rendah terhadap strata lebih tinggi terlepas dari apakah strata lebih tinggi itu pentas atau tidak dihormati. Dizaman lain muncul semangat plutokrasi atau semangat komersial yang tekanannya diletakkan pada hak setiap individu untuk mendapatkan kekayaan yang ia dapatkan dan kekayaannya itu dijadikannya sebagai alat untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghiraukan pelayanan yang diberikan oleh orang yang ia pengaruhi. Kedua jenis semangat itu (aristokrasi dan plutokrasi sama-sama mempunyai kebaikannya sendiri. Dalam periode tertentu kebaikannya itu lebih penting dari pada keburukannya. Namun kecenderungan keduanya bila tidak dikendalikan oleh pengaruh lain adalah sama. Aristokrasi dan plutokrasi merusak perasaan nilai. Menurut bahasa Testamen Kuno “melacur setelah murtad” yang berarti dalam keadaan kini tetap ke atas, mata terbelalak, dan mulut ternganga terhadap keantikan tingkat ketiga Elysium dan jiwanya menjadi tersiksa atau dalam keadaan menggeliatgeliat ingin masuk kedalam Elysium. Keduanya mempertahankan kriteria administrasi publik pura-pura dan akibat penerimaan semangatnya dalam satu hal 83



menimbulkan keangkuhan atau menghormati kekasaran dan perbedaan yang tidak nyata dan dalam hal lain menimbulkan materialisme atau keyakinan bahwa satusatunya bentuk nyata kehormatan adalah uang dan keuntungan dan kehormatan dapat dibeli dengan uang. Kemajuan memang tergantung pada kemauan massa (dan kita semua 90% sifat kita tergolong massa) untuk menghormati superioritas asli dan menundukkan diri kita kepada pengaruhnya. Namun kondisi pengakuan atas superoritas asli adalah hina bagi pretensi tak berdasar terhadapnya. Harta-benda memang perlu dihargai; namun bila orang saling menghormati seperti apa adanya mereka tentu akan berhenti saling menghormati karena harta-benda yang dimiliki masing-masing. Singkatnya mereka tentu akan melenyapkan penghormatan terhadap si kaya, penyakit yang diwarisi oleh bangsa Inggeris. Sifat manusia untuk menjadi seperti apa adanya untuk melenyapkan penghormatan terhadap si kaya, mereka harus melenyapkan kemungkinan munculnya kelas sosial yang hanya menjadi penting karena seseorang kaya. Karena itu tak mengherankan bahwa zaman yang diresapi sangat dalam oleh perasaan bermartabat sebagai manusia rasional adalah zaman yang dirasapi perasaan agak



sedikit



menghormati



perbedaan



kelahiran



dan



keberuntungan.



Tak



mengherankan bahwa watak yang mencerminkan humanisme seseorang atau kesempurnaan individual adalah yang bersimpati dengan upaya menciptakan kehidupan yang baik dalam jangkauan semua orang dan menghormati subordinasi satu kelas lain dan menganggap organisasi dan perbudakan sebagai tindakan barbarian dan sebagai tanda orang yang belum beradab secara sempurna. Dalam semangat seperti itulah Herodotus berbicara tentang rakyat Athena yang dibandingkannya dengan rakyat Sparta yang dianggapnya sangat tidak gentleman dengan kata-kata “terbukti tak hanya dalam satu hal saja tetapi dalam semua segi kehidupan betapa baiknya persamaan dikalangan manusia”. Dalam semangat persamaan itu pula penulis Perancis abad 18 menulis bahwa persamaan dan kemerdekaan haruslah menjadi tujuan pembaharu. 84



Memang benar bahwa institusi senantiasa mengecewakan cita-cita. Benar bahwa basis ekonomi negara Athena adalah perbudakan dan akibat kemenangan citacita liberal di Perancis adalah matinya semangat komersialisme. Namun dibandingkan dengan praktek kehidupan disekitar Perancis, khususnya dibandingkan dengan di Persia atau disebagian besar Yunani diabad 5 atau dibandingkan dengan Inggeris dan Jerman diabad 18 pengaruh Athena dan Perancis dirasakan menciptakan humanisme dalam kehidupan dan kelakuan dalam literatur dan kesenian dan menentang kekasaran dan kebrutalan sistem tradisional retrifikasi sosial. Semangat liberal itu tak hanya menimbulkan cahaya tetapi menyebarkannya. Dalam batas yang ditetapkan oleh sejarah dan lingkungannya menjadi kemuliaan semangat liberal untuk berpihak perkembangan umum kulitas yang dijunjung tinggi bukan sebagai monopoli kelas atau profesi tertentu tetapi sebagai atribut manusia itu sendiri. Jadi kesaksian sejarah tidak seluruhnya berdasarkan pandangan satu sisi seperti yang sering dikesankan. Persoalan apakah gagasan liberal itu dapat dipraktekkan untuk mencapai persamaan sebagian besar anggota masyarakat atau tidak, masih dapat diperdebatkan; namun tak perlu takut mencarinya karena berdasar pemikiran bahwa persamaan itu adalah musuh kultur dan pencerahan. Tak perlu takut terhadap rintangan keadaan dan peluang yang merendahkan, karena takut kalau kualitas peradaban akan menderita ketika radius pengaruhnya meluas. Memang benar bahwa peradaban memerlukan keleluasaan untuk beraktivitas yang jika dinilai menurut standard konvensional adalah tak berguna atau merusak dan ada pula yang menilai sangat tepat karena tidak diilhami oleh motif azas manfaat tetapi berkembang seperti pekerjaan seniman atau mahasiswa yang tak berkepentingan terhadap kecantikan atau kebenaran atau tak tertarik untuk memiliki kekuasaan sehingga melakukan aktivitas berdasarkan ganjaran dari dirinya sendiri. Namun pengalaman tak memberikan kesan bahwa di Inggeris moderen plutokrasi yang menyintai kemelaratan dalam artian khusus menjadi pelindung aktivitas bebas atau dapat dikatakan ebih besar hasratnya ketimbang massa rakyat untuk memusatkan kegiatannya pada kesenian atau pendidikan atau kegiatan spiritual. 85



Sistem kelas sy ditandai oleh pembagian tajam secara horizontal antara strata sosial berbeda bukanlah kondisi peradaban yang sangat diperlukan dan juga bukan merupakan kondisi yang dapat memajukan peradaban. Seperti anggapan sebagian orang sistem kelas mungkin tak terelakkan namun bukan sesuatu yang disenangi atau dipuji. Sistem kelas adalah bahan mentah yang tak enak yang harus diciptakan peradaban dengan membawa kekuatan ekonomi tersembunyi ke bawah kendali rasional dan mengayak emas sejarah masa lalu dari pasir dan sedimennya. Tugas semangat, apapun nama yang tepat untuk melukiskannya bukanlah untuk menyanjung-nyanjung dorongan-alamiah yang berasal-usul dalam fakta kelas, melainkan membersihkan dan mendidiknya agar menggunakan nalar dan saling memahami. Membantu pertumbuhan masyarakat tanpa kelas dengan berbicara blakblakan bahwa sistem kelas adalah tak wajar dan berbahaya mengikutinya. Bentuk ketakwajaran sistem kelas tak terhitung jumlahnya namun ada dua yang sangat mendasar. Sistem kelas adalah privilej dan tirani. Pertama didesakkan oleh kelompok tertentu karena menikmati keuntungan khusus yang sangat baik untuk mereka sendiri tetapi sangat merugikan tetangga mereka. Kedua, menggunakan kekuasaan bukan untuk keuntungan umum tetapi untuk memperkuat dan mengkonsolidasikan keuntungan khusus mereka. Ciri-ciri privilej dan tirani adalah bahwa mereka tak menyadari mereka sendiri dan memprotes bila ditentang, bahwa tanduk dan kuku mereka tak berbahaya seperti dimasa lalu tetapi adalah dekorasi yang berguna dan bagus dan tak masyarakat yang menghormati dirinya sendiri yang bermimpi untuk melepaskannya. Tetapi sistem kelas adalah musuh bagi kultur individual maupun kesenangan sosial. Sistem kelas menciptakan semangat dominasi dan sikap merendahkan diri. Sistem kelas menghasilkan sifat muka-tembok bagi orang yang diuntungkannya dan kebencian bagi orang yang tak diuntungkannya dan kecurigaan serta pertikaian bagi keduanya. Komunitas yang beradab akan berusaha keras untuk mengusir semangat kelas dengan menyingkirkan penyebabnya. Akan dituntut sekurang-kurangnya satu syarat untuk pantas menerima sistem kelas adalah bahwa anggotanya akan saling memperlakukan 86



sebagai alat bukan sebagai tujuan satu sama lain dan bahwa institusi yang menghalangi kemampuan sebagian orang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain umumnya diakui sebagai institusi barbarian dan menjijikkan. Tujuan memupuk kekuasaan bukanlah untuk bertanggungjawab dan bila menemukan sebuah unsur privilej dalam institusi sosial akan diupayakan untuk menyingkirkannya.



87



Bab 2 PROSES MENDASAR.



Ada empat proses mendasar yang pengaruhnya bercampur dalam berbagai urutan yang menghasilkan bentuk system sratifikasi tertentu. Keempatnya adalah (1) diferensiasi secara formal yang menentukan status atau posisi dalam institutsi utama seperti keluarga dan pekerjaan; (2) penyusunan posisi yang ada berdasarkan kriteria tertentu sehingga menjadi berarti bagi orang yang terlibat dalam posisi itu. Kriterianya misalnya kekerasan pekerjaan atau kebersihannya atau tingkat keterampilan yang diperlukan.; (3) penilaian tentang nilai sosial atau arti penting atau derajat disukainya atau popularitas status atas dasar tingkatan yang ditentukan berdasarkan berbagai kriteria tingkatan seperti dokter dinilai lebih tinggi dari pada tukang patri karena pekerjaan dokter memerlukan keterampilan lebih banyak dari pada yang diperlukan tukang patri atau pendeta dinilai lebih tinggi dari pada tukang kayu karena tugasnya lebih “suci” atau pemain bola dinilai lebih baik dari pada peniup suling karena lebih banyak orang yang mau membayar untuk menyaksikannya bermain; dan (4) sebagian atas dasar penilaian yang diterima, perbedaan hadiah yang kemudian diberikan atau yang dituntut atau yang diharapkan, misalnya dokter mengharapkan upah lebih besar dari pada yang diharapkan tukang patri dan pendeta mengharapkan kehormatan lebih besar dari pada yang diharapkan tukang kayu. Hadiah yang dapat diberikan meliputi kekayaan, kekuasaan, gengsi dan berbagai bentuk kepuasan psikis. Distribusi yang tak merata dari hadiah ini dan ketimpangan dalam penilaian yang melandasinya merupakan system stratifikasi suatu masyarakat. Ketimpangan dalam “gengsi” dalam arti nilai yang menyakitkan hati yang dilekatkan pada posisi tertentu adlaah dimensi utama stratifikasi sosial. Identifikasi tentang kriteria yang menentukan gengsi dan posisi yang menjadi sumber tempat



88



mengalirnya sebagian besar hadiah yang berbeda menjadi masalah penting bagi sosiolog. Artikel Bierstedt tentang kekuasaan sosial adalah literatur sosiologi yang tergolong awal namun meyakinkan. Meski tak menggunakan istilah yang sama dengan yang kita gunakan di sini, Bierstedt meneliti hubungan antara kekuasaan dan gengsi, pengaruh, dominasi, hak, kekuasaan dan wewenang. Ia memulai analisisnya dengan mengindentifikasi letak berbagai bentuk hubungan sosial ini dan menyimpulkan tentang letak, sumber dan akibat perbedaan kekuasaan terhadap bentuk kehidupan masyarakat bersangkutan. Paul K. Hatt membahas stratifikasi sebagai “system posisi yang dinilai secara berbeda”, menilai sejauh mana pekerjaan terutama dalam masyarakat industri moderen menempati posisi kunci dalam distribusi gengsi yang berbeda dan meneliti tentang kriteria apa yang digunakan dalam mengevaluasi pekerjaan. Berdasarkan komentarnya atas studi yang menilai gengsi berbagai jenis pekerjaan dengan sample nasional, Hatt mengusulkan perlunya memerinci kategori pekerjaan kedalam unit pekerjaan lebih kecil, termasuk pekerjan yang dapat dibandingkan orang secara pantas antara yang satu dengan yang lain. Karena orang dapat menduduki tangga posisi bereda berdasarkan berbagai tingkat penilaian (misalnya menurut pendapatan, pendidikan, pekerjaan dan seterusnya) maka nyatalah bahwa tiap individu akan menemukan dirinya berada pada posisi lebih tinggi menurut skala tertentu dan lebih rendah menurut skala lain. Ketakcocokan atau perbedaan ini disebut Hatt sebagai “ketaksesuaian status”. Kebalikannya adalah “kristalisasi status”. Malenski meneliti reaksi aktor individual yang mengalami ketaksesuaian status itu dan ia mengemukakan sejumlah proposisi untuk mengurangi ketaksesuaian status atau untuk menghindarkan implikasi yang makin merendahkan dari ketaksesuaian status. Analisis menunjukkan sejenis kompleksitas tanggapan atas posisi stratifikasi yang pantas dibayangkan dari anggota masyarakat yang ketaksesuaian statusnya menjadi fakta menonjol.



89



Analisis Tentang Kekuasaan Sosial. Oleh : Robert Bierstedt. Dalam sosiologi sedikit sekali masalah yang lebih membingungkan ketimbang masalah kekuasaan sosial. Diseluruh perbendaharaan konsep sosiologi tak satupun yang lebih menyusahkan ketimbang konsep kekuasaan. R.M.Mac Iver mengatakan “Belum ada studi yang memadai tentang sifat kekuasaan sosial”1) Paper ini pun tak dapat dianggap sebagai studi yang memadai. Paper ini bertujuan menjelaskan makna konsep kekuasaan dan menemukan tempat dan sumber kekuasaan sosial itu sendiri. Struktur kekuasaan masyarakat bukan masalah yang tak berarti. Dalam arti yang realistispun struktur kekuasaan masyarakat adalah masalah sosiologi (ilmiah) dan masalah sosial (moral). Secara tradisional, struktur kekuasaan telah menjadi masalah dalam filsafat politik. Tetapi seperti kebanyakan masalah yang berciri politik lainnya, struktur kekuasaan berakar lebih dalam ketimbang negara polis (Yunani) dan menjangkau kehidupan komunitas



itu sendiri1). Struktur kekuasaan masyarakat



banyak cabangnya, hanya dapat dilihat melalui penelitian lebih umum ketimbang yang ditawarkan oleh teori politik dan yang akhirnya hanya dapat didekati melalui studi sosiologi. Seperti yang ditekankan Mac Iver dalam beberapa bukunya yang terkenal itu basis primitif dan tempat asalnya ditemukan dalam komunitas dan masyarakat, bukan dalam pemerintahan atau dalam negara. Lagi pula nampak bahwa tak semua kekuasaan adalah kekuasaan politik seperti kekuasaan ekonomi, finansial, industri dan militer, hanyalah salah satu diantara beberapa dan berbagai jenis kekuasaan sosial. Masyarakat itu sendiri sebenarnya terdiri dari hubungan kekuasaan kekuasaan ayah dilaksanakan terhadap anak kecilnya, tuan terhadap budaknya, guru terhadap muridnya, juara terhadap orang yang dikalahkannya, pemeras terhadap korbannya, sipir terhadap orang yang dipenjarakannya, pengacara terhadap klien dan saksi yang menentangnya, seorang majikan terhadap karyawannya, seorang Jenderal terhadap prajuritnya, kapten kapal terhadap anakbuahnya, kereditur terhadap 90



debiturnya dan seterusnya melalui sebagian besar hubungan status dalam masayrakt.3 Singkatnya, kekuasaan adalah fenomena universal dalam masyarakat manusia dan dalam seluruh hubungan sosial. Kekuasaan tak pernah absen sama sekali dari interaksi sosial kecuali agaknya dalam kelompok primer dimana anggotanya saling kenal-mengenal secara priadi dan hubungannya leih didasarkan pada saling kenalmengenal secara sopan. Menurut Simmel dalam kelompok primer inilah terciptanya kehidupan “bermasyarakat” dalam arti yang paling sempit. Semua hubungan sosial yang lain mengandung komponen kekuasaan. Lalu apakah kekuasaan itu ? Kekuasaan sosial dengan berbagai cara telah disamakan dengan gengsi, pengaruh, keunggulan, wewenang atau kecakapan, pengetahuan (Bacon), disamakan dengan dominasi, hak, kekuatan dan dengan otoritas. Karena maksud istilah kekuasaan itu berbeda-beda bila sama sekali tak bertolak-belakang dengan perluasannya, maka perlu membedakan kekuasaan dari konsep lain itu. Mula-mula kekuasaan akan dibedakan dari gengsi. Hubungan paling erat antara kekuasaan dan gengsi telah ditulis oleh E.A.Ross dalam karya klasiknya tentang pengendalian sosial. Ia mengatakan, “penyebab terdekat kekuasaan adalah gengsi. Kelas yang mempunyai gengsi terbesar akan mempunyai kekuasaan terbesar”.4 Kini jelas gengsi dapat ditafsirkan sebagai salah satu sumber kekuasaan sosial dan sebagai salah satu faktor terpenting yang memisahkan manusia dari manusia dan kelompok dari kelompok. Gengsi adalah faktor yang menyebabkan rumpilnya stratifikasi masyarakat moderen. Namun gengsi tak boleh disamakan dengan kekuasaan. Gengsi dan kekuasaan adalah variabel independen. Gengsi sering tak disertai oleh kekuasaan dan bila keduanya muncul bersama, kekuasaan biasanya menjadi dasar dan landasan gengsi ketimbang sebaliknya.



Gengsi



menjadi



akibat



kekuasaan



ketimbang



menjadi



yang



menentukannya atau gengsi adalah komponen yang diperlukan kekuasaan. Dalam setiap peristiwa tak sukar melukiskan fakta bahwa gengsi dan kekuasaan adalah variabel independen, bahwa kekuasaan dapat muncul tanpa gengsi dan gengsi dapat muncul tanpa kekuasaan. Albert Einstein misalnya mempunyai gengsi tetapi tak 91



mempunyai kekuasaan menurut makna sosiologi signifikan manapun dari istilah itu. Seorang polisi mempunyai kekuasaan tetapi gengsinya kecil. Begitu pula di tingkat kelompok, The Phi Beta Kappa Society bergengsi besar (lebih besar gengsinya di luar lingkungan akademis ketimbang didalamnya) tetapi sungguh tak mempunyai kekuasaan. Partai Komunis di AS mempunyai sejumlah kecil kekuasaan jika tak mempunyai sejumlah besar kekuasaan yang dikaitkan kepadanya oleh Senator tertentu, namun tak mempunyai gengsi. Begitu pula the Society of Friends mempunyai gengsi tetapi kecil kekuasaannya. Pengamatan



serupa



dapat



dilakukan



tentang



hubungan



pengetahuan,



keterampilan, kompetensi, kemampuan, dan keunggulan dengan kekuasaan. Kelimanya adalah komponen, sumber atau sinonim dari gengsi tetapi kelimanya mungkin saja tak disertai oleh kekuasaan. Bila kekuasaan menyertai kelimanya, hubungannya lebih bersifat kebetulan ketimbang keperluan. Karena alasan ini perlu dipertahankan perbedaan antara gengsi dan kekuasaan. Ketika perhatian kita beralih ke hubungan antara pengaruh dan kekuasaan, kita akan menemukan hubungan yang lebih erat lagi tetapi karena alasan yang mempunyai daya meyakinkan sangat besar, juga perlu mempertahankan perbedaan antara pengaruh dan kekuasaan. Alasan paling penting adalah karena pengaruh adalah bujukan sedangkan kekuasaan adalah paksaan. Kita tunduk secara sukarela terhadap pengaruh sedangkan kekuasaan memerlukan ketundukan. Gundik seorang raja mungkin mempengaruhi nasib sebuah bangsa tetapi hanya karena kekasihnyalah yang memungkinkan dirinyamerubah nasib bangsanya melalui rencananya. Dalam setiap urusan terakhir, pengaruhnya mungkin lebih penting ketimbang kekuasaannya tetapi pengaruhnya itu takkan efektif keculai kalau dirubah menjadi kekuasaan. Kekuasaan seorang guru yang dilaksanakan terhadap muridnya bukan berasal dari superioritas pengetahuannya (ini lebih mengacu pada kompetensi ketimbang kekuasaan) dan bukan berasal dari opininya (ini lebih mengacu pada pengaruh ketimbang kekuasaan ) tetapi berasal dari kemampuannya menerapkan sanksi atas kegagalan dalam arti tidak memberi nilai akademis terhadap siswa yang 92



tak memenuhi syarat dan standard yang ditetapkannya. Kecakapan mungkin tak dihargai dan pengaruh mungkin tak efektif tetapi kekuasaan tak mungkin disangkal. Pengaruh dan kekuasaan dapat muncul dalam keadaan relatif saling terisolasi dan keduanya pun adalah variabel independen. Kita dapat mengatakan misalnya Karl Marx menggunakan pengaruh tak terhingga diabad 20 tetapi orang yang berjuang menyingkirkan kemiskanan ini hampir tak mempunyai kekuasaan. Bahkan pernyataan bahwa Marx mempunyai pengaruh pun adalah pernyataan sia-sia. Gagasanlah yang berpengaruh, bukan manusia. Sebaliknya Stalin menjadi manusia berpengaruh hanya karena ia terutama adalah manusia yang berkuasa. Pengaruh tak memerlukan kekuasaan dan kekuasaan dapat disalurkan melalui pengaruh. Pengaruh dapat merubah teman tetapi kekuasaan memaksa teman dan musuh. Pengaruh melekat pada gagasan, doktrin atau keyakinan dan bertempat dalam bidang ideologi. Kekuasaan melekat pada seseorang, kelompok atau persekutuan dan tempatnya dalam bidang sosiologi. Plato, Aristoteles, St.Thomas, Shakespeare, Galileo, Newton dan Kant adalah orang yang berpengaruh meski semua mereka tanpa kekuasaan. Napoleon Bonaparte dan Abraham Lincoln adalah orang yang berpengaruh tetapi tentara yang membunuhnya dalam serangan di Syracuse mempunyai kekuasaan lebih besar. Perbedaan inilah yang menyebabkan anggapan keliru terhadap Spengler seakan-akan ia berpendapat bahwa prajurit tak dikenal ini berpengaruh lebih besar atas jalannya sejarah ketimbang fisikawan besar klasik itu. Karena itu bila kita berbicara tentang kekuasaan sebuah gagasan atau bila kita tertarik mengatakan bahwa gagasan adalah senjata atau bila kita menyatakan seperti yang dikatakan Napoleon Bonaparte bahwa pena lebih kuat dari pada pedang, kita menggunakan bahasa kiasan, kita berbicara benar-benar seperti apa adanya tetapi dengan bahasa kiasan. Gagasan adalah berpengaruh, dapat merubah proses sejarah tetapi demi kejelasan logika dan sosiologis lebih baik tak menghubungkannya dengan kekuasaan. Membedakan kekuasaan dari dominasi relatif mudah. Kekuasaan adalah konsep sosiologi sedangkan dominasi adalah konsep psikologi. Tempat kekuasaan adalah di 93



dalam kelompok dan menyatakan dirinya dalam hubungan antar kelompok. Tempat dominasi adalah dalam diri individu dan menyatakan dirinya dalam hubungan antara individu. Kekuasaan muncul dalam status yang diduduki orang dalam organisasi informal. Kekuasaan adalah fungsi organisasi perserikatan, fungsi susunan dari kelompok, dan fungsi dari struktur masyarakat itu sendiri. Sebaliknya dominasi adalah fungsi kepribadian atau fungsi watak. Dominasi adalah ciri personal. Individu dominan memainkan peran dalam kelompok tanpa kekuasaan; kepatuhan individu dalam kelompok yang berkuasa. Kelompok tertentu mendapatkan kekuasaan besar terutama dalam artian politik karena terdapat begitu banyak individu patuh yang mudah dibujuk menjadi anggota dan yang menyesuaikan diri terhadap norma yang dipaksakan keanggotaannya. Sebagai contohnya orang hanya perlu menunjukkan pertumbuhan partai NAZI di Jerman. Karena itu dominasi adalah masalah dalam psikologi-sosial; sedangkan kekuasaan adalah masalah dalam sosiologi.5 Membedakan kekuasaan dari “hak” sedikit lebih sukar hanya karena istilah hak itu sendiri bermakna ganda. Dalam kedua pengertian itu memang kelihatan adanya kontradiksi seperti adanya orang yang mempunyai hak istimewa dan orang yang mempunyai hak karena dilindungi oleh negara. Kita tak perlu menelusuri perbedaan antara berbagai jenis hak itu, termasuk “hak alamiah” yang diteliti dalam sejarah yurisprudensi dan sosiologi hukum untuk mengakui bahwa hak senantiasa memerlukan dukungan dalam struktur sosial meski tak selalu dalam peraturan hukum. Bahwa hak pada umumnya seperti hak istimewa, kewajiban, tanggungjawab, keuntungan, dan hak prerogatif selalu dikaitkan dengan status baik dalam masyarakat itu sendiri maupun dalam perserikatan. Orang mungkin mempunyai hak tanpa kekuasaan untuk menggunakannya,6 tetapi dalam kebanyakan kasus, kekuasaan diperlukan untuk mendukung hak apapun yang dituntut. Hak lebih erat kaitannya dengan hak istimewa dan wewenang ketimbang kaitan hak dengan kekuasaan. “Hak” seperti hak istimewa adalah salah satu keuntungan dari kekuasaan dan bukan kekuasaan itu sendiri.7



94



Kita telah membedakan kekuasaan dari gengsi, pengaruh, dominasi dan dari hak dan meninggalkan konsep kekuatan dan wewenang. Disini kita akan menyelesaikan masalah kita. Kekuasaan bukan kekuatan dan kekuasaan bukan wewenang tetapi berkaitan erat dengan kedua konsep itu dan dapat diartikan menurut keduanya. Karena itu kita akan mengemukakan tiga definisi dan kemudian meneliti implikasinya: (1) kekuasaan adalah kekuatan terpendam; (2) kekuatan adalah kekuasaan nyata (manifest); dan (3) wewenang adalah kekuasaan yang dilembagakan. Proposisi satu dan dua dapat dianggap sama. Keduanya seperti definisi melingkar dan kemikianlah adanya. Bila makna independen dapat diketahui dari salah satu diantara kedua konsep itu maka konsep lainnya dapat didefinisikan menurut konsep yang diketahui maknanya itu dan pengertian melingkarnya akan lenyap8). Karena itu kita akan mengemukakan definisi independen dari konsep kekuatan. Menurut pengertian sosiologi yang signifikan, kekuatan berarti penerapan sanksi. Sekali lagi menurut pengertian sosiologi, kekuatan berarti pengurangan atau pembatasan atau bahkan penghapusan total peluang tindakan sosial seseorang atau kelompok oleh orang atau kelompok lain. “Uang atau kehidupan anda yang melambangkan situasi kekuatan sebenarnya, mengurangi alternatif terhadap keduanya. Pelaksanaan hukuman gantung mencerminkan penghapusan total alternatif. Dalam pertempuran tentara makin mengurangi tindakan sosial musuhnya sehingga hanya dua pilihan yang tersisa bagi lawannya yang tak beruntung yakni menyerah atau mati. Pemecatan atau menurunkan pangkat karyawan dalam perusahaan mencerminkan penutupan pilihan. Kesemuanya ini adalah situasi kekuatan atau kekuasaan sebenarnya. Kekuasaan itu sendiri adalah kecenderungan



atau



kapasitas



sebelumnya



yang



memungkinkan



kekuatan



dilaksanakan. Hanya kelompok yang mempunyai kekuasaan yang dapat mengancam akan menggunakan kekuatan dan ancaman itu sendiri adalah kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan menggunakan kekuatan, bukan penggunaan kekuatan yang sebenarnya, kemampuan untuk melaksanakan sanksi, bukan pelaksanaan sanksi itu sendiri.9 Kekuasaan adalah kemampuan memasukkan kekuatan kedalam situasi sosial; kekuasaan adalah pertunjukan kekuatan. Tak seperti kekuatan yang sekali95



sekali sukses, kekuasaan selalu sukses. Bila tak sukses berarti tak berkuasa lagi. Kekuasaan melambangkan kekuatan yang dapat diterapkan dalam setiap situasi sosial dan mendukung wewenang yang dilaksanakan. Jadi kekuasaan bukanlah kekuatan atau wewenang tetapi sintesis keduanya. Implikasi proposisi ini akan makin jelas bila kita membahas tempat kekuasaan dalam masyarakat. Kita mungkin menemukannya dalam tiga bidang: (1) dalam organisasi formal; (2) dalam organisasi informal dan (3) dalam komunitas yang tak terorganisir. Kekuasaan dalam organisasi formal menampilkan masalah yang agak sederhana untuk dianalisis. Dalam organisasi formal lah kekuasaan sosial dirubah menjadi wewenang. Bila tindakan sosial dan interaksi seluruhnya berlangsung sesuai dengan norma organisasi formal itu maka kekuasaan larut menjadi wewenang tanpa sisa. Hak untuk menggunakan kekuatan kemudian dilekatkan pada status tertentu didalam organisasi formal dan hak inilah yang biasa kita artikan dengan wewenang.10 Berdasarkan wewenang inilah seseorang melaksanakan perintah atau mengendalikan orang lain dalam organisaasi itu. Wewenanglah yang memungkinkan seorang uskup memindahkan seorang pendeta dari jemaah gerejanya, seorang pendeta dengan “kekuasaan kuncinya” membebaskan orang yang berdosa dari dosanya, seorang pejabat berkuasa menetapkan tugas tertentu kepada pejabat bawahannya, wakil presiden mendiktekan surat yang akan dibuat kepada sekretarisnya, manejer tim baseball mengganti pelempar bola di pertengahan babak permainan, pengawas pabrik menuntut pekerjaan tertentu harus diselesaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, polisi menahan seorang warga negara yang telah melanggar hukum dan seterusnya melalui contoh yang tak habis-habisnya. Dalam kasus di atas, kekuasaan melekat pada status bukan pada orang dan seluruhnya dilembagakan sebagai wewenang.11 Dalam kelompok yang diorganisir secara ketat, wewenang ini ditentukan dengan jelas dan secara formal diartikulasikan melalui norma (anggaran dasar, peraturan, hukum) organisasi atau perserikatan bersangkutan. Dalam kelompok yang kurang 96



ketat diorganisir, wewenang kurang jelas ditentukan dan diartikulasikan. Adakalanya wewenang yang jelas diberikan menurut status mungkin tak dilaksanakan karena konflik dengan norma moral yang dianut baik oleh anggota maupun no-anggota perserikan. Adakalanya seorang pejabat memecat seorang bawahan dari jabatannya tanpa sebab formal dan tanpa wewenang formal karena tindakan demikian mendapat dukungan opini publik. Sebaliknya adakalanya ia mungkin mempunyai wewenang untuk memecat bawahannya tetapi tak mempunyai kekuasaan karena posisi bawahannya itu didukung secara informal dan secara “ekstra organisasi” oleh opini komunitas. Kasus ekstrim situasi ini dicontohkan oleh ketakmampuan manejer-umum Ed Barrow atau bahkan pemilik, kolonel Jacob Ruppert untuk “memecat” Baba Ruth dari The New York Yankees atau bahkan tak mampu mengganti Babe Ruth ketika ia berada di puncak kemasyhurannya. Adakalanya hubungan kekuasaan ini menjadi sangat rumit. Dalam organisasi universitas misalnya, mungkin tak jelas apakah seorang dekan mempunyai wewenang menerapkan sanksi pemecatan terhadap seorang professor atau lebih halus, apakah dekan mempunyai wewenang menunda kenaikan gaji seorang professor untuk secara tak langsung mendorong ia segera meninggalkan fakultas atau lebih halus lagi apakah ketika ia jelas mempunyai wewenang abstensi ini, ia akan dituduh melakukan kekeliruan administrasi jika ia memecat professor itu12). Sama tak jelasnya, apakah Uskup Gereja Episkopal (di Inggeris) berwewenang memecat kepala gereja bila kepala gereja ini jelas mendapat dukungan jemaahnya.13 Dengan kata lain adakalanya menjadi kebijakan bodoh bagi seorang pejabat melaksanakan wewenang yang secara khusus terdapat dalam posisinya dan dalam hal ini kita dapat melihat dengan jelas kekuasaan bocor ke dalam struktur organisasi dan menyerbu organisasi formal.14 Terlihat bahwa kekuasaan yang termasuk dalam pelaksanaan wewenang tak perlu membawa konotasi superiorias pribadi. Leo Duracher tak berarti pelempar bola yang lebih baik dari pada pemain yang ia ganti, selanjutnya tak berarti ia lebih rendah mutunya ketimbang wasit yang mengeluarkannya dari permainan (baseball). Seorang Profesor mungkin adalah sarjana dan dosen yang “lebih baik” dari pada dekan yang 97



memecatnya, seorang pengacaara mungkin lebih banyak belajar ilmu hukum ketimbang hakim yang melecehkannya, seorang pekerja mungkin lebih mampu di bidang listrik ketimbang mandor yang menetapkan tugasnya dan ribuan contoh lain. “Orang yang berkuasa mungkin tak lebih bijaksanan, lebih mampu, atau lebih baik dari pada rerata bawahannya; adakalanya menurut standard hakiki ia lebih rendah mutunya ketimbang bawahannya. Disinilah letaknya keajaiban pemerintahan”.15 Memang disini pula letaknya keajaiban semua organisasi sosial. Tindakan sosial tak berlangsung secara tepat atau mutlak sesuai dengan norma organisasi formal. Kekuasaan tercurah pada tempat status yang hanya berisi wewenang yang tak sempurna. Karena itu kita tiba pada pemikiran tentang organisasi informal dimana gengsi dari status tunduk kepada penghargaan perorangan dan dimana interaksi sosial anggota tak hanya berjalan menurut norma eksplisit organisasi tetapi juga menurut norma di luar organisasi (implicit) yang terletak di dalam komunitas yang pada titik strategis mungkin atau tak mungkin konflik dengan norma organisasi formal itu. Contoh terdahulu dapat membantu kita mengantisipasi apa yang harus kita katakana mengenai kejadian dan praktek kekuasaan dalam organisasi informal. Tak ada organisasi yang formal seutuhnya meski organisasi yang paling kaku sekalipun. Organisasi sosial memungkinkan terselenggaranya pergaulan yang tertib antara orang yang tak saling kenal satu sama lain. ABK sebuah kapal dan kapten baru mereka, pergaulan antara anggota fakultas sebuah universitas dan pimpinan baru mereka, manejer tim baseball dan para pemain baru, warga sebuah kota dan pemungut pajak, nyonya rumah tangga dan tukang ledeng, pelanggan dan pramuniaga. Tetapi dalam setiap organisasi, anggotanya saling kenal-mengenal dan mulai bergaul tak hanya secara “ekstrinsik” dan “dengan pasti” menurut status yang mereka duduki tetapi juga secara “intrinsik” dan secara “pribadi” menurut peran yang mereka mainkan dan kepribadian yang mereka pamerkan.16 Sub-kelompok muncul dan mulai mendesakkan tekanan halus terhadap organisasi itu sendiri, terhadap norma yang mungkin berakibat melanggar norma yang semula ditaati dan terhadap wewenang yang sudah mapan tetapi yang menjadi sasaran perubahan – Sub98



kelompok ini seperti klik dan faksi masih tetap berada di dalam organisasi atau seperti sekte dan kelompok serpihan lainnya mulai memisahkan diri dari induk organisasinya. Bagaimanapun, tak ada organisasi formal yang tetap formal secara utuh dalam keadaan darurat dan melalui perjalanan waktu. Kekuasaan jarang terlembagakan secara sempurna sebagai wewenang kecuali hanya sebentar. Bila kekuasaan menopang struktur, kekuasaan yang menentangnya mengancamnya dan setiap organisasi selalu berada dalam kekuasaan mayoritas anggotanya sendiri. Dalam semua organisasi, kekuasaan orang yang bertindak bersama adalah demikian besar sehingga larangan terhadap “penggabungan” kekuasaan muncul dalam seluruh organisasi militer dan hak untuk melakukan petisi kolektif ditiadakan bagi seluruh personil militer. Kekuasaan muncul dalam organisasi dalam dua bentuk : pertama kekuasaan yang terlembaga dalam organisasi formal sebagai wewenang; kedua yang tak terlembaga sebagai kekuasaan itu sendiri dalam organisasi informal. Tetapi ini tak melemahkan kemungkinan munculnya kekuasaan organisasi dalam masyarakat bersangkutan. Terbukti bahwa kekuasaan memerlukan pembentukan organisasi untuk menjamin kelangsungannya dan



untuk memaksakan normanya. Kekuasaan menopang



ketertiban mendasar masyarakat dan organisasi sosial yang ada didalamnya dimanapun ketertiban itu berada. Kekuasaan berada di belakang setiap organisasi dan menopang struktur organisasi itu. Tanpa kekuasaan tak ada organisasi dan tanpa kekuasaan takkan ada ketertiban. Gangguan dimensi waktu dan keadaan darurat mengharuskan struktur setiap organisasi melakukan penyesuaian ulang terus-menerus tak terkecuali organisasi yang paling tak lentur sekalipun dan kekuasaanlah yang menopangnya melalui masa transisi itu.17 Karena kekuasaan memberikan dorongan awal di belakang organisasi setiap perserikatan, kekuasaan juga memasok stabilitas yang dipertahankan selama hidupnya. Wewenang itu sendiri tak dapat muncul tanpa dukunang kekuasaan dan sanksi. Sepenting-pentingnya kekuasaan sebagai faktor baik dalam organisasi formal maupun informal namun yang lebih penting adalah kekuasaan yang merajalela dan 99



tak terlembaga disela-sela perserikatan dan yang terdapat di dalam komunitas itu sendiri. Disini kita berhadapan dengan masalah mendasar masyarakat moderen seperti konflik tenaga kerja VS kapital, Protestan Vs Katolik, CIO VS AFL, AMA VS FSA, HIS VS Chambers ( karena ini bukan konflik antara individu), Republican VS Democrat, Rusia VS USA dan seterusnya. Bukanlah tugas analisis kita sekarang ini untuk meneliti konflik itu secara rinci; tugas kita adalah meneliti peran kekuasaan dimanapun ia muncul. Dan disini kita mempunyai dua kemungkinan logika yakni kekuasaan dalam hubungan kelompok yang serupa dan kekuasaan dalam hubungan kelompok yang tak serupa. Contoh kekuasaan dalam hubungan kelompok serupa adalah perusahaan komersial yang berkompetisi untuk merebut pasar yang sama, organisasi persaudaraan sejenis yang berkompetisi memperebutkan anggota, asosiasi keagamaan yang berkompetisi memperebutkan ketaatan beragama, perusahaan surat kabar yang berkompetisi memperebutkan pembacanya, perusahaan konstruksi yang tawar-menawar untuk mendapatkan kontrak yang sama, partai politik yang bersaing memperebutkan pemberi suara dalam pemilihan umum dan situasi kompetisi lain dalam masyarakat, contoh yang terakhir adalah konflik antara tenaga kerja terorganisir (SB) dan manajemen terorganisir, antara badan legislative dan eksekutif, antara sub-divisi yang berlainan dari birokrasi yang sama (misalnya AD vs Al) antara Senat Universitas dan Asosiasi Profesor Universitas bersangkutan dan banyak contoh lainnya. Dengan demikian kekuasaan muncul baik dalam kompetisi maupun dalam konflik dan tak muncul dalam kelompok yang tak bersaing atau berkonflik yakni antara kelompok-kelompok yang tak mempunyai matrik sosial bersama dan yang tak mempunyai hubungan sosial seperti The American Council of Learned Societies dan The American Federation of Labor. Jadi kekuasaan hanya muncul dalam oposisi sosial tertentu. Bukan kebetulan kata benda kekuasaan (“power”) dikembangkan dari kata sifat potensi (“Potential”). Agaknya berlebih-lebihan mengatakan demikian, namun kekuasaan selalu adalah potensial ; artinya bila digunakan, ia menjadi sesuatu yang lain, menjadi kekuatan atau wewenang. Ini berkenaan dengan pemberian makna 100



misalnya terhadap konsep “armada” dalam strategi AL. Armada yang ada mencerminkan kekuasaan meski tak pernah digunakan. Bila Armada itu bertindak, memang ia bukan lagi kekuasaan tetapi menjadi kekuatan. Karena alasan inilah negara sekutu ingin menghancurkan kapal perang Richelieu (kapal perang perancis) yang berlabuh di Dakar setelah kejatuhan Perancis, ketika harga yang ditawarkan tidak disetujui Perancis. Memang perwira muda yang mengikuti kuliah pendahuluan tentang strategi AL adakalanya heran mendengar apa yang ia anggap berlebih-lebihan dan mungkin juga jahat menekankan pada kalimat “Lindungi Kapal Induk”. Mengapa mesin penghancur yang terapung itu memerlukan jaminan perlindungannya dengan kapal penjelajah, kapal perusak dan dukungan AU ? Jawabannya adalah karena kapal induk lebih efektif berperan sebagai symbol kekuasaan ketimbang sebagai instrumen kekuatan. Bila kekuasaan itu penting sekali bagi masyarakat mungkin juga sebagian purapura dan hanya berhasil karena kekuasaan itu tak diperkirakan secara tepat atau tak tertandingi. Inilah muslihat yang terkenal dalam perang. Tetapi itu terjadi dikebanyakan hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Ancaman golongan minoritas akan menarik diri dari perserikatan dapat berpengaruh lebih besar terhadap perserikatan itu ketimbang benar-benar menarik diri. Ancaman boikot dapat mencapai hasil yang diinginkan bila boikot itu sendiri mau digagalkan. Contoh kasus terakhir ini penonton filem adakalanya mengetahui bahwa bila mereka mengabaikan larangan yang dipaksakan atas filem tertentu oleh sensor keagamaan, larangan itu tak hanya tak dapat mengurangi jumlah penonton tetapi meningkatkannya. Dalam bahasa permainan poker, “gertakan” adalah kekuasaan tetapi kekuasaan lenyap ketika gertakan itu dikatakan. Kita akan berupaya menemukan sumber kekuasaan. Kekuasaan rupanya berasal dari tiga sumber : (1) jumlah orang, (2) organisasi sosial dan (3) sumber daya. Sebelumnya telah dibahas agak rinci peran mayoritas baik dalam organisasi sosial yang tak terorganisir maupun yang terorganisir dan baik dalam aspek formal maupun aspek informal organisasi sosial yang terorganisir dan tiba pada kesimpulan antara 101



lain bahwa mayoritas merupakan tempat sisa dari kekuasaan sosial. Proposisi ini kiranya tak perlu ditinjau-ulang disini, terlalu sulit mengulangi pernyataan yang menekankan pada kekuasaan yang terletak dalam jumlah. Dalam organisasi sosial yang sama, jumlah yang lebih besar selalu dapat mengendalikan jumlah yang lebih kecil dan memperoleh pemenuhan kebutuhannya. Bila mayoritas terutama mayoritas politik dan ekonomi sering dan lama menderita penindasan, itu adalah karena mereka belum terorganisir atau kekurangan sumber daya. Kekuasaan yang terletak dalam jumlah, jelas terlihat dalam segala jenis pemilihan dimana mayoritas diakui haknya untuk melembagakan kekuasaannya sebagai wewenang. Hak itu diakui karena dapat diambil. Kekuasaan ini muncul dalam semua perserikatan bahkan yang paling otokratis sekalipun. Kekuasaan mayoritas, bahkan dalam perserikatan yang diorganisir sangat kaku dan sangat formal yang mengancam atau mempertahankan stabilitas struktur organisasi perserikatan. Betapapun pentingnya jumlah sebagai sumber utama kekuasaan sosial, namun jumlah itu saja tidak cukup. Seperti dikemukakan diatas, mayorias mungkin mengalami penindasan yang lama dimasa lalu, singkatnya mereka mungkin tak mempunyai kekuasaan atau hanya mendapat kekuasaan sisa. Karena itu kita tiba di sumber kedua kekuasaan sosial, yakni organisasi sosial. Angkatan Laut atau polisi yang terorganisir dengan baik dan berdisiplin ketat mampu mengendalikan sejumlah individu lebih banyak yang tak terorganisir. Namun mayoritas yang tak terorganisir inipun mempunyai sedemikian banyak kekuasaan sisa yang tak terjangkau oleh pengendalian minoritas terorganisir itu. Keterbatasan kontrol minoritas terorganisir ini nampak dengan adanya pengakuan bahwa mayorias itu dapat diorganisir dan dengan demikian membalikkan pengendalian. Mayorias yang teorganisir adalah potensi kekuatan sosial terbesar di dunia. Antara dua kelompok yang sama atau hampir sama jumlah anggotanya dan sebanding organisasinya, kelompok yang mempunyai akses terhadap sumber daya lebih besar akan mempunyai kekuasaan superior. Dengan demikian sumber daya merupakan sumber kekuasaan sosial yang ketiga. Sumber daya itu banyak jenisnya : 102



uang, kekayaan, gengsi, pengetahuan, kemampuan, kebohongan, kecurangan yang kesemuanya tercakup dalam istilah “sumber daya alami”. Juga ada sumber daya supernatural dalam hal ini asosiasi keagamaan selaku agen kekuasaan akhirat yang menerapkan sanksi supernatural (surga-neraka)sebagai instrumen pengendalian. Dengan kata lain, sebagian besar sumber daya alam yang sebelumnya telah kita bedakan dari kekuasaan itu sendiri, kini dapat dimasukkan kembali sebagai bagian dari sumber kekuasaan. Mudah terlihat bahwa dalam setiap konflik kekuasaan, sumber daya alamiah itu dapat merobohkan keseimbangan bila sumber kekuasaan lain relatif sama dan sebanding. Namun sumber daya alami itu bukanlah kekuasaan itu sendiri. Sumber daya alami ini tak mempunyai makna sosiologis apapun kecuali kalau dimanfaatkan oleh orang yang terorganisir dalam perserikatan. Sebenarnya tak satupun dari ketiga sumber kekuasaan itu yang merupakan kekuasaan dengan sendirinya. Kekuasaan hanya muncul dalam kombinasi ketiganya: jumlah, organisasi dan sumber daya. Perlu diingat bahwa hanya ada satu jenis situasi sosial dimana kekuasaan dua kelompok yang berlawanan sama-sekali seimbang. Jumlah dikedua pihak adalah sama, organisasi sosial keduanya identik dan sumber dayanya hampir sama. Situasi sosial ini menampakkan dirinya dalam permainan dan pertandingan (olahraga) dimana komponen kekuasaan dilenyapkan dan kemenangan jatuh ketangan orang atau kelompok yang berketerampilan superior. Apakah pertandingan sepak bola atau bridge di situ ada desakan (yang melekat dalam struktur pertandingan itu sendiri) terhadap penyetaraan kekuasaan dan inilah ciri universal seluruh pertandingan olahraga dan landasan konsepsi “bermain jujur”19 Terlalu bodohlah menyatakan bahwa sumber daya itu selalu sama. The New York Yankee misalnya mempunyai sumber daya finansial yang tak dipunyai The St. Louis Brown dan seorang pemain bridge mungkin mempunyai kartu lebih baik ketimbang yang dipunyai lawan mainnya. Tetapi kegembiraan yang timpang demikian tercela karena mereka mengingkari sifat olahraga. Untuk alasan ini hak The Brown mungkin dikirim dari St. Louis dan turnamen bridge adalah duplikat bridge sehingga seluruh tim akan 103



memainkan tangan yang sama. Bila sumber daya tak dapat disetarakan, situasi berhenti menjadi sebuah permainan dan perasaan mendukung “orang yang malang” (underdog). Olahraga mungkin mempunyai landasan moral yang sama dengan perang tetapi secara sosiologis olahraga dan perang takkan pernah dapat disamakan. Kedua situasi itu hanyalah sama kulit luarnya saja. Perbedaan antara konflik dan pertandingan adalah bahwa konflik adalah fenomena kekuasaan dan pertandingan bukan . Dalam paper ini kita telah mengambil konsep kekuasaan sosial, sebuah konsep yang agak tak jelas dan bermakna ganda dan kita telah berupaya mempertajam maknanya. Rangkuman yang ditawarkan adalah seperti berikut : (1) kekuasaan adalah fenomena sosial par excellence dan bukan hanya fenomena politik atau ekonomi saja; (2) ada gunanya membedakan kekuasaan dari gengsi, pengaruh, dominasi, hak, kekuatan dan dari wewenang; (3) kekuasaan adalah kekuatan tersembunyi, kekuatan adalah kekuasaan yang mewujud dan wewenang adalah kekuasaan yang dilembagakan; (4) kekuasaan hanya muncul dalam berbagai jenis pertentangan sosial, muncul menurut cara berlainan dalam organisasi formal, dalam organisasi informal, dan dalam komunitas yang tak terorganisir; dan (5) sumber dan komponen kekuasaan yang perlu terdapat dalam kombinasi : jumlah (terutama mayoritas), organisasi sosial dan sumber daya. Semua rangkuman diatas adalah proposisi permulaan dan masih primitf. Semuanya memerlukan analisis tambahan.



Catatan kaki. 1. The Web of Gaverment (NY : The Mac millan Co, 1947 : 458). Mac Iver selanjutnya mengatakan “Mayoritas karya tentang tema ini menekankan pentingnya peran kekuasaan seperti karya Hobbes, Gumplowicz, Ratzenhofer dan lain-lain atau menyesalkan peran kekuasaan seperti Betrand Russell dalam karyanya Kekuasaan (ibid).



104



2. Lihat The Modern State (London : Oxford Univ. Press, 1926 : 221-231) dan The Web of Gobernment, op.cit : 82 – 113. 3. Tak semua contoh kekuasaan yang ditunjukkan ini menopang negara. 4. Social Control (NY: The Mac Millan Co., 1916 : 78) 5. Perbedaan ini antara lain melukiskan ketaklayakan menghubungkan terlalu dekat disiplin psikologi dan sosiologi yang memang terpisah itu. 6. Contohnya akan diberikan kemudian. 7. Memang ada perbedaan selanjutnya antara hak dan privilej. Cuti militer misalnya adalah privilej bukan hak. 8. Sebagai masalah tehnis murni, semua definisi pada dasarnya melingkar. 9. Sanksi mungkin positif atau negatif, memerlukan atau melarang melakukan tindakan sosial. 10. Wewenang sering muncul dalam arti lain seperti misalnya ketika kita mengatakan Charles bewewenang dalam hal etiket. Dalam hal ini, wewenang bermakna pengetahuan atau keterampilan atau kompetensi superior dan orangnya mempunyai daya tarik sebagai sumber informasi atau sebagai wasit. 11. Inilah yang disebut Weber legitime Herrschaft yang diterjemahkan Parsons sebagai wewenang. Lihat The Theory of Social and Economic Organization, Parsons.ed. (NY: Oxford Univ. Press, 1947 : 152) 12. Seperti dalam kasus yang terjadi di Univ of Illinois. 13. Seperti dalam perkara Melish yang tengah berada dalam proses pengadilan. 14. Kelompok yang diorganisir sangat ketat sekalipun tak kebal terhadap campur tangan kekuasaan. Lihat Robert Bierstedt, “The Sociology of Majorities”, ASR XIII (Des.1948: 700-710). 15. The Web of Government, op.cit: 13 16. Istilah yang dikutip dari Hiller. Lihat bukunya Social Relations and Structures (NY: Harper & Row Publ. 1947 bab 13, 14 dan 38.



105



17. Bila kekuasaan aggota dilaksanakan secara informal mendukung organisasi melalui perubahan dalam struktur, struktur itu sendirilah yang mendukungnya melalui perubahan dalam personil. 18. Bahasan lebih luas, lihat “The Sociology of Majorities”, op.cit : 19. Permainan poker adalah kekecualian. Kecuali bila ada batas taruhan, sumbernya mula-mula tidak sama dikalangan petaruh. Dalam situasi ini, seperti dalam perang, penipuan didorong dan menjadi bagian struktur permainan.



106



Pekerjaan dan Stratifikasi Sosial. Oleh : Paul K. Hatt. Paper ini bertujuan menyajikan teori dan mengajukan metoda klasifikasi pekerjaan yang dapat dipakai dalam studi stratifikasi sosial.1 Ini memerlukan diskripsi beberapa masalah yang akhir-akhir ini sudah tak ditemukan lagi dan mengevaluasi klasifikasi pekejaan yang ada. Pemakaian klasifikasi atas masalah yang sama sekali berbeda dari yang dimaksud semula, selalu berbahaya dan tindakan yang tak tepat pun sering ditemukan dalam pemakaian indeks dalam studi stratifikasi. Peran sentral pekejaan dalam menentukan gengsi telah menggoda sosiolog untuk meminjam klasifikasi pekerjaan yang ada. Karena menggunakan berbagai tipe klasifikasi pekerjaan dalam sosiologi, maka tiap argumen dibidang kajian ini harus dimulai dengan masalah sebelumnya : Apakah ciri-ciri stratifikasi itu ? Apakah validitas pekejaan sebagai indeks posisi dalam system stratifikasi sosial ? Jika ada, dimensi atau dimensi-dimensi pekerjaan apakah yang cocok untuk digunakan dalam studi stratifikasi sosial ?



Ciri – Ciri Stratifikasi. Istilah “stratifikasi “ dalam paper ini dibatasi maknanya pada system posisi yang dinilai tak sama dalam semua masyarakat. Dalam hal ini tak ada maksud untuk mengacu pada metode seleksi individu untuk menempati posisi itu dan akibatnya tak ada implikasi tentang tingkat kebebasan gerakan dalam masyarakat bersangkutan. Masalah seperti itu dianggap termasuk masalah mobilitas vertikal dan meski berkaitan dan penting tetapi untuk sementara harus disimpan sebagai masalah terpisah. Menurut pengertian yang digunakan di sini, konsep stratifikasi berdasarkan atas empat postulat :



107



1. Posisi yang berbeda terdapat dalam berbagai struktur sosial yang berbeda misalnya dalam struktur keagamaan, pemerintahan, ekonomi. 2. Hadiah dari posisi ini terdiri dari berbagai jenis misalnya keuntungan finansial, kondisi kerja yang menguntungkan, dan nilai kehormatan atau “pendapatan psikhis”. 3. Kombinasi seluruh hadiah yang dilekatkan pada posisi tertentu merupakan nilai yang menyakitkan hati dari posisi itu dan karena itu merupakan nilai yang menyakitkan hati dari gengsinya. 4. Posisi sosial total adalah penyajian terakhir dari gengsi, dirubah oleh penghargaan yang diberikan orang lain sebagai hadiah bagi kelakuan yang diharapkan sesuai dengan status tertentu dipenuhi.2



Pekerjaan dan Posisi Sosial Relatif. Meski dengan alasan berbeda, sosiolog telah sering menjelaskan signifikansi pekerjaan sebagai ukuran posisi. Menurut Davis dan Moore,3 Parsons 4 dan sosiolog lain pandangan demikian muncul sebagai konsekuensi logis dari analisis teoritis yang lebih luas. Sosiolog lain mengemukakan signifikansi pekerjaan ini sebagai temuan empiris dari studi dimana posisi stratifikasinya ditentukan oleh kriteria selain dari pekerjaan.5 Dalam



riset lain lagi ditemukan peran dominan pekerjaan sebagai



kriterium penentu stratifikasi. Riset ini menemukan bukti empiris mengenai kebenaran asumsi di atas meski tak seorangpun dari periset itu yang menjadikan pengujian asumsi itu sebagai tujuan utama riset mereka.6 Tak seorangpun dari periset itu yang menyatakan pekerjaan menjadi kriterium yang cukup untuk menentukan posisi relatif namun semuanya secara substansial sependapat bahwa pekerjaan dapat menjadi indek yang berguna dan syah untuk kebanyakan tujuan riset. Meski ada kesepakatan umum demikian, namun tak semua sosiolog mau menerimanya begitu saja tanpa petanyaan.7



108



Pertanyaan apakah pekerjaan dapat dipakai juga sebagai cerminan posisi sosial relatif, tergantung pada kriteria yang digunakan ketimbang berdasarkan spikulasi. Kembali ke keharusan memulai dengan postulat stratifikasi, indek yang akurat dapat mencerminkan gengsi dan pengahargaan.8 Indek yang akurat dapat menjadi semacam rangkuman ukuran nilai gengsi dan penghargaan yang dilekatkan terhadap individu berdasarkan statusnya dalam setiap struktur sosial tempat ia berpartisipasi. Menurut definisi, pekerjaan tak dapat digunakan untuk melukiskan penghargaan; bila pekerjaan digunakan sebagai indek, posisi dalam satu struktur menggantikan sejumlah posisi dalam banyak struktur. Karena itu nilainya sebagai indek posisi harus ditetapkan meski tak mampu melukiskan secara rinci bidang posisi multi struktural dan penghargaan bersangkutan. Jadi untuk menaksir nilainya sebagai indek, indek pekejaan harus dibandingkan dengan tehnik mutakhir lain untuk menemukan posisi sosial. Masalah yang dihadapi oleh sejumlah dan berbagai jenis posisi yang didapatkan oleh individu telah ditemukan oleh Chapin dengan membangun Skala Ruang Tamu. Bukti keabsyahan skala ini banyak sekali dan sebuah studi berdasarkan skala ini khususnya menunjukkan superioritasnya terhadap pekerjaan9). Ini dibuktikan oleh fakta bahwa skala Chapin paling baik mencerminkan kumpulan item termasuk pendapatan, pekerjaan, pendidikan, ukuran partisipasi sosial dan Skala Ruang Tamu itu sendiri. Karena studi ini dilakukan hanya dengan sample 67 rumahtangga Negro di Minneapolis maka agak berisiko menarik generalisasi hasilnya. Namun tak terelakkan bahwa indek gabungan demikian dapat menjadi ukuran yang lebih akurat ketimbang indek pekerjaan saja. Kesimpulan ini sesuai dengan postulat partisipasi yang kedua : bahwa posisi yang terdapat di dalam berbagai struktur sosial dan posisi sosial total adalah semacam penyajian terakhir dari status keagamaan, pendidikan, pemerintahan, keluarga dan sebagainya maupun status pekerjaan. Meski hubungan antara posisi pekerjaan dan posisi lain mungkin diperkirakan namun hubungannya itu tindakan sama dan pekerjaan menjadi indek posisi yang kurang tepat dalam semua struktur ketimbang instrumen seperti “Skala Ruang Tamu”. Penilaian yang memadai 109



terhadap penghargaan memerlukan pengetahuan tentang seluruh hubungan sosial setiap individu dalam komunitas tertentu. Akibatnya, kalkulasi efektif keomponen penghargaan dari stratifikasi hanya dapat dipraktekkan dalam komunitas local atau pertetanggaan10). Karya Warner dan rekannya kiranya paling terkenal dikalangan periset yang meneliti pola gengsi total termasuk dimensi penghargaan. Dalam studi ini reputasi pribadi digabungkan dengan gengsi posisi dan hasil penggabungannya dianggap sebagai posisi sosial tatal individu. Betapapun menariknya hasil tehnik pengukuran “reputasi komunitas” namun tehnik itu masih belum memenuhi kebutuhan mendesak sosiolog. Meski tehnik itu konkrit dan menarik, temuannya sangat menentang generalisasi karena berakal dalam keistimewaan setempat.11 Bila stratifikasi di pelajari berdasarkan skala nasional atau dalam lingkungan urban, metode ini tak memadai untuk digunakan. Ada dua metode untuk menstudi stratifikasi, masing-masing menggambarkan pola gengsi total yang lebih tepat ketimbang yang dihasilkan dengan menggunakan indek tunggal. Tetapi keduanya pun menunjukkan kekuarangannya pula. Kelemahan pendekatan “Reputasi Komunitas” adalah sangat sukar mengembangkannya keluar batas komunitas tempat membuat pendekatan itu. Kelemahan metode yang kedua sangat jelas terletak pada persyaratannya yang menuntut wawancara dari rumah ke rumah. Metode ini, meski berguna meninggalkan banyak persoalan yang harus dijelaskan oleh metode lain yang relatif lebih sederhana dalam menilai posisi sosial. Banyak data sekunder yang tak mudah tersentuh oleh analisis “reputasi komunitas” atau penilaian rumah tangga yang telah ditabulasi menurut jenis pekerjaan dan jenis data lain memerlukan iindek gengsi sederhana karena keterbatasan waktu atau akses ke responden. Dalam kasus demikian, data pekerjaan sekurang-kurangnya relatif tersedia. Ciri-ciri ini dan bukti tentang keabsyahannya sebagai sebuah indek, menunjukkan dibidang mana metode ini dapat berguna sebagai alat riset. Untuk membuatnya



menjadi



indek



yang



benar-benar



pengklasifikasian pekerjaan yang sepantasnya. 110



berguna,diperlukan



cara



Dimensi dan Klasifikasi Pekerjaan. Postulat stratifikasi menyatakan bahwa klasifikasi pekerjaan yang masuk akal untuk menganalisis stratifikasi harus berdasarkan dimensi pekerjaan yang secara tepat mencerminkan perbandingan posisi sosial. Ada tiga dimensi yang biasanya digunakan dalam mengklasifikasi pekerjaan itu: (1) tugas, (2) persyaratan, dan (3) hadiah. 1. Klasifikasi Dengan Menggunakan Tugas. Contohnya adalah system yang digunakan oleh Biro Sensus AS. Kegunaannya lebih untuk studi mobilitas horizontal dan pola industri ketimbang untuk studi stratifikasi sosial. Klasifikasi sensus serta beberapa klasifikasi pekerjaan yang dikembangkan oleh Dinas Tenaga Kerja AS adalah contoh ketakberdayaan konsep pekerjaan keluarga yang lebih lunak. Shartle melukiskan pekerjaan keluarga berisi sejumlah kelompok pekerjaan berdasarkan kesamaannya mengenai kriteria yang mungkin dipilih12). Kreiteria seperti kekuatan pisik, ketrampilan tangan dan tingkat pendidikan adalah cara yang biasa dipakai untuk menggambarkan pekerjaan keluarga. Meski penerapan jenis pekerjaan khusus keluarga seperti itu terhadap masalah stratifikasi jelas tak berdasar, Edward merasa yakin ada skala nilai di dalam klasifikasi sensus. Skala “Sosioekonomi” pekerjaan Edwards terutama berdasarkan atas tipe “otak dan Otot” dari pekerjaan sebagai skala posisi.13 Skalanya sendiri terdiri dari enam kategori utama dua diantaranya dibagi lagi sehingga menghasilkan kurang leih sepuluh kelompok yang disusun secara bertingkat. Meski tehnik Edward pada dasarnya ditujukan pada tugas namun tehnik itu juga syah dilihat dari sudut pendapatan tahunan dan kualifikasi pendidikan dari pekerjaan. Dengan berbuat demikian Edwards menghasilkan kedua gambaran dimensi lain yang biasanya digunakan. Klasifikasi ini sangat membantu riset seperti yang dilakukan Anderson dan Davidson14, Centers15, Lind16 dan lain-lain. Kelemahan utamanya terletak pada kelebaran kategorinya, sebagian jelas tumpang-tindih dan tak adanya petunjuk bahwa 111



posisi hirarkis ini sebenarnya mencerminkan nilai individu yang diberikan oleh publik. 2. Klasifikasi dengan menggunakan Persyaratan Pekerjaan. Dalam bimbingan kejuruan dan pekerjaan perorangan beberapa klasifikasi pekerjaan digunakan dimana pekerjaan dikelompokkan menurut tingkat latihan, pendidikan dan kecerdasan,17 meski juga sering menggunakan ukuran hadiah seperti pendapatan. Pengelompokan demikian memang tak hanya memudahkan penseleksian peroranngan tetapi juga menyediakan peluang membuat skala pekerjaan dilihat dari sudut posisi sosial. Skala Minnesota misalnya digunakan dalam studi Guttman tentang keluarga di Minneapolis seperti yang telah dikutip sebelumnya. Penggunaan klasifikasi ini sebagai skala posisi relatif adalah modifikasi dari orientasi aslinya yang memerlukan asumsi yang agak meragukan. Asumsinya adalah bahwa tanggapan orang lain terhadap suatu pekerjaan pada dasarnya adalah tanggapan rasional dan gengsi pekerjaan berbeda-beda sesuai dengan kompleksitas ketrampilan yang diperlukan oleh jenis pekejaan tertentu. Hingga taraf tertentu asumsi demikian mungkin benar. Tetapi asumsi itu dapat berpengaruh terlalu jauh karena akan mengabaikan basis gengsi lain seperti yang berasal dari arti penting pekerjaan tertentu bagi masyarakat, peluang hadiah finansial, derajat kesenangan relatif kondisi kerja secara umum dan seterusnya. Akibatnya, klasifikasi pekerjaan tipe ini hanya dapat digunakan terbatas dalam studi stratifikasi sosial. 3. Klasifikasi dengan Menggunakan Hadiah Pekerjaan Untuk tujuan analisis ini, hadiah pekejaan dibagi menjadi tiga kategori : Pendapatan uang, nilai kehormatan atau “pendapatan psikhis”, dan kondisi kerja. Meski benar bahwa “pendapatan psikhis” juga melekat pada upah tinggi dan kondisi kerja yang “bagus” namun aspek kehormatan pekerjaan disini hanya mengacu pada jumlah rasa hormat yang diberikan pada pekerjaan tertentu dan pengaruh rasa hormat dari upah dan kondisi kerja jika ada dianggap konstan. 112



Klasifikasi melalui hadiah uang. Studi Guttman telah menunjukkan bahwa pendapatan superior atas Skala Pekerjaan Minnesota sebagai ukuran posisi sosial. Ini mungkin sebagian disebabkan kenyataan bahwa skala Minnesota yang dilukiskan disini didasarkan atas persyaratan pekerjaan atau menunjukkan “kebenaran” superioritas pendapatan terhadap klasifikasi pekerjaan. Tetapi ada penyimpangan tertentu yang menimbulkan keraguan terhadap hipotesis yang kemudian. Guru misalnya lebih tinggi statusnya dari pada tukang kayu demikian pula pemegangbuku. Tetapi tukang kayu menikmati pendapatan superior terhadap guru dan pemegang buku. Sekurang-kurangnya belakangan ini. Lagi pula pendapatan dianggap sebagai informasi pribadi istimewa dan kestabilan kesukaran pekerjaan menggambarkan upah perjam, per-hari, per-minggu atau perbulan. Karena alasan inilah pendapatan sendiri dinilai sebagai indek posisi pekerjaan yang tak memadai. Klasifikasi menurut “Nilai Sebutan Kehormatan”. Sejauh yang penulis ketahui belum ada skala yang menggunakan dimensi “nilai sebutan kehormatan” ini sendiri namun dapat ditunjukkan bahwa tak mungkin menyediakan sebuah indek yang syah dan dapat di praktekkan dalam setiap kasus. Alasannya pertama “pendapatan psikhis” sukar dipisahkan dari system hadiah yang lain, dan kedua, seandainya dapat dipisahkan akan muncul penyimpangan yang sama dengan yang ditemukan dalam penggunaan pendapatan sendiri. Dengan demikian, meski guru mungkin menerima sebutan kehormatan lebih besar tanpa menghiraukan hadiah lain ketimbang yang diterima serorang bankir, namun bankir jelas menempati posisi sosial lebih tinggi. Seperti pendaptan uang, “pendapatan psikhis” sendiri rupanya terlalu tak lengkap untuk dijadikan indek psosisi pekerjaan yang memadai. Kalsifikasi Menurut Kondisi Kerja. Tipe hadiah ini melekat dalam klasifikasi seperti yang menggunakan kelas-kelas “professional”, “pemilik dan manejer”, “pekerja kerah-putih” dan “pekerja tangan” karena perbedaan utama diantara kategori 113



ini perlu memasukkan faktor seperti jam kerja, kontrol terhadap waktu, kebersihan pekejaan, tipe pakaian yang tepat untuk pekerja dan unsur serupa lainnya. Meski kategori seperti itu sudah digunakan dengan baik oleh Drake dan Cayton yang juga menggunakan istilah pekerjaan “bersih” dan “kotor” namun klasifikasi ini menderita kelemahan yang sama dengan Skala Edwards Alba.18 Kesukaran tambahan untuk menggunakan skala ini adalah kesukaran dalam menggabungkan nilai yang bermacam-macam menurut tipe kondisi kerja seperti jam kerja, waktu mulai bekerja, pakaian, kebersihan, keamanan dan sebagainya. Keganjilan atau penyimpangan juga muncul dalam dimensi ini : jam kerja buruh lebih pendek dari pada jam kerja dokter, pekerjaan pelayan tokok lebih bersih dari pada pekerjaan tukang kayu, pemegang buku memakai pakaian “leibh baik” ketimbang yang dipakai insinyur lokomotif- dan dalam semua kasus itu faktor lain membalikkan posisi sosial. Karena itu penggunaan kondisi kerja sendiri sebagai indek stratifikasi jelas tak layak. .Klasifikasi dengan Menggabungkan Hadiah. Kembali ke postulat yang melandasi konsep stratifikasi yang digunakan disini, bahwa jumlah seluruh hadiah yang meningkatkan status merupakan unsur gengsi dan masuk akal bahwa ini sama benarnya dengan pekerjaan. Studi yang mencoba melukiskan gengsi pekejaan sebenarnya mencoba mensintesiskan system hadiah total. Klasifikasi ini didasarkan atas asumsi bahwa orang mampu membuat pertimbangan posisi total. Aspek teoritis asumsi ini dilukiskan dengan baik oleh Goldhamer dan Shils yang menunjukkan bahwa semua perbedaan perilaku berdasarkan atas pertimbangan demikian di dalam hirarki nilai pengamat.19 Semua studi tentang gengsi pekerjaan pada dasarnya berdasarkan asumsi ini dan selanjutnya menggunakan metodologi yang sama meski ada perbedaan tehnik.



20



Mereka beranggapan bahwa gengsi dapat dihargai dan lebih terletak pada opini orang lain ketimbang pada pekerjaan itu sendiri atau terletak dalam setiap hadiah khusus yang dilekatkan pada posisi itu. Karena itu perlu digunakan metode untuk



114



mendapatkan pertimbangan dari orang lain mengenai posisi gengsi sederetan pekerjaan yang dipilih. Teori dan metode untuk menstudi gengsi ini rupanya memenuhi persyaratan yang diperlukan indek posisi sosial yang lebih dekat ketimbang metode lain yang ada kini. Tehnik klasifikasinyalah yang belum memadai untuk diterapkan secara umum dalam riset stratifikasi. Ini disebabkan penilaian terhadap pekerjaan itu belum lengkap atau belum mewakili semua jenis pekerjaan atau tak memadainya juri yang menilai pekejaan itu atau dalam kasus tertentu karena kecacatan dalam skala penilaian itu sendiri. Metode yang disajikan dalam tulisan ini adalah upaya untuk meralat beberapa kelemahan skala gengsi yang ada. Asumsi yang melatar belakangi penggunaan dimensi pekerjaan ini dan dibelakang penggunaan pekerjaan itu sendiri sebagai indek posisi sosial relatif tetap dianggap sahih. Kontinum Gengsi. Maret 1946 The National Opinion Research Center mewawancarai sampel nasional reguler mereka ditambah sampel khusus pemuda mengenai masalah gengsi pekerjaan.21 Responden yang diwawancarai berjumlah 2.930 orang. Sebuah daftar berisi 88 jenis pekerjaan diminta dinilai oleh responden berdasarkan skala gengsi yang diberi nilai dari satu hingga enam.22 Daftar pekerjaan itu semula dihimpun berdasarkan atas tiga kriteria : (1) tak memasukkan jenis pekerjaan yang tergolong “anti sosial” ; (2) jenis pekerjaan yang dipilih harus mencerminkan proporsi sebesar mungkin pekerjaan yang menguntungkan di AS; dan (3) jarak gengsi praktis terlebar harus tertutupi. Dengan mempertimbangkan kepentingan khusus salah satu badan yang memungkinkan terlaksananya studi ini, maka delapan jenispekejaan ilmiah ditambahkan terhadap pilihan semula dan sebagian kecil dicoret karena membuat daftarnya terlalu panjang. Hingga kini penilaian gengsi antara dua pertiga dan tigaperempat jenis pekejaan yang menguntungkan telah dapat diketahui dengan pasti atau dinilai secara akurat.



115



Tingkatan gengsi pekejaan itu dirubah menjadi skor dengan cara sedemikian rupa sehingga menghasilkan skor minimum 20 maksimum 100. Jarak sebenarnya bergerak dari 33 untuk tukang “semir sepatu” hingga 96 untuk “hakim MA” dan 93 untuk “dokter,”nilai tertinggi pekerjaan biasa. Dari 65 kemungkinan unit skor didalam susunanya, 49 unit skor ada dalam kenyataan. Dengan kata lain, seluruh seksi dalam kontinum skor gengsi pekerjaan itu terwakili dengan agak baik. Bentuk skor kontinum gengsi pekerjaan ini sekurang-kurangnya menghadapi beberapa masalah yang belum terselesaikan dalam studi gengsi yang lain.23 Jadi skor gengsi pekerjaan ini telah menjadi metode pengklasifikasian pekerjaan yang meski belum lengkap dan definitife, namun berguna untuk berbagai jenis riset. Namun meski dapat digunakan untuk berbagai tujuan riset, adanya skor yang sama untuk jenis pekerjaan yang tak serupa seperti “pilot”, “artis pelukis”, “pemilik pabrik yang mempekerjakan sekitar 100 tenaga kerja” dan sosiolog, menimbulkan masalah apakah kontinum merupakan satu kesatuan atau tidak. Dengan kata lain, pertanyaan apakah pekerjaan itu terus-menerus dinilai oleh individu dengan menghubungkannya satu sama lian, perlu dijawab. Artinya tak cukup hanya diketahui bahwa skor rerata tetap berbeda untuk dua jenis pekejaan tetapi perlu pula diketahui apakah individu tetap menilai pekerjaan itu dalam posisi relatif sama. Metode yang dipilih untuk mengetesnya adalah Tehnik Skala Gutman.24 Bila jawaban responden atas gengsi pekerjaan membentuk Skala Gutman, maka jawaban itu dapat dianggap sebagai “jawaban umum” tunggal dan dapat dibayangkan sebagai satu kesatuan rentetan gengsi. Ada tiga golongan sampel berbeda, masing-masisng terdiri dari 25, 16 dan 12 jenis pekerjaan yang dianalisis dengan metode ini25, tetapi tak satupun yang menghasilkan “skala semu” sekalipun, sehingga tak ada alasan untuk meyakini bahwa manipulasi empiris dapat memperbaiki skala yang ada. Berdasarkan hasil tes ini, perlu difikirkan kembali ciri-ciri kontinum gengsi seperti yang dibangun dalam studi ini dan menambah hipotesis baru. Hipotesis yang dimaksud adalah bahwa meski rentetan gengsi pekerjaan itu secara keseluruhan tak



116



dapat dibuat skalanya, tetapi sub kelompoknya dapat dibuat skalanya. Artinya ada sub kelompok yang didalamnya penilaian gengsi pekerjaan individu adalah tetap. Kategori pekejaan seperti itu diperluas menjadi klasifikasi bidang pekerjaan yang disebut Benoit- Smallyan “situs” yang berbeda dari status.27 Karena itu ada tipe pekerjaan yang system statusnya dapat dianggap sebagai satu unit. Contoh terjelas gagasan ini terlihat dalam pemisahan pekerjaan pertanian dari pekerjaan industri. Hipotesis yang dikemukakan disini bahwa penilaian status di dalam pembagian kerja demikian adalah tetap sedangkan penilaian status antara tipe pekerjaan berbeda tidak tetap. Akibatnya, sederetan pekerjaan pertanian atau industri harus dapat dipisahkan skalanya tetapi tidak dalam gabungan. Situs dan Kelompok Pekerjaan. Untuk menguji hipoteisis diatas, rentetan kelompok pekerjaan perlu disusun. Kelompok pekrjaan ini tak harus dibayangkan memiliki jumlah gengsi relatif sama tetapi sebagai kategori yang merupakan tingkat status paralel. Bila hipotesis itu berlaku, kelompok pekerjaan ini seharusnya bekaitan dengan fikiran publik bahwa posisi gengsinya ditentukan oleh responden. Langkah pertama dalam prosedur ini adalah menyusun kelompok-kelompok pekerjaan dengan menggunakan kriteria hubungan serupa antara pekerjaan dan publik yang memakainya. Artinya, hubungan dagang, hubungan berlangganan, dan professional dan sebagainya dianggap sebagai kriterion penggolongan kasar awal. Kelompok-kelompok pekerjaan yang dihasilkan, dijadikan sasaran analisis skala menurut tehnik Cornell dan secara empiris ditata-ulang sehingga muncul pola yang dapat dibuatkan skalanya. Penyesuaian empiris pekerjaan ini dari satu kategori ke kategori lain akhirnya dapat dibuat. Perlu ditekanban bahwa istilah “situs” meaupun “kelompok-pekerjaan” digunakan di Tabel 1,2 dan 3. Disini kelompok pekerjaan sebenarnya menjadi bagian situs meski ada perbedaan signifikan dalam hal skala antara keduanya. Kemampuan mereproduksi angka dari situs adalah kecil atau agaknya tak memadai untuk menganggapnya



dapat



dibuatkan



skalanya, 117



sedangkan



kelompok



pekejaan



menghasilkan kemampuan mereproduksi angka cukup tinggi28. Bahkan dalam hal ini, jumlah tanggapan yang dibuatkan skalanya sedemikian kecil sehingga memberikan kesimpulan yang lemah. Sebagai contoh, dalam situs bisnis, kemampuan mereproduksinya hanya 78, yang menunjukkan kemungkinan adanya “skala semu”, sedangkan untuk 4 kelompok pekerjaan yang menunjukkan sub-bagian situs ini, angkanya jauh leih tinggi : 87 untuk pekeja kerah-putih, 85 untuk pengorganisir pekerja, 91 untuk bisnis kecil dan 87 untuk bisnis besar. Jumlah tanggapan yang diskalakan adalah kecil ; 14 untuk pekerja kerah putih, 10 untuk pengorganisir pekerja, 8 untuk bisnis kecil dan 11 untuk bisnis besar. Kegunaan utama situs yang disusun adalah untuk menunjukkan batas absolut dimana



prinsip klasifikasi



horizontal ini mungkin ditekan untuk melampaui batas situs hingga skala-semunya lenyap. Data studi ini menunjukkan adanya sekurang-kurangnya 8 situs. Kedelapannya disajikan di Tabel 1. bersama kelompok pekerjaan yang membentuknya dan data yang diperlukan untuk menilai skala bilitasnya. Dalam hal ini orang hanya dapat berspikulasi mengenai ciri-ciri situs bila ciricirinya itu jelas mencerminkan tingkatan gengsi seperti situs pertanian yang meliputi “petani pemilik”, “petani penyewa” dan “petani bagi hasil”. Situs lain nampaknya mencakup fungsi serupa seperti dalam kasus pekerjaan professional atau politik. Berdasarkan data yang ada satu-satunya cirri-ciri yang diketahui adalah bahwa tiap situs hanya memasukkan pekerjaan yang secara teus-menerus dapat dibandingkan oleh kebanyakan orang. Ada kemungkinan bahwa riset selanjutnya akan mengungkap ciri-ciri lain, tetapi hingga saat ini tiap pernyataan mengenai ciri-ciri situs ini murni berdasarkan perkiraan semata. Penyajian lebih rinci tentang dua situs sebenarnya akan membantu menjelaskan konsep itu. Tabel 2 dan 3 menyajikan komposisi pekerjaan bisnis dan pekerjaan tangan. Meski bukti yang mendukung situs seperti yang digambarkan dalam tulisan ini dan yang diilustrasikan di Tabel 2 dan 3 jauh dari definitife dan sifat 118



pengelompokannya pasti tak jelas difahami, namun nampak bahwa sekurangkurangnya prinsip yang melandasinya menjanjikan. Penjelasan selanjutnya tentang garis pemikiran ini dapat menuju kepada penelitian yang bernilai dan memberikan wawasan tentang struktur sosial kita yang belum diperoleh saat ini. Tabel 1. Skala Situs dan Kelompok Pekerjaan menurut Tehnik – Cornell. No



Situs dan klpk pekerjaan



Jlh



pekerjaan



yg diskalakan



1



2



3



4



5



6



Politik



Jlh tanggapan



Reproduk



Reproduksibili



yg diskalakan



sibilitas



tas minimum



7



14



84



67



Nasional



4



8



89



70



Local



3



6



90



59



8



16



77



60



Profesi bebas



4



8



88



60



Ilmuan murni



6



12



86



60



Ilmuan terapan



4



8



88



66



Profesional komunitas



5



10



85



63



4



11



78



55



Bisnis besar



3



6



87



61



Bisnis kecil



4



8



91



70



Organisasi buruh



2



10



85



38



Pegawai kerah-putih



7



14



87



58



Rekreasi dan estetika



6



12



80



67



Kesenian tinggi



3



6



86



66



Jurnalisme &radio



3



6



86



63



Rekreasi



2



4



90



51



Pertanian



4



8



87



58



Usaha pertanian



2



4



93



61



Bekerja di Pertanian



2



4



92



62



6



14



84



59



Professional



Bisnis



Pekerja tangan



119



7



8



Mekanik trampil



4



8



87



67



Usaha konstruksi



3



9



90



55



Bekeja diluar rumah



4



8



86



61



Bekerja di pabrik



4



8



90



68



Pekerja tak terlatih



3



6



88



73



Militer@



-



-



-



-



AD



2



6



84



50



AL



-



-



-



-



Corp Marinir



-



-



-



-



Penjaga Pantai



-



-



-



-



4



8



89



55



“Pejabat komunitas”



4



8



88



60



“Non pejabat komunitas”



3



6



98



72



3



6



86



70



Pelayanan



Pribadi



@. Hanya satu keluarga yang disajikan dalam data asli. Keberadaan yang lain semata berdasarkan spikulasi; mungkin mereka tak ada dalam kenyataan. Tabel 2. Komposisi Situs Bisnis. Situs kelpk pekerja bisnis



Jlh



Pkj.



diskalakan



Yg



Jlh



tanggapan



yg diskalakan



reproduksi



Reprocuksibi



Skor



bilitas



litas minimun



gengsi



4@



11



78



55



-



3



6



87



61



-



Bankir



-



2



88



50



88



Agt. Dwn.Direksi



-



2



88



62



86



Pemilik pabbrik



-



2



85



70



82



4



8



91



70



-



Kontraktor bangunan



-



2



88



79



79



Pemilik usaha percetakan



-



2



94



70



74



-



2



85



76



61



Bisnis Bisnis besar



Bisnis kecil



Pemilik Restoran.



120



-



2



97



55



58



2



10



85



38



-



SB. Internasional



-



5



85



44



75



SB. Local



-



5



85



31



62



7



14



87



58



-



-



2



82



70



81



-



2



94



85



69



-



2



94



79



68



-



2



91



82



68



-



2



85



76



68



-



2



83



60



67



2



82



58



58



Nelayan-pemilik kapal



Organisasi buruh



Karyawan kerah putih



Akuntan Manejer took Salesmen keliling Pemegang buku Agen asuransi Agen kereta api Klerek di toko @



Empat jenis pekerjaan ini hubungannya tertinggi dengan masing-msing kelompok yang membentuk situs. Tabel 3. Komposisi Situs Pekerjaan Tangan.



Situs atau klpk pekerja



Jlh pekerja yg



Jlh tanggapan



reproduksi Reproduksibi



Skor



diskalakan



yg diskalakan



bilitas



gengsi



litas minimum



Pekerjaan tangan



6@



14



84



59



-



Mekanik terampil



4 -



8



87



67



-



2



88



76



83



Ir. Lokomotif



-



2



91



67



77



Masinis trampil



-



2



82



70



73



Mekanis bengkel



-



2



88



54



61



9



90



55



-



Tukang listrik



3 -



3



94



50



73



Tukang kayu



-



3



92



58



65



Tukang ledeng



-



3



86



57



63



4



8



88



61



-



Pilot



Usaha konstruksi



Pekerjaan luar rumah



121



Sopir truk Penebang kayu Pekerja tambang Pekerja Dok Pekerjaan pabrik



4



Operator mesin



-



Penjaga malam



-



Tukang strika Penjaga kantor Pekerja tak trampil Buruh tani Tukang sampah



3 -



Pembersih jalan



2



86



60



54



2



88



55



53



2



82



64



49



2



85



70



47



8



90



68



-



2



86



76



60



2



91



52



47



2



91



76



46



2



91



70



44



6



88



73



-



2



88



67



48



2



85



67



35



2



91



85



34



@. Enam jenis pekerjaan ini berkaitan erat dengan masing-masing kelompok. Tetapi dua dipilih dari kelompok mekanis trampil.



Peluang Penerapan Analisis Situs – Gengsi. Penerapan analisis demikian dapat membantu menyederhanakan berbagai jenis masalah yang menyangkut stratifikasi. Dua penjelasan berikut ini cukup untuk membuktikannya. 1. Studi Mobilitas Vertikal. Bila analisis situs-gengsi benar-benar realistis, akan terdapat dua tipe mobilitas vertical : (1) yang sama sekali terjadi di dalam situs; (2) yang menyangkut perpindahan ke dalam situs lain29. Bila misalnya seorang anak muda memulai karirnya dalam situs bisnis sebagai seorang pemegang-buku, ia mungkin meningkat dalam situs ini dengan tambahan ketrampilan melalui pengalaman atau mungkin semata-mata berkat senioritas. Bila ia memutuskan untuk memasuki dunia profesi 122



dan dengan demikian juga pindah secara horizontal, investasi tambahan pun harus dilakukan (waktu dan uang untuk pendidikan). Begitu pula bila orang ini tetap di dunia bisnis dan berhasil meningkat ke posisi pemilik bisnis, ia kemudian mungkin memilih untuk memasuki dunia politik. Sekali lagi, investasi waktu untuk kampanye dan mungkin kontribusi cukup besar untuk partai diperlukan. Jenis biaya lain yang diperlukan dalam gerakan antar situs ini mungkin dilihat sebagai kehilangan gengsi meski pindah ke dalam satu situs lebih menguntungkan posisinya dilihat dari sudut batas atasnya. Dengan demikian seorang tukang kayu misalnya mungkin memilih kehilangan gengsi untuk mengambil pekerjaan sebagai seorang salesman – mungkin mengira bahwa ia dengan demikian memasuki situs yang pada akhirnya lebih menjanjikan ketimbang berada pada situs yang sekarang. Alternatif lain baginya untuk masuk kesitus bisnis adalah dengan menghimpun dana yang cukup untuk mendirikan perusahaan miliknya sendiri. Dalam setiap kasus mobilitas di dalam situs itu muncul biaya dan harus dibayar. Perbedaan antara mobilitas di dalam dan antar situs sangat besar. Perpindahan di dalam situs ditandai oleh peningkatan risiko dan perpindahan antar situs ditandai oleh peningkatan keamanan. Lagi pula ada kemungkinan perbedaan antara kedua tipe mobilitas itu dilihat dari sudut jarak potensial yang memungkinkan pindah. Perbedaan ini mungkin cukup penting yang dapat mengaburkan faktor penting dalam studi mobilitas vertikal. Perlu diingat bahwa perbedaan seperti itu dapatdigunakan untuk studi mobilitas antar generasi maupun untuk perpindahan karir sehingga signifikansi yang diberikan kepada anak vis – a – vis ayahnya tak hanya mengacu pada dimensi vertical tetapi juga pada dimensi horizontal. 2. analisis melalui perbedaan stratifikasi. Sebagai contoh tipe masalah ini, perbedaan tingkat kelahiran dapat digunakan meski berbagai contoh lainpun dapat digunakan. Bila kesimpulan ciri-ciri psikologis melukiskan mengenai mobilitas vertikal dan fertilitas, ukuran posisi kasar mungkin sama kaburnya dengan yang diungkapnya. Ada kemungkinan misalnya posisi relatif 123



dalam situs mencerminkan “menyamai keluarga Jones” yang sebenarnya ketimbang posisi yang mengacu pada struktur masyarakat total. Studi tentang fertilitas relatif seperti antara tingkatan status tetapi masih di dalam situs akan banyak menambah pengetahuan kita tentang perbedaan fertilitas. Konkritnya, perbedaan fertilitas antara dokter dan arsitek, pakar listrik dan tukang ledeng, akuntan dan klerek mungkin mengandung informasi yang sama berharganya dengan studi perbedaan fertilitas antara dokter, arsitek dan tukang ledeng disatu pihak dan klerek dipihak lain seperti tipe analisis yang kini dilakukan. Banyak bukti yang menunjukkan peluang dan manfaat analisis pekerjaan baik secara vertical maupun horizontal. Riset yang akan datang diharap dapat merubah atau memperkuat pendapat ini. juga diharap, cirri-ciri situs pekerjaan itu diteliti dengan lebih pasti lagi sehingga metode studi stratifikasi yang lebih sempurna dapat disusun yang tak hanya berkaitan sistematis dengan postulat straatifikasi tetapi juga dapat menjadi alat praktis untuk riset empiris.



Catatan kaki. 1. Analisis yang bagus tentang riset pekerjaan ini, meski untuk tujuan lain, terdapat dalam Carlo L. Lastrucci, “The Status of Occupational Research”, ASR, XI, no I (Febr. 1946 : 78 – 84) 2. Modifikasi lebih luas pernyataan yang dibuat Davis dan Moore ditemukan dalam karya berikut : Kingsley Davis and W.E. Moore, “Some Principles of Stratification,” ASR, X, No 2 (april, 1945 : 242 –249) ; Kingsley Davis, “Conceptual jAnalysis of Stratification”, ASR, VII, No. 3 (June, 1942 : 312). 3. op.cit 4. Parsons, “An Analytical Approach to the Theory of Sociological Stratification”, AJS. XLV, no. 6 (May, 1940 : 84-862) 5. Lihat misalnya John Useem, P. Tangent and Ruth Usecm, “Stratification in a Prairei Town “, ASR, VII, No. 3 (June, 1942 : 333 – 334) 124



6. Karya khasnya seperti karya D. Anderson and P.S.Davidson, Ballots and the Democratic Class Structure (P.A.Calif : Standford Univ. Press, 1943) dan Richard Centers, The Psychology of Social Classes (Princeton, NJ : Princenton Univ. Press, 1949). 7. Gross misalnya merasa bahwa hasil yang tak pasti dari studi Centers dapat dijelaskan dengan hipotesis alternatif bahwa pekerjaan tak mencerminkan posisi kelas sebenarnya (L.Gross, “The Use ofClass Concepts in Sociological Research “, AJS, LIV, no 5. (March, 1949 : 417-418) 8. Bahasan tentang esteem (kedudukan) ditemukan dalam Kingsley Davis, Human Society (NY : The Macmillan Co., 1949) 9. Louis Guttman, “A Review of Chapins Social Status Scale”, ASR, VIII. No.3. (June, 1943 : 362 – 369) 10. Perlu ditambahkan, kejeniusan atau keluhuran budi dapat meningkatkan kehormatan melampaui batas local tetapi hal seperti itu jarang terjadi dan kecil artinya bagi masalah sosiologi yang berkaitan dengan pola total stratifikasi. 11. Karena pernyataan rinci tentang pendekatan ini telah muncul dalam tulisan L. Warner, M. Meeker dan K. Eellss, Social Class in America (Chicago : Science Research Associates, 1949) 12. C. Shartle, Occupational Information (Englewood Cliffs, N.J: Prentice – Hall. Inc. 1946 : 161 – 171) 13. A.M. Edwards, Comparative Occupational Statistics for the US (XVI Census, 1940) (Washington DC: Gov. Printing Office, 1943). 14. op. cit 15. op.cit 16. A.W. Lind, An Island Community (Chicago : The Univ. of Chicago Press, 1938), baab XI 17. Pendekatan ini diwakili oleh I. Lorge and R. Blan, “Broad Occupational Groupings by Intelligence Levels”, Occupations, XX, No. 6 (March, 1942 : 419-



125



423; R.O.Beckman, “ A New Scale for Gauging Occupational Rank”, Personnel Journal, XIII, no. 4 (Sept., 1943 : 225-233). 18. St. Clair Drake and H. Cayton, Black Metropolist. (NY; Harcourt, Brace & World Inc. 1945) 19. H. Goldhames and Edwar A. Shils, “Types of Power and Status”, AJS. XLV, No. 2 (Sept., 1939 : 178 ƒƒ) 20. W.A. Anderson, “Occupational Attitudes and Choices of a Group of College Men, I ad II”, Social Forces, VI (1927-1928 : 278 – 283), and “The Occupational Attitudes of College Men”, Jounal of Social Psychology, V (1934 : 435 – 465) 21. Ini adalah Survei NORC No. 244. Ringkasannya terdapat dalam Logan and W.L.kolb, Sociological Analysis (NY: Harcourt, Brace & Worl Inc., 1949 : bab XIII. 22. Untuk mendapatkan penilaian ini, tiap responden diberi kartu dengan petunjuk : “Tiap pekerjaan yang ditunjukkan tolong pilih pernyataan yang terbaik menurut opini pribadi anda sendiri”. Dibawah petunjuk ini, tersedia pilihan pernyataan berikut : 1. Kedudukan baik sekali. 2. Baik. 3. Rerata. 4. Agak di bawah rerata. X. Aku tak tahu menempatkannya dimana. 23. Indikasi reliailitas skor ini didapat dalam dua cara. Sekitar empat-perlima jenis pekerjaan tak ada perbedaan signifikan secara statistik antara 4 kawasan (Northeast, Midwest, South, and Far West). Dua jenis pekerjaan, masuk dua kali dengan sedikit perubahan nama. Contoh, mekanik garase bergandengan dengan “tukang reperasi (montir) mobil dan “guru sekolah umum”. Di keduanya beda skornya hanya 1 angka : dari 62 ke 63 untuk kasus pertama dan dari 78 ke 79 dalam kasus kedua. 24. Louis Guttman, “A Basis for Scaling Qualitative Data”, ASR, IX, (1944 : 139150) dan “On Festinger’s Evaluation of Scale Analysis”, Psychological Bull, XLIV. No. 5. (Sept. 1947 : 451 – 465) 25. Dalam analisis ini digunakan 100 kasus jawaban responden. Kasusnya dipilih secara acak berdasarkan jumlah kasus. 126



26. “skala semu” rupanya menunjukkan keberadaan skalabilitas tetapi derajat presisinya terlalu kecil untuk menunjukkan “titik potongnya”. 27. “Pekerjaan Keluarga” ini sama cirinya dengan yang disebut situs oleh B. Smullyan dalam bidang stratifikasi lebih luas L.E.B.Smullyan, ASR, IX, No. 2. (April, 1944: 154 – 161) 28. Guttman, “A Basis for Scaling Qualitative Data" op.cit. 29. Masalah ini jelas telihat dan dinyatakan oleh E. Sibley dalam “Some Demographic Clues to Stratification”, ASR, VII, No. 3 (June, 1942 : 322-330)



127



Tingkat ketaksesuaian Status dan Pengaruhnya Oleh : Andrzej Malewski



Masalah Dalam bukunya terakhir, Homans mendefinisikan status sebagai kumpulan stimuli yang diperkenalkan kepada orang lain (dan kepada diri sendiri) dan yang dinilai oleh orang lain sebagai lebih baik atau lebih buruk, lebih tinggi atau lebih rendah.1 Jenis khusus stimuli demikian didefinisikan Homans sebagai faktor status.2 Menurut Homans kesesuaian status dicapai bila seluruh stimuli yang diperkenalkan oleh seseorang dinilai lebih baik atau lebih tinggi dari pada stimuli yang sama yang diperkenalkan oleh orang lain atau bila seluruh stimuli yang diperkenalkan keduanya dinilai setara.3 Menurut definisi demikian, status individu yang sama mungkin bersesuaian dalam hubungannya dengan orang tertentu dan tidak sesuai dalam hubungannya dengan orang lain. Ketaksesuaian faktor status di sini dibicarakan sebagai ciri-ciri individual. Kedua, harus diakui bahwa dalam setiap hubungan dimana salah seorang pasangan (partner) dinilai leih baik dalam hal tertentu dan lebih buruk dalam hal lain, kedua pasangan itu ditandai oleh ketaksesuaian faktor status. Kemanfaatan suatu konsep tergantung pada tujuan yang seharusnya dilayani oleh konsep itu. Konsep “ketaksesuaian faktor status sekurang-kurangnya dapat berguna untuk dua tujuan. Pertama, konsep itu dapat digunakan dalam menganalisis masyarakat sebagai sebuah sistem dan dalam penelitian misalnya mengenai masalah hubungan antara kesesuaian faktor status dalam strata tertentu disatu pihak dan ketajaman pembagian sosial, isolasi strata tertentu dari strata lain dan pembentukan kesadaran-kelas dipihak lain. Kedua, konsep ketaksesuaian faktor status mungkin berguna dalam menganalisis perbedaan perilaku kategori individu yang berlainan



128



dan perbedaan dalam hubungan antara orang yang tergantung pada tingkat kesesuaian faktor status. Artikel ini secara eksklusif membahas kelompok masalah kedua. Akan dicoba menunjukkan bahwa untuk mengintegrasikan keteraturan yang nampak dalam bidang masalah ini memerlukan modifikasi konsep “ketaksesuaian status”. Demikianlah dalam artikel ini terutama akan dicoba menetapkan makna istilah mendasar yang perlu digunakan dan kemudian dicoba merumuskan proposisi yang berkaitan.



Konsep “Status” dan “Ketaksesuaian Status” Di sini akan digunakan definisi “status” dan “faktor status” yang dikemukakan oleh Homans. Menurut definisi ini, segala sesuatu yang membedakan individu tertentu dari individu lain dapat menjadi faktor status; pertema ada bebagai ciri-ciri individu itu sendiri seperti : warna kulit, umur, pendidikan, agama, jenis kelamin, pendaptan, kekayaan, rumah, cara berpakaian, ketrampilan, prestasi, penampilan pribadi, kemampuan, perbedaan jenis perilaku, dnama dan sebagainya. Kedua, aa ciriciri yang bekaitan dengan hubungan antara individu tertentu dengan individu lain, kelompok, organisasi atau komunitas, misalnya lamanya menjadi anggota, senioritas di tempat kerja, wewenang, derajat kebebasan, asal-usul sosial, status perkawinan, lingkaran pergaulan dan sebagainya. Ketiga, ada ciri-ciri yang berasal dari akibat sikap orang lain terhadap individu tertentu, misalnya persetujuan atau peghargaan yang ia terima. Semua ciri-ciri yang dikemukakan di atas dan masih banyak yang lain adalah faktor status bila ciri-ciri itu dibayangkan oleh orang lain dan bila dinilai sebagai lebih tinggi atau lebih rendah, lebih baik atau lebih buruk. Gagasan tentang status sebagai kumpulan faktor yang berbeda-beda, menyangkut masalah hubungan antara faktor-faktor itu. Sebagai akibat dari pengalaman, jurang mengetahui bahwa faktor status tetentu nampak berkaitan dengan faktor status tertentu nampak berkaitan dengan faktor status yang laindan menanggapi dengan harapan normative; mereka mengharapkan seseorang yang menjadi profesor



129



universitas misalnya menjadi orang yang terpelajar dan seorang direktur perusahaan berpendidikan dan berpenampilan yang baik serta merumus yang pantas. Bila berbekal pengetahuan ini mereka menemukan seseorang yang menjadi professor dan picik pengetahuannya atau seorang direktur perusahaan berusia sekitar 20 tahun dan hanya berpendidikan SD, maka mereka akan mengalami ketaksesuaian. Umumnya semakin besar perbedaan antara kumpulan faktor status yang diperkenalkan oleh individu tertentu dan harapan normative yang telah terbentuk dalam diri merka yang berhubungan dengan individu itu, makin tak sesuai status individu bersangkutan.



130



Bab 3 Variasi Dalam Sistem



Sosiologi berupaya meneliti pola umum organisasi sosial dan perbedaan cara munculnya pola umum ini dalam berbagai masyarakat. Karena stratifikasi adalah fenomena sosial universal maka layak membayangkan adanya kesamaan mendasar dan berbagai perbedaan cara terstruktur dan berfungsinya ketimpangan dalam organisasi sosial. Banyak ilmuan sosial termasuk ekonom menyatakan bahwa masyarakat industri mempunyai logika internal yang memaksa demikitan rupa sehingga tiap masyarakat yang berusaha mencapai taraf industri dan moderen ada kemungkinan akan menunjukkan beberapa kesamaan sangat mendasar dengan semua masyarakat industri yang lain. Generalisasi ini telah diterapkan terhadap bentuk sistem stratifikasi yang mungkin ditemukan orang dalam masyarakat industri. Goldthorpe mengembangkan tesis ini lebih rinci di dalam artikelnya, meneliti pendapat yang menyatakan bahwa sistem stratifikasi masyarakat industri moderen cenderung serupa secara mendasar dalam (1) tingkat dan bentuk perbedaan pekerjaannya, (2) paksaannya terhadap kemantapan status, (3) menciptakan peluang jumlah mobilitas makin banyak, dan (4) gerakan menuju kesamaan ekonomi dan sosial makin besar. Goldthorpe menyingkirkan keraguannya atas anggapan di atas dan dengan menganalisis kasus Uni Soviet mempertanyakan tesis lebih umum yang menyatakan bahwa tuntutan ekonomi masyarakat menuju industrialisasi, mungkin akan menentukan struktur politik. Dengan menunjukkan bukti koeksistensi antara struktur sosial otoritarian dan perekonomian industri di Uni Soviet dan dengan sengajanya aparatur negara menggunakan stratifikasi untuk tujuan politiknya, Goldthorpe mengajukan pertanyaan serius atas tesis yang menyatakan adanya kesamaan mendasar pola stratifikasi diseluruh masyarakat industri. Dimensi yang dapat berbeda antara berbagai masyarakat adalah tingkat stratifikasinya, yang jelas dapat diukur. Ada banyak atau sedikit ketimpangan. 131



Diantara contoh terkenal yang mendekati kesamaan maksimun (sedikit ketimpangannya) yang sering dikutip dalam literatur adalah komunitas koperasi pertanian di Israel yang disebut kibbutz. Ideologi persamaan nilai seluruh tenaga kerja dan semua orang adalah semangat yang sangat berpengaruh di dalam kibbutz. Eva Rosenfeld mempertanyakan apakah masyarakat yang agaknya tanpa kelas ini benar-benar tanpa kelas atau adakah unsur ketimpangan signifikan terdapat di dalamnya. Ia menyatakan, di dalam kibbutz itu ada perbedaan strata yang menyebabkan orang yang berada pada status tertentu secara khusus menikmati berbagai jenis hadiah yang lebih besar ketimbang yang dinikmati orang lain, meski bukan hadiah materi tetapi berupa hadiah kekuasaan dan gengsi. Ia meneliteei basis yang menimbulkan pebedaan itu dan akibatnya terhadap anggota kibbutz yang “tanpa kelas” itu. Masyarakat Puerto Rico adalah contoh variasi besar stratifikasi sosial. Meski ditandai oleh adanya ketimpangan pendapatan, pendidikan, gengsi pekerjaan dan kekuasaan, Tumin menyatakan bahwa semangat persamaan yang mendasar meliputi kultur Puerto Rico ini. Persepsi subyektif anggota masyarakat diseluruh lapisan, lebih seragam ketimbang persepsi yang dibayangkan dapat ditimbulkan oleh adanya perbedaan obyektif antara orang yang menempati anak-tangga kelas sosial yang berbeda itu. Orang yang berada di anak-tangga terbawah jauh lebih optimis dan merasa nilai dan peran mereka dalam masyarakat jauh lebih penting ketimbang posisi obyektif yang “seharusnya” mereka tempati. Persepsi “yang tak sesuai” itu sebagian disebabkan oleh (1) adanya perasaan tentang keterbukaan masyarakat, (2) adanya peluang untuk maju melalui mekanisme sosial yang tersedia, (3) diulanginya terus-menerus pernyataan tentang arti penting mereka kepada orang yang berada di posisi sosial paling bawah, dan (4) seringnya diadakan ritualisasi publik mengenai ideologi persamaan ini. Penekanan terusmenerus terhadap organisasi politik demokrasi dan adanya cara efektif untuk mendistribusikan



kekayaan



dan



menyampaikan



perasaan



berkuasa



dan



bermartabat kepada anggota lapisan terbawah, kiranya merupakan tehnik efektif untuk menciptakan pandangan lembut tentang kehidupan yang ditemukan dikalangan semua kelas orang Puerto Rico. 132



Stratifikasi Sosial Dalam Masyarakat Industi. Oleh : John H. Goldthorpe. Dikalangan sosiolog AS kini berkembang minat untuk mensatudi pola perubahan sosial jangka panjang dalam masyarakat industri yang relatif dewasa. Minat ini berasal dari dua sumber utama. Pertama sebagai akibat dari satudi sosiologi industri yang semula memusatkan perhatian pada negara terkebelakang atau negara sedang berkembang. Contoh, karya riset yang dilakukan sebagai bagian dari the Inter-University Satudy of Labor Problems in Economic Development membuka jalan untuk membuat pernyataan teoritis tentang “logika” industrialisme seperti yang dilakukan Clark Kerr dan kawan-kawannya dalam buku mereka Industrialisme and Industrial Man.1 Kedua, minat ini telah dirangsang oleh kebangkitan kembali minat dalam satudi komperatif tentang struktur sosial dan proses sosial di negara yang maju ekonominya. Karya penting yang dihasilkan diantaranya karya Lipset dan karya sejumlah pakar lain dari Universitas California di Berkeley dan bahkan mungkin lebih penting lagi hasil satudi yang membandingkan antara masyarakat Barat dan masyarakat Komunis seperti karya yang dihasilkan dalam kaitannya dengan the Harvard Project on the Soviet Social Sistem oleh Prof. Inkeles dan kawankawannya.2 Meski sumbernya mungkin berbeda namun interpretasi pakar AS mengenai perkembangan masyarakat industri belakangan ini sering mengungkapkan tanda kesamaan. Dapat dikatakan, pada dasarnya perkembangan masyarakat industri itu cenderung sama-sama menekankan pengaruh menstrandardkan struktur sosial yang mementingkan tehnologi moderen dan kemajuan ekonomi. Fenomena menarik adalah bahwa meski sumbernya mungkin berbeda, namun interpretasi pakar AS tentang pembangunan masyarakat industri sering menampakkan tanda kesamaan. Pada dasarnya pembangunan masyarakat industri cenderung



menekankan



pengaruh



menstandarkan



struktur



sosial



yang



mementingkan tehnologi moderen dan kemajuan ekonomi. Faktor yang menyebabkan ketakseragaman dalam masyarakat industri ini terlihat sebagian 133



besar mengenyampingkan faktor lain yang memungkinkan munculnya perbedaan seperti perbedaan kultur nasional atau perbedaan sistem politik. Dengan demikitan, pola pembangunan menyeluruh yang diusulkan adalah pola yang segera setelah suatu masyarakat nasional memasuki tahap industri maju, masyarakat itu cenderung menjadi semakin mendekati kesamaan dalam susunan institusional utamanya dan dalam sistem sosial mereka pada umumnya. Singkatnya dihipotesiskan akan tercipta pola pembangunan yang menyatukan. Dalam hubungan ini Kerr dan kawan-kawannya telah mengemukakan tesis paling tegas termasuk dalam menentukan tipe masyarakat yang menekankan proses konvergensi itu. Menurut konsepsi mereka “jalan kemajuan” seluruh masyarakat maju menuju ke industrialisme “prularistik”. Yang mereka maksud adalah bentuk masyarakat industri dimana distribusi kekuasaannya tidak “atomistic”, tidak “monistik”,tidak mengenal konflik kelas radikal; tetapi masyarakat yang mencerminkan ketertiban sosial dimana negara berfungsi mengatur persaingan dan konflik antara anekaragam kelompok kepentingan berdasarkan “jaringan hukum” yang diterima dan pada waktu bersamaan menyediakan cara untuk melaksanakan kontrol demokratis terhadap fungsi lembaga ekonomi dan terhadap proses sosial kunci lainnya seperti ketentuan mengenai kesejahteraan dan pelayanan publik, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.3 Teoritisi lain dalam formulasi mereka lebih banyak menyediakan perlindungan ketimbang Kerr tetapi pada dasarnya mereka menerima pandangan yang sesuai dengan tesis Kerr. Umumnya “logika” industialisme telah dianggap sebagai kekuatan yang sangat mendorong meski tak memaksa kemunculan tipe masyarakat baru dari “kelas” dan masyarakat “massa” yang tak baik sebelumnya.4 Tema sentral dalam interpretasi yang dibicarakan berkenaan dengan perkembangan sistem stratifikasi sosial dalam masyarakat maju. Dan ini agaknya menunjukkan pentingnya tema ini sehingga dalam beberapa kesempatan telah dipilih untuk dibahwas secara khusus. Tujuan utamaku dalam karya ini membahas aspek khusus teori industrialisme ini dan selanjutnya mengajukan keraguan tertentu dan menolak aspek yang mempunyai implikasi negatif bagi teori ini in toto. Tetapi mula-mula aku bermaksud mengeritik jenis usaha sosiologi yang 134



ditunjukkan disini. Sebaliknya aku yakin bahwa kita banyak berhutang budi pada para penulis teori ini yang telah menunjukkan kepada kita cara melarikan diri dari bagian spele empirisisme tanpa menjadi korban cara berfikir spikulatif. Argumen mengenai perkembangan stratifikasi sosial yang menjadi unsur inti interpretasi orang Amerika tentang industrialisme dapat dinyatakan dalam tiga pemikiran utama: diferensiasi, konsistensi dan mobilitas.6 Berikut ini akan dibahas satu persatu.



Diferensiasi Proposisi utama yang dikemukakan mengenai diferensiasi adalah bahwadalam masyarakat industri maju terjadi penurunan tingkat diferensiasi di semua subsistem stratifikasi. Dengan kata lain, mengikuti formulasi Inkeles : “terjadi proses homogenisasi relatif, berkurangnya jurangpemisah atau jarak yang memisahkan puncak dan dasar skala”_ dalam pendapatan dan kekayaan, dalam status formal dan informal, dan dalam kekuasaan politik.7 Akibat proses ini, terjadi peningkatan dalam setiap urutan stratifikasi. Hirarki stratifikasi tak lagi berbentuk pyramid tetapi kira-kira berbentuk segi lima (pentagon) atau bahkan berbentuk wajik. Kecenderungan ini berhubungan dengan “logika” industrialisme dalam beberapa cara berlainan. Tetapi hubungannya itu terutama terlihat melalui perubahan pembagian kerja. Kemajuan tehnologi dan ekonomi terus-menerus memolakan-ulang struktur pekerjaan dan makin meningkatkan jumlah peran pekerjaan tingkat lebih tinggi dalam arti peran memerlukan strandard pendidikan dan latihan relatif tinggi dan dalam pada itu menuntut hadiah ekonomi dan status sosial relatif tinggi. Karena itu bagian tengah hirarki stratifikasi makin mengembang. Sejauh menyangkut masyarakat Barat, faktor lain yang mempengaruhi proses homogenisasi ini adalah meningkatnya campur-tangan negara dalam kegiatan ekonomi; terutama kebijakan pemerintah yang mengarah pada redistribusi dan pengendalian kekuasaan ekonomi. Contohnya, telah diamati bahwa kebijakan pajak progresif dan kebijakan kesejahteraan sosial dengan berbagai cara merubah 135



pola pembagian pendapatan yang dihasilkan dari mekanisme pasar bebas. Tetapi dalam kasus ini tekanan besar diletakkan pada hubungan erat yang muncul antara perluasan fungsi pengaturan oleh pemerintah ini dan persyaratan sebenarnya dari proses industrialisasi. Negara harus menjadi organisasi pengatur utama dalam setiap masyarakat maju. Kompleksitas tehnologi dan ekonominyalah yang menuntut peran pengatur dari pemerintah. Minimal negara (pemerintah) harus bertanggungjawab atas kemajuan ekonomi dan akhirnya bertanggungjawab atas pengalokasian secara menyeluruh sumber daya antara penggunaan dan individual, bertanggungjawab atas kualitas tenaga kerja nasional, atas perlindungan ekonomi dan sosial individu warganya dan seterusnya.8 Dengan kata lain, makin besar kesamaan sosial yang langsung dihasilkan dari tindakan pemerintah, ada kecenderungan untuk melihat di belakang tindakan ini bukanlah kumpulan keyakinan, nilai dan kepentingan sosial politik tertentu tetapi lebih dihasilkan oleh tekanan bawaan dari industrialisme itu sendiri.9 Contoh, pembangunan pendidikan dan akibatnya tunduk pada industrialisme. Kerr dan kawan-kawannya menulis sebagai berikut : Pembangunan pendidikan dimaksudkan untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja terampil dan setelah itu mengurangi tingkat perbedaan upah dan gaji yang mereka terima; pendidikan juga menendang keluar tenaga kerja yang kurang terampil, menyampakkan sebagian besar pekerjaan yang tak menyenangkan dan meningkatkan tingkat upah di pekerjaan tersebut. Pendidikan menyebabkan timbulnya persamaan baru yang tak ada kaitannya dengan ideologi …10 Perlu diingat, pandangan yang sama berlaku pula dalam menyatakan bahwa makin besar persamaan dalam kekuasaan politik (dalam bentuk sistem pluralistis) dalam masyarakat cenderung akan muncul rezim totaliter (atau otokratis). Pertama dapat dianggap tehnologi produksi sebuah masyarakat industri adalah sedemikitan rupa sehingga rezim tertentu makin meningkat perhatiannya untuk menyetujui adanya massa tenaga kerja; untuk efisiensnya penggunaan tehnologi ini memerlukan tanggungjawab dan kerjasama bebas di pihak orang yang menanganinya. Kedua, dengan makin kompleksnya masalah yang muncul dalam proses pemerintahan itu sendiri mengharuskan makin besarnya keterlibatan tenaga ahli dan professional dalam pembuatan-keputusan dan dengan demikitan mereka 136



makin mendapatkan wewenang independen. Dengan demikitan, sebuah struktur monolitik membuka peluang munculnya sejumlah eliteee “strategis” dan pusat kekuasaan yang berbeda-beda. Singkatnya industrialisme akhirnya dianggap sebagai musuh setiap bentuk tatanan politik monistik.11



Konsistensi Argumen sentralnya adalah bahwa makin tinggi tingkat perkembangan industri masyarakat, maka sistem stratifikasinya cenderung berkembang menuju keseimbangan (“equilibration”); artinya ada kecenderungan menjadi samanya posisi relatif individu atau kelompok di dalam satu strata tertentu atau posisi mereka cenderung menjadi sama dengan posisi orang dari strata lain.12 Dalam masyarakat tradisional, ketidak konsistenan dalam sistem stratifikasi bertentangan dengan ideologi yang berlaku tetapi itu sering disebabkan kekakuan tingkatan di dalam subsistem berlainan dan karena relatif rendahnya tingkat interaksi antara orang yang berada pada strata berlainan. Contoh, seorang pedagang mungkin sangat kaya tetapi dihalangi mendapatkan status “bangsawan”; sebenarnya menurut hukum ia dapat berstatus petani dan dalam situasi tertentu ia mungkin diperlakukan sebagai petani meskipun ia kaya. Sebaliknya dalam masyarakat industri jauh lebih sedikit kesulitan untuk “menyesuaikan” posisi individu dan kelompok dari satu urutan stratifikasi kepada urutan stratifikasi yang lain. Selain dari itu, juga terjadi perubahan basis stratifikasi yang relatif beragam yang menandai masyarakat tradisional. Struktur pekerjaan dalam masyarakat industri sangat beragam. Peran pekerjaan individu pada umumnya berhubungan erat dengan sebagian besar ciri-cirinya yang lain yang berkaitan dengan posisinya dalam hirarki stratifikasi secara keseluruhan : situasi ekonominya, tingkat pendidikannya, gengsinya di dalam komunitas lokal dan seterusnya.13 Sama seperti kecenderungan menuju kesamaan makin besar, kecenderungan menuju konsistensi makin besar dalam sistem stratifikasi pun dapat diperlakukan sebagai bagian integral proses industrialisasi dan berkaitan langsung dengan kemajuan ekonomi dan tehnologi. Dalam masyarakat industri, distribusi hadiah ekonomi dan gengsi berkaitan erat dengan pelaksanaan pekerjaan karena tipe 137



masyarakat ini menganggap penekanan atas prestasi tidak bertentangan dengan askripsi (ascription) selalu basis posisi sosial dan khususnya prestasi dibidang produksi. Dalam pada itu, meski sebagai akibat kemajuan tehnologi prestasi pekerjaan semakin tergantung pada pendidikan, dan dengan demikitan tercipta hubungan makin erat antara posisi ekonomi disatu pihak dan gaya-hidup di pihak lain. Hartawan yang kasar dan bodoh dipandang serupa dengan tokoh yang gengsinya merosot. Dengan kata lain, penjelasannya adalah bahwa dalam masyarakat moderen, tanpa terelakkan berbagai faktor yang menentukan posisi individu dalam hirarki stratifikasi secara menyeluruh, membentuk ikatan yang erat; dan bahwa faktor pekerjaan ini dapat dianggap sebagai unsur sentral, menjadi pengikat utama antara aspek “obyektif” dan “subyektif” ketimpangan sosial. Karena itu, dalam interpretasi ini tersirat pandangan bahwa dalam sistem stratifikasi masyarakat industri cenderung makin terintegrasi dalam arti khususnya perbedaan kelas (perbedaan yang bersal dari ketimpangan dalam tatanan ekonomi) umumnya sejajar dengan perbedaan status berdasarkan ketimpangan dalam evaluasi sosial); dan dengan demikitan, perubahan dalam pola perbedaan kelas secara otomatis akan menghasilkan perubahan dalam pola perbedaan status. Sebagai



contoh,



Kerr



dan



kawan-kawan



melihat



pertumbuhan



kelas



“berpendapatan menengah” menciptakan “masyarakat kelas menengah” dalam arti sebuah masyarakat dimana nilai kelas menengah diterima secara luas baik dikalangan buruh kasar maupun kelompok eliteee dan dimana bagian terbesar populasi sama-sama berstatus “kelas menengah”.14



Mobilitas Proposisi sentral yang telah dibuat, mengenai mobilitas adalah proposisi yang melengkapi argumen mengenai diferensiasi dan konsistensi. Proposisinya adalah bahwa segera setelah suatu masyarakat mencapai tingkat industrialisasi tertentu, tingkat mobilitas sosial menyeluruhnya cenderung menjadi relatif tinggi – artinya lebih tinggi ketimbang tingkat mobilitas sosial yang khas terdapat dalam masyarakat pra-industri atau masyarakat tradisional. Meningkatnya jumlah posisi 138



menengah dalam hirarki stratifikasi, memperbesar peluang gerakan ke atas dari tingkat lebih rendah, meskipun penentuan posisi sosial yang lebih ditekankan pada prestasi pekerjaan ketimbang askripsi berarti bahwa bakat antar generasi cenderung akan meningkat dengan mengorbankan orang yang bakatnya tak sama sejak kelahirannya. Dalam hal ini sestem pendidikan dipandang sebagai mekanisme pengalokasian penting, yang mampu menyaring dan menyesuaikan bakat itu terhadap tuntutan dan tanggung jawab peran pekerjaan.15 Dengan kata lain, masyarakat industri lalu dianggap sebagai masyarakat “terbuka” dan “meritokratis”. Sekali lagi perlu diingat, interpretasi ini berasal dari konsepsi bahwa struktur dan fungsi masyarakat industri sangat penting. Tingkat mobilitas yang tinggi dianggap sebagai konsekuensi tak terelakkan dari faktor tehnologi dan ekonomi yang menentukan pembagian kerja dan faktor yang mendorong untuk meningkatkan penggunaan bakat secara efisien. Berikut ini dikutip pernyataan Kerr dan kawan-kawannya dalam Industrialism and Industrial Man : Masyarakat industri adalah seuah komunitas terbuka mobilitas geografis dan mobilitas sosial. Menurut masyarakat industri adalah masyarakat yang lentur Masyarakat ini menentang status yang berdasarkan kekeluargaan, kelas, agama, ras atau kasta.16



yang mendorong pengertian ini, dan kompetitif. atas hubungan



Menurut pendekatan ini kecil sekali ruang bagi pemikiran tentang variasi kelembagaan atau perbedaan nilai antara beberapa masyarakat industri yang mungkin dapat dihubungkan dengan perbedaan pola mobilitas. Pola mobilitasnya justru dianggap sama untuk seluruh masyarakat industri. Itulah ringkasan argumen utama mengenai perkembangan sistem stratifikasi yang tergambar dalam teori industrialisme pakar Amerika belakangan ini. Kini akan dilancarkan kritik terhadapnya. Kritikan dipusatkan pada tiga tema; diferensiasi,



konsistensi



dan



mobilitas.



Tujuan



utamaku



adalah



untuk



menunjukkan bahwa pandangan teoritis yang telah diuraikan di atas ternyata tak selalu sesuai sepenuhnya dengan data empiris dan dalam hal ini aku terutama mengacu kepada masyarakat industri Barat. Selanjutnya akan dikemukakan kritik



139



teoritis lebih mendasar berdasarkan pemikiran tentang sistem stratifikasi dalam masyarakat komunis moderen. Mengenai persoalan diferensiasi yang berkurang (atau kesamaan makin besar) dalam sistem stratifikasi, komentarku akan dibatasi pada tatanan ekonomi. Ini terutama disebabkan data ekonomilah yang tersedia yang memungkinkan untuk mengetes argumen di atas; yakni data tentang distribusi pendapatan dan kekayaan.17 Mula-mula dapat dikatakan, meski buktinya sering kurang lengkap, kecenderungan luas menuju kesamaan ekonomi makin besar terlihat dalam semua masyarakat yang telah mengalami kemajuan dari situasi tradisional menuju situasi masyarakat industri. Mitos “abad emas” persamaan ekonomi dimasa pra-industri sebagai sebuah generalisasi, kini hampir tak dihiraukan lagi. Pandangan yang diterima secara luas adalah makin miskin masyarakat, makin “pincang” distribusi pendapatan dan kekayaannya.18 Pandangan ini dapat dianggap sebagai ringkasan pengalaman historis saja dan tentu ada kekeculiannya. Menurutku tak ada alasan menganggap adanya keteraturan (hukum ekonomi umum) yang melekat dalam proses industrialisme yang tetap akan berlaku di masa datang dan yang dapat memastikan



berlanjutnya



kecenderungan



egalitarian.



Peluang



munculnya



kecenderugnan demikitan tentu ada. Menurutku data relevan yang mengesankan tanda demikitan telah terjadi dalam beberapa masyarakat Barat yang lebih maju dan berdasarkan data yang ada, kesimpulan demikitan pun sama banyaknya ditunjukkan oleh masyarakat yang kurang maju. Karena distribusi pendapatan dan kekayaan serupa, benar bahwa gambaran yang ada menunjukkan gerakan menuju persamaan makin besar di kebanyakan masayarakat industri Barat selama bertahun-tahun menurut data time-series yang tersedia; artinya mulai dari periode sesudah PD II ke depan.19. Namun kini makin jelas bahwa gambaran ini yang sebagian besar berdasarkan pajak penghasilan tak selalu dapat diterima begitu saja. Umumnya data pajak penghasilan ada cacatnya karena cenderung menimbulkan gagasan yang agak dibesar-besarkan tentang tingkat “penyamarataan” yang terjadi. Sebenarnya untuk beberapa masyarakat Barat, kini ada alasan untuk percaya bahwa selama 20 tahun terakhir ketimpangan 140



ekonomi secara menyeluruh kenyataannya hanya sedikit sekali berkurang. Terutama sejauh mengenai ketimpangan kekayaan adake mungkinan bahwa perubahan yang terjadi benar-benar tak ada pengaruhnya terhadap stratifikasi sosial yang ada.20 Kesimpulan seperti itu telah dikemukakan dari hasil satudi Titmuss di Inggeris berjudul Income Distribution and Social Change. Tentu harus ditambahkan bahwa seluruh masalah ketimpangan ekonomi ini tetap menjadi masalah yang sangat controversial.21 dan tulisan ini tak mungkin membahas keseluruhan aspeknya yang rumpil itu. Tetapi yang dapat dibenarkan oleh bukti yang ada dan yang sangat relevan dengan pendapat Titmuss adalah bahwa “kita akan jauh lebih banyak yang meragukan pendapat yang menyatakan kekuatan yang menyamaratakan yang bekerja di Inggeris sejak 1938 dapat berkembang menjadi semacam “hukum alam” dan dapat diproyeksikan ke masa depan. Ada kekuatan lain yang berakar dalam struktur sosial dan yang dikembangkan oleh berbagai faktor institusional yang melekat dalam ekonomi berskala luas yang berperan menurut arah berlawanan”.22 Pandangan yang sama yang mengacu pada masyarakat AS dikemukakan oleh Kolko dalam bukunya Wealth and Power in America. Satudi ini tak hanya mengeritik temuan terdahulu tentang distribusi pendatapan dan kekayaan di AS tetapi juga berisi penilaian kembali yang positif tentang distribusi pendapatan dan kekayaan di AS. Satudi ini penting terutama tentang pendapatan. Kolko melengkapi datanya dari sumber data resmi yang umumnya lebih dapat dipercaya dan berdasarkan data yang tersedia menyimpulkan bahwa selama periode 19101959 tak ada kecenderungan umum yang berarti di AS yang menuju ke persamaan pendapatan makin besar.23 Satudi Kolko mendorong orang memperhatikan persoalan sederhana yang sering diabaikan karena mungkin ada penyamarataan pendapatan yang terjadi di dalam jajaran tertentu distribusi pendapatan total, ini tak perlu berarti bahwa pemerataan menyeluruh meningkat : karena di dalam jajaran lain kecenderungan ke arah ketimpangan mungkin secara serentak terjadi. Contoh, mungkin ada kecenderungan ke arah kesamaan makin besar sehingga jumlah pendapatan lapisan menengah meningkat; tetapi pada waktu bersamaan posisi kelompok 141



pendatapan lebih rendah dalam hubungannya dengan kelompok pendapatan menengah dan atas mungkin lebih buruk. Sebenarnya pola perubahan seperti ini kini terjadi di AS. Ini ditunjukkan oleh banyak peneliteeian belakangan ini terlepas dari peneliteeaian Kolko dan terutama oleh pertumbuhan volume pekerjaan untuk orang miskin. Gunnar Myrdal misalnya dalam bukunya Challenge to Affluence mengatakan bahwa meski kebanyakan orang Amerika dari strata sosial menengah mendapat keuntungan dari penyamarataan ke atas taraf hidup, ditingkat dasar hirarki stratifikasi terjadi peningkatan ketimpangan yang terjelma dalam kemunculan pengangguran dan tak dapat bekerjanya orang dan keluarga “kelas bawah”. Dengan kata lain, distribusi pendapatan untuk lapisan menengah mungkin membengkak tetapi jurang pemisah antara lapisan bawah dan lapisan lebih tinggi cenderung bertambah lebar.24 Lebih dari itu yang juga penting dari satudi Myrdal untuk maksud analisis ini adalah cara ia mengeluarkan aspek politik dari masalah ketimpangan distribusi pendapatan. Menurut Myrdal, pengangguran struktural yang dihasilkan dari inovasi tehnologi dalam industri adalah penyebab mendasar kemiskinan di AS sedangkan di negara lain seperti Swedia yang kemajuan tehnologinya juga berjalan cepat, kesempatan kerja penuh terus dipertahankan. Ia melihat dibandingkan dengan kebanyakan negara Eropa Barat, AS relatif gagal menstabilkan jumlah permintaan dalam ekonominya pada tingkat yang tinggi dan meningkat. Penjelasan mengenai perbedaan ini menurut Myrdal meski bukan bersifat politis sama sekali namun harus dianggap sebagai penjelasan penting. Tak memadainya prestasi pemerintah AS dalam rencana ekonomi jangka panjang, dalam memperbaiki redistribusi pendapatan, dalam menyediakan layanan publik dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Sumber ketakmemadai prestasi pemerintah ini ditemukannya pada kecenderungan mendasar sistem sosial – politik Amerika dan juga pada kekurangan “keseimbangan demokratis” dalam infrastruktur institusional kebijakan orang Amerika. Myrdal menyatakan, disatu pihak dikalangan komunitas bisnis berpengaruh dan di dalam pemerintahan itu sendiri ada keengganan menyusun visi jangka panjang dan untuk membayangkan arah yang lebih terpusat dan mengontrol ekonomi; juga ada “prasangka serius dan 142



irrasional terhadap investasi dan konsumsi publik”. Di lain pihak, dikalangan strata bawah masyarakat AS terdapat tingkat apatisme dan pasivisme luar biasa yang sangat jelas terlihat dalam kegagalan umum lapisan penduduk lebih miskin untuk mengorganisir diri mereka sendiri secara efektif dan menekankan reformasi sosial



fundamental



yang



sebenarnya



menjadi



kepentingan



mereka.



Ketakseimbangan dalam kekuatan terorganisir menghasilkan “masyarakat plural” sehingga untuk membangkitkan prakarsa mereka, pemerintah perlu lebih menekan mereka. Tetapi pada waktu bersamaan, tekanan yang berlebih ini justru melumpuhkan prakarsa mereka.26 Jika analisis Myrdal ini berlaku umum maka kita dapat menerima kebenaran argumen tentang persamaan baru bukanlah dampak ideologi melainkan hasil langsung kemajuan ekonomi dan tehnologi. Persamaan baru itu mungkin hanya terjadi pada lapisan tertentu. Bagi lapisan terbawah, persamaan baru mungkin disebabkan ideologi atau karena tindakan sosial sengaja atau berasal dari nilai sosial khusus dan keyakinan politik maupun kepentingan politik.27 Perbedaan antara berbagai masyarakat industri dalam hal ini lebih besar kemungkinannya menimbulkan perbedaan ketimbang menyatukan pola perubahan dalam sistem stratifikasi mereka. Argumen kedua yakni mengenai pertumbuhan konsistensi antara sistem stratifikasi yang berbeda tak banyak yang dapat ku katakan karena sedikit sekali data empiris yang langsung berkaitan dengan issu penting disini; yakni issu tentang apakah benar-benar terjadi kenaikan terus-menerus derajat integrasi sistem stratifikasi masyarakat industri itu. Mengenai kecenderungan histois jangka panjang orang tak ingin memperdebatkannya; tetapi yang dipertanyakan apakah kecenderungan demikitan dapat dijadikan pedoman terpercaya kini dan dimasa datang. Komentarku adalah bahwa bukti yang nampak yang berkaitan dengan issu ini menunjukkan dibebeapa negara industri kemajuan ekonomi yang terjadi menyebabkan sistem stratifikasinya agak kurang terintegrasi dengan baik dalam hal tertentu. Bukti ini menunjuk pada apa yang dikenal sebagai “kelas pekerja baru”. Terkesan bahwa tambahan pendapatan cukup besar dan kenaikan taraf 143



hidup secara umum yang dicapai akhir-akhir ini oleh bagian tertentu tenaga kerja manual tidak diikuti oleh perubahan gaya hidup mereka sehingga posisi status mereka meningkat sepadan dengan posisi ekonomi mereka. Dengan kata lain ada bukti yang menunjukkan adanya rintangan kultural dan khususnya rintangan sosial yang masih lebar antara “kelas buruh” dan “kelas menengah” bahkan meskipun perbedaan material antara kedua kelas itu kini sudah lenyap28). Jadi, berlawanan dengan dugaan Kerr dan kawan-kawannya sekurangnya hingga kini, “pendapatan menengah ternyata tidak menghasilkan generalisasi gaya hidup “kelas menengah” atau status “kelas menengah” Selain dari itu ada alasan untuk percaya bahwa ketidakcocokan menonjol dalam stratifikai akan terus terjadi dalam masyarakat industri. Seperti diakui sendiri oleh Kerr, dalam masyarakat industri akan terus ada pembagian antara “manejer” dan “orang yang dikelola” (managed) – pembagian antara orang yang melaksanakan wewenang dalam organisasi produksi dan orang yang tidak berwewenang. Pembagian ini akan tetap berkaitan dengan perbedaan gengsi maupun kekuasaan, meski pada waktu bersamaan hingga taraf tertentu dilihat dari taraf hidup mereka terjadi tumpang-tindih antara manejer dan orang yang dimenejeri. Orang akan sependapat bahwa dalam masyarakat yang maju ekonominya, sebagian besar stratum buruhnya terutama yang melaksanakan jenis pekerjaan yang sulit atau memerlukan keterampilan khusus ada kemungkinan menerima pendapatan setara dengan pendapatan kelas menengah. Namun tak ada alasan untuk secara otomatis menganggap bahwa dengan demikitan mereka akan diterima dan dilebur ke dalam tingkat lebih rendah dari apa yang disebut Renner “kelas pejabat” (service class).29 Bagaimanapun harus diakui bahwa kelompokkelompok yang mempunyai alasan serius untuk menuntut status superior, umumnya mengambil keuntungan dari statusnya itu. Selanjutnya perlu diingat, anggota “kelas pejabat” ini akan semakin dipilih melalui prestasi pendidikan mereka ketimbang direkrut dari orang kebanyakan. Karena itu ada kemungkinan mereka makin terpisah dari orang kebanyakan dilihat dari kultur dan gaya hidup mereka yang ada kini.



144



Singkatnya orang mungkin mempunyai kesan bahwa agumen “konsistensi yang meningkat” adalah cacat karena gagal mengingat pertama bahwa peran pekerjaan dengan hadiah ekonomi yang sama dalam hal tertentu mungkin sangat berbeda dalam kaitan dengan pelaksanaan wewenang; dan kedua bahwa pendapatan yang relatif tinggi itu mungkin disediakan sebagai imbalan untuk pekerjaan yang memerlukan keahlian dan tanggungjawab tinggi. Akhirnya kita tiba pada masalah mobilitas sosial. Dalam hal ini pertanyaan pertama yang muncul adalah apakah syah menganggap masyarakat industri terus menerus mempunyai tingkat mobilitas sosial lebih tinggi dari pada masyarakat pra-industri. Beberapa penulis belakangan ini menyatakan bahwa pandangan ini jangan terlalu mudah diterima dan ada bukti yang menunjukkan bahwa masyarakat pra-industri tertentu mempunyai sistem stratifikasi yang jauh kurang kaku ketimbang yang secara umum disangka orang30). Di sini aku tak ingin membantah pandangan ortodok kecuali menunjukkan bahwa angka mobilitas antar generasi yang terus menerus meningkat dalam masyarakat maju ada hubungannya



dengan



keterbatasan



mobilitas



“karir”



atau



intragenerasi.



Pendidikan yang semula menjadi faktor yang menentukan peluang untuk “maju” bagi orang yang memulai karir di posisi rendah, tanpa terelakkan perannya makin berkurang. Fakta ini sangat jelas ditunjukkan dalam satudi belakangan ini tentang pengangkatan menejer industri. Satudi ini menunjukkan, karena standar pendidikan manejer telah meningkat, kemungkinan untuk mempromosikan buruh lapisan bawah ke tingkat pengawas pun telah berkurang31). Selanjutnya dalam masyarakat maju yang makin didominasi oleh organisasi berskala besar, peluang bagi “orang kecil” untuk memulai usaha bisnis secara sukses atas usaha sendiripun lebih terbatas ketimbang mereka berusaha di fase lebih awal proses industrialisasi. Dengan demikitan, bagi sebagian besar penduduk, sekurangkurangnya bagi orang biasa dan dengan kualifikasi pendidikan “ biasa saja”, masyarakat industri nampaknya menjadi semakin kurang terbuka ketimbang dalam keadaan sebelumnya. Tetapi mungkin ada masalah lain yang lebih mendasar yang muncul dari argumen yang kulukiskan sebelumnya. Khususnya masalah yang berhubungan 145



dengan faktor yang menentukan pola dan tingkat mobilitas. Orang mungkin bertanya, apa alasan untuk mempercayai bahwa dalam masyarakat maju, faktor pentingnya adalah distribusi pekerjaan dan dengan demikitan mobilitas sosial dalam berbagai masyarakat maju itu cenderung akan banyak kesamaannya ? Dukungan terhadap pandangan ini ditemukan dalam hasil satudi Lipset dan Zetterberg yang mengarah ke kesimpulan bahwa masyarakat industri Barat banyak sekali kesamaan tingkat mobilitas antar-generasinya dan tak ada bukti yang dapat memberikan kesan selain dari faktor standardisasi struktur pekerjaan yang menjadi faktor utamanya.32 Data mereka tak mendukung gagasan bahwa perbedaan ideologi, keyakinan agama atau aspek kultur nasional lain berpengaruh menentukan terhadap mobilitas. Tetapi temuan Lipset dan Zetterberg dalam hal ini hanya mengacu pada mobilitas “massa”; artinya semata-mata gerakan melintasi garis manual – non manual saja. Mereka mengemukakan, peneliteeian berbagai aspek mobilitas “eliteee” umpamanya rekrutmen pagawai sipil lebih tinggi menunjukkan perbedaan penting antara berbagai masyarakat industri itu.33 Kita pun mempunyai hasil satudi lebih baru dari S.M.Miller yang membandingkan mobilitas antara beberapa masyarakat industri34). Data yang dikumpulkannya jauh lebih lengkap dibandingkan dengan data yang dikumpulkan Lipset dan Zetterberg. Dikemukakan bahwa bila tingkat maupun frekuensi mobilitas diperhatikan maka masyarakat industri menampakkan perbedaan cukup besar dalam pola mobilitasnya. Perbedaan polanya itu cenderung sangat jelas dalam kasus mobilitas jangka panjang. Pada umumnya tingkat mobilitas “eliteee” dalam masyarakat industri itu tergolong rendah tetapi di negara tertentu seperti AS dan US, tingkat mobilitas eliteenya agak lebih tinggi ketimbang seperti yang terjadi di beberapa negara Eropa Barat. Selanjutnya, meski Miller menunjukkan bahwa negara yang rendah tingkat mobilitas jangka panjangnya itu masih tergolong tinggi tingkat mobilitas jangka pendeknya seperti Inggeris misalnya : namun tak ada hubungan antara tingkat mobilitas jangka panjang dan jangka pendek. Jadi, masyarakat industri mempunyai profil mobilitas agak beragam. Kesamaan menyeluruh ditunjukkan oleh satudi mobilitas “massa” yang hasilnya agak palsu. 146



Berdasarkan satudinya itulah Miller menegaskan bahwa pola mobilitas sosial dalam masyarakat maju tak dapat difahami jika hanya dilihat dari sudut struktur pekerjaan saja35). atau orang dapat menambahkan, jika hanya dilihat dari sudut “gambaran yang melekat” dalam industrialisme saja. Perbedaan antara masyarakat industri inilah yang menghalangi pemahaman atas pola mobilitas sosialnya. Kiranya perlu juga mempertimbangkan pengaruh aspek struktur sosial yang lain terhadap mobilitas seperti aspek institusi pendidikan misalnya dan artikulasinya dengan hirarki stratifikasi itu sendiri dan bila mungkin mengikuti langkah Lipset dan Zetterberg, mempelajari peran yang dimainkan oleh nilai kultural.36 Seperti dijelaskan Miller, yang sangat mengherankan tentang datanya adalah kurang menyatu dalam pola stratifikasi yang ditunjukkan antara beberapa masyarakat ditingkat



perkembangan



ekonomi



yang



sebanding.



Nampak



“logika”



industrialisme sering dikelirukan oleh faktor lain yang tak ada kaitannya. Ada beberapa keberatan yang dapat dikemukakan atas landasan empiris hipotesis mengenai perubahan dalam sistem stratifikasi yang aku lukiskan di atas. Dengan menerima argumen yang dibicarakan menurut pengertian mereka sendiri sebagaimana adanya, ada peluang untuk menunjukkan sejumlah pendapat yang tak muncul sesuai dengan temuan riset empiris dalam masyarakat industri Barat atau sekurang-kurangnya tetap tak terbukti di sana. Namun dalam kesimpulan tulisan ini aku ingin mengajukan keberatan mendasar sehubungan dengan posisi teoritis yang melandasi argumen ini. Khususnya aku ingin mempertanyakan pemikiran yang menyatakan bahwa sistem stratifikasi semua masyarakat industri ipso facto mempunya tipe umum yang sama dan dengan demikitan pada dasarnya dapat diharapkan akan mengikuti garis perkembangan yang sejajar. Menentang pandangan ini, aku ingin mengemukakan bahwa stratifikasi sosial dalam masyarakat maju di kubu komunis atau di US dan di negara sateliteenya yang lebih dekat tidak sama dengan sistem stratifikasi sosial di negara Barat dan karena itu, hipotesis yang dibahas di atas benar-benar tak dapat diterima. Masyarakat US memang terstratifikasi; dan benar bahwa meski tak ada kekayaan pribadi dalam produksi namun tetap terstratifikasi menurut pola yang sering sama dengan pola stratifikasi masyarakat kapitalis atau pos-kapitalis Barat. 147



Contohnya untuk sebagian besar nampak kesamaan dalam hubungan antara peran pekerjaan, hadiah ekonomi dan gengsi sosial, dalam peran yang dimainkan oleh pendidikan dalam menentukan tingkat pekerjaan, dalam berperannya sistem status informal dan sebagainya. Tetapi kesamaan ini hanyalah sejenis phenotypical : genotypically, stratifikasi dalam masyarakat US sangat berbeda dari stratifikasi dalam masyarakat Barat. Perbedaan ini terutama berasal dari fakta sederhana bahwa kegiatan ekonomi dalam masyarakat US berlangsung di bawah tatanan politik monistik” atau totaliter dan direncanakan secara total sedangkan dalam masyarakat Barat yang maju kekuasaan politik kurang dikonsentrasikan dan ekonominya direncanakan sangat kurang disentralisasikan. Akibatnya adalah bahwa ekonomi Barat dan terutama kekuatan pasar berperan sebagai agen stratifikasi penting dalam masyarakat. Oang dapat mengatakan, kekuatan pasa adalah sumber utama ketimpangan sosial. Akibatnya situasi kelas individu dan kelompok yang difahami dari sudut sumber dan kekuatan ekonomi mereka cenderung menjadi faktor sangat menentukan peluang hidup umum mereka. Inilah yang menyebabkan bermanfaat kita membicarakan masyarakat industri Barat sebagai masyarakat berstrata “kelas”. Tetapi dalam kasus US kekuatan pasar tidak memainkan peran yang sebanding dalam proses stratifikasi. Kekuatan pasar memang bekerja dan perbedaan sumber dan kekuatan ekonomi antara individu dan kelompok, seperti di Barat juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan individu maupun kelompok. Tetapi dapat dikatakan, stratifikasi di US jauh lebih ditentukan oleh peraturan politik ketimbang stratifikasi di masyarakat Barat. Kekuatan pasar tak diperbolehkan mendapatkan otonomi atau keunggulan atas kekuatan politik bahkan setara dengan yang dialami masyarakat kapitalis Barat sekalipun. Persyaratan fungsional ekonomi menggunakan tekanan terhadap stratifikasi dan tekanan ini dalam hal tertentu terbukti sangat memaksa. Pola ketimpangan sosial dapat terbentuk melalui tindakan sengaja partai berkuasa; bahkan “nasib orang perorangan pun dapat ditentukan oleh partai berkuasa.37 Contoh, dalam masa kekuasaan Stalin, ketimpangan ekonomi di US umumnya meningkat. Sejumlah penulis telah berkomentar tentang telah ditinggalkannya 148



aspek sama-rata idiologi Marxis-Lenninis oleh rezim Stalin38). Sejak awal 1930-an perbedaan hadiah dalam hubungannya dengan tingkat keterampilan, usaha dan tanggungjawab, telah diperkenalkan ke dalam industri dan administrasi dan sejak itu pebedaan upah dan gaji cenderung melebar. Selanjutnya, perubahan pajak pendapatan dan hukum waris tahun 1940 bepengaruh memperbesar ketimpangan pendapatan dan kekayaan pribadi. Pejabat tinggi negara dan orang kesayangan lainnya menerima hadiah non-uang yang makin penting dalam bentuk mobil, apartmen, villa, libur gratis dan sebagainya. Menjelang akhir PD II, perkembangan ketimpangan di US mengarah kepada tingkat yang lebih besar ketimbang ketimpangan yang umumnya terdapat dalam masyarakat industri Barat39). Tetapi di tahun-tahun kemudian tambah jelas, bertentangan dengan dugaan kebanyakan pengamat, kecenderungan ketimpangan di US telah berkurang dan dalam hal tertentu bahkan telah terjadi yang sebaliknya. Upah minimum dalam



industri telah meningkat beberapa kali lipat sejak akhir 1950 dan



pendapatan petani kolhoz untuk sebagian besar telah jauh meningkat. Kenaikan pendapatan petani kolhoz ini berpengaruh memperkecil ketimpangan antara pendapatan buruh industri dan pekerja pertanian dan juga telah mengurangi perbedaan pendapatan dikalangan petani kolhoz itu sendiri. Dalam pada itu ada bukti yang menunjukkan pembatasan terhadap gaji pejabat tinggi yang terlalu besar dan tindakan keras yang diambil terhadap penyalahgunaan hak istimewa. Perubahan kebijakan pajak dalam beberapa tahun terakhir cenderung lebih menguntungkan kelompok miskin ketimbang kelompok kaya dan berbagai jenis peraturan tentang kesejahteraan telah sangat meningkat. Dengan kebijakan ini perbedaan ekonomi antara pekerja manual dan non manual hingga taraf tertentu jelas telah banyak berkurang demikitan pula perbedaan di dalam masing-masing kategori pekeja itu.40) Kini perubahan ini benar-benar dapat dianggap sebagai perubahan kondisi ekonomi. Jelas, misalnya meningkatnya perbedaan upah dan gaji di era Stalin, sebagian harus difahami dilihat dari sudut akibat kecepatan perkembangan industrialisasi. Tetapi pada waktu bersamaan peubahan ini adalah hasil dari keputusan politik (pilihan yang diambil diantara alternatif yang realistis) dan 149



keputusan politik itu sering menimbulkan pandangan bertujuan khusus politik maupun ekonomi. Benar, Stalin menginginkan perkembangan industrialisasi yang cepat; tetapi ia pun mempunyai tujuan politik selanjutnya yakni bahwa proses pengembangan industri ini harus dilaksanakan dibawah kontrol absolut dirinya sendiri. Karena itu proses industrialisasi Stalin tak hanya menuntut perampasan keuntungan material tenaga kerja untuk mencapai perkembangan maksimun kapasitas industri, tetapi juga membangun kelompok administrator dan manejer yang sangat disayangi yang sangat termotivasi untuk mempertahankan posisi mereka yang mengirikan itu melalui kesetiaan kepada Stalin dan melalui prestasi tingkat



tinggi.



Untuk



mencapai



tujuan



percepatan



industrialisasi



ini



dikembangkan status yang cocok maupun ketimpangan ekonomi. Contoh, selama dan beberapa tahun sesudah PD II, gelar resmi, pakaian seragam dan lencana pangkat diperkenalkan ke dalam berbagai cabang industri dan birokrasi pemerintah. Lebarnya jarak sosial yang tercipta antara puncak dan dasar hirarki stratifikasi jelas berfungsi mengisolasi “eliteee” dari massa dan dari keinginan dan keperluan mereka. Demikitanlah seperti dikemukakan Feldmesser, orang yang berada di posisi tinggi dibantu untuk mempelajari “bahwa kesuksesan hanya akan tercapai, tidak dengan merebut perhatian orang yang berada di bawah tetapi dengan merebut perhatian orang yang berada di atas kita. Inilah prinsip yang diinginkan Stalin agar dipelajari rakyatnya.41) Begitu pula gerakan menuju pengurangan ketimpangan belakangan ini lebih jelas bertujuan politik, meski dalam beberapa kasus menghendaki pengurangan ketimpangan ekonomi42). Di satu pihak, jelas bahwa pemimpin US kini berupaya menuju masyarakat komunis masa depan yang akan ditandai oleh tingkat kesejahteraan sosial yang tinggi dan akhirnya melalui kekayaan privat, meski masih tetap berada di bawah dominasi Partai Komunis. Dengan kata lain, penciptaan “kehidupan yang baik” bagi seluruh rakyat, rupanya ditakdirkan menjadi sumber legitimasi rezim yang terpenting. Seperti dinyatakan Shapiro, Program CPSU menjelaskan hal ini. Shapiro menulis : Program CPSU dengan jelas menyatakan fakta konkrit bahwa peraturan partai harus dipertahankan. Peraturan partai menekankan kepada warga negara US agar mengakui dan menerima fakta ini dan membuang ilusi bahwa 150



peraturan partai ini akan berubah. Sebagai imbalannya, partai menjanjikan keuntungan material dan kemakmuran yang besar.43 Dilain pihak, keamanan rezim juga memerlukan “eliteee” birokrasi dan manajerial yang tak terlalu mapan yang dapat melakukan tindakan terlepas dari kontrol pimpinan partai. Demikitanlah, Kruschev telah memberikan teladan kepada anggota kelompok birokrasi bahwa mereka tetap menjadi abdi partai dan bahwa hak istimewa mereka tidak permanen tetapi masih didasarkan atas kepatuhan dan jasa mereka terhadap partai. Eliteee birokrasi inilah yang dimaksud Djilas sebagai “kelas baru” di dalam masyarakat komunis,44 yang sebenarnya tak diperkenankan oleh pimpinan partai untuk menjadi sebuah kelas dalam arti sebuah kolektifitas yang mampu mempertahankan posisinya dalam masyarakat (dan anak-anak mereka) dengan kekuatan sosialnya sendiri dan yang memiliki derajat kesadaran kelompok dan kepadaauan tertentu. Kemunculan kelas seperti itu merupakan ancaman serius terhadap kekuasaan totaliter partai, bedanya hanya dalam tingkat ancaman yang akan dihadapi dengan kemunculan Serikat Buruh, organisasi professional atau organisasi politik. Terlepas dari pengurangan hadiah ekonomi, menarik untuk diperhatikan bahwa perbedaan status militer pura-pura dari zaman perang kini sebagian besar telah dilenyapkan dan partai sebenarnya telah mendorong karyawan biasa dalam industri dan pertanian untuk membongkar ketidakcakapan dan ketakefisienan atasan mereka.45 Selanjutnya jabatan yang berlebihan sebagian telah dibuang dan penurunan pangkat makin menjadi hal biasa.46 Terakhir, kiranya reformasi pendidikan yang dilancarkan Kruschev yang paling besar pengaruhnya. Reformasi ini dilaksanakan ketika tekanan terhadap lembaga pendidikan SLTP dan SLTA mencapai puncaknya. Reformasi pendidikan ini direncanakan untuk membuat lembaga pendidikan itu makin kurang tergantung pada sumber ekonomi dibandingkan dengan keadaan sebelumnya dan membuat aturan masuk sekolah yang baru berdasarkan sistem kompetisi; tujuannya untuk menggeser keuntungan “sosial” dari anak-anak “eliteee” ke anak-anak dari keluarga buruh dan petani. Seperti dinyatakan Feldmesser, jika “kelas baru” (borjuasi negara) itu benar-benar ada di US maka pasti kekuatan sebaliknya diharapkan adanya; artinya gerakan untuk mendapatkan 151



fasilitas negara yang terbatas itu akan lebih tergantung pada kemampuan untuk membayar.47 Diferensiasi hirarkis dalam masyarakat US adalah sebuah instrumen rezim. Hingga tahap tertentu, stratifikasi diorganisir agar sesuai dengan keperluan politik rezim yang berkuasa. Karena keperluan politik ini berubah, maka struktur ketimpangan tertentupun ikut berubah. Dengan kata lain, sistem stratifikasi US ditandai oleh unsur penting “kesengajaan” dan unsur inilah pada dasarnya yang membedakannya dari sistem stratifikasi masyarakat industri Barat. Tindakan negara menetapkan batas tingkat ketimpangan sosial yang pada dasarnya berasal dari bekerjanya perekonomian pasar. Dalam masyarakat US, pola ketimpangan sebagian juga akibat dari kekuatan pasar, tetapi dalam hal ini kekuatan pasar di subordinasikan kepada kontrol politik sehingga batas ketimpangan disesuaikan dengan persyaratan sistem industri.48 Karena alasan ini dapat disimpulkan, stratifikasi kelas masyarakat US tak sama dengan stratifikasi kelas masyarakat industri Barat. Seperti diamati R.Aron stratifikasi kelas dan sistem politik monistik ak dapat disamakan karena saling bertentang 49). Bila analisis terdahulu diterima, maka argumen mengenai perkembangan sistem stratifikasi yang kulukiskan di atas tak dapat berlaku umum. Pemikiran rasional yang melandasinya dilihat dari sudut urgensi tehnologi dan ekonomi masyarakat industri maju dihancurkan. Pengalaman masyarakat US dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa tekanan struktural dan fungsional tatanan industrial tidak sekeras tekanan untuk mencegah bertambah luasnya perbedaan dalam pola stratifikasi sosial, juga tidak dapat mencegah manipulasi sistematis ketimpangan sosial oleh rezim yang menguasai sumber tenaga adminstrasi moderen dan tanpa hambatan dari kekuatan oposisi yang terorganisir atau norma hukum. Ada anggapan keliru bahwa industrialisme dan totaliterisme tak dapat hidup berdampingan secara damai dalam jangka panjang. Kemajuan industri dianggap tentu akan disertai penyebaran kekuasaan politik secara progresif. Andaikan anggapan ini benar, akan sukar mempertahankan pendapat bahwa perbedaan antara sistem stratifikasi masyarakat Barat 152



dan masyarakat komunis adalah



perbedaan yang umum. Padahal dapat dikatakan, tak ada alasan meyakini bahwa telah terjadi penyebaran kekuasaan politik di US atau sekurang-kurangnya dalam proses pengambilan keputusan penting selama ini50). Rezim penguasa mungkin terpaksa lebih banyak memikirkan pengaruh keputusannya terhadap moral rakyat dan makin tergantung pada pertimbangan berbagai jenis keahlian ilmuan, tehnisi dan tenaga professional. Mereka mungkin menyadari keinginan kuat terhadap desentralisasi administrasi dan tuntutan partisipasi yang makin meningkat dalam urusan publik di tingkat lokal. Tetapi yang penting adalah bahwa semua hal itu dapat dilakukan dan di tahun-tahun belakangan ini telah dilakukan tanpa kepemimpinan partai namun menghasilkan wewenang dan kontrol yang meningkat. Memang dapat diperdebatkan bahwa sejak akhir periode kekuasaan “kolektif”, kekuasaan pemimpin partai masih bertambah absolut dan tak tertandingi. Situasi ini timbul sebagai akibat kesuksesan Krushchev mengurangi kekuasaan dan kebebasan struktur birokrasi utama lain dalam masyarakat US termasuk kekuasaan dan kebebasan militer, pemerintah dan industri. Dalam kasus tertentu, perubahan yang terjadi disini dapat dipandang sebagai aspek “deStalinisasi” misalnya pengurangan aksi terror, atau pembubaran sebagian besar aparatur negara di tingkat sentral. Tetapi pada waktu bersamaan perubahan ini berpengaruh makin menekankan ciri totaliter kekuasaan partai, seperti dikemukakan Bialer : Kini birokrasi partai adalah satu-satunya aparatur yang tetap tersentralisasi organisasinya, yang beroperasi di semua tingkat masyarakat dan yang “terspelialisasi” dalam setiap bidang aktivitas kemasyarakatan. Dalam melaksanakan fungsi komunikasi, pengendalian dan dalam derajat yang makin besar secara langsung mengorganisir tegas yang diperintahkan oleh pemimpin, mempengaruhi operasi aparatur birokrasi lain, tetap itidak tunduk kepada campur-tangan luar manapun. Birokrasi partai ini hanya tunduk kepada pimpinan puncak dan kepada garis wewenang hirarkisnya sendiri.51 Aku rasa penting dikemukakan bahwa Inkeles sendiri melihat noda terlemah dalam keseluruhan tesis “kemerosotan diferensiasi dalam masyarakat komunis. Ia menyatakan bahwa model perubahan stratifikasinya harus diperbaiki dan



153



prediksinya tentang peningkatan homogenisasi hanya terbatas berlakunya di luar bidang kekuasaan52. Selanjutnya Inkeles menyatakan secara eksplisit bahwa kekuasaan dalam tatanan masyarakat industri tak harus bertentangn dengan kekuasaan dalam masyarakat totaliter. Dan selanjutnyatatanan masyarakat industri moderen dapat disesuaikan dengan tatanan sosial dan politik masyarakat demokratis maupun totaliter. Yang ingin ditekankan adalah bahwa jika pandangan seperti itu logis maka sukarlah membayangkan bagaimana orang dapat merumuskan proposisi umum dan komprehensif mengenai perubahan stratifikasi sebagai bagian dari “logika” perkembangan industri. Karena asumsi esensial yang terkandung dalam proposisi seperti itu (keunggulan sistem ekonomi atas sistem politik) adalah pro-posisi yang tak lagi dapat dipercaya. Diakui bahwa sistem stratifikasi tak dapat difahami sebagai “refleksi” dari tingkat tehnologi dan organisasi industri semata tetapi dibentuk oleh sejumlah faktor lain diantaranya tujuan tindakan politik; dan pentingnya faktor tujuan tindakan politik ini dalam masyarakat yang kekuasaan politiknya sangat terkonsentrasi adalah untuk menciptakan sebuah tipe stratifikasi tersendiri yang sukar dibahas menurut konsep yang dikembangkan dalam masyarakat kapitalis Barat.54 Mungkin terlihat bahwa argumen yang diikuti di bagian terakhir tulisan ini mempunyai implikasi negatif tak hanya untuk model perubahan stratifikasi yang menjadi tekanan perhatianku tetapi juga untuk sejenis teori umum industrialisme yang dapat dihubungkan dengan model perubahan stratifikasi. Penolakan hipotesis khusus tentang stratifikasi atas dasar pemikiran yang telah diutarakan di atas jelas memerlukan penolakan terhadap pemikiran tentang perkembangan yang menyatukan dari masyarakat maju yang mengarah ke “industrialisme pluralistic” dan sama-sama mempunyai gagasan kunci tentang “logika keras industrialisme yang menjadi mesin perkembangan masyarakat. Pemikiran



di atas kurang-lebih sama dengan evolusioner para-Marxisme.



Keduanya sama mempunyai cacat utama tertentu. Pertama terdapat pernyataan yang berlebih-lebihan mengenai tingkat determinisme yang digunakan atas struktur sosial oleh urgensi “material” dan seiring dengan ini meremehkan ketertiban sosial yang mungkin terbentuk melalui tindakan sengaja dalam batas 154



urgensi material. Kedua meremehkan keanekaragaman nilai dan ideologi yang melandasi tindakan sengaja; dan dari dua hal ini menghasilkan kecenderungan untuk membayangkan masa depan dimana pola perkembangan masa lalu akan menjadi semakin teratur dan menyatu – kecenderungan lebih membayangkan melalui sebuah jalan lurus ke depan ketimbang melalui berbagai jalan.55 Terakhir dan mungkin paling tercela, ada kecenderungan etnosentris : kegagalan imajinasi yang menyebabkan sosiolog cenderung hanya menyetujui bentuk masyarakatnya sendiri, atau menurut versi yang agak idealis, membayangkan tujuan masyarakatnya sendirilah yang seharusnya menjadi tujuan seluruh umat manusia.



155



Stratifikasi sosial Dalam Masyarakat “Tanpa Kelas” Oleh : Eva Rosenfeld Sosiolog Amerika kecewa atas riset empiris stratifikasi sosial. Meski telah banyak ditulis artikel yang mengeritik satudi stratifikasi, terutama oleh sosiolog aliran Werner, namun kecil dampak kumulatifnya yang didapat, padahal titik serangan kritiknya tumpang-tindih. Untuk menerobos kebuntuan perdebatan sengit yang terjadi, menurut penulis ada baiknya mensatudi stratifikasi di dalam sistem sosial yang berbeda dari sistem sosial AS meski masih termasuk ke dalam warisan kultur Barat. Satudi stratifikasi dalam sistem sosial yang berbeda itu ternyata lebih propokatif dan memberikan sumbangan penjelasan lebih banyak atas persoalan membingungkan ketimbang penjelasan yang telah dikemukakan dalam deretan panjang artikel teoritis ! Sistem sosial yang dibahas adalah pemukiman kolektif di Israel ; aspek apapun yang disatudi menghasilkan pengertian sosiologis yang sangat bermanfaat. Ini terutama karena struktur kebudayaannya jelas dan karena pemukiman kolektif itu tumbuh dan berkembang selama bertahun-tahun dalam lingkungan sosial yang bukan tak ramah dan tak menentukan. Dinamika institusional masyarakat kolektif itu sebagian besar masih terpelihara keasliannya. Bahasan tentang stratifikasi sosial dalam pemukiman kolektif di Israel berikut ini diharapkan membuat sorotan baru terhadap masalah lama terutama terhadap tiga persoalan yang diperdebatkan melalui riset stratifikasi sosial akhir-akhir ini : 1. Tak menghiraukan persoalan alasan struktural-fungsional untuk tingkat gengsi yang berbeda yang berkaitan dengan berbagai peran sosial dan proses pemilihan yang menempatkan individu tertentu ke dalam posisi tingkat tinggi. Sejarah pemukiman kolektif di Israel selama 40 tahun mengungkapkan proses kemunculan strata sosial dari kelompok pemuda yang semula tak mengenal perbedaan yang hidup dalam sistem demokrasi dan persamaan hak dan yang bertekat mencegah kristalisasi strata sosial tertentu. Kenyataan munculnya strata sosial dikalangan anggota kelompok itu menimbulkan pertanyaan



156



tentang makna fungsional peran sosial tertentu dan pertanyaan tentang kekurangan personil.2 2. kekacauan konseptual dalam penggunaan istilah “kelas” (tingkatan ekonomi) dan “kekuasaan” atau “pengaruh”. Pemukiman kolektif di Israel tergolong “masyarakat tanpa kelas” (bersama dengan masyarakat Hutterites, Amanites, Oneida abad 19 dan lain-lain). Stratifikasi sosial yang muncul di dalamnya bebas dari faktor ekonomi yang “membingungkan”. 3. Adanya prasangka terhadap munculnya pertanyaan tentang pertentangan kepentingan dari berbagai strata. Seperti akan terlihat dalam pemukiman kolektif di Israel tak ada kelas-kelas ekonomi dan sebagai akibatnya tak ada “perjuangan kelas”. Tetapi berbagai strata yang muncul mempunyai kepentingan tetap berkenaan dengan perubahan institusional dan peran yang mereka mainkan dalam proses perubahan aktual mengungkapkan konflik kepentingan ini. Dengan demikitan, pertanyaan tentang hubungan fungsional antara stratifikasi sosial dan perubahan sosial menjadi terbuka dengan sangat jelas. Sebelum menganalisis stratifikasi sosial dalam pemukiman kolektif di Israel terlebih dahulu dikemukakan beberapa informasi umum. Perama pemukiman kolektif (atau “kibutz) dibangun tahun 1910. Kini anggotanya lebih dari 30.000 orang dewasa 30.000 anak-anak. Keluarga lama dan pemukim sementara tinggal di 200 lebih pemukiman pertanian kolektif; kesemua mereka terdiri dari 6 % populasi Yahudi yang bermukim di Israel dan lebih dari sepertiga penduduk pedesaannya. Pertanian kolektif ini rerata beranggota 200 KK atau sekitar 500 jiwa; ada beberapa pertanian kolektif besar dengan populasi lebih dari 1.500 jiwa. Kecuali lusinan kehidupan kolektif keagamaan, seluruh sisanya termasuk kedalam salah satu dari tiga federasi besar pertanian kolektif dan melalui federasi besar ini mereka menjadi anggota Fedeasi Umum Serikat Buruh (Histadrut) yang anti kependetaan dan berideologi sosialis. Dengan satu kekecualian, seluruh kehidupan kolektif ini berdasarkan usaha pertanian, tetapi berbagai cabang industri semakin dikembangkan. Seluruh kekayaan, tak hanya alat produksi menjadi milik bersama (kolektif) dan anggota 157



meninggalkan kehidupan kolektif tak berhak atas bagian kekayaan kolektif itu. Dalam pemukiman kolektif ini tak ada pasar untuk memperjual-belikan barang maupun pasar tenaga kerja, meski ada bisnis seperti yang biasa dilakukan di luar kehidupan kolektif. Anggota ditugaskan bekerja oleh Komisi Kerja yang dipilih. Semua pejabat administrasi dan manejer cabang dipilih – melalui Rapat Umum atau oleh para pekerja dalam cabang tertentu berturut-turut selama periode satu hingga dua tahun dan meski pengangkatan mereka mungkin diperpanjang beberapa kali, namun ada prinsip pergantian posisi manejer dan prinsip pergiliran tugas yang tak disukai. Manejer pabrik komunal mungkin ditempatkan ditugas dapur di musin sepi atau diwaktu libur. Posisi anggota dalam hirarki administrasi tak dihubungkan dengan peluang hidup mereka untuk mendapatkan kepuasan material : norma dasarnya adalah “dari setiap orang dituntut menurut kemampuannya – kepada setiap orang diberikan



menurut



kebutuhannya”.



Menurut



prinsipnya



maupun



dalam



prakteknya, mungkin terjadi, manejer sebuah cabang penting perusahaan kolektif tinggal di sebuah kamar lebih kecil, dengan perabot lebih primitif, pakaian lebih buruk, dan dengan makanan kurang baik ketimbang pekerja tak terampil yang kebetulan sakit dan memerlukan makanan dan perumahan khusus. Semua komoditi didistribusikan secaa sentral dan setimpal; makanan dimakan di ruang makan komunal. Anak-anak diasuh sejak lahir di rumah anak-anak komunal. Institusi politik adalah demokratis dan berdasarkan persamaan hak. Semua keputusan mengenai kepentingan umum diambil melalui pemungutan suara dalam Rapat Umum, tiap anggota mempunyai satu suara. Keputusan kecil diambil oleh Komisi Manajemen dan komisi khusus lainnya yang dipilih oleh semua anggota untuk masa jabatan satu tahun. Dengan demikitan struktur sosial kibutz mencegah munculnya perbedaan tingkat ekonomi. Tetapi perbedaan status sosial ada dalam masyarakat kibutz. Anggota yang berstatus sosial tinggi dan rendah saling menghormati dengan seperangkat sikap streotip dan dalam pergaulan, kesadaran tentang adanya perbedaan status sosial ini jelas sekali diungkapkan. Strata atas dan strata bawah



158



memainkan peran berbeda dalam proses perubahan institusional dan perbedaan pandangan hidup (weltanschauung) mereka sangat terkenal. Ada beberapa pertanyaan yang memerlukan jawaban : 1. Mengapa muncul perbedaan strata dari kelompok pemukim awal yang menganut persamaan hak itu ? 2. Apa kriteria yang digunakan untuk menempatkan anggota dalam satu strata tertentu ? 3. Apakah cirr-ciri masing-masing stratum ? 4. Adakah hubungan antara strata dan sikap mereka satu sama lain ? 5. Peran khusus apa yang dimainkan masing-masing stratum dalam proses perubahan institusinal ? 6. Proses pengekalan diri apa saja yang dapat diamati dari setiap stratum ? Untuk menyederhanakan persoalan, analisis berikut ini sengaja dibatasi pada seluruh anggota kibutz generasi pertama; pemukim sementara dan kelompok marjinal dikeluarkan; masalah khusus tentang posisi wanita di dalam kibutz pun diabaikan. Mengenai metodologi, keseragaman yang dilaporkan dalam tulisan ini mulamula ditemukan melalui pengamatan terlibat (participant observation) di tiga kibutz tertua selama satu setengah tahun. Keseragaman ini kemudian diteliteeiulang melalui (1) kunjungan singkat ke kelompok terpilih dari kibutz-kibutz tertua dengan melakukan observasi sistematis dan wawancara berpedoman; (2) wawancara intensif dengan pimpinan dua faksi penting yang tengah berjuang untuk mengadakan perubahan institusional : faksi “konservatif” dan faksi “pembaharu” dan (3) berpartisipasi dalam komperensi tingkat nasional gerakan kibutz yang membahas desakan perubahan struktur institusional.



Munculnya Strata Sosial Posisi manajerial yang sangat penting bagi kelompok biasanya dipercayakan anggotanya kepada orang yang dianggap paling mampu dan paling dapat dipercaya. Tetapi menghubungkan posisi tingkat tinggi dengan posisi manajerial bukanlah proses sederhana. Bagi masyarakat kibutz tak dapat dikatakan, “soal ….. 159



mengapa posisi yang berbeda mengandung gengsi yang berbeda …… lebih utama menurut logika dan dalam kasus individual atau kelompok tertentu lebih utama menurut faka ….. (atas pertannyaan) mengapa individu tertentu mendapat posisi manajerial ini “.5 Kenyataannya, dalam kehidupan kolektif Israel, urutan prioritas ini dibalik : posisi manajerial memperoleh gengsi tinggi karena orang yang bergengsi tinggilah yang semula dipilih untuk mengisi posisi manajerial itu. Ada dua ciri-ciri struktural yang perlu diperhatikan : pemujaan atas pekerjaan (produktif) tangan dan desakan dahsyat akan persamaan sempurna yang menyebabkan seluruh wewenang tak dapat diterima. Pemujaan atas pekerja tangan muncul dari keterbatasan tenaga kerja umum dan petani di kalangan imigran Yahudi dan menjadi bagian strategi penting mereka dalam tugas membangun bangsa kembali di gurun pasir. Sejak adanya surplus tenaga kerja intelektual dan pekerja terampil (kerah-putih) dikalangan orang Yahudi, jenis pekerja “otak” dan “bersih” dipandang rendah dan pekerja tangan menjadi pahlawan ketika itu. Sikap demikitan, yang sangat kuat terutama disaat awal pemukiman mengilhami tugas manajerial dengan kemanduan yang mendalam. Disatu pihak kelompok itu sendiri menuntut penggantian seluruh posisi manajerial dan administrative – meski mengorbankan efisiensi. Dilain pihak anggota kelompok yang terpilih menempati posisi manajerial dituntut untuk kembali ke “pekerjaan nyata” setelah berakhirnya masa jabatan mereka. Tetapi dalam masyarakat sekuler ini tuntutan kebutuhan efisiensi ketika itu mengalahkan pertimbangan kultural. Dalam pemukiman baru banyak terjadi gerakan dari bawah ke atas: cabangcabang kegiatan baru dibuka, ketrampilan dan prakarsa diutamakan dan kelompok kecil cepat mengenali kemampuan dan pendapat yang baik. Meski disaat permulaan biasanya hanya ada seorang pekerja terampil dalam setiap cabang dan ia tentu saja masih kurang trampil disaat ditugaskan, tetapi setelah bertahun-tahun bekeja dan berpengalaman sering menghasilkan beberapa tenaga kerja yang mampu karena belajar sendiri di dalam setiap cabang. Kemudian sistem pengantian manejer diterima beberapa tahun kemudian. Tetapi setelah beberapa tahun berlalu sekali lagi seorang pekerja biasanya diakui sebagai yang terbaik 160



diantara para pekerja yang baik dan kemudian ada kecenderungan untuk memilihnya kembali sebagai manejer untuk beberapa tahun kedepan. Pekerja seperti itu biasanya mengalami kesuksesan dibeberapa bidang. Pemukiman kolektif sebagai masyarakat pelopor, lebih menderita kekurangan ketimbang kelebihan lelaki dan wanita yang mempunyai bakat, prakarsa dan integritas; kekurangan ini menyebabkan orang yang memenuhi ketiga syarat itu mendapatkan penghargaan umum dan dimuliakan. Dengan demikitan muncullah sekelompok anggota yang demikitan tinggi status pribadinya sehingga terpilihnya mereka kembali menempati posisi manajerial penting adalah soal biasa, keuntungan bagi kelompok dalam memanfaatkan mereka menjadi nyata bagi semua orang. Ditahun-tahun awal pemukiman mereka di tanah Palestina derajat formalitasnya lebih tinggi dari pada sekarang : manejer dituntut untuk kembali “ bekerja produktif nyata” setelah masa jabatannya berakhir; tetapi periode “bekerja produktif” ini makin pendek dan prinsip penggantian manejer kini dalam kenyataannya berarti penggantian dalam susunan posisi manajerial tertentu. Secara serentak pentingnya manejer sebuah perusahaan besar dan keterbatasan manejer yang baik menyebabkan terjadinya pergeseran dalam penilaian umum dari pekerjaan tangan ke pekerjaan otak. Lambat laun posisi manajerial ini menjadi sesuai dengan fikiran rakyat dan digunakan sebagai pengganti kriteria status yang asli untuk menunjukkan tingginya kedudukan manejer ini dalam komunitas. Pengganti kriteria status ini menjadi lengkap dengan tibanya pendatang baru ke kibutz yang dihadapkan dengan adanya sebuah kelompok manejer yang telah stabil yang sangat dihormati yang latar-belakang dan atribut pribadinya disembunyikan oleh waktu dan jarak sosial. Namun di dalam inti pemukim lama, ciri-ciri pribadi tetap menjadi kriteria penghargaan sebenarnnya yang mereka berikan. Karena komunitas mankin tua dan kelompok pelopor asli semakin kecil ditengah arus pendatang baru, senioritaspun menjadi sumber gengsi. Orang lama (“Vatikan”) menjadi ningrat kibutz. Mereka diberi penghormatan tertentu karena keseniorannya sendiri. Orang mungkin menyebutnya sebagai “kharisma dari kepribadian pelopor”. Karena dalam kebanyakan kasus para pemimpin, manejer 161



dan “pekerja yang bertanggungjawab” direkrut dari kalangan orang lama (pendatang baru yang dihargai tak sebanyak orang lama dan tak mendapat peluang untuk menunjukkan kemampuan terbaik mereka sebanyak yang didapat orang lama) maka atribut kesenioran tak hanya menunjukkan kehormatan pribadi semangat kepeloporan dan idealisme tetapi juga menunjukkan posisi manajerial; dan posisi manajerial yang menambah gengsi melalui kharisma orang lama yang memegangnya.



Penempatan Anggota Dalam salah satu Strata Sosial. Atribut status obyektif secara tegas digunakan bila saja anggota kibutz diminta menjelaskan atau memberikan informasi mengenai anggota yang lain. Atribut kedudukan



tertinggi yang ditunjukkan mula-mula; kemudian diikuti dengan



atribut tambahan. Kedudukan tertinggi dikaitkan dengan penundaan “tokoh penting” (Yish hashoov) yang menyatakan salah seorang pemimpin puncak gerakan kibutz atau seorang berketerampilan tinggi dan melakukan aktivitas khusus dalam gerakan kibutz. Kwalifikasi : tokoh penting dalam kibutz berarti pemimpin lokal atau manejer cabang yang dihormati karena sumbangannya atas kesuksesan usaha komunal atau karena berhasil meningkatkan moral komunitas. Seluruh “tokoh penting” adalah orang lama dan tidak menyebutkan senioritas kecuali kalau anggota adalah salah seorang dari pelopor yang sangat awal, bapak gerakan kibutz, “tokoh penting” adalah mitos hidup ideologi kolektif – memberikan contoh kesetiaan, keyakinan, prestasi yang menunjukkan bahwa sistem benarbenar “berfungsi”. Kedudukan kedua adalah benar-benar “salah seorang anggota awal” (ahad mihavatikim); atribut ini kemudian diikuti oleh penandaan pekerjaan khusus yang dikerjakan orang lama. Dalam berbagai kasus, orang lama menempati posisi manajerial dalam salah satu cabang petanian atau spesialis dalam tugas administrative tertentu. Bila posisi pekerjaan bukan manejer, cabang khusus dimana orang lama bekerja tetap dan sebagai pekerja bertanggungjawablah yang ditekankan : “Ia adalah salah seorang ketua pekerja lapangan” atau ia (wanita) 162



adalah salah seorang pekerja tertua dalam peternakan unggas “ atau ia (wanita) adalah kepala perawat bayi”. Bila seorang anggota bukan orang lama dan tetapi bukan orang yang baru tiba, lamanya ia menetap dalam komunitas tidak disebutkan, hanya posisinya ditempat bekerja yang disebutkan. Disini sekali lagi kita menemukan anggota dalam posisi manajerial dan administrative yang telah berhasil bergabung dengan orang lama; anggota yang benar-benar “pekerja yang baik dan terandal dalam cabang khusus ; dan anggota yang benar-benar “bekerja” di cabang tertentu. “Hanya pekerja tak terampil, dapat dipindah-pindahlah” yang menempati kedudukan terendah. Kedalam kategori ini termasuk pendatang baru yang masih belum dikenal di dalam komunitas dan anggota lebih tua yang tak dianggap bertanggungjawab, atau orang yang sakit-sakitan, malas, tak suka bekerja dengan dan dijauhi oleh semua kelompok kerja dan karena itu adalah orang yang tiap hari ditugaskan mengerjakan berbagai jenis pekerjaan kasar di cabang manapun yang memerlukan – biasanya cabang kebun sayur, buah-buahan, pelayanan dan pabrik (jika ada di situ). Konsep kedudukan dengan demikitan berdasarkan atas atribut yang ditetapkan secara obyektif dari posisi senioritas dan manejerial ditempat bekerja atau di administrasi. Pemimpin informal gerakan kibutz dan di dalam kehidupan kolektif selalu adalah anggota yang termasuk stratum atas manejer orang lama ini. Rakyat biasa (amok) terdiri dari stratum menengah “pekerja bertanggungjawab” (oarng lama dan pendatang menengah) dan stratum terendah “pekerja yang dapat dipindah-pindah”. Dikalangan rakyat biasa, rasio pekerja tetap terhadap pekerja yang dapat dipindah-pindah sangat besar perbedaannya antara satu komunitas dan komunitas lain dan berbeda dalam setiap kehidupan kolektif setelah melampaui rentang waktu tertentu. Tetapi perbedaan sikap hidup, opini dan peran sosial yang dimainkan dalam proses perubahan, terdapat antara stratum atas manajerial di satu pihak dan keseluruhan rakyat biasa dilain pihak. Rasio menurut angka substrata bawah terhadap substrata menengah mempengaruhi hubungan antara stratum atas dan rakyat biasa (lihat seksi tentang hubungan antara kedua strata itu). 163



Ciri-Ciri Kedua Strata Sosial. Dua kondisi kehidupan khusus menandai stratum atas pimpinan-manejer ; pertama bebas dari pengalaman kecewa dan malu dalam menghadapi distribusi dan administrasi sentral institusi kibutz dan kedua adalah peluang hidup lebih besar karena kepuasan emosional berasal dari pengalaman khusus yang berkaitan dengan posisi senioritas, tanggungjawab dan kepemimpinan mereka. Kedua kondisi hidup khusus ini berkisar di sekitar bidang penting kehidupan komunal. Salah satu masalah serius dalam kehidupan kolektif adalah ketergantungan individu dalam memenuhi kebutuhan materialnya kepada pejabat yang dipilih yang diharuskan mendistribusikan komoditi secara sentral, dalam jenis dan menurut konsep umum “kebutuhan”. Karena berbagai alasan, hubungan antara anggota kibutz dan pejabat pendistribusi komoditi untuk mereka sangat sering menempatkan anggota dalam situasi kecewa dan tehina. :”Aristokrat” kibutz spontan diperlakukan dengan lebih terhormat dan berbeda dan karena itu sangat tak mungkin mengalami situasi dihinakan ini. Selanjutnya, perasaan pentingnya seseorang dalam urusan komunitas dan perasaan aman yang ditimbulkannya membuat perilaku mereka dalam menghadapi pejabat distribusi lebih tentang dan lebih percaya diri dan ini selanjutnya mempengaruhi sikap pejabat sehingga sangat tak mungkin mereka menentang anggota stratum atas, apapun kejengkelan atau rasa permusuhan yang mereka rasakan. Masalah serius lain dalam kibutz disebabkan oleh fakta bahwa individu tak dapat melihat langsung hasil kerjanya. Energinya disatukan bersama energi individu lain dalam usaha komunal dan hasil kerjanya disatukan dengan hasil kerja anggota lain; begitulah cara kerja yang diakui. Perasaan berkarya sendiri dan peluang untuk mewujudkan kecakapan kerja seseorang maupun tuntutan pengakuan kelompok atas usaha perorangan, semuanya lenyap dikalangan sebagian besar rakyat biasa. Dalam kehidupan kibutz perasaan individual ini lenyap; terutama pengakuan oleh kelompok penting bagi individu. Suatu hari seorang wnita yang bekerja di usaha susu kibutz mengeluh kepadaku karena pengawasnya membentaknya “Apa kerja kau hari ini ?” dan ia merasa terganggu dan sakit hati. Aku bertanya kepadanya mengapa hal seperti itu saja mengganggu perasaannya; betapapun ia adalah pekerja berpengalaman 164



dan bertanggungjawab dan bila perasaannya tentang ia sebenarnya tak perlu memikirkan ucapan pengawas itu. Ia menjawab; “Diluar anda mendapat upah dari pekerjaan anda dan upah itulah yang menjadi hal utama dan hubungan kerja berakhir di upah ini. disini anda sama sekali tak mendapat upah. Lihatlah aku, setelah 13 tahun bekerja keras di perusahaan susu kibutz, apa yang aku dapat ? Tetapi kami bekerja karena kami tahu itulah yang tepat dilakukan. Satu-satunya yang kami inginkan adalah penghargaan.” Manejer cabang yang menempatkan diri mereka sebagai bagian integral cabang dan mengenali kebijakan langsung cabang, melihat panen sebagai produk tenaga kerja cabang itu sendiri. Pejabat administrative dan orang lama umumnya yang mengatur kebijakan seluruh komunitas, yang melihat usaha komunal sebagai satu kesatuan, dapat memahaminya sebagai satu kesatuan dan menempatkan diri mereka sebagai bagian integral usaha komunal itu; mereka menjaga pertumbuhan dan perkembangan usaha pertanian dan dusun dengan bangga dan penuh perhatian dan sebagai imbalannya mereka menerima kepuasan emosional. Karena seniorias berkaitan erat dengan posisi manajerial dan kepemimpinan, banyak anggota stratum



atas



mempunyai



beberapa



sumber



peluang



untuk



mengalami



pengembangan diri meski sebagian rakyat biasa tak mendapatkan peluang itu6). Selanjutnya menejer dan administrator sering mendapat peluang meninggalkan dusun (pemukiman) dan disuruh pergi ke kota. Mereka menikmati drajat kebebasan bergerak dan uang belanja kecil-kecilan yang dapat mereka belanjakan untuk menyaksikan pertunjukan atau ke café –kesenangan yang tak mungkin dinikmati orang biasa. Ketika pergi ke kota manejer lagi-lagi mengalami pengembangan kepuasan diri karena mereka mewakili seluruh komunitas dalam berurusan dengan bank, agen pedagang dan pemerintah. Kondisi kehidupan khusus ini cenderung menciptakan “pandangan hidup manajerial” khusus dikalangan stratum atas. Mereka kurang mengalami ketegangan mental dan ketergantungan dan lebih banyak menikmati kesenangan kehidupan kolektif. “Apa arti semua pembicaraan tentang ketergantungan yang aku dengar ini ?” seru salah seorang pimpinan puncak. Mengapa hanya kita di dalam kibutz ini saja yang benar-benar bebas : bebas dari kecemasan dan kegelisahan hidup karena persaingan. Aku merasa lebih bebas dari pada seluruh orang Amerika. Aku bebas mengerjakan apa yang benar-benar kuinginkan !”



165



Sebaliknya rakyat biasa melihat kehidupan kolektif dari sudut kerutinan sehari-hari yang tak menguntungkan, pekerjaan yang sukar dan dikomando, ketegangan dan konflik dalam berbagai hubungan institusional. Pentingnya kepuasan emosional dalam masyarakat kibutz tak boleh terlalu ditonjolkan. Ideologi kibutz adalah bahwa kepeloporan dan motivasi pada dasarnya adalah penolakan atas kepentingan diri sendiri. Hadiah material untuk usaha individual tidak ada. Keseluruhan sistem motivasi berdasarkan asumsi bahwa anggota mendapat kepuasan emosional dalam kehidupan komunal. Asumsi ini kemudian didasarkan atas adanya pengenalan anggota atas pekerjaan, dusun, kelompok dan masa depan komunal mereka. Bila masyarakat tidak menyediakan basis pengenalan (identification) atau bila anggota tidak siap mengidentifikasikan dirinya dengan komunitas, takkan ada kepuasan emosional yang akan muncul dan seluruh sistem motivasional akan gagal.



Hubungan Antara Stratum Manejer dan Rakyat Biasa. Hubungan sosial antara semua anggota kibutz sama sekali bersifat informal. Dikalangan anggota lebih tua tak ada tanda perbedaan yang jelas. Namun derajat jarak sosial tertentu ada diperkenalkan oleh pendatang baru melalui sikap mereka yang spontan berbeda terhadap stratum manejer. Orang dapat mengamati pendatang baru spontan meminggir untuk membiarkan “pemimpin besar” (manejer) berjalan melalui pintu; dalam berbicara dengan “tokoh penting” ini pendatang baru berbicara dengan pendatang baru lain. Sikap yang berbeda dari pihak pendatang baru ini berasal dari fakta bahwa mereka sebenarnya masih dianggap sebagai orang asing oleh orang lama dan belum mampu mencapai derajat hubungan kekekuargaan dengan orang lama seperti yang dialami oleh sesama orang lama; sikap mereka yang berbeda terhadap manejer timbul dari kehidupan diluar kibutz. Pendatang baru dihadapkan dengan hubungan pasti status pribadi- posisi manejer – dan ia sering tak memahami kriteria awal dari status – atribut pribadi – yang sejarah dan logikanya berada di belakang hubungan pekerjaan ini. Sikap menahan diri dan berbeda di pihak pendatang baru ini



166



cenderung memperlebar jurang antara stratum atas dan rakyat biasa dan mengganggu proses komunikasi dan saling pengertian antara kedua strata itu. Dalam rumah peristirahatan musim panas yang diurus oleh kibutz, seorang gadis pendatang baru bersahabat dengan salah seorang orang lama. “Betapa senangnya aku dapat berbicara dengan anda”, seru si gadis suatu ketika. “Kembali ke rumah nanti aku takkan pernah berani berbicara dengan anda. Anda kelihatannya demikitan hebat dan tak ramah”. Orang lama itu heran atas perasaan si gadis seperti itu terhadap dirinya. Ia merasa bahwa ia selalu terbuka untuk didekati oleh siapapun dalam kibutz. Kenyataannya kedua strata saling memandang satu sama lain dengan sekumpulan sikap streotip. Manejer dihormati justru karena konstribusi mereka terhadap usaha komunal sebagai pemimpin, pengorganisir, pengelola usaha pertanian dan toko koperasi tetapi mereka tidak dicintai. (Dipihak pendatang baru yang kurang termotivasi,penghormatan mereka bahkan pura-pura, tidak tulus). Ciri khusus kondisi kehidupan mereka dihargai dan mereka secara perorangan dituduh benar-benar tak mengetahui “seperti apa rasanya hidup dalam kibutz”. “Orang ini tak memimpin kehidupan kita”, ucap orang biasa. Dipihak lain, manejer dan pemimpin merasa agak direndahkan dan sakit hati terhadap orang biasa karena kurangnya antusiasme, perhatian dan partisipasi mereka dalam kehidupan kelompok, karena tuntutan mereka akan taraf hidup yang lebih tinggi tetapi kurang mau menahan diri- Jelaslah bahwa manejer-pemimpin tidak memahami benar perbedaan kondisi kehidupan akyat biasa dan dampaknya dalam bentuk citra dan sikap mereka terhadap kehidupan kolektif. Suatu kejadian dimana penulis berpartisipasi di dalamnya dapat melukiskan ciri perbedaan antara keduanya : Aku ngobrol dengan seorang orang lama di ruang kecil kantor pos yang bertugas menjawab penggilan telepon dan mengurus surat pos. ia berkata “ceritakan padaku, anda telah cukup lama berkeliling untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Anda tahu apa yang buruk dalam sistem sosial kami dan akupun tahu, karena itu sebaiknya kita tak berbicara tentang itu. Tetapi tolong ceritakan kepadaku menurut anda apakah yang baik dalam kehidupan kibutz kami ?” Aku memulai dengan ragu tetapi kemudian tertarik dan berbicara tentang kepuasan emosional mendalam banyak orang yang didapat dari mengindentifikasikan diri mereka sendiri dengan usaha besar, luas dan yang 167



sangat berarti bagi mereka. Ketika aku berbicara, manejer pabrik lokal menjulurkan kepalanya lewat jendela dan mendengarkan. Wajahnya dihiasi senyum dan ketika aku selesai berbicara ia berseru :” Biarkan aku menjabat tangan anda ! Apa yang baru saja anda katakana itu semuanya benar, sangat benar “. Tetapi lawan bicaraku naik darah dan berteriak : “oh, dia lagi, memecat orang dengan sikap tak sabar (meski bukan tak ramah; keduanya adalah orang lama). “Aku tahu bualanmu sobat. Benar, orang yang berada di posisi sentral, yang dapat mempengaruhi kehidupan orang lain di sekitar mereka, semuanya merasa seperti itu. Tetapi sebagian besar orang mengerjakan pekerjaan kotor dan mereka tak merasakan seperti itu. Sebaliknya mereka malah bertanya kepada diri mereka sendiri: “Untuk apa aku membanting-tulang ? Apa yang kudapat dari kerja keras ini ?”



Peran Khusus Kedua Strata Dalam Dinamika Perubahan Institusional. Stratum manejer sangat mengindentifikasikan diri mereka dengan usaha komunal dan bebas dari ketegangan, bertindak sebagai pengobar semangat untuk bekerja lebih giat dan mempertahankan penghematan konsumsi. Sebaliknya rakyat biasa didesak untuk menyingkirkan ketidaksenangan dan ketergantungan yang melekat dalam struktur institusional tertentu dan didesak untuk menahan diri dari menuntut taraf hidup yang lebih tinggi. Tekanan rakyat biasa terhadap pengaturan kembali struktur institusional sangat ditentang oleh pemimpin yang menggunakan berbagai cara dalam upaya mereka untuk mengekang “pembaharu”. Cara yang mereka gunakan diantaranya adalah pertama intimidasi melalui ejekan di dalam Rapat Umum; kedua, hambatan administrative bagi pemrakarsa yang bersikeras memasukkan issu tertentu kedalam agenda disukusi publik atau yang ingin mempublikasikan artikel di dalam Koran kibutz (sekretaris dan editornya adalah anggota stratum atas); ketiga, undangan pimpinan puncak (orang yang mempunyai pengaruh kharismatis dan berpengalaman) untuk menghadiri pertemuan untuk membangkitkan semangat; lebih umum lagi adalah upaya sistematis yang dilakukan untuk memperkuat motivasi ideologis melalui seminar khusus, buku ceramah dan sebagainya. Perbedaan peran yang dimainkan oleh kedua strata itu jelas terlihat di Rapat Umum dimana pimpinan dan manejer menghendaki bekerja makin keras dan 168



pengorbanan kepentingan diri sendiri dan rakyat biasa menolak secara pasif. Dalam pertemuan informal yang selalu terjadi setelah rapat resmi ditutup, kemarahan anggota rakyat biasa disuarakan secara terbuka : stratum pemimpin digelari “fanatik”, “orang suci”, dan “konservatif”. Satu-satunya cara yang digunakan rakyat biasa adalah perlawanan secara pasif dalam bentuk apatisme umum, lenyapnya minat dan menolak berpartisipasi dalam rapat, komite kerja dan kegiatan komunal lain. Hanya ketika perlawanan pasif rakyat biasa serius mengancam moral kelompok, pemimpin dengan berat hati baru mengalah atas tekanan dari bawah. Sekretariat sentralfederasi kibutzpun kemudian menggunakan tekanan memaksanya dan mengancam kibutz yang “menyimpang” dengan pengusiran. Pembaharuan dirasakan sebagai kemunduran dari sistem kolektif asli dan dikhawatirkan akhirnya akan menghancurkan landasan sistem kolektif semula. Jadi perbedaan kondisi kehidupan dan citra masing-masing stratum yang ditimbulkannya dan sikap terhadap masyarakat kolektif menciptakan dua jenis kepentingan tetap (verted interest) berkenaan dengan soal perubahan institusional : Orang yang lebih langsung berhadapan dengan akibat disfungsional sistem kolektif, berkepentingan mendesakkan perubahan, sedangkan orang yang lebih langsung menikmati aspek fungsional dan kurang mengalami ketegangan dan paksaan, berjuang untuk melestarikan sistem kolektif; mereka ini mengenalkan diri mereka dengan sistem dan bertindak sebagai penjaga sistem selaku satu kesatuan dan mempertahankan status-quo. Dalam suasana kacau ini pemimpin tak dapat diandalkan akan berupaya mencari jalan pemecahan masalah karena fungsi utamanya adalah mempertahankan sistem kolektif. Timbul persoalan mengenai kekuatan melestarikan diri dalam stratifikasi sosial yang ada. Terlalu dini membuat pernyataan pasti dalam hal ini. Anak lelaki dan wania tertua generasi pertama pemukim masih berusia sekitar 20 tahun dan semua mereka adalah anak dari pelopor awal (aristokrat kibutz). Sebagian kecil telah aktif dalam urusan komunal. Ada dua kecenderungan yang terlihat : (1) kecerdasan dan kemampuan anak lelaki dan wanita dari manejer dan pemimpin puncak kibutz sering diwarisi dari orangtua mereka (sering pula termasuk 169



integritas pribadi dan standard nilai yang sangat tinggi) apakah melalui keturunan atau melalui kontak dan pengaruh pribadi. Karena latihan khusus dan pendidikan lebih tinggi disediakan oleh komunitas berdasarkan janji intelektual, kemampuan khusus dan kesetiaan terhadap nilai kibutz, anak lelaki dan wanita stratum atas ini berpeluang lebih besar untuk mendapatkan pendidikan tambahan dan untuk ditempatkan di posisi yang dipercayai dan bertanggungjawab. Dalam hal tertentu, dua dan tiga anak “orang penting” ini menunjukkan bakat khusus dan sangat menjanjikan dan kesemuanya mendapat peluang pendidikan khusus. (2) Sebagian “pengaruh kemasyhuran” orangtua ini dialami pula oleh anak mereka. Anak lelaki dan wanita “tokoh” gerakan kibutz ini dianggap sebagai aristokrat dikalangan pemuda petani generasi kedua. Ada pancaran samar-samar gengsi yang melekat pada “nama besar” tokoh itu. Anak lelaki dan wanita dari tokoh itu sangat didambakan untuk dijadikan pasangan-hidup dan perkawinan anak tokoh ini merupakan peristiwa sangat popular dalam masyarakat kibutz, sedangkan perkawinan pasangan lain mungkin berlalu tanpa diperhatikan. Komunitas masih menggunakan kriteria awal dari status-kecerdasan kemampuan, kesetiaan terhadap nilai-nilai kolektif dan cara bekerja yang baik terhadap anggota generasi kedua, seperti kriteria status yang mula-mula digunakan dalam kelompok kecil pelopor.



Kesimpulan Tipe stratifikasi sosial yang sangat khusus dalam kehidupan kolektif Israel dibedakan oleh gambaran berikut yang kini dapat dihubungkan dengan beberapa pertanyaan teoritis yang dikemukakan di awal tulisan ini : 1. Ada hubungan yang nyata antara gengsi yang dikaitkan dengan kepribadian dan gengsi yang dikaitkan dengan posisi sosial. Kelangkaan terutama diletakkan pada kemampuan dan kepercayaan anggota atas kemampuan memimpin dan berprakarsa. Keperluan fungsional memaksa kelompok memelihara anggota yang terhormat dan bernilai tinggi ini. Dalam posisi manajerial ini. gengsi dihubungkan dengan posisi yang kemudian digunakan sebagai indek status sosial tinggi.



170



2. Pemisahan antara hadiah material dan nonmaterial. Posisi status tinggi tak berarti menghasilkan hadiah ekonomi. Anggota yang menempati posisi manejerial menikmati hadiah emosional yang luas ( sebagian disebabkan kepribadian mereka ; terutama kemampuan mengidentifikasikan diri mereka dengan kesatuan lebih besar dan dengan masa depan kelompok ; dan sebagian karena tugas yang mereka laksanakan) dan hadiah ini membuat mereka measa lebih puas atas nasib mereka ketimbang rakyat biasa. Kehilangan kepuasan emosional ini segera menuntut kepuasan material dan pengurangan ketegangan institusional. 3. Konflik kepentingan yang menghasilkan perubahan institusional tak ada kaitannya dengan eksploitasi ekonomi atau ketimpangan ekonomi tetapi berkaitan dengan eksploitasi spiritual atau ketimpangan distribusi kepuasan emosional. Stratum manejer menjunjung tinggi ideologi kolektif dan statusquo. Kondisi kehidupan khusus mereka dan pandangan hidup manajerial yang dihasilkannya mengganggu komunikasi antar strata; mereka dituduh tidak mengetahui kehidupan kolektif yang sebenarnya. Upaya mereka untuk menghadapi



tuntutan



kebutuhan



meningkat



rakyat



biasa



berbentuk



“pendidikan ideologi” yang mereka harapkan akan meningkatkan kepuasan emosioanl rakyat biasa. Gambaran



stratifikasi sosial dalam kibutz ini menjelaskan paradok



“perjuangan kelas” dalam masyarakat tanpa kelas.



171



Pandangan Orang Puerto Rico tentang Kelas Sosial. Oleh : M.M. Tumin & Arnold Feldman. Cara orang Puerto Rico membayangkan struktur kelas masyarakat mereka, kini sudah jelas .1 Fakta yang menonjol adalah : 1. Nominal ada tiga struktur kelas, kelas ketiga baru muncul; 2. Fungsional ada dua struktur kelas dalam arti sebagian besar orang hanya menunjuk pada tingkat menengah atau tingkat bawah dari tiga uruan strata ; 3. Hampir semua orang hanya menyebutkan orang yang berpendidikan kolej sebagai “Kelas Atas”. 4. Sebenarnya kelas-kelas itu dapat dibedakan satu sama lain hanya dengan menggunakan pendapatan dan pendidikan sebagai kriteria pembeda ; 5. Orang segera menilai warna kulit dan pekerjaan orang lain disamping pendapatan dan pendidikan dan ada keinginan untuk menilai posisi sosial total yang didapat dengan menggabungkan pendapatan, pendidikan, pekerjaan dan warna kulit; 6. Ada realisme menyeluruh mengenai keudukan relatif seseorang; kecuali (kelas bawah) secara tak realistis dan mencolok melambungkan penilaian dirinya sendiri dan (kelas atas) menurunkan penilaian dirinya sendiri; 7. Ada kecenderungan khusus orang yang berpendidikan 5 – 8 tahun untuk menyamakan diri mereka dengan orang berpendidikan SLA dan Kolej ketika mereka menempatkan diri mereka sendiri di dalam struktur kelas; 8. Ada perasaan bahwa masyarakat adalah terbuka, orangtua yakin anak mereka akan mendapat pendidikan dan pendapatan lebih tinggi ketimbang yang berhasil mereka capai; 9. Ada perasaan bahwa peluang baru segera tersedia sehingga para orangtua meramalkan karir dan peluang hidup untuk anak yang lebih muda jauh lebih besar dari pada untuk anak yang lebih tua. Kini generalisasi agak lebih luas dapat diajukan : ada tingkat moral sangat tinggi dalam seluruh segmen komunitas Puertoriko. Ketimpangan yang ada kini



172



tak dibayangkan sebagai rintangan yang tak dapat di atasi. Ketertiban sosial dipandang diseluruh tingkat struktur kelas, sebagai susunan yang lumrah dan adil. Anggota seluruh kelas yang ada merasa sebagai satu kesatuan dan merasa bermanfaat memberikan kesetiaan mereka kepada masyarakat dan merasa berjasa mengerahkan segenap upaya untuk membangun masyarakatnya. Dalam hal ini meski mereka pasti tak diperlengkapi dengan ketrampilan yang diperlukan secara timpang,2 namun rakyat diseluruh lapisan dipersiapkan untuk menghadapi masa depan dengan semangat untuk menghadapi masa depan dengan relatif adil. Untuk sementara inilah pernyataan tentative yang dapat diajukan sebagai sebuah generalisasi yang nampaknya sangat sesuai dengan data yang ada hingga kini. Kini kita dapat menguji kebenaran generalisasi tentative ini dengan memperhatikan bagaimana perasaan anggota masyarakat Puertoriko mengenai peluang hidup mereka kini, kesejahteraan mereka kini dan prospek mereka dimasa depan. Dapat ditegaskan orang Puertoriko adalah orang yang penuh dengan harapan dan moral tinggi meski sebenarnya ditandai ketimpangan dalam keterampilan; disini tak ditemukan hubungan langsung antara betapa miskinnya seseorang menurut ukuran obyektif tertentu dan betapa kemiskinan yang ia rasakan. Kita justru mendapat kesan bahwa orang Puertoriko merasa jauh lebih sejahtera ketimbang fakta obyektif dari pendapatan, pendidikan dan pekerjaan yang kelihatan. Singkatnya disisni terdapat ketidaksesuaian antara kelas sebagai struktur obyektif dan kelas sebagai yang berperan secara fungsional. Orang Puertoriko membayangkan tanda-tanda ketimpangan yang ada. Tetapi mereka khususnya tak merasa dirisaukan oleh ketimpangan itu dan yang pasti tidak merasa dipengaruhi oleh ketimpangan yang ada. Memang harus diakui, pandangan mereka tentang kehidupan nampaknya sering mengabaikan situasi obyektif. Contohnya, 1.000 orang yang disatudi, diajukan pertanyaan : “Dapatkah anda katakan, dibandingkan dengan mayoritas orang di negeri ini, kehidupan lebih adil, sama adilnya atau kurang adil bagi anda ? Hanya 12 %



yang mengatakan



kehidupan lebih adil terhadap mereka; hampir 79% mengatakan kehidupan sama 173



adilnya terhadap mereka seperti terhadap orang lain; sedikit lebih dari 14 % mengatakan kehidupan kurang adil terhadap mereka. Bila orang yang mengatakan “sama adilnya” dianggap sebagai satu kelompok orang yang mempunyai perasaan positif tentang keadilan kehidpan, maka lebih dari 85 % orang di negeri ini menikmati perasaan positif ini3). Padahal kita tahu bahwa lebih dari spertiga orang ini tak pernah sekolah; lebih dari separoh mereka tak melebihi kelas empat SD; jumlah yang sama berpendapatan hampir tidak mencapai pendapatan minimal; dan sebagian besar mereka bekerja di pekerjaan relatif kasar dan keras. Dua jenis interpretasi muncul dengan sendirinya. Pertama adalah bahwa bila begitu banyak orang yang relatif demikitan miskin, orang tentu mengira bahwa mayoritas akan merasa sama beruntungnya dengan orang lain. Kedua adalah bahwa perbedaan pendidikan, pendapatan dan pekerjaan, tak dianggap terlalu serius karena orang menilai betapa adilnya kehidupan terhadap mereka. Harapan mereka atas kehidupan juga tidak dipasang demikitan rendah sehingga hanya kepuasan minimun yang diperlukan untuk menimbulkan perasaan tentang keadilan kehidupan. Ada bukti meyakinkan tentang penerimaan posisi mereka kini sama adilnya dengan apa yang sebenarnya mereka harapkan. Tetapi orang tak dapat mengabaikan satu hal bahwa berdasarkan setiap perkiraan yang nampak, anggota masyarakat berkasta dimana orang menerima posisinya yang relatif direndahkan dan keras kepala sebagai sebuah fakta kehidupan yang tak menjadi sasaran perubahan. Disini tak seorangpun yang berfaham fatalisme mengenai posisi sosial yang diwarisi. Orang inilah yang jelas-jelas mengharapkan untuk bekerja sekeras-kerasnya untuk merubah kehidupan mereka sehingga dengan demikitan anak mereka mendapatkan keuntungan dari kerja keras mereka. Optimisme inilah, perasaan bahwa bekerja dan berusaha dan pendidikan akan memberikan hasil, yakni menghemat doa. Namun banyak perasaan tentang kewajaran kehidupan mungkin berdasarkan kenyataan bahwa begitu banyak orang lain berada dalam kapal yang sama, banyak sekali elemen lain yang harus disajikan : apa ukuran manfaat dan kepuasan hidup selain dari materi ; adakah yang melihat kewajaran orang selain dari pendapatan, pekerjaan dan jumlah kegiatan bersenang-senang dan tersedianya barang mewah. 174



Namun orang harus



tak mengangkat tema ini terlalu jauh. Ketimpangan



obyektif bukan berarti tidak bertalian secara total. Mereka mengetahui, membayangkan, merasakan. Fakta ini juga harus diingat dalam menilai kualitas kehidupan dan perasaan di Puertoriko. Ketimpangan obyektif ini khususnya harus diingat ketika kita memikirkan seberapa siap kelas-kelas yang berbeda berpartisipasi secara efektif dalam membangun masa depan Puertorika. Tak ada gunanya mengatakan bahwa ketimpangan obyektif ini juga ditandai perbedaan dalam kesiapan, bila kesiapan itu dinilai menurut pendidikan keterampilan yang dapat disediakan. Kita telah melihat betapa ayah dengan tingkat pendidikan berbeda mempunyai harapan berbeda untuk anak mereka. Kitapun telah melihat bagaimana tingkatan aspirasi ini menghasilkan perbedaan prestasi sekolah dan prestasi pekerjaan oleh anak-anak.4 Dalam memperhatikan sikap obyektif dan subyektif, mula-mula kita mengajukan pertanyaan mengenai pendapatan. Kami melakukan, “Dapatkah anda mengatakan bahwa pendapatan anda lebih besar, sama atau kurang dari pendapatan sebagian besar orang di negeri ini ? Tabel 1 menunjukkan jumlah dan persentase masing-masing 5 tingkatan pendidikan sample yang terbagi menjadi tiga kategori jawaban berbeda. Tujuh puluh tujuh persen (77,8%) orang berpendidikan 0 tahun mengatakan pendapatan mereka, kurang; 11% orang berpendidikan 13 tahun atau lebih mengatakan pendapatan mereka, kurang. Mungkin saja orang di kedua golongan pendidikan itu menilai terlalu rendah (under estimate) dan menilai terlalu tinggi (over estimate) tetapi berdasarkan bukti obyektif memang terdapat perbedaan tajam tingkat pendapatan antara kedua golongan pendidikan itu.



175



Tabel 1. Perbandingan Pendapatan Sendiri dengan Pedapaan “Orang Kebanyakan di Puertoriko. Tahun



Pendapatan



Sekolah



Lebih



Sama



Kurang



Total



no



%



No



%



No



%



No



%



0



6



2,5



47



19,7



186



77,8



239



100



1–4



13



4,7



86



30,9



176



64,4



278



100



5–8



23



10,4



76



34,2



123



55,4



222



100



9 – 12



29



18,5



83



52,9



45



28,7



157



100



13 +



24



34,8



37



53,6



8



11,6



69



100



Total



95



9.8



329



34,1



541



56,1



965



100



Disini berdasarkan issu yang dapat diperiksa secara obyektif orang yang berpendidikan 5 – 8 tahun tak menunjuk diri mereka sendiri mengalami kenaikan pendapatan yang tak realistis. Mereka mungkin berbeda fikirannya dibandingkan dengan 1-4 orang yang menunjuk diri mereka sendiri berpendapatan lebih tinggi ketika membandingkan pendapatannya dengan pendapatan “mayoritas “. Berdasarkan issu yang dapat diperiksa secara obyektif, orang berpendidikan 5 – 8 tahun tak menunjuk diri mereka sendiri mengalami kenaikan pendapatan secara tidak realistis. Mereka mungkin mempunyai fikiran berbeda dari orang berpendidikan 1 – 4 tahun ketika membandingkan pendapatan mereka dengan pendapatan “mayoritas”. Tetapi sebenarnya mereka mempunyai persentase yang sama dengan orang berpendidikan 1 – 4 tahun yang mengatakan pendapatan mereka kira-kira sama dengan mayorias. Juga mengherankan orang berpendidikan SLA dan Kolej hampir sama dengan kelompok di atas 50% yang merasa pendapatan mereka sama dengan pendapatan mayoritas lain.



Pendidikan Sebagai pemeriksaan tambahan tentang seberapa baik dan benarnya bayangan orang Puertoriko atas fakta mengenai posisi mereka sendiri dalam masyarakat,



176



sekali lagi kita menanyakan tentang tingkat pendidikan. Kita meneliteei “Sudikah anda mengatakan, bahwa anda lebih lama bersekolah, sama jumlah tahunnya atau lebih sedikit tahunnya dibandingkan dengan kebanyakan orang di negeri ini”? Pertanyaan yang diselipkan ini menghasilkan jawaban yang jauh lebih realistis ketimbang ketika responden diminta menggolongkan diri mereka sendiri kedalam salah satu diantara tiga anak-tangga kelas. Seperti terlihat di Tabel 2, kini 96% orang bertahun sekolah 0 tahun (orang yang sebenarnya bersekolah kurang dari orang lain manapun) mengatakan mereka kurang. Orang ini jelas tidak membandingkan diri mereka sendiri dengan sperempat hingga sepertiga pendudukPuertoriko yang juga tanpa mendapat pendidikan apapun. Mereka agaknya berfikir tentang duapertiga hingga tigaperempat penduduk negeri ini yang sekurang-kurangnya mempunyai tingkat pendidikan tertentu.5 Dari 1% berpendidikan 0 tahun hingga 70% berpendidikan kolej (13+) yang merasa pendidikan mereka lebih tinggi dari pada pendidikan mayoritas, urutannya persis seperti yang diperkirakan orang : Setiap kenaikan dalam posisi kelas diikuti oleh kenaikan persentase orang yang merasa berada pada posisi yang lebih baik dibandingkan dengan mayorias orang di Puertoriko. Namun orang yang berpendidikan 5-8 tahun tidak mempunyai perasaan demikitan dimasa lalu. Persentase orang yang mengatakan tingkat pendidikannya lebih tinggi ketimbang tingkat pendidikan mayorias tidak signifikan dan hampir tak lebih besar dari pada persentase dan golongan pendidikan dibawahnya (0 dan 1-4 tahun). Tetapi bila dinyatakan mempunyai tingkat pendidikan yang sama dengan mayorias, golongan berpendidikan 5 – 8 tahun sekali lagi menunjukkan perasaan sejahteranya, karena lebih dari sepertiga jumlah orangnya mengatakan sama pendidikannya dengan mayoritas; dalam keadaan demikitan, mereka jauh melampaui 10% golongan pendidikan dibawahnya (1-4 tahun) yang juga mempunyai perasaan sejahtera. Singkatnya, orang Puertoriko jelas membayangkan adanya perbedaan dalam tingkat pendidikan dan pendapatan dan mereka realistis dalam menempatkan posisi diri mereka sendiri dalam hubungannya dengan mayoritas penduduk di negeri ini. 177



Tabel 2. Perbandingan Pendidikan Sendiri dengan Pendidikan “Orang Banyak” di Puertoriko. Tahun



L



b i



Sa



ma



Ku



e h



r a



To



tal



ng



Sekolah



Jlh



%



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



0



2



0,8



7



3,0



228



98,2



237



100



1–4



5



1,8



27



9,6



250



88,7



282



100



5–8



8



3,6



81



36,5



133



59,9



222



100



9 – 12



30



19,7



104



68,4



18



11,8



152



100



13 +



44



69,8



17



27,0



2



3,2



63



100



Total



89



9,3



236



24,7



631



66,0



956



100



Kini beberapa struktur ketidaksesuaian antara fakta obyektif dan persepsi subeyektif makin jelas dalam pandangan. Apa yang nampaknya terjadi adalah bahwa kapanpun dan dimanapun orang Puertoriko dapat menemukan dasar untuk mengatakan, mereka adalah sama atau lebih sejahtera dari pada orang lain, mereka meraih peluang itu meski peluang sebaliknya adalah sama tersedia. Meski masih dapat diperdebatkan tentang apa yang telah terjadi terhadap mereka dan dimana posisi mereka pada urutan tingkatan hak istimewa dan peluang hidup, namun mereka



nampaknya



menikmati



kesenangan



dengan



melaporkan



derajat



kesejahteraan relatif tertentu. Sejauh yang terlihat, mereka temotivasi oleh persepsi bahwa masyarakat adalah terbuka dan berubah dengan adanya peluang baru untuk mencapai kemajuan bahkan diseluruh tingkatan kelas. Inilah semangat yang mendorong untuk mengatakan diawal tulisan ini bahwa bagaimanapun timpangnya derajat keterampilan orang Puertoriko, mereka rupanya relatif lebih merata dalam semangat yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam masyarakat yang sedang berkembang.



178



Pengaruh Pribadi. Kini bila kita beralih ke masalah yang lebih subyektif, dimana tersedia jauh lebih banyak ruang untuk memainkan perasaan pribadi dan sedikit atau tak ada jalan untuk menggunkan fakta obyektif, kita mulai melihat lebih jelas lagi ketaksesuaian antara ketimpangan obyektif dan realitas subyektif atas ketimpangan ini. Kita bertanya : “ Dalam urusan komunitas, apakah anda akan mengatakan bahwa anda mempunyai pengaruh lebih besar, kira-kira sama besar atau lebih sedikit pengaruh anda ketimbang orang kebanyakan ?” Tabel 3 menunjukkan jumlah dan persentase dalam 5 kelas pendidikan yang memilih satu atau kategori lain tangggapan. Dengan menghitung jumlah orang yang merasa lebih besar pengaruhnya dan yang merasa sama besar pengarauhnya sebagai satu kelompok, dapat dikatakan bahwa disemua tingkatan struktur kelas orang Puertorik terdapat perasaan yang merembes tentang partisipasi dan suara efektif dalam urusan komunitas. Ini termasuk : 56 % orang berpendidikan 0 tahun. 60 % orang berpendidikan 1 – 4 tahun 71 % orang berpendidikan 5 – 8 tahun. 88 % orang berpendidikan 9 – 12 tahun 87 % orang berpendidikan 13 tahun keatas. Tabel 3. Perbandingan Pengaruh Pribadi Dalam Urusan Komunias dengan Pengaruh “orang Kebanyakan”. Tahun



Lebih



Sama



Kurang



Sekolah



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



0



29



12,4



102



43,8



102



43,8



233



100



14



36



12,9



130



46,8



112



40,3



278



100



5–8



30



13,6



120



57,0



65



29,4



221



100



9 – 12



39



20,5



127



66,8



24



12,6



190



100



13 +



17



24,6



43



62,3



9



13,0



64



100



Total



151



15,2



528



53,3



312



31,5



991



100



179



Total



Adakah fakta obyektifnya ? Inilah pertanyaan tersulit untuk dijawab. Bila orang menilai dengan persentase orang yang memberikan suara dan calonnya telah terpilih, maka 75 % atau lebih rakyat di negeri ini dapat mengatakan mereka telah memberikan suara yang efektif dalam urusan negara. Dengan menilai seberapa sering pejabat pemerintah negeri ini membuat pengakuan kepada publik tentang pentingnya rakyat miskin dan sederhana, maka akan dapat difahami bahwa sebagian besar rakyat akan merasa diperhatikan dan bersimpati karena telah menjaga kepentingan mereka. Bagaimanapun kita mengukur dan bagaimanapun distribusi kekuasaan dalam komunitas , kita akan berhadapan dengan fakta sangat signifikan; lebih dari 50% penduduk termiskin dan buta huruf di Puertoriko dan 60 % penduduk yang tergolong hampir berada pada posisi terbawah, merasa mempunyai pengaruh yang sama besarnya atau lebih besar dalam urusan komunitas dibandingkan dengan mayoritas. Perasaan berkuasa efektif yang menyebar ini harus dicocokkan dengan ketimpangan dalam distribusi perasaan ini. Seperti persentase yang ditunjukkan Tabel 3, ada tiga tingkat pengaruh pribadi yang berbeda, yakni orang berpendidikan 0 tahun dan 1 – 4 tahun, golongan berpendidikan 5 – 8 tahun dan orang berpendidikan SLA dan Kolej. Karena itu kita dapat mencatat penyebaran luar biasa perasaan mengendalikan sungguh-sungguh urusan komunitas di semua tingkat; tetapi sekali lagi, dalam bidang psikologi kewarganegaraan yang sangat penting ini, perbedaan kelas jelas menonjolkan dirinya sendiri. Tabel 3. Perbandingan Pengaruh Pribadi Dalam Urusan Komunias dengan Pengaruh “orang Kebanyakan”. Tahun



Lebih



Sama



Kurang



Sekolah



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



0



29



12,4



102



43,8



102



43,8



233



100



14



36



12,9



130



46,8



112



40,3



278



100



5-8



30



13,6



120



57,0



65



29,4



221



100



9 - 12



39



20,5



127



66,8



24



12,6



190



100



180



Total



13 +



17



24,6



43



62,3



9



13,0



64



100



Total



151



15,2



528



53,3



312



31,5



991



100



Jadi kita melihat ketakcocokan. Sembilan puluh enam persen orang berpendidikan 0 tahun merasa mereka berpendidikan kurang dibandingkan dengan sisa penduduk lainnya; dan 77 % merasa berpendapatan rendah. Tetapi 56 % dari mereka merasa mempunyai kekuasaan besar dalam urusan komunitas. Kitapun mencatat tingkatan kelas. Dari 12 % hingga 25 % mereka merasa mempunyai suara lebih banyak dibandingkan dengan orang lain; dari 44% hingga 63% merasa mempunyai suara sama banyaknya dengan orang lain.6



Gengsi Pekerjaan. Salah satu fakta sangat signifikan yang ditentang sebagian besar anggota kelas buruh di AS adalah tingkat gengsi yang relatif rendah yang diberikan terhadap posisi pekerjaan mereka. Mereka bereaksi terhadap posisi pekerjaan mereka. Mereka bereaksi terhadap fakta ini. Reaksi sebaliknya justru disebabkan fakta bahwa dalam masyarakat Eropa Barat salah satu kebanggaan yang ditonjolkan orang secara terbuka dan menjadi sasaran perhatian publik adalah kebanggaan posisi yang diukur melalui pekerjaan. Biasanya kita mengira bahwa ketika masyarakat mulai berubah dari suasana dominan pedesaan dan pertanian ke suasana urban dan komunitas industri dan karena pembagian kerja yang dicapai biasanya dikaitkan dengan perubahan ini, maka mulai dikembangkan sistem tingkatan pekerjaan yang menyakitkan hati. Meski sebagian besar penduduk dipekerjakan pada pekerjaan yang biasanya kecil sekali atau tak mempunyai gengsi, namun persentase terbesar penduduk bagaimanapun merasa bahwa tingkat gengsi pekerjaan mereka sama tinggi atau lebih tinggi dari pada gengsi pekerjaan mayoritas penduduk di negeri itu. Dalam menjawab petanyaan khusus : “Dapatkah anda mengatakan bahwa gengsi pekerjaan anda lebih tinggi, sama atau lebih rendah dari pada gengsi pekerjaan mayoritas penduduk di negeri ini, “Orang Puertoriko memberikan jawaban yang ditabulasi di Tabel 4.



181



Tabel 4. Perbandingan Gengsi Pekerjaan Sendiri dengan Gengsi pekerjaan Mayoritas. Tahun



Lebih



Sama



Kurang



Total



Sekolah



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



0



40



17,4



100



43,5



90



39,1



230



100



1-4



48



19,6



139



56,7



58



23,7



245



100



5-8



53



21,3



147



59,0



49



19,7



249



100



9 - 12



45



28,7



104



66,2



8



5,1



157



100



13+



38



55,9



30



44,1



0



0,0



68



100



Total



224



23,6



520



54,8



205



21,6



949



100



Dengan menggabungkan orang yang merasa gengsi pekerjaannya lebih tinggi dengan orang yang merasa gengsi pekerjaannya sama dengan gengsi pekerjaan mayoritas, kita menemukan bahwa sekali lagi, lebih separoh golongan berpendidikan 0 tahun merasa beruntung. Jumlahnya meningkat tajam sehingga 76% golongan berpendidikan 1 – 4 tahun merasa beruntung disusul 80 % golongan berpendidikan 5 – 8 tahun. Sekali lagi ada lompatan ke tingkat atas dimana 95 % golongan berpendidikan SLA dan 100% berpendidikan Kolej merasa agak kaya. Lagi-lagi kita menemukan ketakcocokan antara fakta obyektif dan penilaian subyektif. Juga terdapat perbedaan struktur kelas yang tajam; dan sekali lagi adanya penyebaran perasaan kecukupan sosial, tak soal dimana posisi kelasnya. Lalu apa artinya bagi sejumlah besar buruh harian petanian yang mengatakan gengsi pekerjaan mereka sama besarnya dengan gengsi pekerjaan lain ? Tentu saja mereka tak bermaksud untuk mengatakan gengsi pekerjaan mereka sama dengan gengsi pekerjaan buruh harian di AS karena tingkatan pekerjaan buruh tani harian di Poertoriko ini tergolong diantara yang terendah bila bukan yang paling rendah gengsinya dari seluruh kategori pekerjaan. Disini masih ada petunjuk nyata tentang perasaan bahwa pekerjaan dinilai tinggi oleh anggota masyarakat yang lain;7 bahwa tugas melaksanakannya dianggap sama pentingnya dengan jenis pekerjaan lain manapun; bahwa sering menunjuk kepada Jibaro (petani) sebagai 182



tokoh sentral dalam kehidupan orang Puertoriko dimaksudkan oleh orang yang mengucapkannya. Bila ada seseorang di Puertoriko paling dihormati diantara semua orang lain, itu adalah Jibaro : petani miskin, sederhana. Betapapun romantisnya penghormatan ini, faktanya adalah bahwa di Puertoriko sering terjadi penegasan publik tentang peran penting jibaro, tentang martabat esensialnya, tentang manfaat pekerjaannnya dan tentang cara penting ia melambangkan Puertoriko. Sejak awal kekuasaan rezim politik yang sekarang, jibaro telah menduduki tempat terhormat dalam memikirkan dan merencanakan masa depan Puertoriko. Pengkomunikasian kekaguman terhadap jibaro ini telah berlangsung sangat efektif. Ini terlihat dalam cara-cara anggota kelas terendah ini meningkatkan semangat jauh di atas kondisi material mereka, memperkokoh identifikasi diri mereka sendiri dengan masyarakat dan perasaan mereka yang menilai kehidupan bertambah baik.



Penghormatan yang Diterima. Perasaan dihargai positif ini agaknya takkan ditemukan dimanapun selain dalam jawaban yang diberikan atas pertanyaan : “Sudikah anda mengatakan bahwa anda menerima penghormatan lebih besar, sama atau kurang dari yang diterima kebanyakan orang di negeri ini?” Konsep kehormatan harus difahami, merupakan istilah sentral dalam kosa-kata hubungan manusia di Puertoriko. Istilah kehormatan (respect) ini berkaitan erat dengan konsep dignidad atau berjasa dan ideologi dignidad menganggap semua orang sama berhak untuk mendapatkan predikat itu. Cara seseorang menunjukkan bahwa ia menyampaikan rasa hormat kepada orang lain adalah dengan berbuat penuh hormat kepada mereka. Secara negatif ini berarti bahwa orang tak pernah menuntut superioritas atau bertindak superior berdasarkan atas status; bahwa orang takkan menuntut hak lebih besar atas hal yang baik dalam kehidupan dibandingkan dengan orang lain; bahwa takkan ada orang yang mengatakan ia berhak atas apa yang ditawarkan kehidupan ini lebih banyak dari pada yang akan didapat orang lain. Jelaslah dalam masyarakat yang terstratifikasi dimana barang yang bernilai dalam kehidupan didistribusikan secara tak merata, disitu akan terdapat 183



ketegangan antara ideologi kesamaan nilai dan fakta ketimpangan. Ketegangan ini dapat bertahan pada tingkat minimum karena ada persetujuan bersama bahwa orang tak boleh menuntut posisi superioritas berdasarkan pemilikan barang dan jasa lebih banyak; orangpun tak dapat menuntut hak untuk berperilaku berbeda. Bila diperlukan, orang dapat melaksanakan kekuasaan berdasarkan jabatan superiornya dalam menyelesaikan urusan sebagaimana mestinya tetapi orang harus selalu memperlakukan bawahannya seolah-olah mereka adalah juga manusia yang sama bergunanya dalam artian mendasar, meski mereka mungkin kurang terampil dan kurang memiliki kekayaan nyata dan sederhana kehidupan materialnya. Tabel 5 menunjukkan, sebenarnya tak seorangpun dalam kelima kelas berpendidkkan itu yang mengatakan ia menerima penghormatan kurang dari pada yang diterima orang lain. Tabel



5.



Perbandingan



Jumlah



Penghormatan



yang



Diterima



dengan



Penghormatan yang Diterima oleh Mayoritas. Lbih



Sama



Kurang



Total



Tahun Sekolah



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



0



74



31,0



161



67,4



4



1,7



239



100



1-4



61



21,6



217



77,0



4



1,4



282



100



5-8



48



21,6



170



76,6



4



1,8



222



100



9 - 12



37



23,1



122



76,3



1



0,6



160



100



13+



28



41,2



39



57,4



1



1,5



68



100



Total



248



25,5



709



73,0



14



1,4



971



100



Orang berpendidikan 0 tahun hanya nomor dua dibawah orang berpendidikan Kolej yang menyatakan menerima penghormatan lebih besar dari pada orang lain dalam persentasenya. Di sini, perbedaan kelas yang telah demikitan jelas kelihatan pada masalah lain, sebenarnya lenyap. Perasaan dihargai oleh orang lain dan diperlakukan sesuai dengan martabat, tersebara keseluruh lapisan penduduk yang 184



sebenarnya tanpa menghiraukan perbedaan pemilikan materi yang nyata, sudah demikitan diakui oleh penduduk sendiri. Tuntutan atas persamaan kehormatan dipaksakan oleh hampir seluruh penduduk, meski fakta sementara menunjukan perbedaan kehidupan material.



Pentingnya Komunitas. Kini catatan tentang realisme sekali lagi harus diperkenalkan. Orang Puertoriko menyatakan mereka sebenarnya merasa sama-sama berguna. Pernyataan ini mereka dasarkan atas penerimaan doktrin tentang persamaan manfaat seluruh manusia, dengan mengabaikan posisi. Namun mereka bukan pemimpi disiang-bolong yang menolak mengakui fakta kehidupan. Mereka tidak menuntut persamaan pendapatan atau pendidikan karena mereka tahu fakta ini tak benar dan tak ada cara untuk tidak melihatnya. Mereka juga tak berupaya menyangkal bahwa dalam melakukan urusan komunitas, orang tertentu memang lebih penting ketimbang orang lain, posisi tertentu lebih vital ketimbang posisi mereka. Di sini tak dipertanyakan tentang persamaan atau ketimpang manfaat mereka sebagai manusia. Yang dipersoalkan adalah fungsi sosial mereka selaku mahluk sosial dalam masyarakat yang teratur. Demikitanlah terlihat jawabannya di Tabel 6 ketika ditanyakan : “Dapatkah anda mengatakan bahwa anda lebih penting, sama pentingnya atau kurang penting bagi kesejahteraan negeri ini ketimbang mayorias penduduk?” Orang Puertoriko menegaskan bahwa di negeri ini ada hirarki fungsi dan orang dapat meningkat dari pekerjaan kerah-biru ke pekerjaan kerah-putih, dari buruh harian pertanian ke profesi, terdapat tingkatan pentingnya terhadap kesejahteraan masyarakat. Bila tepat menekankan bagaimana perasaan penting ini didistribusikan secara berbeda dari perasaan bermanfaat dan dihormati, juga tepat menunjukkan bahwa lebih dari separoh kelas terendah merasa mereka sama penting atau lebih penting ketimbang mayoritas. Singkatnya, tak sedikitpun ketimpangan dalam lingkungan kehidupan mereka yang mirip dengan upaya memburuk-burukan diri sendiri. Bila ada kecenderungan menonjol, hanyalah fakta pekerjaan, pendapatan dan fungsi



185



sosial umum tidak diperhitungkan seperti biasanya terjadi dalam masyarakat berkesadaran tingkatan tergolong tinggi. Tabel 6. Perbandingan Arti Penting Diri Sendiri Atas Kesejahteraan Negeri dengan Arti Penting Mayoritas. Tahun



lebih



Sama



Kurang



Total



Sekolah



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



0



18



7,9



111



44,7



99



43,4



228



100



1-4



30



11,0



171



62,6



72



26,4



273



100



5-8



24



11,1



150



69,442



42



19,4



216



100



9 - 12



21



13,5



125



80,6



9



5,8



155



100



13+



24



34,8



44



63,8



1



1,4



69



100



Total



117



12,4



601



69,3



223



23,7



941



100



Tabel di atas menunjukkan, meski hanya dikalangan orang berpendidikan kolej persentase terbesar (34,8%) yang menyatakan sangat penting, namun banyak juga anggota keempat kelas dibawahnya yang tak segan-segan menyatakan sama pentingnya dengan mayoritas, meski jumlahnya tak sama di keempat golongan pendidikan itu. Keseimbangan yang telah digambarkan sebelumnya mesti digambarkan kembali. Ada tanda pelapisan perasaan pentingnya ini. Tetapi juga ada tanda pengakuan sama pentingnya dengan mayoritas diseluruh jenjang pendidikan itu. Disparitas dalam kondisi material dikesampingkan oleh fakta lebih dari 50% diseluruh tingkat pendidikan itu yang menegaskan bahwa mereka penting artinya bagi kesejahteraan masyarakat sebagaimana mayoritas rakyat.



Peluang Mendapatkan Sesuatu yang Berharga Dalam Kehidupan. Kuantitas semangat juang yang diperlihatkan orang tergantung pada besarkecilnya peluang untuk mendapatkan sesuatu yang berharga dari masyarakat. Tiap orang menemukan keseimbangan antara tugas yang harus ia kerjakan dan



186



kepuasan yang ia terima. Keseimbangan antara tanggungjawabnya dan hadiah untuk tiba pada penilaian tentang bagaimana kehidupan memperlakukan dirinya. Dalam hal ini jorang Puertoriko tak terkecuali. Dimensi psikologi warganegara ini, mula-mula diteliti dengan mengajukan pertanyaan : “Sudikah anda mengatakan bahwa anda mempunyai peluang lebih besar, sama atau lebih kecil ketimbang mayoritas orang dalam masyarakat ini untuk mendapatkan sesuatu yang berharga dalam kehidupan?” Seperti ditunjukkan Tabel 7, terdapat ciri-ciri perbedaan kelas dalam persentase orang yang merasa sama atau lebih beruntung dari pada orang lain dalam hal ini. Tetapi juga ada bukti bahwa hampir 50% anggota kelas terendah merasa telah berjuang sama giatnya dengan orang lain. Mengingat pengakuan tendahnya posisi mereka pada jenjang pendapatan dan pendidikan, lalu apa maksud dari persentase sangat besar anggota masyarakat itu ketika mengatakan sama besar peluang mereka dengan orang lain untuk mendapatkan sesuatu yang berharga dalam kehidupan ? Jelaslah, mereka artikan bahwa pendapatan atau pendidikan tak dapat digunakan untuk membeli barang sesuatu yang berharga yang belum tersedia untuk mereka. Mereka tentu mengartikan sesuatu yang lain : kesehatan, kasih-sayang anak mereka, kehormatan dalam komunitas mereka dan kesempatan kerja. Hasrat dan ambisi mereka tertuju pada sesuatu yang berharga dalam kehidupan, yang secara teoritis tersedia bagi setiap orang tanpa menghiraukan kondisi material atau gengsi sosial. Lalu bagaimana dengan orang yang lebih 50% yang tak merasa tak mempunyai peluang positif ? Kita hanya dapat menduga karena informasi yang tersedia sangat minim.



187



Tabel 7. Perbandingan Peluang Diri sendiri untuk mendapatkan sesuatu yang berharga dalam kehidupan dengan peluang mayoritas. Tahun



Lebih



Sama



Kurang



Total



Sekolah



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



0



16



6,9



91



39,4



124



53,7



231



100



1-4



31



11,0



138



49,1



112



34,9



281



100



5-8



25



11,4



125



57,1



69



31,5



219



100



9 - 12



29



18,7



113



72,9



13



8,4



155



100



13+



30



41,7



36



50,0



6



8,3



72



100



Total



131



13,7



503



52,5



324



33,8



958



100



Meski kita disini telah menunjukkan seperti dalam contoh lain dimana lapisan rendah dibagi berdasarkan pertimbangan mengenai betapa adilnya kehidupan, perubahan yang terjadi di Puertoriko berkaitan dengan perbedaan cara memandang kehidupan. Memang sebagian orang yang tak puas menunjuk kepada tipe kepuasan yang sama dengan kepuasan orang yang melaporkan diri mereka sendiri puas. Tetapi sebagian besar mereka tentu saja menunjuk kepada sesuatu yang dapat dibeli dengan uang. Dalam keadaan demikitan, mereka tentu saja melihat mereka berada dalam keadaan tak beruntung. Sebagai perbandingan, 92% orang berpendidikan kolej (sebenarnya seluruh kelompok) melaporkan perasaan beruntung atau lebih baik dari pada kebanyakan orang lain dalam peluang untuk mendapatkan sesuatu yang berharga dalam kehidupan. Dan ada gradasi persentase dengan perasaan positif : dibawah 46 % dari kelompok pendidikan 0 tahun, 60 % dari kelompok 1 – 4 tahun, 68% dari kelompok 5 – 8 tahun, dan 92 % dari kelompok berpendidikan SLA dan Kolej. Tentu saja ini adalah kesaksian bahwa banyak orang kelas rendah dapat merasakan bahwa kehidupan telah memperlakukan mereka secara baik meski mereka berada ditingkat terndah sumber daya, mereka juga nampaknya merasa ada peluang untuk mempebaiki kondisi material kehidupan mereka, merubah karakter kehendak dan nilai mereka dan tiba pada taraf hidup yang jauh lebih tinggi dengan tingkat kepuasan jauh lebih tinggi. 188



Pencapaian Ambisi. Sesuatu yang berharga dalam kehidupan memamerkan bahwa orang berpeluang mendapat hadiah biasa karena tanggungjawab. Tetapi agar mampu mencapai ambisi, orang memerlukan sesuatu yang melebihi dari dan di atas hasil biasa tanggungjawab sosial. Disini terkesan adanya ide tentang perjuangan dan keinginan.



Bila



semangat



juang



tergantung



pada



perasaan



berpeluang



mendapatkan sesuatu yang berharga dalam kehidupan, maka mungkin semangat juang akan ditemukan lebih besar dikalangan orang yang juga mengatakan mereka telah mampu mencapai ambisi mereka. Dalam pada itu, dapat dibayangkan kalangan terpelajar tentu berhasrat dan menggantungkan ambisi mereka melebihi hak yang biasa dan perasaan gagal mencapai ambisipun akan lebih besar dikalangan mereka ketimbang dikalangan lapisan lebih rendah. Hasilnya nampak ketika kita bertanya :” Sudikah anda mengatakan bahwa anda telah mencapai ambisi anda dalam kehidupan ini melebihi, sama atau kurang dari yang dicapai mayorias orang lain ?” Tabel 8. Perbandingan Tingkat Pencapaian Ambisi Sendiri dengan Pencapaian oleh Mayoritas. Tahun



Lebih



Sama



Kurang



Total



Sekolah



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



0



19



9,7



105



53,8



71



36,4



195



100



1-4



27



9,8



175



63,4



74



26,8



276



100



5-8



28



12,7



138



62,7



54



24,5



230



100



9 - 12



37



20,6



121



67,2



22



12,2



180



100



13+



18



30,5



29



49,2



12



20,3



59



100



Total



129



13,9



568



61,1



233



25,1



930



100



Data di Tabel 8 sebagian mendukung dan sebagian berlawanan dengan anggapan kita semula. Sebagian besar orang yang tak mencapai ambisinya adalah lapisan terendah. Prestasi tertinggi dilaporkan oleh orang berpendidikan tinggi. Nampak tidak benar 189



bahwa disparitas antara aspirasi dan prestasi makin besar untuk lapisan yang lebih terpelajar dan beruntung. Dalam pada itu disparitas kekecewaan dalam mencapai ambisi hampir tak setajam yang dilaporkan mengenai peluang untuk mendapatkan sesuatu yang berharga dalam kehidupan. Lapisan berpendidikan 0 tahun adalah persentase terendah dalam pencapaian ambisi. Persentase lapisan berpendidikan kolej sangat dekat dengan persentase lapisan berpendidikan 1 – 4 dan 5 – 8 tahun. Orang berpendidikan SLA melaporkan diri mereka sendirilah yang paling puas. Tetapi dua Tabel perbandingan lain (tabel 9 dan 10) memberikan kita pandangan berbeda. Dalam tiga lapisan mulai dari yang berpendidikan 5 – 8 tahun ke atas, lebih sedikit yang melaporkan mereka mendapatkan sesuatu yang berharga dalam kehidupan ketimbang mencapai ambisi mereka. Dikalangan berpendidikan SLA dan Kolej lebih banyak yang mendapatkan sesuatu yang berharga dalam kehidupan ketimbang yang mencapai ambisi mereka. Perbedaan antara perasaan positif mengenai sesuatu yang berharga dan pencapaian ambisi menurut lapisan (pendidikan) adalah sebagai berikut : Lapisan



Pencapaian Ambisi



0 Tahun



13 %, lebih



1–4



18 %, lebih



5–8



7 %, lebih



9 – 12



6 %, lebih



13 +



14 % kurang



Tabel 9 memberikan wawasan tambahan terhadap kualitas perasaan bahwa kehidupan telah adil. Temuan ini berasal dari jawaban atas pertanyaan; “Ambisi yang mana yang anda tunjuk ketika anda mengatakan anda telah mencapai dan belum mencapainya ?” Perbedaan lapisan belum dilaporkan dalam tabel itu karena hampir tak ada yang dapat dibicarakan di situ. Misalnya dalam masalah hubungan keluarga atau ambisi, lapisan terendah dan 1 – 4 tahun sama dengan lapisan SLA dalam persentase yang melaporkan mereka mencapai ambisi mereka. Persentase lapisan



190



terendah yang mengatakan puas dalam hal ekonomi sedikit lebih tinggi ketimbang lapisan berpendidikan kolej. Tabel 9. Jumlah dan Persentase Perbedaan “Ambisi” yang Tercapai dan Tak Tercapai. Jenis



Ambisi Tercapai



Ambisi



Jumlah



Ambisi tak Tercapai



%



Jumlah



%



Ekonomi



493



28,7



506



36,0



Keluarga



332



19,4



535



38,1



Pekerjaan



231



13,5



131



9,3



Mempunyai Anak 145



8,5



16



1,1



Kesehatan



138



8,0



32



2,3



Prestasi Anak



80



4,7



36



2,6



Anekaragam



296



17,9



150



10,7



1715



100,7



1406



100,1



Mengenai ambisi dalam kesehatan, persentase lapisan berpendidikan 0 tahun juga lebih tinggi ketimbang yang berpendidikan kolej. Hanya dalam pencapaian ambisi “pekerjaan” terdapat perbedaan nyata antara lapisan, sehingga lapisan berpendidikan kolej hampir dua kali lipat kepuasan lapisan terbawah. Lapisan yang di tengah menunjukkan skor menengah pula. Namun juga terlihat, total persen jawaban yang termasuk kategori ini adalah dibawah 15% disisi yang “mencapai” dan dibawah 1% disisi yang “tak mencapai”. Singkatnya dapat diikatakan, secara keseluruhan dan individual, perasaan bahwa kehidupan telah terpenuhi, bahwa ambisi seseorang telah dialami, terbagi secara agak seragam diseluruh struktur lapisan kelas. Sekali lagi, masing-masing lapisan pasti mempunyai tingkat aspirasi dan nilai yang berbeda yang menuju kepuasan hidup. Sama menariknya bahwa tingkat kepuasan utama kira-kira sama dengan tingkat ketidakpuasan utama. Masalah ekonomi, keluarga, dan pekerjaan adalah yang paling sering menjadi sumber kepuasan maupun ketidakpuasan. Dan meski hampir 20 % jawaban ambisi “tercapai” menunjuk pada pencapaian ambisi 191



“mendapatkan anak”, “memelihara kesehatan”, dan kesuksesan karir anak”, hanya 6% yang melaporkan ini sebagai ambisi yang tak tercapai. Sumber utama kepuasan adalah lebih tersebar di atas jarak lebih luas dari kejadian ketimbang sumber utama perasaan bahwa tujuan seseorang termasuk tak tercapai. Kini polanya sudah jelas. Ambillah sebagai dugaan minimum persentase kepuasan positif pada hadiah normal, yakin pada sesuatu yang berharga dalam kehidupan, gambarannya adalah jelas salah satu yang meningkatkan kekecewaan ketika orang menaiki anak tangga kelas. Berkaitan dengan harapan yang nyata, orang yang berada di kelas atas merasa kegagalannya lebih besar; ini benar meski menurut standard lain tak jelas dalam data, posisi kelas mereka tak menjadi masalah. Meski sumber mereka memungkinkan mendapatkan lebih banyak sesuatu yang berharga dalam kehidupan, sebaliknya mereka tidak mempunyai harapan. Sebaliknya, lapisan lebih rendah mengatakan bahwa meski mereka belum berada pada posisi untuk mendapatkan sebanyak mungkin sesuatu yang berharga dalam kehidupan, mereka telah berusaha keras dalam mencapai puncak ambisi mereka. Bagi lapisan bawah, ambisi dalam kehidupan, jelas mencerminkan sesuatu yang lain dari sesuatu yang berharga dalam kehidupan. Bagi lapisan atas, ambisi dalam kehidupan mereka jelas mencerminkan sesuatu yang jelas lebih dari sesuatu yang berharga biasa dalam kehidupan. Lapisan bawah tidak bercita-cita setinggi yang tersirat dalam ungkapan “sesuatu yang berharga dalam kehidupan”. Cita-cita lapisan atas jauh lebih tinggi dari pada tingkat itu. Akibatnya, perasaan tentang perampasan relatif tak dengan sendirinya tersusun dengan rapi melalui posisi lapisan seperti yang mungkin kita kira. Tetapi bila kita menilai kualitas kehidupan lapisan yang berbeda menurut persentase orang yang merasa lebih sejahtera dari pada orang lain, maka perasaan ini jelas masalah lapisan (kelas). Karena disini, seperti terhlihat di Tabel 8, terdapat kenaikan dari 10% lapisan berpendidikan 0 tahun ke 31% lapisan atas, tanpa mengalami penyimpangan sedikitpun.



192



Keadilan Kehidupan. Telah dicatat sebelumnya bahwa tigaperempat responden yang ditanyai mengatakan telah sama adilnya terhadap mereka dan terhadap orang lain; 10% lainnya atau lebih, merasa kehidupan bahkan lebih adil terhadap mereka ketimbang terhadap orang lain. Hanya agak kurang dari 15% yang merasa bahwa mereka belum diperlakukan secara adil. Kini bila data dilihat dari sudut pandang lapisan yang berbeda, orang melihat sangat kecil pengaruh perbedaan lapisan terhadap perasaan tentang keadilan kehidupan (lihat tabel 10). Tabel 10. Bagaimana Adilnya Kehidupan terhadap seseorang dibandingkan dengan keadilan Kehidupan bagi mayoritas. Tahun



Lebih



Sama



Kurang



Total



Sekolah Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



0



26



7,8



262



78,2



47



14,0



335



100



1-4



24



8,7



205



74,3



47



17,0



276



100



5-8



23



10,4



168



76,0



30



13,6



221



100



9 - 12



23



14,9



118



76,6



13



8,4



154



100



13 +



28



40,6



35



50,7



6



8,7



69



100



Total



124



11,8



788



74,7



143



13,6



1055



100



Terdapat kepuasan umum dan sangat sedikit keluhan dari siapapun. Satusatunya perbedaan lapisan ditemukan dalam 40,6% lapisan berpendidikan kolej yang merasa kehidupan telah lebih adil terhadap mereka. Tetapi 83% adalah jumlah terkecil dalam tiap lapisan yang merasa pantas mengenai keadilan kehidupan. Bila taksiran menyeluruh ini dapat dijadikan tanda integrasi sosial dan semangat juang orang Puertoriko, maka kita dapat mengatakan bahwa inilah populasi yang kesempurnaan kesetiaan terhadap masyarakat mereka, benar-benar dapat dihitung. Tak soal ditingkat mana kesenangan atau penderitaan material yang mereka alami, yang jelas ada perasaan bahwa mereka telah diperlakukan secara adil. 193



Data mengesankan adanya tiga dimensi psikologi lapisan di Puertoriko (lihat tabel 11). Dimensi pertama mengenai pandangan seseorang tentang posisinya pada anak tangga status tertentu: pendapatan, pekerjaan, pendidikan dan warna kulit. Dimensi kedua, berkisar di sekitar pandangannya tentang kesejahteraan diposisinya ini dibandingkan dengan orang lain di Puertoriko : apakah kesejahteraannya lebih baik, lebih buruk atau sama dengan mayorita ? Ini merupakan hasil evaluasinya atas posisi dimana ia menempatkan dirinya sendiri. Dimensi ketiga, citra mengenai penilaian individu bersangkutan tentang konsekuensi keberadaannya di posisi yang didudukinya itu. Dengan contoh ungkapan, orang Puertoriko yang disatudi di sini mampu mengatakan mereka berada ditangga ketiga terbawah jenjang pendapatan; dengan berada disitu, mereka relatif merasa sama sejahteranya dengan mayoritas penduduk di negeri ini; dan selain masalah posisi atau pendapatan, mereka menerima penghormatan dari tetangga mereka sebanyak yang diterima mayoritas orang di negeri ini, bila tak lebih besar lagi. Tiga dimensi citra diri ini dapat dikatakan (1) anak-tangga posisi, (2) penilaian atas posisi, dan (3) evaluasi pribadi. Di posisi mana aku berada ? Mengapa aku berada di situ, dibandingkan dengan posisi orang lain ? Tabel 10. Seberapa Adil Kehidupan terhadap Seseorang Dibandingkan Dengan Keadilan Kehidupan Terhadap Mayoritas. Tahun



Lebih



Sama



Kurang



Total



Sekolah Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



Jumlah



%



0



26



7,8



262



78,2



47



14.0



335



100.0



1-4



24



8,7



205



74,3



47



17,0



276



100.0



5-8



23



10,4



168



76,0



30



13,6



221



100.0



9-12



23



14,9



118



76,6



13



8,4



154



100.0



13 +



28



40,6



35



50,7



6



8,7



69



100.0



Total



124



11,8



788



74.7



74.7



13,6



1055



100.0



194



Sebagai seorang manusia, bagaimana cara aku menilai hubungan sosialku, kekuasaan pribadiku, penghormatan yang diberikan kepadaku dan peranku terhadap komunitas; seberapa baik aku telah berbuat dalam kehidupan dan seberapa adil kehidupan memperlakukan aku ? Sebuah kecenderungan nyata akan ditempuh disepanjang penilaian : Semakin tak jelas petunjuk (makin kurang dapat dibuktikan secara obyektif peertimbangan atau penilaian) makin kurang sesuai dengan kondisi material sebenarnya. Contoh kasusnya adalah orang miskin, buta huruf, petani tak berlahan, yang bersikeras bahwa kehidupan sama adilnya terhadap dirinya seperti terhadap orang lain dan ia mendapat penghormatan sama banyaknya dengan yang didapat orang lain dan mempunyai pengaruh dalam urusan komunitas sama besarnya dengan pengaruh yang dipunyai orang lain. Orang dapat berada di dasar anak tangga dalam pendapatannya, tetapi berada di puncak anak-tangga dalam hubungan pribadi yang ia miliki, katakanlah separoh rakyat miskin Puertoriko. Inilah gambaran dalam urutan tingkatan persentase orang yang mengatakan mereka sama sejahteranya atau lebih sejahtera dari pada orang lain dalam berbagai dimensi. Ketegangan bercabang dua dalam kehidupan orang Puertoriko, menghadang kita. Disatu pihak sejumlah besar rakyat yang agak miskin, meski sumber daya material sangat sedikit, namun merasa agak sejahtera dalam kehidupan. Biasanya reaksi lunak terhadap kondisi serba kekurangan demikitan melemahkan perasaan tak puas yang membantu menciptakan perubahan sosial dan sebagai akibatnya melemahkan harapan terhadap kondisi material yang lebih baik dari kehidupan. Tetapi orang yang sama yang menganggap diri mereka beruntung dan sejahtera itu, juga terbukti sangat berhasrat meningkatkan kondisi material mereka, sangat ingin menyekolahkan anak mereka, sangat berhasrat mendapatkan keterampilan dan pengetahuan yang sangat diperlukan untuk meningkatkan kondisi material itu. Bagaimana perjuangan ini dapat sesuai dengan perasaan yang jelas puas terhadap cara hidup dan terhadap urusan masyarakat mereka ? Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketegangan bercabang dua ini. Pertama, orang Puertoriko jelas memisahkan satu kumpulan sesuatu yang berharga dalam kehidupan dari yang lain, memisahkan satu kumpulan ambisi kehidupan dari yang lain. Mereka tidak 195



memburuk-burukkan manfaat pendapatan, pendidikan dan kesenangan hidup. Dilain pihak mereka tak menggunakan pendapatan, pendidikan dan kesenangan hidup ini sebagai satu-satunya kriteria kemanfaatan hidup. Dengan demikian, meski mereka mengetahui mereka sebelumnya tak cukup kaya, namun mereka menyangkal keadilan kehidupan. Ungkapan merka yang kedua, menunjuk kepada sesuatu yang tak dapat dibeli dengan uang. Desakan mereka bahwa mereka mempunyai kehormatan misalnya berasal dari perasaan mereka yang tak diragukan lagi tentang pentingnya harga diri mereka. Semua orang mempunyai harga diri sepanjang mereka bermoral dan sopan dan harga diri itu tak punya tingkatan. Dalam memproyeksikan citra-diri mereka ini, mereka memberikan kesaksian terhadap sekumpulan nilai yang berasal dari generasi lebih tua yang telah mereka jadikan kebiasaan. Di sini mereka tak menunjuk pada nilai yang biasanya dihubungkan dengan pasar dan ukuran uang dari manfaat manusia. Pada waktu bersamaan, mereka bukan tidak tahu betapa pentingnya keterampilan untuk mencapai sukses dalam persaingan di pasar yang kini semakin menjadi ciri-ciri dominan masyarakat mereka. Selanjutnya,



perasaan



kesetaraan



dalam



kehidupan



tipe



komunitas,



memberikan kesaksian atas fakta bahwa mereka telah menceritakan dan mereka yakin bahwa upaya seluruh manusia adalah sama pentingnya untuk kesejahteraan masyarakat; suara tentang seluruh manusia akan dianggap sama, mereka rasakan sepanjang pemerintah yang sekarang memperhatikannya dalam membuat keputusan sosial. Bahwa kebanyakan mereka, termasuk yang hidup paling sederhana, merasa mereka mempunyai hubungan pribadi yang erat dengan pemimpin yang dekat pula secara pribadi dengan mereka, Gubernur Muroz Marin tercermin dalam jawaban mereka atas pertanyaan mengenai pengaruh relatif mereka. Yang tersebar luas diseluruh segmen masyarakat Puertoriko adalah perasaan bahwa mereka mempunyai akses ke sumber kekuasaan terutama dikalangan Jibaros, bahwa petisi mereka akan didengarkan, bahwa kesejahteraan mereka adalah yang paling penting dalam fikiran dan rencana orang yang memimpin urusan dalam masyarakat.



196



Tetapi kini kita tak dapat melupakan fakta bahwa pengamatan ini menunjukkan terdapatnya ketimpangan antara berbagai segmen masyarakat Puertoriko. Hampir 35% merasa bahwa kehidupan telah adil terhadap mereka tetapi sama pentingnya bahwa 15% merasa sebaliknya. Dilihat dari sudut perubahan sosial yang direncanakan, fakta ini adalah sangat strategis karena yang 15% ini terkonsentrasi secara tak seimbang di lapisan bawah. Demikitan pula orang yang merasa tidak puas karena ambisi mereka tak terwujud, tak puas karena merasa dilecehkan komunitasnya, tak puas karena merasa gengsinya rendah dan pengaruh prbadinya tidak berarti dan yang merasa berang sesuatu yang berharga dalam kehidupan lewat begitu saja dihadapan mereka tanpa berpeluang menggapainya, kesemuanya ini terkonsentrasi di lapisan bawah. Orang inilah, jumlahnya antara seperempat hingga sepertiga rakyat Puertoriko, yang merasa posisi mereka dalam kehidupan tercemarkan dan direndahkan. Atau sekurangkurangnya merasa karena posisi material mereka lebih sedikit menyebabkan posisi mereka lebih rendah pada anak-tangga kehormatan, pengaruh dan arti pentingnya bagi komunitas. Inilah orang yang menurut keterangan mereka sendiri, telah menjadi korban ketimpangan material. Tetapi meski lebih dari 25% mereka sebenarnya merasa terhormat dan berpengaruh. Pada dasarnya lebih sedikit yang merasa bahwa ini adalah tanda ketakadilan kehidupan dalam masyarakat mereka. Tetapi sekurangkurangnya yang 15% itu merasa telah teraniaya.



197



Tabel 11. Distribusi Perasaan Sejahtera. % orang yang menegaskan



Item



dirinya



merasa



berunntung. a



Keadilan kehidupan



(Pe E)



Tingkat pencapaian ambisi



(Pe E)



72,9



Perannya bagikomunitas



(Pe E)



72,7



Gengsi pekerjaan



(Po E)



70,5



Posisi sosialb



(Po E)



67,0



Pengaruh pribadi



(Pe E)



65,2



Warna kulit



( L )



63,7



Peluang pendapatan barang berharga



(Pe E)



60,7



Posisi tatal



( L )



51,3



Pekerjaan



( L )



46,2



Pendapatan



( L )



39,8



Pendapatan



(Po E)



38,1



Pendidikan



( L )



37,5



Pendidikan.



(Po E)



24,5



a.



b.



84,4



L = anak-tangga; Po E = Penilaian posisi; Pe E= penilaian pribadi, Pertanyaan mengenai anak tangga meminta individu untuk menempatkan dirinya pada puncak, menengah atau dasar anak tangga; pertanyaan Po E dan Pe E meminta individu mengatakan apakah ia lebih,sama atau kurang dibandingkan dengan mayoritas. Penilaian yang menguntungkan pada pertanyaan tentang anak-tangga diberi skor bila individu mengatkan posisinya berada di atas atau ditengah. Berdasarkan pertanyaan Po E dan Pe E, penilaian menguntungkan diskor bila individu mengatakan ia lebih sejahtera. Item ini tak dianalisis di dalam buku ini.



Ini harus dianggap sebagai inti ketidakpuasan yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan pengetahuan terbaik yang tersedia, yang 15% ini pada dasarnya tak jauh berbeda dari lapisan sosial lain yang lebih puas yang cenderung saling berlawanan satu sama lain dalam masyarakat tradisional yang menekankan pada pemilikan lahan dan kekayaan, yang menghasilkan masyarakat dua kelas yang jelas, sebagian kecil orang kaya dan sebagian besar orang miskin. Dalam masyarakat ini orang dapat merasa berguna tanpa menghiraukan perbedaan 198



material yang tajam antara mereka sendiri dan orang lain. Disini penekanan pada martabat manusia dipertahankan sebagai cara berfikir dominan, mengabaikan dan menutupi batas diferensiasi sosial lain yang mungkin menarik perhatian. Tetapi berdampingan dengan orientasi tradisional ini terdapat orientasi lain yang mulai muncul dalam masyarakat moderen Puertoriko. Orientasi baru ini makin jelas kelihatan. Pemilikan tanah tak lagi menjadi kriteria utama status sosial. Kini orang baru tampil kedepan dengan kekuasaan yang diberikan kepada mereka melalui proses politik baru, melalui ketrampilan tinggi yang didapat di dalam lembaga pendidikan formal, melalui pemilikan alat prouksi industri dan melalui posisi menguntungkan dalam industri jasa. Dengan kesadaran sendiri pemeintah Puertoriko berupaya mendidik eselon baru ini: menciptakan manusia yang menghargai usaha baru Dunia Barat dan berbakat dalam memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa. Partisipasi dalam kehiudpan yang diciptakan oleh orang ini memerlukan melek huruf. Dengan demikitan, sistem nilai baru tanpa terelakkan muncul dengan sendirinya dimana orang yang tanpa pendidikan, keterampilan, pekerjaan dan pendapatan tinggi, takkan berhasil menempati posisi yang berguna. Dua tipe masyarakat ini jelas sama-sama berada dalam suasana tegang. Tanpa kelangsungan nilai yang lebih tradisional dan penguatan tak memenuhi syarat tentang manfaat manusia, orang mungkin mengira timbulnya ketakpuasan berskala luas terhadap proses sosial baru dan akibatnya bagi kriteria hubungan sosial. Dalam pada itu, munculnya tatanan sosial baru dijaga oleh tetangganya ditingkat prestasi pendidikan atau pendapatan mereka, tetapi mereka bereaksi jauh berlawanan dengan fakta umum ini. Masalahnya lebih dari sekedar kurang atau lebih tidak puas. Orang lain puas. Orang yang 15% ini tak puas. Garis pemisahnya lebih tajam dari pada gagasan tentang kecenderungan ketidakpuasan yang dinyatakan secara tak langsung. Ketajaman pembagian ini ternyata penting dalam setiap perencanaan perubahan sosial yang bertujuan mengurangi jumlah orang yang tak puas dan memperbanyak hadiah sosial yang sekarang tak menguntungkan.



199



Dikalangan orang ini banyak yang tak dapat berpandangan dobel terhadap kehidupan yang dilukiskan sebelumnya: pandangan orang yang terampas dari pendapatan, pendidikan dan dari kriteria status lain dalam dunia pasar dan uang yang baru yang tersisihkan ketika individu mulai menilai seberapa positif ia rasakan kehidupannya dan masyarakatnya. Malahan ini mungkin menimbulkan rasa ketakpuasan baru: orang yang menerima pendapatan, pendidikan dan pekerjaan sebagai tanda utama manfaat manusia dan keberhasilan perjalanan kehidupannya dan orang yang karenanya merasa terhina dan mengabaikannya dalam hubungan dengan cara hidup yang telah meningkat dan memberikan perhatian pada orang lain. Dikalangan orang yang merasa tak puas ini tentu juga terdapat sejumlah orang yang tak dapat merasakan kompensasi melalui janji-janji dan penenteraman hati oleh teman dan oleh anggota kelas atas, juga tak dapat ditenteramkan oleh perhatian khusus yang diberikan kepada mereka dalam rencana dan pidato resmi berisi janji perbaikan kehidupan mereka. Hubungan sosial yang sopan diantara berbagai lapisan sosial yang ada nampaknya membantu orang dari lapisan bawah untuk merasa tenteram mengenai manfaat mereka bagi masyarakat. Tetapi sekurang-kurangnya sebagian mereka jelas tak menemukan ketenteraman yang cukup dalam hubungan sosial yang sopan untuk mengejar perasaan terampas relatif mereka. Mungkin tak dapat dikatakan bahwa ada perbedaan jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana orang merasakan mengenai masyarakatnya dan bagaimana ia mendudukkan dirinya sendiri pada berbagai dimensi posisi dan hubungan sosial, mengungkapkan bahwa pemerintahan demokratis adalah cara penting dan yang menunjukkan perhatian besar terhadap nasib rakyat di semua lapisan. Penguasa baru ini sering dan secara terbuka menyatakan perhatiannya terhadap kesejahteraan rakyat di semua lapisan. Bila ada kelompok tertentu yang diberi perhatian khusus, itu adalah lapisan bawah. Perhatian ini mendapat pernyataan konkrit dalam berbagai cara diantaranya tindakan kesejahteraan yang dirancang secara khusus untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan lapisan bawah yang tertinggal ini. Dengan tindakan demikitan, keuntungan ekonomi yang



200



tumbuh dari cara produksi industri baru dialokasikan secara lebih merata dibandingkan dengan distribusi kekayaan nasional di masa lalu. Arti penting tindakan kesejahteraan ini hampir tak dapat dinilai terlalu tinggi. Tanpa



tindakan



itu,ideologi



yang



menekankan



pemanfaatan



lapisan



berketerampilan rendah dan berpendidikan rendah ini nampaknya hanya akan menjadi ideologi kosong dan hasutan sia-sia. Tetapi ketika ideologi dilaksanakan secara nyata dan dengan cara yang segera dan langsung dapat dirasakan, maka serentetan kekuatan akan tersusun, akan berperan sebagai penyeimbang terhadap perasaan terampas dan ketakmampuan diri lapisan bawah dalam sebuah tatanan masyarakat industri yang baru muncul. Tatanan industri yang tumbuh dengan melompat dan melambung di Puertoriko, ditandai oleh prioritas yang diberikan pada pendidikan dan keterampilan dan oleh alokasi pendaptan yang timpang sesuai dengan perkiraan tingkatan pentingnya peran fungsional. Dalam tatanan industri demikitan, buruh harian tak terampil dan buta huruf apakah disektor pertanian atau industri tentu saja akan mendapatkan imbalan kerja paling rendah diantara seluruh segmen tenaga kerja. Pengalaman dilecehkan pada anak-tangga gengsi



dan relatif



terampas dari kekayaan material; adalah kombinasi baru untuk lapisan bawah Puertoriko. Tanpa kekuatan mengalihkannya, pengalaman ini terus-menerus akan memperlemah semangat juang dan mengurangi identifikasi mereka dengan masyarakat. Nilai-nilai masyarakat yang lebih tradisional yang masih bertahanlah yang membantu lapisan miskin ini menemukan perasaan berguna mereka bagi diri mereka sendiri dan bagi masyarakat baru mereka. Sementara pemerintah dengan sengaja mencoba mempertahankan sebagian nilai tradisional dan secara serentak bergerak cepat dan efisien mengatur pelepasan nilai baru yang dihasilkan oleh pengenalan industri dan psikologi pasar hubungan sosial. Dapatkah Puertoriko mengembangkan model transisi sosialnya sendiri ? Dengan model ini dapatkah sebuah masyarakat pertanian dirubah dengan cepat dan efisien menjadi gabungan komunitas pertanian dan industri, dengan melestarikan secara utuh sebagian nilai tradisional mendasar ? Mungkinkah 201



sebagian nilai kuno yang terbaik itu dipadaaukan dengan cara-cara baru yang sangat



didambakan



itu



tanpa



harus



membayar



terlalu



mahal



dengan



mengorbankan efisiensi ? Penekanan terhadap kesamaan mendasar manfaat seluruh manusia sebagai manusia, dan desakan pada partisipasi demokratis dalam membuat keputusan dan pembagian kekayaan nasional, tentu memberikan kontribusi yang berarti disetiap hal dalam transformasi sosial di Puertoriko.



Catatan Kaki 1. Sebagian bahan perbandingan, terutama dari suasana di AS, liha W. Lioyd Warner, et. al., Social Class in America (Chicago : Science Research Associates, 1949); A. B. Hollingshead, Elmtowns Youth (NY) John Wiley & Sona. Inc., 1949); Herbert Hyman, “The Value System of Different Classes : A Social Psychological Contribution to the analysis of stratification”, dalam R. Bendix dan S. M. Lipset, Class, Status and Power (NY : The Free Press, 1953 : 426 – 42); dan S. M. Lipset, Political Man (Garden City, NY : Doubleday & Co., 1960). 2. Meski sebelumnya kami berupaya menahan diri untuk tidak memperhatikan secara langsung aspek politik dari stratifikasi di Puertoriko. Padahal banyak sikap politik yang tersirat terkandung dalam pernyataan tentang kesetiaan dan identifikasi yang sangat relevan dengan organisasi politik, meski secara tak langsung.



Termasuk



misalnya



perasaan



tentang



betapa



pentingnya



berpartisipasi dalam proses politik seperti memberikan suara dalam pemilihan umum. 3. Asimetris mencolok antara fakta ketimpangan obyektif dan kesamaan persepsi tentang masyarakat dan tindakannya ini merupakan ciri-ciri kestabilan sentral sistem sosial Puertoriko. 4. Perlu diingat, data ini mengesankan bahwa berdasar kondisi khusus, gagasan dan sikap orang dapat berubah secara signifikan lebih cepat dari pada



202



perubahan gagasan dan sikap ini dapat menjadi faktor penting dalam menciptakan kondisi material baru. 5. Kami tak dapat memastikan apakah perbandingan ini dibuat penduduk. Kami mengira tak ada cara untuk memahami hasilnya ini kecuali merujuk kepada persepsi yang dikemukakan kelompok. 6. Di sini kami menemui sikap dan citra tertentu yang berkaitan langsung dengan struktur politik meski tak memberikan deskripsi obyektif apapun tentang distribusi kekuasaan yang sebenarnya. 7. Menurut hemat kami, prospek perkembangan selanjutnya di Puertoriko sangat tergantung pada kelanjutan perasaan penting yang dinikmati persentase terbesar segmen penduduk yang relatif berpendidikan rendah dan paling miskin.



203



Bab 4 Peluang Hidup



Ada dua akibat utama yang berasal dari perbedaan hadiah yang diterima orang karena posisi bertingkat mereka apakah hadiah material seperti gengsi peluang hidup dan gaya hidup. Peluang hidup terutama menunjuk pada peluang untuk mewujudkan “norma” kesejahteraan, termasuk kesehatan fisik dan mental, umur panjang, prestasi pendidikan dan pekerjaan dan sebagainya. Salah satu perbedaan harapan tradisional antara kelas sosial dan kasta adalah jumlah anggota keluarga yang diharapkan. Harapan biasa adalah bahwa adanya hubungan terbalik antara posisi kelas dan jumlah anggota keluarga sehingga makin tinggi atau makin baik kehidupan keluarga, makin sedikit jumlah anak dalam keluarga bersangkutan. Dalam menganlisis kecenderungan fertilitas kelas sosial di negara Barat, Dennis H. Wrong mula-mula meneliti tiga periode berbeda dimana kecenderungannya berubah-ubah. Dalam periode ketiga dan terakhir, yakni periode bom-bayi setelah 1940, Wrong menunjukkan bahwa penurunan angka kelahiran yang berlanjut sejak pertengahan kedua abad 19 telah terbalik dikebanyakan negara Barat dan segera terjadi keseragaman jumlah anggota keluarga dilihat dari berbagai strata sosioekonomi. Ini sebagian disebabkan “makin besarnya partisipasi golongan berstatus sosial tinggi yang kurang subur dalam bom-bayi dan karena meningkatnya angka perkawinan dikalangan kelas atas yang kurang subur dan yang biasanya lambat kawin ini. Wrong mengemukakan sejumlah kemungkinan yang menyebabkan makin menurunnya anggota keluarga diantara kelas sosial yang berbeda itu, termasuk meningkatnya aspirasi mobilitas dikalangan golongan berstatus sosial rendah. Meski tak biaSa difikirkan probalitas perceraian sebagai kemungkinan statistik yang dapat diramalkan, namun seperti ditunjukkan William Goode adalah benar 204



bahwa ada perbedaan terus-menerus dan signifikan dalam angka perceraian dikalangan kelas sosio-ekonomi yang berbeda dikebanyakan negara dimana pendidikan



atau



pendapatan



atau



gengsi



pekerjaan



digunakan.



Goode



menghipotesiskan bahwa perbedaan angka perceraian ini berasal dari perbedaan nilai, ketegangan internal, alternatif di luar perkawinan, dukungan tekanan dari jaringan hubungan sosial yang relevan, ketergantungan ekonomi isteri, dan tingkat komitmen ekonomi masa depan yang dibuat di awal perkawinan orang berstatus sosial tinggi. Goode menyatakan, perbedaan angka perceraian ini kemungkinan akan berkurang dimasa depan karena perceraian makin mudah diperoleh, nilai yang menyokong perceraian meningkat dan perbedaan kelas menurun. Kemungkinan di masa depan juga benar perceraian akan dibayangkan sebagai bagian dari “sistem bercumbu” yakni bagian dari proses “penyaringan” analog dengan pola pacaran remaja. Karena angka kelahiran terpola menurut posisi kelas sosio-ekonomi, angka kematian pun terpola menurut posisi kelas sosio-ekonomi. Hal ini ditunjukkan oleh I. M. Moriyama dan L. Guralnick dalam artikel mereka tentang perbedaan angka kematian menurut kelas sosial dan pekerjaan. Mereka menunjukkan kesukaran dalam membuat taksiran akurat tentang perbedaan angka kematian menurut kelas pekerjaan ini. Dengan menggunakan data yang tersedia, mereka kemudian menunjukkan bahwa ada kecenderungan berubah-ubah sepanjang waktu meski kebanyakan mengarah ke angka kematian makin tinggi dikalangan kelas pekerjaan lebih rendah. Namun juga ada bukti bahwa perbedaan angka kematian antara kelas pekerjaan makin menyempit, sebagian karena perbaikan jaminan dan standard kesehatan untuk semua kelas pekerjaan, pencegahan kematian dari penyakit menular dan menurunnya angka kematian dikalangan orang berusia lebih muda. Menurut penulis data tak tersedia untuk membuat pernyataan definitif tentang angka kematian ini, juga tak ada data untuk menganalisis faktor yang menyumbang terhadap perbedaan yang ditemukan itu.



205



Kecenderungan Fertilitas Kelas Oleh : Dennis H. Wrong



Meski angka kelahiran menurun diseluruh negara Barat sejak pertengahan abad 19, namun penurunannya tidak sama diantara berbagai golongan penduduk antara di negara bersangkutan. Takaran fertilitas untuk unit-unit nasional menyembunyikan perbedaan fertilitas berbagai golongan nyata dalam masyarakat urban industrial. Perubahan pola perbedaan ini sangat nyata ditahap akhir transisi demografis dari angka kelahiran dan kematian tinggi ke yang rendah yang dialami negara Barat di abad yang lalu. Ketimbang perubahan angka kelahiran, perubahan angka kematian lebih menjadi faktor menentukan pertumbuhan penduduk dalam masyarakat yang angka kematiannya telah dapat dikendalikan melalui pemakaian obat-obatan dan perawatan kesehatan publik moderen. Pakar demografi sering membicarakan perbedaan fertilitas sebagai masalah tersendiri ketimbang melihatnya dalam konteks historis lebih luas transisi demografis masyarakat Barat. Seperti dijelaskan J. W. Innes sebenarnya telah ada studi tentang kecenderungan perbedaan fertilitas ini yang membandingkan dengan sejumlah studi yang benar-benar membuktikan adanya perbedaan golongan fertilitas di satu masa tertentu. Tulisan ini membahas perbedaan fertilitas menurut kelas sosial ; perbedaan fertilitas menurut kelas ini agaknya adalah yang paling merembes dari semua perbedaan golongan dalam masyarakat maju. Dengan menghimpun data yang tersedia menurut periode historis tentang kecenderungan perbedaan fertilitas menurut kelas sosial di beberapa negara Barat dimaksudkan untuk menyajikan gambaran sistematis tentang cara berkembangnya perbedaan fertilitas menurut kelas sosial ini di zaman moderen. Masalah pembagian penduduk ke dalam kelas sosioekonomi yang semula berbeda dari satu pengertian sosiologi ke pengertian yang lain, telah dibahas panjang-lebar 206



oleh sosiolog. Tetapi pakar demografi biasanya bekerja dengan data resmi yang hanya menyediakan informasi terbatas tentang ciri-ciri penduduk. Karena itu mereka tak mampu menggunakan indek kelas yang lebih halus yang dikembangkan sosiolog dan terpaksa menggunakan indek ciri-ciri obyektif yang relatif sederhana seperti pendapatan, pekerjaan atau pendidikan. Sensus menyediakan data ini mudah digabungkan dengan bentuk penggolongan penduduk yang lebih luas. Bagaimana pun pekerjaan adalah indek kelas yang sempurna. Dalam golongan pekerjaan tertentu terdapat banyak sekali variasi pendapatan dan pendidikan dan tak satupun diantara ciri-ciri ini yang dapat diabaikan bila hendak sampai kepada pengukuran kelas yang obyektif secara memadai. Bagaimanapun kebanyakan sosiolog sependapat bahwa jika ditetapkan dengan derajat kekhususan yang cukup, pekerjaan dapat menjadi indek tunggal terbaik yang dapat digunakan dalam penelitian statistik berskala luas. Sistem klasifikasi pekerjaan mustahil dibandingkan secara internasional karena gagasan yang digunakan dalam membuat sistem klasifikasinya secara nasional berbeda-beda. Sistem klasifikasinya sangat berbeda baik mengenai jumlah kelompok pekerjaan yang dibedakan maupun mengenai kriteria klasifikasi yang digunakan. Lagi



pula



sebagian



pemikiran,



menggunakan



sistem



klasifikasi



yang



menghubungkannya dengan kelas atau dengan skala status sosio-ekonomi. Sering hanya kelompok industri besar saja yang dibedakan atau tenaga kerja hanya dibagi menurut status pekerjaan dalam arti dibagi menjadi : majikan, bekerja sendiri, pekerja yang digaji dan buruh upahan. Akibatnya perubahan yang mungkin telah terjadi adakalanya dikaburkan. Apa yang menjadi ukuran kelas yang benar adalah juga menjadi ukuran fertilitas yang benar. Angka fertilitas mutakhir baik yang kasar maupun yang halus, rasio fertilitas dan angka kelahiran kumulatif berdasarkan laporan tentang kelahiran dalam menjawab pertanyaan sensus yang menanyakan jumlah anak yang pernah dilahirkan kepada wanita menurut kategori penduduk tertentu. Semuanya sudah lazim tetapi ukuran berbeda telah digunakan dalam studi perbedaan fertilitas. Studi belakangan ini paling banyak menggunakan angka kumulatif 1) terutama untuk wanita yang tahun207



tahun usia beranaknya sudah lewat. Angka kumulatif ini sangat berguna untuk menstudi kecenderungan yang memungkinkan membandingkan kemampuan beranak golongan wanita yang lahir atau kawin ditahun berbeda. Pemikiran yang dimaksukkan dalam survei telah dipilih terutama karena memiliki data yang sangat memadai tentang kecenderungan perbedaan fertilitas menurut kelas. Baik sumber primer maupun sekunder telah digunakan untuk Inggeris, AS, Norwegia, Swedia, Perancis dan Australia. Jerman, Swedia, Denmar dan Kanada dibahas sambil lalu, kepercayaan sebagian besar didasarkan atas sumber sekunder. Kecenderungan dan pola perbedaan fertilitas menurut kelas dibahas untuk masingmasing tiga periode besar. Perantara seperti penundaan perekawinan, pengendalian kelahiran dan sebagainya yang nampaknya menyebabkan perbedaan fertilitas kelompok, dibahas secara rinci. Periode Pertama : Dari Awal Penurunan Angka Kelahiran Hingga 1910 Sebelum terjadi penurunan umum angka kelahiran, fertilitas di Eropa Barat dan AS berbeda menurut kelas dan cenderung berhubungan terbalik dengan tingkatan kelas tetapi perbedaan yang relatif stabil itu paralel dengan stabilitas fertilitas di tingkat nasional. Fertilitas mulai menurun tajam dikebanyakan negara Barat ditahun 1870-an atau 1880-an dan kecenderungan umum perbedaan fertilitas menurut kelas dari periode ini hingga menjelang PD I relatif stabil. Ketika angka kelahiran nasional menurun, perbedaan fertilitas menurut kelas sangat meningkat. Hubungan terbalik antara fertilitas dan status sosio-ekonomi yang sebelumnya menurunkan angka kelahiran, hanya jelas untuk golongan yang berada di titik ujung tertinggi dan terendah skala sosio-ekonomi yakni pada golongan pekerja urban non-manual tertinggi di satu pihak dan pada buruh industri tak terlatih di lain pihak. Kedua golongan ini makin dalam dan makin mantap perbedaan fertilitasnya sebagai dua golongan dalam struktur kelas. Perbedaan fertilitas antara pertanian dan nonpertanian juga melebar dikebanyakan negara. Meski seluruh golongan pekerjaan dan ekonomi dipengaruhi oleh penurunan umum fertilitas, data pun menunjukkan 208



bahwa golongan status sosio-ekonomi tertinggi adalah paling menonjol kemerosotan fertilitasnya meski penurunan fertilitas penduduk petani dan kelas rendah perkotaan secara kuantitatif lebih besar pengaruhnya terhadap penurunan fertilitas nasional. Sedikit sekali data yang menunjukkan kenaikan angka perbedaan fertilitas menurut kelas Inggeris, AS atau kota-kota Eropa yang tersedia data angka kelahirannya atau behkan di Perancis perbedaannya berkurang sebelum PD I. dan fenomena ini rupanya menjadi tanda penting transisi ke kehidupan moderen. Ada data yang mengesankan bahwa perbedaan fertilitas menurut kelas di Australia belum mulai meningkat hingga dua dekade awal abad 20 ketimbang di dekade terakhir abad 19, namun data itu jauh dari meyakinkan. Hubungan terbalik antara fertilitas dan status sosio-ekonomi agaknya lebih kentara dalam periode pertama ini ketimbang dalam periode sebelumnya atau sejak awal perkembangan peradaban Barat. Bahkan ketika penurunan fertilitas kelas atas makin cepat meningkatkan hubungan terbalik ini kecuali ditahap awalnya. Data tentang fertilitas kumulatif wanita yang lahir dan kawin sebelum tahun 1910 di AS yang ditabulasi menurut kategori sosio-ekonomi yang sangat rinci, digunakan dalam studi yang dilakukan selama periode pertama ini. Data itu menunjukkan bahwa dalam golongan pekerjaan yang tergolong kurang subur yang terdiri dari pekerjaan klerek, sales dan pekerja lain sejenis agak kurang subur dibandingkan dengan pekerja profesional dan semi profesional atau golongan yang terdiri dari pemilik, manajer dan pegawai negeri ini umumnya lebih tinggi statusnya dibandingkan dengan buruh kerah-putih golongan pertama. Perbedaan pendapatan dalam golongan besar pekerjaan nonmanual, hingga taraf tertentu berhubungan positif dengan fertilitas. Makin rendah fertilitas, makin rendah pendapatan pekerjaan penerima upah dan penerima gaji dibandingkan dengan majikan di Australia dan pekerja upahan dibandingkan dengan pemilik di Perancis mengesankan kemungkinan ini. Sayangnya data yang memadai tentang perbedaan fertilitas menurut pendapatan tidak tersedia secara luas untuk periode pertama ini, meski data untuk periode kemudian menunjukkan bahwa pola hubungan terbalik yang dikenal dikalangan penduduk urban lebih menonjol untuk kelas pekerjaan. Studi 209



tentang perbedaan fertilitas menurut pendapatan dikalangan pekerja upahan yang memberikan pelayanan publik tahun 1906 di Perancis menunjukkan bahwa di atas tingkat pendapatan tertentu, jumlah anggota keluarga dan pendapatan berhubungan positif4), tetapi tak diketahui apakah pola yang sama ini berlaku juga diseluruh lapisan penduduk atau di negara lain pada waktu yang sama. Karena penurunan fertilitas lebih awal terjadi di Perancis ketimbang di negara Barat lain, perbedaan fertilitas di Perancis mungkin menyimpang dari pola hubungan terbalik sebelum PD I, menyerupai pola yang berkembang belakangan di negara Barat lain. Buruh tekstil Inggeris, pelayan Amerika, pembantu rumahtangga Australia dan pembantu rumahtangga Perancis adalah golongan pekerja lain yang fertilitasnya lebih rendah dari pada fertilitas golongan yang setara atau status sosio-ekonomi yang lebih tinggi. Alasan yang mungkin ditemukan dalam keadaan khusus berkaitan dengan lingkungan pekerjaan ini industri tekstil Inggeris mempekerjakan sebagian besar wanita dan pelayan rumahtangga harus sering kontak dengan orang berstatus lebih tinggi. Sebagian hubungan positif antara fertilitas dan status juga terdapat dikalangan petani dibeberap negara Barat. Petani Amerika Selatan, Australia dan penduduk pedesaan Kanada. Perancis yang hingga akhir 1941 tak menunjukkan pola terbalik yang biasa, menunjukkan hubungan langsung antara fertilitas dan kelas dikalangan petani atau penduduk pedesaannya sebelum 1910. Disemua kawasan ini polanya berhubungan langsung dengan tingkat fertilitas yang relatif tinggi. Hubungan langsung antara fertilitas dan status yang sering diamati di kawasan pertanian di negara sedang berkembang seperti di India dan Cina5) menjadi landasan yang baik untuk menyimpulkan bahwa hubungan langsung tersebut hingga taraf tertentu menandakan keterbelakangan ekonomi dan semi industri penduduk pedesaan. Karena itu keberadaannya sejak 50 tahun yang lalu di pedesaan Amerika Selatan, Australia dan Kanada, Perancis tidak mengherankan. Perbedaan umur ketika kawin menurut kelas terus menyumbang terhadap perbedaan fertilitas sosio-ekonomi setelah permulaan penurunan umum angka 210



kelahiran. Rerata umur saat kawin di kelas atas lebih tinggi dari pada di kelas bawah seperti telah terbukti sejak lama dalam sejarah Barat dan hubungan langsung antara umur saat kawin dan status sosio-ekonomi bertahan dari puncak hingga ke dasar skala sosial6). Tetapi kecenderungan dan pola perbedaan kelas dalam fertilitas tak banyak berubah ketika angka kelahiran dibakukan (standardized) untuk umur saat kawin di Inggeris dan Wales dan lamanya kawin di AS ; perbedaan fertilitas menurut kelas terbukti menjadi penyebab utama perbedaan jumlah anggota keluarga menurut kelas. Penyebaran pemikiran tentang pembatasan jumlah anggota keluarga keseluruh lapisan penduduk selama periode pertama ini sangat nyata karena di pergantian abad 19 seluruh kelompok sosio-ekonomi di negara yang tersedia datanya menunjukkan fertilitas yang menurun. Dalam dekade terakhir abad 19, opini publik memang makin menerima pembatasan jumlah anggota keluarga di seluruh negara Barat 7). Perbedaan kelas dalam kemunculan gejala membujang jelas menciptakan perbedaan kelas dalam jumlah yang berbeda dari fertilitas orang kawin. Makin panjangnya umur saat kawin biasanya berkaitan dengan makin menurunnya proporsi kawin terakhir8). Dengan demikian golongan berstatus rendah tentu melebihi fertilitas total golongan berstatus tinggi bahkan dalam jumlah lebih besar dari pada fertilitas yang kawin.



Periode Kedua : Dari 1910 Hingga 1940 Data tentang perbedaan fertilitas menurut kelas menunjukkan kecenderungan dan pola yang seragam setelah 1910 baik di dalam atau antara bangsa seperti dalam dekade berikutnya segera menyusul penurunan angka kelahiran nasional. Perbedaan yang makin besar ini sebagian adalah akibat fakta bahwa untuk periode yang lebih belakangan, jauh lebih banyak data tersedia. Temuan studi belakangan ini pun mencerminkan perbaikan tehnik pengukuran demografi maupun perubahan aktual kondisi yang diamati oleh peneliti terdahulu. Peningkatan utama metodologi meliputi 211



makin telitinya pengendalian variabel demografis yang mempengaruhi tingkat fertilitas, penggunaan indek status sosio-ekonomi makin banyak jumlahnya dan pengembangan indek sosiologis yang makin bermakna. Tetapi ciri-ciri umum tertentu dapat menunjukkan perbedaan besar kecenderungan dan pola dalam periode kedua ini dari periode pertama. Penciutan perbedaan relatif fertilitas antara berbagai golongan sosio-ekonomi telah terjadi. Ini berbeda dari peningkatan tajam perbedaan fertilitas selama bagian terakhir abad 19. Tingkat fertilitas golongan nonmanual di Inggeris, AS, Perancis dan Norwegia bertemu. Di Inggeris, perbedaan fertilitas antara golongan manual dan nonmanual benar-benar tetap stabil dari awal abad 19 hingga 1930-an ketika perbedaannya agak mengecil. Perbedaannya juga berhenti membesar di AS meski tak menciut hingga ke tingkat cukup besar. Perbedaan relatif fertilitas ini juga agak stabil di Perancis dari 1906 hingga 1946. Sebelum 1910 kelas atas dimana-mana unggul dalam penurunan fertilitas tetapi setelah 1910 golongan menengah yang unggul. Di Inggeris fertilitas seluruh golongan sosio-ekonomi menurun makin lambat setelah pergantian abad tetapi fertilitas golongan nonmanual berstatus rendah paling cepat menurunnya. Pengusaha kecil, petani dan manajer pertanian dan pekerja upahan unggul penurunan fertilitasnya dari 1890 hingga 1925. Sesudah 1925 pekerja upahan nonmanual dan manual (golongan manual berstatus tinggi) menunjukkan angka penurunan lebih tinggi dari pada golongan nonmanual berstatus tinggi dan golongan manual berstatus rendah. Di AS antara 1910 dan 1940, pemilik, manajer dan pegawai negeri menunjukkan penurunan fertilitas terbesar tetapi fertilitas buruh upahan seluruh tingkat keterampilan menurun sedikit lebih cepat dari pada golongan petani. Di Norwegia, tiga golongan pekerja upahan kerah-putih, buruh pabrik dan pengusaha kecil menunjukkan penurunan relatif terbesar fertilitas kumulatif antara 1920 dan 1930. Di Swedia tak ada data langsung mengenai kecenderungan yang terjadi. Tetapi dengan membandingkan fertilitas menurut pembedaan lamanya kawin terlihat bahwa penurunan fertilitas terendah telah dilalui tahun 1930-an oleh pekerja upahan dan golongan pendapatan 212



menengah. Di Perancis stabilisasi rerata jumlah anggota keluarga pada strata sosioekonomi atas telah tercapai di awal 1911 ; fertilitas orang yang terlibat dalam pekerjaan industri menurun sangat cepat dari 1911 hingga 1926 dan dari 1936 rerata jumlah anggota keluarga diseluruh golongan yang sangat subur (nelayan) tetap agak stabil. Hanya Australia yang terkecuali dari kecenderungan umum ini ; tak ada bukti yang jelas bahwa golongan penduduk yang kurang subur menurun fertilitasnya kurang cepat ketimbang golongan yang lebih subur dari 1911 hingga 1926. Tetapi fertilitas majikan di Australia menurun lebih cepat dari pada pekerja upahan meskipun mereka tetap besar jumlah anggota keluarganya. Dapat disimpulkan bahwa titik terendah penurunan fertilitas dalam periode ini cenderung dilalui oleh buruh nonmanual berstatus rendah, buruh upahan urban dan golongan berpendapatan menengah. Pekerja nonmanual yang sebelumnya menonjol penurunan fertilitasnya hanya pekerja kerah-putih dan pengusaha kecil. Sedangkan buruh berstatus sosio-ekonomi terendah dalam golongan nonmanual terus unggul dalam penurunan fertilitasnya di beberapa negara. Penurunan fertilitas dalam periode ini cenderung dilalui oleh buruh nonmanual berstatus rendah, buruh upahan urban dan golongan berpendapatan menengah. Penurunan fertilitas relatif cepat ditunjukkan oleh pengusaha kecil baik di Inggeris maupun Norwegia memberikan kesan bahwa pengusaha kecil, “pemilik”, manajer dan pegawai negeri di Amerika termasuk yang menonjol penurunan fertilitasnya. Fertilitas kelas pekerjaan secara keseluruhan terus berhubungan terbalik dengan status sosio-ekonominya tetapi sekitar 1940, jumlah kekecualian hubungan terbalik yang ada lebih besar dari pada di penghujung abad 19 dan awal abad 20. Di Inggeris, pekerja upahan mempunyai jumlah anggota keluarga lebih kecil dari pada jumlah anggota keluarga majikan besar dalam semua golongan yang kawin setelah 1891 dan dalam golongan yang kawin antara 1910-1914 menjadi kelas yang kurang subur di Inggeris. Di AS, klerek dan buruh penjual menjadi golongan yang kurang subur. Di Norwegia tahun 1930 klerek kerah-putih dalam bisnis dan perdagangan mempunyai jumlah anggota kelurga lebih sedikit dari pada pemilik pabrik dan pedagang serta 213



buruh pabrik mempunyai anggota keluarga lebih sedikit dari pada pengrajin. Di Swedia 1936, majikan dan pengusaha di luar pekerjaan pertanian mempunyai anggota keluarga lebih besar dari pada pekerja upahan dan pegawai negeri. Di Perancis dimana penggolongan sensus gagal membedakan pekerjaan menurut status sosioekonomi, orang yang terlibat dalam pekerjaan memberikan jasa pribadi mempunyai anggota keluarga lebih sedikit dari pada orang yang bekerja dalam profesi liberal ditahun 1926 dan 1936. Tahun 1946 pekerja kerah-putih yang bekerja dibidang perdagangan dan pegawai negeri kurang subur ketimbang golongan majikan besar berstatus tinggi, profesi liberal dan pejabat tinggi. Di Denmar, pekerja upahan dibidang manufaktur, konstruksi dan perdagangan, tahun 1940 kurang subur ketimbang pemilik di bidang pekerjaan ini. Buruh tani, buruh tambang, nelayan dan tenaga kerja tak terlatih adalah golongan sangat subur disemua negara Barat. Di Inggeris dan Perancis, buruh tambang lebih subur ketimbang petani dan buruh tani tetapi disemua negara yang lain petani pemilik dan dan buruh tani lebih subur dari pada golongan pekerja non tani. di AS khususnya, perbedaan fertilitas antara buruh tani dan non tani adalah besar dan perbedaannya itu terus meningkat dari 1910 hingga 1940. Jelas, tingkat fertilitas yang berhubungan terbalik dengan kelas sosial, berkurang antara 1900 dan 1940. Pada umumnya pekerja klerek dan penjual, pejabat lebih rendah dalam pemerintahan maupun perdagangan serta pengusaha kecil adalah golongan yang kurang subur di dunia Barat dan merupakan kekecualian utama pola hubungan terbalik antara fertilitas dan status. Kekecualian fertilitas rendah mereka yang telah terbukti dibeberapa negara segera setelah berawalnya penurunan angka kelahiran di Barat, makin mencolok diabad 20. Hanya di Kanada dimana sepertiga dari penduduknya terdiri dari orang Katolik berbahasa Perancis, secara tradisional tinggi fertilitasnya tak ada bukti yang ,menunjukkan terhenti pola hubungan terbalik antara fertilitas dan kelas sosial. Sebaliknya di Australia, pola hubungan terbalik ini belum sepenuhnya berkembang : kelas-kelas pekerjaan pada umumnya sesuai dengan tingkat fertilitas, tetapi majikan dan buruh masing-masing mempunyai jumlah 214



anggota keluarga lebih besar dari pada pekerja upahan di dalam sebagian besar golongan pekerjaan. Studi tentang perbedaan angka kelahiran di kawasan urban yang digolongkan menurut sebagai indek status ekonomi juga menunjukkan penurunan hubungan terbalik ditahun 1920-an dan 1930-an. Di New York, London, Paris, Edinburgh, Glasgow, Hamburg, dan Wina, perbedaan angka kelahiran antara distrik kota kelas atas dan kelas bawah menurun sedangkan di Dresden, Konigsberg, Stokholm dan Oslo, perbedaannya lengkap diakhir 1920-an. Di Berlin, Bremen dan Zurich, distrik kelas bawah masih tinggi angka kelahiran kasarnya di tahun 1930-an tetapi di distrik kelas atas angka kelahirannya lebih tinggi dari pada di distrik kelas menengah. Ketika diteliti perbedaan jumlah anggota keluarga menurut pendapatan ketimbang menurut pekerjaan, beberapa perbedaan pola perbedaan fertilitas dapat diketahui. a. pola paling umum adalah bahwa jumlah anggota keluarga menurun bersamaan dengan kenaikan pendapatan hingga tingkat pendapatan yang agak tinggi tercapai dan kemudian jumlah anggota keluarga mulai meningkat sedikit. Pegawai negeri Perancis sesuai dengan pola berbentuk J terbalik terlihat di tahun 1906. Tahun 1930-an pola ini terlihat di berbagai kota dan kawasan urban AS dan (dengan menggunakan rerata sewa bulanan sebagai indek pendapatan) dikalangan penduduk urban diseluruh negara tahun 1940.11 Kebanyakan studi di AS menunjukkan bahwa hanya golongan berpendapatan tertinggi atau tertinggi kedua atau tertinggi ketiga yang persentasenya relatif kecil yang menyimpang dari pola hubungan terbalik biasa. Pola ini juga terlihat di Melbourne, ditahun 1942 di kawasan urban Swedia tahun 1936 dikalangan seluruh jenis pekerjaan dan dikalangan pertanian dan pengusaha yang bukan petani dibandingkan pertanian yang lama kawinnya dari 15 tahun hingga 35 tahun, dan di Kanada tahun 1941 dalam beberapa golongan berpendidikan tinggi dan dalam dua golongan pekerjaan urban orang Kanada yang berbahasa Inggris. b.



12



Di beberapa negara, penyimpangan dari pola hubungan terbalik antara jumlah anggota keluarga dan pendapatan berkembang lebih lanjut. Dikalangan orang 215



yang kawin selama 10 tahun di Greater Oslo tahun 1930 golongan pendapatan tertinggi sama dengan rerata jumlah anggota keluarga terkecil.13 Keluarga dengan jumlah anggota terkecil terletak di tengah-tengah tingkatan pendapatan. Distribusi jumlah anggota keluarga menurut pendapatan yang sesuai dengan kurva berbentuk U memberikan kesan bahwa pola ini mencerminkan tahap belakangan perkembangan kebalikan dari kurva berbentuk J yang telihat di negara dan di kota-kota dimana fertilitas belum turun ke tingkat rendah menyerupai yang terjadi di kota-kota Norwegia. Pola yang agak serupa juga menandai keluarga yang lama kawinnya kurang dari 15 tahun di kawasan urban Swedia di kalangan majikan dan pengusaha yang bukan dibidang pertanian dan kalangan perkejaan upahan dan pegawai negeri, meski yang usia kawinnya lebih lama lebih mendekati pola berbentuk J terbalik. Dikalangan pekerja upahan dan pegawai negeri, golongan yang sangat tidak subur dikebanyakan negara Barat, Swedialah yang tak dirumuskan yang baik hubungan antara rerata jumlah anggota keluarga dan pendapatan untuk kebanyakan keluarga tua dan keluarga muda dan pebedaan golongannya sangat tipis. Perbedaan antara kedua golongan usia kawin ini hampir lenyap dan kelenyapannya itu menandakan penyelesaian proses transisi ke tahap akhir di mana perbedaan fertilitas tak ada lagi. c.



Studi di Stockholm yang dilakukan Edin dan Hutchinson menunjukkan adanya hubungan langsung ditahun 1920-an antara



jumlah anggota keluarga



dan



pendapatan untuk perkawinan yang subur. Moberg juga menemukan hubungan langsung antara jumlah anggota keluarga dan pendapatan dikalangan mahasiswa yang mengambil matrikulasi bahasa Swedia ditahun 1910, 1920 dan 1930.14 Beberapa studi di AS tentang perbedaan fertilitas penurut pendapatan dikalangan orang berpendidikan tinggi juga melaporkan adanya pola hubungan langsung.15 Ketiga tipe perbedaan hubungan antara fertilitas dan pendapatan ini agaknya mencerminkan tahap perbedaan dalam proses transisi dari pola hubungan terbalik. Pola hubungan terbalik menurut “garis lurus” mula-mula menghasilkan kurva berbentuk J terbalik yang kemudian digantikan oleh pola hubungan berbentuk U. 216



Keseimbangan terakhir, baik yang ditandai oleh lenyapnya sama sekali perbedaan fertilitas menurut golongan atau yang ditandai oleh munculnya hubungan positif antara fertilitas dan status, akhirnya akan tercapai dalam jumlah penduduk yang relatif tak berubah yang angka kelahirannya sama dengan angka kematiannya. Tetapi tak tersedianya data yang cukup tentang perbedaan fertilitas menurut pendapatan dan perkerjaan membenarkan untuk menyimpulkan bahwa perbedaan kelas di dunia Barat secara keseluruhan mengikuti sejenis proses evolusi. Kemungkinan terjadinya proses demikian dapat dianggap sebagai hipotesis utama penelitian dimasa depan yang menimbulkan studi sekarang. Kecendrungan dan pola yang dilukiskan di atas adalah bukti tak langsung dari kuatnya dukungan pandangan bahwa praktek pembatasan keluarga secara bertahap telah tersebar dari strata sosioekomi lebih tinggi ke yang lebih rendah. Studi deskripsi tentang perbedaan fertilitas tentu dapat memberikan dukungan empiris awal terhadap pandangan ini sebelum tersedianya banyak bukti langsung mengenai perbedaan kelas dalam menggunakan metode keluarga berencana. Penjelasan alternatif hampir tak dapat menerangkan perbedaan tingkat fertilitas kelas yang diikuti oleh penyamaanya, rendahnya fertilitas dalam golongan pekerjaan seperti klerek dan penjual (sales) dan pegawai negeri rendahan, yang ditandai oleh kombinasi taraf hidup “borjuis” dengan tingkat pendapatan lebih rendahan dari pada tingkatan pendapatan pekerja profesional, majikan dan bahkan golongan pekerja manual dan makin besarnya perubahan pola hubungan terbalik di negara yang tingkat fertilitas menyeluruhnya paling rendah. Studi di Indianapolis oleh Whelpton dan Kiser serta studi LewisFaning tentang pemakaian alat kontrasepsi oleh isteri orang Inggris menyediakan bukti langsung besar-besaran pertama bahwa praktek KB adalah lebih sering dan lebih efektif dikalangan lapisan atas skala soiso ekonomi dan lapisan atas ini pula yang paling awal menerima praktek KB itu.16 Whelpton dan Kiser telah menunjukkan bahwa perbedaan fertilitas menurut skala sosio ekonomi telah sangat berkurang dan pola hubungan terbalik antara fertilitas dan pendapatan telah berubah dan terdapat hubungan terabalik itu sebagian bila hanya pengguna praktek KB dari kelas beda saja 217



yang dibandingkan, yang secara mencolok akan menguatkan teori difusi kelas yang menyebabkan perbedaan feritlitas.17 Proses difusi jelas belum selesai di AS ditahun 1940 atau di Norwegia dan swedia di tahun 1930-an. Tak jelas, apkah hasil akhirnya akan melenyapkan perbedaan fetilitas kelas, mempertahankan perbedaan menurut status sosio-ekonomi ataukah seperti pendapat kebanyakan pakar demografi.18 Akan menimbulkan hubungan langsung yang memutar-balikkan hubungan terbalik terdahulu. Apapun perbedaan fertilitas menurut status sosio-ekonomi yang ada, yang jelas perbedaannya tidak besar dalam masyarakat yang secara keseluruhan rendah fertilitasnya dimana seluruh lapisan telah berhasil membatasi jumlah anggota keluarga mereka seperti yang mereka lakukan selama priode transisi dari fertilitas tinggi ke yang rendah. Bahasan tentang masa depan perbedaan fertilitas sering mengabaikan fakta bahwa kebanyakan data yang tersedia hanya menjelaskan perbedaan fertilitas orang yang kawin. Sebagian studi yang memperhatikan perbedaan golongan menurut proporsi yang kawin menunjukkan makin besarnya perbedaan fertilitas dan makin mantap hubungan tebalik antara fertilitas dan status sosio-ekonomi. Di negara seperti Norwegia dan Swedia dimana angka pelanggaran hukumannya tinggi, makin besarnya frekuensi kelahiran diluar nikah dikalangan kelas rendah, dapat membantu mengekalkan pola lama perbedaan fertilitas berkenan dengan perbedaan dalam fertilitas total. Lambatnya kawin dikalangan kelas atas juga mungkin mengekalkan pandangan tentang waktu yang diperlukan untuk meningkatkan pendidikan dan memperlambat pencapaian prestasi puncak pada pekerjaan berstatus tinggi. Laporan hasil sensus keluarga 1946 di Inggris menunjukkan bahwa perbedaan kelas dalam rerata umur saat kawin hanya memberikan sumbangan kecil terhadap fertilitas orang yang kawin.19



218



Periode Ketiga : Bom Bayi Setelah 1940 Perbedaan utama antara kecenderungan perbedaan fertilitas kelas sebelum dan sesudah 1940 timbul dari fakta bahwa setelah 1940 penurunan angka kelahiran yang terus berlanjut sejak pertengahan kedua abad 19 menjadi terbalik dikebanyakan negara Barat. Meningkatnya proporsi orang kawin, menurunnya umur rerata saat kawin, menurunnya jumlah wanita yang tetap tanpa anak dan meningkatnya sedikit rerata jumlah anggota keluarga nampaknya telah menjadi kecenderungan utama demografis yang melandasi kenaikan umum indek fertilitas mutakhir21). Kenaikan indek fertilitas ini juga memungkinkan untuk membuat kesimpulan definitif tentang signifikansi jangka panjangnya. Masih perlu dilihat apakah golongan yang menyumbang terhadap bom-bayi di masa perang dan sesudahnya akan melahirkan lebih banyak bayi lagi hingga mereka mencapai akhir periode reproduktif ketimbang golongan yang mendahului mereka. Ramalan yang dibuat ditahun 1930-an yang menyatakan fertilitas akan terus menurun dan akhirnya benar-benar akan mengurangi penduduk negara Barat, jelas keliru tetapi sebagian kecil pakar demografi kini berpendapat bahwa kenaikan fertilitas kini mencerminkan perulangan jangka panjang pertumbuhan cepat penduduk negara Barat. Pengaruh jangka panjang perbedaan fertilitas terhadap kenaikan angka kelahiran yang terjadi setelah 1940 bahkan makin diperdebatkan. Nampaknya pembalikan kecenderungan spektakuler terdahulu akan berakhir menjadi perubahan signifikan bila angka fertilitas kumulatif lengkap ibu yang melahirkan bom-bayi itu akhirnya tersedia. Data untuk Inggeris dan AS menunjukkan bahwa mengecilnya perbedaan fertilitas kelas telah yang telah terbukti di tahun 1930-an dipercepat oleh bom-bayi. Perbedaan angka kenaikan fertilitas menggantikan perbedaan angka penurunan periode sebelumnya. Pada dasarnya memang tak ada alasan mengapa perbedaan kelas sosio-ekonomi tidak menunjukkan kecenderungan sebaliknya kelas tertentu 219



meningkat sedangkan kelas lain menurun fertilitasnya. Tetapi masyarakat nasional sebagai keseluruhan rupanya menanggapi kondisi baru yang mempengaruhi kemampuan beranak dan tanggapan yang terjadi dalam periode setelah PD II ini berlaku pula atas periode penurunan fertilitas dalam periode panjang sebelumnya. Sebagaimana seluruh kelas sosio-ekonomi nasional berpartisipasi dalam menurunkan fertilitas, demikian pula seluruhnya menyumbang atas peningkatan fertilitas ditahun 1940-an. Baik di Inggeris maupun di AS, golongan berstatus tinggi meningkat fertilitas mereka dengan jumlah lebih besar setelah 1940 ketimbang golongan berstatus rendah yang lebih subur. Dengan demikian perbedaan fertilitas menurut kelas mengecil dengan cepat. Di Inggeris tingkat fertilitas golongan pekerja manual dan nonmanual telah bertemu tahun 1940-an ketika fertilitas masih menurun dan Evelyn Kitagawa mengamati bahwa kecenderungan perbedaan fertilitas di kota Chicago mengarah ke “kesimpulan bahwa makin mudanya usia saat kawin “sesudah perang” dan menyatukan perbedaan fertilitas telah dimulai sekitar dua dekade yang lalu …” 22) Angka fertilitas mutakhir dan fertilitas kumulatif tak lengkap pekerja non-manual menunjukkan kenaikan lebih besar di AS ketimbang di Inggeris. Selain itu di Inggeris pola kenaikan lebih besar sebelumnya dikalangan pekerja non-manual membalik menjelang akhir 1940-an ketika pekerja manual menunjukkan kenaikan lebih besar pada lamanya kawin tergolong rendah. Partisipasi lebih besar golongan berstatus tinggi yang kurang subur dalam periode bom-bayi, jelas meningkatkan penyimpangan dari hubungan terbalik antara fertilitas dan status. Di Inggeris pekerja nonmanual tetap kurang subur ketimbang pekerja manual, tetapi dalam golongan besar pekerja ini hubungan langsung antara fertilitas dan status sebagian menggantikan pola terbalik dikalangan orang yang umur perkawinannya kurang dari 15 tahun di tahun 1951. Data menurut golongan sosioekonomi belum tersedia untuk AS tetapi rasio fertilitas wanita yang kawin 220



menunjukkan pembalikan tajam dari hubungan terbalik ; golongan pekerja nonmanual berstatus tinggi, lebih tinggi rasionya dari pada golongan pekerja manual. Di masa lalu, peserta KB selalu lebih sedikit dari pada keluarga yang tak ber-KB dan penurunan fertilitas terus-menerus berhubungan dengan penyebaran program KB. Namun tak ada alasan mendasar mengapa kondisi sosial dan ekonomi yang menguntungkan terhadap kemampuan beranak ta dapat membujuk pasangan kawin membuat keputusan untuk beranak lebih banyak. Kemampuan untuk “mendahului” beranak tentu saja merupakan akibat dari rencana pasangan tertentu dan besar perannya dalam meningkatkan angka fertilitas golongan berstatus tinggi akhir-akhir ini dan dalam meningkatkan angka kumulatif golongan yang kurang subur. Perubahan rencana melahirkan bayi dapat menyebabkan perubahan jumlah akhir anggota keluarga yang diinginkan. Agak lebih besarnya jumlah anggota keluarga dikalangan kelas menengah, mungkin akibat bom-bayi yang telah menjadi bagian integral konsep taraf hidup kelas menengah. Mengecilnya perbedaan fertilitas kelas sejak 1940 juga telah dipengaruhi oleh kenaikan relatif lebih besar angka perkawinan dikalangan kelas atas yang kurang subur dan lambat kawin. Makin rendahnya rerata umur saat kawin dan makin menurunnya proporsi yang kawin diumur tertentu dikalangan orang berstatus tinggi jelas mengakibatkan menipiskan perbedaan sosio-ekonomi dalam fertilitas total dan fertilitas orang yang kawin.



Masa Depan Perbedaan Fertilitas Kelas Pandangan bahwa kecenderungan perbedaan fertilitas kelas mencerminkan penyebaran bertahap pembatasan jumlah anggota keluarga seluruh golongan penduduk satu negara, jelas tak jauh melampaui tingkat pernyataan deskriptif. Strata tertentu menunjukkan kerentanan lebih besar terhadap pembatasan keluarga ketimbang strata lain dan studi Whelpton dan Kiser serta Lewis dan Faning 221



menunjukkan perlunya penelitian lebih intensif tentang kecenderungan motivasi dan ideologis menuju ke pembatasan keluarga dan distribusinya menurut kelas. Sosiolog



Amerika



telah



memberikan



perhatian



sangat



besar



terhadap



“keterbukaan” relatif struktur kelas, melakukan studi tentang tingkat mobilitas sosial dan tentang kompleks sikap berhubungan dengan aspirasi mobilitas. Pakar demografi sejak dari Arsene Dumont telah sering menyatakan bahwa sangat rendahnya fertilitas orang yang mengalami mobilitas, dapat menerangkan sebab bertambahnya hubungan terbalik antara fertilitas dan status dalam masyarakat Barat. Westoff misalnya telah mengajukan hipotesisi bahwa perbedaan kelas sosial dalam fertilitas yang direncanakan dan perbedaan fertilitas itu sendiri berhubungan dengan perbedaan frekuensi ambisi sosio-ekonomi dan mobilitas sosial di dalam dan antara tingkatan kelas-kelas menengah menunjukkan manifestasi terjelas tentang tipe “suasana” ini dan mempunyai tingkat fertilitas terendah”23). Peningkatan frekuensi aspirasi mobilitas di kalangan keluarga berstatus rendah (berdasar asumsi ini) menyebabkan meningkatnya praktek pembatasan keluarga dan mempercepat penciutan perbedaan fertilitas kelas. Apakah kenaikan jumlah mobilitas sosial ke atas dalam masyarakat industri-urban Barat benar-benar terjadi dalam dua dekade yang lalu, masih diperdebatkan24). Peningkatan produktivitas pertanian dan industri jelas telah merubah kompoisi pekerjaan tenaga kerja dan mengurangi jumlah pekerjaan berstatus rendah dibandingkan dengan jumlah pekerjaan berstatus tinggi25). Sebaliknya penciutan perbedaan fertilitas kelas baik secara absolut maupun relatif membatasi mobilitas ke atas dengan mengurangi “surplus” penduduk di kelas bawah dan di kawasan pedesaan26).



Kenaikan



fertilitas



golongan



berstatus



tinggi



belakangan



ini,



memungkinkan mereka menyediakan jumlah cadangan lebih besar untuk pekerjaan berstatus tinggi dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.



222



Namun kecenderungan mobilitas sosial bukan satu-satunya ciri terpenting atau yang diperlukan sistem kelas dalam hubungannya dengan perbedaan fertilitas. Bila mobilitas dan aspirasi mobilitas dihubungkan dengan fertilitas rendah, maka keduanya hampir tak dapat menjelaskan kenaikan fertilitas yang ditunjukkan oleh semua golongan sosio-ekonomi sejak 1940. Perubahan mobilitas antara kelas pekerjaan di satu pihak dan kenaikan seluruh kelas baik sebagai akibat redistribusi pendapatan maupun akibat kenaikan umum taraf hidup di lain pihak adalah dua proses sosial berbeda yang dapat mempengaruhi fertilitas menurut cara berlainan. Sebelum terjadi bom-bayi tahun 1940-an secara signifikan penciutan perbedaan fertilitas kelas telah berlangsung paling jauh di negara-negara Skandinavia. Di negara-negara inilah pertama kali Serikat Buruh dan koperasi menjadi kelompok penekan mempengaruhi ketimpangan ekonomi tanpa diatur kapitalisme dan berhasil membentuk pemerintahan sosialis reformis dengan memperoleh dukungan mayoritas. Sejak 1940 tanda-tanda pemerataan pendapatan telah terjadi dikebanyakan negara Barat sebagai akibat periode kemakmuran yang bertahan selama strata lebih rendah mendapat keuntungan dari kenaikan produktivitas, pajak pendapatan yang tinggi dan kebijakan sosial yang berkaitan dengan kemunculan negara kesejahteraan. Pengaruh terpenting perubahan fertilitas kelas ini adalah bahwa taraf hidup “kelas menengah” telah tercapai oleh strata yang sebelumnya paling malang dan dipopulerkan melalui media massa. Karena itu tak mengherankan bahwa perbedaan fertilitas kelas telah banyak berkurang selama 30 tahun lalu atau sejak 1940 seluruh golongan sosio-ekonomi nasional memberikan tanggapan yang sama terhadap kondisi yang menguntungkan bagi tingkat kemampuan beranak makin tinggi. Wrong yakin bahwa perbedaan kelas sebagai ciri-ciri struktur demografi negara Barat ditakdirkan akan lenyap. Perbedaan fertilitas kelas ini lebih merupakan akibat kecenderungan kini ketimbang akibat kemunculan hubungan positif antara fertilitas dan status seperti diramalkan oleh beberapa pakar demografi. Tetapi dalam konteks 223



umum makin seragamnya perilaku dipihak semua kelas dan kelompok, perbedaan signifikan taraf hidup dan gaya hidup mungkin masih berlanjut dan ada kemungkinan bahwa hubungan poistif antara jumlah anggota keluarga dan pendapatan akan berkembang di dalam golongan pendidikan dan pekerjaan yang homogen yang cukup kecil untuk menjadi kelompok rujukan psikologis bagi anggotanya27). Studi perbedaan fertilitas dalam golongan berstatus tinggi di AS dan Swedia menunjukkan bahwa perkembangan ini memang telah terjadi. Banyak riset dan analisis tetap dilakukan sebelum kita memahami sepenuhnya tentang perubahan fertilitas yang kini sedang terjadi. Jenis penelitian paling berguna yang melandasi penyebab kecenderungan perbedaan fertilitas terutama harus memusatkan perhatiannya sendiri pada hubungan antara kecenderungan fertilitas dan pertumbuhan ekonomi sekuler dalam masyarakat industri Barat atau lebih tepatnya pada perubahan struktur kelas dan perubahan gaya hidup berbagai kelas sosial sebagai akibat perkembangan ekonomi terus-menerus dan cepat28). Penelitian tentang ciri-ciri psikologis individual yang dikaitkan dengan fertilitas rendah atau tinggi seperti studi Whelpton dan Kiser di Indianapolis memang berguna tetapi hanya sebagai tambahan atas analisis tentang pengaruh fertilitas dari transformasi historis yang telah sangat merubah struktur kelas dan pandangan kultural anggota masyarakat Barat di pertengahan abad lalu.



Catatan Kaki 1) J. W. Innes, Class Fertility Trends in England and Wales, 1876-1934 (Princeton, NJ : Princ. Univ. Press, 1938 : V). 2) Angka kelahiran kumulatif adalah jumlah total kelahiran sebelum ditentukan masa atau tanggal per. 1000 wanita yang hidup pada masa itu. 3) Kesimpulan untuk periode ini berdasarkan sumber berikut. Innes, Class Fertility Trends in England and Wales. Great Britain Census of England and Wales, 1911, 224



XIII, Fertility of Marriage (London, 1917). US Bureau of the Census, Sixteenth Census of the US (1940). Population : Differential Fertility 1940 and 1910 (5Vols. Washington DC, 1943-1947). 4) France, Bureau dengan la Statitisque Generale, Statistique des Familles en 1906 : 46. 5) Kingsley Davis, The Population of India and Pakistan (Princeton, NJ : Prince. Univ. Press, 1950 : 76-79) ; Herbert D. Lamson, “Differential Reproduction in China”, Quarterly Review of Biology, X, No. 3 (Sept., 1935); F. W. Notestein, “A Demographic Study of 38.256 Families in China”, Milbank Memorial Fund Quarterly, XVI, No. 1 (Jan., 1938 : 68-70) ; Ta Chen Population, and in Modern China (Chicago, 1948 : 30-31) and Tabel 19 : 93. 6) Farnk W. Notestein, “Differential Age at Marriage According to Social Class,” AJS, XXXVII, No. 1 (July, 1931). 7) A. M. Carr Sounders, World Population (Oxford : Oxford Univ. Press, 1936) ; D. V. Glass, Population Policies and Movement (Oxford : Oxford Univ. Press, 1940). 8) Kingsley Davis, “Statistical Perspective on Marriage and Divorce”, Annal of the American Academy of Political and Social Sciece, CCLXXII (Nop., 1950 : 9-17). 9) Kesimpulan untuk periode ini berdasarkan sumber berikut. Innes, Class Fertility Trends in England and Wales ; D. V. Glass and E. Grebeni, The Trend and Pattern of the Royality in Great Britain, Part I, Paper of the Royal Commision on Population, VI (London, 1954). Great Britain Census, 1951, One Percent Sampel Tables, Part 2 (London, 1953). 10) Untuk New York, lihat Jacobson, “The Ternd of the Birth-Rate, City of New York, 1929-1942”, untuk London, lihat Innes, Class Fertility Trends in England and Wales, Chap. IV, V ; Glass, Population Policies and Movement : 76 – 82. 11) US. Bureau of the Census, Sixteenth Census, Population : Differential Fertility 1940 and 1910 ; Women by Number of Children Ever Born (1945). 12) Untuk Melbourne, lihat W. D. Borrie, Population Trend and Policies (Sydney, 1948). Untuk urban Swedia lihat Statistika Centralbyran, Barnantal och Doda Barn. Untuk Kanada lihat Charles, the Changing Size of the Family in Canada 112. 13) Folketelligen I Norge, Barnetallet I norske ekteskap, Table 9.



225



14) Sven Moberg, “Marital Status and Family Size Among Matriculated Persons in Sweden”, Population Studies, IV, No. 1 (June, 1950). 15) J. C. Phillips, “Success and the Birth Rate”, Harvard Graduates Magazine, XXXV, No. 160 (June, 1927) ; J. J. Osborn “Fertility Differentials among Princeton Alumni”, Journal of Heredity, XXX, No. 12 (Des, 1939). 16) P. K. whlepton and C. V. Kiser, Social and Psychological Factors Affecting Fertility (3 Vols. NY : 1946, 1950, 1953). 17) P. K. Whelpton and C. V. Kiser, op. cit. 18) Lihat Rudolph Heberle, “Social Factors in Birth Control”, ASR, VI, No. 3 (Oct., 1941 : 800). 19) Glass and Grebenik, The Trend and pattern of Fertility in Great Britain : 113-128. 20) Kesimpulan untuk periode ini berdasarkan sumber berikut. Glass and Grebenik, op. cit ; Kiser, “Fertility Trends and Differential in the US ; Westoff, “Differential Fertility in the US, 1900 to 1952” ; US Bureau of the Census, Current Population Characteristics, Series Pembangunan-20, No. 46 (Washington DC, Des., 1953). 21) John Hajnal, “The Analysis of Birth Statistics in the Light of the Recent International Recovery of the Birth Rate”, Population Studies, I, No. 2 (Sept., 1947). 22) Kitagawa, “Differential Fertility in Chicago 1920-1940” : 493. 23) C. F. Westoff, “The Changing Focus of Differential Fertility Research : The Social Mobility Hyphothesis”, Milbank Memorial Fund Quarterly, XXXI, No. 1. (Jan, 1953 : 31). 24) W. Petersen, “Is America Still the Land of Opportunity?”, Commentary, XVI, No. 5 (Nov., 1953) ; S. M. Lipset and N. Rogoff, “Class and Opportunity in Europe and the US”, Commentary, XVIII, No. 6 (Des, 1954). 25) N. Foote and P. K. Hatt, “Social Mobility and Economic Review, XLXXX (May, 1953) 26) E. Sibley, “Some Demographic Clues to Stratification”, ASR, VII, No. 3 (June, 1942).



226



27) Hipotesis serupa telah dikemukakan oleh A. Meyer dan C. Klapprodt, “Fertility Differentials in Detroit : 1920-1950”, Population Studies, IX, No. 2. (Nov., 1955 : 15). 28) Heberle (“Social Factors in Birth Control” 805) membuat pendapat serupa meski ditulis 1941 ia meramalkan terus merosotnya fertilitas ke tingkat di bawah penggantian yang diperlukan menurutnya sebuah kecenderungan tak terelakkan sebagai akibat perubahan struktural dalam sistem ekonomi di era “Kapitalis mutakhir”.



227



Ketakstabilan dan Kepuasan Perkawinan : Analisis Kelas Lintas Kultural Angka Perceraian Oleh : William J. Goode



Karena pengalaman keluarga menimbulkan banyak emosi dan pilosof sosial terus yakin bahwa keluarga adalah unsur utama struktur sosial, maka lebih dua abad, kehidupan keluarga lebih menarik perhatian pakar ideologi ketimbang teoritisi dan banyak menjadi sasaran spikulasi tetapi sedikit menjadi sasaran riset yang cermat. Pengetahuan pribadi tentang sistem keluarga sering dicampur-aduk dengan pengetahuan sahih dan diskripsi jurnalistik masa lalu telah dijadikan sumber utama informasi untuk menganalisis perubahan keluarga. Dua dekade yang lalu menyaksikan perubahan penting dalam situasi ini. Kita semufakat bahwa teori tidak bertentangan dengan fakta tetapi adalah sebuah struktur dari proposisi empiris yang saling berhubungan1). Teori yang baik tak hanya fakta yang diketahui keteraturannya ; ia juga menimbulkan fakta baru. Menurut pengertian ini, karya teoritis yang baik tentang keluarga tergolong jarang2) dan teoritisi generasi lebih muda tidak memasuki bidang ini3). Namun kita sekurang-kurangnya memahami perlunya teori yang memadai dibidang perubahan keluarga ini. Lagi pula, antropolog (yang karyanya sering diabai oleh sosiolog) tak lagi melaporkan dalam karya mereka bahwa suku tertentu lebih menyukai tipe perkawinan lintas – sepupu tetapi berupaya mengetahui seberapa sering perkawinan lintas-sepupu itu terjadi4). Selain itu, pakar ideologi yang menganjurkan atau menentang perilaku keluarga tertentu seperti persamaan derajat untuk wanita tak kurang bebas untuk mengejar seleranya tetapi kita tak lagi yakin bahwa penjelasannya yang bermuatan nilai itu perlu menerima penghormatan sama dengan yang diberikan kepada riset yang bertanggungjawab.



228



Perubahan ini tak berarti bahwa kita harus mengabaikan tulisan berkadar ideologis tentang keluarga. Sebaliknya, seperti perubahan politik atau ekonomi atau sikap publik mengenai moralitas, karya berbau ideologi itu adalah sebuah fenomena yang mempenagruhi perilaku keluarga dan karena itu harus diperhatikan secara serius tanpa sama sekali dianggap sebagai laporan ilmiah. Selain itu, posisi ideologis dapat menentukan pilihan orang tentang masalah ilmiah yang akan ia teliti. Perlu diingat bahwa basis ideologis dari mana masalah ilmiah dipilih, pada dasarnya tak relevan dengan kebenaran temuan riset. Kita seharusnya curiga bila penulis lebih berupaya membujuk kita meyakini ideologinya ketimbang menunjukkan ketepatan datanya dengan memamerkan metodenya dengan tepat. Sebaliknya, karya itu sendirilah yang harus dinilai, bukan motif penelitiannya. Kita menilai arti penting hasil riset melalui kemanfaatannya



dan



menilai



validitas



dan



realibilitasnya



melalui



aturan



metodologisnya. Bila aturan metodologisnya memadai, hasil riset itu akan menyumbang terhadap perkembangan ilmu meski kita mencela sumber kebijakan dan implikasinya. Terakhir, jelaslah bahwa posisi ideologi adakalanya dapat menunjukkan masalah riset yang baik. Contoh, ideologi egalitarianisme jelas adalah sebuah motif untuk meneliti bagaimana kultur menentukan peran menurut jenis kelamin5). Namun ideologi adalah kompas yang lebih buruk dari pada teori yang baik untuk menemukan fakta penting dan jika berhasil hanya karena mungkin terjadi (paling tidak dalam ilmu sosial) bahwa apa yang menjadi pusat perdebatan ideologi adalah juga menjadi kunci untuk memahami bagaimana pola sosial berperan. Dalam tiap kejadian, kini kita lebih mampu membedakan apa yang ada dari apa yang seharusnya ada dan bahkan pakar ideologi secara bertahap dapat memahami bahwa tanpa ilmu yang baik, kebijakan pasti tersesat.



229



Kebahagiaan dan Penyesuaian Perkawinan Sosiolog salon telah banyak berbicara dan menulis tentang “hak moderen untuk mendapatkan kebahagiaan perkawinan”. Tetapi tak jelas pasangan yang mana (suami ataukah isteri)yang benar-benar menerima norma itu bahkan di AS. Masyarakat tak berupaya menciptakan kondisi yang akan menjamin prestasinya atau menghukum orang yang gagal membuat orang lain bahagia. Sebaliknya seluruh masyarakat mengakui sifat diinginkannya kesenangan perkawinan dan tak menginginkan kesengsaraan mendalam akibat ketakbahagiaan perkawinan. Masalah ilmiah studi tentang penyesuaian diri dalam perkawinan adalah mencoba memprediksi apakah tipe pasangan tertentu kurang atau lebih besar kemungkinannya bahagia dalam perkawinan mereka. Dorongan ideologi adalah sederhana seperti dalam bidang ilmu kedokteran bahwa lebih baik menasehatkan kepada pasangan sebelumnya untuk tidak kawin bila mereka kelihatannya kurang cocok satu sama lain. Landasan pragmatisnya adalah sederhana bahwa kebijakan orang lebih tua yang dalam seluruh masyarakat membuat semacam prediksi yang mungkin sistematis, standard dan lebih tepat. Instrumen peramalan pertama kali diterbitkan di AS, dikembangkan oleh Jessie Bernard6), tetapi Burgess dan Cottrell ketika itu (1931) telah memulai studi mereka yang lebih luas, menciptakan instrumen yang lebih lurus, menciptakan instrumen untuk membuat prediksi bebas bersyarat. Psikolog Lewis M. Terman menggunakan temuan mereka dalam studi serupa tetapi karya Burgess-Cottrell tetap menjadi upaya tercanggih dalam mengembangkan instrumen untuk memprediksi perkawinan hingga studi Burgess – Wallin tahun 1953. Locke mencoba menguji kekuatan diskriminatifnya dan banyak peneliti yang mencobakan instrumen itu pada masyarakat lain (Cina, Swedia, Negro di Selatan)7). Sayangnya jenis riset ini tidak berkembang. Penggunaan instrumen ini secara luas oleh penasehat perkawinan di AS tanpa perbaikan untuk mencapai kekuatan memprediksi lebih besar dan kekuatannya tak pernah besar. Studi selanjutnya hanya 230



memperkuat relevansi beberapa butir : contoh, kebanyakan menunjukkan bahwa bila orangtua pasangan yang kawin itu bahagia, bila pasangan itu telah berkenalan cukup lama, dan bila pertunangannya cukup lama, akan lebih besar peluangnya perkawinan itu akan sukses ; tetapi sebagian besar item lain tidak ditegaskan oleh berbagai riset. Sebagian besar perbedaan prediksi tak dapat dijelaskan oleh item yang telah dipilih sebagai item penting8). Singkatnya, tak ada yang baru dan hanya beberapa temuan menguatkan yang muncul dalam tahun belangan.



Teori Tentang saling Mengimbangi Kunci utama kemandulan ini dapat ditemukan dalam gambaran tentang kebahagiaan pasangan yang muncul dari studi ini. Pasangan borjuis konvensional yang bertemu untuk pertama kali atas bantuan orang terhormat, berasal dari keluarga yang tidak cerai, tidak terlalu intim bergaul selama masa berkenalan, berpekerjaan tetap, berpendidikan relatif tinggi dan seterusnya. Karena pasangan moderen makin tak selalu berasal dari latar belakang seperti itu, maka instrumen yang ada tak dapat menaksir keberhasilan relatifnya dimasa depan. Sejauh ini instrumen yang ada dalam berbagai bentuknya hanya mampu membedakan pasangan mana yang akan lebih atau kurang berhasil dikalangan penduduk yang terdiri dari pasangan moderen. Kini muncul teori yang dapat membantu mengukur tipe lelaki dan wanita mana yang mungkin hidup harmoni satu sama lain setelah memastikan bahwa pasangan moderen cenderung kurang bahagia dalam perkawinan. “Teori tentang saling mengimbangi dikembangkan oleh Robert F. Winch untuk menjelaskan mengapa pasangan dapat dipilih (menimbulkan homogami), mengapa orang tertentu dapat saling jatuh cinta dan kawin9). Sayangnya belum ada yang menguji teori ini berdasar sampel cukup besar atau mengembangkannya pada bidang pacaran dan perkawinan lain10).



231



Teori ini dikembangkan dengan sangat teliti, menyetujui banyak temuan yang menunjukkan bahwa pasangan yang kawin biasanya sama agamanya, sukunya, latarbelakang pekerjaannya, pendidikannya dan seterusnya. Tetapi yang menjadi daya tarik khusus antara pasangan yang secara sosial homogamos adalah perbedaan keperluan psikologis mendasar antara mereka12. Contoh, orang yang memerlukan menunjukkan perbedaan, menarik bagi orang yang ingin mengejar prestasi ; orang rendah diri, manarik bagi orang yang mencari dominasi dan seterusnya. Apakah X akan jatuh cinta pada Y, rupanya adalah masalah ilmiah cukup spele, tetapi karena ini justru adalah teori, maka mempunyai implikasi sosiologis dan psikologis selanjutnya. Teori ini misalnya menyatakan, mengapa perkawinan berakhir dengan perceraian, jenis pasanganlah yang membuat mereka tak bahagia. Ini mengacu pada faktor struktural yang menimbulkan kesalahfahaman dalam situasi pacaran. Lelaki Barat misalnya harus menunjukkan kepribadian relatif dominan, mengejar prestasi dan otonami, tetapi wanita yang tertarik kepadanya, kemudian menemukan bahwa kebutuhan lelaki itu sangat berbeda. Winch sendiri menyangkal teori itu dapat digunakan untuk mengukur kebahagiaan perkawinan13), namun penerapannya nampaknya akan berguna. Pada dasarnya akan menyenangkan bila lelaki dan wanita muda saling memberikan kepuasan karena dengan demikian akan menentukan keterlibatan komitmen dan emosional mereka secara serius. Bila saling memerlukan berlanjut setelah kawin, maka pasangan itu akan makin stabil dan bahagia. Artinya, masing-masing mempunyai daya tarik satu sama lain. Implikasi selanjutnya adalah bahwa unsur situasi baru perkawinan mungkin sangat berbeda dari situasi pacaran dan dengan demikian ada kemungkinan akan mengecewakan (atau meningkatkan) kepuasan satu sama lain. Lagi pula, kepada kedua pasangan perlu dipertanyakan berapa banyak dan jenis kepuasan apa yang diperlukan (kerendahan hati, otonomi, rasa hormat, prestasi dan sebagainya) yang lebih banyak mendapatkan kepuasan yang diperlukan dari pasangan. Selanjutnya salah satu anggota pasangan akhirnya mungkin mendapatkan sebagian kepuasan ini di luar hubungan perkawinan, misalnya di tempat kerjanya, dengan demikian merupakan sebuah pertanyaan baru yang perlu 232



dijawab14). Akhirnya, teori ini rupanya hingga taraf tertentu menjelaskan daya tarik antara teman yang sangat akrab.



Ketakstabilan Perkawinan Aku telah memberikan kesan dimana-mana bahwa kebahagiaan agaknya bukanlah variabel strategis dalam menganalisis institusi perkawinan. Tetapi ketegangan dan ketakstabilan perkawinan atau kestabilan keluarga sebagai pemeliharaan batas unit sosial, mungkin lebih disebabkan individu mempunyai pilihan dan harus memutuskan diantara beberapa kumpulan akibat (sebagian besar sukar bagi dirinya meramalkannya) berdasarkan sekumpulan nilai dan elemen situasional. Sebaliknya, tak ada masalah pilihan moral seperti antara kebahagiaan dan ketakbahagiaan atau antara “kebahagiaan dan kewajiban”. Kebahagiaan akan selalu menang. Lagi pula kebahagiaan tak dapat dibangun di dalam struktur perkawinan dan dalam sistem hubungan keluarga seperti kemungkinan statistik atau norma moral. Sebaliknya, stabilitas unit keluarga dapat sering dibangun atas dasar kebahagiaan. Pandangan bahwa ketakstabilan perkawinan adalah kegagalan kekuatan mempertahankan batas sama bergunanya dengan pandangan bahwa keluarga terdiri dari hubungan peran. Lalu ketakstabilan dapat didefinisikan sebagai kegagalan seseorang atau lebih individu dalam melaksanakan kewajiban peran mereka. Dengan demikian bentuk utama ketakstabilan atau disorganisasi keluarga dapat digolongkan sebagai berikut15) : 1) Unit keluarga tak lengkap : melanggar hukum. Di sini unit keluarga sebenarnya tak ada. Tetapi individu yang hilang itu jelas gagal melaksanakan kewajiban perannya selaku “ayah – suami” sebagaimana yang ditetapkan masyarakat, ibu atau anak. Penyebab tak langsung utama tak lengkapnya unit keluarga, kemungkinan adalah karena kedua ayah dan ibu gagal melaksanakan perannya. 233



2) Tak stabil jika salah seorang pasangan meninggalkan keluarga dengan sengaja. Pembuatan “meninggalkan pekerjaan” termasuk dalam pengertian ini, bila individu meninggalkan rumah dalam jangka lama dengan alasan pekerjaan jauh letaknya. 3) Keluarga “rumah kosong” : hubungan antara kedua pasangan hanya bersifat instrumental dalam arti sebagai pemuas syahwat belaka ; pada dasarnya gagal melaksanakan kewajiban peran untuk saling memberikan dukungan emosional satu sama lain. Memang di sini tak ada ketakstabilan atau pembubaran perkawinan tetapi unit keluarga sebenarnya sudah bubar. 4) Krisis dan ketegangan yang disebabkan oleh kejadian “di luar” rumahtangga seperti ketiadaan salah seorang pasangan untuk sementara atau selamanya yang tak diharapkan seperti karena kematian, dipenjara atau karena malapetaka impersonal seperti banjir, perang atau depresi. 5) Krisis internal yang menciptakan kegagalan melaksanakan kewajiban peran utama yang “tak diinginkan” : patologi mental, emosional atau fisik ; anak menderita hambatan mental atau kondisi fisik dan psikisnya mengalami gangguan yang tak tersembuhkan. Konsep tentang ketakstabilan atau disorganisasi keluarga di atas merupakan masalah yang hampir mustahil dikumpulkan datanya berdasar kondisi yang ada kini. Namun konsep itu menawarkan satu cara mengkonseptualisasikan ketegangan dan pilihan jenis ketakstabilan perkawinan tertentu. Karena hingga saat ini kita belum mempunyai cara untuk mengetahui berapa banyak keluarga yang tergolong ke dalam masing-masing kelima kategori di atas, pada waktu tertentu, maka aku akan membatasi pandanganku hanya pada masalah angka perceraian tertentu saja. Untuk sementara, sekurang-kurangnya berguna memikirkan perbedaan tertentu dibidang analisis ini. Perbedaan utamanya adalah antara ketakstabilan unit keluarga 234



dan ketakstabilan sistem keluarga dalam masyarakat tertentu. Keduanya selanjutnya harus dibedakan dari perubahan sosial maupun disorganisasi di dalam sistem keluarga. Mengenai perbedaan pertama (antara ketakstabilan unit dan ketakstabilan sistem keluarga) sudah ada bukti bahwa seluruh keluarga dapat berakhir tetapi ini tak perlu mempengaruhi sistem keluarga. Ada kemungkinan angka perceraian yang tinggi telah menjadi hal biasa di negara-negara Arab selama beberapa generasi seperti yang terjadi kini, tetapi tak ada bukti yang menunjukkan bahwa hingga kini angka perceraian yang tinggi itu telah merubah sistem keluarga. Artinya, sistem keluarga Arab menciptakan (dan secara terbatas, menaggulangi) masalah angka perceraian tinggi dan struktur dasarnya tetap tak berubah. Hal serupa terdapat dalam sistem keluarga Jepang di zaman Tokugawa. Mengenai perubahan, ada bukti bila angka kejadian dalam keluarga besar seperti persentase yang akhirnya kawin, persentase yang kawin pada umur tertentu, angka perceraian, pola fertilitas dan seterusnya berubah, maka ada kemungkinan sistem keluarga juga berubah dan sekurangkurangnya bagian tertentu dari sistem keluarga itu larut atau mengalami disorganisasi. Sebaliknya, perubahan ini benar-benar mengurangi angka kejadian yang dalam fenomena klasik disebut “disorganisasi” seperti perceraian, berpisah, melanggar hukum atau desersi. Demikianlah, angka desersi di AS misalnya telah merosot. Di negara Amerika Latin yang mengalami proses industrialisasi dengan segala akibat anominya yang teramalkan itu, angka pelanggaran hukum dalam perkawinan telah merosot. Sistem keluarga Jepang telah mengalami perubahan besar sejak lebih dari satu generasi yang lalu dan dengan demikian menurut definisi, bagian-bagian tertentunya tentu telah “larut” tetapi angka perceraiannya terus merosot. Terakhir, meski pola keluarga lama mungkin melarut, mungkin digantikan oleh pola baru yang peran pengendaliannya tetap sama dengan pola lama. Kembali ke bentuk ketakstabilan perkawinan yang diakui umum yakni perceraian, sekurang-kurangnya kita dapat mengajukan pertanyaan bersifat ideologis : apakah angka perceraian yang tinggi itu ”baik” atau “buruk”. Ketakharmonisan perkawinan 235



jelas lebih banyak terjadi dalam periode perubahan sosial besar ketimbang dalam periode stabil (anggap orang dapat mengetahui periode demikian). Namun ketakharmonisan perkawinan kiranya ada dan terjadi dimana-mana dan orang dapat mengajukan pertanyaan sosiologis : pola institusional seperti apa yang mampu menanggulangi ketegangan potensial atau nyata dalam keluarga ? Semua sistem keluarga mengandung mekanisme untuk menyelesaikan permusuhan antara pasangan dalam batas tertentu. Pola utamanya tentulah memperendah harapan terjadinya perbuatan emosional kedua-belah pihak sehingga tak seorangpun yang mengharapkan cinta atau kebahagiaan berlebih-lebihan tetapi mengaharapkan prestasi minimal. Pola kedua yang banyak diperhatikan orang adalah meletakkan nilai sosial terbesar pada ikatan keluarga dan mengurangi arti penting hubungan suami-isteri. Akibat ketegangan antara kedua pasangan adalah kecilnya peluang untuk membangun hubungan pada tingkat yang tak dapat ditoleransi. Pola ketiga, semua kelompok mempunyai pola untuk menghindarkan ketegangan perkawinan dengan menekan, dengan menetapkan jenis percekcokan tertentu sebagai sesuatu yang sepele, tak penting dan dengan melihat bahwa suami dan isteri mempunyai latar belakang serupa sehingga bidang percekcokan makin menyempit. Meski mekanisme pencegahan seperti itu ada, ketakselarasan selalu saja timbul. Tetapi masyarakat berbeda dalam jumlah ketegangan yang dapat mereka toleransi. Masyarakatpun berbeda dalam meyelesaikan masalah bila derajat ketegangan tak dapat ditoleransi lagi. Perceraian adalah salah satu penyelesaian utama ketakselarasan perkawinan yang mencapai tingkatan hebat dan perceraian ditemukan dikebanyakan masyarakat dan bangsa. Namun aku tahu, tak ada masyarakat kontemporer (primitif atau industrialisasi) yang benar-benar menghargai perceraian16). Perceraian berakibat bagi masyarakat, hubungan keluarga dan individu. Perceraian adalah membosankan bila tak janggal dan memberatkan bila tak menghancurkan. Sebaliknya hingga kini kita



236



tak dapat menyatakan mengapa sebuah masyarakat lebih mengembangkan pola perceraian ketimbang memilih pola perpisahan atau mengambil isteri tambahan atau gundik. Perbedaan utamanya adalah bahwa perceraian memungkinkan kedua pasangan kawin kembali. Dalam masyarakat yang tak mengenal perceraian, biasanya hanya lelaki yang dibolehkan kawin baru. Begitulah di negara Barat seperti di Brazil, Itali, Spanyol dan Portugal sikap publik menentang keras isteri yang kawin lagi sedangkan suami dibolehkan mempunyai gundik di luar rumahtangganya sendiri. Melihat alternatif ini, kiranya keliru membicarakan perceraian sebagai solusi “lebih ekstrim” dari pada pola lain. Hingga kini kita tak tahu apakah dengan memperkenalkan pranata pergundikan ke dalam rumahtangga orang Jepang atau Cina menimbulkan ketakbahagiaan lebih besar dari pada yang ditimbulkan perceraian. Apapun jawabnya, keputusan mengenai sifat diinginkannya tetap menjadi masalah penilaian pribadi atau sosial.



Penilaian Obyektif dan Ideologis Tentang Ketakstabilan Perkawinan Penilaian ideologis seseorang terutama menentukan penilaian ketakstabilan perkawinan dan “pasang naik” perceraian dikalangan bangsa Barat jelas meningkatkan kecemasan ilmuan sosial obyektif, kecemasan meningkat terutama dari tempat historis khas perceraian menurut dogma gereja. Penilaian memadai tentang biaya ketakstabilan perkawinan menurut standard ideologi tertentu dirintangi oleh ketiadaan ukuran yang baik mengenai “ketakstabilan perkawinan total” bahkan di negara yang paling canggih catatan statistiknya sekalipun bila kita memasukkan semua angka kelima tipe utama ketakstabilan perkawinan seperti dicatat di atas. Kenyataannya kita tak mengetahui angka total biaya sosial-psikologis kelima tipe ketakstabilan itu.



237



Kita pun tak mengetahui pengaruh perceraian meski makin banyak analisis yang membicarakannya ketimbang membicarakan bentuk ketakstabilan perkawinan yang lain17). Selain itu, biaya sosial-psikologis ketakstabilan perkawinan itu tentu selalu dinilai dengan merujuk pada alternatif semula yang terbuka bagi pesertanya. Sebagai contoh, anak yang orangtuanya bercerai menderita banyak kerugian dibandingkan dengan anak yang hidup dalam keluarga bahagia. Tetapi pasangan yang bercerai tak dapat memilih antara menciptakan kebahagiaan



rumahtangga dan mendapatkan



perceraian. Mereka hanya dapat bercerai atau tidak ; mereka tak dapat menginginkan (dan mencapai) keharmonisan perkawinan. Dan sayangnya, sekurang-kurangnya di AS, opini terbaik dan data menegaskan bahwa anak dari pasangan yang cekcok atau berpisah, menderita kerugian lebih besar dari pada anak yang orangtuanya benarbenar bercerai18).



Perceraian yang Berbeda Karena ketiadaan data sama sekali tentang ketakstabilan perkawinan, aku lebih suka meneliti pertanyaan selanjutnya yang pernah kujelaskan beberapa tahun lalu dan yang dalam beberapa cara yang menarik, menghubungkan keluarga dengan struktur sosial lebih luas, yakni persoalan : perbedaan kelas dalam angka perceraian. Penelitian lebih lengkap akan diperkenalkan dengan menganalisis struktur sosial lebih luas bersamaan dengan angka perceraian. Hingga kini kita belum mempunyai hasil studi dengan baik mengenai masalah ini. Penulis kini justru dibimbing oleh klise, yang sebagian keliru dalam memahami fenomena empiris dan pemikiran teoritis penting yang menyatakan bahwa urbanisasi dan industrialisasi penting perannya dalam meningkatkan angka perceraian dan bahwa angka perceraian yang rendah hanya ditemukan dalam sistem keluarga petani patriarchat yang saleh. Lagi pula kesimpulan yang baik dari data antropologi perlu diperhatikan bahwa masyarakat matrilineal cenderung tinggi angka perceraiannya19). 238



Perbedaan Kelas : AS Dengan menunda membahas secara luas tentang kondisi struktural yang menciptakan angka perceraian yang tinggi, kini perhatian justru `dipusatkan pada perbedaan angka perceraian menurut kelas yang berawal di AS yang menandai berbagai perubahan yang kemudian terjadi pula di negara lain. Sebelum PD I, analisis sosial menduga hubungan sosial dalam pekerjaan tertentu menciptakan kecenderungan lebih besar untuk bercerai. Contohnya, penjual berkeliling, karena ia tinggal lebih lama jauh dari pengendalian sosial tetangganya ; pelayan bar dan penghibur karena kehidupan mereka yang tak terlindung dari godaan ; dokter karena tanggapan emosional dalam istilah psikodinamis moderen disebut “fenomenon pemindahan” yang ia timbulkan ; dan seterusnya. Data pekerjaan memang dikumpulkan ketika itu tetapi prosedur pencatatan buruk20). Kebanyakan buku-ajar Amerika yang menerangkan masalah perceraian selama beberapa dekade berturut-turut menceritakan temuan ini dengan berbagai cara. Namun meski prediksi dapat dibuat dari sedikit pekerjaan khusus (pendeta, dokter, guru, penari) pengetahuan kita mengenai sebagian besar pekerjaan tak memungkinkan kita membuat prediksi sama sekali dan pekerjaan segera dikeluarkan dari sebagian besar riwayat pekerjaan. Posisi kelas yang sesuai dengan pola hubungan sosial dan gaya hidupnya sekurang-kurangnya secara kasar dapat mempengaruhi angka perceraian. Keyakinan awam dan hingga taraf tertentu ilmuan sosial hingga belakangan ini mengira angka perceraian AS lebih tinggi dikalangan starta atas dan rendah di strata bawah dimana desersi lumrah terjadi. Namun rekapitulasi data yang tersedia yang disampaikan lebih setengah abad lalu, bersama dengan perhitungan baru dari survei dan sensus nasional, menunjukkan hubungan terbalik antara posisi kelas dan angka perceraian. Temuan ini diringkas sebagai berikut :



239



Kelas dan Model Keputusan Cerai Bila kita menghidarkan perangkap upaya menganalisis perceraian melalui “penyebabnya” dan memusatkan perhatian hanya pada angkanya, model sederhana keputusan cerai menjelaskan hubungan terbalik antara posisi kelas dan angka perceraian. Sekurang-kurangya kita memerlukan hal berikut :



1) Kecenderungan dalam stratum ekonomi dan sosial yang menyetujui atau menentang perceraian : nilai dan sikap. 2) Ketegangan internal di dalam atau kepuasan dari perkawinan. 3) Alternatif di luar perkawinan 4) Tekanan yang mendukung atau yang melarutkan pada bagian jaringan sosial yang relevan. Ada kemungkinan secara ideologis strata atas di AS lebih bertoleransi atas perceraian ketimbang strata bawah. Tetapi faktor tersebut di bawah, menciptakan kecenderungan agak lebih sedikit atas perceraian dikalangan strata sosio-ekonomi atas : 1) Makin luas jaringan hubungan sosial dan hubungan kekluargaan, makin ketat terorganisir dan makin besar kontrol yang dilaksanakan terhadap individu. 2) Perbedaan pendapatan antara suami dan isteri di strata atas adalah lebih besar dari pada di strata bawah. Akibatnya isteri mempunyai alasan lebih banyak untuk mempertahankan ikatan perkawinan jika ia mampu.



240



3) Untuk strata atas, jauh labih banyak pendapatan suami yang digunakan untuk pengeluaran jangka panjang, karena itu ia dapat dengan mudah mengambilnya untuk menyokong kebebasannnya. 4) Suami di strata bawah dapat lebih mudah melepaskan diri dari kewajiban membayarkan bantuan untuk anak dan biaya lain sesudah bercerai karena kehidupannya lebih anonim dan kontrol hukum kurang efektif. 5) Ketegangan internal terhadap perkawinan lebih besar untuk strata bawah : skor kepuasan perkawinannya lebih rendah, sentuhan romantis antara pasangan biasa, suami kurang mau berbagi tugas rumahtangga bila isterinya bekerja, dan seterusnya.



Perbedaan Kelas Dalam Masyarakat Lain : Fase Perkembangan Hubungan antara struktur sosial dan perceraian yang terdapat di AS nampaknya cukup umum untuk dapat diterapkan dalam masyarakat lain. Masalah ini segera akan dibahas. Dimana sistem stratifikasi berkembang dengan baik, disitu ada kemungkinan kelas bawah tak mengharapkan stabilitas perkawinan, perkawinan itu sendiri dinilai kurang berharga, kurang dihormati ketimbang di dalam kelas atas, ikatan kekeluargaan kurang penting dan karenanya kemanduaan makna yang diciptakan perceraian tak dianggap seserius anggapan kelas atas. Sebaliknya dimasa lalu tanpa keraguan, angka perceraian (selama dibedakan dari angka umum ketakstabilan) lebih tinggi pada strata atas AS. Menurut yurisdiksi negara tertentu, tindakana hukum diperlukan untuk mendapatkan perceraian dan biaya perceraian umumnya mahal. Akibatnya disaat yang tak diketahui dalam sejarah AS, strata bawah mulai melampaui strata atas dalam angka perceraian seperti yang terjadi berkenaan dengan perbedaan angka perceraian Negro dan kulit putih. Jadi, 241



untuk meneliti lebih seksama dalam hal tertentu harus diperkenalkan gagasan tentang fase. Dengan kata lain, strata bawah umumnya mempunyai angka ketakstabilan perkawinan lebih tinggi dari pada strata atas tetapi angka perceraiannya mungkin tak selalu lebih tinggi hingga tahap perkembangan tertentu dalam sistem perkawina dan perceraiannya terjadi. Teori umum tentang hubungan antara struktur sosial lebih luas dan angka perceraian kelas ini dapat diterapkan dengan tepat terhadap kultur Barat dimana dogma gereja mengenai keluarga diterjemahkan ke dalam peraturan hukum negara di setiap bangsa dan dimana administrasi peraturan hukum yang melarang perceraian ini hingga saat belakangan ini berada di tangan elite. Tetapi peraturan hukum ini telah sangat berubah dikebanyakan negara Barat sejak setengah abad lalu. Lagi pula, bila teori itu akan digeneralisir berlakunya, teori itu harus dirubah disesuaikan dengan kultur seperti Cina, India, Jepang dan Arab Islam dimana perkawinan dan perceraian umunya tak berada di bawah yurisdiksi pejabat negara (kecuali untuk kasus ekstrim) dan dimana perkawinan terutama tak dinilai sebagai peristiwa suci (Jepang, Cina). Penggunaan pekerjaan sebagai indek kelas mungkin yang terbaik dilihat dari sudut pentingnya tersedia data mentah untuk perundingan lintas nasional, disaat di masukkannya variabel baru ke dalam analisis, gaya hidup khas dari jenis pekerjaan tertentu. Contoh, pendeta dan guru (di Barat) rendah angka perceraiannya tetapi dokter dan artis tinggi angka perceraiannya tetapi dalam kebanyakan tabulasi angka perceraian nasional,keempat jenis pekerjaan itu digabungkan. Di Barat, petani rendah angka perceraiannya tetapi di Jepang, pola khusus “perkawinan percobaan” menciptakan angka perceraian tinggi di kalangan petani. Walau banyak diantara kejadian perceraian ini tak tercatat. Bila modifikasi penting ini disatukan, beberapa kesimpulan berikut dapat dites. (1). Dalam periode pra-industri atau awal industrialisasi bangsa, angka perceraian kelas atas lebih tinggi. Memang hampir tak ada kelas sosial yang rendah angka perceraiannya. (2). Seraya bangsa Barat



242



memasuki periode industrialisasi, prosedur perceraiannya secara bertahap disediakan untuk semua kelas. Karena ketegangan keluarga makin besar ke arah strata lebih rendah, proporsi angka perceraian strata lebih rendah akan meningkat dan akhirnya akan terdapat hubungan terbalik antara posisi kelas dan angka perceraian, seperti yang terjadi di AS. (3). Di Cina, India, Jepang dan Arab Islam dimana kekuasaan untuk bercerai tetap berada di tangan keluarga suami, fase seperti di bangsa Barat tak terjadi. Meski data yang sangat tepat mungkin tak ada, namun aku menghipotesiskan bahwa hubungan antara kelas dan angka perceraian, bergerak menurut arah berlawanan. Artinya, meski strata bawah akan terus memberikan lebih dari “bagian”’ angka perceraian kelas agak menciut sambil strata atas mulai makin banyak yang cerai. (4). Karena pola dominan kehormatan ditentukan oleh elite urban dan pola perkawinan dan perceraian pedesaan makin longgar, ada kemungkinan perubahan moderen di Cina, India, Jepang dan Arab Islam akan menuju ke kemerosotan angka perceraian dikalangan petani di pedesaan. Kita akan melihat data yang berkaitan dengan hipotesis pertama. Selandia Baru. Rasio perceraian atas perkawinan menurut distribusi pendapatan menunjukkan dengan jelas bahwa makin rendah strata makin tinggi angka perceraian. Rasio Persentase Perceraian Terhadap Persentase Perkawinan Dalam Golongan Pendapatan . Golongan Pendapatan



Rasio @



Golongan Pendapatan



Rasio@



163 @ Angka lebih tinggi dari 1.00 menunjukkan bahwa golongan pendapatan itu menyumbang lebih tinggi dari “bagian” angkanya terhadap jumlah total perceraian. Sumber : A. J. Dixon, Divorce in New Zealand, Auckland, Auckland Univ. College Bull. No. 46 (1954 : 42) (Sociology Series, No. 1).



243



Hubungan yang sama ditunjukkan oleh pekerjaan ; rasio perbandingan frekuensi perceraian terhadap jumlah dalam berbagai golongan pekerjaan adalah seperti berikut Golongan Pekerja



Rasio



Golongan Pekerja



Rasio



Arsitek



Mekanik



0, 96



Doktergigi, pengacara



Kereta api



Dosen



Pekerja



0, 80



Dokter



0. 07



Klerek



0, 55



Insinyur



0. 72



Sales



1, 17



Petani



0. 17



Pelayan bar



4, 73



Manejer (bkn perusahaan



0. 32



Buruh



2, 30



Tukang Kayu



0. 78



Tukang daging



1. 05



@ Angka lebih tinggi dari 1, 00 menunjukkan pekerjaan yang bersangkutan menyumbang lebih banyak perceraian dari pada jumlah “bagiannya” dalam seluruh pekerjaan. Amerika Serikat. Meski rangkuman luas data yang relevan tersedia untuk AS21), perlu diingat bahwa rangkuman lebih belakangan telah menguatkan temuan ini dan data di tabel berikut diambil dari situ. Rasio Perceraian Tiap 1. 000 Lelaki Kawin Menurut Pekerjaan Tenaga Sipil Berumur 14 Tahun Ke Atas (Sensus AS 1950).



244



Pekerjaan



Jlh. Perceraian tiap 1.000 lelaki pernah kawin



Tehnisi profesional dan pekerja sejenis



18, 49



Manejer, pegawai negeri dan pemilik (di luar petani



16, 59



Klerek dan pekerja sejenis



25, 70



Pengrajin, mandor dan pekerja sejenis



24, 15



Detektif dan pekerja sejenis



26, 18



Buruh-tani dan mandor



40, 76



Sumber : Karen G. Hillman, Marital Instability and Its Relation to Education, Income and Occupation : An Analysis Base on Census Data (Evanstone, III : Northwestern Univ. 1961 : 19) Australia. Di Australia hubungan demikianpun, berlaku : Rasio Perceraian Tiap 1.000 Lelaki Pernah Kawin Dirinci Menurut Kelas, (Sensus 197=47 ) Tingkat Pekerjaan



Jlh. Perceraian Tiap 1.000 Lelaki Pernah Kawin



Majikan



9



Bekerja sendiri



9



Buruh (digaji)



15



Pembantu (tak digaji)



23



@. Dihitung dari : Census Commonwealth of Australia, 30 June 1947. Statisticians Report, Camberra, 1952 : 268. Swedia. Rasio serupa juga ditemukan dalam sensus Swedia 1950. Rasio perceraian tiap 1.000 lelaki pernah kawin menurut kategori pekerjaan.@



245



Kategori Pekerjaan



Jlh. Perceraian per 1.000 lelaki pernah kawin



Majikan



12



Karyawan digaji



21



Penerima upah



28



@. Dihitung dari korespondensi pribadi, Central Bureau of Statistics, Sweden.



Belgia : Rasio perceraian per 1. 000 lelaki pernah kawin menurut kategori pekerjaan (di luar petani dan nelayan).@ Kategori PKJ



Jlh. Perceraian per 1.000 lelaki pernah kawin



Majikan



13



Pekerjaan uapahan



14



Pekerja terampil dan tak terampil



15



Tenaga pembantu



31



@



Dihitung dari : Institut National Statistique, Recensement General dengan la Population, dengan Industrie et du Commerce au 31 Des 1941. vol. 8s Dalam tabel terdahulu yang dihitung dari sensus Belgia 1947, hubungan serupa juga nampak meski perbedaannya di sini sangat kecil.



246



Perancis : Di sini hubungannya juga nampak Rasio perceraian per 1.000 lelaki pernah kawin menurut kategori pekerjaan @. Kategori Profersional liberal & kader senior Kader menengah Pekerja upahan Pekerja terampil & tak terampil Pelayan rumahtangga



Jlh. Perceraian per 1.000 lelaki pernah kawin 17 20 21 24 78



@



. Dihitungan dari : Resultats du Sondage au I/20, institut Nat. dengan la statistique et des Etudes economique, univ. paris, 1960. Inggeris. Studi khusus tentang struktur pekerjaan angka pekerjaan dan “kelanjutan hubungan perkawinan” di Inggeris, dan Wales 1951 menunjukkan bahwa proporsi angka perceraian menurut kategori pekerjaan yang dipilih hampir sama dengan proporsi penduduk yang melanjutkan perkawinannya. Demikianlah, kelas manejer dan profesional angka perceraiannya 13,5% dan yang melanjutkan perkawinan 13,9% dari sampel. Fakta yang jauh lebih banyak mengandung pelajaran dan memperkuat hipotesis kedua kita adalah perubahan distribusi pekerjaan suami ketika cerai. Perbandingan yang disajikan di bawah menunjukkan mengapa pekerja dari keluarga terhormat merosot dari 41,4% dari total penduduk yang cerai menjadi 11,4% dari total penduduk yang cerai menjadi 11,4% antara 1841 dan 1951. Dalam periode yang sama, proporsi yang diberikan oleh buruh manual meningkat dari 16,8% menjadi 58,5%. Afrika Selatan. Hingga tulisan ini ditulis aku belum mampu membuat perbandingan serupa untuk Afrika Selatan karena dalam sumber data yang ada padaku, kategori yang digunakan untuk pekerjaan dan perceraian tak berhubungan satu sama lain22). Belanda. Data dari Belanda tak sesuai dengan hipotesis karena sangat tingginya rasio perceraian dikalangan profesi bebas termasuk profesi mapan seperti dokter dan 247



pengacara dan pekerjaan seperti musisi, artis, penulis dan sebagainya. Pekerjaan guru terpisah dan memang rendah angka perceraiannya. Sayangnya profesi pekerja terampil rupanya digolongkan sama dengan tenaga kerja manual. Dengan demikian, meski kategori ekstrim di Belanda dapat disesuaikan dengan tesis kita, namun kategori “profesi bebas” tak dapat disesuaikan. Pekerjaan Suami Saat Cerai, 1871 dan 1951 di Inggeris dan Wales@. Tahun



Manejer &



Petani & Penjaga



Profesional



toko



Pekerja kasar



Pekerja



Pekerjaan tak



Total



Manual



diketahui



Pekerjaan



%



%



%



% %



%



1871



41, 4



12, 7



6, 3



16, 8



22, 8



285



1951



11, 4



6,7



7, 6



58, 5



15, 8



1. 813



@



. Dihitung dari : Griselda Rowntree and N. H. Carrier, “The Resort to Divorce in England and Wales 1858 –



1957”, dalam Population Studies, No. 11 (March, 1958 : 222).



Rasio Percearaian per 1.000 Lelaki Kawin yang Menjadi Kepala Keluarga (KK) di Belanda 1955 – 1957 (Termasuk Petani)@. Kategori



Jlh. Perceraian Per 1.000 Lelaki KK



Pemimpin Perusahaan



48



Profesi Bebas



50



Pegawai negeri dan pekerja kantor



21



Mengajar



15



Birokral manual



37



Pekerja manual



30



248



@



Di hitung dari : Jumlah Rumahtangga yang dicacah 30 Juni 1956 ; perceraian dihitung dari 1955 – 1957. Sumber : Echtscheidingen in Nederland, 1900 – 57, Central Bureau Voor dengan Statistick Zeist, W. de Haan, 1958, Appendix II, Tabel Dan : 63. Yugoslavia. Belakangan ini Yugo mulai memasuki industrialisasi dan hipotesis kita menyatakan bahwa rasio perceraian makin tinggi menuju strata atas. Bila pendidikan digunakan sebagai indek, rasionya 1959 nampak seperti berikut. Rasio Perceraian Per 1.000 Lelaki Kawin Menurut Pendidikan. Prestasi Sekolah Suami



Jlh. Perceraian per 1.000 Perkawinan



Tak Sekolah



124



Sekolah Dasar



124



SLP (tak tamat)



144



SLP (tamat)



148



SLA dan Fakultas



144



Sumber : Statistical Yearbook of the Federal Peoples Republik of Yugoslavia, 1961. Tetapi rasio menurut pekerjaan, membingungkan. Masalah tehnik rasio itu sendiri di sini adalah penting : bila rasio yang digunakan adalah perceraian dan perkawinan sebenarnya dalam satu tahun tertentu, hasilnya sangat aneh : misalnya tingginya rasio tetapi sangat sedikit perkawinan karena umur mereka. Ini lebih disebabkan peran tingkat umur ketimbang tingginya kecenderungan cerai.



249



Tabel berikut menyajikan data yang sebagian sama dengan tabel terdahulu. Rasio Perceraian atas Perkawinan Menurut Pekerjaan Suami@. Pekerjaan Suami



Jlh. Perceraian per 1.000 Perkawinan



Tak terampil



144



Pekerja industri, kesenian



140



Pegawai administrasi



156



Pekerjaan profesional tehnisi & seniman



132



@



. Dihitung dari : Stratifikasi Yearbook of Federal Peoples Republic of Yugoslavia.



Angka ini juga agak berbeda dari yang dihitung Milic dari sumber yang nampaknya sama23). Mesir. Data Mesir mengenai hal ini menimbulkan masalah, seperti disemua negara yang perceraiannya sedikit sekali menjadi urusan negara. Soalnya apakah negara (pemerintah) cukup teliti mencatat perceraian dan apakah pasangan yang lebih terdidik yang cerai lebih besar kemungkinannya melaporkan perceraian mereka atau tidak. Seperti terlihat di tabel berurutan, rasio kawin/cerai diprediksi tetap baik terutama untuk perbedaan antara majikan di satu pihak dan semua jenis pekerjaan lain di lain pihak.



250



Rasio Perceraian terhadap perkawinan menurut Pekerjaan suami (termasuk petani, nelayan dan berburu)@. Kategori



Jlh. Perceraian per 1.000 perkawinan



Majikan



9



Bekerja sendiri



18



Direktur dan subdirektur karyawan



12



Buruh dan pengrajin



18



Tak bekerja



117



@



. Dihitung dari : Sensus Penduduk Mesir, 1947. General Tables, Ministry of Finance and Economy, Gov. Press, Cairo, 1954. Perbandingan antara kebutahurufan perceraian menunjukkan tak ada perbedaan melek-huruf pengantin lelaki dan lelaki yang cerai tahun 1956 (47 % dan 45 %)24). Rasio yang dihitung untuk lelaki yang bekerja sebagai petani, nelayan dan pemburu di Mesir mengikuti pola seperti di atas untuk pekerjaan di luar kategori ini25). Yordania. Data yang sama tak untuk Yordania, namun ada peluang untuk menaksir bahwa tahun 1959 sekurang-kurangnya 75 % lelaki yang kawin adalah melek-huruf tetapi hanya 59% diantara mereka yang cerai. Sekitar 25% wanita kawin, melek huruf tetapi hanya 5 % yang cerai26). Karena itu kita dapat menyimpulkan bahwa lelaki berpendidikan lebih baik, lebih sedikit yang cerai ketimbang lelaki yang berpendidikan kurang baik. Kesimpulan umum ini juga muncul dari berbagai analisis non-kuantitatif tentang perceraian di Arab Islam. Tegasnya adakalanya ditegaskan bahwa cerai dan kawin lagi adalah “poligini yang jelek”27). Finlandia. Allardt menemukan bahwa tahun 1947 angka perceraian per 100.000 penyokong utama keluarga adalah makin tinggi menuju strata atas, yang sesuai dengan hipotesis kita. Dengan menggunakan tiga kelas (buruh, menengah dan atas) ia 251



menemukan angka perceraiannya berurutan 527, 543 dan 1.022. Tetapi sebagian besar anggota kelas atas (elite) ini ditemukan di Helsinki : dimana angka perceraiannya lebih tinggi dari pada di tempatk lain di Finlandia dan perbandingan angka perceraian menurut kelas 1945 – 1946 menunjukkan tak adanya perbedaan signifikan secara statistik, dalam arti di kawasan yang lebih industralis, pola kelas lebih usang telah berubah. Allardt mencatat bahwa perbedaan antara kelas lebih besar di awal abad tetapi kini perbedaannya sangat kecil. (Hipotesis kedua)28). Hongaria. Sebagai bangsa yang baru memasuki fase industrialisasi, Hongaria diperkirakan mempunyai angka perceraian agak makin rendah menuju strata bawah. Rasio Perceraian Terhadap Perkawinan, 1958. Pekerjaan



Jlh. Perceraian



Jlh. Perkawinan



Jlh. Perceraian per 1.000 Perkawinan



Pekerja Perkawinan



1.827



25.154



72



Pekerja manual



9.133



51.017



179



Intelektual



3.481



15.156



223



Sumber : Statisztikai Evkonyv, 1958. Kozponti Statisztikai Hivatal, Budapes, 1960



India. Pola India sangat terkenal, meski tak ada data kuantitatifnya. Perceraian adalah tak mungkin bagi Kasta Brahmana hingga 1995. Sebaliknya kasta lebih rendah dan orang tak berkasta maupun kelopok kesukuan sejak lama membolehkan cerai. Akibatnya tak syak lagi, hubungan umum yang dikemukan terdahulu sesuai dengan perbedaan yang diamati diantara strata, meski dalam hal ini agaknya mungkin membuat alasan kuat untuk keturunan berbeda.29 Cina. Kasus Cina serupa dengan Jepang. Meski Cina membolehkan cerai sekurang-kurangnya sejak periode T’ang namun penceraian bukanlah tindakan yang 252



dihormati dalam kultur Cina dan karena itu cenderung lebih umum terjadi menuju strata lebih rendah. Dikalangan elite solusi lain tentu terbuka terhadap suami yang disenangi.30 Jepang. Angka perceraian di Jepang teleh menurun sejak setengah abat lalu mesti pada waktu bersamaan peristiwa perceraian jauh lebih lengkap dicatat ketimbang sebelumnya. Lagi-lagi hipotesis kita dikuatkan. Rasio perceraian per. 1000 pekerja lelaki kawin berumur 15 tahun keatas di Jepang, 1957. 31 Pekerjaan



Jalan perceraian per 1000 lelaki pekerja



Tehnisi dan insinyur



7



Profesor dan Guru



3



Dokter dan Tehnisi kesehatan publik



5



Manejer dan Pejabat



4



Klerek dan Sejenis



8



Petani, Nelayan, Penebang kayu dan Sejenis



10



Buruh tambang dan Sejenis



18



Pengrajin, tukang proses produksi dan lain-lain



18



Pekerja rumah tangga



238



a. Dihitung dari: Japan,Bureau of Statistics, Office of the Prime Minister, 1955 Population Cencus of Japan, vol.II. Fase “ perceraian Mudah” : Kesimpulan Selanjutnya. Untuk menyelesaikan seluruh ketakberesan ini sepenuhnya diperlukan analisis institusional untuk tiap negara. Analsis kita terdahulu ternyata benar bahwa ada kemungkinan ketakstabilan perkawinan lebih mengarah kestrata bawah ketimbang ke strata atas. Artinya makin redah strata sosial, makin tinggi frekuensi ketakstabilan perkawinan. Tetapi apakah kekuatan yang menentukan ini benar-benar akan berperan dalam perceraian sebenarnya, hingga taraf tertentu tergantung pada pesoalan apakah peceraian itu sendiri mudah atau tidak dalam arti kecil “biayanya”. Biaya ini perlu diperhitungkan dengan menunjuk pada ketersediaan sumberdaya keluarga, baik biaya uang maupun biaya sosial. Kita juga melihat bahwa di negara yang perceraiaanya “mudah” (Jepang, Arab Islam), proses industrialisasi akan lebih menurunkan angka



253



perceraian strata bawah dibanding dengan strata atas. Di negara yang bergerak menuju fase perceraian mudah, strata atas mulai memberikan proporsi sumbangan makin kecil terhadap angka perceraian total. Kini akan dibahas implikasi pemikiran ini selanjutnya. Pertama, dimana biaya perceraian kecil, disitu angka perceraian akan tinggi. Inilah hubungan timbal-balik dan saling menguatkan. Perceraian mudah sebenarnya bararti disitu lebih sedikit faktor kuat untuk mempertahankan batas unit keluarga. Begitu pula dalam situasi seperti itu, ada kemungkinan pasangan individu mempunyai pengalaman serupa dalam arti perceraian dan karena itu hampir tak ada orang yang mencaci atau mengutuk orang yang bercerai. Dan adanya ketegangan dimana-mana dalam semua sistem perkawinan akan memastikan makin banyaknya individu yang mencari jalan keluar dari ketegangan ini dan juga makin banyak orang yang tersedia sebagi pasangan potensial. Dimana perceraian sukar dan mahal disitu percerain terutama menjadi privilej kelas atas. Di situ jarang adanya aturan khusus untuk kelas bawah selain dari aturan hukum mencegah kelas bawah menyerang privilej kelas atas (elite). Sebaliknya bila, bila keluarga kelas atas menghadapi kesulitan menyelesaikan persoalan struktur sosial dalam menghadapi rintangan perceraian, disitu tentu ada sekurang-kurangnya sedikit mekanisme untuk menyelesaikannya, seperti pembatalan dan cerai dengan berpindah tempat. Masalah bantuan keuangan dan masalah keturunan adalah sangat penting yang membolehkan menyelesaikan masalah perceraian secara informal yang dapat dinikmati kelas bawah. Dalam sistem keluarga yang membolehkan cerai dengan mudah dan dengan demikian mempunyai angka percerain tinggi, disitu juga angka sangat tinggi angka kawin lagi.31 Di AS angka kawin lagi dikalangan oarang yang cerai ini akhirnya sama tingginya dengan angka lelaki yang tak kawin, sekitar 9 berbanding 10. Angka perbandingan seperti itu tak ada untuk negara Arab Islam tetapi dari sedikit data yang tersedia, temasuk hasil observasi yang dilakukan dalam studi khusus memberikan kesan sangat tingginya angka kawin lagi ini. Persentase kawin dikalangan lelaki 254



berumur tua di Jepang dalam dekade ini lebih 95% sementara angka perceraian sangat tinggi, dengan demikian menunjukkan bahwa angka kawin lagi adalah tinggi. Irene Taeuber menggunakan tehnik demografi untuk menunjukkan bahwa perceraian maupun janda “lenyap” dalam golongan umur berturut-turut.32 Dalam sistem perceraian tinggi demikian, perceraian tak menimbulkan cacat sosial, disitu tersedia banyak janda yang akan dikawini dan perceraian mungkin tak lagi dianggap sebagai perilaku menyimpang secara sosial atau psikologi. Sistem perceraian kemudian benar-benar menjadi bagian sistem kenal mengenal dan perkawinan : artinya menjadi bagian proses “penyaringan”, sama dengan pola perkencanan remaja. Individu kawin tetapi ada pasar bebas baik untuk mendapatkan pasangan pertama dan dalam mendapatkan pasangan kedua, individu tak seharusnya menciptakan kehidupan yang harmonis dengan pasangan pertama. Sejauh perkawinan menjadi ikatan pribadi antara suami dan istri, dan mereka kawin setelah mereka menyatu secara psikologiis, rupanya ada sekurang-kurangnya semacam argumen ideologis yang melandasi kebebasan mereka berubah arah untuk mencari seseorang yang lebih baik sebagai pasangan. Segera setelah sistem perkawinan sepeti itu terbentuk, maka investasi besarbesaran untuk membanyar “harga penganten” atau maskawin akan merosot. Dalam perkawinan takkan pernah ada lagi investasi individual dalam sisitem keluarga tetapi mencerminkan komitmen jaringan keluarga besar (extended famili). Dimana kemungkinannya besar perkwinan takkan stabil dan kehancurannya mahal, maka tak satu pihak pun akan mau membuat investasi besar-besaran untuk jangka panjang dalam kehidupan keluarga itu. Memang tak seluruh hipotesis ini dapat dites dengan data yang tersedia dan dalam risetku tes akhir aku mencoba mengumpulkan data dari banyak negara. Tugas yang berat, tentu! Paper ini bertujuan menyajikan perspektif teoritis sederhana, dari situ dikembangkan hipetesis dan kemudian mengujinya.



255



Catatan Kaki 1.



Lihat Robert K. Merton, “The Bearing of Sociological Theory on Empirical Research”, dalam Social Theory and Social Structure, 2nd ed. (NY : The Free Press, 1957 : 85 – 101).



2.



Lihat : G. P. Murdock, Social Structures (NY : The Macmillan Co., 1949) ; C. Levy Strauss, Les Structures Elementaires dengan la Parente (Paris : Univ. de France Press, 1949); dan W. J. Goode, After Divorce (NY : The Free Press, 1956).



3.



Teoritisi terkenal seperti Talcott Parsons, Kingsley Davis, Robert K. Merton, dan George C. Homan semuanya telah menulis paper tentang keluarga.



4.



Lihat Mayer Fortes, “Kingship and Marriage among the Ashanti”, dalam A. R. Redcliffe Brown and D. Fortes, eds., African Systems of Kingship and Marriage (London : Oxford Univ. Press, 1956 : 282).



5.



Lihat Margaret Mead, “Sex and Temperament”, dalam From the South Seas (NY : William Morrow & Co., 1939).



6.



“An Instrument for Measurement of Success in Marriage”, Publication of the American Sociological Society, No. 27 (1933 : 94 – 106).



7.



Publikasi utama yang dicatat di sini adalah E. W. Burgess and L. S. Cotrell, Predicting Success or Failure in Marriage (Englewood Cliffs, NJ : Prentice Hall, 1939); Lewis M. Terman, et. al, Psychological Factors in Marital Happiness (NY : McGraw-Hill, 1939); H. J. Locke, Predicting Adjustment in Marriage (NY : Holt, Rinehart & Winston, 1951).



8.



Lihat ibid : 408 –429 dan C. Kirkpatrick, what Sciencew Says About Happiness in Marriage (Minneapolis : Burgess Publ.. Co., 1947).



9.



R. F. Winch, Mate Selection (NY : Harper & Row, Publ., 1958).



10.



Beberapa studi menyatakan telah mengujinya tetapi tak menggunakan ukuran yang sama untuk tiap faktor penting atau populasi yang tepat.



256



11.



Burgess and Locke, op. cit : 369 mencatat bahwa lebih dari 100 studi yang ada menunjukkan bahwa pasangan kawin adalah homogamos berkenaan dengan perbedaan ciri-ciri sangat besar.



12.



Winch mengembangkan kategorinya dari karya H. A. Murray, Explorations in Personality (NY : Oxford Uni. Press 1938).



13.



Komunikasi pribadi 22 Juli 1961.



14.



Winch telah mengomentari hal ini dalam Mate Selection, op.cit : 202–210; 300303.



15.



Klasifikasi ini dikembangkan dan diterapkan dalam artikelku, “Family Disorganization”, dalam Robert K. Merton and R. A. Nisbet, eds., Contemporary Social Problems (NY : Harcourt, Brace & World, Co. 1961 : 390 ff).



16.



G. P. Murdock mencatat bahwa dikalangan lelaki Crow mungkin menjadi ejekan bila ia tinggal terlalu lama dengan seorang wanita (“Family Stability in Non Europian Culture”, dalam Annals, CCXXII (Nov. 1950 : 198).



17.



Contoh, aku belum mampu, menjelaskan akibat perceraian atas kehidupan 425 ibu muda urban.



18.



Lihat Sheldon and E. Clueck, Unravelling Juvenile Delinquency (Cambridge, Mass : harvard Univ. Press, 1950, Tabel VIII- 19 : 91); P. H. Landis, The Broken Home in Teenage Adjustment (Pullman, Wash : Institute of Agricultural Science, State College of Wash., 1953 : 10).



19.



Meski dalam draf awal tak menjelaskan secara sistematis masalah perceraian, dalam analisis tentang matrilinial D. L. Schneider menunjukkan adanya ketegangan bawaan dalam sistem matrilineal itu.



20.



Marriage and Divorce 1867-1906 (Wash DC : Bureau of Census, 1909). Lihat kritikku mengenai hal ini dalam After Divorce (NY : The Free Press, 1956 : 52ff).



21.



Ibid : 52 ff.



257



22.



Lihat tabel tentang perceraian dan pekerjaan dalam Enskeiding in Suid-Africa oleh Hendrick Johannes Pick (Disertasi Doktor, Univ. of Pretoria, tak diterbitkan).



23.



Vojin Milic, “Sklapanje I Razvod Braka Prema Zanimanju”, dalam : Statistika Revija, No. 7 (March, 1957 : 19-44 terutama 38).



24.



United Arab Republic (Eqypt), Presidency of the Republic, Statistics and Censusu Dept., Vital Statistics 1956, Vol, II, Tabel XXIII : 340.



25.



Population Census of Egypt, 1947, General Tabel, op. cit.



26.



Statistical Year Book, 1959, Hashemite Kingdom of Yordan, Jarussalem : 4550.



27.



Lester Mboria, La Population dengan L’Egypte, Univ. of Paris Faculty of Law Thesis (Cairo : Procaccia, 1938 : 63.



28.



Erik Allardt, The Influence of Different Systems of Social Norms or Divorce Rate in Finland (NY : Columbia Univ. Press, 1954).



29.



Lihat India : Sociological Background, HRAF – 44 Cornell &, Vol. 1, Univ. Press, 1958 : 25.



30.



Analisis historis yang bagus tentang perceraian di Cina adalah dari Tse Tsiu, Le Divorce en Chine (Paris : Loviton, 1930).



31.



Jesse Bernard, Remarriage (NY : Dryden, 1956 : chap 2, 3).



32.



Irene Taeuber, The Population of Japan (Princeton, NJ : Princ. Univ. Press, 1958 : 226 ff).



258



Perbedaan Angka kematian Menurut Kelas Sosial dan Pekerjaan Oleh : I. M. Moriyama & L. Guralnick



Status pekerjaan dan sosio-ekonomi umumnya diakui penting pengaruhnya terhadap kesehatan. Tetapi seperti tinjauan Daric (1). Studi tentang hubungan antara kematian dan pekerjaan hingga 1949 menunjukkan adanya kekurangan informasi yang mengherankan dibidang studi ini. Lampiran tiap 10 tahunan The Registrar General tentang kematian menurut pekerjaan untuk Inggeris dan Wales merupakan satu-satunya rangkaian berlanjut data nasional yang tersedia (2). Lampiran tiap 10 tahunan ini mulai disiapkan W. Farr untuk 1851 dan disusun menjelang tiap tahun sensus kecuali untuk tahun perang 1941. Jawaban kuesioner di arsip Kantor Statistik PBB menunjukkan bahwa di 14 negara lain ditabulasi untuk setahun belakangan tetapi hasilnya tak mudah dibandingkan dengan tabulasi untuk AS atau Inggeris. Studi yang dilakukan di berbagai negara yang rendah angka kematiannya menghasilkan hubungan negatif atau tak ada hubungan berdasar data mutakhir yang tersedia. Karena itu tinjauan ini hanya terbatas pada gambaran awal yang hanya ditabulasi untuk AS dan data untuk Inggeris dan Wales. Di AS tabulasi angka kematian menurut pekerjaan mulai dibuat 1890 untuk tiap tahun sensus kecuali tahun 1940. Tetapi tabel yang diterbitkan hanya untuk 1890 (3). 1900 (4). 1910 dan 1920 dan angka kematian dihitung menurut pekerjaan, umur, ras dan jenis kelamin tetapi data ini tidak dikeluarkan banyak statistik yang penting ditahun tersebut tak dapat menunjukkan mengapa angkanya tidak diterbitkan. Menurut sebuah penialain yang tak diterbitkan berjudul “The Adequacy of Occupational Returns on Death Certificates” yang disiapkan oleh Mary V. Dempsey 1929 datanya mengandung cacat tertentu terutama berkaitan dengan perbedaan ketepatan umum informasi yang didapat dari surat kematian dibandingkan dengan data yang didapat dari daftar penduduk. Studi Dempsey dan studi lain menyebabkan 259



meningkatnya kampanye untuk memperbaiki catatan pekerjaan pada surat kematian untuk tahun 1930. Ketika data 1930 diperiksa, sebagian besar pekerjaan yang tak ditentukan dan tak diketahui itu, terlihat. Karena itu data yang diterbitkan dibatasi untuk 10 negara yang catatan pekerjaannya dinilai lumayan baik. Dengan pendekatan sensus 1940, penilaian dengan membandingkan data berdasar surat kematian dan berdasar hasil sensus untuk individu yang sama, dapat dibuat. Studi ini menunjukkan kekurangan serius hubungan antara informasi dari kedua sumber itu terutama disebabkan sebagiam besar orang yang meninggal dicatat sebagai “pensiunan” dalam sensus. Pada daftar sensus, pekerjaan tidak disebutkan bagi orang pensiun, sementara laporan tentang pekerjaan biasa diberikan pada surat kematian. Berdasarkan studi ini, rencana untuk menstudi angka kematian menurut pekerjaan dihentikan. Mengingat rencana periode sensus 1950, studi evaluasi yang dibuat sebelumnya ditinjau kembali. Terlihat, bila dalam tabulasi dipotong pada umur 60 atau 65, maka masalah yang disebabkan oleh penduduk pensiun sebagian besar dapat dilenyapkan. Sudah ada rencana membuat kode pekerjaan dan industri untuk orang mati antara umur 20 dan 65 dan BPS negara bagian mendorong untuk memperbaiki hasil studi tentang pekerjaan dan industri. Kini studi telah mencapai tahap dimana beberapa angka sementara sudah tersedia tetapi keterbatasan ini mustahil teratasi tanpa dukungan kuat The National Cancer Institute. Dari awal diakui bahwa sebagian besar cacat yang terliahat dalam studi ditahuntahun awal masih ada dalam data 1950. Masalah ini dapat menyebabkan distorsi serius dalam ukuran yang melukiskan risiko kematian untuk jenis pekerjaan tertentu. Dengan menggabungkan berbagai pekerjaan ke dalam kelompok besar dan dengan memilih pekerjaan tertentu untuk distudi secara rinci, dirasakan banyak informasi berharga yang masih dapat diperoleh.



260



Dibagian awal abad 20, perhatian terhadap risiko sebenarnya dalam pekerjaan seperti yang dihadapi oleh penambang batu bara, tukang batu, peniup api tanur baja, telah diakui menjadi satu-satunya tujuan tentang kematian yang berhubungan dengan pekerjaan. Lingkungan industri kini jauh berbeda dari lingkungan industri 50 tahun lalu. Meski penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan masih menjadi masalah tentang besarnya, makin sukar lagi mengenali sejumlah besar kematian yang sematamata berkaitan dengan pekerjaan. Tetapi angka kematian menurut pekerjaan masih menunjukkan perbedaan besar. Contoh, rasio kematian standard 1950 untuk dokter adalah 92, untuk pekerja tambang 180 dan untuk tukang pos 69. Sebagian perbedaan dalam rasio ini pasti karena resiko (bahaya) pekerjaan tertentu meski bukan karena lingkungan pisiknya. Sebaliknya perbedaan ini tak terlepas dari pengaruh status sosial ekonomi, faktor yang berhubungan erat dengan pekerjaan. Ukuran perbedaan angka kematian yang dapat dihubungkan dengan taraf hidup sebagai bagian studi kematian yang berkaitan dengan pekerjaan kini, mungkin sama pentingnya dengan menghitung angkanya menurut pekerjaan. Inggeris telah sejak lama mengakui penggunaan data pekerjaan sebagai pemandu terhadap variabel sosial ketimbang sebagai ukuran risiko pekerjaan itu sendiri. Lampiran 10 tahunan The Registrar General untuk 1921, 1931 dan 1951 melukiskan angka kematian dilihat dari sudut 5 kelas sosial yang ditentukan oleh pekerjaan yang menjadi ukuran dalam menggolongkan seseorang. Pendekatan serupa dilakukan AS unuk data 1950. Pekerjaan dibagi menjadi 5 kelompok tetapi tanpa memperhatikan kadar kelas sosial yang digunakan oleh GR (General Register Office) karena tak ada alasan untuk menganggap bahwa kombinasi status ekonomi, pendidikan dan sosial yang menetukan tingkatan di AS persis berhubungan dengan status sosial, ekonomi dan pendidikan di Inggeris. Masing-masing



pekerjaan



kelompok



pekerjaan



dalam



the



Intermediate



Occupational Classification of the Bureau of the Census (6) berdasarkan penilaian



261



“ahli”, ditempatkan pada salah satu dari 5 tingkat. Petani dan manejer pertanian ditempatkan pada tingkat II pekerjaan ; mandor pertanian dan buruh tani pada tingkat V. Tetapi telah terlihat bahwa buruh tani nyata sekali jarang dilaporkan pada surat kematian terutama pada kematian di umur lebih muda. Pemeriksaan angka kematian yang didapat bila petani dimasukkan ke dalam tingkat II pekerjaan dan tani ke tingkat V membantu memperkuat pemungutan ini. Diputuskan membuat kelompok terpisah untuk buruh tani dan mengeluarkan pekerjaan ini dari tingkatan kelas pekerjaan mereka masing-masing. Tabel 1. Taksiran Jumlah Lelaki 20- 64 tahun Di AS, 1950 Dirinci Menurut tingkat Pekerjaan, Umur dan Ras. a (172) Beberapa kelompok menurut klasifikasi pekerjaan Menengah, terutama kelompok sisanya tidak homogen. Akibatnya, tingakat pekerjaan yang terdiri dari Daftar Menengah, memasukkan beberapa kombinasi yang berubah-ubah. Kelas dan proporsi penduduk lelaki dengan pengalaman bekerja sebelumnya di umur 20-64 tahun ( tabel ) yang ditetapkan untuk masing-masing kelas adalah seperti berikut: No



Tingkatan Pekerjaan



%



I



Profesional



4



II



Tehnisi, Administratif dan Manajerial



9



III



Pemilik, klerek, penjual dan pekerja terampilan



37



IV



Semi terampil



25



V



Buruh kecuali pertanian dan pertambangan



10



VI



Buruh tani



13



262



Tabel 2. Angka Kematian Sementara, Lelaki 20-64 Tahun Menurut Tingkat Pekerjaan, umur dan Ras, Di AS 1950@. Umur dan Ras



Semua ras



Tingkat Pekerjaan I



II



III



IV



V



Buruh Tani



-



-



-



-



-



-



20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 44 45 – 54 55 – 59 60 – 64 Rasio Kematian distandard



Umur khusus dan umur yang disesuaikan dengan angka kematian dihitung untuk enam kelompok besar ini tak ada kemungkinan bahwa kurang rincinya hubungan antar pekerjaan yang dilaporkan dalam sensus dan yang dilaporkan surat kematian akan membuat berat sebelahnya angka. Masalah abadi lain dalam menafsirkan kematian dalam hubungan dengan pekerjaan (panjangnya rentang waktu yang dilalui individu dalam pekerjaan biasanya) sebagian besar lenyap bila analisis dibuat menurut kelompok besar. Agaknya ada mobilitas antara kelas-kelas ini tetapi lebih sedikit dari pada yang ditemukan antara pekerjaan khusus. Bahkan dengan studi terbatas terhadap umur di bawah 65, beberapa penyesuaian khusus diperlukan untuk penduduk yang pensiun. Dalam Sensus Penduduk 1950,



263



sekitar 10% lelaki berumur 55-59 dihitung bukan sebagai tenaga kerja. Karena pekerjaan diminta dicatat pada surat kematian untuk semua orang yang mempunyai pekerjaan, maka perlu menaksir penduduk melalui pekerjaan untuk lelaki yang tak termasuk tenaga kerja dalam kelompok umur ini dan menambahkan populasi ini ke kelompok tenaga kerja yang sesuai. Data yang didapat dalam Survei Penduduk bulanan yang dilakukan Biro Sensus berdasar pekerjaan biasa lelaki yang bukan termasuk tenaga kerja, membantu sebagai basis untuk taksiran ini. Rasio kematian yang distandarkan adalah tingkat umur biasa yang ditunjukkan sebagai rasio terhadap angka kematian rerata untuk seluruh lelaki 20-64 disusun untuk 5 tingkat pekerjaan, mulai dari 84 untuk tenaga profesional hingga 165 untuk buruh (Tabel 2). Rasio untuk empat kelompok pertama saling berkaitan erat, angkanya berurutan adalah : 84, 87, 96 dan 100. Pemeriksaan angka umur khususpun menunjukkan pengelompokkan angka untuk empat tingkat pekerjaan pertama, semuanya berbeda tajam dari angka yang didapat untuk buruh (tingkat V). lihat gambar di bawah ini. Angka Kematian Sementara Untuk Lelaki Menurut Tingkat Pekerjaan dan Umur : AS, 1950 Gambar : hal 174



Umumnya terdapat kenaikan tetap angka kematian dengan tingkat pekerjaan pada umur lebih muda. Untuk umur 45-64 kurva untuk 4 kelompok pertama sangat berhimpitan. Contoh, angka kematian terendah ditemukan pada pekerja profesional (pekerjaan tingkat I). hingga umur 45; di umur 45-54 angkanya kira-kira sama dengan kelompok II dan di umur lebih tua, angkanya melampaui angka untuk kelompok II. Angka kematian pekerja semi terampil (IV) lebih rendah dari pada angka kematian pekerja terampil, klerek dan penjual (III) setelah umur 55. 264



Angka kematian buruh tani lebih rendah dari pada angka kematian buruh dan tiap tingkat umur, tetapi lebih tinggi dari pada angka untuk pekerjaan tingkat I-IV di kelompok umur di bawah 35. Angka kematian untuk buruh tani di umur 35-44 lebih rendah dari pada angka kematian kelompok umur yang sama dalam pekerjaan tingkat IV dan di umur lebih tua, angka kematian buruh tani lebih rendah dari pada angka kematian kelompok lain. Dalam sertifikat kematian, pekerjaan si mati mungkin dilaporkan sebagai “buruh” tanpa disebut industri atau buruh tani. Kesalahan itu menyebabkan melebih-lebihkan angka kematian kelas V dan mengecilkan angka kematian buruh tani. Membandingkan angka kematian menurut kelas di Inggeris dan Wales 1950 dengan di AS ada gunanya hanya saja besar perbedaan dalam menentukan pekerjaan menurut kelas. Dengan mengurangi kelompok pekerjaan dari 5 menjadi 3 untuk kedua kumpulan data, perbandingan lebih baik akan tercapai. Kelas sosial atau pekerjaan tingkat I terutama terdiri dari pekerjaan profesional tradisional di Inggeris dan Wales. Kecil kesulitan mengenali buruh (V) ; dan kelas II, III dan IV cenderung terbesar perbedaannya dalam penetapannya di Inggeris dan Wales. Kelompok terpisah ditetapkan untuk buruh tani dikedua kawasan. Perbandingan angka kematian antara Inggeris dan AS selanjutnya dipersulit oleh fakta bahwa angka kematian lelaki dewasa untuk tiap golongan umur lebih tinggi di AS ketimbang di Inggeris dan Wales. Untuk menyingkirkan faktor ini dari perbandingan, angka kematian di tiap golongan umur di AS dan di Inggeris dan di Wales dianggap 100 dan rasio angka kamatianuntuk kelas pekerjaan tertentu terhadap populasi total digolongan umur tertentu dapat dihitung. Angkanya ditunjukkan di Tabel 3.



265



Tabel 3. Rasio Angka Kematian Menurut Tingkat Pekerjaan Terhadap Angka Kematian Total Dirinci Menurut Lelaki 20-64 di AS, dan Inggeris dan Wale, 1950. Tingkat Pekerjaan



Golongan Umur 20-24



25-34



35-44



45-54



55-59



60-64



AS



100



100



100



100



100



100



Inggeris Dan Wales



100



100



100



100



100



100



Dalam tiap golongan umur, rasio di AS lebih besar dari pada di Inggeris dan Wales. Tingkat pekerjaan I AS berada di bawah rerata dan tingkat V berada di atas rerata di tiap golongan umur. Untuk Inggeris dan Wales, perbedaan dari rerata, lebih kecil diseluruh golongan umur. Rasio kelas sosial I sebenarnya sama dengan atau lebih tinggi dari pada rerata di golongan umur 20-24 dan 60-64. Sebaran rasio di AS dan Inggeris, menurun bersamaan dengan meningkatnya golongan umur dan perbedaan maksimum terjadi antara umur 25 dan 44. Relatif, angka kematian pekerja profesional AS lebih baik ketimbang rekan mereka di Inggeris sedangkan buruhnya relatif kurang beruntung. Perbandingan antara angka kematian AS dan Inggeris berasal dari angka kematian total lelaki dikedua negara. Berdasarkan angka inilah seluruh tingkat strata sosioekonomi kedua negara dapat dimasukkan. Angka kematian nonkulit putih AS sangat penting karena eratnya hubungan antara ras dan status sosio-ekonomi. Angka kematian non kulit putih sama dengan angka kematian penduduk total yang ditunjukkan di Tabel 1 dan 2. Sesuai dengan distribusi penduduk yang ditunjukkan di tabel 1. 31% lelaki non kulit putih berumur 20 dan 64 tahun adalah buruh, 30% pekerja semi terampil dan 14% penjual-eceran, klerek dan pekerja terampil. Angka kematian lelaki non-kulit putih (Tabel 2) tingkat pekerjaan II, III, IV dan V (dengan satu kekecualian) lebih tinggi ditiap golongan umur ketimbang di golongan umur 266



yang sama penduduk total. Pola angka kematian non-kulit putih ditingkat III, IV dan V agak serupa dengan pola untuk penduduk total dengan perbedaan antara angka untuk buruh (V) dan tingkat pekerjaan IV jauh lebih besar dari pada perbedaan antara angka kematian untuk tingkat III dan IV. Angka kematian tingkat pekerjaan II untuk non kulit putih tak lebih rendah dari pada pola umum yang terlihat pada penduduk total. Angka kematian non kulit putih tertentu ditingkat II sangat berbeda dari distribusi angka untuk penduduk total dan ini dapat menjelaskan angka yang diamati. Angka untuk buruh tani yang ditunjukkan di Tabel 2 juga berbeda dari angka untuk penduduk total. Angka kematian buruh tani non kulit putih terdapat antara tingkat IV dan V untuk tiap golongan umur. Angka ini memberi kesan bahwa tingkat pekerjaan non kulit putih tidak sama dengan golongan umur yang sama dengan penduduk total. Dalam tiap golongan umur, non kulit putih mewakili lapisan lebih rendah menurut skala sosio-ekonomi. Sebaliknya faktor selain dari yang dilukiskan melalui pekerjaan mungkin ikut menymbang terhadap tingginya angka kematian untuk semua penduduk non-kulit putih. Tabulasi data kematian menurut pekerjaan segera dilengkapi dengan data tambahan. Tabelnya sebaiknya dapat menunjukkan apakah masih ada jenis pekerjaan tertentu atau penyebab kematian tertentu yang menjadi penyebab utama besarnya perbedaan antara angka kematian buruh (V) dan sisa penduduk lainnya. Juga ada kemungkinan mencoba menilai peran penting faktor yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaan; dan terutama yang berkaitan dengan ekonomi. Metode untuk mengevaluasi kekuatan tingkat sosio-ekonomi terlepas dari pekerjaan adalah dengan memeriksa angka kematian isteri dan anggota keluarga lelaki yang diketahui pekerjaannya. Keadaan sosio-ekonomi adalah sama untuk sebuah rumahtangga, sedangkan resiko di tempat bekerja hanya akan diderita oleh 267



suami. The General Register Office of England and Wales telah mengembangkan metode ini. Di AS belum tersedia informasi yang cukup berdasarkan surat kematian yang memungkinkan melakukan studi demikian. Tetapi di kota-kota besar, adanya metode lain untuk mengukur status sosio-ekonomi memungkinkan menstudi angka kematian untuk seluruh anggota keluarga, menurut kelas sosial. Angka kematian dikelompokkan menurut tempat tinggal orang yang mati melalui bidang sensus, membagi-bagi wilayah kota ke dalam kawasan pertetanggaan yang relatif kecil. Dalam tahun sensus, rerata sewa rumah bulanan atau rerata pendapatan dapat ditentukan untuk tiap bidang sensus. Bidangnya dapat disusun dalam distribusifrekuensi menurut rerata sewa rumah bulanan atau rerata pendapatan dan dikelompokkan ke dalam kelas-kelas yang sesuai yang mencerminkan strata ekonomi penduduk. Dengan membandingkan umur yang dibetulkan dan umur khusus angka kematian untuk tiap stratum ekonomi kota yang telah terkumpul datanya, memungkinkan untuk memahami lebih baik bagian peran yang dimainkan status ekonomi dalam angka kematian. Studi intensif telah dilakukan di berbagai kota, termasuk Chicago, Buffalo, Cincinnati, Cleveland, Baltimore dan New York tetapi belum mungkin menghubungkan temuan studi itu dengan temuan studi belakangan ini. Daric menyimpulkan dari studinya tentang data kematian menurut pekerjaan bahwa perbedaan besar angka kematian menurut kelas sosial, lebih berhubungan dengan faktor sosio-ekonomi ketimbang dengan resiko langsung pekerjaan. (1). Pengalaman untuk Inggeris dan Wales antara 1921 dan 1931 yang diambil sebagai indikasi jelas menyempitnya perbedaan angka kematian antara kelas sosial, akibat kemajuan yang dialami kelas lebih miskin sehingga angka kematiannya relatif menurun. Daric menafsirkannya sebagai akibat kemajuan sosial dan pengobatan yang telah menguntungkan kelas lebih miskin relatif lebih banyak dari pada yang didapat oleh orang yang berada dalam keadaan ekonomi lebih baik.



268



Angka kematian menurut umur-khusus untuk Inggeris dan Wales 1950 (2) tak menunjukkan pertemuan angka kematian seperti yang dicatat Daric selama periode awal. Sebenarnya penurunan angka kematian untuk kelas V antara 1930 dan 1950 adalah yang paling rendah ditiap golongan umur hingga 65 tahun dibandingkan dengan perubahan angkanya untuk kelas sosial lain (I, II, III dan IV). Begitu pula kemajuan dalam angka kematian bayi yang baru lahir dan sesudah periode baru lahir adalah yang paling sedikit untuk kelas sosial V. Analisis lebih lengkap yang meliputi periode 1945-1953 menyebabkan perbaikan (revisi) temuan ini. Tetapi saat ini tak nampak adanya indikasi yang jelas tentang pertemuan angka kematian antara kelas sosial berbeda disebabkan makin besarnya kemajuan angka kematian kelas sosial lebih miskin. Pola penurunan angka kematian di AS nampaknya mendukung kesan tentang menciutnya jurang perbedaan angka kematian antara golongan sosio-ekonomi. Langkah besar telah dilakukan untuk mencegah kematian karena penyakit menular. Penurunan signifikan kematian dikalangan orang berusia lebih muda, telah dicatat, angka kematian penduduk non-kulit putih telah merosot lebih cepat dari pada angka kamtain kulit putih dan perbedaan besar angka kematian antara negara bagian telah ditutup. Tetapi data perbedaan angka kematian untuk berbagai strata ekonomi yang telah dikumpulkan hanya untuk segmen penduduk secara terpencar dan belum pernah distudi secara keseluruhan. Data yang disajikan di sini menunjukkan tingginya angka kematian buruh. Kekurangan penting lainnya adalah besarnya perbedaan angka kematian untuk tingkat pekerja selain buruh digolongan umur lebih tua, 55 hingga 64 tahun. Digolongan umur inilah menumpuknya pengaruh langsung resiko pekerjaan dan di sini pula masalah kekuatan sosio-ekonomi diperkirakan yang terbesar. Beberapa statistik awal yang disajikan di sini memberikan indikasi perbedaan angka kematian menurut tingkat pekerjaan di AS. Statistik itu juga membantu 269



merangsang tetapi tak mampu menjawab sejumlah pertanyaan. Contohnya, apakah perbedaan angka kematian dalam golongan umur lebih muda itu akibat pilihan masuk ke dalam berbagai jenis pekerjaan atau apakah posisi ekonomi lebih penting di umur itu? Adakah persyaratan tingkat status ekonomi optimum untuk mampu untuk bertahan hidup di bawah kodisi kini? Apakah pertemuan angka kematian diumur lebih tua itu disebabkan mobilitas antara tingkat pekerjaan? Kondisi apa yang ada dalam cara hidup atau cara bekerja kita (AS) yang menciptakan lebih lebarnya jarak angka kematian di AS ketimbang di Inggeris dan Wales? Diharapkan analisis selanjutnya data kematian sehubungan dengan pekerjaan akan memberikan jawaban atas pertanyaan di atas atau menimbulkan studi lain.



270



Bab 5 Gaya hidup



Max Weber menggunakan istilah gaya hidup untuk menunjuk pada cara berperilaku, berpakaian, berbicara, berfikir dan bersikap yang menentukan berbagai “kehormatan” kelompok dan selanjutnya membantu sebagai cara berperilaku bagi orang yang bercita-cita menjadi anggota kelompok itu. Melalui perluasannya kini istilah itu sering digunakan untuk memasukkan sederetan pola perilaku khusus termasuk pola institusional seperti gaya hidup keluarga, orientasi nilai terhadap dunia umumnya dan pola perilaku antar perorangan dan antar kelompok. Ada tiga aspek “gaya hidup” berbeda yang dibahas di seksi ini. Alex Inkeles membahas distribusi perasaan bahagia dan kesejahteraan diantara kelas berbeda; Herbert H. Hyman meneliti pola nilai mendasar yang dapat dikatakan bercorak khusus; dan Urie Bronfenbrenner meneliti data yang tersedia tentang pola pengasuhan anak dalam kelas berbeda. Inkelas menemukan memang ada perbedaan derajat kebahagiaan antara kelas berlainan dan menurut arah yang termasukkan (perasaan bahagia yang dilaporkan) bahwa makin baik kehidupan ekonomi anda, makin besar peluang anda tertawa dan makin kecil peluang anda menangis sedih belakangan ini. Begitu pula ada perbedaan tanggapan kelas berkaitan dengan perasaan kepuasan yang mereka laporkan mengenai kemajuan kehidupan pada umumnya, mengenai pekerjaan yang secara optimis mereka harapkan akan tercapai dan mengenai perasaan yang mengerti keunggulan atas nasib dan karir mereka. Hyman pun melihat hal serupa, termasuk meletakkan tekanan pada pendidikan kolej dan menempatkan peran pentingnya untuk mencapai kemajuan, menentukan jenis pekerjaan yang akan dipilih pemuda dan dalam menentukan alasan untuk memilihnya dan menentukan keyakinan tentang peluang mencapai prestasi dan 271



BAB



6



METODE Fakta yang sudah dikenal dengan baik adalah bahwa apa yang ditemukan orang dalam riset ilmiah sebagian besar tergantung pada metode yang digunakan untuk memperoleh data. Selanjutnya, metode yang digunakan, tergantung pada atau harus berasal dari gagasan dasar peneliti mengenai apa yang penting untuk distudi, pertanyaan apa yang harusnya diajukan dan apa batas fenomena yang diteliti. Pertimbangan ini terutama berkaitan dengan studi stratifikasi karena berbagai peneliti, mendefinisikan fenomena stratifikasi secara berbeda-beda dan karenanya dibimbing oleh definisi ini untuk meneliti fenomena yang berbeda. Sebagai contoh, bila stratifikasi dikatakan terutama terdiri dari perbedaan kedudukan individu berdasarkan skala nilai atau kehormatan dan perbedaan pola pengelompokan dan hubungan akrab yang mereka bentuk berdasarkan kedudukan ini, maka seperti yang dilakukan W. Lloyd Warner, studi stratifikasi terutama akan memusatkan perhatian pada upaya menemukan kedudukan yang ditempati orang satu sama lain. Bila peneliti selanjutnya beranggapan bahwa perbedaan ciriciri obyektif seperti pendapatan dan pendidikan adalah penting, terutama pengaruhnya terhadap kedudukan, sekali lagi seperti yang dilakukan Warner, maka peneliti takkan memperhatikan dampak kedudukan terhadap perbedaan dalam sumber obyektif. Metode Warner yang cenderung dipakai oleh sejumlah peneliti dalam menstudi masyarakat Amerika dan juga dalam menstudi masyarakat lain, dikritik oleh Harold W. Pfautz dan Otis Dudley Duncan dalam artikel yang dimuat kembali di sini. O.D. Duncan mengajukan pertanyaan mengenai (1) tehnik yang digunakan untuk menempatkan individu dalam sebuah komunitas pada tempat tertentu di anak-tangga kelas, (2) keabsahan indek kelas sosial yang digunakan oleh Warner, (3) prosedur pengambilan sampel yang digunakan Warner, (4) kemampuan menggeneralisasi data dari hanya menstudi komunitas tertentu, (5) keterbatasan fenomena yang dapat dicakup oleh konsepsi stratifikasi Warner, dan (6) teori yang dikemukakan Warner untuk menerangkan temuan empiris dari studi terhadap berbagai komunitas.



Thomas E. Lasswell yang secara eksplisit memperhatikan masalah pendefinisian kelas dan stratifikasi, menunjukkan bahwa kekacauan atau pemakaian istilah yang berbeda-beda sering menuntun kita kepada argumen yang keliru. Klarifikasi dari konsep yang “campur-aduk” itu adalah penting bila kita ingin mendapatkan perbandingan data dari satu studi dengan studi yang lain dan dari satu masyarakat dengan masyarakat lain, mengenai bentuk dan fungsi ketimpangan sosial. Dalam menghadapi pemikiran sindividu sendiri mengenai struktur kelas masyarakat mereka, peneliti menemukan pandangan yang sangat berbeda-beda dari responden tentang struktur kelas yang tergantung pada pertanyaan yang mereka ajukan. Tujuan utama semua pertanyaan seperti itu adalah untuk menemukan pandangan responden mengenai siapa yang ia anggap sama dengan dirinya dan siapa yang ia anggap tidak sama dengan dirinya. Di sini istilah “sama” itu pun bermakna samar-samar dan orang yang dipandang sama dalam satu hal mungkin dipandang tidak sama dalam hal lain. Kemungkinan perbedaan tanggapan atas pertanyaan seperti itu, dilukiskan dalam laporan penelitian Tumin dari Puerto Rico dimana ia mengajukan pertanyaan kepada responden untuk mengetahui posisi pada tiga anak tangga kelas yang diduduki orang lain yang menurut perasaan responden sekelas dengan dirinya; dengan siapa ia meresa paling senang; siapa menurutnya yang paling menghormati dirinya; seperti kehidupan siapa yang ia inginkan akan dinikmati oleh anaknya, dan seterusnya. Bermacam-macam jawaban atas pertanyaan ini menggambarkan derajat perbedaan “kelompok rujukan” responden dan perbedaan suasana yang mungkin terjadi bila kelompok rujukannya berubah. Prosedur ini melukiskan betapa beraneka-ragamnya “data” mengenai kelas sosial yang dapat dikumpulkan, tergantung pada pertanyaan yang diajukan peneliti dan karena itu melukiskan betapa besarnya perbedaan bentuk dan fungsi stratifikasi yang dapat muncul dari berbagai studi yang dilakukan.



Studi Stratifikasi Sosial Oleh : W. Lloyd Warner



355



Masalah Studi kontemporer tentang beberapa jenis stratifikasi sosial diuntungkan oleh meningkatnya penggunaan fakta yang langsung berasal dari riset lapangan tentang perilaku manusia dan oleh akumulasi dan penggunaan fakta statistik. Fakta yang tersedia ini dapat digunakan untuk mengetes teori, mengembangkan metode dan tehnik penelitian dan membantu membangun landasan empiris untuk memahami bagaimana berbagai urutan tingkatan beroperasi dalam kehidupan individu dalam seluruh tipe masyarakat. Secara teritorial, studi stratifikasi meliputi seluruh dunia, mencakup masyarakat yang sudah mengenal tulis-baca maupun yang masih buta huruf. Bahasan ini memusatkan perhatian pada beberapa hasil studi stratifikasi tetapi tidak cukup membuat perbandingan sistematis. Studi perbandingan sistematis itu kini sangat diperlukan untuk meningkatkan keseimbangan pemahaman atas masalah ilmiah tentang tingkatan sosial mapun untuk menempatkan bentuk studi stratifikasi sosial kita sendiri dalam perspektif studi stratifikasi yang sebenarnya (114,138,153,251). Secara konsepsional karya ini berbeda dari doktrin Marxisme dan bentuk determinisme ekonomi lainnya yang membuat analisis struktural dan interpretasi psikologis tentang perilaku (16,154,173,192,242). Disiplin metode yang digunakan dalam studi stratifikasi sangat beranekaragam. Dalam sosiologi pendekatan organisasi dan pekerjaan sangat menonjol. Pendekatan riset komunitas pada dasarnya adalah muslihat metodologi untuk menggunakan prosedur yang ada guna menstudi struktur status dalam masyarakat kontemporer. Secara metodologis, pendekatan pekerjaan dapat mengabaikan nilai dan organisasi komunitas lokal (60,104,198,199,211,212). Tetapi pendekatan pekerjaan ini membatasi bidang perhatian dan pemahaman terhadap perilaku, keyakinan dan nilai manusia yang merupakan aspek lebih penting dari riset mengenai status. Karena itu penggabungan kedua pendekatan itu (pendekatan pekerjaan dan status) jelas sangat diperlukan (52,125,256,261). Kini karya antropologi sosial yang diterbitkan tentang Afrika (20,32,147,175) Cina (85,86,87,166,171), India (188,189), Ceylon (228), Birma (165) dan hasil 356



studi di tempat lain sangat banyak memberikan sumbangan terhadap pengetahuan kita mengenai stratifikasi.1 Teori dan metode kelompok rujukan memberikan sumbangan atas kolaborasi yang lebih efektif dikalangan psikolog-sosial, psikolog dan sosiolog “organisasi” dalam menstudi masalah mengenai makna kelas. Penggunaan klik dan kelompok kecil oleh individu dalam suasana kelas-sosial untuk mengenali dan menempatkan dirinya sendiri dan untuk berkomunikasi dengan individu lain mengenai siapakah dirinya dan apa yang diinginkan dan yang tak diinginkannya, telah distudi dengan kemajuan yang cukup menonjol (36,149,209). Beberapa studi komunikasi yang lebih menarik adalah mengenai penggunaan media massa dalam kelompok kecil yang dihubungkan dengan tingkatan kelas (95, 96). Pendekatan kelompok rujukan adalah salah satu sumbangan psikologi sosial terhadap pemahaman kita mengenai stratifikasi (8, 9, 52, 94). Beberapa cabang psikologi termasuk psikoanalisis dan stimulus-respon juga memberikan sumbangan terhadap studi stratifikasi (44, 53, 58, 117). Sumbangan psikoanalisis terutama melalui penggunaan teknik proyektif (133). Studi lebih awal dari John Dollard dan Allison Davis banyak memberikan bimbingan kepada kita mengenai apa yang kini perlu kita studi (252). Disiplin



lain



yang



telah



banyak



menyumbang



adalah



ekonomi



(19,74,115,194,195), ilmu politik dan sejarah (14,22,73,112,185) dan ilmu pendidikan (67,130,131). Perilaku yang diteliti dan bagian-bagian masyarakat yang distudi meliputi sistem kelas sosial2, kasta3, pekerjaan (21,123,125), mobilitas pekerjaan dan sosial,4 pembagian menurut umur dan jenis kelamin (32,220), politik, ekonomi, pendidikan dan gereja dan hirarki kelembagaan lain hingga hubungan antara berbagai kelembagaan ini dengan struktur sosial umum (218,255,262). Sebagai contoh, asosiasi sukarela, seperti organisasi yang beroperasi dalam kehidupan orang Amerika yang telah distudi, menunjukkan cara organisasi ini mengesyahkan status yang dituntut orang tertentu dan menolak tuntutan orang lain. Riset tentang asosiasi menunjukkan bagaimana cara asosiasi ini membantu menstrukturkan 357



pensejajaran kelas dan mengatur partisipasi, menunjukkan cara asosiasi ini mengorganisir beberapa kelompok kepentingan dan kelompok etnik berbagai tingkatan dan menunjukkan cara asosiasi ini berfungsi menghubungkan hirarki lain menjadi komunitas lebih besar (contohnya pabrik, gerja dan sekolah). Lihat (55,76,193). Studi kini juga termasuk studi tentang kepribadian yang adakalnya ditemukan di tingkat status berbeda (126,141,254), pengaruh status terhadap kehidupan mental individu ditingkat status berbeda, proses psikologis sosialisasi anak muda oleh orang tua ke dalam urutan status (129,132,141) yang sering memberikan hak lebih besar atas peran anggota keluarga (1,80,82,191) dan sekolah (2,67,68). Hubungan sistem status dengan masalah komunikasi dan penggunaan simbol sekuler dan suci telah mendapat perhatian sangat besar (46,103,251). Kedalaman dan keabadian pengaruh psikologis tingkatan sosial dalam kehidupan orang Amerika tidak lebih jelas ditunjukkan dimanapun juga kecuali dalam studi tentang dampak psikologis dan keadaan sakit terhadap individu (224,225,226,227). Aspirasi status yang tak terpenuhi, mobilitas yang terhambat, usaha mati-matian untuk mengejar sukses, perasaan disingkirkan oleh anggota keluarga yang mengalami mobilitas ke atas nampak sebagai faktor dalam pengaruh psikosomatik kelas sosial (227). Banyak diantara studi ini bertujuan untuk membuktikan kebenaran tesis psikologi-sosial Durkhein tentang anomi. Perbendaharaan kepustakaan belakangan ini pun menampakkan perhatian teoritis



dan



riset



yang



besar



atas



masalah



kekuasaan



dan



gengsi



(64,73,105,161,162) , kepemimpinan (260) dan masalah perubahan sosial dan status. Masalah perubahan sosial dan masalah perubahan seperti konflik kelas menjadi sasaran sentral tesis Marxian yang menuduh pakar strukturalis membutakan mata mereka atas signifikansi perubahan (28,173). Mungkin benar bahwa pakar strukturalis melecehkan peran perubahan, namun hal ini masih dapat diperdebatkan. Grafik yang menunjukkan hubungan kasta dan kelas, mula-mula diterbitkan tahun 1941 dan yang digunakan dalam berbagai studi lain belakangan ini (75,251) didasarkan atas dimensi waktu (kasta dan kelas berubah melalui waktu dan dalam suasana konflik sebagai akibatnya). Studi konflik kelas dalam 358



sebuah pemogokan (255) dan studi etnik dan kelas dan perubahan etnik (259) maupun tulisan lainnya, semuanya menekankan perubahan sosial. Juga ada pemikiran mengenai keuntungan dan kerugian dari beberapa metode untuk menstudi berbagai aspek stratifikasi. Literatur tentang metodologi dan tehnik penelitian stratifikasi mungkin sedemikian terlalu banyak dibandingkan dengan jumlah halaman buku yang disediakan untuk memahami perbedaan sistem tingkatan sosial, peran yang dimainkannya dalam kehidupan kolekstif dan fungsi yang dilaksanakannya. Secara khas, pemahaman kita tentang sifat sistem tingkatan sosial dalam masyarakat lain tertentu (dimana perhatian kurang diberikan kepada apa yang dilakukan sipeneliti dan lebih banyak perhatian diberikan untuk mempelajari tentang sifat sistem tingkatan sosial itu) adalah lebih jelas (26, 45, 54, 111, 144, 154, 233, 234,250). Beberapa metode yang digunakan untuk menggolongkan anggota sebuah komunitas kedalam strata, termasuk penggunaan tehnik wawancara, observasi terlibat dan analisis struktural (54,79,136,257). Untuk stratifikasi kelas, Hollingshead menggunakan juri yang diminta menilai dan penilaian struktural (142). Pekerjaan pernah menjadi satu-satunya kriterion yang digunakan untuk menentukan tingkatan sosial orang (9,50). Pendidikan, tipe rumah, sumber dan jumlah pendapatan, daftar sosial (daftar orang terkemuka dalam masyarakat - the social register) kawasan tempat tinggal, sewa rumah dan kriteria “obyektif” lainnya telah pernah digunakan (17,35,80). Beberapa



unsur



kriteria



obyektif



itu



pernah



digunakan



dengan



menggabungkannya seperti indeks ciri-ciri status buatan Warner ini (255,257). Instrumen ini menyediakan peluang untuk menggunakan ciri-ciri selain dari yang digunakan semua (1,80,183). Meski metode Center (52) seakan menunjuk pada kriteria seubyektif karena menggunakan konsepsi informan sendiri, dan penilaian kelasnya, sebenarnya karena metode itu tergantung pada penggunaan perkerjaan obyektif yang telah dipilih sebelumnya oleh periset maka metode itu adalah kombinasi dari metode subyektif dan obyektif. Kecuali untuk tujuan klasifikasi secara kasar, pembagian 359



menjadi metode subyektif dan obyektif ini sebenarnya adalah menyesatkan. Studi Hatt tentang tingkatan dan kelas pekerjaan (125) jelas menunjukkan penggunaan metode seperti yang digunakan Warner. (257). Jelaslah, mustahil mambahas keseluruhan hasil studi yang sedemikian banyak dalam esei yang sangat terbatas ini. Esei ini berupaya sekedar membuat generalisasi lebih luas yang kini dimungkinkan karena kemajuan riset diseluruh bidang stratifikasi sosial belakangan ini. Generalisasi lebih luas ini akan disajikan menurut prinsip diskriptif dan eksplanatori untuk memajukan sebuah teori umum dan kerangka metodologi yang dapat menghubungkan berbagai jenis riset status ke dalam sebuah skema konseptual. Kumpulan naskah yang tersedia biasanya akan digunakan untuk tujuan ini. Karena ada orang yang akan tertarik terhadap generalisasi yang lebih sempit atau isu yang dibatasi pada riset tertentu maka naskah ini disajikan dalam bentuk catatan kaki yang banyak menurut kontinuitas naskah. Diharapkan bentuk sajian yang dibedakan secara umum dan khusus ini takkan saling bercampur. Terakhir, naskah dan catatan kaki, menunjuk kepada daftar bibliografi dibagian akhir tulisan ini. Jadi dalam tulisan ini terdapat tiga tingkat abstraksi: yang paling abstrak adalah naskah tulisan ini, tingkat kedua, catatan kaki, ketiga diikuti oleh referensi yang menunjukkan tempat pembaca menemukan fakta lebih banyak lagi. Karya tertulis Marxian dengan sengaja tak disajikan di sini. Meski kalangan Marxian terus mengembangkan sekumpulan besar literatur, pemikir komunis dengan berbagai alirannya dan pemikir sosialis nampaknya kurang berminat atas riset empiris dan lebih banyak membuat tulisan mengenai doktrin yang diberi ilustrasi fakta konkrit. Lagi pula mereka mempunyai penyusun, komentator dan tukang polemik sendiri yang tergolong rajin. Karya tulis seperti itu sebagian besar telah dilenyapkan dari pernyataan resmi masa sekarang. Pengamat determinisme ekonomi non Marxian mempunyai teori stratifikasi mereka sendiri. Dengan mengadopsi langsung pemikiran teoritisi awal dari Inggris dan Amerika, dalam membuat asumsi tentang manusia selaku mahluk sosial, mereka cenderung melihat keseluruhan masalah status dan kedudukan dalam hubungannya dengan ekonomi murni. Lagi pula dengan mengikuti asumsi 360



leluhur mereka, mereka sering melihat perilaku sosial dan kelompok dalam hubungannya dengan perilaku individu (5,10,48,222). Individu tidak dilihat sebagai bagian-bagian yang saling berhubungan dari sebuah jaringan sosial atau jaringan hubungan antara orang yang berkuasa (super) dan yang ditundukkan (subordinate) tetapi dilihat sebagai unit-unit ekonomi yang terpisah yang dikumpulkan kembali oleh peneliti menjadi kategori ekonomi yang dinilai sebagai superior atau inferior. Studi demikian bernilai dan perlu tetapi belum cukup. Studi ketegori ekonomi demikian belum meliput keseluruhan bidang kehidupan kelompok manusia menurut tingkatan status meski banyak penelitian yang berupaya menata hasil studinya menurut tingkatan status itu. Stratifikasi ekonomi adalah yang pertama penting dalam setiap sistem sosial yang komplek dan memahami stratifikasi ekonominya itu saja adalah sama pentingnya tetapi perilaku ekonomi itu juga harus diteliti sebagai satu bagian saja dari sistem tingkatan lebih luas. Hasil studi tentang pekerjaan dapat disajikan secara terpisah tetapi akhirnya untuk memahami posisi sosial pekerjaan itu, harus dihubungkan dengan studi struktural atas struktur kehidupan kolektif. Meski telah ada sejumlah penelitian mutakhir tentang struktur sosial dan tingkatan status komunitas



5



(136,249,260) dan hasil studi lain tentang hirarki



institusi di AS dan di masyarakat umum mengenai asumsi, metodologi dan teori tentang struktur dan analisis komperatif tentang bentuk-bentuk stratifikasi sosial atau hubungannya dengan studi stratifikasi pekerjaan. Berdasarkan hasil riset sebelumnya dan sekarang, dimungkinkan kini menyajikan beberapa prinsip mendasar yang diperlukan. Secara ringkas dapat dikatakan apa yang dimaksud dengan studi struktural dan analisis komperatif. Karya analis struktural serupa dengan karya biolog. Studi biolog mengidentifikasi ciri-ciri spesis binatang tertentu seperti yang mereka temukan dalam kehidupan binatang itu sendiri. Penelitinya mengamati hubungan antara ciri-ciri itu satu sama lain (taxonomy). Ia meneliti hubungan genetik dari generasi binatang dan mempelajari tentang modifikasi kelestarian beberapa bentuk. Peneliti struktur tingkatan sosial pun bekerja seperti itu pula. Ia meneliti kata-kata dan tindakan manusia dalam hubungannya satu sama lain dan 361



mengamati keseragaman dan perbedaan dalam hubungan itu. Ia menentukan norma perilaku tentang apa yang terjadi dan apa yang seharusnya terjadi “secara ideal” sambil mempelajari tingkat perbedaannya. Bila mungkin ia mempelajari kelestarian dan perubahan (214). Bagi analis-struktural, “status adalah istilah yang paling umum digunakan untuk menunjukkan lokasi perilaku individu atau posisi sosial individu itu sendiri dalam struktur suatu kelompok. Status adalah posisi sosial yang ditetapkan tempatnya dalam universe sosial. Istilah status sinonim dengan posisi sosial, tempat sosial atau lokasi sosial. Status boleh atau tidak boleh diberi tingkatan seperti superior atau inferior. Karena itu status terbagi menjadi dua tipe umum: diberi tingkatan dan tidak diberi tingkatan (251). Kita hanya berurusan dengan status yang diberi tingkatan saja. Bentuk status tertentu dalam sebuah urutan tingkatan, secara operasional ditentukan oleh jawaban pertanyaan berikut: Apa saja hak dan hak istimewa yang dinikmati oleh orang yang menduduki status tertentu itu? Apa saja hak dan hak istimewa anggota status lain yang secara langsung atau tak langsung berhubungan dengan status itu? Apa saja tugas dan kewajiban orang yang menempati status tertentu dan apa saja tugas dan kewajiban orang lain yang berada dalam sebuah status yang berkaitan dengan status orang disebut mula-mula? Dengan kata lain, kita perlu mengetahui aturan perilaku dan simbol-simbol yang tepat yang digunakan oleh orang yang menduduki status tertentu. Status selalu secara tersirat menyatakan dan melibatkan unit sosial lebih luas yang menjadi tempatnya berada. Untuk sebagian besar, status dapat ditetapkan secara eksplisit atau implisit dengan menunjuk kepada hubungannya dengan bagian lain dari sistem sosial. Akhirnya pemahaman sepenuhnya mengenai status tertentu tak hanya dapat dicapai dengan mengetahui apakah status itu sebagai sebuah obyek sosial dan bagaimana ia saling berhubungan dengan status yang lain tetapi juga dengan memahami hubungannya dengan dan tempatnya di dalam masyarakat secara keseluruhan (40,108,148,218,253,256). Perbandingan sistem status khusus yang distudi dengan metode ini menunjukkan tipe umum (misalnya kelas), aneka ragam tipe (berjenis-jenis sistem 362



kelas terbuka dan “tertutup”) dan contoh khusus (sistem kelas komunitas). Sistem kelas komunitas ini dapat dirinci menjadi tindakan yang dapat diamati dari norma status yang dibuat oleh peneliti. Jadi tipe, keanekaragaman, kasus khusus dan tindakan yang dapat diamati, mencerminkan berbagai tingkat abstraksi dan generalisasi. Dalam membahas mengenai status, bila tak mengenali fakta ini dapat menimbulkan kesukaran dan kontroversi yang sebenarnya tak perlu terjadi. Bila sebuah tipe sistem status seperti kasta diartikan dan disamakan dengan sebuah jenis atau sepotong tindakan yang dapat diamati, maka kekeliruan dan perbandingan yang tak tepat tentu akan terjadi. Contoh, bila hubungan status Negro-Kulit Putih AS digolongkan sebagai kasta (65,77) itu tak berarti bahwa tipe kasta mereka sama dengan beberapa jenis kasta orang India atau Afrika (29,63) atau jenis kasta India kuno.6 Berbeda dari ketika seorang biolog menyebut anjing St. Bernard dan Pomeranian, ia mengatakan kedua jenis anjing itu adalah sama. Keduanya serupa menurut kriteria taksonomi. Masing-masing tipe stratifikasi sosial atau istilah tingkatan sosial tentu menunjuk kepada komposisi berbagai status dalam hubungan superordinasi dan subordinasi dan dalam hubungan superioritas dan inferioritas. Kekuasaan atau martabat terdistribusi secara tidak merata diantara beberapa status yang diduduki seluruh anggota masyarakat tertentu (105,166). Distribusi yang tak merata dari barang material dan obyek sosial nonmaterial bernilai tinggi adalah bukti perbedaan kekuasaan dan simbol martabat antara status superior dan inferior. Sistem ini bertahan dan berubah melalui perjalanan waktu, menggabungkan anggota tiap generasi kedalam tingkatan status mereka. Metode pembentukan tingkatan status dipindahkan atau tidak dipindahkan dari generasi ke generasi dan aturan yang menentukan hubungan generasi merupakan bagian penting setiapa tingkatan status ini.7 Proses pelaksanaan tugas sosialisasi generasi muda terhadap keyakinan, nilai dan perilaku manurut sistem status tertentu oleh generasi lebih tua menyediakan banyak peluang untuk membuat analisis struktural dan psikologis yang efektif. Studi pengaruh psikologis dari status terhadap kemampuan belajar pemuda dan riset tentang prestasi siswa diberbagai jenjang pendidikan yang berasal dari kelas sosial berbeda telah banyak menambah 363



pengetahuan kita mengenai cara kelas sosial di AS dan Inggris mempengaruhi kehidupan individu dan berfungsi sebagai sebuah sistem tingkatan. Sekolah negeri sebagai sebuah sistem struktural, pengawasannya, tempat sekolah negeri dalam kehidupan komunitas, pengangkatan tenaga guru di SD dan SLTA, perlakuan terhadap anak-anak yang berasal dari keluarga “lebih tinggi dan lebih rendah”, dan prestasi dan tingkahlaku anak-anak di ruang kelas dan di tempat bermain ditingkat kelas berbeda perlu diperlakukan sebagai bagian produk pengaruh kelas sosial (15,205,230,238). Agaknya tak ada ilmuan sosial yang lebih meningkatkan pengetahuan kita mengenai masalah di atas selain dari Allison Davis dan Robert Havighurst (69,132). Hollingshead (141), McGuire (181,183), Neugarten (208), Taba (132), Eells (81), Stendler (241), White (262), maupun Haggara (119), Becker (25), Himmelweit (137), Kahl (153) dan banyak yang lainnya lagi telah menyumbang atas kumpulan pengetahuan mendalam mengenai kelas, mentalitas dan pengetahuan. Karena berbagai sistem tingkatan itu berbeda bentuknya (28,29,38,109,168) dan fungsinya (23,245,246) dan dalam hubungannya dengan sistem sosial lebih luas dimana sistem tingkatan itu ada, maka semuanya ada gunanya untuk dibandingkan dan digolongkan dan menarik kesimpulan mengenai bentuk mendasarnya dan nilai yang diungkapkannya.Untungnya kini kumpulan literatur mendalam tentang peran sistem status diseluruh masyarakat “beradab” dan “primitif” di dunia telah tersedia. Generalisasi deskriptif dan yang menerangkan tentang tingkatan sosial di bab ini disusun berdasarkan sumber yang tersedia itu. Stratifikasi sosial adalah sebuah tipe subsistem yang ada di kebanyakan, bila tak di seluruh masyarakat yang masih buta huruf dan yang sudah mengenal tulisbaca. Karena perbedaan dalam definisinya adalah penting, maka untuk membantu kita mendapatkan pemahaman yang lebih baik kiranya perlu diteliti prinsip yang menyebabkan timbulnya stratifikasi itu. Tulisan Stern terakhir (242) yang mengikuti perbedaan serupa dengan yang dibuat Hobhouse, Wheeler dan Ginsberg maupun karya kebanyakan antropolog dan sosiolog lain tidak sesuai dengan



pendapat



yang



dikemukakan



penulis



seperti



Sorokin.



Sorokin



memasukkan sistem sosial seperti bagian menurut umur dan jenis kelamin 364



diantara bentuk-bentuk stratifikasi sosial; sedangkan penulis lain tidak memasukkannya. Dalam bukunya Social Mobility Sorokin menyatakan bahwa “Setiap kelompok sosial yang terorganisir selalu merupakan kesatuan sosial yang terstratifikasi”. Belum pernah ada dan takkan pernah ada kelompok sosial permanen yang “datar” dan seluruh anggotanya sederajat. Masyarakat yang tak terstratifikasi yang seluruh anggotanya benar-benar sederajat adalah sebuah mitos yang tak pernah terwujud sepanjang sejarah umat manusia (240:12). Meski benar bahwa penbagian menurut umur menempatkan anggota masyarakat dalam posisi super dan subordinasi (32,143,220) namun aturan dan prinsip yang terlibat sungguh berbeda dari bentuk tingkatan seperti kelas ekonomi dan sosial atau politik, atau militer atau hirarki gereja dan lain-lain. Walaupun penggolongan orang menurut umur ditetapkan dan dinilai secara sosial, tetapi penggolongan itu pada dasarnya berlandaskan faktor biologis dan mencocokkan tiap orang seumur hidup, tingkatan umur menjadi status, yang harus dilalui tiap orang dewasa. Tak perlu ada diskriminasi yang menyakitkan hati ; umur adalah bentuk yang dapat dimiliki bersama sekurang-kurangnya oleh semua orang yang sama jenis kelaminnya. Selama perjalanan hidup mereka, anggota sistem tingkatan lain tanpa terelakkan tak dapat pindah melalui tingkat lebih rendah atau lebih tinggi. Karena tingkatan umur menempatkan orang dalam tingkatan gengsi dan kekuasaan, maka untuk tujuan bahasan kita, tingkatan umur diperlukan sebagai subtipe tingkatan utama, bersifat elementer dan tidak dikhususkan, dibedakan dari semua bentuk yang dikhususkan dan yang dikembangkan. Golongan umur jelas terbagi menjadi dua jenis mendasar: pembagian umur yang sama sekali berdasarkan definisi sosial tentang proses penuaan, dan pembagian umur yang memasukkan prinsip penilaian lain seperti ekonomi, politik dan perbedaan kelahiran. Tipe sistem kedua ini sangat penting perannya di Afrika, bersama dengan sistem status lain kini sedang distudi. Literatur mengenai hirarki dan stratifikasi di Afrika berkembang pesat. Studi tentang sistem politik dan sistem sosial dan hubungannya dengan kekuasaan dan stratifikasi telah banyak dilaporkan (20,32,174). Sejumlah besar monografi yang sangat baik dan paper tentang sistem status dikalangan kelompok berlainan terbit secara teratur (terlalu banyak untuk dibahas di sini). Perubahan stratifikasi yang disebabkan oleh kontak kultural dengan sistem Eropa dan perkembangan di dalam negeri sendiri telah distudi dengan seksama. 365



Literatur ini dan studi lebih usang tentang sistem status seperti kasta di Afrika Timur memerlukan analisis komparatif. Studi komparatif tentang hirararki politik (lihat di atas) dan golongan umur telah dilakukan dengan sukses.8



Kriteria untuk Studi Tingkatan Karena perbedaan bentuk-bentuk tngkatan itu sangat besar, bahkan jika dibatasi pada sistem tingkatan khusus sekalipun, dan bila diperhatikan untuk seluruh dunia, pertanyaan yang muncul adalah: mungkinkah membuat pengertian ilmiah dari perbedaan yang demikian besar dan menyusun keseragaman yang sahih dengan menggunakan klasifikasi berdasarkan kriteria dan prinsip berdasarkan perilaku manusia yang hidup dalam kelompok. Karena semua manusia hidup dalam masyarakat dan karena masyarakat itu bermacam-macam tipe dan susunannya maka kriteria yang memadai untuk masyarakat tertentu mungkin tidak efektif untuk masyarakat yang lain. Kriteria yang digunakan harus relevan dengan seluruh sistem stratifikasi sosial; kriterianya haruslah “bebas kultur”. Kriteria demikian hanya dapat dikatakan sahih secara ilmiah bila didasarkan atas prinsip dasar perilaku manusia dan dapat diterapkan diseluruh waktu dan tempat termasuk sejarah masa lalu masyarakat kita (AS) dan masyarakat lain yang diketahui. Batu ujian bagi kriteria penuntun demikian adalah: 1. Kriteria itu terutama harus berdasarkan perilaku penyesuaian diri manusia yang diperlukan dimana-mana untuk mempertahankan dan meneruskan kehidupan biologis dan sosial seluruh manusia dalam semua kelompok. 2. Kriteria itu harus mempunyai makna sangat penting bagi kehidupan karir individu. 3. Kriteria itu harus dapat diterapkan terhadap semua masyarakat dan semua bentuk tingkatan sosial. 4. Kriteria itu harus berasal dari dan tunduk kepada bukti-bukti perilaku yang dapat diamati secara nyata dan bukan hasil rekayasa pakar ideologi dari



366



belakang meja atau hasil rekayasa teoritis pakar yang terutama berminat membangun teori filsafat abstrak. 5. Dari kriteria dan bukti-buktinya itu harus tersedia peluang dan keharusan ilmiah untuk membangun tipe tingkatan sosial yang mampu menganalisis dan menguji bukti-bukti berikutnya yang dengan demikian mulai mengambil ciriciri konseptual lebih umum dan abstrak dan kurang unik dan kurang berciri individual dan karenanya, kriteria itu harus menjadi sasaran analisis dan pengujian selanjutnya. 6. Dari beberapa kriteria itu harus tersedia peluang untuk membangun sebuah sistem saling berkaitan antara kriteria yang seragam dan beraneka ragam menjadi sebuah konsepsi tingkatan sosial menyeluruh yang menunjuk kepada dan menempatkan setiap individu kedalamnya. 7. Sistem taksonomi tingkatan sosial yang terdiri dari kategori logis yang saling berkaitan yang menunjuk kepada sistem tingkatan empiris itu, harus mampu menghasilkan proposisi mengenai tingkatan sosial alamiah, berbagai bentuknya, kondisi yang melahirkannya, dan hubungan antara bentuknya yang berbeda-beda itu dengan kondisi lingkungannya. Dua jenis pertanyaan mendasar mengenai saling hubungan anggota kelompok tertentu, membantu kita memenuhi tuntutan beberapa pengujian: Pertama apakah status-status (atau satu status) di dalam sistem tingkatan sosial itu terbuka untuk pindah ke dan dari status tertentu sehingga memungkinkan orang memasuki status tertentu atau berupaya meninggalkannya. Adakah sistem penempatan status sehingga tiap posisi individu adalah bebas sehingga memungkinkannya pindah secara vertikal atau horizontal ke posisi status orang lain dan orang lain pindah ke posisi statusnya. Dapatkah ia dan orang lain berkompetisi untuk mencapai status lebih tinggi atau berjuang mempertahankan status mereka sendiri? Ataukah sistem status itu tertutup sehingga orang tak dapat pindah dari satu status ke status lain, posisi individual mereka sendiri sudah ditentukan secara pasti sehingga karir mereka dibatasi pada satu status (atau tingkat kedudukan) dan tak mungkinkah terciptanya kompetisi memperebutkan posisi status yang lain? Sistem tingkatan 367



sosial tertentu sesuai dengan jenis pertanyaan mendasar pertama dan sistem tingkatan sosial lain sesuai dengan jenis pertanyaan mendasar kedua. Menurut sistem tingkatan sosial pertama, individu, keluarga dan kelompok lain melalui perjalanan waktu pindah ke atas atau ke bawah dari satu status ke status yang lain. Mobilitas vertikal, sosial dan pekerjaan adalah bentuk-bentuk perpindahan ini. Tipe sistem tingkatan sosial ini dapat disebut sebagai sistem status terbuka yang tunduk kepada kompetisi bebas. Tipe kedua adalah sistem status tertutup dimana peluang hidup individu dikendalikan oleh aturan yang menentukan status individu sejak lahir. Prinsip kompetisi bebas dan yang dibatasi bagi individu dan keluarga dan gerakan bebas maupun pengendalian sosial terhadap peluang masuk dan ke luar dari tingkatan status termasuk kedalam sistem tingkatan sosial ini. Jelaslah kedua tipe tingkatan di atas adalah bentuk kutub ekstrim. Jenis pertanyaan mendasar kedua dapat dinyatakan seperti berikut: Sejauh mana kehidupan suatu masyarakat dan aktivitas tiap individu dikendalikan oleh urutan tingkatan sosial? Apakah urutan tingkatan itu membatasi aktivitas yang lain? Apakah urutan tingkatan itu hanya membatasi aktivitas untuk jangka waktu tertentu saja atau untuk selamanya? Apakah membatasi aktivitas individu tertentu saja dan tidak membatasi aktivitas individu lain? Apakah urutan tingkatan itu mengatur sebagian kehidupan orang untuk sementara tetapi tidak mengatur kehidupan semua orang? Aspek kehidupan apa saja dan seberapa banyak dikendalikannya?



Singkatnya,



apakah



urutan



tingkatan



itu



membatasi



keanggotaan dan aktivitas kelompok secara bertingkat ataukah termasuk membatasi keanggotaan setiap anggota dan seluruh atau sebagian besar aktivitas dalam kehidupan kelompok dan masing-masing individu? Bila kedua prinsip ini digunakan sebagai kriteria, pembatasan perpindahan ke dan dari status tertentu dan pembatasan luas cakupan aktivitas individual dan sosial dapat diterapkan pada semua sistem dan mempunyai arti (signifikansi) terhadap masing-masing sistem. Karena sistem tingkatan sesuai dengannya maka urutan tingkatan beberapa jenis status berfungsi mengendalikan aktivitas mendasar manusia dan menentukan siapa yang mempunyai atau tidak mempunyai



368



akses terhadap sistem status itu, siapa yang mempunyai kekuasaan dan gengsi atau siapa yang tak mempunyainya, jelas memerlukan pengujian terlebih dahulu.



Beberapa Tipe Tingkatan Bila dua kutub tipe pengendalian status, bentuk tertutup (tidak menerima persaingan bebas) dan bentuk terbuka (dapat menerima perpindahan kedalamnya dan membolehkan pindah ke luar) dikombinasikan dengan dua kutub tipe hirarki (umum dan semua termasuk yang meliputi sebagian besar atau seluruh aktivitas individual dan masyarakat yang pengendaliannya dibatasi pada bagian terbatas masyarakat dan perilakunya) secara logis dapat dikenal empat bentuk mendasar tingkatan sosial. Masing-masing keempat tipe tingkatan sosial itu kini diyakinkan oleh realitas empiris. Ada sejumlah kasus yang dibuktikan dari riset mutakhir tentang peradaban dan tentang kultur masyarakat primitif buta huruf. Sesuai dengan kedua prinsip di atas, banyak tipe tingkatan sosial yang muncul di tengahtengah, kuantitas kontrol yang dilaksanakan terhadap perpindahan bebas individu dan tingkat kontrol yang dilaksanakan terhadap aktivitas masyarakat secara total. Keempat tipe tingkatan sosial ekstrim itu adalah sebagai berikut: 1. Sistem inklusif (atau umum) dengan status terbuka dimana kompetisi bebas menonjol diantara individu (dan keluarga) untuk memperebutkan posisi. Kelas sosial di AS adalah contohnya.9 Keberhasilan dalam berkompetisi tercermin dari mobilitas sosial ke atas (31,48,123,202,204). 2. Sistem terbatas (sebagian) dimana tingkatan statusnya terbuka terhadap kompetisi bebas dan ada perpindahan ke dalam dan ke luar dari tingkatan status yang tersedia. 3. Sistem inklusif (umum) dimana tingkatan statusnya adalah tertutup dan tidak terbuka terhadap kompetisi. Posisi individu sudah ditentukan dengan pasti. 4. Sistem terbatas (segmentary) yang tertutup terhadap kompetisi bebas, dimana untuk tujuan hirarki, posisi individu ditentukan dengan pasti dan tak ada peluang untuk pindah dari satu status ke status lain.



369



Beberapa tipe tingkatan sosial mulai dari tingkat kebebasan yang tinggi bagi individu dengan kestabilan status yang besar, hingga sistem yang kaku dengan peluang hidup ditentukan secara pasti bagi individu dan keluarganya.10 Jarak menengahnya bergerak antara dua titik ekstrim tingkat pengendalian berbagai aktivitas dan tingkat ketertutupan status yang mungkin dikenali dan menempatkan sejumlah subtipe yang sesuai dengan variasi yang ditemukan melalui riset di dalam masyarakat AS dan masyarakat lain. Tetapi untuk tujuan bahasan kita sekarang, hanya satu tipe menengah yang akan diperkenalkan. Masing-masing sistem mungkin berada dalam keadaan seimbang satu sama lain dengan oposisi antara posisi yang diorganisir atau berada dalam keadaan konflik. Sebagian, sebagai akibat lamanya ideologi Marxian berpengaruh dikalangan ilmuan sosial, literatur tentang konflik sosial jauh lebih banyak jumlahnya ketimbang literatur yang menstudi kerjasama diantara semua tingkatan sosial dalam melaksanakan tugas bersama masyarakat atau ketimbang oposisi terorganisir (menurut pengertian Simmel) diantara orang yang berkolaborasi. Kenyataannya beberapa penulis menetapkan tugas analis tingkatan sosial sebagai studi sejarah konflik kelas. Analisis struktural tidak cocok; sejarah kelas dan bentuk-bentuk tingkatan sosial lain memang perlu merekam periode konflik dan ciri-cirinya tetapi studi seperti itu mestinya didasarkan atas masalah lebih besar tentang oposisi status dimana kerjasama adalah bagian penting dari hubungan kelas. Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat pemasukan (inclusion) aktivitas telah disusun secara horizontal dan tingkat ketertutupan atau keterbukaan status disusun secara vertikal. Tipe umum dan yang lebih inklusif yang berada di kiri atas Tabel digabungkan dengan komposisi bebas dan tipe ekstrim lain (jumlah dalam skala satu dari empat sudut) berada di kanan; tipe campuran berada diantara keduanya. Perlu diingat, bahwa kelas sosial yang memungkinkan kompetisi untuk mendapatkan posisi yang lebih berkuada dan bergengsi, berada di kiri atas (1) dan kasta menurut warna kulit yang berada dititik ekstrim lain dalam status tertutup, yang melarang perpindahan dan kompetisi berada di kiri bawah (2). Posisi individu dan keluarganya tidak ditetapkan secara pasti dalam kelas sosial, karena 370



peluang hidupnya dan peluang hidup keluarganya (menurut ciri-ciri sistem) dapat ditingkatkan (diperbaiki) melalui kompetisi bebas (51) untuk mendapatkan posisi lebih tinggi. Tabel 1. Tipe Stratifikasi Sosial Posisi individu dan keluarganya dalam sistem kasta (klasik) adalah tetap dan ditentukan oleh kelahiran. Ia tak bebas bersaing untuk mendapatkan semua atau sebagian kekuasaan dan gengsi kasta yang lebih tinggi. Peluang hidupnya dibatasi. Tetapi kedua bentuk tingkatan sosial itu adalah serupa karena masingmasing meliputi keseluruhan atau sebagian besar aktivitas orang yang menjadi anggota salah satu dari dua sistem itu (246,247,266). Literatur tentang kelas sosial AS, Inggris



11



dan Eropa



12



dan masalah yang



diperdebatkan tanpa ujung. Beberapa diantara masalah yang diperdebatkan itu adalah masalah metodologi (41,71,109,110,118,191,217,236). Apakah kelas sosial AS tak lebih dari sekedar konsepsi statistik? Ataukah benar-benar merupakan realitas dalam kehidupan kelompok (167,239,257)? Jumlah kelas (109) telah dibahas (251). Tingkat keberadaan kelas itu dan bagaimana perannya (142) di pusat metropolitan besar dan di kota lebih kecil dan di kawasan pedesaan telah menjadi isu (79,217). Riset tentang berbaai makna kata-kata, obyek dan simbol seperti yang mereka gunakan dalam media berlainan oleh berbagai jenis orang yang berada pada berbagai tingkat status dalam sebuah masyarakat massa telah membuahkan berbagai hasil dan mendorong riset dan karya dimasa datang (34,35,160). Koran, buku (113), majalah, TV dan radio (254), film maupun rumor dan gosip (229) telah mendapat perhatian sangat besar. Semua jenis media itu mununjukkan besarnya pengaruh status dalam memberikan aneka ragam makna terhadap simbol bersama dan meningkatkan masalah komunikasi di dalam sebuah kelompok total. Pertanyaan mengenai aspek obyektif dan subyektif kelas dan masalah metodologi yang timbul adalah masalah yang menjadi perhatian banyak orang (216). Orang lain melihat ciri-ciri obyektif dan subyektif kelas itu sebagai bagian sari sebuah sistem tingkatan dan kemungkinan merupakan sebuah dikhotomi yang keliru (249,261). Tingkat kejelasan dan ketakjelasan gambaran tingkatan sosial dan beberapa jumlah tingkatannya, dalam kenyataannya merupakan masalah yang saling 371



berkaitan. Penulis (Warner) dan rekannya berkeyakinan bahwa tak ada perbedaan yang jelas antara beberapa tingkatan sosial itu (251,257). Penulispun yakin, tiap orang di dalam sebuah komunitas juga tidak melihat perbedaan tingkatan itu dengan jelas (251). Kenyataannya, tipe struktural dari analisis (seperti analisis struktur pekerjaan) tergantung pada pengujian dan penilaian peneliti terhadap datanya mengenai batas tingkatan itu (untuk tujuan analisis dan gambaran ilmiah dari realitas yang dapat dikomunikasikan). Tehnik “kesepakatan” (251) jelas menunjukkan bahwa konsepsi kelas secara ilmiah menunjuk kepada norma dan realitas sosial. Variasi kelas dalam masyarakat terbuka (yang memungkinkan mobilitas sosial) menyebabkan “batas” kelas itu menjadi kabur. Hanya di dalam sistem kasta kuno saja dua tingkatan sosial atau lebih yang dipisahkan secarang sangat jelas. Masalah jumlah pasti kelas sosial yang ada di AS (atau di Inggris) rupanya adalah keliru. Untuk tujuan tertentu, mungkin hanya tiga kelas yang diakui oleh partisipan atau oleh informan, contohnya “kelas orang biasa” dan kelas orang yang berada di atas dan di bawahnya. Informan kemudian mungkin membaginya menjadi empat, lima atau enam tingkatan mulai dari kelas teratas turun ke bawah melalui kelas menengah hingga ke kelas terbawah. Atau ia mungkin melihatnya semata-mata sebagai kelas atas, kelas menengah dan kelas pekerja (buruh). Masing-masing sistem klasifikasi itu ada di dalam kehidupan mental (berupa keyakinan dan nilai) dan perilaku informan dan dikalangan anggota masyarakat yang lain. Analog dengan pembagian beberapa kelas ini adalah pembagian menurut golongan umur. Tua, dewasa dan muda. Selanjutnya dapat dibagi atau diperpendek lagi menjadi tingkat dewasa dan belum dewasa. Masing-masing adalah sebuah realitas. Masalah antar hubungan kelas sosial masih belum mendapat perhatian memadai dan setepatnya. Sekiranya telah mendapat perhatian memadai dan setepatnya, maka banyak masalah kekeliruan mengenai sifat mendasar kelas sosial AS yang akan lenyap. Paper Mc Call menunjukkan sejumlah interaksi orang dalam kelompok kecil antara orang yang berbeda tingkatan kelasnya adalah sangat penting (179). Fakta ini menunjukkan bahwa untuk maksud tertentu, 372



anggota kelas berlainan adakalanya lebih erat hubungan pergaulannya dibandingkan dengan pergaulan antara orang yang sama tingkatan kelasnya. Analisis Mc Call ini mengikuti pendekatan yang dimulai dari volume kedua the Yankee City Series (256) dimana interaksi dan antar hubungan enam kelas diukur menurut keluarga, klik dan asosiasi.13 Bentuk tingkatan dalam posisi sebagian agak berbeda dari tipe umum (lihat posisi 3 dan 4 di Tabel 1). Bentuk-bentuk tingkatan sosial itu serupa sejauh pengendaliannya dibatasi; bentuk-bentuk itu berbeda karena di posisi 3 kompetisinya terbuka sedang pada posisi 4 kompetisinya tertutup. Hirarki segolongan (segmentary) termasuk hirarki politik 14, ekonomi 15, gereja 16, militer dan sebagainya di AS (70,78,107) dan diberbagai bagian Eropa (231) mungkin terbuka bagi kompetisi untuk mendapatkan kekuasaan dan gengsi bagi semua orang yang termasuk kedalam segmen hirarki itu atau mungkin tertutup sebagian atau tertutup sama sekali bagi semua orang. Kemudahan untuk mendapatkan (accessibility) barang sesuatu dan simbol-simbol yang bernilai tinggi dalam masyarakat mungkin dikendalikan oleh aturan yang mengatur hirarki demikian. Upah, gaji dan perbedaan ekonomi lainnya dapat ditentukan oleh aturan yang mengatur perpindahan status sosial itu. Distribusi barang dan jasa dan kekayaan, sebagian adalah fungsi dari posisi dalam hirarki umum dan hirarki golongan. Studi kasus tingkatan sosial dalam tipe campuran telah membuka wawasan kita. Kelompok-kelompok etnik Amerika tak terlihat dalam setiap tipe dua kutub, tetapi terutama terlihat dalam tiga tipe campuran, sesuai dengan tingkat asimilasi mereka (259,266). Kelompok etnik Amerika tidak termasuk kedalam posisi 1 dengan kelas sosial, karena meski dalam waktu singkat subsistem etnik mencakup hampir semua atau sebagian besar aktivitas individu dan keluarganya seperti yang dicakup oleh kelas, namun sistem itu sendiri adalah sebuah subsistem yang tidak memasukkan setiap orang atau keseluruhan aktivitasnya ke dalam masyarakat. Hanya sebagian anggota masyarakat yang dilibatkan. Tetapi kecuali menurut pengertian terluas istilah itu, kelompok etnik tidak dapat digolongkan sebagai bagian masyarakat karena (tak seperti sebuah pekerjaan di dalam bagian pabrik) sebagian besar aktivitas individu dan keluarga diatur oleh kelompok etnik itu. 373



Meski dalam beberapa hal tertentu sistem etnik AS menyerupai sistem kasta (posisi 2) dalam hal ketertutupannya namun dalam kenyataannya selalu ada perpindahan dan ambivalensi nilai kelompok yang sebagian mendorong perpindahan ke atas dan ke luar. Karena itu kelompok etnik selama dua atau tiga generasi termasuk kedalam posisi 6. Penerapan kontrolnya sebagian bersifat umum tetapi tidak menyeluruh; kompetisi sebagian terbuka tetapi ada derajat ketertutupan melebihi aturan kelas sosial dan posisi seseorang individu lebih sering dipastikan (ditetapkan) ketimbang dalam kelas sosial. Ketika sebuah kelompok etnik seperti orang Irlandia Katolik semakin terasimilasi, sebagian besar anggotanya masuk kedalam sistem sosial umum dan membatasi aktivitas etnik mereka yang tersisa terhadap hirarki gereja (posisi 7). Sebagian anggota kelompok



etnik



yang



menolak



berasimilasi,



membentuk



sekte



dan



mengembangkan sistem tertutup (266). Bila dua tipe tingkatan sosial mendasar digabungkan, dengan memasukkan kriteria tingkatan umur, kelas ekonomi dan kelas sosial maka ada kemungkinan mencakup seluruh bentuk tingkatan yang ada di AS dan diseluruh masyarakat lain. Seluruh bentuk tingkatan ini mendistribusikan kekuasaan dan gengsi melalui pengendalian kelompok status yang menjadi unsurnya. Ciri-ciri kekuasaan dan sumbernya menjadi sasaran perhatian utama peneliti tingkatan sosial kontemporer. Kini perhatian kita akan dialihkan ke situ.



Kekuasaan,



Gengsi



dan



Pengendalian



Kemampuan



Menyesuaikan Diri Manusia Kekuasaan dapat didefinisikan sebagai pemilikan kontrol atas orang lain dan obyek yang ada dalam lingkungan sosial dan alamiah, yang memungkinkan bertindak terhadap mereka untuk mencapai hasil yang diinginkan yang takkan terwujud bila kontrol tidak dilaksanakan. Gengsi adalah sejenis dan sejumlah nilai yang secara sosial dihubungkan dengan obyek, aktivitas, orang dan status (135,155). Biasanya kekuasaan dan gengsi saling berhubungan; kekuasaan dapat berasal dari gengsi dan gengsi dari kekuasaan. Tetapi seorang manusia mungkin 374



mempunyai kekuasaan dengan gengsi sedikit atau gengsi tinggi dengan kekuasaan sedikit



17



. Jenis dan jumlah kekuasaan dan gengsi dapat berbeda-beda antara



kelompok teritotial yang satu dengan yang lain. Kekuasaan dan gengsi juga berbeda antara beberapa bentuk tingkatan sosial dan status. Masalah bagaimana cara bentuk-bentuk tingkatan sosial dihubungkan dengan kekuasaan dan gengsi maupun ciri-ciri sumber kekuasaan dan gengsi harus diperhatikan. Marxian dan pakar lainnya membangun sistem analisis kelas mereka atas asumsi bahwa kekuasaan adalah satu-satunya produk dari sejenis status yang mengendalikan atas sejenis lingkungan; status yang mengendalikan alat-alat produksi dan mendistribusikan produknya, memegang kekuasaan dan dengan demikian memberikan gengsi yang menentukan penjajaran kelas (61,172); ingin dibuktikan bahwa karena penyesuaian teknologi terhadap lingkungan alam ada kecenderungan berubah, arah yang dikodratkan, ketergantungan masyarakat, kehidupan kultural dan mentalnya, komposisi dan hubungannya terpaksa berubah menurut urutan yang dapat diramalkan menuju masyarakat tanpa kelas (28). Pakar determinisme ekonomi demikian jelas tepat sekali dalam menunjukkan pentingnya status yang mengontrol lingkungan alam dan kekuasaan nyata yang melekat dalam status atau orang yang berstatus superordinasilah yang mengontrol lingkungan



alam.



Tetapi



mereka



keliru



dalam



mengasumsikan



bahwa



pengendalian teknologi lah satu-satunya sumber kekuasaan. Sumber kekuasaan tidak hanya satu tetapi banyak. Untuk memahami masalah kekuasaan dan gengsi sebagaimana mestinya, kita harus menggunakan pengetahuan sosiologi, antropologi sosial dan ilmu psikologi yang telah jauh berkembang sejak zaman Marx dan Engels. Kita harus meneliti-ulang keseluruhan pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan dengan kemampuan manusia untuk mengontrol beberapa lingkungan dan ketergantungan manusia terhadap lingkungan. Kemampuan bertahan hidup (survival) manusia secara universal tergantung pada dua dan kini diyakini pada tiga jenis lingkungan. Pertama adalah lingkungan alam yang dalam berbagai tingkatan dikendalikan oleh teknologi. Kedua, lingkungan spesis manusia yang (untuk sebagian) dikendalikan oleh kaidah moral, sebuah sistem organisasi sosial. Ketiga, nyata atau tidak adalah lingkungan 375



supernatural yang diyakini diatur dan dikendalikan melalui mitos, upacara keagamaan dan sihir, sebuah sistem simbol kesucian. Keberadaan kemampuan mengendalikan juga menunjukkan: (1) bahwa manusia tergantung pada penggunaan lingkungan itu secara memadai untuk bertahan hidup (survival), masing-masing ketiga jenis lingkungan itu mempunyai kekuasaan menghidupi dan mematikan atas manusia; (2) bahwa kontrol yang dilaksanakan terhadap lingkungan untuk mengurangi kontrolnya terhadap manusia, melibatkan penggunaan beberapa bentuk kekuasaan oleh manusia individual dan kelompok; dan (3) bahwa dalam melaksanakan kontrol, setiap mekanisme penyesuaian diri menggunakan kekuasaan nyata. Peralatan dan keterampilan teknologi, merubah lingkungan alamiah secukupnya untuk membantu manusia dalam memperoleh dan memproduksi makanan, tempat berlindung dan barang lain yang diperlukan untuk meningkatkan peluang hidup bagi individu dewasa, bagi anak muda untuk tumbuh menjadi dewasa dan peluang hidup bagi kelompok tertentu untuk bertahan hidup. Kedua, kontrol terhadap spesis dengan memaksakan tekanan moral terhadap perilaku kebinatangan, mengatur penyaluran energi spesis; tekanan moral ini mengendalikan pergaulan individu dan menata hubungan mereka satu sama lain. Jadi tekanan moral mengatur aliran kehidupan mendasar spesis manusia dan tiap individu, termasuk proses untuk menjadi ayah dan hubungan antara orang dewasa dan yang belum dewasa; kaidah moral pun mengatur pengungkapan perasaan bermusuhan, agresi dan kekerasan, penentuan obyek yang berharga, dan pembebanan tugas yang tak menyenangkan dikalangan anggota kelompok. Pengendalian terhadap lingkungan spesis berarti kehadiran kekuasaan dalam setiap kelompok spesis yang terorganisir secara sosial dan perasaan tentang kekuasaan sosial (menurut pengertian Durkheim) di dalam kelompok dikalangan orang yang hidup di dalamnya. Makna dan gambaran sosial mengenai apa yang dimaksud dengan kekuasaan sosial itu berbeda antara kelompok yang satu dan kelompok yang lain. Bentuk penggunaan dan perwujudannya juga berbeda-beda. Kekerasan, kekuasaan emosi yang ditimbulkan oleh kaidah moral yang mengendalikan atas seksualitas, pertumbuhan dan perkembangan individual, 376



kemunduran kedewasaan dan keuzuran diantara beberapa status keluarga telah banyak mendapat perhatian. Pemusatan perhatian terhadap berbagai masalah di atas berdasarkan rancangan konseptual psikoanalis telah membatu kita dalam memahami kekuatan besar emosi tetapi cenderung kehilangan kekuatan selayaknya untuk digunakan menganalisis status dan kekuasaan karena terlalu besar kepercayaannya terhadap psikologi individual ketimbang pada landasan kelompok dan spesis. Adaptasi supernatural, diyakini mengendalikan nasib terakhir manusia, mengendalikan aktivitasnya dan berakibat terhadap dua jenis kekuasaan yang tak cukup lainnya. Penyakit, kematian, kehilangan jati diri, bencana sosial dan sakit atau sehatnya manusialah yang menjadi pedomannya. Tiap masyarakat mempunyai caranya sendiri untuk mengendalikan kekuasaan absolut dan tak menyenangkan dari dunia lain (supernatural) ini dan dengan demikian mengurangi kegelisahan dan ketakutan. Status berfungsi mengatur dan mengkordinir berbagai aktivitas yang berkaitan dengan pengendalian atas setiap jenis lingkungan ini. Status menentukan tugas dan menempatkan ativitas secara sosial. Status memasukkan dan mengeluarkan anggota masyarakat sambil menempatkan mereka dalam suatu alam sosial. Status secara langsung terlibat dalam beberapa aktivitas penyesuaian diri, sebagai bagian integral dan pengaturannya, memiliki atau diperlengkapi dengan berbagai macam kekuasaan dan gengsi menurut keanggotaan masyarakat yang merasakan pengaruh menguntungkan atau membahayakan mereka. Orang yang kemampuan menyesuaikan dirinya tergolong tinggi ada kemungkinan menempati posisi status yang tinggi;orang diyakini melaksanakan kontrol yang rendah atas kemampuan menyesuaikan diri sering diberi posisi stutus yang rendah. Status tersusun secara bertingkat (hierarchically). Persoalan yang timbul, mengapa status sekunder dalam urutan tingkatannya melaksanakan kontrol terhadap orang lain dan sering menghimpun kekuasaan dan gengsi lebih besar ketimbang status primer yang secara langsung terlibat dalam tugas menyesuaikan diri? Persoalan ini berkaitan erat dengan persoalan lain. Mengapa masyarakat 377



tertentu mempunyai dan mengembangkan urutan tingkatan kekuasaan dan gengsi secara khusus dan masyarakat lain hanya mempuyai tipe bersifat elementer? Pertanyaan ini akan dibahas di seksi berikut. Kekuasaan dari status menyesuaikan diri atau hirarki status mungkin bersifat intrinsik dan langsung diterapkan atau ekstrinsik terhadap aktivitas dan fungsinya. Dengan kata lain, kekuatan yang dimiliki dan diterapkannya mungkin merupakan bagian integral dan yang diperlukan bagi aktivitas penyesuaian dirinya, atau mungkin juga (cenderung) dikaitkan dengan status itu oleh semua atau sebagian anggota masyarakat. Kekuasaan untuk membunuh seekor kangguru dengan tombak oleh seorang pemburu (yang memanfaatkan dagingnya untuk dirinya sendiri, keluarga dan kerabatnya atau untuk orang lain)



sekurang-kurangnya



bernilai intrinsik, tetapi orang mungkin juga disetujui oleh kelompoknya untuk meningkatkan kekuasaan melebihi kemampuannya untuk membunuh dan menyimpan daging kangguru. Kekuasaan pertama (membunuh) adalah kekuasaan intrinsik dan bagian integral dari status tehnisnya sebagai pemburu dan dari status moralnya sebagai seorang anggota keluarganya dan kerabatnya; kekuasaan kemudian, yang tak diperlukan untuk melaksanakan tindakan tehnisnya dan tindakan moralnya tentu saja dikaitkan dengan dirinya. Gengsi sebuah status, penghargaan atau penghinaan yang terkandung di dalam status itu dapat dikaitkan dan ekstrinsik. Nilai-nilai kelompok atau sebagian nilai kelompok diproyeksikan pada status dan menentukan nilai sosialnya. Banyak diantara apa yang secara umum dan ilmiah disebut kekuasaan dan gengsi adalah produk perasaan berkelompok lebih luas. Fakta tindakan menyesuaikan diri sebuah status, menjadi simbol nilai sosial yang berakumulasi dan menarik nilai sosial lain yang mungkin kecil perannya terhadap aktivitas status. Karena status adalah bagian integral sistem sosial, keduanya saling mempengaruhi. Tak ada satu sistem yang bebas sama sekali dari sistem lain. Sepanjang waktu dan disemua tempat tak ada satu sistem yang mendominasi sistem lain. Tak ada sistem teknologi, sistem moral atau sistem sosial yang mendominasi kedua sistem yang lain. Ketika sistem teknologi menjadi rumpil, jenis dan jumlah status (jenis pekerjaan misalnya) makin beraneka ragam. Sistem 378



status ekonomi seperti itu secara ilmiah mungkin digolong-golongkan ke dalam tipe dan susunan menurut kontinum mulai dari yang sederhana hingga yang rumpil. Dalam berbagai masyarakat primitif, pekerjaan pada umumnya belum digolong-golongkan (undifferentiated). Tiap orang melaksanakan berbagai fungsi produktif yang tidak dapat digolong-golongkan menurut jenis pekerjaan. Karena itu tak mungkin mengklasifikasi mereka menurut tingkatan jenis pekerjaan. Dalam masyarakat seperti AS yang telah mengalami pembagian kerja sangat rumpil, tingkatan menurut jenis perkerjaan merupakan salah satu bentuk utama stratifikasi; dan akumulasi kekayaan dan sumber kekayaan juga dapat distratifikasi dalam sistem “terpisah” (257). Beberapa tingkatan status ekonomi yang terdapat dalam berbagai masyarakat, mungkin tertutup atau terbuka; urutan tingkatannya mungkin terbatas atau bersifat umum. Dalam masyarakat tertentu, status yang dikaitkan dengan teknologi mungkin mendominasi seluruh urutan status dan semua tipe status lain disubordinasikan kepada satu atau lebih tingkatan status berdasarkan tehnologi itu. Sebaliknya, tingkatan status yang ada mungkin dikendalikan dan disubordinasikan kepada kriteria status yang mengendalikan spesis atau mitos atau ritual yang mengatur kekuasaan supernatural dan alam gaib (32, 123, 165). Atau ketiga sistem status itu berada dalam suasana konflik (contohnya di Rusia). Status



menurut



norma



moral



keluarga,



umur



dan



jenis



kelamin



mengendalikan dan mengatur sebagian dari aktivitas dan energi paling kuat dari lingkungan spesies (umat manusia). Status orangtua, ayah terutama menundukkan status anak lelaki dan anak perempuan. Landasan wewenang, penggunaannya oleh seseorang dan ketundukan orang lain terhadap wewenang itu berada dalam hubungan universal ini. Biasanya penempatan lelaki lebih tinggi dan wanita lebih rendah dan hubungan yang sama antara orang dewasa dengan pemuda adalah bentuk wewenang dimana kekuasaan sosial dilaksanakan. Sistem tingkatan sementara adalah bagian dari sistem tingkatan seluruh keluarga, pertalian keluarga, dan umur (13, 139, 140, 178, 200, 263). Dengan memperluas atau membatasi aturan biasa tentang garis keturunan dan perkawinan, pengendalian hubungan seksual yang dapat diterima atau yang 379



dilarang dan pengendalian keturunan anak-cucu (bersama dengan pengendalian ekonomi) menyediakan landasan yang kuat bagi banyak sistem tingkatan umum. Pertanyaan penting untuk memahami masalah hubungan status moral yang mengendalikan lingkungan spesis (manusia) dan urutan tingkatan ini adalah: Apakah semua lelaki yang tidak kawin dan wanita dewasa yang mungkin kawin, tak terkekang oleh aturan selain dari larangan sumbang (70,251,253)? Ataukah pilihan pasangan dibatasi oleh kategori tingkatan yang ditetapkan dengan tegas? Status tertutup secara umum (inclusive) yang memastikan posisi individu secara tegas membagi kelompok biologis dengan batas-batas dan larangan sosial. Akses penuh antara semua anggota jenis kelamin untuk tujuan kawin, dilarang. Kehidupan pisik individu dibatasi dalam batas yang sempit; perkawinan tidak berasal dari bermacam-macam status melainkan dari status sosial yang sama (138). Tipe sistem tingkatan terbuka menyediakan sistem “perkawinan” dimana dua anggota pasangan kawin boleh berasal dari latar belakang yang sangat berbeda atau sangat serupa. Karena anak diperkenalkan dengan status sosial orangtua, baik sistem umum terbuka maupun tertutup, mula-mula menempatkan status anak dalam sistem tingkatan ini. Dalam sistem tertutup seperti kasta warna kulit, melalui aturan moral anak dipertahankan ditingkat orangtuanya dan nenek-moyangnya; dalam sistem terbuka, anak mungkin tetap atau pindah ke luar dari tingkat orangtuanya. Bila tipe inklusif umum adalah sebuah sistem terbuka, hubungan orangtuaanak dan hubungan saudara kandung sering mengambil bentuk yang sangat beragam dan menjadi sasaran tekanan dan distorsi sangat besar (68,182). Anak lelaki mungkin pindah ke posisi superior atau anak wanita kawin dengan lelaki di posisi



superior,



dengan



demikian



mengungguli



orangtua



mereka



dan



menempatkan orang dewasa anggota keluarga superior dalam posisi tingkatan inferior. Saudara kandung tertentu mungkin pindah ke atas, yang lain pindah ke bawah dan yang lainnya lagi tetap berada di posisi yang sama dengan posisi orangtuan mereka. Sistem terbuka dengan kompetisi bebas menyebarkan anggota banyak keluarga ke berbagai bagian urutan tingkatan sosial. Biasanya mereka harus demikian agar sistem tetap berlangsung. Sistem tingkatan tertutup yang 380



memastikan posisi individu cenderung menjaga kesatuan anggota keluarga dan menambah pengaruhnya untuk mempertahankan solidaritas keluarga. Dalam sistem tingkatan terbuka, keluarga mengorientasikan anggotanya yang masih muda agar cepat-cepat menjadi dewasa dalam menghadapi kehidupan lebih luas. Dalam sistem tertutup, generasi lebih tua lebih besar kemungkinannya memelihara hubungannya dengan generasi lebih muda. Dua keluarga sering menyatu menjadi keluarga besar, mempertahankan interaksi primer secara biologis, teritorial dan sosial. Keluarga besar ini menetapkan inti keras posisi pasti bagi anggotanya dan tertutup untuk pindah ke luar batas yang ditetapkan (138). Orientasi keluarga adalah perlu dan menjadi bagian integral dari tipe sistem tingkatan umum inklusif (251). Kekuatan moral mereka juga menjadi bagian integral kekuasaan urutan tingkatan ini. Kekuatan moral keluarga ini mungkin berisi dan dipertahankan di dalam tingkatan sebuah kasta atau tersebar dibeberapa tingkatan sistem kelas dimana ada kebebasan untuk pindah. Keluarga mungkin dihubungkan dengan sistem tingkatan sebagian atau mungkin tidak. Bentuk kekuasaan dan struktur politik, grejawi dan bentuk diferensiasi lainnya, sebagian atau sebagian besar berasal dari bentuk dan struktur keluarga tetapi hirarki demikian dapat muncul tanpa langsung menggunakan keluarga. Hirarki politik masyarakat Afrika tertentu adalah perluasan dari superordinasi kepada keluarga; hirarki gereja mungkin perluasan sistem “kebapakan” dalam keluarga tetapi mungkin juga dibangun tanpa menggunakan hubungan keluarga secara langsung. Status yang dikaitkan dengan pengendalian sesuatu yang gaib yang mengurangi kegelisahan manusia mengenai peluang hidup mereka dengan menggunakan mitos dan ritual adalah bersifat keagamaan dan gaib. Biasanya status demikian dipusatkan di gereja. Status demikian termasuk status ritual seperti pendeta, penyihir, dukun, dokter dan psikiater tertentu dan status lain yang adakalanya dihubungkan dengan kekuasaan seperti itu. Status demikian mungkin sangat sederhana atau rumpil. Status demikian terdapat dalam masyarakat yang didominasi kehidupan agama atau dalam masyarakat yang disubordinasikan pada organisasi sekuler atau teknologi. Dalam 381



masyarakat lebih sederhana, pemimpin ritualnya tak lebih dari seorang, itupun untuk sementara, dengan kekuasaan dan gengsi sedikit, masa jabatannya hanya selama berlangsungnya seremoni. Dalam kebanyakan masyarakat rumpil terdapat hirarki status mulai dari hirarki tingkat lokal ke atas melalui hirarki yang menyatukan dan mengendalikan aktivitas supernatural seluruh bangsa atau berbagai bangsa. Puncak vertikalnya mungkin sangat besar atau tidak, bidang aktivitas sosialnya terbatas atau dalam masyarakat teokrasi, puncaknya dapat meliputi keseluruhan masyarakat. Kekuasaan



lingkungan



supernatural



yang



dapat



merugikan



atau



menguntungkan manusia sering dibayangkan secara dualistik. Masalah yang dihadapi status dalam hubungannya dengan makhluk dan kekuatan benda suci dan kejahatan mengontrol kekuatan supernatural itu dan menyesuaikan kekuatannya pada tujuan manusia. Kekuatan yang baik harus dimanfaatkan untuk membantu manusia. Kekuatan jahat harus dibelokkan, dikarantina atau diperlemah. Ketika diyakini bahwa status menggunakan mitos dan ritual dalam menyelesaikan tujuan ini dan “mengontrol” sesuatu yang tak dapat dikontrol, maka status pendeta, dukun dan lain sebagainya dikaitkan dengan sebagian kekuasaan lingkungan yang dikontrolnya. Mereka dan status mereka kekuasaan dan gengsi mereka berasal dari pengetahuan dan kemampuan mereka menggunakan simbol-simbol secara efektif dan dari kekuasaan yang berasal dari dunia keramat (kudus) itu sendiri. Seperti ditunjukkan Durkheim, kekuatan supernatural dapat disamakan dengan kekuatan pisik



18



; doa (mantra) dan obyek upacara keagamaan mempunyai



kekuatan sosial dan tenaga yang dilekatkan padanya. Mantra dan benda untuk upacara



keagamaan



itu



mempunyai



kekuatan



untuk



membunuh



atau



menyembuhkan. Pendeta atau dukun dapat menguntungkan orang lain atau penyihir



dapat



menyebabkan



sakit



dan



kematian



korbannya.



Mereka



mengendalikan kekuatan yang dapat mematikan atau memberi kehidupan. Kekuasaan yang memiliki status suci cenderung bersifat absolut. Generasi individu datang dan lenyap “tetapi kekuatan (spiritual) “mana” selalu tetap… Kekuatan ini adalah lambang kekuatan sosial suku (masyarakat).19 Kekuatan ini bangkit dalam diri semua orang yang merasakan kekuatannya, 382



semua individu dalam tiap masyarakat, sebuah ide tentang kekuatan eksternal. Menurut Durkheim, tanda dari totem (lambang Tuhan) adalah pengganti untuk kekuatan sosial abstrak ini, memungkinkan perasaan kelompok mudah dinyatakan. Karena semua simbol keagamaan adalah menyampaikan isyarat dan menunjuk pada kekuatan hidup kelompok, maka status yang mengontrol (dan menggunakannya) melaksanakan kekuatannya. Karena semua manusia memasukkan masyarakat kedalam diri mereka dan karena “mana” adalah kekuasaan yang berasal dari masyarakat,karena semua manusia perlu memiliki mana tertentu atau kekuatan sosial, maka semua manusia memiliki mana atau kekuatan sosial tertentu. Rupanya kharisma Weber lebih dari sekedar satu bentuk mana pribadi. Kharisma dan mana sebagai bagian dari nilai dan makna obyek dan rakyat dapat menjadi perlengkapan kekuasaan. Biasanya orang yang berstatus lebih rendah berpeluang lebih kecil untuk mendapatkan kekuasaan atau menyatakan kekuasaan ketimbang orang yang beruntung menempati status superior. Karena mana sebagian besar berasal dari nilai kelompok dominan yang dinyatakan dalam diri orang, obyek dan tindakan, maka dalam tiap masyarakat yang memiliki mana tinggi ada kemungkinan lelaki atau wanita menduduki satu atau lebih status tingkat tinggi atau bila sistem tingkatannya terbuka dan ada kompetisi bebas, mereka akan menjadi kandidat untuk mencapai status lebih tinggi. Dalam sistem tertutup dan posisi status pasti, kecil sekali atau tak ada peluang yang sah (di dalam sistem itu) bagi orang berstatus rendah untuk mendapatkan mana yang tinggi. Dalam masyarakat dimana kekuasaan terutama berasal dari ritual (dikaitkan dengan sumber ritual) bila semua orang mempunyai akses ke sumber kesucian ada peluang bagi orang berstatus tinggi atau rendah untuk mendapatkan mana ritual (kekuasaan dan gengsi). Bila sistem umum tingkatan tertutup dan tidak terbuka bagi perpindahan status secara vertikal, maka pemilik kekuasaan yang lahir dari keluarga berstatus rendah mungkin akan menjadi manusia sangat suci, dengan nilai spiritual tinggi tetapi tetap berada pada status sosialnya yang sama rendahnya. Ia mungkin mencapai status tinggi dalam bagian formal atau informal hirarki arti penting kesucian. Pada waktu kekuasaan dan gengsinya meningkat, 383



pengaruh sosialnya yang kuat itu dapat mengancam aturan dan sanksi ketertiban sosial. Bila tingkatan status terbuka dan ada peluang kompetisi bebas, kekuasan spiritual mungkin diterjemahkan menjadi gerakan vertikal dalam satu bagian atau lebih hirarki umum (gereja dan asosiasi). Bila nilai ritual adalah asketik, ada kemungkinan orang yang berstatus ekonomi rendah dan kurang terorganisir (orang miskin, terampas haknya, dan dianggap hina) memberikan kontribusi atas kondisi yang diperlukan untuk menambah kekuasaan ritual (bentuk mana). Karena dalam masyarakat sederhana tingkat diferensiasi diantara status yang ada sangat rendah dan dalam masyarakat kompleks tingkat diferensiasinya sangat tinggi, kekuasaan teknologi, kekuasaan moral dan norma kesucian digabungkan dan dirasakan sebagai satu kesatuan dalam masyarakat sederhana, sedangkan dalam masyarakat lebih maju berbagai jenis kekuasaan itu terbagi ke dalam berbagai kategori kekuasaan politik, ekonomi dan agama dan dirasakan sebagai bermacam-macam jenisnya. Diantara masyarakat maju itu termasuk di Eropa Barat dan Amerika, mana atau kekuatan sosial berciri rasional ataupun nonrasional. Status lebih tinggi (superordinate) kelihatan sering memiliki kekuasaan besar tetapi tidak secara langsung terlibat dalam aktivitas penyesuaian diri. Sumber kekuasaan dan gengsi dengan demikian adalah beraneka-ragam. Sumbernya berasal dari seluruh lingkungan kekuasaan dan pengendalian atas kemampuan menyesuaikan dirinya. Status yang berfungsi mengorganisir aktivitas pengendalian kekuasaan milik masing-masing status. Dalam semua masyarakat kekuasaan sosial dinyatakan dalam pengertian sekuler atau suci dan didistribusikan diantara berbagai tingkatan status, perorangan dan obyek seperti gengsi, kekuasaan mungkin tidak bersifat intrinsik atas aktivitas status tetapi dihubungkan oleh kelompok kepada status dan aktivitasnya. Singkatnya, kelompok memberikan kekuasaan kepada aktor yang memerankan statusnya.



Stratifikasi Sosial, Perubahan Sosial dan Kondisi Struktural Semua hasil riset terakhir menguatkan temuan riset terdahulu bahwa stratifikasi dalam masyarakat sangat sederhana tidak terspesialisasi dan hanya 384



terbatas menurut tipe universal. Tetapi studi yang lebih belakangan menunjukkan bahwa pembagian menurut umur dan jenis kelamin, mendistribusikan kekayaan, simbol kesucian, barang-barang lain dan jasa secara tidak merata (timpang) dan kekuasaan dan gengsi dikaitkan dengan tingkatan status tertentu bukan dengan tingkatan status yang lain (32). Bentuk-bentuk tingkatan lebih “maju” lebih sering kelihatan dalam masyarakat lebih kompleks atau heterogen. Dalam masyarakat heterogen ini status sosial ditata-ulang dan diletakkan dalam hubungan superordinasi-subordinasi



dan



superioritas-inferioritas



(24,72,74,90,91,92,121,122,146,253,255). Evolusi sosial yang berlangsung dalam masyarakat sederhana menyapu bersih bentuk tingkatan yang tak terspesialisasi menuju bentuk terspesialisasi yang menempatkan individu dan keluarga dalam tingkatan sosial superior dan inferior. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa temuan empiris itu didasarkan pada kebenaran generalisasi? Mengapa sistem tingkatan berkembang pesat dalam masyarakat heterogen? Kita harus membuat analisis komperatif kondisi dalam beberapa masyarakat yang menghambat atau menyokong keberadaan dan berfungsinya sistem urutan tingkatan. Untuk menganalisisnya kita harus meneliti menurut perspektif waktu tentang status-status fungsional, lingkungan yang dikendalikannya dan masyarakat tempat berkembangnya status fungsional itu. Untuk membimbing penelitian, di sini ditawarkan sebuah penjelasan yang didasarkan atas fakta yang telah terbukti kebenarannya bahwa semakin tinggi tingkat: spesialisasi, heterogenitas dan pembagian kerja masyarakat, semakin besar perkembangan urutan tingkatan dalam masyarakat bersangkutan. Melalui perubahan sosial jangka panjang, dengan kemunculan bagian-bagian kehidupan bermasyarakat yang makin kompleks, menyebabkan urutan tingkatan sosial itu perlu digunakan. Bila status dan aktivitas dalam masyarakat moderen yang sangat terdiferensiasi itu akan difungsikan secara tepat untuk kebaikan bersama, bila tugas kemasyarakatan perlu dilaksanakan, dan bila ketidaktertiban perlu dihindarkan dan bila kesatuan tindakan diantara bermacam status perlu dipertahankan, maka hirarki menurut tipe umum dan khusus harus dihadirkan untuk mengatur dan mengkoordinasi aktivitasnya yang bermacam-macam itu 385



(257). Tingkat superordinasi dan subordinasi melaksanakan kekuasaan untuk mengabdi pada tujuan bersama dan mencapai integrasi. Karena jumlah dan jenis status diantara masing-masing ketiga tipe penyesuaian diri itu meningkat dan hubungan antaranya semakin beragam dan rumpil, maka dampak totalnya adalah menciptakan masyarakat yang tersusun bertingkat (hirarkis) yang mengkoordinasi berbagai jenis status dan aktivitasnya. Keperluan koordinasi dalam semua masyarakat kompleks menghasilkan urutan tingkatan yang membeda-bedakan distribusi kekuasaan dan gengsi (98). Pelaksanaan berbagai tugas kemasyarakatan perlu diatur dengan mengkoordinasikan berbagai aktivitas. Fungsi koordinasi adalah menempatkan kekuasaan dalam posisi hirarkis dan mengatur aktivitas pemberian



sanksi.



Posisi



koordinasi



ini



sebenarnya



terakumulasi



dan



menghubungkan kekuasaan dan gengsi. Dibelakang kekuasaan dan gengsi itu terdapat sanksi yang digunakan untuk memaksa (73). Status yang dikoordinasikan itu ditata-ulang oleh tingkat status superior dan superordinasi (97,264). Melalui perjalanan waktu sering dikembangkan hirarki yang sangat banyak. Masingmasing mempunyai bidang kewenangannya sendiri, politik, ekonomi atau kependetaan (223,258). Bila keluarga dengan aturan perkawinan dan garis keturunannya dikaitkan dengan hirarki demikian atau merupakan bagian integral perkembangan keluarga itu, maka tipe umum stratifikasi, terbuka atau tertutup akan muncul (77,246). Kontrol keluarga membantu memperluas jarak hirarki dan memindahkan tempat kekuasaan dari beberapa status utama ke satu atau lebih status superior. Kekuasaan melekat di sini; orang yang dikontrol berkurang kebebasan memilihnya dan orang yang mengontrol bertambah luas bidang sosial tempat membuat pilihannya sendiri. Pengaturan hubungan antara status yang dikontrol dan yang mengontrol berbentuk hubungan subordinasi dan superordinasi (255). Dampak koordinasi status yang rumpil, tak hanya (1) menciptakan status superordinasi dan posisi subordinasi dan (2) mendistribusikan kekuasaan berbeda antara berbagai status itu, tetapi juga (3) mengurangi jumlah status yang melaksanakan kontrol dalam masyarakat sehingga dengan demikian menciptakan beberapa status tertentu dengan kekuasaan lebih besar ketimbang kekuasaan status 386



lain. Penertiban status ini menciptkan segelintir orang berstatus superordinasi yang eksklusif berhubungan dengan sejumlah besar orang berstatus subordinasi yang inklusif. Ketika segolongan kecil melaksanakan kekuasaan atas orang banyak, mereka membangun landasan untuk membentuk elite dan aristokrasi dengan kedudukan lebih rendah di bawah mereka. Bila perubahan sosial terjadi dengan cepat, tipe tingkatan tertutup yang umum tidak dapat menyesuaikan diri karena tipe ini tidak mudah dapat menampung gerakan individu secara vertikal atau horizontal yang menjadi bagian penting dari perubahan itu. Sistem tingkatan terbuka dapat menampungnya (251). Kasta menurut warna kulit dan semua bentuk tingkatan yang “dipastikan” tak dapat menyesuaikan diri dan kemungkinan akan lenyap. Pengembangan riset dimasa datang tentang tingkatan sosial tentu akan mengikuti minat penelitinya. Bila kita akan memanfaatkan fakta yang ada kini dan ingin meningkatkan pengetahuan dimasa datang, kita harus mengikuti saran Mac Rae. Ia menyatkan, “aku yakin, riset yang sangat perlu dan sangat bernilai, yang terbuka peluangnya buat kita dibidang stratifikasi sosial adalah riset sintesis, komperatif dan genetik” (186). Banyak diskusi tentang metode yang menggoda yang sering lebih mengungkapkan ketakutan pribadi ketimbang kecerdasan ilmiah, kemungkinan akan lenyap ketika beberapa bentuk tingkatan sosial orang Amerika dapat dilihat oleh penelitinya tanpa ketakutan (atau kehadiran) etnosentrisme.



Catatan Kaki 1. Terima kasih disampaikan kepada Mc Kim Marriot dan Yung The Chow atas bantuan keahlian mereka. 2. Studi kelas tengah berlangsung disebagian besar Dunia Barat terutama di AS (7,18,47,49,75,106,128,136,159,176,221,248,249,261) dan di Inggris dan di negara Persemakmuran (100,215). Studi di tempat lain adalah di Birma (165), Afrika (174), India (188,189,228) dan Amerika Latin (23). 3. Studi tentang bermacam-macam susunan kasta meliput berbagai kawasan di dunia dan diberbagai peradaban. 387



4. Beberapa persoalan utama tentang mobilitas vertikal di AS dibahas dalam studi Warner dan Abegglew (252,253), Sjoberg (237), Rogoff (222), Hatt (125,127) Centers (48,51), Adams (5) dan banyak yang lainnya (10,57,190,267). 5. Keterbatasan analisis komunitas bermacam-macam termasuk kesulitan dalam menentukan seberapa representatif komunitas yang ada mewakili komunitas nasional (77,79,251,159). Studi tentang perkerjaan lebih mudah digunakan untuk analisis nasional tetapi ini menimbulkan masalah lain kerena kehilangan atau mengabaikan banyak aspek kehidupan penting orang di semua tingkatan kedudukan (163). 6. Studi tentang kasta di India didekati dengan beberapa cabang ilmu sosial. Masalah yang diteliti dan isu yang kini diperdebatkan adalah: Apa peran faktor ekonomi dan ritual dalam kasta sebagai suatu sistem tingkatan masyarakat India (188); Seberapa jauh kelas sosial dan ekonomi menentukan kekuasaan dan gengsi individu ketimbang kasta; Seberapa jauh perubahan tradisi, sosial dan ekonomi mempengaruhi organisasi dan perilaku kasta kontemporer (189); Apa kesamaan dan perbedaan yang ada antara bentuk kasta India dan bentuk kasta masyarakat lain (138). Studi komperatif tentang kasta sebagai sebuah tipe tingkatan sosial dan seluruh jenisnya juga telah mendapat perhatian (251). 7. Berbagai riset tentang hubungan status dan kelas terhadap prestasi mental di sekolah, jelas menunjukkan realitas kehidupan tentang perbedaan pengaruh tingkatan kelas terhadap individu generasi baru. Pengaruh tingkatan kelas terhadap IQ dan prestasi di sekolah telah terbukti kebenarannya (42,43,81,119). Pendidikan anak dan pengasuhan bayi dibeberapa tingkatan sosial menunjukkan bagaimana cara anak-anak mereka dimasukkan ke dalam sistem dan melalui pengalaman, mempelajari posisi mereka (83). Dilain pihak, perbedaan pengaruh kelas terhadap aspirasi dan pengetahuan individu juga telah diteliti dan hasil yang dicapai menunjukkan cara individu menjadi ambisius dan mobil secara sosial dan yang lain tetap stabil dan tidak mobil (251). Keremajaan dan tempatnya dalam sistem sekolah dalam kaitannya dengan kelas sosial dan tingkatan umur telah dibuktikan kebenarannya. Semua hasil 388



studi menunjukkan bagaimana cara pendidikan sebelumnya dimasa anak-anak dan masa kecil mempengaruhi masa remaja (151) dan bagaimana pengalaman pribadi anak muda kini sangat dipengaruhi oleh status (180,207,262). 8. Terima kasih disampaikan kepada Alfred Harris, Universitas Cambridge atas bantuan dan informasi tentang sistem status masyarakat Afrika. Ia telah melakukan riset mengenai masalah ini. 9. Beberapa isu tentang mobilitas sosial dan pekerjaan kini dalam perbincangan menguntungkan. Perdebatan utamanya mengenai: Berapa banyak perpindahan yang terjadi (5,17,237)? Lebih banyak atau lebih sedikitkah dibandingkan dengan yang terjadi sebelumnya (252,253)? Apakah masyarakat AS menjadi lebih atau kurang kaku (134)? Apakah faktor yang menyebabkan mobilitas dalam masyarakat kontemporer: pendidikan, kemahiran keterampilan, model dan peniruan sosial dan pekerjaan? Ataukah faktornya bersifat pribadi dan psikologis (66,133)? Apakah anggota kelas tertentu lebih banyak yang mengalami mobilitas dibandingkan dengan anggota kelas lain: misalnya anggota kelas menengah dibandingkan dengan anggota kelas atas atau kelas bawah (251)? 10.Karena dalam semua atau sebagian besar masyarakat terdapat aneka ragam tingkatan status, masing-masing dengan kekuasaan dan gengsinya sendiri, maka individu yang sama mungkin diberi tingkatan berbeda. Dalam hirarki tertentu ia mungkin berstatus tinggi (Brahma) dan dalam hirarki lain, rendah atau tinggi (secara ekonomi dan politik). Untuk bahasan tentang hubungan penilaian status individu di India, lihat Marriott (188). Melalui studi penilaian individu dari beberapa kasta oleh anggota komunitas, ia menunjukkan adanya perbedaan kriteria yang digunakan oleh warga desa yang menilai mereka. 11.Sosiolog Inggris cepat mengembangkan sekumpulan besar literatur tentang kelas sosial, mobilitas sosial dan aspek stratifikasi sosial lain. Belakangan ini telah



dilaporkan



beberapa



kelas



dan



komposisinya



(3,11,37,88,89,100,169,170). Kini sedang distudi kelas dan pergantian pekerjaan (52,253). Hubungan perubahan politik, ekonomi dan sosial dengan perubahan dalam struktur status pun telah dibicarakan (215). Kelas pekerjaan 389



secara umum dalam masyarakat yang berbahasa Inggris, kini sudah jelas (59,152,186). 12.Studi stratifikasi dan mobilitas sosial dalam masyarakat Eropa lain, termasuk Perancis, Italia, Rusia, Belanda dan beberapa negara Skandinavia sedang dilakukan dan dipublikasikan (99,120,150,177,245). 13.Sayangnya untuk tujuan perdebatan bijaksana tentang isu nyata jilid II The Yankee City ini belum memberikan perhatian yang sama dengan jilid I. Di halaman 12 jilid II ini dikatakan, “Bila beberapa struktur internal komunitas Yankee City telah dianalisis dan ditentukan jumlah dan jenis posisi (status) dan hubungannya, kita berupaya untuk merubah seluruh hubungan dan posisi dari struktur terpisah menjadi satu sistem posisi (status) umum. 14.Hirarki politik mempunyai kumpulan literaturnya sendiri. Dimasa lalu, literatur tertentu besar pengaruhnya dalam sosiologi dan beberapa literatur hirarki politik yang ada kini langsung pengaruhnya atas sosiologi. Hirarki kekuasaan dan hubungannya dengan komunitas dan urusan individu adalah salah satu diantaranya (27,158,185,187,223). Hubungan antara berbagai jenis kepribadian dengan perilaku politik dalam struktur hirarkis adalah contoh lainnya (161,162). Studi tentang makna pemberian suara dalam pemilu, partai politik, sikap politik dan tingkatan sosioekonomi dan kelas dan maknanya untuk memahami kehidupan komunitas dan nasional menghasilkan pengetahuan berharga tentang derajat keterandalan analisis status (6,12,23,30,33,84,164). 15. Literatur tentang hirarki dalam industri, termasuk pabrik, perusahaan, dan industri maupun Serikat Buruh dan kelompok majikan dan kelompok buruh lain adalah terlalu luas dan kelompok di luar batas bab ini. Namun penulis tertentu telah menekankan perhatian pada ciri-ciri struktural maupun ekonomi organisasi



(kelompok)



tersebut



di



atas.



Sebagian



kecil



diantaranya



(19,97,98,116,196,197,244,264). Penulis lainnya menekankan pada fungsi kepribadian dalam usaha bisnis (252). 16. Bermacam-macam ideologi gereja (218), keanggotaan gereja (40,41,219,266) dan tempat gereja dalam struktur kelas di AS (219) telah distudi. Semuanya menunjukkan hubungan status yang kuat tetapi hubungan itu menandakan 390



bahwa pengaruh komunitas dan nilai demokratis sangat terasa melalui institusi gereja ini (249). Tetapi gereja tertentu sangat kental cerminan kelasnya dan merupakan “etalase toko” “kelas menengah” (77). 17. Masalah kekuasaan dan tingkatan hampir menjadi monopoli perhatian Marxian. Pengikut Weber pun besar perhatiannya terhadap kedua masalah itu tetapi membayangkannya dalam pengertian lebih luas dan kurang cenderung menganggap kekuasaan itu berasal dari satu sumber (62,187,213,214,231). Lasswell, dipengaruhi oleh Freud dan Pareto maupun psikolog dan sosiolog lain, melihat kekuasaan secara lebih luas; namun pada dasarnya ia memusatkan perhatian pada aspek moral dari kekuasaan seperti yang dirasakan dan dinyatakan dalam hadiah (reward) dan perampasan nyawa dalam masyarakat (161,162). 18. Etnologi awal mengakui signifikansi “kekuatan suci” ini. Durkheim mengenali dan mendefinisikan mana seperti yang ditemukannya dikalangan masyarakat Melanesia. 19. Bab VII buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religions Life (NY: Macmillan,Coy.,1915: 188,204). Bibliografi 1. ABERLE, D.F., and K. D. NAEGELE, “Middle-Class Father’s Occupational Role and Attitudes Toward Children,” American Journal of Orthopsychiatry, XXII (1952), 336-378. 2. ABRAHAMSON, STEPHEN, “Our Status System and Scholastic Reward,” Journal of Sociology, XXV (1952), 441-450. 3. ABRAMS, M., The Condition of the British People. London: Gollancz, 1945. 4. ADAMS, S., “Fact and Myth in Social Class Theory,” Ohio Journal of Science, LI (1951), 313-319. 5. ______, “Regional Differences in Vertical Mobility in a High-Status Occupation,” American Sociological Review, XV (1950), 228-235. 6. ALMOND, G., “The Political Attitudes of Wealth,” Journal of Politics, VII (1945), 213-256. 7. AMORY, C., The Proper Bostonians, New York: E. P. Dutton & Co., Inc., 1947 8. ANASTASI, A., and J. P. FOLEY, Differential Psychology: Individual and Group Differences in Behavior, rev.ed.New York: The Macmillan Company, 1949.



391



9. ANASTASI, A., and S. MILLER, “Adolescent ‘Perstige Factors’ in Relation to Scholastic and Socio-economic Variables,” Journal of Social Psychology, XXIX (1949), 43-50. 10. ANDERSON, C. A., S. C. BROWN, and M. J. BARMAN, “Intelligence and Occupational Mobility,” Journal of Political Economy, LX (1952), 218-239. 11. ANDERSON, C. A., and M. SCHAPNER, School and Society in England: Social Backgrounds of Oxford and Cambridge Students. Washington: Public Affairs Press, 1943. 12. ANDERSON, H. D., and P.E. DAVIDSON, Ballots and Democratic Class Strugle, Stanford, Calif.: Stanford University Press, 1943. 13. ANDERSON, W. A., “Family Social Participation and Social Status SelfRatings,” American Sociological Review, XI (1946), 253-258. 14. ARON, R., “Social Structure and the Ruling Class,” British Journal of Sociology, I (1950), 1-17. 15. ASHMORE, HARRY S., The Negro and the Schools. New York: Van Rees Press, 1954 (copyright 1954 by the University of North Corolina Press). 16. BAILEY, W.C., N. FOOTR, P.K. HATT, R. HESS, R.T. MORRIS,M. SEEMAN, and G. SYKES, Bibliography on Status and Stratification. New York : Social Science Research Council, 1952. 17. BALTZELL, E. DIGBY, “Who’s who in America’ and “The Social Register’: Elite and Upper Class Indexes in Metropolitan American,” in Reinhard Bendix, ed., Class, Status and Power. New York: The Free Press, 1953, pp. 172-184. 18. BARBER, B., and L.S. LOBEL, “Fashion in Women’s Clothes and the American Social System,” Social Forces, XXXI (1952), 124-132. 19. BARNARD, C.I., “Functions and Pathology of Status Systems,” in W.F. Whyte, et al., Industry and Society. New York: McGraw-Hill Book Company, 1946. 20. BASCOM, WILLIAM R., “Social Status, Wealth, and Individual Differences among the Yoruba,” American Anthropologist, LIII (1951), 490-506. 21. BAUDLER, LUCILLE, and D.G. PATTERSON, “Social Status of Women’s Occupations,” Occupations, XXVI (1947-1948), 421-424. 22. BEALES, H.L., “The Labour Party in Its Social Context,” Political Quarterly, XXIV (1953), 90-98. 23. BEALS, R.L., “Social Stratification in Latin America,” American Journal of Sociology, LVIII (1952-1953), 327-340. 24. BECKER, H., “Change in Social Stratification in Germany,” American Sociological Review, XV (1950), 333-342. 25. BECKER, HOWARD S., “Social-Class Variations in the Teacher-Pupil Relationship,” Journal of Educational Sociology, XXV (1952), 451-465. 26. BELGHER, J.C., “Evaluation and Restandardization of Sewll’s Socioeconomic Scale,” Rural Sociology, XVI (1951), 245-255. 27. BENDIX, R., “Higher Civil Servants in American Society, University of Colorado Studies, Series in Sociology No. 2. Boulder: University of Colorado Press, 1949.



392



28. ______, and SEYMOUR MARTIN LIPSET, Class, Status and Power : A Reader in Social Stratification. New York: The Free Press, 1953. 29. BENNETT, J. W., and M. M. TUMIN, Social Life. New York : Alfred A. Knopf, Inc., 1948. 30. BENNEY, M., and P. GEISS, “Social Class and Politics in Greenwich,” British Journal of Sociology, I (1950), 310-327. 31. BERENT, J., “Fertility and Social Mobility,” Population Studies, V (1952), 224-261. 32. BERNARDI, B., “The Age-System of the Nilo-Hamitic Peoples,” Africa, XXI (1952), 316-3330. 33. BONHAM, J., “The Middle Class Elector,” British Journal of Sociology, III (1952), 222-231. 34. BOSARD, J. H. S., “Ritual in Family Living,” American Sociological Review, XIV (1949), 463-469. 35. ______, and E. S. BOLL, “Rite of Passage – a Contemporary Study,” Social Forces, Vol.26 (1948), pp. 247-255. 36. BOTT, ELIZABETH, “The Concept of Class as a Reference Group,” Human Relations, VII (1954), 259-285. 37. BOTTOMORE, THOMAS, “Social Stratification in Voluntary Organizations,” in D. V. Glass, ed., Social Mobility in Britain, New York: The Free Press, 1954, pp.349-382. 38. BOURIEZ,-GREGG, FRANCOISE, Les Classes Sociales aux Etats-Unis. Paris: Librairie Armand Colin, 1954. 39. BROOKS, M. R., “American Class and Caste: An Appraisal,” Social Forces, XXV (1946), 201-211. 40. BROWN, J. S., “Social Class, Intermarriage and Church Membership in Kentucky Community,” American Journal of Sociology, LVII (1951-1952), 232-242. 41. BULTENA, LOUIS, “Church Memberships and Church Attendance in Madison, Wis.,” American Sociological Review, XIV (1949), 384-389. 42. BURT, C., “Family Size, Intelligence and Social Class,” Population Studies, (1947), 177-187. 43. ______, “The Trend of National Intelligence,” British Journal of Sociology, I (1950), 154-168. 44. CANTRIL, H., “Identification with Social and Economic Class,” Journal of Abnormal Social Psychology, XXXVIII (1943), 574-580. 45. CASE, H. M., “An Indep-endent Test of the Interest-Group Theory of Social Class,” American Sociological Review. XVII (1952), 751-754. 46. CAUTER, T., and J. D. DOWNHAM, The Communication of Ideas. London: Chatto & Windus Ltd., 1954. 47. CENTERS, R., “Class Conscioussness of the American Woman,” International Journal of Opinion and Attitude Res., III (1949), 399-408. 48. ______, “Educational and Occupational Mobility,” American Sociological Review, XIV (1949), 143-147. 49. ______, “Marital Selection and Occupational Strata,” American Journal of Sociology, LIV (1948-1949), 530-535. 393



50. ______, “Motivational Aspects of Occupational Stratification,” Journal of Social Psychology, XXVIII (1948), 187-217. 51. ______, “Occupational Mobility of Urban Occupational Strata,” American Sociological Review, XIII (1948), 197-203. 52. ______, “The Psychology of Social Classes: A Study of Class Consciousness. Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1949. 53. ______, “Social Class, Occupation, and Imputed Belief,” American Journal of Sociology, LVIII (1952-1953), 543-555. 54. ______, “Towards an Articulation of Two Approaches to Social Class Phenomena,” International Journal of Opinion and Attitude Res., IV, (1950), 499-514. 55. CHAMBERS, ROSALIND C., “A Study of Three Voluntary Organizations,” in D. V. Glass, ed., Social Mobility in Britain, New York: The Free Press, 1954, pp. 383-406. 56. CHEN, T.A., “Basic Problems of the Chinese Working Classes,” American Journal of Sociology, LIII (1947-1948), 184-191. 57. CHINOY E., “The Traditions of Opportunity and the Aspirations of Automobile Workers,” American Journal of Sociology, LIV (1948-1949), 453-459. 58. CLARK, R.E., “Psychoses, Income, and Occupational Prestige,” American Journal of Sociology, LIV (1948-1949), 433-435. 59. COLE, G.D.H., “The Conception of the Middle Classes,” British Journal of Sociology, I (1950), 275-291. 60. CONGALTON, A.A., “Social Grading of Occuaptions in New Zealand,” British Journal of Sociology, IV ((1953), 45-60. 61. COX, O.C., Caste, Class and Race: A Study in Social Dynamics. Garden City, N.Y.: Doubleday & Company, Inc., 1948. 62. ______, “Max Weber on Social Stratification: A Critique,” American Sociological Review, XV (1950), 223-227. 63. ______, “Race and Caste: A Distinction,” American Journal of Sociology, (1944-1945), 360-368. 64. DAVIES, A. F., “Prestige of Occupations,” British Journal of Sociology, III (1952), 134-147. 65. DAVIS, A., “Caste, Economy and Violence,” American Journal of Sociology, LI (1945-1946), 7-15. 66. ______, “The Motivation of Underprivileged Workers,” in W.F. Whyte et.at., Industry and Society. New York: McGraw-Hill Book Company, 1946, pp. 84106. 67. ______, Social-Class Influences Upon Leraning. Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1948. 68. ______, and R. J. Havighurst, Father of the Man. Boston: Houghton Mifflin Company, 1947. 69. ______, “Social Class and Color Differences in Child Rearing,” American Sociological Review, XI (1946), 698-710. 70. Davis, K., Human Society, New York: The Macmillan Company, 1949.



394



71. ______, and W. E. Moore, “Some Principles of Stratification,” American Sociological Review, X (1945), 242-249. 72. DEEG, M. E., and D. G. PATERSON, “Changes in Social Status of Occupations,” Occupations, XXV (1947), 205-208. 73. DE JOUVENAL, BERTRAND, Power: The National History of Its Growth. London: Batchworth, 1952. 74. DOBB, M., Studies in the Development of Capitalism. London: Routledge&Kegan Paul Ltd., 1946. 75. DOLLARD, JOHN, “Drinking Mores of the Social Classes,” in Alcohol, Science and Society. New Haven: Yale University Press, 1945, pp.95-104. 76. DOTSON, F., “Pattern of Voluntary Association among Urban Working-Class Families,” American Sociological Review, XVI (1951), 687-693. 77. DRAKE, St. C., and H. CAYTON, Black Metropolis. New York: Harcourt, Brace&World , Inc., 1945. 78. DRUCKER, P. F., The New Society. New York: Harper & Row, Publishers, 1949. 79. DUNCAN, O. D., “A Critical Evaluation of Warner’s Work in Community Stratification,” American Sociological Review, XV (1950), 205-215. 80. DUVALL, E. M., “Conception of Parenthood,” American Journal of Sociology, LII (1946), 193-203. 81. EELLS, K., et al., Intelligence and Cultural Diffirences. Chicago: University of Chicago Press, 1951. 82. ERICSON, M. C., “Child-rearing and Social Status,” American Journal of Sociology, LII (1946-1947), 190-192. 83. ______, “Social Status and Childrearing Practices,” in T. M. Newcomb and E. L. Hartley, eds., Reading in Social Psychology. New York: Holt, Rinehart & Winston, Inc., 1947. 84. EYSENCK, H. J., “Primary Social Attitudes as Related to Social Class and Political Party,” American Journal of Sociology, LVII (1951-1952), 222-231. 85. FEI, HSIO-TUNG, “Peasantry and Gentry: An Interpretation of Chinese Social Structure and Its Change,” American Journal of Sociology, LII (19461947), 1-17. 86. ______, and CHIH-I CHANG, Earthbound China: A Study of Rural Economy in Yunnan. Chicago: University of Chicago Press, 1945. 87. FEI, HSIO-TUNG, and YUNG-TEH Chow, China’s Gentry: Essays in Rural Urban Relations by Fei with Six Life-Histories of Chinese Gentry Families Collected by Chow. Chicago: University of Chicago Press, 1953. 88. FLOUD, J., “The Educational Experience of the Adult Population of England and Wales as at July 1949,” in D. V. Glass, ed., Social Mobility in Britain. New York: The Free Press, 1954, pp. 98-140. 89. ______, “Educational Opportunity and Social Mobility,” Year Book of Education. London: Evan Brothers, 1950, pp. 117-136. 90. FOOTE, N. N., “Destrafication and Restratification,” American Journal of Sociology, LVIII (1952-1953), 325-326. 91. ______, “The Professionalization of Labor in Detroit,” American Journal of Sociology, LVIII (1952-1953), 371. 395



92. ______, and Pauk K. Hatt, “Social Mobility and Economic Advancement,” American Economic Review, XLIII, Supplement (May, 1953), 364-378. 93. FOREMAN, P. B., and M. C. HILL, “The Negro in the United States: A Bibliography,” Oklahoma A. and M. College Bulletin, XLIV (Stilwater, Okla., 1947). 94. FORM, W. H., “Toward an Occupational Social Psychology,” Journal of Social Psychology, XXIV (1946), 85-99. 95. FRIEDSON, E., “Relation of Social Situation of Contact to the Media in Mass Communication,” Public Opinion Quarterly, XVII (1953), 230-239. 96. _______, “Communications Research and the Concept of the Mass,” American Sociological Review, XVIII (1953), 313-317. 97. GARDNER, BURLEIGH B., “The Factory as a Social System” in William Foote Whyte, ed., Industry and Society. New York: McGraw-Hill Book Company, 1946. 98. _______’ and DAVID MOORE, Human Relations in Industry. Homewood, Ill.: Richard D. Irwin, Inc., 1955. 99. GEIGER, T., “An Historical Study of the Origins and Structure of the Danish Intelligentsia,” British Journal of Sociology, I (1950), 209-220. 100. GLASS, D. V., ed., Social Mobility in Britain. New York: The Free Press, 1954. 101. ______, and J. R. HALL, “A Description of a Sample Inquiry into Social Mobility in Great Britain,” in D. V. Glass, ed., Social Mobility in Britain. New York: The Free Press, 1954, pp. 79-97. 102. ______, “Social Mobility in Britain: A Study of Inter-Generation Changes in Status,” in D. V. Glass, ed., Social Mobility in Britain. New York: The Free Press, 1954, pp. 177-265. 103. GOFFMAN, ERVING, “Symbols of Class Status,” British Journal of Sociology, II (1951), 294-305. 104. GOLD, RAY, “Janitors versus Tenants: A Status-Income Dilemma,” American Journal of Sociology, LVII (1951-1952), 486-493. 105. GOLDHAMMER, HERBERT, and EDWARD A. SHILLS, “Types of Power and Status,” American Journal of Sociology, XLV (1939-1940), 171182. 106. GOLDSCHIMDT, W. R., “America’s Social Classes: Is Equality a Myth?” Commentary, X (1950), 175-181. 107. ______, As You Sow. New York: Harcourt, Brace & World, Inc., 1947. 108. ______, “Class Denominationalism in Rural California Churches,” American Journal of Sociology, XLIX (1943-1944), 348-356. 109. ______, “Social Class in America: A Critical Review,” American Anthropology, LII (1950), 483-499. 110. ______, “Social Class in American Sociology,” American Journal of Sociology, LV (1949-1950), 262-268. 111. ______, “A System of Social Class Analysis” (Drew University Studies, No.2). Madison, N. J.: Drew University Bulletin, 1951. 112. GOODWIN, A., ed., The European Nobility in the Eighteenth Century. London: Adam and Charles Black, 1953. 396



113. GORDON, M. M., “Kitty Foyle and the Concept of Class Culture,” American Journal of Sociology, LIII (1947-1948), 210-217. 114. ______, “Social Class in American Sociology,” American Journal of Sociology, LV ((1949-1950), 262-269. 115. GOULDNER, ALVIN, The Wildcat Strike. London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1955. 116. ______, Pattern of Industrial Bureaucracy. London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1955. 117. GREEN A., “The Middle Class Male Child and Neurosis,” American Sociological Review, XII (1946), 31-41. 118. GROSS, L., “The Use of Class Concepts in Sociological Research,” American Journal of Sociology, LIV (1948-1949), 409-422. 119. HAGGARD, E. A., “Social-Status and Intelligence: An Experimental Study of Certain Cultural Determinants of Measured Intelligence,” Genetic Psychology Monographs, XLIX (1954), 141-186. 120. HALL, J. R., and W. ZIEGEL, “A Comparison of Social Mobility Data for England and Wales, Italy, France and the U.S.A.,” in D.V. Glass, ed., Social Mobility in Britain. New York: The Free Press, 1954, pp. 260-265. 121. HALL, J. R., “A Comparison of the Degree of Social Endogamy in England and Wales and the U.S.A,” in D.V. Glass, ed., Social Mobility in Britain. New York: The Free Press, 1954, pp. 344-346. 122. _____, and D. CARADOG JONES, “Social Grading of Occupations,’ British Journal of Sociology, I (1950), 31-55. 123. HALL, J. R., and D. V. GLASS, “Education and Social Mobility,” in D.V. Glass, ed., Social Mobility in Britain. New York: The Free Press, 1954, pp. 291-307. 124. HATT, P.K., “Class and Ethnic Attitudes,” American Sociological Review, XIII (1948), 36-43. 125. ______, “Occupation and Social Stratification,” American Journal of Sociology, LV (1950), 533-544. 126. ______, “Social Class and Basic Personality Structure,” Sociology and Social Research, XXXVI (1952), 355-363. 127. ______, “Stratification in Mass Society,” American Sociological Review, XV (1950), 216-222. 128. ______, and V. KTSANES, “Patterns of American Stratification as Reflected in Selected Social Literature,” American Sociological Review, XVII (1952), 670-679. 129. HAVIGHURST, R. J., “Child Development in Relation to Community Social Structure,” Child Development, XVII (1946), 85-89. 130. ______, and F. H. BREESE, “The Relation between Ability and Social Status in a Midwestern Community: III. Primary Mental Abilities,” Journal of Educational Psychology, XXXVIII (1947), 241-247. 131. HAVIGHURST, R. J., and R. R. RODGERS, “The Role Motivation in Attendance at Post-High School Educational Institutions,” in Who Should



397



132. 133. 134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151.



Go to College, B. S. Hollingshead, ed. New York: Columbia University Press, 1952. HAVIGHURST, R. J., and HILDA TABA, Adolescent Character and Personality. New York: John Wiley & Sons, Inc., 1949. HENRY, W., “The Business Executive: Psychodynamics of a Social Role,” American Journal of Sociology, LIV (1948-1949), 286-291. HERTZLER, J. O., “Some Tendencies Toward a Closed Class System in the United States,” Social Forces, XXX (1952), 313-323. HILDEBRAND, GEORGE H., “American Unionism,” American Journal of Sociology, LVIII (1952-1953), 381-390. HILL. M. C., and B. C. McCALL, “Social Stratification in Georgia Town,” American Sociological Review, XV (1950), 721-730. HIMMELWEIT, H. T., “Social Status and Secondary Education since the 1944 Act: Some Data for London., in D. V. Glass, ed., Social Mobility in Britain. New York: The Free Press, 1954, pp. 141-159. HOCART, A. M., Caste: A Comparative Study. London: Methuen & Co. Ltd., 1950. HOLLINGSHEAD, A. B., “Class and Kinship in a Middle Western Community,” American Sociological Review, XXIV (1949), 469-475. ______, “Class Differences in Family Stability,” Annals of the American Academy of Political and Social Science, CCLXXII (1950), 39-46. ______, Elmtown’s Youth: The Impact of Social Classes on Adolescents. New York: John Wiley & Sons, Inc., 1949. ______, “Selected Characteristics of Classes in a Middle Western Community,” American Sociological Review, XII (1947), 385-395. ______, “Status in the High School,” in W. Lloyd Warner, ed., Democracy in Jonesville. New York: Harper & Row, Publishers, 1949, pp. 193-213. ______, “Trends in Social Stratification: A Case Study,” American Sociological Review, XVII (1952), 264-285. HSIO-TUNG FEI, “Peasantry and Gentry in China,” American Journal of Sociology, LII (1946-1947), 1-17. HSI-EN CHEN, THEODORE, “The Marxist Remolding of Chinese Society,” American Journal of Sociology, LVIII (1952-1953), 340-346. HSU, FRANCIS L. K., “Social Mobility in China,” American Sociological Review, XIV (1949), 764-771. HUGHES, E. C., “Dilemmas and Contradictions of Status,” American Journal of Sociology, L (1944-1945), 353-360. HYMAN, H. H., “The Psychology of Status,” Archives of Psychology, CCLXIX (19420, 1-94. INKELES, A., “Social Stratification and Mobility in the Soviet Union,” American Sociological Review, XV (1950), 465-480. JANKE. L. L., and R. J. HAVIGHURST, “Relations Between Ability and Social Status in a Midwestern Community: 11. 16-years-old Boys and Girls,” Journal of Educational Psychology, XXXVI (1946), 499-509.



398



152. JENKINS, H., and D. CARADOG JONES, “Social Class of Cambridge Alumni of the 18th and 19th Centuries,” British Journal of Sociology, I (1950), 93-116. 153. KAHL, JOSEPH A., “Education and Occupational Aspirations of Common Man’ Boys,” Harvard Educational Review, XVIII (1953), 186-203. 154. KAUFMAN, H. F., “An Approach to the Study of Urban Statification,” American Sociological Review, XVII (1952), 430-437. 155. ______, Defining Prestige in a Rural Community (“Sociometry Monographs,” No. 10), New York: Beacon House, 1946. 156. ______, “Members of a Rural Community as Judges of Prestige Rank,” Sociometry, IX (1946), 71-86. 157. ______, Prestige Classes in a New York Rural Community. Ithaca, N.Y.: Cornell University Agricultural Experiment Station Memoir No. 260, 1944. 158. KELSALL, R. K., Higher Civil Servants in Britain. London: Routedge & Kegan Paul Ltd., 1955. 159. KINSEY, A. C., et al., Sexual Behavior in the Human Male. Philadelphia: W. B. Saunders Co., 1948. 160. KLUCKHOHN, C., and F. KLUCKHOHN, “American Culture: General Orientations and Class Patterns,” in L. Bryson, L. Finkelstein, and R. M. MacIver, ads., Approaches to Group Understanding. New York: Harper & Row, Publishers, 1947. 161. LASSWELL, H. D., Power and Society: A Framework for Political Inquiry. New Haven: Yale University Press, 1950. 162. ______, D. Lerner, and C. E. Rothwell, The Comparative Study of Elites: An Introduction and Bibliography. Stanford, Calif.: Stanford University Press, 1952. 163. LASTRUCCI, C. L., “The Status and Significance of Occupational Research,” American Sociological Review, XI (1946), 78-84. 164. LAZARSFIELD, P. F., B. BERELSON, and H. GOUDIT, The People’s Choice. New York: Columbia University Press, 1948. 165. LEACH, E. R., Political Systems of Highland Burma: A Study of Kachin Social Structure. London: G. Bell & Sons Ltd., 1954. 166. LEE, SHU-CHING, “Intelligentsia of China,” American Journal of Sociology, LII (1946-1947), 489-497. 167. LENSKI, G. E., “American Social Classes: Statistical Strata or Social Groups?” American Journal of Sociology, LVIII (1952-1953), 139-144. 168. LERNER, MAX, America as Civilization. New York: Simon & Schuster, 1957. 169. LEWIS, R., and A. MAUDE, The English Middle Classes. London: Phoenix House, 1949. 170. ______, The English. London: Phoenix House, 1949. 171. LIN, YUEH-HWA, The Golden Wing: A Sociological Study of Chinese Familism. London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1947. 172. LIPSET, S. M., and R. BENDIX, “Social Mobility and Occupational Career Patterns: 1. Stability of Jobholding,” American Journal of Sociology, LVII (1952), 366-374. 399



173. ______, “Social Status and Social Structure,” British Journal of Sociology, II (1951), 150-168, 230-257. 174. LITTLE, K. L., “Social Change and Social Class in the Sierra Leone Protectorate,” American Journal of Sociology, LIV (1948-1949), 10-21. 175. ______, “The Study of Social Change’ in British West Africa,” Africa, XXIII (1953), 274-284. 176. LOOMIS, C. P., J. A. BEAGLE, and T. W. LONGMORE, “Critique of Class as Related to Social Stratification,” Sociometry, X (1947), 319-337. 177. LOWIE, R. H., The German People. New York: Holt, Rinehart&Winston, Inc., 1945. 178. MAAS, HENRY, “Some Social Class Differences in the Family Systems and Group Relations of Pre- and Early Adolesecents,” Child Development, XXII (1951), 145-152. 179. McCALL, BEVODE, “Social Status and Social Interaction: A Case Study,” Unpublished manuscript. 180. MACDONALD, M., C. McGUIRE, and R. HAVIGHURST, “Leisure Activities and the Socio-Economic Status of Children,” American Journal of Sociology, LIV (1948-1949), 505-520. 181. McGUIRE, C., “Family Life in Lower and Middle Class Homes,” Marriage and Family Living, XIV (1952), 1-6. 182. ______, “Social Mobility: The Rise and Fall the Families,” in Democracy in Jonesville. New York : Harper & Row, Publishers, 1949, pp. 55-76. 183. ______, “Social Status, Peer Status and Social Mobility” (Memorandum for the Committee in Human Development). Chicago: University of Chicago, Committee in Human Development, 1949. 184. ______, “Social Stratification and Mobility Patterns,” American Sociological Review, XV (1950), 195-204. 185. MACIVER, R. M., The Web of Government. New York: The Macmillan Company, 1947. 186. MACRAE, D. G., “Social Stratification: A Trend Report,” Current Sociology, II (1953-1954), 5-74. 187. MANHEIM, KARL, Freedom, Power and Democratic Planning. New York: Oxford University Press, Inc., 1950. 188. MARRIOTT, McKIM, “Individual Prestige versus Caste Ranking in Some Hindu Villages,” Unpublished paper read art the AAA meetings, Tucson, 1953. 189. ______, ed., Village India. Chicago: University of Chicago Press, 1955. 190. MARSHALL, T. H., Citizenship and Social Class. Cambridge University Press, 1950. 191. ______, “The Nature and Determinants of Social Status,” The Year Book of Education. London: Evan Brothers, 1953, pp. 30-50. 192. MARTIN, F. M., An Inquiry into Parents’ Preferences in Secondary Education,” in D. V. Glass, ed., Social Mobility in Britain. New York: The Free Press, 1954, pp. 160-174.



400



193. MEEKER, MARCHIA, “Status Aspirations and the Social Club,” in W. Lloyd Warner, ed., Democracy in Jonesville. New York: Harper & Row, Publishers, 1949,pp. 130-148. 194. MILLER, W., “The Business Elite in Business Bureaucracies,” in W. Miller, ed., Men in Business. Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1952, pp. 286-305. 195. ______, “The Recruitment of the American Business Elite,” Quarterly Journal of Economics, LIV (1950), 242-253. 196. MILLS, C. W., “The American Business Elite: A Collective Portrait,” Journal of Economic History, V (suppl.5) (1945), 20-45. 197. ______, The New Men of Power: America’s labor Leaders. New York: Harcourt, Brace & World, Inc., 1948. 198. ______, White Collar: The American Middle Classes. New York: Columbia University Press, 1951. 199. MOSER, C. A., and J. R. HALL, “The Social Grading of Occupation,” in D. V. Glass, ed., Social Mobility in Britain. New York: The Free Press. 1954, pp. 29-50. 200. MOZT, A. B., “Conceptions of Marital Roles by Status Groups,” Marriage and Family Living, XII (1950), 136-162. 201. MUKHERJEE, RAMKRISHNA, “A Study Social Mobility between Threee Generations,” in Social Mobility in Britain. London Routledge and Kegan Paul, Ltd., 1954, Vol. 9. pp. 266-290. 202. ______, “A Further Note on the Analysis of Data on Social Mobility,” in D. V. Glass, ed., Social Mobility in Britain. New York: The Free Press, 1954, pp. 242-259. 203. ______, and J. R. HALL, “A Note on the Analysis of Data on Social Mobility,” in D. V. Glass, ed., Social Mobility in Britain. New York: The Free Press, 1954, pp. 218-241. 204. MULLIGAN, R. A., “Social Mobility and Higher Education,” Journal of Educational Sociology, XXV (1952), 476-487. 205. ______, “Socio-Economic Background and College Enrollment,” American Sociological Review, XVI (1951), 188-196. 206. MURDUCK, G. P., Social Structure. New York: The Macmillan Company, 1949. 207. NEUGARTEN, B., “The Democracy of Childhood,” in W. Lloyd Warner, ed., Democracy in Jonesville. New York: Harper & Row, Publishers, 1949, pp. 77-88. 208. ______, “Social Class and Friendship among School Children,” American Journal of Sociology, LI (1945-1946), 305-314. 209. NEWCOMB, T. M., Social Psychology. New York: Dryden Press, 1950. 210. ______, and E. T. HARTLEY, eds., Reading in Social Psychology. New York: Holt, Rinehart & Winston, Inc., 1947. 211. NORTH, C. C., and P. K. HATT, “Jobs and Occupations: A Popular Evaluation,” Opinion News. I (1947), 3-13.



401



212. PARSONS, T., “The Professions and Social Structure,” Social Forces., XVII (1939), 457-467, reprinted in T. Parsons, eds., Essays in Sociological Theory: Pure and Applied. New York: The Free Press, 1949. 213. ______, “Social Classes and Class Conflict in the Light of Recent Sociological Theory,” American Economic Review, XXXIV (1949), 16-26. 214. ______, The Social System. New York: The Free Press, 1951, pp. 132, 172. 215. PEAR, T. H., “English Social Differences. London: George Allen & Unwin, Ltd., 1955. 216. PFAUTZ, H. W., “The Current Literature on Social Stratification: Critique and Bibliography,” American Journal of Sociology, LVIII (1952-1953), 391418. 217. ______, and O. P. DUNCAN, “A Critical Evaluation of Warner’s Work in Social Stratification,” American Sociological Review, XV (1950), 205-215. 218. POPE, L., Millhands and Preachers (Studies in Religious Education, No. 15). New Haven: Yale University Press, 1943. 219. ______, “Religion and Class Structure,” Annals of the American Academy of Political and Social Science, CCLVI (1948), 84-91. 220. PRINS, A. H. J., East African Age-Class Systems: An Inquiry into the Social Order of Galla, Kipsigis, and Kikuyu. Groningen: J. B. Wolters, 1953. 221. RIESMAN, D., The Lonely Crowd: A Study of the Changing American Character. New Haven: Yale University Press, 1950. 222. ROGOFF, N., “Recent Trends in Urban Mobility,” in P. Hatt and A. Reiss, eds., Reader in Urban Sociology. New York: The Free Press, 1951, pp. 406420. 223. ROSENSTEIN, JOSEPH, “Party Politics: Unequal Contests,” in W. Lloyd Warner, ed., Democracy in Jonesville. New York: Harper & Row, Publishers, 1949, pp. 213-235. 224. REUSCH, J., Chronic Disease and Psychological Invalidism, Psychosomatic Medicine Monographs, New York: Paul Hoecker, 1946. 225. ______, “Social Tehcnique, Social Status, and Social Change in Illness,” in H. A. Murray and C. Kluckhohn, eds., Personality in Nature, Society and Culture. New York: Alfred A. Knopf, Inc., 1948, pp. 117-130. 226. ______, A. JACOBSON, and M. B. LOEB, “Acculturation and Illness,” Psychological Monographs: General and Applied, LXII No. 292 (1948). 227. RUESCH, J., et al., Duodenal Ulcer: A Sociopsychological Study of Naval Enlisted Personnel and Civilians. Berkeley, Calif.: University of California Press, 1948. 228. RYAN, B. F., Caste in Modern Ceylon. New Bruncwick, N.J.: Rutgers University Press, 1953. 229. SCHATZMAN, LEONARD, and ANSELM STRAUSS, “Social Class and Modes of Communication,” American Journal of Sociology, LX (19541955), 329-338. 230. SCHLESINGER, A. M., Learning How to Behave. New York: The Macmillan Company, 1946. 231. SCHUMPETER, J. A., Imperialism and Social Classes. New York: Kelley, 1951. 402



232. SELLARS, R. W., V. J. McGILL, and M. FABER, Philosophy for the Future. New York: Macmillan Company, 1949. 233. SEWELL, W. H., The Construction and Standardization of a Scale tor the Measurement of the Socio-Economic Status of Oklahoma Farm Families, Oklahoma A. and M. College Technical Bulletin No. 9 (1940). 234. ______, and B. L. ELLENBOGEN, “Social Status and the Measured Intelligence of Small City and Rural Children,” American Sociological Review, XVII (1952), 612-616. 235. SHIH, KUO-HENG, eds. And trans. Hsiao-tung Fei and Francis L. K. Hsu, China Enters the Machine Age. Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1944. 236. SHILLS, E., The Present State of American Sociology. New York: The Free Press, 1948. 237. SJOBERG, G., “Are Social Classes in America Becoming More Rigid ?” American Sociological Review, XVI (1951), 775-783. 238. SMITH, BENJAMIN F., “Wishes of Negro High School Seniors and Social Class Status,” Journal of Educational Sociology, XXV (1952), 466-475. 239. SOROKIN, PITIRIM, Society, Cultur, and Personality. New York: Harper & Row, Publishes, 1947, pp. 277-278. 240. ______, Social Mobility. New York: Harper & Row, Publishers, 1927. 241. STENDLER, CELIA BURNS, Children of Brasstown, (University of Illinois Bulletin, XLVI, No. 59). Urbana, Ill.: Bureau of Research and Service of the College of Education, 1949. 242. STERN, BERNHARD J., “Some Aspects of Historical Materialism,” in R. W. Sellars, ed., Philosophy for the Future. New York: The Macmillan Company, 1949. 243. STONE, GREGORY, “City Shoppers and Urban Stratification: Observations on the Social Psychology of City Life,” American Journal of Sociology, LX (1954-1955), 36-45. 244. TAFT, P., The Structure and Government of Labour Unions. London: Geoffrey Cumberlege, and Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1955. 245. TIMASHEEFF, N. S., “Vertical Social Mobility in Communist Society,” American Journal of Sociology, XLIX (1943-1944), 9-22. 246. TUMIN, M. M., Caste in a Peasant Society. Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1952. 247. VOGT, E. Z., Jr., “Social Stratification in the Rural Middle West: A Structural Analysis,” Rural Sociology, XII (1947), 364-375. 248. ______, “Town and Country: The Structure of Rural Life,” in W. Lloyd Warner, ed., Democracy in Jonesville, New York: Harper & Row, Publishers, 1949, pp. 236-265. 249. WARNER, W. LLOYD, ed., Democracy in Jonesville. New York: Harper & Row, Publishers, 1949. 250. ______, “A Methodological Note,” in St. Clair Drake and Horace R. Cayton, eds., Black Metropolis. New York: Harcourt, Brace & World, Inc., 1945. 403



251. ______, Structure of American Life. Edinburgh: The University Press, 1952. (American title: American Life: Dream and Reality. Chicago: University of Chicago Press, 1953). 252. ______, and J. ABEGGLEN, Big Business Leaders in America. New York: Harper & Row, Publishers, 1955. 253. ______, Occupational Mobility in American Business and Industry, 19281952. St. Paul, Minn.: University of Minnesota Press, 1955. 254. WARNER, W. LLOYD, and WILLIAM E. HENRY, “The Radio Daytime Serial: A Symbolic Analysis,” Genetic Psychology Monograph, XXXVII (1948), 3-72. 255. WARNER, W. LLOYD, and J. O. LOW, The Social System in Modern Factory. New Haven: Yale University Press, 1947. 256. WARNER, W. LLOYD, and P. S. LUNT, The Status System of a Modern Community. New Haven: Yale University Press, 1947. 257. WARNER, W. LLOYD, M. MEKEER, and K. EELLS, Social Class in America. Chicago: Science Research Associates, 1949. 258. WARNER, W. LLOYD, and MARCHIA MEEKER, “The Mill: Its Economy and Moral Structure,” in W. Lloyd Warner, ed., Democarcy in Jonesville. New York” Harper & Row, Publishers, 1949. 259. WARNER, W. LLOYD, and LEO SROLE, The Social Systems of American Ethnic Groups, Vol. III, Yankee City Series. New Haven: Yale University Press, 1945. 260. WARRINER, CHARLES K., “Leadership in the Small Group,” American Journal of Sociology, LX (1955), 361-369. 261. WEST, J., Plainville, U.S.A. New York: Columbia University Press, 1945. 262. WHITE, CLYDE, These Will Go to College. Cleveland: Western Reserve University Press, 1952. 263. WHYTE, W. F., “A Slum Sex Code,” American Journal of Sociology, XLIX (1943), 24-31. 264. ______, “The Social Structure of the Restaurant,” American Journal of Sociology, LIV (1949), 302-310. 265. WILLIAMS, ROBIN M., Jr., American Society: A Sociological Interpretation. New York: Alfred A. Knopf, Inc., 1951, pp. 78-135. 266. WRAY, D., “The Norwegians: Sect and Ethnic Group,” in W. Lloyd Warner et al., Democracy in Jonesville. New York: Harper & Row, Publishers, 1949, pp. 168-192. 267. WOHL, R. RICHARD, “The Rags to Riches Story: An Episode of Secular Idealism,” Class, Status, and Power. New York: The Free Press, 1953. 268. YANG, MARTIN C., A Chines Village: Taiton, Shantung Province. New York: Columbia University Press, 1943.



404



405



Makna Variabel Kelas Sosial Thomas E. Laswell Stratifikasi Kini bidang kelas sosial dan stratifikasi sosial menjadi konsep yang kacaubalau. Namun sebagai peneliti potensial di bidang ini, pembaca sekurangkurangnya berhak melihat selintas penggunaan konsep itu akhir-akhir ini. Tak dapat disangkal pandangan menjadi muram. Kita menemukan orang yang bersikeras menyatakan kelas sosial adalah nyata dan stratifikasi sosial adalah fiktif; orang lain bersikeras menyatakan tak ada satu keterangan pun yang menunjukkan kelas sosial atau stratifikasi sosial adalah nyata. Satu-satunya unsur universal yang terlihat ada pada seluruh penulis itu adalah keyakinan bahwa mereka adalah benar dan sering tidak bertoleransi atas pendapat orang lain yang dirasakan berbeda.Baiklah kita teliti beberapa konsepsi tentang “kelas sosial” yang lebih mutakhir: Konsep kelas sosial seperti yang digunakan sejumlah penulis terkesa kurang dapat mengenali kandungan empiris. 1……istilah kelas sosial……..hampir tak bernilai untuk menerangkan data tentang kekayaan, kekuasaan dan status sosial dalam masyarakat AS kontemporer…… Agaknya konsep kelas sosial adalah penting dan tak terelakkan, sebagai langkah awal untuk menstudi perbedaan kekuasaan status dalam masyarakat; tak dapat disangkal, ada bidang peradaban non Barat maupun berabad-abad yang lalu dimana konsep kelas sangat diperlukan untuk memahami kekuasaan dan status; tetapi sejauh menyangkut masyarakat Barat terutama di AS, konsep kelas umumnya sudah tak terpakai lagi.



2



Dilihat dari sudut pengetahuan



riset moderen…….masih adakah alasan pembenar untuk menggunakan ungkapan seperti “sistem kelas negera (AS) ini?…..Akhirnya kita harus siap menjawab pertanyaan itu dengan jawaban “tidak”. Kinilah saatnya mencari istilah baru, obyektif dan akurat untuk menggambarkan keanekaragaman anggota masyarakat kita (AS) dilihat dari sudut uang, kekuasaan, gengsi dan pekerjaan.



3



Setiap



diskusi tentang stratifikasi sosial harus menaggulangi kesukaran karena istilah 406



“kelas sosial” tak pasti maknanya dan tak dipahami secara seragam di dalam literatur sosiologi. Bagaimana cara membuang makna gandanya itu? 1. Istilah kelas sosial tak boleh digunakan sinonim dengan konsep lain yang telah disepakati maknanya. Kelas pendapatan, strata pekerjaan, ras, kelompok kepentingan dan lain-lain tak boleh disebut kelas-sosial……. 2. ……Tak ada teori yang dimulai dari kriteria obyektif khusus atau sekumpulan kriteria yang mampu lebih dari pada melukiskan stratifikasi sosial dalam sebuah sistem khusus: teori itu tentu akan gagal menjelaskan fenomena kelas sosial saja…… 3. …….Semua teori stratifikasi berpendirian bahwa kesamaan perilaku dan hubungan sosial adalah sebuah kriterion kelas sosial tetapi terdapat perbedaan pendapat mengenai kekuatan yang menyebabkan kesamaan ini. Tetapi hampir seluruh analisis gagal memisahkan teori umum tentang perilaku dari teori khusus tentang stratifikasi sosial. Kerangka referensi yang terdiri dari teori perilaku umum terlalu luas untuk mendefinisikan kelas. Ciri-ciri khusus hubungan antara kelas-kelas sosial adalah bertingkat (hierarchy)…….4 Tabel 1. Cara Penggolongan Orang Dalam Masyarakat Amerika Kontemporer. No. Pendapatan



Pekerjaan



Pendidikan



1.



Kekayaan



2.



Pendapatan yang cukup



3.



Pendapatan sedang



4.



Pendapatan rendah



Asal Keluarga Eksekutif Tamatan Keluarga tua Perusahaan dan sekolah terkemuka Besar profesional Tenaga Tamatan Sering profesional kolej menurut tempat tinggal dalam komunitas Karyawan Pernah kerah-putih; masuk kolej pengusaha tapi tak toko-kecil tamat Pekerja Tamatan terampil SLA



5.



Tergantung pada bantuan



Pekerja semi terampil



Pernah masuk SLA



407



Asal Ras Kulit putih



Asal Etnik



Dari Timur



Orang Jerman



Negro



Dari Eropa Barat dan Utara



Inggris, Skotlandia



Eropa Timur dan Selatan Dari Timur



6.



Pekerja tak Hanya terampil tingkat sekolah dasar



Sumber: Kimball Young, Social Psychology (NY:Appleton Century. Crofts,1956).



Dimana saja kelas ditetapkan oleh faktor-faktor yang memungkinkan membangun kontinum hirarkis, kelas itu ditetapkan secara keliru; artinya syarat telah ditetapkan secara keliru. Status, penggolongan oleh orang lain, penggolongan sendiri, gaya hidup, kesamaan kondisi ekonomi, dan tingkat pendapatan kesemuanya adalah faktor yang menentukan strata sosial tetapi bukan kelas sosial.



5



Aku tidak keberatan atas penggunaan istilah “kelas” untuk



membicarakan pembagian yang berubah-ubah di AS berdasarkan kontinum (pekerjaan, pendidikan, status atau gengsi, kekuasaan atau salah satu dari dasar diferensiasi sosial lain) yang memberikan pengakuan bahwa kelas adalah sebuah fenomenon lain di Eropa. Namun aku rasa terlalu sukar untuk menjelaskan perbedaan ini. Juga takkan ditemukan istilah baru yang dapat mengatasi masalah karena diferensiasi sosial di AS tak memberikan kemungkinan untuk menggunakan konsep kelas secara tertutup dan sewenang-wenang. 6 Sekarang masalah stratifikasi sosial benar-benar berada dalam situasi paradok. Satu pihak kelas sosial atau status sosial-ekonomi menjadi variabel yang paling luas digunakan dalam riset sosiologi empiris. ………Konsep stratifikasi sosial kini menjadi bagian dan bingkisan barang intelektual dan menjadi ungkapan sehari-hari orang kebanyakan. Ini benar-benar merupakan penghargaan yang simpatik terhadap pengajaran dan riset sosiologi. Tetapi pada waktu bersamaan inilah paradoknya. Kekacauan konseptual yang sejak lama menandai bidang kajian stratifikasi sosial ini yang hingga kini belum menunjukkan



tanda-tanda



berkurang…….Sosiolog



perlu



meningkatkan



pertemuan profesional tingkat nasional dan internasional guna menyajikan temuan dari riset stratifikasi dan untuk mengklarifikasi masalah konseptual dan masalah teoritis mendasar. 7



408



Agak lucu dan luar biasa memang kalau harus membuktikan perlunya melaksanakan riset yang sangat luas untuk menemukan apa yang membentuk struktur kelas dalam masyarakat moderen. 8 Stratifikasi adalah hasil obyektif dari penilaian. Stratifikasi menunjukkan urutan penilaian posisi relatif kedudukan dan distribusinya di dalam sistem penilaian. Bila sistem penilaian orang mengabaikan keanggotaan kelompok, kita berbicara tentang stratifikasi individual. Bila kelompok dinilai sebagai unit-unit, kita berbicara tentang stratifikasi kelompok……. Dalam banyak contoh penilaian dalam berbagai sistem stratifikasi individual tidak berhubungan dengan “status” dan tidak ada sangkut-pautnya dengan keanggotaan kelas dalam sistem stratifikasi kelompok. Tetapi ada satu kekecualian: prestasi dan posisi tertentu secara tak langsung menyatakan penempatan pada kelas sosial tertentu. 9 Ketimbang terus mengaji kontroversi ini lebih baik kita mencoba memisahkan berbagai konsep kelas sosial dan stratifikasi sosial kedalam sederetan kategori untuk mempermudah pemahaman dan penggunaannya. Ada tujuh kategori konsep stratifikasi sosial yang pernah dikemukakan: 1. Konsep “struktur tunggal” 2. Konsep struktur jamak 3. Konsep fungsional 4. Konsep kontinum 5. Konsep batas kelas 6. Konsep kelompok kepentingan 7. Konsep interaksional



Konsep “Struktur Tunggal”



409



Salah satu gagasan tentang kelas sosial yang paling umum adalah bahwa kelas-kelas secara bersama membentuk struktur sosial tunggal yang dapat disesuaikan dengan model matematis yang penyajian grafisnya adalah dalam bentuk segi tiga, wajik, bujur sangkar atau bentuk penuh piramida dengan garis horizontal menandakan batas antara kelas-kelas. Dimensi vertikal dari modelnya mencerminkan



“ketinggian”



masing-masing



kelas



sosial



dan



dimensi



horizontalnya mencerminkan jumlah orang, kecuali dalam model seperti empat persegi panjang, dimana anggota secara vertikal diwakili dan puncak kelas sosial oleh urutan.



Lapisan atas yang mengeras



Gambar 1. Model Sruktur Sosial Terstratifikasi di Plainville. Sumber: James West,Plainville,USA (NY: Columbia Univ. Press,1961:117



Diskripsi yang baik sekali dari model demikian, berasal dari Mayer: Ringkasnya, struktur sosial AS kini dan masa depan yang dekat, dapat dibayangkan seperti wajik dimana puncak dan dasarnya masih diatur dengan agak



410



kaku, ditempati oleh kelas atas dan kelas bawah. Kelas buruh tradisional juga masih bertahan tetapi kini hanya terdiri dari bagian pekerja tangan. Tetapi antara kelas atas dan kelas bawah sebagai dua ujung ekstrim tak ada lagi kelas ditengahnya. Perbedaan gengsi, kekuasaan dan ekonomi tentu masih bertahan di sini dan perbedaan gengsi cenderung makin ditekankan sementara perbedaan ekonomi secara kasar makin berkurang dan kehilangan tanda-tandanya. Tetapi perbedaan ini tak lagi menjadi tanda kelas sosial. Di tingkat menengah dari berbagai urutan-tingkatan, kita menyaksikan taraf awal masyarakat tanpa kelas dalam perekonomian industri moderen. Ekonomi industri melibatkan sekurangnya separoh penduduk AS dan lebih banyak lagi dimasa datang meski belum ada tanda-tanda yang menunjukkan kemungkinan akan lenyapnya kelas atas dan bawah sama sekali. Inilah ciri masyarakat tanpa kelas yang agak berbeda dari yang dibayangkan Marx seabad yang lalu, namun sekurang-kurangnya inilah sebagian dari masyarakat tanpa kelas itu. 10 Model wajik Mayer mudah dikonseptualisasikan. Sayangnya model itu juga memudahkan pembaca membuat analogi dangkal antara model ini dan piramida penduduk dan membayangkan diagram itu lebih mencerminkan komposisi penduduk ketimbang sebuah struktur sosial. Memandang “Struktur Sosial” seperti sebuah fenemonon demografis, jelas tak sesuai dengan definisi struktur sosial Merton. Menyamakan keduanya bukan hanya sekedar tak relevan tetapi juga akan sangat mengacaukan . Merton berkata: Susunan terpola dari kumpulan peran, kumpulan status dan rentetan status dapat dianggap sebagai struktur sosial. Konsep ini mengingatkan kita bahwa meski nampaknya sederhana tetapi dalam kenyataannya struktur sosial itu sangat rumpil. Dalam kenyataan, struktur sosial mengelola dan mengorganisir kumpulan dan rentetan status dan peran ini sedemikian rupa sehingga tercipta ketertiban sosial pada tingkat yang memungkinkan sebagian besar orang mengerjakan urusan kehidupan sosial mereka tanpa harus melakukan penyesuaian diri kembali dalam setiap menghadapi situasi yang baru. 11 Penulis seperti Warner dan West (lihat gambar 1) menjelaskan bahwa struktur sosial dibayangkan secara berbeda oleh golongan penduduk berlainan tetapi 411



gagasan utama yang dibawa konsep itu masih dipertahankan yakni dalam bentuk struktur monolitik. Artinya konsep struktur sosial lebih menekankan pada kumpulan manusia ketimbang konsep tentang hubungan antara manusia. Kiranya menarik memikirkan perwujudan konsep struktur sosial seorang pakar. Struktur sosial dikalangan masyarakat primitif, struktur sosial itu mungkin berbentuk mana atau binatang totem. Dikalangan masyarakat yang lebih melek huruf, struktur sosialnya mungkin berbentuk “jalan bercabang delapan” Budhisme, “jen dan li” dari Confucianisme. Bukti yang menunjukkan keberadaan struktur sosial suatu masyarakat ditemukan dalam keberadaan streotip massa dan dalam apa yang disebut Lee “kultur kemasyarakatan”.



12



Penelitian yang lebih



cermat menunjukkan bahwa struktur sosial bukan sekedar fenomenon demografis dan tidak berdiri sendiri tetapi berhimpitan dengan sejumlah “kultur kelompok” 13 dan citra pribadi tentang signifikansi individual. Gordon menggambarkan kesukaran dalam mengkonseptualisasikan strukturtunggal: Salah satu pertanyaan penting dalam menganalisis stratifikasi sosial adalah apakah sistem kelas sosial dianggap sebagai fungsi komunitas lokal, atau nasional atau masyarakat “massa”. Pertanyaan ini dapat dirinci ke dalam unsur-unsur pertanyaan berikut: (1) Adakah perbedaan tingkat pendapatan, kekuasaan dan gengsi dalam berbagai komunitas orang Amerika? (2) Apakah tingkatan status dan posisi yang terdapat dalam berbagai komunitas dapat disamakan dan dengan demikian kiranya ditentukan oleh nilai umum masyarakat massa ataukah secara khusus ditentukan oleh situasi lokal sendiri-sendiri? (3) Adakah sistem status dan kekuasaan yang berfungsi pada tingkat antar komunitas atau tingkat nasional dan karena itu tak dapat distudi secara memadai dengan meriset salah satu komunitas saja? 14 Konsep struktur tunggal sebagai model masyarakat menemui kesulitan teoritis paling besar ditingkat konsepsi; ini biasanya berpengaruh merugikan atas perumusan hipotesis yang dapat diuji melalui riset empiris dan untuk membangun teori.



Konsep Struktur Jamak



412



Konsep kelas sosial yang kurang lazim digunakan adalah seperti yang dikemukakan Lee di atas. Konsep kelas sosial ini mengakui adanya sejumlah struktur sosial dan memindahkan kemungkinan adanya struktur tunggal pada kasus khusus. Studi Polsby tentang distribusi kekuasaan di New Haven dan tingjauannya tentang adanya delapan strata berdasarkan studi kekuasaan sosial yang diterima secara luas membawa ia kepada kesimpulan bahwa di New Haven bukan hanya elite penguasa tunggal yang tak muncul tetapi hirarki kekuasaan tunggal pun tak ada.



15



Dalam upaya menyelamatkan teori stratifikasi, Polsby menyimpulkan



bahwa dari semua alasan yang ditemukan untuk mencurigai temuan peneliti lain…….”.16



Dapat dinyatakan, tak ada sebuah kelompok tunggal yang



menentukan struktur kekuasaan dalam setiap komunitas, selanjutnya ia berkomentar …..…tak ada satu komunitas pun yang dapat membuktikan dominasi struktur kekuasaannya atas komunitas lain. 17 Vidich dan Bensman mengemukakan pernyataan lebih luas: ……..bahwa dalam komunitas pedesaan yang relatif “sederhana” sekalipun tak ditemukan standar tunggal yang menentukan stratifikasi sosial. Artinya, stratifikasi sosial dalam situasi komunitas pedesaan ini mencerminkan aneka ragam dimensi yang tak saling berkaitan, bahkan sering berkonflik satu sama lain atau tak bertalian secara logis yang ditengahnya dapat muncul beberapa kelompok individu sebagai kumpulan. Fenomena ini telah ditunjukkan dalam literatur stratifikasi urban tetapi selalu diasumsikan bahwa masyarakat pedesaan berskala kecil dapat digolongkan dari puncak ke dasar, sebuah hipotesis yang belum pernah diuji kebenarannya. Alasan utama mengapa standar tunggal stratifikasi tak dapat digunakan adalah karena standar tunggal mensyaratkan pengetahuan yang memungkinkan



membuat



penilaian.



Orang



Springdale



tak



mempunyai



pengetahuan tentang proses penempatan individu dalam masyarakat moderen yang sangat menonjolkan ciri industri komersialnya. 18 Perlu dicatat bahwa Vidich dan Bensman dalam menerangkan kekurangan struktur tunggal di Springdale menggunakan pendekatan kognitif. Pendekatan ini dapat juga digunakan untuk menerangkan temuan Polsby. Kita akan melihat 413



pendekatan ini berulang-kali digunakan dalam konsep interaksional stratifikasi sosial. Tetapi penjelasan “kognitif” tak boleh dicampur-adukkan dengan penjelasan “rasional” yang lebih sesuai dengan konsep fungsional stratifikasi sosial dan konsep kelas sosial seperti yang dibahas di bawah ini.



Konsep Fungsional Analogi organik Spencer menyamakan perkembangan masyarakat dengan perkembangan embrio; melalui diferensiasi ia menunjukkan pada analogi diferensiasi jaringan - tak hanya “menjadi berbeda” tetapi berubah dalam proses dari fungsi yang semula digeneralisir menjadi fungsi yang makin terspesialisasi. Durkheim mengemukakan penjelasan serupa mengenai evolusi masyarakat melalui cara “pembagian kerja” yang makin meningkat. Sorokin berkomentar, bila spesialisasi dan pembagian kerja tak mampu memajukan evolusi masyarakat, sekurang-kurangnya memungkinkan masyarakat mempertahankan hidupnya. Singkatnya, masyarakat adalah fungsional. Dua prinsip ekonomi terpisah nampaknya berperan dalam masyarakat fungsional. Pertama adalah prinsip memberikan hadiah kepada orang yang menyumbang terhadap kesejahteraan umum atau sebaliknya memberikan hukuman terhadap orang yang gagal memberikan kontribusi. Prinsip ekonomi kedua adalah dorongan untuk membagi-bagi barang dan hak istimewa dengan orang lain - dari bayi yang tergantung hidupnya hingga seluruh umat manusia atau sebaliknya keinginan untuk mencegah orang lain tertentu untuk mendapat bagian barang dan hak istimewa. Menurut pakar fungsional, sistem sosial adalah fungsional bila sistem sosial (masyarakat) itu memberikan individu barang atau hak istimewa sebanding dengan kontribusi mereka terhadap kesejahteraan kelompok atau masyarakat. Sebaliknya sistem sosial adalah disfungsional bila memberikan barang atau jasa kepada individu yang tidak memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan kelompok atau masyarakat atau dalam kenyataannya berperilaku menentang kesejahteraan masyarakat.



414



Konsep stratifikasi sosial pakar fungsional adalah perluasan dari konsep struktur tunggal. Induk status sosial umum atau kelas sosial yang sangat besar peluangnya digunakan bersama dengan konsep pakar fungsionalis adalah pekerjaan. Peninggalan feodalisme dalam bentuk gengsi yang disesuaikan dengan pemilik kekayaan atau di ujung ekstrim lain lebih disesuaikan dengan pajak tanah dan pajak kekayaan lain ketimbang menurut tingkat pendapatan, secara sosial adalah disfungsional da;am masyarakat industri moderen. Distribusi penduduk menurut posisi gengsi dan hadiah yang dimilikinya adalah setara dengan kontribusi mereka terhadap kesejahteraan sosial dan kejarangan penduduk yang menjadi struktur dasar masyarakat. 19 Banyak kritik yang dilancarkan terhadap konsep stratifikasi sosial pakar fungsional dan literatur mengenai masalah ini telah ditulis berjilid-jilid. Ada empat artikel dalam The American Sociological Review membahas masalah yang sama.



20



Tumin sendiri telah menyumbang lebih setengah lusin artikel tentang



kontroversi ini. Diantara krititkan terhadap konsep pakar fungsional adalah menyangkut kegagalannya memasukkan persyaratan untuk mobilitas,



21



“asumsinya bahwa



anggota sebuah sistem sosial secara rasional memperhitungkan kontribusi individu terhadap sistem dan kemudian secara jujur dan tepat menilai status menurut perhitungan ini,



22



dan “asumsi tanpa alasannya tentang sistem sosial



yang terintergrasi dengan baik”. 23 Konsep struktur sosial pakar fungsional rupanya menjadi model seluruh posisi dalam sebuah masyarakat, tersusun dalam peta yang menyerupai peta kerja sama raksasa. Mereka mengasumsikan sebuah struktur sosial monolitik, raksasa dan menambahkan bahwa struktur itu rasional serta susunannya bersifat historis.



Konsep Kontinum Model geometris untuk sebuah struktur, biasanya merupakan garis-lurus yang direntangkan dari satu titik yang menunjukkan kemungkinan atau kasus tingkatan terendah hingga kemungkinan atau kasus tingkatan tertinggi. Model seperti itu disebut kontinum dan titik ujungnya disebut kutubnya. 415



Cuber dan Kenkel mengamati bahwa dalam masyarakat Amerika “ada beberapa tingkat hak istimewa, kekuasaan dan status, kurang-lebih berupa kontinum dari dasar ke puncak, tanpa garis demarkasi yang jelas”.



24



Mereka



melanjutkan: Seperti diketahui tiap orang, peneliti perbedaan kedudukan telah “menemukan” bahwa pemilikan kekayaan dan pendapatan, latar belakang keluarga, pendidikan, pemilikan status terhormat dan gengsi memberikan seseorang atau keluarga kedudukan dalam komunitas lokal atau bahkan di tingkat nasional. Tetapi bila masing-masing atribut itu kita ukur, maka akan muncul deretan data kontinum …….kriteria yang digunakan untuk menilai kedudukan bertingkat itu (gengsi atau kekuasaan atau hak istimewa) sebagian besar tidak menunjukkan hubungan signifikan satu sama lain…….Rupanya karena alasan ini dan alasan lain, seperti ilmuan sosial lain, kita berada di atas teoritis yang lebih logis bila kita bertolak dari asumsi bahwa sistem tingkatan sosial masyarakat Amerika lebih tepat dibayangkan sebagai sebuah kontinum ketimbang sebagai kumpulan kategori diskrit (mempunyai ciri-ciri tersendiri). 25 Kritik atas konsep kelas sosial dan stratifikasi sosial sebagai kontinum membuktikan bahwa kategori status mungkin menjadi indek kelas sosial tetapi kategori status itu sendiri tidak terdiri dari kelas sosial atau strata sosial. 26 Meski kritiknya ditujukan kepada penganut konsep fungsional, Buckley pun mengeritik pendukung konsep kontinum ketika ia mengatakan “Teori stratifikasi fungsional yang sekarang sama sekali bukanlah teori stratifikasi tetapi lebih menyerupai teori tentang aspek tertentu diferensiasi sosial dan organisasi hirarkis - tanda kehormatan bukanlah terminologi yang berubah-ubah”. 27 Cuber dan Kewkel menjawab kritikan itu dengan mengatakan “Kami penulis menolak sifat suka menonjolkan keilmuan orang yang berpendirian bahwa demi konsistensi kita kini tak bolah menggunakan istilah kelas sosial dan menganjurkan orang lain tak menggunakannya. Kami melihat tak ada keberatannya menggunakan istilah kelas sosial yang telah menjadi persetujuan lisan itu sepanjang pembaca dan pendengar menyadari sifat dasar terdekat dan ciri-ciri statistik mendasar konsep kelas sosial itu.” 28 416



Dari bahan yang dikutip di sini jelaslah bahwa konsep kontinum kelas sosial dan stratifikasi sosial itu bila tak seluruhnya sekurangnya sebagian berbeda dari konsep lain yang telah dikemukakan.



Konsep Batas Kelas Landecker merasa, baik konsep kelas sosial struktural maupun konsep kontinum kelas sosial tak ada yang benar-benar sempurna untuk digunakan untuk menggambarkan komunitas. Dalam karyanya terkadang pandangannya tentang kelas atau strata sebagai penggolongan penduduk menurut ciri-ciri yang berkaitan. Tetapi ia menambahkan gagasan atas konsep ini bahwa perbedaan sistem tingkatan dapat membagi penduduk menjadi golongan tingkatan berbeda. Dalam studi empirisnya di Detroit yang dijadikannya kriteria sistem tingkatan adalah pekerjaan, pendapatan, pendidikan dan ras (etnik). Dengan demikian, orang yang berbeda pada kategori tertinggi menurut satu sistem tingkatan dapat berada pada kategori tertinggi kedua dalam sistem tingkatan yang lain. Dimana terjadi kesesuaian tingkatan atau dimana ada perubahan dititik yang sama di keempat sistem tingkatan sehingga seluruh individu dalam setiap sistem masuk ke dalam kelompok tingkatan di atas seluruhnya atau seluruhnya di bawah titik perubahan, Landecker mengatakan munculnya batas kelas.



29



Dalam studinya di Detroit,



Landecker menemukan bahwa: Pengukuran batas kelas yang dicoba dalam penelitian ini menunjukkan adanya satu batas kelas utama. Melalui pengukuran itu strata paling atas terpisah dari bagian terbesar penduduk. Ciri-ciri dominan di bawah batas elite ini adalah gradasi status yang sangat berurutan terpisah dari sedikit lekukan kecil. Temuan ini memberikan kesan bahwa baik hipotesis tentang struktur kelas maupun kontinum status tak lebih utama terhadap yang lain tetapi masing-masing tepat untuk porsi yang berbeda dari sistem stratifikasi total. 30 Kritik paling jelas atas karya Landecker adalah bahwa konsepnya dalam kenyataannya merupakan konsep struktural dan bahwa temuan empirisnya mengungkapkan adanya dua kelas masing-masing dengan distribusi status yang 417



berbeda. Dengan demikian temuannya dengan mudah dapat ditafsirkan mendukung konsep kelas Marxian sebagai kelompok pertentangan ekonomi atau mendukung hasil pengamatan empiris Sjoberg yang menyatakan bahwa sistem dua kelas telah menguasai sebagian besar sejarah manusia.



Konsep Kelompok Kepentingan Konsep ini umumnya memihak kepada pemikiran Marxian. Dengan demikian, bila didefinisikan kelas sosial adalah kumpulan manusia yang tersebar, saling dihubungkan satu sama lain oleh kepentingan bersama. Kepentingan itu mungkin positif dalam arti mungkin tujuan atau nilai ( atau sekumpulan tujuan atau nilai) yang menjadi milik bersama kolektif karena tujuan atau nilai adalah bagian integral cara hidup atau bagian struktur perasaan bersama anggota yang saling berkaitan dengan falsafah hidup mereka sendiri. Istilah “kepentingan” menjadi nama ringan untuk sebuah ikatan yang kuat dari anggotanya. Kepentingan kesatuan kolektif mungkin pula untuk mempertahankan diri. Artinya kepentingan itu muncul karena dorongan untuk melindungi dan melestarikan nilai-nilai - dan menurut Marx untuk mempertahankan hidupnya bahkan kehidupan itu sendiri secara kolektif dari eksploitasi atau penghancuran oleh pihak lain. Kelompok kepentingan dipandang secara mendasar lebih menyatu dengan pola kehidupan kolektif ketimbang partai politik. Kelompok kepentingan adalah bagian nyata struktur perasaan anggota kesatuan kolektif.



31



Tak seperti sikap



atau filsafat suku atau bangsa, kelompok kepentingan tidak memiliki nilai obyeknya sendiri. Dalam hal ini kelompok kepentingan tak pernah menjadi kesatuan yang memenuhi kepentingan hidupnya sendiri secara utuh. Kelompok kepentingan tertentu tanpa kecuali selalu memerlukan kelompok sosial lain sebagai sasaran eksploitasinya atau sebagai rekan untuk saling menghidupi. Konsep kelompok kepentingan kelas sosial selain mempunyai kesamaan juga berbeda dari beberapa konsep lain yang telah dibahas di atas. Pembaca jangan salah faham terhadap beberapa konsep yang telah disajikan di atas dengan 418



menyimpulkan bahwa masing-masing saling terpisah. Kesemuanya berorientasi kepada atau merupakan perspektif dari istilah yang telah digunakan secara luas sejak lama.



Konsep Interaksional Konsep interaksional kelas sosial melihat kelas sosial sebagai satu aspek hubungan antar perseorangan. Pertemuan seseorang dengan orang lain tentu menyebabkan penggolongan antara diri sendiri dengan orang lain karena mereka mempunyai definisi atau mempunyai rujukan kesadaran tertentu. Menurut konsep interpersonal, kelas sosial adalah sebuah fenomenon situasional. Bagi seorang ada peluang melihat dirinya sendiri sebagai anggota sebuah kelas sosial ketika berinteraksi dengan kelompok lain. Menurut penganut interaksionis, bukan hanya mustahil untuk menafsirkan tetapi menggelikan untuk mencoba menafsirkan perilaku sosial manusia kecuali dalam kaitannya dengan perilaku manusia lain. Tak mungkin mengkonsepsikan seorang manusia “obyektif” meski ini tak menghalangi membuat generalisasi berdasarkan pernyataan sejumlah pengamat. Satu-satunya kebenaran mengenai manusia A adalah “kebenaran” yang diusahakan manusia B. Konsep ini adalah semacam ingatan samar-samar tentang dan analog dengan konsep relativitas fisik. Rusgel mengatakan bahwa “pengukuran jarak dan waktu tak secara langsung menyatakan sifat barang yang diukur, tetapi menyatakan hubungan antara barang sesuatu dengan si pengukur.” 32 Bagi penganut interaksionis, “struktur” apapun yang nampak dalam masyarakat, sistem apapun yang muncul dalam fenomena sosial adalah hasil perilaku, kebiasaan dan pemahaman - bukan untuk melupakan kenang-kenangan dan perasaan - orang tertentu. Skinner menghipotesiskan: ……..hanya karena perilaku individu adalah penting bagi masyarakat maka masyarakat selanjutnya menjadi penting bagi individu. Individu akan menyadari apa yang ia kerjakan hanya setelah masyarakat memperkuat tanggapan verbal terhadap perilakunya sebagai sumber rangsangan diskriminatif. Perilaku yang 419



dilukiskan itu (perilaku yang disadari seseorang) mungkin surut ke tingkat tersembunyi dan dengan demikian mungkin menjadi tanggapan verbal. 33



Catatan Kaki 1.



L. Gross “The Use of Class Concept in Sociological Research”, AJS, LIV (March,1949:419).



2.



R.A. Nisbet, “The Decline and Fall of Social Class”, Pacific Sociological Review, II (Spring, 1959:11,17).



3.



R.E. Faris, Social Disorganization, 2nd.ed. (NY: The Ronald Press Co., 1955:83).



4.



Hans Speier, Social Order and The Risk of War, dikutip dalam L.A. Coser and B. Rosenberg, Sociological Theory: A Book of Readings. (NY: The Macmillan Co, 1957:398-399).



5.



Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society (Stanford California: Stanford Univ. Press, 1959:76).



6.



A.M. Rose, “The Concept of Class in American Sociology”, Social Research, XXV (Spring,1958:65).



7.



Kurt B.Mayer, “The Changing Shape of the American Class Structure”, Social Research, XXX (Winter, 1963:458).



8.



T.H. Marshall, “General Survey of Changes in Social Stratification in the Twentieth Century”, Transaction of the Third World Congress of Sociology, dikutip dalam Mayer, Ibid:459.



9.



E.E.Bergel, Social Stratification (NY: McGraw Hill Book Co., 1962: 4,6).



10. Mayer, op.cit: 468. 11. Robert K. Merton, Social Theory and Social Structure (NY: The Free Press, 1957:370). 12. Cf. Thomas E. Lasswell, “Orientations Toward Social Classes”, AJS, LXV (May, 1960:585-587). 13. A. McClung Lee, “Attitudinal Multivalence in Relation to Culture and Personality”, AJS,LX (Nop. 1954:294-299). 420



14. M.M. Gordon, Social Class in American Sociology (Durha N.C: Duke Univ. Press, 1958:202). 15. Nelson W. Polsby, Community Power and Plitical Theory (New Haven: Yale Univ. Press, 1963). 16. Ibid:67. 17. Ibid:138. 18. A.J. Vidich and J. Bensman, Small Town in Mass Society: Clas, Power and Religion in a Rural Community (Princeton, NJ.: Princeton Univ. Press, 1958:94-95). 19. Lihat Kingsley Davis and W.E. Moore, “Some Principles of Stratification”, ASR, X (April, 1945:242-249) tentang pernyataan asli pendirian fungsionalis. 20. H. Fallding, “Functional Analysis in Sociology”; W.E. Moore, “But Some Are More Equal than Others”, ASR, XXVIII (Feb.,1963). 21. Dennis H. Wrong, “The Functional Theory of Srtatification: Some Neglected Considerations”, ASR,XXIV (Dec.1959:772-782). 22. R.A. Ellis and T.C. Keedy Jr, “Three Dimensions of Status: A Study of Academic Prestige”, Pacific Sociological Review, III (Spring, 1950:23-28). 23. W. Cohn, “Social Status and the Ambivalence Hypothesis”, ASR, XXV (August, 1960: 508-509). 24. John F. Cuber and W.F. Kenkel, Social Stratification in the United States (NY: Appleton-Century.Crofts,1954:25). 25. Ibid:26-27. 26. Cf. R.A. Ellis, “The Continum Theory of Social Stratification: A Critical Note”, Sociology and Social Research, XLII (March, April,1958: 269-273). 27. W. Buckley, “Social Stratification and the Functional Theory of



Social



Differentition”, ASR, XXIII (August,1958:370). 28. Cuber and Kenkel, op.cit:307-308. 29. W.S. Landecker, “Class Boundaries”, ASR, XXV (Des.1960:868-877). 30. Ibid:877. 31. “Sentiment” (perasaan) yang digunakan di sini adalah pengertian terkuat dari istilah itu. 421



32. Bertrand Russell, The ABC of Relativity (NY: New American Library, 1959:76). 33. B.F. Skinner, “The Operational Analysis of Psichoogical Terms”, Cumulative Record (NY: The Macmillan Co., 1959:281).



Evaluasi Kritis Karya Warner Tentang Stratifikasi Komunitas OLEH : Harold W. Pfautz dan Otis Dudley Duncan



Sekitar dua dekade yang lalu, W.L. Warner dan rekannya pergi ke “Yankee City” guna menerapkan metode antropologi sosial dalam meneliti komunitas moderen. Untuk sementara sejumlah hasil riset Warner dan rekannya telah dilaporkan. Dengan terbitnya buku Kelas Sosial di Amerika,1 yang intinya menjelaskan pelaksanaan riset dan posisi teoritis kelompok penelitinya serta jilid substantif



2



tentang kota terakhir yang diteliti menurut metode yang mereka



gunakan, penelitian ulang kelompok objektif Warner, metodologi dan hasilnya semuanya berjalan baik. Artikel dan resensi terdahulu telah menilai secara khusus riset aliran Warner yang subur ini.3 Tulisan ini mempertanyakan usaha keras Warner secara keseluruhan, terutama laporan tentang Stratifikasi Sosial yang menjadi masalah 422



sentral dalam seluruh studi Warner. Pertanyaan pertama yang ingin kami ajukan adalah relevansi karya Warner dan rekannya dengan tujuan yang mereka tentukan semula. Kedua yang ingin kami pertanyakan menyangkut reliabilitas, validitas dan kejituan metodologi yang mereka gunakan. Ketiga kami bermaksud menilai kecukupan perumusan konsep mereka dilihat dari sudut signifikansi dan implikasi pertanyaan yang mereka ajukan terhadap data.



Tujuan Riset Warner Warner melukiskan the Yankee City Series sebagai suatu “upaya praktis untuk menggunakan teknik dan gagasan yang telah dikembangkan oleh antropologi-sosial dalam masyarakat primitif untuk mendapatkan pemahaman yang lebih akurat tentang komunitas Amerika”.4 Keberhasilan terakhir usaha Warner ini nampaknya tergantung pada validitas asumsi eksplisit bahwa studi terhadap komunitas buta huruf adalah prasyarat untuk mememahami komunitas moderen dan asumsi implisit bahwa metode yang digunakan untuk menstudi komunitas buta huruf dapat diterapkan untuk menstudi komunitas moderen. Program ini tak hanya menginginkan untuk memperkaya metodologi untuk menganalisis komunitas dan memperbanyak studi monografi yang berlainan. Gambaran buatan Warner ini dimaksudkan untuk menyediakan landasan untuk membuat dua jenis generalisasi substantif. Pertama, Warner melihat ke depan ke “sosiologi kompleksitas” dan tipe “struktur yang menyatukan”. 5 Ini memerlukan pengamatan terhadap sejumlah besar komunitas dengan harapan bahwa analisis komparatif berikutnya akan menghasilkan “hukum atau prinsip” struktur dan perilaku sosial. Tipe kedua generalisasi dari studi komunitas antropologi yang diusulkan Warner bertujuan untuk “melihat dan memahami model lebih luas kehidupan orang Amerika”. Komunitas khusus dipandang sebagai “laboratorium” untuk menstudi “struktur sosial yang mengendalikan kapitalisme Amerika”.6 Mengenai tujuan pertama (sumbangan bagi studi komperatif sejumlah komunitas) timbul pertanyaan mengenai relevansi teoritis dari riset karena 423



“sosiologi koperatif” akan memusatkan perhatian pada dimensi struktur sosial yang sama dengan yang telah diperhatikan oleh beberapa studi sebelumnya. Pertanyaan yang berkaitan di sini adalah mengenai kemanjuran metodologi yang digunakan. Tetapi kebutuhan yang jauh lebih serius adalah menempatkan data dalam hubungan dengan tujuan studi kedua, yakni ketika tingkat abstraksi menjadi abstraksi dari komunitas Amerika pada umumnya atau menjadi “pola berfikir dan bertindak orang Amerika secara keseluruhan”. Dilihat dari sudut pandangan ini, riset Warner berjalan atas dasar asumsi mengenai ciri-ciri masyarakat moderen yang secara langsung tidak sesuai dengan ciri-ciri masyarakat Amerika yang sebenarnya seperti yang telah diungkap oleh beberapa anggota tim riset Warner yang sangat terkenal.7 Berdasarkan data yang tersedia, sukar untuk menyesuaikan hasil pengamatan Warner yang menyatakan “Seluruh orang Amerika tercermin di Jonesville” dengan gambaran gaya hidup urban yang telah dijelaskan oleh sosiologi moderen. Meski kontak sosial dalam masyarakat urban seperti yang dilukiskan sosiolog ditandai oleh ciri-ciri impersonal, anonim dan rasional, komunitas yang distudi oleh Warner telah dilukiskan oleh pengamat lain dalam hubungan yang lebih tepat dengan kutub pedesaan dari tipologi pedesaan-urban: Disebuah kota berpenduduk 6.000 orang, segala sesuatu yang dikerjakan atau tak dikerjakan cenderung digunjingkan menurut selera perorangan. Seseorang mengerjakan sesuatu pada waktu tertentu; orang lain mengetahuinya, dan terutama menggosipkannya 8



dan kemudian memberikan penilaian terhadapnya.



Ada kecenderungan kebanyakan sosiolog Amerika membatasi studi ditingkat komunitas lokal demi memudahkan mengumpulkan data.9 Perspektif antropologi tradisional kelompok Warner serta studi mereka yang mengabaikan literatur sosiologi terdahulu gagal membedakan antara “Komunitas” disatu pihak dan “msayarakat” dilain pihak. Masyarakat Amerika (sebuah kesatuan ekologi, politik dan ekonomi yang sangat rumpil) tak dapat dilukiskan secara memadai menurut formula Sumner yang terdiri dari “kelompok-kelompok kecil yang tersebar di atas sebuah wilayah”. Tetapi inilah yang ditunjukkan secara tak langsung dalam upaya untuk mendapatkan gambaran dari kesatuan yang lebih besar, baik melalui cara



424



analisis komperatif Jonesville dan komunitas kecil lainnya maupun melalui peramalan langsung temuan riset dari Jonesville.10



Masalah Metodologi Riset Warner Dalam meneliti stratifikasi sosial komunitas, Warner mengembangkan dua tehnik yang keduanya digunakan untuk mengetahui “susunan kelas sosial” dan untuk menempatkan individu di dalam sistem kelas sosial. Tehnik pertama disebut “partisipasi evaluasi” (evaluated participation = EP). Tehnik ini meliputi analisis isi dari “wawancara tak langsung untuk



“menemukan” sistem kelas sosial



maupun untuk menemukan “partisipasi sosial” dan “reputasi status” anggota komunitas yang menjadi sasaran wawancara. Data dari sumber ini dirangkum dalam “kartu status pribadi” dan menjadi landasan bagi “penaksiran posisi kelas”. Tehnik kedua adalah “indek ciri-ciri status” objektif (ISC) yang dilukiskan sebagai sebuah “ukuran status sosial ekonomi”. Indek ini adalah jumlah bobot skor individual berdasarkan skala penilaian tujuh angka yang direncanakan untuk menilai empat hal berturut-turut: pekerjaan, sumber pendapatan, tipe rumah, dan kawasan pemukiman. EP dapat dianggap sebagai tehnik paling sahih dan terandal untuk menemu-kenali kelas sosial dalam sebuah komunitas dan untuk menempatkan anggota komunitas di dalam kelas sosial itu. Bila digunakan sendirian, ISC hanya dianggap sebagai tehnik untuk mengira-ngira. Tetapi bila EP sebelumnya telah digunakan pada sampel yang memadai, maka tabel konversi dapat dibuat untuk mendapatkan “kelas sosial” yang sama dengan skor ISC. Meski bahan untuk menggambarkan tehnik ini berlebih-lebihan, namun ada beberapa hal yang sangat mendasar yang masih tetap buram: Apa sebenarnya kriteria yang digunakan untuk merangkum data hasil wawancara pada “kartu status pribadi” ini (yang mana sebenarnya yang menjadi dasar untuk menempatkan kelas dengan EP)? Apakah prosedur penilaian yang digunakan ini benar-benar mencerminkan penilaian terhadap “orang yang beriteraksi dalam sistem sosial komunitas”?11 ataukah mereka semata menjadi sasaran penilaian analisis semata? Dan bila demikian, apa kriteria yang digunakan untuk 425



menempatkan individu pada skala itu? Faktanya adalah bahwa langkah dasar untuk tiba pada EP tak pernah dijelaskan. Tak seorang peneliti pun yang dapat menggunakan atau menerapkan tehnik itu dengan kepercayaan bahwa hasilnya kira-kira akan sama dengan hasil yang dicapai Warner dengan bahan yang sama. Karena tak ada koefisien reliabilitas yang disajikan dan masalahnya tidak menunjuk kesitu, maka kita pun tidak dapat mengetahui apakah pakar yang memprakarsai tehnik ini memperoleh hasil yang dapat dipercaya. Masalah ini mungkin agak kurang serius untuk ISC ketimbang untuk EP meski formula ISC memerlukan kategori penilaian subyektif yang mantap oleh peneliti untuk dua dari empat komponen skalanya, yakni tipe rumah dan kawasan pemukiman. Tetapi masalah reliabilitas tentu jauh lebih serius untuk EP yang tak ditegaskan sebagai tehnik “obyektif”. Juga tak ada bahasan tehnis tentang keabsahan kedua indek kelas sosial ini. Ini mungkin bukan kritikan serius karena validitas indek itu adalah hasil definisi operasional kelas sosial. Masalah validitas secara tak langsung termasuk masalah hubungan antara ISC dan EP. Dalam mendapat EP, analis harus “yakin ciri-ciri ISC telah disingkirkan untuk menjamin bahwa hanya EP saja yang diperhatikan”12 Maksud perintah prosedural ini tidak jelas. Mungkin diajukan sebagai siasat untuk mencegah terjadinya korelasi palsu antara ISC dan EP. Tetapi dalam pengertian operasional kebebasan seperti itu adalah pemisahan karena Warner sendiri telah menunjukkan bahwa anggota komunitas saling “menilai” satu sama lain, sebagian berdasarkan “ciri-ciri status” seperti kawasan tempat-tinggal. Kenyataannya tak pernah jelas apakah Warner menganggap ISC dan EP sebagai dua urutan data yang berbeda ataukah semata sebagai dua tehnik berbeda untuk menemukan definisi operasional kelas sosial. Karena itu masalah validitas tiap indek berada diluar batas keseluruhan konseptualisasi riset, yang akan dibahas berikut ini. Kritik metodologi paling serius yang dapat ditujukan terhadap riset Warner timbul dalam hubungan dengan masalah sampel. Meski kebanyakan studi berorientasi statistik, namun masalah sampel ini belum pernah dibicarakan secara memadai.13 Jurang nyata dalam laporan berbagai riset yang dilakukan ini mungkin dapat dipersalahkan pada latar belakang antropologi kelompok Warner - seperti 426



dikemukakan Wirth, dalam contoh monografi antropologi yang sangat sedikit sekalipun timbul kesulitan dalam membatasi seluruh bidang yang mereka laporkan.14 Bahkan “pedesaan” Jonesville pun masih tergolong relatif rumpil dibandingkan dengan komunitas primitif khas; ini mengharuskan kehati-hatian yang jauh lebih besar dalam memilih kasus ketimbang yang telah ditunjukkan oleh riset Warner. Karena EP yang tergantung pada materi hasil wawancara dianggap sebagai tehnik yang paling syah, maka peneliti berkewajiban memperhatikan secara khusus masalah sampel ini. Tetapi dalam setiap studi kelompok Warner tak satu pun ditunjukkan atau dibicarakan tentang besar (size) sampel, tehnik pemilihannya atau ciri-ciri sampel yang diambil. Seluruh hasil dalam jilid metodologinya berasal dari studi atas 339 kasus yang meliputi sekitar seperenam dari 2.095 keluarga di Jonesville. Kriteria utama untuk memilih kasus ini adalah data EP dan ISC yang tersedia dari individu bersangkutan. Kriteria kedua jelas taksiran EP posisi kelas sosial, meski tak ada petunjuk tentang seberapa “pasti” ditetapkan atau diukur. Meski laporan riset ini tak mencoba menilai ciri-ciri keterwakilan sampel ini, namun dari sedikit data yang menyimpang menunjukkan bahwa sampelnya tidak representatif dan dalam kenyataan sangat condong kepada lapisan atas struktur stratifikasi. Demikianlah, kelas “atas” terdiri dari 13% dari 339 kasus sampel (atau 21% dari 209 kasus orang Amerika Kuno) tetapi hanya 3% dari total populasi Jonesville. Data pendapatan hanya disajikan dari 108 kasus tetapi 63% diantaranya adalah pendapatan yang tergolong “di atas rerata” atau lebih tinggi lagi. Terakhir, 53% dari 208 kasus yang dinilai pekerjaannya, tergolong kedalam tiga kategori lapisan atas profesional dan pemilik perusahaan besar, semi profesional dan pengelola perusahaan besar yang lebih kecil dan klerek serta buruh yang sama. Sedangkan angka sensus untuk “Jonesville” 15 tahun 1940 menunjukkan bahwa 35% orang yang bekerja digolongkan sebagai pekerja profesional; semi profesional; pemilik, manajer dan pegawai (kecuali pertanian); dan klerek, penjual dan buruh yang sama. Angka ini meski tak persis sama dengan angka Warner namun cukup dapat disamakan untuk menunjukkan betapa luasnya ketidakcocokan antara sampel dan populasi. 427



Berat-sebelah yang ditunjukkan sampel ini menimbulkan pertanyaan serius tentang ketepatan peramalan EP dan ISC, ketika ISC diterapkan terhadap seluruh populasi ketimbang hanya di dalam sampel saja. Kecurigaan ini sekurangkurangnya sebagian dibenarkan oleh studi perbedaan kelas dalam kesalahan (errors) prediksi. Bahasan dan analisis tentang kesalahan prediksi jelas adalah salah satu aspek riset yang sangat penting. Karena itu jelaslah bahwa perhatian utama harus ditujukan kesini, tak hanya karena seluruh bidang stratifikasi sosial dipotret melalui relativitas yang sangat sukar, tetapi juga karena kepentingan terakhir adalah untuk mengenali secara tepat anggota masing-masing kelas maupun meminimalkan kesalahan (errors) dalam penempatan kelas komunitas sebagai satu kesatuan. Namun Warner sebenarnya mengabaikan bahasan tentang prediksi kesalahan melalui kelas dan sebagai penggantinya membahas panjanglebar tentang kesalahan penempatan melalui “tingkatan” di dalam kelas.16 Dalam paragraf singkat tentang kesalahan kelas, hanya dilaporkan bahwa persentase kesalahan terbesar terjadi dalam kelas bawah bagian atas. Meski Warner tak menyediakan tabel kesalahan prediksi menurut kelas sosial, informasi itu dapat dikumpulkan dari data yang disajikan di dua tempat berbeda di dalam monografi. Kolom “persentase kesalahan” di Tabel 1 adalah hasil perhitungan penulis sendiri dan mencerminkan pengecilan persoalan kesalahan karena 33 kasus yang salah diramalkan hanya diambil 200 dari 209 kasus yang terdistribusi kedalam 5 kelas. Meski Warner memberikan perhatian besar pada kesalahan menyeluruh sebanyak 16% namun jelas pererataan seperti itu menyesatkan karena kesalahan itu tidak terdistribusikan secara merata menurut kelas. Persentase kesalahan di tiga dari lima kelas, berada di atas angka rerata (16%) ini dan dalam kasus kelas bawah bagian atas persentase kesalahannya dua kali lipat (32%) persentase kesalahan rerata.17 Anggota kelas “bawah bagian atas” paling banyak jumlahnya, padahal dalam sampel yang tak representatif ini tidak tercermin. Karena itu, kesalahan rerata (menyeluruh) diperkirakan jauh lebih besar dari pada 16% seperti yang dilaporkan itu bila populasi total dianggap lebih dari sekedar sampel belaka. Juga perlu diingat bahwa monografi paling nyata menunjukkan aspek penting lain masalah sampel, yakni hampir selalu melenyapkan ketepatan prediksi bila 428



instrumen yang dibuat untuk satu sampel diterapkan pada sampel lain.18 Semuanya akan nampak bahwa penarikan sampel yang tak ilmiah akan mementahkan pernyataan ISC sebagai instrumen untuk menentukan tingkatan kelas melalui kriterion EP. Warner menyatakan bahwa tehnik EP dan ISC dapat digunakan disetiap jenis komunitas.19 Tabel 1. Kesalahan dalam Memprediksi Tingkat Kelas (seperti ditentukan oleh EP)



dari skor ISC untuk sampel orang Amerika ”lama”



Kelas sosial (seperti



Jumlah dalam



Jumlah



ditentukan oleh EP)



sampel



kesalahana)



Atas



44



8



18



Menengah-Atas



50



11



22



Menengah-Bawah



44



3



7



Bawah-Atas



28



9



32



Bawah-Bawah



3



2



5



Seluruh Kelas



209



33



16



a)



% kesalahan



Jumlah kesalahan hanya disajikan untuk 200 dari 209 kasus dalam sampel Sumber: W.L. Warner.et,al, Social Class in America (Chicago: SRA, 1949, Tabel 10 dan 30



Tetapi bayangkan buruknya keadaan peneliti stratifikasi sosial di Detroit misalnya yang tak merencanakan sampel secara memadai. Ia tentu akan memilih sampel berdasarkan imajinasinya sendiri, yang hanya memberi petunjuk keliru bahwa “petunjuk kota adalah sumber yang sangat baik.20 Andaikan sampelnya terdistribusi dengan baik diseluruh kota, lalu bagaimana ia dapat berjalan dengan “menilai melalui kesepakatan” yang mengira bahwa “banyak norma yang sama muncul dalam dua atau lebih informan yang diwawancarai?”21 (kebetulan ini adalah satu-satunya metode yang dikemukakan dalam naskah). Meski kesulitan ini dan kesulitan lain dalam menerapkan metode di kawasan metropolitan adalah jelas, anehnya tak ada penjelasan yang diberikan walau pengalaman dengan studi sistematis dari pantai ke pantai di kota besar dan kecil….”22 Sementara segmen



429



penduduk Chicago yang distudi dengan tehnik ISC menghasilkan nilai yang tak dapat diragukan lagi menjadi persoalan, tak ada pengalaman seperti itu yang ditunjukkan oleh tehnik EP dan tehnik EP jelas mustahil dapat digunakan kecuali dalam komunitas relatif kecil dan didominasi oleh kontak primer.



Konseptualisasi Riset Warner Konsep kelas merupakan konsep yang paling berarti mendua dalam perbendaharaan kata-kata sosiolog. Hingga kini ada dua alasan utama yang merintangi konsensus mengenai definisinya. Di satu sisi, istilah kelas adalah istilah umum yang meliputi berbagai fenomena, operasi dan tujuan bagi berbagai penulis. Di sisi lain, kelas adalah juga istilah yang dilontarkan dengan konotasi historis, politik, dan sosial yang sering membantu menjadikannya lebih sebagai alat riset. Rumusan Warner tentang ciri-ciri dan signifikansi konsep kelas itu, mencerminkan kedua kesulitan untuk menemukan konsensus tentang definisinya. Posisi Warner adalah contoh yang baik sekali dari kecenderungan paling tak menguntungkan dalam riset stratifikasi kontemporer - yang membuat definisi khusus, dengan ciri-ciri denotatifnya yang khas, menyediakan tujuan lebih umum dalam pemakaian konotatifnya. Dengan demikian Warner menggunakan istilah kelas dalam pengertian sangat terbatas dari kelas “sosial”, menempatkan individu terutama dengan merujuk pada hirarki gengsi (“reputasi sosial”) tetapi dalam membahas signifikansi temuan, ia secara tersirat hendak menyatakan bahwa penggunaannya telah mencapai kemajuan pada umumnya. Ini ditunjukkannya dalam upaya untuk mengabaikan analisis Marxian berdasarkan konseptualisasi kelas dan temuan dalam Yankee City dan Jonesville. Sudah tak diperdebatkan lagi, pemakaian konsep “kelas sosial”, eksplisit mengacu pada tingkatan status yang berkaitan dengan kriteria seperti “partisipasi sosial” dan “reputasi sosial”. Namun jelas ada alternatif lain untuk “mengklasifikasi” penduduk yakni kelas dan kelas. Dan kelas “kelas sosial” yang diperhatikan Warner, tak harus merupakan fenomena yang sama dengan yang diperhatikan Mosca atau Marx atau Veblen misalnya. Dalam kaitan ini, upaya 430



mengabaikan karya peneliti ini membuat kita mencurigai kemungkinan adanya implikasi ideologis dari keseluruhan usaha itu. Benar bahwa kelas sosial seseorang (menurut pengertian Warner) penting perannya dalam kehidupan orang itu; begitu pula kelas seperti itu adalah aspek fungsional penting dari struktur komunitas lokal. Namun dapat dikatakan, seperti yang dikatakan T.H. Marshall tentang rumusan kelas Marx, “Ini takkan menyelesaikan persoalan stratifikasi”. Bahkan penelitian dangkal atas literatur tentang stratifikasi sosial sudah menyediakan landasan untuk menggolongkan dua pendekatan berbeda terhadap masalah kelas. Disatu pihak, ada kecenderungan kebanyakan teoritisi menganggap kelas berhubungan dengan distribusi kekuasaan ekonomi dan atau politik. Dilain pihak, banyak teori dan riset stratifikasi yang memusatkan perhatian pada fenomena gengsi, lebih menempatkan kelas-kelas dalam hubungan dengan tingkatan penghargaan ketimbang tingkatan kekuasaan. Bahwa adanya perbedaan mendasar mengenai tipe kelas, terlihat dari segi hubungan lain tertentu dari kedua pendekatan itu. Demikianlah, meski riset tentang kelas kekuasaan dilakukan pada tingkat nasional yang lebih abstrak,24 data kelas gengsi biasanya diperoleh dari dan mangacu pada komunitas lokal.25 Sekali lagi, tipe kekuasaan kelas biasanya digambarkan sebagai fenomenon massa (kumpulan yang tak terorganisir) sedangkan tipe gengsi biasanya dibayangkan sebagai ciri-ciri yang dikaitkan dengan masyarakat. Kelas kekuasaan umumnya dianggap ada berdasarkan identitas “kepentingan” ekonomi dan atau politik dan hubungan antar kelas, terutama distudi berkenaan dengan konflik. Kelas-kelas gengsi biasanya dianggap menyangkut sikap bersama yang dipertahankan bersama - bukan seperti sikap yang hanya dipertahankan oleh individu. Selanjutnya hubungan antar kelas seperti itu pada dasarnya dipandang menampung kualitas yang sama.26 Akhirnya, meski kesamaan asal-usul sosial tak relevan dalam kasus kelas kekuasaan, namun kesamaan (homogenitas) demikian dianggap sebagai syarat mutlak (the sine quanon) kelas-kelas gengsi. Meski kedua pendekatan itu berharga untuk pengetahuan mereka masing-masing, namun kekurangan relevansi masing-masing harus diakui. Kebingungan muncul bila pendukung konsep kelas gengsi mendefinisikan konsep mereka atas dasar kriteria seperti keeratan hubungan, 431



kultur, keluarga, cara hidup dan sebagainya dan karena mereka gagal menemukan batas pengelompokan dan partisipasi yang akrab pada tingkat nasional, maka disimpulkan bahwa kelas kekuasaan benar-benar tak ada27- atau seperti dalam kasus Warner, dianggap bahwa studi kelas-kelas gengsi mancakup seluruh bidang. Tak syak lagi ada hubungan antara kedua tipe kelas (kelas gengsi dan kelas kekuasaan) itu tetapi ini adalah persoalan empiris - persoalan penting sebenarnya masih belum terjawab oleh riset. Ciri substantif kelas-kelas Warner tak hanya kurang relevan dalam analisis akhir karena ia tak menyediakan skema konseptual yang sesuai, tetapi juga sukar menarik kesimpulan mengenai ciri logikanya. Satu saat kelas sosialnya dianggap sebagai sesuatu yang nyata ada; disaat lain kelas sama sekali menjadi gagasan heuristik; dan dalam satu tempat di buku the Jonesville, struktur kelas rupanya dianggap sebagai sebuah kontinum. Seperti dikemukakan di atas (dalam kaitannya dengan penggunaan tujuh angka skala “tingkatan status untuk mencapai “evaluated participation” (EP) terdapat persoalan mengenai apakah “kelas sosial” Warner mencerminkan hasil penilaian komunitas atau hasil penilaian analisis. Ada sejumlah indikasi yang menunjukkan bahwa motivasi utama menganalisis berbagai masalah penting lebih tertuju pada pembeberan seperangkat kategori dan manipulasi tehnik ketimbang untuk memahami tentang apa yang dipertaruhkan - yakni struktur sosial. Hal ini dibuktikan oleh kecenderungan umum untuk memperhatikan keanehan yang dihadapi hanya sebagai masalah metodologi ketimbang dilihat dari sudut teori struktur kelas. Sering terjadi kegagalan memikirkan makna hal negatif atau memikirkan hipotesis alternatif. Sebagai contoh, dijelaskan bahwa kelas atas bagian bawah paling sedikit didefinisikan dengan tujuan dan paling sedikit dijelaskan hubungannya dengan ciri-ciri status: “Kelas atas bagian bawah paling sedikit dibedakan dari kelas yang berdekatan dengannya dan paling sukar dibedakan secara hirarkis, tetapi jelas ada [sic].”28 Lalu seberapa jelas keberadaannya itu didefinisikan, tetap merupakan misteri. Kami menyarankan bahwa “kejelasannya” atau kejelasan adanya kelas



432



tertentu, bukan semata-mata masalah metodologi. Agaknya hipotesis alternatif perlu dipikirkan dilihat dari sudut data yang ada. Di satu pihak ada peluang secara teoritis dan empiris bahwa kategori seperti “atas bagian bawah” dalam kenyataannya tidak ada sama sekali seperti yang ada dalam pengertian kelas atas, menengah atau bawah. Studi Halbwach tentang taraf hidup kelas buruh menawarkan sebuah landasan untuk membuat interpretasi yang jitu. Berdasarkan pemeriksaan anggaran belanja keluarga, Halbwach mencatat kurangnya pengembangan “kebutuhan perumahan” dikalangan kelas buruh, yang menjadi ciri-ciri yang berlawanan dari kelas atas. Ia menyimpulkan bahwa “di dalam sub-bagian kelas buruh, tak kelihatan ciri-ciri sosial tersendiri dan kesatuan kelas ini tetap terpelihara”.29 Sedangkan mengenai kelas atas, jarak interval sewa pondokan agak jelas dan tiap angka untuk sewa pondokan, ditemukan berkaitan dengan ongkos keperluan lain (makanan dan pakaian). Perbedaan faktor yang menentukan taraf hidup ini dapat disamakan dengan perbedaan strata sosial.30



Dilain pihak, tak terbatasnya kelas “atas bagian bawah” mungkin berarti dari dan di dalam dirinya sendiri. Ini dapat ditafsirkan sebagai bukti dalam menerima hipotesis Parsons mengenai ketakjelasan “Skala Stratifikasi yang sebenarnya” di AS



dan



ciri-ciri



fungsional



ketakterpisahan



ini



sebagai



“mekanisme



perlindungan”.31 Bahwa yang mengilhami studi sering adalah operasional dan manipulasi semata, ditunjukkan oleh perlakuan terhadap temuannya seperti berikut: Tingkatan Simbolik hampir sama meyakinkan dengan tingkatan tehnik, tetapi sayang sekali (SIC), tingkatan Simbolik kurang sering digunakan untuk kelas menengah bagian bawah dan kelas bawah bagian atas ketimbang untuk tingkat puncak dan tingkat dasar.32



Ada dua hal yang perlu dibahas berkenaan dengan jenis data dan interpretasinya oleh Warner ini. Pertama, kenyataan datanya sangat penting untuk menemukan perbedaan perspektif kelas sosial. Karena itu tak boleh dipandang sebagai pencerminan kebuntuan metodologis semata. Kedua, data demikian



433



menjadi bukti untuk proposisi lain yang mungkin mengingatkan hubungan dengan ciri-ciri fenomena Warner dan orang yang distudinya. Jadi, fakta bahwa Tingkatan Simbolik terutama digunakan untuk hirarki kelas sosial yang sangat besar perbedaannya, akan mendorong orang untuk berkesimpulan bahwa kelas “atas bagian atas” dan kelas “bawah bagian bawah” lebih dekat istilah (Weber) “kelompok status” dari pada “kelas sosial”.33 Konsep “penutupan” yang penting untuk struktur kelompok status, sedikit sekali kaitan maknanya dengan kelas “menengah”. Sedangkan kecenderungan bertingkatnya susunan kelas sosial maupun ciri-ciri ”komunal” kelas atas bagian atas dan kelas bawah bagain bawah jelas terlihat dari data yang ada. Penjelasan lain untuk argumen kita adalah pengabaian kegagalan yang dialaporkan ISC untuk membedakan antara kelas atas bagian atas dan kelas atas bagian bawah berdasarkan “kekecilan menurut angka” kelas atas bagian atas.34 Relatif kecilnya jumlah kelas atas bagian atas itu jelas akan kecil pengaruhnya terhadap “kesalahan tingkatan menyeluruh”. Di lain pihak, bila analis terutama memusatkan perhatian untuk memahami struktur sosial komunitas, arti penting kelas atas bagian atas tentu saja harus sebanding dengan jumlah relatif anggotanya.35 Signifikansi bidang umum perhatian Warner dan nilai dari datanya yang demikian banyak itu tak perlu diremehkan. Dalam pada itu jelas bahwa kekurangan wawasan mendalam tentang berbagai persoalan antar hubungan data yang tersedia membuat hasil akhirnya mengecewakan. Seperti dikemukakan Speier, teori stratifikasi sosial harus menegaskan tujuannya sedemikian rupa sehingga dapat dibedakan dari teori umum tentang pengaruh masyarakat terhadap penilaian individu.36 Upaya pembedaan seperti itu tak ditemukan dalam buku Warner. Akibatnya, aspek penting fenomenon stratifikasi tak terlihat dengan jelas. Sebenarnya sejauh kelas sosial terutama difahami sebagai satuan masyarakat mikro dengan kultur yang berbeda-beda, maka hasil umum studi hanya akan menampakkan berbagai jenis determinisme kultural belaka. Demikianlah, dalam buku The Social Life of a Moderen Community, seluruh babnya tak lain hanya berisi katalog yang menguraikan ciri-ciri kultur masing-masing dari beberapa 434



kelas, tanpa ada upaya untuk membedakan ciri-ciri yang kira-kira kurang penting. Kesan akhirnya hanyalah bahwa kelas sosial adalah penting dalam berbagai bidang kehidupan sosial. Tetapi bila perhatian tertuju pada fenomenon stratifikasi, yang sama pentingnya adalah informasi mengenai bidang-bidang kehidupan yang tidak menentukan kelas sosial. Hanya dalam kaitan dengan hubungan antara variabel jenis kelamin dan variabel kelas sosial saja Warner memberikan bukti kurang relevannya kelas sosial sebagai “pemersatu struktur yang fundamental”. Ia melihat bahwa dalam kasus perilaku klik dimana penggunaan keterampilan menjadi motif utama, kelas sosial tidak menentukan pola pergaulan: ___ “Bila partisipasi sosial dilakukan di luar rumah, jauh dari keluarga mereka maka perbedaan kelas diantara orang yang berpartisipasi lebih banyak macam”.36 Karena di pusat metropolitan sebagian besar kontak antara lelaki dilakukan di luar rumah jauh dari keluarga, sekali lagi timbullah pertanyaan mengenai kememadaian perumusan Warner untuk memahami aspek penting dan luas dari struktur masyarakat kita (AS). Kegagalan salam memahami ciri-ciri fenomenon stratifikasi dan kekurangan minat untuk membangun sekumpulan teori berkaitan logis, dimanapun tak menghasilkan yang lebih jelas dari pada masalah mobilitas yang tak tersangkal menjadi pusat perhatian. Kesimpulan riset the Yankee City dan Jonesville, meski ada batas kelas sosialnya adalah: (1) fakta terjadinya mobilitas; dan (2) adanya keyakinan



popular



bahwa



peluang



mobilitas



penting



perannya



dalam



menstabilkan organisasi sosial kita (AS). Meski besar jumlah uang yang dibelanjakan, berapa kali makan dalam sehari, dan kekayaan yang dikumpulkan diketahui, tetapi yang mengherankan kita tak menemukan dalam studi Warner itu angka yang berkaitan dengan persoalan empiris penting seperti (1) seberapa banyak mobilitas yang terjadi dalam kenyataannya, dan (2) di kelas sosial mana mobilitas itu terjadi. Kecuali data yang sebagian bersifat inferensial tentang asimilasi kelompok etnis, satu-satunya data tentang mobilitas adalah kasus historis yang difiksikan. Dilihat dari sudut pentingnya jawaban atas pertanyaan kritis ini, kegagalan menjelaskannya secara memadai menunjukkan kelemahan yang melekat dalam 435



peralatan teoritis yang digunakan untuk menganalisis data yang tersedia. Pertanyaan ini tinggal tak terjawab karena perhatian memang lebih tertuju pada kelas gengsi ketimbang kelas kekuasaan. Jumlah dan tempat mobilitas adalah sangat penting karena berkaitan dengan peluang tindakan tipe kelas tertentu,38 masalah yang berkaitan dengan kontek teoritis kelas kekuasaan, namun jarang dapat dirumuskan dilihat dari sudut kelas gengsi. Kecenderungan ideologi analisis Warner,



terungkap



kemudian



dalam



bahasan



mengenai



tujuan



buku



metodologinya. Dinyatakan bahwa sistem status diteliti untuk mempelajari “kedalam status yang mana seseorang termasuk” dan bagaimana cara mereka dapat “meningkatkan” atau “makin mempertahankan (sic) posisi mereka sekarang”. Tehnik demikian dianggap sebagai syarat “penyesuaian diri” kevakuman nilai tingkat pertama!39 Tetapi untuk hidup sukses dan mampu menyesuaikan diri di AS, setiap orang harus menyesuaikan hidupnya terhadap setiap kontradiksi antara kesuksesan dan penyesuian diri ini…. Harapan penulis, buku ini hendaknya memberikan instrumen korektif yang memungkinkan lelaki dan perempuan makin suka menilai situasi sosial mereka dan dengan demikian makin mampu menyesuaikan diri mereka terhadap realitas sosial dan menyesuaikan mimpi dan aspirasi mereka terhadap apa yang mungkin.40 Pertanyaan penting dalam analisis saat ini adalah: realitas siapa? Sekali lagi, data adalah informatif bila pertanyaan yang signifikan diajukan kepadanya. Salah satu masalah besar dalam teori kelas adalah hubungan posisi obyektif dengan pandangan subyektif. Dan data Warner sebenarnya menunjukkan bahwa karena kelas sosial orang berbeda, citra orang tentang struktur sosial pun berbeda. Bahkan Jonesville yang agak sederhana itupun cukup heterogen dalam menunjukkan kekurangan konsesus mengenai jumlah kelas dan kriteria status. Tetapi “realitas” yang dipilih Warner untuk diikhtisarkan dan kriteria yang ia gunakan untuk menentukan tingkatan sosial dapat dilihat condong ke arah menjangkau bagian atas sistem kelas sosial. Contohnya, meski data dari tingkat atas dan menengah jelas menekankan kriteria partisipasi sosial dan penerimaan, Warner sediri mengatakan citra anggota kelas atas bagian bawah, sebagai berikut:



436



Ia melihat kelas murni sebagai masalah pendapatan dan kekuasaan…..Ia melukiskan perbedaan antara pemilik tanah yang berkuasa dan industrialis kaya dan orang profesional , tetapi ia tempatkan semua mereka itu di atas…..Batas kelas ia sendiri kurang jelas dilukiskan ketimbang batas kelas lain.41 Cukup menarik, Lundberg melakukan jenis pengamatan sambil lalu yang sama dalam studi eksperimental dengan menggunakan tehnik penilaian bergantian: Pertentangan besar antara portir dan bankir pada empat kasus terakhir yang muncul, sebagian besar disebabkan kecenderungan yang diakui dipihak portir menganggap pendapatan dan kekuasaan yang utama menurut penilaiannya, sedangkan bankir memberikan bobot lebih berat pada instruksi yang menekankan pada “tingkat kesenangan orang tinggal di rumah mereka dan dalam komunitas mereka”.42



Jelaslah kriteria portir dalam menilai orang dalam komunitas, berbeda dari kriteria bankir. Pengamatan semacam ini memberikan kesan mempermasalahkan persoalan kelas sosial dilihat dari sudut relativitasnya ketimbang upaya untuk memaksakan “struktur kelas” monolitik terhadap data. Tetapi baik Warner maupun Lundberg menganggap ketaksepakatan dikalangan penilai murni masalah metodologi dan lupa memikirkan relevansi teoritisnya. Kriteria status yang berat sebelah ke kelas atas dan menengah, juga jelas di Deep South dimana “struktur” kelas ditetapkan dilihat dari sudut antar hubungan antara ….. keluarga dan klik dalam aktivitas formal seperti kunjung-mengunjungi, berdansa [sic], resepsi [sic], jamuan minum the [sic], dan peristiwa informal lebih besar [sic]”.43 Atau ingat Warner yang menggunakan “tipe rumah sebagai ukuran status sosial”. Material Halbwach juga berhubungan. Kita telah menunjukkan kesimpulan signifikan tentang kekurangan pengembangan “keperluan perumahan” dikalangan anggota kelas buruh.



Di lain pihak, mengenai kelas atas ia



menunjukkan bahwa “berkenaan dengan indek kekayaan eksternal, ongkos perumahan sangat sering ditempatkan dibagian terdepan”. Meski tak menyangkal adanya perbedaan kualitas perumahan dikalangan kelas buruh, Halbwach



437



berpendapat bahwa kelas buruh “masih belum menyadari kepentingan pemondokan”.44 Ketaksesuaian antara kelas atas dan kelas buruh dibahas lebih lanjut dalam referensi tentang perbedaan pola kultur yang menyangkut organisasi keluarga, hubungan antar keluarga dan pengeluaran keluarga. Meski argumen ini hanya dapat diperluas secara tentatif ke masyarakat AS kini, adanya hipotesis kuat seperti di dalam literatur akan memberikan kesan tentang relativitas “simbol status” dan keperluan penelitian empiris terhadap perbedaan ciri-ciri disemua tingkat stratifikasi. Prosedur Warner menghindari keseluruhan masalah ini dan akibatnya, dengan sewenang-wenang mengambil “tipe rumah” sebagai kriterion tingkatan sosial, ia pilih menghargai pandangan kelas atas yang memandang kelas sosial sebagai sesuatu yang “nyata” ketimbang sebagai kelas yang ditentukan. Masalah prasangka kelas peralatan konseptual sentral ini tentu saja jauh lebih memperlemah riset Warner ketimbang prasangka statistik sekiranya ada pilihan seperti yang kita catat di atas.



Kesimpulan Ringkasnya kita yakin kita telah menunjukkan (1) bahwa tipe studi yang dikembangkan Warner dan rekannya tak relevan dengan tujuan yang mereka umumkan, yakni hendak melukiskan struktur stratifikasi masyarakat Amerika; (2) kelemahan tehnis dalam pelaksanaan studi mereka sangat memperlemah dukungan yang diminta untuk temuan mereka; bahwa metode mereka belum terbukti memenuhi persyaratan ilmiah dalam hal tahan uji dan dapat ditularkan dan selanjutnya adalah jelas tak dapat diterapkan dalam situasi seperti yang mereka rekomendasikan; dan (3) bahwa formulasi konseptualnya tak memadai bahkan untuk menerangkan temuan mereka sendiri yang secara teoritis tak diketahui hubungannya dengan literatur tentang stratifikasi sosial yang ada dan selanjutnya dicurigai berciri ideologis. Bahwa riset Warner dalam hal ini mengecewakan, hingga taraf tertentu dapat dikaitkan



dengan



kelemahan



umum



“pendekatan



antropologi”



terhadap



masyarakat rumpil kontemporer yang ditempat lain telah menarik perhatian sosiolog.45 Kecukupan pendekatan ilmiah rupanya yang mencegah kelompok 438



Warner terkucil dari spekulasi dan riset tentang stratifikasi sosial kontemporer dan menimbulkan kegagalan melihat masalah penting yang seharusnya diajukan studi ini. Penjelasan satu-sisi ini menarik standar laporan ilmiah dan mengotori seluruh monografi yang diterbitkan. Meski kita mengritik terang-terangan, kita perlu pula memperhatikan bahwa formula Warner pada umumnya tanpa kritik telah diterima dalam sejumlah besar buku-ajar sosiologi. Meski sosiolog bereaksi agak tak menguntungkan atas pendekatan ilmu hewan terhadap seks (Kinsey) mereka nampaknya tak menggunakan kelihaian yang setara terhadap bahan yang ditinjau. Karena itu dengan harapan, kita melihat kepada peningkatan standar dalam hal ini dan lebih berharap lagi ingin melihat pelaksanaan riset lebih besar dibidang ini dari pihak sosiolog yang pasti mendapatkan keuntungan dengan menguji pemikiran Warner.



439



Catatan Kaki 1.



W.L.Warner, M.Mecker and K.Eells, Social Class in America (Chicago: Science Research Associates, 1949)



2.



W.L.Warner,et.al., Democracy in Jonesville (NY:Harper&Row, Publ.,1949)



3.



Lihat riview oleh C.Wright Mills, ASR,VII (April,1942:263-271); Kingsley Davis,AJS,XLVIII



(Jan.1943:511-513);



dan



H.M.Wolfle,



Science,CX



(Oct.28,1949:456). 4.



W.L.Warner and P.S.Lunt, The Social Life of a Moderen Community, Tankee City Series,Vol.1 (New Haven: Yale Univ.Press,1941:14).



5.



W.L.Warner and A.Davis, “A Comparetive Study of American Caste”, Ch.VIII dalam Race Relation and the Race Problems,ed.E.T.Thompson (Durham,N.C.:Duke Univ.Press,1939).



6.



Democracy in Jonesville,op-cit:XIV-XV.



7.



Cf.R.E.Park,E.W.Burgess and R.D.McKenzie, The City (Chicago: Univ.Of Chicago Press,1949) dan George Simmel, “The Metropolis and Mental Life”, dalam Contemporary Society; Selected Readings, 8th ed. (Chicago Univ.of Chicago Boostore,1939).



8.



A.B.Hollingshead, Elmtowns Youth (NY: JohnWiley&Sons,Inc.,1949:44).



9.



Cf. Edward Shills, The Present State of American Sociology (NY: The Free Press,1948).



10. CF. Robert Bierstedt, “The Limitation of Anthropological Methods in Sociology”, AJS LIV (July, 1949 : 22-30). 11. Social Class in America, op. cit : 35 12. Ibid : 115 13. Ibid : 116 14. Mengenai Peneletian Wirth, lihat H. Blumer, An Appraisal of Thomas and Znaniecki’s The Polish Peasant in Europe and America, Social Science Research Bulletin 44 (1939 : 129). 15. Nama Jonesville sebenarnya telah dinyatakan dalam cetakan, meski tak dinyatakan dalam laporan riset. 440



16. Konsep “kelas” semata diperkenalkan untuk mendapatkan data yang dapat disesuaikan dengan analisis korelasi. 17. Hollingshead juga melaporkan persentase terbesar perselisihan pendapat tentang penilaian individual di “kelas IV” (Elmtowns Youth, op. cit : 39, 41). 18. CF. L. E. Ohlin and O.D. Duncan, “The Effieciency of Prediction in Criminology”, AJS, LIV (March, 1949 : 441-451; Paul Horst et. al, The Prediction of Personal Council Bull. 48 (1941 : 104-105). 19. Social Class in America, op. cit : 36. 20. Ibid : 227 21. Ibid : 37 22. Ibid : 24. 23. Ibid : 201 24. E. g. R. Centers, The Psychology of Social Classes (Princeton, NJ : Princeton Univ. Press, 1949) ; G. A. Briefs, The Proletariat (NY : McGraw. Hill Book Co. 1937); R. Marjolin, “The Middle Classes in the United States”, Inventories, Vol. III. ed. C. Bougle (Paris Alcan, 1939). 25. E. g. C. Booth, Life and Labor of the People in London, 17. Vols. (London : Macmillan, 1902-4). 26. Lihat Useem, et. al. op. cit. 27. D. Anderson and P. E. Davidson, Ballots and the Democratics Class Strunggle (Stanford, Calif : Stanford Univ. Press, 1943 : 250-255). 28. Social Class in America, op. cit : 14. 29. M. Halbwacsh, La Classe Ouviere et les Niveaux dengan Vie (Paris : Alcan, 1913 : 450). 30. Ibid : 451. 31. Talcott Parsons, Essays in Sociological Theory (NY : The Free Press, 1949 : 180-182). 32. Social Class in America, op. cit : 114. 33. Telah dikemukakan oleh C. Wright Mills (op. cit). Bahwa konseptualisasi Warner gagal membedakan antara kelompok status dan kelas; menurut kami keduanya agak berbeda. 441



34. Social Class in America, op. cit : 125. 35. Kegagalan ISC dalam hubungan ini terbukti selanjutnya dalam proposisi kami mengenai ciri-ciri kelompok status atas-atas yang berlawanan dengan ciri kelas golongan menengah. 36. Hans Speier, “Social Stratification in the Urban Community”, A S R, I (April, 1936 : 193-202). 37. Social Class in America, op. cit : 88. 38. CF. F. D. Wormuth, “Class Struggle”, Indiana Univ. Publicat., Social Science Series, No. 4, 1946 ; E. Sibley, “Some Demographic Clues to Stratification”, A S R, VII (June, 1942 : 322-330 ; J. W. Bennett and M. M. Tumin, Social Life (NY : Alfred A. Knopf, Inc. 1948 : chap. 29). 39. Penggolongan yang dikemukakan dalam W. L. Kolb. “Sociologically Established Family Norms and Democratic Values”, Social Forces, XXVI (May, 1949 : 451-456). 40. Social Class in America, op. cit : 5. 41. Ibid : 57. 42. G. A. Lundberg, “The Measurement of Socio-economic Status”, A S R, V (Febr. 1940 : 32). 43. Alison Davis, et. al., Deep South (Chicago : The Univ. of Chicago. Press, 1941 : 59). 44. Halbwachs, op. cit : 451-452. 45. CF. R. Bierstedt, op. cit.



Kelompok Rujukan dan Orientasi Kelas. Melvin M. Tumin & Arnold Feldman



442



Ketimpangan meluas di Puerto Rico. Mulai dari hal yang paling dapat diukur secara obyektif seperti pendapatan hingga hal sangat subyektif seperti berapa banyak orang menikmati opini yang baik dari tetangganya. Ketimpangan obyektif lebih seragam diterima dan diakui, tetapi ketimpangan dalam masalah subyektif terus-menerus diingkari. Pengingkaran subyektif berupa ungkapan perasaan tentang betapa adilnya masyarakat; pengingkaran subyektif ini pun diungkapkan berdasarkan pengenalan kuat individu dari semua kelas tentang kebijakan yang ada dan rencana masa depan masyarakat. Memang ada ketakpuasan, dan menurut sistem perhitungan tertentu, jumlahnya cukup besar. Namun tak banyak ketakpuasan ini yang berupa kehendak atau kebutuhan perubahan revolusioner dalam organisasi masyarakat yang ada atau kepemimpinannya.



Salah satu tanda paling meyakinkan bahwa ketakpuasan takkan berbentuk tuntutan perubahan revolusioner adalah ungkapan perasaan orang dewasa kelas bawah yang menyatakan bahwa mereka bermaksud mengerjakan apa yang dapat mereka kerjakan dalam masyarakat yang ada sehingga memungkinkan anak mereka mendapat pendidikan lebih baik dan dengan demikian mendapat pekerjaan dan penghasilan lebih baik dan kehidupan lebih menyenangkan ketimbang yang mereka alami sendiri. Singkatnya ada perjuangan dalam jaringan institusi sosial yang ada dan yang baru muncul, yang terpusat terutama pada harapan orang tua untuk anak mereka. Fakta yang tak jadi digunakan sendiri, memberi gambaran lengkap tentang keharmonisan masyarakat, dimana perbedaan tajam peluang hidup dan tingkat kesenangan, tak terlalu menggelisahkan tiap orang dan mayoritas orang dewasa saling memuji dan menghormati. Gambaran ini jelas tak sesuai dan karena itu tak benar. Hubungan sosial dikalangan orang Puerto Rico secara keseluruhan, bagaimanapun berlangsung ramah dan serasi. Mengingat berbagai alasan, orang tentu saja dapat saling berselisih dan merasa tak puas atas nasib mereka, namun ada sejumlah saling memberi dan menerima luar biasa. Namun juga tak tersangkal adanya kesadaran yang merembes yang menyebabkan orang terkelompok kedalam unit-unit sosial yang dapat dibedakan secara tajam satu sama lain melalui persaingan mendasar untuk memperebutkan hadiah yang ditawarkan masyarakat. Bukti untuk pernyataan ini berasal dari jawaban yang diberikan orang Puerto Rico terhadap sederet pertanyaan berikut. “Siapa orang” yang kami tanya, 1. “Siapa orang yang sama kelas sosialnya dengan anda; 2. Dengan siapa anda merasa paling senang bergaul; 443



3. Siapa oarang yang menjalani kehidupan yang sama dengan kehidupan anda; 4. Kepada siapa anda paling mudah menceritakan rahasia (masalah) kehidupan anda; 5. Siapa orang yang paling anda hormati; 6. Pendapat siapa yang paling bernilai bagi anda mengenai watak anda; 7. Pendapat dan pemikiran siapa yang paling anda hormati; 8. Siapa yang paling tidak dapat anda percayai; 9. Siapa yang paling tidak dapat anda hormati; 10. Jenis kehidupan siapa yang anda inginkan diikuti oleh anak-anda”? Tiap pertanyaan disediakan 5 kemungkinan jawaban. Responden ditempatkan dibagian atas, menengah atau bawah dari tiga bagian jenjang kelas; atau responden boleh mengatakan bahwa semua orang seperti ia atau tak seorang pun seperti ia. Tiga jawaban pertama, kami sebut “orientasi kelas” dalam arti bahwa satu stratum sosial tertentu atau stratum sosial yang lain digunakan sebagai rujukan; dua jawaban terakhir (keduanya atau tak satupun) kami sebut “orientasi nonkelas”. Dengan istilah ini kita dapat melihat dari Tabel 1 berapa persen dari responden dimasing-masing 5 strata pendidikan memberikan jawaban berorientasi kelas terhadap pertanyaan di atas. Dua hal sudah jelas. Mayoritas dari setiap kelas memberikan jawaban berorientasi kelas sebenarnya tak ada perbendaan dalam hal ini. Dengan mendefinisikan kesadaran kelas sebagai frekuensi jawaban orientasi kelas yang lebih disukai dari pada jawaban yang lain, maka kesan kuat di sini adalah bahwa jumlah kesadaran kelas yang hampir sama, muncul disemua tingkatan sosial di Puerto Rico. Karena pertanyaan yang akan ditinjau dan kemungkinan jawabannya telah disiapkan, maka jumlah persentase ditiap kelas yang memberikan jawaban orientasi kelas, harus diabaikan sebagian. Tabel 1. Frekuensi Jawaban “Orientasi Kelas” yang Diberikan 5 Strata Pendidikan Berbeda Terhadap Pertanyaan Mengenai Kelompok Rujukan. 444



Lama sekolah



Total jawaban



(Tahun)



Total jawaban



% jawaban



orientasi kelas



orientasi kelas



0



2390



1810



75.73



1-4



2860



2090



73.07



5-8



2230



1677



75.20



9-12



1650



1201



72.79



13+



700



492



70.28



Tetapi fakta bahwa hampir seperempat tiap kelas mengyangkal signifikansi kelas sebagai titik rujukan dalam hubungan sosial, menunjukkan bahwa disetiap tingkatan kelas adalah sukar atau mustahil untuk memberikan jawaban nonkelas. Bahwa persentasenya hampir sama ditiap kelas, secara meyakinkan menunjukkan bahwa kemampuan berfikir mengenai “kelas” tak tergantung pada jenis kemampuan verbal atau kecanggihan verbal mungkin hanya menjadi ciri orang yang berpendidikan lebih baik saja.



Setiap Orang Berada dalam Kelas Sosial yang Sama? Dengan siapa responden merasa sekelas? Siapa teman sekelasnya? Mayoritas anggota dua kelas terbawah lebih suka memperkenalkan diri mereka sendiri sebagai kelas bawah dan sekitar empat orang dari setiap kelas lebih suka membayangkan diri mereka sendiri sebagai kelas menengah. Sebaliknya antara 58 kelompok secara meyakinkan berhasil mengidentifikasikan diri mereka ke kelas menengah, meski sekitar sepertiga lebih sedikit merasa diri mereka sebagai kelas bawah. Orang berpendidikan SLTA dan Kolej merasa mantap menempatkan diri mereka sebagai anggota kelas menengah yang kemudian sebagian kecil lebih suka mengira diri mereka sebagai anggota kelas atas. Lihat Tabel 2.



445



Dengan Siapa Responden Merasa Paling Senang? Salah satu tanda paling meyakinkan mengenai perasaan kelas adalah kepasitas bersenang-senang dengan teman dengan kepastian bahwa mereka mempunyai standar yang sama, menggunakan cara membuat pertimbangan yang sama dan mempunyai harapan yang sama dalam pergaulan. Tabel 2. Lokasi Kelas Orang yang Dianggap Responden Sekelas dengan Dirinya. Lama sekolah (Tahun)



Kelas



0



1-4



5-8



9-12



13+



Total



Jlh



%



Jlh



%



Jlh



%



Jlh



%



Jlh



%



Jlh



%



13



5.4



13



4.5



7



3.1



6



3.6



7



9.9



46



4.6



60



24.8 80



27.8



103



45.4 114



68.7 50



70.4 407



40.9



Bawah



142



58.7 153



53.1 84



37



24



14.5 1



1.4



404



40.6



Seluruhnya



11



4.5



14



4.9



10



4.4



6



3.6



2



2.8



43



4.3



Tak satupun



0



0.0



1



0.4



0



0.0



0



0.0



0



0.0



1



0.1



Jwb campuran



13



5.4



24



8.3



19



8.4



15



9



10



14.1 81



8.1



Tak tahu



0



0.0



1



0.4



0



0.0



0



0.0



0



0.0



1



0.1



Tak ada info



3



1.2



2



0.7



4



1.8



1



0.6



1



1.4



11



1.1



Total



242 100.0 288 100.0 227 100.0 166 100.0 71 100.0 994 100.0



Atas Menengah



Tetapi seperti ditunjukkan Tabel 3, ada kecenderungan kalangan orang Puerto Rico dari semua kelas, merasa senang dengan semua orang, tanpa menghiraukan kelasnya. Ada kecenderungan kecil - mulai dari hampir 9% dikalangan yang berpendidikan 5-8 tahun hingga 14% dikalangan yang berpendidikan Kolej tetapi kecenderungan itu nyata. Jawaban ini memberitahukan kita bahwa ada pengenalan kelas tertentu, kirakira seperti yang diduga: makin tinggi kelas, makin tinggi frekuensi yang mengidentifikasikan diri dengan kelas atas.



446



Siapa Orang yang Menempuh Kehidupan yang Sama Dengan Anda? Pertanyaan ini meneliti apakah orang Puerto Rico menentukan teman sekelasnya melalui kesamaan gaya hidup. Apakah gaya hidup ini adalah yang mereka maksud ketika mereka menyatakan bahwa orang lain yang berada salam kelas yang sama? Berdasarkan bukti terdahulu, jelas bahwa orang ditempatkan pada kelas tertentu, terutama berdasarkan pendapatan dan kedua baru berdasarkan pendidikan. Kini dapat dilihat dari Tabel 4 Bahwa keanggotaan kelas dan kesamaan gaya hidup benar-benar sinonim. Jawaban atas pertanyaan ini distribusinya kira-kira sama dengan jawaban yang diberikan atas pertanyaan mengenai kelas sosial itu sendiri. Ada pergeseran dalam persentasenya tetapi dalam tiap kasus sangat kecil.



Kepada Siapa Ia Paling Mudah Menceritakan Masalah Pribadi Mendalam? Dalam literatur riset sedikit sekali yang dapat membimbing kita tentang apa yang seharusnya kita perkirakan dalam pola kepercayaan mendalam dalam arti kesediaan menceritakan rahasia sendiri kepada orang lain. Argumen apriori yang baik adalah bahwa referensi yang terbaik adalah teman sekelas sendiri atau siapa saja tetapi anggota kelas kita sendiri. Karena meski hubungan pertemanan cenderung dibangun paling sering dan tentu saja dikalangan teman sekelas, justru orang yang sekelas dengan diri kita sendirilah yang paling efektif menggosip dan yang harus paling tak dipercayai. Jawaban orang Puerto Rico yang ditunjukkan di Tabel 5 tak secara meyakinkan menyelesaikan masalah ini. Jawaban menggambarkan stratifikasi kelas yang pasti: makin tinggi kelas, makin besar frekuensi yang menunjuk kepada kelas atas sebagai yang dipercayai. Namun ada pula pola lain. Lebih dari 20% anggota kelas terendah merasa mereka dapat menceritakan rahasia mereka



447



paling enak kepada anggota kelas atas. Beberapa persen dari tiap kelas, merasa tak dapat menceritakan rahasia mendalam mereka kepada siapapun. Antara 7% dan 8% dari tiap kelas merasa bahwa kelas tidak ada kaitannya - mereka merasa dapat menceritakan rahasia mereka kepada orang yang berada disemua tingkatan kelas. Tabel 4. Lokasi Kelas di Tiga Tingkatan Kelas dari Orang yang Sama Kehidupannya



dengan Responden. Lama sekolah (Tahun)



Kelas



0



Atas Menengah



1-4



5-8



9-12



13+



Total



Jlh



%



Jlh



%



Jlh



%



Jlh



%



Jlh



%



Jlh



%



7



2.9



7



2.4



4



1.8



6



3.6



7



9.9



46



4.6



111



48.9 114



68.7 50



70.4 407



40.9



62



25.6 86



29.9



Bawah



161



66.5 168



58.3 91



40.1



24



14.5 1



1.4



404



40.6



Seluruhnya



3



1.2



6



2.1



3



1.3



6



3.6



2



2.8



43



4.3



Tak satupun



0



0.0



0



0.0



0



0.0



0



0.0



0



0.0



1



0.1



Jwb campuran



7



2.9



18



6.3



15



6.6



15



9.0



10



14.1 81



8.1



Tak tahu



0



0.0



2



0.7



1



0.4



0



0.0



0



0.0



1



0.1



Tak ada info



2



0.8



1



0.4



2



0.9



1



0.6



1



1.4



11



1.1



Total



242 100.0 288 100.0 227 100.0 166 100.0 71 100.0 994 100.0



Tabel 5. Lokasi Kelas di Tiga Tingkatan Kelas dari Orang Kepada Siapa Kepala Keluarga Dapat Menceritakan Persoalan Pribadinya. Lama sekolah (Tahun)



Kelas Atas Menengah



0



1-4



Jlh



%



49



20.2 49



60



Jlh



24.8 76



%



5-8 Jlh



17.0 33 26.4



91



%



9-12 Jlh



%



13+ Jlh



%



Total Jlh



%



14.5 23



13.9 9



12.7 163



16.4



40.1 84



50.6 38



53.5 349



35.1



Bawah



82



33.9 103



35.8 48



21.2



14



8.4



6



8.5



253



25.5



Seluruhnya



18



7.4



21



7.3



19



8.4



15



9.0



7



9.9



80



8.0



Tak satupun



0



0.0



0



0.0



0



0.0



0



0.0



0



0.0



1



0.1



448



Jwb campuran



17



7.0



18



6.3



22



9.7



13



7.8



8



11.3 78



7.8



Tak tahu



1



0.4



2



0.7



2



0.9



1



0.6



0



0.0



6



0.6



Tak ada info



3



1.2



4



1.4



3



1.3



0



0.0



1



1.4



11



1.1



Total



242 100.0 288 100.0 227 100.0 166 100.0 71 100.0 994 100.0



Seperti biasanya, orang yang berpendidikan 5-8 tahun hampir tepat di kelas menengah. Dua puluh persen kelas terendah yang mempercayai anggota kelas atas sebagai orang yang memegang rahasia mereka, tentu termasuk sejumlah orang yang signifikan yang ditemukan disetiap masyarakat yang membangun saling ketergantungan dengan orang yang tingkatan sosialnya jauh lebih tinggi. Ada kesan tentang tipe hubungan patron-klien dimana orang kelas lebih rendah sangat mengharapkan dukungan kelas atas meski kecil sekali atau tak ada balasannya. Singkatnya, struktur kelas sangat memaksakan dirinya sendiri pada persoalan kerukunan meski hampir tak sekuat sebelumnya. Di sini juga ada sejumlah besar sikap acuh tak acuh terhadap afiliasi kelas.



Dari Siapa Ia Menerima Penghormatan Terbesar? Mengenai masalah penghormatan dalam hubungan pribadi dan sosial dapat dikatakan, orang Puerto Rico sangat sensitif dan masih mempunyai kepercayaan diri cukup besar. Di tiap tingkatan kelas, kecil persentasenya apa yang mereka katakan sikap tidak sopan, meski dalam beberapa hal mereka menjadi orang pertama di dunia yang merasakannya. Dalam pertanyaan terdahulu mengenai penghormatan, orang Puerto Rico pernah menceritakan kepada kami bahwa sebagian besar orang dalam masyarakat cukup sopan. Kini kami temukan pendapat ini diulangi dan ditegaskan lagi dalam jawaban atas pertanyaan: “Siapa orang yang paling menghormati anda? Seperti ditunjukkan Tabel 6, hanya 5 orang yang menyatakan bahwa mereka tak menerima penghormatan dari siapapun. Lebih dari sepertiga anggota kelas berpendapat menerima penghormatan dari setiap orang. Karena itu kami dapat mengatakan bahwa baik tempat maupun 449



frekuensi penghormatan tidak mengikuti batas kelas. Sekiranya prasangka kelas terlibat, berarti ada keanehan dan membalikkan fakta bahwa kelas bawah mengungguli kelas atas dan seluruh kelas lainnya dalam persentase orang yang menegaskan mereka menerima penghormatan terbesar dari kelas atas. Apapun indikasi lain tentang antagonisme antar kelas dan solidaritas di dalam kelas dalam data kami, distribusi perasaan dihomati takkan menguatkan tema kelas. Tabel 6. Lokasi Kelas di Tiga Tingkatan Kelas Orang dari Siapa Responden Merasa



Ia Menerima Penghormatan Terbesar. Lama sekolah (Tahun)



Kelas Atas Menengah



0



1-4



Jlh



%



39



16.1 36



43



Jlh



17.8 50



%



5-8 Jlh



12.5 27 17.4



51



%



9-12 Jlh



13+



Total



%



Jlh



%



Jlh



%



11.9 14



8.4



6



8.5



122



12.3



22.5 45



27.1 15



21.1 204



20.5



20.7



23



13.9 10



14.1 212



21.3



Bawah



55



22.7 77



Seluruhnya



86



35.5 107 37.2 84



37.0 64



38.6 26



36.6 367 36.9



Tak satupun



3



1.2



0



0.0



0



0.0



2



1.2



0.0



Jwb campuran



11



4.6



14



4.9



14



6.1



17



10.2 12



16.9 68



6.8



Tak tahu



2



0.8



3



1.0



1



0.4



1



0.6



0



0.0



7



0.7



Tak ada info



3



1.2



1



0.4



3



1.3



0



0.0



2



2.8



9



0.9



Total



242 100.0 288 100.0 227 100.0 166 100.0 71 100.0 994 100.0



26.7 47



0



5



Opini Siapa yang Paling Penting Mengenai Wataknya? Kondisi pertentangan kelas sebenarnya dapat muncul bila anggota kelas tertentu tidak menghiraukan apa yang difikirkan anggota kelas lain mengenai mereka. Tak menghiraukan apa yang difikirkan kelas superior tentang kelas inferior atau apa yang difikirkan kelas inferior tentang kelas superior atau 450



0.5



merasakan tanda-tanda pemisahan yang sebenarnya; itu secara tak langsung menyatkan bahwa kelas mempunyai standar pertimbangan norma tentang perilaku dan kriteria nilai yang berbeda. Berdasarkan keadaan demikian, permusuhan sebenarnya mungkin menjadi nyata. Bila permusuhan ini muncul, stratifikasi ketertiban sosial akan menimbulkan fragmentasi ketertiban itu. Adakah kasus ini di Puerto Rico? Apakah kelas-kelas saling mengisolasi diri mereka sendiri sehingga menolak standar kelas lain? Ataukah masing-masing kelas sensitif terhadap opini kelas lain? Apakah orang kelas rendah menghiraukan apa yang difikirkan kelas lain hanya untuk mengetahui bahwa orang kelas atas menghina opini mereka? Atau adakah perhatian timbal-balik mengenai pendapat kelas lain? Kami menanyai orang Puerto Rico: Opini siapa mengenai watak mereka yang mereka nilai terbanyak. Tabel 7 mengungkapkan beberapa fakta sangat menarik berdasarkan perasaan kelas mengenai opini orang lain terhadap mereka. 1. Sebenarnya tak seorangpun yang acuh tak acuh terhadap opini orang lain. 2. Sekitar 25% ditiap kelas sangat memperhatikan apa yang difikirkan kelas atas mengenai watak mereka. 3. Makin tinggi kelas, umumnya makin kecil persentase orang yang memperhatikan apa yang difikirkan setiap orang tentang watak mereka, tanpa menghiraukan kelas. Bahkan sebanyak 18% anggota kelas atas merasakan seperti itu. 4. Hanya 3% orang berpendidikan Kolej dan 7% orang berpendidikan SLTA yang sangat menghiraukan opini orang kelas bawah. Mereka jauh lebih banyak yang memikirkan tentang opini teman sekelas mereka. 5. Sebaliknya, orang kelas bawah sedikit lebih banyak yang menghiraukan opini orang diluar kelas mereka sendiri ketimbang opini golongan mereka sendiri. 6. Orang berpendidikan 5-8 tahun lebih cenderung ke arah pola kelas lebih tinggi ketimbang pola fikir orang yang kurang pendidikan. Bagaimana cara kita merangkum kecenderungan yang bermacam-macam ini? Disatu pihak ada pemaksaan menuju masyarakat demokratis mengingat orang 451



keempat dari tiap kelas yang mengatakan mereka memperhatikan apa yang difikirkan tiap orang tentang watak mereka. Singkatnya, bila kita mempercayai mereka, perasaan harga diri mereka tergantung pada penerimaan gema yang menyenangkan dari orang di semua tingkatan kelas. Dilain pihak, bila tak lebih banyak, sama banyaknya dalam tiap kelas yang memilih orang kelas atas sebagai orang yang opininya tentang watak mereka yang paling banyak mereka nilai. Ini berarti bahwa orang Puerto Rico disemua tingkatan kelas, benar-benar sensitif terhadap pandangan kelas superior yang mempercayai mereka. Dapatkah ini ditafsirkan sebagai bentuk pencarian kelas? Menolak kelas sendiri? Apakah orang sebenarnya hendak mengatakan bahwa standar pendapat orang ditingkat sosial mereka sendiri adalah rendah? Ataukah mereka menyatakan perasaan tergantung pada opini yang baik, orang yang memiliki posisi yang unggul dan berkuasa? Yang manapun diantara berbagai penafsiran yang lebih disukai, yang pasti adalah bahwa di Puerto Rico kita sekali lagi berurusan dengan sebuah struktur kelas terbuka dimana terdapat banyak kontak antara orang disemua tingkatan kelas dan dimana batas status, meski penting, tidaklah tunggal ataupun batas yang lebih besar sama dengan pencarian penghargaan yang dilakukan. Orang yang berpendidikan kolej yang hampir sama banyak dengan orang buta huruf, harus memperhatikan apa yang difikirkan orang lain tentang mereka atau mereka harus mengatakan sesuatu seperti yang dikatakan orang lain, tak persoalan apakah yang sebenarnya yang mereka rasakan - menandakan adanya tekanan besar yang bukan untuk menutup tingkatan kelas. Sebaliknya tekanan itu rupanya untuk mengungkapkan perasaan manusia berorientasi kelas yang mencolok. Sekali lagi, inikah pengungkapan idiologi dignidad: idiologi yang menuntut bahwa semua orang adalah sama berguna, selaku manusia dan bahwa perbedaan dalam posisi sosial dan ekonomi adalah sementara dan fenomena kebetulan yang tak relevan dalam menilai manfaat manusia? Lalu, tak sepantasnya kah dikatakan bahwa orang Puerto Rico disemua tingkatan kelas memperhatikan opini orang lain disemua tingkatan? Mereka bukan acuh-tak acuh satu sama lain. Mereka mempunyai banyak kesamaan standar penilaian dan pertimbangan, dengan sedikit rasa permusuhan yang berasal 452



dari penolakan orang lain sebagai orang tak berguna - ketertiban sosial terdiferensiasi dan terstratifikasi tetapi bagaimanapun terfragmentasi.



Gagasan dan Opini Siapa yang Paling Dihormati Responden? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan banyak pengamatan. Tabel 8 menunjukkan kecenderungan yang sama bahwa orang yang gagasannya paling dihormati, terpusat pada “seluruh” kategori atau pada “kelas atas”. Tetapi kini, pada dasarnya lebih dari sepertiga anggota tiap kelas sangat menghormati gagasan dan opini kelas atas. Persentase agak lebih kecil, menegaskan mereka menghormati gagasan tiap orang. Artinya, afiliasi kelas tak penting bagi pertanyaan: gagasan siapa yang seharusnya paling dihormati. Sekali lagi, jelas adanya orientasi dua-arah: ke arah orang yang menempati posisi terkemuka dalam masyarakat dan ke arah gagasan dan opini yang baik, dari manapun datangnya. Tabel 8. Lokasi Kelas di Tiga Tingkatan Kelas Orang yang Gagasan dan Opininya Paling Dihormati Responden Lama sekolah (Tahun)



Kelas Atas Menengah



0



1-4



Jlh



%



Jlh



101



41.7 118



32



13.2 32



%



5-8 Jlh



41.0 94 11.1



39



4.2



9



9-12



%



Jlh



%



13+ Jlh



%



Total Jlh



%



41.4 69



41.6 25



35.2 407



40.9



17.2 31



18.7 14



19.7 148



14.9



1.2



1.4



3.9



Bawah



15



6.2



Seluruhnya



81



33.5 109 37.8 66



29.1 53



31.9 17



24.0 326 32.8



Tak satupun



1



0.4



0



0.0



0



0.0



1



0.6



0



0.0



Jwb campuran



8



3.3



14



4.9



17



7.5



10



6.0



14



19.7 63



6.3



Tak tahu



1



0.4



1



0.4



0



0.0



0



0.0



0



0.0



2



0.2



Tak ada info



3



1.2



2



0.7



2



0.7



0



0.0



0



0.0



7



0.7



Total



242 100.0 288 100.0 227 100.0 166 100.0 71 100.0 994 100.0



12



453



4.0



2



1



39



2



0.2



Seolah-olah orang Puerto Rico mengatakan bahwa tiap orang berhak mempunyai gagasan dan opini yang dihormatinya jika bermanfaat dan tak ada alasan mengapa orang disemua tingkatan kelas takkan mendapatkan manfaat gagasan dan opini demikian. Dilain pihak, sangat besar kemungkinannya kita akan menemukan gagasan dan opini baik seperti itu dikalangan orang yang posisinya sangat menonjol, orang berpendidikan yang menduduki jabatan paling bergengsi dan yang mengepalai urusan masyarakat. Singkatnya, rupanya ada pernyataan yang jelas tentang keinginan untuk menerima kepemimpinan orang yang menonjol posisinya tetapi selalu dengan syarat bahwa orang dari semua asal-usul dan diseluruh posisi sosial yang mempunyai gagasan, ada peluang berhak mendapatkan perhatian. Bahkan seperempat dari orang berpendidikan Kolej memberikan syarat ini.



Kepada Siapa Responden Paling Tak Percaya? Kini pola jawaban mengalami perubahan penting. Sekitar 10% anggota tiap kelas mengatakan mereka tak percaya kepada siapapun. Sikitar 20% anggota tiap kelas mengatakan mereka tak mempercayai seorangpun. Dan semua kelas, termasuk kelas bawah, sangat tak mempercayai orang kelas bawah. Seperti ditunjukkan Tabel 9, lebih banyak orang digolongan berpendidikan 0 tahun ketimbang digolongan SLTA yang mengatakan mereka tak mempercayai orang kelas rendah . Dan meski lebih 20% anggota kelas rendah tak mempercayai kebanyakan orang kelas atas, hampir 13% orang berpendidikan Kolej dan lebih dari 17% orang berpendidikan SLTA, juga sangat tak mempercayai kebanyakan kelas atas. Tabel 9. Lokasi Kelas di Tiga Tingkatan Kelas yang Paling Tak dipercayai Responden. Lama sekolah (Tahun)



454



Kelas Atas Menengah



0



1-4



Jlh



%



49



28.2 70



20



8.3



Jlh



15



%



5-8 Jlh



24.3 58 5.2



8



%



9-12 Jlh



%



13+ Jlh



Total



%



Jlh



%



25.6 29



18.0 9



12.7 215



21.6



3.5



12



7.3



15.5 66



6.6 37.5



11



Bawah



92



38.0 99



34.4 92



40.5



59



36.6 24



40.4 371



Seluruhnya



22



9.1



9.7



9.7



24



14.9 6



8.5



Tak satupun



48



19.8 61



21.2 34



15.0 34



21.1 12



16.9 189 19.0



Jwb campuran



4



1.7



9



3.1



9



4.0



1



0.6



3



Tak tahu



2



0.8



2



0.7



2



0.9



1



0.6



0



0.0



7



0.7



Tak ada info



5



2.1



4



1.4



2



0.9



1



06



1



1.4



26



2.6



Total



242 100.0 288 100.0 227 100.0 166 100.0 71 100.0 994 100.0



28



22



102 10.2



4.2 13



Untuk pertama kali, garis permusuhan muncul, menunjukkan sangat kecilnya pola kelas. Mengenai pola apa yang pantas kita bicarakan bila orang buta huruf sama banyaknya dengan orang berpendidikan Kolej yang tak mempercayai orang kelas bawah dan hampir sama banyaknya orang SLTA dan yang buta huruf yang tak mempercayai anggota kelas atas. Apapun arti, dari yang telah kita kembangkan dari jawaban terdahulu, bahwa orang Puerto Rico umumnya merasa percaya satu sama lain, kini harus dirubah dilihat dari sudut bukti yang jelas bahwa ketakpercayaan besar melanda seluruh penduduk. Sebagaimana pola kepercayaan cenderung terfokus pada semua orang atau pada kelas atas saja, kini pola ketakpercayaan dan kekurangan percayaan memilih kelas bawah untuk dijadikan sasaran utama dan kelas atas sebagai sasaran kedua. Tetapi semua kelas cenderung menempatkan antagonisme kelas utama mereka kira-kira menurut cara yang sama. Singkatnya, “kelas” adalah konsep yang berguna untuk menemu-kenali sasaran kepercayaan dan ketakpercayaan tetapi hampir tak sama manfaatnya dengan menemu-kenali sumber dari siapa kepercayaan dan ketakpercayaan itu berasal. Kelas adalah target; tetapi kelas sama seringnya menjadi target bagi anggotanya sendiri, bagi orang yang berada di tingkatan kelas lain.



455



1.3



Tentu saja ini akan menjadi bukti terbaik bahwa meski ada ketegasan dan kristalisasi struktur kelas melalui indek posisi dan peluang-hidup dan sama jelasnya identifikasi kelas dari orang merasakan berbagai perasaan bersama, namun sangat kecil pola kelas dalam distribusi perasaan ini. Yang terpenting, terdapat kepercayaan sangat besar antar kelas dan relatif sangat kecil perasaaan permusuhan antar kelas.



Siapa yang Paling Kurang Dihargai Responden? Kini generalisasi di atas memerlukan beberapa perubahan dilihat dari jawaban atar pertanyaan di atas. Seperti ditunjukkan Tabel 10, makin tinggi kelas, makin sedikit orang yang merasa kurang dihargai. Dua puluh satu setengah persen golongan terendah dan 35% orang berpendidikan Kolej mengatakan, tak seorangpun yang kurang menghargai mereka. Begitu pula, makin tinggi kelas, makin sedikit orang yang menunjuk kelas atas sebagai tempat utama untuk kurang menghargai. Tetapi di sini polanya tak begitu murni. Orang berpendidikan SLTA hampir sama banyaknya dengan orang berpendidikan 0 tahun yang merasa kelas atas adalah orang yang paling kurang menghargai mereka. Sebaliknya persentase orang berpendidikan Kolej yang merasa kurang dihargai oleh orang kelas atas, hanya sekitar setengah dari persentase orang berpendidikan SLTA dan bahkan lebih kecil bila dibandingkan dengan kelas rendah. Tabel 10. Lokasi Kelas di Tiga Tingkatan Kelas dari Orang yang Paling Kurang Dihargai Responden Lama sekolah (Tahun)



Kelas Atas Menengah



0



1-4



Jlh



%



87



36.0 99



16



6.6



Jlh



17



%



5-8 Jlh



34.4 72 5.9



17



456



%



9-12 Jlh



%



13+ Jlh



%



Total Jlh



%



31.7 45



27.1 11



15.5 314



31.6



7.5



6.0



12.7 69



6.9



10



4



Bawah



51



21.1 58



20.1 54



23.8



44



26.5 14



19.7 221



22.2



Seluruhnya



21



8.7



73



4.4



8



4.8



9.9



6.7



Tak satupun



52



21.5 74



25.7 62



27.3 50



30.1 25



Jwb campuran



8



3.3



10



3.5



9



4.0



4



2.4



4



Tak tahu



1



0.4



6



2.1



0



0.0



4



2.4



1



1.4



12



1.2



Tak ada info



6



2.5



3



1.1



3



1.3



1



0.6



0



0.0



13



1.3



Total



242 100.0 288 100.0 227 100.0 166 100.0 71 100.0 994 100.0



21



10



7



67



35.2 263 26.5 5.6 35



Untuk mencocokkan distribusi kelas ini dengan perasaan kurangnya penghargaan terdapat fakta mengherankan bahwa persentasenya hampir sama ditiap kelas yang mengatakan mereka sangat kurang dihargai oleh orang dari kelas bawah. Orang SLTA merasa kelas bawah inilah yang sangat kurang menghargai. Tetapi orang Kolej dan yang berpendidikan 0 tahun berbeda sekitar kurang dari 0,5% mengenai masalah ini. Dibandingkan dengan jawaban terhadap isu ketakpercayaan, jawaban ini menunjukkan susunan kelas yang lebih pasti. Kelas atas yang dirasakan menjadi peleceh utama, terbalik proposinya terhadap posisi kelas seseorang. Dan perasaan pada umumnya dihargai oleh semua orang dan perasaan tak seorang pun yang kurang menghargai, terdistribusi dalam proporsi yang sebenarnya terhadap posisi kelas seseorang. Hanya dalam perasaan tertentu saja dapat dikatakan bahwa orang memberikan kepercayaan dan ketakpercayaan mereka kepada orang lain yang mereka rasa paling dihargai dan paling tak dihargai. Sebagian kecenderungan ini ada dikalangan orang Puerto Rico namun hampir tak sebanyak sangkaan orang. Kepercayaan



dan



ketakpercayaan



nampaknya



ditentukan



oleh



kurang



menghormati afiliasi kelas ketimbang oleh peramalan dari distribusi perasaan berkurangnya penghargaan kelas yang lebih jelas. Namun orang tak boleh mengabaikan fakta bahwa baik orang kelas atas maupun kelas bawah kurang lebih sama-sama merasa kurang dihargai oleh orang kelas bawah. Kitapun takkan keliru mengabaikan fakta bahwa orang kelas atas yang merasa kurang dihargai oleh anggota kelas mereka sendiri, hampir sama banyaknya dengan orang kelas bawah yang merasa kurang dihargai oleh anggota 457



3.5



kelas mereka sendiri. Singkatnya, apapun bentuk permusuhan antar-kelas yang ditunjukkan data, data pun memberikan kesaksian yang kuat atas keberadaan kepercayaan dan kurang menghargai di dalam satu kelas. Bila kita sekali lagi mencoba menjawab pertanyaan terdahulu mengenai pola permusuhan kelas berdasarkan bukti baru ini, kita dapat menjawab seperti berikut: 1. Bila orang di Puerto Rico mulai mengenali posisi mereka dalam struktur kelas, mereka umumnya cenderung menghindari keekstriman dan menempatkan diri mereka sendiri di kelas menengah. Orang yang berada di kelas yang lebih tinggi, lebih suka memikirkan diri mereka sendiri sebagai anggota kelas menengah ketimbang sebagai anggota kelas atas. Tetapi orang kelas rendah seperti yang diperkirakan, cenderung mengelaskan diri mereka sendiri kebanyakan melalui kategori kelas menengah dan bawah. 2. Bila orang Puerto Rico menilai penilaian mereka terhadap orang lain dalam masyarakat, mereka menerima struktur kelas sebagai kerangka rujukan masukakal



dan



umumnya



cenderung



mengharapkan



penilaian



yang



lebih



menguntungkan dari anggota kelas mereka sendiri ketimbang dari orang lain. Tetapi juga ada kecenderungan nyata untuk berpendirian tentang tak relevannya kelas ketika ditanyakan mengenai rasa hormat. 3. Bila ditanya pendapat orang lain terhadap diri mereka sendiri, mereka cenderung menilai sangat baik. Orang Puerto Rico umumnya cenderung menjauhi tingkat kelas menengah dan mengatakan kerisauan mengenai opini yang baik dari tiap orang atau dari orang kelas atas. Kecenderungan ini bahkan makin nyata bila isu yang dipertaruhkan adalah menyangkut gagasan dan opini orang yang mendapat penghormatan paling besar. Di sini terdapat kecenderungan dobel-disatu pihak bersikukuh bahwa semua orang sanggup menghasilkan gagasan terhormat dan dilain pihak, gagasan paling berguna akan lahir dari orang yang berada pada posisi paling menonjol, adalah yang paling nyata. 4. Bila orang Puerto Rico menilai siapa yang mereka paling tak-percayai dan siapa yang mereka rasa paling kurang menghargai mereka, antara seperempat dan sepertiga anggota tiap kelas menyangkal bahwa mereka kurang dihargai 458



oleh tiap orang atau bahwa tak dipercayai oleh siapa pun. Diantara duapertiga hingga tigaperempat penduduk yang lain terdapat kesadaran nyata tentang kurang dihargai dan menyiapkan jawaban ketidakpercayaan terhadap orang lain. Sekali lagi, pengenalan kelas dapat disetujui dalam masalah ini tetapi tak sebanyak yang diduga. Orang kelas bawah tidak tak mempercayai anggota kelas atas lebih banyak daripada anggota kelas mereka sendiri, dan anggota kelas atas menunjukkan kecenderungan yang sama. Bila ada pola permusuhan antar kelas yang nyata, persentase orang disemua tingkatan melalui SLTA akan lebih besar tentang masalah ini ketimbang orang kelas atas yang merasa kurang dihargai oleh kelas. Dan bila ada bukti yang kuat untuk proposi bahwa posisi kelas menentukan perasaan seseorang mengenai manfaat dirinya sendiri, maka faktanya adalah bahwa makin tinggi kelas, makin besar persentase orang yang merasa mereka dihormati oleh setiap orang. Singkatnya, makin rendah kelas makin sukar rupanya untuk merasakan penghargaan umum oleh setiap orang. Lagi kita menyadari betapa sangat cair dan terbukanya struktur kelas, dimana identifikasi kelas adalah berguna dan relevan, namun batas kelas yang dirasakan dalam sikap permusuhan dan pemisahan diri tidak terbentuk. Dengan membuat analisis terbaik dari data yang tersedia, orang akan dapat mengatakan bahwa kelas-kelas di Puerto Rico umumnya saling menyadari keberadaan masingmasing, saling memperhatikan dan saling mempunyai opini yang baik; mereka merasa saling dihormati dan saling menghormati, ada kepercayaan timbal balik, dan saling mengisi gagasan dan opini masing-masing. Jauh lebih banyak hubungan baik ketimbang permusuhan antar kelas. Temuan ini mempunyai implikasi penting, baik untuk kualitas masyarakat Puerto Rico kini maupun untuk kemungkinannya dimasa datang. Orang dapat melihat dengan lebih jelas bila mereka sedikit menyusun lagi menurut konsep sosiologi “kelompok rujukan”.1) Sejauh konsep ini digunakan, berarti bahwa manusia hampir selalu membentuk perilaku mereka dalam menjawab norma kelompok mereka. Tetapi kelompok tertentu lebih penting dari pada kelompok 459



lain. Perasaan berafiliasi, kesetiaan dan keanggotaan adalah tidak sama. Kelompok kita sendiri menuntut perasaan ini dari kita jauh lebih besar ketimbang yang dituntut kelompok lain dimana kita bukan menjadi anggotanya. Kelompok rujukan adalah kelompok yang kita rujuk untuk mendapatkan bimbingan, dukungan dan kesetiakawanan. Karena itu, kelompok rujukan adalah kelompok yang sangat penting bagi kita. Yang telah ditunjukkan data terdahulu di bab ini adalah bahwa dalam beberapa hal, kelas seseorang umumnya merupakan kelompok rujukan penting bagi orang Puerto Rico tetapi tidak demikian atau jauh kurang penting bagi masyarakat lain. Untuk tujuan identifikasi-diri, orang Puerto Rico sangat sering merujuk kepada orang yang setingkat pendapatan dan pendidikannya dengan diri mereka sendiri. Tetapi dalam hal ini, kelas diri sendiri cenderung menjadi kurang penting dan kurang sepenting kelompok rujukan, terutama bagi kelas bawah. Mereka mungkin berfikir seperti cara berfikir segmen menengah dan atas masyarakat ketika mereka mengenali orang yang mereka anggap mempunyai gagasan dan opini paling baik dari siapa mereka menerima penghormatan terbesar dan kepada siapa mereka sendiri paling hormat. Segmen atas dan menengah struktur kelas orang Puerto Rico, tak seperti kelas bawah, cenderung lebih sering tetap berada di dalam batas kelas mereka sendiri dalam mencari kelompok rujukan mereka. Bagi mereka, kelas rendah bukan menjadi sasaran penting dalam mencari kelompok rujukan. Satu-satunya doa terpenting kelompok kelas bawah dipanjatkan ketika kelas atas dan menengah menganggap mereka sebagai orang yang paling tak berharga dan paling “tak dapat dipercaya”. Kecenderungan utama ketiga adalah persaingan pandangan yang menganggap kelas kita sendiri sebagai kelompok rujukan terpenting. Pandangan ini menolak pentingnya satu atau beberapa kelas dan malah bersikukuh bahwa opini, gagasan dan keyakinan yang baik orang dari semua tingkatan sebagai yang terpenting. Hingga taraf ini orang dapat mengatakan bahwa masyarakat total merupakan kelompok rujukan bagi sejumlah besar orang Puerto Rico untuk berbagai masalah penting mengenai perilaku, harga diri dan tidakan dalam urusan sosial. Dalam hal 460



tertentu, masyarakat total ini menjadi bukti kesatuan dan harmoni sosial meskipun ada bukti berlimpah yang menunjukkan bahwa stratifikasi sosial pun merembes ke dalam berbagai sektor kehidupan sosial. Cara berfikir dan merasakan ini mempunyai implikasi bagi masa depan masyarakat total ini. Pertama, perbedaan kelas tidak memisahkan orang kedalam kelompok-kelompok yang mengeras dan bermusuhan yang berperan ditengahtengah kepentingan yang saling bersilang. Ketimpangan pendapatan dan pendidikan yang ada menjadi bukti bahwa orang Puerto Rico cenderung untuk tidak saling menyalahkan atau melecehkan satu sama lain hampir sebanyak yang mungkin dibayangkan orang dalam masyarakat yang ditandai ketimpangan seperti itu. Rupanya mereka memperlihatkan perasaan bersama yang terikat pada kesatuan bersama dan mereka menemukan orang diberbagai tingkatan penting yang mereka hormati dan percayai. Hingga taraf tertentu, perencanaan pembangunan masa depan yang kesuksesannya mungkin tergantung pada keharmonisan sosial demikian, kini Puerto Rico telah mempunyai landasan yang kokoh untuk sukses. Selama kondisi yang kini mendorong keharmonisan hubungan antar kelas terus bertahan, keuntungan relatif satu segmen atau satu kelas mungkin takkan dipandang sebagai bukti sikap pilih kasih kelas atau takkan ditanggapi dengan kebencian dan perasaan dendam. Namun dalam semua keharmonisan sosial terdapat sejumlah besar kesadaran tentang perbedaan kelas dalam masalah kritis ketimpangan pendidikan dan pendapatan. Dan standar kelas atas dan menengah kini ditawarkan oleh kelas bawah orang Puerto Rico sebagai model jenis kehidupan yang mereka inginkan untuk anak mereka dimasa depan terdekat. Lebih dari itu, setiap segmen struktur kelas (menengah dan atas maupun bawah) benar-benar menyatakan harapan peningkatan taraf hidup dimasa depan. Ini jelas dibuktikan oleh data di Tabel 11 dimana jawaban atas pertanyaan berikut, dicatat: “Di anak-tangga kelas yang mana anda harapkan mampu dicapai oleh anak anda?”



461



Frekuensi di kolam bernama rendah menunjukkan kepada kita, setiap langkah naik di anak tangga kelas, menyebabkan penurunan persentase orang yang meinginkan kehidupan yang sama dengan kehidupan yang mereka alami kini untuk anak mereka. Labih dari separoh dari masing-masing 5 kelompok, melihat ke depan ke kehidupan tingkat kelas menengah untuk anak mereka. Tetapi perbedaan nyata dalam lokasi kelas diri sendiri versus yang diharapkan untuk anak masih belum jelas sebelum kita menjajarkan dua kumpulan laporan studi. Dengan mengambil data dari Tabel 11 dan meletakkannya berdampingan dengan data Tabel 7 (Bab 8) kita memperoleh Tabel 12. Lama sekolah (Tahun)



Kelas



0



1-4 Jlh



%



5-8 Jlh



9-12



%



%



Atas



42



17.4 67



Menengah



125



51.7 166 57.6



Bawah



51



21.1 31



10.8 17



Seluruhnya



4



1.7



5



1.7



Tak satupun



1



0.4



0



Jwb campuran



5



2.1



Tak tahu



3



Tak ada info



11



Total



242 100.0 288 100.0 227 100.0 166 100.0 71 100.0 994 100.0



120



%



Jlh



Total



Jlh



23.3 73



Jlh



13+ %



Jlh



%



32.2 53



31.9 21



29.6 256



25.8



52.9 102



61.5 43



60.6 556



55.9



7.5



2



1.2



0



0.0



101



10.2



3



1.3



2



1.2



0



0.0



14



1.4



0.0



0



0.0



0



0.0



0



0.0



1



0.1



11



3.8



9



4.1



4



2.4



4



1.2



3



1.0



1



0.4



1



0.6



0



0.0



8



0.8



4.6



5



1.7



4



1.8



2



1.2



3



4.2



25



2.5



5.6 33



3.3



Tabel 12. Lokasi Kelas Sendiri Vs kelas yang Diinginkan Untuk Anak (%) Lama



Atas



Menengah



Bawah



Sekolah



Diri



Anak



Diri



Anak



Diri



Anak



(Tahun)



%



%



%



%



%



%



0



8.9



17.4



50.5



51.7



40.5



21.1



462



1-4



3.8



23.3



57.6



57.6



38.6



10.8



5-8



5.6



32.2



60.7



52.4



33.8



7.5



9-12



7.6



31.9



71.7



61.5



20.8



1.2



13+



17.9



29.6



65.7



60.6



16.4



0.0



Kini polanya muncul dengan jelas. Sedikit sekali perbedaan di kolam “kelas menengah”.



Sebenarnya



perubahan



itu



mencerminkan



penipisan



“kelas



menengah” sebagai tingkatan yang diinginkan untuk anak seseorang, sebagai harapan yang dinyatakan oleh orangtua. Dua kelas bawah hampir konstan pesentasenya dalam kolom kelas menengah. Perubahan nyata terjadi dan penipisan kategori kelas “bawah” dan membengkaknya kelas “atas”. Orang berpendidikan 0 tahun, membagi dua keanggotaan mereka di kelas bawah dan orang berpendidikan 1-4 tahun mengurangi keanggotaannya hampir seperempat dari anggotanya sekarang. Tiga kelas tertinggi mengurangi keanggotaan mereka bahkan lebih drastis lagi. Sebaliknya orang berpendidikan 0 tahun, keanggotaan kelas atasnya menjadi dua kali lipat. Orang berpendidikan 1-4 tahun melipat-gandakan keanggotaannya sekitar tujuh kali lipat. Orang berpendidikan 5-8 tahun membengkakkan tingkatan kelas atasnya lima kali lipat atau jauh melampaui kondisinya kini. Orang berpendidikan SLTA meningkat keanggotaannya empat kali lipat. Orang berpendidikan Kolej mengalami kenaikan sekitar 50%. Apa yang terjadi adalah bahwa sejumlah orang disemua kelas yang menilai diri mereka sendiri sebagai kelas bawah, menginginkan kelas menengah untuk anaknya. Sebaliknya sejumlah yang signifikan dari orang menilai diri mereka sendiri sebagai anggota kelas menengah, mencita-citakan agar anak mereka naik ke kelas atas. Orang yang keluar dari kelas menengah kira-kira sama jumlahnya dengan yang masuk, dengan demikian mempertahankan jumlah anggota kelas itu seperti keadaannya sekarang. Singkatnya, ada harapan dan aspirasi diseluruh tingkat, sebanding dengan posisi kelas kini. Bila aspirasi itu terwujud, relatif sedikit orang dalam masyarakat



463



yang akan berada dalam posisi kelas bawah sekarang, bila anak-anak kini telah dewasa kelak. Sebuah nada keras harus dibunyikan. Faktanya lebih 20% orang di kelompok terbawah, dan 10% orang berpendidikan 1-4 tahun rupanya ingin menjawab kemungkinan bahwa anak mereka takkan melampaui taraf hidup mereka yang sekarang. Mungkinkah yang 20% dari satu kelompok dan yang 10% dari kelompok lain ini menjadi inti perlawanan terhadap perubahan di Puerto Rico? Apakah orang yang belum mampu mengangkat matanya ini mempunyai harapan dan mencita-citakan sesuatu yang lebih baik untuk anak mereka? Apakah orang ini akan menjadi pengerem perubahan sosial? Apapun jawaban atas pertanyaan itu, yang jelas adalah bahwa sesuatu rencana perubahan harus memperhatikan fakta bahwa seperlima dari kelompok serba kekurangan di Puertorico tidak mencita-citakan kehidupan anak mereka jauh lebih baik dari pada kehidupan yang kini mereka alami sendiri.



Catatan kaki 1. Karya yang menjadi rujukan standar di sini adalah artikel “Contributions to the Theory of Reference Group Behavior” oleh Robert K. Merton and Alice S. Kitt, dalam Studies in the Scope and Method of “The American Soldier”, eds. Robert K. Merton and Paul F. Lazarsfeld (NY: The Free Press,1950: 40-105).



464



kemajuan ekonomi. Dalam hal ini dan dalam hal lain Hyman menemukan adanya umum dan yang diduga antara kelas dan kesejahteraan, berlaku di sini : makin baik kehidupan ekonomi kelompok, makin tinggi cita-cita mereka untuk anak mereka, makin besar harapan mereka untuk mencapai sukses dan kemajuan dan makin kuat keyakinan atas keterbukaan sistem peluang. Bronfenbrenner menekan pada asumsi umum bahwa ada perbedaan signifikan pola pengasuhan anak antara kelas berbeda. Dengan hati-hati ia memeriksa sederatan data, menentukan kesulitan dalam mendapatkan data pembanding yang pantas dan menemukan bahwa telah terjadi perubahan gaya pengasuhan anak sepanjang waktu. Ia merasa, sebagian perubahan itu disebabkan ibu kelas menengah makin terbuka terhadap sekumpulan literatur yang menyakinkan seperti buletin cara pengasuhan anak terbitan Biro anak-anak dan buku-buku Benjamin Spock yang berpengaruh dan ada dimana-mana. Karena wanita kelas menengah makin rentan terhadap literatur dan karena makin besar perubahan kecenderungan ilmu kesehatan anak untuk merekomendasikan literatur ini dari tahun ke tahun, Bronfenbrenner menyimpulkan bahwa wanita kelas menengah ini makin sering merobek praktek pengasuhan anak mereka. Demikianlah, ia melihat terjadinya perubahan signifikan dalam praktek pengasuhan anak; perubahannya menuju kearah makin permisif dalam memberi makan dan dalam melatih “buang air “ selama dua tahun pertama usia anak. Bronfenbrenner mengembangkan analisisnya terhadap aspek lain pengasuhan anak. Dan menemukan telah terjadi pertemuan menentukan antara kelas berlainan. Pertemuan (convergence) ini sebenarnya telah terjadi sebelumnya tetapi dikaburkan oleh pemandang tradisional kelas bawah yang selalu menurutkan kata hati, berlawanan dengan pandangan kelas menengah yang menekankan rasionalitas dan kontrol dalam pengasuhan anak. Namun beberapa perbedaan signifikan masih bertahan terutama dalam derajat kepermisifan, derajat harapan terhadap anak, cara mempraktekan disiplin dan dalam derajat penerimaan dan egalitarianisme dalam hubungan antara orangtua dan anak.



272



Kelas dan Kebahagiaan Oleh : Alex Inkelas Dengan mengakui bahwa kebahagiaan adalah hal yang sukar difahami, kita harus berani mempelajarinya, meski dengan muslihat kasar seperti dengan mengumpulkan pendapat umum. Tentu saja kita tak boleh naif dalam menerima apa yang dikatakan orang ketika kita bertanya kepadanya, “apakah anda bahagia”?. Namun tak pula pantas berasumsi bahwa apa saja yang dikatakannya, berarti sebaliknya. Lama-lama semuanya akan menjadi demikian terbiasa dan itulah kunci kebenaran. Orang tertentu mungkin benar-benar merasa gembira tetapi mencurigai maksud kita bertanya; menakuti “pandangan jahat” atau ciri-ciri kepribadian dapat menyebabkan mereka menolak mengungkapkan perasaan mereka yang sebenarnya. Bila tiap orang menjawab pertanyaan secara sembarangan dan dalam hal ini dengan tanpa makna, secara kebetulan kita dapat menduga bahwa 50% populasi akan mengatakan “Ya” dan 50% “Tidak” dan tak ada variabel kontrol seperti umur, jenis kelamin atau pendapatan yang dapat mengungkapkan selain pembagian 50/50 ini. Akal sehat menjelaskan pada kita bahwa kelompok tertentu menghasilkan lebih banyak orang yang merasa mereka bahagia ketimbang yang dihasilkan kelompok lain. Orang yang baru saja mau melakukan bunuh diri akan menceritakan kepada temannya, dokter atau dibuku hariannya bahwa mereka berada dalam keadaan menyedihkan; orang yang baru saja bercerai ada kemungkinan akan melaporkan perkawinan mereka tidak bahagia. Tak dapat disangkal, dimana ada tekanan yang menyebabkan orang menyembunyikan perasaan mereka yang sebenarnya, laporan mereka kepada publik tentang bagaimana perasaan mereka, sedikit banyak pasti akan mengurangi kejelasan hubungan antara situasi obyektif dan perasaan mereka yang sebenarnya. Meski distorsi ini melekat dan pada dasarnya tak dapat dikontrol, jika kita maish menemukan hubungan erat dan berarti antara situasi seseorang dan apa 273



yang ia katakan mengenai kebahagiaannya, maka kita harus menganggap bahwa hubungan “nyatanya” jika ada tidak lebih lemah tetapi lebih kuat dari pada hubungan yang muncul dalam data kita. Baik pertanyaan langsung maupun tak langsung telah digunakan dalam upaya menilai kebahagian individual. Pertanyaan lansung yang sama telah diajukan kepada oarang di AS, Inggeris, Perancis dan Kanada tahun 1946. Dibandingkan dengan ketiga bangsa Anglo-Saxon lainnya, Perancis memang muncul keras; di negara lain sepertiga atau lebih adalah “sangat bahagia” tetapi dia Perancis hanya 8%. Empatpuluh persen sampel orang Perancis mengatakan “tidak sangat bahagia”; sedangkan di ketiga negara lain yang mengatakan tidak sangat bahagia, maksimum 10%.1 Pertanyaan yang sama banyak diajukan di tahun 1949 yang melalui pengumpulan pedapat umum dengan hasil serupa. Hanya 11% sampel Perancis yang “sangat bahagia” dibandingkan dengan 26% di Norwegia hingga 52% di Australia.2 Sayangnya kita tak mempunyai tabulasi-silang menurut variabel stratifikasi untuk kedua studi ini. Tetapi data sebanding dari Itali dan Inggeris meninggalkan sedikit keraguan bahwa bila dibuat tabulasi silang ditiap masyarakat itu akan ditemukan bahwa kebahagian seperti yang difikirkan tiap orang, diakui paling sering ditemukan dikalangan orang yang berada dalam strata yang lebih beruntung dalam masyarakat. Dalam studi di Inggeris orang ditanyai:”Pernahkah anda tertawa terbahak-bahak dalam 24 jam terakhir?” Wanita ditanyai apakah mereka pernah menangis sungguhsungguh, sebuah upaya yang dibuat untuk memperdaya, mereka dengan mendahului pertanyaan dengan pernyataan : ”Banyak dokter yang mengatakannya adalah baik memberikan vantilasi kepada perasaan anda dengan menangis sesaat”. Meski pertanyaan itu tidak berkaitan langsung dengan kebahagiaan, pertanyaan seperti itu sangat mungkin dapat mengukur hal yang sama. Proporsi orang yang pernah tertawa terbahak-bahak dalam 24 jam terakhir menurun dan proporsi orang yang menangis sungguh-sungguh, meningkat seiring dengan menurunnya skala sosio-ekonomi orang (tabel 1). Tetapi perbedaannya hanya tajam dalam kasus orang yang sangat miskin



274



yang tertawanya separoh dan menangisnya dua kali sesering yang dilakukan kelas ekonomi menengah dan atas. Tabel 1. persentase orang yang tertawa dan menangis di Inggeris menurut kelas dan janis kelamin.a Kelas ekonomi



% yang tertawa dalam



% yang tertawa dalam



24 jam terkhir (LK)



24 jam terakhir (wanita)



Kaya



47



12



Rerata



50



11



Dibawah rerata



41



16



Miskin



26



27



@



Dilaporkan dalam. Doxa Belletino, V, No.6 (April, 1956)



Aku telah menanyai banyak orang termasuk beberapa audien besar untuk meramalkan hasil pengumpulan pendapat ini. Manyoritas besar selalu mengira kelas buruh yang tertawa lebih sering. Mereka menyatakan keheranan pertanyakan ketelitianku tentang waktu dan negara yang terlibat.3 Setelah mengetahui studi dilakukan di Inggeris, mereka tanpa kecuali menawarkan penjelasan khusus berdasarkan asumsi mengenai watak masyarakat Inggeris dan secara sukarela menyampaikan opini bahwa hasil studi Itali pasti akan berbeda. Sayangnya pertanyaan yang sama belum ditanykan pada masyrakat Itali penggembira itu. Tetapi buruhnya yang suka senyum dan petaninya yang suka menyanyi itu telah ditanyai dengan dua pertanyaan lain yang dapat membantu tujuan studi kita. Pertanyaan pertama sederhana dan terus-terang :”Apakah kini anda benar-benar merasa bahagia atau tak bahagia?” sudikah anda menyimpulkan dalam beberapa kata tetang keadaan (atau keseimbangan) kehidupan anda kini?” Responden kemudian ditawarkan pilihan 6 kalimat yang mengesankan beberapa kombinasi dan tingkat kesedihan dan kegembiraan, mulai dari “kehidupan hanya memberikan kegembiraan dan kepuasan “hingga” kehidupan hanya memberikanku kesedihan dan kekecewaan”.



275



Hasilnya cukup jelas. Contoh pada “tes” pertama, proporsi terkecil orang yang berbahagia ditemukan dikalangan anggota kelompok yang lebih beruntung yakni kelompok manejer yang termasuk profesional bebas. Sebaliknya pada tes kedua, kelompok ini sungguh “normal”, kehidupan yang dilaporkan penuh penderitaan dan kekecewaan kurang sering dilaporkan ketimbang oleh kelompok lain. tetapi dengan mengenyampingkan kesulitan seperti itu, kita boleh menyimpulkan bahwa secara keseluruhan seperti di Inggeris, di Itali kebahagiaan umumnya jauh lebih banyak dilaporkan oleh strata masyarakat yang beruntung sedangkan kesedihan dan kehilangan harapan lebih menjadi standard dikalangan anggota kelas buruh manual dan yang tertekan. Memang kebahagiaan bukan monopoli orang kaya saja, mayoritas anggota kelas buruh tidak melaporkan dirinya sendiri sengsara. Kencendrungan umum disemua kelas mengarah ke campuran antara kebahagiaan dan penderitaan. Tetapi pola umum ekstrim yang ditemukan dimana-mana, terjelma juga di sini. Ketika kita manaiki anak tangga pekerjaan, proporsi orang melaporkan “sangat” atau “agak” bahagia, meningkat dari 29% dikalangan buruh tani dan buruh biasa ke 47% dikalangan majikan.4 Begitu pula, dititik ekstrim lain, buruh melaporkan diri mereka sendiri sebagai tak bahagia duasetengah kali sesering yang dilaporkan majikan dan manejer. Dikalangan buruh manual, rasio yang bahagia atas yang tak bahagia adalah 1:1 sedangkan dalam kelompok yang lebih beruntung, rasionya hampir 5:1. Banyak pola serupa yang ditunjukkan dalam tes kedua. Kehidupan yang banyak penderitaan dan sedikit kesenangannya dinyatakan oleh sekitar 50% buruh tani, oleh 23% manejer, 23% profesional dan oleh sekitar sepertiga majikan dan pemilik pertanian(tabel 2). Untuk



menilai



kebahagiaan



disejumlah



negara,



sayangnya



kita



harus



menggunakan pertanyaan yang sekaligus dapat digunakan sebagai satu-satunya yang terbaik untuk menaksir secara kasar perasaan yang berkaitan langsung dengan kebahagiaan yakni menanyakan tentang “kepuasan”. Istilah kebahagian mungkin agak berarti dua tetapi kita umumnya faham bahwa istilah itu berkaitan dengan keadaan emosional. “Kepuasan” jauh lebih berarti dua dan bila tak ditemukan lebih 276



lanjut, kepuasan dapat berarti yang berkaitan dengan situasi keuangan seseorang, kehidupan keluarga, kemajuan sosial atau politik atau sejumlah hal lainnya. Selanjutnya “kebahagiaan” mungkin diterjemahkan dengan agak baik dari satu bahasa kebahasa lain, tetapi “kepuasan” berubah maknanya. Lagi pula dalam studi komparatif yang ada, pertanyaan tentang kepuasan segera muncul setelah pertanyaan tentang keamanan dan ini barangkali menyebabkan orang lebih sering menjawabnya menurut kriteria kepuasan umum dalam kehidupan. Karena itu, untuk memeriksa kelayakan penggunaan pertanyaan tentang kepuasan kehidupan sebagai indek kebahagaian, (untuk Itali) aku bandingkan dua hasil pengumpulan pendapat umum berbeda: yang satu langsung menanyakan kebahagiaan (dijelaskan di atas) dan yang kedua menggunakan pertanyaan tentang kepusan hidup berasal dari studi lintasnasional yang tersedia. Tingkat struktur jawabannya sangat serupa (tabel 3). Dalam menjawab kedua pertanyaan itu, perbisnis, pemilik pertanian dan manejer yang melaporkan diri mereka sendiri merasa tak puas atau tak bahagia, hanya separoh dari sesering yang dilaporkan pekerja manual dan buruh tani; sedangkan klerek dan pekerja tangan ahli, berada ditengahnya. Hubungannya tak sempurna namun ada asosiasi yang agak dekat. Dengan menyediakan berbagai syarat yang diperlukan akan dilihat jawaban pertanyaan, “puaskah anda dengan “kemajuan” yang ada capai hingga kini?” yang ditanyakan serentak di 9 negara. Hasilnya (tabel 4) jelas kurang tajam dan kurang jelas dibandingkan dengan hasil yang didapat dengan menyatakan kepuasan atas pekerjaan.



277



Tabel 2. Neraca Kesenangan dan Penderitaan Dalam Kehidupan di Itali, Dalam Persentase Menurut Pekerjaan.@ Pekerja



Lebih menderita



Lebih senang daripada



daripada senang



menderita



Seimbang



Tak ada jawaban



Majikan



32



20



45



3



Manejer



23



23



56



-



Pemilik dan Operator Pertanian



33



20



46



1



Kerah-Putih



28



15



55



2



Tukang-ahli



36



12



51



1



Buruh



48



11



41



-



Buruh-tani



51



11



38



1



a) Doxa Bolletino, No 12 (April, 1948) b) Termasuk jawaban:”Kehidupan hanya memberiakn penderitaan dan kekecewaan. c) Termasuk:”Kehidupan hanya memberikan kesenangan dan kepuasan” d) Termasuk:”Banyak penderitaan tetapi juga banyak juga banyak kesenangan “dan”. Dikalangan buruh dan buruh tani dan pekerja, pilihan “sedikit kesenangan” tercacat dominan; dikalangan manejer, sebaliknya. Tabel 3. Perbandingan jawaban orang Itali atas pertanyaan tentang “kebahagiaan” dan kepuasan atas situasi” (%). Pekerjaan



“Tak puas dengan Pekerjaan



“Tak bahagia” saat



situasi kini”



ini



Pemilik bisnis



31



Majikan



10



Manejer gajian



35



Manejer



10



Pemilik pertanian



32



Pemilik petanian



10



Tukang-ahli



43



Tukang-ahli



16



Klerek



55



Pegawai



14



Pekerja manual



64



Buruh



26



Buruh tani



63



Buruh tani



20



278



a) Dari W.Buchanan dan H.Cantril, How Nations See Each Other (Urbana: Univ. of Illinois Prees,1953):176. Pertanyaan nya sama dengan dilaporkan ditabel 4 untuk 9 negara termasuk Itali. b) ari Doxa Bolletino, No.12 (April, 1948). Tabel 4. Persentase ketakpuasan atas “kemajuan” yang Mereka Capai Menurut Negara dan Pekerja. Negara



Pekerjaan Pemilik Manejer Profesional



Kerah



Tukang



putih



ahli



Buruh



Buruh tani



Australia



11



18



15



22



31



17



17



Inggeris



41



21



14



36



40



36



26



Perancis



38



29



55



56



56



67



63



Jerman



46



39



50



35



37



48



52



Itali



31



35



46



55



43



64



63



Mexsico



58



57



50



55



67



65



75



Belanda



26



15



22



23



37



43



41



Norwegia



7



4



2



11



12



11



22



.As



20



22



26



24



28



31



39



a) Diambil dari data dalam Apendik W. Buchanan and H. Cantril, How Nations See Each Other (urbana, III: Univ. of Illinois Press, 1953:125-216). Ada sejumlah ketakteraturan dan kemanduan atri jawaban responden. Contoh, Jerman menghasilkan pola yang tak seirama dengan pola yang dikenal, tetapi membentuk kurva U dan Australia menghasilkan kurva U terbalik. Ini memberikan tentang apa yang ditunjukkan tabel secara keseluruhan, yakni bahwa pertanyaannya mendua-arti (ambiguous) dan responden menjawab menurut kriteria berbeda. Namun masih nampak dasar pola lintas-nasionalnya. Posisi pekerjaan non-manual yang lebih rendah, sekurang-kurangnya bertahan ditingkat 1 (proporsi ketakpuasan terendah) 2 atau 3 dalam 7 dari 9 negara; sedangkan buruh tani tak di negara manapun yang bertahan di posisi tinggi. Pekerjaan dari awal dinilai dan didaftarkan menurut taksiran 279



kasar posisinya dalam kekuasaan dan hadiah. Karena itu menjadi menarik bahwa bila dihitung urutan tingkatan tiap pekerjaan, akan ditemukan kemajuan teratur yang mengikuti urutan semula kecuali untuk pemilik, pekerjaan yang berskor 27 sangat dipengaruhi oleh penyimpangan ekstri jawabannya di Inggeris, terdapat kenaikan terus-menerus dari manejer (20), profesional (24), kerah-putih (33), tukang ahli dan pekerja-trampil (45) dan buruh (50) buruh-tani(53). Pola lintas-nasional yang sama juga muncul bila status sosio-ekonomi atau pendidikan digunakan sebagai varibel independen, akan memperkuat keyakinan kita bahwa strutur yang melandasinya adalah nyata. Fakta bahwa hubungannya bertahan makin kuat ketika status ekonomi atau pekerjaan (ketimbang pendidikan) yang menjadi variabel independen, memberi kesan (seperti diduga semula) bahwa jawaban responden lebih kuat mencerminkan kepuasan ekonomi ketimbang kesejahteraan rohaniah atau spiriktual. Apapun kelemahannya selaku pemandu dalam menemukan pola lintas-nasional, namun data ini juga menunjukkan manfaat prosedur kita untuk mengenali kelompok dengan masalah khusus atau jawaban khusus atas masalah lebih umum. Misalnya sangat mencolok, di Inggeris pemilik merupakan kelompok yang anggotanya sangat sering tak puas dengan cara mereka dalam mencapai “kemajuan”. Tetapi ini terjadi tahun 1948 ketika mereka terancam oleh tingkat tertinggi yang pernah dicapi oleh gelombang sentimen nasionalisasi di Inggeris dan dengan demikian, hasilnya tak mengherankan. Kesulitan yang ditimbulkan oleh pertanyaan tentang “kepusan atas kemajuan yang dicapai” itu dapat dihindarkan bila responden yang ditanyai mengenyampingkan kondisi keuangannya. Kita seharusnya memeriksa hasil studi International Research Associate dimana susunan kata dari pertanyaan dan terdapatnya dalam kuesioner agak mengurangi peran rujukan ekonominya. Pertanyaannya berbunyi : “apakah anda merasa tak puas dengan kemajuan yang anda capai selama ini?” sayangnya lagi-lagi pertanyaan ini agaknya akan difahami banyak orang, terutama bermakna mencapai “kemajuan” ekonomi atau material. Asumsi ini sangat diperkuat oleh fakta bahwa jawaban-jawabanya lebih tajam bila status sosio-ekonomi (ketimbang pekerjaan) 280



yang digunakan (tabel 5). Dengan menggunakan status sosioekonomi ini untuk menggolongkan responden, kita akan menemukan, tangga struktur ada dan di dalam 8 dari 11 kasus yang sangat mencolok di dalam 4 kasus. Memang tak ada contoh yang menunjukkan bahwa hasilnya sama sekali adalah kebalikan dari yang kita sangka, tetapi di 3 negara, kelompok yang digolongkan sebagai “kelompok menengah” mempunyai derajat kepuasan terendah. Dengan menggunakan pekerjaan sebagai variabel independen, kita lagi-lagi mempunyai 4 kasus kuat dan kasus kelima yang mencapai standard tetapi kini 6 kasus gagal memenuhi syarat. Dalam 5 kasus ini kesulitan muncul lagi dari fakta bahwa proporsi pekerja kerah-putih tingkat menengah yang menyatakan tak puas lebih tinggi daripada proporsi kalangan buruh. Bila dibandingkan tenaga eksekutif profesinal dan kelompok buruh saja polanya jelas dalam kesebelas kasus.5 Singkatnya, tak ada ukuran perasaan bahagia atau kesejahteraan spritual (psikhis) yang “sangat murni”(berlawanan dengan kebahagian material) yang ada yang dapat digunakan untuk menilai kebahagiaan lintas-nasional. Tetapi dengan mengumpulkan bukti yang tersedia, kita dapat membuat hipotesis selain dari bahwa perasaan bahagai atau kesejahteraan psikhis terdistibusi secara tak merata hampir disemua negara. Orang yang secara ekonomi agak kaya, orang yang berpendidikan lebih baik, atau yang pekerjaannya memerlukan ketrampilan dan latihan lebih banyak, lebih sering melaporkan diri mereka sendiri bahagia, bergembira, tertawa, bebas dari penderitaan, puas dengan kemajuan hidup. Meski dalam beberapa kasus polanya lemah atau mendua arti namun tak ada sebuah kasuspun yang menunjukan kebalikan dari pola ini dalam arti sebuah kasus dimana ukuran kebahagian berhubungan terbalik dengan ukuran status dalam studi yang melibatkan 15 negara berbeda. Sekurang-kurangnya 6 diantaranya distudi pada dua kesempatan berbeda dengan menggunakan pertanyaan yang agak berbeda. Maka ada alasan yang bagus untuk menentang citra tentang adanya “orang miskin yang bahagia yang riang tak ada yang difikirkannya sama sekali”. Ketika seorang yang marah menulis kepadaku sesudah ia membaca koran



281



tentang sebuah pidato, atau menulis dikoran tentang hubungan tertawa dengan status sosial: “Menurut anda apa yang harus ditertawakan orang miskin itu?”. Tabel 5. Persentase Kepuasan Atas Kemajuan Dalam Kehidupan Menurut Negara dan Status.@ Negara



Pekerjaan Kelompok Sosioekonomi Eksekutif



Kerah



Penerima



Atas



Menengah



Bawah



Profesinal



Putih



Upah



1.Australi



70



64



66



73



70



65



2.Austria



61



60



47



64



59



60



3.Belgia



37



36



21



43



41



34



4.Brazil



74



60



63



81



71



54



5.Inggeris



79



66



70



73



68



71



6.Denmar



77



78



68



81



75



64



7.Jerman



73



71



68



73



72



65



8.Jepang



52



42



33



50



40



13



9.Belanda



61



57



59



67



58



66



10.Norwegia



89



79



70



87



71



60



11.Swedia



71



58



67



80



67



60



a). Tabulasi dari studi yang dilakukan oleh Internasional Research Associates. a) Hanya di Rio de Janairo dan Sao Paulo. Masuk akalnya bahasan ini mungkin hanya dipermukaan saja, namun jelas bukan akhir tetapi hanya awal studi. Bila orang yang lebih baik tempatnya dan lebih beruntung, lebih sering melaporkan mereka adalah bahagia, dapatkah kita tes validitas laporan ini dengan ukuran lain seperti angka bunuh-diri, pembunuhan dan penyakit mental?6) Bila proporsi orang yang merasa puas meningkat bersama dengan pendapatan akankah buruh yang bergaji lebih baik disuatu negara lebih bahagia dari pada orang yang bergaji kurang baik pada tingkat pekerjaan yang sama? Apakah semua orang yang meningkat kebahagiaannya ataukah memerlukan keuntungan yang 282



timpang untuk menimbulkan kebahagiaan seseorang? Siapakah yang lebih berbahagia orang berpendidikan baik tetapi bergaji kecil atau kaya tetapi berpendidikan rendah? Pertanyaan seperti itu hanya dapat dijawab selanjutnya melalui tabulasi-silang kartu IBM asli yang diharapkan akan dapat dikerjakan dimasa datang7). Diharapkan akan ada studi lintas nasional baru yang jelas memusatkan perhatian pada masalah ini.



Catatan Kaki 1) Hadley W. Cantril, ed., Public Opinion 1935-1946 (Princeton, N.J. : Princeton Univ. Press, 1951 : 281). 2) AGP, Nos. 569-78 (Febr.-March, 1949). Negara lain adalah Belanda (43%), AS (43%) dan Inggeris (39%). 3) Audien ini umumnya terdiri dari mahasiswa fakultas dilengkapi dengan orang dalam komunitas kolej atau universitas yang menghadiri kuliah yang “terbuka untuk publik” yang dapat digolongkan sebagai kelas menengah. 4) Tak banyak yang dipilih antara golongan terendah yang terkelompok sekitar tingkat 30% {cf. Doxa, No. 12 (April, 1948)}. 5) Kasus ke 12, Perancis adalah contoh kuat dari hubungan yang diduga. Karena klasifikasi status sosioekonomi bukan tak tersedia untuk Perancis, amak Perancis dikeluarkan dari Tabel 5 untuk memungkinkan kedua bagian dapat dibandingkan. 6) Angka bunuh diri meningkat bersamaan dengan kenaikan status sosioekonomi tetapi frekuensi absolutnya sungguh rendah diseluruh kelompok. Pembunuhan beberapa kali lebih banyak dari pada bunuh-diri dan penyakit mental yang lebih besar frekuensinya dikalangan kelas bawah. 7) The Roper Center For Public Opinion Research di Kolej William merencanakan untuk mengumpulkan kartu IBM dari studi yang dilakukan sejak PD II di 20 negara. Bila tujuan ini tercapai, akan terbuka kesempatan luar biasa untuk riset komperatif.



283



Sistem Nilai Kelas Berbeda : Kontribusi Psikologi-Sosial Terhadap Analisis Stratifikasi Oleh : Herbert Hyman Pendahuluan Keberadaan sertifikasi masyarakat Amerika sudah terkenal. Fakta akibat wajarnya, bahwa individu yang berasal dari strata bawah tak mungkin memanjat anak tangga ekonomi jauh ke atas, juga sudah terkenal. Namun analisis tambahan yang diperlukan adalah yang menjawab pertanyaan faktor apa yang menyebabkan kekurangan mobilitas ini. Banyak diantara faktor bersifat obyektif telah distudi. Peluang dalam masyarakat adalah berbeda ; pendidikan lebih tinggi atau pendidikan khusus yang dapat menyediakan akses ke posisi lebih tinggi, harus dibeli dengan uang. Kelas bawah pun kekurangan persyaratan uang ini. Faktor obyektif seperti itu membantu mempertahankan struktur yang ada. Namun ada faktor lain bersifat psikologis lebih tak kentara yang masih belum dijelaskan dan mungkin juga berperan mengekalkan tatanan yang ada. Asumsiku adalah bahwa variabel-antara yang mengantarai hubungan antara posisi rendah dan kurangnya mobilitas ke atas itu adalah sistem nilai dan kepercayaan dalam kehidupan kelas bawah, yang selanjutnya mengurangi tindakan sengaja yang akan dapat memperbaiki posisi rendah mereka. Menurutku, komponen sistem nilai tradisional ini meliputi kurangnya penekanan pada : (1) upaya mencapai sukses tinggi; (2) upaya meningkatkan kesadaran tentang kurangnya peluang untuk mencapai sukses; dan (3) upaya untuk berprestasi dalam mengejar tujuan yang selanjutnya akan menjadi penolong untuk mencapai sukses. Secara sederhana dapat dikatakan, individu kelas bawah tak ingin mencapai sukses sebanyak-banyaknya, mengetahui ia tak mampu mencapainya sekalipun ia ingin mencapainya dan tak mau orang membantunya mencapai sukses. Memang sistem nilai individual hanyalah salah satu diantara berbagai faktor yang menentukan posisinya dalam hirarkhi sosial. Sebagian faktor ini mungkin bersifat eksternal dan 284



berubah-ubah, berada di luar kontrol individu bermotivasi tinggi sekalipun. Tetapi dalam batas kebebasan yang tersedia bagi individu, sistem nilai ini dapat menciptakan rintangan yang mengganggu untuk meningkatkan posisi. Sistem nilai ini timbul dari penilaian realitas dan selanjutnya melunakkan pengaruh status rendah individu. Sayanganya hingga kini kita sedikit sekali mempunyai informasi mengenai asal-usul kejadiannya. Paper ini bertujuan membuktikan kebenaran keberdaan nilai ini sebagai faktor kontemporer yang perlu diperhatikan dalam membahas masalah stratifikasi dan mobilitas. Maksud analisis demikian adalah untuk keluar dari masalah khusus dalam memahami kekurangan mobilitas ke atas. Studi hubungan psikologis struktur kelas obyektif itu sendiri sebenarnya menjadi sasaran perhatian psikolog-sosial. Mereka terus mempelajari hubungannya dengan masalah teoritis lebih besar tentang pembentukan sikap. Studi tentang nilai khusus bidang ekonomi banyak memberi sumbangan terhadap analisis psikolog-sosial tentang penyesuaian diri dan perilaku menyimpang. Demikianlah, dalam paper Merton yang berpengaruh itu, Social Structure and Anomie, perilaku menyimpang dianalisis sebagai fenomenon yang terpusat dalam strata tertentu dan menimbulkan ketegangan yang menyusahkan pada lapisan bawah dalam struktur sosial1). Contoh, satu tipe perilaku menyimpang dihipotesiskan sebagai akibat kekecewaan (frustration) individu kelas bawah yang berhasrat mencapai tujuan kultural kesuksesan ekonomi karena akses ke alat untuk mencapai sukses itu tak tersedia padanya. “Sindrom cita-cita tinggi dan keterbatasan peluang nyata ini … justru menjadi pola yang mengundang perilaku menyimpang” (148). Jelas analisis Merton mengasumsikan bahwa tujuan kultural kesuksesan itu sebenarnya dihayati oleh individu kelas bawah. Agaknya individu kelas bawah juga perlu mengakui bahwa alat untuk mencapai sukses itu tidak tersedia untuknya. Di waktu tertentu jelas benar bahwa individu yang gagal mencapai tujuannya karena akses ke alat untuk mencapainya tak terbuka untuknya akan mengalami kejadian seperti kekcewan apakah ia menyadari atau tidak bahwa alat untuk mencapai tujuan berada di luar genggamannya. Tetapi juga benar dalam perspektif waktu lebih luas 285



bahwa bila ia terus mengira bahwa alat untuk mencapai sukses dimasa depan tersedia untuknya, kekecewaannya akan lebih ringan dan perilaku menyimpang mungkin takkan terjadi2). Sebaliknya bila individu menganggap peluangnya untuk mencapai tujuannya tak berarti, bila dalam kenyataannya peluangnya adalah bagus, secara psikologis akan menghasilkan ketegangan menuju menyimpang. Jelas, yang diperlukan adalah bukti empiris tentang derajat individu dalam strata berlainan menilai kultur yang menentukan tujuan sukses, meyakini bahwa peluang tersedia untuk mereka dan memegang nilai lain yang dapat membantu atau merintangi mereka dalam dan memegang nilai lain yang dapat membantu atau merintangi mereka dalam upaya bergerak menuju tujuan mereka. Paper ini bertujuan melengkapi analisis teoritis Merton. Meski banyak literatur tentang keyakinan dan sikap kelas ekonomi berlainan, namun bidang khusus yang menjadi sasaran perhatian kita ini umumnya telah diabaikan. Tulisan awal Kornhauser erat kaitannya dengan masalah kita dan kita akan membahas temuannya dengan sangat rinci. Meski Centers memberikan perhatian terhadap nilai demikian, namun ia jauh lebih banyak pada masalah ideologi politikekonomi individu dalam posisi berbeda dalam struktur kelas. Studi ini hanya menyediakan fakta kuantitatif berdasar sampel representatif dari populasi sangat besar. Studi Knupfer, meski memusatkan perhatian pada masalah dan dibimbing oleh hipotesis eksplisit yang menyatakan adanya hambatan psikologis yang memperkuat ekonomi” pada dasarnya menjadi ciri khas individu kelas bawah yang dilukiskan dalam istilah kualitatif perbedaan sikap, perilaku dan nilai. Begitu pula Davis Gardner dan Gardner memberikan bukti tentang cara struktur kelas dialami individu dalam posisi obyektif berbeda tetapi laporannya bersifat kualitatif dan kesusastraan. Sejumlah studi kuantitatif adalah relevan tetapi cakupannya terbatas pada sampel khusus. Studi Chinoy secara langsung berkaitan dengan masalah kita tetapi dibatasi pada kelompok homogen 62 orang buruh industri di sebuah pabrik mobil. Begitupula Hollingshead menyediakan informasi tentang satu aspek masalah tujuan bekerja pemuda dalam kelas berbeda tetapi studi itu hanya dibatasi pada sebuah komunitas 286



beranggota sekitar 6.000 orang di Midle-West. Form menyajikan data tentang citacita pendidikan dan pekerjaan untuk kelompok berbeda kerah-putih dan buruh manual yang hidup dalam komunitas relatif homogen di Greenbelt, Maryland. Galler juga menyajikan informasi tentang tujuan bekerja anak-anak di dua kelas berbeda untuk sampel terbatas di Chicago3). Bermacam-macam kesesuaian psikologis posisi kelas obyektif pun telah diteliti. Idiologi politik kelas berbeda adalah bidang klasik yang diriset oleh ilmuan sosial. Nilai estetika seperti selera dan preferensi telah dipetakan oleh spesialis peneliti komunikasi; sikap atas pengasuhan anak telah distudi oleh Allison Davis dan Erickson4). Dalam mencari informasi tambahan dibidang nilai, kita akan membantu diri kita sendiri dari kumpulan temuan survei pendapat umum dan dengan menggunakan prosedur analisis data sekunder. Keyakinan kita adalah bahwa survei pendapat umum sangat kaya informasi tentang berbagai masalah ilmu sosial, informasi seperti itu sering didapat sebagai hasil sampingan secara kebetulan dari peneliti terus-menerus tentang ciri-ciri publik yang pengumpulan pendapat mereka telah dilakukan sejak 15 tahun lalu. Meski penelitian itu sering menerangkan masalah terapan tentang ciri-ciri sementara dan tak berarti, dari sejumlah data yang tersedia, banyak yang dapat digali dengan



menganalisis-ulang



berkaitan



dengan



masalah



kepentingan



teoritis



fundamental. Analisis ini akan dibatasi untuk AS tetapi perlu diperhatikan bahwa survei yang sama isinya telah dilakukan di negara lain seperti di Jerman dan Inggeris. Akhirnya analisis hasil studi ini memungkinkan kita memeriksa perbedaan psikologis antara berbagai kelas sebagai fungsi lingkungan masyarakat lebih luas. Sebagian besar studi seperti itu juga mempunyai keuntungan biasa karena dilakukan



berdasarkan



sampel



ilmiah



populasi



nasional



dan



karena



itu



memungkinkan membuat kesimpulan lebih umum dan lebih tepat ketimbang studi kasus yang biasa dilakukan dalam riset akademis. Sebaliknya, analisis Erickson tentang kelas dan praktek pengasuhan anak terhadap 100 keluarga di kawasan



287



Chicago dan studi Havighurst dan Davis tentang perbedaan dalam pengasuhan anak terhadap 100 keluarga kulti-putih dan 100 keluarga Negro yang hidup di Chicago5). Meski bersifat perintisan, studi seperti itu terbatas jumlahnya karena kekurangan sumber. Aku menganjurkan, dengan sumber minimal pun, akademisi dapat mewarisi sejumlah besar data yang semula dikumpulkan untuk tujuan lain dan temuannya mencapai tingkat generalisasi lebih besar. Tentu ada keterbatasan. Bidang studi yang menarik perhatian kita mungkin hanya disentuh sambil-lalu dalam survei semula dan kemungkinan hanya sedikit yang dianalsis. Terutama bila laporan yang sudah diterbitkan yang harus digunakan ketimbang data orisinil, analisis ulangnya menjadi sangat terbatas. Tetapi apa yang kita korbankan dalam hal ini diimbangi oleh efisiensi prosedur dan keuntungan besar dalam membuat generalisasi. Seksi berikut mencoba menunjukkan bahwa analisis data sekunder adalah berguna dan implisit dalam berbagai survei adalah data yang signifikansi teoritisnya sangat besar6). Prestasi dalam tiap bidang tergantung pada dua faktor : memiliki kemampuan yang diperlukan dan motivasi untuk mencapai tujuan. Kemampuan tentu saja dibatasi oleh rintangan yang dipaksakan secara sosial untuk mendapatkan pendidikan secara sosial dan ketiadaan saluran yang memberitahukan tipe posisi. Kemampuan juga dapat dihambat oleh kurangnya perjuangan individual untuk selanjutnya akan membantu mencapai kemajuan ekonomi. Karena itu, bila kita memahami bahwa baik motivasi untuk maju ke posisi lebih tinggi maupun untuk mendapatkan pendidikan yang akan membantu dalam mencapai posisi itu berkurang pada individu kelas bawah, kita akan dapat menyusun hipotesis. Formula yang sama dengan yang digunakan terhadap prestasi, dengan sedikit modifikasi, akan relevan dengan teori Merton. Di sini kita memerlukan bukti tentang penerimaan nilai sukses dalam mencapai tujuan dan tentang keyakinan tentang dapat dicapainya tujuan.



288



Tempat Nilai Dalam Pendidikan Formal Bagian ideologi kehidupan orang Amerika adalah bahwa posisi penting sama sekali bukan diwarisi berdasarkan kekayaan orangtua seseorang, melainkan dapat dicapai. Namun prestasi demikian memerlukan pendidikan formal. Orang misalnya tak dapat menjadi dokter atau insinyur atau pengacara tanpa pendidikan sebelumnya. Karena itu, sejauh kelas bawah menempatkan nilai kurang pada pendidikan lebih tinggi, ini akan menjadi aspek sistem nilai lebih luas yang dapat mengganggu terhadap kemajuan mereka. Bahwa hal demikian benar-benar terjadi, terbukti dari data yang dikumpulkan oleh the National Opinion Research Center dalam survei berskala nasional tahun 19477). Dari sampel total sekitar 2.500 orang dewasa dan 500 pemuda, hampir separoh menunjukkan bahwa mereka menganggap “pendidikan kolej” sebagai jawaban mereka terhadap pertanyaan : “Menurut anda hingga dimana tingkat pendidikan yang diperlukan pemuda kini untuk dapat mencapai kemajuan di dunia?” Bahwa nilai ini tak terbagi secara merata dikalangan kelas bawah, jelas terlihat dari data yang disajikan di Tebel 1 dimana nilai terdistribusi menurut berbagai ukuran stratifikasi. Jelas bahwa apapun ukuran stratifikasi yang digunakan, anggota kelas bawah sedikit sekali yang menekankan pada pendidikan kolej8). Sejauh pendidikan kolej dianggap sebagai peluang untuk maju, nilai ini akan berperan mempertahankan sistem yang ada. Data ini menekankan perbedaan keyakinan atas nilai pendidikan lebih tinggi. Temuan berkaitan didapat dari survei yang dilakukan Roper, 1945 dimana pertanyaan lebih langsung ditujukan kepada orang dewasa tentang hasrat mereka untuk menyekolahkan anak mereka di kolej. Pertanyaan rinci dan datanya disajikan di Tabel 2.



289



Tabel 1. Perbedaan Penekanan Dikalangan Kelas Ekonomi Terhadap Pendidikan Kolej Sebagai Cara Penting Mencapai Kemajuan. Penilaian Pewawancara Terhadap



Persentase yang Merekomendasikan



tingkat Ekonomi Responden



Pendidikan Kolej



N



Kaya dan makmur



68



512



Kelas menengah



52



1.531



Kelas bawah



39



856



Profesional



74



301



Bisnis & pemilik



62



421



Kerah putih



65



457



Terampil



53



392



Semi terampil



49



416



Pkj. RT & Pelayan Pribadi



42



194



Petani



47



417



Buruh non-tani



35



132



Tamat kolej



72



564



Tamat SLA



55



1.411



Tamat SD



36



926



Di atas $ 60



70



327



$ 40 - $ 60



64



666



$ 20 - $ 50



54



990



Di bawah $ 20



37



403



Pekerjaan



Pendidikan tertinggi yang dicapai



Sewa rumah / bln. Bagi penyewa



a) Jumlah tak ditambahkan ke sampel total karena responden petani dan klp. lain tertentu dikeluarkan dari pertanyaan tentang sewa rumah.



290



Tabel 2. Preferensif Pendidikan Kolej Untuk Anak Dari Anggota Kelas Berbeda. “Seusai perang, bila anda mempunyai anak (LK / WN) tamat SLA, apakah anda lebih suka ia masuk kolej ataukah lebih suka ia mengerjakan sesuatu yang lain ataukah anda tak mengurus salah satu atau keduanya?” Persentase yang lebih Menyukai Kolej.@



@



Makmur



91



Menengah atas



91



Menengah bawah



83



Miskin



68



. Diambil dari H. Cantril & M. Struuk, Public Opinion (Princeton : NJ : Princ. Univ. Press, 1935 – 1946 : 186). Dilihat dari sudut pelestarian sistem stratifikasi yang ada, nilai ini sebagai ukuran



dikalangan orang dewasa hanya akan berpengaruh sejauh dikomunikasikan kepada anak9). Sebagai sumbangan terhadap laporan lebih seksama tentang akibat dari nilai orang dewasa ini, di Tabel 3 disajikan datum yang sama untuk kelompok yang berbeda umur dan jenis kelaminnya. Tabel 3. Penekanan Perlunya Pendidikan Kolej Menurut Umur dan Jenis Kelamin Anggota Kelas. Persentase yang merekomendasikan pendidikan kolej



N



Kaya & makmur@



58



147



Kelas menengah



47



312



Kelas bawah



29



202



Lelaki di atas 40 tahun



29%b



Perbedaan antara kayu & miskin Wanita di atas 40 tahun Kaya & makmur



73



139



Kelas menengah



63



330



Kelas bawah



41



189



291



Perbedaan antara yang kaya &



+ 32 %



miskin Lelaki antara 21-39 Kaya & makmur



56



66



Kelas menengah



54



334



Kelas bawah



35



143



Perbedaan antara yang kaya &



+ 21%



miskin Wanita antara 21-39 tahun Kaya dan makmur



74



78



Kelas menengah



64



327



Kelas bawah



43



187



Perbedaan antara yang kaya &



+ 36%



miskin a). Tanda + digunakan untuk menunjukkan fakta bahwa perbedaannya adalah menurut arah makin besarnya dukungan nilai oleh kelas atas. b). Dalam survei nasional terhadap siswa SLA yang dilakukan E. Ropere, 1942, seluruh siswa ditanyai : “Apa yang akan anda kerjakan bila sudah tamat?” Melanjutkan pendidikan adalah pilihan pertama, tiap kelompok pekerjaan, termasuk awal keluarga buruh dan petani. Demikianlah, bila orang berhipotesis bahwa ibu-ibu Amerika lebih penting perannya dalam menginterogasi anak ketimbang bapak, dan bahwa nilai ini menjadi penting dikalangan kelurga yang mempunyai anak usia masuk kolej, orang dapat menentukan dari Tabel 3 apakah berkurangnya penekanan pada pendidikan kolej ini akan menjadi perkara paling penting dalam proses perkembangan masyarakat. Sehubungan dengan analisis ini, orang dapat melihat apakah temuan utama tentang perbedaan sistem nilai menurut kelas ini akan terus ditunjukkan atau tidak, bahkan ketika faktor umur dan jenis kelamin dikontrol serentak. Jelas, bahkan ketika faktor komposisi menurut umur dan jenis kelamin dikontrol serentak pun, perbedaan penekanan terhadap pendidikan tetap bertahan. Ada kesan, 292



makin lebih penting peran wanita dalam mengasuh anak ketimbang lelaki, makin besar kemungkinan nilai mereka berubah ketika posisi kelas mereka berubah. Meski wanita nampaknya lebih menyadari posisi kelas mereka, dapat juga dilihat bahwa mereka lebih menekankan nilai pendidikan ketimbang rekan lelaki mereka untuk tiap kelompok umur dan kelas di dalam Tabel, dalam arti wanita pada umumnya meletakkan tekanan lebih besar pada pendidikan formal. Fenomena perbedaan jenis kelamin demikian, per-se juga dapat diamati dalam temuan lain yang akan disajikan berikut ini. Sambil lalu, dari data di Tabel 1 dan 2 di atas terlihat bahwa kelompok kelas menengah lebih dekat ke sistem nilai kelompok makmur ketimbang berada di tengah antara kelompok atas dan bawah. Meski kita tak dapat menunjukkan dengan jelas perbedaan utama struktur keluarga kelas yang berbeda sehubungan dengan distribusi nilai ini, namun dari data tambahan jelas bahwa anak-anak dari kelas berbeda menunjukkan sistem nilai pararel dengan orangtua mereka10). Dalam survei ini sampel pemuda berumur antara 14 dan 20 tahun distudi disamping sampel tetap penduduk dewasa. Tabel 4 menyajikan distribusi nilai pemuda menurut kelas berbeda ini. Data yang disajikan terpisah untuk lelaki dan wanita.



293



Tabel 4. Perbedaan Penekanan Terhadap Perlunya Pendidikan Kolej Dikalangan Pemuda Dari Kelas Berbeda. Persentase yang Merekomendasi Pendidikan



N



Kolej Lelaki antara 14 – 20 Tahun Dari kelg. Kaya & Makmur



74



39



Kelas menengah



63



100



Kelas bawah



42



62



Perbedaan antara yang kaya & kelas bawah



+ 32 %



Wanita antara 14 – 20 Tahun Dari kelg. Kaya & makmur



85



45



Kelas menengah



71



128



Kelas bawah



49



73



Perbedaan antara yang kaya & kelas bawah



+ 36 5



Di samping menunjukkan bertahannya perbedaan ketika jenis kelamin dikontrol, rincian ini sekali lagi memungkinkan kita meneliti apakah perbedaan nilai menurut kelas itu sangat menonjol dalam tiap posisi dalam struktur sosial dimana signifikasinya terbesar. Sejauh lelaki muda akan menjadi partisipan utama dalam kehidupan ekonomi masa datang, perbedaan antara kelompok atas dan bawah akan menimbulkan akibat terbesar bila jumlah lelaki lebih besar. Perlua diingat bahwa pemuda kedua jenis kelamin dan semua kelas, lebih dekat nilai mereka ke nilai wanita dewasa ketimbang ke nilai lelaki dewasa. Ini akan terlihat dengan membandingkan Tabel 3 dan 4 dan ini mengesankan lebih besarnya pengaruh ibu dalam mensosialisasikan nilai.



294



Motivasi Untuk Maju Menurut Struktur Ekonomi Di atas telah dicatat, bahwa prestasi dalam bidang apapun adalah fungsi motivasi. Memang motivasi hanyalah salah satu faktor yang menuntun ke kesuksesan. Faktor lain adalah kemampuan untuk berhasil yang tergantung pada tingkat kompetensi atau pendidikan atau mengatasi rintangan bagi orang yang berada pada posisi rendah. Bahkan dengan motivasi terkuat sekalipun, orang mungkin masih belum mampu mencapai kemajuan bila faktor lain mengurangi kemampuannya untuk maju. Berbagai data mengesankan bahwa individu kelas bawah mempertahankan nilai yang pada dasarnya mengurangi perjuangannya dalam mencapai tujuan yang dapat menaikkannya dalam struktur kelas. Dalam studi yang sama dimana nilai yang berkaitan dengan pendidikan tinggi diketahui dengan pasti, responden ditanyai, jawabannya diharapkan memberikan bukti tentang sesuatu yang diinginkannya dalam memilih pekerjaan. Temuannya menunjukkan, individu kelas bawah menekankan faktor yang menuntunkan mereka memperjuangkan karir yang kurang tinggi dalam struktur ekonomi. Sampel ditanyai, “Apakah hal terpenting yang perlu dipertimbangkan pemuda ketika ia akan memilih pekerjaan?” Jawabannya terbagi dua kelompok : 49% sampel menjawab menurut kecocokan pola karir dengan memuat, kepribadian dan kualifikasi individu dan 32% menjawab langsung menurut pertimbangan ekonomi seperti keamanan, upah atau keuntungan ekonomi lainnya, tetapnya pekerjaan dan sebagainya. Dapat ditunjukkan dengan jelas bahwa kelas bawah menekankan keperluan yang dirasakan dan kelas atas menekankan pada aspek pekerjaan yang lebih bersifat pribadi11). Perbedaan apa yang dicari dalam karir ini menyebabkan individu kelas bawah menekuni pekerjaan yang kecil kemungkinannya akan meningkatkan posisi mereka. Keinginan itu dapat dicapai dalam “pekerjaan yang bagus” tetapi tidak dalam posisi seperti pekerjaan manejerial atau profesional. Karir sebagai manejer atau profesional mempunyai unsur risiko lebih besar dan adalah pekerjaan yang tak berkaitan dengan keinginan



295



mendapatkan stabilitas, keamanan dan keuntungan ekonomi segera tetapi tak berkaitan dengan tujuan yang sesuai dengan kepentingan individual. Diakui, ini hanyalah kesimpulan sementara tetapi dari hubungan pertanyaan dengan jawaban yang dikemukakan di atas, segera menjadi jelas bahwa tafsiran orientasi jawaban di atas masing-masing, membenarkan kesimpulan itu. Data untuk orang dewasa menurut kelas berbeda yang dipisah menurut umur dan jenis kelamin, disajikan di Tabel 5.



296



Tabel 5. Keinginan Dalam Memilih Pekerjaan yang Dihubungkan dengan Posisi Kelas.



297



Faktor yang disebutkan



Rasio A



N



Kecocokan dengan



Keuntungan



terhadap



seseorang (A)



ekonomi (B)



B



Kaya atau makmur



72



17



4, 2



66



Kelas menengah



55



20



2, 7



334



Kelaas bawah



37



32



1-, 2



143



Lelaki antara 21 - 39



Perbedaan antara kelas atas &



+ 35 % - 15 %



bawah Wanita antara 21 - 39 Kaya atau makmur



72



7



10, 0



78



Kelas menengah



53



24



2, 2



327



Kelas bawah



37



30



1, 2



187



Perbedaan kelas atas & bawah



+ 35 % - 23 %



Lelaki di atas 40 Kaya atau makmur



58



22



2, 7



147



Kelas menengah



49



21



2, 3



312



Kelas bawah



32



31



1, 0



202



Perbedaan antara kelas atas &



+ 26% - 9%



bawah Wanita di atas 40 Kaya atau makmur



51



14



4, 3



137



Kelas menengah



48



19



2, 5



330



Kelas bawah



32



33



1, 0



189



Perbedaan antara kelas atas &



+ 29 % - 19%



bawah Terlihat bahwa pengaruh posisi kelas terhadap keinginan yang disebutkan, menurun menurut umur. Ini kelihatannya paradok dalam arti pemuda miskin 298



dibayangkan masih mempunyai ilusi sedangkan individu lebih tua dari lapisan miskin sudah lebih lama berhadapan dengan realitas dan ilusi apapun yang ia punyai, mungkin sudah lenyap. Karena itu dapat dibayangkan, perbedaan kelas dikalangan orang lebih tua, justru lebih besar. Tetapi yang menjadi masalah adalah bahwa individu dari semua tingkatan umur tanpa menghiraukan kelasnya, memberikan perhatian lebih besar terhadap faktor seperti stabilitas dan keamanan dan karena itu perbedaannya yang semula cukup berkurang pula. Temuan serupa ditemukan pula pada sampel pemuda. Datanya disajikan di Tabel 612). Tabel 6. Keinginan Dalam Memilih Pekerjaan Dikalangan Pemuda Menurut Kelas. % Faktor yang disebut



Rasio A : B



N



Kecocokan dengan



Keuntungan



pribadi (A)



ekonomi (B)



Kaya atau makmur



61



15



4, 1



39



Kelas menengah



57



17



3, 4



100



Kelas bawah



42



29



1, 4



62



Kaya dan makmur



60



14



4, 3



45



Kelas menengah



55



19



2, 9



128



Kelas bawah



45



27



1, 7



73



Lelaki antara 14 - 20



Perbedaan antara kelas atas & bawah Wanita antara 14 - 20



Perbedaan antara kelas atas & bawah



+ 15 % - 13 %



Kita mempunyai data tentang keinginan dalam memilih pekerjaan dari survei yang dilakukan Roper. Tahun 1942 sampel nasional siswa SLA diminta untuk menyatakan preferensi mereka atas salah satu diantara 3 jenis pekerjaan : (1) pendaftarannya rendah tetapi aman; (2) gajinya bagus tetapi risiko kehilangan



299



pekerjaan 50 – 50; (3) gajinya sangat besar tetapi risikonya juga besar. Datanya disajikan di Tabel 7.



Tabel 7. Tipe Pekerjaan yang Dipilih Pemuda Menurut Kalas Berbeda@. Siswa SLA



% Yang memilih pekerjaan yang menawarkan semuanya atau tidak menawarkan kekayaan



Miskin



14



Menegah atas, makmur



29



Dari orangtua buruh



16



Dari orangtua eksekutif & profesional



31



Pemuda miskin tak dapat menerima resiko yang meyebabkan menjadi kurang miskin. Data pilihan pekerjaan orang dewasa juga disediakan oleh hasil survei Roper. Dalam menjawab pertanyaan yang sama, tahun 1947 Roper menemukan pola serupa. Demikianlah misalnya pendapatan rendah tetapi kerjaannya aman, dipilih oleh 60% buruh pabrik tetapi hanya dipilih oleh 20% tenaga profesional dan eksekutif. Tahun 1949, pertanyaan yang menyediakan situasi pilihan serupa antara pekerjaan aman dan pekerjaan berisiko tetapi menjanjikan karir dalam bisnis sendiri, menghasilkan jawaban yang sama13). Kesimpulan bahwa individu kelas bawah lebih menginginkan keuntungan ekonomi dari pada kecocokan pekerjaan, menyebabkan mereka lebih menyukai pekerjaan yang rendah posisi hirarkhinya. Kesimpulan ini didukung oleh data lain dari pertanyaan yang langsung dalam survei NORC yang sama ini.



Tabel 8. Jenis Pekerjaan yang Direkomendasikan oleh Kelas Berbeda. 300



Persentase yang Direkomendasikan Pekerjaan profesional



N



Pekerjaan manual trampil



Lelaki antara 21 – 39 Kaya & makmur



45



5



66



Kelas menengah



49



13



334



Kelas bawah



38



22



Perbedaan antara yang kaya & miskin



+ 7% - 17 %



Wanita antara 21 – 39 Kaya & makmur



51



3



78



Kelas menengah



55



7



327



Kelas bawah



44



13



187



Perbedaan antara yang kaya & miskin



+ 7 % - 14 %



Lelaki di atas 40 Kaya & makmur



49



9



147



Kelas menengah



43



20



312



Kelas bawah



27



22



202



Perbedaan antara yang kaya & miskin



+ 22% - 13 %



Wanita di atas 40 Kaya & makmur



54



3



139



Kelas menengah



49



13



330



Kelas bawah



32



15



189



Perbedaan antara yang kaya & miskin



+ 22 % - 12%



Responden ditanyai : “Andaikan pemuda terkemuka meminta nasehat anda tentang apa pekerjaan terbaik yang mesti dipilihnya. Menurut anda, apa pekerjaan yang anda sarankan kepadanya?” Sebagian data untuk kelas berbeda, disajikan di Tabel 8. Di situ terlihat bahwa kelas atas lebih besar kemungkinannya menekankan karir profesional sedangkan kelas bawah menekankan pekerjaan manual terampil. 301



Data yang sama untuk pemuda menurut kelas berbeda disajikan di Tabel 9. Tabel 9. Jenis Pekerjaan yang Direkomendasikan Pemuda Dari Kelas Berbeda. Persentase yang merekomendasikan



N



Pkj. Profesional



Pkj. Manual Terampil



Kaya atau makmur



76



5



39



Kelas menengah



52



6



100



Kelas bawah



21



27



62



Lelaki antara 14 - 20



Perbedaan antara yang kaya & miskin



+ 55% - 22 %



Wanita antara 14 – 20 Kaya atau makmur



81



4



45



Kelas menengah



64



5



128



Kelas bawah



42



18



73



Perbedaan antara yang kaya & miskin



+ 39 % - 14 %



Bahwa tujuan bekerja kelas bawah lebih terbatas dibuktikan oleh data lain dibidang aspirasi pendapatan pribadi. Dalam sejumlah survei berbeda, responden diminta menunjukkan tingkat pendapatan di masa datang yang mungkin mereka capai atau yang mereka harapkan didapat. Pertanyaannya pasti berbeda dari survei yang satu ke survei yang lain dilihat dari sudut waktu yang diperlukan dan tingkat realitas yang ditekankan. Ukuran yang didapat adalah berbagai aspirasi baik yang disesuaikan dengan harapan realistis atau harapan sembarangan dan usaha seadanya. Umumnya data ini menunjukkan pola harapan dan perjuangan lebih terbatas bagi kelas bawah15). Demikianlah, dalam survei Roper tentang pemuda 1942, diajukan pertanyaan : “menurut anda, berapa gaji yang akan anda terima seminggu, 10 tahun dari sekarang?” Rerata untuk seluruh sampel adalah $ 49, 81 tetapi anak kelas menengah dan kelas kaya memberikan angka $ 58, 94, sedangkan anak kelas bawah (miskin) memberikan angka $ 40, 26. 302



Center dan Cantril, 1946 melaporkan hasil survei dengan sampel nasional 1200 orang dewasa. Pertanyaan yang diajukan : “Berapa banyak lagi kira-kira uang yang diperlukan keluarga anda (ketimbang pendapatan kini) untuk dapat lebih bahagia atau lebih senang ketimbang keadaan kini?” Meningkat pada anak tangga ekonomi, meningkat pula kekurangan pendapatan yang diinginkan. Berbicara secara relatif, orang yang lebih kaya memerlukan dan menginginkan sedikit kenaikan pendapatan17). Tetapi dilihat dari sudut tingkat aspirasi absolut, situasinya sungguh berbeda. Orang miskin tak bercita-cita mencapai jumlah dolar yang sama dengan yang dicita-citakan orang lebih kaya. Demikianlah kenaikan absolut pendapatan yang diharapkan orang yang berpendapatan kurang dari $ 20 perminggu, rerata hanya $16, 20 sedangkan dikalangan orang yang kini berpendapatan antara $60 dan $ 1. 00, kenaikan absolut yang mereka inginkan adalah $ 41, 60. Seperti dikatakan Center dan Cantril sendiri, “Individu digolongan pndapatan terendah menginginkan tambahan jauh lebih besar dari pada pendapatan mereka kini tetapi jika dibandingkan dengan tambahan pendapatan yang diinginkan oleh golongan yang berada di atas mereka, keinginan mereka sebenarnya tergolong sederhana. Pendapatan individu kini jelas ia jadikan kerangka ; rujukan dengan rujukan itu ia menetapkan aspirasinya dan menilai keperluannya”18). Data serupa didapat dari studi terhadap sampel mahasiswa kolej lelaki yang dilakukan NORC tahun 1947. Mahasiswa ini ditanyai pendapatan mingguan yang mereka harapkan akan diterima setelah 5 tahun keluar dari kolej. Diantara mahasiswa yang ayahnya bekerja sebagai profesional atau manejer, rerata harapannya $ 119 perminggu, sedangkan mahasiswa yang ayahnya bekerja sebagai pekerja semi-terampil atau pekerja terampil, rerata harapannya adalah $ 103 per-minggu. Jadi aspirasi berbeda menurut asal kelas mahasiswa. Tetapi studi khusus ini berkaitan dengan aspek halus proses kelompok rujukan yang sangat menarik. Fakta bahwa anak dari keluarga kelas bawah memasuki kolej secara tersirat berarti bahwa mereka juga sangat menyimpang perilakunya dari pola yang berkaitan dengan perasaan kelas 303



bawah ini. Interpretasi serupa tentang anak kelas bawah yang memasuki kolej ini dibuat oleh Havighurst dan Rogers dan telah disinggung di atas. Akibatnya, orang mungkin akan mengira individu dari kelas bawah seperti itu menunjukkan pola motivasi kelas bawah tetapi dalam bentuk melemahkan. Bahwa dugaan demikian agak lemah, dikesankan oleh fakta bahwa perbedaan antara mahasiswa berlainan kelas itu baru saja kita laporkan dari hasil studi lain. Dalam studi Gould ditemukan bukti bentuk penyimpangan sistem nilai yang jauh lebih ekstrim dikalangan mahasiswa kolej yang berasal dari kelas bawah ini19). Dalam sebuah studi eksperimental, tingkat aspirasi dikalangan 81 mahasiswa kolej lelaki, dua kelompok dibandingkan ukuran ketaksesuaian skor mereka terhadap 6 tugas eksperimental yang distudi. Kelompok yang aspirasinya jauh melebihi prestasinya sebagian besar berlatarbelakang kelas bawah dan dari kelompok etnis minoritas. Tetapi fakta menarik ini juga mencerminkan kontradiksi; bahwa antara individu kelas bawah yang berfikir menurut pola fikir kelas atas dalam arti masuk kolej, perjuangan mereka untuk mencapai tujuan, justru lebih ekstrim. Dalam studi NORC terhadap mahasiswa kolej ini sebuah datum lain mengesankan melemahnya pola yang diharapkan dikalangan mahasiswa kolej kelas bawah. Kepada mahasiswa diminta memilih sala satu dari 3 jenis pekerjaan. Pertanyaan ini berkaitan erat dengan pertanyaan untuk orang dewasa yang telah dianalisis di Tabel 5. Bila jawaban ini dianalisis menurut penekanan berbeda terhadap faktor “keuntungan ekonomi” versus faktor “kecocokan dengan keuntungan pribadi” untuk kelas berlainan, maka perbedaan menurut pekerjaan ayah umumnya adalah menurut arah yang diharapkan tetapi frekuensinya jauh lebih kecil dari pada yang dilaporkan sebelumnya. Tabel 10 menjelaskannya. Tabel 10. Keinginan Dalam Memilih Pekerjaan Dikalangan Mahasiswa Kolej yang Berasal dari Kelas Berbeda. Persentase keinginan yang disebutkan@



Persentase mahasiswa yang faktornya adalah : Profesional atau manajerial



304



Terampil atau semiterampil



Petualangan – kegembiraan



7



8



Menjadi bos sendiri



27



18



Suasana menyenangkan



31



23



Tantangan intelektual



55



42



Kemajuan



50



55



Uang



26



30



Keamanan



58



58



N=



30



106



@ Persentase yang ditambahkan kepada yang jauh lebih besar 100% karena tiap responden diminta mneyebutkan 3 keinginan terpenting. Keyakinan Terhadap Peluang Pola pengurangan aspirasi pribadi dan pengurungan daya tarik atau valensi pekerjaan tertentu dikalangan kelas bawah ini nampaknya berasal dari persepsi tentang realitas yang dipunyai kelas bawah. Hingga taraf tertentu, tujuan semua individu ditentukan oleh penialaian terhadap realitas. Karena berbagai data menunjukkan bahwa orang miskin lebih menyadari kekurangan peluang untuk mereka, agaknya mereka menetapkan tujuan mereka dilihat dari sudut keyakinan demikian20). Hasil survei Roper 1947 menunjukkan perbedaan keyakinan kelas bawah tentang peluang mereka. Datanya disajikan di



Tabel 11.



Tabel 11. Keyakinan Tentang Peluang Ekonomi Dikalangan Kelas Berbeda@. Dikalangan pekerja yang : Profesional atau Eksekutif Buruh pabrik 305



Persentase yang yakin bahwa ditahun mendatang 63 48 akan mendapatkan peluang yang baik untuk maju melebihi posisi sekarang(b) Persentase yang kita yakin bahwa faktor berikut adalah pertimbangan untuk mencapai kemajuan pekerjaan : Kualita pekerjaan 64 43 Energi dan kemauan 56 42 Hubungan baik dengan bos 12 19 Menjadi teman atau sahabat bos -3 -8 Menjadi politisi -6 -4 Persentase keyakinan bahwa dengan bekerja lebih 58 40 keras akan menghasilkan promosi pribadi @ Fortune (1947) b) Pertanyaan serupa yang ditanyakan 7 tahun sebelumnya kira-kira menunjukkan pola yang sama dari temuan untuk kelas berbeda. c) Chinoy memperkuat gambaran umum ini dalam studinya terhadap buruh pabrik mobil. Temuan yang sama didapat dari studi Roper 1937 ketika ia menanyai sampel nasional orang dewasa : “Menurut anda, apakah tiap pemuda yang hemat, berkemampuan dan berambisi kini, berpeluang untuk maju di dunia, mempunyai rumah sendiri dan berpenghasilan $ 5. 000 pertahun?” Dikalangan orang kaya, 53% menunjukkan bahwa aspirasi seperti itu adalah realistis sedangkan dikalangan orang miskin hanya 31% yang menunjukkan keyakinan mereka terhadap peluang ini. Bukti berbagai studi psikologi, memberikan penjelasan selanjutnya tentang cara harapan dan perjuangan seseorang dalam mencapai tujuan dipengaruhi oleh posisi sosialnya. Semuanya ini berdasarkan analisis tingkat aspirasi sehubungan dengan tugas eksperimental21). Meski tugas eksperimental ini tak berkaitan langsung dengan perilaku dibidang ekonomi dan hanya merupakan analogi semata, namun analisis tentang proses menetapkan tujuan banyak memberikan sumbangan terhadap penyelesaian masalah kita. Dalam sebuah studi tentang aspirasi ditingkat eksperimental, terdapat sebuah grafik yang menunjukkan cara peluang yang ditetapkan bersama oleh sebuah 306



kelompok, mempengaruhi aspirasi tertentu dan mempengaruhi tanggapan terntentu terhadap kesuksesan masa lalu. Adams membandingkan kelompok mahasiswa kulitputih dan kelompok Negro berdasarkan sederetan ciri-ciri dan membandingkan aspirasi masing-masing dalam sebuah tugas eksperimental menyangkut melemparkan anak panah. Dikalangan mahasiswa kolej kulit-putih, pencapaian aspirasi mereka terhadap tugas (melempar anak panah) diikuti oleh kenaikan tingkat aspirasi pada percobaan berikutnya sedangkan dikelompok mahasiswa Negro, kesuksesan masa lalu dalam melaksanakan tugas, kecil kemungkinan menghasilkan peningkatan upaya mencapai tujuan pada percobaan berikutnya22). Secara mutlak temuan ini menunjukkan bahwa individu di posisi rendah menetapkan perjuangan dan pengalamannya untuk sukses dipandang dari sudut hirarkhi sosial kelompok mapan dan meyakini perbedaan peluang dalam hirarkhi. Dua eksperimen ilustratif menunjukkan proses ini secara grafis untuk kelompok yang posisi sosialnya telah ditetapkan dengan baik. Preston dan Bayton menemukan bahwa kelompok eksperimental mahasiswa kolej Negro menurunkan tingkat aspirasi mereka ketika diberitahu bahwa mahasiswa kolej kulit putih telah mencapai tingkat tertentu dalam pelaksanaan tugas lebih dari yang dicapai kelompok kontrol mahasiswa Negro yang diberitahu bahwa standard prestasi khayalan yang sama telah dicapai oleh mahasisiwa Negro lain. Bayangan terbalik eksperimental ini disalurkan oleh Mac Intosh yang menggunakan mahasiswa kolej kulti putih sebagai sasaran dan memperkenalkan mereka standard prestasi khayalan kelompok Negro. Dalam kasus mahasiswa kulit putih ini mereka mengarahkan perhatian mereka sendiri pada pengetahuan tentang prestasi Negro dengan meningkatkan taksiran mereka24).



Perubahan Bentuk Perjuangan Dalam Mencapai Sukses



307



Data yang telah disajikan sedemikian jauh, jelas menunjukkan adanya pengurangan perjuangan dikalangan kelas bawah, kesadaran tentang kurangnya peluang dan kurangnya penghargaan terhadap pendidikan yang biasanya menjadi peluang utama dalam mencapai status tinggi. Namun kelas bawah masih mempunyai cara halus untuk menunjukkan pengaruh tekanan kultural atas kesuksesan. Data kita masih mungkin ditafsirkan untuk menunjukkan bahwa orang benar-benar ingin mencapai sukses besar tetapi terpaksa menyesuaikan dirinya dengan peluang lebih kecil dan mengurangi aspirasinya untuk berhati-hati agar tidak mengalami kekecewaan dan kegagalan. Tetapi demikian dekatnya kesamaan temuan tentang pemuda dan tentang orang dewasa, memberi kesan bahwa penjelasan ini tak dapat dipertahankan. Penyesuaian tujuan dengan realitas diperkirakan terjadi kemudian. Pemuda menghayati perbedaan tujuan yang tergantung pada kelas mereka sejak usia sangat dini untuk mencerminkan sejenis penetapan kembali pandangan mereka25). Demikian pula orang dewasa pun akan menyesuaikan diri terhadap realitas namun tekanan kultural atas sukses akan didicerminkan oleh aspirasi buat anak mereka agar mencapai sukses tinggi. Chinoy misalnya memuji adanya pola ini diantara buruh pabrik mobilnya. Ia melihat tiap orang buruhnya yang mempunyai anak masih muda, mempunyai harapan lebih besar dan berkeyakinan anak mereka akan berpeluang lebih baik untuk sukses26). Merton melihat proses serupa dan melaporkan data awal studinya tentang perumahan. Ia mencatat bahwa makin rendah tingkat pekerjaan orangtua, makin besar proporsi yang mempunyai aspirasi mendapatkan karir profesional bagi anak mereka27). Tetapi bila keadaan umumnya demikian, kita dapat membayangkan bahwa sampel pemuda kita mencerminkan semacam pola indoktrinasi. Mereka justru menunjukkan pola aspirasi anggota dewasa kelas mereka. Kemungkinan lain yang tercermin dengan sendirinya adalah bahwa tekanan kultural terhadap sukses dalam kelas bawah tercermin dalam bentuk penggantinya. Mereka tak mampu mencapai sukses pekerjaan dan dengan demikian menggantinya dengan tujuan lain yang lebih mudah dicapai dan menganggapnya setara dengan yang 308



digantikannya. Chinoy memuji “pergeseran demikian dalam suasana kemajuan dari bidang pekerjaan ke bidang konsumsi”28). Sayangnya kita tak mempunyai data tentang persoalan ini berdasarkan sampel lebih besar. Tetapi kita mempunyai data tentang satu bentuk pengganti motivasi untuk sukses dibidang ekonomi.



Penyimpangan Tujuan Pekerjaan Umumnya telah ditunjukkan bahwa individu kelas bawah kekurangan peluang dan kekurangan motivasi untuk maju atau meningkat dalam posisi hirarkhi sosial. namun ada pekerjaan tertentu di AS yang menyediakan kekayaan dan keuntungan bagi orang yang mendapatkan akses secara luar biasa. Jenis pekerjaan ini mungkin dianggap hina oleh anggota kelas lebih sopan dan karena itu anggota kelas bawah tak perlu berkompetisi memperebutkannya atau kompetisi untuk mendapatkannya tak terlalu ketat. Sejauh individu kelas bawah mempunyai sistem nilai yang menyokong untuk mengejar pekerjaan demikian, maka sistem nilai ini akan menyediakan penyimpangan dan jalan “tersembunyi” untuk mencapai sukses. Pekerjaan itu mungkin ada misalnya dibidang hiburan, politik dan dibidang pekerjaan khusus tertentu yang berciri tidak disukai29). Bukti kuat yang mendukung pola perubahan bentuk perjuangan untuk mencapai sukses demikian didapat dari sederetan ukuran gengsi yang disetujui oleh kelas berbeda atas jenis pekerjaan tertentu yang dipilih. Tiap individu dalam sampel dihubungkan dengan gengsi sederatan pekerjaan. Kita dapat berasumsi bahwa pekerjaan tertentu bergengsi tinggi karena mempunyai valensi positif yang kuat bagi individu dalam arti lebih besar kemungkinannya individu mengarahkan perjuangannya mendapatkan pekerjaan yang ia anggap bergengsi tinggi karena mempunyai valensi positif yang kuat bagi individu dalam arti lebih besar kemungkinannya individu mengarahkan perjuangannya mendapatkan



309



pekerjaan yang ia anggap bergengsi dan tak mengarahkan perjuangannya untuk mendapatkan pekerjaan yang ia anggap tak bergengsi. Hirarkhi gengsi yang telah ditemukan dalam penelitian dimasa lalu adalah seragam dikalangan kelompok pekerjaan berlainan dan dikalangan kelompok yang berbeda secara geografis dan keseragamannya itu stabil untuk jangka panjang30). Dalam studi sampel nasional yang dilakukan oleh NORC ditemukan adanya keseragaman umum gengsi pekerjaan sesuai dengan kelompok pekerjaan berlainan. Tetapi disamping kultural ini terlihat adanya perbedaan kelas yang kita sebut penyimpangan. Dalam analisis ini Hakim County ditunjuk sebagai contoh tujuan karir politik; penyayi sebagai contoh tujuan karir hiburan dan pengurus pemakaman sebagai contoh pekerjaan yang tak disukai tetapi menguntungkan. Dari Tabel 12 di bawah terlihat bahwa kelas bawah lebih besar kemungkinannya memberikan gengsi tinggi terhadap karir tersebut di atas. Hakim dan penyanyi dapat dianggap sebagai posisi terhormat dalam dunia pengadilan dan kultural atau reaksi dapat diramalkan berdasarkan kadar hakiki pekerjaan. Karena itu dalam Tabel disajikan hasil penilaian terhadap dua pekerjaan “pengontrol”, Hakim dan musisi dalam orkes simponi.



Tabel 12. Gengsi Pekerjaan Menyimpang Menurut Kelas Berbeda. % yang menilai sebagai posisi yang sangat bagus kepada :



310



Hakim



Musisi dalam Hakim



Penyanyi



MA



orkes



night club



county



Pengurus



N



Lelaki antara 21 – 39 Kaya atau makmur



88



31



32



0



12



66



Kelas menengah



85



25



42



1



10



334



Kelas bawah



82



21



44



6



16



143



+6 %



+ 10%



- 12%



- 4%



Kaya atau makmur



95



37



41



3



8



78



Kelas menengah



83



31



44



1



13



327



Kelas bawah



72



30



55



5



22



187



+ 23%



+7%



1 14%



- 2%



- 14%



Kaya atau makmur



84



25



48



0



12



147



Kelas menengah



81



26



49



2



14



312



Kelas bawah



79



23



52



4



17



202



+ 5%



+ 2%



- 4%



- 4%



- 5%



Kaya atau makmur



92



37



52



0



11



139



Kelas menengah



81



26



55



2



18



330



Kelas bawah



72



29



49



6



20



109



+ 20%



+ 8%



+ 3%



- 6%



- 9%



Perbedaan antara kelas atas & bawah Wanita antara 21- 39



Perbedaan antara kelas atas & bawah Lelaki di atas 40



Perbedaan antara kelas atas & bawah Wanita di atas 40



Perbedaan antara kelas atas & bawah



Sejauh jawaban kelas berbeda adalah mengenai kadar hakiki dan kehormatan pekerjaan, orang dapat mengira pola serupa atas dua posisi hakim dan dua posisi musisi. Tetapi dapat dilihat bahwa kelas membalikkan dirinya sendiri untuk pekerjaan yang dikontrol. Dengan kata lain, posisi hakim yang terhormat itu disukai secara berbeda oleh kelas atas; posisi hakim bersifat politik disukai oleh kelas bawah. Begitu



311



pula posisi pemusik berambut gondrong disukai oleh kelas atas dan posisi musik populer disukai oleh kelas bawah. Dapat dilihat ada satu pembalikan dalam Tabel yang mengganggu hipotesis umum. Namun diantara 20 kemungkinan regresi menurut kelas dalam Tabel inilah satu-satunya pembalikan yang ditemukan. Bukti yang lebih langsung mendukung kesimpulan baru saja disajikan. Tahun 1944 NORC menanyai sampel nasional sebanyak 2. 500 responden : “Jika anda mempunyai anak lelaki yang baru saja tamat sekolah, sudikah anda melihatnya menjadi politisi sebagai karirnya?” Sekitar duapertiga sampel total tak menyetujui karir seperti itu tetapi yang mencela itu lebih banyak berciri kelas atas (lihat Tabel 13). Tabel 13. Yang Mencela Karir Di Bidang Politik Menurut Kelas Berbeda. % yang mencela karir politik@



Tingkat ekonomi Kaya atau makmur



78



Kelas menengah



73



Kelas bawah



54



@



. Sayangnya jumlah kasus ditiap kelompok ekonomi tak terdapat dalam laporan yang diterbitkan.



Proses Kelompok Rujukan dan Kasus Penyimpangan Walau bukti yang disajikan sedemikian jauh menyediakan bukti yang konsisten dan kuat bahwa individu kelas bawah sebagai sebuah kelompok mempunyai sistem nilai yang mengurangi kemungkinan kemajuan individual, tetapi dari data itu juga jelas bahwa ada proporsi cukup besar kelompok bawah ini yang tak menganut sistem nilai ini. Begitu pula ada individu kelas atas yang tak menunjukkan kecenderungan perasaan kelompok mereka. Sebagian kejadian penyimpangan demikian dapat diterangkan dilihat dari sudut kekasaran ukuran yang digunakan. Sebagian, orang harus mengakui bahwa anggota kelas itu sangat heterogen dalam ciri-ciri sosial lain 312



seperti etnis, agama mereka dan ciri-ciri keanggotaan lain dan telah terbuka terhadap berbagai pengalaman aneh. Sistem nilai telah mengalami anekaragam penyesuaian. Tetapi satu faktor sistematis yang dapat ditunjukkan yang menyebabkan kasus penyimpangan yang diperkuat pengaruh faktor kelas ditingkat psikologis yang lebih halus adalah kelompok rujukan individu. Sebagian individu kelas bawah ini mungkin telah menyamakan diri mereka sendiri yang kelas atas dan menyerap sistem nilai kelas lain yang menjadi rujukan mereka. Sebagian individu kelas atas karena berbagai alasan secara psikologis merujuk diri mereka sendiri ke kelas lain. bahwa kelompok rujukan individu mempengaruhi sistem nilai individu bersangkutan, telah dikesankan oleh data yang disajikan di atas tentang mahasiswa kolej kelas bawah dan dapat ditunjukkan perbedaannya dari data tambahan yang dikumpulkan dalam survei NORC. Bukti yang tersedia adalah tentang pekerjaan orangtua masing-masing responden. Bila kita menggolongkan setiap pekerjaan individu kelas bawah menurut apakah latarbelakang orangtuanya adalah kelompok pekerjaan lebih tinggi atau lebih rendah, kiranya kita menemukan perbedaan antara individu yang secara obyektif sama kelasnya tetapi berbeda kelas yang mereka perkenalkan. Kita semestinya menganggap bahwa individu yang berasal dari kelas atas takkan begitu banyak yang menyatakan sebagai anggota kelas bawah dan akan terus mencerminkan asal-usul mereka yang lebih bergengsi. Begitu pula bila kita mengambil orang yang kini secara obyektif berada pada pekerjaan kelas atas dan membagi



mereka



menurut



pekerjaan



orangtua



mereka,



maka



kita



akan



menggolongkan responden menurut pengertian yang lebih bersifat psikologis. Kita akan membandingkan nilai keempat kelompok ini menurut masing-masing bidang yang dianalisis sebelumnya murni melalui keanggotaan kelas obyektif kini31). Pola temuannya disajikan di Tabel 14.



313



Tabel 14. Proses Kelompok Rujukan yang Terungkap Dalam Pengaruh Sejarah Kelas Individu Terhadap Nilainya. Persentase yang :



Diantara responden yang pekerjaannya adalah : Bisnis



atau Tenaga terampilatau semi terampil terampil



profesional Ayahnya



bisnis Ayahnya terampil Ayahnya



Ayahnya



atau profesional



atau semi terampil



bisnis atau terampil



(1)



(2)



profesional



atau semi



(3)



terampil (4)



Menganjurkan pendidikan kolej



71



60



57



50



Pekerja profesional



44



29



31



25



Pekerja manual terampil



10



29



23



44



Sesuai dengan pribadi



65



62



52



46



Keuntungan ekonomi



15



19



23



27



(377)



(140)



(298)



(397)



Menganjurkan Pkj. Terbaik sebagai :



Menyebutkan



keinginan



dalam



memilih pekerjaan yang :



N=



Dapat dilihat bahwa nilai adalah hasil dari “sejarah kelas” individu dan posisi kelasnya kini : Individu yang setara posisinya kini mencerminkan nilai kelas orangtua mereka. Ini dapat dilihat dengan membandingkan kolom 1 dengan 2 dan kolom 3 dengan 4 di Tabel. Dua kumpulan gabungan faktor kelas, pengaruhnya terhadap sistem nilai adalah maksimal seperti terlihat dalam perbandingan kolam 1 dengan kolom 4. Sisa pengalaman kelas terdahulu dengan cara tertentu memberikan kesan bahwa proses kelompok rujukan adalah berperan.



314



Catatan Kaki : 1) R. K. Merton, Social Structure and Anomie, dicetak-ulang sebagai bab IV Social Theory and Social Structure (NY : The Free Press, 1949). 2) Farber menunjukkan, pengalaman menderita sebagai akibat kekecewaan obyektif tergantung pada perspektif waktu individu. Lihat Farber, “Suffering and Time Perspective of the Prisoner”, Univ. of Iowa Studies in Child Welfare, XX (1944 : 155 – 227). 3) Lihat Arthur W. Kornhauser, Analysis of “ClassStructure” of Contemporary American Society dalam Industrial Conflict, G. W. Hartman and T. Newcomb, ed. (NY : Dryden Press, 1939). 4) Liaht H. Hyman, “The Psychlogy of Status”, Archives of Psychology, CCLXIX (1942). 5) Ibid. 6) Sumber dasar analisisnya tersedia dalam H. Cantril and M. Struak, Public Opinion, (Princeton, NJ : Princ. Univ. Press, 1935 – 1946). 7) Lihat Opinion News, Sept. 1, 1947, NORC. Univ. of Chicago. 8) Berdasarkan berbagai studi, Havighurst and Rodgers menguatkan temuan ini. 9) Merton menekankan peran orangtua sebagai sentral dalam analisisnya, op. cit : 148. 10) Berbagai ukuran kelas obyektif dapat digubakan dalam Tabel ini dan berikutnya. 11) Temuan serupa dilaporkan oleh Centers. Op. cit : 151 – 158. 12) Dalam membandingkan anak antara 10 – 14 dari “sekolah” kelas bawah” dengan anak dari “sekolah kelas atas” di Chicago, Galler mendapatkan temuan yang sama. Op. cit. 13) Fortune (1947), 10 ; Public Opinion Quarterly, XIV (1950 : 182). 14) Studi Lipset & Bendix atas 1. 000 sampel mewakili Kota Oakland, melaporkan data yang agak kontradiktif. 15) Hollingshead menyajikan temuan serupa untuk Elmtown. Op. cit : 286.



315



16) Fortune (1942), op. cit. 17) Merton menyatakan studi H. F. Clark kontradiksi dengan temuan Centers – Cantril. 18) R. Centers and Cantril, “Income Satisfaction and Income Aspiration”, Journal of Abnormal Social Psychology, XLI (1946 : 64 – 69). 19) Lihat R. Gould, “Some Sociological Determinants of Goal Striving”, Journal of Social Psychology, XIII (1941 : 461-473). 20) Chinoy membuat pendapat yang sama tentang dasar studinya mengenai buruh pabrik mobil. 21) Lihat K. Lewin, T. Dembo, L. Festinger dan P. Sears, “Level of Aspiration” dalam J. Hunt, Personality and the Behavior Disorders (NY : The Ronald Press, 1944). 22) D. K. Adams, “Age, Race and Responsiveness of Levels of Aspiration to Success and Failure”, Psychological Bull., XXXVI (1939). 23) K. Lewin, et. al., op. cit : 341-342. 24) Preston and Bayton, “Differential Effect of a Social Variable Upon Three Levels of Aspiration”, Journal of Exp. Psychology, XXIX (1941 : 351-369). 25) Dalam kasus pemda, terbatasnya tujuan pekerjaan kelas bawah mencerminkan penyesuaian kembali terhadap realitas yang terjadi di umur sangat muda. Hollingshead, op. cit : 382-383. 26) Chinoy, op. cit : 459. 27) Merton, op. cit : 148. 28) Chinoy, op. cit. 29) Jenis atletik profesional tertentu juga termasuk kelompok ini. Lihat S. K. Weinberg and H. Around, “The Occupational Culture of the Boxer”, AJS, LVII (1952 : 460-469). 30) Lihat G. S. County, “Social Status of Occupations”, School Review, XXXIII (1952 : 16-27)



316



31) Lihat Lipset & Bendix, “Social Mobility and Occupational Career Patterns, II, Social Mobility”, AJS, LVII (1952 : 494-504).



317



Kelas Sosial dan Sosialisasi Melalui Ruang dan Waktu Oleh : Urie Bronfenbrenner



1. Latar Belakang dan Sumber selama belasan tahun yang lalu perjuangan kelas telah terjadi dalam psikologi sosial Amerika ; untungnya bukan perjuangan antara tetapi mengenai kelas sosial. Dalam tradisi revolusi sosial terbaik, masalah perjuangan kelas digabungkan dengan manifesto menentang asumsi superioritas kelas atas dan kelas menengah dan memuji kebaikan kelas buruh yang disia-siakan. Kelas buruh mengikuti revolusi yang berhasil menggulingkan tatanan mapan menyetujui kemenangan proletariat yang kemudian menjadi sangat berkuasa sekurang-kurangnya untuk sementara. Perubahan dramatis ini selalu mempunyai pelopor dan “nabinya” tetapi mencapai klimaknya ditahun 1946 dengan terbitnya paper Davis dan Havighurst tentang “Kelas Sosial dan Perbedaan Warna Kulit dalam Pengasuhan Anak”1). Paper ini mengutip bukti statistik mengesankan



untuk



mendukung



tesis



bahwa



orangtua



kelas



menengah



“menempatkan anak mereka di bawah aturan lebih keras dengan lebih mengecewakan perasaan (impulse) anak mereka ketimbang yang dilakukan oleh orangtua kelas bawah”. Selama 8 tahun berikutnya, kesimpulan Davis-Havighurst ini dianggap sebagai pernyataan definitif tentang perbedaan kelas dalam sosialisasi. Kemudian 1954 terjadi revolusi tandingan : Maccoby dan Gibbs menerbitkan laporan pertama hasil studi tentang praktek pengasuhan anak di kawasan Boston yang kurang lebih bertentangan dengan temuan di Chicago : umumnya orangtua kelas menengah ditemukan “lebih permisif” ketimbang orangtua kelas bawah. Setahun kemudian dalam rangka menanggapi temuan di Boston, Havighurst dan Davis2) menyajikan hasil analisis-ulang data mereka untuk subsampel yang lebih dapat disamakan umurnya dengan responden studi di Boston. Berdasar perbandingan hati-hati kedua kumpulan hasil studi itu, mereka menyimpulkan bahwa “pertentangan 318



antara temuan kedua studi itu adalah besar dan penting” dan diduga perbedaan ini berkaitan dengan perubahan tulen praktek pengasuhan anak selama ini atau karena kesulitan tehnis dalam menyamakan sampel dan itemnya. Tetapi pandangan agak berbeda dikemukakan oleh Scara, Maccoby dan Levin4) dalam laporan akhir mereka dari studi di Boston. Mereka menyatakan bahwa interpretasi Davis dan Havighurst atas data Chicago sebagai mencerminkan lebih besarnya derajat kepermisifan orangtua kelas buruh adalah tidak beralasan berdasar dua anggapan. Pertama mereka mengutip hasil riset lain yang juga berbeda yakni dari Klatskin5)+ yang mendukung pandangan bahwa perbedaan kelas dalam memberik makan, menyapih, mengatur dan melatih pipis dan berak” kedua mereka berpendapat bahwa temuan di Chicago tentang lebih besarnya kebebasan bergerak anak kelas bawah,lebih tepat di interpretasikan bukan sebagai” Serba boleh”, tetapi sebagai cermin “”Penolakan”, mendorong anak untuk menyimpang. Pemikiran demikianlah yang mendorong peneliti di Boston untuk menyimpulkan: Pemeriksaan – kembali temuan Chicago ini sungguh jelas mengesankan kesimpulan yang sama yang seharusnya dicapai dari studi Klatskin dan dari studi kami sendiri, bahwa: Ibu kelas menengah umumnya lebih permisif dan kurang menghukum anak kecil mereka ketimpang ibu kelas buruh. Sayangnya interprestasi berlangsung seperti yang disajikan oleh Davis dan Havighurst ini telah diterima secara luas dalam lingkungan pendidikan selama dekade yang lalu. Pemikiran tentang kepermisifan ibu kelas buruh ini telah menarik karena berbagai alasan. Pemikiran ini penjelasan mudah tentang mengapa anak kelas buruh mempunyai motivasi untuk mencapai prestasi akademis lebih rendah ketimbang anak kelas menengah. Ibu mereka kurang meletakkan tekanan yang bersifat membatasi terhadap mereka. Pemikiran ini juga menyediakan sejenis kesenangan pengganti bagi pendidik mereka yang telah bekerja keras ke arah tujuan meningkatkan pengalaman pendidikan bagi sebagian anak usia sekolah yang tidak berorientasi ke pendidikan kolej. Sebenarnya orang dapat mengatakan, anak kelas bawah kekurangan motivasi akademis yang demikian sangat diharapkan, tetapi 319



kekurangan itu berasal dari alasan yang “Bagus” anak didik dan dibesarkan secara permisif. Namun masih ada sejumlah masalah tak terselesaikan antara pendukung sudut pandang utama mengenai masalah fakta maupun interpretasi. Ketika itu belum terbiasa bagi pihak ketiga untuk mencoba menilai kembali peristiwa dalam perspektif historis lebih luas dengan bantuan dokumen dan imformasi yang tidak tersedia sebelumnya. Menilai kembali inilah yang akan dicoba penulis. Bronfenbrenner beruntung karena tak hanya terbantu oleh bahan yang hanya berasal masa lalu dan sekarang tetapi juga ketika tulisan ini disusunnya di hadapannya tersedia 7 manuskrip yang melaporkan perbedaan kelas dalam praktek pengasuhan anak di 4 tempat berbeda dan di 5 periode waktu berlainan. Pertama, Bayle dan Schaefer7), telah membuat analisis ulang data dari the Berkelay Growth Study yang menyediakan imformasi tentang perbedaan kelas menurut penilaian perilaku ibu yang dibuat dari “1932’ ketika anak yang distudi berumur di bawah 3 tahun dan studi dilakukan lagi dari 1939 hingga 1942 ketika sebagian besar anak berumur sekitar 10 tahun. Imformasi tentang perilaku ibu di tempat yang sama ini hingga 1953 berasal dari laporan terakhir oleh M. Sturm White8) tentang perbedaan kelas dalam praktek pengasuhan anak untuk sampel anak belum sekolah di Polo Alto dan sekitarnya. Miller dan Swanson menyediakan data yang relevan dari hasil studi komprehensif keluarga di Detroit, berdasarkan sampel keluarga terstrata dengan anak berumur hingga 19 tahun9), yang lainnya khusus dipilih sampel anak lalaki berumur 12 tahun10). Informasi terbatas tentang sampel remaja lain berasal dari riset Stroatbeck tentang “Family Interaction, Value and Achievement”11). Littman, Moore dan Pierce Jones12) juga telah menyelesaikan studinya tentang praktek pengasuhan anak di Eugene, Oregon dengan sampel orangtua yang mempunyai anak berumur 2 minggu hingga 14 tahun. Terakhir, Kohn13) melaporkan perbandingan nilai pendidikan anak dikalangan ibu kelas buruh dan kelas menengah di Washington DC. Penulis menggunakan 9 hasil riset yang diterbitkan sebagai tambahan14). Dalam beberapa hal (khusus untuk laporan Anderson yang disesalkan diabaikan) data 320



dianalisis kembali dan tingkat signifikansi tesnya dihitung untuk memungkinkan membuat perbandingan lebih dekat dengan hasil riset lain. Sebuah daftar lengkap dan diskripsi ringkas dari seluruh hasil studi yang digunakan dalam tinjauan yang disajikan, terdapat di Tabel 1. di bawah. Hasil riset yang dimasukkan ke dalam Tabel, karena mengandung data yang layak dapat dimusnahkan, digunakan sebagai basis utama analisis.



II. Menetapkan Kelompok Kelas Sosial yang Dapat Disamakan. Walau dalam kebanyakan studi yang dibahas di atas peneliti mendasarkan klasifikasi status sosioekonomi secara eksplisit atau implisit pada kriteria yang diusulkan oleh Warner15), namun terdapat perbedaan besar dalam jumlah kategori kelas sosial yang digunakan. Demikianlah dalam laporan Anderson data dianalisis menurut 7 tingkat status sosioekonomi, Survei New York membedakan 5 tingkat, studi kedua di Chicago dan dua studi di Detroit masing-masing menggunakan 5 tingkat dan studi Klatskin menggunakan 3 tingkatan status sosioekonomi. Tetapi mayoritas peneliti yang meneladani Davis dan Havighurst, hanya membedakan dua tingkat status sosioekonomi : kelas menengah versus kelas bawah atau kelas buruh. Lagi pula, seluruh studi terakhir ini telah dianalisis kembali atau dengan sengaja direncanakan untuk memudahkan membandingkannya satu sama lain. Telah dikatakan upaya Davis Havighurst dalam hal ini, disumbang kelompok Boston dengan menghitung kembali data mereka lebih menurut median ketimbang menurut rerata (means)16). Baik White maupun Littman, et. al., berminat untuk menjelaskan kontradiksi yang dihadapi oleh studi Chicago dan Boston dan karena itu telah menggunakan banyak indek yang sama. Akibatnya, baik karena keperluan maupun kebijakan, menuntut dikeluarkannya angka sebutan persamaan terendah dan menganalisis-ulang hasil riset yang tersisa menurut dua tingkat klasifikasi status sosioekonomi.



321



Dalam kebanyakan kejadian, pertanyaan sulit tentang dimana titik-potongnya seharusnya ditetapkan, terus-menerus diselesaikan. Inti persoalan perbedaan antara kelas menengah dan kelas buruh di keempat studi yang menggunakan dikhotomi ini, terpecahkan dengan memisahkan antara buruh kerah-putih dan kerah-biru. Untungnya pembedaan yang sama ini telah dibuat menurut skala ditiap riset lain termasuk dalam analisis dasar. Demikianlah, untuk beberapa studi17) yang menggunakan 4 tingkat klasifikasi (menengah atas dan bawah – bawah) seperti dapat diduga, pembagian terjadi antara dua kategori menegah. Untuk sampel negara bagian New York, penelitian pekerjaan dilakukan ditiap kelima tingkat kelas dengan menggunakan petunjuk pemisah antara kelas III dan IV. Klatskin dalam membandingkan studi pengelompokan kelas sosial New Haven dengan kelas menengah dan kelas bawah yang berasal dari riset di Chicago, mengusulkan pembagian antara tiga tingkat status sosioekonomi



buatannya



yang



pertama



dan



kedua,



dan



kita



mengikuti



rekomendasinya itu. Terakhir, untuk skala 7 tingkat laporan studi Anderson, pembagian dibuat antara kelas III dan IV, menempatkan pekerja klerek utama, mekanis terampil dan pedagang eceran di kelas menengah dan petani, klerek rendahan dan pekerja semi-terampil di kelas buruh. Disemua contoh di atas tentu perlu dihitung kembali persentase dan skor rerata untuk kedua tingkat kelas itu dan derajat signifikansinya. Perhitungan ini yang hasilnya terlihat di Tabel berikut, dilakukan untuk sampel berikut : Nasional I – IV, New Haven I, Detroit I dan II dan negara bagian New York. Semua angka lain dan tes signifikansi yang dikutip, diambil dari laporan asli. Upaya membuat pembagian antara kelas menengah dan kelas buruh di titik yang sama untuk sampel dasar telah berhasil tetapi tak berhasil melenyapkan berbagai sumber perbedaan penting lain antara beberapa hasil riset. Masalahnya dibahas berikut ini.



322



III. Masalah Perbandingan Kesulitan membandingkan hasil lebih dari lusinan studi yang dilakukan ditempat dan waktu berbeda dan dengan tujuan agak berbeda sekaligus adalah berat, sukar dan berbahaya. Bahkan ketika bidang yang sama saja dijelajahi dengan wawancara, timbul masalah perbedaan susunan kata-kata dalam mengajukan pertanyaan. Perubahan dalam praktek pengasuhan anak mungkin terjadi sepanjang waktu, namun tentu tak mungkin lebih dramatis dari pada perbedaan isi dan konotasi pertanyaan yang diajukan ilmuan sosial kepada para ibu dari satu dekade ke dekade berikutnya. Demikianlah, laporan komprehensif dari komprensi Gedung Putih pertama, yang mencakup keseluruhan mulai dari jumlah anak yang mempunyai mainan giring-giring dan penggantian popoknya hingga jumlah gundar gigi menurut umur dan berapa kali anak ditakuti oleh badai (dianalisis melalui 7 tingkatan status sosioekonomi) tak ada pertanyaan tentang onani atau permainan seks. Sepuluh tahun kemudian di Chicago, disediakan 6 pertanyaan untuk topik ini termasuk item seperti : “Bagaimana cara anda menakut-nakuti anak anda terhadap kebiasaan onani itu?” dan “Apa metode fisik yang anda gunakan (seperti mengikatkan popok, menderanya, mengikatkan pitanya dan seterusnya)?”. Dalam dekade berikutnya pewawancara dalam studi di Boston lebih dikekang atau benar-benar kurang perhatian. Ia hanya mengajukan dua pertanyaan : pertama, apakah ibu memperingatkan bila anak bermain dengan dirinya sendiri (onani), kemudian “Menurut anda perlukah kelakuan anak seperti itu dicegah?” Tak ada kesukaran yang dapat dilenyapkan sama sekali misalnya ketika susunan kata yang sama digunakan dalam dua studi atau lebih karena ada kemungkinan nyata bahwa dalam kontek berbeda, kata-kata yang sama dapat bermakna berbeda. Masalah serius muncul dari kekurangan sifat bisa dibandingkan tak hanya dalam pertanyaan yang diajukan tetapi juga dalam karakter sampel yang digunakan. Davis dan Havighurst misalnya menunjukkan bahwa sampel Chicago dan Boston berbeda proporsi kasusnya menurut dua kategori mendasar skala pekerjaan buatan Warner.



323



Sesuai dengan laporan penelitiannya, studi Palo Alto dan Eugen menyimpang di kedua arah : studi di Palo Alto sedikit sampel keluarga dari kategori pekerjaan terendah ; studi di Oregon, sampel keluarga serupa justru berlebih. Penulis beberapa hasil studi juga meminta perhatian atas pentingnya perbedaan yang ada dalam etnisitas, latar belakang agama, pendudk urban versus suburban dan kekuatan perjuangan mobilitas ke atas. Sumber perbedaan yang agaknya kurang diperhatikan dalam laporan lain adalah cara memilih sampel. Seperti ditunjukkan Davis dan Havighurst, dalam terbitan aslinya, sampel mereka berat sebelah ke arah kelas menengah yang telah menjadi sasaran sejenis pengajaran tentang pengasuhan anak yang sangat menonjol dikalangan anggota kelas menengah yang mengirim anak mereka ke Taman KanakKanak. Fakta yang sama pentingnya adalah relatif tingginya proporsi sampel ibu kelas bawah Chicago yang berasal dari latar belakang Eropa Timur dan Irlandia atau selisih 4 tahun rerata umur ibu di dua tingkatan kelas itu. Sampel pertama New Haven seluruhnya terdiri dari para ibu menjadi anggota the Yale Rooming in Project yang cukup tertarik membawa kembali bayi mereka untuk diperiksa setahun setelah ibu dan bayinya meninggalkan RS Bersalin. Seperti diakui Klatskin, peluang kepandaian memilih ini, menghasilkan sampel yang terdiri dari keluarga yang sangat bersimpati terhadap ruang dalam ideologi, fakta yang tercerminkan dalam hasil risetnya. Kelompok kulit-putih Palo Alto semata-mata hanya terdiri dari ibu dengan seorang anak, sebagian besar mengharapkan kehadiran anak kedua; khususnya didapat dari berbagai sumber termasuk teman, tetangga, manejer personalia, guru sekolah perawat, perawat RSU dan ibu hamil yang latihan sebelum melahirkan. Singkatnya, sebenarnya setiap sampel mempunyai keanehan khususnya sendiri. Untuk sebagian sampel ini dapat diduga di tingkat dan ke arah mana berat-sebelahnya ; untuk sebagian yang lain, arti penting atau pengaruh dari cara memilihnya, tetap misterius. Maka kesukaran kita yang berasal dari ketaktahuan sama banyaknya dengan yang berasal dari ketahuan sebuah fakta untuk kebanyakan sampel ditegaskan oleh



324



ketiadaan informasi demografis mendasar seperti distribusi subyek menurut umur dan jenis kelamin. Tabel 1.Diskrisi Sampel (208 – 209)



Jelaslah bahwa berbagai faktor, sebagian diketahui dan lebih banyak yang tak diketahui, berperan menghasilkan perbedaan hasil dari satu sampel ke sampel berikutnya. Pengaruh bermacam-macam faktor ini hampir tak mungkin berperan menurut arah yang tetap melalui ruang dan waktu. Karena itu kemungkinan mendapatkan temuan yang dapat ditafsirkan tergantung pada kecenderungan utama akan adanya tanda yang cukup untuk menolak pengaruh berat-sebelah (bias) yang muncul dari perbedaan sampel dan metode. Ini adalah harapan gegabah dan optimis namun telah disadari sekurang-kurangnya sebagian dalam analisis berikut.



IV. Perbedaan Pengasuhan Bayi Menurut Kelas Sosial, 1930 – 1955 Dalam menafsirkan laporan tentang praktek pengasuhan anak, penting membedakan antara tanggal informasi didapat dan periode sebenarnya yang ditunjuk informasi itu. Peringatan ini terutama relevan dalam menghadapi diskripsi tentang pengasuhan bayi untuk anak yang mungkin sudah berumur 12, 14 atau 18 tahun disaat wawancara dilakukan. Dalam kejadian seperti itu hanya kemungkinan untuk menduga kapan praktek pengasuhan terjadi dengan memberikan kelonggaran karena umur anak. Masalah selanjutnya lebih rumit oleh fakta tak satupun laporan studi yang membedakan status sosioekonomi menurut umur. Karena itu yang terbaik yang dapat dilakukan adalah menaksir umur median kelompok dan dari sini menaksir di periode mana praktek pengasuhan terjadi. Contoh, sampel kedua Detroit yang tersusun



325



menurut umur saat lahir hingga 18 tahun, didapat umur median sekitar 9 tahun. Karena kerja lapangan dilakukan tahun 1953, kami menaksir data tentang praktek menyapih (menghentikan menyusu) dan pemberian makan sekitar tahun 194418). Tetapi harus diakui bahwa praktek yang dibenarkan meliputi periode sangat panjang mulai dari 1935 hingga saat wawancara dilakukan 1953. Perbedaan yang menandai praktek pengasuhan anak dalam periode ini dapat menghasilkan angka rerata yang menunjuk pada fakta khas tipe pengasuhan anak di pertengahan 1944. Kita akan menunjukkan kemungkinan beroperasinya pengaruh ini pada data berikut. Bila tanggal praktek pengasuhan ditaksir dengan metode yang dilukiskan di atas, kita akan mengetahui bahwa data yang tersedia melukiskan perbedaan menurut kelas sosial dalam memberi makan, menyapih dan melatih buang air untuk periode sekitar 1930-1955. Informasi bersangkutan terlihat di Tabel 2 hingga 4. Layak diduga bahwa ; laporan ibu tentang apakah ia menggunakan praktek khusus atau tidak akan lebih dapat dipercaya dari pada taksirannya tentang kapan ia memulai atau menghentikan praktek itu. Dugaan ini dikuatkan oleh lebih besarnya jumlah perbedaan signifikan data statistik yang disajikan dalam tabel tentang kelaziman (Tabel 2 dan 3) ketimbang pada saat praktek khusus dilaksanakan (Tabel 4 – 6). Berdasarkan asumsi yang masuk akal bahwa data terdahulu memulai pembahasan dengan memperhatikan hasilnya pada frekuensi menyusukan bayi dan menyusui yang diatur yang terlihat di Tabel 2 dan 3.



Kecenderungan Umum Kita akan memulai dengan melihat kecenderungan umum sepanjang waktu tanpa menghiraukan tingkat sosial. Ini nampak di kolom 6 Tabel 2 dan 3. Data tentang menyusukan ternyata sangat tidak teratur, tetapi terkesan menurunnya praktek menyusui ini dari tahun ke tahun19). Sebaliknya menyusukan bila ditagih, makin menjadi kebiasaan. Dalam kedua hal itu kecenderungannya lebih menandai ibu kelas menengah. Dengan kata lain, merekalah terutama yang membuat perubahan (kolom



326



8). Fakta ini tercermin lebih tajam lagi di kolom 9 yang menyoroti pergeseran penting. Di sini kita lihat bahwa di periode sebelumnya, kasarnya sebelum PD II baik menyusukan maupun keperluan menyusui kurang terbiasa dikalangan ibu kelas menengah ketimbang dikalangan ibu kelas buruh. Tetapi di periode kemudian, kecenderungannya terbalik. Kini ibu kelas menengah yang lebih sering menetekkan bayinya. Tabel 2. Frekuensi Menyusui Jumlah kasus yang dilaporkan



Persentase yang menyusukan



1



2



3



4



5



6



7



8



9



Sampel



Kira-kira



Total



Kelas



Kelas



Total



Kelas



Kelas



Perbe



tgl praktek



sampel



menengah



buruh



sampel



menengah



buruh



daan



Nasional I



1930



1856



842



1014



80



78



82



- 4b



Nasional II



1932



445



201



244



40



29



49



- 20b



Chicago I



1934



100



48



52



83



83



83



0



Detroit I



1941



112



59



53



62



54



70



- 16



Detroit II



1944



200



70



130



% yang tidak memberikan



Eugene



1946-1947



206



84



122



46



40



50



- 10



Boston



1948-1949



372



198



174



40



43



37



+ 6b



New Haven



1949-1950



222



114



108



80



85



74



+ 11b



Palo Alto



1950



74



36



38



66



70



63



+ 7b



New York



1955



1432



594



838



24



27



21



+ 6b



a). Tanda minus menunjukkan lebih sedikit kejadiannya untuk kelas menengah ketimbang kelas buruh. b). Menunjukkan signifikansi perbedaan ditingkat 5 % kepercayaan atau lebih. \



327



+



Tabel 3. Menyusui Diatur versus ketika Diminta Jumlah kasus yang dilaporkan



% Menyusui ketika diminta



1



2



3



4



5



6



7



8



9



Sampel



Taksiran



Total



Kelas



Kelas



Total



Kelas



Kelas



Perbe



tgl praktek



sampel



menengah



buruh



sampel



menengah



buruh



daan



Nasional I



1932



470



208



262



16



7



23



- 16b



Chicago I



1939



100



48



52



25



4



44



- 40b



Detroit I



1941



297



52



45



21



12



53



- 41b



Detroit II



1944



205



73



123



55



51



58



-7



Boston



1947-1948



372



198



174



New Haven I



1949-1950



191



117



74



65



71



54



+ 17



1950



74



36



38



59



64



55



+9



Palo Alto



-



a). Tanda minus menunjukkan menyusui ketika diminta lebih sedikit dikalangan ibu kelas menengah. b). Menunjukkan derajat signifikansi perbedaannya ditingkat 5 % kepercayaan atau lebih. Tabel 4. Lamanya Menyusui (untuk ibu yang menyusui) Jumlah kasus – kasus Sampel



Median lamanya dalam bulan



Taksiran



Total



Kelas



Kelas



Total



Kelas



Kelas



Perbe



tgl praktek



sampel



menengah



buruh



sampel



menengah



buruh



daan



Nasional I



1932



1488



654



834



6, 6



6, 2



7, 5



1, 3b



Chicago I



1939



83



40



43



3, 5



3, 4



3, 5



- 0, 1



Detroit I



1941



69



32



37



3, 3



2, 8



5, 3



- 2, 5



Detroit II



1946-1947



95



34



61



3, 4



3, 2



3, 5



- 0, 3



Boston



1947-1948



149



85



64



2, 3



2, 4



2, 1



+ 0, 3



New Haven I



1949-1950



177



97



80



3, 6



4, 3



3, 0



+ 1, 3



Palo Alto



1955



249



145



154



1, 2



1, 3



1, 2



+ 0, 1



a). Jika kasus untuk Chicago, Eugene, Boston dan NY ditaksir dari persentase yang disebutkan.



328



b). Tanda minus menunjukkan lamanya lebih pendek untuk ibu kelas menengah ketimbang kelas buruh. c) Median tak diberikan dalam laporan asli tetapi ditaksir dari data yang disebutkan. d). Menunjukkan signifikansi perbedaan di tingkat 5 % kepercayaan atau lebih. Tabel 5. Umur Bayi Saat Selesai Disapih (Disusui atau Susu Botol) Jumlah kasus yang dilaporkan % Menyusui ketika diminta 1



2



3



4



5



6



7



8



9



Sampel



Taksiran



Total



Kelas



Kelas



Total



Kelas



Kelas



Perbe



tgl praktek



sampel



menengah



buruh



sampel



menengah



buruh



daan



Nasional I



1940



100



48



52



11, 3



10, 3



12, 3



- 2, 0b



Chicago I



1942



69



32



37



11, 2



10, 6



12, 0



- 1, 4b



Detroit I



1945



190



62



128



Detroit II



1944



206



85



121



13, 6



13, 2



14, 1



- 0, 9



Boston



1947-1948



372



198



174



12, 3



12, 0



12, 6



- 0, 6



New Haven I



1949-1950



222



114



108



1951



68



32



36



Palo Alto



Di bawah 12 bulan



-



Di atas 12 bulan 13, 1



14, 4



12, 6



a). Tanda minus menunjukkan penyapihan kelas menengah lebih awal dari pada kelas buruh. b). Menunjukkan signifikansi perbedaan di tingkat 5 % kepercayaan atau lebih.



329



+ 1, 8



Tabel 6. Latihan Buang Air (pipis & berak) Jumlah kasus Sampel



Arah hubungan



Taksiran



Pelatihan



Latihan



Awal latihan



Akhir latihan



Awal



Akhir



tgl mulai



berak



pipis



berak



berak



latihan



latihan



pipis



pipis



praktek Nasional I



1931



2375



2375



Chicago I



1932



494



494



Detroit I



1940



100



220@



Detroit II



1942



110



102



Boston



1945



216



200



New Haven I



1947-1948



206



206



Palo Alto



1948-1949



New Haven I Palo Alto



-



@



-b



-



-



-@



-



-a. c



+a



-



-



+



-



+@



-



+



+



372



-



+@



1950-1951



214



+@



1951



73



+@



a). Menunjukkan signifikansi perbedaan di tingkat kepercayaan 5 % atau lebih. b). Tanda minus menunjukkan bahwa kelas menegah memulai atau menyeleksikan latihan lebih awal dari pada kelas buruh. 3). Berdasarkan dari laporan 1946



Data tentang lamanya menyusui (Tabel 4) dan saat menyapih dan latihan berak (Tabel 5 dan 6) benar-benar menguatkan semua kecenderungan yang agak kurang dapat dipercaya di atas. Ada kecenderungan umum dikedua kelas sosial untuk menyapih bayi dari menyusu tetapi rupanya untuk memungkinkan bayi mengisap susu botol hingga umur yang agak lebih lama. Karena tak ada rujukan yang seragam yang digunakan untuk menjamin kesahihan informasi tentang latihan buang-air dibeberapa studi (beberapa peneliti melaporkan persentase latihan di umur 6 bulan, penelitian diumur 10 bulan, yang lain lagi diumur 12 atau 18 bulan) Tabel 6 hanya menunjukkan arah perbedaan antara kedua kelas sosial itu. Semua angka tentang waktu, menunjukkan generalisasi yang sama. Dalam periode sebelumnya, ibu kelas menengah menggunakan tekanan lebih besar. Mereka menyapih anak mereka dari menetek dan menyusu dari botol dan melaksanakan latihan pipis dan berak di 10



330



tahun terakhir kecenderungannya terbalik. Kini ibu kelas menengah yang lebih belakangan melatih anak mereka. Kecenderungan tetap ini menurut analisis Wolfeinstein20) makin penting artinya terhadap pengasuhan bayi. Ia melukiskan periode 1929-1938 sebagai ditandai oleh : …. Penekanan makin kuat terhadap keteraturan, segala sesuatu dikerjakan menurut jam. Penyapihan dan memperkenalkan makanan padat dilakukan dengan sangat tegas, tak pernah memberikan kesempatan menolak bagi bayi….latikan buang-air….harus dilakukan dengan tekat besar sedini mungkin… Bahaya utama yang dihadapi bayi saat ini adalah dominasi orangtua. Keberhasilan mendidik anak berarti menang melawan anak dalam perjuangan mendapatkan dominasi.



Tetapi dalam periode berikutnya, …..semua ini telah berubah. Anak sungguh menjadi tak berbahaya…. Tujuan aktif utamanya adalah untuk menjelajahi dunianya…. Bila tak terlibat dalam usaha penjelajahan, bayi memerlukan perhatian dan perawatan ; dan ini diberikan bila ia memerlukannya jauh dari membuatnya menjadi tiran, akan membuatnya kemudian menjadi kurang tergantung. Saat ini kehalusan dianjurkan disemua bidang : mengisap jempol dan onani tak perlu lagi diganggu ; menyapih dan melatih bayi buang-air dikerjakan lebih lambat dan dengan lebih hati-hati21). Kesejajaran antara pemberian nasehat dan praktek juga nampak dalam penggunaan ASI (air susu ibu) untuk bayi. Hingga 1945 “penggunaan ASI direkomendasikan dengan sungguh-sungguh” disertai peringatan untuk tidak menyapih terlalu dini”. Sekitar 1951 “kekerasan pendirian jangka panjang mengenai menyusui dikendorkan”. Bulletin negara bagian edisi tahun itu, menulis : “Para ibu yang merasakan lebih mudah memberi makan bayi dengan susu botol tentu akan merasa senang melakukan cara itu”. Sekali lagi hubungan dalam rantai informasi melengkapi cerita ini. Banyak bukti bahwa baik di awal maupun diperiode kemudian, ibu kelas menengah jauh lebih



331



banyak menerima informasi tentang pemeliharaan bayi ketimbang ibu kelas buruh. Demikianlah tabel demi tabel yang disebutkan Anderson menunjukkan bahwa orangtua dari tingkat status sosioekonomi lebih tinggi lebih banyak membaca buku, majalah dan pamplet dan lebih banyak mendengar siaran radio yang berbicara tentang cara pemeliharaan bayi dan berbagai masalah berkaitan ketimbang orangtua dari tingkat status sosioekonomi rendah. Begitu pula dalam 5 tahun terakhir White di California dan Block di New York melaporkan bahwa ibu kelas menengah jauh lebih besar kemungkinannya membaca Baby and Child Care, buku laris Spock22) dan publikasi serupa lainnya ketimbang ibu kelas buruh. Analisis kami mengesankan bahwa ibu kelas menengah tak hanya membaca buku tetapi juga menggunakannya secara serius dan karena itu perlakuan mereka terhadap anak mereka dipengaruhi oleh bacaan itu. Lagi pula ibu kelas menengah tak hanya lebih banyak membaca tetapi juga lebih tanggap. Mereka merubah perilaku mereka lebih awal dan lebih cepat dari pada ibu kelas buruh. Dalam melihat keluarbiasaan dekatnya kesamaan perubahan sepanjang waktu yang ditunjukkan oleh analisis Wolfenstein dan analisisku ini, orang tak boleh mengabaikan kecenderungan belakangan ini yang jelas ditunjukkan dalam laporan Wolfeinstein dan samar-samar terlihat juga dalam data yang kita kumpulan. Wolfeinstein menyatakan bahwa sejak 1950 pemikiran konservatif pelan-pelan telah masuk ke dalam literatur pendidikan bayi ; ada upaya untuk melanjutkan ….memperlembut tetapi bukan tanpa konflik dan perasaan was-was… Apakah tidak melanjutkan kegembiraan dapat menimbulkan kecanduan dan meningkatkan tuntutan keperluan?” Dalam hubungan ini agaknya bukan hanya kebetulan bahwa perbedaan dalam kolom terakhir Tabel 2 hingga 4 menunjukkan penurunan tipis setelah sekitar 1950 ; ibu kelas menengah masih lebih “kendur” ketimbang ibu kelas buruh tetapi perbedaannya tak lagi sebesar sebelumnya. Sekali lagi, praktek pengasuhan anak mungkin mengutip nasehat (aturan yang diperkenalkan lebih terbatas dan lebih diperlukan) masih dalam kerangka permisif. Kita akan kembali membahas



332



kemungkinan ini dalam bahasan perbedaan kelas dalam mendidik anak berumur lebih dari 2 tahun. Secara keseluruhan, hubungan antara data Wolfeinstein dan data aku, menghasilkan sebuah hipotesis-umum yang meluas melampaui batas kelas sosial : praktek pengasuhan anak ada kemungkinan berubah sangat cepat dalam segmen masyarakat yang paling dekat ke akses dan yang paling mau menerima keagenan atau agen perubahan (misalnya media massa, klinik, dokter dan penasehat). Dari sudut pandang ini orang dapat mengusulkan kecenderungan tambahan melalui data yang tersedia yang patut diperhatikan : keluarga pedesaan agak tertinggal di belakang dalam praktek pemeliharaan bayi. Contoh, dalam laporan Anderson ada bukti bahwa tahun 1932 keluarga petani (kelas IV dalam sampelnya) masih menyusui bayinya lebih sering tetapi kurang lentur dalam mengatur dan melatih buang-air ketimbang keluarga non-petani yang secara kasar setara status sosioekonominya. Begitu pula dari studi kedua Miller dan Swason di Detroit ada indikasi bahwa dengan status sosioekonomi dianggap konstan, ibu berorangtua berlatar belakang pedesaan setia kepada tehnik sosialisasi yang lebih kaku ketimbang ibu yang orangtuanya berlatarbelakang urban. Terakhir, kedua sampel dalam data kita sangat besar kemungkinannya mengandung proporsi keluarga pedesaan relatif tinggi (Eugene, Oregon, dan New York) adalah juga sedikit di luar garis dalam menunjukkan perbedaan lebih kecil dalam menyukai kepermisifan kelas menengah dalam mangasuh bayi. Pengamatan di atas menarik perhatian pada fakta bahwa kecenderungan waktu utama yang terlihat dalam data kita, meski mengesankan, bagaimanapun adalah seragam. Ada beberapa tanda kekecualian itu dapat dijelaskan menuruti ciri-ciri khusus sampel yang digunakan. Contohnya studi di New Haven (sepadan dengan pengaruh ideologi dan semua yang tersirat didalamnya) menunjukkan frekuensi tertinggi dan lamanya masa menyusui berdasar keperluan bayi dari semua hasil survei yang dilaporkan. Ketakcocokan lain, sekurang-kurangnya sebagian, mungkin disebabkan oleh perbedaan rentang waktu yang dicakup oleh data (Nasional 1930 333



versus 1932) menunjukkan perbedaan angka menyusui untuk anak pertama versus anak yang kemudian (Palo Alto versusu Nasional 1930 atau Boston), perbedaan etnis (Boston versus Chicago), perbedaan umur ibu dalam sampel kelas menengah vs. kelas buruh (Chicago) dan seterusnya. Namun semua penjelasan ini adalah “tentang fakta” dan karena itu harus dipandang dengan kecurgaan.



Ringkasan Meski tak mampu menjelaskan rahasia seluruh awal kebiasaan yang menjadi kecenderungan umum, namun kita merasa agak aman membuat kesimpulan mengenai sifat kecenderungan ini. Ringkasnya, sejak 25 tahun yang lalu, walau kebiasaan menyusui makin kurang populer, para ibu Amerika terutama dari kelas menengah, makin permisif dalam praktek memberi makan dan dalam melatih buang-air selama dua tahun pertama umur bayi. Pertanyaan yang belum terjawab, apakah kecenderungan ini sama-sama jelas kelihatan dalam mengasuh anak ketika umurnya makin bertambah. Selajutnya kita akan beralih ke pembahasan masalah ini.



V. Perbedaan Kelas Dalam Mendidik Anak Berumur 2 Tahun ke Atas Segera setelah kita meninggalkan tahap bayi, data dari studi berbeda tentang pendidikan anak makin sukar dibandingkan. Pertanyaan yang diajukan dari satu riset ke riset lain makin besar perbedaannya dan akibatnya tipe unit laporannya pun berbeda (misalnya skala yang berkaitan dengan bermacam-macam cara). Dalam kejadian tertentu (seperti dalam survei di Chicago, Detroit II dan rupanya juga di Eugene) pertanyaannya tidak menunjuk ke praktek pengasuhan anak dimasa lalu atau sekarang tetapi ke pendapat ibu tentang apa yang akan ia lakukan di periode berikutnya bila umur anaknya bertambah. Juga bila sampel mencakup anak-anak yang besar perbedaan umurnya, sering sukar menentukan di periode mana perilaku yang dilukiskan ibu itu benar-benar terjadi. 334



Adakalanya umur tertentu yang ditetapkan dalam pertanyaan pewawancara dan bila ini terjadi, kita dapat menggunakan fakta itu untuk menaksir tanggal prakteknya. Tetapi yang lebih sering, informasi seperti itu tak cukup. Karena itu taksiran kita tentang waktu prakteknya harus dianggap sebagai sumber kesalahan. Terakhir, meski pada dasarnya kita menghadapi hasil riset yang sama-sama menganalisis pemeliharaan bayi, periode total yang dicakup oleh data adalah lebih pendek. Ini disebabkan ibu tak lagi diminta untuk mengingat kembali bagaimana cara mereka menangani anak mereka ketika masih bayi ; malahan mereka melaporkan perilaku anaknya diumur atau tak jauh dari saat wawancara berlangsung. Gabungan semua hal di atas sangat membatasi kemapuan kita untuk mengenali perubahan praktek pengasuhan bayi sepenjang waktu. Karena itu ketiadaan bukti perubahan tersebut dalam data kiranya lebih tepat dikaitkan dengan keterbatasan ukuran kita ketimbang dengan jalannya kejadian sebenarnya.



Kepermisifan dan Pembatasan Kebebasan Bergerak Bidang pernyataan gerak-hati yang dibuktikan kebenarannya di tabel 7 mencerminkan kelangsungan cara memperlakukan anak mulai dari orok (Babyhood) hingga masa kanak-kanak (childhood) awal. Hanya dengan satu kekecualian kecil, tak signifikannya secara statistik, hasil analisis melukiskan bahwa orangtua kelas menengah, dalam keempat bidang kegiatan (perbuatan mulut, buang-air kebetulan, seks dan perbuatan agresi) lebih permisif ketimbang orangtua kelas buruh. Tak ada kesan terjadinya perubahan dalam jangka waktu agak singkat. Tetapi kecenderungan munculnya kembali pembatasan kebebasan bergerak yang kini sedang lazim, ditunjukkan di tabel 8. Di tabel 8 terlihat perubahan bertahap sepenjang waktu dimana orangtua kelas menengah makin membatasi ditahun 1937 dan diawal 1940 tetapi menjadi makin permisif selama dekade terakhir. Tabel 7. Kepermisifan Terhadap Pernyataan Gerak-Hati.



335



Sampel Nasional I



Taksiran



Jlh. Kasus yang



Arah Kecenderungan Kelas Menengah



praktek



tgl



dilaporkan



Perbuatan mulut



1932



470



Berak kebetulan



Seks



Agresi



Lebih banyak bayi yang



dibolehkan



bermain ditpt tidur tanpa pakaian Chicago



1943



100



Dirawat



dng



Lebih banyak anak



mengabaikan@



yang



dipertimbangkan atau



berkelahi



dibicarakan



mereka



ditampar@, dimarahi



saling melukai@.



atau



dibolehkan sejauh tidak



menunjukkan



kebencian@. Detroit II



New Haven



Eugene



1946



1949-1950



1950



70 – 88



216



Jarang



ditampar



atau dicaci



Kurang



sering



disiplin



yang



Kurang sering disiplin bila



menyentuh



alat



mengisap jari



kelamin



Kurang sering dicela



Kurang



ngisap jari, kebiasaan



diperlakukan



makan@



ditampar atau dicaci



sering dengan



Lebih



permisif



Lebih sedikit anak yang



terhadap



perilaku



dibolehkan



seksual anak@



sepanjang



berkelahi tak



saling



melukai lebih permisif thd. Ageri umum Boston



1951



372



Kurang



dilarang



gunakan jari untuk



Latihan berak kurang



Lebih permisif thd.



Lebih



keras



Perilaku seks



bila agresif thd.



makan@



Ortu@, anak-anak & kandung



Pendidikan untuk Independen dan Berprestasi Sedemikian jauh kecenderungan yang tampak terutama menunjuk ke satu arah meningkatnya kelonggaran di pihak orangtua kelas menengah. Dalam pada itu, perhatian dengan seksama atas sifat data ini akan mengungkapkan bahwa dalam beberapa hal data ini bersifat sepihak : hampir seluruhnya hanya memusatkan perhatian pada tanggapan orangtua terhadap pengungkapan keinginan dan keperluan 336



permisif



saudara Hkm.



Kurang



jika



agresif thd ortu



@



anak. Bagaimana tanggapan anak terhadap keinginan dan keperluan orangtua dan bagaimana sifat tuntutan orangtua ini? Hasil yang disajikan di Tabel 9 sangat penting karena mencerminkan ketiga aspek masalah di atas. Selain dari itu data di Tabel 9 ini menjadi tanda kecenderungan tak tertandingi menuju kelonggaran (permissivennes) dalam pendidikan anak. Tiga jenis pertanyaan telah diajukan berkenan dengan pendidikan untuk kemandirian (independence). Pertama adalah jenis pertanyaan yang telah kita hadapi selama ini; contoh, peneliti di Boston menanyakan tentang reaksi ibu terhadap ekspresi ketergantungan anak (bergantung pada rok ibu, meminta perhatian dan sebagainya). Hasil pertanyaan ini yang ditunjukkan di kolom 6 Tabel 9 adalah sesuai dengan temuan terdahulu untuk periode sesudah perang ; ibu kelas menengah lebih bertoleransi atas keperluan yang dinyatakan anak ketimbang ibu kelas buruh. Jenis pertanyaan kedua berurusan dengan kemajuan anak dalam menjaga dirinya dan dalam memikul tanggungjawab (kolom 7). Kecenderungan yang belum jelas selama ini disini menjadi kelihatan, meski ada kesan makin besarnya kecemasan dipihak ibu kelas menengah. Contoh, tahun 1932 keunggulan material anak kelas menengah dalam berpakaian dan makan sendiri hanyalah “sebagian” tidak “menyeluruh”. Dalam studi di Palo Alto tahun 1935, ibu kelas menengah memandang anaknya lebih tergantung, meski pengamat dari luar melihatnya kurang tergantung. Akan nampak bahwa ibu kelas menengah berjaga-jaga terhadap tanda ketergantungan anak dan khawatir kalau-kalau mereka menekannya terlalu cepat.



337



Tabel 8. Pembatasan Kebebasan Bergerak Sampel Nasional II



Nasional III



Taksiran tgl



Jlh.



praktek



dilaporkan



1932



2289



1932



669



Kasus



yang



Umur



Item Pembatasan



Arah hubungan@



1–5



6-12



Larangan bermain dipekarangan



-



Larangan bermain di blok



+



Larangan ditetangga



+b



Larangan ditempat bermain



+b



Anak nonton dibioskop dng ortu



+



Nonton bersama anak lain



+



Nasional IV



1932



2414



1 – 12



Anak cepat tidur



+



Chicago



1943



100



5



Umur anak dibolehkan ke bioskop



+b



sendiri atau dng anak lain Umur untuk dibolehkan pergi ke pusat



-b



kota Umur yang diharapkan anak ada di



+b



rumah malam hari New Haven



1949-1950



211



1



Jam tidur ditetapkan



-b



Boston



1951-1952



372



5



Pembatasan seberapa jauh anak boleh



-



pergi dari rumah Frekuensi pemeriksaan ttg keberadaan



-c



anak dimana Kekerasaan ttg jam tidur



-b



Jlh.perhatian yang diberikan oleh orang



-b



lain ketimbang ortu Detroit II



1953



136



0-18



Anak diawasi dg ketat setelah berumur



-6



12 tahun Palo Alto



1953



74



2½-5½



Tingkat pengawasan anak



a). Tanda plus menunjukkan pembatasan lebih besar untuk kelas menengah. b). Menandakan signifikansi perbedaan ditingkatkan kepercayaan 5 % atau lebih c). Perbedaan antara persentase tidak signifikan tetapi perbedaan antara nilai mean adalah signifikan ditkt ke kepercayaan 5% atau lebih.



Tetapi seperti ditunjukkan data di kolom 8, bagaimanapun ibu kelas menengah menekan perasaan ketergantungan anak mereka. Umumnya ibu kelas menengah 338



0



mengharapkan lebih banyak dari anaknya ketimbang ibu kelas buruh. Kelima perbedaan signifikan secara statistik mendukung kecenderungan ini dan sebagian besar hasil sisanya menunjukkan arah yang sama. Kesimpulan ini dikuatkan selanjutnya oleh temuan tentang perbedaan kelas dalam cita-cita orangtua untuk kemajuan akademis anak, seperti terlihat di kolom 9. Satu-satunya kekecualian terhadap kecenderungan yang sangat dapat dipercaya ini adalah arti penting kecenderungan itu sendiri. Dari studi di Boston diketahui lebih banyak ibu kelas menengah yang mengharapkan anak mereka masuk kolej tetapi kecil kemungkinan untuk mengatakan bahwa anak mereka rajin belajar di sekolah. Apakah para ibu ini semata-mata memberikan jawaban sekedar apa yang mereka anggap dapat diterima secara sosial ataukah mereka benar-benar kekurangan alasan untuk memikirkannya karena anak mereka berbuat sesuai dengan harapan semula? Pertanyaan di atas menimbulkan masalah lebih besar dan lebih signifikan. Data kita menunjukkan bahwa orangtua kelas menengah menjadi semakin permisif dalam menanggapi keinginan dan keperluan yang diungkapkan anak. Namun mereka tak mengendorkan tingkat harapan mereka yang tinggi terhadap prestasi akhir anak mereka. Apakah dalam hal ini kita berhadapan dengan contoh khas “keterputusan persyaratan kultural”24) seperti diungkapkan Benedict, dimana anak mula-mula didorong menurut satu pola tanggapan dan kemudian diharapkan melaksanakannya menurut satu pola tanggapan dan kemudian diharapkan melaksanakannya menurut cara yang sangat berbeda? Bila demikian, akan ada hari-hari kekecewaan ayah dan ibu kelas menengah di masa depan. Atau adakah unsur lain dalam hubungan orangtua – anak keluarga kelas menengah yang memaksa anak berupaya keras meski atau barangkali karena dimasa kecilnya telah mendapatkan kepuasan relatif tak terintangi? Data tentang perbedaan kelas dalam tehnik menerapkan disiplin kiranya dapat menjawab pertanyaan di atas.



339



Tabel 9. Pendidikan untuk Mencapai Prestasi Akademis dan Kematian



Tehnik Menanamkan Disiplin Temuan paling mantap yang dibuktikan di Tabel 10 adalah bahwa orangtua kelas buruh lebih sering menggunakan hukuman pisik sebagai tehnik menanamkan disiplin terhadap anak. Sedangkan orangtua kelas menengah lebih banyak menggunakan paksakan fikiran, isolasi dan apa yang ditunjuk Sears dkk sebagai tehnik disiplin “berorientasi cinta”. Pengaruh tehnik ini tergantung pada ketakutan anak akan kehilangan cinta orangtua. Miller dan Swanson pada dasarnya menunjuk pada kelas fenomena yang sama ketika menggunakan istilah “disiplin psikologis” yang menurut mereka



meliputi



perilaku



orangtua



seperti



mempertimbangkan



kesalahan,



menyatakan kekecewaan, dan lebih menggunakan tehnik pemberian hadiah dan hukuman simbolis ketimbang langsung. Tabel 10 menunjukkan semua data yang tersedia tentang perbedaan kelas dalam penggunaan tehnik hukuman pisik, paksaan fikiran, isolasi dan “berorientasi cinta”. Untuk menghindarkan resiko betapapun kecilnya, yang terlibat dalam penggunaan teori yang menyilaukan, kita juga mempunyai daftar perbedaan kelas signifikan lainnya mengenai tehnik menanamkan disiplin temuan berbagai studi. Daftar itu ditempatkan di kolom terakhir Tabel 10. Dilihat dari satu sisi, hasil temuan ini sekali lagi menunjukkan lebih lembutnya kebijakan dan praktek disiplin keluarga kelas menengah. Orangtua kelas menengah ini terutama lebih besar kemungkinannya memaafkan pelanggaran dan bila mereka mengejek atau menimbulkan sakit-hati. Malahan mereka berunding dengan anaknya, mengisolasi, mempertimbangkan kesalahan, menunjukkan kekecewaan, singkatnya memberitahukan kesalahan anak dengan berbagai cara, disatu sisi dengan menyampaikan jenis perilaku yang diharapkan dari anak; di sisi lain menginsyafkan bahwa hukuman berarti mengganggu hubungan baik antara orangtua dan anak. Perbedaan kelas yang mantap ini dilihat dari sudut temuan, mengandung signifikansi tambahan bahwa baik peneliti Boston maupun Detroit secara terpisah



340



sama-sama tiba pada kesimpulan bahwa tehnik “berorientasi cinta” atau tehnik psikologis lebih efektif dari pada tehnik lain untuk menimbulkan perilaku yang diharapkan. Berdasarkan data mereka masing-masing kedua kelompok peneliti itu tiba pada kesimpulan bahwa hukuman fisik untuk anak yang melakukan tindak agresi cenderung meningkatkan ketimbang mengurangi perilaku agresif. Dilihat dari sudut kepentingan kita, temuan ini berarti bahwa orangtua kelas menengah meski dalam satu hal menggunakan tehnik menanamkan disiplin yang lebih lemah-lembut, sebenarnya tehnik itu lebih memaksa. Lagi pula kekuatan memaksa tehnik ini agaknya lebih ditingkatkan ketimbang diturunkan oleh perlakuan yang lebih permisif yang sesuai untuk anak kelas menengah di usia dini mereka. Keberhasilan menggunakan tehnik pengambilan kembali kasih-sayang selaku tehnik menanamkan disiplin, secara tak langsung menyatakan keberadaan hubungan yang memuaskan sebelumnya; makin besar cinta yang ada dalam hubungan sebelumnya secara tersirat berarti makin besar ancaman akan dicabutnya kembali kasih sayang itu.



341



Tabel 10. Tehnik Menanamkan Disiplin. Sampel



Tgl



Jlh.kasus yg



praktek



dilaporkan



Petunjuk Hubungan Umur



Huk.



Pertimbangan



Tehnik



Sifat tehnik



Kecenderungan



Pisik



isolasi



orientasi



orientasi cinta



lain kls.



cinta Nasional II



1932



1947



Nasional III



1932



839



Nasional IV



1932



3130



menengah



-6 +6 +6



Pelanggaran



lebih



sering diabaikan



b



lebih banyak anak yg



dicabut



kenikmatannya sbg. hukuman Chicago I



943



100



5



+



-



+



Pujian



untuk



kelakuan baik



Anak kotor lebih sering



diabaikan



ketimbang



dijewer



atau dibenci Detroit I



1950



115



12 – 14



-



b



+



Ibu



nyatakan



kekecewaan atau



akan



menghukum Detroit II



1950



222



0 –19



-



+



Ibu



lebih



gunakan simbol ketimbang hadiah



&



hukuman langsung Eugene Boston



1950 1951



206 372



0 – 18 5



-



b



0



+



+



+



b



Tak perbedaan



ada dlm



penggunaan pujian penarikan sayang



a). Tanda plus menandakan prakteknya lebih biasa di kelas menengah ketimbang dikelas buruh. b). Menunjukkan perbedaan antara signifikansi kelas ditingkat kepercayaan 5% atau lebih.



342



Krg. ejekan



Gunakan b



pencabutan



hak istimewa utk atau



tidak gaduh dimeja makanb



c). Perbedaan persentase tidak signifikan, tetapi perbedaan antara nilai mean, signifikan ditingkat kepercayaan 5 % atau lebih



Singkatnya, kembali ke masalah yang dikemukakan di seksi terdahulu, analisis kita memberikan kesan bahwa orangtua kelas menengah sebenarnya menggunakan tehnik menanamkan disiplin yang lebih efektif dalam menimbulkan perilaku yang diinginkan dari anak. Apakah tingkat harapan yang tinggi yang dipertahankan orangtua kelas menengah itu benar-benar tercapai atau tidak, itu adalah persoalan lain. Sekurang-kurangnya terlihat adanya ukuran kelangsungan fungsional cara mengasuh anak sejak dari orok hingga ke masa kanak-kanak. Sebelum meninggalkan bahasan data Tabel 10, ada satu ciri tambahan hasil analisis yang patut dikomentari. Dalam laporan studi Boston paling akhir, ada tiga kecenderungan umum yang menjadi pangkal tolak. Pertama, tak ada perbedaan kelas signifikan yang ditemukan dalam penggunaan menyeluruh tehnik pemberian pujian. Kedua, orangtua kelas buruh di Tabel 10 lebih banyak memberikan pujian anak yang berkelakuan baik ketimbang orangtua kelas menengah. Ketiga, berbeda dari temuan terdahulu, ibu kelas buruh lebih sering menghukum anak mereka dengan menarik kembali privilej yang mereka berikan. Meski Sears dkk tidak menggolongkan tehnik “penarikan kembali privilej” sebagai tehnik berorientasi cinta”, namun terjadi pergeseran yang mencerminkan perubahan arah apa yang sebelumnya menjadi ciriciri tehnik menanamkan disiplin orangtua kelas menengah. Terakhir, tak ada kecenderungan yang jelas dalam perbedaan penggunaan tehnik berorientasi cinta oleh kedua kelas menengah bila kita melihat studi Boston sebagai mencerminkan kecenderungan paling akhir dalam penggunaan tehnik menanamkan disiplin, maka yang mulai mengurangi penggunaan tehnik yang sebelumnya mereka andalkan itu atau tak seorang ibu kelas buruh pun yang mulai menerimanya. Kita lebih condong ke hipotesis berikut ini dengan keyakinan bahwa ibu kelas buruh bersamaan dengan peningkatan pendapatan dan pendidikannya secara bertahap mengurangi kesenjangan budayanya”. Data dari studi berikutnya memang menguatkan interpretasi spikulatif 343



ini. Karena hasilnya hanya menyebutkan ciri khas studi Boston dan tidak khas kecenderungan umum.



Ciri Menyeluruh Hubungan Orangtua Anak Sedemikian jauh bahasan dipusatkan pada praktek khusus dalam menanamkan disiplin yang digunakan orangtua. Sejumlah riset membuktikan kebenaran adanya perbedaan kelas maupun perubahan seperti perubahan kualitas hubungan emosional antara orangtua dan anak secara keseluruhan. Riset ini ada keuntungan tambahannya karena menjangkau jangka waktu yang agak jauh kebelakang tetapi juga mempunyai kelemahan. Pertama hasilnya tidak dilaporkan dalam bentuk persentase kompensional atau rerata untuk tingkat kelas sosial tertentu. Dalam studi tertentu temuannya disajikan menurut koefisien-korelasi. Dalam studi lain, status sosial hanya dapat ditaksir dari tingkat pendidikan. Dalam studi lain lagi, data disajikan dalam bentuk grafik sehingga derajat signifikansinya tak dapat diuji. Sebagian untuk mengimbangi kekurangan ketepatan dan kekurangan sifat dapat dibandingkan, sebagian untuk melengkapi gambaran dari data yang tersedia tentang perbedaan kelas dalam mengsuh anak, yang disebutkan di Tabel II tidak hanya hasil studi tambahan tentang variabel umum tetapi juga semua temuan lain dari riset yang sebelumnya dianggap menyinggung masalah yang ada. Dalam hal ini kita berupaya menghindarkan pandangan beratsebelah yang adakalanya muncul dari kecenderungan hanya melihat ke variabel yang berhubungan langsung dengan perhatian teoritis saja. Tabel II. Ciri – Ciri Menyeluruh Hubungan Orangtua – Anak



344



Data di Tabel 11 adalah penting dalam sejumlah hal. Pertama, kita telah mendapat ketegasan yang jelas bahwa selama periode 25 tahun orangtua kelas menengah telah menjalin hubungan yang lebih dapat diterima dan lebih setara dengan anak mereka. Dalam berbagai cara, perbedaannya dicontohkan dalam perbedaan buatan Duvall antara konsep hubungan ibu – anak yang disebut “perkembangan” dan “tradisional”. Dalam studi sampel, Duvall meminta ibu menyebutkan “hal yang baik dilakukan ibu” “5 hal yang baik dilakukan anak”. Ibu kelas menengah cenderung menekankan tema seperti “membimbing dan memahami”, menghubungkan dirinya sendiri dengan perasaan kasih sayang terhadap anak”, meyakinkannya bahwa ia bahagia dan senang”, “bersama dan bekerjasama dengan anak lain” dan giat belajar”. Sebaliknya ibu kelas buruh menekankan pentingnya anak tetap di rumah dan “rapi serta bersih”, “mendidik anak hidup teratur” dan menghendaki anak mematuhi dan menghormati orang dewasa”. Apalagi dalam orientasi nilai yang berlawanan dari kedua kelas sosial ini yang masih bertahan? Dari data yang didapat 1957, Kohn26) melaporkan bahwa ibu kelas menengah berbeda dari ibu kelas buruh dalam pilihan watak yang paling mereka inginkan dari anak. Ibu kelas buruh menekankan “kerapian dan kebersihan dan kepatuhan”. Sedangkan ibu kelas menengah menekankan” kebahagiaan, baik budi dan kontrol diri”. Tetapi sekali lagi akan keliru menyimpulkan bahwa orangtua kelas menengah kurang menggunakan tekanan terhadap anaknya. Seperti juga ditunjukkan data Tabel 11, lebih tinggi persentase anak kelas menengah yang dihukum menurut cara tertentu dan lebih banyak yang memerlukan disiplin untuk mencegah anak terluka atau bahaya. Lagi pula, meski secara khas ayah kelas menengah lebih hangat hubungannya dengan anaknya, ia juga mungkin mempunyai otoritasi lebih besar dan status lebih tinggi dalam urusan keluarga. Meski pergeseran sepanjang waktu sukar dinilai karena data demikian berubahubah kandungan khususnya, kecenderungan yang cukup menonjol patut dikomentari. Menurut data studi Berkeley orangtua kelas buruh lebih menampakan kasih345



sayangnya ketimbang orangtua kelas menengah. Tetapi dalam studi tindak-lanjut terhadap anak yang sama 8 tahun kemudian, kecenderungannya terbalik. Agaknya ibu yang sama muda dan anak lebih tua. Item pertanyaan “bayi diangkat bila menangis”, menghasilkan perbedaan signifikan lebih banyak disetujui ibu kelas buruh ditahun 1932 dan pergeseran terpercaya ke arah berlawanan terjadi ditahun 1953. Sic transit gloria Watsoniensis! Melihat hubungan yang memuat nilai yang sama beratnya dengan hubungan yang terlihat di Tabel 11 orang tentu memperhatikan kemungkinan bahwa datanya tidak menunjukkan



perilaku



sebenarnya



tetapi



lebih



mencerminkan



keunggulan



pengetahuan ibu kelas menengah dalam memberikan jawaban yang dapat diterima secara sosial. Tak syak lagi, faktor ini berperan meningkatkan hubungan yang dilaporkan. Namun ada beberapa pertimbangan yang menentramkan. Pertama meski item pertanyaan sangat berbeda intensitas konotasi nilainya, pada dasarnya hasilnya menunjukkan kecenderungan yang sama. Kedua, 4 hasil studi yang yang dilaporkan di Tabel 11 (Berkeley I dan II, Yellow Spring dan New Haven II) bukan berdasarkan jawaban ibu ketika diwawancarai tetapi berdasarkan hasil observasi interaksi aktual antara anggota keluarga. Karena itu sangat tak mungkin bahwa kesimpulan yang telah dicapai hanya dapat digunakan untuk menyatakan opini dan bukan untuk menyatakan perilaku nyata.



IV. Tinjauan Kembali dan Harapan. Menarik membandingkan hasil analisis kita dengan pandangan tradisional tentang perbedaan antara gaya hidup kelas menengah dan kelas bawah seperti yang dibuktian kebenarannya dalam diskripsi klasik Warner27), Davis28), Dollard29) dan analisis lebih belakangan oleh Spinley30) Clausen31), dan Miller dan Swason32). Dalam semua sumber ini, kelas buruh secara khas digambarkan mempunyai ciri-ciri menurutkan kata hati (impulsive) dan tidak menghalangi sedangkan kelas menengah lebih rasional, dikontrol dan dibimbing oleh perspektif waktu lebih luas.



346



Pola kehidupan kelas bawah…..menekankan pada kepuasan jasmaniah, pada kebebasan menyatakan agresi, pada pengeluaran dan kebersamaan. Kebersihan, menghormati hak-milik, pengendalian seksual, prestasi pendidkan yang seluruhnya dihargai tinggi oleh kelas menengah AS kurang penting bagi keluarga kelas bawah atau pengungkapan secara berbeda33) Hingga taraf tertentu data kitapun mendekati gambaran di atas tetapi lebih untuk periode sebelum PD II ketimbang periode kini. Kelas menengah moderen mengembangkan perspektif waktunya sehingga tugas pendidikan anak kini dikerjakan berdasarkan skedul lebih longgar. Kalau kelas bawah, perilaku aktual orangtua jauh lebih baik ketimbang nilai yang mereka coba tanamkan ke dalam diri anak mereka. Seperti tercermin dari data di Tabel 10 dan 11 orangtua kelas bawah (meski ia mengeluhkan dan mengendalikan perangai anaknya) dirinya sendiri lebih agresif, terang-terangan dan dan menurutkan kata hati ketimbang orangtua kelas menengah. Meski demikian gambaran itu jauh berbeda dari gambaran tradisional tentang kesederhanaan dan kekeringan kelas bawah. Potret klasik kelas bawah ini agaknya masih terlihat disepenjang perkampungan gembel dan Tobacco Road di AS tetapi ini tak terdapat disepenjang jalan yang dilalui dalam survei. Ia berbicara sedikit ketika bel pintunya dibunyikan ; ia tinggal di seksi utama distrik kelas bawah dimana kebanyakan suami mempunyai pekerjaan tetap yang lebih penting adalah isterinya mau membukakan pintu dan menjawab pertanyaan pewawancara. Di dunia kelas buruh moderen ini, kebebasan untuk mengungkapkan perasaan mungkin lebih besar, tetapi tak ada kelemahan atau ketersamaran mengenai tujuan mendidik anak. Sejak lebih dari 25 tahun yang lalu, orangtua dalam kelompok ini terus-menerus menekankan apa yang biasanya dianggap sebagai kebaikan kelas menengah tradisional yakni kebersihan, keserasian dan kontrol dan meski tehnik ini tak sefektif yang diterapkan kelas menengah, orangtua kelas bawah ini mungkin lebih matimatian menerapkannya. Mungkin karena kekecewaan mereka ditingkatkan oleh terlalu menurutkan kata hati dan agresi menyebabkan orangtua kelas buruh ini mencoba mengejar tujuan baru 347



dengan tehnik menanamkan disiplin yang lama. Meski menerima aspirasi tingkat kelas menengah, ibu kelas buruh ini masih belum menghayati secukupnya cara menanggapi yang membuat standard kelas menengah itu dapat tercapai dengan mudah oleh dirinya sendiri atau oleh anaknya. Ia masih harus belajar menunggu, menerangkan dan memberikan dan menyembunyikan kasih-sayangnya sebagai hadiah dan harga prestasi anaknya. Hingga 1957 ada kesan bahwa jurang pemisah kultural mungkin menyempit. Spock menghubungkan pandangan orangtua kelas bawah ini dengan Bible. Bila kita ingin melihat bentuk masa depan, kita takkan dapat berbuat lebih baik dari pada melihat ke halaman buku pedoman yang ada dimanamana itu, yakni Bible edisi baru yang direvisi. Inilah contoh khas pandangan baru bagian yang takkan ditemukan diversi sebelumnya : Bila orangtua dapat menentukan dalam hal apa ia mungkin terlalu permisif dan dapat menetapkan disiplinkannya, bila ia jalan yang benar, ia akan merasa senang menemukan anaknya tak hanya akan berkelakuan lebih baik tetapi juga lebih bahagia dan selanjutnya akan merasakan kebahagiaan anaknya ini34). Rupanya “cinta” dan “pembatasan” akan menjadi semboyan orangtua generasi mendatang. Menurut analisis kita, implikasi terpenting untuk masa datang lebih terletak dibidangnya ketimbang disubstansi tehnik menanamkan disiplin. Harapan terbaik kita untuk memahami perbedaan dalam mendidikan anak diberbagai segmen masyarakat kita (AS) dan pengaruh perbedaan ini terhadap pembentukan kepribadian terletak pada pengembangan rencana jangka panjang untuk mengumpulkan data yang dapat dibandingkan berdasar periode waktu yang ditetapkan dengan sampel keluarga cukup besar pada posisi berbeda dalam struktur sosial. Kini kita mempunyai organisasi survei dengan tenaga ahli dan fasilitas tehnis memadai untuk melaksanakan tugas itu. Dengan harapan demikian, penulis melihat ke depan ke suatu hari ketika analisis ini akan terlihat menjadi kuno, baik metode maupun substansinya.



VII. Rekapitulasi



348



Analisis komperatif tentang hasil studi pengasuhan anak menurut kelas sosial selama periode 25 tahun, dapat disimpulkan sebagai berikut. A.



Kecenderungan Pemeliharaan Bayi



1. Lebih dari seperempat abad lalu, ibu-ibu AS di seluruh tingkat kelas sosial makin lentur dalam hal memberi makan bayi dan menyapih. Meski mungkin makin sedikit bayi yang disusui terutama dalam rentang waktu yang lama, ibu makin besar kemungkinannya memberi makan bayinya berdasar keperluan dan makin lambat menyapinya dari susu botol. 2. Perbedaan kelas dalam memberi makan, menyapih dan melatih buang-air menunjukkan kecenderungan yang jelas dan mantap. Dari 1930 hingga akhir PD II, ibu kelas buruh secara keseluruhan lebih permisif dari pada ibu kelas menengah. Ibu kelas buruh ini lebih besar kemungkinannya menyusui bayinya, mengikuti skedul menyusui yang dibuatnya sendiri, lebih lambat menyapih anak dari menyusui maupun dari susu botol dan memulai dan menyelesaikan latihan berak dan pipis di umur lebih tua. Tetapi sesudah PD II terjadi kebalikan arah yang nyata. Kini ibu kelas menengah yang lebih permisif di setiap bidang tersebut di atas. 3. Pergeseran pola pemeliharaan bayi (terutama dipihak ibu kelas menengah) menunjukkan hubungan sangat nyata dengan perubahan praktek pengasuhan bayi yang dianjurkan dalam buletin Biro Anak-Anak yang terbit berturut-turut dan sumber serupa yang berasal dari pendapat pakar pendidikan bayi. 4. Di samping berbeda-beda menurut tingkat kelas sosial, metode pengasuhan bayi nampaknya berbeda sebagai fungsi latar-belakang kultural, perbedaan pengasuhan urban versus pedesaan, dan keterbukaan terhadap idiologi pengasuhan bayi tertentu. 5. Temuan tentang perubahan dalam pengasuhan bayi menuju ke generalisasi bahwa praktek sosialisasi sangat besar kemungkinannya berubah dalam segmen masyarakat yang paling cepat mendapatkan akses ke keagenan atau agen perubahan (misalnya buku, pamplet, dokter dan penasehat). 349



B. Kecenderungan Pendidikan Anak. 6. Data tentang pendidikan anak kecil menunjukkan ibu kelas menengah terutama dalam periode sesudah perang, secara terus-menerus makin permisif terhadap keinginan dan keperluan yang dinyatakan anak, dibandingkan dengan ibu kelas buruh. Generalisasi ini berlakunya terbalik dibidang seperti perbuatan-mulut, berak kebetulan, ketergantungan, seks, keagresifan dan kebebasan berkeliaran di luar rumah. 7. Meski lebih toleran atas pernyataan dorongan hati dan keinginan anak, orangtua kelas menengah (diseluruh periode yang tercakup oleh survei ini) mempunyai harapan lebih tinggi terhadap anak. Pemuda kelas menengah diharapkan menjaga dirinya sendiri lebih dini, untuk menerima tanggungjawab lebih besar terhadap keluarga dan terutama untuk berprestasi dalam belajar. 8. Dalam



hal



disiplin,



orangtua



kelas



buruh



terus-menerus



lebih



besar



kemungkinannya untuk menggunakan hukuman pisik, meski keluarga kelas menengah lebih mengandalkan tehnik pertimbangan fikiran, isolasi dan mempertimbangkan kesalahan dan menggunakan tehnik kasih-sayang, sekurangkurangnya dua jenis bukti terpisah mengesankan bahwa tehnik yang lebih disukai orangtua kelas menengah itu lebih besar kemungkinannya menghasilkan pengembangan nilai dan pengendalian yang hendak ditanamkan (internalized) kepada anak. Lagi pula, sekurang-kurangnya secara teoritis, keefektifan tehnik seperti itu tentu akan meningkat melalui suasana yang lebih mendukung yang dialami oleh anak kelas menengah di usia dini mereka. 9. Dalam periode 25 tahun distudi, hubungan orangtua – anak dalam kelas menengah, terus menerus dilaporkan sebagai hubungan yang lebih diterima dan lebih setara. Sedangkan hubungan orangtua – anak dalam kelas buruh berorientasi untuk mempertahankan ketertiban dan kepatuhan. Dalam konteks ini kelas menengah telah menunjukkan pergeseran dari pengandalian emosional ke lebih



350



bebas menyatakan kasih-sayang toleransi yang makin besar terhadap dorongan – hati dan keinginan anak. Dalam beberapa tahun yang lalu, ada tanda yang menunjukkan makin menyempit jurang pemisah antara kelas sosial. Apapun kecenderungan yang akan terjadi di masa depan, kita berharap tak lagi akan merasa puas dengan melihatnya sepotong-sepotong tetapi diharapkan dapat memanfaatkan seluruh sumber tehnis yang dikuasainya kini untuk mendapatkan gambaran sistematis tentang perubahan cara manusia mengasuh anaknya yang mencakup jangkauan waktu dan ruang jauh lebih luas ketimbang hanya mengenai masyarakat Amerika saja.



Catatan Kaki 1) A. Davis and R. J. Havighurst, “Social Class and Color Difference in Child rearing”, ASR, XI (1948 : 698-710). 2) E. E. Maccoby, P. K. Gibbs and Staf at Harvard Univ., “Methods of Childs Rearing in Two Social Classes”, dalam dalam W. E. Martin and C. B. Standler, eds., Reading in Child Development (NY : Harcourt, Brace & World Inc., 1954). 3) Havighurst and Davis, “A Comparison of the Chicago and Harvard Studies of Social Class Differences in Child Rearing”, ASR, XX (1955 : 438-442). 4) R. R. Sears, E. Maccoby and H. Levin, Patterns of Child Rearing (NY : Harper & Row, Publ., 1957). 5) E. H. Klatskin, “Shift in Child Care Practices in Three Social Classes Under an Infant Care Program of Flexible Methodology”, American Journal of Orthopsychiatry, XXII (1952 : 52-61). 6) Sears, Maccoby and Levin, op.cit : 446-447. 7) N. Bayley and E. S Schaefer, “Relationships Betwee Socioeconomic Variables and the Behavior of Mothers towards Young Children”, unpublished manuscript, 1957.



351



8) M. S. White, “Social Class, Child Rearing Practice and Child Behavior”, ASR, XXII (1957 : 704-712). 9) D. R. Miller and G. E. Swason, The Changing American Parent (NY : John Wiley & Sons, Inc., 1958). 10) Miller and Swason, Inner Conflict and Defense (Ny : Holt, Rinehart & Winston, Inc., 1960). 11) F. L. Stroadtbeck, “Family Interaction, Values and Achievement,” dalam A.L. Baldwin, U. Bronfenbrenner, D. C. McCleland and F. L. Stroadtbeck, Talent and Society (Princeton, NJ., D. V, Nostrand, Co., Inc., 1958). 12) R. A. Littman, R. A. Moore and J. P. Jones, “Social Class Differences in Child Rearing ; ASR, XXII (1957 : 694-704). 13) M. L. Kohn, “Social Class and Parental Values”, paper sajian di pertemuan tahunan the Am. Sociological Society, wash. DC., 27-29 Agust., 1957. 14) H. E. Anderson, The Young Child in the Home (NY : Appleton-Century-Crofts, 1936). 15) W. L. Warner, M. Meeker, et. al., Social Class in American (Chicago : Science Research Associates, 1949). 16) Sears, Maccoby, et.al., op. cit : 427. 17) Duvall, op. cit : Miller, et. al., op. cit. 18) Benar karena meningkatnya angka kelahiran setelah PD II sampel mungkin termasuk lebih banyak anak lebih muda dari pada yang lebih tua, tetapi tanpa pengetahuan tentang distribusi sebenarnya menurut umur, kita ragu untuk membuat penyesuaian selanjutnya. 19) Seperti ditunjukkan di bawah, kita yakin bawah, kita yakin bahwa ketakteraturan ini sebagian besar berkaitan dengan tingginya ciri selektif sejumlah sampel. 20) M. Wolfenstein, “Trend in Infant Care”, American Journal of Orthopsychiatry, XXII (1953 : 120-130). 21) Wolfenstein, op. cit : 121. 22) B. Spock, Baby and Child Care (NY : Pocket Books, Inc., 1957). 352



23) Wolfenstein, op. cit : 121. 24) R. Benedict, “Continuities and Discontinuities in Cultural Conditioning”, Psychiatry, I (1938 : 161-167). 25) Peneliti ini juga menggolongkan “isolasi” sebagai tehnik berorientasi cinta, tetapi karena metode khusus ini dilaporkan dalam beberapa studi lain, hasilnya ditabulasi terpisah untuk memudahkan perbandingan. 26) Kohn, op. cit. 27) W. L. Warner, et. al., The Social Life of a Moderen Community (New Haven : Yale Univ. Press, 1942 ; Warner, Meeker, et. al., op. cit. 28) A. Davis, B. Gardner, et. al., Deep South (Chicago : Univ. of Chicago Press, 1941). 29) J. Dollard, Caste and Class in a Southern twon (New Haven : Yale Univ. Press, 1937). 30) B. M. Spinley, The Deprived and the Privileged : Personality Development in English Society (London : Routledge & Kegan Paul, Lted., 1953). 31) J. A. Clausen, “Social and Psychological Factors in Narcotics Addiction”, Law and Contemporary Problems, XXII (1957 : 34-51). 32) Miller and Swason, The Changing American Parents, op. cit. 33) Clausen, op. cit : 42. 34) Spock, op. cit : 326.



353



BAB



7



MOBILITAS I : POLA DAN STRUKTUR Lawan stratifikasi adalah mobilitas. Artinya sebagaimana stratifikasi adalah studi tentang ketimpangan tingkatan dan hadiah anggota masyarakat dalam berbagai posisi yang tersedia, begitu pula mobilitas adalah tentang gerakan di dalam dan keluar posisi ini. Mobilitas dapat dipandang sebagai sisi “moral” lain dari stratifikasi, karena sepanjang ketimpangan dianggap “tidak adil” sekurangkurangnya hingga taraf tertentu, mobilitas adalah perubahan ke arah peningkatan posisi seseorang (dan penurunannya) dilihat sebagai mengimbangi bobot moral. Pandangan ini terutama berkaitan dengan masyarakat seperti masyarakat AS dan Inggeris dimana terdapat sejumlah besar penekanan pada nilai “positif” mobilitas dan kemungkinannya. Ralph H. Turner menyediakan kita perbedaan yang sangat berguna antara tipe mobilitas yang “disponsori” dan yang “diperjuangkan”. Perbedaannya tidak mengacu pada jumlah mobilitas (yang paling sering menjadi sasaran perhatian peneliti yang membandingkan dua negara) tetapi lebih mengacu pada tipe ciri-ciri mobilitas sistem sosial. Seperti dinyatakan Turner, mobilitas diperjuangkan adalah sistem dimana status elite adalah hadiah dalam pertandingan terbuka dan dilakukan dengan upaya calon itu sendiri. Ada aturan tentang permainan jujurnya, namun kontestan mempunyai kebebasan luas dalam menggunakan strategi mereka. Sebaliknya mobilitas yang disponsori adalah sistem dimana elite yang direkrut dipilih oleh elite yang sudah mapan atau oleh agen mereka dan status elite diberikan atas dasar kriterion perkiraan manfaat dan tak dapat dilakukan dengan menggunakan sejumlah upaya atau strategi.



Menurut Turner kedua istilah itu berguna tak hanya dalam membandingkan sistem mobilitas masyarakat AS dan Inggeris, tetapi juga dalam membandingkan sistem mobilitas masyarakat lain. Dalam artikelnya yang direproduksi di sini, ia menganalisis (1) kompleksitas premis dan asumsi yang melandasi kedua sistem mobilitas itu, (2) hubungannya dengan tipe pengendalian sosial di dua negara itu, (3) refleksi mendetil kedua kumpulan “norma” ini dalam sistem pendidikan di 470



kedua negara, dan (4) pengaruh mobilitas dimasing-masing sistem terhadap kepribadian individu bersangkutan. Thomas Fox dan S.M. Miller juga memusatkan perhatian pada perbandingan internasional terutama terhadap berbagai kemungkinan mengukur jumlah mobilitas di negara-negara yang mereka bandingkan: AS, Inggeris, Jepang dan Belanda. Mereka mengemukakan dengan sangat tepat bahwa kemampuan membandingkan tingkat mobilitas lintas bangsa tergantung pada tersedianya data yang dapat dibandingkan, misalnya kategori pekerjaan (gerakan didalam dan keluar yang merupakan fokus studi) harus sama disetiap negara yang dibandingkan. Tetapi kondisi ini tak mudah ditemukan dalam data yang tersedia. Karena alasan ini dan yang lain, sejumlah peneliti meringkaskan berbagai kategori pekerjaan menjadi sekumpulan pekerjaan tangan dan sekumpulan pekerjaan non tangan dan membandingkan negara dilihat dari kedua kumpulan kategori pekerjaan ini. Akibatnya, gerakan ke dan dari kategori di dalam tiap kumpulan diabaikan dan karena itu orang akan mendapatkan gambaran tentang satu negara sangat berbeda dari yang diperoleh ketika rincian internal diselesaikan. Fox dan Miller melukiskan masalah ini melalui sederetan perbandingan yang mereka buat diantara empat negara yang dipilih untuk studi khusus. Meski banyak kesukaran tersembunyi terlibat dalam perbandingan demikian, penulis merasa bahwa studi mobilitas adalah bidang riset yang bermanfaat, terutama mungkin ketika studi tentang kestabilan dan ketakstabilan politik. ‘ Karena keluarga adalah unit sosial dari mana individu anggotanya memperoleh identitas dan status sosial primer mereka dan karena unit keluarga melaksanakan peran sangat besar dalam menentukan nasib individu anggotanya, maka keluarga menjadi titik sentral studi stratifikasi dan mobilitas seperti dinyatakan W.J. Goode; Untuk meneliti jaringan hubungan yang membingungkan antara keluarga dan stratifikasi, jadi untuk memahami inti proses suatu masyarakat dan perubahannya pada waktu bersamaan, selain penting juga sukar. Keluarga adalah dasar dari sistem stratifikasi, dan keluarga inilah selanjutnya yang mengejar hadiah yang diberikan masyarakat untuk diisi posnya. Seberapa kakunya sistem



471



keluarga memaksakan aturannya sebegitu pula ketatnya orang tetap berada dalam posisi yang diwariskan kepada mereka sejak lahir.



Berdasarkan bukti yang sama, keluarga adalah unit penting dalam mobilitas sosial. Seperti dikatakan Goode, kita akan memusatkan perhatian pada faktor yang memudahkan gerakan ke atas atau ke bawah dari individu dan keluarga dan akibatnya bagi struktur keluarga ketika keluarga jatuh atau bangun. Diantara faktor mengenai keluarga yang dapat mempengaruhi tingkat mobilitas adalah aturan tentang warisan (di sini dianggap berbeda antara pembagian kekayaan sama banyak dan unigenitur) dan antara heterogami vs homogami karena praktek ini mencerminkan aturan tentang legitimasi pasangan kawin dan kemungkinan dimasukkannya orang dari berbagai strata kedalam satu kelompok keluarga. Dan diantara faktor mobilitas yang keluarga dapat mempengaruhinya adalah orientasi anak-anak terhadap prestasi. Monografi Goode, memusatkan perhatian pada ketiga kumpulan antar hubungan ini.



472



Mobilitas Yang Disponsori dan Yang Diperjuangkan dan Sistem Sekolah Oleh : RALPH H. TURNER Paper ini mengusulkan sebuah kerangka untuk menghubungkan perbedaan tertentu antara sistem pendidikan Amerika dan Inggeris dengan norma mobilitas ke atas yang berlaku di kedua negara. Peneliti lain telah mencatat kecenderungan sistem pendidikan mendukung skema stratifikasi yang berlaku, tetapi bahasan ini secara khusus memusatkan perhatian pada cara dimana mode mobilitas ke atas yang telah diterima, secara langsung membentuk sistem sekolah dan secara tak langsung



melalui



pengaruhnya



terhadap



nilai-nilai



yang



melaksanakan



pengendalian sosial. Berikut ini akan dilukiskan dua tipe-ideal pola normatif mobilitas ke atas dan mengusulkan percobaannya dalam pola umum stratifikasi dan pengendalian sosial. Selain itu akan ditunjukkan hubungan antara sejumlah perbedaan antara sistem sekolah Amerika dan Inggeris, tipe-ideal yang lebih luas implikasinya ketimbang yang dikembangkan dalam paper ini: tipe ideal yang mengusulkan sebuah dimensi umum stratifikasi yang mungkin menguntungkan digabungkan menjadi aneka ragam studi kelas sosial; dan tipe ideal ini selanjutnya dapat diterapkan dengan mudah dalam membandingkan antara negara-negara lain.



Ciri Norma yang Mengatur Banyak peneliti yang telah memusatkan perhatian pada tingkat mobilitas ke atas di negara tertentu atau secara internasional,1 dan pada cara dimana sistem sekolah memudahkan atau merintangi mobilitas ke atas itu.2 Tetapi keasyikan terhadap tingkat mobilitas ini telah menghalangi perhatian yang sama terhadap keutamaan studi tentang cara-cara mobilitas. Asumsi yang melandasi paper ini adalah bahwa dalam sistem kelas yang secara formal terbuka yang menyediakan pendidikan massal, norma rakyat yang mengatur, yang menentukan cara mobilitas 473



ke atas yang dapat diterima adalah faktor penting dalam pembentuk sistem sekolah dan bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada tingkat mobilitas ke atas. Di Inggeris dan AS, norma rakyat yang mengatur itu nampak berbeda: di Inggeris dapat disebut mobilitas yang disponsori dan di AS dapat disebut mobilitas yang diperjuangkan. Mobilitas yang diperjuangkan adalah sebuah sistem dimana status elite3 adalah hadiah dalam pertandingan terbuka dan dilakukan oleh calon dengan upayanya sendiri. Sedangkan “pertandingan” ditentukan oleh aturan tentang permainan jujur (perlakuan wajar terhadap semua orang), kontestan mempunyai kebebasan luas dalam memilih strategi yang mungkin mereka gunakan. Karena “hadiah” dari keberhasilan mobilitas ke atas itu bukan berada di tangan elite mapan yang akan memberikannya, maka elite mapan ini tak dapat menentukan siapa yang akan mendapatkannya dan siapa yang takkan mendapatkannya. Menurut mobilitas yang disponsori, elite yang direkrut adalah dipilih dan status elite diberikan berdasarkan kriterion yang diperkirakan bermanfaat dan tak dapat diambil dengan sejumlah upaya atau strategi. Mobilitas ke atas adalah seperti memasuki sebuah klub privat dimana setiap kandidat harus “disponsori” oleh seorang atau beberapa orang anggotanya. Akhirnya anggota itu mengabulkan atau menolak mobilitas ke atas berdasarkan atas apakah mereka menilai kandidat itu memiliki kualitas yang mereka inginkan terlihat pada diri anggotanya. Sebelum menguraikan perbedaan ini, perlu diperhatikan bahwa sistem mobilitas ini adalah tipe ideal yang dirancang untuk menjelaskan perbedaan sistem stratifikasi dan pendidikan di Inggeris dan AS yang kelihatannya sangat serupa. Tetapi sebagai norma yang mengatur, prinsip ini diasumsikan ada, sekurang-kurangnya secara implisit di dalam pikiran rakyat, yang membimbing pendapat mereka tentang apa yang tepat diberbagai persoalan khusus. Norma yang mengatur seperti itu tak berkaitan dan juga tidak tergantung sepenuhnya pada ciriciri masyarakat dimana norma itu ada. Dari saling mempengaruhi antara kondisi sosial dan ekonomi dan ideologi, orang dalam masyarakat mengembangkan konsepsi yang sangat disederhanakan mengenai cara terjadinya peristiwa. Konsepsi tentang “kewajaran” ini diterjemahkan menjadi norma-“kewajaran” 474



menjadi apa yang “seharusnya”-dan selanjutnya memaksakan ketaat-azasan terhadap berbagai aspek relevan masyarakat. Dengan demikian norma menyokong kondisi obyektif yang ada dan berpengaruh langsung dan tak langsung atas berbagai segi kehidupan masyarakat.4 Singkatnya, konsepsi tentang tipe-ideal norma yang mengatur, meliputi proposisi sebagai berikut: 1. Tipe ideal tak sepenuhnya memberikan contoh dalam praktek, karena mereka adalah sistem normatif dan tak ada sistem normatif yang dapat dijadikan alat untuk menanggulangi semua kegawatan empiris. 2. Norma yang berkuasa biasanya bersaing dengan norma yang kurang berkuasa yang dilahirkan oleh perubahan dan yang tak mantap melandasi struktur masyarakat. 3. Meski tak sepenuhnya eksplisit, norma rakyat yang mengatur tercermin dalam pertimbangan nilai khusus. Pertimbangan nilai yang berkaitan dengan rakyat dianggap mempunyai jaringan yang meyakinkan dengan mereka, terlepas dari kejelasan logikanya atau yang dipandang tak memerlukan pemberian argumentasi yang mungkin dianggap mencerminkan norma rakyat yang berlaku. 4. Norma yang berkuasa yang mengatur dalam satu segmen masyarakat, berkaitan secara fungsional dengan norma yang berkuasa dalam segmen lainnya. Ada dua kualifikasi terakhir mengenai bidang dari paper ini: Pertama, norma rakyat yang mengatur mobilitas ke atas, mempengaruhi sistem sekolah karena salah satu fungsinya berikutnya adalah memudahkan mobilitas. Karena ini hanyalah salah satu diantara beberapa fungsi sosial sekolah dan bukan fungsi terpenting dalam masyarakat yang diteliti, maka hanya sebuah laporan yang sangat berat sebelah dari keseluruhan kekuatan yang menciptakan kesamaan dan perbedaan dalam sistem sekolah AS dan Inggeris yang mungkin dilaporkan di sini. Hanya perbedaan yang secara langsung atau tak langsung mencerminkan pelaksanaan fungsi mobilitas yang diperhatikan. Kedua, paper ini lebih



475



memusatkan perhatian pada dinamika situasi sekarang di kedua negara ketimbang pada perkembangan historisnya.



Perbedaan Antara Kedua Norma Mobilitas yang diperjuangkan adalah seperti peristiwa olah raga dimana terdapat banyak pertandingan untuk mendapatkan sedikit hadiah yang diakui. Perjuangan hanya dinilai adil bila seluruh pemain bertanding berdasarkan pijakan yang sama. Kemenangan harus dicari semata-mata melalui upaya diri sendiri. Hasil yang paling memuaskan tak perlu kemenangan dari yang paling mampu, tetapi yang paling berjasa. Kura-kura yang mengalahkan kelinci adalah prototiperakyat tentang olahragawan yang berjasa, keberanian berusaha, inisiatif, ketekunan dan keahlian adalah kualitas yang terpuji bila kualitas itu memungkinkan orang yang mula-mula berada dalam keadaan merugi, tampil dengan kemenangan. Bahkan memanipulasi aturan dengan cerdik mungkin dikagumi, bila itu membantu kontestan yang lebih kecil atau kurang berotot atau kurang cepat untuk menang. Diterapkan ke mobilitas, pertandingan berarti bahwa kemenangan oleh seseorang dengan kecerdasan cukupan, diselesaikan melalui penggunaan



akal-sehat,



keahlian,



keberanian



berusaha,



keberanian



dan



5



keberhasilan mengambil resiko adalah lebih dihargai ketimbang kemenangan melalui kecerdasan sangat tinggi atau pendidikan yang terbaik. Sebaliknya, mobilitas yang disponsori, menolak pola pertandingan dan menyetujui pengendalian proses seleksi. Dalam proses ini elite atau agen mereka dianggap memenuhi syarat terbaik untuk menilai kemanfaatan, memilih individu untuk status elite yang mempunyai kualitas yang tepat. Individu tidak memenangkan atau merampas status elite; mobilitas adalah proses pelantikan yang disponsori menjadi elite. Pareto telah memikirkan jenis mobilitas ini ketika ia memberi kesan bahwa kelas berkuasa akan membuang orang yang berpotensi membahayakannya dengan menerima mereka menjadi anggota elite, menetapkan perubahan penerimaan anggota baru dengan mengadopsi sikap dan kepentingan elite.6 Bahaya terhadap kelas penguasa, jarang menjadi kriterion untuk memilih anggota elite yang akan 476



diterima. Namun Pareto berasumsi bahwa elite yang berkuasa, akan memilih siapa yang mereka inginkan masuk tingkatan mereka dan akan menanamkan sikap dan kepentingan elite yang berkuasa itu kepada calon. Tujuan yang menentukan dari mobilitas yang diperjuangkan adalah untuk memberikan status elite kepada orang yang mendapatkannya. Sedangkan tujuan mobilitas yang disponsori adalah untuk mencapai penggunaan terbaik dari bakat dalam masyarakat dengan memisah-misahkan orang ke dalam tempat mereka yang setepatnya. Dalam masyarakat yang berlainan, kondisi perjuangan kompetitif mungkin memberikan hadiah dengan ciri-ciri yang agak berbeda dan mobilitas yang disponsori mungkin menseleksi individu berdasarkan perbedaan kualitas seperti kecerdasan atau kemampuan melihat kedepan tetapi perbedaan prinsipnya, tetap sama.7 Dalam sistem mobilitas yang diperjuangkan, masyarakat bebas menetapkan dan manafsirkan kriteria status elite. Bila orang ingin statusnya diakui, ia harus memamerkan (surat) kepercayaan tertentu yang memperkenalkan kelasnya kepada orang disekitarnya. Surat mandat itu harus nampak dengan jelas dan tak memerlukan keterampilan khusus untuk menilainya, karena mandat itu diperkenalkan kepada massa. Pemilikan kekayaan materi dan popularitas semuanya adalah mandat yang tepat dalam hal ini dan keterampilan khusus yang menghasilkan produk nyata dan yang dengan mudah dapat dinilai oleh orang tak terdidik juga merupakan mandat yang tepat. Sifat mobilitas yang disponsori, menghindarkan prosedur ini, tetapi malah menentukan mandat yang berfungsi memperkenalkan anggota elite satu sama lain.8 Jadi, mandat ideal adalah keterampilan khusus yang memerlukan diskriminasi pendidikan elite untuk pengakuan mereka. Dalam hal ini, kecerdasan, keunggulan kesusasteraan atau kesenian yang hanya dapat dinilai atau dihargai oleh orang yang terlatih untuk memahaminya semuanya adalah mandat yang sesuai. Dengan memusatkan perhatian pada kemungkinan berkurangnya keterampilan seperti itu, maka peminjam yang tak berhak dapat berhasil menuntut hak menjadi anggota elite berdasarkan penilaian populer atas kecakapannya. Dalam pertandingan olah raga, ada kebanggaan bagi orang lamban yang mencapai garis finis secara dramatis, dan 477



berbagai aturan direncanakan untuk menjamin bahwa perlombaan tak boleh dinyatakan



berakhir



hingga



berlangsung



sepenuhnya.



Mobilitas



yang



diperjuangkan, memasukkan pertimbangan gagasan dan pertimbangan apapun yang memberikan keuntungan khusus bagi orang yang menang dalam perlombaan dengan cara demikian adalah tercela. Dalam mobilitas yang disponsori, hanya seleksi dini yang agak baik dari sejumlah orang yang diperlukan untuk mengisi lowongan yang diketahui lebih dahulu dalam elite yang sangat diperlukan. Seleksi dini memberikan waktu untuk menyiapkan calon menempati posisi elite mereka. Bakat, kapasitas bawaan dan bakat spiritual dapat dinilai sejak dini dengan agak baik dalam kehidupan dengan teknik teologi hingga tes psikologi yang sangat canggih, dan demikian naif subyek ketika diseleksi, semakin kurang kemungkinan bakat mereka dikaburkan oleh perbedaan pengetahuan atau oleh persekongkolan untuk menggagalkan tes. Karena orang elite mengambil inisiatif dalam mendidik calon, mereka lebih tertarik pada kecakapan yang terakhir ketimbang pada apa yang akan mereka lakukan sendiri terhadap calon elite dan mereka mengira tak ada orang lain pertama yang berpeluang melatih bakat calon kearah yang keliru. Mobilitas yang diperjuangkan cenderung menunda hadiah akhir selama diperbolehkan mempraktekkan perlombaan yang adil. Mobilitas yang disponsori cenderung menetapkan waktu penerimaan calon sama dininya dalam kehidupan dengan dapat dipraktekkan untuk menjamin pengendalian atas seleksi dan latihan. Sistem mobilitas yang disponsori berkembang sangat mudah dalam masyarakat berelite tunggal atau yang mengakui hirarki elite. Bila banyak elite bersaing antar sesama mereka, maka proses mobilitas cenderung mengambil pola pertandingan karena tak ada kelompok elite yang mampu menguasai pengendalian rekrutmen. Mobilitas yang disponsori selanjutnya tergantung pada struktur sosial yang membantu perkembangan monopoli mandat elite. Ketiadaan monopoli, mengobral



dukungan dan pengendalian proses



rekrutmen. Monopoli mandat selanjutnya adalah khas produk masyarakat aristokrasi tradisional yang memudahkan penerimaan dengan menggunakan kriteria seperti garis keluarga dan gelar yang dapat diberikan yang secara intrinsik menjadi sasaran monopoli, atau tunduk pada masyarakat yang diorganisir 478



berdasarkan garis birokrasi berskala luas yang memungkinkan sentralisasi pengendalian gerakan sosial ke atas. Masyarakat Inggeris telah dilukiskan sebagai mensejajarkan dua sistem stratifikasi yakni sistem kelas masyarakat industri urban dan sistem kelas aritokrasi yang masih hidup. Meski pola mobilitas yang disponsori mencerminkan logika sistem kelas aritokrasi, kesan kita adalah bahwa tipe mobilitas ini lebih menyerap pemikiran populer ketimbang semata-mata hidup berdampingan secara damai dengan logika stratifikasi masyarakat industri urban. Pola yang dimasukkan ke dalam kultur mapan cenderung dibentuk-ulang karena pola itu berasimilasi dengan kultur mapan. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa perubahan dalam stratifikasi yang berkaitan dengan industrialisasi menyebabkan perubahan dalam tingkatan, makna khusus dan aturan mobilitas tetapi perubahan ini telah dibimbing oleh tantangan ringan norma yang mengatur mobilitas yang disponsori.



Pengendalian Sosial dan Kedua Norma Tiap masyarakat tentu menanggulangi masalah mempertahankan kesetiaan terhadap sistem sosialnya dan sebagian dilakukan melalui norma dan nilai, hanya sebagian yang berbeda menurut posisi kelas. Norma dan nilai terutama yang lazim berlaku dalam kelas tertentu, harus mengatur perilaku ke dalam saluran yang mendukung sistem sosial, sedangkan norma dan nilai yang lebih penting dari strata, harus mendukung perbedaan kelas umum. Cara terjadinya mobilitas ke atas, sebagian menentukan jenis norma dan nilai yang menyatakan tujuan pengendalian sosial di tiap kelas dan diseluruh masyarakat. Masalah pengendalian yang paling menonjol adalah yang menjamin kesetiaan dalam kelas yang tak beruntung terhadap sistem dimana anggotanya menerima bagian dari barang-barang masyarakat kurang dari sepadan. Masalah ini diselesaikan dengan menggabungkan orientasi ke masa depan, norma tentang ambisi dan perasaan persahabatan umum bersama dengan elite. Tiap individu terdorong untuk memikirkan dirinya sendiri karena bersaing untuk mendapatkan posisi elite sehingga kesetiaan terhadap sistem dan sikap kompensional ditanamkan dalam proses persiapan bagi kemungkinan ini. Adalah penting bahwa 479



orientasi ke masa depan ini dipertahankan hidup dengan menunda perasaan kegagalan total untuk menjangkau status elite hingga sikap terbentuk dengan baik. Dengan memikirkan diri sendiri berada dalam kesuksesan dimasa depan, calon elite membentuk pengenalan dengan elite dan buktinya bahwa mereka adalah manusia biasa seperti dirinya sendiri, membantu menguatkan pengenalan ini maupun untuk mempertahankan keyakinan bahwa ia sendiri disuatu hari mungkin akan berhasil seperti itu pula. Untuk mencegah pemberontakan dikalangan mayoritas yang tak beruntung, maka sistem persaingan harus menghindarkan titik absolut seleksi untuk mobilitas dan keadaan tak bergerak dan harus menunda pengenalan jelas realitas situasi hingga individu pun melakukan perubahan sistem secara radikal. Orientasi ke masa depan memang tak dapat menanamkan perasaan kesuksesan terhadap seluruh anggota strata bawah tetapi internalisasi norma tentang ambisi yang cukup cenderung meninggalkan orang yang tak ambisius sebagai individu yang menyimpang dan untuk mencegah pembentukan kemudian kelompok subkultur asli yang mampu mengemukakan ancaman kolektif terhadap sistem yang sudah mapan. Dimana jenis sistem pengendalian ini berperan secara efektif, perlu diingat bahwa geng terorganisir yang menyimpang lebih besar kemungkinannya untuk melakukan serangan terhadap tatanan moral atau kelaziman ketimbang terhadap sistem kelas itu sendiri. Demikianlah, AS mempunyai kelompok pemuda yang berperilaku anti adat-kebiasaan (“beatnik”)9 yang tak mau mengakui ambisi dan nilai-nilai yang sangat mendunia dan geng anak nakal dan geng kriminal yang mencoba menghindarkan pembatasan yang dipaksakan dengan cara-cara konvensional,10 tetapi sangat sedikit yang aktif melakukan tindakan revolusioner. Pengendalian sosial ini tersedia dalam sistem mobilitas yang disponsori karena elite yang direkrut dipilih dari atas. Ancaman utama terhadap sistem terletak dalam keberadaan kelompok kuat yang anggotanya berupaya mengambil posisi elite mereka sendiri. Pengendalian dalam sistem ini dipertahankan melalui latihan “massa” untuk menganggap diri mereka sendiri sebagai relatif tak kompeten mengelola masyarakat, melalui pembatasan akses untuk mendapatkan keterampilan dan gaya elite, dan melalui penanaman keyakinan tentang 480



kemampuan superior elite. Semakin dini seleksi calon elite, menyebabkan semakin cepat orang lain dapat diajar untuk menerima inferioritas mereka dan membuat rencana yang “realistis” ketimbang fantasi. Seleksi dini mencegah timbulnya harapan sejumlah besar orang yang sebaliknya menjadi pemimpin kelas yang tak puas yang menentang kedaulatan elite mapan. Bila diasumsikan bahwa perbedaan kemampuan antara massa dan elite adalah jarang yang sebesar untuk mendukung perbedaan biasa pertambahan keuntungan untuk masing-masing,11 maka perbedaan tentu dibuat makin besar oleh pendapatan elite terampil yang mengecilkan hati massa. Jadi perasaan misteri tentang elite adalah muslihat bersama untuk menyokong massa untuk berilusi tentang perbedaan kemampuan yang jauh lebih besar ketimbang menurut fakta yang ada. Meski elitis tak mungkin menolak sistem yang menguntungkan mereka, mereka tentu masih belum leluasa mengambil keuntungan dari situasi yang menguntungkan mereka itu karena membahayakan seluruh elite. Dalam sistem mobilitas yang disponsori, calon elite - yang disleksi dini bebas dari ketegangan perjuangan berkompetisi dan tetap berada dibawah pengawasan - mungkin sepenuhnya diindoktrinasi dengan kultur elite. Norma paternalisme mungkin ditanamkan terhadap orang bawahan mempertinggi kepekaan terhadap opini yang baik. Anggota elitis dan calon elite mungkin menjadi sopan dan menghargai bentuk-bentuk estetika, kesusasteraan, aktivitas intelektual dan olahraga mungkin diajarkan. Norma kesusilaan dan altruisme dapat dengan mudah dipertahankan dalam sistem mobilitas yang disponsori karena calon elite tak perlu bersaing untuk mendapatkan posisi mereka dan karena elite dapat meniadakan kedudukan tinggi bagi orang yang berjuang mendapatkan posisi dengan metode yang “tak layak”. Sistem mobilitas yang disponsori, menyediakan lingkungan yang hampir sempurna untuk mengembangkan sebuah kultur elite yang ditandai oleh perasaan tanggungjawab terhadap orang rendahan dan untuk melestarikan “sesuatu yang terbaik” untuk kehidupan. Pengendalian elite dalam sistem mobilitas yang diperjuangkan adalah lebih sukar karena tak adanya pelantikan yang dikendalikan sistem magang. Regulasi terpenting rupanya terdapat pada ketakamanan posisi elite. Dalam beberapa hal 481



tak ada “pendatang terakhir” karena tiap orang mungkin digantikan oleh pendatang baru sepanjang hidupnya. Pengendalian terbatas kedudukan tinggi dari atas mencegah pembatasan yang tegas tingkatan dalam sistem kelas sehingga dengan demikian kesuksesan itu sendiri menjadi relatif; tiap sukses, lebih dari sebuah prestasi membantu peserta memenuhi syarat untuk berkompetisi di tingkat lebih tinggi berikutnya.12 Karena itu, pengendalian terhadap perilaku seseorang yang berkedudukan tinggi adalah yang utama yang dapat diterapkan kepada kontestan yang tak harus menanggung resiko “dikeroyok” kontestan lain dan yang harus memusatkan perhatian pada massa yang sering berada pada posisi untuk menjatuhkan hukuman kepadanya. Tetapi norma paternalisme khusus tertentu, sukar ditetapkan karena tak ada prosedur terandal untuk menguji caracara yang ditempuh orang guna mendapatkan mandat elite. Meski penghargaan massa merupakan pengerem yang efektif terhadap eksploitasi posisi, namun hadiah dari perilaku altruisme dan etika yang sangat halus sekalipun jauh lebih kecil dari pada bukti tentang perasaan bersahabat dengan massa itu sendiri. Dalam kedua sistem mobilitas itu, orang jahat, tak bermoral atau yang berperangai buruk pun dapat menjadi atau tetap menjadi anggota elite tetapi dengan alasan berbeda. Dalam mobilitas yang diperjuangkan, kesabaran populer seniman kecil sebagai pendatang baru yang sukses, bersama dengan fakta bahwa ia tak harus mengalami penelitian cermat dari elite lebih tua, meninggalkan waktu ekstra untuk sukses bagi calon elite yang tak bermoral. Dalam mobilitas yang disponsori, merekrut yang tak berbakat mencerminkan tak baiknya pertimbangan sponsornya dan mengancam mitos tentang mahatahunya elite; akibatnya ia mungkin sabar dan orang lain mungkin “menyembunyikan” kekurangannya untuk melindungi kedok mempersatukan elite terhadap dunia luar. Beberapa nilai dan norma umum masyarakat mencerminkan upaya menandingi nilai elite oleh massa. Dalam mobilitas yang disponsori, banyak sikap bersifat melindungi dan perhatian mengenai persoalan klasik yang disaring terhadap massa. Dalam mobilitas yang diperjuangkan, tak ada kesamaan derajat homogenitas nilai moral, estetika dan intelektual yang ditandingi sehingga atribut elite yang mencolok adalah tingginya tingkat konsumsi material - usaha 482



menyamainya sendiri mengikuti jalan ini. Juga tak ada insentif maupun hukuman yang efektif untuk elite yang gagal memusatkan perhatiannya sendiri untuk memajukan kesenian atau kesusasteraan atau yang terus mempertahankan sikap tidak sopan dan gaya berbicara yang berasal dari kelasnya. Elite mempunyai kekuasaan relatif kurang dan massa mempunyai kekuasaan relatif lebih besar untuk menghukum atau menghadiahi orang karena penerimaannya atau karena mengabaikan kultur elite tertentu. Sangat pentingnya logat bahasa dan keunggulan gramatika dalam mencapai status tinggi di Inggeris yang berlawanan dengan bunyi sengau dan cara berbicara dengan memperpanjang bunyi kata dikalangan elite Amerika adalah contoh paling menonjol perbedaan antara kedua norma elite negara bersangkutan. Dalam sistem mobilitas yang diperjuangkan, susunan kelas tak berfungsi untuk menyokong kualitas estetika, kesusasteraan dan aktivitas intelektual; hanya orang yang benar-benar mengenal dengan baik hal seperti itu yang mampu membedakan produk otentik dari produk imitasi murahan. Kecuali kalau orang yang menyatakan superior dibidang ini dipaksa menyerahkan mandat mereka kepada elite untuk dinilai, kualitas rendah sering dihargai sama dengan kualitas tinggi dan gengsi kelas tak dapat membantu mempertahankan norma kualitas tinggi secara efektif. Ini tidak berarti tak ada kelompok dalam masyarakat yang “berjuang” mencurahkan perhatian untuk melindungi dan membantu perkembangan standar tinggi dalam kesenian, kesusasteraan dan pengajaran intelektual namun standar tinggi demikian kurang mendukung sistem kelas yang sering ditemukan bila mobilitas yang disponsori yang berlaku. Di California, untuk menghibur raja dan ratu yang berkunjung, ditampilkan penyanyi obor dan dansa “cancan” untuk menghibur Khruschev. Sajian ini melukiskan betapa orang Amerika berasumsi bahwa gengsi tinggi dan selera populer dapat saja berjalan seiring.



Pendidikan Formal Kembali ke konsep ideal yang mengatur, kami berasumsi bahwa sejauh norma mobilitas ke atas merata berlaku dalam masyarakat, akan ada paksaan untuk membentuk sistem pendidikan yang disesuaikan dengan norma itu. Paksaan 483



itu berperan melalui dua cara: secara langsung dengan membutakan rakyat terhadap alternatif dan mewarnai pemikiran mereka dengan solusi yang berhasil dan tak berhasil atas perulangan masalah pendidikan; secara tak langsung melalui hubungan fungsional antara sistem sekolah dan struktur kelas, sistem pengendalian sosial dan gambaran orang lain tentang struktur sosial yang tak dibahas dalam paper ini. Aplikasi sangat nyata perbedaan antara norma mobilitas yang disponsori dan yang diperjuangkan, memberikan penjelasan berat sebelah untuk perbedaan kebijakan pilihan siswa di sekolah menengah Inggeris dan AS. Meski siswa SLTA mengikuti mata pelajaran berbeda, dan sedikit yang mengikuti sekolah kejuruan, perhatian umum terhadap pendidikan telah menghindarkan pemisahan sosial yang tajam antara siswa yang unggul dan tak unggul dan mempertahankan saluran perpindahan antara lapangan studi seterbuka mungkin. Kritikan tentang cara siswa unggul kemungkinan tertahan perkembangan mereka biasanya dirubah oleh desakan bahwa siswa itu tak harus meninggalkan aliran utama kehidupan siswa.13 Pemisahan demikian mengganggu perasaan keadilan yang terkandung dalam norma perjuangan dan juga menimbulkan ketakutan bahwa elite dan elite masa depan akan kehilangan perasaan bersahabat dengan massa. Namun masalah yang terpenting adalah bahwa sekolah diperkenalkan sebagai sebuah peluang dan pemanfaatannya terutama tergantung pada inisiatif dan perjuangan siswa sendiri. Sistem pendidikan Inggeris telah mengalami serangkaian perubahan menuju liberalisasi selama abad 20, namun seluruhnya memelihara upaya memisahkan program pendidikan lama yang menjanjikan dari yang tak menjanjikan sedemikian rupa sehingga yang terdahulu mungkin memisahkan dan memberikan bentuk pendidikan khusus untuk menyesuaikan siswa untuk kedudukan lebih tinggi setelah dewasa. Berdasarkan UU Pendidikan tahun 1944, sebagian kecil siswa telah diseleksi tiap tahun melalui sederetan ujian yang terkenal sebagai ”sebelas plus”yang dalam berbagai tingkat ditambah dengan nilai rapor dan wawancara pribadi untuk masuk SD.14



Siswa sisanya memasuki SLTP atau



sekolah tehnik moderen dimana peluang untuk memasuki Kolej atau mendapatkan pendidikan guna mengisi lapangan kerja lebih bergengsi adalah kecil sekali. 484



Sekolah dasar memasok apa yang menurut standar komparatif adalah orang yang dipersiapkan untuk memasuki Kolej berkualitas tinggi. Rencana demikian tentu saja memasukkan logika sokongan (sponsorship) dengan seleksi awal siswa yang dipersiapkan untuk menempati posisi kelas menengah dan status pekerjaan lebih tinggi dan dengan pendidikan khusus guna menyiapkan tiap kelompok guna menempati posisi kelasnya. Rencana ini sangat memudahkan mobilitas dan riset belakangan ini menunjukkan kecilnya kecenderungan anak dari keluarga kelas pekerja tangan dalam seleksi masuk sekolah dasar, bila dihubungkan dengan ukuran kecerdasan.



15



Ada kemungkinan bahwa dengan studi komparatif yang



memadai dapat menunjukkan hubungan yang lebih erat keberhasilan sekolah dengan ukuran kecerdasan dan hubungan kurang erat antara kesuksesan sekolah dan latar belakang keluarga di Inggeris ketimbang di AS. Meski seleksi siswa unggul untuk peluang mobilitas barangkali lebih efisien berdasarkan sistem seperti itu, namun hambatan siswa untuk tidak memiliki “mencapai sukses” atas dasar inisiatif atau upaya mereka sendiri agaknya lebih besar pengaruhnya. Perbedaan pengaruh kedua sistem sesuai dengan pola pengendalian sosial berdasarkan kedua norma mobilitas itu ditunjukkan oleh studi tentang ambisi siswa di AS dan di Inggeris.Riset di AS terus-menerus menunjukkan bahwa tingkatan umum aspirasi pekerjaan yang dilaporkan oleh siswa SLTP agak tidak realistis dalam hubungan dengan distribusi aktual peluang pekerjaan. Studi komparatif di Inggeris menunjukkan aspirasi dengan sangat sedikit “fantasi” dan khususnya menunjukkan penurunan aspirasi dikalangan siswa yang tak terpilih mengikuti ujian “sebelas plus”.16 Salah satu produk-sampingan sistem mobilitas yang disponsori adalah fakta bahwa sekurang-kurangnya sebagian siswa dari keluarga kelas menengah yang orangtuanya tak mampu mengirim mereka ke sekolah swasta, menderita masalah penyesuaian diri hebat ketika mereka dimasukkan ke SLTP moderen atas dasar prosedur seleksi ini. 17 Perbedaan terkenal antara sistem pemisahan siswa sejak usia dini kedalam sekolah rakyat dan sekolah moderen di Inggeris dan sistem SLTA dan Kolej Yunior di AS ini adalah aplikasi paling jelas perbedaan sistem pendidikan antara kedua negara. Namun norma yang mengatur merasuk lebih dalam lagi kedalam 485



sistem sekolah ketimbang yang nampak pada awalnya. Observasi paling banyak menceritakan mengenai peran normatif langsung prinsip ini akan menjadi bukti yang mendukung kesan penulis bahwa kritik utama tentang prosedur pendidikan di masing-masing negara biasanya



tidak lebih penting dari logika norma



mobilitas masing-masing negara. Demikianlah, perdebatan di Inggeris mengenai metode terbaik untuk mendapatkan orang yang dipilih menurut kemampuan tanpa bermaksud bahwa lingkungan elite harus terbuka untuk siapapun yang dapat menaikinya. Meski ketakutan tentang “Sputnik” di AS memperkenalkan anjuran membingungkan atas rencana mobilitas yang disponsori, namun kritik mengenai sekolah yang sudah berjalan lama, gagal memotivasi siswa secara memadai. Keasyikan dengan motivasi, nampaknya menjadi penerapan intelektual gagasan rakyat bahwa orang harus memenangkan posisi mereka dalam masyarakat melalui usaha pribadi. Peran fungsional paksaan terhadap konsistensi dengan norma yang mengatur mobilitas ke atas dilukiskan oleh beberapa gambaran lain tentang sistem sekolah di kedua negara. Pertama, nilai yang melandasi pendidikan itu sendiri berbeda dalam kedua norma itu. Dalam mobilitas yang disponsori, sekolah dinilai untuk menanamkan kultur elitenya dan norma yang membentuk sekolah yang diarahkan kepada penanaman kultur elitenya itu dinilai lebih tinggi daripada norma lain. Pendidikan non-elite sukar dinilai dengan jelas dan cenderung tanggung-tanggung meski sumber daya pendidikan maksimum terkonsentrasi pada “orang yang dapat mengambil manfaat terbesar dari pendidikan”, dalam prakteknya ini berarti orang dapat mempelajari kultur elite. Sekolah menengah moderen di Inggeris terusmenerus menderita kekurangan dana, lebih tingginya rasio siswa-guru, lebih sedikitnya jumlah guru yang bermutu dan lebih rendah gengsinya dibandingkan dengan sekolah dasar. 18 Dalam mobilitas yang diperjuangkan di AS, pendidikan dinilai sebagai cara untuk maju tetapi kandungan pendidikan dinilai tak setinggi hak mereka sendiri. Lebih seabad yang lalu, Tocqueville berkomentar tentang ketiadaan kelas turuntemurun, “melalui kelas itu tenaga intelektual sangat dihormati”. Ia mengatakan, karena itu “standar sedang adalah sesuai untuk pengetahuan manusia di AS”.19 486



Dan di AS terus-menerus ada kecurigaan tentang orang terdidik sebagai orang yang ingin maju tanpa benar-benar mendapatkan posisinya. Meskipun ada kritikan tentang lemahnya standar di sekolah Amerika namun standarnya itu masih mengikuti pola mobilitas umum. Gallup Poll yang dilakukan April 1958 melaporkan bahwa kepala sekolah lebih besar kemungkinan melancarkan kritikan tentang longgarnya standar pendidikan ketimbang orangtua siswa. Meski 90% kepala sekolah berfikir bahwa “….sekolah kita kini terlalu sedikit menuntut tugas dari siswa”, hanya 51% orangtua yang berfikir begitu dan 33% mengatakan tugas siswa kira-kira sudah tepat dan 6% mengatakan sekolah menuntut tugas terlalu banyak dari siswa.20 Kedua, logika persiapan untuk persaingan umum di sekolah AS dan penekanan pada setiap orang agar tetap bersekolah hingga tahap terakhir. Di sekolah dasar dan sekolah menengah, ada kecenderungan berasumsi bahwa orang yang belajar dengan memuaskan sedikit memerlukan perhatian khusus dari guru sedangkan siswa yang kurang berhasil memerlukan bantuan sungguh-sungguh sehingga mereka tetap dapat bersaing hingga titik terakhir. Desember 1958 Gallup Poll berskala nasional memberikan bukti bahwa sikap ini belum dapat dirubah secara radikal oleh situasi internasional. Ketika ditanya apakah guru perlu mencurahkan waktu ekstra untuk siswa cerdas atau tidak, 26% responden menjawab “ya” dan 67% menjawab “tidak”. Tetapi jawaban berubah menjadi 86% “ya” dan hanya 9% “tidak” ketika ditanyakan mengenai “siswa bodoh”. 21 Di negara bagian belahan barat, Kolej Yunior menawarkan kepada siswa “peluang kedua” untuk masuk universitas dan seluruh universitas negeri mempunyai persyaratan tertentu bagi siswa SLTA yang tergolong dibawah standar untuk masuk universitas. Universitas itu sendiri berjalan dalam suasana persaingan sebenarnya: standar dibuat sangat kompetitif, mahasiswa dipaksa harus lulus serentetan ujian tiap semester dan hanya sebagian kecil yang berhasil tamat. Pola ini berbeda tajam dengan sistem di Inggeris dimana seleksi harus relatif sempurna sebelum masuk ke universitas dan mahasiswa tak menghadapi ujian apapun selama tahun pertama atau lebih studi di universitas. Meski tingkat kelulusan belum ditaksir secara tepat 487



di kedua negara, tetapi beberapa angka yang tersedia menunjukkan perbedaan berarti. Di AS, tahun 1957-1958, rasio sarjana muda dan tingkat profesional pertama terhadap seluruh mahasiswa tingkat pertama yang terdaftar dimusim gugur empat tahun sebelumnya, dilaporkan 0,610 untuk lelaki dan 0,488 untuk wanita. Angka DO yang ditunjukkan 39% lelaki dan 51 % wanita, agaknya taksiran terlalu rendah karena perpindahan dari Kolej Yunior 2 tahun menambah jumlah tamatan tanpa dimasukkan ke dalam pendaftar tahun pertama. Di Inggeris, studi tentang karir individual mahasiswa, melaporkan bahwa di Universitas College, London, hampir 82% mahasiswa yang masuk antara 1948-1951 akhirnya menamatkan studinya. Studi serupa beberapa tahun sebelumnya di Universitas Liverpool, menunjukkan angka hampir 87%.



23



Dalam mobilitas yang



diperjuangkan, orang dididik sebanyak mungkin dalam keterampilan yang diperlukan untuk mendapatkan status elite sehingga memberikan peluang bagi tiap orang untuk mempertahankan kompetisi di puncak tertinggi. Dalam mobilitas yang disponsori, tujuannya adalah mengindoktrinasikan kultur elite, agar tidak menambah jumlah “pemuda yang berang” yang mempunyai keterampilan elite tanpa posisi elite. Ketiga, sistem mobilitas secara signifikan mempengaruhi isi pendidikan. Masuk kedalam kultur elite berdasarkan mobilitas yang disponsori sesuai dengan penekanan sekolah pada “semangat kelompok” yang digunakan untuk menanamkan norma tentang kesetiaan didalam kelas dan selera dan gaya kelas. Begitu pula pendidikan formal mengembangkan studi yang sangat khusus dibidang-bidang yang keseluruhannya mengenai intelektual atau estetika dan tak membangun nilai “praktis” yang mengabdi kepada tujuan kultur elite. Dalam mobilitas yang diperjuangkan di AS, meski staf pengajar sering mendukung “pendidikan liberal”, sekolah cenderung dinilai menurut keuntungan praktisnya dan diluar tingkat sekolah dasar, untuk menjadi tenaga kejuruan.Pendidikan tak banyak memberikan apa yang baik untuk dirinya sendiri karena keterampilan terutama keterampilan kejuruan diduga diperlukan dalam persaingan untuk mendapatkan hadiah nyata dari kehidupan.



488



Perbedaan ini tercermin dalam perbedaan sikap nasional terhadap mahasiswa universitas, yang sudah bekerja sambil kuliah. Lebih banyak mahasiswa di AS ketimbang di Inggeris yang bekerja-sambilan (part-time) dan relatif lebih sedikit mahasiswa AS yang menerima subsidi untuk biaya hidup. Sebagian besar program bantuan negara bagian di AS, kecuali untuk veteran dan kelompok khusus lain, biasanya tak mampu menutupi biaya selain dari uang kuliah dan biaya institusional. Bantuan biaya hidup di Inggeris direncanakan untuk menutupi seluruh biaya hidup, mengingat kemampuan orangtua mahasiswa untuk membayarnya.



24



Dalam mobilitas yang disponsori, bekerja tak termasuk



melaksanakan fungsi magang atau masa percobaan, dan dibayangkan semata-mata untuk mencegah mahasiswa mendapatkan keuntungan penuh dari sekolah mereka. L.J. Parry berbicara tentang penentangan umum terhadap mahasiswa bekerja dan menegaskan bahwa pimpinan universitas di Inggeris hampir sepakat bahwa ……….bila seorang bekerja karena alasan keuangan, ia tak pernah boleh menghabiskan waktu lebih dari empat minggu bekerja sambilan itu selama setahun.25 Dalam mobilitas yang diperjuangkan, kesuksesan bekerja sambil kuliah tak dipandang sebagai tes kegunaan praktis yang cukup tetapi harus dilengkapi dengan tes didunia pekerjaan praktek. Demikianlah dalam mendidik rakyat diceritakan, insinyur profesional juga membuktikan dirinya menjadi mekanik unggul, raja bisnis yang sangat terampil sebagai salesman. Dengan bekerja sambil sekolah, mahasiswa yang giat “memperoleh” pendidikannya dalam arti paling sempurna, tetap bersentuhan dengan dunia praktek dan menambah pengalaman magang menjadi kehidupan kejuruan. Mahasiswa sering terdorong mencari pekerjaan sambilan, bahkan ketika tak ada kebutuhan finansial dan dalam hal tertentu sekolah memasukkan pekerjaan yang digaji sebagai syarat tamat. Seperti dilukiskan seorang pengamat, pandangan khas orang Amerika, mahasiswa yang mau bekerja sambilan adalah “taruhan terbaik” ketimbang mahasiswa yang sama cerdasnya dari orang lain.26 Terakhir, pendidikan dalam “penyesuaian sosial” adalah khas untuk sistem mobilitas yang diperjuangkan. Alasan untuk menekankan ini jelas bila difahami 489



bahwa pendidikan penyesuaian diri kiranya menyiapkan mahasiswa untuk menanggulangi situasi yang tak ada aturan pergaulannya atau karena aturannya tak diketahui, tetapi dalam situasi itu opini yang baik dari orang lain tak dapat diabaikan seluruhnya. Dalam mobilitas yang disponsori, calon elite dimasukkan ke dalam stratum homogen yang didalamnya terdapat konsesus mengenai aturan dan didalamnya mereka secara sosial berhasil menguasai aturan itu. Dalam mobilitas yang diperjuangkan, calon elite harus menghubungkan dirinya baik dengan elite yang sudah mapan maupun dengan massa yang mengikuti aturan berbeda dan elite itu sendiri tak cukup homogen untuk mengembangkan aturan pergaulan yang disepakati bersama. Begitu pula dalam mobilitas yang diperjuangkan, aturan pergaulan mungkin berbeda-beda menurut latar belakang pesaing, sehingga tiap calon elite harus berhasil berhubungan dengan orang yang berperan dengan aturan agak berbeda. Akibatnya, latihan menyesuaikan diri makin dianggap sebagai salah satu keterampilan penting yang ditanamkan oleh sistem sekolah.



27



Penekanan atas latihan demikian benar-benar telah mendapat



dukungan massa, ditunjukkan oleh hasil Poll Fortune 1945 dimana sampel orang dewasa skala nasional diminta untuk memilih satu atau dua hal yang sangat penting bagi anak mereka untuk keluar dari Kolej. Lebih dari 87% memilih “kemampuan untuk bergaul dengan dan untuk memahami rakyat” dan jawaban ini adalah yang paling sering kedua yang dipilih sebagai hal yang sangat penting itu juga untuk keluar Kolej.



28



Dalam hal ini, pendidikan Inggeris menyediakan



persiapan lebih baik untuk berpartisipasi dalam dunia yang teratur dan terkendali, sedangkan sistem pendidikan AS menyiapkan mahasiswa dengan lebih memadai untuk berpartisipasi dalam situasi yang kurang teratur. Kemampuan superior “Yankee” memahami orang lain, katanya secara tak langsung menyatakan kemampuan demikian. Hingga di sini bahasan dipusatkan pada sistem sekolah yang didukung pajak di kedua negara. Tetapi ditempat dan dipenekanan berbeda, SLTP yang didukung usaha swasta juga dapat dikaitkan dengan perbedaan antara mobilitas yang disponsori dan yag diperjuangkan. Karena SLTP swasta di kedua negara pada dasarnya merupakan wahana untuk memasarkan tanda-tanda ketinggian status 490



keluarga, maka fungsi mobilitasnya perlu disinggung. Dalam mobilitas yang diperjuangkan, sekolah swasta agaknya kecil atau tak mempunyai fungsi mobilitas. Dilain pihak, bila ada mobilitas dalam sistem yang disponsori, sekolah yang dikendalikan swasta sebagian besar diisi anak yang orangtuanya elite dapat menjadi perlengkapan ideal untuk memasukkan siswa pilihan dari lapisan lebih rendah kedalam status elite. Dengan program beasiswa, memberi harapan bagi anak anggota kelas yang kurang mampu untuk dapat terpilih di awal penerimaan siswa.



Kenyataannya,



sekolah



“negeri”



Inggeris



memasukkan



kedalam



piagamnya, ketentuan yang menjamin masuknya sebagian anak dari kelas kurang mampu tiap tahun. Masuknya anak seseorang kedalam sekolah “negeri” atau bahkan kedalam sekolah swasta yang agak kurang bergengsi, yang dianggap penting di Inggeris, relatif tak dikenal di AS. Bila anak tak berhasil mendapat beasiswa, orangtua sering mengorbankan banyak uang untuk membayar ongkos pendidikan yang relatif eksklusif ini. 29 Seberapa besar peran yang dimainkan SLTP swasta dalam mobilitas di kedua negara, sukar ditentukan. Studi orang AS tentang mobilitas sosial biasanya mengabaikan informasi mengenai siswa yang terdaftar di SLTP swasta versus SLTP yang didukung pajak. Studi di Inggeris yang menunjukkan keuntungan siswa SLTP “negeri”, umumnya gagal membedakan antara mobil dan nonmobil dalam hal ini. Tetapi selama abad 19 sekolah “negeri” Inggeris digunakan oleh orang kaya baru anggota kelas pabrikan untuk memungkinkan anak mereka mencapai status elite yang tak memenuhi syarat.



30



Dalam satu hal, kemunculan



kelas pabrikan melalui perdagangan bebas memperkenalkan sejumlah besar mobilitas yang diperjuangkan yang mengancam untuk menghancurkan sistem mobilitas yang disponsori tradisional. Tetapi dengan menggunakan sekolah “negeri” menurut cara ini, mereka tunduk pada legitimasi sistem tradisional suatu pengakuan implisit bahwa mobilitas ke atas tak lengkap tanpa diresmikan sponsornya. Dennis Brogan berbicara tentang tugas sekolah “negeri di abad 19 sebagai “tugas mengawinkan tatanan sosial Inggeris kuno dengan yang baru”. 31 Mengenai mobilitas, paralel antara SD yang didukung pajak dan SD “negeri” di Inggeris adalah menarik perhatian. SD yang didukung pajak dalam hal penting 491



telah terpolakan setelah SD “negeri” mengadopsi pandangan SD “negeri” tentang mobilitas tetapi menjadikannya bagian yang jauh lebih besar dari fungsi totalnya. Pada umumnya SD adalah wahana mobilitas yang disponsori diseluruh tingkat menengah sistem kelas, diteladani setelah pola sekolah “negeri” yang tetap menjadi agen mobilitas yang disponsori ke dalam elite.



Pengaruh Mobilitas Terhadap Kepribadian Bahasan ringkas dapat dibuat tentang pentingnya perbedaan antara mobilitas yang disponsori dan yang diperjuangkan dalam kaitannya dengan pengaruh mobilitas ke atas terhadap perkembangan kepribadian. Belum banyak yang diketahui tentang “perkembangan kepribadian” maupun tentang gambaran khusus arti penting pengalaman mobilitas terhadap kepribadian. 32 Tetapi kini tiga aspek pengalaman mobilitas ini sangat sering ditekankan. Pertama ketegangan atau tekanan yang timbul dalam memperjuangkan status yang lebih tinggi daripada status orang lain di bawah kondisi yang lebih sulit daripada kondisi orang lain itu. Kedua, komplikasi hubungan antar pribadi yang diintrodusir oleh keharusan untuk meninggalkan teman lama yang berstatus lebih rendah demi kepentingan penerimaan yang belum pasti ke dalam lingkungan status lebih tinggi. Ketiga, masalah penyusunan rencana pribadi yang memadai tentang nilai-nilai dihadapan gerakan antara kelas-kelas yang ditandai oleh sistem nilai yang agak berbeda-beda atau bahkan bertentangan.



33



Dampak masing-masing ketiga masalah mobilitas



ini terkesan berbeda, tergantung pada apakah pola mobilitasnya yang disponsori atau yang diperjuangkan. Dalam sistem mobilitas yang disponsori, calon elite dipilih sejak dini, dipisahkan dari teman sekelasnya, dikelompokkan dengan calon elite lain dan dengan pemuda dari kelas yang akan dimasukinya dan dididik secara khusus untuk menjadi anggota kelas yang akan dimasuki itu. Karena seleksi dilakukan sedari awal, pengalaman mobilitasnya tentu relatif bebas dari ketegangan ketimbang yang dialami oleh orang yang melalui serentetan tes penyisihan dan ketakpastian sukses yang lama sekali. Pemisahan dan kehidupan kelompok yang dipersatukan dari siswa sekolah “negeri” atau sekolah dasar dapat membantu 492



menjelaskan ikatan sosial orang yang mengalami mobilitas. (Seorang peneliti gagal menemukan pembentukan klik yang sejalan dengan garis kelas sosial dalam studi sosiometrik sejumlah sekolah dasar. 34) Masalah sistem nilai sebagian besar mungkin ditemukan, bila calon elite diambil dari orangtuanya dan temannya yang ditempatkan di asrama sekolah, meski mungkin kurang dapat dijelaskan dengan baik untuk anak SD yang tiap malam pulang ke rumah keluarga kelas buruhnya. Keterbatasan pengalaman anak yang disebut terakhir ini pasti ada kaitannya dengan kegagalan anak keluarga kelas buruh yang diamati untuk melanjutkan ke tahun terakhir sekolah dasar dan memasuki universitas.



35



Pada umumnya faktor



yang ditekankan sebagai yang mempengaruhi pembentukan kepribadian dikalangan orang yang mengalami mobilitas ke atas kiranya agak khusus untuk sistem mobilitas yang diperjuangkan atau untuk sistem mobilitas yang disponsori yang berfungsi kurang sempurna. Sering dianggap pasti bahwa ada bukti meyakinkan yang menunjukkan siswa yang berorientasi mobilitas di SLTP AS menderita karena kecenderungan membentuk klik sejalan dengan yang ditentukan sebelumnya oleh latar belakang keluarga. Namun kecenderungan ini secara statistik agak moderat, masih menyisakan banyak ruang untuk kekecualian secara individual. Lagi pula siswa yang berorientasi mobilitas biasanya belum distudi secara terpisah untuk menemukan apakah mereka digabungkan ke dalam klik berstatus lebih tinggi yang berbeda dari aturan umum yang berlaku atau tidak. Pun belum ditunjukkan dengan memadai bahwa arti sistem nilai kelas buruh yang berlawanan dengan nilai kelas menengah yang merasuk dan memaksa keseluruhan kelas buruh yang sangat menonjol dalam berbagai geng anak nakal. Model mobilitas yang diperjuangkan mengesankan adanya ketegangan yang lebih serius dan berkepanjangan yang ditimbulkan ketakpastian capaian mobilitas, lebih nyata dan berkepanjangan keasyikan dengan persoalan penggantian teman dan lebih nyata perbedaan nilai yang diwarisi dengan nilai yang dipelajari kemudian yang lebih sesuai dengan aspirasi kelas dibandingkan dengan dalam mobilitas yang disponsori. Luas dan implikasi perbedaan sistem nilai ini memerlukan pemahaman lebih lengkap sistem kelas AS. Studi tentang pembentukan 493



kepribadian, khusus yang dialami dalam sistem mobilitas yang disponsori seperti di Inggeris masih belum dilakukan.



Kesimpulan : Saran Riset Bahasan di atas, lebih mencerminkan kesan umum pengamat di kedua negara ketimbang eksplorasi data secara sistematis. Berbagai jenis data yang relevan telah dikutip, tetapi penggunaannya lebih ilustratif ketimbang demonstratif. Namun melalui analisis tentatif ini disarankan beberapa jenis riset. Satu diantaranya adalah eksplorasi perbedaan saluran mobilitas di AS dan Inggeris dalam upaya menemukan tingkat mobilitas yang berkaitan dengan tipe mobilitas. Pengerahan kependetaan Katolik misalnya mungkin secara seksama mengikuti norma mobilitas yang disponsori tanpa memperhatikan norma mobilitas yang diperjuangkan yang dominan di AS. Pengaruh perubahan dalam kesempatan utama mobilitas ke atas terhadap norma dominan, perlu diteliti. Meningkatnya peran promosi melalui hirarki birokrasi perusahaan dan menurunnya peran semangat kewiraswastaan dalam menerobos mobilitas ke atas, pastilah membahayakan pola ideal mobilitas yang diperjuangkan. Berkembangnya desakan bahwa pendidikan makin tinggi semakin menjadi syarat pekerjaan adalah modifikasi serupa. Tetapi sedikit sekali bukti tentang kecenderungan mengikuti logika mobilitas yang disponsori di luar proses seleksi birokrasi. Prospek surplus orang yang berpendidikan Kolej dalam hubungannya dengan pekerjaan yang memerlukan pendidikan Kolej, cenderung memperbaiki situasi perjuangan di tingkat atas dan kemungkinan selanjutnya, penyelesaian pendidikan lebih tinggi mungkin lebih ditentukan oleh faktor motivasi ketimbang oleh kapasitas yang mengesankan bahwa pola perjuangan berkelanjutan di sekolah. Di lain pihak di Inggeris, dua perkembangan dapat memperlemah sistem mobilitas yang disponsori. Pertama, jawaban positif terhadap tuntutan rakyat yang memungkinkan semakin banyak anak-anak mendapatkan tipe pendidikan sekolah dasar, khususnya dengan dimasukkannya program pendidikan seperti itu dalam sekolah menengah moderen. Kedua, adalah diperkenalkannya sistem sekolah 494



menengah umum (comprehensive) yang hingga kini relatif luar biasa tetapi menjadi bagian penting program pendidikan Partai Buruh. Masih akan ditentukan apakah sekolah menengah umum di Inggeris akan mengambil bentuk tersendiri dan melayani fungsi tersendiri, yang melestarikan pola mobilitas yang disponsori atau kira-kira akan menampilkan sistem mobilitas orang Amerika. Terakhir, pernyataan bahwa tipe mobilitas yang disponsori ini melekat dalam norma rakyat yang sebenarnya, memerlukan penelitian khusus. Di sini, kombinasi antara studi langsung tentang sikap rakyat dan analisis kandungan jawaban rakyat atas masalah-masalah penting, akan sangat bermanfaat. Penelitian yang sangat signifikan kiranya adalah yang mencari bukti yang dapat menunjukkan bagian tindakan apa yang tak memerlukan pembenaran atau penjelasan khusus karena tindakan itu sama sekali adalah “alamiah” dan “benar” dan bagian tindakan apa yang memerlukan pembenaran dan penjelasan khusus, apakah diakui atau tidak. Bukti seperti itu, jika digunakan secara tepat, akan menunjukkan tingkat pola yang dilukiskan lebih merupakan norma rakyat yang sebenarnya ketimbang semata produk-sampingan dari faktor struktural khusus. Bukti itu juga memungkinkan norma rakyat asli yang disebarkan dikalangan segmen penduduk yang berbeda.



Catatan Kaki 1.



Ringkasan komprehensif studi demikian, terbit dalam S.M. Lipset dan R. Bendix, Social Mobility in Industrial Society (Berkeley and Los Angeles, Calif.: Univ. of California Press, 1959).



2.



Cf. C.A.Anderson, “The Social Status of University Students in Relation to Type of Economy: An International Comparison”, Transaction of the Third World Congress of Sociology (London, 1956, Vol.V:51-63); J.E.Floud, Social Class and Educational Opportunity (London: W.Heinemann Ltd., 1956; W.L.Warner, R.J.Havighurst and M.B.Loeb, Who Shall Be Educated? (NY: Harper&Row, Publ., 1944).



3.



Referensi dibuat melalui paper “elite” and “masses”. Tetapi generalisasi dimaksud untuk menerapkan seluruh kontinum stratifikasi terhadap hubungan 495



antara anggota kelas tertentu dan kelas atau kelas-kelas di atasnya. Pernyataan tentang mobilitas umumnya dimaksud untuk menerapkan terhadap mobilitas dari tingkat kelas pekerja tangan hingga kelas menengah, dari kelas menengah bagian bawah hingga kelas menengah bagian atas, dan seterusnya, maupun ke dalam kelompok elite yang sebenarnya. 4.



Unsur normatif dalam norma yang mengatur, mengikuti tipe ideal Max Weber,



lebih



banyak



menyampaikan



pemikiran



tentang



collective



representation dari Durkheim; Cf. R.H. Turner, “The Normative Coherence of Folk Concepts”, Research Studies of the State Cllege of Washington, XXV (1957: 127-136). 5.



G.Gorer mengatakan tentang evaluasi yang baik dari perjudian yang sukses dalam kultur AS: “Perjudian juga dihormati dan merupakan komponen penting dalam berbagai usaha bisnis. Peningkatan mencolok dalam posisi keuangan seseorang umumnya dikaitkan dengan kombinasi keberuntungan industri dan judi, meski pejudi sukses lebih menyukai untuk merujuk ke perjudiannya sebagai “visi”. Lihat The American People (NY: W.W.Norton & Co.Inc., 1948:178).



6.



Vilfredo Pareto, The Mind and Society (NY: Harcourt, Brace&World. Inc., 1935, vol.4: 1796).



7.



Banyak penulis yang mencatat, perbedaan jenis masyarakat memudahkan berkembangnya perbedaan jenis kepribadian, baik dalam hirarki stratifikasi atau dalam cara lain. Cf. J. Bernard, American Community Behavior (NY: Dryden, 1949:205).



8.



Suatu ketika di AS, banyak pemilik mobil mahal Jaguar buatan Inggeris yang menjadikan pemilikan mobil mewah itu sebagai lambang status.



9.



Lihat misalnya L.Lipton, The Holy Barbarians (NY: Messner, 1959).



10. Cf. A.K.Cohen, Delinquent Bots: The Culture of the Gang (NY: The Free Press, 1955). 11. D.V.Glass, ed., Social Mobility in Britain (NY: The Free Press, 1954:144145), laporan studi menunjukkan hanya kecil perbedaan tingkat kecerdasan antara tingkatan pekerjaan. 496



12. Gorer, op.cit: 172-187. 13. Lihat misalnya Los Angeles Times, May,4,1959 Bagian I:24. 14. Ciri-ciri dan operasi sistem “the eleven plus” diriviu dalam sebuah laporan oleh komisi the British Psychological Society dan dalam laporan pengembangan riset menjadi metode seleksi yang tepat. Lihat P.E. Vernon, ed., Secondary School Selection: A British Psychological Inquiry (London: Methuen&Co.Ltd., 1957). 15. J.E.Floud, A.A.Halsey and F.N.Martin, Social Class and Educational Oppurtunity (London:W.Heinemann Ltd., 1956). 16. Mary D.Wilson mencatat pengurangan aspirasi memadai siswa di SLTP moderen di Inggeris dan mencatat perbedaan dengan hasil studi di AS yang mengungkapkan jauh lebih banyak aspirasi “yang tak realistis”. Lihat “The Vocational Preferences of Secondary Modern Scholl-Children”, British Journal of Educational Psychology, XXXIII (1953:97-113). 17. Dikemukakan oleh H.Himmelweit dalam komunikasi pribadi. 18. Cadangan keuangan yang kurang memadai dan tingginya rasio siswa-guru ditunjukkan sebagai perintang terhadap kesamaan SLTP moderen dengan sekolah dasar, dalam The Times Educational Supplement, Febr. 22, 1957:241. Mengenai kesulitas dalam mencapai gengsi yang sebanding dengan sekolah dasar, lihat G. Baron, “Secondary Education in Britain: Some Present Day Trends”, Teachers College Record LVII (Jan., 1956: 211-221). 19. Alexis de Tocqueville, Democracy in America (NY:A.A.Knoff. Inc., 1945, vol.I :52). 20. Gallup Poll terdahulu menyingkap bahwa 62% orangtua menentang kekakuan persyaratan untuk memasuki Kolej sedangkan yang menyetujuinya hanya 27%. Dilaporkan dalam Time (April,14,1958:45). 21. Dilaporkan dalam The Los Angeles Times, 17 Desember 1958, bagian I: 16. 22. US.Department



of Health, Education and Welfare Office of Education,



Earned Degrees Conference by Higher Education Institution, 1957-1958 (Washington DC:Gov. Printing Office, 1959:3).



497



23. Nicholas Malleson, “Student Performance at University Cllege, London, 1948-1951”, Universities Quarterly, XII (May, 1958: 288-319). 24. Lihat misalnya C.A. Quattlebaum, Federal Aid to Students for Higher Education (Washington DC: Gov. Printing Office, 1956); dan “Grants to Students: University and Training College”, The Time Educational Supplement, May 6, 1955: 446. 25. “Students Expenses”, The Time Educational Supplement, May 6, 1955: 447. 26. R.H. Eckelberry, “College Jobs fo College Students”, Journal of Higher Education, XXVII (March, 1956:174). 27. Latihan penyesuaian diri tak perlu menyertai mobilitas yang diperjuangkan. Pergeseran yang terjadi selama setengah abad terakhir ke arah peningkatan arti penting penerimaan sosial sebagai mandat seorang elite menyebabkan pendidikan makin menonjol peranannya. 28. Dilaporkan dalam Hadley Cantril,ed., Public Opinion 1935-1946 (Princeton, N.J: Printon Univ. Press, 1951:186). 29. Mengenai bahasan tentang tempat sekolah “negeri” dalam sistem pendidikan Inggeris, lihat D.Brogen, The English People (NY: Alfred A. Knoff, Inc.,1943). 30. A.H. Halsey dari UniversityBirmingham telah menarik perhatianku terhadap penting fakti lain. 31. Op.cit: 24-25 32. Cf. Lipset and Bendix, op.cit.: 250 ff 33. Lihat misalnya S.B and F.C. Readlict, Social Class and Mental Illness (NY: JohnWiley&Son, Inc., 1958). 34. A.N. Openheim, “Social Status and Clique Formation among grammer School Boys”, British jurnal of sociolopgy, VI (Sept., 1955: 228-245). Temuan openheim dapat dibandingkan dengan ElmtowassYouth karya A.B. Hollingshead



Hollingshead



(NY:John



JohnWiley&Son, 1949: 294-242, 35. Floud, et.al., op.cit: 115 ff



498



wiley&son



gagal



(NY:



Variasi Dalam Negeri : Mobilitas Dan Stratifikasi Pekerjaan Oleh : Thomas Fox dan S.M. Miller



Studi Mobilitas Sosial Studi sosiologi tentang mobilitas sosial hampir secara eksklusif mengenai mobilitas pekerjaan. Perubahan dalam distribusi hak warga negara atau dalam dukungan sosial tak mungkin dilakukan sebelum didahului studi mobilitas sosial. Dalam penelitian mobilitas sosial pekerjaan, tekanan utamanya adalah pada penyusunan tingkatan pekerjaan melalui tingkatan gengsinya ketimbang melalui indikator keterampilan, pendapatan, atau rentang-kendali. Indikator gengsi pekerjaan berdasarkan survei tentang sikap lintas-seksi nasional dapat dianggap memadai untuk merangkum dimensi lain dari posisi pekerjaan. Penekanan dalam studi masa kini masih lebih ditekankan pada mobilitas antar-generasi (hubungan pekerjaan



anak



dengan



pekerjaan



ayahnya)



ketimbang



pada



mobilitas



intragenerasi (jalannya pergerakan pekerjaan dalam karir seorang individu) atau pada mobilitas stratum (pergerakan satu stratum dalam kaitannya dengan strata lain sekitar dimensi yang relevan). Jadi, defenisi mobilitas sosial dan indikator yang digunakan untuk mengukurnya, hanya menyediakan bagian terbatas fenomena yang biasanya dianggap sebagai mobilitas sosial oleh ilmuan sosial. 1 Dalam membuat perbandingan diantara bangsa, langkah berani harus dibuat. Banyak kesukaran studi secara individual, bergabung dalam perspektif komparatif. Sebagian studi nasional miskin kualitas tehnis, tetapi kita tak mempunyai pilihan pengganti bila kita ingin memasukkan bangsa tertentu kedalam perbandingan. Periode waktunya berbeda dalam berbagai studi; tingkat dan nama pekerjaan tak sepenuhnya dapat dibandingkan. Akibatnya, penting untuk diakui bahwa tiap perbandingan yang terbaik, hanyalah kira-kira.



499



Perbandingan yang biasa dalam studi mobilitas adalah pergerakan anak keluarga pekerja tangan kedalam pekerjaan non tangan.



2



Perhatian tertuju pada



mobilitas vertikal, meski mobilitas ke bawah dari strata pekerja non tangan ke strata pekerja tangan telah diabaikan dimana-mana. Studi lintas-nasional tentang mobilitas manual non manual membuat asumsi gagah-berani bahwa pembagian manual-nonmanual sama pentingnya dalam semua bangsa sepanjang waktu. Asumsi ini jelas tak benar tetapi sukar membuat perbandingan tanpa asumsi itu. Perbandingan manual-nonmanual pun menderita pengabaian mobilitas di dalam satu stratum, misalnya pergerakan dari pekerja tak terampil ke pekerja terampil; dari kelas menengah tingkat bawah ke posisi elite. Pergerakan seperti ini mungkin besar dan penting tetapi tak tertangkap bila pembagian manual-nonmanual yang menjadi sasaran perhatian. Sejumlah masalah tehnis mengganggu dalam perbandingan internasional. Jumlah strata yang digunakan dalam studi, mempengaruhi jumlah mobilitas: makin banyak strata, makin banyak mobilitas. Karena itu untuk tujuan perbandingan, perlu menekan (memadatkan) penggolongan menjadi jumlah pengelompokkan yang sama. Keperluan tehnis ini mendorong penggunaan pemadatan manual-nonmanual. Kesukaran lain adalah bahwa meski kita berbicara tentang generasi anak dan tentang generasi ayah, kita sebenarnya tak mempunyai kategori murni seperti itu. Ada ayah dan anak dalam setiap kategori pekerjaan tetapi kita memperlakukan data kita seolah-olah tiap umur (faktor) dapat dikeluarkan. Dengan data yang sama dimungkinkan membuat sejumlah jenis perbandingan yang berlainan. Pergerakan dapat dipandang dari perspektif berbeda dan mudah menimbulkan kebingungan dengan perspektif dan mengakibatkan kelebihan-hasil. Menurut standar matrik mobilitas, deretan (baris) mencerminkan pengaliran keluar: “Berapa jumlah ayah yang mendistribusikan pekerjaan kepada anaknya dalam stratum tertentu?” Tipe analisis ini adalah tipe yang biasa. Tetapi kita dapat melihat di seberang diagonal utama matrik dan mencatat tingkat pewarisan pekerjaan ayah oleh anaknya. Kolom menyediakan data perpindahan. “Apakah asal-usul sosial individu yang kini berada dalam stratum pekerjaan tertentu?” 500



Kini anak yang sama dilibatkan dalam analisis keluar dan masuk; perbedaannya terletak dalam apa yang melandasi mereka dihubungkan dengan tingkat hitungan atau persentase. Sebagai contoh, analisis keluaran dapat menunjukkan bahwa dari 1.000 anak pekerja nonmanual, 250 orang atau 25% pindah ke dalam strata manual. Dari sudut pandang strata manual, yang lebih besar daripada strata nonmanual, katakanlah 2.500 anak, tingkat perpindahannya hanyalah 10%. Perpindahan yang sama, dapat mempunyai implikasi yang berbeda dari berbagai perspektif. Meski dengan banyak kesukaran, studi komparatif mobilitas sosial dapat berlangsung lama. Sorokin dalam studi klasiknya tentang mobilitas sosial tahun 1927 mengumpulkan data banyak sekali tetapi belum menjadi sasaran analisis sistematis. Namun karyanya mengetahui sebelumnya dalam berbagai arah. Selama hampir dua dekade terhitung sedikit studi yang dilakukan yang mengacu pada bangsa sebagai keseluruhan. David Glass dan T. Geiger, dalam karya mereka sendiri dan dalam karya yang mereka bantu mengerjakannya dalam The Research Sub-Committee on Social Stratification and Social Mobility, menekankan pada 50 studi nasional, dilaksanakan dengan perhatian yang sama dan dengan metodologi yang dikembangkan dengan baik. Akibatnya, kini kita mempunyai hasil studi mobilitas sosial tingkat nasional yang jauh lebih banyak. S.M. Lipset dan R. Bendix, Hans Zetterberg dan N.R. Ramsoy berupaya memahami data mobilitas tingkat nasional, memberikan kesan adanya kesamaan mendasar dalam tingkat kemajuan negara industri. Miller dalam penilaian datanya menekankan pada mobilitas ke bawah yang semula diabaikan dalam kebanyakan generalisasi mengenai mobilitas, berbagai garis bentuk mobilitas (misalnya pengetahuan tentang



perpindahan



manual-nonmanual



tak



mengungkapkan



mengenai



perpindahan manual-elite) dan nilai pengembangan tipologi mobilitas. Karya Peter Blau dan O.D.Duncan, dalam membuat analisis pola mobilitas di AS yang berdasarkan data segar dalam perspektif komparatif, besar artinya. Ketika itu terlihat kemacetan perkembangan studi mobilitas yang membandingkan antar negara.



501



Paper ini melukiskan sebagian kecil dari berbagai cara untuk memanfaatkan data mobilitas. Perbandingan data secara internasional tidak dipersoalkan tetapi diupayakan untuk meningkatkan perbandingan dengan membatasi analisis pada data empat negara. Perhatian dipusatkan baik pada outflow maupun inflow. Kontribusi khususnya adalah bahwa analisis ini memperkenalkan ukuran baru yang memudahkan dalam membandingkan tingkat kesamaan dan ketaksamaan mobilitas antara negara.



Dikhotomi : Manual-Nonmanual Profil konvensional mobilitas sosial diproyeksikan oleh dikhotomi manualnonmanual. Tabel 1 menyajikan profil empat negara melalui masuk kedalam (inflow mobility) dan keluar dari (outflow mobility) strata manual dan nonmanual. Analisis kita meliputi mobilitas ke atas dan mobilitas ke bawah berbeda dari analisis yang lebih sering menekankan pada mobilitas ke atas saja.



3



Masuk ke pekerjaan manual dan ke luar dari nonmanual melukiskan mobilitas ke bawah bagi anak yang orangtuanya berasal dari nonmanual dari dua sudut pandang - stratum manual dan stratum nonmanual. Sebaliknya, ke luar dari manual dan masuk ke nonmanual dicatat sebagai mobilitas ke atas bagi anak yang orangtuanya berasal dari stratum manual masuk kedalam stratum nonmanual. Pentingnya merubah pernyataan mengenai tingkat mobilitas dengan menentukan titik rujukan tertentu (masuk atau keluar untuk stratum tertentu) ditunjukkan dengan menstudi Tabel 1. Berawal dari data tentang mobilitas keluar, kita lihat bahwa di Inggeris, angka keluar lebih besar untuk stratum nonmanual ketimbang untuk stratum manual. Gerakan ke bawah lebih besar daripada yang ke atas: deskripsi ini juga berlaku untuk AS dimana mobilitas ke atas menonjol.



502



Tabel 1. Perbandingan mobilitas masuk dan kelur dari pekerjaan manual dan nonmanual (dalam persentase). Negara Mobilitas Manual Mobilitas Nonmanual Inggeris



24.83



24.73



42.01



42.14



Jepang



12.43



23.70



48.00



29.66



Belanda



18.73



19.77



44.84



46.20



AS



18.06



30.38



32.49



19.55



Sumber: D.V.Glass,st.al., Social Mobility in Britain (London: Routlege&Kegan Paul, Ltd.1954:183); J.van Tulder berdasarkan the Survey the Institute for Socail Research in the Netherland; Sigeki Nishihira, “Cross National Comparative Study on Social Stratification and Social Mobility” (Japan). Annuals of the Institute of Statistical Mathematics,VIII No.3 (1957:187); R. Centers, “Occupational Mobility of Urban Occupational Strata”, ASR, XIII, No.2 (April, 1948).



Perbandingan antar negara berdasar indikator gerak keluar menunjukkan bahwa AS adalah yang tertinggi gerakan ke atasnya dalam arti dari manual ke nonmanual. AS juga terendah angka mobilitas ke bawahnya dari stratum nonmanual. Inggeris terbanyak mobilitas ke bawahnya dan nomor dua angka mobilitas ke atasnya. Mobilitas ke bawah mungkin lebih menunjukkan ketakstabilan sosial ketimbang mobilitas ke atas. Sebagai ilustrasi, kita menyadari bahwa proses industrialisasi telah berkaitan erat dengan penurunan jumlah anggota stratum manual - fenomena yang menyumbang terhadap mobilitas ke atas antar generasi. Sebaliknya, mobilitas ke bawah menjadi bukti bahwa anak tak selalu berhak mewarisi posisi sosial ayah mereka tetapi harus mampu mempertahankan hak mereka sendiri atau akan menderita digantikan oleh individu lain yang lebih mampu dari strata sosial lebih rendah.



4



Bila argumen ini valid, maka struktur



sosial Inggeris dan Belanda dalam hal tertentu kurang beku ketimbang di AS dan Jepang - berlawanan dengan opini populer selama ini. Pola perpindahan (inflow) mengenai mobilitas ke dalam sebuah stratum. Keempat bangsa (negara) ditandai oleh lebih heterogen asal-usul sosial dalam stratum nonmanual ketimbang dalam stratum manual. Heterogenitas homogenitas yang digunakan di sini, berasal dari H.C.Bryce. 503



5



Inggeris tertinggi



heterogenitasnya dalam stratum manual seperti yang dapat diduga dari pola pengaliran keluar stratum nonmanualnya. Tetapi Belanda dengan persentase pengaliran keluar stratum nonmanual yang sama, kurang heterogen dalam stratum nonmanual. Meski pengaliran keluar nonmanual adalah tinggi di Belanda, pengaruh komposisionalnya terhadap perpindahan-masuk stratum manual lebih sedikit ketimbang di Inggeris karena proporsi anak dari ayah manual relatif lebih besar. Jepang dan AS sama pola perubahan pekerjaannya. Tingkat pindah keluar dari stratum manual di Jepang lebih rendah ketimbang di AS tetapi tingkat heterogenitas nonmanualnya lebih tinggi: hampir separoh pekerja nonmanual berasal dari keluarga manual. AS berkembang stratum nonmanualnya karena banyak menyerap dari keluarga manual dan seperti ditunjukkan angka perpindahan keluar stratum nonmanual (19%) menempati tingkat tertinggi yang mewarisi strata nonmanual. Data untuk Inggeris dan Belanda menunjukkan perubahan sedikit dalam bentuk luar struktur pekerjaan antara generasi: petanya yang kira-kira mendekati realitas, disajikan di Tabel 2. Stratum manual di Inggeris (Tabel 1) sekitar 25% berlatar-belakang nonmanual, “menggantikan” 25% yang lahir dalam keluarga manual yang pindah ke atas ke pekerjaan nonmanual. Pergantian pekerjaan serupa dikalangan orang Belanda adalah sekitar 19%. Kesimpulannya adalah bahwa pergantian posisi sosial sebenarnya terjadi antara anak keluarga manual pindah ke atas dan jumlah absolut yang sama anak keluarga nonmanual, pindah ke bawah. Seperti telah terlihat, strata nonmanual ditandai oleh tingkat lebih tinggi mobilitas masuk maupun keluar ketimbang strata manual di kedua negara. Yang menarik, tanpa perubahan yang mendalam dalam distribusi pekerjaan antar generasi, Inggeris dan Belanda mengalami pertukaran antar strata yang sangat besar. Untuk Jepang dan AS, pertumbuhan relatif stratum nonmanual (lihat Tabel 2) dapat menerangkan sebagian besar mobilitas ke atas yang terjadi. Tetapi di Inggeris dan Belanda dengan distribusi pekerjaan relatif konstan, tuntutan tehnologi menyebabkan mobilitas gagal menerangkan ketakstabilan struktur sosialnya masing-masing. 504



Porsi lebih kecil Tabel 2 menggambarkan perubahan struktur pekerjaan antara generasi dengan lebih rinci. Elite dan kelas menengah sebelumnya termasuk ke dalam kategori nonmanual; pekerjaan terampil, semi terampil dan tak terampil secara bersama terdiri dari stratum manual. Tabel 2. Persentase Distribusi Strata Menurut Generasi Ayah dan Generasi Anak. Inggeris



Jepang



Belanda



AS



Ayah



Anak



Ayah



Anak



Ayah



Anak



Ayah



Anak



Nonmanual



37.11



37.02



26.74



36.17



29.98



30.87



43.97



52.40



Manual



62.89



62.98



73.26



6382



70.02



69.13



56.03



47.60



Total



100.00



100.00



100.00



100.00



100.00



100.00



100.00



100.00



Elite



7.98



7.49



11.15



11.74



7.18



11.08



8.92



16.86



Kelas



29.13



29.53



15.59



24.45



22.80



19.79



35.04



35.54



Terampil



38.74



33.91



8.52



12.06



32.65



34.22



29.59



19.50



Semi



13.09



16.95



4.02



7.50



26.41



27.39



20.16



20.33



11.06



12.12



60.72



44.26



10.96



7.52



6.28



7.77



100.00



100.00



100.00



100.00



100.00



100.00



100.00



100.00



menengah



terampil Tak terampil Total



Sumber: Lihat Tabel 1.



Di Inggeris, jelas sedikit perubahan jumlah elite ataupun golongan kelas menengah - sedikit mobilitas yang dapat dihubungkan dengan perbedaan jemlah relatif posisi di dalam stratum nonmanual. Namun struktur dalam kategori manual telah berubah antara generasi. Data mengesankan penurunan dalam tingkat keterampilan manual: jumlah relatif substratum terampil berkurang sedangkan kategori semi-terampil dan tak terampil telah berkembang dalam generasi anak. Jepang menunjukkan perubahan kecil dalam jumlah relatif elite antara generasi, tetapi jumlah kelas menengahnya meningkat tajam. Kualitas stratum 505



manual bergeser ke atas; proporsi tak terampil merosot sedangkan proporsi terampil dan semi terampil meningkat. Penggunaan klasifikasi manual meliputi mobilitas di dalam stratum yang sangat besar disebabkan perubahan struktural sepanjang waktu. Prubahan komposisi dalam stratum nonmanual pekerja Belanda adalah luar biasa. Dapat dicatat bahwa jumlah relatif elite meningkat tetapi diiringi oleh penyusutan kelas menengah. (Negara lain menggambarkan perkembangan kelas menengah tingkat minimum, moderat) Dalam kategori manual, kecenderungan kualitatif relatif sama dengan di Jepang; proporsi tak terampil berkurang sedangkan proporsi semi-terampil dan terampil meningkat. Kecenderungan untuk elite di AS menunjukkan kenaikan besar tetapi kecil perubahan untuk kelas menengah. Penurunan tajam jelas terlihat untuk golongan terampil. Substrata semi-terampil dan tak terampil mengalami kenaikan moderat proporsinya dalam generasi anak. Lebih separoh anak yang berada dalam stratum nonmanual (seperti di Jepang) yang ditandai oleh kenaikan besar jumlah relatif posisi nanmanual antara generasi.



Pekerja Terampil, Semi-Terampil dan Tak Terampil Yang Mengalir Ke Dalam Stratum Nonmanual Tabel 3 merinci stratum manual ke dalam bagian-bagian integral terampil, semi-terampil dan tak terampil guna melihat lebih dekat sumber mobilitas ke atas dalam kategori nonmanual. Di Inggeris peluang anak pekerja terampil memasuki stratum nonmanual, kurang dari dua kali sebanyak anak pekerja semi-terampil. Anak dari ayah tak terampil adalah yang paling merugi untuk mendapat peluang seperti itu tetapi tak kurang mencolok dibandingkan dengan anak keluarga semi-terampil. Data untuk Belanda dan AS besarnya sama dengan kasus Inggeris: ketiga negara itu ditandai oleh lebarnya jurang antara komponen terampil dan semi-terampil dari stratum manual dengan jurang relatif lebih sempit antara substrata semi-termapil dan tak terampil.



506



Tabel 3. Pengaliran Ke Luar Anak Yang Berasal Dari Keluarga Terampil, Semi- Terampil Dan Tak Terampil Ke Dalam Stratum Nonmanual (Dalam %) Asal Keluarga Inggeris Jepang Belanda AS Terampil



29.08



30.19



26.92



38.55



Semi-terampil



18.78



29.33



14.79



21.31



Tak terampil



16.54



22.42



10.47



21.05



Sumber: Lihat Tabel 1.



Di Jepang terdapat sedikit perbedaan antara perpindahan pekerja terampil dan semi-terampil dalam pekerjaan nonmanual, meski secara intuitif orang dapat mengira pekerja terampil relatif lebih beruntung ketimbang yang tak terampil dalam menikmati mobilitas ke atas; kedua substratum itu berpeluang jauh lebih besar ketimbang pekerja tak terampil. Inggeris, Belanda dan Jepang agak sama persentase anak keluarga terampil yang memasuki stratum nonmanual tetapi jauh lebih kecil persentasenya ketimbang di AS. Kesamaan antar negara kurang nyata ketika kita berpaling ke kategori semi-terampil dan tak terampil. Perpindahan semi-terampil di Jepang lebih besar daripada perpindahan pekerja terampil di Belanda dan 8% lebih besar daripada perpindahan semi-terampil di AS yang selanjutnya kurang 3% lebih besar daripada di Inggeris dan hampir 7% di atas Belanda. Perpindahan tenaga tak terampil, sama di Jepang dan di AS diikuti dalam jarak yang hampir sama oleh Inggeris dan oleh Belanda dalam jarak jauh lebih besar. Tabel ini menunjukkan pentingnya pengaruh komposisional. Meski perpindahan menyeluruh tenaga manual ke dalam stratum nonmanual menempati tingkat tertinggi, namun AS menempati posisi kedua dilihat dari sudut perpindahan tenaga tak terampil dan semi-terampil ke dalam stratum puncak. Jumlah tenaga manual AS menempati tingkat tertinggi disebabkan tingkat perpindahan tenaga terampilnya jauh lebih besar daripada yang dialami negara lain dan karena lebih besarnya angka komponen tenaga terampil di dalam stratum manual. 507



Sumber Heterogenitas Nonmanual Tabel 4 menunjukkan sumbangan mobilitas tenaga terampil, semi-terampil dan tak terampil terhadap komposisi stratum nonmanual. Tabel 4. Sumber Heterogenitas Nonmanual (dalam %) Asal Keluarga



Inggeris



Jepang



Belanda



AS



Terampil



30.42



7.11



28.47



21.77



Semi-terampil



6.64



3.26



12.65



8.20



Tak terampil



4.94



37.63



3.71



2.52



48.00



44.83



32.49



Total



memasuki 42.00



stratum nonmanual Sumber: Lihat Tabel 1 Kini kita melihat sumber heterogenitas asal-usul sosial di kalangan pekerja nonmanual. Di



Inggeris



hampir



tigaperempat



heterogenitas



stratum



nonmanual



disebabkan mobilitas anak pekerja terampil. Kontribusi semi-terampil terhadap heterogenitas nonmanual sedikit lebih tinggi daripada yang tak terampil tetapi jauh lebih sedikit daripada yang terampil. Di Belanda, masuknya anak pekerja terampil menyebabkan heterogenitas nonmanual agak lebih kecil dari duapertiga; anak keluarga semi-terampil pasti lebih penting daripada keluarga tak terampil. Duapertiga heterogenitas nonmaual di AS disebabkan perpindahan anak keluarga terampil; anak keluarga semi-terampil, jumlahnya dalam stratum nonmanual tiga kali lipat jumlah anak keluaraga tak terampil. Jepang mengalami penyimpangan: anak keluarga tak terampil menjadi sumber utama heterogenitas nonmanual. Ini sebagian besar tetapi tidak sepenuhnya disebabkan tingginya persentase tenaga kerja orang Jepang yang tergolong tak terampil. Kecuali untuk Jepang, kategori terampil paling besar sumbangannya terhadap heterogenitas nonmanual. Perpindahan anak keluaraga semi-terampil, paling besar sumbangannya di Balanda dan AS.



508



Perpindahan Elite dan Kelas Menengah Ke Dalam Stratum Manual Rincian stratum nonmanual ke dalam elite dan kelas menengah, memungkinkan melihat sumber heterogenitas tenaga manual menjadi lebih dekat. Dengan mula-mula melihat dimensi mobilitas keluar, Tabel 5 memberikan persentase mobilitas ke bawah dari elite dan kelas menengah. AS dan Inggeris, rendah tingkat aliran ke luar elitenya Rendahnya angka untuk AS telah diketahui lebih dahulu dari pengamatan sebelumnya dimana warisan pekerjaan keluarga nonmanual adalah tinggi. Angka mengalirnya nonmanual yang tertinggi (42%) terjadi di Inggeris, angka perpindahan elite yang jauh lebih besar dapat diharapkan bila stratum ini hampir sama membekunya dengan yang terjadi di AS. Warisan elite terendah di Jepang dan sama dengan di Belanda dilihat dari sudut perpindahan elitenya. Perpindahan kelas menengah di Inggeris dan Belanda adalah serupa dan tinggi, 50% lebih tinggi daripada di Jepang dan lebih dari dua kali lipat angka di AS. Perbedaan antara tingkat perpindahan elite dan kelas menengah ke dalam stratum manual adalah terbesar di Inggeris dan terkecil di Jepang. Tabel 5. Perpindahan Anak Elite dan yang Berasal dari Kelas Menengah ke dalam Stratum Manual. Asal Keluarga Inggeris Jepang Belanda AS Elite



17.92



26.92



24.26



14.91



Kelas Menengah



47.62



31.62



49.16



20.75



Sumber: Lihat Tabel 1



Asal Keluarga Elite



Inggeris



Jepang



Belanda



AS



2.27



4.70



2.52



2.78



22.56



15.28



16.22



15.28



Total perpindahan 24.83



18.06



18.74



18.06



Kelas Menengah manual Sumber: Lihat Tabel 1



509



Tabel 6 menunjukkan pengaruh mobilitas ke bawah anak keluarga elite dan yang berasal dari kelas menengah terhadap haterogenitas manual. Untuk seluruh negara, sumbangan elite terhadap komposisi stratum manual adalah relatif kecil, kurang dari 5% (kurang dari 3% di Jepang dikecualikan). Sebagian besar heterogenitas itu dihasilkan dari perpindahan ke bawah pekerja yang berasal dari keluarga kelas menengah. Tenaga yang berasal dari kelas menengah dalam stratum manual menerangkan lebih dari 20% anak yang berasal dari kelas menengah di Inggeris dan lebih dari 15% untuk negara lain. Keempat negara mempunyai asal-usul kelas menengah yang nyata yang berpengaruh terhadap komposisi stratum manual tetapi perwalian elite hampir tak ada artinya.



Persamaan Peluang Mobilitas Dalam Negeri Dalam tiap negara, distribusi peluang anak yang berasal dari keluarga lain memasuki stratum tertentu dapat distudi dengan bantuan indek persamaan peluang dari Feldmesser.6 Indek ini mencatat proporsi anak yang tetap di dalam stratum asal mereka (misalnya anak nonmanual dari ayah nonmanual) di tiap negara dengan nilai 100. Proporsi anak asal lain yang memasuki stratum tertentu dinyatakan sebagai rasio terhadap 100. Bila proporsi atau frekuensi anak dari seluruh asal-usul sosial yang memasuki stratum tertentu adalah sama, maka semua rasio akan mempunyai nilai 100. Dengan kata lain, indek ini menguji wakil proporsional seluruh strata sosial dalam satu stratum tertentu. Selanjutnya, tiap rasio adalah dari 100, lebih sedikit peluang suatu kelompok untuk memasuki stratum tertentu ketimbang peluang anak yang mewarisi status ayahnya. Tabel 7 menyajikan indek persamaan peluang dalam negeri untuk strata elite, kelas menengah, terampil, semi terampil dan tak terampil untuk masing-masing keempat negara. Tabel 7. Indek Persamaan Peluang Untuk Masuk ke Dalam Strata Elite, Kelas Menengah, Terampil, Semi Terampil dan Tak Terampil. Persamaan Inggeris Jepang Belanda AS Peluang untuk: 510



Elite Elite



100



100



100



100



Kelas Menengah



19



39



22



37



Terampil



7



21



20



22



Semi-terampil



3



17



6



6



Tak terampil



2



18



5



9



X



26.2



39.0



30.6



34.8



Kelas Menengah



100



100



100



100



Elite



88



65



57



51



Terampil



61



41



41



45



Semi-terampil



39



43



29



31



Tak Terampil



36



29



20



27



X



64.8



55.6



49.4



50.8



Terampil



100



100



100



100



Semi-terampil



84



53



64



70



Tak Terampil



80



18



62



56



Kelas Menengah



76



20



68



28



Elite



29



20



39



27



X



73.8



42.2



66.6



56.2



Semi Terampil



100



100



100



100



Tak Terampil



75



23



89



47



Terampil



54



50



46



47



Kelas Menengah



36



29



31



21



Elite



16



25



13



8



X



56.2



45.4



55.8



44.6



Kelas Menengah



Terampil



Semi Terampil



511



Tak Terampil Tak Terampil



100



100



100



100



Semi Terampil



57



33



48



27



Terampil



48



19



28



18



Kelas Menengah



23



24



18



6



Elite



7



18



3



5



X



47.0



38.8



39.4



31.2



Persamaan Peluang Dalam Memasuki Strata Elite dan Kelas Menengah Di Inggeris anak dari ayah kelas menengah memperoleh keuntungan nyata lebih dari anak yang ayahnya terampil, semi terampil dan tak terampil dalam mendapatkan keanggotaan strata elite. Anak dari ayah kelas menengah mempunyai peluang hampir tiga kali lipat peluang anak dari ayah semi terampil (19/7) untuk memasuki elite, enam kali lipat (19/3) dan sembilan kali lipat peluang anak dari ayah (19/2) tak terampil. Tetapi anak dari ayah elite, mempunyai peluang terbaik untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai elite peluangnya lima kali lebih besar daripada untuk anak dari ayah kelas menengah (100/19) dan 50 kali peluang anak dari ayah tak terampil (100/2). Jadi, persamaan peluang untuk pindah ke dalam kategori elite, nampaknya sangat terbatas di Inggeris. Anak dari ayah kelas menengah di Jepang memperoleh hampir dua kali lipat peluang anak dari ayah terampil (39/21) untuk memperoleh pengakuan atas status elite dan hanya sedikit lebih dari dua kali peluang yang diperoleh anak dari keluarga semi terampil (39/17) dan anak dari keluarga tak terampil (39/18). Anak Jepang yang berasal dari kelas menengah, lebih dari sepertiga yang mencapai status elite sama cara yang mereka tempuh dengan anak dari ayah elite (100/39). Di Belanda, anak yang berasal dari keluarga kelas menengah, sangat kecil keuntungannya dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga terampil



512



dalam mendapatkan status elite, peluang kedua kategori anak ini hampir sama (22/20). Tetapi anak dari keluarga terampil dan kelas menengah berpeluang jauh lebih baik untuk memasuki status elite ketimbang anak dari keluarga semi terampil. Hampir samanya peluang anak dari keluarga kelas menengah dan anak dari keluarga terampil untuk memasuki status elite, mengesankan bahwa kelompok ini lebih erat hubungannya satu sama lain ketimbang hubungan mereka dengan kategori elite. Kembali ke AS, di sini kita menemukan, seperti di Jepang, anak keluarga kelas menengah telah melalui lebih dari sepertiga jalan menuju persamaan peluang dengan anak dari keluarga elite (100/37). Ada keuntungan anak keluarga kelas menengah terhadap keturunan keluarga terampil tetapi kurang dari dua kali lipat peluang anak keluarga terampil itu (37/22). Anak keluarga terampil berpeluang hampir empat kali peluang anak keluarga semi terampil untuk mencapai stratum elite (22/6). (Meski indek persamaan peluang untuk memasuki stratum elite di AS lebih besar untuk anak keluarga tak terampil ketimbang untuk anak keluarga semi terampil, validitasnya mungkin dipertanyakan dan agaknya berkaitan dengan kelemahan dalam studi semula). Nilai rerata untuk indek yang diberikan di bawah stratum terakhir untuk persamaan peluang masuk ke dalam stratum elite (dan untuk tiap strata dibawahnya) tetapi hanya dapat dibandingkan didalam negeri, bukan antara negara. Jadi data di Tabel 7 tak dapat menyatakan bahwa persamaan peluang terbesar di Jepang dan terkecil di Inggeris.



Persamaan Peluang Memasuki Strata Terampil, Semi Terampil dan Tak Terampil Temuan paling menonjol (kecuali Jepang) adalah bahwa rerata indek persamaan peluang terbesar dalam tiap negara untuk memasuki stratum terampil, bukan berasal dari kelas menengah, seperti yang mungkin dibayangkan orang. Lloyd



Reynolas



menunjukkan



mengenai



stratum



manual



bahwa



ada



kecenderungan kategori terampil menjadi kelompok makin akrab bersamaan dengan makin berkembangnya peluang pindah tenaga tak terampil dan semi 513



terampil memasuki stratum terampil.



7



Meski data kita tak cocok untuk secara



langsung mempertanyakan hipotesis ini, namun perhitungan kita untuk Inggeris, Belanda dan AS menunjukkan bahwa stratum terampil adalah kelompok paling besar persamaan peluangnya. Kembali ke ujung lain spektrum sosial dari elite, yakni stratum tak terampil, kita menemukan pola menarik di AS. AS menunjukkan tingkat persamaan akses untuk memasuki substratum pekerjaan tak terampil ini lebih rendah ketimbang di negara lain. Di ujung anak tangga pekerjaan ini, sedikitnya akses berbeda implikasinya dibandingkan dengan di ujung lain. Di ujung tertinggi, terlihat ketakmampuan orang yang berada di bawah stratum elite untuk mengatasi rintangan. Di ujung terendah, yang diwakili kumpulan tenaga tak terlatih, rendah kemampuan mereka untuk membiarkan strata lebih tinggi secara drastis jatuh ke dalam posisi tak terampil. 8



Persamaan Peluang Dalam Negeri Indek Feldmesser tentang persamaan peluang untuk masing-masing keempat negara itu secara langsung dapat disamakan dengan memilih proporsi pekerjaan yang diwarisi dalam satu negara tertentu sebagai basis indek untuk tiap stratum. Ukuran yang dikembangkan Pox ini memberikan indek persamaan peluang antara negara untuk seluruh negara, dihubungkan dengan negara yang dipilih sebagai basisnya. Inggeris telah digunakan sebagai negara basis dalam paper ini. Bila indek untuk elite yang diwarisi misalnya di atas 100 di AS maka pekerjaan yang diwariskan di AS akan lebih besar daripada di Inggeris dengan membedakan antara nilai indek masing-masing menunjukkan barapa kelebihannya. (Nilai indek perbandingan untuk Inggeris sebagai negara basis di Tabel 8 adalah sama dengan di Tabel 7).



Perbandingan Stratum Elite Tabel 8 jelas menunjukkan bahwa kemampuan anak dari keluarga elite mewarisi status sosial ekonomi ayah mereka adalah terbesar di AS, 24% lebih besar daripada di Inggeris. Proporsi yang mewarisi status elite adalah yang kedua 514



terbesar di Belanda - terkecil di Jepang. Anak kelas menengah dan terampil di AS juga mempunyai peluang lebih baik untuk menjadi elite ketimbang rekan mereka di ketiga negara lain. AS mempunyai tingkat warisan tinggi dan aksesibilitas tinggi. Kelas menengah di Jepang berpeluang hampir dua kali peluang kelas menengah Inggeris untuk mendapatkan keanggotaan elite dan 30% lebih baik daripada peluang kelas menengah Belanda. Peluang tenaga terampil untuk memasuki stratum elite di Belanda, kira-kira tiga setengah kali peluang tenaga terampil di Jepang. Tenaga semi terampil dan tak terampil Jepang berpeluang labih besar untuk menjadi elite ketimbang rekan sebaya mereka di Inggeris, Belanda dan AS - hampir sebesar peluang kelas menengah di Inggeris. Rerata indek untuk memasuki elite, menunjukkan peluang terbesar di AS (lebih dari satu setengah peluang di Inggeris) disusul oleh Belanda, lalu Jepang dan Inggeris. Bila kita memeriksa persamaan peluang dalam negeri di Tabel 7 (di dalam negeri), Jepang menempati tingkat tertinggi persamaan elite dalam negeri, diikuti oleh AS. Ini berarti bahwa di Jepang, kecil sekali perbedaan antara proporsi berbagai strata yang memasuki elite dan proporsi elite warisan. Tetapi di AS (dengan berkembangnya elite) proporsi sebenarnya strata berlainan yang memasuki elite, lebih besar daripada di Jepang. Dengan kata lain, relatif lebih besar proporsi non-elite dan anak yang berasal dari keluarga elite yang cenderung menjadi anggota stratum elite di AS ketimbang di Jepang.



Perbandingan Kelas Menengah Stratum kelas menengah warisan, secara proporsional tertinggi di Jepang, kemudian di AS, keduanya dengan tingkat kelas menengah warisan sekurangkurangnya 35% lebih besar ketimbang di Inggeris. Belanda mempunyai proporsi kelas menengah warisan yang terkecil. Anak dari keluarga elite mempunyai peluang relatif tertinggi merosot menjadi kelas menengah di Jepang dan Inggeris. Ini mungkin diduga karena elite warisan adalah terkecil proporsinya di Jepand dan di Inggeris, karena itu relatif lebih banyak anak keluarga elite yang mengalami mobilitas ke bawah, turun satu langkah ke kelas menengah. Meski elite warisan AS adalah yang tertinggi proporsinya, kemudian diikuti agak dekat oleh Belanda, 515



namun dengan sangat mencolok anak keluarga elite AS berpeluang relatif lebih besar memasuki kelas menengah ketimbang di Belanda. Ada sedikit perbedaan antara proporsi tenaga terampil yang memasuki kelas menengah di AS dan Inggeris dan Jepang menyusulnya. Namun jauh lebih kecil pelung tenaga terampil untuk memasuki kelas menengah yang ada di Belanda. Peluang tenaga semi terampil dan tak terampil untuk memasuki kelas menengah, terbesar di Jepang dan AS, lalu disusul Inggeris. Peluang tenaga tak terampil memasuki kelas menengah di Jepang sekitar dua setenagah kali sebesar di Belanda.



516



Tabel 8. Perbandingan Indek Persamaan Peluang Untuk Memasuki Strata Elite, Kelas Menengah, Terampil, Semi Terampil dan Tak Terampil (Basis = Inggeris). Persamaan Peluang Inggeris Jepang Belanda AS untuk: Elite Elite



100



86



119



124



Kelas Menengah



19



34



26



46



Terampil



7



18



24



27



Semi-terampil



3



15



7



7



Tak terampil



2



15



6



12



26.2



33.6



36.4



43.2



Kelas Menengah



100



143



92



137



Elite



88



93



53



70



Terampil



61



59



38



62



Semi-terampil



39



61



27



42



Tak Terampil



36



42



18



37



64.8



79.6



45.6



69.6



Terampil



100



112



112



81



Semi-terampil



84



72



72



56



Tak Terampil



80



69



69



45



Kelas Menengah



76



77



77



22



Elite



29



43



43



23



73.8



74.6



74.6



45.4



Semi Terampil



100



81



148



144



Tak Terampil



75



19



132



67



X Kelas Menengah



X Terampil



X Semi Terampil



517



Terampil



54



40



69



68



Kelas Menengah



36



23



45



30



Elite



16



20



19



12



56.2



36.6



82.6



64.2



Tak Terampil



100



233



74



144



Semi Terampil



57



78



35



39



Terampil



48



44



21



26



Kelas Menengah



23



56



14



9



Elite



7



42



2



7



47.0



90.6



29.2



45.0



X Tak Terampil



X



Perbandingan Tenaga Terampil Bila fokus perhatian digeser ke perbandingan persamaan peluang untuk masuk kedalam kategori terampil, AS banyak kehilangan keunggulannya sebelumnya yang menunjukkan sangat kekurangan warisan keterampilan ketimbang Inggeris yang menjadi negara basis dan kedua negara lainnya. Warisan tenaga terampil Belanda sedikit lebih besar ketimbang Jepang; Belanda dan Jepang. Sekitar 10% lebih besar daripada Inggeris. Proporsi tenaga semi terampil yang memasuki kategori terampil adalah tertinggi di Inggeris, cukup anah, kedalam kategori terampil ini juga termasuk anak yang berasal dari keluarga tak terampil. Di Belanda peluang tenaga semi terampil dan tak terampil masuk ke stratum terampil sangat sedikit ketimbang di Inggeris tetapi agak di atas AS dan Jepang. Anak keluarga semi terampil di Jepang sedikit lebih beruntung ketimbang anak di AS. Anak dari keluarga tak terampil Jepang paling tak beruntung, peluang mereka untuk memasuki stratum terampil hanya sekitar setengah peluang tenaga tak terampil AS dan sepertiga peluang tenaga tak terampil Belanda. Proporsi anak keluarga tak terampil di Inggeris berpeluang empat kali sebesar peluang anak keluarga tak terampil Jepang untuk memasuki stratum terampil.



518



Secara keseluruhan, rerata indek menunjukkan peluang untuk menjadi anggota stratum terampil adalah tertinggi di Belanda dan Inggeris dan tingkatan kedua negara jauh di atas Jepang dan AS.



Perbandingan Tenaga Semi Terampil Belanda dan AS mempunyai warisan tenaga semi terampil jauh lebih besar daripada Inggeris. Selanjutnya Jepang mempunyai sekitar 20% lebih sedikit daripada Inggeris. Proporsi tenaga tak terampil yang memasuki stratum semi terampil di Belanda dua kali sebesar di AS, kurang dari dua kali sebesar di Inggeris. Peluang tenaga terampil dan tak terampil untuk memasuki stratum semi terlampir, kira-kira sama di AS. Kelan menengah dan elite kurang terwakili dalam stratum semi terampil.



Perbandingan Tenaga Tak Terampil Proporsi tenaga tak terampil warisan sosioekonomi di Jepang adalah dua sepertiga kali sebesar di Inggeris - jauh lebih besar daripada di AS, selaku negara kedua terbesar warisan tenaga tak terampilnya. Warisan tenaga tak terampil Belanda adalah hampir separoh dari yang ada di AS. Proporsi tenaga tak terampil warisan yang sangat besar jumlahnya di Jepang sebagian dapat dijelaskan oleh sangat besarnya jumlah anggota kategori ini dalam struktur sosial Jepang. Tetapi nilai indek paling menonjol untuk stratum tak terampil terjadi karena peluang elite di Jepang untuk menjadi anggota stratum tak terampil. Elite yang masuk ke dalam stratum tak terampil di Jepang adalah enam kali lebih besar daripada di AS dan Inggeris, dua puluh kali lebih besar daripada di Belanda. Perbedaan antara strata sosial tak terampil, terampil, kelas menengah, dan elite jauh lebih besar di Inggeris, Belanda dan AS ketimbang di Jepang. Dalam kasus di Inggeris ditemukan bahwa proporsi tenaga terampil yang memasuki stratum tak terampil agak lebih besar daripada di Jepang tetapi hampir dua kali sebesar di AS dan Belanda.



519



Kesimpulan Kami ingin menawarkan penjelasan singkat dan hemat tentang perbedaan tingkat mobilitas sosial, baik didalam maupun antara negara. Namun kami tak mampu. Hasil pengamatan tak lengkap berikut adalah pengganti semua yang meliputi generalisasi empiris atau teori yang bersifat menjelaskan. Ada sekumpulan besar cara mengukur mobilitas yang berbeda-beda. Dan mobilitas memang mempunyai berjenis-jenis bentuk. Seperti telah kami katakan dimana-mana,



9



pernyataan mobilitas haruslah spesifik - menunjukkan kerangka



rujukan khusus, misalnya hanya perpindahan dari manual ke nonmanual; atau menunjuk pada tingkat heterogenitas substratum elite. Sebagai akibat wajarnya, pola mobilitas nampak berbeda dalam bagian struktur kelas berlainan. Pernyataan tentang aksesibilitas terhadap status elite tak memadai untuk melukiskan (sebaiknya difahami sendiri) aksesibilitas terhadap stratum tak terampil. Warisan dan aksesibilitas adalah dimensi berbeda dari fenomena yang sama. Menyadari kesulitan tersembunyi yang melekat dalam analisis mobilitas sosial, kami masih menemukan bidang riset yang berguna. Kami kira sosiolog Amerika telah membuat ramalan mengerikan dalam menerangkan segala sesuatu dilihat dari sudut stabilitas atau ketakstabilan status, kepanikan atau penghargaan status. Pemikiran mengenai status ini mungkin lebih mengungkapkan fikiran sosiolog ketimbang mengungkap fakta tentang masyarakat. Namun kami yakin bahwa studi mobilitas sosial, terutama bila difahami secara luas akan memberikan gambaran kepada kita tentang perubahan yang terjadi dalam pola pekerjaan masyarakat, meski tidak sempurna. Dan memberikan potret pola pekerjaan masyarakat dalam periode waktu berbeda yang bila digunakan dengan bijaksana, tentu akan memberikan gambaran yang lebih jelas.



520



Catatan Kaki 1. Cf. S.M. Miller, “ Comparative Social Mobility: A Trend Report”, Current Sociology, IX, No.1 (1960): 1-5. 2. Kami menggunakan istilah seperti stratum, pekerjaan dan kategori secara longgar dan saling dapat dipertukarkan pemakaiannya. 3. Cf. Seymour M.Lipset and R. Bendix, Social Mobility in Industrial Society (Berkeley, Calif: Univ. of California Press, 1959). 4. Kemungkinan mobilitas ke bawah karena pilihan, tak dapat disangkat. Dalam hal ini, anak semata-mata lebih menyukai pekerjaan dan “gaya hidup” yang berbeda dari yang “berasal” dari ayahnya. 5. Herrington J.Brice, S.M.Miller and Thomas Fox, “The Heterogeneity of Social Classes in Industrial Societies: A Study in Social Mobility”, paper sajian dalam pertemuan The Eastern Sociological Association, New York City, April, 1963. 6. Robert A. Feldmesser, Aspect of Social Mobility in the Soviet Union (Disertasi doktor yang tak dipublikasikan, Harvard University, 1955:223-225). 7. Lloyd G. Reynolds, “Economics of Labor” (hal 277) dalam H.S. Ellis, ed., A Survey of Contemporary Economic-Assoc., Blakiston Co., 1948:255-287). 8. Cf. Lipset and Bendix, op.cit:57-58 dan 64-68. 9. Miller, op.cit:5; Bryce, Miller and Fox, loc.sit.



521



Keluarga dan Mobilitas Oleh : William J. Goode Kini……..kirannya ada gunanya membuat sketsa masalah struktural utama, dimana variabel keluarga terlihat secara umum mempengaruhi proses mobilitas atau secara khusus menentukan jatuh-bangun individu.



Ahli Waris Tunggal Versus Pembagian Merata Kekayaan Seluruh



sistem



keluarga,



mempunyai



dua



tujuan



berlawanan,



(1)



mempertahankan keutuhan kekayaan keluarga seperti yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya; dan (2) memberikan kekayaan untuk seluruh anaknya secara memadai. Karena kekayaan adalah terbatas, maka pembagian kekayaan tiap generasi akan berarti bahwa anak-anak dalam generasi pertama akan sangat besar kemungkinannya secara individual takkan mendapat bagian sebanyak yang dinikmati orangtua mereka secara bersamaan dan tentu saja dalam generasi berikutnya, kekayaan itu terpecah belah menjadi bagian-bagian kecil milik yang sepele. Sebaliknya, memberikan seluruh kekayaan hanya kepada seorang anak, apakah anak pertama atau anak terakhir, berarti bahwa anak yang lain takkan mendapat warisan kekayaan. Bahkan bila hanya satu anak pun, ada kemungkinan sistem mahar (mas kawin) akan memerlukan jumlah kekayaan keluarga sangat besar yang harus diserahkan kepada anak wanita yang kawin. Kini beberapa fakta memberikan kesan bahwa sistem ahli waris tunggal pun mempengaruhi pola mobilitas ekonomi dan sosial. Karena data yang ada masih belum lengkap dan terpisah-pisah, ada gunanya mengemukakan analisis spekulatif seperti berikut saja. Pertama, berkenaan dengan pertumbuhan penduduk itu sendiri. Bila pewaris tunggal mewarisi seluruh kekayaan, pemilik kekayaan (tanah) ini sendiri sedikit sekali alasannya untuk membatasi jumlah anaknya, tetapi saudara lelaki dan perempuannya sering tak dapat kawin sama sekali atau tetap membujang



522



bertahun-tahun. Bila ada pembagian kekayaan yang merata, hampir setiap orang dapat kawin, tetapi selanjutnya taraf hidup yang lebih rendah akan memotivasi orang untuk membatasi jumlah anak mereka. Ada kemungkinan, kawasan yang pembagian



kekayaannya



(tanah)



merata,



umumnya



mempunyai



tingkat



pertumbuhan penduduk lebih tinggi. Berkenaan dengan mobilitas geografis dan sosial tampak dua jenis proses. Diseluruh kawasan pertanian Eropa di abad 19, terjadi mobilitas geografis jangka pendek atau musiman sangat besar, dimana pekerjaan dasar tidak berubah. Individu mungkin mempunyai sebidang lahan sempit yang diolahnya bersama keluarganya tetapi selama musim panen, ia mungkin pindah ke daerah tetangga untuk mencari upah sebagai buruh-tani.1 Bila mobilitas geografis melampaui jarak lebih jauh, migrasi permanen dan mengalami perubahan pekerjaan, ada kemungkinan sistem warisan tunggal jauh lebih memudahkan ketiga jenis mobilitas geografis itu ketimbang pembagian warisan secara merata. Sistem waris tunggal ini menciptakan jumlah lelaki lebih banyak yang tak kawin, yang dalam situasi paling baik cenderung membangun perkampungan kecil tanpa mempunyai harapan untuk menumpuk kekayaan keluarga yang besar. Sistem pembagian warisan yang merata, menjatahkan lahan sempit kepada tiap individu tetapi karena itu tiap orang dapat mengolah lahan miliknya sendiri dan menambah pendapatannya yang kecil itu dengan mengambil upah disekitarnya. Faktor terakhir ini menciptakan perbedaan lain. Karena orang di kawasan yang pembagian warisan lahannya merata agak lebih terikat kepada tempat kediaman mereka, bila industri juga akan dibangun, itu memerlukan tambahan penduduk dan ini hanya akan menjadi kenyataan bila kawasan itu memiliki sumberdaya alam. Tetapi di kawasan suatu negara yang mewariskan lahan kepada ahli-waris tunggal, penduduk dapat pindah ke kawasan industrinya yang sudah dibangun, biasanya di kawasan yang sumber daya alamnya memudahkan perkembangannya. Sebaliknya di kawasan yang pembagian warisan lahannya merata, industri kecil setempat dapat dibangun. Jadi, spekulasi menjamin bahwa sekurang-kurangnya satu faktor dalam pembangunan industri baik di Inggeris 523



maupun di Jerman adalah relatif lebih besarnya jumlah ahli waris (tanah) tunggal, yang juga mendorong lebih banyak anak dari generasi tertentu memasuki pekerjaan baru yang lokasinya jauh dari rumah.



Heterogami dan Homogami Lebih dari seorang analisis yang telah mencatat, sistem pacaran dan perkawinan, mungkin dipandang seperti sistem pasar. Dalam masyarakat tertentu, orang yang lebih tua yang melakukan tawar-menawar, sedangkan dalam masyarakat Barat, umumnya pemuda-pemudi itu sendirilah yang saling memilih calon pasangannya. Namun dalam setiap kasus di atas, hasilnya yang paling umum adalah bahwa orang yang berada pada tingkatan sosial tertentu, kawin dengan orang lain yang sama tingkatan sosialnya. Dalam sistem pasar bebas seperti di AS dimana wanita secara luas tidak meningkatkan posisi sosial melalui pekerjaan mereka, ia harus mencari suami yang suka pindah (mobile) bila ia ingin menjadikan dirinya suka pindah. Karena orang dalam masyarakat kita akan kehilangan penghargaan bila ia tak bekerja mencari nafkah, maka akan sangat sedikit orang yang mampu menyelesaikan masalah pribadi mereka dengan bantuan mengawini wanita yang cukup kaya tetapi fakta ini tak harus menyembunyikan kemungkinan bahwa ia mungkin dibantu perpindahannya ke atas dengan mengawini seorang anggota keluarga yang dapat memberikannya peluang tambahan. Meski pola homogami ( “kawin suka sama suka” ) ditemukan dalam semua masyarakat, itu lebih dari sekedar pengungkapan pilihan pasangan serupa dengan diri sendiri atau keluarga seseorang. Itu adalah hasil proses pasar dimana orang yang lebih tua atau pemuda yang berpacaran, berupaya menemukan pasangan yang paling diinginkannya sebagaimana seorang penjual berupaya mendapatkan harga termahal bagi komoditi yang dijualnya. Namun karena orang lain dalam usia kawin justru melakukan hal yang sama, maka hasil akhirnya adalah bahwa pada umumnya orang yang kawin benar-benar mampu memilih pasangannya yang kira-kira sama nilai pasarnya. Bahkan dalam sistem percintaan di AS, anak muda 524



sangat menyadari tentang keuntungan potensial yang mungkin ditawarkan pasangannya dan teman sebaya segera menunjukkan kepada seorang individu bahwa ia “dapat memilih yang lebih baik dari itu”. Karena itu homogami bukanlah etnosentrisme belaka. Homogami adalah juga hasil terselubung berbagai individu yang mencari kemungkinan pasangan terbaik untuk anak mereka atau untuk diri mereka sendiri, dan berdasarkan tawaran yang dibuat atau penolakan yang diterima, akan ditemukan pasangan yang tingkatan sosial dan ekonominya sama dengan diri mereka sendiri. Proses ini membuka peluang untuk menukar ciri-ciri yang diinginkan dari orang lain selain dari tingkatan sosial semata dan membuat tawar-menawar dimana kira-kira ada kesetaraan pertukaran tetapi barang yang dipertukarkan sangat berbeda. Agaknya sepanjang sejarah dunia ada peluang bagi wanita untuk menukarkan kecantikannya dengan kekuasaan atau tingkatan sosial lelaki. Banyak lelaki yang telah bertahun-tahun melewati masa muda, harus melepaskan sebagian derajat prestasi mereka di pasar untuk mendapatkan pesona dan kecantikan seorang wanita muda sebagai isteri. Posisi wanita pun mungkin dipertukarkan dengan prestasi potensial; artinya seorang lelaki berbakat tanpa pendapatan besar, mungkin mendapat isteri yang tingkatan sosialnya lebih tinggi ketimbang dirinya, semata karena harga masa depannya sangat besar di pasar perkawinan kini. Namun perlu diperhatikan bahwa apa yang dapat dipertukarkan, ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Demikianlah dalam perkampungan Yahudi di kota, seorang pemuda miskin menganggap belajar tekun hingga mencapai prestasi intelektual tinggi sebagai basis untuk mendapatkan isteri kaya dan ini sekurangkurangnya menjadi idaman di Kekaisaran Cina kuno. Sebaliknya masyarakat AS mencela pertukaran perkawinan dimana wanitalah yang mempunyai bakat dan kecerdasan dan pemudanya yang memiliki ketampanan; atau wanita mempunyai posisi sosial tinggi dan uang dan lelakinya yang muda tampan. Dalam kasus seperti itu jelas bahwa masyarakat memerlukan lelaki yang harus mencapai sebagian posisinya dengan kemampuan dan karyanya sendiri. Seorang pemuda tak disetujui (dicela) misalnya bila ia mengawini anak gadis bosnya, tapi juga bekerja keras untuk mencapai sukses di perusahaan. 525



Data yang sangat banyak menunjukkan bahwa umumnya orang kawin dalam kelas, kelompok etnis, tingkatan ekonomis, agama dan usia relatif sama (atau sekurang-kurangnya orang jauh lebih besar kemungkinannya kawin dengan orang yang berasal dari kategori sosial yang sama ketimbang terjadi melalui peluang secara kebetulan) dua proses utama yang harus diperhatikan di sini. Pertama adalah bahwa meski anak muda dalam masyarakat kita (AS) menuntut untuk membuat keputusan keluarga yang penting ini, meski orangtua mereka agak meragukan kemampuan mereka membuat pilihan yang bijaksana, proses pergeseran sebenarnya telah dimulai ditahun-tahun paling awal hubungan diantara anak-anak. Artinya perkawinan adalah titik akhir dari proses panjang dan karena anak muda akan jatuh cinta dengan dan hanya akan kawin dengan orang yang mereka temui, maka orangtua mereka berupaya mengendalikan dengan siapa mereka harus bergaul. Proses ini tercermin dalam data hasil riset Hollingshend di Elmtown, dimana ia mencatat 1.258 ikatan klik. Tiga diantara tiap lima ikatan klik ini terjadi antara bujang atau gadis yang sama tingkatan kelasnya dan hampir dua diantara tiap lima ikatan klik itu terjadi antara bujang-gadis yang hanya pindah satu kelas. Dalam beberapa kasus, bila ikatan klik termasuk seorang anak yang terangkat dua kelas, anak itu biasanya adalah yang menonjol. Bila bujang dan gadis berkomentar mengenai siapa yang menjadi “teman terbaik” mereka, 70% adalah anak yang sekelas. Pola yang agak serupa ditemukan dalam berkencan. Analisis Sussman tentang 100 keluarga kelas menengah menunjukkan bahwa dikalangan pemuda dewasa, bertahun-tahun sebelum kawin, orangtua berupaya megontrol kontak sosial mereka dengan mengundang calon pasangan mereka ke rumah berakhir pekan, mengawasi pesta mereka, memilihkan sekolah dan sebagainya. Memang, bila pemuda ini menyatakan tujuannya hendak mengawini “orang yang tak pantas”, dalam 81% kasus seperti itu, orangtua menggunakan bujukan panjang-lebar dan mengancam akan menarik-kembali bantuan ekonomi dengan tujuan memutus hubungan mereka. Maka tak mengherankan, di AS hampir separoh dari seluruh perkawinan terjadi antara orang yang jarak tempat tinggalnya tak lebih dari satu mil dan 526



makin tinggi stratanya, makin jauh pula jarak tempat tinggal semula pasangan itu - tetapi ini hanya berarti bahwa orang yang lebih tinggi taraf kehidupan sosial dan ekonominya, lebih mudah berpergian dalam jarak lebih jauh untuk mencari pasangannya yang serupa. Proses bebas ini bergandengan dengan proses pergeseran pasar, menunjuk ke pola kedua, yakni meski data riset mengesankan meningkatnya jumlah perkawinan antara pasangan yang berbeda asal kelasnya, namun dengan gaya hidup yang sangat serupa. Artinya salah seorang dari pasangan itu secara sosial adalah aktif (mobile) dan telah mengambil pola kultural, sikap dan bahkan aspirasi bersama dalam kelas calon pasangannya semula. Ini sungguh mencerminkan pola mobilitas kelas dalam berbagai masyarakat dimasa lalu. Dua contoh paling menonjol terjadi di Cina dan Perancis di abad 18.2 Di Perancis, jumlah mas-kawin yang diperlukan untuk mencapai perkawinan ke atas antara gadis dari keluarga pedagang dan bujang keluarga bangsawan telah dikenal secara luas, jumlah yang diperlukan untuk meningkatkan setiap lapisan berturut-turut dalam



hirarki



kebangsawanan.



Tetapi



perkawinan



demikian



tak



dapat



dibayangkan akan terjadi antara gadis keluarga pedagang tak terpelajar dengan pemuda bangsawan perlente. Keluarga pedagang itu memulai kehidupan “ningrat”nya sebelum perkawinan itu terjadi dan secara sosial mungkin akan bergaul agak akrab dengan keluarga bangsawan sementara gadis mereka sendiri diberi pendidikan tata-krama yang diperlukan gadis berstatus sosial tinggi. Baik di Perancis maupun di Cina, orang dapat mengatakan bahwa proses mobilitas ke atas yang khas dapat dicapai oleh keluarga yang mendapatkan kekayaannya melalui usaha bisnis atau manufaktur, tetapi kemudian pindah dari kegiatan demikian ke posisi pejabat dan mengikuti gaya hidup yang dibiasakan di kalangan elite masyarakat. Di Cina, faktanya adalah bahwa mempertahankan status mandarin lebih dari beberapa generasi, relatif sukar, segera setelah sumber kekayaan dalam bisnis telah dilepaskan. Juga agak jelas bahwa keluarga kelas atas harus melaksanakan kontrol makin ketat terhadap anggota mudanya, terutama dalam memilih calon pasangan, jika keluarga tak mau kehilangan posisinya. 527



Pilihan pasangan kawin rupanya tidak menjadi sumber utama mobilitas ke atas atau ke bawah dalam tiap masyarakat - walau masyarakat tertentu menunjukkan derajat perpindahan ke atas melalui proses perkawinan ini. Di sini kami menyajikan beberapa temuan utama yang tersedia. 1. Karena wanita jauh lebih besar ketergantungannya terhadap pilihan pasangannya sebagai basis posisi sosial mereka di masa depan, mereka cenderung lebih obyektif dalam mempertimbangkan calon suami mereka. 2. Karena lelaki mendapat keuntungan lebih kecil dari mengawini wanita berposisi sosial lebih tinggi, maka lelaki mempunyai peluang lebih besar dalam memilih calon isteri yang diperbolehkan; artinya, lelaki dapat kawin dengan wanita yang status sosialnya lebih rendah tanpa kehilangan gengsi. Dalam pada itu, makin tinggi posisi sosial lelaki, makin tinggi pula harga mereka di pasar perkawinan. 3. Akibatnya, jauh lebih banyak lelaki yang mengawini wanita berposisi sosial lebih rendah ketimbang yang berposisi sosial lebih tinggi, apakah indek yang digunakan adalah pendidikan, pendapatan atau gengsi. Begitu pula, dalam strata sosial lebih tinggi, akhirnya lebih tinggi persentase lelaki yang kawin, tetapi lebih rendah persentase wanita yang kawin. 4. Usia rerata saat kawin, lebih tinggi pada strata sosial lebih tinggi, meski perbedaannya tak besar. Tetapi baik lelaki maupun wanita yang kawin dengan pasangan berposisi sosial lebih tinggi, ada kemungkinan kawin lebih dini ketimbang orang yang kawin dengan pasangan yang sama kelasnya. 3 5. Pada umumnya karir pekerjaan wanita kecil pengaruhnya terhadap arah gerakan ketika mereka kawin. Tetapi data Danish mengesankan bahwa wanita bekerja yang kawin dengan lelaki berposisi sosial lebih rendah, mengalami mobilitas pekerjaan yang menurun ketimbang sebelum kawin; dan wanita yang pekerjaannya



mengalami



kemajuan



sebelum



kawin,



lebih



besar



kemungkinannya kawin dengan lelaki yang berposisi sosial lebih tinggi pula. Hubungan paralel kiranya adalah bahwa makin tinggi status sosial bapak mertua ketimbang status sosial menantu lelakinya, makin besar peluang lelaki itu mengalami mobilitas ke atas dalam pekerjaannya. 5 528



6. Wanita yang mengawini lelaki yang lebih tinggi posisi sosialnya, lebih besar peluangnya mempunyai skor IQ lebih tinggi daripada skor IQ rerata wanita yang kawin dengan lelaki yang berasal dari stratum mereka sendiri; dan wanita yang kawin dengan lelaki dari stratum mereka sendiri mempunyai skor IQ rerata lebih tinggi daripada skor IQ rerata wanita yang kawin dengan lelaki yang posisi sosialnya lebih rendah. 6



Prestasi, Aspirasi dan Struktur Keluarga Mula-mula kita mulai dengan perbedaan sederhana untuk menjelaskan fenomena yang ingin kita teliti. Perbedaan utama, dapat dinyatakan sebagai berikut: 1. Kebutuhan psikologis untuk berprestasi tak selalu dinyatakan dalam tindakan tetapi sebaliknya mungkin terjadi terutama dalam fantasi dan menghasilkan sedikit lebih dari ketakpuasan-diri. 2. Begitu pula nilai mobilitas atau aspirasi mungkin tak didukung oleh kebutuhan psikologis untuk berprestasi atau oleh dorongan yang efektif. 3. Tingginya skor pada tes IQ, tak harus berarti tingginya derajat kreativitas; skor tinggi dapat hanya berarti bahwa individu cepat mempelajari. 4. Baik skor IQ tinggi maupun derajat kreativitas tinggi tak berarti individu akan dipaksa bergerak ke atas dalam sistem sosial. 5. Sangat besar kemungkinannya, teori-teori psikodinamis di zaman kita tak mengesankan bahwa orang kreatif atau aktif (mobile) adalah lebih neurotik atau orang yang menderita neurotik adalah lebih kreatif atau lebih aktif. Kini kita akan mulai dengan temuan aneh, yakni temuan yang nampaknya tak sesuai dengan pengalaman biasa: Sejumlah studi melaporkan bahwa ilmuan, sarjana dan penulis terkenal lebih besar kemungkinannya terlahir sebagai anak sulung atau anak tunggal ketimbang sebagai anak bungsu. Posisi urutan dalam keluarga rupanya mempunyai konsekuensi tertentu bagi prestasi dan mobilitas. Kiranya tak perlu merangkum susunan data yang tersebar luas yang telah dicatat di sini dan di tempat lain karena telah ada karya Francis Galton, English New 529



Science: Their Nature and Nurture in 1871. Upaya Stanley Schachter belakangan ini telah meringkaskan data maupun tiba pada penjelasan yang tidak meyakinkan. 6



Ada pula beberapa orang yang berupaya menerangkan fenomena ini dengan menegaskan bahwa anak sulung atau anak tunggal hidup dalam jenis lingkungan intelektual yang berbeda, di dalam lingkungan itu ia diperlukan



untuk



memanipulasi simbol-simbol verbal jauh lebih banyak, untuk terlibat dalam pemikiran yang lebih abstrak dan kemudian lebih cepat mempelajari pola pemikiran orang dewasa, termasuk keterampilan bahasa tentunya. 7 Temua demikian memang agak selaras dengan data lain, yang juga dikutip Nisbet. Temuan itu pun sesuai dengan temuan umum dari berbagai bangsa, bahwa tingkat IQ merosot sesuai ukuran keluarga.8



Faktor bahwa tingkat IQ anak



bungsu hanya sedikit lebih rendah daripada tingkat IQ anak sulung atau anak tunggal yang berprestasi, juga akan menyusul penafsiran seperti itu. Karena temuan ini dikuatkan juga ketika jumlah anggota keluarga dijaga konstan, orang pun mencoba memberikan interpretasi psikodinamis dan dengan interpretasi ini kita pun masih harus memasukkan data dan teori yang lebih rumpil. Usul telah ditawarkan bahwa anak sulung lebih besar kemungkinannya menjadi tergantung secara psikologis, lebih besar keinginannya berkenaan dengan mengendalikan orang lain, mencegah agresi, dan juga mempunyai kekuatan dorongan total lebih besar. 9 Perlu ditekankan bahwa psikolog-sosial telah banyak memikirkan hal ini, bukan karena signifikansi hakikinya, tetapi karena mereka mencurigai bahwa yang melandasinya adalah sekumpulan proses penting yang dapat membangkitkan prestasi, mobilitas atau mungkin juga kreativitas. Dalam istilah tehnis, persentase anak sulung dalam setiap populasi orang yang ulung jauh lebih besar daripada kemungkinannya tetapi variabel ini tak banyak menerangkan perbedaannya. Artinya, orang tak dapat memprediksi keunggulan dari kesulungan: orang hanya dapat menyatakan bahwa diantara orang yang ulung itu persentase yang lebih tinggi daripada yang diharapkan akan menjadi anak sulung. Begitulah, Cattell dan Brimhall dalam studi mereka tahun 1920 menemukan bahwa meski orang dapat 530



menduga sepertiga dari orang yang lahir dalam keluarga beranak tiga orang akan menjadi anak sulung, sepertiga menjadi anak yang lahir kedua dan sepertiga lagi lahir yang ketiga secara berurutan, dalam kenyataannya sekitar 44% ilmuan ulung yang berasal dari keluarga beranak tiga ini adalah anak sulung. 10 Ini adalah 10% lebih banyak daripada yang diduga. Ketergantungan lebih besar anak sulung kepada ibunya dan diperkirakan lebih besarnya keinginan dan dorongan, menimbulkan berbagai pertanyaan berikutnya, yang menunjukkan kepada orang betapa pentingnya berjenis-jenis riset. Tak segera dapat dijelaskan, mengapa ketergantungan dan keinginan dapat menimbulkan prestasi tinggi tetapi dengan meningkatnya fakta yang terkumpul, memberi kesan bahwa hubungan anak dengan ibunya mungkin penting dalam mendorong orang untuk berprestasi. Lagi pula riset yang akan membuktikan hipotesis umum ini sebagian tak konsisten dengan temuan tentang ciri-ciri sosiologis mendasar lainnya. Pernyataan yang tepat tentang berapa banyak dan apa sebenarnya yang dibutuhkan untuk menciptakan motivasi maksimum, belum ditemukan dimanapun di dalam literatur. Tujuan utama hipotesis ini adalah bahwa kira-kira berumur antara enam dan delapan tahun, anak akan mempunyai hubungan relatif erat dengan ibunya dan dalam pergaulan dengan ayahnya agak lemah atau tak berkesan, akan menimbulkan pengalaman umum tentang “kemenangan” terhadap ayah tetapi dalam berkoalisi dengan ibunya. Demikian pula kebutuhan maksimum untuk motivasi takkan terjadi bila ibu hanya terlalu baik; ibu tentu menuntut persesuaian norma prestasi yang tak melebihi kapasitas anak itu. 11 Dalam menggunakan penjelasan psikodinamis yang sedikit lebih spekulatif seperti itu, Hagen memberikan kesan bahwa kasih-sayang ibu itu tak hanya menjadi sumber mobilitas dan prestasi tetapi juga menjadi sumber pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.12 Data dari berbagai peradaban masa lalu dan masa kini yang ditemukan melalui penggalian, mendukung hipotesis yang sangat mendasar ini. Riset di Brazilia misalnya mencatat bahwa di lingkungan kelas menengah, ibu adalah sosok yang sangat penyabar tetapi tidak menuntut anak lelakinya memenuhi standar prestasi dengan keras; dan anak selanjutnya tak mampu menaklukkan 531



perasaan ayah Brazilian-nya yang sangat tegar itu. Jadi, sang anak menjadi tak terbiasa memikirkan kehidupan sebagai sesuatu yang dapat ia kuasai. 13 Begitu pula, sebuah artikel baru-baru ini, menjelaskan pengaruh ikatan pergaulan antara teman sekamar di asrama mahasiswa, baik terhadap motivasi untuk berprestasi maupun terhadap urutan posisi diantara mereka.Eksperimen yang agak cerdas dan rumpil ini mengaduk-aduk penjatahan kamar di asrama untuk mahasiswa berdasarkan saat ketibaan mereka di kampus sehingga tercipta berbagai jenis kombinasi pasangan sekamar antara yang berbakat tinggi dan rendah. Temuan eksperimen ini adalah bahwa meski pada umumnya mahasiswa yang berbakat tinggi mempengaruhi mahasiswa lain melalui pengembangan gagasan, melalui pemberian bantuan atau dengan menentukan contoh yang akan distudi, namun sejumlah besar pengaruh hanya terjadi bila teman sekamar yang berbakat tinggi itu adalah lebih muda usianya ketimbang teman sekamarnya. Dengan demikian dapat dikatakan, mahasiswa anak sulung (apakah ia berkemampuan tinggi atau tidak) lebih penuh semangat tanggapannya terhadap pengaruh teman sekamar yang berkemampuan (bakat) tinggi. Jadi mahasiswa anak sulung dapat dikatakan lebih “tergantung” ; tetapi pada waktu bersamaan ia sangat termotivasi untuk berprestasi dan tanggap terhadap prestasi teman sekamar yang berkemampuan tinggi dengan meningkatkan prestasi dirinya sendiri. 14 Implikasi selanjutnya dari pendekatan ini perlu diperhatikan. Kita misalnya tak perlu kaget bahwa anak yang dibesarkan dalam masyarakat primitif relatif rendah motivasinya untuk berprestasi. Dalam kebanyakan masyarakat primitif, anak diasuh dengan kebebasan sangat besar namun juga diajari untuk tetap dalam batas sikap, gagasan dan tindakan yang sangat sempit. Ayah atau (dalam masyarakat matrilineal) mamak sangat keras didikannya dan anak tak mungkin menentang wewenang mereka seserius apapun. Anak tak pernah berpengalaman menang terhadap kekuatan dari luar dirinya. Beberapa studi lintas budaya mengenai motivasi untuk berprestasi dalam beberapa masyarakat telah dilakukan namun dengan hasil yang tak meyakinkan, karena bahan utama yang digunakan semata-mata berbagai tema perjuangan percekcokan yang digunakan dalam “cerita rakyat” dalam masyarakat ketimbang pola perilaku sebenarnya dari 532



masyarakat bersangkutan.15



Begitu pula, beberapa masyarakat yang derajat



motivasi untuk berprestasinya tergolong agak tinggi, sebenarnya adalah masyarakat yang orientasi kelompoknya sangat ekstrim dan tidak mengakui prestasi individual. Pendekatan umum ini juga memperoleh dukungan dari fakta bahwa bila pendidikan ibu atau ayah lebih tinggi daripada tingkat pendidikan rerata stratum pekerjaan mereka, maka lebih besar kemungkinannya anak menjadi aktif (mobile); dan bila ayah mengalami mobilitas ke bawah, anak lebih besar kemungkinannya menjadi orang yang (aktif) mengalami mobilitas ke atas. Bila tingkat pendidikan ibu lebih tinggi daripada tingkat pendidikan rerata anggota stratumnya, ibu lebih besar kemungkinannya akan mendesak anaknya untuk memenuhi standar persaingan dan prestasi, karena hanya dengan melalui usahanya itulah si ibu dapat menikmati perasaan berprestasi. Dan bila ayah mengalami mobilitas ke bawah atau berpendidikan lebih tinggi daripada pendidikan orang lain yang se lapangan kerja dengannya, dan dengan demikian nampaknya belum mencapai sukses, maka lebih besar kemungkinannya ia takkan dipandang sebagai tokoh yang kuat di mata masyarakat. Dengan ditemukannya sumber perjuangan ini dalam hubungan ayah-anak dan dengan demikian melemahkan peranan kelompok teman sebaya, berarti bertolak belakang dengan pandangan kebanyakan jurnalisme populer di zaman kita, tetapi seluruh studi tentang remaja, menunjukkan bahwa nilai dan sikap mereka, aspirasi dan rencana mereka sangat sesuai dengan yang dimiliki orangtua mereka. Pemberontakan remaja adalah pemberontakan luaran saja. Selain itu, dimana remaja kelas bawah sangat berorientasi ke Kolej, tekanannya datang dari orangtua mereka - apapun yang menjadi sumber pendorong lainnya. 16 Landasan untuk tipe penjelajahan ini juga dapat ditemukan dari studi tentang keluarga dengan anak sangat berbakat dimana ibu atau nenek berperan penting dalam



kehidupan



keluarga,



menekankan



perencanaan kegiatan nonsekolah anak-anak.17



keterampilan



pendidikan



dan



Menemukan sumber motivasi



mobilitas ke atas rupanya sebagian ada gunanya karena (seperti dicatat sebelumnya) persentase besar dari pemuda yang lebih terampil dalam masyarakat 533



kita (AS) tak pergi ke Kolej; karena sering terdapat ketaksesuaian antara nilai aspirasi dan motivasi untuk berprestasi. Dalam kelas menengah, makin tinggi proporsi anak maupun orangtua yang menyatakan nilai aspirasi; artinya mereka yakin akan menjadi baik bergerak ke atas dalam arti menilai baik untuk bekerja keras dan seterusnya. Tetapi ini tak berarti mereka berupaya hidup dengan nilai itu dan eksplorasi psikologis tentang motivasi mereka memberikan kesan bahwa mereka mungkin menyatakan nilai seperti itu tanpa sama sekali termotivasi tinggi untuk berprestasi. Memang (dan di sini observasi umum menguatkan hasil riset eksploratif) makin banyak ayah menganut nilai-nilai prestasi, ada kemungkinan makin sedikit kekuasaan anaknya dalam keluarga.18 Hasil studi yang relvan meski tak langsung mendukung adalah temuan Sewell dan lain-lain yang menyatakan orangtua kelas bawah memerlukan tipe otonomi tertentu dari anak mereka tetapi berdasarkan penelitian otonomi itu tak menghasilkan dorongan apa pun terhadap kegiatan yang diatur sendiri, dengan mengamati dari dekat atas prestasi dan memberikan sorakan bagi yang melewati batas kesuksesan; tetapi otonomi ini adalah tipe penolakan, yang disukai pemuda harus mampu memelihara dirinya sendiri. Artinya pemuda didorong untuk memiliki keterampilan tingkat tinggi dalam “mengurus kegiatan” ketimbang dalam aktivitas berprestasi. Kiranya ada gunanya mengatakan, orang yang sangat memerlukan untuk berprestasi lebih menyukai tipe keanehan tertentu dalam mencapainya - dan mungkin dalam kehidupan pekerjaan mereka pun demikian juga. Mereka tak condong terhadap tugas mudah dengan bayaran sangat kecil; atau tak tertarik pada pekerjaan yang sangat sulit dengan bayaran tinggi tetapi kecil peluangnya untuk berhasil. Mereka merasa lebih baik mencari-cari rintangan dan peluang (bila diberi pilihan) dimana mereka kira-kira berpeluang 50% - 50% untuk menang dan tugas cukup sukar. Orang mungkin akan mengatakan bahwa orang sangat memerlukan prestasi, mencari tugas yang agak memaksa dirinya; tetapi tugas yang mungkin ia taklukkan atau kuasai dengan usaha ekstra (dan yang disertai bayaran menggiurkan).19 534



Pembaca yang teliti tentu telah merasa sedikit ragu baik mengenai teori maupun fakta dari jenis spekulasi ini. Kami tak yakin bahwa kini ada peluang untuk menjelaskan semua ini. Sebagai cara menyajikan beberapa ketidak-sesuaian dan kesukaran dalam menentapkan hubungan ini, maka disajikan daftar temuan berikut. Temuan ini telah diambil dari sampel berbeda-beda, dengan tehnik riset yang validasinya diragukan. Dan masalah pengukuran adalah besar dalam semua riset itu. Temuan ini menawarkan tantangan kepada masyarakat yang ingin memanfaatkan potensi manusianya lebih efektif lagi dan tantangan terhadap sosiolog yang ingin memahami lebih baik bagaimana hubungan kelaurga berinteraksi dengan proses mobilitas. 1.



Perjuangan untuk berprestasi, lebih sering terjadi dikalangan pemuda yang merasa hubungan mereka dengan orangtua mereka tidak memuaskan.



2.



Orang yang berasal dari kelas bawah yang kemudian menjadi pimpinan bisnis sering menunjukkan pola ibu yang kuat dan ayah yang lemah dan kehidupan keluarga yang tak memuaskan secara emosional.



3.



Anak lelaki yang bercita-cita menaik, lebih besar kemungkinannya bersamasama melakukan aktivitas waktu luang dengan orangtua mereka dan lebih besar kemungkinannya mereka berasal dari latar belakang keluarga yang hangat dan permisif.



4.



Nilai-nilai orangtua kelas menengah menekankan kepemimpinan diri sendiri, mempertimbangkan orang lain dan keingintahuan, meski kurang memberikan tekanan pada kepatuhan atas perintah orangtua ketimbang orangtua yang berasal dari kelas buruh.



5.



Orang yang berlatar belakang kelas menengah, lebih besar kemungkinannya berjuang mencapai mobilitas ke atas dan juga lebih besar kemungkinannya menjadi orang yang berorientasi kerja meski menolak ikatan keluarga yang kuat atau ikatan kuat dengan ayah mereka; sebaliknya orang yang berasal dari keluarga kelas atas masih lebih berhasil tetapi kurang berorientasi kepada pekerjaan sebagai lapangan untuk berprestasi meski mempunyai perasaan kekeluargaan lebih kuat dan lebih menghormati ayah mereka.



535



6.



Rendahnya derajat kepuasan dalam hubungan keluarga berhubungan positif dengan kerelaan berkorban untuk mencapai tingkatan pekerjaan lebih tinggi.



7.



Untuk strata bawah dan terutama dikalangan negro, ibu kemungkinan lebih berkuasa dan ayah lemah ketimbang dikalangan kelas menengah dan atas, tetapi anak-anak yang berlatar belakang kelas menengah dan atas ini jauh kurang giat berjuang mencapai mobilitas ke atas, baik di sekolah maupun di tempat kerja.



8.



Orang yang tergolong tinggi aspirasinya lebih besar kemungkinannya merasa bahwa mereka sangat kurang dibutuhkan baik oleh ayah atau oleh ibu atau oleh keduanya. Ayah dari kelas menengah pada umumnya tak menyetujui anak wanita mereka berkarir dan wanita karir yang aktif yang tak kawin lebih besar kemungkinannya mempunyai perasaan bahwa mereka sebagian menolak untuk menyayangi salah seorang saudara kandung ketimbang wanita non aktif berkarir.



9.



Anak yang menilai orangtua mereka sangat dominan dan kurang sayang kepada mereka, dinilai kurang menyenangkan oleh teman sekelas mereka.



10. Ketiadaan tokoh ayah yang kuat tempat mengidentifikasikan diri dapat menciptakan anak dengan ego kejantanan lemah. 11. Penyakit mental lebih besar kemungkinannya terjadi bila saudara lelaki atau saudara perempuan seorang individu dipandang telah lebih sukses. 12. Gangguan mental, lebih umum terjadi dikalangan orang yang melihat besarnya ketaksesuaian antara aspirasi mereka dan apa yang sebenarnya telah mereka capai. 20 13. Ditingkat prestasi kerja yang sama, makin tinggi tingkat pendidikan, makin tinggi tingkat sizoprenia (artinya, makin besar ketaksesuaian antara tingkat pendidikan dan tingkat prestasi).



Catatan Kaki 1.



H.J. Habakku, “Familiy Stucture and Economic Change in 19th Century Europe”, Journal of Economis History, XV, No.1 (1955:7). 536



2.



Diskripsi yang bagus tentang proses di Perancis, lihat Elinor Barber, The Bourgeoise in 18th Century France (Princeton; N.J: Prineton Univ. Press, 1955).



3.



Ramkrishna Mukherjee, “Social Mobility and Age at Marriage” dalam D.V. Glass ed. Social Mobility in Britain (London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1954:342).



4.



Kaare Sualastoga, “The Family in the Mobility Process”, dalam Recherches sur la Famille, ed. Nels Anderson, vol.III (Gottingen: Vandenhock and Ruprecht, 1958:302-304).



5.



Eilen M. Scott, R.Illsley and A.M. Thompson, “A Psychological Investigation of Primigravidae”, II-Maternal Social Class, Age, Physique and Intelligence”, Journal of Obstetrics and Gyneacology of the British Epire, LXIII (June, 1956: 339-340).



6.



“Birth Order, Eminence, and Higher Education”, ASR, XXVIII (Oct., 1963: 757-768). Lihat juga beberapa referensi dalam karyanya The Psychology of Affiliation (Standford, Calif.:Standford Univ.Press, 1959, terutama bab 5 dan bab 6.



7.



John Nisbet, “Family Environment and Intelligence”, dalam A.H.Halsey, Jean Floud, and C.Arnold Anderson,eds., Education, Economy, and Society (NY: The Free Press, 1961: 273-287).



8.



Lihat ringkasan dalam S.M.Lipset and R.Bendix, Social Mobility in Industrial Society (Berkeley&Los Angeles: Univ. of California Press, 1960:238 ff.



9.



Robert R. Sears, “Ordinal Position in the Family as a Psychological Variable”, ASR., XV (June, 1950:400-401).



10. Schachter, “Birth Order, Eminence, and Higher Education”, op.cit: 758-759. Lihat juga James McK. Cattell and D.R. Brimhall, American Men of Science, 3rd. Ed. (Garrison, NY: Science Press, 1921). 11. Hasil riset yang sangat luas telah diringkas dalam David C.Mc Clelland, The Achieving Society (Princeton. NY: D.Van Nostrand Co.Inc., 1961, terutama bab 9).



537



12. E.E. Hagen, On the Theory of Social Change (Homewood, III: Richard D. Irwin, Inc.1962). 13. Bernard C.Rosen, “Socialization and Achievement Motivation in Brazil”, ASR.,XXVII (Des.,1962:61ff). 14. Robert M. Hall and Ben Willerman, “The Educational Influence of Dormitory Room Mates”, Sociometry XXVI (Sept., 1963:294-318). Penulis ini tak memperkenalkan motivasi untu berprestasi sebagai sebuah faktor; Aku menunjukkan hubungan ini. 15. David C.Mc.Clelland and G.A. Friedman, “A Cross Cultural Study of the Relationship Between Child-Training Practices and Achievement Motivation Appearing om Folk Tales”, dalam Reading on Social Psychology, eds. Guy S.Swanson, T. Newcomb and E.L. Hartley (NY: Holt, Rinehart & Winston, Inc. 1952:243-249). 16. Joseph A.Kahl, “Educational and Accupational Aspiration od Common Man Boys”, Harvard Educational Review XXIII (Summer, 1953:186-203). 17. Paul M. Sheldon, “The Families of Highly Gifted Children”, Marriage and Family Living, XVI (Febr.,1954:59-60;67). 18. Dan dengan demikian anak mungkin sangat kurang frekuensi pengalaman menang terhadap kekuatan sangat besar: J.K. Myers dan B.H. Robert, eds., Family and Class Dynamics in Mental Illness (NY:John Wiley&Sons.Inc. 1959:182). 19. Dukungan tambahan untuk pernyataan di atas ditemukan dalam R.A. Ellis and W. Clayton Lane, “Structural Support for Upward Mobility”, ASR. XXVIII (Oct., 1963:748-756). 20. Dengan merujuk masalah umum perjuangan bagi kesukaran mental atau emosional dan tujuan buku berikut ini menganalisis kumpulan hubungan ini: S.M. Lipset and R.J. Kleiner, Goal Striving and Mental Disorder (NY: The Free Press, 1964).



538



539



Bab 8 MOBILITAS II: REAKSI TERHADAP EVALUASI Karena mobilitas dari posisi yang sebelumnya “lebih rendah” umumnya dipandang sebagai sesuatu yang “positif” di dalam sistem nilai demokratis dan di dalam masyarakat berfikiran maju, maka ada kecenderungan mengabaikan akibat mobilitas yang mungkin berpengaruh negatif terhadap kondisi atau keadaan sosial lain. Melvin M. Tumin telah memikirkan akibat negatif dalam “Beberapa Akibat yang Tak Dihargai…..”. Di sini ia memikirkan (1) fragmentasi tatanan sosial yang mungkin terjadi dalam periode mobilitas sosial yang cepat, (2) seberapa jauh gagasan berjalan lancar, dalam bahasa ekonomi, dapat menjadi nilai tertinggi dan dengan demikian menuju penolakan nilai karya dan akibat wajar perkembangan pemujaan “cepat puas”, (3) kecenderungan orang yang mengalami mobilitas melupakan kesulitan keadaan dari mana mereka bergerak, jumlah kritik sosial yang mereka pikul dan jumlah perubahan sosial yang mereka ciptakan untuk memungkinkan perpindahan mereka, dan terakhir, (4) seberapa jauh pemindahan orang melalui mobilitas sosial dapat menimbulkan penyamarataan penyebaran kegelisahan dan kegelisahan mengenai tempat dan nilai. Dorothy L. Meier dan W. Bell melihat beberapa fenomena yang sama jauh lebih mendetil dalam pemikiran mereka tentang “anomi” (juga disebut anomi) yang dapat muncul dari ketiadaan akses seseorang untuk mencapai tujuan hidup. Penulis ini memeriksa data yang dikumpulkan dari sampel penduduk San Fransisco dengan menggunakan skala Slore untuk mengukur anomi. Mereka berdua memusatkan perhatian pada kemungkinan pengaruh secara individual dari faktor status sosioekonomi, umur, identifikasi kelas, dan isolasi sosial dan kemudian memusatkan perhatian pada pengaruh gabungan dari faktor tersebut, ketika digabungkan dalam satu indek akses terhadap peluang hidup. Mereka menyimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara ketiadaan akses ke cara mencapai tujuan hidup dan perasaan anomi.



541



Implikasinya untuk studi mobilitas adalah penting karena banyak riset tentang anomi memberikan kesan bahwa anomi adalah perubahan cepat posisi ketimbang pemilikan posisi menurun yang mungkin genting. Nampaknya perbedaan pendapat tentang temuan ini disebabkan perbedaan makna yang dilekatkan pada anomi. Menurut Meier dan Bell, anomi terutama adalah tindakan putus-asa. Peneliti lain cenderung lebih melihat anomi sebagai tindakan tak menentu atau perasaan gelisah, terombang-ambing atau ketiadaan bimbingan normatif yang mantap. Reaksi terhadap penurunan dan keputusasaan, terutama dikalangan Negro adalah salah satu diantara yang menjadi sasaran perhatian utama Abram Kardiner dan Lionel Ovesey yang bukunya disajikan di sini. Model analisis mereka mengenai reaksi terhadap degradasi dimulai dengan pembentukan harga diri yang rendah yang menimbulkan kegelisahan dan aspirasi yang tak nyata maupun perilaku berhati-hati dan minta maaf. Bila digabungkan dengan agresi, perasaan harga diri rendah dapat menghasilkan perilaku mengambil-muka atau ketakutan melihat terlalu dalam terhadap sesuatu atau penolakan agresi yang digandengkan dengan keramah-tamahan palsu dan kelucuan yang bagus; dan ini selanjutnya menghasilkan kepasifan dan penghentian dukungan atau pengurangan kepurapuraan dan takut kehilangan kontrol.



542



Beberapa Akibat Yang Tak Dihargai Dari Mobilitas Sosial Dalam Masyarakat Massa Oleh : Melvin M. Tumin Proses mendapatkan kehidupan lebih baik ketimbang yang dulu, biasanya tak membuat orang duduk dan merenung neraca antara apa yang telah dikorbankan dan keuntungan yang didapat. Kehidupan yang agak kaya adalah sebuah pengalaman baru (seperti tersirat ketika kita berbicara tentang mobilitas) mungkin memerlukan waktu lama melupakan sesuatu yang baru. Orang mulai menggunakan waktu dan tenaga untuk membiasakan diri dengan kebiasaan konsumsi baru dan cara hidup baru yang sesuai dengan posisi barunya. Dan agaknya keinginan orang yang paling bergairah adalah bahwa tak seorang pun boleh mengganggu atau mempersoalkan mengenai dimensi kehidupan lain bahwa pengalaman mobilitas ini mungkin membawa dampak tertentu. Tetapi dampak mobilitas inilah yang akan dikemukakan di sini secara rinci dan untuk sebagian besar secara impresionis karena meski telah banyak perhatian dicurahkan untuk mengukur mobilitas dan untuk membandingkan tingkat mobilitas berbagai kelompok dalam berbagai masyarakat,1 namun relatif sedikit sekali perhatian dicurahkan terhadap rentetan akibat yang ditimbulkannya.



I Dalam pengertian paling luas, tiap kemajuan ekonomi hingga kini merugikan orang yang menyediakan kita barang-barang berharga.2 Ini adalah benar apakah kita mulai dengan pandangan Marxian terhadap faktor yang menentukan nasib manusia atau menurut versi liberal abad 20 tentang apa yang merupakan kehidupan yang sangat konservatif, yang akhirnya berhubungan dengan versi



543



Marxisne yang menuntut bahwa kesejahteraan ekonomi masyarakat adalah basis kesejahteraan total masyarakat itu. Bahkan pengetahuan sosiologi yang dangkal sekalipun memberitahukan kita bahwa perubahan ekonomi tidak terjadi dalam kevakuman



3



; ada kondisi lain



yang mendahului, menyertai dan mengikutinya; ada sederetan nilai yang dipengaruhinya; dan ada perubahan sosial umum dan bukan hanya perubahan ekonomi saja yang perlu diperhatikan. Maka akibat fenomenon tertentu seluas mobilitas sosio-ekonomi ada kemungkinan beraneka ragam dan bercampur beraneka-ragam dalam percabangan institusionalnya dan bercampur dalam implikasinya untuk nilai lain. Pengalaman sosiologi yang sama juga memberitahu kita bahwa mobilitas adalah istilah yang terlalu luas untuk membolehkan kita membuat lebih dari generalisasi samar-samar, kecuali kalau kita selanjutnya menentukan jenis-jenis mobilitas, tingkat atau kejadiannya, kondisi yang melandasi terjadinya, dan segmen penduduk yang dipengaruhinya 4. Dengan persyaratan itu kini aku ingin menentukan lebih teliti lagi mengenai jenis mobilitas yang dibicarakan di sini. Pertama, aku menunjuk ke suasana di Amerika kini dan di dalamnya aku menunjuk pada perbaikan taraf hidup (baik relatif maupun absolut) sejumlah besar anggota berbagai kelompok minoritas etnis. Perbaikan taraf hidup ini didahului dan diiringi oleh realokasi individu ke dalam kelompok pekerjaan tingkat lebih tinggi dimana pendapatan lebih tinggi diperoleh.5 Kedua, aku menunjuk kepada fakta bahwa banyak diantara perbaikan taraf hidup ini terjadi dalam masa 50 tahun terakhir atau kurang dari dua generasi demografis ; dan bagian sangat besar perubahan itu diakibatkan peluang yang ditimbulkan oleh PD II dan perang Korea. Aku menyebut kejadian khusus ini hanya sebagai indikator yang tepat dari periode waktu bersangkutan. Transformasi ini telah terjadi dalam suasana persaingan “masyarakat massa”. Rujukan istilah itu bermacam-macam dan bercampur.6 Untuk tujuan kita di sini, bila kita berbicara tentang “masyarakat massa” kita akan mengacu pada hal berikut:



544



1. Adanya media untuk saling bertukar dan serah terima gagasan, orang, insentif dan gaya dengan cepat. 2. Motif



ekonomi



termasuk



tujuan



khusus



memproduksi



untuk



dan



mendistribusikan ke seluruh segmen penduduk yang ada. 3. Tema dominan dalam produksi dan konsumsi adalah melipatgandakan barangbarang elite yang berharga murah. 4. Kriteria gengsi tradisional seperti keanggotaan dalam kelompok kekeluargaan eksklusif berkurang sangat cepat. Penghargaan utama dan penghargaan tingkatan status diciptakan makin meningkat berdasarkan pendapatan nyata, seperti terujud pada barang-barang yang dikonsumsi secara terbuka. 5. Nilai “ideal” menuntut bahwa garis diferensiasi sosial yang ada, termasuk rintangan kelas dan kasta adalah bersifat sementara, dan dalam jangka panjang, menjadi tidak berarti ; bahwa semua orang akhirnya sama, beberapa rintangan bersifat sementara lebih sama dari pada yang lain; tetapi dengan cara tertentu kita akan berubah menjadi makin sama karena ini adalah kondisi yang secara teoritis tersedia bagi setiap orang berhak secara kebetulan. 6. Secara teoritis diperbolehkan dan bahkan adalah kelakuan yang baik untuk bersaing dengan setiap orang tanpa menghiraukan tingkatan sosialnya. Motif utama perjuangan status adalah mengulangi tipe ketertiban sosial ini. Motif ini tidak dibahas lebih lanjut di sini, tetapi dianggap biasa saja. Suatu waktu dan di tempat tertentu, perjuangan status menjadi bukti kebenaran harga diri orang. Di waktu dan di tempat lain, perjuangan status menuntut pangakuan formal dan terang-terangan oleh orang lain atas hak seseorang menempati posisi lebih tinggi. Apapun motif yang dapat mengurangi persaingan status dan apapun bentuk yang diharapkan, persaingan menjadi kegiatan masyarakat dan hubungan antar perorangan, terutama dikalangan orang Amerika berfikiran aktif (mobile).7 Ciri-ciri inilah yang kemudian kurang lebih dan secara kasar melukiskan tipe, kondisi, tingkat dan partisipan dalam mobilitas sosial yang akan dibahas. Sebelum terus ke analisis utama, kiranya perlu dikemukakan beberapa peringatan. Akibat mobilitas yang akan disebut hanya yang menunjuk ke segmen 545



penduduk yang sangat aktif (mobile) ; sebagian mereka dan orang yang berhubungan dengan mereka selama pergerakan mereka ; hubungan antara mereka dan sanak- saudara mereka ; fenomena yang muncul dalam saling-pengaruh antara tekanan menuju mobilitas dan tekanan menuju stabilitas ; sebagian mobilitas nampak suram meski yang lain telah mapan. Singkatnya cakupan, ulasan, intensitas dan arti penting dari akibat mobilitas yang akan kita tetapkan, sama bercampur-baurnya dengan kondisi yang menimbulkannya.



II 1. Pragmentasi Ketertiban Sosial Di sini akan ditunjukkan berbagai cara mobilitas sosial yang berlangsung cepat dalam masyarakat massa dimana persaingan status menjadi motif utama yang menyebabkan berkembang-biaknya kelompok-kepentingan, asosiasi dan perkumpulan sosial sementara, yang seluruhnya berorientasi pada akumulasi dan simbolisasi gengsi. Perkembang-biakan ini mengisyaratkan perubahan status dengan mandat penuh di tangan pengetuk pintu keanggotaan kelompok elite, menuntut penerimaan dan pengakuan dan kemudian menolak untuk memberikan kehormatan terakhir berdasarkan kriteria yang tak relevan kepada mereka yang menentukan haknya sendiri atas kehormatan itu. Meskipun pendapatan, pendidikan, tingkatan pekerjaan, tempat tinggal yang luas dan kriteria pembantu lainnya telah dipenuhi, namun penghuni status puncak masih meminta kriteria lain seperti hubungan keluarga, asal-usul etnis, kedinginan sifat emosional dan sederetan tatakrama untuk memberikan alasan menolak orang yang baru mengalami perubahan status itu bergaul akrab dengan mereka di dalam asosiasi mereka sendiri yang berkedudukan tinggi itu. Kriteria tersebut di atas (mulia dan diperhalus) bukan saja tidak relevan dengan tema utama dalam kultur, tetapi pada dasarnya memusuhi nilai demokrasi. Doa mereka dalam menolak mengakui calon, menimbulkan tindakan dipihak yang 546



mengalami mobilitas meningkatkan kecenderungan anti demokrasi dan anti masyarakat terbuka tertentu. Demikianlah misalnya orang menemukan calon yang ditolak menciptakan dua dan tiga kali lipat perangkat fasilitas elite seperti klub-sosial, klub luar kota, fasilitas rekreasi, tempat pemukiman (khusus) baru, dan bahkan kolej serta universitas baru. Kecenderungan ini dibenarkan atas dasar bahwa dimana peluang telah diputus secara tidak syah, maka lebih baik menciptakan fasilitas serupa yang baru. Kesenangan dan manfaat apapun yang dijanjikan untuk calon elite dengan melipatgandakan fasilitas ini dan kesenangan apapun yang dijanjikan kepada elite lebih tua dengan membatasi pergaulan antara calon elite dan elite tua ini, yang jelas penciptaan fasilitas seperti itu sejalan dengan perbedaan etnis, ras, dan agama, selanjutnya akan memperkuat ciri-ciri anti demokrasi. Lagi pula karena elite dari berbagai etnis dan kepercayaan agama itu terlibat dalam perbedaan seperti itu, maka gaya pergaulan sosial demikian ada kemungkinan dipraktekkan dengan lebih intensif ditingkat kelas yang lain. Di dalam hirarki yang terpisah ini, persaingan status makin memuncak dan makin intensif dan terdapat desakan makin tajam pada perilaku berorientasi kelas. Peningkatan perbedaan kelas dalam hirarki status etnis-keagamaan ini, implikasinya bukan tidak bercampur untuk masyarakat terbuka, masyarakat demokratis. Berdasarkan keadaan ini orang dapat mengira terjadinya kehilangan kepercayaan dalam kewajaran proses sosial dan dalam kualitas demokratis dari kultur. Karena bila kriteria utama persamaan status telah dipenuhi, tetapi penghargaan pribadi tidak diberikan, ada alasan yang tepat untuk tidak mempercayai motif-nilai yang menekankan persamaan seluruh manusia dan kegunaan menyokong masyarakat pada umumnya tanpa mengacu pada asal-usul etnis atau agama. Akibat lain masih dapat disebut. Anggota etnis dan agama yang sangat mobil, cenderung menentukan kriteria yang sama terhadap rekan seetnis mereka yang kurang mobil tentang ketak-mampuan yang mereka derita sebelumnya. Demikianlah, Negro menggunakan warna kulit sebagai dasar pembedaan di dalam 547



kelompok mereka ; Yahudi menggunakan ciri-ciri bahasa, sikap dan makanan khas Yahudi sebagai dasar pembeda. Singkatnya, memburuk-burukkan kelompok minoritas difahami, diterima dan diterapkan terhadap diri mereka sendiri begitu juga kriteria anti demokrasi yang dituduhkan terhadap mereka oleh kelompok yang sebelumnya berstatus superior. Dalam kasus ekstrim, kelompok etnis cenderung menyalahkan penolakan diri mereka ke dalam kelompok elite karena ciri-ciri mereka disamakan dengan rekan seetnis mereka yang kurang mobil. Fenomenon Negro dan Yahudi yang membenci diri sendiri telah sering dijelaskan atas landasan ini. Implikasi bagi harga diri dan kesehatan mental dari penurunan harga diri demikian, sudah jelas. Agaknya yang agak kurang jelas adalah cara pergeseran perhatian ini yang salah meletakkan tanggungjawab perintang mobilitas sosial yang ada, pada kesalahan mengalihkan arah dari pengendalian institusional dan kecenderungan anti demokrasi dalam kelompok elite lebih tua sebagaimana mestinya. 2. Penyangkalan Kerja Banyak tenaga dan dorongan sosial yang telah memungkinkan mobilitas bagi berbagai kelompok yang kurang mampu hingga kini dalam masyarakat Amerika, berasal dari keyakinan bahwa bekerja keras akan memberi hasil. Keyakinan ini dikaitkan dan sesuai dengan komitmen nilai sebelumnya tentang kebajikan yang melekat dalam pekerjaan. Tetapi kini penekanan bergeser dari arti penting bekerja dan berjuang ke sangat pentingnya muncul sebagai orang sukses. Sekurang-kurangnya dalam beberapa lingkaran elite penting, produktivitas sosial pekerjaan seseorang, nilai sosial produk yang didistribusikan seseorang dan keterampilan yang diperlukan untuk memproduksi barang-barang ini diabaikan secara sistematis. Malahan hampir seluruh pilihan semata-mata diberikan kepada penggambaran sebagai orang yang sukses seperti yang diukur melalui kekuasaan dan kekayaan yang dikonsumsi orang secara terbuka.



548



Tak seorang pun dalam masyarakat kita yang lebih cepat mengarahkan dirinya sendiri kepada cara yang benar untuk mencapai sukses menurut kesadaran status masyarakat kita ketimbang keaktifan baru, gerak baru. Menjadi orang aktif dan mengejar mobilitas selanjutnya, memaksa orang menerima standar yang mengatur pasar. Dalam menerima standar pasar itu dan memainkan peran menurutnya, ia membantu melembagakannya dan menjadikannya motif yang akan disosialisasikan dan diindroktinasikan kepada generasi berikut. Dengan cara ini, mobilitas sosial yang berjalan cepat memberikan kontribusi penting kepada kehilangan motif tentang arti penting instrumental dan martabat yang melekat dalam pekerjaan. Gengsi kerja yang melekat itu telah digantikan oleh pemujaan terhadap kepuasan sesaat dengan motifnya bahwa tak ada lagi yang dapat menggantikan kesuksesan. Sebagian besar akibat utama keberhasilan pemujaan atas kepuasan sesaat sudah terkenal. Akibat yang kurang jelas namun sama pentingnya masih perlu diteliti dengan seksama. Pertama kita perlu memperhatikan perkembangan pemujaan peluang, tak terbatas. Artinya dikalangan anggota yang lebih muda dari kelompok yang lebih efektif tersebar perasaan bahwa hanya kesuksesanlah yang mereka hargai ; bahwa jalan menuju sukses ini telah ditunjukkan dengan jelas ; bahwa ada kemungkinan untuk mengalami kemunduran ekonomi ; dan bahwa tekanan atas keputus-asaan dimasa datang benar-benar gangguan emosi dipihak orang yang tidak mencapai sukses dimasa lalu. Kumpulan sikap ini menuju ke penerimaan tanpa kritik kekuatan dan daya tahan susunan ekonomi dan sosial yang akhir-akhir ini telah menghasilkan taraf hidup yang tinggi. Selanjutnya ini membuat gagasan mengenai kebutuhan memeriksa, mengontrol dan mekanisme kemungkinan yang direncanakan melindungi kecenderungan penurunan aktivitas ekonomi secara periodik, nampak seperti tak wajar, suram dan ramalan malapetaka yang radikal. Kebijakan dan peraturan seperti itu yang mungkin perlu menyediakan perlindungan bagi kemungkinan bencana ekonomi, gagal menerima sejenis perhatian yang manfaatnya telah ditunjukkan oleh sejarah masa lalu kita. Setelah diteliti dengan 549



cermat ternyata penolakannya didasarkan atas pertimbangan bahwa ketakutan terhadap kemungkinan masa depan adalah tidak berarti. Alasan lain untuk menolaknya karena dinilai tak pantas mendapat pertimbangan. Agaknya tak ada yang sedemikian besar sumbangannya terhadap kemungkinan kegagalan selama periode pertumbuhan sekonomi selain dari menolak peluang itu. Menolak bekerja juga berakibat bagi integrasi sosial. Karena satu-satunya sistem penghargaan sosial yang memungkinkan semua orang dalam masyarakat mencapai perasaan berguna bagi ketertiban sosial dan menyatu di dalamnya, tentu mengandung rujukan penting atas martabat kerja di tingkat apa pun dan atas manfaat dari kesungguhan tanpa menghiraukan tingkat keterampilan atau pendapatan yang dihubungkan dengan pekerjaan. Kecenderungan yang menolak martabat kerja dan yang selanjutnya mendesakkan konsumsi dari pendapatan yang tinggi sebagai kriteria nilai sosial, meruntuhkan kemungkinan berkembangnya integrasi sosial. Dengan demikian, sejumlah besar manusia terampas dari satusatunya dasar yang membuat mereka dapat mencapai perasaan persamaan mereka. Memang sangat sukar bagi ideologi demokrasi untuk mempunyai makna penting di seluruh tingkat keterampilan dan pendapatan bila kita mencemarkan pekerjaan dan menghargai pendapatan.



3. Kehilangan Kritik Sosial Di sini aku menunjuk ke sejumlah cara dimana tingkat kritik sosial dan gagasan tentang kritik sosial dihabiskan pada dampak ilusi dan fantasi yang telah menggerakkan mobilitas sosial. Ada tanda yang jelas tentang kemunculan “perasaan bersyukur” dikalangan bagian penting penduduk yang mengalami mobilitas ke atas. Anggota kelompok ini cenderung melupakan sejarah tentang upaya dan perjuangan yang telah diperlukan untuk mobilitas ke atas dimasa lalu. Mereka sibuk dengan sejenis euforia bergelimang dalam kenikmatan hidup kini. Mereka mengorganisir perspektif mereka disekitar perasaan bersyukur atas ketertiban sosial yang telah memungkinkan terciptanya kenikmatan hidup ini. 550



Kasus utama yang dimaksud mengenai intelektual. Sebelumnya tak pernah ada sedemikian banyak kesempatan pada anak tangga pekerjaan yang dibayar tinggi untuk tenaga terampil dan para intelektual berbakat. Ini mungkin tak berkaitan dengan kenyataan bahwa kini, gagasan telah menjadi komoditi atau mendapatkan banyak nilainya dari kemampuan memasarkannya. Tetapi yang jelas ini ada akibatnya bagi masyarakat total bahwa banyak diantara kritik yang sangat bermutu tentang ketertiban sosial yang kritikan dan gagasannya penting dalam menghasilkan mobilitas dimasa lalu dan memungkinkan kenikmatan hidup dimasa kini, dalam hal tertentu telah disogok oleh ketertiban sosial. Ini tak hanya menunjuk kepada kritik politik yang secara langsung beroperasi dibidang ideologi politik tetapi juga menunjuk kepada kaum intelektual yang berkreasi dengan imajinasi dan gagasan yang beroperasi dibidang literatur, hiburan massa dan media pencerahan massa. Ketertiban sosial berada dalam bahaya bila ia telah merasa puas terhadap masa lalunya dan lebih merasa puas lagi tentang masa depannya. Kemunculan kelompok kritis yang berorientasi pada gagasan kreatif adalah penangkal yang sangat diperlukan atas perasaan berpuas diri demikian. Mobilitas masyarakat pada umumnya telah menghasilkan kritikan kreatif yang sangat tak populer dan tak diinginkan. Dan mobilitas kritik sebelumnya telah membuat sejumlah mereka dan nilai kritik mereka sebelumnya. Mereka menyangkal telah membantu orang bergerak cepat kedalam tingkatan orang yang merasa penting untuk dihargai. Perdebatan aktif secara terbuka dan tajam (suatu kondisi yang sangat diperlukan untuk mempertahankan masyarakat terbuka) dengan demikian menjadi ancaman serius. 4. Penyebaran Kegelisahan Anomi menyebar melalui ketertiban sosial ketika anggotanya bergerak cepat melalui serentetan status dan peranan, yang definisinya atau hak dan tanggung jawabnya terus-menerus bergeser. Inilah yang umumnya terjadi dalam tiap masyarakat ketika sebagian besar anggota masyarakat mengalami mobilitas sosial yang cepat dan ketika gaya berperilaku terutama ditunjukkan ke arah penerimaan 551



status dan tingkatan gengsi ketimbang ke arah kepercayaan tentang apa yang diperlukan kesejahteraan sosial. Menurut pengertiannya yang paling sederhana, orang melihat proses ini terjadi ketika orientasi utama adalah untuk pindah dari satu tingkat ke tingkat status lebih tinggi secepat meungkin ; dan ketika setiap peran utama disetiap tingkatan status ini (apakah peran utama orangtua, pekerjaan atau peran anggota komunitas) didefinisikan menurut tingkatan kelas. Tak ada waktu maupun kecenderungan untuk terserap dalam kumpulan tanggungjawab tradisional dan untuk memperkuat harapan tentang hak tradisional. Stabilitas hubungan dan keamanan berasal dari peran yang dimainkan dengan demikian diserahkan pada pilihan untuk terus-menerus menyesuaikan diri sendiri kembali dan pelaksanaan perannya kepada persyaratan tingkat pendapatan berikutnya.8 Kegelisahan pun tersebar dalam kondisi demikian bila orang mengambil sikapnya berdasarkan manfaatnya bagi dirinya sendiri dan ketertiban sosialnya melalui posisinya pada anak tangga gengsi dan bila posisi itu terutama ditentukan oleh pendapatan dan hubungannya. Dalam masyarakat dengan kelas pendapatan berbeda, hampir setiap orang di atasi oleh orang lain yang menurut kriterianya sendiri adalah lebih berguna. Lagi pula tak ada sumber atau kriterion gengsi yang sedemikian lemah dan tak stabil seperti kekayaan, terutama bila kekayaan itu berasal dari perdagangan ketimbang dari perkebunan di atas tanah milik sendiri. Banyak diantara orang yang sama yang kini kaya dan karena itu terhormat, dalam perjalanan hidup mereka sendiri telah mengetahui benar apa artinya miskin, karenanya tingkatannya rendah, kemudian menjadi kaya dan meningkatkan tingkatan (posisi) mereka, menjadi miskin sekali lagi dan kehilangan tingkatan (posisi) mereka dan akhirnya kini, sekali lagi menjadi kaya dan kembali ke posisi tinggi. Sukar melihat apa yang menyebabkan tetap terpeliharanya perasaan aman yang mantap dalam keadaan seperti itu. Justru mudah melihat apa yang mengganggu, meski terpaksa disembunyikan perasaan yang berlangsung sebentar dan sementara dari kondisi mereka kini yang mungkin meresapi orang seperti itu.



552



Jenis mobilitas sosial cepat yang kita alami dan dalam keadaan umum berlaku, menuju ke penekanan dan ke asumsi sebagai basis tingkatan sosial. Dengan demikian ada kecenderungan kegelisahan mengenai tempat dan posisi akan menyebar keseluruh bagian signifikan penduduk diseluruh tingkatan sosial. Contoh dalam hal ini adalah hebatnya tuntutan untuk menentramkan perasaan kembali bahwa kita disayangi. Ini ditunjukkan dalam bentuk kesadaran yang paling besar manfaatnya dalam pemujaan “palship” dikalangan pencandu masyarakat café (keluar-masuk tempat hiburan). Untuk menuntut bahwa teman sejati adalah orang yang setia kepada orang lain melalui seluruh jenis keuntungan ekonomi dan selanjutnya menempatkan nilai teman sejati itu di atas segala nilai lain kecuali uang adalah untuk membuktikan ketakstabilan uang sebagai ukuran harga pada umumnya dan ketakpastian mengenai nilai pribadi seseorang begitu diukur secara khusus.



III Waktu membatasi kita untuk membuat analisis rinci tentang sekumpulan akibat lain mobilitas sosial. Tetapi beberapa diantaranya akan disebut sambil lalu untuk menunjukkan betapa bercampurnya sebenarnya akibat mobilitas sosial itu, berbeda dari asumsi umum bahwa mobilitas sosial sesungguhnya dan terutama adalah proses yang tak berbahaya. 5. Karena itu kita harus mengakui bahwa mobilitas sosial cepat, berdasarkan kondisi yang dinyatakan, menimbulkan ketakseimbangan hebat institusi sosial, sejauh mobilitas sosial itu mendorong gangguan atas institusi seperti keluarga, agama dan pendidikan melalui kriteria yang berasal dari pasar. Keberhasilan pelaksanaan peran dalam isntitusi ini cenderung diukur melalui ukuran pendapatan, dengan demikian secara serius mengancam fungsi utama yang secara tradisional telah dilaksanakan oleh institusi itu.9



553



6. Dapat disamakan dengan itu, peluang pluralisme kultur asli dalam masyarakat kita (AS) secara serius dikurangi oleh akibat proses mobilitas sosial cepat. Untuk menuju ke terciptanya hirarki lipat dua dan lipat tiga pada tingkatan kelas baru, kelompok etnis akan berubah menjadi hirarki persaingan status ketimbang menjadi kelompok pertemanan yang memperkaya kultur seperti yang diimpikan teori tentang masyarakat majemuk. 7. Bersamaan dengan lenyapnya kritik sosial dan kritisme menyusul penurunan nilai selera dan kultur yang terjadi dalam masyarakat yang sangat aktif (mobile) ketika kemampuan pasar (marketability) menjadi kriterion nilai estetika dan ketika orang mengkonsumsi produk seperti selera pedagang meyakinkan kita bahwa elite segera menikmatinya. 8. Terakhir, dapat diamati bahwa mobilitas sosial cepat menimbulkan kejengkelan dan konservatisme pahit dan pemujaan masa lalu dikalangan anggota masyarakat yang lebih tua ; dan yang baru mengalami mobilitas, mengutuk tradisi. Bila benar bahwa umur suatu kebiasaan tak menjamin kesesuaiannya dengan masa sekarang, maka sama benarnya bahwa umur suatu kebiasaan bukan jaminan dari kekurangannya. Tiap masyarakat akan menjadi orang yang kalah, baik bergelimang dalam keadaan tak memilih-milih masa lalunya maupun tak memilihmilih yang ditolaknya.



IV Marx pernah mengatakan bahwa filosof dengan matanya di atas bintang akan dikhianati oleh pihak yang lebih rendah dengan menyampakkannya ke dalam parit.



Tanpa



bermaksud



memperbaiki



rumusan



itu,



aku



mencoba



menyesuaikannya dengan situasi kini dengan menyatakan bahwa orang yang aktif (mobile) dengan mata mereka di atas jangkauan lebih tinggi dari anak tangga sosial akan dicampakkan ke dalam parit mereka oleh kesetiaan yang berlebihlebihan terhadap bagaimana dan kemana mereka akan pindah selanjutnya.



554



Catatan Kaki 1. Lihat misalnya tiga buku : N. Rogoff, Recent Trends in Occupational Mobility (NY: The Free Press, 1954) ; W.L.Warner and J.C. Abegglen, Occupational Mobility in American Business and Industry, 1928-1952 (Minneapolis: Univ. of Minnesota Press, 1055) ; D.V. Glass, ed., Social Mobility in Britain (NY: The Free Press, 1954) ; juga Pitirim Sorokin. Social Mobility (NY: Harper&Row, Publishers, 1927). 2. Robin Williams, Jr., American Society : A Sociological Interpretation (NY: Alfred A. Knopf, Inc., 1951) tentang nilai dominan masyarakat Amerika. 3. Lihat Wilbert Moore, Economy and Society. (NY: Doubleday&Co., 1955) terutama bab 2. 4. M. Tumin and A. Feldman, “Theory and Measurement of Occupational Mobility in Puerto Rico”, ASR, XXII No.3 (June, 1957). 5. Lihat H.P. Miller, Income of the American People (NY: John Wiley&Sons, Inc., 1955). 6. Daniel Bell, “The Theory of the Mass Society”, Commentary, XXII No.1 (July,1956). 7. Dalam M. Tumin, “Some Disfuntions of Institutional Imbalance”, Behavioral Science, I No.2 (July, 1956), akibat terlalu menekankan pada status seperti yang diukur dengan prestasi ekonomi diperdebatkan secara rinci. 8. Lihat M. Tumin, “Rewards and Task Orientation”, ASR, XX (August, 1955). 9. M. Tumin, “Some Disfuntions of Institutional Imbalance”, Loc.cit.



555



Anomi dan Perbedaan Akses Untuk Mencapai Tujuan Hidup Oleh : Dorothy L. Meier dan Wendell Bell Dalam paper terdahulu, Bell melaporkan bahwa anomi seperti yang ditetapkan menurut skala Srole berhubungan terbalik dengan masing-masing variabel berikut : status ekonomi pertetanggaan tempat responden tinggal ; status ekonomi individu yang diukur melalui pekerjaan, pendapatan dan pendidikan ; dan jumlah partisipasi kelompok formal dan informal. Ia juga melaporkan bahwa makin tua responden, makin besar kemungkinan menjadi anomi dalam arti psikologis ini ketimbang responden yang lebih muda. 1 Paper ini adalah kelanjutan analisis tentang sebab atau sebab-sebab anomi yang juga berdasarkan data Studi San Fransisco tentang Partisipasi Sosial, namun dalam hal ini lebih banyak variabel independen yang dimasukkan ke dalam analisis. Kami memasukkan beberapa variabel sekaligus dan dengan demikian mendekati logika pengendalian eksperimen hingga jumlah lebih besar dari pada dalam paper terdahulu. Ukuran yang digunakan sederhana, tehniknya (sebagian besar dikhotomi dan persentase) masih bersifat elementer dan karena itu hasilnya hanyalah kira-kira. Namun penafsiran datanya, menggiring kami ke generalisasi tunggal tetapi tentu saja tentatif yang menjadi tesis paper ini. Bukti agak terus-menerus memperlihatkan bahwa dalam masyarakat Amerika anomi terjadi bila individu kekurangan akses dalam mendapatkan alat untuk mencapai tujuan hidup. Ketiadaan peluang demikian sebagian besar terjadi sebagai akibat posisi individu dalam struktur sosial yang ditentukan oleh faktor seperti jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, pendapatan, umur, jenis kelamin, etnisitas, status perkawinan, jenis dan jumlah pergaulan baik dalam organisasi formal maupun dalam kelompok informal pertemanan, kawan sekerja, kerabat dan tetangga, dan tingkat komitmen terhadap kepercayaan tertentu, sikap dan nilai. Pertentangan berkenaan dengan berbagai faktor di atas mengakibatkan ketidakcocokan dalam akses mendapatkan alat untuk mencapai tujuan hidup telah sejak lama diakui dalam pemikiran, untuk



556



menyebut sekedar contoh, seperti perbedaan peluang untuk berpartisipasi sebagai anggota masyarakat yang efektif dan berarti.2



Hipotesis kami adalah bahwa



struktur sosial yang membatasi akses ke alat untuk mencapai tujuan hidup menghasilkan anomi dalam diri individu yang demikian merusak. Dalam paper ini kami pertama membahas Skala Srole dan memberikan kesan bahwa keputus-asaan adalah bagian utama yang akan



diukur. Kedua, kami



mencoba menunjukkan bahwa sejumlah variabel secara bebas berhubungan dengan anomi, masing-masing menambah terhadap pengaruh yang diramalkan. Ketiga, kami berupaya menunjukkan bagaimana cara masing-masing variabel independen itu mungkin ditafsirkan sebagai ukuran akses struktural terhadap cara untuk mencapai tujuan hidup ; kami mengkonstruksi dan menghubungkannya dengan anomi, sebuah indek multi-dimensional yang mencerminkan abstraksi yang lebih tinggi ini.



Skala Anomi Srole Skala anomi Srole memuat 5 item dan dalam studi ini, kategori jawaban yang ditawarkan adalah “sangat setuju”, “Setuju”, “Ragu-ragu”, “Tak setuju”, dan “Sangat tak setuju”. Tehnik skala Cornell diterapkan terhadap sampel yang dilukiskan di bawah, koefisien reproduksibilitas adalah 0.90 dan koefisien skalabilitas adalah 0.65.3 Kelipatan jawaban pada waktu pembuatan skalanya menghasilkan dua trikhotomi dan tiga dikhotomi. Skor skala berjarak dari kemungkinan terendah nol hingga kemungkinan tertinggi, 10. Pertanyaan terdiri dari skala seperti yang digunakan dalam studi ini dan skor ditetapkan terhadap berbagai kategori jawaban yang digolongkan mulai dari yang paling sedikit hingga yang paling banyak “Setuju” dengan jawaban berikut : 1. Apapun yang dikatakan orang, banyak orang kebanyakan yang betambah buruk keadaannya. 2. Sangat setuju dan Setuju 0. Ragu-ragu, Tak setuju dan Sangat tak setuju. 2. Hampir tak adil mendidik anak memahami kehidupan dengan cara mencarinya ke masa depan. 557



2. Sangat setuju dan Setuju 0. Ragu-ragu, Tak setuju dan Sangat tak setuju 3. Orang harus hidup seenak mungkin sekarang dan biarlah esok memikirkan dirinya sendiri. 2. Sangat setuju, Setuju dan Ragu-ragu 1. Tak setuju 0. Sangat tak setuju. 4. Hari ini orang benar-benar tak tahu siapa yang dapat ia harapkan. 2. Sangat setuju dan Setuju 0. Ragu-ragu, Tak setuju dan Sangat tak setuju. 5. Hampir tak ada gunanya menyurati pejabat publik karena mereka sering benar-benar tak memperhatikan masalah orang kebanyakan. 2. Sangat setuju dan Setuju 1. Ragu-ragu dan Tak setuju 0. Sangat tak setuju. Menurut Srole, skala ini mengukur konsep sosio-psikologis anomi, yang ia tunjuk sebagai kontinum eunomia - anomi individual yang membedakannya dari konsep sosiologi tentang anomi ; konsep sosiologi ini tidak menunjuk kepada individu saja tetapi kepada tingkat ketiadaan norma dari sistem atau subsistem sosial.4 Juga dalam karyanya ini Srole menekankan bahwa ia telah berupaya untuk “melengkapi ukuran alienasi antar pribadi…..”, dengan menyatakan : ……tujuan analisis sekarang adalah untuk menempatkan individu pada kontinum eunomia-anomi yang mencerminkan variasi dalam integrasi antar pribadi dengan bidang sosial khusus mereka sebagai “kesatuan global”. Lebih konkritnya, variabel ini dibanyangkan seperti menunjuk kepada generalisasi individu, meresapnya perasaan “kedirian kepada milik orang lain” disatu titik ekstrim dibandingkan dengan “kedirian - jarak dengan orang lain” dan “kedirian terhadap alienasi orang lain” di titik kontinum yang lain.6 Upaya analisis konseptual secara rinci tentang anomi, berada di luar jangkauan paper ini. Namun beberapa penulis telah mengembangkan konsep anomi dengan menunjuk kepada kondisi individu ketimbang kondisi kelompok



558



atau masyarakat.7



Meski tak ada kesepakatan yang tepat mengenai konsep



psikologis atau sosio-psikilogis tentang anomi (anomi) namun sudah ada titik temu dan kesepakatan sebagian yang membesarkan hati. Contohnya, Gwynn Nettler belakangan ini membangun skala untuk mengukur perasaan pengasingan yang ia tunjuk sebagai alienasi dan yang ia hubungkan dengan skala anomi Srole. 8 Koefisien Pearson-nya adalah +.309 ; meski Nettler menyimpulkan bahwa ukuran alienasi-nya dihubungkan skala anomi Srole, ia membuktikan bahwa keduanya tidak sama dan melalui komunikasi pribadi memberikan kesan bahwa skala Srole sangat besar kemungkinannya digunakan untuk mengukur keputus-asaan. Kami menekankan pemikiran tentang keputus-asaan dalam menafsirkan temuan kami, meski alinasi nampaknya juga dapat diukur dalam beberapa tingkatan. Untuk mendaftarkan pertanyaan Srole yang dikemukakan di atas, item pertama dikatakan untuk mengukur pandangan “individual diluar tujuan hidup masa depan, bahwa ia dan orang menyukainya mundur dari tujuan yang telah mereka capai”. Pertanyaan kedua mengukur “penurunan atau kehilangan nilai dan norma sosial yang telah dihayati sebelumnya, bentuk ekstrimnya tercermin dalam perasaan individu tentang ketakberartian hidup itu sendiri”. Pertanyaan ketiga dimaksudkan untuk mengukur persepsi individual tentang ketertiban sosial yang pada dasarnya berubah-ubah dan tak teramalkan yakni tidak tertib, menyebabkan perasaan yang berada di bawah kondisi seperti itu ia sedikit mewujudkan tujuan hidup masa depan”. Pertanyaan keempat dan kelima, disusun berturut-turut untuk mengukur persepsi individual bahwa kerangaka hubungan pribadinya kini, eksistensi sosialnya yang sangat terombang-ambing tak lagi teramalkan dan mendukung”, dan perasaan individual bahwa pimpinan komunitas terpisah dari dan acuh-tak acuh terhadap kebutuhannya.9 Kami yakin bahwa pertanyaan di atas , sebagaian besar untuk mengukur keputus-asaan dalam arti kehilangan harapan dan kehilangan semangat sama sekali. Orang (responden) yang sangat setuju dengan sikap pertanyaan di atas adalah melebihi kelesuan (apatis) biasa ; ia berada dalam kondisi kesedihan dan kesusahan dimana ia tak mampu menggunakan kepercayaan yang mungkin ingin 559



dicapainya dan dalam bentuk ekstrimnya, mencapai titik yang dilukiskan oleh Mac Iver sebagai “introspeksi yang tak menenangkan” dan “siksaan diri”. Di tingkat paling sedikit, kemurungan dan paling buruk keputus-asaan hina yang menandai orang seperti itu. Tetapi keputus-asaan, yang sebagian diarahkan kepada orang lain dan ketertiban sosial dengan implikasi khusus bahwa tak seorangpun dilarang oleh norma yang efektif untuk bertanggungjawab terhadap orang lain. 10 Kami memahai istilah “anomi” untuk mengacu pada skala Srole, tetapi istilah lain



seperti



“putus-asa”,



“kehilangan



harapan”,



“kehilangan



semangat”,



“disorganisasi pribadi”, “demoralisasi” (terutama dalam pengertian putusharapan) dan istilah lain mungkin dapat digunakan dalam memahami fenomena yang sedang diukur. Dibagian ujung paper ini, penggunaan istilah seperti itu secara khusus akan menunjuk kepada skala Srole.11



Perluasan Generalisasi Tujuan Hidup. Dalam merumuskan hipotesis bahwa kegagalan upaya individu untuk mencapai tujuan hidupnya menyebabkan anomi, memang kami beranggapan bahwa tujuan hidupnya secara kultural, sebagian besar dapat diterima jika tidak lebih disukai atau ditentukan. Kami menyebut “tujuan hidup” ketimbang “tujuan kultural” karena kami sedang mencoba menjelaskan anomi dalam diri individu selaku anggota masyarakat, bukan anomi dalam masyarakat itu sendiri, bukan tingkat perilaku menyimpang atau bukan tingkat anomi - meski kami dapat membuat prediksi tentang abstraksi yang kemudian ini segera setelah kami tahu tempat yang dirintangi dalam nilai kultural dan cakupan dapat dipakainya tujuan kultural yang saling mengisi untuk berbagai jenis anggota masyarakat. Bagaimanapun, dalam menerangkan keputus-asaan individu tertentu, kami tak dapat mengabaikan fakta bahwa dalam masyarakat yang berfungsi dengan lancar, tujuan hidup individu biasanya sesuai dengan susunan nilai kultural ; asumsi ini benar-benar menjadi sentral analisis kami. Di sini kami tak dapat membahas tujuan hidup dalam masyarakat Amerika secara panjang-lebar tetapi perlu diingat bahwa keseluruhan aspek tujuan hidup 560



yang bermuatan-nilai yang relatif kuno pun dimasukkan. Banyak penulis yang telah membahas tujuan hidup ini menekankan pada tujuan kesuksesan materi. Dalam nada ini, Max Lerner belakangan ini melukiskan pola tujuan hidup yang menjadi ciri-ciri orang Amerika abad 20 : kesuksesan, gengsi, uang, kekuasaan dan keamanan.12 Pola ini disebut Lerner dengan istilah longgar “sistem sukses” tetapi dengan dimasukkannya keamanan maupun “kehidupan yang baik” dan “mengejar kebahagiaan”, jelaslah menunjuk kepada tujuan hidup selain dari mencapai gengsi, kekuasaan dan kekayaan. Bahasan tentang pilihan sosial dan gaya hidup dalam masyarakat Amerika modern relevan dengan bermacam-macam tujuan hidup, diantaranya hidup sendirian terpisah dari orang lain (mutually exclusive). Riesman misalnya menyatakan bahwa mengutamakan konsumsi dan selera menjadi tujuan selain dari mengejar kesuksesan keuangan dan mobilitas pekerjaan.13 Bell menunjukkan perbedaan pola kehidupan termasuk perbedaan dalam tujuan keluarga, mengutamakan konsumsi, dan mobilitas ke atas (karir).14 Tetapi apakah tujuan hidup utamnya, kemajuan karir atau kebahagiaan kehidupan keluarga, hidup tanpa berusaha atau mengejar kepuasan atau kebebasan terusmenerus atau kombinasi dari beberapa diantaranya, kami meramalkan individu akan menderita anomi bila ia terhalang dalam mencapai tujuan hidupnya. Kami mendapatkan kesan, tingkat anomi tergantung pada arti penting tujuan hidup yang terhalang itu bagi individu, pada tingkat prestasinya yang terhalang dan pada ketersediaan tujuan pangganti. Sayang, dalam paper ini, karena data tidak secara langsung berkaitan dengannya, maka pernyataan kami mengenai tujuan hidup masih bersifat dugaan, meski nampaknya merupakan penjelasan masuk-akal dari temuan kami. Riset yang yang akan datang dalam bidang ini akan menguntungkan bila dipusatkan pada (1) tujuan hidup segmen masyarakat berlainan, (2) struktur tiap segmen dalam hubungannya satu sama lain berkenaan dengan hirarki arti pentingnya, (3) perbedaan peluang untuk mencapai tujuan hidup yang berbeda dari masing-masing segmen berbeda, (4) tingkat penggantian tujuan hidup tertentu dengan yang lain dan (5) tingkat anomi yang diakibatkan kegagalan untuk



561



mencapai tujuan hidup tertentu. Masalah ini kini sedang diteliti oleh salah seorang penulis paper ini.



Perbedaan Akses Kami telah membuat generalisasi bahwa anomi terjadi bila individu kekurangan akses ke cara untuk mencapai tujuan hidup. Untuk sebagian besar, akses seperti itu adalah struktur sosial. Peluang relatif untuk menghasilkan struktur sosial khusus dan kontrol relatif terhadap sumber ciri-cirinya, seperti yang melekat dalam hak dan kewajibannya adalah yang terpenting dalam mengevaluasi hingga ditingkat mana seseorang dapat mencapai atau telah mencapai tujuan hidup utamanya. Pencapaian status tertentu (status pekerjaan atau perkawinan misalnya) dengan sendirinya dapat menjadi pencapaian tujuan hidup. Perbedaan kontrol terhadap orang dan barang yang melekat dalam hak dan kewajiban status tertentu dapat menjadi alat untuk mencapai tujuan hidup yang lain. Kami tidak meniadakan peran faktor non sosial yang berkaitan dengan kondisi biologi atau psikologi sebagai penghalang pencapaian tujuan hidup. Misalnya orang yang tiba-tiba buta, mungkin putus-asa dan bertahan dengan sedikit harapan dimasa depan. Makna sosial dari rintangan barunya itu, reaksi orang lain terhadapnya selaku orang buta, sangat memudahkan atau mengurangi peluangnya untuk mencapai tujuan hidupnya tetapi orang buta secara fisik adalah cacat dan “takkan mampu melakukan apapun seperti melakukan propaganda romantis yang dapat meyakinkan kita”. 15



Deskripsi Data Data sajian dalam paper ini diambil dari empat sistem sensus San Fransisco dilakukan selama musim semi 1953. Sistem telah dipilih menurut skornya pada tipologi Shevky-Bell dengan demikian berbeda luasnya sehubungan dengan karakteristik ekonomi dan keluarga tetapi berisi sedikit non kulit putih atau kulit putih kelahiran luar dari negara tertentu.16 Dalam keempat sistem sensus itu, sampel wilayahnya dipilih secara acak dari sebuah daftar lengkap seluruh unit



562



pemukiman di tiap wilayah. Respondennya lelaki 21 tahun keatas, yang angka jawabannya di atas 85%. Total responden yang diwawancarai 701 orang.17 Untuk tujuan analisis ini, perbedaan pertentangan dicoret dan kasus disatukan, terdiri dari sampel analisis berkenaan dengan karakteristik keluarga dan ekonomi individu.18 Meski kami meramal bahwa generalisasi kami berlaku untuk masyarakat AS umumnya, sesungguhnya temuan ini hanya dapat dipakai untuk empat wilayah sensus dari mana sampel kami tarik. Temuan ini juga tak perlu mewakili seluruh populasi San Fransisco. Sepanjang analisis mengikuti jawaban atas Skala Anomi Srole, benar-benar telah didikhotomikan menjadi skor tinggi dan rendah. Orang berskor anomi 5 atau lebih digolongkan sebagai anomik karena berskor anomi tertinggi ; orang berskor 4 ke bawah digolongkan sebagai eunomik karena berskor anomi rendah. Variabel independen untuk sebagian besar pun telah didikhotomikan dalam penyajian data meski di tabel tidak ditunjukkan bahwa kami telah memerinci variabel menjadi lebih halus untuk memastikan bahwa hubungan antara anomi dan sebuah variabel tertentu misalnya tidak berbentuk U. Variabel dibagi dua mengingat kecukupan kasus disetiap subkategori maupun hubungan nyatanya dengan makna teoritis yang diinginkan dari subkategori. Misalnya pembagian kedalam peserta dan yang mengasingkan diri, mencerminkan fakta bahwa kita menganggap seseorang berasa dalam keadaan terasing, sebenarnya hanya bila ia mengadakan kontak dua kali atau kurang dalam sebulan dan bila ia tak menjadi anggota asosiasi formal atau tak menjadi anggota aktif dari kelompok itu.



Temuan Status Sosio-Ekonomi, Identifikasi Kelas, Umur dan Isolasi Sosial Tabel 1 menunjukkan persentase lelaki yang berskor anomi tinggi menurut status sosio-ekonomi, identifikasi kelas, umur, dan isolasi sosial.



14



Masing-



masing variabel independen ini dapat membatasi peluang mencapai tujuan hidup. Status sosio-ekonomi yang diukur melalui pekerjaan dan pendidikan itu sendiri adalah tujuan hidup bagi kebanyakan orang Amerika. Status sosio-ekonomi itu juga adalah ukuran pengendalian atas sumber daya yang diperlukan untuk 563



mencapai tujuan hidup yang lain. Seseorang dengan status sosio-ekonomi yang rendah, kekurangan pendidikan, modal dan keterampilan kerja, relatif kecil peluangnya untuk meningkatkan peluang hidupnya untuk mencapai prestasi dan kekuasaan dalam masyarakat. Seperti dikatakan Hyman, adanya stratifikasi dalam masyarakat Amerika sudah terkenal. Akibat wajar dari fakta bahwa individu dari strata lebih rendah tak ada peluang menaiki anak tangga ekonomi lurus ke atas - juga sudah terkenal……Peluang dalam masyarakat berbeda: orang yang berpendidikan lebih tinggi atau berketerampilan khusus, yang dapat menyediakan akses ke posisi tinggi, harus dibeli dengan uang - kelas lebih rendah inipun kekurangan komoditi. 20 Akibatnya, anggota kelas rendah mungkin memandang struktur tidak syah, menganggap tujuan hidup mereka mustahil dicapai dan dengan demikian menganggap nilai dan norma masyarakat palsu dan tak bermakna. Tatanan sosial mungkin dilihat, tak mendukung. Interpretasi ini didukung oleh perbandingan persentase lelaki dengan skor anomi tinggi melalui status sosio-ekonomi, identifikasi kelas, umur dan pengendalian isolasi sosial, seperti ditunjukkan di Tabel 1.



Tabel 1. Persentase Lelaki Mempunyai Skor Anomi Tinggi, Diukur dengan Status Sosio-Ekonomi, Identifikasi Kelas, Umur dan Idolasi Sosial.@ Status Sosio-Ekonomi Identifikasi Kelas



Umur Rendah



Umur Menengah dan Tinggi



Muda (%)



Tua (%)



Muda (%)



Tua (%)



48



56



24



24



Partisipasi Rendah dan pekerja



(83) Menengah dan atas



(b)



(43)



23



22



(14)



(18)



(38) 8 (98)



(17) 25 (111)



Terisolasi Rendah dan pekerja



23



63



564



37



43



(39) Menengah dan atas



(60)



40



39



(10) @



(27) 17



(18)



(52)



(14) 16 (44)



Chi-square setara 44.28, p < .001 dengan tingkat kebebasan 15. (Berdasarkan perluasan dari metode yang dikemukan dalam Alexander M. Mood, Introduction to the Theory of Statistics (NY: McGraw-Hill Book Co., 1950 : 280-281).



(b)



Jumlah kasus yang menjadi landasan untuk menghitung persentase yang diberikan dalam kurung ditiap kasus. Dengan membandingkan antara responden yang berstatus sosio-ekonomi



rendah dan yang tinggi, maka persentase yang mempunyai skor anomi tinggi adalah : 48:24, 56:24, 43:8, 44:21, 23:37, 63:43, 40:17, dan 39:16. Semua, kecuali satu kasus yang dibandingkan, bersesuaian dengan generalisasi kami. 21 Identifikasi kelas, yang diukur dengan pertanyaan penempatan diri sendiri secara subyektif sesuai dengan konsep Centers



22



berhubung terbalik dengan



anomi, begitu pula dengan variabel status sosio-ekonomi, umur dan isolasi sosial yang dikontrol (lihat Tabel 1). Tujuh diantara delapan peluang membandingkan, relatif lebih banyak responden yang menyatakan dirinya sebagai anggota kelas rendah atau kelas buruh, mempunyai skor anomi lebih tinggi dari pada responden yang mengaku sebagai anggota kelas menengah atau kelas atas. Responden yang mengaku sebagai anggota kelas rendah atau buruh, rupanya membayangkan dirinya sendiri berada di dasar hirarki kelas dan dengan demikian membayangkan kurang beruntung dalam hal kecukupan dan peluang untuk mencapai tujuan hidupnya terutama yang menyangkut kesuksesan keuangan, kekuasaan dan gengsi. Asumsi kami di sini adalah bahwa individu ini mempunyai nilai, sikap dan harapan yang sama dengan anggota kelas yang mereka anggap sebagai kelas mereka. Dalam hal ini Hyman melukiskan nilai kelas bawah sebagai “rintangan yang mereka ciptakan sendiri untuk memperbaiki posisi” sehingga mereka cenderung menghalangi “tindakan sangat disengaja yang dapat memperbaiki posisi rendah individu.”



23



565



Dengan demikian, identifikasi kelas,



sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar ukuran lain dari tingkatan sosio-ekonomi, dapat pula menjadi indikator sistem keyakinan yang membatasi akses ke peluang untuk mencapai tujuan hidup bagi segmen masyarakat tertentu. Bell dalam melaporkan hubungan positif antara umur dan anomi, dengan mengontrol status ekonomi pertetanggaan, memberikan kesan bahwa penjelasan mungkin ditemukan dalam “kecenderungan orang berumur lebih tua untuk menilai situasi mereka kini dan prospek masa depan, menurut konsep yang mereka



idealkan dalam situasi masa lalu mereka”.



24



Generalisasi yang



ditawarkan dalam paper ini menggiring kita meneliti lebih khusus lagi ciri-ciri status umur dalam masyarakat Amerika, terutama tingkat akses terhadap cara untuk mencapai tujuan hidup yang tersedia bagi status umur tertentu. Telah terkenal bahwa dalam masyarakat Amerika, banyak tujuan hidup yang semakin sukar dicapai oleh orang yang berumur lebih tua. Tujuan hidup itu mungkin kesuksesan keuangan, gengsi dan kekuasaan - atau hanya sekedar pekerjaan tetap. Mungkin pula untuk kawin dan hidup berkeluarga atau untuk “hidup melajang” atau untuk mengungkap perasaan pribadi. Lerner mencatat bahwa “tahun-tahun paling sulit dalam kehidupan orang Amerika, ketika berita suram pertama kali sampai kepada seorang lelaki bahwa ia tidak memenuhi standar kultur dan tujuan hidupnya sendiri”. 25 Orang berumur lanjut mungkin tak hanya menyadari bahwa mereka benar-benar telah gagal, tetapi juga (dan agaknya lebih penting) bahwa mereka sesungguhnya mempunyai peluang sangat kecil untuk sukses. Mereka benar-benar telah menghabiskan waktu, energi, kesehatan dan sumber daya penting lainnya untuk mencapai tujuan hidup mereka. Tak kurang diantara sumber daya ini ada fakta bahwa orang yang sudah tua ini jarang dihargai dan dihormati dan jarang mendapat peluang seperti yang diterima lelaki yang lebih muda, meski orang yang berumur menengah dan berumur tua ini mungkin secara fisik dan emosional sama kemampuannya. Lerner tepat mengatakan bahwa orang tua diperlukan “seperti sisa yang paling buruk dari apa yang semula merupakan material yang baik”.



26



Tetapi devaluasi umum orang



berusia tua ini tak merata berlakunya dalam semua segmen masyarakat, seperti dinyatakan Clinard : 566



Kecenderungan orang berumur tua untuk memainkan peran status yang makin berkurang, niscaya lebih besar dikalangan kelompok sosio-ekonomi lebih rendah ketimbang dikalangan kelas atas yang posisi dan kekayaannya terus-menerus memberikan mereka status bahkan hingga umur lanjut. Demikian juga dikalangan profesi seperti praktisi hukum dan dokter, seorang yang tua malah makin meningkat statusnya.27 Singkatnya status orang berumur lebih tua nampaknya diiringi oleh penurunan peluang untuk berfungsi sebagai anggota masyarakat yang efektif dan berpengaruh dan karena itu oleh ketakmampuan untuk mencapai berbagai tujuan hidup. Akibatnya kehilangan harapan, kehilangan semangat, putus-asa dan demoralisasi lebih menjadi ciri-ciri orang berumur lanjut ketimbang orang berumur lebih muda dalam masyarakat Amerika, dan lebih-lebih lagi dikalangan orang berumur tua yang berstatus sosio-ekonmi lebih rendah.28 Untuk sampel kami secara keseluruhan orang berumur tua, secara signifikan lebih banyak yang anomi ketimbang lelaki lebih muda. Namun rincian mendetil, menunjukkan bahwa umur tidak menyebabkan perbedaan angka anomi hingga setelah berumur sekitar 50 tahun. (Dari umur 21 hingga 49 tahun, ada sedikit perbedaan dalam persentase lelaki dengan skor animia tinggi menurut umur). Tabel 1 menyajikan persentase lelaki dengan skor anomi tinggi menurut umur, bukan untuk sampel secara keseluruhan tetapi untuk subkelompok yang digolongkan menurut status sosio-ekonomi, identifikasi kelas dan isolasi sosial. Perbandingan antara lelaki muda (di bawah umur 50 tahun) dan lelaki tua (di atas 50 tahun) menunjukkan bahwa empat dari delapan, relatif besar perbedaannya dan menurut arah yang konsisten dengan formulasi kami, empat yang lain dapat diabaikan. Perbedaan terbesar ditemukan antara lelaki muda dan tua berstatus sosio-ekonomi rendah, dikalangan kelas buruh atau yang lebih rendah, dan yang terisolasi secara sosial, persentase yang mempunyai skor anomi tinggi berturutturut adalah 23 dan 63. Bila kontrol diintrodusir untuk status sosia-ekonomi, identifikasi kelas dan umur, seperti di Tabel 1, hubungan antara partisipasi dan anomi adalah tidak tetap (empat dari delapan perbandingan ada dalam arah yang dihipotesiskan). Tetapi muncul dalam kondisi tertentu. Partisipasi dalam aktivitas formal dan informal 567



nampaknya menjadi faktor yang menyebabkan anomi bila individu memihak kepada kelas bawah atau kelas buruh, tetapi tidah berhubungan dengan anomi menurut arah yang tetap. Lelaki muda berstatus sosio-ekonomi rendah, yang menilai secara realistis posisinya di dalam sistem kelas, lebih kecil kemungkinannya menjadi anomi bila ia terisolasi secara sosial ketimbang bila ia adalah seorang partisipan yang aktif. Sisa individu yang memihak kelas buruh atau lebih rendah, menjadi anomi bila mereka terisolasi secara sosial dan tidak menjadi anomi bila mereka sering melakukan kontak formal dan informal. Sayangnya, indek kami tentang isolasi sosial tak sepenuhnya membatasi posisi sosial individu mengenai tersedianya saluran komunikasi dan garis pengaruh, karena hubungannya dengan anggota keluarganya dengan siapa ia tinggal bersama dan dengan orang di tempat kerja, tidak dimasukkan. Penjelasan tentang berbagai perbedaan di Tabel 1 yang tidak menurut arah yang dihipotesiskan,adalah subkategori yang memuat pemuda, status sosioekonomi rendah dan kelas buruh atau kelas rendah yang mengalami anomi ketimbang generalisasi kami, yang menggiring kami untuk percaya. Seperti yang diperkirakan, mereka kurang anomi ketimbang kelompok lelaki tua yang sebanding, tetapi berlawanan dengan perkiraan kami, mereka juga kurang anomi ketimbang kelompok partisipan, lelaki penuntut kelas menengah dan atas, dan lelaki berstatus sosio-ekonomi menengah dan tinggi yang sebanding. Tiga dari empat kemungkinan perbandingan adalah menurut arah yang “keliru” untuk kelompok ini, dan itu nampaknya merupakan kekcualian utama terhadap generalisasi kami. Meski hanya terkaan belaka, kami mempunyai kesan bahwa lelaki berstatus sosio-ekonomi rendah, yang mengaku kelas buruh atau kelas rendah, lelaki muda yang terisolasi secara sosial tidak menghadapi rintangan untuk mencapai tujuan hidup tetapi berada di bawah kondisi yang mana tujuan hidup jauh lebih mudah dicapai. Karena itu masuk akal, kami harus mengasumsikan bahwa lelaki muda seperti itu sebagian besar bekerja untuk mencapai tujuan kultur lebih besar terutama lelaki kelas menengah bertujuan mencapai karir dan kehidupan keluarga - dan subkultur kelas buruh atau kelas bawah, dari mana mereka diisolasi, 568



mengandung unsur-unsur yang bermusuhan untuk mencapai tujuan ini. Rintangan yang berkaitan dengan kulur kelas-kelas lebih rendah untuk lelaki muda yang mencari sukses dalam “permainan status orang Amerika”, sudah terkenal.29 Lelaki muda, yang mengaku kelas buruh dan kelas rendah, yang berstatus sosioekonomi rendah, dan yang terisolasi secara sosial, mungkin kurang anomi ketimbang rekan mereka dikalangan partisipan, disebabkan fakta ketiadaan partisipasi dengan sanak keluarga, teman, dan tetangga, yang menyebabkannya rentan terhadap pembatasan untuk mencapai nilai, sikap dan keyakinan yang terkandung dalam kelas buruh atau kelas rendah. Ia mungkin kurang anomi ketimbang yang terisolasi dikalangan lelaki yang berstatus sosio-ekonomi menengah dan tinggi dan lelaki yang mengaku kelas menengah atau atas karena isolasi sosialnya tegas, keuntungan tak dapat bergaul dengannya meski isolasi sosial mereka, sebagian mungkin isolasi dari dukungan fungsional yang sangat membantu terhadap pencapaian tujuan hidup mereka yang disediakan dalam subkultur kelas menengah atau atas.



Perbandingan Kategori Ekstrim Secara Teoritis Menurut ukuran akses ke alat untuk mencapai tujuan hidup yang disajikan di atas, orang yang paling anomi haruslah yang berstatus sosio-ekonomi rendah, yang mengaku sebagai kelas buruh atau kelas rendah, yang tua, dan yang terisolasi secara sosial. Tabel 1 menunjukkan bahwa diantara lelaki seperti itu, 63% mempunyai skor anomi tergolong tinggi. Sebaliknya, yang paling sedikit anominya, seharusnya lelaki berstatus sosio-ekonomi menengah atau tinggi, yang mengakui sebagai anggota kelas menengah atau atas, yang muda dan partisipan. Lagi-lagi Tabel 1 menunjukkan, subkategori ini mengandung persentase terkecil (8%) lelaki anomi. Tebel 2 menyajikan perbedaan persentase lelaki dengan skor anomi tinggi, antara kategori ekstrim secara teoritis, dimasukkan masing-masing variabel independen. Catatan terakhir, 55% yang mencerminkan 63% dikurangi 8%, tercatat dalam paragraf terdahulu.



569



Tabel 2. Perbedaan Dalam Persentase Lelaki Dengan Skor Anomi Tinggi Antara Kategori Ekstrim Secara Teoritis Ketika Masing-masing Variabel Independen Dimasukkan.@ Kategori Ekstrim secara Teoritis Perbedaan (%) yang Dibandingkan SEE Rendah versus SSE Menengah dan Tinggi 29 SSE Rendah, IC buruh dan lebih rendah versus SSE Menengah dan 34 Tinggi, IC Menengah dan Atas SEE Rendah, IC Buruh dan lebih rendah, Tua versus SEE 49 Menengah-Tinggi, IC Menengah dan Atas, Muda SEE Rendah, IC Buruh dan lebih rendah, Tua, terisolasi versus SEE 55 Menengah dan Tinggi, IC Menengah dan Tinggi, Muda , Partisipan SEE = Status Sosio-Ekonomi IC = Identifikasi Kelas @ Kecuali untuk masuk terakhir, berdasarkan pada daftar yang tak diberikan dalam paper ini. Masuk pertama adalah perbedaan persentase antara lelaki dengan skor anomi tinggi menurut status sosio-ekonomi sendirian. Masuk kedua adalah perbedaan antara kategori-kategori esktrim secara teoritis setelah identifikasi kelas (IC) telah dimasukkan kedalam hubungan; masuk ketiga adalah perbedaan setelah umur dimasukkan. Tabel 2 menunjukkan bahwa ketika masing-masing variabel baru dimasukkan, perbedaan persentase meningkat antara kategori yang seharusnya, sesuai dengan generalisasi kami, mengandung lelaki anomi terbanyak dan kategori yang seharusnya mengandung lelaki anomi paling sedikit. Manurut ukuran kasar, diyakini masing-masing variabel independen menambah kekuatan prediktif kumulatif variabel independen menurut penafsirannya sebagai ukuran akses ke alat untuk mencapai tujuan hidup.



Arti Penting Masing-masing Variabel Independen Tabel 3 sama sekali berdasarkan Tabel 1, memberikan taksiran kasar arti penting relatif masing-masing variabel independen selaku peramal anomi, dan tiap variabel independen mengontrol variabel independen yang lain. Contoh, delapan kemungkinan perbandingan persentase lelaki dengan skor anomi tinggi menurut status sosio-ekonomi direratakan untuk mendapatkan rerata perbedaan (24%),



570



mengabaikan tanda antara lelaki berstatus sosio-ekonomi rendah dan tinggi. Prosedur yang sama digunakan untuk membandingkan perbedaan yang meliputi identifikasi kelas, isolasi sosial, dan umur. Meski ini hanyalah ukuran kasar, ukuran ini menunjukkan bahwa status sosio-ekonomi adalah peramal paling penting dari anomi, diikuti oleh identifikasi kelas, isolasi sosial dan umur.



571



Tabel 3. Perbedaan Rerata Dalam Persentase Lelaki Dengan Skor Anomi Tinggi Menurut Masing-masing Variabel Independen, Dengan Menganggap Variabel Independen Lain Konstan.@ Variabel Independen



Perbedaan Rerata (%)



Status Sosio-ekonomi



24



Identifikasi Kelas



15



Isolasi Sosial



11



Umur



9



@. Berdasarkan Tabel 1.



Indek Akses ke Alat Untuk Mencapai Tujuan Hidup Kami yakin, hipotesis utama kami membenarkan menyusun indek multidimensi untuk mengukur perbedaan akses ke alat untuk mencapai tujuan hidup. Varabel yang telah kami pilih untuk tujuan ini, sebagian besar berperan secara empiris menurut arah yang diramalkan oleh hipotesis. Dalam formulasi kami, implisit gagasan bahwa ada tingkatan akses ke alat untuk mencapai tujuan hidup itu. Tingkatan akses adalah fungsi dari berbagai kombinasi faktor yang membatasi posisi individu dalam struktur sosial. Hyman melukiskan prosedur yang kami gunakan untuk menyatukan variabel independen menjadi indek tunggal. Prosedur ini dimulai dengan meneliti berbagai variabel independen ketika mereka berhubungan dengan fenomena tertentu. Dengan memasukkan variabel kontrol secara serentak, maka variabel independen ini “dimanipulasi ke satu tingkat kompleksitas yang lebih besar”. Konfigurasi yang dihasilkan tak perlu berujud



dimensi tunggal atau konfigurasi yang sering



terjadi. Untuk mengetes kekuatan penjelasannya, analis “kemudian menghimpun informasi dari beberapa variabel ini dan menyusun sebuah indek yang mencerminkan konfigurasi yang lebih rumpil dan sintetis”.30 Prosedur kami mengikuti deskripsi Hyman hingga ke titik penyusunan indek. Langkah selanjutnya adalah menyusun indek multi dimensional yang terdiri dari berbagai variabel independen, yang dalam studi ini, digabungkan sebagai berikut : Tiap variabel independen dibagi dua (dichotomized) seperti dalam Tabel 1 dan 572



skor nol atau 1 diterapkan untuk dwi-bagi itu. Kategori “0” mencerminkan status sosio-ekonomi rendah, identifikasi kelas buruh atau kelas lebih rendah, umur tua, dan terisolasi dari partisipasi dalam kelompok formal dan informal ; kategori “1” menunjukkan status sosio-ekonomi menengah atau tinggi, identifikasi kelas menengah atau atas, umur muda dan partisipasi dalam aktivitas kelompok formal dan informal. Skor ini kemudian dijumlahkan sehingga membentuk skor gabungan tentang Indek Akses ke Alat Untuk Mencapai Tujuan Hidup atau lebih sederhana Indek Peluang Hidup. Skor pada indek ini bergerak dari 0 (akses sangat kecil) hingga 4 (akses sangat besar). Persentase lelaki dengan skor anomi tinggi dengan Indek Peluang Hidup , ditunjukkan di Tabel 4. Persentase ini berkurang disetiap langkah peningkatan akses ke alat untuk mencapai tujuan hidup. Tabel 4. Persentase Lelaki Dengan Skor Anomi Menurut Indek @ Peluang Hidup (b) Skor indek akses ke alat untuk mencapai % lelaki yang mempunyai Jumlah tujuan hidup (skor tinggi relatif sama skor anomi tinggi



kasus



dengan banyaknya akses) 4



8



98



3



22



215



2



37



199



1



40



114



0



63



60



a. Indek didasarkan atas ukuran status sosio-ekonomi, identifikasi kelas, umur dan isolasi sosial. b. Lebih tepatnya : Indek Akses ke Alat Untuk Mencapai Tujuan Hidup.



573



Mobilitas Pekerjaan, Status Perkawinan dan Preferensi Religius Variabel-variabel ini - datanya tersedia dalam studi San Fransisco - harus dihubungkan dengan anomi, karena mereka nampaknya menjadi ukuran peluang hidup atau menjadi ukuran langsung prestasi. Mobilitas pekerjaan mungkin menjadi ukuran prestasi sebenarnya. Ia juga menjadi ukuran dari peluang untuk prestasi lebih besar karena peningkatan kontrol atas sumberdaya menjadi mungkin dengan makin tingginya posisi pekerjaan dan agaknya dengan psikologi prestasi kesuksesan. Menurut generalisasi kami, selanjutnya orang yang mengalami mobilitas ke atas, akan kurang anomi ketimbang orang yang stabil, dan jauh kurang anomi ketimbang individu yang telah mengalami mobilitas ke bawah.31 Ramalan ini agak berselisih dengan pandangan bahwa anomi dihasilkan dari perubahan status - terutama perubahan status yang terjadi secara cepat, ekstensif atau tak terduga - seperti dinyatakan oleh Durkheim



32



dan yang belakangan dibahas oleh Merton.33 Jadi,



mobilitas pekerjaan apakah ke atas atau ke bawah, diperkirakan mengakibatkan anomi. Dengan menggunakan ukuran mobilitas baik karir maupun antar generasi dan dengan mengontrol status sosio-ekonomi, identifikasi kelas dan umur, kami menemukan bukti yang mendukung ramalan kami. Lelaki berstatus sosioekonomi rendah yang mengalami mobilitas ke atas, kecil kemungkinan menjadi anomi ketimbang lelaki yang stabil atau yang mengalami mobilitas ke bawah, tetapi lelaki berstatus sosio-ekonomi tinggi yang stabil, umumnya kurang anomi ketimbang lelaki yang mengalami mobilitas ke atas; - agaknya mobilitas pekerjaan harus ditafsirkan sebagai sebuah dimensi tambahan dari status sosioekonomi, lelaki yang mengalami mobilitas ke atas lebih baik dari pada lelaki yang stabil atau yang mengalami mobilitas ke bawah. Tetapi diantara lelaki berstatus sosio-ekonomi tinggi, lelaki stabil lebih baik kehidupannya dari pada lelaki yang mengalami mobilitas ke bawah (yang kehilangan beberapa derajat status sosioekonominya) dan lelaki yang mengalami mobilitas ke atas (yang baru saja mencapai posisi baru mereka).



574



Perkawinan dan kehidupan keluarga, hampir universal menjadi tujuan masyarakat Amerika, berdasarkan hipotesis umum kami, dapat kami ramalkan bahwa lelaki bujangan dan terutama duda, terpisah dan yang bercerai, lebih besar kemungkinan anomi ketimbang yang kawin. Hubungan sederhana antara status perkawinan dan anomi jelas mendukung ramalan ini, tetapi bila variabel-variabl tambahan dimasukkan, temuannya tidak semuanya cocok. Pada umumnya perbedaan besar dalam skor anomi menunjukkan lelaki kawin lebih sedikit yang anomi ketimbang yang membujang, duda, terpisah dan cerai dan ini khususnya berlaku dikalangan lelaki berusia lanjut. Bell sebelumnya melaporkan bahwa perbedaan preferensi religius utama (Protestan, Katolik, Yahudi dan tak menganut agama) menunjukkan tak adanya perbedaan signifikan dalam anomi ketika status ekonomi pertetanggaan dianggap konstan.34 Namun kami selanjutnya telah menguji hubungan ini. Hipotesis umum kami membawa ke ramalan khusus bahwa pemeluk Protestan lebih sedikit yang anomi ketimbang lelaki Katolik, Yahudi, agnostis, ateis dan independen, karena dalam segala kemungkinan dalam masyarakat Amerika, preferensi religius selain dari Protestan umumnya membatasi akses ke peluang untuk mencapai tujuan hidup.35 Tabel 5 menyajikan persentase lelaki berskor anomi tinggi menurut preferensi religius. Lelaki Yahudi dan Protestan paling kecil kemungkinan menunjukkan skor anomi tinggi, diikuti oleh lelaki Katolik dan yang tak mempunyai preferensi agama dan lelaki yang mempunyai preferensi agama lain menunjukkan skor anomi tertinggi. Hubungan antara anomi dan preferensi agama adalah kira-kira seperti yang kami ramalkan semula kecuali untuk kasus lelaki Yahudi yang tak lebih banyak yang anomi ketimbang Protestan; lelaki Yahudi tidak menunjukkan kasus yang menyimpang ketika mereka mencapai tujuan hidup mereka meski diskriminasi ditunjukkan kepada mereka baik melalui kehidupan “kelompok” yang saling membantu satu-sama lain atau melalui takanan yang tertuju pada upaya individual. Dengan memasukkan status sosio-ekonomi dan umur kedalam analisis, akan dapat dites apakah hubungan yang ditunjukkan di Tabel 5 itu palsu atau tidak. 575



(Memasukkan variabel lain, kecil nilainya karena sedikitnya jumlah kasus dalam beberapa kategori preferensi religius). Pada umumnya, hubungannya makin tak jelas ketika variabel status sosio-ekonomi dan umur dimasukkan tetapi lelaki Protestan umumnya menunjukkan skor anomi lebih rendah ketimbang kelompok agama yang lain. Namun diantara lelaki muda berstatus sosio-ekonomi tinggi, tidak terdapat perbedaan signifikan menurut preferensi religius, seluruh kelompok religius, kurang dari 12% jumlahnya yang tergolong anomi. Kekecualian lain terdiri dari lelaki Yahudi tua, berstatus sosio-ekonomi rendah yang mempunyai skor anomi jauh lebih rendah dari pada dikalangan kelompok berusia tua dan berstatus sosio-ekonomi rendah lain. Tabel 5. Persentase Lelaki Dengan Skor Anomi Tinggi Menurut Preferensi Religius. Preferensi religius % yang berskor anomi tinggi Jumlah kasus Yahudi



21



52



Protestan



23



287



Katolik



38



267



Tak punya preferensi



38



72



Lain-lain



53



19



Meskipun ada kekecualian, bukti yang ada memperkuat deduksi dari hipotesa utama kami bahwa non-Protestan umumnya lebih kecil peluangnya untuk mencapai tujuan hidup mereka ketimbang lelaki Protestan sedangkan hal lainnya adalah sama-kohesi sosial relatif kelompok-kelompok religius ini, tak dipersoalkan di sini. Kami hanya berpendapat bahwa keanggotaan dalam kelompok non-Protestan adalah status religius atau mungkin status etnis yang membatasi akses ke alat untuk mencapai tujuan hidup seperti yang ditetapkan secara kultural dalam masyarakat Amerika lebih luas.



Indek Akses ke Alat Untuk Mencapai Tujuan Hidup, Yang Direvisi



576



Karena kecilnya jumlah kasus dalam berbagai subkategori, maka tak ada gunanya membuat tabel yang menunjukkan secara serentak skor anomi tinggi menurut status sosio-ekonomi, identifikasi kelas, umur, isolasi sosial, mobilitas pekerjaan, status perkawinan dan preferensi religius. Tetapi karena masingmasing variabel ini nampaknya menjadi indikator dari akses ke alat untuk mencapai tujuan hidup dan karena sejauh tes empiris menunjukkan, masingmasing variabel memberikan kontribusi tambahan atas kekuatan peramalan anomi individual berdasarkan kondisi tertentu, maka kami merekonstruksi Indek Peluang Hidup agar memasukkan semua variabel independen yang digunakan dalam studi ini.36 Dengan menggunakan indek yang direvisi ini, persentase lelaki dengan skor anomi tinggi yang disajikan di Tabel 6, sejalan dengan prosedur yang digunakan di tiap komponennya yang diukur. Tabel 6 menunjukkan bahwa Indek Peluang Hidup yang Direvisi adalah peramal anomi yang lebih baik dari pada Indek yang lebih sederhana yang digunakan di Tabel 4. Di tingkat peluang hidup yang terbaik, persentase lelaki dengan skor anomi tinggi, kira-kira sama di Tabel 6 dan 4, berturut-turut 10% dan 8%. Agaknya ukuran ini mencerminkan batas tertinggi dari harapan dan semangat dan moral pribadi. Di tingkat peluang hidup paling buruk, persentase lelaki dengan skor anomi tinggi, lebih besar di Tabel 6 ketimbang di Tabel 4, agaknya mencerminkan keputus-asaan, penderitaan dan disorganisasi pribadi yang ekstrim. Kami mohon maaf karena terpaksa menghitung persentase dari jumlah kasus yang sedemikian kecil. Namun untuk melihat bahwa kedua-duanya dari lelaki yang berstatus sosio-ekonomi rendah, kelas buruh atau rendah, tua, terisolasi, mengalami mobilitas ke bawah, nonProtestan, dan duda tunggal, terpisah atau bercerai adalah anomi dan bahwa 5 dari 6 lelaki yang hanya menduduki posisi satu pada Indek Peluang Hidup yang juga anomi adalah penting bagi hipotesis umum kami. Tabel 6. Persentase Lelaki Berskor Anomi Tinggi Menurut Indek @ Peluang Hidup (b) yang Direvisi. Skor Indek yang Direvisi dari Akses % yang memiliki skor Jumlah kasus ke alat untuk mencapai tujuan hidup anomi tinggi 577



(skor tinggi setara dengan relatif banyaknya akses) 7



10



40



6



9



130



5



28



166



4



38



174



3



43



119



2



60



42



1



83



6



0



100



2



@ Skor berikut ditambahkan untuk tiap variabel yang terdiri dari Indek yang Direvisi. Status sosio-ekonomi rendah 0



Isolasi sosial terisolasi 0



tinggi 1



berpartisipasi 1



Identifikasi kelas Kelas buruh dan lebih rendah



0



Mobilitas sosial ke bawah



0



Menengah dan tinggi



1



stabil dan ke atas



1



Umur Tua 0



Preferensi religius Non Protestan 0



Muda 1



Protestan



Lajang, duda, terpisah, cerai (tua)



1



Status Perkawinan 0



Lajang, duda, terpisah, cerai (muda)



1



Kawin (tua dan muda)



1



b. Lebih tepatnya : Indek yang Direvisi dari Akses ke Alat untuk Mencapai Tujuan Hidup.



578



Kesimpulan Kami telah mengatakan bahwa anomi muncul bila individu terhalang mencapai tujuan hidupnya dan ciri-ciri tujuan dan penghalang pencapaian tujuan hidup itu berakar di dalam kondisi sosial dan kultural. Kami telah melukiskan hipotesis ini dengan menunjukkan hubungan negatif yang sangat tinggi antara anomi, seperti yang diukur dengan skala Srole dan akses secara struktural ke alat untuk mencapai tujuan hidup, seperti diukur dengan indek multi-dimensional. Agar generalisasi ini dapat diterima, diperlukan riset tambahan. Sebagian besar analisis kami adalah post-factum : temuan kami “dijelaskan” oleh formulasi tunggal setelah selesai diketahui. Akibatnya, data yang disajikan bukan dimaksud untuk mengetes hipotesis melainkan hanya sebagai bahan yang membantu menjelaskan masuk akalnya formulasi kami. Lagi pula masih ada penafsiran alternatif bagi temuan kami, termasuk kesimpulan lain mengenai sifat hubungan sebat akibat. Kami telah berkesimpulan bahwa status sosio-ekonomi, identifikasi kelas, umur, isolasi sosial, mobilitas pekerjaan, status perkawinan, dan preferensi religius (seluruhnya adalah indikator peluang hidup) lebih dahulu dalam waktu dan menjadi penyebab anomi. Tetapi seluruh variabel ini kecuali umur, dapat pula dikembangkan sebagai akibat dari anomi. Seorang individu yang putus asa, mungkin menjadi terisolasi secara sosial, menurun skala sosial dan ekonominya, mengakui dirinya sebagai anggota kelas buruh atau kelas lebih rendah lagi, bercerai atau memisahkan diri dari pasangannya dan menolak kepercayaan agama. Peluang untuk menyusun variabelvariabel ini kedalam cara-cara yang “masuk akal” adalah bermacam-macam. Meski demikian, konsistensi temuan kami tak dapat diabaikan. Memang variabel tambahan dapat diharapkan akan membatasi peluang untuk mencapai tujuan hidup dan karena itu menurut hipotesis kami dapat manimbulkan anomi. Dalam masyarakat Amerika, peluang itu dipersempit oleh antara lain kondisi ras dan nasionalitas, rintangan fisik dan jenis kelamin. Sejumlah bidang yang telah diteliti dengan baik, dihubungkan dengan tesis dari paper ini, termasuk hasil studi tentang reaksi terhadap frusturasi, tingkatan



579



aspirasi (terutama hasil riset Lewin dkk., semangat dan moral pribadi, penyakit mental, perilaku menyimpang, dan bunuh diri. Di luar bidang paper ini untuk membahas implikasi hasil berbagai studi itu terhadap hipotesis kami, tetapi karya pendahulu memberikan kesan bahwa karya itu mengandung bahan yang sangat relevan. Scott Greer dan Ella Kube belakangan ini mengatakan dalam nada melucu bahwa “sosiologi” seperti jenderal Perancis, secara khas bertempur di perang terakhir menggambarkan dunia yang ada 30 atau 40 tahun yang lalu”.37 Mereka menjelaskan ketakcocokan antara isolasi dan anomi orang urban yang putus asa yang telah ditekankan oleh demikian banyak penulis dan data terakhir menunjukkan bahwa sebagian besar orang urban tidak terisolasi secara sosial, jarang anomi dan jarang yang putus asa. Dengan sangat tepat mereka menunjukkan bahwa urbanisme selaku cara hidup telah sering dikelirukan dengan cara hidup kemiskinan atau kekayaan atau etnisitas. Anomi tak perlu terbatas, pada penduduk kota saja, ini harus ditekankan bila genaralisasi kami benar. Sekurang-kurangnya seperti yang ditentukan oleh variabel demografis, masalah anomi tak hanya terbatas pada masyarakat urban saja. Dalam kenyataan, kami mengira dimasa depan dekat ini, keputus-asaan sangat banyak terjadi dikalangan penduduk petani, nonindustri, penduduk nonurban dengan hidup rendah - pemukiman padat “kawasan terkebelakang”. Kategori penduduk ini makin menerima bentuk tujuan hidup yang meliputi kebebasan politik dan kemajuan ekonomi - meski menghadapi rintangan hebat ketika mereka berupaya mencapai tujuan hidup ini. Inilah justru yang menjadi kawasan perkembang-biakan anomi.38



Catatan Kaki 1.



Wendel Bell, “Anomi, Social Isolation and the Class Structure”. Sociometry, XX (June, 1957:105-116). Dengan mengikuti saran Srole, kami menggunakan istilah “anomi” untuk menunjuk kepada fenomenon yang diukur dengan skala Srole untuk membedakan konsep psikologis dari konsep sosiologi tentang anomi ; konsep anomi psikologis mengacu pada keadaan individual dan 580



konsep anomi sosiologi mengacu pada kondisi kelompok atau masyarakat. Lihat juga Srole, “Social Integration and Certain Corollaries : An Exploratory Study”, ASR, XXI (Dec., 1956: 709-716). 2.



Lihat misalnya Bernard Barber, Social Stratification (NY: Harcourt, Brace&World, Inc., 1957) ; R. Bnedix and S.M. Lipset, eds., Class, Status dan Power (NY: The Free Press, 1953) ; Joseph Kahl, The American Class Structure (NY: Holt, Rinehart&Winston, Inc., 1957) ; K.B. Mayer, Class and Society (NY: Random House, Inc., 1955) ; Talcott Parsons, Essays in Sociological Theory (NY: The Free Press, 1949 : 166-184).



3.



Prosedur pembuatan skala standard, digunakan. Lihat Louis Guttman, “The Cornell Tehnique for Scale and Intensity Analysis”, dalam C. West Churhman, Russel L.Ackoff and Murray Wax, eds., Measurement of Consumer Interest (Philadelphia: Univ.of Pennsylvania Press, 1947: 60-84).



4.



Srole, op.cit



5.



Srole, op.cit:72.



6.



Ibid : 711.



7.



Tambahan atas referensi dalam paper Srole, lihat misalnya dalam Robert K. Merton, “Continuties in the Theory of Social Structure and Anomi”, Social Theory and Social Structure (NY: The Free Press, 1957: 161-194).



8.



Gwynn Nettler, “A Measure of Alienation”, ASR, XXII (Dec.,1957: 670677).



9.



Srole, op.cit : 712-713.



10. R.M. MacIver, The Ramparts We Guard (NY: The Macmillan Coy., 1950:87). 11. Sebagaimana skala Srole dihubungkan dengan skala alienasi Nettler, ia juga dapat dihubungkan dalam ukuran tertentu dengan apa yang dilukiskan Koos sebagai narkotisasi. Koos melaporkan temuan dua keluarga yang mengalami pengangguran, kematian dan disorganisasi karena kesukaran lain, untuk menunjukkan dimana mereka nampaknya tak memikirkannya. 12. max Lerner, America as a Civilization (NY: Simon&Shuster, 1957:689).



581



13. David Riesman, Nathan Glazer and Reuel Denney, The Lonely Crowd (New Haven : Yale Univ. Press, 1951). Lihat juga Riesman and H.Roseborough, “Careers and Consumer Behavior”, dalam L.H. Clark, ed. Consumer Behavior, vol. II (NY: New York Univ. Press, 1955: 1-18). 14. Wendall Bell, “Social Choice, Life Styles, and Suburban Residence”, dalam W.M. Dobriner, ed., The Suburban Community (NY: G.P. Putnams Sons, 1958: 225-247). 15. E.M. Lemert, Social Pathology (NY: McGraw-Hill Book Coy., 1951:131). 16. E. Shevky and W. Bell, Social Area Analysis (Stanford., Calif.: Stanford Univ. Press, 1955). Lihat juga W. Bell, “Social Area : A Typology of Urban Neighborhoods”, dalam Marvin Sussman, ed., Community Structure and Analysis (NY: T.Y. Crowell, 1955). 17. Laporan lain dari studi tentang partisipasi sosial di San Fransisco, termasuk laporan Bell, “Anomi, Social Isolation and Class Structure”, op.cit; Wendell Bell, “The Utility of the Shevky Typology for the Design of Urban Subarea Field Studies”, the Journal of Social Psycology, XLVII (Febr., 1958:71-83). 18. Penggunaan serupa dari sampel analisis, lihat H.J. Eysenck, “Social Attitude and Social Class”, British Journal of Sociology, I (March, 1950:57-58) ; Neal Gross, “Social Class Identification in the Urban Community”, ASR, XVIII (August, 1953: 398-404). 19. Untuk memahami definisi tentang status sosio-ekonomi dan isolasi sosial selengkapnya, lihat Apendix. 20. Herbert Hyman, “The Value Systems of Different Class : A Social Psycological Contribution to the Analysis of Stratification”, dalam Bendix and Lipsett, op.cit : 426. 21. Dalam artikel, “Anomi, Authoritarianism, and Prejudice : A Replication”, AJS, LXI (Jan., 1956:355-358), A.H. Roberts dan M. Rokeach melaporkan data yang mereka tafsirkan sebagai menunjukkan bahwa pendidikan, bukan pendapatan, benar-benar berhubungan dengan skala anomi Srole. Data kami tak mendukungnya. Kami saling menghubungkan pekerjaan, pendapatan, pendidikan dan anomi, dan kemudian membuat korelasi parsial dan korelasi 582



ganda. Meski korelasi tingkat nol antara tiap orang yang diukur status sosioekonomi dan anomi berkurang ketika variabel lain dimasukkan dalam hubungan, namun tak pernah berkurang hingga nol. 22. Richard Centers, The Psycology of Social Class (Princeton, NJ: Princeton Univ. Press, 1949). 23. Hyman, op.cit:426-427. 24. Bell, “Anomi, Social Isolation and the Class Structure”, op.cit: 111-112. 25. Lerner, op.cit : 611. 26. Ibid :613. 27. M. Clinard, Sociology of Deviant Behavior (NY: Holt, Rinehart&Winston, Inc., 1957:403). 28. Bahasan tentang keremajaan oleh Kitsuse dan Dietrick, menggiring kami ke peramalan bahwa remaja terutama dikalangan kelas buruh dan kelas lebih rendah, mungkin banyak yang anomi dari pada remaja yang menempati status sebagai orang cacat dalam masyarakat AS. Upaya remaja untuk menerima status orang dewasa disatu pihak, secara kultural dibujuk dan dikuatkan tetapi dilain pihak dirintangi dengan secara sistematis memaksakan ketergantungan status sosial, ekonomi dan hukum”. 29. Lihat misalnya Hyman, op.cit ; Albert K. Cohen, Delirquent Boys : the Culture of the Gang (NY: The Free Press, 1955) ; dan W.F. Whyte, Street Corner Society (Chicago : The Univ. of Chicago Press, 1943). 30. Herbert Hyman, Survey Design and Analysis (NY: The Free Press, 1955 : 271_272). 31. Analisis kelompok ini lihat “The Skidder”, oleh H.L. Wilensky and H. Edwards, ASR. XXIV (April, 1959 :21 ff). 32. Emile Durkheim, Suicide, trans. John A. Spanlding and G. Simpson (NY: The Free Press, 1951: 252-253). 33. Merton, op.cit: 188. 34. Bell, “Anomi, Social Isolation and the Class Structure”, op.cit. 35. Memang diantara beberapa subkelompok dan untuk jenis status tertentu, Protestan memang membatasi akses terhadap peluang. Selain itu, kekhasan 583



yang dimiliki subkelompok tertentu dapat mengaburkan perbedaan antara kelompok keagamaan lebih besar. 36. Lihat Apendix untuk memahami definisi lengkap tentang ukuran mobilitas yang digunakan dalam Indek Peluang Hidup yang direvisi. 37. Scott Gree and Ell Kube, “Urbanism and Social Structure : A Los Angeles Study”, dalam Sussman, op.cit. 38. Pernyataan lebih luas tentang hubungan empiris yang dilaporkan dalam paper ini, dapat ditemukan dalam Meier, op.cit.



584



APENDIX



Ukuran Status Sosio-Ekonomi, Isolasi Sosial dan Mobilitas Karir



Status Sosial Ekonomi Ini ditentukan oleh skor gabungan berdasarkan skor rerata yang diberikan untuk pekerjaan, pendidikan dan pendapatan tiap responden. Skor untuk masingmasing komponen, disajikan di bawah. Indek gabungan status sosio-ekonomi adalah 24 dengan kemungkinan skor terendah 3 dan tertinggi 27. Untuk tujuan paper ini, indek ini dibagi dua dengan mengelompokkan responden yang berskor 3 hingga 17 menjadi satu kategori (berstatus sosio-ekonomi rendah) dan yang berskor 18 hingga 27 menjadi kategori lain (berstatus sosio-ekonomi tinggi).



Pendapatan (%)



Skor



Di bawah 1.000 1.000 - 1.999



1 2



2.000 - 2.999



3



3.000 - 3.999 4.000 - 5.999



4 5



6.000 - 9.999



6



10.000 – 16.999 17.000 – 29.999



7 8



30.000 ke atas



9



Pekerjaan



Skor



Buruh



1



Pekerja jasa



2



Petani dan manajer pertanian



3 4



Pengrajin, mandor, & Penjual, klerek, &



5 6 585



Manajer, pejabat&pemilik



7



Semi-profesional Profesional



8 9



Pendidikan



Skor



Tak sekolah Tak tamat SD



1 2



Tamat SD



3



Tak tamat SLTA Tamat SLTA



4 5



Tak tamat kolej



6



Tamat kolej Tak tamat insinyur



7 8



Tamat insinyur



9



Isolasi Sosial Indek ini disusun dari gabungan tindakan keanggotaan organisasi formal dan kehadiran tahunan plus tindakan partisipasi sosial informal dengan tetangga, dengan teman sekerja di luar tempat kerja, dengan kerabat lain yang tak tinggal serumah dengan responden dan teman lain. Indek ini dibagi dua sebagai berikut: terisolasi adalah seorang individu yang tak menjadi anggota organisasi formal atau bila ia menjadi anggota, hanya menghadiri pertemuan sekali sebulan atau kurang dan yang bersama-sama dengan teman, tetangga, kerabat atau teman sekerja sekali atau dua kali sebulan atau kurang. Partisipan adalah orang yang sekurang-kurangnya menjadi anggota satu organisasi formal dan yang menghadiri pertemuan beberapa kali dalam sebulan atau lebih atau yang saling berhubungan secara informal dengan teman, tetangga, kerabat atau teman sekerja beberapa kali sebulan atau lebih atau keduanya.



Mobilitas karir Mobilitas sosial karir individu ditentukan oleh perbandingan pekerjaannya sekarang dengan pekerjaan penuh waktunya yang pertama. Individu yang mengalami perpindahan ke bawah adalah yang pekerjaannya yang sekarang



586



berada satu tingkat atau lebih di bawah tingkatan pekerjaan pertamanya (lihat skala pekerjaan yang dikemukakan di atas). Individu yang mobilitas sosialnya dianggap stabil, memegang pekerjaan sekarang yang sama tingkatannya atau satu langkah di bawah atau satu langkah di atas tingkat pekerjaannya yang pertama. Individu yang mengalami mobilitas ke atas, pindah lebih dari satu tingkat pekerjaan di atas tingkat pekerjaan pertamanya.



587



Inventarisasi Psikodinamis Kepribadian Negro Oleh : Abram Kardiner, MD & Lionel Ovesey, MD Ciri-ciri tetap kepribadian manusia adalah kecenderungannya terorganisir disekitar



masalah



utama



adaptasi



dan



masalah



utama



ini



cenderung



mempertentangkan seluruh aspek lain adaptasi terhadap dirinya sendiri. Masalah sentral adaptasi Negro diorientasikan terhadap diskriminasi yang ia derita dan akibat diskriminasi ini bagi aspek referensi diri orientasi sosialnya. Dengan katakata sederhana, itu berarti bahwa harga dirinya sendiri menderita karena ia terusmenerus menerima citra tentang dirinya sendiri yang tak menyenangkan dari perilaku orang lain terhadap dirinya. Inilah dampak subyektif diskriminasi sosial, dan masuk akal meski pengaruhnya seharusnya dilokalisir dan dibatasi. Ini bukan keadaan sebenarnya. Pengaruh subyektif ini terus-menerus ada dan tak hentihentinya mengganggu. Pengaruhnya bukan semata-mata karena fakta bahwa intensistasnya menyakitkan tetapi juga karena individu untuk mempertahankan keseimbangan internal dan untuk melindungi dirinya sendiri dari diliputi oleh pengaruhnya, harus memulai manuver pengganti untuk menjaga semuanya berfungsi secara otomatis dan tanpa disadari. Disamping mempertahankan keseimbangan internal, individu harus terus-menerus memelihara tedeng alingaling dan sejenis adaptasi terhadap rangsangan yang bersalah sehingga ia dapat melestarikan keefektifan sosial tertentu. Semuanya ini memerlukan keasyikan terus-menerus, meskipun dalam kenyataannya proses adaptasi ini semuanya terjadi pada tingkat kesadaran rendah. Di bawah disajikan diagram jajarangenjang khas kekuatan yang berpengaruh :



588



Agresi



Diskriminasi sosial Aspirasi tinggi (dibandingkan dengan apa yang dapat ia capai) keinginan = menolak diri sendiri



+



hati-hati mohon maaf ambil muka-tapi dialihkan, ragu-ragu, penuh curiga memusatkan perhatian pada yang nyata dan



sederhana takut melihat terlalu dalam kepada sesuatu menolak agresi rasa kasih sayang dan umumnya baik menyusut dan menyempit



cepat marah



mencakup keramah-tamahan (manisfestasinya kian



humor



yang



berkurang) penerimaan pasif dan menyerah



takut kehilangan kendali



tak mengenal masalah tanggung jawab



Di pusat skema adaptasi ini berada harga diri rendah dan agresi (bagian reaksi). Sisanya adalah manuver dengan konstelasi utama ini untuk mencegah perwujudannya, untuk menyangkalnya dan sumber dari mana diskriminasi sosial itu berasal, untuk membuat sesuatu kelihatan berbeda dari apa yang sebenarnya, untuk mengganti aktivitas agresif yang secara sosial dapat menimbulkan melapetaka itu dengan sikap pasif dan mengambil muka yang lebih dapat diterima. Dengan berjalannya sistem ini berarti perasan tak enak, kecurigaan dan ketiadaan kepercayaan terus-menerus selama ini akan mereda. Keseluruhan sistem 589



mencegah berkobarnya emosi individu yang kalau tidak, mungkin menonjolkan dirinya sendiri. Inilah jarak adaptasi yang ditentukan oleh situasi kasta. Tetapi ini hanyalah sketsa kasar. Banyak jenis elaborasi yang mungkin, terutama menurut garis proyeksi atau sebagai pengganti. Contoh, harga diri rendah dapat diproyeksikan sebagai berikut: Harga diri rendah = merendahkan diri sendiri



idealisasi kulit putih memusuhi kulit putih



upaya kegila-gilaan = tak tercapai untuk menjadi kulit putih



menerima



gagasan



kulit



putih membenci diri sendiri



diproyeksikan pada Negro lain = membenci Negro



Harga diri rendah juga dapat memobilisasi kompensasi (rasa puas) dalam beberapa bentuk : (1) apatis (2) hedonisme (3) hidup hanya untuk sesaat, (4) kriminalitas. Kecenderungan agresi sama rentannya terhadap elaborasi. Ciri-ciri mencolok dari kemarahan terletak pada fakta bahwa emosilah yang memperlengkapi organisme dengan motor perasaan. Benci adalah bentuk kemarahan yang dilemahkan dan adalah emosi yang ditujukan kepada orang yang mengilhami ketakutan dan kemarahan. Masalah sukar bagi orang yang terus-menerus menjadi sasaran frustasi adalah bagaimana cara menahan emosi ini dan mencegah gerakan emosinya. Motif utama gerakan emosi ini adalah menghindarkan gerakan agresi pembalasan. Pengaruh kemarahan paling cepat adalah menyebabkan ketakutan terhadap akibatnya. Ketakutan dan kemarahan hampir dapat saling dipertukarkan. Bila manifestasi kemarahan terus-menerus ditekan, individu akhirnya berhenti menyadari emosinya. Bagi orang tertentu, satu-satunya manifestasi kemarahan mungkin ketakutan. Tehnik mengalahkan kemarahan, bermacam-macam. Kecenderungan paling sederhana adalah dengan menekannya dan menggantinya dengan sikap emosional lain - ketundukan dan kerelaan. Makin besar kemarahan, makin hina ketundukan. 590



Jadi, pertengkaran dan ketundukan, kerelaan dan mengambil-muka benar-benar menjadi indikator kemarahan yang ditekan dan kebencian terus-menerus. Kemarahan dapat dikendalikan, tetapi digantikan dengan melemahkannya namun terus-menerus merasakan - dendam. Kemarahan mungkin dikendalikan, tetapi tidak efektif dan menunjukkan dirinya sendiri mempunyai sifat lekas marah. Kemarahan mungkin dikendalikan terus-menerus dalam jangka panjang dan kemudian dapat meledak, kemarahan mungkin menunjukkan dirinya sendiri dalam bentuk sikap mengambil-muka yang tak kentara untuk tujuan eksploitasi. Kemarahan akhirnya dapat ditiadakan sama sekali (melalui proses otomatis) dan digantikan oleh sejenis perasaan yang sama sekali berbeda, seperti tertawa, kegirangan atau kesemberonoan dalam berbicara. Kemarahan dapat memantul ke belakang kepada pengarangnya seperti yang terjadi pada perasaan sakit (masochism = kesenangan karena disiksa). Ini hanya mungkin terjadi bila kemarahan ditujukan kepada obyek yang dicintai ; kemarahan kemudian diikuti oleh perasaan sangat bersalah. Dalam hal ini, satusatunya manifestasi kemarahan mungkin kemuraman (depresi). Ketegangan yang disebabkan oleh semangat agresi yang diberangus atau ditindas, sering mengungkapkan dirinya sendiri melalui saluran psikosomatik. Sakit kepala sebagian, sering menjadi tanda kemarahan yang ditekan sama sekali. Sakit kepala ini biasanya tidak disertai oleh kegelisahan tak menentu - meski kegelisahan ini mungkin menjadi penyebab tunggal agresi ini. Hipertensi adalah tanda psikosomatik lain yang sama tetapi proses bersifat menindasnya lebih utama. Dalam kasus sejarah, kita temukan semua jenis tanda dan pengendalian kemarahan. Semua jenis kombinasinya dimungkinkan. Dua hasil akhir paling umum upaya terus-menerus menahan dan pengendalian agresi adalah harga diri rendah dan depresi. Ini hanyalah akibat kegagalan terus-menerus bentuk penonjolan diri. Skema adaptasi yang kami gambarkan di atas meliputi dampak diskriminasi tetapi tidak dapat menerangkan sistem integratif karena kondisi lain berperan dalam proses pertumbuhannya. Pembagian ini sewenang-wenang belaka karena 591



kedua rangkaian itu sebenarnya berjalan seiring. Tak ada waktu dalam kehidupan Negro yang tak berhubungan secara aktif dengan situasi kasta. Tetapi ciri-ciri kepribadian lain, berasal dari kekacauan dalam kehidupan keluarganya. Kekacauan ini menimbulkan konstelasi berikut : jarak kasih sayang, kapasitas untuk mengidealkan dan pembentukan cita-cita, ciri-ciri yang berasal dari reaksi terhadap disiplin, dan mekanisme hati nurani. Dalam kategori ini terdapat perbedaan antara Negro kelas bawah dan Negro kelas atas. Kami akan bahas Negro kelas bawah lebih dahulu. Jarak kasih sayang berarti jarak potensi emosional. Dalam manilai peran emosi pada adaptasi pribadi dan sosial, kami mempunyai ciri-ciri kuantitatif dan kualitatif yang perlu diperhatikan. Adaptasi total individu tergantung pada seberapa banyak dan jenis emosi apa yang ia punyai dalam situasi tertentu. Emosi dalam adaptasi manusia cenderung berperan berdasarkan tindakan massa. Artinya, emosi utama seseorang melumpuhkan seluruh emosi yang lain. Emosi berfungsi mengarahkan orang kepada sasaran yang berada di luar dunia yang dapat menjadi sumber frustasi atau kegembiraan. Individu menanggapi sasaran kekecewaan dengan kemunculan emosi takut dan marah dan asalnya dari kebencian, kecurigaan, ketakpercayaan, antisipasi kegelisahan dan sebagainya. Fungsi ini melestarikan dirinya dalam maksud dan kesanggupan organisme melakukan tindakan pertahanan. Perasaan terhadap obyek yang menjadi sumber kegembiraan adalah keinginan untuk menjadi dekat, mengekalkan pangaruh, mencintai, untuk menginginkan, untuk mengantisipasi kegembiraan berkelanjutan, untuk mempercayai, untuk mempunyai kepercayaan, untuk bekerjasama dengan. Kami harus menekankan maksud dari inventarisasi ini bahwa emosi yang sangat kondusif terhadap kohesi sosial adalah yang menyinggung kategori cinta, kepercayaan dan keyakinan. Semua manusia pada dasarnya dibekali dengan kapasitas untuk takut dan marah. Tetapi nyatanya perasaan cinta, percaya dan yakin sebagian besar harus diperkuat melalui pengalaman. Karena itu, ketika kami menunjuk pada kasih sayang potensial, bukan kami maksud kemunculan fungsi takut dan marah. Kami lebih mengartikan sebagai kapasitas untuk bekerjasama dan hubungan kasih sayang dengan orang lain. 592



Tak satupun dari berbagai jenis emosi ini yang berfungsi dalam isolasi ; semuanya terus-menerus saling mempengaruhi selama proses pertumbuhan dan kehidupan. Apa yang berlaku dalam diri individu adalah jenis jawaban emosional yang telah menjadi kebiasaan dan otomatis. Pola emosi yang sudah pasti ini tidak hanya mampu menyesuaikan diri dalam arti bahwa pola emosi ini adalah sejenis reaksi terhadap situasi sebenarnya ; pola ini juga memainkan peran dominan dalam membentuk antisipasi dan mempengaruhi cara terbentuknya kejadian. Contoh, seorang yang dididik curiga akan membentuk kejadian sebenarnya dalam kehidupannya



sedemikian



rupa



sehingga



kecurigaannya



nampak



membenarkannya. Emosi memainkan peran tegas dalam menentukan sosiabilitas (kerjasama damai dengan orang lain) individu melalui perkembangan mekanisme kesadaran dan pembentukan cita-cita. Hasrat di pihak anak kecil untuk dicintai dan dilindungi adalah dorongan dominan bagi anak kecil untuk patuh kepada penjaganya. Ia memerlukan ini karena ia belum mampu menolong dirinya sendiri. Dengan demikian anak menjadi tersosialisasi untuk melanjutkan anugerah cinta dan perlindungan. Ia belajar mengantisipasi syarat untuk mendapatkan keuntungan itu dengan menghayatinya dan membuatnya menjadi otomatis. Ia juga mempelajari metode melepaskan diri dari kesalahan dan menemukan tehnik untuk dapat diterima kembali. Dengan demikian, ketakutan terhadap hukuman dan diambilnya kembali kasih sayang, mendesakkan pengaruh pengendalian yang kuat terhadap perilaku anti sosial. Hadiah bagi penyesuaian adalah kebanggaan karena diakui masyarakat berperilaku “baik”, meski ketakutan akan ditemukan dan dihukum menimbulkan perasaan takut bersalah dan mengantisipasi hukuman atau menghukum diri sendiri. Agar perasaan emosional positif dan fungsi hati nurani ini menjadi terlembaga, diperlukan perilaku tertentu orangtua terhadap anaknya. Jadi kita tak dapat mengharapkan anak mengembangkan perasaan kasih dayang dan ketergantungan pada orangtua yang tak terus-menerus memeliharanya, yang tak mendapatkan kasih-sayang sebagai imbalan kepatuhannya, yang hukumannya tidak seimbang atau tak ada kaitannya dengan kesalahannya. Dalam hal ini, 593



kecocokan saja tak mempunyai nilai penyesuaian diri sama sekali. Anak yang terus-menerus dikejami oleh orangtuanya tak dapat diharapkan akan menunggu perlakuan menyenangkan atau mengidealkan orangtuanya atau ingin seperti orangtuanya. Anak yang tak mendapatkan perlindungan dari tindakan kejam orangtua, takkan mencintai, mempercayai atau bekerjasama dengan orangtuanya. Anak akan melarikan diri dari lingkunga yang memusuhinya dan berupaya mencari lingkungan lain yang lebih bersahabat. Atau anak tetap tinggal di rumah dan membenci orangtua dan menekan seluruh perasaan bermusuhan. Disisi institusional, struktur keluarga Negro kelas bawah sama dengan kulit putih. Tetapi dalam proses kehidupan yang sebenarnya pergantian keluarga kelas bawah adalah lebih besar dan stabilitasnya sangat kurang. Terpecahnya keluarga, baik karena kematian orangtua selagi anak masih kecil, ditinggal pasangannya maupun karena perceraian, sangat mengorbankan peluang orangtua untuk membangun ikatan kasih sayang yang kuat. Mula-mula keperluan mendapat bantuan menjadi gagal. Ini menjadikan ibu sebagai sasaran kekecewaan ketimbang menjadi gantungan harapan anak. Ini tak berarti bahwa ibu bermaksud mengabaikan atau menganiaya anak mereka. Sebaliknya, banyak ibu Negro kelas bawah yang mempunyai perasaan keibuan yang kuat yang sangat melindungi dan berupaya menjadi pencari nafkah yang baik. Tetapi ini bukan yang didengar dari responden



yang



diwawancarai.



Mereka



terutama



menceritakan



riwayat



kekecewaan dan disiplin yang berubah-ubah oleh ibu. Tak jarang juga ada cerita terus-menerus tentang pemukulan dan makian untuk menegakkan disiplin. Situasi persaingan antara saudara kandung dikalangan keluarga kelas rendah, sangat ditingkatkan oleh kekurangan di lingkungan mereka hidup. Situasi ini tentu saja sangat dibesar-besarkan bila anak diserahkan pemeliharaannya kepada kerabat lain, sebagai akibat perpecahan keluarga. Keadaan anak ini jauh lebih buruk dari pada keadaan anak lain sebaya. Mereka adalah orang yang karena penganiayaan, diusia 10 atau 12 tahun memutuskan untuk lari dari rumah dan hidup menggelandang. Beberapa orang yang kami studi, karena hidup bebas sebelum waktunya, hampir tidak punya kesempatan untuk mengembangkan kepribadian



594



dalam jangka panjang. Mereka menjadi lihai dapat distel tetapi dengan korban sama sekali mencurigai siapapun. Akibat kekecewaan terus-menerus dimasa anak-anak adalah terciptanya kepribadian tanpa kepercayaan terhadap hubungan manusia, terus-menerus waspada dan tidak mempercayai orang lain. Inilah manuver sikap bertahan murni yang bertujuan melindungi individu terhadap pengaruh traumatik berulang-ulang dari ketidakpuasan dan kekecewaan. Ia tentu bergerak berdasarkan asumsi bahwa kehidupan ini bermusuhan. Aspek referensi diri dari asumsi ini terkandung dalam formula “Aku bukanlah orang yang dicintai”. Asumsi ini, bersama dengan gagasan yang sama ke arah penguatan penghancuran dasar harga diri. Demikianlah, banyak upaya Negro kelas bawah untuk mempertautkan perasaan sesama mereka digagalkan oleh saling tak percaya satu sama lain, oleh keyakinan bahwa tak ada orang yang dapat mencintainya demi dirinya sendiri, bahwa ia bukanlah orang yang dicintai. Berdasarkan kondisi ini, tak banyak peluang terciptanya ikatan sosial yang nyata. Namun sangat signifikan bahwa Negro kelas bawah adalah orang yang suka menjadi anggota organisasi sosial suka rela, menjadi anggota klub dan klik dengan nama yang cukup dikenal dan dengan banyak upacara pelantikan. Dalam organisasi ini yang masa hidupnya sangat pendek terus-menerus terjadi perselisihan, perebutan posisi dan gengsi dan desakan agar tiap anggota harus mempunyai caranya sendiri. Dengan kata lain, melalui klub dan asosiasi ini Negro berupaya mencari pengganti kerugian atas ketiadaan ikatan persaudaraan antar sesama mereka. Namun untuk sebagian besar upaya mereka mengalami kegagalan. Saling tak percaya dan keperluan untuk berkuasa, menghancurkan keefektifan upaya mengganti kerugian ini. Inilah ciriciri kehidupan Negro yang patut diperhatikan karena organisasi sosial yang diduga memudahkan usaha kerjasama dan dapat memberikan kepuasaan kepada anggota dengan memiliki sesuatu secara bersamaan, dapat mengurangi isolasi mereka. Tujuan ini tak tercapai karena sebagian besar energi “asosiasi” ini terkuras untuk menanggulangi masalah saling tak percaya dan sangat sedikit energi yang tercurah untuk aspek saling membantu dari keberadaan organisasi.



595



Berkaitan erat dengan masalah keefektifan potensial adalah kapasitas untuk mengidealisasi. Kemampuan mengidealisasi adalah ciri-ciri umum manusia dan ini berakar dalam susunan biologis manusia. Kemampuan ini adalah sarana paling kuat untuk menyebarkan kultur. Selama dalam keadaan tak berdaya, orang tentu meletakkan kepercayaannya pada orangtua yang menyokongnya. Bila sokongan ini dan batuan kasih sayang secara individual dalam penyesuaian dirinya, kecenderungan alamiahnya adalah membesar-besarkan kekuasaan orangtua sebanding dengan kekuatan gaib. Penonjolan kekuatan gaib orangtua ini sangat besar pengaruhnya dalam menegakkan disiplin terhadap anak karena ancaman akan menarik sokongan yang diberikan semula, dapat menimbulkan kegelisahan dipihak anak. Karena itu, orangtua yang ideal adalah orangtua yang menyenangkan, yang wewenangnya kurang dipaksakan ketimbang didelegasikan, dan persetujuan diam-diam adalah sebuah metode disiplin anak karena mengekalkan anugerah yang telah ia nikmati dimasa lalu dan karena itu diharapkan akan dapat dinikmati pula dimasa datang. Pembentukan cita-cita yang akan dikejar adalah akibat wajar idealisasi orangtua. Mudah memperkenalkan diri sendiri dengan apa yang diidealkan orangtua bila harapannya telah diwujudkan. Bila harapan orangtua dikecewakan, mungkin akan berkembang cita-cita yang berlawanan dengan yang dialami seseorang. Jarang terjadi, anak yang teraniaya sewaktu kecil kemudian menjadi ayah ideal dengan hidup berlawanan dengan apa yang ia alami ketika kecil. Hal demikian tentu saja pernah terjadi. Tetapi itu jauh dari yang lazimnya. Hasil paling umum setuasi seperti itu adalah meski membenci orangtua, anak itu menerima dan mengidentifikasikan dirinya sendiri dengan ciri-ciri kebencian dan kekecewaan dan menjadi replika orangtua yang kecewa. Di sini orang harus menarik garis batas antara cita-cita yang menggiatkan dan identifikasi yang tak disadari. Cita-cita yang menggerakkan mungkin “Aku akan menjadi orangtua pemelihara yang baik” ; identifikasi yang tak disadari, mungkin meniatkan menjadi orangtua yang mengecewakan. Sebagai contoh, anak yang teraniaya ketika kecil, ketika menjadi orangtua digerakkan oleh cita-cita : “Mengapa aku harus memberikan engkau (anak) sesuatu yang aku sendiri tak pernah 596



mendapatkannya (ketika kecil)?” Inilah kasus dimana kekecewaan sangat mendambakan campur tangan peran orangtua yang melindungi. Persoalan pembentukan cita-cita Negro hampir tak terbatas pada peran orangtua belaka. Jawaban “ideal” pertanyaan : “Siapa yang akan aku tiru?” Di sinilah Negro menghadapi kesulitan besar. Orangtua adalah anggota yang dipandang hina dan didiskriminasi oleh kelompoknya. Karena itu cita-cita ini telah dirusak karena mencerminkan kebencian. Tak seorangpun yang dapat memeluk cita-cita seperti itu. Lagipula hingga belakangan ini Negro tak mempunyai pahlawan kultur nyata (seperti Joe Louis dan Jackie Robinson) dengan siapa anak Negro dapat mengidentifikasikan dirinya. Karena itu wajarlah Negro mencita-citakan menjadi seperti orang kulit putih. Tetapi dengan menerima cita-cita orang kulit putih berarti terus-menerus membenci diri sendiri, kecewa dan mengikatkan kehidupan seseorang pada tujuan yang takkan pernah tercapai. Inilah



sebuah



formula



kehidupan



“seakan-akan”



berbasis



angan-angan.



Penerimaan cita-cita kulit putih menyebabkan Negro lama kelamaan bertindak berdasarkan keracunan psikologis mematikan. Pengaruhnya yang membawa malapetaka itu disebabkan kenyataan bahwa makin lengkap Negro menerima citacita kulit putih, makin besar kegelisahan batin Negro. Karena ia takkan pernah dapat menjadi kulit putih. Karena itu ia bersedia menerima angan-angan kulit putih dengan pura-pura menjadi orang kulit putih atau memakai perlengkapan yang paling dekat menyerupai kulit putih. Ia juga berarti penghancuran ciri-ciri asli yang rentan terhadap perubahan (rambut keriting dan sebagainya). Dalam bentuknya yang paling mundur ini, cita-cita ini menjadi hasrat kegila-gilaan untuk dilahirkan - kembali sebagai kulit putih……Karena itu harga diri seseorang tidak diberikan berdasarkan sifat yang dimilikinya tetapi berdasarkan ciri-ciri yang ingin dimiliki dalam arti cita-cita yang dipinjam. Manuver ini diperkirakan sebagai pengganti harga diri yang pada dasarnya telah hancur. Reaksi terhadap disiplin dan dinamika mekanisme hari nurani berkaitan erat satu sama lain dan ini selanjutnya berkaitan dengan potensi kasih sayang umum dan pembentukan citacita.



597



Pada umumnya terdapat beberapa faktor yang beroperasi di pihak orangtua dalam memperkanalkan disiplin kepada anak berbeda situasinya ketimbang yang dialami kulit putih. Orangtua Negro tidak mempunyai wewenang dalam kehidupan sosial di tempat ia tinggal. Karena itu ada godaan kuat bagi orangtua Negro untuk cenderung bersikap otoriter di tempat satu-satunya yang dapat ia laksanakan, yakni di rumahnya sendiri. Karena itu kami mendapat cerita berulangulang tentang anak yang tunduk kepada disiplin baik secara berubah-ubah, seketika itu saja, maupun tidak tetap yang sering tergantung pada tingkah orangtua dan pada waktu bersamaan tanpa kemampuan menawarkan hadiah yang tepat untuk kepatuhan dan penyesuaian perilakunya. Anak menghargai hadiah itu terutama berkenaan dengan kepuasan yang diperlukannya. Orangtua lebih sering dari pada tidak, tidak mampu melaksanakannya. Mereka lebih sering gagal memberikan hadiah karena kemiskinan mereka. Orangtua demikian tak dapat mendelegasikan banyak wewenang atau mengilhami anaknya, justru malahan banyak memerlukan bantuan. Karena itu wewenang orangtua dihancurkan. Faktor kedua terjadi terutama dalam kasus ibu ikut bekerja mencari nafkah. Ia tak mempunyai waktu untuk menjadi ibu yang cermat dan berhati-hati memelihara anaknya. Sepulang dari bekerja, anak sering berubah sendiri, ia cenderung letih dan lekas marah yang menyebabkan ketaksabaran dan desakannya terhadap kepatuhan total dan dengan segera dari anaknya. Seperti antara ibu dan ayah, banyak faktor yang bersekongkol yang menyebabkan ibu menjadi sasaran utama ketergantungan seperti dalam saran utama ketergantungan seperti dalam keadaan sulit. Lelaki sebagai pencari nafkah dan pelindung, pasti menderita penghinaan. Tujuan ibu adalah membuat anaknya mengalami kesusahan sekecil mungkin, karena ia sedikit sekali mempunyai waktu bersama anaknya. Ini menyebabkan ia menjadi sasaran untuk ditakuti dan sekaligus menjadi satu-satunya orang yang dapat dijadikan sandaran. Sambil lalu, kami akan menunjukkan di sini tempat dalam kehidupan jalanan anak dan remaja Negro. Dalam berbagai hal kehidupan anak jalanan Negro ini tak berbeda dari anak jalanan kulit putih kelas bawah. Kekacauan rumahtangga tak menjadi tempat menyenangkan bagi anak yang sedang tumbuh ini terutama bila 598



orangtua begitu sering meninggalkan rumah. Karena keluarga tak melaksanakan disiplinnya dengan hadiah yang tepat, anak cenderung mendapatkan cita-cita mereka dan pola hiburan mereka pada peluang yang tersedia di jalanan dengan nilainya, heroismenya, idealnya dan dengan golongannya sendiri. Anak jalanan Negro ini berbeda dari kelompok anak jalanan kulit putih dalam kuantitas kekejaman selain menyerang mereka, dimana anak-anak ini dapat terluka dan tak jarang terbunuh. Bagian dari pola kehidupan anak jalanan ini adalah akibat kebosanan dan ketakrelevanan pendidikan belaka. Karena itu mereka tak dapat memusatkan perhatian di sekolah atau merasa bahwa mereka terlibat dalam aktivitas seksual dengan wanita seumur dengan guru wanita mereka dan disiplin dan kewajiban kehidupan sekolah menjadi tak berarti bagi mereka. Jalanan, dilain pihak, menawarkan petualangan, perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan, ejekmengejek dan permusuhan nyata. Dengan kata lain, jalanan menurut pandangan mereka adalah tempat latihan kehidupan yang lebih baik, ketimbang pendidikan di sekolah. Kenakalan remaja meningkat pesat karena berbagai alasan. Dalam latar umum ini kami akan mengevaluasi pengaruh sosialisasi disiplin. Kami melihat sedikit sekali bukti tentang kekakuan pendidikan dimasa kanakkanak. Tak ada persaingan kemauan yang serius antara orangtua dan anak dalam aspek sosialisasi ini. Sebagian besar diabaikan dan dikalangan orang yang datang dari Selatan, sedikit sekali penekanannya pada keteraturan, kebersihan atau sistematisasi. Karena itu dalam kelompok ini kami kira tak banyak sumber berasal dari luar yang dapat digunakan untuk menerangkan susunan mengenai pengusiran dan penyimpanan. Bila ada ciri-ciri yang mendorong dalam kelompok Negro ini, ciri-ciri itu bukan berasal dari sumber ini. Aspek lebih



penting dari sosialisasi disiplin adalah bidang seksual.



Gambarannya di sini sangat membingungkan. Dalam kelas bawah, moralitas sek yang diajarkan adalah aneka ragam ajaran Victoria. Tetapi upaya penerapannya sangat sedikit. Sangat sedikit keinginan yang dimasukkan ke dalam disiplin seksual ketimbang kalangan kulit putih kelas menengah. Akibatnya sebenarnya jauh lebih besar kebebasan seksual dikalangan anak Negor kelas bawah ketimbang dikalangan anak kulit putih. Dan bagaimanapun tak biasa bagi anak 599



lelaki dan wanita melakukan hubungan seksual ketika berusia 7 hingga 13 tahun. Karena itu sangat tak mungkin potensi kesusahan baik untuk lelaki maupun wanita dari kelompok ini berasal dari keinginan yang dimasukkan ke dalam gambar melalui ancaman orangtua. Berdasarkan kasus yang dipelajari, kesulitan ini biasanya muncul dari sumber lain. Kesukaran itu berasal dari kekacauan peran sosio-seksual lelaki dan wanita. Kesukaran lelaki berasal dari ketakmampuan memikul peran jantan efektif menurut idaman kulit putih seperti melawan posisi dominasi wanita, mula-mula dalam dominasi ibu dan kemudian dalam dominasi isteri. Kebebasan ekonomi wanita merusak hubungan peran konvensional lelakiwanita dan selanjutnya mempengaruhi potensi lelaki. Dalam kasus wanita peran sosio-seksualnya adalah sebaliknya. Ia adalah dominan dan memberontak terhadap peran pasif dan ketergantungan. Demikianlah seksualitas Negro kelas bawah dikacaukan oleh signifikansi seksual peran sosial. Berlawanan dengan yang diharapkan, dorongan seksual orang dewasa Negro relatif ditangguhkan. Kami tak melihat bukti tentang kecanduan seks dan meninggalkan seks dikalangan Negro. Pengurangan permainan seks ini adalah akibat penderitaan sosio-ekonomi dan kekacauan dalam peran seksual. Jenis mekanisme hati nurani apa yang dapat diintegrasikan ke dalam kondisi ini? Situasi ini lebih rumpil dari pada dikalangan kulit putih. Pada dasarnya obat kuat dari mekanisme kata hati ini tergantung pada kemampuan orangtua untuk bertindak sebagai pemberi nafkah yang memuaskan. Karena itu dikalangan Negro kelas bawah tak terjadi internalisasi kata hati yang kuat. Bila terhadap malapetaka ini ditambahkan pengaruh sistem kasta, maka Negro kelas bawah dalam kebenciannya



terhadap



kulit



putih,



dirampas



setiap



dorongan



untuk



mengembangkan hati nurani yang kuat. Tetapi pengaruh sistem kasta sedemikian rupa sehingga mengilhami ketakutan sangat besar. Karena itu kecenderungan anti sosial dapat ditahan secara kaku oleh rasa takut akan ketahuan. Sebenarnya kami dapat mengatakan bahwa hati nurani Negro kelas bawah dipertahankan melalui kewaspadaan umumnya terhadap kebencian dan agresinya, dan bahwa takut diketahui sikap anti sosial dan keagresiannya cenderung ditentukan oleh mekanisme kontrol yang sama. Bahaya besar bagi Negro kelas bawah adalah 600



bahwa peralatan kontrol ini kadang-kadang dan dengan menurutkan kata hati dapat menjadi besar sekali - sebuah faktor yang menjadi perhatian besar setiap Negro kelas bawah. Dikalangan Negro kelas bawah ini mulai timbul tuntutan kuat akan aktivitas pengganti untuk membantu terbentuknya persamaan harmoni internal. Kegiatan pengganti ini berfungsi : (1) meningkatkan harga diri, (2) membius individu terhadap pengaruh traumatis, (3) meremehkan kawan lain, (4) mencari bantuan tenaga gaib (magical) untuk meningkatkan status. Diantara kegiatan untuk meningkatkan harga diri adalah berpakaian cemerlang dan mencolok terutama lelaki, dan menolak atribut Negro seperti menyingkirkan rambut keriting. Pembiusan individu terhadap pengaruh traumatis sebagian besar dilakukan melalui alkohol dan obat terlarang. Dalam kegiatan ini lelaki sangat menonjol. Kecanduan alkohol dikalangan Negro terjadi dua kali lipat sebanyak yang terjadi dikalangan kulit putih.



1



Narkotika luas pemakaiannya dikalangan Negro, tetapi



karena harganya tinggi menyebabkan alkohol jauh lebih banyak tersedia. Menghina kawan lain tersebar luas dikalangan Negro urban. Keinginan balas dendam dan memaki dengan kata-kata kasar sebagian besar berasal dari perjuangan status. Sudut jalan dan toko gula-gula adalah tempat untuk omongan jahat paling disukai. Dibidang bantuan sihir untuk harga diri, jadi menduduki tempat teratas. Perjudian ini berbentuk main kartu tetapi yang lebih sering partisipasi dalam judi nomor lotre. Di sini tiap orang berpeluang mengadu nasib, menjadi orang yang diperlakukan lebih baik dari pada orang lain, bila hanya untuk sehari. Daya tarik permainan yang menggiurkan ini tentu sangat tinggi, dinilai dari sangat besarnya kekayaan yang dihamburkan oleh sebagian penduduk Negro ini tiap tahun. Disamping perjudian ini masih ada jalan keluar berkala, terutama oleh lelaki, yang berasal dari ketakmampuan mereka untuk merencanakan atau mempunyai kepercayaan akan masa depan. Karena kecenderungan umum adalah hidup dari hari ke hari, pengeluaran meledak ketika mereka mempunyai uang tak jarang mereka lakukan. Kadang-kadang khayalan tentang kehidupan yang berkecukupan 601



dan mewah diciptakan meski dengan berkhayal demikian berarti menggadaikan tenaga seseorang selama berbulan-bulan ke depan untuk membayar khayalan kemewahan sesaat itu. Gambaran psikologis ini hingga taraf tertentu telah berubah dikalangan kelas menengah dan kelas atas. Di sini organisasi keluarga berhubungan lebih erat dengan kelompok kulit putih kelas menengah. Tekanannya bergeser dari masalah subsistensi ke masalah status. Juga terjadi pergeseran dari dominasi wanita ke dominasi lelaki dalam keluarga. Bidang konflik utama adalah mengenai status. Pada umumnya keuntungan yang berasal dari pemeliharaan orangtua yang lebih baik, pengenalan kasih sayang yang lebih baik, pembentukan cita-cita yang lebih baik dan mekanisme kata hati yang lebih menguatkan hingga taraf tertentu dihapuskan oleh peningkatan hebat konflik status yang disebabkan oleh situasi kasta. Dalam menilai adaptasi Negro kelas menengah dan atas, kami berhadapan dengan kesulitan besar dalam membedakan adaptasinya dari yang nampak. Sebagai contoh, potensi menggerakkan emosi jauh lebih baik dalam kelompok ini ketimbang dalam kelas lebih rendah. Tetapi terhadap ini kami harus mengabaikan fakta bahwa gambaran pengobaran emosi yang lebih baik sebagian besar berdasarkan atas landasan formal. Perkawinan mereka lebih stabil, mereka memasukkan perasaan kasih sayang lebih tepat dan sebagainya. Tetapi gambaran ini sebagian besar karena fakta bahwa Negro kelas menengah dan atas paling keras berjuang untuk hidup dan merasakan seperti kulit putih. Mereka lebih konvensional, mempunyai kebiasaan seks lebih kaku, lebih banyak berbekal “kehormatan” ketimbang Negro kelas bawah. Mereka tahu apa yang dirasakan “benar” untuk situasi tertentu dan mereka berupaya keras untuk merasakannya. Tetapi apakah mereka melakukannya atau tidak, tergantung pada kuantitas konflik yang mereka hadapi berdasar isu warna kulit dan penjuangan status, semuanya cenderung mengurangi kebebasan perasaan. Di daerah yang terintegrasi secara khusus, kelompok ini kira-kira sama dengan kulit putih. Pemeliharaan orangtua sama baiknya dan sama tak sesuainya dengan pemeliharaan orangtua kulit putih. Potensi kekacauan emosi nampak lebih 602



tinggi dari pada dikalangan Negro kelas bawah dan mereka mempunyai kapasitas lebih besar untuk berhubungan. Mereka mempunyai kapasitas besar untuk mengidealisasi tetapi yang mereka idealisasi bukan Negro, melainkan kulit putih. Di sini lagi-lagi pembentukan teladan dalam kehidupan Negro mempunyai dua lapisan. Tokoh alamiah yang diidealkan adalah orangtua yang ingat akan hari esok ; tetapi ia adalah tokoh yang diperolok-olokkan. Penerimaan obyek (orangtua) ini kedalam ego, berarti kebenciannya yang terus-menerus menyertai perasaan bersalah. Penggantian obyek kulit putih sebagai sumber keteladanan ternyata tidak menyelesaikan masalah. Obyek kulit putih juga dibenci dan juga menimbulkan perasaan bersalah. Dalam hal manapun Negro tak dapat menang. Seperti diamati seorang Negro kelas atas : “Satu-satunya kulit hitam yang aku sukai adalah diriku sendiri”. Pembentukan keteladanan mereka tergolong tingkat tinggi tetapi terombang-ambing di atas cita-cita yang tak dapat dicapai. Fakta bahwa dengan cita-cita ini relatif lebih mampu berprestasi ketimbang dalam kelas lebih rendah, membuat konflik bertambah tajam. Dengan demikian mereka cenderung mendorong diri mereka bekerja lebih keras, mendesak diri mereka untuk berprestasi lebih besar dan diwajibkan untuk menolak membukakan aktivitas pengganti bagi Negro kelas bawah. Ini sangat menambah kebencian diri secara internal dan menyebabkan makin sukar menerima status Negro. Aku berhak mencintai diriku sendiri “jika” semua lebih menggiurkan karena mereka hampir semua dapat mencapai sukses, tetapi untuk warna kulit. Karena itu harga diri mereka lebih mudah terserang kemurungan ketimbang kelas bawah. Keperluan untuk menyesuaikan diri dengan standar kehormatan kelas menengah



kulit



putih,



menyebabkan



kelas



atas



mengalami



kesukaran



mengendalikan sifat agresi mereka. Dan ini selanjutnya menimbulkan pengaruh mengejutkan terhadap keseluruhan kekacauan emosi mereka. Dilihat dari sudut pemeliharaan orangtua yang baik, orang akan mengira bahwa kecenderungan mereka terhadap kepasifan akan ditekankan. Tetapi ini dibahas oleh tekanan kuat terhadap bentuk kepasifan atau ketundukan kepada Negro lain - karena mereka tak dapat menghindarkan ketundukan kepada kulit



603



putih. Konstelasi ini sangat berharga diikuti melalui perilaku homoseksual dikalangan Negro……. Titik dimana konflik intrapsikhis dipertajam untuk Negro kelas atas dan kelas menengah akan ada kecenderungan dan kompensasi bagi harga diri rendah, kecenderungan agresi dan penerimaan tanpa kompromi cita-cita kulit putih. Membenci diri sendiri kelompok ini mengambil bentuk biasa penonjolan pada kulit putih maupun Negro yang lebih rendah dari pada mereka sendiri. Tetapi mereka merasa lebih bersalah terhadap kebencian Negro mereka ketimbang dalam kasus kelas bawah. Untuk kulit putih, formulanya adalah kebencian + kontrol = menyembunyikan ; untuk Negro, formulanya adalah kebencian + rasa bersalah = keinginan membalas dendam. Dengan demikian tiap Negro kelas menengah dan atas meningkatkan persaingannya dengan kulit putih tetapi tugas psikologisnya adalah mengontrol dan menyembunyikan saja. Kebencian terhadap Negro mempunyai cara memantulkan ke belakang ke sumbernya. Tiap Negro yang lebih tinggi dari pada Negro kelas bawah, mempunyai perasaan bersalah terhadap Negra lain karena ia menganggap berhasil mengkhianati kelompoknya dan melancarkan agresi terhadap mereka. Karena itu, ia sering disebut “sukses phobia” dan adakalanya tak dapat menikmati buah prestasinya. Dalam penerimaannya atas cita-cita kulit putih, Negro sering melampaui batas. Ia berlebih-lebihan dalam hubungan seksual sehingga mengakibatkan angka kedinginan seksual wanita sangat tinggi. Dalam penerimaannya terhadap obsesi kebersihan lelaki kulit putih, Negro menyudahinya dengan menyamakan dirinya sendiri degan berak dan menjadi sangat cermat dan bersih luar biasa. Tetapi gangguan dalam mencapai cita-cita kulit putih, meningkatkan agresi, kegelisahan, penurunan harga diri dan membenci diri sendiri. Ini memaksanya mendesak dirinya lebih keras lagi, untuk mengatasi rintangan sosial, untuk memacu dirinya lebih keras lagi, dan berakhir dengan makin kecewa, dan makin membenci dirinya. Inilah lingkaran setan yang tak pernah berakhir. Seperti kami nyatakan di atas, dengan demikian sukar menilai keuntungan dan kerugian kelas atas seperti mengenai pengaruh intrapsikhis mereka. Pergeseran dari orientasi wanita ke lelaki, sekurang-kurangnya menyelamatkan 604



kelompok ini dari kekacauan peran sosial dan peran seksual. Salah seorang lelaki berkuasa dan definisi peran seksual menjadi jelas. Tetapi mereka melebihlebihkan kekakuan larangan seksual dan ini lebih mempengaruhi wanita ketimbang lelaki. Perkawinan menjadi lebih stabil namun arti penting aturan adat sangat tinggi, karena itu tetap terkesan bahwa rerata perkawinan tidak lebih bahagia. Hubungan kasih sayang menjadi makin baik tetapi perbaikannya sebagian besar hanya pada sisi formalnya saja. Hasil utama gambaran psikologis adalah bahwa kelas atas masyarakat Negro demikian banyak mengendalikan kehidupan psikis mereka, bahwa mereka tentu terlalu dikekang dan tidak spontan. Terlalu sedikit kepuasan diri untuk kebebasan yang sebenarnya dan terlalu banyak kebencian diri sendiri dan saling tak percaya untuk terselenggaranya hubungan sosial yang efektif. Mereka harus terus-menerus memilih yang kurang jahat antara spontanitas dan dilukai oleh pembalasan dendam. Karena itu mereka lebih suka untuk tidak melihat sesuatu sebagaimana adanya atau untuk masuk terlalu dalam ke dalam sesuatu disertai apatis dan pasrah. Adakah barang sesuatu seperti kepribadian mendasar bagi Negro? Karya ini jelas membuktikan ada. Meski mereka hidup dalam kultur Amerika, Negro hidup dalam kondisi khusus, yang memberikan kepribadian Negro ini susunan khusus. Dengan mengambil sebagai garis dasar kelas menengah kulit putih, kondisi kehidupan untuk Negro sedemikian khusus sehingga terdapat perubahan sebenarnya dari tekanan kemana ia harus menyesuaikan diri. Karena itu ia mengembangkan kepribadian khusus. Namun kepribadian mendasar Negro ini dapat disamakan dengan sebuah karikatur kepribadian kulit putih, karena Negro harus menyesuaikan diri terhadap kultur yang sama, harus menerima tujuan sosial yang sama, tetapi tanpa kemampuan mencapainya. Pembatasan dalam peluang sosial inilah yang menyebabkan perbedaan dalam susunan kepribadian.



605



Catatan Kaki 1. Lihat Malzberg, Benjamin, “Mental Disease Among American Negroes : A Statistical Analysis”, dalam Klineberg, Otto, ed., Characteristics of the American Negro (NY: Harper&Row, Publishers, 1944).



606



Bab 9 Teori Sejumlah besar issu teoritis penting dalam studi stratifikasi dan mobilitas tetap masih dapat diperdebatkan dalam perkembangan bidang studi ini. Diantara issu teoritis itu adalah : (1) Apakah stratifikasi benar-benar tak terelakkan ? (2) Jika demikian, apa alasannya ? (3) Apakah seluruh bentuk dan jumlah ketimpangan, seperti yang kini ditemukan atau seperti yang telah terjadi secara historis, juga dapat dinilai tak terelakkan ? (4) Apa fungsi positif dan negatif stratifikasi yang dapat ditentukan ? (5) seberapa jauh jumlah dan bentuk ketimpangan dalam masyarakat mencerminkan motif khusus kultural dan sementara sebagai berlawanan dengan ciri-ciri dan kebutuhan sosial universal ? (6) Bagaimana cara menerangkan keterus-menerusan, ada dimana-mana, dan kekunoan stratifikasi bila dilihat dari sudut lain dari persyaratan atau tuntutan sosial universal ? Pakar yang karyanya dimuat di sini, berbicara mengenai issu teoritis yang dikemukakan di atas. Umumnya Kingsley Davis dan W. E. Moore cenderung ke arah gagasan ketaterelakkan dan fungsi positif stratifikasi, meski masing-masing mempunyai syarat dan pembatasan khusus. Di lain pihak Melvin Tumincenderung ke arah pemikiran tentang tak terhindarkan dan fungsi negatif ketimpangan sosial, terutama aspek ketimpangan yang ditentukan oleh ketimpangan hadiah dan ketimpangan gengsi. Dua kumpulan argumen ini, yang dibicara oleh Davis, Moore dan Tumin dalam perdebatan berkepanjangan dalam literatur sosiologi, memberikan siswa ikhtisar ringkas tentang beberapa issu teoritis penting. Dalam artikelnya George A. Huaco mencoba menyajikan unsur esensil argumen ini dan ia memasukkan bahan tambahan dari karya sosiolog lain yang telah ikut serta dalam perdebatan itu. Pilihan karya Tumin, “Ketaksesuaian dan Perselisihan dalam Penilaian” yang diambildari bukunya tentang Puerto Rico, masih mengangkat issu teoritis lain dengan menawarkan bahwa syarat konsensus tentang nilai adalah kondisi stabil. 608



Ia bertanya apakah asumsi tentang konsesus nilai seperti itu sama bergunanya dengan asumsi alternatif dan apakah bagi analisis sosiologi tidak lebih baik memulai dengan model sebuah sistem sosial



yang menerima keberadaan



pertentangan nilai yang signifikan diantara segmen terstrata suatu masyarakat. Bahan dari hasil studi di Puerto Rico digunakan untuk melukiskan apa sebabnya, meski terdapat ketimpangan hebat dalam kekayaan, kekuasaan dan gengsi, bagaimanapun terdapat sejumlah konsesus nilai dan moral yang baik sekali dikalangan orang Puerto Rico. Seperti dilihat Tumin, penyebab utamanya adalah teratur dan sering adanya pengakuan dan unjuk-rasa publik tentang arti penting dan manfaat sosial dari rakyat yang paling sederhana sekalipun di Puerto Rico. Ini ditambah lagi dengan terus-menerus dirasakannya keadilan masyarakat dan terbukanya peluang untuk mencapai kemajuan. Kesemuannya ini banyak menyumbang terhadap penurunan pertikaian dan konflik antara-stratum seperti yang mungkin diperkirakan. Seymor M. Lipset dan Hans L. Zetterberg memusatkan perhatian pada penyusunan beberapa proposisi teoritis mendasar mengenai mobilitas. Setelah memperhatikan perbedaan kemungkinan dimensi mobilitas yang mungkin diukur, mereka kemudian meneliti jajaran penyebab mobilitas dan akibat politis mobilitas. Asumsi utama yang memandu analisis mereka tentang akibat mobilitas itu adalah bahwa “banyak diantara masalah politik utama yang dihadapi masyarakat kontemporer, sebagian adalah akibat konflik dan ketegangan yang dihasilkan dari kontradiksi yang melekat dalam tuntutan terhadap aristokrasi maupun persamaan hak”. Dengan menggunakan data komparatif, berlawanan dengan latar belakang ini, Lipset dan Zetterberg meneliti distribusi pemungutan suara sayap-kiri dan sayap-kanan di sejumlah negara. Distribusi suara sayap kiri dan sayap kanan itu mencerminkan reaksi baik terhadap posisi rendah maupun terhadap pengalaman mobilitas pemberi suara.



609



Beberapa Prinsip Stratifikasi Oleh : Kingsley Davis & W. E. Moore Dalam paper terdahulu, telah disajikan beberapa konsep untuk menangani fenomena ketimpangan sosial1). Dalam paper ini langkah selanjutnya dalam teori stratifikasi dilakukan upaya untuk menunjukkan hubungan antara stratifikasi dan sandaran ketertiban sosial2). Bertolak dari proposisi bahwa tak ada masyarakat yang “tanpa kelas” atau tanpa “terstratifikasi”, dilakukan upaya untuk menjelaskan, dalam hubungan fungsional, keharusan universal yang memerlukan stratifikasi dalam setiap sistem sosial. selanjutnya dilakukan upaya untuk menjelaskan secara kasar keseragaman distribusi gengsi seperti antara tipe utama posisi dalam setiap masyarakat.



Tetapi karena antara satu masyarakat dan



masyarakat lain terjadi perbedaan besar dalam tingkat dan jenis stratifikasi, maka perhatian juga diberikan kepada bermacam-macam ketimpangan sosial dan berbagai faktor yang menyebabkannya. Jelaslah, tugas kini memerlukan dua macam analisis yang berbeda, yang satu untuk memahami ciri-ciri universal dan yang kedua untuk memahami perubahan ciri-ciri stratifikasi. Sebenarnya jenis analisis yang lain dan yang satu sangat memerlukan yang lain dan dalam perlakuan berikutnya kedua jenis analisis ini akan jalin-menjalin, meskipun karena keterbatasan ruangan, penekanan akan diberikan pada ciri-ciri universal. Satu hal perlu diingat, bahasan dihubungkan dengan sistem posisi, bukan dengan individu yang menempati posisinya itu. Satu hal yang perlu dipertanyakan, mengapa posisi yang berbeda mengandung tingkat gengsi berbeda dan pertanyaan lain, bagaimana cara individu tertentu memasuki posisinya itu. Seperti yang akan dicoba menunjukkannya, meski kedua pertanyaan itu berkaitan, namun dalam fikiran kita antara keduanya perlu tetap dipisahkan. Sebagian besar 610



literatur tentang stratifikasi, mencoba menjawab pertanyaan kedua (terutama mengenai kemudahan atau kesukaran mobilitas antara strata) tanpa menjawab pertanyaan pertama. Padahal menurut logika, pertanyaan pertama itu adalah lebih dahulu dan dalam hal ini individu atau kelompok tertentu, sebenarnya lebih dahulu.



Keharusan Fungsional Stratifikasi Anehnya, keharusan fungsional utama yang menerangkan keberadaan universal stratifikasi, justru adalah persyaratan yang dihadapi oleh tiap masyarakat yang menempatkan dan memotivasi individu dalam struktur sosial. karena mekanisme fungsional, masyarakat harus mendistribusikan anggotanya ke dalam posisi sosial dan membujuk mereka agar melaksanakan kewajiban yang melekat pada posisi itu. Dengan demikian masyarakat harus memikirkan dirinya sendiri dengan memotivasi di dua tingkat berbeda : menanamkan pada individu yang tepat keinginan untuk mengisi posisi tertentu dan segera setelah berada dalam posisi ini, hasrat untuk melaksanakan kewajiban dilekatkan pada individu yang menempatinya. Meski ketertiban sosial itu mungkin relatif statis bentuknya, namun terdapat proses metabolisme terus-menerus seperti lahirnya individu baru di dalamnya perubahan umur dan mati berturut-turut. Penyerapan individu ke dalam sistem posisi tentulah diatur dan dimotivasi. Ini benar, apakah sistem posisinya bersaing atau tidak bersaing. Sistem kompetitif memberikan arti penting lebih besar pada motivasi untuk mencapai posisi



sedangkan sistem non



kompetitif memberikan arti penting lebih besar pada motivasi untuk melaksanakan kewajiban posisi ; tetapi dalam masing-masing sistem itu kedua tipe motivasi itu diperlukan. Bila kewajiban yang dikaitkan dengan berbagai posisi seluruhnya sama menyenangkannya bagi seluruh manusia, seluruhnya sama pentingnya untuk kelangsungan hidup masyarakat, dan seluruhnya sama memerlukan bakat atau kemapuan yang setara, maka takkan membuat perbedaan mengenai siapa yang menempati posisi itu dan masalah tingkatan sosial akan sangat berkurang. Tetapi sebenarnya perbedaan orang yang menempati posisi itu tidak begitu besar, bukan 611



hanya karena posisi tertentu pada dasarnya lebih sesuai dari pada posisi yang lain, tetapi juga karena posisi tertentu memerlukan bakat atau ketrampilan khusus dan posisi tertentu secara fungsional lebih penting dari pada posisi lain. juga penting bahwa kewajiban posisi dilaksanakan dengan ketekunan karena arti pentingnya diperlukan. Karena itu, tak terelakkan, masyarakat pertama harus mempunyai sejenis hadiah yang dapat digunakan sebagai perangsang dan kedua harus mempunyai cara mendistribusikan hadiah itu berbeda menurut posisi. Hadiah dan pembagiannya



menjadi



bagian



ketertiban



sosial



dan



dengan



demikian



menimbulkan stratifikasi. Orang mungkin bertanya, jenis hadiah apa yang disediakan masyarakat yang didistribusikan kepada anggotanya dan yang menjamin pelayanan penting. Pertama hadiah barang yang menambah makanan dan kesenangan. Kedua hadiah barang yang menambah hiburan dan kesenangan hati. Dan terakhir hadiah barang yang menambah kehormatan diri dan pengembangan ego. Akhirnya karena keistimewaan ciri-ciri sosial kedirian sebagian besar adalah fungsi opini orang lain, tetapi meski demikian tingkatan kedirian penting artinya ketimbang dua jenis hadiah yang pertama. Dalam setiap sistem sosial, tiga jenis hadiah itu harus disalurkan secara berbeda menurut posisi. Dalam beberapa hal, hadiah “terdapat” dalam posisi. Hadiah terdiri dari “hak” yang dihubungkan dengan posisi ditambah dengan apa yang dapat disebut penghasilan tambahan atau yang menyertainya. Seringklai hak dan adakalanya yang menyertainya berhubungan secara fungsional dengan kewajiban posisi. (Hak seperti dipandang oleh si anggota lain komunitas). Tetapi mungkin ada sekumpulan besar hak tambahan dan keuntungan tambahan yang tidak penting bagi fungsi dan hanya mempunyai hubungan tak langsung dan simbolis dengan kewajibannya, tetapi mungkin masih sangat penting dalam membujuk orang untuk mencari posisi dan memenuhi kewajiban penting. Bila hak dan penghasilan tambahan dari posisi berbeda dalam masyarakat harus tidak sama, maka masyarakat harus distratifikasi, karena justru itulah yang dimaksudkan dengan stratifikasi. Ketimpangan sosial dengan demikian adalah muslihat yang dikembangkan tanpa disadari, dengan muslihat itu masyarakat 612



menjamin bahwa posisi yang paling penting secara sadar akan diisi oleh orang yang paling memenuhi syarat. Karena itu tiap masyarakat, betapa sederhana atau rumpilnya, tentu akan membeda-bedakan orang baik menurut gengsi maupun penghormatan, dan karena itu tentu mempunyai sejumlah ketimpangan institusional tertentu. Itu hak berarti bahwa jumlah atau tipe ketimpangan yang diperlukan, sama dalam semua masyarakat. Sebagian besar ini adalah fungsi dari faktor-faktor yang segera akan dibahas.



Dua Faktor Yang Menentukan Tingkatan Posisi Orang dapat menentukan dua faktor yang menentukan tingkatan relatif posisi yang berbeda. Umumnya posisi yang membawa hadiah terbaik dan karenanya mempunyai tingkatan tertinggi adalah yang (a) mempunyai arti penting terbesar bagi masyarakat dan (b) memerlukan bakat atau pendidikan terbesar. Faktor pertama mengenai fungsi dan adalah masalah signifikan relatif ; faktor kedua mengenai makna dan adalah masalah kelangkaan.



Pentingnya Perbedaan Fungsi Masyarakat sebenarnya tak perlu memberi hadiah posisi sebanding dengan pentingnya fungsi posisi itu. Masyarakat hanya perlu memberikan hadiah yang cukup kepada posisi untuk memastikan bahwa posisi itu akan diisi dengan aktor yang cakap. Dengan kata lain, tentu terlihat bahwa posisi yang kurang penting takkan mungkin menang bersaing dengan posisi yang lebih penting. Bila sebuah posisi dapat diisi yang mudah, ia tak perlu diberi hadiah secara berat, meskipun penting. Sebaliknya, bila posisi itu penting tetapi sukar diisi, hadiah harus cukup tinggi agar dapat diisi. Karena itu arti penting secara fungsional adalah perlu tetapi bukan menjadi penyebab yang cukup untuk memberikan tingkatan yang tinggi kepada posisi tertentu.



Perbedaan Kelangkaan Personil



613



Semua posisi, hampir memerlukan bentuk ketrampilan atau kecakapan tertentu untuk melaksanakannya, tak soal bagaimana cara mendapatkannya. Ini sudah terkandung dalam setiap fikiran tentang posisi yang secara tak langsung menyatakan bahwa pemegang jabatan berdasarkan atas jabatannya harus mengerjakan pekerjaan tertentu. Akhirnya hanya ada dua cara terjadinya kwalifikasi personil : melalui kemampuan bawaan atau melalui pendidikan. Dalam kegiatan konkrit, jelas keduanya selalu diperlukan, tetapi dilihat dari sudut pandang praktis, kelangkaan mungkin terutama terdapat pada kemampuan bawaan atau pendidikan, maupun pada keduanya. Posisi tertentu memerlukan bakat lahiriah sedemikian tinggi tingkatannya sehingga orang yang akan mengisinya sangat jarang ditemukan. Tetapi dalam berbagai kasus, bakat agak berlimpah dikalangan anggota masyarakat tetapi proses pendidikannya demikian lama, mahal dan rumit sehingga relatif sedikit orang memenuhi syarat. Kedokteran moderen misalnya berada dalam kemampuan mental sebagian besar individu tetapi sekolah kedokteran demikian memberatkan dan mahal sehingga sebenarnya tak seorangpun akan mau sekolah sekiranya posisi dokter tidak mengandung hadiah sepadan dengan pengorbanannya. Bila



bakat



yang



diperlukan



untuk



posisi



tertentu



berlimpah



dan



pendidikannya mudah, metode mendapatkan posisi itu mungkin sedikit sekali kaitannya dengan kewajibannya. Mungkin kenyataannya terdapat hubungan kebetulan saja. Tetapi bila keterampilan yang diperlukan itu kekurangan karena jarangnya bakat atau mahalnya biaya pendidikan, maka bila penting secara fungsional, posisi itu tentu mempunyai daya tarik yang dapat menarik keterampilan yang diperlukan bersaing dengan posisi lain. ini sebenarnya berarti bahwa posisi haruslah tinggi dalam skala sosial harus mempunyai gengsi besar, gaji tinggi, waktu luang yang cukup dan seterusnya.



Cara Memahami Perbedaan Sejauh ada perbedaan antara satu sistem stratifikasi dan yang lain, perbedaan itu dapat dihubungkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kedua faktor 614



yang membedakan hadiah yakni kepentingan fungsional dan kelangkaan personil. Posisi yang penting dalam satu masyarakat mungkin tak penting dalam masyarakat lain katena kondisi yang dihadapi oleh masyarakat atau karena tingkat perkembangan internal masyarakat itu berbeda. Kondisi yang sama, selanjutnya mungkin mempengaruhi persoalan kelangkaan ; karena dalam masyarakat tertentu, tingkat perkembangan atau situasi eksternal dapat meniadakan sama sekali keharusan jenis keterampilan atau bakat tertentu dapat difahami sebagai produk kondisi khusus yang mempengaruhi kedua landasan perbedaan hadiah yang dikemukakan di atas.



Fungsi Masyarakat Utama dan Stratifikasi Agama Alasan mengapa agama penting, nampaknya ditemukan dalam fakta bahwa masyarakat manusia mencapai kesatuannya terutama melalui tujuan bersama tertentu. Meski nilai dan tujuan bersama itu adalah subyektif, keduanya mempengaruhi perilaku dan integrasi keduanya memungkinkan masyarakat beroperasi sebagai sebuah sistem. Keduanya tidak berasal dari warisan maupun dari sifat dasar eksternal, keduanya berkembang sebagai bagian kultur melalui komunikasi dan tekanan moral. Namun keduanya harus nampak oleh anggota masyarakat sebagai sebuah realitas dan peran keyakinan agama dan rituallah memasok dan menguatkan penampilan realitas ini. Melalui keyakinan dan ritual agama, tujuan dan nilai bersama itu dikaitkan dengan dunia khayal yang dilambangkan oleh obyek suci konkrit yang selanjutnya dihubungkan secara penuh makna dengan fakta dan percobaan kehidupan individu. Melalui pemujaan obyek suci dan yang mereka lambangkan dan menerima ketentuan supernatural yang pada waktu bersamaan menjadi kode perilaku, pengendalian kuat atas perilaku manusia dilaksanakan, membimbingnya terus-menerus sesuai dengan struktur institusional dan menyesuaikannya dengan nilai dan tujuan terakhir.



615



Bila konsepsi tentang peran agama ini benar, orang dapat memahami mengapa dalam setiap masyarakat yang dikenal, aktivitas keagamaan cenderung berada di bawah pimpinan orang tertentu yang karenanya cenderung menikmati hadiah lebih besardari pada yang dinikmati anggota masyarakat biasa. Hadiah tertentu dan hak istimewa khusus hanya diberikan kepada fungsionaris agama yang tertinggi tetapi hadiah dan hak istimewa yang lain, jika ada, biasanya dipergunakan oleh seluruh kelas pendeta. Selain itu, terdapat hubungan khusus antara kewajiban pejabat agama dan hak istimewa khusus yang ia nikmati. Bila dunia supernatural menentukan nasib manusia lebih mutlak dari pada peran dunia nyata, maka wakilnya di dunia (utusannya) yakni penguasa agama melalui siapa orang dapat berkomunikasi dengan supernatural, tentulah ia seorang individu yang sangat berkuasa. Ia adalah penjagatradisi suci, pelaksana ritual yang trampil dan penerjemah mitos dan adat serta pengetahuan (lore). Ia demikian dekat hubungannya dengan Tuhan dan ia dipandang memiliki sebagian sifat Tuhan. Singkatnya ia agak suci atau keramatdan karena itu bebas dari keperluan dan pengendalian yang lebih kasar. Karena itu bukan kebetulan bahwa fungsionaris agama telah dikaitkan dengan posisi kekuasaan sangat tinggi, seperti dalam rezim teoritis. Melihatnya dari sudut pandanganini, orang tentu saja ingin tahu, mengapa fungsionaris agama itu tidak mendapat keseluruhan kontrol atas masyarakat mereka. Faktor yang mencegah ini patut dicatat. Pertama, jumlah kemampuan tehnologi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas keamanan adalah sedikit. Kemampuan ilmiah atau artistik tak diperlukan. Tap orang dapat membuat dirinya sendiri menikmati hubungan akrab dengan Tuhan dan tak seorangpun akan berhasil membangkangNya. Karena itu, faktor kelangkaan personil tidak berpengaruh dalam artian tehnis. Sebaliknya, orang dapat menyatakan bahwa ritual agama sering dirumitrumitkan dan kebiasaan serta pengetahuan keagamaan sulit difahami dan tindakan pendeta memerlukan kebijksanaan, jika bukan kecerdasan. Ini berarti, tetapi persyaratan tehnis profesi untuk sebagian besar secara kebetulan, tidak tetap, bukan instrisik (adventitious) tidak berhubungan dengan tujuan menurut cara yang 616



sama seperti ilmu dihubungkan dengan perjalanan uadara. Pendeta tak pernah dapat bebas dari persaingan, karena kriteria tentang apakah orang benar-benar kontak dengan supernatural atau tidak, tak pernah dijelaskan secara tepat. Persaingan inilah yang merendahkan posisi pendeta di bawah apa yang mungkin diduga pada pandangan pertama. Inilah yang menyebabkan gengsi pendeta adalah tertinggi dalam masyarakat dimana keanggotaan dalam profesi dikendalikan dengan kaku oleh serikat kerja pendeta itu sendiri. Inilah sebabnya mengapa sekurang-kurangnya sebagian, muslihat merumit-rumitkan ritual dimanfaatkan untuk menekankan identifikasi orang dengan jabatannya, kostum yang mengagumkan, perilaku abnormal, makanan khusus, pemisahan tempat-tinggal, pembujangan, waktu senggang mencolok, dan sebagainya. Kenyataannya, pendeta selalu dalam bahaya menjadi agak tercemar (seperti terjadi dalam masyarakat sekuler) karena dalam dunia dimana fakta susah dihilangkan, takkan dapat menumbuhkan tanaman atau membangun rumah. Selanjutnya kecuali kalau ia dilindungi oleh serikat sekerja profesional, identifikasi pendeta dengan supernatural



cenderung



menghalangi



penerimaannya



dari



barang-barang



keduaniawian yang berlimpah. Seperti antara satu masyarakat dan mesayarakat lain terlihat bahwa posisi umum tertinggi yang diserahkan kepada pendeta terjadi dalam tipe ketertiban sosial abad pertengahan. Di sini terdapat produksi ekonomi yang cukup untuk menghasilkan surplus yang dapat digunakan untuk menopang sejumlah dan serikat kependetaan yang sangat terorganisir ; dan tetapi rakyatnya buta-huruf dan keran itu cenderung sangat percaya kepada pendeta. Agaknya contoh sangat ekstrim, ditemukan dikalangan umat Budha di Tibet tetapi yang lainnya ditemukan dikalangan umat Katholik di Eropa zaman feodal, rezim Inca di Peru, Brahmanisme di ndia dan kependetaan Maya Yucatan. Sebaliknya, bila masyarakat demikian sederhana, tidak mempunyai surplus ekonomi dan sedikit sekali mengenal diferensisasi, sehingga tiap pendeta juga harus menjadi petani atau pemburu, maka pemisahan status pendeta dari status lain hampir tidak begitu jauh jaraknya sehingga gengsi pendeta tak banyak bedanya dengan gengsi pendeta tak banyak bedanya dengan gengsi orang kebanyakan. Bila dalam kondisi ini 617



pendeta benar-benar mempunyai gengsi tinggi, itu karena ia juga melaksanakan fungsi penting lain (biasanya fungsi politik dan pengobatan). Dalam masyarakat yang sangat maju, yang mengandalkan tehnologi ilmiah, fungsionaris agama (pendeta) cenderung kehilangan status karena tradisi kudus dan supernaturalisme turun perannya menjadi latar belakang. Nilai utama dan tujuan bersama masyarakat cenderung diungkapkan dalam cara-cara yang kurang bersifat antromorphis oleh pejabat yang menduduki jabatan fundamental dibidang politik, ekonomi atau pendidikan ketimbang pejabat yang menduduki posisi keagamaan. Bagaimanapun, kaum intelektual lebih mudah untuk melebih-lebihkan tingkatan pendeta dalam lingkungan sekuler yang telah kehilangan gengsinya. Ketika masalahnya diteliti lebih seksama, proletariat urban maupun rakyat pedesaan dengan sangat mengherankan terbukti taat beragama dan memuliakan pendeta. Tak ada masyarakat yang telah menjadi sekuler sama sekali sehingga mengahpuskan sama sekali keyakinan terhadap tujuan transendental dan sesuatu yang bersifat supernatural. Bahkan dalam masyarakat sekuler pun sistem kepercayaan harus ada untuk mengintegrasikan nilai-nilai utama, untuk mengungkapkan ketaatan beragama mereka dan untuk penyesuaian emosional yang diperlukan ketika menghadapi kekecewaan, kematian dan bencana.



Pemerintahan Seperti agama, pemerintahan memainkan peran unik dan sangat diperlukan dalam masyarakat. Tetapi berbeda dari agama yang memelihara integrasi dilihat dari sudut perasaan, keyakinan dan ritual, pemerintahan mengorganisir masyarakat dilihat dari sudut hukum dan wewenang. Selanjutnya pemerintahan mengarahkan masyarakat ke kehidupan yang sesungguhnya (actual) ketimbang ke kehidupan yang tak terlihat. Fungsi utama pemerintahan secara internal adalah melaksanakan norma utama, arbitrasi terakhir kepentingan yang bertentangan, dan merencanakan dan memimpin masyarakat secara keseluruhan. Secara eksternal, pemerintahan berfungsi menangani perang dan diplomasi. Untuk melaksanakan fungsi ini,



618



pemerintah bertindak sebagai agen seluruh rakyat, memiliki monopoli kekuasaan dan mengendalikan seluruh individu di dalam wilayahnya. Tindakan politik menurut definisi, secara tak langsung menyatakan wewenang. Seorang pejabat dapat memerintah karena ia mempunyai wewenang. Karena alasan ini, stratifikasi melekat dalam sifat-sifat hubungan politik. Jelaslah, kekuasaan dijelmakan dalam posisi politik dan ketimpangan politik adakalanya dianggap terdiri dari seluruh ketimpangan. Namun dapat ditunjukkan bahwa ada basis lain stratifikasi, karena kontrol berikut ini dilaksanakan untuk mencegah kekuasaan politik menjadi menyeluruh :



1. Fakta bahwa pemegang jabatan politik sebenarnya dan terutama yang menentukan kebijakan puncak haruslah lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan rakyat keseluruhan.



2. Fakta bahwa penguasa lebih mewakili kepentingan kelompok ketimbang kepentingan mereka sendiri dan karena itu tindakan mereka dibatasi oleh peraturan dan adat yang ditetapkan untuk melaksanakan pembatasan kepentingan ini.



3. Fakta bahwa pemegang jabatan politik mempunyai wewenang berdasarkan atas jabatannya dan tak ada yang lainnya dan karena itu pengetahuan khusus tertentu, bakat atau kemampuan yang ia nyatakan semata-mata kurang penting sehingga dengan demikian ia sering tergantung pada orang lain dalam mendapatkan bantuan tehnis.



Dilihat dari sudut faktor pembatas ini, tak heran kalau penguasa sering mempunyai kekuasaan dan gengsi lebih sedikit dari pada jumlah hak formal mereka yang sebenarnya yang mungkin dibayangkan orang.



Kekayaan, Milik dan Tenaga Kerja Setiap posisi yang menjamin nafkah pejabatnya menurut definisi adalah hadiah ekonomi. Karena alasan ini ada aspek ekonomi dari setiap posisi (misalnya posisi politik dan agama) yang fungsi utamanya bukan fungsi ekonomi. Karena itu



619



tepat bagi masyarakat menggunakan keuntungan ekonomi yang ta seimbang sebagai alat utama mengendalikan masuknya orang



ke dalam posisi dan



merangsang pelaksanaan kewajiban mereka. Karena itu jumlah keuntungan ekonomi menjadi satu indek utama status sosial. Namun perlu ditekankan bahwa posisi tidak menimbulkan kekuasaan dan gengsi karena posisi mendatangkan pendapatan tinggi karena posisi secara fungsional adalah penting dan tersedianya personil adalah karena satu alasan atau kelangkaan yang lain. karena itu adalah dangkal dan keliru menganggap pendapatan tinggi sebagai penyebab gengsi dan kekuasaan manusia sebagaimana adalah keliru mengira demam manusia adalah penyebab penyakitnya.4) Sumber ekonomi gengsi dan kekuasaan terutama bukanlah pendapatan, melainkan pemilikan barang-barang kapital (termasuk hak paten, jasa baik dan reputasi profesional). Pemilikan barang kapital harus dibedakan dari pemilikan barang konsumsi, yang lebih menjadi sebuah indek ketimbang penyebab kedudukan sosial. dengan kata lain, pemilikan barang produsen, tepatnya bicara adalah sumber pendapatan seperti posisi lain, pendapatan itu sendiri tetap sebuah indek. Bahkan dalam situasi dimana nilai sosial dikomersialkan secara luas dan pendapatan tak dapat memberikan gengsi pada sebuah posisi sedemikian banyak seperti mambujuk orang bersaing mendapatkan posisi. Benar bahwa orang yang berpendapatan tinggi sebagai hasil sebuah posisi mungkin merasakan uang ini pun membantu dalam menaiki posisi lain, tetapi sekali lagi ini mencerminkan pengaruh



status



mula-mula



menguntungkannya



secara



ekonomis,



yang



melaksanakan pengaruhnya melalui perantaraan uang. Menurut sistem kekayaan pribadi dalam perusahaan produktif, pendapatan yang lebih tinggi dari pada apa yang dibelanjakan secara individual dapat meningkatkan pemilikan kekayaan kapital. Pemilikan kekayaan kapital demikian rupanya adalah hadiah yang mula-mula untuk manajemen keuangan seseorang yang baik dan kemudian adalah hadiah dari usaha produktif. Tetapi diferensiasi sosial berkembang sangat maju dan institusi warisan masih bertahan, fenomenon pemilikan murni dan hadiah untuk pemilikan murni, muncul. Dalam kasus seperti itu sukar membuktikan bahwa posisi adalah penting secara fungsional atau bahwa 620



kelangkaan yang terliabt adalah sesuatu yang lain dari luar dan secara kebetulan. Karena alasan inilah, pasti bahwa institusi kekayaan pribadi dalam barang produktif makin menjadi sasaran kritikan ketika perkembangan sosial mulai menuju industrialisasi. Barang produktif inilah satu-satunya pemilikan tanpa fungsi sangat syah yang terbuka untuk diserang; karena bentuk pemilikan aktif tertentu, apakah publik atau privat adalah sangat diperlukan. Satu jenis pemilikan barang produktif, terdiri dari hak atas tenaga kerja orang lain. hak ini yang paling terkonsentrasi dan terpisah dari yang lain, ditemukan dalam sistem perbudakan, tetapi prinsip esensialnya tetap tersisa dalam bentuk hamba pengolah tanah (serfdom), orang yang bekerja untuk orang lain temapt ia berhutang uang (peonage), encomienda dan indenture. Jenis pemilikan ini tentu saja paling besar signifikansinya bagi stratifikasi karena memerlukan hubungan yang timpang. Tetapi kekayaan dalam bentuk barang kapital tanpa terelakkan memasukkan unsur paksaan ke dalam hubungan kontraktual yang bebas secara nominal. Dalam beberapa hal wewenang majikan kontraktual memang jauh lebih besar dari pada wewenang tuan tanah feodal karena tuan tanah ini lebih dibatasi oleh pertukaran hak tradisional. Bahkan ekonomi klasik mengakui bahwa para pesaing pun takkan sama ongkosnya tetapi tidak mengikuti fakta ini untuk sampai pada kesimpulan yang mungkin diperoleh bahwa ketimpangan kontrol barang dan jasa tentu akan memberikan keuntungan yang tak seimbang kepada pihak-pihak yang membuat kontrak.



Pengetahuan Tehnis Fungsi menemukan cara mencapai tujuan tunggal tanpa menyangkut pilihan antara berbagai tujuan adalah semata-mata bidang tehnis. Penjelasan tentang mengapa posisi yang memerlukan keterampilan tehnis besar menerima hadiah agak tinggi, mudah difahami, karena itulah perkara hadiah yang paling sederhana yang didistribusikan dengan maksud menarik bakat dan mendorong latihan. Mengapa jika pernah, pengetahuan tehnis jarang menerima hadiah tertinggi, juga sudah jelas : arti penting pengetahuan tehnis dilihat dari sudut pandang 621



kemasyarakatan, tidak pernah sebesar penyatuan tujuan yang terjadi pada tingkat keagamaan, politik dan ekonomi. Karena tingkat tehnologi semata-mata mengenai cara, posisi tehnis murni akhirnya harus disubordinasikan kepada posisi lain yang bersifat keagamaan, politik atau ekonomi. Perbedaan antara tenaga ahli dan orang awam bagaimanapun dalam setiap tatanan sosial adalah fundamental dan sama sekali tak dapat direduksikan ke syarat



lain.



Metode



rekrutmen



maupun



pemberian



hadiah



adakalanya



menimbulkan kekeliruan interpretasi bahwa posisi tehnis ditentukan secara ekonomis. Kemahiran pengetahuan dan keterampilan sebenarnya tak dapat disempurnakan dengan dibeli, meski ada kemungkinan untuk dipelajari. Pengendalian kesempatan belajar, mungkin melekat seperti sejenis hak kekayaan dalam keluarga atau kelas tertentu, yang memberikan mereka kekuasaan dan gengsi sebagai akibatnya. Situasi demikian menambahkan kelangkaan buatan terhadap kelangkaan alamiah bakat dan keterampilan. Di lain pihak ada kemungkinan munculnya situasi sebaliknya . hadiah untuk posisi tehnis sedemikian besar sehingga tercipta kondisi pasokan yang berlebihan yang sekurang-kurangnya menyebabkan devaluasi hadiah untuk sementara. Dengan demikian, “pengangguran” tenaga terpelajar dapat berakibat penurunan nilai gengsi posisi tehnis. Penyesuaian dan penyesuaian kembali seperti itu terusmenerus terjadi dalam masyarakat yang sedang berubah ; dan selalu terkandung dalam fikiran bahwa efisiensi struktur stratifikasi mungkin dipengaruhi oleh cara rekrutmen tenaga untuk posisi. Tatanan sosial itu sendiri sebenarnya menentukan batas inflasi atau deflasi gengsi tenaga ahli : pasokan berlebih cenderung menurunkan nilai hadiah dan memperkecil pengerahan atau menghasilkan revolusi, sedangkan pasokan kurang cenderung meningkatkan hadiah atau memperlemah masyarakat dalam berkompetisi dengan masyarakat lain. Fakta sistem stratifikasi menunjukkan banyak hal mengenai posisi sebenarnya dari orang yang mempunyai kemampuan tehnis. Susunannya sangat jelas dalam tingkatan spesialisasi. Pembagian kerja ekstrim cenderung menciptakan berbagai tenaga spesialis tanpa gengsi tinggi karena pendidikannya adalah singkat dan kemampuan asli yang diperlukan relatif kecil. Sebaliknya pembagian kerja 622



ekstrim pun cenderung mengutamakan posisi tinggi tenaga ahli sebenarnya ilmuan, insinyur, dan administrator dengan meningkatkan wewenang mereka dalam hubungannya dengan posisi lain yang penting secara fungsional. Tetapi gagasan tentang tatanan sosial tehnokratik atau sebuah pemerintahan atau kependetaan insinyur atau ilmuan sosial, mengabaikan keterbatasan pengetahuan dan keterampilan sebagai basis untuk melaksanakan fungsi sosial. betapapun struktur sosial benar-benar terspesialisasi, namun gengsi tenaga tehnis pun harus dibatasi.



Perbedaan Sistem Stratifikasi Prinsip stratifikasi yang digeneralisir di sini mengusulkan bentuk permulaan yang perlu dipertimbangkan mengenai tipe sistem stratifikasi, karena dilihat dari sudut prinsip-prinsip inilah tipe sistem stratifikasi itu harus dilukiskan. Ini dapat dilihat dengan mencoba melukiskan tipenya menurut mode variasi tertentu. Sebagian contoh, beberapa mode yang sangat penting (bersama dengan tipe berlawanan dilihat dari sudut mode yang sangat penting itu) terlihat sebagai berikut :



(a). Tingkat Spesialisasi Tingkat spesialisasi mempengaruhi kehalusan dan keanekaragaman gradasi kekuasaan dan gengsi. Ia juga mempengaruhi tingkat kekhususan fungsi yang mungkin ditekankan dalam sistem yang mendiskriminasi secara tak wajar, karena fungsi tertentu tak dapat menerima banyak perhatian dalam hirarkhi dari fungsi lain. terakhir, jumlah spesialisasi mempengaruhi basis seleksi. Tipe berlawanan : Terspesialisasi, tidak terspesialisasi.



(b). Ciri-ciri Penekanan Fungsional Umumnya bila penekanan diletakkan pada urusan keagamaan, kekuan yang diperkenalkan cenderung membatasi perkembangan tehnologi. Lagi pula rem diletakkan pada mobilitas sosial dan pada perkembangan birokrasi. Bila keasyikan



623



pada urusan keagamaan ditarik, menyisakan kesempatan lebih besar untuk keasyikan sekuler murni, perkembangan luas dan peningkatan status posisi ekonomi dan tehnologi nampaknya terjadi. Anehnya, peningkatan bersama dalam posisi politik tidak mungkin karena biasanya telah bersatu dengan agama. Juga ada kemungkinan bagi masyarakat untuk menekankan fungsi keluarga seperti dalam masyarakat yang relatif belum terdiferensiasi dimana tingkat kematian yang tinggi memerlukan tingkat kelahiran tinggi dan ikatan kekeluargaan merupakan basis utama organisasi sosial. tipe utamanya : kekeluargaan, otoritarian (Teokrasi atau suci dan Totalitarian atau sekuler), kapitalistis.



(c). Besarnya Perbedaan Yang Tak Wajar. Apa yang mungkin disebut kuantitas jarak sosial antara posisi dengan memperhitungkan seluruh skala adalah sesuatu yang memungkinkan diukur secara kuantitatif. Perbedaan besar dalam hal ini nampaknya ada antara masyarakat berlaianan dan juga antara bagian-bagian dari masyarakat yang sama. Tipe berlawanan : Persamaan, ketimpangan.



(d). Tingkat Kesempatan Pertanyaan terkenal tentang kuantitas mobilitas berbeda dari pertanyaan ketimpangan relatif hadiah yang diajukan di atas karena kedua kriteria itu hingga suatu titik mungkin berbeda-beda secara bebas. Contohnya, perbedaan besar dalam pendapatan uang di AS jauh lebih besar dari pada yang ditemukan dalam masyarakat primitif, tetapi persamaan kesempatan untuk pindah dari satu anak tangga ke anak tangga lain dalam skala sosial juga mungkin lebih besar di AS ketimbang dalam kerajaan kesukuan turun-temurun. Tipe berlawanan : terbuka (mobile), tertutup (tak mobile).



(e). Tingkat Solidaritas Stratum. Tingkat “solidaritas kelas” (atau keberadaan organisasi khusus untuk memajukan kepentingan kelas) hingga taraf tertentu berbeda dari kriteria ;ain dan



624



karena itu menjadi prinsip penting dalam menggolongkan sistem stratifikasi. Tipe berlawanan : kelas terorganisir, kelas tak terorganisir.



Kondisi Eksternal Bagaimana kondisi sistem stratifikasi tertentu sehubungan dengan masingmasing cara pembedaan ini, tergantung pada dua hal : (1). Keadaan sistem stratifikasi itu sehubungan dengan tingkat perbedaan yang lain, dan (2). Keadaan di luar sistem stratifikasi yang bagaimanapun mempengaruhi sistem stratifikasi itu. Keadaan di luar sistem stratifikasi yang mempengaruhi sistem stratifikasi itu antara lain adalah :



(a). Tingkat Perkembangan Kultural. Selama warisan kultural tumbuh, spesialisasi makin meningkat dan selanjutnya mengembang terhadap peningkatan mobilitas, menurunkan solidaritas stratum dan merubah penekanan fungsional.



(b). Situasi Yang Berkenaan Dengan Masyarakat Lain Keadaan atau ketiadaan konflik terbuka dengan masyarakat lain, keadaan atau ketiadaan hubungan perdagangan bebas atau difusi kultural. Semuanya hingga taraf tertentu mempengaruhi struktur kelas. Situasi perang teru-menerus cenderung meletakkan tekanan pada fungsi militer, terutama ketika kedua pihak yang bertikai, kurang lebih setara kekuatannya. Sebaliknya, perdagangan bebas, memperkuat kekuasaan pedagang dengan mengorbankan prajurit dan pendeta. Bebasnya pergerakan gagasan umumnya mempunyai pengaruh yang sama. Migrasi dan penaklukan, menciptakan situasi khusus.



(c). Ukuran Masyarakat. Masyarakat yang kecil membatasi tingkat perkembangan spesialisasi fungsional, tingkat pemisahan strata yang berlainan dan jarak ketimpangan.



Tipe Campuran 625



Banyak literatur tentang stratifikasi yang telah mencoba menggolonggolongkan sistem stratifikasi konkrit menjadi sejumlah tipe tertentu. Tugas ini seolah-olah sederhana dan akan berakhir dengan analisis tentang unsur-unsur dan prinsip stratifikasi. Bila bahasan terdahulu mempunyai validitas, itu menunjukkan bahwa terdapat sejumlah cara membedakan antara sistem stratifikasi yang berlainan dan bahwa satu sistem stratifikasi tertentu adalah campuran dari status masyarakat berkenaan dengan seluruh cara membedakan ini. Bahaya upaya menggolong-golongkan seluruh masyarakat berdasarkan rubrik seperti kasta, feodal atau kelas terbuka adalah bahwa satu atau dua kriteria sengaja dipilih dan kriteria lain diabaikan, sehingga menyediakan solusi yang tak memuaskan terhadap masalah yang dihadapi. Bahasan ini ditawarkan sebagai sebuah pendekatan terhadap klasifikasi tipe campuran yang lebih sistematis.



Catatan Kaki 1. Kingsley Davis, “A Conceptual Analysis of Stratification”, A S R, VII (June, 1942 : 309 – 321). 2. Penulis menyesal karena esei ini, penyingkatan dari sebuah hasil studi yang lebih panjang, mencakup demikian banyak masalah dalam ruang demikian sempit sehingga bukti dan kualifikasi yang memadai tak dapat disajikan dan akibatnya, bahasan yang sebenarnya masih sangat tentatif ini disajikan secara dogmatis. 3. Sayang sekali, kepentingan fungsional sukar ditentukan. Menggunakan gengsi posisi untuk menentukannya, seperti yang sering dilakukan tanpa disadari, merupakan pemikiran melingkar dari sudut pandangan kami. Namun ada dua petunjuk terpisah : (1) sepanjang sebuah posisi adalah unik secara fungsional, maka takkan ada posisi lain yang dapat melaksanakan fungsi yang sama secara memuaskan; (2) tingkat ketergantungan posisi lain itu terhadap posisi yang unik dimaksud. Contoh terbaik kedua petunjuk itu terdapat pada sistem posisi yang diorganisir di sekitar satu fungsi utama. Demikianlah, dalam masyarakat yang sangat rumpil, fungsi keagamaan, politik, ekonomi dan pendidikan ditangani oleh struktur yang berbeda yang tak mudah dapat saling 626



dipertukarkan. Singkatnya, bila sebuah institusi dasar didiferensiasi di sekitar sebuah fungsi utama, dan pada waktu bersamaan mengorganisir sebagian besar anggota masyarakat ke dalam hubungannya, maka posisi kunci di dalamnya adalah posisi yang kepentingan fungsionalnya adalah posisi yang kepentingan fungsionalnya yang tertinggi. Ketiadaan spesialisasi seperti itu bukan membuktikan ketakpentingan fungsional, karena keseluruhan masyarakat mungkin relatif tidak terspesialisasi. 4. Peran simbolik pendapatan dalam stratifikasi sosial, telah dirangkum dengan ringkas oleh Talcott Parsons dama “An Analytical Approach to the Theory of Social Stratification”, A J S, XLV (May, 1940 : 841 – 862).



627



628



Beberapa Prinsip Stratifikasi : Analisis Kritis Oleh : Melvin M. Tumin



Fakta ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat manusia, ditandai oleh keberadaannya dimana-mana dan oleh keantikannya. Setiap masyarakat yang dikenal, dimasa lalu dan sekarang, mendistribusikan barang dan jasanya yang langka dan yang diperlukan, secara tak merata atau timpang. Terhadap posisi yang memiliki jumlah barang dan jasa yang tidak sama itu dilekatkan ketinggian penilaian moral tertentu mengenai arti pentingnya bagi masyarakat. Keberadaannya



dimana-mana



dan



keantikan



ketimpangan



itu



telah



menimbulkan asumsi bahwa tentu ada fungsi positif dan tak terelakkan dari tatanan sosial yang timpang itu. Kebenaran atau kepalsuan asumsi itu jelas merupakan sebuah pertanyaan strategis bagi setiap teori umum tentang organisasi sosial. Karena itu yang sangat aneh adalah bahwa premis dasar dan implikasi asumsi itu baru diteliti secara sambil-lalu oleh kebanyakan sosiolog Amerika. Perlakuan paling sistematis ditemukan dalam artikel terkenal Kingsley Davis dan Wilbert Moore berjudul “Some Principles of Stratification”.1 Lebih dari 12 tahun telah berlalu sejak penerbitannya dan meski artikel ini adalah perlakuan yang sangat sedikit tentang stratifikasi berdasarkan generalisasi tingkat tinggi, namun sukar menetapkan analisis sistematis tunggal pada pemikirannya. Perhatian utama artikel ini adalah menyajikan permulaan analisis demikian. Argumen pokok yang diajukan Davis dan Moore, dapat dinyatakan dalam sejumlah proposisi berentet sebagai berikut: 1. Posisi tertentu dalam tiap masyarakat, secara fungsional lebih penting dari pada posisi lain dan memerlukan keterampilan khusus untuk melaksanakannya. 2. Dalam setiap masyarakat, hanya ada sejumlah individu terbatas yang mempunya bakat yang dapat dilatih menjadi keterampilan yang tepat guna untuk menempati posisi tertentu. 629



3. Perubahan bakat menjadi keterampilan, memerlukan periode latihan dan orang yang mejalani latihan itu terpaksa menghadapi pengorbanan tertentu. 4. Untuk membujuk orang berbakat menjalani pengorbanan dan mendapatkan latihan, posisi mereka dimasa depan harus mengandung nilai yang membujuk dalam bentuk yang berbeda, yakni hak istimewa dan akses tak seimbang terhadap hadiah langka dan yang diinginkan, yang ditawarkan masyarakat.2 5. Barang langka dan yang diinginkan itu terdiri hak istimewa dan keuntungan (penghasilan tambahan) yang dilekatkan pada atau yang terpasang pada barang itu yang memperbesar (a) makanan dan kenikmatan hidup, (b) hiburan dan kesenangan hati, (c) harga diri dan perkembangan ego. 6. Perbedaan akses ke hadiah mendasar dari masyarakat ini adalah sebagai akibat perbedaan gengsi dan penghargaan yang didapat berbagai strata. Dapat dikatakan, bersamaan dengan hak dan keuntungan (penghasilan tambahan) ini, dilembagakanlah ketimpangan sosial, yakni stratifikasi. 7. Karena itu, ketimpangan sosial dikalangan strata berlainan dalam jumlah barang yang langka dan diinginkan dan dalam jumlah gengsi dan kehormatan yang merata diterima, keduanya adalah fungsional dan tak terelakkan dalam setiap masyarakat. Berikut ini ketujuh proposisi di atas akan diperiksa satu persatu. (1) Posisi tertentu dalam tiap masyarakat secara fungsional lebih penting dari pada



posisi



lain



dan



memerlukan



keterampilan



khusus



untuk



melaksanakannya. Istilah kunci disini adalah “penting secara fungsional”. Teori organisasi sosial pakar fungsional sama sekali tidak menjelaskan istilah ini secara tegas. Yang lazim disebut adalah sesuatu yang dikenal sebagai “nilai mempertahankan hidup” dari struktur sosial.4



Konsep ini segera



menimbulkan sejumlah pertanyaan membingungkan. Diantaranya adalah: (a) soal mempertahankan hidup minimum vs maksimum dan kemungkinan rujukan empiris yang dapat diberikan kepada istilah itu; (b) apakah proposisi itu adalah sebuah tautologi tak berguna, karena status-quo disaat tertentu tak lebih dan tak kurang dari sesuatu yang ada dalam status-quo itu. Dalam istilah 630



ini, semua tindakan dan struktur harus dinilai berfungsi secara positif karena semuanya merupakan bagian penting status-quo; (c) jenis perhitungan fungsionalitas apa yang ada ditilik perkembangan kita yang memungkinkan kita menambah dan mengurangi akibat jangka pendek dan panjang dengan kualitas campurannya dan tiba pada penilaian akhir mengenai penilaian tindakan atau struktur yang seharusnya didapat pada skala fungsionalitas yang makin besar atau makin kecil? Dalam keadaan terbaik, kita cenderung membuat penilaian terutama berdasar intuisi. Cukup sering, penilaian itu meliputi penggunaan kriteria yang dipilih lebih disukai dari pada yang lain bukan karena alasan sistematis bersifat sosiologis tetapi karena alasan pilihan nilai implisit tertentu. Jadi, untuk menilai bahwa insinyur dalam sebuah pabrik secara fungsional adalah lebih penting bagi pabrik ketimbang pekerja tak trampil, menyangkut gagasan mengenai dapat dibuangnya pekerja tak terampil atau dapat digantinya mereka, berhubungan dengan tenaga insinyur. Tetapi ini bukanlah proses pemilihan dengan dimensi waktu yang tak terbatas. Karena pada suatu saat dimana-mana orang tentu akan berhadapan dengan masalah kecukupan motivasi seluruh pekerja disemua tingkat keterampilan dalam pabrik. Dalam jangka panjang, pekerja tak terampil tertentu sama pentingnya dan sama sangat diperlukan bagi pabrik dengan sejumlah tenaga insinyur. Cukup sering terjadi, situasi tenaga kerja adalah sedemikian rupa sehingga fakta ini bagi pengusaha lebih menjadi masalah mencolok dalam jangka pendek ketimbang jangka panjang. Lagi pula penilaian mengenai hubungan sangat diperlukan dan dapat digantikannya bagian keterampilan tertentu dalam masyarakat, menyangkut penilaian lebih dahulu mengenai kekuatan tawar-menawar bagian tenaga terampil itu. Tetapi kekuatan tawar-menawar itu sendiri adalah akibat dari sistem penilaian yang ada yang terbentuk secara kultural-ketimbang sebagai sesuatu yang tak terelakkan dalam sifat dasar organisasi sosial. Sekurangkurangnya yang berlawanan dengan ini belum pernah ditunjukkan tetapi hanya dianggap. 631



Teori stratifikasi sosial yang digeneralisir harus mengakui bahwa sistem bujukan dan hadiah yang berlaku, hanyalah salah satu dari berbagai sistem berbeda dalam keseluruhan sistem motivasi yang ada, yang sekurangkurangnya secara teoritis mampu berperan dalam masyarakat manusia. Memang dapat dibayangkan bahwa sistem norma dapat dilembagakan dimana gagasan tentang ancaman pengambilan-kembali pelayanan (kecuali dalam keadaan sangat ekstrim) dapat dianggap sebagai laknat moral absolut. Dalam keadaan demikian, keseluruhan gagasan tentang hubungan fungsional, seperti dikemukakan Davis dan Moore, harus diperbaiki secara radikal. (2) Dalam setiap masyarakat, hanya ada sejumlah individu terbatas yang mempunyai bakat yang dapat dilatih menjadi keterampilan tepat-guna untuk posisi tertentu (yakni untuk menempati posisi yang lebih penting secara fungsional). Kebenaran proposisi ini, sekurang-kurangnya untuk sebagian tergantung pada proposisi nomor satu di atas. Karenanya, menjadi sasaran seluruh keterbatasan yang diutarakan di atas. Namun sesaat baiklah kita beranggapan bahwa proposisi nomor satu itu benar dan memusatkan perhatian pada persoalan kelangkaan bakat yang tepat. Bila semua yang dimaksud adalah bahwa dalam setiap masyarakat terdapat tingkatan bakat dan sebagian anggota pada dasarnya mempunyai lebih banyak bakat dari pada yang lain, takkan ada kontradiksi yang pantas dapat diajukan, tetapi persoalan yang harus dikemukakan disini berkenaan dengan jumlah pengetahuan logis yang ditunjukkan dalam setiap masyarakat mengenai keberadaan bakat dikalangan anggotanya. Dalam setiap masyarakat terdapat kebodohan yang dapat dibuktikan mengenai jumlah bakat yang ada dikalangan anggotanya. Dan semakin kaku terstratifikasinya masyarakat, semakin kecil peluang masyarakat itu menemukan fakta baru tentang bakat anggotanya. Sistem stratifikasi yang stabil dan bekerja lancar dimanapun ditemukan, cenderung memasang rintangan terhadap eksplorasi selanjutnya atas susunan bakat yang tersedia. Ini terutama benar dalam masyarakat dimana peluang untuk menemukan 632



bakat dalam satu generasi berbeda dengan perbedaan sumber generasi orangtua. Dimana misalnya akses ke pendidikan tergantung pada kekayaan seseorang dan dimana kekayaan terdistribusi secara berbeda, sebagian besar anggota masyarakat ada kemungkinan dihilangkan peluangnya bahkan untuk menemukan apa sebenarnya bakat mereka. Apakah perbedaan hadiah dan peluang adalah fungsional dalam tiap satu generasi atau tidak, yang jelas adalah bahwa bila perbedaan itu dibolehkan secara sosial diwarisi oleh generasi berikutnya, maka sistem stratifikasi secara khusus tidak fungsional untuk menemukan bakat dalam generasi berikutnya. Menurut kebiasaan ini, sistem stratifikasi sosial cenderung membatasi peluang yang tersedia untuk memaksimalkan efisiensi penemuan, pengarahan dan latihan (pendidikan) “bakat yang penting secara fungsional”.5 Lagi pula, distribusi hadiah yang timpang dalam satu generasi cenderung menghasilkan ketimpangan distribusi motivasi dalam generasi berikutnya. Karena motivasi untuk generasi berikutnya jelas merupakan unsur penting dalam keseluruhan proses pendidikan, maka ketimpangan distribusi motivasi cenderung membatasi peluang perluasan sistem pendidikan dan karena itu membatasi pendidikan dan pengerahan yang efisien kumpulan keterampilan terluas yang tersedia dalam masyarakat.6 Akhirnya dalam kaitan ini dapat dinyatakan bahwa ada kecenderungan nyata bagi elite untuk membatasi akses selanjutnya ke posisi hak istimewa mereka segera setelah mereka mempunyai kekuasaan yang cukup untuk melaksanakan pembatasan itu. Ini terutama benar dalam kultur dimana ada peluang bagi elite untuk merencanakan tuntutan yang tinggi dan hadiah makin besar sebanding dengan karyanya dengan membatasi jumlah elite yang ada untuk mengerjakan pekerjaan mereka. Pengerahan dan pendidikan dokter dalam masyarakat AS moderen, sekurang-kurangnya sebagian membuktikan hal ini. Lalu disini antara lain ada tiga cara yang dapat disebut, dimana sistem stratifikasi



segera



setelah



beroperasi



cenderung



mengurangi



nilai



kelangsungan hidup masyarakat dengan membatasi penyelidikan, pengerahan 633



dan pendidikan tenaga yang penting secara fungsional jauh lebih mencolok ketimbang yang dapat dibenarkan berdasar fakta bakat yang tersedia. Hanya bila ada kesamaan akses asli untuk pengerahan dan pendidikan seluruh orang yang secara potensial berbakatlah, perbedaan hadiah baru dapat dibayangkan akan ada gunanya. Dan sistem stratifikasi rupanya sudah menjadi sifatnya berlawanan dengan pengembangan persamaan peluang secara penuh seperti itu. (3) Perubahan bakat menjadi keterampilan memerlukan periode latihan dan orang yang menjalani latihan itu terpaksa menghadapi pengorbanan tertentu. Disini Davis dan Moore memperkenalkan konsep “pengorbanan” yang lebih dekat dari pada kosa-kata mereka yang lain yang menjadi cerminan langsung rasionalisasi yang ditawarkan oleh anggota masyarakat yang lebih beruntung yang membenarkan mereka menempati posisi dengan hak istimewa. Inilah konsep yang paling sedikit dikritik dan juga dapat ditunjukkan paling sedikit didukung oleh fakta sebenarnya. Dalam masyarakat kita kini misalnya, apa pengorbanan yang dialami orang berbakat dalam periode pendidikannya? Kemungkinan kehilangan serius meliputi melepaskan daya pendapatan dan membayar biaya pendidikan. Biaya pendidikan ini biasanya ditanggung oleh orangtua pemuda yang menjalani pendidikan dan bukan oleh pemuda itu sendiri. Tetapi biaya pendidikan ini cenderung dikeluarkan dari pendapatan orangtua yang umumnya mampu mendapat bayaran berdasarkan atas posisi hak istimewa mereka dalam hirarkhi stratifikasi. Dapat dikatakan, kemampuan orangtua membiayai pendidikan anak mereka adalah bagian dari perbedaan hadiah yang diterima orangtua karena posisi hak istimewa mereka dalam masyarakat. Karena itu adalah keliru menagih rekening atau hutang yang telah dibayar masyarakat kepada orangtua, lalu dituntut atas pengorbanan yang dibuat anak selama pendidikan.. Sejauh menyangkut pengorbanan daya pendapatan oleh anak dalam pendidikan



itu



sendiri,



kerugiannya 634



mungkin



diukur



dengan



menghubungkannya dengan apa yang mungkin mereka peroleh seandainya mereka langsung bekerja sebagai pengganti pendidikan untuk mendapatkan keterampilan “penting”. Ada beberapa cara untuk menilai ini. Pertama menghitung rerata pendapatan semua teman sebaya yang bekerja dalam periode yang sama dengan rerata lamanya periode pendidikan. Pernah dihitung, pendapatan total yang didapat kembali oleh elite pada dekade pertama bekerja sebagai tenaga profesional, jauh lebih tinggi dari pada rerata pendapatan rekan sebaya mereka yang tidak berpendidikan. Agaknya 10 tahun itu adalah jumlah maksimum yang diperlukan untuk menyamakan perbedaan itu.7 Rerata masih ada 20 tahun lagi masa kerja tenaga terampil yang akan menerima pendapatan jauh lebih besar ketimbang yang diterima teman sebayanya yang tak terampil. Dan yang sering dilupakan, masih ada 10 atau 15 tahun lagi jangka tenaga terampil terus bekerja dan menerima pendapatan ketika rekan sebayanya yang tak terampil seluruhnya atau sebagian tak bekerja lagi karena berkurangnya tenaga dan kemampuannya. Orang mungkin menyatakan bahwa 10 tahun pertama perbedaan upah yang diterima mungkin dapat dibenarkan, untuk mendapatkan kembali upah yang hilang selama menempuh pendidikan bagi tenaga terampil. Tetapi sukar membayangkan apa alasan yang membenarkan berlanjutnya perbedaan hadiah diluar periode 10 tahun itu. Cara lain dan agaknya lebih masuk akal untuk mengukur berapa banyak kerugian selama periode sekolah adalah dengan membandingkan pendapatan perkapita yang didapat tenaga terampil dengan pendapatan perkapita rekan sebaya yang tak terampil selama periode yang disebut pengorbanan itu. Bila orang memperhatikan bahwa tenaga tak terampil itu lebih dahulu kawin dan lebih dahulu menerima tanggung jawab keluarga, maka akan sangat meragukan pendapatan perkapita pekerja upahan akan jauh lebih besar dari pada pendapatan perkapita pengikut latihan. Bahkan untuk sesaat dianggap ada perbedaan sekalipun, jumlahnya sama sekali tak cukup untuk membenarkan perbedaan itu akan berlangsung seumur hidup.



635



Disamping itu yang cenderung dilupakan sama sekali adalah hadiah kejiwaan dan spiritual yang tersedia bagi elite terdidik dibandingkan dengan rekan sebaya mereka yang tak terdidik. Pertama, gengsi yang dinikmati mahasiswa Kolej dan mahasiswa sekolah kejuruan (profesional) jauh lebih tinggi ketimbang gengsi yang dinikmati orang, yang bekerja di kantor dan toko. Kedua, elite terdidik ini berpeluang lebih besar untuk berkembang sendiri dan mendapatkan hak istimewa bernilai sangat tinggi. Ketiga, seluruh keuntungan psikis yang didapat elite terampil itu meliputi penyediaan peluang menunda asumsi tentang tanggungjawab orang dewasa seperti mencari nafkah dan menghidupi keluarga. Keempat adanya akses untuk mendapatkan sejenis waktu luang dan kebebasan tidak seperti yang dialami oleh orang yang bekerja. Bila ini tak pernah diperhitungkan sebagai hadiah selama masa pendidikan, itu bukan karena tidak ada secara konkrit melainkan karena penekanan konsep hadiah dalam masyarakat AS hampir semata-mata diletakkan pada keuntungan materil dari posisi. Penekanan pada kesenangan, hiburan, peningkatan ego, gengsi dan kehormatan, hanya dimasukkan bila perbedaan dalam aspek tersebut menambah posisi terampil yang perlu dibenarkan. Bila hadiah lain ini diperhitungkan, akan jauh lebih sukar menunjukkan bahwa periode latihan (sekolah) seperti yang berlaku kini, benar-benar merupakan pengorbanan. Memang mungkin akan menjadi persoalan bahkan dalam hal ini dalam karir mereka, elite terdidik diberi hadiah berbeda dari rekan sebaya mereka yang tak terdidik. Semua bahasan terdahulu menyangkut kualitas periode pendidikan menurut sistem motivasi dan hadiah kita sekarang. Apapun yang mungkin menjadi persoalan faktual mengenai sistem yang sekarang (dan persoalan faktual yang dapat diperdebatkan) makin penting persoalan teoritis mengenai asumsi bahwa periode latihan menurut sistem apapun, tentu memerlukan pengorbanan. Nampaknya tidaklah menjadi landasan teoritis yang baik untuk bertahan berdasarkan asumsi ini. Karena, meski menurut sistem apapun, biaya tertentu 636



akan diperlukan dalam mendidik orang menduduki posisi terampil, biayanya dengan mudah akan ditanggung masyarakat secara bebas. Menurut kondisi ini takkan ada keperluan untuk mengganti kerugian siapapun dilihat dari sudut perbedaan hadiah, segera setelah posisi terampil diangkat. Singkatnya, tak ada keperluan atau pembenaran menstratifikasi posisi sosial berdasarkan landasan pengorbanan dalam masa pendidikan ini. (4) Untuk membujuk orang berbakat menjalani pengorbanan dan mendapatkan latihan, posisi mereka dimasa depan harus mengandung nilai yang membujuk dalam bentuk yang berbeda, yakni hak istimewa dan akses tak seimbang terhadap hadiah langka dan yang diinginkan yang ditawarkan masyarakat. Untuk tujuan diskusi, baiklah kita beranggapan bahwa periode pendidikan adalah periode bekorban dan bakat yang dibayangkan jarang terdapat dalam setiap masyarakat. Masih ada masalah mendasar mengenai apakah alokasi hadiah yang berbeda barang dan jasa yang langka dan yang diinginkan adalah satu-satunya atau cara yang paling efisien penerimaan tenaga berbakat yang tepat untuk mengisi posisi yang ada. Karena ada sejumlah rencana alternatif untuk memotivasi orang yang efisiensi dan kememadaiannya dalam hal ini sekurang-kurangnya harus dipertimbangkan. Apa yang dapat dikatakan misalnya, atas nama motivasi yang disebut demam “kesenangan kerja” dan yang disebut Veblen “naluri untuk bekerja” dan yang belakangan kita kenal sebagai “kepuasan kerja hakiki?” Atau seberapa jauh motivasi “kewajiban sosial” dapat dilembagakan sedemikian rupa sehingga kepentingan diri sendiri dan kepentingan sosial terjalin satu sama lain ibarat dua sisi dari mata uang logam? Atau berapa banyak



kepercayaan



bakat



dapat



diletakkan



dalam



kemungkinan



melembagakan “pelayanan sosial” sebagai motivasi yang tersebar luas untuk menemukan posisi yang tepat untuk seseorang dan untuk mengisinya dengan sungguh-sungguh. Kita dapat bertanya, apakah tipe motivasi ini tak mungkin terbukti sangat tepat untuk mengisi posisi yang secara fungsional sangat penting? Terutama 637



dalam masyarakat industri massa dimana mayoritas posisi menjadi dibakukan dan dirutinkan, pekerjaan yang menuntut keterampilanlah yang mungkin mempertahankan sebagaian besar kualitas “kepuasan kerja hakiki” dan yang paling mudah dikenali sebagai yang berguna secara sosial. Lalu apakah memang mustahil membangun motivasi dalam pola sosialisasi tempat mempertontonkan bakat pemuda kita? Untuk menyangkal bahwa motivasi seperti itu dapat dilembagakan, akan melebihi tuntutan pengetahuan kita kini. Tuntutan seperti itu sebagian juga berasal dari asumsi bahwa apa yang belum dilembagakan dalam urusan manusia adalah yang tak mampu dilembagakan. Tak dapat disangkal, pengalaman historis memberikan kita bukti yang tak mampu kita abaikan. Tetapi bukti itu tak dapat digunakan secara sah untuk menyangkal secara mutlak kemungkinan adanya alternatif yang hingga kini belum dicoba. Inovasi sosial adalah sebuah ciri masyarakat manusia yang sama pentingnnya dengan mobilitas sosial. Berdasarkan pengamatan ini nampak bahwa Davis dan Moore menyatakan keadaan yang sebenarnya ketika mereka bersikeras menyatakan bahwa “ posisi yang penting secara fungsional” yang memerlukan keterampilan yang langka, “tentu mempunyai gengsi besar, upah tinggi, waktu luang yang banyak dan sebagainya”, bila bakat yang tepat ditarik ke posisi itu. Jelaslah disini Davis dan Moore mempostulatkan tak terelakkan jenis hadiah yang sangat khusus dan tersimpul didalamnya, meniadakan kemungkinan lain. (5) Barang langka dan yang diinginkan ini terdiri dari hak istimewa dan keuntungan (penghasilan tambahan) yang dilekatkan pada atau yang terpasang pada barang itu yang memperbesar (a) makanan dan kenikmatan hidup, (b) hiburan dan kesenangan hati, (c) harga diri dan perkembangan ego. (6) Perbedaan akses ke hadiah mendasar dari masyarakat ini adalah sebagai akibat perbedaan gengsi atau penghargaan yang didapat berbagai strata. Dapat dikatakan, bersamaan dengan hak dan keuntungan (penghasilan tambahan) ini dilembagakanlah ketimpangan sosial, yakni stratifikasi. Dengan klasifikasi hadiah yang diusulkan Davis dan Moore ini sedikit sekali 638



argumen yang diperlukan. Namun pertanyaan dapat dikemukakan mengenai apakah setiap sistem hadiah, yang terpasang tetap dalam sistem stratifikasi umum, harus mengalokasikan jumlah yang sama dari seluruh ke tiga jenis hadiah itu agar berfungsi secara efektif atau apakah satu jenis hadiah mungkin ditekankan sehingga sebenarnya mengabaikan yang lain. Ini menimbulkan pertanyaan selanjutnya mengenai kemungkinan tipe hadiah yang ditekankan itu terbukti sangat efektif sebagai penyebab yang berbeda. Menurut fakta yang diketahui mengenai motivasi manusia tak ada yang memaksa kita untuk lebih menyukai satu jenis hadiah ketimbang jenis hadiah lain atau untuk bersikeras bahwa seluruh ketiga jenis hadiah itu harus tetap terpasang dalam posisi dalam jumlah yang sebanding bila posisi itu harus mempuyai nilai pendorong. Memang sudah terkenal bahwa masyarakat menekankan jenis hadiah yang sangat berbeda dalam upayanya mempertahankan keseimbangan yang pantas antara hadiah dan tanggung jawab. Misalnya, ada sejumlah masyarakat dimana memamerkan keuntungan ekonomi yang sangat mencolok dianggap sebagai cita rasa yang sangat buruk. Singkatnya, pengetahuan kita kini mempercayakan kepada kita kemungkinan yang sangat lentur dalam cara menata berbagai jenis hadiah yang berbeda agar masyarakat berfungsi dengan baik. Memang belum dapat ditunjukkan bahwa gengsi dan kehormatan yang berbeda akan ditambahkan pada posisi yang mempunyai hadiah kekuasaan dan kekayaan yang berbeda. Apa yang nampaknya tak terelakkan adalah bahwa gengsi yang berbeda akan diberikan kepada orang dalam masyarakat yang menyesuaikan diri terhadap aturan normatif dan orang yang menyimpang dari aturan normatif itu dinilai tak bermoral dan merusak. Berdasarkan asumsi bahwa kelangsungan hidup masyarakat tergantung pada kontinuitas dan stabilitas aturan normatifnya, maka perbedaan antara orang yang konformis dan orang yang menyimpang nampaknya tak terelakkan. Nampaknya juga tak terhindarkan bahwa dalam setiap masyarakat, tak soal seberapa terpelajar tradisinya, individu yang lebih tua, lebih bijaksana dan 639



yang lebih berpengalaman yang bertanggung jawab membudayakan dan mensosialisasikan generasi muda, tentu mempunyai kekuasaan lebih besar dari pada generasi muda, berdasar asumsi bahwa tugas sosialisasi yang efektif memerlukan kekuasaan yang berbeda demikian. Tetapi perbedaan gengsi antara orang yang menyesuaikan diri dan orang yang menyimpang ini sama sekali tidak sama dengan perbedaan antara strata individu yang masing-masing beroperasi menurut aturan normatif dan terdiri dari orang dewasa. Perbedaan antara strata individu ini, dalam bentuk membedakan hadiah dan gengsi antara strata adalah apa yang dianggap Davis dan Moore dan kebanyakan sosiolog lain sebagai struktur sistem stratifikasi. Perbedaan gengsi antara orang yang konformis dan orang yang menyimpang ini tak ada yang perlu dikerjakan dengan berfungsinya sistem demikian dan juga tak ada kaitannya dengan efisiensi motivasi dan pengerahan tenaga yang penting secara fungsional. Perbedaan kekuasaan antara generasi tua dan muda juga tak perlu menciptakan perbedaan strata yang dinilai. Karena tak ada masyarakat yang menilai pemudanya kurang berguna secara moral ketimbang orang yang lebih tuanya tak soal berapa banyak kekuasaan yang berbeda yang dimiliki orang lebih tua itu untuk sementara waktu. (7) Karena itu, ketimpangan sosial dikalangan strata berlainan dalam jumlah barang yang langka dan diinginkan dan dalam jumlah gengsi dan kehormatan yang mereka terima, keduanya adalah fungsional dan tak terelakkan dalam setiap masyarakat. Bila keberatan yang hingga saat ini telah dikemukakan itu dianggap masuk-akal, maka dapat dinyatakan bahwa satu-satunya hal yang harus didistribusikan secara tak merata adalah kekuasaan dan kekayaan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas yang berbeda. Bila kekuasaan dan kekayaan berbeda itu dipandang oleh semua orang sebagai setaraf dengan tanggungjawab yang berbeda dan bila kekuasaan dan kekayaan itu secara kultural ditetapkan sebagai sumberdaya dan bukan sebagai hadiah, maka tak ada perbedaan gengsi dan kehormatan yang perlu menyusul. 640



Historis terbukti, setiap waktu kekuasaan dan kekayaan terdistribusi secara tak merata, gengsi dan kehormatan pun cenderung terdistribusi secara tak merata. Tetapi historis belum pernah ada upaya sistematis yang dibuat dibawah konsidi yang tepat, membangun tradisi bahwa tiap orang sama bermanfaatnya secara sosial dengan seluruh orang lain sepanjang ia sungguhsungguh melaksanakan tugasnya dengan tepat. Meski tradisi seperti itu nampak utopia sama sekali, namun belum pernah ada fakta yang diketahui dalam psikologi atau ilmu sosial yang menunjukkan kemustahilannya atau ketakfungsionalannya untuk melanjutkan kehidupan masyarakat. Pencapaian institusionalisasi penuh tradisi demikian nampaknya masih terlalu jauh dimasa depan. Tradisi demikian diperkirakan berturut-turut tak berada diluar jangkauan inovasi sosial. Lalu apa “fungsi positif” stratifikasi sosial? Adakah fungsi negatif ketimpangan sosial yang terlembaga yang dapat dikenali, meski hanya untuk sementara? Sebagian fungsi negatif stratifikasi itu telah diutarakan dalam paper ini. Bersama dengan yang lain, fungsi negatif stratifikasi itu kini dapat dinyatakan dalam bentuk pernyataan sementara, sebagai berikut: 1. Sistem stratifikasi sosial berfungsi membatasi kemungkinan penemuan bermacam-macam bakat yang tersedia dalam masyarakat. Ini dihasilkan dari fakta ketimpangan akses ke motivasi yang tepat, saluran pengerahan dan pusat pendidikan. 2. Sistem



stratifikasi



sosial



berfungsi



menetapkan



batas



peluang



berkembangnya sumber produktif masyarakat, sekurang-kurangnya dalam hubungannya dengan apa yang menjadi kasus berdasar kondisi semakin besarnya persamaan peluang. 3. Sistem stratifikasi sosial berfungsi menyediakan elite kekuasaan politik yang perlu untuk mendapatkan dukungan dan kekuasaan sebuah ideologi yang merasionalkan status-quo sebagai sesuatu yang “logis”, “alamiah”, dan “benar secara moral”, apapun rupanya. Dalam hal ini sistem stratifikasi sosial berfungsi pada dasarnya berpengaruh konsevatif dalam masyarakat. 641



4. Sistem stratifikasi sosial berfungsi mendistribusikan citra diri yang menyenangkan secara tak merata diseluruh anggota masyarakat. Hingga tahap citra diri yang menyenangkan seperti itu menjadi syarat untuk mengembangkan potensi kreatif yang melekat dalam diri manusia, hingga tahap itu sistem stratifikasi sosial berfungsi membatasi perkembangan potensi kreatif ini. 5. Hingga tahap, ketimpangan dalam hadiah sosial tak dapat sepenuhnya diterima oleh orang yang kurang memperoleh hak istimewa, sistem stratifikasi sosial berfungsi mendorong permusuhan, kecurigaan dan ketakpercayaan dikalangan berbagai segmen masyarakat dan dengan demikian membatasi peluang memperluas integrasi sosial. 6. Hingga tahap, perasaan sebagai anggota penting dalam masyarakat tergantung pada tempat seseorang pada anak-tangga gengsi masyarakat, sistem stratifikasi sosial berfungsi mendistribusikan ketimpangan perasaan sebagai anggota penting dikalangan anggota masyarakat. 7. Hingga tahap kesetiaan pada masyarakat tergantung pada anak-tangga gengsi masyarakat, sistem stratifikasi sosial berfungsi mendistribusikan ketimpangan kesetiaan ditengah-tengah anggota masyarakat. 8. Hingga tahap partisipasi dan apatisme tergantung pada perasaan sebagai anggota



penting



masyarakat,



sistem



stratifikasi



sosial



berfungsi



mendistribusikan motivasi untuk berpartisipasi secara tak merata dalam masyarakat. Masing-masing kedelapan proposisi di atas mengandung hipotesis implisit mengenai konsekuensi ketimpangan distribusi hadiah dalam masyarakat sesuai dengan gagasan tentang pentingnya fungsi berbagai posisi. Inilah hipotesis empiris yang menjadi sasaran pengujian. Hipotesis ini ditawarkan disini hanya sebagai contoh dari berbagai macam konsekuensi stratifikasi sosial yang tak sering diperhatikan dalam menghadapi masalah itu. Hipotesis itu juga membantu memperkuat keraguan bahwa ketimpangan sosial adalah sebuah muslihat yang berfungsi seragam untuk berperan menjamin bahwa tugas yang paling penting 642



dalam masyarakat akan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh orang yang paling kompeten. Jelaslah



ciri



mengherankan



campuran



siapapun.Bila



fungsi



ketimpangan



sosiologi



canggih



sosial dalam



takkan



sampai



hal



tertentu,



kecanggihannya itu jelaslah mengenai kesdarannya atas ciri campuran setiap tatanan sosial, ketika pengamat memperhatikan konsekuensi jangka panjang maupun pendek dan baik dimensi tersembunyi maupun nyata tatanan sosial itu.



Rangkuman Dalam paper ini diajukan pertanyaan mengenai ketakterelakkan dan fungsi positif sistem stratifikasi atau mengenai institusionalisasi ketimpangan sosial dalam distribusi hadiah, yang dialokasikan sesuai dengan gagasan tentang lebih besar dan lebih lecil kepentingan fungsi berbagai posisi. Kemungkinan makna alternatif konsep “pentingnya fungsi” telah ditunjukkan menjadi satu kesulitan. Persoalan kelangkaan atau berlimpah-ruah bakat yang ada telah ditunjukkan sebagai sumber prinsip kemungkinan perbedaan. Sejauh periode pendidikan untuk mendapatkan posisi terampil layak dipandang sebagai pengorbanan, telah menimbulkan pertanyaan. Kemungkinan yang telah dikemukakan bahwa jenis rencana motivasi yang sangat berbedapun dapat dibayangkan berfungsi. Perbedaan kekuasaan dan kekayaan secara terpisah dapat dianggap sebagai sumber yang tepat untuk tugas tertentu. Perbedaan kekuasaan dan kekayaanpun dapat dianggap sebagai hadiah pelaksanaan tugas. Juga telah dipertahankan bahwa perbedaan dalam gengsi dan kehormatan tak harus mengikuti perbedaan kekuasaan dan kekayaan bila kekayaan dianggap sebagai sumber motivasi yang tepat ketimbang sebagai hadiah. Terakhir, beberapa fungsi negatif dari institusionalisasi ketimpangan sosial untuk sementara telah dikenali, menyatakan ciri campuran akibat stratifikasi sosial, dan menimbulkan keraguan terhadap anggapan itu.



643



Ketimpangan sosial dengan demikian adalah muslihat yang dikembangkan tanpa sadar dengan ketimpangan itu masyarakat memastikan bahwa posisi yang sangat penting benar-benar diisi oleh orang yang paling memenuhi syarat.8



Catatan kaki 1. American Sociological Review, X (April, 1945: 242-249). Artikel sebelumnya karya K. Davis berjudul, “A Conceptual Analysis of Stratification”, ASR, VII (June, 1942: 309-321). 2. Kualitas “kelangkaan dan diperlukan” dari barang dan jasa, tak pernah ditunjukkan secara eksplisif oleh Davis dan Moore. Bagi penulis argumen itu tak bermakna kecuali kalau barang dan jasa itu digolongkan (diberi ciri). 3. Argumen yang dikemukakan disini adalah versi yang disingkatkan dari sebuah analisis yang jauh lebih panjang berjudul An Essay on Social Stratification. 4. Davis dan Moore menyadari secara eksplisit tentang kesulitan yang timbul disini dan mengusulkan dua “petunjuk bebas” selain dari nilai kelangsungan hidup. 5. Davis dan Moore menyatakan hal ini secara ringkas (di hal. 375 buku ini) etapi tidak menguraikannya lebih lanjut. 6. Di AS misalnya kita baru kini menyadari jumlah produktivitas kita selaku sebuah masyarakat yang hilang melalui pengalokasian peluang dan hadiah bermutu rendah dan karena itu motivasi bermutu rendah bagi peduduk Negro. Jumlah kerugian sebenarnya sukar ditentukan secara tepat. Namun taksiran kasar dapat dibuat berdasar asumsi bahwa susunan bakat yang ditemukan pada penduduk kulit putih kira-kira sama dengan yang ada dikalangan Negro. 7. Memang hanya yang ada taksiran kasar dan jelas terdapat perbedaan pendapatan dikalangan yang disebut kelompok elite, sehingga proposisi yang dipegang hanya relatif kurang-lebih 8. Davis and Moore, op. cit : 243.



644



Jawaban Kingsley Davis Kritik Tumin yang hampir sama panjangnya dengan artikel yang dikritiknya, sayangnya bukan dimaksud untuk melengkapi atau merubah teori Davis dan Moore tetapi untuk membuktikannya keliru. Kritik itu juga membuat contoh yang buruk dilihat dari sudut pandang metodologi. Bagaimanapun, kritik itu memberikan kami peluang kecil untk menjelaskan dan memperluas bahsan aslinya. Bahasan asli yang hanya 8 halaman adalah analisis ringkas tentang masalah demikian besar sehingga terpaksa mengabaikan topik relevan tertentu dan memaksa bagian yang satu masuk ke bagian yang lain. Dalam proses menjawab Tumin, kini perubahan sebagian dapat dibuat.



Pertimbangan Umum Kritik kami tertuju pada 4 kesulitan utama, dua mengenai metodologi dua lagi mengenai masalah subsantif. Pertama, Tumin nampaknya tak banyak berminat untuk memahami ketimpangan terlembaga seperti yang dikesampingkannya. Dengan menyindir bahwa kami “membenarkan” ketimpangan itu, ia masuk kedalam kesalahan biasa mengenai penjelasan kausal tentang sesuatu dengan membenarkannya: ia sendiri tak menawarkan penjelasan tentang universalitas 645



ketimpangan terstratifikasi itu. Diseluruh kritiknya ia memperdebatkan bahwa stratifikasi tak harus ada, meski mencoba memahami mengapa ada. Perhatian kami hanya tertuju pada persoalan yang kemudian. Karena Tumin memilih untuk menyatakan proposisi kami menurut kata-kata kami sendiri ketimbang menurut kata-katanya, maka ia tak mampu menggambarkan kami memikirkan pertanyaan apakah stratifikasi “tak terhindarkan”. Kedua, Tumin mengacaukan antara pemikiran abstrak, atau teoritis disatu pihak dengan generalisasi empiris mentah di lain pihak. Demikianlah, banyak kritiknya berdasarkan pemikiran keliru, konkritnya salah letak. Artikel kami mengenai ketimpangan terstratifikasi sebagai ciri umum sistem sosial. Artikel itu mencerminkan abstraksi tingkat tinggi, karena jelas terdapat aspek lain masyarakat yang didalam keadaan sebenarnya mempengaruhi operasi unsur gengsi. Karena itu mustahil langsung pindah dari jenis proposisi yang kami buat ke proposisi deskriptif, katakanlah mengenai masyarakat Amerika. Ketiga, dengan hanya memusatkan perhatian pada satu artikel jurnal, Tumin mengabaikan sumbangan teoritis kami yang lain tentang stratifikasi dan aspek masyarakat yang relevan lainnya. Dengan demikian ia baik salah dalam menggambarkan teori maupun maupun mengajukan pertanyaan yang sebenarnya telah dijawab di tempat lain. Keempat, dengan mengabaikan tambahan teori di tempat lain, Tumin gagal mencapai konsistensi dalam menggunakan konsep “stratifikasi”. Dalam kaitan ini, syarat pertamanya adalah membedakan antara status yang terstratifikasi dan yang tak terstratifikasi. Salah seorang penulis yang diserang Tumin telah menunjukkan perbedaannya



tergantung



pada



keluarga.



“Posisi



orang



yang



mungkin



digabungkan dalam keluarga sah yang sama - yakni posisi berdasarkan jenis kelamin, umur, dan ikatan keluarga, bukan merupakan bagian dari sistem stratifikasi. Sebaliknya, posisi orang yang secara sosial dilarang bergabung dalam keluarga sah yang sama - yakni posisi kasta atau kelas yang berbeda - merupakan apa yang kami sebut stratifikasi”.1 Perbedaan ini adalah mendasar, tetapi sebagai tambahan perlu disadari bahwa dua pertanyaan berbeda dapat diajukan mengenai posisi terstratifikasi: (1) Mengapa ada perbedaan penilaian dan hadiah yang 646



diberikan kepada posisi yang berbeda? (2) Bagaimana cara individu terdistribusi ke dalam posisi yang berbeda ini? Teori kami dirancang untuk menjawab pertanyaan pertama dengan alat pertanyaan kedua. Tetapi banyak kebingungan yang dihasilkannya, seperti dilukiskan oleh kemanduaan arti (ambiquities) buatan Tumin, karena istilah “stratifikasi” digunakan dengan cara sedemikian rupa sehingga melupakan perbedaan antara keduanya.



Kritik Khusus Akan terlihat bahwa keempat kesulitan itu mengganggu Tumin diseluruh ucapannya dan menimbulkan banyak kekaburan. Dalam menjawab kritikannya, kami akan mengikuti urutannya dilihat dari sudut proposisi yang dikaitkan dengan artikel kami. 1. Pentingnya Fungsi yang Berbeda Dari Posisi Tumin mengkritik gagasan tentang ketimpangan pentingnya fungsi dengan alasan bahwa konsepnya tidak jelas, tak dapat diukur dan dinilai dan bahwa sistem motivasi lain dapat difikirkan. Hal yang terakhir ini tak relevan karena proposisi yang dibicarakan tidak menyatakan apapun menegnai motivasi. Demikian pula kata-kata mengenai “kriteria bermuatan nilai” karena kami tak pernah mengajukan kriteria seperti itu. Mengenai kesukaran mengukur pentingnya fungsi, kami telah menyatakan ini sebelum Tumin menyatakannya tetapi ia tak memilih untuk membahas dua kriteria yang kami usulkan dalam artikel. Kesukaran ukuran empiris yang tepat, tidak dengan sendirinya membuat sebuah konsep menjadi tak berharga; bila demikian, kami sebenarnya sudah harus membuang seluruh konsep teoritis yang ada. Ukuran kasar pentingnya fungsi sebenarnya diterapkan dalam praktek. Dalam masa perang misalnya, keputusan dibuat mengenai industri dan pekerjaan yang mana yang akan diprioritaskan 647



dalam perlengkapan kapital, pengerahan tenaga kerja, bahan mentah dan sebagainya. Dalam negara totaliter, keputusan serupa dibuat dimasa damai, seperti juga di kawasan terbelakang yang berupaya memaksimalkan modernisasi sosial dan ekonomi mereka. Perusahaan secara individual harus terus-menerus memutuskan posisi mana yang penting dan yang mana yang tidak penting dan yang mana yang tidak penting. Tak ada keajaiban apapun tentangnya pentingnya fungsi. Tumin menunjukkan bahwa pekerja tak terampil dalam pabrik, sama pentingnya dengan insinyur. Ini tentu saja benar tetapi kami tetap berpendapat bahwa penilaian posisi bukanlah hasil dari pentingnya fungsi saja tetapi juga hasil pengorbanan personil yang memenuhi syarat. Situasi konkrit adalah produk dari keduanya. Diperlukan lebih banyak kapital untuk mendidik seorang insinyur ketimbang mendidik seorang pekerja tak terampil, dan demikian pula insinyur takkan dididik sama sekali kecuali kalau pekerjaan mereka dianggap penting. Tumin sebenarnya tak menyangkal perbedaan pentingnya fungsi posisi. Ia menyembunyikan persetujuannya atas proposisi itu melalui kesukaannya berargumentasi. 2. “Stratifikasi” Menghambat Pengembangan Bakat. Keberatan Tumin atas gagasan tentang kelangkaan tenaga terdidik dan berbakat berdasarkan atas argumen (a) bahwa masyarakat tak mempunyai “pengetahuan mendalam” tentang bakat yang ada dikalangan anggotanya, dan (b) bahwa ketimbang memudahkan, stratifikasi malah mengganggu pemilihan tenaga berbakat. Pendapat pertama adalah ngawur karena sistem seleksi yang efektif (misalnya dalam organisasi sepak bola) tidak memerlukan pengetahuan terlebih dahulu tentang bakat. Pendapat kedua adalah penting tetapi anehnya Tumin lupa merujuk ke bahasan kemudian masalah ini juga oleh Davis.2 Dalam mengajukan masalah itu Davis menyatakan: “Orang mungkin berkeberatan atas penjelasan terdahulu tentang stratifikasi (seperti terkandung dalam artikel Davis dan Moore) 648



atas dasar bahwa penjelasan itu sesuai dengan tatanan masyarakat kompetitif tetapi tidak sesuai dengan tatanan masyarakat non kompetitif. Contohnya, dalam masyarakat berkasta nampak bahwa orang tidak mendapatkan posisinya karena bakat atau pendidikan tetapi lebih karena kelahiran. Kritik ini menimbulkan masalah dan kekuatan penting sebagai tambahan atas teori”. Tambahannya berbentuk seperti berikut: Teori yang dimaksud adalah teori yang menjelaskan perbedaan gengsi posisi ketimbang individu. Meski orang dari kasta tinggi menduduki posisinya karena orang tuanya, fakta ini tidak menjelaskan penilaian tinggi posisi kasta dalam komunitas, Rendahnya posisi tukang-sapu dibandingkan dengan orang dari kasta pendeta, tak dapat dijadikan penjelasan dengan menyatakan bahwa anak tukang sapu akan menjadi tukang sapu dan anak Brahmana akan menjadi Brahmana. Penjelasan tentang perbedaan penilaian atas strata, harus dicari di tempat lain, dalam nilai kelangsungan hidup yang menarik orang yang memenuhi syarat ke dalam posisi yang secara fungsional sangat penting. Tetapi karena ini bukan satu-satunya keharusan fungsional yang menandai sistem sosial, maka dalam keadaan sesungguhnya dibatasi oleh syarat dan struktur tertentu lainnya. Diantaranya adalah keluarga, yang membatasi mobilitas vertikal melalui mekanisme warisan dan penggantian (suksesi). Tetapi peran pembatas keluarga itu tak pernah sempurna karena dalam tiap masyarakat senantiasa terjadi mobilitas vertikal. Jadi pengaruh dapat memilih dari sistem gengsi dalam bentuk aslinya, hanyalah ada secara abstrak bukan secara konkrit; demikian pula dalam hal pewarisan status. Akibatnya, dengan menyatakan bahwa dalam masyarakat tertentu ada warisan sebagian posisi tinggi, bukan berarti menyangkal bahwa pada waktu bersamaan, sistem gengsi tetap bekerja untuk menarik orang yang mampu ke dalam posisi tinggi itu. Sumber kekacauan dalam argumen ini adalah kemenduaan arti istilah “stratifikasi”. Seperti ditujukan di atas. Disatu pihak istilah stratifikasi kami gunakan untuk menunjuk pada ketimpangan hadiah yang telah terlembaga seperti antara strata secara kasar.3 Dilain pihak, istilah itu digunakan (seperti yang secara implisit digunakan Tumin) dalam arti warisan status kelas. Dengan pengertian terakhir ini, gagasan bahwa stratifikasi menyumbang terhadap mobilitas ke atas, 649



tentu saja tidak pantas. Orang tak dapat mengharapkan teori yang dirancang untuk menjelaskan keberadaan universal ketimpangan terlembaga seperti antara posisi, pada waktu bersamaan menjelaskan pula warisan status kelas. Namun ada peluang memperluas teori itu dengan menggabungkannya dengan analisis umum tentang hubungan keluarga dengan sistem hadiah yang berbeda dalam masyarakat. Ini telah dikerjakan Davis dan hasilnya adalah bahwa orang dapat memahami adanya gabungan dalam masyarakat yang sama tentang (1) kedudukan yang berbeda dari posisi yang terstratifikasi, (2) kuantitas mobilitas vertikal tertentu, dan (3) kuantitas tertentu warisan status. Inilah perluasan teori yang dilupakan Tumin. 3. Kritik “Tak Ada Pengorbanan” Sebenarnya Tumin berpendapat bahwa hadiah yang tak berbeda adalah perlu untuk mendorong individu memenuhi syarat menempati posisi yang lebih penting secara fungsional karena mereka tidak membuat “pengorbanan”. Untuk mendukung pandangannya, ia menyatakan (1) keluarga sering berkorban untuk keturunannya (2) lenyapnya daya pendapatan selama periode pendidikan, dapat diabaikan, dan (3) gengsi selama periode pendidikan adalah tinggi. Tetapi poin (1) lebih memperkuat teori ketimbang menyangkalnya. Tak membuat perbedaan penting bahwa keluarga memikul beban pendidikan; faktanya adalah bahwa ada bebean. Perbedaan kemampuan keluarga untuk membuat pengorbanan demikian tentu saja kembali ke peran keluarga dalam membatasi persaingan untuk mendapatkan status, yang telah dibahas. Tuntutan di poin (2) bahwa kehilangan daya pendapatan selama periode pendidika yang lebih besar dari pada yang dikejar ditahun-tahun berikutnya, sekali lagi menguatkan teori, karena kami telah menyatakan bahwa ada hadiah yang berbeda untuk orang yang mencapai posisi penting secara fungsional. Mengenai poin (3) fakta bahwa tenaga terdidik menikmati taraf hidup lebih tinggi dari pada taraf hidup rekan sebaya mereka yang telah kembali ke status keluarga, telah dibahas. Tak ada pernyataan bahwa hadiah psikis yang tinggi selama periode pendidikan yang mengemukakan keberatan terhadap teori karena hadiah psikis ini terutama adalah cerminan hadiah yang diharapkan bahwa status tinggi pada akhirnya akan dicapai melalui 650



pendidikan. Lucunya, diseluruh bahasannya tentang “pengorbanan”, meski Tumin memikirkan pendidikan tenaga profesional, sekalipun tak pernah menyebutkan kesukaran memenuhi keperluan pendidikan. Sayangnya, benar bahwa sebagian besar individu menganggap studi keras itu memberatkan dan studi inilah yang tak dapat dibantu keluarga menyelesaikannya. Banyak pemuda yang tak mau berkorban dan juga banyak tak mampu sekolah karena tak yakin akan berhasil. Namun masih banyak rintangan lain untuk mencapai posisi tinggi yang akan membuat individu putus-asa bila bukan karena hadiah yang ditawarkan. Karena demikian sukarnya mendapatkan tenaga yang cukup memenuhi syarat dalam posisi yang baik sehingga negara moderen mau menanggung sebagian biaya pendidikan, namun tidak menanggung semuanya. 4. Pola Motivasi Alternatif Tumin menyatakan. “ada sejumlah pola motivasi alternatif” yang sama efisiennya dengan hadiah yang berbeda yang memotivasi orang berjuang mendapatkan posisi penting. Sebenarnya ia menyebut tiga: kesenangan bekerja, perasaan melayani masyarakat dan kepentingan diri sendiri. Yang ketiga jelas palsu. Mengenai ini Tumin bertanya “Seberapa jauh motivasi kewajiban sosial dapat dilembagakan sedemikian rupa sehingga kepentingan diri sendiri dan kepentingan sosial menjadi menyatu?” Jawabnya adalah bahwa penyatuannya tak hanya mungkin, tetapi sebenarnya telah terjadi dan teori kami mengenai ketimpangan sosial telah menjelaskannya. Lalu kini hanya tinggal dua alternatif kritik yang masih terarah ke pandangan kami. Dalam artikel 8 halaman yang dikritik itu disebutkan, satu pertimbangannya adalah kesenangan yang tak sama dari kegiatan yang diperlukan oleh posisi yang berbeda, namun ruang tak memungkinkan kami menjelaskan implikasi ini hingga akhir. Kebenaran adalah bahwa bila tipa orang justru memilih untuk mengerjakan apa yang ingin ia kerjakan, maka seluruh anggota masyarakat hanya akan menumpuk disekitar segelintir jenis posisi saja. Masyarakat tak mungkin beroperasi atas dasar ini karena memerlukan pelaksanaan aneka-ragam tugas. Karena itu masyarakat yang ingin bertahan hidup, mengembangkan berbagai sistem perangsang disamping 651



kesenangan bekerja, untuk memotivasi orang mengerjakan pekerjaan yang takkan mereka kerjakan kalau tidak dirangsang. Terakhir mengenai perasaan untuk melayani masyarakat, sosiolog manapun mestinya tahu kekurangan altruisme yang tak berhadiah itu sebagai cara mendapatkan orang yang mampu bekerja secara sosial. Harus diingat bahwa perbedaan hadiah yang menandai skala status itu tidak seluruhnya bersifat materi; hadiah itu juga ada dalam opini yang baik dan harapan orang lain dan dalam perasaan kepuasan diri karena ditempatkan sebagai orang yang baik di mata orang lain. Tak seorangpun akan menyangkal bahwa kesenangan bekerja dan perasaan hendak melayani masyarakat adalah motif sebenarnya, juga takkan ada orang yang menyangkal realitas tentang hasrat untuk mendapatkan penghargaan (berbeda dari gengsi) tetapi dalam setiap masyarakat, kesemuanya itu lebih merupakan tambahan saja ketimbang alternatif atas mekanisme hadiah dari posisi. 5-6. Jenis Hadiah Artikel Davis dan Moore menyebut klasifikasi kasar tiga pihak jenis hadiah yang terdapat dalam posisi yang terstratifikasi. Tumin menyatakan klasifikasi ini mungkin digunakan secara tak seimbang, masyarakat tertentu mungkin lebih menekankan pada satu jenis hadiah ketimbang pada dua jenis yang lain. Ini benar; kami tak menyatakan apapun yang bertentangan dengan itu. Tumin selanjutnya menyatakan bahwa masyarakat memberikan persetujuan atas perilaku yang sesuai dengan normanya; Kami jelas tak pernah membantah ini; memang dalam kaitannya dengan posisi, Davis telah memberikan sebuah nama kepadanya kehormatan, semacam persetujuan yang menyertai pemenuhan kewajiban sebuah posisi dengan tepat.4 Persetujuan yang menyertai izin menempati sebuah posisi, yakni persetujuan yang dilekatkan pada posisi itu dan bukan pada tingkat ketepatan dalam pelaksanaan kewajibannya, yang disebut gengsi. Apapun katakata yang digunakan, perbedaannya penting namun Tumin telah mengelirukan antara keduanya. Sistem sosial, meski pasti menggunakan penghargaan, namun sama sekali tidak dibangun berdasarkan penghargaan saja, karena harus ada 652



motivasi yang bukan hanya



diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan



persyaratan posisi yang ditempati tetapi juga untuk berjuang agar menempati posisi tertentu. Pengahargaan sendiri cenderung menghasilkan sebuah masyarakat statis, sedangkan gengsi menghasilkan masyarakat dinamis. Pernyataan Tumin bahwa posisi orang tua vis-a-vis posisi anak bukanlah bagian dari sistem yang terstratifikasi adalah benar, tetapi pernyataan itu benar-benar mengakui perbedaan antara astatus yang terstratifikasi dan yang non terstratifikasi yang telah dikatakan Davis sebagai bagian esensial teori yang dilupakan oleh Tumin. 7. Tak Terelakkan dan Tak Berguna. Sebagai puncak bahasannya atas pemikiran kami, Tumin menyimpulkan bahwa ketimpangan sosial adalah tak terelakkan dalam masyarakat. Perlu ditegaskan kembali bahwa kami tidak memikirkan masa depan tak terbatas atau sesuatu utopia tetapi memperhatikan masyarakat seperti yang kami lihat. Tak ada bukti atau bantahan proposisi tentang kemungkinan tak terelakkan. Sebagai “bukti” pandangannya tentang ketakterelakkan, Tumin berharap melihat masyarakat berdasarkan atas “tradisi bahwa setiap manusia sama bergunanya dengan seluruh manusia lain selama ia melaksanakan tugasnya dengan tepat dan bersungguhsungguh. “Tetapi sekali lagi, inilah gagasan tentang masyarakat yang semata-mata berdasarkan atas penghargaan. Pertanyaan yang masih tersisa pertama-tama bagaimana cara menempatkan orang ke dalam posisi mereka yang berbeda dengan tugas mereka yang setepatnya?” Orang hampir tak dapat mengkeritik sebuah teori dengan mengabaikan masalah yang diuraikannya. Tumin selanjutnya menjelaskan cara-cara tak bergunanya (disfunctional) stratifikasi. Tetapi disebagian besar apa yang ia katakan, “stratifikasi” masih digunakan dalam pengertian warisan status. Sejauh pernyataannya tentang tak bergunanya stratifikasi itu benar, maka yang melakukan kejahatan adalah keluarga, bukan hadiah posisi yang berbeda. Ia juga menyatakan citra-diri yang tak baik, tetapi ketakbergunaan citra-diri ini tidak jelas, karena citra-diri yang tak baik itu dapat menjadi stimulus yang sangat kuat untuk berkompetisi dan 653



melakukan kegiatan kreatif. Sambil lalu, dibagian kritiknya ini Tumin membuat pernyataan tentang kegunaan stratifikasi dengan keyakinan kuat, meski dibagian awal ia menyangsikan kegunaan stratifikasi itu akan dapat ditentukan. Yang benar adalah bahwa setiap aspek masyarakat adalah fungsional dalam hal tertentu dan disfungsional dalam hal lain. Teori kami dirancang untuk memberikan kesan bahwa ketimpangan posisi yang dilembagakan memberikan sumbangan



terhadap



masyarakat



seperti



yang



diperhatikan.



Sebaliknya



nampaknya sukar jika tak mustahil untuk menerangkan penampilan universal ketimpangan demikian. Penyimpangan memang nampak tetapi sama sekali tidak meniadakan prinsip. Analisis Tumin tentang disfungsi ketimpangan adalah wajar karena kekeliruannya mengenai apa yang dimaksud dengan disfungsi itu, karena tak terbiasa membahas konsep fungsi, dan karena ketiadaan gagasan yang jelas tentang sistem sosial sebagai satu-satunya kekuatan penyeimbang skala posisi yang terstratifikasi. Catatan kaki. 1. Kingsley Davis, Human Society (NY: The Macmillan Co., 1949: 364). 2. Ibid: 369-370. 3. Kingsley Davis, “A Conceptual Analysis of Stratification”, ASR, VII (June, 1942: 309-321). 4. Ibid; dan Davis, op. Cit: 93-94.



Komentar Oleh : Wilbert E. Moore 654



Umumnya aku setuju dengan jawaban Prof. Davis yang agak lebih luas dari pada komentar yang aku siapkan secara terpisah. Namun aku ingin menekankan bahwa tak ada alasan untuk menyangkal kebenaran dan bahkan kepatutan pendekatan teoritis Tumin terhadap sistem equalitarian sejauh prinsip struktur sosial yang relevan diperhatikan. Aku tak yakin Tumin telah memenuhi kualifikasi terakhir ini. Berkenaan dengan kritikannya atas artikel kami, aku mempunyai kesan bahwa Tumin telah membuat kesalahan besar karena tidak mendefinisikan stratifikasi sosial secara tegas, yang selanjutnya menyebabkan ia menganggap bahwa hadiah yang berbeda dan ketimpangan peluang adalah hal yang sama. Baik teori atau bukti empiris takkan ada yang mendukung penyamaan ini dan membenarkannya dengan definisi selengkapnya, hanya akan menghalangi riset penting secara teoritis.



Jawaban Terhadap Kingsley Davis Oleh : Melvin M. Tumin



655



Kita memajukan ilmu kita dengan membangun dan mengembangkan pernyataan teoritis yang ada yang dirumuskan oleh rekan ilmuwan kita. Itulah maksudku ketika mengambil artikel Davis dan Moore sebagai pernyataan terbaik posisi teoritis yang pernah disajikan. Karena itu aku menyesal karena Davis telah memandang kritikanku dengan sorotan agak berbeda. Aku pilih artikel Davis dan Moore untuk dikritik seharusnya menjadi bukti yang cukup tentang respekku terhadapnya. Dengan melihat keberatan Davis atas revisi yang kuusulkan, kini tersedia peluang untuk menunjukkan issu sentral yang seharusnya dihubungkan. 1. Apakah fakta bersifat universalnya pola institusional tertentu berarti secara tersirat menyatakan fungsi positif pola itu? Bukankah banyak pola bersifat universal yang secara struktural membatasi efisiensi manusia? Ciri-ciri alternatif pola universal ini perlu ditawarkan karena Davis bersikeras bahwa hanya pola-pola yang bertahan hiduplah yang terbukti menjadi “yang terbaik bagi masyarakat”. Jelaslah ia tak dapat menggunakn argumen ini untuk menerangkan sistem stratifikasi yang ada tanpa menerapkannya secara sama terhadap masalah lain seperti pelembagaan kebodohan manusia, kemiskinan dan perawatan penyakit dengan berdukun. 2. Apakah keuniversalan sebuah pola institusional perlu memberikan kesaksian mengenai sangat diperlukannya pola itu? Dalam hal stratifikasi, apakah Davis benar-benar bermaksud menyatakan secara tak langsung bahwa fungsi menemukan dan menjatahkan bakat tak dapat dilakukan oleh institusional sosial lain? Karena cara teoritis dapat dijadikan muslihat dimana seluruh fungsi sosial utama lain yang dilaksanakan jelas sangat diperlukan, tetapi ketimpangan sebagian motif dan hadiah tak ada, lalu bagaimana cara menjelaskan stratifikasi dilihat dari sudut keharusan dan ketakterelakkan struktural dan fungsional? 3. Karakteristik penting seluruh sistem kekeluargaan yang dikenal adalah bahwa sistem kekeluargaan itu berfungsi sebagai pemancar ketimpangan dari generasi ke generasi berikutnya. Begitu pula karakteristik penting



656



seluruh sistem stratifikasi yang diketahui adalah bahwa sistem itu menggunakan sistem kekeluargaan sebagai agennya dalam menyebarkan ketimpangan. Sebenarnya ini menyatakan hal yang sama dalam dua cara yang nampaknya berbeda. Faktanya adalah bahwa sistem kekeluargaan dan stratifikasi tumpang-tindih dalam semua masyarakat yang dikenal. Orang tak dapat melukiskan sebuah sistem kekeluargaan tertentu secara lengkap tanpa secara implisit



memasukkan penyebab ketimpangan bila orang



menentukan fungsi “tingkatan status” bagi keluarga. Begitu pula orang tak dapat melukiskan beroperasinya sistem stratifikasi tertentu tanpa secara tersirat menyatakan penyebaran ketimpangan dari generasi ke generasi, bila orang memasukkan dinamika ketimpangan. Sejauh ini benar, maka benar menurut definisi bahwa pengeluaran dari sistem kekeluargaan yang berfungsi sebagai pemancar ketimpangan (dan karenanya merubah definisi sistem kekeluargaan) dapat melenyapkan ketimpangan yang dikaitkan dengan generasi. Karena itu yang membingungkanku adalah bagaimana orang dapat menentukan “kekejian” tindakan penyebaran ketimpangan ke sistem kekeluargaan dan selanjutnya bersikukuh bahwa sistem stratifikasi dalam hal ini adalah murni. 4. Jelaslah, penolakan atas kemampuan dan hak orangtua menyebarkan baik keuntungan maupun kerugian kepada keturunan mereka, akan memerlukan perubahan fundamental dalam semua konsep struktur kekeluargaan yang ada. Sekurang-kurangnya harus dipertahankan pemisahan antara unit keluarga yang mereproduksi dan unit yang mensosialisasi. Menurut teori, pemisahan ini, sungguh mungkin. Dalam prakteknya dapat terjadi secara revolusioner. Salah satu kemungkinan akibatnya adalah perubahan menyeluruh motif yang mendorong orang berusaha keras. Justru kemungkinan motif alternatif inilah yang banyak dibicarakan dalam argumen asliku. Davis membantah motif “penghargaan” karena dianggapnya tak mencukupi dengan alasan bahwa penghargaan sendiri cenderung menciptakan masyarakat statis. 657



Terlepas dari kemungkinan adanya sumber kebenaran, tak ada bukti empiris yang dapat mendukung pernyataan Davis itu. Selanjutnya, mengenai motivasi alternatif, Davis menyatakan bahwa (a) bila tiap orang memilih hanya mengerjakan apa yang ingin ia kerjakan, maka seluruh anggota masyarakat hanya akan menumpuk disekitar segelintir posisi saja; dan (b) setiap sosiolog harus tahu kekurangan altruisme yang berhadiah sebagai cara mendapatkan perilaku yang memadai secara sosial. Pernyataan ini adalah tidak benar, bahkan menurut defenisi dan memang belum melakukan studi empiris yang dapat dipercaya yang akan mendukungnya seperti dinyatakan Davis. Nampaknya bukanlah menjadi hal terbaik bagi perkembangan ilmu dengan menutup pintu penelitian mengenai kemungkinan alternatif tatanan sosial. 5. Terakhir, argumen sentralku sebenarnya tertuju pada adanya fungsi strategis sistem stratifikasi yang diabaikan dalam artikel Davis dan Moore. Aku mencoba menemu-kenali sejumlah operasi stratifikasi yang jelas nampak membuat tak efisien proses penempatan dan pengalokasian bakat. Dalam jawabannya Davis memilih mengabaikan disfungsi ini atau lebih mengaitkannya dengan sistem kekeluargaan ketimbang dengan stratifikasi. Namun disfungsi ini jelas kelihatan. Menambahnya dengan fungsi positif yang telah diketahui, kita akan mendapat hasil bersih campuran ketimpangan yang terjadi. Memang, seluruh tatanan institusional yang rumpil terikat dan bercampur dengan alat pembantunya. Ada penghargaan atas campuran ini dan kepekaan ditekankan pada aspek yang tak diinginkan, yang memaksa orang terlibat dalam reformasi sosial dengan maksud tertentu. Selanjutnya ilmuwan sosial secara tradisional telah memikirkan berbagai kemungkinan tatanan sosial dan akibatnya bagi masyarakat.Ilmuwan sosial dipaksa menjelajahi dan meneliti secara mendalam mengenai apakah tatanan sosial tertentu tak terelakkan; kemudian diketahui ternyata tidak. Ilmuwan sosial bahkan makin terdorong lagi untuk meneliti ketika diketahui bahwa tatanan yang dapat dielakkan mungkin kurang efisien ketimbang cara lain yang dirumuskan 658



terakhir. Kritikanku dari semula ditujukan kepada penelitian lebih lanjut seperti itu. Dengan ikut mengemukakan masalah disini kiranya akan membantu menelitinya dengan lebih mendalam.



Sebagian Lebih Sederajat Ketimbang Yang Lain Oleh : Wilbert E. Moore Kontroversi



teoritis



interpretasi



tentang



ketimpangan



sosial



adalah



percekcokan paling lama berlangsung dalam sosiologi kontemporer. Kini, mendekati akhir dekade kedua sejak diterbitkan artikel Davis dan Moore1 dan lebih dari dua dekade sejak terbitnya versi asli esei Parons2 perdebatan terus berlanjut dengan komentar kritis penting dan luas oleh Tumin3 sebagai pernyataan utama paling mutakhir mengenai masalah ketimpangan sosial itu. Akan angkuhlah



659



mengira kalau upaya mengulas dan analisis yang menjelaskan ketimpangan sosial yang sekarang ini dianggap menentukan karena masalahnya adalah empiris tetapi juga semantik, bersifat teoritis tetapi juga berbau ideologis. Bahkan ada kemungkinan, meski sama sekali tidak pasti, bahwa kontroversi ini mendorong penelitian yang berguna maupun memberikan kenikmatan berpolemik bagi peserta dan pendukung mereka. Pernyataan terakhir Tumin dan pernyataannya sebelumnya4 dan pernyataan pakar lain5 terutama mempersoalkan keharusan universalitas ketimpangan sosial, meski tak mempersoalkan keharusan keberadaannya dimana-mana dan tambahan lagi mengajukan pertanyaan mengenai “disfungsi” stratifikasi. Pandanganku kini adalah bahwa bahasan Davis-Moore belum lengkap karena ada sebagian pernyataannya berlebih-lebihan (seperti dicatat oleh Simpson6) dan sebagian mengabaikan disfungsi. Kritikan ini telah diperhatikan oleh Davis.



7



Lagipula,



aku khususnya menolak setiap versi “fungsionalisme” yang memandang masyarakat dalam keadaan equiliBrium-stabil, baik karena tidak benar maupun karena tidak penting bagi pendidikan bahwa ketimpangan sosial merupakan ciriciri yang perlu bagi setiap sistem sosial.8 Sebagai contoh, inovasi konstruktif adalah sesuatu yang hakiki bagi masyarakat yang pemimpinnya berupaya mencapai tujuan masyarakat industri, bila orang merasa perlu menghindarkan antropomorpisme. Perilaku yang tak seimbang ini, hampir pasti menjadi hadiah yang berbeda dan jelas “fungsional” menurut makna atau nuansa konotatif istilah fungsi itu. “Teori fungsional tentang stratifikasi” hanya berpendapat bahwa posisi yang tak seimbang akan diberi hadiah yang tak seimbang dan secara diam-diam disesalkan tetapi yang bukan bersifat kriminal, tunduk pada perubahan sistem. Dengan memakai istilah “stratifikasi”, pendapat Davis dan Moore juga secara tersirat menyatakan bahwa status yang jelas dan konsisten yang dapat dihubungkan dengan individu dapat digeneralisir kedalam golongan individu yang berstatus “sama” dan dapat digolongkan kedalam kedudukan bertingkat yang disebut “strata”. Kegunaan klasifikasi dan penyajian terakhir seperti itu menjadi sasaran pengujian secara empiris; apakah definisi “operasional” dari status yang digeneralisir dan sebutlah kelas, mempunyai nilai prediktif untuk variabel660



variabel sosial yang tak termasuk kedalam defenisi itu? Bila ketakmantapan status tersebar luas dan variabel “kelas” mempunyai kekuasaan yang diramalkan lebih lemah daripada komponen-komponennya yang ditentukan secara terpisah seperti pekerjaan, pendapatan dan pendidikan, maka situasi empiris ini jelas berkaitan dengan sekumpulan rincian mengenai ciri-ciri ketimpangan dalam masyarakat. Karena “kelas” tidak menjadi alat analisis yang sangat berguna ketika diterapkan pada masyarakat rumpil kontemporer, konsep stratifikasi ini banyak sekali menerangkan kepada kita mengenai masyarakat rumpil itu. Dengan melonggarkan imajinasi teoritis atau konfrontasi empiris, konsep kelas pun



tak mampu



menerangkan kepada kita bahwa masyarakat rumpil masa kini adalah “equalitarian”. Meski Davis dan Moore agak jelas menyatakan “stratifikasi sosial” dengan ketimpangan hadiah, kini nampaknya patut disesalkan. Dalam hal ini aku bersimpati atas kritikan Buckley.9 Jadi sebagian kesulitan dalam meneruskan perdebatan ini menyangkut masalah semantik; dan sebagian lagi masalah empiris dalam arti kejelasan identifikasi kelas dan nilai prediktifnya adalah masalah fakta. Bahasan ini tertuju pada masalah tunggal: apakah ketimpangan sosial adalah ciri-ciri sistem sosial yang perlu? Pertanyaan ini bukan dimaksud sebagai pembelaan teoritis “stratifikasi sosial” yang dalam arti terbatas, jelas adalah kategori sosial yang dapat dikenali, saling terpisah satu sama lain, mempunyai posisi yang tersusun hirarkis, dan singkatnya, meliputi segenap anggota masyarakat. Proposisi yang menyatakan bahwa setiap sistem sosial menunjukkan wujud ketimpangan sosial, tak membolehkan meyimpulkan apapun tentang konsistensi kedudukan dari satu suasana tindakan ke suasana tindakan lain, rujukan empiris untuk “status sosial umum” atau pengesahan empiris “kelas sosial”. Yang kita hadapi adalah keadaan mendasar bahwa ketimpangan sosial ada dimana-mana dalam masyarakat manusia, tak dapat dibantah, dan sekurangkurangnya inilah sebagian penjelasan tentang fenomena universal yang sedang diperdebatkan ini. Penjelasan yang disajikan disini, mengulangi tesis bahwa “diferensiasi fungsional” posisi tanpa terelakkan akan memerlukan perbedaan 661



hadiah dan menambah tesis bahwa perbedaan prestasi tentu ada dan akan dinilai berbeda. Legitimasi jenis analisis ini dan hubungan potensialnya dengan persoalan kosistensi status dan “stratifikasi” dalam arti sempit, hampir tak memerlukan pembelaan. Dapat disimpulkan seperti yang dibuat Buckley, bahwa teori fungsional “menganjurkan keterputusan tak terbatasi dalam riset sosiologi”



10



benar-benar tendensius.



Proses Mendasar Penilaian Sosial Dalam upayanya membangun sistem equalitarian, Tumin mengakui perlunya membedakan kepatuhan terhadap norma dari penyimpangan. Tetapi kelonggaran ini mempunyai implikasi yang jauh jangkauannya. Bahkan dalam suasana sosial dimana persamaan hak menjadi norma atau harapan, kepatuhan terhadap harapan tak secara otomatis terjamin dan kelalaian mematuhi norma tertentu atau norma lain yang relevan, menjadi dasar penilaian negatif prestasi. Seluruh hubungan sosial yang ditentukan oleh norma (dan hubungan sosial yang mana yang tak ditentukan norma?) kemungkinan menyediakan skala kedekatan ke dan awal dari perilaku ideal. Kualitas pun ada kemungkinan dinilai berbeda barangkali sebagai petunjuk prestasi yang mungkin atau diharapkan. Dan prestasi (achievement) pandangan retrospektif dari perbuatan ada kemungkinan dinilai kecuali kalau seluruh hubungan sosial dipandang tidak kekal dan sebagai ingatan yang dihapus. Pandangan “behavioral” tentang proses penilaian sosial ini menimbulkan gradasi berkenan dengan sesuatu yang “ideal”. Tetapi tak ada alasan untuk mengira bahwa sesuatu yang ideal itu sama untuk setiap orang dalam setiap suasana tindakan. Gradasi posisi pun ditentukan oleh norma dan orang harus mempunyai dorongan kuat untuk meyakini kekuatan jahat untuk memandang seluruh norma seperti kejahatan yang dipaksakan oleh orang yang mempunyai hak istimewa. Dilihat dari sudut pandang “struktural”, gradasi posisi dianggap sebagai ciriciri mendasar ketimpangan sosial. Dari sudut pandang ini, ciri-ciri individual yang 662



mendorong penilaian (perbuatan, kualitas dan prestasi) merupakan cara akses ke posisi.



11



Penilaian itu sendiri menganugerahkan status, atau mungkin membuat



status menjadi bersifat sementara atau bersifat kekal. Namun segera setelah status dilembagakan dalam arti diberkahi dengan sangsi normatif persyaratan peran, status ini akan mempunyai kedudukan yang dikaitkan dengannya dan dengan pejabat yang mendudukinya yang secara ex officio agak terlepas dari cara ke akses. Contohnya, dalam kasus ekstrim, sebuah posisi mungkin diisi dengan mencabut lotre dan masih dianugerahi gengsi pada orang yang mendudukinya. (Agaknya “nasib” menjadi kualitas yang dinilai). Diferensiasi sosial adalah fenomena universal dan fakta kehidupan sosial yang perlu. Interpretasi “fungsional” tentang ketimpangan sosial dari Davis dan Moore bersandar pada ketimpangan kepentingan fungsional posisi dan ketimpangan pasokan bakat untuk mengisinya. Tak seperti kebanyakan analisis fungsional lain, interpretasi Davis dan Moore jelas adalah evolusioner dan seperti kebanyakan analisis fungsional, mempunyai peluang lebih rasional. Tumin pada dasarnya menyinggung masalah ketimpangan dan bakat tetapi menolak penjelasan evolusioner yang digantinya dengan pandangan bahwa stratifikasi adalah sisa kehidupan (survival) yang salah letak yang dipertahankan oleh kekuatan yang melestarikan dirinya sendiri. (Bahwa negara revolusioner membangun cara stratifikasi sosial baru, luput dari perhatian Tumin). Antara kedua cara penjelasan itu ternyata terdapat sedikit dasar bukti dan argumen harus digeser ke landasan lain. Tumin tak mau mengakhiri analisis diferensiasi fungsional, tetapi hanya perbedaan hadiah. Ia menyatakan seluruh posisi mempunyai nilai yang sama dan satu-satunya dasar yang membedakan penilaian adalah kata hati. Aku terkesan, penilaian tentang tujuan subyektif akan cepat menjurus ke penilaian kualitas, prestasi dan terutama perbuatan. Dengan kata lain, penghargaan akan menjadi cara evaluasi atau hadiah tunggal yang diperbolehkan. Untuk menyelesaikan ketimpangan yang hampir berakhir, Tumin berhadapan dengan sekumpulan tugas yang berlum terselesaikan: (1) membuat semua tugas sama sukarnya dan dalam berbagai kualitas “intrinsik” lain agar unsur-unsur 663



gengsi posisi timbul pelan-pelan; (2) mencapai koordinasi kegiatan-kegiatan khusus tanpa terpaksa menggolong-golongkan wewenang; dan (3) tentu saja menyamakan seluruh hadiah materi atau finansial dan mencegah bentuk perbedaan akumulasi apapun. Perlengkapan posisi, persyaratan peran mungkin memasukkan kekuasaan dan pengaruh. Jadi memberikan perintah, memberikan instruksi, menentukan tujuan, dan prosedur penemuan kreatif, “perilaku yang patut dicontoh” mungkin semuanya berasal dari posisi “superior” dalam berbagai kelompok dan organisasi. Rekan imbangnya adalah kepatuhan, pengetahuan, upaya untuk menyamai atau melebihi orang lain. Tindakan ini mencerminkan penerimaan sistem normatif dan legitimasi pelaksanaan peran pimpinan (the superior). Menurutku, mustahil membayangkan sebuah sistem sosial sama sekali tidak mewujudkan ketimpangan seperti ini. Kecuali kalau tugas menyamaratakan secara hakiki ini telah terselesaikan, nampaknya sangat tidak mungkin persamaan hadiah akan terlembagakan oleh sistem sosialisasi manapun yang terbayangkan. Ini akan memerlukan perluasan semangat kesyahidan lebih besar dari pada yang pernah dicapai oleh sistem keagamaan manapun dan syuhada agama mengharapkan hadiah dimasa depan berupa kenikmatan hidup (syurga) di akhirat. Aku yakin Tumin terperangkap oleh pendirian ideologis, sehingga menurutku tak ada alasan untuk menerimanya: yakni bahwa persamaan pada hakeketnya lebih adil dari pada ketimpangan. Mempraktekkan hadiah yang tak sama untuk prestasi yang tak sama, tidak serta merta dengan sendirinya menganjurkan pemimpin secara fungsional atau etika bertindak bertentangan dengan skandal memberikan hadiah yang tak sama untuk prestasi yang sama. (Untuk mempertahankan pandangan bahwa ketimpangan ipso facto adalah perbuatan salah, Tumin konsekwen menekankan hadiah yang tak sama, yang secara sistematis menghindarkan permintaan yang tak sama , seperti upaya yang sangat diperlukan untuk dapat diterimanya prestasi dalam peran tertentu atau tanggungjawab yang mengorbankan kekuasaan).



664



Masalah Hadiah Hadiah untuk prestasi yang tak sama atau prestasi dalam posisi yang tak sama mungkin bukan hanya harga-diri, persetujuan orang lain, “popularitas” dan sebagainya, tetapi mungkin termasuk alokasi berbeda dari sesuatu yang langka seperti waktu luang dan barang materi atau uang. Kini terutama hadiah materi atau finansial (keduanya tak sama) yang paling mengganggu Tumin mengenai ketimpangan sosial dan sebenarnya secara teoritis dapat dibayangkan mempunyai aturan sosial yang dapat hidup terus tanpa perbedaan daya-beli yang besar. Pemerataan pendapatan dapat memperbesar perbedaan hadiah dan perlengkapan lain untuk posisi superior. Kecuali kalau sistem distribusi pasar yang membolehkan konsumen memilih ditinggalkan sama sekali, maka cara unit konsumen menggunakan pendapatan mereka agaknya masih menghasilkan penilaian yang menyakitkan hati. Dan akan sangat sukr mencegah digunakannya sumber dan bentuk ketimpangan lain sebagai penolong untuk mendapatkan bagian yang tak seimbang dari barang yang langka persediaannya. Memang cara mengakses, perlengkapan dan hadiah posisi, semuanya tunduk pada kemungkinan alat yang digunakan dalam suasana tindakan yang sama atau yang lain. Inilah satu sumber yang jelas yang memaksakan kemantapan status.13 Tetapi derajat berlakunya kemantapan status tak terlalu mengesankan dalam masyarakat industri dan terutama dalam masyarakat majemuk dengan multi kelembagaan. Fragmentasi14 status yang semula tunggal secara nominal, menjadi subsistem analisis yang tak ada duanya - misalnya keterlibatan administrator dengan kawan sekerja, dalam struktur kekuasaan dan dalam pasar tenaga kerja lebih dari mengimbangi kecenderungan kearah penggabungan status. Pendapatan pun sebagai “pelarut universal” yang semula terbatas fungsinya menentukan “harga” dalam suasana non-ekonomi dan dalam suasana lain, mungkin masih perlu tetapi tidak lagi menjadi alat yang cukup untuk menentukan tingkatan sosial dan nilai prestasi. Dimana suasana diferensiasi sosial terfragmentasi dan sifat bisa dibandingkan diantaranya menjadi minimal karena ketiadaan cara mengukur yang memadai, 665



sebutan persamaan sisanya seperti pendapatan mungkin mengandung arti khusus. Tetapi arti khusus itu hanya akan muncul bila standar seragam ditemukan dan kesempatan menemukannya mungkin agak terbatas. Posisi Tumin disini bercampur dengan beberapa kesalahan empiris: (1) Sistem kelas “benar-benar ada”; (2) sistem kelas itu hanya menempati satu “fase” dominan kehidupan sosial yakni yang berkaitan dengan (penyebab?) gengsi dan kekuasaan; (3) manfaat usaha manusia yang lain memberikan lebih sedikit dari pada yang “seharusnya” karena ekonomi telah “menyerbu” bidang institusional lain. Mengenai dapat dibandingkannya status dalam masyarakat industri, bukan hanya pernyataan yang dibesar-besarkan tetapi menimbulkan kesan bahwa kegelisahan status lebih dapat merembes dari pada bukti yang ditunjukkan. Keyakinan Tumin atas kejahatan ketimpangan sosial, mendorongnya menyusun “buku panduan kecil untuk membimbing bajingan itu menyembunyikan ketimpangan sosial”15 dengan memasukkan berbagai ciri-ciri aktual diferensiasi sosial dalam masyarakat moderen. Maksudnya mengacaukan pengertian “status sosial umum” yang mencerminkan persekongkolan yang tak didukung bukti yang diketahui. Orang mungkin memandang sistem sosial yang ditandai diferensiasi peran yang rumpil itu seperti persekongkolan menentang upaya sosiolog memaksakan pada mereka struktur “stratifikasi sosial” yang lebih sederhana. Penggunaan elemen ketimpangan sosial sebagai alat diluar konteks aslinya adalah satu-satunya paksaan dalam sistem stratifikasi. Hak istimewa mungkin mencoba mengekalkan dirinya sendiri. Artinya, kelompok yang mempunyai hak istimewa, mungkin mencoba menjaga posisinya demi “kehormatannya sendiri” dengan merubah cara masuk, misalnya dengan menekankan kualitas yang tak relevan seperti garis silsilah atau tamatan dari sekolah tertentu. Kelompok yang besar sekali jumlah anggotanya takkan mampu mengekalkan hak istimewanya kecuali melalui bentuk rekrutmen bertentangan dengan norma dan nilai lain (misalnya kriteria prestasi yang relevan atau persamaan peluang) ketegangan bersumber rasa keadilan akan meningkat. Mempertahankan pendirian bahwa ketimpangan sosial adalah ciri-ciri mendasar sistem sosial, tak hanya berarti bahwa kedudukan seperti garis lurus dan 666



tak teraturtetapi juga mengenyampingkan ketakmantapan nilai, “disfungsi”, ketegangan, konflik, dan perubahan. Ini juga merupakan ciri-ciri empiris sistem sosial, moral analisis yang benar-benar utuh hanya ada didalam tipe-ideal yang kemanfaatannya diragukan. Jelaslah, penyokong “teori fungsional” tentang ketimpangan sosial nampaknya dalam analisis mereka masih kurang terganggu oleh orientasi ideologi ketimbang pengeritiknya.16



Makna Equalitarian Catatan kritik terakhir harus ditambah mengenai interpretasi setiap manifestasi ketimpangan sosial berlawanan dengan nilai persamaan yang diakui yang dihubungkan dengan masyarakat Amerika dan beberapa masyarakat industri lainnya.17 Kini tak ada ketakmantapan nilai atau ketakmantapan antara yang ideal dan praktek temuan empiris yang mengherankan, tetapi kesimpulan harus mendekati yang diperingatkan. Ideal maupun norma perilaku tunduk kepada pembatasan oleh konteks tindakan sosial. Ini adalah fakta mendasar organisasi sosial dan pengakuannya tentu saja menjadi kewajiban setiap analisi sosial. Basis penting dan menarik perbandingan melalui ruang dan waktu dapat menjadi konteks dimana disatu pihak hak dan kewajiban bersama adalah norma dan dilain pihak penilaian yang timpang dari prestasi dan posisi adalah harapan. Dengan kata lain, apakah hak perorangan umumnya dan hak unit-unit sosial berbeda? Persamaan absolut mungkin menjadi semacam mimpi samar-samar dan tak ditentukan negara sosialis diabad mendatang namun pasti telah didukung oleh segelintir idiolog negara demokrasi Barat dan tak dapat dianggap sebagai nilai sosial mapan: mungkin persamaan di hadapan negara dan hukum; dan kemudian persamaan peluang untuk mendapatkan hadiah yang tak sama tetapi bukan tanpa perbedaan penilaian dan posisi. Bahkan tak benar bahwa “semua manusia adalah sama dalam pandangan Tuhan”, kecuali kalau orang segera menambahkan “tetapi sebagian adalah lebih sama dari pada yang lain”. Orang tentu akan menjadi naif bila mengira bahwa ketimpangan pendapatan tak mempunyai implikasi bagi persamaan dihadapan hukum. Itu tak berarti bahwa 667



tindakan meningkatkan persamaan dihadapan hukum berasal dari kesadaran yang buruk mengenai ketimpangan pendapatan atau semata-mata nampak sebagai taktik mengalihkan perhatian sehingga ketimpangan pendapatan akan ditolerir tanpa pemberontakan. Demikian pula sejauh keluarga menjadi agen utama pembentukan sikap anak-anak, perbedaan hak istimewa sosial yang ada dapat berimplikasi negatif terhadap persamaan peluang. Tetapi ini adalah pandangan empiris (yang sangat penting) bukan sesuatu yang benar menurut definisi. Juga benar seperti pendirian Tumin bahwa sistem stratifikasi sosial yang ada cenderung membuang-buang bakat dan keterampilan potensial atau yang nyata. Itu tidak berarti bahwa sistem equalitarian akan optimal kegunaannya. Tindakan membuka jalan kepada bakat ada kemungkinan lebih mengarah ke keterbukaan ketimbang kedataran posisi sosial, dan keanekaragaman ketimbang keseragaman hadiah. Equalitarisme memang menyediakan “nilai” instrumental untuk kritik sosial baik bagi orang awam maupun profesional yang mencoba memperluas penerapannya. Upaya mereka mungkin membuahkan hasil seperti perluasan pendapatan sosial berlawanan dengan pendapatan pribadi di bidang seperti kesehatan dan pendidikan. Tetapi keperluan terhadap orang berbakat diluar kedua bidang tersebut tak terdistribusi secara merata dan karena itu adalah peluang pendidikan dan bukan hasilnya yang harus disamakan. Ketegangan keadilan jelas terlihat dalam kebanyakan suasana ketimpangan sosial dan menyangkut persoalan hadiah yang “patut” untuk orang yang “berhak”. Sangat tak mungkin bahwa sistem yang timpang akan melembagakan dan menyediakan nilai sosial rasional yang memadai untuk mencegah ketakpuasan. Ketegangan demikian mungkin menghasilkan perubahan dan dalam situasi tertentu, perubahan mungkin menuju persamaan. Dalam kebanyakan situasi, perubahan lebih besar kemungkinannya menuju resturktur akses, atribut dan hadiah. Keadilan benar-benar tidak sinonim dengan persamaan dan tak ada jaminan perasaan tentang kegunaan semua manusia yang dapat membuat keadilan identik dengan persamaan.



Catatan Kaki 668



1. Kingsley Davis and Willbert E. Moore, “Some Principles of Stratification”, ASR, X (April, 1945:242-249). 2. Talcott Parsons. “An Analytical Approach to the Theory of Social Stratification”, AJS, XLV (May, 1940: 841-862) Lihat juga “A Revised Analytical Approach to the Social Stratification”, dalam R. Bendix and S.M. Lipset, Class, Status and Power (NY: the Free Press, 1953: 92-128). 3. Melvin M. Tumin dan A.S. Feldman, Social Class and Social Change in Puerto Rico (Princeton, N.J.: Princeton Univ. Press, 1961, terutama Bab.29. “Theoritical Implication”, oleh Tumin sendiri. 4. Tumin, “Some Principles of Stratification: A Critical Analysis”, ASR, XVIII (August, 1953: 387-394); Tumin, “Obstacles to Creativity”, Review of General Semantics, XI, (Summer, 1954: 261-271); Tumin, “Rewards and Task Orientation”, ASR, XX (August, 1955: 419-423) ; Tumin, “Some Disfunctions of Institutional Imbalance”, Behavioral Science I (July, 1956: 218-223); Tumin, “Competing Status Systems”, dalam A.S. Feldman and W.E. Moore, eds., Labor Commitment and Social Change in Developing Areas (NY: Social Science Research Council, 1960: Bab 15). 5. Lihat Richard L. Simpson, “A Modification of the Functional Theory of Stratification”, Social Forces, XXXV (Dec., 1956: 132-137); Richard D. Schwartz, “Functional Alternatives to Inequality”, ASR, XXIV (Dec., 1959: 772-782); Leonard Reisman, Class in American Society (NY: The Free Press, 1954: 69-94). 6. Simpson, loc.cit 7. Lihat Davis, “Reply to Tumin”, ASR, XVIII (August, 1953: 394-397). 8. Kira-kira yang dekat dengan pendapat Davis-Moore yang asli dan serupa dengan pendapat Bernard Barber, Social Stratification (NY: Harcourt, Brace&World, Inc., 1957, terutama Bab 1-4. Namun Barber nampaknya hanya menerangkan model equilibrium stabil. 9. Kritik utama Buckley atas pendapat Davis-Moore adalah penggunaan istilah “Stratifikasi Sosial”, yang ia batasi pada strata sosial yang diwarisi. Lihat 669



Walter Buckley, “Social Stratification and the Functional Theory of Social Differentiation”, ASR, XXIII (August, 1958: 369-375). 10.Ibid. 11.Sebuah pemikiran konseptual kecil perlu dicatat disini. Parsons dalam eseinya, menggunakan istilah kualitas, prestasi dan pemilikan sebagai ciri-ciri individual yang tunduk pada penilaian yang berbeda. Ini nampaknya kurang memuaskan ketimbang perbedaan antara akses ke posisi dan hadiah untuk pejabatnya - keduanya agak lebih luas daripada rumusan Parsons yang akan ditunjukkan. 12.Lihat Davis, “A Conceptual Analysis of Stratification”, ASR, VII (June, 1942: 309-321). 13.Lihat esei Parson yang diperbaharui , yang dikutip diatas. 14.Bahasan tentang proses fragmentasi status dalam masyarakat industri, lihat Feldman, “The Interpenetration of Firm and Society”, dalam International Social Science Council, Social Implications of Technological Change (Paris, 1962: 179-198). 15.Theoretical Implication”: 502. 16.Inilah pendirian yang diambil oleh Davis. Lihat “The Abominable Heresy: A Reply to DR. Buckley”, ASR, XXIV (Febr., 1959: 82-83). 17.Lihat Tumin, “Theoretical Considerations: 493, 497-498, 510-511.



670



Tentang Ketimpangan Oleh : Melvin M. Tumin



Tinjauan Moore tentang beberapa pendirian utama dalam teori stratifikasi yang telah menimbulkan pertentangan pendapat dimasa lalu itu menyediakan peluang yang baik bagi kami untuk melakukan evaluasi-ulang perumusan teoritis sebelumnya. Sebagian kesukaran dalam pertukaran pendapat dimasa lalu itu, timbul dari kemenduaan arti (ambiguity) istilah “ketimpangan sosial”. Seperti dikemukakan Moore, kami kadang-kadang gagal menyatukan masalah karena dalam membahas berapa banyak ketimpangan yang tak terhindarkan, ia menunjuk pada aspek ketimpangan tertentu dan aku pada aspek lain. Penting bahwa kami membedakan bentuk-bentuk utama ketimpangan dan mereka menyatakan pendapatku tentang dapat dielakkan dan fungsionalitas secara khsusus menunjuk pada masing-masing bentuk utama ketimpangan itu. Stratifikasi adalah bentuk khusus ketimpangan sosial. Yang aku maksud dengan stratifikasi sosial adalah sebuah sistem masyarakat yang menggolonggolongkan berbagai unit sosail atas tingkatan superior dan inferior berdasarkan skala manfaat sosial atau yang menerima hadiah yang diperlukan yang tersedia dalam masyarakat dalam jumlah tak sama. Dengan demikian ditetapkan, 671



ketimpangan yang dimaksud dalam istilah “stratifikasi sosial”, bagaimanapun tidak mencakup seluruh jenis (bentuk) ketimpangan sosial yang mungkin dirasakan orang. Singkatnya, banyak sekali ketimpangan sosial tanpa berkaitan dengan kuantitas stratifikasi sosial. Inti argumen asli aku memang mengenai persoalan tak terelakkan dan fungsionalitas berbagai jenis ketimpangan yang di sini didefinisikan sebagai stratifikasi sosial. Tetapi orang juga harus meneliti berbagai jenis ketimpangan lain karena sering menjadi basis terciptanya ketimpangan stratifikasi itu. Untuk sementara, aku ingin mengemukakan 5 kategori ketimpangan, masingmasing menunjukkan pendapatku tentang tak terelakkannya ketimpangan itu dan akan kutunjukkan terhadap siapa kiranya ketimpangan itu berfungsi posistif. Urutan sajiannya, tidak dimaksud untuk menggambarkan urutan arti pentingnya atau keberadaannya dimana-mana atau tingkatan relatifnya terhadap dimensi lain. Seperti dikemukakan disini, kelima kategori ketimpangan itu mencerminkan sumber dari kemungkinan ketimpangan, sebagian atau semuanya dapat ditemukan dalam seluruh masyarakat yang dikenal. Apakah kategori ketimpangan itu tak terelakkan atau tidak adalah masalah yang perlu diteliti. 1. Sumber ketimpangan pertama adalah yang biasa disebut “diferensiasi sosial”, tetapi karena alasan yang akan dikemukakan kemudian, aku lebih suka menyebutnya “Spesifikasi atribut dan peran”. Yang kumaksud dengan istilah itu adalah perbedaan yang berbentuk netral (murni) yakni spesifikasi hak dan tanggungjawab yang dilekatkan pada posisi sosial tertentu bukan berdasarkan penilaian atau perbandingan (misalnya posisi ayah) atau bukan berdasarkan atribut dan kualitas yang diberikan pada tipe sosial (misalnya wanita, dan sebagainya). Sejauh status atau tipe sosial ditentukan secara khusus dan karenanya dibedakan dari yang lain, jelas menimbulkan ketimpangan sosial. Beberapa perbedaan seperti itu ada dalam semua masyarakat dan sekurang-kurangnya sebagian, nampaknya tak terelakkan dan berfungsi positif bagi kelangsungan hidup masyarakat, bila yang kita maksud dengan kelangsungan hidup masyarakat 672



itu benar-benar adalah kelangsungan hidup satu bentuk organisasi sosial atau bentuk lain, lebih dari satu generasi. Kecenderungan ketakberdayaan anak-anak, perbedaan antara anak-anak dan orang lebih tua misalnya adalah tak terelakkan. Begitu pula kebutuhan untuk melengkapi-lagi, sekurang-kurangnya sebagian melalui reproduksi, walaupun perbedaan antara lelaki dan wanita, minimal juga harus dilembagakan. Terakhir, dengan adanya kebutuhan akan ketimpangan tertentu jumlah kekuasaan dan wewenang dalam proses sosialisasi, perbedaan antara generasipun harus dibuat berlapis berdasarkan perbedaan umur, seperti diutarakan di atas. Perlu diingat, jumlah dan jenis perbedaan yang muncul dapat berbeda menurut kultur. Kebanyakan tergantung pada jenis sistem kekeluargaan dan juga banyak sekali yang tergantung pada ketentuan kultural yang berlaku tentang peran sebenarnya dari lelaki dan wanita, tujuan sosial yang ingin dicapai, dan bentukbentuk hubungan yang lebih disukai. Terdapat banyak perbedaan cara hubungan antara anak-anak dan orang yang lebih tua yang dapat diatur. Dalam hal ini pengetahuan kami sedikit sekali mengenai lebih besar atau lebih kecilnya fungsi bermacam-macam versi aturan ini. Apa yang kami ketahui, memberi kesan bahwa untuk tujuan tertentu - misalnya untuk pemanfaatan bakat manusia secara maksimum - sebagian besar jika tak seluruh praktek yang terpola sehingga sekarang telah menjadi penyebab yang berarti dari rendahnya tingkat pemanfaatan bakat tersedia itu. Selain pertimbangan itu, yang penting adalah bahwa ketimbang yang disebabkan spesifikasi peran atau atribut, tak perlu menimbulkan perbedaan dalam penilaian dan tingkatan pada skala kerendahan dan ketinggian tingkatan sosial. Ketimpangan demikian juga tak perlu menimbulkan perbedaan penilaian sosial dan hadiah, sangat banyak tergantung pada ideologi yang berpengaruh dan sedikit sekali atau tak ada kaitannya dengan akibat spesifikasi peran. Kami benar-benar mengetahui ini dari fakta bahwa dalam semua masyarakat, jumlah terbesar peran dan tipe sosial yang dibedakan secara sosial tidak menyebabkan perbedaan penilain dan hadiah. Karena itu ciri-ciri kultural tambahan diperlukan untuk menimbulkan ketimpangan stratifikasional ini dan 673



ciri-ciri tambahan ini jelas berubah-ubah sepanjang waktu dalam masyarakat tertentu maupun antara masyarakat berlainan. Bila orang menyadari bahwa mayoritas peran dan tipe sosial yang dibeda-bedakan ini tidak menyebabkan sistem stratifikasi, maka orang segera memahami kekeliruan argumen umum yang menyatakan



egalitarianisme



menimbulkan



keseragaman



monoton:



ada



kemungkinan orang akan menemukan dalam masyarakat, stratifikasi minimum hidup berdampingan dengan sejumlah besar peran dan tipe sosial yang dibedabedakan tetapi tidak diatur secara hirarkhis. 2. Sumber ketimpangan kedua adalah kedudukan yang diatur menurut ciri-ciri hakiki. Dimana-mana orang cenderung dibuatkan perbandingannya mengenai siapa yang lebih tinggi atau lebih cantik atau lebih cepat; atau tugas siapa yang lebih sukar, atau lebih berbahaya, atau lebih bersih, atau tugas siapa yang lebih memerlukan keterampilan, atau yang menyangkut manajemen. Siapa yang lebih rendah kedudukannya. “Keperluan” membuat perbedaan demikian tidak jelas. Keharusan menggunakan kecenderungan dalam diri manusia untuk membandingkan dan membedakan diri mereka sendiri dengan orang lain, mungkin muncul dari dinamika diferensiasi ego dan selanjutnya berkaitan dengan keperluan mendapatkan identitas diri yang jelas dan berbeda dari orang lain. Hanya dalam sebagian kecil kasus dan hanya dalam cara menempati urutan seperti itu dihubungkan dengan persyaratan kelangsungan kehidupan sosial. Bila kita menemukan hubungan ini, kita selalu menemukan sekumpulan nilai yang mencampuri dan menengahi sedemikian rupa sehingga muncul pola pilihan untuk satu tipe sosial yang berlawanan dengan pola pilihan tipe sosial lain, atau terdapat perbedaan kebanggaan atas sekumpulan keterampilan lain. Tetapi didalam dan dari ciri-ciri hakiki itu dapat ditemukan adanya urutan tingkatan tanpa implikasi tak terelakkan bagi stratifikasi. Kebebasan urutan tingkatan seperti itu dari pemberian hadiah dan penilaian bersifat stratifikasi jelas terlihat dari perbedaan signifikan yang ditemukan dari satu masyarakat ke masyarakat lain dan bahkan didalam satu masyarakat tertentu ciri-ciri seperti itu. Sebagai contoh, hanya kebersihan dan keterampilan tugas tertentu yang dapat dianggap membenarkan perbedaan penilaian dan hadiah. Jenis 674



tugas lain yang sama bersih dan sama tingkat keterampilan yang diperlukannya takkan dapat diberi hadiah yang sama. Ingatlah bahwa di Israel perdebatan berlanjut mengenai apakah akan memberikan upah lebih tinggi, upah yang sama atau upah lebih rendah kepada pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan versus pekerjaan yang kurang memerlukan keterampilan. Keterampilan harus dinilai menurut cara tertentu sebelum menjadi faktor menentukan perbedaan penilaian dan hadiah sosial. Jelas tak ada yang “alamiah” mengenai reaksi terhadap perbedaan keterampilan menurut cara yang umum ditemukan dalam masyarakat industri modern. Sejumlah faktor tambahan, seperti rencana motivasi yang dipelajari sangat khusus dan tujuan sosial, tatanan hirarkis sangat khusus, perlu diperkenalkan dan dipahami jika kita selanjutnya ingin mengetahui mengapa kita mempunyai bentuk stratifikasi pekerjaan seperti yang ada kini. Sejumlah alternatif jelas dapat digunakan, dengan menggunakan rencana motivasi alternatif mengenai hak dan kewajiban sosial. Sistem motivasi alternatif itu tak mungkin digunakan besok dan mengusulkannya sebagai alternatif yang masuk akal untuk besok, akan menjadikannya sebagai utopia. Kita tak berbicara mengenai apa yang mungkin terjadi besok. Kita memikirkan apa yang terjadi dalam urusan manusia, mengasumsikan tersedianya daftar baru penduduk yang belum pernah ditulis mengenai tema kultural utamanya. Perbedaan antara bentuk tatanan sosial yang mungkin segera terwujud dan kemungkinan teoritisnya ini harus tetap diingat jika kita tak bermaksud mengelirukan rencana sosial praktis dengan spesifikasi teoritis dari batasan dan peluang. Ada yang menyatakan perkalian ciri-ciri kedudukan disebabkan munculnya kebutuhan dan tujuan sosial yang selanjutnya memerlukan kecocokan ciri-ciri rasionalnya dengan tugas. Jika benar, ini tak memerlukan bukti yang relevan mengenai “tak terelakkannya” dalam organisasi sosial. Contoh, dalam masyarakat industri modern, orang sulit didesak untuk menunjukkan pentingnya hubungan antara industri kedua dan industri ketiga yang menguntungkan (misalnya industri perfileman) dan tuntutan kelangsungan hidup sosial. Faktanya bahwa tema kultural yang muncul yang menggerakkan dan mendukung industri seperti itu 675



sedikit sekali kaitannya dengan syarat kelangsungan hidup sosial. Tetapi takkan ada orang yang secara serius mengusulkan bahwa apa saja dan segala sesuatu yang diinginkan orang atau yang berkaitan dengan pasar sama sekali tidak menjadi syarat fungsional bagi diri mereka sendiri. Kebanyakan bahasan kultural ini hanya dapat dibenarkan secara fungsional dalam pengertian tanpa makna dari “fungsional” dimana semua barang yang ada dikatakan fungsional atau kalau tidak fungsional barang itu takkan ada. Di tempat lain aku telah mengatakan bahwa pernyataan di atas adalah omong kosong.



Catatan Kaki 1.



Lihat karya Melvin M. Tumin berikut ini : “Some Principles of Stratification : A Critical Analysis”, ASR XVIII (August, 1953 : 387 – 394); “Reply to Kingsley Davis”, ASR XVIII (Des., 1953 :: 672-673); “Obstacles to Creativity”, Etc., A Review of General Semantics, XI (Summer, 1954 : 261271); “Rewards and Task Orientations”, ASR XX (August, 1955 : 419-423).



2.



Moore sendiri membayangkan keadaam seperti itu ketika menulis tentang tindakan perusahaan moderen dengan menyatakan “Pembenaran gaji eksekutif dalam perusahaan berdasarkan anggapan kelangkaan bakat dan persaingan yang tajam dalam mendapatkan pasokan bakat yang terbatas.



676



Balasan Oleh : Wilbert E. Moore



Kini peluang bertukar fikiran terbuka lagi, baik untuk mengurangi keradikalan perselisishan pendapat (karena Tumin mulai memusatkan perhatian pada masalah umum ketimpangan secara kreatif dan tidak dengan sikap bertahan) maupun untuk membahas masalah baru yang berguna untuk kepentingan teoritis dan empiris. Ada beberapa titik kesesuaian pendapat utama. (Ini mencerminkan modifikasi penting pendirian “asli” kedua pihak yang berdebat). Disepakati, diferensiasi sosial (tertentu memerlukan ketimpangan “hakiki” posisi. Disepakati, hubungan antara “ketimpangan” yang ada dimana-mana seperti itu disatu pihak dan “stratifikasi” yang menyamaratakan dan memberi tingkatan atas kategori sosial di lain pihak, tetap menjadi sasaran penelitian tetapi menurut definisi keduanya tidak sama. Jadi orang dapat membayangkan secara teoritis dan empiris bahwa diferensiasi sosial ini bertemu dengan ketimpangan hadiah tanpa menjadikan pertemuan itu sebagai komponen “penyamarataan” status sosial. “Penyebaran” ketimpangan dan penguatan dirinya sendiri seperti dikatakan Tumin itu, tidak mempunyai hubungan yang perlu dan hakiki dengan perbedaan penilaian prestasi atau posisi fungsional. Juga disepakati, “pemanfaatan potensi manusia” belum optimal di seluruh sistem sosial yang diketahui dan institusionalisasi perbedaan yang ada, tidak lengkap dan menjadi sasaran ketegangan dinamis. Implikasi disfungsi dan sifat dinamis ketimpangan penilaian ini nampaknya masih diperdebatkan. Menurutku



677



tak ada alasan untuk meramalkan kecenderungan makin besarnya persamaan posisi dan hadiah. Kini apa lagi yang bermanfaat diperdebatkan? Menurutku, masalah pertama berkisar disekitar taksiran “minimal” Tumin tentang relevansi ketimpangan. Baiklah ku mulai dari pernyataan Tumin tentang fakta bahwa dalam seluruh masyarakat jumlah terbesar peran dan tipe sosial tidak menyebabkan disekitar taksiran “minimal” Tumin tentang relevansi ketimpangan. Baiklah ku mulai dari pernyataan Tumin tentang fakta bahwa dalam seluruh masyarakat jumlah terbesar peran dan tipe sosial tidak menyebabkan perbedaan penilaian dan hadiah”. Kini bila dugaan ini dihubungkan dengan penilaian prestasi, tak hanya bertentangan dengan konsesi yang telah menyatakan hal ini dengan jelas, tetapi lebih-lebih jika dilihat dari sudut pandang ilmiah, dugaan ini sangat bertentangan dengan bukti yang ada. Bila perbedeaan posisi yang menjadi dasar dugaan, masalahnya pada dasarnya malah menyangkut sistem pengukuran, kenyataannya tak seorangpun diantara kita yang mempunyai sistem atau cara mengukurnya. Berdasar pengetahuan yang ada hingga kini, kurasa pernyataan itu tak didukung fakta. Meski aku tak menyukai relativisme ekstrim Tumin tentang masyarakat dan kultur, di sini aku usulkan bahwa ukuran berbeda atau tak berbedanya posisi yang dinilai akan sangat tergantung pada tingkat keterpaduan dan konsistensi kategori status dalam satu sistem “stratifikasi” sosial atau dalam sistem “stratifikasi” sosial yang lain. Jadi, dugaan tentang posisi birokratis yang dinyatakan Tumin itu, jelas tidak berlaku dalam sistem “kasta” tradisional dan mungkin juga dalam sistem totalitarian, ketakanlah seperti di Uni Soviet. Aku telah memakai ruang cukup banyak untuk membahas masalah ini karena Tumin mengulangi pernyataannya dua kali lebih banyak, yang menegaskan bahwa sebagian besar diferensiasi tidak menyebabkan perbedaan penilaian yang menyakitkan hati tetapi itu dikatakan nyaris dalam suasana “stratifikasi” yang telah dimodifikasi. Aku rasa dapat disetujui bahwa ketimpangan khusus fungsional tak dapat disamaratakan menjadi status tunggal atau menggabungkan berbagai status yang berbeda menjadi sebuah stratum tetapi tak berarti tak bisa



678



dipungkiri sama sekali bahwa diferensiasi fungsional dan ketimpangan penilaian variabel yang berdiri sendiri. Pandangan umum Tumin yang mendukung pernyataannya yang terakhir, masih dapat diperdebatkan dan dalam beberapa hal yang masih memerlukan rincian. Ia menyetujui pandangan yang sangat relativistis tentang nilai kultural dan institusi sosial yang menurutku tak beralasan secara empiris dan diragukan secara teoritis. Tanpa menggunakan ungkapan Sumner, “kebiasaan dapat membuat apa saja menjadi benar”, tetapi itu lah pendirian yang dipertahankannya. Penilaian perbedaan posisi fungsional tidak berubah secara acak seperti tersirat dalam bahasan Tumin. Menurutku, perilaku yang berkaitan dengan pemeliharaan ketertiban, persediaan dukungan ekonomi, perlindungan masyarakat dan pemberian ketaladanan keagamaan dan estetika, senantiasa menyebabkan perbedaan posisi maupun penilaian pribadi saja. Relativisme kultural Tumin dan gagasannya bahwa apa saja mungkin terjadi melalui sosialisasi, mencerminkan sejenis penolakan ketertiban dan generalisasi yang dapat dipercaya mengenai masyarakat manusia. Penolakan ini tak kurasa tak bermoral; penolakan itu sungguh keliru. Meski Tumin menegaskan bahwa personil yang langka dapat dimotivasi untuk melaksanakan tugas penting fungsional tanpa perbedaan hadiah, “atau sekurang-kurangnya makin lama makin sedikit menanggung bentuk perbedaan posisi yang menyakitkan hati”, benar-benar tak mempunyai bukti yang mendukung pernyataan demikian, namun tanpa modifikasi ia nyatakan berulangulang dalam paragraf berikutnya. Aku nyatakan, tak mungkin ada “ kerelaan berkorban” dalam pelaksanaan tugas luar biasa tanpa ketimpangan penghargaan dan aku masih belum punya alasan untuk mundur dari kritikku itu. Tumin menghubungkan relativisme kultural ekstrim dan keacakan luas komponen kultural dengan determinisme bio-sosial ekstrim di dalam sistem tertentu. Argumen moral terakhir Tumin untuk kepentingan perluasan persamaan adalah untuk mempengaruhi keadilan sosial yang sedikit sekali ditemukan dalam pemberian hadiah terhadap bakat yang berbeda (dan prestasi yang berbeda ?) yang berasal dari bawaan turun-temurun atau dari sifat sosialisasi yang ditentukan oleh 679



sistem yang sekaligus menentukan alokasi hadiah. Tetapi di sini Tumin menggunakan ungkapan penyelamatan, “dengan anggapan kesungguhannya sama”. Hingga kini pemahaman kita tentang kerumpilan saling-pengaruh antara individu dan ketertiban sosial benar-benar belum memungkinkan untuk merumuskan pandangan yang menentukan tentang motivasi manusia atau untuk dengan mudah menolak pentingnya tujuan dalam perilaku manusia. Meski sangat mustahil sistem sosial tertentu akan mampu mengabaikan akibat yang muncul secara secara kebetulan baik dalam pengertian biologis maupun sosiologis, karena perbedaan tingkatan mungkin menimbulkan akibat yang dapat diperhitungkan, maka benar-benar masih ada celah dari pada upaya atau tujuan atau kesungguhan manusia yang tak dapat dengan mudah diturunkan menjadi pengaruh faktor keturunan atau lingkungan sosial belaka. Meski jelas urusan sosiolog adalah menemukan sumber sosial dan hubungan perilakuterpola manusia, aku rasa tak ada bukti yang membenarkan pandangan bahwa kompleksitas motivasi individu adalah murni variabel dependen. Perbedaan pandangan ini justru memperkuat dugaan bahwa sifat manusialah yang melandasi sebagian besar jika tak semua proposisi struktural tentang generalisasi substansial. Dalam pernyataan singkat ini aku dan Tumin telah bersalah karena memandang masyarakat sebagai antropomorphis. Penggantian kata (elipsis) seperti itu biasanya tak berbahaya, tetapi aku ingin menolak satu hal. Ketika Tumin menetapkan ketimpangan sosial sebagai sayarat teori fungsional, karena masyarakat adalah “rasional” aku mengusulkan dua modifikasi. Pertama pandangan tentang keevolusioneran “kelangsungan hidup”, perlu dites karena sebelumnya telah diragukan Tumin tetapi tidak dihancurkannya. Kedua, penolakan rasionalisme dalam pembuatan keputusan masyarakat, tak dapat dipertahankan karena muncul secara mencolok sebagai norma dalam semua masyarakat kontemporer dan kini dan nanti pun akan muncul dalam praktek. Pelaku utama perdebatan terus-menerus ini hampir tak menunjuk juru bicaranya untuk pelanggar yang dapat dikenal. Sekiranya ada yang mengira bahwa masalah yang berkaitan dengan stratifikasi sosial telah terpecahkan atau dicatat bahwa seluruh konse “kelas” selaku variabel yang menjelaskan, hampir 680



belum



tersentuh



dalam



perdebatan



berkepanjangan



ini.



Tumin



dalam



mengusulkan langkah selanjutnya dalam menganalisis ketimpangan, dengan senang hati tidak menggunakan istilah “kelas” (sayangnya rekan ilmuan sosial lain merasa konsep kelas sebagai salah satu alat analisis paling berguna) dan cara Tumin mengajukan pertanyaan, tidak mensyaratkan konsep kelas itu. Akankah kita menentukan siapapun yang mau bergabung dalam satu barisan untuk melakukan penelitian yang bijaksana ?



681



Teori Stratifikasi Aliran Fungsional : Dua Dekade Perdebatan Oleh : George A. Huaco



Lama setelah fungsionalisme dibuang sebagai sebuah penjelasan palsu, upaya Davis dan Moore untuk menjelaskan stratifikasi akan diingat sebagai upaya brilian. Apa yang dikenal sebagai teori stratifikasi Davis dan Moore, mula-mula dicetuskan April 1945. Mereka menyatakan ada keperluan universal yang menimbulkan stratifikasi dalam setiap sistem sosial. Disatu pihak, perbedaan posisi memberi perbedaan tingkatan kepentingan fungsional bagi kelangsungan hidup masyarakat. Dilain pihak, jumlah tenaga berbakat dan terdidik yang tersedia dalam masyarakat adalah langka. Karena itu sistem memberikan hadiah lebih besar kepada posisi yang lebih penting secara fungsional untuk memastikan bahwa individu dengan bakat dan pendidikan tertinggi menduduki posisi itu. Meski Davis dan Moore mengingatkan karena terbatasnya ruangan mereka terpaksa menekankan pada aspek universal stratifikasi (dan sebaliknya tak banyak memberikan perhatian pada ciri-ciri variabel yang ditemukan dalam sistem lain) namun beberapa akibat khusus nampaknya berasal dari analisis ini. Pertama, Davis dan Moore rupanya melukiskan seluruh sistem stratifikasi seolah-olah hanyalah sistem prestasi semata-mata. Kedua mereka memberikan kesan bahwa individu yang kaya, berkuasa dan bergengsi itu tak hanya berbakat lebih besar dan berpendidikan lebih baik tetapi juga memegang peran yang memberikan sumbangan lebih besar terhadap pelestarian hidup masyarakat. Pandangan yang agak menentang kultur dan kemajuan ini menimbulkan banyak penentangan dan seperti akan kita lihat, penentangan ini muncul sebagai latar belakang umum percekcokan yang mengikutinya. Dalam buku-ajarnya, Human Society (1945) menambahkan modifikasi besar terhadap teori aslinya: 682



Orang mungkin menolak penjelasan tentang stratifikasi semula dengan alasan karena hanya sesuai dengan tatanan masyarakat kompetitif tetapi tidak sesuai dengan tatanan masyarakat nonkompetitif. Contohnya, dalam masyarakat berkasta rupanya individu tidak mendapatkan posisi mereka karena bakat atau pendidikan tetapi lebih karena kelahiran. Kritikan ini menimbulkan masalah penting dan kekuatan tambahan terhadap teori ……Keperluan mempunyai organisasi sosial (keluarga) untuk reproduksi dan sosialisasi anak, mengharuskan stratifikasi menyesuaikan diri dengan organisasi sosial (keluarga) ini. Penyesuaian diri itu mengambil bentuk status yang diwarisi. 1



Dalam versi baru Human Society (1948) Davis mengkonseptualisasikan stratifikasi dilihat dari dua kutub berlawanan: Disatu kutub teoritis terdapat tipe stratifikasi yang benar-benar tertutup dan di kutub lain terdapat tipe yang benar-benar terbuka. Dalam tipe tertutup, individu mewarisi status orangtua mereka (dan karenanya mewarisi pengaruh keluarga); dalam tipe terbuka, individu tidak mewarisi status orangtua dan karenanya tidak mewarisi pengaruh keluarga. Jelas tak satu kutub pun yang pernah tercapai dalam praktek. Mustahil melenyapkan seluruh kompetisi untuk mendapatkan status, begitu pula mustahil melenyapkan seluruh pewarisan status. Dengan kata lain, peran keluarga dalam hal ini tak pernah mutlak dan tak pernah pula kosong sama sekali. Jadi, sistem stratifikasi yang sebenarnya kita temukan dalam masyarakat adalah tipe campuran. 2



Tambahan dimensi warisan ini mengakibatkan modifikasi cukup besar. Kini kita akan memeriksa secara rinci struktur logika teori stratifikasi Davis ini secara lengkap. Versi 1945 a. Posisi yang berbeda mempunyai tingkat kepentingan fungsional berbeda (yakni memberika kontribusi berbeda terhadap kelestarian atau kelangsungan hidup masyarakat). b. Prestasi yang memadai dari posisi yang berbeda, memerlukan jumlah bakat dan pendidikan yang berbeda. c. Personil dengan jumlah bakat dan pendidikan yang memadai adalah langka. d. Masyarakat menunjukkan “stratifikasi”; disini didefinisikan sebagai “hadiah yang tak sama yang diberikan kepada posisi yang berbeda”. Perhitungan kausalnya: (a) disatu pihak, dan (b) dan (c) dilain pihak, menentukan (c) menurut cara berikut: makin besar hadiah yang diberikan terhadap individu yang menempati posisi yang lebih penting secara fungsional dan makin besar bakat dan pendidikan yang diperlukan. Selanjutnya (d) menentukan atau “memastikan” (e) : 683



e. Mobilitas individu yang berbakat dan berpendidikan lebih tinggi ke posisi yang berhadiah lebih tinggi Asumsi



dasar:



Pencapaian



kondisi



(e)



menjamin



kelestarian



atau



kelangsungan hidup masyarakat (dengan implikasi bahwa penyebab (e) yakni “stratifikasi” juga menyumbang terhadap kelestarian atau kelangsungan hidup masyarakat). Modifikasi 1948 A. Kondisi (e) murni melukiskan urutan prestasi secara analisis. B. Dalam semua masyarakat, pencapaian kondisi (e) dihalangi sebagian atau hampir sepenuhnya oleh status warisan. C. Penyebab status warisan adalah keluarga. Sebelum memulai perdebatan ada baiknya dikemukakan komentar awal berikut: I.



Item (b), (c) dan (d) terus-terang saja agak baik generalisasi empirisnya.



II. Status item (a) tidak jelas. Seharusnya proposisi (a) ini merupakan generalisasi empiris yang dapat diuji langsung atau postulat penjelasan yang dapat diuji secara tak langsung, tetapi rupanya bukan keduanya. Proposisi (a) ini bukan sebuah generalisasi empiris karena tingkat perbedaan kepentingan fungsionalnya bukan menjadi bagian dai kehidupan sosial yang dapat diamati. Ia pun buka sebuah postulat penjelasan yang sahih karena tak mempunyai asal logika atau deduksi yang menyebabkannya dapa diuji secara tak langsung. III. Penjelasan kausal, mengandung dua asumsi minor: (1) individu yang menempati posisi terpenting secara fungsional cenderung memerlukan jumlah bakat dan pendidikan terbesar; dan (2) individu yang menempati posisi terpenting secara fungsional, cenderung menerima hadiah tertinggi. Keabsyahan kedua asumsi minor ini sama diragukan dengan keabsyahan item (a). Lagi pula, keberadaan kedua asumsi minor ini menyingkirkan 684



penggunaan bakat, pendidikan atau hadiah baik sebagai indikator maupun sebagai ukuran perbedaan kepentingan fungsional. IV. Dilihat dari bukti sejarah, asumsi dasarnya mungkin keliru: masyarakat yang mendekati pencapaian kondisi (e) mungkin lebih rasional dan lebih adil, namun masih belum ada bukti yang menunjukkan bahwa masyarakat seperti itu adalah lebih kuat atau bertahan hidup lebih lama daripada masyarakat tradisional yang status individunya lebih berdasarkan warisan. V. Karena aspek aliran fungsional teori stratifikasi justru terdiri dari item (a) bersama-sama dengan asumsi dasarnya, maka ciri-ciri aliran fungsional teori inilah sebagian besar yang dibicarakan berikut ini. Perdebatan kritistepatnya dimulai bulan Agustus 1953 bersamaan dengan terbitnya tulisan Tumin “Some Principles of Stratification: A Critical Analysis”. 3 Tumin meragukan status logika tentang perbedaan kepentingan fungsional sebagai gagasan yang tak dapat diukur dan berdasarkan intuisi. Selanjutnya ia mempunyai kesan bahwa perbedaan kepentingan fungsional itu berasal dari apa yang disebut fungsi kemasyarakatan yakni sebuah tautologi tak berguna karena “status quo pada saat tertentu tak lebih dan tak kurang dari sesuatu yang ada dalam status quo itu”. Selanjutnya Tumin meragukan perbedaan kelangkaan personil sebagai faktor menentukan stratifikasi yang memadai. Ia menegaskan bahwa dalam praktek sebagain besar sistem stratifikasi dengan sengaja membatasi perkembangan potensi bakat dan keterampilan apapun yang mungkin ada dalam masyarakat; “dan makin kaku terstratifikasinya masyarakat, makin sedikit peluang masyarakat itu menemukan fakta baru mengenai bakat anggotanya”. Selanjutnya Tumin mengemukakan masalah kemungkinan adanya “kesamaan fungsi” atau alternatif terhadap ketimpangan hadiah. Ia mengemukakan dua kemungkinan alternatif: kepuasan kerja hakiki dan pelayanan sosial sebagai motivasi yang memadai “untuk menemukan posisi yang tepat bagi individu dan untuk mengisinya dengan sungguh-sungguh”. Ditingkat bahasa, Tumin meragukan penggunaan istilah “pengorbanan” untuk melukiskan situasi individu yang menunda menjadi anggota tenaga kerja dengan menjalani pendidikan khusus dalam jangka relatif lama. 685



Keberatan kedua dari segi bahasa, dikemukakannya bahwa akan lebih tepat berbicara tentang ketimpangan “sumber daya” ketimbang ketimpangan hadiah. Terakhir ia memberikan kesan bahwa perbedaan posisi telah memberikannya “penilaian moral yang tinggi tentang pentingnya posisi tertentu bagi masyarakat” dan secara tersirat penilaian ini berasal dari kelangkaan dan ketimpangan distribusi barang dan jasa dan bukan berasal dari perbedaan pentingnya posisi secara fungsional. Tumin pun mengatakan bahwa beberapa perbendaharaan kata analisis yang digunakan Davis dan Moore hampir menjadi “cerminan langsung rasionalisasi yang ditawarkan oleh anggota masyarakat yang lebih beruntung tentang keadilan posisi istimewa yang mereka duduki”. 4 Davis menjawab kritikan Tumin dengan mengatakan bahwa Tumin telah memeriksa versi asli teori Davis (1945) tetapi mengabaikan versi modifikasi teori itu. Davis sependapat bahwa “perbedaan kepentingan posisi fungsional” memang sukar diukur, tetapi ia memprotes karena Tumin tak mau berupaya memeriksa “dua petunjuk terpisah” yang disebutkan dalam versi 1945. Davis menambahkan: Ukuran kasar kepentingan fungsional sebenarnya dapat diterapkan dalam praktek. Dimasa perang misalnya, keputusan dibuat mengenai industri dan pekerjaan yang mana yang akan memberikan prioritas dalam peralatan kapital, rekrutmen tenaga kerja, bahan mentah dan sebagainya. Di negara totalitarian, hal yang sama dilakukan dimasa damai, begitu pula di negara sedang berkembang yang berupaya untuk memaksimalkan modernisasi sosial dan ekonomi mereka. Perusahaan swasta pun tentu tak henti-hentinya membuat keputusan mengenai posisi mana yang penting dan yang kurang atau tidak penting. 5



Selanjutnya Davis sepakat bahwa dalam prakteknya sistem stratifikasi sering dengan sengaja membatasi penjelmaan bakat dan keterampila yang ada dalam masyarakat tetapi membantah bahwa teorinya versi 1948 telah menyetujui keberatan ini dengan menerangkan hubungan dilihat dari sudut peran keluarga. Juga dan dengan tepat Davis menunjukkan bahwa Tumin telah menggunakan istilah “stratifikasi” dengan cara yang berbeda dari Davis dan Moore (1945) dan Davis (1948): istilah stratifikasi yang digunakan Tumin memasukkan “warisan status kelas” ; sedangkan penggunaan istilah stratifikasi Davis dan Moore terbatas pada “hadiah yang tak sama yang diberikan kepada posisi yang berbeda”. Mengenai masalah kemungkinan pemberian hadiah yang tak sama terhadap fungsi yang sepadan, Davis membantah bahwa kepuasan kerja hakiki dan pelayanan 686



sosial lebih merupakan tambahan ketimbang alternatif terhadap mekanisme pemberian hadiah posisi”. Davis menolak dugaan bahwa teori stratifikasi bersifat evaluatif atau cenderung membenarkan dan mengesankan Tumin bahwa utopia dan tak begitu banyak perhatiannya untuk memahami ketimpangan yang dilembagakan dan untuk melenyapkannya”, dan mengatakan, teori Davis dan Moore menerangkan cara individu mengejar kepentingan diri sendiri sebenarnya sama dengan mengejar kepentingan sosial.



yang



6



Dalam ringkasan “Jawaban terhadap Kingsley Davis, Tumin masih membahas aspek lain teori Davis dan Moore: ia menolak dugaan bahwa universalitas stratifikasi adalah bukti “perlunya” stratifikasi. Mengenai masalah kemungkinan ketimpangan hadiah untuk fungsi yang sepadan”, ia dengan tepat menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya tak dapat dikesampingkan dengan alasan apriori; dan jika Davis dan Moore ingin membantah bahwa alternatifnya adalah mustahil, mereka harus menunjukkan bukti yang sebenarnya. Singkatnya, dalam perdebatan pertama antara pengeritik dan yang mempertahankan ini, pengeritik berhasil menolak dua aspek utama teori Davis dan Moore: pertama Tumin berhasil menolak validitas ilmiah dugaan tentang “perbedaan kepentingan fungsional” dengan mengatakan bahwa pernyataan itu tak lebih dari sekupulan tautologi



tersembunyi.



Kedua,



Tumin



berhasil



meragukan



keperluan



“ketimpangan hadiah” dengan menyatakan kemungkinan terjadinya “kesepadanan fungsi”. Pengaruh nyata penolakan kedua ini terletak pada fakta bahwa pengakuan tentang kesepadanan fungsi atau alternatif, secara efektif menghancurkan kekuatan prediktif teori Davis dan Moore. Agustus 1955, tulisan Richard Schwartz “ Functional Alternatives to Inequality”8



menolak aspek penjelasan dan prediktif teori Davis dan Moore



berdasarkan hasil studi bertahun-tahun tentang fenomena stratifikasi di dua lokasi pemukiman Yahudi di Israel: birokrasi dan koperasi pertanian kibbutz yang disebut Orah dan koperasi Moshav bersifat individualistis yang disebut Tamin. Schwartz



melukiskan



cara



kehidupan



kolektif



dan



birokrasi



kibbutz



mengembangkan apa yang dapat dilukiskan sebagai pola informal pengganti dari posisi dan perubahan posisi. Pola informal ini, yang memasukkan sesuatu seperti 687



mekanisasi relatif makin besar dari tugas rutin, penggiliran tugas, dan individualistis di luar tugas, memberikan kontribusi terhadap stratifikasi pekerjaan dengan mengimbangi pola pengelompokan yang dominan. Demikian pula, dalam koperasi petani pemilik lahan sempit yang semula berciri individualistis, berkembang pola kehidupan kolektif informal, yang memasukkan sesuatu seperti sama-sama memanfaatkan informasi, pertanian ilmiah, dan proses pembuatan keputusan secara kolektif, cenderung meningkatkan stratifikasi pekerjaan dengan mengimbangi pola pengelompokan yang dominan. Schwartz melukiskan bagaimana cara penduduk di kedua pemukiman ini telah melakukan pilihansendiri dalam arti bahwa individu yang lebih berorientasi kolektif, memilih untuk bergabung dengan kibbutz dan individu yang lebih berorientasi individualistis bergabung dengan koperasi yang berciri individualistis. Selanjutnya ia menunjukkan bahwa proses perubahan penduduk yang disesuaikan dengan pola posisi ini, mendapat dorongan kuat dari sosialisasi anak: anak-anak kibbutz disosialisasikan ke arah kehidupan kolektif, anak-anak keluarga koperasi dididik menuju pembuatan keputusan secara individual. Kedua pemukiman itu mempunyai pola ketimpangan hadiah yang diberikan kepada posisi yang berbeda. Berdasarkan hasil studi Schwartz ini terbukti bahwa “ketimpangan seperti yang dianalisis Davis dan Moore, mempunyai fungsi alternatif,”



9



atau lebih



khusus lagi, perubahan dalam struktur posisi maupun perubahan ciri-ciri penduduk dapat dianggap sebagai kemungkinan kesepadanan fungsi atau alternatif terhadap ketimpangan hadiah. Kesulitannya disini adalah bahwa meski Davis dan Moore membuktikan ketimpangan hadiah menjamin individu yang memenuhi syarat menempati posisi dengan syarat bakat dan pendidikan yang berbeda, Schwartz membuktikan bahwa perubahan dalam struktur posisi dan perubahan ciri-ciri penduduk adalah cara yang memadai untuk mengembangkan stratifikasi pekerjaan dan pelaksanaan peran oleh pemegang posisi. Tetapi mobilitas ke dalam posisi tidak sama dengan stratifikasi pekerjaan atau kecukupan pelaksanaan peran dalam posisi tertentu; dan dengan demikian Schwartz gagal membuktikan apa yang ia coba untuk membuktikannya. Bagaimanapun dan ditingkat logika murni, kritik Schwartz, yang kurang-lebih menekankan kembali 688



kritik Tumin bahwa Davis dan Moore telah gagal menerangkan secara memadai kemungkinan fungsi alternatif ketimpangan hadiah. Desember 1956 tulisan Richard L. Simpson “A Modification of the Functional Theory of Social Stratification”, membuat serangan baru terhadapa beberapa aspek versi 1945 teori Davis dan Moore: Kecukupan teori ini dan asumsinya, diragukan atas beberapa alasan: (1) pentingnya satu posisi, sukar jika tak mustahil untuk dinilai. (2) Ada beberapa posisi dan dibesi hadiah yang nampaknya tidak memberikan kontribusi kepada masyarakat bebas; contohnya pelayan lelaki dan penjaga wanita. (3) Posisi tertentu menerima hadiah lebih besar ketimbang yang diperlukan menurut arti pentingnya bagi masyarakat maupun menurut kesukaran dalam mendidik pemegang posisi itu; contohnya bintang film. (4) Teori Davis dan Moore secara tersirat berasumsi bahwa setiap rencana stratifikasi, bagaimanapun adalah yang terbaik yang dapat dimiliki, bahwa distribusi hadiah yang berlaku bagaimanapun terjadi karena “penting secara fungsional”. 10



Keberatan (2) dan (3) tidak relevan, karena pengenalan hadiah tinggi tetapi peran parasit bukan cara menolak teori Davis dan Moore: kontribusi ekonomi dan tingkat pentingnya secara fungsional bukanlah gagasan yang identik. Keberatan (4) tak benar secara tehnis (meski ucapan Davis kira-kira berarti bahwa sistem stratifikasi tersusun sedemikian rupa sehingga pengejaran kepentingan diri sendiri secara individual serupa dengan pengejaran kepentingan sosial). Keberatan (1) sendirilah yang relevan dan disini Simpson mencoba memeriksa dua petunjuk yang diberikan Davis dan Moore yakni :keunikan” dan tingkat ketergantungan posisi lain terhadap posisi yang dibicarakan. Kini mungkin diakui, posisi unik yang mampu melaksanakan fungsi esensial adalah penting. Tetapi pernyataan ini masih mengandung pertanyaan tentang seberapa esensial fungsi tertentu. Apakah hiburan publik, fungsi esensial? Jika demikian, hanya bintang film yang mampu melaksanakannya atau mampukah tukang sulap atau pelawak memenuhi kebutuhan sosial ini dalam takaran sama baiknya dengan bintang film? Kriterian “penting” yang dikaitkan dengan keunikan ini rupanya berdasar pertimbangan publik apakah posisi tertentu atau pemegangnya unik atau penting, bukan berdasar pertimbangan sosiolog apakah masyarakat dapat dikelola tanpa posisi atau tanpa pemegangnya. 11



Kini soal ini sangat membingungkan. Dugaan tentang “perbedaan kepentingan fungsional” rupanya mengacu kepada keadaan obyektif; yakni seberapa jauh posisi tertentu menyumbang terhadap pelestarian atau kelangsungan hidup masyarakat. Ini tak sama dengan opini sosiolog tertentu atau opini publik. Davis dengan tegas menolak menggunakan “gengsi posisi” sebagai indikator pentingnya



689



fungsi tertentu karena ini merupakan “pemikiran melingkar”. Simpson melanjutkan: Marilah kita bayangkan posisi tukang sapu kantor dan pengumpul sampah. Kedua posisi ini kirakira sama keunikan fungsionalnya dan sama tingkat ketergantungan posisi lain terhadapnya. Tetapi kita mungkin merasa bahwa pengumpul sampah lebih penting karena sampah tak dikumpul menimbulkan masalah lebih serius bagi masyarakat ketimbang lantai tak disapu. Sungguhpun demikian, ada kemungkinan gengsi tukang sampah lebih rendah daripada gengsi tukang sapu sebagaimana kesenangan hakiki dari pekerjaannya meski gaji mereka mungkin hampir sama. Jadi hadiah dari posisi berhubungan terbalik dengan arti pentingnya dan arti pentingnya itu tak dapat dijelaskan oleh petunjuk Davis dan Moore. 12



Kesulitan dalam berspekulasi tak terkendali ini adalah bergerak terlalu jauh sehingga gagal mengadakan kontak dengan pernyataan Davis dan Moore. Teoritisi kita telah membuktikan bahwa posisi cenderung akan diberi hadiah sepadan dengan tingkat kepentingan fungsionalnya, tak ada hubungan satu dengan satu antara tingkat kepentingan fungsionalnya dan ketimpangan hadiah. Begitu pula, tingkat kepentingan fungsional yang berbeda diduga hanyalah salah satu faktor menentukan ketimpangan hadiah yang diberikan kepada posisi yang berbeda, faktor menentukan lainnya adalah perbedaan kelangkaan personil. Dengan alat analisis yang agak lentur ini akan sangat mudah bagi Davis dan Moore dalam menjawab Simpson kira-kira mengatakan bahwa tak adanya hubungan antara kepentingan fugsional dan hadiah (dalam contoh di atas) disebabkan perbedaan kelangkaan personil. Simpson melengkapkan kritiknya dengan mencoba meneliti asal perbedaan kepentingan fungsional dari apa yang disebut “prasyarat fungsional”. Pentingnya posisi dapat dinilai dengan melihat apakah posisi itu menyumbang terhadap



pemenuhan



“prasyarat



fungsional”



atau



“keperluan



universal”



masyarakat.…. Tiap peneliti bebas menciptakan daftarnya sendiri dan tak seorangpun yang dapat menyangkalnya, karena tak seorangpun yang telah menemukan cara mengetes keabsyahan daftar seperti itu……Selanjutnya, pemikiran mengenai keperluan sosial universal ini, sering melingkar. Posisi dikatakan penting karena memenuhi salah satu keperluan tetapi orang mencurigai



690



bahwa beberapa keperluan telah dibuat-buat untuk menerangkan keberatan posisi. 13



Di sini Simpson mengulangi tuduhan Tumin terdahulu yang kurang-lebih mengatakan bahwa posisi mempunyai perbedaan tingkat kepentingan fungsional, tak lebih dari sebuah pernyataan yang bersandar pada sekumpulan tautologi tersembunyi. Dua tahun kemudian, Agustus 1958, tulisan Walter Buckley :Social Stratification and the Functional Theory of Social Differentiation”, menyerang Davis dan Moore baik atas dasar ideologi maupun ilmu bahasa. Setelah meringkas keberatan Tumin, Schwartz dan Simpson, Buckley membuktikan bahwa teori Davis dan Moore: Menerima konsep dan asumsi. Ilmu ekonomi klasik yang telah ketinggalan zaman, seperti “kelangkaan bawaan” tujuan sosial dan kompetisi yang tak dapat diganggu-gugat, yang keseluruhannya menghasilkan gambaran tentang reproduksi dan keperluan teoritis dengan keyakinan luar biasa atas ideologi yang membatasi secara kultural……Cara teoritis fungsional memperkenalkan sistem stratifikasi seakan-akan benar-benar berjalan adalah cara yang diyakini dan dikehendaki banyak orang bahwa sistem itu akan berjalan dalam masyarakat kontemporer seandainya struktur kelat kelas tidak ada untuk merintanginya. 14



Kritik tentang implikasi ideologis teori Davis dan Moore ini dipusatkan pada perasaan sakit hati yang dapat dipahami yang timbul dalam kritikan oleh sebuah teori, yang versi aslinya sebenarnya menerangkan kepada kita bahwa anggota masyarakat kita yang mempunyai jumlah kekayaan, kekuasaan dan gengsi lebih besar, juga adalah anggota yang memberika kontribusi terbesar terhadap pelestarian atau kelangsungan hidup masyarakat. Tetapi juga jelas bahwa kritik ini hanya mungkin diterapkan terhadap versi 1945 teori Davis dan Moore (yang tak berupaya menjelaskan status warisan), tak dapat diterapkan terhadap versi 1948 teori Davis (yang berupaya menjelaskan status warisan dilihat dari sudut keluarga). Versi 1948 teori Davis sebenarnya menyatakan bahwa bila keluarga tak ada dan bila masyarakat murni diorganisir seperti tingkatan prestasi, maka posisi dengan hadiah lebih besar adalah juga posisi yang memberikan kontribusi lebih besar terhadap kelestarian atau kelangsungan hidup masyarakat, tetapi karena keluarga ada dan karena semua masyarakat memperlihatkan campuran prestasi



691



dan warisan yang berbeda, maka hubungan antara hadiah tinggi dan kepentingan fungsional yang tinggi tak lagi dipersoalkan. Kritik kedua Buckley mengenai pemakaian istilah “stratifikasi” oleh Davis dan Moore. Teori Davis-Moore menetapkan kriterium sentral dalam mendefinisikan konsep stratifikasi sebagai berikut: “Karena hak dan prasyarat posisi yang berbeda dalam masyarakat tentu tidak sama, maka masyarakat tentu terstratifikasi, karena justru itulah yang dimaksud dengan stratifikasi”. Tetapi kita akan membantah, karena justru bukan itu yang dimaksud dengan stratifikasi oleh kebanyakan pakar. Yang dilekatkan erat-erat dalam pemakaian kata stratifikasi memerlukan adanya strata, umumnya diakui menunjuk pada kehidupan kolektif atau subkelompok yang selama beberapa generasi terus-menerus menempati posisi relatif sama dan menerima bagian materi, gengsi dan kekuasaan dalam jumlah relatif sama. Sebaliknya, pernyataan yang dikutip di atas, hanya menunjuk pada fakta perbedaan posisi sosial seperti terlihat disaat tertentu dan tidak menyiratkan apapun mengenai keberadaan strata, sedangkan menurut defenisi kita di atas, menyiratkan pengelompokan individu dengan kelangsungan hiudp biologis dan sosial yang pergerakannya kedalam posisi yang berbeda, hingga taraf tertentu dapat diramalkan (seandainya secara statistik). 15 Kritik Buckley terbagi dua: (a) Davis-Moore menggunakan istilah “stratifikasi” dalam arti yang terlalu abstrak (menunjuk pada hadiah yang tak sama yang dilekatkan pada posisi dan bukan menunjuk pada strata tertentu); (b) lupa memasukkan ide status warisan (tidak menunjuk pada “pengelompokan individu dengan kontinuitas biologis dan sosial”). Dan kedua kritik ini adalah keliru. Lumrah, teori ilmiah memerlukan tingkat abstraksi agak tinggi; dan bila abstraksi ini memungkinkan meningkatkan ketepatan analisis, maka sifat disukai dari abstraksi tidak dipertanyakan. Mengenai kritik kedua dapat diterapkan pada versi 1945 teori Davis-Moore tetapi tak dapat diterapkan pada versi 1948. Tulisan Davis “The Abominable Heresy: Reply to Dr. Buckley” adalah serangan-balik yang tajam dan emosional. Davis menegaskan haknya untuk 692



mendefinisikan “stratifikasi” berbeda dari cara Buckley dan menambahkan bahwa: Sesuatu yang paling berarti tentang paper Buckley adalah bahwa ia sendiri tidak mengusulkan teori alternatif tentang ketimpangan posisi atau dalam hal ini tidak mengusulkan tentang apa yang ia sebut stratifikasi. Jika ia mempunyai rasa keingintahuan khusus mengenai masalah stratifikasi, orang akan mengharapkan ia tak hanya menyangkal teori yang ada tetapi menawarkan teori lain sebagai penggantinya. Malahan ia gagal kembali ke prinsip keyakinan Marxian. Ia menulis, “untuk menjelaskan keberadaan stratifikasi dimana-mana, kita harus kembali…..ke dinamika sosiokultural diwaktu dan tempat tertentu……” Klenik nyata dalam artikel Davis-Moore……adalah dosa karena meyakini akan menemukan penjelasan ilmiah tentang ketimpangan sosial. Teori ketimpangan sosial Davis-Moore pasti dapat diperbaiki. Bersama dengan pakar lain aku mencoba memperbaikinya. Tetapi perbaikan teori hanya akan tercapai melalui modifikasi dan perluasan ketimbang melalui serangan habis-habisan tanpa menawarkan penggantinya. Faktanya adalah bahwa semakin diperbaiki teori sebagai sebuah penjelasan ilmiah, semakin gencar serangan yang dituduhkan terhadapnya sebagai sebuah klenik. 16 Makna ilmiah jawaban Davis ini diragukan dan merupakan tawaran menggelikan untuk menghukum pengeritik yang membatasi peran Davis membuat kontribusi negatif. Desember 1959 tulisan Dennis H. Wrong “The Functional Theory of Stratification: Some Neglected Considerations” mencoba menengahi percekcokan antara teori dan kritikannya: Teori fungsional tentang stratifikasi yang dikemukakan Davis dan Moore berupaya menjelaskan universalitas dan keperluan adanya ketimpangan dalam masyarakat yang mengalami pembagian kerja yang rumpil. Tugas teori ini terlepas dari upaya untuk menjelaskan pembagian kerja itu sendiri atau pelestarian ketimpangan sepanjang garis keluarga dari generasi ke generasi. Teori ini demikian umum, sama sekali tidak menyangkal model utopia tentang “masyarakat 693



tanpa kelas” yang ditawarkan oleh pemikir Barat dan kritik terhadapnya meski bertentangan tank mengatakan apapun mengenai tingkat ketimpangan dan faktor yang menentukan tingkat ketimpangan itu dalam masyarakat konkrit. Teori itu nampaknya mengabaikan tingkatan posisi yang diwarisi karena gagal melihat masyarakat dalam perspektif historis jangka panjang. Sama dengan argumen kritikannya, teori itu juga mengabaikan kemungkinan akibat merusak dari mobilitas dan persamaan peluang, tema yang khususnya diabaikan oleh sosiolog Amerika. 17 Disini rumusan pembukaannya tidak benar. Davis dan Moore tak berupaya “menjelaskan universalitas dan keperluan ketimpangan” tetapi berupaya menjelaskan universalitas ketimpangan dengan menyatakan keperluannya. Aspek teori Davis-Moore ini sebenarnya memberikan contoh kekhasan manuver teoritisi fungsional dalam menjelaskan keuniversalan kultur dengan menyatakan bahwa ketimpangan perlu untuk melestarikan atau menjamin kelangsungan hidup sebuah sistem. Pengamatan bahwa teori Davis dan Moore mengabaikan “unsur kekuasaan dalam stratifikasi dan tidak mempunyai perspektif historis”, 18 benar-benar tepat. Tulisan Tumin 1960, “Competing Status Systems” yang disumbangkan terhadap tulisan Arnold Feldman dan Wilbert E. Moore berjudul “Labor Commitment and Social Change in Developing Areas”, mengulangi kembali pendapat Tumin terdahulu bahwa “tak ada sama sekali yang tak terelakkan mengenai keperluan hadiah yang tak sama untuk pekerjaan yang tak sama”.



19



Tahun berikutnya dalam bukunya Social Class and Social Change in Puerto Rico, Tumin menegaskan: Dapat disimpul, bentuk sistem hadiah atau sistem bujukan dan pengerahan orang kedalam tugas tertentu, sebenarnya adalah fungsi kekuasaan dari sektor yang menentukan tingkat kepentingan tugas bersangkutan. Jadi, stratifikasi yang ditentukan oleh sistem ketimpangan alokasi barang dan jasa langka dan berharga adalah sesuatu yang sangat berbeda dari muslihat yang dikembangkan masyarakat tanpa disadari agar orang yang paling mampu (cakap) akan terbujuk melaksanakan tugas yang dianggap masyarakat secara fungsional sangat penting-stratifikasi adalah hasil, yang sebagian ditentukan oleh distribusi hadiah sosial yang merupakan fungsi persaingan diantara variabel yang menentukan apa yang penting bagi masing-masing kekuasaan yang tersedia dan apa yang penting bagi sektor yang bersaing dalam melaksanakan keputusannya. 20



Karena “bentuk sistem hadiah sebenarnya” menunjuk ke tingkat ketimpangan, disini Tumin menyatakan bahwa konfigurasi kekuasaan sebenarnya merupakan 694



faktor penting yang menentukan tingkat ketimpangan hadiah yang diberikan kepada posisi yang berbeda. Ia pun menyatakan bahwa kekuasaan efektif sektor bersangkutan melaksanakan evaluasi mengenai posisi mana yang lebih penting dari pada posisi lain dengan mengalokasikan hadiah lebih besar kepada posisi yang lebih penting itu. Ada peluang untuk menjelaskan keberadaan universal sistem evaluasi dan tingkatan dan untuk menjelaskan keberadaan ketimpangan tingkat kelangkaan barang dan jasa yang berharga, hampir diseluruh masyarakat tanpa bersandar pada pemikiran sangat terbatas tentang kondisi yang menyebabkan aktor akan terbujuk untuk mengambil peran tertentu dan melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Akan sama masuk akalnya membayangkan kondisi historis sebelumnya dimana perbedaan umur dan kekuatan fisik memungkinkan sebagian anggota kelompok meraih apa yang mereka inginkan dan kapan mereka menginginkannya, dan untuk memulai



melembagakan



kekuasaan



mereka



atas



orang



lain



dengan



mengalokasikan barang dan jasa sesuai dengan keinginan mereka. Segera setelah mengendalikan sosialisasi anak muda, tak banyak lagi muslihat untuk mengajarkan pola perbedaan tertentu yang tak lagi memerlukan perbedaan kekuatan fisik untuk mempertahankannya.21 Formulasi ini nampaknya mengandung beberapa kekeliruan. Tumin benar dalam menempatkan kekuasaan sebagai faktor utama yang menentukan peran warisan; dan penjelasan kekuasaan sejalan dengan penjelasan mengapa orang yang kini menempati posisi berhadiah tinggi adalah mereka yang berkuasa besar juga. Tetapi dapatkah penjelasan kekuasaan sama efektifnya menjelaskan ketimpangan hadiah yang diberikan kepada posisi yang berbeda? Perbedaannya mungkin dapat dijelaskan dengan bantuan contoh sejarah terkenal. Penyerbuan orang Aria dikatakan menjadi penyebab historis sistem kasta Hindu. Persaingan kekuasaan ini menjelaskan mengapa posisi berhadiah tinggi pendeta dan kesatria secara khusus diduduki oleh anggota kelompok penakluk. Persaingan kekuasaan ini tidak dapat menjelaskan mengapa penakluk dan yang ditaklukkan sama-sama menganggap peran pendeta dan kesatria harus menempati posisi berhadiah tinggi.



695



Februari 1963 tulisan Moore “But Some Are More Equal than Others” menjawab kritik Tumin dan membuat penilaian kembali atas versi asli 1945 tulisan Davis dan Moore. Menurut pandanganku kini, tulisan asli Davis-Moore itu belum lengkap karena sebagian, pernyataannya berlebih-lebihan (seperti dicatat Simpson) dan sebagian mengabaikan disfungsi. Kritik ini telah diperhatikan oleh Davis. Lagi pula, secara khusus aku menolak pandangan keseimbangan-stabil versi “fungsionalisme” karena tidak benar dan tak penting bagi pendirian bahwa ketimpangan sosial adalah ciri yang perlu bagi setiap sistem sosial…….”Teori stratifikasi fungsional” hanya berpendapat bahwa kepentingan yang tak sama akan diberi hadiah yang tak sama dan diam-diam disesalkan namun bukan kriminal karena menjadi sasaran perubahan sistem……Meski Davis dan Moore hampir eksplisit menyamakan “stratifikasi sosial” dengan ketimpangan hadiah, kini nampaknya patut disesalkan. Aku bersimpati terhadap kritik Buckley dalam hal ini. 22



Setelah modifikasi ini Moore, menegaskan kembali tesis asli versi 1945: Persoalan tunggal yang dibicarakan kini adalah apakah ketimpangan sosial menjadi ciri yang perlu bagi sistem sosial atau tidak……..Penjelasan yang dikemukakan disini, mengulangi tesis bahwa “diferensiasi fungsional” posisi tanpa terelakkan akan memerlukan ketimpangan hadiah - dan dapat ditambahkan bahwa perbedaan prestasi diperkirakan tentu ada dan akan dinilai secara berbeda. 23



Di sini Moore meresensi berbagai cara dimana “ketimpangan” dapat muncul dari penilaian sosial atas “pelaksanaan, kualitas dan prestasi” tetapi ini hal yang keliru karena baik Tumin maupun pengeritik lain tidak memperdebatkan kelangsungan hidup sistem egalitarian lengkap: masalah yang diperhatikan hanyalah kemungkinan terjadinya “kesepadanan hadiah”; yakni apakah sesuatu yang lain dari ketimpangan hadiah dapat memotivasi individu untuk menduduki posisi berbeda atau tidak. Moore tidak berfikir demikian. Kecuali kalau penyamarataan tugas hakiki tercipta, persamaan hadiah nampakmnya sangat tak mungkin dilembagakan melalui sistem sosialisasi manapun yang terfikirkan. Penyamaan hadiah ini akan memerlukan semangat kerelaan berkorban yang lebih besar dari pada yang pernah dicapai oleh sistem agama manapun - dan kerelaan berkorban dalam ajaran agama itupun masih mengharapkan hadiah masa depan, sesudah mati. Aku yakin Tumin terperangkap oleh pendirian ideologis yang menurutku tak ada alasan untuk menerimanya: yakni bahwa persamaan secara hakiki lebih adil dari pada ketimpangan. 24



Mengenai penyebab “stratifikasi” (hadiah tak sama yang diberikan kepada posisi berbeda) Moore mengulangi formula versi 1945 dan menolak modifikasi Tumin: Interpretasi “fungsional” Davis-Moore tentang ketimpangan, bersandar pada ketimpangan kepentingan fungsional dari posisi dan ketimpangan bakat yang 696



diperlukan untuk mengisi posisi yang tak sama itu. Tak sama dengan kebanyakan analisis fungsional lain, interpretasi ini secara eksplisist adalah evolusioner dan serupa dengan kebanyakan analisis fungsional, mungkin lebih rasional. Pada dasarnya Tumin menyinggung masalah kepentingan posisi fungsional dan bakat tetapi menolaj penjelasan evolusioner dan menggantinya dengan pandangan bahwa stratifikasi adalah gagasan survival yang menyalahi zamannya yang dipertahankan dengan kekuasaan yang melestarikan dirinya sendiri (bahwa negara secara revolusioner membangun model stratifikasi sosial baru, luput dari perhatian Tumin). 25 Cerita tentang pandangan Tumin ini, sungguh tidak tepat. Meski Tumin tak membahas pemerintahan revolusioner, keberadaan pemerintahan revolusioner itu bukan merupakan contoh sebaliknya atas argumen Tumin. Tumin menyatakan bahwa nilai-nilai sektor kekuasaan yang bersangkutan, merupakan faktor utama yang menentukan “bentuk sebenarnya dari setiap sistem hadiah”. Dan seperti kita lihat ketika kita menganalisis argumennya dengan bantuan contoh sejarah konkrit, kekuasaan memang menjadi faktor sangat menentukan posisi yang diwarisi tetapi diragukan apakah kekuasaan dapat menjelaskan mengapa di dalam lingkungan sosial - historis tertentu, posisi tertentu diberi hadiah tinggi dan bukan posisi lain. Moore membantah bahwa sistem kelas masyarakat industri memamerkan “fragmentasi status yang menurut namanya (nominally) tunggal ke dalam subsistem yang tiada bandingannya”, dan bahwa: Pendapat Tumin disini, menggabungkan beberapa kesalahan secara empiris: (1) sistem kelas “benar-benar ada”; (2) sistem kelas itu hanya ada dalam satu “fase” dominan kehidupan sosial, yang dikaitkan (penyebab dari?) dengan gengsi dan kekuasaan; (3) upaya manusia yang bermanfaat lainnya diberi hadiah lebih sedikit dari pada yang menjadi “haknya” karena ekonomi telah “menyerbu” bidang institusi lain. Pernyataan ini tak hanya berarti melebih-lebihkan persamaan status dalam masyarakat industri, tetapi menimbulkan persepsi bahwa keinginan mengejar status lebih meresap dari pada bukti yang ditunjukkan. 26



Rumusan Moore pun nampaknya berdasarkan pernyataan yang dilebihlebihkan juga. Bila sistem kelas tidak “benar-benar ada” dalam masyarakat industri karena “subsistem analisis” benar-benar “tak ada bandingannya”, maka



697



berarti bahwa sebagian besar teori stratifikasi, termasuk teori Davis-Moore adalah tidak relevan atau tak dapat diterapkan. Dalam “On Inequality” jawabannya terhadap Moore, Tumin membuktikan bahwa tingkat ketimpangan sosial jauh lebih besar dari pada yang dilembagakan dalam ketimpangan hadiah. Setiap jenis ketimpangan yang ditemukan dalam masyarakat, dapat menjadi sasaran stusi stratifikasi. Ketimpangan ini muncul dari: (1) spesifikasi peran; (2) penggolongan peran menurut ciri-ciri hakiki; (3) penggolongan menurut kesesuaian moral; (4) penggolongan menurut kontribusi terhadap (a) nilai dan cita-cita moral dan (b) kepentingan fungsional dari tugas; (5) penyebaran dan peralihan. Tipe (1), (2) dan (4) lebih besar kemungkinannya untuk dibahas dalam sistem stratifikasi, tetapi tak satupun yang perlu berakhir demikian. Karena itu banyak sekali ketimpangan yang dapat hidup berdampingan dengan sedikit atau tak ada stratifikasi. 27 Disini pendirian utama Tumin mencerminkan makin selaras dengan teori Davis-Moore. Pernyataan kedua Tumin, bahwa jenis ketimpangan tertentu “tak terelakkan sebagai ciri kelangsungan hidup masyarakat lebih dari dua generasi”, rupanya lebih rumpil dan melibatkan berbagai unsur berlainan. Pertama, Tumin menunjuk pada perbedaan peran orangtua-anak, lelaki-wanita (yang secara tegas telah disingkirkan Davis sebagai dasar stratifikasi). Kedua, Tumin menunjuk pada universalitas penilaian yang menyakitkan hati: “Dimana-mana orang cenderung membuat perbandingan mengenai siapa yang lebih tinggi atau lebih cantik atau lebih cepat” (tetapi apakah ia perlu mengikuti manuver teoritisi fungsional dalam menafsirkan keuniversalan kultur menjadi sebuah pernyataan tanpa bukti tentang keperluan fungsional?). Ketiga, Tumin menunjuk pada “penggolongan menurut kontribusi fungsional” yang ia



bagi menjadi dua subtipe analisis utama: (a)



“Penggolongan menurut kontribusi terhadap atau mencontohkan cita-cita”; (b) “Penggolongan menurut kontribusi fungsional terhadap tujuan sosial yang diinginkan”. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ia mengatakan: Teori sekarang melekatkan signifikansi terbesar pada perbedaan kepentingan fungsional sebagai basis stratifikasi sosial. Masih diperdebatkan apakah benar tiap masyarakat harus membuat 698



pertimbangan mengenai ketimpangan kepentingan fungsional dan harus mengalokasikan barangnya yang langka dan yang sangat diperlukan sekurang-kurangnya sebagia sesuai dengan pertimbangan demikian. 28



Sebagai cerita tentang apa yang dikatakan Davis dan Moore, pernyataan ini sungguh keliru. Sekali lagi harus ditunjukkan bahwa perbedaan kepentingan fungsional tidak sama dengan pertimbangan atau penilaian masyarakat tertentu. Perbedaan kepentingan fungsional adalah tingkat kontribusi yang diberikan masing-masing posisi untuk melestarikan atau menjamin kelangsungan hidup masyarakat. Dalam tulisannya “Rejoinder” kepada Tumin, Moore sependapat bahwa ketimpangan sosial dan ketimpangan hadiah adalah berbeda menurut defenisi tetapi Moore membantah bahwa antara keduanya lebih dekat hubungannya dari pada yang diperkirakan Tumin. Ia meragukan “pandangan relativistis ekstrim Tumin tentang nilai kultural dan institusi sosial” dan menyatakan adanya pola yang melandasi kepentingan fungsi: Selama aku melihat buktinya, penilaian tentang perbedaan posisi fungsional sama sekali tidak sama berubah-ubahnya secara serampangan seperti yang dibahas Tumin atau yang tersirat dalam pernyataannya. Aku mempunyai kesan bahwa perilaku-perilaku yang berkaitan dengan pemeliharanaan ketertiban, ketentuan sandaran ekonomi, perlindungan masyarakat dan keteladanan nilai keagamaan dan estetika, selalu melibatkan perbedaan posisi maupun penilaian pribadi semata. 29 Mengatakan bahwa posisi dalam bidang umum ini melibatkan perbedaan penilaian, tidak sangat memberikan penerangan karena semua posisi dalam masyarakat tertentu mempunyai tingkat penilaian positif atau negatif tertentu. Pernyataan bahwa posisi “selalu”melibatkan penilaian, tidak lebih dari sebuah tautologi. Oktober 1963, tulisan A.L. Stinchcombe “Some Empirical Consequences of the Davis-Moore Theory of Stratification”, mencoba menunjukkan bahwa perbedaan kepentingan fungsional benar-benar ada dan dapat dites. Dengan



699



menunjuk secara tegas ke versi 1945 teori Davis-Moore, Stinchcombe membuktikan bahwa: Argumen dasar Davis-Moore adalah bahwa ketimpangan hadiah cenderung bertambah pada posisi yang sangat penting bagi masyarakat, bahwa bakat yang diperlukan posisi seperti itu adalah langka. “Masyarakat” (yakni orang yang sangat dikenali dengan nasib kolektifnya) menjamin fungsi yang sangat penting ini akan dilaksanakan sebagaimana mestinya dengan memberi hadiah kepada orang yang sangat berbakat untuk melaksanakan tugas ini. Tersirat ini berarti, makin penting posisi, makin kecil peluangnya akan diisi melalui pewarisan. 30



Pernyataan menyatakan,



ini



sangat



hadiah



membingungkan.



tinggi



(bukan



Pertama,



“ketimpangan



Davis-Moore hadiah”)



(1945)



“cenderung



menambah” posisi yang kepentingan fungsionalnya tinggi dan menambah keperluan terhadap orang dengan bakat dan pendidikan tinggi tetapi langka. Kedua, dalam proposisi ini atau dalam keseluruhan versi 1945 itu tak ada yang memungkinkan siapapun untuk menyimpulkan mengenai “pengangkatan karena mewarisi”. Alasannya jelas: versi 1945 tidak membahas posisi warisan dan versi 1948 mencoba memperbaiki kekurangan ini dengan memasukkan peran keluarga sebagai penjelasan posisi warisan. Selanjutnya versi 1948 menjelaskan sistem stratifikasi konkrit untuk menilai dua sisi ekstrim pandangan teoritis: sistem stratifikasi berdasarkan prestasi murni versus sistem stratifikasi berdasarkan warisan murni. Dalam rumusan ini tak ada alasan apapun yang mengizinkan Stinchcombe untuk menyimpulkan



hubungan terbalik antara kepentingan



fungsional dan posisi warisan. Terakhir, pernyataan bahwa "“istem merekrut lebih banyak orang berbakat untuk mengisi posisinya yang “penting” sedangkan posisi yang lain diisi berdasar warisan”, menyiratkan dikhotomi antara posisi penting dan posisi tidak penting; dan ini jelas berbeda dari kata-kata Davis-Moore yang agaknya mengatakan, setiap posisi didalam sistem mempunyai tingkat kepentingan fungsional berbeda. Berikutnya Stinchcombe memberi kita contoh konkrit pertamanya tentang apa yang ia anggap sebagai perbedaan kepentingan fungsional. Sungguh sukar menggolongkan tugas atau peran menurut kepentingan relatifnya. Tetapi tugas tertentu pasti lebih penting disuatu saat ketimbang tugas lain atau lebih penting dalam satu kelompok lain. Jenderal misalnya lebih penting dimasa perang ketimbang dimasa damai. 31



700



Ini benar-benar sebuah kesalahfahaman. Di sini posisi “Jenderal” dengan sendirinya dibandingkan dalam dua periode waktu berbeda (waktu perang dan waktu damai), padahal gagasan tentang perbedaan kepentingan fungsional menurut Davis-Moore menunjuk kepada perbandingan dari posisi yang berbeda dalam periode waktu yang sama. Tetapi kemudian dapatkah kita untuk tidak mengatakan bahwa dimasa perang posisi “Jenderal” memberikan kontribusi lebih besar terhadap kelangsungan hidup masyarakat, katakanlah dibandingkan dengan posisi “nyonya rumah tangga”? Menurut pengertian nyata, ini adalah benar tetapi bukan pengertian seperti ini yang dimaksud Davis-Moore dengan perbedaan kepentingan fungsional itu. Bangsa yang berperang, memerlukan koordinasi sumber daya sosial untuk mengejar tujuan sistem. Koordinasi ini memerlukan klasifikasi sementara dan dikhotomi seluruh posisi menjadi dua kategori: (a) posisi yang perlu atau penting untuk mengejar tujuan perang (misalnya posisi Jenderal, manajer pabrik senjata, ilmuan nuklir dan seterusnya) dan (b) posisi yang tak perlu atau tak penting untuk mengejar tujuan perang (misalnya nyonya rumah tangga, artis, manajer pabrik barang mewah dan sebagainya). Contoh yang dikemukakan Stinchcombe ini takkan memperbaiki pemahaman kita sekurangkurangnya karena tiga alasan: (1) perbedaan kepentigan fungsional rupanya memerlukan perbedaan tingkat kontribusi atas kelangsungan hidup masyarakat yang dilekatkan pada berbagai posisi (dan tujuan ini, dikhotomi tak berguna); (2) contoh diberikan dimasa perang dan ini melibatkan sebuah sistem yang posisinya dikoordinasikan sebagai cara untuk mengejar tujuan sistem dan ini bukanlah kondisi biasa dari sistem sosial sepanjang sejarah (dengan kata lain, meskipun contoh ini adalah contoh yang syah, yang tidak syah kemungkinan menggeneralisirnya ke masa damai masih diragukan); (3) pernyataan bahwa Jenderal, tentara infantri, manajer pabrik senjata (atau spesialis perang lain) adalah “perlu” untuk mengejar tujuan perang, bukanlah sebuah pernyataan empiris tetapi tautologi. Contoh kedua Stinchcombe tentang perbedaan kepentingan fungsional menyangkut perubahan dalam posisi “raja”



701



Posisi raja dalam kerajaan demokratis Eropa Barat terus-menerus merosot dalam kepentingan politik seraya kekuasaan parlemen meningkat……..Hadiahnya juga berubah, lebih menekankan perbedaan seremonial dan pengungkapan perasaan, kurang menekankan pada kekayaan dan kekuasaan……Perubahan dalam sifat persyaratan hadiah menunjukkan pergeseran fungsi. Sekurang-kurangnya perubahan ini menandakan bahwa beberapa fungsi seremonial posisi raja telah merosot, jauh berkurang gengsinya ketimbang fungsi politik. Tetapi mempunyai fungsi nonpolitik dalam struktur politik agaknya kurang penting dimata rakyat. 32



Pertama, seperti contoh sebelumnya, contoh ini terbuka terhadap kritik: posisi raja itu sendiri yang dibandingkan selama dua atau lebih periode waktu, padahal perbedaan kepentingan fungsional memerlukan perbandingan perbedaan posisi diantara raja-raja itu sendiri dalam satu periode waktu. Kedua, apa kaitan antara “kurang penting dimata rakyat” dengan perbedaan kepentingan fungsional? Seberapa besar kontribusi terhadap kelangsungan hidup masyarakat yang diciptakan melalui posisi raja sebelum munculnya parlemen? Seberapa besar pula sesudah munculnya parlemen? Contoh ketiga Stinchcombe sedikit membingungkan dalam arti tak jelas apakah dimaksudkan sebagai contoh perbedaan kepentingan fungsional, perbedaan bakat personil atau keduanya. Dalam industri tertentu, bakat individu jelas adalah faktor pelengkap produksi dalam arti membuat faktor lain makin produktif; dalam industri lain, lebih mendekati faktor tambahan. Contoh kasus ekstrim, ketika film Alex Guinnes “dicampur” dengan alur cerita bodoh, aktor pendukung rutin, biaya produksi biasa, ditambah ribuan dolar untuk biaya tambahan make-up, menghasilkan film yang sangat secara komersial; agaknya Guinnes meningkatkan nilai filmnya dua kali hingga tiga kali lipat sebaik dengan menggunakan aktor pilihan. Tetapi bila tukang cat rumah dengan bakat yang sama (tiga kali lipat sebaik tukang cat cadangan) dicampur dengan 100 pekerja dengan bakat rerata, nilai total produksi menjadi kira-kira 103 %. Jadi, berbicara secara relatif, pelaksanaan peran individual, jauh lebih “penting” dalam jenis usaha pertama diatas. 33 “Jauh lebih penting” disini berarti “memberikan kontribusi lebih besar terhadap nilai ekonomis atau komersial dari produk”. Terlepas dari semua spekulasi, contoh film itu adalah sangat sial karena dalam kasus Guinnes, nilai komersialnya terletak dalam perannya sebagai bintang film dan bukan dalam perannya sebagai



702



aktor drama dan keduanya tidak sama (kenyataannya di Hollywood, hubungan antara keduanya lebih mendekati hubungan terbalik). Karena itu sangat diragukan, apakah bakat drama Guinnes yang menjadi input pelengkap dari kasus film sangat sukses secara komersial itu”. Tetapi diluar semuanya ini, apa arti dari membuat perbandingan antara bakat kreatif khusus dan keterampilan biasa? Dan bila arti perbandingan itu adalah untuk menerangkan kepada kita bahwa bakat kreatif umumnya menerima hadiah lebih besar dari pada keterampilan biasa, bukankah hal ini sudah kita ketahui sebelumnya? Stinchcombe selanjutnya membuat dua daftar “usaha” dimana bakat dikatakan menjadi pelengkap utama dan faktor tambahan utama.



Faktor Pelengkap Bakat Riset Universitas Pertunjukan Manajemen Tim dalam atletik dan tim lain dengan struktur “pemenang semua dapat hadiah”. Pemain biola dalam konser Hampir Menambah Bakat Mengajar Pendidikan prasarjana SLTA Pabrik Pekerjaan tangan Kelompok yang terlibat dalam kompetisi biasa dimana hadiah dibagi dikalangan orang yang berjasa Simponi. 34



703



Penelitian sederhana tentang aktivitas yang dikelompokkan dibawah dua daftar ini mengungkapkan bahwa daftar pertama mengandung proposi lebih besar dari aktivitas berhadiah tinggi dan juga proporsi lebih besar dari aktivitas yang melibatkan bakat kreatif khusus. Stinchcombe “meramalkan” bahwa ini akan menjadi kasus. Ia pun “meramalkan” bahwa aktivitas dalam daftar kedua akan melibatkan jumlah lebih besar bakat yang dihubungkan dengan umur, dan senioritas. Sukar difahami apa yang akan dibuktikan dengan dua daftar itu diluar fakta terkenal bahwa di AS, pemegang peran dengan bakat kreatif khusus, umumnya akan menerima hadiah lebih besar dari pada pemegang peran dengan keterampilan biasa (dan pemegang peran dengan keterampilan biasa ini akan lebih besar kecenderungannya untuk mencari muslihat perlindungan pengganti seperti senioritas). Oktober 1963, tulisan Walter Buckley “On Equitable Inequality” menjawab beberapa masalah yang dikemukakan oleh Moore dalam artikel Februari 1963. Buckley menyatakan bahwa teori Davis-Moore menimbulkan “kekeliruan kompetitif” karena menafsirkan stratifikasi dalam seluruh masyarakat dilihat dari sudut kasus yang tidak khas: “sindrom prestasi kompetitif dari masyarakat industri kontemporer”. Ia mengulangi pendapat Tumin (diakui oleh Moore) bahwa stratifikasi membatasi atau merintangi perkembangan bakat potensial. Ia menuduh Moore yang mengacaukan “ketimpangan” dengan “ketidakadilan” (atau dengan menggunakan istilah “ketimpangan” dengan cara sedemikian rupa sehingga makna istilah itu bergeser dari “perbedaan obyektif “ ke “ketidakadilan”). Ia menegaskan bahwa tugas nyata studi stratifikasi adalah untuk menentukan jarak minimum ketimpangan hadiah sesuai dengan tatanan masyarakat industri. Terakhir Buckley menunjukkan bahwa pernyataan Moore bahwa sistem kelas sebenarnya tidak ada, merupakan konsep yang diciptakan sengan sengaja untuk membatasi defenisi “stratum”; dan dengan menerima pemakaian kata Moore akan memaksa kita mengatakan “tak ada masyarakat yang dikenal atau yang pernah ada yang terstratifikasi”. 35



704



Oktober 1963, tulisan G.A. Huaco, “A Logical Analysis of the Davis-Moore Theory of Stratification” berupaya membuat analisis rinci tentang pikiran perbedaan kepentingan fungsional. Postulan kepentingan fungsional yang tak sama berarti bahwa untuk masyarakat tertentu, pelaksanaan peran tertentu memberikan kontribusi lebih besar terhadap kelangsungan masyarakat bersangkutan ketimbang pelaksanaan peran lain. Untuk pernyataan ini kita memerlukan defenisi “kelangsungan hidup” yang bebas. Kita juga memerlukan kriteria untuk mengukur seberapa banyak peran tertentu memberikan kontribusi untuk kelangsungan hidup vis a vis kontribusi peran lain. Davis menunjukkan contoh kriteria berikut. “Ukuran kasar kepentingan fungsional sebenarnya adalah dapat diterapkan dalam praktek. Dalam masa perang misalnya, keputusan dibuat mengenai industri dan pekerjaan yang mana yang akan mendapatkan prioritas dalam perlengkapan kapital, rekrutmen tenaga kerja, bahan mentah dan sebagainya. Dalam negara totalitarian, keputusan serupa dibuat dimasa damai seperti juga di negara sedang berkembang yang berupaya memaksimalkan modernisasi sosial dan ekonomi mereka. Usaha individual harus terus-menerus menentukan posisi yang mana yang penting dan posisi mana yang tidak penting”. 36 Ada dua kesulitan yang dihadapi berkaitan dengan contoh ini: a Masing-masing contoh, menetapkan kriteria dikhotomi (penting atau tidak penting) bersifat tautologi yang berasal dari tujuan sistem secara menyeluruh. Yang kita perlukan adalah kriteria yang memungkinkan kita mengukur tingkat kontribusi peran tertentu vis a vis kontribusi peran lain terhadap kelangsungan hidup masyarakat; singkatnya, kita memerlukan kriteria tingkatan. b Masing-masing contoh berasal dari sistem ekonomi terencana total atau sebagian dan dengan demikian tak berguna untuk menarik kesimpulan yang dapat diterapkan terhadap sistem ekonomi yang tak terencana (dan terhadap sebagian besar masyarakat sepanjang sejarah yang belum mengenal sistem ekonomi terencana).



705



Huaco memeriksa kedua “petunjuk” yang dikemukakan dalam versi 1945 artikel Davis-Moore (keunikan peran dan tingkat ketergantungan posisi lain terhadap posisi yang dibicarakan). Ia menunjukkan bahwa sama sekali tak ada basis empiris untuk “mengakui” keunikan dan ketergantungan sebagai indikator sesuatu diluar dirinya sendiri. Selanjutnya ia memeriksa pernyataan yang dibuat oleh Davis dan Moore, baik dalam versi 1945 maupun dalam versi 1948. Davis menulis: Karena kebutuhan universal fungsi tertentu dalam masyarakat yang memerlukan organisasi sosial untuk melaksanakannya, ada kesamaan mendasar jenis posisi yang terletak dipuncak, ditengah dan didasar skala…….Untuk tujuan ini kita akan memilih keagamaan, pemerintahan, kegiatan ekonomi dan tehnologi. 38 Huaco menyatakan bahwa pemilihan empat “fungsi” kemasyarakatan yang “perlu” ini tidak hanya karena sudah lazim tetapi juga menurut urutan yang benar. Dan bahwa: Seperti dilukiskan Davis, “fungsi” yang dipilih itu kira-kira berhubungan dengan empat tingkatan analisis model terkenal masyarakat: Davis



Marx



Agama



Lapisan atas superstruktur



Pemerintahan



Lapisan bawah superstruktur



Aktivitas ekonomi



Hubungan produksi



Tehnologi



Kekuatan produksi



Tujuan tunggal perbandingan ini adalah untuk menyatakan bahwa “fungsi” masyarakat yang “perlu” dan “universal” ide Davis dan Moore itu benar-benar adalah bagian analisis dari berbagai model masyarakat yang tersirat dari ide mereka atau yang berasal dari sederetan tautologi tersembunyi dari model masyarakat tersirat itu. “Keperluan”, jelas menyangkut keperluan logika atau analisis. Dari sinilah terlihat bahwa pernyataannya tentang apa yang ia pilih adalah empat fungsi masyarakat yang perlu dan universal, benar-benar sebuah tautologi. 39 706



Huaco menyimpulkan bahwa perbedaan kepentingan fungsional itu “sama sekali tidak diketahui” dan “tak dapat digunakan sebagai penjelasan yang syah tentang ketimpangan hadiah”. Peninjauan Kembali Kini kita kembali ke analisis semula struktur logika teori Davis-Moore untuk mencoba menyortir bagian mana yang telah dihancurkan oleh kritik dan bagian mana yang masih kokoh dan memberi harapan. Pertama, agak jelas bahwa konsep dasar teori, postulat tentang perbedaan kepetingan fungsional adalah buah fikiran yang keliru. Tak ada sepotong bukti pun yang dapat menunjukkan bahwa perbedaan posisi menyebabkan perbedaan tingkat kontribusi terhadap kelestarian atau kelangsungan hidup masyarakat. Kedua, juga jelas, asumsi dengan tujuan bahwa masyarakat yang kriteria stratifikasinya lebih mendekati prestasi murni lebih besar peluang kelangsungan hidupnya (survival) ketimbang masyarakat yang kriteria stratifikasinya lebih mendekati warisan (ascriptive), bukan hanya tak mendasar tetapi juga mungkin tak benar. Bagaimanapun, bagian teori yang lain nampaknya ada gunanya dipertahankan. Inilah bagian yang dapat dipertahankan itu. I.



Ketimpangan hadiah yang diberikan kepada posisi yang berbeda menyebabkan mobilitas individu ke posisi lebih tinggi. Meski ada persoalan tehnis tentang kemungkinan “alternatif”, namun cukup jelas bahwa proposisi ini adalah bagian teori Davis-Moore yang paling kokoh. Buktinya memang tak langsung namun mengesankan dan berasal dari bidang psikologi eksperimental yang dikenal sebagai teori pengetahuan. Defenisi lengkap Davis-Moore tentang “hadiah” berkaitan dengan pemikiran psikologi tentang “penguatan”. Pikiran tantang “hadiah tinggi” berkaitan dengan “penguatan positif” dan “hadiah rendah” berkaitan dengan “penguatan negatif”. Pakar teori pengetahuan mempunyai bukti hasil eksperimen banyak sekali tentang pengetahuan dan tindakan



707



binatang dan manusia dalam merespon terhadap manipulasi penguatan positif dan negatif. II. Keberadaan dan bekerjanya institusi keluarga adalah penyebab pewarisan status. Bahwa kekhasan ciri-ciri ikatan kekeluargaan cenderung menimbulkan pewarisan status, mungkin terbukti dengan sendirinya. Juga terbukti bahwa keberadaan keluarga, tak cukup atau tak lengkap menerangkan pewarisan status. Kita dapat membuat sebuah model kenseptual dimana kecenderungan pewarisan status dari keluarga ditangguhkan dan dimana pewarisan status bagaimanapun dihasilkan. Penaklukan Inggris oleh orang Normandia 1066 menyediakan sebagian besar posisi berhadiah tinggi untuk penakluk dan membatasi orang Saxon yang ditaklukan pada posisi berhadiah rendah. Kita tahu bahwa kedua masyarakat itu mempunyai hubungan keluarga luas; tetapi yang kita maksud adalah bahwa hubungan serupa dapat berakibat mengikuti penaklukan serupa, meskipun kedua masyarakat sama sekali telah berorientasi prestasi. Penjelasan tentang mengapa orang Normandia yang menaklukan menyediakan untuk mereka sendiri sebagian besar posisi berhadiah tinggi, tak dapat ditemukan dalam keluarga Normandian tetapi harus dilacak ke penaklukan itu sendiri yakni ke fenomena kekuasaan. III. Perbedaan kelangkaan personil yang memenuhi syarat adalah penyebab “stratifikasi” (hadiah yang tak sama diberikan kepada posisi yang berbeda). Baiklah kita modifikasi pernyataan di atas sehingga berbunyi: kelangsungan yang berbeda dari personil yang memenuhi syarat, menyebabkan tingkat ketimpangan hadiah yang diberikan kepada posisi yang berbeda. Pikiran menarik ini pantas diterima untuk dikembangkan melebihi formulasi ringkasnya oleh Davis dan Moore. Kita dapat menegaskan perbedaan sepanjang dua dimensi berbeda: disatu pihak, struktur posisi masyarakat tertentu mungkin tinggi atau rendah syarat bakat dan pendidikan yang diperlukannya, dilain pihak, populasi masyarakat tertentu mungkin tinggi atau rendah jumlah bakat dan pendidikan efektifnya. Keadaan perbedaan relatif kelangkaan personil 708



Masyarakat Industri Masyarakat Sedang Maju Berkembang



Masyarakat PraMasyarakat Revolusioner Tradisional



dapat dikatakan ada kapan saja terdapat jurang pemisah cukup besar antara jumlah bakat dan pendidikan efektif yang tersedia dalam masyarakat dan jumlah bakat dan pendidikan yang diperlukan oleh struktur posisi dalam masyarakat. Kini kita dapat membuat tabel rangkap empat dan meneliti berbagai kemungkinan:



Jumlah Bakat dan Pendidikan yang Diperlukan oleh Struktur Posisi Masyarakat Tinggi Jumlah Bakat dan Pendidikan yang Tersedia dalam Masyarakat



Rendah



Tinggi Rendah



1. Masyarakat Tradisional. Disini jumlah bakat dan pendidikan yang diperlukan oleh struktur posisi masyarakat adalah rendah dan jumlah bakat dan pendidikan efektif yang tersedia dalam masyarakat itu juga rendah. Disini kecil atau tak ada gunanya berbicara tentang perbedaan kelangkaan personil; dan seberapa jauh pun tingkat ketimpangan hadiah, bidang tingkat ketimpangan ini harus dijelaskan dengan melihat dari sudut faktor lain (hingga kini belum teridentifikasi). 2. Masyarakat Sedang Membangun Industri. Disini jumlah bakat dan pendidikan yang diperlukan oleh struktur posisi masyarakat adalah tinggi tetapi jumlah bakat dan pendidikan yang tersedia tetap rendah. Disini terdapat perbedaan kelangkaan personil dan secara hipotesis dapat diprediksi bahwa tingkat ketimpangan hadiah cenderung akan meningkat. Bicara secara historis, keadaan seperti sangat sering terjadi. Periode awal industrialisasi Eropa Barat, pengalaman



709



Amerika abad 19, dan periode industrialisasi Uni Soviet, semuanya menunjukkan kenaikan tingkat ketimpangan hadiah. 3. Masyarakat Industri Maju. Disini jumlah bakat dan pendidikan yang diperlukan oleh struktur posisi masyarakat adalah tinggi dan jumlah bakat dan pendidikan efektif yang tersedia dalam masyarakat juga cenderung makin tinggi. Dengan pengurangan bertahap perbedaan kelangkaan personil, kita dapat memprediksi bahwa masyarakat industri maju akan menunjukkan kecenderungan kearah memperpendek tingkat ketimpangan hadiah. Sekali lagi bukti historis nampak mendukung prediksi ini. 4. Masyarakat Pra-Revolusioner. Disini jumlah bakat dan pendidikan yang diperlukan oleh struktur posisi masyarakat adalah relatif rendah tetapi jumlah bakat dan pendidikan efektif yang tersedia dalam masyarakat, relatif makin tinggi. Sebagai pengganti kelangkaan personil kita malah berhadapan dengan surplus personil. Inilah situasi Rusia tahun 1917 dengan jumlah tenaga terdidik tinggi, tetapi juga sebagian besar setengah menganggur. Seperti ini pulalah situasi yang dihadapi kebanyakan masyarakat terjajah dimana penguasa kolonial mambantu mengembangkan pendidikan dan secara serentak membantu membuat tenaga terdidik pribumi menjadi setengah menganggur. Apalagi yang tinggal dari teori stratifikasi Davis-Moore? Dua dekade kontroversi, berhasil dengan efektif menyortir postulat berciri metafisika dan asumsi yang diragukan dari unsur yang lebih berharga. Unsur ini mengandung wawasan sangat luas tetapi unsur itu sendiri bukan berarti sebuah teori tentang ketimpangan sosial, mobilitas, dan stratifikasi yang benar-benar memadai. Catatan Kaki 1.



Kingsley Davis, Human Society (Ny: The Macmillan Co., 1948: 369-370).



2.



Ibid:388-389.



3.



M.M. Tumin, “Some Principles of Stratification: A Critical Analysis”, ASR, XVIII (August, 1953: 387-394).



4.



Ibid: 389.



5.



Kingsley Davis, “Reply”, ASR, XVIII (August, 1953:395). 710



6.



Ibid: 396.



7.



M.M. Tumin, Reply”, to Kingsley Davis”, ASR,XVIII (Dec., 1953:672).



8.



Richard D. Schwartz, “Functional Alternatives to Inequality”, ASR, XX (August, 1955:424-430).



9.



Ibid: 424.



10. R.L. Simpson, “A Modification of the Functional Theory of Stratification”, Social Forces, XXXV (Dec.,1956: 132). 11. Ibid. 12. Ibid:133. 13. Ibid. 14. Walter Buckley, “Social Stratification and the Functional Theory of Social Differentiation”, ASR, XXIII (August, 1958:369-373). 15. Ibid:370. 16. K. Davis, “The Abominable Heresy: A Reply to DR. Buckley”, ASR,XXIV (Feb.,1959:772). 17. Danis H. Wrong, “The Functionalist Theory of Stratification: Some Neglected Consideration”, ASR, XXIV (Dec., 1959: 772). 18. Ibid:774-778. 19. M.M. Tumin, “Competing Status Systems”, dalam A.S. Feldman and W.E. Moore,eds., Labor Commitment and Social Change in Developing Areas (NY: Social Science Research Council, 1960:279). 20. M.M. Tumin with A.S. Feldman, Social Class and Social Change in Puerto Rico (Princeton, N.J: Princeton Univ.Press, 1961: 491). 21. Ibid:508. 22. W.E. Moore, “But Some Are More Equal than Others”, ASR, XXVIII (Feb., 1963:14-15). 23. Ibid:15. 24. Ibid:16. 25. Moore, Loc.cit. 26. Ibid:117. 27. M.M. Tumin, “On Inequality”, ASR, XXVIII (Feb., 1963:18). 711



28. Ibid:23. 29. W.E. Moore, “Rejoinder”, ASR, XXVIII (Feb., 1963:27). 30. A.L. Stinchcombe, “Some Empirical Consequences of the Davis-Moore Theory, ASR, XXVIII (Oct., 1963:805). 31. Ibid 32. Ibid:806. 33. Ibid. 34. Ibid. 35. W. Buckley, “On Equitable Inequality”, ASR, XXVIII (Oct., 1963:800). 36. Davis, “Reply”, op.cit:395. 37. G.A. Huaco, “A Logical Analysis of the Davis_Moore Theory of Stratification”, ASR, XXVIII (Oct., 1963:803). 38. Davis, Human Society, op.cit:371. 39. Huaco, op.cit: 804.



712



Ketaksesuaian dan Pertikaian Dalam Evolusi Oleh : Melvin M. Tumin - Arnold Feldman Ketaksesuaian antara posisi obyektif dan subyektif menjadi ciri-ciri setiap sistem sosial. Tak ada upaya yang lebih sering dilakukan selain upaya untuk merubah sistem penilaian posisi subyektif agar makin sesuai dengan ketimpangan obyektif. Dalam masyarakat moderen, sekurang-kurangnya ada upaya dua arah yang diperhatikan. Untuk mengurangi ketaksesuaian ini, elite berupaya menanamkan keyakinan tentang keadilan distribusi hadiah kekayaan dan kekuasaan yang ada dan menanamkan gagasan bahwa pemilikan hadiah ini menandai manfaat seorang aktor. Usaha sebaliknya pun dilakukan baik dalam masyarakat moderen maupun dalam masyarakat lain. Disatu pihak ada tehnik pengisolasian strata yang mengaburkan perbedaan yang nampak didepan umum diantara strata. Penyekatan dan isolasi strata ini cukup sering tercipta dengan sendirinya. Tetapi sering pula terjadi, bersamaan dengan penyekatan dan isolasi ini (sekurang-kurangnya dalam masyarakat moderen dari pihak kelompok relatif rendah terdapat upaya keras untuk mendapatkan bagian lebih besar hadiah yang disediakan masyarakat. Upaya keras ini justru membakar semangan karena mereka dinilai kurang penting dan kurang layak hadiahnya yang diberikan masyarakat. Anehnya, apa yang menjadi alasan penting mereka menuntut bagian hadiah lebih besar, padahal mereka sebagian telah menerima ide bahwa pemilikan kekayaan bernilai langka ini adalah kriterium yang tepat untuk mengukur pekerjaan aktor. Tetapi kemunculan ide ini nampaknya selalu disertai dan biasanya didahului oleh penolakan publik karena penampilan kekayaan bernilai langka ini sebenarnya berhubungan dengan posisi; setidak-tidaknya, penolakan pemilikan kekayaan bernilai langka ini ada hubungan



713



pentingnya



dengan



ideologi



resmi



dan



dengan



elite



penilai



yang



mengartikulasikan ideologi ini. Kini kita dapat membuat ringkasan sementara tentang faktor yang menentukan hubungan antara pemilikan barang bernilai langka dan posisi pada hirarki sosial dan nilai moral. 1. Dalam setiap sistem sosial, nilai dan kekayaan tertentu disyahkan bersama sebagai sesuatu yang sangat diperlukan oleh hampir seluruh aktor dari seluruh strata. Tingkat konsesus ini biasanya tergantung pada derajat kesamaran nilai dan kekayaan itu dinyatakan dan derajat kesukaran membuat ukuran dan perbandingan yang tepat secara operasional. Semakin samar-samar dirumuskan dan semakin sukar membuat ukuran dan perbandingan yang tepat secara operasional, semakin besar kemungkinan



tercapainya



konsesus



(misalnya



sifat



diinginkannya



kesuksesan, nilai kebenaran, kesetiaan dan sebagainya). 2. Perbedaan signifikan akan selalu ditemukan antara barang berharga dan yang berlimpah-ruah dan antara barang berharga dan yang langka. Berdasarkan atas sistem normatif yang ada, semua sistem sosial tentu mempunyai kedua kumpulan barang itu dan tentu memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap keduanya. Barang yang bernilai langka, umumnya akan dibatasi pada benda material dan jasa dan sejumlah kecil bakat; barang yang dinilai berlimpah umumnya merujuk pada kualitas moral, kemampuan bergaul antar sesama dan sebagainya. 3. Perbedaan akan selalu ditemukan diantara ucapan aktor sendiri mengenai urutan tingkatan nilai sosial dari berbagai tipe posisi dan aktor. Perbedaan sebagian besar adalah fungsi dari perbedaan kombinasi barang bernilai langka dan yang bernilai melimpah yang dimiliki aktor sendiri. Aktor yang memiliki bakat relatif besar dari barang langka tentu saja akan cenderung memberikannya bobot lebih besar dalam sistem penilaian mereka tanpa mengingkari signifikansi dari barang yang dinilai melimpah. Sebaliknya, aktor yang memiliki barang langka relatif sedikit, cenderung akan memberikan bobot relatif kecil yang sebanding jika ada sama sekali, 714



terhadap signifikansi barang yang dinilai; mereka malahan akan menekankan pada penolakan signifikansi nilai kekayaan berlimpah yang mereka tuntut. 4. Pertikaian mengenai urutan tingkatan yang berasal dari perbedaan rasio kekayaan akan meningkat, tergantung pada seberapa banyak ideologi resmi masyarakat menekankan pada “persamaan mendasar” dan “persamaan manfaat” seluruh anggotanya. Tetapi karena dalam setiap sistem sosial ideologi resmi harus menekankan pada pentingnya nilai kekayaan yang berlimpah (misalnya tindakan moral) maka aktor yang berada pada posisi sosial-ekonomi rendah akan selalu mempunyai alasan syah untuk membenarkan tuntutan mereka atas posisi lebih tinggi disetujui oleh atasan mereka. Bila ideologi resmi menyatakan ketidaksamaan mendasar seluruh tipe aktor dan bila ideologi ini dilaksanakan secara institusional, ditularkan secara efektif sepanjang waktu melalui agen sosialisasi, dan diperkuat melalui kontrol yang keras atas penyimpangan, maka pertikaian mengenai penilaian posisi cenderung akan menurun ke tingkat minimum. Berdasarkan observasi ini, kita kini dapat merumuskan jawaban sementara atas masalah mengapa kesesuaian dan ketaksesuaian dapat berubah-ubah. Kesesuaian disini terutama menunjuk kepada kesepakatan aktor disemua tingkatan posisi atas ketepatan posisi yang diberikan kepada aktor tertentu oleh aktor lain; juga menunjuk kepada kesepakatan aktor tentang posisi yang seharusnya diberikan kepada aktor lain. Ketaksesuian dapat muncul disalah satu atau dikedua belah pihak yakni disisi penilaian yang diberikan kepada aktor lain. Karena itu ketaksesuaian penilaian cenderung mendekati titik maksimum bila hal berikut muncul serentak: 1. Ideologi resmi tentang persamaan nilai moral dan manfaat sosial seluruh aktor atau strata aktor, didasarkan atas besarnya signifikansi sosial perilaku normatif lain yang tidak diberi hadiah.



715



2. Penegasan ditingkat ideal tentang sama pentingnya bagi sistem seluruh fase utamanya dan aktivitas yang tertuju ke fase utama itu. 3. Distribusi barang berharga dan jasa yang langka yang sangat timpang yang dibenarkan didepan umum dan dirasionalkan sebagai perangsang dan hadiah untuk bakat dan prestasi yang tepat pada satu-satunya fase sistem. Tak hanya akan ada kecenderungan kearah ketaksesuaian tentang penilaian aktor sendiri dan tentang penilaian yang diperoleh aktor lain tetapi ketaksesuaian penilaian seriuspun mungkin terjadi mengenai keadilan distribusi barang berharga dan jasa yang langka sehingga orang mendapatkan jumlah hadiah yang tak seimbang dan jumlah bagian mereka yang tak seimbang. Sebaliknya konsesus cenderung mendekati titik maksimum dalam sebuah sistem sosial, bila ada: 1. Ideologi resmi tentang nilai moral mendasar dan ketimpangan nilai sosial seluruh aktor atau strata aktor yang didasarkan atas ciri-ciri atau kualitas yang agaknya diwarisi yang tak menjadi sasaran pengesyahan atau penolakan empiris; 2. Pengesyahan ditingkat ideal tentang relatif kecilnya makna fasenya tertentu bagi sistem dan dominannya makna salah satu fasenya yang lain; 3. Distribusi barang berharga dan jasa yang langka menurut bagian yang sangat timpang, bagian terbesar jatuh ke tangan elite turun-temurun dibenarkan dilihat dari sudut kualitas yang mereka warisi saja dan kecocokan alamiah mereka untuk tugas (fase aktivitas) dianggap sangat penting bagi sistem. Disini konsesus pun akan ditemukan tidak hanya mengenai penilaian subyektif yang dimiliki oleh diri sendiri dan dianggap berasal dari orang lain tetapi juga mengenai distribusi barang berharga dan jasa yang langka. Kini kita mungkin bertanya, berdasar kondisi bagaimana sebagian besar atau seluruh strata mungkin menerima ketimpangan distribusi barang berharga dan jasa yang langka, tetapi bertikai mengenai posisi hirarki menurut nilai moral dan nilai sosial? Dari variabel yang dinyatakan di atas, kita dapat melihat salah satu alasan 716



akan terjadinya pertikaian ini: dimana ada kesepakatan umum bahwa sekumpulan fase aktivitas secara fungsional ketimbang yang lain dan aktor berbakat dalam fase ini memerlukan dan atau berhak mendapat bagian yang tak seimbang dari barang berharga yang langka tetapi ada ideologi resmi yang menyatakan bahwa seluruh aktor sosial akhirnya sama nilainya.Penilaian resmi ini berdasar pengakuan bahwa seluruh fase aktivitas lain adalah penting meski pelaksanaan perannya adakalanya tidak mengharapkan atau tidak menentukan tingkatan hadiah. Kita dapat menentukan akibat dari saling pengaruh mempengaruhi antara variabel-variabel yang dilukiskan di atas dan ini memperkuat arti penting perbedaan yang kita buat, adalah : (1) antara ketimpangan distribusi barang berharga dan jasa yang langka dan penetapan posisi yang tak sama menurut hirarki nilai moral dan sosial; (2) antara barang berharga yang langka dan barang berharga yang berlimpah; (3) antara konsesus tentang tingkat pentingnya fase aktivitas dan struktur hadiah yang pantas dalam setiap sistem sosial dan konsesus tentang tingkatan manfaat aktor. Dua jenis perbedaan pertama, kini tak memerlukan pengembangan lebih lanjut, meski kita akan merujuk kembali kepadanya kemudian. Perlu diperhatikan lebih hati-hati implikasi perbedaan ketiga. Perhatian terutama akan dipusatkan pada posisi, dalam arti penting relatif, perbedaan fase aktivitas sistem atau dengan berbagai cara penetapan arti penting fungsi yang berbeda atas berbagai peran dan tugas. Implikasi penting pertama perbedaan ini adalah bahwa kita takkan salah menganggap adanya konsesus mengenai urutan tingkatan fase aktivitas sistem atau adanya konsesus mengenai tingkatan peran. Kita pun takkan salah beranggapan dalam kasus tertentu bahwa kita dapat menjelaskan tingkatan peran melalui tingkatan fasenya hingga kita ketahui apakah ada konsesus tentang tingkatan fase dan juga kelayakan penetapan tingkatan sesuai dengan peran yang dimainkan dalam fase tingkat tinggi. Ada landasan teoritis yang baik yang berpendapat bahwa ketaksesuaian akan selalu ditentukan (kecuali dalam kasus terbatas yang ditetapkan sebelumnya) baik 717



pada tingkatan fase dan kelayakan tingkatan peran menurut kontribusi fasenya. Ketaksesuaian terakhir ini harus selalu diperkirakan, sekurang-kurangnya hingga taraf tertentu, tepat karena orang harus selalu mengira tingkat ketaksesuaian mengenai fase yang dinilai. Jelaslah, dalam kondisi normal (selain dari krisis ekstrim) setiap sistem sosial mempunyai tiga kumpulan urutan posisi yang selalu muncul serentak: 1. Urutan posisi pertama (untuk sesaat dalam sejarah masyarakat) menentukan apa yang diakui secara umum oleh hampir setiap orang atau apa yang dituntut dan dilaksanakan sebagai kepentingan dengan prioritas tertinggi terhadap aspek tertentu atau fase utama sistem sosial. Sebagian tugas yang diprioritaskan untuk sementara ini terbukti berlangsung sedemikian lama sehingga hampir dapat dikatakan merupakan prioritas permanen. Tetapi fakta yang penting adalah bahwa tugas itu didepan umum ditetapkan sebagai tugas sementara. 2. Urutan posisi kedua yang selalu ada dalam sistem sosial adalah tugas yang biasanya dengan persetujuan umum tentang sama pentingnya setiap sektor untuk seluruh fase dilihat dari sudut persyaratan jangka panjang sistem sosial. 3. Urutan posisi ketiga, sebagian berasal dari urutan posisi kedua tetapi dianalisis secara terpisah. Ini menunjuk kepada proses dimana pemeran dalam setiap fase sistem sosial secara resmi didesak untuk meyakini dan bertindak seakan-akan peran mereka sama pentingnya dengan peran yang dimainkan dalam fase lain sistem sosial; pemain peran ini mewarisi posisi pada tingkat tertinggi pentingnya bagi sistem sosial sejauh menyangkut mereka secara pribadi, terhadap



peran



mereka



(sebagai



contoh



seorang



ibu



rumah-tangga



disosialisasikan dan didorong untuk yakin dan bertindak seakan-akan peran mereka sangat diperlukan bagi sistem sosial, sama pentingnya dengan peran lain pada umumnya dan lebih penting daripada peran lain manapun sepanjang menyangkut diri mereka sendiri). Ada dua alasan untuk proses ini. Pertama gagasan tentang sama pentingnya semua peran yang berasal dari urutan posisi kedua yang dilukiskan di atas. Kedua, gagasan tentang lebih pentingnya peran yang berasal dari fakta bahwa kalau tidak 718



lebih penting, mustahil untuk merekrut pemeran untuk peran itu dan mustahil mereka untuk melaksanakan peran mereka dengan sungguh-sungguh terutama karena peran ini sebaliknya tidak diberi hadiah di depan umum dan sering secara psikologis tidak mengandung nilai kepuasan. Bahwa sebuah peran dapat sama pentingnya maupun lebih penting adanya, tidak sukar dibayangkan bila kita menyadari bahwa sama pentingnya itu dilihat dari sudut pandang menyeluruh dan lebih pentingnya dilihat dari sudut pandang pemeran (aktor) itu sendiri. Pemeran ini tak memerlukan adanya izin resmi baginya untuk membayangkan perannya lebih penting tetapi ada tekanan resmi dan dukungan kelembagaan baginya untuk menilai demikian. Singkatnya, setiap sistem sosial nampaknya mendorong serentetan pertimbangan yang berbeda-beda mengenai arti penting sebuah peran; persaingan dan konflik diantara perbedaan arti penting peran ini dikurangi oleh tehnik membuat kesan lebih penting dimata pemain peran dan tak sepadan lebioh pentingnya itu menurut dasar perbandingan umum. Dengan demikian, ibu rumahtangga secara tepat dapat dinyatakan bahwa perannya adalah lebih penting daripada peran orang lain dimana kontribusinya terhadap kelompoknya dan terhadap sistem sosial bersangkutan tanpa perlu bertentangan dengan pandangan sang ayah pencari nafkah bahwa perannya adalah yang terpenting dilihat dari sudut kemungkinan kontribusinya terhadap kelompok (keluarga) yang sama dan terhadap sistem sosial. Akibat penting yang mendasar dari urutan posisi tipe ketiga di atas berkaitan dengan ketekoran psikis yang berasal dari pelaksanaan peran yang dinilai rendah dan diberi hadiah rendah dalam fase perhatian dominan. Ketekoran dalam penilaian diri sendiri akan diikuti oleh pengabaian signifikansi peran berposisi rendah dalam fase dominan dan menekankan signifikansi peran tak bernilai yang ia mainkan dalam fase kurang dominan. Demikianlah, pencari nafkah berposisi rendah mengalami ketekoran psikis karena kerendahan posisinya dibidang pekerjaan memperbaiki citra dirinya dan dalam pertimbangannya, membenarkan posisinya setara dengan orang lain dengan menyatakan kepada publik, bahwa jika tak lebih besar, sama pentingnya perannya yang lain dalam memelihara sistem. Dengan demikian ia mengatakan: “Aku adalah orang yang sopan; Aku mematuhi 719



hukum; Aku mendidik anakku untuk menghormati wewenang dan menunjukkan sikap yang sopan; Aku berhubungan baik dengan tetanggaku; Aku membayar pajak; Aku memberikan suara dalam pemilihan umum; Aku bekerja keras ditempat kerjaku dan aku membantu orang yang memerlukan bantuan; Aku ke gereja secara teratur; Aku mengajar anakku menyembah Tuhan; Aku membantu mereka belajar berkeinginan untuk maju dan menempuh jalan mereka sendiri dalam kehidupan; Aku merasa mereka harus mendapatkan pendidika sebaik mungkin sejauh yang dapat aku usahakan; Aku berupaya menafkahi keluargaku sebaik yang bisa aku upayakan; dan seterusnya”. Bila aktor seperti ini harus menerima kenyataan yang bertentangan, bahwa tugasnya dalam pembagian kerja tidak diberi hadiah material sebaik yang diterima orang lain dan atau tidak memikul tanggungjawab sebanyak yang dipikul orang lain, ini mungkin menjadi satu-satunya alasan yang menyebabkan ia harus mengurangi kontribusinya untuk mempertahankan sistem berproses - dengan anggapan ia setuju dengan kriteria pentingnya tugasnya secara fungsional; dan ia mempunyai sebuah daftar panjang kontribusinya yang sama lainnya yang lebih banyak daripada pengganti kerugian yang memadai untuk perbedaan tunggal yang menyakitkan hati itu. Kini nampak bahwa upaya untuk menerangkan urutan tingkatan peran berdasarkan “arti penting fungsionalnya” atau berdasarkan kontribusinya terhadap proses sistem, jika tidak lebih banyak, sekurang-kurangnya menimbulkan masalah sama banyaknya dengan yang akan dipecahkan. Karena ketiga kumpulan defenisi tentang proses sistem dan arti penting fungsional dari peran selalu muncul dan disetujui dan disyahkan secara institusional; dan karena alasan yang dinyatakan di atas, tentu akan ada pertikaian diantara ketiga defenisi itu, meski hasil pembagian kekuasaan yang berbeda memungkinkan pemain peran tertentu melaksanakan keputusan mereka lebih banyak daripada pemain peran yang lain. Begitu pula, seperti telah dicatat di atas, jelas bahwa jumlah pertikaian mengenai urutan tingkatan manfaat dari pemain peran dengan segera berbeda dari jumlah ketimpangan dalam distribusi barang berharga yang langka pada waktu bersamaan bila ada ideologi resmi tentang kesamaan manfaat seluruh aktor tanpa



720



menghiraukan peran dan atau tanpa menghiraukan penekanan signifikan pada arti penting sosial peran yang tak diberi hadiah. Karena itu dapatkah dikatakan bahwa alokasi hadia langka yang diinginkan dibuat berdasarkan perbandingan kontribusi terhadap pemeliharaan proses sistem atau berdasarkan pertimbangan “arti pengting fungsional” dari tugas? Hanya sejauh sektor tugas aktor yang menegaskan lebih pentingnya sekumpulan tugas tertentu ketimbang tugas lain maka pertimbangan ini dapat dilaksanakan dalam struktur hadiah dan dapat merangsang struktur rekrutmen. Kini kita dapat menyimpulkan bahwa bentuk sistem hadiah sebenarnya atau bentuk sistem perangsang dan pengerahan (recruitment) kedalam tugas tertentu adalah fungsi kekuasaan yang berkaitan dengan sektor yang menentukan perbedaan arti penting masing-masing tugas. Lalu stratifikasi, seperti yang dikesankan sebagian pakar, yang dapat ditetapkan oleh sistem alokasi yang tak sama dari barang berharga dan jasa yang langka adalah sesuatu yang sangat berbeda dari muslihat yang berkembang tanpa disadari oleh masyarakat yang menjamin bahwa orang yang paling tangkas akan terbujuk untuk melaksanakan tugas yang dianggap paling penting secara fungsional bagi masyarakat. Stratifikasi lebih merupakan hasil yang sebagian ditentukan oleh distribusi hadiah sosial yang merupakan fungsi persaingan diantara variabel yang menetukan apa yang penting bagi masyarakat dan persaingan diantara masing-masing kekuasaan yang tersedia pada sektor-sektor yang bersaing untuk melaksanakan keputusan mereka. Dimensi fundamental setiap sistem stratifikasi adalah lebih rumpil daripada rumusan yang dikemukakan ini. Perbedaan tertentu selalu diharapkan antara sistem distribusi barang berharga dan jasa yang langka dan tingkat penilaian subyektif aktor tentang manfaat sosial. Sebelumnya telah ditunjukkan berbagai alasan yang menyebabkan terjadinya ketaksesuaian dalam penilaian posisi. Itu hanya menyembunyikan kompleksitas masalah stratifikasi ini untuk merumuskan persoalan alokasi gengsi melalui pernyataan yang dimulai dengan “Gengsi disetujui dan seterusnya”, kecuali kalau pernyataan itu berisi referensi kepada siapa yang berperan sesuai dan kepada makna gengsi yang disetujui. Dalam hal 721



ini kita ingat bahwa perbedaan harus digambarkan antara dua kemungkinan makna gengsi; bila gengsi itu ditempatkan pada tugas, tersirat menyatakan pertimbangan bahwa tugas itu lebih penting daripada tugas lain atau keterampilan yang lebih sukar mendapatkannya, lebih besar pendapatan yang diinginkannya, dan seterusnya; dan yang meliputi hubungan nilai sosial dan moral dengan pemain peran yang memiliki keterampilan berharga, pendapatan yang diinginkan dan seterusnya. Studi tentang posisi empiris menunjukkan dengan jelas bahwa terdapat konsesus relatif luas cakupannya mengenai tingkat keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas tertentu, mengenai betapa baiknya mempunyai keterampilan yang lebih banyak dan seterusnya; pada waktu bersamaan, terdapat pertikaian tentang variabel apa yang secara tersirat memiliki posisi pada hirarki nilai sosial dan moral. Karena alasan ini, penting bahwa dimensi gengsi dibedakan dalam setiap proposisi mengenai distribusi atau alokasi gengsi. Sama pentingnya bahwa orang yang membuat keputusan harus ditentukan. Menghadapi pertanyaan bagaimana cara menerangkan distribusi gengsi dalam masyarakat, pertama kita harus melihat distribusi gengsi bersifat ganda (selalu merujuk kepada variabel dan komponen yang tak dapat dibandingkan seperti keterampilan versus moralitas) dan kedua selalu ada peluang untuk membedakan tingkat gengsi itu menurut strata; perbedaan ini, secara minimum sesuai dengan jumlah gengsi barang berharga yang dimiliki masing-masing strata. Jadi bentuk sistem gengsi masyarakat adalah fungsi dari: 1. Persaingan defenisi dari sistem yang berproses. 2. Persaingan kekuasaan untuk melaksanakan keputusan ini. 3. Persaingan kriteria gengsi. 4. Kekuasaan yang menentukan penilaian diri sendiri seseorang dan yang membuktikan secara konkrit penilaian seseorang. Kiranya tak ada batas pasti atau tak terelakkan dari kekuasaan aktor untuk menentukan penilaian diri mereka sendiri dan untuk mendapatkan pembuktian tentang kebenaran penilaian ini. Selalu ada ketegangan yang bekerja menentang penilaian sendiri yang tak sama dan yang istimewa ini. Tetapi setiap masyarakat 722



mempunyai mekanisme tententu sehingga melalui mekanisme itu aktor kuranglebih berhasil mengumpulkan dan mempertahankan citra-diri yang agak menguntungkan. Ditingkat ekstrim, penilaian diri sendiri ini dapat menjadi sumber angan-angan dalam kehidupan pribadi. Kita pun harus memperhitungkan fakta bahwa perilaku yang sering sangat tidak fungsional bagi sistem yang berproses, justru ditunjukkan oleh orang yang penilaian dirinya sendiri sangat melenceng dari ketentua bersama yang mereka bayangkan akan dipertahankan secara efektif oleh orang lain. Perilaku ini dapat mengambil bentuk penarikan diri dari kepentingan, identifikasi, kesetiaan dan energi - sejenis demoralisasi yang diikuti oleh pengasingan diri dari pergaulan. Atau perilaku ini dapat terjelma dengan sendirinya dalam bentuk terciptanya sebkultur agresif yang bersaing dengan nilai kultural dominan. Berbagai versi pengunduran diri atau kampanye menentang kultur dominan ini, sebelumnya telah ditentukan secara rinci oleh Merton 1 dan lebih kemudian dan lebih lengkap oleh Dublin 2, Cloward 3, dan Merton 4. Pendapat yang penting disini adalah bahwa tak ada sistem sosial yang akan mengizinkan distribusi hadiah material dan posisi penting sehingga memperbesar jumlah aktor berperilaku menyimpang ini, kecuali berakibat membahayakan eksistensi sistem sosial itu sendiri. Singkatnya, dapat dikatakan setiap sistem sosial mempunyai kepentingan tetap untuk mengizinkan jumlah maksimum anggota aktor untuk mendapatkan pembuktian tentang penilaian diri mereka sendiri, sekurang-kurangnya dari beberapa orang lain; selain itu ada kepentingan tetap selanjutnya, sebanding dengan tingkat partisipasi efektif aktor yang diminta sistem, memungkinkan sejumlah maksimum anggota aktor untuk mendapatkan pembuktian tentang citra diri yang baik yang mereka minta dilambangkan didepan umum dan secara resmi. Bila sistem berkembang ke satu titik dimana hampir seluruh simbol-simbol penerimaan dengan baik oleh publik semata-mata dibatasi untuk fase dominan saja hadiah yang tak sama didistribusikan menurut situasi peran dalam fase dominan itu, maka sejumlah maksimum aktor secara pribadi dan dalam skala relatif kecil terpaksa bekerja keras untuk mendapatkan tambahan pengesahan kembali tentang kemanfaatan mereka di dalam sistem oleh orang lain. Singkatnya, 723



orang terpaksa bekerja keras untuk mendapatkan tambahan citra dirinya ditengah masyarakat. Sekali lagi, kasusi orang Amerika adalah sebuah contoh empiris. Anggota masyarakat ini nampaknya kurang mendapat kesenangan hidup dan ketentraman hati dari harga-diri mereka diluar dari kepuasan melaksanakan peran pekerjaan mereka. Mereka makin lama makin sedikit mendapatkan kesenangan dari pernyataan ritual yang antusias bahwa warga pencari nafkah yang baik, mematuhi hukum, tetapi berstatus sosio-ekonomi sederhana adalah orang berjasa dan penting seperti orang lain manapun dalam sistem. Kenyataannya, hubungan antara situasi peran pekerjaan, pendapatan dan konsumsi malahan makin mendekati menjadi dasar tunggal yang menentukan posisi status individu secara resmi dan berdasarkan itu pula berbagai aktor menilai harga diri mereka sendiri. Seruan strata sosio-ekonomi rendah bahwa moralitas dan kehormatan merekalah yang menjadi tanda harga diri mereka, rupanya makin berkurang frekuensi, kekuatan dan nada keyakinannya 5. Selanjutnya hasil observasi menunjukkan bahwa setiap sistem dapat “melepaskan diri” dari ideologi resmi tentang persamaan hakiki semua orang dan komitmen sesungguhnya atas distribusi hadiah yang sangat timpang dari barang berharga yang langka untuk melaksanakan peran dalam satu fase dominan. Penyimpangan perilaku dan apatisme hanya dapat ditekan ke tingkat minimum dengan mencegah ketimpangan distribusi dari anggapan terlalu mencolok dalam sistem penilaian manfaat aktor. Atau, jika ketimpangan distribusi dianggap sebagai pertumbuhan wajar, dengan sengaja harus dicari mekanisme lain untuk mencegahnya sehingga aktor yang menerima hadiah relatif lebih rendah merasa tentram dengan harga diri mereka. Catatan Kaki 1. Robert K. Merton, “Social Structure and Anomie”, dalam bab 4 Social Theory and Social Structure (NY: The Free Press, 1957). 2. Robert Dubin, “Deviant Behavior and Social Structure: Continuities in Social Theory”, ASR, XXIV, No.2 (April, 1959: 147-164). 724



3. Richard A. Cloward, “Illegitimate Means, Anomie and Deviant Behavior”, ASR, XXIV, No.2 (April, 1959: 164-176). 4. R.K. Merton, “Social Conformity, Deviation, and Opportunity Structur: A Comment on the Contributions of Dubin and Cloward”, ASR, XXIV, No.2 (April, 1959: 177-189). 5. Lihat penilaian kembali sumber anomie yang berkaitan dengan akses ke upaya pencapaian tujuan, dalam Dorothy Meier and Wendell Bell, “Anomia and Differential Access to the Achievement of Life Goals”, ASR, XXIV, No.2 (April, 1959: 189-202).



Teori Mobilitas Sosial Oleh : Seymour Martin Lipset - Hans L. Zetterberg



Hingga kini studi mobilitas sosial adalah deskriptif. Kebanyakan periset terutama telah memusatkan perhatian untuk membuat ukuran dan menentukan tingkat mobilitas



1



atau pada upaya menstudi latar belakang kehidupan anggota 725



kelompok elite tertentu.2 Karena bahan deskriptif yang dikumpulkan telah cukup, kami mengusulkan pergeseran penekanan riset masa datang. Meski kita masih harus menjawab berbagai pertanyaan selanjutnya tentang tipe “berapa banyak mobilitas?” kini kita juga mulai mengajukan pertanyaan seperti “ apa penyebab tingkat mobilitas ini?” dan “apa akibatnya?” mungkin lebih disengaja dan lebih sistematis daripada yang dilakukan dimasa lalu. Sebagai sumbangan terhadap pergeseran dari studi deskriptif ke studi bersifat verifikasi ini, kami ingin menawarkan sebuah teori sederhana tentang mobilitas sosial. Kami akan menyajikan (1) beberapa defenisi yang melukiskan perbedaan jenis mobilitas, dan (2) beberapa hipotesis mengenai faktor yang mempengaruhi (a) tingkat mobilitas, dan (b) akibat politik atau ideologi dari berbagai jenis mobilitas. Hipotesis ini akan dijelaskan dengan data yang telah tersedia tetapi untuk sebagian besar memerlukan banyak dukungan empiris tambahan. I. Beberapa Dimensi Mobilitas Max Weber telah menunjukkan betapa bergunanya memahami stratifikasi menurut berbagai dimensi.3 Parsons belakangan menyatakan bahwa satu cara memandang stratifikasi adalah memahaminya sebagai “tingkatan unit-unit dalam sebuah sistem sosial sesuai dengan standar sistem nilai bersama”.4 Pendekatan ini juga menghasilkan sejumlah stratifikasi yang saling berpotongan. Dari sejumlah stratifikasi yang saling berpotongan ini, akan dipilih beberapa untuk dibahas. Kita akan membahas tingkat pekerjaan dan status ekonomi dan tingkat ciri tertentu dari hubungan peran seperti keakraban dan kekuasaan. 1. Tingkat Pekerjaan Sejak zaman Plato hingga kini, pekerjaan telah menjadi indikator stratifikasi paling umum. Pengamat kehidupan sosial - dari novelis hingga pengumpul suara talah mengatahui bahwa kelas pekerjaan adalah salah satu faktor utama yang membedakan keyakinan, nilai, norma, kebiasaan dan adakalanya ungkapan emosional orang.



726



Kini kita sudah mempunyai ukuran yang bagus tentang tingkatan gengsi berbagai pekerjaan yang dapat digunakan sebagai basis untuk menghitung mobilitas



pekerjaan.



Pekerjaan



dihargai



berbeda-beda



dan



hasil



studi



menunjukkan kecocokan luar biasa tentang bagaimana pekerjaan dihargai bertingkat. Dalam survey terkenal dari 90 jenis pekerjaan, mulai dari “Hakim MA” dan “Dokter” hingga “Penyapu Jalan” dan “Penyemir Sepatu” dinilai berdasar sampel nasional di AS.5 Secara keseluruhan terdapat kecocokan besar dalam penilaian diantara kawasan berbeda, ukuran kota berbeda, golongan umur berbeda, tingkat ekonomi berbeda, dan jenis kelamin berbeda. Lenski melaporkan pekerjaan yang tidak disebutkan dalam survey dapat dicocokkan kedalam urutantingkatan yang asli dengan derajat kepercayaan tinggi.6 Jadi nampak bahwa kita telah mempunyai sebuah tehnik yang membuat gagasan tentang tingkat pekerjaan dapat digunakan oleh peneliti. Pekerjaan yang mendapat tingkatan yang kira-kira sama, akan disebut “kelas-pekerjaan”. Terdapat konsesus internasional yang luas mengenai kelas gengsi pekerjaan. Analisis belakangan ini oleh Inkeles dan Rossi, membandingkan posisi relatif kategori pekerjaan seperti yang dinilai berdasar sampel orang Amerika, Australia, pribumi Britania Raya, Jepang, Jerman dan pelarian Rusia.7 Mereka melaporkan kecocokan yang sangat tinggi diantara orang di keenam negara itu. Namun kenyataan bahwa studi ini sebagian besar dilakukan secara terpisah dan karena analisis hanya berhadapan dengan hasil yang sudah dipublikasi, tak memungkinkan membuat studi mendasar tentang perbedaan dalam gengsi pekerjaan atau dalam sifat disukai relatif pekerjaan berbeda sebagai tujuan pekerjaan di negara berbeda. Konsesus umum maupun akademis (yang tentu saja tak dapat dipercayai sebagai pengganti ukuran sebenarnya) memberi kesan bahwa pekerjaan pegawai-negeri, mempunyai gengsi lebih tinggi dibanyak negara Eropa ketimbang di AS. Begitu pula, sebagian besar kaum terpelajar AS yakin bahwa posisi intelektual mempunyai gengsi lebih rendah di AS ketimbang di Eropa. (Studi tentang gengsi pekerjaan di AS tersebut diatas, sambil lalu telah membuang keraguan atas keyakinan umum kaum intelektual Amerika bahwa pengusaha sangat dihargai ketika dibandingkan dengan diri mereka sendiri : Profesor Kolej dinilai lebih tinggi daripada pemilik pabrik yang mempekerjakan 727



100 tenaga kerja). Riset lintas nasional baru, mungkin ingin memusatkan perhatian pada perbedaan gengsi pekerjaan seperti yang diduga itu. Pendekatan terhadap kelas pekerjaan di atas dalam bentuk penilaian judul pekerjaan yang berbeda, secara teoritis adalah murni dan operasional mudah. Namun orang harus menyadari bahwa pendekatan itu adakalanya mengaburkan pergeseran signifikan seperti pekerja yang terlibat dalam pergerakan dari pekerjaan tangan terampil ke posisi kerah putih tingkat rendah atau perpindahan dari salah satu jenis pekerjaan tersebut di atas ke bekerja sendiri secara sederhana. Semua pekerjaan ini mungkin kadang-kadang termasuk ke dalam kelas gengsi yang sama. Kesukaran yang melekat dalam bersandar semata-mata pada metode klasifikasi ini dapat diamati dengan jelas dari fakta bahwa perubahan dalam posisi sosial yang merupakan konsekuensi industrialisasi tak dapat dianggap sebagai mobilitas sosial karena peubahan itu sangat sering menyangkut pergeseran dari posisi rendah di pedesaan ke posisi rendah perkotaan. Hal ini tak hanya memerlukan pencatatan kelas pekerjaan, yakni jenis sistem sosial tempat pekerjaan itu ditemukan. Perubahan antara lingkungan pekerjaan mungkin juga penting: pekerja kerah-putih berperilaku menurut cara tertentu yang berbeda dari perilaku pengusaha kecil atau pekerja terampil meski gengsi judul pekerjaan mereka mungkin tak besar perbedaannya. Sebagai contoh, kebanyakan peneliti di AS menempatkan posisi pemilik usaha kecil lebih tinggi dari pada pekerja kerahputih dan posisi pekerja kerah-putih ini selanjutnya lebih tinggi di daerah kantong perusahaan yang sama. Ketika menaksir tingkat status sosial mereka sendiri, pekerja kerah-putih dan pengusaha kecil jauh lebih besar kemungkinannya melaporkan diri mereka sendiri sebagai anggota “kelas menengah” dibandingkan dengan pekerja tangan yang mungkin berpenghasilan lebih besar dari pada pengahasilan pekerja kerah-putih dan pengusaha kecil itu. Studi tentang aspirasi pekerjaan menunjukkan banyak pekerja tangan yang ingin menjadi pengusaha kecil.9 Studi politik memberikan kesan bahwa pada tingkat pendapatan yang sama, pekerja tangan lebih cenderung menyokong partai beraliran kiri yang menarik kepentingan kelas bawah ketimbang pekerja kerah-putih atau individu yang bekerja sendiri.10 728



2. Tingkat Konsumsi Secara teoritis dan empiris ada gunanya memisahkan antara status pekerjaan dan status ekonomi. Contoh, ekonom mempunyai alasan yang baik membedakan antara sasaran studi mereka dalam status sebagai “produsen” dalam struktur pekerjaan dan dalam status mereka sebagai “konsumen”. Kedua status itu dapat dinilai terapi tak perlu benar bahwa orang yang mendapat nilai lebih tinggi dalam kapasitas produksi mereka, juga akan mendapat nilai tinggi dalam kapasitas konsumsi. Penilaian status konsumen adalah sukar. Tetapi yang jelas adalah bahwa gaya hidup berbeda dan sebagian orang dianggap lebih “bergaya” dari pada orang lain. Orang yang gaya hidupnya kira-kira mempunyai gengsi yang sama, dapat dikatakan merupakan kelas konsumsi. Perubahan dalam kelas konsumsi mungkin atau tak mungkin seiring dengan perubahan disekitar dimensi stratifikasi yang lain. Pada tingkat pendapatan pekerjaan yang sama, orang akan berbeda tingkat dalam memerankan pola perilaku umum yang mengarah ke perbedaan kelas sosial. Contoh, pekerja bergaji tinggi mungkin memilih tinggal di distrik kelaspekerja atau di kawasan suburban kelas-menengah. Keputusan ini mencerminkan dan sekaligus menentukan tingkat penerimaan pola perilaku kelas-menengah dalam bidang kehidupan lain oleh pekerja. Studi tentang buruh pelabuhan San Francisco menunjukkan bahwa buruh pelabuhan yang pindah jauh dari kawasan dok setelah pendapatan pekerjaan mereka meningkat, cenderung pandangan politik mereka jauh lebih konservatif dibandingkan dengan buruh yang tetap bermukim di kawasan dok kapal.11 Seorang peneliti Partai Buruh Inggris menyatakan, bahwa orang dapat membedakan antara pemilih Partai Buruh dan Partai Konservatif dalam kelas buruh melalui pola konsumsi mereka. Buruh konservatif (Tory) jauh lebih besar kemungkinannya meniru gaya hidup kelasmenengah. 729



Perubahan yang telah terjadi diberbagai negara Barat di tahun belakangan ini dalam pendapatan kelompok pekerjaan yang berbeda menunjukkan keperluan untuk menganggap kelas konsumsi sebagai kategori stratifikasi yang nyata. Di negara seperti AS, Swedia, dan Inggris, kelas bawah telah meningkat tajam posisi ekonomi mereka meski proporsi pendapatan nasional yang jatuh ke tangan kelas atas yang seperlima dari jumlah penduduk itu telah menurun.12



Hasil yang



menarik diberbagai negara yang telah sejak lama mengalami kesempatan kerja penuh yang disertai penurunan angka kelahiran keluarga kelas-buruh itu adalah bahwa sejumlah besar keluarga yang dikepalai oleh lelaki dengan pekerjaan bergengsi rendah itu menerima pendapatan lebih tinggi ketimbang pendapatan banyak keluarga kelas menengah dimana isteri tidak bekerja dan anak-anak mereka mendapat perpanjangan masa pendidikan. Ilustrasi gamblang mengenai hal ini, terlihat dari fakta bahwa lebih 100.000 keluarga di AS yang sumber nafkah utama adalah ‘buruh”, menerima pendapatan diatas $10.000 pertahun.13 (Pendapatan ini disebagian besar kasus tentu saja akibat mempunyai pencari nafkah lebih dari seorang dalam keluarga). Jelas sebagai indek untuk kelas konsumsi, pendapatan total tak memadai, meski jelas menetapkan batas terakhir untuk kelas konsumsi seseorang. Cara pendapatan dibelanjakanlah (ketimbang jumlah total) yang menentukan kelas konsumsi orang. Karena itu indek operasional terbaik atas kelas konsumsi bukan pendapatan total tetapi adalah pendapatan yang dibelanjakan untuk keperluan bergengsi tinggi atau untuk pengejaran kultural. Namun fakta bahwa pekerjaan bergengsi rendah kini sering berpendapatan setingkat pendapatan kerah-putih, ada kemungkinan mempengaruhi baik gaya hidup maupun pandangan politik pekerja tangan golongan berpendapatan tinggi dan gaji anggota kelas kerah-putih yang berada pada posisi pendapatan relatif rendah. Perbandingan antara kedua kelompok ini dilihat dari sudut pola konsumsi atau gaya hidup mereka, meski sangat penting dalam ramalan perilaku politik masa depan maupun penting untuk memahami faktor yang berhubungan dengan tipe mobilitas lain dalam masyarakat berbeda.



730



Memang sukar mengukur tingkat pergeseran ke atas atau ke bawah dalam kelas konsumsi. Sebagian, ini dapat dilakukan dengan membandingkan pola konsumsi keluarga pada tingkat pendapatan yang sama yang kelas pekerjaan atau kelas pendapatannya telah mengalami perubahan selama periode waktu tertentu. Agaknya, cara terbaik meski sangat mahal untuk menjelaskan masalahnya adalah dengan menggunakan “regu antar generasi”. Artinya mewawancarai orangtua sebagian anggota sampel acak asli dan keluarga anak, dan membandingkan skornya pada skala konsumsi. 3. Kelas Sosial Banyak riset stratifikasi di AS memusatkan perhatian pada kelas sosial. Istilah ini seperti digunakan oleh sosiolog Amerika, merujuk pada peran keeratan hubungan dengan orang lain. Pada dasarnya kelas-kelas lain dalam pengertian ini merupakan strata masyarakat yang terdiri dari individu yang saling menerima satu sama lain sebagai sederajat dan memenuhi syarat untuk mengadakan perkumpulan (asosiasi) yang akrab. Contoh, the Social Register Association of American Cities, hanya mempertimbangkan calon anggotanya setelah tiga atau lebih individu yang telah menjadi anggota the Social Register itu, menjamin mereka menerima calon sebagai orang yang telah pernah bergaul dengan mereka secara teratur dan akrab. Orang mungkin merubah kelas pekerjaan mereka dengan merubah kelas pekerjaan mereka tetapi mereka hanya akan dapat meningkatkan posisi sosial mereka bila mereka diakui berhubungan akrab oleh orang yang telah memiliki kriteria untuk kedudukan lebih tinggi. Satu metode untuk menstudi mobilitas kelas sosial adalah dengan membandingkan posisi kelas ekonomi atau pekerjaan suami dan isteri sebelum kawin atau membandingkannya dalam keadaan sesudah kawin.14 Indek kelas sosial yang lain mungkin didapat dengan meminta responden menyebutkan status pekerjaan kawan terbaik mereka. Metode ini akan memberi kita ukuran tentang tingkat mobilitas ke atas atau ke bawah dalam struktur kelas sosial. Riset demikian paling baik dilakukan dalam suasana studi yang menggunakan tehnik panel “generasional”. 731



4. Tingkatan Kekuasaan Hubungan peran tertentu juga adalah hubungan kekuasaan atau wewenang dalam arti hubungan itu menyangkut peran subordinasi disatu pihak dan peran superordinasi dilain pihak. Tingkat seberapa jauh hubungan peran seseorang dapat menghasilkan cara untuk menentukan versi perintahnya pada sistem sosial dapat dinilai sebagai kekuasaannya dan orang yang kira-kira mempunyai kekuasaan yang sama, dapat dikatakan merupakan sebuah kelas kekuasaan. Jelas, kelas kekuasaan sekurang-kurangnya sebagian, terlepas dari kelas lain. Pemimpin buruh mungkin mempunyai status pekerjaan rendah tetapi mempunyai pengaruh politik yang besar. Pegawai negeri atau anggota parlemen yang jabatannya diberi kekuasaan politik yang besar mungkin menikmati kelas pekerjaan dan kelas sosial yang tinggi, tetapi tak mampu memenuhi standar konsumsi kelas ini. Kekuasaan sebagai sarana untuk mencapai jenis mobilitas sosial yang lain, hingga kini masih menjadi bidang riset yang diabaikan. Cara paling mudah menggunakan informasi tentang peningkatan dalam status kekuasaan adalah dengan menganalisis pengaruhnya terhadap posisi ekonomi dan pekerjaan serta orientasi politik. Temua studi di Inggris belakangan ini mengesankan hal ini. Berdasarkan studi tentang partisipasi dalam urusan komunitas di Wales, kami ketahui bahwa “anak dari pimpinan Serikat Buruh lokal (SB setingkat renadah, pimpinannya tidak digaji)….. jauh lebih sering mencapai status pekerjaan kelas menengah ketimbang generasi mereka lainnya.15 Dalam studi tentang anggota the Typographical Union di New York City ditemukan bahwa buruh yang memegang posisi setara dengan pelayan toko dalam SB itu, jauh lebih banyak yang mengatakan akan mencoba mendapatkan pekerjaan nonmanual, jika karir pekerjaan mereka dimulai sekali lagi, ketimbang anggota SB yang tak termasuk kategori pelayan toko ini.16



Bila dianggap sekurang-



kurangnya 10% anggota SB memegang jabatan pimpinan SB tak bergaji dan dimasa lalu jauh lebih banyak dari itu, ada kemungkinan bahwa peluang besar ke mobilitas kekuasaan ini memainkan peran penting dalam dinamika mobilitas sosial. Memang kekuasaan politik itu sendiri mungkin jauh lebih penting 732



(ketimbang SB) dalam menyediakan peluang mobilitas kekuasaan. Berbagai peneliti menstudi kehidupan politik orang Amerika menunjukkan cara yang ditempuh berbagai kelompok etnis berbeda (terutama keturunan Irlandia) telah mampu meningkatkan posisi mereka melalui medium politik. Di Eropa, Partai Buruh dan Partai Sosialis tak syak lagi memberikan peluang bagi individu kelas bawah untuk mendapatkan status dan kekuasaan jauh diatas posisi ekonomi mereka. Robert Michels antara lain, menyatakan bahwa anak dari pimpinan buruh, sering mendapatkan pendidikan lebih tinggi dan meninggalkan kelas buruh. 17 Indek operasional tentang kelas kekuasaan, sukar dibuat. Debat publik di masyarakat Barat, nampak agak memalukan ketika tiba pada masalah kekuasaan. Meski terdapat konsesus yang diterima secara agak bebas tentang tingginya hasrat anggota masyarakat untuk mencapai status pekerjaan dan status sosial yang tinggi, namun kurang adanya konsesus tentang tempat kekuasaan dan kurang adanya kesepakatan tentang kemungkinan diinginkannya kekuasaan itu. Agaknya yang terbaik yang dapat dilakukan kini adalah meminta kepada ilmua sosial untuk melaporkan daftar berbagai jenis posisi kekuasaan yang tersedia bagi individu ditingkat kelas yang berbeda. Dikalangan buruh di AS misalnya, termasuk kedalam daftar ini adalah posisi di dalam partai politik, SB, organisasi veteran dan kelompok etnik. Setelah mengumpulkan data tentang seluruh posisi yang ditempati oleh anggota sampel, tersedia peluang untuk menilai kepentingan relatif masing-masing posisi kekuasaan individu: mana yang paling penting. Kerumitan masalah ini terletak pada kenyataan bahwa orang tak dapat memperhitungkan besarnya total kekuasaan selain dari temuan fragmental tentang perubahan individual dari posisi kelas kekuasaan. Posisi kekuasaan relatif berbagai kelompok, mungkin berubah sepanjang waktu, seperti yang disaksikan misalnya melalui berkuasanya kembali kaum industrialis di Jerman, kemerosotan kekuasaan elite tradisional di Inggris, dan makin meningkatnya kekuasaan tenaga kerja terorganisir diseluruh dunia Barat. Kekuasaan individual buruh ini berubah menjadi kelas kekuasaan ketika mereka menjadi anggota kelompok terorganisir. Keanggotaan demikian (mudah diketahui dengan metode survei) tercermin 733



dengan sendirinya dalam perbedaan perasaan tentang keterlibatan dan pengaruh politik; sebagai contoh, studi di dua kota di Swedia oleh Segerstedt dan Lundquist, menunjukkan bahwa perasaan keterlibatan dan pengaruh politik buruh, jauh lebih besar ketimbang kelas kerah-putih.18 Demikian pula buruh Inggris merasakan dirinya sendiri dan kelasnya kurang penting peran politiknya ketimbang, katakanlah buruh Amerika. Dapat disimpulkan, bahasan tentang dimensi stratifikasi sosial ini akan sangat berguna untuk membangun teori dan itu dapat dicapai dengan memanfaatkan tehnik riset yang tersedia. Studi sebelumnya tentang mobilitas-kelas, sebagian besar mengabaikan kemungkinan bahwa masyarakat mempunyai tingkat mobilitas lebih tinggi di satu dimensi dan lebih rendah di dimensi yang lain. Begitu pula, individu tertentu mungkin menempati posisi tinggi menurut satu dimensi meski menempati posisi lebih rendah menurut dimensi stratifikasi yang lain. Kami ingin menarik perhatian pada kemungkinan bahwa pendekatan multi-dimensional seperti itu memungkinkan untuk menarik kesimpulan yang lebih memenuhi syarat dan akurat tentang perbandingan mobilitas dan sistem stratifikasi dan terutama memungkinkan kita menjelaskan berbegai masalah menarik tentang dinamika di dalam masyarakat, khususnya dibidang politik. A. Catatan Metodologi Kesulitan mendasar yang melekat dalam kebanyakan bahasan tentang mobilitas sosial adalah ketiadaan kerangka rujukan komperatif. Artinya, bila berhadapan dengan tabel yang menunjukkan bahwa persentase tertentu lelaki dalam pekerjaan tertentu berasal dari kelas lebih rendah, orang belum dapat mengetahui apakah proporsi ini relatif rendah atau tinggi. Konsepsi tentang tinggi atau rendahnya tingkat mobilitas, mengasumsikan perbandingan dengan sesuatu yang lain yang lebih tinggi atau lebih rendah. Pada dasarnya ada tipe perbandingan yang dapat dibuat. Pertama, perbandingan dengan masa lalu dalam arti adakah selisih (kurang-lebih) mobilitas sosial kini dibandingkan dengan mobilitas sosial dimasa lalu. Kedua, membandingkan dengan wilayah atau negara lain: apakah masyarakat AS misalnya lebih mobil ketimbang masyarakat Jerman 734



atau Inggris. Upaya membandingkan seperti itu membawa kepada tipe ketiga, membandingkannya dengan model yang menandakan kesamaan peluang. Seberapa dekat negara tertentu mendekati impian utopia mengenai persamaan sempurna? Berfikir tentang mobilitas dilihat dari sudut persamaan ketimbang dari sudut nilai absolut, menuntun kita untuk mengakui bahwa mobilitas di negara A mungkin lebih banyak ketimbang di negara B tetapi peluangnya kurang merata. Sebagai contoh, bila disebuah negara terdapat 90% petani, juga dengan peluang sama sekali sama, sebagian besar anak petani tentu akan tetap menjadi petani. Meskipun setiap posisi non-petani diisi oleh anak petani, hanya sekitar 11% dari mereka yang dapat merubah pekerjaan mereka. Sebaliknya, bila negara mengalami transformasi ekonomi yang cepat dan proporsi posisi non manual meningkat, katakanlah separoh dari seluruh posisi, maka 50% anak pekerja manual harus mendapatkan pekerjaan nonmanual



agar terpenuhi kriterion



persamaan. 19 Ada satu hal yang dikatakan mengenai metode operasi konvensional yang memastikan mobilitas dengan membandingkan posisi ayaj dengan posisi anaknya. Bila dalam survei orang mengajukan pertanyaan “apa pekerjaan anda?” dan “apa pekerjaan ayah anda?” Sebagian besar waktu kita dapatkan posisi ayah berada di puncak karirnya sedangkan informasi untuk anak menunjuk pada periode sebelum berada di puncak pekerjaannya. Karena itu adalah bijaksana untuk mencatat juga pekerjaan ayah disaat lebih dini misalnya dengan menanyakan kepada responden, “apa pekerjaan ayah anda ketika ia kira-kira seusia anda?” Peneliti juga tak boleh melupakan peluang mengukur mobilitas intragenerasi yakni kemajuan mulai dari posisi yang mula-mula dipegang hingga kini. Perlu diketahui bahwa jauhnya lompatan sepanjang anak-tangga posisi mungkin pada dasarnya lebih besar di satu negara ketimbang di negara lain, meski proporsi yang sama dari penduduk memperoleh posisi yang lebih baik ketimbang ayak mereka di kedua negara.



II. Beberapa Penyebab Mobilitas Sosial



735



Banyak bahasan mengenai tingkat keterbukaan masyarakat tertentu dikelirukan oleh kegagalan membedakan antara dua proses berlainan yang keduanya dilukidkan dan dialami sebagai mobilitas sosial. Keduanya adalah: 1. Menyediakan Status Lowong Sejumlah status dalam stratum tertentu tak selalu atau tak biasanya konstan. Contoh, perluasan proporsi posisi profesional, pegawai negeri, manajerial dan kerah-putih dan menurunnya jumlah posisi tenaga tak terampil, memerlukan gelombang mobilitas ke atas, asalkan pendapatan san status sosial relatif mereka bertahan, tak berkurang. Faktor demografis juga beroperasi membantu mobilitas ketika kelas lebih tinggi tidak dapat mereproduksi diri mereka sendiri dan karenanya menciptakan “kevakuman demografis”. 2. Pertukaran Posisi Tiap mobilitas yang terjadi dalam sistem sosial tertentu yang bukan akibat perubahan pasokan status dan aktor, tentu dihasilkan dari pertukaran posisi. Akibatnya, jika kita memikirkan sebuah model sederhana, untuk setiap perpindahan ke bawah. Pertukaran mobilitas, sebagian besar akan ditentukan oleh tingkat dimana masyarakat tertentu memberikan alat atau cara kepada anggota strata lebih rendah untuk bersaing dengan orang yang memasuki struktur sosial di tingkat lebih tinggi. Jadi, kurangnya tekanan yang diletakkan kultur pada latar belakang keluarga sebagai kriterium perkawinan, makin banyak mobilitas kelas yang dapat terjadi, baik ke atas maupun ke bawah melalui perkawinan. Makin banyak kesuksesan pekerjaan dihubungkan dengan prestasi pendidikan yang terbuka untuk semua orang, makin besar mobilitas pekerjaan. Diskripsi tentang proses ini tentu saja tak dapat menerangkan faktor yang memotivasi dalam mobiitas. Bila mobilitas akan terjadi, individu perlu termotivasi, terinspirasi untuk mendapatkan posisi lebih tinggi. Pertimbangan akal sehat yang menjadi pangkal tolak pembahasan tentang faktor yang memotivasi mobilitas adalah hasil pengamatan bahwa orang tak suka mengalami mobilitas ke



736



bawah:



orang



lebih



menyukai



mempertahankan



posisi



mereka



atau



meningkatkannya. Teori motivasi penuh wawasan yang menerangkan hasrat manusia untuk meningkatkan diri mereka sendiri maupun untuk menghindar dari kejatuhan dalam posisi sosial, ditemukan dalam analisis veblen tentang faktor yang melandasi mobilitas konsumsi. Anggota komunitas yang kekecewaannya agak tak menentu, tingkat normal keberanian atau kekayaannya mendapatkan penghargaan dari teman mereka; dan akibatnya, mereka juga mendapat harga diri mereka sendiri karena basis harga diri adalah rasa hormat yang diberikan oleh tetangga seseorang. Hanya individu dengan



temperamen yang menyimpang dari kebiasaanlah yang dapat



mempertahankan harga diri mereka dalam jangka panjang dalam berhadapan dengan penghinaan tetangga mereka. Jadi, segera setelah pemilikan kekayaan menjadi basis penghargaan orang banyak, karena itu kekayaan juga menjadi syarat bagi kepuasan diri sendiri yang kita sebut rasa harga diri. Dalam tiap komunitas dimana kekayaan dimiliki secara individual, untuk menjamin kedamaian fikirannya, individu perlu memiliki barang yang sama besar proporsinya dengan barang yang dimiliki orang lain dengan siapa ia terbiasa sekelas dengan dirinya sendiri; dan akan sangat memuaskan jika memiliki sesuatu yang lebih dari yang dimiliki orang lain. Tetapi segera setelah seseorang mendapat tambahan pendapatan baru dan menjadi terbiasa dengan hasil standar kekayaan yang baru, standar baru itu seterusnya berhenti memberikan kepuasan yang lebih besar daripada yang diberikan standar sebelumnya. Kecenderungan dalam setiap hal adalah terus-menerus standar yang berkaitan dengan uang sekarang dijadikan sebagai pangkal tolak untuk meningkatkan kekayaan baru; dan ini selanjutnya menimbulkan standar baru tentang kecukupan dan klasifikasi keuangan baru yang dikaitkan dengan harga diri seseorang. Sejauh menyangkut pertanyaan kini, tujuan yang dicari melalui akumulasi adalah untuk mendapat penghargaan tinggi dari anggota komunitas yang lain sehubungan dengan kekuatan keuangan yang dimilikinya. Sejauh perbandingan itu jelas-jelas 737



tak menguntungkan bagi dirinya sendiri, individu normal akan hidup dalam ketakpuasan kronis terhadap nasibnya kini; dan bila ia telah mencapai apa yang disebut standar keuangan normal komunitas atau standar kelasnya dalam komunitas, ketakpuasan kronis ini akan menimbulkan ketegangan yang menyiksa dan memperlebar jarak keuangan antara dirinya sendiri dan standar rerata komunitas. Perbandingan yang menyakitkan hati tak pernah dapat menjadi sedemikian menyenangkan bagi individu yang membuatnya karena ia takkan dengan gembira menilai dirinya sendiri relatif lebih tinggi daripada saingannya dalam berjuang mendapatkan nama baik dalam kaitannya dengan keuangan. 21



738



Tabel 1. Mobilitas Sosial Disepuluh Golongan Penduduk Pekerjaan Responden



Pekerjaan Ayah Responden Perancis a Jerman b Non. Man Manual Petani Non. Man Manual Non Manual 73% 35% 16% 58% 27% Manual 18 55 13 38 68 Petani 9 10 71 4 5 N (1104) (625) (1289) (579) (406) Non. Man Non Manual 80% Manual 20 Petani N (236)



Jerman c Manual 30% 60 10 (210)



Non. Man Non Manual 84% Manual 13 Petani 3 N (582)



Swiss e Manual 44% 54 3 (239)



Non. Man Non Manual 64% Manual 34 Petani 1 N (180)



AS g Manual 31% 67 2 (291)



Finlandia i Kerah putih Buruh Non Manual 64% 11% Manual 24 56 Petani 12 33 N (590) (1868)



Petani 12% 19 70 (139) Petani 27% 19 54 (303) Petani 24% 46 30 (323)



Imigran Rusia d Non. Man Manual Petani 90% 28% 20% 10 68 36 3 44 (265) (376) (541) Non. Man 71% 25 4 (319)



AS f Manual 35% 61 4 (430)



Non. Man 81% 19 (259)



AS h Manual 31% 70 (399)



Petani 23% 39 38 (404) Petani -



Petani 9% 21 70 (2302)



Inggris j



Petani pemilik dan nonmanual tingkat tinggi



Petani 19% 28 54 (321)



Denmark k



Petani pemilik dan nonmanual tingkat tinggi



Buruh tani dan nonmanual rutin



Petani pemilik dan nonmanual tingkat tinggi



Buruh tani dan nonmanual rutin



51%



20%



56%



22%



739



Buruh tani dan nonmanual rutin



49



N



(1144)



Italia l



80



44



78



(2358)



(796)



(1174)



Petani kaya dan buruh nonnominal



Petani miskin, buruh tani dan buruh manual



Petani pemilik dan nonmanual tingkat tinggi Buruh tani dan nonmanual rutin



66%



8%



34



92



N



(224)



(472)



Nonmanual 67% 32 1 (57)



Swedia m Manual 59% 39 2 (101)



Anak umur 22-28



Nonmanual Manual Petani N



Swedia n Pekerjaan Responden



Pekerjaan



Ayah Responden Situasi lebih baik Situasi lebih baik 54% Kelas menengah 39



Buruh N tdk diberikan



Petani 44% 44 12 (73)



7 -



Kelas menengah



5% 72 23 -



Buruh 35 65 -



Meski studi ini dilihat secara komperatif merupakan tambahan yang berarti bagi pengetahuan kita tentang variasi internasional dalam stratifikasi dan mobilitas, namun menimbulkan banyak kesulitan bagi orang yang berminat membuat generasilisasi sistematis. Hanya sebagian kecil data yang dikumpulkan untuk tujuan studi stratifikasi atau mobilitas sosial. Sebagai contoh, enam survei nasional yang mengumpul data mobilitas, dilakukan dalam konteks riset yang memusatkan perhatian pada masalah lain. Data Jerman dan sekumpulan data Amerika tak pernah diterbitkan karena tak berkaitan dengan masalah yang diriset. Data itu diperoleh melalui korespondensi pribadi. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah fakta bahwa sebagian besar data dikumpul tanpa merujuk ke keperluan untuk membuat perbandingan internasional atau bahkan nasional. Contoh, ketiga studi di AS saling tak dapat dibandingkan satu sama lain. Satu laporan hanya 740



menghubungkan antara pekerjaan ayah dan pekerjaan anak yang sama-sama penduduk urban. Dua studi lain melaporkan pola mobilitas untuk seluruh penduduk, tetapi yang satu mendapatkan informasi mengenai pekerjaan pokok ayah sedangkan yang satu lagi menanyakan pekerjaan ayah ketika “responden masih kecil”. Studi di Italia menggunakan metode ketiga, dengan menanyakan pekerjaan ayah ketika seusia dengan responden, sedangkan studi di Denmark, membandingkan pekerjaan ayah dan anak ketika berusia 30 tahun. Dapat dinyatakan, masing-masing bentuk pertanyaan itu berguna tetapi yang jelas dengan menggunakan versi pertanyaan berbeda menyababkan sukar membuat perbandingan bila tak mungkin sama sekali. Masalah yang lebih serius lagi adalah yang melekat dalam sistem klasifikasi pekerjaan atau status sosial responden dan ayah mereka. Sebagian besar studi menggunakan sistem klasifikasi yang tak dapat dibandingkan. Demikianlah studi di Denmark, Inggris, Italia dan studi kedua di Swedia, berbeda dari yang lain dalam menggolongkan pekerjaan pedesaan menurut kategori yang sama dengan pekerjaan urban dengan status yang diduga sama. Semua studi yang lain, membedakan antara strata pekerjaan pedesaan dan urban. Sebagai tambahan, studi Inggris dan Denmark tak membedakan antara pekerjaan manual dan nonmanual. Pekerjaan nonmanual tingkat rendah digolongkan kedalam golongan buruh terampil sedangkan semua studi yang lain tetap memisahkan antara pekerjaan manual dan klerikal. Beberapa studi di Eropa menggolong-golongkan “kerajinan” (artisans) yakni pekerja yang bekerja sendiri seperti tukang kayu kedalam kelompok pekerja manual, sedangkan studi lain mengelompokkan mereka kedalam usaha bebas. Demi konsistensi, kami menempatkan pengrajin (artisan) kedalam kategori yang sama dengan pekerjaan nonmanual lain. Beberap studi membedakan antara profesional yang digaji dan yang bebas; profesional yang digaji ini digolongkan sebagai “pejabat”, sedangkan studi lain menggunakan kategori “profesional” untuk kedua golongan itu. Studi Finlandia berbeda dari semua studi yang lain karena menggunakan sistem klasifikasi berbeda untuk ayah dan anak. Semua studi kecuali studi kedua Swedia sama-sama melihat hubungan antara pekerjaan ayah dan pekerjaan anak. Perlu pula dicatat bahwa seluruh tabel, 741



kecuali untuk Finlandia dan Swedia, menerangkan pekerjaan ayah dan anak. Anak disini termasuk wanita diantara resonden. (a) M. Bresard, “Mobilite Sociale et dimension de le familie”, Population, V, No.3 (1950:533-567). (b) Tabel ini dihitung dari data yang disediakan oleh the UNESCO Institute at Cologne, Jerman yang diperoleh dari studi mereka tentang sikap orang Jerman, 1953. (c) Tabel ini dihitung



dari data yang disediakan oleh the Institute für



Demoskopies, at Allensbach, Germany, dari salah satu survei nasional mereka tentang opini Jerman Barat. (d) Robert A. Feldmesser. “Observations on Trends in Social Mobility in the Soviet Union and Their Implications”, dalam A. Kassof, et.al, “Strafication and Mobility in the Soviet Union: A Study of Social Class Cleavages in the USSR (Cambridge: Harvard Russian Research Centre, 1954: 8 mimeo). (e) Dihitung kembali dari data yang disediakan Roger Girod, dari papernya yang dimuat dalam buku ini. (f) Tabel ini berasal dari Natalie Rogoff dari data yang diterbitkan oleh the National Opinion Research Centre. Lihat NORC, “Jobs and Occupations”, Opinion News (Sept., I., 1947:3-13). (g) Tabel ini dihitung dari data yang disediakan oleh the survey Research Centre yang diperoleh dari studi mereka tentang pemilihan presiden 1952. (h) Richart Center, The Psychology of Social Classes (Princeton, NJ: Princeton Univ. Press, 1949: 181). (i) Tauno Hellevuo, “Poiminta tutkimus Asstykerrosta” (A Sampling Study of Social Mobility), Suomalainen Suomi No.2. (1952: 93-96). (j) Tabel ini diadopsi dari bahan dalam David V. Glass,ed., Mobility in Britain (London: Routledge dan Kegan Paul, Ltd., 1954) (k) Kami berhutang buda pada Kaare Svalastoga, Univ. of



Kopenhagen,



Denmark, karena data ini berdasarkan pada sampul probabilitas. (l) L.Livi, “Sur la mesurede la mobilite sociale”, Population (Jan.-March, 1950:65-67). 742



(m) Tabel ini dihitung dari data yang disediakan oleh Svenska Instituet for Opinionsunder sokningar, Stockholm, Swedia, dari sampel probabilitas pemuda. (n) Elis Hastad, “Gallup”, Och Den Svenska Valjarkaren (Uppsala: Hugo Gebers Forlag, 1950: 271). Di bagian ini terkandung hipotesis berikut: 1. Penilaian (kedudukan, kelas) yang diterima seseorang dari masyarakatnya menentukan sebagian besar penilaian dirinya sendiri. 2. Tindakan individu, sekurang-kurangnya sebagian dibimbing oleh hasrat yang tak pernah puas untuk memaksimalkan penilaian diri sendiri yang menyenangkan. Karena itu bila masyarakat menilai standar konsumsi tinggi menyenangkan, individu akan berupaya memaksimalkan tingkat konsumsinya karena dengan cara demikian ia memaksimalkan penilaian dirinya sendiri. Teori ini dapat dengan mudah digeneralisir ke dimensi kelas yang lain. Karena tiap posisi dievaluasi oleh masyarakat, evaluasi itu akan tercermin dalam evaluasi diri sendiri seseorang; karena tiap orang berupaya memaksimalkan penilaian dirinya sendiri, ia berupaya memaksimalkan posisinya. Ini akan diikuti oleh semua posisi yang kita bahas sebelumnya, yakni konsumsi pekerjaan, kelas sosial dan kelas kekuasaan. Ide dasarnya adalah bahwa individu ingin melindungi ego mereka dan meningkatkan posisi kelas mereka untuk meningkatkan ego mereka. Contoh, masyarakat dengan stratifikasi pekerjaan yang lebih kelihatan, seperti masyarakat Eropa Barat mungkin menghasilkan kebutuhan ego lebih kuat yang lebih menyukai mobilitas pekerjaan. Masyarakat yang kurang menekankan pada tanda dan pada persamaan hak (misalnya AS) mungkin akan menghasilkan kebutuhan ego yang kurang kuat yang menyukai mobilitas. Disini kita tak dapat membahas semua pernyataan bahwa riset moderen harus bersandarkan teori Veblen tentang motivasi untuk mobilitas. Teori Veblen menarik dilihat dari sudut tidak berasumsi bahwa mobilitas hanya terjadi sebagai akibat norma sosial tertentu yang mendesak orang untuk mobil; malahan motivasi 743



untuk mobil diletakkan dalam bidang yang kurang - lebih universal berupa kebutuhan ego berperan dalam masyarakat yang terstratifikasi. Ini bukan dimaksud untuk mengatakan bahwa kehadiran norma mempengaruhi orang harus mobil adalah tanpa wewenang yang cukup sudah menjadi hukum umum psikologi sosial bahwa aktor yang melaksanakan mobilitas diberi hadiah oleh lingkungan mereka dengan perasaan yang lebih menyenangkan.22 Motivasi yang timbul dari desakan norma untuk mobilitas mungkin menambah motivasi yang timbul yang berasal dari kebutuhan ego. Agaknya dalam masyarakat yang kebutuhan egonya paling lemah yang justru disebabkan motif kultural mengenai persamaan haklah yang sangat memerlukan norma mobilitas. Dengan demikian, paradok yang menggunakan rasa ingin tahu muncul bahwa AS karena menekankan pada persamaan hak tentu juga menekankan norma mobilitas untuk melengkapi motivasi yang perlu untuk mengisi posisi yang lebih tinggi. Teori yang menekankan pasoka aktor, dan status, pertukaran posisi dan kebutuhan ego universal ini, sejalan dengan penjelasan salah satu temuan paling menggugah rasa ingin tahu, yang rupanya muncul dari riset mobilitas komperatif. Konsesus umum dan akademis sejak lama bertahan bahwa mobilitas pekerjaan di AS lebih tinggi ketimbang di Eropa Barat. Penelitian atas bukti yang tersedia memberikan kesan bahwa dalam kenyataannya tidak demikian.23 Kini ada peluang untuk memperluas basis kesimpulan ini. Telah ada peluang menempatkan data dari 10 negara yang dikumpulkan melalui metode survei berdasarkan sampel nasional. Studi itu terdiri dari Denmark, Finlandia, Jerman (dua studi), Inggris, Italia, Soviet Rusia (imigran setelah perang), Swedia (dua studi) dan AS (tiga studi). Studi ini hanya membuat perbandingan internasional sangat kasar. Sebagian besar menggunakan tiga kategori pekerjaan: manual, nonmanual dan pekerjaan pertanian. Dalam menyajikan bahan ini di Tabel 1, kami membuat asumsi bahwa perpindahan dari pekerjaan manual ke nonmanual merupakan mobilitas ke atas dikalangan tenaga kerja lelaki. Asumsi ini mungkin dipertahankan terutama dengan alasan bahwa kebanyakan lelaki pekerja nonmanual menerima gengsi lebih tinggi ketimbang kebanyakan lelaki pekerja manual bahkan yang terampil sekalipun. Tentu benar bahwa banyak posisi kerah744



putih yang lebih rendah pendapatan dan gengsi pekerjaannya ketimbang pekerja manual



terampil



tingkat



lebih



tinggi.



Kebanyakan



posisi



kerah-putih



berpendapatan rendah itu dipegang oleh pekerja wanita. Pekerja lelaki yang memegangnya sering mampu mendapatkan posisi pengawas lebih tinggi. Akibatnya kita yakin bahwa dengan menggunakan pembagian antara pekerjaan manual dan nonmanual sebagai indikator status pekerjaan rendah dan tinggi dapat dibenarkan sebagai dikhotomi yang memisahkan pekerjaan lelaki urban. Namun perlu diakui bahwa seperti semua indikator ber-item tunggal dari fenomena rumpil lain, indikator inipun akan menhasilkan kesalahan tertentu. Ketika hasil studi ini diteliti, terutama hasil studi di AS, Perancis, Swiss dan Jerman (yang paling dapat disamakan) terdapat sedikit keraguan bahwa masyarakat maju Eropa yang tingkat mobilitas sosialnya “tinggi” jika dimaksud dengan tingkat yang tinggi itu sama dengan tingkat mobilitas yang terjadi di AS. Dimasing-masing negara, sejumlah besar golongan minoritas mampu melampaui posisi pekerjaan ayah mereka - meski bagian lebih kecil golongan minoritas ini turun status pekerjaannya. Kelompok peneliti Inggris pimpinan Davis Glass mencoba membandingkan data kuantitatif mereka dengan data temuan dari studi di Perancis, Italia dan hasil studi ketiga di AS. Glass dkk. Menyimpulkan bahwa Inggris, AS dan Perancis, sama tingkat mobilitasnya.24 Tetapi temuan di Italia dan Finlandia menunjukkan tingkat mobilitas sosial lebih rendah ketimbang negara lain. Sukar membuat keputusan yang jela mengenai data Finlandia karena pekerjaan ayah dalam studi di sini berdasarkan jawaban pertanyaan “menurut anggapan anda, ayah anda termasuk kelas yang mana: kerah putih, kelas bawah atau petani?” sedangkan anak dikelompokkan menurut pekerjaan obyektif mereka.25



Studi di Inggris, Denmark, Italia dan studi kedua di Swedia,



menggabungkan pekerjaan urban dan pedesaan dalam kelas yang sama. Ini mengakibatkan meningkatnya angka mobilitas ke bawah karena banyak anak petani kelas menengah yang menjadi pekerja urban. Juga mengurangi angka mobilitas ke atas karena anak buruh tani kecil kemungkinannya pindah ke atas ketimbang keturunan pekerja manual.



745



Data sari studi ini cenderung menentang konsepsi umum bahwa Amerika adalah negeri dengan peluang mobilitas pekerjaan terbuka lebar jika dibandingkan dengan Eropa dimana latar belakang keluarga katanya memainkan peran lebih penting dalam menentukan posisi anak. Tetapi perlu diingat bahwa data yang tersedia tak boleh diperlakukan seolah-olah secara kuantitatif merupakan kumpulan hasil sensus tentang mobilitas di negara yang berbeda itu. Yang dapat kita katakan dari hasil studi survei yang ada itu adalah bahwa hasil studi itu, tak dapat mensyahkan asumsi tradisional. Data yang kami punyai menunjukkan, mobilitas terjadi disetiap negara. Lagi pula data historis yang tersedia cenderung menunjukkan bahwa tingkat mobilitas pekerjaan di Eropa antara 1900-1940 banyak kesamaannya dengan yang sekarang dan tak tertinggal di belakang tingkat mobilitas pekerjaan di AS.26 Apakah ada perbedaan signifikan antara keduanya (Eropa dan AS) hanya dapat ditentukan setelah selesainya proyek riset komparatif terpadu yang menggunakan metode pengumpulan, penggolongan dan memproses data yang sama. Hingga kini belum pernah ada studi seperti itu. Menurut teori kami, penjelasan mengenai temuan ini harus dicari dalam faktor motivasi dan struktural yang serupa dikedua kontinen. Baik Eropa maupun Amerika sama mengalami perbedaan tingkat fertilitas dalam arti kecenderungan keluarga kelas atas untuk mempunyai anak lebih sedikit, kondisi yang menyediakan ruang bagi kelas bawah untuk meningkat. Dikedua kontinen terlihat perkembangan jumlah posisi kerah-putih dengan mengorbankan posisi pekerja manual, dengan demikian menciptakan gelombang mobilitas pekerjaan ke atas sedemikian luas sehingga menarik pekerja industri baru dari kawasan pertanian. Bendix telah membandingkann rasio pekerja administratif (karah-putih) dan pekerja produksi (manual) selama setengah abad terakhir di AS, Inggris dan di Swedia dan menemukan persamaan kecenderungan yang sangat besar. Demikianlah, di AS tahun 1899 terdapat 8 pekerja administratif per 100 pekerja produksi, sedangkan ditahun 1947 terdapat 22 pekerja administratif per 100 pekerja produksi. Kenaikan yang sama yang terjadi di Inggris antara 1907 dan 1948 adalah dari 9 menjadi 20 pekerja administratif per 100 pekerja produksi dan



746



di Swedia angkanya melonjak dari 7 ditahun 1915 menjadi 21 pekerja administratif per 100 pekerja produksi ditahun 1950. 27 Begitupula AS dan Eropa Barat mengalami proses yang sama dalam pertukaran posisi ini. Dikedua kontinen, mayoritas posisi nonmanual dan yang berstatus tinggi, tak lagi termasuk dalam kategori bekerja sendiri. Tak seperti pengusaha, ayah birokrat tak dapat memberikan pekerjaannya kepada anaknya. Banyak dari orangtua kelas menengah yang tidak bekerja sendiri, sedikit sekali yang dapat mereka berikan kepada anak mereka kecuali peluang yang lebih baik untuk mendapatkan pendidikan dan motivasi untuk berupaya mendapatkan posisi kelas atas. Bila karena sesuatu alasan seperti ayah mati muda atau ketakstabilan keluarga, anak kelas menengah, yang tidak menamatkan pendidikan lebih tinggi, ia berada dalam posisi lebih buruk dilihat dari sudut anak prospek pekerjaan ketimbang anak keluarga buruh manual yang menamatkan kolej, SLA atau gimnasium. Jelaslah, proporsi tertentu anak dari kelas menengah menghadapi rintangan dan banyak diantara mereka turun status sosioekonominya. Lagi pula, sebagian benar-benar tak mampu menamatkan pendidikan lebih tinggi atau mengalami kemajuan dalam hirarki birokrasi dan berhenti di tengah jalan. Demikianlah, apapun alasannya, sebagian orang yang berasal dari keluarga kelas menengah ini mengalami mobilitas ke bawah dan mereka membiarkan orang lain mengalami menaikan posisi terutama yang berlatar-belakang kelas rendah. Syarat struktural mobilitas ini agak berbeda di kedua kontinen. Amerika menunjukkan norma lebih kuat dan model yang lebih jelas mendorong mobilitas. Perbedaan kelas pekerjaan yang lebih kelihatan di Eropa sebenarnya menyebabkan tekanan kebutuhan ego individu yang lebih kuat untuk mobilitas ke atas. Dengan demikian, akibat motivasi atas mobilitas ke atas, kira-kira sama di kedua kontinen. Sayangnya sedikit sekali data tentang tingkat aspirasi individual di kelas yang sama, tersedia di kedua kontinen. Adanya norma mobilitas yang lebih nyata dalam bentuk “sistem nilai kelas terbuka”, mungkin menyebabkan mobilitas di AS lebih “terencana” sedangkan mobilitas di Eropa, lebih “tak terencana”. Artinya, tekanan yang diletakkan pada mobilitas sistem nilai di AS, tentu akan mendorong orang Amerika untuk 747



membuat rencana yang lebih disengaja untuk mendapatkan keterampilan yang diperlukan untuk mobilitas ke atas dibandingkan dengan orang di Eropa. Dilain pihak, usia kawin dan usia orangtua ketika mendapat anak pertama di Eropa Utara dan Eropa Barat, agak lebih tinggi dibandingkan dengan di AS. Akibatnya, orang Eropa berada dalam periode lebih lama tanpa tanggungjawab keluarga untuk mengambil resiko atau untuk meningkatkan keterampilannya. Dalam artian ini, mobilitas “tak terencana” mungkin memudahkan di Eropa dan mambatasi di AS. Norma yang mendiktekan perilaku kelas dalam kelas sosial yang berorientasi masyarakat, sebenarnya membantu membuka anak-tangga pekerjaan bagi individu strata bawah karena norma itu kadang-kadang berperan merintangi anak dari keluarga strata lebih tinggi untuk mendapatkan tipe pendidikan yang akan memungkinkan mereka memperoleh posisi tinggi dalam struktur ekonomi. Kenyataan bahwa dibeberapa negara Eropa posisi insinyur dan posisi industri tingkat tinggi lainnya lebih sedikit gengsinya dimata kelas atas ketimbang kedudukan tinggi dalam jabatan pegawai negeri, atau militer, berpengaruh melenyapkan persaingan untuk menempati posisi penting di dunia industri bagi tenaga kerja yang memenuhi syarat untuk mendapatkannya jika mereka menginginkannya. Ini berarti bahwa tersedia peluang bagi individu yang berasal dari status sosial lebih rendah untuk mendapatkan posisi tinggi itu. 3. Beberapa Akibat Politik dari Mobilitas. Di atas kita telah memusatkan perhatian pada fakta bahwa kebanyakan studi mobilitas sosial bersifat deskriptif dan belum ada upaya untuk menghubungkan temuan mengenai mobilitas dengan aspek kehidupan masyarakat yang lain. Diseksi ini, kita akan membahas hubungan antara teori dan riset mobilitas dengan analisis politik. Asumsi umum yang membimbing kita adalah bahwa banyak diantara masalah politik utama yang dihadapi masyarakat kontemporer, sebagian adalah akibat konflik dan ketegangan yang dihasilkan dari kontradiksi yang melekat dalam kebutuhan akan aristokrasi dan persamaan hak.28 Banyak tulisan dalam bidang umum stratifikasi sosial yang telah memusatkan perhatian pada masalah persamaan hak. Penulis dari zaman peradaban Yunani 748



kuno telah menunjukkan perlunya mempertahankan posisi status tinggi dan pewarisan posisi sosial sebagai syarat stabilitas bagi masyarakat rumpil. Teoritisi Yunani kuno ini telah memberikan kesan bahwa pembagian kerja dalam masyarakat memerlukan hadiah yang berbeda dalam gengsi dan privilej sebagai cara memotivasi individu untuk melaksanakan kepemimpinan yang lebih sukar atau posisi lain yang memerlukan bakat dan keterampilan lebih besar. Sistem hadiah yang berbeda, nilai partikularistik yang menjadi bagian organisasi keluarga, juga cenderung memaksa individu berstatus tinggi untuk berupaya mewariskan kepuasan (kesenangan) mereka kepada anak mereka. Cara paling sederhana untuk memastikan hadiah ini untuk anak mereka adalah dengan mewariskan posisi privilej mereka kepada anak mereka. Jadi, paksaan terhadap aristokrasi atau mewariskan kedudukan, seperti dikemukakan Plato adalah seiring dengan keperluan terstratifikasinya masyarakat. Legitimasi posisi yang diwarisi, segera menimbulkan masalah lain yakni masalah mendamaikan legitimasi privilej yang diwarisi dengan keperluan sosial untuk mendorong semangat anggota masyarakat yang lahir dalam posisi status rendah agar bercita-cita dan mencapai posisi lebih tinggi. Jadi, semua masyarakat yang ingin membangun ekonominya (seperti masyarakat Afrika Selatan, India dan lain-lain) harus mendorong individu untuk bercita-cita lebih tinggi atau sekurangkurangnya mencita-citakan posisi pekerjaan yang berbeda dari pada posisi pekerjaan yang dipegang oleh orangtua mereka. Dilema yang dihadapi masyarakat dalam menempuh cara ini, contoh terbaiknya ditunjukkan oleh masalah yag dihadapi Uni Soviet. Penulis Uni Soviet mengeluhkan karena sebagian besar murid sekolah di Rusia hanya menginginkan posisi penting dalam birokrasi publik dan militer. Para penulis ini menyalahkan sistem sekolah karena tidak melaksanakan kewajibannya mendidik murid yang berasal dari keluarga buruh dan petani mau membanggakan pekerjaan ayah mereka.29 Tetapi meski kelas penguasa baru Uni Soviet di satu pihak berupaya mengurangi ambisi pemuda kelas bawah, dilain pihak tujuannya untuk mengembangkan sebuah masyarakat industri memaksa penguasa baru ini terus-menerus merekrut tenaga kerja dari kelas bawah. 749



Mobilitas sosial tak hanya menjadi masalah politisi tetapi juga menjadi kekuatan yang menimbulkan tekanan politik dan ideologi. Hampir tak diragukan bahwa sistem hadiah yang berbeda dan privilej yang diwariskan membawa ketegangan internal yang dapat menimbulkan ketakstabilan. Sistem perbedaan hadiah dan pewarisan privilej, memerlukan sebagian besar penduduk menerima konsepsi lapisan bawah tentang kemanfaatan diri mereka sendiri dibandingkan dengan lapisan lain ( ini berasal dari hipotesis pertama yang kami tarik dari Veblen). Rintangan atas kemungkinan meningkatkan kedirian (the self) ini dalam hal tertentu mungkin mengarah kepenolakan kedirian, yang dilukiskan sebagai “kebencian terhadap diri sendiri” dalam analisis tentang kepribadian anggota kelompok minoritas berstatus rendah. Namun penolakan seperti itu sukar dipertahankan dan dalam semua masyarakat berstrata, orang tertentu cenderung menolak penilaian dominan yang diletakkan pada kelas atas. Kadang-kadang penolakan ini mengambil bentuk nilai keagamaan kelas bawah yang menolak nilai moral kekayaan atau kekuasaan; pada kesempatan lain mengambil bentuk pemberontakan gerobolan “Robin Hood” atau revolusi formal atau gerakan reformasi sosial; sering pula menimbulka upaya individu untuk meningkatkan status seseorang melalui cara-cara yang syah atau tidak syah. Sama sekali dapat dibayangkan bahwa akibat politik kehilangan hak kelas ini mungkin berbeda-beda, tergantung pada apa dimensi kelas yang ditentang. Pakar analisis tentang perkemabangan ekstrimisme berhaluan kanan di AS belakangan ini memberi kesan bahwa gerakan ini sebagian merupakan tanggapan terhadap ketakkokohan posisi kelas sosial.30 Analisis ini pada dasarnya berasumsi bahwa bila aspek pekerjaan dan konsumsi stratifikasi ditonjolkan, maka perdebatan ideologi dan tindakan politik akan dipusatkan pada isu keamanan pekerjaan, redistribusi kekayaan dan pendapatan. Gerakan politik dengan motivasi ini, paling umum dimasa depresi, ketika banyak orang yang melihat posisi ekonomi mereka merosot. Sebaliknya, ketika dimensi kelas sosial ditentang atau dikacaukan maka perdebatan ideologi akan memuat diskusi tanpa akhir tentang nilai tradisional dari posisi yang diwarisi, yang sering disertai unsur tak rasional dan pencarian “kambing hitamnya”. Gerakan politik dengan motivasi seperti itu ada 750



kemungkinan terjadi ketika mobilitas pekerjaan dan konsumsi tinggi, ketika kelas atas yang lama merasa dirinya sendiri terancam oleh “orang kaya baru” dan ketika yang terakhir ini merasa kecewa karena secara sosial tidak diterima oleh orang yang telah memegang posisi sosial tinggi. Motif politik yang dihubungkan dengan ancaman terhadap posisi kelas sosial atau terhadap kekecewaan dalam mencapai posisi yang lebih tinggi dalam struktur kelas sosial mungkin akan menjadi lebih tak rasional ketimbang motif politik yang dihubungkan dengan hasrat untuk mencapai jaminan ekonomi. Franz Neumann mengatakan bahwa pemakaian teori konspirasi politik meletakkan kesalahan kejahatan sosial pada kelompok rahasia pelaku kejahatan yang dihubungkan dengan ketakamanan kelas sosial.31 Kelompok dalam posisi ini bertanggungjawab atas kemerosotan sebenarnya atau potensial yang ingin mereka cegah dengan lebih menyalahkan persekongkolan rahasia ketimbang menyalahkan diri mereka sendiri atau institusi sosial mendasar mereka. Dalam berbuat demikian mereka terus yakin, struktur sosiallah yang terus-menerus menyesuaikan mereka dengan status mereka meski pada waktu bersamaan merasa bahwa mereka sedang mengambil tindakan untuk melenyapkan ancaman atas status sosial mereka. Dapat disisipkan disini bahwa pernyataan di atas bukanlah spekulasi yang tak dapat diuji. Kita telah mengetahui bagaimana cara mengukur berjenis-jenis mobilitas yang menjadi veriabel independen hipotesis kita. Variabel dependen (motif politik) juga dapat diukur secara konvensional dengan mengajukan pertanyaan untuk mengumpulkan pendapat umum. Kenyataannya, telah ada banyak pertanyaan untuk mengukur sekitar kontinum konservatisme - liberalisme yang dapat memilih beberapa motif politik dan item sederhana lainnya dapat disusun. Dengan metode survei pun mudah memastikan keanggotaan kelompok atau asosiasi yang diketahui memeluk salah satu diantara motif politik di atas. Selain berdasar data survei, ada peluang menyajikan bukti mengesankan yang mendukung hipotesis bahwa ketegangan yang ditimbulkan oleh cita-cita atau keinginan mobilitas akan mempengaruhi individu untuk cenderung menerima pandangan politik yang lebih ekstrim. Literatur politik mengenal beberapa kesan 751



bahwa ketakcocokan kelas, misalnya kelas sosial tinggi dan posisi ekonomi rendah, mempengaruhi motif politik ini. Hipotesis tentang ketakcocokan posisi tidak secara tepat menghipotesiskan tentang mobilitas sosial. Namun jelas bahwa mobilitas sosial apapun yang terjadi, ketakcocokan posisi mungkin terjadi karena sangat jarang terjadi seseorang meningkat atau menurun pada kecepatan yang sama diseluruh dimensi kelas. Sebagai contoh, hipotesis ini telah diajukan dalam menjelaskan perilaku politik dalam masyarakat Canada kontemporer. Di Propinsi Saskatchewan yang diperintah Partai Sosialis sejak 1944, ditemukan bahwa pemimpin Partai Sosialis yang berlatar belakang pengusaha atau profesional, sebagian besar bukan keturunan Anglo-Saxon dalam arti berasal dari kelas sosial renadah. Sebaliknya, lebih dari 90% pemimpin kelas menengah Partai Liberal dan Konservatif adalah keturunan Anglo-Saxon. Secara sosial, pengusaha etnik-minoritas adalah bagian kelompok kelas bawah penduduk Saskatchewan. Mereka tak dieksploitasi secara ekonomi tetapi terampas dari berbagai privilej yang biasanya menyertai status pengusaha. Pembelahan antara mereka dan “kelas atas” Anglo-Saxon, sering sama besarnya dengan pembagian antara petani dan komunitas pengusaha. Karena menjadi sasaran tekanan silang pertentangan status, banyak anggota kelompok minoritas yang telah mengidentifikasi diri mereka dengan partai politik yang ditentang oleh “kelas atas” dan partai yang menjanjikan akan menyerang kelompok dominan ini ditingkat kekuasaan komunitas.32 Robert Michel dalam analisisnya tentang sosialisme Eropa sebelum PD I, membuat hipotesis tegas serupa: Asal posisi berkuasa ini (Yahudi dalam gerakan sosialis Eropa) sejauh menganai Jerman dan negara Eropa Timur, ditemukan dalam posisi khas yang diduduki Yahudi dan dalam banyak hal masih diduduki. Emansipasi Yahudi menurut hukum, balum diikuti oleh emansipasi sosial



dan moral mereka…… Ketika



mereka kaya pun, sekurang-kurangnya di Eropa Timur, Yahudi merupakan 752



golongan orang yang tak mendapatkan keuntungan sosial yang memadai dari sistem politik, ekonomi dan intelektual yang proporsi terbesarnya dipastikan untuk penduduk non-Yahudi: masyarakat dalam pengertian lebih sempit, mencurigai Yahudi dan pendapat umum tak menguntungkan mereka. 33 Bukti yang berasal dari analisis tentang perilaku dalam pemilihan umum atau komposisi keanggotaan atau pimpinan partai politik diberbagai negara menunjukkan bahwa Yahudi masih bereaksi menurut cara yang sama dimasa belakangan ini. Di AS, sebagian besar Yahudi kelas menengah mendukung partai yang lebih liberal atau partai sayap-kiri meski posisi pekerjaan dan ekonomi mereka nampaknya dapat mengesankan pandangan yang lebih konservatif.34 Akan menarik untuk disimak, mengapa orientasi politik Yahudi seperti itu sama dipertahankan di negara yang faham anti-Yahudinya relatif kecil, seperti di Skandinavia. Di negara seperti itu dimana Yahudi mecapai posisi kelas sosial lebih tinggi, kita takkan menyangka mereka mempunyai orientasi politik yang sama tingkat kekiriannya. Sedemikian jauh kami telah melaporkan hipotesis yang meramalkan orientasi politik cenderung ke kiri bila posisi kelas sosial suatu kelompok lebih rendah daripada posisi ekonomi atau pekerjaannya, meskipun fakta juga menunjukkan bahwa posisi ekonomi atau pekerjaan biasanya mempengaruhi pandangan konservatif. Namun juga telah dinyatakan bahwa orientasi politik kanan pun dapat terjadi dikalangan orang berposisi kelas sosial seperti itu. Misalnya telah ditunjukkan bahwa “orang kaya baru” kadang-kadang bahkan lebih konservatif ketimbang orang kaya lama, karena sebagian mereka berupaya pindah ke atas dalam struktur kelas sosial dengan mengadopsi nilai dan pola perilaku yang mereka yakini adalah umum berlaku di kelas di atas kelas mereka atau agaknya secara lebih sederhana, karena mereka masih belum mengembangkan pola “kebangsawanan” yang menjadi ciri kelas atas yang mapan. Reisman dan Glazer menyatakan orang Amerika keturunan Irlandia yang berhasil meningkatkan posisi ekonominya, berorientasi politik makin konservatif bersamaan dengan upaya mereka untuk mencapai status sosial lebih tinggi. 35 753



Orientasi politik kelompok yang berposisi sosial lebih tinggi daripada kelas ekonomi-pekerjaan mereka, juga dipengaruhi oleh ketidakcocokan dalam posisi kelas ini. Kami telah melaporkan hipotesis yang menunjukkan bahwa ini mungkin menghasilkan perilaku politik kanan. Namun dilain pihak telah dinyatakan bahwa ketakcocokan status, menyebabkan kelas atas lama yang mengalami penurunan status, menjadi lebih liberal orientasi politiknya. Contoh, kebanyakan pengamat politik Inggris menyatakan bahwa kemunculan Sosialisme Tory, keinginan melaksanakan reformasi yang menguntungkan kelas buruh adalah akibat permusuhan tuan-tanah Inggris kuno atas kemunculan kelas pengusaha yang mengancam status dan kekuasaan aristokrat lama ini. W.L. Warner melaporkan situasi dimana anggota keluarga “lama” disebuah kota di Amerka, ditandai oleh tingginya tingkat penekanan pada kelas sosial warisan mendukung upaya Serikat Buruh radikal untuk mengorganisir pabrik yang dimiliki oleh Yahudi kaya baru.36 Sayangnya belum ada riset empiris dan sedikit sekali spekulasi tentang kondisi berkaitan dengan reaksi yang berbeda-beda itu. Kebanyakan spekulasi dan bukti yang disajikan di atas memberi kesan adanya alternatif reaksi atas tekanan sosial yang nampaknya serupa itu. Artinya, baik perilaku politik kiri maupun kanan, telah dijelaskan sebagai reaksi terhadap ketakcocokan status. Tiga studi tentang pemilihan umum menunjukkan dilema serupa. Ketiga studi ini masingmasing dilakukan oleh Survey Research Center, Universitas Minchigan, 1952, oleh Institut Ilmu Sosial - UNESCO di Cologne, Jerman 1953 dan oleh Finnish Gallup Poll, 1949. Studi di Jerman dan Finlandia, mengesankan bahwa individu kelas menengah yang berasal dari kelas buruh, lebih besar kemungkinannya memberikan suara pada partai yang lebih liberal atau partai sayap kiri ketimbang individu yang sama posisi kelasnya dengan ayah mereka. Sebaliknya, data Amerika menunjukkan bahwa anak buruh yang sukses mengalami mobilitas ke atas bahkan lebih konservatif dalam pilihan partai mereka ketimbang individu kelas menengah yang pekerjaan ayah mereka kurang lebih sama dengan pekerjaan mereka sendiri, 37 (Tabel 2). Mudah membuat interpretasi expost-facto untuk berbagai macam mobilitas ke atas di Finlandia, Jerman dan AS. Dalam membuat interpretasi ini, untuk itu kami 754



mengutamakan menyajikan secara sederhana hasilnya sebagai ilustrasi lain tentang kompleksitas maupun hadiah potensial yang melekat dalam perbandingan antar negara. Meski akibat politik mobilitas ke atas berbeda-beda antara masyarakat Jerman, Finlandia dan AS, mobilitas ke bawah nampaknya sama akibatnya di ketiga negara. Anak berstatus kelas buruh dari ayah kelas menengah, kecil peluangnya untuk kembali mendukung partai-kiri ketimbang anak dari ayah kelas buruh. 38 Tabel 2. Pendukung Partai Kiri (% suara) Orang Finlandia, Jerman dan Kelas Menengah Amerika Dihubungkan dengan Asal-Usul Sosial Mereka. @ Pekerjaan % Suara Finlandia, % Suara Jerman, % Suara Partai Ayah



Kedua



1949



Partai



Suara



% Partai Komunis



1953



% Demokratis



Suara



Partai



Partai



Sosial



Sosial



Demokrat



Demokrat AS, 1952



AS, 1948



Manual



23



20



3 (157)



32 (200)



22 (67)



35 (72)



Non manual



6



5



1 (356)



20 (142)



30 (74)



39 (83)



Petani



10



10



- (183)



22 (58)



34 (59)



49 (61)



@ Sumber data adalah : the Finnish Gallup Poll, the UNESCO Institute of Social Science and the Survey Research Center. Tabel 3. Pendukung Partai Kiri (% suara) Orang Finlandia, Jerman dan Buruh Amerika Dihubungkan dengan Asal-Usul Sosial Mereka. Pekerjaan % Suara Finlandia, % Suara Jerman, % Suara Partai Ayah



Kedua



1949



Partai



Suara



% Partai Komunis



Partai



1953 Suara Partai



755



% Demokratis



Sosial



Sosial



Demokrat



Demokrat AS, 1952



AS, 1948



Manual



81



53



28 (1017)



64 (357)



62 (119)



82 (101)



Non manual



42



34



8 (50)



52 (58)



54 (37)



64 (36)



Petani



67



56



11 (378)



38(75)



58 (87)



89 (64)



Juga tak syak lagi, fakta mobilitas ke bawah menjelaskan pandangan konservatif kelas buruh, setidaknya sebagian. Studi di Finlandia dan Jerman yang lebih kualitatif dan spekulatif yang dilaporkan di atas, baru mulai membuka bidang studi tentang pengaruh dinamika stratifikasi atas perilaku politik. Akibat mobilitas sosial tentu jauh lebih komplek ketimbang yang ditunjukkan di atas. Jelaslah, diperlukan riset menjelajah berikutnya untuk mengetes hipotesis ketimbang berdasar dugaan sembarangan belaka. Dilihat dari sudut ini, jauh akan lebih memuaskan bila survei opini publik mengenai masalah politik dimasa datang nampaknya patut memasukkan informasi tentang mobilitas sebagai kategori standar. Catatan Kaki 1.



Diantara studi terbaik yang menganalisis mobilitas dalam jumlah penduduk yang besar adalah Theodore Geiger, Soziale Umschichtungen in eimer danischen Mittelstadt (Aahrus Universitet, 1951), Natalie Rogoff, Recent Trends in Occupational Mobility (NY: The Free Press, 1953), dan David V. Glass, ed., Social Mobility in Britain (London: Routledge & Kegan Paul, Ltd., 1954).



2.



Rujukan untuk berbagai studi tentang elite terdapat dalam Donald R. Matthews, The Social Background of Political Decision Makers (Ganden City, NY: Doubleday & Co., 1954); S.M. Lipset and R. Bendix, “Ideological Equalitarianism and Social Mobility in the United States”, dalam



756



Transactions of the Second World Congress of Sociological Association, 1954: 53-54). 3.



Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization (NY: Oxford Univ. Press, Inc., 1947:425, lihat juga 424-429) dan Max Weber, Essays in Sociology (NY: Oxford Univ. Press, Inc., 1946: 180-195).



4.



Talcott Parsons, Esays in Sociological Theory (NY: The Free Press, 1954:338).



5.



National Opinion Research Center, “Jobs and Occupations : A Popular Evaluation”, Opinion News (Sept., I., 1947:3-13).



6.



G.H. Lensky, “Status Crystalization: A Non-Vertical Dimension of SocialStatus”, ASR, XIX (1954: 405-413).



7.



Alex Inkeles dan Peter Rossi, “Cross National Comparisons of Occupational Ratings”, AJS, LXI (Jan., 1956: 329-339).



8.



Richard Centers, The Psychology of Social Class, (Princeton, N.J.: Princeton Univ. Press: 1949:86).



9.



Nancy C.Morse and Roberts S.Weiss, “the Function and Meaning of Work and the Job”, ASR, XX (1955:191-198).



10. S.M. Lipset, et.al., “The Psychology of Voting: An Analysis of Political Behavior” dalam G. Lindzey, ed., Handbook of Social Psychology (Reading, Mass. : Addison-Wesley Publishing. Co., Inc., 1954:1139). 11. Berdasarkan hasil studi Joseph Aymes yang tak diterbitkan, Univ. of California at Berkeley. 12. Selma Goldsmith, et.al., “Size Distribution of Income Since the Mid Thirties”, The Review of Economics and Statistics, XXXVI (1954:26). 13. Fortune Magazine, The Changing American Market (Garden City, NY: Hanover House, 1955). 14. Lihat S.M. Lipset and Natalie Rogoff, “Class and Opportunity in Europe and America”, Commentary, XIX (1954: 562-568); dan David V. Glass, ed. Op.cit: 321-338, 344-349). 15. T. Brennan, “Class Behavior in Local Politics and Social Affairs”, dalam Transactions of the Second World Congress of Sociology, II, op.cit:291-292. 757



16. S.M. Lipset, Martin Trow and J.S. Coleman, Union Democracy (NY: The Free Press, 1956). 17. Robert Michels, Political Parties (NY: The Free Press, 1949:280-281). 18. Torgny Segerstedt and Agne Lundquist, Manniskan i industrisamhallet II: Fritidsliv Samhallsliv (Stockholm: Studie Forbundet Naringsliv och Samhalle, 1955:287-290. 19. Tehnik statistik yang dikembangkan untuk menangani masalah ini, lihat Donald Marvin “Occupational Propinquity as a factor in Marriage Selection”, Publication of the American Statistical Association, XVI (1918: 131-150: Natalie Rogoff, op.cit:29-33; David V. Glass, ed.,op.cit.: 218-259: lihat juga Federico Chessa, La Trasmissione Eriditaria delle Professioni (Torino: Fratelli Boca, 1912). 20. Lihat P. Sorokin, Social Mobility (NY: Harper&Row. Publishers, 1927:346377); dan E. Sibley, “Some Demographic Class to Stratification”, ASR, VII (1942: 322-330). 21. Thorstein Veblen, The Theory of the Leisure Class (NY: The Modern Library, 1934: 30-32). 22. H.W. Riecken and G.C. Homans, “Psychological Aspects of Social Structure”, dalam G. Lindzey, ed.,op.cit: 787-784. 23. Lihat Lipset dan Rogoff, op.cit. 24. David V. Glass, ed.op.cit: 260-265. 25. Temua menunjukkan ketakstabilan dalam struktur kelas pekerjaan diluar Amerika yang ditopang oleh hasil studi mobilitas dibeberapa kota di negara berlainan. 26. Sebagai contoh, studi mengumpulkan data dengan menyebarkan kuesioner kepada 90.000 buruh Jerman diakhir 1920 melaporkan bahwa hampir seperempat buruh lelaki dalam kelompok ini berasal dari keluarga kelaspekerja manual (Gewerkschaftsbund der Angestellten (Berlin, 1931:43); lihat juga Hans Speier, The Salaried Employee in German Society, vol.1 (NY: Depart. Of Social Science, Columbia Univ. 1939:86-98).



758



27. Reinhard Bendix, Work and Authority in Industry (NY: John Wiley & Sons, Inc., 1956). 28. Lihat Talcott Parsons, “A Revised Analytical Approach to the Theory of Stratification”, dalam R. Bendix and S.M. Lipset, eds., Class, Status and Power, 1st.ed. (NY: The Free Press, 1953:117; dan K. Davis and W.E. Moore, “Some Principles of Stratification”, ASR, X (1954:242-249). 29. Alex Inkeles, “Social Stratification and Mobility in the Soviet Union: 19401950” dalam R. Bendix and S.M. Lipset, eds., op.cit: 611-621. 30. Lihat berbagai artikel yang dicetak-ulang dalam Daniel Bell, ed., The New American Right (NY: Criterion Books, 1955; dan Richard Hofstadter, The Age of Reform (NY: Alfred A. Knopf, Inc., 1955, terutama hal: 131-172). 31. Franz Neuman, “Anxiety in Politics”, Dissent (Spring, 1955: 135-141). 32. S.M. Lipset, Agrarian Socialism (Berkeley, Calif.,: Univ. of California Press, 1950:191). 33. Robert Michels, op.cit: 260-261. 34. Laurence A. Fuchs, “American Jews and the Presidential Vote”, American Political Science Review, XLIX (1955:385-401). 35. David Riesman and Nathan Glazer, “The Intelectuals and the Discontented Class”, dalam D. Bell, ed., op.cit: 66-67. 36. W.L. Warner and J.O. Low, The Social System of the Modern Factory (New Haven: Yale Univ. Press, 1947; lihat juga S.M. Lipset and R. Bendix, op.cit: 230-233. 37. Dua studi di AS menghasilkan konklusi serupa. MacCoby menemukan bahwa pemuda yang mengalami mobilitas ke atas di Cambridge lebih Republikan ketimbang pemuda sekelas yang tidak mengalami mobilitas ke atas. E.E. MacCoby, “Youth and Political Choise”, Public Opinion Quaterly (Spring, 1954: 35). 38. Pola serupa terkesan dalam studi Amerika yang lain. Richard Centers melaporkan bahwa buruh yang berayah kelas menengah, lebih besar peluangnya memberikan jawaban berciri pandangan konservatif atas pertanyaan yang dirancang untuk mengukur kontinum liberalisme 759



konservatifisme, meski anak berayah buruh manual yang berhasil mengalami mobilitas ke atas tak berbeda pandangan politiknya dari anak berayah kelas menengah yang bekerja di sektor nonmanual. Centers, op.cit:180. Studi di the United Automobile Workers Union, menemukan 78% pekerja berayah buruh adalah pendukung partai Demokrat dibandingkan dengan 60% pekerja berayah kelas menengah. Arthur Kornhauser, When Labor Vote - A Study of Auto Workers (New Hyde Park, NY: University Books, 1956). Dua studi tentang anggota SB menunjukkan bahwa individu yang mengalami mobilitas kecil kemungkinannya menjadi anggota atau aktif dalam kegiatan SB. S.M. Lipset and Joan Gordon, “Mobility and Trade Union Membership”, dalam R. Bendix and S.M. Lipset, eds., op.cit: 491-500.



760