Buku [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



i



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



Hak Cipta Pada Penulis Tidak boleh diproduksi sebagian atau keseluruhannya dalam bentuk apapapun tanpa izin tertulis dari penulis. Kutipan Pasal 9 Ayat (3) dan Pasal 10 UU No 28 tahun 2014 Tentang Hak Cipta. 1. Pasal 9 Ayat (3) : Setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan”. 2. Pasal 10 : Pengelola tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang basil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolannya”



ii



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



iii



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



Penulis :



Asst. Prof. Dr. Edi Ribut Harwanto, S.H, M.H Desain Cover Team Laduny Creative Lay Out Team Laduny Creative ISBN : 978-623-6031-97-1 16 x 24 cm; xiv + 168 hal Cetakan Pertama, September 2021 Dicetak dan diterbitkan oleh: CV. LADUNY ALIFATAMA (Penerbit Laduny) Anggota IKAPI Jl. Ki Hajar Dewantara No. 49 Iringmulyo, Metro – Lampung. Telp. 0725 (7855820) – 085269181545 Email: [email protected]



iv



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



KATA PENGANTAR



Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Bismillahirrahmanirrahim--Pertama kalinya, saya mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, dimana atas ridha, hidayah, inayah dan maunah-Nya, penulis diberikan kemurahan rizki berupa kesehatan jiwa dan raga, serta kesiapan waktu penulis untuk bisa merangkum kembali jurnal-jurnal internasional dan nasional yang telah penulis susun dalam bentuk buku kompilasi jurnal berjudul “Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila. Buku yang saya terbitkan ini merupakan



edisi revisi ke-1, untuk menambah materi yang berhubungan dengan peraturan Mahkamah Agung RI, Peraturan Kejaksaan Agung RI dan Peraturan Kapolri berkaitan dengan pelaksanaan keadilan restorative justice di Indonesia yang berkait dengan mata kuliah “Politik Hukum Pidana”. Tujuan diterbitkanya buku Politik Hukum Pidana Edisi Revisi ke-1 adalah untuk lebih memudahkan dokumentasi dan arsip, dan memudahkan mahasiswa untuk mengakses di perpustakaan Kampus Universitas Muhammadiyah Metro (UMM) dan Perpustakaan Pemerintah Daerah Kota Metro-Lampung dan sekaligus sebagai bahan ajar buku refrensi pada Fakultas Hukum UM Metro. Selain itu juga buku ini untuk sarana da’wah bil kitabah (da’wah melalui tulisan) QS : Al-Qalam ayat 1 : ‫َٓ اَ َٓا قۡ ر‬ ٓ‫ُ رُ قَنا‬ ‫َٓ قلَۡاَاِ ا‬ ‫نٓٓۚ ا‬ Nuun; walqalami wa maa yasturuu (Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan). Bagi penulis untuk mencari keberkahan ilmu pengetahuan yang dimiliki penulis dan semata mengaharapkan ridha Allah SWT untuk berbagi ilmu yang bermanfaat untuk umat manusia dan melatih intusi dalam pengimplemtasian akal dan logika di tuntun oleh hati. Berbagi ilmu pengetahuan untuk umat manusia ini bagian v



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



dari ibadah ilmu dalam rangka untuk mengisi tahalli (perbuatan baik didalam jiwa) agar jiwa tertuntun atas petunjuk dan keridhaan Allah. Filsuf Imanuel Kant mengatakan , “All human knowledge begins with intuitions procceds from thence to concepts and ends with ideas” (Semua pengetahuan manusia dimulai dengan intuisi, hasil dari situ ke konsep dan berakhir dengan ide-ide), mengutip dari buku “Critical of Practical Reasons” karya filsuf Imanuel Kant (1724-1804). 1 Lanjut Imanuel Kant, semua pengetahuan kita dimulai dari indra, kemudian melanjutkan dengan pemahaman dan berakhir dengan alasan. Yang kedua kalinnya, shalawat serta salam saya penjatkan puji syukur kehadirat Nabi Besar Muhammad SAW salah satu nabi akhir zaman sebagai nabi pemberi syafaat kepada para umat muslim di dunia dan seluruh pengikutnya di yaumul qiyamah kelak kepada para umatnya yang beriman dan istiqomah dalam menjaga akhlak, adab dan menegakkan amal ma’ruf nanhi munkar dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Selanjutnya, tujuan penulis mewujudkan buku ke-9 ini, sebagai wujud pertangungjawaban sebagai seorang dosen Hukum Pidana Ekonomi dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Metro dan keinginan para mahasiswa Fakultas Hukum UM Metro. Tangung jawab dan kewajiban itu untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagaimana dalam diatur didalam ketentuan amanat UU No 15 Tahun 2015 Tentang Guru dan Dosen, yaitu, tugas pokok seorang dosen Pendidikan, Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Buku yang penulis susun ini adalah dalam rangka pemenuhan kewajiban dari tugas pokok seorang dosen, yaitu, melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Hasil dari buku yang di tulis ini, merupakan wujud nyata dari produk penelitian dan pemikiran serta ide yang terdaftar pada katalok nasional ber-ISBN 1



Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, Prestasi Pustaka Publisher, 2013, hlm : 12 vi



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



sehingga dapat dibaca secara online dan cetak dalam rangka mengedukasi masyarakat luas dan mahasiswa serta para pencari ilmu. Terakhir, penulis mengucapkan terimakasih kepada rektor Universitas Muhammadiyah Metro (UMM) Drs. H. Jazim Ahmad, M.Pd., yang telah melakukan pembinaan akademik, dan memberikan arahan yang konstruktif dan berjenjang dalam rangka penguatan disiplin kerja menuju pencapaian gelar akademik yang lebih tingi di masa yang akan datang. Juga penulis haturkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Metro Muhammad Sofwan Taufik Taufik, S.H.I, M.S.I, yang selama ini menjadi mitra kerja yang baik dan dalam nuansa akademik yang profesional dan profetik. Semoga, buku kompilasi jurnal prosiding dan artikel yang telah penulis susun, dapat memberikan manfaat untuk pengembangan SDM dosen dan membantu peningkatan prestasi dan kualitas dosen secara umum untuk lembaga dan secara khusus untuk pribadi penulis. Buku berjudul Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila ini, merupakan karya buku yang ke-9 di Tahun 2021. Sebelumnya, pada bulan Mei 2021, penulis merilis buku ke-8, berjudul “Kompilasi Jurnal Ilmiah, Internasional Nasional Prosiding, Artikel Dalam Perspektif Hukum Pidana Nasional”. Sebelumnya, pada tanggal 1 Februari 2021 penulis juga menerbitkan dua buku berjudul “ Masalah Yuridis Kebijakan Formulasi Aplikasi Eksekusi Tindak Pidana Dalam UUHC Di Indonesia dan Upaya Penyelasainya” dan Filosofi Pendekatan Keilmuan Hukum Dengan Pendekatan Relegius Dalam Upaya Memaksimalkan dan Mereformasi Pelaksanaan Penegakkan Hukum Pidana Indonesia”. Selanjutnya, bagi para pembaca untuk melihat dan mengakses buku ini dapat mengakses pada digital www.repository um metro, ketik nama Edi Ribut Harwanto. Untuk fisik non digital dapatdapat dibaca pada perpustakaan Universitas Muhammadiyah Metro atau Perpustakaan Daerah Kota Metro dan dibeberapa toko buku di Jakarta dan Lampung. vii



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



Demikian kata pengantar disampaikan, semoga apa yang telah penulis kerjakan membawa manfaat fiddunya wal akhirah, bermanfaat untuk lembaga tempat penulis bekerja juga bermanfaat untuk masyarakat pencari ilmu pengetahuan dimanapun berada. Pepatah mengatakan, “tak ada gading yang retak”. Penulis menyadari bahwa buku-buku yang ditulis tentu banyak kekurangan, maka itu penulis memohon saran dan kritik jika terdapat kekeliruan dalam penulisan buku ini. Mohon maaf jika ada kesalahan kepada semua pembaca dan mohon ampun kepada Allaw SWT, jika terdapat kesalahan yang tidak kami sengaja. Wallahualam Bissawab*** Walaikumsalam Warahmatullahi wabarakatuh Kota Metro, Jumat, , 1 Oktober 2021 Hormat Kami Penulis



Asst. Prof. Dr. Edi Ribut Harwanto, S.H, M.H.



viii



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



Sambutan Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur kita haturkan kepada kehadirat Allah SWT, semoga kita semua selalu dalam keberkahan, ridha, lindungan dan karunianya sehat lahir dan batin sebagai wujud kemurahan rizki yang diberikan kepada kita semua. Kedua kalinya, sholawat serta salam mari kita panjatkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, semoga kita semua menjadi umatnya yang selalu terjaga iman dan Islam senantiasa menjaga ketaqwaan kita kepada Allah SWT, sehingga kelak di yaumul qiyamah kelak kita mendapat safaat dari Rosulullah SAW sehingga kita akan mendapatkan kebahagian di akherat di surga-surganya Allah yang kekal abadi. Selanjutnya, saya atas nama Rektor Universitas Muhamadiyah Metro (UMM) patut bangga dan bersyukur atas terbitnya buku saudara Asst. Prof. Dr. Edi Ribut Harwanto, S.H. M.H., sebagai dosen Fakultas Hukum UMM, yang juga seorang praktisi hukum sebagai advokat. Sebagai wujud tangung jawab akademik melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, sebagaimana diatur dalam ketentuan amanat UU No 15 Tahun 2015 Tentang Guru dan Dosen. Tugas pokok seorang dosen adalah melaksanakan Pendidikan, Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Yang dilakukan saudara Asst. Pro. Dr. Edi Ribut Harwanto,S.H. M.H., ini adalah sebagai realiasi kongret atas pelaksaan tangung jawab sebagai seorang akademisi, yaitu melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, melalui implementasi karya-karya ilmiah yang telah dipublish pada jurnal internasional, nasional, prosiding dan artikelartikel nasional dan lokal yang telah dibukukan. Ini adalah prestasi yang membangakan dan wujud kreatifias seorang dosen yang perlu dicontoh bagi dosen laiannya di Universitas Muhammadiyah Metro (UMM). Usaha dan kerja keras dalam penulisan buku ber-ISBN ini ix



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



kelak dapat sebagai syarat menuju jenjang akademik tertinggi sebagai Guru Besar (GB) profesor di masa depan. Lembaga mendorong agar saudara Edi terus mengejar mencapai guru besar. Saya sangat mengapresiasi atas kerja keras dan kesunguhan saudara Asst. Prof. Dr.Edi Ribut Harwanto, S.H., M.H., karena karya-karya ilmiah yang dihasilkan, sangat membantu lembaga khusunya Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Metro untuk kepentingan peningkatan akreditasi lembaga menjadi lebih baik. Diharapkan para dosen-dosen lain di Fakultas Hukum dapat meniru kreatifitas ini dan paling tidak yang dilakukan saudara Edi sebagai penyemangat dan ispirasi bagi para dosen lainnya. Masing-masing dosen harus memiliki nilai dan keunggulan ilmu pengetahuan yang bisa bersaing di pasar bebas untuk baik secara nasional dan internasional. Karya ilmiah buku yang ke-9 saudara Asst.Prof. Dr. Edi Ribut Harwanto, S.H. M.H., berjudul “Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila” nanti akan dapat dibaca oleh para mahasiswa Fakultas Hukum, para dosen yang konsen pada jurusan hukum pidana, atau dosen di luar hukum dapat membaca untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan baik dari dalam maupun dari luar kampus. Karena, di perpustakaan Universitas Muhammadiyah Metro telah disediakan buku-buku karya saudara Asst. Prof. Dr. Edi Ribut Harwanto, S.H. M.H.,. Selamat dan sukses saya ucapkan kepada saudara Asst. Prof. Dr. Edi Ribut Harwanto S.H., M.H., semoga kedepan dapat menghasilkan karyakarya ilmiah yang lebih baik dan terus berkarir dan meningkatkan jenjang akademik sampai menuju guru besar penuh.



x



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



Demikian sambutan ini saya sampaikan, semoga Allah SWT selalu meridhai segala sesuatu yang kita kerjakan untuk kemaslahatan umat menebar ilmu pengetahuan yang didasarkan pada nilai profetis, profesional modern dan mencerahkan. Walaikumsalam Warahmatullahi wabarakatuh Metro, Jumat, 1 Oktober 2021 Hormat Kami Rektor UMM



Drs. H. Jazim Ahmad, M.Pd



xi



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



DAFTAR ISI Halaman Judul ................................................................................. i Kata Pengantar ................................................................................ v Sambutan Rektor ............................................................................ ix Daftar Isi ........................................................................................... xii BAB.I. PENDAHULUAN ................................................................ A. Definisi Keadilan Restorative............................................... B. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem) .......... C. Implementasi Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) di Indonesia ............................................................. D. Konsep Keadilan Rostoratif Di Indonesia ......................... E. Mahkamah Agung Republik Indonesia Terbitkan Pedoman Pelaksanaan Keadilan Restotative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Pidana ................................. F. Kejaksaan Agung Republik Indonesia Keluarkan Perja No 15 Tahun 2020 ..................................................... G. Proses Penyelidikan dan Penyidikan Polri ........................ H. Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana di Tingkat Penyidikan pada Saat Ini ....... I. Alternatif Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan ....... J. Perkap 15/2013 Tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas ....................................................... K. Kebijakan Hukum Pidana dalam Pengaturan Pendekatan Restorative Justice Ditingkat Penyidikan pada Masa yang Akan Datang........................ L. Pembaharuan/Reformulasi dalam Hukum Pidana Materiil .................................................................................. M. Pembaharuan-Reformulasi Dalam Hukum Pidana Formil .................................................................................... xii



1 4 7 8 12



14 16 20 27 36 38



44 48 52



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



BAB. II. Restorative Justice Sebagai Wujud Implementasi Dari Perlindungan Hak Asasi Manusia .................................................. a. Historis .................................................................................. b. Filosofis ................................................................................. c. Sosiologis ............................................................................... d. Politik .................................................................................... e. Yuridis ................................................................................... BAB.III. Restorative Justice Wujud Implementasi Dari Filsafat Pancasila.............................................................................. a. Restorative Justice Bagi Para Pencari Keadilan .............. b. Restorative Justice Implementasi Dari Nilai Filsafat Pancasila ................................................................. c. Kedudukan Pancasila Dalam Pembaharuan Sanksi ........ d. Konsep dan Bentuk Sanksi Pidana yang Sesuai dengan Filsafat Pancasila dan Prospeknya dalam Pembaharuan Sistem Pemidanaan di Indonesia ............... d.1. Filsafat Pemidanaan ................................................... d.2. Konsep Pidana Kerja Sosial Menurut Filsafat Pancasila ........................................................ d.3. Pidana Pelangaran Denda Menurut Filsafat Pancasila ...................................................................... d.4. Pidana Eksekusi Mati Menurut Filsafat Pancasila ...................................................................... d.5. Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Victimology................................................................... d.6. Keadilan Restorative Justice Sarana Hukum Mediasi Pendamai ..............................................................



d.7 Penerapan Keadilan Restorative Justice Polri ........



55 57 58 58 59 60



67 67 73 77



80 80 83 84 85 90 97



143



xiii



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



BAB.IV. Penutup- Kesimpulan dan Saran ................................... 155 a. Kesimpulan ........................................................................... 155 b. Saran ..................................................................................... 155 Biodata Penulis ................................................................................ 156 Daftar Pustaka ................................................................................. 158



xiv



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Bab I Pendahuluan Metode penyelesaian masalah yang dapat ditempuh pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu penyelesaian dengan jalur litigasi dan non litigasi.Dalam kenyataannya, apabila terjadi suatu permasalahan khususnya yang berkaitan dengan hukum pidana (perkara pidana), model penyelesaian masalah selalu dilakukan dengan menggunakan jalur litigasi. Penyelesaian perkara dengan menggunakan jalur litigasi ini dalam prakteknya tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan karena penyelesaian perkara dengan menggunakan jalur litigasi dalam sistem peradilan pidana tradisional saat ini justru menimbulkan permasalahan-permasalahan baru misalnya: pola pemidanaan yang masih bersifat pembalasan, menimbulkan penumpukan perkara, tidak memperhatikan hak-hak korban, tidak sesuai dengan asas peradilan sederhana; proses panjang, rumit dan mahal, penyelesaian bersifat legistis dan kaku, tidak memulihkan dampak kejahatan, kondisi lembaga pemasyarakatan yang tidak memadai, tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat dan lain sebagainya padahal, hukum dibuat pada hakikatnya untuk memberikan keadilan dan manfaat bagi manusia. Melihat berbagai fenomena ini, dalam perkembangan terkini muncul sebuah konsep baru yakni konsep keadilan restoratif. Konsep atau pendekatan keadilan restoratif dinilai dapat mengatasi berbagai permasalahan dalam sistem peradilan pidana tradisional sebagaimana disebutkan diatas. Dewasa ini, apabila terjadi suatu tindak pidana, masyarakat cenderung menggunakan jalur pengadilan yang secara konseptual dan teoritis akanmenciptakan keadilan, namun dalam kenyataannya hal ini merupakan hal yang tidak mudah untuk dicapai.Perlu disadari bahwa hasil yang akan dicapai dari proses penyelesaian perkara dengan jalur peradilan bersifat win lose solution, dengan sifat yang demikian, akan 1



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



terdapat pihak yang menang dan terdapat pula pihak yang kalah. Dengan kenyataan seperti ini, penyelesaian suatu perkara melalui jalur peradilan tradisional pada umumnya kerap menimbulkan satu rasa “tidak enak”, menyimpan dendam, merasa tidak puas, merasa tidak adil bahkan lebih parah berniat ingin membalas dendam. Hal-hal ini akan tertanam kuat di benak pihak yang kalah sehingga ia akan berupaya untuk mencari "keadilan" ke tingkat peradilan lebih lanjut (baik melakukan banding maupun melakukan kasasi bagi pihak yang tidak puas dengan putusan pengadilan tinggi). Dengan adanya fenomena ini, tentunya telah menyebabkan arus perkara yang mengalir melalui pengadilan (baik itu dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun pada tingkat Mahkamah Agung) melaju dengan sangat cepat sehingga terjadi penumpukan perkara. Melihat fenomena tersebut, benarlah apa yang dikemukakan oleh Joni Emirzon dalam bukunya yang berjudul Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, bahwa hal ini pada umumnya dapat dikategorikan sebagai salah satu kelemahan bagi suatu lembaga litigasi yang tidak dapat dihindari walaupun sudah menjadi suatu ketentuan. 1 Pernyataan serupa dikemukakan oleh Satjipto Raharjoyang menyatakan bahwa penyelesaian perkara melalui sistem peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu penegakan hukum (law enforcement) ke arah jalur lambat. Hal ini karena penegakan hukum itu melalui jarak tempuh yang panjang, melalui berbagai tingkatan mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi bahkan sampai ke Mahkamah Agung. Pada akhirnya berdampak pada penumpukan perkara yang jumlahnya tidak sedikit di pengadilan.2Selain itu, keadilan yang diharapkan melalui jalan formal ternyata belum tentu mencerminkan rasa keadilan, mahal, berkepanjangan, melelahkan dan 1



Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 3-5.



2



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



tidak menyelesaikan masalah serta yang lebih parah lagi adalah di dalamnya penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. 2 Di samping menimbulkan penumpukan perkara, dalam banyak kasus yang terjadi, khususnya yang terjadi di Indonesia, misalnya kasus pencurian sandal jepit yang menimpa AAL, kasus pencurian piring yang menimpa Rasminah, kasus pencurian kakao yang senilai Rp. 2.500,00 yang menimpa Aminah,serta beberapa kasus lainnya yang sejenis tidak seharusnya dituntut dan masuk ke pengadilan. Dikatakan demikian karena putusan hakim dalam kasus-kasus tersebut dan kasus- 595 Kasus lain sejenis banyak dikecam publik karena dinilai tidak memenuhi rasa keadilan. Hal ini diperparah dengan peran dan fungsi peradilan tradisional yang dianggap sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mengutip pernyataan dari Bambang Sutiyoso dalam bukunya yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Bisnis, Solusi Dan Antisipasi Bagi Peminat Bisnis Dalam Menghadapi Sengketa Kini dan Mendatang” menyatakan bahwa: Dewasa ini penyelesaian sengketa melalui pengadilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari kalangan praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi peradilan dewasa ini dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (wasteof time), biaya mahal (veryexpensive) dan kurang tanggap terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlampau formalitik (formalistic) dan terlampau teknis (technically), terlebih adanya "mafia peradilan" yang seakan-akan mengindikasikan keputusan hakim dapat dibeli.3 Menanggapi berbagai persoalan diatas, dalam perkembangan terkini muncul sebuah alternatif yang ditawarkan yakni dengan melaksanakan konsep keadilan restoratif (restorative justice).Konsep keadilan restoratif 2



Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas, 2003, hlm.170 3 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Solusi Dan Antisipasi Bagi Peminat Bisnis Dalam Menghadapi Sengketa Kini dan Mendatang, Yogyakarta, Citra Media, 2006, hlm. 30.



3



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



(restorative justice) adalah alternatif yang populer di berbagai belahan dunia untuk penanganan perbuatan melawan hukum (melawan hukum dalam arti formal) karena menawarkan solusi yang komprehenif dan efektif.5Keadilan restoratif (restorative justice) bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat.4 Dari latar belakang masalah tersebut diatas, maka Penulis mengidentifikasi 2 (dua) permasalahan yaitu sebagai berikut: a. Bagaimana implementasi konsep keadilan restoratif (restorative justice) dalam sistem peradilan pidana terpadu dilaksanakan oleh lembaga criminal justice system di Indonesia? b. Apakah sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia telah mengadopsi konsep keadilan restoratif (restorative justice) berdasar pafa asas filsafat pancasila ? A. Definisi Keadilan Restoratif Konsep keadilan restoratif atau keadilan pemulihan (restorative justice) merupakan suatu model pendekatan baru dalam



upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan sistem yang ada sekarang (sistem pidana tradisional), pendekatan atau konsep keadilan restoratif atau keadilan pemulihan (restorative justice) lebih menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Oleh karena itu, pendekatan ini populer disebut juga dengan istilah “non state justice system” di mana peran Negara dalam penyelesaian 4



Geoge pavlich, Towards an Ethics of Restorative Justice, dalam Restorative Justice and The Law, ed Walgrave, L., WWillan Publishing, Oregon, 2002, hlm. 1. Di kutip juga oleh: Dewi DS dan A. Syukur Fatahilah, Ibid.



4



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



perkara pidana menjadi kecil atau bahkan tidak ada sama sekali. Namun demikian, kehadiran pendekatan atau konsep keadilan restoratif atau keadilan pemulihan (restorative justice) banyak diwarnai berbagai pertanyaan baik secara teoritis maupun secara praktis.5 Permasalahan utama untuk memberlakukan atau mengimplementasikan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) dalam sebuah sistem hukum pada umumnya dan pada sistem peradilan pidana pada khsusunya terletak pada mekanisme penyelesaian yang ditawarkan oleh pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) berbeda dengan mekanisme penyelesaian yang ditawarkan oleh sistem peradilan pidana yang ada saat ini sehingga masih sulit untuk diterima. Hal ini dikarenakan mekanisme yang ditawarkan oleh pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) lebih mengedepankan konsep perdamaian, konsep “mediasi” dan konsep rekonsiliasi di mana pelaku, korban, aparat penegak hukum dan masyarakat luas berpartisipasi secara langsung dalam menyelesaikan perkara pidana tentunya berbanding terbalik atau bertentangan dengan sistem peradilan pidana tradisional yang sudah diberlakukan sejak lama dan berlaku hingga saat ini. Hal ini dilatarbelakangi oleh fokus perhatian dan pandangan atas suatu tindak pidana dan keadilan yang dicapai atas suatu penyelesaian perkara pidana.8 Pandangan terhadap arti dari suatu tindak pidana dan pemidanaan yang dianut dalam sistem peradilan pidana tradisional saat ini adalah “is a violation of the state, defined by lawbreaking and guilty” (pelanggaran negara didefinisikan sebagai pelanggaran hukum dan bersalah). Sementara keadilan dalam sistem peradilan pidana tradisional dipahami sebagai “terbuktinya dakwaan dan penjatuhan pidana kepada pelaku oleh Negara sebagai pemegang kedaulatan dalam menjatuhkan pidana. Otoritas demikian pada akhirnya justru berimbas pada kondisi tidak terwakilinya kepentingan korban dan



5



Eva Achjani Zulfa, “Restorative Justice: http://evacentre.blogspot.com/2009/11/restorative-justice.



Alternatife



Hukum”.



5



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



masyarakat dalam sebuah sistem yang berkaitan satu dengan yang lain. 6 Berbeda dengan konsep keadilan restoratif (restorative justice), Tonny MarshalldanHoward Zehrmenyatakan sebagai berikut: Tonny Marshall: “Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offense come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offense and its implications for the future.”7 (keadilan restoratif (restorative justice) sebagai “proses yang melibatkan semua pihak yang memiliki kepentingan dalam masalah pelanggaran tertentu untuk datang bersama-sama menyelesaikan secara kolektif bagaimana menyikapi dan menyelesaikan akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan).8 Howard Zehr: “Viewed through a restorative justice lens, "crime is a violation of people and relationships. It creates obligations to make things right. Justice involves the victim, the offender, and the community in a search for solutions which promote repair, reconciliation, and reassurance.”12(Dilihat melalui lensa keadilan restoratif, kejahatan adalah pelanggaran orang dan hubungan ini menciptakan kewajiban untuk melakukan hal yang benar.Keadilan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi yang mempromosikan perbaikan, rekonsiliasi dan jaminan). 9



6



Ibid Tony marshall, Keadilan restoratif: Tinjauan di London, Home Office Research Development and Statistics Directorate, 1999. Jakarta: Office Home Penelitian Pengembangan dan Statistik Direktorat, 1999., Page. 5. Lihat juga dalam: Kristian, Penyelesaian Perkara Pidana Dengan Konsep atau Pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Khususnya Secara Mediasi (Mediasi Penal) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Ditinjau Dari Filsafat Hukum, Jurnal Hukum Mimbar Justitia Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014., hlm. 460. 11 8 Heru Susetyo dan Tim Kerja Pengkajian Hukum, Laporan Tim Pengkajian Hukum Tentang Sistem Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative Justice, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Tahun 2012., hlm. 9. 9 Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, Scottdale, Pennsylvania; Waterloo, Ontario: Herald Press, 1990. page. 181. Lihat juga dalam: Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia, Loc Cit., hlm. 188. 7



6



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



B. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem). Muladi dalam bukunya yang berjudul “Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana” mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana



(criminal justice system) adalah suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaaan pidana.Namun kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial.13 Sifat yang terlalu formal jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.10 Sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia diatur secara tegas dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau Undang-Undang No. 8 tahun 1981. Dikatakan demikian karena Undang-Undang No. 8 tahun 1981 atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya identik dengan penegakan hukum pidana yang merupakan suatu sistem kekuasaan atau kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada negara dalam menegakkan hukum pidana yakni kepolisian, kejaksaan, hakim dan lembaga pemasyarakatan. Pengertian sistem peradilan pidana (criminal justice system) disebut juga dengan istilah law enforcement system karena di dalamnya mengandung suatu pemahaman, bahwa pada dasarnya apa yang dilakukan oleh lembagalembaga itu merupakan usaha konkrituntuk menegakkan aturan-aturan hukum abstrak.11 Terkait dengan integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu, Muladi dalam bukunya yang berjudul “Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana” menegaskan bahwa makna sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal justice system merupakan suatu sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam beberapa hal berikut ini:16 1) Sinkronisasi struktural (structural syncronization) adalah keserampakan atau 10



Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1996, hlm. 2. 11 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Edisi Delapan, West Publishing CO, Amerika Serikat, 2004, hlm. 901.



7



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum; 2) Sinkronisasi substantial (substansial syncronization) adalah keserampakan atau keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif; dan 3) Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) adalah keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. Menambahkan pendapat dari Muladi diatas, penulis beranggapan bahwa antara sub-sub sistem yang terdapat dalam sistem peradilan pidana harus memiliki struktural, substansial dan kultural yang sama (struktural, substansial dan kultural dalam mengaplikasikan konsep atau pendekatan keadilan restoratif). Singkatnya, apabila salah satu dari sub sistem yang terdapat dalam sistem peradilan pidana tidak melaksanakan konsep atau pendekatan keadilan restoratif maka konsep atau pendekatan keadilan restoratif tidak dapat berjalan dengan baik. C. Implementasi Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) di Indonesia. Sebelum membahas lebih jauh mengenai pelaksanaan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) di Indonesia, muncul sebuah pertanyaan, dapatkan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) diterapkan di



Indonesia? Terkait dengan pertanyaan ini, Braithwaite mengatakan bahwa: ndonesia is a nation with wonderful resources of intracultural restorative justice. Traditions of musayawarah (musyawarah) decision by friendly cooperation and deliberation-traverse the archipelago. Adat law at the same time allows for diversity to the point of local criminal laws being written to complement universal national laws.12 Berdasarkan pendapat Braithwaite tersebut, terlihat 12



Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restorative Justice Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, 2013.hlm. 109.



8



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



dengan jelas bahwa praktik-praktik penyelesaian masalah dengan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) memang telah ada dalam kultur atau budaya bangsa Indonesia sebagaimana telah dilakukan di Sumatra Barat, sekalipun hal itu dilakukan oleh kalangan elit tertentu dari masyarakat. Braithwaite berkeyakinan dengan memberikan sedikit pelatihan maka tidak hanya kalangan elit saja yang dapat memfasilitasi praktik-praktik penyelesaiam masalah dengan pendekatan atau konsep keadilan restoratif namun lebih banyak orang, sekalipun demikian, upaya pendemokrasian praktik-praktik restoratif terhadap orang-orang Asia dapat berpotensi menimbulkan suatu kekeliruan.13 Implementasi atau pelaksanaan konsep keadilan restoratif (restorative justice) diberbagai negara setidaknya melewati 3 (tiga) tahap berikut ini:14 Tabel Tiga Tahaban Restotarif Justice Diberbagai Negara Konsep Keadilan Restoratif Dalam Sebuah Rangkaian Perkembangan. Indikator



Bisa Menjadi Restoratif



Restoratif Sebagian



Restoratif Sepenuhnya



Keterlibatan



Keterlibatan bukanlah perhatian utama.



Para pemangku kepentingan merupakan kunci untuk memberikan



Semua pihak (mereka yang terluka mereka yang dirugikan dan masyarakat) disediakankesempatan



13



Kristian, Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Ditinjau Dari Teori Keadilan, Teori Kemanfaatan dan Teori Negara Hukum (Khususnya Negara Hukum Pancasila) Dalam Rangka Penyelesaian Perkara Pidana di Indonesia, Tesis, Universitas Katolik Parahyangan, 2014., hlm. 313. 14 Kristian, Christine Tanuwijaya, Jurnal PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN KONSEP KEADILAN RESTORATIF (RESTORATIVE JUSTICE) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DI INDONESIA, Jurnal Mimbar Justia Vol. I No. 02 Edisi Juli-Desember 2015



9



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



Keputusan yang dibuat oleh pihak yang tidak secara langsung terkena dampak. Tidak ada pilihan untuk dialog di antara mereka yang terkena dampak langsung.



Pertanggung jawababan



10



informasi sampai tingkat yang terbatas. Beberapa para pemangku kepentingan memiliki beberapa keputusan dan masukan akan tetapi, keputusan akhir dibuat atau disetujui oleh sistem formal. Dalam restoratif sebagian, terdapat kesempatan terbatas untuk dialog antara beberapa para pemangku kepentingan.



Fokus pada aturan atau hukum yang dilanggar dan konsekuensi atas perbuatannya (pertanggungjawaban pasif).



Perhatian utama adalah dengan membayar untuk bahaya dan kebutuhan tetapi fokus utama adalah aturan atau hukum yang dilanggar dan segala konsekuensi yang muncul.



2021



untuk berpartisipasi, membentuk proses dan membuat keputusan. Dalam hal ini terdapat peluang yang jelas untuk berdialog. Keputusan dibuat secara konsensus oleh mereka yang terkena dampak langsung. Dan keputusan harus dihormatidan dilaksanakan oleh semua pihak.



Fokus pada identifikasi mengakui dan menangani bahaya, kebutuhan dan penyebab yang muncul. Hal ini menciptakan peluang bagi pertanggungjawaban secara aktif.



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



Perbaikan



Memulihkan kerusakan atau kerugian yang dialami. Pertanggungjawa ban pasif dari pelaku biasanya berfokus tidak untuk memulihkan.



Beberapa upaya dilakukan untuk memulihkan sebagian kerugian yang sangat nyata. Sering kali, bahaya dan upaya untuk memulihkan diberikan kepada orang lain selain mereka yang secara langsung terkena dampak.



2021



Berfokus pada memulihkan luka fisik, emosional dan sosial dari semua pihak yang terkena dampak dan kebutuhan untuk sedapat mungkin menangani semua pihak yang terlibat.



Berdasarkan kriterium perkembangan konsep atau pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) diatas, apabila dikaitkan dengan pengimplementasian konsep atau pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) di Indonesia maka pengimplementasikan konsep atau pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) di 11



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Indonesia baru berada pada tahap “bisa menjadi restoratif” atau setidaknya pada tahap “restoratif sebagian”. D. Konsep Keadilan Restoratif Di Indonesia. Pelaksanaan konsep keadilan restoratif (restorative justice) di Indonesia bisa dimulai dari Mahkamah Agung (MA).Hal ini dikarenakan Mahkamah Agung (MA) merupakan lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dan sebagai puncak peradilan. Hal ini diatur secara tegas dalam gamblang dalam berbagai peraturan perundang-undangan misalnya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung. Dengan demikian, mengingat bahwa Mahkamah Agung (MA) merupakan lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dan sebagai puncak peradilan maka sudah seyogianya apabila Mahkamah Agung (MA) mengadopsi atau menganut dan menerapkan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice). Dalam hal ini, penulis menyoroti Mahkamah Agung (MA) karena Mahkamah Agung (MA) merupakan puncak sehingga apabila Mahkamah Agung (MA) mengadopsi atau menganut dan menerapkan konsep keadilan restoratif (restorative justice) maka peradilan yang ada dibawahnyapun akan mengadopsi, menganut dan menerapkan konsep keadilan restoratif (restorative justice). Dengan cara ini, diharapkan konsep keadilan restoratif (restorative justice) dapat diterapkan dalam seluruh sistem peradilan di Indonesia dari mulai Pengadilan NegeriPengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung itu sendiri. Selain itu, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan 12



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Kehakiman tepatnya pada Pasal 5 dengan tegas menyebutkan bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (the living law atau local wisdom). Dengan demikian, pada hakikatnya hakim harus atau wajib menerapkan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) dalam menyelesaikan perkara karena pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yakni Pancasila, sesuai dengan nilainilai hukum adat dan sesuai pula dengan nilai-nilai agama. Perlu pula dikemukakan bahwa konsep keadilan restoratif (restorative justice) tidak hanya dapat diterapkan kepada Mahkamah Agung (MA). Dalam proses peradilan pidana pada umumnya dan proses peradilan pidana di Indonesia pada khususnya, terdapat beberapa tahapan atau proses yang harus dilalui bagi para pencari keadilan baik di tingkat penyelidikan, penyidikan,penuntutan, pemeriksaan di pengadilan hingga tahap penjatuhan putusan hakim. 15 Bahkan pada tahapan dimana para pencari keadilan melakukan upaya hukum (baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa). Dengan demikian, penulis menilai bahwa sudah seyogianya pengadopsian dan penerapan konsep keadilan restoratif (restorative justice) dilakukan diberbagai tingkatan atau proses peradilan sebagaimana dikemukakan diatas. Berdasarkan penjelasan diatas, penulis juga menyimpulkan bahwa konsep atau pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) harus dilaksanakan secara terintegrasi.Hal ini menjadi penting mengingat apabila salah satu dari komponan tersebut tidak menerapkan konsep atau pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) maka putusan yang restoratif tidak mungkin dapat terlaksana. Misalnya, kepolisian dan kejaksaan telah menganut konsep keadilan restoratif namun hakim masih menganut pola pikir yang legistis, dalam kasus seperti ini hakim akan menjatuhkan putusan yang sangat normatif sehingga lembaga pemasyarakatanpun tidak bisa menerapkan konsep keadilan



13



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



restoratif. Oleh karenanya, pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) harus dilaksanakan secara terintegrasi antara komponen yang satu dengan komponen yang lainnya. Sebaliknya, apabila satu komponen tidak menjalankan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) maka pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) itu sendiri tidak akan terealisasi dengan baik. E. Mahkamah Agung Republik Indonesia Terbitkan Pedoman Pelaksanaan Keadilan Restotative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan pedoman pelaksanaan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penanganan dan penyelesaian perkara pidana di lingkungan peradilan umum di seluruh Indonesia untuk upaya pemulihan korban. menerbitkan pedoman pelaksanaan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penanganan dan penyelesaian perkara pidana di lingkungan peradilan umum di seluruh Indonesia untuk upaya pemulihan korban. Hal ini tercantum dalam Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum) MA Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). SK ini terdiri atas lima halaman dengan 15 lampiran yang ditandatangani oleh Dirjen Badilum Prim Haryadi di Jakarta pada 22 Desember 2020. SK ini diberlakukan dengan mempertimbangkan dua hal. Satu, untuk mendorong optimalisasi penerapan Peraturan MA, Surat Edaran MA, maupun Keputusan Ketua MA yang mengatur tentang pelaksanaan keadilan restoratif di pengadilan, maka perlu disusun pedoman tentang keadilan restoratif. Dua, perkembangan sistem pemidanaan bukan lagi bertumpu pada pelaku melainkan telah mengarah penyelarasan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban pelaku tindak 14



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



pidana. Dirjen Badilum MA Prim Haryadi menyatakan, ada empat diktum dalam SK Dirjen Badilum Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020. Pertama, memberlakukan pedoman pelaksanaan keadilan restoratif sebagaimana dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SK ini. Kedua, memerintahkan kepada seluruh hakim pengadilan negeri untuk melaksanakan untuk melaksanakan pedoman ini secara tertib dan bertanggung jawab. Ketiga, ketua pengadilan tinggi wajib melakukan pengawasan, monitoring, dan evaluasi serta melaporkan pelaksanaan keadilan restoratif di wilayah hukum pengadilan tinggi yang bersangkutan. "Keempat: Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan catatan apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini maka akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya," kata Prim seperti SINDOnews di Jakarta, Minggu (3/1/2020). Pada Lampiran Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif di Lingkungan Peradilan Umum, terbagi menjadi tiga BAB. Untuk BAB II, terdapat empat tindak pidana yang diatur untuk keadilan restoratif. Masing-masing yakni keadilan restoratif pada perkara tindak pidana ringan, pada perkara anak, pada perkara perempuan berhadapan dengan hukum, dan pada perkara narkotika. Pada masing-masing tindak pidana di antaranya mencantumkan dasar hukum dan penerapan yang dirinci sesuai dengan tindak pidana dimaksud. Sedangkan di BAB I Lampiran, tertera pengertian keadilan restoratif yakni alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku, dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan 15



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat. 16 Proses penegakan hukum melalui pendekatan keadilan restorative dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan Kejaksaan mengacu pada Perja No.15 Tahun 2020 , definisi keadilan Restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku,korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative dilaksanakan dengan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir , cepat sederhana dan biaya ringan. F. Kejaksaan Agung Republik Indonesia Keluarkan Perja No 15 Tahun 2020 Kebijakan Restorativ Justice Melalui Peraturan Jaksa Agung (Perja) No.15 Tahun 2020 yang diundangkan pada tanggal 22 Juli 2021 diharapkan mampu menyelesaikan perkara tindak pidana ringan (Tipiring)selesai tanpa ke meja hijau. Sejak dikeluarkannya Perja itu, sudah 300 perkara telah dihentikan Jaksa diseluruh tanah air, Dikeluarkannya Perja ini untuk merestorasi kondisi ke semula sebelum terjadi “kerusakan” yang ditimbulkan oleh perilaku seseorang (tersangka). Syarat –syarat bagi orang yang “berhak” menerima Restorative Justice adalah : 1. Tindak Pidana yang baru pertama kali dilakukan 2. Kerugian di bawah Rp 2,5 juta 3. Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban Perja ini juga mencoba untuk meminimalisir over capacity Lapas yang menjadi momok bagi Lapas di Indonesia. Selain itu, muatan Perja ini 16



https://nasional.sindonews.com/read/288400/13/ma-terbitkan-pedomanpenerapan-keadilan-restoratif-dalam-perkara-pidana-1609639270



16



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



juga terkandung untuk meminimalisir penyimpangan kekuasaan penuntutan serta memulihkan kondisi sosial secara langsung di masyarakat. Ini juga menjadi salah satu kebijakan dalam menjawab keresahan publik tentang hukum tajam ke bawah, namun tumpul ke atas yang selama ini seolah menjadi kelaziman. Peraturan ini adalah salah satu inovasi dari Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk memberikan kepastian hukum bagi kalangan masyarakat biasa. Policy ini digaungkan ST Burhanuddin di level internasional. Dalam acara bertema “Integrated Approaches to Challenges Facing the Criminal Justice System”. Burhanuddin menyampaikan metode restorative justice dalam peradilan pidana Indonesia merupakan pendekatan terintegrasi dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga penjatuhan putusan pengadilan. Burhanuddin menyebut restorative justice dapat mempersingkat proses peradilan yang berkepanjangan serta menyelesaikan isu kelebihan kapasitas narapidana di lembaga pemasyarakatan . Melihat capaian tersebut, pilar reformasi di tubuh Kejaksaan Agung kembali berdiri. Namun demikian, dibutuhkan peran serta masyarakat untuk mengawal kembalinya marwah kejaksaan. Diakhir Artikel ini saya ingin mengutip kembali pesan Jaksa Agung yang mengatakan “Saya tidak mengkhendaki kalian melakukan penuntutan asal-asalan tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan itu tidak ada dalam KUHP ataupun KUHAP melainkan ada dalam hati nurani kalian. Camkan itu!.” Itulah instruksi tegas Jaksa Agung RI S.T. Burhanuddin kepada segenap jajaran dan anak buahnya untuk dipedomani dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang penuntutannya. Bahwa dalam menjalankan kewenangan penegakan hukum kita tidak boleh terjebak dalam terali kepastian hukum dan keadilan prosedural semata sehingga mengabaikan keadilan substansial yang sejatinya menjadi tujuan utama dari hukum itu sendiri, padahal perlu diingat bahwa



17



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Equm et bonum est lex legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum). 17 Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan institusinya selama Tahun 2020 telah menghentikan penuntutan sebanyak 222 perkara dengan berdasarkan prinsip keadilan restoratif. Sampai tanggal 31 Desember 2020 telah dilakukan penghentian penuntutan sebanyak 222 perkara berdasarkan keadilan restoratif," kata ST Burhanuddin dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (26/1/2021) seperti dikutip Antara. Dia menjelaskan proses penegakan hukum melalui pendekatan keadilan restoratif selalu memperhatikan aspek transparansi dan akuntabel. Menurut dia, pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan Kejaksaan berdasarkan Peraturan Jaksa Agung (Perja) No. 15 Tahun 2020 tentang Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. "Kejaksaan telah melakukan pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara tindak pidana sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 tahun 2020. Raker tersebut diagendakan membahas evaluasi Kinerja Kejaksaan Tahun 2020 dan Rencana Kerja Kejaksaan Tahun 2021 serta target dan capaian. Raker itu juga akan membahas terkait penanganan kasus-kasus yang menarik perhatian publik dan strategi peningkatan kualitas SDM. Merujuk Perja No. 15 Tahun 2020, definisi keadilan restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan asas: keadilan; kepentingan umum; proporsionalitas; pidana sebagai jalan terakhir; dan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Selain itu, penuntut umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum bila memenuhi syarat: 17



https://www.kejaksaan.go.id/berita.php?idu=22&id=17967



18



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



terdakwa meninggal dunia; kedaluwarsa penuntutan pidana; telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem); pengaduan tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali; atau telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process). Penyelesaian perkara di luar pengadilan dilakukan untuk tindak pidana tertentu; maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan peraturan; telah ada pemulihan kembali keadaan semula menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan pendekatan keadilan restoratif inilah yang bisa menghentikan penuntutan. Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan oleh Penuntut Umum secara bertanggung jawab dan diajukan secara berjenjang kepada Kepala Kejaksaan Tinggi. 18 Penyelesaian perkara pidana melalui keadilan restoratif pada tahap penyidikandiatur dalam Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif. Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, yang mengatur bahwa penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif sebelum Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dikirimkan ke Jaksa Penuntut Umum dan penerapannya terhadap semua tindak pidana yang tidak menimbulkan korban manusia sehingga menimbulkan masalah dalam penerapannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas berat terdiri dari faktor penegak hukum yaitu pengetahuan dan pemahaman Penyidik terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, faktor substansi hukum yakni substansi Surat Edaran Kapolri yang mengatur tentang syarat materiil yang tidak mengakomodir penyelesaian perkara dengan korban manusia dan syarat formiil tentang jangka waktu dalam penerapan keadilan restoratif hanya terhadap tindak pidana pada tahap 18



https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt601056e7ece43/kejaksaan-hentikan222-perkara-lewat-keadilan-restoratif/



19



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



penyidikan sebelum dikirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, dan faktor budaya hukum masyarakat berkaitan dengan nilainilai, sikap dan perilaku dalam kehidupan masyarakat sehingga mempengaruhi pengambilan keputusan untuk menyelesaiakan perkara kecelakaan lalu lintas yang dialaminya melalui keadilan restoratif. G. Proses Penyelelidikan dan Penyidikan Polri Ketentuan tentang penyidikan diatur dalam Bab XIV KUHAP, terdiri dari dua bagian, yaitu penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan diatur dalam Pasal 102 sampai dengan pasal 105 dan Penyidikan diatur dalam Pasal 106 sampai dengan Pasal 136. Jika dikaitkan dengan ketentuan KUHAP yang mengatur tentang kewenangan dan tindakan penyelidik serta kewenangan penyidik, “serangkaian tindakan penyelidik dan penyidik” sebagaimana pengertian penyelidikan dan penyidikan tidak hanya tercantum dalam Bab XIV KUHAP saja, melainkan juga tercantum dalam bab dan pasal-pasal lain di dalam KUHAP. Wewenang, kewajiban penyidik dan ruang lingkup penyidikan, juga harus dilihat dari bab dan pasalpasal lain dalam KUHAP. Polri kemudian berupaya untuk mengatur bab dan bagian yang tercecer dalam KUHAP tersebut agar menjadi lebih sistematis sebagaimana yang tertuang dalam Perkap 14/2012 tentang Manajemen Penyidikan dan tertuang dalam Perkabareskrim 3/2014 tentang SOP Penyidikan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, secara garis besar dapat dikemukakan bahwa proses penyidikan dimulai setelah adanya laporan atau temuan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Laporan atau temuan ini ditindaklanjuti dengan penyelidikan, apakah ada tindak pidana atau tidak dalam peristiwa tersebut. Penyelidikan dihentikan jika tidak ada dugaan tindak pidana dalam peristiwa tersebut, demikian juga sebaliknya, penyelidikan dilanjutkan ke tahap penyidikan jika ada dugaan tindak pidana dalam peristiwa tersebut. Jika polri telah melakukan 20



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



penyidikan, hal itu wajib diberitahukan kepada penuntut umum (kejaksaan/JPU). Dalam proses penyidikan, penyidik mempunyai wewenang untuk melakukan pemanggilan saksi, ahli dan tersangka, melakukan pemeriksaan saksi, ahli dan tersangka, melakukan penangkapan dan penahanan tersangka, melakukan penggeledahan badan dan penggeledahan rumah/bangunan, serta melakukan penyitaan barang bukti. Penyidik melakukan kegiatan tersebut dalam rangka mengumpulkan bukti yang nantinya akan dipakai sebagai bahan pembuktian di pengadilan. Apabila proses penyidikan sudah dianggap cukup, penyidik melimpahkan berkas perkaranya kepada JPU (Tahap I). Tersangka



dan barang bukti wajib diserahkan oleh penyidik kepada JPU jika berkas perkara telah dinyatakan lengkap (Tahap II). Ketika penyidik telah melakukan Tahap II, terjadi perpindahan kewenangan dan tanggung jawab dari penyidik kepada JPU. Penyidikan dihentikan apabila ternyata perkara tersebut tidak cukup bukti, bukan perkara pidana dan dihentikan demi hukum. Penghentian penyidikan dengan alasan demi hukum dilakukan karena tersangka meninggal dunia, pengaduan dicabut (khusus delik aduan), nebis in idem dan kadaluarsa. Penyidik wajib memberitahukan penghentian penyidikan ini kepada JPU, tersangka atau keluarganya. Dalam kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system), proses yang dilakukan oleh polri tersebut merupakan proses atau tahapan sebelum persidangan (pre-trial processes). Proses ini dimulai dari suatu input, yang kemudian input tersebut diproses (process), lalu menghasilkan suatu output. Input suatu perkara ini dimulai dari laporan yang masuk kepada polri dan atau perkara yang ditemukan sendiri oleh polri. Proses yang dilakukan oleh polri akan menghasilkan output, apakah akan diselesaikan di kepolisian atau diajukan kepada JPU untuk diajukan ke persidangan. Jika perkara diajukan kepada JPU, output dari polri ini akan menjadi input bagi JPU. Demikian seterusnya, 21



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



process dalam sistem peradilan pidana masih terus berlanjut, sampai ada suatu putusan inkracht dan sampai terpidana selesai menjalani hukumannya serta kembali ke masyarakat. Proses yang cenderung mengedepankan sistem hukum formal tersebut telah melahirkan beberapa perkara yang telah mencederai rasa keadilan masyarakat, di antaranya adalah kasus Nenek Minah yang terbukti mencuri tiga buah kakao di Banyumas tahun 2009 19 kasus pencurian piring yang dilakukan oleh Nenek Rasmiah di Tangerang tahun 2010 20 kasus pencurian sandal yang dilakukan oleh AAL (15 tahun) seorang pelajar SMK 3 Palu, Sulawesi Tengah tahun 2011 21 kasus pencurian kayu milik Perhutani yang dilakukan oleh Nenek Asyani di Situbondo tahun 20154, kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Muhammad Azwar Alias Raju (8 tahun) terhadap korban Armansyah (15 tahun) di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara tahun 20065 dan kasus peradilan Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang menceritakan pengalaman setelah ia mendapatkan pelayanan buruk dari Rumah Sakit OMNI Internasional melalui email ke media online dan tersebar di berbagai mailing list yang kemudian diproses dengan Pasal 310 KUHP.6 Dalam skala besar, formalitas penanganan perkara juga masih menyisakan konflik-konflik yang terjadi di masyarakat, di antaranya konflik yang berlatar belakang ekonomi, konflik yang berlatar belakang sosial budaya dan konflik yang berlatar belakang SARA. Konflik yang berlatar belakang ekonomi, misalnya konflik antara perusahaan pertambangan dan perkebunan dengan masyarakat 19



Detiknews. Menkumham: Kasus Nenek Minah Memalukan. Tersedia di http://m.detik.com/news/berita/1245643/menkum-ham-kasus-nenek-minahmemalukan. (Diakses tanggal 7 Juli 2019). 20 Tempo.co. Mencuri Piring, Nenek Rasmiah Dihukum 4 Bulan. Tersedia di http://metro.tempo.co/read/news/2012/01/31/064380693/mencuri-piring-nenekrasmiah-dihukum-4-bulan. (Diakses tanggal 7 Juli 2019). 21 Kompas.com. Kejamnya Keadilan “Sandal Jepit”.... Tersedia di http://nasional.kompas.com/read/2012/01/06/09445281/Kejamnya.Keadilan.Sandal. Jepit. (Diakses tanggal 7 Juli 2019)



22



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



lokal di Mesuji Lampung dan Palembang serta konflik antara karyawan dengan PT Freeport di Sape Bima NTB. Konflik yang berlatar belakang sosial budaya dan SARA misalnya benturan kebudayaan antara Dayak dengan Bugis dan Madura di Kalimantan, perkelahian antara warga Lampung dengan warga keturunan Bali, perkelahian antar warga di Sultra, perang suku di Papua, kasus Ahmadiyah



dan



Cikesik,



serta



konflik-konflik



yang



lain.22



penanganan perkara-perkara tersebut di atas merupakan konsekuensi dari penerapan asas legalitas, yang telah menjadikan hukum pidana memiliki karakteristrik yang khas, yaitu terkait dengan sanksi, sehingga hukum pidana memiliki sifat yang keras dan kejam.8 Orientasi sistem peradilan pidana terfokus pada tindak pidana (crime, straafbaarfeit) dan pelaku tindak pidana (criminal, dader).9 Mindset dari masing-masing komponen sistem peradilan pidana cenderung berpatokan pada aturan formal atau bersifat positivistik tanpa mau mempedulikan kemanfaatan dan rasa keadilan yang merupakan roh dari penegakan hukum pidana. Proses peradilan pidana lebih mencerminkan keadilan antara kepentingan negara melawan kepentingan pelaku. Dengan alasan legalitas, masing-masing komponen sistem peradilan pidana tidak mau mengambil resiko, sehingga penanganan perkara tersebut telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Budiman Tanuredja, sebagaimana dikutip oleh Syamsul Fatoni bahkan menggambarkan betapa manusia yang lemah berhadapan dengan praktek penegakan hukum yang sekadar mencari kebenaran formal, bukan kebenaran substansial, dimana penegak hukum sangat fasih berbicara soal pasal dan punya sifat memanfaatkan mereka yang lemah.23 Masing-masing komponen 22



Bonnie, R., Syahrin, A., Marlina & Leviza, J. (2016). Peran Polri dalam Mengimplementasikan Restorative Justice pada Penanganan Perkara Pidana (Studi di Polres Binjai). USU Law Journal, 4(4), 70-85, h. 70. 23 Fatoni, S. (2016). Pembaharuan Sistem Pemidanaan, Perspektif Teoriti dan Pragmatis untuk Keadilan. Malang: Setara Press, hlm ; 2.



23



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



sistem peradilan pidana mengutamakan pencapaian target kerja sesuai dengan bidangnya, tanpa memiliki tujuan yang sama dan cenderung menunjukkan kinerja sistem yang tidak utuh. Sifat positivistik dari penanganan perkara tersebut masih menyisakan masalah yang terjadi di dalam masyarakat. Inti dari penyebab permasalahan/konflik yang timbul tidak pernah selesai dengan tuntas. Sifat positivistik dari penanganan perkara tersebut juga mengakibatkan semua perkara bermuara pada pengadilan. Pidana pencabutan kemerdekaan (penjara/kurungan) adalah salah satu jenis sanksi pidana yang populer. Penerapan sanksi penjara ini pada akhirnya menyebabkan lembaga pemasyarakatan (lapas) menjadi kelebihan kapasitas (over capacitiy). Gerald Leinwald mengemukakan bahwa dengan seriusnya over kapasitas sebagian besar penjara (prisons) dan tempat penahanan (jail), pembinaan (correction) tidak lagi menjadi perhatian utama, tetapi lebih fokus pada pengamanan (security) dan keteraturan (order) sehingga membuat tiap program rehabilitasi menjadi gagal. Over capacitiy lapas ini mengakibatkan berbagai persoalan, di antaranya kerusuhan, keributan, perkelahian dan sampai pada penyalahgunaan narkotika di kalangan narapidana.11 A. Josias Simon mengemukakan bahwa makin besar jumlah narapidana dalam lapas akan berperan meningkatkan pelanggaran-pelanggaran aturan dan penyimpangan terhukum.24



Kejenuhan yang terjadi dalam konteks teori dan praktek sistem peradilan pidana yang telah gagal menghadirkan rasa keadilan, telah mendorong para ahli untuk mencari alternatif lain, dimana keseimbangan kepentingan antara korban dan pelaku tindak pidana diberikan perhatian yang lebih besar. Korban dilibatkan secara langsung untuk menentukan bentuk-bentuk penyelesaian yang sesuai 24



Artha, I. G. & Wiryawan, I. W. (2015). Pengendalian Peredaran Gelap Narkotika oleh Narapidana dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Jurnal), 4(3), 588-602. DOI: https://doi.org/10.24843/JMHU.2015.v04.i03, h. 595.



24



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



dengan kebutuhan asasinya. Konsep ini disebut dengan peradilan restoratif (restorative justice). Restorative justice memandang bahwa kejahatan tidak semata sebagai pelanggaran terhadap negara, melainkan menempatkan sebuah kejahatan sebagai suatu gejala yang menjadi bagian dari tindakan sosial.25 Fokus penyelesaiannya tidak diarahkan untuk menghukum pelaku kejahatan, melainkan pada pulihnya hubungan-hubungan sosial dan keadilan masyarakat yang rusak akibat kejahatan. John Braithwaite, salah seorang tokoh terdepan dalam membela ide-ide restoratif, mengemukakan bahwa restorative justice sebagai arah baru antara justice dan welfare model serta antara retribution dan rehabilition.26 Secara sederhana, restorative justice merupakan alternatif dalam sistem peradilan pidana dengan mengedepankan pendekatan integral antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.27 Terkait dengan penyidikan, tidak ada satu pun ketentuan yang secara tersurat mengatur pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan tindak pidana di tingkat penyidikan. KUHAP sebagai induk hukum pidana formil dan KUHP sebagai induk hukum pidana materiil, serta UU 2/2002 tentang Polri, Perkap 14/2012 tentang Manajemen Penyidikan dan Perkabareskrim 3/2014 tentang SOP Penyidikan mengatur bahwa hanya terdapat salah satu dari dua bentuk penyelesaian perkara (output) atas penyidikan yang dilakukan oleh polri, yaitu perkara tersebut dilimpahkan kepada JPU yang kemudian menjadi input bagi JPU, atau penanganan 25



Danielt, R. T. (2014). Penerapan Restorative Justice terhadap Tindak Pidana Anak Pencurian oleh Anak di Bawah Umur. Lex et Societatis, 2(6), 16-26, hlm; 16. 26 Candra, S. (2013). Restorative Justice: Suatu Tinjauan terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Jurnal Rechtsvinding, 2(2), 263-277, h. 268. 27 Prayitno, K. P. (2012). Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum in Concreto. Jurnal Dinamika Hukum, 12(3), 407-420. DOI: http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2012.12.3.116, h. 409.



25



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



(penyidikan) perkara tersebut dihentikan. Pendekatan restorative justice tidak diatur sebagai salah satu alasan penghentian penyidikan. Di sisi lain, masyarakat berkembang begitu cepat, lebih cepat dari perkembangan perkembangan hukum itu sendiri. Dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, polri selalu dipengaruhi oleh faktor perubahan sosial. Polri merupakan wajah penegakan hukum seharihari karena kinerja polri selalu berada di ruang publik. Kinerja polri selalu menjadi sorotan publik. Masyarakat mengharapkan polri senantiasa mampu menghadirkan keadilan sejak penegakan hukum itu baru dimulai.



Kondisi yang demikian mengakibatkan polri terkesan ragu-ragu untuk menerapkan pendekatan restorative justice dalam penyidikan yang dilakukannya. Limitasi yang ketat mengenai bagaimana penyelidikan dan penyidikan tersebut dilakukan telah membayangi penyidik polri untuk cenderung bermain aman dengan tetap melakukan proses sesuai dengan hukum acara. Kecenderungan bermain aman ini dilakukan karena fungsi pengawasan (Propam) juga menterjemahkan ketentuan penyidikan secara tekstual. Tindakantindakan yang tidak diatur dalam ketentuan manajemen penyidikan tindak pidana tidak bisa diterima oleh Propam. Berdasarkan uraian di atas, sangatlah relevan untuk dilakukan penelitian tentang pendekatan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana di tingkat penyidikan. Permasalahan yang akan dibahas adalah penyelesaian tindak pidana dengan pendekatan restorative justice di tingkat penyidikan pada saat ini dan kebijakan hukum pidana dalam pengaturan pendekatan restorative justice di tingkat penyidikan pada masa yang akan datang. Pembahasan di tingkat penyidikan ini penting dilakukan karena proses penyelidikan dan penyidikan ini merupakan pintu masuk penanganan perkara dalam kerangka sistem peradilan pidana, sehingga sebisa mungkin keadilan bisa dirasakan oleh masyarakat sejak penanganan perkara pidana baru dimulai. Tujuan penulisan ini adalah upaya penulis untuk pengembangan ilmu hukum 26



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



terkait dengan paradigma science is a process guna mendapatkan gambaran secara lengkap mengenai penyelesaian tindak pidana dengan pendekatan restorative justice di tingkat penyidikan pada saat ini dan kebijakan hukum pidana dalam pengaturan pendekatan restorative justice di tingkat penyidikan pada masa yang akan datang, yang hasilnya diharapkan dapat memberi sumbangan positif dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi penyidik, sehingga tidak ada keragu-raguan untuk melakukan proses penyidikan dengan pendekatan restorative justice, guna memberikan rasa keadilan masyarakat. H. Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana di Tingkat Penyidikan pada Saat Ini Restorative justice sebagai model pendekatan dalam upaya penyelesaian suatu perkara pidana muncul pada era tahun 1960-an. Pada pertengahan tahun 1970, asas-asas tentang restorative justice dengan segala bentuk partisipasinya seperti rekonsiliasi korban dan pelaku kejahatan telah diterapkan oleh kelompok kecil aktivis, personil sistem peradilan pidana dan beberapa ahli di Amerika Utara dan Eropa. Mereka masih melakukan gerakan secara tersebar. Secara keseluruhan mereka belum menampakkan dirinya sebagai gerakan reformasi yang terorganisir. Pada saat itu mereka tidak berfikir bahwa usaha mereka pada akhirnya akan berpengaruh secara luas dengan dampak internasional. Pada tahun 1974, terjadi gerakan penerapan restorative justice di Kanada yang pada awalnya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam mengukum pelaku kriminal anak. Gerakan ini ditandai dengan hadirnya Victim Offender Reconciliation Program (VORP). Program ini menghasilkan tingkat kepuasan yang tinggi bagi korban dan pelaku, sehingga dalam perkembangannya menghasilkan program-program restorative justice eksperimental di Amerika Utara maupun di Eropa, misalnya VORP Amerika Serikat dan Inggris pada 27



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



tahun 1978. New Zealand adalah negara pertama di dunia yang menerapkan restorative justice yang pada awalnya diterapkan terhadap kejahatan, disiplin dalam sekolah dan konflik antara warga dengan pemerintah yang kemudian berkembang pada peradilan umum yang dilaksanakan dengan Family Group Conference (FGC). Pada perkembangan selanjutnya, restorative justice juga diterapkan pada kejahatan-kejahatan yang berat. Irlandia Utara menerapkan restorative justice pada alternatif penyelesaian tindak pidana kekerasan. Eropa Timur menerapkan restorative justice dalam rangka reformasi pengadilan. Penerapan restorative justice di Afrika nampak dari revitalisasi praktek-praktek pribumi asli, peningkatan sanksi kerja sosial, dan respon nasional terhadap perang saudara dan genosida. Timur Tengah menerapkan restorative justice berawal dari proses penyelesaian konflik tradisional. Kawasan Asia lainnya menerapkan restorative justice terkait dengan peradilan anak, yang mengatur bahwa penyelesaian kasusnya dikecualikan dari proses peradilan. Mexico menerapkan restorative ustice setelah Amandemen Konstitusi Pasal 20, yang menegaskan bahwa hak-hak para korban diakui dan kebijakan pemidanaan ditinjau ulang. Harus diupayakan alternatif dari pemenjaraan dengan memperkenalkan mediasi korban dengan pelaku. Penjara hanya akan digunakan kepada narapidana yang menjalani hukuman yang berat saja. Belgia memperkenalkan lembaga mediasi mulai sejak tahun 1993, yang merupakan embrio dari proses restorative justice. Mediasi yang diawasi kejaksaan dan pengadilan tersebut ternyata berhasil sehingga pada akhirnya dimasukkan dalam Criminal Prosedure Code pada tahun 2005 yang mengatur bahwa tindak pidana yang ringan hingga terberat dapat diserahkan pada mediasi. Spanyol memperluas cakupan mediasi yang semula terbatas pada ganti kerugian sederhana diperluas dengan meningkatkan peranan korban dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Dalam undang-undang saat ini telah mengatur pelaku yang belum 28



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



dewasa bertemu dengan korban melalui mediasi, untuk menyampaikan rasa penyesalan dan untuk mendapatkan kepastian besarnya ganti rugi bagi korban. Sri Lanka menerapkan restorative justice melalui Undang-Undang Mediasi pada tahun 1988 yang berlaku terhadap perkara-perkara ringan, misalnya penghinaan ringan, ucapan-ucapan berupa penodaan ringan dan beberapa tindak pidana dalam KUHP (Penal Code) yang harus didamaikan lebih dahulu oleh Dewan Mediasi. Apabila gagal, perkara boleh diserahkan pada pengadilan disertai dengan surat keterangan “gagal didamaikan” dari Dewan Mediasi. Thailand menerapkan restorative justice berawal dari perintah undang-undang, yaitu perkara anak-anak dengan ancaman pidana penjara di bawah 5 tahun yang harus diserahkan kepada pertemuan keluarga atau Family Community Group Conferencing (FCGC), yang dikenal dengan istilah “Keadilan demi keserasian masyarakat” (justice for social harmony). Fenomena penerapan restorative justice tersebut juga berkembang luas ke seluruh Amerika Serikat, Afrika, Korea dan Rusia, termasuk Dewan Eropa, Uni Eropa dan PBB. Munculnya ide restorative justice ini sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan konflik social. Restorative justice merupakan alternatif dalam sistem peradilan pidana dengan mengedepankan pendekatan integral antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat. 28 Menurut Van Ness, Daniel W. dan Karen Heetderks Strong, penekanan dalam restorative justice terletak pada memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh perilaku kriminal, yang dilakukan dengan mempertemukan kedua belah pihak untuk memutuskan cara



28



Ibid



29



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



yang terbaik dalam menyelesaikan kasus yang ada. 29 Menurut John Braithwaite, tujuan utama restorative justice adalah perbaikan luka yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku dan konsiliasi serta rekonsiliasi di kalangan korban, pelaku dan masyarakat. Cara-cara seperti itu akan melahirkan perasaan malu dan pertanggungjawaban personal serta keluarga atas perbuatan salah mereka untuk diperbaiki secara memadai.18 Menurut Ivo Aertsen, isu-isu penting dalam penyelesaian perkara pidana telah dijawab oleh restorative justice, yaitu; pertama, diberikannya kesempatan bagi korban (criminal justice system that disempowers individu), dimana hal mpelementasi Keadilan Restoratif dan Pluralisme Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. itu tidak diakomodir oleh sistem peradilan pidana; kedua, konflik antara pelaku dengan korban dan masyarakat (taking away the conflict from them) telah dihilangkan; ketiga, mengatasi perasaan ketidakberdayaan yang dialami sebagai akibat dari tindak pidana.30 Pada prinsipnya, restorative justice dapat digunakan pada setiap tahap sistem peradilan pidana dan akan dapat terlaksana dengan baik, apabila memenuhi syarat-syarat yaitu; pertama, pelaku harus mengaku atau menyatakan bersalah; kedua, pihak korban harus setuju bahwa tindak pidana diselesaikan di luar sistem peradilan pidana; ketiga, kepolisian atau kejaksaan sebagai institusi yang memiliki kewenangan diskresioner harus menyetujui pelaksanaan restorative justice; dan keempat, pelaksanaan penyelesaian di luar sistem peradilan pidana harus didukung oleh komunitas setempat.20 Dalam konteks Indonesia, pola-pola pendekatan restorative justice untuk menyelesaikan perkara pidana telah dipraktekkan di berbagai 29



Nurwianti, A., Gunarto & Wahyuningsih, S. E. (2017). Implementasi Restoratif/Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas yang Dilakukan oleh anak di Polres Rembang. Jurnal Hukum Khaira Ummah, 12(4), 705-716, h. 709. 30 Ernis, Y. (2016). Diversi dan Keadilan Restorative dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak di Indonesia. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 10 (2), 163-174. DOI: http://dx.doi.org/10.30641/kebijakan.2016.V10.163-174, h. 165.



30



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



masyarakat tradisional (masyarakat adat) Indonesia. Masyarakat adat menempuh musyawarah untuk mencapai mufakat yang merupakan nilai terpenting dari restorative justice untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul. Konsep restorative justice sebenarnya telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian (volkgeist) dari masyarakat Indonesia. Akan tetapi, pada saat penjajahan Belanda, hukum adat Indonesia disubordinasikan dengan hukum Eropa (Belanda). Setelah Indonesia merdeka, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat (hukum adat) secara tersirat telah termuat dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, yaitu frase “melindungi segenap bangsa Indonesia” yang mengandung makna bahwa negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia, termasuk hukum adat yang merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian (volkgeist) dari masyarakat Indonesia yang telah ada, tumbuh dan berkembang sebelum terbentuknya Negara Indonesia. Pasca amandemen, negara mengakui tentang eksistensi hukum adat, sebagaimana diatur dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945. Kesadaran akan arti penting konsep restorative justice sebagai jiwa dan kepribadian (volkgeist) dari masyarakat Indonesia telah membuat pemerintah membuat terobosan-terobosan hukum, meskipun terobosan-terobosan hukum tersebut masih bersifat parsial. Hal ini dapat dilihat dengan pembentukan dan pemberlakuan Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1951 tentang TindakanTindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 1 ayat (3) UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 mengatur tentang masih diakuinya kekuasaan hakim-hakim perdamaian desa, sedangkan Pasal 5 ayat (3) huruf b mengatur tentang 31



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukum yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukum pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diakui oleh pihak yang terhukum, bilamana hukum adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas. Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman mengatur: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Pasal 103 huruf d UU Desa mengatur: “Penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah.” Dalam bidang hukum pidana, KUHP yang berlaku saat ini merupakan warisan dari kolonial Belanda, yang memberlakukan asas legalitas dengan sangat ketat, sehingga pola-pola penyelesaian perkara pidana dengan musyawarah mufakat tidak dikenal dalam hukum pidana Indonesia. Konsep restorative justice yang menawarkan mekanisme yang lebih mengedepankan konsep perdamaian, konsep mediasi penal dan konsep rekonsiliasi, yang mengutamakan penyelesaian perkara dengan melibatkan partisipasi langsung pelaku, korban, aparat penegak hukum dan masyarakat21 bertentangan dengan sistem peradilan pidana yang berlaku saat ini. Oleh karenanya, dalam praktek penegakan hukum di Indonesia terutama hukum pidana masih menyisakan berbagai persoalan. Kemauan dan tujuan yang baik dalam melakukan penegakan hukum, sering kali menimbulkan akibat-akibat 32



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



yang tidak diinginkan dalam pelaksanaannya, terutama terkait dengan rasa keadilan, sebagaimana contoh-contoh kasus di atas. Hal ini terjadi karena masalah penegakan hukum merupakan suatu masalah yang kompleks yang akan selalu menyisakan permasalahan lebih lanjut karena hal-hal tertentu. Bahkan menurut Bagir Manan, mengatakan bahwa penegakan hukum Indonesia “communis opinio doctorum” yang artinya bahwa tujuan yang diisyaratkan oleh undang-undang telah gagal dicapai dalam penegakan hukum. 31 Restorative justice dalam hukum pidana baru diatur dalam UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan UU 11/2012 tentang SPPA. KUHP sebagai general rule hukum pidana materiil dan KUHAP sebagai general rule hukum pidana formil belum mengatur tentang pendekatan restorative justice dalam penegakan hukum pidana, baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun peradilan. Dalam prakteknya masing-masing aparat penegak hukum melakukan kebijakan-kebijakan yang bersifat internal, termasuk yang dilakukan oleh polri. Untuk melaksanakan proses penyelidikan dan penyidikan yang menjadi kewenangannya, polri berpatokan pada KUHAP sebagai general rule hukum formil. Sesuai dengan KUHAP, terdapat salah satu dari dua bentuk penyelesaian proses yang dilakukan oleh polri, yaitu: Membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka (menjadi input bagi komponen sistem peradilan pidana selanjutnya/jaksa penuntut umum); atau Menghentikan penyidikan. Dengan demikian, apabila polri berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan terpenuhinya minimal dua alat bukti atas suatu tindak pidana yang diduga dilakukan oleh tersangka, polri harus melanjutkan perkara tersebut ke kejaksaan dan menjadi input bagi kejaksaan untuk proses selanjutnya sampai ke 31



Arief, H. & Ambarsari, N. (2018). Penerapan Prinsip Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Al-’Adl, 10(2), 173-190. DOI: http://dx.doi.org/10.31602/aa.v10i2.1362, h. 176.



33



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam hal demikian, tidak ada kewenangan polri untuk menghentikan penyidikan atas tindak pidana yang terjadi. Kewenangan polri untuk menghentikan penyidikan hanya karena berdasarkan alasan-alasan bukan tindak pidana; tidak cukup bukti; atau demi hukum. Polri tidak diberikan kewenangan untuk menghentikan perkara dengan alasan diselesaikan di luar pengadilan atau mengesampingkan perkara demi pertimbangan tertentu atau menyelesaikan perkara dengan pendekatan restorative justice. Kondisi yang demikian telah membuat pimpinan polri melakukan langkah-langkah kebijakan internal yang didasari atas kesadaran akan arti penting konsep restorative justice sebagai jiwa dan kepribadian (volkgeist) dari masyarakat Indonesia dan dalam rangka mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat. Pimpinan polri berkomitmen, tidak akan ada lagi kasus-kasus yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Sebagaimana pendapat Siswanto Sunarso, diperlukan sikap kepemimpinan aparat penegak hukum yang konsisten, memiliki komitmen dan selalu memiliki dorongan untuk memiliki sikap kompeten dalam penegakan hukum.23 Polri menyadari adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap proses peradilan pidana dan menghendaki agar tindakan pelanggaran hukum tertentu dapat diselesaikan dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan keluarga pelaku serta melibatkan tokoh masyarakat setempat dengan memperhatikan dan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Tantangan inilah yang dijawab oleh polri dengan menjadikan musyawarah mufakat (pendekatan restorative justice) sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana untuk menjawab ketidakpuasan masyarakat khususnya kepada polri. Sebagai ujung tombak penegakan hukum pidana, sekaligus sebagai “penegak hukum jalanan”, masyarakat merasakan adil atau tidak adil penegakan hukum tersebut diawali dari proses yang dilakukan oleh 34



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



polri. Oleh karenanya, sangat urgen bagi polri untuk menerapkan restorative justice dalam penyidikan perkara-perkara yang ditanganinya agar keadilan bisa dirasakan lebih awal yang pada akhirnya akan makin menumbuhkan kepercayaan dari masyarakat, sehingga lebih mudah mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Polri telah melakukan kebijakan-kebijakan internal guna mewujudkan keadilan lebih awal bagi masyarakat. Kebijakankebijakan tersebut berupa penerbitan beberapa surat, telegram, surat telegram dan peraturan kapolri, yaitu: Surat Kapolri No. Pol.: B/3022/XII/2009/Sde Ops, tanggal 4 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternative Dispute Resolution/ADR. Surat Telegram Kabareskrim Polri kepada Direktur Reskrimum, Direktur Reskrimsus dan Direktur Resnarkoba seluruh polda Nomor: ST/110/V/2011, tanggal 18 Mei 2011 tentang Alternatif Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan. Surat Telegram Rahasia Kabareskrim Polri kepada Direktur Reskrimum, Direktur Reskrimsus dan Direktur Resnarkoba seluruh polda Nomor: STR/583/VIII/2012, tanggal 18 Agustus 2012 tentang Penerapan Restorative Justice. Perkap 15/2013 tentang Tata Cara Penanganan Laka Lantas. Perkap 3/2015 tentang Pemolisian Masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya, sejak Kapolri dijabat oleh Jenderal Polisi Tito Karnavian, Kapolri memiliki program yang dikenal dengan Program PROMOTER, yang terdiri dari 11 (sebelas) Program Optimalisasi Aksi yang diaktualisasikan ke dalam 61 (enam puluh satu) Program Prioritas. Dalam salah satu Program Optimalisasi Aksi (Program IX; Penegakan Hukum yang Lebih Profesional dan Berkeadilan), terdapat salah satu Program Prioritas Menyelesaikan Perkara-Perkara yang Ringan Melalui Pendekatan Restorative Justice. Tindak lanjut dari Program Prioritas tersebut, Kapolri mengeluakan dua Surat Edaran (SE), yaitu: SE Kapolri No. SE/7/VII/2018, tanggal 27 Juli 2018 tentang Penghentian Penyelidikan. SE Kapolri No. 35



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



SE/8/VII/2018, tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana. I. Alternatif Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan Dalam Surat Kapolri No. Pol.: B/3022/XII/2009/Sde Ops yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Telegram Kabareskrim Nomor: ST/110/V/2011, diatur bahwa salah satu bentuk pola penyelesaian masalah sosial adalah melalui jalur alternatif, antara lain melalui upaya menyelesaikan perkara di luar pengadilan dengan menerapkan konsep Alternative Dispute Resolution (ADR), yang diterapkan dengan prinsip-prinsip: a. Mengutamakan musyawarah dan mufakat. b. Mengutamakan musyawarah dan mufakat. c. Menghargai kearifan lokal/budaya/adat, serta pranata sosial setempat. d. Melibatkan pranata sosial yang ada di masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, kepala desa, ketua RW, ketua RT, dan lain-lain. e. Mengutamakan penerapan strategi Polmas (Community Policing). f. Keputusan dalam penyelesaian perkara diserahkan kepada pihak yang berperkara (pelaku dan korban) dengan sanksi sosial/adat. g. Pelaku tindak pidana bertanggung jawab dan memperbaiki serta mengganti kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan/kesalahannya. h. Dalam penyelesaian tidak ada kepentingan/interest dari pihak lain seperti polri, tokoh masyarakat, dan sebagainya. i. Memperhatikan azaz ultimum remidium. Penyelesaian kasus dengan penerapan ADR dilakukan dengan syaratsyarat: 36



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



1. Tindak pidana yang diselesaikan adalah tindak pidana yang bersifat ringan atau tindak pidana yang merupakan delik aduan baik bersifat absolut/relatif. 2. Ada keinginan dari pihak-pihak yang berperkara (pelaku dan korban) untuk berdamai dan akibat dari permasalahan tersebut tidak menimbulkan dampak yang luas/negatif terhadap kehidupan masyarakat. 3. Harus dilaksanakan kegiatan yang bersifat rekonsiliasi dengan mempertemukan pihak yang berperkara serta melibatkan pranata sosial seperti tokoh-tokoh masyarakat setempat. 4. Dalam menyelesaikan perkara perlu memperhatikan faktor niat, usia, kondisi sosial ekonomi, tingkat kerugian yang ditimbulkan, hubungan keluarga/kekerabatan serta bukan merupakan perbuatan yang berulang (residivis). 5. Apabila perbuatan tersebut diawali dengan perjanjian/perikatan (mengarah ke perdata). 6. Pihak korban harus mencabut laporan/pengaduan. 7. Apabila terjadi ketidakpuasan para pihak yang berperkara setelah dilakukan di luar mekanisme pengadilan maka dilakukan penyelesaian sesuai prosedur hukum yang berlaku. 8. Apabila terjadi pengulangan tindak pidana yang dilakukan maka harus dilaksanakan proses hukum sesuai peraturan/hukum yang berlaku. Ketika penerapan ADR ini berhasil, polri akan mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan perkara dengan mensyaratkan pelapor dan terlapor membuat surat pernyataan perdamaian dan mensyaratkan pelapor untuk mencabut laporan yang telah dibuatnya. Polri kemudian membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Tambahan para pihak yang terlibat dalam perkara tersebut, dimana dalam BAP 37



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



tersebut, semua pihak mencabut semua keterangannya dan dengan pencabutan semua keterangan tersebut, polri melakukan pemeriksaan secara konfrontasi terhadap semua pihak yang terlibat dalam perkara tersebut. Selanjutnya penanganan terhadap perkara tersebut telah dihentikan. Kebijakan polri menerapkan ADR dalam hukum pidana tetap menimbulkan perdebatan, karena dari sisi dogmatik, kebijakan tersebut tidak berdasarkan atas hukum. Cara untuk menyelesaikan (menghentikan) perkara sudah diatur secara tegas dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Penyelesaian perkara dengan pendekatan ADR ini menyimpang dari ketentuan tersebut. Atas kondisi tersebut, dikeluarkan STR/583/VIII/2012, dengan pertimbangan bahwa penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan ADR tidak memiliki dasar hukum yang kuat. ADR baru dikenal dalam penyelesaian perkara-perkara perdata. STR tentang penerapan restorative justice ini didasari dengan mengacu pada kewenangan diskresi yang melekat pada polri. Mengacu pada hukum acara mengenai penghentian penyidikan, penerapan restorative justice masih menimbulkan perdebatan di internal polri, terutama terkait dengan alasan penghentian perkara. Sebagian berpendapat bahwa alasan penghentian perkara adalah demi hukum dan sebagian lagi berpendapat bahwa penghentian penyidikan dengan menerapkan pendekatan restorative justice adalah penghentian perkara dengan alasan tidak cukup bukti karena pelapor, korban dan saksi-saksi telah mencabut laporannya dan atau telah mencabut seluruh keterangannya, sehingga perkara tersebut menjadi tidak cukup bukti.



J. Perkap 15/2013 Tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas Perkap ini memberikan ruang kepada polri guna menyelesaikan kasus kecelakaan lalu lintas ringan. Ruang ini 38



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



sebagaimana tercantum dalam Pasal 63, yaitu apabila para pihak yang terlibat kecelakaan lalu lintas akan menyelesaikan perkaranya di luar sidang pengadilan, maka ada kewajiban penggantian kerugian dalam kesepakatan perdamaian yang dituangkan dalam surat pernyataan perdamaian. Jika terjadi perdamaian, perkara wajib di register dan diselesaikan dengan acara singkat serta pernyataan perdamaian disimpan sebagai arsip. Penyelesaian perkara seperti ini dapat dilakukan sebelum dibuat Laporan Polisi. Perkap 3/2015 tentang Pemolisian Masyarakat Polri memberlakukan Perkap 3/2015 ini sebagai pedoman bagi anggota polri dalam melaksanakan kegiatan Pemolisian Masyarakat (Polmas) atau Community Policing guna membangun kemitraan dan kerja sama dengan mengikutsertakan masyarakat untuk menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungannya demi terwujudnya kemitraan polri dan masyarakat yang didasarkan pada kesepakatan bersama untuk menangani masalah sosial yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat guna menciptakan rasa aman, tertib dan tenteram. Polmas merupakan bentuk pelibatan masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban sekaligus mencari solusi atas permasalahan yang timbul di masyarakat. Fungsi Polmas di antaranya adalah mengajak masyarakat melalui kemitraan dalam rangka pemeliharaan kamtibmas dan membantu masyarakat mengatasi masalah sosial di lingkungannya dalam rangka mencegah terjadinya gangguan kamtibmas. Strategi yang dilaksanakan oleh Polmas adalah melalui kerja sama dengan masyarakat atau komunitas dan pemecahan masalah. Tugas dari pengemban Polmas di antaranya adalah melaksanakan pembinaan masyarakat, deteksi dini, negosiasi/mediasi, identifikasi, dan mendokumentasi data komunitas di tempat penugasannya yang berkaitan dengan kondisi kamtibmas dan melaksanakan konsultasi dan diskusi dengan masyarakat atau komunitas di tempat penugasannya tentang pemecahan masalah kamtibmas. Dalam menjalankan 39



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



tugasnya, pengemban Polmas diberikan wewenang di antaranya membantu menyelesaikan perselisihan warga atau komunitas dan bertindak menurut penilaiannya sendiri dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi polri. Melihat ketentuan-ketentuan mengenai fungsi, tugas dan kewenangan Polmas tersebut di atas, tidak ada satu pun ketentuan yang secara tegas mengatur bahwa petugas Polmas diberikan kewenangan untuk dapat menyelesaikan perkara-perkara yang timbul di masyarakat (terutama perkara-perkara yang ada unsur pidananya). Akan tetapi, jika melihat frase “menyelesaikan perselisihan warga; pemeliharaan kamtibmas; membantu masyarakat mengatasi masalah sosial; dan frase pemecahan masalah” yang kemudian dikaitkan dengan ketentuan Pasal 33 Perkap 3/2015 yang mengatur bahwa salah satu wewenang Forum Kemitraan Polri dan Masyarakat (FKPM) adalah turut serta menyelesaikan perkara ringan atau perselisihan antar warga yang dilakukan oleh petugas Polmas, secara tersirat telah menunjukkan bahwa petugas Polmas sebenarnya diberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang timbul di masyarakat (termasuk perkara-perkara yang ada unsur pidananya). Penyelesaian perkara dilakukan dalam rangka “menyelesaikan perselisihan warga, pemeliharaan kamtibmas, membantu masyarakat mengatasi masalah sosial, atau pemecahan masalah.” Penyelesaian perkara dilakukan sebelum perkara tersebut dilaporkan dalam bentuk Laporan Polisi. Mekanisme musyawarah dengan memanfaatkan Polmas merupakan upaya pencegahan gangguan kamtibmas yang lebih mengutamakan proses identifikasi akar permasalahan, menganalisis, menetapkan prioritas tindakan, melakukan evaluasi dan evaluasi ulang atas efektivitas tindakan bersama masyarakat, bukan mencakup permasalahan sesaat. Jika permasalahan yang timbul dapat diselesaikan dengan mekanisme musyawarah mufakat, maka perkara tersebut selesai dan 40



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



merupakan win-win solution bagi semua pihak, termasuk masyarakat dalam kaitan keamanan dan ketertiban masyarakat. SE 7/2018 tentang Penghentian Penyelidikan dan SE 8/2018 tentang Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana Kedua SE Kapolri tersebut diterbitkan dalam rangka memberikan kepastian hukum atas proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan, terutama proses yang diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Hal ini terlihat dalam salah satu pertimbangan penerbitan SE Kapolri tersebut, yaitu dalam rangka menjawab perkembangan kebutuhan hukum masyarakat serta memenuhi rasa keadilan semua pihak, polri selaku institusi yang diberikan kewenangan selaku penyelidik dan penyidik serta koordinator dan pengawas penyidikan tindak pidana, merasa perlu untuk merumuskan konsep baru dalam sistem penegakan hukum pidana yang mampu mengakomodir nilai-nilai keadilan dalam masyarakat sekaligus memberikan kepastian hukum, terutama kepastian proses. Syarat dan mekanisme penyelesaian perkara diatur dengan sangat ketat. Perkaraperkara tersebut tidak menimbulkan keresahan dan tidak ada penolakan masyarakat serta tidak berdampak konflik sosial dan tidak menimbulkan korban manusia, dimana tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat dan pelaku bukan resedivis. Dalam hal penanganan perkara telah sampai pada tahap penyelidikan, penyelesaian perkara hanya dapat dilakukan sebelum pengiriman SPDP. Berdasarkan syarat dan mekanisme di atas, penyelesaian perkara di tingkat penyelidikan tidak akan mengalami banyak kendala dalam implementasinya, karena dalam proses tersebut belum melibatkan instansi/lembaga lain dalam kerangka sistem peradilan pidana, kecuali penasehat hukum. Dalam hal penanganan perkara telah sampai pada tahap penyidikan, alasan penghentian penyidikan akan sulit diterima oleh komponen sistem peradilan pidana yang lain karena sesuai dengan SE tersebut, penghentian penyidikan dilakukan dengan alasan karena diselesaikan 41



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



dengan keadilan restoratif (restorative justice). Ketika alasan penghentian penyidikan dengan alasan “diselesaikan dengan pendekatan restorative justice” belum diakomodir oleh KUHAP, polri mengambil kesempatan penyelesaian perkara (penghentian penyidikan) dengan alasan diselesaikan dengan pendekatan restorative justice sebelum dilakukan pengiriman SPDP kepada penuntut umum, yang artinya polri hanya memiliki waktu kurang dari tujuh hari untuk melakukan hal tersebut. Melihat ketatnya syarat dan mekanisme penghentian penyidikan dengan alasan “diselesaikan dengan pendekatan restorative justice” sebagaimana diatur dalam SE Kapolri, maka pada tahap implementasinya akan cukup sulit untuk diterapkan. Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa kebijakan polri tersebut di atas merupakan rangkaian dan dinamika upaya polri untuk mewujudkan hukum yang lebih berkeadilan. Ditinjau dan dianalisis dari sisi Teori Harmonisasi Hukum, kebijakan tersebut dilakukan dengan mencari keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan dan keseimbangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Upaya atau proses ini untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum di dalam peraturan perundangundangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka hukum nasional. 32 Ditinjau dan dianalisis dari Konsep Tujuan Hukum Gustav Radbruch, kebijakan polri tersebut juga merupakan suatu upaya untuk membuat skala prioritas jika terjadi ketegangan di antara tiga nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Radbruch berpendapat bahwa tiga aspek hukum tersebut disusun dalam urutan struktural, yang dimulai dari keadilan, kepastian dan diakhiri dengan 32



Budoyo, S. (2014). Konsep Langkah Sistematik Harmonisasi Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Ilmiah CIVIS, 4(2), 607-622, h. 607.



42



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



finalitas. Keadilan harus dipahami sebagai sesuatu yang prinsip dalam hukum, bahkan merupakan jantungnya hukum. Ketika hukum belum dapat memberikan kepastian karena adanya kekosongan norma, guna mewujudkan ketertiban, polri harus mengutamakan keadilan dan kemanfaatan, kemudian membuat kebijakan yang mencerminkan “kepastian yang berkeadilan” dan “manfaat yang berkeadilan” yang pada ujungnya akan mampu mewujudkan ketertiban. M. Ali Zaidan berpendapat bahwa kepastian hukum harus diterjemahkan dengan keteraturan dan dipergunakan untuk kebaikan bersama, tetapi tetap menjadikan keadilan sebagai tujuan akhir dari hukum. Keteraturan merupakan prinsip dasar dalam hukum, kemaslahatan (kebaikan bersama) merupakan dimensi sosial norma hukum, di atas segalanya, keadilan (justice) merupakan tujuan akhir dari semua langkah penegakan hukum.25 Karena sifat KUHAP yang sangat positivistik, polri harus memilih salah satu di antara “hukum” atau “ketertiban”. Berdasarkan kewenangan diskresi yang dimilikinya, polri lebih mengutamakan pilihan pada “ketertiban” dan mengabaikan “hukum”. Atas pertimbangan ketertiban, polri lebih mengedepankan aspek keadilan dan manfaat dengan memahami hukum dalam konteks yang lebih luas dan mengesampingkan kepastian hukum. Teori Harmonisasi Hukum dan Konsep Tujuan Hukum Gustav Radbruch tersebut berkorelasi dengan kewenangan diskresi yang dimiliki oleh polri. Menurut Andi Hamzah, dalam melakukan praktek penegakan hukum, polisi senantiasa dihadapkan pada dua pilihan, yaitu penegakan hukum sebagaimana hukum acara yang diatur dalam KUHAP, atau tindakan yang menekankan pada moral pribadi dan kewajiban hukum untuk diberikannya perlindungan hukum kepada masyarakat (diskresi).33 Dalam menerapkan diskresi, polri tidak dapat menghindari adanya pertentangan dan pengabaian di antara peraturan 33



Hamzah, A. (2008). Naskah Akademik RUU Rancangan Undang-Undang Nomor..... Tahun ..... tentang hukum Acara Pidana, dalam Tim RUU KUHAP, h. 12.



43



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



perundang-undangan yang bersifat teknis, namun masih tetap dalam koridor kewenangan polri yang lebih luas, yaitu tidak bertentangan dengan tujuan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Penafsiran-penafsiran semacam ini tentu tidak akan dimaknai sama oleh para penegak hukum, sehingga tetap saja legitimasi penghentian penyidikan dengan alasan “diselesaikan dengan pendekatan restorative justice” akan tetap menjadi perdebatan. K. Kebijakan Hukum Pidana dalam Pengaturan Pendekatan Restorative Justice Ditingkat Penyidikan pada Masa yang Akan Datang Sejak berdirinya Indonesia, para founding fathers Indonesia telah menetapkan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara hukum. Hal itu terlihat pada Penjelasan Umum UUD 1945, yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan (machtsstaat). Rechtsstaat dalam Penjelasan Umum UUD 1945 tersebut bukan konsep rechtsstaat sebagaimana yang diterapkan dalam sistem hukum civil law, melainkan hanya istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan konsep negara hukum secara umum. Pasca amandemen, penegasan tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Penegasan tersebut menjelaskan bahwa konsep negara hukum Indonesia bukanlah konsep negara hukum rechtsstaat maupun the rule of law, melainkan gabungan dari keduanya, yaitu negara hukum yang mempunyai ciri khas Indonesia yang menjadikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, yang disebut Negara Hukum Pancasila. Menurut I Dewa Gede Atmadja, ciri esensial Negara Hukum Pancasila adalah negara hukum yang berpangkal pada asas kekeluargaan, musyawarah mufakat dan perlindungan HAM dengan prinsip keseimbangan antara



44



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



hak dan kewajiban serta fungsi hukum pengayoman.34 Dalam kerangka Konsep Negara Hukum Pancasila, pendekatan konsep restorative justice baru diakui secara tersirat dalam konstitusi dan baru diatur secara parsial dalam beberapa peraturan perundangan-undangan hukum pidana, di antaranya dalam UU SPPA dan UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang telah mengakui adanya suatu cara “musyawarah mufakat” dalam penegakan hukum pidana. KUHP sebagai induk hukum materiil dan KUHAP sebagai induk hukum formil belum mengatur cara “musyawarah mufakat” yang merupakan nilai inti dari konsep restorative justice untuk menyelesaikan perkara pidana. Dalam perspektif ius constituendum, diperlukan kebijakan/politik hukum untuk mengatur penerapan konsep restorative justice dalam penegakan hukum pidana, baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan peradilan. Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat dan kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, sehingga apa yang terkandung dalam masyarakat dapat diekspresikan oleh peraturan-peraturan tersebut dan pada akhirnya apa yang dicita-citakan akan dapat tercapai. 35 Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, politik hukum adalah penerapan atau pelaksanaan kebijakan hukum (legal policy) oleh suatu pemerintahan negara tertentu, yang wilayah kerjanya meliputi konsistensi pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada; proses pembaruan dan pembuatan hukum yang diarahkan pada sikap kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan 34



Putra, I. K. C. (2017). Relevansi Konsep Negara Hukum Pancasila dengan Welfare State dalam Implementasinya dengan Pelayanan Publik di Indonesia. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Jurnal), 6(1), 1-12. DOI: https://doi.org/10.24843/JMHU.2017.v06.i01, h. 3. 35 Harun, M. (2016). Reformulasi Kebijakan Hukum terhadap Penegakan Hukum Pidana Pemilu dalam Menjaga Kedaulatan Negara. Jurnal Rechtsvinding, 5(1), 101116, h. 103.



45



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



menciptakan hukum yang berdimensi ius constituendum; serta penegasan fungsi lembaga serta pembinaan para penegak hukum dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.36 Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa penanggulangan kejahatan adalah tujuan dari usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana tersebut, sehingga politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, sehingga kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Dalam arti luas, kebijakan hukum pidana mencakup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana. Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa hakekat penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang adalah bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare), sehingga politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Dengan demikian, dalam pengertian social policy juga tercakup di dalamnya social welfare policy dan social defence policy.37 Kondisi masyarakat Indonesia yang berkembang cepat seiring perkembangan dunia internasional serta kuatnya tuntutan akan keadilan dan kepastian hukum, menyebabkan beberapa masalah kejahatan tidak lagi dapat diatasi oleh KUHP dan KUHAP. Kondisi inilah yang mengakibatkan polri telah mengambil langkah-langkah kebijakan dalam melakukan penegakan hukum sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Polri harus tetap memperhatikan berbagai aspek 36



Putuhena, M. I. F. (2013). Politik Hukum Perundang-Undangan: Mepertegas Reformasi Legislasi yang Progresif. Jurnal Rechtsvinding, 2(3), 375-395, h. 384. 37 Kenedi, J. (2017). Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) dalam Negara Hukum Indonesia: Upaya Mensejahterakan Masyarakat (Social Welfare). Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, 2(1), 15-26, hlm; 17-18.



46



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



kehidupan dalam masyarakat, tidak hanya berdasarkan asas legalitas semata, akan tetapi juga mempertimbangkan asas legitimasi dalam bentuk kearifan lokal dan situasional. Dalam pandangan an sich normatif, eksistensi kebijakan-kebijakan polri tersebut masih dapat dipertanyakan legitimasinya. Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap tidak selaras dengan peraturan di atasnya seperti KUHP dan KUHAP. Bahkan Andi Hamzah selaku Ketua Tim RUU KUHAP berpendapat bahwa sesuai dengan Pasal 1 KUHAP (Sv) Belanda, acara pidana dijalankan hanya menurut cara yang diatur oleh undang-undang, sehingga acara pidana tidak boleh diatur oleh suatu peraturan yang lebih rendah dari undang-undang dalam arti formil.38 Dalam persepktif ius constituendum, Konsep Negara Hukum dan Teori Kebijakan Hukum Pidana tersebut berkorelasi dengan Teori Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo dimana inti dari teori ini adalah bahwa hukum itu selalu dituntut progress atau maju dan berwawasan ke depan termasuk manusianya atau hukum untuk manusia bukan sebaliknya manusia untuk diperalat hukum. 39Untuk kemajuan perkembangan hukum, manusia harus memiliki terobosan dalam menciptakan substansi hukum dan mengaplikasikan hukum itu sendiri serta memiliki progress dalam mengatasi kekosongan norma, termasuk menggagas dan mewujudkan substansi hukum terkait dengan pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan tindak pidada di tingkat penyidikan. Hukum ke depan harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Oleh karenanya, dalam perspektif ius constituendum perlu dilakukan pembaharuan/reformulasi dalam bidang hukum pidana materiil dan pembaharuan/reformulasi dalam bidang hukum pidana formil. 38



Hamzah, A. Op Cit, h. 12. Ekayanti, R. (2015). Perlindungan Hukum terhadap Justice Collaborator terkait Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Jurnal), 4(1), 138-149. DOI: https://doi.org/10.24843/JMHU.2015.v04.i01, h. 147. 39



47



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



L. Pembaharuan/Reformulasi dalam Hukum Pidana Materiil Dalam sejarahnya, KUHP sebagai induk hukum pidana materiil merupakan warisan pemerintahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, sistem hukum pidana yang ada merupakan “penerusan” dari tata hukum pemerintah kolonial Belanda, meskipun saat ini telah ditambah dengan embel-embel Hukum Pidana Indonesia. Prinsip yang dianut oleh KUHP (WvS) adalah kepastian hukum yang bersifat individualistik. KUHP saat ini telah tidak sesuai dengan perkembangan hukum yang terjadi. Kebijakan pembaharuan hukum pidana dengan membentuk KUHP yang baru pada hakekatnya bukan sekedar memperbaharui/mengganti rumusan pasal secara tekstual melainkan dibangunnya kembali ide dasar untuk menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum, dimana keseimbangan antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu dalam NKRI dan UUD 1945 tetap dipertimbangkan secara komprehensif. Pembaharuan KUHP harus bersifat mendasar, menyeluruh dan sistemik, mencakup tiga permasalahan pokok hukum pidana, yaitu perumusan mengenai tindak pidana/criminal act; pertanggungjawaban pidana; serta pidana dan pemidanaan. Tindak pidana. KUHP saat ini belum memberikan batasan/pengertian tentang tindak pidana. KUHP saat ini memberlakukan asas legalitas yang sangat ketat, yaitu seseorang dikatakan telah melakukan tindak pidana apabila telah ada aturan yang mengatur sebelumnya. Asal legalitas dalam hukum pidana saat ini hanya berpatokan pada sifat melawan hukum secara formil. Selain bersifat melawan hukum secara formil, perlu dicantumkan bersifat melawan hukum secara materiil atau asas insiginficant (insiginficant principle) antara lain disebabkan pluralisme hukum di Indonesia dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Rancangan KUHP (RKUHP) 2013 telah mengatur tentang pengertian tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2). RKUHP 2013 juga telah mengatur 48



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



bahwa ketentuan asas legalitas tidak akan mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat, sepanjang sesuai dengan nilainilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1). Ada perbedaan yang sangat mendasar antara RKUHP 2013 dengan KUHP yang berlaku saat ini, yaitu telah diaturnya pengertian yuridis tentang tindak pidana dan telah terjadi perluasan asas legalitas secara formil ke arah memberlakukan secara materiil, dengan memberikan sumber hukum tertulis sebagai kriteria formil utama dari asas legalitas dan juga memberi tempat dan mengakui hukum tidak tertulis sebagai representasi hukum yang hidup dalam masyarakat. Pertanggungjawaban pidana merupakan pasangan dari asas legalitas. Jika unsur melawan hukum formil/perbuatan melawan hukum secara positif terbukti, maka si pelaku tidak dapat dipidana. Demikian juga sebaliknya, jika unsur melawan hukum formil/perbuatan melawan hukum secara positif tidak terbukti, maka si pelaku tidak dapat dipidana, atau dikenal dengan asas “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa sifat melawan hukum”. RKUHP 2013 telah mengatur bahwa tidak seorang pun dapat dipidana tanpa kesalahan, yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan dan tidak ada alasan pemaaf, sebagaimana diatur dalam Pasal 37. Diaturnya kesalahan-kesalahan terkait dengan pertanggungjawaban pidana tersebut telah menunjukkan adanya keseimbangan kepentingan antara kepentingan individu dengan kepentingan umum, termasuk juga keseimbangan antara kepentingan pelaku, korban, saksi serta unsur subyektif dan obyektif pelaku, yang pada akhirnya yang pada akhirnya menunjukkan suatu keseimbangan antara asas legalitas dan keadilan. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya didasarkan asas kesalahan sebagai representasi asas legalitas, tetapi juga menempatkan pertanggungjawaban pidana sebagai asas 49



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



keadilan yang hidup, yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan dan tiada pidana tanpa melawan hukum materiil. Pada dasarnya pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan negara kepada orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, apabila Indonesia akan menggunakan sarana pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya, harus dilakukan dengan pendekatan humanistik. Pendekatan humanistis dalam penggunaan sanksi pidana tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat.40 M. Ali Zaidan berpendapat bahwa penerapan hukum pidana dilakukan secara proporsional dengan mengindahkan sifat subsidairitas sanksi pidana. Sanksi pidana hendaklah dipandang sebagai usaha terakhir dalam hal alternatif lain tidak tersedia. Penggunaan sanksi sebagai ultimum remidium harus tetap dipertahankan, demi menjaga ketertiban masyarakat.41 Dalam KUHP saat ini tidak diatur mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan. Hal ini berdampak pada tidak jelasnya tujuan penjatuhan pidana. Dalam KUHP ke depan, tujuan pidana harus diarahkan pada perlindungan masyarakat dan pembinaan pelaku, termasuk lewat metode pemberdayaan yang memungkinkan pelaku benar-benar fungsional dan bermanfaat dalam masyarakat, modifikasi putusan pemidanaan yang telah berkekuatan tetap berdasarkan perbaikan si terpidana dan elastisitas pemidanaan. 42 Dalam KUHP ke depan, harus juga 40



Arief, B. N. (2010). Perumusan Pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan sebagai Parameter Keadilan dalam Penjatuhan Pidana. Makalah dalam Lokakarya BPHN: Perkembangan Hukum Pidana dalam Undang-Undang di Luar KUHP dan Kebijakan Kodifikasi Hukum Pidana, Semarang, h. 10 41 Zaidan, M. A. Op Cit, h. 61-62. 42 Tanya, B. L. (2009). Proyeksi Nilai-Nilai Pancasila sebagai Basis Pembaharuan Hukum Pidana. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Impementasi Ide-



50



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



diformulasikan pedoman pemidanaan. Pidana dan alternatif pidana apakah yang cocok untuk kasus-kasus tertentu karena politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Dalam RKUHP 2013 telah diatur ketentuan-ketentuan mengenai jenis pidana, tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 65, 54 dan 55. Ketentuan-ketentuan ini telah memberikan celah bagi hakim dan aparat penegak hukum untuk memilih pidana dan alternatif pidana yang akan dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana, serta telah mengedepankan prinsip perlindungan kepada masyarakat, pemulihan keseimbangan masyarakat dan membebaskan rasa bersalah dari pelaku. Bahkan sesuai dengan ketentuan Pasal 71, apabila terdapat keadaan-keadaan tertentu, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan. Terkait dengan penyelesaian tindak pidana dengan pendekatan restorative justice di tingkat penyidikan, dalam RKUHP 2013 terdapat satu rancangan pasal yang mengatur tentang gugurnya kewenangan penuntutan, yaitu diatur dalam Pasal 145. Salah satu hal yang dapat mengakibatkan gugurnya kewenangan penuntutan adalah “penyelesaian di luar proses”. Hal ini merupakan angin segar bagi polri dalam rangka menghadirkan keadilan dan kepastian hukum di masa yang akan datang. Hanya saja, rancangan ketentuan ini harus disertai dengan pembaharuan/reformulasi dalam hukum pidana formil, sebagaimana akan dibahas pada pembahasan selanjutnya. Dalam perspektif ius constituendum, untuk memberikan ruang penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice, termasuk di tingkat penyidikan, rancangan-rancangan terkait tiga hal pokok pembaharuan hukum pidana, yaitu tindak pidana; pertanggungjawaban pidana;



Ide Dasar Pancasila dalam Pembaharuan Hukum Pidana, diselenggarakan oleh FH-Universitas Trunojoyo, 19 November 2009.



51



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



pidana dan pemidanaan, yang terdapat dalam RKUHP 2013 hendaknya dapat dipertahankan. M. Pembaharuan-Reformulasi Dalam Hukum Pidana Formil Proses hukum dalam penanganan perkara pidana tidak dapat dilepaskan dari hukum pidana formil itu sendiri. Menurut Van Bemmelen, hukum acara pidana adalah kumpulan ketentuanketentuan hukum yang mengatur bagaimana cara Negara melalui perantaraan alat-alatnya untuk mencari kebenaran, menetapkan keputusan mengenai perbuatan yang didakwakan, bagaimana hakim harus memutuskan dan bagaimana keputusan itu dilaksanakan.37 Dalam perspektif ius constituendum, pembahasan mengenai pembaharuan/reformulasi hukum pidana formil ini menyangkut tiga hal, yaitu pembaharuan/reformulasi KUHAP; pembaharuan/reformulasi Perkap tentang Manajemen Penyidikan; dan pembaharuan/reformulasi Perkap tentang Polmas. Pembaharuan/reformulasi KUHAP. Pembaharuan/reformulasi KUHAP terkait dengan alasan penghentian penyidikan. Dalam rumusan Pasal 109 ayat (2), penghentian penyidikan dapat dilakukan dengan alasan-alasan bukan tindak pidana, tidak cukup bukti dan demi hukum. Reformulasi KUHAP terkait dengan “pengertian tindak pidana” dan “pengertian demi hukum”. Terkait dengan “pengertian tindak pidana”, selama ini tindak pidana dibatasi pada “pengertian tindak pidana dalam arti formil”. Ke depan, formulasi “pengertian tindak pidana” tidak hanya tindak pidana formil, tetapi juga materiil. Perluasan pengertian tindak pidana ini untuk menghapus (menegatifkan) sifat melawan hukum suatu perbuatan (formil) secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap formulasi tindak pidana sehingga berdampak pula pada alasan penghentian penyidikan. Frase “demi hukum” dalam KUHAP hanya terdapat dalam dua pasal, yaitu Pasal 46 ayat (1) huruf c dan Pasal 109 ayat (2). Frase “demi hukum” 52



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



dalam ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf c merupakan alternatif dari frase “untuk kepentingan umum”, yang secara tersirat dapat ditafsirkan pula bahwa penghentian perkara dengan alasan “demi hukum” adalah suatu penghentian perkara “demi kepentingan umum”. Untuk menghindari perbedaan penafsiran, di masa yang akan datang, dalam KUHAP hendaknya mencantumkan pengertian dari frase “demi hukum” itu sendiri, yang salah satunya menentukan bahwa “demi hukum” tersebut sama dengan “demi kepentingan umum”. Penghentian penyidikan dengan alasan “demi hukum” yang telah diselesaikan dengan pendekatan restorative justice juga dapat dilakukan ketika RKUHP 2013 telah diberlakukan, terutama terkait dengan ketentuan “gugurnya kewenangan penuntutan karena diselesaikan di luar proses” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 RKUHP 2013. Hanya saja masih diperlukan reformulasi terkait dengan teknis penghentian penyidikan dan hubungannya dengan kewenangan penuntutan yang dimiliki oleh jaksa penuntut umum. Teknis tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan acuan peraturan perundang-undangan yang telah diberlakukan sebelumnya, seperti UU SPPA dan UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dalam KUHAP di masa yang akan datang, penghentian penyidikan dengan pendekatan restorative justice dapat dilakukan dengan melaporkan pelaksanaannya kepada Kepala Kejaksaan Negeri untuk meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri tempat terjadinya tindak pidana. Pembaharuan/reformulasi Perkap 14/2012 tentang Manajemen Penyidikan. Dalam Perkap Manajemen Penyidikan, ditentukan bahwa “demi hukum” yang tercantum sebagai salah satu alasan penghentian penyidikan, diartikan sebagai tersangka meninggal dunia, pengaduan dicabut, nebis in idem dan kadaluarsa. Mengacu pada ketentuan 46 ayat (1) huruf c KUHAP serta Pasal 16 dan 18 UU Polri serta ketentuan Pasal 145 RKUHP 2013, dalam formulasi Perkap 53



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Manajemen Penyidikan di masa yang akan datang hendaknya mencantumkan “demi kepentingan umum” dan “diselesaikan di luar proses” sebagai salah satu bagian dari alasan penghentian penyidikan “demi hukum”. Hanya saja alasan “demi hukum” yang “diselesaikan di luar proses” masih harus menunggu reformulasi KUHAP terkait teknis penghentian penyidikan dan hubungannya dengan jaksa penuntut umum terkait dengan kewenangan penuntutan yang dimilikinya. Di samping itu, dalam Perkap Manajemen Penyidikan di masa yang akan datang hendaknya juga mengatur tentang kategori kasus yang dapat diselesaikan dengan pendekatan konsep restorative justice dan syarat serta mekanisme penerapan restorative justice. Pembaharuan/reformulasi Perkap 3/2015 tentang Pemolisian Masyarakat. Dalam Perkap Polmas, salah satu hal yang diatur adalah penyelesaian masalah sosial yang difasilitasi oleh polri selaku pengendali sosial melalui mekanisme penyelesaian di luar pengadilan (ADR). Hanya saja, Perkap Polmas belum mengatur secara tegas tentang kategori masalah sosial, terutama yang ada unsur pidana, yang dapat diselesaikan dengan mekanisme ADR. Oleh karena itu, pada masa yang akan datang perlu dilakukan reformulasi terhadap Perkap Polmas, di antaranya mengatur secara tegas tentang kategori masalah sosial, terutama yang ada unsur pidana, yang dapat diselesaikan dengan mekanisme ADR, termasuk mempertimbangkan kategori pelaku dan arti dari nilai kerugian bagi korban.



54



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Bab II Restorative Justice Sebagai Wujud Implementasi Dari Perlindungan Hak Asasi Manusia Setiap individu harus dijamin haknya, karena itu HAM tidak dapat dicabut oleh siapapun termasuk dirinya sendiri. Istilah HAM berarti hak tersebut ditentukan dalam hakikat kemanusiaan dan demi kemanusiaan. Jaminan HAM dalam UUD 1945 pasca amandemen merupakan pencapaian progresif yang patut disyukuri. Bagaimana mewujudkan jaminan HAM dalam kehidupan nyata adalah merupakan tantangan besar yang harus kita jawab dan lakukan. Jangan sampai jaminan HAM yang tercantum dalam konstitusi itu hanya bersifat normatif belaka yang bertolak belakang dengan prakteknya. Dalam system peradilan pidana saat ini masih banyak yang terabaikan HAM baik pelaku maupun korban. Dalam hal ini Secara konseptual, Restorative Justice berisi gagasan-gagasan dan prinsip-prinsip seperti membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana.Hak Asasi Manusia (HAM) adalah suatu konsepsi mengenai pengakuan atas harkat dan martabat manusia yang dimiliki secara alamiah yang melekat pada setiap manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama dan jenis kelamin. Dalam pengertian universal HAM diartikan sebagai hak dan kebebasan dasar manusia yang secara alamiah melekat pada diri manusia dan tanpa itu manusia tidak dapat secara wajar sebagai manusia. HAM dalam Negara hukum tidak dapat dipisahkan, justru karena berfikir secara hukum berkaitan dengan ide bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud. Dengan demikian, pengakuan dan pengukuhan Negara hukum salah satu tujuannya melindungi HAM, berarti hak dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui, dihormati dan dijunjung tinggi. Dengan pertimbangan bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, 55



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



bersifat universal dan langgem, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Dan bahwa selain HAM, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjunng tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universtias tentang HAM yang ditetapkan oleh PBB, serta sebagai instrument yang telah diterima olen Negara Republik Indonesia, maka pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Terungkapnya tindak pelanggaran HAM yang banyak terjadi di masa lalu, khususnya pada masa rezim Orde Baru yang runtuh melalui gerakan reformasi mahasiswa pada bulan Mei 1998, telah mendorong seluruh komponen bangsa sadar akan pentingnya melindungi hak-hak dasar setiap individu. Hak-hak dasar itu, yang kemudian dikenal dengan Hak Azasi Manusia (HAM), dipandang perlu dituangkan dalam konstitusi Indonesia. Presiden B.J. Habibie (penerus Soeharto) berhasil memancangkan pilar-pilar reformasi di bidang hukum, salah satunya adalah mengamandemen UUD 1945 yang di dalamnya dimasukan pasal yang memuat tentang HAM. Implikasinya, tentu saja perlu diikuti dengan peraturan turunan dalam bentuk UU yang khusus mengatur masalah HAM yakni UU Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam perkembangannya, pemerintah bersama-sama dengan DPR berhasil menetapkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Berdasarkan UU ini, negara mendapatkan amanat untuk melindungi hak-hak seluruh warga negara, yang salah satunya mendirikan institusi Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM). Penegakan HAM yang masih belum maksimal, sekurangkurangnya secara formal telah mendapat pengakuan dan upaya 56



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



penegakannya setelah dikeluarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. UU ini juga menjadi jalan bagi penegakan HAM yang lebih fokus, terencana dan sistematis pada tataran konstitusional, sosial dan budaya serta diaplikasikan secara formal dan informal. Paling tidak, kehadiran UU ini memberi harapan besar bagi Indonesia sebagai negara yang sangat menjujung tinggi HAM. Proses legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Proses legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dilakukan melalui pendekatan berikut: a. Historis Dalam perspektif historis, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM lahir dari suatu kenyataan dan tantangan reformasi hukum di Indonesia. Tuntutan reformasi hukum menggariskan kepada negara untuk menjamin hak-hak dasar setiap warga negara dalam memperoleh persamaan perlakuan di depan hukum dan keadilan. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ini lahir dari sikap positif Pemerintah RI atas resolusi Komisi Tinggi HAM PBB bahwa setiap negara anggota PBB berkewajiban melindungi hak-hak dasar warga negaranya tanpa membeda-bedakan suku, bangsa, agama, bahasa, dan status sosial lainnya. Hukum HAM lahir pada tanggal 10 Desember 1948 melalui sebuah konsensus internasional pada Sidang Majelis Umum PBB (Universal Declaration of Human Rights). Hukum HAM tersebut merupakan hukum perdata internasional dengan subyek hukum negara. Dalam perkembangannya UDHR diikuti hukum internasional turunan lainnya, antara lain International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Yeni Nuraeni, L. Alfies Sihombing : Kebijakan hukum pidana terhadap 89 Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), sebagai pedoman hukum internasional yang berkaitan dengan HAM. Selain itu, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM lahir dari suatu kenyataan bahwa banyak kasus tindak pelanggaran HAM yang tidak diungkap 57



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



dan tidak pernah dipertanggungjawabkan kepada publik, seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Penculikan Aktifis, Tanjung Priok, kasus Lampung, kasus Ambon, Kasus Poso, Kasus Sampit, Kasus Sambas, kasus Kedung Ombo Banyuwangi, Kasus Waduk Nipah dan sebagainya. Untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara hukum, maka diper-lukan suatu perangkat hukum yakni UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. b. Filosofis Pandangan filosofis atas UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pertama, secara ontologis setiap individu adalah orang yang bebas, ia memili hak-hak dan kewajiban yang sama antara satu dengan yang lain dalam konteks sosial. Kedua, Secara efistimologis, jaminan persamaan atas setiap hak-hak dasar kemanusiaan berikut kewajibankewajiban yang melekat di dalamnya, mesti dibatasi oleh hukum (hukum HAM). Ketiga, tujuan dibuatnya hukum HAM adalah sebagai hukum materil yang mengatur proses penegakan HAM di masyarakat. Berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pemerintah berkewajiban menggaransi hak-hak dasar kemanusiaan warganya melalui sebuah lembaga independen yang disebut Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM). Lebih jelasnya dapat dilihat dalam konsideran UU HAM ini bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. c. Sosiologis Gagasan awal proses legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ini telah menimbulkan pro kontra dan penafsiran yang beragam di masyarakat. Pertama, ada yang berpendapat bahwa secara substantif 58



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



UU HAM mengadopsi Statuta Roma yang pijakan historis, filosofis dan sosiologisnya berbeda. Kedua, Lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dianggap sebagian pihak secara skeptis yakni sekedar untuk menaikan pamor Indonesia di dunia internasional bahwa negara ini sangat menjunjung tinggi HAM. Ketiga, pemerintah (dalam hal ini aparat penegak hukum) belum sepenuhnya komitmen untuk menegakan dan melindungi hak-hak warga negaranya. Keempat, para ahli dan praktisi hukum berpendapat bahwa pemenuhan dan jaminan HAM hanya dapat dilaksanakan apabila dilegislasikan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. d. Politik Legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM diperlukan melalui sebuah mekanisme pengambilan keputusan yang proporsional yakni antara pemerintah dan masyarakat (diwakili DPR) bagi terjaminnya kepastian hukum dan keadilan. Kiris politik yang berlangsung sejak era Orde Lama dan Orde Baru tidak saja menyisakan sejarah panjang kasus-kasus pelanggaran HAM, seperti kasus G-30-S/PKI, Madiun, DI/TII, Malari 1974 dan sebagainya. Atas dasar itu, legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM merupakan suatu tuntutan realitas yang muncul dari dukungan realitas pula. Menurut UU ini, jaminan penegakan HAM tidak hanya menjadi sebuah tanggung jawab negara tetapi juga semua individu. Pertimbangan politik dapat dilihat dalam konsideran UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk UU HAM.



59



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



e. Yuridis Ada beberapa pertimbangan yuridis yang melatarbelakangi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, antara lain: a. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. b. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74). c. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327). Yeni Nuraeni, L. Alfies Sihombing : Kebijakan hukum pidana terhadap… 91. Dari pertimbangan-pertimbangan itulah Presiden dan DPR menyetujui pengesahan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pada gilirannya UU ini akan diikuti oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 1 tahun 1999 tentang peradilan HAM, yang selanjutnya akan diubah menjadi UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 43 Konsep Restorative Justice berawal dari Negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris. Seperti Canada, Amerika Serikat, Australia, New Zealand dan Inggris. Definisi bahasa Inggris dari Restorative Justice adalah ““…is a form of conflict resolution and seeks to make it clear to the offender that the behaviour is not condoned (welcomed), at the same time as being supportive and respectful of the individual/s9.” Restorative Justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini 43



Deni Kamaludin Yusuf, Proses Legislasi UU no 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Knowledge Leader, Program Pascasarjana UIN SGD, Bandung, 2010.



60



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Terlepas dari kenyataan tersebut bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoritis, akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara. Kelemahan dari peradilan pidana yang ada saat ini adalah pada posisi korban dan masyarakat yang belum mendapatkan posisinya sehingga kepentingan keduanya menjadi terabaikan. Sementara dalam model penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative peran aktif kedua pihak ini menjadi penting disamping peran pelaku. Dalam bahasa Indonesia Restorative Justice dapat diartikan sebagai suatu jenis keadilan seperti berbagai ajaran keadilan, atau sebagai konsep pemidanaan yang bermaksud menemukan jalan menegakkan system pemidanaan yang lebih adil dan berimbang. Sebagai contoh, antara kepentingan pelaku dan korban, sistem pemidanaan yang berlaku sekarang ini sangat kurang sekali memperhatikan korban, dan seakan-akan pemberian hukuman atau sanksi kepada pelaku lebih mengarah kepada “pembalasan dendam”. Tetapi dalam Restorative Justice, tujuan dari hukuman haruslah merumuskan tujuan pemidanaan yang mengarah kepada mekanisme mencapai tujuan. 44 Konsep dalam Restorative Justice menyangkut kepentingan pelaku dan kewajiban pelaku yaitu agar pelaku kembali menjadi warga yang bertanggung jawab baik terhadap korban, keluarganya dan masyarakat sekelilingnya. Dengan kata lain, konsep ini mencerminkan cara menyelesaikan perbuatan (tindak) pidana diluar proses peradilan atau sekurang-kurangnya tidak sepenuhnya mengikuti acara peradilan pidana. Tujuan pemidanaan dalam



44



Rudi Rizky, Refleksi Dinamika Hukum – Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara, Jakarta, 2008, Hal. 3.



61



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Restorative Justice adalah untuk mengembalikan pelaku menjadi warga yang baik dan bertanggungjawab. Beberapa contoh kasus yang dapat diselesaikan secara Restorative Justice, kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian korban terlihat bahwa pertemuan antara pelaku dan keluarga korban dapat dilakukan sepanjang hal ini dapat difasilitasi oleh mediator. Demikian juga pada kasus perkosaan, meskipun bukan gambaran utuh dari penerapan pendekatan restorative baik pelaku dan keluarga korban, tetapi keluarga pelaku dan keluarga korban dapat bertemu muka untuk sama-sama mencapai suatu kesepakatan yaitu menikahkan putra putrinya. Tetapi dalam kenyataan dilapangan hal tersebut sangat sulit untuk ditempuh, karena kencenderungan manusia “sulit untuk menerima suatu musibah, dan sulit memaafkan si pelaku kejahatan tersebut”. Dalam sistem pemidanaan yang saat ini berlaku, sesungguhnya bagi korban lebih tragis lagi, sistem pemidanaan yang ada sama sekali tidak memberikan perlindungan atas segala derita atau kerugian akibat perbuatan pelaku pidana. Korban disini dapat diartikan korban langsung yaitu orang-orang yang menderita langsung akibat suatu perbuatan pidana, misalnya cacat karena penganiayaan dan lain-lain. Sedangkan korabn tidak langsung adalah sanak keluarga, isteri atau anak-anak kehilangan pelindung, karena suami atau ayah mereka terbunuh atau dibunuh. Yeni Nuraeni, L. Alfies Sihombing : Kebijakan hukum pidana terhadap… 93 Hukuman yang diberikan kepada si pelaku seakan-akan menebus semua kesalahan yang telah diperbuat oleh si pelaku. Sebagai contoh, pada saat seseorang melakukan tindak pidana pembunuhan, maka hakim memutuskan sanksi hukuman penjara, pemidanaan ini seakan-akan sebagai bentuk hukuman atas perbuatannya, tetapi perkara lain timbul dari akibat kejahatan ini, keluarga yang ditinggalkan korban akan timbul masalah baru. Maka dari itu, peranan konsep Restorative Justice dapat digunakan dalam 62



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



menjatuhkan suatu hukuman atau sanksi, dimana tujuan pemidanaan haruslah untuk meringankan keluarga yang ditinggalkan. Sebagai contoh, hukuman bagi si pelaku apabila korban adalah seorang kepala keluarga yang memiliki seoarang anak yang masih bersekolah SD, hukuman dapat diberikan dengan menanggung biaya sekolah atau hidup bagi anak yang ditinggalkan atau keluarganya, karena pada saat ayahnya menjadi korban, maka tulang punggung keluarga “hilang”. Apabila dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), pelaku wajib diberlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, dan HAM termasuk menyediakan bantuan hukum kepada korban atau keluarga korban yang sama sekali kurang diperhatikan. Di negri Belanda, Turki dan berbagai Negara lain, perlindungan kepentingan korban telah terintegrasi dalam sistem peradilan pidana, tidak perlu ada gugatan tersendiri. 45 Penulis akan membahas tujuan hukum dari sisi Teori Barat, Timur dan Islam. Dalam Teori Barat, tujuan hukum itu adalah semata-mata untuk mewujudkan keadilan, untuk mewujudkan kemanfaatan dan untuk mewujudkan kepastian hukum. Dalam Teori Timur, tujuan hukum pada umumnya tidak menempatkan “kepastian”, tetapi hanya menekankna pada tujuan hukum “Keadilan adalah keharmonisan, dan keharmonisan adalah kedamaian”. Sedangkan dalam Teori Hukum Islam, pada perinsipnya bagaimana mewujudkan “kemanfaatan” kepada seluruh umat manusia, yang mencangkupi “kemanfaatan” dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.46 Setelah membahas teori-teori dari pemikiran Barat, Timur dan Islam mengenai tujuan hukum, maka pertanyaannya “Apakah pemidanaan yang dijatuhkan telah mencapai pada tujuan hukum tersebut?” Karena penulis menganalisa banyaknya penjatuhan. hukuman tidak memperhatikan si korban dan sehingga tujuan hukum 45 46



Ibid, hlm. 6 Op.cit., hlm. 216



63



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



sebetulnya tidak tercapai. Secara konseptual, Restorative Justice berisi gagasan-gagasan dan prinsip-prinsip seperti, membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban dan masyarkat sebgai “stakeholder” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak. Selain itu tujuan lain adalah, untuk mendoorng pelaku adalah untuk mendorong pelaku bertanggung jawab terhadap korban atas peristiwa atau tindak pidana yang telah menimbulkan cedera, atau kerugian terhadap korban, yang selanjutnya membangun tanggung jawab tidak mengulangi lagi perbuatan pidana yang pernah dilakukannya. Pandangan lain dari Restorative Justice, adalah untuk menempatkan peristiwa atau tindak pidana tidak terutama sebagai suatu bentuk pelanggaran hukum, melainkan sebagai pelanggaran oleh seseorang terhadap seseornag, karena itu sudah semestinya diarahkan pada pertanggungjawaban terhadap korban, bukan mengutamakan pertanggung jawaban hukum. Konsep lain adalah untuk mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara yang lebih informal dan personal, dari pada penyelesaian dengan cara-cara beracara yang formal atau kaku dan impersonal. 47 a. Keuntungan Restorative Justice Keuntungan dari konsep Restorative Justice dari sisi korban adalah, lebih mampu memberi atau memenuhi secara lebih baik kebutuhan dan rasa puas dibandingkan dengan proses peradilan. Bagi pelaku adalah pemberian kesempatan meraih kembali rasa hormat masyarakat dari pada terus menerus dicaci. Selanjutnya dari pandangan sisi masyarkat, pelaku menjadi kurang berbahaya, uang yang dipergunakan untuk melaksanakan pidana dapat dipakau untuk 47



Op.cit, hlm. 7



64



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



melakukan tindakan preventif atau konstruksi lainnya.15 Yeni Nuraeni, . Alfies Sihombing : Kebijakan hukum pidana terhadap… 95 b. Kekurangan Restorative Justice Terlepas dari aspek-aspek positif, penulis mencoba mengungkap kendala-kendala yang akan dihadapi apabila konsep ini diaplikasikan, kelemahan dari Restorative Justice bahwa hanya dapat dijalankan pada pelaku yang mengakui atau diketahui pasti sebagai pelaku. Bagi pelaku yang tidak mengakui perbuatannya sulit sekali untuk dijalankan karena konsep ini memerlukan kesadaran, tanggung jawab dan partisipasi dari pelaku. Selanjutnya dalam hal ini pembuktian haruslah tetap dijalankan dan proses akan berlanjut pada sistem peradilan untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah si pelaku. Apakah konsep Restorative Justice dapat dipakai dalam perkara-perkara besar, seperti korupsi, pelanggaran HAM berat, Terorisme, atau kejahatan serius lainnya? Dari pertanyaan tersebut, sebagai contoh kasus Bom Bali, apakah masyarakat dapat menerima konsep ini apabila dipakai dalam kasus Bom Bali dimana telah menelan banyak korban. Ditambah dalam kasus tersebut intervensi Negara tetangga seperti Australia yang juga memantau terus perkembangan dalam kasus tersebut. Pertimbangan lain dalam kasus terbaru mengenai Gayus dalam penggelapan pajak, apakah konsep Restorative Justice bisa berjalan? Apabila Gayus mengembalikan semua kerugian Negara atas korupsinya, dan menebus kesalahan yang diperbuatnya kepada Negara dengan mengembalikan semua kekayaan beserta bunganya. Yang menjadi pertanyaan bisakah rakyat Indonesia menerima dan memaafkan atas perbuatannya? Karena dalam konsep Restorative Justice, yang ditekankan adalah pertanggung jawaban dan partisipasi pelaku atas akibat dari perbuatannya. Konsep Restorative Justice dapat mengendorkan kepastian hukum dan konsistensi. Penegakan 65



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



hukum menjadi subjektif bergantung kepada orang-orang yang terlibat dalam penyelesaian kasus, akibatnya peraturan hukum menjadi kendor dimana khususnya peraturan perundang-undangan dalam menyelesaikan suatu kasus. Selain itu, konsep ini juga akan mengubah sifat hukum pidana yang semula tertutup menjadi seperti hukum pidana terbuka. Hubungan dan akibat hukum terutama ditentukan oleh kehendak pihak-pihak. Dilematis dari Restorative Justice akan timbul, karena di Indonesia tujuan hukum masih belum jelas ditafsirkan, maka dari itu sifat melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian. Tujuan penegakan hukum yang sesungguhnya bukan menerapkan hukum, melainkan mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil. Karena itu, seyogyanya penegak hukum benar-benar memperhatikan langkah-langkah sosial yang ditempuh dalam menyelesaikan suatu pelanggaran hukum. Penulis berpendapat, konsep Restorative Justice sangat berguna dan selalu dapat diaplikasikan adalah dalam “Sistem Peradilan Anak di Indonesia”, dimana anak adalah masa depan Negara ini, dan masih memiliki waktu yang panjang, sehingga pembinaan yang baik dan benar dapat mengarahkan kepada perbuatan yang baik dimasa depan.



66



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Bab III Restorative Justice Wujud Implementasi Dari Filsafat Pancasila a. Restorative Justice Bagi Para Pencari Keadilan



Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudi luhur mempunyai ikatan kekeluargaan yang mencerminkan nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa, yaitu menghormati serta menghargai peran dan kedudukan lanjut usia yang memiliki kebijakan dan kearifan serta pengalaman berharga yang dapat diteladani oleh generasi penerusnya. Perwujudan nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa tersebut harus tetap dipelihara, dipertahankan dan dikembangkan. Upaya memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan nilai-nilai budaya tersebut dilaksanakan antara lain melalui upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia yang bertujuan mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan para lanjut usia.48 Proses penuaan merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dicegah dan merupakan hal yang wajar dialami oleh orang yang diberi karunia umur panjang, dimana semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasilan dan Undang-Undang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah.49 Indonesia secara normatif konstitusional 48



Ika Nur Rohmah dkk, Kualitas Hidup Lanjut Usia, Jurnal Keperawatan, ISSN 2086-3071, Volume 3, Nomor 2, Juli 2012, hlm 120-132. 2Ibid, hlm 135. 49 Ratna, Pengaruh Faktor-Faktor Kesehatan, Ekonomi, dan Hubungan Sosial Terhadap Kemandirian Orang Lanjut Usia. http://www.damandiri. or.id/file/ ratna suhartini unair bab1.pdf. diakses tangga1 3 Februari 2017. 4 Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5 Elizabeth B. Hurlock dalam Argyo Demartoto, Pelayanan Sosial Non Panti Bagi Lansia, Sebelas Maret University Press, Surakata, 2006, hlm. 13.



67



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



merupakan negara hukum4 yang bertanggungjawab terhadap segenap bangsa atau warga negaranya dan tidak terkecuali juga terhadap para warga negara lanjut usia (lansia), walaupun pada dasarnya lanjut usia (atau sering disingkat lansia) merupakan periode kemunduran, kemunduran terhadap lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis. Kemunduran dapat berdampak kepada psikologis lansia, motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran terhadap lansia. Dalam kaitan dengan permasalahan kemunduran tersebut Elizabeth B. Hurlock sebagaimana dikutip Argyo Demartoto5 menjelaskan bahwa orang yang kemunduran tersebut kira-kira mulai terjadi pada usia 60 tahun ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang cenderung mengarah pada penyesuaian diri yang buruk dan hidupnya tidak bahagia. Sulit untuk membayangkannya bagaimana jika dalam masa kemunduran karena faktor lanjut usia harus berurusan dengan hukum karena di duga melakukan suatu perbuatan hukum. Secara normatif setiap orang / masyarakat yang melakukan pelanggaran hukum pidana atau lebih dikenal dengan tindak pidana, maka yang bersangkutan harus bertanggungjawab atas perbuatan hukum yang dilakukannya.Untuk merealisasikan tanggungjawab hukum tersebut, maka sarana yang digunakan adalah sarana hukum pidana materiel maupun hukum acara pidana. Hukum acara pidana mengatur norma-norma untuk menegakkan hukum pidana materil. 50 Dalam konteks penegakan hukum, maka proses yang harus di jalani oleh setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana, maka yang bersangkutan harus diproses dalam suatu sistem yang dikenal dengan sistem peradilan pidana. 51 Setiap sistem peradilan pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka pengadilan, tidak 50 51



Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2008, hlm 151. Ibid, hlm 105-106.



68



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



dapat dihentikan dengan alasan karena lanjut usia, rasa kasihan, atau karena adanya perdamaian. Dalam hukum pidana perdamaian yang seringkali digunakan oleh masyarakat atau antara korban dan pelaku tindak pidana, tidak dikenal dalam hukum pidana, artinya perdamaian tidak dapat juga dijadikan alasan penghapusan pidana (pemaaf atau penghapus) tetapi hanya sebagai pertimbangan hakim yang memeriksa dan mengadilan pelaku tindak pidana, namun tidak bersifat wajib.Undang-Undang No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yang dimaksud lansia adalah laki-laki ataupun perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih atau seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas8yang mana kemampuan fisik dan kognitifnya semakin menurun. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut52 Usia. Yang menjadi dasar pertimbangan dalam undang-undang ini, antara lain adalah ”bahwa pelaksanaan pembangunan yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin meningkat, sehingga jumlah lansia makin bertambah”. Sebagai Negara Hukum (Pasal 1 ayat 3) Indonesia, tetap terikat dan berpedoman kepada aturan-aturan tertulis dalam bentuk undang-undang dan peraturan pelaksanannya. Proses penyelesaian / penegakan hukum (law enforcement) terhadap setiap tindak pidana / kejahatan, harus diselesaikan dalam mekanisme sistem peradilan pidana, artinya setiap pelaku kejahatan / tindak pidana tidak melihat apakah pelaku anak-anak, orang dewasa atau pelaku tersebut termasuk golongan lanjut usia. Penelitan-penelitan terhadap pelaku tindak pidana lanjut usia dapat dikatakan masih sangat minim, sehingga peneliti lebih tertarik untuk meneliti dan mendalami dalam kaitannya 52



Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 190



69



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



dengan masalah keadilan hukum itu sendiri di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketertarikan peneliti tersebut lebih di dasari pemikiran restorative justice sehingga diharapkan dapat menjadi solusi dalam pencapaian kepastian dan kemanfaatan untuk keadilan dengan didasari oleh 2 aspek yakni pendekatan untuk membangun suatu sistem hukum dalam rangka modernisasi dan pembaruan hukum, yaitu segi struktur (structure), substansi (substance) dan budaya (legal culture) yang kesemuanya layak berjalan secara integral, simultan dan paralel. 53 Konsep pendekatan restorative justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif, merupakan suatu model pendekatan yang muncul era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana yang konvensional, pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban, dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.10 Keadilan Restoratif (restorative justice) di Indonesia54 diartikan sebagai: “Restorative Justice adalah pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya) (upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak.”12 Upaya penyelesaian masalah di luar pengadilan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana 53



Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Terhadap UnsurUnsurnya, UI Press, Jakarta, 2009, hlm 81. 54 Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan pengertian bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.



70



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



(keluarganya) dan korban tindak pidana (keluarganya) nantinya diharapkan menjadi dasar pertimbangan dalam proses pemeriksaan pelaku tindak pidana di pengadilan dalam penjatuhan sanksi pidananya oleh hakim/majelis hakim. Sebab pada usia lanjut tersebut patut dipertanyakan, apakah pelaku lansia masih memenuhi syarat untuk dipidana dalam arti pelaku tindak pidana tersebut secara pisik dan psikologis masih mampu, dan kemunduran dapat berdampak pada psikologis lansia. Hal ini mengacu pada penggolongan lansia dalam 3 (tiga) kelompok yakni: 55 Kelompok lansia dini (55-64 tahun), merupakan kelompok yang baru memasuki lansia, Kelompok lansia (65 tahun ke atas), Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun. Memperhatikan hal di atas, dapat dikaktan bahwa usia tujuh puluh tahun menjadi paling rawan dalam arti kemampuan secara fisik dan psikologis, tidak dipungkiri seseorang yang telah berusia lanjut barangkali masih mampu untuk melakukan tindak pidana, meski jenis tindak pidana yang dilakukan tentu disesuaikan dengan kekuatan jasmaninya seperti, pencurian, penipuan, percabulan (dengan korban anak di bawah umur) dan atau jenis-jenis kejahatan yang tidak memerlukan kekuatan fisik (meski tidak tertutup kemungkinan melakukan kejahatan berat). Restorative justice pada prinsipnya merupakan suatu falsafah (pedoman dasar) dalam proses perdamaian di luar peradilan dengan menggunakan cara mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum pidana tersebut yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana (keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang disetujui dan disepakati para pihak.14 Restorative justice dikatakan 55



Hukum, Undip, 2008, hlm 72. Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana), Disertasi Fakultas Hukum Program Doktor Ilmu Hukum, Juni 2009, hlm. 1.



71



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



sebagai falsafah (pedoman dasar) dalam mencapai keadilan yang dilakukan oleh para pihak diluar peradilan karena merupakan dasar proses perdamaian dari pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban (keluarganya) akibat timbulnya korban/kerugian dari perbuatan pidana tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Restorative Justice mengandung prinsip-prinsip dasar meliputi:15 Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana (keluarganya). Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana (keluarganya) untuk bertanggung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian akibat tindak pidana yang dilakukannya. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak. Sebagai contoh kasus proses formil Pidana terhadap lansia di Indonesia seperti Putusan Pengadilan Negeri Muara Enim Nomor 372/Pid.Sus/2014/PN.Mre. Seorang kakek Mastar Bin Unus berumur 82 tahun dalam 56 terdakwa pemerkosaan anak di bawah umur dan menjalani proses hukuman selama empat tahun enam bulan ditambah masa kurungan selama tiga bulan yang menjadi permasalah tersebut adalah mengapa restorative justice tidak digunakan menjadi aspek keadilan di muka hukum dan seakan tanpa melihat usia tersangka terlebih dahulu dengan mengedepankan proses beracara hukum formil pidana. Oleh karena rentannya usia lanjut yang mudah sekali mengalami segala penyakit dikarenakan tenaga kakek tersebut tidak sesuai lagi dengan umurnya untuk di titipkan kepada pembinaan tahanan Negara oleh putusan pengadilan. Melalui Putusan Pengadilan 56



Marlina, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, (Makalah : dalam Mahmul Siregar dkk), Pedoman Praktis Melindungi Anak dengan Hukum Pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam, Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Medan, 2007. hlm 92-93.



72



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Negeri Muara Enim Nomor 372/Pid.Sus/2014/PN.Mre, maka tugas Hakim dalam memberikan keadilan melalui putusan-putusannya tentu saja harus bersifat obyektif. Dan hakim dalam menjalankan tugasnya harus bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat dan juga kepada Negara. Oleh karena itu hakim dalam mengambil keputusan harus benar-benar telah mempertimbangkan rasa keadilan dalam masyarakat. b. Restorative Justice Implementasi Dari Nilai Filsafat Pancasila



Penelitian buku ini lebih mengkaji pada persoalan nilai keadilan yang menjadi perhatian serius di tengah masyarakat. Proses hukum di wilayah hukum peradilan hingga saat ini dianggap belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai keadilan bagi para pencari keadilan sehingga menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan sebagian banyak pihak. Keadilan menjadi sesuatu yang jauh dari jangkauan masyarakat sehingga perlu adanya sistem peradilan yang memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. Secara garis besar penulisan buku ini, mengkaji konsep keadilan restorative justice dan analisis nilai filsafat Pancasila dalam konsep keadilan restoratif. Penelitian ini, adalah penelitian tentang permasalahan-permasalahan aktual terkait keadilan dan Filsafat Pancasila. Penulis berusaha menganalisis peranan Filsafat Pancasila sebagai Genetivus Subjectivus dengan konsep Keadilan Restoratif Justice. Tahapan penelitian ini meliputi pengumpulan data, klarifikasi data yang diperoleh, menganalisis data, dan menuangkan analisis dalam bentuk evaluasi kritis. Analisis data yang ada menggunakan unsur-unsur metodis: deskripsi, interpretasi, holistika, dan heuristika. Hasil dalam penelitian ini adalah: Pertama, Keadilan Restoratif merupakan Keadilan yang dilandasi perdamaian antara pelaku, korban dan masyarakat. Hal tersebut merupakan moral etik dari Keadilan Restoratif, oleh karena itu keadilannya dikatakan sebagai "Just Peace Principle". Prinsip ini 73



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



mengingatkan bahwa keadilan dan perdamaian pada dasarnya tidak dapat dipisahkan. Perdamaian tanpa keadilan adalah penindasan, keadilan tanpa perdamaian adalah bentuk baru penganiayaan/ tekanan. Dikatakan sebagai Just Peace Principle atau Just Peace Ethics karena pendekatan terhadap kejahatan dalam Keadilan Restoratif bertujuan untuk pemulihan kerusakan akibat kejahatan (it is an attempt to recovery justice), upaya ini dilakukan dengan mempertemukan korban, pelaku dan masyarakat. Kedua, Dalam perspektif filsafat Pancasila, konsep keadilan restoratif ini sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Pancasila secara filosofis sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia memberikan ruang agar konsep Keadilan Restoratif ini dapat diterapakan dengan tidak melanggar aturan-aturan hukum yang telah ada. Keadilan restoratif atau restorative justice merupakan suatu cara pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana melalui pemulihan. Konsep ini pada dasarnya lebih menitikberatkan pada adanya partisipasi atau ikut serta langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Sehingga pendekatan ini populer disebut juga dengan istilah non state justice system dimana peran Negara dalam penyelesaian perkara pidana menjadi kecil atau bahkan tidak ada sama sekali. Permasalahan yang hadir dalam hukum pidana Indonesia selama ini, yakni rumusan di dalam KUHP maupun KUHAP mengenai perlindungan hukum dan hak asasi korban belum diatur secara optimal jika dibandingkan dengan pelaku atau tersangka. Misalnya saja, dalam KUHP masih kental akan aliran neoklasik seperti menerima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan pelaku tindak pidana. Sedangkan, posisi korban dalam KUHP belum diatur secara optimal. Permasalahan a quo tidak dapat dilepaskan oleh fokus kajian hukum pidana sejauh ini yang hanya terletak pada perbuatan pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility), dan ancaman pidana. In Casu, fokus tersebut dipengaruhi paham Teori 74



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Absolut (vergeldingstheorien) yang dianut oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbart dan Julius Stahl. Teori yang muncul pada akhir abad ke- 18 ini menganggap pembalasan merupakan legitimasi pemidanaan. Dalam teori ini secara tegas menyatakan pidana dijatuhkan kepada pelaku karena just deserts, bahwa mereka dihukum karena layak untuk dihukum atas perilaku tercela mereka. Konsep just desert di dalam retribusi mengacu pada ill-desert pelaku dan dapat terpenuhi melalui sesuatu bayaran yang negatif atau balas dendam pemidanaan. Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa penyelesaian perkara melalui sistem peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu penegakan hukum (law enforcement) ke arah jalur lambat. Mengapa demikian, karena penegakan hukum itu melalui jarak tempuh yang panjang, melalui berbagai tingkatan mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi bahkan sampai ke Mahkamah Agung yang pada akhirnya berdampak pada penumpukan perkara yang jumlahnya tidak sedikit di pengadilan. Sehingga menyebabkan sistem peradilan pidana kurang maksimal dalam, implementasinya. Selain itu, keadilan yang diharapkan melalui jalan formal ternyata belum tentu mencerminkan rasa keadilan, karena bersifat mahal, berkepanjangan, melelahkan dan tidak menyelesaikan masalah serta yang lebih parah lagi adalah di dalamnya penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (Azhar, 2019). Restorative Justice dan Cita Hukum Pancasila, Mengutip salah satu adagium dalam buku Prof. Eddy Hiariej dengan judul Prinsipprinsip Hukum Pidana (2016: 31) terdapat suatu postulat le salut du people est la supreme, yaitu hukum tertinggi adalah perlindungan masyarakat. Artinya, hukum tertinggi yang merupakan perlindungan masyarakat meliputi nilai-nilai keadilan dan hak asasi yang dimiliki baik bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Perlindungan tersebut wajib untuk dijunjung tinggi dan tidak boleh diabaikan. Dengan 75



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



menggunakan sistem pemidanaan Restorative Justice, Setidaknya dalam penyelesaian perkara pidana dapat melibatkan pelaku kejahatan, korban, dan pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan (Hiariej, 2016: 44). Dengan Restorative Justice juga dapat menegakkan dasar filosofi dari penegakan hukum dan HAM berdasarkan cita-cita Pancasila, yaitu pada sila ke- 4 Pancasila. Sila tersebut memiliki kandungan falsafah permusyawaratan atau musyawarah yang memiliki makna mengutamakan musyawarah dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai mufakat meliputi semangat kekeluargaan, sehingga jika di breakdown falsafah musyawarah mengandung lima prinsip sebagai berikut. Pertama, conferencing (bertemu untuk mendengar dan mengungkapkan keinginan); kedua, search solution (mencari solusi atau titik temu atas masalah yang sedang dihadapi); ketiga, reconciliation (berdamai dengan tanggung jawab masing-masing); keempat, repair (memperbaiki atas semua akibat yang timbul); kelima, circles (saling menunjang) (Prayitno, 2012: 414). Berdasarkan kelima prinsip diatas, maka secara ketatanegaraan restorative justice menemukan dasar pijakannya dalam falsafah sila ke- 4 Pancasila. Dasar pijakan itu jika diimplementasikan dalam pola penyelesaian perkara pidana mengandung prinsip yang disebut dengan istilah VOC (Victim Of-fender Conferencing). Target dalam VOC (Victim Offender Conferencing) adalah mediasi atau VOM (Victim offender Mediation), yaitu kesempatan untuk berdamai dan saling menyepakati perbaikan. (Prayitno, 2012: 414)) Dalam konsep Restorative Justice juga mampu untuk menjawab berbagai masalah yang timbul dalam perkara hukum pidana, yaitu Pertama, kritik terhadap sistem peradilan pidana yang tidak memberikan kesempatan khususnya bagi korban (criminal justice system that disempowers 76



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



individu). Kedua, menghilangkan konflik antara pelaku dengan korban dan masyarakat (taking away the conflict from them). Ketiga, fakta bahwa perasaan ketidakberdayaan yang dialami sebagai akibat dari tindak pidana harus diatasi untuk mencapai perbaikan (in order to achieve reparation). Dengan demikian, penegakan hukum pidana kedepan tentunya dapat berdasarkan atas cita hukum Pancasila, yaitu terwujudnya keadilan bagi seluruh pihak tanpa adanya kerugian bagi salah satu pihak. Dengan ini juga dapat merubah paradigma yang digunakan dalam tujuan pemidanaan ialah untuk memperbaiki kerusakan yang bersifat individual dan sosial (individual and social damage) yang diakibatkan oleh pelaku tindak pidana (dader strafrecht). Mengingat, korban memiliki hak asasi untuk mendapatkan perbaikan, pemulihan, dan keadilan atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku. 57 c. Kedudukan Pancasila Dalam Pembaharuan Sanksi Kebaikan hanya dapat terwujud jika ada cinta manusia terhadap sesamanya, dan cinta ini hanya akan terwujud jika ada keadilan. Kondisi keadilan akan terbentuk jikaada hukum yang akan menjadi sarana bagi penyelenggaraan cinta kepada sesama tersebut. Dengan demikian, sudah seharusnyalah hukum itu bersumber pada akal budi. Jika hukum disusun supaya dapat mengikat perbuatan manusia, hukum harus adil dan membimbing manusia menuju tujuan akhir, yaitu kebaikan. Dalam hubungan antara interaksi sosial dan keberlakuan hukum kecenderungan untuk mempertahankan diri, kecenderungan untuk hidup bermasyarakat, kecenderungan untuk memperoleh kebenaran, dan kecenderungan untuk berbuat atas putusan akal. Keempat wujud keberlakuan hukum tersebut sangat relevan dengan sifat-sifat hakiki Pancasila yang secara kodrat menempatkan manusia sebagai makhluk Tuhan yang satu yang 57



https://advokatkonstitusi.com/restorative-justica-dan-cita-hukum-pancasila/



77



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



bercita-cita untuk keberadaan manusia, sebagai makhluk yang bersatu dengan lingkungannya berdasarkan rasa persaudaraan, dan sebagai makhluk yang harus hidup bersama dan berkehendak untuk menciptakan keadilan yang bersifat sosial bagi masyarakat Indonesia. Indonesia sebagai suatu sistem yang berisi kumpulan orang- orang yang berbeda, tetapi satu karena persatuanny dengan meniadakan perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan melebur dalam berbagai aspek. Pancasila adalah ideologi (keyakinan) bangsa Indonesia yang menghendaki agar manusia Indonesia sebagai manusia yang berketuhanan, berkemanusiaan, mempersatukan manusia akan cita-cita kemanusiaannya, bercakap-dengar dengan manusia lainnya, dan adil sebagai dasar cita akan keadilan. Pancasilalah yang dapat menjadi tolok ukur untuk dapat disebut sebagai “manusia Indonesia yang seutuhnya”. Hakikat hukum menurut Pancasila untuk keluarga besar bangsa Indonesia adalah hukum yang berketuhanan, berkemanusiaan, mengutamakan persatuan dan kejayaan Indonesia, berkerakyatan, dan tentunya berkeadilan. Selain itu, Pancasila adalah etika yang menjadi tolok ukur untuk dapat disebut sebagai “manusia Indonesia yang seutuhnya”. Manusia Indonesia yang seutuhnya adalah manusia yang memenuhi hukum keindonesiannya. Hukum keindonesiaan ini pula yang menuntun bangsa Indonesia dalam bersikap dan bertindak, baik kepada sesama maupun lingkungannya. Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, hukum tidak bersifat statis, tetapi bersifat dinamis yang dipengaruhi terus-menerus sesuai dengan kebutuhan dan kemauan masyarakat. Sistem hukum yang sesuai di Indonesia adalah sistem hukum yang dilandasi oleh nilai- nilai kehidupan dan kebudayaan bangsa Indonesia, yaitu Pancasila yang oleh para founding father telah ditetapkan sebagai dasar falsafah bangsa dan negara. Dengan demikian, tatanan sistem hukum nasional harus mengacu pada cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Beberapa ahli hukum memberikan pendapatnya mengenai 78



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



ciri-ciri sisem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila. Menurut Prasetyo, sistem hukum nasional yang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat Indonesia adalah sistem hukum nasional berdasarkan Pancasila yang mencakup nilai-nilai berikut. a. Ketuhanan yang Maha Esa Pembentukan hukum di Indonesia harus dilandasi oleh nilai nilai ketuhanan atau keagamaan. Selain itu, hukum harus memberikan jaminan kebebasan beragama dan tidak boleh mengistimewakan salah satu agama danmenganaktirikan agama lainnya. b. Kemanusiaan yang adil dan beradab Setiap pembentukan hukum harus ada jaminan dan penghormatan terhadap hak hak asasi manusia c. .Persatuan Indonesia hukum harus memperhatikan persatuan dan integritas bangsa dan negara. Pembentukan hukum tidak boleh memicu perpecahan (disintegrasi) bangsa dan negara. d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan Pembentukan hukum harus dilandasi dengan nilai-nilai demokrasi yang melibatkan semua unsur yang ada di negara, baik pemerintah, legislatif, maupun masyarakat. e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pembentukan hukum nasional harus bertujuan untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sistem hukum yang berdasarkan Pancasila dapat memberikan keseimbangan di antara nilai-nilai yang bertentangan dalam masyarakat. Sistem hukum harus mampu memberikan titiktitik keseimbangan dalam upaya negara melakukan pembangunan yang perubahannya sangat cepat yang akan menghilangkan keseimbangan lama, baik dalam hubungan antarindividu mauun kelompok dalam masyarakat. Selain itu, sistem hukum nasional akan membuat harmonisasi hukum dan 79



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



menghilangkan pluralisme sistem hukum sehingga sistem hukum nasional yang harmonis dalam arti selaras, serasi, seimbang, dan konsisten, serta menghindari pertentangan norma hukum satu dengan norma hukum lainnya dapat terbentuk. d. Konsep dan Bentuk Sanksi Pidana yang Sesuai dengan Filsafat Pancasila dan Prospeknya dalam Pembaharuan Sistem Pemidanaan di Indonesia 1. Filsafat Pemidanaan Manfaat yang diberikan dari penjatuhan hukuman pidana tersebut didukung oleh John Andenaes yang menyatakan bahwa pidana harus dapat memiliki manfaat berupa pencegahan kepada pelaku untuk melakukan kejahatan (special preventif), pencegahan kepada masyarakat umum untuk tidak melakukan kejahatan (general preventif), dan memberikan pengaruh untuk memperkuat moral masyarakat dan mendorong perilaku patuh pada hukum (Saleh, Roeslan, 1987:36). Pendapat lainnya menyatakan bahwa pidana bertujuan untuk menakuti (deterrence) pelaku kejahatan. Tujuan tersebut diberikan agar pelaku jera melakukan kejahatan, kepada masyarakat agar masyarakat lain takut untuk melakukan kejahatan, dan tujuan yang bersifat jangka panjang agar keserasian hidup masyarakat dapat terjaga. Konsep pemidanaan disampaikan melalui konsep restoractive justice yang menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan langsung dari pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sedangkan pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk 80



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



menghormati dan rasa saling mengasihi antara sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik dan memperbaiki luka- lukanya. Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkena pengaruh seperti korban, pelaku, dan kepentingan komunitasnya, serta memberikan keutamaan pada kepentingan- kepentingannya. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Restorative justice juga mengupayakan untuk me-restore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control. Barbagai tujuan pemidanaan yang disampaikan di atas tidak tertulis dalam KUHP, tetapi secara tersirat menyampaikan beberapa tujuan pemidanaan. KUHP menyatakan bahwa hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan (memberikan keterangan yang berbelit-belit, tidak menyesali perbuatannya, dan mangkir) dan hal yang meringankan terdakwa (terdakwa masih muda, sopan dalam proses peradilan, mengakui dan menyesali perbuatannya, dan belum pernah dihukum sebelumnya). Pascakemerdekaan Indonesia yang memiliki filsafat Pancasila sehingga tujuan pemidanaan harus disesuaikan dengan mengedepankan prinsip-prinsip pemidanaan dalam pandangan filsafat Pancasila yang dilakukan sesuai dengan budaya yang



81



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



dianut bangsa Indonesia dengan memperhatikan prinsip-prinsip berikut.58 1. Pengakuan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa sehingga wujud pemidanaannya tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama maupun kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pemidanaan terhadap seseorang harus diarahkan pada penyadaran iman dari terpidana sehingga dapat bertobat menjadi manusia yang beriman dan taat. Dalam hal ini, pemidanaan harus berfungsi sebagai pembinaan mental orang yang dipidana dan mentransformasikan terpidana menjadi orang yang religius (Sahetapy, J. E., 1982: 284). 2. Pengakuan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Pemidanaan tidak boleh mencederai hak- hak asasinya yang paling dasar dan jaminan atas hak hidup. Hak ini adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable right) serta tidak boleh merendahkan martabatnya dengan alasan apapun. Implikasinya adalah walaupun terpidana berada dalam lembaga pemasyarakatan, unsur-unsur dan sifat perikemanusiaannya tidak boleh dikesampingkan demi membebaskan yang bersangkutan dari pikiran, sifat, kebiasaan, dan tingkah laku jahatnya. 3. Solidaritas kebangsaan dengan orang lain sebagai sesama warga bangsa. Pelaku harus diarahkan pada upaya meningkatkan toleransi dengan orang lain, memumbuhkan kepakaan terhadap kepentingan bangsa, dan mengarahkan untuk tidak melakukan kejahatan. Dengan kata lain, 58



Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2002, Konsep Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 2000, Jakarta



82



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



pemidanaan perlu diarahkan untuk menanamkan rasa kecintaan terhadap bangsa (Sahetapy, J. E., 1982: 284). 4. Menumbuhkan kedewasaan sebagai warga negara yang berkhidmat, mampu mengendalikan diri, disiplin, dan menghargai, serta menaati hukum sebagai wujud keputusan rakyat (Sahetapy, J. E., 1982: 284). 5. Menimbulkan kesadaran kewajiban setiap individu sebagai makhluk sosial yang menjunjung keadilan bersama orang lain sebagai sesama warga masyarakat. Perlu diingat bahwa pemerintah dan rakyat harus ikut bertanggung jawab untuk membebaskan terpidana dari kemelut dan kekejaman kenyataan sosial yang melilitnya menjadi pelaku tindak pidana (Sahetapy, J. E., 1982: 284). 2.



Konsep Pidana Kerja Sosial Menurut Filsafat Pancasila Pidana kerja sosial selaras dengan sila kelima Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai bekerja keras dalam menjalani pemidanaan. Kerja keras adalah salah satu sarana utama untuk menuju keadilan sosial. Pidana kerja sosial juga sesuai dengan nilai-nilai sila kedua, . Dalam sila kedua tersebut terkandung nilai-nilai pengakuan terhadap martabat manusia karena manusia Indonesia adalah bagian dari warga masyarakat dunia yang berharkat dan bermartabat sama sebagai hamba Tuhan. Manusia dituntut berlaku adil dan menghormati hak asasi lainnya dan memandang nilai penghormatan terhadap hak dan kewajiban manusia. Dalam pidana kerja sosial juga terkandung nilai pengayoman, yaitu mengayomi narapidana dari pergaulan kelompok kriminal lain yang dapat mengakibatkan narapidana bertambah jahat, mengayomi narapidana agar dapat hidup layak di kemudian hari, dan mengayomi narapidana dari balas dendam masyarakat atau korban kejahatan. Nilai-nilai Pancasila tersebut 83



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



harus dilihat dari suatu kebulatan karena, meskipun nilai-nilai tersebut dapat dibedakan, pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Manfaat pidana kerja sosial bagi pelaku adalah dapat meberikan kesempatan untuk menyumbang kepada masyarakat dengan bekerja untuk masyarakat dan memberikan kesempatan untuk mengembangkan sikap positif, keahlian, dan kepercayaan diri. Manfaat pidana kerja sosial bagi lembaga atau institusi yang berperan serta menyediakan tempat untuk melakukan pidana kerja sosial adalah memberikan pelaku kesempatan untuk ikut dalam program-program masyarakat dan mempelajarinya dan tersedianya sukarelawan untuk membantu di tempat kerja. Sementara itu, manfaat pidana kerja sosial untuk masyarakat luas adalah pidana kerja sosial lebih ringan biayanya dengan mempekerjakan pelaku di dalam masyarakat daripada memasukkannya ke penjara. 3. Pidana Pelangaran Denda Menurut Filsafat Pancasila Pancasila merupakan falsafah negara Indonesia yang merupakan roh jiwa bangsa, kepribadian bangsa, sarana dan tujuan hidup bangsa, pandangan hidup bangsa, dan sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia, serta sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia dalam bernegara. Sebagai sanksi untuk mengembalikan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan kerusakan individual maupun masyarakat, pidana denda juga harus dikenakan dengan memperhatikan nilai- nilai Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia. Pidana denda yang dilaksanakan dengan itikad atau kerelaan membayar ganti rugi kepada korban dan atau keluarganya berarti sama nilainya dengan keinginan untuk menyeimbangkan, menyelaraskan, dan menyerasikan kembali kerusakan individual akibat tindak pidana 84



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



yang dilakukan oleh pelaku. Terlebih lagi, keberadaan jenis sanksi ganti rugi secara sosiologis sudah dikenal sejak beratusratus tahun yang lalu, bahkan sebelum hukum pidana positif berlaku di bumi Indonesia. 4. Pidana Eksekusi Mati Menurut Filsafat Pancasila Setiap manusia dilengkapi dengan akal budi dan nurani yang memungkinkan manusia membedakan yang baik dari yang buruk, yang adil dari yang tidak adil, yang manusiawi dari yang tidak manusiawi, yang perlu dari yang tidak perlu, yang harus dan yang tidak harus dilakukan, yang boleh dan yang dilarang. Dengan semua itu manusia memiliki kebebasan dan kemampuan untuk menentukan sendiri pilihan tindakan yang (akan) dilakukannya serta kehidupan yang ingin dijalaninya. Oleh karena itu, setiap manusia bertanggung jawab untuk perbuatan yang telah atau akan dilakukannya. Adanya akal budi dan nurani itu menjadi landasan dari martabat manusia. Eksistensi manusia dikodratkan dalam kebersamaan dengan sesamanya sehingga penyelenggaraan kehidupan manusia atau proses merealisasikan diri dari setiap manusia berlangsung dalam kebersamaannya itu, yakni di masyarakat. Untuk dapat merealisasikan diri secara wajar, manusia memerlukan ketertiban dan keteraturan dalam kebersamaan itu. Oleh karena itu, manusia memiliki kodrat kebersamaan dengan sesamanya sehingga hukum harus bersifat kekeluargaan. Hukuman mati diputuskan dan dilaksanakan oleh negara dalam kerangka tata hukum positif yang ada. Hingga kini, khususnya sejak Thomas Hobbes, banyak orang memandang atau memahami negara hanya sebagai gejala kekuasaan dan ketertiban belaka. Dalam pengertian ini, masalah hukuman mati hanyalah masalah sejauh mana negara mampu melaksanakannya dan sejauh 85



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



mana efektivitas pelaksanaannya terhadap tujuan menegakkan kekuasaan dan mewujudkan ketertiban. Aspek moralitas dari hukuman mati cenderung dipandang kurang atau tidak relevan Akan tetapi, kini semakin banyak orang yang memahami gejala negara sebagai salah satu bentuk manifestasi dari cara manusia menghadirkan diri di dunia yang terdorong oleh kodrat kebersamaannya. Karena kodratnya, manusia tidak dapat mengelakkan kebersamaannya dengan segala konsekuensinya. Untuk memungkinkan pengembangan diri secara otentik dalam kebersamaannya, dalam interaksi antarsesamanya, manusia sepanjang perjalanan sejarah telah memunculkan berbagai institusi sosial. Demikianlah, hukum pidana dapat dipandang sebagai salah satu jawaban manusia untuk menanggulangi kecenderungan negatif yang ada dalam diri manusia dan/atau yang dapat ditimbulkan dalam proses interaksi. Kecenderungan negatif itu dapat membatalkan proses sosialisasi dan membahayakan sendi kehidupan bersama. Dengan demikian, seharusnya hukuman (sanksi pidana) mempunyai tujuan sebagai berikut: a. Resosialisasi pelanggar hukum, yakni untuk memungkinkan pelanggar dapat berpartisipasi lagi dalam proses-proses interaksi kemasyarakatan. Dalam hal ini, hukuman ditujukan untuk mengendalikan ketaatan orang yang telah melanggar hukum sehingga dapat direintegrasikan dalam masyarakat. Tujuan ini disebutjuga tujuan reformatif. b. Melindungi masyarakat dan para warganya, tujuan hukuman yang dikemukakan tadi didasarkan pada asumsi bahwa hukuman juga melibatkan interaksi antara individu (warga masyarakat) dan masyarakat. Oleh karena itu, hukuman harus



86



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



memperhitungkan juga hari esok pelanggar (delinquent) dan masyarakat. Dengan demikian, hukuman mati tidak konsisten dengan pengertian tujuan hukuman tadi. Manusia selalu dihadapkan pada berbagai tantangan dan rintangan sebagai masalah hidupnya. Manusia harus, akan, dan telah berusaha untuk menjawab tantangan dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Semua itu berlangsung dalam interaksi kebersamaannya. Dalam rangka memberikan jawaban terhadap tantangan-tantangan itu, manusia memunculkan berbagai institusi yang terus-menerus mengalami perkembangan dan perubahan dalam jenis, kuantitas, dan kualitasnya. Selain itu, pengadaan dan pelaksanaan hukuman mati dapat mempunyai efek demoralisasi dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, mungkin ada gunanya untuk mempertimbangkan Deklarasi Stockholm (Desember 1977) yang antara lain mengemukakan hal-hal berikut : 59 a. Hukuman mati sering digunakan sebagai alat penindasan rasial, etnis, golongan agama, anggota oposisi politik, dan golongan minoritas. b. (Eksekusi) hukuman mati adalah suatu tindakan kekerasan dan kekerasan cenderung memancing kekerasan lagi. c. Hukuman mati tidak terbukti memiliki daya penangkal (deteransi) yang khusus. d. Eksekusi hukuman mati bersifat irrevocable. ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), PKBI, dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP bekerja sama dengan Program 59



Arief, Barda Nawawi, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep Baru, Jakarta, Prenadamedia



87



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila dan Ikatan Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila mengadakan Seminar Nasional bertajuk “Mendorong Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia: Menggali Pemikiran Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia”. “Menyiapkan Ruang Keadilan bagi Korban Kejahatan dengan Paradigma Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia”, dengan pembicara Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A. (Tim Perumus RKUHP), H. Arsul Sani, S.H., M.Si. (Anggota Panja RKUHP), Prahesti Pandanwangi, S.H., Sp.N, LL.M. (Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas), Dr. Rocky Marbun S.H., M.H. (Akademisi Universitas Pancasila), dan Zainal Abidin, S.H., M.Law&Dev. (Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP). Diskusi yang dipandu oleh Dr. iur. Asmin Fransiska (Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta) ini diawali dengan keynote speech dari Mardjono Reksodiputro yang menyampaikan makalah pengarah berjudul, “Mendorong Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia”. Dalam sambutan kuncinya, Mardjono melontarkan pertanyaan tentang; apa itu restorative justice atau keadilan restoratif. Ia melanjutkan bahwa keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban. Menurutnya, keadilan restoratif penting dikaitkan dengan korban kejahatan, karena pendekatan ini merupakan bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang cenderung mengarah pada tujuan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya. Lebih jauh, Harkristuti Harkrisnowo menjelaskan bahwa pendekatan keadilan restoratif ini penting untuk menjadi salah satu unsur dalam pembaruan Kitab 88



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia. Pendekatan tersebut bertujuan untuk memulihkan korban, pelaku, dan masyarakat. Salah satu Tim Perumus RKUHP ini menekankan bahwa sistem hukum pidana di Indonesia belum spesifik memperhitungkan suara, pengalaman dan perspektif korban. “Padahal, kerugian yang dialami korban (yang bisa berujung pada ganti rugi) dan unsur ‘pemaafan’ dari korban adalah dua hal yang harus diperhitungkan dalam proses perkara. Di lain sisi, proses perumusan RKHUP itu sendiri sudah berjalan sejak lama dari 1945. Saat ini, proses pembahasan RKUHP sudah memasuki tahap akhir. DPR dan Pemerintah menargetkan pembahasan RKUHP sekaligus pengesahannya tuntas pada pertengahan Juli 2019. Arsul Sani mengungkapkan bahwa RKUHP telah mengadopsi pendekatan keadilan restoratif. RKUHP telah mengatur tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan, dan pertimbangan yang diwajibkan dalam pemidanaan yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP, dan juga menghapus pidana mati dari pidana pokok. Pendekatan keadilan restoratif dalam sistem hukum pidana ini pun menjadi salah satu agenda dalam RPJMN 2020–2024. Urgensi itu semakin menyeruak setelah Prahesti dan tim melihat Lembaga Pemasyarakatan yang terlampau penuh (over-crowded), yang justru menurutnya tak lagi relevan karena lebih mengarah pada “penjagaan”, bukan pemidanaan. Mengenai peran korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, Rocky Marbun, meminjam istilah Heidegger untuk menggambarkan kondisi peradilan pidana di Indonesia sebagai suatu keterlemparan (gowerfen-sein) dalam mitos modernitas. Mitos modern ini merupakan common sense tanpa kritik, yang sejak dulu sudah ada dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Mitos ini sudah mengental dan memiliki kekuasaan sejak dulu. 89



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Zainal Abidin juga menambahkan soal urgensi pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Pendekatan tersebut menurutnya mengubah konsep dari sekadar menghukum dan mengisolasi pelaku. Ia menjelaskan bahwa pendekatan tersebut berperan sebagai healing justice, yaitu suatu cara dalam mendekati masalah kejahatan dengan menangani kerusakan dengan tujuan mengurangi kerusakan, dengan proses yang holistik, penghormatan pada para pihak, memperbaiki kerusakan dan menciptakan perubahan. Pendekatan keadilan restoratif ini sesungguhnya sangat dekat dan erat kaitannya dengan peradilan kasus pidana anak dan perempuan. Di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan sebagai langkah awal menuju pemenuhan HAM anak dan perempuan. Salah satunya dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dan Perma No 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.60 5. Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Victimology Dalam kehidupan manusia selalu menghadapi berbagai masalah yang datang silih berganti, tidak kenal titik usia dan akhir. Masalah itu menjadikan manusia sebagai makhluk yang kehilangan arah dan tujuan. Manusia mempunyai ambisi, keinginan dan tuntutan yang disertai dengan nafsu, tetapi karena gagal dikendalikan dan dididik sehingga mengakibatkan masalah yang dihadapi semakin banyak dan beragam. Berbicara tentang kejahatan, maka ada dua pihak yang terkait, yaitu pelaku kejahatan dan korban. Kedua pihak ini harus langsung terkait. Artinya ada orang yang dinyatakan sebagai pelaku, yang karena perbuatannya 60



https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/paradigma-restorative-justicedalam-pembaruan-hukum-pidana-indonesia



90



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



tersebut telah menimbulkan korban, berupa kerugian yang dialami oleh pihak lain. Konsep hukum pidana ini telah diterima sejak jaman dahulu kala. Kejahatan merupakan bagian kehidupan masyarakat dan merupakan peristiwa sehari-hari, perampokan, pemerkosaan, penipuan, penodongan atau berbagai bentuk perilaku lainnya, memperlihatkan sebuah dinamika sosial, suatu bentuk normal kehidupan sosial. 61 Jauh sebelumnya, seorang Filsuf bernama Cicero mengatakan “Ubi Societas, Ibi Ius, Ibi Crimen” (Ada masyarakat, Ada hukum, dan ada Kejahatan). Masyarakat saling menilai, menjalin interaksi dan komunikasi, tidak jarang timbul konflik pertikaian. Pada umumnya suatu tindakan kriminal atau kejahatan akan timbul apabila dalam diri individu atau kelompok timbul niat untuk melakukan kejahatan dan niat itu terealisasi secara konkrit dengan adanya kesempatan atau faktor pendukung, baik oleh faktor lingkungan yang bersifat kompleks maupun faktor dari diri calon korban yang merupakan salah satu penyebab terjadinya tindak pidana. 62 Ada tiga fase perkembangan victimology dalam mengkaji permasalahan korban degan segala aspeknya. Pada awalnya, victimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja pada fase ini dikatakan sebagai penal or special victimology. Pada fase kedua, victimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan saja, tetapi juga meliputi korban kecelakaan saja. Pada fase ini disebut sebagai general victimology. Fase ketiga victimologi telah berkembang luas lagi yakni mengkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasaan dan hak 61



Mien Rukmini, 2006, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, Alumni, Bandung, hlm. 94. 62



Menurut Moeljatno dalam Adami Chazawi, niat jika dipandang dari sudut bahasa adalah sikap batin seseorang yang memberi arah kepada apa yang akan diperbuatnya. Karena niat dengan kesengajaan dalam pandangan Moelyatno tidak sama, Adami Chawawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 3, Percobaan & Penyertaan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 164-165



91



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



asasi manusia. Fase ini disebut sebagai New Victimology. Perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya sejak lahirnya kriminologi 63 serta victimology telah merubah paradigma hukum. Kriminologi dan viktimologi menggambarkan betapa sulitnya untuk memahami dengan jelas tentang sebab-sebab suatu permasalahan kriminalitas. Apalagi dalam hal ini untuk meyakinkan adanya potensi atau kemungkinan (possibility) seorang korban kejahatan (victim) yang telah menderita justru menjadi salah satu faktor (causa) terjadinya kejahatan. 64 Batasan kejahatan dalam arti yuridis adalah tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana, tingkah laku manusia dimaksud dapat dipelajari dengan menggunakan pendekatan yakni pendekatan deskriptif yaitu observasi dan pengumpulan fakta-fakta tentang kejahatan dan pelaku kejahatan, pendekatan sebab akibat (the casual approach) yaitu penafsiran terhadap fakta-fakta dapat dipergunakan untuk mengetahui sebabmusabab kejahatan baik di dalam kasus-kasus yang bersifat umum maupun yang bersifat individual, pendekatan secara normatif (the normative approach) yaitu dengan indiographic-discipline dan nomothetic-disciplene. Dengan indiographic-discipline dimaksud adalah mempelajari fakta-fakta, sebab-sebab akibat dan kemungkinan-kemungkinan dalam kasus-kasus individual sedangkan nomothetic-discipline adalah bertujuan untuk menemukan atau mengungkapkan hukum-hukum umum yang bersifat ilmiah yang diakui keseragaman hukum-hukum yang 63



Lihat dalam Hendrojono, 2005, Kriminologi, Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum, Dieta Persada, Jakarta, hlm. 7, Kriminologi terutama ditujukan untuk menganalisa atau mencari sebab-sebab kejahatan (etiology of crime), tetapi tidak terbatas pada bidang tersebut saja, pun meliputi Phenomenology dan Politik Kriminal dan juga tidak dapat dikesampingkan juga Victimology (ilmu tentang korban tindak kejahatan(victim). 64 Syafruddin , 2002, Peranan Korban Kejahatan (Victims) dalam Terjadinya Suatu Tindak Pidana Kejahatan Ditinjau dari Segi Victimology, USU Press, hlm. 2.



92



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



bersifat ilmiah yang diakui keseragaman atau kecenderungankecenderungannya. Hal ini berarti kriminologi berkenaan dengan penyelidikan sifat-sifat daripada hukum-kriminologi dan kecenderungan-kecenderungannya, Berkenaan dengan perlindungan masyarakat dari kejahatan maka dapat diketahui fungsi hukum pidana yakni memiliki fungsi ganda, fungsi yang pertama yaitu fungsi primer sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian politik kriminal) dan yang sekunder, ialah sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan secara spontan atau secara dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya. Dalam fungsi yang kedua ini tugas hukum pidana adalah policing the police yakni melindungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang mungkin menggunakan pidana sebagai sarana secara tidak benar, kejahatan itu timbul dapat dilihat dari peranan atau keterlibatan korban dan terjadinya interaksi antara korban dan pelaku tindak pidana. Fenomena terjadinya tindak pidana secara umum berasal dari pelaku tindak pidana tetapi dapat juga berasal dari korban. Keberadaan pelaku kejahatan dapat diketahui bahwa pada dasarnya si pelaku kejahatan mempunyai bibit kriminil seperti yang diungkapkan oleh kriminolog Lombrosso. Namun faktor internal dari korban sangat mempengaruhi terjadinya tindak kejahatan. Halhal semacam ini harus diperhatikan dalam suatu tindak kriminal, di samping itu hak-hak korban harus dilindungi, dan faktor-faktor penyebab kejahatan dan situasi atau lingkungan terjadinya kejahatan. Kejahatan yang terjadi tentu saja menimbulkan kerugian-kerugian baik kerugian yang bersifat ekonomis materil maupun yang bersifat immateril yang menyangkut rasa aman dan tentram dalam kehidupan bermasyarakat. Secara tegas dapat dikatakan bahwa kejahatan merupakan tingkah laku yang anti sosial. Pada kenyataannya selama ini dalam hal menganalisa 93



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



maupun dalam menangani suatu peristiwa kejahatan perhatian selalu mengarah pada pelaku kejahatan saja. Sedikit sekali perhatian diberikan pada korban kejahatan yang sebenarnya merupakan elemen (partisipan) dalam peristiwa pidana. Apabila dikaji, dilupakannya persoalan korban tersebut disebabkan antara lain karena : Masalah kejahatan tidak dilihat, dipahami menurut proporsi yang sebenarnya secara multi dimensional. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) yang tidak didasarkan pada konsep yang integral dengan etiologi kriminal. Kurangnya pemahaman masalah kejahatan merupakan masalah kemanusiaan, demikian pula masalah korban. 65 Di Indonesia perkara pidana diselesaikan melalui sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. 66 Tujuan sistem peradilan pidana yaitu : 1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan 2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan 3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan.



65



Suryono Ekotama, ST Harun Pudjianto Rs dan G. Wiratama, 2001, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi, dan Hukum Pidana, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hlm 73. 11 Mardjono Reksodiputro (a) Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan) dalam buku Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Ketiga , 2007, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 84 66 Mardjono Reksodiputro (a) Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan) dalam buku Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Ketiga , 2007, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 84



94



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Namun jika dihubungkan dengan sejarah timbulnya restorative justice maka sistem peradilan pidana tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, karena gagal memberi ruang yang cukup pada kepentingan para calon korban dan para calon terdakwa, dengan kata lain sistem peradilan pidana yang konvensional sekarang ini di berbagai negara di dunia kerap menimbulkan ketidakpuasan dan kekecewaan. 12 Paradigma yang dibangun dalam sistem peradilan pidana saat ini menentukan bagaimana negara harus memainkan peranannya berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Negara memiliki otoritas untuk mengatur warganegara melalui organorgannya.67 Bahwa dasar dari pandangan ini menempatkan negara sebagai pemegang hak menetapkan sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (ius punale) dan hak memidana (ius puniendi) sebagai bentuk penanganan suatu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat.14 Namun demikian penggunaan lembaga hukum pidana sebagai alat penanganan konflik menempatkan dirinya sebagai mekanisme terakhir yang lembaga lain tidak dapat menjalankan fungsinya untuk menangani konflik yang terjadi, dengan demikian hukum pidana bersifat ultimum remidium. Implikasi dari pemikiran tersebut adalah pendefinisian kejahatan sebagai suatu serangan terhadap negara berdasarkan aturan perundang-undangan yang dibuatnya sehingga kejahatan merupakan konflik antara pelaku kejahatan dengan negara. Hal ini selaras dengan pernyataan Mardjono Reksodiputro, yaitu kejahatan diartikan sebagai pelanggaran atas hukum pidana, dalam undang-undang pidana maupun ketentuan-ketentuan pidana dalam peraturan perundangundangan lainnya, dirumuskan perbuatan atau perilaku yang 67



Eva Achjani Zulfa, 2011, Restorative Justice dan Peradilan Pro-Korban, dalam buku Reparasi dan Kompensasi Korban dalam Restorative Justice,, Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, Jakarta, hlm. 27.



95



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



dilarang dan diancam dengan hukuman (pidana). 68 Menurut Mardjono Reksodiputro, kejahatan adalah salah satu bentuk tingkah laku manusia, yang ditentukan oleh sikapnya (attitude) dalam menghadapi suatu situasi tertentu. 69 Definisi kejahatan amat sering sekali ditentukan oleh dan untuk kepentingan mereka yang mengendalikan hukum yaitu kelompok tertentu yang memegang kendali kuasa. 70 Hukum pidana yang menjadi acuan menentukan suatu kejahatan, menurut Mardjono Reksodiputro sebagai suatu reaksi terhadap perbuatan ataupun orang yang telah melanggar norma-norma moral dan hukum dan karena itu telah mengancam dasar-dasar pemerintahan, hukum, ketertiban, dan kesejahteraan sosial. Para pelaku kejahatan danggap tidak telah memperdulikan kesejahteraan umum, keamanan dan hak milik orang lain. Dengan demikian atas dasar perlindungan kepada warga negaralah yang berhadapan dengan pelaku kejahatan, dari sinilah muncul posisi korban sebagai pihak yang pada dasarnya paling dirugikan terkait suatu tindak pidana kehilangan perannya. Dalam konteks ini definisi kejahatan dan peran negara menjadi berbeda. Konsep bahwa kejahatan itu merupakan pelanggaran terhadap orang dan hubungan antar orang dan pelanggaran melahirkan kewajiban dan tanggung jawab maka prinsip-prinsip yang terkandung dalam keadilan restoratif adalah :



68



Mardjono Reksodiputro, 2007, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi) dalam buku Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kelima, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi, Universitas Indonesia, hlm. 1. 69 Mardjono Reksodiputro , 2007, Mencari Faktor-faktor Sebab Kejahatan (Suatu Uraian Selayang Pandang) dalam buku Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan Lembaga Kriminologi, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 1. 70 Mardjono Reksodiputro, 2007 , Op.Cit, hlm. 37



96



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



1. Kejahatan adalah suatu pelanggaran terhadap hubungan kemanusiaan 2. Korban dan masyarakat adalah pusat dari proses keadilan 3. Prioritas pertama dalam proses keadilan adalah membantu korban 4. Prioritas kedua adalah memulihkan masyarakat semaksimal mungkin 5. Pelaku yang melanggar mempunyai tanggung jawab pribadi kepada korban dan kepada masyarakat untk kejahatan yang telah dilakukan 6. Merupakan tanggung jawab semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) untuk keadilan restoratif melalui kemitraan melakukan tindakan (partnerships for action). 7. Pelaku akan memperbaiki kompetensi dan pemahamannya sebagai akibat dari pengamannya dalam keadilan restoratif. 71



6. Keadilan Restorative Justice Sarana Hukum Mediasi Pendamai Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawar menawar. Mediasi dapat berhasil baik jika para pihak mempunyai posisi tawar menawar yang setara dan mereka masih menghargai hubungan baik antara mereka di masa depan. Jika ada keinginan untuk menyelesaikan persoalan tanpa niat permusuhan secara lama dan mendalam maka media adalah pilihan yang tepat. Dalam mediasi penyelesaian perselisihan atau sengketa lebih banyak muncul dari keinginan dan inistiatif para pihak sehingga 71



Program National Institute of Justice Restorative Justice Office of Justice, US Departement of Justice, http://www,ojp.usdoj, gov/nij/topics/courts/restorative justice/welcome, html, page. 1.



97



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



mediator berperan membantu mereka mencapai kesepakatankesepakatan. Dalam penyelesaian suatu tindak pidana, dalam kerangka filosofis, hadirnya pendekatan restorative justice dalam hukum pidana bukan bertujuan untuk mengabolisi hukum pidana atau melebur hukum pidana dan hukum perdata, karena pendekatan restorative justice yang mengutamakan jalur mediasi 72 antara korban dan pelaku. Pendekatan restorative justice justru mengembalikan fungsi hukum pidana pada jalurnya semula yaitu pada fungsi ultimum remidium suatu senjata pamungkas bilamana upaya hukum lain sudah tidak dapat lagi digunakan dalam menghadapi suatu tindak pidana dalam masyarakat. Dalam tatanan praktis penanganan dan penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan restorative justice menawarkan alternatif jawaban atas sejumlah masalah yang dihadapi dalam sistem peradilan pidana misalnya proses administrasi peradilan yang sulit, lama dan mahal, penumpukan perkara atau putusan pengadilan yang tidak menampung kepentingan korban. Tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan melalui proses restoratif. Kualifikasi dalam hal mana penyelesaian tindak pidana yang dapat digunakan dalam proses restoratif yaitu sengketa masih dalam batas yang wajar, tindak pidana dimana ada komitment para pihak untuk menyelesaikannya, tindak pidana yang menempatkan pelaku dalam keseimbangan posisi tawar menawar, prosesnya bersifat pribadi dan hasilnya sangat rahasia. Bila restorative justice dinyatakan sebagai suatu jawaban atas ketidakpuasan atau kegagalan sistem peradilan pidana, maka keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespons pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada 72



Lihat dalam Nurnaningsih Amriani, Mediasi, 2011, Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 28,



98



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Suatu pelanggaran hukum pidana dipahami sebagai konflik antar individu yang menimbulkan kerugian kepada korban, masyarakat dan pelanggar sendiri. Diantara ketiga kelompok tersebut, kepentingan korban kejahatan sebagai bagian yang utama, karena kejahatan utamanya adalah melanggar hak korban. 73 Dalam kaitan dengan masalah pemidanaan maka yang dituntut oleh asas keseimbangan ini adalah bahwa pemidanaan itu harus mengakomodasi kepentingan



masyarakat, pelaku dan juga korban. Pemidanaan tidak boleh hanya menekankan pada salah satu kepentingan. Atau seperti dikatakan Roeslan Saleh pemidanaan tidak bisa hanya memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat saja atau kepentingan pembuat saja, atau juga hanya memperhatikan perasaan korban dan keluarganya. 74 Pemidanaan dalam perspektif keseimbangan adalah ketiga-tiganya kepentingan masyarakat, pelaku dan korban. Hanya menekankan kepentingan masyarakat, akan memberi sebuah sosok pemidanaan yang menempatkan pelaku hanya sebagai objek belaka. Pada sisi lain, hanya memperdulikan kepentingan pelakunya, akan memperoleh sebuah gambaran pemidanaan yang sangat individualistis yang hanya memperhatikan hak pelaku dan mengabaikan kewajibannya. Sedangkan terlalu menekankan kepentingan korban saja, akan memunculkan sosok pemidanaan yang hanya menjangkau kepentingan yang sangat terbatas, tanpa dapat mengakomodasi kepentingan pelaku dan masyarakat secara umum. Dengan demikian pemidanaan dalam perspektif keseimbangan harus diarahkan sedemikian rupa agar si terhukum tidak hanya dilihat sebagai objek, tetapi harus ditempatkan sebagai subjek hukum yang utuh yang mengemban hak dan kewajiban sebagai individu, sebagai orang yang bersalah, dan sebagai warga 73



Ashworth, Andrew, Victim Impact Statements and Sentencing, The Criminal Law, Review, Agust, 1993, hlm. 23 74 Roeslan Saleh, 1987, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 4-5.



99



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



negara bangsa masyarakat sekaligus. Di sinilah titik tolak pandangan hidup bangsa Indonesia, yang menurut Soediman Kartohadiprodjo25 adalah keyakinan bahwa manusia itu diciptakan dalam kebersamaan dengan sesamanya, individu dan kesatuan pergaulan hidupnya (masyarakat) merupakan suatu kedwitunggalan. Oleh sebab itu kebersamaan dengan sesamanya atau pergaulan hidup itu adalah unsur hakikat dalam eksistensi manusia. Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana memiliki tujuan. Tujuan penjatuhan sanksi pidana sangat dipengaruhi oleh filsafat yang dijadikan dasar pengancaman dan penjatuhan pidana. filsafat pemidanaan berkaitan erat dengan dengan alasan pembenar (pembalasan, manfaat/utilitas dan pembalasan yang bertujuan) adanya sanksi pidana. Filsafat pemidanaan merupakan landasan filosofis untuk merumuskan ukuran/dasar keadilan apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. filsafat keadilan dalam hukum pidana yang kuat pengaruhnya ada dua yaitu keadilan yang berbasis pada filsafat pembalasan (retributive justice) dan keadilan yang berbasis pada filsafat restorasi atau pemulihan (restorative justice), dan KUHP menganut filsafat keadilan lebih condong kepada retributive justice. Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur control sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari 100



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka lama mereka.75 Karakteristik Restorative Justice menurut Muladi dapat dikemukakan ciri-cirinya : 1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain 2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan 3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi 4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama 5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil kejahatan diakui sebagai konflik 6. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial 7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restorative 8. Menggalakkan bantuan timbal balik 9. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui baik dalam permasalahan maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan si korban diakui, pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab. 10. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan mana yang paling baik. 11. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh moral, sosial dan ekonomis



75



Lihat dalam Daniel W. Van Ness, Restorative Justce and International Human Rights,Restorative Justice, International Perspektif Edited by Burt Galaway and Joe Hudson, (Kugler Publications, Amsterdam, The Netherland (Elsam 2005, Position Paper Advokasi, RUU KUHP Seri 3:11:12.



101



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



12. Dosa atau hutang dan pertanggungjawaban terhadap korban diakui 13. Reaksi dan tanggapan difokuskan pada konsekuensi yang dari perbuatan si pelaku tindak pidana 14. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restorative 15. Ada kemungkinan dorongan untuk bertobat dan mengampuni yang bersifat membantu 16. Perhatian ditujukan pertanggungjawaban terhadap akibat perbuatan (bandingkan dengan retributive justice perhatian diarahkan pada debat antara kebebasan kehendak (free will) dan determinisme sosial psikologis di dalam kausa kejahatan). 76



Keadilan baru dapat terwujud kalau ada keseimbangan yang harmonis antara nilai kepastian hukum dengan nilai kesebandingan hukum. 77 Konsep-konsep Keadilan yaitu kejujuran (fairness), persamaan (equality), tidak memihak (impartiality), serta pemberian sanksi dan hadiah yang patut (appropriate reward and punishment), keadilan harus dibedakan dari kebajikan (benevolence), kedermawanan (generosity), rasa terima kasih (gratitude) dan perasaan kasihan (compassion). Namun praktik yang terjadi kadang-kadang tidak konsisten dengan pencapaian keadilan dan bahkan melanggar asas-asas hukum,. Di samping keadilan tersebut di atas dikenal juga model keadilan, sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desert model) yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu 76



Muladi, 1995, Op.Cit, hlm 27-29



77



Yusrizal, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana & Kriminologi, Softmedia, Jakarta, hlm. 24-25, lihat juga Nyoman Sarikat Jaya Putra, 2008, Beberapa Pemikiran Ke arah Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 140



102



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



pencegahan (prevention) dan retributisi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengikat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakantindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan. Dalam just desert model ini pelaku dengan kejahatan yang sama akan menerima pemidanaan yang sama, dan pelaku kejahatan yang lebih serius akan mendapatkan pidana yang lebih keras daripada pelaku kejahatan yang lebih ringan. Atas dasar ini terdapat kritik untuk teori just desert, yaitu : Pertama karena desert teori menempatkan secara utama menekankan pada keterkaitan antara pidana yang layak dengan tingkat kejahatan, dengan kepentingan memperlakukan kasus seperti itu. Teori ini mengabaikan perbedaan-perbedaan yang relevan lainnya antara para pelaku. Seperti latar belakang pribadi pelaku dan dampak pemidanaan kepada pelaku dan keluarganya, dan dengan demikian seringkali memperlakukan kasus yang tidak sama dengan cara yang sama. Kedua, secara keseluruhan tapi eksklusif menekankan pada pedoman-pedoman pembeda dari kejahatan dan catatan kejahatan mempengaruhi psikologi dari pemidanaan dan pihak yang dipidana. 78 Berkaitan dengan masalah tersebut di atas secara lebih umum khususnya dalam melakukan pembaharuan hukum pidana termasuk di dalamnya tentang masalah pidana dan pemidanaan termasuk jenis pidana dan lebih khusus lagi tentang penyusunan konsep KUHP baru, tidak dapat dilepaskan dari ide/kebijakan pembangunan sistem hukum nasional yang berdasarkan pancasila sebagai nilai-nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Ini berarti pembaharuan Hukum Pidana 78



Michael Tonry, Sentencing Matters, Oxford Unversity Press, New York, 1996, hlm. 14. Lihat juga Elsam, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancanga KUHP Position Papar Advokasi, seri I, 2005, hlm. 10.



103



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Nasional seyogyanya juga dilatarbelakangi dan berorientasi pada ide-ide dasar (basic ideas) pancasila yang mengandung di dalamnya keseimbangan nilai/ide/paradigma, Moral religius (Ketuhanan), Kemanusiaan (Humanistik), Kebangsaan, Demokrasi dan Keadilan Sosial.79 Di samping itu perlu ada harmonisasi /sinkronisasi/konsistensi antara pembangunan/pembaharuan hukum nasional dengan nilai-nilai atau aspirasi sosio-filosofik dan sosio kultural yang ada di masyarakat. Oleh karena itu dalam melakukan upaya pembaharuan hukum pidana nasional, perlu dilakukan pengkajian dan penggalian nilai-nilai nasional yang bersumber pada pancasila dan yang bersumber pada nilai-nilai yang ada di masyarakat (nilai-nilai religius maupun nilia-nilai budaya/adat. Restorative Justice merupakan bentuk pendekatan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.80 Dalam penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restoratif suatu konflik atau kerusakan yang timbul akibat tindak pidana adalah dipandang sebagai suatu konflik yang terjadi dalam hubungan antara anggota masyarakat yang harus diselesaikan dan dipulihkan oleh seluruh pihak secara bersama-sama. Lingkaran penyelesaian berpusat kepada keseimbangan melalui pemberian kesempatan terhadap korban untuk berperan dalam proses penyelesaian tindak pidana. Umbreit menjelaskan bahwa: “restorative justice is a victim centered response to crime that 79



Barda Nawawi, Kebijakan Kriminalisasi Kumpul Kebo dan Santet Dalam Konsep RUU KUHP, Seminar Nasional Menyongsong Berlakunya KUHP Nasiona, FH Unud, Denpasar, 30 April 2005. 80 Apong Herlina, 2004, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Volume 3 No.III September 204, hlm. 19



104



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



allows the victim, the offender, their families, and representatives of the community to address the harm caused by the crime” (Keadilan restoratif adalah sebuah tanggapan terhadap tindak pidana yang berpusatkan pada korban yang mengizinkan korban, pelaku tindak pidana, keluarga-keluarga mereka dan para perwakilan dari masyarakat untuk menangani kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana)81 Terhadap pandangan tersebut Daly,82 mengatakan bahwa konsep Umbreit tersebut memfokuskan kepada memperbaiki kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana yang harus ditunjang melalui konsep restitusi yaitu mengupayakan untuk memulihkan kerusakan dan kerugian yang diderita oleh para korban tindak pidana dan memfasilitasi terjadinya perdamaian. 37 Dengan demikian tepatlah yang dikatakan oleh Tony Marshall bahwa sebenarnya keadilan restorative adalah suatu konsep penyelesaian suatu tindak pidana tertentu yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama mencari permasalahan dan sekaligus mencari penyelesaian dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya di masa mendatang. 83 Prinsip utama penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restoratif merupakan suatu penyelesaian yang bukan 81



Mark Umbreit, Family Group Conferencing, Impications for Crime Victims, The Center for Restorative Justice, University of Minnesota, http:/www/ojp.usdoj/ovc/publications/informasi restorative _justice/9523-family_group/family3.html. 2001. Lihat :Mark M. Lanier dan Stuart Henry. Essential Criminology, Second Edition, Westview, Colorado, USA, 2004, hlm. 332 dan 407-408. 82 Kathleen Daly, Restorative Justice in Diverse and Unequal Societies, Law in Context 1-167-190, 2000, Lihat Mark M. Lanier dan Stuart Henry, Essential criminology , Second Editor, Westview, Colorado, USA, 2004, hlm 332 dan 367 83 Tony Marshall, Restorative An Overview, London, Home Office Research Development and Statistic Directorate, 1999, hlm 5. Diakses dari website:http//www.restorative-justice .org. pada tanggal 6 Mei 2005.



105



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



hanya sekedar alat untuk mendorong seseorang untuk melakukan kompromi terhadap terciptanya kesepakatan, tetapi pendekatan dimaksud harus mampu menembus ruang hati dan pikiran para pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian dalam memahami makna dan tujuan dilakukannya suatu pemulihan dan sanksi yang diterapkan adalah sanksi yang memulihkan dan bersifat mencegah. Pendekatan restoratif sesungguhnya telah dikenal dan dipraktikkan di Indonesia dalam lingkup hukum adat Indonesia, seperti di Papua, bali, Toraja, Batak Minangkabau dan komunitas tradisional lain yang masih kuat memegang kebudayaan. Apabila terjadi suatu tindak pidana oleh seseorang, penyelesaian sengketa diselesaikan di komunitas adat secara internal tanpa melibatkan aparat negara. Ukuran keadilan bukan berdasarkan keadilan retributif berupa balas dendam (an eye for an eye) atau hukuman penjara, namun berdasarkan keinsafan dan pemaafan. (keadilan restoratif). Walaupun perbuatan pidana umum yang ditangani masyarakat sendiri bertentangan dengan hukum positif, terbukti mekanisme ini telah berhasil menjaga harmoni di tengah masyarakat. Keterlibatan aparat penegak hukum negara seringkali justru mempersulit dan memperuncing masalah. Jikalau dalam sistem peradilan pidana berdasarkan hukum barat setiap tindak pidana adalah pelanggaran hukum terhadap negara bukan orang perorangan secara pribadi maka dalam hukum adat suatu tindak pidana dapat dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap orang perorangan, suatu pelanggaran terhadap suatu golongan keluarga atau suatu pelanggaran terhadap suatu desa, sehingga mereka masing-masing berhak untuk mengurusnya. Kesamaan keadilan restorative dengan mekanisme lokal (adat) merupakan sebuah keuntungan karena lebih bisa diterima dan dipraktikkan oleh masyarakat luas. Selain itu ada beberapa kemungkinan yang lain dalam menerapkan keadilan restoratif yaitu : 106



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



1. Keadilan restoratif memfokuskan keadilan bagi korban sesuai keinginan dan kepentingan pribadi, bukan negara yang menentukan 2. Menawarkan pemulihan bagi semua pihak yang terlibat 3. Membuat pelaku bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukannya Dalam proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restoratif, individu-individu dituntut untuk berperan aktif dalam pemecahan masalah dan negara ditempatkan sebagai pihak yang harus memberi dukungan bagi individu-individu atau masyarakat yang mempunyai keinginan untuk menyelesaikan konflik yang dialaminya. Dalam pandangan restoratif sebenarnya individu-individu lah yang harus memainkan peran dan tanggung jawabnya dalam pemecahan konflik secara kolektif dan bukan dibebankan kepada negara, negara dianggap tidak mempunyai suatu peran eksklusif atau dominan dalam proses penyelesaian tersebut. Mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan keadilan restoratif didasarkan pada musyarawarah mufakat dimana para pihak diminta berkompromi untuk mencapai kesepakatan.84 Setiap individu diminta untuk mengalah dan menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi demi menjaga keharmonisan bersama. Konsep musyarawarah terbukti efektif untuk menyelesaikan sengketa dalam masyarakat di tengah kegagalan peran negara dan pengadilan dalam memberikan keadilan. 85 Sistem peradilan yang sekarang berlandaskan pada keadilan retributif dan restitutif hanya 84



Stephen Benton dan Bernaddete Setiadi, 1998, Mediation and Conflict Management in Indonesia dalam Conflict Management in the Asia Pacifiis, Assumptions and Approaches in Diversi Cultures eds Kwok,L, dan Tjosvold D, John Wilye and Sons, Singapura, hlm. 228. Jurnal Law Pro Justitia Vol. II, No. 2 – Juni 2017 85 Bruce E Barners, 2007, Culture, Conflict, and Mediation in the Asian Pasific, University Press of America, Maryland, hlm. 109.



107



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



memberi wewenang kepada negara yang didelegasikan pada aparat penegak hukum. pelaku dan korbannya sedikit sekali mendapat kesempatan untuk menyampaikan versi keadilan yang mereka inginkan. Negara yang menentukan derajat keadilan bagi korban dengan memberikan hukuman penjara kepada pelaku. Jim Consedine salah seorang pelopor keadilan restoratif dari New Zealand berpendapat konsep keadilan retributif dan restitutif yang berlandaskan hukuman, balas dendam terhadap pelaku, pengasingan dan perusakan harus digantikan oleh keadilan restoratif yang berdasarkan rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi dalam masyarakat, pemaafan dan pengampunan. Berikut sumber-sumber hukum keadilan restorative justice yang berupa Peraturan Mahkamah Agung (MA) RI Tentang Restorative Justice, Peraturan Jaksa Agung RI Tentang Restorative Justice, dan Peraturan Kapolri Tentang Restorative Justice Pada Perkara ITE.



108



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



109



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



110



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



111



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



112



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



113



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



114



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



115



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



116



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



117



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



118



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



119



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



120



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



121



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



122



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



123



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



124



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



125



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



126



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



127



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



128



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



129



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



130



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



131



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



132



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



133



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



134



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



135



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



136



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



137



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



138



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



139



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



140



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



141



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



142



2021



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



7. Penerapan Keadilan Restorative Justice Polri Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Kapolri Prof. H.Muhammad Tito Karnavian, Ph.D pada 27 Juli 2018 menandatangani Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restorative justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, merupakan entry point dari suatu penegakan hukum pidana melalui sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia. Proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana merupakan kunci utama penentuan dapat tidaknya suatu tindak pidana dilanjutkan ke proses penuntutan dan peradilan pidana guna mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dengan tetap mengedepankan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.Perkembangan sistem dan metode penegakan hukum di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan mengikuti perkembangan keadilan masyarakat terutama perkembangan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dengan membebani pelaku kejahatan dengan kesadarannya megakui kesalahan, meminta maaf, dan mengembalikan kerusakan dan kerugian korban seperti semula atau setidaknya menyerupai kondisi semula, yang dapat memenuhi rasa keadilan korban. Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrin) Polri pada tahun 2012 telah mengeluarkan Surat Telegram Kabareskrim Nomor: STR/583/VIII/2012 tanggal 08 Agustus 2012 tentang Penerapan Restorative Justice, surat telegram tersebut yang dijadikan dasar penyidik dalam penyelesaian perkara pidana dengan keadilan restoratif, hingga muncul Surat Edaran Kapolri Nomor 7 tahun 2018 (SE/8/VII/2018 tanggal 27 Juli 2018) tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Surat edaran Kapolri tentang Restorative Justice inilah yang selanjutnya dijadikan landasan hukum dan pedoman bagi penyelidik 143



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



dan penyidik Polri yang melaksanakan penyelidikan/penyidikan, termasuk sebagai jaminan perlindungan hukum serta pengawasan pengendalian, dalam penerapan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dalam konsep penyelidikan dan penyidikan tindak pidana demi mewujudkan kepentingan umum dan rasa keadilan masyarakat, sehingga dapat mewujudkan keseragaman pemahaman dan penerapan keadilan restoratif (restorative justice) di Lingkungan Polri. Diharapkan, SE Kapolri ini mampu menjadi trigger agar pelaksanaan UU ITE memenuhi rasa keadilan. Yang terpenting pelaksanaan aturan ini tidak ada diskriminasi dan equal treatment terhadap siapapun. Sejak Presiden Joko Widodo meminta Kepolisian selektif menangani kasus dugaan pelanggaran UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU No.19 tahun 2016 (UU ITE), Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bergerak cepat dengan menerbitkan surat edaran. Melalui Surat Edaran (SE) Kapolri No.SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudukan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif, Polri memprioritaskan atau menekankan pendekatan restorative justice (pemulihan keadilan), penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui proses mediasi, dalam penanganan kasus dugaan pelanggaran UU ITE. Kebijakan Kapolri Jenderal Lisyto Sigit Prabowo dalam SE tersebut merupakan tindak lanjut perkembangan situasi dan dinamika masyarakat terhadap implementasi UU ITE. Sebab, penerapan UU ITE dinilai banyak kalangan kontradiktif dengan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi melalui ruang digital yang menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat. “Diharapkan kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat,” demikian bunyi poin 2 SE Kapolri No.SE/2/11/2021 tertanggal 19 Februari 2021 ini. Dalam menegakan hukum yang berkeadilan itu, Kapolri meminta jajaran di bawah agar 144



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



terus mengedepankan upaya edukasi dan persuasif untuk menghindari dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan demi menjaga ruang digital Indonesia menjadi lebih bersih, sehat, beretika, dan produktif. Untuk itu, ada beberapa hal yang penting dipedomani: 86 1. Setiap penyidik mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus mengalami perkembangan dengan berbagai macam persoalannya. 2. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat. 3. Mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber. 4. dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat membedakan dengan tegas antara kritik, masukan, hoaks dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana. Setelah itu, penyidik dapat menentukan langkah yang bakal diambilnya. 5. Sejak penerinaan laporan, penyidik harus berkomunikasi dengan para pihak, khususnya pihak korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi dengan memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melakukan mediasi. 6. Penyidik melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan unsur Badan Reserse Kriminal (Bareskrim)/Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) dapat melalui zoom meeting dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada.



86



https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt6034ad93b26ee/polri-prioritaskanpendekatan-restorative-justice-dalam-penanganan-kasus-uu-ite?page=2



145



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



7. Penyidik berprinsip hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penegakan hukum atau ultimum remidium dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. 8. Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice. Kecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme. 9. Terhadap korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan, namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, maka tidak dilakukan penahanan. Sebelum berkas diajukan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar diberikan ruang untuk mediasi kembali. 10. Penyidik agar berkoordinasi dengan pihak JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberi saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan. Kesebelas, agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil. Kemudian memberi reward dan punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan. “SE ini untuk disampaikan untuk diikuti dan dipatuhi oleh seluruh anggota Polri.” Pakar Hukum Pidana, Suparji Ahmad mengapresiasi terbitnya Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Suparji menilai tindakan ini bentuk respon atas pernyataan presiden terkait UU ITE. Menurutnya, SE tersebut diharapkan mampu menjadi trigger agar pelaksanaan UU ITE memenuhi rasa berkeadilan. Menurutnya, yang terpenting dalam pelaksanaan aturan adalah tidak ada diskriminasi dan equal treatment. "Maka, karena masih ada beberapa laporan terkait UU ITE, misalnya 146



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



terkait ujaran kebencian dan pencemaran nama baik, agar tidak muncul spekulasi diskriminasi, laporan tersebut hendaknya ditindaklanjuti sesuai UU dan konsep presisi. Selain itu, ia mengusulkan agar formulasi penyelesaian kerugian yang diderita pelapor diarahkan pada pemulihan harkat dan martabat secara baik dan benar. Secara umum, kata Suparji, isi SE tersebut bagus. Misalnya soal imbauan bahwa penyidik harus bisa membedakan antara kritik, masukan, hoaks dan pencemaran nama baik. Koordinator Penggerak Millenial Indonesia (PMI) Adhia Muzakki merespon positif kebijakan SE Kapolri No.SE/2/11/2021 ini. Baginya langkah Kapolri mewujudukan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif amat dibutuhkan. Terlebih, banyaknya ujaran kebencian dan pencemaran nama baik yang masif di media sosial. Kebijakan Kapolri tersebut mesti diimbangi dengan usaha kalangan milenial dan seluruh komponen bangsa untuk menggunakan media sosial secara bijak. Antara lain dengan menyebarkan narasi-narasi positif dan konten kreatif. Dia berharap Polri menjadikan kalangan milenial sebagai episentrum menjaga dan merawat kebhinekaan di media sosial. Adhia mencatat, pengguna media sosial di Indonesia pada 2020 didominasi kalangan usia antara 25-34 tahun. Rinciannya, pengguna laki-laki sebanyak 20,6 persen dan perempuan 14,8 persen. Selanjutnya pengguna berusia 18-24 tahun yang rinciannya pengguna laki-laki 16,1 persen dan perempuan 14,2 persen. Berikut ini arahan lengkap tentang kesadaran budaya beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif: Surat Edaran Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif87



87



https://news.detik.com/berita/d-5400820/ini-isi-lengkap-surat-edaran-kapolri-soalpenanganan-perkara-uu-ite



147



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



1. Rujukan: a. Undang-Undang 1945 b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana; c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia e. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik f. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik g. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana h. Surat Edaran Kepala Kepolisan Negara Republik Indonesia Nomor SE/8VII/2018 tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana. 2. Sehubungan dengan rujukan di atas dan mempertimbangkan perkembangan situasi nasional terkait penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dinilai kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital, maka diharapkan kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. 3. Bahwa dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan dimaskud, Polri senantiasa mengedepankan edukasi dan langkah persuasif sehingga dapat menghindari adanya dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan serta dapat 148



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



A. B.



C.



D.



E.



2021



menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif, dengan memedomani hal-hal sebagai berikut: Mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil Sejak penerimaan laporan, agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi



F. Melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada G. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara. H. terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk 149



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme I. korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali J. penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan K. agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan. Surat Edaran ini disampaikan untuk diikuti dan dipatuhi oleh seluruh anggota Polri.Demikian untuk menjadi maklum. Dikeluarkan di Jakarta, pada tanggal: 19 Februari 2021 Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Drs Listyo Sigit Prabowo, M.Si



150



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Bab IV



Penutup Kesimpulan Dan Saran a. Kesimpulan Penulis mengambil kesimpulan bahwa, dalam konsep Restorative Justice dan HAM sangatlah berhubungan, karena dalam konsep tersebut tujuan pemidanaan ditafsirkan lebih luas tanpa melanggar Hak Asasi bagi si pelaku dan korban. Setiap manusia didunia ini memiliki hak yang melekat tanpa pengecualian, seperti hak untuk hidup, hak atas keamanan, hak bebas dari segala macam penindasan dan lain-lain hak yang universal disebut Hak Asasi manusia (HAM). Dengan pertimbangan bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgem, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Dan bahwa selain HAM, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Restorative Justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Terlepas dari kenyataan tersebut bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoritis, akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara.



151



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Pro dan Kontra terhadap konsep Restorative Justice masih terus bergulir sampai dengan tujuan pemidanaan dari suatu pemberian sanksi hukuman kepada pelaku memiliki tujuan yang jelas. Dalam Rancangan Undang-undang KUHP yang baru, disana dijelaskan bahwa setiap kali hakim memutuskan suatu keputusan hukuman, haruslah dijelaskan mengenai tujuan pemidanaan tersebut. Keadilan restoratif atau istilah lain sering di sebut keadilan pemulihan (restorative justice) merupakan suatu cara pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Pendekatan atau konsep keadilan restoratif atau keadilan pemulihan (restorative justice) lebih menitikberatkan pada adanya partisipasi atau ikut serta langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. sehingg pendekatan ini populer disebut juga dengan istilah “non state justice system” di mana peran Negara dalam penyelesaian perkara pidana menjadi kecil atau bahkan tidak ada sama sekali. Namun demikian, kehadiran pendekatan atau konsep keadilan restoratif atau keadilan pemulihan (restorative justice) banyak diwarnai berbagai pertanyaan baik secara teoritis maupun secara praktis. 1. Implementasi konsep keadilan restoratif (restorative justice)



dalam sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia belum dilaksanakan secara terintegrasi. Hal ini salah satunya disebabkan karena sub-sub sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksan, kehakiman, lembaga pemasyarakatan) di Indonesia belum mengerti secara utuh apa sebenarnya yang dimaksud dengan konsep keadilan restoratif. 2. Lembaga peradilan di Indonesia belum menerapkan atau mengimplementasikan konsep keadilan restoratif secara keseluruhan. Hal ini dibuktikan bahwa jika dilihat dari “rangkaian perkembangan konsep keadilan restoratif” maka pelaksanaan 152



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



konsep keadilan restoratif di Indonesia belum dilaksanakan atau masuk dalam kategori “bisa restoratif” (artinya belum menggunakan konsep keadilan restoratif) atau setidaknya sampai dengan tahap “restoratif sebagian”. Sistem peradilan pidana di Indonesia masih berada pada tahap “bisa restoratif” karena keterlibatan korban bukanlah perhatian utama, keputusan dibuat oleh pihak yang tidak secara langsung terkena dampak, tidak ada pilihan untuk dialog di antara mereka yang terkena dampak langsung, fokusnya adalah pada aturan atau hukum yang dilanggar dan konsekuensi dari perbuatannya (pertanggungjawaban pasif), tidak berfokus pada upaya untuk memulihkan kerusakan atau kerugian yang dialami. Selain itu, penulis berpandangan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia setidaknya masuk pada tahap “restoratif sebagian” karena para pemangku kepentingan merupakan kunci untuk memberikan informasi sampai tingkat yang terbatas, beberapa para pemangku kepentingan memiliki beberapa keputusan atau masukan akan tetapi, keputusan akhir tetap dibuat atau disetujui oleh sistem formal. Dalam tahap“restoratif sebagian”, terdapat kesempatan terbatas untuk dialog antara beberapa para pemangku kepentingan, perhatian utama adalah dengan membayar untuk bahaya dan kebutuhan tetapi fokus utama adalah aturan atau hukum yang dilanggar dan segala konsekuensi yang muncul dan beberapa upaya dilakukan untuk memulihkan sebagian kerugian yang sangat nyata. Sering kali, bahaya dan upaya untuk memulihkan diberikan kepada orang lain selain mereka yang secara langsung terkena dampak. b. Saran 1. Strategi pemberantasan tindak pidana di Indonesia memasuki abad modern ini harus mengalami perubahan paradigma yakni 153



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



penanganan suatu tindak pidana tidak dapat dilakukan hanya dengan cara-cara tradisional misalnya hanya dengan memasukan pelaku tindak pidana kedalam penjara melainkan menggunakan sebuah tahapan baru yaitu tahapan penguatan sistem pencegahan (preventive measures) yaitu dengan lebih menitik beratkan atau memprioritaskan kepada pemulihan dampak kejahatan dengan tetap memperhatikan tujuan yang ingin dicapai oleh hukum pidana yaitu efek jera bagi pelaku dan mencegah orang lain untuk melakukan tindak pidana yang salah satunya dapat diwujudkan dengan konsep atau pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). 2. Impelmntasi pelaksanaan peraturan Mahkamah Agung (MA) RI dan peraturan Jaksa Agung RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dan kejaksaan sebagai puncak peradilan sudah terus mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut dengan baik. Konsep keadilan restoratif (restorative justice)akan membantu para mencari keadilan di Indonesia. Dengan cara ini diharapkan peradilan yang ada dibawahnya (Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi) akan mengadopsi, menganut dan menerapkan konsep keadilan restoratif (restorative justice) serata tepat dan benar. Sudah seyogianya pengadopsian dan penerapan konsep keadilan restoratif (restorative justice) dilakukan diberbagai tingkatan atau proses peradilan (tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan) dan juga dilaksanakan oleh Advokat dan Komisi Yudisial. Konsep atau pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) harus dilaksanakan oleh seluruh sub sistem peradilan pidana secara integral, konsisten dan berkelanjutan sehingga tercipta integrated criminal justice system yang restoratif. Melakukan sosialisasi di berbagai instansi penegak hukum mengenai konsep atau pendekatan 154



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



keadilan restoratif dan implementasinya dalam praktek. Hakim dalam menjatuhkan putusan seyogianya menerapkan konsep keadilan restoratif (restorative justice) secara konsisten dan tidak tebang pilih.



155



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



BIODATA PENULIS



Asst. Prof. Dr. Edi Ribut Harwanto, S.H. M.H., lahir di Bendosari, Blitar, Jawa Timur 29 Mei 1974, menyelesaikan doktoralnya pada bulan Februari 2020 di Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah dengan fokus studi pada pendalaman keilmuan bidang hukum pidana ekonomi dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Menyelesaikan pendidikan Strata Satu S1 ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Metro (UMM) Tahun 2008. Pendidikan pasca sarjana Strata Dua S-2 di Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila) Tahun 2010. Pernah menjadi wartawan investigasi Lampung Post (Media Group) dari 1999 sampai 2013. Aktifitas rutin penulis saat ini adalah seorang advokat sejak tahun 2010 dan menjabat Kepala Laboraturium (Kalab) Fakultas Hukum UM Metro dan dosen Hukum Pidana Ekonomi dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Aktifitas lain adalah menjadi Dewan Penasehat DPP LBH Forum Bela Negara Kementrian Pertahanan RI, Duta Perdamaian Dunia MAPIM. Penasehat Hukum Nagaswara dan menjadi konsultan HKI di beberapa perusahaan label Jakarta. Penasehat Hukum perusahan asing asal Malaysia- MPDT Capital Berhad dan PT PMA MPDT Capital Indonesia, Penasehat Hukum perusahaan asal Amerika Serikat PT Napoleon Hill Perwakilan Indonesia, Dewan Hukum di Komite Khittah Nahdatul Ulama (NU) 1926, Penasehat Hukum beberapa Media Online di Jakarta dan Lampung. Penulis juga aktif sebagai trainer ilmu hukum dan motivator pada perusahaan Napoleon Hill mengisi acara-acara diskusi 156



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



publik, seminar nasional dan internasional. Menjadi Dewan Penasehat Dhipa Adista Juticia- Indonesia Intelligence Institute (DAJ-III). Penulis aktif menulis jurnal nasional dan internasional, dan sudah menulis 9 buku, dua buku biogfrafi, 7 buku ilmiah. Buku tersebut, diantaranya, berjudul “Desa Kolonis Menjadi Metropolist, Kota Metro Dulu dan Kini” Tahun 2004, “Apa dan Siapa Wakil Rakyat Lampung Tahun 2008”, “Politik Hukum Pidana” Tahun 2019, “Academic Criticism; Kebijakan Reformulasi Yurisdiksi Ketentuan Ganti Rugi Pidana –Ketentuan Pidana Tahun 2020, “Distorsi Between Dogma And Democracy” Tahun 2020 dan buku ke -6 Tahun 2021 berjudul “Masalah Yuridis Kebijakan Formulasi Aplikasi Eksekusi Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Hak Cipta Di Indonesia dan Upaya Alternatif Penyelesainnya” Buku ke-7, “Filosofi Pendekatan Keilmuan dan Pendekatan Religius Dalam Upaya Memaksimalkan Dan Mereformasi Implementasi Penegakkan Hukum Pidana di Indonesia” terbit Tahun 2021. Buku, ke-8 Kompilasi Jurnal Ilmiah Internasional Nasional Prosiding Atikel Dalam Perspektif Hukum Pidana Nasional”, buku ke-9, berjudul “Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila” Tahun 2021 ***



157



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Daftar Pustaka Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 3-5. Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas, 2003, hlm.170 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Solusi Dan Antisipasi Bagi Peminat Bisnis Dalam Menghadapi Sengketa Kini dan Mendatang, Yogyakarta, Citra Media, 2006, hlm. 30. Geoge pavlich, Towards an Ethics of Restorative Justice, dalam Restorative Justice and The Law, ed Walgrave, L., WWillan Publishing, Oregon, 2002, hlm. 1. Di kutip juga oleh: Dewi DS dan A. Syukur Fatahilah, Ibid. Eva Achjani Zulfa, “Restorative Justice: Alternatife Hukum”. http://evacentre.blogspot.com/2009/11/restorative-justice.Ibid Tony marshall, Keadilan restoratif: Tinjauan di London, Home Office Research Development and Statistics Directorate, 1999. Jakarta: Office Home Penelitian Pengembangan dan Statistik Direktorat, 1999., Page. 5. Lihat juga dalam: Kristian, Penyelesaian Perkara Pidana Dengan Konsep atau Pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Khususnya Secara Mediasi (Mediasi Penal) Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Ditinjau Dari Filsafat Hukum, Jurnal Hukum Mimbar Justitia Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014., hlm. 460. 11 Heru Susetyo dan Tim Kerja Pengkajian Hukum, Laporan Tim Pengkajian Hukum Tentang Sistem Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative Justice, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Tahun 2012., hlm. 9.



158



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, Scottdale, Pennsylvania; Waterloo, Ontario: Herald Press, 1990. page. 181. Lihat juga dalam: Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia, Loc Cit., hlm. 188. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1996, hlm. 2. Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Edisi Delapan, West Publishing CO, Amerika Serikat, 2004, hlm. 901. Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restorative Justice Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, 2013.hlm. 109. Kristian, Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Ditinjau Dari Teori Keadilan, Teori Kemanfaatan dan Teori Negara Hukum (Khususnya Negara Hukum Pancasila) Dalam Rangka Penyelesaian Perkara Pidana di Indonesia, Tesis, Universitas Katolik Parahyangan, 2014., hlm. 313. Kristian, Christine Tanuwijaya, Jurnal PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN KONSEP KEADILAN RESTORATIF (RESTORATIVE JUSTICE) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DI INDONESIA,



Jurnal Mimbar Justia Vol. I No. 02



Edisi Juli-Desember 2015 https://nasional.sindonews.com/read/288400/13/ma-terbitkanpedoman-penerapan-keadilan-restoratif-dalam-perkara-pidana1609639270 https://www.kejaksaan.go.id/berita.php?idu=22&id=17967 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt601056e7ece43/kejaksaa n-hentikan-222-perkara-lewat-keadilan-restoratif/ Detiknews. Menkumham: Kasus Nenek Minah Memalukan. Tersedia di http://m.detik.com/news/berita/1245643/menkum-hamkasus-nenek-minah-memalukan. (Diakses tanggal 7 Juli 2019). 159



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Tempo.co. Mencuri Piring, Nenek Rasmiah Dihukum 4 Bulan. Tersedia di http://metro.tempo.co/read/news/2012/01/31/064380693/menc uri-piring-nenek-rasmiah-dihukum-4-bulan. (Diakses tanggal 7 Juli 2019). Kompas.com. Kejamnya Keadilan “Sandal Jepit”.... Tersedia di http://nasional.kompas.com/read/2012/01/06/09445281/Kejam nya.Keadilan.Sandal.Jepit. (Diakses tanggal 7 Juli 2019) Bonnie, R., Syahrin, A., Marlina & Leviza, J. (2016). Peran Polri dalam Mengimplementasikan Restorative Justice pada Penanganan Perkara Pidana (Studi di Polres Binjai). USU Law Journal, 4(4), 70-85, h. 70. Fatoni, S. (2016). Pembaharuan Sistem Pemidanaan, Perspektif Teoriti dan Pragmatis untuk Keadilan. Malang: Setara Press, hlm ; 2. Artha, I. G. & Wiryawan, I. W. (2015). Pengendalian Peredaran Gelap Narkotika oleh Narapidana dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Jurnal), 4(3), 588-602. DOI: https://doi.org/10.24843/JMHU.2015.v04.i03, h. 595. Danielt, R. T. (2014). Penerapan Restorative Justice terhadap Tindak Pidana Anak Pencurian oleh Anak di Bawah Umur. Lex et Societatis, 2(6), 16-26, hlm; 16. Candra, S. (2013). Restorative Justice: Suatu Tinjauan terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Jurnal Rechtsvinding, 2(2), 263277, h. 268. Prayitno, K. P. (2012). Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum in Concreto. Jurnal Dinamika Hukum, 12(3), 407-420. DOI: http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2012.12.3.116, h. 409.



160



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Nurwianti, A., Gunarto & Wahyuningsih, S. E. (2017). Implementasi Restoratif/Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas yang Dilakukan oleh anak di Polres Rembang. Jurnal Hukum Khaira Ummah, 12(4), 705716, h. 709. Ernis, Y. (2016). Diversi dan Keadilan Restorative dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak di Indonesia. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 10 (2), 163-174. DOI: http://dx.doi.org/10.30641/kebijakan.2016.V10.163-174, h. 165. Arief, H. & Ambarsari, N. (2018). Penerapan Prinsip Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Al-’Adl, 10(2), 173-190. DOI: http://dx.doi.org/10.31602/aa.v10i2.1362, h. 176. Budoyo, S. (2014). Konsep Langkah Sistematik Harmonisasi Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Ilmiah CIVIS, 4(2), 607-622, h. 607. Hamzah, A. (2008). Naskah Akademik RUU Rancangan UndangUndang Nomor..... Tahun ..... tentang hukum Acara Pidana, dalam Tim RUU KUHAP, h. 12. Putra, I. K. C. (2017). Relevansi Konsep Negara Hukum Pancasila dengan Welfare State dalam Implementasinya dengan Pelayanan Publik di Indonesia. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Jurnal), 6(1), 1-12. DOI: https://doi.org/10.24843/JMHU.2017.v06.i01, h. 3. Harun, M. (2016). Reformulasi Kebijakan Hukum terhadap Penegakan Hukum Pidana Pemilu dalam Menjaga Kedaulatan Negara. Jurnal Rechtsvinding, 5(1), 101-116, h. 103. Putuhena, M. I. F. (2013). Politik Hukum Perundang-Undangan: Mepertegas Reformasi Legislasi yang Progresif. Jurnal Rechtsvinding, 2(3), 375-395, h. 384. 161



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Kenedi, J. (2017). Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) dalam Negara Hukum Indonesia: Upaya Mensejahterakan Masyarakat (Social Welfare). Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, 2(1), 15-26, hlm; 17-18. Hamzah, A. Op Cit, h. 12. Ekayanti, R. (2015). Perlindungan Hukum terhadap Justice Collaborator terkait Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Jurnal), 4(1), 138-149. DOI: https://doi.org/10.24843/JMHU.2015.v04.i01, h. 147. Arief, B. N. (2010). Perumusan Pidana dalam Peraturan PerundangUndangan sebagai Parameter Keadilan dalam Penjatuhan Pidana. Makalah dalam Lokakarya BPHN: Perkembangan Hukum Pidana dalam Undang-Undang di Luar KUHP dan Kebijakan Kodifikasi Hukum Pidana, Semarang, h. 10 Zaidan, M. A. Op Cit, h. 61-62. Tanya, B. L. (2009). Proyeksi Nilai-Nilai Pancasila sebagai Basis Pembaharuan Hukum Pidana. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Impementasi Ide-Ide Dasar Pancasila dalam Pembaharuan Hukum Pidana, diselenggarakan oleh FH-Universitas Trunojoyo, 19 November 2009. Deni Kamaludin Yusuf, Proses Legislasi UU no 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Knowledge Leader, Program Pascasarjana UIN SGD, Bandung, 2010. Rudi Rizky, Refleksi Dinamika Hukum – Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara, Jakarta, 2008, Hal. 3. Ika Nur Rohmah dkk, Kualitas Hidup Lanjut Usia, Jurnal Keperawatan, ISSN 2086-3071, Volume 3, Nomor 2, Juli 2012, hlm 120-132. 2Ibid, hlm 135.



162



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Ratna, Pengaruh Faktor-Faktor Kesehatan, Ekonomi, dan Hubungan Sosial Terhadap Kemandirian Orang Lanjut Usia. http://www.damandiri. or.id/file/ ratna suhartini unair bab1.pdf. diakses tangga1 3 Februari 2017. 4 Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5 Elizabeth B. Hurlock dalam Argyo Demartoto, Pelayanan Sosial Non Panti Bagi Lansia, Sebelas Maret University Press, Surakata, 2006, hlm. 13. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2008, hlm 151. Ibid, hlm 105-106. Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 190 Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Terhadap Unsur-Unsurnya, UI Press, Jakarta, 2009, hlm 81. Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan pengertian bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Hukum, Undip, 2008, hlm 72. Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana), Disertasi Fakultas Hukum Program Doktor Ilmu Hukum, Juni 2009, hlm. 1. Marlina, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, (Makalah : dalam Mahmul Siregar dkk), Pedoman 163



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Praktis Melindungi Anak dengan Hukum Pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam, Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Medan, 2007. hlm 92-93. https://advokatkonstitusi.com/restorative-justica-dan-cita-hukumpancasila/ Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2002, Konsep Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 2000, Jakarta Arief, Barda Nawawi, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PerkembanganPenyusunan Konsep Baru, Jakarta, Prenadamedia https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/paradigm restorativejustice-dalam-pembaruan-hukum-pidana-indonesia Mien Rukmini, 2006, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, Alumni, Bandung, hlm. 94. Menurut Moeljatno dalam Adami Chazawi, niat jika dipandang dari sudut bahasa adalah sikap batin seseorang yang memberi arah kepada apa yang akan diperbuatnya. Karena niat dengan kesengajaan dalam pandangan Moelyatno tidak sama, Adami Chawawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 3, Percobaan & Penyertaan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 164-165 Lihat dalam Hendrojono, 2005, Kriminologi, Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum, Dieta Persada, Jakarta, hlm. 7, Kriminologi terutama ditujukan untuk menganalisa atau mencari sebab-sebab kejahatan (etiology of crime), tetapi tidak terbatas pada bidang tersebut saja, pun meliputi Phenomenology dan Politik Kriminal dan juga tidak dapat dikesampingkan juga Victimology (ilmu tentang korban tindak kejahatan(victim). Syafruddin , 2002, Peranan Korban Kejahatan (Victims) dalam Terjadinya Suatu Tindak Pidana Kejahatan Ditinjau dari Segi Victimology, USU Press, hlm. 2. 164



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Suryono Ekotama, ST Harun Pudjianto Rs dan G. Wiratama, 2001, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi, dan Hukum Pidana, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hlm 73. Mardjono Reksodiputro (a) Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan) dalam buku Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Ketiga , 2007, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 84 Mardjono Reksodiputro (a) Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan) dalam buku Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku Ketiga , 2007, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 84 Eva Achjani Zulfa, 2011, Restorative Justice dan Peradilan ProKorban, dalam buku Reparasi dan Kompensasi Korban dalam Restorative Justice,, Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dengan Departemen Kriminologi FISIP UI, Jakarta, hlm. 27. Mardjono Reksodiputro, 2007, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi) dalam buku Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kelima, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi, Universitas Indonesia, hlm. 1. Mardjono Reksodiputro , 2007, Mencari Faktor-faktor Sebab Kejahatan (Suatu Uraian Selayang Pandang) dalam buku Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan 165



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Karangan Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan Lembaga Kriminologi, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 1. Mardjono Reksodiputro, 2007 , Op.Cit, hlm. 37 Program National Institute of Justice Restorative Justice Office of Justice, US Departement of Justice, http://www,ojp.usdoj, gov/nij/topics/courts/restorative justice/welcome, html, page. 1. Lihat dalam Nurnaningsih Amriani, Mediasi, 2011, Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 28, Ashworth, Andrew, Victim Impact Statements and Sentencing, The Criminal Law, Review, Agust, 1993, hlm. 23 Roeslan Saleh, 1987, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 4-5. Lihat dalam Daniel W. Van Ness, Restorative Justce and International Human Rights,Restorative Justice, International Perspektif Edited by Burt Galaway and Joe Hudson, (Kugler Publications, Amsterdam, The Netherland (Elsam 2005, Position Paper Advokasi, RUU KUHP Seri 3:11:12. Muladi, 1995, Op.Cit, hlm 27-29 Yusrizal, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana & Kriminologi, Softmedia, Jakarta, hlm. 24-25, lihat juga Nyoman Sarikat Jaya Putra, 2008, Beberapa Pemikiran Ke arah Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 140 Michael Tonry, Sentencing Matters, Oxford Unversity Press, New York, 1996, hlm. 14. Lihat juga Elsam, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancanga KUHP Position Papar Advokasi, seri I, 2005, hlm. 10. Barda Nawawi, Kebijakan Kriminalisasi Kumpul Kebo dan Santet Dalam Konsep RUU KUHP, Seminar Nasional Menyongsong



166



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



2021



Berlakunya KUHP Nasiona, FH Unud, Denpasar, 30 April 2005. Apong Herlina, 2004, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia Volume 3 No.III September 204, hlm. 19 Mark Umbreit, Family Group Conferencing, Impications for Crime Victims, The Center for Restorative Justice, University of Minnesota, http:/www/ojp.us-doj/ovc/publications/informasi restorative _justice/9523-family_group/family3.html. 2001. Lihat :Mark M. Lanier dan Stuart Henry. Essential Criminology, Second Edition, Westview, Colorado, USA, 2004, hlm. 332 dan 407-408. Kathleen Daly, Restorative Justice in Diverse and Unequal Societies, Law in Context 1-167-190, 2000, Lihat Mark M. Lanier dan Stuart Henry, Essential criminology , Second Editor, Westview, Colorado, USA, 2004, hlm 332 dan 367 Tony Marshall, Restorative An Overview, London, Home Office Research Development and Statistic Directorate, 1999, hlm 5. Diakses dari website:http//www.restorative-justice .org. pada tanggal 6 Mei 2005. Stephen Benton dan Bernaddete Setiadi, 1998, Mediation and Conflict Management in Indonesia dalam Conflict Management in the Asia Pacifiis, Assumptions and Approaches in Diversi Cultures eds Kwok,L, dan Tjosvold D, John Wilye and Sons, Singapura, hlm. 228. Jurnal Law Pro Justitia Vol. II, No. 2 – Juni 2017 E Barners, 2007, Culture, Conflict, and Mediation in the Asian Pasific, University Press of America, Maryland, hlm. 109. Bruce E Barners2007, Culture, Conflict, and Mediation in the Asian Pasific, University Press of America, , Maryland, hlm. 109. E Barners, 2007, Culture, Conflict, and Mediation in the Asian Pasific, University Press of America, Maryland, hlm. 109.



167



Keadilan Restorative Justice Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai Filsafat Pancasila



168



2021