CA Nasofaring [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT KARSINOMA NASOFARING



Oleh BASSAM 110.2009.054



Pembimbing : Kol (Purn) dr. Tri Damijatno Sp.THT Letkol Ckm dr. Rakhmat Haryanto, M.Kes, Sp.THT-KL Mayor Ckm dr. Moh Andi Fatkhurokhmah, Sp.THT-KL



KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK - KEPALA & LEHER



RS. TK II MOHAMMAD RIDWAN MEUREKSA KESDAM JAYA PERIODE 4 AGUSTUS – 5 SEPTEMBER 2014



0



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis



dapat menyelesaikan



penulisan referat



dengan judul



“Karsinoma



Nasofaring”. Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Karsinoma Nasofaring dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Telinga, Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas YARSI. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Konsulen pembimbing Kol (Purn) dr. Tri Damijatno Sp.THT, Letkol Ckm dr. Rakhmat Haryanto, M.Kes, Sp.THT-KL dan Mayor Ckm dr. Moh Andi Fatkhurokhmah, Sp. THT-KL yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan referat ini dari awal hingga selesai. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. baik dari pemikran, pengetahuan, penyusunan bahasa, maupun sistematika. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan yang membangun dan saran demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga referat ini dapat berguna bagi kita semua.



Jakarta , Agustus 2014



Penulis



1



BAB I PENDAHULUAN



Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia. Dibagian THT RSUD Dr. Soetomo (selama tahun 2000-2001) poliklinik onkologi melaporkan penderita baru Karsinoma Nasofaring berjumlah 623 orang, laki-laki dua kali lebih banyak dibandingakan perempuan. Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat. Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi.



2



BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOFARING 2.1



ANATOMI NASOFARING Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang



dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius dimana orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah postero-superior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid.Di nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere). Batas: - Anterior : koana / nares posterior, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri - Posterior : setinggi columna vertebralis C1-2 - Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar - Inferior



: dinding atas palatum molle



- Superior : basis crania, diliputi oleh mukosa dan fascia (os occipital & sphenoid) - Lateral : fossa Rosenmulleri kanan dan kiri (dibentuk os maxillaris & sphenoidalis)



Dorsal dari torus tubarius didapati cekungan yang disebut “fossa Rosenmulleri”, Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang terletak posterior dari kavum nasi. Yang disebut kanker nasofaring adalah kanker yang terjadi di selaput



3



lendir daerah ini, tepatnya pada cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuaranya saluran Eustachii yang menghubungkan liang telinga tengah dengan ruang faring. Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba



eustachius



terdapat penonjolan tulang yang



disebut



torus



tubarius dan



dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis



karotis



dan



kanalis hipoglossus.



Struktur ini penting diketahui karena



merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial. Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu.



4



Gambar 1 Anatomi nasofaring Struktur penting yang ada di Nasofaring :  



Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang







disebabkankarena cartilago tuba auditiva Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yangdis



 



ebabkan karena musculus levator veli palatini. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolandari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka







ostium faringeumtuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat







predileksiKarsinoma Nasofaring. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid



 



jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dano







ropharing karena musculus sphincterpalatopharing Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei



2.1 HISTOLOGI NASOFARING



5



Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia respiratory type. Setelah 10 tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.



Gambar 2 Sel epitel transisional, pelapis nasofaring



2.3 FISIOLOGI NASOFARING Fungsi nasofaring :



6



-



Sebagai jalan udara pada respirasi



-



Jalan udara ke tuba eustachii



-



Resonator, memodifikasi suara yang dibentuk bekerja sama dengan mulut



-



Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung



Secret dari nasopharing dapat bergerak ke bawah karena: -



Gaya gravitasi



-



Gerakan menelan



-



Gerakan silia (kinosilia)



-



Gerkan usapan palatum molle



Nasopharing akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu seperti hak.



KANKER NASOFARING 3.1



DEFINISI 7



Nasofaring adalah bagian dari tenggorokan paling atas, tepatnya di belakang rongga hidung, berbentuk kubus, bagian depan nasofaring berbatasan dengan rongga hidung, bagian atas perbatasan dengan dasar tengkorak, serta bagian bawah merupakan langit-langit dan rongga mulut, di daerah nasofaring terdapat muara saluran yang menghubungkan tenggorokan dan telinga (Tuba Eustachius) dan adenoid yaitu jaringan limfoid yang sering membesar pada anak. Beberapa jaringan saraf yang mengatur fungsi mata dan menelan serta lidah terdapat di sekitar nasofaring, karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan prediksi di fossa rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia (Efraty & Nurbaiti, 2001) Merupakan kanker yang terdapat pada nasopharing, berada di antara belakang hidung dan esophagus, kanker ini merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia, hampir 60% tumor ganas daerah kepala dan leher merupakan kanker nasopharing, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan paranasal (18%), laring (16%), rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah. Berdasarkan data Laboratorium Patologi Anatomik tumor ganas nasofaring selalu berada dalam kedudukan 5 besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening, dan tumor kulit. 3.2



EPIDEMIOLOGI Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni



4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, Palembang 25 kasus, dan 11 kasus di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.



8



Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against Cancer) dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964 (MUIR,dkk.1967), dan dari investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan penting



di semua aspek. KNF mempunyai gambaran



epidemiologi yang unik, dalam daerah yang jelas, ras, serta agregasi family. KNF mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang antara berbagai Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/105 di semua area. Insisde. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden inni tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun 2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan timur tengah (PARKIN dkk. 1992.2002, WATERHOUSE dkk. 1982, MUIR dkk. 1987). Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 23:1 (PARKINdkk.2002) dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat sesuai dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya (ZONG dkk.1983). Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada pendduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China town (pecinan) di San



9



Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, di mana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang ‘memudahkan’ untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan. Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5/100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000). 3.2



ETIOLOGI Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah



mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.



10



Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring (KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan tetap ada peneliti yg



mencoba menghubungkannya



dengan merokok, secara umum resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok (HSU dkk.2009). ditemukan juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih. Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (Chinese herbal medicine=CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB. Beberapa tanaman dan bahan CHB dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yg laten. Seperti pada TPA (Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob yang ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi



cell-mediated immunity dari EBV dan



mempromosikan pembentukan KNF (genesis) (TANG dkk.1988). Meskipun penyelidikan untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah dilakukan di berbagai negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun sampai sekarang belum berhasil. Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Kaitan antara suatu kuman yang di sebut sebagai virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. Sebagai contoh, kebiasaan untuk mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa 11



kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring. Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring ialah : 1. Zat Nitrosamin. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan mediator penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan yang diawetkan di Greenland. Juga pada ”Quadid” yaitu daging kambing yang dikeringkan di tunisia, dan sayuran yang difermentasi (asinan) serta tauco di Cina. 2. Keadaan sosial ekonomi yang rendah. Lingkungan dan kebiasaan hidup. Dikatakan bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatnya jumlah kasus KNF. Di Hongkong, pembakaran dupa rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF. 3. Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene (sejenis Hidrokarbon dalam arang batubara), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa Ekstrak tumbuhan- tumbuhan. 4. Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini. Di Asia terbanyak adalah bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang banyak terkena karsinoma nasofaring. 5. Radang kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan. 3.3



PATOFISIOLOGI Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid



icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu : 1) Virus Epstein-Barr Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu



12



sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs, EBNA, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.



13



Gambar 3 Patogenesis Ca nasofaring 2) Genetik Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen. 3) Faktor lingkungan Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di asia dan amerika utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan



makanan



lain



nitrosodimethyamine



yang



awetkan



(NDMA),



mengandung



sejumlah



besar



N-nitrospurrolidene



(NPYR)



dan



nitrospiperidine (NPIP) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma



14



nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yang terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.



Gambar 4. Patofisiologi Ca nasofaring 3.4



KLASIFIKASI



Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu : 1. Bentuk ulseratif Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar fosa rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan tuba eustachius dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai dengan jaringan yang nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Gambaran histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa deengan diferensiasi baik.



15



2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar muara tuba eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah angguratau polipoid jarang, dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai ulserasi kecil.Gambaran histopatologik bentuk ini biasanya



karsinoma tanpa



diferensiasi. 3. Bentuk eksofitik Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai adanya ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya licin.Tumor jenis ini biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga nasofaring.Tumor nini dapat mendorong palatum mole ke bawah dan tumbuh kearah koana dan masuk ke dalam rongga hidung. Gambaran histopatologik berupa limfasarkoma 3.5



MANIFESTASI KLINIS



Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana tumor masih terbatas di rongga nasofaring. A. Gejala Dini : Gejala telinga : 1.



Kataralis/sumbatan tuba eutachius Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.



2.



Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga teliga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran.



16



Gambar 5 Tumor nasofaring yang menutupi tuba Eusthachius Gejala Hidung : 1. Mimisan Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu. Epistaksis ini juga dapat disebabkan oleh penjalaran tumor ke selaput lendir hidung yang dapat mencederai dinding pembuluh darah daerah ini.



2. Sumbatan hidung Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang.



B. Gejala Lanjut : 1. Pembesaran kelenjar limfe leher Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas jika timbulnya di daerah samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe,



17



sebagai pertahanan pertama sebelum sel tumor ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter. Kadang pembesaran kelenjar di leher ini salah didiagnosis sebagai tuberkulosis kelenjar.



2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan gejala akibat kelumpuhan syaraf otak. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI, dan dapat pula ke V, sehingga



yang sering ditemukan ialah



penglihatan ganda (diplopia) dan pada pemeriksaan tampak bola mata juling. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramane jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Hal ini akan menimbulkan rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, bahu, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak, rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh.



3. Gejala akibat metastasis



18



Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.



Gambar 6 Metastasis pada kelenjar getah bening Gejala nasofaring yang pokok adalah : 1. Nasal sign :  Pilek lama yang tidak sembuh  Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu  Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau. 2. Ear sign :  Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba oklusi, karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa rosenmulleri. Tekanan dalam kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi tinnitus.  Gangguan pendengaran hantaran  Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). 3. Eye sign :  Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV



dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan



menimbulkan kebutaan. 4. Tumor sign :



19







Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau



metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. 5. Cranial sign Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada penderita. Gejala ini berupa :  Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase    



secara hematogen. Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang. Kesukaran pada waktu menelan Afoni Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada: o Lidah o Palatum o Faring atau laring o M. sternocleidomastoideus o M. trapezeus



3.6 DIAGNOSIS Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor : 1. Anamnesis / pemeriksaan fisik Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala KNF) 2. Pemeriksaan nasofaring Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop 3. Biopsi nasofaring Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.  Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.



20







Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihidung. Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas.



Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis. 4. Pemeriksaan Patologi Anatomi / Histopatologi Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosit, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosit ini sangat erat, sehingga sering disebut “Limfoepitel”. Bloom dan Fawcett (1965) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel : 1. Epitel selapis thorax bersilia “Simple Columnar Cilated Epithelium” 2. Epitel thorax berlapis “Stratified Columnar Epithelium” 3. Epitel thorax berlapis bersilia “Stratified Columnar Ciliated Epithelium” 4. Epitel thorax berlapis semu bersilia “Pseudo-Stratified Columnar Ciliated Epithelium” 60% dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng, dan 80% dari dinding posterior nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan thorax bersilia. Epitel berlapis gepeng ini umumya dilapisi keratin, kecuali pada kripta yang dalam. Dipandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan 2 macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma. Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :  Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.



21







Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup







jelas. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya



batas sel tidak terlihat dengan jelas. Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.



Klasifikasi



gambaran



histopatologi



terbaru



yang



direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi 2 tipe, yaitu :  Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell 



Carcinoma). Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.



5. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologi tersebut adalah:  Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor  



pada daerah nasofaring Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.



a) Foto Polos Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:  Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique)  Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks  Tomogram Lateral daerah nasofaring  Tomogram Antero-posterior daerah nasofaring b) CT Scan



22



Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukarankesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan CT Scan dibandingkan



dengan



foto



polos



ialah



kemampuanya



untuk



membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, dengan kriteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai apakah sudah ada perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intrakranial. Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:  Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique)  Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks  Tomogram Lateral daerha nasofaring  Tomogram Antero-posterior daerah nasofaring 6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini. 7. Pemeriksaan serologi. Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan



23



ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160



STADIUM KANKER Stadium berdasarkan kriteria American Joint Committee On Cancer (AJCC 2002) T = Tumor primer, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya T0: Tidak tampak tumor. Tis: Karsinoma insitu, dimana tumor hanya terdapat pada 1 lapisan jaringan. T1: Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lainlain). T2: Tumor yang sudah meluas kedalam jaringan lunak dari rongga tenggorokan. T3: Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (rongga hidung atau orofaring dsb). T4: Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak. TX: Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap. N = Nodule, menggambarkan Pembesaran kelenjar getah bening regional NX: Pembesaran kelenjar reginol tidak dapat dinilai N0: Tidak ada pembesaran. N1: Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan tumor dalam kelenjar limfe berukuran 6 cm atau lebih kecil. N2: Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dengan ukuran tumor 6 cm atau lebih kecil. N3: Tumor terdapat di kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm atau tumor telah ditemukan didalam kelenjar limfe pada regio “segitiga leher”



24



N3A: Tumor dalam kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm. N3B: Tumor ditemukan diluar “segitiga leher” M = Metastasis, menggambarkan metastase jauh M0: Tidak ada metastesis jauh. M1: Terdapat Metastesis jauh. Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan : Stadium I



: T1 N0 M0



Stadium II



: T2 N0 M0



Stadium III



: T3 N0 M0 T1,T2,T3 N1 M0



Stadium IV



: T4 N0,N1 M0 Tiap T N2,N3 M0 Tiap T Tiap N M12



-



Stadium 0 : Tis dengan N0 dan M0



-



Stadium I : T1 dan N0 dan M0



-



Stadium IIA : T2 dan N0 dan M0



-



Stadium IIB : T1 atau T2 dan N1 dan M0



25



-



Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0



-



Stadium IVA : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T dan N2 dan M0



-



Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 dan N3A/N3B dan M0



-



Stadium IVC : T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1.



3.7 DIAGNOSIS BANDING 1. Hiperplasia adenoid Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-anak hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap nasofaring umunya berbatas



26



tegas dan umunya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tandatanda infiltrasi seprti tampak pada karsinoma. 2. Angiofibroma juenilis Baisanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltratif. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanay erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilaris yang dikenal sebgai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vascular maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos. 3. Tumor sinus sphenooidalis Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien datang untuk pemeriksaan pertama. 4. Neurofibroma Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. secara C.T. Scan, pendesakan ruang para faring kearah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF. 5. Tumor kelenjar parotis Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring. Pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kearah medial yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan. 6. Chordoma Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical bagian atas karena chordoma umunya tidak memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening. 7. Menigioma basis kranii Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. 27



Gambaran CT meningioma cukup karakteristik yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.



3.8 PENATALAKSANAAN 1. Radioterapi Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.  Definisi Terapi Radiasi : Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma. 



Persyaratan Terapi Radiasi Penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila hanya menggunakan terapi radiasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :



-



Belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi



-



Tipe tumor yang radiosensitif



-



Besar tumor yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya



-



Dosis yang optimal.



-



Jangka waktu radiasi tepat



-



Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek samping radiasi. Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba diberikan radiasi sebesar 5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5 minggu. Alat yang biasanya dipakai ialah “cobalt 60”,“megavoltage”orthovoltage”.



28







Sifat Terapi Radiasi Terapi radiasi sendiri sifatnya adalah :



-



Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional



-



Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi sel tumor



-



Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor.



-



Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor.



-



Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya.



-



Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari tumornya.



-



Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun dapat mengakibatkan defek imun secara general.







Jenis Pemberian Terapi Radiasi Terapi radiasi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai : 1. Radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi. 2. Radiasi interna (brachytherapy) yang bisa berupa permanen implan atau intracavitary barchytherapy. 1. Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai : - pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah bening - pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening - Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi - Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck dissection 2.Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk : - Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radiasi. - Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor



29



- Pengobatan kasus kambuh. Komplikasi radioterapi dapat berupa : a) Komplikasi dini Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti : - Xerostomia (Mual, muntah) - Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum - Anoreksi - Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis yang terkena radiasi) - Eritema b) Komplikasi lanjut Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti : -



Kontraktur Penurunan pendengaran Gangguan pertumbuhan Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum



dan selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi lokal seperti FG troches bisa mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan sebgainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan ini seperti avomit, avopreg. 2.



Kemoterapi Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.



30



Definisi Kemoterapi Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun. Obat-Obat Sitostatika yang direkomendasi FDA untuk Kanker Kepala Leher Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika) untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk keganasan didaerah kepala dan leher. Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I dan sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis paling buruk. Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan (division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle) merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat. Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus (Cell Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ). 31



Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M). Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda. 3. Operasi Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.(5) Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain. 4. Imunoterapi Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi. Prosedur follow up tidak sepert keganasan kepala leher lainnya , KNF mempunyai resiko terjadinya rekurensi, sehingga follow up jangka panjang diperlukan. Kekeambuhan tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5 – 15 % kekambuhan sering kali terjadi antara 5-10 tahun. Sehingga pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi. Jadwal follow up yang dianjurkan sebagai berikut : -



Dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bulan Dalam 3-5 tahun : setiap 6 bulan Setelah 5 tahun : setiap setahun sekali untuk seumur hidup 32



3.9 KOMPLIKASI 1. Petrosphenoid sindrom Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II.yang memberikan kelainan : 



Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.







Ptosis palpebra ( N. III )







Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )



2. Retroparidean sindrom Tumor tumbuh ke depan kea rah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala : 



N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah







N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan respirasi dan saliva







N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum mole







N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.







Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.



33



3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenaiorgan tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. 3.10 PROGNOSIS Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan hasil pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas hidup pasien yang baik pula. Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti : -



Stadium yang lebih lanjut. Usia lebih dari 40 tahun Laki-laki dari pada perempuan Ras Cina dari pada ras kulit putih Adanya pembesaran kelenjar leher Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak Adanya metastasis jauh



3.11 PENCEGAHAN -



Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di



-



daerah dengan resiko tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat



-



lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang



-



berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan



-



kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.



34



KESIMPULAN



Karsinoma nasofaring banyak ditemukan di Indonesia. Seperti pada keganasan yang lain, penyebab penyakit ini belum dapat dipastikan sehingga pencegahannya relatif sulit. Yang perlu ditekankan adalah usaha menuju diagnosis dini, dimana diagnosis dini sulit untuk ditegakkan. Yang terutama menjadi masalah adalah keterlambatan pasien untuk berobat. Sebagian besar datang ketika sudah dalam stadium lanjut, dengan demikian kanker sudah meluas ke jaringan sekitar atau kelenjar leher. Hal ini merupakan penyukit untuk mendapatkan hasil pengobatan yang sempurna.



35



Oleh karena itu perlunya meningkatkan kesadaran para dokter serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit ini, supaya masyarakat mengetahui tanda- tanda stadium awal penyakit dan kemana mereka harus pergi untuk mendapatkan pertolongan yang tepat dan cepat. Diagnosis dini harus segera ditegakkan dengan biopsy serta pemeriksaan patologi, supaya pengobatan tidak terlambat. Diharapkan dengan penemuan kasus dini, penanggulangan terhadap penyakit ini dapat diperbaiki, sehingga angka kematian dapat ditekan. Pada stadium dini pengobatan yang diberikan adalah penyinaran, dan memberikan angka penyembuhan yang cukup tinggi. Oleh karena itu diharapkan kesadaran masyarakat untuk segera berobat. Jika terdapat gejala yang mencurigakan, segera memeriksakan diri ke dokter. Sedangkan pada stadium lanjut, diperlukan pengobatan tambahan yang memerlukan biaya yang tidak sedikit.



DAFTAR PUSTAKA 1. Averdi Roezin, Anida Syafril. Karsinoma nasofaring. Dalam : Efiaty A. Soepardi (ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ketiga. Jakarta : FK UI, 1997. h. 149-53. 2. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology : head and neck surgery. 15th ed. Philadelphia : Williams & Wilkins, 1996.p. 323-36. 3. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.13 th Ed. Jilid 1. Alih bahasa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.h. 391-6. 4. Damayanti Soetjipto. Karsinoma nasofaring.Dalam : Nurbaiti Iskandar (ed).Tumor telinga-hidung-tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta : FK UI,1989.h. 7184. 5. Davidson. Neck Masses : Differential Diagnosis and Evaluation. San Diego : University of California. Available at : http://drdavidson.ucsd.edu/Portals/0/CMO/CMO_05.htm. Accessed July 31, 2009.



36



6. Farid W, Ramsi L. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Medan : FK USU, 1998.h. 1-20. 7. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat. Medan: FK USU,2002.h. 1-11. 8. Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81. 9. Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1989. 10. Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi kombinasi/kemoradioterapi. 11. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9. 12. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York : Churchill Livingstone, 1989. h. 495-507. 13. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program & abstrak PITIAPI. Medan : FK USU, 2001.h. 9-25. 14. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi. Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82. 15. Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18.



37