Cairan Kristaloid Dan Koloid [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

CAIRAN KRISTALOID DAN KOLOID A. Definisi 1. Koloid Koloid adalah suatu bentuk campuran yang keadaannya antara larutan dan suspensi. Koloid merupakan sistem heterogen, dimana suatu zat “didispersikan” ke dalam suatu media yang homogen. Ukuran koloid berkisar antara 1-100 nm. Koloid tergolong campuran heterogen dan merupakan sistem dua fase. Zat yang didipersikan disebut fase terdispersi, sedangkan medium yang digunakan untuk mendispersikan zat disebut medium dispersi. Fase terdispersi bersifat diskontinu (terputus-putus), sedangkan medium dispersi bersifat kontinu. Pada campuran susu dengan air, fase terdispersi adalah lemak, sedangkan medium dispersinya adalah air. 2. Kristaloid Kristaloid adalah mayoritas berisi larutan air steril dengan elektrolit dan/atau dekstrosa yang ditambahkan sesuai dengan kandungan mineral plasma manusia. Kristaloid tersedia dalam berbagai formulasi, mulai dari hipotonik, isotonik hingga hipertonik. Salah satu formulasi yang paling umum, normal salin 0.9%, dirancang untuk perkiraan mineral dan konsentrasi elektrolit plasma manusia. Kristaloid merupakan cairan yang mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF). Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukancross match, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama. Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit. B. Mekanisme Kerja 1. Koloid Cairan koloid adalah larutan kristaloid yang mengandung molekul besar sehingga membran kapiler tidak permeabel terhadap cairan tersebut. Larutan koloid merupakan pengganti cairan intravaskular. Darah total, plasma, dan albumin pekat mengandung koloid alami dalam bentuk protein, terutama albumin. Dextran danhydroxyethyl starches (HES) adalah koloid sintetis yang dalam penggunaannya dapat digabung dengan darah total atau plasma, tetapi tidak dianggap sebagai pengganti produk darah ketika albumin, sel darah merah, antitrombin, atau protein koagulasi dibutuhkan. Pemulihan dehidrasi dengan menggunakan kombinasi koloid dan kristaloid membutuhkan volume yang lebih sedikit, dan waktu pemulihan dicapai lebih cepat. Apabila ditambah koloid, jumlah infus kristaloid dapat berkurang 40-60% dibandingkan menggunakan kristaloid saja. Kombinasi kristaloid, koloid sintetis, dan koloid alami sering diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pasien. Cairan koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid mengekspansikan volume vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya ¼ bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus.2,4 Koloid adalah cairan yang mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian besar akan menetap dalam ruang intravaskular. Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang intravaskular, namun koloid yang mempunyai tekanan onkotik lebih besar daripada plasma akan menarik pula cairan ke dalam ruang intravaskular. Ini dikenal sebagai ekspander plasma, sebab mengekspansikan volume plasma lebih dari pada volume yang diberikan.



2. Kristaloid Cairan kristaloid adalah larutan berbahan dasar air dengan molekul kecil sehingga membran kapiler permeabel terhadap cairan tersebut. Cairan kristaloid dapat mengganti dan mempertahankan volume cairan ekstraselular. Oleh karena 75-80% cairan kristaloid yang diberikan secara IV menuju ruang ekstravaskular dalam satu jam, maka cairan kristaloid sangat diperlukan untuk rehidrasi interstisial. Konsentrasi natrium dan glukosa pada kristaloid menentukan osmolalitas dan tonisitas larutan. Pada kebanyakan situasi kritis, cairan kristaloid isotonis pengganti elektrolit yang seimbang, seperti cairan Ringer laktat, digunakan untuk mengganti elektrolit dan bufer pada konsentrasi khas cairan ekstraselular. Normal salin (cairan natrium klorida 0,9%) juga merupakan cairan pengganti yang isotonis tetapi tidak seimbang dalam hal elektrolit dan buffer. Cairan kristaloid dalam volume besar yang diberikan dengan cepat secara IV menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular dan penurunan COP dengan cepat. Hal tersebut mengakibatkan ekstravasasi ke interstisial. C. Perbandingan Komposisi cairan kristaloid: Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel. Sedangkan koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar). Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik. Jenis larutan koloid: Perbandingan kristaloid dan koloid



Efek volume intravaskuler Efek volume interstisial Sembab paru Sembab perifer Koagulopati Aliran urine Reaksi-reaksi Harga



Kristaloid -



Kolloid Lebih baik (efisien, volume lebih kecil, menetap lebih lama Lebih baik Keduanya sama-sama potensial menyebabkan sembab paru Sering Jarang Dekstran > kanji hidroksi etil Lebih besar GFR menurun Tidak ada Jarang Murah Albumin mahal, lainnya sedang



DAFTAR PUSTAKA Darmawan, I., 2008. Konstroversi Koloid vs Kristaloid: Beberapa Informasi Tambahan PT Otsuka.http://www.otsuka.co.id Departemen Kesehatan. 2004. Kajian Masalah Kesehatan: Demam Berdarah Dengue. Jakarta. Hartanto, W.W., 2007, Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bandung.



Syok Hipovolemik, Kristaloid atau Koloid? Ribuan pasien di ICU (intensive care unit) di seluruh dunia diberikan terapi cairan untuk mengembalikan volume darah yang efektif dan mempertahankan perfusi organ yang optimal. Terapi cairan dapat digolongkan berdasarkan dari jenis produk yang digunakan yang umumnya dikategorikan menjadi terapi cairan kristaloid dan terapi cairan koloid. Meskipun tujuan utama dari terapi cairan adalah menggunakan cairan yang diinfuskan intravena untuk meningkatkan volume cairan intravaskuler, cairan juga dapat berpindah ke ruang ekstravaskuler. Kristaloid disebutkan dapat menahan perpindahan cairan dengan cara mempertahankan tekanan osmotik yang disebabkan oleh partikel elektrolit yang terkandung, sedangkan cairan koloid memiliki kekuatan yang berasal dari gradien tekanan onkotik yang ditimbulkan dari pemberian cairan koloid. Sehingga, efek volume expansion dari darah disebabkan oleh tonisitas larutan dan juga kekuatan tekanan onkotik. Cairan kristaloid yang umumnya digunakan sebagai volume expansinon terbagi dalam golongan cairan isotonik dan hipertonik dan juga dikategorikan menjadi cairan nonbuffered (seperti isotonik saline/NaCl 0,9%) dan buffered (seperti RL, RA). Sedangkan untuk cairan koloid dibagi menjadi 2 golongan, yaitu hipoonkotik (seperti gelatin dan albumin 4%/5%) dan hiperonkotik (seperti, dextran, HES, dan albumin 20%/25%). Secara umum, cairan koloid dikatakan lebih efisien dibandingkan cairan kristaloid dalam hal jumlah cairan yang dapat bertahan di dalam ruang intravaskuler, sehingga jumlah cairan yang diperlukan lebih sedikit pada cairan koloid vs cairan kristaloid untuk mencapai goal hemodinamik yang sama. Selain daripada itu, terdapat kekhawatiran akan penggunaan HES yang dapat meningkatkan risiko kematian dan juga kejadian AKI (acute kidney injury). Pada sebuah studi terakhir yang dilakukan pada populasi pasien ICU yang membandingkan penggunaan cairan resusitasi albumin 5% atau HES 6% menunjukkan hasil yang sebanding dalam angka mortalitas yang dibandingkan dengan penggunaan cairan saline isotonis. Meskipun demikian, pada tatalaksana Surviving Sepsis Campaign yang terbaru, penggunaan cairan kristaloid lebih direkomendasikan untuk digunakan sebagai terapi cairan pada pasien sepsis jika dibandingkan dengan cairan HES. Sebuah studi international terbaru yang diikuti oleh kurang lebih 57 ICU di kawasan Eropa dilakukan untuk menilai efek dari pemberian cairan resusistasi kristaloid vs koloid terhadap mortalitas pada pasien dengan penyakit kritis (CRISTAL Study). Studi ini dilakukan secara acak dan dikelompokkan menjadi 2 kelompok paralles yang mengikutsertakan 2857 pasien ICU yang mendapatkan terapi cairan. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, pada kelompok cairan koloid pasien dapat menerima cairan koloid gelatin, albumin 4%/5%, dextran, HES, atau albumin 20%/25%, akan tetapi terdapat restriksi penggunaan dari HES, yaitu tidak melebihi 30 mL/kg berat badan. Pada kelompok cairan kristaloid, pasien dapat menerima cairan saline isotonis atau cairan kristaloid buffered lainnya. Parameter utama yang dinilai adalah mortalitas 28 hari dan 90 hari. Berikut adalah hasil dari studi tersebut: angka kematian dalam 28 hari sebanding antara kelompok koloid dan kristaloid (p=0,26). RR dari kristaloid: 0,96 [95% CI;0,88-1,04]. Angka kematian dalam 90 hari secara bermakna lebih rendah pada kelompok koloid jika dibandingkan dengan kelompok kristaloid (p=0,03). Jumlah hari dapat hidup tanpa ventilator pada hari ke-7 dan hari-28 secara bermakna lebih tinggi pada kelompok koloid jika dibandingkan dengan kelompok kristaloid (p=0,01). Renal Replacement Therapy



(RRT) sebanding antara kedua kelompok (p=0,19). Jumlah hari dapat hidup tanpa vasopressor pada hari ke7 dan hari-28 secara bermakna lebih tinggi pada kelompok koloid jika dibandingkan dengan kelompok kristaloid (p=0,04 dan p=0,03). Kesimpulan: Diantara pasien ICU yang mengalami hipovolemia, penggunaan dari cairan koloid jika dibandingkan dengan kristaloid tidak memiliki perbedaan yang bermakna dalam angka kematian 28 hari. Akan tetapi, mortalitas 90 hari secara bermakna lebih rendah pada kelompok koloid, jika dibandingkan dengan kelompok kristaloid.(MAJ) Referensi : 1.Finfer S, Bellomo R, Boyce N, French J, Myburgh J, Norton R. A comparison of albumin and saline for fluid resuscitation in the intensive care unit. N Engl J Med. 2004;350(22):2247-56. 2.Myburgh JA, Finfer S, Bellomo R, Billot L, Cass A, Gattas D, et al. Hydroxyethyl starch or saline for fluid resuscitation in intensive care. N Engl J Med. 2012;367(20):1901-11. 3.Annane D, Siami S, Jaber S, Martin C, Elatrous S, Declere AD, et al. Effects of fluid resuscitation with colloids vs crystalloids on mortality in critically ill patients presenting with hypovolemic shock: The CRISTAL randomized trial. 2013. DOI: 10.1001/jama.2013.280502.



Koloid versus kristaloid Ada perbedaan mendasar antara koloid dan kristaloid dalam formulasinya. Kristaloid didominasi oleh cairan air steril dengan elektrolit sehingga mirip dengan kandungan mineral dari plasma darah manusia. Kristaloid tersedia dalam berbagai formulasi, dari yang hipotonik daripada plasma hingga yang isotonik atau hipertonik. Salah satu formulasi yang paling sering, normal saline 0,9%, dirancang untuk meniru konsentrasi mineral dan elektrolit plasma manusia, namun masih ada perbedaan substansial. Alternatif selain normal salin yang sering digunakan adalah Ringer laktat yang lebih ketat meniru konsentrasi elektrolit plasma manusia serta mengandung sejumlah kecil laktat.[3] Koloid sering didasarkan pada larutan kristaloid sehingga mengandung air dan elektrolit, namun memiliki komponen tambahan zat koloid yang tidak bebas berdifusi melintasi membran semipermeabel. Pada infus albumin, terdapat zat koloid serum albumin manusia dengan berat molekul 69.000 d, yang berfungsi sebagai komponen terbesar dari tekanan osmotik koloid dalam darah manusia. Albumin tersedia baik dalam formulasi isoonkotik (5%) atau formulasi hiperonkotik (25%). Formulasi lain dari koloid adalah hetastarch atau umum disebut HES, yang mencakup hetastarch 6% dan pentastarch 10%. Substansi koloid di dalam pati ini berasal dari polisakarida yang tergabung dalam cairan dengan berbagai berat molekul. Cairan dekstran mengandung gabungan beragam protein dekstran sintetik, sedangkan gelatin memiliki komponen gelatin sejati yang telah disintesis untuk kompatibel secara biologis. Penggunaan dextran menjadi terbatas setelah ditemukan sebagai agen profilaksis terhadap trombosis vena pasca operasi.[3] Telah lama diduga bahwa pemberian setiap hasil cairan di atas tercantum dalam resusitasi volume yang memadai dan aman berdasarkan catatan sejarah mereka gunakan. Perbedaan utama antara kristaloid dan larutan koloid adalah kemampuan koloid cairan untuk mempertahankan atau meningkatkan tekanan osmotik koloid bagi pasien, dibandingkan dengan cairan kristaloid dimana tekanan osmotik berkurang seiring terjadinya hemodilusi.[3] Perbedaan utama antara koloid dan kristaloid lainnya adalah bahwa koloid lebih mahal daripada kristaloid. Karena perbedaan dalam biaya dan kurangnya data yang menunjukkan superioritas, banyak rumah



sakit dan organisasi kesehatan telah membatasi penggunaan koloid dalam rangka untuk mengurangi pengeluaran biaya farmasi.[4] Keamanan Keamanan koloid pertama kali dipertanyakan oleh meta-analisis sederhana yang dilakukan oleh Velanovich pada tahun 1989.[5] Sejak saat itu, telah ada sejumlah tinjauan sistematis lainnya yang juga mempertanyakan keamanan koloid. Yang pertama diterbitkan di BMJ pada tahun 1998 dimana satu kajian sistematis mempertanyakan keamanan koloid secara umum,[6] dan yang lain mempertanyakan secara khusus keamanan albumin.[7] Kedua meta-analisis menunjukkan bahwa ada peluang kecil, tetapi secara statistik signifikan, untuk peningkatan risiko kematian bagi pasien yang menerima koloid dibanding kristaloid. Sejak saat itu, dibuat meta-analisis yang lebih ketat dan terfokus, termasuk penilaian komplikasi penggunaan koloid, yang tidak menemukan perbedaan hasil antara pasien yang diobati dengan koloid atau kristaloid.[8] Akhirnya, meta-analisis terbesar hingga saat ini masih meneliti penggunaan albumin (sebagai lawan pengelompokan semua koloid) dan kembali melaporkan bahwa tidak ada perbedaan dalam hasil bagi pasien yang dirawat dengan albumin dibandingkan dengan kristaloid.[9] Namun, pertanyaan mengenai keamanan koloid masih tetap ada dalam pikiran dokter dan masih beredar dalam literatur. Berdasarkan masalah ini, Australia and New Zealand Intensive Care Society’s Clinical Trials Group (ANZICS-CTG) merancang dan melakukan salah satu percobaan terbesar dalam sejarah dalam bidang perawatan kritis (critical care). Percobaan SAFE (Saline versus Albumin Fluid Evaluation) secara acak memilih 7000 pasien sakit kritis yang memerlukan resusitasi cairan untuk menerima kristaloid isotonik atau albumin isoonkotik. Dalam percobaan/studi ini, tidak ada perbedaan secara keseluruhan dalam hasil berdasarkan apakah pasien menerima koloid atau kristaloid (risiko relatif untuk kematian dengan penggunaan koloid = 0,99; interval kepercayaan 95% 0,91-1,09, P=0,87). Namun, para peneliti SAFE secara prospektif mendefinisikan 3 subkelompok penting untuk analisis tertentu. Pasien dengan trauma dan memerlukan resusitasi cairan tampaknya lebih cenderung mati jika mendapat koloid dan statistik ini benar untuk pasien dengan cedera otak traumatis dibandingkan dengan pasien trauma secara keseluruhan (risiko relatif untuk kematian = 1,62, interval kepercayaan 95% 1,12-2,34, P=0,009). Peningkatan risiko kematian untuk pasien trauma cedera ini berbeda dengan pasien sepsis berat yang mengalami penurunan kematian dengan menerima koloid (risiko relatif = 0,87, interval kepercayaan 95% 0,74-1,02) .[10] Larutan kristaloid cepat terdistribusi ke kompartemen cairan ekstraseluler sehingga membutuhkan infus lebih besar daripada koloid untuk memperluas volume intravaskular.[11] Selain itu, kristaloid diduga mengurangi konsentrasi protein serum dan volume packed red cell. Perubahan ini tidak hanya mengganggu perbaikan volume intravaskular, tetapi juga dapat meningkatkan risiko edema jaringan dan penurunan perfusi jaringan. Selanjutnya, cairan berbasis salin mengandung sejumlah besar klorida yang dapat mempengaruhi homeostasis bikarbonat dalam ginjal dan menghasilkan asidosis metabolik hiperkloremik.[12] Pada kenyataannya, klorida merupakan penentu signifikan aliran darah ginjal,[13] dan pemberian intravena cairan normal salin telah dikaitkan dengan fungsi ginjal tertunda (delayed renal function).[14] Akhirnya, pemberian cairan berbasis salin/garam yang hiperkloremik untuk pasien bedah berusia tua diduga dapat memperburuk asidosis metabolik yang berhubungan dengan operasi dan juga mengganggu perfusi mukosa lambung.[15]