Makalah Cairan Kristaloid Kelompok 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. Pengertian Cairan Kristaloid Kristaloid adalah larutan yang bersifat permeabel, sebagian besar mengandung ion elektrolit seperti natrium dan klorida. Cairan kristaloid dapat dibagi menjadi 2 yakni isotonik (misalnya cairan salin normal dan ringer laktat) dan hipertonik (misalnya NaCl 3%). Kristaloid dapat pula dibagi menjadi cairan buffered misalnya Ringer laktat, asetat, dan maleat atau cairan nonbuffered yakni cairan salin normal. Elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida) merupakan komponen dari kristaloid. Karakteristik kristaloid ditandai dengan pengaruhnya terhadap status asam-basa. Kristaloid digunakan untuk menggantikan kehilangan sodium atau mempertahankan status quo. Cairan kristaloid perawatan mengandung konsentrasi natrium yang sama dengan konsentrasi total tubuh normal (70 mmol / L), sedangkan cairan kristaloid pengganti memiliki kandungan natrium pada konsentrasi yang mirip dengan plasma normal (kirakira 140 mmol/L). Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik, dengan waktu paruh kristaloid di intravaskular berkisar antara 20-30 menit. Cairan kristaloid juga masih menjadi pilihan utama pada kasus syok hipovolemik yang tidak disebabkan oleh perdarahan. Jenis cairan kristaloid dapat disesuaikan dengan perkiraan volume cairan resusitasi, keseimbangan elektrolit pasien, dan status



asam



basa



pasien.



Kondisi



asidosis



metabolik



hiperkloremik



akibat



penggunaan normal salin, dapat dihindari dengan penggunaan cairan kristaloid lain, seperti Ringer laktat. B. Keuntungan dan Kerugian Cairan Kristaloid Keuntungan dari kristaloid diantaranya murah, mudah dibuat, dan tidak menimbulkan reaksi imun,komposisi serupa dengan plasma (Ringer asetat/ringer laktat), bisa disimpan di suhu kamar bebas dari reaksi anafilaktik, komplikasi minimal. Sedangkan kerugian dari pemberian kristaloid yakni apabila memberikan larutan Normal Saline dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan asidosis metabolic hiperkloremik dikarenakan kadar natrium dan kloridanya yang tinggi (154 mEq /L)



sehingga



konsentrasi



bikarbonat



plasma



menurun



saat



konsentrasi



klorida



awal



pasien



meningkat. C. Jenis Cairan Kristaloid Kristaloid



digunakan



sebagai



cairan



resusitasi



pada



dengan hemoragik dan syok septik, luka bakar, cedera kepala (untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral), dan pada pasien yang menjalani plasmaferesis dan reseksi hati. Ada 3 jenis tonisitas kristaloid, diantaranya



1. Isotonis. Apabila jumlah elektrolit plasma terisi kristaloid pada jumlah yang sama dan memiliki konsentrasi yang sama maka disebut sebagai isotonis. (iso, sama; tonis, konsentrasi). Tidak terjadi perpindahan signifikan antara cairan di dalam sel dengan



intravaskular



saat



pemberian



kristaloid



isotonis.



Hal



tersebut



menyebabkan hampir tidak adanya osmosis. Dalam pemberian kristaloid isotonis pada jumlah besar perlu diperhatikan adanya efek samping seperti edema perifer dan edema paru yang dapat terjadi pada pasien. Contoh larutan kristaloid isotonis: Ringer Laktat, Normal Saline (NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% dalam ¼ NS.



2. Hipertonis Kristaloid di sebut hipertonis apabila jumlah elektrolit dan dari kristaloid lebih banyak dibandingkan dengan plasma tubuh. Apabila pemberian kristaloid hipertonik dilakukan terhadap pasien akan menyebabkan terjadinya penarikan cairan dari sel ke ruang intravaskuler. Gejala yang timbul dari pemberian larutan hipertonis adalah peningkatan curah jantung yang bukan hanya disebabkan oleh karena perbaikan preload, tetapi juga disebabkan oleh efek sekunder karena efek inotropik positif pada miokard dan penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler viseral. Hal ini dapat menyebabkan perbaikan aliran darah ke organ-organ vital. Namun pemberian larutan hipertonis dapat menyebabkan efek samping seperti hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh larutan kristaloid hipertonis antara lain Dextrose 5% dalam ½ Normal Saline, Dextrose 5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan Dextrose 5% dalam RL.



3. Hipotonis Jika plasma memiliki elektrolit yang lebih banyak dibandingkan kristaloid dan



kurang



terkonsentrasi,



maka



disebut



sebagai



“hipotonik”



(hipo,



rendah; tonik, konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan berpindah dari intravaskular ke sel. Dextrose 5% dalam air, ½ Normal Saline merupakan beberapa contoh dari larutan kristaloid hipotonik. D. Sifat Cairan Kristaloid Secara umum diketahui dan disepakati bahwa kristaloid hanya sebentar berada dalam ruang intravaskular dan ¼ bagian akan mengisi ruang ekstravaskuler yaitu interstisial. Apabila kristaloid diberikan berlebihan dapat menyebabkan edema otak, kinerja jantung berkurang, oksigenasi paru berkurang, menyebabkan translokasi bakteri pada saluran cerna, dan penyembuhan luka dihambat. Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline dan ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular. Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang intersisial. Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan cairan ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat metabolisme laktat. Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula darah yang rendah atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun penggunaannya untuk resusitasi dihindarkan karena komplikasi yang diakibatkan antara lain hiperomolalitashiperglikemik, diuresis osmotik, dan asidosis serebral. E. Macam-macam Cairan Kristaloid 1. NACL 0,9 % Cairan ini sedikit hipertonik karena mengandung Na 154 mmol/l (Na plasma 135- 147 mmol/l) dan Cl 154 mmol/l (Cl plasma 94-111 mmol/l yang tidak fisiologis. Pemberian infus besar dapat menyebabkan resiko asidosis



metabolik. Uji klinis prospektif terkontrol tersamar ganda (RCT) yang membandingkan efek larutan koloid dan kristaloid seimbang dengan larutan yang berdasarkan NaCI pada hiperkloremia, asidosis metabolik hiperkloremia pasca bedah menunjukkan bahwa angka kejadian asidosis metabolik lebih sering terjadi pada kelompok yang mendapatkan NaCI 0.9% daripada yang mendapatkan cairan kristaloid seimbang (67% vs 0%). Penelitian oleh Mythen merupakan uji klinis RCT pertama yang menunjukkan manfaat klinis potensial pemberian cairan intravena dengan formulasi elektrolit seimbang. Mereka membuktikan bahwa cairan ini menurunkan resiko asidosis metabolik dan ketidakseimbangan elektrolit dan memperbaiki perfusi organ. Tonometri gastrik menjadi predaktor penting sebagai parameter perfusi organ. Penelitian oleh Mc Farlane dan Lee, dan Scheingraber membuktikan bahwa pemberian NaCI 0.9% dalam jumlah besar menyebabkan asidosis metabolik. Penelitian-penelitian tadi membuktikan bahwa asidosis hiperkloremik dapat mengganggu perfusi organ akhir dan berpengaruh pada mekanisme pertukaran selular. 2. Larutan Ringer Laktat Larutan ringer laktat dapat menyebabkan efek proakoagulan dan kemungkinan timbulnya kekerapan efek samping seperti trombosis vena dalam, dan emboli paru. menunjukkan efek prokoagulan akibat hemodilusi dan peningkatan trombosis vena dalam pada pemberian kristaloid. Efek prokoagulan kristaloid dibuktikan secara invitro oleh Rutmann TG dkk. (1996) dan Egli GA dkk.(1997) dan secara invivo oleh Yanvrin SB dkk. (1980) dan Ng KF dkk. (1996).



DAFTAR PUSTAKA Guyton,



A.



Kompartemen



Cairan



Tubuh.



Cairan



Ekstraseluler



dan



Intraseluler.



Dalam: Buku ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC: 1997. hal 375-7. Graber,



MA.



Terapi



Cairan,



Farmedia. 2003.



Elektrolit,



dan



Metabolik.



Edisi



2.



Jakarta: