Case HIV Koas Anak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS



HIV pada Anak



Disusun Oleh :



Hani Aqmarina (030.10.120)



Pembimbing :



dr. Mas Wisnuwardhana, Sp.A



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RSUD KOTA BEKASI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2015



DAFTAR ISI BAB I Pendahuluan .......................................................................................................... 3



BAB II Ilustrasi Kasus



.............................................................................................. 4



BAB III Tinjauan Pustaka



................................................................................... .......... 15



1. Definisi



.......................................................................................................... 15



2. Epidemiologi 3. Etiologi



.............................................................................................. 15



.......................................................................................................... 16



4. Patogenesis ........................................................................................................... 18 5. Manifestasi Klinis ............................................................................................... 20 6. Diagnosis



........................................................................................................... 29



7. Penatalaksanaan



.............................................................................................. 33



8. Pencegahan .......................................................................................................... 44 BAB IV Kesimpulan .......................................................................................................... 46 Daftar pustaka ...................................................................................................................... 47



BAB I PENDAHULUAN



2



Sebagian besar bayi baru lahir yang terlahir dari ibu yang bermasalah dalam arti menderita suatu penyakit, tidak menunjukkan gejala sakit pada saat dilahirkan atau beberapa waktu setelah lahir. Bukan berarti bayi baru lahir tersebut aman dari gangguan akibat dari penyakit yang diderita ibu. Hal tersebut dapat menimbulkan akibat yang merugikan bagi bayi baru lahir (BBL), dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas bayi. Ibu bermasalah disini diartikan sebagai ibu yang menderita sakit, sebelum, selama hamil, atau pada saat menghadapi proses persalinan. (1,2)



Salah satu kelompok ibu yang bermasalah adalah ibu dengan HIV/AIDS. Mengingat jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia meningkat sesuai dengan estimasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia, setiap tahun terdapat 9000 hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti jika tidak ada intervensi, diperkirakan akan lahir sekitar 3000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di Indonesia. (1,3) Strategi Penanggulangan AIDS Nasional 2010-2014 menegaskan bahwa pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas, sehingga penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah. Hal ini seiring dengan program Prevention of Mother-to-Child Transmission of HIV (PMTCT) dari WHO yang turut bertujuan menurunkan angka penularan HIV dari ibu ke bayi yang dilahirkannya.(4,5) Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai managemen kasus anak dengan HIV+ dari ibu yang HIV+.



BAB II ILUSTRASI KASUS



2.1 Identitas 3



Nama No. RM Usia Tempat/Tanggal lahir Jenis kelamin Alamat Agama Suku Bangsa



: An. G : 03264280 : 6 tahun 7 bulan : Tanjung Priuk, 27 November 2008 : Perempuan : Alamanda regency C1-44 Karangsatria : Kristen : Batak



Datang ke Poli Anak RSUD Kota Bekasi untuk kontrol rutin pada Kamis, 18 Juni 2015 2.2 Anamnesis Anamnesis dilakukan secara aloanamnesis dengan Ny. H selaku ibu kandung pasien pada Kamis, 18 Juni 2015 di Poli Anak RSUD Kota Bekasi A. Keluhan Utama Kontrol rutin HIV B. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien merupakan pasien rawat jalan dengan riwayat HIV/AIDS di RSUD Bekasi. Pasien datang tanpa keluhan, hanya untuk kontrol rutin. C. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien memiliki riwayat flek paru saat berusia 10 bulan dan mendapat pengobatan selama 1,5 tahun. Saat berumur 3 tahun, penyakit flek parunya kambuh kembali dan pasien didiagnosis positif HIV. Pasien mendapat pengobatan flek paru yang kedua selama 9 bulan sebelum mendapat obat untuk HIV. Pasien sering mencret-mencret sebelum mendapat pengobatan HIV. Diketahui CD4+ terakhir pasien 800. D. Riwayat Penyakit Keluarga Ayah dan ibu pasien postif HIV sedangkan adik pasien negatif. Ayah dan ibu pasien sedang menjalani pengobatan ARV dan masih kontrol ke dokter rutin 1 bulan sekali. E. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran : Morbiditas kehamilan



Tidak ditemukan kelainan



Perawatan antenatal



Melakukan



pemeriksaan



beberapa kali ke bidan KEHAMILAN Saat hamil, ibu pasien belum tahu bahwa dirinya positif HIV. KELAHIRAN



Tempat kelahiran



Bidan 4



Penolong persalinan



Bidan



Cara persalinan



Normal



Masa gestasi



9 bulan 10 hari Berat lahir 3000 g Panjang badan 50 cm



Keadaan bayi



Lingkar kepala tidak ingat langsung menangis Nilai apgar tidak diketahui Tidak ada kelainan bawaan



F. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan : Pertumbuhan gigi pertama



: 6 bulan



Tengkurap dan berbalik sendiri



: 6 bulan



Duduk



: 7 bulan



Merangkak



: 8 bulan



Berdiri



: 9 bulan



Berjalan



: 11 bulan



Berbicara



: 13 bulan



Gangguan perkembangan



:-



Kesan: Baik (perkembangan sesuai dengan usia) G. Riwayat Makanan Umur (bulan)



ASI/PASI



0-2



ASI



2-4 4-6



ASI + Susu formula ASI + Susu



Buah/biskuit



Bubur susu



Nasi tim



-



-







-



-







-



-



-



5



formula 6-8



8-10



10-12



ASI + Susu formula ASI + Susu formula ASI + Susu formula







































Kesan: Pasien mendapat ASI seusai dengan usianya, namun sudah diberikan pendamping ASI yaitu susu formula dan buah (pisang) lebih dulu yaitu di usia 2 bulan dikarenakan menurut ibu pasien ASInya tidak diproduksi banyak. H. Riwayat Imunisasi : Vaksin BCG DPT/DT POLIO CAMPAK HEPATITIS B



Dasar (umur) 2 bulan 2 bulan 4 bulan Lahir 2 bulan 9 bulan 24 bulan Lahir 1 bulan



Ulangan (umur) 6 bulan 4 bulan 6 tahun 6 bulan



18 bulan 6 bulan



5 tahun 18 bulan



5 tahun



Kesan: Riwayat imunisasi lengkap I.



Riwayat Perumahan dan Sanitasi : Tinggal dirumah sendiri. Tempat tinggal pasien bersih, ventilasi cukup, air bersih. Ibu



pasien mengaku setiap hari membersihkan rumahnya. Kesan : Kebersihan dan kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien baik. I.



PEMERIKSAAN FISIK a. Keadaan umum/ kesadaran b. Tanda Vital - Frekuensi nadi - Frekuensi pernapasan - Suhu tubuh c. Data antropometri - Berat badan - Tinggi badan



: tampak baik/compos mentis : 96x/menit, regular : 20x/menit, regular : 36,2oC : 19 kg : 107 cm



6



STATUS GIZI Berdasarkan kurva CDC usia 2-20 tahun: 



BB/U = 19/20 x 100% = 1900/20 = 95%







TB/U = 107/115 x 100% = 10700/115 = 93%







BB/TB = 19/18 x 100% = 1900/18 = 105% Kesan : Gizi baik



7



d. Kepala - Bentuk - Rambut - Mata



: normocephali : rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, RCL +/+,



RCTL +/+ 8



-



Telinga Hidung Mulut



tenang e. Leher f. Thorax  Paru - Inspeksi - Palpasi - Perkusi - Auskultasi  Jantung - Inspeksi - Palpasi - Perkusi - Auskultasi g. Abdomen - Inspeksi - Auskultasi - Palpasi -



: KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak membesar



: pergerakan dinding dada simetris,retraksi (-) : vocal fremitus simetris : sonor di kedua lapang paru : suara napas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/: ictus cordis tidak nampak : ictus cordis teraba pada ICS V garis midclavicula kiri : batas atas : ICS II garis parasternal kiri batas kanan: ICS IV garis parasternal kanan batas kiri : ICS IV garis midclavicula kiri : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-) : perut datar : bising usus (+) : supel,turgor kulit normal, nyeri tekan (-), hepar dan lien



tidak teraba membesar Perkusi : timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok (-)



h. Ekstrmitas i. Kulit 



: normotia, membran timpani intak, serumen -/: bentuk normal, sekret -/-, nafas cuping hidung -/: sianosis (-), lidah kotor (-), faring hiperemis -/-, tonsil T1/T1



: akral hangat (+/+), sianosis (-) : sawo matang, turgor baik, ruam (-)



Refleks Fisiologis Pemeriksaan Sup dan Inf Bisep Trisep Patela Achiles







Kanan



Kiri



+ + + +



+ + + +



Kanan



Kiri



-



-



Refleks Patologis Pemeriksaan Sup dan Inf Hoffman Trommer Babinski Chaddock Gordon Schaeffer Klonus patella Klonus Achilles



9







Tanda Rangsang Meningeal Kaku kuduk Brudzinski I Brudzinski II Kernig Laseq



:::::-



II. PEMERIKSAAN PENUNJANG III. RESUME a) Anamnesis Pasien datang tanpa keluhan, hanya untuk kontrol di poli anak RSUD Kota Bekasi yang rutin pasien lakukan setiap 1 bulan sekali. Pasien memiliki riwayat flek paru selama 2x yaitu saat berusia 10 bulan dengan pengobatan flek 1,5 tahun dan usia 3 tahun dengan pengobatan flek 9 bulan. Ayah dan ibu pasien positif HIV dan sedang menjalani pengobatan ARV serta rutin kontrol ke dokter setiap 1 bulan sekali. b) Pemeriksaan Fisik Keadaan umum/ kesadaran



: tampak sakit ringan/ compos mentis



Antropometri  Berat badan : 19 kg  Tinggi badan : 107 cm  Status generalisata pasien dalam batas normal c) Pemeriksaan Penunjang IV. DIAGNOSIS KERJA a. HIV + stadium klinis 3 V. DIAGNOSIS BANDING VI. PENATALAKSANAAN - Obat ARV: D4TFDC junior 2-0-2 - Cotrimoxazole 1 x 1



10



VII.



ANALISA KASUS Dari anamnesis bahwa pasien memiliki orang tua yang HIV +. Pasien sudah



pernah melakukan pemeriksaan HIV saat berusia 3 tahun dan hasilnya positif. Sampai saat ini terhitung sudah 3 tahun lebih pasien menjalani pengobatan dengan ARV. Pasien memiliki riwayat flek paru sebanyak 2 kali yaitu saat berusia 10 bulan dengan pengobatan selama 1,5 tahun dan usia 3 tahun dengan pengobatan selama 9 bulan sebelum pemberian ARV. Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV ialah : 1. Lahir dari ibu resiko tinggi atau terinfeksi HIV Bayi-bayi yang terlahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV akan tetap mempertahankan status seropositif hingga usia 18 bulan oleh karena adanya respon antibodi ibu yang ditransfer secara transplacental. Selama priode ini, hanya anak-anak yang terinfeksi HIV saja yang akan mengalami respon serokonversi positif pada pemeriksaan dengan enzyme immunoassays (EIA), immunofluorescent assays (IFA) atau HIV-1 antibody western blots (WB).(1) 2. Lahir dari ibu pasangan resiko tinggi atau terinfeksi HIV 11



Menyingkirkan Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak 



Diagnosis definitif infeksi HIV pada bayi dan anak membutuhkan uji diagnostik yang memastikan adanya virus HIV.







Uji antibodi HIV mendeteksi adanya antibodi HIV yang diproduksi sebagai bagian respons imun terhadap infeksi HIV. Pada anak usia ≥ 18 bulan, uji antibodi HIV dilakukan dengan cara yang sama seperti dewasa.







Antibodi HIV maternal yang ditransfer secara pasif selama kehamilan, dapat terdeteksi sampai umur anak 18 bulan oleh karena itu interpretasi hasil positif uji antibodi HIV menjadi lebih sulit pada usia < 18 bulan.







Bayi yang terpajan HIV dan mempunyai hasil positif uji antibodi HIV pada usia 9-18 bulan dianggap berisiko tinggi mendapat infeksi HIV, namun diagnosis definitif menggunakan uji antibodi HIV hanya dapat dilakukan saat usia 18 bulan.







Untuk memastikan diagnosis HIV pada anak dengan usia < 18 bulan, dibutuhkan uji virologi HIV yang dapat memeriksa virus atau komponennya.







Anak dengan hasil positif pada uji virologi HIV pada usia berapapun dikatakan terkena infeksi HIV.







Anak yang mendapat ASI akan terus berisiko terinfeksi HIV, sehingga infeksi HIV baru dapat disingkirkan bila pemeriksaan dilakukan setelah ASI dihentikan > 6 minggu. Pada kasus ini, pasien mendapat ASI dari ibu kandungnya selama 2 tahun



dikarenakan saat itu ibu pasien belum mengetahui bahwa dirinya HIV + dan belum menjalankan pengobatan ARV.



12



Menurut stadium Klinis WHO untuk bayi dan anak dengan infeksi HIV/AIDS yang sudah terbukti, pasien termasuk dalam stadium 3 dikarenakan terdapat riwayat flek paru 2 kali yaitu saat berusia 10 bulan dengan pengobatan selama 1,5 tahun dan usia 3 tahun dengan pengobatan selama 9 bulan sebelum pemberian ARV serta riwayat diare terus menerus saat belum mengetahui bahwa pasien HIV +. Pemeriksaan Fisik 



Tidak ditemukan tanda – tanda kriteria klinis infeksi HIV



Pemeriksaan Laboratorium 



Tidak dilakukan



Penatalaksanaan  



Obat ARV: D4TFDC 2-0-2 Cotrimoxazole 1x1 BAB III 13



TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.(6) 2. Epidemiologi HIV/AIDS di Indonesia semakin menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat



di Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari epidemi rendah



menjadi epidemi terkonsentrasi. Dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, yang melaporkan kasus AIDS terdapat 32 provinsi, dan kabupaten/kota yang melaporkan kasus AIDS 178 kabupaten/kota. Berdasarkan hasil estimasi oleh Depkes pada tahun 2006 diperkirakan terdapat 169.000– 216.000 ODHA di Indonesia dengan rate kumulatif



kasus AIDS Nasional sampai dengan 30 Juni 2007 adalah



4,27 per



100.000 penduduk (revisi berdasarkan data BPS 2005, jumlah penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa).(7) Angka kesakitan HIV di Indonesia secara nasional masih tergolong “low prevalence country” tetapi keadaan sebenarnya pada beberapa propinsi sudah mengarah kepada “concentrated level epidemic” artinya pada kelompok tertentu prevalensi HIV sudah mencapai 5 persen bahkan melebihi 5 persen paling tidak dalam 2 kali survei berurutan. Pemahaman tentang epidemi HIV/AIDS di Indonesia dapat diikuti dengan menyimak hasil pengamatan atau surveilans terhadap HIV/AIDS di antara kelompok penduduk dengan risiko tertulari yang berbeda-beda seperti: penjaja seks, narapidana, penyalahguna napza suntik, darah donor, ibu hamil dan lain sebagainya.(8) Cara penularan yang dilaporkan terutama adalah melalui hubungan seksual (77,1 persen) di mana 61,4 persen di antaranya melalui hubungan seks heteroseksual dan 15,7 persen melalui hubungan seks homoseksual. Sejak tahun 1999 penularan melalui penyalahgunaan napza suntik meningkat secara drastis dan menempati urutan kedua (20,7 persen) sesudah transmisi secara heteroseks.(8)



14



Penularan infeksi HIV dari Ibu ke Anak merupakan penyebab utama infeksi HIV pada anak usia di bawah 15 tahun. Sejak HIV menjadi pandemic di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV. Hampir sebagian besar penderita tersebut tertular melalui penularan dari ibu ke anak. Setiap tahun diperkirakan lebih dari 800.000 bayi menjadi terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke anak. Dan diikuti adanya sekitar 610.000 kematian anak karena virus tersebut.(9) Di Indonesia menurut Ditjen PPM dan PL Departemen kesehatan tercatat 3568 kasus HIV/AIDS pada akhir bulan Desember 2002. Terdapat 20 anak dengan infeksi HIV yang tertular ibunya. Penelitian yang dilakukan Yayasan Pelita Ilmu dan Bagian kebidanan FKUI/RSCM selama tahun 1999-2001 melakukan pemeriksaan pada 558 ibu hamil di daerah miskin di Jakarta, menunjukkan hasil sebanyak 16 orang (2,86%) mengidap infeksi HIV. Wanita sering tertular infeksi HIV melalui hubungan heterosexual dengan pasangan yang terinfeksi atau melalui penggunaan obat-obatan.(9)



3. Etiologi Virus penyebab defisiensi imun yang dengan nama Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T celllymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus.(10) Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.(11) Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh 15



pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.(11) Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel kripta dan sel-sel enterokromafin). Sedangkan gp 41 atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu membentuk sinsitium. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.(11) Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak. (11)



Gambar 1. Struktur anatomi HIV 16



4. Patogenesis Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif.(6) Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.(12) Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN) . Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4, sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (6)



17



Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV



Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk terhada berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela. Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek. Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV. (6) 18



Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan kerusakan progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus. (6)



5. Manifestasi Klinis Gambaran klinis HIV pada anak sangat bervariasi. Beberapa anak dengan HIV positif menunjukkan keluhan dan gejala terkait HIV yang berat pada tahun pertama kehidupannya. Anak dengan HIV positif lainnya mungkin tetap tanpa gejala atau dengan gejala ringan selama lebih dari setahun dan bertahan hidup sampai beberapa tahun. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, perlu dicari: 



Ibu atau ayah memiliki risiko untuk terinfeksi HIV (riwayat narkoba suntik, promiskuitas, pasangan dari penderita HIV, pernah mengalami operasi atau transfuse darah)







Memiliki morbiditas yang khas maupun sering ditemukan pada penderita HIV, yaitu: diare kronik, gagal tumbuh, pneumonia berat, pneumonia P.carinii, demam berkepanjangan, TB paru, kandidosis orofaring.(9)



Gejala yang menunjukkan kemungkinan infeksi HIV: 



Infeksi berulang: 3 atau lebih episode infeksi bakteri yang lebih berat (seperti pneumonia, meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan terakhir







Thrush: eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut, gusi, dan mukosa pipi. Pasca masa neonatal, ditemukannya thrush tanpa pengobatan antibiotic, atau berlangsung lebih dari 30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas melebihi bagian lidah-kemungkinan besar merupakan infeksi HIV. Juga khas apabila meluas hingga ke belakang kerongkongan (kandidiasis esophagus)







Parotitid kronik: pembengkakan parotid uni-atau bi-lateral selama ≥ 14 hari, dengan atau tanpa diikuti rasa nyeri atau demam







Limfadenopati generalisata: terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada dua atau lebih daerah ekstrainguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya 19







Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi virus yang bersamaan seperti CMV







Demam yang menetap dan/atau berulang : demam (>38 0C) berlangsung lebih dari 7 hari, atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari







Dermatitis HIV:ruam yang eritematus dan papuler. Ruam kulit yang khas meliputi infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala, dan moluscum contagiosum yang ekstensif







Herpers zoster







Kelainan neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal, perkembangan terlambat, hipertonia, atau bingung.(14)



Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada anak yang sakit bukan infeksi HIV: 



Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dari telinga dan berlangsung ≥ 14 hari







Diare persisten: berlangsung ≥ 14 hari







Gizi kurang atau gizi buruk.(14)



Gejala yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV positif : 



Pneumocystitis pneumonia (PCP)







Kandidiasis esophagus







Lymphoid intersititial pneumonia (LIP)







Sarcoma kapossi.(14)



Stadium HIV pada Anak Ada 2 klasifikasi klinik: WHO, dan CDC Stadium klinis anak yang tidak diterapi ART dapat menjadi prediksi mortalitasnya. Stadium klinis dapat digunakan untuk memulai pemberian kotrimoksazol dan memulai ART khususnya bila pemeriksaan CD4+ tidak tersedia



20



Stadium Klinis WHO untuk bayi dan anak dengan infeksi HIV/AIDS yang sudah terbukti, Stadium Klinis 1 



Tanpa gejala (asimtomatis)







Limfadenopati generalisata persisten



Stadium Klinis 2 



Hepatosplenomegaly persisten tanpa alasani







Erupsi papular pruritis Infeksi virus kutil yang luas Moluskum kontagiosum yang luas Infeksi jamur di kuku Ulkus mulut yang berulang Pembesaran parotid persisten tanpa alasan Eritema lineal gingival (LGE) Herpes zoster Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media, otore,



       



sinusitis, atau tonsilitis)



Stadium Klinis 3 



Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku



 



Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih) Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-menerus,



        



lebih dari 1 bulan) Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu) Oral hairy leukoplakia (OHL) Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut Tuberkulosis pada kelenjar getah bening Tuberkulosis paru Pneumonia bakteri yang parah dan berulang Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis Anemia ( 21



Stadium Klinis 4ii 



Wasting yang parah, tidak bertumbuh atau malanutrisi yang parah tanpa alasan dan tidak menanggapi terapi yang baku



 







     



       



Pneumonia Pneumosistis (PCP) Infeksi bakteri yang parah dan berulang (mis. empiema, piomisotis, infeksi tulang atau sendi, atau meningitis, tetapi tidak termasuk pneumonia) Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial atau kutaneous lebih dari 1 bulan atau viskeral pada tempat apa pun) Tuberkulosis di luar paru Sarkoma Kaposi Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru) Toksoplasmosis sistem saraf pusat (setelah usia 1 bulan) Ensefalopati HIV Infeksi sitomegalovirus: retinitis atau infeksi CMV yang mempengaruhi organ lain, yang mulai pada usia lebih dari 1 bulan) Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis) Mikosis diseminata endemis (histoplasmosis luar paru, kokidiomikosis) Kriptosporidiosis kronis Isosporiasis kronis Infeksi mikobakteri non-TB diseminata Limfoma serebral atau non-Hodgkin sel-B Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML) Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV.(15)



Catatan: i ‘Tanpa alasan’ berarti keadaan tidak dapat diakibatkan oleh alasan lain. ii Beberapa penyakit khusus yang juga dapat dimasukkan pada klasifikasi wilayah (misalnya penisiliosis di Asia) Sistem klasifikasi infeksi HIV pada anak: kategori klinis CDC (revisi 1994) 9



Kategori N (tanpa gejala)



Tidak terdapat tanda dan gejala klinis akibat infeksi HIV, atau hanya terdapat satu gejala kategori A



Kategori A (gejala klinis ringan)



Terdapat 2 atau lebih berikut tanpa gejala kategori B 22



dan C: a. Limfadenopati (≥ 0,5 cm lebih dari 1 tempat, bilateral dianggap 1 tempat) b. Hepatomegali c. Splenomegali d. Dermatitis e. Parotitis f. Infeksi saluran nafas atas, sinusitis, atau otitis Kategori B (gejala klinis sedang)



media berulang atau menetap Terdapat gejala klinis lain selain gejala kategori A atau C: a. Anemia (< 8g/dL), neutropenia ( 6 bulan d. Kardiomiopati e. Infeksi CMV dengan onset usia < 1 bulan f. Diare berulang atau kronik g. Hepatitis h. Stomatitis herpes simpleks (HSV) berulang (> 2 episode dalam setahun) i. Bronchitis, pneumonia, atau esofagitis HSV dengan onset usia < 1 tahun j. Herpes zoster pada paling sedikit 2 episode berbeda atau > 1 dermatom k. Leimiosarkoma l. Pneumonitis interstitial limfoid atau kompleks hyperplasia limfoid paru m. Nefropati n. Nokardiosis 23



o. Demam > 1 bulan p. Toksoplasmosis dengan onset usia < 1 bulan q. Varisela Kategori C (gejala klinis berat)



diseminata



(cacar



air



dengan



komplikasi) Semua anak yang memeuuhi criteria AIDS, kecuali untuk pneumonitis interstitial limfoid yang masuk dalam kategori B.(13)



Tabel 1. Klasifikasi kategori klinis HIV menurut CDC Kriteria imunologis



Tabel 2 Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4+ CD4+ adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefsiensi. Digunakan bersamaan dengan penilaian klinis. CD4+ dapat menjadi petunjuk dini progresivitas penyakit karena nilai CD4+ menurun lebih dahulu dibandingkan



kondisi



klinis.



Pemantauan CD4+ dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV atau penggantian obat. Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4+. Untuk anak < 5 tahun digunakan persentase CD4+. Bila ≥ 5 tahun, persentase CD4+ dan nilai CD4+ absolut dapat digunakan. Ambang batas kadar CD4+ untuk imunodefsiensi berat pada anak ≥ 1 tahun



sesuai dengan risiko mortalitas dalam 12 bulan (5%). Pada anak < 1 tahun



atau bahkan < 6 bulan, nilai CD4+ tidak dapat memprediksi mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi bahkan pada nilai CD4+ yang



tinggi.



24



Tabel 3. Klasifikasi imunodefisiensi WHO menggunakan TLC Hitung limfosit total (TLC) digunakan bila pemeriksaan CD4+ tidak tersedia untuk kriteria memulai ART (imunodefsiensi berat) pada anak dengan stadium 2. Hitung TLC tidak dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV. Perhitungan TLC = % limfosit X hitung total leukosit. Perjalanan HIV pada Anak Cara dan waktu penularan infeksi HIV-1 pada anak mungkin selanjutnya berkontribusi dengan laju progresi penyakit HIV. Autologous neutralizing antibody (aNab) maternal terlibat sebagai faktor protektif melawan penularan HIV selama intra uteri. Studi Bryson and colleagues from the University of California at Los Angeles menilai adanya antibody netralisir diantara 21 transmisi dan 17 non-transmisi ibu yang tidak menerima sidovudine untuk mencegah transmisi ibu ke anak. Adanya aNab (autologous neutralizing antibody) juga berhubungan dengan ketiadaan progresi pada anak yang terinfeksi. Bayi yang mengalami progresi cepat selama 2 tahun pertama kehidupan memiliki kadar aNab yang sangat rendah bahkan nol untuk melawan virus yang ada atau yang telah berlalu. Sedangkan penyakit dengan progresi intermediet awalnya menunjukkan tidak adanya kemampuan aNab, namun setelah 12 bulan menjadi mampu menetralisir virus. Anak dengan progresi lambat menunjukkan peningkatan kemampuan menetralisir virus pada titer tinggi.(16) Infeksi HIV-1 pada anak memiliki variasi, yang menyebabkan gejala dini pada hampir 20% (progresi cepat). Kebanyakan anak menunjukkan progresi moderat penyakit, dan sekelompok kecil menunjukkan asimptomatik selama beberapa tahun. Beberapa faktor yang berpengaruh adalah karakteristik virus dan pejamu. Mengenai faktor pejamu, literature menekankan pada peran gen CCR5 yang mengkode permukaan sel, molekul reseptor kemokin yang berperan sebagai ko-reseptor bagi makrofag-tropik strain HIV. Anak digolongkan ke dalam progressor cepat, moderat, dan lambat berdasarkan gejala klinis yang timbul dalam 2 tahun pertama kehidupan, umur 2-8 tahun, dan setelah umur 8 tahun. Multipel faktor dapat mempengaruhi progresi penyakit HIV-1 pada anak selama infeksi perinatal, seperti faktor infeksi utero versus intrapartum, status penyakit ibu saat kelahiran, pengobatan dan profilaksis ibu dan bayi, dan HLA genotip 11 .(17) Pemeriksaan Penunjang 25







Diagnosis HIV







Tentukan status gizi







Tentukan status imunosupresi dengan pemeriksaan CD4+







Lakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, SGOT/SGPT, dan pemeriksaan lain sesuai indikasi







Pemeriksaan lain (pencitraan, dan lain-lain ).(13)



Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetik dalam darah pasien. Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay), aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang biasanya digunakan di Indonesia adalah dengan ELISA. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV ini yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil negatif. Untuk itu, jika kecurigaan akan adanya resiko terinfeksi yang cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan bulan kemudian. Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan konseling pra tes. Hali ini harus dilakukan agar ia mendapat informasi yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasilnya nanti. Untuk membritahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes. Jika hasil positif akan diberi informasi mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala dan mencegah penularan. Jika hasil negatif, akan diberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko.(13)



26



6. Diagnosis Seperti penyakit lain, diagnosis HIV lain juga ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.(10) Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV ialah : 1)



Lahir dari ibu resiko tinggi atau terinfeksi HIV



Bayi-bayi yang terlahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV akan tetap mempertahankan status seropositif hingga usia 18 bulan oleh karena adanya respon antibodi ibu yang ditransfer secara transplacental. Selama priode ini, hanya anak-anak yang terinfeksi HIV saja yang akan mengalami respon serokonversi positif pada pemeriksaan dengan enzyme immunoassays (EIA), immunofluorescent assays (IFA) atau HIV-1 antibody western blots (WB). 2) 3) 4)



5)



Lahir dari ibu pasangan resiko tinggi atau terinfeksi HIV Penerima transfusi darah atau komponennya dan tanpa uji tapis HIV Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkotika) Kebiasaan seksual yang keliru, homoseksual atau biseksual.(10)



Menyingkirkan Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak 







Diagnosis definitif infeksi HIV pada bayi dan anak membutuhkan uji diagnostik yang memastikan adanya virus HIV. Uji antibodi HIV mendeteksi adanya antibodi HIV yang diproduksi sebagai bagian respons imun terhadap infeksi HIV. Pada anak usia ≥ 18 bulan, uji antibodi HIV







dilakukan dengan cara yang sama seperti dewasa. Antibodi HIV maternal yang ditransfer secara pasif selama kehamilan, dapat terdeteksi sampai umur anak 18 bulan oleh karena itu interpretasi hasil positif uji antibodi HIV







menjadi lebih sulit pada usia < 18 bulan. Bayi yang terpajan HIV dan mempunyai hasil positif uji antibodi HIV pada usia 9-18 bulan dianggap berisiko tinggi mendapat infeksi HIV, namun diagnosis definitif











menggunakan uji antibodi HIV hanya dapat dilakukan saat usia 18 bulan. Untuk memastikan diagnosis HIV pada anak dengan usia < 18 bulan, dibutuhkan uji virologi HIV yang dapat memeriksa virus atau komponennya. Anak dengan hasil positif pada uji virologi HIV pada usia berapapun dikatakan terkena infeksi HIV. 27







Anak yang mendapat ASI akan terus berisiko terinfeksi HIV, sehingga infeksi HIV baru dapat disingkirkan bila pemeriksaan dilakukan setelah ASI dihentikan > 6 minggu.(10) Gejala klinis yang sesuai dengan penjelasan sebelumnya, pada bagian manifestasi



klinis. Sedangkan untuk diagnostik pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium.(10) Tes untuk mendiagnosis virus harus dilakukan dalam 48 jam kehidupan pertama. Hampir 40% bayi dapat didiagnosis pada masa ini. Disebabkan karena banyak bayi yang terinfeksi HIV mempunyai perkembangan penyakit yang cepat sehingga memerlukan terapi yang progresif pula. Pada anak yang terpapar HIV dengan tes virologis yang negatif pada 2 hari pertama, beberapa pendapat mengusulkan perlu untuk dilakukan pemeriksaan kembali pada hari ke-14 untuk memaksimalkan deteksi dari virus ini. Terdapat beberapa tes HIV yang cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Kebanyakan dari tes-tes ini hanya membutuhkan satu step pengambilan sampel dan hasilnya didapat lebih cepat (< > pada 2 hari pertama kehidupan, dan > 90% pada usia > 2 minggu kehidupan. Uji RNA HIV plasma, yang mendeteksi replikasi virus lebih sensitif daripada PCR DNA untuk diagnosis awal, namun data yang menyatakan seperti itu masih terbatas. Kultur HIV mempunyai sensitivitas yang hampir sama dengan PCR HIV DNA, namun tekniknya lebih sulit dan mahal, dan hasilnya sulit didapat pada beberapa minggu, dibandingkan dengan PCR yang membutuhkan hanya 2-3 hari. Uji antigen p24 bersifat lebih spesifik dan mudah untuk dilakukan namun kurang sensitif dibandingkan dengan uji virologis lainnya, dan tidak direkomendasikan untuk usia. Seorang bayi yang terpapar oleh virus HIV dapat dinyatakan positif terinfeksi HIV jika pada pemeriksaan serologis dari 2 (dua) sampel darah yang berbeda pada bayi (tidak termasuk darah yang berasal dari pusat, karena adanya risiko terkontaminasi oleh darah ibu); baik dua kali hasil positif pada pemeriksaan kultur HIV darah perifer untuk sel-sel mononuklear (peripheral blood mononuclear cell (PMBC)), dan/atau satu hasil positif untuk DNA atau RNA polymerase chain reaction (PCR) assay dan satu hasil postif pada kultur PMBC HIV. Pemeriksaan-pemeriksaan terebut harus dilakukan pada dua waktu yang berlainan pada bayi-bayi yang belum pernah diberi ASI sebelumnya. Seorang bayi yang terlahir dari seorang ibu pengidap infeksi HIV dapat dinyatakan tidak terinfeksi HIV jika tes-tes di atas tetap memberikan hasil negatif sampai usia bayi lebih dari empat bulan dan bayi tidak mendapat ASI. (18) 28



Bagan 1. Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak < 18 bulan Dengan status HIV Ibu tidak diketahui



Bagan 2. Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak < 18 Bulan dan Mendapatkan Asi 29



Bagan 3. Diagnosis Bayi dan Anak < 18 Bulan, Status Ibu HIV Positif Dengan Hasil Uji Virus Awal Negatif dan Terdapat Tanda atau Gejala HIV Pada Kunjungan Berikutnya



Tabel 4. Penegakkan Diagnosis Presumptif Hiv Pada Bayi dan Anak < 18 Bulan dan Terdapat Tanda/Gejala Hiv Yang Berat



30



Bagan 4. Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak > 18 Bulan 7. Penatalaksanaan Terapi Anti Retroviral (ARV) Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk mensupres virus untuk memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan penyakit ke arah yang kronis. Pengobatan infeksi



virus HIV pada anak dimulai setelah menunjukkan



adanya gejala klinis. Gejala klinis menurut klasifikasi CDC. Pengobatan ARV diberikan dengan pertimbangan : 1. Adanya bukti supresi imun yang ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 atau persentasenya. 2. Usia 3. Bagi anak berusia > 1 tahun asimtomatis dengan status imunologi normal, terdapat 2 pilihan : a. Awali pengobatan tidak bergantung kepada gejala klinis.



31



b. Tunda pengobatan pada keadaan resiko progresifitas perjalanan penyakit rendah atau adanya faktor lain misalnya pertimbangan lamanya respon pengobatan, keamanan dan kepatuhan. Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan ialah :  



Peningkatan viral load Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau presentasi supresi imun (Kategori







Imun 2 pada tabel ) Timbulnya gejala klinis Keputusan untuk memberikan terapi antiretrovirus harus memenuhi kriteria sebagai



berikut: 1)



2)



3)



4)



5) 6)



7)



8)



Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk mendiagnosis HIV secara dini. Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi (ART) selama sedikitnya 1 tahun Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang ART, pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi, dll. Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong kepatuhan serta untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ART Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi hati, dll. Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi oportunistik akibat HIV Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk infeksi oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV. Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja sosial, dukungan sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok dukungan



9)



Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan pendampinya. Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik tentang penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk menyebarluaskan



10)



informasi dan pedoman baru. Obat ARV digunakan secara rasional sesuai pedoman yang berlaku.(19) Perjalanan penyakit infeksi HIV dan penggunaan ART pada anak adalah serupa



dengan orang dewasa tetapi ada beberapa pertimbangan khusus yang dibutuhkan untuk bayi, balita, dan anak yang terinfeksi HIV.



32



Efek obat berbeda selama transisi dari bayi ke anak. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian khusus tentang dosis dan toksisitas pada bayi dan anak. Kepatuhan berobat pada anak menjadi tantangan tersendiri. Terapi ARV memberi manfaat klinis yang bermakna pada anak yang terinfeksi HIV yang menunjukkan gejala. Uji klinis terhadap anak sudah menunjukkan bahwa ART memberi manfaat serupa dengan pemberian ART pada orang dewasa. Saat ini ada 3 (tiga) golongan ART yang tersedia di Indonesia: 1) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs): Obat ini dikenal sebagai analog nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Zalcitabin (ddC), Abacavir (ABC). 2) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI): obat ini berbeda dengan NRTI walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA. Obat dalam golongan ini termasuk nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV), dan Delavirdine (DLV). 3) Protease Inhibitor (PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat dalam golongan ini termasuk Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV), Amprenavir (APV), dan Lopinavir/ritonavir (LPV/r). Regimen obat yang diusulkan di Indonesia ialah : Salah satu dari Kolom A dan salah satu kombinasi dari Kolom B Kolom A Nevirapine (NVP) Nelfinavir (NVF)



Kolom B AZT + ddl ddl+3TC d4T + ddl AZT + 3TC d4T + 3TC Tabel 5. Regimen ART yang diusulkan di Indonesia



33



Untuk neonatus, regimen obat yang diberikan berupa 2 nucleoside reverse transcriptase



inhibitors (NRTIs) atau



nevirapine



dengan



2NRTIs atau protease



inhibitor dengan 2NRTIs. Selain itu, juga direkomendasikan pemberian zidovudine dengan didanosine atau zidovudine dengan lamivudine dikombinasi dengan nelfinavir atau ritonavir. Untuk bayi-bayi yang lebih tua dan anak-anak, direkomendasikan beberapa regimen antiretroviral. Protease inhibitor sebagai pilihan utama dengan 2NRTIs. Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor yang paling direkomendasikan untuk anak-anak berusia lebih dari tiga tahun adalah 2NRTIs dengan efavirenz (dapat disertai dengan atau tanpa protease inhibitor). Untuk anak-anak berusia kurang dari tiga tahun yang belum dapat mendapat tablet, regimennonnucleoside terpiliih adalah 2NRTIs dengan nevirapine. Alternatif pemberian regimen terapi nucleoside analogue adalah zidovudine dengan lamivudine dan abacavir. Pemantauan pengobatan Pemantauan pengobatan diperlukan untuk melihat : 1. Kepatuhan minum obat. 2. Gejala baru yang timbul akibat efek samping obat maupun dari perjalanan penyakit itu sendiri. Pemantauan sebaiknya dilakukan setelah 1 bulan pengobatan dimulai dan selanjutnya setiap 3 bulan sekali. Pemantauan keberhasilan dan toksisitas ART: 1. Secara klinis a. Berat badan meningkat b. Tidak kena infeksi opportunistik, atau kalau pun terkena, infeksi tidak berat c. Anamnesis gejala yang berhubungan dengan HIV seperti batuk lebih dari 2 minggu, demam, diare, dll disertai pemeriksaan fisik. 2. Pemeriksaan laboratorium Tes darah rutin termasuk tes darah lengkap, SGOT/SGPT, kreatinin, gula darah, kolesterol dan trigliserid dibutuhkan untuk memantau efek samping obat dan perjalanan penyakit. Jenis tes yang dibutuhkan bergantung pada regimen obat yang 34



digunakan. Tes jumlah CD4 setiap 6 bulan sekali diperlukan untuk menentukan kapan profilaksis dapat dihentikan. Bila tes ini belum dapat dilakukan maka dapat dipakai hitung limfosit total. Indikasi untuk Mengganti Regimen atau Berhenti ART Mengganti regimen akibat toksisitas obat dapat dilakukan degan mengganti satu atau lebih obat dari golongan yang sama dengan obat yang dicurigai mengakibatkan toksisitas. (19) Mengganti terapi akibat kegagalan, untuk hal ini terdapat kriteria khusus untuk penggantian terapi menjadi regimen yang baru secara keseluruhan (masing-masing obat dalam kombinasi diganti dengan yang baru) atau penghentian terapi penggantian atau penghentian dilakukan apabila : 1. ODHA pernah menerima regimen yang sama sekali tidak efektif lagi misalnya monoterapi atau terapi dengan 2 nukleosida Nucleosida reverse transcriptase inhibitor (NRTI) 2. Viral load masih terdeteksi setelah 4-6 bulan terapi, atau bila viral load menjadi terdeteksi kembali setelah beberapa bulan tidak terdeteksi. 3. Jumlah CD4 terus-menerus menurun setelah dites 2 kali dengan interval beberapa minggu 4. Infeksi opportunistik dengan immune reconstitution syndrome/sindrom pemulihan kembali kekebalan.



Asuhan Gizi Asuhan gizi merupakan komponen penting dalam perawatan individu yang terinfeksi HIV. Mereka akan mengalami gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan dan hal ini berkaitan dengan kurang gizi. Penyebabnya multifaktorial antara lain karena anoreksia, gangguan penyerapan sari makanan pada saluran cerna, hilangnya cairan tubuh akibat diare dan muntah, dan gangguan metabolisme. Jika seseorang dengan HIV mempuyai status gizi yang baik maka daya tahan tubuh akan lebih baik sehingga menghambat memasuki tahap AIDS. Asuhan gizi dan terapi gizi bagi ODHA sangat penting bagi mereka yang mengkonsumsi ARV. Makanan yang dikonsumsi mempengaruhi penyerapan ARV dan 35



obat infeksi opoortunistik dan juga sebaliknya, sehingga mmerlukan pengaturan diet seperti obat ARV dimakan ketika saat lambung kosong. Prinsip gizi medis pada ODHA ialah tinggi kalori tinggi protein (TKTP) diberikan secara oral, juga kaya vitamin meneral dan cukup air. Berdasarkan beberapa penelitian, pemberian stimulan nafsu makan, seperti megestrol acetate dan human recombinant growth hormone dapat memberikan kenaikan berat badan dan pertumbuhan. Seiring dengan berkembangnya penyakit, akan terjadi penurunan berat badan yang sangat drastis (drastic wasting) dan terhambatnya pertumbuhan anak. Berkurangnya cadangan protein dapat diatasi dengan meningkatkan intake asam amino, terutama threonine dan methionine. Bayi yang lahir dari ibu HIV tidak boleh diberi ASI ibunya, sehingga bayi diberikan pengganti air susu ibu (PASI). Namun dalam keadaan tertentu dimana pemberian PASI tidak memungkinkan dan bayi akan jatuh ke dalam kurang gizi, ASI masih dapat diberikan dengan cara diperas dan dihangatkan terlebih dahulu pada suhu di atas 66OC untuk membunuh virus HIV. Rekomendasi terkait menyusui untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut : a)



Menyusui bayinya secara eksklusif selama 4-6 bulan untuk ibu yang tidak



b)



terinfeksi atau ibu yang tidak diketahui status HIV-nya. Ibu dengan HIV positif dianjurkan untuk tidak memberikan ASI dan sebaliknya memberikan susu formula (PASI) atau susu sapi atau kambing yag



c)



diencerkan. Bila PASI tidak memungkinkan disarankan pemberian ASI eksklusif selama 46 bulan kemudian segera dihentikan untuk diganti dengan PASI.



Tatalaksana kondisi yang terkait dengan HIV 1. Tuberkulosis Pada anak tersangka atau terbukti infeksi HIV, diagnosis tuberculosis penting untuk dipertimbangkan.Diagnosis TBC pada anak dengan infeksi HI”V seringkali sulit. Pada infeksi HIV dini, ketika kekebalan belum terganggu, gejala TBC mirip pada anak tanpa infeksi HIV. TBC paru merupakan bentuk paling sering dari tuberculosis, juga pada anak dengan infeksi HIV. Dengan makin berkembangnya infeksi HIV dan berkurangnya 36



kekebalan, penyebaran TBC makin sering terjadi. Dapat terjadi meningitis tuberculosis, TBC milier dan TBC kelenjar yang menyebar. Obati tuberculosis pada anak infeksi HIV dengan obat Anti TBC yang sama seperti pada anak tanpa infeksi HIV, tetapi gantikan Tioasetazon dengan antibiotic lain. Tioasetazon dihubungkan dengan resiko tinggi terjadinya reaksi kulit yang berat dan kadang-kadang fatal pada anak dengan infeksi HIV ini. Reaksi ini dapat dimulai dengan gatal, tetapi berlanjut menjadi reaksi yang berat. Jika Tioasetazon diberikan, ingatkan orangtua tentang resiko reaksi kulit yang berat dan nasehati untuk segera menghentikan penggunaan jika terjadi gatal atau reaksi kulit.



2. Pneumocystis jiroveci (carinii) pneumonia (PCP) Buat diagnosis tersangka pneumonia pneumosistis pada anak dengan pneumonia berat atau sangat berat dan terdapat infiltrate interstitial bilateral pada foto thorax. Pertimbangkan kemungkinan pneumonia pnuemosistis pada anak, yang diketahui atau tersangka HIV, yang bereaksi terhadap pengobatan untuk pneumonia biasa. Pneumonia pneumosistis sering terjadi pada bayi dan sering menimbulkan hipoksia. Na0pas cepat merupakan gejala yang sering ditemukan, gangguan respiratorik tidak proporsional dengan tanda klinis, demam biasanya ringan. Umur umumnya 4-6 bulan. Segera beri Kotrimoksazol (Trimetoprim (TMP) secara oral atau lebih baik secara IV dosis tinggi, 8 mg/KgBB/dosis. Sulfametoksazol (SMZ) 40 mg/KgBB/dosis, 3 kali sehari selama 3 minggu). Jika terjadi reaksi obat yang parah pada anak, ganti dengan Pentamidin (4 mg/KgBB, dosis tunggal) melalui infuse selama 3 minggu. Tatalaksana anak dengan pneumonia klinis di daerah dengan prevalensi HIV tinggi.Lanjutkan pencegahan pada saat mulai membaik dan mulai beri ART sesuai indikasi.



3. Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP) Dapat dibuktikan tersangka LIP, bila ditemukan foto toraks menunjukkan pola interstitial retikulo-nodular bilateral, yang harus dibedakan dengan tuberculosis paru dan adenopati hilar bilateral. Anak seringkali tanpa gejala pada fase awal, tetapi selanjutnya terjadi batuk persisten, dengan atau tanpa kesulitan bernapas, pembengkakan parotis bilateral, limfadenopati persisten generalisata, hepatomegali dan tanda lain dari gagal jantung dan jari tabuh. 37



Beri percobaan pengobatan antibiotic untuk pneumonia bacterial sebelum mulai dengan pengobatan Prednisolon. Mulai pengobatan dengan steroid, hanya jika ada temuan foto toraks yang menunjukkan LIP ditambah salah satu gejala berikut : - Napas cepat atau sukar bernapas - Sianosis - Pulse oxymetri menunjukkan saturasi oksigen < 90% Beri Prednison oral, 1-2 mg/KgBB/hari selama 2 minggu. Kemudian tappering off selama 2-4 minggu bergantung respons terhadap pengobatan. Mulai pengobatan hanya jika mampu menyelesaikan seluruh rencana terapi (yang berlangsung selama beberapa bulan bergantung hilangnya gejala hipoksia), karena pengobatan yang tidak tuntas akan tidak efektif dan bisa berbahaya. Hati-hati terhadap reaktivasi tuberculosis.



4. Infeksi Jamur 1) Kandidiasis Oral dan Esofagus  Obati bercak putih di mulut (thrush) dengan larutan nistatin (100.000 unit/ml). olesi 1-2 ml di dalam mulut sebanyak 4 kali/hari selama 7 hari. Jika tidak tersedia, olesi dengan larutan gentian violet 1%, jika masih tidak efektif, beri gel mikonazol 2%, 5 ml 2 kali/hari.  Tersangka Kandidiasis esophagus jika ditemukan kesulitan atau nyeri saat muntah atau menelan, tidak mau makan, saliva berlebihan atau menangis saat makan. Kondisi ini bisa terjadi dengna atau tanpa ditemukannya oral thrush. Jika tidak ditemukan thrush, beri pengobatan percobaan dengan Flukonazol (3-6 mg/KgBB sekali sehari). Singkirkan penyebab lain. Nyeri menelan (sitomegalovirrus, herpes simpleks, limfoma dan yang agakjarang, sarcoma Kaposi), jika perlu rujuk ke rumah sakit lebih besar yang bisa melakukan tes yang dibutuhkan.  Beri Flukonazol oral (3-6 mg/KgBB sekali sehari) selama 7 hari, kecuali jika anak mempunyai penyakit hati akut. Beri Amfoterisin B (0,5-1,5 mg/KgBB/dosis sekali sehari) melalui infuse selama 10-14 hari dan pada kasus yang tidak memberikan respons terhadap pengobatan oral, tidak mampu mentoleransi pengobatan oral, atau ada resiko meluasnya kandidiasis (misalnya pada anak dengan leucopenia). 2) Meningitis Kriptokokus  Diduga kriptokokus sebagai penyebab jika terdapat gejala meningitis, seringkali subakut dengan sakit kepala kronik atau perubahan status mental. Diagnosis pasti melalui pewarnaan tinta india pada cairan serebro spinal (CSS). Obati dengan 38



Amfoterisin B 0,5-1,5 mg/KgBB/hari selama 14 hari, kemudian dengan Flukonazol selama 8 minggu. Mulai pencegahan dengan Flukonazol setelah pengobatan. 5. Sarkoma Kaposi Pertimbangkan sarkoma Kaposi pada anak yang menunjukkan luka kulit yang nodular, limfadenopati yang difus dan lesi pada palatum dan konjungtiva dengan memar periobital. Diagnosis biasanya secara klinis, tetapi dapat dipastikan dengan biopsy. Perlu juga diduga pada anak dengan diare persisten, berkurangnya berat badan, obstruksi usus, nyeri perut atau efusi pleura yang luas. Pertimbangkan merujuk untuk penanganan di rumah sakit yang lebih besar.



Perawatan paliatif dan fase terminal 1. Untuk mengatasi nyeri Tatalaksana nyeri pada anak dengan infeksi HIV mengikuti prinsip yang sama dengan penyakit kronis lainnya seperti kanker. Perhatian khusus perlu diberikan dengan menhamin bahwa perawatannya tepat dan sesuai dengan budaya pasien, yang ada prinsipnya adalah :  Memberi analgesik melalui mulut, jika mungkin (pemberian IM menimbulkan rasa sakit).  Memberi secara teratur, sehingga anak tidak sampai mengalami kekambuhan dari rasa nyeri yang sangat, untuk mendapatkan dosis analgetik berikutnya.  Memberi dosis yang makin meningkat, atau mulai dengan analgetik ringan dan berlanjut ke analgetik yang kuat karena kebutuhan untuk mengatasi nyeri meningkat atau terjadi toleransi.  Atur dosis untuk tiap anak, karena anak mempunyai kebutuhan dosis berbeda untuk membedakan efek yang sama. Gunakan obat berikut ini untuk mengatasi nyeri secara efektif : 1.



Anestesi Lokal Untuk luka kulit atau mukosa yang nyeri atau pada saat melakukan prosedur yang menimbulkan rasa sakit.



39



- Lidokain : bubuhkan pada kain kasa dan oleskan ke luka pada di mulut yang nyeri sebelum makan (gunakan sarung tangan, kecuali jika anggota keluarga atau petugas kesehatan sudah positif HIV dan tidak membutuhkan pencegahan terhadap infeksi) dan akan mulai member reaksi setelah 2-5 menit. - TAC (Tetracaine, Adrenaline, Cocaine) : bubuhkan pada kain kasa dan letakkan di atas luka yang terbuka, hal ini terutama berguna saat menjahit luka. 2.



Analgetik Untuk nyeri yang ringan dan sedang (seperti sakit kepala, nyeri pasca trauma, dan nyeri akibat kekauan/spastic). - Paracetamol - Obat anti-inflamasi nonsteroid (Ibuprofen)



3.



Analgetik yang kuat seperti opium Nyeri yang sedang dan berat yang tidak memberikan respons terhadap pengobatan dengan analgetik. - Morfin, merupakan analgetik yang murah dan kuat. Beri secara orall atau IV setiap 4-6 jam, atau melalui infuse. - Petidin, beri secara oral setiap 4-6 jam - Kodein, beri secara oral setiap 6-12 jam, dikombinasikan dengan obat non opioid untuk menambah efek analgetik. Catatan : Pantau hati-hati adanya depresi pernapasan. Jika terjadi toleransi, dosis perlu ditingkatkan untuk mempertahankan bebas nyeri.



4.



Obat lain Untuk masalah nyeri yang spesifik. Termasuk disini diazepam untuk spasme otot, Karbamazepin atau Amitriptilin untuk nyeri saraf, dan Kortikosteroid (seperti Deksametason) untuk nyeri karena penekanan pada syaraf oleh pembengkakan akibat infeksi.



Tatalaksana Anoreksia, mual, dan muntah. Hilangnya nafsu makan pada fase terminal dari penyakit, sulit ditangani. Doronglah agar pengasuh dapat terus member makan dan mencoba member makan dalam jumlah kecil dan lebih sering, terutama pada pagi hari ketika nafsu makan anak mungkin lebih baik, makanan dingin mungkin lebih baik daripada hangat, dan menghindari makanan yang asin atau berbumbu. 40



Jika terjadi mual dan muntah yang sangat, beri Metaklopramid secara oral (1-2 mg/KgBB) setiap 2-4 jam, sesuai kebutuhan. 2. Perawatan Mulut Setiap usai makan, mulut dibersihkan. Jika timbul luka pada mulut, bersihkan mulut minimal 4 kali sehari dnegan menggunakan kain bersih yang digulung seperti sumbu dan dibasahi dengan air bersih atau larutan garam. Bubuhi Gentian Violet 0,25% atau 0,5% pada setiap luka. Beri Paracetamol jika anak dengan demam tinggi, atau rewel atau merasa sakit. Potongan es dibungkus kain kasa dan diberikan pada anak untuk dihisap, mungkin bisa mengurangi rasa nyeri. Jika anak diberi minum dengan botol, nasehati pengasuh utnuk mengganti dengan sendok dan cangkir. Jika botol terus digunakan, nasehati pengasuh utnuk mencuci dot setiap kali akan digunakan. Jika timbul thrush, bubuhi gel Mikonazol pada daerah yang sakit paling sedikit 3 kali sehari selama 5 hari, atau beri 1 ml larutan Nistatin 4 kalio sehari selama 7 hari, dituang pelan-pelan ke dalam ujung mulut, sehingga dapat mengenai bagian yang sakit. Jika terdapat nanah akibat infeksi bakteri sekunder, beri salep Tetrasiklin atau Kloramfenikol. Jika ada bau busuk dari mulut, beri Benzilpenisilin (50.000 unit/kg setiap 6 jam) IM, ditambah Metronidazol oral (7,5 mg/KgBB setiap 8 jam) selama 7 hari. 8. Pencegahan Pencegahan Infeksi Oportunistik Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua kelompok besar yakni: 1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi terjadi. Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 < 200/mm 3 untuk mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Pencegahan ini dapat mengurangi risiko PCP. 2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi. Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat pencegahan (dalam dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan PCP yang telah sembuh. Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena infeksi oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik dapat dihentikan. Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi oportunistik 41



harus diberikan lagi. Tabel berikut menampilkan secara ringkas pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik. Beberapa upaya profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi pneumokok, hepatitis B dan hepatitis A.(20)



Penyakit PCP



TB



Mulai Obat yang digunakan o 1 CD4 < 200, sariawan, TMP.SMX 1 DS/hari pertimbangkan bila CD4 < 250 TMP.SMX 1 SS/ hari atau CD4 % < 14 INH 300mg/hari + PPD > 5 ml Piridoksin Kontak Positif



T. Gondii



CD4 < 100 IGG Toksoplasma aviditas rendah



TMP.SMX 1 DS/hari



S. pneumoniae



CD4 > 200



Vaksinasi pneumovax



Hepatitis B



Anti HBs (-) HBs Ag(-)



Vaksinasi Hepatitis B



Hepatitis A



Anti HAV (-) Vaksinasi Hepatitis A.(20) Risiko paparan tinggi (IDU, MSM, dll) Tabel 5. Pencegahan infeksi oportunistik



BAB IV 42



KESIMPULAN AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penularan infeksi HIV dari Ibu ke Anak merupakan penyebab utama infeksi HIV pada anak usia di bawah 15 tahun. Sejak HIV menjadi pandemic di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV. Hampir sebagian besar penderita tersebut tertular melalui penularan dari ibu ke anak. Pada kasus ini, pasien memiliki orang tua yang HIV +. Pasien sudah pernah melakukan pemeriksaan HIV saat berusia 3 tahun dan hasilnya positif. Sampai saat ini terhitung sudah 3 tahun lebih pasien menjalani pengobatan dengan ARV. Pasien memiliki riwayat flek paru sebanyak 2 kali yaitu saat berusia 10 bulan dengan pengobatan selama 1,5 tahun dan usia 3 tahun dengan pengobatan selama 9 bulan sebelum pemberian ARV. Pasien mendapat ASI dari ibu kandungnya selama 2 tahun dikarenakan saat itu ibu pasien belum mengetahui bahwa dirinya HIV + dan belum menjalankan pengobatan ARV.



DAFTAR PUSTAKA 1. Depkes RI. 2006. Situasi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 1986-2006. Jakarta : Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2. Yani F.F, Arwin A.P, Supriyatno B, Setyanto D.B, Kurniati N, Kaswandani N. 2006. Penyakit Respiratorik pada Anak dengan HIV. Sari Pediatri. 8(3) : 188-194.



43



3. Meyer, F., Akib, A., Boediman. 2009. Characteristics of HIV-infected children born to HIV-positive mothers in Cipto Mangunkusumo Hospital between 2002 and 2007. Paediatr Ind. 49(2) : 112-118. 4. Depkes RI. 2008. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Anti Retroviral pada Anak di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 5. WHO. 2009. New Recommendations : Prevention of mother-to-child transmission. World Health Organization. Available at www.who.int/hiv diakses tanggal 30 Desember 2012. 6. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Editor Sudoyo AW, dkk. Edisi 4. Jakarta: FKUI; 2006. Hal 1825-1830. 7. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Anak Di Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2008 8. Program nasional bagi anak



indonesia



kelompok



penanggulangan



HIV/AIDS. http://www.bappenas.go.id/index.php? module=filemanager&func=download&pathext=contentexpress/kpp/pnba/buku %20iii/&view=iv.%20buku%20iii%20penanggulangan%20hiv%20aids%20-%20final.rtf. 9. Widodo J. HIV Mengancam Anak Indonesia. Available at: http://www.pdpersi.co.id/? show=detailnews&kode=946&tbl=artikel. Accessed on June 22th, 2015 10. Komite medik RSUP DR SARDJITO. Standar Pelayanan Medis. Ed.2, Medika FK UGM, Yogyakarta, 2000. 11. Fernandez AD, McNeeley DF. Management of the infant born to a mother infected with human immunodeficiency virus type 1(HIV-1): Current concepts. Am J of Perinatology 200;17:429-435 12. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006 13. Draft panduan pelayanan medis. Departemen ilmu kesehatan anak RSCM. 2007 14. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008 15. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007 16. Karin A Nielsen. The HIV Cycle and the early life cycle: disease progression in children. Available at: http://cme.medscape.com/viewarticle/450737. Accessed on June 22th,2015 44



17. Daniela Souza Araújo de Angelis. CCR5 Genotypes and Progression to HIV Disease in Perinatally Infected Children. Institute of Tropical Medicine of São Paulo, LIM52HCFMUSP; Federal University of São Paulo, UNIFESP; São Paulo, SP, Brazil. www.bjid.com.br 18. Prober, Charles G, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Jilid 2, edisi bahasa Indonesia edisi 15, Jakarta 1999. 19. Avroy A F, Richard JM. Neonatal-perinatal medicine disesases of the fetus and infant. 6 th ed. St.Louis Baltimore:Mosby,1996:779-782 20. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.



45