Case Report BIHA + Ibu Hepatitis B+ [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar bayi baru lahir yang terlahir dari ibu yang menderita suatu penyakit, tidak menunjukkan gejala sakit pada saat dilahirkan atau beberapa waktu setelah lahir. Bukan berarti bayi baru lahir tersebut aman dari gangguan akibat dari penyakit yang diderita ibu. Hal tersebut dapat menimbulkan akibat yang merugikan dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas bayi Salah satu masalah yang sering dijumpai adalah ibu dengan HIV/AIDS mengingat jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia setiap tahunnya terdapat 9000 kehamilan dengan HIV positif yang dapat ditularkan kepada bayinya. Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan,



saat persalinan dan selama menyusui.



Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) atau Prevention of Motherto-Child HIV Transmission (PMTCT) merupakan intervensi untuk mencegah penularan tersebut (Kemenkes RI, 2015). Bayi yang lahir dengan HIV memiliki mortalitas yang lebih tinggi dan tanpa pengobatan rata-rata hanya mampu bertahan sampai usia 2 tahun. Sistem imun bayi yang lahir dengan HIV bersifat imatur dan virus dengan mudah menyebar ke organ-organ sehingga kelainan akan muncul lebih awal dan lebih berat. Gejala akan timbul akibat infeksi oportuistik. Infeksi ini dapat timbul akibat infeksi mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh maupun yang berasal dari dalam tubuh. (Ismoedjianto et al., 2013) Selain HIV, penyakit yang sering kita ditemui pada ibu hamil dan dapat ditransmisikan kepada bayinya adalah hepatitis B. Menurut Rinkesdas 2013, prevalensi hepatitis 1,2% dari penduduk di Indonesia, dimana 1-5% merupakan ibu hamil dengan virus hepatitis B. Indonesia merupakan negara endemis tinggi hepatitis B dengan prevalensi HBsAg positif di populasi antara 7 – 10%. Pada kondisi seperti ini, transmisi vertikal dari ibu ke bayi memegang peran penting. Di lain pihak, terdapat perbedaan natural history antara infeksi hepatitis B yang terjadi pada awal kehidupan dengan infeksi hepatitis B yang terjadi pada masa dewasa. Infeksi yang terjadi sejak awal kehidupan atau bahkan sejak dalam kandungan, membawa risiko kronisitas sebesar 80 – 90%. Infeksi pada masa dewasa yang disebabkan oleh transmisi horisontal, mempunyai risiko kronisitas hanya sebesar 5% (Pujiarto, 2000)



1



1.2



Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk melaporkan dan membahas kasus mengenai tatalaksana bayi baru lahir dari Ibu dengan HIV dan Hepatitis B positif.



2



BAB II LAPORAN KASUS 2.1 `



2.2



Identitas Nama penderita



:



By. Ny. R.



Umur / tanggal lahir



:



2 hari



Jenis kelamin



:



Perempuan



Suku, bangsa



:



Jawa, Indonesia



Alamat



:



Tawangsari, Garum, Blitar



No RM/Reg



:



243455



Anamnesis Anamnesis didapatkan dari ibu dan ayah pasien, dilakukan di ruang ponek



RSUD Ngudi Waluyo Wlingi-Blitar 2.2.1 Keluhan Utama Bayi baru lahir dari Ibu dengan HIV dan Heptitis B reaktif. 2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang Bayi perempuan lahir di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi-Blitar secara sectio caesaria transperitoneum atas indikasi G1PoooAbooo gravida 38-39 minggu + HIV dan HbSAg reaktif. Lahir dengan berat badan 2550 gram dan panjang badan lahir 48 cm. Apgar skor 7/9, bayi langsung menangis, tonus otot kuat dengan air ketuban berwarna jernih. 2.2.3 Riwayat Maternal dan Kehamilan Merupakan kehamilan pertama, Ibu ANC rutin di bidan sejak usia kehamilan 4 bulan. Di awal kehamilan mengalami mual dan muntah namun masih dalam tarap normal, keluhan perdarahan pervaginam (-), tidak ada demam, kedua tungkai tidak bengkak, keluhan nyeri saat buang air kecil (-), keputihan (-), ibu tidak merokok, tidak minum jamu-jamuan dan tidak minum alkohol, Riwayat diabetes dan hipertensi disangkal. Ibu merupakan penderita HIV postif diketahui sejak 2 tahun yang lalu dan rutin kontrol ke RSSA serta mendapatkan obat ARV rutin. Ibu riwayat berhubungan badan dengan pacar saat sebelum menikah dengan suami saat ini. Status hepatitis B positif baru diketahui saat skreening sebelum melahirkan di RS Wlingi Blitar. Riwayat ibu dengan batuk-batuk lama disangkal.



3



2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga Ibu pasien merupakan penderita HIV dan Hepatitis reaktif, ayah pasien belum dilakukan pemeriksaan. Riwayat keganasan, alergi pada keluaraga disangkal. 2.2.5 Riwayat Nutrisi Bayi dari semenjak lahir tidak mendapatkan ASI dan hanya mendapatkan susu formula diberikan setiap 2 jam sekali, 2.2.6 Riwayat Imunisasi Saat bayi lahir mendapatkan injeksi hepatitis B imunoglobulin (HBIG), vaksin Hepatitis Bo dan injeksi Vitamin K 1 mg. 2.2.7 Riwayat Sosial Ekonomi Ayah, usia 38 tahun, pendidikan terakhir SMA, sebagai pekerja swasta. Ibu, usia 32 tahun, Ibu Rumah tangga ,pendidikan terakhir SMA. Penghasilan perbulan Rp. 2.000.000- tiap bulan. Penderita merupakan anak pertama. Kesan sosial ekonomi : menengah kebawah 2.3. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum: gerak tangis cukup , napas spontan Tanda Vital HR : 134 x/menit, reguler RR : 44 kali/menit, reguler Nadi : reguler, kuat Temperatur: 36,8 oC SaO2 : 97% Kepala



: normosefali, caput sucsadenum (-), sefalhematom (-)



Wajah



: fasies dismorfik (-)



Mata



: conjunctiva anemis (-), sklera ikterik (-)



Telinga



: discharge (-)/(-)



Hidung



: nafas cuping (-), discharge (-)/(-)



Mulut



: sianosis (-)



Leher



: web neck, pembesaran KGB (-)



Toraks



: pectus ekskavatum/carinatum (-), pergerakan simetris, retraksi (-)



Paru



: vesikuler/vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-



Jantung : iktus kordis tak tampak, iktus kordis teraba di sela iga IV 1 cm lateral garis medioklavicularis kiri, Bunyi jantung I dan II normal, irama reguler, tidak ada gallop ataupun murmur. Abdomen : supel, Bising usus normal, meteorismus (-), hepar tak terababa pembesaran, lien tidak teraba pembesaran



4



Ekstremitas :



superior



inferior



dekstra / sinistra



dekstra / sinistra



Pucat



:



-/-



-/-



Sianosis



:



-/-



-/-



Edema



:



-/-



-/-



Capillary refill



:



1000 kopi pada minggu ke 36 kehamilan (Puspitasari dan Utomo, 2013). Pada kasus ini, proses persalinan dilakukan secara sectio caesaria untuk mengurangi terjadinya MTCT. Hal ini sudah sesuai dengan program PMTCT dari WHO dengan harapan dapat menurunkan resiko transmisi HIV yang terjadi akibat proses persalinan hingga 50-87%.. 3. Pemberian Profilaksis ARV pada Bayi Pemberian ARV pada bayi bertujuan sebagai profilaksis paska pajanan untuk menurunkan resiko transmisi HIV dari Ibu. Pemberian paling efektif bila diberikan sesegera mungkin setelah bayi lahir ( 48 jam (WHO, 2014). Regimen yang banyak digunakan saat ini adalah Zidovudin monoterapi dengan dosis 4 mg/kg/kali setiap 12 jam, selama 4 hingga 6 minggu.



WHO juga



merekomendasikan pilihan ARV lain pada bayi yaitu Nevirapin 2 mg/kg/hari, selama 4-6 minggu, bila ibunya mendapatkan 3 jenis ARV selama hamil. Pemberian Nevirapin dosis tunggalsaja tidak dianjurkan pada bayi karena efektivitasnya lebih rendah dan meningkatkan resiko resistensi terhadap nevirapin pada bayi bila kelak terinfeksi HIV. Dosis ARV untuk bayi yang disederhanakan dapat dilihat pada tabel berikut. Bila diagnosis HIV pada ibu dibuat saat persalinan atau setelah bayi lahir (Ibu tidak minum ARV atau minum < 1 bulan), maka pada bayi pemberian kombinasi 3 jenis ARV didapatkan lebih efektif menurunkan resiko transmisi HIV dari ibu daripada Zidovudin monoterapi (Puspitasari dan Utomo, 2013).



10



Tabel 3.1 Rekomendasi Dosis Zidovudin Pada Bayi yang Disederhanakan (WHO, 2010) Umur bayi Lahir dampai umur 6 minggu - berat badan lahir 2000-2499 gr - berat badan lahir >2500 gr



Dosis harian zidovudin 10 mg 2 x sehari 15 mg 2x sehari



Tabel 3.2 Rekomendasi Pemberian ARV Pada Bayi Dimana Ibu Belum Pernah Mendapat ARV Selama Hamil atau Persalinan Rekomendasi WHO, 2010



ARV pada bayi ZDV 4 mg/kgbb/dosis, tiap 12 jam selama 4-6 minggu atau NVP 2 mg/kgbb/dosis tiap 24 jam selama 4-6 minggu



CDC, 2011



ZDV 4 mg/kgbb/dosis, tiap 12 jam selama 6 minggu + NVP 12 mg/dosis (8 mg/dosis bila BBL 1,5-2 kg) pada saat lahir, 48 jam dari dosis I dan 96 jam dari dosis II atau ZDV + nelfinavir (NFV) + 3 TC selama 6 minggu



Thailand, 2010



ZDV 4 mg/kgbb/dosis, tiap 12 jam selama 4 minggu + 3 TC 2 mg/kgbb/dosis tiap 12 jam selama 4 minggu + NVP 2 mg/kgbb/dosis tiap 24 jam selama 1 minggu, dilanjutkan 4 mg/kgbb/dosis selama 1 mingg (total 2 minggu)



Dikutip dari: (Puspitasari dan Utomo, 2013) Pada kasus ini, ibu dari pasien telah mendapatkan terapi ARV selama kehamilan, sehingga bayi yang lahir langsung mendapatkan peroral Zidovudin dengan dosis 4 mg/kgbb/x yang diberikan dua kali sehari. Terapi ini sesuai dengan rekomendasi yang disarankan oleh WHO untuk pemberian zidovudin sebagai profilaksis selama 6 minggu, menunggu ibu memeriksakan PCR HIV pada bayinya. 4. Pemilihan Makanan pada Bayi dan Menyusui Pemberian ARV pada ibu atau bayi selama menyusui dapat menurunkan transmisi HIV melalui ASI dari 15% menjadi 3%. Oleh karenanya Ibu hamil HIV positif perlu mendapat konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menggunakan susu formula ataupun ASI eksklusif. Untuk mengurangi risiko penularan, Ibu HIV positif bisa memberikan susu formula kepada bayinya. Pemberian susu formula harus memenuhi 5 persyaratan AFASS dari WHO 11



(Acceptable= mudah diterima, Feasible= mudah dilakukan, Affordable= harga terjangkau, Sustainable= berkelanjutan, Safe= aman penggunaannya). Pada daerah tertentu dimana pemberian susu formula tidak memenuhi persyaratan AFASS maka WHO merekomendasikan pemberian ASI selama 6 bulan (Kemenkes RI, 2015). Di daerah yang dapat memenuhi kriteria AFASS, tidak ada lagi risiko transmisi



HIV



setelah



persalinan,



sehingga



negara



maju



tetap



merekomendasikan susu formula sebagai pilihan utama. Bila Ibu HIV yang saat melahirkan telah meminum ARV teratur, memiliki CD4 baik dan Viral load < 50 kopi/ml pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut , CDC memberikan pertimbangan khusus bila ibu ingin menyusui bayinya mengingat risiko transmisi melalui ASI pada kelompok ini sebesar 0,1%. (Puspitasari dan Utomo, 2013) Pada kasus ini, penderita hanya mendapatkan susu formula saja, dan ibu pasien tetap melanjutkan pengobatannya dengan ARV. 3.1.2



Penegakan Diagnosis HIV Untuk menegakan diagnosis klinis HIV (biasanya setelah umur 6 minggu)



digunakan uji virologis. Uji virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur < 18 bulan. Uji tersebut harus memiliki sensitivitas minimal 98% dan spesifisitas 98% dengan cara yang sama seperti uji serologis. Uji virologis yang dianjurkan adalah PCR HIV DNA dan PCR HIV RNA (viral load, VL) pada plasma (Kemenkes RI, 2014). Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan uji virologis pada umur 4 – 6 minggu atau waktu tercepat yang mampu dilaksanakan. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya positif maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan uji virologis kedua (Kemenkes RI, 2014). Bila ada anak berumur < 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi HIV, tetapi perangkat laboratorium untuk PCR HIV tidak tersedia, maka diagnosis presumptif infeksi HIV secara klinis dapat dilakukan. Hal ini karena antibodi HIV ibu dapat ditransfer secara maternal dan dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pemeriksaan



dengan



antibodi



HIV



memberikan



interpretasi



yang



sulit



(Kemenkes RI, 2014).



12



Gambar 3.1. Alur diagnosis Bayi Ibu dengan HIV/AIDS (BIHA)



Diagnosis pada anak > 18 bulan memakai cara yang sama dengan uji HIV pada orang dewasa. Perhatian khusus untuk anak yang masih mendapat ASI pada saat tes dilakukan, uji HIV baru dapat diinterpretasi dengan baik bila ASI sudah dihentikan selama > 6 minggu. Pada umur > 18 bulan ASI bukan lagi sumber nutrisi utama. Oleh karena itu cukup aman bila ibu diminta untuk menghentikan ASI sebelum dilakukan diagnosis HIV.



13



Gambar 3.2 Kriteria menegakan diagnosis presumptif HIV pada anak < 18 bulan. Apabila memenuhi minimal 1 kriteria mayor dan 1 kriteria minor atau 2 kriteria minor maka pasien dikatakan presumtif HIV. (Dikutip dari: World Health Organizatioin. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV pada Anak dan Terapi Antiretroviral di Indonesia. Kemenkes RI, 2014).



Bila pasien HIV tidak mendapat terapi, terdapat 2 pola perjalanan penyakit pada bayi dan anak yang terinfeksi HIV. a. Kelompok rapid progressor Pada kelompok ini keadaan imunodefisiensi berat bisa terjadi dalam satu tahun dan akan meninggal sebelum usia 4 tahun, dan rata-rata usia kematiannya terjadi pada usia 11 bulan. Kelompok rapid progressor terjadi pada 15 – 20% penderita HIV pada bayi dan anak. Kematian yang terjadi oleh karena infeksi bakteri yang serius, seperti Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), ensefalopati dan kegagalan tumbuh dini. Jika gejala muncul secara dini dan mengalami progress secara cepat, maka dapat diprediksi kemungkinan hidupnya lebih singkat b. Kelompok slow progressor Kelompok ini terjadi pada 80 - 85% bayi dan anak yang terinfeksi HIV. Kelompok ini mulai terjadi gejala lebih lambat dan lebih ringan serta dapat bertahan hidup lebih dari 5 tahun. Perjalanan infeksi HIV menyerupai orang dewasa (Soemakto, 2010). Anak berumur < 2 tahun bila terdiagnosis infeksi HIV maka terindikasi untuk mendapat pengobatan ARV sesegera mungkin. Indikasi untuk memulai pengobatan ARV pada anak dengan infeksi HIV dapat dilihat pada Tabel berikut



14



Tabel 3.3 Indikasi Memulai ARV



Berdasarkan ketersediaan obat, terdapat 3 kombinasi paduan ARV. Paduan lini pertama yang direkomendasikan adalah 2 Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) + 1 Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Gunakan



lamivudin (3TC) sebagai NRTI pertama yang dapat



dikombinasikan dengan Zidovudin (AZT), stavudin (d4T) atau Tenofovir (TDF). Adapun untuk NNRTI dapat dipilih nevirapin (NRV) atau Efavirenz (EFP) (Kemenkes RI, 2014). 3.1.3 Pencegahan Infeksi Oportunistik Pada bayi yang lahir dari ibu HIV/AIDS mempunyai risiko tertular HIV yang akan menekan kekebalan tubuhnya. Karena itu pentinguntuk memberikan pencegahan infeksi oprtunistik a. Pencegahan PCP Pneumonitis Carinii pneumonia (PCP) merupakan radang paru yang sering terjadi pada penderita imunokompromais. Bayi yang berisiko terinfeksi HIV harus diberikan profilaksis Kotrimoksazol dosis 4-6 mg/kgbb/kali (dosis TMP), 1 kali/ hari sejakusia 6 mingu sampai infeksi HIV pada bayi dapat disingkirkan atau umur 12 bulan. Bila ternyata bayi didignosis



HIV



positif



maka



kotrimoksazol



harus



dilanjutkan



.



cotrimoksazol berfungsi untuk mencegah infeksi saluran napas, saluran cerna dan toksoplasmosis. Bila alergi terhadap kotrimoksazol dapat diberikan Dapson 2 mg/kgbb, ix/hari atau 4 mg/kgbb 1 x/minggu (WHO, 2010).



15



b. Imunisasi Prinsip imunisasi pada bayi yang lahir dari ibu HIV adalah hampir sama dengan bayi sehat, dengan memperhatikan terhadap vaksin hidup (BCG, polio oral, campak, MMR, Varicella). Vaksin hidup (seperti BCG, polio oral) tidak boleh diberikan bila terdapat gejala infeksi HIV pada bayi. BCG diberikan pada usia dini (mulai 2 bulan) pada anak yang tanpa gejala. Imunisasi yang lain dapat mengikuti Depkes atau jadwal IDAI. Jadwal imunisasi pada bayi dengan HIV yang disarankan oleh WHO,2008 terdapat pad tabel berikut. Tabel 3.4 Jadwal imunisasi Bayi atau Anak dengan HIV Vaksin BCG DPT OPV Campak Hep B Tetanus toksoid 3.2



Infeksi HIV asimptomatik Ya Ya Ya Ya Ya Ya



Infeksi HIV simptomatik Tidak Ya Tidak Tidak Ya Ya



Waktu optimal imunisasi Minggu ke 4-8 Minggu ke 8,12,16 Minggu ke 0,8,12,16 Bulan ke-9 Seperti pada anak sehat



Hepatitis B



3.2.1 Faktor Resiko Penularan infeksi VHB dapat terjadi dengan 2 cara, yaitu penularan horizontal dan vertikal. Penularan horizontal VHB dapat terjadi melalui berbagai cara yaitu penularan perkutan, melalui selaput lendir atau mukosa (Merry,2001). Mother-to-child-transmission (MTCT) terjadi dari seorang ibu hamil yang menderita hepatitis B akut atau pengidap persisten HBV kepada bayi yang dikandungnya atau dilahirkannya. Penularan HBV vertikal dapat dibagi menjadi penularan HBV in-utero, penularan perinatal dan penularan post natal. Penularan HBV in-utero ini sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, karena salah satu fungsi dari plasenta adalah proteksi terhadap bakteri atau virus. Bayi dikatakan mengalami infeksi in-utero jika dalam 1 bulan postpartum sudah menunjukkan HbsAg positif. Faktor resiko terbesar terjadinya infeksi HBV pada bayi adalah melalui transfer perinatal dari ibu dengan status HBsAg positif. Resiko akan menjadi lebih besar apabila sang ibu juga berstatus HbeAg positif. 70-90% dari anakanak mereka akan tumbuh dengan infeksi HBV kronis apabila tidak diterapi.



16



Pada masa neonatus, antigen Hepatitis B muncul dalam darah 2.5% bayi-bayi yang lahir dari ibu yang telah terinfeksi. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran infeksi dapat terjadi pula intra uterine. Dalam beberapa kasus, antigenemia baru timbul kemudian. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi terjadi pada saat janin melewati jalan lahir. Virus yang terdapat dalam cairan amnion, kotoran, dan darah ibu dapat merupakan sumber infeksi (Zhang, 2004). 3.2.2 Persalinan pada ibu HbsAg positif Pada tatalaksana terminasi kehamilan tidak ada yang membedakan dengan ibuhamil dengan kondisi sehat, proses kelahiran dilakukan atas indikasi obstetrik. Aspek yang perlu ditimbangkan ialah tatalaksana terkait dengan kemungkinan terjadinya transmisi vertikal virus penyebabnya, karena hal ini dapat berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas anak di hari kehamilan. `



Menurut American College of Gastroenterology (ACG) dan American



Association for the Study of Liver Disease (AASLD) sangat merekomendasikan inisiasi antivirus pada pasien dengan viremia yang tinggi pada 28-32 minggu ke hamilan untuk mengurangi MTCT. Tenofovir dan telbivudin tetap menjadi terapi lini pertama. Selain itu, dapat juga diberikan lamivudin kepada ibu sebelum melahirkan (100 mg/hari dalam trisemester ketiga) (Laksmi et.al, 2008) Persalinan pada ibu hamil dengan titer HBV tinggi (3,5 pg /mL) atau HBeAg positif lebih baik SC pada persalinan yang lebih dari 14 jam. Pada infeksi akut persalinan pervaginam usahakan dengan trauma sekecil mungkin. Infeksi HBV yang ditularkan pada bayi yang lahir dengan operasi caesar elektif memiliki persentase yang lebih kecil (1,4%), dibandingkan dengan persalinan pervaginam (3,4%) atau operasi caesar darurat (4,2%) (Ajeng & Putu, 2017). Pada kasus ini bayi dilahirkan secara sectio caesaria dikarenakan selain ibu dengan hepatitis B positif, ibu juga menderita HIV positif. 3.2.3 Tatalaksana Bayi Lahir Dari Ibu Hepatitis B Positif Pada bayi yang lahir dari ibu denganhepatitis B positif, Pedoman Nasional di Indonesia dan WHO merekomendasikan sebaiknya HBIg dan vaksin Hepatitis B diberikan secara intra muskular dengan dosis 0,5 ml, selambat lambatnya 24 jam setelah persalinan untuk mendapatkan efektifitas yang lebih tinggi. Apabila status HBsAg ibu tidak diketahui, maka bayi preterm dan BBLR harus divaksin Hepatitis B dalam 12 jam pertama setelah kelahirannya. (Jill, 2005) Karena reaksi antibodi bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2000 gram masih



17



kurang bila dibandingkan dengan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 2000 gram, maka bayi-bayi kecil tersebut juga harus mendapat vaksin HBIG dalam 12 jam pertama setelah kelahirannya. Bayi-bayi dengan berat badan lahir 2000 gram atau lebih dapat menerima vaksin HBIG secepatnya setelah status HBsAg positif ibu diketahui, namun sebaiknya vaksin diberikan sebelum tujuh hari setelah kelahiran bayi tersebut (Pujiarto, 2000). Apabila diketahui bahwa ibu dengan HBsAg positif, maka seluruh bayi preterm, tidak tergantung berapapun berat badan lahirnya, harus menerima vaksin Hepatitis dan HBIG dalam 12 jam setelah kelahirannya. Bayi dengan berat badan lahir 2000 gram atau lebih dapat menerima vaksin Hepatitis B sesuai dengan jadwal, namun tetap harus diperiksakan kadar antibodi anti-HBs dan kadar HBsAg nya dalam jangka waktu 3 bulan setelah melengkapi vaksinasinya. Jika kedua tes tersebut memberikan hasil negatif, maka bayi tersebut dapat diberikan tambahan 3 dosis vaksin Hepatitis B (ulangan) dengan interval 2 bulan dan tetap memeriksakan kadar antibodi anti-HBs dan HBsAg nya. Jika kedua tes tersebut tetap memberikan hasil negatif, maka anak tersebut dikategorikan tidak terinfeksi Hepatitis B, namun tetap dipertimbangkan sebagai anak yang tidak berespon terhadap vaksinasi. Tidak dianjurkan pemberian vaksin tambahan. (Jill, 2005; Matondang, 2008) Bayi dengan berat badan kurang dari 2000 gram dan lahir dari ibu dengan HBsAg positif mendapatkan vaksinasi Hepatitis B dalam 12 jam pertama setelah kelahiran, dan 3 dosis tambahan vaksin Hepatitis B harus diberikan sejak bayi berusia 1 bulan. Vaksin kombinasi yang mengandung komponen Hepatitis B belum diuji keefektifannya jika diberikan pada bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif. Semua bayi dengan ibu HBsAg positif harus diperiksan kadar antibodi terhadap antigen Hepatitis B permukaan (anti-HBS, atau Hepatitis B surface antigen) dan HBsAg pada usia 9 bulan dan 15 bulan, sesudah melengkapi serial imunisasi HBV. Beberapa pendapat mengatakan bahwa tes serologis terhadap antigen dan antibodi tersebut dapat dilakukan 1-3 bulan setelah selesai melaksanakan serial imunisasi Hepatitis B (Snyder, 2000).



Tabel 3.5. Tatalaksana Pemberian Vaksin Hepatitis B dan HBIG berdasarkan status Hepatitis B Ibu



18



Status Bayi dgn berat >= 2000 gram Bayi dengan berat < 2000 gram Maternal HbsAg (+) Vaksin Hepatitis B dan HBIG dalamVaksin Hepatitis B dan HBIG dalam positif 12 jam setelah kelahiran 12 jam setelah kelahiran Vaksinasi sebanyak 3 kali, yaituVaksinasi sebanyak 4 kali, yaitu pada pada usia 0, 2, dan 6 bulan usia 0, 1, 2-3 bulan, dan 6-7 bulan Periksa kadar anti HBs dan HBsAgPeriksa kadar anti HBs dan HBsAg pada usia 9 dan 15 bulan pada usia 9 dan 15 bulan Jika HBsAg dan anti HBs pada bayiJika HBsAg dan anti HBs pada bayi negatif (-), berikan vaksinasi ulang 3negatif (-), berikan vaksinasi ulang 3 kali dengan interval 2 bulan,kali dengan interval 2 bulan, kemudian kembali periksa. kemudian kembali periksa HBsAg Vaksin Hepatitis B (dalam 12 hari) Vaksin Hepatitis B dan HBIG dalam tidak dan HBIG (dalam 7 hari) jika hasil12 jam. diketahui tes menunjukkan ibu HBsAg +. Segera periksa kadar HBsAg ibu Jika hasil tes HbsAg ibu belum diketahui dalam 12 jam, berikan bayi vaksin HBIG. HBsAg Sebaiknya tetap lakukan vaksinasiVaksinasi Hepatitis B pertama dalam negatif (-) Hepatitis B segera setelah lahir 30 hari setelah kelahiran jika keadaan klinis baik. Vaksinasi 3 kali pada usia 0-2 bulan,Vaksinasi 3 kali pada usia 1-2 bulan, 1-4 bulan, dan 6-18 bulan. 2-4 bulan, dan 5-18 bulan. Vaksinasi kombinasi Hepatitis BVaksinasi kombinasi Hepatitis B lainnya dapat diberikan dalam waktulainnya dapat diberikan dalam waktu 6-8 minggu. 6-8 minggu Tidak diperlukan tes ulang terhadapTidak diperlukan tes ulang terhadap kadar anti HBs dan HbsAg kadar anti HBs dan HbsAg Menurut meta-analisis terkini pemberian segera vaksin baik berupa rekombinan maupun vaksin plasma yang diikuti pengulangan pada bulan kedua dan keenam sejak kelahiran bayilahir dari ibu dengan HBsAg positif dapat mengurangi kejadian dari Hepatitis B bila dibandingkan dengan pemberian placebo (RR 0,28, 95% CI 0,20-0,40), sedangkan vaksinasi ditambah pemberian HBIg mengurangi kejadian lebih banyak lagi (RR 0,54, 95% CI 0,41-0,73). Angka dari penelitian ini menegaskan pemberian vaksinasi dapat menurunkan kejadian sebanyak hampir 30%, sedangkan pemberian vaksin ditambah HBIg dapat menurunkan angka kejadian hingga 50% (Lee, 2006). Banyak alasan yang mendukung pemberian vaksin Hepatitis tersebut. Bayi-bayi preterm yang dirawat di rumah sakit seringkali terpapar oleh berbagai produk darah melalui prosedur-prosedur bedah yang secara teoritis tentu saja



19



meningkatkan predisposisi terkena infeksi. Pemberian vaksin lebih awal juga akan memperbaiki jika status maternal HBsAg positif dan juga menghindarkan terpaparnya bayi dari anggota keluarga lainnya yang juga HBsAg positif. Hal ini juga menyingkirkan kemungkinan adanya demam yang disebabkan oleh pemberian vaksin lainnya (Ranuh IGN, 2014). Usia kehamilan kurang bulan dan kurangnya berat badan lahir bukan merupakan pertimbangan untuk menunda vaksinasi Hepatitis B. Beberapa ahli menganjurkan untuk tetap melakukan tes serologis 1-3 bulan setelah melengkapi jadwal imunisasi dasar (Ranuh IGN, 2014) Imunisasi sesuai jadwal pada anak-anak dengan suspek kontak positif adalah cara preventif utama untuk mencegah transmisi. Untuk mengurangi dan menghilangkan terjadinya transmisi Hepatitis B sedini mungkin, maka dibutuhkan imunisasi yang sifatnya universal. Secara teoritis, vaksinasi Hepatitis B dianjurkan pada semua anak sebagai bagian dari salah satu jadwal imunisasi rutin, dan semua anak yang belum divaksinasi sebelumnya, sebaiknya divaksin sebelum berumur 11 atau 12 tahun (Ranuh IGN, 2014). Imunoprofilaksis dengan vaksin Hepatitis B dan Imunoglobulin Hepatitis B segera setelah terjadinya kontak dapat mencegah terjadinya infeksi setelah terjadi kontak dengan virus Hepatitis B. Sangat penting dilakukan tes serologis pada semua wanita hamil untuk mengidentifikasi apakah bayi yang dikandung membutuhkan profilaksis awal, tepat setelah kelahirannya untuk mencegah infeksi Hepatitis B yang terjadi melalui transmisi perinatal. (Pujiarto, 2000)



20



BAB III KESIMPULAN



 Faktor resiko terbesar terjadinya infeksi HIV dan HBV pada bayi adalah



melalui transfer perinatal dari ibu dengan status HIV dan HBsAg positif.  Transmisi virus dari ibu ke bayi dapat terjadi pada masa intra uterine, pada



masa perinatal, dan pada masa postnatal.  Pencegahan transmisi HIV dari ibu ke bayi meliputi pemberian ARV pada ibu,



cara persalinan dengan sectio,



pemberian profilaksis ARV pada bayi dan



pilihan pemberian makanan atau menyusui  Imunisasi



pada



bayi



dengan



ibu



dari



ibu



HIV/AIDS



memerlukan



perhatiankhusus pada vaksin hidup seperti BCG polio oral tidak boleh diberikan pada bayi dengan gejala simptomatik HIV.  Bayi preterm maupun aterm yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, maka



tidak tergantung berapapun berat badan lahirnya, harus menerima vaksin Hepatitis dan HBIG dalam 12 jam setelah kelahirannya.



21



DAFTAR PUSTAKA Gondo H. Prevention mother to child HIV infection transmission. Lect fac Med. 2010. 1-16. Ismoedijanto, Lenny, Dwiyanti. Infeksi opportunistik pada anak dalam Pediatric infection disease weekend. 2013: 51-73. Kemenkes RI. Pedoman penerapan terapi HIV pada anak. Jakarta: Bakti Husada; 2014. Kemenkes RI. Pedoman manajemen program pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak. Jakarta : Bakti Husada; 2015. Laksmi, Purwita W, Mansjoer A, Alwi I, Setiati S. Penyakit-penyakit pada kehamilan. Interna Publishing. 2008. 393-405. Lee, Chuanfang et al. Effect of hepatitis B immunisation in newborn infants of mothers positive for hepatitis B surface antigen: systematic review and meta-analysis. British Medical Journal. 2006;(10)11-136. Matondang CS, Akib AAP. Hepatitis B, eds. Ikterus Pada Neonatus, FKUI. 2008: 73-79. Merry, V. Pengelolaan Hepatitis B Dalam Kehamilan dan Persalinan [Tesis]. Semarang : Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2001. Puspitasari dan Utomo. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) pencegahan pada bayi, dalam Pediatric infection disease weekend. 2013: 35-46. Pujiarto PS, et.al. Bayi Terlahir dari Ibu Pengidap Hepatitis B, eds. Sari Pediatri, IDAI. 2000:(2)48-9. Ranuh IGN. Vaksin Hepatitis B, IDAI. 2014: 7-14. Susanto JC, Mexitalia M, Nasar SS. Malnutrisi akut berat dan terapi nurisi berbasis komunitas. In: Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS, eds. Buku ajar nutrisi pediatrik dan penyakit metabolik. Jakarta: IDAI; 2011. Snyder JD, Pickering LK. Viral hepatitis. In: Kliegman RM, Jenson HB..Nelson Textbook of Pediatrics. 16th ed. Philadelphia: WB Saunders. 2000:76873. Towsend C, Cortina B, Peckham, Ruiter, Tyall, Tookey P, 2008. Low rates of mother



to



child



transmission



of



HIV



following



effective



pregnancyintervention in the United Kingdomand Ireland 2000-2006. AIDS. 2008; 22:973-81.



22



WHO. Antiretroviral Therapy for HIV in Infants and Children: Towards Universal Access In: Recommendations for a public health approach. Austria: WHO Press; 2011. WHO. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV pada Anak dan Terapi Antiretroviral di Indonesia. Jakarta: Bakti Husada; 2014. Zhang. Mechanism of intrauterine infection of hepatitis B virus. 2006:(22)973-81.



23