Case Status Epileptikus [PDF]

  • Author / Uploaded
  • rini
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laporan Kasus



STATUS EPILEPTIKUS



Oleh: Triza Ahmad Praramadhan, S.Ked



04054821719076



Pembimbing: dr. Sri Handayani, Sp.S



DEPARTEMEN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA



2018



HALAMAN PENGESAHAN Referat



“STATUS EPILEPTIKUS” Oleh: Triza Ahmad Praramadhan, S.Ked



04054821719076



Telah dilaksanakan pada bulan 17 September – 22 Oktober 2018 sebagai salah satu persyaratan guna mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.



Palembang, September 2018 Pembimbing,



dr. Sri Handayani, Sp.S



ii



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Status Epileptikus” untuk memenuhi tugas laporan referat yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya dalam Departemen Neurologi. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Sri Handayani, Sp.S, selaku pembimbing yang telah membantu memberikan ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat selesai. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan referat ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat.



Palembang, September 2018



Penulis



iii



DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 BAB II STATUS NEUROLOGIS ..................................................................... 2 BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 15 BAB IV ANALISIS KASUS ............................................................................... 25 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 27



iv



BAB I PENDAHULUAN Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat akhir-akhir ini terutama di Negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi pada 152.000 kasus di USA yang terjadi tiap tahunnya menghasilkan kematian. Begitu pula dalam praktek sehari-hari, Status Epileptikus merupakan masalah yang tidak dapat secara cepat dan tepat tertangani untuk mencegah kematian ataupun akibat yang terjadi kemudian.1 Status Epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas epilepsi tanpa adanya normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan memiliki spektrum luas dari gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi dan dasar etiologi.2 Berdasarkan observasi pada pasien yang menjalani monitoring video-electroencephalography (EEG) selama episode kejang, komponen tonikklonik terakhir satu sampai dua menit dan jarang berlangsung lebih dari lima menit.2 Batas ambang untuk membuat diagnosis ini oleh karenanya harus turun dari lima sampai sepuluh menit. Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi: status petitmal, status psikomotor, dan lain-lain. Biasanya bila status epileptikus tidak bisa diatasi dalam satujam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen. Oleh karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat mungkin. Rata-rata 15% penderita meninggal, walaupun pengobatan dilakukan secara tepat. Lebih kurang 60-80% penderita yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi penderita epilepsy. Berdasarkan



kompleksitas dari penyakit



ini, Status Epileptikus tidak



hanya penting untuk menghentikan kejang tetapi identifikasi pengobatan penyakit dasar merupakan bagian utama pada penatalaksanaan Status Epileptikus.



1



BAB II STATUS NEUROLOGIS IDENTIFIKASI Nama



: Nn. NH



Umur



: 29 Tahun



Jenis Kelamin



: Perempuan



Alamat



: Plaju, Palembang, Sumatera Selatan



Agama



: Islam



MRS Tanggal



: 21 September 2018



ANAMNESA (Alloanamnesa) Penderita dirawat di bagian saraf RSMH karena kejang yang terjadi secara tiba-tiba. Kurang lebih 2 hari SMRS, penderita mengalami kejang. Frekuensi kejang 2x. Kejang berupa kaku kelojotan, mata mendelik keatas, mulut berbusa, mengombol, dan lidah tergigit (+). Durasi kejang ± 5 menit, interval antar kejang pertama dan kedua 4 jam. Sebelum kejang pertama pasien sadar, saat kejang pasien tidak sadar, setelah kejang pasien sadar namun tampak lemas. Selama dan setelah kejang kedua pasien tidak sadar. Kurang lebih 1 hari SMRS penderita mengalami kejang dengan frekuensi > 6 kali, lama setiap kejang ± 5 menit. Kejang berupa mata dan wajah menoleh ke kiri kemudian diikuti kelojotan tangan kiri kemudian kelojotan kedua tangan. Selama dan setelah kejang tidak disertai pemulihan kesadaran. Sebelum kejang, nyeri kepala (+), muntah (-), mulut mengot (-), demam (-), kelemahan sesisi tubuh (-). Bicara pelo belum dapat dinilai, gangguan sensibilitas belum dapat dinilai, gangguan komunikasi belum dapat dinilai. Penderita memiliki riwayat kejang (+) saat berusia 2 tahun, didahului dengan demam dan kejang disertai demam pada usia 6 tahun. Pasien kembali sering kejang pada usia 16 tahun. Pasien minum obat kapsul berwarna merah dan obat lain yang keluarga pasien lupa namanya, tidak rutin diminum dan sudah 2 bulan putus obat. Riwayat tumor/benjolan (-), riwayat keluar cairan dari telinga (-), riwayat infeksi gigi (-), riwayat batuk lama (-), riwayat trauma kepala (-). Penyakit seperti ini dialami untuk keempat kalinya. 2



PEMERIKSAAN (21 September 2018) Status Internus Kesadaran



: GCS: 7T (E:2, M:5, V:terintubasi)



Gizi



: Baik



Suhu Badan



: 38,6 ºC



Nadi



: 136 x/m



Pernapasan



: 18 x/m



Tekanan Darah



: 100/70 mmHg



Jantung



: HR: 136x/m, murmur (-), gallop (-)



Paru-Paru



: Vesikuler(+), ronkhi(-),wheezing (-)



Hepar



: Tidak teraba



Lien



: Tidak teraba



Anggota Gerak



: Lihat status neurologikus



Genitalia



: Tidak diperiksa



Status Psikiatrikus Sikap



: belum dapat dinilai



Ekspresi Muka



: wajar



Perhatian



: belum dapat dinilai



Kontak Psikik



: bdd



Status Neurologikus KEPALA Bentuk



: normocephali



Deformitas



: (-)



Ukuran



: normal



Fraktur



: (-)



Simetris



: simetris



Nyeri fraktur



: (-)



Hematom



: (-)



Tumor



: (-)



Pulsasi



: (-)



Pembuluh darah



: tidak ada pelebaran



3



LEHER Sikap



: lurus



Deformitas



: (-)



Torticolis



: (-)



Tumor



: (-)



Kaku kuduk



: (-)



Pembuluh darah



: tidak ada pelebaran



SYARAF-SYARAF OTAK N. Olfaktorius



Kanan



Kiri



Penciuman



belum dapat dinilai



belum dapat dinilai



Anosmia



belum dapat dinilai



belum dapat dinilai



Hyposmia



belum dapat dinilai



belum dapat dinilai



Parosmia



belum dapat dinilai



belum dapat dinilai



N.Opticus Visus Campus visi



Kanan



Kiri



belum dapat dinilai



belum dapat dinilai



V.O.D



V.O.S



Kanan



Kiri



- Anopsia



belum dapat dinilai



belum dapat dinilai



- Hemianopsia



belum dapat dinilai



belum dapat dinilai



Fundus Oculi



Tidak Diperiksa



- Papil edema - Papil atrofi - Perdarahan retina



4



N. Occulomotorius, Trochlearis dan Abducens Diplopia



Kanan



Kiri



belum dapat dinilai



belum dapat dinilai



Celah mata



simetris



simetris



Ptosis



(-)



(-)



- Strabismus



(-)



(-)



- Exophtalmus



(-)



(-)



- Enophtalmus



(-)



(-)



- Deviation conjugae



(-)



(-)



Sikap bola mata



- Gerakan bola mata



konjugate ke kanan



konjugate ke kanan



Pupil - Bentuknya



bulat



bulat



- Besarnya



Ø 3 mm



- Isokori/anisokor



Ø 3 mm isokor



- Midriasis/miosis



(-)



(-)



(+)



(+)



- Konsensuil



(+)



(+)



- Akomodasi



belum dapat dinilai



Refleks cahaya -



Langsung



N.Trigeminus



belum dapat dinilai



Kanan



Kiri



Motorik -



Menggigit



belum dapat dinilai



-



Trismus



tidak ada kelainan



-



Refleks kornea



tidak ada kelainan



Sensorik -



Dahi



belum dapat dinilai



-



Pipi



belum dapat dinilai



-



Dagu



belum dapat dinilai



5



N.Facialis Kanan



Kiri



Motorik -



Mengerutkan dahi



belum dapat dinilai



belum dapat dinilai



-



Menutup mata



tidak ada kelainan



tidak ada kelainan



-



Menunjukkan gigi



belum dapat dinilai



belum dapat dinilai



-



Lipatan nasolabialis



tidak ada kelainan



sedikit datar



-



Bentuk Muka



-



Istirahat



tidak ada kelainan



-



Berbicara/bersiul



belum dapat dinilai



Sensorik 2/3 depan lidah



tidak diperiksa



Otonom -



Salivasi



tidak ada kelainan



-



Lakrimasi



tidak ada kelainan



-



Chvostek’s sign



(-)



(-)



N. Cochlearis Kanan



Kiri



Suara bisikan



tidak diperiksa



Detik arloji



tidak diperiksa



Tes Weber



tidak diperiksa



Tes Rinne



tidak diperiksa



N. Vestibularis Kanan



Kiri



Nistagmus



(-)



(-)



Vertigo



(-)



(-)



6



N. Glossopharingeus dan N. Vagus Arcus pharingeus



tidak ada kelainan



Uvula



tidak ada kelainan



Gangguan menelan



belum dapat dinilai



Suara serak/sengau



belum dapat dinilai



Denyut jantung



tidak ada kelainan



Refleks - Muntah



tidak ada kelainan



- Batuk



tidak ada kelainan



- Okulokardiak



tidak ada kelainan



- Sinus karotikus



tidak ada kelainan



Sensorik - 1/3 belakang lidah



tidak dinilai



N. Accessorius Kanan



Kiri



Mengangkat bahu



belum dapat dinilai



Memutar kepala



belum dapat dinilai



N. Hypoglossus Kanan



Kiri



Mengulur lidah



belum dapat dinilai



Fasikulasi



belum dapat dinilai



Atrofi papil



belum dapat dinilai



Disartria



belum dapat dinilai



MOTORIK LENGAN



Kanan



Gerakan



Kiri lateralisasi ke kiri



7



Kekuatan



lateralisasi ke kiri



Tonus



Meningkat



Meningkat



Refleks fisiologis - Biceps



Meningkat



Meningkat



- Triceps



Meningkat



Meningkat



- Radius



Meningkat



Meningkat



- Ulna



Meningkat



Meningkat



Refleks patologis - Hoffman Ttromner



(-)



(-)



- Leri



(-)



(-).



- Meyer



(-)



(-)



Trofik



(-)



(-)



TUNGKAI



Kanan



Kiri



Gerakan



lateralisasi ke kiri



Kekuatan



lateralisasi ke kiri



Tonus



Menurun



Menurun



Klonus -



Paha



(-)



(-)



-



Kaki



(-)



(-)



Refleks fisiologis -



KPR



Menurun



Menurun



-



APR



Menurun



Menurun



Refleks patologis -



Babinsky



(-)



(-)



-



Chaddock



(-)



(-)



-



Oppenheim



(-)



(-)



-



Gordon



(-)



(-)



-



Schaeffer



(-)



(-)



-



Rossolimo



(-)



(-)



-



Mendel Bechterew



(-)



(-)



8



Refleks kulit perut -



Atas



tidak ada kelainan



-



Tengah



tidak ada kelainan



-



Bawah



tidak ada kelainan



Trofik



tidak ada kelainan



SENSORIK belum dapat dinilai



GAMBAR



FUNGSI VEGETATIF Miksi



: terpasang kateter



Defekasi



: baik



Ereksi



: tidak dapat dinilai 9



KOLUMNA VERTEBRALIS Kyphosis



: (-)



Lordosis



: (-)



Gibbus



: (-)



Deformitas



: (-)



Tumor



: (-)



Meningocele



: (-)



Hematoma



: (-)



Nyeri ketok



: (-)



GEJALA RANGSANG MENINGEAL Kaku kuduk



(-)



Kerniq



(-)



Lasseque



(-)



Brudzinsky -



Neck



(-)



-



Cheek



(-)



-



Symphisis



(-)



-



Leg I



(-)



-



Leg II



(-)



GAIT DAN KESEIMBANGAN Gait



Keseimbangan dan Koordinasi



Ataxia



: Belum dapat dinilai



Romberg



: Belum dapat dinilai



Hemiplegic



: Belum dapat dinilai



Dysmetri



: Belum dapat dinilai



Scissor



: Belum dapat dinilai



- jari-jari



:



Propulsion



: Belum dapat dinilai



- jari hidung



:



Histeric



: Belum dapat dinilai



- tumit-tumit



:



Limping



: Belum dapat dinilai



Rebound phenomen : Belum dapat dinilai



Steppage



: Belum dapat dinilai



Dysdiadochokinesis : Belum dapat dinilai



Astasia-Abasia: Belum dapat dinilai



Trunk Ataxia 10



: Belum dapat dinilai



Limb Ataxia : Belum dapat dinilai



GERAKAN ABNORMAL



FUNGSI LUHUR



Tremor



: (-)



Afasia motorik



: bdd



Chorea



: (-)



Afasia sensorik



: bdd



Athetosis



: (-)



Apraksia



: bdd



Ballismus



: (-)



Agrafia



: bdd



Dystoni



: (-)



Alexia



: bdd



Myocloni



: (-)



PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium (22 September 2018) 



Hemoglobin



: 10,6 g/dl







SGPT







RBC



: 3,77x106/mm3







Albumin : 4 mg/dl







WBC



: 21.700/mm3







Ureum







Hematokrit



: 32%







Kreatinin : 1,56 mg/dl







Trombosit



: 391.000/mm3







Natrium



: 147 mmol/L







Diff. count



: 0/0/89/4/7







Kalium



: 3,2 mmol/L







Bil. Total



: 0.6







Chlorida : 1,2 mmol/L







Bil. Direk



: 0,3







Calcium



: 90 mmol/L







Bil. Indirek



: 0,3







BSS



: 139 mg/dl







SGOT



: 44 U/L



11



: 19 U/L



: 96 mg/dl



EKG



Radiologi Thorax AP 



Tidak tampak kardiomegali







Bronkopneumonia kanan



12



CT Scan Kepala 



MSCT tanpa kontras saat ini tidak menunjukkan adanya lesi iskemik/hemorrhage/massa/SOL.







Tidak tampak midline shift







Tidak tampak brain athropy



DIAGNOSIS Diagnosis klinis



: Obs. penurunan kesadaran Hemiparese sinistra tipe spastik 13



Parese N. VII sinistra tipe sentral Deviasi conjugate ke kanan Bangkitan partial menjadi umum sekunder Diagnosis topik



: Ensefalon



Diagnosis etiologi



: Status Epileptikus



PENATALAKSANAAN



Nonfarmakologi: 



Follow Up: GCS+TTV







Head up 30°







Intubasi endotrakeal







Diet cair 1600 kkal via NGT



Farmakologi 



IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit







Inj. Diazepam 1 amp IV jika kejang







Inj. Omeprazole 1x40 mg IV







Fenitoin drip 450 mg habis dalam 15 menit







Paracetamol fls 3x1g IV



PROGNOSIS Quo ad Vitam



: dubia



Quo ad Functionam



: dubia



14



BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 DEFINISI Status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus. Status epileptikus adalah gawat darurat medik yang memerlukan pendekatan terorganisasi dan terampil agar meminimalkan mortalitas dan morbiditas yang menyertai.1,2



3.2 KLASIFIKASI Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan yaitu area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset). Kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.3 Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).3,4



15



3.3. EPIDEMIOLOGI Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonikklonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 12 persen, tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anakanak dan usia tua.1 Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari status epileptikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua status



epileptikus



kebanyakan



sekunder



karena



adanya



penyakit



serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada negara miskin, epilepsi merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.4



3.4. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal. Ada tiga subtipe utama status epileptikus pada anak: kejang demam lama, status epileptikus idiopatik dimana kejang berkembang pada ada atau tidaknya lesi atau serangan sistem saraf pusat yang mendasari, dan status epileptikus bergejala bila kejang terjadi bersama dengan gangguan neurologis atau kelainan metabolik yang lama.2 Kejang demam yang berlangsung selama lebih dari 30 menit, terutama pada anak yang berumur kurang dari 3 bulan, merupakan penyebab status epileptikus yang paling lazim. Kelompok idiopatik termasuk penderita epilepsi yang



mengalami



penghentian



antikonvulsan



mendadak



(terutama



benzodiazepin dan barbiturate) yang disertai dengan status epileptikus. Anak 16



epilepsi yang diberi antikonvulsan yang tidak teratur atau yang tidak taat adalah lebih mungkin berkembang status epileptikus. Kurang tidur dan infeksi yang menyertai cenderung menjadikan penderita epilepsi lebih rentan terhadap status epileptikus. Mortalitas dan morbiditas pada penderita dengan kejang lama dan status epileptikus adalah rendah. Status epileptikus karena penyebab lain mempunyai mortalitas yang jauh lebih tinggi dan penyebab kematian biasanya secara langsung dapat dianggap berasal dari kelainan yang mendasari. Ensefalopati anoksik berat datang dengan kejang selama umur beberapa hari, dan prognosis akhir sebagian berkaitan dengan pengurangan dalam pengendalian kejang. Kelainan elektrolit, hipokalsemia, hipoglikemia, intoksikasi obat, intoksikasi timah hitam, hiperpireksia ekstrem, dan tumor otak terutama pada frontalis, merupakan penyebab tambahan status epileptikus.2 Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah, pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel.1,5 Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.6 Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam 17



dari korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer. 1,5 Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion natrium dan kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.1 Etiologi status epileptikus antara lain alkohol, anoksia, antikonvulsanwithdrawal, penyakit cerebrovaskular, epilepsi kronik, infeksi SSP, toksisitas obat-obatan, metabolik, trauma, tumor.1,2 Komplikasi status epileptikus, yaitu :1,2 



Otak : Peningkatan Tekanan Intra Kranial, Oedema serebri, Trombosis arteri dan vena otak, Disfungsi kognitif







Gagal Ginjal : Myoglobinuria, rhabdomiolisis







Gagal Nafas : Apnoe, Pneumonia, Hipoksia, Hiperkapni, Gagal nafas







Pelepasan Katekolamin : Hipertensi, Oedema paru, Aritmia, Glikosuria, dilatasi pupil, Hipersekresi, hiperpireksia







Jantung : Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme







Metabolik dan Sistemik : Dehidrasi, Asidosis, Hiper/hipoglikemia, Hiperkalemia, Hiponatremia, Kegagalan multiorgan







Idiopatik : Fraktur, tromboplebitis, DIC



3.5. GAMBARAN KLINIK1,3 Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.



18



A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus) Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi. Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani. B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus) Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua. C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus) Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome. D. Status Epileptikus Mioklonik Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif. 19



E. Status Epileptikus Absens Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati. F. Status Epileptikus Non Konvulsif Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens. G. Status Epileptikus Parsial Sederhana a. Status Somatomotorik Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik). b. Status Somatosensorik 20



Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march. H. Status Epileptikus Parsial Kompleks Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.



3.6. PENATALAKSANAAN Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Lini



pertama



dalam



penanganan



status



epileptikus



menggunakan



Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.2 Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.7 Pemberian



antikonvulsan



masa



kerja



lama



seharusnya



dengan



menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis 21



selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.7,8



3.7. STATUS EPILEPTIKUS REFRAKTER Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten. Kesalahan diagnosis kemungkinan lain: tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama.1,3 Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleh EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.8



3.8. PROTOKOL PENATALAKSANAAN STATUS EPILEPTIKUS (EFA, 1993)7,8 Pada : awal menit 1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi) a. Periksa tekanan darah b. Mulai pemberian Oksigen c. Monitoring EKG dan pernafasan 22



d. Periksa secara teratur suhu tubuh e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis 2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri) 3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat 4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty 5. Lakukan rekaman EEG (bila ada) 6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan. Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung 1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur 2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mg per menit Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil. atau Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG. atau 23



Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG.



3.9. PROGNOSIS Hasil neurologis pasca status epileptikus telah membaik secara bermakna sejak penemuan unit perawatan intensif modern dan manajemen agresif kejang yang lama. Angka mortalitas status epileptikus adalah sekitar 5% pada kebanyakan seri. Kebanyakan kematian terjadi pada kelompok bergejala, kebanyakan darinya mempunyai kelainan SSS serius dan mengancam jiwa sebelum mulainya status epileptikus. Bila tidak ada serangan neurologis progresif atau gangguan metabolic, morbiditas status epileptikus adalah rendah.2



24



BAB IV ANALISIS KASUS Status epileptikus (SE) didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit.1 Terdapat banyak defenisi tentang status epileptikus, menurut journal BCMJ 2011 peneliti James Lee et al, SE adalah kejang yang kontinu dalam waktu 30 menit atau kejang berulang dalam 30 menit tanpa ada fase sadar diantaranya.9 Sedangkan Neurocritical Care Society menyebutkan kejang lebih dari 5 menit atau berulang lebih dari 5 menit tanpa ada fase sadar. Kejang yang lebih dari 7 menit akan berlanjut terus sedikitnya selama 30 menit.10 Pada kasus, pasien kejang dalam 2 hari berturut-turut dan pada kejang hari kedua pasien kejang 6 kali dengan durasi ± 5 menit tanpa ada pemulihan kesadaran. Berdasarkan anamnesis juga didapatkan riwayat kejang berulang mulai dari usia 2 tahun, 6 tahun hingga 16 tahun. Status epileptikus dapat disebabkan kelainan elektrolit, hipokalsemia, hipoglikemia, intoksikasi obat, intoksikasi timah hitam, hiperpireksia ekstrem, dan tumor otak terutama pada frontalis.2 Kelompok idiopatik termasuk penderita epilepsi yang mengalami penghentian antikonvulsan mendadak (terutama benzodiazepin dan barbiturate) yang disertai dengan status epileptikus. Kejang pada pasien dapat disebabkan oleh faktor, pertama ialah putus minum obat anti kejang, di mana pasien tidak minum obat selama 2 bulan terakhir yang biasa rutin diminum sejak usia 16 tahun dan kedua ialah adanya pencetus infeksi, atau keduanya berhubungan, di mana pada saat adanya keadaan putus obat, maka kerentanan pasien untuk kejang menjadi lebih besar. Oleh karena itu pasien didiagnosa dengan status epileptikus. Pada pemeriksaan fisik neurologis ditemukan adanya lipatan nasolabialis kiri yang datar, refleks fisiologis dan tonus yang meningkat pada lengan dan refleks fisiologis dan tonus yang menurun pada tungkai. Pada lengan dan tungkai juga ditemukan lateralisasi kearah kiri. Pada pemeriksaan radiologi tidak ditemukan 25



kelainan pada rontgen thorax maupun CT scan kepala, sehingga penyebab kelainan pada otak dapat disingkirkan. Pada pasien status epileptikus, penatalaksanaan awal adalah dengan pembebasan jalan nafas dan oksigenasi yang tepat. Kesadaran pasien yang turun beresiko untuk adanya sumbatan jalan nafas sehingga harus dibebaskan jalan nafasnya dan direncanakan untuk intubasi. Pemberian oksigen penting dilakukan sebelum dilakukan intubasi. Jika pasien kejang, diperlukan pemberian antikonvulsan kerja cepat (diazepam/lorazepam) untuk mengatasi kejang terlebih dahulu. Setelah kejang berhenti, pasien diberikan fenitoin/fenobarbital drip untuk rumatan agar tidak terjadi kejang lanjutan. Pada pasien ini saat kejang diberikan diazepam 10 mg dan terapi rumatan berupa fenitoin 450 mg.



26



DAFTAR PUSTAKA 1. Huff JS. Status Epilepticus. http://emedicine.medscape.com/article/793708 [diakses tanggal 26 September 2018] 2. Haslam HA. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Vol 3. Dalam: editor Behrman, Kliegman, Arvin. Status Epileptikus. Jakarta : EGC; 2000. pp 2067-68 3. Christian M. Korff Douglas R. Nordli Jr. Current Pediatric Therapy, 18th ed. In: Burg DF, editor. Status Epilepticus. USA: Saunders; 2006. 4. Cavazos



JE,



Spitz



M.



http://emedicine.medscape.com/article/1164462



Status [diakses



Epilepticus. tanggal



26



September 2018] 5. Lazuardi S. Buku Ajar. Neurologi Anak. Dalam: editor Soetomenggolo T, Ismael S. Pengobatan Epilepsi. Jakarta: BP IDAI; 2000.pp 237-38 6. Hassan R, Alatas H. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Epilepsi. Jakarta: FKUI;2005.pp 855-59 7. Ilae. Status Epilepticus. http://www.ilae-epilepsy.org/visitors/Documents/ 10-statusepilepticus.pdf [ diakses tanggal 26 September 2018] 8. Heafield MT. Managing Status Epilepticus. BMJ. Edisi 8 April 2000. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1117894/ [diakses tanggal 26 September 2018] 9. Lee J, et al. Guideline for the management of convulsive status epilepticus in infants and children. Issue: BCMJ, Vol. 53, No. 6, July, August 2011, page(s) 279-285 10. Gretchen MB, et al. Guidelines for the Evaluation and Management of Status Epilepticus. Neurocrit Care 2012 DOI 10.1007/s12028-012-9695-z



27