Catatan Seorang Pelacur [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Catatan Seorang Pelacur Karya Putu Arya Tirtawirya



Mereka yang pernah menonton atau membaca cerita James Bond lantas ketawa ketika menengadah di depan pintu kamar Neng Sum. “Siapa sih, yang iseng nambah-nambah?” Ditambahi dua angka nol dengan kapur tulis nomor kamar Neng Sum berubah menjadi 007. Tapi Neng Sum sendiri tidak mengetahui hal itu. Malam telah larut dan Neng Sum sudah mengunci pintu kamarnya setelah melayani tamunya yang terakhir: Seorang lelaki yang menyumpahi dirinya sendiri habis-habisan, menyumpahi kelaki-lakiannya yang tak ubahnya seekor ayam jago yang keok sebelum terjadi pertarungan yang sesungguhnya. Neng Sum memasang kembali kutangnya. Lalu menjangkau celananya. Kemudian menjangkau selembar ratusan dari lelaki itu yang melengkung – seperti katak yang terinjak – di atas seprai yang kotor dan akhirnya membenahi tempat tidurnya kembali. Dan sambil berpikir jam berapa sebaiknya esok pergi buat injeksi penisilin, Neng Sum melangkah ke arah kapjok di mana hoskutnya tergantung. “Hampir jam dua belas,” bisiknya sendiri tatkala duduk di kursi dan membungkuk di atas meja, memandangi sebuah arloji kecil-mungil. Jarum sekonnya bergerak-gerak dengan lamban dan dengan gerakan yang lamban pula Neng Sum menjangkau buku hariannya, pulpennya, dan segera mulai menulis: — Aku tidak tahu untuk apa sebetulnya aku mengisi buku catatan harian ini. Dahulu, di sekolah aku pernah membaca bahwa para pujangga, negarawan, dan orang-orang penting sajalah yang biasa memiliki catatan harian. Dan dahulu aku tidak tahu dengan alasan apa mereka mengerjakan hal itu. Baru sekarang aku memaklumi alasan mereka, satu hal yang sangat bersifat pribadi, suatu rahasia, yang dapat meringankan beban jiwa dengan menuliskannya di atas kertas. Bagiku alasan



terpokok adalah meringankan beban jiwaku dari dosa-dosa yang terus menimbuni diriku yang tak terelakkan oleh ketidakmampuanku kerja lain selain telentang menampung uang. Bagi diriku yang telah terlanjur bergelimang lumpur, maka cinta (dalam arti berlaki-bini) adalah omong kosong. Beberapa lelaki telah mencoba melepaskan diriku dari kamar mesum ini, tapi semuanya menyadari keterbiusan mereka selama itu setelah kami berada di tengah masyarakat yang mengutuki pelacuran. Malah para lelaki yang pernah menerkami tubuhku ikut merasa janggal, merasa aneh, melihat kehadiranku di tengah-tengah pergaulan mereka yang sopan, dan aku tahu lewat sorot mata mereka, aku dapat menangkap sinar jalang mereka yang menyayangkan kehadiran diriku di luar dunia buram ini. Mereka telah kehilangan tubuhku yang sebetulnya dapat mereka jadikan mangsa yang nikmat nafsunya mengubah mereka jadi drakula atau seekor kucing kelaparan yang di matanya aku adalah seekor tikus betina. Malam ini, lelaki yang terakhir itu adalah bekas tetangga sebelah rumah kami sewaktu aku pernah kembali menjadi orang baik-baik, menjadi seorang istri yang sah. Istrinya masih muda dan cantik. “Pak, kan sudah punya istri yang masih muda lagi cantik,” gurauku menyambutnya. “Tapi dia belum ingin punya anak lagi,” jawabnya dengan senyuman yang membungkus kehausan dan mata seekor vampir sewaktu aku melepaskan pakaian dan dia mencegahku setengah mati ketika aku pura-pura mau memadamkan lampu. “Biarlah terang. Uangnya kutambah, nanti,” pintanya dengan dengus napas yang mengisi kamar. Andaikata istrinya muncul dan menudingku: — Sundal, tidak tahu malu! Merusak suami orang – aku toh akan berkata dengan sabar: “Tudinglah suamimu! Dia, yang datang kemari karena katanya Nyonya belum mau punya anak!… Rupanya Nyonya belum tau sifat lelaki.” Ya, para lelaki yang otaknya tidak miring pada dasarnya bersifat sama semua, — seekor ayam jantan. Cuma kesempatan baik jarang mereka punyailah, yang memberati kakinya untuk melangkah. Malam di luar yang begitu kelam seperti kopi, kegelapan yang seperti inilah terbentang di muka hidupku kini; tanpa batas waktu kapan akan berakhir. Hidup yang sebatang kara, meskipun aku masih punya keluarga, tapi mereka malu dan menganggap kehadiranku di tengah mereka



seperti sebuah angka nol dan malahan bersyukur jika aku tak muncul-muncul lagi di mata mereka. Di hari-hari belakangan ini aku mulai berpikir bahwa hidupku selanjutnya betul-betul berada di tanganku sendiri. Apakah aku mau menghancurkannya atau membinanya! Aku tidak mau seperti Aisah yang di kamar nomor lima itu. Tanpa kapok-kapoknya ia hamburkan uang yang telah dikumpulkannya buat mengejar cinta palsu setiap lelaki, yang padahal mereka itu Cuma mengharapkan uang dan barang-barang perhiasannya untuk diludeskan di meja judi dan mabok-mabok. Cuma beberapa minggu hidup berumah tangga dan akhirnya telentang di balik pintu bernomor lima lagi. Pun aku tidak mau seperti Emi yang di kamar nomor tiga itu. Begitu banyak uang lantas menghabiskannya pada makanan mewah dan minuman keras, mabok! Menyanyi keras-keras lantas terbahak tak berujung pangkal! Aku tahu, ia ingin melupakan kehidupannya yang gelap itu barang sejenak. Dan setiap sadar dari maboknya Emi lantas kudengar menangis tersedu-sedu. Oh, Emi, Emi. Aku mau mencoba membina hidupku. Demi masa tuaku nanti akan kupaksa diriku untuk menghindari hidup seperti Aisah dan Emi. Rencanaku: Setelah aku dapat mengumpulkan uang secukupnya aku akan mengucapkan selamat tinggal pada penghidupan yang memalukan ini. Dengan uang itu nanti aku akan berusaha berdagang dan dalam pada itu untuk sementara menutup pintu bagi cinta yang bersifat spekulasi. Neng Sum menguap, menutup mulutnya yang mungil dengan tinju kirinya, meletakkan pulpen dan menutup buku tulisnya. Dan setelah menengok sebentar ke arloji Wingo-nya, Neng Sum menggeser kursi dengan pantatnya yang besar itu, melangkah mendekati ranjang. Tanpa berpikir apa-apa lagi Neng Sum mengempaskan tubuhnya yang berat itu ke atas kasur, kelopak matanya mengejap-ngejap menatap loteng. Pelbagai kesan dan kenangna hilirmudik di benaknya: keluarganya, terutama adik-adiknya yang ia tinggalkan, para langganannya yang diketahuinya beberapa di antara mereka sengaja memakai obat kuat. Ada yang mengutuk dirinya sendiri, yang tua-tua dengan nafsu besar tenaga kurangnya, dan ada yang masih tolol dengan kelinglungan seseorang yang merasa ajaib karena tiba-tiba berdiri di depan gua penuh misteri.



Neng Sum mengeluh panjang dan membalik, memiringkan tubuhnya menghadap tembok tempat ranjang itu menempel. Pinggulnya tidak bergerak-gerak, juga tidak bergerak-gerak sewaktu ayam-ayam berkeruyuk di waktu subuh. Neng Sum tidurnya nyenyak sekali. Karena sangat lelahnya.