CBR Teori Dan Sejarah Sastra [PDF]

  • Author / Uploaded
  • anita
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

CRITICAL BOOK REVIEW 1. PENGANTAR ILMU SASTRA (ANTILAN PURBA ) 2. SASTRA DAN ILMU SASTRA ( A. TEEUW )



NAMA KELOMPOK : 1. 2. 3. 4. 5. 6.



DIAN LOLYNA ELISABETH SAGALA (2193111028) HADIJAH BR. BAKO (2193111021) NOFRI AGNESITA SITANGGANG (2193111024) RUT OCTAVIANI SIANIPAR (2193111019) ITIKA PURNAMA SARI (2193311012) ANITA TAMBUNAN (2193111026)



KELAS



: REGULER B



DOSEN PENGAMPU



: PROF. DR. RORMAWATY HARAHAP, M.Pd



MATA KULIAH



: TEORI DAN SEJARAH SASTRA



PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI MEDAN MEDAN 2019



KATA PENGANTAR



Puju syukur kami panjatkan keppada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami kesempatan dalam menyelesaikan makalah ini, sehingga kritik buku (Critical Book Report) ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Terimakasih kami ucapkan kepada Ibu Rosmawaty Harahap selaku dosen pengampu mata kuliah Teori dan Sejarah Sastra. Dalam makalah ini kami membahas dan menjelaskan mengenai buku yang berjudul Pengantar Ilmu Sastra karya Antilan Purba dan Sastra dan Ilmu Sastra karya A Teeuw bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada para pembaca tentang teori dan sejarah sastra yang berkembang di Indonesia. Selaku manusia biasa, kami menyadari bahwa dalam hasil makalh ini masih terdapat kekurangan dan kekeliruan yang tidak disengaja. Oleh karena itu kami sangat membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca. Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya pada mata kuliah Teori dan Sejarah Sastra di Universitas Negeri Medan.



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Mengkritik buku salah satu cara yang dilakukan untuk menaikkan ketertarikan minat baca seseorang terhadap suatu pokok bahasan. Mengkritik buku (Critical Book Report) ini adalah suatu tulisan atau ulasan mengenai sebuah hasil karya atau buku, baik berupa buku fiksi ataupun nonfiksi, juga dapat diartikan sebagai karya ilmiah yang melukiskan pemahaman terhadap isi sebuah buku. Mengkritik buku dilakukan bukan untuk menjatuhkan atau menaikkan nilai suatu buku melainkan untuk menjelaskan apa adanya suatu buku yaitu kelebihan maupun kekurangan buku tersebut. Yang lebih jelasnya dalam mengkritik buku, kita dapat menguraikan isi pokok pemikiran pengarang dari buku yang bersangkutan diikuti dengan pendapat terhadap isi buku.



1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dipaparkan sebagi berikut. 1.Apa isi dari buku pengantar ilmu sastra karya Antilan Purba ? 2.Apa isi dari buku sastra dan ilmu sastra karya A. Teeuw ?



1.3 Tujuan Pembahasan Adapun tujuan pembahasan adalah sebagai berikut. 1.Untuk mengetahui isi dari buku pengantar ilmu sastra karya Antila Purba. 2.Untuk mengetahui isi dari buku sastra dan ilmu sastra karya A.Teeuw.



BAB II IDENTITAS BUKU 2.1 IDENTITAS BUKU A. Identitas Buku 1 Judul Buku



: Pengantar Ilmu Sastra



Penulis



: Antilan Purba



Penerbit



: USU Press



Kota Terbit



: Medan



Tahun Terbit : 2010 Edisi



: Pertama



ISBN



: 979-458-446-0



B. Identitas Buku 2 Judul Buku



: Sastra Dan Ilmu Sastra



Penulis



: A. Teeuw



Penerbit



: PT. Dunia Pustaka Jaya



Kota Terbit



: Bandung



Tahun Terbit : 2016 Edisi



: Kelima



ISBN



: 978-979-419-415-7



2.2 RINGKASAN ISI BAB  Buku Utama Buku 1 Pengantar Ilmu Sastra Antilan Purba Daftar Isi Isi Bab Bab 1. ESENSI ILMU SATRA 1.Pengertian Ilmu Sastra 2.Sejarah Ilmu Sastra 3.Obyek Ilmu Sastra 4.Tujuan Ilmu Sastra 5. Ruang Lingkup Ilmu Sastra



Hal



Ringkasan Bab BAB I ESENSI ILMU SASTRA 1. Pengertian Ilmu Sastra Istilah ilmu sastra dalam bahasa Inggris general literature atau literary study. Di Indonesia ilmu sastra dipadankan dengan studi sastra, kajian sastra, pengkajian sastra, telaah sastra. (paragraf 2:1) Menurut Badrun (dalam Pengantar Ilmu Sastra: Teori Sastra, 1983:11) ilmu sastra ilmu yang menyelidiki sastra secara ilmiah. Menurut Eddy (dalam Kamus Istilah Sastra Indonesia, 1991:96) ilmu sastra segala bentuk dan cara pendekatan terhadap karya sastra dan gejala sastra. Dalam Kamus Sastra, Eneste (1994:47) ilmu sastra adalah bidang keilmuan yang objek utamanya karya sastra. Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia, Hasanuddin mengemukakan bahwa ilmu sastra dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah general literature meliputi semua pendekatann ilmiah terhadap gejala sastra. (peragraf 3:1) Menurut Mahayana (dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia, 2003:223) ilmu sastra ilmu yang menyelidiki kesusastraan dengan berbagai masalahnya secara ilmiah. Ilmu sastra adalah ilmu yang mempelajari karya sastra (2005:347). (paragraf 4:2) Pengertian ilmu sastra secara sederhana yaitu ilmu yang menyelidiki karya sastra secara ilmiah dengan berbagai gejala dan masalah sastra. (paragraf 5:2) Dalam Pemandu di Dunia Sastra, Hartoko dan Rahmanto ilmu sastra meliputi semua pendekatan ilmiah terhadap gejala sastra. Objek ilmu sastra adalah unsur kesusastraan yang menyebabkan sebuah ungkapan bahasa termasuk sastra. Unsur-unsur bahasa yaitu struktur, gaya, fungsi politik, faktor-faktor historiko pragmatik dan psikososial. (paragraf 6:2) Cabang-cabang ilmu sastra dibedakan menurut sifat dan lingkup sebuah objek serta sifat metode (kognitif, cara pengetahuan) yang digunakan. Mengenai cara pengetahuan terdapat ilmu sastra teoritis dan terapan, yaitu teori sastra (ilmu sastra umum) dan pengkajian teks. Mengenai sifat dan objek yang diteliti terdapat kritik sastra dan sejarah sastra serta ilmu sastra perbandingan (1985:125). (paragraf 7:2) Dalam Pengantar Ilmu Sastra, Luxemburg dkk (1989:2) ilmu sastra meneliti sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks sastra, lagi bagaimana teks-teks tersebut berfungsi dalam masyarakat.(paragraf 8:2) Rumusan ilmu sastra adalah sebagai berikut:



1. Ilmu sastra ilmu yang menyelidiki sastra secara ilmiah 2. Ilmu sastra ilmu yang menyelidiki karya sastra secara ilmiah 3. Ilmu sastra segala bentuk dan cara pendekatan ilmiah terhadap karya sastra dan gejala sastra 4. Ilmu sastra sebuah telaah sistematis mengenai sastra dan komunikasi sastra yang pada prinsipnya tidak menghiraukan batas-batas antarbangsa dan antarkebudayaan. (paragraf 10:3) 2. Sejarah Ilmu Sastra Penolakan terhadap keberatan menyatakan ilmu sastra tidak haya menekuni kaidah-kaidah, sistem-sistem serta modul-modul. Penolakan sastra sebagai ilmu juga diungkapkan oleh Wellek dan Warre. Mereka berpendapat bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan studi/ilmu sastra adalah cabang ilmu pengetahuan. Akan tetapi sejumlah teoritisi menolak mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu (1989:3). (paragraf 2: 4) Pakar ilmu sastra juga berpendapat bahwa ilmu sastra tidak mampu mencapai taraf ilmiah karena dalam kenyataannya ilmu sastra hanya mengimpor dasar-dasar ilmiah dari bidang lain seperti sosiologi, psikologi tanpa memahami bahwa ilmu sastra dapat ditemukan dalam sastra. (paragraf 4: 4) Sastra dinyatakan tidak ilmiah karena kurang konsisten, kurang percaya diri, sehingga tidak menghasilkan konsep yang jelas. Budi Darma (1990:338, 343) berpendapat kelemahan sastra sebagai ilmu di Indonesia disebabkan oleh dominasi studi kebahasaan. (paragraf 7: 5) Sastra sebagai bidang kajian ilmiah baru dimulai pada abad 19. “Objek ilmu sastra adalah kehidupan manusia yang sudah terabstraksikan dalam karya sastra” (Budi Darma, 1990:338). (paragraf 9,10: 5) Keilmiahan ilmu sastra tidak eksplisit, tetapi implisit. Oleh karena itu, ilmu sastra mampu membuktikan diri sebagai kajian ilmiah yang terdapat unsur fakta/data, inferensi atau simpulan dan pendapat/judgement. (paragraf 11: 6) Langsung atau tidak ilmu sastra selalu mengedepankan inkuiri, masalah serta pembuktian terhadap hipotesis terselubung (Darma, 1990:342). (paragraf 12: 6) 3. Objek Ilmu Sastra Objek ilmu sastra adalah kehidupan manusia yang sudah diabstraksikan dalam karya sastra (Budi Darma, 1990:338). (paragraf 1:6) Karya sastra lahir karena dorongan manusia untuk mengungkap diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi, 1993:1). Karya sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat dan ilmu jiwa. (paragraf 2: 7) Karya sastra adalah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi. Karya sastra adalah hasil ekspresi individual penulisnya. (paragraf 3,4: 7) Karya sastra adalah hasil proses kreatif. Karya sastra memerlukan perenungan, pengendapan ide, langkah tertentu yang



berbeda antara sastrawan yang satu dengan sastrawan yang lain. (paragraf 5: 7) Kekhasan karya sastra harus dibedakan atas genre karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama. (paragraf 6: 7) Bahasa dalam karya sastra telah mengalami penyimpangan, pemutarbalikan dari bahasa praktis sehari-hari. Oleh sebab itu, karya sastra dipandang sebagai wujud referensi wacana. (paragraf 7: 7) Karya sastra mempunyai logika tersendiri. Logika karya sastra mencakup isi dan bentuk karya sastra. (paragraf 8: 8) Dalam logika biasa tidak mungkin lembaran daun berbunyi gemerincing seperti lonceng katedral. Tetapi dalam logika puisi lembaran daun berbunyi gemerincing seperti lonceng katedral justru logis. (paragraf 9: 8) Logika dalam karya sastra dinilai dalam kaitannya dengan penyajian karya sastra. Sebab itu logika dalam karya sastra disebut logika internal. (paragraf 10: 8) Karya sastra merupakan dunia rekaan (fiksi). Dalam kenyataanya, karya sastra bukan hanya berdasarkan khayalan, melainkan gabungan kenyataan dan khayalan. (paragraf 11: 8) Sastrawan memperlakukan kenyataan dengan tiga cara yaitu, manipulasi, artifisial, dan interpretatif. Karya sastra yang bersifat biografis, otobiografis, historis, dan catatan perjalanan kadar kenyataannya lebih dominan. (paragraf 12: 9) Karya sastra mempunyai nilai keindahan tersendiri. Setiap daerah, golongan, dan waktu menentukannilai keindahan yang berbeda. (paragraf 13: 9) Karya sastra adalah sebuah nama yang diberikan masyarakat kepada hasil karya seni tertentu. Hal ini mengisyaratkan adanya penerimaan secara mutlak oleh masyarakat sastra. (paragraf 14: 9) 4. Tujuan Ilmu Sastra 1.) Ilmu sastra sebagai sarana pengujian pemahaman ilmiah sastra 2.) Ilmu sastra merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan sastra 3.) Ilmu sastra memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan sastra (paragraf 1: 10) 5. Ruang Lingkup Sastra 1.) Esensi ilmu sastra 2.) Teori sastra cabang ilmu sastra sejarah sastra cabang ilmu sastra 3.) Sejarah sastra cabang ilmu sastra 4.) Kritik sastra cabang ilmu sastra 5.) Sastra perbandingan cabang ilmu sastra 6.) Sosiologi sastra cabang ilmu sastra 7.) Psikologi sastra cabang ilmu sastra 8.) Antropologi sastra cabang ilmu sastra (paragraf 1: 11)



KOMENTAR: Di dalam buku ini banyak menggunakan istilah asing,sehingga tak jarang



pembaca masih sulit untuk mengerti dan memahami.



Bab 2. TEORI SASTRA CABANG ILMU SASTRA 1.Pengertian Sastra 2.Sejarah Teori Sastra 3.Kedudukan dan Fungsi Teori Sastra 4. Ruang Lingkup Kajian Teori Sastra



BAB 2 TEORI SASTRA CABANG ILMU SASTRA 1. Pengertian Teori Sastra Dalam Kritik Sastra Sebuah Pengantar teori sastra merupakan suatu penyelidikan yang menghasilkan pengertian-pengertian sastra, prinsip-prinsip sastra, latar belakang sastra, jenis-jenis sastra, prinsip-prinsip penilaian sastra (1981 : 36). Yudiono (1986 : 27) berpengertian bahwa teori sastra merupakan seperangkat pengetahuan atau prinsip-prinsip tentang sastra. Zulfahmar (1996/1997 : 5) beranggapan bahwa teori sastra adalah cabang ilmu yang mempelajari asas-asas , hukum-hukum, dan prinsip-prinsip, seperti sifat sastra, struktur, dan jenis sastra. Pengertian teori sastra lebih luas dikemukakan oleh Pradopo dan Fananie. Pradopo berpengertian bahwa teori sastra adalah suatu bagian atau cabang dari ilmu sastra. teori sastra bekerja dalam bidang teori misalnya penyelidikan hal yang berkembang tentang apa sastra itu. Pradopo dalam Kritik Sastra Indonesia Modern pada tahun 2000 mengungkapkan bahwa teori sastra bidang studi sastra yang berhubungan dengan teori kesusastraan. Fananie (2000: 17) dalam Telaah Sastra berpengertian bahwa teori sastra mempelajari aspek-aspek yang meliputi aspek instrinsik dan ekstrinsik sastra. Teori dasar instrinsik berhubungan dengan bahasa sebagai sistem, konveksi sastra, kompetensi sastra. Sedangkan teori dasar ekstrinsik berkaitan tentang aspek-aspek yang melatarbelakangi penciptaan sastra meliputi unsur-unsur budaya, filsafat, politik, agama, psikologi, dan sebagainya. 2. Sejarah Teori Sastra Pada 1950-1970 teori sastra belum digunakan secara jelas dalam studi sastra. slamet Mulyana dan Jassin yang merupakan mahasiswa di fakultas sastra Universitas Indonesia (UI) membuat kritik sastra dalam skripsi sarjana mereka dengan mempergunakan teori sastra secara perlahan-lahan. Namun demikian teori sastra yang mereka gunakan bercampur dengan berbagai macam teori sastra. Sesudah pertengahan 1970-an di Indonesia mulai dikenal teori sastra misalnya teori sastra strukturalisme dan sosiologi sastra. Pada 1980-an teori sastra baru di Indonesia mulai masuk. Teori ini berasal dari Barat sehingga pakar sastra Indonesia mulai menciptakan studi sastra. Teori-teori sastra yang mereka ciptakan tidak mudah diterapkan sebab metodenya sangat rumit bahkan tidak bersifat tunggal. Perkembangan teori sastra berkembang sampai saat ini khususnya teori wacana sastra. 3. Kedudukan dan Fungsi Teori Sastra Teori sastra merupakan satu bidang studi sastra yang merupakan penyelidikan tentang segala peristiwa dan seluk beluk kesenian yang berjudul bahasa (Hardjana 1981: 26). Wallek dan Warren (1989: 5) mengungkapkan



bahwa studi sastra adalah cabang ilmu pengetahuan. Teori sastra beranjak dari kehidupan suatu masyarakat sebagai pencerminan karya sastra. teori sastra tidak lepas dari sejarah sastra suatu bangsa. Fungsi-fungsi teori sastra adalah sebagai berikut: 1.) Sarana memahami karya sastra dan seluk beluknya 2.) Melakukan telaah sebagai suatu latihan intelektual 3.) Mempermudah telaah sastra secara sistematis sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah 4.) Menafsirkan dan menjelaskan karya sastra yang didasari pada teori sastra tertentu 5.) Memberikan inspirasi kepada sastrawan khusus maupun teoritisi sastra 4. Ruang Lingkup Kajian Sastra Ruang lingkup kajian teori sastra diuraikan agar diperoleh ruang lingkup teori sastra yang jelas. Dalam Pengantar Ilmu Sastra, Luxemburg, Mike Ball, William mengungkapkan bahwa ruang lingkup teori sastra sebagai berikut: 1.) Sifat-sifat dalam teks sastra 2.) Bagaimana teks sastra berfungsi dalam masyarakat (dalam Hartoko, 1984: 2) Dalam Prinsip-Prinsip Kritik Sastra, Pradopo (1994: 8) menentukan ruang lingkup teori sastra sebagai berikut: 1.) Apakah sastra itu 2.) Apakah hakikat sastra 3.) Dasar-dasar sastra 4.) Hal-hal yang berhubungan dengan teori dalam bidang sastra 5.) Jenis-jenis sastra atau genre 6.) Teori penilaian sastra Dalam Kritik Sastra Indonesia Modern pada 2002, Pradopo juga menentukan ruang lingkup teori sastra adalah sebagai berikut : 1.) Apakah kesusastraan itu 2.) Bagaimana unsur-unsur atau lapis-lapis normanya 3.) Studi tentang jenis-jenis sastra dan masalah umum yang berhubungan dengan jenis sastra, kemungkinan dari kriteria untuk membedakan jenis sastra dan sebagaintya (2002 :34) Dalam Kritik Sastra Sebuah Pengfantar, Hardjana (1981:26) menentukan bahwa ruang lingkup teorim sastra adalah sebagai berikut : 1.) Pengertian-pengertian sastra 2.) Hakikat sastra 3.) Prinsip-prinsip sastra 4.) Latar belakang sastra 5.) Jenis-jenis sastra 6.) Susunan dalam karya sastra 7.) Penilaian sastra Dalam Telaah Sastra, Fananie menentukan bahwa ruang lingkup teori sastra adalah aspek-aspek dasar teks sastra. Apek-aspek ini meliputi aspek intrinsik dan aspek ekstrinsik. Aspek intrinsik antara lain sebagai berikut : 1.) Bahasa sebagai sistem 2.) Konvensi Sastra



3.) Kompetensi Sastra 4.) Konvensi B Aspek ekstrinsik antara lain sebagai berikut : 1.) Aliran sastra 2.) Unsur-unsur budaya 3.) Filsafat 4.) Politik 5.) Agama Berdasarkan ruang lingkup teori sastra yang ditentukan di atas dan sebelumnya bahwa pembagian yang satu dengan yang lainnnya memiliki persamaan. Oleh karena itu, ruang lingkup kajian teori sastra digabungkan. Adapun ruang lingkup teori sastra itu adalah sebagai berikut: 1.) Pegertian teori sastra 2.) Sejarah teori sastra 3.) Kedudukan dan fungsi teori sastra 4.) Pengertian sastra dan sastra Indonesia 5.) Hakikat sastra 6.) Bahasa media sastra 7.) Misi sastra 8.) Pembagian bentuk dan jenis sastra 9.) Sastra imajinatif 10.) Sastra nonimajinatif



KOMENTAR:



Bab 3. SEJARAH SASTRA CABANG ILMU SASTRA 1.Pengertian Sejarah Sastra 2.Pengertian Sejarah Sastra Indonesia 3. Fungsi dan Tujuan Mempelajari Sejarah Sastra 4. Ruang Lingkup Kajian Sejarah Sastra



20



Materi yang dipaparkan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan sangat membantu dalam pemahamannya. Khususnya, hal ini akan dirasakan oleh para pembaca yang baru pertama kali mempelajari materi tersebut. Bab 3 SEJARAH SATRA CABANG ILMU SASTRA 1. Pengertian Sejarah Sastra Sastrawan, kritikus dan akademis sastra telah merumuskan berbagai pengertian sejarah sastra. (Paragraf 1 : 20) Faruk dalam Purba (2010 : 20) sejarah sastra adalah rangkaian sastra Indonesia modern yang sudah terbit di masa lalu. Zulfahmur Z dalam Purba (2010 :21 ) mengatakan bahwa sejarah sastra adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya satra dari waktu ke waktu , para penulis yang menonjol, karya-karya puncak dalam suatu kurun waktu, ciri-ciri dari setiap kurun waktu perkembangannya, peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. ( Paragraf : 20-21) Sarwadi dalam Purba (2010 : 21 ) merumuskan sejarah sastra lebih sederhana, ia menyatakan bahwa sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak dari mulai pertumbuhan sampai pada perkembangan yang sekarang. (Paragraf 3 : 21 ) Dalam makalahnya yang berjudul “Penggolongan Angkatan dan Angkatan 66” Horison No.6 Tahun II Juni halaman 165-168, Pradopo dalam Purba (2010 : 21) merumuskan sejarah sastra adalah studi sastra yang membicarakan perkembangan sastra sejak lahirnya sampai perkembangannya yang terakhir. ( Paragraf 4 : 21) Sejarah sastra tak lain dari rangkaian atau gunjaran periode sastra. (Paragraf 5 : 21)



Sejarah sastra juga membahas tentang angkatan sastra yang tak lain adalah sekumpulan sastrawan yang hidup dalam kurun masa atau menempati suatu periode tertentu. (Paragraf 6 : 21) 2. Pengertian Sejarah Sastra Indonesia Sejarah sastra Indonesia adalah cabang ilmu sastra yang memperkaitkan perkembangan sastra Indonesia sejak dari lahirnya atau mula pertumbuhannya sampai sekarang yang didalamnya membahas mulai dari para penulis karya sastra Indonesia, karya-karya sastra Indonesia, ciri-ciri karya sastra Indonesia, sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi seputar masalah karya satra dan studi Indonesia dan rangkaian karya sastra modern Indonesia modern yang terbit pada masa lalu. (Paragraf 1 : 22) 3. Fungsi dan Tujuan Mempelajari Sejarah Sastra Pada tahun 1985, Todorov mengatakan fungsi sejarah sastra sebagai berikut. 1. Meneliti keragaman setiap kategori sastra. 2. Meneliti jenis karya sastra baik secara diakronis maupun sinkronis. 3. Menentukan kaidah keragaman peralihan dari satu masa ke masa berikutnya (Zilfahnur, dkk, 1997/1998: 16). (Paragraf 1 : 23) Tujuan mempelajari sejarah karya sastra ialah untuk memperoleh gambaran perkembangan sastra Indonesia dari waktu ke waktu dan problematika yang muncul dalam perjalanan sastra Indonesia sebagai bagian sejarah sastra Indonesia. (Paragraf 2 : 23) 4. Ruang Lingkup Kajian Sejarah Sastra Terdapat beberapa ahli yang berpendapat mengenai ruang lingkup kajian sejarah sastra, diantaranya adalah Iskandarwassid, ddk, Sarwadi, Zulfahnur, dkk. Dari pendapat mereka dapat disimpulkan ruang lingkup sejarah sastra Indonesia sebagai berikut. (Paragraf 1 : 23-25) 1. Pengertian sejarah sastra dan sejarah sastra Indonesia. 2. Fungsi dan tujuan sastra Indonesia. 3. Awal kelahiran sastra Indonesia. 4. Sejarah puisi Indonesia. 5. Sejarah cerita pendek Indonesia. 6. Sejarah novel Indonesia.



KOMENTAR: Materi yang disajikan pengarang cukup jelas mulai dari memaparkan sejarah sampai definisi dan bahasa yang dipakai sangat mudah dimengerti. BAB IV KRITIK SASTRA CABANG ILMU SASTRA 1.Pengertian Kritik Sastra 2.Sejarah



26



26 31



BAB 4 KRITIK SASTRA CABANG ILMU SASTRA 1. Pengertian Kritik Sastra Istilah “kritik” berasal dari bahasa Yunani “krites”(Wellek)berarti “seorang hakim”,krinein berarti “menghakimi”,”kriterion”-“dasar penghakiman”,dan “kritikos”berarti “hakim kesusastraan”. (Paragraf 1:26) Kritik sastra merupakan salah satu bidang studi sastra. Bidang studi sastra meliputi tiga bidang studi,yakni teori sastra,sejarah sastra,dan kritik sastra(Wellek).(Paragraf 2:26)



Kritik Sastra 3.Peran dan Fungsi Kritik Sastra 4.Esai dan Kritik Sastra 5.Ruang Lingkup Kajian Kritik Sastra



50



56 58



Teori sastra ialah bidang studi yang membicarakan pengertian-pengertian sastra,hakekat sastra,prinsip-prinsip sastra,latar belakang sastra,jenis-jenis sastra,susunan karya sastra dan prinsip-prinsip penilaian sastra.( Paragraf 3:27) Sejarah sastra adalah bidang studi sastra yang membicarakan perkembangan sastra sejak awal sampai masa sekarang. Dalam sejarah sastra orang dapat melihat timbulnya dan tenggelamnya suatu sastra (genre).(Paragraf 4:27) Kritik sastra ialah bidang studi sastra yang membicarakan karya sastra secara langsung: menganalisis,menginterpretasi,dan menilai karya sastra. Sejarah sastra hanya dapat menjalankan tugasnya dengan baik apabila memperoleh bantuan teori sastra sebab penggolongan-penggolongan kedalam periode-periode dapat dilakukan pengetahuan tentang teori gaya,wujud,latar belakang,aliran dan sebagainya.( Paragraf 5: 27) Pengertian kritik sastra selalu berubah (Wellek). Jadi,di Inggris dan Amerika “Criticism” (=kritik sastra)sama artinya dengan teori sastra seperti dalam buku karangan Graham Houghdan buku Northrop Frye. Graham Hough memasukkan semua bidang studi sastra yang membicarakan tentang interpretasi,jenis sastra:prosa dan puisi,novel dan sejarah sastra,dan sebagainya. Menurut Frye kritik sastra kesarjanaan yang berhubungan dengan kesustraan yang merupakan bagian dari liberal, kebudayaan, atau studi humanitis. Tetapi menurut Wellek “penggunaan istilah kritik sastra meliputi teori sastra itu”.(Paragraf 6 :28) Setelah menguraikan istilah kritik sastra yang artinya meluas maka Wellek mengemukakan bahwa “teori sastra”tampaknya lebih baik daripada “poetika”karena meliputi prosa dan puisi berbeda dengan kritik sastra sebagai studi karya sastra yang konkret dengan tekanan pada penilaiannya.( Paragraf 7:28) Dalam kesusastraan Indonesia modern ada istilah: ulasan, bahasan, kupasan, telaah sastra, sorotan, analisis, digunakan kritik sastra. Pengertian kritik sastra di Indonesia adalah studi sastra yang langsung berhubungan dengan karya sastra yang konkret.( Paragraf 8 :29) Jassin mendefinisikan kritik sastra adalah pertimbangan baik atau buruknya karya sastra,penerangan dan penghakiman karya sastra dan diterapkan oleh Jassin dalam bukunya ”analisis”dan Kesustraan Indonesia Modern dalam kritik dan esai.(Paragraf 9:29) Kritik sastra berarti penghakiman karya sastra yang berarti menetukan baik atau buruknya karya sastra. Apa yang dikemukakan Jassin sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Hudson. Istilah kritik adalah penghakiman yang dilakukan oleh seorang kritikus. Kritikus dipandang sebagai seorang ahli yang memiliki kepandaian khusus membedah karya sastra dan memeriksa karya sastra mengenai kebaikan dan kelemahannya. (Paragraf 10:29) Sastra adalah bidang studi sastra untuk “menghakimi’’karya sastra,memberi “penilaian’’dan “keputusan’’ mengenai bermutu sastra atau tidaknya suatu karya sastra diuraikan,diperiksa satu persatu.(Paragraf 11:29) Menurut Abrams kritik sastra adalah studi yang berhubungan dengan pendefinisan,penggolongan,penguraian,dan penilaian karya satra.(Paragraf 12:30) Dalam melakukan kritik terhadap sebuah karya sastra,kritikus menetapkan pengertian,menggolongkan,menguraikan sebuah karya kedalam unsur-unsur



pembentukannya disertai tafsiran-tafsiran dan menerangkan karya sastra yang di kritik tersebut. (Paragraf 13:30) 2. Sejarah Kritik Sastra 2.1 Eropa Kritik sastra memulai sejarahnya di Yunani,dan sudah mencapai puncak perkembangannya dan mulai menurun.( Paragraf 1:31) Kritikus sastra Yunani klasik yang mula-mula kita kenal adalah Plato. Dalam karyanya yang sangan terkenal “republic”,Plato (ahli bahasa, filsafat, musik, keolahragaan), mengemukakan pandangannya tentang puisi,kritik sastra dan sistem yang baik untuk membina warga republik.(Paragraf 2:31) Aeschylus Aristophanes mempertentangkan antara karya sastra yang bernilai seni. Plato mengemukakan pendapatnya tentang karya sastra yang baik sebagai berikut: (Paragraf 3:31) ”Setiap karya ssatra yang baik harus mengandung tiga unsur,yakni (1) memberi ajaran moral yang lebih tinggi, (2) memberi kenikmatan, dan (3) memberikan ketetapan dalam wujud pengungkapannya”.( Paragraf 4:32) Kritik sastra di Yunani makin berkembang dengan tampilnya Aristoteles murid Plato,pandangannya tentang kesusatraan sering bertentangan dengan gurunya. Pendapat Aristoles dapat kita baca daalam “poetica”. Teori-teori yang dikemukakan dalam poetica ini sangat berpengaruh sampai abad ke20.(Paragraf 5: 32) Menurut Aristoteles,fungsi utama puisi ialah memberi kesenangan atau kenikmatan. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat umum pada masa itu.(Paragraf 6:32) Setelah 600 tahun wafatnya Aristoteles,lahir kritikus terkenal yang bernama Dionysius Cassius Longinus dengan karya kritik sastranya berjudul “tentang keagungan”. Buku ini sangat terkenal dan berisi pedoman retorika. Selanjutnya Longinus menjelaskan ke-sublim-an yang sejati sebagai berikut: (Paragraf 7:32) “Suatu karya sastra yangbenar-benar agung adalah karya sastra yang memberikan santapan renungan,yang menarik tanpa kemauan kita,yang meninggalkan kesan yang tak terhapuskan dari sanubari kita. Karya sastra yang indah ialah karya yang menyenangkan manusia. Hal ini adalah jaminan yang terbaik karya sastra”.(Paragraf 8:33) D.C.Longinus adalah kritikus yang termasyur. Ia dianggap pelopor kritik gaya dan perintis lahirnya suatu ilmu yang kemudian dengan nama “Estetika”. (Paragraf 9:33) Selanjutnya kritikus yang paling terkenal adalah Quintus Horatius Placus. Menurut Horatius,penyair adalah pengajar. Oleh karena itu penyair harus memberi pengajaran melalui puisinya. (Paragraf 10:33) Pada abad pertengahan lahir sebuah epos termasyur “Divina Commedia”,hasil karya Dante Alighieri yang terkenal sebagai pelopor pengguna bahasa daerah menyerukan agar penyair menulis dalam bahasa daerah. Kemudian lahirlah karangannya yang berjudul ”Tentang Bahasa Daerah”. (Paragraf 11:34) Pada zaman Renaissance para kritikus sastra memandang pusis dari segi estetika,bukan dari segi moral. Meskipun pada zaman ini timbul beranek aragam pendirian,tetapi memiliki satu kecenderungan yang sama,yakni “berusaha menilai sastra dengan akal budi dan kecintaan akan keindahan”.



(Paragraf 12:34) Pada sastra klasik,kritik sastra bersifat memberi penerangan dan penghakiman,sedang zaman Renaissance kritik sastra bersifat memberi pengajaran asas tertentu. (Paragraf 13:34) Pada zaman ini terbit buku kritik yang lengkap berjudul “Criticus”hasil karya Julius Caesar Scalinger. Dalam poetica, Scalinger meneliti dan membandingkan antara pujangga-pujangga Yunani dan Latin dengan titik berat pada usaha pertimbangan. Berkat usahanya Scalinger mendapat gelar kritikus besar dikalangan para sastrawan Prancis. (Paragraf 14:34) Penyair dan kritikus sastra yang terkenal pada abad ke-17 di Prancis adalah Boileau. Bukunya yang berjudul L’Art Poetique menjadi sumber terbitnya Karya Pope (Penyair Inggris)yang berjudul “Essay on Criticism”. (Paragraf 15:35) Di Inggris pada abad -17 “Bapak prosa Inggris”dan “Bapak Kritik Sastra Inggris”ialah dramawan,penyair,kritikus, sastra John Dryden. Karya Dryden yang terkenal ialah (1)”Esai tentang Puisi Dramatik” berbentuk percakapan antara 4 tokoh tentang puisi dramatic.(2)The Preface to the Fables memuat pendapat-pendapat Dryden tentang tokoh-tokoh sastra dunia. (Paragraf 16:35) Kritik sastra tumbuh dan berkembang menjadi satu tradisi yang kokoh. Kritikus terkenal di Prancis pada masa ini Voltaire yang berpendapat “sajak adalah musik jiwa penyairnya”dan “puisi harus mempunyai kejelasan dan kemurnian seperti yang terdapat dalam prosa; sajak yang tak dapat mengatakan sesuatu dengan lebih cepat dan baik dari prosa, adalah sajak yang jelek” (Liaw Yock Fang). (Paragraf 17:35) Pada abad 18 di Inggris kritik sastra berkembang pesat. Tokoh terpenting adalah Samuel Johnson,ia berpendapat bahwa sastra harus memberi pelajaran yang berfaedah bagi pembacanya. Ia mengatakan bila suatu karya sastra akan diteliti,harus dibandingkan dengan keadaan zaman dan masyarakat tempat pengarang itu hidup. (Paragraf 18:35) Kritik sastra berkembang sejajar dengan tumbuhnya aliran Romantisme. Penyair juga kritikus yang beraliran romantisme di Inggris yang terkenal adalah (1)William words,(2)Samuel Tylor Colaridge. Wordswoth mencetuskan gagasan yang revolusioner,yakni memilih tema bagi sajaksajaknya dan diungkapkan dalam bahasa sehari-hari. (Paragraf 19:36) Karya sastra Wordswoth berwujud kumpulan sajak. Samuel Tylor Coloridge menyokong gagasan-gagasan Wordswoth. Tetapi tidak semua pandangan Wordswoth disetujui,melainkan Ia mendefinisikan sajak sebagai berikut: (Paragraf 20:36) “Sajak ialah sejenis karangan yang berlawanan dengan karya sains. Sajak bertujuan memberi kesenangan secara langsung”. (Paragraf 21:36) Geothe adalah orang pertama yang menggunakan istilah “Sastra dunia”. Ia berpendapat bahwa sastra kebangsaan tidak ada artinya. Kata Gothe: “Kesusastraan yang tidak diperkaya oles sastra asing adalah sastra yang mati”. (Paragraf 22:37) Pada abad ke-20 kritik sastravterus berkembang. Berbagai aliran kesusastraan bermunculan dan jenis-jenis kritik sastra lahir. (Paragraf 23:37) a. Kritik Sastra Ilmiah Kritik Sastra Ilmiah ialah kritik sastra yang dilahirkan oleh para sarjana atau guru besar di Universitas dan berkembang pesat pada abad 19 ini



terutama di Universitas-universitas Inggris. (Paragraf 1:37) Kritik sastra karya Caroline Spurgeon,guru besar bahasa Inggris di London university,membahas karya-karya Shakespeare berjudul “Image Shakespeare”. Melalui karya-karyanya Caroline berusaha menerka pribadi Shakespeare lewat image-image yang digunakannya. (Paragraf 2:37). Johan Living Stone Lowes dari Harvard University menganalisis image dalam karya-karya Coleridge. Judul kritiknya “Jalan ke Xanadu,Studi tentang imajinasi”. (Paragraf 3:38) b. Kritik Sastra dalam Tinjauan Psikologis Kritik sastra yang berdasarkan tinjauan psikologis muncul,berkembang dan berpengarus besar dalam abad ini. (Paragraf 1:38) Kritikus-kritikus yang secara sadar atau tidak sadar menggunakan ilmu psikologi ialah,Aristoteles,Longinus,Coloridge. (Paragraf 2:38) Tokoh kritikus sastra yang terkenal dalam ilmu psikologi dalam ialah Sigmund Freud, karyanya yang berjudul “Tafsir mimpi”membicarakan tentang kritik sastra yang beraliran “psychoanalysis’’. (Paragraf 3:38) Kritikus sastra yang beraliran psikologi dan sangat berpengaruh hingga sekarang ialah: 1) Ernest Jone,seorang sarjana Amerika 2) Robert Graves,penyair Inggris 3) T.S.Eliot,penyair agung Inggris 4) I.A. Richard,seorang sarjana kritikus sastra Inggris.(Paragraf 4:39) “Principles of Literary Criticism” menguraikan tentang sifat-sifat puisi,tentang imajinasi dan tentang analisis puisi. Richard berpendapat: (Paragraf 5:40) “Sebuah puisi suatu berpengalaman yang terbatas,yang rapuh jika dicampuri unsur lain dan bersifat komunikatif”.(Paragraf 6:40). “Kritik sastra bertujuan membeda-bedakan pengalaman serta memberi penilaian.(Paragraf 7:40) “Pratical Criticism”bertujuan mempelajari bagaimana seorang pembaca membaca puisi. Richard berkesimpulan bahwa “unsur-unsur puisi ialah (1) arti, (2) perasaan, (3) nada dan (4) maksud. Richard menjelaskan bahwa dalam membaca puisi,kita harus bertanya ‘’apa yang hendak dikemukakan penyair” karena seorang penyair belum tentu berhasil mengemukakan apa yang terkandung dalam hatinya. (Paragraf:41) Perkembangan kritik sastra terlihat di Amerika yang menyebut dirinya “kritik baru”. Tokoh-tokohnya antara lain David Daiches,Jozeph T.Shipley,John Crowe Ransom. Mereka berpendapat bahwa untuk menikmati karya,kita harus membaca karya sastra. 2.2 Di Indonesia Kritik sastra di Indonesia dikenal setelah budayan dan sastrawan mengenyam pendidikan Barat. Sebelumnya penilaian karya sastra dalam hubungan kepercayaan,agama dan mistik. Pendidikan Barat membuka mata para sastrawan dan budayawan umumnya,bahwa sastra tidak sepenuhnya ditautkan dengan dunia keagamaan. Hal ini menimbulkan minat dalam



membaca dan mempelajari permasalahan esai dan kritik yang berkembang pesat di negara-negara lain.(Paragraf 1:41) Pada mulanya istilah kritik kurang disukai dan dihindari karena “tajam sekali bunyi perkataan itu” dan dipandang selalu “merusakkan”,”mematikan”.(Paragraf 2:42) Meskipun sastrawan Indonesia belum menerima istilah kritik sastra,mereka memiliki pengertian yang cukup mendalam tentang kritik sastra. Karangankarangan tentang persoalan-persoalan dimuat dalam Majalah Pujangga Baru merupakan bukti mereka memang mengerti dan menyadari pentingnya kritik sastra. Karangan-karangan Sultan Takbir Alisyahbana dan Armyn Pane tentang sastra lama dan baru. (Paragraf 3:42) Kedudukan istilah kritik sastra dan pengertiannya kokoh terutama setelah Jassin menerbitkan karangan-karangannya (pidato radio) mengenai kesusastraan yang diberi judul “Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai”, yang kemudian dikembangkan menjadi 4 jilid dengan judul “Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai”. (Paragraf 4:43) Buku kritik sastra yang lain yang patut disebut adalah Pokok dan Tokoh karya Teeuw, yang banyak menaruh minat terhadap kesusastraan Indonesia. Setelah itu muncullah kritik-kritik sastra yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh lebih muda. Dari karangan sastrawan bermunculan karya-karya kritik sastra. Sedangkan tulisan-tulisan tentang kritik sastra tidak terbatas pada beberapa buku kritik dan esai, meluas pada pemanfaatan massa media. Majalah sastra dan budaya yang memuat kritik sastra adalah Mimbar Indonesia, Siasat Indonesia, Budaya, Horison sedangkan surat kabar, seperti Sinar Harapan, Kompas, Indonesia Raya dan Merdeka. (Paragraf 5:43) Dalam sejarah kritik sastra pernah tumbuh beberapa perbincangan tentang berbagai masalah antara lain:  



1.



2. 3. 4. 5.



Masalah seni untuk seni atau seni untuk masyarakat. Masalah orientasi kebarat atau ketimur, yang dimulai oleh kelompok pujangga baru.  Masalah keuniversalan atau kenasionalan pernah pula menjadi topik perbincangan disekitar lima puluhan. (Paragraf 6:44) Perbincangan antara satu generasi angkatan dengan angkatan sebelumnya, misalnya, antra Chairil Anwar dengan Asrul Sani dengan tokoh-tokoh Angkatan Pujangga Baru. Perdebatan tentang ada atau tidaknya suatu angkatan setelah Angkatan 54, terutama setelah Jassin memproklamasikan lahirnya “Angkatan 66”. Perdebatan tentang ada atau tidaknya “Krisis dalam kesusastraan Indonesia, yang pernah tejadi pada lima pulihan Perdebatan mengenai metode kritik, khususnya tentang kritik Analitik versus Ganzheit pada penghujung enam puluhan. Tulisan-tulisan tentang kritik sastra dapat kita jumpai dalam berbagai susrat kabar di dalam majalah sastra, seperti Horison. Kalaupun tampak sedikit kelesuan tentang kelahiran buku-buku kritik sastra, harus diakui bahwa kegiayan penciptaan sastra dan minat baca sastra di kalangan masyarakat



tampaknya menunjukkan tendensi meningkat tentang perdebatan sastra yang berkembang sekarang kelihatannya tidak memiliki “api” sebagaimana yang kita kenal dahulu, Muhammad (1980) dalam bukunya Seks, Sastra Kita, mengajukan pertanyaan ini, kemudian dijawabnya sendiri. Mungkin saja keadaan tersebut timbul karena para pengunjung tidak melihat gunanya untuk berdebat tentang pendirian-pendirian yang sifatnya kritik, dan mereka langsung terjun dalam praktik penciptaan. Pendeknya keadaan kesusastraan Indonesia hari ini tampak sehat saja. Sesuatu yang kita idamkan tentulah kemajuan pertumbuhan penciptaan sastra selalu seiring sejalan dengan pertumbuhan dan kmajuan kriti sastra, karena keduanya saling memerlukan. Kekurangan pertumbuhan teori sastra dapat disebabkan karena daya beli masyarakat terhapad karya sastra dan buku-buku kritik sastra yang sangat rendah, biaya penerbitan yang terlalu tinggi atau mungkin wibawa kritikus sastra yang hilangdirenggut olrh kekuatan-kekuatan politik atau organisasi massa yang ingin menghukum suatu karya sastra dengan ukuran yang dicari dan dibuat bedasarkan kemauan politik tertentu. Salah seorang pengamat sastra Indonesia yang terkemuka, Teeeuw, dalam kertas kerjanya pada penataran sastra tahap I, mengemukakan pendapatnya tentang situasi dan masalah perkembangan teori dan kritik sastra Indonesia yang kurang memuaskan yang disebabkan oleh faktor : 1. Kurangnya majalah sastra. 2. Kritik sastra sebagai kritik kewartawanan, yaitu kritik melalui surat kabar. 3. Kekurangan pendidikan sastra. 4. Anggapan yang tersebar luas seakan-akan sastra hanya permainan 5. Kekurangan kebiasaan membaca dan penilaian rendah terhadap buku dan majalah sastra. 6. Kekuragan terjemahan karya sastra yang bermutu tinggi ke dalam bahasa Indonesia 7. Kekurangan kemampuan bahasa asing (Ingris) dan kesukaran membeli buku sastra yang penting dalam bahasa Inggris. Ketidakpuasan terhadap kritik sastra memang sering di lontarkan banyak orang, tetapii hal itu merupakan bagian dari suatu keinginan untuk melihat dan mendapatkan masa depan sastra, teori, dan kritik yang lebih baik dari sekarang. Rasa tidak puas dan perbedaan pendapat tentang kritik sastra Indonesia dengan sendirinya bermanfaat besar dalam menciptakan momentum kreatif yang diharapkan secara berangsur-angsur menumbuhkan minat banyak orang yng untuk berbuat lebih banyak dan baik pada masa datang yang singkat. Bahwa kritik kewartawanan atau kritik jurnalistik menampakkan perkembangannya yang menggembirakan. Sementara kritik akademik menunjukkan kelesuan, yang bila akan dibenarkan atau dibantah, tentu memerlukan penelaahan dan data yang memadai. Kritik akademik dilakukan dengan mengikuti metode tertentu oleh para akademis (sarjana atau calon sarjana) yang biasanya cenderung melakukan kritik sastra dengan metode “closereading” dan pendekatan filologi. Kritik jurnalistik adalah kritik yang dilakukan melaui mass media, yang memiliki halaman yang terbatas. Oleh sebab itu cenderung disesuaikan dengan masyarakat umum, sehingga pembicaraan selayang pandang tentang aspek tertentu.



Kritik akademik kesusatraan Indonesia dilakukan secara serius dalam tahun lima puluhan dengan terbitnya buku Teeuw: Pokok dan Tokoh, kemudian karya Jassin: Kesusstraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai. Kedua tokoh ini amat berjasadalam mengembangkan tradisi kritik akademik di Indonesia. Pengembangan lebih lanjut terjadi dengan bantuan dan dorongan Jassin, yang diterbitkannya beberapa skripsi yang ditulis oleh para calon sarjana atau sarjana muda dari Universitas Indonesia. Kecenderungan kalangan sarjana sastra untuk menggunakan pendekatan struktural itu secara eksplisit terungkap dalam dalam suatu pertemuan atau diskusi yang diselenggarakan di Gedung Balai Budaya, Jakarta, pada 31 Oktober 1968. Metode analitik ini kemudian lebih populer dengan nama Aliran Rawamangun; tokoh-tokohnya antara lain M.Saleh Saad, Lukman Ali, S. Effenfi, M.S. Hutagalung. Aliran ini mendapat tantangan dari Gunawan Muhammad dan Arief Budiman, mereka beranggapan bahwa kritik sastra analitik cenderung untuk “memperkosa” hakikat sastra, dan mereka mengetenngahkan metode Ganzheit dalam kritik seni. Metode ini cenderung menggunakan pendekatan reseptif yang lebih menekankan kesan pada yang diterima secara totalitas. Meskipun pengkajian akademik kesusastraan di Indonesia telah memberikan sumbangan yang besar kepada berbagai masalah kesusastraan di Indonesia, pada dasarnya pengkajian akademik yang ada itu masih berada pada tahap awal, yang memerlukan pengembangan lebih lanjut. Tentang metode sastra tidak perlu dipersoalkan apakah kritik Aliran Rawamanngun atau kritik Ganzheit yang benar, yang penting mutu kritik sastra harus ditingkatkan, sebagaimana juga pendekatannya. 3. Peran dan Fungsi Kritik Sastra Tugas seorang kritikus juga menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan sebuah karya sastra iu baik atau buruk. Kehadiran sebuah karya sastra akan mengait beberapa pihak. Pencipta, yang menghadirkan karya sastra, penikmat (pembaca) yang langsung menggunakan karya sastra itu dan penelaah karya sastra (krtikus) yang berusaha mengembangkan ilmu sastra saling berhubungan erat dan saling memberi dorongan. Tetapi adakalanya terjadi jurang pemisah antara karya sastra yang sudah diciptakan dengan pembacanya (penikmat). Sebuah karya sastra yang telah diciptakan pengarang belum tentu langsung dapat dnikmati oleh pembaca, dikarenakan bermacam-macam sebab, antara lain: 1. Pembaca kurang siap membaca karya sastra, kurang pengetahuan dan kurang peka akan estetika. 2. Karya sastra yang dibaca tidak memenuhi syarat sebagai karya sastra yang baik . 3. Bahasa pengarang kadang menghambat pemahaman karya pembaca Dalam keadaan seperti di atas ada jurang pemisah antara pencipta dan penikmat (karya sastra yang tidak dapat dipahami atau dinikmati pembaca). Kritikus bertindal sebagai guru atau juru penerang, agar pembaca memahami maksud pengarang, dengan jalan menunjukkan kelebihan dan kekurangan sebuah karya sastra. Tugas utama para kritikus menjelaskan apa yang hendak diekspresikan oleh pengarang. Memang kritik sastra berfungsi dan bertugas membimbing serta mempertinggi dalam kritik masyarakat (penikmat) akan karya-karya



yang dibacanya. Kritik sastra juga berperan sebagai peningkat apresiasi sastra di tengah masyarakat. Dengan analisis dan tafsirannya terhadap sebuah karya sastra, pembaca memperoleh petunjuk mencintai dan menghargai karya sastra sebagaimana mestinya. Tugas utama kritik sastra menentukan penilaian, dan menentukan karya sastra yang bernilai dan yang tidak bernilai. Peran ini sekaligus menunjuk fungsi kritik sastra, yakni sebagai pemberi bahan-bahan berharga bagi penyusunan sejarah sastra dan teori sastra. Fungsi kritik sastra sebagai alat penilai, mempunyai akibat-akibat lebih jauh bagi perkembangan hidup seni sastra. Kritik sastra juga merupakan petunjuk bagi pengarang muda yang ingin mengembangkan bakatnya. Kritik sastra sangat penting bagi para pengarang. Dengan kritik sastra, para pengarang menyadari kelebihan dan kekurangan karyanya. Pada umumnya pengarang tidak dapat menilai karyanya secara objektif. Kritik sastra yang baik dapat menunjukkan daerah-daerah baru yang belum pernah dibicarakakn dalam seni sastra. Kritikus sastra bertindak sebagai pelatih, sehingga nilai dan kualitas karya pengarang meningkat. Ada dua hal yang dapat dilakukan oleh kritikus sastra yaitu, pertama menjelaskan dan menafsirkan katya sastra, dan kedua memberikan penilaian terhadap karya sastra tersebut. Seorang kritikus juga memerlukan kecakapan atau keterampilan mengungkapkan kekmbali pengalaman estetik dari karya sastra yang sedang dibicarakannya. Kritik meupakan pengungkapan kembali hasil sebuah karya sastra. Dalam menjalan kan tugasnya, kritikus mengamati dengan teliti, membandingkan dengan tepat, mempertimbangkan dengan adil baik buruknya kualitas, nilai, dan kebenaran suatu karya sastra. Nilai sebuah karya sastra juga sering menimbulkan pro dan kontra terhadap pengarang. Kehadiran bentuk baru mengundang berbagai reaksi dan sering menimbulkan polemik, contohnya Novel Belenggu pertama kali terbit menimbulkan kecaman. Demikian juga dengan puisi-puisi Chairil Anwar, walaupun akhir disanjung sebagai karya yang bermutu dan dianggap sebagai pembawa pembaharuan. Kecaman ini juga dilontarkan kepada puisi-puisi Sutardji, novel Iwan Simatupang, karya Rendra, Putu Wijaya, drama Arifin C.Noor. Dari uraian di atas ternyata sebuah karya sastra yang belum sepenuhnya dimengerti atau sulit diapahami menimbulkan problem. Hal ini timbul karena idiom yang digunakan berbeda dengan yang sudah ada, realitas yang diungkapkan juga berbeda. Seperti juga karya seni lainnya, karya sastra lahir bukan hanya dimengerti, melainkan untuk dinikmati. Peminat sastra yang baik berusaha mengungkapkan segala sesuatu yang terselubung dari karya sastra yang dibacanya. Hasil pengungkapan itu berupa jawaban yang menyangkut makna, nilai, hakikat dari karya sastra. Jawaban itu tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk pembaca lainnya. Seorang kritikus sastra yang baik tidak hanya terpukau terhadap apa yang sedang dinikmati atau dihayatinya, tetapi dengan kemampuan rasional, berkat pengalamannya ia mampu membuat penafsiran-penafsiran sehingga karya sastra itu datang secara utuh. Sumbangan pikiran dan analisis yang baik akan menumbuhkan minat pembaca untuk menikmati karya sastra. Kritik sastra berperan sebagai



jembatan penghubung antara karya sastra dan penikmat sastra. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik sastra berfungsi sebagai : 1. Membina dan mengembangkan sastra. Melalui kritik sastra, kritikus berusaha menunjukkan struktur sebuah karya sastra, memberikan penilaian, menunjukkan kekuatan dan kelemahannya serta memberikan alternatif untuk pengembangan karya sastra tersebut. 2. Membina apresiasi sastra Para kritikus berusaha membantu para peminat karya sastra memahami sebuah karya sastra. Analisis struktur sastra, komentar, dan interpretasi, menjelaskan unsur-unsurnya , serta menunjukkan unsur-unsur yang tersirat dan tersurat, akan meningkatkan apresiasi sastra. 3. Menjunjung ilmu sastra Kritik sastra merupakan wadah analisis karya sastra., analisis struktur cerita, gaya bahasa, dan teknik penceritaan. Para pengarang pun dapat belajar melalui kritik sastra dalam memperluas pandangannya, sehingga ciptaannya lebih berkembang. Selain itu kritik sastra memberikan sumbangan kepada sejarah sastra. Apabila tidak menunjukkan nilai sastra, maka karya tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam rangkaian perkembangan karya sastra. Kritik sastra berfungsi apabila: 1.) Berupaya membangun dan meningkatkan sastra. 2.) Melakukan kritik secara objektif. 3.) Mampu memperbaiki cara berpikir, cara hidup, dan cara bekerja para sastrawan. 4.) Dapat menyesuaikan diri dengan ruang lingkup kebudayaan dan tata nilai yang berlaku. 5.) Dapat membimbing pembaca berpikir kritis dan dapat meningkatkan apresiasi sastra masyarakat. 4. Esai dan Kritik Sastra Pada umumnya orang beranggapan esai itu kritik sastra juga. Sehingga mereka sulit untuk membedakan antara kritik dan esai. Dalam buku Tifa Penyair dan Daerhanya, Jassin menyatakan esai bermula darioikiran yang kritis dan sikap jiwa yang kritis. Esai membicarakan bemacam ragam, tidak tersusun secara teratur tetapi seperti diperlihat keinginan, sikap terhadap soal yang dibicarakan, kadang-kadang terhadap kehidupan seluruhnya (Jassin, 1983). Arief Budiman berpendapat esai adalah karangan yang sedang penjangnya yang membahas persoalan secara mudah dan sepintas lalu dalam bentuk prosa. Dalam esai yang utama bukanlah pokok persoalan, tetapi cara pengarang mengemukakan pokok persoalan. Esai tidak memecahkan persoalan tetapi melukiskan persoalan. Dalam buku Peristiwa Sastra Indonesia, Soetarno menyatakan, esai adalah karangan pendek mengenai suatu masalah yang kebetulan menarik perhatian untuk diselidiki dan dibahas. Pengarang mengekukakan pendiriannya, pikiran, cita-cita atau sikap tehadap soal yang disajikan. Sedangkan Sujana berpendapat bahwa esai merupakan kupasan tentang suatu ciptaan, tentang sesatu soal, masalah, pendapat, ideologi dengan panjang lebar. Setelah dipelajari secara mendalam tentang kritik dan esai, maka dapat



dilihat perbedaan antara esai dan kritik. Kritik merupakan penilaian terhadap sebuah karya sastra melalui suatu proses dengan menggunakan kriteria tertentu, sehingga dapat mengungkapkan kelemahan-kelemahan serta kelebihan-kelebihan dari sebuah karya sastra dengan mengemukakan alasanalasannya dan mengusulkan pebaikan-perbaikannya. Sedangkan esai hanya mengemukakan masalah atau persoalan kepada khayalak ramai, dan bagaimana penyelesaian masalah tersebut terserah para pembaca. 5. Ruang Lingkup Kajian Kritik Sastra 1. Pengertian kritik sastra 2. Pengertian kritik sastra Indonesia 3. Sejarah kritik sastra Indonesia 4. Peran dan fungsi kritik sastra 5. Macam-macam kritik sastra 6. Metode kritik sastra 7. Penulisan kritik sastra 8. Penilaian kritik sastra



KOMENTAR:



BAB V SASTRA PERBANDIN GAN CABANG ILMU SASTRA 1.Pengertian Sastra Perbandingan 2.Sejarah Sastra Perbandingan 3.Tujuan Sastra Perbandingan 4.Ruang Lingkup Kajian Sastra Perbandingan



59



59



65



72



73



Bahasa yang digunakan pengarang sangat mudah dimengerti pembaca. Pengarang juga memberikan beberapa pengertian sastra secara lebih rinci dan disertai dengan pendapat para ahli sehingga lebih terpercaya. BAB 5 SASTRA PERBANDINGAN CABANG ILMU SASTRA 1. Pengertian Sastra Perbandingan Sastra Perbandingan telah didefinisikan oleh pakar sastra dalam kamus dan buku.Diuraikan pengertian sastra perbandingan secara sederhana dan secara luas.(paragraf 1:59) Sastra perbandingan bersinonim dengan comparative literature dalam bahasa Inggris,literature comparative bahasa Perancis.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,Depdikbud (1998:786),sastra perbandingan telaah dan analisis terhadap kemiripan dan pertalian antara karya sastra berbagai bangsa.Dalam Kamus Istilah Sastra,Sudjiman berpengertian sastra bandingan membandingkan sastra sebuah Negara dengan sastra Negara lain membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan.(paragraf 2:60) Dalam Kamus Istilah Sastra,Zaidan,dkk berpengertian sastra bandingan telaah atau analisis terhadap kesamaan dan pertalian karya sastra berbagai bahasa dan bangsa.Dalam Leksikon Sastra,Yusuf,penerbit Masdar Maju berpengertian bahwa sastra perbandingan studi terhadap berbagai karya sastra dunia dengan cara membandingkannya sehingga diperoleh persamaan atau perbedaan dalam penokohan alur cerita,isi pesannya.(paragraf 3 :60) Dalam Kesustraan Malaysia Modern, Pustaka Jaya, Maman S. Mahayana berpengertian bahwa membandingkan dua karya sastra atau lebih dari dua negara yang berbeda dalam studi sastra termasuk wilayah sastra perbandingan,syarat karya sastra yang akan dibandingkan setidaknya mempunyai tiga perbedaan yang menyangkut perbedaan bahasa wilayah dan politik.Dari perbedaan tersebut dapat perbedaan latar belakang social budaya(lokasi,tradisi,dan pengarah) yang melingkari diri masing-masing pengarang akan tercermin dalam karyanya.(paragraf 4:60) Dalam Teori Kesustraan,Wellek dan Warren,Gramedia,berpengertian



bahwa sastra perbandingan sebagai berikut: Pertama,Sastra perbandingan kegiatan mempelajari lisan terutama cerita rakyat dan penyebarannya menelusuri waktu penulisan sastra lisan menjadi karya yang artistic. Menyangkut wilayah folklore yaitu suatu cabang pengetahuan yang lebih memperhatikan keseluruhan keduanya “folk” seperti kostum adat istiadat, kepercayaan, kesenian dan peralatannya.(paragraf 5:61) Kedua,sastra perbandingan kegiatan sastra yang menghubungkan dua kesustraan atau lebih,dipelopori oleh sekelompok ilmuwan Prancis yang disebut comparatistes.Kegiatan telaah sastra perbandingan mengangkat pengaruh sumber ilham,reputasi,dan ketenaran pengarang tertentu di berbagai wilayah kesustraan misalnya telaah sastra barat,dibandingkan ketenaran Goethe dalam kesustraan Prancis dan Goethe dalam kesustraan Inggris.Demikian juga ketenaran Shakespears dalam kesustraan di Prancis dan Shakespears dalam kesustraan di inggris serta pengaruh mereka terhadap pengarang lainnya.(paragraf 6:61) Ketiga,sastra perbandingan kegiatan membicarakan sastra secara menyeluruh dengan membicarakan sastra dunia,sastra universal atau umum dan mempelajari sastra kelima benua dalam setiap Negara akan menampilkan peranan yang sangat penting dalam pentas dunia. (paragraf 7:61) Dalam Sastra Bandingan, Ruang Lingkup dan Metode, Kasim berpengertian bahwa sastra bandingan sebagai suatu kajian yang mencakup perbandingan karya sastra dari sastra nasional yang berbeda, hubungan antara karya-karya sastra dengan ilmu pengetahuan, agama, kepercayaan dan karya-karya seni serta pembicaraan mengenai teori, sejarah dan kritik sastra.(paragraf 8 :61) Dalam Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern,Yayasan Obor Indonesia,Seri Antologi Sastra berpengertian bahwa sastra perbandingan suatu kegiatan perbandingan dua karya atau lebih dari dua Negara yang berbeda dan dilakukan secara sistematis.(paragraf 9:62) Dalam sastra Perbandingan Kaidah dan Perspektif,Dewan Bahasa dan Pustaka,Kuala Lumpur diedit oleh Newton dan Hars Frent memuat makalah Henry H.H.Remak,Sastra Bandingan,Takrif dan Fungsi.Remak berpengertian bahwa sastra perbandingan kajian sastra di luar batas sebuah Negara dan kajian tentang hubungan sastra dengan bidang ilmu,kepecayaan lain,seni falsafah,sejarah,sains,social (politik, ekonomi, sosiologi), agama.Sastra perbandingan membandingkan dengan sastra negara lain dan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan. (paragraf 10:62) Dalam Penghantar Ilmu Sastra,Gramedia,Luxemberg,Mieke,dan William diterjemahkan oleh Hartoko berpengertian bahwa sastra perbandingan meneliti sastra dalam kerangka supranasional,sastra perbandingan yang mempelajari gejala-gejala sastra konkret yang berkaitan pada gejala-gejala atau fenomena.(paragraf 11:62) Helma berpengertian bahwa sastra bandingan,studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan mengetahui dan menganalisis hubungan,pengaruh antara karya yang satu dengan karya yang lain.(paragraf 12:62) Dalam Kamus Websters,sastra bandingan telaah timbal balik karya sastra dari dua benua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan bahasanya,dan terutama berpengaruh pada karya sastra yang satu terhadap karya sastra lain.(paragraf 13:63) Berdasarkan kutipan pengertian sastra perbandingan dari beberapa kamus



dan buku dapat disimpulkan sebagai berikut : 1)Sastra Perbandingan kegiatan membandingkan dua karya sastra atau lebih dari dua,lebih suatu bangsa dan Negara. 2) Sastra Perbandingan kegiatan membandingkan sastra lisan dengan sastra lisan atau sastra tulis dengan sastra tulis dari berbagai bangsa di lima benua. 3) Sastra Perbandingan kegiatan membandingkan sastra dunia. 4) Sastra Perbandingan kegiatan sastra yang menelaah hubungan sastra dengan bidang ilmu lainnya. 5) Sastra Perbandingan kegiatan membandingkan dua karya sastra atau lebih dari dua Negara yang saling memengaruhi.(paragraf 14:63) Terdapat dua istilah dari pengertian sastra perbandingan,yaitu sastra dunia, sastra nasional. Sastra dunia adalah sastra yang menjadi milik berbagai bangsa di dunia dank arena penyilangan gagasan yang timbal balik,memperkaya kehidupan manusia.(paragraf 15:63) Pengertian lain sastra dunia adalah world literature,karya yang mempunyai sifat-sifat,pemikiran,gagasan dan pesan-pesan yang universal dan dapat diterima oleh semua bangsa di dunia.Karya sastra yang telah menjadi milik dunia dan memperkaya kehidupan bangsa-bangsa di dunia.(paragraf 16:64) Pengertian sastra nasional secara umum hasil karya sastra suatu bangsa.Sastra nasional ditulis dalam bahasa nasional dan bertema universal,didasarkan politik.Batas politik dijadikan garis batas suatu kesustraan,misalnya sastra Inggris dan sastra Amerika Serikat.Keduanya dianggap sebagai dua kesatuan sastra yang terpisah sama seperti sastra Indonesia dan sastra Malaysia.(paragraf 17 :64) Peran sastra dunia dan sastra nasional tidak dapat diabaikan dalam sastra perbandingan.Sastra nasional menimbulkan sastra dunia,sastra dunia merupakan syarat kajian sastra perbandingan.(paragraf 18:64) Penguasaan berbagai karya sastra nasional akan mempermudah kajian sastra perbandingan.Sastra nasional yang komprehensif akan lebih mendalam penelaahan sastra perbandingan.(paragraf 19:64) Dalam Kajian sastra perbandingan,sastra dunia dan sastra nasional menjadi obyeknya.Setiap karya sastra klasik,modern dan kontemporer menjadi pengkajiannya.(paragraf 20:64) Dalam sastra perbandingan kajian dilakukan dengan dua karya sastra, misalnya dua puisi dan sastra nasional yang berbeda atau dapat menelaah hanya dua karya sastra nasional.(paragraf 21:64) 2. Sejarah Sastra Perbandingan Lahirnya sastra perbandingan sebagai satu disiplin ilmu pengetahuan yang proses nya melalui beberapa tahap sejarah perkembangan pemikiran.Lahirnya sastra perbandingan telah membuka ruang dan waktu kepada kajian sastra perbandingan menjadi lebih menarik dan bersifat global.(paragraf 1:65) Sastra perbandingan bermula sejak abad 19 di Eropa, khususnya Prancis dan Inggris.Istilah sastra perbandingan dalam bahasa Prancis adalah histoire comparative,di Jerman istilah yang digunakan vergleischen de literature gesichte.(paragraf 2 :65) Terjadi perubahan pandangan yang semula hanya berfokus pada sastra nasional Eropa kemudian ke sastra yang lebih bersifat universal atau sastra dunia,hal ini terjadi karena pengaruh revolusi Prancis.Para sejarahwan dan kritikus sastra tidak lagi memusatkan perhatian pada kesustraan bangsanya tetapi mengkaji kemungkinan adanya kaitan antara satu kesustraan dengan



kesustraan lainnya.(paragraf 3:65) Bapak sastra perbandingan di Prancis Abel Francois Villemin dan J.J.Ampere.Villemin memberikan makalahnya dan dilakukan pengamatan oleh para penulis Abad 18 Prancis.Kemudian Ampere menggantikan Villemin di Sorbonne.Walaupun demikian,sastra perbandingan belum merupakan suatu disiplin ilmu.(paragraf 4:66) Muncul mazhab Prancis.Karya sastra diteliti dengan karya sastra lainnya.Mazhab mempertimbangkan aspek linguistic, pertukaran, gagasan, feeling dan nasionalisme.Mazhab lebih menekankan aspek intrinsik karya sastra.(paragraf 5 :66) Kemudian,muncul sastra perbandingan sebagai suatu displin ilmu di Prancis pada 1897.Pemimpinnya Joseph Texte di Universitas Sorborne lalu Universitas Lyons.(paragraf 6 :66) Di Jerman,sastra perbandingan sebagai suatu displin ilmu dimulai pada 1920-an di beberapa universitas.Di Negeri Belanda perintis sastra perbandingan William de Clerq pada 1824.(paragraf 7:66) Sastra perbandingan kemudian berkembang di Amerika,sejak abad 20.Menelaah beberapa tokoh sastra perbandingan antara lain Frank Wadleight Chandler,George Woodberry,Rene Wellek dan Austin Warren,Harry H,dan H.Remak.(paragraf 8 :66) Sastra perbandingan di Amerika lebih bersifat terbuka,tidak hanya mengkaji,persamaan perbedaan dan pengaruh seperti mazhab Prancis.Pengkajian sastra perbandingan lebih memperdulikan unsur filsafat,estetik,ilmu humanist.(paragraf 9:67) Di Asia,Negara yang pertama mengkaji sastra perbandingan adalah Jepang pada 1930-an.Kemudian di India pada 1956 dikaji sastra perbandingan.Di cina sastra perbandingan juga dikaji. (paragraf 10:67) Di Taiwan,sastra perbandingan telah menjadi satu disiplin ilmu yang dimulai pada 1970-an.Komperensi perbandingan diadakan secara tetap setiap empat tahun sekali (paragraf 11 :67) Di Indonesia,sastra perbandingan telah muncul walaupun belum popular di kalangan masyarakat sastra Indonesia(paragraf 12 :67) Prinsip-prinsip pengkajian sastra telah dilakukan di Indonesia oleh insan sastra Indonesia.Jassin menggunakan prinsip-prinsip sastra perbandingan kritik membela Hamka dan Chairil Anwar dari hujatan sebagai plagiat.Chairil Anwar dituduh menjiplak karya-karya sastrawan mancanegara.Menurut Jassin,Chairil Anwar hanya menerjemahkan karya-karya sastrawan mancanegara.(paragraf 13:68) Pada prinsipnya tulisan-tulisan Jassin mengenai dua hal yang telah menggunakan prinsip kerja sastra bandingan.Telaah yang sistematis dalam membandingkan dua karya sastra atau lebih karya pengarang dari dua Negara yang berbeda mendapat perhatian dari masyarakat sastra Indonesia.(paragraf 14:68) Hutomo mencatat Iwan Fridollin dan Suryana Ridoen yang pernah mengupas pokok-pokok pengertian dan aspek-aspek sastra bandingan.(paragraf 15:68) Hutomo juga menghimpun beberapa tulisannya yang menggunakan perspektif sastra bandingan dalam Merambah Matahari,Surabaya Gaya Masa pada 1993.(paragraf 16:68) 3. Tujuan Sastra Perbandingan



- Memahami proses penciptaan dan perkembangan sastra suatu negara - Memahami karya sastra sebagai hasil pemikiran manusia - Melihat persamaa yang menonjol dalam karya sastra yang sejenis - Memahami pengaruh satu karya sastra terhadap lain karya sastra - Menghapuskan pandangan sempit sastra nasional lebih baik dari sastra nasional lainnya - Menyadarkan bahwa karya-karya sastra pada dasarnya tidak memiliki perbedaan baik dalam mutu maupun status - Memperluas wawasan mengenai hasil budaya berbagai bangsa dan menambah pemahaman nilai-nilai budaya yang terkadang dalam sastra. 4. Ruang Lingkup Kajian Sastra Perbandingan Pembagian ruang lingkup kajian sastra perbandingan dari ahli sastra.(paragraf 1:73) Endrawarsa, membeberkan ruang lingkup sastra perbandingan. Secara garis besar dibagi dua yaitu:  Pertalian atau kesamaan (affinity) atau paraktisme satu varian teks satu dengan yang lain.  Pengaruh sastra yang satu kepada sastra yang lain atau pengaruh sastra pada bilang lain (paragraf 2:74) Berdasarkan ketentuan diatas masih dibagi menjadi ruang lingkup 1. Beberapa perbandingan karya pengarang yang satu dengan karya pengarang yang lain,pegarang yang sezaman,antarorganisasi,pengarang yang senada. 2. Membandingkan karya sastra berifat teoretik untuk melihat sejarah,teori sastra,dan kritik sastra.(paragraf 3:74)



KOMENTAR: BAB VI SOSIOLOGI SASTRA CABANG ILMU SASTRA 1.Pengertian Cabang Sosiologi Sastra 2.Sejarah Sosiologi Sastra 3.Tujuan Sosiologi Sastra 4. Ruang Lingkup Kajian Sosiologi



75



75 78 82 83



Penjelasan dalam bab sudah baik dan bahasa yang digunakan mudah dipahami oleh pembaca. Bab 6 SOSIOLOGI SASTRA CABANG ILMU SASTRA 1. Pengertian Sosiologi Sastra Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio bahasa Yunani sociks berarti bersama-sama, bersatu, kawan teman. Logo berasal dari logos berarti sabda, perkataan, perimpunan. Dengan semakin berkembangannya sosio mengalami perubahan makna, socio/socins berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan dalam masyarakat, sifatnya khusus dan empiris. (Paragraf 1 : 7576) Sastra berasal dari akar kata sas (Sanskerta) berarti mengarahkan mengajar memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pelajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan. Kesusastraan artinya kumpulan hasil kata yang baik (Ratna, 2003:1-2). (Paragraf 2 : 76) Sosiologi sastra Indonesia mempelajari hubungan yang terjadi antara masyarakat Indonesia dengan sastra di Indonesia, gejala-gejala yang timbul sebagai akibat antara hubungan tersebut. (Ratna, 2003: 8). (Paragraf 4 : 77)



Sastra



Sosiologi sastra dikembangkan di Indonesia jelas memberi perhatian terhadap sastra untuk masyarakat, sastra terlibat, sastra tujuan, sastra kontektual dan berbagai proposisi. (Paragraf 5 : 77) 2. Sejarah Sosiologi Sastra Istilah sosiologi sastra pertama kali diperkenalkan oleh Swingewood pada tahun 1972. Istilah sosiologi sastra diterjemahkan dari bahasa Inggris, yaitu the sociology of literature. (Paragraf 1 : 78) Sosiologi sastra sudah ada sejak zaman Plato dan Aristoteles, filosofi Yunani pada abad 5 dalam buku Ion dan Republik. Plato menyebutkan bahwa pada zaman itu semua bentuk sastra di tulis dalam bentuk genre puisi. Plato berpendapat bahwa karya seni semata-mata merupakan tiruan (mimosis) yang ada dalam dunia ide. (Paragraf 2: 78) Aristoteles menolak pandangan Plato yang bersifat praktis. Aristoteles berpendapat bahwa seni mengangkat jiwa manusia, yaitu melalui proses penyucian (katarsis). Sebab, karya seni membebaskan manusia dari nafsu yang rendah dan dalam memahami kenyataan, seni didominasi oleh penafsiran. (Paragraf 3: 78) Pada abad 18, dengan menggunakan teori dan metode ilmiah sosiologi sastra mulai dijadikan sebagai ilmu. Pada tahun 1970, buku teks pertama mengenai sosiologi sastra diterbitkan dengan judul The Sociology of Art and Literature: a Reader, yang dihimpun oleh Milton C. Albreeht James H.Bernett, dan Mason Griff. (Paragraf 4 : 78-79) Sosiologi sastra di Indonesia diperkenalkan pertama kali pada tahun 1973 oleh Harsya W. Bachtiar dalam penataran “Filologi Untuk Penelitian Sejarah” yang diselenggarakan oleh konsorsium sastra dan filsafat bekerjasama dengan Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. (Paragraf 5 : 79) Kajian sosiologi sastra sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para tokoh.(Paragraf 6:79) Teori sosiologi sastra lahir karena sosiologi sastra sebagai disiplin ilmu yang otonom didasarkan timbulnya kesadaran bahwa analisis struktualisme memiliki keterbatasan, sebagai metode yang mengalienasikan karya terhadap struktur sosial yang menghasilkannya. (Paragraf 7 : 79) Teori sosiologi sastra dari Barat diadaptasi kedalam sosiologi sastra Indonesia dikelompokkan menjadi empat secara kronologis sebagai berikut. 1.Teori-teori positivistik 2.Teori-teori refleksi 3.Teori-teori dialektik 4.Teori-teori posstrukturalisme Teori-teori yang dimaksud, antara lain: 1.Teori mimesis oleh Plato dan Aristoteles 2.Teori sosiogeografi oleh Johan Gottfriect van Heder dan Madame de Stael. 3.Teori genetis oleh Hippolyte Taine 4.Teori strukturkelas oleh kelompok Marxisss ortodoks maupun kelompok para Marxis, sebagai Marxis Strukturalis 5.Teori-teori interdependensita oleh Louis de Bonald, Alan Swingewood, Alex Keru, Arnold Hauser, A.F. Foelkes, Hugh Dalziel Duncan, A. Teeuw. 6.Teori resepsi oleh Leo Lowekthal 7.Teori hememori oleh Antoni Gramsci 8.Teori trilogi oleh Rene Wellek/Austin Warven, Watt 9.Teori refraksi oleh Harry Levim



10.Teori reaksi oleh Peter Zima 11.Teori pationase oleh Robert Escarpt 12.Teori retorika sejarah oleh Hayden White 13.Teori anonimitas oleh Roland Baithes 14.Teori dekontstruksi oleh Jacques Derride. (Ratna, 2005: 21-25) 3. Tujuan Sosiologi Sastra  Memahami karya sastra Indonesia dengan mengembalikannya pada latar belakang sosial.  Memahami karya sastra yang dikaitkan dengan latar belakang proses kreatif yang merespon interaksi pengarang sosial yang mengalami perubahan pengaruh kebudayaan barat.  Memahami kompleksitas sastra dalam kaitannya dengan struktur sosial masyarakat yang berbeda-beda.  Memahami sistem produksi karya sastra yang dihasilkan melalui antar hubungan bermakna.  Menigkatkan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat.  Memperhatikan fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat.  Membawa misi subjek pengarang salam inter subjektif. 4. Ruang Lingkup Kajian Sosiologi Sastra Wolff mengemukakan bahwa sosiologi kesenian dan kesusastraan merupakan disiplin ilmu yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi empiris, dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general. (Paragraf 1 : 83) Ruang lingkup kajian sosiologi sastra sebagai berikut. 1.) Esensi sosiologi sastra 2.) Sosiologi puisi Indonesia. 3.) Sosiologi cerita pendek Indonesia. 4.) Sosiologi novel Indonesia. 5.) Metode penelitian sosiologi sastra. (Paragraf 2: 83)



KOMENTAR: BAB VII PSIKOLOGI SASTRA CABANG ILMU SASTRA 1.Psikologi dan Sastra 2.Pengeretian Psikologi Sastra 3.Sejarah Psikologi Sastra



84



84 87



88



Bahasa yang dipakai pengarang sangat mudah dipahami oleh pembaca,dan alur cerita yang disampaikan juga tidak emmbuat pembaca bingung. BAB 7 PSIKOLOGI SASTRA CABANG ILMU SASTRA 1. Psikologi Dan Sastra Psikologi adalah studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, esai, dan kritik yang didefinisikan ke dalam seni. Psikologi dan sastra memiliki kesamaan, yaitu keduanya bersumber dari manusia sebagai dasar pengkajian. Karya sastra mengandung peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia. Terdapat realitas kehidupan dalam karya sastra seperti realitas sosial, realitas psikologi, dan realistas religius. Terkhusus realitas psikologi, manusia merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungan. Dalam karya sastra realitas psikologi memiliki arti bahwa pembaca mampu memberikan interpretasi jika memiliki teori psikologi yang memadai. Karya sastra merekam gejala kejiwaan yang terungkap melalui perilaku



4.Psikologi Sastra sebagai Ilmu Sastra 5.Tujuan Psikologi Sastra 6.Manfaat Belajar Psikologi Sastra 7.Ruang Lingkup Kajian Psikologi Sastra



92



96



96



97



tokoh. Perilaku itu menjadi data atau fakta empiris yang harus dimunculkan oleh pembaca ataupun peneliti sastra yang memiliki teori-teori psikologi yang memadai. Dunia sastra adalah dunia realita yang membedah kepribadian atau perilaku tokoh. Karena itu dunia sastra bersinggungan dengan teori psikologi. Sastra mengandung fenomena-fenomena kejiwaan yang nampak lewat perilaku tokoh-tokohnya. Karya sastra dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi. Sastra dan psikologi memiliki hubungan yang berisfat tak langsung dan fungsional. Tak langsung artinya sastra dan psikologi memiliki tempat berangkat yang sama yaitu kejiwaan manusia. Pengarang dan psikolog mampu menangkap keadaan kejiwaan manusia secara mendalam. Hasil penangkapan tersebut diungkapkan dalam bentuk karya. Hanya saja bentuk ungkapan pengarang berupa karya sastra sedangkan psikolog berupa teori-teori psikologi. Hubungan fungsional berguna untuk sarana mempelajari keadaan-keadaan kejiwaan manusia. Perbedaannya kejiwaan dalam karya sastra berasal dari manusia imajiner sedangkan dalam psikologi berasal dari manusia nyata. Tetapi keduanya sama-sama memperoleh pendalaman akan kejiwaan manusia. Psikolog dengan sastra memiliki hubungan kausalitas, yaitu karya sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang tidak akan mungkin lahir tanpa ada penulis sebagai penuturnya. Psikologi akan sangat bermanfaat bagi kajian psikologi sastra, khususnya tentang aspek psikologi pengarang. Hubungan psikolog dan sastra adalah untuk memahani unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, memahami tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca. 2. Pengertian Psikologi Sastra Wellek dan Waren mengemukakan istilah psikologi mempunyai empat kemungkinan pengertian yaitu studi psikologi sebagai tipe, studi proses kreatif, studi tipe dan hukum-hukum psikologi, dan pembelajaraan terhadap dampak sastra pada pembaca. Yang berkaitan dengan bidang sastra adalah pengertian ketiga yaitu tipe dan hukum-hukum psikologi. Endraswara berpengertian bahwa psikologi sastra kajian memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca dalam menanggapi karya tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Psikologi sastra mengenal sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah kedalam teks. Pengalaman hidup pengarang akan terproyeksi secara imajiner kedalam teks sastra. Psikologi sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang menggunakan media bahasa yang diabaikan untuk kepentingan estetis. Dengan kata lain, karya sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan pengarang yang berarti didalamnya ternuansakan suasana kejiwaan sang pengarang baik suasana piker maupun suasana rasa/emosi. Dalam Pengantar Ilmu Sastra psikologi sastra memandang aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra. Berdasarkan beberapa pengertian di atas disimpulkan bahwa psikologi sastra menelaah unsur-unsur kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra. Psikologi sastra tidak memecahkan masalah-masalah psikologi tetapi memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra. Psikologi sastra Indonesia membahas tentang tokoh-tokoh yang terkandung



dalam sastra Indonesia. Psikologi sastra Indonesia menelaah kejiwaaan yang terkandung dalam karya sastra Indonesia, baik dalam puisi, cerita pendek maupun dalam novel dan drama. 3. Sejarah Psikologi Sastra Dalam karya Poetic oleh Aristoteles (304-322 SM) dipakai istilah katharsis untuk menggambarkan luapan emosi pengarang yang diungkapkan dalam karyanya. Gejala psikis tersebut dipakai salah satu penyelidikan psikologi sastra. Dyonisius Cassius Longinus (210-273 M) pada abad ke-3 dalam On The Sublim memuat konsep-konsep dasar psikologi pengarang. Menurutnya hasil cipta pengarang mampu membangkitakna emosi-emosi pendengar dan pembacanya. Dua abad kemudiaan (1757) terbit karya David Hume yaitu Of Tragedy diungkapkan berdasarkan penelitiannya tentang bagaimana perasaan manusia yang senang mendengar atau membaca kisah-kisah atau tragedy. Ia juga beranggapan bahwa kesadaran diri suatu kepercayaan dapat dijelaskan melalui analisis perbuatan mental manusia. Uraian tentang peranan imajinasi dalam proses kreatif, Samuel T Colridge menekankan bahwa hal tersebut timbul dari renungan tindak hati nurani. Ia menegaskan bahasa puisi harus sensitive dan dapat mengungkapkan kebenaran. William Wordswort (1770-1850) dianggap banyak menyinggung jiwa dalam diri penyair yang dianggapnya sebagai sumber kebenaran dalam puisi. Manusia yang memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang kodrat manusia dan memiliki jiwa yang lebih tajam daripada yang lainnya. Psikonalisis sebagai dasar penyelidikannya, Freud menyatakan bahwa seniman itu sesungguhnya manusia yang lari dari kenyataan.Seniman tak lebih dari seorang pahlawan yang disahkan masyarakat. Seniman tidak berusaha mengubah wataknya tetapi mewujudkan watak dan fantasinya. Pendapat Freud banyak mendapat kecaman. Diantaranya adalah Wallek dan Warren keduanya tidak setuju bahwa pengarangan dapat disamakan dengan seseorang yang mengalami halusinasi. Hal terbut mengartikan bahwa pengarang tidak bisa lagi membedakan kenyataan,khalayan, harapan, dan kekhawatiran. Tetapi sesungguhnya pengarang mengungkapkan kemampuan imajinasi bukan halusinasi. Salah satu perintis psikologi sastra adalah I.A Richart yang amat menekankan pentingnya hakikat pengalaman sastra terpadu seperti yang dilakukan psikologi gestalt. I.A Richart menentang anggapan seni untuk seni. Alasannya, seni hanya dapat bermakna jika mampu berkomunikasi dengan pembacanya. Karya I.A Richart yang berjudul Principles of Literary Criticism (1924) sering digunakan sebagai sumber rujukan tokoh angkatan sesudahnya. Tokoh lain yang menonjol adalah Norman H. Holland. Sejumlah karyanya dipengaruhi psikologi. Karya kritikus asal Perancis, George Poulet banyak terpengeruhi aliran fenomenologis eksistensial. Sedangkan tokoh lain yakni Kenneth Burke lebih banyak dipengaruhi psikologi eklektika. Istilah psikologi sastra di Indonesia pertama kali diperkenalkan dan digunakan oleh Goenawan Mohammad dan Arief Budiman. Mereka memperkenalkan psikologi gestalt dalam sastra. 4. Psikologi Sastra Sebagai Ilmu Sastra



Ilmu sastra mempunyai tiga cabang ilmu, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Budi Darma menambahkan cabang ilmu sastra yaitu sastra perbandingan. Sosiologi sastra, antorpologi sastra, dan psikologi sastra selama ini hanya bagian dari kritik sastra. Oleh karena itu ketiganya tidak mengalami perkembangan apalagi kemajuan. Ketiga pendekatan dalam kritik sastra kini telah mandiri sebagai cabang ilmu sastra. ketiganya sudah menjadi bagian dari cabang ilmu sastra. Diantara sosiologi sastra, antorpologi sastra, dan psikologi sastra yang masih terhambat perkembangannya adalah psikologi sastra. Khususnya di Indonesia, psikologi sastra lambat perkembangannya disebabkan oleh psikologi seolah-olah berkaitan dengan manusia sebagai individu kurang memberikan peranan terhadap subjek transindividual sehingga analisis dianggap sempit, psikologi juga dikaitkan dengan tradisi intelektual teor-teori yang terbatas sehingga para sarjana sastra kurang memiliki pemahaman terhadap psikologi sastra, dan yang terakhir analisis psikologi kurang menarik minat dibuktikan dengan sedikitnya skripsi dan karya tulis yang menggunakan pendekatan psikologi sastra. Ratna mengungkapkan berdasarkan masalah-masalah di atas, psikologi sastra perlu dimodifikasi dan dikembangkan secara lebih serius. Pemodifikasian dan pengembangan psikologi sastra yang diungkapkan Ratna bermakna menjadikan psikologi sastra sebagai cabang ilmu sastra. Psikologi dibangun di atas asumsi-asumsi genesis yang berkaitan dengan objek kajiannya, yaitu karya sastra. psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah unsur-unsur kejiwaan para tokoh fiksional yang terandung dalam karya sastra. sebagai dunia dalam kata-kata, sastra memasukkan berbagai aspek kemanusiaan ke dalamnya. Aspek kemanusiaan inilah yang merupakan aspek utama psikologi sastra. Psikologi sastra sebagai ilmu dapat dilakukan dengan pemahaman teori psikologi yang kemudian dilakukan analisis terhadap karya sastra. Atau dapat dilakukan pengkajian terlebih dahulu lalu kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang relevan. Dalam psikologi sastra kajian utamanya adalah karya sastra dimana kajian sastra ditempatkan sebagai gejala yang dinamis dan karya sastralah yang menentukan teori bukan psikologi. Psikologi sastra sebuah ilmu interdisipliner dengan menempatkan teori sastra di posisi dominan. Psikologi sastra mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologi. Dengan memusatkan perhatian pada para tokoh dalam karya sastra maka dapat dianalisis konflik batin yang mungkin bertentangan dengan teori pasikologi sastra. dengan kondisi seperti ini harus ditemukan gejala-gejala yang tersembunyi dengan memanfaatkan teori-teori psikologi yang relevan. Sehingga pengkaji dapat menguraikan kembali secara jelas dan nyata akan apa yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Psikologi sastra sebagai ilmu harus menjadikan aspek psikologi dengan aspek tokoh menjadi relevan. Artinya karya sastra harus berintensitas dan bermuatan aspek psikologis. 5. Tujuan Psikologi Sastra Mahayana dalam Pengantar Ilmu Sastra mengemukakan tujuan psikologi sastra sebagai berikut: 1) Menelaah psikologi pengarang sebagai tipe dan individu. 2) Menelaah bagaimana proses penciptaan karya sastra.



3) Menelaah bagaimana penerapan psikologi dalam karya sastra. 4) Menelaah pengaruh karya sastra pada pembacanya Sedangkan Ratna dalam Pengantar Ilmu Sastra mengemukakan tujuan psikologi sastra sebagai berikut: 1) Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis. 2) Memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra. 3) Memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca 6. Manfaat Belajar Psikologi Sastra Adapun manfaat belajar psikologi sastra adalah sebagai berikut : 1) Memahami manusia yang meliputi perubahan, kontradiksi, penyimpanganpenyimpangan dalam masyarakat khususnya dalam kaitan psikis atau psikologi yang terkandung dalam karya sastra. 2) Memahami manusia yang kehilangan harga diri dan menemukan sebabsebab yang menjadi sumber penyimpangan psikologi dan terapinya. 3) Memahami manusia dengan unsur psikologi yang bermacam-macam sesuai dengan kondisi multikultural bangsa. 4) Memahami dan menemukan dampak karya sastra terhadap pembacanya ditintau dari unsur psikologi. 7. Ruang Lingkup Psikologi Ruang lingkup kajian psikologi sastra adalah sebagai berikut : 1) Hubungan Psikologi dan sastra. 2) Pengertian psikologi sastra. 3) Psikologi sastra sebagai ilmu sastra 4) Sejarah psikologi sastra. 5) Tujuan psikologi sastra. 6) Manfaat psikologi sastra. 7) Ruang lingkup kajian psikologi sastra. 8) Psikologi puisi Indonesia. 9) Psikologi cerita pendek Indonesia. 10) Psikologi novel Indonesia. 11) Metode penelitian psikologi sastra Indonesia.



KOMENTAR:



BAB VIII ANTROPOL OGI SASTRA CABANG ILMU SASTRA 1.Pengertian Antropologi Sastra 2.Sejarah Antropologi Sastra 3.Antropologi



Bab ini menjelaskan bagaimana psikologi sastra dalam cabang ilmu sastra yang setiap penjelasannya menggunakan bahasa yang efektif sehingga mudah dipahami. Penjelasannya yang ringkas juga memudahkan pembaca mengerti arah dan inti dari materi yang dibicarakan. 98 BAB VIII ANTROPOLOGI SASTRA CABANG ILMU SASTRA 1. Pengertian Antropologi Sastra Menurut Ratna (2004: 251, 2005:351) antropologi sastra atudi karya sastra yang relevan dengan manusia. Menurut Endraswara (2003: 109) antropologi sastra kajian etnografi dalam karya sastra. (paragraf 1: 98) 98 Secara luas pengertian antropologi sastra kajian yang berkaitan dengan antropologi kultural dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia seperti 99 bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat istiadat, karya seni khususnya karya sastra. Karya sastra dengan masalah mitos, bahwa dengan kata-kata arkhais 101 menarik dianalisis dari segi antropologi sastra (Ratna, 2004: 353). (paragraf 2: 99) 103 Antropologi sastra kajian karya sastra yang menekankan pada warisan



Sastra sebagai Ilmu Sastra 4.Tujuan Antropologi Sastra 5.Manfaat Belajar Antropologi Sastra 6.Ruang Lingkup Kajian Antropologi Ssastra



budaya masa lalu. Warisan budaya tersebut dapat terpantul dalam karya sastra 103 klasik dan modern (Endraswara, 2003: 109). (paragraf 3: 99) 2. Sejarah Antropologi Sastra 104 Antropologi sastra pertama kali muncul pada 1997 melalui Kongres Folklore and Literary Antropology, yang berlangsung di Calcuta (Payatos, 1998 dalam Ratna, 2004: 352-353). Tiga sebab utama kemunculan antropologi sastra yaitu: a. Baik sastra maupun antropologi menganggap bahasa sebagai objek penting b. Kedua disiplin mempermasalahkan relevansi menusia dengan budayaKedua disiplin juga mempermasalahkan tradisi lisan khususnya cerita rakyat dan mitos (Ratna, 2004: 353). (paragraf 2: 99) Antropologi sastra mulai berkembang pada abad 20 pada saat negaranegara kolonial, khususnya Inggris menarik perhatian terhadap bangsa-bangsa non-Eropa dalam mengetahui sifat bangsa-bangsa yang dijajah. (paragraf 3: 100) Pemikiran tentang antropologi sastra telah muncul pada 1930-an ketika terjadi polemik kebudayaan, yang dipicu oleh Sultan Takdir Alisyahbana. Sastra Indonesia modern yang pada dasarnya merupakan kelanjutan sastra Melayu, bersama-sama dengan sastra daerah lainnya diharapkan mampu memberikan keseimbangan antara perkembangan teknologi dan perkembangan intelektual. Benar karya sastra adalah imajinasi, tetapi perlu diketahui bahwa justru dalam daya imajinasi itulah nilai-nilai antropologi sastra (Ratna, 2004: 352). (paragraf 4: 100) Pada 2000-an, istilah antropologi sastra diperkenalkan oleh Heddy Shri Ahimsa Putra, dalam makalahnya “Dari Antropologi Budaya ke Sastra dan Sebaliknya”. Kemudian disusul Kris Budiman dalam “Bila(kah) Antropologi dan Sastra Bertemu” dan dimuat dalam buku Sastra Interdisipliner, Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial, penerbit Qalam dan Sanding, Yogyakarta. (paragraf 5: 100-101) Istilah antropologi lebih dipopulerkan oleh Nyoman Kutha Ratna dalam dua bukunya Teori Metode dan Teknik Penelitian Sastra, dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Perspektif Wacana Naratif Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2004. Sastra dan Cultural Studies Represintasi Fiksi dan Fakta, penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005. (paragraf 6: 101) 3. Antropologi Sastra sebagai Ilmu Sastra Antropologi sastra satu disiplin dari dua disiplin ilmu. Oleh karena itu, antropologi sastra salah satu kajian interdisipliner, yaitu kajian hubungan sastra dan kebudayaan. Objek kajian antropologi sastra manusia dalam masyarakat, manusia sebagai makhluk kultural. (paragraf 1,2: 101) Antropologi sebagai interdisipliner atau multidisipliner dibangun atas dasar kompetensi sastra dan kompetensi budaya. Keduanya sebenarnya pada dasarnya telah memiliki berbagai bidang kajian tertentu, dengan metode dan teori tersendiri. (paragraf 3: 101-102) Antropologi sastra sebagai ilmu memperoleh tempat khusus dengan mempertimbangkan terjadinya hubungan yang erat antara sastra dan kebudayaan. Keseluruhan masalah masyarakat yang dibicarakan dalam sastra dan kebudayaan tidak bisa dilepaskan dengan kebudayaan yang melatarbelakangi. (paragraf 4: 102) Antropologi sastra menelaah sastra dengan kebudayaan yang bersifat



dialektika. Kebudayaan lebih banyak menentukan keberadaan sastra. (paragraf 5: 102) Antropologi sastra sebagai ilmu sastra humaniora mempermasalahkan manusia dalam masyarakat. (paragraf 6: 102) Antropologi sastra sebagai sebuah ilmu mempunyai relevansi dengan sastra warna lokal, sastra multikulturalisme, sastra poskolonial dan sastra posstrukturalisme sebagai bagan sastra kreatif. (paragraf 7: 102) 4. Tujuan Antropologi Sastra 1.) Mengungkap kebiasaan-kebiasaan masa lampau yang berulang-ulang masih dilakukan dalam sebuah karya sastra 2.) Mengungkap akar tradisi atau subkultur serta kepercayaan seorang sastrawan yang terpantul dalam karya sastranya 3.) Mengungkap sebab-sebab penikmat sastra menjalankan pesan-pesan yang ada dalam karya sastra 4.) Mengungkap pewarisan sastra tradisional dari waktu ke waktu 5.) Mengungkap unsur-unsur antropologis atau budaya masyarakat yang ada dalam karya sastra 6.) Mengungkapkan simbol-simbol mitologi dan pola pikir masyarakat dalam karya sastra (paragraf 1: 103) 5. Manfaat Antropologi Sastra 1.) Mendorong kesungguhan kajian interdisipliner antropologi sastra 2.) Mengenal lebih luas dan dalam akan kekayaan atau khasanah kebudayaan bangsa Indonesia sehingga masing-masing kebudayaan yang membangun Indonesia menjadi milik bagi yang lain yang terpantul dalam karya sastra Indonesia 3.) Memperkaya perbendaharaan kesusastraan Indonesia melalui sastra Indonesia multikultural yang selama ini kurang atau tidak diminati 4.) Mengenal lebih luas dan dalam tentang khasanah sastra yang terpencil dan terisolasi selama ini yang secara tidak langsung membantu pemahaman “bhineka tunggal ika” (paragraf 1: 103-104) 6. Ruang Lingkup Kajian Antropologi Sastra 1.) Hubungan antropologi dengan sastra 2.) Pengertian antropologi sastra 3.) Antropologi sastra sebagai ilmu sastra 4.) Sejarah antropologi sastra 5.) Tujuan dan manfaat belajar antropologi sastra 6.) Antropologi puisi Indonesia 7.) Antropologi cerita pendek Indonesia 8.) Antropologi novel Indonesia 9.) Metode penelitian antropologi sastra Indonesia (paragraf 1: 104)



KOMENTAR: Pemaparan yang disajaikan pengarang membuat pembaca tidak bosan. 



Buku Pembanding



BUKU II



A TEEUW DAFTAR ISI ISI BAB



Bab I APAKAH SASTRA? BAHASA LISAN-BAHASA TULIS-SASTRA 1.Apakah sastra? Beberapa Masalah Peristilahan 2.Bahasa Tulis: Tujuh Ciri 3.Sastra dan Tujuh Ciri Bahasa Tulis 4. Sastra Tidak Identik dengan Bahasa Tuli



HAL



21



26 30 38



RINGKASAN BAB



BAB I APAKAH SASTRA? BAHASA LISAN-BAHASA TULIS-SASTRA? 1. Apakah Sastra? Beberapa Masalah Peristilahan Ilmu sastra memiliki keistimewahan dan keanehan yang tidak dapat kita lihat pada banyak cabang ilmu pengetahuan yaitu bahwa obyek utama penelitiannya tidak tentu, malahan tidak karuan. Belum ada seorang pun yang berhasil memberi jawaban jelas atas pertanyaan yang harus diajukan oleh ilmu sastra: apakah sastra? ( Paragraf 1 :19) Sudah cukup banyak usaha yang dilakukan untuk memberi batasan yang tegas atas pertanyaan itu, tetapi batasan yang diberikan oleh ilmuwan diserang, ditentang, disasingkan, atau terbukti tak kesampaian karena hanya menekankan satu atau beberapa aspek, atau hanya berlaku untuk sastra tertentu. ( Paragraf 2 : 19) Sebagai pengantar akan dibicarakan apa permasalahanpermasalahan yang khususnya berdasarkan pendekatan, yaitu pendekatan yang menyamakan sastra dengan bahan tulisan. ( Paragraf 3 : 19 ) Kata litteratura diciptakan sebagai terjemahan dari kata Yunani grammatika, litteratura dan grammatika masingmasing berdasarkan kata littera dan gramma yang berarti huruf (tulisan, letter). Litteratura dipakai untuk tata bahasa dan puisi. Seorang litteratus adalah orang yang tahu tata bahasa dan puisi. Dalam bahasa-bahasa Barat gejala yang ingin diberikan dan batasi disebut literature (Inggris), Literatur (Jerman), litterature (Perancis), semuanya berasal dari kata Latin litteratura. ( Paragraf 4 : 20 ) Sebagai perbandingan kata sastra dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa sanskerta. Akar kata sas, dalam kata kerja turunan berarti " mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi akhiran tra biasanya menunjukan alat, sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti " alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. ( Paragraf 5 : 20 ) Kata lain diambil dari bahasa Sansekerta adalah kata pustaka yang berarti buku. Dalam bahasa Jawa Kuno dan Jawa Baru artinya juga sama, namun dalam Melayu Klasik pustaka atau pestaka menjadi semacam buku pegangan, buku atau naskah ilmu sihir atau mantra. ( Paragraf 6 : 20) Dalam bahasa cina perkembangan semantik sangat kompleks : kata yang terdekat dengan sastra, literature, adalah kata wen, yang menurut asalnya berarti " ikatan, tenunan,pola, susunan, struktur. ( Paragraf 7 : 21 ) Dalam bahasa arab kata yang paling dekat ialah adab, dalam arti sempit adab berarti belles-letters atau susatra, tetapi sekaligus berarti kebudayaan, sivilisasi, atau dalam



bahsa arab lainya tamaddu. Disamping itu ada beberapa menujukan sastra seperti kasidah yang berisi syair dimana itu juga sebutan dari puisi. ( Paragraf 8 : 21 ) Di Eropa, pemakaian kata litterature dalam bentuk tulisan dapat bertahan lama karena pada abad ke-18 pembedaan bahan tulisan yang bernilai estetik dari tulisan lain baru dimulai menjadi umum. ( Paragraf 9 : 21 ) Pemakaian litterature dalam arti luas memiliki akibat untuk penelitian sastra bangsa-bangsa Timur oleh sarjana Barat, sebab literature untuk bahasa-bahasa Timut dipakai dalam arti bahan tulisan, lepas dari pokok dan isi bahan. Buku pegangan mengenai sastra Sanskrit karangan Winternitz, Geschichte der Indischen Literatur, atau Brockelmann, Geschichte der Arabischen Literatur, selain merupakan sejarah sastra dalam arti yang terbatas, juga membicarakan tulisan mengenai ilmu tata bahasa, kedokteran, ilmu falak, ilmu pasti dan lain-lain. Karena kemampuan bahasa dan filologi mereka menjadi jembatan pembuka jalan ke bidangbidang ilmu pengetahuan Timur secara umum dan luas. ( Paragraf 10 : 21- 22) 2. Bahasa Tulis: Tujuh Ciri Pemakaian bahasa dalam bentuk tulisan menunjukkan sejumlah keistimewaan yang cukup jelas membedakan dari bahasa lisan.secara ringkas ciri-ciri itu akan di uraikan sebagai berikut : 1) Dalam pemakaian bahasa secara tertulis baik pembicara maupun pendengar, kehilanagan sarana komunikasai yang dalam pemakaian bahasa lisan memberi sumbangan untuk berhasilnya suatu komunikasai. Sarana itu di sebut suprasegmental. Suprasegmental adalah gejala intonasi ( aksen, tekanan kata, tinggi rendahnya nada, keras lemanya suara). Uhlenbeck (1979: 406) : Keberhasilan komunikasi tidak tergantung pada efek sarana-sarana lingual saja; pemahaman pemakaian bahasa lisan adalah hasil permaianan bersamaa yang subtil dari data-data pengetahuan lingual dan ekstra lingual, dari informasi auditif, visual, dan kognitif (berdasarkan pengetahuan atau penafsiran). 2) Dalam bahasa tulis biasanya tidak ada kemungkinan hubungan fisik antara penulis dan pembaca. Sedangkan komunikasi lisan kita banyak tergantung pada kemungkinan yang di adakan oleh hubungan fisik ; pendengar melihat gerak-gerik si pembicara, yang seringkali penting untuk menjelaskan apa yang di maksudkannya.selain itu pula dapat memberi reaksi langsung yang penting bagi pembicara. Dalam komunikasi dalam bahasa tulis, situasi itu sangat berbeda. Penulis harus mengucapkan sesuatu lebih eksplisit, harus sejelas mungkin, dan juga harus hatri-hati. Sedangkan pembaca pun harus mengambil sikap yang lain, karena tidak adanya interaksi yang spontan. 3) Dalam teks tertulis penulis tidah hadir sebagiannya atau



seluruhnya dalam situasi komunikasi. Contohnya adalah karangan yang anonim, pembaca harus mencari informasi yang relevan hanya dari data tertulis saja. 4) Teks tertulis juga sangat mungkin makin lepas dari kerangka referensi aslinya. Penulis mengarang tulisannya berdasarkan situasi tertentu, situasi pribadi, situasi sosial, berdasarkan situasi dia sendiri sebagai pembaca.untuk menghindari salah faham, pengarang terpaksa secara eksplisit dan jelas menguraikan informasi kontekstual yang dalam situasi percakapan biasanya tidak perlu di eksplesitkan. Dalam komunikasi lewat tulisan sering terjadi salah faham jauh lebih besar. 5) Pembaca mempunyai keuntungan lain, kalau di bandingkan dengan pendengar dalam situasi komunikasi.tulisannya dapat di baca beberapa kali apabila di anggap penting. Tanggapannya pun dapat di tunda di pikirkan kembali sebelum di tuliskan. 6) Teks tertulis dapat di reproduksikan dalam berbagai bentuk. Yang berarti bahwa lingkungan orang yang terlibat dalam dalam tindak komunikasi dengan bahasa tulisan pada prinsipnya jauh lebih besar dan luas daripada yang biasanya terdapat dalam situasi bahasa lisan. 7) Komunikasi antara penulis dan pembaca lewat tulisan membuka kemungkinan adanya jarak jauh antara kedua belah pihak, dalam hal ruang, waktu dan juga segi kebudayaan. Kita dapat membaca hasil tulisan dari masa yang lampau, dari negri lain, dengan latar belakang kebudayaan yang lain sekali dari situasi kita sendiri. ( Paragraf 1 : 22-26 ) 3. Sastra dan Tujuh ciri Bahasa Tulis Kalau kita meneliti secara mendetail apakah konsekuensi situasi tulisan untuk sastra yang belum sempat dibatasi secara ketat, tetapi secara intuisi kita semua kenal, maka dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut: 1) Karena kemungkinan untuk mengungkapkan sarana suprasegmental dan paralingual dalam situasi tulisan sangat terbatas, maka seorang penulis terpaksa mengusahakan perumusan yang seteliti dan setepat mungkin, dalm percakapan kalimat dapat di pakai secara tak karuan saja, karena setengahnya seringkali sudah cukup untuk pendengar yang cermat. 2) Karena Dalam situasi bahasa tulis si pembicara bukanlah faktor yang tersedia dalam tindak komunikasi, faktor ini pun dapat dipermainkan oleh pengarang karya sastra. Tetapi dalam tulisan belum tentu kita tahu siapakah si aku yang kita temui dan ambiguitas tentang diri penulis yang tidak kita hadapi langsung. 3) Oleh karena hubungan antara karya sastra dengan penulis tidak jelas, dengan sendirinya tulisan itu sendiri makin penting, menjadi pusat perhatian pembaca. Lepasnya



karya sastra dari tujuan komunikasi biasa dan dari diri penulis menimbulkan macam-macam konvensi yang harus di kuasai seorang pembaca, agar dia dapat memahami karya sastra. 4) Dalam situasi komunikasi tulisan referen dan acuan, yaitu hal dalam kenyataan yang di tunjukkan dalam tindak ujaran yang biasa, mungkin tidak jelas dan samar-samar saja. Demikianlah perbedaan antara pembedaan antara ujaran dan tulisan menjadi sumber paradoks sastra yang fundamental. Kita tertarik pada sastra karena nyatalah itu sesuatu yang lain dari komunikasi biasa. 5) Kemungkinan permainan konvensi yang makin ruwet, makin menyesatkan pembaca karena kompleksitas makna berhubungan juga dengan monumentalitas karya sastra. Seakan-akan terjadi semacam permainan kejar-kejaran antara penulis dan pembaca. 6) Kemungkinan reproduksi dalam berbagai bentuk sangat penting untuk sastra sebagai faktor kebudayaan. Reproduksi tulisan itu ada pula akibatnya. Tulisan memungkinkan pemantapan dan kelestarian berita yang terkandung di dalamnya. 7) Berkat menyimpan dan menyelamatkan sastra dalam bentuk tulisan dan menyebarluaskannya melampaui batas waktu dan ruang, juga melampaui batas bahasa dan kebudayaan. Tetapi hal itu menimbulkan masalah, dalam arti penafsiran dari karya sastra dari masa atau kebudayaan yang lain ternyata sangat sulit dan mengakibatkan kemungkinan perbedaan pemahamaan yang sangat menonjol. ( Paragraf 1 : 26-31) 4. Sastra Tidak Identik dengan Bahasa Dari perbandingan antara bahasa lisan dan bahasa tulis dan dari survei tentang konsekuensi ciri khas bahasa tulis, sudah jelas bahwa ketertulisan sastra mempunyai bermacam akibat untuk keadaan, potensi, dan interpretasi sastra. Kemungkinan yang dimunculkan oleh bahasa tulis dalam pertentangan dengan bahasa lisan sering kali digarap, dimanfaatkan, dieksploitasi, dipermainkan, malahan disalahgunakan secara halus ataupun dibuat-buat oleh penulis sastra. ( Paragraf 1 : 32) Secara intutif dan berdasarkan bahan kita tahu bahwa sastra tidak terbatas pada bentuk bahasa tulis. Sastra lisan dapat menciptakan komunikasi dan memanfaatkan kovensi yang mirip. Dalam sastra lisan pemakaian bahasa jauh lebih rumit dan terpelihara ataupun menyimpang dari bahasa sehari-hari. ( Paragraf 2 : 32 ) Dalam hubungan ini ditambahkan bahwa ada bentuk campuran antara sastra tulis dan sastra lisan terutama di Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Culler dan Derrida dan kawan-kawan tentang sastra Barat sebagai monument yang lepas dari bahasa lisan tidak berlaku untuk sastra



Indonesia tradisional , misalnya bahasanya sering kali dari segi sintaksis cukup sederhana. ( Paragraf 3 : 33) Kesimpulan yang penting dalam hubungan ini tidak ada kriteria yang jelas yang dapat kita ambil dari perbedaan pemakaian bahasa lisan dan bahasa tulis untuk membatasi sastra sebagai gejala yang khas. Ada pemakaian bahasa lisan dan tulis yang sastra, ada pula yang bukan sastra, dan sebaiknya ada sastra tulis dan ada pula sastra lisan. Tolok ukur untuk membedakan sastra dengan bukan sastra harus di cari di bidang lain. ( Paragraf 5 : 34) KOMENTAR: Pada bab ini penulis banyak menggunakan istilah-istilah bahasa yang sulit dipahami. Alangkah baiknya jika penulis menggunakan bahasa yang lebih sederhana sehingga pembaca lebih mudah mengerti atau memahami materi yang disajikan dalam bab ini. Bab II KARYA SASTRA DALAM MODEL SEMIOTIK 1.Sastra sebagai Tanda Termasuk Bidang Semiotik: De Saussure 2. Model Bahasa Karl Buhler 3. Model Sastra Abrams 4. Model Jakobson dengan Fungsi Puitik 5. Model Morris, Disesuaikan oleh Klaus 6. Model Semiotik Morris, Disesuaikan oleh Foulkes 7. Model yang Diberikan Belum Lengkap 8. Dua Faktor Lain yang Perlu Ada dalam Model Semiotik Sastra: Sistem Bahasa dan Konvensi Sastra 9. Pembaca sebagai Variabel Sosial dan Diakronis 10. Bentuk Karya Sastra sebagai Variabel 11. Masalah Nilai



42



47 49 53 54



56



58



60



61



63



64



BAB II KARYA SASTRA DALAM MODEL SEMIOTIK SASTRA 1. Sastra sebagai Tanda Termasuk Bidang Semiotik : De Saussure Usaha yang pernah diadakan tetap belum berhasil untuk memberi pencirian sastra yang universal dalam asti bahwa batasan semacam itu berlaku untuk segala karya sastra dalam kebudayaan mana pun. ( Paragraf 1 : 35 ). Ferdinand de Saussure di akui sebagai tokoh yang meletakkan dasar ilmu bahasa modern. Bahasa adalah sistem tanda, dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain : signifiant ( penanda ) dan signifie ( petanda ). Signifiant adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu, sedangkan signifie adalah aspek kemaknaan atau konseptual. ( Paragraf 3 : 36 ) De Saussure membicarakan beberapa aspek tanda yang khas : tanda adalah arbiter, konvensional dan sistematik. Arbiter berarti bahwa dalam urutan bunyi itu sendiri tidak ada alasan atau motif untuk menghubungkannya. ( Paragraf 4 : 36) De Saussure menjelaskan bahwa bahasa bukanlah satusatunya sistem tanda yang di pakai dalam masyarakat, ada berbagai sistem tanda lain. ( Paragraf 6 : 37) Semua sistem tanda, termasuk bahasa, yang merupakan sistem tanda yang paling kompleks dan mendasar untuk komunikasi antar manusia. Ilmu pengetahuan yang bertugas untuk meneliti berbagai sistem tanda oleh De Saussure di sebut semiologi, atau ilmu tanda. Gagasan yang sama tlah lebih dahulu di kembangkan oleh Charles Sander Peirce, seorang filsuf Amerika, tetapi tulisannya baru kemudian di terbitkan. ( Paragraf 7 : 38) 2. Model Bahasa Karl Buhler Sastra merupakan sistem tanda yang bertugas sebagai alat



dalam Model Semiotik Sastra 12. Beberapa Puitik Alternatif; Abad Pertengahan Eropa, Cina, India, Arab



67



komunikasi antar manusia makin meluas dalam kalangan peneliti sastra. Karl Buhler seorang ahli psikolog, tetapi yang banyak mempunyai minat mengenai masalah bahasa dan yang malahan dalam tahun 1934 menulis sebuah buku. Buhler pertama kali dengan jelas menguraikan ciri khas tanda bahasa sebagai gejala sosial. Hal itu berdasarkanya yang di sebut organonmodell der sprache, model bahasa dengan memakai istilah yunani. ( Paragraf 1 : 39 ) Plato mengenai bahasa , organon berarti alat, sarana, instrumen. Oleh Buhler hasil rangkap tiga yang di akibatkan oleh bahasa : Ausdruck, Appell, Darstellung. Buhler menjelaskan bahwa tiga fungsi tersebut tidak selalu sama pentingnya dalam situasi komunikasi, yang dominan dalam pemakaian bahasa yang biasa adalah fungsi Darstellung, referensinya ; dominannya fungsi itu terungkap dalam apa yang kita sebut arti unsur bahasa. Tetapi dalam situasi tertentu mungkin ekspresilah yang dominan. (Paragraf 2 dan 3 : 39-40) 3. Model Sastra Abrams Sastra adalah salah satu bentuk pemakaian bahasa. Pada tahun 1953, M.H, Abrams menerbitkan buku yag berjudul The Mirror and the lamp. Dalam buku tersebuat ia meneliti teori-teori mengenai sastra yang berlaku dan diutamakan di masa Romantik, khususnya dalam puisi dan ilmu sastra Inggris dalam abad ke-19. ( Paragraf 1 : 40 ) Dalam buku tersebut Abrams juga membicarakan masalah keaneka-ragaman, yang sering kali sangat mengacaukan yang dapat kita perhatikan di bidang teori sastra. Abrams memberikan sebuah keranga yang terkandung pendekatan kritis yaitu : a. Pendekatan obyektif adalah pendekatan yang menitikberatkan karya itu sendiri. b. Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menitikberatkan penulis. c. Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang menitikberatkan semesta. d. Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang menitikberatkan pembaca.( Paragraf 2 : 40-41) Istilah mimetik berasal dari bahasa Yunani mimesis yang dipakai sebagai istilah untuk menjelaskan hubungan antara karya seni dan kenyataan. (Paragraf 3 : 41 ) Istilah pragmatik menunjuk pada efek komunikasi yang seringkali di rumuskan dalam istilah Horatius. Seni harus menggabungkan sifat utile dan dulce, bermanfaat dan manis. (Paragraf 4: 41) Abrams memperlihatkan bahwa empat pendekatan itu seringkali dominan. ( Paragraf 5 : 41) Model Abrams sangat bermanfaat untuk memahami teori sastra dalam keragamannya. Model ini dapat menjelaskan aliran utama dalam aliran Pujangga Baru. ( Paragraf 6 : 42 )



Abrams sendiri dalam tulisannya belum memakai istilah semiotik atau teori komunikasi. Modelnya sangat mirip dengan organon Buhler. (Paragraf 7 : 42) 4. Model Roman Jakobson dengan Fungsi Puitik Pada tahun 1960 Jakobson pada konferensi mengenai style in language, di paparkan sebuah model dengan tujuan untuk menjelaskan poetic function of language, fungsi puitik dalam bahasa. (Paragraf 1 : 43) Jakobson mnyejajarkan 6 faktor bahasa dan 6 fungsi bahasa. Phatic function di maksudkan potensi bahasa sebagai alat untuk mengadakan komunikasi ataupun kontak sesama manusia. Phatic function yang dimaksudkan adalah potensi bahasa sebagai alat untuk mengadakan komunikasi atau kontak dengan sesama manusia. Metalingual adalah fungsi khas untuk berbicara mengenai bahasa dalam bahasa itu sendiri. ( Paragraf 2 dan 3 : 43-44 ) Antara bahasa sebagai system komunikasi memiliki hubungan yang erat dan sastra merupakan system komunikasi atas dasar system bahasa. (Paragraf 4 : 44) 5. Model Charles Morris, disesuaikan oleh Klaus. Charless Morris seorang ahli semiotik awal yang terkenal, yang kemudian di sesuaikan oleh Klauss. Model ini pada prinsipnya sama dengan Buhler, tetepi lain istilahnya. Model Morris-Klaus membedakan tiga dimensi dalam proses semiosis pada tanda yang dilambangkan lagi segitiga. Dimensi pertama adalah dimensi sintaktik, yaitu hubungan antara tanda satu dengan tanda yang lain. Dimensi sintaktik menekankan struktur instrinsik karya sastra sebagai sistem tanda. Sedangkan dimensi pragmatik melingkupi baik pengirim maupun penerima pesan. (Paragraf 1 : 44 ) Dimensi semantik dalam model Morris-Klauss bertepatan dengan fungsi mimetik atau referensial dalam model lain. Klauss memberikan pembedaan antara semantik dan sigmatik. Semantik mengenai aspek arti secara konseptual Saussure. Sedangkan sigmatik dalam Klauss mengacu pada aspek acuan atau referensial. ( Paragraf 2 : 45 ) 6. Model Semiotik Morris disesuaikan oleh Foulkes Foulkes tertarik oleh peranan pembaca dalam proses komunikasi lewat karya sastra. Yang di bedakannya adalah pragmatik penulis dan pragmatik pembaca. Controlling factors, yaitu keseluruhan faktor yang dalam proses komunikasi dan pemahaman karya sastra mempengaruhi dan ikut menentukan sikap pembaca terhadap karya yang di hadapinya. Itulah memang fokus utama penelitian Foulkes, yang memperlihatkan sikap dan peranan pembaca masyarakat modern dipengaruhi oleh berbagai faktor artistik, sosial, politik dan ekonomi. ( Paragraf 1: 46) 7. Model yang Diberikan Belum Lengkap Penelitian yang menekankan aspek pragmatik, mimetik, ekspresif atau obyektif sangat bermanfaat. Secara ideal



semua aspek karya sastra harus di ikut sertakan dalam penelitian. Tetapi keempat aspek tidak selalu sama pentingnya. ( Paragraf 1 : 47 ) Model yang di berikan Abrams menunjukkan kekurangan dalam arti bahwa beberapa faktor yang penting dalam penelitian belum terlingkupi sama sekali. (Paragraf 3 : 48) 8. Dua faktor Lain yang Perlu ada Dalam Model Semiotik Sastra : Sistem Bahasa dan Konvensi Sastra Faktor pertama dalam model semiotik sastra adalah bahasa itu sendiri, sebagai sistem tanda yang kompleks dan beragam. Model Abrams menyarankan penulis dan pembaca dapat langsung berhadapan dengan karya sastra tanpa halangan atau prasarana apapun juga. Ahli semiotik Jurij Lotman mengatakan bahwa bahasa merupakan sistem pembentuk model yang primer. Jadi yang mengikat baik penulis maupun pembaca, tidak berarti bahwa keduanya harus mengetahui bahasa yang di pakai dalam karya sastra, tetapi juga dalam keistimewaan struktur bahasa itu sendiri. ( Paragraf 1 : 48) Bahasa bukanlah satu-satunya kerangka acuan yang ada antara karya pencipta dan pembaca. Sebab pemahaman karya itu akan gagal apabila tidak akrab dengan konvensi kesusastraan yang merupakan latar belakang karya itu. (Paragraf 2 : 499 ) 9. Pembaca sebagai Variabel Sosial dan Diakronis Model Abrams penangkap atau penerima adalah abstraksi. Fungsi sastra pembaca sebagai variabel. Setiap karya sastra di baca, di nilai, di kecam oleh berbagai anggota masyarakat. ( Paragraf 1 : 49-50) Dalam penelitian karya fungsi karya sastra ialah faktor waktu. Faktor diakronis adalah sesuatu yang hakiki untuk secara memahami dengan baik makna dan fungsi sebuah karya sastra. Penelitian karya sastra tanpa memperhatikan sejarah sastra dalam arti, tidak mungkin di lakukan secara memuaskan. Karena sejarahlah yang memberikan dinamika yang khas untuk karya sastra. (Paragraf 2 : 50 ) 10. Bentuk Karya Sastra sebagai Variabel Dalam sejarah sastra ternyata bahwa setiap karya sastra berubah karena berbagai faktor. Variasi sebagai ciri khas utama karya sastra. ( Paragraf 1 : 51 ) Variasi memainkan peranan yang penting dan khas dalam hal sastra lisan, yang biasanya tidak di selamatkan dalam bentuk tulisan. ( Paragraf 2 : 51) 11. Masalah Nilai dalam Model Semiotik Sastra Penelitian nilai termasuk bidang estetika sebagai cabang ilmu pengetahuan. Teori Mukarovsky yang dalam tahun 1934 telah membicarakan ‘art as a semiotic fact’ ( Mukarovsky 1978-88) akan dikembangkan berdasarkan analisis situasi karya sastra dalam bab-bab sebelumnya. ( Paragraf 1 : 51-52)



Diharapkan model ini sedikit banyaknya sebagai kesimpulan dari apa yang dikemukakan, khususnya mengenai faktor-faktor yang ikut menentukan karya sastra sebagai gejala semiotik. (Paragraf 2 : 52) 12. Beberapa Puitika Alternatif: Abad Pertengahan Eropa, Cina, India, Arab Beberapa puitika alternatif abad pertengahan Eropa, Cina, India, Arab. Pertama-tama Eropa sendiri yang memberikan pendekatan puitika abad pertengahan. Sastra Cina mengemukakan bahwa pentingnya sastra sebagai kategori naratif utama. Sementara India mengembangkan teori sastra pada satu pihak yang menekankan pada bahasa puitik. Lain lagi halnya dengan sastra Arab yang ditentukan oleh tiga faktor: pertama, kedudukan Al-Qur’an; kedua, posisi bahasa Arab dalam kebudayan Arab; ketiga, interaksi antara pandangan orang Arab. KOMENTAR: Pada bab ini penulis banyak menggunakan istilah-istilah bahasa yang sulit dipahami. Alangkah baiknya jika penulis menggunakan bahasa yang lebih sederhana sehingga pembaca lebih mudah mengerti atau memahami materi yang disajikan dalam bab ini.



BAB III KARYA SASTRA DAN BAHASANYA 1.Bahasa Sastra sebagai Bahasa Khas:Retorik,Stilistik 2.Fungsi Bahasa yang Disebut Puitik dalam Teori Jakobson 3.Penerapan dan Penggarapan Teori Jakobson 4.Kritik Riffaterre atas Pandangan Jakobson 5.Kritik Sosiologis terhadap teori Jakobson:Mary Louise Pratt 6.Teori Sastra Pratt 7.Beberapa kesimpulan



1 Bab III Bahasa Sastra sebagai bahasa khas : retorik, stilistika Sarana bahasa yang dipakai dalam bahasa yang baik 70 termasuk penyimpanagan. Penyimpangan dari bahasa seharihari tidak dapat di cari dasar untuk membedakan sastra dari pemakaian bahasa yang lain. Namun keistimewaan bahasa 73 sastra puisi tetap di teliti secara sistematik. Stilistik berusaha menetapkan keistimewaan pemaakaian bahasa secara insidental, tetapi tidak berhasil. 77 2) 79



82



84 92



Fungsi bahasa yang disebut puitik dalam teori Jakobson Kaum Formalis tidak puas dengan penelitian sastra yang bersifat sosiologik dan psikologik ataupun bersifat sejarah. Para Formalis ingin kembali ke hakikat puisi yaitu pemakaian bahasa. Jakobson mengatakan puisi adalah ungkapan yang terarah ke ragam melahirkannya. Sedangkan fungsi puitik bahasa ialah pemusatan perhatian pada pesan demi pesan itu sendiri, atau keterarahan ke pesan sendiri. Jakobson tentang pemakaian bahasa membedakan enam fungsi bahasa, di antaranya fungsi puitik. Namun keenam fungsi itu dominan. Jakobson membicarakan puisi sebagai bentuk sastrayang paling khas dan tipikal. Fungsi puitiklah yang dominan. Jakobson juga menguraikan prinsip konstitutif puisi ialah ekuivalensi. Dalam bahasa puitik dipilih kemungkinan yang dari segi tertentu menonjolkan ekuivalensi. Ekuivalensi itu dapat berwujud gejala yang beranekaragam yaitu : bunyi, rima, aliterasi, asonansi dan



lain-lain. 3)



Penerapan dan penggarapan teori Jakobson Jakobson mengatakan prinsip ekuivalensi diangkat menjadi sarana konstitutif urutan kata. Jakobson juga mengembangkan teori kekhasan fungsi puitik dan prinsip yang mendasari puisi,yang sekaligus menjadi kerangka analisis struktural sebuah karya sastra seperti diterapkan oleh kebanyakan peneliti. Fungsi puitik menjadi dominan dalam sastra, namun tidak pernah berada dalam kedudukan terisolasi.



4)



Kritik Riffaterre atas pandangan Jakobson Jakobson hanya memperhatikan aspek pragmatik dan ekspresif. Sedangkan aspek referensial menurut beberapa pengkritik di anggap enteng oleh Jakobson. Riffaterre menentukan makna sebuah sajak ialah pembacanya, berdasarkan pengalamannya sebagai pembaca puisi. Sajak adalah lebih dari struktur tata bahasa saja, tetapi sebagai sarana komunikasi, yang berfungsi dalam konteks stilistik. Riffaterre juga mengatakan kata-kata dalam konteks sajak mendapat makna, jjustru dalam kontras dengan arti biasa. Aspek puisi yang terpenting justru adalah ketegangan antara mimetik unsur bahasa dan makna semiotiknya.



5)



Kritik sosiologis terhadap teori Jakobson : Mary Louise Prat Pratt dalam judul bukunya sudah menjelaskan latar belakan pendekatannya. Tuntunan dasar yang di ajukan adalah wacana sastra harus dipandang sebagai pemakaian bahasa tertentu, bukan sebagai ragam bahasa tertentu. Jadi tidak ada bahasa puitik sebagai ragam bahasa khas, hanya ada pemakaian bahasa yang khas, yang biasa kita sebut sastra. Pandangan Pratt untuk penelitian sastra dan pemakaian bahasa dalam sastra titik tolak penelitian ilmiah bergeser dari pesan kepada pengirim, penerima dan konteks. Demikianlah estetik bahasa dikembalikan ke tataran yang layak. Dalam pendekatan ilmu bahasa yang terbaru ditentukan bahwa konvensi pemakaian bahasa melingkupi jauh lebih banyak dari hanya sistem tata bahasa dan makna leksikal saja. Pemakaian bahsa dalam situasi tertentu sebagian besar ditentukan oleh konvensi, kondisi dan aturan. 6) Teori sastra Pratt Pratt meletakkan dasar untuk teori sastra yang tergantung pada konteks . Beberapa konvensi yang penting, yang berlaku dalam komunikasi kesusastraan yaitu : a. Pembaca telah menerima peranan sebagai audience dalam 79 situasi menanggapi pesan sastra. Peran audience yang tidak 80 aktif ikut serta dalam komunikasi sudah tentu bukan peran yang khas untuk komunikasi lewat sastra.



b.



Pembaca yang mulai membaca karya sastra telah tahu sebelumnya bahwa bacaan yang dihadapinya bukan sembarang tulisan. Sebelum pembaca mulai membaca dia sudah bersedia untuk menanggapi buku tersebut sebagai roman modern. c. Pratt membicarakan karya sastra yang di sebut tellability. Tellability menjadi ciri khas sastra walaupun tidak secara eksklusif. Dengan dua sifatnya yang khas, yang justru dalam sastra sangat penting . Penyimpangan dalam roman modern bukan hanya perkara permainan saja. KOMENTAR: Bahasa yang dipakai pengarang masih sulit dipahami karena menggunakan bahasa yang terlalu baku sehingga pembaca kesulitan dalam memahami isi materi. BAB IV KARYA SASTRA DAN SISTEM SASTRA 1.Bahasa sebagai Sistem Semiotik Primer 2.Karya Sastra dan Konvensi budaya 3.Konvensi Sastra 4.Masalah Kompetensi Kesastraan dengan contoh Konvensi Puisi Lirik(Culler) 5.Masalah Jenis Sastra:Teori Aristoteles 6.Strukturalisme dan Masalah Jenis Sastra 7.Masalah Sistem Sastra 8.Masalah Sistem Sastra Universal 9.Kesimpulan



95



100 100 103



107



110 113 116 119



BAB IV Karya Sastra dan Sistem Sastra Bahasa sebagai sistem semiotik primer Menurut Pratt karya sastra adalah contextdependent speech event, peristiwa ujaran yang tergantung pada konteks. Bahasa, sebelum dipakai penulis, sudah merupakan sistem tanda, sistem semiotik : setiap tanda, unsur bahasa itu mempunyai arti tertentu, yang secara konvensi disetujui, harus diterima oleh anggota masyarakat, dan yang mengikat mereka, tidak hanya dalam artian bahwa tanda itu merupakan berian. Sutardji Calzoum Bachri memberontak terhadap kungkungan perlengkapan konseptual yang terasa seakan-akan dipakasakan dan membebaskan kebebasan penciptanya Kita semua mempunyai sistem bahasa, yang antara lain merupakan sistem kemaknaan yang berbeda-beda menurut bahasa yang dipakai sebagai anggota sebuah masyarakat. Sastra disebut Lotman sistem tanda sekunder yang membentuk model, yaitu yang tergantung pada sistem primer yang diadakan oleh bahasa, dan yang hanya dapat dipahami dalam hubungannya dan seringkali dalam pertentangannya dengan sistem bahasa. Susunan bahasa menentukan segala sistem semiotik oleh karena seni adalah satu diantara sistem semiotik itu, kita tahu pasti bahwa kita akan menemukannya di dalamnya cap dari bentuk-bentuk abstrak bahasa itu. Latar belakang yang sama kita lihat pula dalam pertentangan antara meaning dan significance yang telah dikutip dari tulisan Riffaterre sebagai prinsip semiotik sastra yang penting. 2)



Karya sastra dan konvensi budaya Cuhler membicarakan masalah kode kultural. Masalahnya memang penting, khususnya pula untuk penelitian sastra Indonesia tradisional, tetapi tidak mungkin kita membicarakannya dengan panjang lebar dalam rangka ini. Dikatakan bahwa pemisahan konvensi budaya dari



konvensi bahasa dan sastra ataupun sosiolinguistik seringkali tidak mungkin atau tidak mudah dilaksanakan. 3)



Konvensi sastra Madame de Stael telah menjadi penindasan universal, jadi konvensi dialami sebagai ikatan, kungkungan yang daripadanya kita harus membebaskan diri. Tetapi ironisnya pengakuan konvensi dalam sejarah bertepatan dengan penolakannya. Tetapi betapa kuat kita menentang adanya dan perlunya konvensi, sastra dan seni selalu berada dalam ketegangan antara aturan dan kebebasan. 4) Konvensi itu sangat berbeda-beda sifatnya, ada yang sangat umum, ada pula yang sangat khas dan spesifik. Culler menyatakan bahwa karya sastra mempunyai struktur dan makna dalam kaitannya dengan suatu perangkat konvensi sastra, kompetensi kesastraan yang harus dikuasai oleh pembaca. Culler menyatakan sajak adalah pengutaraan yang mendapat arti hanya dalam kaitannya dengan sistem konvensi yang diakrabkan oleh pembaca. Competence adalah perangkat konvensi untuk membaca teks sastra. Dan ilmu sastra,puitik justru harus meniliti sistem yang mendasari karya,yang memungkinkan efek kesastraan. Tradisi yang kuat dalam puisi dalam dunia barat memakai kata-kata deiktik yang bersifat keruangan, kewaktuan,dan keorangan untuk memaksa pembaca agar membina persona yang meditatif, perenung. Kata deitik adalah kata yang referenya berganti-ganti,tergantung siapa yang menjadi pembicara dan tergantung pada saat dan tempat di tuturkannya kata itu. Oleh Culler organic wholes, keseluruhan yang organik: harapan koherensi dan kebulatan makna menentukan kegiatan penafsiran pembaca. Konvensi puisi lirik yang dibicarakan Culler disebut tema dan perwujudan: yaitu konvensi signivicance, makna yang relevan(yang sudah tentu erat hubungannya dengan konvensi kedua). Puisi lirik yang pada lahirnya dapat kita baca sebagai peristiwa insidental atau pengalaman individual. Khasus khas dari konvensi ini ialah bahwa puisi sering kali mengambil relevansinya dari maknanya sebagai perenungan atau pengamatan mengenai masalah itu sendiri. Justru ilmu sastra bertugas untuk menentukan setepat mungkin keseluruhan konvensi sastra yang merupakan sistem sastra dalam sebuah bahasa. 5)



Masalah jenis sastra : teori Aristoteles Teori Aristoteles berdasarkan sastra Yunani klasik,yaitu satu-satunya sastra yang dikenalnya. Sarana perwujudannya ada dua prosa dan puisi. Sedangkan objek perwujudannya ada tiga: manusia rekaan lebih agung dari



pada manusia nyata, manusia rekaan lebih hina dari pada manusia nyata, manusia rekaan sama dengan manusia nyata. Ragam perwujudannya ada tiga yaitu teks sebagian terdiri dari cerita, yang berbicara si aku lirik penyair, dan yang berbicara para tokoh saja. 6)



Strukturalisme dan masalah jenis sastra Formalis Rusia mengakui dinamika sistem jenis sastra yang terus bergeser dan berubah. Pemikiran ini dilanjutkan oleh golongan baik di Praha dan Prancis. Menurut pendekatan ini karya sastra merupakan aktualisasi sebuah perangkat konvensi, aktualisasi yang sekaligus memenuhi harapan pembaca dan melangarnya karna inovasi. Culler pada asasnya fungsi konvensi jenis sastra ialah mengadakan perjanjian antara penulis dan pembaca, agar terpenuhi harapan tertentu yang relevan,dan dengan demikian dimunkinkan sekaligus panyesuaian dan penyimpangan dari ragam keterpahaman yang telah diterima. Todorov menyatakan setiap karya agung menetapkan terwujudnya dua jenis, kenyataan dua norma: norma jenis yang dilampoinya,yang menguasai sastra sebelumnya dan norma jenis yang diciptakannya. Karya sastra yang agung justru dengan melampoi batas yang berlaku membuka kemungkinan baru untuk perkembangan jenis sastra. Penelitian sistem jenis sastra tidak ada garis pemisah yang jelas antara pendekatan diakronik dan sinkronik:karya sastra selalu berada dalam ketegaan dengan karya-karya yang diciptakan sebelumnya. 7)



Masalah sistem sastra Tentang sistem sastra dapat dikatakan sebagai berikut: a. Sistem itu tak dapat bersifat longgar, lincah. Oleh karna karya sastra ditandai oleh penyimpangan dan pelanggaran terhadap norma-norma. Ketegangan antara norma sastra yang kolektif dan penyimpangan individual adalah ciri khas sistem sastra demikian pula merupakan ciri khas individual karya itu sendiri. b. Perbedaan antara diakronik dan sinkronik yang cukup mendasar untuk konsep sistem bahasa. Sistem sastra secara prinsip mengabungkan unsur diakronik dan sinkronik. Sebuah sastra dalam manifestasi kongkret dalam sebuah bahasa pasti sedikit banyak menunjukkan unsur-unsur sistematiknya. 8)



Masalah sistem sastra universal Pendekatan Aristoteles yang pembagian utamanya epik lirik-drama sebagai bentuk sastra utama mengenai sastra. Sastra bukanlah tumpukan karya,melainkan katakata. Eliot mengatakan monumen sastra yang ada



mewujudkan tata susun yang ideal satu sama lain,jadi bukanlah hanya merupakan kumpulan karya sejumlah individu. KOMENTAR: Bahasa yang dipakai pengarang sangat sulit dipahami sehingga pembaca merasa bosan.



BAB V KARYA SASTRA SEBAGAI STRUKTUR: STRUKTURALISME 1.Teori Aristoteles Mengenai Struktur Karya Sastra 2.Struktur Karya Sastra dan Lingkaran Hermeneutik 3.Kekurangan Minat untuk Struktur Karya Sastra pada Abad Ke19 4.Munculnya Minat untuk Struktur Karya Sastra 5.Aliran Formalis di Rusia 6.Pendekatan Struktural dan Gerakan Otonomi 7.Tentang Analisis Struktur Karya Sastra 8.Empat Kelemahan Strukturalisme Khususnya New Criticsm. Konsep Struktur



V. KARYA SASTRA SEBAGAI STRUKTUR: STRUKTURALISME



120



123



125



127



128 132



135 139



1. Teori Aristoteles Mengenai Struktur Karya Sastra Empat pendekatan terhadap karya sastra yang disarankan oleh model Abrams yang pada prinsipnya sesuai dengan model semiotik lain, yaitu pendekatan obyektif, ekspresif, pragmatik, dan mimetik. Yang akan diteliliti saat ini adalah pendekatan obyektif. Pendekatan obyektif yaitu pendekatan yang menekankan karya sastra sebagai struktur yang sedikit banyaknya bersifat otonom. Pendekatan obyektif sesungguhnya sama tuanya di dunia Barat dengan puitik sebagai cabang ilmu pengetahuan. Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Poetica, meletakkan dasar yang kuat untuk pandangan yang menganggap karya sastra sebagai struktur yang otonom. Masalah struktur karya sastra dibicarakan dalam rangka pembahasan tragedi, khususnya dalam pasal-pasal mengenai plot. Menurut pandangan Aristoteles dalam tragedi action, tindakan, bukan character, watak, yang terpenting. Efek tragedi dihasilkan oleh aksi plotnya, dan untuk menghasilkan efek yang baik plot harus mempunyai keseluruhan, wholeness; untuk itu harus dipenuhi empat syarat utama, yang dalam terjemahan Inggris disebut order, amplitude, atau complexity, unity and connection atau coherence.Order berarti urutan dan aturan: urutan aksi harus teratur, harus menunjukkan konsekuensi dan konsistensi yang masuk akal. Amplitude (atau complexity) berarti bahwa luasnya ruang lingkup dan kekelompokan karya harus cukup unttuk memungkinkan perkembangan peristiwa yang masuk akal ataupun yang harus ada untuk menghasilkan peredaran dari nasib baik ke nasib buruk ataupun sebaliknya. Unity berarti bahwa semua unsur dalam plot harus ada, tak mungkin tiada, dan tak bisa bertukar tempat. Connection atau coherence berarti bahwa sastrawan tidak bertugas untuk menyebut halhal yang sungguh terjadi, tetapi hal-hal yang mungkin atau harus terjadi.



Jadi, keteraturan atau susunan plot yang masuk akal, ruang lingkup yang cukup luas, kesatuan dan keterkaitan plot disebut Aristoteles sebagai syarat utama, khususnya untuk tragedi; tetapi syarat yang sama pada prinsipnya berlaku pula untuk epik dan untuk seni kata umumnya. Konsepsi Aristoteles mengenai wholeness, unity, complexity, coherence seluruh plot tidak pernah menghilang lagi dalam dunia sastra Barat, dan dipegang serta dipertahankan dengan cukup setia baik oleh penulis maupun oleh pembaca Barat, sebagai konvensi dasar seni sastra. 2. Struktur Karya Sastra dan Lingkaran Hermeneutik Hermeneutik adalah ilmu atau keahlian menginterpretasi karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya.dalam praktek interpretasi sastra lingkaran itu dipecahkan secara dialektik, bertangga, dan lingkarannya sebenarnya bersifat spiral: mulai dari interpretasi menyeluruh yang bersifat sementara kita berusaha untuk menafsirkan anasir-anasir sebaik mungkin; penafsiran bagian-bagian pada gilirannya menyanggupkan kita untuk memperbaiki pemahaman keseluruhan karya, kemudian interpretasi itulah pula yang memungkinkan kita untuk memahami secara lebih tepat dan sempurna bagian-bagiannya, dan seterusnya; sampai pada akhirnya kita mencapai taraf penafsiran di mana diperoleh integrasi makna total dan makna bagian yang optimal. Kalau seorang pembaca tidak berhasil mencapai interpretasi integral dan total, tinggal hanya dua kemungkinan: karya itu gagal, atau pembaca bukan pembaca yang baik. 3. Kekurangan Minat untuk Struktur Karya Sastra pada Abad ke-19 Pendekatan yang diutamakan dalam ilmu sastra abad ke-19 itu ialah sejarah sastra yang juga sering mengabaikan karya sebagai keseluruhan makna: pada abad itu pula segala bidang ilmu kemanusiaan berorientasi sejarah: benntuk bahasa purbalah yang dilacak, misalnya bahasa Indo-Eropa, bahasa Austronesia purba dan lain-lain. Dengan sendirinya ilmu bahasa menjadi cukup anomis, lebih memperhatikan sejarah unsur-unsur bahasa (bunyi, awalan atau akhiran, etimologi kata tertentu) daripada bahasa sebagai totalitas. Yang populer pada abad ke-19 ialah pendekatan yang melihat sastra pertama-tama sebagai sarana untuk memahami aspek-aspek kebudayaan



yang lebih luas, terutama agama, sejarah atau aspek kemasyarakatan. Itupun dapat diperlihatkan di bidang studi sastra Indonesia, mulai dalam abad ke-19 sampai jauh kedalam abad ini: hal itu diakibatkan atau diperkuat lagi oleh karena peneliti sastra sering kali bekerja selaku penyebar agama, penerjemah AlKitab, arkeolog atau sejarawan ataupun pegawai pamong praja. 4. Munculnya Minat untuk Struktur Karya Sastra Di bidang ilmu bahasa telah disebut nama Ferdinand de Saussure, yang membawa perputaran perspektif yang cukup radikal dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik; penelitian bahasa menurut pendapat ini harus mendahulukan bahasa sebagai sistem yang sinkronik; makna dan fungsi unsur-unsurnya hanya dapat dipahami dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur lain; sifat utama bahasa sebagai sistem tanda ialah sifat relasionalnya, yang berarti bahwa keseluruhan relasi atau oposisi antara unsur-unsur dan aspek-aspeknya harus diteliti dan dipahami lebih dahulu; baru kemudian secra efektif dapat ditelusuri perubahannya dalam sejarah. Di bidang antropologi budaya pendekatan struktural juga muncul pada awal abad ini, dengan peneliti Prancis seperti Durkheim dan Mauss sebagai pelopornya. Di bidang studi antropologi (pada waktu itu disebut etnologi atau dalam bahasa Belanda volkenkunde) mengenai Indonesia aliran strukturalis secara cukup menonjol diwakili oleh J.P.B. de Josselin de Jong dan W.H. Rassers, dengan muridmuridnya yang merupakan mazhab Leiden, yang hasil-hasilnya mencapai taraf internasional. 5. Aliran Formalis di Rusia Di bidang ilmu sastra penelitian struktural dirintis jalannya oleh kelompok peneliti Rusia antar 1915-1930. Mereka biasanya disebut kaum Formalis, dengan tokoh utama Jakobson, Shklovsky, Eichenbaum, Tynjanov, dan lain-lain. Penting disadari bahwa formalis sebagai ahli dan pengkritik sastra sangat erat hubungannya dengan aliran puisi modern di Rusia, khususnya dengan penyair Mayakowsky dan aliran Futurisme. Menurut kata Eichenbaum : “Zwischen der formalen Methode und dem Futurismus herrschte ein wechselseitiges geschichtliches Einverstandnis” (dalam Striedter 1971:XV : antara metode formalis dan aliras futuris terdapat persesuaian paham timbal balik yang bersejarah; lihat pula Erlich 1965:45 dan seterusnya).



Pada awalnya para formalis pertama-tama ingin membebaskan ilmu sastra dari kungkungan ilmu-ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah atau penelitian kebudayaan. Mereka mencari ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa lain. Yang penting menurut kaum Formalis ialah dalam bahasa Rusia priem, devices, prosede atau saranasarana yang secara distinktif dimanfaatkan oleh penyair: sarana di bidang bunyi (rimma, matra, irama, aliterasi dan asonansi), tetapi pula dibidang morfologi, sintaksis dan semantik. Karya sastra seluruhnya dipandang sebagai tanda, lepas dari fungsi referensial atau mimetiknya. Maka itu peneliti sastra pertama-tama bertugas untuk meneliti struktur karya sastra yang kompleks dan multidimensional, dimana setiap aspek dan anasir berkaitan dengan aspek dan anasir lain yang semuanya mendapat makna penuhnya dari fungsinya dalam totalitas karya itu. Konsep yang sangat penting dalam pandangan para formalis adalah konsep dominan,t ciri menonjol atau utama: menurut pendapat dan pengalaman mereka dalam sebuah karya sastra aspek bahasa tertentu secara dominan menentukan ciri-ciri khas hasil sastra itu, misalnya rima ataupun matra, atau aspek apapun juga, sehingga dalam analisis dan interpretasi karya sastra aspek dominan itulah yang harus ditekankan, sedangkan aspek-aspek lain sering kali menyangka hal yang dominan itu. Demikianlah aliran formalis cepat berkembang ke arah strukturalis. Karya sastra sebagai struktur menjadi sasaran utama ilmu sastra. Mereka tidak membatasi diri pada studi puisi yang pada awalnya terutama menarik minatnya; misalnya dalam penelitian struktur naratif dalam roman atau cerita pendek Shklovsky mengembangkan oposisi antara fabel (fabula) dan plot (sjuzet) sebagai sarana penelitian yang sangat penting. Penyimpangan karya sastra memiliki dua aspek; secara sinkronik, karya sastra menyimpang dari bahasa sehari-hari. Secara diakronik, karya sastra tidak hanya menyimpang dari bahasa sehari-hari, tetapi pula dari karya sastra sebelumnya. 6. Pendekatan struktural dan gerakan otonomi Kritik sastra harus berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan penyair sebagai pencipta atau pembaca sebagai penikmat. Lodge yang pertama kali membantah salah paham seakanakan pengkritik sastra berurusan dangan niat pembaca yang tersedia baginya hanya meaning,



makna karya itu dan hanya itulah yang dapat dipahami ataupun dikuasainya. Warren dalam pendekatan ekstrinsik terhadap karya sastra pada prinsipnya ditolak karena dianggap kurang tepat, yang perlu adalah pendekatan instinsik yang menekankan struktur karya sastra itu sendiri. 7. Tentang analisis struktur karya sastra Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersamasama menghasilkan makna menyeluruh. Pada sebuah sajak atau roman pun tidak cukup semacam enumerasi gejala-gejala yang berhubungan dengan aspek waktu, ruang, perwatakan, point of view dan sorot balik. Setiap karya sastra memerlukan metode analisis yang sesuai dengan sifat dan strukturnya. Perbedaan analisis tidak hanya tergantung pada tebal tipisnya sebuah karya sastra. 8. Empat kelemahan strukturalisme khususnya New Criticism. Konsep struktur Kelemahan pendekatan struktural terutama berpangkal pada empat hal yaitu: a. New criticism dan analisis struktur karya sastra secara umum merupakan teori, bahkan ternyata merupakan bahaya untuk mengembangkan teori sastra yang sangat perlu. b. Karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarah. c. Adanya struktur yang objektif pada karya sastra makin disangsikan, peranan pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi karya sastra makin ditonjolkan dengan segala konsekuensi untuk analisis struktural. d. Analisis yang menekankan otonomi karya sastra juga menghilangkan konteks dan fungsinya, sehingga karya itu kehilangan relevansi sosialnya. Culler sastra itu sendiri merupakan eksplorasi dan perenungan yang terus menerus mengenai pemberian makna dalam segala bentuknya, penafsiran pengalaman, komentar mengenai keberlakuan berbagai cara menafsirkan pengalaman. 9. Pasca-strukturalisme Srukturalisme menitik beratkan struktur karya individual mengabaikan hakikat ilmu sastra. Pendekatan pasca-strukturalisme menunjukkan perbedaan paham adalah keterpercayaan terhadap bahasa: bahasa tidak mungkin mencerminkan kenyataan, atau tidak mungkin dicek berdasarkan



kenyataan. Pemakaian bahasa dalam teks menciptakan sebuah kenyataan yang hanya terdiri dari dan dalam bentuk bahasa, sebagai dunia tanda. 10. Prinsip intertekstualitas atau hubungan antar teks Prinsip utama karya sastra adalah intelektualitas. Prinsip ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain. Culler menyatakan setiap teks terwujud sebagai mosaik kutipan-kutipan, setiap teks merupakan peresapan dan transformasi teks-teks lain. Konsep intertektualitas memainkan peranan yang sangat penting dalam semiotik sastra, tidak hanya dalam usaha untuk sekedar memberi interpretasi tertentu terhadap karya sastra yang konkrit. 11. Kenisbian konsep struktur, peranan pembaca selaku pemberi makna Prinsip intertektualitas mempunyai konsekuensi untuk pandangan ilmiah terhadap struktur karya sastra. Antara analisis struktural yang obyektif dengan interpretasi makna karya sastra yang tergantung pada pembaca ternyata juga tidak tepat. Antara analisis struktural dengan interpretasi ada hubungan dialektik seperti antara bagian-bagian dan keseluruhan sebuah teks dan pembaca. Praha diwakili oleh aliran estetik resepsi, yang dipelopori oleh Hans Robert Jausz. Aliran ini mempunyai latar belakang ilmiah yang lain sekali, tetapi mereka mempunyai latar belakang ilmiah yang lain sekali, tetapi merekapun menekankan peranan pembaca selaku pemberi makna, sehingga konsep struktur dinisbikan artinya untuk ilmu sastra. 12. Analisis struktur dan fungsi kemasyarakatan karya sastra Foulkes dianggap pula eliter untuk karya sastra dalam praktek berarti melepaskan karya dari fungsi dan relevansi sosialnya. Foulkes menyatakan aliran formalis dapat memberi sumbangan pada cara memandang yang menghilangkan makna yang sungguh-sungguh baik pada karya sastra, maupun pada peristiwa yang nyata. Menurut Foulkes pendekatan strukturalis malahan dimanfaatkan oleh kekuasaan yang ada pada golongan elit untuk menindas revolusi sosial, emansipasi wanita, orang hitam dan lain-lain. Bagi Foulkes tidak dapat disaksikan bahwa pendekatan obyektif, dengan istilah Abrams, tidak mungkin dan tidak boleh dilakukan. Oleh karena pada prinsipnya interprestsi sebuah karya hanya dapat diberikan dalm rangka model semiotik yang total. Disamping faktor setruktur, khususnya faktor



mimetik dan pembaca harus diberi tempat yang selayaknya dalam proses pemberian makna. Keberatan kritik Foulkes terhadap setrukturalisme menekankan aspek mimetik, yaitu keterkaitan antara kenyataan dan karya seni. Penekanan aspek mimetik tidak berarti bahwa analisis karya tidak dianggap penting atau layak lagi. 13. Strukturalisme Genetik Menurut Goldmann stuktur kemaknaan itu mewakili pandangan dunia penulis, tidak sebagai individu, tetapi sebagai wakil golongan masyarakatnya . Maka itu varian stukturalis Goldmann disebut strukturalis genetik yang menerangkan karya dari homologi, persesuaiannya dengan struktur sosial. KOMENTAR: Dalam bab ini pengarang memaparkan sastra lebih rinci sehingga buku ini bagus digunakan oleh mahasiswa.



BAB VI PENULIS DALAM MODEL SEMIOTIK 1 Lingius dan Aspek Ekspresif Karya Sastra 2.Abad Pertengahan: Manusia Selaku Pencipta meneladani Ciptaan Tuhan 3.Pengakuan Augustinus dan Rosseau 4.Seniman selaku Pencipta di Zaman Roantik 5.Puisi Lirik Jenis Sastra Utama pada Zaman Romantik 6.Menghilangnya Penulis dalam Sastra Naratif 7.Masalah Pemahaman Teks dan Minat Penulis: Gadamer Lawan Hirsch 8.Kritik Mutakhir Terhdap Penghilang Penulis Juhl



155



157



160



163



165



169



172



176



VI. PENULIS DALAM MODEL SEMIOTIK 1. Longinus dan aspek ekspresif karya sastra Puitik Aristoteles ditekankan terutama dua faktor model semiotik yaitu karya sastra sebagai stuktur yang menyeluruh dan karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan. Ars poetica menekankan aspek pragmatik: sastra harus memberi manfaat dan nikmat. Menurut Longinus yang merupakan syarat mutlak dan paling penting untuk penciptaankarya yang agung, tetapi gagasan itu seolah-olah tengelam berabad-abad lamanya. Abrams menyatakan tidak ada yang sama banyaknya menghasilkan keagungan seperti emosi mulia pada tempat yang tepat, emosi mengilhami dan merasuki kata-kata dengan semacam keedanan dan semangat ilahi. 2. Abad pertengahan: manusia selaku pencipta meneladan ciptaan Tuhan Menurut Jausz karya seni diangap sebagai tekhne, kepandaian atau kemahiran yang memang tinggi. Namun selalu harus ditempatkan alam menjadi taladan, yang mau tak mau harus diikutu seniman. Menurut sejarahnya penciptaan puisi dan seni dapat diperikan sebagai perwujudan gagasan manusia selaku pencipta, yang berkembang secara berangsur-angsur. Dalam rangka peneladanan alam, maupun dalam dunia masehi manusia hanya sebagai pembantu dan hamba tuhan. Jausz menyatakan penyair menjadikan baik alam kedua, maupun juga bermacam-macam peruntungan, serta akhirnya



menjadikan diri seperti tuhan kedua. 3. Pengakuan Augustinus dan pengakuan Rousseau Jausz menyebut empat pokok perselisihan antara dua pandangan tersebut yaitu: a. Dalam confessiones Augustinus manusia digambar sebagai hamba yang takluk pada tuhan. Riwayat hidupnya hanya bertujuan untuk menghilangkan dirinya. Dalam les confessions Rousseau manusia adalah otonom, hanya takut pada hukum sendiri. Tujuan riwayat hidup adalah penemuan dan pengunkapan diri manusia yang unik. b. Augustinus mempertentangkan tuhan yang tak berubah, tetapi yang mengubah segala sesuatu dalam alam semesta dengan riwayat manusia yang terpecah antara yang dahulu dan masa kini, akibat dosanya manusia kehilangan keutuhannya. Sedangkan Rousseau mengajukan keutuhan dan keatuan riwayat hidup manusia, pada asalnya manusia tidak berdosa, hanya masyarakatlah yang merusak dunia manusia. c. Augustinus mempertentangkan tuhan yang abadi, yang tak terikat pada waktu dan tempat, dengan manusia yang tak sempurna dan yang ingatannya dan pengetahuannya fragmentaris saja. Bagi Rousseau manusia sebagi individu mempunyai pengalaman dan penghayatan menyeluruh, melalui daya imajinasinya ia berhasil membayangkan keunikannya yang menjadi kebangaannya. d. Kata Augustinus Tuhan Yang Maha Tahu, sedangkan manusia tidak mengenal dirinya. Tetapi bagi Rousseau manusia tahu beres, dialah maha tahu, dia dapat membenarkan dirinya sendiri. Kesimpulan Jausz adalah makin banyak dan jelas manusia mengarahkan diri ke tujuan otonominya dan mulai mendasar kediriannya yang sejati dalam keindividuannya, (jadi tidak lagi mencari dirinya dalam ke-Kau-an Khaliknya yang asing), makin banyak pula pengalaman estetik merebut predikat-predikat identitas Ilahi, lantas menciptakannya kembali menjadi tolak ukur pengalaman dirinya sendiri, yang secara kesastraan terjelma dalam bentuk dan tuntutan otobiografi modern. 4. Seniman selaku pencipta di zaman romantik Perkembangan puisi dan puitik dengan sangat indah dipaparkan oleh Abrams untuk puisi Inggris, dalam bukunya yang berjudul The Mirror



and the Lamp, dengan subjudul: Romantic theory and the critical tradition (Teori romantik dan tradisi kritik dan ilmu sastra). Abrams menekankan bahwa di zaman manapun juga teori mengenai budi (mind) dan teori seni cenderung untuk berkaitan padat, dan keduanya memanfaatkan analogi yang serupa, baik eksplisit ataupun secara tersembunyi: “for the representative eighteenth-century critic the perceiving mind was a reflector of the external world; the inventive process consisted in a reassembly of ‘ideas’ which were literally images, or replices of sensation; and the resulting art work was itself comparableto a mirror percenting a selected and ordered image of life. By substitusing a projective and creative mind and consonantly, an expressive and creative theory of art, various romantic critics reserved the basic orientation of all aesthetic philosophy” (Abrams 69: bagi pengkritik seni yang terkemuka dalam abad ke-18 budi pengamat, mencerminkan dunia luar; proses inventif terdiri atas perakitan kembali ide-ide yang secara harfiah merupakan imaji atau bayangan pengalaman indria; dan karya seni yang dihasilkan sendiri dapat dibandingkan dengan cermin yang menyajikan imaji kehidupan yang terpilih dan teratur. Dengan menggantikan gagasan ini dengan budi yang memproyeksikan dan menciptakan dan, sesuai dengan itu, sebuah teori seni ekspresif dan kreatif, berbagai pengkritik romantik memutarbalikkan orientasi mendasar segala teori estetika). Yang indah hanya yang baru dan yang baru lebih baik daripada yang lama. Itulah semboyan seni sejak awal abad ke-19, dan pandangan ini menjadi stereotip dalam kebudayaan Barat modern, seperti dalam dunia periklanan yang gaya dan citranya juga telah merebut pasar di Indonesia; misalnya dengan bir baru yang baru bir (yang baik). Individualisme, orisinalitas, kreativitas, jenialitas, semuanya adalah konsep dan istilah yang membayangkan visi manusia modern terhadap seni. 5. Puisi Lirik Jenis Sastra Utama pada Zaman Romantik Bagi Aristoteles, dalam penciptaan teori sastra, tragedi menjadi model sastra utama, sebab zaman keemasan kebudayaan Athena tragedilah yang paling populer dan tinggi nilainya, dengan penulis drama seperti Aechylus, Sophocles, dan Euripides. Demikian Horatius menulis ars poeticanya yang cenderung ke pendekatan pragmatik pada waktu retorik menjadi maha penting dalam kebudayaan Roma.



Beberapa definisi puisi atau tugas penyair dari masa romantik Inggris yang diambil dari buku Abrams dapat menjelaskan visi, baik pada para penyair sendiri maupun pada pengkritiknya: ucapan Wordsworth dari tahun 1800 malahan sering kali dikutip sebagai awal mulanya puisi dan puitik romantik Inggris: “Poetry is the spontaneous overflow of powerful feelings” (puisi adalah peluapan spontan dari perasaan yang kuat). Atau “Poetry is feeling, confessing itself to itself in moments of solitude... All poetry is of the nature of soliloquy” (John Stuart Mill, dalam Abrams: 25: puisi adalah perasaan, mengaku diri kepada dirimya pada saatsaat kesunyian... Semua puisi bersifat cakap tunggal). Penyair yang lahir sebagai penyair (poets born), dinilai jauh lebih tinggi daripada penyair yang dibuat (poets made). Yang tipikal pula bagi puisi dan penyair romantik ialah kesunyiannya. Diantara para Pujangga Baru terutama Tatengkeng, Sanusi Pane dan Amir Hamzah mewakili aliran yang menitikberatkan yang penyair yang menjelmakan gerak jiwanya ke Indah kata, dengan parafrase sebuah sajak Tatengkeng. Dengan kata lain citra penyair di Indonesia masihtetap bersifat romantik terutama dalam kritik dan tulisan pupuler mengenai puisi. Identifikasi penyair dengan tokoh ciptaannya adalah pendirian atau anggapan yang khas romantik. Mengungkapkan isi hati, perasaan dan keterharuan, rasa sunyi, dalam bentuk puisi adalah kegiatan manusia muda yang dianggap wajar dalam situasi sastra di Indonesia; walau disini pun orang harus hati-hati, sebab sukarlah dipastikan sejauh mana puisi pemuda itu memang pelepasan jiwa yang spontan dan sejati, dan sejauh mana puisi itu merupakan konfensiyang telah menjadi adat kebiasaan. 6. Menghilangnya Penulis dalam Sastra Naratif Di Rusia aliran puisi Futuris menekankan bahasa sebagai alat, bukan penyair lagi, dan dilahirkan pendekatan formalis; di Eropa Barat aliran sastra lain menggantikan ekspresionis: para realis dan naturalis menonjolkan kenyataan, yang memerlukan pendekatan kritik sastra dan ilmiah yang bersifat mimetik. Penulis tidak hanya cenderung untuk menghlang dan menghilangkan diri dari teksnya; ilmu sastra pun berusaha untuk meniadakan si penulis sebagai faktor dalam proses semiotik. Usaha lain kearah yang sama keliatan dalam teori struktur dan teknik naratif; antara teori sastra dan praktek sastra. Oleh karena pandangan modern



penulis harus menghilang dari karyanya, maka hubungan antara penulis roman dan cerita dipermasalahkan: diadakan jarak antara penulis dan juru kisah dalam cerita. Henry James, penulis roman Amerika Serikat, juga secara teori mendalami masalah point of view yang mendasar bagi karyakaryanya. Dan seorang ahli sastra yang sangat mengagumi karya sastra James Percy Lubbock menulis buku dengan judul Kepandaian Menulis Fiksi yang memusatkan perhatiannya pada masalah poin of view, dan membandingkan sejumlah roman terkenal dan sastra dunia. 7. Masalah Pemahaman Teks dan Niat Penulis: Gadamer Lawan Hirsch Hans-Georg Gadamer adalah seorang ahli pikir, ia mengatakan bahwa teks tertulis adalah pemakaian bahasa dengan ciri khas, dimana teks tertulis demi ketertulisannya mempunyai kehiduan sendiri, lepas dari penulis maupun pembaca. Dan interpretasi itu oleh seorang pembaca tak dapat berarti pemberian makna sesuai situasi si pembaca. 8. Kritik Mutakhir terhadap Penghilangan Penulis: Juhl Juhl mempertahankan tiga dalil atau tuntutan, yang berkaitan satu sama lai, yaitu: a. Ada perkaitan logis, dimana dalam memahami karya sastra berarti memahami pula apa yang diniatkan penyampaiannya oleh penulis. b. Penulis yang nyata bertanggung jawab atas proposisi yang diajukan dalam karyanya. c. Karya sastra hanya mempunyai satu arti. Ambiguitas dalam karya sastra justru built-in sebagai ciri khasnya, dan sudah tentu potensi itu dimanfaatkan sepenuhnya oleh penulis dan pembaca. 9. Kesimpulan Pembaca karya sastra, berdasarkan model semiotik, berada dalam berbagai tegangan: pertamatama tegangan antar sistem bahasa penerapan sistem itu secara individual, yang tidak seluruhnya ditentukan oleh struktur bahasa; kedua tegangan antar sistem sastra dan karya individual, yang pada satu pihak merupakan perwujudan sistem sastra, penerapan konvensi dan kompetensi yang dikuasainya, tetapi sekaligus merupakan penyimpangan dari dan pemberontakan terhadap sistem itu, sehingga pembaca terus-menerus dikiankemarikan antara sistem dan karya individual, dengan segala konsekuensinya.



Komentar: kelebihan dari buku ini adalah, penulis menjelaskan sub-sub judul dari bab ini dengan cukup jelas. Mulai dari sub judul awal, hingga sub judul terakhir, kecuali pada sub judul “Resepsi Madame Bovary Sebagai Contoh Penelitian Resepsi”. Hanya saja buku juga ini mempunyai kelemahan, yaitu pada bab ini banyak menggunakan tanda baca : (titik dua), dan ; (titik koma) yang membuat pembaca pemula seperti Saya bingung, apa arti dari tanda-tanda tersebut. Kemudian dalam buku ini terdapat tanda baca yang salah. Misalnya pada kalimat: Bagi Ingarden, sebagai tesis dasar, hanya ada satu konkretisasi ideal, lepas dari masa dan situasi pembaca. Dan juga, jarak antar paragraf cukup dekat.



BAB VII. PEMBACA DALAM MODEL SEMIOTIK 1. Apek Pragmatik dalam Retorika Barat dan Puitika Melayu 2. Resepsi Strukturalisme Dinamik Mukarovsky 3. Vodicka dengan Teori Konkretisasi Karya Seni 4. Teori Estetika Resepsi Jausz 5. Masalah Estetika dalam Ilmu Sastra 6. Wirkung dan Resepsi 7. Resepsi Madam Bovary Sebagai Contoh Penelitian Resepsi 8. Foulkes dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Pembaca 9. Penerapan Metode Penelitian Resepsi Sastra 10. Penelitian Resepsi Lewat Kritik Sastra 11. Pendekatan Lain Terhadap Penelitian Resepsi: Intertekstualis,



183



185



190



192 198 201 204



206



208



210 213



1. Aspek Pragmatik dalam Retorika Barat dan Puitika Melayu Pada 14 tahun sebelum masehi sekitar 2000 tahun yang lalu. Horatius dalam Arc Poetica-nya yang terkenal menuliskan tentang tugas atau fungsi menyair sebagai berikut : aut prosdesse volunt aut delectare poetae aut simul et iucunda et idonea dicere vitae (Tujuan penyair ialah berguna atau memberi nikmat, ataupun sekaligus mengatakan hal – hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan). (Paragraf 1: 141) Berdasarkan kutipan diatas sekaligus terungkap pendekatan terhadap sastra yang disebut Pragmatik, dan sangat berpengaruh terhadap sejarah kritik sastra dan teori sastra Barat. Dalam pendekatan teori Barat sering kali ada diskusi yang cukup sengit antara utile ataupun dulce harus didahulukan. Jadi pertentangan antara pendekatan moralis dan estetik, atau disebut perbedaan tekanan. Estetik di dunia Barat baru mulai sungguh – sungguh lepas dan tersendiri sejak zaman romantik. (Paragraf 2: 141) Secara implisit dari berbagai karya sastra sendiri dapat dikatakan bahwa kedua aspek utile dan dulce bagi sastra Indonesia cukup esensial, dengan kemungkinan aspek moralis yang biasanya didahulukan. (Paragraf 3: 142) Di dunia Barat sastra berfungsi untuk mempengaruhi pembaca antara lain mengakibatkan perbauran antara teori sastra dan retorik yang berusaha untuk meneliti selengkap dan secermat mungkin. Retorik berkembang menjadi semacam taksonomi dan sistemasisasi menyeluruh tentang segala macam sarana bahasa sastra yang sampai sekarang masih dipakai. Belakangan ini retorik muncul kembali dalam bentuk modern disesuaikan dengan perkembangan ilmu bahasa, tetapi pada hakikatnya masih sama dengan retorik lama. (Paragraf 4: 142) Dalam retorik terutama ditelusuri sarana – sarana



Penyadaran, Penerjemahan



mana mengakibatkan tanggapan tertentu pada pihak pembaca atau pendengar. Tetapi ilmu sastra modern lebih berorientasi pada masalah apa yang dilakukan pada pembaca dengan karya sastra dan apa yang dilakukan oleh karya sastra dengan pembacanya. (Paragraf 5: 142) 2. Resepsi dalam Strukturalisme Dinamik Mukarovsky Di sini pertama – tama dibahas dalam strukturalisme Praha yang telah disinggung dalam Bab V, dengan nama Mukarovsky dan Vodicka. Perkembangan ini sebenarnya telah berlangsung dalam tiga puluhan abad, tetapi karena kebanyakkan karya peneliti Praha ditulis dalam bahasa Tsjeko hasil penelitiannya belum diketahui di Eropa Barat. Mokarovsky baru mulai dikenal lewat terjemahan kedalam bahasa Jerman pada tahun 60 an, dan dalam bahasa inggris pada tahun 70 an oleh Steiner dan Burbank (1977 ; 1978) dengan pendahuluan yang memberi pandangan yang baik mengenai perkembangan fikiran Mukarovsky. (Paragraf 1: 143) Teori Mokarovsky terhadap karya sastra bertangkal pada aliran formalis sebagai usaha untuk memahami karya sastra sebagai realisasi fungsi puitik bahasa. Penelitian prosede atau sarana – sarana bahasa menghasilkan efek estetik lewat deotomatisasi, penyimpangan dan pembongkaran terhadap norma – norma yang berlaku. Tetapi pada awal Mokarovsky telah menekankan fungsi karya seni sebagai tanda, fakta sosial supra-individual yang mengadakan komunikasi. Dalam gejala sosial biasanya fungsi estetik terdapat dalam kaitan dengan fungsi – fungsi lain. (Paragraf 2: 143) Mukarovsky memperlihatkan hubungan antara fungsi estetik dan fungsi lain berubah terus – menerus. Dalam hal sastra telah disebut hal yang sama dalam pembahasan definisi sastra seperti mantra Melayu klasik yang fungsi keagamaannya dominan dalam masyarakat tradisional, kemudian dinikmati oleh pembaca modern sebagai karya estetik tanpa merasa terlibat dalam aspek dan fungsi keagamaannya. Maka oleh Mukarovsky dipertahankan pendirian, karya sastra dalam sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari konteks sosio-budaya serta kode atau norma – norma yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. (Paragraf 3: 144) Tetapi dalam perkembangan ide Mokarovsky terjadi pergeseran terhadap fungsi tersebut, terdapat dalam buku yang ditulisnya pada tahun 1936 yang berjudul Aesthetic, Function, Norn, and Value as Social Facts terdapat definisi sebagai berikut. “By function we understand an active relation between an object and the goal for which this object is used” (Mokarovsky 1978). Yang fungsinya dapat diartikan sebagai hubungan yang aktif antara sebuah obyek dan tujuan yang dilayani obyek tersebut. Dalam hal ini tujuan itu harus



bersifat supra - individual yaitu tidak terikat pada satu individu saja. Mokarovsky selalu menempatkan seni sebagai faktor semiotik yang komunikatif dalam kerangka sosial. Tetapi beberapa tahun kemudian Mukarovsky memberi definisi yang lain sekali ; the mode of subject’s selfrealization vis-à-vis the external world. Jadi fungsi kesenian pembaca melaksanakan diri, dialah yang menjadi pusat peristiwa semiotik. Dalam estetik fungsi semiotik melatardepankan tindak penilaian. Sebab karya seni sendiri tidak mempunyai realitas semiotik. (Paragraf 4: 144) Pembaca sebagai subyek tak kurang pentingnya dalam fungsi semiotik karya sastra daripada sturkturnya. Dalam setiap karya seni terwujud yang disebut intentionality, tetapi ini tidak identik dengan intention, niat penulis. Intentionalitas dalam seni adalah “Semantic energy which binds to-gether all the heterogeneous elements of the work into a semantic unity, a sign.” Yang artinya energi semantik yang mempertalikan semua anasir karya yang heterogen menjadi kesatuan makna, sebuah tanda. Dalam pendekatan mukarovsky ini karya sastra sebagai tanda dan subyektivitas pembaca, yang bukan subyektivitas mutlak, tetapi yang tergantung pada lingkungan sosial dan kedudukan sejarah penanggap. (Paragraf 5: 145) Demikianlah Mukarovsky meletakkan dasar untuk estetik sastra dalam model semiotik dimana ada hubungan dinamik dan tegangan yang terus menerus antara ke 4 faktor : pencipta, karya, pembaca, dan kenyataan. (Paragraf 6: 146) 3. Vodicka dengan Teori Konkretisasi Karya Seni Konsep yang sangat penting dalam teori Vodicka ialah Konkretisasi. Konsep ini sesungguhnya berasal dari seorang ahli sastra Polandia Roman Ingarden, dan dipaparkan dalam sebuah buku Das literarische Kunstwerk (1931). Dalam buku tersebut Ingarden mengemukakan pendapat bahwa karya sastra mempuyai struktur yang obyektif, yang tidak terikat pada tanggapan pembaca, dan yang nilai estetiknya pun tidak tergantung pada norma – norma estetik pembaca yang terikat pada masanya. Dalam setiap karya sastra terdapat Unbestimmtheitsstellen, tempat – tempat tak tertentu atau kosong yang pengisiannya terserah kepada pembacanya, menurut kemampuan dan seleranya. Itu yang disebut konkretisasi oleh Ingarden ; tetapi dalam sisi Ingarden kebebasan pembaca dibatasi oleh struktur karya seni yang mengikatnya. (Paragraf 1: 146) Di sini Vodicka berselisih paham dengan Ingarden. selaku murid mukarovsky yang setia, kebebasan pembca jauh lebih besar, tidak hanya secara konkrit dan factual, tetapi pula secara prinsip. Makna karya sastra adalah sebuah proses konkretisasi yang diadakan terus menerus oleh lingkungan pembaca yang susul menyusul dalam waktu berbeda menurut situasinya. Bagi Vodicka sastra dan ilmu



sastra mempunyai relevansi langsung untuk meneliti konteks sosio-budaya dan sebaliknya. Tetapi dia selalu menentang pendapat Marxis bahwa pengaruh itu searah saja. Demikianlah karya sastra menjadi fungsional, menjadi faktor dan evolusi kesastraan dan kemasyarakatan. Tidak heranlah Vodicka menitikberatkan sejarah sastra sebagai pendekatan sastra yang tak terhindari. (Paragraf 2: 147) 4. Teori Estetik Resepsi Jausz Pendekatan ini sangat mirip dengan teori Mukarovsky dan Vodicka, tetapi rupa-rupanya tidak dipengaruhi oleh aliran strukturalisme dari Praha, yang karya – karyanya sebagian besar ditulis dalam bahasa Tsjeko. (Paragraf 1: 149) Tokoh utama dalam ilmu sastra yang menekankan peranan pembaca adalah Hans Robert Jausz yang pada tahun 1967 menggegarkan dunia ilmu sastra tradisional di Jerman Barat dengan sebuah makalah yang berjudul Literaturgeschichte als Provokation (Sejarah Sastra sebagai tantangan). Kemudian dijadikan buku dengan judul yang sama dan pertama kali terbit pada tahun 1970. Jausz mempunyai latar belakang sebagai medievis, yaitu peneliti sastra dan sejarah sastra Abad pertengahan di Eropa Barat. Menurut Jausz penelitian sejarah sastra di dunia Barat menemui jalan buntu. Kemudian pada awal abad ke 19 sejarah di zaman romantik mulai berkembang sebagai sejarah – sejarah nasional, demikian pula sejarah sastra. Muncullah gagasan sejarah sebagai rangkaian periode yang masing – masing mempunyai ciri khasnya. (Paragraf 2: 149) Pada Abad ke 20 menurut Jausz ada 2 aliran yang menentang “Blinde Empirie des Positivismus” (Empiri buta aliran positivis), maupun “Asthetische Metaphysik der Geistesgeschichte” (Metafisik estetik sejarah kebudian). Aliran pertama yang dimaksud oleh Jausz adalah pendekatan sastra oleh kaum Marxis. Mereka ingin mengembalikan karya sastra dalam kaitan sejarah dan fungsi kemasyarakatannya, tetapi menurut Jausz kelemahan utama mereka ialah terbatasnya visi mereka terhadap fungsi seni, khususnya sastra yang dianggapnya mencerminkan perkembangan dan keadaan masyarakat. (Paragraf 3: 149) Aliran kedua menurut pendapat Jausz adalah aliran formalis Rusia yang telah dibicarakan terlebih dahulu dalam Bab V. Jausz menekankan perkembangan dalam visi para farmalis, yang cepat sekali berkembang dari pendekatan atomistik yang hanya memperhatikan prosede –prosede insidental ke arah struktural. Pada tahap ini mereka tidak hanya melihat karya sastra sebagai keseluruhan dimana semua anasir bersama – sama merupakan struktur yang koheren. (Paragraf 4: 150) Demikianlah ringkasan Jausz mengenai perkembangan sejarah sastra sejak dahulu. Berdasarkan



BAB VIII. KARYA SASTRA DAN KENYATAAN 1. Teori Plato Mengenai Mimesis 2. Aristoteles Menyanggah Plato 3. Alam dan Seni dalam Berbagai Kebudayaan 4. Kaitan Antara Mimesis dan Creatio dari Segi Bahasa 5. Kenataan dari Segi Sosiologi 6. Sastra: Peneladanan dan Sekaligus Model Kenyataan 7. Roman dalam Ketegangan Antara Kenyataan dan Rekaan 8. Masalah Realisme dalam Sejarah Sastra 9. Roman Sebagai Dokumen Sosial 10. Kenyataan dalam Puisi larik 11. Kenyataan dalam Babad dan Sejarah. 12. Sastra dan Penulisan Sastra 13. Hayden Whit mengenai Sejarah dan Sastra



survey mengenai berbagai pendekatan dalam penelitian sastra dahulu dan sekarang, Jausz mengemukakan gagasannya yang baru. Menurut Jausz para peneliti sastra juga dalam aliran Marxis dan formalis, melupakan faktor yang terpenting dalam proses semiotik yang disebut kesusastraan. Kesejarahan sastra bersama dengan sifat komunikasinya mengandaikan hubungan dialog dan sekaligus hubungan proses antara karya, siding pembaca dan karya baru. (Paragraf 5: 150) Peneliti sastra dan sejarah sastra menurut Jausz bertugas untuk menelusuri karya sastra sepanjang zaman. Keindahan sebuah karya bukanlah sesuatu yang mutlak, keindahan adalah pengertian yang nisbi, tergantung dari situasi sosio-budaya. (Paragraf 6: 151) Mengenai sejarah sastra sebenarnya dalam visi Jausz setiap penelitian sastra mau tak mau bersifat historik, dalam artian bahwa resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya. Singkatnya kita sekarang memahami karya sastra sebagai gejala semiotik dimana semua faktor model semiotik harus di ikut sertakan. Pembaca sampai sekarang sedikit terabai berkat jasa Jausz, sama seperti Vodicka dan kawan – kawan, pembaca sebagai faktor yang penting. (Paragraf 7: 152) 5. Masalah Estetik dalam Ilmu Sastra Tidak kebetulan Jausz menyebut pendekatannya terhadap sastra Rezeptionsathetik. Hal ini menyangkutpula tempat peneliti sendiri dalam prosese resepsi karya sastra dan penelitiannya dan suatu masalah yang dipertikaikan dengan cukup sengit dalam rangka hubungan antara kritik sastra dan ilmu sastra. Sebagai contoh dapat disebut diskusi antara dua tokoh terkemuka dalam ilmu sastra, Northtrop Fyre dan Rene Wellek. Fyre secara prinsip membela pendirian bahwa ilmu sastra tidak berurusan dengan nilai sastra. Walaupun Fyre setuju bahwa kebalikannya benar. “value judgements are founded on the study of literature”(penilaian berdasarkan atas study sastra). Selaku ahli sastra pembaca tidak berurusan dengan nilai. (Paragraf 1: 152) Wellek tidak setuju dengan pendirian yang mutlak ini “must…. be a critic in order to be a historian “harus menjadi kritik sastra agar bias menjadi peneliti sejarah sastra)”. Obyeknya sendiri merupakan “a structure of values”(struktur nlai-nilai). Tidak ada kemungkinan untuk menghindari penlaian oleh kita, oleh saya. Satu – satunya hal yang benar dan jujur dapat kita lakukan ialah membuat penilaian seobyektif mungkin, membuat apa yang dibuat okeh setiap ahli dan sarjana dengan mengasingkan obyeknya, mengamati seinsentif mungkin, mengupasnya, menafsirkannya dan akhirnya menilainya dengan kriteria yang diambil, dicek dengan diperkuat oleh pengetahuan yang luas, pengamatan



dekat , kepekaan yang tajam, pertimbangan yang sejujur mungkin kita kuasai (Wellek 1973). (Paragraf 2: 153) Tetapi Jausz bergeser lebih jauh lagi kea rah pembaca yang peranannya berdifinisi menisbikan penlaian karya sastra. Karya sastra mempuyai potensi makna yang dalam perjalanan sejarah dapat berembang teru-menerus, makna yang obyektif benar tidak mungkin dan tidak perlu ada. Antar penilaian masa lampau dan masa kini “das Urteil der Jahrhunderte” yaitu “die suksessive Entfaltung eines im Werk angelegten Shinnpotentials, da sich dem verstehendedn Urteil erschlieszt” (Jausz 1970). (Paraggraf 3: 153) Tetapi Jausz tidak membatasi usaha peneliti pada tugas memahami sebaik mungkin karya sastra dalam konteks sejarahnya. Demikianlah latar belakang istilah Rezeptionisasik yang dengan sadar dipilih oleh Jausz. Dalam hal ini dia lebih radikal dari Vodicka, yang membedakan dengan jelas peanan pengkritik sastra. (Paragraf 4: 154) Demikianlah latar belakang istilah Rezeptionsasthetik yang dengan sadar dipilih oleh Jausz. Dalam hal ini Jausz lebih radikal dari Vodicka, yang membedakan dengan jelas peranan peneliti ilmiah dengan peranan pengkritik sastra. (Paragraf 5: 154)



6. Wirkung dan Resepsi Tugas penelitian resepsi dalam rangka ilmu sastra harus dibatasi dan di jalaskan ke berbagai arah. Dalam kelompok ahli di Jerman, khususnya di Universitas Konstanz, sudah ada dua pendekatan utama yang berkaitan yang dalam bahasa Jerman dsebut Wirkungsgsgeschichte dan Rezeptionsgechicte. Wirkungsgsgeschichte adalah sejarah efek teks sastra yang dilihat dari segi karya itu sendiri. Tokoh penting dalam mazhab ini adalah Wolfang Iser. (Paragraf 1: 155) Iser, sependapat dengan Ingarden yaitu, mencurahkan perhatian pada potensi yang terkandung dalam karya seni untuk mengadakan efek tertentu pada potensi yng terkandung dalam karya seni unntuk mengadakan efek tertentu pada pembaca. Dalam karya sastra terdapat Unbestimmtheitsstellen, tempat kosong, yang pengisiannya terserah kepada para pembaca. Iser menyumbangkan teori yang disebut Lerstellen, tempat kosong yang berfungsi dalam pemberian makna oleh pembaca. Tempat kosomg itu berfungsi untuk mengaktifkan daya cipta pembaca dan



sekaligus menciptakan Innerperspektif, perspektif dalam sebuah teks yang masing-masing memainkan peranan sebagai plot, pelaku, jurukisah, struktur waktu,oleh pembaca diintegrasikan menjadi perspektif total. Iser menyebutnya sebagai pembaca implisit. Jadi, pendekatan ini memang diteliti Wirkung dari segi teks, pengarahan pembaca oleh teks, yang melaksanakan potensi makna sesuai dengan kompetisi pembaca. (Paragraf 2: 155) Jausz tidak mulai dari struktur teks dan dari potensi karya sastra, melainkan konkretisasi yang nyata menjadi fokus untuk penelitian Jausz. Dalam prinsipnya Jausz membedakan tiga kemungkinan yaitu, sastra dapat berlaku sebagai afirmatif-momformatif, yaitu membedakan dan memperkuat struktur, mempertahankan norma-norma yang dalam kenyataan kemasyarakatan telah meluntur atau hilang, dan kemungkinan yang ketiga adalah, sastra bersifat inovatif dan revolusioner, merobak nilai-nilai yang mapan memberontak terhadap norma establishment kemasyarakatan. (Paragraf 3: 156) 7. Resepsi Madame Bovary Sebagai Contoh Penelitian Resepsi Pada tahun 1857, terbit untuk pertamma kali roman Gustave Flaubert yang berudul Madame Bovary. Roman tersebut menimbulkan heboh sastra di Perancis, karena kaum borjuis yang mapan pada waktu itu menganggap roman tersebut berbahaya, melawan dan mengancam tata susila. Karena Emma seorang wanita di Paris melakukan zina, tanpa dihukum oleh penulis. Perkara itu diadukan di depan hakim dan jaksamenuntut hukuman yang cukup berat. Tetapi pembela Flaubert mengemukakan alasan yang sangat menarik untuk membuktikan bahwa Flaubert tidak bersalah yaitu, dalam roman ini Flaubert tidak mengeluarkan pendapat tentang tingkah laku si Emma. Dan sebagai komentar Flaubert terhadap peristiwa-peristiwa dalam roman itu, khususnya kehidupan berzinah si Emma, sebenarnya hanyalah pikiran-pikiran dan renungan Emma sendiri . dalam buku tersebut, Flaubert memakai gaya sastra yan pada waktu itu masih baru, tetapi kemudian diperiksa dan diidentifikasi sebagai reported discourse atau erlebte Rede, vrije indirecte rede, dalam bahasa Belanda, dimana penulis atau juru kisah membayangkan khayalan dan renungan seorang tokoh roman tanpa mengelsplisitkan bahwa ini bukan pikian si juru kisah melainkan pikiran seorang tokoh. Menurut resepsi yang seharusnya diterapkan pada roman Madame Bovary bukanlah Flaubert mengungkapkan penilaian terhadap tiingkah laku Emma yang berdosa. Dalam hukuman proses rersebut Flaubert dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan



dari tuntutan. Tapi lewat gaya bahasa cerita baru ini, menimbulkan perubahan literer yang sangat penting, sekaligus dia memaksa pembaca untuk berpikir dan menilai sendiri. Melalui renungan si Emma, Flaubert mengkonfrontasikan orang Prancis pada masa itu dengan pertentangan antara tata susila resmi dan praktek hidup. (Paaragraf 1: 157) 8. Foulkes Mengenai Faktor yang Mepengaruhi Sikap Pembaca Pandangan Faulkes bukan tak berkaitan dengan aliran estetik resepsi di negeri Jerman, khusunya pada universitas Konstanz. Bagi Foulkes penelitian karya sastra dalam rangka model semiotik mau tak mau harus mencurahkan perhatian penuh pada situasi pembaca. Pembaca penting dari dua segi yaitu, sebagai subjek dan sebagai obyek. Sebagai subyek dialah yang membaca, menafsirkan, menilai karya sastra dalam proses interpretasi dia selalu berada dalam tegangan antara textual structure sebagai sesuatu yang diberikan secara obdi diluar dirinya, dengan persediaannya yang subyektif untuk memasuki hubungan estetik dengan teks, yang sebagian ditentukan oleh konvensi-konvensi sastra. Sebagian lagi oleh faktor lain di luar sastra, itulah yang dimaksud Foulkes dengan situasi pembaca sebagai obyek. Dalam bubungan ini Foulkes juga tidak setuju dengan pendekatan historistis yang ingin menempatkan karya sastra hanya dalam tempat dan ruang dimana karya itu permah diciptakan, sehingga bagi pembaca modern kemungkinan penghayatan eatetik karya dari awalnya ditiadakan. Foulkes, sama dengan Jausz menuntut agar penitian dan pendidikan sastra membuka atau membiarkan kemungkinan untuk penilaian karya sastra klasik oleh pembaca modern. (Paragraf 1: 158) Bagi Foulkes pun kesimpulannya jelas, berdasarkan model semiotik dan peranan pembaca yang penting dalam model ini sebagai model komunikasi, maka ilmu sastra harus mencurahkan minat yang luas pada pembaca. (Paragraf 2: 160) 9. Penerapan Metode Penelitian Resepsi Sastra Dalam ilmu sastra telah dikembangkan berbagai pendekatan untuk masalah ini. Satu diantaranya bersifat eksperimental, yaitu teks tertentu disajikan kepada pembaca tertentu, baik secara individual maupun secara berkelompok, agar mereka memberi tanggapan yang kemudian dianalisis dari segi tertentu. Penelitian semacam itu dapat dilakukan dengan membuat daftar pertanyaan, kemudian jawaban para responded dianalisis secara sistematik dan kuantitatif, dapat



pula dipancing analisis yang tak terarah dan bebas, yang kemudian diberikan analisis kualitatif. (Paragraf 1: 160) Tetapi di samping masalah metode, penelitian resepsi sastra lewat eksperimen masih mempunyai kelemahan lain yamg sangat mendasar, sebab penelitian resepsi eksperimental hanya mungkin dilakukan untuk resepsi masa kini, tetapi tidak menyanggupkan orang untuk meneliti resepsi yang dahulu ada. (Paragraf 2: 161) 10. Penelitian Resepsi Lewat Kritik Sastra Vodicka menekankan peranan pengkritik sastra selaku penanggap yang utama dan khas, dialah yang mewujudkan penempatan dan penilaian karya sastra itu dalam masanya. Vodicka juga yang mengesksplisitkan konkretisasi, dan itu merupakan syarat mutlak untuk pemutannya dalam keseluruhan sejarah sastra. (Paragraf 1: 162) Menurut Vodicka peneliti harus sadar bahwa yang penting dalam kritik sastra bukanlah tanggapan seorang individu tetapi, pengkritik sastra yang baik mau mewakili norma sastra yang terikat pada masa tertentu atau pada masyarakat tertentu. Secara rangka konkretisasi yang disebut oleh Vodicka sebagai konteks, hampir sama dengan horison menurut istilah Jausz. Justru penelitian konteks itu memberikan kemungkinan untuk membedakan antara unsur subyektif dan unsur-unsur yang ditentukan oleh situasi sosiobudaya pada zaman tertentu. Vodicka lebih dahulu membicarakan 3 penilaian karya Neruda yang ditulis pada tahun 1895 yang konteksnya dikuasai oleh problematic yang obyektif, mengenai seni nasional Tsjeko. Kemudian tiga penilaian dari tahun 1901 yang konteksnya ditentukan oleh minat untuk perkembangan psikologi kepribadia Neruda. (Paragraf 2: 162) Sebagai contoh dalam sastra modern Indonesia dapat disebut penilaian puisi Chairil Anwar yang jauh berbeda sepanjang zamab. Chairil Anwar sebagai penyair, yang sekaligus universal humaris berdasarkan konteks terrtentu dan penilaian dari kaum Marxis, khususnya lekra yang mengatakan bahwa Chairil telah mampus dan tidak berarti kecuali sebagai pembaharu bentuk, karena puisinya tidak sesuai dengan ideology mereka. (Paragraf 3: 163) Dalm hal ini analisis yang cermat mengenai kritik puisi Chairil Anwar sepanjang masa adalah pentingnlah utuk memahami horizon pembaca harapan pembaca Indonesia atau konteks norma-norma sastra yang berkaitan juga dengan norma-norma sosial-politik-budaya.(Paragraf 4: 163)



11. Pendekatan Lain Terhadap Penelitian Resepsi: Intertekstualitas, Penyalinan, Penyanduran, Penterjemahan Dari prinsip intertekstualitas dapat kita kaitkan dengan reseosi karya satra dan sering sekali dalam teks tertentu terungkap semacam kreasi yang sekaligus merupakan resepsi. Sebagai contoh, yang pernah diberikan penulis tentang sajak Senja di Pelabuhan Kecil, tulisan Chairil dalam hubungan antarteksnya dengan sajak Berdiri Aku tulisan Amir Hamzah. (Paragraf 1: 164) Demikianlah sejarah sastra sebagian besar berkembang atas dasar interaksi yang terus-menerus antara kreasi dan resepsi, yang pada gilirannya menjelma kembali dalam bentuk kreasi baru, yang kemudian ditanggap lagi, menghasilkan kreasi yang baru, dan begitu seterusnya. Tiga bentuk resepsi yang kas adalah penyalinan, penyanduran, dan penterjemah. (Paragraf 2: 165) Penyalinan yang dimaksud disini penyalinan naskah, tulisan tangan, yang diteliti oleh fiologi, tepatnya tekstologi. Seorang penyalin naskah sering sekali teledor dan menyimpang dari teladannya. Keteledoran itu berbentuk penyalin asli memberi tanggapan dalam salinanya, misalnya dengan menyesuaikan aslinya dengan norma bahasa atau sastra, budaya dan seterusnya yang terjadi pada saat dia menyalin naskah aslinya. (Paragraf 3: 165) Penyaduran adalah proses yang kita ketahui dalam berbagai bentuk dalam sejarah sastra yaitu, sebuah teks digarap oleh seorang penulis, yang kemudian menyesuaikan dengan norma norma baru, dengan perubahan yang membuktikan pergesrah horison harapan pembawa, dengan tahap bahasa yang baru,dan lain lain. di Indonesia Wisran Hadi dalam penyanduran mitos-mitos Minang Kabau tertentu dalam drama Puti Bungsu memberi resepsi warisan budya lama yang diciptakan kembali sesuai konteks masa kini. (Paragraf 4: 165) Di Indonesia Wisran Hadi dalam penyanduran mitosmitos Minangkabau tertentu dalam drama Puti Bungsu memberi resepsi warisan budaya lama yang diciptakan kembali sesuai dengan konteks masa kini. (Paragraf 5: 166) Sebagai contoh disebut sanduran teks seperti Ramayana, Arjunawiwaha, Arjunawijaya, Bharatayuddha dari bahasa Jawa Kuno ke dalama bahasa Jawa Modern, oleh Yasadipura I dan I, dan penulis lain. (Paragraf 6: 166) Dalam sebuah studi lain Jausz memperlihatkan



bahwa pemuatan sebuah karya lama dalam bunga rampai yang kemudian diterbitkan dan dapat dipakai pula sesbagai sumber penelitian resepsi. (Paragraf 5:166) Terjemahan-terjemahan karya sastra dalam bahasa lain, sama dengan sandurannya, dapat dipandang sebagai bentuk resepsi yang sekaligus dapat diartikan sebagai kreasi, dan dalam sejarah sastra di mana-mana terjemahan memainkan peranan yang sangat penting, misal sebagai inovasi dan merupakan tahap esensial dalam penerimaan norma-norma baru. Vodicka pernah menulis studi yang merupakan teladan yang bagus tentang terjemahan sekaligus menjadi dasar pembaharuan. Studi semacam itu sangat diperlukan untuk sastra Indonesia, baik klasik maupun modern sebagai bahan dasar untuk sejarah modern, tetapi sekaligus sebagai jembatan bagi pembaca modern untuk memahami dan menilai secara lebih adekuat hasill terjemahan yang memainkan peranan yang demikian penting daklam sastra Indonesia. (Paragraf 6: 166)



KOMENTAR: BAB ini sangat membantu mahasiswa yang belajar sastra Indonesia, sebab memberikan pengetahuan yang rinci karena di dalam buku ini banyak melampirkan teori pendukung pada setiap pembahasannya.Tetapi dalam penyampaiannya sulit dimengerti, dikarenakan buku ini menggunakan katakata yang baku. Dan pada buku ini, tidak dilengkapi dengan biodata penulis, sehingga pembaca tidak mendapatkan informasi tentang penulis, dan karya yang lainnya.



BAB VIII. KARYA SASTRA DAN KENYATAAN 1. Teori Plato Mengenai Mimesis 2. Aristoteles Menyanggah Plato 3. Alam dan Seni dalam Berbagai Kebudayaan 4. Kaitan Antara Mimesis dan Creatio dari Segi Bahasa 5. Kenataan dari Segi Sosiologi 6. Sastra: Peneladanan dan Sekaligus Model



219 221 222



224



226 228



VIII. KARYA SASTRA DAN KENYATAAN. 1. Teori Plato Mengenai Mimesis. Dalam bab ini akan membahas hubungan antara karya sastra dan kenyataan, universe dalam isilah Abrams dan reality dalam tulisan lain. masalah ini cukup rumit, sebab tidak hanya menyangkut masalsh ilmu sastra, melainkan pula masalah filsafat, psikologi, sosiologi, dan lain-lain. (Paragraf 1: 168) Dalam ilmu sastra Barat, mau tak mau kita harus mulai dengan filsuf Plato dan muridnya, Aristoteles yang sekaligus menjadi lawannya. Plato memaparkan peranan puisi, khususnya dalam hubungannya dengan kenyataan. (Paragraf 2: 168) Pandangan Plato tak dapat dilepaskan dari keseluruhan pendirian filsafatnya mengenai kenyataan, yang bersifat hirarkik. Menurut Plato ada beberapa tataran tentang (“different planes of being”) yang masing-masing mencoba melahirkan nilai-nilai yang mengatasi tatarannya. Dunia empiri tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh,



Kenyataan 7. Roman dalam Ketegangan Antara Kenyataan dan Rekaan 8. Masalah Realisme dalam Sejarah Sastra 9. Roman Sebagai Dokumen Sosial 10. Kenyataan dalam Puisi larik 11. Kenyataan dalam Babad dan Sejarah. 12. Sastra dan Penulisan Sastra 13. Hayden Whit mengenai Sejarah dan Sastra



230



232 236 239 240 242 245



hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, peneladanan, pembayangan atau peniruan misalnya, pikiran dan nalar kita meneladani kenyataan, meniru benda, meniru bunyi, meniru keselarasan ilahi, waktu meniru keabadian, hokum-hukum meniru kebenaran, pemerintah manusia meniru pemerintah ideal, ,anusia yang meniru dewa-dewanya, dan seterusnya. (Paragraf 3: 168) Jadi, bagi Plato mimesis terikat pada ide pendekatan yang hasilnya tidak sungguh-sungguh, lewat mimesis tataran yang lebih tinggi hanya dapat disarankan. Dalam rangka ini menurut Plato mimesis atau sarana artistic tidak mungkin mengacu langsung pada nilai-nilai yang ideal, karena seni terpisah dari tataran yang sungguh-sungguh oleh derajat dunia kenyataan yang fenomenal. Seni hanya dapat meniru dan meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataab yang tampak, maksudnya berdiri dibawah kenyataan itu sendiri dalam hirarki. Maka dari itu, seni menurut Plato mmiliki dua segi sekaligus yaitu “Art, therefore, has a double aspect: in is visible manifestation it is a thing of the most interferior value, a shadow; yet ithas an indirect relation to the esensial nature of things”(Verdenius 1949: 19) maka itu seni memiliki aspek ganda yaitu, dalam perwujudan yang tampak, seni adalah benda yang sangat rendah nlainya, bayangan, namun seni juga memiliki hubungan tidak langsung dengan sifat hakiki benda-benda. (Paragraf 4: 169) Bagi Plato tidak ada pertentangan antara realism dan idealism dalam seni. Maka itu, seni yang baik harus truthful, benar dan seniman harus bersifat modest, rendah hati, dan dia harus tahu bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal dari jauh dan serba salah. Lagipula seniman cenderung menghimbau buan rasio, nalar manusia, melainkan nafsu-nafsu dan emosinya yang menurut Plato justru harus ditekan. Seni menimbulkan nafsu, sedangkan manusia yang harus berasio justru harus meredakan nafsunya. (Paragraf 5: 169) 2. Aristoteteles Menyanggah Plato Anggapan terakhir oleh Aristoteles tentang pandangan bahwa seni justru menyucikan jiwa manusia lewat proses yang disebut khatarsis, penyucian. Karya seni memungkinkan kita membebaskan diri dari nafsu yang rendah, dan karya seni mempunyai dampak pada pemuasan estetik keadaan jiwa dan budi manusia justru ditingkatkan. (Paragraf 2: 170) Tidak hanya dalam hal ini Aristoteles menolak pendapat Plato. Aristoteles tidak menerima filsafat ide Plato dan sistem nilainya yang hirarkik justru menonjolkan aspek ppositif dari mimesis. Karya seni menurut Aristotles menjadi sarana pengetahuan yang khas, cara unik untuk



membayangkan pemahaman tetang aspek atau tahap situasi manusia yang tidak dapat diungkapkan dan dikomunikasikan dengan jalan lain. (Paragraf 2: 170) 3. Alam dan Seni dalam Berbagai Kebudayaan Visi Aristoteles pada dalam sejarah kebudayaan Barat pada umunya diterima dan menjadi dasar etnik dan filsafat seni. Tetapi ini tidak berarti bahwa pandangan tentang seni sebagai mimesis dalam arti peniruan menghilang. Dalam Abad Pertengahan ungkapan ut natura poiesis, seni (puisi)harus seperti alam, menjadi pandangan dasar tentang seni, dan pandangan ini berkaitan erat dengan anggapan tentang hubungan mabusia dengan Tuhan dan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna dan tidak cacat. Alam semesta sebagai ciptaan Tuhan menurut pandangan manusia dalam Abad Pertengahan menyediakan “The Great Model”(C.S. Lewis 1964). Dan anggapan ini tidak hanya terdapat dalam teori seni Barat Abad Pertengahan. Bagi orang Arab pun penyair bukan pencipta, bagi mereka pun penyair terikat pada ciptaan Tuhan yang merpakan model yang sempurna. (Paragraf 1: 170) Sebagian penyair mencari ilham dalam keindahan alam, dan biasa berkelana(lelangon), menelusuri keindahan. Dalam puisi Jawa kuno puisi disamakan dengan nuto mystica, persatuan antara manusia dengan Tuhan lewat keindahan, manguggaling kawula gusti, dengan bahasa Jawa modern. (Paragraf 2: 171) 4.Kaitan Antara Mimesis dan Creatio dari Segi Bahasa Menurut penganut teori creatio, karya seni adalah sesuatu yang pada hakekatnya baru, asli, ciptaan dalam arti yang sungguh-sungguh. Sedangkan penganut teori mimesis pada prinsipnya menganggap karya seni sebagai pencerminan, peniruan ataupun pembayangan realitas. (Paragraf 1: 171) Dari segi bahasa, dahulu telah diuraikan bahwa harus dibedakan antara bahasa sebagai sistem dengan tanda ciri khasnya adalah dualitas antara signifiant dan signifie, yang menandai dan ditandai dengan pemakaian bahasa (langue dan parole). Pada tataran bahasa tanda itu mempunyai makna, desigatum yang tidak langsung merujuk pada kenyataan. Anggota masyarakat Indonesia dalam kata itu mempunyai sarana yang berpotensi untuk merujuk pada benda-benda tertentu dalam kenyataan, tetapi yang sendirinya bermakna lepas dari situasi pemakaian konkrit. Peralatan konseptual yang diberikan dalam sistem bahasa tidak langsung terikat pada kenyataan mana pun juga dan memberi kelonggaran pada pemakainya. Jadi, dari segi bahasa sudah jelas ada ambiguitas terhadap kenyataan.(Paragraf 2: 172)



Penulis di sini tidak hendak mendalami masalah realitas sebagai konsep filsafat, karena sudah tentu ada sistem filsafat dan agama yang menyangkal realitas pengalaman manusia dan yang menganggap dunia tampak sebagai ilusi atau Maya. (Paragraf 3: 173) 5. Kenyataan dari Segi Sosiologi Manusia tidak langsung kenal kenyataan di sekitar dan di dalam dirinya. Dalam sebuah buku yang terkenal, dengan judul The Social Construction of Reality menjelaskan bahwa kenyataan bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari adalah kenyataan yang telah ditafsirkan sebelumnya, dan dialaminya secara subyektif sebgai dunia yang bermkna dan koheren. Kenyataan bukanlahsesuatu yang diberikan secara obyektif, tapi kenyataan yang kita hadapi dan hayati adalah kenyataan yang telah prefabrictated, penafsiran dan pemahamannya adalah social constrction, sesama manusia pun tidak mungkin didekati langsung dan terbuka. Pandangan manusia terhadap kenyataan diarahkan oleh seluruh sistem aturan, lembaga, tipologi, peranan ideologi, dan mitologi yang sudah tentu berbeda menurut masyarakat dan kebudayaan. (Paragraf 1: 173) Jadi secara sedikit ekstrim dapat dikatakan, bukanlah kenyataan yang menentukan penafsiran kita terhadap kenyataan, tetapi rangka penafsiranlah yang menentukan apakah dan bagaimanakah kenyataan yang dapat dilihat dan dipahami serta cara kita melihatnya. (Paragraf 2: 174) 6. Sastra: Peneladanan dan Sekaligus Model Kenyataan Dalam teks sastra perbandingan seorang tokoh atau suatu gejala alam dengan lukisan atau gambar adalah perbandingan yang sangat biasa di mana-mana. Norma keindahan yang diakui oleh masyarakat tertentu terungkap dalam karya seni, yang kemudian dipakai sebagai tolak-ukur untuk kenyataan. Contohnya wayang Jawa, wayang Jawa tidak dinilai tepat dan indahnya berdasarkan kemiripan dengan kenytaan, tetapi manusia nyata diukur dengan norma tokoh wayang. Dengan kutipan mengenai roman modern: "the novel serves as the model by which society conceives of itself, the discourse in and through which it articulates the world... “ (Teeuw 1984: 175 : roman bertindak sebagai model lewat mana masyarakat membayangkan diri sendiri, penuntutan dalam dan lewat mana disediakannya dunia...) (Paragraf 1: 174) Berbicara mengenai seni sastra pertentangan antara mimesis dan cratio adalah pertentangan nisbi ataupun



pertentangan semu. Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah, sebelah ataupun sederhana. Hubungan itu selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung dan ditentukan oleh tiga macam kelir, yaitu kelir konvensi bahasa, kelir konvensi sosio-budaya dan kelir konvensi sastra yang menyaring dan menentukan kesan dan mengarahkan pengamatan dan penafsiran kita terhadap kenyataan. Hubungan ini memang merupakan interaksi, saling mempengaruhi, atau kaitan dwiarah(dua arah). Dan dalam seni umumnya sastra khususnya, interaksi itu dapat dijadikan prinsip semiotik utama, yaitu pembaca selalu harus bolak-balik antara kenyataan dan rekaan, nyara mimesis dan creatio. Tegangan yang ditimbulkan oleh hubungan dengan kenyatan yang demikian ambivalen termasuk esensi sastra. (Paragraf 2: 175)



7. Roman dalam Ketegangan Antara Kenyataan dan Rekaan Benarlah menurut harapan pembaca roman harus mendekati kenyatan, dunia roman yang disajikan dalam roman harus kita kenal dan akrab dari segi kenyataan. Pada halaman pertama Siti Nurbaya diberi lukisan dua anak muda yang nampaknya yang sangat realistik, sesuai dnegan kenyataan kota Padang pada waktu cerita itu berlangsung, sampai ke lingkungan alam, pakaian Samsul Bahri dan Siti Nurbaya. (Paragraf 1: 176) Dia meneladani konvensi sastra Melayu tradisional, kenyataan Siti Nurbaya sebagai tokoh rekaan disesuaikan dengan model seorang gadis menurut konvensi sastra. Dunia nyata dan dunia rekaan selalu saling berjalinan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Dalam roman yang disebut realis biasanya ditimbulkan kesan pada pembaca seakanakan kenyataan diberikan setepat dan secermat mungkin. Satu sarana menurut konvensi pada waktu tertentu yang berfungsi untuk meyakinkan pembaca tentang kebenaran dan ketepatan isi cerita seluruhnya. Tapi disini, pemberian makna memerlukan kita bolak-balik antara kenyataan dan makna dunia di belakang kenyataan itu, demikian pula dalam roman sejarah. Namun kenyataan itu diresapi oleh pemberian makna yang diharapkan pembaca yang lebih daripada kenyataan itu. (Paragraf 2: 176) 8. Masalah Realisme dalam Sejarah Sastra Dalam sebuah buku kecil tetapi bermanfaat seorang sarjana Belanda Mineke Schipper baru-baru iniemberi survey tentang perkembangan dan teori realisme yang sebagainya diikuti disini dengan mempergunakan bahan-



bahan yang dikemukakannya (1979). Realisme sebagai istilah mulai dipakai dalam filsafat dalam Abad Pertengahan, sebagai pertentangan dengan nominalisme. Secara sangat singkat dapat dikatakan bahwa menurut para nominalis merupakan nama yang dipakai sebagai tanda untuk menyebut hal-hal tersebut. Menurut para realis konsep meja, tanah air, rumah, sungguh-sungguh ada, tidak hanya merupakan nama saja, tetapi dalam arti tertentu mereka menganut pendirian Plato tentang realitas ide-ide di belakang kenyataan yang tampak. Dalam hal itu ada dua pemaksian istilah realisme dalam teori sastra, realisme terkadang dipakai sebagai istilah umum, adakalanya sebagai istilah yang khusus berlaku untuk periode tertentu dalam sejarah sastra. Sebagai istiah gaya seni realisme dipakai untuk seni terlihat secara lugu memperlihatkan aspek kehidupan sehari-hari yang nyata dan sungguh-sungguh, tanpa tambahan fantasi yang bukan-bukan. Misalnya, seni lukis dan gambar Rembrandt disebut realis, mirip dengan keyataan, dan dalam Sejarah Melayu ada juga banyak adegan yang dapat disebut realis, membayangkan kehidupansehari-hari di sekitar istana Malaka pada abad ke15. (Paragraf 2: 178) Sejarah realisme cukup rumit, pada satu pihak realisme adalah reaksi terhadap klasisisme yang masih kuat dalam seni sastra Eropa Barat pada abad ke-18 dan yang meneladani karya agung di zaman klasik. Realisme sebaliknya ingin melukiskan alam, manusia dan dunia masa itu sendiri. Pada pihak lain realisme merupakan satu aliran atau aspek dalam gerakannya yang besar dan anekaragam yang disebut dengan istilah romantik. Periode realisme yang khas kemudian dimulai sekitar 1850, khususnya di Prancis. Ahli teori sastra dan pengkritik sastra seperti Sainte Beuve dan Traine menuntut agar sastra secara setia menyajikan kenyataan, lagi pula tidak membataskan diri pada kenyataan idyll atau lingkungan hidup elit saja. Tak kurang penting untuk perkembangan realisme adalah perkembangan sosiopolitik pada pertengahan abad ke-19 di Eropa, yang makin menonjolkan pentingnya rakyat dan keadaan soasialnya. Realisme di Prancis secara khas diwakili ole Flaubert dan oleh kakak beradik de Goncourt. (Paragraf 3: 178) Di Inggris perkembangan realisme terlihat sedikit terlihat lain, realisme di sana dari awal perkembangan roman modern, dalam abad ke-18, sebagaiannya sudah bersifat realis, dalam arti bahwa banyak roman mengambil bahanbahan dari kehidulan sehari-hari. Demikian pula di negerinegeri lain terdapat bermacam karya dan penulis yang biasanya disebut realis. Dalam sastra Belanda realisme



sebagai aliran baru dipelopori oleh Maurits, nma samaran P.A. Daumn WartamaWan Hindia Belanda yang terkenal. (Paragraf 4: 179) Dalam menggambarkan dunia roman, penulis mau tak mau melakukan kegiatan kreatif. Pertama-tama terpaksa mengadakan seleksi bahan-bahan dari keseluruhan kenyataan yang tak terhingga, kemudian dia harus menciptakan struktur naratif, dengan point of view tertetu mengarahkan dan membatasi kebebasanmya selaku penggambar kenyataan. Realisme sebagai gaya sastra mungkin menjadi dominan pada masa tertentu, atau dalam jenis sastra tertentu (roman, dan drama), tetapi realisme yang paling realis pun bersifat konvensional. (Paragraf 5: 180) 9. Roman Sebagai Dokumen sosial? Adakalanya roman disebut dokumen sosial, walaupun sebutan ini dari segi tertentu ada benarnya, tapi hal itu tidak berarti bahwa roman mana pun juga dapat dipergunakan langsung sebagai dokumen seperti misalnya laporam wartawan, kumpulan data statistik dan lain-lain. Oleh karena itu, setiap dalam tiap karya sastra ada keterpaduan antara mimesis dan creatio, antara mengambil data faktual dari tulisan rekaan, walaupun tulisan itu nampaknya sangat "realis". Sebagai penyedia fakta dan data roman biasanya sangat tidak dapat dipercayai, sebab kita tidak pernah tahu di mana fakta berakhir dan rekaan dimulai. Dalam arti ini roman biasanya bukan dokumen sosial, hanya saja informasi dari tulisan rekaan dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada data yang diperoleh dari sumber yang bersifat dokumen sosial. (Paragraf 1: 181) Sastra yang baik menciptakan kembali kemendesakan hidup. Tetapi arti sastra seerti itu tidak bisa ditangkap dengan metode dan teknik-teknik ilmu sosial, untuk menilai karya sastra sesuai dengan ciri khasnya sebagai rekaan, yang diciptakan oleh manusia dengan daya cipta yang peka. (Paragraf 2: 181) Manusia ada abad ke-19 masih beranggapan bahwa apa yang dapat diamatinya dengan mata kepalanya nyata dan jelas ada. Tetapi dalam abad ini manusia semakin ragu-ragu tentang apakah kenyataan itu. Manusia sebagai Picasso bagi pengamar modern yang mengerti tentang psikologi modern tidk segila yang dipikirkan dulu, barangkali itu jjustru itulah manusia yang normal. Dari segi itu pun realis adalah konsep yang nisbi, yang isinya sebagian besar ditentukan oleh norma-norma masyarakat setemlat dan sezaman. (Paragraf 3: 182)



10. Kenyataan dalam Puisi Lirik Dalam lirik modern konvensi keterjalinan antara kenyataan dan rekaan, lain lagi sifatnya. Menurut perumusan penyair Belanda Kloos, tokoh terkemuka dari kelompok Tachtigers, seni adalah ungkapan yang paling individual dari emosi yang paling individual. Jadi, emosi pribadi diungkapkan dalam bentuk aku, dalam rangka waktu kini dan tempat sini, dan sekaligus secara konvensional pembaca tahu, diandaikan tahu bahwa secara semiotik penafsiran harus melampaui batas kekuatan, kekinian, dan kesinian penulis. Puisi lirik baru dapat kita pahami dan nilai seluruhnya dengan dalam kaitannnya yang kompleks antara pengakuan yang paling individual si penyair lewat aku liriknya, dengan pesan yang relevan untuk setiap mnanusia. (Paragraf 1: 182) 11. kenyataan dalam Babad Sejarah Lain lagi situasi teks-teks yang disebut historik, khususnya dalam sastra Indonesia tradisional:babad, sejarah, salsilah, dan lain-lain.dalam penelitian tersebut dapat dilihat dua aliran yang , pada pihak pendekatan yang diwakili oleh Brandes, Hoesein Djajadiningrat, De Graaf, Krom, Ricklefs.Mereka selaku sejarawan terutama tertarik oleh masalah kebenaran sejarah dan mereka berharap mendapatkan dalam teks seperti Sejarah Melayu atau Babad Tanah Jawi . (Paragraf 1: 183) Pendekatan terhadap teks tradisional ini memang khas bersifat mimetik, mengharapkan sejarah dari teks-teks tertentu, yang nyatanya mengecewakan harapan peneliti modern. Tetapi pendekatan mimetik ini tidak sesuak dengan sifat teks yang bersifay kesastraan, dan interpretasi ilmiah dan faktual modern. W.H. Rassers mendekati teks sejarah ini dari segi antropologi. Demikian pula Piageaud dan Berg, masing-masing dengan cara sendiri mencoba memahami teks ini bukan sebagai dokumen sejarah, melainkan sebagai tulisn yang memberi makna pada hal-hal yang hakiki. (Paragraf 2: 184) 12. sastra dan Penulisan Sejarah Pemaparan ini menimbulkan masalah hubungan antara penulisan sejarah dan sastra. Pembaca perlu diajak kembali sebentar ke dunia Aristoteles. Karena pada waktu Aristoteles penulisan sejarah sudah berkembang sebagai cabang ilmu pengetahuan, dengan Thucydides sebagai sejarawan yang terkenal. (Paragraf 1: 185)



Sparta dan Thucydides untuk pertama kali mencoba secara ilmiah memberi laporan, dan analisis serta penafsiran peristiwa-peristiwa, berdasarkan pengumpulan data yang selengkap dan secermat mungkin. Dalam hal ini Thucydides pendekatan Heridedotus. (Paragraf 2: 185) Aristoteles berpendirian bahwa si penyair sebenarnya lebih ulung pekerjaannya daripada si sejarawan. Sejarawan mau tak mau terikat pada fakta-fakta yang "kebetulan" pernah terjadi. Sedangkan, seorang penyair dapat menulis ceritanya sendiri. (Paragraf 3: 185) Hubungan antara sastra dan sejarah di dunia Barat sejak abad klasik tetap cukup pelik, samapai sekarang. Dalam Abad pertengahan sejarah sebagai cabang ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan sastra, tidak diketahui lagi. Akibatnya di dunia Barat nampaknya sejarah dan cerita atau sastra makin jelas berbeda, yang satu melaporkan hasil penelitian fakta-fakta dan data-data secermat dan selengkap mungkin. (Paragraf 4: 186) Keobyektifan mutlak tidak pernah tercapai, karena beberapa hal: a. Fakta-fakta tidak pernah lengkap, selalu fragmentarik. b. Penulis sejarah mau tak mau harus berlaku selektif. c. Penulis itu sendiri adalah manusia yang latar belakang, kecenderungan, pendiriannya bersifat subyektif. (Paragraf 5: 186) 13. Hayden White Mengenai Sejarah dan Sastra Peneliti modern seperti Hayden White berpendapat bahwa tulisan sejarah tidak hanya dari segi fakta yang diolah dan situasi sejarawan harus bersifat subyektif atau relatif nilainya. Cara berfikir dan menulis seorang ilmuwan di tentukan oleh discourse, dengan istilah Michael Foulault, semacam model yang laku dalam kebudayaannya, yang harus diterapkannya. (Paragraf 1: 187) Memberi makna dan arti pada data yang dikumpulkan hanya mungkin berdasarkan tropos-tropos, model kiasan yang disediakan oleh sejsrah kebudayaan dan sastra kita. Sejarawan yang ingin menulis mengenai data-data dan faktafakta yang digarapnya mau tak mau harus menyusunnya sesuai dengan salah suatu plot, harus memplotkannya. (Paragraf 2: 187)



Perbedaan interpretasi peristiwa tertentu atau riwayat hidup tokoh adalah perbedaan emplotment, pemplotan, yang mungkin berbeda menurut model yang dipilih oleh penulisnya. Justru dengan menyusun sejumlah peristiwa sedemikian rupa sehingga daripadanya terjadi cerita yang masuk akal, sejarawan membendakan peristiwa itu dengan arti simbolik sebuah struktur plot yang dapat dipahami. (Paragraf 3: 187) White berpendapat bahwa pandangannya tidak merendahkan derajat atau gengsi ilmu sejarah. Dengan menyadari bahwa dalam persepsi setiap sejarawan dan dalam setiap "naratif sejarah" mau tak mau ada unsur rekaan, sesuai dengan slah satu diantara model discourse yang berlaku dalam kebudayaan itu sejarawan itu akan lebih baik memahami apa yang sedang dilakukannya. (Paragraf 4: 187)



KOMENTAR: Penulis banyak menggunakan bahas asing sehingga eberapa pembaca kesulitan memahami isi teks.



BAB IX TEKS KARYA SASTRA SEBAGAI VARIABEL DALAM MODEL SEMIOTIK 1.Kemantapan Sebuah Teks 2.Filologi atau Tekstologi Sebagai Studi Sejarah Tek 3.Tekstologi Buku Cetakan 4.Sebab-Musabab Teks Cetakan Tidak Mantap 5.Tekstologi Naskah:Sedikit Sejarahnya 6.Filologi di Indonesia 7.Kritik Tentang FilologiTradisional, Khususnya Metode Stemma 8.Variasi Naskah:Kompsi atau



BAB IX 1.Kemantapan Sebuah Teks Teks karya sastra adalah sesuatu yang konstan,yang mantap,tidak berubah sepanjang masa,sesuai dengan ciptaan penulisnya yang bagian-bagian dan anasir-anasirnya ikut menentukan makna keseluruhannya dan sebaliknya.Dengan komsekuensi setiap perubahan teks mengakibatkan perubahan arti dan makna. (Paragraf 1:191) Namun kenyataan sejarah teks sepanjang masa bertentangan dengan anggapan bahwa teks adalah sesuatu yang stabil mantap.Sangat sulit mempertahankan dengan utuh bentuk asli sebuah teks yang ingin disalin.Teks yang paling suci bagi manusia pun sering kali mengalami perubahan dalam sejarah penurunannya.( Paragraf 2:191.) Hal ini tidak hanya berlaku untuk teks yang diturunkan secara lisan atau dalam bentuk naskah (manuskrip,tulisan tangan).Adakalanya perubahan semacam itu terjadi secara kebetulan dan tidak sengaja,adakalanya pula diadakan perubahan yang sadar oleh yang berurusan dengan pencetakan kembali teks tersebut. (Paragraf 3:19) Jadi pada satu pihak karya sastra sebagai struktur yang utuh bulat dan mantap;pada pihak lain kita menghadapi bahwa teks cenderung berubah dan tidak stabil wujudnya sepanjang masa. (Paragraf 4:19) 2.Filologi atau Tekstologi sebagai Studi Sejarah Teks Dalam bahasa inggris,khususnya di Inggris



Kreasi? 9.Beberapa Kesimpulan 10.Sepuluh Dalil Lichacev untuk Tekstologi



sendiri,philologys sering dipakai dengan arti yang kemudian di Amerika tersebut linguistics,ilmu bahasa.Wellek berkeluh:”Since the term(philology)has so many and such divergent meanings,it is best to abandon it”.Karena istilah filologi mempunyai banyak arti dan istilah filologi ditinggalkan. (Paragraf 1:193) Khususnya untuk studi sejarah teks sebuah karya sekarang dipakai istilah tekstologi,dan akan dipergunakan untuk menunjukkan studi sejarah teks(sastra).Dalam hal peristilahan baiklah diterangkan disini bahwa naskah akan dipakai dalam arti manuskrip,tulisan tangan;versi adalah wujud sebuah karya.Istilah tek dipakai secara umum untuk wujud sebuah tulisan.(Paragraf 2:193) Dalam hal tekstologi dibedakan tiga macam tekstologi,menurut ragam penurunan teks; a.Tekstologi yang meneliti sejarah teks lisan; b.Tekstologi yang meneliti sejarah teks manuskrip; c.Tekstologi yang meneliti sejarah buku cetakan. (Paragraf 3:194) Dari segi metode dan teknik penelitian ada perbedaan dan persamaan antara tiga macam tekstologi ini.Sebagai contoh disebut penelitian teks Homeros yang diturunkan dalam bentuk tulisan;dan peneliti berpendapat bahwa pada asalnya puisi epik Homeros adalah teks lisan yang diciptakan dan dan dibawakan oleh seorang tukang cerita yang baru kemudian ditulis dan diturunkan dalam bentuk naskah;sehingga seorang filolog yang mendalami karya Homeros harus tahu mengenai masalah tradisi sastra oral. (Paragraf 4:194) Dapat dikatakan bahwa sastra tulis tradisional di Indonesia berfungsi sebagai performing art,dibacakan bersamasama,dengan pembagian peranan yang berbeda-beda antara yang membacakan dan yang mendengar. (Paragraf 5:194) Namun demikian disini akan dibicarakan khususnya dua ragam tekstologi,tekstologi cetakan dan tekstologi naskah,tidak hanya karena dua ragam inilah yang terpenting dalam sejarah ilmu sastra,tetapi juga oleh karena berdasarkan dua ragam inilah masalah variasi teks dalam rangka teori sastra,berdasarkan model semiotik karya sastra,dapat dibicarakan dengan baik. (Paragraf 6:195) 3.Tekstologi Buku Cetakan Gutenberg yang khas terdiri atas dua inovasi yang penting:dia menemukan cara mencetak dengan huruf lepas,satu demi satu;dan dia berhasil menciptakan tinta yang baik dipakai untuk pencetakan.Dengan penemuan Gutenberg mencetak buku dan lain lain secara efisien dan efektif sehingga pertengahan abad ke-15 buku cetakan mulai membudaya di Eropa Barat dan tersebar luas keseluruh dunia dengan istilah Marshall Mcluhan kita masuk “era Gutenberg”. (Paragraf 1:19)



Faktor-faktor yang mengakibatkan perubahan teks cetakan:Pertama-tama harus disebut perubahan yang tak disengajakarena salah cetak dalam edisi yang berturut-turut. (Paragraf 2:196) Fredson Bowers memberi cukup banyak contoh yang sangan mengesankan tentang salah cetak yang melantarkan pemandangan kritikal yang sangan mendalam,tetapi yang sebenarnya tidak beralasan apa-apa.Bowers juga mencela Professor Empson,pengarang buku seven Types of Ambiguity yang sangat terkenal,karena cukup lalai mempergunakan teks yang kurang kritis. (Paragraf 3:196) 4.Sebab-Musabab Teks Cetakan Tidak Mantap 1.Perubahan terjadi dalam hal tranliterasi dari satu tulisan ke sistem,dengan berbagai konsekensi untuk sistem tanda baca,pemisahan kata,pengelompokan kata dalam kalimat,pemakaian huruf besar dan lain-lain.Untuk interpretasi teks tersebut konsekuensi ini untuk bahasa yang mempergunakan tulisan yang tidak membayangkan lafal teks tersebut,sehingga mentransliterasikan teks semacam itu si penyunting harus mengambil keputusan mengenai interpretasi”.(Paragraf 1:197) 2.Penggarapan kembali sebuah teks yang sudah dicetak oleh pengarang,misalnya tidak merasa puas dengan ciptaannya dan ingin menyesuiakannya dengan perkembangan idenya. Perubahan sangat menarik dari segi fungsi dan arti serta makna sebuah teks sejarah sastra sebab terungkap pergeseran nilai-nilai pada pihak penulis sendiri maupun nilai sosial dan politik. (Paragraf 2:197) 3.Sebuah teks cetakan diubah atas anjuran atau petunjuk penerbit atau penyunting dengan aspek resepsi:penerbit mengharapkan minat pembaca (jadi keuntungan bagi dia sendiri)yang lebih besar jika disesuaikan dengan yang dianggap menjadi horison harapan pembaca. (Paragraf 3:198) 4.Tek cetak yang diubah oleh karena campur tangan sensor atau pembesar dengan alasan politik,moralis,dan lainlain,misalnya dalam sejarah sastra Inggris adalah buku D.H Lawrence,Lady chatterley’s Lover,yang bentuk aslinya dianggap melanggar tata-susila sehingga buku itu harus diubah supaya penulis luput dari hukuman penjara. Sejarah resepsi roman Lawrence ini memperlihatkan pergeseran norma sosial-budaya. (Paragraf 4:199) 5.Perubahan teks yang diadakan tujuan tertentu. Berarti bahwa karya satra yang utuh bulat dan unik dengan potensi variasi harus mendapat tempat yang selayaknya dalam model semiotik sastra dan harus dipertanggungjawabkan dalam penelitian sastra secara menyeluruh. (Paragraf 5:199) 5.Tekstologi Naskah;Sedikit Sejarahnya Filologi dalam arti ini di Barat mulai berkembang di zaman



Humanisme. Para humanis berhasil menemukan kembali tulisan asli para tokoh sesepuh kebudayaan klasik, lebih dahulu Latin (Vergilius dan Cicero dan lain-lain).Para humanis tertarik oleh naskah kitab injil yang membuktikan bahwa teks kitab injil dimanfaatkan gereja menunjukkan banyak kekeliruan. Sehingga berdasarkan jumlah naskah yang cukup besar mereka menghadapi tugas menentukan dan menetapkan teks yang dapat dianggap asli sesuai dengan yang idiptakan oleh penulis Yunani. Dapat dikatakan bahwa karya-karya penulis klasik tersedia bagi studi dalam wujud yang cukup besar. Sejak jaman itu studi kebudayaan klasik khususnya pendidikan klasik di sekolah yang disebut gymnasium, berdasarkan pengetahuan langsung mengenai tulisan asli, dapat dikembangkan terus menerus. (Paragraf 2:201) Dalam abad ke-19 para filolog mulai mengembangkan metode filologi yang bersifat ilmiah; untuk fakta-fakta pembuktian ilmiah. Metode yang dikembangkan dalam filologi oleh Lachmann dan beberapa tokoh lain berpangkal pada hipotesis lain bahwa sebuah teks pernah tercipta dalam bentuk asli. Tujuan utama filologi menurut mereka ialah memulihkan teks asli dan murni itu, lewat perbandingan naskah yang cermat. Hyparchetypos yaitu sub-induk, sebab ternyata seringkali tidak mungkin mengembangkan semua naskah langsung kepada satu induk; naskah biasanya termasuk dua atau lebih sub-keluarga. (Paragraf 3:202) 6. Filologi di Indonesia Dalam filologi Jawa khususnya Gondaga mulai menerapkan metode dengan edisi Brahmandapurana (1932) tetapi contoh baik ini jarang dikutip peneliti lain; sedangkan di bidang melayu klasik khususnya Ras edisi Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1998) dan disertai Brakel edisi Hikayat Muhammad Hanafiyyah (1975) menetapkan metode stema secara sistematis. (Paragraf 1:203) Para filolog menerbitkan teks Indonesia masih memakai metode filologi pra-ilmiah, dengan intuisi dan pengetahuan bahasa yang sebaik mungkin. Ataupun dalam hal adanya hanya satu naskah sebuah teks memakai prinsip diplomatik, yaitu dengan setia menerbitkan naskah sebagaimana adanya dengan mengadakan perubahan yang dianggap perlu dalam komentar. (Paragraf 2:203) 7. Kritik Terhadap Filologi Tradisional, Khususnya Metode Stemma Menurut pendapat modern masalah filologi atau tekstologi perkembangannya sebagai cabang ilmu sastra sangat menarik, sebab memperlihatkan pandangan peneliti terhadap teks sebagai variabel dalam model semiotik. Filologi tradisional ilmiah dengan metode stemma, memperlihatkan pendekatan teks yang menekankan aspek ekspresif. (Paragraf 1:204)



Pergeseran minat terhadap pembaca selaku pembeli makna, menunjukkan beberapa kelemahan. Beberapa kritik dan keberatan terhadap metode stemma dengan tujuan memberi uraian yang lengkap mengenai filologi untuk melihat apakah fungsi dan arti variasi teks dalam keseluruhan studi sastra. (Paragraf 2:204) Satu prinsip utama metode stemma ialah adanya satu teks purba yang asli dan utuh. Prinsip ini mengetahui bagaimana tulisan Aristoteles, Homeros, atau Vergilius yang asli, atau bagaimana firman Tuhan yang diturunkan ke umat manusia lewat nabinya. Keanekaragaman teks asli diakibatkan oleh karena penulis asli mempunyai beberapa versi tulisannya. (Paragraf 3:204) Hipotesis kedua yang mendasari metode stemma mengandaikan tidak ada kontaminasi, pembauran naskah; hanya diturunkan vertikal dari naskah yang merupakan induknya dan tanpa pembauran horizontal. (Paragraf 4:205) Prinsip ketiga yang melandasi metode stemma tidak benar mutlak. Dalam seleksi antara yang salah dan benar peneliti seringkali mengambil keputusan yang subjektif khususnya dalam pemilihan antara dua varian yang tersimpan dalam dua hyparchetypos. (Paragraf 5:205) 8. Variasi Naskah; Korupsi atau Kreasi? Dalam pendekatan segala sesuatu dalam sebuah naskah menyimpang dari teks yang dianggap asli dipandang sebagai korupsi oleh filolog harus disingkirkan.Dengan perkataan lain dalam naskah sering tercermin resepsi teks dalam lingkungan tertentu. (Paragraf 1:206) Paragraf 2.Halaman 207. Penelitian yang cukup cermat Ricklefs terpaksa mengatakan bahwa tidak ada satu versi babad Jawa asli yang tinggal dari naskah-naskah yang masih ada dan sudah dapat memilih antara berbagai varian cerita. Tetapi Anthony Day mendekati variasi teks babad dengan optimis menekankan nilai positif variasi babad sebagai kreasi dalam struktur yang bertingkat tiga. (Paragraf 3:207) Disini bukanlah masalah siapa benar dan salah;Ricklefs atau Day karena yang penting untuk pembicaraan dalam rangka tentang variasi teks sebagai sesuatu yang ditemukan dalam sejarah teks mana pun juga. (Paragraf 4:208) 9.Beberapa Kesimpulan Pertama-tama harus diberi peringatan bahwa dengan pendekatan modern ini jangan dianggap metode lama sama sekali tidak bermanfaat lagi. (Paragraf 1:208) Catatan kedua,yang masih berhubungan dengan yang pertama tadi:menurut kesan sementara kesetian penyalin pada naskah induknya tidak sama untuk berbagai jenis dan ragam teks. (Paragraf 2:208) Catatan ketiga yang perlu:tidak setiap naskah yang masih ada manfaatnya sebagai sumber pengetahuan resepsi karya



sastra tertentu.Cukup banyak naskah kacau diakibatkan karena ada penyalin yang malas,bodoh,tidak mahir.Dalam hal semacam itu naskah yang dipakai jangan disanjungsanjung sebagai hasil resepsi yang kreatif. (Paragraf 3:209) Kesimpulan umum;masih tetap sah dan relevan penelitian tentang bentuk asli sebuah teks dengan niat penulis yang menulisnya. (Paragraf 4:210) Pemesan naskah,para penyalin,pembaca mempengaruhi sebuah teks. Sejarah teks sebuah monumen sastra ditafsirkan sebagai sejarah ide-ide manusia dengan selera masingmasing dalam kaitan yang erat dengan sejarah seluruh masyarakat. (Paragraf 5:210) Catatan keempat: Masalah tekstologi untuk sastra tradisional tidak dapat dipandang lepas dari masalah sastra lisan,karena dalam sastra Indonesia lama ada interaksi yang sangat kuat antara sastra lisan dan tulisan. (Paragraf 6:210) Tekstologi adalah bidang penelitian yag cukup luas;khususnya diperlukan perhatian yang lebih besar dan penilaian yang lebih positif terhadap tokoh penyalin. (Paragraf 7:210) 10.Sepuluh Dalil Lichacev untuk Tekstologi Pentingnya tekstologi dalam rangka ilu dan teori sastram,khususnya sebagai sumber pengetahuan untuk sejarah sastraakan disajikan dalam sepuluh dalil yang dirumuskan oleh Lichacev. (Paragraf 1:211) KOMENTAR: Materi yang dijelaskan pada bab ini memberikan semangat kepada pembaca untuk dapat berkarya melalui sastra.buku ini juga menyampaikan ide-ide yang kreatif bagi pembaca.



BAB X STUDI SASTRA LISAN DALAM RANGKA SEMIOTIK SASTRA 1.Gayutan Sastra Lisan dalam Kerangka Teori Sastra Umum 2.Minat untuk Sastra Lisan di Eropa: Sedikit Sejarahnya 3.Minat untuk Sastra Lisan di Indonesia: Sedikit Sejarahnya 4.Perkembangan Penelitian Sastra Rakyat Kemudian:Mashab Finlandia



BAB X 1.Gayutan Sastra Lisan dalam Kerangka Teori Sastra Umum Memang harus diakui bahwa dalam model semiotik sastra yang dikembangkan dalam BAB II sastra lisan tidak diberikan tempat yang khas,dan memang secara teknis maupun prinsip hal semacam itu sukar dilaksanakan. (Paragraf 1:213) Alasan mengapa dianggap penting meminta perhatian yang khusus untuk bentuk sastra lisan. a.Pebedaan yang cukup menonjol antara sastra lisan dan sastra tulis;sastra tulis tidak memerlakukan komunikasi langsung antara pencipta dan penikmat. b.Penelitian sastra lisan biasanya berlangsung dalam rangka yang berbeda dengan ilmu sastra umumnya. c.Ahli sastra di Indonesia berurusan dengan soal apakah kerangka teori sastra yang dipakai untuk sastra tulis sekaligus dapat dipakai untuk sastra lisan. d.Sastra yang diturunkan dalam bentuk tulis dalam praktek biasanya berfungsi sebagai sastra yang dibawa dan



5.Penelitian Propp Mengenai Dongeng Rusia 6.Penelitian Puisi Lisan Parry dan Lord 7.Penelitian Modern Tentang Sastra Rakyat di Indonesia:Fox Sweeney 8.Beberapa Kesimpulan Umum 9.Beberapa Kesimpulan Khusus Untuk Teori Sastra Indonesia



dibacakan bersama-sama. (Paragraf 2:213) 2.Minat untuk Sastra Lisan di Eropa:Sedikit Sejarahnya Dalam uraian sejarah dibawah ini sangat bermanfaat teks serangkaian kuliah mengenai satra lisan yang diberikan oleh G.L.Koster . (Paragraf 1:214) Pada abad -18 muncul reaksi terhadap klasisme yang menyanjung zaman klasik sebagai puncak kebudayaan manusia.Primitif ditemukan oleh manusia Eropa Barat sehingga pada masa itu para pencinta sastra mulai menemukan,mengumpulkan dan meneliti sastra lisan yang dianggap primitif. (Paragraf 2:215) Filsuf Jerman yaitu Johann Gottfried Herder memberi gagasan mengenai Filsafat Sejarah Umat Manusia bahwa asal-usul bahasa:manusia primitif,purba mulai belajar berbahasa lewat kesan-kesan yang diterima dari luar dirinya dalam bentuk bunyi. (Paragraf 3:215) Berdasarkan gagasan yang dipaparkan oleh Herder muncul Jakob dan Wilhelm Grimm menerbitkan dongeng-dongeng dengan memelopori cabang ilmu yang disebut ilmu sastra oral atau rakyatdengan mengumpulkan data yang berkaitan dengan kehidupan rakyat pedesaan. (Paragraf 4:216) 3.Minat untuk Satra Lisan di Indonesia: Sedikit Sejarahnya Para penerjemah kitab injil yang sejak awal abad -19 mulai diutus ke Hindia Belanda oleh Lembaga Alkitab Belandadengan tugas menerjemahkan Kitab Injil dalam berbagai bahasa nusantara dan untuk secara ilmiah meneliti bahasa dan kesusastraan suku bangsa tempat mereka bekerja. (Paragraf 1:217) Beberapa nama tokoh peneliti sastra rakyat yang perlu dihormati sebagai peletak dasar studi sastra rakyat di Indonesia.Yang pertama adalah Herman Neubronner Van der Tuuk yang disekitar tahun 1850 ditugaskan menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Batak.Hanya sebagian kecil saja bahan ini diterbitkan dalam bentuk buku;tetapi semuanya masih tersimpan dalam bentuk naskah. (Paragraf 2:217) Tokoh kedua yaitu N.Adriani(1865-1926)yang seumur hidup bekerja diantara orang Bare’e atau subsuku Toraja di Sulawesi Tengah mengenai bahasa dan sastra Toraja Bare’e. (Paragraf 3:217) Rekan Adriani yang bekerja dalam lingkungan suku bangsa Toraja Selatan bernama H.vander Veen yang menerbitkan teks puisi-puisi nyanyian orang kematian,dengan terjemahan Belanda dan Inggris. (Paragraf 4:218) Di Kalimantan Selatan diadakan penelitian dan pengumpulan bahan ssatra rakyat oleh seorang misionaris Swiss,H.Scharer sebagai antropolog cukup tenar karena bukunya mengenai agama orang Ngaju. (Paragraf 5:218)



Rokhaniawan berjasa mengumpulkan dan menerbitkan cerita dan penyajian suku banga Dayak Mualang namanya P.Donatus Dunselman. (Paragraf 6:218) Seorang misionaris Kristen yang sangat aktif mengumpulkan bahan puisi dan cerita rakyat bernama W.L.Steinhart;dia bekerja di Pulau Nias . (Paragraf 7;218) Tokoh terakhir yang bekerja di pulau Timor namanya P.Middlekoop khusunya tertarik oleh sastra rakyat dari segi keagamaan;menurut Middlekoop banyak persamaan dari segi nilai agama dan nilai sastra antara puisi Rakyat Timor dan nyanyian dalam Kitab Perjanjian Lama yang disebut masmur. (Paragraf 8:218) Kebanyakan peneliti Belanda dan asing lain yang disebut tadi besar jasanya dari segi pengumpulan dan penerjemahan bahan-bahan satra lisan;tetapi mereka tidak banyak berminat untuk aspek-aspek teori sastra yang berkaitan dengan sastra rakyat melainkan mereka lebih tertarik dari segi ilmu atau deskripsi bahasa khususnya sebagai penerjemah Al-Kitab. (Paragraf 9:219) 4.Perkembangan Penelitian Sastra rakyat kemudian:mazhab Finlandia Eropa pada abad yang lalu mulai berkembang minat yang lebih berssifat kesastraan untuk sastra rakyat.Pada awalnya minat ini,sesuai dengan perkembangan ilmu kemanusiaan umumnya,ilmu bahasa dan ilmu sastra khususnya berorientasi sejarah dan bandingan. (Paragraf 1:219) Metode dan teori historik komparatif secara sistematik mulai dikembangkan di Helsinki oleh orang Finlandia yang merupakan ciptaan abad ke-19 berdasarkan berbagai macam cerita epik rakyat yang tua.Krohn membuat kesimpulan mengenai asal-usul dan migrasi,cerita rakyat diadakannya satu usaha raksasa untk mengumpulkan dan membandingkan carita rakyat selengkap mungkin. (Paragraf 2:220) Masalah utama yang dihadapi peneliti ialah masalah klasifikasi dan organ-organiassi bahan-bahannya. Penggolongan cerita rakyat Mazhab memakai dua konsep dasar ;type dan motif;jadi cerita digolongkan menurut typenya;sedangkan motif didefinisikan sebagai anasir terkecil dalam sebuah cerita yang mempunyai daya tahan dalam tradisi. (Paragraf 3:220) Untuk Indonesia metode ini diterapkan oleh Jan de Vries,seorang sarjana sebagai ahli bahasa Jermanik,dalam buku mengenai cerita rakyat Hindia Belanda dilengkapi dengan index type yang disesuaikan untuk Indonesia dari buku Aarne.P.Voorhoeve disertai cerita rakyat orang Batak. (Paragraf 4:220). Penelitian oleh mazhab Finlandia menghasilkan studi yang sangat menarik mengenai cerita rakyat diseluruh dunia,namun metode ini mempunyai kelemahan. Dalam praktek ternyata bahwa pembagian dalam tipe dan motif



sangat sulit dan sering ternyata tidaj konsisten atau bersifat subyektif. (Paragraf 5:221) Pendekatan mazhab historik-geografik harus kita tempatkandalam rangka model semiotik karya sastra jelaslah minat utama terarah pada penciptaan. Asal-usul cerita rakyat,sesuai dengan pendekatan sejarah yang umum berlaku dalam ilmu sastra. (Paragraf 6:221) 5.Penelitian Propp Mengenai Dongeng Rusia Pendekatan aliran strukturalis dalam ilmu bahasa dan sastra pen-dekatan mazhab historik-geografik tidak luput dari kritik. Kritik yang keras datang dari seorang peneliti Rusia yang bernama Vladimir Propp,dengan sebuah studi yang berjudul The Morpology of the Folk Tale. Propp bukanlah seorang formalis,Namun Propp dengan keras membantah kualifikasi Levi-Strauss seakan dia seorang formalis. (Paragraf 1:222) Buku Propp dapat disebut sebuah usaha untuk menemukan aturan yang menguasai atau menentukan susunan plot dalam sebuah jenis dongeng Rusia yang khas. Kritik Propp terhadap mazhab Finlandia. Propp sebagai dasar penelitian memerlukan membuat analisis struktur folktale yang mencoba memastikan anasir hakiki setiap dongeng. . (Paragraf 2:222). Dalam fungsi dan teori Propp diberi definisi “fungsi adalah tindak seorang tokoh yang dibatasi dari segi maknanya untuk jalan lakonnya’’. Propp mengembangkan semacam skema yang selalu sama dan umum berlaku untuk jenis dongeng walaupun tidak setiap dongeng memiliki fungsi yang sama. . (Paragraf 3:223) Hasil analisis ini memang mengejutkan sebab jika benar dan ahrus diterima berarti bahwa Propp berhasil memberikan satu dasar penggolongan dongeng yang sungguh-sungguh struktural dan berlaku umum. (Paragraf 4:223) Analisis dan tipologi struktural Propp bukan tujuan utama dan terakhir. Dalam bukunya morfologi sudah jelas bahwa dia sebenarnya ingin memanfaatkan hasil tipologi struktural unutk penelitian historik. Dia berharap dapat menentukan bentuk purba dengan tokoh peristiwa yang bermacam-macam. Jadi Propp ingin menggabungkan metode struktural dengan penelitian genetik. . (Paragraf 5:223) Tidak mengherankan bahwa sesudah karya Propp diketahui di Eropa Barat peneliti strukturalis,khususnya di Prancis sangan tertarik abhkan mencoba mengembangkan prinsip dan hasil penelitian Proppmenjadi dasar sebuah analisisnaratif yang universal. (Paragraf 6:224) Tetapi berangsur-angsur makin lama makin banyak kritik yang sangat tajam dilontarkan terhadap studi Propp. Kritik utama terhadap Propp menyangkut pilihan dan analisis fungsi. Demikianlah konsep fungsi menjadi



ruwet,tidak dapat dibuktikan benar tidaknya. (Paragraf 7:224) Kesimpulan Guepin terhadap pendekatan dan hasil penelitian Propp cukup negatif. Propp tidak berhasil tesisnya yang terdiri atas empat dalil. Namun jasa Propp tetap besar;sebab dialah yang pertama kali mengemukakan pentingnya analisis struktural tentang naratif cerita rakyat. (Paragraf 8:224) 6.Penelitian Puisi Lisan:Parry dan Lord Sejak dahulu Homeros sebagai penyair dipermasahkan dizaman klasisme,Homeros sering dipisahkan dari pengarang klasik yang agung,dengan alasan bahwa dia seorang buta huruf,urakan,yang gaya bahasa dan gambarnya tentang dewa-dewa dan manusia bersifat kerakyatan dan kasar;tetapi dipihak lain dia dikagumi sebagai teladan penyair “primitif” dalam arti yang positif.(Paragraf 1:225) Seorang ahli bahasa Yunani Milman Parry,membuktikan bahwa karya Homeros pada satu pihak memang memanfaatkan dan menggali kekayaan tradisi oral sezaman,namun demikian berdasarkan konvensi sastra lisan dia menciptakan karya sastranya sebagai keseluruhan yang utuh dan sempurna. (Paragraf 2:225) Ide baru yang dilancarkan Parry adalah Homeros penciptaan karyanya memanfaatkan persediaan for-mula yang menjadi modalnya yang siap pakai sesuai dengan persyaratan matra dimanfaatkan unutk eposnya. Contohnya jumlah epithon. Epithon adalah semacam kata sifat atau klausa yang berfungsi kata sifat,yang memberikan ciri khas benda. (Paragraf 3:226) Tetapi Parry tidak puas dengan hipotesis hanya berdasarkan bahan-bahan dari tiga ribu tahun yang lalu dan dia turun kelapangan untuk mencek proses penciptaan epos rakyat yang diandaikan pernah ada dalam kenyataan ;mereka pergi ke Yugoslavia dan hasil penelitian mereka kemudia sesudah Parry meninggal,diterbitkan oleh Lord yang sekarang dianggap sebuah karya kalsik imu sastra. (Paragraf 4:226) Hipotesis Parry memang dapat dibuktikan berdasarkan hasil penelitian Parry dan Lord Yugoslavis. Mereka meneliti puluhan contoh epos rakyat seperti dinyanyikan oleh tukang cerita;mereka meneliti penciptaan epos rakyat dan cara tradisi diturunkan dari guru kemurid. (Paragraf 5:226) Beberapa kesimpulan penting yang dicapai oleh Parry dan Lord sehubungan dengan epos Yugoslavia: 1. Epos rakyat Yugoslavia tidak dihafalkan secara turun temurun,tetapi dibawakan teksnya diciptakan kembali secara spontan dengan kecepatan yang sangat mengagumkan. 2. Skema matra yang harus dipakai cukup ketat,setiap



larik harus terdiri atas sepuluh suku kata dengan penggalan sesudah suku kata yang keempat,yang harus bertepatan pula dengan pemisahan kata. 3. Ciri khas puisi lisan;tidak ada wujud beku yang mantap;sastra lisan adalah sastra yang hidup,lincah selalu diciptakan dan dihayati kembali sesuai dengan daya cipta pembawa dan penikmatnya. (Paragraf 6:227) Teori Parry-Lord waupun umum diakui bahwa prinsip formulaik sangat penting untuk puisi Homeros dan puisi rakyat Yugo,kesimpulan Lord tidak hanya semua puisi lisan harus bersifat formulaik,tetapi bahwa sebaliknya. (Paragraf 7:228) Tetapi dorongan yang diberikan Lord tidak hanya meneliti sastra lisan sebagai hasil sastra yang mempunyai nilai dan hak tersendiri,tetapi untuk mengembangkan konsep teori yang cocok untuk studi “puisi lisan dalam rangka ilmu sastra umum,harus dipuji. (Paragraf 8:228) 7.Penelitian Modern tentang Sastra Rakyat di Indonesia:Fox,Sweeney Perang dunia kedua jelaslah kemajuan yang telah dicapai; yang sudah dijelaskan oleh James Dananjaya. Kemudian Yus Rusyana yang meneliti cerita rakyat dengan memakai analisi motif dan struktur yang modern. Nigel Philipps mengenai nyanyian Naratif Sumatra Barat yang memberikan tentang latar belakang teknik dan metode para penyanyi tentang masalah variasi,rumusan formulaik dan peranannya.(Paragraf 1:229) Dari segi teori sastra penting untuk membicarakan karya dua penelitian yang memberi sumbangan yang sangat berarti bagi penegtahuan mengenai Sastra Lisan Indonesia,berdasarkan penelitian faktual di dua daerah Indonesia: Amin Sweeney dan James Fox. (Pargaraf 2:229) Amin Sweeney selama masa cukup mendalami sastra oral melayu di Malaysia Barat. Dia melatih diri menjadi seorang tukang cerita dan dalang gaya Melayu dan sangat berhasil sehingg adia diterima oleh “Sastrawan”. (Paragraf 3:230) Sweeney menegaskan bahwa tukang cerita Melayu sungguhsungguh seorang profesional yang membawakan ceritanya dengan lagu yang biasanya milik ia sendiri. Ada sejumlah persamaan dan perbedaan antara situasi guslar Yugo dengan situasi tukang cerita puisi Melayu;persamaan utama adalah daya cipta dalam ;tukang cerita yang baik dan berpengalaman tidak menghafalkan teks yang mantap. Sedangkan perbedaan penting adalah kaitan langsung dengan lagu,sedangkan matra dalam arti teknis ala epos Yugo tidak ada. (Paragraf 4:230) Fox membicarakan jenis pusi yang disebut bini,puisi keagamaan tertentu;ciri khas puisi ini adalah pemakaian



dyadic sets,pasangan kata yang menunjukkan kesejajaran semantik tertentu;demikian juga kata kerja dan kata sifat mempunyai pasangan;dalam puisi bini harus ada kesejajaran antara dua baris dalam arti setiap kalimat yang mengandung kata yang ada pasangannya diberi kalimat atau larik sejajar. (Paragraf 5:230) 8.Beberapa kesimpulan umum a. masalah struktur kesastraan berdasarkan sastra lisan,dari bentuk yang paling sederhana sampai bentuk yang sangat njilmet,dengan persyaratan puitik yang kompleks. b. tak kurang pentinglah variasi sebagai aspek hakiki sastra rakyat;dari segi korupsi dan kreasi,juga dari segi fungsi variasi. c. proses penciptaan sastra. Cara dia memanfaatkan persediaan sarana bahasa dan konvensi sastra. d. dalam sastra lisan resepsi masyarakat dan pengaruh timbal balik antara penciptaan dan sambutan dapat diperhatikan dengan intensif,sebab sastra oral masih berfungsi sebagai sarana komunikasi langsung. e. masalah hubungan antara fungsi estetik dan fungsi lain dalam variasi dan keragamannya dapat diamati dari dekat dengan dominan tidaknya fungsi estetik. (paragraf 1:232) 9.Beberapa Kesimpulan Khusus untuk Teori Sastra Indonesia a.segi sejarah maupun dari segi tipologi sastra tidaklah baik diadakan pemisahan antara sastra lisan dan sastra tulis. Fox juga menunjukkan persamaan struktur antara cerita genealogik lisan baik secara historik maupun tipologik. b. prinsip variasi sebagai prinsip lisan. Dalam filologi Indonesia tradisi penurunan naskah sering kali memperlihatkan variasi yang besar. Seolah-olah ada persamaan gaya antara tukang cerita yang pada setiap pembawaan sebuah cerita menciptakannya kembali sesuai dengan selera pendengarnya. Dengan perkataan lain,tekstologi sastra Indonesia dapat mengambil manfaat dari perbandingan dengan situasi sastra lisan,dan mengaitkannya dengan sastra tulis. c.sastra tulis berfungsi dalam situasi sosial yang disebut ramai. Sastra yang ditulis pun dibaca secara bersaama dengan segala konsekuensi untuk teknik,struktur dan fungsinya d.penggabungan sastra tulis dan sastra lisan dalam satu kerangka teori tidak hanya penting bagi sastra tradisional ;sebab kita dapat menyaksikan bahwa dalam sastra Indonesia modern sastra sebagai performing art memainkan peranan penting. (Paragraf 1:234) KOMENTAR: Pada bab ini masih terdapat kata yang sulit dimengerti dan tidak terindeks pada bagian indeks.



BAB XI TEORI SASTRA DAN SEJARAH SASTRA 1.Pendekatan Sejarah Sastra yang Tradisional 2.Prinsip Dasar Sejarah Sastra 3.Beberapa Faktor yang Relevan untuk Sejarah Sastra a.Dinamika Sistem Sastra b.Pengaruh Timbal Balik Antara Jenis Sastra c.Inter Tekstualitas Karya Individual dan Sejarah Sastra d.Sejarah Sastra dan Sejarah Umum e.Penelitian Resepsi Sastra dan Sejarah Sastra f.Sastra Lisan dan Sejarah Sastra g.Sejarah Sastra Indonesia dan Sejarah Sastra dalam Bahasa Nusantara 4.Beberapa Saran dan Contoh Tentang



BAB XI TEORI SASTRA DAN SEJARAH SATRA 1. Pendekatan Sejarah Sastra Yang Tradisional Dalam abad ke-19 ilmu sastra terarah pada penelitian sejarah sastra. Sejarah sastra memiliki berbagai bentuk pendekatan. Masing-masing pendekatan memiliki keunggulan dan kelemahan. Berikut empat pendekatan yang utama, yaitu : a. Pendekatan menggunakan kerangka universal sejarah kebudayaan yang membagi sastra dalam periode menurut gambaran sejarah kebudayaan. Pada abad ke-19 sejarah sastra menjadi bersifat nasional karena timbulnya nasionalisme sebagai ideologi dan menguasai pemikiran para ilmuwan. Pendekatan sejarah sastra ini, menempatkan karya sastra dalam kerangka yang jelas. b. Pendekatan yang mengambil kerangka karya atau tokoh agung atau juga gabugan keduanya. Pendekatan ini mudah dan praktis yang dapat digunakan untuk pengajaran. c. Pendekatan yang memusatkan perhatian pada motif atau tema yang terdapat dalam karya sastra. Dalam pendekatan ini banyak dicurahkan perhatian pada pengembaraan motif atau tema. Tetapi apabila dari segi teori sejarah sastra pendekatan ini, memperlihatkan kelemahan utamanya yaitu sejarah sastra yang bermakna bisa hilang di belakang tema atau motif ini. d. Pendekatan yang memperhatikan asal usul karya sastra daripada struktur dan fungsinya. Pada pendekatan ini sejarah sastra mengambil kriteria utama untuk penahapan sejarah pengaruh asing yang berturut-turut dapat ditelusuri pada perkembangan sastra tertentu. Sejarah sastra yang sungguh-sungguh tidak banyak dijelaskan berdasar pendekatan di atas. Dan pada penjelasan sebelumnya juga jelas disebut bahwa di bidang sastra se-Indonesia belum ada bukunya. Dari segi teori sastra, belum ada penulisan sejarah sastra Indonesia yang memuaskan. Beberapa buku sekolah dengan kata sejarah dalam judulnya masih sangat jauh dari ilmu sejarah sastra sesungguhnya. Ada sejumlah tulisan yang mendekati ideal untuk bagian sejarah sastra modern walaupun demikian masih banyak memerlukan studi pendahuluan dan studi bagian. 2. Prinsip Dasar Sejarah Sastra Dalam Bab IV dikemukakan bahwa teori sastra harus meneliti kompetensi sastra, yaitu keseluruhan konvensi yang memungkinkan pembacaan dan pemahaman karya sastra. Setiap karya adalah manifestasi yang harus dikuasai oleh pembaca agar karya bacaan tersebut dapat diberi makna. Pandangan mengenai sastra sebagai sistem ada benarnya karena sastra memuat bahasa dan bahasa adalah sistem semiotik, di dalamnya memuat bagian-bagian yang saling



berhubungan. Namun apabila terjadi perubahan dalam satu bagian, akan mempengaruhi bagian lain yang berdampak pada ruwetnya deskripsi pada sastra. Dari permasalahan di atas disimpulkan bahwa sejarah sistem sastra menjadi tugas yang tidak terlaksana dalam waktu yang lama dan mungkin hanya mampu menjelaskan hal-hal mengenai sejarah sistem bagian. 3. Beberapa Faktor Yang Relevan Untuk Sejarah Sastra a. Dinamika sistem sastra Masalah dalam sejarah sastra harus mengambil titik tolak dari penelitian jenis sastra. Jenis sastra modern bersifat dinamik yang berarti karya sastra selalu berada dalam konvensi dan kreasi. Tidak hanya pada sastra modern, dalam sastra tradisional norma dan konvensi jenis sastra sering berubah. b. Pengaruh timbal balik antara jenis sastra sehubungan dengan dinamika jenis sastra, perlu diteliti hubungan dan kaitan antara jenis sastra. dalam dinamika sistem sastra, seluruh kaitannya merupakan faktor yang hakiki. Dalam sejarah sastra sering dilihat transformasi teks tertentu dari satu jenis ke jenis lain. Transfromasi tersebut berarti pemindahan tempat dalam sistem sastra. pemindahan itu mungkin menujukkan pergeseran minat atau gaya sastra pada masa tertentu. c. Intertekstualitas karya individual dan sejarah sastra kaitan antara jenis sastra dan karya individu memperhadapkan peneliti dengan berbagai masalah yang memperumit sejarah sastra. hal itu diakibatkan oleh hubungan yang ambigu antara karya individual dan normanorma jenis sastra. d. Sejarah sastra dan sejarah umum penulisan sejarah sastra berada dalam tegangan antara perkembangan intrinsic dan perkembangan sosio-budayapolitik yang menghasilkan sastra tersebut. Sesuai peelitian dan perkembangan teori sastra Jausz dan MukarovskyVodicka sejarah sastra tidak mungkin ditulis dalam isolasi terhadap sejarah umum. Peneliti sastra tidak ahli dalam bidang sejarah umum sehingga mereka terpaksa mempercayakan diri pada sumber-sumber sekunder atau hasil-hasil penelitian sejarahwan. Masalah-masalah ini memiliki konsekuensi yang cukup jelas bagi ahli sastra. ahli sastra memusatkan perhatian pada perkembangan sejarah sastra yang intirnsik khususnya lewat penelitian perkembangan jenis sastra dan karya sastra dalam hubungan intertekstualnya. Baru kemudian atas dasar hasil penelitian semenara dapat diusahakan pengaitan sejarah sastra dengan sejarah kemasyarakatan dalam arti yang luas berdasarkan hasil penelitian sejarah.



e. Penelitian resepsi sastra dan sejarah sastra secara prinsip, sejarah sastra perlu diikutsertakan berdasarkan model semiotik karya sastra. Resepsi sastra tidak hanya oleh dilakukan para pembaca yang se-zamannya dengan penulis tetapi juga resepi oleh angakatan pembaca yang berturut-turut sesudah masa penciptaanyaan. Dinamika perkembangan sastra terungkap lewat pergeseran nilai sastra, termasuk perubahan dalam lingkungan pembaca yang menikmati karya sastra tertentu. Resepsi karya sastra lama dalam masyarakat dapat memperlihatkan pergeseran nilai dan konvensi. Anggapan tentang pentingnya resepsi karya sastra sebagai faktor dalam sejarah sastra sudah cukup luas diterima, namun harus dikatakan pula bahwa penelitian resepsi itu menyediakan berbagai kesulitan metodis dan teknis yang disebabkan data-data untuk penelitian resepsi karya sastra tidak ada atau terbatas. f. Sastra lisan dan sejarah sastra sastra yang seluruhnya terdiri atas sastra oral sukar ditulis sejarahnya. Di Indonesia pun sastra lisan dari masa prasejarah sampai kini memainkan peran yang penting. Sebagian besar sastra lisan hilang tak berbekas dan yang masih ada sekarang diselematkan karena berkat usaha berbagai peneliti. Sastra lisan di Indonesia tidak mengalami perubahan besar. Apabila ada perubahan, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh sastra asing. Sastra lisan dalam berbagai bentuk dan berbagai cara terus menerus mempengaruhi sastra tulis. g. Sejarah sastra Indonesia dan sejarah sastra dalam bahasa nusantara Kompilkasi hubungan antara sejarah sastra ekabahasa dan sejarah sastra se-Indonesia menjadi masalah dalam sejarah sastra Indonesia. Sastra berkembang di masyarakat atas dasar pemahaman horison harapan dan nilai sastra yang terwujud, ekspilist atau implisit, lewat karya yang sama bahasanya. Sistem sastra tidak tumbuh dan berkembang dalam isolasi mutlak tetapi dipengaruhi oleh sastra dalam bahasa lain. Sastra Indonesia memiliki pengaruh timbal balik antara bahasa-bahasa Indonesia tertentu. Pengaruh timbal balik tersebut terjadi ketika pertukaran bahasa dalam sastra. Sastra Indonesia kuat dipengaruhi oleh sastra dari luar Indonesia. Karya sastra asing diciptakan kembali, dicerna, dan disesuaikan dengan tuntutan bahasa, sastra, dan budaya Indonesia. Sejarah sastra Indonesia tidak mungkin ditulis dalam bahasa demi bahasa tanpa membandingkan dengan sastra dari bahasa lain. Dari hal tersebut dapat dibedakan jenis-jenis sastra yang khas untuk suatu bahasa, misalnya karena ciriciri kebahasaan yang istimewa. Penulisan sejarah Indonesia seharusnya dilakukan dalam tataran ekabahasa dan tataran



se-Indoensia agar terjadi timbal-balik yang dapat diwujudkan sebaik mungkin dan mampu dipertanggungjawabkan. 4. Beberapa saran dan contoh tentang penulisan sejarah sastra : metode penampang sinkronik: Jausz 1857 dalam lirik Perancis Tidak ada satu pendekatan yang dapat dipakai untuk menulis sejarah sastra. Kekomplekskan masalah sejarah sastra hanya dabat diatasi dengan pendekatan yang keanekaragaman. Satu pendekatan dari segi tekhnik penelitian memberi harapan akan hasil yang memuaskan dalam sirtuasi sejarah. Puisi Baudelaire yang mendobrak cita-cita keindahan itu dan yang mencari yang indah dalam yang uruk dan jahat. Baudelaire memecahkan norma puisi yang sekaligus mewakili ideologi. Jausz berusaha mengaitkan antara situasi sastra dengan situasi kemasyarakatan. Jausz mendasarkan pandangannya mengenai dunia sosial pada teori sosiologi kognitif. Pendobrak horisan harapan pembaca menurut pandangan Jausz terbukti berkaitan antara lansung dan tak langsung dengan tegangan dalam sistem nilai sosial. 5. Kemungkinan penerapan metode penampang sinkronik di Indonesia Hubungan instrinsik antara karya-karya dapat ditelusuri berdasarkan analisis instrinsik serta data ekstrinsik. Penelitian resepsi sastra secara agak luas dan representatif biasanya tidak mudah. Tetapi kaitan antara sastra dan keadaan oleh penampang sinkronik dapat di teliti. Pendekatan yang seragam dapat dibayangkan untuk sastra Jawa baru, khususnya sastra yang tercipta dan dihayati pada kraton di Jawa Tengah. 7. Sejarah Sastra se-Indonesia Penelitian sastra lisan dapat diperhatikan minat yang makin meningkat untuk masalah sejarah sastra. Baik dari segi teori maupun praktis. Berdasrkan konsep-konsep teori sastra dan pemahaman yang lebih tajam mengenai ciri khas karya sastra dan konvensi sastra sebagai sistem sinkronik. Sejarah sastrapun dapsat dikembangkan pada tataran yang lebih tinggi dan dengan perlengkapan konseptual yang lebih maju dan sempurna. KOMENTAR: Bahasa yang dipakai pengarang banyak menggunakan bahasa istilah sehingga sulit dipahami. BAB XII SASTRA SEBAGAI SENI:MASALAH ESTETIK



BAB XII SASTRA SEBAGAI SENI : MASALAH ESTETIK 1. Ilmu sastra dan estetika Karya sastra dapat didekati dari dua segi yang cukup



1.Ilmu Sastra dan Estetik 2.Sedikit Sejarah Estetik Sastra Barat 3.Estetik Terlepas dari Norma, Agama, dan Etik 4.Beberapa Pendekatan Estetik Indonesia:Melayu dan Jawa Kuno 5.Tegangan Sebagai Dasar Penilaian Estetik 6.Tegangan Pertama:Fungsi Puitik Bahasa 7.Tegangan yang Inheren Pada Struktur Karya Sastra 8.Variasi Karya Sebagai Sumber Tegangan 9.Tegangan Antara Konvensi Sastra dan Karya Individual 10.Tegangan Antara Mimesis dan Kreasi



berbeda. Terutama dibicarakan masalah satra sebagai seni bahasa, dengan tekanan pada aspek kebahasaanya dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk dan pemakaian bahasa lain. Sastra juga merupakan bentuk seni, jadi dapat didekati dari aspek keseniannya. Seni bahasa menimbulkan masalah yang khas, karena bahasa sebagai sarana seni bagi seniman. Bahasa sebelum dipakai oleh seniman untuk membentuk sistem tanda dengan sistem makna yang mau tak mau mendasari ciptaan sastrawan. 2. Sistem sejarah estetik sastra Barat Keindahan yang mutlak menurut Plato hanya terdapat pada tingkatdunia ide-ide, dan dunia ide yang mengatasi kenyataan itulah dunia ilahi yang tidak langsung terjangkau oleh manusia. Para filsuf mendekati dunia ide lewat harmoni yang ideal. Plato secara tak langsung seni berhubungan dengan hakikat benda-benda. Seni sejati berusaha mengatasi kenyataan, dalam bayang-bayang yang hina diusahakannya menyarankan sesuatu dari dunia yang lebih tinggi. Pemandangan mengenai seni dari segi estetik pada masa itu berdasarkan dua hal yang hakiki. Pertama persatuan mutlak dari yang baik, yang benar dan yang indah sangat lama menguasai estetik Barat. 3. Estetik terlepas dari norma agama dan etik Norma-norma untuk estetik pada satu pihak terdapat dalam etik dan filsafat. Petratarca mengatakan memang secara sadar mengalami dan menikmati keindahan alam sebagai sesuatu yang baru bagi dia pribadi. Pengalaman estetik secara mutlak kepada penikmat, jadi pembaca, penonton, pendengar. Menurut pendapat ini keindahan nilai estetik bukanlah sesuatu yang secara objektif terletak dalam karya seni. Penikmat menjadi pencipta serta. Obyek bambigu Jausz memperlihakan bagaimana kuno batas antara seni dan alam. Bahkan batas antara seni dan kenyataan menghilang. 4. Beberapa pendekatan estetik Indonesia : Melayu dan Jawa Kuno Teori estetik yang eksplisit tidak diketahui dibidang sastra Indonesia yang tradisional. Ada konsepsi estetik yang secara implisit terkandung dalam sastra Melayu klasik dalam puisi Jawa kuno. Teori ini digali oleh peneliti karya-karya sastra yang bersangkutan dan yang kemudian dipaparkan dalam setudi yang sangat menarik. Braginsky membedakan tiga aspek pada konsep keindahan melayu. Aspek ontologisnya yaitu keindahan puisi sebagai pembayangan kekayaan Tuhan Yang Maha Pencipta. Bentuk puisi epik yang terkenal dalam sastra Jawa kuno mencapai kesimpulan bahwa puisi bagi sang penyair adalah semacam yoga. Puisilah yang menjadi sarana untuk mencapai seni dan



terahir.estetik tidak bersifat otonom, fungsi seni diabdikan pada fungsi agama. Lewat seni manusia diperhadapkan dengan keagungan ciptaan Tuhan dan dia akan menghilangkan diri dalam keagungan pesona itu. 5. Tegangan sebagai dasar penilaian estetik Penelitian estetik harus mendapat tempat yang layak dalam rangka penelitian kebudayaan umum. Fungsi estetik adalah cara subjek melaksanakan diri terhadap dunia lahir. Fungsi estetik bukanah pertama-tama atau semata-mata kualitas karya seni secara obyektif. Perbedaan antara unsur bahasa sebagai tanda dan karya sastra sebagai tanda. Unsur bahasa mempunyai makna yang tetap, yang terletak pada tanda itu sendiri. Estetik menilai seni ditentukan oleh tegangan antara karya seni sebagai sesuatu yang tersedia secara tetap dan sikap dan pengalaman seseorang penikmat atau pengamat yang tetap berubah. Penikmat estetik tergantung pada tegangan antara yang baru dan yang lama. Fungsi estetik tergantung pada dan ditentukan oleh tegangan antara pemenuhan dan pendobrakan harapan. Tegangan adalah syarat mutlak dasar hakiki untuk penikmat estetik dan tegangan itu terjelma antara karya seni sebagai berian, dan penikmat sebagai variabel. 6. Tegangan pertama : fungsi puitik bahasa Puisi lirik dan puisi epik berbeda konvensi bahasanya. Konvensi pemakaian bahasa dalam sastra mau mengharapkan sesuatu yang ekstra. Dalam sastra arti seharihari ditingkatkan menjadi makna semiotik. Entah disebut ambiguitas. Tegangan itu merupakan bagian yang hakiki dari penikmat estetik dalam sastra. 7. Tegangan yang inheren pada struktur karya sastra Struktur karya sastra bersifat multidimensional. Ingarden membedakan lima lapis atau strata norma-norma. Bunyi, dunia kata sebagai satuan arti. Segi pandangan karya yang mungkin terungkap, lapis kualitas metafisik. Pembaca sebuah karya terus berada dalam situasi tegangan antara semua aspek yang ingin dibina menjadi keseluruhan yang utuh. Tanpa tegangan semacam itu penilaian estetik pasti lebih rendah. 8. Variasi karya sebagai sumber tegangan Kenikmatan estetik dipertinggi oleh pelaksanaan tegangan yang sangat fundamental. Pembaca biasa seringkali tidak sadar akan variasi dalam bentuk sebuah teks, sehingga dia menerima teks yang kemudian diperolehnya. Variasi sebuah teks yang sama dapat menimbulkan kegairahan yang khas. Variasi antara satu naskah dengan naskah lain mempunyai



fungsi semiotik secara intertekstual. Bagi para ahli nilai estetik dapat dipertinggi oleh variasi yang pada penglihatan pertama oleh orang awam. 9. Tegangan antara konvensi sastra dan karya individual Pemahaman dan penilaian karya sastra pembaca tidak hanya diarahkan dan dibimbing oleh kemampuannya sebagai pemakai bahasa. Sistem konvensi itu sangat kompleks dan seringkali bersifat hirarkis. Hubungan intertekstual sebuah karya tidak sadari atau diketahui oleh setiap pembaca, dan kenikmatan membaca tidak harus berdasarkan pengetahuan atau penghayatan karya sastra yang merupakan hipogramnya. 10. Tegangan antara mimesis dan kreasi, atau kenyataan dan alternative Ambivalensi karya sastra terhadap kenyataan merupakan prinsip dasar kesusastraan. Dalam kontfrontasi antara norma kenyataan dan norma alternatif mungkin timbul keterharuan, pengalaman estetik pada pembaca oleh karena disadarinya tegangan antara realitas dan impian hidupnya. 11. Situasi pembaca sebagai sumber tegangan Pembaca setidak-tidaknya harus diperincikan dari dua segi yaitu sosial dan waktu. Pembaca sebuah karya sastra dapat berbeda mengenai latar belakang sosio-budaya. Penilaian karya sastra sebagian besar tergantung dari kaitan antara karya sastra pencipta dan pembacanya. Kaitan itu bersifat sangat eksklusif. Tegangan sosial yang terungkap dalam karya sastra mempertinggi penilaiannya pada golongan tertentu. Dan sebaliknya menjadikan orang lain membenci pada karya itu. 12. Pemikiran estetik dan jarak waktu Jausz menyimpulkan bahwa si peneliti harus dan dapat berusaha untuk memperoleh penikmatan baru. Tegangan antara keasingan dan keakraban yang justru bagi teks ini sangat besar karena jauhnya jarak itu, juga memperbesar kemungkinan penikmat estetik. Tegangan itu malah merupakan syarat mutlak sebab karya sastra selalu sekaligus bersifat historik. Lewat usaha hermeneutik sastra lama tidak mustahil dikejar lagi nilai estetiknya. Dimensi sejarah dapat memperkuat penilaian estetik, karena waktu berfungsi sebagai jaringan, sehingga seleksi karya-karya dari masa lampau lebih udah dilakukan oleh waktu itu sendiri. 13. Tegangan antara penulis dan karyanya dalam penghayatan pembaca Proses semiotik yang menyangkut karya sastra kita menghadapi sebuah komunikasi antar manusia di mana



penulis, antara makna karya sastra dan pesan yang dianggap berasal dari tokoh penulis menunjukkan ambivalensi yang dalam hal karya konkrit ikut menentukan nilai karya sastra. KOMENTAR: Bahasa yang digunakan masih sulit dipahami karena masih banyak menggunakan bahasa istilah.



BAB III PENILAIAN BUKU 4.1 Kelebihan Buku A Kelebihan Antar BAB Buku 1 Kelebihan antar bab dalam buku 1 Penjelasan setiap bab efektif sehingga memudahkan pembaca mengerti isi buku.Sampul buku menarik untuk dibaca dan isinya tidak tebal sehingga sebelum membaca tidak membuat pembaca malas.Bahasa dalam buku sederhana sehingga memudahkan pembaca memahami isi buku



4.2 Kelemahan Buku B.Kelemahan Antar Bab Buku 1 Kelemahan antar bab dalam buku 1 banyak teori yang dijelaskan oleh para ahli



Buku 2 Kelebihan antar bab dalam buku 2 memberikan penjelasan yang jelas tentang sastra dan teori.Antar bab juga membahas nilai-nilai kehidupan dan moralitas



Buku 2 Kelemahan antar bab dalam buku 2 banyak bahasa yang sulit digunakan sehingga membingungkan pembaca.Isi setiap bab tebal sehingga membuat pembaca bosan



BAB IV KESIMPULAN Pendekatan Sejarah Sastra yang Tradisional terbagi atas Karya sastra dan penulisnya ditempatkan dalam rangka yang disediakan oleh ilmu sejarah umum Pendekatan yang mengambil kerangka karya atau tokoh agung, atau gabungan dua kriteria ini, Pendekatan lain yang pada abad ke-19 sangat populer dan membawa hasil yang gilang-gemilang adalah dalam bahasa Jerman Stoffgeschichte yaitu penelitian sejarah bahan-bahan dengan penelusuran sumber-sumber, Pendekatan keempat yang khas, yang lebih memperhatikan asal-usul karya sastra yaitu sejarah sastra yang mengambil sebagai kriteria utama untuk penahapan sejarah pengaruh asing yang berturut-turut dapat ditelusuri pada perkembangan sastra tertentu. Faktor yang Relevan untuk Sejarah Sastra yaitu Dinamika Sistem Sastra, Pengaruh Timbal Balik antar Jenis Sastra, Intertekstualitas Karya Individual dan Sejarah Sastra, Sejarah Sastra dan Sejarah Umum, Penelitian Resepsi Sastra dan Sejarah Sastra, Sastra Lisan dan Sejarah Sastra, Sejarah Sastra Indonesia dan Sejarah Sastra dalam Bahasa Nusantara, Nilai karya sastra adalah sesuatu yang variabel, menurut peranan faktor-faktordari model semiotik dalam situasi konkret tertentu. Itulah alasan terakhir dan paling mustahil mengapa ahli sastra selalu harus sadar akan model semiotik karya sastra sebagai dasar penelitiannya. Hal itu tidak berarti bahwa dalam sastra sebagai dasar penelitiannya. Hal itu tidak berarti bahwa dalam setiap penelitian konkret selalu harus dieksplisitkan dan diikutsertakan hal itu praktis juga tidak mungkin. Analisis struktur karya sastra adalah objek dan tujuan penelitian yang sah, asal peneliti sadar bahwa hasilnya tidak mutlak benar dan hanya bernilai nisbi. Demikianlah, penelitian resepsi karya sastra dalam masyarakat tertentu atau sepanjang masa adalah objek penelitian yang halal dan penting, dan tidak perlulah sekaligus mengadakan penelitian struktur dan seterusnya.