CDK [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Akreditasi IDI



Artikel CME Continuing Medical Education



647 Hormon Tiroid dan Efeknya pada Jantung



• ISSN: 0125-913X • CDK-208/ vol. 40 no. 9 • September 2013 • http.//www.kalbemed.com/CDK.aspx



661



TINJAUAN PUSTAKA Diagnosis dan Penatalaksanaan



689



LAPORAN KASUS Liken Planus Hipertropic: Spondilitis Tuberkulosis



689



BERITA TERKINI Laporan Kasus



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



ISSN: 0125-913X http://www.kalbemed.com/CDK.aspx



Alamat Redaksi Gedung KALBE Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4 Cempaka Putih, Jakarta 10510 Tlp: 021-420 8171 Fax: 021-4287 3685 E-mail: [email protected] http://twitter.com/CDKMagazine Nomor Ijin 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 Penerbit Kalbe Farma Pencetak PT. Dian Rakyat



Ketua Pengarah dr. Boenjamin Setiawan, PhD Pemimpin Umum dr. Kupiya Timbul Wahyudi Ketua Penyunting Dr. dr. Budi Riyanto W., SpS Dewan Redaksi dr. Karta Sadana, MSc, SpOk dr. Artati dr. Esther Kristiningrum dr. Dedyanto Henky dr. Yoska Yasahardja



dr. Albertus Agung Mahode Tata Usaha Dodi Sumarna



DAFTAR ISI 645



715



Agenda



717



Indeks



EDITORIAL



ARTIKEL 647 Hormon Tiroid dan Efeknya pada Jantung Anggoro Budi Hartopo



651



Patofisiologi dan Tata Laksana Remodeling Kardiak Darmadi



656



Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue dengan Penyulit Soroy Lardo



661



Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis Zuwanda, Raka Janitra



674



Implementasi Program Pengendalian Resistensi Antibiotik dalam Mendukung Program Patient Safety Erwin Astha Triyono



679



Spondilitis



643



Liken Planus Hipertrofik: Laporan Kasus Sri Agustina S, Dwi Rakhmawati, Suci Widhiati, Nugrohoaji Dharmawan, Nurrachmat Mulianto, Indah Julianto, Sunardi Radiono



683



Gigi Palsu di Trakea-Laporan Kasus Anton Christanto, Edhie Samodra, Anton B Darmawan, Novi Primadewi



BERITA TERKINI 687



689



Diet Ketogenik untuk Pasien Obesitas RePOOpulate, Tinja Sintetik untuk Mengeradikasi Infeksi Clostridium Difficile Resisten Antibiotik



691 Desflurane Tampaknya Lebih Aman untuk Pasien Alzheimer



693



Allopurinol



Bermanfaat



Mengurangi



Left



Ventricular Mass dan Meningkatkan Fungsi Endotel pada Pasien Jantung Iskemik



694 695



HES Kentang vs HES Jagung Ketofol untuk Sedasi Prosedur Gawat Darurat615 Tadalafil: Phosphodiesterase Inhibitor Tipe 5 yang Lebih Efektif untuk Disfungsi



Ereksi



697



Nutrisi Parenteral Dini vs Nutrisi Parenteral Lambat pada Pasien Anak Kritis di ICU



699 Salbutamol sama Efektifnya dengan Levosalbutamol untuk Asma 701



703



Testosterone untuk Rehabilitasi Pria Penderita Gagal Jantung Kronis dengan Status Testosterone Rendah Ketorolac Efektif untuk Penanganan Migren Akut



705



Meropenem Dibandingkan Ceftazidime/Avibactam + Metronidazole untuk Infeksi Intraabdomen



707



Penambahan Tofacitinib Efektif untuk Rheumatoid Arthritis yang tidak atau Kurang Merespons Methotrexate



dengan



709 Ropivacaine Efektif Menurunkan Nyeri Pascaoperasi Kanker Payudara



711



Opini



PANDUAN UNTUK PENULIS Pelvic fl oor exercise can reduce stress incontinence. Health News. 2005;11(4):11.



CDK (Cermin Dunia Kedokteran) menerima naskah yang membahas



4• pustaka, opini, ataupun hasil penelitian di bidang-bidang tersebut, termasuk berbagai aspek kesehatan, kedokteran, dan farmasi, bisa berupa tinjauan laporan kasus. Naskah yang dikirim ke Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh CDK (belum pernah diterbitkan di jurnal lain); bila pernah dibahas atau dibacakan dalam pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat, dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.



PANDUAN UMUM Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Jika menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku (merujuk pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Pedoman Umum PembentukanKamus Besar Bahasa Indonesia). Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Panjang naskah berkisar antara 2000-3000 kata, ditulis dengan program MS Word, jenis huruf Times New Roman ukuran 12.



ABSTRAK DAN KATA KUNCI Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris, disertai dengan 3-5 kata kunci yang disusun berdasarkan abjad. Abstrak ditulis dalam 1 (satu) paragraf dan, untuk artikel penelitian, bentuknya tidak terstruktur dengan format introduction, methods, results, discussion (IMRAD). Panjang abstrak maksimal 200 kata. Jika tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Indonesia maupun Inggris untuk naskah tersebut. NAMA DAN INSTITUSI PENULIS Nama (para) penulis dicantumkan lengkap (tidak disingkat), disertai keterangan lembaga/ fakultas/institut tempat bekerjanya dan alamat e-mail. TABEL/GRAFIK/GAMBAR/BAGAN Tabel/grafi k/gambar/bagan yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dan dikirimkan terpisah dalam format JPG (resolusi minimal 150 dpi dengan ukuran sebenarnya). Keterangan pada tabel/grafi k/gambar/bagan sedapatdapatnya dituliskan dalam bahasa Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA Daftar pustaka disusun menurut aturan Vancouver. Rujukan diberi nomor urut sesuai pemunculannya di dalam naskah. Jika penulis enam orang atau kurang, cantumkan semua; bila tujuh atau lebih, tuliskan enam yang pertama dan tambahkan et al.



5•



6•



Volume dengan Suplemen Geraud G, Spierings EL, Keywood C. Tolerability and safety of frovatriptan with shortand long-term use for treatment of migraine and in comparison with sumatriptan. Headache. 2002;42 Suppl 2:S93-9. Edisi dengan Suplemen Glauser TA. Integrating clinical trial data into clinical practice. Neurology. 2002;58(12 Suppl 7):S6-12. Jurnal Elektronik Sillick TJ, Schutte NS. Emotional intelligence and selfesteem mediate between perceived early parental love and adult happiness. E-Jnl Appl Psych [serial on the Internet]. 2006 [cited 2010 Aug 6];2(2):3848. Available from: http://ojs.lib.swin.edu.au/ index.php/ejap/article/view/71/1 00.



BUKU



1•



Penulis/Editor Tunggal



1. 2.



2•



2.



4•



Storey KB, editors. Functional metabolism: regulation and adaptation. Hoboken (NJ): J. Wiley & Sons; 2004.



Lebih dari Satu Penulis/Editor



1.



3•



Hoppert M. Microscopic techniques in biotechnology. Weinheim: Wiley-VCH; 2003.



Lawhead JB, Baker MC. Introduction to veterinary science. Clifton Park (NY): Thomson Delmar Learning; 2005. Gilstrap LC, Cunningham FG, Van Dorsten JP, editors. Operative obstetrics. 2nd ed. New York: McGraw-Hill; 2002.



Edisi dengan Volume Lee GR, Bithell TC, Foerster J, Athens JW, Lukens JN, editors. Wintrobes clinical hematology. 9th ed. Vol 2. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993. Bab dalam Buku Ford HL, Sclafani RA, Degregori J. Cell cycle regulatory cascades. In: Stein GS, Pardee AB, editors. Cell cycle and growth control: biomolecular regulation and cancer. 2nd ed. Hoboken (NJ): Wiley-Liss; 2004. p. 42-67.



PROSIDING KONFERENSI Harnden P, Joffe JK, Jones WG, editors. Germ cell tumours V:



Kepustakaan maksimal berjumlah 20 buah, terbitan 10 tahun terakhir. Diupayakan lebih banyak kepustakaan primer (dari jurnal, proporsi minimal 40%) dibanding kepustakaan sekunder.



Proceedings of the 5th Germ Cell Tumour conference; 2001 Sep 13-15;



Contoh format penulisan kepustakaan sesuai aturan Vancouver:



MAKALAH KONFERENSI



Leeds, UK. New York: Springer; 2002.



Christensen S, Oppacher F. An analysis of



JURNAL



Koza’s computational effort statistic for



1•



genetic programming. In: Foster JA, Lutton



Standar



1. 2. 3. 2•



Skalsky K, Yahav D, Bishara J, Pitlik S, Leibovici L, Paul M. Treatment of human brucellosis: systematic review and meta-analysis of randomised controlled trials. BMJ. 2008; 36(7646):701-4. Rose ME, Huerbin MB, Melick J, Marion DW, Palmer AM, Schiding JK, et al. Regulation of interstitial excitatory amino acid concentrations after cortical contusion injury. Brain Res. 2002;935(1-2):40-6.



Organisasi sebagai Penulis



1. 2. 3•



E, Miller J, Ryan C, Tettamanzi AG,



Halpern SD, Ubel PA.Solid-organ transplantation in HIVinfected patients. N Engl J Med. 2002;347:284-7.



American Diabetes Association. 2003;Suppl:19-20, 24.



Diabetes



update.



Nursing.



Parkinson Study Group. A randomized placebo-controlled trial of rasagiline in levodopatreated patients with Parkinson disease and motor fl uctuations: the PRESTO study. Arch Neurol. 2005;62(2):241-8.



Tanpa Nama Penulis



editors. Genetic programming: EuroGP 2002: Proceedings of the 5th European Conference



on



Genetic



Programming;



2002 Apr 3-5; Kinsdale, Ireland. Berlin: Springer; 2002. p. 182-91.



PENGIRIMAN NASKAH Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui email ke alamat:



R e d a k si C D K Jl. Letjen Supra pto



Kav. 4 Cempaka Putih, Jakarta 10510 E-mail: [email protected] Tlp: (62-21) 4208171 Fax: (62-21) 42873685 Seluruh pernyataan dalam naskah merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Naskah yang tidak diterbitkan dikembalikan ke pengarang jika ada permintaan.



Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui



e-mail.



administrasi,



Untuk



mohon



keperluan



disertakan



juga



curriculum vitae, no. Rek. Bank, dan (bila ada) no./alamat NPWP.



Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat



Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online), tentu naskah yang telah diterbitkan akan dapat lebih mudah diunduh dan dimanfaatkan oleh kalangan yang lebih luas.



penulis



dan



pandangan



tidak



masing-masing selalu



atau



merupakan kebijakan



instansi/lembaga tempat kerja si penulis.



644



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



Edito rial Akreditasi IDI



Artikel CME Continuing Medical Education



647 Hormon Tiroid dan Efeknya pada Jantung



r*44/9r$%,UUQWPMXXXLBMCFNFEOPrDPN4FQUFNCFS$%,BTQY



661



TINJAUAN PUSTAKA Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis



689



LAPORAN KASUS Liken Planus Hipertropic: Laporan Kasus



689



BERITA TERKINI Desflurane Tampaknya Lebih Aman untuk Pasien Alzheimer



Demam berdarah dengue masih tetap merupakan masalah sepanjang tahun di Indonesia dan tidak lagi mengenal musim. Karena itu, masih perlu ditelaah, apalagi jika diderita oleh seseorang yang sebelumnya telah mengidap penyakit atau kondisi lain– topik yang menjadi salah satu bahasan dalam edisi ini. Tinjauan mengenai vitamin B6 dan garlic dalam kaitannya dengan pencegahan atau pengobatan penyakit atau kondisi medis tertentu menarik untuk disimak, mengingat popularitas vitamin dan suplemen di kalangan masyarakat awam. Penggunaan untuk indikasi medis tentu seyogianya telah melewati uji klinis yang sahih. Seperti biasa, dilengkapi dengan berita terkini mengenai perkembangan dunia kedokteran mutakhir. Selamat membaca.



Redaksi



645



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



REDAKSI KEHORMATAN



Prof. dr. Sarah S. Waraouw, SpA (K) Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado



Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACE Prof. dr. Abdul Muthalib, SpPD-KHOM Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta



Prof. Dr. Dra. Arini Setiawati, SpFK Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta



Prof. dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEH Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta



Prof. Dr. dr. Charles Surjadi, MPH Puslitkes Unika Atma Jaya



Prof. Dr. dr. Darwin Karyadi, SpGK Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat



Prof. dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTI Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta



Prof. dr. Faisal Yunus, PhD, SpP (K) Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan, Jakarta



Prof. Dr. dr. Ignatius Riwanto, SpB (K) Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr. Kariadi, Semarang



Prof. Dr. dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKN Departemen Kedokteran Nuklir, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung



Prof. dr. Rianto Setiabudy, SpFK Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta



Prof. Dr. dr. Rully M. A. Roesli, SpPD-KGH Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung



Prof. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI Sub Dept. Alergi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta



Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta



Bandung/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung



dr. Prijo Sidipratomo, SpRad (K) Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN



Prof. drg. Siti Wuryan A. Prayitno, SKM, MScD, PhD



Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta



Bagian Periodontologi, Fakultas Kedoteran Gigi Universitas Indonesia,



dr. R.M. Nugroho Abikusno, M.Sc., DrPH



Jakarta



Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta



Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS



dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, PhD



Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar



Universitas Trisakti/Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia, Jakarta



Dr. dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOM Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUP Kanker Dharmais,



Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP



Jakarta



Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta



Dr. dr. med. Abraham Simatupang, M.Kes Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta



dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP (K) FIHA Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PP



dr. Aucky Hinting, PhD, SpAnd



PERKI), Jakarta



Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr. Soetomo, Surabaya



dr. Savitri Sayogo, SpGK Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr.



dr. Hendro Susilo, SpS (K)



Cipto Mangunkusumo, Jakarta



Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RS Dr. Soetomo, Surabaya



dr. Sudung O. Pardede, SpA (K) Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas



Dr. dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, KMN, M.Kes



Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta



Bagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran



646



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



CONTINUING MEDICAL EDUCATION



Akreditasi IDI – 3 SKP



Hormon Tiroid dan Efeknya pada Jantung Anggoro Budi Hartopo Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia



ABSTRAK Hormon tiroid merupakan hormon yang berperan penting menjaga struktur dan fungsi jantung. Pada kondisi normal, hormon tiroid memelihara kekuatan kontraksi jantung (inotropi) untuk memenuhi kebutuhan fi siologis tubuh. Pada penyakit tiroid, baik hipertiroidisme maupun hipotiroidisme, terjadi kelainan patologis pada jantung yang disebut penyakit jantung tiroid. Kelainan patologis pada jantung akibat gangguan hormon tiroid adalah gangguan irama jantung, hipertrofi ventrikel kiri, dan gagal jantung. Mekanisme kerja hormon tiroid meliputi efek genomik dan non-genomik pada kardiomiosit yang memberikan efek fenotipik jangka pendek maupun jangka panjang pada jantung. Efek genomik meliputi modifi kasi proses transkripsi gen pada kardiomiosit, sedangkan efek non-genomik meliputi ikatan pada reseptor membran dan protein sitoplasma kardiomiosit. Kata kunci: hormon tiroid, kardiomiosit, reseptor tiroid



ABSTRACT Thyroid hormone is essential for maintaining structure and function of the heart. In normal condition, thyroid hormone preserves the strength of heart contraction (inotropy) to meet physiological demand. In thyroid diseases, either hyperthyroidism or hypothyroidism, caused pathologic heart abnormalities called thyroid heart diseases. The patologic heart abnormalities due to thyroid hormone disorders are dysrythmia, left ventricular hypertrophy and heart failure. The mechanism of action of thyroid hormone includes genomic and non-genomic types on cardiomyocyte that give short and long term phenotypic effects to the heart. Genomic effect includes modifi cation of gene transcription in cardiomyocyte, whereas non-genomic effect includes ligation to membrane receptors and cytoplasmic proteins of cardiomyocytes. Anggoro



Budi Hartopo. Thyroid Hormone and It’s Effect on the Heart. Key words: thyroid hormone, cardiomyocyte, thyroid receptor T4,



hormon tiroid pada jantung, para Penyakit tiroid didapatkan pada sekitar 15% populasi, terutama pada klinisi diharapkan perempuan dewasa.1 Dalam kondisi normal, hormon tiroid memberikan bisa memahami efek terhadap kekuatan kontraktilitas jantung; sel otot jantung atau mekanisme aksi kardiomiosit mengalami perubahan struktural dan fungsional akibat efek obat-obat antitiroid hormon tiroid. Pada penyakit tiroid, baik hipertiroidisme maupun pada jantung. PENDAHULUAN



selebihnya



(±15%) adalah T3. Di dalam hepar, ginjal dan otot skelet, T4 diubah



menjadi T3.1 Selain T4 dan T3, baru-baru ini



penyakit jantung tiroid. Gangguan irama jantung, hipertrofi ventrikel kiri, MEKANISME



adanya



KERJA HORMON TIROID



Tinjauan pustaka ini membahas mekanisme kerja hormon tiroid pada Kelenjar



tiroid



jantung, terutama ditinjau dari sisi molekuler, dan efek patologis memproduksi gangguan hormon tiroid pada jantung. Dengan mengetahui jenis hormon mekanisme kerja



dua aktif,



diidentifi



hormon tiroid yang disebut (TAM)



tironamin yang



fi



siologis.2



TAM



and triiodotironin (T3).



tiroid



Kedua hormon tiroid



dekarboksilasi



tersebut



yang



kelenjar



akibat hormon



tiroid



stimulasi penstimulasi



tiroid (TSH). Sebagian besar (±85%) hormon tiroid disekresikan



yang dalam



peredaran darah oleh kelenjar tiroid adalah



juga



mempunyai aktivitas merupakan



oleh



kasi derivat



yaitu levotiroksin (T4 )



disintesis



5’-



monodeiodinase



hipotiroidisme, terjadi kelainan patologis pada jantung yang disebut dan gagal jantung merupakan efek patologis hormon tiroid pada jantung.



oleh



dalam



hormon



hasil



proses T4



berlangsung



sitoplasma. Transp or hormo n tiroid dalam sitopla sma Masuknya T4 dan T3 ekstraseluler ke dalam sitoplasma sel target difasilitasi oleh protein transporter hormon tiroid yang ditemukan di membran plasma. T4 mempunyai dua transporter, yaitu Lat2 dan Oatp14.2 Setelah berikatan dengan kedua transporternya, T4 masuk ke dalam sitoplasma dan mengalami deiodinasi menjadi



T3 atau dekarboksilasi menjadi TAM; transporter untuk T3 adalahhormon tiroid (TR) MCT8.2 Dalam sitoplasma, baik T3 yang berasal dari deiodinasi T4 yang terdapat dalam dan maupun T3 yang ditransport oleh MCT8 berikatan dengan reseptornukleus menjalankan fungsi fi Alamat korespondensi



email:



[email protected]



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



siologisnya. Berbeda dengan T4 dan T3 yang mempunyai



reseptor di nukleus, TAM bukan



Tabel 1 Distribusi isoform TR pada berbagai organ tubuh dan kadar ekspresivitasnya 3



berikatan dengan reseptor di dalam nukleus, melainkan berikatan dengan reseptor di membran plasma. Reseptor untuk TAM adalah trace amine associated receptors (TAAR); TAAR merupakan golongan G-protein-coupled receptors (GPCR).2 Mekanisme kerja hormon tiroid meliputi aksi genomik dan nongenomik. Aksi genomik melibatkan transkripsi gen target, sedangkan aksi non-genomik bukan melalui proses aktivasi transkripsi gen, melainkan melalui aktivasi langsung protein-protein dalam sel target. Gambar 1 menunjukkan mekanisme kerja hormon tiroid pada sel target.



Organ yang mengekspresi Isoform TR Kadar tinggi



Kadar rendah Ginjal, otot skelet, paru, jantung,



TRα1



Otak



TRα2



Otak Ginjal, hati, otak, jantung, tiroid Otak, retina, telinga dalam Ginjal, hati, paru



TRβ1 TRβ2 TRβ3



testis, hati Ginjal, otot skelet, paru, jantung, testis, hati Otot skelet, paru, limpa Paru, jantung Otot skelet, limpa, otak, jantung



Aksi genomik hormon tiroid Aksi genomik hormon tiroid melibatkan aktivasi transkripsi pada promoter gen target T3 yang difasilitasi oleh TR dalam nukleus. TR merupakan faktor transkripsi nukleus yang mengenali sekuens DNA-spesifi k promoter pada gen target T3. Terdapat dua isoform TR, yaitu TRα dan TRβ. 3 Ekspresi dan distribusi dua isoform tersebut bervariasi pada berbagai organ tubuh (tabel 1). TR berikatan dengan dengan thyroid hormone response elements (TRE) dalam gen target T3. TRE merupakan sekuens heksanukleotid yang terintegrasi dalam promoter gen target T3. Ikatan TR dengan TRE bisa berupa homodimer (TR-TRE) atau membentuk heterodimer dengan retinoid X receptor / RXR (TR3 RXR-TRE).



Gambar 1 Mekanisme aksi hormon tiroid (T3, T4 dan TAM) di dalam sel target, baik secara genomik dan non-genomik2,3



Terdapat tiga isoform RXR, yaitu RXRα, RXRβ, dan RXRγ, yang salah satunya membentuk heterodimer dengan TR. Heterodimer dengan RXR memperkuat daya ikatan TR pada TRE sekaligus meningkatkan respons kompleks ini terhadap T3.3 T3 dalam sitoplasma mengalami translokasi ke dalam nukleus dan berikatan dengan TR. Ikatan T3 pada kompleks TRRXR-TRE menyebabkan rekrutmen koaktivator yang mengubah konformasi kompleks ini. Konformasi baru ini mengaktifkan kompleks TRRXR-TRE untuk memulai aktivitas 3 transkripsi. Selain dalam nukleus, TR juga ditemukan dalam mitokondria, yang merupakan varian dari TRα. Varian reseptor ini juga berikatan dengan TRE dan T3 untuk memulai proses transkripsi dalam gen mitokondria.4 Aksi nongenomik hormon tiroid Hormon tiroid bekerja secara non-genomik



melalui aktivasi sinyal yang dimulai EFEK dari ikatan T4 atau T3 padaMOLEKULE reseptor di membran plasma dan ikatan langsung T4 atau T3 padaR HORMON protein-protein spesifi k dalamTIROID sitoplasma. Reseptor pada membran plasma sebagai ligan T3PADA atau T4 adalah integrin αVβ3. JANTUNG Ikatan T3 atau T4 pada integrin Pengaruh αVβ3 mengaktifkan jalur kaskadehormon tiroid MAPK dan ERK1/2, yangpada fungsi fi jantung menyebabkan berbagai tingkatansiologis sangat aktivasi seluler.3 Protein spesifi kdipengaruhi kadar dalam sitoplasma yang berikatanoleh T3. Hal dengan T3 atau T4 adalah ERK1/2 serum ini karena dan PI3-K, yang menimbulkanjantung tidak beberapa respons fi siologis.2,3mempunyai aktivitas5’Efek-efek yang terjadi akibat aksi non-genomik hormon tiroidmonodeiodinase ,sehinggaambil meliputi pengaktifan Ca2+-ATPasean T3 dari dan Na-K-ATPase pada membranperedaran plasma, peningkatan ambilandarah merupakan (uptake) 2-deoksiglukosa, pengatursumber hormon + + utama pertukaran Na /H , peningkatan inftiroid uks Na+ ke dalam sel, peningkatanpada 1 kardiomiosit ; proliferasi seluler pada sel tumor, T3 bekerja pada pacuan angiogenesis, pacuankardiomiosit polimerisasi aktin, dan fasilitasisecara genomik nonpergerakan TR dari sitoplasma ke dan genomik. nukleus.3 T3 bekerja secara genomik melalui ikatan dengan TR yang terletak dalam nukleus kardiomiosit. Aktivasi kompleks TRRXR-TRE oleh T3 meningkatkan proses transkripsi dan ekspresi gengen yang menyandi protein-protein struktural dan pengatur beserta enzimenzim penting dalam kardiomiosit.5 Gen-gen pada kardiomiosit yang ekspresinya dipengaruhi oleh kompleks T3-TR-RXR-TRE dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis. Jenis pertama adalah gen yang diatur secara positif,



648



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



Tabel 2 Gen yang dipengaruhi oleh hormon tiroid dan respons yang dihasilkan



Gen yang diatur positif Rantai berat alfa-miosin



Efek genomik



Efek fenotipik



Aktivitas (pato)fisiologis



Peningkatan transkripsi



Peningkatan protein rantai berat alfa-miosin pada fi lamen tebal



Hipertrofi dan peningkatan kontraksi kardiomiosit



Peningkatan transkripsi



Peningkatan protein SERCa2 pada retikulum



Penurunan kadar kalsium sitoplasma



Ca2+-ATPase retikulum sarkoplasma



sarkoplasma



Na+-K+-ATPase



Peningkatan transkripsi



Peningkatan protein membran transporter



Peningkatan ef uks natrium



Reseptor adrenergik beta-1



Peningkatan transkripsi



Peningkatan protein reseptor adrenergik beta-1



Peningkatan respons adrenergik kardiomiosit



Atrial natriuretic hormone



Peningkatan transkripsi



Peningkatan pro-ANP dan ANP



Gangguan pengaturan garam dan keseimbangan cairan



Voltage-gated potassium channels



Peningkatan transkripsi



Peningkatan ekspresi Kv1.5, Kv4.2, dan Kv4.3



Peningkatan ef uks kalium



Guanine-nucleotide-regulatory proteins



Peningkatan transkripsi



Peningkatan guanine-nucleotide binding proteins



Peningkatan aktivitas adenilat siklase dan menaikkan cAMP kardiomiosit



Gen yang diatur negatif



Efek genomik



Efek fenotipik



Aktivitas (pato)fisiologis



Rantai berat beta-miosin



Penurunan transkripsi



Penurunan protein rantai berat beta-miosin pada fi lamen tebal



Hipertrofi dan peningkatan kontraksi kardiomiosit



Fosfolamban



Penurunan transkripsi



Peningkatan aktivitas fosfolamban



Penghambatan aktivitas SERCa2



Adenilil siklase tipe V dan VI



Penurunan transkripsi



Penurunan adenilat siklase



Penurunan konsentrasi cAMP intraseluler



T3 nuclear receptor- α1



Penurunan transkripsi



Penurunan TRα1



Penghambatan aktivitas transkripsi oleh TRα1



Penurunan Na+/Ca2+ exchanger membran



Penghambatan inf uks natrium dan ef uks kalsium



Na+/Ca2+ exchanger



Penurunan transkripsi



plasma



yaitu gen-gen yang mengalami peningkatan aktivitas transkripsi akibat T3. Gen berat,



fosfolamban, 2+ adenilil siklase tipe V ini antara lain gen alfa-miosin rantai berat, Ca -ATPase retikulum + + dan VI, thyroid sarkoplasma, Na -K -ATPase, reseptor adrenergik beta-1, atrial natriuretic hormone receptor-1, 1 hormone (ANP), dan voltage-gated potassium channels.



Gen alfa-miosin



rantai berat menyandi protein kontraktil rantai berat alfa-miosin yang dan



Na+/Ca2+



1,5 Gen beta-miosin rantai 2+ Gen Ca -ATPase retikulum sarkoplasma menyandi protein SERCa2 dalam berat menyandi membran retikulum sarkoplasma, yang mengatur ambilan kalsium dari protein miosin rantai sitoplasma ke dalam retikulum sarkoplasma selama fase diastolik jantung. 5 berat tipe beta pada fi Ambilan kalsium ini menurunkan kadar kalsium dalam sitoplasma yang penting lamen tebal yang dalam memperlama fase diastolik. Kedua gen tersebut berperan dalam merupakan ATPase pengaturan fungsi sistolik dan diastolik jantung. Gen Na +/K+-ATPase danmiosin tipe lambat. voltage-gated potassium channels mengatur respons elektrik dan kimiawi T3 menurunkan kardiomiosit.1 T3 meningkatkan ekspresi protein pengatur transportasi ion ekspresi gen betatersebut yang berperan dalam menghantarkan aktivitas elektrik kardiomiosit. miosin rantai berat Gen reseptor adrenergik beta-1 menyandi protein reseptor beta-1 pada sekaligus menaikkan membran plasma kardiomiosit, yang berfungsi sebagai penghantar respons- ekspresi alfa-miosin berat, respons jantung terhadap pacuan simpatis dan adrenergik. 1,5 Ekspresirantai menghasilkan efek reseptor beta-1 mengalami peningkatan akibat pengaruh T3. hipertrofi dan peningkatan Jenis kedua adalah gen yang diatur secara negatif, yaitu gen-gen kontraktilitas



merupakan serabut otot tipe cepat dalam fi lamen tebal pada kardiomiosit. 1,5exchanger.



yang mengalami penurunan aktivitas transkripsi akibat T3. Gen ini kardiomiosit.6 Fosfolamban antara lain gen beta-miosin rantai merupakan penghambat Ca2+ATPase retikulum endoplasma dalam memompa kalsium ke dalam retikulum sarkoplasma.5 T3 menurunkan ekspresi gen fosfolamban dan



sekaligus meningkatkan aktivitas SERCa2. Pada hipotiroidisme, ekspresi fosfolamban pada kardiomiosit meningkat, menyebabkan hambatan ambilan kalsium ke dalam retikulum sarkoplasma sehingga kalsium sitoplasma meningkat dan mengganggu fase diastolik.5 Tabel 2 menunjukkan gen yang dipengaruhi oleh hormon tiroid beserta efek-efek yang ditimbulkan. Hormon tiroid juga bekerja secara nongenomik, yaitu melalui efek ekstranuklear pada kardiomiosit. Aksi ini tidak melibatkan TRE maupun transkripsi gen. Mekanisme efek non-genomik ini



terjadi melalui ikatan T3 atau T4 pada reseptor dalam membran plasma, retikulum sarkoplasma, sitoskeleton, mitokondria atau elemen-elemen kontraktil kardiomiosit, dan ikatan T3 langsung pada protein spesifi k dalam sitoplasma kardiomiosit.5,6



Efek



non-genomik ini muncul lebih cepat dibandingkan efek genomik hormon tiroid. Efek-efek yang terjadi



brilasi atrium. Gambaran perubahanpolarisasidanpermeabilitassaluran ion untuk Na +, K+, dan Ca2+elektrokardiografi pada membran plasma, pacuan aktivitas Ca 2+-ATPase pada sarkolemayang lain adalah blok dan retikulum sarkoplasma, aktivasi reseptor beta adrenergik,A-V derajat I, polimerisasi aktin, dan modulasi fungsi adenine nucleotide translocator-1 pemendekan interval pada membran mitokondria.1,7 Pada peningkatan T3 sirkulasi dalam Q-T, takikardia jangka waktu pendek, efek non-genomik lebih berperan dibanding efek supraventrikular,dana genomik. Namun, pada hipotiroidisme atau hipertiroidisme jangka lama,bnormalitasgelomban efek genomik lebih menonjol. g T.7 Pasien



bradikardia, amplitudo kompleks QRS yang rendah (low voltage complex), pemanjangan interval P-R, pemanjangan interval Q-T, dan inversi gelombang



belum



hipotiroidisme HORMON TIROID DAN ARITMIA menunjukkan Hormon tiroid memengaruhi irama jantung melalui efeknya pada salurangambaran saluran ion kardiomiosit. Gambaran elektrokardiografi yang paling sering elektrokardiografi pada pasien hipertiroidisme adalah sinus takikardia, fl utter atrium, dan fi berupa sinus



T.7



Hormon



pada



mekanisme



non-genomik



ini



adalah



CDK-208/



nucleotide-gated channels 2/4 yang berperan dalam memulai impuls jantung pada pacemaker.7 Efek hormon tiroid terhadap overekspresi beta-1-adrenergic receptor pada kardiomiosit menyebabkan hipersensitivitas kardiomiosit terhadap respons adrenergik yang mengakibatkan kenaikan kadar cAMP intraseluler. Kenaikan cAMP ini mempercepat fase depolarisasi diastolik yang meningkatkan laju jantung. 1 Hormon tiroid menyebabkan perubahan ekspresivitas dan aktivitas protein-protein saluran ion pada membran plasma, proteinprotein saluran ion yang menghubungkan antar-kardiomiosit, sistem konduksi jantung, dan protein-protein sistem transpor kalsium. 7 Protein-protein pengatur ion dan sistem konduksi ini dipacu oleh T3 atau T4 dan mengaktifkan jalur aktivasi intraseluler yang meningkatkan eksitabilitas dan menyebabkan hiperresponsivitas kardiomiosit, sehingga muncul berbagai bentuk aritmia jantung.



HORMON TIROID DAN HIPERTROFI JANTUNG Hipertrofi jantung akibat hormon tiroid menyerupai hipertrofi fi siologis akibat (exerci se) olah fi sik



pembebanan atau yang berkelanjutan. Hipertrofi fi siologis ini ditandai dengan peningkatan kadar SERCa2, peningkatan kadar protein alfa-miosin rantai



berat pada fi lamen tebal dan penurunan kadar protein betamiosin rantai berat pada fi lamen tebal.5 T3, melalui mekanisme kerja genomik, memacu transkripsi proteinprotein struktural yang menyebabkan proliferasi dan



hipertrofi kardiomiosit. Mekanisme nongenomik, melalui ikatan T3 dengan ligannya dalam sitoplasma, turut berperan dalam hipertrofi jantung melalui aktivasi jalur PI3K yang meningkatkan sintesis protein-



Aktivitas T3 memengaruhi fungsi diastolik dan sistolik jantung. Aktivasi SERCa2 dalam retikulum sarkoplasma oleh T3 menyebabkan penurunan kalsium sitoplasma yang meningkatkan relaksasi ventrikel kiri. Dalam waktu bersamaan, T3 menghambat fosfolamban sehingga fungsi fosfolamban dalam menghambat kerja SERCa2 terblokir. Hasil akhirnya adalah perbaikan fungsi diastolik ventrikel kiri. T3 berefek langsung dalam fungsi kontraktil kardiomiosit melalui peningkatan kadar protein alfa-miosin rantai berat (yang mempunyai fungsi kontraktilitas tinggi) dan penurunan kadar protein betamiosin rantai berat (yang mempunyai fungsi kontraktilitas rendah).5,9 Aktivasi T3 terusmenerus pada kardiomiosit, seperti pada kondisi hipertiroidisme, menyebabkan kenaikan massa ventrikel kiri yang berpotensi mengganggu fungsi pengisian akhir diastolik.10 T3 juga memacu neovaskularisasi sekaligus menghambat apoptosis kardiomiosit yang mengalami hipertrofi sehingga memperberat hipertrofi yang terjadi.8 protein DAFTAR PUSTAKA



HORMO N TIROID DAN GAGAL JANTU NG Pada gagal jantung, gangguan tiroid yang paling sering ditemukan adalah penurunan kadar T3 dalam sirkulasi. Sekitar



karena



melibatkan yang



proses kompleks.



Proses



genomik



maupun



non-



genomik



berperan



serta



dalam



patogenesis



aritmia



akibat hormon tiroid. tiroid



mengatur transkripsi Mekanisme



hyperpolarization-



aritmogenesis



activated cyclic



akibat hormon tiroid



vol. 40 no. 9, th. 2013



struktural pada kardiomiosit sehingga terjadi hipertrofi fi siologis.8 T3 meningkatkan polimerisasi aktin menjadi protein-protein kontraktil fungsional yang memperkuat kontraktilitas kardiomiosit.3



sepenuhnya



dimengerti



649



gen SERCa2. Efek fenotipik yang ditemukan adalah penurunan kontraktilitas ventrikel kiri dan peningkatan waktu relaksasi ventrikel kiri, yang menyebabkan perburukan fungsi sistolik dan diastolik jantung.9 Penurunan kadar T3 juga menurunkan polimerisasi aktin pada sarkomer, menyebabkan gangguan struktural dan susunan geometri kardiomiosit, yang memengaruhi kontraktilitas jantung.9 Selain hipertrofi fi siologis, stimulasi hormon tiroid jangka lama dapat memacu sinyal-sinyal intraseluler yang menyebabkan hipertrofi patologis. Hipertrofi patologis akibat T3 difasilitasi oleh protein sitoplasma, yaitu transforming growth factor β-activated kinase 1 (TAK-1).12



Baik



hipotiroidisme



maupun



hipertiroidisme



dalam jangka lama dapat menyebabkan gagal jantung. Hipotiroidisme menyebabkan gangguan pertukaran kalsium kardiomiosit dan perubahan susunan Efeknya



protein



kardiomiosit.10,13



kontraktil



adalah



penurunan



relaksasi



kardiomiosit dan gangguan pengisian diastolik ventrikel kiri sehingga, secara klinis, terjadi pengurangan kontraktilitas jantung dan curah jantung.13 kenaikan



Hipertiroidisme massa



ventrikel



menyebabkan kiri



yang



dapat



menimbulkan efek berupa gangguan pengisian diastolik ventrikel kiri.10,13 10-30% pasien gagal jantung mempunyai kadar T3 rendah, yang dikenal dengan low thyroid syndrome atau euthyroid sick



SIMPULAN



syndrome.11 Turunnya kadar T3 serum berhubungan dengan penurunan transkripsi gen alfamiosin rantai berat maupun



hormon tiroid pada



Hormon



tiroid



memengaruhi



kerja



jantung, baik sistolik maupun



diastolik.



Mekanisme



kerja



kardiomiosit meliputi aksi



genomik



dan



non-genomik. Gangguan tiroid,



hormon baik



hipotiroidisme



hipertiroidisme,



efek



maupun



dapat menimbulkan



gangguan



1.



2.



Klein I, Danzi S. Thyroid disease and the heart. Circulation. 2007;116:1 725-35. Brix K, Fuhre D, Biebermann H. Molecules important for thyroid hormone synthesis and action -



650 CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



Known facts and future perspectiv es. Thyroid Research. 2011;4(Su ppl 1):S9.



3.



Cheng SY, Leonard JL, Davis PJ. Molecula r aspects of thyroid hormone actions. Endocrin



e Rev. 2010;31:13 9-70.



5.



4.



Weitzel JM, Iwen KA. Coordinati on of mitochondr ial biogenesis by thyroid hormone. Mol Cell Endocrin. 2011;342:1 -7.



6.



Dillmann W. Cardiac hypertroph y and thyroid hormone signaling. Heart Fail Rev. 2010; 15:125-32. Dahl P, Danzi S, Klein I. Thyrotoxic cardiac disease. Curr Heart



berupadan



fungsional



strukturaljantung, Fail Rep. 2008;5:1 70-6.



7.



Tribulova N, Knezl V, Shainber g A, Seki S, Soukup T. Thyroid hormone s and cardiac arrhythmi as. Vasc Pharm.



gangguan



seperti



jantung,



2010;52:10 2-12.



8.



irama hipertrofi



ventrikel



kiri,



dan



gagal jantung.



A, Iervasi G. The role of thyroid hormone in the pathophysiology of heart failure: Clinical evidence. Heart Fail Rev. 2010;15:155-69.



Ojama K. Signaling mechanis ms in thyroid hormoneinduced cardiac hypertroph y. Vasc Pharm. 2010;52:11 3-9.



10.



Biondi B, Cooper DS. The clinical signifi cance of subclinical thyroid dysfunction. Endocrin Rev. 2008;29:76-131.



11.



Rhee SS, Pearce EN. The endocrine system and the heart: A review. Rev Esp Cardiol. 2011;64:220-31.



12.



9.



Wang Y-Y, Morimoto S,Du C-K, Lu Q-W, Zhan DY, Tsutsumi T, et al. Up-regulation of type 2 iodothyronine deiodinase in dilated cardiomyopathy. Cardiovasc Res. 2010;87:636–46.



13.



Galli E, Pingitore



Kahaly GJ, Dillmann WH. Thyroid hormone action in the heart. Endocrin Rev. 26;5:704-28.



Patofisiologi dan Tata Laksana Remodeling Kardiak Darmadi RSUD ZA Pagar Alam, Kabupaten Way Kanan, Lampung, Indonesia



ABSTRAK Remodeling kardiak merupakan kondisi fi siologis maupun patologis akibat infark miokard, tekanan berlebihan, volume berlebihan, atau kardiomiopati dilatasi idiopatik, yang melibatkan perubahan genetik, molekuler, dan seluler pada kardiomiosit dan interstisial. Mekanisme yang mendasari adalah regangan miokard, aktivasi neurohormonal dan peranan sitokin. ACEinhibitor, beta blocker, Ca channel blocker, angiotensin receptor blocker, dan antagonis aldosteron terbukti efektif dalam memodulasi proses remodeling. Artikel ini membahas patofi siologi dan tata laksana remodeling kardiak. Kata kunci: remodeling kardiak, fi brosis kardiak, hipertrofi kardiomiosit, gagal jantung



ABSTRACT Cardiac remodeling is commonly defi ned as a physiological or pathological state that may occur after myocardial infarction, pressure overload, volume overload, or idiopathic dilated cardiomyopathy, which involves genetic, molecular and cellular changes in cardiomyocytes and the interstitium. Underlying mechanisms include myocardial stretch, neurohormonal, and cytokine activation. ACE inhibitor, beta blocker, calcium channel blocker, angiotensin receptor blocker, and aldosterone antagonism have proven to be effective in modulating the process of remodeling. This review examines the pathophysiology and treatment of cardiac remodeling. Darmadi. Pathophysiology and Management of Cadiac Remodeling. Key words: cardiac remodeling, cardiac fi brosis, cardiomyocyte hypertrophy, heart failure training



membahas PENDAHULUAN remodeling Remodeling kardiak adalah ekspresi gen yang menghasilkan perubahan kardiak. Artikel ini molekuler, seluler, dan interstitial serta secara klinis bermanifestasi membahas patofi sebagai perubahan ukuran, bentuk dan fungsi jantung. Remodeling dapatsiologi dan bersifat fi siologis maupun patologis. Remodeling fi siologis adalahtatalaksana perubahan kompensasi dari dimensi dan fungsi jantung dalam merespon remodeling proses fi siologis seperti olahraga dan kehamilan. Remodeling patologiskardiak. dapat muncul karena tekanan berlebihan (stenosis aorta, hipertensi), volume berlebihan (regurgitasi katup), maupun pasca infark miokard dan PEMBAHASAN miokarditis.1



adaptasi struktural dan morfologik. Akibat peningkatan beban dinamik, jantung dengan



berespon hipertrofi



eksentrik (ditandai peningkatan



Remodeling Fisiologis



panjang kardiomiosit



Remodeling fi siologis



lebih dominan dibandingkan



Proses remodeling berkaitan dengan prognosis yang lebih buruk pada sering disebut sebagai pasien gagal jantung. Beberapa obat yang terbukti memiliki efek reverse athlete’s heart. remodeling dan mengurangi dilatasi ventrikel antara lain angiotensin- Jantung atlet converting enzyme (ACE)-inhibitor, beta-blocker, calcium channel blocker, merupakan kondisi fi angiotensin receptor blockers, dan antagonis aldosteron. 2 Banyaksiologis penelitian



(seperti pelari dan perenang) terjadi



akibat



peningkatan output



cardiac



dan



volume.



stroke Adaptasi



kardiovaskuler atlet



bisa



pada akibat



aktivitas fi sik dinamik, isometrik,



maupun



kombinasi keduanya.3



Pada jantung atlet endurance



yang



lebarnya). Terjadi perubahan miokard seperti ventrikel



dilatasi kiri,



peningkatan massa ventrikel kiri. Sedangkan pada atlet dengan strength training (seperti atlet angkat beban dan pegulat) perubahan



terkait dengan peningkatan tekanan sistolik dan diastolik. Jantung atlet ini merespon tekanan berlebihan yang tibatiba dengan hipertrofi konsentrik dan terkadang disertai peningkatan diameter kiri.



ventrikel Hipertrofi



konsentrik ditandai peningkatan lebar kardiomiosit yang lebih dominan dibandingkan panjangnya. Remodeling kardiak pada atlet strength training endurance



maupun training



tidak mutlak seperti yang sudah dijelaskan; dinding ventrikel kiri lebih tebal pada strength training, sementara dilatasi ventrikel kiri



lebih dominan pada endurance training. Atlet kombinasi kedua latihanPertumbuhan tersebut menunjukkan derajat dilatasi ventrikel kiri dan hipertrofi remodeling ventrikel yang lebih berat.3,4 adalah



Alamat



651



terhadap



miokard



dan



respons



berlebihan



struktural yang sesuai



Remodeling Adaptif dan Maladaptif



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



dan



tekanan



Dinding miokard yang



volume



menebal



yang



untuk



membebani jantung.



stres



korespondensi



email:



diperlukan



menormalisasi



[email protected]



Pathophysiologic stimulus



Hemodynamic alterations



Hormonal Imbalance



Increased ventricular wall tension



Cardiac hypertrophy Cardiac hypertrophy Cardiac dilatation and dilatation



Proses remodeling kardiak sangat dipengaruhi oleh beban hemodinamik, aktivasi neurohormonal, faktor endotelin, sitokin, nitric oxide, dan stres oksidatif. Proses yang dapat terjadi dalam remodeling antara lain pemanjangan kardiomiosit, dinding ventrikel menipis, ekspansi daerah infark, inflamasi dan reabsorpsi jaringan nekrosis, pembentukan jaringan parut, hipertrofi miosit, kehilangan miosit berkelanjutan, dan akumulasi kolagen pada interstisial kardiak.1



Cardiac remodeling (Alterations in shape and size of the myocardium)



Heart failure Gambar 1 Konsep remodeling kardiak terkait disfungi jantung pada kasus gagal jantung 7



Pathological heart remodelling



Pada infark miokard, remodeling ventrikel kiri mulai dengan cepat, biasanya dalam beberapa jam pertama setelah infark dan terus berlanjut. Perjalanannya dipengaruhi oleh tingkat keparahan penyakit dasar, kejadian sekunder seperti infark miokard berulang, faktor lain seperti iskemi atau aktivasi neuroendokrin, genotip, dan penatalaksanaan yang dilakukan. Saat miosit meregang, aktivitas norepinefrin lokal, pelepasan angiotensin dan endotelin meningkat. Perubahan ini menstimulasi gangguan ekspresi protein dan hipertrofi miosit. Hasil akhirnya adalah penurunan lebih jauh performa jantung disertai peningkatan aktivasi neurohormonal. Selain itu, peningkatan aktivasi aldosteron dan sitokin juga akan menstimulasi sintesis kolagen, yang mengarah pada fi brosis dan remodeling matriks ekstraseluler.7



Normal heart condition



Eccentric hypertrophy Concentric hypertrophy



Gambar 2 Hipertrofi Eksentrik dan Hipertrofi Konsentrik3



Fase untuk



awal remodeling adalah



memperbaiki dinding yang diinduksi tekanan berlebihan dan



area



dipertahankan walaupun beban kerja lebih



dan beratpembentukan jaringan dipengaruhititik tertentu dianggap geometri ventrikel.Besarnya



tinggi. Proses ini dipandang adaptif atau sebagai



Remodeling



kompensasi,



diartikan sebagaidengan perubahan geometriinfark. tanpa perubahansetelah



Segera infark



berat. Ventrikel yangmiokard, cedera ukurannya



area meluas



membesar



dilatasi dan



melalui proses ini pemendekan serat dapat tetap



memampukan



jantung



untuk



mempertahankan fungsi saat tekanan atau volume berlebihan pada fase akut kerusakan jantung. Pada kondisi tertentu seperti infark miokard,



miokarditis



kardiomiopati,



non



perubahan



iskemik, struktural



dan yang



diamati sebagian besar adalah maladaptif sejak awal. Perubahan struktural tidak diperlukan untuk mempertahankan volume kontraksi yang adekuat. Remodeling yang progresif selalu diartikan



mempunyai



efek



merusak



dikaitkan dengan prognosis buruk.5



Hipertrofi dan Remodeling Hipertrofi peningkatan



mempunyai arti



dan



massa tanpa



lebihremodeling



namundiikuti mempunyai dindingregional tipis akanpenipisan mempunyai beratinfark.



terkait ukuran



zona Saat



jantung yang samaremodeling, dimensi (tanpa hipertrofi )geometrik menjadi namun



mengalamikurang elips dan remodeling. Istilahlebih bulat, juga remodeling merujukterdapat perubahan ventrikel, pada perubahanmassa geometris



dengankomposisi tanpavolume



atau perubahan



dan yang



berat.semuanya Faktanya, padamempengaruhi hampir semua kasusfungsi jantung. Perubahan seluler remodeling, biasanya tetap adadan molekuler dalam peningkatan ototremodeling berupa dan



berat



jantunghipertrofi



miosit,



secara keseluruhan.nekrosis, apoptosis, 5 fi brosis, dan proliferasi fi broblas.



Patofisiologi Miosit



adalah



Akibat selberlebihan,



jantung utama yanginterna



volume radius ventrikel



terlibat dalam prosesmeningkat remodeling.



menyebabkan Komponen lain yanghipertrofi eksentrik. terlibat adalahSebaliknya tekanan interstitium,



fiberlebihan



broblas, kolagen danmenyebabkan tebal pembuluh darahdinding ventrikel kiri tanpa koroner dan prosesmeningkat lain yang terkaitatau dengan sedikit berupa nekrosis apoptosis.6



iskemik,peningkatan ukuran jantung, danrongga



sel



disebut konsentrik.



hipertrofi 8



652



Komponen Utama Remodeling Kardiak



1. Kardiomiosit Miosit dan sel jantung lain dipercaya terlibat dalam proses remodeling. Miosit menjadi fokus utama karena aktivitas kontraksi dan memberikan kontribusi terbesar pada massa jantung. Pada saat rusak, jumlah miosit berkurang dan miosit yang tersisa menjadi panjang atau hipertrofi sebagai bagian dari proses kompensasi awal untuk mempertahankan volume kontraksi setelah kehilangan jaringan kontraktil. Ketebalan dinding ventrikel juga akan meningkat. Kondisi pengisian yang terganggu meregangkan membran sel dan berperan menginduksi ekpresi gen terkait hipertrofi ; pada miosit jantung akan menyebabkan sintesis protein kontraktil yang baru dan penggabungan sarkomer baru. Ada hipotesis yang menyatakan bahwa pola yang terjadi akan menentukan apakah miosit jantung akan memanjang atau justru menambah diameternya.3,5,7 2. Peran proliferasi fi broblas Fibroblas dan sel endotel diaktivasi sebagai respons terhadap serangan iskemik. Stimulasi fi broblas meningkatkan sintesis kolagen dan menyebabkan fi brosis ventrikel. Hal ini menyebabkan apoptosis dan nekrosis kardiomiosit, digantikan oleh fi broblas dan kolagen ekstraseluler.6 Fibrosis menyebabkan kekakuan miokard yang mengganggu pengisian jantung. Kehilangan miosit merupakan mekanisme penting terjadinya gagal jantung. Apoptosis kardiomiosit akan menurunkan kontraktilitas dan menyebabkan berkurangnya ketebalan dinding miokard. Hal inilah yang menyebab-kan terjadinya kardiomiopati dilatasi. Ketika jantung terpapar tekanan berlebihan dan hipertrofi gagal, akan menyebabkan dilatasi ventrikel. Peningkatan kekakuan miokard dan penurunan kontraktilitas merupakan konsekuensi remodeling yang patologis dan menjadi prediktor kuat terjadinya gagal jantung.6,9 3. Peran degradasi kolagen Miosit miokard ditopang oleh jaringan penyambung yang terdiri dari mayoritas kolagen fi brilar, kolagen ini disintesis dan didegradasi oleh fi broblas interstitial. Miokard kolagenase merupakan proenzim penting dalam kondisi inaktif di ventrikel. Aktivasi terjadi setelah adanya kerusakan miokard



yang berkontribusi pada peningkatan dimensi ruangan sebagai respons terhadap peningkatan tekanan. Hal ini diduga menjadi penyebab kelainan miosit.3,5,7 4. Peran apoptosis Ada hipotesis bahwa disfungsi ventrikel kiri progresif terjadi akibat kematian miosit yang berlangsung. Apoptosis mungkin menjadi mekanisme pengaturan penting dalam respons adaptif terhadap tekanan yang berlebihan di mana apoptosis awal terkait dengan hipertofi jantung. Pencetus apoptosis lainnya adalah sitokin (terutama TNF-α dan interleukin), stres oksidatif, dan kerusakan mitokondria.3,5,7 TATA LAKSANA Angiotensin-converting enzyme (ACE)-inhibitor Sejumlah penelitian mengkonfi rmasi bahwa ACE inhibitor mengurangi progresifi tas remodeling ventrikel kiri pada binatang pecobaan dengan gagal jantung. Pfeffer et al mengembangkan penelitian pada tikus dengan infark miokard untuk mempelajari remodeling ventrikel dan menemukan bahwa kaptopril dapat mengurangi hipertrofi ventrikel. 10 Studi lain mendapatkan bahwa ACE inhibitor mengurangi peningkatan massa ventrikel kiri dan deposit kolagen interstisial. Linz dkk. melakukan penelitian dengan ramipril dosis rendah (10 μg/kgBB/hari) yang tidak mempunyai efek pada tekanan darah dan dosis tinggi (1 mg/kgBB/hari) yang dapat menurunkan mean arterial pressure (MAP); didapatkan penurunan hipertrofi ventrikel kiri dan fi brosis miokardial yang sama pada kedua dosis. Hal ini mendukung pendapat bahwa efek anti remodeling ramipril adalah karena efek hemodinamiknya. Kaptopril terbukti menurunkan secara signifi kan volume akhir sistolik ventrikel kiri serta meningkatkan stroke volume dan fraksi ejeksi. Mekanisme perbaikan dengan ACE inhibitor terkait dengan vasodilatasi perifer, ventricular unloading, dan perubahan dilatasi ventrikel, serta efek tambahan pada sirkulasi koroner dan intrinsic plasminogen activating system. ACE inhibitor memiliki efek langsung ke jaringan miokard dan mencegah hipertrofi dan pertumbuhan tidak tepat yang distimulasi oleh angiotensin II dan faktor 11 pertumbuhan lainnya.



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



Di samping mengubah Angiotensin I menjadi Angiotensin II, ACE juga mengkatalisis degradasi bradikinin menjadi metabolit inaktif. Bradikinin mungkin mempunyai peranan lebih menonjol dalam mekanisme kerja ACE inhibitor karena ditemukan jalur alternatif pembentuk Angiotensin II yaitu serine protease chymase jantung yang ditemukan di berbagai organ semua mamalia; serine protease chymase ini mengkatalisis konversi hidrolitik Angiotensin I menjadi Angiotensin II yang secara substansial lebih tinggi dibandingkan dengan ACE dan enzim pembentuk Angiotensin II lain. Lebih dari 90% Angiotensin II manusia dan anjing dibentuk oleh chymase, sedangkan lebih dari 80% Angiotensin II tikus dan kelinci dihasilkan oleh ACE. Chymase pada jantung manusia dan pembuluh darahnya terutama dihasilkan oleh sel mast 12 dan terdapat di interstisial jantung. Beta Blocker Beta blocker secara konsisten memperbaiki fungsi ventrikel kiri. Bersama ACE inhibitor terbukti memperbaiki fraksi ejeksi pasien pasca infark miokard maupun gagal jantung. Data ekokardiografi mendapatkan bahwa carvedilol secara signifi kan menurunkan volume akhir diastolik ventrikel kiri dan volume akhir sistolik, meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri, serta perbaikan remodeling kardiak. Studi lain membuktikan karvedilol dan metoprolol dapat memengaruhi geometri dan massa ventrikel kiri. Walaupun bisoprolol dan metoprolol terbukti menurunkan mortalitas pasien gagal jantung, namun efek reverse remodeling-nya lebih lemah dibandingkan carvedilol. Diperkirakan yang berkontribusi dalam reverse remodeling adalah efek antioksidan. Sebuah studi yang membandingkan carvedilol dan metoprolol menunjukkan bahwa keduanya memiliki efek antioksidan yang signifi kan dan memperbaiki fraksi ejeksi setelah penggunaan lebih dari 6 bulan.1 Penurunan mortalitas pasien gagal jantung dengan beta blocker terkait dengan modifi kasi proses remodeling. Beta blocker terbukti secara aktual berperan sebagai reverse remodeling dengan menurunkan volume ventrikel kiri dan memperbaiki fungsi sistolik.13 Carvedilol monoterapi maupun kombinasi carvedilol dan enalapril memiliki efek reverse remodeling, sementara enalapril monoterapi tidak memiliki efek tersebut.14 Sementara itu, reverse remodeling terjadi pada pasien yang mendapat



CDK-208/ vol. 40



metoprolol dan bisoprolol karena terjadi penurunan volume dan diameter ventrikel kiri akhir diastolik dan akhir sistolik.15,16



Patofi siologi peranan beta blocker terhadap reverse remodeling diduga pada tingkat seluler. Aktivasi reseptor beta pada miokard terbukti memicu disfungsi dan kematian kardiomiosit. Efek ini dimediasi oleh peningkatan cAMP, me-nyebabkan peningkatan kalsium intraseluler yang dapat menyebabkan overload kalsium dan nekrosis sel. Katekolamin sendiri dapat berperan sebagai growth factors pada kardiomiosit dan hipertrofi miosit akibat stres oksidatif memicu terjadinya apoptosis. Beta blocker dapat 17 menghambat proses ini. Calcium Channel Blocker Amlodipine dan benidipine terbukti 18 me-ngurangi hipertrofi miokard. Dihidropiridin (CCB kerja panjang) efektif dalam menurunkan tekanan darah, inhibisi remodeling kardiak, dan menurunkan risiko kardiovaskular. Studi lain menunjukkan benidipine (CCB kerja panjang) dapat meningkatkan aliran koroner dan menurunkan iskemia miokard dengan memicu pelepasan NO. NO diketahui dapat mengurangi keparahan hipertrofi dan gagal jantung. Lebih lanjut benidipine juga dapat menghambat fi brosis miokard pada model tikus dengan DM. Benidipine dapat menghambat remodeling kardiak melalui jalur sinyal nitric oxide.19 Fibrosis miokard memegang peranan penting dalam proses remodeling kardiak. Benidipine secarasignifi kanmenghambatfi brosismiokard. Kolagen tipe I dan III diproduksi oleh fi broblas kardiak dan merupakan komponen utama dari matriks kolagen miokard, sementara kolagen tipe IV juga diekspresikan oleh miosit kardiak dan fi broblas, dan merupakan komponen utama membran basalis. Angiotensin II menginduksi peningkatan fi bronektin mRNA di miokard disertai peningkatan kolagen tipe I dan tipe IV. Up regulation prokolagen IV alfa menunjukkan kemungkinan gen yang berperan dalam remodeling kardiak. Down regulation gen ini oleh benidipine merupakan kontribusi penting dalam 20menghambat remodeling kardiak. Angiotensin Receptor Blocker (ARB) Penelitian terhadap model binatang tikus dengan infark miokard menunjukkan penurunan kadar brain natriuretic peptide



no. 9, th. 2013



653



plasma, fi brosis kardiak, dan ukuran kardiomiosit. Telmisartan dapat mencegah remodeling kardiak melalui reduksi hipertrofi kardiak dan fi brosis. Efek antiinf amasi dan aktivasi PPAR-γ diduga turut berkontribusi dalam mensupresi aktivitas angiotensin 21 II.



Studi ekokardiografi VALIANT, meliputi 610 pasien menunjukkan bahwa kaptopril, valsartan, dan kombinasi keduanya mampu memperbaiki ukuran dan fungsi ventrikel. Valsartan memiliki efek yang sama dengan kaptopril dalam memodulasi remodeling kardiak. Studi ekokardiografi ELITE menilai volume ventrikel pada pasien lansia dengan gagal jantung dan/atau disfungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi 50



34 (21%)



40 (31,51%)



ketaatan



Karakteristik



Sex



Umur (tahun)



Prinsip Pencegahan Peningkatan Mikroba Resisten Pencegahan peningkatan mikroba resisten, secara prinsip dengan dua cara, pertama, mencegah



munculnya



mikroba



akibat selection pressure



resisten



dengan cara



penggunaan antibiotik secara bijak dan kedua,



mencegah dengan



penyebaran cara



mikroba



meningkatkan



terhadap



prinsip-prinsip



kewaspadaan standar.1 Tabel 2 Diagnosis saat penderita masuk rumah sakit Diagnosis Masuk



Pra-PPRA (n=162)



Observasi febris Infeksi dengue Demam tifoid GEA + Dehidrasi Diare Kronis Leptospirosis ISK TB Paru Sepsis Lain-lain



6 (3,70%) 100 (61,72%) 8 (4,93%) 42 (25,92%) 1(0,61%) 1 (0,61%) 1 (0,61%) 1 (0,61%) 2 (1,29%)



PPRA (n=127) 15 (11,81%) 32 (25,19%) 12 (9,44%) 52 (40,94%) 7 (5,51%) 2 (1,57%) 1 (0,78%) 1 (0,78%) 5 (3,98%)



Program Pengendalian Resistensi Antimikroba Penggunaan antibiotik secara bijak, menjadi masalah utama di Indonesia, sehingga harus menjadi prioritas untuk semua pelayanan kesehatan di Indonesia. Di RSUD Dr. Soetomo telah dilaksanakan beberapa kegiatan, antara lain implementasi PPRA, perluasan pilot study di beberapa Departemen/SMF yang mengacu kepada pengendalian resistensi antimikroba melalui penggunaan antibiotik yang bijak serta



Tabel 3 Diagnosis saat penderita keluar dari rumah sakit Diagnosis Keluar



Pra-PPRA (n=162)



Observasi febris Infeksi dengue Demam tifoid GEA + Dehidrasi Diare Kronis Leptospirosis ISK TB Paru Sepsis Lain-lain



3 (1,85%) 95 (58,64%) 15 (9,25%) 36 (22,22%) 1 (0,61%) 1 (0,61%) 7 (4,32%) 4 (2,5%)



aktivitas pengendalian infeksi yang benar. PPRA (n=127) 23 (18,11%) 31 (24,40%) 51 (40,15%) 7 (5,51%) 2 (1,57%) 3 (2,36%) 2 (1,57%) 2 (1,57%) 6 (4,88%)



Tabel 4 Hasil pemeriksaan kultur Karakteristik



Pra-PPRA



PPRA



Total pasien



162



127



Pemeriksaan kultur



32 (19,75%)



82(64,56%)



Ada hasil kultur



10 (31,25%)



65 (79,26%)



Ada pertumbuhan kuman



4(40%)



10 (15,38%)



Tabel 5 Macam Isolat Kuman Hasil Kultur Sediaan



Darah



Urine Faeces Dahak



Hasil Isolat Kuman Pra-PPRA



Staphylococcus coagulase neg Pseudomonas spp. Klebsiella oxyteca E. coli patogen serotipe I-II -



Hasil Isolat Kuman PPRA Staphylococcus coagulase neg Streptococcus non hemoliticus



Kegiatan ini sangat bermanfaat untuk menekan pembiayaan penggunaan antibiotik terutama terkait dengan penerapan paket INA-DRG bagi pasien JAMKESMAS dan



pasen ASKES.



Selain itu diharapkan terwujud pengendalian mikroba resisten di rumah sakit yang dapat memengaruhi



mutu



pelayanan



kesehatan



khusunya penanganan kasus-kasus infeksi di rumah sakit.2



KeselamatanPasiensaatinimerupakanisuyan g sedang gencar disosialisasikan di kalangan lembaga pelayanan kesehatan. Keselamatan pasien wajib diterapkan dalam segala aspek pelayanan. Undang-undang tentang Rumah Sakit mewajibkan Rumah Sakit menerapkan standar keselamatan pasien. Keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu Rumah Sakit yang memberikan



pelayanan yang lebih aman termasuk di dalamnya asesmen risiko, identifi kasi, dan



manajemen



risiko



terhadap



pasien,



pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi, serta



Pseudomonas aeruginosa Acinetobacter spp. Streptococcus Beta Hemoliticus



meminimalisir timbulnya risiko. “Safety is a fundamental principle of patient care and a critical



component



of



hospital



quality



management.” (World Alliance for Patient Safety, Forward Programme WHO 2004). Maka paradigma baru kualitas pelayanan harus memasukkan unsur keselamatan pasien di samping unsur teknis dan kepuasan pasien.3



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



675



Konsep Dasar PPRA Keselamatan pasien di rumah sakit adalah sistem pelayanan dalam suatu RS yang memberikan asuhan pasien menjadi lebih aman. Risiko terjadinya kesalahan medis



SMF SMF



yang dialami pasien di rumah sakit sangat besar. Besarnya risiko dipengaruhi oleh



DALIN



beberapa faktor antara lain lamanya pelayanan, keadaan pasien, kompetensi



FARMASI



SMF



SMF PPRA



dokter, serta prosedur dan kelengkapan fasilitas. Kesalahan medis tersebut bisa saja



SMF



SMF



terjadi pada saat komunikasi dengan pasien, pemeriksaan fi sik, pemeriksaan



MIKROBIOLOGI KLINIK



penunjang, diagnosis maupun terapi dan tindak lanjut, namun bukan disebabkan oleh



SKFT



SMF



penyakit underlying diseases. Risiko klinis tersebut bisa berakibat cedera,



SMF



Siklus Implementasi PPRA



kehilangan/kerusakan atau bisa juga karena faktor kebetulan atau ada tindakan dini tidak berakibat cedera.3



Guideline update



Kejadian risiko yang mengakibatkan pasien tidak aman sebagian besar dapat dicegah dengan beberapa cara. Antara lain meningkatkan kompetensi diri, kewaspadaan dini, dan komunikasi aktif



Surveilance Sosialisasi



dengan pasien. Salah satu yang bisa dilakukan untuk mendukung program patient safety tersebut adalah penggunaan antibiotik secara bijak dan penerapan pengendalian Diharapkan



infeksi secara benar. penerapan “Program



Guideline update



Pengendalian Resistensi Antibiotik” dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya penanganan kasus-kasus infeksi di rumah sakit serta mampu meminimalkan risiko terjadinya kesalahan medis yang dialami pasien di rumah sakit.3



Implementasi Dep./SMF



Gambar 1 Konsep dasar PPRA dengan melibatkan 4 pilar dan SMF sebagai ujung tombak penerapan PPRA di masingmasing



SMF



Tim Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (Tim PPRA) mempunyai tugas utama membantu Pimpinan Rumah Sakit untuk2:



1.



Menetapkan



program pengendalian antimikroba secara intensif.



resistensisosialisasi PPRA (tabel 1).



Dalam mencapai tujuan tersebut, TimDiagnosis penderita PPRA senantiasa berkoordinasi dengansaat masuk rumah Komite Medik, Komite KPRS, Komitesakit (MRS) maupun DALIN, Sub Komite Farmasi dan Terapi,keluar dari rumah SMF/Instalasi Mikrobiologi Klinik dansakit (KRS) pada praInstalasi Farmasi RSUD Dr. Soetomo.2 kelompok sosialisasi



PPRA



kebijakan pengendalian resistensi antimikroba di RSUD Dr. Soetomo



HASIL PENELITIAN Karakteristik Penderita



2.



kelompok pra sosialisasi PPRA sebanyak 162sedangkan pasien, lebih banyak dibandingkan kelompok kelompok



Menetapkan implementasi program pengendalian resistensi antimikroba di RSUD Dr. Soetomo



3.



Menyebarluask an dan meningkatkan pemahaman pengendalian resistensi antimikroba di RSUD Dr. Soetomo yang berhubungan erat dengan penggunaan antibiotik secara bijak dan penerapan prinsip pengendalian infeksi secara benar.



4.



Mengembangk an penelitian yang berkaitan dengan pengendalian resistensi antimikroba di RSUD Dr. Soetomo secara terpadu.



5.



Monitoring dan evaluasi pelaksanaan



Jumlah



penderita



lebih



banyak



disebabkan



oleh



infeksi yang



masuk



virus,



dalamkhususnya dengue, pada pasca-



setelah sosialisasi PPRA sebanyak 127sosialisasi pasien. Kelompok pra sosialisasi PPRA lebihdiagnosis



PPRA, MRS



banyak didominasi laki-laki dan usia muda maupun KRS lebih bervariasi, yaitu bisa dibandingkan dengan kelompok post disebabkan



oleh



virus, bakteri



atau



kuman



yang



lain



(tabel 2 dan 3). Sosialisasi



PPRA



ternyata memberikan dampak peningkatan kesadaran



klinisi



untuk memeriksakan kultur,



yaitu



29,75



%



dari



menjadi



64,56 % dan setelah ditunjang



oleh



kesiapan



tim



mikrobiologi terdapat



klinik,



79,26



%



hasil kultur kelompok PPRA



yang



dilaporkan tim jumlah



klinisi.



kepada Dari



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



676



PPRA didapatkan sampel sebanyak 32 pasien



dan



pasca-sosialisasi



PPRA



sebanyak 25 pasien. Tabel 7 menunjukkan



Tabel 6 Turn Around Time



bahwa Turn Around Time



MRS → ambil sample darah kultur



penggunaan



antibiotik



pada



Pra-PPRA (n=10)



PPRA (n=65)



0 hari



-



9 (13,84%)



1-3 hari



7 (70%)



37 (56,92%)



ini karena diagnosis kasus infeksi yang



>3 hari



3 (30%)



19 (29,24%)



disebabkan



kelompok pasca-sosialisasi PPRA sebesar 84%



lebih



banyak



dibandingkan



pra



sosialisasi PPRA sebesar 53,12% dan hal bakteri



lebih



banyak



pada



pasca-sosialisasi PPRA.



7 hari



-



11 (16,90%)



Pra PPRA (n=32)



PPRA (n=25)



Dengan Antibiotika



17 (53,12%)



21 (84%)



Tabel 8 menunjukkan peningkatan ketepatan penggunaan antibiotik menjadi 65 % di kelompok pasca-sosialisasi PPRA dibandingkan kelompok prasosialisasi PPRA yang hanya sebesar 52,94 %.



Tanpa Antibiotika



15 (46,88%)



4 (16%)



Analisis biaya yang tercantum pada tabel 9



Ambil sampel darah kultur → hasil diterima klinisi



Tabel 7 Evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif Pemakaian Antibiotika



menunjukkan bahwa sosialisasi PPRA mampu Tabel 8 Kategori Kualitas Penggunaan Antibiotik



menghemat



Klasifikasi Gyssen I (penggunaan tepat) IIA (tidak tepat dosis) IIB (tidak tepat interval) IIC (tidak tepat cara pemberian) IIIA (terlalu lama) IIIB (terlalu singkat) IVA (ada obat lain lebih efektif) IVB (ada obat lain kurang toksik) IVC (ada obat lain lebih murah) IVD (ada obat lain lebih spesifi k) V (tidak ada indikasi) VI (rekam medik tidak dapat dievaluasi)



Pra-PPRA (n=17)



PPRA (n=21)



52,94% (9) 0% 0% 0% 0% 0% 17,64% (3) 0% 0% 29,42% (5) 0% 0%



65% (14) 0% 0% 0% 0% 0% 30% (6) 0% 0% 5% (1) 0% 0%



Tabel 9 Analisis biaya Kultur: - Darah (Rp 220.000) - Urine (Rp 60.000) - Feces (Rp 60.000) - Dahak (Rp 60.000) Antibiotik TOTAL



pengeluaran



belanja



antibiotik



sebesar Rp203.000 per pasien selama rawat inap dibandingkan pra-sosialisasi PPRA.



ANALISIS DAN DISKUSI Jumlah sampel kelompok pra sosialisasi PPRA sebanyak 162 pasien, lebih banyak dibandingkan kelompok post sosialisasi PPRA sebanyak 127 pasien. Karakteristik pasien kelompok pra sosialisasi PPRA lebih banyak didominasi laki-laki dan berusia muda dibandingkan dengan kelompok post sosialisasi PPRA. Diagnosis MRS maupun KRS pasien pada



Pra-PPRA (n=17)



PPRA (n=21)



2 (11,76%) / (Rp.440.000) 3 (17,65%) / (Rp.180.000) 2 (11,76%) / (Rp.120.000) Rp.14.365.914 (@ Rp.845.100)



16 (76,19%) /(Rp.3.520.000) 1 (4,76%) / (Rp.60.000) 1 (4,76%) / (Rp.60.000) 2 (9,52%) / (Rp.120.000) Rp.13.492.097 (@ Rp.642.500)



Rp.15.205.914 (@ Rp.894.500 )



Rp.17.252.000 (@ Rp. 821.500 )



kelompok pra sosialisasi PPRA lebih banyak disebabkan oleh infeksi virus khususnya infeksi dengue sedangkan pada kelompok post



sosialisasi



maupun



KRS



PPRA diagnosis



MRS



lebih



yaitu



bervariasi



disebabkan oleh virus, bakteri atau kuman yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa tiap waktu terdapat perbedaan pola infeksi.



Sosialisasi PPRA ternyata memberikan dampak peningkatan kesadaran klinisi untuk memeriksakan kultur dan ditunjang



tersebut hanya 15,38 % yang didapatkan pertumbuhan kuman (tabel 4).



Terdapat perbedaan jenis isolat kuman yang didapatkan pada pra-sosialisasi dan pasca-sosialisasi PPRA (tabel 5).



bahwa



pasca-oleh



kesiapan



tim



sosialisasi



PPRAmikrobiologi klinik sehingga hampir 80 menghasilkan kinerja lebih baik% kelompok post PPRA sehingga pasiensosialisasi demam atau yangmempunyai kultur menggunakan



Data Turn Around Time yang menggambarkan



antibiotik



kinerja pemeriksaan mikrobiologi mulai dari



mendapatkan



pasien menjalani rawat inap sampai hasil



mikrobiologi



mikrobiologi diterima klinisi menunjukkan



menyempurnakan atau



hasil yang



segeradilaporkan kepada klinisi. Dari hasiltim tersebut untukangka hanya 15,38 % yang



memastikandidapatkan yangpertumbuhan



diagnosis dibuat



oleh



parakuman.



Masih



klinisi terutama yangbanyak yang harus dalam terkait dengandiperbaiki pemilihan antibiotikupaya meningkatkan angka keberhasilan tim mikrobiologi



(tabel 6). Pada penggunaan antibiotik sampling



evaluasiuntuk mendapatkan pertumbuhan kuman



mampu dilakukanagar denganmengoptimalkan



penegakan metode kelipatan 5upaya sehingga padadiagnosis penyakit kelompok sosialisasi



prainfeksi terkait



terutama



CDK-208/



vol. 40 no. 9, th. 2013



post sosialisasi PPRA sebesar 84 % lebih



dengan pemilihan antibiotik hasil sensitivitasnya.



sesuai



banyak dibandingkan pra sosialisasi PPRA sebesar 53,12 %. Hal ini karena diagnosis kasus



Bermacam-macam jenis kuman didapatkan dari hasil kultur, terdapat perbedaan macam



infeksi



sosialisasi



bakteri



PPRA



lebih



dibanding



banyak



post



pada



pra



infeksi atau hasil kontaminasi atau kolonisasi sehingga diperlukan tatalaksana yang baik dalam proses pengambilan sampel sampai pada proses pengiriman sampel tersebut ke laboratorium mikrobiologi klinik. Sarana dan prasarana yang memadai atau mutakhir sangat mendukung validitas hasil pemeriksaan kultur disamping peningkatan keahlian tim mikrobiologi. Data Turn Around Time yang menggambarkan



2. Penilaian kualitas penggunaan antibiotik menunjukkan bahwa post sosialisasi PPRA terdapat peningkatan ketepatan penggunaan antibiotik menjadi 65 % dibandingkan kelompok pra sosialisasi PPRA yang hanya Ketepatan indikasi



sebesar 52,94 %. yang lebih baik



diharapkan meningkatkan efi kasi antibitiotik, mampu mencegah resistensi antibiotik dan mengurangi kerugian materiil maupun non materiil pemerintah, rumah sakit maupun pasien dan keluarganya sehingga pada akhirnya mampu mendukung program patient safety.



pasien menjalani rawat inap sampai hasil



Analisis



mikrobiologi



sosialisasi PPRA mampu menghemat pengeluaran belanja antibiotik sebesar



klinisi



menunjukkan



bahwa sosialisasi PPRA menghasilkan kinerja lebih baik sehingga pasien demam atau yang menggunakan antibiotik segera mendapatkan hasil mikrobiologi untuk menyempurnakan atau memastikan diagnosis para klinisi terutama yang terkait dengan pemilihan antibiotik. Makin baik turn around time, makin baik pula kinerja tim PPRA untuk membantu klinisi membuat diagnosis



infeksi



pengobatan



antibiotik



serta



memberikan



yang



paling



tepat



sehingga mampu mencegah timbulnya kuman resisten dan mengurangi kerugian materiail maupun non materiil akibat diagnosis dan



biaya



menunjukkan



bahwa



Rp203.000 per pasien selama rawat inap dibandingkan pra sosialisasi PPRA. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi PPRA mampu mengarahkan sebuah institusi kesehatan untuk mengelola kasus infeksi dengan baik dan benar. Penggunaan antibiotik secara bijak selain mampu meningkatkan efi kasi antibiotik sesuai kuman penyebab infeksi juga mampu mencegah timbulnya kuman resisten dan menghemat pengeluaran belanja pasien untuk obat-obatan terutama antibiotik.



SIMPULAN DAN SARAN Simpulan penggunaan



antibiotik



menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik di kelompok



1. Implementasi program dan kegiatan PPRA RSUD Dr. Soetomo secara umum dapat dilaksanakan dengan baik. Kegiatan implementasi di SMF Ilmu Penyakit Dalam



teaching hospital



official of the Eur



in



Soc



of



Indonesia.



Clin



Microb



Clinical



and Inf Dis 2009;



prescribing in two



Microbiology and



14(7): 698-707.



governmental



Infection : the CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



678



biaya



menunjukkan



penghematan belanja antibiotik sebesar Rp203.000 per pasien selama rawat inap. Implementasi PPRA mampu meningkatkan mutu



pelayanan



institusi



kesehatan



kasus infeksi dengan baik dan benar serta cost effective.



Saran



1.



Meningkatkan pemahaman staf medik fungsional terhadap penggunaan antibiotik secara bijak.



2.



Memfasilitasi sistem penunjang dan ketersediaan tenaga staf medik fungsionil terkait dengan penguatan laboratorium hematologi, imunologi, mikrobiologi klinik, radiologi atau laboratorium lain yang berkaitan dengan penyakit infeksi agar implementasi penggunaan antibiotik secara bijak berjalan dengan baik. Meningkatkan



prinsip



kewaspadaan



sakit dan di masyarakat, dan evaluasi secara



kualitatif



Pelaksanaan termasuk



maupun



surveilan



tindakan



kuantitatif.



secara



koreksi



intensif terhadap



berbagai penyimpangan diharapkan dapat mencegah muncul dan penyebaran mikroba resisten secara efektif.



Hadi U, et al. Audit antibiotic



Analisis



terhadap penggunaan antibiotik di rumah



DAFTAR PUSTAKA



1.



3.



3.



terapi antibiotik yang kurang tepat.



Evaluasi



Peningkatan ketepatan indikasi penggunaan antibiotik tersebut mampu memberikan efi kasi yang optimal, mencegah timbulnya resistensi antibiotik dan mengurangi kerugian materiil maupun non materiil baik dari pemerintah, rumah sakit maupun pasien dan keluarganya sehingga pada akhirnya mampu mendukung program patient safety.



terutama rumah sakit dalam mengelola



kinerja pemeriksaan mikrobiologi mulai dari diterima



tahun 2009 meningkatkan ketepatan penggunaan antibiotik menjadi 65% post sosialisasi PPRA dibandingkan pra sosialisasi PPRA yang hanya sebesar 52,94%.



sosialisasi.



isolat kuman yang didapatkan pada pra sosialisasi dan post sosialisasi PPRA. Belum dapat disimpulkan apakah kuman tersebut merupakan kuman penyebab



677



2. 3.



Tim PPRA RSUD Dr. Soetomo – FK Unair. Laporan Kegiatan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba 2008. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691 / MENKES / PER / VIII / 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.



Liken Planus Hipertrofik: Laporan Kasus Sri Agustina S*, Dwi Rakhmawati*, Suci Widhiati*, Nugrohoaji Dharmawan*, Nurrachmat Mulianto*, Indah Julianto*, Sunardi Radiono** *Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, RSUD Dr. Moewardi, Surakarta, Indonesia **Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia



ABSTRAK Liken planus hipertrofi k (LPH) merupakan kasus jarang dengan prevalensi 1%. LPH merupakan varian liken planus yang sangat gatal. Penyebabnya sebagian besar idiopatik, obat-obatan, atau infeksi virus hepatitis C. Dilaporkan sebuah kasus perempuan usia 35 tahun, sejak 11 tahun yang lalu pada dorsum manus, tulang kering, dorsum pedis tampak papul, nodul, dan plak hiperkeratotik serta hiperpigmentasi dengan permukaan verukosa yang simetris, di bawah payudara dan vulva tampak plak hiperkeratotik dan hiperpigmentasi. Lesi tebal dan gatal. Pemeriksaan histopatologi epidermis dengan HE (hematoksilin eosin) menunjukkan saw-tooth appearance, lapisan basal tampak keratinosit apoptosis, dan pada dermoepidermal junction tampak infi ltrat limfosit. Penderita mempunyai HbsAg reaktif. Diagnosis LPH didasarkan pada gambaran klinis dan pemeriksaan histopatologis. HbsAg reaktif mendukung diagnosis LPH. Kata kunci: liken planus hipertrofi k, dermatoepidermal junction, HbsAg reaktif



ABSTRACT Hypertrophic lichen planus (HLP) is a rare case with 1% prevalence. HLP is the most pruritic variant of lichen planus. Most of the etiologies are idiopathic, certain drugs, or hepatitis C viral infection. This article reported a case of a 35 year-old woman with symmetric hyperkeratotic verrucous, papules, nodules, and hyperkeratotic and hyperpigmented plaques at dorsal of the feet; hyperkeratotic and hyperpigmented lesion was also found under the breast and vulva since 11 years ago. The lesion became thick and itchy. Histopathological HE (hematoxyllin eosin) stain epidermal study revealed a saw-tooth appearance, apoptotic keratinocytes on the basal cell layer and a band-like infi ltrate of lymphocytes at dermoepidermal junction. The patient had a reactive HbsAg. The diagnosis of HLP is based on clinical presentation and histopathological fi nding. Reactive HbsAg support the diagnosis of HLP. Sri Agustina S, Dwi Rakhmawati, Suci Widhiati, Nugrohoaji Dharmawan, Nurrachmat Mulianto, Indah



Julianto, Sunardi Radiono. Hypertrophic Lichen Planus: Case Report. Key words: hypertrophic lichen planus, dermatoepidermal junction, reactive HbsAg interfalangeal.13



menurut konfi gurasi lesi, PENDAHULUAN morfologi lesi Liken planus adalah penyakit peradangan kronis pada1dan lokasi. kulit, membran mukosa, kuku dan rambut. Terdapat 6 P, Penyebabnya sebagian besar idiopatik, kadang-yaitu kadang dihubungkan dengan obat (penisilamin, gold,poligonal,pruritus penghambat angiotensin converting enzyme (ACE), ungu, antimalaria, dan kuinidin), atau infeksi virus,planar, khususnya hepatitis C.2 Liken planus merupakan kasuspapul, dan plak.1 jarang dengan prevalensi kurang dari 1% pada Liken planus populasi dewasa, tidak dipengaruhi oleh ras dan jenis hipertrofi k kelamin. Jarang terjadi pada anak-anak dan orang tua. (LPH) Sepertiga kasus terjadi pada usia 30-60 tahun. merupakan Gambaran klinis Liken Planus dikelompokkan varian liken planus berdasarkan morfologi lesi yang sangat gatal. Gambaran klinis ditandai dengan plak hiperkeratotik yang tebal kadang-kadang dengan permukaan verukosa. Predileksi pada ekstremitas, khususnya tulang kering dan sendi



Patogenesis liken planus tidak diketahui. Imunitas seluler berperan sebagai faktor pemicu. Sel T CD4 dan CD8 ditemukan pada lesi kulit. Infi ltrat limfosit yang



dominan adalah CD8, CD45RO (memori), mengekspresikan sel T reseptor α dan β serta γ dan δ yang menyebabkan apoptosis keratinosit.1,3 Pada pemeriksaan histopatologi, ditemukan hiperkeratosis, penebalan stratum granulosum, rete ridge epidermis yang runcing



(saw tooth appearance), degenerasi vakuoler pada lapisan basal (apoptosis keratinosit), dan infi ltrat limfosit pada papila dermis yang membentuk pita.5,7



setelah 1 tahun. planus Liken planus adalah self-limiting disease. Remisi spontan terjadiLiken hipertrofi k remisi Alamat



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



679



rata-rata dari 8 Injeksi



korespondensi



lebih tahun. steroid email:



intralesi diperlukan [email protected] m



A



B



C



D



Gambar 1



1. 2. 3.



Pada regio di bawah payudara, tampak plakat hiperpigmentasi, hipertropik, batas tidak tegas, dengan likenifi kasi, aksentuasi folikuler. Pada regio genitalia eksterna, tampak plak hiperpigmentasi, batas tidak tegas, dengan likenifi kasi. Pada regio dorsum manus dan interfalang, tampak papul dan nodul hiperpigmentasi, hipertropik, hiperkeratotik, multipel, konfluen, dengan aksentuasi folikuler, dan permukaan veru-kosa.



4.



Pada regio ekstremitas inferior (tulang kering dan dorsum pedis), tampak papul dan nodul hipertropik, hiperkeratotik, multipel, konfl uen, dengan aksentuasi folikuler, dan permukaan verukosa.



Pada pemeriksaan fi



untuk lesi yang resisten dengan steroid topikal. Antihistamin oralsik, didapatkan diperlukan untuk mengurangi gatal yang dihubungkan dengankeadaan umum liken planus.1,2 penderita baik, LAPORAN KASUS



kompos tekanan



mentis, darah



Seorang perempuan 35 tahun, suku Jawa, warga negara Indonesia, 110/80 mmHg, nadi datang ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta 88x/menit, frekuensi dengan keluhan ada benjolan-benjolan di tangan dan kaki yang sangatpernapasan gatal. Kurang lebih 11 tahun yang lalu penderita sering merasa gatal pada 20x/menit, kaki dan tangannya setelah mencuci dengan deterjen; saat itu penderita temperatur aksial bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Penderita mengobatinya 36,7˚C, berat badan dengan CTM, prednison, dan eritromisin serta mengoleskan salep 55 kg. Pada status betametason sampai berobat ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Dr.generalisata, tidak Moewardi Surakarta. Sembilan tahun yang lalu penderita menikah, hamil didapatkan tanda2 kali dan selalu keguguran. Mulai saat itu tidak bekerja lagi sebagai tanda anemia dan pembantu rumah tangga dan tinggal bersama suaminya di Sragen. Saatikterus. Pemeriksaan itu kulit di bawah payudara dan bibir kemaluan menebal dan juga sangat telinga, hidung, dan gatal; kulit di kaki dan tangan juga menebal, membesar dan sangat gatal. tenggorokan dalam Karena dengan pengobatan yang biasa dilakukan sendiri tidak ada batas normal, tidak perubahan dan bertambah gatal, penderita ada pembesaran kelenjar limfe leher dan Tidak



retroaurikuler. didapatkan



kelainan mukosa oral. Pemeriksaan paru dan jantung dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen, tidak terdapat distensi, bising usus normal, dan tidak ditemukan pembesaran hepar dan limpa. Pemeriksaan rambut, kuku, dan saraf dalam batas normal.



Status



dermatologis



pada dorsum manus, tulang



kering



dorsum



dan pedis



terdapat papul nodul hiperkeratotik, hipertrofi k, multipel, konfl



uen



dengan



aksentuasi folikuler,



hiperpigmentasi, permukaan verukosa. Di bawah payudara dan vulva, tampak plak hiperpigmentasi, hipertropik, multipel, dengan likenifi kasi dan aksentuasi folikuler. Tidak didapatkan pembesaran kelenjar limfe inguinal dekstra dan sinistra serta aksila. (Gambar 1) Hasil



pemeriksaan



laboratorium



darah



rutin,



hepar,



fungsi



fungsi



ginjal,



gula



darah



sewaktu



dan



urine rutin dalam batas normal.



Didapatkan



HbsAg



reaktif.



Pemeriksaan histopatologi



dari



dorsum pedis dengan pewarnaan



HE



mendapatkan epidermis



tampak



hiperkertosis, hipergranulosis, ridge



rete



meruncing



membentuk saw tooth appearance, degenerasi keratinosit



vakuoler (apoptosis



keratinosit)



dan



dropping



melanin



pada



membrana



basalis.



Padaterdapat



collagen



dermoepidermal junction tampak infi ltrat limfosit yang membentuk pita, danstreak Gambar 2 Pewarnaan kelamin RSUDH&E pada keluarga, tidakRegio Dorsum Pedis Dekstra



berobat ke poliklinik kulit dan Dr. Moewardi Surakarta. Di didapatkan riwayat penyakit serupa, demikian juga dengan suami penderita. Tidak ada 1. riwayat sakit kuning, darah tinggi, dan kencing manis, baik pada penderita, keluarga, dan suaminya.



Pada epidermis, tampak hiperkerato sis,



680 2013



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th.



hipergran



ce,



ulosis,



dermoepid



rete ridge



ermal



meruncin



junction



g



tampak infi



membent



ltrat limfosit



uk



yang



saw



pada



2.



tooth



membentu



appearan



k



pita



(pembesar



keratinosit



an lemah).



keratinosit)



(apoptosis (pembesaran



sedang).



Pada epidermis,



3.



Pada stratum basalis, tampak



tampak



apoptosis



hipergranu



dropping melanin, serta pada



losis



dermoepidermal



dan



keratinosit



degeneras



terdapat



i vakuoler



(pembesaran kuat).



collagen



dan



junction streak



pada stratum papilare dermis. Simpulan pemeriksaan histopatologi mendukung diagnosis liken planus hipertrofi k. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, laboratorium, dan histopatologi ditegakkan diagnosis liken planus hipertrofi k (LPH) (Gambar 2). Penderita saat ini masih diterapi dengan injeksi kortikosteroid 10 mg/mL di satu daerah lesi papulonoduler hipertrofi k di tangan, dan kortikosteroid topikal potensi kuat di bawah payudara dan vulva. Untuk mengurangi gatal diberikan setirizin 1x10 mg. Juga diberikan metronidazol 2 x 500mg (rencana 2 bulan). PEMBAHASAN Liken planus merupakan kasus jarang, dengan prevalensi kurang dari 1% pada populasi dewasa.1,3,14,18,21-23 Tidak dipengaruhi oleh ras dan jenis kelamin. Jarang terjadi pada anak-anak dan orang tua. Sepertiga kasus terjadi pada usia 30-60 tahun. Untuk memudahkan diagnosis liken planus, perlu diingat 4P, yaitu pruritus, poligonal, ungu (purple), dan papul.1 Diagnosis liken planus hipertrofi k (LPH) pada kasus ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang (laboratorium dan histopatologi).13,5-8 Liken planus adalah penyakit radang kronis pada kulit, membran mukosa, kuku, dan rambut.1-3,18-20 Penyebabnya sebagian besar idiopatik, kadang-kadang dihubungkan dengan obat (penisilamin, gold, penghambat angiotensin converting enzyme/ACE, antimalaria, dan kuinidin), atau infeksi virus, khususnya hepatitis C.2,9-13,16,17 Terdapat hubungan antara tingginya prevalensi HbsAg pada penderita liken planus dibandingkan control.10 Juga terdapat hubungan antara vaksinasi hepatitis 11B dengan terjadinya liken planus. Gambaran klinis liken planus dikelompokkan menurut konfi gurasi lesi, morfologi lesi dan lokasi yang terlibat. Liken planus hipertrofi k (LPH) merupakan varian berdasarkan



morfologi lesi yang sangat gatal. Gambaran klinis ditandai dengan plak hiperkeratotik tebal kadangkadang dengan permukaan verukosa. Predileksi pada ekstremitas, khususnya tulang kering dan sendi interfalangeal.1-3 Pada kasus, didapatkan papul dan nodul hiperkeratotik dan hipertrofi k dengan permukaan verukosa pada kedua ekstremitas (tangan dan kaki terutama tulang kering dan sendi interfalang) yang terasa sangat gatal.



Patogenesis liken planus tidak diketahui. Imunitas seluler berperan sebagai faktor pemicu. Sel T CD4 dan CD8 ditemukan pada lesi kulit liken planus. Infi ltrat limfosit yang dominan pada liken planus adalah CD8, CD45RO (memori) yang mengekspresikan sel T reseptor α dan β serta γ dan δ, menyebabkan apoptosis keratinosit.1,3 Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan hiperkeratosis, penebalan stratum granulosum, rete ridge epidermis yang runcing (saw tooth appearance), degenerasi vakuoler pada lapisan basal (apoptosis keratinosit), dan infi ltrat limfosit pada papilla dermis yang membentuk pita. 5,7 Diagnosis banding kasus liken planus hipertrofi k ini adalah epidermodysplasia verucciformis, penyakit kulit yang sangat langka akibat human papilloma virus (HPV) dengan ciri wart datar generalisata di wajah, tangan, dan kaki. Penyakit ini umumnya dimulai dari masa kanak-kanak, belum dapat diobati serta dapat terjadi malignansi. Pemeriksaan histopatologi pada epidermis menampakkan hiperkeratosis, parakeratosis, papilomatosis, serta koilosit.24 Diagnosis liken planus hipertrofi k pada kasus ditegakkan dengan ditemukannya papul nodul hiperkeratotik, hipertrofi k, multipel, konf uen dengan aksentuasi folikuler, hiperpigmentasi, permukaan verukosa pada dorsum manus, tulang kering dan dorsum pedis yang sangat gatal . Di bawah payudara dan vulva, tampak plakat hiperpigmentasi,



hipertropik, multipel, dengan likenifi kasi dan aksentuasi folikuler yang juga sangat gatal. Pemeriksaan histopatologi epidermis dorsum pedis dengan pewarnaan H&E menemukan hiperkeratosis, hipergranulosis, rete ridge yang meruncing membentuk saw tooth appearance, apoptosis keratinosit dan dropping melanin. Pada dermoepidermal junction, tampak infi ltrat limfosit yang membentuk pita, dan terdapat collagen streak pada stratum papilare dermis. Pada pemeriksaan darah ditemukan HbsAg reaktif. Diagnosis banding epidermodysplasia verruciformis dapat disingkirkan berdasarkan pemeriksaan klinis, dan penunjang, terutama



glukokortikoi Injeksi



intralesi



20mg/ml dengan anamnesis, pemeriksaan ) histopatologi.



d (10pemantauan ketat



mungkin diperlukan. Kecuali itu, retinoid sistemik, siklosporin sistemik, azatioprin, hidroksiklorokuin, IFNα2b, metronidazol 2 x 500 mg (1-2 bulan) juga memberi hasil memuaskan. Talidomid digunakan jika dengan terapi lain tidak ada perbaikan.1,2 Pada kasus ini, diberikan injeksi kortikosteroid 10 mg/mL di daerah satu lesi papulonoduler hipertropik di tangan, dan kortikosteroid topikal potensi kuat di bawah payudara dan vulva. Untuk mengurangi gatal, diberikan setirizin 1 x 10 mg. Juga diberikan metronidazol 2 x 500mg (rencana 2 bulan). Liken planus adalah self limiting disease.1-3 Remisi spontan terjadi setelah 1 tahun. Pada liken planus hipertrofi k, remisi rata-rata lebih dari 8 tahun.1,3,18,19 Pada kasus ini, keluhan sudah dirasakan sejak 11 tahun yang lalu, terasa menebal sejak 9 tahun silam, dan tidak pernah sembuh. SIMPULAN Telah dilaporkan satu kasus liken planus hipertrofi k pada seorang perempuan 35 tahun. Diagnosis didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang (laboratorium dan histopatologi).



DAFTAR PUSTAKA



1.



Pittelkow MR, Daoud MS. Lichen Planus. In: Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed McGraw Hill Co; 2008. p. 244-55.



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



681



2.



3.



Bridge KH. Lichen planus. In: Dermatology for skin of color. McGraw Hill Co; 2009. p. 152-7. Cleach LL, Chosidow



O, Cribier B. Lichen planus. In: Evidencebased dermatology; 2003. p. 253-62.



5.



4.



Beachkofsky TM, Wisco OJ, Owens NM, Hodson DS. Verrucous



6.



nodules on the ankle. J Family Practice. 2009;58:427-30. Shimizu H. Disorders of abnormal keratinization. In: Textbook of dermatology. Hokkaido University Pers; 2007. p. 250-2. Taylor G, Heilman ER. Interface dermatitis. In: Color atlas of dermatopathology. Informa Healthcare USA, Inc; 2007. p. 23-4.



7. 8. 9.



Brehmer-Andersson A. Lichen planus and lichen nitidus. In: Dermatopathology. New York; 2006. p. 170-4. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Papulosquamous disorder. In: Thieme clinical companions dermatology. New York; 2006. p. 286-8. Medina J, Garcia Buey L, Moreno-Otero R. Review article: Hepatitis C virus-related extra-hepatic disease —aetiopathogenesis and management. Aliment Pharmacol Ther. 2004;20:129-41.



10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.



Daramola OOM, George AO, Ogunbiyi AO, Otegbayo JA. Hepatitis B virus in Nigerians with lichen planus. WAJM. 2004;23:104-6. Calista D, Morri M. Lichen planus induced by hepatitis B vaccination: A new case and review of the literature. Internat J Dermatol. 2004;43:562-4. Dogan B. Dermatological manifestations in hepatitis B surface antigen carriers in east region of Turkey. JEADV. 2005;19:323-5. Helvaci MR, Soyucen E, Seyhanli M, Cimbiz A, Tumkaya M. Mutual relationship of hepatitis C virus infection with hepatitis B. J Med Sci. 2006;6:257-61. Sripathi H, Kudur MH, Prabhu S, Pai SB. Punctate keratotic papules and plaques over palm. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2010;76:449. Kossard S, Artemi P. Acitretin for hypertrophic lichen planus–like reaction in a burn scar. Arch Dermatol. 2000;136:591-4. Nnoruka EN. Lichen planus in African children: A study of 13 patients. Pediatric Dermatology. 2007;24:495-8. Nasreen S, Ahmed I, Wahid Z. Associations of lichen planus: A study of 63 cases. J Pakistan Assoc Dermatologists. 2007;17:17-20. Lichen planus. [Internet]. 2011 [cited 2011 Mar 22]. Available from: http://www.dermnetnz.org/scaly/lichen-planus.html.



Chuang TY, Stitle L. Lichen planus. Emedicine Dermatology [Internet]. 2011 [cited 2011 Mar 23]. Availlable from: http://emedicine.medscape.com/article/1123213overview.



20. 21. 22.



O’Connell TX, Nathan LS, Satmary WA, Goldstein AT. Non-neoplastic epithelial disorders of the vulva. Am Fam Physician. 2008;77:321-6,330. Dervis E, Serez K. The prevalence of dermatologic manifestations related to chronic hepatitis C virus infection in a study from a single center in Turkey. Acta Dermatoven. 2005;14:93-8.



Raslan HMZ, Ezzat WM, Hamid MFAE, Emam H, Amre KS. Skin manifestations of chronic hepatitis C virus infection in Cairo Egypt. La Revue de Santé de la



Méditerranée orientale. 2009;15(3):692-700.



23. 24.



Hill AM, Reimer SS, Newman CC, Brown TJ. Hepatitis viruses. In: Mucocutaneous manifestations of viral diseases. Marcel Dekker Inc; 2002. p. 529-46. Androphy EJ, Lowy DR. Wart. In: Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7 th ed. McGraw Hill Co; 2008. p. 1912-23.



682



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



Gigi Palsu di TrakeaLaporan Kasus Anton Christanto, Edhie Samodra, Anton B Darmawan, Novi Primadewi Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada /SMF THT RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Indonesia



ABSTRAK Benda asing dalam saluran napas, seperti di percabangan trakeobronkial, merupakan salah satu kedaruratan yang membutuhkan penanganan segera guna mempertahankan fungsi pernapasan. Benda asing organik di trakea dapat berupa gandum, kacang, jagung, beras, dan daging, sementara benda asing inorganik antara lain koin, tulang, gigi palsu, jarum, jarum pentul, dan kuku. Diagnosis dini serta penatalaksanaan yang cepat dan tepat akan menentukan prognosis. Dilaporkan sebuah kasus laki-laki 40 tahun dengan gigi palsu di trakea. Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan serak dan batuk hilang-timbul sejak 10 hari sebelumnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fi sik, dan pemeriksaan radiologi. Gigi palsu berhasil dikeluarkan tanpa komplikasi melalui prosedur laringoskopi dan bronkoskopi menggunakan bronkoskop kaku (suspension laryngoscopy and bronchoscopy).



Kata kunci: benda asing, gigi palsu, trakeobronkial, penatalaksanaan



ABSTRACT Foreign body in respiratory tract such as in tracheobronchial tree is an emergency requiring prompt treatment to maintain respiratory function. Organic foreign bodies in trachea can be grains, peanut, corn, rice and meat, while the inorganic ones are coin, bone, dental prosthesis, needle, pin and nail. Early diagnosis, immediate and appropriate management will determine the prognosis. We reported a 40 year-old man with dental prosthesis in trachea. The patient came to the hospital complaining hoarseness and intermittent cough for 10 days. The diagnosis was based on anamnesis and physical and radiologic examinations. The dental prosthesis was successfully removed without complications through suspension laryngoscopy and bronchoscopy. Anton Christanto, Edhie Samodra, Anton B Darmawan, Novi Primadewi. Dental Prosthesis in Trachea - Case Report.



Key words: foreign body, dental prosthesis, tracheobronchial, management total atau sebagian. mabuk,



PENDAHULUAN



epilepsi,



hilang kesadaran. 3)



Benda asing merupakan massa atau partikel yang ditemukan di faktor fi sik: gerakan, tempat tidak semestinya1. Benda asing di trakea (trakeobronkial) aktivitas, 4) gigi: gigi merupakan keadaan gawat darurat, dapat menimbulkan sumbatan yang belum tumbuh jalan napas; dapat terjadi pada semua usia, terutama pada bayi dan sempurna. 5) sifat anak usia kurang dari 3 tahun. Pada orang dewasa sering terjadi pada benda asing. 6) usia dekade ke enam atau ke tujuh karena proteksi jalan napas pada kurang hati-hati atau usia tersebut tidak adekuat. Selain itu masuknya benda asing keceroboh: dalam saluran napas sering terjadi pada keadaan intoksikasi alkohol, memasukkan benda penggunaan hipnotik sedatif, keadaan gigi geligi buruk, retardasike dalam mulut, mental serta faktor kecerobohan.



2



Faktor yang mempengaruhi kecelakaan kemasukan benda asing adalah: 1) umur, jenis kelamin. 2) kegagalan mekanisme protektif:



Pada



beberapa



kasus



tidak



KEKERAPAN Benda



asing



memberikan gejala



trakeobronkial



khas



terjadi



sehingga



pada



dalam dapat semua



dapat



golongan



memperlambat



hampir 70 % anak-



diagnosis



anak.3



Anak-anak



sering



memasukkan



maupun



penanganan. Diagnosis



benda



asing trakeobronkial dapat



makan



sambil



tertawa



atau



ditegakkandenganan



bermain, pemberian



amnesisriwayatterse



makanan



sesuatu



umur,



ke



dalam



mulut sehingga dapat tertelan. Benda asing di trakeobronkial bisa terjadi



saat



makan



sambil menangis atau



yang



dak makanan, sesak



bermain-main



belum saatnya pada



napas, pemeriksaan radiologis



sehingga tersedak.4



anak, saat tidur lupa melepas gigi palsu3



dipastikan bronkoskopi.



Setiapbendaasingdis alurannapasmerupa kan hal serius jika menyebabkan sumbatan



jalan



napas



baik



akut,



dan dengan 4,5



Rovin



dkk6



mengungkapkan, lebih dari 75% anak di Amerika yang didiagnosis mengalami aspirasi benda asing berusia di bawah 4 tahun,



dan merupakan penyebab 5% kematian mendadak pada anak (1998) melaporkan berumur 14 tahun. Kasus aspirasi benda asing lebih sering dijumpai 61 kasus aspirasi pada anak laki-laki. Dalam 5 tahun (1991-1995) Sastrowiyoto S benda asing organik Alamat



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



683



korespondensi



trakeobronkial yang menjalani bronkoskopi, 28 di email:



antaranya berumur



[email protected] atau [email protected]



kurang dari 3 tahun lokasi benda asing 7



terbanyak di bronkus kanan 50,82 %. Iskandar mendapatkan 70 kasus aspirasi benda asing di traktus trakeobronkial selama 4 tahun, 62,86 % di bronkus utama 8



kanan. Di Sub Departemen Bronkoesofagologi THT FKUI RSCM (Januari 2002 sampai Agustus 2004) tercatat 43 kasus aspirasi yang telah dibronkoskopi. Penderita terbanyak berusia di bawah 3 tahun, lebih sering pada anak laki laki dan kacang merupakan benda asing organik yang terbanyak teraspirasi. Di Departemen THT FK UGM RS Dr Sardjito (1999-2004) tercatat 32 kasus benda asing di trakeobronkial. Kacang (21), jarum (5), nasi (2), daging koyor (2), bakso (1) dan gigi palsu



misalnya kacang, jagung, beras dan lainlain. Benda asing anorganik antara lain: uang logam, tulang, gigi palsu, jarum, peniti dan lain-lain. Benda asing endogen yaitu benda asing yang berasal dari tubuh sendiri seperti darah, nanah, sekret dan lain-lain.16



Benda asing organik di dalam saluran napas dapat cepat mengembang karena bersifat higroskopis sehingga dalam waktu 6 sampai 12 jam dapat menyebabkan sumbatan jalan napas secara total. Sebaliknya pada benda asing anorganik, reaksi jaringan lebih sedikit bahkan kadang tidak menimbulkan gejala. 4,16



MANIFESTASI KLINIS



napas pada seorang laki-laki umur 40



Aspirasi benda asing ke dalam saluran napas akan menimbulkan gejala sumbatan jalan napas. Gejala yang timbul tergantung dari jenis benda asing, lokasi tersangkutnya, ukuran dan sifat iritasinya terhadap mukosa serta lamanya benda asing beada dalam saluran



tahun.



napas.2,12,17



PATOFISIOLOGI



Kemungkinan aspirasi benda asing harus



Benda asing yang masuk ke saluran napas



diwaspadai bila terdapat riwayat tersedak atau



akan menimbulkan reaksi jaringan sekitar



kemungkinan tersedak yang diikuti oleh gejala



berupa infl amasi lokal, edema, ulserasi dan



batuk-batuk, sesak napas, sianosis di sekitar



terbentuknya jaringan granulasi yang dapat



mulut atau terdapat mengi unilateral.2,6,10,12-



(1). Sebanyak 22 kasus berumur kurang dari 5 tahun, umur 5-10 tahun sebanyak 4 kasus, 10-20 tahun sebanyak 4 kasus, umur 20-30 tahun sebanyak 1 kasus dan umur 40-50 sebanyak 1 kasus. Hanya didapatkan satu kasus benda asing gigi palsu di saluran



menimbulkan obstruksi jalan napas.12-14



15,17



Akibat obstruksi, di bagian distal sumbatan dan



Pada beberapa keadaan, diagnosis terlambat karena tidak ada saksi atau aspirasi benda asing tersebut tidak



bronkiektasis.2,6,15. Selain itu benda asing yang



memberikan gejala khas.6 Adanya penyakit



masuk saluran napas akan menimbulkan



bertambahnya sekret mukoid.



seperti pneumonia kronis, asma yang tidak jelas gejalanya atau timbul pertama kali, batuk kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan adekuat harus diwaspadai disebabkan aspirasi benda asing walaupun tidak ada riwayat aspirasi.



Berkurangnya gerakan silia mengakibatkan



Gejala dan tanda aspirasi benda asing terdiri dari 3 stadium10,13:



akan



terjadi



atelektasis,



reaksi



air



trapping,



pneumonia,



radang



menyebabkan



emfi



abses



paru



sema,



jaringan



sekitarnya



bertambahnya



vaskularisasi



mukosa, sehingga mukosa menjadi hiperemis, edema, bentuknya menjadi tidak teratur dan



retensi lendir di ujung bronkiolus, sehingga dapat



menyebabkan



atelektasis



dan



komplikasi lain. Bila terdapat infeksi bakteri, akan terbentuk pus serta dapat terbentuk jaringan granulasi.2,6,12,14



JENIS BENDA ASING Benda asing dapat dibedakan atas benda asing eksogen dan endogen. Benda asing eksogen adalah benda asing yang berasal



1. Stadium awal, yaitu adanya riwayat tersedak, batuk paroksismal, sulit bernapas dan napas berbunyi. 2.



Stadium asimptomatik, yaitu terjadinya kelelahan refl eks-refl eks sehingga gejala berkurang dan menjadi tersembunyi. Sering kali pasien datang dalam stadium ini sehingga sering salah didiagnosis.



dari luar tubuh, bisa organik atau anorganik.



3.



Benda asing organik antara lain: biji-bijian



komplikasi



Stadium komplikasi, yaitu telah terjadi berupa



obstruksi



total



atau



infeksi. Gejala yang timbul dapat berupa demam, batuk darah, abses paru dan pneumonia.



DIAGNOSIS Diagnosis benda asing trakeobronkial dapat ditegakkan dengan anamnesis teliti atas saksi yang melihat kejadian tersebut; namun sering tidak ada saksi mata. Anamnesis khas seperti riwayat tersedak makanan, batuk paroksisimal, mendadak sesak napas, napas berbunyi atau kebiruan di sekitar mulut ditemukan lebih dari 90% kasus. Pada pemeriksaan fi sik didapatkan gejala sesuai dengan lokasi tersangkutnya benda asing tersebut. Pemeriksaan perkusi dan auskultasi



di



paru



akan



mendapatkan



kelainan, sesuai dengan lokasi benda asing Benda asing di trakea memberikan gejala batuk paroksismal, rasa tercekik (choking), rasa tersumbat di tenggorokan (gagging), dan gejala patognomonik yaitu audible slap, palpatory thud dan asthmazoid wheeze.14,17



PEMERIKSAAN RADIOLOGIS Setiap kasus yang diduga aspirasi benda asing harus diperiksa radiologis. Pemeriksaan foto paru harus dilakukan pada benda asing trakeobronkial untuk mengetahui komplikasi pada paru akibat dari sumbatan saluran napasnya Benda



asing



pemeriksaan



logam radiologi



cukup



dengan



foto



polos,



sedangkan yang organik terutama pada esofagus diperlukan pemeriksaan dengan barium atau kontras untuk mengetahui letak benda asing. Foto rontgen toraks PA dan lateral dibuat dengan posisi lengan di belakang, leher fl eksi dan kepala ekstensi untuk menilai saluran napas dari mulut sampai karina.. Tidak terdapatnya gambaran abnormal pada pemeriksaan radiologi tidak menyingkirkan adanya benda asing di trakeobronkial, karena



diagnosis



pasti



hanya



dengan



bronkoskopi, juga untuk terapi evakuasi benda asingnya.4



Pemeriksaan tomografi komputer dan MRI berguna jika tidak terdeteksi pada pemeriksaan bronkoskopi.13 PENATALAKSANAAN Prinsip penanganan benda asing di saluran napas adalah mengeluarkan benda tersebut dengan segera dalam kondisi paling maksimal dan trauma yang minimal.12,14 Apabila pada saat kejadian pasien masih bisa batuk,



684



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



menelan (-).



berbicara atau menangis, jangan lakukan intervensi apapun di tempat kejadian. Kasus harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas bronkoskopi. Penentuan cara pengambilan benda asing dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu usia penderita, keadaan umum, lokasi dan jenis benda asing serta lamanya benda asing berada di saluran



Pada pemeriksaan fi sik: keadaan umum baik, compos mentis, gizi cukup, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi: 84 kali/ menit, pernapasan 20 kali / menit. Status lokalis: Hidung, telinga dan tenggorok; pemeriksaan orofaring dalam batas normal.



Pemeriksaan laringoskop indirek dalam batas normal. Pada rontgen toraks, tampak



napas.12



lesi densitas logam setinggi proyeksi korpus vertebra torakal 5. Pada esofagografi



Benda asing trakeobronkial harus segera



dengan kontras Barium tampak kontras mengisi lumen oesofagus, pasase kontras



dievakuasi karena akan cepat menimbulkan edema mukosa jaringan yang menyumbat jalan napas, mengakibatkan sesak napas yang akhirnya bisa menyebabkan kematian; terutama untuk benda asing organik yang higroskopis, karena akan mengembang sehingga menyumbat total lumen jalan



tampak fi lling/additional defect. Pengisian kontras ke gaster (+). Tampak lesi opak densitas logam berbentuk memanjang sepanjang 2 cm



di



kawat luar



esofagus di proyeksi setinggi korpus vertebra torakal 4,5 di dalam lumen



napas.4 Benda asing dapat dikeluarkan dengan bronkoskopi



kaku



mempertahankan pemberian



karena



dapat



untuk



jalan



napas



dan



oksigen



yang



diameter lumen, berpedoman pada usia dan



disertai



bronchus. Kesan: Korpus alienum bentuk kawat sepanjang 2 cm di luar lumen esofagus, sangat mungkin di carina.



adekuat.



Pemilihan bronkoskop yang sesuai dengan penderita



lancar, kaliber esofagus normal, dinding licin, oesophagogastric junction baik, tak



persiapan



bronkoskop dengan ukuran yang lebih kecil



Pada hari itu juga, dilakukan laringoskopi dan bronkoskopi menggunakakan rigid bronchoscope (bronkoskop kaku)—dikenal juga dengan istilah suspension



keberhasilan.12-14



laryngoscopy and bronchoscopy. Pengambilan benda asing menggunakan



Antibiotika dan steroid tidak rutin diberikan



bronkoskop kaku di kamar operasi dengan anestesi umum; benda asing gigi palsu



akan



dapat



meningkatkan



angka



sebelum tindakan bronkoskopi, hanya pada kasus-kasus yang terlambat diagnosisnya



dapat diambil utuh dari trachea. Sebelum bronkoskopi diberikan amoksisilin inj 1gram



dan pada benda asing organik.12



dan deksametason inj 8mg.



KOMPLIKASI



Hari pertama pascatindakan dilakukan pengawasan tanda vital dan perdarahan, diberi O2 3 L/mnt, amoksisilin inj 3x1gram, asam traneksamat inj 3 x 500 mg, ketorolak trometamin 2 x 30mg, deksametason 3 x 8 mg,



Komplikasi benda asing traktus trakeobronkial dapat disebabkan oleh benda asingnya, trauma tindakan bronkoskopi atau pengaruh anestesi.12-14



LAPORAN KASUS Seorang laki laki 40 tahun, suku Jawa, petani, kiriman RSUD Wates Jawa Tengah



Hari kedua: perdarahan (-), batuk (+), serak



dengan keluhan utama tersedak 3 buah gigi



(+), sesak napas (-), Tanda vital dalam batas



palsu 10 hari yang lalu, sehingga penderita



normal. Diet biasa. Terapi sama seperti hari



bersuara serak dan batuk. Telah dilakukan



pertama. Ketorolak trometamin hanya diberikan



Ro Thorax dan dirujuk dengan diagnosis



jika nyeri. Deksametason di-taper off. (3x4mg)



benda asing gigi palsu di esofagus.



Pada saat di poli THT RSUP Dr Sardjito Yogyakarta keluhan nyeri tenggorok (-), tersedak benda asing (+), suara serak (+), batuk (+), keluhan sesak napas (-), muntah (-), sulit



Pasien dijinkan pulang pada hari ketiga, pengobatan dilanjutkan peroral, amoksisilin 3 x 500 mg, K-diklofenak 3 x 50 mg.. Penderita kontrol ke poli THT seminggu



kemudian, keluhan serak (+), batuk (-), nyeri



diberikan sebelum tindakan bronkoskopi.12,13,18



leher (+), nyeri telan (-), makan minum biasa. Pengobatan dilanjutkan selama 5 hari. Pada



kontrol berikutnya: serak (-), batuk (-), nyeri leher(-), nyeri telan (-). Makan minum lancar.



DISKUSI Masalah



kasus



ini



adalah



penegakan



diagnosis, penanganan jalan napas, ekstraksi benda



asing,



serta



penanganan



pasca



ekstraksi. Kasus ini tidak dapat didiagnosis di RSUD Wates hingga 10 hari dan dirujuk ke RSUP Dr Sardjito. Penegakan diagnosis didapat dari anamnesis, pemeriksaan fi sik, dan radiologik.



Pada penderita tersangka benda asing esophagus



dan



trakea/bronkus,



harus



dibuat rontgen toraks anteroposterior dan lateral untuk mengetahui bentuk dan ukuran benda



asing,



lokasi,



serta



komplikasi.



Benda asing radioopak dapat diidentifi kasi dengan mudah, benda asing radiolusen dapat dikenali dari efek samping pada paru, seperti



emfi



sema,



atelektasis,



dan



gambaran abses.



Esofagografi untuk menentukan lokasi benda asing apakah berada di dalam atau di luar esofagus dilakukan jika pada rontgen toraks didapatkan gambaran paru dalam batas normal. Penderita tidak sesak, hanya batuk-batuk dan suara serak. Tidak sesak karena letak gigi palsu sedemikian rupa terhadap trakea sehingga tidak menyebabkan gangguan total aliran udara. Suara serak/ parau disebabkan oleh ujung benda asing yang menonjol di subglotis ke tepi bebas pita suara. Pada pasien ini, dilakukan tindakan laringoskopi



dan



menggunakan



bronkoskopi bronkoskop



kaku



segera untuk



diagnosis pasti sekaligus mengeluarkan benda asing. Bronkoskop kaku merupakan pilihan terbaik karena dapat menjamin patensi



jalan



napas



dan



memberikan



visualisasi yang jelas.



Benda asing harus segera dikeluarkan terutama benda asing di trakea untuk mencegah komplikasi. Ekstraksi dengan bronkoskopi harus hati-hati mengingat posisi di trakea meningkatkan risiko obstruksi jalan napas. Tindakan bronkoskopi dilakukan secepatnya dengan persiapan optimal agar hasilnya maksimal. Antibiotik dan steroid sangat berguna pada kasus



kronik



untuk



mengurangi



edema,



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



Antibiotik yang digunakan harus dapat mengatasi



kuman



Steptococcus



pascatrauma. Perlu penjelasan kepada anak dan orang tua untuk pencegahan.



Perawatan pascaekstraksi meliputi pengendalian nyeri dan risiko infeksi



dan bronkoskopi menggunakan bronkoskop dengan



anestesi



umum



tanpa



komplikasi. Pasien diijinkan pulang setelah



18



haemolyticus dan Staphylococcus aureus.



berhasil dikeluarkan dengan laringoskopi kaku



beta-



685



SIMPULAN



dirawat



Telah dilaporkan satu kasus benda asing



kemudian. Saat kontrol berikutnya penderita



tiga



hari



dan



kontrol



3



hari



gigi palsu di trakea selama 10 hari. Gigi



dalam keadaan baik.



palsu DAFTAR PUSTAKA Kecelakaan



1.



2.



3.



Rumah Tangga 5 Dorlands Illustrated Medical Dictionary, 25 th ed. Philadelphia: WB Saunders 1976. Dikensoy O, Usalan C, Filiz A. Foreign body aspiration: Clinical utility of fl exible bronchoscopy. Postgrad Med J 2002:78:399-403. Sudjarwadi, Hidayat



W,



Sukardjo,



Februari Dr. Sardjito.



4.



5.



Agung



dan saluran cerna atas. pada ilmiah



1990,



HUT ke 8 RSUP



IB. Corpus alineum di saluran napas



7.



6.



Dibacakan kegiatan Smposium



686 CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



Evans JNG. Foreign Bodies in the Larynx and Trachea. In: Kerr AG Paediatric Otolaryngology. Scott-Brown’s Otolaryngology 6 th ed, Butteworth Heinemann 1997: 25/1-10.



Boies L. Fundamentals of Otolaryngology. WB Saunders Co 1963; 420-8. Rovin D, Rodgers M. Pediatric foreign body aspiration. Ped in review. 2000;21(3):86-90.



8.



9.



Sastrowiyoto S. Riwayat Tersedak dan Sesak Nafas Sebagai Indikator Bronkoskopi Benda Asing Organik Trakeobronkial. Karya Tulis Akhir 1998. Iskandar N. Ingested and inhaled foreign bodies in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, Indonesia, Med J ORLI,1994; 25: 311-8. Weir N. Anatomy of The Larynx and Tracheobronchial Tree . In: Kerr AG, Basic Sciences. Scott-Brown’s Otolaryngology 6 th ed, Butterworth Heinemann 1997: 12/1-28.



10.



Iskandar N.Bronkoskopi. Dalam:Soepardi E,Iskandar N.Buku ajar ilmu kesehatan THT-KL.Ed 5 Jakarta:Balai Pernebit FKUI, 2001:224-31.



11.



Wilson ML. Penyakit pernafasan restriktif. Dalam: Price S, Wilson L.Patofi siologi konsep klinis proses-proses penyakit.Ed 4 1992:701-15.



12.



Alya Y, Soepardi E. Penyulit pada penataksanaan aspirasi benda asing di bronkus.Kumpulan naskah ilmiah pertemuan ilmiah tahunan PERHATI Malang 1996:570-9.



13.



Tamin S.Benda Asing di Saluran Nafas dan Cerna. Disampaikan pada: Satelit simposium pananganan mutakhir kasus THT. PKB bagian THT FKUIRSCM.2003:16-28.



14.



Yunizaf M. Benda asing di saluran nafas.Dalam: Soepardi E, Iskandar N.Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL.Ed 5 Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2001: 218-22.



15.



Steen H et al. Tracheobronchial aspiration of foreign bodies in children: A study of 94 cases. Laryngoscope 1990; 100: 525-30.



16.



Chandra D, Samiadi D. Benda asing bronkus. Kumpulan Naskah Ilmiah PIT Perhati di Batu Malang 1996 ; 580-6.



17.



Darrow DH, Holinger LD. Foreign body of the larynx, trachea and bronchi. In: Bluestone C, Stool S, editors. Ped Otolaryngol. 3rd ed (2). Philadelphia.WB Saunders Co. 1996. p.1390-401.



18.



Munter W. Foreign bodies, trachea. http:www.emedicine.com/EMERG/topic 751.htm.



Available



from:



Diet Ketogenik untuk Pasien Obesitas nutrisi



ini



juga



menghilangkan



O



lapar dan dapat



besitas adalahini.kejadian epidemik di abad ke-21 Kegagalan terapi konvensional untuk obesitas, yaitu diet hipokalori jangka panjang, disebabkan



menurunkan berat badan



secara



oleh mentalitas individu di abad modern ini



cepat.



Penelitian



yang selalu menginginkan hasil yang cepat.



ini



Para



metode



individu



penurunan



obesitas



berat



ingin



badan



mengalami



secara



cepat



menyebutkan untuk



pasien obesitas ini disebut



(instant).



nutrisi



enteral ketogenik. Seperti diketahui, kehilangan berat badan/



Studi



weight



lanjutan dilakukan



loss



adalah



konsekuensi



keseimbangan kalori negatif; makin tinggi



pada



keseimbangan



pasien



kalori



negatif,



penurunan



besar 19.036 obesitas



penurunan berat badan pun makin cepat.



(usia rerata 44,3



Secara logika, puasa total merupakan cara



tahun)



tercepat untuk menurunkan berat badan,



BMI rerata 36.5.



akan tetapi metode ini sangat tidak praktis



Pasien



dengan alasan:



ini



1.



Menyebabkan ekstrim



2.



Mengakibatkan



rasa



lapar



yang



kehilangan



LBM



(lean body mass) yang dapat membahayakan, kemudian menyebabkan neutropenia, menurunkan bersihan kreatinin, dan meningkatkan kadar bilirubin darah.



dengan obesitas



diberi



nutrisi



enteral



ketogenik



dalam



1



siklus



yang berlangsung disebabkan oleh



selama



kadar



menggunakan



ketone



10



hari



bodies (KB) yang



NGT (nasogastric



tinggi



tube).



pada



kondisi



puasa.



EN



ketogenik ini berisi



Peningkatan



50-65



Total kehilangan nitrogen setelah puasa total



kadar KB tidak



dengan



nilai



3-4 minggu berkisar 200 gram atau sama



membahayakan



biologis



tinggi



dengan 1.250 gram protein atau ekuivalen



pasien obesitas,



(whey),



dengan kehilangan 6 kg jaringan otot. Pasien



karena



dan



elektrolit.



obesitas dengan metode ini akan kehilangan



peningkatan KB



Dosis



rata-rata



berat badan di tempat yang salah, seperti



akan



harian adalah 0,85



kaki,



meningkatkan



paha,



dan



dada,



yang



akan



menghasilkan penampilan layaknya pasien



sekresi



kaheksia. Selain itu, kehilangan berat badan



sehingga



tersebut secara cepat akan kembali seiring



memodulasi efek



dengan



lipolitik.



proses



tubuh



mengembalikan



insulin,



Selain



kehilangan LBMnya. Sehingga, kehilangan



itu,



berat badan yang optimal harus dicapai



yang tinggi dapat



dengan cara mengurangi massa lemak,



mengurangi dan



bukan massa otot.



menurunkan



kadar



KB



rasa lapar.



Sebuah penelitian oleh Blackburn dkk menunjukkan bahwa infus kontinu asam



Pada



amino



penelitian



saat



kehilangan amino



puasa protein.



dapat



dapat



mencegah



sebuah



Pemberian



asam



pada



secara



efektif



obesitas



awal, pasien yang



mempertahankan LBM dan mencegah



diberi



katabolisme protein melalui penurunan



protein



kadar insulin tubuh. Selain itu, tubuh juga



hari



menghasilkan efek lipolitik yang



ketonemia ringan



50-65



g



(whey)/ terjadi



(100-120 mg%). REFERENSI:



Pemberian



g



protein



vitamin



g/kgBB/ hari untuk pria dengan kandungan kalium 13-17 mEq. Pemberian nutrisi dilakukan secara infus kontinu selama 24 jam dengan bantuan pompa. Pasien bebas memilih jumlah siklus yang ingin diikuti.



Hasil studi tersebut:



1.



Jumlah siklus rata-rata yang diikuti pasien obesitas g/kgBB/hari untuk wanita dan 0,89



1.



patient Cappello G, Franceschelli



s. Nutr



A, Cappello A, De Luca P.



Metab



Ketogenic enteral nutrition



(Lond).



as a treatment for obesity:



2012;9



short term and long term



(1):96-



results



103.



from



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



687



19,000



2.



John ston e AM, Lobl ey



adalah siklus.



2.



nutrisi



2,5



enteral



ketogenik



efek



menurunkan berat



Rata-rata



kehilangan berat badan dalam 2 siklus adalah 10,2 kg, kehilangan massa lemak 5,8 kg, dan massa sel tubuh 2,2 kg.



badan



sebesar



3.



cepat, dan murah,



10%, menghilangkan massa



lemak



57%, serta tidak ada efek samping yang



bermakna.



Selain itu, metode ini



Tidak



relatif



serta



ditemukan efek samping bermakna selain konstipasi dan kelelahan yang dapat diatasi dengan terapi.



aman, memiliki



hasil



yang



dalam



baik



durasi



tahun



1



sebagai



weight management. (MAJ)



Simpulannya,



GE,



Morrice PC, et al. Effects of a high-



Horga



protein,



n GW,



protein, moderate-carbohydrate weight-



Bremn



loss



er DM,



endothelial



Fyfe



indices of the cardiometabolic profi le.



CL,



Br J Nutr. 2011;106(2):282-91.



low-carbohydrate



diet



on



v.



antioxidant



markers



and



highstatus, plasma



RePOOpulate, Tinja Sintetik untuk Mengeradikasi Infeksi Clostridium Difficile Resisten Antibiotik C



Table Recommendation s for the lostridium difficile adalah bakteri Gram Treatment of positif, anaerob, pembentuk spora Clostridium difficile Infection yang terdapat pada saluran cerna (CDI)



dari 2 – 3 % individu dewasa sehat serta 70 % bayi sehat. Bakteri ini ditemukan tahun 1935 dari tinja seorang bayi baru lahir dan saat itu dianggap tidak membahayakan manusia. Pada tahun 1970, baru diketahui bahwa



Clostridium difficile menyebabkan penyakit kolitis pseudomembranosa. Penyakit ini ditandai dengan gejala diare ringan sampai sedang, nyeri perut dan kadang-kadang dapat menjadi akut abdomen dan kolitis fulminan.1



Clinical definition



Supportive clinical data



Recommended teratment



Initial episode,



Leukocytosis with a white blood cell



Metronidazole, 500 mg 3 times



mild or moderate



count of 15,000 cells/μL or lower and a serum creatinine level less than 1.5



per day by mouth for 10-14 days



Streng of recommendation A-i



times the premorbid level Initial episode,



Leukocytosis with a white blood cell



Vancomycin, 125 mg 4 times per



severe



count of 15,000 cells/μL or higher or a serum creatinine level greater than or



day by mouth for 10-14 days



B-I



equal to 1.5 times the premorbid level Initial episode,



Hypotension or shock, ileus,



Vancomycin, 500 mg 4 times per



severe, complicated



megacolon



day by mouth or by nasogastric tube, plus metronidazole, 500 mg every 8 hours intravenously. If complete ileus, consider adding



C-III



First recurrence



...



Same as for intial episode



A-II



Second



...



Vancomycin in a tapered and/or



B-III



rectal instillation of vancomycin



recurrence



pulsed regimen



Sebagian



Kolitis kasus pseudomembranosa infeksi dikenal dengan adanyaClostridiu tanda khas yaitum difficile terbentuknya selaputdisebabka kuning di mukosa salurann oleh cerna kolon dan rektum.strain Diperkirakan, 20% dariyang pasien rawat inapresisten mengalami infeksi terhadap



Clostridium difficile danantibiotik. 30% di antaranyaUntuk mengalami diare,kasus sehingga kolitisseperti ini, pseudomembranosa salah satu adalah salah satu infeksialternatifn nosokomial yang palingya adalah menggun banyak terjadi.1 akan Gejala kolitistransplant pseudomembranosa di-asi tinja sebabkan oleh adanyadari toksin yang dihasilkanindividu oleh Clostridium difficile.sehat ke Patogenesis kolitispasien terinfeksi. pseudomembranosa Akan adalah tidak3 seimbangnya fl oratetapi, normal di dalam usustindakan besar, salah satunyatransplant akibat penggunaanasi tinja antibiotik. Untukmemiliki pengobatan kolitisbeberapa keterbata pseudomembranosa, IDSA (2010)san, memberikan panduanseperti pengobatan sebagaiproses screening berikut 2 (Tabel):



Aberra FN, Katz J. Clostridium Difficile Colitis. Medscape Reference [Internet]. 2013 [cited 2013 28 Feb]. Available from: http://emedicine .medscape.com/



cocok.4



Olehdisemprot karena itu, sekelompokkan peneliti dari Ontario,melalui Canada menumbuhkankolonosko 33 bakteri yang secarapi ke normal ada dalamdalam saluran cerna individukolon sehat kemudianasendens mencampurkannya dan kolon menjadi sebuahtransvers campuran tinja sintetikum. Hasil yang diberi namasetelah 2 yang



RePOOpulate.4



– 3 hari,



Kemudian



dilakukan



pilot



pada



study



2



pasien usia 70 tahun dengan Clostridium yang



gagal



melalui



3



pengobatan metronidazole



art icl e/ 18 64 58 ov er vie w #a



2.



Infectious Diseases Society of America. Clinical Practice Guidelines for Clostridium difficile Infection in Adults: 2010 Update by the Society



pasien tersebut



kalibiasa dan



tidak ataukambuh



vancomycin.



w2aab6b2b1 aa



kedua



kembali infeksi buang air difficile besar setelahseperti



sampai 6 bulan pasca pengobat an.5 Simpulan pilot study ini adalah pengguna an tinja sintetik secara rektal



donor yang



REFERENSI:



1.



membutuhkan waktuCampura lama, serta sulitnyan tinja menemukan donorsintetik ini



for He alt hc ar e Ep id e mi ol og y of A m eri ca (S HE



A ) a n d t h e I n f e c t i o u s



Di se as es So cie ty of A m eri ca (ID SA ). Inf ec tio n co



berpote nsi untuk menjadi alternati f pengob atan infeksi Clostridi um difficile di samping antibioti k dan transpla ntasi tinja. Dibandi ngkan transpla ntasi tinja, prosedu r ini memiliki kelebiha n berupa mikroor ganisme yang tumbuh sudah diketahu i dan dapat terkontr ol. Selain



itu, menguran gi risiko penularan penyakit dari donor ke resipien dibanding kan dengan tindakan transplant asi tinja. Oleh karena itu, pilot study ini membutu hkan uji klinik dengan sampel lebih besar di masa akan datang.5 (NNO)



ntrol and hospital epidemiology. 2010;31(5):431-55.



3. Nood



Ev, Vrieze A, Nieuwdorp M, Fuentes S, Zoetendal EG, de Vos WM, et al. Duodenal infusion of donor feces for recurrent Clostridium difficile. N Engl J Med. 2013. DOI: 10.1056/NEJMoa1205037.



4.



Laidman J. C difficile: Synthetic Stool Substitute Clears Infection. Medscape



Me dic al Ne ws [In ter ne t].



2013 [cited 2013 Feb 28]. Available from: http://www. medscape.c om/ viewarticle/7



5.



CD K-



20 8/



77 51 5 Pe tro f



E O , G l o o r G



B, Va nn er SJ, We es e SJ,



vol. no. 9, th. 2013 40



Carter D, Daigneault MC, et al. Stool substitute transplant therapy for the eradication of Clostridium difficile infection: ‘RePOOPulating’ the gut. Microbiome. 2013;1(3):1-12.



689



Desflurane Tampaknya Lebih Aman untuk Pasien Alzheimer dalam kematian



Sekitar 8,5 juta pasien Alzheimer di



REFERENSI:



sel



dan



pembentukan



dunia memerlukan pembedahan dan anestesi setiap tahun. Perkembangan panduan untuk anestesi yang lebih aman untuk pasien tersebut memerlukan kerjasama antara spesialis anestesi, neurologi, kedokteran geriatri, dan spesialis lain. Sebagai langkah pertama, diperlukan identifi kasi anestestik yang paling kecil kemungkinannya untuk berkontribusi terhadap neuropatogenesis



plak



amyloid-



beta dalam otak tikus.



Studi yang baru didesain untuk membandingkan efek isofl urane dengan desfl urane, anestetik yang belum pernah dikaitkan dengan kerusakan neuron. Para



peneliti



menemukan bahwa



aplikasi



isofl



penyakit Alzheimer dan disfungsi kognitif.



urane



terhadap yang



sel dikultur



Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa pembedahan dan anestesi



dan neuron tikus



umum dapat meningkatkan risiko Alzheimer, dan telah diketahui



permeabilitas



dengan baik bahwa meskipun kecil, jumlah pasien bedah yang mengalami disfungsi kognitif sementara pada periode pascaoperasi cukup bermakna. Dalam suatu studi yang dipublikasikan di Annals of Neurology, peneliti dari Massachusetts General Hospital melaporkan bahwa pemberian isofl urane mengganggu performa tikus pada tes standar pembelajaran dan memori, sedangkan hal tersebut tidak tampak jika diberi desfl urane. Kaitan antara anestetik inhalasi isofl urane dengan perubahan mirip penyakit



meningkatkan



perlu dikonfi rmasi dalam studi pada manusia, desfl urane tampaknya merupakan anestetik yang lebih baik untuk pasien yang rentan terhadap disfungsi kognitif, seperti pada pasien Alzheimer.



Alzheimer pada otak mamalia dapat pada



Pada



mitokondria, tempat sebagian besar



2008,



energi



peneliti



disebabkan



oleh



efek



diproduksi.



obat Isofl



urane



tahun tim dari



menginduksi aktivasi enzim caspase



Massachusetts



dan apoptosis, yang merupakan bagian



General



neuropatogenesis penyakit Alzheimer



Hospital



yang



melalui jalur apoptosis yang tergantung



sama



juga



mitokondria.



menunjukkan



Mereka



menemukan



bahwa isofl urane dan desfl urane



bahwa



tersebut mempunyai efek berbeda pada



urane



fungsi



menginduksi



mitokondria.



merupakan



hasil



Hasil



tersebut



pertama



yang



isofl



perubahan



menunjukkan bahwa isofl urane, tetapi



mirip



bukan desfl urane, dapat menginduksi



Alzheimer, dan



kematian sel neuron dan mengganggu



meningkatkan



proses belajar dan memori karena



aktivasi enzim



kerusakan mitokondria. Meskipun



yang



terlibat



membran mitokrondria, yang mengganggu keseimbangan ion pada kedua sisi



membran



mitokondria, menurunkan kadar ATP, dan meningkatkan kadar



enzim



caspase yang



sel yang disebabkan isofl urane adalah peningkatan pembentukan spesies oksigen reaktif (molekul yang mengandung oksigen tak stabil) yang dapat merusak komponen sel.



urane,



Anesthesia and



dibandingkan dengan



Analgesia 2012, sekitar



kelompok kontrol. Tidak



seperempat pasien bedah



ada seluler



efek atau



yang mendapat isofl urane



perilaku terlihat



yang jika



menunjukkan beberapa



diberi urane.



desfl Pada



tingkat disfungsi kognitif



Performa



tikus



pada tes perilaku standar proses dan



belajar memori



berperan dalam kematian sel.menurun 2-7 Hasilnya juga menunjukkan bahwabermakna hari setelah langkah pertama menuju kematian



studi lain oleh tim yang sama,



seminggu setelah



bekerjasama dengan peneliti



pembedahan, sedangkan



dari Beijing Friendship



pasien yang mendapat desfl



Hospital yang melibatkan 45



urane anestesi



pasien hasilnya



tidak mengalami penurunan



dan



diterbitkan dalam



atau spinal



performa kognitif. (EKM)



pemberian isofl



1.



medic



be-



for-



g Y, Xu Z, Wang H, Dong Y, Shi HN,



Desfl urane may be



al.net/



safe



patien



Culley DJ et al. Anesthetics isofl



safer anesthetic option



news/



r-



ts-



urane and desfl urane differently



for patients with AD



20120



ane



with-



affect



[Internet] 2012. [cited



302/D



sthe



AD.as



learning, and memory. Ann Neurol.



2013



esfl



tic-



px



2012;71(5):687-98.



urane-



opti



may-



on-



Feb



Available http://www.news-



26]. from:



CD



K-



2.



Zhan



mitochondrial



function, doi:



10.1002/ana.23536. Epub 2012 Feb 24.



208/ vol. 40 no. 9, th.



2013



691



Allopurinol Bermanfaat Mengurangi Left Ventricular Mass dan Meningkatkan Fungsi Endotel pada Pasien Jantung Iskemik Secara umum studi ini menunjukkan bahwa allopurinol dapat digunakan untuk mengurangi LVH pada mereka dengan tekanan darah terkontrol di mana tidak ada metode lain yang diketahui dapat



Studi terbaru menunjukkan bahwa allopurinol mengurangi left ventricular mass (LVM) dan memperbaiki fungsi endotel pada pasien dengan penyakit jantung



iskemik. Dr. Allan D. Struthers (University of Dundee, Ninewells Hospital and Medical School in Scotland) mengatakan left ventricular hypertrophy (LVH) adalah faktor risiko yang sudah umum dikenal dan pengurangan LVH akan mengurangi risiko kematian mendadak, gagal jantung, dan stroke. Sejauh ini diketahui dengan mengurangi tekanan darah, LVH dapat dikurangi, tetapi LVH tetap bertahan pada banyak pasien yang tekanan darahnya sudah terkontrol. Dr. Struthers dkk. mempelajari apakah terapi allopurinol (xanthine oxidase inhibitor) dosis tinggi (600 mg/hari) selama 9 bulan, dapat mengurangi LVM pada 66 pasien yang sudah menjalani terapi optimal, evidence-based untuk penyakit jantung iskemik. Semua pasien dalam studi acak kontrol plasebo ini memiliki tekanan darah di bawah 150/90 mmHg dan memiliki LVH (dideteksi dengan pemeriksaan ekokardiografi ).



B-type Pemberian allopurinol mengurangi LVM sebesar 5,2natriuretic g, sedangkan LVM berkurang sebesar 1,3 g pada peptide (BNP), kelompok plasebo (p=0,007); indeks LVM jugadibandingkan secara signifi kan berkurang pada kelompokdengan plasebo. allopurinol dibandingkan dengan kelompok plasebo. Perawatan Lebih lanjut lagi, perubahan LVM di dalam kelompok allopurinol juga dan indeks LVM bersifat signifi kan hanya pada membawa pekelompok allopurinol. Allopurinol secara signifi kan rubahan signifikan mengurangi left ventricular end-systolic volume dan terkait dengan pengurangan non-signifi kan padapada endotel left ventricular end-diastolic volume dan median



fungsi



dan



kekakuan



REFERENSI:



yang



arteri,



dibuktikan



dengan peningkatan fl owmediated



dilation



dan pe-ngurangan augmentation index. Tidak terjadi perubahan tekanan



darah



yang



signifkan



pada



kelompok



yang



diberikan



allopurinol.



mengurangi LVH, terutama jika mereka juga memiliki penyakit jantung iskemik. Studi ini juga menambahkan dukungan lebih lanjut untuk pengembangan xanthine oxidase inhibitors untuk perawatan gagal jantung. Obat golongan ini dapat bekerja pada pathway patofi siologis gagal jantung yang saat ini masih kurang diperhatikan: nitroso-redox imbalance. Masih diperlukan penelitian lebih



lanjut mengenai hal ini.



Simpulannya,



1.



allopurinol



dosis



bermanfaat untuk mengurangi left tinggiventricular mass



Feb 28].



scape



Boggs W. Allopurinol reduces left



Availabl



.com/



ventricular



e from:



viewa



heart disease. Medscape Medical



http://w



rticle/



News [Internet] 2013 [Cited 2013



ww.med



77988



mass



in



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



693



ischemic



7



2.



Rekhraj S, Gandy



(LVM) dan memperbaiki fungsi endotel pada pasien



dengan penyakit jantung iskemik. (AGN)



SJ, Szwejkowski BR, Nadir MA, Noman A, Houston JG, et al. High-dose allopurinol reduces left ventricular mass in patients with ischemic heart disease. J Am Coll Cardiol 2013;61:926-932,933-935



HES Kentang vs HES Jagung



yang berbeda juga menunjukkan tidak adanya toksisitas pada ginjal.



RRT



6% 130/0,42 dan



spesifiproduk



HES



kasi HES yangjagung



adalah



dan



P



enggunaan cairan koloid



VOLUVEN



berbeda,



sebagai resusitasi dimulai sekitar tahun 1911 sebagai terapi substitusi cairan pada kasus perdarahan hebat. Dalam sebuah jurnal JAMA pada tahun 1915 disebutkan meskipun pemberian cairan NaCl 0,9% dapat meningkatkan tekanan darah pada kasus perdarahan, akan tetapi efek substitusi cairan lebih baik secara bermakna pada kelompok koloid, yang pada studi tersebut digunakan golongan gelatin. Pemberian gelatin dapat memberikan peningkatan tekanan darah yang lebih stabil dan bertahan lama dibandingkan



misalnya beratdengan spesifikasi molekul (BM),HES 6% 130/0,4.



dengan larutan salin.



dengan



HES (hydroxyethyl starch) merupakan golongan koloid sintesis yang paling umum digunakan pada setting kedokteran pada saat ini. Meskipun demikian, HES memiliki batasan, contoh pada kasus sepsis yang pada studi terbaru pemberian HES memberikan outcomes yang lebih buruk dan peningkatan mortalitas dibandingkan dengan cairan RL (ringer’s lactate). Penggunaan HES lebih sesuai pada kasus perdarahan hebat seperti cedera kepala dan paru, serta pada setting pembedahan. Tetapi



beberapa



studi



derajat substitusi, danSebuah rasio C2:C6,preklinik akan memberikan



menunjukkan



parameter



kasus



tersebut



perdarahan dan



menentukan



cedera



farmakologi



memiliki



HES,efektivitas peningkatan sebanding dandengan kristaloid dan koloid



BM derajat substitusi



golongan gelatin



dikaitkan



dalam



lebihanalisis tetapipenggunaan jagung negatifHES



yang lama, efek



1230 terhadap ginjalterhadap akan lebihpasien dengan prosedur



tinggi juga.



pembedahan Selainitu,perbe daanjenisHESj ugamemberika n efek berbeda. Pada saat ini terdapat 2 jenis HES



yang



umumnya digunakan sebagai cairan koloid,



yaitu



HES



berasal



dari



kentang



(potato-derived 6% HES) dan berasal jagung



(maize-derived 6% HES; waxymaize



starch).



Produk



HES



berasal



dari



kentang



yang



terdapat



di



Indonesia pada saat ini adalah TETRASPAN dengan spesifikasi HES



replacement therapy) lebih



Jadi



Studi dilakukan



variabel



dan lamapulmoner bertahan diginjal. Selain itu, metaintravaskuler studi



dari



sama. Jenis



paru



produk



HES



yang



dkk



hasil berbeda.pemberian HES kentang pada Ketiga



HES



efek



oleh



Silva



menunjukkan tidak semua memiliki



studi



(renal



Fungsi utama pemberian cairan koloid pada setting resusitasi cairan adalah sebagai pengganti cairan yang hilang, sehingga suksesnya suatu resusitasi dapat dipengaruhi dari pemilihan jenis cairan resusitasi yang digunakan. apakah



HES jagung sebanding dengan kentang



HES ?



Terdapat 2 studi terbaru menggunakan HES kentang dan jagung



HES yang



dibandingkan dengan penggunaan cairan kristaloid. Studi pertama adalah sebuah acak



studi dan



tersamar ganda pada pasien sepsis yang



berat diberi



tinggi dibandingkan dengan kristaloid. Studi lain secara acak ganda



tersamar pada



pasien sakit kritis yang diberi HES 130/0,4 (VOLUVEN; maized-derived) atau kristaloid menunjukkan efektivitas dan outcomes yang sebanding antara kelompok HES dan kristaloid. yang



terhadap 7000 pasien di ICU ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan mortalitas pada pasien yang diberi HES atau kristaloid, kejadian



serta gagal



ginjal. Meskipun demikian, penggunaan RRT secara bermakna banyak



lebih pada



kelompok HES jika dibandingkan dengan kelompok kristaloid.



HES 130/0,42 (TETRASPAN;



Simpulan



potato-derived) atau kristaloid.



dua studi terbaru tersebut,



Studi ini menyimpulkan



perbandingan tidak langsung



HES kentang ini memberikan



menunjukkan pemberian HES



outcomes lebih buruk



jagung aman



dibandingkan dengan cairan



dibandingkan dengan HES



kristaloid. Kelompok HES



kentang dengan angka mortalitas



memiliki mortalitas



lebih Akan



dan



juga kebutuhan



dari



lebih jika



rendah. tetapi,



masih diperlukan



data pendukung lebih lanjut



antara



yang dapat menunjukkan perbandingan langsung



penggunaan kentang HES jagungkhususnya pada 201 3;1 18( 2):2 447.



REFERENSI:



1.



Bagchi A, Eikermann M. Mashed potatoes and maize: Are the staches safe?. Anesthesiolog y



694 CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



2.



Pern er A, Haa se N,



Guttorm sen AB, Tenhune n J, Klemenz son G, Åneman A, et al. Hydroxy ethyl starch 130/0.42 versus Ringer’s



dan



acetat e in sever e sepsis . N Engl J Med. 2012; 367(2) :12434.



HES



3.



kasus



ho N, Beda A, Rentzsch I, et al. Effects



Silva



of intravascular volume replacement on



PL,



lung and kidney function and damage in



Güldne r



pasien



kritis dan sepsis. (MAJ)



A,



Uhlig C, Carval



4.



nonseptic



experimental



lung



injury.



Anesthesiology 2013;118(2):395-408. Martin C, Jacob M, Vicaut E, Guidet B, Van Aken H, Kurz A. Effect of waxy maize-derived hydroxyethyl starch 130/0.4 on renal function in surgical patients. Anesthesiology 2013;118(2):387-94.



Ketofol untuk Sedasi Prosedur Gawat Darurat bahwa kombinasi ketamine-propofol membantu



O



meminimalkan efek



bat sedasi prosedural yang ideal untuk unit gawat darurat adalah mudah dititrasi, onsetnya cepat, lama kerjanya singkat, dan memberikan sedasi dan analgesia tanpa gangguan pernapasan dan hemodinamik. Meskipun banyak obat telah dicoba, tidak ada obat tunggal yang



seperti



Ketamine



dilakukan



suatu



studi



jarang



digunakan sebagai



memenuhi profi l tersebut. Telah



samping hipotensi.



obat tunggal pada untuk



dewasa



membandingkan



efektivitas dan keamanan propofol dengan kombinasi ketamine-propofol untuk sedasi prosedural menggunakan monitoring indeks bispektral untuk mengukur kedalaman sedasi. Ketamine dan propofol bisa dicampur dalam satu syringe yang sama (ketofol) atau diberikan secara terpisah. Studi dilakukan secara acak pada 28 pasien yang disedasi prosedural untuk manipulasi fraktur di unit gawat darurat pusat trauma tingkat 1. Pasien secara acak mendapat propofol dengan dosis target 0.5-1,5 mg/kg atau kombinasi ketamine-propofol dengan dosis target baik ketamine dan propofol 0,75 mg/kg. Keberhasilan prosedur, skor indeks bispektral, efek samping, waktu pemulihan, dan tanda vital diukur. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok kombinasi ketaminepropofol mengalami penurunan tekanan darah sistolik yang lebih kecil (1,6% vs 12,5%), skor indeks bispektral pada sedasi yang dituju (77 vs 61), perbedaan yang lebih kecil antara skor indeks bispektral basal dan sedasi yang dituju (18,78 ± 10 vs



menarik untuk sedasi prosedural (92,5 ± 58 vs 177,27 ± 11 mg). di unit gawat Tidak ada pasien dari kedua kelompok yang mengalami darurat. depresi pernapasan atau memerlukan intervensi lain. Dibandingkan dengan propofol, Kombinasi ketamine dan propofol merupakan pilihan kombinasi ketamine-propofol REFERENSI: menyebabkan hipotensi yang lebih rendah, sedasi yang lebih baik, dan peningkatkan kenyamanan dan keamanan pasien. 34,64 ± 11) dan dosis propofol rata-rata yang lebih rendah



karena



risiko



munculnya



reaksi,



namun,



jika



dikombinasi dengan propofol, tidak ada peningkatan



efek



samping



yang



bermakna dibandingkan dengan monoterapi propofol. Efek



hemodinamik



ketofol



juga



telah



diteliti



dalam



studi



acak dan tersamar ganda pada pasien anestesi umum dan



Dari 10 studi yang



hasilnya



telah



menunjukkan bahwa



dilakukan



untuk



ketofol



dikaitkan



membandingkan



dengan



perbaikan



kombinasi



stabilitas



ketamine-propofol



hemodinamik selama



dengan



obat



10



tunggal,



hasilnya



pertama



dibanding



menunjukkan



propofol,



sehingga



juga



menit



induksi



ketofol dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk induksi (EKM) darurat di mana stabilitas hemodinamik dipertimbangkan.



1.



Patanwal



alone



Am



Phillips W, Anderson A, Rosengreen M,



a



for



Health



Johnson J, Halpin J. Propofol versus



Combinat



proced



Syst



propofol/ketamine



ion



ural



Pharm.



ketamine



sedatio



2011



and



n in the



1;68(23):



index scale comparison. J Pain Palliat



propofol



emerge



2248-56.



Care Pharmacother. 2010;24(4):349-



versus



ncy



55.



either



depart



agent



ment.



procedures department:



2.



Thomas



for



in



the



clinical



MC,



brief and



695



emergency bispectral



Jennett-Reznek



CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013



painful



AM,



AE. of



3.



ed controlled trial of ketamine/propofol versus propofol alone for emergency department procedural sedation. Ann Emerg Med. 2011;57(5):435-41.



J



4.



David H, Shipp J. A randomiz



Smischney NJ, Beach ML, Loftus RW, Dodds TM, Koff MD. Ketamine/propofol admixture (ketofol)



is



associated



with



improved



hemodynamics as an induction agent: a randomized, controlled trial. J Trauma Acute Care Surg. 2012;73(1):94-101.