Cek Plagiasi Amelia Dewi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KONSEP SYUKUR DALAM AL-QUR’AN (STUDI QS. IBRAHIM [14]:7 DENGAN PENDEKATAN MA’NA CUM MAGHZA)



SKRIPSI Diajukan kepada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Palangka Raya Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Oleh: Amelia Dewi NIM. 1703130049



PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA 2021



BAB I PENDAHULUAN



A.



Latar Belakang Terima kasih adalah kata yang sangat akrab dalam keseharian masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. Ia sering kali dipadankan dengan kata syukur yang dapat diartikan positif sebagai makna terimakasih kepada seseorang dan kepada Sang Yang Maha Pengasih. Syukur juga terkadang diseret ke dalam makna negatif dengan istilah “syukurin”. Karena itu, perlu kembali dipahami apa sebenarnya hakikat berterima kasih dengan menelaah makna syukur, dan bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Benarkah



syukur



hanya



perlu



dipahami



sebagai



ungkapan



berterimakasih kepada Tuhan jika seorang hamba mendapat Rezeki1 atau cukupkah memahami syukur sebatas ucapan terima kasih dengan ucapan Alhamdulillah, padahal bentuk penghambaan kita kepada Allah swt, bukan hanya sebagai ta’abbud semata tetapi juga sebagai bentuk tasyakkur2. Sementara begitu banyak nikmat yang Allah limpahkan kepada hamba-Nya termasuk rasa syukur itu sendiri. Kepekaan rasa syukur umat manusia dewasa ini, tampaknya mulai mengalami penurunan secara drastis dan salah satu dampak negatif terhadap 1



Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an, (Bandung: Mizan, 2007), hal. 290. Hidayat (dkk), “Makna Syukur Berdasarkan Kajian Tematik Digital Alquran dan Implikasinya dalam Pendidikan Akhlak Di Sekolah Dasar”, Pendas: Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 2019, hal. 98. 2



1



2



hilangnya rasa syukur adalah manusia mulai bringas dengan berbagai macam materi yang dapat memberikan kehidupan secara individualistik semata dan tidak peduli terhadap orang lain 3. Hal itu tampak pada pola kehidupan tidak pernah puas dengan apa yang telah dianugrahkan oleh Tuhan. Jangan sampai syukur itu hanya sebatas lidah saja, dan mungkin disebabkan oleh kurangnya pengetahuan manusia tentang makna dan manfaatnya. Karena itu, dorongan untuk melakukan syukur dengan pemaknaan yang lebih dalam menjadi urgent untuk dikedepankan dalam era serba materialistis ini. Problematika pemahaman syukur bukan sesuatu yang baru dibahas. Namun, ibarat seumur manusia, pembahasan syukur telah ada mulai dari adanya manusia hingga hari ini dan nanti. Informasi ini bisa didapat dari berbagai sumber, khususnya dalam al-Qur’an yang secara nyata menjelaskan dan membuktikan kepada semua manusia tentang syukur dari satu masa ke masa yang lain.4 Fakta bahwa syukur itu penting, salah satunya karena bersyukur tidak hanya memiliki efek langsung pada kualitas hidup, melainkan juga memiliki efek tidak langsung yaitu melalui stres yang dirasakan serta kesehatan mental, hal ini dipertegas dalam sebuah penelitian. Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 (Kemenkes RI, 2018), memperlihatkan dari 181 orang yang menghadiri Layanan Kesehatan Jiwa Muh. Subair, “Rekonstruksi Makna Syukur dalam Al-Qur’an Berdasarkan Kitab Kuning”, Pusaka: Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol. 8, No. 1, Mei 2020, hal. 98. 4 Choirul Mahfud, “The Power Of Syukur (Tafsir Kontekstual Konsep Syukur dalam alAlquran)”, Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya: Jurnal Episteme, Vol. 9, No. 2, Desember 2014, hal. 379. 3



3



Bergerak (Mobile Mental Health Services/MMHS), sejumlah 49% mengalami masalah kesehatan jiwa Sedangkan Di eropa, Komisi Statistik Eropa (EUROSTAT) memperkirakan bahwa lebih dari 90% kunjungan pasien ke dokter disebabkan oleh masalah kesehatan yang sebagiannya dipengaruhi oleh stres. Yang mana dalam dunia kesehatan disebut dengan penyakit psikosomatik yaitu kelainan yang mempengaruhi tubuh dan pikiran. Gangguan psikosomatik merupakan hal yang sebenarnya telah umum terjadi namun seringkali tidak disadari. Penyakit ini memiliki dasar emosional yang menyebabkan gejala fisik dan stres berat bertanggung jawab atas 90% dari penyakit ini.5 Dengan demikian bersyukur menunjukkan korelasi positif yang signifikan dengan kualitas hidup orang yang mengalami gangguan psikosomatik. yang berarti jika seseorang yang mengalami psikosomatik semakin mampu bersyukur maka semakin meningkat pula kualitas hidupnya. Individu dapat melatih diri dengan bersyukur dalam menyikapi setiap pengalaman hidup sehari-hari sehingga stressor pemicu psikosomatik dapat diatasi secara bertahap. Syukur adalah sebuah praktik.6 Oleh karena itu syukur tidak cukup hanya dengan hati dan lisan, tetapi harus direalisasikan dengan tindakan nyata. Dalam Islam syukur juga merupakan bentuk ketaatan kepada Allah. Untuk itu sebagai hamba-Nya yang beriman wajib mensyukuri berbagai hal Ila Nurlaila Hidayat dan Witrin Gamayanti, “Dengki, Bersyukur dan Kualitas Hidup Orang yang Mengalami Psikosomatik”, PSYMPATHIC : Jurnal Ilmiah Psikologi, Vol. 7, No. 1, 2020, hal. 79. 6 Afandi, Nur Kholik. Konsep Syukur, (Disertasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Kampus Terpadu UMY Program Studi Psikologi Pendidikan Islam, 2019), hal. 37. 5



4



yang Allah berikan kepada kita. Contohnya rasa syukur atas segala karunia yang Allah berikan kepada seorang petani tidak hanya sekedar mengucapkan alhamdulillah karena bisa panen tetapi dalam artian yang lebih luas, yaitu bagaimana hasil panen mereka bisa bermanfaat bagi banyak orang. Bentuk pertanggungjawaban kepada Allah-lah perwujudan dari rasa syukur yang sebenarnya. Adapun salah satu ayat syukur terdapat dalam QS. Ibrahim [14] : 7.



٧ ‫َواِ ْذ تَاَذَّ َن َربُّ ُك ْم ل َِٕى ْن َش َك ْرتُ ْم اَل َ ِزيْ َدنَّ ُك ْم َولَ ِٕى ْن َك َف ْرتُ ْم اِ َّن َع َذابِ ْي لَ َش ِديْ ٌد‬ Terjemah Kemenag 2019: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”.7 Ayat di atas menjelaskan bahwa sesungguhnya orang yang sibuk mensyukuri nikmat Allah maka akan ditambah nikmat tersebut, sebaliknya apabila mengingkarinya maka siksa Allah sangatlah pedih. Ketika menjelaskan pahala bagi orang yang bersyukur, jelas dikatakan bahwa nikmat yang diberikan akan ditambah. Namun, ketika berbicara tentang kufur nikmat, tidak disebutkan secara jelas hukuman atau siksa yang akan diterima, hanya disebutkan bahwa siksa Allah sangat pedih. Di antara banyak ayat yang terdapat kata syukur, hanya surat Ibrahim ayat 7 yang disandingkan dengan kata kufur. Tentu memiliki daya tarik tersendiri untuk dikaji lebih jauh lagi menjadi sebuah penelitian. Berdasarkan penjebaran diatas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana makna kata syukur yang berarti “terima kasih” yang juga 7



Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.



5



merupakan lawan kata dari adalah kufr yang artinya “menutup” atau “tidak tahu terima kasih”. Penelitian kali ini akan lebih menarik ketika dianalisis menggunakan



pendekatan



baru



yang



dikembangkan



oleh



Sahiron



Syamsuddin yaitu teori Ma’na Cum Maghza. Teori ini merupakan hasil modifikasi teori Hermeneutika Fazlu Rahman dan Abu Zayd yang mana selama ini hanya dipraktekan untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang hukum sementara Ma’na Cum Maghza diharapkan mampu diterapkan untuk penafsiran seluruh teks al-Qur’an.8 Alasan peneliti menggunakan teori Ma’na Cum Maghza adalah teori ini merupakan teori yang berusaha untuk memahami makna dasar sebuah teks saat teks tersebut pertama kali diciptakan/diturunkan dipahami, sehingga makna teks atau signifikansi ayat tersebut dapat dikembangkan dan diimplementasikan ke konteks kekinian. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis akan mencoba mendeskripsikan mengenai



Konsep Syukur



Dalam Al-Qur’an Studi QS. Ibrahim [14] : 7 berdasarkan Pendekatan Ma’na Cum Maghza. B.



Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini ialah Bagaimana Konsep Syukur dalam Surah Ibrahim [14] : 7 berdasarkan Pendekatan Ma’na Cum Maghza?



8



Adi Fadilah, “Ma’na-Cum-Maghza Sebagai Pendekatan Kontekstual dalam Perkembangan Wacana Hermeneutika Aquran di Indonesia”, Jurnal Of Qur’an And Hadith Studies, Vol. 8, No. 1, 2019), hal. 12.



6



C.



Tujuan dan Manfaat Penelitian Dengan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka tujuan atau orientasi yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan Konsep Syukur dalam Al-Qur’an Studi QS. Ibrahim [14] : 7 berdasarkan Pendekatan Ma’na Cum Maghza. Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis. 1.



Manfaat Secara Teoritis Penelitian ini secara teoritis diharapkan mampu memberikan manfaat kepada peneliti maupun pembaca agar dapat mengetahui dan memahami makna hak hidup dalam al-Qur’an menggunakan pendekatan Ma’na Cum Maghza. Penelitian ini juga diharapkan sebagai penambah wawasan dan pembanding terhadap beragam penelitian yang serupa. Dengan demikian penelitiaan ini mampu menjadi jembatan penghubung bagi masyarakat akademik yang ingin mempelajari tema yang serupa.



2.



Manfaat Bidang Praktis Manfaat penelitian ini secara praktis bagi peneliti maupun pembaca ialah mampu menerapkan penggunaan pendekatan Ma’na Cum Maghza dalam memahani Konsep Syukur dalam Al-Qur’an.



7



3.



Manfaat Bagi Peneliti Dengan adanya kajian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi peneliti sebagai petunjuk atau arahan, acuan serta bahan pertimbangan bagi seorang peneliti yang akan mengkaji selanjutnya.



D.



Kajian terdahulu Kajian Terdahulu atau kajian kepustakaan adalah suatu tinjauan yang menjelaskan dan mengkaji buku-buku, karya-karya, pemikiran-pemikiran dan penulisan-penulisan ataupun penelitian terdahulu yang terkait dengan pembahasan skripsi.



Pembahasan mengenai Konsep Syukur memang



bukanlah hal yang baru lagi dalam dunia akademis. Begitu pula dengan pembahasan peran al-Qur’an dalam membantu memberikan konsep mengenai hal tersebut. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya karya-karya yang telah membahas al-Qur’an dan hubungannya dengan Konsep Syukur. Namun pada penelitian kali ini peneliti hanya berfokus pada Konsep Syukur dalam al-Qur’an menggunakan pendekatan Ma’na Cum Maghza. Untuk mengetahui letak kebaruan dalam penelitian ini, peneliti ingin mencoba menyebutkan beberapa karya yang berkaitan dengan Konsep Syukur yang telah ada sebelumnya. Dalam hal ini, peneliti membaginya menjadi dua kategori berdasarkan dua variabel yang ada dalam judul penelitian ini. Variabel pertama yaitu Konsep Syukur yang ada dalam alQur’an, sedangkan variabel kedua yaitu pendekatan Ma’na Cum Maghza.



8



1.



Konsep Syukur dalam al-Qur’an Kajian pertama, yaitu skripsi yang disusun oleh Nur Falihatun, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2017 dengan judul “Penafsiran Ayat-ayat Syukur (Kajian Terhadap Kitab al-Ibriz Li Ma’rifati Tafsir Alquran al-‘Aziz Karya Bisyri Mustafa”. Kedua, yaitu Skripsi yang disusun oleh Cucu Yulianti, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun 2018, dengan judul “Makna syukur dan ciricirinya dalam tafsir Al-Munir” (Analisis terhadap tafsir Al-Munir karya Wahbah Zuhaili). Ketiga, Jurnal Episteme Vol. 9, No. 2, Desember 2014, Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya, disusun oleh Choirul Mahfud dengan judul “The Power Of Syukur (Tafsir Kontekstual Konsep Syukur dalam Alquran)”. Jurnal ini menjelaskan tentang problematika syukur yang dialami dan dirasakan manusia. Keempat, Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol. 8, No. 1, Mei 2020, disusun oleh Muh. Subair dengan judul “Rekonstruksi Makna Syukur dalam Al-Qur’an Berdasarkan Kitab Kuning”.



2.



Pendekatan Ma’na Cum Maghza Kajian pertama, dalam Hermeneutik: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Volume 14 Nomor 01 Tahun 2020 dengan judul “Interpretasi Ma’na Cum Maghza terhadap Relasi Suami Istri dalam



9



QS. Al-Mujadalah/58: 1-4” karya Althaf Husein Muzakky. Karya ini menjelaskan bahwa QS. al-Mujadalah/58: 1-4 mengajarkan tentang semangat emansipatoris. Emansipatoris merupakan persamaan hak, menghargai kehidupan baik itu perempuan maupun laki-laki, semuanya mendapatkan perlakuan yang sama disisi Allah, yang membedakan hanya ketaqwaannya.9 Artikel ini bertujuan untuk menawarkan gagasan baru tentang wawasan gender, khususnya relasi antara suami dan istri yang dikaji dari teks dan konteks. Kajian kedua, dalam Jurnal Al Tadabbur: Jurnal Ilmu Alquran Dan Tafsir Vol: 05 No. 02 November 2020 dengan judul “Pemaknaan Ma’na Cum Maghza Atas Qs. (6): 108 Dan Implikasinya Terhadap Toleransi Antar Umat Beragama” karya Faisal Haitomi dan Anisa Fitri. Artikel ini menjelaskan bahwa dalam QS. 6: 108 menunjukkan bahwa al-Qur’an dari jauh-jauh hari telah melarang pemeluknya untuk menjelek atau menghina sesembahan orang lain, karena selain berakibat pada hilangnya rasa toleransi antar umat beragama, ia juga berakibat pada umpatan melampaui batas yang dilakukan oleh orang non muslim. Nabi Muhammad juga mengajarkan untuk saling menghormati orang yang berbeda keyakinan dengan kita sebagaimana hal itu termanifestasi di dalam piagam Madinah. Kajian ketiga, dalam Jurnal Ijougs, Volume 1 No. 1 Tahun 2020 dengan judul “Reinterpretasi Kata Jilbab Dan Khimar Dalam AlAlthaf Husein Muzakky, “Interpretasi Ma’na Cum Maghza terhadap Relasi Suami Istri dalam QS. Al-Mujadalah/58: 1-4” Jurnal Hermeneutik: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Volume 14 Nomor 01 Tahun 2020. 9



10



Quran; Pendekatan Ma’na Cum Maghza Sahiron Syamsuddin” karya Siti Robikah. Dengan melihat pemaknaan kata jilbab dan khimar dengan menggunakan pendekatan Ma’na Cum Maghza maka akan melajirkan pemaknaan baru mengenai kata jilbab dan khimar yang tidak hanya berhenti pada pemaknaan penutup aurat secara fisik namun juga menutup aurat yang dilihat secara non fisik. Kewajiban menutup aurat non fisik tidak hanya dibebankan kepada perempuan namun juga kepada laki-laki. Dari kajian pustaka yang telah penulis paparkan diatas, belum ada penelitian mengenai Konsep Syukur yang menggunakan pendekatan Ma’na Cum Maghza. Oleh karena itu penulis akan melakukan penelitian terhadap Konsep Syukur dalam Alquran menggunakan pendekatan Ma’na Cum Maghza. Adapun fokus penelitiannya yaitu pada Konsep Syukur dalam al-Qur’an Studi QS. Ibrahim [14] : 7 dengan Pendekatan Ma’na Cum Maghza. E.



Metode Penelitian 1.



Jenis dan pendekatan penelitian



11



Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif 10 berdasarkan cara analisis data, dan menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) berdasarkan sumber data. Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk memahami makna dan keunikan objek yang diteliti. Sedangkan jenis penelitian library research bertujuan untuk menghimpun data-data dari beberapa literatur seperti buku, tafsir, artikel, jurnal serta sumber yang relevan dengan penelitian ini. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Ma’na Cum Maghza. 2.



Sumber Data a.



Data Primer Sumber data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung (dari tangan pertama) atau data yang berasal dari sumber pertama yaitu al-Quran.



b.



Data Sekunder Sumber data sekunder adalah sumber-sumber yang diambil dari sumber lain yang diperoleh dari sumber primer. 11 Data sekunder ini berfungsi sebagai pelengkap dari data primer,



Penelitian kualitatif digunakan untuk memperoleh data yang kaya informasi dan mendalam tentang isu dan masalah yang akan dipecahkan. Lihat Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2018), hal. 3. Penelitian kualitatif juga dimaksudkan untuk mengungkap gejala secara holistic-konstektual (secara menyeluruh dan sesua dengan konteks / apa adanya) melalui pengumpulan data dari latar alami sebagai sumber langsung dengan instrument kunci penelitian itu sendiri. Lihat Ahmad Tanzeh dalam bukunya Metodologi Penelitian Praktis, (Yogyakarta : Teras, 2011), hal. 64. Ada juga yang mendefinisikan kualitatif sebagai proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia berdasarkan pada penciptaan gambar holistik yang dbentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci dan disusun dalam sebuah latar ilmiah. Lihat Hamid Patilima dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : Alfabeta, 2011), hal. 3. 11 Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pelajar Offset, 1998), hal. 91. 10



12



data ini berisi tentang tulisan-tulisan yang berhubungan dengan materi yang akan dikaji. Dalam skripsi ini sumber sekunder yang dimaksud adalah buku-buku penunjang selain dari sumber primer yaitu buku-buku mengenai ‘syukur’, kamus, kitab-kitab tafsir, jurnal/artikel yang berkaitan dengan pembahasan ini. 3.



Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah suatu cara yang dipakai untuk mengumpulkan informasi atau fakta-fakta yang terdapat dalam penelitian ini. Teknik ini merupakan langkah yang paling strategis dalam melakukan suatu penelitian, karena tujuan utama dalam sebuah penelitian adalah mendapatkan data.12 Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif, maka teknik mengumpulkan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara dokumentasi. Cara pengumpulan data dengan metode ini adalah dengan cara mengumpulkan peninggalan tertulis, yaitu berupa arsip-arsip yang termasuk didalamnya buku-buku tentang pendapat, teori, dalil/hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.13



4.



Analisis Data Analisis data merupakan kaidah penelitian yang wajib dilakukan oleh semua peneliti, karena sebuah penelitian tanpa analisis hanya



Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif (Dalam Perspektif Rancangan Penelitian), (Yogyakarta: ArRuzz Media, 2016), hal. 208. 13 Aunu Rofiq Djaelani, “Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Kualitatif”, Jurnal Pawiyatan, Vol. XX, No. 1, Maret 2013, hal.84. 12



13



akan melahirkan sebuah data mentah yang tidak mempunyai arti 14. Untuk memperoleh makna yang lebih tepat, data yang terkumpul terlebih



dahulu



diinterpretasi



dengan



menggunakan



analisis



deskriptif.15 Pada penelitian ini analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum tentang Syukur dalam al-Qur’an. Kemudian, digunakan juga untuk mengetahui bagaimana penjelasan surah dan ayat dalam al-Qur’an yang terkait dengan Syukur atau yang terkait dengan term tersebut menurut beberapa mufasir dengan pendekatan Ma’na Cum Magza, dan selanjutnya akan ditinjau lagi sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini. Selanjutnya, prosedur analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis tematik atau maudhu’i. Al-Farmawi mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode maudhu’i.16 Adapun langkahlangkahnya sebagai berikut: a.



Menentukan masalah yang akan dibahas, yaitu tentang pandangan al-Qur’an tentang Syukur;



b.



Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan Syukur dalam alQur’an;



14



Albi Anggito dan Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Sukabumi: CV Jejak, 2018), hal. 235. 15 Emawati, dkk, Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah: Studi Etnografi Tarekat Sufi di Indonesia, Cet. 1 (Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2015), hal. 26. 16 Didi Junaedi, “Mengenal lebih dekat Metode Tafsir Maudhu’I”, Diya al-Afkar, Volume 4, Nomor 1, 2016, hal. 2.



14



c.



Menyusun runtutan ayat-ayat tentang Syukur sesuai dengan kronologis turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab alnuzul;



d.



Memahami kolerasi ayat-ayat tersebut;



e.



Menyusun kerangka pembahasan yang sempurna (outline);



f.



Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan;



g.



Meneliti ayat-ayat tentang Syukur secara keseluruhan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian sama atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga kesemuaannya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan;



h. F.



Menyusun kesimpulan.17



Kerangka Pikir Kerangka pikir dibuat untuk mempermudah dalam memahami alur penyelesaian penelitian ini. Maka dari itu, peneliti membuat sebuah kerangka pikir dalam penelitian ini agar inti dari permasalahan yang akan dibahas lebih fokus dan terarah sesuai dengan maksud dan tujuan peneliti. Untuk mempermudah dalam memahami hal tersebut, peneliti membuat sketsa sebagai berikut :



17



Moh. Tulus Yamani, “Memahami Al-Qur’an dengan Metode Tafsir Maudhu’I”, J-PAI, Volume 1, Nomor 2, 2015, hal. 280-281.



15



Dalam penelitian ini akan mencari pandangan al-Qur’an tentang Syukur dalam QS. Ibrahim [14]: 7. Adapun teori yang digunakan guna mencapai hasil penelitian adalah teori Ma’na Cum Maghza sebagai pisau analisis dengan metode tematik untuk menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan Syukur, kemudian dijabarkan melalui metode deskriptif untuk memberikan gambaran tentang Syukur dalam QS. Ibrahim [14]: 7. G.



Sistematika Penelitian Penelitian ini terdiri dari empat bab. Untuk memudahkan pemahaman dan memberikan penjelasan tentang isi penelitian ini, maka penelitiannya dilakukan berdasarkan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab Pertama, Pendahuluan, meliputi : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian terdahulu, landasan teori, metode penelitian, kerangka pikir, dan sistematika penulisan. Bab Kedua, yakni tinjauan umum tentang Syukur dalam Al-Qur’an yang meliputi : himpunan ayat-ayat tentang syukur dalam Al-Qur’an, termterm syukur dan analisisnya, definisi syukur, wujud syukur, bentuk-bentuk syukur dan manfaat syukur. Bab Ketiga, yakni membahas tentang gambaran umum pendekatan Ma’na Cum Maghza Shahiron Syamsuddin yang meliputi : biografi Shahiron



16



Syamsuddin, pendekatan Ma’na Cum Maghza dan Langkah-langkah metodis penafsiran berbasis Ma’na Cum Maghza. Bab Keempat, yakni analisis mengenai Konsep Syukur menggunakan pendekatan Ma’na Cum Maghza. Bab Kelima, Penutup, yang di mana dari bab-bab sebelumnya ditarik kesimpulan dari hasil penelitian sebagai jawaban singkat atas permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini dan saran.



17



BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SYUKUR DALAM AL-QUR’AN



A.



Definisi Syukur Istilah syukur terambil dari kosa kata bahasa Arab, yaitu al-syukur ( ‫كور‬RR‫ ) الش‬atau al-syukru (‫كر‬RR‫) الش‬. Kata al-syukur merupakan isim mashdar (kata benda) yang berasal dari kata ‫ شكر يشكر شكرا و شكورا‬, kata ini terambil dari madah ( ‫) ش ك ر‬18 artinya berterima kasih atau ucapan/pernyataan terima kasih.19 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah syukur diartikan sebagai: (1) rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega, senang dan sebagainya).20 Dalam Kamus Lengkap Inggeris



Indonesia-Indonesia



Inggeris



karya



S.



Wojowasito,



juga



mengemukakan pengertian yang senada dan seirama dengan definisi di atas, yaitu terima kasih. Dalam bahasa inggerisnya, kata ini disebut dengan thank.21 Dalam Mu’jam al-Wasith, kata al-syukru diartikan dengan mengakui nikmat kemudian memperlihatkannya dengan cara memuji.22 Varian makna syukur juga dimainkan dalam beberapa kamus lainnya yang pengertiannya relevan dengan makna-makna yang sudah disebutkan.



Ahmad bin Faaris, Maqaayis al-Lughah, (Cairo : Daar al-Sya’b, 1969), hal. 208. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyyah, 2010), hal. 201. 20 Tim Redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-3, (Jakarta: Bali Pustaka, 2002), hal. 1115. 21 S. Wojowasito, dkk, Kamus Lengkap Inggeris Indonesia-Indonesia Inggeris, (Bandung: HASTA Penerbit), h. 232. 22 Majamma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasiith, (Cairo: Maktabah alSyuruuq al-Arabiyyah, 2005), hal. 490. 18 19



17



18



Mengakui kebaikan atau nikmat dan menyebarkannya. Syukur tidak bisa diwujudkan kecuali dengan aksi, aksi dapat berupa lisan dengan menyampaikan pujian, dan dengan perbuatan atau melakukan sesuatu sebagai ekspresi syukur. Sedangkan menurut istilah al-Syukur antara lain berarti upaya yang sungguh-sungguh dari manusia untuk melaksanakan seluruh perintah Allah dengan menghindarkan diri dari hal-hal yang dilarang, baik tersembunyi maupun terang-terangan. Menurut pakar bahasa al-Qur’an seperti al-Kafawi adalah :



‫تصىر النعمة و إظهارها‬ “Gambaran dalam fikiran tentang suatu nikmat, memperlihatkan nikmat tersebut ke permukaan”



kemudian



Sementara dalam kitab al-Mufradaat fi Ghariib al-Qur’an karangan alRaghib al-Ishfahani, dijelaskan bahwa menurut sebagian ulama kata syukur adalah musytaq dari pada kata syakara yang artinya adalah membuka. Sehingga kata syukur tersebut merupakan antonim dari pada kata kafara (kufur) yang artinya adalah menutup, yang mana di antara maknanya adalah melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.



B.



Himpunan Ayat-ayat Tentang Syukur dalam Al-Qur’an Kata syukur di dalam al-Qur’an terulang sebanyak 75 kali tersebar dalam 35 surat dan terbagi dalam 18 bentuk (derivasi). Term syukur paling banyak ditemukan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah sebanyak 8 kali kemudian, disusul dengan al-Qur’an surat an-Naml, al-‘Araf dan Luqman



19



sebanyak 5 kali disetiap suratnya, selanjutnya disusul dengan surat An-Nahl sebanyak 4 kali dalam suratnya, disusul dengan surat Ibrahim, Ali Imran, Fatir, Saba’ dan al-Insan sebanyak 3 kali disetiap suratnya, disusul dengan surat an-Nisa, az-Zumar, al-Maidah, Yunus, Yasin, al-An’am, asy-Syura’, dan al-Isra’ sebanyak 2 kali disetiap suratnya, dan disusul dengan surat alHajj, al-Qamar, al-Ahqaf, al-Anfal, al-Mu’minun, al-Qasas, ar-Rum, asSajdah, al-Jatsiyah, al-Waqiah, al-Mulk, Yusuf, Gafir, al-Ankabut, alFurqan, al-Anbiya, dan at-Tagabun sebanyak 1 kali disetiap suratnya. Karya tulis ini menggunakan kitab Mu’jam Mufahras Li al-fadzi Alquran al-Karīm karya dari Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam menghimpun ayat-ayat yang mengandung kata Syukur dalam al-Qur’an. Pada sub bab ini penulis akan mencantumkan pengklasifikasian mana surat yang termasuk katagori makiyyah dan madanniyah. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan dalam sebuah tabel berikut: No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10



Kata



َ َ ‫شك َر‬ َ َ ‫شك َر‬ ُ َ َ ‫شك ْرت ْم‬ ُ َ َ ‫شك ْرت ْم‬ ُ ْ َ ‫اشك َر‬ ُ ْ َ ‫اشك َر‬ ُ ْ َ ‫اشك َر‬ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْوا‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬



Surah



Kategori



An-Naml (27): 40



Makiyyah



Al-Qomar (54): 35



Makiyyah



An-Nisa’ (4): 147



Madanniyah



Ibrahim (14): 7



Makiyyah



An-Naml (27): 19



Makiyyah



An-Naml (27): 40



Makiyyah



Al- Ahqaf (46): 15



Makiyyah



Az-Zumar (39): 7



Makiyyah



Al-Baqarah (2): 52



Madanniyah



Al-Baqarah (2):56



Madanniyah



20



11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38



َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ َ ُ ْ َ ‫تشك ُر ْون‬ ُ ْ ‫َيشك ُر‬ ُ ْ ‫َيشك ُر‬ ُ ْ ‫َيشك ُر‬ َ ُ ْ ‫َيشك ُر ْون‬ َ ُ ْ ‫َيشك ُر ْون‬ َ ُ ْ ‫َيشك ُر ْون‬ َ ُ ْ ‫َيشك ُر ْون‬ َ ُ ْ ‫َيشك ُر ْون‬ َ ُ ْ ‫َيشك ُر ْون‬ َ ُ ْ ‫َيشك ُر ْون‬ َ ُ ْ ‫َيشك ُر ْون‬



Al-Baqarah (2):185



Madanniyah



Ali Imran (3): 123



Madanniyah



Al-Maidah(5): 6



Madanniyah



Al-Maidah(5): 89



Madanniyah



Al-A’raf (7): 10



Makiyyah



Al-Anfal (8): 26



Madanniyah



An-Nahl (16): 14



Makiyyah



An-Nahl (16): 78



Makiyyah



Al-Hajj (22): 36



Madanniyah



Al-mu’minun (23): 78



Makiyyah



Al-Qasas (28): 73



Makiyyah



Ar-Rum (30): 46



Makiyyah



As-Sajdah (32): 9



Makiyyah



Fatir (35): 12



Makiyyah



Al-Jatsiyah (45): 12



Makiyyah



Al-Waqiah (56): 70



Makiyyah



Al-Mulk (67): 23



Makiyyah



An-Naml (27): 40



Makiyyah



Al-Luqman (31): 12



Makiyyah



Al-Luqman (31): 12



Makiyyah



Al-Baqarah (2): 243



Madanniyah



Al-A’raf (7): 58



Makiyyah



Yunus (10): 60



Makiyyah



Yusuf (12): 38



Makiyyah



Ibrahim (14): 37



Makiyyah



An-Naml (27): 73



Makiyyah



Yasin (36): 35



Makiyyah



Yasin (36): 73



Makiyyah



21



39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66



َ ُ ْ ‫َيشك ُر ْون‬ ُ ْ ‫اشك ْر‬ ُ ْ ‫اشك ْر‬ ُ ْ ‫اشك ُر ْوا‬ ُ ْ ‫اشك ُر ْوا‬ ُ ْ ‫اشك ُر ْوا‬ ُ ْ ‫اشك ُر ْوا‬ ُ ْ ‫اشك ُر ْوا‬ ْ ُ ‫شك ًرا‬ ُ ُ ‫شك ْو ًرا‬ ُ ُ ‫شك ْو ًرا‬ َ ‫ش ِاك ٌر‬ َ ‫ش ِاك ًرا‬ َ ‫ش ِاك ًرا‬ َ ‫ش ِاك ًرا‬ َ َ ‫ش ِاك ُر ْون‬ ّٰ ‫الش ِك ِر ْي َن‬ ّٰ ‫الش ِك ِر ْي َن‬ ّٰ ‫الش ِك ِر ْي َن‬ ّٰ ‫الش ِك ِر ْي َن‬ ّٰ ‫الش ِك ِر ْي َن‬ ّٰ ‫الش ِك ِر ْي َن‬ ّٰ ‫الش ِك ِر ْي َن‬ ّٰ ‫الش ِك ِر ْي َن‬ ّٰ ‫الش ِك ِر ْي َن‬ ُ َ ‫شك ْو ٍر‬ ُ َ ‫شك ْو ٍر‬ ُ َ ‫شك ْو ٍر‬



Gafir (40): 61



Makiyyah



Luqman (31): 12



Makiyyah



Luqman (31): 14



Makiyyah



Al-Baqarah (2): 152



Madanniyah



Al-Baqarah (2): 172



Madanniyah



An-Nahl (16): 114



Makiyyah



Al-‘Ankabut (29): 17



Makiyyah



Saba’ (34): 15



Makiyyah



Al-Baqarah (2): 13



Madanniyah



Al-Furqan (25): 62



Makiyyah



Al-Insan (76): 9



Madanniyah



Al-Baqarah (2): 158



Madanniyah



An-Nisa (4): 147



Madanniyah



An-Nahl (16): 121



Makiyyah



Al-Insan (76): 3



Madanniyah



Al-Anbiya’ (21): 80



Makiyyah



Ali Imran (3): 144



Madanniyah



Ali Imran (3): 145



Madanniyah



Al-An’am (6): 53



Makiyyah



Al-An’am (6): 63



Makiyyah



Al-‘Araf (7): 17



Makiyyah



Al-‘Araf (7): 144



Makiyyah



Al-‘Araf (7): 189



Makiyyah



Yunus (10): 22



Makiyyah



Az-Zumar (39): 66



Makiyyah



Ibrahim (14): 5



Makiyyah



Luqman (31): 31



Makiyyah



Saba’ (34): 13



Makiyyah



22



67 68 69 70 71 72 73 74 75



ُ َ ‫شك ْو ٍر‬ ُ َ ‫شك ْو ٍر‬ ُ َ ‫شك ْو ٍر‬ ُ َ ‫شك ْو ٍر‬ ُ َ ‫شك ْو ٍر‬ ُ َ ‫شك ْو ٍر‬ ُ َ ‫شك ْو ًرا‬ ُ ْ ‫َّمشك ْو ًرا‬ ُ ْ ‫َّمشك ْو ًرا‬



Saba’ (34): 19



Makiyyah



Fatir (35): 30



Makiyyah



Fatir (35): 34



Makiyyah



Asy- Syura’ (42): 23



Makiyyah



Asy- Syura’ (42): 33



Makiyyah



At-Tagaabun (64): 17



Madanniyah



Al-Isra’ (17): 3



Makiyyah



Al-Isra’ (17): 19



Makiyyah



Al-Insan (76): 22



Madanniyah



Setelah penulis analisis dapat ditentukan bahwa kata Syukur lebih banyak terdapat pada golongan surah makiyyah, yang sebagaimana jumlahnya adalah 54 ayat, sedangkan surah madanniyah hanya 21 ayat. Ayat-ayat diatas berbicara tentang kata syukur yang mana mimiliki makna yang berbeda-beda. Jika diteliti lebih mendalam maka akan dijumpai ayatayat di atas menjelaskan beberapa hal baik secara eksplisit maupun implsit, hal ni menjelaskan di antaranya tentang orang (subjek) yang bersyukur, objek, cara bersyukur, hal-hal yang patut di syukuri, serta manfaat bersyukur.23 Namun letak kata syukur sendiri ada yang terletak di bagian tengah ada juga yang di akhir pada ayat.



Desri Ari Enghariano, Syukur Dalam Perspektif Alquran, Jurnal Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, IAIN Padangsdimpuan, Hal. 273. 23



23



C.



Kaidah syukur Ibnul Qayyim Rahimahullah Ta’ala berkata, syukur dilandasi oleh lima kaidah:24 1.



Tunduknya orang yang bersyukur kepada yang disyukuri.



2.



Mencintainya.



3.



Mengakui nikmatnya.



4.



Menyanjungnya dengan nikmat itu.



5.



Tidak menggunakan kenikmatan itu dalam hal yang tidak disukai olehnya. Ibnul Qayyim meneruskan, “Lima kaidah ini adalah pondasi syukur



dan bangunannya. Jika satu kaidah tidak ada maka syukur kehilangan satu kaidahnya.”



Setiap



orang



yang



berbicara



mengenai



syukur



dan



mendefinisikannya, pastilah perkataannya kembali kepada kaidah tersebut dan seputarnya.



D.



Wujud Syukur Rumusan wujud syukur dalam Al-Qur’an disusun berdasarkan ayatayat yang merupakan ekspresi manusia terhadap nikmat yang diterimanya. Ekspresi tersebut kemudian diwujudkan dalam ungkapan terima kasih dalam hati, dalam kata dan dalam perbuatan. Ungkapan syukur diekspresikan oleh subjek syukur kepada objek syukur yang berbeda antara bentuk syukur manusia sebagai subjek dan Allah sebagai subjek. Karena itu,



Abdullah Bin Shalih Al-Fauzan, Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur, Terj. Muhammad Suhadi (Solo: PT Aqwam Media Profetika, 2017). Hal. 15. 24



24



bagi manusia disiapkan ancaman bagi yang tidak bersyukur dan sebaliknya disediakan pula ganjaran bagi orang yang bersyukur. Ayat yang melandasi wujud syukur ini adalah QS. An-Naml [27]: 40. َ ‫ك‬ ‫ك فَلَ َّما َر ٰاهُ ُم ْستَقِ ًّرا ِع ْند َٗه قَا َل ٰه َذا ِم ْن‬ َ ۗ ُ‫طرْ ف‬ َ ‫ك بِ ٖه قَ ْب َل اَ ْن يَّرْ تَ َّد اِلَ ْي‬ َ ‫ب اَن َ۠ا ٰاتِ ْي‬ ِ ‫قَا َل الَّ ِذيْ ِع ْند َٗه ِع ْل ٌم ِّمنَ ْال ِك ٰت‬ ٤٠ ‫فَضْ ِل َرب ۗ ِّْي لِيَ ْبلُ َونِ ْٓي َءاَ ْش ُك ُر اَ ْم اَ ْكفُ ۗ ُر َو َم ْن َش َك َر فَاِنَّ َما يَ ْش ُك ُر لِنَ ْف ِس ٖ ۚه َو َم ْن َكفَ َر فَا ِ َّن َرب ِّْي َغنِ ٌّي َك ِر ْي ٌم‬ Terjemah kemenag 2019: “Seorang yang mempunyai ilmu dari kitab 25 suci berkata, “Aku akan mendatangimu dengan membawa (singgasana) itu sebelum matamu berkedip.” Ketika dia (Sulaiman) melihat (singgasana) itu ada di hadapannya, dia pun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau berbuat kufur. Siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Siapa yang berbuat kufur, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia”.26 Penafsiran tentang kata syukur di sini sebagai ungkapan terima kasih atas nikmat Allah dengan cara berlaku taat kepadaNya, pemaknaan ini banyak dilakukan oleh para mufassir dengan berbagai bentuk penjelasan.27



E.



Bentuk-Bentuk Syukur dalam al-Qur’an Nikmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia sangat banyak dan bentuknya bermacam-macam. Setiap detik yang dilalui manusia di dalam hidupnya tidak pernah lepas dari nikmat Allah SWT. Nikmat-Nya sangat besar dan banyak, sehingga bagaimanapun juga manusia tidak akan dapat menghitungnya.28 Sejak manusia lahir ke dunia tidak tahu apa-apa,



Yang dimaksud kitab suci pada ayat ini adalah kitab yang diturunkan sebelum Nabi Sulaiman a.s., yaitu Taurat dan Zabur. Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tafsir Lengkap Kemenag QS. An-Naml/27 : 40, Tahun 2019, Versi 1.0. 26 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0. 27 Muh. Subair, Rekonstruksi Makna Syukur dalam Al-Qur’an Berdasarkan Kitab Kuning, Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol. 8, No. 1, 2020, hlm. 102 28 Lihat QS. An-Nahl/16 : 18. ‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬ ١٨ ‫رَّح ْي ٌم‬ ِ ‫َواِ ْن تَ ُع ُّدوْ ا ِن ْع َمةَ ِ اَل تُحْ صُوْ هَا ۗاِنَّ َ لَ َغفُوْ ٌر‬ Terjemahnya : “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang”. 25



25



kemudian diberi Allah SWT. pendengaran, penglihatan dan hati29 sampai meninggal dunia menghadap Allah SWT di akhirat kelakia tidak akan lepas dari nikmat Allah SWT. Secara garis besar nikmat itu dibagi menjadi dua, yaitu nikmat yang menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi alat untuk mencapai tujuan. Nikmat dan tujuan utama yang ingin dicapai oleh umat Islam ialah kebahagiaan di akhirat. Adapun ciri-ciri nikmat ini adalah: 1) kekal, 2) diliputi oleh kebahagiaan dan kesenangan, 3) sesuatu yang mungkin dapat dicapai, 4) dapat memenuhi segala kebutuhan manusia. Sementara nikmat yang kedua meliputi: 1) kebersihan jiwa dalam bentuk iman dan akhlak yang mulia, 2) “kelebihan tubuh” seperti kesehatan dan kekuatan, 3) hal-hal yang membawa kesenangan jasmani, seperti harta, kekuasaan, dan keluarga, 4) hal-hal yang membawa sifat-sifat keutamaan, seperti hidayah, petunjuk pertolongan dan lindungan Allah SWT.30 Secara operasional bentuk syukur ada tiga yaitu:



1.



Syukur dengan hati Syukur adalah mengantar orang selalu tulus dan menyadari betapa besar kemurahan dan kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya, sehingga selalu muncul dihatinya untuk mengingat Allah dan



Lihat Q.S. an-Nahl/16 : 78. ٧٨ َ‫ َدةَ ۙ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬Rِِٕ‫ار َوااْل َ ْفٕـ‬ َ ‫ْص‬ َ ‫َّج َع َل لَ ُك ُم ال َّس ْم َع َوااْل َب‬ َ ‫ ۙا و‬Rًًٔ‫م اَل تَ ْعلَ ُموْ نَ َش ْئـ‬Rْ ‫َوهّٰللا ُ اَ ْخ َر َج ُك ْم ِّم ۢ ْن بُطُوْ ِن اُ َّم ٰهتِ ُك‬ Terjemahnya : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur”. 30 Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 6, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hal. 17. 29



26



merasakan kedekatan dengan-Nya. Demikian dalam Q.S Al Baqarah [2]: 152



ࣖ ‫ْي اَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكرُوْ ا لِ ْي َواَل تَ ْكفُرُوْ ِن‬Rٓ ِ‫فَ ْاذ ُكرُوْ ن‬ Terjemah kemenag 2019: “Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.31 Ayat tersebut diawali dengan perintah Allah untuk berzikir (ingat kepada Allah) artinya keihlasan jiwa dan ketundukan kepadaNya bahwa Dialah yang maha segalanya. Kemudian Allah memerintahkan lagi untuk bersyukur, hal ini menunjukkan bahwa antara dzikir dan Syukur keduanya sangat relevan, karena keduanya mengandung makna pengakuan dan penerimaan sepenuh hati atas segala nikmat dan karunia-Nya. Dapat juga dikatakan bahwa salah satu bentuk syukur adalah dengan berzikir kepada-Nya. Adapaun makna kufur dalam ayat ini adalah meliputi empat hal: 1) tidak mengakui dan tidak mengenal Allah, 2) Kufur dalam arti tidak berterima kasih atau tidak syukur, 3) Beriman kepada Allah dalam hati tetapi tidak mengakuinya dengan lisan sebagaiamana yang dilakukan oleh Iblis, 4) Kufur nifak, yaitu mengakui dengan lidah tetapi tidak dengan hati.32 2.



Syukur dengan lidah Syukur denngan lisan adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat adalah Allah seraya memuji-Nya denngan ucapan di



Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0. Muh. Subair, “Rekonstruksi Makna Syukur dalam Al-Qur’an Berdasarkan Kitab Kuning”, Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol. 8, No. 1, 2020, hal. 103. 31 32



27



antaranya Tahmid dan Tasbih. Bersyukur dengan lidah diajarkan oleh Allah Swt, seperti terdapat dalam QS. Fathir/35: 34.



ْٓ ‫ ْال َح ْم ُد هّٰلِل ِ الَّ ِذ‬R‫َوقَالُوا‬ ‫َب َعنَّا ْال َح َز ۗنَ اِ َّن َربَّنَا لَ َغفُوْ ٌر َش ُكوْ ۙ ٌر‬ َ ‫ي اَ ْذه‬ Terjemah kemenag 2019: “Mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.”33 (QS. Fathir/35: 34). Ayat di atas memberikan pelajaran kepada manusia bahwa ucapan Alhamdulillah merupakan salah satu bentuk bersyukur dengan lisan. Dan yang dimaksud al Hamdu (pujian) adalah memuji Allah, oleh karena sifat-sifat yang terdapat pada Allah dan kebaikankebaikan-Nya bukanlah kebaikan Ghair Ikhtiyari. Kita memuji Allah karena Allah berbuat baik kepada kita, karena sesuatu yang ikhtiyari. Allah sudah memilih untuk berbuat baik kepada kita, dengan demikian kita mengucapkan Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.34 Karena itu, syukur juga menjadi salah satu sifat Allah dengan bentuk



yang



diteladani



manusia



dengan



kalimat



hamdalah.



Sebagaimana disebutkan Ibn Mandzur, adanya syakur sebagai sifat Allah dan bentuk syukurnya diterjemahkan dengan cara memberi ampunan kepada hambanya.35 Dalam hal ini, sejalan pula QS. Al Duha/93 : 11.



ْ ‫َواَ َّما بِنِ ْع َم ِة َربِّكَ فَ َحد‬ ‫ِّث‬ Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0. Jalaluddin Rahmat, Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hal. 381 35 Ibn Mandzur al-Afriqy al-Misr, Lisanul Arab-Ibnu Mandzur, (Beirut: Dar Shadir, 1996), hal. 424. 33 34



28



Terjemah kemenag 2019: Terhadap nyatakanlah (dengan bersyukur)”.36 3.



nikmat



Tuhanmu,



Syukur dengan perbuatan Bersyukur dengan perbuatan maksudnya adalah membalas kenikmatan sesuai dengan haknya. Hal ini dapat dilakukan dengan melalui perbuatan ketaatan dan menggunakan kenikmatan tersebut untuk taat kepada Allah dan tidak memaksiati Allah. Di antara bentuknya adalah memberikan banyak kebaikan kepada orang lain. Bersyukur sangat dituntut dilakukan dalam keseharian. Perilaku yang baik, santun, jujur, ramah tamah dalam bagian bagian dari rasa syukur itu sendiri. Hal ke tiga inilah yang paling penting dalam kehidupan kita sekarang ini. Sehingga Allah memerintahkan keluarga Dāwūd untuk beramal sebagai wujud syukurnya. Bersyukur dengan perbuatan dijelaskan oleh Allah berfirman dalam QS. Saba [34] : 13



ۤ ‫وا‬Rْٓ Rُ‫ت اِ ْع َمل‬ ٍ ۗ ‫ ٰي‬R ‫ب َوقُ ُدوْ ٍر ٰ ّر ِس‬ َ ‫اري‬ ِ ‫ان َك ْال َج َوا‬ ٍ َ‫ْب َوتَ َماثِ ْي َل َو ِجف‬ ِ ‫يَ ْع َملُوْ نَ لَهٗ َما يَ َشا ُء ِم ْن َّم َح‬ ١٣ ‫ر‬Rُ ْ‫ي ال َّش ُكو‬ َ ‫ٰا َل د َٗاو َد ُش ْكرًا َۗوقَلِ ْي ٌل ِّم ْن ِعبَا ِد‬ Terjemah kemenag 2019: “Mereka (para jin) selalu bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan kehendaknya. Di antaranya (membuat) gedung-gedung tinggi, patung-patung, piring-piring (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur. Sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang banyak bersyukur”.37 Yang dimaksud dengan bekerja adalah menggunakan nikmat yang



diperoleh



itu



sesuai



dengan



tujuan



penciptaan



atau



penganugerahannya. Ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya agar mempelajari tujuan diciptakannya segala 36 37



Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0. Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.



29



sesuatu oleh Allah, karena segala yang ada di dunia tidak ada yang sia-sia. Oleh karenanya, pelajarilah mengapa lautan, angin, bumi dan ciptaan-ciptaan lainnya diadakan di muka bumi ini, tidak lain hanya untuk manusia itu sendiri. Meski demikian, kita harus berusaha menyempurnakan rasa sukur kita kepada Allah swt. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyebutkan bahwa hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah karena Dialah pemilik karunia dan pemberi sehingga hati mengakui bahwa



segala



nikmat



berasal



dari



Allah



SWT.



Kemudian



direalisasikan dengan anggota badan dengan merasa tunduk kepada pemberi nikmat itu. Yang disebut tunduk adalah tunduk dan patuh karena seseorang tidak disebut tunduk, kecuali jika dia mentaati perintah Allah dan patuh kepada syari’at-Nya. Dengan demikian syukur merupakan pekerjaan hati dan anggota badan.



F.



Manfaat Bersyukur. Dalam al-Qur’an secara eksplisit dinyatakan bahwa manfaat dari bersyukur itu kembali kepada pelakunya, sementara Allah tidak memperoleh sama sekali bahkan Dia tidak butuh sedikit pun syukurnya makhluk. Mengenai manfaat bersyukur, ketika menafsirkan QS. al-Baqarah (2): 152, Al-Sya’rawi menyatakan bahwa dengan mengingat Allah, yakni mengingat nikmat-Nya, pemberian-Nya, ampunan-Nya, rahmat-Nya dan taubah-Nya serta bersyukur kepada Allah akan menjadikan Allah



30



menambahi nikmatnya kepada manusia. Secara terperinci, ada banyak manfaat dan faidah dari bersyukur, di antaranya : 1.



Salah satu sebab untuk menjaga nikmat bahkan bisa bertambah sebagaimana dinyatakan dalam surat Ibrahim ayat 7;



2.



Memperoleh ridha dan kasih sayang Allah SWT;



3.



Sebagai salah satu tanda kemuliaan seorang hamba.38 Dalam sebuah hadis Qudsi juga disebutkan maanfaat syukur. Hadis



tersebut adalah:39



ُ ‫ص َح َّدثَنَا أَبِي َح َّدثَنَا اأْل َ ْع َمشُ َس ِمع‬ َ‫ح ع َْن أَبِي هُ َري َْرة‬ َ ‫ْت أَبَا‬ ٍ ‫َح َّدثَنَا ُع َم ُر بْنُ َح ْف‬ ٍ ِ‫صال‬ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل هَّللا ُ تَ َعالَى أَنَا ِع ْن َد‬ Rَ ‫ض‬ َ ‫ال النَّبِ ُّي‬ َ َ‫ال ق‬ َ َ‫ي هَّللا ُ َع ْنهُ ق‬ ِ ‫َر‬ ‫ظَنِّ َع ْب ِدي بِي َوأَنَا َم َعهُ إِ َذا َذ َك َرنِي فَإِ ْن َذ َك َرنِي فِي نَ ْف ِس ِه َذكَرْ تُهُ فِي نَ ْف ِسي َوإِ ْن‬ ُ ‫ْر تَقَ َّرب‬Rٍ ‫ي بِ ِشب‬ ‫ْت إِلَ ْي ِه‬ َ ‫ فِي َمإَل ٍ َذكَرْ تُهُ فِي َمإَل ٍ َخي ٍْر ِم ْنهُ ْم َوإِ ْن تَقَر‬R‫َذ َك َرنِي‬ َّ َ‫َّب إِل‬ ً‫ْت إِلَ ْي ِه بَاعًا َوإِ ْن أَتَانِي يَ ْم ِشي أَتَ ْيتُهُ هَرْ َولَة‬ ُ ‫ي ِذ َراعًا تَقَ َّرب‬ َ ‫ِذ َراعًا َوإِ ْن تَقَر‬ َّ َ‫َّب إِل‬ Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin Hafs telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A'masy aku mendengar Abu Shalih dari Abu Hurairah radliyallahu'anhu berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku berada dalam prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingatKu, jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika ia mengingat-Ku dalam perkumpulan, maka Aku mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik daripada mereka, jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekatkan diri kepadanya sehasta, dan jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta, Aku mendekatkan diri kepadanya sedepa, jika ia mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari."



Hendra Gunawan, “Karakteristik Hukum Islam” pada Jurnal AL-MAQASID: Jurnal Ilmu Kesyariahan dan Keperdataan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan, Volume 4 Nomor 2 Edisi Juli-Desember 2018, h. 105. 39 Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist, Shohih Bukhari, Kitab al-Tauhid, Bab Qaulullah Ta’ala wa yahzarukumulallah nafsahu, No. Hadist : 6856 38



31



Dengan hadis tersebut, al-Sya’rawi tampaknya ingin menyatakan bahwa Allah akan selalu membalas secara lebih kepada hambanya yang mengingat dan bersyukur kepada-Nya. Pernyataan yang seperti ini sering muncul dari penafsiran al-Sya’rawi ketika menafsirkan kata syukur, terutama pada Q.S. Ibrahim (14):7. Dalam menafsirkan ayat ini, al-Sya’rawi bertolak pada kata taazzana. Setiap kata yang terdiri dari huruf alif, zal dan nun terambil dari kata al-uzunu. Al-uzunu adalah alat pendengaran. Sedangkan al-azan itu berarti i’lam (pemberitahuan). Sedangkan kata ta’azzana berarti ‘ketahuilah’ (i’lam) dengan penekanan (taukid). Sehingga ayat tersebut, menurut al-Sya’rawi, kira-kira maknanya (taqdiruhu) seperti: Aku memberitahu kalian dengan tegas dari Tuhanmu bahwa sesungguhnya jika kalian bersyukur maka Tuhanmu niscaya akan menambahkan nikmat dan pemberiannya. Sesungguhnya syukur merupakan bukti hubungan dengan sang pemberi. Sesungguhnya kalian itu telah mempersenjatai diri kalian berupa ketahanan dengan apa yang telah diberikan kepada kalian dan ketahuilah bahwa Dia adalah satu-satunya Sang Maha Pemberi. Sehingga jikalau manusia itu berhubungan dengan Allah maka ketika Allah memberikan nikmatnya, maka manusia selalu terus menerus menyebut atau ingat kepada-Nya yang telah memberinya beberapa nikmat. Oleh karena itu al-Sya’rawi mengatakan: Takutlah kalian untuk melalaikan nikmat dari sang pemberi nikmat, karena nikmat adalah pemberian untuk kalian sedangkan dzat itu bukan milikmu.40 Hamam Faizin, KONSEP SYUKUR MENURUT AS-SYA’RAWI, dalam tulisannya pada https://www.academia.edu/30157347/Konsep_Syukur_Menurut_As_Syarawi_The_Concept_of_S 40



32



yukur_according_to_As_Syarawi_. [accessed 05 October 2021]. Hal. 7.



BAB III TINJAUAN UMUM PENDEKATAN MA’NĀ CUM MAGHZĀ SHAHIRON SYAMSUDDIN



A.



Biografi Shahiron Syamsuddin Sahiron Syamsuddin dilahirkan di kota Cirebon pada 11 Agustus 1968, saat ini beliau berstatus sebagai dosen Ushuluddin di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Selain menjadi pengajar di UIN Sunan Kalijaga beliau juga menjalankan aktivitas mengajar di beberapa tempat diantaranya pondok pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta. Latar belakang keagamaan keluarga Sahiron adalah penganut aliran sunni tradisional yang memang menjadi aliran teologi Islam yang banyak dianut oleh penduduk Indonesia. Sebelum melanjutkan studinya ke Kanada dan Jerman untuk belajar studi Islam dan hermeneutika, Sahiron memperoleh pendidikan tradisional dan modern secara formal dan informal dari bangku SD hingga SMA.41 Saat beliau menginjak masa perkuliahan, pertama kali yang harus dilakukannya ialah mengembangkan intelektualnya, sehingga ia ingin mengkombinasikan ilmu tradisional yang ia peroleh dengan ilmu modern. Sehingga menjadi keinginannya untuk mempelajari keilmuan Islam dan keilmuan Barat yang lebih mendalam dengan meneruskan studinya ke Negara Kanada dan Jerman pada Universitas McGill Kanada dan Universitas Bamberg Jerman. Di universitas pertama, ia memperoleh



Abdullah, Metodologi Penafsiran Kontemporer (Telaah Pemikiran Sahiron Syamsuddin Tahun 1990-2013), (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN SUKA, 2013), hal. 12. 41



33



34



pendidikan tentang kajian Islam dan berhasi meriah gelar Master dalam bidang interpretasi sedangkan untuk universitas kedua ia memperoleh pendidikan tentang kajian Islam, Orientalisme, Filsafat Barat, dan Sastra Arab. 42 Semasa belajar di Barat, Sahiron banyak bertemu dengan pemikir Barat yang mengkaji Islam dari berbagai perpektif. Selain belajar studi keIslaman di Barat, ia juga tertarik untuk mempelajari hermeneutika. Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan ini tidak lepas dari latar belakang kehidupannya sebagai seorang penafsir yang kental dengan metodologi penafsiran teks. Dari sikap komitmen dan konsistennya tersebut, Sahiron Syamsuddin mencoba mengangkat topik besar yang menjadi obsesinya yaitu Islam dengan visi al-Quran; suatu gagasan untuk mewujudkan cita-cita Alquran yang senantiasa ditafsirkan dan ditafsirkan ulang oleh setiap generasi guna menemukan makna ideal dalam setiap teks al-Qur’an, karena kemahiran dan sepak terjang dan keseriusannya di dunia keilmuan sehingga namnya menjadi mashur dan diperhitungkan di dunia internasional.43



B.



Pendekatan Ma’nā Cum Maghzā Sahiron Syamsudin membagi aliran hermenetika dari segi pemaknaan terhadap obyek penafsiran menjadi tiga aliran, yaitu aliran obyektivis,44



Abdullah, Metodologi Penafsiran Kontemporer, ...... hal. 14. Abdullah, Metodologi Penafsiran Kontemporer, ...... hal. 17. 44 Aliran Obyektivis, yaitu aliran hermeneutika yang lebih menekankan pada pencarian makna asal dari obyek penafsiran (teks tertulis, teks diucapkan, prilaku, simbol-simbol kehidupan dll). Jadi, penafsiran disini adalah upaya merekonstruksi apa yang dimaksud oleh pencipta teks. Di antara yang bisa digolongkan dalam aliran ini adalah Friedrich D. E. Schleirmacher dan Wiliam 42 43



35



aliran obyektivis45 cum subyektivis.46 Menurutnya dengan melihat kecenderungan dari aliran-aliran umum tersebut, bahwa di sana terdapat kemiripan dengan aliran dalam penafsiran al-Quran saat ini. Sehingga ia pun membagi tipologi penafsiran konteporer menjadi tiga yaitu quasi obyektivis tradisionalis,47 pandangan quasi obyektivis modernis48 dan pandangan subyetivis. 49 Dari ketiga pandangan di atas, menurut Sahiron yang paling dapat diterima adalah pandangan quasi obyektivis modernis, sebab di sana terdapat keseimbangan hermenutika, dalam artian memberi perhatian yang Dilthey. Lihat, Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 26. 45 Aliran Subyektivis, yakni aliran yang lebih menekankan pada peran para pembaca/ penafsir dalam pemaknaan terhadap teks. Menurutnya, pemikiran-pemikiran dalam aliran ini terbagi menjadi tiga. Ada yang sangat subjektivis, yaitu ‘dekonstruksi’ dan readerresponse critism. Ada yang agak subjektivis seperti post-strukturalisme dan ada yang kurang subjektivis, yakni strukturalisme. Lihat, Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 26. 46 Aliran objektivis-cum-subjektivis, yakni aliran yang memberikan keseimbangan antara pencarian makna asal teks dan peran pembaca dalam penafsiran. Yang termasuk dalam aliran ini adalah Hans Georg Gadamer dan Jorge J.E. Gracia. Lihat, Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 27. 47 Pandangan quasi objektivis tradisionalis, yaitu suatu pandangan bahwa ajaran-ajaran alQur’an harus dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa sekarang, sebagaimana ia dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan disampaikan kepada generasi Muslim awal. Menurut Sahiron, bagi kelompok ini, esensi pesan Tuhan adalah yang tertera secara tersurat dan pesan itulah yang harus diaplikasikan di manapun dan kapanpun. Di antara yang tergolong kelompok ini, menurutnya, seperti Ikhwanul Muslimin dan kaum salafi. Lihat Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 73. 48 Pandangan quasi-objektivis modernis, yang memandang makna asal literal sebagai pijakan awal untuk memahami makna dibalik pesan literal yang merupakan pesan utama AlQur’an. Makna di balik pesan literal inilah yang menurut mereka harus diimplementasikan pada masa kini dan akan datang. Menurut Sahiron, contoh dari kelompok ini antara lain; Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd dan Muhammad al-Thalibi. Lihat Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 73. 49 Pandangan subjektivis adalah pandangan yang menegaskan bahwa setiap penafsiran sepenuhnya merupakan subjektivitas penafsir, sehingga kebenaran interpretatif itu bersifat relatif. Atas dasar ini, maka menurut kelompok ini, setiap generasi mempunyai hak untuk menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengalaman pada saat Al-Qur’an ditafsirkan. Yang termasuk kelompok ini menurut Sahiron adalah Muhammad Syahrur. Lihat Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 73.



36



sama terhadap makna asal literal dan pesan utama di balik makna literal. Dengan memberikan penjelasan tambahan tentang signifikansi, kemudian ia mengistilahkan teori pembacaannya tersebut dengan pembacaan Ma’na Cum Maghza. Jadi teori penafsiran hermeneutika yang paling sesuai adalah pembacaan Ma’na Cum Maghza yaitu, penafsiran yang menjadikan makna asal literal (makna historis, tersurat) sebagai pijakan awal untuk memahami pesan utama teks (signifikansi, makna terdalam, tersirat). Menurutnya sesuatu yang dinamis dari penafsiran bukan makna literal teks, karena ia monositik, objektiv, dan historis-statis. Sementara pemaknaan terhadap signifikansi teks bersifat pluralis, subjektiv (juga intersubjektiv) dan historis-dinamis sepanjang peradaban manusia. Pendekatan seperti ini, menurut mereka merupakan gabungan antara wawasan teks dan wawasan penafsir antar masa lalu dengan masa kini, antara aspek ilahi dengan aspek manusiawi. Maka, menurut mereka teori penafsiran yang didasarkan pada perhatian yang sama terhadap makna dan signifikansi terdapat balanced hermeneutics.50 Sahiron menegaskan bahwa teori penafsiran Ma’nā Cum Maghzā ini sejatinya merupakan elaborasi teori aplikasi Gadamer.51 Menurutnya teori ini persis sebagaimana konsep al-Ghazali yang membedakan antara alAsep Setiawan, “Hermeneutika al-Quran “Mazhab Yogya”; Telaah atas Teori Ma’na Cum Maghza dalam Penafsiran al-Quran”, Jurnal Studi Ilmu al-Quran dan Hadis, Vol. XVII, No. 1, Januari 2016, hal. 84. 51 Teori aplikasi (Anwendung) yang digagas oleh Gadamer adalah teori yang menegaskan bahwa setelah seorang penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah teks pada saat teks itu muncul, dia lalu melakukan pengembangan penafsiran atau reaktualisasi/ reinterpretasi dengan tetap memperhatikan kesinambungan ‘makna baru’ dengan makna asal sebuah teks. Lihat, Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 85. 50



37



ma’na



al-zahir



dan



al-ma’na



al-batin.



Nasr



Hamid



Abu



Zayd



menamakannya dengan ma’na dan maghza,52 Hirch menyebutnya meaning dan significance, dan Gadamer53 yang mengistilahkannya dengan sinn dan sinnesgenaph. Gadamer menyatakan bahwa sejarahlah yang membentuk kesadaran. Pengetahuan pun terbentuk oleh sejarah. Ia mengistilahkan teorinya tersebut dengan teori kesadaran sejarah (effective-historical conciousness). Secara umum dapat dijelaskan bahwa inti dari teori kesadaran sejarah tersebut dan teori pra pemahaman adalah bahwa seorang penafsir harus hati-hati dalam menafsirkan teks dan tidak menfasirkannya sesuai dengan kehendaknya yang semata-mata berasal dari pra pemahaman yang telah terpengaruh oleh sejarah (pengetahuan awal, pengalaman dll.) Adapun dengan teori the fusion of horizons, ia menyatakan bahwa dalam proses penafsiran, terdapat dua horison utama yang harus diperhatikan dan diasimilisasi, yaitu horison teks dan horison penafsir. Sedangkan teori aplikasi (Anwendung) adalah teori yang menegaskan bahwa setelah seorang penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah teks pada saat teks itu muncul, ia lalu melakukan pengembangan penafsiran atau reaktualisasi / reinterpretasi dengan tetap memperhatikan kesinambungan ‘makna baru’ dengan makna asal sebuah teks. Penafsiran ini menurut mereka dilakukan dengan memperhatikan konteks tekstual dengan analisis bahasa sebagai



Ahmad Rasyuni, Nazariyah al-Maqasid ‘ind al-Imam al-Syatibi, (Virginia: The Internasional of Islamic Thought and Civilization, 1997), hal. 57. 53 E. Richard Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, (Evanston: Nortwestern University Press, 1967), hal. 12. 52



38



basis dan konteks sejarah di mana teks itu muncul dengan analisis historis sebagai instrumentnya. Sahiron Samsuddin menyatakan bahwa teori Ma’nā Cum Maghzā sejalan dengan dengan teori takwil Nasr Hamid Abu Zayd yang membedakan antara keterkaitan makna asli (ma’na) dan makna baru (maghza).54 Nasr Hamid sendiri, mengikuti gagasan hermeneutika E. D. Hirsch.55 Menurut Nasr Hamid, makna dari sebuah teks tidak berubah, yang berubah adalah signifikansinya. Makna adalah apa yang direpresentasikan oleh teks dan tanda-tanda. Sedangkan signifikansi adalah apa yang menamai sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang atau persepsi, situasi, atau sesuatu yang bisa dibayangkan. Jika diperhatikan, teori penafsiran Ma’nā Cum Maghzā tersebut juga, terpengaruh oleh teori double movement dan konsep ideal morallegal formal Fazlur Rahman. Dalam teori gerak gandanya, Rahman menerangkan bahwa, gerakan pertama diawali dari pemahaman situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-Qur’an, yakni memahami konteks mikro dan makro pada saat itu. Pemahaman tersebut akan dapat melahirkan makna original yang dikandung oleh wahyu di tengah-tengah konteks sosial-moral era kenabian, sekaligus dapat menghasilkan gambaran situasi dunia yang lebih luas. Selanjutnya, pemahaman tersebut akan menghasilkan rumusan narasi Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 86. 55 Sunarwoto, “Nasr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi Studi-Studi Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, (Yoyakarta: Islamika, 2003), hal. 105. Lihat juga Lailatu Rohmah, “Hermeneutika al-Qur’an: Studi atas Metode Penafsiran Nasr Hamid Abu Zaid”, Hikmah: Jurnal Hermeneutika al-Qur’an, Vol. XII, No. 2, 2016, hal. 229. 54



39



atau ajaran Alquranyang koheren tentang prinsip-prinsip umum dan sistematik serta nilai-nilai yang melandasi berbagai perintah-perintah yang bersifat normatif. Berkaitan dengan teori Ma’nā Cum Maghzā seperti yang telah disebutkan di atas, dimana merupakan elaborasi dari berbagai konsep fan teori hermenutika Gadamer, Nasr Hamid Abu Zayd, Hirch termasuk juga Fazlur Rahman yang kesemuanya berpedoman bahwa makna literal merupakan pijakan awal untuk memahami pesan utama teks (signifikansi). Oleh karena itu, di sini akan diketengahkan kritik atas teori hermenutika para tokoh yang dijadikan sebagai sumber teori Ma’nā Cum Maghzā tersebut. Menurut Sahiron, signifikansi terbagi menjadi dua yaitu; signifikansi fenomenal dan signifikansi ideal. Pertama, yang dimaksud dengan signifikansi fenomenal adalah pesan utama yang dipahami dan diaplikasikan secara kontekstual dan dinamis mulai pada masa Nabi hingga saat ia ditafsirkan pada periode tertentu. Ia terbagi menjadi dua yaitu signifikansi fenomenal historis dan signifikansi fenomenal dinamis, dimana signifikansi fenomenal historis adalah pesan utama sebuah ayat yang dipahami dan didefinisikan pada masa pewahyuan. Sementara signifikansi fenomenal dinamis adalah pesan al-Qur’an yang dipahami dan didefinisikan pada saat ayat tersebut ditafsirkan dan setelah itu diaplikasikan dalam kehidupan. Untuk memahami signifikansi fenomenal histori maka yang diperlukan



40



pemahaman terhadap konteks makro dan mikro56 sosial keagaman masyarakat yang hidup pada masa pewahyuan. Informasi-informasi historis terkandung dalam asbab al-nuzul menjadi sangat penting. Sementara itu, untuk memahami signifikansi fenomenal dinamis diperlukan pemahaman terhadap perkembangan pemikiran dan logika zaman pada saat penafsiran teks. Kedua, adapun yang dimaksud dengan signifikansi ideal adalah akumulasi ideal dari pemahaman-pemahaman signifikansi ayat. Akumulasi ini akan diketahui pada akhir tujuan atau setelah diketahui maksud dari kehendak Allah yang tertuang pada sebuah makna teks. Sehingga dari hal ini dapat diketahui bahwa sesuatu yang dinamis dari penafsiran bukan terletak pada pemaknaan teks meliankan pada pemaknaan terhadap signifikan (pesan utama) teks.57



C.



Langkah-langkah Metodis Penafsiran Berbasis Ma‘nā cum Maghzā Sebelum langkah-langkah metodis diuraikan, penulis terlebih dahulu menegaskan kembali bahwa pendekatan ma‘nā cum maghzā adalah pendekatan di mana seseorang menggali atau merekonstruksi makna dan pesan utama historis, yakni makna (ma‘nā) dan pesan utama/signifikansi (maghzā) yang mungkin dimaksud oleh pengarang teks atau dipahami oleh audiens historis, dan kemudian mengembangkan signifikansi teks tersebut



Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 87. 57 Asep Setiawan, “Hermeneutika al-Quran “Mazhab Yogya” (Telaah atas Teori Ma’na Cum Maghza dalam Penafsiran al-Quran)”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 17. No. 1, Januari 2016, hal. 85. 56



41



untuk konteks kekinian dan kedisinian. Dengan demikian, ada tiga hal penting yang seyogyanya dicari oleh seorang penafsir, yakni (1) makna historis (al-ma‘nā al-tārīkhī), (2) signifikansi fenomenal historis (al-maghzā al-tārikhī), dan (3) signifikansi fenomenal dinamis (al-maghzā almutaḥarrik) untuk konteks ketika teks Al-Qur’an ditafsirkan.58 Adapun langkah metodis dalam penafsiran berbasis Ma’na Cum Magha terbagi menjadi dua, yaitu: 1.



Untuk mendapatkan makna dan signifikansi historis seserang harus melakukan analisis bahasa teks, intratektual analisa konteks historis turunnya ayat, dan tekonstruksi siginifikansi/pesan utama historis ayat.



2.



Untuk membentuk siginifikansi dinamis dari ayat, seseorang harus menempuh langkah menentukan kategori ayat, reaktualisasi dan kontekstualisasi, menangkap makna hisitoris ayat dan memperkuat konstruksi signifikansi dinamis ayat.59 Lebih jelasnya, untuk menggali makna historis (al-ma‘nā al-tārikhī)



dan signifikansi fenomenal historis (al-maghzā al-tārikhī), seorang penafsir melakukan langkah-langkah berikut ini : 1.



Penafsir menganalisa bahasa teks al-Qur’an, baik kosakata maupun strukturnya. Dalam hal ini, dia harus memperhatikan bahwa bahasa



Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu alQur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 9 59 Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu alQur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 17. 58



42



yang digunakan dalam teks al-Qur’an adalah bahasa Arab abad ke-7 M. yang mempunyai karakteristiknya sendiri, baik dari segi kosa kata maupun struktur tata bahasanya. Al-Syāṭibī, misalnya, menegaskan bahwa untuk memahami Al-Qur’an seseorang harus mencermati bagaimana bahasa Arab saat itu digunakan oleh bangsa Arab.60 Pernyataan senada dikemukakan juga oleh Friedrich Schleiermacher, salah seorang ahli hermeneutika umum: “Everything in a given utterance which requires a more precise determination may only be determined from the language area which is common to the author and his original audiences”61 (Segala hal yang ada dalam ungkapan tertentu yang menuntut penentuan (makna) yang lebih tepat hanya dapat ditetapkan melalui bidang bahasa yang telah diketahui oleh pengarang dan audiens orisinal/aslinya). Hal ini sangat ditekankan karena, menurut para ahli bahasa, bahasa apapun, termasuk Bahasa Arab itu mengalami diakroni (perkembangan dari masa ke masa), baik dalam hal struktur maupun makna lafal. Karena itu, ketika menerjemahkan atau menafsirkan kosakata dari al-Qur’an, seseorang harus memperhatikan penggunaan dan makna kosakata tersebut saat diturunkannya.



60



Abu Ishaq Al-Syāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyah),



hal. 255. Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism, and Other Writings, terj. Andrew Bowie (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hal. 30. Lihat juga Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Cet. 2, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017), hal. 66. 61



43



2.



Untuk mempertajam analisa ini penafsir melalukan intratektualitas, dalam arti membandingkan dan menganalisa penggunaan kata yang sedang ditafsirkan itu dengan penggunaannya di ayat-ayat lain.



3.



Apabila dibutuhkan dan memungkinkan, penafsir juga melakukan analisa intertekstualitas, yakni analisa dengan cara menghubungkan dan membandingkan antara ayat al-Qur’an dengan teks-teks lain yang ada di sekitar al-Qur’an. Analisa intertekstualitas ini biasa dilakukan dengan cara membandingkannya dengan hadis Nabi, puisi Arab, dan teks-teks dari Yahudi dan Nasrani atau komunitas lain yang hidup pada masa pewahyuan al-Qur’an. Dalam hal ini, dia menganalisa sejauh mana makna sebuah kosa kata dalam al-Qur’an bisa diperkuat oleh teks di luar Al-Qur’an. Selain itu, penafsir seyogyanya menganalisa apakah ada perbedaan arti dan konsep kata/istilah yang ada dalam al-Qur’an dengan arti dan konsep kata/istilah yang digunakan di sumber-sumber lain. Hal yang penting juga, meskipun tidak harus, adalah bahwa penafsir juga memberikan keterangan apakah konsep Qur’ani itu mengalami dinamisasi atau tidak di masamasa



setelah



diturunkannya



Al-Qur’an



(pasca-Qur’ani/post-



Qur’anic). 4.



Penafsir memperhatikan konteks historis pewahyuan ayat-ayat AlQur’an, baik itu yang bersifat mikro ataupun bersifat makro. Konteks historis makro adalah konteks yang mencakup situasi dan kondisi di Arab pada masa pewahyuan Al-Qur’an, sedang konteks historis mikro



44



adalah kejadian-kejadian kecil yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat, yang biasa disebut dengan sabab al-nuzūl.62 Tujuan utama memperhatikan konteks historis penurunan ayat tertentu adalah, selain memahami makna historis dari kosa kata dalam ayat tertentu, juga menangkap apa yang disebut dengan “signifikansi fenomena historis”, atau maksud utama ayat (maqṣad al-āyah) itu ketika diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. 5.



Penafsir



mencoba



(tujuan/pesan



utama



menggali ayat



maqṣad



yang



atau



sedang



maghzā



al-āyah



ditafsirkan)



setelah



memperhatikan secara cermat ekspresi kebahasaan dan atau konteks historis ayat al-Qur’an. Maqṣad atau maghzā al-āyah ini terkadang disebutkan secara eksplisit di dalam ayat dan sering sekali tidak disebutkan. Apabila ia disebutkan secara eksplisit, maka penafsir melakukan analisa terhadapnya. Adapun apabila ia tidak disebutkan dalam ayat, maka konteks historis, baik mikro maupun makro, kiranya dapat membantu penafsir untuk menemukan maqṣad atau maghzā alāyah. Sekali lagi, pada tahapan metodis ini, yang dicari adalah maqṣad atau maghzā al-āyah yang ada pada masa Nabi Saw. Terkait dengan ayat hukum, maksud utama ayat disebut oleh al-Syāṭibī dengan maqāṣid al-syarī‘ah dan oleh Fazlur Rahman dengan ratio



62



31.



Waliallah al-Dihlawi, al-Fawz al-Kabīr fi Uṣūl al-Tafsīr, (Daru al-Shohwah, 1984), hal.



45



legis (alasan penetapan hukum). Adapun selain ayat hukum, kita bisanya menyebutnya dengan al-maghzā.63 Selanjutnya, untuk Kontruksi Signifikansi Fenomenal Dinamis penafsir mencoba mengkontekstualisasikan maqṣad atau maghzā al-āyah untuk konteks kekinian, dengan kata lain seorang penafsir berusaha mengembangkan definisi dan kemudian mengimplementasi signikansi ayat untuk konteks ketika teks Al-Qur’an itu ditafsirkan. Adapun langkahlangkah metodisnya adalah sebagai berikut: 1.



Penafsir menentukan kategori ayat. Sebagian ulama membagi kategori ayat menjadi tiga bagian besar, yakni: (1) ayat-ayat tentang ketauhidan, (2) ayat-ayat hukum, dan (3) ayat-ayat tentang kisah-kisah nabi dan umat terdahulu.64 Terkait dengan ayat-ayat hukum, Abdullah Saeed membaginya ke dalam lima hirarki nilai: (1) obligatory values (nilai-nilai kewajiban), seperti ayat-ayat tentang shalat, puasa, zakat dan haji, (2) fundamental vealues (nilai-nilai dasar kemanusiaan), seperti ayat-ayat tentang perintah menjaga kehormatan manusia, menjaga jiwa dan harta, menunaikan keadilan dan berbuat baik kepada sesama, (3) protectional values (nilai-nilai proteksi), yakni ayat-ayat yang berisi proteksi atas nilai-nilai fundamental, seperti ayat-ayat tentang larangan membunuh orang, larangan mengurangi timbangan ketika berjualan, larangan mengkonsumsi makanan dan minuman



Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu alQur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 12. 64 Badr al-Dīn Muḥammd ibn ‘Abd Allāh al-Zarkasyī, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1972), hal. 18. 63



46



yang merusak akal pikiran dan lain-lain, (4) implementational values (nilai-nilai yang implementasikan), yakni ayat-ayat yang berisi tentang pelaksanaan hukuman tertentu ketika seseorang itu merusak atau melanggar nilai-nilai dasar kemanusiaan, seperti ayat-ayat tentang hukuman qisas bagi pembunuh, hukuman potong tangan bagi pencuri, hukuman rajam bagi orang yang melakukan perzinaan, dan (5) instructional values (nilai-nilai instruksi), yakni ayat-ayat yang berisi instruksi Allah kepada Nabi Muhammad Saw dan Sahabatnya dalam rangka menyelesaikan problem tertentu, seperti ayat poligami diturunkan untuk mengatasi problem anak yatim dan problem ketidakadilan dalam keluarga.65 Tiga hirarki yang pertama (yakni obligatory values, fundamental values dan protectional values) bersifat universal dan tidak memerlukan kontekstualisasi, sedangkan dua nilai terkahir (yakni implementational values dan instructional values) membutuhkan reaktualisasi dan kontekstualisasi dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut, karena kedua macam nilai ini terkait erat dengan aspek budaya Arab dan situsi serta kondisi yang ada saat itu. Kategorisasi ini sangat penting dalam rangka menentukan sejauh mana seseorang bisa melakukan kontekstualisasi dan merekonstruksi ‘signifikansi fenomenal dinamis’.



Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London and New York: Routledge, 2006), hal. 126. Lihat juga Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu al-Qur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 14. 65



47



2.



Penafsir mengembangkan hakekat/definisi dan cakupan “signifikansi fenomenal historis” atau al-maghzā al-tārikhī untuk kepentingan dan kebutuhan pada konteks kekinian (waktu) dan kedisinian (tempat), di mana/ketika teks Al-Qur’an itu ditafsirkan. Sebagai contoh, seorang menafsirkan Q.S. al-Mā’idah: 51 yang berisi larangan mengangkat kaum Yahudi dan Kristiani sebagai awliyā’ (teman setia) untuk membela dan mempertahankan Madinah pada masa Nabi Muhammad Saw. Dia menganalisa aspek-aspek bahasa pada ayat tersebut dan memperhatikan konteks sejarah diturunkannya. Singkat kata, ia menemukan bahwa alasan larangan tersebut adalah bahwa karena sekelompok Yahudi mengkhiyanati kesepakatan bersama penduduk Madinah saat itu, yakni “Piagam Madinah”.66 Peristiwa pengkhiyanan Yahudi yang menjadi dasar pelarangan menjadikan mereka sebagai “teman setia” atau “pembela Madinah” adalah “signifikasi fenomenal historis”. Hal ini lalu dikonstruksi secara lebih luas untuk konteks kekinian dan kedisinian, sebagai berikut: (1) semua orang tidak boleh mengkhiyanati kesepakan bersama, baik dalam bidang politik, kemasyarakatan maupun bisnis, dan (2) siapapun yang melakukan pengkhiyatan harus siap untuk tidak dipercaya lagi oleh orang yang dikhiyanati. Kedua poin inilah kita sebut dengan “signifikansi fenomenal dinamis.” Dalam mengembangkan “signifikansi fenomenal dinamis”, seseorang memperhatikan perkembangan nilai sosial (yang



Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu alQur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 131. 66



48



sudah menjadi kesepatakan bersama dalam komunitas tertentu atau bahkan masyarakat dunia) pada saat teks Al-Qur’an itu ditafsirkan. Dengan demikian, signifikansi fenomenal dinamis ini akan terus berkembang



pada



setiap



masa



dan



bisa



saja



bervariasi



implementasinya. Di sinilah terdapat sisi subyektivitas penafsir dalam mengkomunikasikan apa yang terdapat di dalam teks al-Qur’an dengan realita kehidupan dan nilai sosial yang ada. Yang pasti adalah bahwa hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa teks al-Qur’an itu ṣāliḥ li kulli zamān wa makān (sesuai untuk segala zaman dan tempat) dan kitab suci ini diturunkan untuk kemaslahatan manusia dan alam semesta. 3.



Penafsir menangkap makna-makna simbolik ayat Al-Qur’an. Sebagian ulama berpandangan bahwa makna lafal dalam Al-Qur’an itu memiliki empat level makna: (1) ẓāhir (makna lahiriah/literal), (2) bāṭin (makna batin/simbolik), (3) ḥadd (makna hukum), dan (4) maṭla‘ (makna puncak/spiritual).21 Ketiga level makna yang disebutkan terakhir (yakni: bāṭin, ḥadd dan maṭla‘) merupakan makna-makna simbolik yang di maksud di sini.



4.



Penafsir mengembangkan penafsiran dengan mengunakan perspektif yang lebih luas. Agar bangunan “siginifikansi fenomenal dinamis” yang merupakan pengembangan dari maghzā (signifikansi) atau maksud utama ayat untuk konteks kekinian (waktu) dan kedisinian (tempat) lebih kuat dan meyakinkan, maka seorang penafsir



49



selanjutnya memperkuat argumentasinya dengan menggunakan ilmuilmu bantu lain, seperti Psikologi, Sosiologi, Antroplogi dan lain sebagainya dalam batas yang cukup dan tidak terlalu berpanjang lebar.67



Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu alQur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 16. 67



BAB IV ANALISIS SYUKUR PADA Q.S. IBRAHIM [14] : 7 DENGAN PENDEKATAN MA’NĀ CUM MAGHZA



A.



Penggalian Makna Historis (Al-Ma‘nā Al-Tārikhī) Dan Signifikansi Fenomenal Historis (Al-Maghzā Al-Tārikhī) 1.



Analisis Bahasa



٧ ‫ ْن َكفَرْ تُ ْم اِ َّن َع َذابِ ْي لَ َش ِد ْي ٌد‬Rِ‫ ْن َشكَرْ تُ ْم اَل َ ِز ْي َدنَّ ُك ْم َولَ ِٕٕى‬Rِ‫َواِ ْذ تَا َ َّذنَ َربُّ ُك ْم لَ ِٕٕى‬ Terjemah kemenag 2019: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”.68 (Q.S. Ibrahim [14] : 7). a.



‫َواِ ْذ تَا َ َّذنَ َربُّ ُك ْم‬ Al-Mawardi menyebukan bahwa makna kata tersebut ada tiga takwil, yaitu 1)



‫ وإذ مسع ربكم‬bermakna dan ketika \tuhan kalian



mendengar 2)



‫ وإذق ال ربكم‬artinya



berkata/berfirman 3)



dan ketika Tuhan kalian



‫ و إذ أعلمكم ربكم‬yang



Tuhan kalian memberitahukan kalian. Mas’ud menggunakan



‫"وإذق ال ربكم‬



artinya dan ketika



Dalam Qira’ah Ibnu



“. Maka maknanya adalah



“berkata/berfirman”69



Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0. Lihat Aplikasi Maktabah Syamilah, Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, (Beirut: dar al-kutub al-‘araby, 1407), hal. 541 68 69



50



51



b.



‫م‬Rْ ‫ ْن َشكَرْ تُ ْم اَل َ ِز ْي َدنَّ ُك‬Rِ‫لَ ِٕٕى‬ (la’in shakartum la’azidannakum) Ahmad Musthafa al-Maraghi menafsirkan : “Jika kalian mensyukuri nikmat penyelamatan dan lain-lain yang Aku berikan kepada kalian, dengan mentaatiKu dalam segala perintah dan larangan-Ku, niscaya Aku menambah nikmat yang telah Ku-berikan kepada kalian”.70



c.



‫ ْن َكفَرْ تُ ْم‬Rِ‫َولَ ِٕٕى‬ Dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku). (Ibrahim: 7) Maksudnya, jika kalian mengingkari nikmat-nikmat itu dan kalian menyembunyikan serta tidak mensyukurinya.71



d.



‫اِ َّن َع َذابِ ْي لَ َش ِد ْي ٌد‬ Maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Ibrahim [14]: 7) Yaitu dengan mencabut nikmat-nikmat itu dari mereka, dan Allah menyiksa mereka karena mengingkarinya. Didalam sebuah hadis disebutkan: “Sesungguhnya seorang hamba benarbenar terhalang dari rizki (nya) disebabkan dosa yang dikerjakannya”.72 Secara etimologi kata syukur terambil dari kosa kata bahasa



Arab, yaitu al-syukur (‫ ) الشكور‬atau al-syukru (‫) الشكر‬. Kata al-syukur merupakan isim mashdar (kata benda) yang berasal dari kata ‫شكر يشكر‬



Ahmad Mustafa Al-Maragi,. Tafsir Al-Maragi, Juz VII, ter. Anshori Umar Sitanggal dkk, (Semarang: Karya Toha Putra Semarang, 1987), hal. 242. 71 Al-Imam Abul Fida’ Isma’il Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir, Juz 13, ter. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), hal. 263. 72 Al-Imam Abul Fida’ Isma’il Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir, Juz 13, ter. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), hal. 263. 70



52



‫ شكرا و شكورا‬, kata ini terambil dari madah ( ‫) ش ك ر‬73 artinya berterima kasih atau ucapan/pernyataan terima kasih.74 Pada dasarnya, sebuah kata yang tersusunan dari ketiga huruf tersebut memiliki empat kandungan makna. Aḥmad Ibn Faris alQazwini dalam karyanya Mu’jam Maqaayis al-Lughah mengatakan bahawa syukur memiliki empat makna dasar yang saling berkaitan, antaranya a.



Ucapan terima kasih kepada manusia dengan baik (al-sana’‘ala al-insan bi al-ma’ruf)



b.



Penuh dan berlimpahnya sesuatu (al-imtila’ wa al-guzl fi alsyai’)



c.



Tunas tumbuhan (syakir min al-nabat), yang tumbuh di batang pohon (huwa al-lazi yanbutu min saq al-syajarah)



d.



Nikah (al-nikah)75 Syukur memiliki empat makna dasar yang sangat penting dalam



memahami nilai-nilai kebaikan yang terdapat dalam setiap jiwa manusia. Pertama, syukur berarti pujian yang diucapkan karena adanya sebuah kebaikan atau tambahan nikmat yang diperoleh. Bersyukur berarti merasa cukup dan puas dengan apa yang sudah diberikan Tuhan meskipun pemberian itu sangat sedikit. Para peneliti Abu al-Husaini Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, Maqaayis al-Lughah, (Cairo : Daar alSya’b, 1969), hal. 208. 74 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyyah, 2010), hal. 201. 75 Muhammad Irham A. Muin, Syukur dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5 Nomor 1 Tahun 2017, hal. 3 73



53



bahasa seringkali menggunakan kata syukur untuk kuda yang gemuk, namun hanya membutuhkan sedikit rumput sebagai bahan makanan. Kedua, syukur berarti kepenuhan dan ketabahan, seperti sebuah pohon yang tumbuh subur dan dilukiskan dengan kalimat “syakarat asysyajarah”. Ketiga, sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon, yang berarti ada tambahan nikmat yang dilimpahkan Tuhan di alam semesta ini. Keempat, pernikahan atau alat reproduksi, diartikan bahwa terdapat kenikmatan yang diberikan Tuhan kepada manusia dengan lahirnya seorang anak yang menjadi kebanggaan keluarga.76 Implikasinya



adalah



dengan



bersyukur



seseorang



melakukan



perkembangbiakan iman, aqidah, tauhid, ibadah, dan muamalah dari aspek kualiatas dan kuantitas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, syukur dan derivasinya diartikan sebagai berikut: (1) rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega, senang dan sebagainya).77 Secara sepintas, syukur dalam pembendaharaan kata bahasa Arab dan Indonesia sama dari aspek berterima kasih akan tetapi dalam pembendaharaan kata bahasa Arab lebih dalam yaitu makna kedua, ketiga, dan keempat (sebagaimana yang telah dikemukakan). Hal tersebut belum cukup karena definisi syukur semakin berbeda dan berkembang (walaupun secara substantif sama) menurut ulama dan Mohammad Takdir, Psikologi Syukur: Perspektif Psikologi Qurani dan Psikologi Positif untuk Menggapai Kebahagiaan Sejati (Authentic Happiness), (Jakarta: PT Alex Media Kompuutindo, 2018), hal. 14. 77 Tim Redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-3, (Jakarta: Bali Pustaka, 2002), hal. 1115. 76



54



cendekiawan



muslim



tertentu.



Oleh



karena



itu,



dibutuhkan



terminologi syukur berdasarkan pandangan pelbagai cendekiawan muslim. Pemaknaan syukur dari berbagai sudut pandang memberikan pesan penting bahwa setiap orang yang merasa cukup dan puas dengan sedikit nikmat yang diberikan Tuhan, pada akhirnya akan memetik buah yang banyak, lebat, dan subur, sebagaimana digambarkan dengan bertambahnya tangkai di pohon atau pun lahirnya seorang anak akibat dari sebuah pernikahan. Pemaknaan syukur di sini sesuai dengan penegasan al-Qur’an dalam surah Ibrahim ayat 7, yang memberikan kepastian bagi seorang hamba yang pandai bersyukur, akan memperoleh tambahan nikmat yang sangat melimpah. Ibnu Manzhur dalam kitab Lisan al-‘Arab menjelaskan syukur dengan:78



‫قال‬ َ . ً ‫ وهُ َو ال ُّش ُك ُر أَيْضا‬، ُ‫ ِعرْ فانُ ا إلحْ سا ِن و نَ ْش ُره‬: ‫ ال ُش ْك ُر‬. ‫شكر‬ ‫ َو ْال َح ْم ُد يَ ُكونُ ع َْن يَ ٍد وع َْن َغي ِْر يَ ٍد‬،‫ ال ُش ْك ُر ال يَ ُكونُ إِالَّ ع َْن يَ ٍد‬: ٌ‫ ثَ ْعلَب‬، ُ ْ‫ فَهذا ْالفَر‬، ‫ ْالمجازاةُ والثنا ُء ْال َج ِمي ُل‬: ِ‫ر ِمنَ هللا‬Rُ ‫ َوال ُش ْك‬. ‫ق بِ ْينَهُما‬ “Syukur adalah mengakui adanya kebaikan dan menyebarkannya, tsa’lab berkata bahwa syukur harus dengan adanya perantara (nikmat yang diterima) sedangkan tahmid dapat diucapkan baik dengan atau tanpa adanya perantara (nikmat yang diterima), dan inilah perbedaan antara keduanya. Syukur kepada Allah merupakan bentuk pujian.”



Rَ ُ‫ َشكَرْ ت‬: َ‫قا َل أَبُو نُخَ ْيلَة‬ ُ‫ك إِ َّن ال ُّش ْك َر َح ْب ٌل ِمنَ التُّقَى وما ُكلُّ َم ْن أَوْ لَ ْيتَه‬ ‫ضى‬ ِ ‫نِ ْع َمةً يَ ْق‬ Ibnu Manzur Muhammad Ibnu Mukarram al-Anshari, Lisan al-‘Arab, (Kairo: Dar alMa’arif, 1999), hal. 2305 78



55



Abu Nukhailah berkata : “Aku berterimakasih kepada Mu karena sesungguhnya syukur adalah ikatan dari ketaqwaan, Dan tidak setiap orang yang Engkau berikan nikmat akan memenuhinya”.



‫ َو ٰهذا يَدُلُّ َعلَى أَ َّن ال ُّش ْك َر ال يَ ُكونُ إِالَّ ع َْن يَ ٍد‬: ‫ قا َل ابْنُ ِسي َد ْه‬، ُّ‫ْس ُكل‬ َ ‫ أَىْ لَي‬. ‫ضى‬ َ ُ‫أَالَ تَ َرى أَنَّه‬ ِ ‫ وما ُكلُّ َم ْن أَوْ لَ ْيتَهُ نِ ْع َمةً يَ ْق‬: ‫قال‬ ‫ك َعلَ ْيهَا‬ Rَ ‫ َم ْن أَوْ لَ ْيتَهُ نِ ْع َمةً يَ ْش َك ُر‬. Ibnu Sidah berkata : bahwa ini menunjukkan bahwa sesungguhnya syukur harus dengan adanya perantara (nikmat yang diterima), tidakkah kamu lihat perkataan Abu Nukhailah “Dan tidak setiap orang yang Engkau berikan nikmat akan memenuhinya” maksudnya “Tidak semua orang yang Engkau berikan nikmat akan bersyukur padamu atas kenikmatan tersebut”. Ar-Raqhib Al-Isfahani dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran mendefinisikan syukur dengan:79



ْ ِ‫ر النِّ ْع َم ِة وإ‬Rُ ‫ص ُّو‬ ‫ظهَارُها‬ َ َ‫ ال ُّش ْك ُر ت‬:‫شكر‬ “Gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.” Kata ini ditulis Ar-Raqhib menurut sementara ulama berasal dari kata ‘Shakara’ yang berarti “membuka” sehingga ia merupakan lawan dari kata ‘kafara’ (kufur) yang berarti menutup (salah satu artinya adalah melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.80 Adapun dalam Mu’jam al-Wasith, kata syukur diartikan dengan mengakui nikmat kemudian memperlihatkannya dengan cara memuji.81



79



Ar-Raghib, Al-Ishfahani. Al Mufradat fi Gharib al Quran. (Beirut: Dar al Ma‘rifah), hal.



265 80



Abdul Wachid, “Makna Syukur dalam Surah Ibrahim Ayat 7”, Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2006), hal. 16. 81 Majamma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasiith, (Cairo: Maktabah alSyuruuq al-Arabiyyah, 2005), hal. 490.



56



Kata syukur dalam kamus Mahmud yunus, yang artinya berterimakasih (kepadanya) mensyukuri dan memujinya.82 Hal ini menunjukkan adanya keterlibatan hati, lisan dan aksi pisik. Syukur tidak dapat terwujud kecuali ia harus dilakukan dalam bentuk aksi. Ungkapan pujian boleh disebut sebagai aksi dan boleh jadi ia bukan aksi. Perbedaan keduanya dapat dilihat dari syukur Tuhan yang berupa balasan dan pujian yang indah. Syukur juga merupakan pengikat atau tali kesalehan dan ketakwaan, dan segala apa yang dikaruniakan dari nikmatNya adalah fasilitas untuk mewujudkan rasa syukur.83 Berdasarkan hasil penelitian dari beberapa kamus, penulis menyimpulkan bahwa kata syukur yang berada di luar maupun di dalam konteks Alquran selalu diikuti dengan sesuatu yang bernilai banyak, penuh, bertambah, lebih, sangat dan berlimpah. Berdasarkan tinjauan diatas maka makna dasar kata syukūr adalah “balasan yang banyak atas kebaikan yang sedikit”. Al-Qurthubi menafsirkan, “kata syukran (untuk bersyukur) dinashab-kan (dengan bunyi fathah) layaknya maf’ul (objek).84 Artinya, laksanakanlah suatu perbuatan, yaitu syukur. Seakan-akan sholat, Mahmud Yunus, Kamus Khusus Arab-Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2009), hal. 203. 83 Ibn Mandzur al-Afriqy al-Misr, Lisanul Arab-Ibnu Mandzur, (Beirut: Dar Shadir, 1996), hal. 424. 84 kata syukran (untuk bersyukur) di-nashab-kan (dengan bunyi fathah) karena merupakan sifat dari mashdar yang dibuang, atau aslinya adalah i’malu li asy-syukr’ (berbuatlah dalam rangka bersyukur) karena ia merupakan maf’ul lahu, atau ia merupakan hal (keadaan), yaitu aslinya syakirin (sebagai orang-orang yang bersyukur), atau ia merupakan maf’ul bih (objek), atau ia dinashab-kan (dengan bunyi fathah) ala mashdariyyah dengan kata kerja yang dianggap ada dari jenisnya, yaitu usykuru syukran (bersyukurlah dengan sebenar-benarnya). 82



57



puasa, dan seluruh ibadah sejatinya adalah syukur, karena menempati posisinya.” Ia meneruskan, “Makna lahir dari al-Qur’an dan asSunnah adalah bahwa syukur dilakukan dengan perbuatan tubuh, tidak terbatas pada perbuatan lisan saja.”85 Sementara menurut Zamakhsyari dalam kitab al-Kasysyaf: Syukur menurut bahasa adalah memuji nikmat secara khusus, yaitu dengan hati, lisan dan anggota tubuh.86 Secara bahasa syukur adalah pujian kepada yang telah berbuat baik atas apa yang dilakukan kepadanya. Syukur adalah kebalikan dari kufur.87 Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat, sedangkan hakikat ke-kufur-an adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah.88 Sedangkan menurut istilah al-Syukur antara lain berarti upaya yang sungguh-sungguh dari manusia untuk melaksanakan seluruh perintah Allah dengan menghindarkan diri dari hal-hal yang dilarang, baik tersembunyi maupun terang-terangan89. Istilah syara’, syukur juga diartikan sebagai pengakuan terhadap nikmat yang diberikan oleh Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, hal. 277 Imam Al-Hafidz Abi Bakr Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin Sahl Al-Samiry, Fadlilati al-Syukri Lillahi ‘Ala ni’matihi wa ma yajibu min al-Syukri lilmun’ami ‘alaihi, (Damsyiq: Darul Fikri, 1982), hal. 6. 87 Amir An-Najar, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern, Terj. Ija Suntana, (Bandung: PT. Mizan Publika, 2004), hal. 90. 88 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 216 89 Al-Qurtubi, Al-Jami’li ahkam al-Qur’an, (Mesir: Maktabah Syamilah, 1997), hal. 397. 85 86



58



Allah



swt



dengan



disertai



ketundukan



kepada-Nya



dan



mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah swt.90 Lain halnya dengan Tantawi Jauhari, menekankan pada aspek perkataan



manusia



melalui



puji-pujian



dalam



merefleksikan



kesyukurannya terhadap karunia Allah. Di samping itu konsep syukur tidak hanya terbatas pada Allah tetapi juga terhadap siapa saja yang memberikan kebaikan.91 Pemahaman kata syukur ini cukup bervarasi dengan interpretasi dan epistemologi dalam melakukan kontruksi ilmu dalam pengkajian dalam Al-Qur’an. Sepaham dengan Jalaluddin Rahmat, yang mengatakan bahwa al-Syukur adalah kata yang digunakan untuk memuji, dan pujian itu ditunjukkan kepada siapa saja yang memberikan kebaikan kepada kita92. Dari pemahaman Jalaluddin di atas penulis memahami kata syukur sebagai bentuk pujian kepada diri kita dan orang lain yang dilakukan ikhlas untuk kemaslahan umat. Menurut Rasyid Ridha, siapa yang tidak membentengi dirinya dengan taqwa dan dia mengikuti hawa nafsunya, maka orang tersebut tidak bisa diharapkan menjadi orang yang bersyukur93. Hemat penulis orang yang mempertahankan sifat-sifat ketaqwaan dalam diri



90



Muhammad Syafi’ie el-Bantanie, Dahsyatnya Syukur, (Jakarta: Qultum Media, 2009),



hal. 2. Tantawi Jauhari, al-Jawhir Fi Tafsir al-Qur’an, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halaby wa Awladuhu, 1999), hal. 133. 92 Jalaluddin Rahmat, Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hal. 380. 93 Muhammad Rasyid Ridha, Al-Manar, (Beirut: Dar al Ma’arif, 1999), hal. 109. 91



59



seseorang dimana saja berada juga dapat digolongkan termasuk orang yang mengimplementasikan sifat syukur dalam dirinya. Kata syukur disandingkan dengan kata kufur sebagaimana firman Allah swt. di dalam Q.S. al-Naml (27): 40. Terjemah kemenag 2019: berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia". Beberapa uraian tentang pengertian syukur secara leksikal dan terminologis mengarahkan suatu prinsip pemaknaan syukur secara hakikat yaitu dengan menampakkan sesuatu berupa nikmat Allah dalam kehidupan.



2.



Analisis Intratektualitas Ayat Untuk



mempertajam



intratektualitas,



dalam



arti



analisis



ini



peneliti



membandingkan



dan



melakukan menganalisa



penggunaan kata yang sedang ditafsirkan itu dengan penggunaannya di ayat-ayat lain.



60



Penggunaan kata al-syukur (‫ ) الشكور‬atau al-syukru (‫ ) الشكر‬dalam al-Qur’an dengan berbagai derivasinya ditemukan dalam berbagai surat di dalam al-Qur’an. Secara keseluruhan kata syukur dan derivasinya digunakan sebanyak 75 kali dalam al-Qur’an.



Dari



َ َ



jumlah tersebut, digunakan sebanyak 2 kali dalam bentuk 2 ,‫ شك َر‬kali



ُ ْ َ



ُْ َ َ



dalam bentuk 3 ,‫ شك ْرتم‬kali dalam bentuk 1 ,‫ اشك َر‬kali dalam bentuk



ُ ْ َ



ُ ْ َ



َ



ُ ْ َ



19, ‫ تشك ُر ْوا‬kali dalam bentuk 3 ,‫ تشك ُر ْون‬kali dalam bentuk 9 ,‫يشك ُر‬



َ ْ ُ ْ َ



ُ ْ



kali dalam bentuk 2 ,‫ يش ك ُرون‬kali dalam bentuk 5 ,‫ اش ك ْر‬kali dalam



ْ ُ ْ



ْ ُ



bentuk 1 ,‫ اش ك ُروا‬kali dalam bentuk 2 ,‫ ش ك ًرا‬kali dalam bentuk



ُ ُ



َ



َ



1 ,‫ شك ْو ًرا‬kali dalam bentuk 3 ,‫اك ٌر‬ ِ ‫ ش‬kali dalam bentuk 1 ,‫ ش ِاك ًرا‬kali



َ ْ



َ



َ ْ



ّٰ



dalam bentuk 9 ,‫اك ُرون‬ ِ ‫ ش‬kali dalam bentuk 9 ,‫ الش ِك ِرين‬kali dalam



ْ ُ َ



bentuk 1 ,‫ شكو ٍر‬kali dalam bentuk



ُ َ ‫شك ْو ًرا‬, dan 2 kali dalam bentuk ‫َّم‬



ُ ْ ‫ شك ْو ًرا‬. Ayat-ayat tersebut membicarkan dengan memadai tentang berbagai hal yang terkait dengan syukur. Jika ditelusuri secara mendalam, maka akan ditemui bahwa pada ayat-ayat tersebut dibicarakan beberapa hal, di antaranya tentang orang (subjek) yang



61



bersyukur, objeknya, cara bersyukur, hal-hal yang patut disyukuri, dan manfaat bersyukur.94 Sebagaimana telah diuraikan diawal mengenai rasa syukur, syukur dapat diwujudkan dengan pujian, sanjungan, cinta, rasa senang dan lain sebagainya. Sanjungan itu diberikan oleh seseorang kepada yang lain untuk mengungkapkan kata syukur. Allah telah memilihkan kata syukur dengan kalimat:



٢ َ‫اَ ْل َح ْم ُد هّٰلِل ِ َربِّ ْال ٰعلَ ِم ْي ۙن‬



Terjemah kemenag 2019: “Segala puji95 bagi Allah, Tuhan seluruh alam”.96 (QS. Al-Fatihah/1 : 2).



Salah satu ekspresi syukur manusia adalah mengakui kebaikan seseorang dan membalasnya dengan kebaikan yang lebih. Balasan kebaikan digambarkan dalam QS. Al-Baqarah/2 : 261 :



ْ ‫م فِ ْي َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ َك َمثَ ِل َحبَّ ٍة اَ ۢ ْنبَت‬Rُْ‫َمثَ ُل الَّ ِذ ْينَ يُ ْنفِقُوْ نَ اَ ْم َوالَه‬ ‫ ۢ ْنبُلَ ٍة‬RR‫َت َس ْب َع َسنَابِ َل فِ ْي ُك ِّل ُس‬ ‫هّٰللا‬ ٰ ‫ِّمائَةُ َحبَّ ٍة ۗ َوهّٰللا ُ ي‬ ٢٦١ ‫اس ٌع َعلِ ْي ٌم‬ ِ ‫ُض ِعفُ لِ َم ْن يَّ َش ۤا ُء َۗو ُ َو‬ Terjemah kemenag 2019: “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui”.97



Desri Ari Enghariano, “Syukur dalam Perspektif al-Qur’an”, El-Qanuny: Jurnal Ilmu Kesyariahan dan Pranata Sosial, Vol. 5, No. 2, Edisi Juli-Desember 2019, hal. 273. 95 Alhamdu (segala puji). Memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji. Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu. 96 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0. 97 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0. 94



62



Selain pahala di akhirat, kebahagiaan di dunia juga akan diperoleh oleh orang-orang yang suka bersyukur. Khususnya apabila kesyukuran itu diekspresikan dalam bentuk memberikan harta atau bersedekah kepada yang membutuhkannya. Bahwa kesyukuran manusia bukan hanya dengan memberi balasan baik kepada orang yeng memberinya nikmat. Tetapi juga dengan melakukan perbuatan yang disukai oleh orang tersebut. Prinsip memberi sedekah juga menjadi sarana untuk menjaga keseimbangan dan menjaga manusia dari masalah. Syukur dengan menginfakkan harta adalah sama halnya dengan mengeluarkan masalah dari dirinya. Sehingga akan tercipta keteraturan dan keseimbangan hidup yang membahagiakan.98 Sementara dalam ayat yang berbeda, yakni QS. Al-Baqarah/2 :



١٥٢ ࣖ ‫ْي اَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكرُوْ ا لِ ْي َواَل تَ ْكفُرُوْ ِن‬Rٓ ِ‫فَ ْاذ ُكرُوْ ن‬ Terjemah kemenag 2019: “Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku”.99 Penjelasan ayat ini mengandung perintah untuk mengingat Tuhan tanpa melupakannya, patuh kepada-Nya tanpa menodai-Nya dengan kedurhakaan. Syukur yang demikian lahir dari keikhlasan kepada-Nya dan karena itu, ketika setan mengatakan bahwa, “Demi kemuliaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya” (QS. Shaad: 82) dilanjutkan dengan pernyataan pengecualian , yaitu “Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlash diantara mereka” (QS. Muh. Subair, “Rekonstruksi Makna Syukur dalam Al-Qur’an Berdasarkan Kitab Kuning”, PUSAKA: Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol. 8, No. 1, Mei 2020, hal. 108. 99 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0. 98



63



Shaad: 83). Dalam QS. Al-A’raf: 17 Iblis menyatakan “Dan Engkau tidak akan menemukan kebanyakan dari mereka (manusia) bersyukur”. Kalimat “tidak akan menemukan” disini serupa maknanya dengan pengecualian diatas, sehingga itu berarti bahwa orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang mukhlish (tulus hatinya).100 Selain itu orang yang tidak mau bersyukur (kufr) sesungguhnya ia berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri, seperti firman Allah :



‫َولَقَ ْد ٰاتَ ْينَا لُ ْقمٰ نَ ْال ِح ْك َمةَ اَ ِن ا ْش ُكرْ هّٰلِل ِ ۗ َو َم ْن يَّ ْش ُكرْ فَاِنَّ َما يَ ْش ُك ُر لِنَ ْف ِس ٖ ۚه‬ ١٢ ‫َو َم ْن َكفَ َر فَاِ َّن هّٰللا َ َغنِ ٌّي َح ِم ْي ٌد‬ Terjemah kemenag 2019: “Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu,”Bersyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji”.101 (QS. Luqman/31 : 12). Pada ayat di atas, orang-orang yang mengingkari nikmat Allah dan tidak bersyukur (kufr) kepada-Nya berarti ia telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri, karena Allah tidak akan memberinya pahala bahkan menyiksanya dengan siksaan yang pedih. Allah sendiri tidak memerlukan syukur hamba-Nya karena syukur hamba-Nya itu tidak memberikan keuntungan kepada-Nya



sedkit pun, dan tidak pula



menambah akan kemuliaan-Nya. Dia Maha Kuasa lagi Maha Terpuji.102



M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran: Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 217. 101 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0. 102 Tim Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an, al-Qur’an In MS. Word 2019, Tafsir Lengkap Kemenag QS. Luqman/31 : 12. 100



64



Kata syukur pada QS. Ibrahim [14] : 7 yang disandingkan dengan kata kufr merupakan suatu penekanan bahwa setiap perbuatan ada sebab-akibatnya. Apabila manusia senantiasa bersyukur maka nikmat, rezeki, serta pahala akan ditambah oleh Allah. Sedangkan bagi yang tidak bersyukur atau kufr maka akan mendapatkan siksaan yang pedih dari Allah. Semua itu sebagai balasan dari apa yang dilakukan. Dari penjelasan mengenai syukur diatas, dapat disimpulkan syukur adalah rasa terimakasih kepada Allah dengan menggambarkan dalam benak tentang nikmat serta memanjatkan pujian kepada sang pemberi nikmat atas keutamaan dan kebaikan yang dikaruniakan kepada kita dan menampakkan kepermukaan disertai pengendalian diri menerima dengan rela dan sabar atas apa yang digariskan Allah kepada kita, walaupun itu bukan sesuatu yang menyenangkan karena hal itu suatu ujian untuk mengetahui keimanan kita. Hubungan syukur dengan bata yang bergandengan dengannya a.



Ibadah dan Syukur sebagaimana firman Allah Swt. di dalam Q.S. al-Anbakut (29): 17.



ِ



‫انَّما تَ ْعبُ ُدوْ نَ م ْن ُدوْ ن هّٰللا اَوْ ثَانًا َّوت َْخلُقُوْ نَ ا ْف ًكا ۗا َّن الَّذ ْينَ تَ ْعبُ ُدوْ نَ م ْن ُدوْ ن هّٰللا‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ ِ ِ ‫هّٰللا‬ ‫ق َوا ْعبُ ُدوْ هُ َوا ْش ُكرُوْ ا لَهٗ ۗاِلَ ْي ِه‬ َ ‫ ِع ْن َد ِ الر ِّْز‬R‫اَل يَ ْملِ ُكوْ نَ لَ ُك ْم ِر ْزقًا فَا ْبتَ ُغوْ ا‬ َ‫تُرْ َجعُوْ ن‬ Terjemah Kemenag 2019: Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala dan kamu membuat kebohongan. Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah tidak mampu memberikan rezeki kepadamu. Maka, mintalah rezeki dari sisi Allah, sembahlah Dia, dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan.103



103



Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0



65



Ibadah terdiri dari tiga huruf dasar, yaitu al-‘ain, al-ba’, dan aldal, mengandung dua makna yang saling bertentangan, lemah lembut (layyin-zill) dan kasar (syiddah-galiz). Ibadah merupakan sesuatu yang bersifat umum dan syukur bersifat khusus. Sehingga, hubungan antara kedua term ini adalah umum ke khusus. Dalam sastera Arab dikenal dengan sebutan zikr al-‘am ba’d al-khas. Ketika Allah swt. memerintahkan untuk beribadah dan menyembah-Nya, dapat dipahami bahwa Allah swt. mempersilahkan kepada hamba-Nya untuk melakukan segala macam ibadah yang disyariatkan untuk mendekatkan diri kepadanya, seperti salat, puasa, dan termasuk bersyukur. Kemudian



Allah



swt.



mengkhususkan ibadah



melanjutkan syukur dalam



perintahnya



untuk



mendekatkan



diri



(taqarrub) kepada-Nya. Jadi, dalam ayat ini tersirat sekali perintah bersyukur dan sekali tersurat perintah bersyukur.104 Dari aspek munasabah, penyebutan ibadah dan syukur dalam kontek ayat ini, untuk beribadah kepada Allah swt. tanpa mendua-Nya karena Allah swt. telah memberikan rezeki kepada manusia maka sebuah kewajiban kepada manusia untuk bersyukur kepada Allah swt. atas segala karunia dan anugerahNya.



Muhammad Irham A. Muin, Syukur Dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5 Nomor 1 Tahun 2017, hal. 8. 104



66



b.



Syukur dan Iman sebagaimana firman Allah Swt. di dalam Q.S. al-Nisa’ (4): 147.



‫م َو ٰا َم ْنتُ ۗ ْم َو َكانَ هّٰللا ُ َشا ِكرًا َعلِ ْي ًما ۔‬Rُْ‫َما يَ ْف َع ُل هّٰللا ُ بِ َع َذابِ ُك ْم اِ ْن َشكَرْ ت‬ Terjemah Kemenag 2019: Allah tidak akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman. Allah Maha Mensyukuri 105 lagi Maha Mengetahui.106 Iman terdiri dari tiga huruf dasar, yaitu al-alif, al-mim, dan alnun, mengandung makna terang dan stabilnya hati (sukun alqalb) dan pembenarannya (al-tasdiq). Iman merupakan sumber sikap syukur seseorang. Semakin baik iman seseorang maka semakin berkualitas rasa syukurnya. Dalam hal ini, hubungan keduanya adalah relasi pengaruh secara langsung. Allah Maha Mensyukuri adalah Allah mensyukuri hamba-hamba-Nya, memberi



pahala



terhadap



amal-amal



hamba-hamba-Nya,



memaafkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya.107 Dalam aspek munasabah, ayat ini berada dalam kelompok ayat yang berkaitan tentang beberapa keburukan orang munafik. Orang munafik melakukan sesuatu dengan kepura-puraan karena ingin menipu umat Islam dan Allah swt. Padahal mereka menipu dirinya sendiri. Sehingga, bagi mereka neraka yang paling bawah (asfal). Allah swt. menutup kelompok ayat ini



Allah Maha Mensyukuri berarti memberi pahala terhadap amal hamba-Nya, memaafkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya, dan lain-lain. (An-Nisa'/4:147) 106 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0 107 Muhammad Irham A. Muin, Syukur Dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5 Nomor 1 Tahun 2017, hal. 9. 105



67



dengan berfirman mereka tidak akan disiksa dengan neraka yang paling bawah kalau mereka bersyukur dan beriman. Jika syukur seseorang sebagai refleksi keimanannya. Maka penulis berasumsi bahwa seseorang yang tidak bersyukur maka keimanannya perlu diperbaiki. Hal inilah yang mesti dilakukan oleh kalangan munafik, perbaikan iman, sehingga mampu bersyukur dengan baik. c.



Tidak syirik dan syukur sebagaimana firman Allah swt. di dalam Q.S. al-Nahl (16): 120-121



ُ َ‫اِ َّن اِب ْٰر ِه ْي َم َكانَ اُ َّمةً قَانِتًا هّٰلِّل ِ َحنِ ْيفً ۗا َولَ ْم ي‬ َ‫ك ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِك ْي ۙن‬ ‫اط ُّم ْستَقِي ٍْم‬ Rٍ ‫ص َر‬ ِ ‫َشا ِكرًا اِّل َ ْن ُع ِم ِه ۖاجْ ت َٰبىهُ َوه َٰدىهُ اِ ٰلى‬ Terjemah Kemenag 2019: Sesungguhnya Ibrahim adalah imam (sosok anutan) yang patuh kepada Allah, hanif (lurus), dan bukan termasuk orang-orang musyrik. (Ibrahim) bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya (dan Allah) telah memilih serta menunjukinya ke jalan yang lurus.108 Syirik terdiri dari tiga huruf dasar, yaitu al-syin, al-ra’, dan al-kaf, mengandung makna pernbandingan (muqaranah) dan ektensi istikamah (al-imtidad wa al-istiqamah). Hubungannya, jika syirik berada pada diri seseorang maka akan mempengaruhi rasa syukur yang selamanya ini dilakukannya. Artinya, semakin banyak/ada syirik pada seseorang semakin sedikit syukurnya. Sebaliknya, semakin minim –bahkan tidak ada- maka syukurnya semakin berkualitas dan banyak.109 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0 Muhammad Irham A. Muin, Syukur Dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5 Nomor 1 Tahun 2017, hal. 10. 108 109



68



Dalam konteks kedua ayatnya, Nabi Ibrahim a.s. telah membuktikan bahwa dengan tidak menduakan-Nya sedikitpun Nabi Ibrahim a.s. mampu menjadi orang yang bersyukur dan rasa syukur itu telah meresap masuk ke jiwa Nabi Ibrahim a.s. karena telah menjadi karakter dan wataknya. Dari aspek munasabah, sebelum dan sesudah ayat ini bercerita tentang keteladanan Nabi Ibrahim a.s. Oleh karena itu, dengan senantiasa bersyukur dan tidak menduakan-Nya merupakan langkah awal menjadi sosok teladan yang pandai bersyukur. d.



Zikir dan syukur sebagaimana firman Allah swt. di dalam Q.S. al-Baqarah (2): 152.



ࣖ ‫ْي اَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكرُوْ ا لِ ْي َواَل تَ ْكفُرُوْ ِن‬Rٓ ِ‫فَ ْاذ ُكرُوْ ن‬ Terjemah Kemenag 2019: Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.110 Banyak cara untuk bersyukur kepada-Nya; hati, lisan, dan perbuatan. Zikir identik dengan bersyukur secara lisan walaupun terdapat pembagian yang sama bagi zikir, yaitu zikir hati, lisan, dan perbuatan. Berdasarkan relasi tersebut dapat dipahaminya diantaranya adalah syukur dan zikir memiliki hubungan yang sangat erat tak terpisahkan bagaikan dua sisi mata uang. Dengan berzikir anda telah bersyukur dan dengan bersyukur anda telah



110



Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0



69



berzikir. Adapun perbedaannya secara detail akan dijelaskan berikutnya.111 e.



Balasan dan Syukur sebagaimana firman Allah swt. di dalam Q.S. al-Insan (76): 9.



ْ ُ‫اِنَّ َما ن‬ R‫ط ِع ُم ُك ْم لِ َوجْ ِه هّٰللا ِ اَل نُ ِر ْي ُد ِم ْن ُك ْم َج َز ۤا ًء َّواَل ُش ُكوْ ًرا‬ Terjemah Kemenag 2019: (Mereka berkata,) “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanya demi rida Allah. Kami tidak mengharap balasan dan terima kasih darimu.112 Dalam konteks dan munasabah ayat ini, jika seseorang yang berlaku baik kepada anda maka sepatutnya anda membalas (jaza’) perlakukan baik itu dengan lebih baik jika tidak mampu minimal membalasnya dengan kebaikan yang sebanding. Hal ini sebagai implementasi firman Allah swt. “iza huyyikum bi tahiyyah fa hayyu bi ahsan minha aw rudduha”. Di sisi lain, bagi yang tidak mampu kedua-duanya al-Qur’an memberikan alternatif yaitu dengan mendoakannya. Hal ini sebagai implementasi dan pemahaman kontekstual dari ayat “fa salli ‘alaihim” dan ayat ini menjelaskan sikap minimal seseorang dari aspek etika ketika ada yang berbuat baik kepadanya yang minimal berterima kasih kepadanya. Ucapan terima kasih adalah balasan kebaikan paling minimal yang mesti dilakukan dan dibiasakan.113 Muhammad Irham A. Muin, Syukur Dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5 Nomor 1 Tahun 2017, hal. 11. 112 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0 113 Muhammad Irham A. Muin, Syukur Dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5 Nomor 1 Tahun 2017, hal. 11. 111



70



f.



Syukur dan kufur sebagaimana firman Allah swt. di dalam Q.S. al-Naml (27): 40.



َ ۗ ُ‫ك بِ ٖه قَب َْل اَ ْن يَّرْ تَ َّد اِلَ ْيكَ طَرْ ف‬ َ ‫ب اَن َ۠ا ٰاتِ ْي‬ ِ ‫قَا َل الَّ ِذيْ ِع ْند َٗه ِع ْل ٌم ِّمنَ ْال ِك ٰت‬ ُ‫ك فَلَ َّما َر ٰاه‬ ‫ُم ْستَقِ ًّرا ِع ْند َٗه قَا َل ٰه َذا ِم ْن فَضْ ِل َرب ۗ ِّْي لِيَ ْبلُ َونِ ْٓي َءاَ ْش ُك ُر اَ ْم اَ ْكفُ ۗ ُر َو َم ْن َش َك َر فَاِنَّ َما‬ ‫يَ ْش ُك ُر لِنَ ْف ِس ٖ ۚه َو َم ْن َكفَ َر فَاِ َّن َرب ِّْي َغنِ ٌّي َك ِر ْي ٌم‬ Terjemah Kemenag 2019: Seorang yang mempunyai ilmu dari kitab suci berkata, “Aku akan mendatangimu dengan membawa (singgasana) itu sebelum matamu berkedip.” Ketika dia (Sulaiman) melihat (singgasana) itu ada di hadapannya, dia pun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau berbuat kufur. Siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Siapa yang berbuat kufur, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.”114 Hubungan yang amat jelas antara kedua terma adalah antonym relation, hubungan lawan kata dan lawan substansi. Jika syukur adalah menyikapi nikmat dengan menyadari bahwa nikmat itu dari Allah swt. dan menampakkannya dengan berbuat baik dan berbagi kepada sesama. Sedangkan kufur nikmat adalah menyikapi nikmat dengan tidak menyadari bahwa nikmat itu bukan dari Allah swt. dan menutupinya sehingga angkuh dan enggan berbagi.115 g.



Sabar dan Syukur sebagaimana firman Allah swt. di dalam Q.S. Ibrahim (14): 5.



ُّ َ‫ك ِمن‬ ‫ت اِلَى النُّوْ ِر ەۙ َو َذ ِّكرْ هُ ْم بِا َ ٰيّ ِىم‬ Rَ ‫َولَقَ ْد اَرْ َس ْلنَا ُموْ ٰسى بِ ٰا ٰيتِنَٓا اَ ْن اَ ْخ ِرجْ قَوْ َم‬ ِ ٰ‫الظلُم‬ ‫َّار َش ُكوْ ٍر‬ Rٍ ‫صب‬ ٍ ‫هّٰللا ِ ۗاِ َّن فِ ْي ٰذلِكَ اَل ٰ ٰي‬ َ ِّ‫ت لِّ ُكل‬ Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0 Muhammad Irham A. Muin, Syukur Dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5 Nomor 1 Tahun 2017, hal. 12. 114 115



71



Terjemah Kemenag 2019: Sungguh Kami benar-benar telah mengutus Musa dengan (membawa) tanda-tanda (kekuasaan) Kami (dan Kami perintahkan kepadanya), “Keluarkanlah kaummu dari berbagai kegelapan kepada cahaya (terangbenderang) dan ingatkanlah mereka tentang hari-hari Allah. 116” Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat penyabar lagi banyak bersyukur.117 Hubungan antara kedua terma tersebut, sabar dan syukur, adalah complementary relation, yaitu hubungan yang saling melengkapi. Ketika memperoleh nikmat dan sesuatu yang diinginkan maka sikap yang tepat adalah syukur. Sedangkan ketika tidak memperoleh nikmat dan sesuatu yang tidak diinginkan maka sikap yang tepat adalah sabar.118



3.



Analisis Intertekstualitas Analisis



intertekstualitas



adalah



analisis



dengan



cara



menghubungkan dan membandingkan antara ayat Al-Qur’an dengan teks-teks lain yang ada di sekitar Al-Qur’an. Analisa intertekstualitas ini biasa dilakukan dengan cara membandingkannya dengan hadis Nabi, puisi Arab, dan teks-teks dari Yahudi dan Nasrani atau komunitas lain yang hidup pada masa pewahyuan Al-Qur’an.119



Hari-hari Allah maksudnya adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kaum-kaum terdahulu serta nikmat dan siksaan yang mereka alami. (Ibrahim/14:5) 117 Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0 118 Muhammad Irham A. Muin, Syukur Dalam Perspektif Al-Qur’an, Tafsere Volume 5 Nomor 1 Tahun 2017, hal. 12. 119 Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu alQur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 12. 116



72



Makna dasar kata syukur pra-Quranik diambil dari bahasa yang lahir sebelum al-Qur’an diturunkan, yaitu dapat ditemukan dalam syair-syair Arab Jahiliyah. Kata syukur pra-Quranik disandingkan dengan empat makna relasional di antaranya yaitu: kata syukur direlasikan dengan kenikmatan, balasan, kesabaran dan terselamatkan dari siksaan. Adapun salah satu contohnya dalam syair Arab Jahiliyah yaitu syair Diwan Zuhair bin Abi Sulami,



‫ الرمح مو ضع ال ذلك خاذلدة‬،، ‫ خلف ما وال لبطء مسلم‬،، ‫ دفعت‬،، ‫ يكاد يغلب الحق باطله‬، ‫وذي نعمة تممتها وشرتها وخسم‬ “Tidak akan menarik senjatanya kembali seorang muslim untuk mundur dari tempatnya. Maka tidak ada yang melakukan hal itu kecuali seorang pengecut. Maka kamu memiliki kenikmatan yang sangat sempurna. Wahai yang mendapat nikmat, sempurnakanlah nikmat itu dan syukurilah. Sekali pun musuh terkadang mengalahkan kebenaran dengan kebatilannya. Maka kamu harus membela kebenaran dengan perkataan yang benar.”120 Syair di atas berbicara tentang seseorang yang berperang dalam melawan kebatilan/kejahatan. Maka seakan-akan dia mendapatkan kenikmatan yang sempurna, dan kenikmatan tersebut hendaknya ia syukuri. Maka kata syukur diatas direlasikan dengan kenikmatan. Setelah diturunkannya al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Arab memberikan sedikit banyak perubahan makna dari yang sebelumnya. Setidaknya dengan adanya pergesekan dengan al-Qur’an, makan syukur menjadi lebih banyak dan lebih kaya lagi.



Mila Fatmawati, dkk, Analisis Semantik Kata Syukur Dalam Alquran, Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 3, 1 (Juni 2018), hal. 95. Lihat Abdurrahmān Al-Mustawīl, Dīwān Zuhair bin Abī Sulamī (Beirut: Dār Maerefah, 2004), Hlm,35. 120



73



Adapun dalam hadis, ditemukan banyak penjelasan tentang bersyukur setelah ditelusuri menggunakan aplikasi Lidwa Pusaka iSoftware - Kitab 9 Imam Hadist diantaranya antaranya Kitab Bukhari Ditemukan 15 Hadist, Kitab Muslim Ditemukan 8 Hadist, Kitab Abudaud Ditemukan 8 Hadist, Kitab Tirmidzi Ditemukan 13 Hadist, Kitab Nasai Ditemukan 3 Hadist, Kitab Ibnu Majah Ditemukan 14 Hadist, Kitab Ahmad Ditemukan 61 Hadist dan Kitab Darimi Ditemukan 1 Hadist. Salah satu hadisnya berbunyi:



ِ ‫الرز‬ ‫ِّث‬ َّ ِ‫يدا الْ َم ْقرُب‬ َّ ‫َح َّدثَنَا َعْب ُد‬ ُ ‫ي حُيَد‬ ً ِ‫َّاق َح َّدثَنَا َم ْع َمٌر َع ْن َر ُج ٍل ِم ْن بَيِن ِغ َفا ٍر أَنَّهُ مَسِ َع َسع‬ ِ َّ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم الط‬ ‫الصائِ ِم‬ ُ ‫َع ْن أَيِب ُهَر ْيَر َة قَ َال قَ َال َر ُس‬ َّ ‫اع ُم الشَّاكُِر َك‬ َ َ َ َ َْ ُ ‫الصابِ ِر‬ َّ Telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah menceritakan kepada kami Ma'mar dari seorang laki-laki dari bani Ghifar bahwa ia mendengar Sa'id Al Maqburi menceritakan dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Orang yang makan lalu bersyukur seperti orang yang berpuasa lalu bersabar." 121



ٍ ِ ِ ‫ول‬ ُ ‫ت الْ ُمغِ َري َة َر ِض َي اللَّهُ َعْنهُ َي ُق‬ ُ ‫َح َّد َثنَا أَبُو نُ َعْي ٍم قَ َال َح َّد َثنَا م ْس َعٌر َع ْن ِزيَاد قَ َال مَس ْع‬



ِ ‫إِ ْن َكا َن النَّيِب صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم لَي ُق‬ ُ ‫صلِّ َي َحىَّت تَ ِر ُم قَ َد َماهُ أ َْو َساقَاهُ َفُي َق‬ ُ‫ال لَه‬ َ ُ‫وم لي‬ ُ َ َ َ َ َْ ُ َ ُّ ‫ورا‬ ُ ‫َفَي ُق‬ ً ‫ول أَفَاَل أَ ُكو ُن َعْب ًدا َش ُك‬ 121



Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist, Musnad Ahmad, Kitab Sisa Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, Bab Musnad Abu Hurairah Radliyallahu 'anhu, No. Hadist : 7473. Dikuatkan oleh hadis Tirmidzi no 2410, Ibnu Majah no 1754 dan 1755, Ahmad no 18242 dan Darimi no 1938.



74



Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim berkata, telah menceritakan kepada kami Mis'ar dari Ziyad berkata; aku mendengar Al Mughirah radliallahu 'anhu berkata; "Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bangun untuk mendirikan shalat (malam) hingga tampak bengkak pada kaki atau betis, Beliau dimintai keterangan tentangnya. Maka Beliau menjawab: "Apakah memang tidak sepatutnya aku menjadi hamba yang bersyukur?" 122 4.



Konteks Historis Pewahyuan (Mikro dan Makro) Salah satu ulama alim bernama Abu al-Qasim al-Nisaburiy pernah berkata, “Ilmu-ilmu al-Qur’an yang paling mulia adalah mengenai



sababun



nuzul



dan



pembahasan



Makkiyah



dan



Madaniyah.123 Secara kronologis, periode turunya al-Qur’an dibagi menjadi dua, yakni: periode Makkah (Makkiyah) dan periode Madinah (Madaniyah). Salah satu ulama yang memberikan penjelasan tentang kronologis Makkiyah dan Madaniyah adalah Manna’ Al-Qattan yang tertulis dalam Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Ada tiga pandangan yang disampaikan oleh beliau, yakni: (1) Dari segi turunnya. Segi turun-nya al-Qur’an dimaknai pengkategorian Makkiyah adalah pemaknaan sebelum hijrahnya Nabi. Sedangkan Madaniyah dikategorikan sesudah hijrahnya Nabi; (2) Dari segi tempat turunya. Makkiyah dimaknai kota Makkah dan sekitarnya, sedangkan Madaniyah dimaknai kota Madinah dan sekitarnya; (3) Dari segi sasarannya.



122 Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist, Shohih Bukhari, Kitab : Jum'at, Bab : Lamanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam Mendirikan Shalat Malam Hingga Kedua Kaki Beliau Bengkak-bengkak. No. Hadist : 1062. Dikuatkan oleh hadis Bukhari no 4459, 4460, 5990, Muslim no 5044, 5045, 5046, Tirmidzi no 377, Ibnu Majah no 1409, 1410, Ahmad no17488, 17528. 123 Acep Hermawan, Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2016), hal. 65.



75



Makkiyah ditujukan pada penduduk Makkah, sedangkan Madaniyah ditujukan pada penduduk Madinah.124 Surah Ibrahim sendiri merupakan surah ke 14 dalam al-Qur’an yang terdiri dari 52 ayat yang termasuk golongan surah Makkiyah karena diturunkan di Mekkah sebelum Hijrah. Dinamakan surah “IBRAHIM”, karena surah ini mengandung do’a Nabi Ibrahim As. yaitu pada ayat 35 sampai dengan 41. Do’a ini isinya antara lain: permohonan agar keturunannya mendirikan shalat, dijauhkan dari menyembah berhala-berhala dan agar Mekkah dan daerah sekitarnya menjadi daerah yang aman dan makmur. Do’a Nabi Ibrahim As. ini telah diperkenankan oleh Allah Swt. sebagaimana telah terbukti keamanannya



sejak



dahulu



sampai



sekarang.



Do’a



tersebut



dipanjatkan beliau ke hadirat Allah swt sesudah selesai membina Ka’bah bersama puteranya Isma’il As., di daerah tanah Mekkah yang tandus.125 Surat ini mengandung berbagai hakikat pokok dalam masalah akidah, tetapi dua hakikat besar senantiasa menaungi suasana surat secara keseluruhan, yang keduanya merupakan dua hakikat yang berkaitan dengan bayang-bayang Nabi Ibrahim. Kedua hakikat tersebut adalah sebagai berikut:



Manna’ Al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, terj. Mudzakir. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. (Bogor: Litera Antar Nusa, 2019) ,hal. 70. 125 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hal. 378. 124



76



a.



Hakikat kesatuan risalah dan para Rasul, kesatuan dakwah tauhid. Hal ini sejalan dengan sosok Nabi Ibrahim yang dinilai oleh pakar sebagai pengumandang tauhid serta bapak para Nabi.



b.



Hakikat nikmat Allah (yang Dia anugerahkan) kepada umat manusia dan semakin bertambahnya nikmat jika disyukuri. Juga penyambutan kebanyakan manusia terhadap nikmat dengan mengekspresikan pengingkarannya.126 Analisis



syukur



dalam



QS.



Ibrahim



[14]:



7



dengan



memperhatikan konteks Historis Pewahyuan (Mikro dan Makro) :



٧ ‫ ْن َكفَرْ تُ ْم اِ َّن َع َذابِ ْي لَ َش ِد ْي ٌد‬Rِ‫ ْن َشكَرْ تُ ْم اَل َ ِز ْي َدنَّ ُك ْم َولَ ِٕٕى‬Rِ‫َواِ ْذ تَا َ َّذنَ َربُّ ُك ْم لَ ِٕٕى‬ Terjemah kemenag 2019: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”.127 Melihat dari konteks historis ayat ini Al-Maraghi dalam kitabnya Tafsir Al-Maraghi mengawali pembahasan ayat ini (QS. Ibrahim [14] : 7) dengan perkataan “Dan ingatlah, hai Bani Israil, ketika Allah memaklumkan janji-Nya kepada kalian dengan berfirman jika kalian mensyukuri nikmat penyelamat dan lain-lain yang aku berikan kepada kalian, dengan menaati-Ku dalam segala perintah dan larangan, niscaya Aku akan menambah nikmat yang telah Aku berikan kepada kalian”. Beliau menganalogikan syukur sebagai berikut: “bila anggota tubuh dilatih terus menerus untuk bekerja dan berbuat, maka dapat 126 127



M.Quraish Shiha>b, Alquran Dan Maknanya Cet. 1 (Tangerang: Lentera Hati, 2010), Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.



77



dipastikan



akan



diberhentikan,



bertambah



maka



kuat



dan



sehat.



akan melemahkan



ia



Tetapi



apabila



dan berkuranglah



tenaganya. Sama halnya dengan syukur nikmat, bila kita terus menerus mensyukurinya, maka kita akan merasakan hal yang lebih besar dan banyak. Tetapi bila kita berhenti, tidak bersyukur, maka ia pun akan berkurang.128 Intinya bahwa barang siapa bersyukur kepada Allah atas rezeki yang dilimpahkan kepadanya, maka Allah akan melapangkan



rezekinya.



Barangsiapa



bersyukur



atas



nikmat



kesehatan, maka Allah akan menambah kesehatannya. Dan begitulah seterusnya. Tidak jauh berbeda dengan al-Maraghi, HAMKA menjelaskan dalam Tafsir al-Azhar bahwa yang menjadi mukhatab (yang dibicarakan) dari ayat di atas adalah Bani Israil setelah dibebaskan dari penindasan Fir’aun. Kebebasan ini merupakan hal yang patut disyukuri. Dalam bersyukur tetaplah berusaha guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Hamka menyebutkan bahwa kaum Bani Israil harus dapat bangkit kembali tanpa mengekluh atas nikmat yang menurut mereka sangat sedikit dan terbatas. bila mengeluh “ini kurang” “itu tidak cukup” maka itulah yang disebut dengan kufur melupakan nikmat Tuhan, tidak mau berterima kasih.129



Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz XIII, (Mesir: Mushthafa al-Babi alHalabi,) hal. 130. 129 Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar, Juz XIII-XIV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hal. 122. 128



78



Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa Q.S. Ibrahim [14] : 7 merupakan ayat yang turun sebelum nabi hijrah atau termasuk dalam golongan surah Makkiyah. 5.



Menggali maqsad atau maghza al-ayah Bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan-Nya merupakan keharusan manusia, baik dilihat dari sudut fitrahnya, maupun berdasarkan nas syarak atau hukum Islam (Al Quran dan hadis). Manfaat yang diperoleh dari tindakan bersyukur itu sebenarnya dirasakan manusia yang bersangkutan, antara lain untuk mengekalkan nikmat yang ada dan menambah nikmat itu dengan nikmat lain yang berlimpah ruah. Allah berfirman:



٧ ‫ ْن َكفَرْ تُ ْم اِ َّن َع َذابِ ْي لَ َش ِد ْي ٌد‬Rِ‫ ْن َشكَرْ تُ ْم اَل َ ِز ْي َدنَّ ُك ْم َولَ ِٕٕى‬Rِ‫َواِ ْذ تَا َ َّذنَ َربُّ ُك ْم لَ ِٕٕى‬ Terjemah kemenag 2019: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”.130 (Q.S. Ibrahim [14] : 7). Tujuan utama ayat ini turun adalah untuk memerintahkan Nabi Muhammad SAW agar lebih jauh mengingat juga ucapan yang lain yang disampaikan Nabi Musa As kepada umatnya agar beliaupun menyampaikan kepada umat Islam. Nabi Musa As berkata kepada kaumnya: “Dan ingat jugalah nikmat Allah kepada kamu semua tatkala Tuhan Pemelihara dan Penganugerah aneka kebajikan kepada kamu memaklumkan: “Sesungguhnya Aku, yakni Allah, bersumpah 130



Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0.



79



demi kekuasaan-Ku, jika kamu bersyukur pasti Aku tambah nikmatnikmat-Ku. Karena itu, berharaplah yang banya dari-Ku dengan mensyukurinya dan jika kamu kufur, yakni mengingkari nikmatnikmat yang telah Aku anugerahkan dengan tidak menggunakan dan memanfaatkannya sebagaimana Aku kehendaki maka akan Aku kurangi nikmat itu bahkan kamu terancam mendapat siksa-Ku, sesungguhnya siksa-Ku dengan berkurang atau hilangnya nikmat itu atau jatuhnya petaka atas kamu akan kamu rasakan amat pedih”.131 Maksudnya, apabila bersyukur atas nikmat Allah SWT, orang akan diberi-Nya tambahan nikmat. Sebaliknya, orang yang tidak mau bersyukur (kufur nikmat) akan mendapat siksa yang pedih.132 Pada hakikatnya, sikap syukur adalah untuk keuntungan manusia itu sendiri. Allah tidak akan beruntung dengan sikap yang dilakukan oleh hamba-Nya. Sebaliknya, Tuhan juga tidak akan rugi dengan sikap kufur dan ingkar yang ditunjukkan oleh manusia. Karena itu, orang yang bersyukur jiwanya akan semakin bersih, bertambah dekat dengan Tuhan, dan semakin sadar bahwa nikmat itu adalah karunia ilahi yang harus dipergunakan untuk kebaikan terhadap sesama



umat



manusia.



Kekayaan



yang



diperoleh



haruslah



dipergunakan untuk kebaikan, seperti halnya menyantuni fakir miskin, menolong orang yang dalam keadaan kesususahan, mendirikan



M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Vol. 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hal. 329. 132 Hafizh Anshari, Syukur: Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hal. 329. 131



80



lembaga-lembaga yang bermaksud melayani kepentingan umum, dan sebagainya. meskipun menjadi orang berpangkat harus melakukan kebaikan terhadap bawahannya, berlaku adil, bertindak berdasarkan peraturan, dan tidak sewenang-wenang. Selain itu dengan bersyukur, nikmat yang diperoleh akan semakin banyak dan bertambah.



B.



Konstruksi Signifikansi Fenomenal Dinamis 1.



Kategori Ayat Sebagian ulama membagi kategori ayat menjadi tiga bagian besar, yaitu: (1) ayat-ayat tentang ketauhidan, (2) ayat-ayat hukum, dan (3) ayat-ayat tentang kisah-kisah Nabi dan umat terdahulu. 133 Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti terhadap penafsiran QS. Ibrahim [14] :7, maka dapat dikatakan bahwa kategori ayat ini termasuk dalam kategori ayat tentang kisah-kisah Nabi dan umat terdahulu. Ayat ini mengisahkan tentang Nabi Musa yang mengajak umatnya untuk mengenang nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada mereka, yakni ketika Allah menyelamatkan mereka dari kekejaman Fir’aun beserta para pengikutnya, yang telah menyiksa mereka dengan siksaan yang berat, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan anak-anak perempuan mereka hidup. Kemudian Nabi Musa mengingatkan kepada umatnya bahwa semua pengalaman yang telah mereka lalui itu sebenarnya merupakan cobaan



133



Sahiron Syamsuddin (ed), Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Bantul: Lembaga Ladang Kata, 2020), h. 13.



81



yang amat berat dari Allah terhadap mereka, untuk menguji keimanan dan ketaatan mereka kepada-Nya.134 2.



Pengembangan Al-Maghza Al-Tarikhi Pada al-maghzā al-tārikhī atau pengembangan signifikansi fenomenal historis gunanya untuk kepentingan dan kebutuhan pada konteks kekinian (waktu) dan kedisinian (tempat), di mana/ketika teks Al-Qur’an itu ditafsirkan.135 Menurut Ibnu ‘Alan, dalam kitab Dalil Al-Falihin, Asy-Syukru huwa sharf al-‘abdi jami’a ma an ‘amallahu ‘alaihi liajlihi (Syukur adalah pengelolaan seorang hamba atas berbagai nikmat yang diberikan Allah kepadanya, untuk mencapai cinta-Nya).136 Jadi, semua nikmat yang diperoleh harus disyukuri. Dari yang namanya hidup sampai dengan segala sesuatu yang diberikan Allah selama hidup, dikelola dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan petunjuk dan aturanNya, agar Dia meridhoi. Jika tidak pandai bersyukur (kufur nikmat), maka silahkan tanggung akibatnya. Sebagaimana dalam firman Allah QS. Ibrahim [14]: 7.



٧ ‫ ْن َكفَرْ تُ ْم اِ َّن َع َذابِ ْي لَ َش ِد ْي ٌد‬Rِ‫ ْن َشكَرْ تُ ْم اَل َ ِز ْي َدنَّ ُك ْم َولَ ِٕٕى‬Rِ‫َواِ ْذ تَا َ َّذنَ َربُّ ُك ْم لَ ِٕٕى‬ Terjemah kemenag 2019: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu Tim IT Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an, Tafsir Tahlili in MS. Word: Tafsir Lengkap Kementerian Agama RI, (Kementerian Agama RI, 2019), Versi 1.0. 135 Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu alQur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 14. 136 Rif’at Syauqi Nawawi, Kepribadian Qur’ani, (Jakarta: Amzah, 2011), Cet. 1, hal. 101. 134



82



mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”. 137 (Q.S. Ibrahim [14] : 7). Perlu dikemukakan, bahwa syukur tidak selalu ditujukan kepada Allah, melainkan juga ditujukan kepada sesama manusia. Dalam Bahasa Indonesia, syukur kepada sesama manusia ini disebut terimakasih. Islam memerintahkan umatnya untuk membalas kebaikan orang lain dengan berterimakasih atau bersyukur. Bahkan dinyatakan bahwa



keengganan



untuk



bersukur



kepada



manusia



berarti



keengganan untuk bersyukur kepada Allah. Nabi bersabda:



‫يع‬ ِ ‫َح َّدثَنَا هَنَّا ٌد َح َّدثَنَا أَبُو ُم َع‬ ٍ ‫اويَةَ ع َْن اب ِْن أَبِي لَ ْيلَى ح و َح َّدثَنَا ُس ْفيَانُ بْنُ َو ِك‬ ‫َطيَّةَ ع َْن أَبِي َس ِعي ٍد‬ ِ ‫َح َّدثَنَا ُح َم ْي ُد بْنُ َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن الرُّ َوا ِس ُّي ع َْن ا ْب ِن أَبِي لَ ْيلَى ع َْن ع‬ ‫اس لَ ْم يَ ْش ُكرْ هَّللا َ َوفِي‬ َ َّ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن لَ ْم يَ ْش ُكرْ الن‬ َ ِ ‫ل هَّللا‬Rُ ‫ال َرسُو‬ َ َ‫قَا َل ق‬ َ َ ‫أْل‬ ْ ‫س‬ ِ ‫ْالبَاب ع َْن أبِي ه َُر ْي َرةَ َوا ش َع‬ ٍ ‫ث ب ِْن قَ ْي‬ 138 ٌ ‫ال أَبُو ِعي َسى هَ َذا َح ِد‬ ‫ص ِحي ٌح‬ َ ‫يث َح َس ٌن‬ َ َ‫ير ق‬ ٍ ‫َوالنُّ ْع َما ِن ْب ِن بَ ِش‬ Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Ibnu Abu Laila (dalam riwayat lain). Dan telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Waki', telah menceritakan kepada kami Humaid bin Abdurrahman Ar Ruwasi dari Ibnu Abu Laila dari 'Athiyyah dari Abu Sa'id ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, berarti ia belum bersyukur kepada Allah." Hadits semakna juga diriwyakan dari Abu Hurairah, Al Asy'ats bin Qais dan An Nu'man bin Basyir. Abu Isa berkata; Ini adalah hadits hasan shahih. Berterimakasih atas kebaikan sesama manusia sangat penting untuk menciptakan kebaikan hidup bersama. Ia dapat membangkitkan semangat dan tekad para pelaku kebajikan yang ikhlas dalam beramal



Lihat Aplikasi Al-Qur’an Kemenag in MS. Word, Tahun 2019, Versi 1.0. Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist, Sunan Tirmidzi, Kitab : Berbakti dan menyambung silaturrahim, Bab : Berterima kasih kepada orang yang berbuat baik, No. Hadist : 1878 137 138



83



untuk semakin giat. Mereka melihat bahwa amal kebajikan mereka bermanfaat untuk orang lain.139 Dalam ayat ini, Tafsir Kementerian Agama menerangkan bahwa salah satu cara mensyukuri nikmat adalah dengan bersedekah dan berinfak. Dalam kehidupan sehari-hari, dapat kita lihat bahwa orangorang yang dermawan dan suka menginfakkan hartanya untuk kepentingan umum dan menolong orang, pada umumnya tak pernah jatuh miskin ataupun sengsara. Bahkan rezekinya senantiasa bertambah, kekayaannya makin meningkat, dan hidupnya bahagia, dicintai serta dihormati dalam pergaulan. Sebaliknya, orang-orang kaya yang kikir atau suka menggunakan kekayaannya untuk hal-hal yang tidak diridhai Allah seperti judi atau memungut riba, maka kekayaannya tidak bertambah, bahkan lekas menyusut. Disamping itu, ia senantiasa dibenci dan dikutuk orang banyak dan diakhirat memperoleh hukuman yang banyak.140 Maka dapat dikatakan bahwa orang mensyukuri nikmat Allah dengan bersedekah dan berinfak rezekinya akan senantiasa ditambah oleh Allah. Sementara itu, Ahmad Mustafa Al-Maragi dalam Tafsir AlMaragi menjelaskan bahwa didalam hidup ini manusia wajib selalu berada antara sabar dan syukur. Sebab, didalam hidup ini berada dalam suatu keadaan yang dibenci yang harus dia sabar atau dalam



Muchlis M. Hanafi, (eds.), Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), hal. 433. 140 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ), (Tafsir Ringkas Al-Qur'an in MS Word), Versi 1.0. 139



84



keadaan yang dicintai yang harus dia syukuri. Waktu didalam hidup ini adalah emas. Jika kita menyia-nyiakan suatu masa dari kehidupan ini tanpa menggunakannya utuk berbakti kepada diri, agama dan negara kita, berarti kita telah kufur kepada nikmat, menyia-nyiakan kesempatan, dan tidak mengambil pelajaran dari apa yang telah menimpa umat terdahulu sebelum kita. Maka, hendaklah setiap orang takut menyia-nyiakan hidupnya tanpa beramal dan akan kehilangan waktu secara sia-sia. Yang sesudah itu akan datang azab dengan cepat.141 Sebagaimana Jawwad Magniyyah mengatakan bahwa salah satu azab yang pedih adalah akibat dari tidak bersyukur akan nikmat yang diberikan Allah.142 Nawawi Al-Bantani menjelaskan dalam kitabnya Marah Labid Li Kasyfi Ma’na Qur’an Majid atau yang lebih dikenal dengan Kitab Tafsir Al-Nawawi bahwasanya yang dimaksud dengan nikmat dalam ayat di atas adalah ketika mensyukuri nikmat maka akan bertambah nikmatnya, itu artinya ada nilai esensi ketakwaan dalam diri manusia. Nikmat menurut Nawawi Al-Bantani terbagi menjadi 2, yaitu nikmat jasmaniyyah dan nikmat ruhaniyyah. Nikmat jasmaniyyah yaitu sebuah kesibukan yang dilakukan oleh anggota badan yang terus bersyukur kepada Allah atas karunia nikmat yang kemudian nantinya akan wushul (perantara) terhadap nikmat lain yang lebih banyak.



Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Juz VII, ter. Anshori Umar Sitanggal dkk. (Semarang: Karya Toha Putra Semarang, 1987), hal. 239. 142 Muhammad Jawwad Magniyyah, al-Tafsir al-Kasyif, Jilid IV, (Beirut: Dar al-'Ilm li alMalayin, 1969), hal. 426. 141



85



Sedangkan nikmat ruhaniyyah yaitu sebuah jiwa yang tersibukkan untuk mengulas-ngulas macam-macam karunia Allah, keindahan dzat Allah, dari kesibukan tersebut kemudian akan menguatkan kecintaan seorang hamba terhadap Allah, semakin sering bersyukur maka derajat kecintaan seorang hamba akan semakin tinggi, karena nilai syukur adalah derajat yang mulia, maka wajiblah bagi orang yang bersyukur akan merasakan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kemudian Nawawi Al-Bantani melanjutkan penjelasannya, bahwa ketika tidak bersyukur (kufur nikmat) merupakan suatu kebodohan, landasan definisi kufur dinamakan dengan kebodohan karena itu adalah sebuah azab atau siksa secara perlahan, 143 walaupun dalam redaksi ayat di atas azab yang akan diberikan ketika kufur nikmat adalah azab yang pedih, namun siksa yang pedih tidak dirasakan secara langsung, melainkan dengan cara perlahan. Dalam hal ini terdapat dua peran yaitu syakir ( ‫ ) شاكر‬dan Al-Mun’im ( ‫)المنعم‬. Syakir secara hakikat adalah hati, lisan, dan anggota tubuh yang memperbanyak syukur dalam jangka waktu yang lama untuk mendatangkan sebuah syukur lain yang berasal dari nikmat yang tiada ujungnya.144 Kata syukur yang berlawanan dengan kata kufur di dalam alQur’an surat Ibrahim: 7 mengalami perkembangan yang cukup luas Nawawi Al-Bantani, Marah Labid Li Kasyfi Ma’na Qur’an Majid (Surabaya: AlHidayah), hlm. 433. 144 Hamdan Hidayat, Makna Syukur Dalam Al-Qur’an Pada Tradisi Babarit Di Kuningan, Al-Dzikra Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan al-Hadits, Volume 15, No. 1, Juni Tahun 2021, hal. 81. 143



86



dari waktu ke waktu. Dalam konteks terdahulu, “syakara” sebagai asal mula kata syukur diartikan sebagai upaya “menampakkan nikmat”. Sementara



“kafara”



yang



juga



disebut



kufur



adalah



“menyembunyikan nikmat”. Ditafsirkan bahwa menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempatnya dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya. Intinya, para mufasir menjelaskan bahwa ayat yang disebut terakhir ini mengandung perintah untuk mengingat Allah tanpa melupakan, patuh kepada-Nya tanpa menodai dengan kedurhakaan. Syukur yang demikian lahir dari keikhlasan kepada-Nya.145 Sedangkan makna syukur pada konteks sekarang memiliki makna yang cukup luas. Kata syukur berarti pujian yang diucapkan karena adanya sebuah kebaikan atau tambahan nikmat yang diperoleh146, ucapan terima kasih, dan diartikan juga sebagai “untunglah” (menyatakan lega, senang dan sebagainya). 147 Hal tersebut terlihat pada fenomena masyarakat yang mengucapkan syukur apabila terhindar dari musibah, mendapatkan sesuatu dan sebagainya. 3.



Mengungkap Makna Simbolik



Choirul Mahfud, “The Power of Syukur : Tafsir Kontekstual Konsep Syukur dalam alQur’an”, Jurnal Episteme, Vol. 9, No. 2, Desember 2014, hal. 384. 146 Mohammad Takdir, Psikologi Syukur: Perspektif Psikologi Qurani dan Psikologi Positif untuk Menggapai Kebahagiaan Sejati (Authentic Happiness), (Jakarta: PT Alex Media Kompuutindo, 2018), hal. 14. 147 Tim Redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-3, (Jakarta: Bali Pustaka, 2002), hal. 1115. 145



87



Tahap selanjutnya adalah menentukan makna-makna simbolik al-Qur’an. Seperti yang termuat dalam buku Sahiron Syamsuddin, bahwasanya sebagaian ulama membagi makna lafal dalam al-Qur’an menjadi empat level, yaitu: (1) zahir (makna lahiriah atau literal), (2) batin (makna simbolik), (3) had (makna hukum), dan (4) matla’ (makna puncak atau spiritual).148 Beradasarkan Analisis yang dilakukan peneliti terhadap tafsiran para muffasir terkait QS. Ibrahim [14] : 7 tentang syukur, maka makna ayat ini termasuk dalam kategori matla’ (makna puncak atau spiritual).



Shahiron Syamsuddin, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Asosiasi Ilmu alQur’an & Tafsir se-Indonesia, 2020), hal. 16. 148



BAB V PENUTUP



A.



Kesimpulan Makna syukur dalam QS. Ibrahim [14] : 7 dengan pendekatan Ma’nā Cum Maghzā secara bahasa bermakna rasa terima kasih, pujian dan upaya yang sungguh-sungguh dari manusia untuk melaksanakan seluruh perintah Allah. Intratektualitas syukur adalah rasa terimakasih kepada Allah dengan menggambarkan dalam benak tentang nikmat serta memanjatkan pujian kepada sang pemberi nikmat atas keutamaan dan kebaikan yang dikaruniakan kepada kita dan menampakkan kepermukaan disertai pengendalian diri menerima dengan rela dan sabar atas apa yang digariskan Allah kepada kita. Sedangkan Intertektualitas syukur memiliki tiga bentuk syukur yaitu syukur hati, lidah dan anggota tubuh. Pada konteks historis pewahyuan (mikro dan makro) ayat ini merupakan ayat yang turun sebelum nabi hijrah atau termasuk dalam golongan surah Makkiyah. Berdasarkan maqsad atau maghza al-ayah tujuan ayat ini turun adalah untuk senantiasa bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah. Ayat ini termasuk dalam kategori ayat-ayat tentang kisah-kisah Nabi dan umat terdahulu. Pengembangan al-maghzā altārikhī ayat ini adalah mensyukuri nikmat salah satunya dengan bersedekah dan berinfak. Terakhir, makna syukur dalam ayat ini termasuk dalam kategori matla’ (makna puncak atau spiritual).



89



Penafsiran



ayat-ayat



syukur



yang



tersebar



dalam



al-Qur’an



menginspirasi pelakunya untuk menafsirkan secara kontekstual agar tidak terjebak pada pemahaman yang sempit dan kaku. Syukur sudah seyogianya ditafsiri lebih bermakna dan bermanfaat secara pribadi, sosial, spiritual dan profesional. Secara pribadi, penafsiran syukur membuat pelakunya semakin saleh di mata Allah. Secara sosial membuat orang semakin peduli dan peka atas masalah sosial yang ada. Secara spiritual, ayat syukur membuat kita semakin suka mengucapkan kalimat Allah dalam rangka beriman kepadaNya. Secara profesional, syukur dapat ditafsirkan sesuai dengan kerja dan kinerja masing-masing demi kesuksesan hidupnya. Konsep syukūr dalam Alquran berdasarkan yang telah dipaparkan menghasilkan kesimpulan bahwa Allah memberikan balasan yang baik bagi mereka yang bersyukur, dan balasan yang buruk bagi mereka yang tidak mau bersyukur. Allah menjadikan pahala bagi mereka yang selalu bersyukur dan berbuat kebaikan, Allah senantiasa mensyukuri hamba-hamba-Nya yang berbuat kebaikan dan membalasnya dengan pahala yang berlipat dari ketaatan hamba-Nya yang sedikit. Kemudian Allah membalas ketaatan yang sedikit dengan derajat yang tinggidi sisi-Nya, dan balasan yang paling utama bagi orang yang bersyukur adalah Surga dan segala kenikmatan yang ada di dalamnya. Dan balasan yang buruk bagi orang-orang yang tidak mau bersyukur kepada Allah yaitu berupa azab yang pedih.



2



B.



Saran Setelah penulis melakukan penelitian makna syukur pada QS. Ibrahim [14] : 7 dengan pendekatan Ma’nā Cum Maghzā, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Namun dalam penulisan skripsi ini sumber yang diperoleh penulis sangat sedikit. Untuk itu penulis menyarankan bagi para pembaca yang ingin memperdalam diharapkan agar membaca dari sumber referensi lainnya dan penulis berharap makna syukur ini perlu diteliti lagi menggunakan analisis atau pendekatan lainnya agar wawasan mengenai kajian ini dapat berkembang dan lebih berguna untuk masyarakat islam maupun masyarakat umum lainnya.



3