Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Aceh [PDF]

  • Commentary
  • 1641740
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

c



658 N



CERITERA R A K Y A T DA E R A H ISTIMEWA A C E H



DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT P E N E L I T I A N S E J A R A H D A N PROYEK PENELITIAN KEBUDAYAAN



BUDAYA



DAN PENCATATAN DAERAH



1978/1979



CERITA



RAKYAT



D A E R A H ISTIMEWA A C E H



DITERBITKAN OLEH : PROYEK PENELITIAN DAN P E N C A T A T A N KEBUDAYAAN DAERAH D E P A R T E M E N PENDIDIKAN D A N K E B U D A Y A A N



PENGANTAR Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dalam tahun anggaran 1978/1979 kegiatannya telah dapat menjangkau seluruh Indonesia, kecuali Propinsi Timor Timur. Proyek ini bertujuan : "Mengadakan penggalian, penelitian dan pencatatan warisan budaya guna pembinaan, pengembangan dan ketahanan kebudayaan nasional." Adapun sasaran proyek ini ialah : Untuk menghasilkan 5 (lima) buah naskah dari masing-masing daerah, yakni : - Sejarah Daerah, - Adat Istiadat Daerah, - Geografi Budaya Daerah, - Ceritera Rakyat Daerah, - Ensiklopedi Musik/Tari Daerah. Kegiatan proyek ini dibagi atas dua yaitu : Kegiatan di Pusat, meliputi : Koordinasi, pengarahan/penataran, konsultasi, evaluasi serta penyempurnaan naskah. Kegiatan di Daerah meliputi : Survai lapangan sampai dengan penyusunan naskah lima aspek seperti tersebut di atas. Pelaksanaan kegiatan dengan perencanaan dapat diselesaikan tepat pada waktunya, sehingga pada akhir tahun anggaran 1978/1979, proyek dapat menghasilkan naskah ini. Meskipun demikian kami menyadari bahwa naskah-naskah ini belumlah merupakan suatu hasil penelitian yang mendalam, tetapi baru pada tingkat atau tahap pencatatan, sehingga disana-sini masih terdapat kekurangan-kekurangan yang diharapkan dapat disempurnakan pada penelitian-penelitian selanjutnya. Kerja sama antara proyek dengan semua pihak, baik dari Perguruan tinggi, Kanwil Dep. P dan K , didaerah, Pemerintah Daerah,



LEKNAS-LIPI, dan Tenaga ahli perorangan, telah dapat dibuktikan dan diwujudkan dalam naskah-naskah ini. Oleh karena itu dengan selesainya naskah Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Aceh ini, kami perlu menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada : 1. Kepala Kantor Wilayah, Bidang Kesenian, Bidang Permuseuman Sejarah dan Kepurbakalaan, Departemen P dan K. Propinsi Daerah Istimewa Aceh. 2. Pimpinan Perguman Tinggi di Banda Aceh. 3. Pemerintah Daerah Istimewa Aceh. 4. Pemimpin Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh, sdr. Drs. Razali Umar beserta stafnya. 5. Tim Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang terdiri dari : - Konsultan : Drs. Samsuddin Ishak, M.Sc - Ketua : Drs. M. Adnan Hanafiah - Anggota 1. Drs. Zaini Ali 2. Drs. Budiman Sulaiman 3. Drs. Sulaiman Hanafiah, M A 4. Drs. Syamsuddin Z.A. 5. Sjech Admaddin BA. 6. Tim penyempurna naskah di pusat terdiri dari : - Konsultan : l . Prof. Dr. Haryati Soebadio 2. Dr. Astrid S. Susanto 3. Dr. S. Budhisantoso 4. Drs. Bastomi Ervan. -Ketua : Bambang Suwondo - Sekretaris Ahmad Yunus -Anggota : 1. Singgih Wibisono 2. Djenen 3. Sarwito Wijoyo 4. Sri Mintosih 5. T.A. Sjukrani 6. Sagimun M.D. 7. Dan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya dalam penyusunan naskah ini.



Akhirnya perlu kami keinukakan bahwa dengan terbitnya laskah ini mudah-mudahan ada manfaatnya terhadap bangsa dan legara kita.



Pemimpin Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah,



[



Bknibang Suwondo \ NIP. 130117589



SAMBUTAN Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kita menyambut dengan rasa gembira, bahwa Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Dep. P dan K. telah berhasil menyusun naskah: Sejarah Daerah, Adat Istiadat Daerah, Geografi Budaya Daerah, Ceritera Rakyat Daerah dan Ensiklopedi Musik/Tari Daerah. Selesainya naskah-naskah ini adalah disebabkan karena adanya kerja sama yang baik dari semua pihak baik di pusat maupun di daerah, terutama dari pihak Perguruan Tinggi, Kanwil Dep. P dan K . Pemerintah Daerah serta Lembaga Pemerintah/Swasta yang ada hu hubungannya. Naskah-naskah ini adalah suatu usaha permulaan dan masih merupakan tahap pencatatan, yang dapat disempurnakan pada waktu yang akan datang. Usaha menggali, menyelamatkan, memelihara, serta mengembangkan warisan budaya bangsa seperti yang disusun dalam naskah ini masih dirasakan sangat kurang, terutama dalam p'enerbitan. Oleh karena itu saya mengharapkan bahwa dengan terbitan naskah ini akan merupakan sarana penelitian dan kepustakaan yang tidak sedikit artinya bagi kepentingan pembangunan bangsa dan negara khususnya pembangunan kebudayaan. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu suksesnya proyek pembangunan ini. Jakarta, Direktur Jenderal Kebudayaan,



Prof. Dr. Haryati Soebadio NIP. 130119123



DAFTAR



ISI



Pengantar Sambutan Daftar Isi Pendahuluan 1. Cerita Malikul A d i l 2. Cerita Si Kuali Besi 3. Cerita Perempuan, Setanpun Jemu 4. Cerita Kotak Ajaib 5. Cerita Lenang Mulud 6. Cerita Kaki 7. Cerita Si Layar dengan Beru Dinam 8. Cerita Si Piher dan Beru Dihe 9. Cerita Si Mugan 10. Cerita Tupai Malimdiwa 11. Cerita Cukup Sepaha 12. Asal nama Negeri Jungka Gajah 13. Paya Ular 14. Cerita G u m Leman 15. Cerita Panglima Sekunca 16. Cerita Anak Piatu 17. Cerita Kerbau Besar 18. Cerita Anak Yang Berakal 19. Cerita Padi Muda 20. Cerita Jugi Tapa Lampiran I. Peta Persebaran Cerita Rakyat Lampiran II. Peta Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh



001 011 025 031 045 057 063 071 079 085 089 101 111 119 127 133 139 145 155 165 171



PENDAHULUAN LATAR BELAKANG DAN MASALAH 1.1. Latar Belakang. Kebudayaan nasional yang bersumber pada kebudayaan daerah perlu dibina dan dipelihara, sehingga usaha pembinaan dan pemeliharaan kebudayaan nasional tersebut harus dimulai dari usaha penggalian unsur-unsur kebudayaan daerah. Cerita rakyat adalah satu unsur kebudayaan nasional yang masih hidup dan berkembang di setiap daerah, termasuk di daerah Aceh. Peranan cerita rakyat dalam masyarakat tidak perlu disangsikan lagj mengingat pentingnya nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Peranannya antara lain sebagai penunjang perkembangan bahasa daerah, penunjang perkembangan bahasa dan sastra Indonesia, pengungkap alam pikiran beserta sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat pendukungnya, dan penyampaian gagasan yang mengandung pembangunan manusia secara keseluruhan. Dengan demikian cerita rakyat tersebut telah mampu membuat tempat dalam kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia, sehingga mudahlah difahami bahwa cerita rakyat yang berkembang di daerah Aceh dapat memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam kehidupan kebudayaan di daerah Aceh. Terutama dalam kehidupan kesusastraan, bahasa daerah, dan adat istiadat daerah Aceh. Selain itu cerita rakyat di daerah Aceh telah mampu memberikan sumbangan dalam bidang keagamaan dan pendidikan moral. Maka itu dalam setiap kesempatan penutur cerita selalu menanamkan sifat-sifat baik, baik menurut pandangan agama maupun menurut pandangan moral. Pandangan-pandangan yang baik itu diberikan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Cara tidak langsung, dalam hal ini pendengar cerita terutama kalangan anak-anak muda seakan-akan dipersilakan untuk meng1



ambil kesimpulan sendiri terhadap cerita-cerita yang baru didengarnya; sedangkan cara langsung, penutur ceritalah yang memberikan kesimpulan tentang makna sesuatu cerita dongeng yang baru saja dituturkan. Mengingat betapa pentingnya peranan cerita rakyat seperti tersebut di atas maka usaha penggalian kembali cerita rakyat yang bertebaran di seluruh pelosok tanah air perlu dilakukan. Untuk terlaksananya penggalian cerita rakyat tersebut maka salah satu usaha adalah melalui program penelitian, baik untuk penggaliannya maupun untuk pengembangannya. Menyadari pentingnya nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita rakyat dan pentingnya pembinaan kebudayaan nasional maka Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Daerah Istimewa Aceh dalam kegiatannya pada tahun anggaran 1977/1978 telah berhasil menggarap lima aspek kebudayaan daerah, di antaranya ialah cerita rakyat. Dalam laporan penelitian tersebut telah berhasil dikumpulkan sebanyak 20 buah cerita rakyat, yang terdiri atas 8 buah cerita yang berbahasa Aceh, 4 buah cerita rakyat yang berbahasa Gayo, 5 buah cerita rakyat yang berbahasa Jamu dan 3 buah cerita rakyat yang berbahasa Tamiang. Hasil penelitian tersebut baru merupakan pencatatan dan penelitian secara garis besar mengenai lingkungan penceritaan dan klasifikasi cerita menurut bentuk, nilai, dan sasaran cerita, sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut terutama penelitian tentang tematis yang berfokus pada peranan tokoh utama, baik yang bersifat mitologis maupun legendaris. Maka pada tahun anggaran 1978/1979 penelitiar tentang peranan tokoh utama dalam cerita rakyat di daerah Aceh adalah salah satu aspek penelitian yang diprio ritaskan pada Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Daerah Istimewa Aceh. 1.2. M a s a l a h . 1.2.1. Masalah Umum. Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya belum dapal sepenuhnya melayani data dan informasi kebuda2



yaan yang terjalin di dalam bahan sejarah, adat istiadat, geografi budaya dan folklore, baik untuk kepentingan pelaksanaan kebijaksanaan kebudayaan, penelitian maupun masyarakat. 1.2.2. Masalah Khusus. Daerah Aceh termasuk daerah yang kaya dengan cerita rakyat. Kegemaran mendengar cerita-cerita yang disampaikan oleh penutur sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Aceh baik untuk anakanak, maupun anak-anak muda, dan orang-orang tua sejak dahulu kala. Mengenai peranan cerita rakyat dalam masyarakat sebagai sumber nilai budaya sudah diungkapkan di atas, sehingga perlunya pencatatan cerita rakyat daerah tidak disangsikan lagi. Pencatatan atau penelitian terhadap cerita rakyat harus dilaksanakan dengan segera mengingat penutur ceritanya makin lama makin berkurang, karena satu demi satu penutur cerita itu meninggal dunia. Kehilangan penutur cerita itu sendiri sepintas lalu kelihatannya adalah hal yang wajar namun akibatnya akan terasa dalam pembinaan nilai-nilai kebudayaan nasional sehingga kalau tidak segera dilakukan pencatatan melalui penuturnya, maka jelaslah bahwa unsur-unsur kebudayaan nasional kita beserta dengan nilai-nilai yang dikandungnya akan lenyap bersama mereka. Peranan penutur cerita dalam penyampaian cerita di daerah Aceh sampai saat ini masih memegang peranan, walaupun kesempatan bercerita sudah agak terbatas. Kesempatan bercerita oleh penutur telah digunakan dalam berbagai situasi dan berbagai tempat. Kesempatan bercerita dapat teriadi di rumah, di meunasah/surau, di tempat-tempat upacara adat, di balai-balai, di tempat-tempat gotong royong, di sawah pada waktu mengirik dimalam hari dan sebagainya. Sehubungan dengan kenyataan-kenyataan seperti tersebut diatas maka pencatatan terhadap cerita 3



rakyat yang tersebar luas di berbagai daerah di Indonesia perlu segera dilakukan. Jadi yang merup; kan masalah pokok mengapa pencatatan itu harus segera dilakukan ialah masalah penuturnya yan^ sebagian besar terdiri dari orang-orang tua yanj; telah mendekati pada akhir usia. Sedangkan fak tor tempat bercerita tidak merupakan masalah ka rena bisa dilaksanakan dalam berbagai situasi se hingga tidak terikat dalam upacara tradisional. Pengumpulan terhadap cerita rakyat di berbaga daerah di Indonesia memang telah mulai dilaku kan, sedangkan pengumpulan cerita rakyat di dae rah Aceh telah dimulai pada tahun 1976/197' oleh Proyek Penelitian Bahasa dan sastra Indone sia dan Daerah, Daerah Istimewa Aceh. Kemudiar pada tahun 1977/1978 dilaksanakan pula olel Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaar Daerah, Daerah Istimewa Aceh. Namun penggali an nilai-nilai budaya yang terkandung dalam ceri ta rakyat secara ekplisit belum dilakukan sebagai mana mestinya. Penggalian cerita rakyat yang ber fokus pada peranan tokoh utama yang bersifa mitologis atau legandaris masih perlu ditingkatkai baik secara kwantitatif maupun secara kwalitatif Kesadaran untuk memahami pentingnya nilai-nila budaya yang terkandung dalam cerita rakyat da lam rangka pembinaan kebudayaan nasional ma sih perlu dikembangkan. Pendidikan mental ma syarakat didaerah-daerah sering dilakukan tanp memahami sistim nilai budaya yang berlaku d< lam masyarakat yang bersangkutan sehingga usah tersebut sering tidak mengenai sasaran. Dalam h; ini peneliti cerita rakyat dapat menunjangnya df ngan menampilkan perumusan hasil penelitianny; 2.



TUJUAN PENELITIAN. 2.1. Tujuan Umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan dat informasi tentang unsur-unsur kebudayaan daerah dalar



4



2.2.



rangka usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional. Tujuan Khusus. Tujuan khusus penelitian ini ialah untuk menjaga kelangsungan hidup cerita rakyat daerah Aceh beserta dengan nilai-nilai yang dikandung, sebagaimana yang telah dikemukakan latar belakang diatas sehingga dirasa perlu untuk mengumpulkan cerita rakyat daerah yang bertemakan tokoh utama mitologis dan legendaris untuk memperoleh data tentang nilai-nilai kehidupan dan identitas masyarakat pendukungnya. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut diatas penelitian ini harus menghasilkan 20 buah cerita rakyat khas daerah yang menampilkan tokoh mitologis dan legendaris, masing-masing 15 buah cerita dewasa dan 5 buah cerita anak-anak.



RUANG LINGKUP D A N LATAR B E L A K A N G GEOGRAFIS SOSIAL B U D A Y A . Penelitian ini dibatasi pada cerita rakyat khas daerah yang menampilkan tokoh mitologis dan legendaris. Yang dimaksud dengan cerita rakyat dalam penelitian ini ialah cerita prosa yang tersebar di kalangan masyarakat dari mulut ke mulut (penyebarannya secara tradisi lisan). Jadi penyebarannya menggunakan bahasa lisan sebagai medianya. Mengenai bahasa sebagai media cerita rakyat daerah Aceh, maka di daerah Aceh selain bahasa Aceh terdapat juga bahasa Gayo di Aceh Tengah, bahasa Alas di Aceh Tenggara, bahasa Tamiang di daerah Tamiang (Aceh Timur), bahasa Kluet di daerah Kluet (Aceh Selatan), bahasa Singkil di Singkil (Aceh Selatan), dan bahasa Simeulu di Pulau Simeulu. Dengan demikian yang dimaksud dengan cerita rakyat daerah Aceh adalah cerita rakyat yang didukung, disebarkan dan dikembangkan melalui bahasa-bahasa tersebut. Namun demikian mengingat faktor waktu dan letan geografe yang sangat jauh dari Banda Aceh serta kesukaran tranportasi maka jangkauan penelitian tidak mungkin mencakup semua wilayah yang ada bahasa-bahasa daerah tersebut, sehingga wilayah-wilayah yang tidak terjangkau dalam penelitian ini ialah Simeulu, Singkil dan Kluet. 5



Penelitian untuk wilayah yang berbahasa Aceh, meliputi wilayah bahasa Aceh dialek Aceh Utara, dialek Aceh Pidie, dan dialek Aceh Besar. Wilayah berbahasa Gayo meliputi dialek Kebayakan, Bebesan, dan Blang Keujren. Wilayah bahasa Alas meliputi dialek-dialek Hulu, Tengah dan Hilir, wilayah berbahasa Jamu meliputi dialek Susoh dan Tapak Tuan, sedangkan wilayah berbahasa Tamiang meliputi dialek Seruway, Bendahara dan Karang Baru. Selanjutnya berbicara soal latar belakang geografis sosial budaya dapat ditinjau dari berbagai segi antara lain dari segi sosiologis, historis, psikologis terutama dalam bidang kehidupan sosial, maka sebahagian besar masyarakat Aceh hidup dalam pertanian. Kegiatan pertanian sebagian besar dilakukan siang hari. Maka itu kesempatan untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga dan anggota masyarakat lainnya dilakukan pada malam hari dirumah dan disurau-surau. Dalam kesempatan tersebut umumnya digunakan untuk memberikan pendidikan keagamaan dan pendidikan umum kepada anak-anak dan cucucucunya atau pemuda-pemuda dikampungnya. Sebagai media pendidikan tersebut antara lain dilakukan dengan perantaraan bercerita, dalam bahasa Aceh dikenal dengan istilah "peugah haba". Cerita-cerita yang dituturkannya itu dikenal dengan istilah "haba jameuen" yaitu cerita-cerita orang-orang tua dahulu kala yang didalamnya mengandung nilai-nilai keagamaan, pendidikan, adat istiadat, dan sebagainya. Sesuai dengan peranan orang-orang tua, baik dalam lembaga keluarga maupun dalam lembaga kemasyarakatan dalam perkampungan maka wajarlah jika penutur cerita itu terdiri ayah, ibu, kakek, nenek dan orang-orang tua dikampungnya. Latar belakang historisnya terutama yang menyangkut mengenai umur cerita sukar untuk menentukannya karena pada umumnya cerita-cerita itu dimulai dengan kata-kata: "Na saboh haba" yang bisa diteriemahkan "konon adalah sebuah ce cerita." Memang cerita rakyat didaerah Aceh adalah kekayaan masyarakat Aceh dari dahulu kala yang diwariskan dari mulut ke mulut. Dari segi psikologis hampir setiap cerita selalu memperlihatkan gejala-gejala kejiwaan pada pelakunya seperti kebodoh6



an dan kecerdikan, seperti terdapat dalam cerita Anak Berakal, kejahatan dan kebaikan seperti yang terdapat dalam cerita-cerita Cukup Sepaha, kesengsaraan dan kebahagiaan seperti terdapat dalam cerita Malikul Adil. Kebencian dan kasih sayang seperti yang terdapat dalam cerita Anak Piatu, kelucuan seperti yang terdapat dalam cerita si Kuali Besi, kesetiaan dan pengkhianatan seperti yang terdapat dalam cerita Guru Leman. Cerita Kotak Ajaib, kejujuran dan kecurangan seperti yang terdapat dalam cerita Panglima Sekunca. Selanjutnya segi kultural pendidikan dapat kita lihat bahwa hampir semua cerita yang dituturkan oleh orang-orang tua mengandung unsur-unsur pendidikan, baik pendidikan moral, pendidikan cinta pada lingkungan pendidikan rasa keindahan, pendidikan mempererat pertalian keluarga, pendidikan adat istiadat, cinta tanah air dan sifat-sifat kepemimpinan. Selain itu juga didalam cerita-cerita itu kita dapati juga latar belakang yang mempertebal kecintaan kepada Tuhan, hormat kepada orang tua, hormat kepada guru dan hormat kepada sesama manusia. Akhirnya mengenai tema cerita maka cerita-cerita yang berkembang pada umumnya bertemakan pertentangan antara dua kutub yang berlawanan seperti kebaikan kejahatan, kebodohan lawan kecerdikan, kesetiaan lawan pengkhianatan, kebencian lawan kasih sayang, kemelaratan lawan kemewahan dan sebagainya. 4.



A N G G A P A N D A S A R D A N HIPOTESA 4.1. Anggapan Dasar. 4.1.1. Cerita rakyat daerah adalah bahagian dari kebudayaan nasional yang masih hidup dan mempunyai nilai-nilai budaya yang terkandung didalamnya, sehingga cerita rakyat daerah sangat berperanan dalam kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia yang sedang me'mbangun. 4.1.2. Cerita rakyat daerah Aceh dapat menunjang perkembangan bahasa daerah yang ada didaerah Aceh. Hal ini berarti menunjang salah satu unsur kebudayaan. 7



4.2. Hipotesa. Cerita rakyat didaerah Aceh yang masih berkembang sam pai saat ini masih berfungsi dalam kehidupan masyarakat pen dukungnya. 5. M E T O D E D A N T E K N I K P E N E L I T I A N 5.1. Metode. Metode yang digunakan dalam kegiatan penelitian ceritt rakyat daerah Aceh ialah metode deskriptif baik untuk pengumpulan data, analisis data dan penyusunan laporan. 5.2. Teknik Penelitian. Sedangkan teknik pengumpulan data yang akan dipergunakan adalah sebagai berikut. 5.2.1. Mengadakan observasi ke daerah penelitian yang telah ditetapkan untuk mengadakan penjajakan dan mencari wawasan tentang penutur-penutui cerita rakyat sebagai contoh informan. 5.2.2. Mengadakan perekaman penuturan terhadap cerita rakyat dan memperoleh informasi yang diperlukan dengan menggunakan pita kaset C.60. 5.2.3. Pencatatan terhadap cerita-cerita yang pendek. 5.2.4. Mengadakan wawancara dengan para informan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan lebih dahulu baik mengenai lingkungan penceritaan maupun mengenai latar belakang cerita itu. Informan yang dipilih dalam penelitian ini ialah informar utama (active bearer) yang berumur 40 tahun keatas yang cukup baik penuturannya sehingga dari informan tersebut selair diperoleh cerita, juga diharapkan akan diperoleh informasi yang diperlukan. 6. POPULASI D A N S A M P E L . 6.1. Populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah penutur asli cerita rakyat daerah yang berbahasa Aceh, bahasa Gayo, bahasa Tamiang, bahasa Alas dan bahasa Jamu. 6.2. Sampel. Selanjutnya yang dijadikan sebagai sampel 20 buah 8



cerita rakyat daerah yang terdiri atas 6 buah cerita rakyat yang berbahasa Aceh, 4 buah yang berbahasa Gayo, 2 buah yang berbahasa Tamiang, 4 buah yang berbahasa Alas, dan 4 buah yang berbahasa Jamu. Cerita-cerita rakyat direkam dari penutur utama yang berumur 40 tahun keatas, baik laki-laki maupun perempuan. 6.3. Teknik Analisa. Data yang terkumpul diseleksi, diklasifikasikan dan dianalisis. Seleksi data dilakukan untuk mengambil bahan-bahan/data-data yang diperlukan untuk ditrankripkan, diterjemahkan dan dianalisis. 7. P E R T A N G G U N G J A W A B A N P R O S E D U R P E N E L I T I A N Seluruh kegiatan ini dilakukan selama 6 bulan, yaitu sejak bulan Juni sampai dengan bulan November 1978. Kegiatan tersebut terdiri atas: 7.1. Persiapan. Dalam tahap ini dilakukan: - Menyusun rancangan penelitian. - Mengadakan studi Pustaka. - Menyediakan alat-alat. - Mengadakan observasi pendahuluan kedaerah penelitian. 7.2. Pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan dengan jalan: - Pencatatan biasa, yaitu pencatatan terhadap cerita rakyat daerah berdasarkan penuturan dari penuturnya sesuai dengan bunyi penuturnya. Pencatatan biasa ini dilakukan terhadap cerita rakyat daerah yang pendek. - Perekaman langsung dari penuturnya, baik penyajian dalam konteks kehidupan budaya misalnya dalam upacara adat, maupun direkam ditempat kediaman penuturnya. 7.3. Pengolahan data. Data yang telah terkumpul kemudian ditranskripsikan dan diterjemahkan. Selanjutnya dianalisis sesuai dengan bentuknya, masalahnya dan nilainya. 7.4. Penyusunan laporan. Setelah pengolahan data selesai, maka langkah selanjutnya ialah penyusunan laporan. 9



7.5. Reproduksi laporan. Tahap akhir langkah kerja penelitian ini ialah reproduksi laporan.



10



1. CERITA MALIKUL ADIL *) Di negeri Puspa Indra ada seorang raja yang bernama Malikul Adil. Nama raja tersebut sesuai dengan sikapnya yang adil,bijaksana dan selalu memberi bantuan kepada rakyat. Raja Malikul Adil mempunyai seorang putra yang bernama Kamarudzaman. Kamarudzaman adalah seorang anak yang baik dan sejak kecil dia menuntut ilmu. Setelah dewasa ia hendak dikawinkan oleh ayahnya, tetapi Kamarudzaman menolak karena ia ingin menuntut ilmu yang lebih tinggi. Setiap kali ayahnya melamar anak raja yang ada di sekitar negerinya selalu ditolak oleh Kamarudzaman. Maka ayahnya sangat marah sehingga Kamarudzaman dipenjarakan dalam istana. Namun demikian Kamarudzaman merelakan dirinya dimasukkan penjara sambil mengatakan pada ayahnya: "Ampun ayahanda!, kehendak ayahanda untuk memenjarakan ananda akan ananda patuhi dan relakan". Akhirnya tinggallah Kamarudzaman dalam penjara istana yang dijaga oleh seorang pengasuh. Sementara itu dinegeri Aljazair hiduplah seorang putri raja yang bernama Hayatun Nufus yang sejak kecil telah menuntut ilmu. Setelah dia meningkat dewasa maka ayahnya hendak mengawinkannya, tetapi dia juga menolaknya. Setelah mengetahui bahwa anaknya tidak mau dikawinkan lalu dipenjarakannya ia dalam istana. Putri Hayatun Nufus pun mengikuti saja kehandak ayahnya untuk dipenjarakan. Dengan demikian putri Hayatun Nufus bernasib sama dengan Kamarudzaman. Kembali lagi tentang cerita Kamarudzaman. Di tempat Kamarudzaman dipenjarakan ternyata ada jin afrid yang sedang tidur selama enam bulan. Ketika jin itu terbangun terlihatlah olehnya seorang anak raja yang sangat gagah. Menurut anggapannya dia belum pernah melihat anak raja yang segagah itu. "Anak siapakah gerangan," fikirnya. Sementara dia mengagumi anak raja itu lalu dia teringat kepada salah seorang sahabatnya yang berada di negeri Aljazair. Sahabatnya itu juga seorang jin yang bernama Maimunah, dan *) diambil dari bahasa Aceh. 11



dia bermaksud akan pergi ke Aljazair untuk mengabarkan kepada Maimunah bahwa dia telah menemukan seorang anak raja" yang gagah perkasa. Kemudian dia pun berangkat ke Aljazair. Sebaliknya, di Aljazair Maimunah pun ketika terbangun juga melihat sebuah istana. Di dalam istana tersebut didapatnya seorang anak raja, seorang putri yang sangat cantik. Dia pun bermaksud akan menyampaikan berita penemuan seorang putri yang sangat cantik itu kepada sahabatnya, jin afrid, di negeri Puspa Indra. Lalu berangkatlah Maimunah ke Puspa Indra, sehingga bertemulah kedua jin tersebut dalam perjalanan di tengah lautan. Setelah mereka bertemu maka masing-masing mereka menceritakan tentang maksud keberangkatan mereka, lalu masing-masing memuji kecantikan dan kegagahan anak yang mereka dapati. Jin Afrid memuhi kegagahan anak raja di negeri Puspa Indra, sedangkan Maimunah memuji kecantikan anak raja di negeri Aljazair. Akhirnya untuk membuktikan mana yang lebih gagah dan mana yang lebih cantik di antara kedua anak raja itu maka kedua jin telah sepakat untuk mempertemukan kedua anak raja tersebut. Jin Afrid mengusulkan kepada Maimunah agar Maimunahlah sebaiknya yang akan membawa anak raja di Aljazair ke negeri Puspa Indra, untuk dipertemukan dengan Kamarudzaman. Usul tersebut diterima oleh Maimunah. Maka dibawalah Hayatun Nufus ke Puspa Indra. Di tengah malam buta sampailah Hayatun Nufus di Puspa Indra, lalu dibawa masuk ketempat Kamarudzaman dan ditidurkan di tempat tidur dekat Kamarudzaman. Kemudian Maimunah raengatakan kepada Jin Afrid, "Hai kakakku! Bangunkan Kamarudzaman." Setelah Kamarudzaman terbangun maka dilihatnya ada seorang putri yang cantik sekali di sampingnya sedang tidur nyenyak, lalu dipangkunya sambil dibangunkan. Namun demikian putri Hayatun Nufus tidak juga terbangun. Kamarudzaman terpikir dalam hatinya bahwa putri inilah yang mungkin akan dikawinkan dengan nya oleh ayahnya "Kalau nikah dengan putri ini tentu saya mau," fikirnya. Melihat Kamarudzaman kegila-gilaan kepada Hayatun Nufus, maka Maimunah mengatakan kepada sahabatnya jin Afrid, "Lihatlah! bukankah tuan putri saya yang lebih cantik?" Baiklah. Kalau demikian sekarang kita cobakan menidurkan yang laki-laki dan membangunkan yang perempuan," usul jin Af12



ril Setelah itu ditidurkanlah Kamarudzaman dan dibangunkanlah Hayatun Nufus. Sebagaimana halnya Kamarudzaman maka Hayatun Nufus setelah melihat ada seorang anak raja di sampingnya sedang nyenyak tidur lalu dicium-ciumnya dan dipangkunya. Naimun Kamarudzaman tidak juga terbangun. Hal itu tentu telah diatur sedemikian mpa oleh kedua makluk halus tersebut yaitu jin Afrid dan jin Maimunah. Hayatun Nufus berusaha lagi membangunkan Kamarudzaman dengan disertai ucapan-ucapan,"Hai kanda, bangunlah! Ini adikmu sudah datang sedang menunggumu. Kanda adalah pemberian ayah sebagai jodohku, aku pasti mau kalau dikawinkan dengan kanda, karena aku senang padamu." Sungguhpun demikian Kamarudzaman tidak terbangun juga. Setelah lama menunggu tidak juga terbangun, lalu diambil cincin dari jari Hayatun Nufus dan dimasukkan ke jari Kamarudzaman. Setelah itu berkatalah jin Afrid, "Apa guna kita bertengkar lagi. Bukankah sudah sama-sama kita saksikan bahwa Kamarudzamanlah yang paling gagah karena tuan putri ternyata sangat tergila-gila kepada Kamarudzaman." Kemudian Hayatun Nufus dibawa pulang lagi oleh Maimunah ke Aljazair. Keesokan harinya, pagi-pagi setelah kejadian itu bangunlah Kamarudzaman dan dilihatnya putri yang dilihatnya tadi malam tidak ada lagi di tempat itu. Ketika datang pengasuh masuk membawa minuman berkatalah Kamarudzaman, "Tanyakanlah kepada ayahanda ke mana dibawanya putri yang pernah datang kemari, dan saya tidak memerlukan lagi minuman." Mendengar hal yang demikian maka terkejutlah pengasuh itu lalu diceritakan hal itu kepada raja. Raja pun sangat terkejut ketika mendengar laporan dari pengasuh, ialu raja menganggap bahwa anaknya sudah gila. Namun demikian raja ingin menyaksikan sendiri tentang hal anaknya, tetapi beliau sangat kaget ketika anaknya bertanya kepada ayahnya, "Kemana telah ayahanda sembunyikan putri yang tadi malam. Saya mau kawin dengannya." "Hai anakku! Engkau adalah orang yang beriman. Mengucaplah! Tidak ada putri yang ananda ceritakan. Tidak ada yang membawa kemari," kata raja. "Betul ayah. Cincin ini sebagai buktinya," ujar Kamarudza13



man lagi. Sungguhpun demikian raja tetap beranggapan bahwa anaknya sudah gila, sehingga telah banyak dukun yang telah dikerahkan untuk mengobatinya. Namun tidak juga membawa hasil. Selanjutnya beralihlah cerita kepada seorang nenek di negeri Aljazair. Nenek itu bersama seorang anak yang bernama Muhammad Nur. Muhammad Nur tersebut telah lama berada di rantau dan telah bekerja pada sebuah kapal. Dia mendapat kepercayaan penuh dari kapten kapal tersebut. Setelah beberapa tahun dia bekerja di kapal maka teringatlah dia kepada ibunya yang sudah tua yang sudah lama ditinggalkan di kampung. Kemudian dia meminta izin kepada kapten kapal untuk pulang ke kampung. Dan setelah memperoleh izin maka pulanglah dia ke kampung. Kebetulan pada waktu ituia(sampai dirumah ternyata ibunya tidak berada di rumah. Lalu dia bertanya kepada tetangga. "Hai kakak! Ke manakah ibu saya?" Tetangganya menjelaskan bahwa ibunya sudah pergi ke rumah raja, setelah itu tetangganya itu pergi memberitahukan kepada ibu Muhammad Nur, bahwa Muhammad Nur sudah pulang dari rantau. Mendengar berita itu alangkah gembira hatinya. Pada saat itu juga ibu Muhammad Nur langsung pulang ke rumahnya untuk menyambut kedatangan anaknya. Setelah melihat ibunya datang bertanyalah Muhammad Nur kepada ibunya. "Dari manakah ibu tadi?" "Wahai anakku! Tadi ibu pergi ke rumah raja, karena anaknya putri Hayatun Nufus dalam keadaan sakit berat," jawab ibunya. "Sakit apakah yang dideritanya, B u , " tanya Muhammad Nur. "Dia sekarang seperti orang gila. Setiap hari dia menyebutkan anak raja yang pernah dilihat pada suatu malam. Demikianlah keadaannya sekarang," jawab ibunya. Lalu ibu Muhammad Nur bertanya kepada anaknya, "Sanggupkah kamu mengobatinya? Barangkali kamu sanggup mengobatinya, karena kamu telah lama di rantau." "Mana mungkin, B u ! " jawab Muhammad Nur. Setelah Muhammad Nur sebulan berada di kampung lalu dia minta izin untuk berangkat lagi ke tempat dia bekerja di kapal. Sebagaimana biasa kapal itu selalu berlayar keluar negeri. Pada suatu 14



hari, tenggelamlah kapal itu di tengah lautan. Sedangkan Muhammad Nur dapat menyelamatkan diri dengan sekeping papan. Namun dia terbawa hanyut ke suatu negeri yaitu Puspa Indra dan diselamatkan oleh seorang menteri yang kemudian mengambilnya sebagai anak angkatnya. Selama Muhammad Nur berada di rumah menteri itu hampir setiap hari ayah angkatnya pergi ke rumah raja. Pada suatu hari dia bertanya kepada menteri, "Hai Bapak! Apa sebabnya Bapak hampir setiap hari pergj ke rumah raja?" "Saya setiap hari pergi ke rumah raja karena sekarang raja dalam keadaan sangat. susah. Anaknya sedang sakit berat. Hampir setiap hari Kamarudzaman, anak raja tersebut, menyebut dan memanggil nama seorang putri raja" ujar menteri itu. "Mengapa sampai demikian," tanya Muhammad Nur lagi. "Entahlah. Dahulu memang Kamarudzaman mau dikawinkan tetapi dia menolak sehingga raja sangat marah. Lalu Kamarudzaman dipenjarakan oleh ayahnya. Selama dalam penjara itu ia selalu memanggil-manggil nama putri yang menurut pengakuannya pernah diperlihatkan oleh ayahnya kepadanya. Padahal Kamarudzaman di penjarakan justru karena dia menolak untuk dikawinkan. Oleh karena itu dengan keadaan yang demikian wajarlah jika raja menganggap bahwa anaknya sudah gila," demikian penjelasan men teri kepada Muhammad Nur. Setelah mendengar keterangan menteri lalu Muhammad Nur pun bercerita di negerinya pun ada seorang putri raja yang hampir setiap hari juga memanggil-manggil nama seorang anak raja. Putri itu dipenjarakan juga oleh ayahnya karena tidak mau dikawinkan. Jadi halnya hampir sama dengan Kamarudzaman. Bagaimana mung kin bisa terjadi hubungan antara seorang putra raja dengan seorang putri yang kedua kerajaan itu berpisah dengan lautan, jika bukan karena dipertemukan oleh jin, fikir Muhammad Nur. Kemudian Muhammad Nur berkata kepada menteri, "Bolehkah saya pergi ke tempat Kamarudzaman untuk melihat keadaan sakitnya?" "Boleh saja," jawab menteri, "apa lagi kamu telah menjadi anak angkatku, tentu raja mengizinkannya." Lalu berangkatlah menteri ke istana untuk minta izin kepada raja. Setelah mendapat izin maka berangkatlah Muhammad Nurke istana untuk menjumpai Kamarudzaman. Sesampai di istana berce15



ritalah Kamarudzaman tentang hal keadaannya yang telah diobati oleh ayahnya bertahun-tahun. "Padahal saya tidak sakit, saya memang menyebut-nyebut dan terkenang-kenang kepada seorang putri raja yang pernah saya lihat di samping saya. Sedangkan ayah tidak mempercayai hal itu, malah dianggap saya telah gila. Padahal sama sekali tidak gila," kata Kamarudzaman. "Cincin inilah sebagai bukti." Setelah Muhammad Nur melihat cincin itu, terlihatlah singkatan nama Hayatun Nufus pada cincin itu. Lalu berceritalah Muhammad Nur kepada Kamarudzaman, "Hai Tuanku! Di negeri saya juga ada seorang putri yang keadaannya sama dengan Tuanku. Putri itu pun selalu memanggil nama anak raja dan mendesak kepada ayahnya untuk mengawinkannya dengan anak raja tersebut yang menurut pengakuannya pernah dilihat pada suatu malam. Putri itu bernama Hayatun Nufus." Demikianlah keterangan Muhammad Nur kepada Kamarudzaman. Oleh Kamarudzaman langsung dijawab, "Kalau demikian ceritamu maka sekarang saya jadi sembuh. Tolonglah panggil menteri kemari." Kemudian menteri itu pun datang ke tempat Kamarudzaman lalu Kamarudzaman berkata kepada menteri, "Hai menteri! Pergilah kepada ayahanda dan beritahukan bahwa saya telah sembuh berkat pertolongan Muhammad Nur." Ketika raja mendengarnya bahwa anaknya telah sembuh, sangatlah senang hatinya. Muhammad Nur pun disuruh tinggal oleh raja di istana dengan Kamarudzaman. Pada suatu hari Kamarudzaman meminta kepada Muhammad Nur agar Muhammad Nur bersedia membawanya ke Aljazair. "Boleh saja," jawah Muhammad Nur. "Bagaimana caranya untuk memperoleh izin dari ayah," tanya Kamarudzaman lagi. "Begini caranya! Beritahukan kepada raja bahwa kita bermaksud untuk berburu ke hutan," kata Muhammad Nur. Ternyata keinginan mereka dikabulkan oleh raja. Maka berangkatlah mereka bersama dengan sejumlah pengiring. Setelah mereka sampai di gunung mereka berusaha untuk memisahkan diri dari rombongan pengawal dan bersembunyi dalam rimba raya. Lalu Muhammad Nur menyarankan kepada Kamarudzaman, "Tuanku, kita sembelih seekor kuda dan kita ambil darahnya lalu kita lu16



muri pakaian kita. Nanti pakaian tersebut kita tinggalkan. Dengan demikian pengawal kita akan menganggap kita telah dimakan oleh binatang buas." "Setuju Muhammad Nur, lakukanlah," kata Kamarudzaman. Selesai mereka kerjakan apa yang diserukan oleh Muhammad Nur lalu mereka meneruskan perjalanan menyeberangi lautan menuju ke Aljazair. Sampai di Aljazair mereka langsung menuju ke rumah orang tua Muhammad Nur dan sampai di rumah, Muhammad Nur memberitahukan kepada orang tuanya bahwa ia membawa seorang dukun. Orang tua Muhammad Nur sangat gembira mendengar Muhammad Nur membawa seorang dukun yang barang kali sanggup mengobati Hayatun Nufus, "kalau demikian besok pagi kita pergi ke rumah raja" kata ibunya. Sebelum mereka berangkat ke rumah raja mereka pergi berjalan-jalan mengelilingi negeri Aljazair melihat-lihat pemandangan sambil memikirkan bagaimana cara menghadapi raja dan putrinya yang sedang sakit itu. Setelah mereka berjalan-jalan lalu mereka pulang lagi ke rumah. Sampai di rumah berkatalah Kamarudzaman kepada Muhammad Nur. "Biarlah saya sendirian pergi ke istana. Saya telah mengetahui bagaimana cara menghadapi raja." Kemudian berangkatlah Kamarudzaman ke istana. Sampai di istana dia langsung memperkenalkan diri sebagai seorang dukun yang sanggup mengobati Hayatun Nufus. Namun demikian pengawal istana masih menyangsikan, malah menasehati Kamarudzaman, "Wahai anak muda! Jangan cobacoba, nanti kamu akan dibunuh oleh raja. Telah banyak dukun yang terkenal yang dibunuh karena tidak berhasil mengobatinya." "Jangan khawatirkan saya! Saya pasti sanggup mengobatinya." jawab Kamarudzaman. Mendengar jawaban yang demikian lalu Kamarudzaman diantar ke tempat raja. Melihat kedatangannya, berkatalah raja kepada Kamarudzaman, "Datanglah anak muda! Sebaiknya kamu jangan mencoba-coba untuk mengobati anak saya kalau kamu tidak benar-benar mampu." Kemudian Kamarudzaman menjawab, "Daulat Tuanku! Saya datang dari jauh sengaja ingin mengobati tuan putri, karena saya merasa sanggup mengobatinya." "Kalau demikian, silakan!" seru raja. Setelah itu Kamarudzaman diantar ke tempat Hayatun Nufus 17



oleh pengawal. Sampai di tempat Hayatun Nufus ia minta air semangkuk kepada pengasuh, lalu Kamarudzaman mengeluarkan cincin yang ada di jarinya dan dimasukkan dalam mangkuk tersebut. Rupanya putri Hayatun Nüfus sempat melihat bahwa cincin tersebut adalah kepunyaannya, sehingga terpikir olehnya bahwa orang tersebut pasti anak raja yang pernah dijumpainya di negeri Puspa Indra. Dengan perasaan yang sangat terharu, Hayatun Nufus berkata, "Mengapa baru sekarang kakanda datang ke sini pada saat-saat saya dalam penderitaan." "Saya juga bernasib sama dengan adinda. Baru sekarang saya dapat melaksanakannya, dinda," jawab Kamarudzaman. Setelah itu Hayatun Nufus menyuruh pengasuhnya menghadap ayahnya untuk memberitakan bahwa dia telah sembuh. Mendengar berita itu bukan main senang hati raja. Ketika itu juga Hayatun Nufus dinikahkan dengan Kamarudzaman. Perkawinan itu dilaksanakan karena dahulu raja pernah mengatakan bahwa barang siapa yang sanggup mengobati anaknya, maka orang tersebut akan dikawinkan dengan anaknya. Selanjutnya tinggallah Kamarudzaman di istana bersama dengan isterinya Hayatun Nufus. Setelah beberapa lama Kamarudzaman tinggal bersama dengan Hayatun Nufus, dia teringat kepada orang tuanya. Maka ia meminta izin kepada raja untuk pulang menjenguk orang tuanya ke negeri Puspa Indra. Setelah mendapat izin berangkatlah ia bersama isterinya, beserta sejumlah pengawal. Ketika mereka masih dalam perjalanan maka pada suatu malam Kamarudzaman sangat gelisah sehingga tidak bisa tidur semalam-malaman. Lalu dia teringat mengenai surat warisan dari ayah mertuanya. Surat tersebut dicari-carinya tetapi tidak juga didapatinya. Rupanya surat warisan tersebut disimpan oleh isterinya Hayatun Nufus pada ikat pinggangnya lalu diambilnya oleh Kamarudzaman. Ketika Kamarudzaman sedang membuka bungkusan untuk mengambil surat tersebut, datanglah seekor burung lalu disambarnya bungkusan tersebut dan dibawa terbang. Kamarudzaman mencoba mengejar burung tersebut tetapi tidak juga dapat menangkapnya, walau pun dia sudah jauh sekali mengejarnya. Namun demikian Kamarudzaman terus juga mengejar burung tersebut sehingga dia tidak sadar bahwa dia telah berpisah dengan isterinya dan pengawalnya. Lama-kelamaan sampailah ia pada suatu negeri, negeri Majusi; lalu dia beristirahat pada suatu kebun bu18



ah-buahan kepunyaan salah seorang penduduk negeri itu yang bernama Kakek Kuli. Rupanya burung yang sedang dikejar Kamarudzaman juga telah hinggap pada suatu pohon buah-buahan yang ada di kebun itu, sehingga Kamarudzaman terpaksa menunggu di bawah pohon itu. Tidak berapa lama antaranya datanglah pemilik kebun itu. Kamarudzaman menegur sambil berkata, "Wahai Bapak, maafkanlah saya, karena saya telah memakan buah-buahan yang ada di kebun ini, saya adalah seorang pengembara." "Makan sajalah nak! Saya izinkan." jawab Kakek Kuli itu. "Kamu berasal dari mana?" tanya lagi. "Saya datang dari negeri jauh dan telah lama dalam pengembaraan," jawab Kamarudzaman. "Kalau demikian maukah kamu tinggal dirumah saya?" tanya kakek itu kepada Kamarudzaman. Lalu dibawalah Kamarudzaman kerumah Kakek Kuli itu dan tinggallah dia disana. Selama Kamarudzaman tinggal dirumah Kekek Kuli dia setiap hari pergi ke kebun untuk membantu menjaga kebun Kakek itu. Pada suatu hari datanglah seekor burung dan hinggap di pohon tempat burung yang dikejar-kejar oleh Kamarudzaman, lalu kedua burung itu berkelahi. Akibatnya jatuhlah bungkusan surat warisan Kamarudzaman. Kemudian diambilnya bungkusan itu lalu dibawanya pulang ke rumah Kakek Kuli. Dalam perjalanan di tengah hutan, Hayatun Nufus bangun dan dilihatnya Kamarudzaman tidak ada lagi, sehingga ia sangat kaget. Demikian juga pengawal-pengawalnya semuanya kaget. Lalu salah seorang di antara pengawal itu berseru, "Mengapa raja sangat berani memungut sembarang orang menjadi menantunya. Sampai hati dia melarikan diri dan meninggalkan putri di tengah-tengah hutan. Barangkali dia seorang penjahat." Mendengar ucapan yang demikian lalu Hayatun Nufus menjawab, "Janganlah berkata seperti itu kepada suami saya. Suami saya bukanlah penjahat. Seandainya saya terpaksa berpisah dengan dia itu adalah sudah kehendak dari Tuhan." Setelah mereka mengetahui bahwa suami Hayatun Nufus sudan melarikan diri maka sebahagian pengawal mengajak Hayatun Nufus untuk kembali ke kampung halaman. Tetapi Hayatun Nufus tidak mau pulang. Putri Hayatun Nufus berniat untuk mengembara ke mana saja. Demi keselamatan dalam perjalanan dia memakai 19



baju suaminya sehingga seolah-olah Hayatun Nufus adalah seorang laki-laki. Dia meneruskan perjalanan dan pengembaraan seorang diri karena semua pengawal sudah kembali ke kampung halaman. Akhirnya sampailah Hayatun Nufus pada suatu negeri. Raja negeri itu adalah seorang putri. Adat kebiasaan negeri itu sangat menghargai dan memuliakan setiap tamu yang datang. Demikian juga kedatangan Hayatun Nufus sangat dimuliakan oleh raja beserta segenap penduduknya. Apa lagi mereka menganggap bahwa Hayatun Nufus adalah putra seoorang raja. Setelah Hayatun Nufus dijamu oleh raja lalu ia minta izin untuk melanjutkan perjalanan, tetapi raja tidak mengizinkannya. Raja minta kepada Hayatun Nufus untuk menginap diistananya beberapa malam. Permintaan raja akhirnya dikabulkan juga oleh Hayatun Nufus. Pada suatu malam raja minta kesediaan Hayatun Nufus untuk dikawinkan dengan putrinya. Permintaan raja tidak dapat di elakkan oleh Hayatun Nufus. Akhirnya dilangsungkanlah perkawinan antara Hayatun Nufus dengan putri raja itu, yang berarti perkawinan antara perempuan dengan perempuan. Agar rahasia tentang dirinya jangan sampai terbongkar maka pada malam pertama Hayatun Nufus berkata kepada isterinya, "untuk sementara waktu kita belum bisa bercampur, karena dahulu saya pernah bernazar tentang hal itu." Cerita tentang Hayatun Nufus sementara kita tinggalkan dan kita lanjutkan kembali cerita tentang Kamarudzaman di negeri Majusi. Pada suatu hari Kamarudzaman berkata kepada Kakek Kuli, "Kakek! Saya mohon agar kepada saya Kakek berikan buah Zaitun beberapa goni." "Boleh saja nak, jangankan berapa goni, berpuluh-puluh goni pun boleh anak ambil," jawab Kakek Kuli. "Mau dibawa kemana nak!" tanyanya lagi. "Mau saya kirim ke Aljazair dan ke Puspa Indra," jawab Kamarudzaman. Setelah itu dikirimlah buah Zaitun ke Aljazair sebanyak dua goni dan ke Puspa Indra sebanyak dua goni pula dengan sebuah kapal laut. Pada waktu kapal yang membawa Zaitun itu singgah di pelabuhan tempat Hayatun Nufus menetap, maka ketika itu Hayatun Nufus kebetulan sedang berada di pelabuhan bersama dengan 20



salah seorang menteri kerajaan, lalu mereka pun naik ke atas kapal karena ingin melihat-lihat. Ketika mereka sedang berjalan-jalan di dalam kapal alangkah terkejutnya Hayatun Nufus pada saat melihat setumpukan barang dalam goni yang mau dikirimkan ke Aljazair dan ke Puspa Indra yang alamat si pengjrimnya adalah Kamarudzaman. Lalu Hayatun Nufus yang telah diangkat menjadi raja di negeri itu memerintahkan kepada Kapten kapal agar kapal tersebut jangan meneruskan dulu perjalanannya sebelum menemukan orang yang mengirim barang itu. Akhirnya dengan perasaan yang sangat kesal Kapten kapal itu memerintahkan anak kapal untuk menjemput si pengirim buah Zaitun itu. Dalam hatinya Kapten kapal itu berkata, "Gara-gara buah Zaitun sebanyak empat goni ini perjalanan kami menjadi terhalang. Buah Zaitun ini adalah kiriman anak Kakek Kuli bernama Kamarudzaman." Setelah anak kapal itu sampai ke rumah Kakek Kuli lalu dia bertanya, "Apakah Kamarudzaman ada di rumah?, Kurang ajar sekali anak i t u . " "Mengapa kamu marah-marah," tanya Kakek Kuli. "Gara-gara buah Zaitun yang dikirimkan oleh Kamarudzaman kami tidak dibolehkan meneruskan perjalanan. Kapal kami telah ditahan oleh raja di negeri Bergeram Indra, tempat kami singgah berlabuh," jawab anak kapal itu. "Kamarudzaman disuruh bawa ke sana," ujarnya lagi. "Mengapa raja itu menahan kiriman Kamarudzaman. Buah Zaitun itu kami petik dari kebun kami," tanya kakek itu lagi. "Tidak tahulah," jawabnya lagi. Setelah Kamarudzaman mohon izin kepada Kakek Kuli maka berangkatlah dia bersama dengan anak kapal itu. Sampai di negeri Ber geram Indra, Kamarudzaman langsung dihadapkan kepada raja. Pada saat dia berhadapan dengan raja dia sangat kaget dan gugup karena wajah raja itu serupa dengan isterinya Hayatun Nufus yang telah ditinggalkannya. Melihat keadaannya yang demikian lalu raja bertanya, "Hai saudara! Mengapa kamu sangat gugup malah sampai-sampai menitikkan air mata, kamu berhadapan dengan saya." "Daulat Tuanku! Saya tidak takut dan tidak pula menangis. Hanya saya terkenang kepada isteri saya yang saya tinggalkan," jawab Kamarudzaman. Kemudian dia diberi makan dan minuman oleh raja. Sambil 21



makan raja bertanya lagi, "Ceritakanlah mengapa kamu merasa sedih sekali." "Maaf Tuanku bahwa wajah Tuanku persis sama dengan wajah isteri saya Hayatun Nufus," kata Kamarudzaman. "Mana mungkin saya seorang raja berwajah sama dengan isterimu," jawab raja. Setelah itu raja memerintahkan kepada menterinya agar Kamarudzaman dibawa ke dalam kamarnya dan tidur sekamar dengan raja pada malam itu. Sebelum tidur raja menanyakan lagi pertanyaannya seperti tadi. Pertanyaan raja dijawab oleh Kamarudzaman seperti tadi juga. Lalu raja bertanya. "Apakah kamu dapat menandai tanda-tanda yang dimiliki oleh isterimu?" Setelah itu raja pun membuka topinya sambil menanyakan kepada Kamarudzaman, "Adakah seperti ini isterimu?" "Betul," jawabnya sambil kegirangan. "Sampai hati adik menyamar diri sejak tadi," ujarnya lagi. Lalu berpeluk-pelukan dan bertangis-tangisanlah mereka karena sangat terharu. Kemudian' Hayatun Nufus menceritakan kepada suaminya Kamarudzaman bahwa setelah dia menyamar sebagai seorang lakilaki maka dia telah dinikahkan dengan anak raja Bergeram Indra tempat dia tinggal sekarang. Lalu Kamarudzaman mengatakan bahwa masalah itu akan mereka selesaikan secara baik dan jujur. Kemudian Kamarudzaman menceritakan hal itu kepada menteri kerajaan Bergeram Indra dan oleh menteri disampaikannya kepada baginda raja yang telah sempat jadi mertua Hayatun Nufus. Setelah itu dipanggilnya rakyat dan diumumkan bahwa suami putri sebenarnya adalah seorang perempuan juga yang bernama Hayatun Nufus. "Dia adalah isteri saya," kata Kamarudzaman. "Dia menyamar diri sebagai laki-laki agar terhindar dari gangguan dalam pengembaraan setelah secara kebetulan dalam perjalanan berpisah dengan saya," lanjutnya lagi. "Dengan kejadian yang demikian apakah raja merasa tersinggung," tanyanya. "Kalau raja merasa tersinggung dan marah maka sayalah pengganti Hayatun Nufus sebagai suami tuan putri," ujar Kamarudzaman lagi. Dengan peristiwa yang demikian raja pun dapat memahami22



nya dan menyetujui mengawinkan anaknya menjadi isteri kedua Kamarudzaman. Setelah diadakan peresmian perkawinan maka raja menyerahkan dua buah istana, masing-masing untuk ditempati oleh Hayatun Nufus sebagai isteri pertama Kamarudzaman dan satu lagi ditempati oleh putri raja yang menjadi isteri kedua Kamarudzaman. Sedangkan Kamarudzaman telah diangkat pula sebagai raja di negeri Bergeram Indra dalam keadaan damai, senang, tentram.



23



2. C E R I T A SI K U A L I BESI *) Ada seorang anak, namanya si Kuali Besi. Ibu Bapaknya sudah lama sekali berdoa agar kepada mereka dikurniai seorang anak, walau bentuknya seperti kuali besi sekalipun. Setelah isterinya mengandung selama sembilan bulan maka lahirlah seorang anak laki-laki yang menyerupai kuali besi. Oleh karena itu anak laki-laki itu diberi nama Kuali Besi. Sangat baik perangai anak itu. Ketika si Kuali besi itu telah remaja, maka pada suatu hari ia berkata kepada ibunya, "Ibu, izinkanlah aku untuk pergi berladang ke gunung." "Jangan pergi, anakku," jawab ibunya. "Jangan khawatir bu! Biarlah saya pergi," katanya lagi sambil menyuruh ibunya untuk membungkuskan nasi untuk perbekalannya besok pagi. "Kalau demikian baiklah anakku," jawab ibunya lagi. Keesokan harinya setelah pamit pada ibunya, berangkatlah dia dengan membawa bekal nasi sebungkus. Sampai di gunung dia membuka sebuah ladang. Setelah seminggu dia bekerja lalu dia pulang menemui ibunya untuk meminta perbekalan. Kemudian dia berangkatlah lagi dengan membawa nasi dua bungkus dan beras secukupnya. Tidak berapa lama diantaranya dia pulang lagi. Sampai di rumah dia menyuruh ibunya pergi ke pasar untuk membeli bibit semangka. Setelah diperolehnya bibit semangka lalu dia berangkat lagi ke ladangnya untuk menanamnya. Bibit yang di tanamnya telah tumbuh menjadi batang, malah telah mulai menjalar. Kemudian dia pulang lagi ke rumahnya. Kedatangannya disambut oleh ibunya dengan sapaan, "Sudah pulang nak?" "Sudah bu," jawabnya. "Bibit semangka yang kamu tanam sudah mulai tumbuh?" tanya ibunya lagi. *) diambil dari bahasa Aceh. 25



"Sudah buk. Malah sudah mulai menjalar," jawabnya lagi. Setelah satu malam di rumah, maka esok harinya dia berangkat lagi dengan membawa perbekalan beras sebakul. Ketika semangkanya sudah mulai berbuah dia pulang lagi. Sampai di rumah dia menceritakan kepada ibunya bahwa buah semangka telah dilobangi oleh binatang. "Entah binatang apa yang melobanginya," katanya. "Mungkin oleh tikus nak," kata ibunya. "Kalau demikian besok tolong ibu belikan saya seekor ayam jantan. Selain itu berikan juga beras dua liter untuk saya bawa ke kebun," katanya. Setelah dibekali dengan seekor ayam dan beras dua liter lalu dia berangkat. Sampai di kebun ayam jantan itu dipotong untuk kenduri. Semua tikus yang ada disekitarnya diundangnya. Kemudian ditanyakan kepada tikus itu satu persatu siapa yang melobangi mentimunnya. Namun tidak ada yang mengakuinya. Akhirnya ada juga seekor tikus yang mengakui. Lalu dibuatnya perdamaian dengan menggantikan semua kerugian yang dialami oleh si Kuali Besi. Malamnya datanglah sekawan tikus ke kebun si Kuali Besi lalu memasukkan emas ke dalam buah semangka yang telah dilobangi, tanpa diketahui oleh si Kuali Besi. Beberapa bulan kemudian buah semangka telah mulai dipetik oleh si Kuali Besi, lalu dibawa pulang ke rumahnya. Sampai di rumah diberikan kepada ibunya sambil berkata, "bawalah buah semangka ini ke rumah raja sambil melamar anaknya yang bernama putri Kumala." " A k u tidak berani, wahai anakku," jawab ibunya. "Coba-cobalah bu," katanya lagi. Setelah itu secara sembunyi-sembunyi pergjlah ibunya ke rumah raja. Sampai si rumah raja bertanyalah raja kepada ibunya, "Ada keperluan apa datang ke mari?" "Saya datang kemari Daulat Tuanku untuk mengantar buah semangka ini hasil kebun anakku si Kuali Besi," jawab ibunya. "Selain itu ada keperluan apa lagi," tanya raja. "Kedatangan saya ke sini sebenarnya ingin melamar putri Kumala untuk anakku si Kuali Besi. Dialah yang menyuruh aku datang ke sini untuk melamar putri Kumala," ujarnya lagi. "Keinginannya itu adalah hal yang tidak mungkin sama seka26



l i , " jawab raja. Kemudian ibu si Kuali Besi mohon diri untuk pulang. Baru berapa langkah ibunya pergi raja memanggil anaknya dan berseru, "Ambillah pisau supaya kita belah buah semangka i n i . " Setelah buah semangka itu dibelahnya maka didalam ternyata penuh berisi emas. Melihat kenyataan yang demikian maka raja merasa heran. Dalam hatinya berpikir, "Sungguh ajaib! Kita sendiri selaku raja belum pernah melihat emas sebanyak i n i . " Sementara itu ibu si Kuali Besi jpun sudah berada kembali di rumahnya. Beberapa menit kemudian si Kuali Besi pun tiba pula di rumahnya sambil menjinjing sebuah semangka. Lalu dia bertanya kepada ibunya, "Sudahkan ibu pergi ke rumah raja?" "Sudah nak," jawab ibunya. "Bagaimana jawab raja," katanya. "Tidak mungkin, jawab raja," kata ibunya. "Jangan putus asa bu! Sebentar lagi ibu pergi lagi ke sana sambil membawa semangka ini sebuah lagi," ujar si Kuali Besi kepada ibunya. Lalu ibunya pergi lagi ke rumah raja. Sebelum ibunya sampai di rumah raja, rupanya dari jauh sudah dilihatnya oleh raja sehingga raja telah memerintahkan untuk menyediakan minuman. Kedatangan ibunya disambut dengan baik oleh raja. Setelah selesai minum lalu ibunya menceritakan maksud kedatangannya. Akhirnya raja pun menerima dengan baik lamaran terhadap anaknya. Kemudian ibunya mohon diri untuk pulang. Ketika magrib si Kuali Besi pun datang pula dari kebunnya, lalu dia bertanya kepada ibunya, "Bagaimana hasilnya ibu?" "Berhasil nak," jawab ibunya. "Kalau demikian peresmiannya akan kita selenggarakan secara sederhana," kata si Kuali Besi kepada ibunya. Setelah itu ibunya membawa semangka sebuah lagi ke rumah raja sebagai ikatannya, sehingga raja telah memperoleh tiga buah semangka dari si Kuali Besi. Lalu diadakan perundingan untuk menentukan hari peresmian perkawinan. Dalam perundingan itu telah diputuskan bahwa peresmian perkawinan akan diselenggarakan pada pertengahan bulan depan. Untuk biaya perkawinannya maka dia pergi memetik buah semangka yang di dalammnya penuh diisi dengan emas, semangka itu lalu dibawa kepasar, dan setelah itu dia membelikan perhiasan 27



dan pakaian untuk isterinya. Lima hari kemudian ibunya memanggil Kepala Kampung, Bapak Imam, dan orang-orang tua di kampung untuk memberitahukan serta membentuk panitia perkawinan. Dipersiapkan juga alat perlengkapan dan biaya yang diperlukan. Keesokan hannya datanglah alat-alat dan bahan-bahan yang di perlukannya sampai berpuluh-puluh kereta sehingga panitia pun mulai sibuk. Kemudian Kuali Besi pun bertanya lagi kepada panitia, berapa ekor lembu yang diperlukan untuk disembelih besok pagi dan pukul berapa direncanakan penyembelihannya, meskipun lembu yang mau disembelih besok pagi ternyata belum ada. Rupanya setelah itu dia langsung berangkat ke gunung dan sebelum subuh dia sudah pulang kembali dengan membawa pulang beratus-ratus rusa. Lalu di panggilnya Kepala Kampung, disuruhnya untuk memilih untuk disembelihnya. Kepala Kampung memilih beberapa ekor rusa yang tanduknya bercabang tujuh sedangkan yang lain dihalau kembali oleh si Kuali Besi ke gunung. Setelah semuanya tersedia, dia akan melangsungkan pesta perkawinannya, sedangkan acara pengantar penganten dilangsungkan pada siang hari. Pada malam pertama sampai malam ke tujuh si Kuali Besi sebagai penganten baru selalu ditemani oleh beberapa pengiring apabila hendak pulang kerumah isterinya, sesuai dengan adat yang berlaku dinegerinya. Setelah itu barulah dia boleh pulang sendirian kerumah isterinya. Untuk memeriahkan perkawinan putrinya dengan si Kuali Besi maka raja mengadakan suatu keramaian di kota tempat kediamannya selama beberapa hari. Rupanya si Kuali Besi tidak berani keluar untuk menyaksikan keramaian itu. Dia malu melihat orang banyak karena bentuknya seperti Kuali. Sedangkan kakak isterinya hampir setiap malam pergi ke tempat keramaian bersama dengan suaminya. Jangankan pergi ke tempat keramaian, pergi mandi ketika bangun pagi pun dia tidak berani keluar. Dia selalu bangun tengah malam untuk mandi supaya jangan di lihat oleh orang lain. Raja sangat susah memikirkan hal menantunya yang tidak berani keluar dari rumah. Pada suatu malam ketika keramaian itu masih berlangsung maka si Kuali pun bangun tengah malam buta. diambilnya kuda mertuanya lalu pergi ke pasar. Ketika dia melewati kakak isterinya maka ipar itu sangat terpesona kepadanya ka28



rena melihat wajahnya yang sangat tampan. Rupanya si Kuali Besi telah menjelma menjadi seorang pemuda yang sangat tampan, sehingga kakak iparnya tidak mengenalinya lagi bahwa dia adalah suami adiknya. Akhirnya kakak iparnya jatuh cinta kepadanya dan berjanji akan bertemu kembali pada malam penghabisan keramaian. Oleh sebab itu pada malam penghabisan keramaian kakak iparnya mengajak suaminya untuk pergi ke tempat keramaian, namun suaminya menolak dengan alasan bahwa keramaian telah berakhir. Akhirnya suaminya menuruti kehendak isterinya untuk pergi. Alangkah gembira hatinya karena mengharapkan akan berjumpa kembali dengan si Kuali Besi yang pada malam sebelumnya dijumpai sebagai seorang pemuda yang sangat tampan. Rupanya sampai di tempat keramaian, keramaian pun tidak ada lagi sehingga kakak isterinya terpaksa pulang dengan perasaan yang sangat kecewa. Sampai di rumah kakak isterinya pun tidur sejak malam sampai siang hari. Sejak raja memungut si Kuali Besi sebagai menantu, belian sangat susah karena menantunya tidak berani keluar dari rumah. Namun raja selalu mendengar ada orang yang selama ini keluar pada waktu malam sehingga beliau terpikir. "Ini pasti si Kuali Besi yang selalu bangun di tengah malam." Hal ini diceritakan oleh raja kepada anaknya, isteri si Kuali Besi. Setelah ayahnya bercerita tentang hal itu maka pada suatu malam, si Kuali Besi pun bangun dan pergi ke kamar mandi sebagaimana selama ini ia kerjakan tanpa diketahui oleh isterinya. Ketika mau mandi, dia membuka pakaian samarannya sebagai kuali. Isterinya yang sejak semula mengintipnya lalu mengambil pakaian samaran si suami. Ketika selesai mandi si Kuali Besi pun mencari pakaian samarannya. Kemudian dia panggil-panggil isterinya yang datang sambil membawa lampu. Alangkah kaget isterinya ketika melihat suaminya telah menjelma menjadi seorang pemuda yang sangat gagah dengan wajahnya yang sangat tampan yang selama ini bentuknya seperti kuali besi. Kemudian pergilah si Kuali Besi tidur kembali. Esok harinya dia bangun dan langsung pergi ke kamar mandi. Setelah itu barulah dia berani keluar bersama dengan isterinya untuk berjalan-jalan. Hati isterinya sangat girang karena wajah suaminya sekarang sangat tampan melebihi ketampanan suami kakaknya. 29



Setelah kakak iparnya melihat si Kuali Besi telah menjelma menjadi seorang pemuda yang sangat tampan dan jauh lebih tampan dari pada suaminya maka ia merasa malu, lalu ia meninggalkan negeri itu ke negeri Belanda. Akhirnya berhubung raja sudah mulai uzur maka beliau mengangkat Kuali Besi sebagai penggantinya untuk memerintah kerajaan.



30



3. CERITA PEREMPUAN, SETANPUN JEMU *) Setahun ada dua belas bulan. Sebulan tiga puluh hari. Sehari dua belas jam dan satu Jumat itu tujuh hari. Hendaklah didengar wahai kawan, inilah cerita riwayat masa lalu. Riwayat dari negeri Arab. Alkisah di dalam negeri Madian, di kota Bantaian ada seorang yang bernama Nyak Amat (Cut Amat). Ia adalah seorang miskin, dan tinggal di sebuah dangau. Pencahariannya mencari kayu api setiap hari. Setelah berhasil, kayu itu dibawanya ke pasar. Ketika sampai di pasar dibelinya beras seperempat bakul, ikan setumpuk, cabai garam, rokok, serta sirih untuk keperluan sehari. Kehidupannya sehari-hari, hingga ia kira-kira sudah berumur dua puluh lima tahun, masih seperti itu saja. Tempat tinggalnya di sebuah pulau. Di pulau itu ada Kepala Desa. Kepala Desa itu bernama Keuchik Abdurrahman. Keuchik Abdurrahman itu rasanya tak sanggup memikirkan lagi peri hidup abang Cut Amat itu. Disuruhnya bersawah dia tidak mau. Disuruhnya bekerja sebagai buruh juga tidak mau. Dia hanya mencari kayu api untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pencahariannya itu saja tiap hari, berbulan-bulan dan bertahun-tahun lamanya. Alkisah ada seorang perempuan. Perempuan itu bernama Cudal) Beureuteh. Cuda Beureuteh itupun sangat sepadan. Tinggal nya di selasar rumah orang. Pekerjaannya hanya menembak asap. Bagaimanakah yang dimaksud dengan menembak asap itu?. Bila akan tiba waktu makan, berangkatlah cuda Beureuteh ke rumah orang untuk minta menumpang makan. "Anda ada di rumah?" "Ada, siapa itu, cuda Beureutéh?" "Ya." "Hendak ke mana?" "Hendak mencari sirih sedikit." "O, kalau begitu silahkan ke rumah?" *) diambil dari bahasa Aceh 1) kakak.



31



Ketika dia masuk ke rumah itu, yang punya sedang makan. Terpaksa dia diajak makan. Sesudah makan dimintanya sirih. Sesudah makan sirih, lalu pulang. Ketika pulang perutnya sudah kenyang, sirih pun sudah ada. Tembakau pun sudah tersugi di mulutnya. Sesudah itu ia tidur dengan nyenyak. Ketika siang hari ia bangun. Ini sudah waktu makan. Sekarang aku pergi ke rumah kakak anu. Ke rumah cuda Fatimah. Cuda Fatimah itu seorang janda. Dia sedang masak, "Gruk-gruk," nyala api memanasi periuk nasinya. Beras yang ditanak hanya seperempat liter. "Anda ada di rumah?" "Siapa itu, Cuda Beureutéhkah itu?" "Ya." "Hendak ke mana?" "Aduh, hendak mencari sirih sedikit." "O, ini silakan!" "Apakah anda sedang makan?" "Dengan apa lauknya?" "Asam belimbing digobek dengan udang." "Aduh, kepingin juga aku rasanya!" "O, dekatlah ke sini." Makanlah dia sekenyang-kenyangnya. Sesudah itu makan sirih. Sesudah makan sirih, mengobrol. Bicara tentang keadaan rumah ini dan itu. Itulah kerjanya. Sesudah puas berbicara lalu pulang. Kak Fatimah ketika cuda Beureutéh berbicara, dia asyik menganyam tikar, sedangkan cuda Beureutéh asyik bercerita tentang orang lain. Demikianlah pekerjaan cuda Beureuteh itu. Cuda Beureutéh tinggal di sebuah pulau. Di pulau itu ada seorang keuchik2), Hasballah. Keuchik Hasballah bila memikirkan hal cuda Beureuteh itu - hendak dikawinkan tidak ada orang suka, hendak disuruh bekerja dia tidak mampu apa-apa. Memasak tidak bisa, menganyam tikar tidak pandai, menganyam karung pun tak sanggup. Yang sanggup hanya menembak asap. Dengan takdir Allah pada suatu hari di warung kopi, berjumpalah keuchik Abdurrahman dengan keuchik Hasballah. "Assalamu'alaikum!" "Wa'alaikum salam." "Silakan masuk minum kopi!" 2) kepala kampung. 32



"Aduh pak keuchik, baru saja saya minum kopi. Tapi karena bapak ajak saya, terpaksa saya minum juga." "O, baik sekali." Ia minta kopi dua cangkir. Sambil minum-minum keuchik Hasballah dan keuchik Abdurrahman saling bercerita. "Aduh keuchik Hasballah, aku paling jengkel kepada bang Cut Amat itu. Tapi rasa senangku pun ada." '"Bagaimana?" kata keuchik Hasballah. "Dia kusuruh gali tali air tidak mau. Kusuruh bersawah pun tidak mau. Kusuruh kawin juga tidak suka. Melainkan: ambil tali, ambil parang, ambil nasi dibungkus, lalu pergi ke gunung, mencari kayu api. Kemudian kayu itu dibawa ke pasar untuk dijual. Sesudah itu dibelinya beras setengah liter, seliter pun tidak akan dibelinya. Sesudah itu dibelinya ikan asin, cabe, garam dan rokok lalu pulang. Besok demikian lagi. Andai kata ia sakit selama satu jam, selama satu jam itu pula ia akan menderita kelaparan." "Aduh hai keuchik Abdurrahman, padaku juga ada. Padaku ada cuda Beureuteh seorang, pun seperti kata anda juga. Paling jengkel aku. Bila sudah pagi hari, rumah mana yang sedang menanak nasi ke situlah ia datangi. Makan nasi, makan sirih lalu cerita tentang orang lain. Susudah makan lalu pulang. Tidur. Ketika siang ia lapar lagi. Dia menembak asap. Di mana ada asap, ke rumah itu dia pergi. Sambil menunggu nasinya masak, duduk bicara-bicara. Sesudah itu bila saatnya makan sudah tiba, tidak diajaknya makan rasanya tidak baik. Diajak, sedangkan untuk diri mereka sendiri nasi tidak cukup. Begitulah halnya selalu." "O hai keuchik Hasballah, begmi. Kita kawinkan orang itu berdua, boleh?" "O, kalau mereka mau, bagus sekali. Dari pada kita payah-payah biarlah ditampung oleh orang itu." "O, bagus!" Setelah dibayar harga minuman, keuchik Hasballah dan keuchik Abdurrahman pulang ke tempatnya masing-masing. Pada suatu hari keuchik Abdurrahman pergi ke rumah bang Cut Amat. "Bang Cut Amat!" "Siapa." "Saya." "Pak keuchik?" "Ya." 33



"O, silakan masuk!" "Baik. Hai bang Cut Amat, kedatangan saya ke sini hendak berbicara sepatah kata, boleh?" "O, boleh, tiga patah kata pun boleh." "Kalau begitu, begini, anda kulihat lelah benar. Waktu pagi: ambil tali, ambil parang, ambil nasi buntel lalu pergi ke gunung mencari kayu api. Ketika anda pulang nanti siang, anda melarat. Tidak ada yang memasak nasi. Sekarang aku cari orang yang akan menanak nasi anda, boleh?" "Mana ada orang yang mau dengan saya yang sangat miskin ini." "Hai, miskin sesama miskin. Tidak pernah sesama tidak pernah! Tua sesama tua!" " O , kalau begitu!" "Boleh, bukan!" "Boleh." "Kalau begitu aku cari penganten baro!"3) "Boleh pak keuchik, sebarang yang anda tunjuk." Kemudian keuchik Abdurrahman segera berangkat ke tempat keuchik Hasballah. "Assalamu'alaikum pak keuchik!" "Wa alaikum salam, pak keuchik!" Kedua orang itu adalah keuchik. Dikatakanlah bahwa rencana dahulu sudah ada kesepakatan. "Sudahkah anda tanyai cuda Beureuteh?" "O, belum. Sudah lupa saya." "Anda melupakan janji, kiranya!" "Ayolah, mari kita pergi berdua!" Keuchik Abdurrahman dan keuchik Hasballah berangkatlah. Kedua-duanya langsung menuju ke dangau cuda Beureutéh. Sesampai di sana, mereka temui cuda Beureutéh sedang tidur lelap. Lalu dipanggil oleh keuchik Hasballah. "Hai cuda, hai!" "Siapa itu?" "Saya." "O, pak keuchik!" Silakan masuk! Aduh, tidak ada tempat duduknya. Tak usah duduk! Berjongkok saja! Sebab tikar pun tidak ada. A k u miskin benar." 3) penganten baru 34



"Hai cuda, kalau miskin memang semua orang itu miskin. Tapi tidak semiskin seperti anda." "Bagaimana tidak seperti saya?" "Hai, orang lain yang miskin, barang sehelai tikar masih dipunyainya." "Bukan tidak ada. Tapi tidak ada tempat untuk mengerjakannya! Jika saya mengerjakan itu, tidak ada yang dimakan!" "Kalau begitu, begini y a . " "Maukah anda dikawinkan?" "Aduh pak keuchik, mana ada orang yang mau kawin dengan saya!" "Hai, misalnya kuberikan suami, tidakkah anda mau menerimanya?" "O, saya terima, baik sekali!" "Kalau begitu, dengan bang Cut Amat, mau?" "Belum berkenalan saya dengan Cut Amat i t u ! " "Itu, orang yang sering membawa kayu api ke pasar." " O , tidak mau dia, dia lebih muda dari saya." " O , saya bisa membujuk dia, asalkan anda mau." "O, mau saya kalau begitu." Sesudah itu dibawanyalah kedua orang itu kepada teungku imam. Sesudah itu dibawanya ke teungku Khatib. Dinikahkanlah orang itu. Hingga cuda Beureutéh sudah bersuamikan abang Cut Amat. ^Cuda Beureutéh tidak pulang lagi ke rumahnya, ia pulang ke dangau abang Cut Amat. Abang Cut Amat tadinya seorang diri. Tidur pun sendiri. Masak nasi juga sendiri. Mencari kayu api untuk kebutuhan sendiri. Tapi sekarang dia sudah senang. Pagi hari nasi sudah ada yang memasak. Sesudah makan dengan kenyang, lalu mengambil nasi yang telah dibumgkus, tali dan parang, kemudian berangkatlah ke gunung. Dicarinya kayu api empat ikat. Dibawanya ke pasar. Setiba di pasar dibelinya beras setengah liter, asam belimbing, cabe dan garam. Dua kali banyaknya dari biasanya. Demikianlah dia selalu, dari hari ke hari sampai ke Jum'at. Dari bulan sampai ke tahun, namun cuda Beureutéh lain dari yang disangkanya. Yang malas tetap malas. Ketika suaminya pulang dengan lelahnya, dan kayu api dicampakkan ke tanah, si isteri, heh, heh, di tempat tidur. Nasi ada, tapi ikan tak ada. Jangankan ikan, asam belimbing pun tak ada. Dikatakan kepada suaminya: "Menga 35



pa tegak di situ! Mengapa tak naik ke rumah, makan nasi!" Bang Cut Amat naik bergegas-gegas. Ke mana perginya? Ke periuk nasi. Nasi itu sudah dijamah oleh kucing di pojok dapur. Isterinya terlena ketiduran. Abang Cut Amat mengambil nasi, disantapnya dengan garam. Dituangi air sebagai kuahnya, digobeknya asam belimbing dengan cabe lalu ditelan. Sedang ia mengunyah nasi, ia tersendat. Ketika ia sedang tersendat itu, berkatalah cuda Beureuteh, "Hai, aku tak sanggup bangun! Bangunlah sebentar, ambil tembakau untuk saya!" Dengan susah payah bang Cut Amat pun bangun kendatipun sedang makan - lelah pulang dari gunung mencari kayu api - bangun dari tempat duduk untuk mengambil dan menyerahkan tembakau kepada bininya. Sesudah makan siang diambilnya kayu api dibawa ke pasar. Setiba di pasar kayu itu dijualnya. Ia berbelanja seperti biasa juga. Keadaan hidupnya terus menerus begitu. Keadaan itu bahkan meningkat sampai ke tingkat menceboki bininya bila ia buang air besar atau buang air kecil. Sejauh itu sudah diperlakukan dia oleh isterinya. Hingga abang Cut Amat jijik dan muak kepada cuda Beureuteh. "Ketika aku sendiri dahulu, apa yang kuinginkan tercapai. Baik kubikin sayur lemak maupun sambal terasi, dapat kumakan. Tapi sekarang tidak, hanya nasi semata-mata yang kumakan dengan air. Kalau begitu ke manakah kubawa si Beureuteh ini?" Akhirnya abang Cut Amat pada suatu hari mengambil nasi bungkusnya pergi ke gunung. Sesampai di sana, tidak mencari kayu api. Berpikir dan berpikir. " K e mana kubawa si Beureuteh itu? Paling muak dan jijik aku sudah!" Ketika berjalan-jalan di dalam hutan bertemulah sebuah sumur tua. Sumur tua itu, sejak masa ter ciptanya dunia ini sudah ada. Masa Amirul Mukminin Hamzah menyerang musuh di bukitt Kaf, telah jatuh ke dalam sumur itu seorang jin Afret. Ketika jatuh di situ dia meronta-ronta. Tapi tak sanggup meiepaskan dirinya. Hingga akhirnya siang-malam jin itu berdoa kepada Tuhan: " Y a Tuhanku berilah agar jatuh seorang perempuan ke dalam sumur i n i . " Tidak dimintanya supaya dia dapat naik ke atas dan terlepas dari sumur itu untuk pulang kepada ibunya, tidak. Tangannya selalu dijangkaunya ke atas: "Berikan aku ya Tuhan seorang perempuan ke sini!" Itulah yang dimintanya sela lu. Bertahun-tahun tetap jin Afret itu di sumur itu. Alkisah, bang Cut Amat. Ketika ia menjepguk ke dalam su36



mur itu, aduh dalamnya bukan main. Kalau begitu, ya, si Beureutéh itu ke sini kulemparkan. Kesimpulan yang diambilnya itu sangat sesuai dengan kata hatinya. Ketika sampai ia pulang ke rumah ia berpura-pura resah dan gelisah. "Aduh ya Tuhanku, aduhai. Tuhan!" Kata cuda Beureutéh: "Mengapa anda gelisah? Kalau anda lapar, makan ke rumah!, manakah kayu yang anda bawa pulang?" "Hai, jangan ribut!" "Mengapa? Jangan ribut? A k u dan kau ini siapa? A k u isterimu!" "0,ya." "Jadi mengapa tidak boleh ribut-ribut?" "Jangan ribut, nanti diketahui orang!" A k u pergi ke gunung tadi. tahukah kau ketika aku sampai di sana hendak memotong kayu, tidak ada lagi kayu di tempat biasa, jadi aku pindah sedikit mencari ke tempat lain. Sebelumnya aku tidak tahu pergi mencarinya ke situ. Ketika sampai ke situ kulihatlah sebuah sumur tua yang paling dalam. Ketika kujenguk ke dalamnya kulihatlah emas berkilau-kilauan di dalamnya. Intan dan berlian yakut dan yakot tak terkatakan banyaknya. Sekarang aku akan mencari teman untuk mengambilnya. "Hai, hai!" Itu kata isterinya memanggil suami. "Ketika diberi rezeki oleh Tuhan, mencari teman. Pergi dengan aku saja!" " O , jika kau mau, apa salahnya!" Jika demikian anda pergi! Besok pagi buntelkan nasi dua buntel untuk kita berdua ke sana!" "O, boleh!" " A k u pergi ke pasar membeli tali." Dibelinya tali sabut kelapa sepotong yang paling panjang dan agak besar sedikit supaya tidak mudah putus. Sesampai ke sumur tua itu, lalu ditunjukkan sumur itu kepada isterinya. "Ke sana di dalam sumur, jenguklah!" Ketika dijenguk oleh cuda Beureutéh, pada sangkanya benarbenarlah intan berlian, Yakut dan permata berkilau-kilauan. "Itu, maukah engkau turun?" "Kalau engkau tidak berani, aku yang turun!" Cuda Beureutéh diikat dengan tali oleh abang Cut Amat. D i turunkannya ke dalam sumur. Alkisah jin Afret, tangannya selalu menengadah ke atas. Me37



minta siang malam kepada Tuhan supaya jatuh ke dalam sumur itu seorang perempuan. Dengan takdir-Nya - siang malam berpuluh-pu luh tahun - dikabulkan permintaannya oleh Tuhan. Pada waktu itu cuda Beureutéh sedang diulurkan ke bawah oleh abang Cut Amat sedikit-demi sedikit dan perlahan-perlahan. Dalam pada itu cuda Beureuteh mengetahui pahanya ada yang pegang. Ketika dilihatnya oleh jin Afret seorang perempuan, alangkah gembiranya. Demikianlah, abang Cut Amat tadi, ketika mengetahui bahwa tali sudah kendur, larilah ia cepat-cepat pulang ke rumah. "Sudah lepas. Sudah senang aku." Kemudian ia mencari nafkah seperti biasa lagi. Membeli beras seperti biasa ketika ia sendirian. Dia tidak memikirkan ini dan itu. Kekayaan tidak diingininya. Apa pun tidak diinginkan asalkan perutnya kenyang, sudah cukup. Alkisah cuda Beureutéh dengan jin Afret di dalam sumur tua tadi. Bersenang-senanglah kedua makluk itu tak terkatakan betapa senangnya. Mereka berdua di sana, dari hari ke sehari berganti Jum'at. Dari Jum'at berganti bulan. Jin Afret mulai muak dan jijik kepada cuda Beureutéh seperti halnya abang Cut Amat dahulu. Menyugikan tembakau ke dalam mulutnya, menceboknya bila dak berhajat besar atau kecil, menyelimuti dan mengipasinya, jin itu muak sudah. Keperluan dengannya hanya sedikit saja. Tapi capeknya bukan rftain sudah. "Aduh, ke manakah jalan keluar, aku hendak kembali kepada ibuku!" Barulah jin itu sadar. Sebelumnya jin itu tidak teringat kepada ibunya. Sekarang baru teringat. "Wahai Tuhan, lepaskan aku dari dalam gua i n i ! " A k u paling muak sudah kepada perempuan i n i . " Jin itu selalu gundah dan gelisah. mencari jalan supaya dapat naik ke atas. Alkisah abang Cut Amat. Pada suatu malam ia tidur. Dia berpikir dan mengelamun. Apakah yang dipikiri? "Dulunya meskipun diperlakukan sebagai budak oleh si Beureutéh, tapi kalau tidur bersamanya, enak. Aduh, barangkali dia sudah berobah. Biarlah dia kuambil lagi." Berangkatlah abang Cut Amat pergi mengambil isterinya. Hari itu dia tidak mencari kayu api. Ketika tiba ia di sumur tua itu. tali masih terletak seperti dahulu di sana. Lalu diulurkannya tali itu ke bawah. Alkisah jin Afret tadi. Tangannya menggapai-gapai hendak naik ke atas. Dipegangnya onggokan ini tidak bisa ia naik dipegang nya onggokan itu pun tidak bisa. Dengan tiba-tiba terabalah tali. 38



lalu berpeganglah ia sekuat-kuatnya. Ketika tali itu dipegang lalu dililitkan di tangannya kuat-kuat. Abang Cut Amat pun sudah merasa berat pegangannya. Seperti orang memancing ikan, ditariknya tali itu ke atas. Ketika tiba di atas, ternyata orang lelaki. Seluruh badannya berbulu. Matanya terbuka seperti jendela. "Siapa nama anda?" Tanya jin Afret. "Siapa kamu?" Tanya bang Cut Amat. "Kau siapa?" Tanya jin Afret lagi. "Inilah aku, Cut Amat!" "Jangan berdiri lagi, jangan tegak lagi. Lari!" Kata jin Afret. Cut Amat lari. Ia di muka, jin Afret di belakang. "Jangan lari lagi! Tak sanggup aku lari!" Kata bang Cut Amat. "Lari sedikit lagi!" seru jin Afret. Abang Cut Amat tak sanggup lagi berlari, dan ia jatuh. Segera jin itu mendukungnya dan membawanya lari. Sesudah jauh bang Cut Amat diturunkan dari dukungan jin Afret. "Siapa namamu?" "Nama saya abang Cut Amat." "Anda siapa?" "Nama saya jin Afret." "Mengapa di gua itu?" "Pada masa diperangi bukit Kaf oleh saidina Hamzah terpencarlah kami semua. Tahukah kamu, sekali dihantam oleh saidina Hamzah, mati seketika itu juga. "Apakah saidina Hamzah itu besar sekali tubuhnya?" "Serbannya hijau, menggenggam syamsi syauma4), perisainya si geurebak5), pedangnya berbunyi kham, kham, kham. Waktu ia berjalan langkahnya berbunyi u'ah, u'ah, u'ah. Tahi lalat di dahinya itu bersinar blai, blai, blai, blai. Seperti lampu senter tujuh mata." "Hebat sekali saidina Hamzah?" "O, bukannya hebat lagi. Dikenal dan tersohor. Lam dahut ibnu Sakdan dan ibnu Sakyan di bawah kekuasaannya." "Lalu?" " A k u sempat berlari, lalu aku jatuh sendirian ke sana." "Kemudian?" Tanya abang Cut Amat lagi. 4) menggenggam syamsi syauma = matahari dalambbibir. 5) perisainya sigeurebak = dapat diartikan segerobak dalam arti kiasan, banyak sekali atau besar sekali



39



"Hai, kemudian datanglah anda mengangkatku," jawab jin Afret. "Wahai bang Cut Amat! Sekarang kiranya apakah yang akan kuberikan anda sepagai pembalas jasa anda telah mengangkatku dari dalam gua i t u . " "Apa-apa yang anda sudi memberikannya," jawab bang Cut Amat. "Baiklah, kalau begitu, begini, anda kuberikan seorang wanita, mau?" " Y a , boleh!" Jawab bang Cut Amat. "Kalau mau, ya. Anda pergi dan ulurkan tali, ambil segera isteriku untuk anda," kata jin Afret. "Mengapa anda katakan begitu!" " A k u tak mau lagi perempuan itu. Sudah muak dan jijik aku." "Bagaimana dia?" "Disuruhnya aku menceboknya. Perempuan itu adalah perempuan yang akan kuberikan kepada anda." "Kalau begitu, mari kita lari!" Larilah orang itu berdua lagi. Lari dan lari. Sesudah itu lari lagi. Lari lagi dan menoleh ke belakang. "Apakah si Beureuteh itu su dah terlepas dari dalam sumur i t u . " " O , tidak." "Kalau tidak mari kita beristirahat. Beristirahat dan bercakap cakap." "He, sekarang kukatakan padamu bang Cut Amat, kubalas jasa kepadamu. A k u jin. Sekarang aku akan membalas jasamu." "Apa?" "Putri T i Adwah, anak raja Tamse, sekarang bermain-main di taman bunga. Sudah seratus orang melamarnya tapi tak seorang pun dilayaninya. Seorang pun ia tak sudi. Sekarang aku pergi ke tempatnya bermain dan akan kusentakkan tali nyawanya. Sesudah itu siapa pun yang mendukuninya ia tidak akan sembuh. Di manapun dukun yang didatangkan oleh raja, dia tidak akan pulih tanpa didukuni oleh anda." "O, aku tidak bisa berdukun!" "He, biarkan tak bisa! Akan kuberi doanya." "Apa doanya?" "Yang dikatakan dalam sembahyang, itu! Pada orang mengaji, pada orangmu, apa yang dikatakannya?" "O, bismillahir rahmanir rahim, ya?" 40



"Entahlah!" " O , ada kudengar-dengar pada orang berdukun; bismillahir rahmanir rahim, diucapkan." "Itulah yang anda katakan, tapi katakan itu kepadaku. Sesudah itu katakanlah: A k u ini bang Cut Amat, ini aku abang Cut Amat! Lalu semburkan. A k u akan lari. Ambillah puteri itu untuk anda! Tapi dengan cukup syarat-syaratnya." " O , boleh kalau begitu." Abang Cut Amat kemudian mengelana dalam kota. Ia mencari nafkah hidupnya sehari-hari. Dia hanya sendirian. Alkisah jin Afret segera menuju ke putri T i Adwah, anak raja Tamse, yang sedang bermain-main di taman bunga. Empat puluh empat orang pengiringnya. Nyak Bulan purnama, dayang-dayang pertama sedang asyik benar bermain serta dayang yang empat puluh empat orang itu dan tuan-puteri seorang, jadi berjumlah empat puluh lima orang semuanya. Tiba-tiba sakit perut tuan puteri. Maka menangislah tuan putri di sana. Dayang-dayang yang empat puluh empat orang itu seorang bernama Meulu Peukan, lari segera kepada raja Tamse. " Y a tuanku yang mana mulia, puteri kami dan jantung hati tuan jatuh sakit di taman bunga." Kemudian dayangdayang yang empat puluh empat orang tadi membawa pulang tuan puteri ke istana. Tetaplah tuan putri dalam keadaan sakit, menghempas-hempaskan dirinya siang malam karena kesakitan. Alkisah raja Tamse. Dicarinya dukun untuk menyembuhkan penyakit sawan, yang dapat menyembuhkan penyakit kemasukan saitan dalam tubuh. Tidak ada seorang pun yang dapat menyembuhkannya. Lalu raja mengumumkan janjinya kepada khalayak ramai: "Barang siapa yang mengobati anakku hingga sembuh, orang itulah yang kujadikan suami putri Ti Adwah dan negeri ini kuserahkan sebahagian menjadi kekuasaannya." Demikianlah pengumuman raja. Sudah diumumkan kepada semua ahli nujum, kepada semua dukun. Kemudian berdatanganlah dukun ini dan dukun itu, lalu mendukuninya. Tapi tak ada yang dapat menyembuhkannya. Adapun orang yang datang itu, baik siapa saja kepadanya diberikan: uang jalan, uang penginapan, uang nyamuk. Diberikan pakaian selengkapnya, lalu pulang. Baik tuan putri itu sembuh atau tidak. Pada suatu hari berangkatlah abang Cut Amat. Sudah tiba waktunya. Dengan bajunya yang buruk dan badan yang kotor, ia 41



bertanya: "Dari mana anda pulang berbondong-bondong itu?" "He, kami pulang dari anak raja. Anak raja kita sakit berat." "Bagaimana sakitnya?" "Siapa pun yang telah mendukuninya tidak ada yang berhasil menyembuhkan. Meskipun tidak sembuh, kita beruntung juga pergi kesana. Pakaiai. diberikan selengkapnya, makanan enak dapat kita nikmati bahkan uang pun diberikan." "Kalau sembuh?" "Kalau sembuh, tuan putri dikawinkan kepada kita dan negeri ini diberi sebahagian menjadi kekuasaan kita." Abang Cut Amat mengangkat langkahnya kesana. "Assalamu' alaikum!" "Wa'alaikum salam." "Anda dukun, ya?" "Ya." "Silakan ke rumah!" Siapa saja yang tiba di sana, baik atau buruk, biar tua ataupun muda, langsung naik ke rumah untuk mendukuni tuan putri. Alkisah, abang Cut Amat memulai pendukunannya. Setiba di sana memang perjanjian dengan raja telah dibuatnya lebih dahulu: Barang siapa yang dapat menyembuhkan tuan putri maka orang itulah yang akan menjadi suaminya putri Ti Adwah. Dalam pada itu abang Cut Amat meminta kemenyan kira-kira sebesar buah kelapa yang sudah dikupas kulitnya. A p i harus disediakan dalam sebuah talam. Mulailah, diucapkan: "Bismillahir rahmanir rahim, bismillahir rahmanir rahim. Inilah aku abang Cut Amat, bang Cut Amat, bang Cut Amat, pr'oh. Bismillahir rahmanir rahim, inilah aku abang Cut Amat, bang Cut Amat, Cut Amat. bangcuamat, bangcuamat, pr'ooh," bangunlah jin itu, lalu menerjang dan berlari meninggalkan tubuh putri Ti Adwah. Ketika lari jin Afret itu, dicarinya wanita lain untuk dirinya sendiri, yaitu seorang putri raja: Bentigata bin Wariwarihon yang waktu itu sedang bennain-main di taman bunga. Alkisah bang Cut Amat. Tuan putri itu setelah tiga kali diembuskan angin kepadanya, sudah mampu duduk. Sudah dapat memanggil ibunya. Sudah dapat meminta makan. Untuk itu raja memenuhi perjanjiannya, yakni putri Ti Adwah dengan abang Cut Amat dikawinkannyalah.Pada malan penganten baru bang Cut Amat didudukkan di pelaminan singgasana raja, yakni tempat du4^



duk raja bertahta. D i sanalah ia duduk, dihidangi makanan yang lezat-lezat. Bang C u t A m a t makan terus, tidak peduli apa-apa. A p a saja yang disajikan tandas tuntas semuanya. Belum pernah d i n i k m a ti seumur h i d u p n y a . A k h i r n y a apa yang terjadi pada m a l a m n y a d i tempat tidur. Kira-kira jam sepuluh malam, bang C u t A m a t sakit perut karena terlalu kenyang dan kemudian tanpa disadari membuang kotoran. Tinjanya itu mengalir hampir seluruh tempat tidur, hingga tuan putri disampingnya kebagian k o t o r a n n y a i t u . Baunya bukan main tajam busuknya, tapi tuan p u t r i tidak ribut atau mengomel tentang hal itu. D i a berpendapat bahwa abang C u t A m a t itu adalah suaminya di dunia dan di akhirat, karena dialah yang telah berjasa mengobatinya. Tinja itu d i c u c i n y a dengan sabar. A k h i r nya mereka hidup aman dan tentram. T a k terkatakan senangnya, bang Cut A m a t kemudian menjadi raja, sungguhpun dia orang yang tak tahu apa-apa, bodoh. K o n o n Bentigata bin Wariwarihon putri raja Istafam, jatuh sakit. Raja Tamse dan raja Istifam adalah adik abang, keduanya bersaudara kandung. T a k ada orang yang dapat mengobati putri yang sakit tadi, seperti halnya putri T i A d w a h dalam cerita di atas. Siapa pun yang m e n d u k u n i n y a tidak ada yang mampu menyembuhkan. Memang putri itu hendak diperistri oleh j i n Afret tadi. Pada waktu i t u , bermusyawarahlah raja dengan permaisurinya. "Wahai, andaipun begitu pergilah menjemput raja C u t A m a t itu supaya anak kita d i d u k u n i n y a . Kalau bukan dia yang mendukuninya, p e n y a k i t n y a tak akan sembuh. Biarlah suami adik diambil oleh k a k a k n y a ! " Berangkatlah raja ke tempat adiknya. " D i k . " "Saya, bang." " B e g i n i , raja A m a t hendak kusuruh m e n d u k u n i si Dara. D i a ti dak sembuh kalau bukan dia yang m e n d u k u n i n y a . " "Jadi bagaimana janjinya?" " K a l a u sembuh boleh d i k a w i n i . " "Bagaimana i n i , adik untuk dia, k a k a k n y a pun untuk dia. Apa dibolehkan hal seperti i n i di dalam agama?" " A s a l k a n sah n i k a h , apa salahnya!" Berangkatlah abang C u t A m a t bersama raja. Setibanya di sana dia dinobatkan pada Batu Sakda, tempat raja bertahta. D i a adalah menantunya, tambahan lagi dia raja pula. A b a n g C u t A m a t m u l a i mengobati sang p u t r i , seperti halnya m e n d u k u n i putri raja yang da 43



hulu. Diambilnya kemenyan sebesar kelapa lalu dibakarnya serta diucapkan: "Bismillahir rahmanir rahim, inilah aku abang Cut Amat, inilah aku abang Cut Amat, pro'oh," sambil ia meniup. Seketika itu juga putri yang sakit itu berdiri. Putri Bentigata bin Wariwarihon yang sudah disurupi jin Afret tadi berkata: "He, tidak cukup yang sudah kuberikan seorang? Tahukan kamu lehermu akan kupatahkan." "He, aku bukan untuk itu datang ke sini! Bukan aku hendak merebut itu! "jawab abang Cut Amat. Mujur abang Cut Amat ada akalnya sedikit dan berkata: "He, aku pergi ini, tahukah anda? Si Beureuteh itu sudah terlepas dari sumur!" Mendengar ucapan itu jin Afret pun larilah. Alkisah putri Bentigata bin Wariwarihon, tak lama kemudian sehat. Sesudah ia sehat senanglah hati abang Cut Amat. Sudah dua orang putri yang sembuh diobatinya. Ia tetap sebagai raja, adik dan kakak jadi permaisurinya. Dia tetap memerintah dua kerajaan.



44



4. C E R I T A K O T A K A J A I B *) Ada seorang janda yang miskin dan papa mempunyai dua orang anak yang masih kecil. Meskipun keduanya masih kecil, namun salah seorang memberanikan diri mohon izin kepada orang tuanya, agar mereka diperkenankan pergi meninggalkan kampung halamannya dengan tujuan untuk membuka peladangan. Karena mereka masih dianggap anak-anak oleh orang tuanya, tambahan lagi tidak memiliki alat yang lengkap, maka orang tuanya berkeberatan untuk mengabulkan permohonan anaknya. Meskipun didesak agar diizinkan, namun belum juga mereka diperkenankan oleh orang tuanya itu. Setelah ketiga kalinya mereka bermohon, barulah ibunya memperkenankannya. Selama kedua anak itu tinggal bersama-sama dengan orang tuanya, keadaan mereka amat sederhana. Mereka hidup hanya dengan mendapatkan sisa beras dari orang lain. Mereka pergi tanpa perbekalan, kecuali mendapat sebuah kampak tumpul dari ibunya. Ibunya menyadari keadaan itu, tetapi anaknya berusaha memberi semangat bahwa dengan perlengkapan yang sederhana itu mereka kelak akan berhasil. Kedua anak itu lalu meninggalkan desanya, hanya dengan sedikit perbekalan. Setelah menempuh hutan belantara, akhirnya mereka tiba pada sebatang kayu yang amat besar. Mereka merasa amat letih, karena perjalanan yang jauh. Adik mengajak abangnya, agar bermalam saja pada daling 1) kayu yang besar itu. Abangnya menuruti saja ajakan itu, meskipun sebenarnya ia merasa amat takut, kalau-kalau kelak akan diserang oleh binatang buas di hutan itu. Dengan penuh pasrah kedua anak itu lalu tidur pada daling kayu yang besar itu. Keesokan harinya adiknya menceritakan mimpinya kepada abangnya. Dalam mimpi didapatnya pesan, agar mereka berdua tetap tinggal di tempat itu. Tuhan akan memberi mereka rezeki di tempat itu. Percaya kepada pesan mimpi itu, kedua bersaudara itu *) diambil dari bahasa Gayo (Aceh Tengah). 1) bagian pangkal dahan kayu yang dapat digunakan untuk berlindung.



45



lalu berusaha menebang kayu yang besar tempat mereka berteduh dan tidur. Mereka terus menebang tanpa berhenti. Tiba-tiba terdengar seruan, akan tetapi tak dapat mereka kenal dari mana asal suara itu. Suara itu berkata: "Hai anak muda, berhentilah menebang kayu itu. Ini ada cerpa cerpa pepinte2) yang hendak kuberikan kepadamu." Anak muda itu menyahut: "Bagaimanakah sebaiknya kami bertutur sapa dengan anda, kalau kami tidak mengetahui diri anda. Kami akan bertutur sewajar bapak ataupun kakek. Bilamana kami ketahui diri anda." "Saya adalah seorang lelaki. Jadi terserah kepadamu, apakah engkau akan bertutur bapak ataupun kakek." Kemudian anak muda itu bertanya bagaimanakah caranya membuka cerpa itu. Ia diberi petunjuk, bagaimana membuka benda itu. Bukalah cerpa itu dan selagi ia terbuka kemukakanlah apa yang engkau inginkan. Kemudian tutuplah kembali. Mudah-mudahan engkau akan mendapatkan apa yang engkau hayati. Tatkala ia mencoba sendiri karena ingin membuktikan keanehan cerpa itu, tiba-tiba ia melihat makanan yang telah tersedia dihadapannya, sesuai dengan keinginannya. Karena demikian kenyataannya, maka iapun memutuskan untuk menunda penebangan kayu besar itu. Dengan mengucapkan terima kasih kepada suara yang tidak berjasad itu merekapun pulang kembali ke kampung halamannya. Tatkala mereka tiba di rumah, mereka mendapatkan ibunya sedang termenung melihat bunga yang sedang terapung dalam kedua sumur yang dibuat sebelum kedua anak itu berangkat. Layu dan segar yang terlihat pada kedua tangkai bunga itu, yang merupakan pertanda bahaya atau keselamatan yang mungkin menimpa kedua anak itu. Masing-masing tangkai adalah pertanda bagi salah satu mereka. Begitulah keyakinannya. Ibu itu menceritakan kepada anaknya apa yang sedang dilakukannya, ketika kedua anak itu tiba dirumah. "Mudah-mudahan kami selamat." kata anak muda itu kepada ibunya. Tiada berapa lama kemudian ibunya menanyakan usaha mereka dan apa sebab mereka segera pulang. Adiknya menjelaskan bahwa mereka tidak meneruskan usaha penebangan pohon itu dan selanjutnya menjelaskan tentang rezeki berupa cerpa yang mereka peroleh dari makhluk gaib yang tak berjasad. Ia menjelaskan kepada ibunya, apa yang telah dialaminya tentang cerpa aneh yang da2) kotak wasiat. 46



pat memenuhi segala permintaan pemiliknya itu. Pertama sekali ia ingin memanfaatkan keajaiban cerpa itu untuk membangun rumah tempat tinggal ibunya. Untuk tujuan itu pertama hendaklah terlebih dahulu dilaksanakan usaha merubuhkan rumah yang lama dan selanjutnya mempersiapkan landasan bagi rumah baru yang sedang direncanakan. Orang tuanya hanya terheran-heran saja mendengar ajakan anaknya itu. Menurut ibunya, semua itu adalah hal yang mustahil dan tidak terpikirkan. Meskipun demikian, ia mengikuti saja rencana yang dikemukakan oleh anaknya itu. Karena demikian rencananya, maka untuk beberapa malam lamanya mereka harus tidur dalam semak belukar, karena rumah mereka sedang dirubuhkan untuk diperbaharui. Pada suatu malam, tatkala semua orang sedang tidur nyenyak, Amat Banta, yaitu anaknya yang kedua, bangun dari tidurnya. Ia duduk pada bekas bangunan rumahnya. Ia sekarang mem bu ka cerpanya dan selagi masih terbuka ia bermohon: "Oh, cerpa , aku ini adalah seorang yang amat miskin tak ada bandingannya. Jadikanlah rumahku ini sebaik-baik rumah, buatlah ia dari batu keliling, atas dan bawah. Di situ tersedia tempat tidur, dan makanan dan segala-galanya." Sambil memejamkan matanya, kembali ia menutup cerpanya. Dalam sekejap mata, lengkaplah terjadi apa yang diidamkannya. Menjelang pagi, tatkala saudara dan ibunya bangun, amatlah terkejut mereka melihat kejadian itu. Ibunya heran dan bertanya siapakah gerangan pemilik rumah ini. "Ini rumah kita" kata Amat Banta. Perkakas-perkakas yang tak perlu atau tak dapat dipergunakan, kini sudah disingkirkan "Kita akan mendapatkan alat-alat perlengkapan yang lebih baik, B u , " katanya. Orang-orang disekitar daerah itu menjadi keheran-heranan melihat kejadian itu dan lebih heran lagi bagaimana cepatnya pekerjaan itu selesai. Sekarang mereka mengetahui, bahwa rumah itu adalah rumah Amat Banta yang dahulu lebih dikenal dengan nama si miskin. Orang-orang ingin memiliki rumah seperti itu juga. Dengan keajaiban kotak wasiat, kini ia menjadi orang yang kaya raya di kampungnya. Setelah Amat Banta mencapai usia remaja, ia mohon agar ibunya bersedia melamar anak pamannya. Ada tujuh orang putri pamannya itu. Amat Banta berpesan, jika di antara mereka belum bersedia berumah tangga, maka yang bungsupun jadilah, jika benar 47



ia bersedia. Sebelum ibunya berangkat terlebih dahulu diputuskan untuk siapakah kelak anak paman yang akan dipinang itu. Ternyata, abangnya menolak. Maka sekarang telah ada satu kepastian, bahwa yang akan dipinang itu adalah calon bagi isteri Amat Banta. "Bila dikenang masa lalu, sebenarnya aku segan untuk menyampaikan maksud ini. A k u ingat, tatkala aku minta beras kepada pamanmu, tetapi ia tidak memberikan aku sesuatu, meski segenggam sekalipun," kata ibunya. Amat Banta mendorongnya: "Pergilah, sekadar berbincang-bincang dengan anak paman. Pergilah berjalan-jalan ke sana, tentu ibu dapat mengetahui isi hati mereka. Dengan dorongan itu, ibunya berangkat menuju rumah adiknya dengan tujuan meminang anaknya. Ia disambut dengan segala keramah-tamahan oleh keluarga adiknya, yaitu paman dari Amat Banta, maka ia dihidangkan dengan segala hormatnya. Hal itu amat berbeda dengan keadaan sebelum ia mempunyai rumah yang besar dan bagus itu. Setelah selesai makan, maka dia menyampaikan maksud kedatangannya, tak lain untuk memenuhi kehendak anaknya, agar salah seorang anak adiknya dapat dipertemukan dengan anaknya yang bernama Amat Banta. "Pada dasarnya saya tak berkebaratan, asalkan saja Amat Banta dapat menyediakan rumah bagi mertuanya sama indahnya dengan rumahnya yang telah selesai dibangun itu. Jika ia dapat memenuhi permintaan itu, Amat Banta dapat memilih siapa saja yang disenanginya di antara mereka." Ibu Amat Banta tiada segera menyatakan kesanggupannya. Permintaan yang demikian itu sebaiknya disampaikan terlebih dahulu kepada Amat Banta sendiri. Karena segala pembicaraan telah selesai, maka ibu Amat Banta mohon diri untuk meninggalkan rumah adiknya kembali ke rumahnya sendiri. Tak lupa ia mohon diri juga kepada anak-anak adiknya yang juga membalas secara penuh kesopanan. Sesampainya di rumah dengan segera ia memanggil anakanaknya untuk menyampaikan hasil pembicaraannya. "Marilah anak-anak, aku hendak menyampaikan permintaan pamanmu. Pada dasarnya pamanmu dengan segala senang hati menerima lamaran kita, dengan syarat-syarat tertentu." Anaknya, Amat Banta, menjawab segera "Sanggup" dan mengharapkan ibunya, agar segera menyampaikan kesanggupannya itu kepada pamannya. Harap agar rumah yang lama, segera disingkirkan, bahan apa yang tak diperlukan harap disingkirkan juga. Ia mengharapkan agar pamannya 48



segera memberi kabar jika pekerjaan pendahuluan itu telah selesai, agar usaha selanjutnya dapat dilaksanakan secepatnya. Pamannya segera menyampaikan kabar kepada Amat Banta. Setelah menyampaikan berita, iapun kembali pulang ke tempatnya. Menjelang malam yang sepi serta tenang pada saat orang sedang tidur nyenyak, Amat Banta tiba di tempat kediaman pamannya. Setelah dibukanya cerpa itu, iapun mengucapkan permohonannya, agar kiranya di tempat yang sama berdirilah sebuah rumah se indah rumahnya yang telah terbangun. Selesai mengucapkan permohonan itu, kembali ditutupnya cerpa itu serta dengan sekejap mata menjadi kenyataan apa yang diinginkannya. Ia segera pulang, tatkala segala sesuatu telah selesai. Menjelang pagi, setiap orang yang mempersaksikan kenyataan itu menjadi keheran-heranan. "Betapa semua ini dapat terjadi dan bagaimana Amat Banta si miskin - dapat berbuat demikian. Sungguh ajaib. Patutlah Amat Banta dijadikan raja di negeri ini." Begitulah setiap orang menyatakan kekagumannya. Karena syarat perkawinan telah dipenuhi, maka kini tibalah giliran pamannya untuk menentukan siapakah kiranya di antara ketujuh anaknya yang bersedia dipertemukan dengan Amat Banta. Ternyata telah enam orang anaknya yang menyatakan "tidak bersedia." Ayahnya kini kebingungan, karena khawatir tak akan dapat memenuhi pinangan Amat Banta. Khawatir akan celaan yang akan menimpa ayahnya, akhirnya anaknya yang bungsu menyatakan kerelaannya untuk dipertemukan dengan Amat Banta. Ia berkata: "Jika tidak ada diantara saudara-saudaraku yang bersedia, maka untuk menjaga agar orang tua kita tidak tercela, saya menyatakan kesediaan saya. Saya ingin dijodohkan dengan Amat Banta, bukan dengan abangnya. Kini persesuaian telah tercapai, maka pelaksanaan perkawinan akan dilangsungkan pada hari bulan empat belas. Seperti telah direncanakan, perkawinan berlangsung tanpa suatu halangan. Kenduri diadakan selengkapnya sesuai dengan kedudukan calon pengantin dalam masyarakat. Setelah selesai akad nikah, maka kini rombongan pengantar Amat Banta kembali ke kampungnya dan Amat Banta tinggal di tempat kediaman mertuanya. Setelah lima hari ia hidup bersama dengan keluarga isterinya, maka Amat Banta berkata kepada isterinya, bahwa ia ingin keluar 49



sebentar berjalan-jalan ke kedai. Karena diketahui oleh mertuanya, maka melalui isterinya ia diberi sekadar uang untuk membeli sesuatu, jika ia memerlukannya. Amat Banta menerima pemberian itu. Setibanya Amat Banta di kedai itu, ia bertemu dengan seseorang yang sedang membawa seekor anjing. Anjing ini kurus bukan kepalang. Dalam keadaan berapus3);anjing yang malang itu hendak dibuang oleh si empunya ke dalam sungai. Amat Banta tertegun melihat kejadian itu. Ia mohon, agar anjing kurus itu dapat dimilikinya meskipun untuk itu ia harus memberikan sesuatu kepada siempunya. "Inilah sekadar uang pembeli rokok saudara berikanlah anjing itu kepada saya" kata Amat Banta. Si empunya anjing berkata merendah " A h ! Untuk apakah anjing sekurus yang tinggal tulang ini bagi anda, tetapi kalau anda memang memerlukannya silakan ambil" K i n i anjing itu telah menjadi milik Amat Banta. Tatkala Amat Banta tiba di rumah, isterinya amat heran melihat keadaan itu. Kalau memang Amat Banta memerlukan seekor anjing, bukanlah di rumah ini juga ada seekor anjing, "kata isterinya memang benar di sini ada anjing, tapi anjing itu bukanlah milikku. Aku harap bantuanmu agar engkau dapat memberinya makanan dengan baik, agar ia cepat sembuh, cepat gemuk," kata Amat Banta kepada isterinya. Tanpa banyak bicara, isterinya merawat anjing itu dengan baik. Kurungan dibuatnya agar anjing itu dapat segera pulih kembali. 1



Keesokan harinya Amat Banta berpesan yang sama kepada isterinya, tetapi kini ia membawa seekor kucing yang amat kurus. Ketika isterinya bertanya untuk apa gerangan binatang itu, Amat Banta menjawab: "Engkau tak tahu gunanya. Semua ini ada gunanya." Pada hari ketiga ia berjalan-jelan ke kedai, Amat Banta bertemu dengan seseorang yang membuang seekor tikus dari dalam perangkapnya. Melihat apa yang akan dikerjakan orang itu Amat Banta bertanya kalau-kalau ia dapat memperoleh tikus itu. "Kalau dapat tuan memberikannya kepada saya, inilah sekadar uang untuk pembeli rokok. Orang itu tidak berkeheranan memberikan tikus itu kepada Amat Banta. Ketiga jenis hewan itu kini berada dalam satu kurungan. Ketiganya berada dalam keadaan dam ai. Ketiganya diberi makan dalam satu wadah. 3) terikat keempat kakinya. 50



Pada suatu pagi tatkala Amat Banta hendak. pergi ke meunasah4) melakukan sembahyang subuh, berlainan dengan hari-hari biasa, ia terlupa membawa cerpanya, sehingga pada pagi itu cerpanya tetap terletak di bawah bantal. Sewaktu ia berada di sungai, cerpa itu kini telah berada di tangan pembantu yang setiap hari bertugas membenahi kebersihan kamarnya. Setelah pembantu itu selesai dengan pekerjaannya, ia meneruskan pekerjaan kabahagian dapur. Terdorong oleh perasaan ingin tahu, apa gerangan yang terdapat dalam cerpa itu, ia lalu membukanya. Selagi cerpa itu terbu ka terdengar suara yang mengatakan: "Hai anak muda, janganlah terlalu lama membiarkan aku dalam keadaan terbuka. Nyatakanlah apa yang kauinginkan." Mendengar suara itu, pembantu menyambutnya dengan ucapan: "Pindahkanlah rumah ke pusat laut," katanya. Maka dalam sekejap mata rumah tersebut beSerta dengan segenap isinya, termasuk pembantu serta isteri Amat Banta, kini berada di pusat laut. Sekembalinya Amat Banta dari sungai, seluruh bangunan rumah bersama dengan segenap isinya, kini telah lenyap dari pandangan. Amat Banta terkejut keheranan melihat apa gerangan yang telah terjadi. Karena tidak dapat menjelaskan apa yang telah terjadi, maka ia dituduh telah menganiaya isterinya "Jadi engkaulah yang telah membunuh anakku," tuduh mertuanya. Meskipun secara jujur Amat Banta menjawab, bahwa ia tidak mengetahui tentang apa yang telah terjadi, namun semua itu tak dapat meringankan tuduhan yang telah ditujukan kepadanya. Sekarang ia menyerah dan pasrah menerima segala hukuman yang akan dijatuhkan kepada dirinya. Sekarang ia dihukum oleh mertuanya dengan memasukkan Amat Banta kedalam suatu kurungan yang terletak. di bawah tanah. Di sanalah ia di penjarakan. Dengan takdir Tuhan, anjing peliharaannya mengetahui Amat Banta berada dalam kurungan. Anjing itu berusaha menemukan jalan, agar dapat bertemu dengan tuannya, dengan cara membuat lalang jalan masuk, akhirnya anjing itu dapat bertemu dengan Amat Banta. Anjing itu bertanya apa sebab Amat Banta dipenjarakan. "Cerpa saya sekarang berada pada seseorang yang tidak saya ketahui. Itulah sebabnya maka saya dipenjarakan. Saya bermimpi bahwa rumah itu sudah dipindahkan oleh hamba sahaya ke pusat laut. 4)surau 51



Dapatkah kamu mengikutinya?" kata Amat Banta. "Baiklah, akan saya usahakan!" jawab anjing itu. Ketiga hewan bersahabat itu, yaitu anjing, kucing dan tikus membuat rencana agar dapat sampai ke pusat laut. Karena anjing merasa bahwa kedua temannya yang lain tidak mungkin ikut berenang ke pusat laut ia' mengusulkan, agar ia sendiri sajalah melaksanakan tugas itu. Keduanya mendesak agar dapat ikut, asal dalam perjalanan nanti anjing tidak berjauhan dengan mereka. Ketiganya lalu berenang ke pusat laut. Anjing melaporkan bahwa ia telah dapat mencium tempat rumah yang telah dipindahkan ke pusat laut. Ketiganya langsung tiba di rumah itu. Karena merasa pasti, bahwa inilah rumah yang dicari, kucing lalu langsung dapat masuk ke dalam rumah tanpa diketahui oleh hamba sahaya yang sedang berada dalam rumah itu. Tikuspun melaporkan, bahwa memang inilah rumah yang dipindahkan itu. "Saya telah raengelilingi seluruh pelosok rumah i t u " kata tikus. Karena merasa pasti, bahwa rumah yang dicari itu telah diketahui tempatnya, ketiga binatang itu kini berangkat kembali pulang untuk memberitanukan kepada tuannya, Amat Banta. Dalam pertemuannya dengan Amat Banta, ketiga binatang itu mendapat perintah untuk menyaksikan apakah benar cerpa itu berada pada sahaya. Kamu harus berikhtiar bagaimana cara, agar kamu bertiga dapat memperoleh cerpa itu kembali. Agar dapat berhasil dengan baik, ketiga binatang itu terlebih dahulu menentukan tugas bagi masing-masing mereka. Anjing mendapat tugas membuat lobang jalan masuk ke dalam rumah dan ia tetap berada di luar rumah. Tikus mendapat tugas memeriksa bagian dalam rumah untuk menentukan tempat hamba sahaya berada atau tidur dan dimana cerpa itu berada. Tikus terlalu kecil untuk dapat merampas cerpa itu dari tangan hamba sahaya, karena itu tugas ini diserahkan kepada kucing untuk melaksanakannya. Kata Amat Banta kepada binatang itu: " A k u pasti akan mati. bilamana kamu bertiga tidak dapat memperoleh cerpa i t u . " Dengan pesan nu ketiga bersahabat itu kembali berusaha untuk mengetahui dimana cerpa disimpan oleh hamba sahaya dan selanjutnya berusaha membantunya kembali. Dengan tekad yang bulat, ketiga sahabat itu kembali berenang menuju rumah yang kini terletak di pusat laut. Maka dibuatlah rencana, agar dapat tiba di tempat tersebut pada malam hari. 52



Anjing akan diberi petunjuk di mana tempat sebaik-baiknya untuk membuat jalan masuk. Ini akan diberitahukan oleh tikus, karena badannya yang kecil ia dapat mengadakan peninjauan sebebas-bebasnya ke seluruh rumah itu. "Kami menunggu perintah dari kamu" kata kucing kepada tikus. Karena merasa telah pasti, maka tikus lalu turun memberi laporan. Ada beberapa hal yang dilaporkannya. Pertama, terlihat olehnya bahwa isteri Amat Banta bukan alang kepalang kurus keadaannya. Kedua hamba sahaya itu kini sedang tidur dan cerpa itu berada dimulutnya dalam keadaan tergigit. Anjing terus berusaha membuat lobang jalan masuk. Anjing harus membuat lobang sebesar badannya, jika ia juga harus masuk. Karena hanya baru sebesar lobang yang dibuat dan lagi pula karena merasa sayang kepada anjing yang bekerja cukup keras itu, kucing lalu mengemukakan pendapat, katanya: "Cukuplah sudah abang anjing. Buatlah lobang itu sebesar badanku saja, sekedar aku dapat masuk. Abang anjing tak usah masuk, agar jangan nanti orang dalam rumah ini terkejut." "Kamu benar" kata anjing pada kucing. Tambahnya lagi: "Kamu pergi kedalam dan aku menunggu diluar. Sementara keduanya menunggu tak berapa lama tikus memberi penjelasan bahwa hamba sahaya itu sedang tidur dan cerpa itu ada dalam mulutnya. Ini adalah pertanda bagi kucing untuk bertindak. Selesai mendengar penjelasan ini, kucing pun masuk sendirian, perlahan-lahan tanpa berisik. Tibalah ia dekat hamba sahaya yang sedang tidur dan lagi cerpa tadi benar berada dalam keadaan tergigit. Kucing memandang dengan teliti untuk menentukan betapa jalan yang paling baik untuk dapat merampas cerpa itu. Maju, berhenti, meneliti lagi. Setelah ia yakin, bahwa keadaan paling baik telah ditemukannya, ia berhenti sebentar lagi, agar pasti bahwa sekaranglah kesempatannya maka dengan sekuat tenaga ia meloncat sambil menyambar dan terus memegang erat-erat cerpa itu. Dan kini cerpa itu telah berada di tangannya. Hamba sahaya terkejut dan dalam keadaan kebingungan ia menyapu-nyapu pipinya yang tercakar kucing. Sekarang cerpa telah berada di bawah kekuasaan ketiga sahabat ini. Selamat ditemukan kembali. Rencana kembali secepatnya harus segera diputuskan. Setelah berunding maka diputuskan bahwa anjinglah yang 53



akan diserahi tugas pertama untuk membawa cerpa itu. Ia lebih besar dan lebih bijaksana. Akan tetapi anjing menolak dan dengan rendah hati ia mengatakan, bahwa ia tak dapat menahan diri bilamana melihat ini kelak terjadi, pastilah cerpa akan hilang sebab benda itu tentu akan terlepas dari mulut anjing. Tikus dengan sopan menolak, sebab merasa dirinya terlalu kecil untuk dapat berbuat demikian. Kucing bukannya menolak, akan tetapi mendesak agar anjing bersedia menerima tugas itu. "Abang anjing tak usah menggendong kami. Kita akan selamat sampai diseberang asalkan saja abang anjing dapat menanan diri, bilamana kelak bertemu dengan kotoran manusia. Anjing menerima tugas itu dan mempersilahkan tikus naik ke punggungnya. Sekarang mereka tengah berada ditengah perjalanan. Kucing sebenarnya merasa amat lapar, karena ia sendiri sajalah yang belum sempat makan seperti kedua teman lainnya. Hal ini disadari oleh kedua temannya itu. Oleh sebab itulah mereka tidak merasa heran bilamana pada satu saat anjing numelgap5) sepotong kotoran manusia yang sedang terapung di sampingnya. Tak dapat menahan dorongan rasa lapar, maka akhirnya cerpa terlepas dari gigitannya, dan jatuh ke dalam air dan cerpa itu kini telah berada di mulut seekor. ikan hiyu. Karena ketiganya telah sampai di tepi, mereka dapat menyaksikan tingkah laku ikan itu. Akan tetapi-anjing tak dapat menahan diri, tetapi terus saja menggonggong sekuat tenaga. Gonggongan anjing itu terdengar oleh penduduk di sekitar pantai. Suatu hal yang tak pernah terjadi pikir mereka. Karena itu mereka keluar bersama-sama menyaksikan keadaan itu. Sebab ikan hiyu makin mendekat ke tepi, maka mereka kini dapat menangkap nya. Tanpa menunggu lama, ikan hiyu segera menjadi korban dan terus dipotong-potong menjadi potongan kecil. Mereka heran melihat apa sebab anjing tak berhentinya menggonggong, meskipun telah diberi bermacam-macam bagian daging ikan hiyu. Ia selalu menoiaK. Mereka menjadi benam bah neran. Seorangpun tak tahu apa yang digonggongnya. Tatkala pemotongan telah tiba pada bagian perut, maka terpandang olehnya bahwa benar cerpa itulah yang dilihatnya, maka dengan segera ia menerkam cerpa itu serta membawanya. Tak seorangpun merasa pasti apakah gerangan benda yang disergap anjing 5) mencaplok 54



itu. Akan tetapi pastilah bahwa kini cerpa itu berada pada anjing beserta dua temannya. Ketiga sahabat itu kini akan melanjutkan perjalanan mereka menuju tuannya. Karena pengalaman yang lalu, sekali lagi anjing diperingatkan oleh kucing, agar lebih waspada terhadap segala godaan, lebih-lebih terhadap godaan dari kotoran manusia. " Y a , aku akan lebih waspada sekarang" jawab anjing. Tanpa suatu halangan mereka kini telah tiba di tempat tuannya yang semenjak mana menunggu penuh harap cemas. Dengan memperhatikan keadaan sekeliling terlebih dahulu, mereka dengan amat waspada dapat menyampaikan cerpa itu kepada pemiliknya, Amat Banta. Setelah Amat Banta menerima cerpa itu, ia langsung berbicara menanyakan keadaannya kepada cerpa itu. Ia berkata: " A k u sekarang berada dalam sengsara. A k u telah tiga bulan lamanya dalam penjara dan aku sekarang bermaksud membukamu cerpa." Cerpa menyahut: "Hai anak muda, apa yang kau perlukan bicarakan sege ra. Jangan banyak membuang waktu," Setelah Amat Banta membuka cerpa itu, ia menyatakan keinginannya, katanya; "Rumahku yang terletak dipusat laut, haraplah kau kembalikan segera ketempat semula." Ia segera menutup cerpa itu. Dengan seketika, rumah itu berada kembali ditempatnya semula, kembali seperti sediakala. Alangkah terkejut mertuanya setelah melihat kembali rumah itu lengkap sebagaimana biasa. Demikian pula istrinya, anaknya be serta hamba sahaya telah berada ditempat semula. "Bagaimanakah semua ini dapat terjadi, anak istri berada kembali disini," katanya. Ia menyatakan penyesalannya karena telah menüduh Amat Banta berbuat salah, yaitu membunuh anak istrinya. Dengan perintahnya, maka rakyat menjemput kembali Amat Banta dari penjara. Setelah bertemu dengan menantunya, ia menanyakan semua kejadian yang ajaib ini. Amat Banta menyatakan pembelaannya, bahwa adalah tidak mungkin baginya melakukan peristiwa ini dan bukanlah pula ia yang bermaksud menghabiskan nyawa isterinya. Semua kejadian ini adalah karena adanya cerpa pepinte. Apabila ia berada dalam sengsara, maka ini adalah karena jatuhnya cerpa pepinte ke tangan seseorang yang tiada bertanggung jawab mempergunakannya, yaitu hamba sahaya yang selama ini bertugas dalam rumah mereka. "Ia mendapatkannya, tatkala saya lupa membawanya serta" kata Amat Banta. Jika semua ini dapat terjadi sebagai semula,, maka ini adalah karena bantuan dari anjing, kucing dan ti55



kus yang telah bersusah payah mendapatkan kembali. "Untuk membuktikan kebenaran kejadian itu baiklah ayahanda saksikan, apakah benar ada terdapat bekas cakar kucing pada pipi hamba sahaya i t u , " kata Amat Banta kepada mertuanya. Setelah diperiksa, maka benar ternyata didapati bekas cakar kucing pada pipi hamba sahayanya. Jika demikian engkau benar Amat Banta. Maka sebagai balasan yang setimpal hamba sahaya ini haruslah dihukum sebagaimana mestinya kata mertua Amat Banta. Mendengar ucapan itu hamba sahaya menyahut: "Saya melakukan semua itu bukan dengan sepengetahuan saya. Semua terjadi serba kebetulan, karena cerpa menyuruh saya untuk menyatakan keinginan saya. Maka saya menyatakan, agar rumah ini dipindahkan ke pusat laut. Saya percaya, bahwa hal itu akan terjadi."



56



5. CERITA LENANG MULUD *) Dahulu kala adalah seorang raja beristeri tujuh orang. Lenang Mulud adalah anak isterinya yang termuda. Pada suatu ketika ada seseorang yang berkata kepada raja, bahwa isteri raja yang termuda itu kelak akan mendatangkan bencana miskin serta papa kepada raja. Supaya jangan terjadi demikian, raja seharusnya membuang isterinya itu. Raja percaya kepada anjuran orang itu. "Jika demikian berangkatlah. Persiapkan berasnya, bahwa apa yang dapat dibawa dan buatlah rumahnya dalam hutan supaya dia tidak dimakan harimau. Sebaiknya, semua hal ini jangan sampai diketahui orang lain," perintah raja. Maka berangkatlah para pengawal mengantarkan isteri raja itu kedalam hutan. Setelah sekian lama berada dalam hutan, isteri raja itupun bersalin. Ia memberi nama Lenang Mulud kepada anak yang baru lahir itu. Meskipun merasa sedih, namun ia tetap tinggal di rumah itu. Pada suatu hari raja berburu ke daerah itu. Karena mendengar suara batuk, anak itu bertanya kepada ibunya : "Suara apa itu ibu," tanyanya. "Suara manusia, nak," jawab ibunya. "Bagaimana rupa orang itu." "Seperti kita juga." "Saya ingin melihat orang i t u . " "Jangan dilihat nak!" Lama kelamaan rombongan pemburu itu, makin mendekat. Demikianlah tatkala ia mendengar suara anjing, anak itu memo hon kepada ibunya, supaya diizinkan melihat anjing itu. Namun ibunya tetap tidak mengizinkan. "Jangan lihat nak. Nasib kita tidak serupa dengan nasib kebanyakan orang, malu kita melihat orang. Kita ini dibuang kedalam hutan." "Saya tidak merasa malu," jawab anak itu. Tanpa diketahui oleh ibunya, anak itu terus lari menuju *) diambil dari bahasa daerah Gayo (Aceh Tengah). 57



ketempat pemburu itu. Ia sekarang berada di tengah rombongan pemburu yang sedang memotong seekor rusa. Tiba-tiba raja memandang kepada anak itu dan dalam seketika raja menjadi buta. Karena tiba-tiba raja menjadi buta, orang yang berada disitu bertanya apa sebab gerangan demikian. Anak itu lalu diikat kedua tangannya dan dilemparkan ke dalam sungai. Akan tetapi karena anak itu bertuah, ikatan tangan itu dapat lepas dengan sendirinya. Karena raja tak dapat melihat lagi, ia lalu diusung ke istana. Setelah beberapa bulan berada kembali di kampung, mata raja belum juga sembuh, meskipun telah diobati dengan bermacam jenis obat-obatan sebagaimana dianjurkan oleh gurul). Pada suatu hari, diundanglah seorang ahli petengon2), yaitu seorarig ahli yang dapat meramaikan sesuatu yang dapat dipergunakan untuk obat mata raja itu. Menurut ahli ini, satu-satunya obat mata raja adalah bunga bangkawali, katanya. "Siapa yang dapat mengusahakannya," tanya raja. "Kami akan mencarinya," kata keenam anak raja itu. Bahan makanan pun selama perjalanan disiapkanlah rombongan menjelajahi hutan belantara dan akhirnya bertemu dengan tempat tinggal Lenang Mulud. Melihat rombongan itu, Lenang Mulud lalu bertanya: "Hendak kemana bang," tanyanya. "Kami hendak mencari bunga bangkawali untuk obat orang tua kami," jawab mereka. Lenang Mulud mohon izin kepada ibunya, agar diperkenankan mengikuti rombongan itu. Akan tetapi ibunya melarangnya, karena takut tinggal sendirian di rumah dan juga merasa khawatir kalau-kalau Lenang Mulud akan disiksa seperti yang telah pernah dialaminya. Akan tetapi keenam anak raja itu berjanji akan menjaga keselamatan Lenang Mulud. Maka berangkatlah ia bersamasama dengan rombongan anak raja itu. Namun mereka belum mengenai siapa-siapa sebenarnya orang-orang itu, demikian pula sebaliknya. Rombongan terus berjalan dan akhirnya tiba pada sebuah 1) ahli pengobatan 2) ahli nujum. 58



kampung tempat kedudukan seorang raja besar. Raja ini memiliki seorang anak puteri yang bernama Lela Kerani, pemilik serta penjaga bunga bangkawali. Mengetahui keadaan yang demikian, pencari bunga bangkawali itu lalu mencari akal bagaimana cara mendapatkan bunga itu. "Bagaimana caranya dik," tanya mereka. " A h rupanya kamu sekalian penakut. Puteri itu kini sedang tidur, ajaklah tikus untuk mencuri kipas puteri itu," jawab Lenang Mulud tegas. "Bagaimana memanggil tikus?" Tidakkah kaulihat betapa banyak penjaga berdiri disitu," "Tanya anak raja itu bimbang. Lenang Mulud memanggil tikus untuk mencuri kipas puteri itu dengan perjanjian akan memberikan emas sebagai upahnya. Tikus itu berhasil mencuri kipas itu dan menyerahkannya kepada Lenang Mulud. Lama setelah i t u barulah puteri Lela Kerani bangun. Tatkala matanya terbuka, ia merasa kehilangan sapu tangan yang di pergunakannya untuk mengipas bunga bangkawali. Bagaimana mungkin hilang, sedang ia dijaga oleh pengawal yang bertugas menjaga puteri itu. Raja marah tak terkira bengisnya kepada pengawal itu. Mereka lalu berusaha mencari kipas itu. Dalam keadaan demikian riuh, Lenang Mulud dengan segala kekecilannya berada di tempat itu. Ia ditanyai oleh puteri: "Adakah engkau lihat sapu tanganku?" "Bagaimana mungkin jatuh ketangan saya," jawab Lenang Mulud. Karena belum dapat juga, raja lalu menyuruh pengawal mencari seseorang yang bernama Lenang Mulud. Pada suatu malam puteri itu bermimpi, bahwa barang siapa saja yang menemukan sapu tangannya, orang itu adalah calon suaminya yang bernama Lenang Mulud. Akhirnya orang yang bernama Lenang Mulud ditemukan oleh pengawal. Setelah ia ditemukan oleh pengawal, lalu para pengawal mengabarkan kepada raja, bahwa Lenang Mulud telah ditemukan. Pengawal menyatakan kepadanya apa yang kelak akan terjadi terhadap dirinya. Akan tetapi dengan merendahkan diri ia menjawab, bahwa tak mungkin ia menjadi suami puteri itu ' T a k mungkin, aku ini orang miskin, puteri itu anak raja yang memiliki kekuasaan. Tak mungkin," katanya. Meskipun telah diberitahukan kepadanya, bahwa ia kelak akan menjadi suami puteri raja dan hal demikian tersebut dalam mimpi puteri itu, Lenang Mulud tetap menyatakan keberatannya. 59



Dalam pada itu bunga bangkawali tak akan berkembang lagi, bilamana tidak dikipas dengan satm tangan yang diberikan oleh tikus kepada Lenang Mulud itu. Dengan berbagai cara bujukan, akhirnya Lenang bersedia menjadi suami puteri itu. Dalam hati kecilnya, sebenarnya ia bersedia, akan tetapi ia selalu merendahkan diri. Maka dirayakanlah perkawinan antara kedua makhluk itu selama tujuh hari tujuh malam. Keenam putera raja lainnya, tak diketahui lagi kemana perginya. Mereka tak berhasil menemukan bunga bangkawali. Pada suatu hari Lenang Mulud menyatakan maksudnya kepada isterinya, katanya: "Lela Kerani, kedatanganku kemari adalah mencari obat mata orang tuaku yang telah buta. Menurut para guru, hanya bunga bangkawali yang dapat dijadikan obatnya. A i r bunga itu dapat membuka matanya. Kalau kau tak bersedia pergi bersama denganku, tak mengapalah, asal saja aku dapat membawa bunga i t u . " "Kalau abang pergi, aku juga ikut," sahut puteri itu. "Apakah masih ada orang tuamu?" tanya puteri. "Ada, dan teman saya kemarin itu adalah abangku, tetapi mereka tak mengetahui, bahwa aku adiknya," jawab Lenang. Lenang lalu mohon izin berangkat kepada mertuanya. Izin itu diberikannya dengan segala senang hati "Jika demikian janganlah engkau pergi sendirian. Bawalah serta isterimu juga. Bagaimana engkau memandang orangtuamu, demikian jugalah hendaknya memandang aku," kata raja. "Akan tetapi bagai mana tentang bunga bangkawali yang tak mau lagi berkembang, sebab tidak dikipas," kata puteri itu. Lenang menyahut, bahwa kipas itu ada padanya," cobalah dulu, boleh jadi dapat dipergunakan untuk mengipasnya," jawab Lenang, setelah dicoba ternyata bunga itu lalu kembang, sebagaimana biasa. Merasa senang melihat bunga yang demikian, mereka lalu berangkat ke tempat orang tua Lenang dengan membawa serta bunga bangkawali. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan saudara Lenang Mulud yang gagal mendapatkan bunga itu. Lenang memberitahukan kepada mereka tentang bunga yang telah diperolehnya itu. ".Siapa perempuan ini?" tanya mereka. Dengan tidak menyebutkan, bahwa perempuan itu isterinya sendiri. Lenang menjawab: "Dia juga ikut. Boleh jadi mata ayahanda akan sembuh, bila ia yang akan meneteskan obatnya." "Baiklah kalau begitu," jawab 60



mereka, sambil meneruskan perjalanan. Setibanya di rumah, mereka lalu mendekati raja yang sedang terbaring itu. Mata raja lalu terbuka setelah ditetesi dengan air bunga bangkawali. Raja lalu merangkul Lenang Mulud dan berjanji akan mengangkat Lenang sebagai anaknya. Akan tetapi Lenang tenang saja melihat keadaan itu. Karena raja telah sembuh, Lenang lalu mohon kepada raja, agar raja sudi menceritakan suatu riwayat apa saja yang disenanginya. Raja sangat setuju atas usul Lenang, akan tetapi raja terlebih dahulu mempersilakannya untuk bercerita. "Baiklah tengku saja dahulu," kata raja kepada Lenang. Lenang lalu memulai ceritanya, katanya: "Orang tua saya adalah seorang raja besar dan ibu saya tujuh orang. Saya adalah anak ibu yang bungsu. Menurut akhli nujum, ibu saya haruslah dibuang kedalam hutan. Jika tidak maka ia akan mendatangkan bencana kepada raja. Ia adalah pahisi) bagi raja. Percaya kepada pendapat akhli nujum itu, raja lalu memerintahkan pengawalnya untuk meiepaskan ibu saya ke dalam hutan belantara," kata Lenang. Raja tak henti-hentinya mengia-kan dan mengangguk-angguk kepalanya, ketika mendengar Cerita itu Lenang lalu meneruskan ceritanya, katanya: "Dalam hutan itu, ibu melahirkan seorang bayi. Pada suatu ketika datanglah serombongan pemburu bersama dengan raja ke dalam hutan itu. Karena belum pernah melihat manusia dan anjing, saya lalu pergi menemui rombongan yang sedang memotong seekor rusa. Seketika saya memandang kepada raja, matanya tiba-tiba menjadi buta. Mereka menganggap saya sebagai penyebab kebutaan mata raja itu. Saya di ikat lalu dibuang kedalam sungai. Karena belum mati, akhirnya saya dapat kembali ketempat ibu saya. Lama sesudah itu, datang serombongan enam orang pemburu yang hendak mencari bunga bangkawali untuk obat sakit mata raja " Lenang mengakhiri ceritanya sampai pada saat ia kawin dengan puteri raja yang bernama Lela Kerani. Terakhir ia menyimpulkan: "Inilah aku Lenang Mulud," katanya. Dengan kata-kata terakhir itu, raja lalu menangis karena sedih dan terharu sambil berkata: "Jika demikian engkau adalah anakku," Sekarang raja baru mengerti, bahwa Lenanglah anak yang bertuah. 3) diambil dari bahasa Gayo (Aceh Tengah). 61



Dengan peristiwa itu, Lenang lalu ditetapkan sebagai pengganti raja. Ia kemudian meniemput ibunya dalam hutan, dan selanjutnya hidup dalam istana raja beserta anaknya.



62



6. CERITA KAKI *) Pada masa Nabi Sulaiman ada sebuah kisah atau ceritera yang bernama Kekidingl) Cerita itu mengisahkan dua orang anak, seorang laki-laki dan seorang perempuan kedua-duanya tinggal bersama pamannya. Pada suatu hari pamannya pergi berburu, berlainan dari pada kebiasaannya pada hari itu ia tak memperoleh hasil buruannya. Melihat keadaan yang demikian anak-anak itu lalu bertanya kepada pamannya: "Paman, nampaknya tak memperoleh sesuatu hari ini?" Pamannya menjawab : " A d a mendapat seekor, tetapi karena orang terlalu banyak menginginkan daging, lalu paman hanya memperoleh bagian kaki saja. Lihatlah, saya gantungkan di atas pagar di belakang." Anak itu merasa heran, untuk apa kaki binatang itu, sebab dagingnya sedikitpun tak ada. " A h , tak apa, sebagai tanda saja, orang itu hanya memberikan kaki kepada paman," jawab pamannya. Keesokan harinya keaua anak itu pergi ke belakang rumah untuk melihat kaki yang diceritakan pamannya itu; akan tetapi setelah mereka mencari kian kemari tidak melihat sesuatu yang berupa kaki hewan. Mereka mengatakan tak mendapatkan kaki itu kepada pamannya. "Boleh jadi sudah di curi anjing. Karena kaki itu saya gantungkan di atas pagar". Merasa heran dan gelisah, paman itu lalu bertanya kepada anjing, apakah anjing itu ada mendapatkan kaki hewan itu. Anjing menyahut "tidak." Ia lalu meneruskan usahanya mendapatkan kaki itu. Akan tetapi setiap binatang yang ditanyanya selalu menjawab "tidak" juga. Ia lalu berhenti mencarinya. Pada suatu hari paman itu pergi ke tepi laut membuat perahu. Kedua anak itu tinggal bersama isteri pamannya di kebun. Demikianlah kira-kira jam sepuluh pagi, pada saat sedang menanak nasi, adik yang perempuan mendengar suara yang aneh yang belum pernah di dengarnya. Suara itu berkata : "Ipak — Ipak2) *) Diambil dari bahasa G a y o ( A c e h Tengah) 1) kiding = kaki 2) panggilan kepada anak perempuan.



63



berilah aku sedikit nasi dan sedikit ikan." Ia mendengar suara tetapi tak melihat badan orang yang meminta nasi dan ikan itu. Suara yang demikian terdengar lagi beberapa kali. Lama-kelamaan muncul suatu bentuk menyerupai kaki binatang dan berjanggut. Karena takut, anak itu lari tunggang-langgang ke tempat abang dan isteri pamannya yang sedang bekerja di kebun. Setelah bertemu dengan abang dan bibinya itu, isteri pamannya, ia tak dapat lagi menceritakan apa yang di rasakannya. Ia terus menangis dan dari tangisnya itu, hanya terdengar perkataan "a a a a anu", terbata-bata di ucapkannya. Bibinya bertanya lagi. "Apa, bagaimana, kenapa engkau — " " A a a anu — ada kaki binatang di rumah," jawabnya. " K a k i bagaimana", tanya abangnya heran. " A h — jangan percaya i t u " kata abangnya. Semua mereka lantas kembali ke rumah dan mereka melihat rumah itu dalam keadaan biasa. Akan tetapi mereka sekarang tak dapat makan, karena nasi yang baru saja selesai di masak tadi telah hilang lenyap bersama ikannya juga. Kurang yakin akan keadaan itu, bibinya bertanya lagi : "Benar engkau telah selesai memasak nasi ?" "Benar bik sudah masak semuanya" jawabnya. Mendengar jawaban itu, ketiga orang itu kini menjadi ketakutan. Keesokan harinya terdengar lagi suara permintaan yang demikian. Suara itu kinidisertai dengan nada mengancam akan menelan anak perempuan itu, bilamana permintaannya tidak dipenuhi. Biasanya anak itu disuruh masak nasi dan selanjutnya mengantarkannya itu ke Kuala, tempat pamannya menyiapkan perahunya. " Y a " jawab kedua anak itu. Setelah selesai masak nasi untuk pamannya, kedua anak itu lalu berangkat ke Kuala. Pamannya lalu makan dan setelah selesai makan, pamannya berkata: "Perahu telah selesai sekarang, bahagian dalamnya paman selesaikan kemarin. Cobalah kamu tolak ke dalam air i t u . " Mendengar anjuran pamannya, kedua anak itu lalu membenarkan letak perahu itu terlebih dahulu sebelum mencobanya di atas air. Mereka terus membenarkan letak perahu itu dan alangkah terkejut mereka memandang kepada kaki binatang yang terdapat dalam perahu itu. K a k i itu tak bersuara apa-apa dari semenjak tadi tetapi sekarang ia bergerak ke kiri dan ke kanan. Melihat keadaan itu pamannya lalu menyuruh mereka me64



ngumpulkan sela-sela3) kayu yang telah kering. Ia bermaksud membakar kaki binatang itu dalam tumpukan kayu kering. Demikianlah setelah cukup banyak sela kayu yan& di perlukan lalu kaki itu di bakarnya bersama dengan perahu ebem4). Ia lalu hendak membalikkan perahu itu. Akan tetapi ebem kaki binatang itu lalu berkata, setelah mereka membaükkan perahu itu. " A p a a itu u — ", katanya. Kedua anak itu menjerit mendengar suara ebem kaki binatang itu. Suara itu baru terbukti, setelah pamannya melemparkan ebem itu ke dalam air. Karena perahu telah selesai di kerjakan, kedua anak itu lalu menghilir ke muara. Kedua mereka di beri pakaian yang indah berkilau bagaikan emas, topi bertatah hiasan, serta meletakkan kendi air ke atas kepala mereka. Sebelum berangkat pamannya memberi petuah. bahwa mereka berdua harus setia, bila mendapat satu makanan harus di bagi dua, bila mendapat dua satu seorang. Bilamana kamu tidak berlaku adil demikian kalian akan bercerai, satu tinggal di dunia ini dan seorang lagi akan ke langit antara. "Lagi nasehatku, janganlah engkau hampiri pohon ara yang condong bila kamu bertemu dengan itu", kata pamannya lagi. "Ya paman", sahut kedua bersaudara itu. Setelah selesai memberikan wejangannya, pamannya lalu meiepaskan keberangkatan mereka. Dalam perjalanan ke muara sungai, perahu itu bertemu dengan sebatang pohon delima. Hanya ada sebutir delima terdapat pada pohon itu. Buah itu timbul tenggelam di lintasi air hanyut dan tatkala melintasinya lalu di pungut oleh adiknya. Ia heran memandang buah itu. Karena ingin tahu, mula-mula ia menimang-nimangnya, dan setelah di ciumnya terasa berbau harum dan manis ia lalu mengambil kelati5) dari dalam sumpit. Setelah memotong buah dengan kelati lalu ia mencicipinya. Terasa enak, ia tak sadar telah menghabiskan buah delima itu sedang abangnya lagi tidur. Ia lupa akan nasehat pamannya, agar selalu membagi dua apa yang mereka peroleh. Tanpa membersihkannya, lalu ia memasukkan kelati itu kembali ke dalam sumpit. Lama-kelamaan abangnya bangun dari tidurnya dan tatkala ia mempergunakan kelati untuk makan sirih, ia melihat sesuatu 3) sibiran kayu kecil-kecil 4) abu bakaran berwarna hitam. 5) sejenis pisau bermata dua.



65



pada kelati itu. la menciumnya bau sesuatu dan melihat biji delima pada kelati itu. Ia menanyakan kepada adiknya apa yang teiah diperbuat adiknya selama ia tidur dalam perjalanan. Adiknya lalu menceritakan pengalamannya, bahwa ia menemukan sebutir buah delima, membelahnya dengan belati dan memakannya sampai habis. Mendengar penjelasan adiknya merasa amat menyesal, tetapi apa lagi yang hendak di perbuat selain menjalani akibat dari pada pelanggaran janji yang telah di kemukakan oleh paman mereka. Dalam waktu singkat, abangnya lenyap dari pandangan mata. terbang lepas ke langit antara. Ia masih sempat berpesan kepada adiknya, agar ia kelak jangan mendekati pohon ara yang condong dalam perjalanan selanjutnya. Sepeninggalnya, adiknya terus hilir ke muara. Tengah hari amat teriknya, selagi hilir bertemu ia dengan sebatang pohon ara. Buahnya lebat bukan kepalang. Tergiur hatinya melihat buah yang ranum memenuhi dahan pohon itu. Ia berhenti lalu memanjatnya dahan pohon ara, memetik buah serta menikmatinya sepuas hatinya. Apa lagi dalam keadaan lapar demikian. Tak di ketahuinya, bahwa di bawah pohon itu ada sebuah telaga tempat Tentung Kapur 6) mengambil air. Bayangan dari atas pohon memancar ke dalam sumur di timpa matahari. Tak berapa lama antaranya, Tentung Kapur di suruh oleh tuannya, seorang raja untuk mengambil air ke telaga itu. "Ambillah dulu air untuk mandi saya, Tentung Kapur," perintah raja. Dengan menjinjing sebuah kendi, Tentung Kapur lalu pergi menuju telaga itu. Tatkala ia hendak menimba air sumur itu, terpandang olehnya bayangan orang yang sedang berada di atas pohon camara. Tatkala memandang bayangan, ia merasa dirinya seindah bayangan orang yang berada di atas pohon itu. Sendirian ia berkata : "Aduh betapa cantik rupaku empu 7 ) " sambil berkata itu ia lalu rnenghempaskan kendinya ke atas air dan tak pelak lagi kendi itu pecah. Ia kembali ke rumah tanpa membawa air. Tatkala di tanya tuannya air yang diperlukannya, Tentung Kapur menjawab, bahwa ia tak 'dapat membawa air oleh karena 6) Dipergunakan untuk menyebutkan nama pengganti anak wanita yang ceroboh. 7) Raja. 66



ada seekor kambing yang menanduknya, sehingganya kendinya pecah berantakan. Sebagai ganti kendi yang pecah, tuannya lalu memberikan sebuah buyung8). Buyungpun ternyata pecah. Ke tika buyung itu pecah juga, lalu di ganti lagi dengan sebuah timba. Sekali ini timbapun pecah, dengan alasan bahwa ia terjatuh di tengah jalan menuju rumah. Tuannya lalu mengusahakan wadah air timba yang tak mungkin pecah yang terbuat dari kulit. Tatkala tiba di sumur itu, ia berkata lagi dengan bangga: " A d u h betapa cantik rupaku di suruh empu aku mengambil air." Belum juga ia sadarkan diri bahwa bayangan itu bukanlah bayangan wajahnya. Seperti harihari yang telah lalu, ia lalu menghempaskan timba kulit itu ke atas air, tetapi kali ini wadah itu tak pecah juga. Karena tak pecah, lalu ia mencabik-cabik dan menggigit-gigit timba kulit itu. Memandang tingkah laku Tentung Kapur yang aneh itu, anak perempuan yang berada di atas pohon merasa lucu, geli dan tak dapat menahan diri lalu tertawa. Tentung Kapur memandang ke atas pohon. Melihat orang itu ia lalu berkata : "Aduh rupanya ada di atas pohon. Turunlah kemari ". Akan tetapi orang yang di atas pohon keberatan di ajak turun. Tentung Kapur lalu mengancam : "Kalau tak mau turun, pohon ini akan kukorek akarnya." Ia merasa dapat mengorek pohon itu dengan kukukukunya yang amat panjang itu. Anak perempuan itu lalu turunlah. Sesampainya di bawah, Tentung Kapur lalu di minta dipinjamkan gelang, cincin serta pakaian puteri itu. Takut akan bencana, puteri itu lalu memberikannya, sedang ia sendiri kini mengenakan pakaian Tentung Kapur yang centang perenang. Dalam keadaan berpakaian rapi demikian, Tentung Kapur lalu mengajak puteri itu naik perahu. Akan tetapi perahu itu ternyata berpusing-pusing saja, tak dapat bergerak maju. Dalam keadaan perahu demikian, puteri itu lalu memanggil : "Oh, angin si raja angin, hembuskanlah perahuku i n i . " Melihat keadaan itu kera yang sedang memperhatikan mereka bersorak gembira; Seng Kurene ril,"9) katanya. "Sekarang" kata Tentung Kapur "biarkanlah aku lagi memanggil angin, agar perahu kita dapat bergerak. Ia lalu memang8) lebih besar dari kendi. 9) seruan untuk memanggil angin 67



gil dengan caranya yang khas, katanya : "wo angin - wo angin ujur koper parahur" maksudnya tak lain agar angin segera berhembus. dan perahu mereka dapat berlayar. Melihat keadaan itu kera lalu meludah lagi, menunjukkan rasa kebenciannya dan perahu itu tak juga mau bergerak maju. Karena demikian keadaanya, Tentung Kapur lalu menyuruh puteri itu memanggil angin. Angin datang berhembus dan perahu tibalah di muara. Setelah itu Tentung Kapur yang kini berpakaian indah lalu menyuruh puteri yang berbaju compang camping itu membawa pesan kepada raja dan beritahukan kepadanya, bahwa seorang puteri akan datang menghadap. Harap supaya raja menjemputnya." Tanpa suatu penyelidikan lebih dahulu, rajapun lalu menyambut tamu yang berpakaian indah itu. Tamu itu dengan serta merta di bawa ke istana dan langsung di kawinkan dengan raja. Puteri pemilik pakaian itu ditinggalkannya disamping lumbung padi, di bawah rumah dan dia di perlakukan sebagai hamba sahaya. Pada suatu hari, raja membeli seekor ayam. Isteri raja itu Tentung Kapur menyuruh hamba sahayanya menggulai daging ayam itu sedang ia berdiri menggulai bulunya. Pada waktu makan raja amat tercengang melihat bulu ayam yang memenuhi gulai itu. Ia tak dapat menikmati gulai. Raja lalu meminta gulai yang dibuat oleh hamba sahayanya. Terasa sedap, raja lalu memuji kecakapannya hamba sahaya itu. "Potongan dagingnya bagus dan rasanya sungguh enak," kata raja. Karena cemburu, Tentung Kapur lalu mengadu kepada raja tentang keburukan-keburukan puteri itu. "Lebih baik ia kita buang ke dalam hutan", katanya. Raja percaya kepada pengaduan Tentung Kapur, lalu puteri itu di buang ke dalam hutan. Demikian lama dalam hutan, puteri itu kini hidup di tengah-tengah rakyat yang mendiami hutan itu. Pada suatu hari raja itu pergi berburu ke dalam hutan, akan tetapi binatang buruannya tiba-tiba menghilang, tatkala tiba di kampung tempat putri itu di asingkan dahulu. Dalam kesempatan lain, peristiwa serupa kembali terjadi. Kali ini ia tiba pada waktu senja di kampung itu. Karena tak berani kembali ke kampungnya sendiri raja itu lalu tidur di bawah sebuah pohon besar. Pohon itu terletak amat berdekatan dengan rumah tempat tinggal putri itu. Rumah itu sangat tinggi, tetapi tak terlihat adanya tangga. 68



Putri itu merasa kasihan kepada raja. Ia berkata : "boleh jadi raja ini tak mengetahui, jarinya telah mengena." Meskipun demikian ia lalu meludahi raja. Raja terkejut, karena ludahan sirih itu seraya memanggil: "Oh — kakak", kepada putri itu. Putri itu menolak sapaan dengan panggilan "kakak" raja lalu mengganti tegurannya dengan "abang". Teguran "abang" itu juga tidak dipedulikannya. Karena demikian raja itu lalu mengganti lagi panggilannya dengan "bapak"- " i b u " dan "bibi." Lama Kelamaan putri itu merasa sayang juga, lalu ia menjawab: "Anda mau apa?". "Tunjukkanlah saya jalan ke atas", kata raja itu. "Boleh. anda pergunakan cakar anda untuk naik ke atas i n i , " jawabnya. "Saya lihat tidak ada tangga di sini." Merasa sayang lalu putri menurunkan seutas rarltai sebagai ganti tangga. Setibanya di atas lalu terjadi percakapan antara kedua mereka : "Kamu harus ikut bersama saya ke kampung", kata raja. " Y a , asal saia Tentung Kapur tidak ada lagi diistana." jawab putri. "Mengapa demikian." "Sebab Tentung Kapur telah mengambil seluruh pakaian saya seperti kalung, cincin, baju dan lain-lain sampai sekarang belum dikembalikannya. Baju buruknya di berikan kepada saya." "Mengapa putri tidak memberitahukan hal itu kepada saya semenjak dahulu?" "Saya tidak berani. Sepantasnya raja sudah mengetahui kejadian ini semua." "Teringat akan gulai ayam yang dibuat Tentung Kapur, raja berkata : "Patutlari gulamya bulu ayam. "Memang begitulah makanan Tentung Kapur." "Saya bersedia pulang bersama raja, tetapi saya bermaksud sedapat-dapatnya membunuh Tentung Kapur," kata putri itu. "Baik," jawab raja dengan singkat dan tegas lalu keduanya pulang ke kampung. Setelah tiba di rumah, putri itu lalu mempersiapkan pisau lipat, jeruk asam, garam, serta lombok. Tentung Kapur lalu di panggil. Sambil berkata : "Inilah tangan yang mengambil pakaianku dan inilah mulut yang bertutur i t u , " lalu putri memotong 69



serta menyayat tangannya dan menyapunya dengan jeruk asam, garam dan lombok sekujur tubuh Tentung Kapur. Belum puas demikian, putri lalu menyembelih Tentung Kapur. Potongan-potongan daging dan tulang belulangnya di jejalkannya ke dalam guci. Guci itu di kirimkan ke alamat orang tua Tentung Kapur. Setelah kiriman itu di terima orang tua Tentung Kapur, keduanya seketika menghembuskan nafas terakhir, tetapi masih sempat mengucapkan kata sedih dan kecewa "Aduh - anakku."



70



7. C E R I T A SI L A Y A R D E N G A N B E R U DIN A M Sebuah kerajaan di daerah tanah Alas berkedudukan di Kampung Ngkeran. Kerajaan yang terkenal makmur pada masa itu diperintah oleh seorang raja. Ia selalu percaya penuh kepada saran atau pendapat pembantu utamanya, Tande Wakil. Manakala usia raja telah separuh umur, lahirlah seorang putranya yang pertama dan berbahagialah raja bersama permaisurinya. Maka dalam upacara pemberian nama kepada anak itu, diundanglah semua rakyat dalam wilayah kekuasaanya, bahkan konon ceritanya di undang pula semua marga satwa yang hidup dalam kekuasaan kerajaan itu. Ketika sampai pada saat yang ditentukan, tibalah semua para undangan dan hadir pulalah semua jenis binatang hutan untuk mengikuti upacara pemberian nama tersebut. Maka diumumkan rajalah nama putranya itu : " L A Y A R ". Selesai kenduri kembalilah para undangan ke rumah mereka masing-masing. Beberapa hari berselang datanglah Tande Wakil menghadap raja dan berkata : "Paduka, saya mendapat firasat, bahwa anak raja yang baru diberi nama Layar kelak akan membawa bencana kepada negeri kita ini nanti." Kata raja : "Kalau demikian apa yang harus kita lakukan?" Tande Wakil mengemukakan pendapatnya dan untuk lebih meyakinkan raja, ia mengatakan: "Coba kita masukkan dia ke dalam kandang ternak kita mulai dari ayam, bebek, kambing, lembu, dan seterusnya ke kandang kerbau; bila binatang ternak ini tidak mau masuk kandang berarti anak raja benar-benar akan membawa bencana. Kalau memang membawa bencana, kita buang saja dia ke hutan." Mendengar saran Tande Wakil yang biasanya tidak pernah diragukannya, diterimalah dan dicobalah kebenarannya. Ternyata semua binatang ternak tidak berani memasuki kandangnya, karena bayi Layar terbaring didalamnya. Akhirnya disepakatilah Layar harus dibuang ke dalam hutan, walaupun permaisuri meronta-ronta menangis, tetapi karena kepentingan orang banyak keputusan ini tetap dijalankan raja. Berkat kebesaran Tuhan, maka Layar bertambah besar dirawat oleh binatang hutan yang juga turut hadir pada upacara 71



pemberian namanya dahulu, serta diajar keahliannya. Setelah Layar berusia delapan tahun pergilah ia ke pinggir hutan dan bertemu dengan orang tua yang sedang berkebun. Orang tua itu bertanya, "Siapa kamu nak, dan di mana kamu tinggal?" kata Layar, "Nama saya Layar, tinggal di hutan". Orang tua itu ingat, "0,kalau begitu kaulah anak raja yang dibuang ke hutan, ayahmu sekarang telah meninggal, kerajaan telah digantikan pak cikmu orang tua Penghulu Mude; ibumu masih hidup, tetapi sudah kurang terurus. Sejak kautinggalkan negeri kita sudah tidak menggembirakan lagi, saya yakin sekali kamu akan membawa kemakmuran lagi dalam negeri kita i n i , " kata orang tua ini. Lalu dibawanyalah si Layar ke rumah raja, diperkenalkannva. Raia oun menerimanya' dengan baik. Tinggallah ia bersama pakciknya. Tiba musim bersawah, diperintahkan si Layar bersama-sama Pengulu Mude menggembala kerbau. Pada mulanya diperlakukan sama, tetapi akhirnya si Layar sajalah yang mengembala sendiri di tengah padang rumput di panas terik. Makanan pun berangsurangsur dikurangi oleh makciknya, akhirnya nasi yang diberikan pun bercampur abu dan arang dapur. Terpaksalah Layar mencari daun pakis, rimbang, cendawan, dan semacamnya untuk menambah pengisi perut. Suatu hari panas terik sekali dipanggillah ikutan kerbaunya Gondok Limang dengan Sawak Bunge ke duanya datang dan tegak di hadapannya kedua-duanya. Layar pun berlindung dibawah perut kerbau, ia pun tertidurlah, kerbau pun tidak sampai hati bergerak, akhirnya karena lapar, Layar pun terbangunlah. Kerbau disuruhnya berkubang dan ia pun pergi mencari makanan. Walaupun kerbau melangkah ke arah perkubangan tersungkurlah keduanya ke dalam kubang dan matilah kedua-duanya. Sekembali si Layar dari pinggir sungai, dilihatnya kerbau sudah mati kedua-duanya, ia pun ketakutan. Pada sore harinya semua sisa kerbau itu dihalaunya ke kandang. Pulanglah ia ke kampung dan melaporkannya kepada pakciknya. Mendengar laporan itu, pakciknya pun menyambar sebuah tonggak hendak memukul si Layar. Melihat keadaan itu, si Layar pun lari ke hutan dan tak dapat dikejar lagi ia pun sudah enggan pulang ke rumah, hingga bertahun-tahunlah lama ia tinggal di hutan bersama-sama makhluk lainnya. Beberapa tahun berselang datanglah undangan kepada raja 72



untuk menghadiri pesta mendirikan rumah adiknya yang perempuan Beru Dinam di kampung Natam. Pada saat yang telah ditentukan hadirlah raja, Pengulu Mude beserta rombongan di Natam, para undangan lainnyapun telah lengkap pulalah hadir, kecuali si Layar yang masih belum hadir. Pada malam sebelum menegakkan rumah itu menurut lazimnya para undangan berjaga-jaga di sana. Kebetulan sore hari manakala hari raja berangkat ke Natam, ke luar pulalah si Layar dari pinggir hutan dan bertemu dengan seorang kakek. Kakek itu berkata, "Mengapa Layar engkau masib di sini nampaknya, sedang pakcikmu raja beserta rombongan telah berangkat semuanya ke Natam menghadiri pesta mendirikan rumah bibimu, tambah pula anak bibimu itu sudah gadis pula. Bukankah sayang engkau tak ikut," kata kakek sambil tersenyum. Sahut Layar : "Saya tadinya tak tahu kek, kalau memang demikian sekarang saya ke sana kek dan saya pun baru sekarang tahu ada bibi saya di Natam. Pulanglah si Layar ke rumah ibunya minta pakaian peninggalan ayahnya dahulu. Ibunya menyerahkannya lengkap dengan perhiasan adatnya kepada anaknya. Layar pun berangkatlah menuju Natam. Iamenelusuri sepanjang Lawe Alas ke Udik. D i tengah jalan ia berhenti memanjat pinang, sirih untuk bekal sirih sebagai isi kampill >nya. Pada pagi harinya, sampailah ia di Natam dan dia pun berhenti pada sebuah pondok yang kosong sebelah selatan perkampungan Natam. Berpakian lengkaplah ia dan sambil makan sirih ia memandang ke arah rumah bibinya yang tidak jauh dari tempat berhenti itu. Matahari sudah setinggi galah, upacara pun dimulailah. Beru Dinam telah menyiapkan tepungtawar, pawang telah mengenakan manteranya. Maka diperintahkanlah Pengulu Mude bersama-sama Beru Dinam menepung tawari tiang utama rumah itu, lalu mulailah tali penegak tiang ditarik beramai-ramai dengan Pengulu Mude di hadapan Beru Dinam. Namun tiang tidak bergerak sedikit pun. Heranlah semua hadirin. Maka dicoba lagi, tetapi hasilnya tetap sama saja. Akhirnya pawang mengatakan, bahwa tiang itu tidak bisa dipaksa, bila dipaksa nanti akan terjadi hal-hal yang tidak diingini. 1) sumpit. 73



Dalam suasana yang mengherankan itu, Beru Dinam melihat sesosok tubuh sedang duduk lengkap berpakaian kebesaran di depan pondok sebelah selatan rumahnya. Bertanya-tanya dalam hatinya, "Mengapa orang duduk menyendiri di situ, padahal jika dilihat dari pakaiannya tentu ada maksudnya. Bagai digerakkan hati Beru Dinam untuk mengetahui siapa orangnya it'u, diajaknyalah ibunya menanyakannya ke sana, apakah orang itu mungkin abangnya bernama si Layar. "Panggil namanya bu, tetapi jangan dilihat mukanya, kalau benar ia tentu akan menyahut nanti," katanya. Lalau dipanggil ibunya : "Engkaulah itu Layar ?" Si Layar pun menjawab, "ya bik, sayalah ini yang bernama Layar, maksud saya menghadiri pesta mendirikan rumah adik saya Beru Dinam. Walaupun saya tidak diundang namun berkewajiban rasanya ikut menghadiri bik," katanya. Lalu ditarik bibinya bersama adiknya naiklah ia kerumah, diberi makan bersama-sama dengan Abang Berunya. Melihat kehadiran si Layar, pakcik beserta adiknya Pengulu Mude menjadi penasaran. Bibinya meminta, agar Layar bersedia menepung tawari tiang utama berdua dengan Beru Dinam, Layar pun bangunlah melaksanakannya penuh dengan rasa percaya pada diri sendiri. Setelah acara tepung tawar selesai, tali penarik tiang dipegang si Layar bersama Beru Dinam. Maka ditariklah dan tiang utama pun tegaklah dengan megahnya. Semua hadirin terpaku menyaksikan kejadian ini termasuk pakcik dan Pengulu Mude. Rupanya kedatangan Layarlah yang dinanti-natikan, baru tiang utama dapat ditegakkan dan tuahnya pulalah yang setaraf dengan gadis Natam bernama Beru Dinam. Melihat kejadian ini pakcik bersama Pengulu Mude merasa sangat terpukul dan pulanglah mereka tanpa pamit. Dalam hatinya ia bermaksud menunggu si Layar untuk membalas dendamnya di Buluh Buang. Setelah upacara selesai, Layar pun pamit hendak pulang, tetapi bibinya menahannya, karena khawatir, ia akan dicederakan oleh pakciknya nanti disana. Namun Layar berkeras pulang dengan mengemukakan alasan-alasan. Akhirnya ia diizinkan pulang. Memang benar apa yang diramalkan bibinya tadi, waktu pakciknya telah siap bersama Pengulu Mude memegang kayu untuk memukul Layar. Begitu Layar melewati tikungan jalan Buluh Biyang bergantianlah pakciknya bersama Pengulu Mude menghujani74



nya dengan pukulan. Ia pun terjerembab ke tanah. Ia diduga telah mati, maka mereka pun pergilah meninggalkan Layar terkulai begitu saja. Malamnya ia diangkat orang halus dan dibawa ke tepian permandian Beru Dinam. Malam itu Beru Dinam tak enak tidur, sehingga pagi-pagi buta, ia telah turun ke tepian mau mandi. Tiba di sana ia kaget, karena telah jelas tubuh yang tergelak di atas batu besar itu tak salah lagi adalah Layar. Ia pun cepat-cepat memanggil ibunya. Lalu diangkatnyalah abangnya itu berdua ibunya ke rumah, diobati dan disiram dengan bermacam obat, akhirnya Layar pun siuman. Tinggallah ia bersama bibinya sampai berbulan-bulan. Pakcik dan Pengulu Mude akhirnya mengetaui, bahwa Layar rupanya belum mati. Maka direncanakanlah si Pengulu Mude berangkat ke Gayo untuk membeü Kerbau. Untuk maksud ini si Layar diajak menemaninya, dan di tengah jalan nanti direncanakan bermalam di lereng gunung pinggir jalan. Setelah persiapan rampung semua, berangkatlah Pengulu Mude menuju Natam. Sampai di sana diajaklah si Layar ikut serta menemaninya. Rupanya Layar pun tidak berkeberatan, karena alasan yang dikemukakan dapat diterimanya. Sebelum mereka berangkat, Beru Dinam berpesan untuk dibelikan sepasang kerbau Gupik, kedua pemuda ini dilepaskan Beru Dinam berangkat meninggalkan Natam, diiringi dengan senyum yang mengandung arti. Kedua-duanya membalas senyum dengan arti masing-masing. Menjelang magrib tibalah mereka di Menggurah, yaitu puncak pendakian. Pengulu Mude menyarankan, agar mereka bermalam di situ. Karena lelah Layar pun menurutinya dan masing-masing menurunkan perlengkapannya dan berbaringlah kedua-duanya. Sewaktu Layar sedang pulas tidurnya, Pengulu Mude pun bangunlah perlahan-lahan. Diangkatnya kedua belah kaki si Layar dengan sekuat tenaga, diempaskannya ke pinggir jurang, sehingga bergulirlah Layar ke bawah jurang yang dalamnya tidak kurang tiga pohon kelapa ke bawah. D i bawah batu besar-besar dengan sebuah anak sungai. Layarpun hanyut tidak bernafas lagi, sampailah ke Lawe Alas pada sebuah lubuk yang dalam. D i situ si Layar dimain-mainkan ombak sungai yang deras itu.Ditakdirkan Tuhan turunlah Siah Ketambe seorang orang halus mengambil air sembahyang ke sungai, terlihatlah sesosok tubuh yang sedang di75



ombang-ambingkan arus sungai. Dengan segera ditangkapnya dan dibawa pulang ke rumah. Setelah dirajah dan di obati Layar pun siuman kembali. Pengulu Mude, setelah yakin Layar sudah mati, ia pun meneruskan perjalanan ke Gayo. Sampai di sana kerbau pun dibelilah termasuk kerbau yang dipesan Beru Dinam. Setelah lengkap perbelanjaan, pulanglah ia dengan kerbaunya. Perjalanan pulang memakan waktu dua minggu, karena sukar menghalau kerbau seorang diri. Dalam perjalanan pulang Pengulu Mude, si Layar telah berhari-hari dalam rawatan Siah Ketambe. Segala hikman, keahlian ketangkasan, ilmu batin telah diajarkannya semuanya kepada Layar. Pada hari ketiga belas, Pengulu Mude telah sampai di Menggurah dan kerbau dihalau sambil berjalan perlahan-lahan, dia pun khayalkan betapa senangnya hati Beru Dinam menerima oleh-oleh yang dibawa Pada saat itu pula, Layar. telah berangkat menunggang seekor harimau menuju Natam untuk menantikan kedatangan Pengulu Mude. Tiba di rumah Beru Dinam, ia dipersilakan naik dan Beru Dinam pun mempersiapkan makanan untuk disajikan kepada abangnya yang baru tiba_ Selesai makan, Beru Dinam bercakap-cakap dengan si Layar. Percakapan mereka berkisar tentang pengalaman Layar dengan Pengulu Mude. Beru Dinam sangat prihatin tentang peristiwa yang terjadi selama perjalanan itu. Menjelang tengah hari, tiba pulalah Pengulu Mude di Natam. Dengan langkah yang pasti, ia menuju rumah Beru Dinam. Kerbau ditambatkan di seberang jalan dekat tepian permandian. Tiba di pintu ia tertegun sejenak melihat Layar sudah berada di rumah. Untuk menutupi kecanggungannya, ia pun melangkah masuk dan duduk dengan penuh tanda tanya yang tak terpecahkan. Sebentar kemudian ia bangkit dengan alasan bermaksud mengurus kerbau yang diganggu oleh anak-anak. Kemudian Layar pun turun mengikutinya ke mana arah Pengulu Mude. Setibanya di sana, Layar berkata : "Engkau rupanya tidak dapat lagi dimaafkan, sudah dua kali engkau mencoba membunuh dengan tipuan yang sangat hina. Sejak hari ini engkau tidak lagi sebagai saudara. Saat inilah waktunya, ambillah pedangmu pergunakanlah 76



dengan sebaik-baiknya. Kalau engkau yang benar, akulah yang mati dan kalau aku yang benar sebaliknya pula yang terjadi. Layar pun mulailah melompat dan menari. Pengulu Mude pun menyerang dengan ganasnya setiap bacokannya selalu hampa. Kedua-duanya saling mengamati ujung pedang lawan masing-masing. Tiba saatnya Layar menyerang, ujung-ujung pedangnya menyambar jari-jari kiri lawannya, singgah pula di bibimya, loncat dan menari lagi sambil memilih waktu dan kesempatan yang paling baik. Tiba-tiba pedangnya menyambar leher Pengulu Mude yang tak dapat dielakkan lagi. Ajal tak dapat tertunda, lehernya putus ia pun jatuh tersungkur dan tamatlah riwayatnya. Orang kampung pun berkerumun datang, tetapi tak dapat berbuat apa-apa selain terpukau dan melongo. Ayah Pengulu Mude diberitahukan, bahwa anaknya telah meninggal dunia. Hanya jenazahnya sajalah yang dibawa pulang ke Ngkeran dan dikuburkan di sana dan ia pun takut kepada bayangannya. Sebulan kemudian Layar pun kawinlah dengan Beru Dinam, diresmikan di Natam dan pestanya dimeriahkan dengan upacara kebesaran. Sewaktu berbulan madu, datanglah perintah dari Siah Ketambe, agar Layar beserta keluarga, ibu, ibu mertua, dan mertuanya di bawa serta pindah ke Ketambe bersama-sama dengan Siah Ketambe. Sejak saat itu di sanalah ia menggabungkan diri. Menurut cerita di sanalah Layar sampai sekarang menjadi anggota Siah Ketambe.



77



8. CERITA SI PIHER DAN BERU DIHE *) Suatu masa Tanah Alas ditimpa kemarau panjang. Padi di sawah tidak meryadi, tanaman mati kekeringan, demikian pula halnya binatang ternak banyak yangmusnah, disebabkan kekurangan air minum dan penyakit yang timbul. Berbondong-bondonglah penduduk meninggalkan Tanah Alas pergi mencari mata pencaharian baru dinegeri orang. Menurut cerita di antara penduduk yang minggat turut pula keluarga Beru Dihe yang terdiri dari ibunya, ayahnya, dan .Juare Panjangl). Rombongan ini bergabung dengan beberapa kepala keluarga lainnya, sehingga sempurnalah menjadi rombongan besar. Si Piher, walaupun ia tidak tergolong orang yang kekurangan namun ia ikut juga dengan rombongan besar ini menuju Tanah Bahorok, Tanah Deli. Sesudah sampai di sana, mereka mendirikan pondok. Si Piher pun kembali ke Tanah Alas, karena tanggung jawabnya mengantarkan keluarga Beru Dihe telah selesai. Ketika ia pamitan, bibinya (ibu Beru Dihe) berkata : "Kemanakanku, kalau kamu mau kembali, kembalilah, mudah-mudahan kau selamat dalam perjalanan, sampaikan salamku kepada ibumu dan jangan lupa kalau Tanah Alas sudah subur kembali datanglah kemari menjemput kami. Tidak pantas rasanya kami menghernbuskan nafas terakhir dinegeri orang." " Y a bibi, tetapi saya ingat janji kita ini, mudah-mudahan dapat saya tunaikan." Si Piher pun pulanglah ke Tanah Alas. Beberapa tahun kemudian, Beru Diher pun sudah mulai beranjak gadis tanggung dan hendak di pinang oleh Raja Bahorok untuk dijadikan menantu. Pinangan Raja diterima, karena pengaruh bibinya Juare Panjang. Sedangkan Beru Dihe masih ragu-ragu, oleh karena itu disampaikannya pesan kepada abangnya di Tanah Alas, sebab ia telah dipinang orang dan pinangan telah pula diterima. Mendengar kabar ini, Si Piher pun segeralah berangkat ke Tanah Bahorok, hal ini disebabkan, karena ia ingat akan janjinya dengan bibinya ditambah pula ia memang sudah rindu dengan *) Diambil dari bahasa daerah Alas (Aceh Tenggara) 1) bibinya.



79



keluarga bibinya itu dengan alasan yang utama menghargai pesan ini. Manakala ia melihat Beru Dihe, ia sangat tertawan karena parasnya tak ada bandingan, sejak saat itu terbitlah suatu perasaan dalam hatinya dan ini merupakan titik permulaan kisah asmaranya. Sejak hari itu tidak lagi ditutupinya perasaan cemburunya terhadap anak Raja Bahorok, tunangan Beru Dihe. Setelah beberapa hari di sana si Piher mengemukakan beberapa alasan yang dapat diterima keluarga Beru Dihe ini, yaitu sebelum pernikahan Beru Dihe dilangsungkan, alangkah baiknya bila keluarga ini membayar niat bibinya kenduri di Gunung Pemateuken dan selanjutnya ziarah ke kuburan neneknya disana. Alasan ini diterima oleh Abang Berunya (suami bibinya) demikian pula bibinya. Maka ditetapkan hari keberangkatannya. . Keesokan harinya berangkatlah mereka menuju arah Gunung Pemateuken antara Bahorok dan Tanah Alas. Menuru cerita lima hari perjalanan sampailah mereka di Tanah Alas. Rupanya Beru Dihe dan Juare Panjang baru mengetahui bahwa tempat ziarah ini . di Tanah Alas. Setiba di sini berobahlah suasana, berangsur pula pertunangan dengan anak Raja Bahorok dilupakan. Kesepian Beru Dihe selau diisi oleh si Piher dan akhirnya terjalinlah suatu ikatan percintaan. Percintaan mereka mendapat restu dari kedua belah pihak keluarga, hanya Juara Panjang sajalah yang merasa kurang berkenan. Setelah ditetapkan hari perkawinan mereka dengan ikatan janji berdua, maka si Piher pun bersiap-siap berangkat membawa dagangan beras ke Muara Singkil guna melengkapi perbelanjaan yang diperlukan nanti dalam pesta perkawinan mereka. Setelah tiba waktunya berangkat, Beru Dihe membekali makanan-makanan, dan ia pun merasa keperluan-keperluan yang mereka butuhkan pada malam pengantinnya akan terpenuhi. Manakala si Piher sedang berada di Singkil, pada saat itu pula datang pinangan Penghulu Tangkuh dengan telangkai menanyakan Beru Dihe lewat bibinya Juare Panjang. Telangkai ini telah di lengkapi dengan syarat-syarat kekuatan batin, akhirnya Juare Panjang memaksakan kemanakannya Beru Dihe untuk menerima pinangan ini. Beru Dihe telah terkena jampi-jampi. Ia pun menerima pinangan ini dan dimintakanlah ke pada Pengulu Mahe Kute Gerat, agar mereka diberi hukum adat dalam waktu yang singkat. Semua kerabat ayah Beru Dihe dari Kute Lingge hadir dan ditetapkanlah 80



hari pernikahan mereka, yaitu dua puluh hari lagi. Mendengar pinangan ini, sahabat si Piher segera berangkat ke Tanah Singkil untuk mgmberitahukan kepada si Piher kejadian di Tanah Alas selama ditinggalkannya. Mereka berjumpa di Serakut dekat Batu Gajah, lalu diceritakan semuanya. Mendengar ceritera ini, si Piher pun kaget bagai disambar petir, karena di luar dugaannya ada sesuatu yang telah terjadi. Ia segera mengambil kesimpulan untuk menunda perjalanan pulang. Semua barang-barangnya diserahkan kepada temannya untuk dibawa pulang ke Tanah Alas dengan harapan dapat disampaikan kepada ibunya. Barang pesanan Beru Dihe yang telah dibeli semuanya dibuangnya ke dalam sungai. Dengan penuh kesal iapun berangkat mendaki gunung menuju sebuah kampung Tanah Karo, bernama Kampung Senggelit. Disanaia bekerja dengan seorang Kakek yang bernama Pengulu Senggelit, Melihat si Piher ini tidak henti-hentinya bekerja membantu kakek ini, maka kakek ini pun merasa heran mengapa anak muda ini berbuat demikian. Pada suatu hari bertanyalah kakek kepadanya : "Cucuku, agaknya ada sesuatu yang terjadi pada dirimu, kakek melihatmu agak aneh rasanya coba kauceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi ? barangkali kakek dapat membantumu," kata kakek. Mendengar kesungguhan perkataan kakek ini, maka si Piher pun berkata : "Karena telah kakek tanyakan, saya akan menceritakan kepada kakek. Sebenarnya saya telah bertunangan dengan Beru Dihe anak bibi. Ketika saya sedang melengkapi keperluan peralatan di Singkil lantas pinangan Pengulu Tangkuh diterimanya dan dalam seminggu ini ia akan menikah, sehingga rasanya kek saya tak sanggup pulang lagi ke Tanah Alas." Mendengar uraian si Piher ini kakek menentramkan hatinya dan berkata : " K a u mesti pulang, urusan ini mudah menyelesaikannya, dan kau akan kakek ajarkan segala kepandaian kakek untuk menebus malu cucunda, sitahan bunuh, hantu air, dan si parang manyung akan kau kuasai dalam dua hari i n i . " Setelah itu mulailah diajarkannya sehingga si Piher pun menguasainya dengan sempurna. Terlebih dahulu dicobanya keunggulan ini terhadap binatang, ternyata terbukti dengan hasil yang memuaskan. dua hari sebelum Beru Dihe menikah berangkatlah ia dengan diantar kakek dengan iringan doa serta bekal ala kadarnya. Pada malam pesta undangan perkawinan Beru Dihe tiba81



lah si Piher di kampungnya dan ia jelas mendengar tingkah alun bunyi suara canang pesta perkawinan tersebut di rumah Beru Dihe. Padamalam itu pula ia langsung menuju tempat itu dan naiklah ia keserambi rumah untuk duduk sebentar mengenakan rajah mantranya. Beberapa saat kemudian ia pun bangkit dan melagam 2) dengan alun suara yang memukau khalayak ramai. Semua orang jelas mendengar suara lagamnya, tapi tak seorang pun yang bisa melarang, maupun bertanya ataupun berkata. Beru Dihe pun menghempaskan dirinya ke dinding, sehingga dinding batas antara serambi dan kamar undangan jebol, terbukalah dinding tak ada batas pemisah lagi antara Piher dengan Beru Dihe. Ia melihat jelas abangnya telah pulang, ia loncat ke arah Piher dan di rangkulnya si Piher dengan eratnya, Piher pun berusaha meiepaskan diri dan berusaha menenangkan Beru Dihe. Ia berkata : "Beru Dihe, sekarang kau akan melangsungkan perkawinanmu itu semua tak dapat kuhalangi, karena menentukan pilihan seseorang itu tak dapat dipaksa dan dipengaruhi, hanya yang kuminta, agar engkau mengembalikan tanda bukti pegangan pertunangan kita, moga-moga nanti dapat saya pergunakan untuk menempuh nasib diriku yang akan saya hadapi kelak". Mendengar ini Beru Dihe merangkul si Piher lagi dengan erat dan berkata. "Bawalah aku ini abang ke mana maumu, semuanya ini bukanlah kehendakku, tetapi diatur oleh bibi Juare Panjang, jangan kauminta tanda itu, aku tak dapat berpisah dengan kamu," katanya. Si Piher pun berkata : "Semua apa yang kaukatakan telah kudengar semuanya, tetapi aku tidak menyalahkan siapa pun lagi hanya aku melihat kenyataan, terbukti semua ini karena engkau, kalau tidak tak mungkin terjadi, aku memang orang tak punya dan tak müngkin menjadi orang yang kauharapkan dapat memenuhi kebahagiaan yang kaubutuhkan sebagaimana yang disanggupi Pengulu Tangkuh, hanya doaku semoga engkau berbahagialah dengan pilihanmu itu, tinggalkanlah aku sekarang juga tak perlu lagi engkau bersandiwara di hadapanku", katanya. Akhirnya diterimanyalah semua barang bukti pertunangannya, ia pun pamit dan hari pun sudah siang. Pada hari pengantin laki-laki tiba untuk menjemput, Piher telah bersiap-siap menunggu di pinggir jalan sebelah utara Kampung Kute Genting. Utusan rombongan yang mula-mula melewati 2) berlagu atau berlagam 82



tempat itu ditanyakan oleh si Piher. Ke mana gerangan ibu, tergesa-gesa kelihatannya tentu ada keperluan , katanya. Utusan pun menjawab dengan singkat : "Ke kute Genting mencari kuali Periuk". Sahut Piher pula, "Kalau mencari kuali periuk pilihlah yang bagusnya bu, jangan pula nanti yang bocor atau yang sumbing," katanya. Mereka pun teruslah berjalan sambil mendiskusikan makna ucapan anak muda tadi. Menjelang tengah hari lewatlah rombongan pengantin, dan kebetulan Pengulu Tangkuh ini melihat si Piher duduk di atas pondok di pinggir jalan itu lalu ia berkata menyindir : "Piher, nampaknya engkau sudah pulang dari Singkil, apakah banyak untung daganganmu?". katanya. Si Piher pun dengan tidak raguragu menjawab : Berapalah untungnya Pengulu Tangkuh, kalau daganganku hanya berpangkalkan tenaga, namun demikian boleh juga kausaksikan hasilnya persis pada tengah hari ini nanti," katanya. Mereka pun meneruskan perjalanannya, sehingga sampailah di tempat peristirahatan yang sudah ditentukan. Dengan penuh keyakinan, Piher mulai rajah dan manteranya, Beru Dihe pun kepanasan dan kehausan di rumah dengan meronta-ronta dibawalah ke sungai untuk dimandikan. Semua orang tua dan bibinya melarangnya pergi namun tak seorang pun yang dipedulikannya, karena tak tahan lagi rasanya. Tiba di sana dengan segera ia menyelam, balik lagi ke darat panas bukan main, menyelam lagi demikian kerjanya. Persis matahari di atas kepalanya, Piher memerintahkan elang Raja Wali membawa sirih yang sudah siap dirajah untuk dibawa kepada Beru Dihe. Maka elang pun membawanya serta dijatuhkannya di atas kepala Beru Dihe, bagai telah diatur, sirih ini disambarnya dengan tangannya dan langsung ,dimakan dikunyah dan ditelannya. Ia pun ketika itu pula lemas terkulai. Ia dibawa oleh temantemannya ke rumah. Semua dukun dipanggil silih berganti termasuk Pengulu Tangkuh telah mengeluarkan segala kepandaiannya namun semua gagal. Akhirnya waktu telah tiba ayam jantan merah yang telah tersedia diikat si Piher, dipancungnya dengan penuh makripat, matilah Beru Dihe di rumah sebagaimana halnya dengan ayam yang dipancung tadi. Beru Dihe pun di kuburkan di Kute Genting . Rombongan Pengulu Tangkuh pun pulang dengan tangan hampa. D i tengah jalan mereka mendengar sayup-sayup suara lagam si Piher dengan kata-kata : "Engkau pergi tadi saudara83



saudara murung dengan tangan kosong." Pengulu Tangkuh bertambah geram, tetapi apa hendak dikata semuanya ini, karena kecongkakan dan kesombongan sendiri. Pengulu Tangkuh mengadukan kepada Raja Pulo Nas dan pengaduan ini diterima raja. Maka dijatuhkan ponis, bahwa Piher didenda dengan tiga puluh dua mata uang pada saat itu, Pengulu Sanggelit disumpah untuk tidak mengajarkan ilmunya kepada masyarakat Tanah Alas dan semua pihak menerima keputusan ini. Piher pun kembali menghadapi nasib untung suratan badannya.



84



9. CERITA SI MUGAN *) Mugan seorang anak yatim lagi miskin. Ia tinggal bersama ibunya di kampung Ngkeran Tanah Alas. Kehidupannya sehari-hari mencari upahan bersama ibunya. Hasil upahan yang diperolehnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka berdua. Orang sekampungnya sudah benei kepada si Mugan, karena ia tak mempunyai apa pun, sehingga agak sukar mencari upahan di tempat itu. Ibunya mengambil keputusan untuk pindah ke suatu dusun yang disebut Daleng Megare sebelah selatan Ngkeran. D i sana ibunya berkebun. dengan bermacam-macam tanaman muda yang ditanam. Dengan hasil kebun ini ditukarkan dengan barang keperluan sehai-hari. Di antara tanaman yang ditanamnya termasuk kunyit sebagai bahan bumbu masak pelengkap keperluan mereka. Pada suatu hari ibu Mugan mendapat ikan yang diperolehnya dari hasil tangguk di sungai Lawe Alas. Ikan itu dipesiang, dipotong-potong hendak digulai untuk dimakan bersama-sama anaknya. Si Mugan disuruhnya mencungkil buah kunyit yang ditanamnya di samping rumahnya. Mugan pun pergi mencungkil buah kunyit. Setelah berkali-kali dikorek terdengarlah suara keras seperti batu. Ia melihatnya seperti buah kunyit, anehnya mengapa keras tidak seperti lazimnya kunyit yang lain. Buah kunyit itu dibawanya ke rumah dan diperlihatkannya kepada ibunya. Ibunya mengamat-amati buah kunyit. Ia berkseimpulan bahwa benda itu jelas emas. Ia merahasiakan hal itu kepada anaknya dan tidak mengatakan apa sebenarnya benda itu, karena ia khawatir kalau-kalau anaknya menceritakannya kepada orang lain, karena Mugan saat itu belum dewasa. Ibunya membawa benda itu ke kampung untuk ditukarkan dengan kebutuhan mereka sehari-hari. Sudah jelas semua orang mengakuinya, bahwa benda itu adalah logam mulia. Dari hari ke hari bertambah makmurlah keluarga itu, sehingga sampailah saatnya perlu mengetahuinya apa yang dirahasiakan ibunya itu. *) diambil dari bahasa Alas



85



lalu diceritakanlah kepadanya. Mugan mendengarkan simpanannya ini keluar daerah seperti tanah Karo, Singkil, Gayo dan sebagainya. Ia mendirikan sebuah rumah yang megah berketam pada saat itu. Banyak pula dibelinya budak dari daerah lain yaitu budak-budak tawanan perang. Budak-budak ini menjaga temak, sawah kebun si Mugan. Mugan terkenal sampai ke pelosok-pelosok negeri. Ia kawin pertama dengan seorang gadis piühannya yang berasal dari Tanah Karo. Sudah berapa tahun hidup bersama, namun belum mendapat keturunan. Tambah lama Mugan bertambah angkuh dan sombong, sehingga pada suatu hari diundangnyalah Raja Pulonas dan Raja Bambel beserta orang-orang terkemuka di Tanah Alas untuk diadakan suatu jamuan makan. Ia bermaksud memperlihatkan kekayaan yang dimilikinya kepada kedua Raja itu dan bermaksud menarik perhatian orang banyak. Pada hari yang ditentukan hadirlah semua undangan, maka dipersilakan naik ke rumah yang memang dari kemarinnya sudah dihiasi dengan perhiasan emas dan perak serta dipamerkan semua benda-benda permata yang berharga. Kagetlah raja menyaksikan semua itu, maka mulailah timbul rasa tersinggung. Mugan dipanggil : "Mugan, nampaknya undangan ini bukan sekedar bermaksud mengadakan jamuan, tetapi engkau hendak menandingi raja. Sekarang kalau kamu tidak memenuhi ketetapan kami, kami tak bersedia makan hidangan yang kau sediakan, engkau harus didenda sebanyak tiga puluh dua," kata raja. Mendengar hal itu, Mugan khawatir akan merasa malu kepada orang banyak, jika hidangannya tak jadi dimaxan, maka iapun berkata : Siap sedia saya membayar raja," katanya sambil menunaikan sejumlah uang yang di tetapkan tadi. Dengan sangat dongkol raja pun makan bersama, dan hadir di sana sampai acara selesai. Pada musim panen padi yang cukup berhasil baik, raja pun mengundang Penghulu Kampung guna disepakatkan untuk bersamasama dimusyawarahkan mengadakan pesta syukur besar-besaran pada suatu tempat. Setelah sependapat semua dengan rencana, ditetapkanlah membendung kali Alas yang berlubuk ideal raengandung ikan yang banyak, di pinggir pantai sungai ini nanti akan diadakan pesta besar serta makan bersama sebagai tanda syukur, karena telah mendapat panen yang baik pada tahun itu. Pada hari membendung kali, diperintahkanlah semua pen86



duduk membawa perlengkapan bekerja gotong royong memindahkan aliran sungai, sehingga dangkallah sungai yang berikan banyak itu. Mulailah alat menangkap ikan dikenakan, seperti jala, bubu, tangguk, dan sebagainya. Melihat ikannya cukup banyak timbullah keinginan raja untuk turun turut serta menangkap ikan beramai-ramai. Pada saat itu pula datang Mugan dengan pakaian kebesaran lengkap perhiasan menunggang kuda pilihannya ke daerah penangkapan ikan itu. Setibanya di sana ia pun turun dan minta izin dan raja pun mempersilakannya. Jala yang berbatu emasnya dikenakannya lalu dilemparkannva dari atas kepala raja sambil berbasa-basi mengucapkan : "Maaf raja". Beberapa kali lemparan ia pun berhenti dan meminta izin untuk pulang. Karena tujuannya sekedar memperlihatkan keberaniannya dan kekayaannya kepada raja dan orang banyak, maka semua orang membicarakan kelakuan si Mugan sajalah pada saat itu. Ada yang heran, ada yang mencaci, ada pula yang memujinya secara diam-diam. Selesai makan bersama raja pun kembalilah ke rumah, demikian pulalah rakyat lainnya sambil berpikir bagaimana mengatasi kesombongan si Mugan. Uwan Terakat dari Lawe Kongker Ngkeran mengemukan ide kepada raja, ada cara untuk memusnahkan si Mugan, yaitu dengan jalan membujuknya kawin dengan gadis cantik, yang terlebih dahulu disepakati dengan rencana mereka. Raja setuju dengan rencana itu, karena bila diserangnya secara terang-terangan tidak mungkin, sebab si Mugan mempunyai simpanan pagar beracun di sekeliling rumahnya, lagi pula ia banyak mempunyai budak yang berani mati. Maka ditunjuklah utusan untuk membujuk Mugan. Akhirnya utusan itu berhasil dengan mengemukakan alasan, bahwa Mugan harus kawin lagi. Harta banyak anak tak punya kurang sempurna bukan ? Mendengar itu Mugan pun setujulah dengan maksud kawin lagi. Perkawinan Mugan sudah ditentukan saatnya, sang calon pun telah ditentukan oleh pihak lawannya. Maka pada akhir masa bulan madunya Mugan dibekali oleh mertuanya dengan makanan sebagai lazimnya orang dengan menantunya pulang ke rumahnya bersama isteri. D i tengah jalan Mugan merasa lapar, 87



tetapi isteri menyarankan di rumahlah nanti setelah saya serahkan kepada kakak, barulah kita makan bersama-sama, kata sang isteri. Mugan pun setuju. Tiba di rumah, sang isteri muda menyerahkan makanan yang dibawa tadi kepada madunya sebagaimana lazimnya dilakukannya. Isteri yang tua menghidangkannya, Maka Mugan pun bersamasama bertiga. Bahagian yang terkena racun terletak dalam bungkusan khusus bahagian hidangan Mugan, memang sudah diatur sebelumnya oleh isteri yang muda. Selesai makan Mugan merasa ngantuk sekali dan dibawalah kekamarnya, dan diselimuti dan tertidur. Dalam tidurnya, ia rupanya sudah lenyap tidak bernyawa lagi. Ketika dibangunkan sang isteri tua ternyata sudah kaku dari kaki sampai kepala dan tahulah ia, bahwa Mugan telah meninggal. Isteri muda telah terlebih dahulu menghindarkan diri dan lari pulang ke Ngkeran melaporkan hasil yang sudah dicapainya. Semua budak segera menguburkannya dan berebut-rebutlah mereka dengan harta peninggalan Mugan. Harta itu dibawa pulang ke tempat asal mereka masing-masing, sedangkan isteri muda menurut keputusan adat pada masa itu mendapatkan rumah peninggalan Mugan, karena tidak bersalah. Menurut cerita harta emas yang disimpan si Mugan dalam tanah belum ditemukan siapa pun. Semua orang takut mendekati tempat dianggap angker itu, karena ada bekas tanaman racun di sana. Isterinya yang muda kemudian kawin ke Bambel, dan diserahkanlah rumahnya tadi didirikan di sana kemudian, akhirnya rumah itu disebut rangguil).



1) rumah berketam. 88



10.



C E R I T A TUPAI M A L I M D I W A *)



Pada zaman dahulu kala adalah seorang anak raja yang turun dari kayangan, dari langit, yang datang bermain-main ke dunia ini. Tidaklah diketahui mula ceritanya, kawinlah ia dengan Malimdiwa, yang kemudian mendapat seorang anak. Anak mereka itu cantik sekali, maklumlah anak orang dari langit. Sangat sayanglah mereka suami isteri pada anak ini. Setelah agak besar sedikit anaknya bermaksud putri raja kayangan untuk pulang ke langit, karena ia telah rindu sekali pada orang tuanya. Dapatlah dipahami, karena sudah lama ditinggalkannya orang tuanya itu. Pada suatu malam berbicaralah ia dengan Malimdiwa, suaminya itu, katanya "rindu sekali saya pada orang tua saya, saya berkeinginan untuk pulang ke langit. Hanya menjadi pikiran saya, bagaimanalah halnya, karena baju terbang saya ini kecil, sehingga tidaklah dapat membawa kita terbang semuanya bersama. Anak kita dapat kiranya saya bawa serta, untuk saya perlihatkan pada orang tua saya di langit sana." Sangat tercenganglah suaminya, Malimdiwa itu mendengar apa yang dikatakannyaitu. Hiba benar ia, namun bercampur susah. Selain itu agak gembira pula ia karena anaknya itu dapat dibawa ke langit. Kemudian berkatalah lagi isterinya itu, "nanti, asal jangan terlalu, lama', terbanglah abang ke langit menjemput kami. supaya dapat kita hidup bersama lagi di dunia ini. Tapi, bila nanti abang tidak menjemput kami, akan tualah diri saya menantikan. Pastilah saya tidak diizinkan orang tua saya untuk turun lagi kemari tanpa ada kawan." Setelah lama Malimdiwa termenung mendengarkan kata-kata isterinya itu, berkata pula dia, "Aduh, bagaimana mungkin saya dapat naik pula ke langit, sedangkan saya tidak mempunyai baju terbang seperti milikmu itu. Rasanya akan sukarlah keadaanya, bagaimana caranya nanti saya naik ke sana." Disahut pula oleh tuan putri itu, "hal itu mudah benar. *) diambil dari bahasa daerah Jamu (Aceh Selatan).



89



Dengarlah baik-baik. D i sana, di sebelah Timur ada sebuah kerajaan. Rajanya mempunyai seorang anak perempuan, yang cantik sekali, budi bahasa anaknya baik sekali. Sehubungan dengan itu banyaklah orang yang ingin padanya, namun sukar sekali mendapatkannya, karena untuk itu ada syaratnya. Tuan putri mempunyai baju terbang, seperti baju ini juga. Mintalah baju terbang itu, pinjam, lalu terbanglah ke langit, jemputlah kami, dan setelah itu kembalikan pula kepadanya. Maksud kita bukanlah untuk diambil selama-lamanya." "Aduh, bagaimana mungkin", kata Malimdiwa itu. "Manalah mungkin diberikannya begitu saja pada kita, kita tidak berfamili dengan dia. Jangankan bersaudara, ia pun tak tahu pada kita, kitapun tak mengenalnya." Dikatakan lagi oleh tuan putri itu, " O , tentang itu mudah saja. Kawinilah dia dahulu, dan untuk keperluan itu, saya merelakannya dan tak usah pula abang risaukan. Kemudian, setelah beberapa lama, pinjamlah bajunya itu untuk dapat abang terbang kesana. Tentulah akan diberikannya, karena yang memintanya adalah suaminya jua. Nanti kalau sudah dapat, terus terbang menjemput kami, semoga kita bertemu di langit." Bermenunglah pula lagi Malimdiwa mendengar kata-kata isterinya itu, pandai benar dia membujuk, dan tahu pula ia menunjukkan jalan yang boleh jadi belum terpikirkan oleh suaminya itu. Kemudian dikatakan lagi oleh isterinya itu, "ha, jangan lupa, ingatlah selalu, jangan terlalu lama, janganlah terlambat pula nanti, saya rasa orang tua saya akan menjadi marah nanti disana. Nah, bagaimanakah rasa-rasanya, apakah sudah boleh saya berangkat?" Wah, tidaklah tahu lagi apa yang akan dikatakan oleh Malimdiwa itu, dilepasnyalah isterinya untuk terbang itu, disertai dengan doanya. Selesai itu, terbanglah isterinya itu. Ia terbang terus karena telah mendapat restu suaminya itu. Dibawanyalah anaknya yang masih kecil itu. Mereka terbang tinggi, tinggi dan semakin tinggi, akhirnya hilang dari pandangan mata. Rasakan terpaku Malimdiwa melihatnya dari bawah. Setelah itu mulailah berpikir Malimdiwa, apakah yang akan diperbuatnya. Mulailah makan terasa tak enak, tidur pun tak tenang, hingga demikianlah keadaannya setiap hari dan setiap malam. D i 90



renung-renungkannya amanah isterinya tadi itu. Kemudian pergilah ia kearah Timur, seperti yang dikatakan oleh isterinya itu. Ia berjalan, berjalan, dan berjalan terus. D i mana saja ia merasakan lelah, berhentilah ia sebentar, dan bila hari malam, menginaplah ia. Bila ia merasa lapar, makanlah ia, dan kemudian berjalan lagi. Ia berjalan itu seorang diri saja. Pada suatu hari, dalam perjalanannya itu, sampailah ia ke sebuah kampung. D i situ dilihatnya orang beramai-ramai sedang membakar sarang tabuhan. Ia menanyakan pada orang ramai itu mengapa mereka membakar sarang tabuhan itu. Dijawab oleh orang ramai itu bahwa tabuhan itu sangat jahat, suka menggigit anak-anak yang melewati tempat itu. Malimdiwa mengajak supaya orang itu tidak membakar sarang tabuhan itu lagi, sayang kita menyiksa binatang itu. Ia membayar sedikit pada orang ramai itu asal sarang tabuhan itu tidak diganggu. Mendengar ajakan Malimdiwa itu, pulanglah orang banyak itu. Setelah itu ia melanjutkan pula perjalanannya. Ia tidak menyadari bahwa tabuhan itu mengikuti perjalannya. Tabuhan itu terbang, kemana saja Malimdiwa itu pergi tetap diikutinya. Kiranya ingin ia akan membalas budi baik Malindiwa itu. Pada hari lainnya, sampailah ia. ke sebuah kampung yang lain. Disitu ia bertemu pula dengan sekumpulan orang yang sedang menembak tupai. Ada orang yang sedang melemparinya dengan kayu, ada yang sedang menjoloknya, dan ada pula yang berusaha membakarnya. Berbagai macamlah yang dilakukan mereka, sehingga riuh rendahlah suara mereka. Sangatlah tercengangnya Malimdiwa menyaksikan hal ini. Ia meminta penjelasan pada orang banyak itu alasan apakah yang menyebabkan mereka semua berusaha membunuh semua tupai itu. Kesalahan besar apakah yang dilakukannya hingga itu pembalasannya. Orang ramai itu menceritakanlah bahwa tupai-tupai itu telah merusakkan kelapa mereka, dari muda hingga kelapa yang tua. Hal ini menyebabkan kelapa kami menjadi busuk semua. Kalau sudah demikian halnya, tidaklah ada gunanya lagi. Itulah alasan mengapa mereka menembak, membunuh mati semua tupai itu. Mendengar penjelasan itu, timbullah rasa kasihan Malimdiwa. Diajaknya pulalah semua orang itu untuk tidak membunuhnya 91



lagi. Untuk orang ramai itu diberikannya uang banyak sekali, untuk pengganti rugi kelapa yang telah berlobang-lobang yang dilobangi oleh tupai-tupai itu. Orang ramai itu mau pula akan ajakan ini, dan merekapun menerima uang pemberian Malimdiwa itu. Setelah itu, Malimdiwa itu pun berjalan pula lagi. Juga tidak disadarinya bahwa tupai itupun mengikuti perjalanannya. Tupai itu melompat dari pohon yang satu ke pohon yang lain, sambil mengikuti terus perjalanan Malimdiwa itu. Agaknya ia akan membalas budi baiknya, hal itu tidaklah seorangpun yang tahu. Adapun tupai itu warnanya putih sekali, cantik, tidaklah serupa dengan tupai yang sering kita lihat sekarang ini. Tupai ini kemudian dinamakan tupai Malimdiwa. Kita tidak tahu dengan pasti apakah tupai jenis ini masih ada masa sekarang. Entah berapa lama ia berjalan, sampailah pula Malimdiwa itu ke sebuah negeri. Negeri ini ramai benar penduduknya. Ia berbicara sama sendirinya, barangkali inilah kerajaan yang dikatakan oleh isterinya dahulu itu, kerajaan tuan putri yang ada memiliki dan menyimpan baju terbang yang hendak dipinjamnya itu. Diikutinya cerita orang-orang yang ada di situ, memang benarlah di situ tempat tuan putri yang cantik sekali. Wajahnya sangat mengagumkan, rasanya tidaklah ada orang lain secantik putri itu. Mukanya licin dan berkilat, akan silaulah mata siapa saja yang melihatnya. Siapa saja yang menatap mukanya, dan bersamaan dengan itu tuan putri melihat pada orang itu tadi, akan silaulah matanya, akan tergelincir bila orang itu berjalan, dan akan jatuh. Demikianlah halnya tentang bercahayanya matanya itu. Diceritakan pula oleh orang banyak disitu, bahwa telah banyak anak raja yang mati karena berkeinginan akan mengawini tuan putri itu. Bagi ayahnya, raja itu, siapa saja yang ingin mengawini anaknya itu, dipersilahkannya, dan cobalah penuhi syaratnya. Yang susahnya ialah bahwa raja ini minta untuk dijadikan mahar anaknya adalah setangkai pinang emas yang harus diambil di batangnya. Adapun batang pinang itu tumbuh tepat di samping kamar tuan putri, anak raja itu. Menurut ceritera orang di situ sudahlah banyak yang mencoba, namun semuanya telah jatuh ketika sedang memanjatnya, silau karena dipandang oleh tuan putri yang matanya bercaha92



ya itu. Siapa saja yang mencoba, bila telah sampai memanjatnya sejajar dengan jendela tuan putri itu, menjingau saja putri itu di situ. Apabila dilihat oleh tuan putri itu, karena sangat bercahaya matanya itu, silaulah mata siapa saja yang memanjat batang pinang itu, dan akibatnya jatuhlah terus ke bawah. Oleh karena tempat orang itu jatuh telah tinggi, bertumpukan jatuhnya dan matilah ia di situ, tidak ada harapan lagi, terkapar. Demikianlah keadaan setiap orang yang telah menguji untuk naik. Menurut keterangan orang disitu, telah sembilan puluh sembilan anak raja yang malang seperti itu. mereka mati karena terjatuh ke bawah. Mendengar cerita-cerita orang di situ, susahlah Malimdiwa, timbul keragu-raguannya, namun ia ingin sekali untuk mencobanya. Dalam hatinya biarlah ia menjadi orang yang ke seratus. Diutusnyalah orang sebagai penghubung kepada raja, untuk menyatakan bahwa ia ingin meminang tuan putri itu. Ia ingin mencoba untuk naik, ingin memanjat pohon pinang itu, untuk mendapatkan pinang sebagai mahar dalam perkawinan dengan tuan putri itu. Alangkah senangnya raja menerima penghubung itu, ditambah pula oleh raja dilihatnya wajah Malimdiwa sangat cantik. Sungguh-sungguh senang dan besarlah hati raja itu. Rasanya mau saja ia memberikan anaknya itu kepada Malimdiwa begitu saja. Ditentukanlah hari yang baik untuk memanjat pohon itu. Dipanggilnya semua rakyatnya, baik yang besar maupun yang masih kecil, perempuan dan laki-laki, yang tua dan yang muda, semuanya berkumpul, mestilah keluar untuk menyaksikan Malimdiwa memanjat pinang raja itu. Setelah berkumpullah semua orang itu, pada hari itu ramailah di situ, semuanya merasa heran, mengapa pula Malimdiwa itu masih mau juga membunuh diri karena inginnya beristeri tuan putri itu. Mengapa pula ia mau juga memanjat pohon pinang itu. Agaknya samalah artinya datang mengantarkan nyawa ke situ. Sedangkan anak raja yang lain telah sembilan puluh sembilan orang yang telah mati jatuh di situ. Ramailah orang memperkatakan hal Malimdiwa itu. Semua mereka tidak yakin bahwa Malimdiwa akan dapat sampai ke puncak pinang itu. Namun apa yang terjadi, terserahlah, pokoknya awak haruslah datang. 93



Begitu Malimdiwa sampai ke tempat tumbuhnya pohon pinang itu, sampai pula ke situ sejumlah tabuhan, berterbangan kian kemari di tempat itu. Kemudian tiba pula disitu tupai yang mengikutinya tadi, bertengger agak jauh dari tempat itu. Orangorang yang ada di situ tak ada yang menghiraukannya, tak ada yang tahu, karena sedang asyik memandang Malimdiwa itu saja. Tak lama setelah itu, oleh raja disuruhlah Malimdiwa untuk memanjat pohon itu. Dengan tidak berpikir panjang lagi, Malimdiwa itu pun naiklah, dibetulkannya langkahnya, digulungnya kaki celananya, lalu dipanjatnyalah pohon pinang itu. Orang yang menonton menyaksikannya semua kaku menahan napas mereka, menyaksikan begitu cepatnya Malimdiwa memanjat. Setiba sejajar dengan jendela mahligai, tampaklah tuan putri duduk memperhatikan Malimdiwa, keluar ia menjingau. Dari jauh telah dilihat orang cahaya mata tuan putri itu berkilat-kilat. Dalam hati orang itu, akan terlihat Malimdiwa itu, hanya menantikan jatuh saja lagi. Banyaklah terdengar percakapan orang yang bukanbukan, seperti orang yang telah patah semangat saja layaknya. Begitu Malimdiwa tiba sejajar jendela itu tadi, berhenti pula ia di situ, melagak pula ia sejenak. Melihat itu semua orang yang melihat telah menjadi takut. Sebentar terdengarlah orang memekik melarang ia berhenti di situ, semuanya menyuruh supaya ia cepat naik saja terus. Namun, oleh Malimdiwa makin menjadi-jadi gayanya. Ia terus saja berhenti di situ, sambil melihat-lihat ke kanan dan ke kiri, bahkan dilambainya pula orang yang di bawah. Melihat hal itu terpaksalah orang ramai itu bersorak memekik-mekik, walaupun mereka telah ketakutan semuanya. Mendengar orang semakin riuh itu, kian mendekatlah tuan putri itu kejendela ingin melihat sejelas-jelasnya, siapa sebenarnya Malimdiwa itu, dan bagaimana pulalah paras wajahnya. Pada saat yang sama pula, berkerumunlah tabuhan itu seakan-akan hendak menggigit muka tuan putri itu, penuh mereka sekelilingnya. Tabuhan itu tidak menggigit tuan putri, namun tuan putri ini sudah patah semangatnya dia pun tak dapat dilihatnya lagi ia terus memekik Semua orang dalam istana itu berdatangan meleraikan tuan putri dari serangan tabuhan itu. 94



Pada kesempatan itu Malimdiwa memanjat terus, cepat-cepat ia naik terus ke puncak. Sambil ia naik, dilambai-lambainya jua tangannya pada orang yang di bawah. Semua orang bersorak kegirangan, karena belumlah pernah terjadi ada orang yang dapat naik melewati batas jendela raja itu, jendela tuan putri. Semua orang berdesak-desak ingin menyaksikan bagaimana akhirnya. Orang yang jauh tambah dekat, sedang yang dekat mendekat lebih dekat lagi. Setibanya di atas, belum sampai ke puncak, agaknya Malimdiwa itu merasa letih, dan tidak mampu akan naik lagi. Selagi ia bermenung meiepaskan lelah, tupai Malimdiwa itu pun memanjat pula dengan cepatnya. Barangkali maksudnya akan membalas budi baik Malimdiwa dahulu yang telah menyelamatkan nyawanya. Sekarang ia bermaksud akan mengambil buah pinang itu di puncak. Orang lain tak seorangpun yang tahu tupai itu naik ke puncak itu, karena perhatian mereka terpusat pada Malimdiwa saja. Adapun tupai itu terus saja naik ke puncak, dan digigitgigitnyalah tangkai pinang itu sedikit demi sedikit. Namun oleh karena pinang itu pinang emas, tidaklah mudah tergigit olehnya. Bahkan berdarah-darahlah giginya, namun tangkai pinang itu belumlah juga putus. Bila ia merasa letih menggigit, dan giginya telah berdarah turunlah ia pada Malimdiwa. Oleh Malimdiwa dimantrainyalah gigi tupai itu, dan rasanya mereka telah sebagai sahabat karib layaknya. Setelah dimanterai oleh Malimdiwa itu, naik pulalah lagi tupai itu, digigit-gigitnya pulalah kembali tangkai pinang itu. Demikianlah dilakukan tupai itu beberapa kali ia turun naik dari puncak ke tempat Malimdiwa itu duduk berhenti, dan sekian kali pulalah Malimdiwa memantrai gigi tupai yang telah berdarahitu. Oleh orang ramai di bawah, tidak jelas tampak apa yang sedang dikerjakan mereka ini, karena terlalu tinggi, yang nampak hanyalah Malimdiwa yang duduk itu saja. Namun demikian semuanya ingin sekali melihat akan bagaimanakah akhirnya. apakah mungkin Malimdiwa itu dapat turun membawa pinang emas untuk jadi mahar perkawinan dengan tuan putri itu. Demikianlah keadaannya, selang beberapa lama, dapatlah tangkai pinang itu diputuskan oleh tupai tadi. Sangatlah senang 95



hatinya, langsung dibawanya pada Malimdiwa, dengan demikian berbalaslah budi baik Malimdiwa padanya. Melihat hal ini, sangatlah girang hati Malimdiwa. Dalam hatinya, sudahlah kena sasarannya, sampailah hajat dan maksudnya. Turunlah ia perlahan-lahan. Semua orang yang melihat di bawah, tak dapat dikatakan lagi semuanya melompat-lompat, • dilemparkannya kopiahnya tinggi-tinggi. Terdengarlah sorak orang itu, "sudah rezekimu, sudah rezekünu, betul kamu laki-laki, betul orang yang bertuah kamu". Aneka ragamlah perkataan orang, semuanya tercengang dan mempertanyakan, anak raja dari manakah orang itu, yang demikian beraninya. Yang lain mengatakan pula, "sukarlah mendapatkan orang seperti dia itu, barangkali dia bukanlah manusia, barangkali dia adalah malaikat, atau pun orang dari langit." Malimdiwa tadi, masuklah terus ke dalam istana mempersembahkan buah pinang itu. Alangkah gembiranya raja menerimanya. Dipeluknya Malimdiwa itu karena gembira dia. Malimdiwa disuruhnya duduk, disuguhkannya minuman dan makanan yang mahal-mahal harganya. Semua rakyat bersorak kegirangan, tidak ada yang mau pulang karena berkeinginan melihat dengan lebih jelas bagaimana rupanya Malimdiwa itu dari dekat. Kemudian diumumkanlah oleh raja, bahwa pesta perkawinan akan diadakan mulai esok harinya, karena tidak boleh dilalaikan lagi. Mendengar isi pengumuman itu, senanglah hati orang itu, karena akan diadakan sebuah peralatan perkawinan yang belum pernah terjadi akan sehebat itu di negeri itu. Lalu, pulanglah orang-orang itu semuanya, rengganglah suasana di istana. Malimdiwa pun setelah itu mohon diri untuk pulang ke tempatnya namun oleh raja dilarangnya Malimdiwa itu pulang, ditahannyalah di situ. Esok harinya diadakan peralatan yang besar itu, kerja besarlah mereka, maklumlah perkawinan anak raja, apalagi putri raja itu akan kawin dengan Malimdiwa pula. Disembelihlah kerbau, sapi, kambing, dan ayam, tidaklah terkira banyaknya. Para tamu berdatangan dari jauh-jauh, lengkap dengan bawaan mereka berupa kado, maklumlah seorang raja besar bermenantu. Alangkah gembiranya Malimdiwa itu. Besar hatinya bukan karena dapat mengawini putri raja itu saja, tapi dapatlah pula kelak 96



meminjam baju terbangnya, untuk kemudian ia dapat terbang ke langit sana dan dapat bertemu dengan isteri dan anaknya yang sudah pergi itu. Apa yang sedang dipikirkan Malimdiwa ini seorangpun tak ada yang tahu. Adapun tuan putri ini duduklah bersanding dengan bangga nya di dekat Malimdiwa, pura-pura tak ada seorang. Aduh, terlihat ia tersenyum-senyum, wajahnya pun cukup cantik, cocoklah nampaknya. Singkat cerita, senanglah kehidupan mereka itu suami isteri. Semua rakyat pun senang melihatnya. Bila hari petang, terlihatlah mereka berjalan-jalan berdua, entah ke mana saja mereka itu pergi, maksudnya pergi bersenang-senang. Setelah selang beberapa bulan keadaan mereka yang demikian, teringatlah lagi Malimdiwa pada isteri dan anaknya yang sudah terbang ke langit itu. Dipikirkannyalah bagaimana caranya ia dapat meminjam baju terbang milik isterinya itu. Pada suatu malam, sambil tidur-tidur bersama isterinya, dimintanyalah pinjam baju terbang isterinya itu. Dikatakannya bahwa ia ingin sekali hendak terbang tinggi-tinggi, bahkan kalau mungkin biar sampai ke langit sana, ingin sekali ia hendak melihat langit itu, apalah yang ada di situ. Oleh isterinya itu, kiranya diizinkan pula. Ia tidak ragu-ragu sedikitpun, bahkan tidak pula ditanyakan kemanakah suaminya ingin sekali pergi, dan mengapa timbul keinginan itu. Maklumlah orang yang sangat sayang pada suaminya, tidaklah ia mau terhambat cita-cita suaminya itu. Ia berpikir, bila nanti suaminya popuier, akan berarti pula ia turut megah bersama. Karena itu, biarlah dia pergi, dia akan terbang dengan baju ini. Dengan demikian diberikannyalah baju itu pada suaminya. Setelah beberapa kali dicoba oleh Malimdiwa terbang rendahrendah dahulu, ia berhenti. Adalah kira-kira dua hari seperti itu. Tiap sudah terbang, ia turun pula, dilipatnya baju itu baikbaik, dan pergi pula lagi ia bersama isterinya itu berjalan-jalan. Pada hari yang ketiga mohon dirilah ia pada isterinya itu untuk terbang ke langit, Oleh isterinya diberikan doa restu. Terbanglah ia, sementara itu isterinya terus melambai-lambaikan tangannya. Ia terbang dan terbang terus makin lama-makin tinggi, lama-lama hilanglah dari batas pandangan isterinya itu. 97



Setelah terbang sekian lamanya, sampailah Malimdiwa itu di langit. Ia berhenti di suatu tempat, menyamar-sebagai seorang tengku mengaji, wajahnya diubahnya menjadi wajah yang buruk supaya tidak dapat ditandai orang dilangit itu. Baju terbangnya itu dilipatnya baik-baik, disimpannya dibalai tempat tinggalnya itu. Badannya dibuat berkudisan, pendeknya tidaklah sedap untuk dilihat. Pada malam hari ia mengajar anak-anak mengaji, di antara sekian muridnya itu, terdapat pula anaknya itu. Pikirnya, sudah besar anakku ini. anak ini tidak mengetahui bahwa itu bapaknya. Ia tahu bahwa bapaknya ada di dunia menurut cerita ibunya, tapi cantik, tidak seperti tengku ini. Anak-anak itu diajar Malimdiwa mengaji, bernyanyi dan meniup seruling, sehingga semua anak-anak itu gembira sekali. Anak yang satu ini paling akrab dengan Malimdiwa, ia pun sayang pula padanya, puaslah rindunya pada anaknya itu, walaupun isterinya belum bertemu. Pada suatu hari, anak ini mohon izin tidak mengaji untuk beberapa hari karena ibunya akan kawin. Dikatakannya bahwa bapaknya sudah lama tidak juga datang dari dunia, sehingga anaknya akan mengawinkan ibunya dengan orang lain. Malimdiwa mengizinkan anak ini, dan diberikannya sebentuk cincin pada anaknya ini. Gembiralah ia, lari ia terus pulang memperlihatkan cicin itu pada ibunya. Ibunya terharu, dikatakankannyalah bahwa cincin itu milik bapaknya Malimdiwa. "Segeralah kamu kembali, katakan saya sangat rindu padanya, nanti malam ketika hari senja segera datang dia ke rumah kita, supaya dapat kita terbang bersama kembali ke dunia. Kiranya sudah lama ia datang, namun mengapakah ia tiada terus kemari" kata ibunya itu. Berlarilah anaknya itu menemui tengkunya tadi menyampaikan pesan ibunya. Berpeluk-peluklah mereka, anak dan ayah. Ibunya pun bersiaplah. Akhirnya, malam itu datanglah Malimdiwa menjemput isterinya. Orang disitu sedang ramai akan pesta. Isterinya itu keluar perlahan-lahan dengan membawa baju terbangnya. Begitu bertemu orang itu, menangislah mereka kegirangan. Kemudian terbanglah mereka itu bertiga, sampai ke dunia kembali. Diceritakanlah oleh Malimdiwa caranya mendapatkan baju 98



terbang itu. Kalaulah tidak karena tupai itu, mungkin tidaklah akan bertemu mereka lagi, sebab, ia tak sanggup lagi naik sampai ke puncak ketika itu. Tupai itu tidak pernah terlihat lagi sekarang. Kata orang dahulu sering nampak, warnanya putih, cantik sekali, itulah yang namanya tupai Malimdiwa. Habislah cerita tupai Malimdiwa yang membalas jasa pada orang yang telah menyelamatkan nyawanya dahulu itu.



99



11.



CERITA



CUKUP



SEPAHA*)



Cerita ini berjudul Jet Sepehe-Pehe (Cukup Sepaha) berasal dari seorang bapak yang bernama Pawang Aring. Aring ialah rotan dari rimba gunung. Pawang Aring setiap hari pekerjaannya memburu rusa. Keluarganya terdiri atas seorang isteri dengan dua orang anak perempuan. Tiada berapa lama, kedua anaknya sakit. Setelah mengobati anaknya, dukun berkata kepada pawang Aring, bahwa anaknya yang seorang jodohnya di negeri Keling dan yang seorang lagi di negeri Cina. Tiada berapa lama, Pawang Aring pun meninggal dunia. Maka tinggallah kedua anaknya, yang tua bernama Putri Sulung dan adiknya Putri Bungsu. Setelah itu datanglah orang kampung meminjam jaring rusanya. Anaknya mengatakan, jika beroleh hasil buruan, maka sewanya sebelah paha rusa. Mereka pun pergi ke hutan memburu rusa. Kira-kira pukul lima petang, pulanglah mereka dengan membawa rusa hasil buruannya dan sepaha rusa diberikan kepada anak Pawang Aring sebagai sewa jaringnya. Paha rusa itu digantungkan di pohon dekat jaringnya. Berhubung, dengan suasana berkabung, anak-anaknyalupa kepada pada rusanya, sehingga setelah tiga hari paha rusa itupun berulat. Mereka tidak sempat memikirkan hal lain, karena kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Pada suatu malam, paha rusa itu melompat ke rumah anak Pawang Aring. Ia mengatakan : "Jet Sepehe - Pehe kutinjakl) rumah Tuan Putri !" Pintu rumah didobraknya dan setelah terbuka, ia pun melompat ke depan Tuan Putri. Garuk punggungku, kata Je Sepehe-Pehe. Ulatnya sudah sebesar kelingking. Ulat paha rusa digaruknya dengan kayu kecil. Jangan dengan kayu, garuk dengan tangan, katanya. Anak itu terpaksa menggaruknya dengan tangan. Garuk kuat-kuat, katanya ! Maka digaruklah kuat-kuat. Tanak nasi aku hendak makan, kata Jet Sepehe-Pehe! Kakaknya *) diambil dari daerah bahasa Tamiang. 1) tinjak = lompat. 101



berkata kepada adiknya : "Bungsu jeranglah beras, Jet Sepehe-Pehe hendak makan!" Berapa aku jerangkan, kata adiknya. Jeranglah tiga mok." "Tiga mok aku tak kenyang, tiga mok aku tak kenyang," kata Jet Sepehe-Pehe. "Tanaklah senaleh2). Ha, senaleh sedang baik, senaleh sedang baik. Ikan apa kubakar kak, kata adiknya. Bakar ikan sekerat, bakar kepalanya, kata kakaknya. "Kepala berlobang, kepala berlobang, kata Jet Sepehe-Pehe". Bakar ekor, kata kakaknya. Ekor ketirusan3) , ekor ketirusan , kata Jet Sepehe-Pehe. A h , akan seekor, kata kakaknya. "Ha, seekor sedang baik, seekor sedang baik." Sesudah masak nasi, lalu dihidangkan dalam pinggan kulit rusa. Jet Sepehe-Pehe pun makanlah. Adiknya berkata kepada kakaknya : "Bagaimana kita kak, jika tetap berada di rumah ini, kita dimakan Jet Sepehe-Pehe!". Jika demikian bungkusi barang-barang kita, kain, baju, emas, cincin, kalung, lalu jatuhkan ke bawah, kata kakaknya! Setelah itu dijatuhkanlah kebawah. Adiknya berkata pula : "kakak, kakak, ayolah kawani aku mengambil kacip pinang sudah jatuh ke bawah. Dia makan sirih. Ayohlah, ia membawa sekerat kayu api. Setibanya di bawah keduanya, diikatnya kayu api di ekor anjing yang bernama si Kumbang dan dipesannya : "Jika dipanggil orang.dari rumah, maka kau sahuti!" Sudah dapat, kata Jet Sepehe-Pehe. Auk! Sudah dapat, auk katanya. Setelah selesai makan, Jet Sepehe-Pehe turunlah. Jet SepehePehe kutinjak ribe4) Tuan Putri. Jet Sepehe-Pehe kutinjak ribe Tuan Putri. Setelah tiba di halaman rumah, Jet Sepehe-Pehe hanya menemui anjing, sedangkan kedua Tuan Putri kakak beradik telah lari ke daerah pedalaman. Keesokan harinya keduanya berjumpa dengan seorang pembuat sampan, katanya : "Hai orang tua pembuat sampan." Siapa engkau ?. Kami lari karena Jet Sepehe hendak makan kami. Tolonglah sembunyikan kami pak, karena sebentar lagi Jet SepehePehe akan datang kemari, kata mereka. D i mana saya sembunyikan, kata pembuat sampan. Sembunyikan di bawah sampan dan mereka dimasukkan di bawah sampan. Maka Jet Sepehe-Pehe pun tibalah. Jet Sepehe-Pehe kutinjak 2) senaleh = 32 liter. 3) ketirusan = kekecilan. 4) ribe = depan, pangkuan, dalam bahasa Indonesia riba. 102



ribe Tuan Putri. Jet Sepehe-Pehe kutinjak ribe Tuan Putri, katanya. Jet Sepehe-Pehe bertanya kepada pembuat sampan : "Hai pembuat sampan adakah engkau melihat dua orang perempuan datang kemari?" Ada, jawab pembuat sampan. Ke mana perginya, tanya Jet Sepehe-Pehe. Orang itu berkata : "Mereka berjalan melalui lanjau5) yang dalam. Jika engkau hendak mengikuti mereka, ikutilah ke sana!" Jet Sepehe-Pehe kutinjak ribe Tuan Putri, katanya. Dua kali lompat, tiga kali lompat terlompatlah ke dalam lanyau yang dalam dan tidak dapat bangkit lagi. Di sana dekat paha rusa itu tumbuh sebatang kayu bernama bintungó) paha rusa. Sampai sekarang, jika batang bintung itu di tetak berdarah sebagai dara yang berupa getahnya. Setelah kedua Tuan Putri keluar dari bawah sampan, kakaknya berkata kepada orang tua itu : "Tolonglah kami buatkan sampan, karena kami berdua kakak beradik hendak berlayar menjumpai jodoh kami yang sèorang ke negeri India dan seorang lagi ke negeri Cina. Tiada berapa lama selesailah sampan itu dan ketika hendak berlayar, orang itu itu berpesan, bahwa jika engkau melalui buah rambai, rambut masak tidak berembus angin, janganlah engkau berseru memanggil angin, karena di sana ada Tuntung Kapur yang mempunyai anak perempuan muda. Mereka pun mengucapkan terima kasih kepada orang tua itu dan minta izin untuk berlayar. Kakanya yang bernama Putri Sulung duduk di haluan dan adiknya Putri Bungsu duduk di belakang memegang kemudi. Maka diserulah angin :"Hembuskan angin setolai-tolai aku hendak berlayar ke benua Cina. Kakakku tinggal di benua Keling. Datanglah angin dengan sepoi-sepoi. Ketika tiba di negeri Keling naiklah kakaknya ke darat dan adiknya Putri Bungsu meneruskan perjalanan ke negeri Cina. Pada waktu ia berlayar melalui buah rambai, rambut masak, diserunya angin katanya : "Hembuskan angin setolai-tolai. A k u berlayar ke negeri Cina. Kakakku tinggal di benua Keling." Angin tidak berhembus sehingga sampannya tidak dapat berlayar. Hal itu diketahui oleh anak Tuntung Kapur dan dipanggilnya Putri Bungsu ke tepi. Putri Bungsu tidak mau memenuhi panggilannya, karena sudah mengetahui maksudnya. Lama ke5) lumpur yang keras pada bahagian atas. 6) nama sejenis pohon. 103



lamaan anak Tuntung Kapur panas hatinya. Lalu ia berenang ke tengah dan ia naik ke dalam sampan. Ya,Tuan putri hendak pergi ke mana, bertanya anak Tuntung Kapur! Saya hendak pergi menemui jodoh saya di negeri Cina. Saya ikut juga, kata anak Tuntung Kapur. Saya memegang kemudi dan engkau ke haluan, katanya kepada Putri Bungsu. Ia menyeru angjn, tetapi angin tidak mau berembus. Tak mau berembus angin. Jika demikian halnya, Tuan Putri pindah lagi memegang kemudi di belakang. Lalu diserunya lagi angin, maka anginpun berhembuslah sepoi-sepoi basa. Waktu sampan sedang berlayar, anak Tuntung Kapur mengambil pakaian dan perhiasan Putri Bungsu, cincin emasnya ditukar dengan cincin padung paku anak Tuntung Kapur. Gelangnya ditukar dengan gelang rotan dan pakaiannya di tukar dengan pakaian kain kulit kera. Putri Bungsu tidak dapat berkata sepatah katapun, karena Tuntung Kapur makan orang. Setelah sampai di tepian, orang di sana mengatakan sudah sampai ke tempat yang dituju dan jodoh tuanku berada di kerajaan ini. Rakyatnya pun datang membawa gajah berdimba dan payung berapit. A h , tidak mau, saya naik gajah berdimba, payung berapit yang biasa aku naik tandu. Ambil kayu dan goni ikatkan, lalu masukkan kayu, kata Anak Tuntung Kapur. Dia itu Putri Bungsu, katanya. Tuan Putri yang satu lagi ni siapa, tanya rakyatnya ! Sesikat pisang saya bawa sebagai kawan, katanya. Mereka dibawa ke istana raja dan diresmikanlah perkawinan Putri Bungsu dengan raja. Mereka berkata: "Sesikat Pisang ini diantar ke mana Tuan Putri, tanya rakyatnya antarkan ke bawah sana ke lumbung padi di sana. Maka diantarkanlah Sesikat Pisang ke sana. Sesudah tuan Putri mengandung, raja ingin hendak makan kue. Ia berkata kepada isterinya, buatlah kue Tuan Putri aku ingin hendak makan. Lalu isterinya menyuruh membeli manisan satu guci, minyak makan satu guci, beras ketan satu gantang, beras jambe satu gantang. dan disuruhnya mertuanya merendamnya. Keesokan harinya ia menyuruh memanggil Serikat Pinang untuk menumbuk tepung. Setelah ditumbuk, isteri raja pun menampi tepung itu keiepas, keiepas, sehingga debu tepung berterbangan ke daun birah, ke daun pisang dan tinggallah antaknya yang di masukkan ke dalam talam. Setibanya di rumah dicurahkan manisan setengah guci, minyak makan sedikit, lalu diaduk sampai kental. Sesudah itu dicetaknya dengan cetakan pelepak 104.



daun kelapa yang dibuatnya empat-empat segi dan dimasukkannya ke dalam talam. Kemudian di bulat-bulatkannya sebesar dua telur ayam, lalu di lemparkannya ke tiang halwa tiang katanya; dilemparnya ke pintu halwa pintu katanya. Sesudah cukup dibuatnya ke lantai ke pintu, lalu di masukkan ke dalam talam dan ditutupkannya dengan tudung saji dan sahab7) maka diangkatnya, di bawa masuk ke kamar suaminya. Sesikat Pisang mengumpulkan debu tepung yang sudah beterbangan di daun birah dan daun pisang, lalu diambilnya manisan dan minyak yang ditumpahkan isteri raja, lalu dibawanya keberandang padi. Ia mengorek tempurung kelapa untuk membuat acuan kue. Maka iapun membuat kue kekarah8) tok, tok, tok, tok, tok. Mamak raja berkata, apa yang sedang dilakukan Sesikat Pisang itu? Ia pun menjenguknya. Ya tuanku, kata Sesikat Pisang. Y a , kata mamak raja. Apa yang kau buat Sesikat Pisang, tanya mamak raja. Saya membuat kue tuanku! Sesikat Pisang memberi dua buah kue kepada mamak raja. Setelah diambilnya kue itu, yang satu disimpannya dalam kainnya. Sesikat Pisang lama diperhatikan mamak raja dan dalam hatinya ia berkata. "Mungkin inilah Putri Bungsu, sedangkan isteri anakku itu bukan Putri Bungsu. Sesudah makan kue itu, mamak raja pun pulanglah ke rumahnya dan kue yang satu itu diberikan kepada anaknya. Kue itu cukup lama diperhatikan, bukan main halusnya, rasanya manis, sedap, dan sederhana. Raja pun berpikir pula, mungkin Sesikat Pisangkah Putri Bungsu. Isteri raja berkata : "Mengapa raja tidak makan kue ?" Sudah kumakan, katanya. Keesokan harinya raja memanggil pesuruhnya. "Lamat kita pergi ke tempat Sesikat Pisang. Sesudah berjumpa raja membual dengan Sesikat Pisang di sana. Ia memperhatikannya, kulitnya halus, pipinya sebagai pauh dilayang, jarinya halus. Maka dia pun pulanglah. Setelah dua tiga kali datang ke sana, cemburulah isteri raja anak Tuntung Kapur. Ia memanggil si Lamat : "Lamat ahtarkan Sesikat Pisang ini ke hulu sungai sana, lalat yang tidak berdengung lagi suaranya, ranting yang tidak terkeritik, si Lamat mau tak mau harus mengantarkannya sebagai bekal dalam perjalanan, dibungkuslah oleh isteri raja abu 7) kain berkasap atau bersulam yang digunakan sebagai penutup di atas tudung saji berupa hiasan. 8) sejenis kue kering.



105



satu bungkus dan nasi basi satu bungkus. Lalu si Lamat pun pergi lah mengantarkan Sesikat Pisang ke sana. Setelah jauh berjalan, hari pun mulai gelap dan mereka sampai dalam hutan belantara. Si Lamat berkata : "Hai Sikat Pisang, saya ini orang diperintah, engkau sampai di sini kuantarkan. Janganlah engkau takut memang sudah nasibmu. Y a , memang sudah nasibku, Lamat. Apa boleh buat, pulanglah engkau, kata Sesikat Pisang. Hari pun malamlah dan Sesikat Pisang yang bernama Putri Bungsu merasa lapar. Sambil menangis mencucurkan air mata, dibukanya nasi bungkus, abu isinya. Menangislah ia kuat-kuat. Lalu dibukanya sebungkus lagi, nasi basi tidak dapat di makan. Ia pun terus menangis sejak malam sampai pagi hari. Berjalanlah seekor beruk besar dengan tegapnya dan berjumpalah ia dengan Putri Bungsu. Katanya, Heh bau manus9), heh bau manus. Putri Bungsu berkata : "Manus bukan manus aku kawan beruk, makanlah saja aku, karena aku sangat menderita!" " O h , tidak boleh dimakan Tuan Putri, katanya. Saya akan memelihara engkau. Hari itu dikumpulkanlah rakyatnya, rakyat rimba; mawas, kera, babi, gajah, dan harimau, sedangkan beruk bertindak selaku ketuanya. Katanya, kita berkumpul ke sana, ke tempat Tuan Putri Bungsu. Keesokan harinya berkumpullah rakyatnya, lalu diaturlah sambil berkata : "gajah engkau tukang tebang hutan rimba ini. Kera tukang membersihkannya, dan engkau babi tukang mencangkulnya dan aku pergi mencari benih, benih jagung, kacang, timun ke kampung. Kayu-kayu sudah disingkirkan gajah semuanya ke pinggir, kera-kera bekerja semua, lalu pulanglah beruk membawa jagung, kacang, timun dan terus di tanamnya. Tanamannya cukup subur, jagung, timun tumbuh besar-besar. D i samping itu putri Bungsu dibuatkan rumah oleh gajah daripada kayu yang dipatahpatahkannya. Beruk mengatakan, bahwa isteri raja ingin bersuka ria ke kuala dan kita harus ikut juga. Ia menyuruh gajah membuat rakit yang dapat ditempati dua puluh orang. Yang mudik ke kuala : harimau, beruk, mawas, dan kera. Demikian pula yang tinggal : gajah, mawas, beruk, dan harimau. 9) Manus = manusia. 106



Raja mudik ke hilir membawa gong, rebana, makanan secukupnya. Beruk mengatakan, jika raja naik singgah di ujung pusunglO) kita singgah di permulaan tepi rimba. Pada saat mereka hendak makan nasi, baru kita halau. Sesudah selesai masak nasi, menggoreng ayam, telur penyu, memanggang ikan dan isteri raja Tuntung Kapur hendak makan, ia pun memberi tanda kepada kawan-kawannya. Mula-mula yang menghalau ialah harimau. D i belakangnya adalah beruk, dan mawas. Lalu di halaulah dekat orang makan. Larilah raja, Tuntung Kapur masuk sampan dan mudik. Semua alat-alat rumah tangga, seperti kursi, meja dan alatalat lainnya diperintahkan, supaya diangkut ke rumah Putri Bungsu dalam rimba. Sesudah itu beruk datang ke tempat mereka bersuka ria dan dibawanya Putri Bungsu untuk makan makanan yang ditinggalkan raja. Selesai Putri Bungsu makan, makanlah mereka semuanya. Orang-orang itu takut lari mudik semuanya, karena harimau sedang menghalau mereka. Lalu ia masuk sampan orang dan pulang kembali ke rumah ke dalam rimba. Ketika raja tiba di rumahnya, ia heran melihat alat-alat rumah tangganya sudah tidak ada lagi dan di kuala dia di halau harimau dan beruk. Pada suatu hari ia memanggil si Lamat. "Lamat!" Y a tuanku, jawab si Lamat. Sesikat Pisang ke mana kau antarkan? Saya disuruh Tuan Putri mengantarkan ke hulu sungai sana, lalat jangan berdengung lagi katanya dan ranting jangan berkeritik. Apakah engkau masih dapat mengingatnya. Ya, tuanku! Ayolah kita pergi menjenguknya. Raja hatinya risau sekali. Maka pergilah ia bersama-sama perdana menteri dan setelah beberapa lama berjalan, bertanya lagi, di sana kau antarkan. Lamat? Si Lamat mengatakan, saya mengantarkannya dalam rimba ini, tetapi sekarang sudah menjadi kebun tanaman. Jagung banyak sekali, timun juga banyak sekali, babi juga banyak, kera banyak, tetapi tidak dimakannya. Iapun timbul keraguan dalam hatinya. Mereka terus berjalan dan ketika sampai di dekat rumah keluarlah beruk. Yah, raja kata beruk. Y a , kata raja. Naiklah, kata beruk. Maka naiklah mereka ke rumah Putri Bungsu. Beruk menyuruh mawas mengambil jagung dan menghidupkan api sesudah itu dibakarnya. Apakah tuanku mau makan hasil pekerjaan 10) rawa-rawa.



107



binatang, kata beruk! A h , sama saja kata raja. Binatang bertangan, kami pun bertangan juga, apa salahnya, kata raja, sesudah masak jagung, lalu dihidangkan kepada raja. Maka beruk mempersilakan raja untuk makan jagung, tetapi raja berdiam diri saja, Mengapa raja tidak mau makan hasil pekerjaan kami, kata beruk. Raja berkata malas makan seorang diri. Jika raja malas makan seorang, siapa kawannya, tanya beruk. Ada rasanya kawan, kata raja, Mana ada, kata beruk. Begini, kata raja, jika kucari kawan makan di rumah ini apakah tuan-tuan tidak marah ? A h , tidak ! Carilah kata beruk. Maka dicarilah kawannya dan bertemulah ia dengan Tuan Putri Bungsu yang diantarkan si Lamat. Y a , ini ada kawan, kata raja dan beruk terdiamlah setelah itu, jagung itupun dimakan raja bersama-sama dengan Putri Bungsu dan diajaknya Putri Bungsu pulang ke kampung. Putri Bungsu mengatakan : "Jika Tuanku mau menuruti permintaan saya, maka saya mau pulang bersamasama tuanku, tetapi jika tuanku tidak mau menurutinya, saya tidak mau pulang!" A p a kehendakmu kuturuti, kata raja. Putri Bungsu berkata : "Saya minta kepada tuanku isteri tuanku Tuntung Kapur, tuan ku bawa kemari, karena saya hendak membalas aniayanya." Pakaian dan perhiasan saya habis diambilnya semuanya. Cincin, kalung, gelang tangan dan gelang kaki saya diambilnya semuanya. Saya hendak menjumpai tuanku jodoh saya, dikatakannya dialah jodoh tuanku. Saya tidak berkata sepatah katapun, karena Tuntung Kapur makan orang!" Raja menyuruh si Lamat menjemput isterinya di kampung. Setibanya di kampung, ia mengatakan kepada isteri raja bahwa ia disuruh raja menjemputnya untuk di bawa ke tempat Putri Bungsu, karena raja kakinya telah kena duri dan tidak dapat berjalan lagi. A k u Lamat tidak sanggup berjalan, kata Tuntung Kapur, karena perutku sudah besar sekali. Jika tidak sanggup berjalan, didukung kata raja, kata si Lamat. Jika kau dukung harus perlahan-lahan, kata Tuntung Kapur. Tiba dekat tunggul, direbahkan si Lamat dirinya. Berdarah punggung Tuntung Kapur. Kautunggulah Lamat, nanti engkau kuadukan kepada raja, mampus engkau dibunuhnya. Adukanlah kata si Lamat. Tiba dekat tunggul dihentakannya pula Tuntung Kapur. Marah ia. Setelah tiba di dekat tangga rumah Putri Bungsu, berserulah si Lamat : "Putri Bungsu, inilah Tuntung Kapur sudah saya bawa!" Putri Bungsu turun dari rumah, lalu diambilnya pisau seraya 108



berkata, ha, Tuntung Kapur, dulu pakaian, perhiasanku dan jodohku kau ambil. Sekarang aku balas engkau. Maka dipeganglah Buteri Bungsu jari Tuntung Kapur dan diambilnya cincin nya, katanya enakkah engkau memakai cincinku." Enak Tuan Putri. Lalu dikerat Putri Bungsu jarinya dan dimasukkan dalam guci setelah itu dipegangnya telinganya dan diambilnya subangnya seraya berkata: "enakkah engkau memakai subangku? Enak Tuan Putri, kata Tuntung Kapur. Lalu dikeratnya telinganya dan dimasukkan dalam guci. Enakkah engkau memakai kalungku, tanya putri bungsu, enak Tuan Putri. Kalungnya di ambilnya dan dikerat pula lehernya. Lalu leher dan badannya di masukkan Putri Bungsu ke dalam guci dan mulut guci di tutup dengan kain. Putri Bungsu memanggil si Lamat dan disuruhnya.mengantarkan guci itu kepada mamak Tuntung Kapur. Katakan kepada Mamak Tuntung Kapur, bahwa pekasam kerbau ini dari si Tuntung Kapur yang menurunkan anaknya ke tanah. Pergilah si Lamat mengantarkan guci itu dan setibanya di halaman rumah Tuntung Kapur, di serunya: "O, mak, saya disuruh raja mngantarkan pekasam kerbau dari Tuntung Kapur menurunkan anaknya ke tanah! "Antarkan ke sudut pintu, kata mamak Tuntung Kapur. Setelah itu Lamat turun dari rumah, lalu menyeberangi sungai dan memanjat pohon di seberang sungai. Setiap hari mamak si Tuntung Kapur kerjanya menenun kain. Pulanglah anaknya, lalu ditanyakan kepada anaknya : "Sudah masak nasi mak ? "Sudah, kata maknya. Sesudah mengambil piring dan nasi, ia bertanya: "mana ikan? Ikan, pekasam dari si Tuntung dalam guci di balik pintu ambillah kata maknya. Waktu membuka guci, anaknya berkata si Teuntung, muka si Tuntung saya lihat mak! " A h , anak celaka! Si Teuntung bersenang-senang menjadi isteri raja, muka si Tuntung dalam guci katanya. Ia mengambil pedang lalu dicencangnya anaknya. Matilah ia. Tiada berapa lama pulanglah ayahnya hendak makan. Setelah mengambil piring dan nasi bertanya ia : "Mana ikan? "Ikan, pekasam dari si Tuntung di belakang pintu. Ketika akan mengambil ikan, eh, mana ikan, muka si Tuntung dalam guci, katanya, diambilnya pedangnya dicencangnya suaminya. Matilah suaminya. Ia terus bekerja menenun. Kira-kira pukul tiga sore, ia merasa lapar. Ia mengambil piring dan nasi dan ketika hendak mengambil pekasam katanya : " Y a ! Teuntung, 109



muka si Tuntung si Tuntung pekasam yang diantarkan si Lamat! " A h ! Celaka betul si Lamat, engkau kumakan Lamat, ke mana engkau lari. Ini aku, kata si Lamat di atas pohon di seberang sungai. Tunggu Lamat, engkau kumakan. Marilah, kata si Lamat! Dia gelisah hendak menyeberang. Si Lamat mengatakan : "Jika hendak menyeberang, diikatkan mulut guci sebagai pelampung. O, ya juga kata mamak si Tuntung. Ia pun mengambil guci lalu diikatkannya mulut guci erat-erat dan guci diikatkan ke badannya. Lalu berenanglah ia menyeberangi sungai. Setibanya di tengah-tengah sungai. Si Lamat berkata : "Lambat sekali jalannya. T e m b u k l l ) guci kuat-kuat. lalu ditumbuklah gucinya. Masuklah air ke dalam guci maka tenggelamlah guci bersama-sama mamak si Tuntung Kapur dan matilah ia. Si Lamat pulanglah ke rumah Putri Bungsu. Setibanya di rumah Putri Bungsu, berkatalah Putri Bungsu, bagaimana pekasam yang diantarkannya. Si Lamat mengatakan, bahwa anaknya, ayahnya dan mamaknya semuanya sudah mati. Mamaknya mati tenggelam bersama-sama gucinya. Sesudah itu diresmikanlah perkawinan Putri Bungsu dengan raja. Yang ikut mengantarkan Putri Bungsu ialah harimau, beruk, kera, dan mawas, serta gajah mengantarkan Putri Bungsu dengan raja sampai ke istana. Pada waktu itu, beruk, kera, dan harimau mengadakan suatu keramaian orang kampung. Putri Bungsu dikawani oleh dua ekor harimau, dua ekor beruk, dan dua ekor kera. Lalu Putri Bungsu disandingkan dengan raja di istana. Kera menggesek biola, beruk memukul rebana, dan harimau bersilat. Setelah selesai acara keramaian, Putri Bungsu mengatakan : "Hai kawan beruk, pulanglah engkau ke tempatmu. Demikian pula kera, harimau, dan gajah semuanya di suruh pulang ke dalam rimba. "Makanlah hasil tanaman yang ada di sana dan aku tinggal di sini." Demikianlah sesudah peresmian perkawinannya sebagai isteri raja, maka ia pun mengatur segala sesuatu dengan sebaik-baiknya sebagaimana adat istiadat pada zaman dahulu kala di negerinya.



11) pecankan, turn buk. 110



12.



AS A L N A M A N E G E R I J U N G K A G A J A H *)



Pada zaman dahulu, ketika kerajaan Islam yang pertama di Peureulak, di negeri itu di daerah pedalaman terdapat sebuah negeri yang bernama Seumali. Perkembangan agama Islam pada masa itu antara lain termasuk daerah Seumali. D i Seumali ada seorang Teungku yang ahli dalam agama Islam. Ia bercita-cita hendak mengadakan dakwah ke sekitar kerajaan Peureulak. Kemudian ia berangkat dengan sebuah sampan berhilir dengan kawan-kawannya melalui sungai Peureulak menuju laut dan setelah itu arah ke Barat. Dalam perjalanan sampailah ia ke muara sungai Pase. Di sana ia sampai ke sebuah tempat yang baik. Ia berdiam di situ dan tempat itu dibuatnya sebuah negeri. Ketika negeri itu selesai dibangun dalam bahasa Aceh dahulu — orang yang membangun negeri pertama seperti itu - disebut Ja. Bukan raja tetapi Ja. Jadi Teungku Seumali tadi di tempat itu dipanggil orang dengan nama Ja Seumali. Kemudian Teungku Seumali itu menjadi pemimpin di saia yakni di negeri tersebut. Negeri itu menurut cerita, kemudian dinamakan Seumeurlang. Seumeurlang itu termasuk dalam daerah Kecamatan Syamtalira B sebagian dan selebihnya termasuk dalam daerah Kecamatan Samudra sekarang. Ja. Seumali mempunyai dua orang anak lelaki, yang tua bernama Ahmad dan yang muda bernama Muhammad. Karena beliau mempunyai dua orang anak, maka beliau berpikir : "Ini kalau aku nanti meninggal, kedua anak ini kelak akan bermusuhan, sebab negeri ini hanya satu. Oleh karena itu lebih baik aku bangun sebuah negeri lain, sehingga negeri ini kelak akan aman, andai kata aku telah mati kelak." Ke arah Selatan negeri tempat ia berdiam itu ada hutan rimba. Pada suatu hari ia berjalan-jalan ke dalam rimba itu. Sampai ke yang paling Selatan. D i sana ditemui sebuah tempat yang sangat baik untuk dijadikan negeri. Lalu tempat itu ditebas bersama-sama, sehingga dapat dihuninya. Ke tempat itu kemudian dipindahkan penduduk sebagian dari negerinya dan negeri itu *) diambil dari bahasa Aceh



111



dinamakan Negeri di Balik Rimba. Jadi sudah ada dua buah negeri seperti yang diharapkannya dan dia pun kini sudah tua. D i negeri Balik Rimba dirajakan Ahmad dan di negeri Seumeurlang dirajakan Muhammad. Antara negeri Seumerulang yang terletak di pesisir dan negeri Balik Rimba yang terletak di pedalaman itu terdapat sebuah hutan. Hutan itu ditebas Teungku Seumali dan semua kayu besar dalam hutan itu ditebang, sehingga hutan yang luas itu dijadikan tempat tinggalnya sendiri. Tempat itu disebut negeri Reuba. Jadi negeri Reuba itu terletak di tengah-tengah, yakni di antara dua kerajaan anaknya. Menurut cerita, mesjid yang pertama dibangun ialah di negeri Reuba itu. Berarti agama Islam mulai berkembang di sana di daerah pedalaman pada waktu itu, selain di Peureulak. Negeri Reuba itu kalau kita lihat sekarang bekasnya adalah pada daerah aliran sungai Pase bagian hulunya. Negeri Reuba itu termasuk daerah Kecamatan Meurah Muüa sekarang. Lama-kelamaan Teungku Ja Seumali meninggal dan tinggallah dua orang anaknya yang menjadi raja di tempatnya masing-masing. Mereka hidup damai, aman dan tenteram, dan saling berkunjung sebagai dua bersaudara yang saling mencintai, yakni antara adik dengan abang. Alkisah, kedua raja itu tidak mempunyai anak, baik raja Ahmad maupun raja Muhammad. Mereka rindu hendak mempunyai anak sehingga mereka bermohon kepada Allah siang malam supaya kepada mereka diberi-Nya anak. Jika tidak anak sendiri anak angkatpun sudi mereka menerimanya. Demikianlah pada suatu hari raja Muhammad, ketika ia sedang menebas hu tan-hu tan yang terdapat dalam daerah kerajaannya, dengan maksud hendak memperluas daerahnya, maka terdapatlah sebuah rumpun bambu. Dalam rumpun bambu tersebut didapatnya sebuah rebung bambu yang sangat besar. Setelah rebung itu dipotong dan dikupasnya, maka didalam rebung itu didapatinya seorang anak perempuan. Raja dan permaisuri sangat gembira. Anak itu dipelihara dan dinamakannya Puteri Beutong. Dinamakan demikian karena ia ditemui dalam rumpun bambu. Ketika anak itu dalam pemeliharaannya, tersebarlah berita ke seluruh negeri, bahwa raja Muhammad sudah mempunyai anak. Anak itu terdapat dalam rebung bambu, cantik dan molek 2



112



sekali. Berita gembira itu disampaikan abangnya raja Ahmad. Raja Ahmad setelah mendenear berita itu berangkat dari negerinya pergi ke negeri adiknya dengan bawaan berupa makanan dan kain yang beraneka ragam keperluan sang bayi. Ketika tiba di sana dilihatnya memang anak ini berwajah cantik, hingga ia berkata ; "Wahai adik, engkau telah mempunyai anak, saya entah bagaimana." Sejak saat itu raja Ahmad selalu dalam kesedihan, karena tak mempunyai anak, sehingga ia bermohon kepada Tuhan, agar kepadanya dianugerahi anak seperti halnya raja Muhammad. Dalam pada itu pada suatu hari raja Ahmad pergi berburu ke hutan bersama panglima dan menteri-menteri dalam kerajaannya. Ia ingin hendak makan daging rusa. Dalam perburuan di sebuah hutan ia tersesat, sehingga ia terpisah dengan semua pengikutnya. Pada waktu ia tersesat ia singgah pada sebuah balai di dalam hutan itu dan ia bertemu dengan seorang Teungku yang memakai serban putih, lalu kepadanya ia berkata : "Teungku, saya sudah tersesat dan saya beristirahat di tempat i n i . " "Baik, wahai anak," jawab Teungku itu. Ketika Teungku itu melihat raja Ahmad, diketahuilah bahwa raja itu dalam keadaan masygul, sehingga ia bertanya: "Mengapakah anda masygul? Anda saya liftat seperti orang yang menyimpan sesuatu masalah yang harus dipecahkan." "Wahai Teungku yang saya anggap sebagai guru saya. Saya ada dua bersaudara yakni saya dan adik saya. Adik saya raja Muhammad sudah menemui seorang anak dalam rumpun bambu dan dinamakannya puteri Beutong. Sedang hamba sudah lama bemohon kepada Tuhan hendaknya kepadaku dianugerahi anak. Jika dapat seorang anak lelaki." "O, jangan susah nak," kata Teungku itu. " D i sana, pada sungai di sebelah negeri Reuba ada seekor gajah. Gajah itu pada sore hari biasanya turun ke sungai dengan membawa seorang di atas bahunya. Anak itu anak lelaki kira-kira berumur satu tahun. Sesampai ke sungai oleh gajah anak dimandikan dan setelah dimandikan diletakkan di tebing sungai. Dan sesudah itu barulah ia mandi sendiri. Setelah ia sendiri mandi, ia naik ke atas mengambil anak itu lalu masuk lagi ke dalam hutan. Anak itu boleh anda ambil sebagai anak angkatmu." kata orang tua itu l a s . "Kalau begitu saya minta izin pulang dan apa yang Teungku nasehatkan saya terima dengan baik." 113



"Baikah", kata Teungku. "Jalan· ini anda pulang". Kata Teungku itu lagi. Raja Ahmad pun berangkat dari tempat itu. Bam saja beberapa langkah ia berjalan, ketlka dilihatnya ke belakang balai dan Teungku tadi telah hilang dalam pandangannya. Raja Ahmad kembali ke istana dan menyampaikan apa yang telah didengarnya kepada panglima dan menteri-menterinya. Kemudian dikerahkan semua orang yang kuat-kuat untuk mencari gajah dan anak tersebut di atas. Setelah lengkap persiapan yang dip erlukan maka berangkatlah sebuah rombongan yang terdiri atas orang-orang kuat untuk merebut anak itu dari gajah. Mereka berangkat hingga sampai pada sebuah sungai dan bersembunyi menanti kedatangan gajah dengan anak dari hutan. Segala yang dikatakan oleh Teungku tadi memang ada dalam kenyataan. Dalam pada itu gajah pun tiba dengan anaknya. Setelah ia memandikannya lalu ia sendiri mandi. Ketika ia dalam sungai dan anak itu sedang berada di pinggir sungai maka datanglah orang-orang kuat tadi mengambil anak itu' dan melarikannya. Anak itu dilarikan ke istana raja. Ketika gajah melihat bahwa anak itu telah dilarikan orang, lalu berusaha untuk merebut kembali. Tetapi karena orang terlalu banyak maka usahanya tidak berhasil. Gajah itu marah dengan menghentak-hentakkan badannya ke segala apa yang terdapat di dekatnya, sehingga ia mati di tempat itu. Tempat mati gajah itu disebut negeri jungka gajah sekarang. J adi anak yang ditemui itu dipelihara oleh ·raja Ahmad dan diberi nama Meurah Gajah. Keinudian berita penemuan itu disampàikan kepada raja Muhammad. Raja. Muhàmmad bersama permaisuri serta putri Beutong berkunjung ke tempat raja Ahmad. Lalu dilihatnya bahwa anak itu anak leiaki. Putti Beutong dan Meurah gajah keduanya mempunyai rupa yang cantik dan sepadan bagai pinang dibelah dua. Kedua raja yang dalam keadaan gembira itu bermupakat, bahwa kedua anak itu kelak, jika sudah besar akan dikawinkan. Alkisah kedua anak itu pun sudah besar. Putti Beutong dan Meurah Gajah dikawinkan. Dalam kehidupan keluarga mereka memperoleh dua orang allak. Kedua anak lelaki. Pada suatu hari raja dan permwsuri bersenda gurau bersama anaknya. Pada saat itu terlihat oleh raja, bahwa permaisuri mem114



punyai tujuh hel ai rambut yang menyerupai emas. Raja menyuruh permaisuri untuk mencabutnya. Sebab kelihatannya tidak bagus, tapi permaisuri tidak mau. Lalu raja minta kepada permaisuri supaya bellau sendiri yang mencabutnya, tetapi permaisuri juga melarangnya, sambil berkata: "Jika rambut ini baginda cabut maka bercerailah saya dengan baginda." Meskipun demikian raja mencabut juga rambut itu, ketika permaisuri sedang tidur. Setelah rambut dicabut maka keluarlah darah dari kepaJa permaisuri. Karena darah itu terla1u banvak keluar, maka permaisuri pun meninggal. Setelah permaisuri itu meninggal, salah seorang pelayan istana lari ke temp at raja Muhammad dan membentahukan bahwa Meurah Gajah telah membunuh putri Beutong. Mendengar berita itu raja 'Muhammad tanpa pemeriksaan terlebih dahulu lalu pergi ke tempat Meurah Gajah bersama menterinya dan membunuhnya. Puteri Beutong dan Meurah Gajah keduanya sudah matL Kuburan orang itu terdapat antara Kecamatan Samudra dan Kecamatan Meurah Mulla sekarang. Tapi batu kuburannya sekarang tidak ada lagi, sudáh diambil orang. Ketika diketahui oleh raja Ahmad bahwa Meurah Gajah telah dibunuh oleh mertuanya, ia marah dan dikerahkan semua rakyat untuk menyerang negeri raja Muhammad. Pada saat itu teriadilah peperangan hebat antara dua kerajaan, sehingga kedua raja itu beserta rakyat musnah dalam pertempuran. Tinggallah dua orang anak tadi yang masih keeil. Karena takut terbunuh kedua anak itu pun lari dari negeri itu. Jadi berangkatlah kedua anak itu menuju ke arah Barat. Mereka berjalan terus hingga tiba di sebuah tempat yang disebut negeri Bireuen. Ketika tiba di sana mereka berdiam di sebuah tempat. Pada suatu hari ketika mereka berjalan-jalan, lalu. bertemu dengan seekor binatang. Binatang Uu keluar di dalam tanah dan tidak diketahui namanya. Pada saat binatang itu keluar, kata abang : "Ini saya punya." Kemudian keluar seekor lagi, Lalu kata adik : "Itu saya punya." Tiba-tJ~a keluar seekor lagi lcbih besar, lalu kata abang: "Ini saya punya.'" Kata adik : "Ini saya punya:' Kedua mereka bertengkar. Ditakdirkan Tuhan yang satu itu menjadi batu. Batu itu masih ada sekarang terletak di sebelah Timur kampung J uH di Bireuen yang disebu t Gua Kerbau. Sesudah itu kedua mereka mengambil binatang itu, yakni kerbau dan memeliharanya sehingga kerbau itu berkembang biak dalam jumlah yang cukup banyak. Dalam pembiakan kerbau itu, salah 115



seorang dari mereka yang bernama Meura Seulu, sambil memelihara kerbau ia meletakkan bubu pada tali air di tempat itu. Setiap pagi bubu itu diangkat dari air, maka yang diperolehnya hanya cacing. Cacing itu pada mulanya dibuang, tetapi karena setiap pagi itu saja yang masuk dalam bubunya, maka akhirnya cacing itu dibawa pulang dan direbus. Ketika direbus cacing itu menjadi emas. Dalam demikian ia memiliki emas bergoni-goni banyaknya. Pada mulanya perbuatan tersebut tidak diketahui, tetapi kemudian orang-orang kampung melaporkan perbuatannya itu kepada saudaranya dengan mengatakan, bahwa perbuatan memakan cacing itu dipandang hina dalam pandangan masyarakat di tempat itu. Berdasarkan laporan tersebut maka Meura Seulu dipanggil oleh abangnya dan karena perbuatannya itu ia diusir dari tempat itu oleh abangnya. Lalu ia meninggalkan tempat itu bersama kerbaunya pindah ke sebuah negeri yang terdapat di hulu sungai Peusangan, yakni di Lubok Kareueng. Di sana ia berdiam sambil memelihara kerbau. Kerbau itu makin bertambah banyak sehingga membawa kesusahan bagi orang banyak, yakni mengganggu tanaman orang. Orang-orang disanamemperotesnya maka ia bersama kerbaunya pindah lagi ke daerah lain. Daerah itu arah ke Timur lagi yakni di negeri Buloh Tualang. Buloh Tualang itu adalah Kota Makmur sekarang yang disebut juga dengan Simpang Keuramat. Di tempat ini ada sebuah negeri yang disebut Banda. Banda ini masih ada sampai sekarang yang terletak antara Alue Ulim dengan Simpang Keuramat. D i Banda itu memerintah seorang raja yang bernama Meugab Iskandar. Meura Seulu meminta tempat pada Meugab Iskandar untuk dapat memelihara kerbaunya di sana. Tempat itu diberikannya. Pada suatu ketika Meurah Seulu mengadakan permainan adu ayam di sana. Kalau orang kampung yang kalah dalam permainan itu, Meurah Seulu mengambil apa-apa dari mereka. Tetapi kalau dia yang kalah, kepada orang-orang yang menang itu setiap ayamnya diberikan seekor kerbau. Hal ini menyebabkan orang-orang kampung di situ menjadi kaya dengan kerbau. Meskipun demikian kerbau Meura Seulu bukannya berkurang, tetapi malah bertambah banyak, sehingga ia bermaksud pindah ke tempat yang lebih luas lagi supaya kerbau-kerbau itu dapat memperoleh makanan yang cukup. Dalam pada itu ia pun pindah ke sebuah negeri yang 116



disebut Rimba Jruen. Rimba Jruen ini memang cukup luas dan diperintah oleh seorang raja bernama Meugat Amlaka. Meura Seulu meminta tanah untuk tempat pemeliharaan kerbau kepada Meugat tersebut, tetapi permintaannya itu ditolak. Meura Seulu merasa tidak senang terhadap penolakan itu, maka Meugat Amlaka diperanginya. Meugat Amlaka kalah dan melarikan diri ke negeri Benua. Negeri Benua itulah yang disebut Tamiang sekarang. Meugat Amlaka melarikan diri ke Utara negeri itu. Meura Seulu kemudian menjadi raja di tempat itu, yakni di negeri Rimba Jruen. Negeri Rimba Jruen kemudian menjadi subur dan makmur dalam pemerintahan Meura Seulu. Lama kelamaan negeri itu semakin maju dan rakyat bertambah banyak sehingga Meuru Seulu membuat sebuah negeri lain yang kemudian dikenal dengan nama kerajaan Pase. Jadi Meura Seulu itulah kelak yang bernama Malikusaleh ketika negeri itu disinggahi oleh utusan dari negeri Arab. Adapun negeri tempat gajah itu mati, pada suatu ketika dalam perjalanan masa di tempat itu ditemui rakyat sebuah rahang gajah yang paling besar. Tempat penemuan itu disebut dengan nama Jungka Gajah. Negeri Jungka Gajah itu adalah ibu kota Kecamatan Meurah Mulia sekarang. Tempat gajah itu mati dahulu terdapat kira-kira 50 meter dari kantor Kecamatan tersebut. Demikianlah asal mula nama negeri Jungka Gajah.



117



.



13. PAYA ULAR Dahulu pada suatu masa dinegeri Pase, kerajaan diperintah oleh raja Bakoi. Menurut cerita, dikatakan bahwa raja Bakoi itu asal usulnya bukan orang di sana. Dia berdiam di sana sebagai orang bercocok tanaman. Dan dikatakannya kepada orang-orang kampung disana: "Datanglah ke tempat saya wahai handai tolan, aku adalah saudaramu. "Maka orang-orang pun lalu senang bertandang ke dangaunya, ke koinyal). Menurut cerita itu maka orang-orang yang pergi, bila ditanyakan orang, kemana kamu pergi? Lalu jawabnya : "Pergi ke saudara kita. Setibanya di sana mereka disuguhi apa saja. Akhirnya dia diangkat menjadi raja di tempat itu. Ketika ia telah diangkat menjadi raja, dia mempunyai anak. Menurut cerita ada dua orang anak gadisnya. Anak gadisnya yag satu bernama Tun Tukia Dara dan yang seorang lagi bernama Makdum Peria. Anaknya yang lelaki ada beberapa orang. Salah seorang diantaranya bernama Teungku Brahim Papa. Teungku Brahim Papa itu cerdas dan alim. Pada suatu waktu, ketika isterinya sudah hampir meninggal dunia, ia mewasiatkan kepada raja Bakoi, "Kalau saya telah meninggal, hendaklah tuanku kawin dengan perempuan yang dapat memakai cincin saya i n i . " Tidak lama kemudian isterinya pun meninggal dunia. Dan ketika ia telah meninggal maka dicarinyalah orang-orang perempuan di daerah-daerah i kekuasaannya yang jari tangannya sesuai dengan lobang cincin peninggalan isterinya itu. Tetapi tidak seorang pun yang bersesuaian. Yang dapat memakai cincin itu hanyalah Makdum Peria, anaknya sendiri. Maka pada waktu itu menurut cerita, dia berhasyrat hendak mengawini Makdum Peria. Tetapi pada masa itu, karena di negeri nya berlaku syari'at Islam, maka hal seperti itu adalah menyimpang dari ajaran Islam, kawin dengan anak sendiri sama sekali tidak dibenarkan. Dalam keadaan seperti itu, maka pada suatu 1) dangau.



119



hari dikumpulkanlah ulama-ulama di mesjid. Para ulama itu berkumpul. Ditanyai mereka setelah selesai sembahyang Jum'at: "Saya menanyai teungku-teungku, kita misalnya menanam sebatang pisang, siapakahyang lebih dahulu yang mesti memakan buahnya ?" Kata teungku itu semua ; "Yang baik tuanku, ialah kita kenduril dahulu supaya ada berkahnya. Setelah kita kenduri, barulah kita makan." Pada saat itu oleh raja Bakoi dikatakanlah segera maksudnya. "Pada pendapat saya kitalah yang harus makan lebih dahulu. Setelah itu kalau lebih dari yang kita makan, barulah kita kenduri. Yang dimaksudkan dalam ucapan itu adalah ia bertujuan supaya dapat mengawini anaknya sendiri. Setelah raja memberi penjelasan itu maka ualama-ulama tadi semuanya membantah. Sehingga menurut cerita itu, ulama-ulama yang dikatakan atau disebutkan empat puluh empat orang dibunuh oleh raja Bakoi. Semuanya dibunuh mati. Masih ada sampai sekarang kuburan-kuburan mereka di daerah Samudera. Yang paling kuat mempertahankan bahwa ia tidak boleh kawin dengan Makdum Peria tadi, ialah Teungku Brahim Papa. Teungku Brahim Papa itu berilmu, maka ia berpikir-pikir, dicari akal dan tipu daya oleh raja Bakoi, bagaimana caranya agar Teungku Brahim Papa itu harus mati. Pada suatu hari dia berkata kepada anaknya itu. Dia membuat dirinya seakan-akan sakit. Dipanggil anaknya Brahim Papa. Setiba anaknya dikatakan: "Wahai anak, aku sangat ingin hendak memakan daging belut. Pergilah naik ke sana ke lubuk Tui! D i sana di lubuk itu ada ikan belut yang paling besar. Bawa pulanglah dagingnya nak barang sepotong kepadaku. Kalau aku dapat makan daging belut itu, barangkali akan sembuh dari sakit ini. Setelah itu berangkatlah Teungku Brahim Papa ke tempat tersebut. Menurut cerita itu, Lubuk Tui itu adalah sebuah lubuk yang paling dalam, airnya berputar-putar dan sangat ditakuti orang. Di lubuk itu hidup seekor naga. Apabila ada binatang-binatang berjalan pada pinggiran bukit yang menghadap ke lubuk itu, maka kepala naga itu muncul di permukaan air, lalu ia menghirup. Bila dihirup maka binatang-binatang itu terangkat melayang ke dalam mulut naga besar itu. Demikianlah keadaan lubuk Tui itu, Teungku Brahim Papa tidak mengetahui hal itu sebelumnya. Dia mematuhi orang tuanya 120



tadi. Kemudian diambilnya sebilah pedang, ia berjalan terus hingga sampai ke sana. Dia berhenti di kaki bukit di lubuk Tui itu, tak lama kemudian kepala belut itu pun muncul di permukaan air, lalu belut besar menghirupkan dia dengan nafasnya yang sangat kencang itu. Ketika dihirup, kakinya tetap kukuh berinjak di tanah. Sesungguhnya dia itu ada kekuatan batinnya sendiri. Setelah belut itu memunculkan kepalanya lebih tinggi lagi dari permukaan air, "prei", ia menetakkan pedangnya ke leher belut itu. Setelah menetak sekali, ditetaknya lagi sehingga badan belut itu terputus-putus. Dicungkilnya sepotong dengan ujung pedangnya dipikulnya ke rumah. Badan naga itu kira-kira seiumbung padi besarnya. Badan naga itu diambilnya sepotong dibawa pulang dan diletakkan di halaman rumah. Ia menghadap raja Bakoi: "Ini teungku ayah sudah saya bawa pulang ikan belut itu!" "Wahai anakku yang bahagia, sudah sembuh aku. Buanglah ikan wahai anakku: Alangkah besarnya. Tak sanggup aku makan, wahai anakku yang bertuah!" Setelah itu ikan belut itu diambil dengan menancapkan ujung pedang dan dipikul serta dilemparkan ke arah Selatan kampung itu oleh Teungku Brahim Papa. Daerah pembuangan belut itu kira-kira sebelah Timur Sama Kurok sekarang. Pada tempat pembuangan ikan itu akhirnya terjadi sebuah paya di sana dan dinamakan Paya Uleue2). Paya itu sampai sekarang masih ada. Paya ular itu adalah berasal dari tubuh ikan belut sepotong tadi yang dilemparkan ke situ. Dan menurut cerita orang lain dikatakan, bahwa setelah naga itu mati di lubuk Tui, disana terjadi sebuah lobang. Lobang itu menembus jalannya kira-kira dekat daerah Bayu memanjang sampai ke daerah Blang Jreuen. Kemudian daerah itu disebut Leuhong. Jadi lobang yang terdapat dikedua daerah ini sebenarnya berhubungan sampai ke lubuk Tui dan sampai pula ke daerah Leuhong. D i mana ada sebuah daerah disebut negeri Lhong. Keinginan raja Bakoi hendak membunuh Brahim Papa dengan cara seperti itu telah tak berhasil, yakni pembunuhan dengan belah tipu supaya tidak kentara. Kemudian pada suatu hari, Makdum Peria meminta ayahnya izin 2) Paya ular.



121



bertamasya. Tamasyanya itu ke bukit Panggoi. Bukit Panggoi itu adalah sebuah bukit yang terletak disebelah Barat Cunda, termasuk dalam daerah kecamatan Muara Dua sekarang. Bila kita mendaki ke puncak bukit itu tampaklah kota Lhokseumawe. bukan main bagus pemandangan dan tampak lautan. Di bukit Panggoi itu banyak tumbuh pohon jambu jamblang. Dan di sana ada pula mata air. A i r yang diambil untuk kebutuhan kereta api sekarang di Los Kala. Mata air itu dapat dijadikan untuk tempat pemandian di sana. Kira-kira kolam renang dalam istilah sekarang. Jadi ketika Makdum Peria tadi meminta kepada ayahnya, raja Bakoi, hendak bermain-main ke sana. Teungku Brahim turut serta dan memimpinnya. Raja Bakoi berpikir, ini ada kesempatan. D i perintahkanlah kepada orang di dalam rumahnya itu, "Makdum Peria akan pergi bermain-main ke bukit Panggoi. Sekarang kamu menyiapkan makanan. Dalam rantang untuk Brahim Papa bubuhilah racun. Bila ia makan nanti ia akan mati. Alkisah, pada waktu yang telah ditentukan, sudah disiapkan persiapan-persiapan oleh dayang-dayang dalam istana raja Bakoi tadi. Makanan telah dibuat beraneka ragam yang wajar untuk tamasya. Maka dalam makanan untuk Brahim Papa sudah dibubuhi racun. Setelah itu mereka berangkat. Mereka berangkat dari Daerah Gedong melalui Bayu, Punteuet, Kandang hingga tiba di bukit Panggoi. Ketika tiba di sana mereka lalu mandi-mandi. Setelah itu mereka berbaring di terik hari untuk menjemur rambut, mereka bermain congkak. Untuk anak congkaknya ialah biji buah cempaka. Anak kupula3) Jawa. Sesudah bermain congkak itu, kebetulan pada waktu itu Makdum Peria telah mengawasi, sudah mengetahui bahwa nasi untuk Brahim Papa itu beracun. Jadi dia hendak mencegah supaya jangan dimakan oleh Teungku Brahim Papa. Tetapi entah bagaimana kesilapannya, Brahim Papa mengambil nasi itu dan memakannya. Berlarilah Makdum Peria merampas nasi itu, lalu diambilnya sedikit dan dimakannya, sehingga kedua orang itu termakan nasi yang beracun tadi. Tidak lama kemudian kedua orang itu merasa tubuhnya tidak schal lagi. rasa pusing clan berkunang-kunang pemandangannya. Pada saat itu Brahim Papa mencabut sebatang iboh4). Di bukit Panggoi itu banyak tumbuh 3) sejenis buah-buahan sebesar duku berwarna merah tua. 4) lontar 122



batang pohon ibus. Pohon ibus itu daunnya dapat dianyam menjadi tudung. Dicabutnya pohon itu dilemparkannya. Dilemparkan kira-kira menuju arah Tenggara. Pada saat itu ia berkata : " D i mana pohon ini jatuh di situlah kuburanku." Pada waktu itu Makdum Peria susah. Berangkatlah ia mengikuti tempat jatuhnya pohon iboh tadi. Ke manakah jatuh pohon iboh itu ? Lalu mereka pergi, pergi terus, tibalah di sebuah tempat yang sekarang disebut menasah Kupula. D i tempat itu dibuangnya anak congkak tadi. D i situlah tumbuhnya biji cempaka itu, daerah yang disebut Sawah Kupula sekarang. Pohon cempaka itu adalah bekas anak congkaknya dahulu yang kemudian tumbuh jadi pohon cempaka. Anak congkak Makdum Peria. Setelah itu mereka berangkat lagi melalui negeri Kandang, sampai ke sebuah bukit. Bukit itu sekarang letaknya di perbatasan antara Kecamatan Syamtalira B dengan Kecamatan Muara Dua. Setiba mereka di puncak bukit itu, hari sudah malam. Bulan purnama raya dan mereka beristirahat di sana. Pada waktu mereka beristirahat di situ Makdum Peria meminta kepada abangnya Brahim Papa, agar dapat melihat bulan yang indah itu sebanyak tujuh buah. "Berilah wahai Teungku agar aku dapat melihat bulan tujuh buah banyaknya. Alangkah indahnya bulan, hendaklah aku dapat melihat tujuh buah. Teungku Brahim Papa mengambil tongkatnya dan menancapkan ke dalam tanah hingga terjadilah tujuh buah sumur. Sumur itu berair. Ditunjukkanlah kepada Makdum Peria, " K e mari wahai adik, lihatlah i n i ! " Pada sumur ini sebuah bulan dan pada sumur itu sebuah bulan, hingga sudah ada tujuh buah bulan. Seperti yang dipintanya telah ada. Sekarang, sumur tujuh itu masih ada dan terletak di pedalaman daerah Alue Awe, kira-kira satu K m jauhnya dari rel kereta api. Sumur itu kalau kita lihat sekarang memang umurnya sudah sangat tua. Sudah ada batang kayu di dalamnya. Memang ada sumur itu, tetapi tidak berair lagi. Sumur itu sangat dalam dan dinamakan " M o n Tujoh" (sumur tujuh). D i sumur Tujuh itu sejak dahulu ada hutan di sekitarnya. Agaknya tidak ada yang orang berani menebasinya. Daerah lingkungan Sumur Tujuh itu pada zaman dahulu tidak boleh berkata-kata yang tak senonoh. Karena Sumur Tujoh itu menurut anggapan orang, -.da tempat keramatnya. Pernah suatu kali seseorang memotong kayu di sana dan membelah kayunya di pinggir Sumur Tujuh. Dia bernyanyi-nyanyi di situ. Dikatakan 123



oleh orang yang tidak diketahui tempat datangnya suaranya, "Wahai nak, tempat ini bukan tempat bernyanyi, jangan bernyanyi di sini. Orang itu kemudian jatuh sakit. Jadi di sana tidak boleh bersenda gurau. Pernah pula terjadi di Sumur Tujoh itu orang tersesat ketika mencari kerbaunya di sana. Tidak tahu lagi ia jalan untuk keluar. Ia menemui sebuah tempat di situ dan pada kebunnya. Dalam kebun itu ada sebuah rumah. Dalam lingkungan rumah ada bermacam-macam tanaman: ada pohon limau, ada pohon jeruk bali, ada rambutan dan bermacam-macam tanaman lain dan ada pula sebuah balai. Orang yang tersebut itu beristirahat di sana. diberinya nasi oleh yang empunya rumah itu. Pada suatu waktu yang empunya rumah menjemur padi. Ketika padi itu dalam jemuran datanglah ayam memakannya. Lalu orang itu berkata : "Aduh, padi sudah habis dimakan ayam!" Tak lama kemudian datang seorang perempuan tua dan berkata : "Apa yang habis, masih ada padinya. Anda mengucapkan ucapan yang tidak benar. Jangan tinggal di sini lagi sebab anda tidak berkata benar. Anda katakan padi sudah habis padi dimakan ayam, pada hal padi masih ada. Sebaiknya anda pulang. Pulang terus dan ke sana jalannya. D i tunjuknya jalan. Baru saja beberapa langkah ia berjalan ia menoleh, sudah tidak ada lagi rumah itu. Demikianlah keadaan di sekitar Sumur Tujuh itu. Pada zaman lampau orang menganggap Sumur Tujuh itu tempat yang keramat. D i sana tidak boleh berkata sembarangan dan tersesat dan orang pernah menemui kebun seperti tersebut di atas. Sekarang kita kembali lagi kepada cerita Teungku Brahim Papa tadi. Dia berjalan terus menuju arah Tenggara, kira-kira jatuh ke dalam daerah Kecamatan Syamtalira B sekarang. Mereka berjalan terus hingga mereka sampai pada sebuah tempat. Mereka beristirahat di tempat itu. Pada saat istirahat itu, Teungku Brahim Papa sudah dalam keadaan sakit payah, tak sanggup berjalan lagi. Sebelumnya beliau sudah mewasiatkan : "Andai kata saya mati dan keranda mayatku hendaklah dibawa supaya sampai ke pohon iboh itu, dalam pengusungan jangan beristirahat." Begitulah pada sebuah tempat dalam daerah Kecamatan Syamtalira sekarang, jalan menuju ke daerah Mbang, mereka beristirahat. Beristirahat karena keadaannya semakin gawat. Sesudah itu beliau pun meninggal. Ketika beliau meninggal, sesuai adat istiadat Aceh, orang di kampung itu harus membuat penyelesaiannya. Aturan zaman 124



dahulu, bila seseorang meninggal meskipun orang itu sebagai tamu, orang itu harus disembahyangi, dikafani dan diisi dalam keranda oleh orang yang berdiam di kampung itu. Kata orang di kampung itu : "Kalau begitu jangan dibawa lagi mayat ini. Biarlah kita laksanakan fardu kifayah di sini." Oleh orang di kampung itu mayat itu disembahyangkan, dibungkus dengan kain kafan dan dibuat kerandanya, segalanya. Sesudah itu mayat itu diusung lagi ke tempat tujuan. Mereka bertujuan supaya jatuh ke tempat pohon ibus tadi. Dibawa-bawa, dibawa terus menuju arah jatuhnya pohon iboh tadi. Tiba di suatu bukit lalu mereka beristirahat di puncak bukit itu. Bukit itu memang agak tinggi.Sesudah beristirahat di sana mereka sudah segar kembali dan ketika keranda itu hendak diusung lagi, terasa keranda itu sudah ringan. Ketika dibuka ternyata mayat tidak ada lagi di dalamnya. Kemudian mereka berpikir bahwa kalau mayat tak ada lagi untuk apa keranda ini diusung terus. Keranda itu telah kosong. Memang pohon iboh masih sangat jauh tempat jatuhnya, kira-kira setengah hari lagi berjalan kaki. Mereka berpikir lagi untuk apa keranda itu, sedangkan mayat tidak ada lagi. Kemudian digalinya kuburan di situ. Ia dikuburkan di atas puncak bukit. Hanya keranda saja dikuburkan. Sesudah dikuburkan, kembali cerita ini kepada Makdum Peria. Makdum Peria dalam bertamasya tadi ikut makan nasi yang beracun itu, ia juga meninggal di sana. Ia dikuburkan pada bagian bawah bukit itu atau di kaki bukit itu. Menurut cerita, Tukin Dara di situ juga kuburannya. Kuburan itu pada bagian bawah dari kuburan Teungku di Manyang. Demikianlah semua keluarga raja yang ikut bertamasya akhirnya berkuburan di sana. D i sana kuburan itu disebut kuburan Teungku Cot di Manyang. Tidak disebut Teungku Brahim Papa oleh orang kampung di situ. Jadi Teungku Brahim Papa itu disebut Teungku di Manyang di sana. Di tempat itu sejak zaman pemerintahan Belanda hingga sekarang masih ada orang yang meiepaskan kaoi5), dimasak daging kambing atau daging lembu sesuai dengan nazarnya. Daging yang telah dimasak itu disediakan dalam satu belanga kecil, dinaikkan ke puncak bukit beserta makanan-makanan lainnya dima5) kaul atau nazar.



125



sukkan ke dalam talang. Sesampai ke atas b u k i t oleh bilal-bilal d i masa dulu menyebut beberapa panggilan dan lama kemudian datang seekor harimau. D i sana ada seekor harimau. Dan di hutan i t u banyak benar pacat. Saya (penutur) naik ke sana pada akhir masa pemerintahan Belanda untuk meiepaskan kaul. Setiba saya ke atas, kuburan itu tak ada manusia biasa yang ke sana, tetapi kuburan itu sangat bersih, y a k n i tidak terdapat daun-daunan di atasnya. Menurut cerita orang, kuburan itu dibersihkan oleh harimau dengan ekornya. D i sanalahlah kuburan Teungku B r a h i m Papa dan demikianlah keadannya. Mereka di sana juga kuburann y a semua. Sehingga tujuan raja B a k o i hendak kawin dengan anaknya sendiri, tidak terlaksana. Jadi dalam cerita i n i telah disebut lima buah tempat, y a i t u : lubuk T u i tempat hidup naga tadi. Dan naga itu di bunuh oleh Teungku Brahim Papa. Naga itu dibuang. Tempat pembuangannya i t u terjadi sebuah paya. Paya itu disebut Paya Ular. K e m u d i a n ketika orang itu pergi, pergi bertamasya ke b u k i t Panggoi. D i sana mereka termakan racun. Dan pada waktu mereka mengikuti atau menjejaki jatunya pohon Iboh yang dilempar oleh Teungku Brahim Papa. Mereka hendak membawa jenazahnya ke sana, di situ ada Sumur Tujuh. Sumur Tujuh ini adalah berasal dari permintaan M a k d u m Peria hendak melihat tujuh buah bulan. Dalam cerita i t u , Sumur Tujuh itu terjadi oleh tancapan tongkat Teungku B r a h i m Papa. Tetapi bila kita lihat sekarang sumur itu berdinding karang yang dipahat semuanya. Sumur itu ada dan sangat dalam. D a l a m n y a nampir tiga ratus depa, mungkin lebih dari i t u . Sebab ada orang yang melempari tali ke dalamnya sepanjang itu, tapi terasa bahwa ujung tali itu belum mencapai bagian yang terbawah dari sumur itu, y a k n i dasarnya. Demikianlah cerita Teungku Brahim Papa dalam hubungan bahwa beliau orang keramat dan di kuburannya sering orang meiepaskan kaul. D e m i k i a n l a h cerita i n i , hendaknya dapat k i t a mengambil ibaratnya.



126



14.



C E R I T A G U R U L E M A N *)



Pada masa sebelum datang Belanda, di Tanah Alas masyarakatnya masih penuh diikat rasa persatuan dan kedamaian dengan berpandangan, bahwa hidup ini adalah bersifat sementara dan hidup sebenarnya adalah kehidupan di akhirat kelak. Hal ini telah dibina oleh para ulama yang telah menanamkannya melalui pengajianpengaji^n di madrasah-madrasah. Kebanggaan orang tua pada saat itu apabila ia dapat menyerahkan anaknya mengaji, dan dapat berhasil tamat selanjutnya digelari Tengku. Di antara anak yang mengaji itu termasuklah seorang anak bernama Leman. Ia sangat cerdas di antara teman-temannya yang mengaji Kuran. Tiada berapa lama kemudian, ia pun khatamlah. Ia diangkat gurunya menjadi guru bantu. Memang nampak keunggulannya dalam segala bidang, baik pengajian ilmu agama, maupun bidang kemasyarakatan. D i samping itu ia juga menuntut ilmu ketangkasan bersilat, hikmah-hikmah yang diketahui oleh gurunya, semuanya diajarkan kepadanya. Karena kelebihannya ini, ia selalu ditunjuk sebagai orang kedua sesudah gurunya. Akhirnya ia pun digelari dengan "Tengku Guru Leman". Ia pun beranjak dewasa. Beberapa tahun kemudian, terdengarlah berita, bahwa Belanda akan memasuki Tanah Alas, yang pada saat itu Belanda masuk dari Bireuen Aceh Utara menuju Takengon dan bermaksud menembus Gayo Luas Blang Kejeren menuju Tanah Alas. Semua Tengku, pemuka masyarakat termasuk Guru Leman dari Kampung Telage Mekar ikut serta diundang. Terbentuklah suatu ikatan yang disebut "Muslimin." Muslimin ini bertujuan memimpin rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Guru Leman terpilih sebagai pemimpin pada saat itu. Semua kampung diserukan membuat pertahanan, semangat jihat berkobar dengan semboyan : "Hidup menang kalau mati syahid." ) berasal dari bahasa Alas (Aceh Tenggara)



127



Pemuda-pemuda terhimpunlah dalam kesatuan ini. Tibalah saatnya Belanda masuk melalui Kampung Deleng Megare — membelok ke kiri dan membuat markas di daerah perkampungan Gusung. Pertahanan Muslimin pada saat itu berpusat di Kampung Telage Mekar yaitu Kampung Guru Leman sendiri. Belanda mulai melancarkan propagandanya, sehingga ada beberapa orang di antara anggota masyarakat dapat dirangkulnya. Dengan mudah mereka mengetahui persiapan-persiapan Muslimin. Markas terpaksa dipindahkan ke tengah hutan, dan bahan makanan mengalami kesulitan. Di Kuterih, Likat. dan di Kute Lengat dibuatlah kubu pertahanan dan setiap sudut dijaga oleh pemuda dengan menggunakan klewang dan bambu runcing. Pada hari yang telahdiperhitungkan, pihak Belanda datang menyerang dengan senjata yang lebih sempurna. Terjadilah pertempuran hebat pada setiap benteng pertahanan. Banyak pula korban di pihak Muslimin dan orang kampung, demikian pulalah halnya serdadu Belanda. Dalam pada itu, banyak kampung yang dikuasai Belanda, termasuk Kutareh dan Kutacane Lama. D i sana mereka mendirikan markas pusat kegiatan Belanda dan menyusun pemerintahan. Pihak Muslimin yang tinggal beberapa kelompok lagi masih meneruskan perlawanan dengan bergerilya, menyingkir ke hutan dan menghimpun kekuatan kembali. Kadang-kadang dengan tibatiba dilakukan serangan, kemudian mundur lagi. Demikianlah siasat dilancarkan pihak Muslimin. Namun pihak Belanda terus mendapat bantuan tambahan. berpeleton-peleton tenaga mereka yang datang berganti. Pada masa itu pula, Guru Leman menetapkan untuk berumah tangga dengan menikahi gadis pilihannya sendiri yang bermukim di Kampung Terutung Sepere. D i sana beliau juga menghimpun tenaga dan bertemu pula dengan Katip Kerin dari daerah perkam pungan sebelah timur kampung Lawe Sumur. Semasa berbulan madu, Belanda melakukan intain ke rumah mertuanya di manasaat itu Guru Leman sedang berada di kamarnya bersama isteri. Selesai makan malam, terdengarlah oleh sang isteri suara sepatu mengelilingi rumah lalu diberitahukannya kepada suami : "Bang, di bawah ada terdengar suara sepatu, ada baiknya abang bersiapsiap, tentu tentara Belanda sedang mencari abang". Guru Leman berusaha menenangkan isterinya dan berkata : "Engkau tenang saja, kalau mereka nanti naik kemari dan menanyakan saya, 128



katakan saja saya baru turun dari rumah." Lalu ia membuka pintu dan turun dari rumah dan seorang pun tak melihatnya ketika ia keluar dari rumah, padahal rumah itu telah dikelilingi serdaduBelanda. Karena tidak ada suara apapun yang terjadi di bawah rumah, isterinya yakin, bahwa suaminya telah selamat terhindar dari kepungan Belanda. Pintu didobrak serdadu Belanda dan mereka masuk dengan senjatayang ditodongkan ke arah sang isteri. Mereka bertanya dengan suara yang kasar: " D i mana suamimu kausembunyikan, ayo cepat tunjukkan!" kata mereka. Ia menjawab dengan tenang dan berwibawa: "Suami saya baru keluar dari rumah, selesai kami makan tadi. Beliau berkemas untuk berangkat, kalau saudara tidak percaya periksalah dalam rumah ini."Tentara Belanda lalu menggeledah rumahnya. Semua orang yang ada di rumah bangun, mereka tidak tahu menahu bahwa Guru Leman baru ada dalam rumah. Mereka pergi meninggalkan Terutung Senere menuju ke utara setelah terlebih dahulu mencarinya ke Kampung Lawe Sumur, dan ternyata hampa. Guru Leman bergegas berangkat bertiga dengan sahabatnya yakni, Katip Kerin, dan Betal. Mereka bertiga berjalan menuju Kampung Tembak Lang Lang. Di sana mereka mencoba menghimpun pemuda-pemuda tetapi tercium oleh mata-mata Belanda. Laporan segera diterima Belanda dan mereka mengirim pasukan beberapa kompi untuk melumpuhkan kegiatan Guru Leman. Masyarakat kampung sudah diperingatkan untuk menghentikan bantuan logistik kepada Guru Leman dan kawan-kawannya dengan ancaman yang keras. Orang kampung merasa serba salah. Pada suatu hari Guru Leman bersama-sama sahabatnya sedang kehabisan perbekalan dan mencoba menghubungi orang kampungnya sendiri. Mereka menyarankan agar Guru Leman menyerah, karena tak mungkin lagi mereka melakukan perlawanan. Guru Leman bertambah geram mendengar saran yang bertentangan dengan pandangannya itu. Ia berbalik ke hutan bersama-sama temannya. Mereka menuju Tung Ipul di sebelah barat perkampungan Lawe Sagu. Di sana mereka beristirahat, karena merasa lelah, tambahan pula perut pun sudah lapar. Pada saat itu Katip Kerin dan Betal menanyakan: " D i manakah kita akan menemukan makanan tengku," katanya. Tengku Guru Leman menjawab beberapa saat lagi akan datang makanan terhidang sendiri, kita perlu siap siaga sambil menantikan makanan", kata tengku. Mereka 129



bersabarlah menantikan hidangan yang diharapkan itu. Tidak berapa lama diperintahkan tengku untuk membuat pertahanan. Guru Leman menghadap ke Timur, Katip Kerin ke arah Barat , Betal ke arah Selatan. Tiba-tiba muncullah di setiap jurusan serdadu Belanda yang sudah lengkap dengan alat tempurnya. Mereka memperhatikan ke arah tempat Guru Leman dan kawankawannya merondok. Terlihat oleh serdadu daun kayu bergoyang, tetapi manusianya tidak kelihatan. Pasukan tentara Belanda beratus jumlahnya, nampaknya dari gerakan mereka, bahwa telah tahu dengan pasti tempat Guru Leman bersama temannya bersembunyi. Katip Kerin berkata dalam hatinya : "Inilah rupanya makananmakanan kata Tengku tadi," pikimya dengan memperbaiki ancang-ancangnya. Ketiga-tiga mereka hanya bersenjatakan keiewang yang sudah terasah tajam. Setelah yakin gerakan daun kayu tempat persembunyian itu adalah musuh, maka dikomandokan untuk meiepaskan tembakau dengan serempak. Arah ini dihujani peluru dengan tak berhentihentinya, sehingga goyangan daun kayu tadi hilang. Barulah pasukan Belanda mencoba mendekati tempat itu. Melihat mereka sudah dapat dijangkau dengan pedang, maka diperintahkan Guru Leman temannya untuk melakukan serangan jarak dekat yang sebelumnya mereka meniarap rapat ke bumi. Loncatlah mereka menghadang lawan dengan pancungan maut lima enam, bahkan sampai sepuluh orang yang putus oleh keiewang mereka. Kagetlah serdadu Belanda tanpa terkendalikan lagi. Menari-narilah mereka bertiga di atas kepala lawan, sehingga ratalah daun-daunan yang ada di atas arena pertempuran di sambar pedang. Kucar-kacirlah tentara Belanda, ada yang minta ban tuan dan ada pula yang bersembunyi. Beratus-ratus tewas di tempat itu, bergelimpanganlah mayat, darah membanjir tak terhingga lagi. Setelah datang bantuan yang jumlahnya dua kali lipat dihadapi mereka dengan penuh bersemangat, Hampir sama kejadiannya dengan semula, datang lagi bantuan. Entah bagaimana kedua temannya tewas, karena kekuatan telah berkurang, maka Guru Leman menghabiskan tenaganya dan segala ketangkasan dipergunakannya. Tinggal beberapa regu lagi serdadu yang mengadakan perlawanan, Guru Leman terkena peluru di empa jari kanannya, pedangnya terjatuh beliaupun menjadi lemas. Pada saat itu dengan kebesaran Tuhan dan pertolongan gurunya tiba, diangkatlah jenazah G u m Leman ke atas pohon rambutan. 130



Perang pun berakhirlah. Jenazah Guru Leman ditemukan oleh tentara yang sedang bersembunyi di bawahnya, karena titik darahnya yang jatuh menimpanya. Setelah diyakini Belanda, bahwa jenazah itu jelas Guru Leman, maka dipanggillah familinya untuk membawa jenazah ini untuk dikuburkan. Upacara pemakaman dilaksanakanlah dengan segera, disemayamkan di daerah tempat pertempuran itu dan disebut Rutung Ipul. Hingga saat ini kuburannya dihormati dan diziarahi masyarakat Tanah Alas dan dianggap sebagai makam orang keramat. Banyak pula yang berhajat, membayar niatnya ke sana.



131



15 C E R I T A PENGLEMA S E K U N C A *) Pada zaman dahulu di negeri Tamiang ada suatu kerajaan yang diperintah oleh seorang raja dengan permaisurinya. Sesudah berapa lama memerintah raja belum memperoleh anak perempuan. Berniatlah raja dengan permaisuri, "Jika lahir anak perempuan akan diberikan kepada raja gajah!" Tiada berapa lama dengan takdir Tuhan permaisuri mengandunglah. Setelah sembilan bulan lahirlah anak perempuan. Raja lupa akan niatnya, yaitu jika ia mempunyai anak perempuan akan diberikan kepada raja gajah. Sesudah umurnya empat-puluh empat hari menurut adat di Tamiang anak-anak turun tanah, cukur rambut dan lain-lain. Semua pembesar negeri dan orang bangsawan telah datang berkumpul di istana. Maka dibuatlah upacara adat turun tanah anak raja. Dukun beranak telah datang dan diaturlah peralatan mencukur rambut. Pada saat berlangsung upacara adat itu, tiba-tiba datanglah rombongan gajah dari rimba, lalu diambillah raja gajah putri yang sedang dicukur rambut di halaman istana. Ributlah semuanya, artinya hendak ditolong tidak dapat diberikan pertolongan. Akhirnya putri yang baru berumur empat puluh hari, dilarikan gajah ke dalam rimba. Kira-kira tuan putri telah berumur lima belas tahun atau boleh dikatakan sudah menjadi anak dara, teringatlah raja kepada anaknya yang dilarikan rombongan raja gajah. Ia pun membuat pengumuman ke seluruh negeri, siapa yang berani atau dapat mengambil putrinya dari gajah dalam rimba akan dikawinkan dengan putrinya dan ia akan diangkat menjadi raja dalam negeri itu. Maka datanglah Panglima Sekunca mendaftarkan diri dan mohon diberi kepercayaan untuk mencari putri yang sudah dilarikan rombongan gajah. Sementara itu datang pula seorang anak muda yang gagah dan tampan mendaftarkan diri dengan tujuan yang sama dengan Panglima Sekunca. *) diambil dari bahasa Tamiang.



133



Panglima Sekunca memang dikenal orang sebagai orang kuat, orang yang mempunyai tenaga luar biasa. Sekunca padi mudah ditatang dengan sebelah tangannya. Pergilah Panglima Sekunca ke dalam rimba dan anak muda pun ikut. Ia berkata kepada anak muda: ''Apa guna engkau ikut. Jangankan engkau berkelahi dengan gajah, kukira berkelahi dengan orang saja engkau tak sanggup. Apa gunanya tenaga yang belum tentu dapat membawa padi lima puluh k i l o ! " Anak muda berkata : "Biarlah Pak Lim, coba-coba sajalah!" Pergilah Panglima Sekunca dan Anak muda ikut di belakang. Anak muda disuruh Panglima Sekunca ke muka, tetapi ia ikut di belakang. Apa guna engkau ikut, percuma engkau ikut, kata Panglima Sekunca, tetapi ia ikut juga di belakang. Setibanya di tengah tanah rimba, Panglima Sekunca melihat pohon yang besar-besar dalam rimba semuanya rata dengan tanah. Timbullah rasa takut dalam diri Panglima Sekunca. Lama ia berdiri di situ, akhirnya tibalah anak muda. Berkata Panglima Sekunca kepada anak muda: " Mengapa pohon-pohon sebesar-besar itu rebah!" Tempat gajah-gajah bersenda gurau, maka pohon-pohonnya rebah, kata anak muda. Anak muda itu dibawanya berjalan bersama-sama. Setelah beberapa lama berjalan sampailah mereka ke tempat gajah berkumpul. Anak muda berkata: "Coba Panglima dahulu masuk ke gelanggang kumpulan gajah, sebab tuan putri berada di tengahtengah di kelilingi gajah. Melihat keadaan gajah, maka Panglima Sekunca timbul rasa takut. Berkata Panglima Sekunca: "Kalau begitu, lebih baik engkau sajalah, aku ingin melihat engkau berkelahi dahulu. Memang anak muda ini mempunyai kelebihan yang menurut orang kini mempunyai kesaktian dan ia mempunyai sebilah pedang. Pergilah ia menemui rombongan gajah dan berkelahilah dengan gajah. Dalam perkelahian itu matilah gajah yang sebanyak itu. Berpuluh-puluh gajah mati dicancangnya dan tinggallah seekor gajah lagi yang paling besar menjaga Tuan Putri. Setelah itu pergilah anak muda menerkam raja gajah. Anak muda itu pun dilawanlah'oleh gajah. Entah sudah berapa lama berkelahi gajah itu tidak dapat dibunuh anak muda. Akhirnya patahlah pedang anak muda, tinggal hulu dengan putingnya. Anak muda 134



itu sudah ditangkap gajah dan dibelit dengan belalainya. Ketika hendak dihempaskan ke tanah, datanglah bisikan halus ke telinga anak muda, katanya: "Hai puting tikamkan pedang yang dipegang anak muda itu ke mata gajah!" Rupanya karena sakit dan pedihnya, meraunglah gajah sekuat-kuatnya. Panglima Sekunca yang sedang menonton di bawah pohon kayu besar terkejut dan tanpa disadarinya pohon kayu yang besar itu dicabutnya tetapi berkelahi dengan gajah, ia takut. Raja gajah dan gajah-gajah lainnya sudah mati semuanya. Tinggallah Putri itu duduk di tengah-tengah rimba. Putri itu diambilnya dan dibawa anak muda pulang. Di tengah jalan berjumpalah mereka dengan Panglima Sekunca. Apa kabar, kata Panglima Sekunca. Apa kabar, Panglima tidak pernah muncul, Kata anak muda. A k u tidak pergi ke mana-mana, kutunggu-tunggu engkau juga, tetapi waktu gajah meraung kuat sekali, aku terkejut, katanya. Kurengut pohon kayu sampai tercabut, entah ke mana aku lari, alih-alih aku berada di sini. Marilah kita pulang, kita bawa Putri ini, kata anak muda. Yang jelas saya yang membunuh gajah, saya yang mengambil putri dari raja gajah, kata anak muda kepada Panglima Sekunca. Berjalanlah mereka hendak pulang. Di tengah jalan Panglima Sekunca merasa irihati terhadap anak muda. Nanti tentu dia akan mengatakan di istana, bahwa dialah yang membunuh gajah, djalah yang mengambil Putri itu dari gajah. Ia tentu akan dikawinkan dengan putri itu, sedangkan aku tidak akan dapat memperolehnya. Maka timbullah kebencian Panglima Sekunca kepada anak muda itu. D i tengah rimba ada suatu telaga yang dalam, lalu disepaklah kaki anak muda dan terjatuhlah ia masuk ke dalam telaga. Keduanya pun melanjutkan perjalanan dan setibanya di pinggir kota dilihat orang, bahwa Panglima Sekunca telah pulang membawa putri raja. Maka orang-orang pun bersorak sorai dan bergembira. Berita kedatangan mereka sampai ke istana dan raja pun mempersiapkan upacara penyambutan dan semua pembesar telah datang berkumpul untuk menyambut kedatangan putri raja dengan Panglima Sekunca. Setelah tiba di istana di serahnyalah Panglima Sekunca Tuan Putri itu. Dialah yang mengambil putri itu dari gajah dan dialah yang membunuh gajah-gajah semuanya, sedangkan anak muda telah mati ketika berkelahi melawan gajah. 135



Tiada berapa lama, dibuatlah raja pengumuman ke seluruh pelosok negeri, kepada pembesar-pembesar bahwa raja hendak membuat upacara adat perkawinan putrinya dengan Panglima Sekunca. Pada saat hendak dilangsungkan pernikahan antara Panglima Sekunca dengan tuan Putri, berkata tuan Putri kepada ayahnya: "Bukan Panglima Sekunca yang membunuh gajah dan bukan dia yang mengambil saya dari raja gajah, tetapi ada anak muda yang entah bagaimana dalam perjalanan pulang disepak oleh Panglima Sekunca sehingga jatuh ke dalam jurang. Ia masih ada di dalam rimba. Saya tidak mau nikah dengan Panglima Sekunca. Saya harus menunggu kedatangan anak muda itu. Kita tunggu tujuh hari lagi, kata raja. Jika tujuh hari lagi tidak datang, berarti anak muda itu sudah tidak ada lagi dan kita boleh mengawinkan dia dengan Panglima Sekunca. Anak muda yang disepak Panglima ke dalam telaga berpikir bagaimana akal dapat naik ke atas, tali tak ada, akar tak ada, pohon kayu pun tak ada yang dekat. Sementara itu dapatlah batu keras di bawahnya. Lalu dipecahkannya batu itu dan dibuatnya lotingl) yang pada zaman dahulu nenek moyang kita belum mengenai korek api atau cantik2) istilah orang Tamiang dan mancis3) menurut orang kini Loting adalah batu diadu dengan batu dapat mengeluarkan api dan apabila dilekatkan rabuk pada batu, maka pecahan api itu dapat ? Dalam rimba tua itu, rupanya tidak hanya terdapat gajah saja, tetapi harimau, macan, dan badak. Mendengar suara keretang-keretuk, keretang-keretuk, datanglah rombongan badak. Lalu dijenguk ke dalam lobang itu dan dilihatnya api bercayacahaya. Anak muda berkata: "Hai badak, jika engkau menghendaki emas untuk dilekatkan pada sumbumu, supaya menjadi baik, lompatlah kemari untuk mengambilnya dalam lobang ini. Mendengar sumbu memakai emas baik juga pikirnya. Lompatlah badak ke dalam lobang itu, tetapi karena dalamnya, terhempaslah badak ke dalam jurang itu dan matilah ia. Demikianlah semua badak yang melompat ke dalam lobang itu, semuanya mati terhempas. Akhirnya anak muda itu naiklah ke atas melalui bangkai-bangkai badak itu dan terus pulang. Sebagaimana dijanjikan 1)



batu api yang ditengahnya diletakkan serbuk atau rabuk pohon enau lalu diadu dengan batu sejenis, sehingga menimbulkan api. 2) 3) korek api. 136



pada hari ke tujuh anak muda belum juga datang. Pada saat akan dilangsungkan pernikahan putri raja dengan Panglima Sekunca, tiba-tiba di tengah orang ramai muncullah anak muda yang dikatakan Tuan Puteri beberapa hari lampau. Maka gemparlah suasana di istana dan terhentilah upacara pernikahan, karena tuan putri akan dinikahkan kepada anak muda. Panglima Sekunca tetap mengatakan, bahwa dialah yang mendapatkan putri itu, sedangkan anak muda tetap mempertahankannya dengan pengakuan tuan putri sebagai buktinya. Akhirnya, karena kedua orang itu bertengkar, maka raja dan pembesar-pembesar mengambil keputusan lebih baik kedua orang itu mengadu tenaga. Siapa yang menang, dialah yang akan dikawinkan dengan tuan putri. Maka dibuatlah suatu cara pertandingan, yaitu pertandingan tenaga luar dan tenaga dalam. Panglima Sekunca tenaga luarnya telah dikenal orang, artinya sekunca4) padi mudah saja diangkat sebelah tangah. Keduanya bertanding dengan mempergunakan senjata pedang, berkelahi dari pagi sampai petang belum juga ada yang kalah. Mereka berkelahi tiga hari tiga malam dan akhirnya dasarnya Panglima Sekunca tidak ikhlas dan berbuat fitnah, maka menanglah anak muda dalam pertandingan silat dengan Panglima Sekunca dan Panglima Sekunca matilah. Maka diresmikanlah perkawinan anak muda itu dengan Tuan Putri. Berhubung dengan raja sudah tua dan meskipun masih ada putra-putranya yang lain, tetapi sesuai dengan niatnya dahulu, maka diserahkannya kerajaannya kepada menantunya. Tidak berapa lama mangkatlah raja dan permaisuri. Kemudian kerajaan pun diperintahkan anak muda dengan permaisurinya dengan penuh keadilan dan kebaikan. Semua pembesar negeri dan pegawai-pegawainya diatur dengan baik, sehingga rakyatnya merasa senang dan tentram dalam pengaturan pemerintahan anak muda itu. Maka kemakmuran pun timbul dan berkembang dengan baik.



4) sekunca sama dengan sepuluh naleh, sedangkan senaleh sama dengan enam belas bambu dan satu bambu sama dengan dua liter. 137



16. CERITA ANAK PIATU *) Setelah ibunya meninggal dunia, maka Amat Banta dan Banta Mude, kini menjadi anak piatu. Ibu tirinya sangat benei kepada mereka. Bilamana ayahnya tidak berada di rumah, kebencian ibunya menjadi bertambah-tambah. Sikap ibu tiri kelihatan baik, bilamana ayah mereka berada di rumah. Kedua anak itu amat gemar bermain layang-layang. Semenjak pagi hari hingga petang, tidak bosan-bosan mereka bermain di lapangan layanglayang. Pada suatu hari layang-layang mereka putus, lalu melayang dan akhirnya jatuh ke atas rumah ibu tiri mereka. Karena keadaan itu, ibu tirinya lalu mengadu kepada suaminya, bahwa kedua anak ini bermaksud berbuat serong kepadanya. Ia mengadu kepada suaminya katanya: "Anak tengku ini jahat, aku dipeluknya tadi." Mendengar pengaduannya itu si suami lalu menjadi amat marah dan merasa heran, apa sebab mereka berbuat seberani itu terhadap ibu tirinya. Isterinya lalu bersikap mengancam hendak menyuruh pergi kedua anak itu, katanya kepada suaminya: "Mereka yang pergi atau saya meninggalkan rumah i n i , " ancamannya. Mendengar pengaduan itu si ayah lalu bermenung mencari jalan sebaiknya. Hatinya terasa sama berat terhadap anak dan isterinya. Lalu ia mengadakan pembicaraan dengan anaknya. Katanya: " W i n , 0 Win, apakah kamu ada berbuat tidak senonoh terhadap ibumu?" Anaknya menjawab tidak ada, serta menambahkan, bahwa ibu tiri mereka sebenarnya merasa tidak senang terhadap mereka. Kedua anak itu lalu mengemukakan usul katanya: "Lebih baik kami pergi meninggalkan ayah dan i b u " Ayahnya menjawab hambar "Jika memang tulus hatimu demikian, ayah tak menaruh keberatan" Lalu si ayah berpesan kepada anaknya yang perempuan, agar ia dapat membuat persiapan perbekalan seperlunya, karena kedua abangnya akan berangkat. Mendengar *) diambil dari bahasa daerah Gayo (Aceh Tengah). 1) panggilan orang tua kepada anak laki-laki.



139



berita itu anaknya yang perempuan tadi lalu berkata sedih: "Jika kedua abang akan berangkat, ayah, bagaimana akan jadinya dengan diri saya" Ayahnya menjawab: "Tidak usah kaupikirkan hal itu. Jangan engkau merasa khawatir, susah sedikit tidak jadi apalah". Anaknya menyahut: "Kalau demikian kata ayah, baiklah". Setelah siap perbekalan pada saat kedua anak itu akan berangkat ayahnya mengucapkan kata perpisahan dan berkata: "Anakku, jika demikian pendirianmu pergilah engkau ke mana saja yang kau rasa menyenangkan". Kedua anak itu lalu berkelana tanpa tujuan dengan mengarungi hutan belukar. Demikian lama perjalanan mereka, sehingga perbekalan mereka yang sedikit hampir habis. Karena merasa amat lelah, lalu mereka berteduh di bawah sebuah pohon kayu yang amat besar. Adiknya berkata: " A k u merasa amat letih. A k u tidur dahulu bang". Abangnya menyiapkan dan ia tetap berjaga saja. Karena melihat adiknya tidur sangat lama, sehingga sulit membangunkannya maka abangnya sungguh merasa amat bingung. Ia lalu termenung sendiri. Tatkala ia bermenung demikian, melintas seekor burung. Terdengar burung itu berkata : "Co kucico, siapa yang dapat menangkap aku, kelak ia akan menjadi raja. Mendengar pesan burung itu, Banta Mude merasa heran apa sebab burung itu berkicau demikian. Sunyi sebentar, lalu kemudian seekor burung lain berkicau. Kicaunya terdengar oleh Banta Mude menyatakan pesan janji: "Co kucico siapa saja yang dapat menangkap saya, ia menjadi hamba sahaya lebih dahulu sebelum menjadi raja". Setelah mendengar suara burung-burung itu, ia mencoba membangunkan adiknya: " D i k , dik! bangunlah ayo kita berangkat sekarang. Adakah engkau dengan suara burung itu?" Meskipun dibangunkan demikian, namun tak dapat juga ia membangunkan adiknya. Memikirkan kicauan burung itu Banta Made merasakan sesuatu yang mungkin akan memberikan hari depan yang baik baginya. Tak berhenti burung itu berkicau. Banta Mude lalu berusaha menangkapnya. Ia mendapatkan ines2) kering lalu dengan sumpitan yang terbuat dari pada ines itu, ia meletep3) burung itu dan mendapat2) sejenis bambu beruas kecil yang dapat digunakan sebagai sumpitan 3) menyumpitnya.



140



kannya. Burung itu lalu dipanggangnya. Setelah itu, melintas pula burung yang seekor lagi dan berkicau yang mengatakan, bahwa siapa saja yang dapat menangkapnya ia akan menjadi raja, setelah terlebih dahulu menjadi hamba sahaya. Dengan bantuan alat latepnya, burung itupun dapat diperolehnya dan dipanggangnya. Tiada berapa lama, kemudian adiknya jaga dari tidurnya dan bertanya dari mana abangnya mendapat burung-burung itu. Abangnya menerangkan, bahwa adiknya telah tidur demikian lama sehingga ia tak sanggup lagi menghitung-hitung hari tidurnya telah berlalu itu. Burung-burung itu kusumpit dan telah selesai kupanggang. Ini ada sedikit nasi, makanlah sekarang" katanya kepada adiknya. Si burung panggang yang sedari tadi terletak di sebelah kanannya dimakannya sendiri, sedang yang terletak di sebelah kiri diberikannya kepada adiknya. Selagi makan burung panggang tadi, abangnya seolah-olah mendapat suatu kesimpulan, bahwa kelak apabila ia hidup berbahagia, pasti ia tidak akan melupakan adiknya. Setelah selesai makan, mereka bersiap akan berangkat, " D i mana hari senja disitulah kita bermalam nanti", Kata abangnya. "Baiklah bang", kata adiknya. Lalu keduanya berangkat. Menjelang senja bertemulah mereka dengan sebuah dangau dan disitulah mereka bermalam. Dalam pondok itu mereka dapat buah labu dan itulah yang mereka rebus untuk makanan selain bibit labu mereka temui juga bibit jagung. Setelah hari pagi, adiknya belum jaga bangun dari tidurnya. Tanpa diketahui, tiba-tiba muncul seekor gajah yang di tunggangi oleh seorang pesuruh. Orang itu lalu bertanya apakah orang yang ditanyainya bernama Amat Banta " Y a " sayalah Amat Banta. Pesuruh itu berkata lagi, bahwa ia disuruh oleh raja untuk menjemput Amat Banta. "Oh, maaf, tidak tuan, adik saya ini sedang sakit sekarang, "jawab Amat Banta". "Tidak, anda harus ikut", kata pesuruh tegas. "Jika demikian tuan katakan, saya tak dapat menolak lagi," jawab Amat Banta. Setelah itu Amat Banta mencoba membangunkan adiknya lagi. Setelah bangun, adiknya bertanya apa yang sedang terjadi. Amat Banta menjawab, bahwa pesuruh yang sedang berada dihadapannya adalah pesuruh raja untuk menjemputnya, "Saya tak tahu ke mana saya akan dibawanya, kata Amat Banta. Menjelang berangkat, ia berpesan kepada adiknya, bahwa sepanjang jalan 141



yang akan dilalui Amat Banta akan ditaburi bibit labu sebagai pertanda arah perjalanannya", Ikutilah jalan labu itu. Jalanannya adalah petunjuk arah perjalananku," katanya. Adiknya lalu mengucapkan selamat jalan kepada Amat Banta dan iapun pergilah. Sepanjang jalan Amat Banta bercucuran air mata, terus berjalan dengan pesuruh raja. Setelah menyeberangi sebuah sungai, tak lupa ia menabur bibit labu, semoga adiknya jangan tersesat mengikutinya. Beberapa bulan perjalanan, akhirnya pesuruh tiba di tempat kediaman raja. Setelah tiba di kediaman raja, tergeraklah hati raja untuk mempertemukan Amat Banta dengan puterinya, Dengan demikian ia akan dapat menggantikan raja. Sekarang Amat Banta telah diberi kekuasaan menggantikan raja. Sementara itu. adik yang ditinggalkan di belakang, berusaha mengikuti jalanan labu, sebagaimana dikatakan padanya adalah arah perjalanan abangnya. Selain dari pada itu persediaan makanannya berupa labu juga telah habis. Karena itu ia harus meneruskan perjalanan. Dalam melanjutkan perjalanan itu ia tiba pada sebuah sungai. Seolah-olah ia kehilangan pedoman, tatkala tiba disitu, disebabkan tidak adanya tanda bekas perjalanan abangnya. Dengan memanjat pohon yang tumbuh di pinggir sungai itu, terpandang jalanan labu di seberang sana. Ia menyeberangi sungai itu, lalu mengikuti jalanan labu penunjuk arah perjalanan abangnya. Tiada berapa lama ia bertemu dengan semak-semak perkebunan tebu. Ia bertemu dengan pemilik kebun, lalu mohon, agar dapat diberikan kepadanya sedikit air tebu. Ia ditanyai dari mana datangnya, lalu ia menceritakan asal usulnya. Juga diceritakannya tentang pesan-pesan yang didengarnya dari dua ekor burung yang disampaikan abangnya kepadanya. Setelah memberikan air tebu itu pemilik kebun itu mengajaknya agar ia tinggal bersamanya. Tawaran itu diterimanya dan bermalamlah ia disitu. Di samping itu ia juga membantu menebas batang tebu serta membantu menggilingnya. Setelah berapa lama, ia mohon diri untuk meneruskan perjalanan mengikuti jalanan labu. Ia akan berhenti pada tempat berakhirnya jalanan itu. Karena keadaannya sehat, maka ia diperkenankan berangkat pemilik kebun itu. Kemudian ia bertemu dengan penggembala kambing, seorang wanita. Karena merasa sangat lapar, ia memberanikan diri untuk minta sedikit nasi. Karena ia seorang wanita, ia merasa takut 142



memenuhi permintaannya. Akhirnya wanita itu merasa tidak tega, lalu ia memberikan sekadar makanan. Setelah itu ia mohon diri untuk meneruskan perjalanan mengikuti jalanan timur yang terdapat sepanjang bekas perjalanan abangnya. Pada akhir jalanan timur itu, ia lalu bertemu dengan sebuah menasah4) pada sebuah kampung. Tidak tahu apa seharusnya yang akan dilakukan selanjutnya, ia lalu berdiam diri di menasah itu. Tak henti-hentinya ia membaca ayat-ayat al Kuran selama di menasah itu. Ketika ia berdiam di menasah itu, raja datang bersembahyang Raja merasa amat senang mendengar pengajiannya dan memujinya dengan kata: "Sungguh pandai engkau mengaji". Ia menjawab dengan merendahkan diri: "Tidak pak, saya hanya mencoba membacanya sedikit-sedikit," karena tidak tahu apalagi yang hendak saya tahukan. Ia lalu mohon menjadi pembantu pada seorang peternak kambing. Sungguh banyak kambing orang itu. Pada suatu hari raja bertanya tentang tempat tinggal anak itu. "Saya bermalam di menasah ini bapak. Sehari-harinya saya bertugas memelihara kambing di sini". Terus terang raja menyatakan rasa ingin tahunya. Ia menjawab kepada raja, katanya: "Sebenarnya bapak, saya merasa malu menceritakan asal usul saya, tetapi baiklah saya kemukakan kepada bapak. Ibu saya adalah ibu tiri dan kesenangannya adalah bermain layang-layang. Pada suatu hari layang-layang jatuh ke atas rumahnya. Ibu tiri lalu mengadu kepada ayah,- bahwa saya telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadapnya. Ia lalu mengancam ayah saya, agar saya dan abang saya pergi saja dari rumah itu. Jika ayah tak dapat berbuat demikian, maka ibu tiri akan meninggalkan ayah kami. Kami merasa lebih baik kamilah yang meninggalkan rumah itu. Lalu saya bersama abang berangkat meninggalkan rumah itu." Raja lalu menangis terseduh-sedu setelah mendengar cerita anak itu. Melihat keadaan itu Banta Mude merasa heran, lalu berkata: "Jangan menangis bapak. Jika bapak menangis, saya akan mengakhiri cerita saya sampai di sini saja." Raja menjawab: "Tidak nak, saya hanya merasa sedih mendengar ceritamu. Sekarang coba teruskan lagi ceritamu", kata raja. Anak itu meneruskan ceritanya, bahwa selama berpisah dengan abangnya berbagai 4) surau.



143



macam pekerjaan telah dilakukannya. Tidak dapat menahan rasa rindunya, lalu raja menjawab ; "Kalau begitu akulah abangmu itu". Keduanya lalu berpelukan sambil menangis Raja membawa adiknya tinggal bersama di rumahnya.



144



17. C E R I T A K E R B A U B E S A R *) Pada sebuah negeri, adalah seorang raja yang amat adil. Ia mempunyai hulubalang dan segala pesuruhnya. Raja ini sangatlah gemar berburu. Pada suatu hari, diajaknyalah beberapa orang pesuruhnya itu untuk berburu. Disuruhnyalah untuk mempersiapkan makanan dan minuman untuk bekal beberapa hari diperjalanan. Setelah itu, siaplah perlengkapan semuanya, pergilah .orang itu menuju sebuah hutan. Berjalanlah mereka secara perlahanlahan saja. Mereka masuk hutan yang satu, ke luar pula, dan masuk lagi dalam hutan yang lain, namun dengan takdir Tuhan belum menemukan binatang seekor pun juga. Setelah lama berjalan itu, telah terasa letih, berkatalah raja itu, "Marilah kita berhenti sebentar meiepaskan lelah dan bersamaan dengan itu marilah kita makan makanan yang kita bawa i n i . " Berhentilah mereka itu. Selesai makan dan minum, berkata raja pada tiga orang pesuruhnya, "pergilah kalian, pergilah melihat-lihat ke sana, barangkali kita akan bertemu air." "Baiklah, kalau demikian kami akan pergi", kata pesuruhpesuruh itu. Berjalanlah mereka bertiga, berjalan dan berjalan terus, hingga sampai pada sebuah gua. Dari jauh telah terdengar oleh mereka sebuah suara yang beriba-iba. Tentang suara itu, dari jauh telah terlihat oleh mereka seekor kerbau. Kerbau itu berdiri di depan pintu gua memanggil-manggil anaknya minta dibukakan pintu. Katanya "Cari kerbau yang memanggil-manggil anaknya itu". Oleh pesuruh tadi, didengarkannyalah caranya memanggil. Kerbau itu berdendang, "Putri Upang putri Duano, Putri Parino buah hati, buka pintu, bukalah sayang, bunda lah pulang membawa hidangan". *) diambil dari bahasa daerah Jamu (Aceh Selatan) 145



Terdengar suara dari dalam: "Kalau benar bunda kami yang pulang, ketukkanlah tanduk di pintu." Terdengarlah tanduknya diketukkannya," gedum, gedum, gedum." "Ini memang benar, ibu kami yang pulang." Dibukakannyalah pintu, dan masuklah ibunya, ke dalam. Kiranya, anaknya itu berebut-rebut makanan yang dibawa oleh ibu mereka tadi. Ketika kerbau tadi masuk, diperhatikan oleh pesuruh raja dan diintipnya. "Aduh, cantik-cantik benar anaknya itu". Pesuruh itu sangat tercengang melihat anak-anak kerbau yang berupa putri-putri cantik itu. Sesudah itu ibunya pergi lagi. Sebelum pergi ia berpesan kepada anak-anaknya, "Kalau saya pergi, bila ada orang mengetok pintu, janganlah dibuka. Dengarkanlah dahulu baik-baik." Ketiga pesuruh tadi setelah melihat keadaan yang demikian, segera berlari-lari menghadap raja. Mereka berlari terengah-engah. "Oh raja, tadi kami sampai ke sana, kami melihat seekor kerbau. Besar benar kerbau itu. Rupanya ia mempunyai anak dalam sebuah gua, dalam gua itu ia mempunyan empat orang anak, cantik-cantik sekali". Raja berkata, "sudah, pergilah kamu sekalian mengambil anak-anak itu, bawalah mereka kemari. Terserah bagaimana cara kamu sekalian melakukannya." Kemudian, pergilah mereka. Setiba di sana, mereka mulai memikirkan bagaimana caranya mengambil anak-anak itu. Sejak dalam perjalanan tadi mereka terus memperbincangkan hal itu. Kata yang seorang, "kalau nanti mungkin, akan saya ambil seorang, akan saya panggil seorang". Menyahut pula yang lain," Saya pun demikian pula." Kata yang lain lagi, "tak usahlah terlalu banyak berbicara dahulu, asalkan dapat nanti, terserah bagaimana jadi." "Kalau sudah demikian, ayolah berjalan terus," berjalanlah mereka hingga sampailah ke tempat tersebut. Dari jauh telah terdengar oleh mereka suara. Kiranya kerbau itu sudah datang, akan mengetuk pintu. Oleh semua pesuruh itu, didengarkannyalah bagaimana cara kerbau itu mengatakannya. Terdengarlah katanya, "Puteri Upang putri Duano, putri Parino buah hati; buka pintu bukalah sayang, bunda sudah pulang 146



membawa makanan." "Kalau benar bunda saya yang pulang, hempaskanlah tanduk di pintu." suara dari dalam. Terdengarlah; "gedum, gedum, gedum." bunyinya. "Hai, begitu rupanya cara mengatakan i t u , " kata pesuruh itu. "Oh ya betul itu, sudah mengerti saya. Sudah pandai saya. Nanti akan saya uji; setelah ia pergi nanti." Jadi, masuklah anaknya itu tadi, dibawanyalah bawaan ibunya, lalu makanlah seperti biasa. Kiranya pulang sekali ini, ibunya itu membawa pula tambahan yaitu baju dan kain-kain. Tambah senanglah anaknya itu. Ada yang mencobakan baju, ada yang memakai kain, anaknya pun hanya empat orang. Kemudian, setelah itu selesai, ia pergi lagi. Diamanahkannya juga lagi, "nanti baik-baiklah hai anakku." katanya. "Baik mak," katanya. Rupanya, baru saja kerbau itu pergi, tidak tenang lagi para pesuruh itu, serasa lebih cepatlah lagi mereka akan meniru kata kerbau itu. Baru saja kerbau itu pergi, dikatakanlah oleh pesuruh itu tadi, "Putri Upang putri Duano, putri Parino buah hati; buka pintu bukalah sayang, bunda sudah pulang membawa makanan". " H a i , " kata anaknya yang tua; "Hai, ibu kita telah pulang lagi", kata anak yang nomor dua pula. " A i , " dikatakan pula oleh anak yang bungsu. "Bukan ibu kita i t u , " katanya. Sahut anak yang nomor dua, "betul itu ibu kita," D i sahut pula oleh anak yang nomor tiga, "betul benar itu ibu kita", katanya. Dijawab lagi oleh anak yang bungsu itu, anak yang keempat, "itu bukan ibu kita, namun kalau sudah demikian, sudahlah, bukalah", katanya. "Tapi pendapat saya, perasaaan saya bukan ibu itu". Baru akan saya buka, "kalau benar ibu saya yang pulang," katanya, "hempaskanlah tanduk di pintu". Oleh pesuruh itu diketoknyalah pintu itu. Terdengarlah "dum, dum, dum, dum", entah berapa kali, entah dengan apa diketoknya, sudahlah berbunyi. Dibukanyalah pintu itu. Begitu dibukanya terkejutlah mereka melihat, benar bukan ibunya. Pucatlah orang itu keempatnya. Berkatalah pesuruh itu, "janganlah takut-takut, kamu se147



kalian tidak akan kami apa-apakan. Kami tidak akan berbuat apaapa, kami ini adalah orang baik-baik. Jadi sekarang begini, ayolah kita pergi ke sana. D i situ ada raja yang telah menantikan." "Oh tidak, nanti bagaimana halnya bila ibu kami pulang". "Ayolah, mengapa «kamu sekalian di sini. Di mana lebih baik bersama raja di sana". Anak yang bertiga itu telah mau untuk pergi, hanya yang bungsu ini asyik menangis, karena ia tidak mau pergi. Namun demikian karena terus menerus diajak oleh kakak-kakaknya itu, mau jugalah ia pergi ditinggalkannyalah gua itu. Ditutupnya pintu gua itu, lalu pergilah mereka berjalan, hingga sampai pada raja itu. Alangkah senangnya hati raja itu, karena bawaan orang ini telah ada. Kemudian kata raja, sekarang kita tidak boleh lama-lama di sini. Marilah kita pergi, kita pulang ke istana. Bangunlah orang itu semuanya, mereka berjalan, akhirnya sampailah ke istana. Kata raja, "kamu sekalian sudah bersusah payah. Ambillah oleh kamu mana yang kamu sukai diantara yang bertiga ini, ambillah terus". Sangatlah senangnya semua pesuruh itu, karena mendapat bagian. "Tetapi, yang bungsu tinggalkan untuk saya," kata raja. Begitulah halnya, anak yang bungsu itu pun pergilah bersama raja. Yang lain itu, menjadilah isteri para pesuruh itu. Kita kembali ke cerita ibunya, kerbau besar itu. Setelah orang itu ke luar dari dalam gua itu, pulanglah ibunya. Ibunya melihat pintu gua masih tetap tertutup. Segera dibuatnya kembali suaranya memanggil-manggil anaknya, katanya, "Putri Upang putri Duano, putri Parino obat hati; bukanlah pintu bukalah sayang, bunda telah pulang membawa makanan." Tidak ada suara, setelah dinantikannya, tetap tidak ada balasan dari dalam. Dinantinya, juga tidak ada balasan. "Hai, ke manakah mereka barangkali", katanya. Dipanggilnya sekali lagi: "Putri Upang putri Duano, putri Parino obat hati; buka pintu bukalah sayang, bunda telah pulang membawa gubahan". Tidak juga ada sahutan. "Hai, ke manakah anak saya pergi gerangan?", katanya. "Pada hal sudah saya katakan, jangan mudah terpedaya. Kiranya anak saya ini, benar-benar dapat terpedaya", 148



katanya. Begitulah dikatakannya tidak juga ada sahutan, bahkan telah dua kali dipanggil juga tidak ada sahutan, ditumbuknyalah pintu itu dengan kuat, hingga terbuka, dan iapun masuklah ke dalam. Tak seorang pun nampak anaknya. Iba benar hatinya, menangislah sambil memanggil-manggil, "Oh nak, ke manakah kamu sekalian pergi nak, oh anakku, ke manakah kamu sekalian?" Dicarinya ke sana ke mari dalam gua itu, namun tidak bertemu. Lama-lama keluarlah ia dari gua itu, ia pergi, pergi mencari sekeliling gua tersebut. Kemudian berjalan terus hingga tiba di pinggir kota. Setiba di daerah itu ia pun berjalan terus, dan aknirnya sampailah pada sebuah perkampungan. Ia menemukan seorang yang sedang menjemur padi. Orang itu sedang duduk menjaga padi jemuran itu. Begitu terlihat oleh anaknya yang menjaga padi jemuran itu, "hai, saya rasa ini adalah ibu saya, namun bagaimanalah saya mengatakan ibu, malu saya, karena ia kerbau, manalah betul saya ini anak kerbau. Suami saya pun adalah pesuruh raja. Kalau demikian baiklah. Aduh, dari mana pula datangnya kerbau ini, kerbau besar ini. Betul-betul, enak saja dipijak-pijaknya padi i n i " . Oleh ibunya itu telah mengerti, "inilah anakku", katanya. Namun karena malu, anaknya itu, dikeluarkannyalah katakata itu tadi. Diambilnyalah kayu oleh anaknya itu, dipukulkannya pada kaki ibunya yang sebelah kanan, hingga patah. "Aduhai, sampai hatinya anak saya memukul saya," kata kerbau itu. Pergilah kerbau itu, melanjutkan perjalannya, berjalan dan berjalan terus, hingga sampai pula pada kelompok orang yang sedang menumbuk padi. Begitu sampai ke situ, ke dekat orang yang sedang menumbuk itu, dalam hatinya, "ini mungkin anak saya yang sedang menumbuk i t u . " Demikian pula hal anaknya, dalam hatinya, "ini pastilah ibu saya, namun bagaimanalah halnya untuk mengatakan ibu saya, akan malulah saya menjadi anak kerbau, sedangkan saya adalah manusia, manakah mungkin pula ibu saya kerbau. Selain itu akan malulah saya pada sesama kawan saya, "katanya", dan malu saya menyampaikannya pada suami saya", katanya, "ah, biarlah saya pukul saja." Dipukulnyalah kaki ibunya yang sebelah lagi, yaitu kaki belakang sebelah kiri. Dengan demi149



kian kedua kakinya telah patah. Berjalanlah pula ibunya lagi, sambil menghela kakinya, hingga sampailah ke sebuah rumah. D i rumah itu orang sedang masak nasi. Sudah terasa juga oleh ibunya ini, "ini tentulah anak saya yang sedang memasak i n i " . Mendengar suara kusuk kasak di bawah, di belakang rumah, terpikir oleh orang ini, "apalah itu ibu kadang, oh rupanya seekor kerbau besar sedang makan tebu," Diintipnyalah dari jendela. "Hai, kerbau, ibu saya itu rupanya", katanya, sudah tidak berani mengatakan ibunya. Diusirnyalah kerbau itu dan dipukulnya. " A p a ini, terlalu rakus," katanya. Masakan dimakannya pula daun tebu saya." Dipukulnyalah kaki ibunya yang sebelah lagi. Dengan demikian sudahlah tiga kakinya yang patah. Dengan kaki yang sebelah lagi, sambil beriba hati ibunya, berjalanlah menjulur-julur dengan kaki yang sebelah lagi itu. Akhirnya sampailah ia kebelakang rumah tuan putri yang telah menjadi isteri raja tadi. Dilihatnya bahwa isteri raja itu sedang memasak. Ibunya ini berbicara sama sendirinya, "kiranya inilah rumah anak saya yang bungsu," katanya, "apakah mungkin saya dapat bertemu dengan dia," katanya. Mengerang-eranglah kerbau itu kesakitan di belakang rumah putri itu. Pada saat itu tampaklah dia oleh tuan putri itu, "aduhai, ibu saya kiranya di sana i t u , " katanya. Segera ia turun ke bawah, dan terus pergi menjumpai ibunya itu. "Aduh, bu, mengapakah ibu jadi begini", katanya. "Dari manakah ibu datang tadi?", katanya. "Sudah letih sekali saya mencari kamu", kata ibunya itu, "namun seorang pun tidak bertemu yang seperti i n i , " katanya. "Aduh bu, mengapakah kaki ibu itu?", katanya. Diceritakanlah oleh ibunya itu tentang hal sejak ia ke luar dari gua, hingga bertemu dengan kakak-kakaknya, memukul kakinya, yang tua, anak yang tengah dan anak yang nomor tiga, dan akhirnya ia sampai pada anak yang bungsu i t u . " "Pada perasaan ibu, barangkali akan meninggallah ibu bersamamu," menangislah ibunya itu dengan kesedihan, "apalah yang akan dikatakan, malu awak mengatakannya". 'Setelah ibunya itu diberinya makan oleh anaknya, ditinggalkannyalah ibunya itu di bawah, dan ia pun pergilah ke rumah. dan sebentar kemudian rajapun pulang. Putri ini bersoleklah, se150



sudah dimasaknya nasi dan menantikan pulangnya raja. "Hai, apakah kamu sudah memasak,?" kata raja. "Sudah siap", sahut isterinya itu. "Ayolah kita makan." "Hai, mengapa pula matamu itu merah benar?" "Oh, tidak mengapa, terlalu banyak asap tadi, kayu api agak basah. Kemudian makanlah mereka bersama-sama. Esok harinya demikian pula. Raja tidak tahu bahwa ada kerbau itu dibelakang rumah. Oleh putri ini dikatakan juga matanya merah karena asap waktu memasak dengan kayu yang agak basah. Pada hari ketiga, agak kurang senang raja ini, dia kurang yakin tentang asap kayu itu, barangkali ada sesuatu selain itu. Pergilah ia, katanya mau bekerja, pada hal ia pergi bersembunyi ke atas sebatang kayu. Setelah siaplah tuan putri itu di rumah, pergilah ia pada ibunya itu, menangislah ia dengan ibunya itu. Oleh raja hal itu terlihat dari jauh, dan berkata dalam hatinya, "oh rupanya ada kerbau itu di sini, ini tidak lain adalah ibunya," katanya. Adapun ibunya itu beramanahlah pada anaknya, katanya, "sekarang menurut perasaan ibu telah sampailah ajal saya," katanya, "akan matilah saya ini. Nanti kalau saya sudah mati", katanya, "kau tanamkanlah saya di lapangan luas. di sebuah tanah yang lapang", katanya. "Selain itu pergilah kamu setiap hari ke situ, dan kamu cabutilah rumput-rumput yang tumbuh di situ," katanya. Setelah selesai ia beramanah itu, sampailah ajalnya. Sebentar kemudian raja itu turun dari pohon tadi dan datang ke tempat itu, dan dipegangnyalah tangan isterinya itu. "Kiranya ini adalah ibumu", katanya. "Benar, tapi saya malu mengatakannya padamu". Mengapa tidak kamu katakan terus terang sejak beberapa hari yang lalu?". "Saya malu, oh raja!" "Kamu seharusnya tidak perlu malu. Sekarang tidak boleh tidak, ibumu ini harus dibawa ke rumah". "Janganlah dibawa oh tuanku.., katanya, j^nganlah dibawa naik ke rumah", katanya. "Biarlah ditanamkan saja terus; amanahnya pun ditanamkan saja di lapangan^ang luas di sana". "Kalau memang demikian sudahlah, jadilah". Dipanggillah semua rakyatnya, disuruhnya membawa mayat itu untuk ditanam151



kan di padang sana. Sejak itu pergilah putri ini setiap hari kekuburan. Pada hari yang ketiga tumbuhlah sesuati diarah pusatnya. Memang ada diamanahkannya oleh ibunya itu, "kalau nanti sampai hari yang ketiga, akan tumbuh sebatang kayu dipusat saya i n i , " katanya. "Batang kayu itu ada berbuah tiga buah, buahnya itu haruslah kamu ambil, dan bungkuslah dalam kain yang putih, dan simpanlah dalam peti". Keesokan harinya, hari yang ketiga, tumbuhlah batang kayu itu, indah dan cantik sekali. Daunnya dari pada emas yang berkilat-kilat. Alangkah senangnya hati putri ini. Di cabang kayu itu ada pula sebuah ayunan. Pada buaian itu berbuailah ia setiap hari. Raja pun sangat senang hatinya melihat pohon itu. Duduklah ia berbuai-buai disitu setiap hari, bersama isterinya. Melihat keadaaan yang demikian tercenganglah semua penduduk kampung itu, "apakah gerangan yang nampak terlalu terang itu. Agaknya terang benar negeri kita ini; apalah gerangan yang menyebabkannya, ayolah bersama kita pergj menyaksikannya." Pergilah mereka semua menyaksikan ke tempat itu. Di antara mereka yang ramai itu, termasuk pula ketiga kakak tuan putri itu, ikut pula mereka datang ingin menyaksikannya. "Memang cantik dan indah sekali pohon ini. Kalau tak salah melihat ada pula seorang putri yang sedang berbuai di situ," kata kakak-kakaknya itu. Kemudian dikatakanlah oleh kakak-kakaknya itu, "aduhai tuan putri, dapatkah kami menumpang berayun pada buaian ini?". Segera tuan putri menjawab, "boleh, pergilah berayun", katanya. Duduklah mereka bertiga. Tapi apa yang terjadi, mereka tidak dapat berbuai, karena buaian itu lari, lari semakin tinggi. Akibatnya tidaklah dapat orang itu berayun. "Oh tuan putri, bagaimanakah hal begini, tidaklah dapat kami berayun, karena ayunan ini lari. Tolonglah tuan putri cobakan dahulu", kata mereka. "Begini, lihatlah dahulu bagaimana caranya saya berayun ini". Ia.pun duduklah di ayunan itu. Lalu katanya, "ayolah. di 152



sini duduk, akan saya pegangkan". Namun buaian itu tidak juga mau tetap, bahkan ia lari tambah tinggi. Berapa kali dicoba, tetap juga demikian, akhirnya tidaklah dapat orang itu berayun. Kemudian dikatakanlah oleh tuan putri ini, "ambil sajalah selendang ini, yaitu daun-daunnya ini, bawalah pulang ke rumah", katanva.



153



18.



C E R I T A A N A K Y A N G B E R A K A L *)



Dahulu kala adalah dua orang anak, yang seorang laki-laki dan adiknya perempuan. Mereka tinggal di sebuah kampung bersa ma ibu bapaknya. Sang ibu sangat sayang pada mereka, berbeda halnya dengan bapaknya. Bapak ini membenci mereka. Setiap hari mereka dimarahi, bahkan dipukuli. Bapaknya busuk hati, disangkanya akan sempitlah kehidupan mereka dengan adanya kedua anak ini. Pada suatu hari diajaklah oleh bapaknya kedua anak itu untuk mencari sesuatu kehutan. Selama ini anak-anaknya tidak pernah dibawanya. Ia selalu pergi bersama isterinya saja. Mendengar ajakan bapaknya, sangat besarlah hati kedua anak i n i ; mereka melompat-lompat kegirangan, maklumlah mereka belum pernah keluar rumah. Sepanjang perjalanan mereka asyik bercerita, menanyakan sesuatu. Bosan juga ibunya melayani pertanyaan mereka karena semua ingin diketahuinya. Nampak mereka tercengangcengang, melihat ke sana, melihat ke mari. Entah berapa kali berhenti dalam perjalanan itu, belum juga sampai. Hampir saja habis ubi rebus yang mereka bawa dimakan anak-anak ini. Maklumlah hari terlalu panas. Jalanan becek, mungkin ada hujan semalam. Cukuplah letihnya kedua anak tersebut.



Tengah hari, sampailah mereka ke hutan yang dituiu Disitu



Oleh bapaknya dibuatkanlah sebuah rakit Dipotonsnva ra



^a^h Z



' r^ f; T



dakatay



^ t



me



d ü a h sebuah



^



i



n



L



SS£



tahu «dak tahu ada mat jahat bapaknya ingin mem buang kedua mereka pada v a T , t u f ^ ^ a K t - r a k i t di sungaiTtu Kepada yang tua disuruhnya menjaga adiknya dengan pesan nanti a



d



a



M



e



r



e



k



a



*) diambil dari bahasa daerah Jamu (Aceh Selatan)



155



mereka akan dijemput ketika akan pulang sore harinya. Bapak ini pergilah bersama isterinya ke tempat yang lain mengambil kayu. Sedang isterinyapun senang sekali, sedikitpun ia tidak ragu meninggalkan anaknya di tepi sungai itu. Bapak mereka itu pergi sebentar arah ke hulu sungai, d i p o tongnya secabang kayu yang cukup besar, dan dihanyutkannya di sungai itu, dengan niat biar dilandanya rakit anak-anak tadi, supaya hanyut. Sedikitpun tidak sedih hatinya melakukan itu. Kiranya, benarlah, kayu itu melanda rakit anak-anak tersebut, hanyutlah mereka dibawa arus. Mereka memekik-mekik minta tolong, sayang, tak seorang pun yang ada di situ, mereka hanyut terus, menjerit-jeritlah mereka berdua. Setelah letih mengumpulkan kayu, haripun petanglah, mereka pun pulanglah suami isteri ke tempat kedua anak mereka mandi tadi, untuk pulang bersama-sama. Namun, begitu dilihat sang ibu kedua anaknya tidak ada, meraunglah ia, memekik-mekik. Tahulah ia bahwa anaknya telah hanyut, telah mati, bagaimanalah hal itu. Oleh suaminya dibujuknyalah isterinya ini, akhirnya, pulanglah mereka ke rumahnya. Ibu ini terus saja menangis, meratapi nasibnya. Ia juga mendoakan semoga selamatlah anak-anaknya itu. Berkat dinginnya perasaannya saat mengandung anaknya itu dahulu, dijumpakan Tuhan jualah ia dengan anaknya, demikian doanya. Kembali ke cerita anak-anak tadi. Ketika kedua anak yang hanyut itu akan sampai di sebuah penerjunan air, keduanya merasa ngeri, memekik-mekik, mereka yakin mereka akan mati. Takdir Tuhan, rakit mereka tersangkut pada sebuah lukah yang dipasang orang untuk menangkap ikan, karena semalamnya hujan lebat benar. Tersangkutlah mereka disitu hingga pagi hari. Ketika hari pagi, empunya lukah itu datang hendak mengangkat lukah tersebut guna mengambil ikan. Begitu dilihatnya ada dua orang anak di situ, sangatlah marahnya ia. Dibentaknyalah kedua anak ini, karena ulah anak itulah maka lukahnya tidak menangkap ikan semalam itu, katanya. Ditariknya kedua anak itu kedarat, dan dipukulinya. Kedua anak ini minta ampun, dan mengatakan bahwa mereka hanyut ketempat itu, dan sekarang sangat lapar, mohon diberikan makanan. Oleh empunya lukah tadi, ditariknya kedua anak ini, diba156



wanya pulang, dimasukkannya ke dalam kandang ayam. Nasi diberikannya dalam tempurung. Yah, karena perut sangat lapar, dimakannya jualah nasi itu. Rasa tersangkut makanan itu di kerongkongan mereka, karena teringat pada ibu mereka. Andaikan bersama ibu mereka, tentu tidak akan begitu keadaannya. Setiap hari, pintu kandang itu dibukakan oleh yang empunya rumah. Disuruhnya kedua anak itu bekerja. Nampaknya di kampung itu tidak ada rumah yang lain, tempat itu masih dalam hutan itu juga. Makanan yang diberikan orang itu asal ada saja, kiranya orang itu pun berketiadaan, selain ada sedikit perasaan k i kir padanya. Begitulah keadaan mereka sehari-hari di situ. Kemudian, setelah lama tinggal di situ, berniatlah kedua anak ini untuk lari, pergi ke tempat lain, karena mereka tidak tahan dengan situasi yang demikian, apalagi setiap hari dipukuli. Mereka bekerja berat, makanan hanya diberi sedikit, dipukuli pula lagi. Tetaplah hati mereka untuk pergi, lari namun belum tentu arahtujuan. Pada malam itu, keluarlah mereka perlahan-lahan, seorang demi seorang, tak seorang pun yang tahu. Mereka berjalan beradik kakak menuju hutan yang tak jauh dari situ. Mereka terus berjalan hingga pagi hari. Setelah letih berjalan, merekapun berhenti. Sekarang perut sangat lapar, hari terlalu dingin, makanan tidak ada untuk dimakan. Menangislah mereka berdua, berpeluk-pelukan berdua beradik. Pada saat itu benar-benar mereka terkenang pada ibu mereka. Entah mengapa, pada bapak mereka, sedikit pun tidak teringat. Mereka merasakan bapaknya sangat benei dan mereka yakin bahwa bapaknyalah yang menghanyutkan kayu di hulu sungai, sebab orang lain tidak ada di situ. Bahkan kayu yang hanyut itupun nampak baru dipotong masih putih bagian tengahnya. Namun demikian, sudahlah, dalam hatinya. Terpikir juga oleh mereka, masakan bapaknya tega melakukan yang demikian. Selama dalam hutan itu, mereka mengambil akar-akar kayu yang muda yang dapat dimakan, buah-buahan yang dapat pula dimakan, sekedar pengisi perut mereka. Bila hari malam, mereka akan berhenti di mana yang mungkin, mereka bermalam di atas batang-batang kayu. Pada saat itu mereka tidak merasa takut lagi. 157



Mereka sudah sering melihat harimau, gajah, babi, ular, pendeknya segala jenis binatang ditengah-tengah hutan itu. Entah berapa lama mereka berjalan. Terasa sudah biasa saja oleh anak-anak itu. Sedikitpun mereka tidak takut pada binatang, mereka dapat memakan apa saja tanpa sakit perut, bila bertemu ubi, ubilah yang dimakan, bertemu pisang mudapun jadi juga. Pada suatu malam mereka bermalam di sebuah tempat. Mereka tertidur malam itu pulas benar karena keletihan berjalan siangnya. Adiknya, yang perempuan itu paling cepat tertidur, dan sebentar kemudian terdengar mendengkur. Bila hari menjelang siang, terdengar oleh mereka kokokan ayam. Mereka tercengang mendengarnya. Sudah lama mereka tidak pernah mendengar lagi kokokan ayam. Pikir mereka, tentulah sekarang sudah dekat dengan perkampungan. Pagi harinya, sesudah makam apa yang ditemukan, berjalanlah mereka berdua beradik ke arah tempat tersebut. Kiranya di pinggir hutan itu ada sebuah perkampungan. Namun orangnya tak ada yang nampak seorangpun. Terlihat ada sebuah rumah, terlalu besar dan tinggi di perkampungan itu. Namun dari rumah itu terdengar suara yang agak gemuruh, suara yang keras benar. Mendengar suara yang demikian, takutlah mereka, karenanya mereka berlari-lari, bersembunyi ke dalam semak belukar di dekat tempat itu, ke dalam sebuah lubang, sebuah gua kecil. Disini mereka berdiam diri, mereka masih menggigil mendengar suara tadi itu. Sebentar kemudian, mereka mendengar suara orang berjalan, gemuruh benar, bagaikan runtuh bumi ini layaknya. Terharu abangnya, suara apakah yang gemuruh itu. Ditinggalkannya adiknya dalam gua itu, dia keluar perlahan-lahan menjingaul) di tepi lubang itu. Terlihatlah olehnya seorang raksasa yang sedang berjalan. Segera teringat olehnya cerita ibunya dahulu, bahwa ada yang namanya raksasa, badannya seperti manusia, besar sekali. Bila ia bertemu dengan manusia, ia mau memakannya. Kalau sapi atau kerbau, tidaklah akan cukup seekor sekali makan. Demikianlah ukuran besarnya raksasa itu. Menggigil lututnya ketakutan, ia berlari-lari masuk kembali, diberitakannya pada adiknya. Pucatlah mereka keduanya. Sebentar kemudian, sudah terdengar raksasa itu berjalan melalui gua kecil 1) menjenguk 158



tempat mereka bersembunyi itu. Bergetar bumi, bagaikan akan runtuh rasanya. Hari itu, tidaklah berani mereka keluar .mencari makanan, mereka takut kalau-kalau bertemu dengan raksasa itu. Dimakannyalah sisa-sisa makanan yang dimakannya semalam. Petang harinya, terdengar pula oleh mereka suara raksasa itu pulang. Berpelukan mereka berdua ketakutan. Keluar keringat mereka menahan rasa ketakutan mendengar raksasa tersebut. Selama beberapa hari mereka dalam lubang itu, mereka mencari makan pada malam hari saja, karena siangnya tidak berani keluar. Mereka tidak melihat seorangpun manusia disitu. Sapi banyak terlihat, kerbau pun demikian. Ingin mereka menangkapnya, tapi bagaimanalah. Selain itu tak ada gunanya, karena bila akan dipotong pun, pisau tak ada. Rasanya bila bertemu ayam, boleh jugalah, namun tidak terlihat di situ. Sudahlah, apa yang akan terjadi, terserahlah, mereka tetap bersabar. Akhirnya tahulah mereka, bahwa setiap pagi raksasa itu keluar dari rumahnya yang besar itu, lalu pergi seorang diri, entah kemana, sore harinya baru pulang, dengan membawa bermacammacam barang. Jadi, raksasa itu tidak pernah pulang tengah hari, maksudnya, kalau ia sudah pergi pagi hari, sorelah baru ia pulang. ' Pada suatu hari, ditinggalkannya adiknya dalam gua itu, pergilah ia kerumah raksasa itu, sambil bersembunyi-sembunyi, 'secara perlahan-lahan. Setiba ia di dalam, sangatlah tercengang ia melihat situasi di situ. Telur terlihat berserakan dalam kandang dan ayam beribu jumlahnya. Ia mengambil beberapa butir telur, pisang, dan makanan lain yang ditemukannya dekat disitu, lalu dibawanya pulang pada adiknya. Gusar juga ia berlari, takut kalau-kalau mendadak raksasa itu pulang dan bertemu di jalan, dan akan habislah nyawanya. Adiknyapun sangat susah, rasakan tak mampu menarik napas lagi, menantikan apakah abangnya akan pulang atau tidak. Setelah mereka bertemu, senanglah mereka, berceritalah abangnya tak habis-habisnya, sampai lupa memakan makanan yang dibawanya itu. Setelah makan senanglah mereka itu adik beradik. Mereka merasakan mulai akan senang, namun mereka masih takut juga pada raksasa yang ganas itu. Begitulah keadaannya, beberapa hari abang ini mencarikan makanan dari rumah raksasa itu, apa yang dapat dimakan diambilnya dan dibawanya pulang untuk mereka berdua. Nasib baik, raksasa 159



itu tidak tahu, tidak merasa kehilangan, yang mungkin karena terlalu banyaknya telur itu, berapa pun yang diambil anak ini tak nampak susutnya. Pada suatu hari diberanikannya dirinya memasuki dapur raksasa itu. Terlihat olehnya nasi dalam periuk, gulai ayam,gulai daging. Keluarlah air liumya, diambilnya cepat-cepat, dibawanya pulang pada adiknya. Yah, sukarlah menceritakannya, dimakannyalah berdua, dengan lahapnya, hingga keluar ingusnya, maklumlah sudah sejak lama menginginkannya. Sudah sejak sekian lama mereka tidak menemukan makanan selezat itu, selain daun dan akar-akar kayu. Setelah makan. tidurlah mereka, pulas bagai orang pingsan layaknya. Sedang enak tidur, mereka terkejut. Terdengar oleh mereka raksasa itu marah-marah, suaranya keras sekali. Kiranya, karena enaknya mereka tidur, tidak disadarinya hari sudah sore, dan raksasa itu telah pulang. Raksasa berceloteh terus, siapa pula yang telah mengambil nasinya di dapur itu, sedangkan sebelumnya tidak pernah hilang, sekali ini telah hilang. Laparlah ia malam itu, sementara dia masak nasi lagi. Setelah ia berhenti marah-marah, tertidurlah raksasa itu. Sementara itu kedua anak-anak ini sangat takut, kata adiknya : "Ini gawat, akan dicarinya kita kemari, matilah kita, habislah kita". Rasanya mau mereka menaneis. tetani takut kalau-kalau terdengar suara mereka oleh raksasa itu. Maka diam sajalah mereka di situ. Mendengar raksasa itu telah diam, dapatlah mereka ter tidur, hari pun telah larut malam. Pagi hari esoknya, berceloteh lagi raksasa itu, katanya, "biarlah, barang siapa yang mengambil nasiku, akan mati mereka. Dalam periuk telah saya letakkan nasi beracun. Barangsiapa yang memakannya akan mati, biarlah mati terkapar mereka, karena dasarnya mereka jahat. Nasiku telah saya sembunyikan dalam rantang dan tergantung di loteng." Raksasa itu berbicara perlahan-lahan, namun suaranya sangat keras, dapat terdengar ke mana-mana. Baru saja didengar oleh anak-anak itu, pucatlah mereka, hampir saja si abang itu tidak berani lagi pergi, takut kalau-kalau dinantikan oleh raksasa itu. Pada hari itu, mereka tidak keluar, dan cukup dengan makanan yang diambilnya kemarin. Pada sore harinya, raksasa itupun pulanglah. Dilihatnya nasi160



nya di loteng masih ada, dimakannyalah, senang benar hatinya, "pencuri itu kiranya tidak tahu tempat penyimpanannya. Dilihatnya pula nasi beracun dalam periuk, juga masih ada. "Biarlah, dalam hatinya, besok akan tambah beracunlah nasi itu, dan bila dimakan oleh pencuri itu akan matilah ia", pikirnya. Pagi besoknya, pergi lagi raksasa itu, dikatakannya juga bahwa nasinya diletakkannya dalam rantang di loteng, sedang dalam periuk nasi beracun untuk pencuri. Anak-anak itu mendengar apa yang dikatakan raksasa itu. Setelah raksasa itu pergi dan telah jauh, keluarlah abangnya perlahan-lahan. Adiknya ditinggalkannya dalam gua kecil itu. Ia pergi terus ke dapur. Ia telah tahu benar, bahwa tidak ada orang lain tinggal di rumah itu selain raksasa yang kaya itu. Orang kamming yang lain pun tidak ada yang nampak. Diambilnya nasi raksasa yang dalam rantang itu, dimasukkannya ke dalam tempat yang lain untuk dibawanya pulang. Diambilnya pula nasi yang beracun dalam periuk tadi itu, dimasukkannya ke dalam rantang tersebut. Segera ia pulang cepat - cepat menemui adiknya. "Benar-benar sungguh berani abang," kata adiknya. Menggigil anak - anak itu memakan makanan yang lezat - lezat itu, sehingga tertidur pulalah mereka hingga sore. Yang lain pun tidak ada yang dikerjakan selain tidur, mereka ingin keluar, namun tak berani. Mereka takut. Sore hari, pulanglah raksasa itu, bergegas ia berjalan. Setibanya di rumah dilihatnya terus nasi dalam periuk yang beracun itu. Bersorak-sorak ia melihat nasi tersebut telah habis. "Biarlah mati dia", suaranya terdengar menggelegar. "Biarlah mati pencuri itu. Barulah ia tahu, supaya jangan terbiasa mengambil kepunyaan orang lain." Setelah i t u terdengar ia pergi makan. Diambilnya nasi yang dalam rantang itu, habis dimakannya. Pada tengah malam harinya, terdengarlah oleh mereka raksasa itu memekik kesakitan, mengerang-erang seperti orang gila. Kira nya racun nasi itu telah mulai dirasakannya. Kedua anak itu menggigil lagi dalam gua itu, karena raksasa itu telah marah-marah, memekik-mekik, memaki-maki, karena diketahuinya bahwa nasinya telah ditukar dengan yang beracun. Semalam-malaman ia mengerang-erang, hingga pagi hari baru terdengar ia terdiam. Anak-anak ini tidak berani pergi melihat keadaannya, khawatir kalau-kalau raksasa itu tertidur. Esok hari161



nya tidak juga nampak raksasa itu keluar, suara pun tidak terdengar apa-apa. Pergilah abangnya melihat situasi. Ternyata raksasa tersebut telah mati, terbujur kaku. Dibunyikannyalah gung pemanggil orang dan meminta datang semua orang kampung yang ada di sekitar itu. Oleh orang kampung disitu, diceritakanlah bahwa mereka tidak pernah aman oleh tingkah raksasa itu, karena semua milik mereka habis diambilnya. K i n i orang kampung itu merasa senang sebab raksasa itu telah mati. Orang kampung itu mengangkat anak ini menjadi raja mereka. Semua harta milik raksasa itu sekarang telah menjadi miliknya. Dikebumikanlah raksasa itu oleh orang kampungnya. 0]eh raja tadi, sebagian harta raksasa itu dibagikan pada orang kampung. Senanglah hati semua orang, dan hormatlah mereka pada raja ini. Demikianlah, sejak itu senanglah hidup kedua adik kakak itu. D i rumah yang besar itu disuruh mereka pula tinggal orang-orang yang miskin yang tidak punya rumah. Semua binatang, seperti sa pi, kerbau, ayam, dipelihara mereka baik-baik agar berkembang biak, Peminta-minta diberikan kerja, diberikan pula modal usaha, pendeknya tidak boleh ada orang yang pemalas, karena modal ada, padi pun ada, semuanya diberikan. Kembali kita menceritakan ibu dan bapak mereka. Mereka tidaklah senang sejak anak mereka hilang, terutama bapaknya yang dengan sengaja membuang anaknya itu. A p a saja yang ingin dikerjakannya, semuanya tak memberi hasil. Kehidupan mereka tambah melarat. Akhirnya mereka menjadi peminta-minta, berjalan dari rumah yang satu ke rumah yang lain, kadang-kadang mendapat belas kasihan orang, terkadang pulang kosong saja tanpa hasil apa-apa. Dengan takdir Tuhan, pada suatu hari, sampailah mereka meminta-minta ke rumah anak mereka yang telah kaya dan menjadi raja ini. Begitu disampaikan pada raja bahwa ada orang baru yang datang meminta-minta, ia sendiri datang melihat siapakah gerangan peminta-minta itu. Lama juga mereka berpandang-pandangan di tangga rumah. Kedua raja dengan adiknya ini masih dapat menandai ibu üan bapak mereka. Ibu dan bapak ini telah lupa-lupa mgat pada anak mereka, maklumlah mereka sudah tua. Wajah anak mereka pun tidak berubah. Ditambah pula bahwa dalam anggapan 162



mereka kedua anak mereka yang dahulu telah hanyut dan hilang, telah mati, karena tidak terdengar lagi khabar beritanya. Adiknya yang perempuan itu nampaknya tidak tahan emosi, terus ia lari memeluk ibunya, meratapi dan menangis, dicium-ciumnya ibunya itu. Alangkah tercengangnya orang suami isteri peminta-minta itu. Orang itu mengatakan: "tidak, kami bukan orang tua tuantuan, kami datang meminta sedekah. Dahulu, memang ada anak: kami dua orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan, tetapi keduanya telah hilang, hanyut ketika kami mencari kayu api di hutan, di sungai, hanyut oleh air." Mendengar itu, tambah yakinlah mereka keduanya bahwa benar orang itu adalah orang tua mereka. Segera yang laki-laki itupun turun, disembahnya ibunya itu, dibukanya kopiahnya dan berkata: "inilah kami anak ibu, kamilah yang hanyut itu, belum mati, karena tertolong. Lihatlah ini kepala saya, inikan bekas luka besar ketika saya masih kecil dahulu. Ibu rabalah, inilah tanda anak ibu!". Mendengar itu menangislah ibunya, dipeluknya kedua anaknya itu, diratapinya, sehingga ramailah orang datang ke rumah itu. Adapun bapaknya tadi, sangatlah malunya. Dia yakin, bahwa kedua anaknya itu pasti tahu bahwa ia telah menganiaya mereka. Malu bercampur takutlah perasaanya ketika itu. Setelah itu naiklah orang itu kerumah, saling menceritakan hal masing-masing. Ketika terbuka cerita tentang hanyut, mengakulah bapaknya bahwa dialah yang menggolekkan kayu besar dihulu sungai sehingga rakit mereka dilandanya dan hanyut dibawa air. Hal inilah pokok pangkalnya sejarah yang tidak menggembirakan itu. Akhirnya ke semua mereka saling memaafkan, saling menyesali hal yang sudah terjadi. Hiduplah pula orang itu dengan rukun dan damai dalam rumah yang besar itu. Rakyatpun kendurilah dengan datangnya orang tua raja ini. Demikianlah, karena anak-anak ini mempunyai akal yang sehat lagi cerdik, mereka cukup sabar menghadapi segala percobaan, mereka tenang dalam menghadapi sesuatu. Merekapun tidak berniat membalas dendam kepada orang tua mereka. Digembirakannya perasaan orang tua mereka yang telah tua itu. Andaikatalah mereka tidak bijaksana barangkali sejak dulu pun mereka telah mati, dan kalaupun masih hidup tentu tidak akan membalas jasa baik orang tuanya sebab orang tua mereka itu telah bersalah. 163



19.



CERITA PADI MUDA*)



Dalam sebuah kampung di sebuah desa, hiduplah sepasang suami isteri dengan dua orang anak mereka. Anaknya yang tua ada lah perempuan, sedang adiknya yang kecil itu laki-laki, masih menyusu. Pekerjaan bapaknya sehari-hari adalah sebagai petani. Pada suatu hari, tibalah musim turun ke sawah, karena padi telah masak (untuk dipetik). Mendadak bapak mereka ini jatuh sakit. Ibunya telah berusaha ke sana kemari mencarikan obat, namun belum bertemu dengan obat yang tepat untuk menyembuhkan penyakit itu, tibalah panggilan Tuhan pada suatu malam, dan meninggallah bapak itu tadi. Apalah halnya sekarang, tempat mereka bergantung, ibu dan kedua anak mereka ini akan berpisah pula dari mereka. Berbicara soal kesedihan sukarlah mengungkapkannya dengan kata-kata, maklumlah tempat mereka bergantung telah tiada. Setelah beberapa hari bapak mereka itu meninggal, pergilah ibu ini ke sawah untuk menuai padi. Sebelum ia berangkat, ia berpesan pada kedua anaknya, "Sekarang, tinggallah kamu di rumah menjaga adikmu. Setelah adikmu tertidur nanti, barulah kamu kerjakan sesuatu yang dapat kamu kerjakan mana-mana yang perlu. Jadi selepas ibu pergi nanti, mandikanlah adikmu, kemudian letakkan dalam ayunan, Kalau ia telah tertidur, isilah tempat-tempat air kita, kumpulkan kayu-kayu api untuk kita me masak nanti, dan setelah itu masaklah nasi untuk makanan kita sore nanti." Semua amanat ibunya diturutinya, "baik bu," katanya. Setelah itu, ibunya pun pergilah. Sepeninggal ibunya, dikerjakannyalah semua yang telah diaman ah kan. Sementara itu, ibunya itu pergilah ke sawah. D i sawah ia asyik menuai, menuai, menuai terus menerus. Demikian lamanya ia menuai, hari pun petanglah, dan sebentar kemudian tiba waktu senja hari. *) diambil dari bahasa Jamu (Aceh Selatan).



165



v



Sebelum ibunya pergi dari rumah tadi, anaknya berpesan, "Ibu, kalau nanti ibu pulang, jangan lupa membawakan untuk saya padi muda. Saya sangat ingin memakannya." "Oh ya, jadilah," kata ibunya itu. Pergilah ibunya itu ke sawah, sedang anaknya itu tinggallah di rumah mengerjakan sepala sesuatu yang telah diamanahkannya tadi itu. Begitulah keadaannya, ia terus menuai, menuai dan menuai. Begitu asyiknya ia menuai, tidak disadari hari telah petang. Lalu katanya pada kawannya, "Aduh, sudah petang hari. Ayolah segera kita pulang. Sudah senja betul hari ini, hampir saja matahari terbenam." "Aduh, betul juga, memang enak benar kita menuai hari i n i , " kata kawannya itu. Pulanglah mereka itu. Setiba ia di rumah, dilihatnya bahwa anaknya sedang menanti nantikan kepulangan ibunya itu. "Apakah ada ibu bawa padi muda itu bu?" tanya anaknya itu. "Aduh, sudah terlupa oleh ibu oh anakku. Bagaimana sekarang. Inilah karena tadi sangat bergegas-gegas sekali. Hari telah senja, karena asyiknya menuai tadi, tidak disadar haripun senja. Haram teringat sedikit pun pada padi muda itu." Keesokan harinya, pagi-pagi hari, bersiaplah pula ibunya ini akan berangkat lagi ke sawah. Sebelum ia pergi itu, beramanah juga lagi ia pada anaknya, seperti apa yang telah diamanahkannya sejak beberapa hari yang lalu. Setelah memberikan amanah itu, diingatkan pula oleh anaknya itu, "janganlah ibu lupa juga nanti, membawakan untuk saya padi muda." "Baiklah, akan ibu bawakan nanti." Ibunya itupun pergilah. Sama halnya dengan hari-hari yang lalu, karena enak dan asyiknya ia menuai jugalah, tidak disadari hari pun petang pula. Anaknya yang tinggal di rumah itu pun tak pula henti-hentinya bekerja. Düsinya tempat-tempat air, dicarinya kayu-kayu api, dan ditidurkannya adiknya. Begitulah halnya, ibunya itupun menuailah terus. Bila terasa badan agak letih, ia berhenti sebentar, minum air, kemudian menuai lagi. Sama halnya dengan hari-hari sebelumnya, karena asyik menuai itu, tidak juga teringat olehnya untuk mengambilkan padi muda itu. Ia terus pulang. 166



Sesampai di rumah, langsung diminta oleh anaknya itu, di tanyakannya, "Ibu, adakah ibu bawa padi muda yang saya pesan itu?" "Aduh nak, sedikit pun tidak teringat oleh ibu tadi. Aduh, bagaimanalah sekarang halnya. Kawan ibu tadi itu, pun lupa pula memperingatkan ibu. Sudahlah, besok betul-betul ibu bawakan, betul-betul ibu tidak akan lupa lagi, betul-betul akan ibu bawa besok." "Nah, kalau demikian halnya, sudahlah bu, bagaimanalah pula." Esoknya demikian pula keadaannya. Sampailah tiga hari berturut-turut demikian halnya, tidak juga terbawakan. Pada suatu hari, agak cepat ibunya pergi, hari yang ketiganya, ibunya pergi pula ke sawah. Oleh anaknya, diisi nya tempayan-tempayan air, dicarinya kayu-kayu api sebanyak banyaknya dan disusunnya dibawah rumah. Setelah itu selesai, düihatnya pula bahwa beras tidak ada yang bersih untuk dimasak! Ditumbuknya beras, maksudnya padi, disediakannyalah disitu se cukupnya. Kemudian dimandikannya pula adiknya, dan diletakkannya dalam buaian, yang kemudian adiknya itu tertidur pula. Selesai itu, terpikir dalam hatinya, "ibu saya ini, memang benar-benar tega hatinya, sudah tiga hari, tiga hari berturut-turut ia pergi menuai, tidak juga teringat olehnya pesan saya itu. Mengapalah demikian. Namun tak apalah, sudahlah, apalah yang hendak di katakan. Tentang itu, saya memang sangat menginginkan untuk di makan, padi muda itu." Apalah akal sekarang, semakin iba perasaan hatinya karena tidak dibawakan padi muda pesanannya itu. Terpikirlah dalam hatinya, "Andaikatalah saya menjadi seekor burung, saya akan pergi terus ke sawah, saya akan memakan padi muda itu, akan saya makan sekenyang-kenyangnya. Namun, apalah yang akan dilakukan, awak ini beginilah keadaannya. Yah, sudahlah. Saya berdoa kepada Tuhan, semoga dapatlah saya menjadi seekor burung." Sebentar kemudian ia pun menjadilah seekor burung. Ia pun terbanglah, terbang, dan terbang terus. Ia terbang terus ke sawah, sedikit agak jauh dari tempat ibunya menuai padi itu. Ia berdiri disitu, di atas sebatang kayu. Ia berbicara, "o ibu, o ibu, padi muda bu, padi muda bu, air bertempayan-tempayan, kayu api bersusun-susun, Maliun (nama 167



adiknya) dalam ayunan, padi muda bu, padi muda." Kata ibunya itu, "apa itu, cobalah dengarkan." " A p a itu, itu adalah suara setan yang berbicara pada tengah hari ini, jangan diperdulikan." kata kawan ibunya itu, "entah di mana-mana setan i t u . " "Betul, cobalah dengar baik-baik." "Sudahlah, menuailah terus cepat, sebentar lagi, supaya lekas dapat kita pulang pula." " A y o , cobalah dengar baik-baik." Sedang asyik-asyiknya menuai itu, terdengar lagi suara itu. Burung terbang sedikit lebih mendekati ibunya menuai itu. "Padi muda, padi muda, air bertempayan-tempayan, kayu api bersusun-susun, Maliun dalam buaian, padi muda bu, padi muda." " A y o , betul bukan, suara anak saya itu rasanya di sana." "Pabila pula anakmu datang kemari. Dia bukan di sana di rumah." "Betul, i n i suara anak saya, ia menginginkan padi muda. Saya lupa dalam beberapa hari ini membawakan untuknya padi muda itu. Baiklah saya ambilkan sekarang juga, akan saya isikan dalam keranjang saya ini." Oleh ibunya itu diambilnyalah padi muda itu, dituainya, mana yang sudah dituainya padi yang muda-muda itu dimasukkannya ke dalam keranjang, memang ada dibawahnya sebuah keranjang. Demikianlah, hari pun petanglah, hampir saja senja juga lagi. "Ayolah kita pulang terus, ayolah, agak tidak enak lagi perasa an saya, betul-betul teringat betul saya pada anak saya." "Kalau memang demikian ayolah, kalau memang harus bergegas betul. Ayolah kita pulang terus. Nah, ini sedikit lagi untuk penambah padi muda i t u , " kata kawan ibunya itu. Diberikanlah oleh kawan ibunya itu, seberapa yang dapat di tolong ambilkan dan dimasukkanlah kedalam keranjang anak itu tadi lalu berjalanlah mereka terus pulang. Setiba di rumah, dilihatnya anaknya tidak ada lagi. Sebelumnya, asal dia pulang, sudah duduk saja anaknya menantikannya di depan pintu. Sekarang dilihatnya tidak ada. "Upik, upik, di mana kamu nak?" Tidak ada suara menyahut. Setelah hal yang demikian, lama-lama dikatakannyaiah, nam168



pak olehnya seekor burung hinggap di atap rumah itu. "Disini bu, sayadisini," katanya. "Mana kamu nak?", kata ibu ini. "Tidak dapat lagi bu saya turun, saya telah menjadi burung." "Oh nak, marilah turun, ini padi muda telah ibu bawakan untukmu. Lekaslah turun kemari, turunlah anakku." "Tidak dapat lagi saya turun bu, saya sudah ditakdirkan Tuhan menjadi begini." Menangislah ibunya itu sejadi-jadinya. Lama-lama anaknya itu pun, burung itu hinggap di atas bubungan, kemudian terbang, terbang hingga jauh. Sambil ia terbang dan tambah jauh itu dikatakannya jugalah; "Bu, Bu, padi muda, padi muda. A i r bertempayan-tempayan, kayu bersusunsusun, Maliun dalam buaian, padi muda bu, padi muda... Sambil ia terbang itu, kian jauh dan haluslah terdengar suara nya, hingga hilang dari pandangan ibunya itu. Adapun ibunya yang tinggal dirumah itu sukarlah mengatakannya. Ia pingsan memanggil anaknya.



169



20. C E R I T A JUGI T A P A *) Pada mulanya Jugi Tapa adalah orang yang berasal dari Meureudu, sedangkan namanya yang sebenarnya ialah Lebai Muda Kemudian ia pindah ke Batee Geulungku. Di sana ia menculik isteri orang lain, yaitu ibu si Amat. Si Amat tidak mengetahui bahwa ibunya telah di culik oleh Jugi Tapa karena ia setiap hari asyik mengail di belukar pohon bakau. Berita tentang penculikan ibunya baru di ketahuinya setelah diberi tahukan oleh kepiting ketika si Amat sedang asyik mengail. Namun demikian pada mulanya dia tidak percaya bah wa ibunya telah diculik oleh. Jugi Tapa, walaupun kepiting itu telah memberitahukannya dengan mengatakan, "Wahai Amat, janganlah engkau asyik mengail; tahukah engkau bahwa ibumu telah diculik Jugi Tapa." "Jangan berkata demikian," jawab si Amat. "Memang betul," sebut kepiting. "Ibuku bukan orang sembarang orang, tidak mungkin dapat di culik," kata si Amat lagi. "Betul Amat," ibumu tidak ada lagi, sudah di bawa lari oleh Jugj Tapa untuk di jadikan permaisurinya," sambung kepiting lagi. "Jangan berkata yang bukan-bukan nanti kupukul kakimu dengan gagang pancing ini sampai patah," ujar si Amat. Lalu dipukul nya kepiting itu dengan gagang pancing sehingga kaki kepiting itu cacat sebelah. Itulah sebabnya sampai sekarang kepiting itu dinamakan " B i eng ^Pho" yaitu sejenis kepiting yang kakinya cacat sebelah. "Aduh, kebaikanku kaubalas denman kejahatan, sehingga menyebabkan kakiku cacat sebelah, wahai Amat," kata kepiting. Setelah itu si Amat langsung pulang ke rumahnya. Sesampai nya di rumah dilihatnya ibunya tidak berada lagi. Sudah diculik oleh Jugi Tapa. Akhirnya barulah ia percaya terhadap kebenaran ucapan kepiting tadi. Lalu berangkatlah dia ke Batee Gelungku untuk mencari ibunya yang telah di bawa lari *) diambil dari bahasa Aceh. 171



oleh Jugi Tapa. Sesampainya di Batee Gelungku ternyata Jugi Tapa telah melanjutkan perjalanannya ke Sawang Krung Mane dengan membawa serta ibunya. D i Sawang Krung Mane Jugi Tapa telah menetap pada suatu tempat sambil berdoa mengadu kekuatan dengan Tengku Lhok Drien. Mendengar Jugi Tapa telah melanjutkan perjalanan ke Sawang Krung Mane maka si Amat pun terus mengejar Jugi Tapa ke Sawang Krung Mane. Sesampainya di Sawang Krung Mane dia sangat marah karena Jugi Tapa belum dijumpainya. Rupanya Jugi Tapa telah meninggalkan tempat tersebut dan telah pergi bertapa ke Gunung Geureudong, sedangkan ibu si Amat telah menjadi batu. Di Sawang Krung Mane si Amat kebetulan berjumpa dengan Nenek Purba. Pada waktu Nenek Purba melihat kedatangan si Amat lalu beliau bertanya kepada si Amat, "Anak mau mencari siapa?" "Saya mau mencari Jugi Tapa," jawab si Amat. Setelah mengetahui maksud kedatangan si Amat lalu Nenek Purba memberitahukan, "Jugi Tapa tidak berada lagi di sini; dia sudah pergi bertapa. Dia pergi bertapa disebabkan sudah bermusuhan dengan Tengku Lhok Drien. Kalau anak menginginkan agar ibu mu yang sudah jadi batu hidup kembali, sebaiknya sekarang pergi lah tangkap seekor burung, yang sedang berada di atas sebuah pohon. Burung itu adalah tempat Jugi Tapa menyimpan nyawanya." "Dahan pohon itu ada tiga, maka tebanglah dahan pohon itu sebanyak dua dahan. Dengan demikian barulah kamu dapat menangkap burung itu. Kalau sudah tertangkap lalu patahkan kakinya, tetapi jangan patahkan lehernya, sebab kalau lehernya yang di patahkan ibumu tidak dapat dihidupkan kembali." Setelah mendengar penjelasan dan petunjuk dari Nenek Purba lalu si Amat pergi dengan kuda terbang ke tempat pohon itu. Sesampainya di sana ditebangnya dahan pohon itu sebanyak dua dahan sehingga burung itu dapat ditangkapnya. Setelah kaki burung itu dipatahkan sebagaimana dianjurkan oleh Nenek Purba. Terbanglah si Amat dengan kuda terbangnya menemui Jugi Tapa ke Gunung Geureudong. Di sana di dapati Jugi Tapa sedang tidur nyenyak, lalu dibangunkannya. Namun belum juga terbangun; 172



lalu diambilnya kampak yang ada di samping Jugi Tapa di kampakkan ke lutut Jugi Tapa, barulah Jugi Tapa terbangun. Setelah Jugi Tapa terbangun alangkah kagetnya melihat si Amat ada di sampingnya, seraya ia bertanya kepada si Amat. "Mau pergi ke mana engkau?" ÉM ? f | A" menjawab, "Jangan berpura-pura tidak tahu! Ibuku yang telah kau jadikan batu harus kau hidupkan . kembali. Kalau tidak engkau akan ku bunuh!" '7angan bunuh aku! ibumu akan kuhidupkan kembali " seru Jugi Tapa. "Betul apa yang engkau katakan," tanya si Amat "Betul! Ibumu sudah hidup kembali, engkau sekarang boleh pulang," katanya lagi. Setelah itu si Amatpun pulanglah dengan kuda terbangnya ke Sawang Krung Mane ke tempat ibunya yang telah menjadi batu Sampai di sana memang ternyata ibunya telah menjadi manusia kembali sebagai mana biasanya. Pada saat dilihat ibunya sudah hidup kembali lalu si Amat dengan segera terbang kembali ke tempat Jugi Tapa untuk membunuh Jugi Tapa. Kemudian dia terbang kembali. Rupanya di dalam perjalanan pulang kudanya tersangkut di pohon tempat dia menangkap burung tadi, sehingga dia jatuh ke tanah. Kejadian itu sangat berkesan baginya sampaisampai kepalanya bergeleng-geleng mengingatnya. Itulah sebabnya sampai sekarang keturunannya yang sekarang dikenal sebagai keturunan Banta Amat, kepala selalu bergelenggeleng pada waktu berbicara. Setelah ibunya hidup kembali si Amat (Banta Amat) pun segera pulang kembali ke tempatnya ke Meureudu. Di Meureudu dia mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat, sehingga dia diangkat menjadi pemimpin masyarakat. Itulah sebabnya sampai sekarang keturunannya dianggap sebagai keturunan hulu balang. e



n



a r



g



e



m



a



s



s i



1 8 1



+



B



173



LAMPIRAN L



PETA



PERSEBARAN



CERITERA



RAKYAT



LAMPIRAN



H.



PETA



WILAYAH



PROPINSI



DAERAH



ISTIMEWA



ACEH