Cerpen 3 Butir Kurma Per Kepala [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Van
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Muhammad Givandi XI TKJ 1 TIGA BUTIR KURMA PER KEPALA Di antara sejumlah perantau asal kampong kami yang mendampek itu, ada satu nama yang paling berkesan. Pak Ayub. Tubuhnya kurus, jangkung, dan selalu mengenakan baju gunting cina. Ia sudah 15 tahun di rantau, yang menurut orang dusun kami, di rantau entah. Di sebut di rantau entah, ia selalu bilang di banyak tempat. Kadang Aceh, Riau, Lampung, Surabaya, Jakarta, dan Makasar.  “Jangnan ditanya rantau jauh saya. Tapi, pandanglah saya dari kecintaan pada orang dan kampong ini. Walau Cuma bisa kasih kurma, itu indah sekali…” begitu kilahnya, seraya berkata lagi sambil menunjuk dadanya, “Semua tergantung di sini. Rantau yang jauh tiada taranya, di dalam dada. Begitu juga sebaliknya, di dada. Rasakan makna niatnya…” Biasanya, kami mengangguk-angguk. Ia tersenyum. Dan, entah siapa yang memberinya gelar, Kami akrab mengenal Pak Ayub sebagai tuan kurma yang bijaksana. Ukuran bijaksana ini pun kami tak tahu pasti. Yang jelas, enak menyebutnya dan terasa patut. Pokoknya kalau dikaji alur patut dan mungkinnya, ia tepat sekali. Kadang ada yang patut, tapi tak mungkin. Ada yang mungkin, namun tak patut. Disetiap bulan suci Ramadhan, biasanya pak Ayub tiba-tiba muncul. Ia mendatangi setiap rumah dengan sepeda tuanya. Setiap rumah, ia beri kurma. Kalau jumlah kurma itu dalam kantung plastic ada 15 buah, berarti penghuni rumah ada lima orang. Seandainya ada 21 buah, berarti penghuni rumah yang didatanginya ada tujuh orang. Sebagai kelazimannya, ia mengatakan bahwa setiap orang atau per kepala di dalam sebuah rumah, keluarga, mendapat tiga buah kurma. Biasanya, kalau besok paginya di tepian sungai atau lapau kopi, orang bercerita tentang nikmatnya membukakan puasa dengan tiga butir kurma, berarti orang-orang itu kemarin habis dikunjungi pak Ayub dengan baying-bayang sepanjang badanya, telah mampu berbuat pengasih dan penyayang serta adil ke warga kampong. Biasanya. Sekali atau dua kali dalam bulan Ramadhan pak Ayub mengantarkan kurma ke setiap rumah-rumah. Masing-masing mendapat bagian tiga buah kurma per kepala. Tak heran, di hari pembagian kurma itu, boncengan sepedanya dibebani karung plastic berisi kurma. Maka, pada hari itu dapat ditebak, orang-orang membukakan puasanya dengan tiga butir kurma dari pak Ayub. Pemberiannya itu rasanya sampai ke lubuk hati sejuknya. Anehnya, kendati ada yang mampu membeli kurma, tak seorang pun di dusun itu mau pergi



mendapatkannya ke pasar kecamatan atau di tempat-tempat yang ada tersedia kurma. Alasan mereka yang pernah pergi,”Tak seenak yang diantar Pak Ayub…” Mendengar selentingan ungkapan yang menyiratkan nada terima kasih itu, Pak Ayub selalu berkata lunak, “itu kurma dari Allah,” Sudah dua kali Ramadhan Pak Ayub tak pulang ke kampong. Sanak familinya yang ditanya, hanya menjawab,”Entah, entah di aceh, entah di Ambon, entah di Irian, entah di Makasar, entah di Jakarta dia sekarang. Berkirim surat pun tak ada. Kabur gambarnya kini.” Sementara perantau yang dulu pulang bawa dan nyumbang macam-macam untuk surau, masjid, jalan, tugu, dan balai pemuda, kini bertambah banyak. Bingkisan Ramadhan dan lebaran pun  silih berganti diterima warga kampong. Namun, dihati orang kampong, ya dihati kami, ada yang kurang sempurna tanpa Pak Ayub, Tuan Kurma. Pemberian yang lain, bisa dibanding-bandingkan. Misal kain sarung dengan sajadah, paket mentega-tepung-minyak dengan uang. Tapi kurma selalu ada cahaya tersendiri yang sulit di terjemahkan dan dibandingbandingkan dalam gunjingan lepas atau obrolan lapau. Kadang ada-ada saja pikiran buruk melintas di benak kami. Jangan-jangan , Pak Ayub sudah mati. Jangan-jangan Pak Ayub jatuh miskin hingga tak mampu beli kurma untuk dibagi-bagikan tiga buah per kepala untuk orang sekampung. Banyak kalimat jangan-jangan melintas di benak orang kampong. Apalagi, tidak sedikit di antaranya berucap, baik secara gurau maupun serius tentang kerinduan pada Pak Ayub dan kurma.  “Allah tidak lagi mengirimkan kurmanya pada kita melalui Pak Ayub,” begitu antara lain kata beberapa orang dusun kami. Dan, di saat puasa berjalan lebih dua puluh hari, seseorang tak dikenal mendatangi rumahrumah warga kampong. Ia berpeci, dagunya berjanggut, kumisnya tipis wajahnya bersih berminyak. Orang itu masih muda, membagi-bagikan kurma sebagaimana Pak Ayub dulu lakukan. Setiap rumah mendapat tiga buah kurma kali jumlah kepala. Saat menerima kurma, pemilik rumah hanya mengucap terima kasih. Setelah orang itu pergi, bibir-bibir yang belum disentuh oleh hal yang membukakan puasa, bergerak bergetar. Mereka teringat Pak Ayub. “Pak Ayub? Kok bukan Pak Ayub? Apakah ini jelmaan pemilik kurma, yaitu Allah?” begitu gumam kami di kampong seraya mengenang tutur kata yang pernah terlontar dari mulut Pak Ayub. Namun, ketika kami tersadar, ketika kerinduan dan keinginan bersua Pak Ayub yang sudah dua kali Ramadhan tak pulang ke tanah kelahirannya memuncak, pengantar kurma itu kami tahan beramai-ramai.



 “Tuan Muda siapa? Siapa yang menyuruh mengantarkan kurma tiga buah per kepala ke tempat kami?”Tanya kami beramai-ramai, menjelang bedug berbuka. Mula-mula ia menarik napas. Kemudian menunduk. Lalu mengangkat wajah. Tersenyum. “Saya Zamzami. Anak  angkat Pak Ayub” “Pak Ayub? Dimana beliau sekarang?” “Telah mendahului dua tahun lalu!”  “Maksud tuan muda, meninggal?” “Tuhan berkata begitu!” Diam sejenak. Zamzani melanjutkan,”Pak Ayub berpesan ke saya, agar setiap Ramadhan, paling tidak sekali, untuk membagi-bagikan kurma ke dusun ini. Kata Pak Ayub, kurma ini enak karena diberikan dengan tulus, Sebab Tuhan pun memberikan rezeki untuk mendapatkan kurma ini dengan tulus…” Tak ada lagi suara. Kami larut. Tiba-tiba, rasanya, pohon kurma tumbuh di depan mata kami. Pak Ayub duduk tersenyum di bawahnya berpakaian serba putih. Dilangit terlihat seperti cahaya kilau kemilau, bagai ada isyarat malaikat-malaikat turun membawa berkah untuk manusia yang betul-betul manusia. Saat itu kami merasakan ada sesuatu yang indah, pemberian tulus sampai tumbuh dan sejuk ke dasar hati.



Nilai-nilai Kehidupan Nilai Moral 



ikhlas memberi akan membuat kita selalu diingat oleh orang lain meskipun telah tiada. 



Kutipan Teks: “Tak ada lagi suara. Kami larut. Tiba-tiba, rasanya, pohon kurma tumbuh di depan mata kami. Pak Ayub duduk tersenyum di bawahnya berpakaian serba putih. Dilangit terlihat seperti cahaya kilau kemilau, bagai ada isyarat malaikat-malaikat turun membawa berkah untuk manusia yang betul-betul manusia. Saat itu kami merasakan ada sesuatu yang indah, pemberian tulus sampai tumbuh dan sejuk ke dasar hati.”



Nilai Religi 



Percaya bahwa itu merupakan rahmat dari allah swt.



Kutipan Teks: “Mendengar selentingan ungkapan yang menyiratkan nada terima kasih itu, Pak Ayub selalu berkata lunak, “itu kurma dari Allah,”