Conjugate Vaccine [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang mengandung mikroba pathogen disekelilingnya. Mikroba tersebut dapat menimbulkan penyakit infeksi pada manusia. Mikroba patogen yang ada bersifat poligenik dan kompleks. Oleh karena itu respon imun tubuh manusia terhadap berbagai macam mikroba patogen juga berbeda. Umumnya gambaran biologic spesifik mikroba menentukan mekanisme imun mana yang berperan untuk proteksi. Begitu juga respon imun terhadap bakteri khususnya bakteri ekstraseluler atau bakteri intraseluler mempunyai karakteriskik tertentu pula. Sistem imun merupakan mekanisme pertahanan tubuh sebagai perlindungan dari bahaya berbagai bahan dalam lingkungan yang dianggap asing bagi tubuh seperti bakteri, virus, jamur, parasit dan protozoa (Abbas et al., 2015; Baratawidjaja & Rengganis, 2009; Benjamini et al., 2000). Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu. Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen. Ketika daya tahan tubuh lemah maka agen infektif akan dengan mudah menembus pertahanan tubuh dan menyebabkan penyakit. Oleh karena itu, upaya meningkatkan sistem imun menjadi penting untuk dilakukan, salah satunya dengan imunisasi. Pada 1



umumnya tubuh tidak akan mampu melawan antigen yang kuat. Antigen yang kuat ialah jenis kuman ganas. Virulen yang baru untuk pertama kali dikenal oleh tubuh. Karena itu anda akan menjadi sakit bila terjangkit kuman, bakteri atau virus. Jadi pada dasarnya reaksi pertama tubuh untuk membentuk antibodi/antitoksin terhadap antigen, tidaklah terlalu kuat. Tubuh belum mempunyai “pengalaman” untuk mengatasinya. Tetapi pada reaksi yang ke-2, ke-3 dan berikutnya, tubuh sudah pandai membuat zat anti yang cukup tinggi. Dengan cara reaksi antigen-antibody, tubuh dengan kekuatan zat antibodinya dapat menghancurkan antigen atau kuman; berarti bahwa anak telah menjadi kebal (imun) terhadap penyakit tersebut. Pembuatan sistem penghantaran obat tertartget dapat dilakukan dengan reaksi konjugasi untuk menambatkan permukaan nanoparikel dengan 2 molekul penarget yang dapat memfasilitasi penghantaran obat secara khusus menuju sel target seperti, protein (antibiodi), asam nukleat, atau ligan lainnya (peptida, vitamin, karbohidrat) Nanopartikel yang terkonjugasi dengan monoklonal antibodi menjadi salah satu pilihan untuk terapi kanker. Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah diharapakan dapat memberikan informasi terkait proses konjugasi mengenai konjugasi vaksin maupun reagen.



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konjugasi Konjugasi (Crosslinking) merupakan suatu proses kimia untuk menggabungkan dua atau lebih molekul dengan suatu ikatan kovalen (Hayworth, 2014.). Sistem konjugasi dapat diaplikasikan untuk membuat suatu sistem termodifikasi berbasis protein yang berfungsi untuk deteksi, assay tracking atau mentarget suatu molekul biologi. Konjugasi antara suatu molekul sintetik dengan suatu protein memiliki peranan yang besar dalam dunia kesehatan, misal pada pengembangan suatu agen terapi berbasis protein dengan menggabungkan suatu polimer atau suatu molekul obat pada protein. Tujuan dari konjugasi ini adalah untuk menaikkan sifat farmakokinetik dari komponen terapinya. Dari banyak jenis sekuen asam amino protein, hanya beberapa gugus fungsional saja yang menjadi target dalam konjugasi, diantaranya adalah amina primer (-NH2), karboksilat (COOH), sulfidril (-SH) dan karbonil (-CHO). Gugus reaktif dari crosslinker telah dikarakterisasi dan digunakan untuk melabel suatu ligand, protein, peptida, karbohidrat, polimer sintesis, dan lain-lain. Crosslinker dengan dua gugus reaktif yang berbeda dapat disintesis menjadi satu bagian dengan mengkombinasikan gugus reaktif yang berbeda tersebut dengan suatu molekul. Ketika dikombinasikan maka akan terbentuk ‘back bone’ (disebut sebagai spacer arms karena menentukan jarak antar gugus reaktif) (Hayworth, 2014). 2.2. Imunisasi 2.2.1. Definisi Imunisasi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013, Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang 3



secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Upaya imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Upaya ini merupakan upaya kesehatan masyarakat yang terbukti paling cost effective. Mulai tahun 1997, upaya imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi dalam rangka pencegahan penularan terhadap Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD31), yaitu tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus, serta hepatitis B (MENKES RI, 2005). 2.2.2. Sejarah Imunisasi Untuk menentukan secara tepat kapan tindakan imunisasi dilakukan oleh nenek moyang kita untuk pertama kalinya, tidak terlalu mudah. Beberapa ahli mengklaim bahwa Mithridates Eupatoris VI seorang raja di Pontis Yunani yang hidup antara tahun 132-63 sebelum masehi, mungkin beliau selain dianggap sebagai seorang ahli imunologi pertama didunia juga merupakan orang pertama yang melakukan imunisasi secara sengaja agar mendapatkan kekebalan. Beliau telah menemukan cara agar seorang ahli kebal terhadap racun. Tindakan imnunisasi tersebut dinamakan mitridatisasi (Subowo,2010). Cara-cara imunisasi sederhana yang bertujuan mendapatkan kekebalan terhadap penyakit menular telah dipelopori oleh bangsa cina pada zaman kuno. Imunisasi dengan cara tersebut dinamakan variolasi. Namun Jenner lah yang merupakan orang pertama (1796) yang memperkenalkan cara-cara melindungi orang terhadap penyakit cacar yang lebih ilmiah dengan metode yang disebut vaksinasi. Sebagai penghargaan atas jasa Jenner yang dapat memberantas penyakit cacar diseluruh dunia, marilah kita tengok sesaat peristiwa yang terjadi lebih 2 abad yang 4



lalu di inggris. Edward Jenner sebagai seorang dokter di daerah pedasaan menaruh perhatian pada wabah cacar pada saat itu. Vaksinasi diawali oleh pengamatan Jenner pada penularan penyakit melepuh pada kaki-kaki kuda para petani kepada sapi perah yang menimbulkan infeksi pada puting susunya. Dengan demikian para gadis pemerah susupun tertular sehingga tanganyapun menderita radang sebagai bintikbintik yang dapat meluas sampai pergelangannya. Radang pada tangan-tangan yang diderita gadis-gadis tersebu selalu diikuti perkembangannya. Anehnya para gadis tersebut tidak pernah tertular penyakit cacar yang sedang mewabah pada masa itu. Jenner berpikir keras menghadapi kasus-kasus tersebut sebagai masalah. Mengapa para gadis terbebas dari penyakit cacar untuk seterusnya. Mengapa seseorang yang tertular oleh penyakit cacar sapi kebal terhadap cacar manusia? Pada saat itu Jenner belum paham sifat-sifat patogen cacar manusia. Jenner melaporkan 16 kasus yang dialami oleh para gadis yang kebal terhadap penyakit cacar manusia dalam tulisan ilmiah. Dalam laporannya Jenner sekaligus menerangkan bagaimana dia secara sengaja menorehkan “bahan” yang diperoleh dari radang kulit tangan para gadis pemerah susu pada tanggal 14 mei 1776 pada kulit lengan anak laki-laki berumur 8 tahun sepanjangan 1 inci. Dua bulan kemudian anak laki-laki tersebut ditoreh lagi kulitnya dengan “bahan”yang diperoleh dari lepuh seorang penderita cacar. Cara yang berbahaya tersebut dinamakan variolasi. Tetapi anak-anak tersebut hanya menderita radang ringan pada bekas torehan kulit. Hal tersebut disebabkan oleh kekebalan sesudah pemaparan “bahan” dari cacar sapi, terhadap cacar manusia yang mematikan. Sejak saat itu Jenner telah memulai berkecambung dalam pengetahuan imunologi sebagai pengetahuan ilmiah yang mengkaji respons tubuh terhadap bahan asing (Subowo,2010).



5



2.2.3. Klasifikasi Imunisasi Berdasarkan proses dan mekanisme pertahanan tubuh imunisasi dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif (Baratawidjaja & Rengganis, 2014). a. Imunisasi Aktif Imunisasi aktif adalah pemberian zat sebagai antigen yang diharapkan akan terjadi suatu proses infeksi buatan sehingga tubuh mengalami reaksi imunologi spesifik yang akan menghasilkan respon seluler dan humoral serta dihasilkan cell memory, sehingga apabila benar–benar terjadi infeksi maka tubuh secara cepat dapat merespon. Dalam imunisasi aktif untuk mendapatkan proteksi dapat diberikan vaksin hidup atau dilemahkan atau yang dimatikan. Vaksin yang baik harus mudah diperoleh, murah, stabil dalam cuaca ekstrim dan nonpatogenik. Efeknya harus tahan lama dan mudah direaktivasi dengan suntikan booster antigen. Baik sel B maupun sek T diaktifkan oleh imunisasi. Keuntungan dari pemberian vaksin hidup atau dilemahkan ialah terjadinya replikasi mikroba sehingga menimbulkan pajanan dengan dosis lebih besar dan respon imun ditempat infeksi alamiah. Vaksin yang dilemahkan diproduksi dengan mengubah kondisi biakan mikroorganisme dan dapat merupakan pembawa gen dari mikroorganisme lain yang sulit untuk dilemahkan. BCG merupakan pembawa yang baik untuk antigen yang memerlukan imunitas sel CD4 dan salmonella sehingga dapat memberikan imunitas melalui pemberian oral. Imunisasi intranasal telah mendapat popularitas. Resiko vaksin yang dilemahkan ialah karena dapat menjadi virulen kembali dan merupakan hal yang berbahaya untuk subyek imunokompromais. Jenis-jenis imunisasi aktif buatan antara lain adalah : 6



1. Imunisasi BCG Imunisasi ini ditujukan untuk memberikan kekebalan terhadap infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Vaksin mengandung bakteri Mycobacterium bovis (Bacillus Calmette Guerin) yang telah dilemahkan. 2. Imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus). Vaksin ini mengandung toksoid tetanus murni, toksoid defteri murni dan bakteri pertusis yang diinaktivasi untuk memperoleh kekebalan terhadap penyakit difteri, tetanus dan pertusis. 3. Imunisasi polio Vaksin yang digunakan biasanya menggunakan merupakan vaksin trivalen yang mengandung suspensi dari tipe 1, tipe 2 dan tipe 3 virus polio hidup galur sabin yang telah dilemahkan. 4. Imunisasi campak Vaksin yang digunakan adalah vaksin yang mengandung virus Measles yang telah dilemahkan 5. Imunisasi hepatitis B Vaksin hepatitis B yang digunakan biasanya merupakan vaksin rekombinan. Vaksin ini mengandung antigen virus hepatitis B, HbsAg, yang tidak menginfeksi yang dihasilkan dari biakan sel ragi dengan teknologi rekayasa DNA. 6. Imunisasi MMR Imunisasi ini dilakukan untuk memberikan kekebalan terhadap Measles, Mumps dan Rubella. 7. Imunisasi tifoid Imunisasi ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella. 8. Imunisasi Hib Imunisasi ini ditujukan untuk mendapatkan kekebalan terhadap infeksi yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae tipe B, yang disering menimbulan radang selaput otak pada bayi usia 6-12 bulan. 9. Imunisasi hepatitis A Vaksin hepatitis A mengandung virus hepatitis A (HAV) yang telah dilemahkan. 10. Imunisasi cacar air 11. Imunisasi influenza 7



Influenza adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh vius influenza, yang menyerang saluran pernapasan. b. Imunisasi Pasif Imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah antibodi sehingga kadar antibodi dalam tubuh meningkat. Imunisasi pasif dapat terjadi secara alamiah dan secara buatan. 1. Imunisasi pasif secara alamiah dapat terjadi melalui : a. Imunisasi maternal melalui plasenta Antibodi dari ibu yang sedang mengandung merupakan proteksi pasif bagi janin yang dikandungnya. IgG dari ibu dapat dipindahkan melalui plasenta kepada janinnya, sehingga bayi yang baru dilahirkan mempunyai kekebalan terhadap beberapa mikroorganisme patogen. Kadar IgG pada bayi yang didapat dari ibunya ini tidak dapat bertahan lama. oleh karena itu, harus segera dilakukan imunisasi aktif untuk dapat memproduksi sendiri antibodinya b. Imunisasi maternal melalui colostrum Air susu ibu mengandung komponen sistem imun, terutama dalam colostrum yaitu air susu ibu yang pertama keluar segera setelah melahirkan. Antibodi yang terdapat dalam air susu ibu dapat melindungi bayi dari mikroorganisme patogen yang menyerang sistem pencernaan. Beberapa antibodi antara lain anti-difteri, anti-streptococcus dan anti-toksin tetanusdapat ditemukan dalam colostrum 2. Imunisasi pasif buatan Imunisasi pasif buatan dapat dilakukan dengan cara menyuntikan antibodi tertentu kedalam tubuh seseorang yang memerlukan antibodi segera untuk mengatasi keadaan defisiensi antibodi didalam tubuhnya. Antibodi yang     



disuntikkan antara lain : Tetanus immune globuin (TIG) Varicella zaster immune globulin (VZIG) Rabies immune globulin (RIG) Hepatitis Bimmune globulin (HBIG) Vaccina immune globulin (VIG)



2.2.4. Prinsip Mekanisme Vaksinasi 8



Vaksinasi (immunoprophylaxis) bertujuan untuk membangkitkan imunitas yang efektif sehingga terbentuk efektor imunitas dan sel-sel memory. Efektor yang terbentuk dapat berupa humoral (antibodi) atau selular. Vaksinasi ini merupakan imunisasi aktif, karena tubuh dipicu agar melangsungkan proses respon imun yang menghasilkan terbentuknya efektor imunitas. Makin sering dilakukan vaksinasi makin banyak jumlah sel memory yang terbentuk. Hal tersebut didasarkan pada kebutuhan dalam vaksin sesungguhnya, yaitu tersedianya sel-sel memory yang cukup banyak. Untuk melindungi tubuh dari efek infeksi, tubuh tidak dapat mengandalkan sematamata kepada tersedianya efektor antibodi spesifik dalam tubuh karena antibodi akan mengalami proses katabolisme seperti halnya protein lainnya. Untuk melindungi tubuh dari infeksi, sel-sel memorylah yang akan merespon untuk menyediakan efektornya. Vaksinasi yang berhasil akan memberikan perlindungan kepada tubuh terhadap serangan infeksi. Hal tersebut tergantung pada beberapa hal, misalnya spesifitas vaksin, cara memberikan vaksin, potensi vaksin dalam membangkitkan respon imun, jenis vaksin dan lain-lainnya. Perlu pula diingat bahwa cara penyimpanan bahan vaksin sangat menentukan efektivitas vaksin, terutama untuk vaksin yang berisi mikroorganisme hidup (Subowo,2010). Jangka waktu perlindungan yang diberikan oleh imunitas setelah vaksinasi tergantung pada beberapa hal, misalnya mikroba yang masih hidup biasanya dapat memberikan perlindungan yang lama. Perlindungan yang lama pada vaksinasi virus belum dapat dijelaskan mekanismenya. Mungkin tubuh selalu terpapar oleh virusvirus dari alam yang mempunyai reaksi silang (Subowo,2010). Imunisasi aktif memberikan keuntungan untuk individu yang bersangkutan, tetapi bukan untuk membrantas etiologi penyakit, yang dapat melindungi masyarakat luas. Pada



kasus



tetanus,



vaksinasi



terhadap 9



tetanus



tidak



akan



membrantas



mikroorganisme yang biasanya bermukim didalam kotoran hewan yang sporanya tahan dalam tanah. Tetapi sebaliknya pada mikroorganisme penyebab penyakit yang habitatnya hanya dalam tubuh manusia. Pembentukan imunitas pada sebagian besar dari populasi akan dapat menolong melindungi seluruh masyarakat yang lebih luas apabila vaksinasi dapat menurunkan jumlah mikroorganisme. Contoh akan hal tersebut ditemui pada pelaksanaan vaksinasi terhadap cacar atau difteri, karena patogen cacar dan difteri hanya berkembang dalam tubuh manusia, maka akhirnya penyakit cacar dapat diberantas (Subowo,2010). Apabila hewan/manusia dihadapkan pada pengenalan terhadap imunogen yang sama untuk kedua kalinya sesudah beberapa minggu, beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun kemudian setelah respon imun primer, terjadilah respon imun sekunder yang dipercepat dengan ciri-ciri yaitu lebih cepat munculnya sel-sel imunokompeten dan produksi antibodinya bagi respon imun humoral. Tetapi gejala ini tergantung pada saat pengenalan imunogen yang kedua kalinya. Apabila penyuntikan imunogen (vaksin) itu terlalu cepat,yaitu pada saat dalam serum masih terdapat antibodi cukup banyak, maka imunogen yang disuntikkan tersebut akan segera bereaksi dengan antibodi yang spesifik sehingga imunogen yang baru disuntikkan tidak dapat membangkitkan respon imun sekunder. Apalagi pada pemberian imunogen yang disuntikkan tersebut dosisnya terlalu sedikit. Apabila pada pemberian imunogen tersebut dapat membangkitkan respon imun, maka proses tersebut dinamakan respon imun sekunder atau respon anamnestik (Subowo,2010). Selain timbulnya respon imun lebih cepat, respon imun anamnestik menunjukkan periode laten dengan periode pembentukkan antibodi yang lebih pendek. Lagipula pada respon imun ini paling utama diproduksi IgG (Subowo,2010).



10



2.3. Vaksin 2.3.1. Definisi Vaksin Vaksin berasal dari bahasa latin vacca (sapi) dan vaccinia (cacar sapi). Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau liar. Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya (protein, peptida, partikel serupa virus, dsb.). Vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus, atau toksin. Vaksin juga bisa membantu sistem kekebalan untuk melawan selsel degeneratif (kanker). Pemberian vaksin diberikan untuk merangsang sistem imunologi tubuh untuk membentuk antibodi spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin. Ada beberapa jenis vaksin. Namun, apa pun jenisnya tujuannya sama, yaitu menstimulasi reaksi kekebalan tanpa menimbulkan penyakit. Vaksin adalah sediaan yang mengandung zat antigenik yang mampu menimbulkan kekebalan aktif dan khas pada manusia. Vaksin dapat dibuat dari bakteri, riketsia atau virus dan dapat berupa suspense organisme hidup atau inaktif atau fraksi-fraksinya atau toksoid ( Farmakope Indonesia edisi IV). Saat ini istilah 'vaksin' berlaku untuk semua preparat biologis, yang dihasilkan dari organisme hidup, yang meningkatkan kekebalan terhadap penyakit dan mencegahnya (vaksin profilaksis) atau, dalam beberapa kasus, mengobati penyakit (vaksin terapeutik). Vaksin diberikan dalam bentuk cair, baik dengan suntikan, secara oral, atau dengan rute intranasal. Vaksin terdiri dari mikroorganisme penyebab penyakit atau beberapa komponennya.



11



2.3.2. Jenis-Jenis Vaksin Sumber vaksin terbagi atas : (Subowo,2010). a. Mikroorganisme Mati Cara yang paling sederhana untuk merusak kemampuan mikroba membuat sakit inang, tetapi tetap antigenik, yaitu dengan mencegah perbanyakannya melalui pembunuhan dengan cara tertentu. Jika parasit cacing dan protozoa sangat sulit untuk ditumbuhkan dalam jumlah yang cukup banyak untuk pembuatan vaksin yang mengandung organisme mati, tetapi sebaliknya masalah tersebut tidak timbul pada sebagian bakteria dan virus, apalagi pada umumnya mereka masih tetap dapat memberikan antigen yang diperlukan. Contoh untuk vaksin yang mengandung organisme mati: tifoid (dicampur dengan paratyphoid A dan B), kolera dan virus poliomyelitis (Salk). Dalam proses membuat mati organisme perlu diperhatikan agar tidak dibarengi adanya kerusakan antigenisitasnya yang merupakan syarat utama yang diperlukan untuk vaksin. Kerusakan antigenisitas vaksin ini pernah dialami pada tahun 1960-1961 dalam pembuatan vaksin polio Salk, sehingga berakibat terjadinya kenaikan kejadian kematian karena penyakit



polio walaupun telah diadakan vaksinasi.



Ketidakberhasilan vaksinasi tersebut disebabkan oleh lemahnya antigenisitas salah satu dari 3 jalur virus yang dipakai dalam pembuatan vaksin. Namun pada saat ini teknologi pembuatannya telah diperbaiki. Selama produksi vaksin measle pada awalnya juga terjadi kerusakan antigen fusi yang diperlukan untuk penyebaran virus yang dimatikan dalam tubuh, sehingga menimbulkan imunitas yang tidak sempurna setelah vaksinasi. Imunitas yang tidak sempurna tersebut m enyebabkan vaksinasi tidak efektif. Maka hal gtersebut berbahaya bagi daerah yang mengalami endemi penyakit tersebut atau bagi daerah yang berpenduduk yang kekurangan gizi. b. Organisme yang dilemahkan 12



Tujuan melemahkan organisme yaitu untuk memodifikasi organisme agar bertingkah laku tetap alami seperti organisme asli tanpa menyebabkan sakit yang berarti. Pada beberapa kejadian, kadang-kadang imunitas yang dibangkitkan oleh organisme yang dimatikan berkualitas lebih rendah apabila dibandingkan dengan vaksin organisme hidup. Hal ini disebabkan karena organisme hidup akan mampu memberikan antigen lebih banyak dari pada yang mati. Demikian pula pertunasan virus pada sel inang akan memperbanyak sel-sel memory T sitotoksik. Keuntungan lain pada pemakaian mikroba hidup dalam vaksin, respons imun akan berlangsung sebagian besar pada tempat yang biasanya terjadi infeksi. Keadaan ini jelas terjadi pada vaksinasi polio (Sabin) melalui mulut dapat memberikan respons IgA yang melindungi infeksi virus lebih baik dibandingkan efektivitasnya dengan apabila digunakan virus mati dengan penyuntikan (Salk). Kendala Pemakaian Vaksin Hidup Vaksin organisme yang dilemahkan seperti untuk poliomyelitis (Sabin), measle dan rubella sudahg dipakai secara luas. Namun untuk vaksin tertentu kadangkadang masih terdengar timbulnya efek yang merugikan seperti encephalitis. Efek samping lain, adanya kemungkinan timbulnya mutasi virus yang menjadi virulen. Diperlukan penyimpanan dingin untuk vaksin agar efektivitasnya tetap dipertahankan, merupakan kendala lain pemakaian vaksin hidup. c. Pemurnian Antigen Protektif Dalam Vaksin Organisme parasit atau bakteri pada umumnya mengandung sejumlah antigen yang tidak seluruhnya terlibat dalam membangkitkan respons proktektif dari inang, bahkan sebaliknya dapat membangkitkan berbagai masalah seperti supresi respon imun atau bahkan membangkitkan respon alergi. Apabila dapat dipisahkan antigen yang hanya membangkitkan respon protektif dari antigen yang lain,maka dapat dibuat vaksin yang mengandung bagian antigen yang protektif saja. Penggunaan komponen vaksin yag dimurnikan seperti eksotoksin yang dihasilkan oleh basil difteri dan tetanus telah lama digunakan sebagai imunogen.



13



Namun sebaiknya sebelum digunakan perlu ditawarkan sifat toksiknya dan hal ini dapat diperoleh dengan cara membubuhkan formaldehid yang kebetulan tidak merusak determinan imunogenik yang dikehendaki. Imunisasi dengan toksoid tersebut akan membangkitkan respons antibodi yang protektif. Selanjutnya identifikasi antigen yang protektif membuka kemungkinan dapat memproduksi vaksin secara sintetik yang ongkos pembuatannya akan lebih murah dalam jumlah yang besar. Cara mengidentifikasi antigen protektif akan dipermudah apabila antigen tersebut membangkitkan respons imun humoral. Dengan mencoba sejumlah antibodi yang dihasilkan dapatlah kemudian ditentukan antibodi yang protektif yang



dibutuhkan. Antibodi yang protektif tersebut selanjutnya dipakai untuk



memisahkan antigen protektif dari antigen yang lain. Apabila antigen protektif tersebut membangkitkan respons seluler,maka dipakai limfosit T monoklonal sebagai ganti antibodi monoklonal untuk mengidentifikasi antibodi protektif. Pembuatan antigen protektif yang telah diketahui susunan gena yang mengontrolnya menggunakan teknik “gene cloning” sehingga dapat diperoleh vaksin yang lebih murah dalam jumlah banyak. Pembuatan vaksin melalui teknik rekayasa genetik ini akan lebih sulit dilaksanakan untuk antigen yang berbentuk karbohidrat. Pembuatan dilaksanakan secara tidak langsung melalui pembuatan enzim-enzim yang terlibat dalam biosintesis karbohidrat sehingga perlu dipastikan gena yang mana yang mengontrol pembuatan enzim tersebut. Engerix-B buatan Smith Kline biological adalah vaksin HbsAg murni yang dibuat melaui rekayasa genetik. d. Anti-idiotipe Pada buku imonobiologi (Subowo 2009) dibahas tentang berbagai epitop yang terdapat pada molekul imunoglobulin, termasuk idiotipe. Idiotipe ini terdapat pada daerah Fab sehingga beberapa epitop pada imunoglobulin akan mempunyai



14



struktur yang merupakan pasangan dari bagian antigen yang membangkitkan imunoglobulin tersebut. Apabila idiotipe ini membangkitkan respons humoral, maka antibodi yang terbentuk, anti-idiotipe, akan mempunyai struktur Fab yang mirip dengan antigen semula. Apabila dapat dibuat anti-idiotipe terhadap imunoglobulin, yang mempunyai spesifisitas terhadap antigen protektif suatu vaksin, maka anti-idiotipe tersebut mempunyai struktur antigen protektif. Dengan demikian anti-idiotipe tersebut dapat dipakai sebagai komponen vaksin. Pembuatan vaksin melalui pendekatan anti-idiotipe atau sintesis peptida yang merupakan antigen pada saat ini baru dalam tahap eksperimental. Pada saat ini terdapat beberapa jenis vaksin yang digunakan untuk memperoleh kekebalan tubuh terhadap penyakit. Jenis-jenis vaksin tersebut dapat dilihat pada tabel. (Radji & Biomed, 2010). Tabel . Jenis vaksin yang digunakan untuk mencegah penyakit infeksi Jenis Penyakit



Jenis Vaksin



Difteri Meningokokal Pertusis pneumonia Tetanus Meningitis Hib Influenza Polio Rabies Cacar air Hepatitis B Hepatitis A Measles,mumps,rubella



Toksoid murni dari Diptheria Polisakarida dari Neisseria meningitidis Bordetella pertussis yang dimatikan Polisakarida dari Streptococcus pneumoniae Toksoid murni dari tetanus Polisakarida dari Haemophilus influenzae tipe b Virus influenza yang dilemahkan Virus polio yang dimatikan (Saik) atau dilemahkan (Sabin) Virus rabies yang dimatikan Virus chikenpox yang dilemahkan Fragmen antigenik dari virus hepatitis B Virus hepatitis A yang dimatikan Terdiri dari virus measles,mumps,rubelle yang dilemahkan



Sesuai dengan cara pembuatan dan pengembangannya, jenis vaksin dapat digolongkan menjadi:



15



1. Vaksin hidup (live attenuated vacine) Jenis vaksin ini mengandung mikroorganisme yang sudah dilemahkan sehingga tidak bersifat virulen. Vaksin hidup ini menyerupai mikroorganisme aslinya pada saat menimbulkan infeksi. Vaksin ini dapat memberikan perlindungan seumur hidup, terutama untuk vaksin virus. Efektifitas perlindungan seumur hidup ini dapat terjadi karena virus hidup yang telah dilemahkan tersebut dapat hidup terus menerus didalam tubuh, sehingga dapat terus merangsang produksi antibodi. Contoh vaksin yang mengandung virus yang dilemahkan antara lain adalah vaksin polio (Sabin), vaksin measles,mumps, dan rubella (MMR). Vaksin BCG dan vaksin tifoid yang digunakan secara luas pada saat ini merupakan vaksin yang mengandung bakteri yang dilemahkan. Mikroorganisme yang dilemahkan ini berasal dari muatan virus atau bakteri yang telah dibiakkan sedemikian rupa dalam waktu yang cukup lama sehingga tidak virulen. Kelemahan dari vaksin yang dilemahkan adalah kemungkinan untuk bermutasi kembali menjadi virulen sehingga menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu biasanya jenis vaksin yang dilemahkan ini tidak dianjurkan diberikan kepada penderita yang mengalami imunokompromais (Radji & Biomed, 2010). Beberapa keuntungan dari vaksin yang dilemahkan adalah:  Dapat mengaktifkan seluruh proses sistem imun untuk memproduksi igG  



dan igA Dapat meningkatkan respon imun untuk melindungi tubuh terhadap antigen Kekebalan tubuh berlangsung dalam waktu yang lebih lama dan dapat bereaksi silang, sehingga menstimulasi pembentukan antibodi yang mempunyai multiple apitopes yang mirip dengan mikroorganisme yang



 



sekerabat. Biaya produksi vaksin lebih murah Lebih cepat dalam menimbulkan respon imun



16







Lebih mudah untuk digunakan, misalnya vaksin polio dan vaksin



 



adenovirus yang digunakan secara oral Lebih mudah untuk didistribusikan Dapat digunakan untuk mengeliminasi beberapa jenis virus yang berjangkit di masyarakat



Beberapa kelemahan vaksin yang dilemahkan adalah :  



Kemungkinan dapat terjadi mutasi, sehingga kembali menjadi virulen Penyebaran vaksin virus yang tidak terstandarisasi dengan baik dan







kemungkinan bermutasi Virus yang dilemahkan



tidak



dapat



diberikan



pada



penderita



imunodefisiensi  Kadangkala tidak dapat berfungsi optimal jika digunakan pada daerah tropis 2. Vaksin Mati (Killed Vaccine/ Inactiveted Vaccine) Vaksin ini menggunakan mikroorganisme yang telah dimatikan, biasanya dengan menggunakan formalin atau fenol. Beberapa vaksin yang mengandung mikroorganisme yang dimatikan antara lain adalah vaksin rabies, vaksin polio (Sabin), vaksin pneumokokus dan vaksin kolera (Radji & Biomed, 2010). Beberapa keuntungan dari virus yang dimatikan adalah:  Dapat memberikan respon imun humoral jika diberikan vaksinasi   



ulang(booster) Tidak terjadi mutasi atau reverse menjadi virulen kembali Dapat digunakan untuk penderita imunodefisiensi Dapat digunakan dengan baik pada daerah tropis



Beberapa kelemahan vaksin yang dimatikan adalah:  Kadangkala vaksin tidak dapat merangsang kekebalan  Memerlukan pengulangan vaksinasi (booster)  Kurang baik dalam meningkatkan respon imun lokal (IgA)  Biaya produksi vaksin mahal 3. Toksoid Toksoid merupakan toksin yang telah diinaktifkan atau dimatikan untuk mempertahankan tubuh dari toksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme. Toksoid tetanus dan difteri merupakan vaksin yang telah lama digunakan untuk 17



imunisasi dasar anak dan bayi. Biasanya diberikan dalam beberapa seri untuk mendapatkan imunitas yang efektif dan diulang setiap 10 tahun sekali (Radji & Biomed, 2010). 4. Vaksin Subunit Vaksin subunit adalah vaksin yang hanya menggunakan bagian dari antigen yang terbaik untuk merangsang sistem imun. Kadang digunakan epitop, bagian spesifik antigen yang dikenal dan diikat zat anti atau sel T. Oleh karena vaksin subunit ini hanya mengandung antigen essensial, kemungkinan terjadinya reaksi yang tidak diinginkan sangat sedikit. Vaksin subunit dapat mengandung 1-20 antigen atau lebih (Baratawidjaja & Rengganis,2014). Vaksin subunit adalah vaksin yang terdiri atas makromolekul spesifik asal patogen yang dimurnikan. Ada 3 bentuk umum vaksin yang digunakan : a). Vaksin Polisakarida; b) Vaksin eksotoksin atau toksoid ; dan c) Vaksin Peptida (Baratawidjaja & Rengganis,2014) a) Vaksin polisakarida Vaksin polisakarida adalah sub-unit yang inactiveted dengan bentuknya yang unik terdiri dari atas rantai panjang molekul-molekul gula yang membentuk permukaan kapsul bakteri tertentu. vaksin polisakarida murni tersedia untuk 3 macam penyakit yaitu pneumokokus, meningkokus, dan heamophillus influenza tipe B. b) Vaksin eksotoksin atau toksoid Vaksin yang dibuat dari beberapa jenis bakteri yang menimbulkan penyakit dengan memasukkan racun dilemahkan ke dalam aliran darah. Bahan bersifat imunogenik yang dibuat dari toksin kuman. Hasil pembuatan bahan toksoid yang jadi disebut sebagai natural fluid plain toxoid yang mampu merangsang terbentuknya antibodi antitoksin. Imunisasi bakteri toksoid efektif selama satu tahun. Bahan ajuvan digunakan untuk memperlama rangsangan antigenik dan meningkatkan imunogenesitasnya. Contoh : Vaksin Difteri dan Tetanus. 18



c) Vaksin Peptida Peptida sintetik adalah vaksin subunit yang hanya mengandung epitop dari antigen protektif. Bagian lain dari protein yang menimbulkan efek supresif terhadap sistem imun, efek toksik atau bereaksi silang dengan protein endogen sudah dihilangkan. Kebanyakan peptida menginduksi respon imun yang potensinya tergantung dari jenis MHC. 5. Vaksin Rekombinan Vaksin rekombinan yang juga dikenal dengan vaksin sub-unit merupakan vaksin yang mengandung fragmen antigenik dari suatu mikroorganisme yang dapat merangsang respon imun. Vaksin sub-unit dibuat melalui teknik rekayasa genetika, untuk memperoleh fragmen antigenik dari mikroorganisme, sehingga disebut dengan vaksin rekombinan. Sebagai contoh, vaksin hepatitis B mengandung bagian protein selubung dari virus hepatitis B yang diproduksi melalui rekayasa genetika, oleh sel ragi. Vaksin rekombinan lebih aman dibandingkan dengan vaksin yang mengandung seluruh sel virus, karena fragmen antigenik yang terdapat dalam tubuh penerima. disamping itu, vaksin rekombinan umumnya tidak menimbulkan efek samping (Radji & Biomed, 2010). 6. Vaksin Konjugasi Vaksin ini dibuat untuk meningkatkan efektivitas vaksin yang terbuat dari komponen



polisakarida



selubung



mikroorganisme.



Biasanya



vaksin



ini



dikombinasi dengan toxoid difteri sehingga menghasilkan vaksin yang bersifat polivalen, dimana dalam satu kemasan vaksin terdapat dua atau tiga jenis fragmen antigenik. Contoh vaksin konjugasi adaalh vaksin DPT dan vaksin MMR (Radji & Biomed, 2010). 7. Vaksin DNA (Plasmid DNA Vaccines) Vaksin dengan pendekatan baru dalam teknologi vaksin yang memiliki potensi dalam menginduksi imunitas seluler. Dalam vaksin DNA gen tertentu dari mikroba diklon ke dalam suatu plasmid bakteri yang direkayasa untuk meningkatkan ekspresi gen yang diinsersikan ke dalam sel mamalia. Setelah 19



disuntikkan DNA plasmid akan menetap dalam nukleus sebagai episom, tidak berintegrasi kedalam DNA sel (kromosom), selanjutnya mensintesis antigen yang dikodenya (Sinaga, 2015). Selain itu vektor plasmid mengandung sekuens nukleotida yang bersifat imunostimulan yang akan menginduksi imunitas seluler. Vaksin ini berdasarkan isolasi DNA mikroba yang mengandung kode antigenyang patogen dan saat ini sedang dalam perkembangan penelitian. Hasil akhir penelitian pada binatang percobaan menunjukkan bahwa vaksin DNA (virus dan bakteri) merangsang respon humoral dan selular yang cukup kuat, sedangkan penelitian klinis pada manusia saat ini sedang dilakukan (Sinaga, 2015).



20



Gambar 1. (sumber : vaccine fact book,2012) 2.3.3. Vaksin Konjugasi Vaksin konjugasi adalah vaksin yang mengandung bakteri kapsul polisakarida yang bergabung dengan protein untuk meningkatkan imunogenisitas; Terutama: salah satunya digunakan untuk mengimunisasi bayi dan anak-anak terhadap penyakit invasif yang disebabkan oleh bakteri Hib dan mengandung poliakkilkolitik kapsul polisakarifin fosfat yang terikat ke difteri atau toksoid tetanus atau protein membran luar dari meningococcus. Vaksin konjugasi terdiri dari antigen (polisakarida atau oligosakarida) yang digabungkan secara kimiawi dengan pembawa protein (PC). Kopling dari sakarida ke protein mengubah polisakarida menjadi antigen T-dependent, yang menghasilkan respon kekebalan yang kuat pada bayi dan orang dewasa. Vaksin "glikokonjugat" ini menghasilkan bantuan sel T untuk sel B yang menghasilkan antibodi IgG pada polisakarida terkonjugasi. Glycoconjugates menginduksi pengalihan IgM-to-IgG PSspesifik, pengembangan sel B memori, pematangan afinitas, dan memori sel T lama. 21



Vaksin glycoconjugate telah memainkan peran besar dalam mencegah penyakit menular yang disebabkan oleh patogen jahat seperti H. influenzae, Streptococcus pneumoniae, dan Neisseria meningitidis. Vaksin glycoconjugasi pertama yang digunakan pada manusia adalah konjugat Haemophilus influenzae tipe b (Hib), yang dilisensikan di AS pada tahun 1987 dan segera setelah itu dimasukkan ke dalam jadwal imunisasi bayi di Amerika Serikat. Keberhasilan vaksin konjugasi Hib dalam mengurangi kejadian penyakit Hib invasif pada masa kanak-kanak telah mempercepat pengembangan vaksin konjugasi yang dirancang untuk mencegah infeksi oleh bakteri yang dienkapsulasi lainnya. Kredensial yang mendorong pengembangan vaksin semacam itu adalah kebutuhan untuk menemukan formulasi vaksin yang membuat bakteri kapsul polisakarida imunogenik pada mereka yang paling berisiko terinfeksi (Goldblatt, 2000). Patogen



seperti



Neisseria



meningitidis



serogroup



C,



Streptococcus



pneumoniae dan Hib adalah penyebab utama meningitis pada masa kanak-kanak serta sindrom infeksi lainnya dan memiliki kapsul polisakarida yang sama (walaupun memiliki struktur yang berbeda) yang bertindak baik sebagai penentu virulensi dan target untuk perlindungan antibodi. Pentingnya patogen ini pada orang muda sebagian dapat dijelaskan oleh imunogenisitas yang rendah dari beberapa polisakarida pada kelompok usia ini dan akibatnya ketidakmampuan bayi dan anak kecil untuk meningkatkan respons perlindungan antibodi. Vaksin yang mengandung Hib atau polisakarida kapsul pneumokokus sendiri telah gagal untuk secara konsisten melindungi kelompok berisiko tinggi ini dari infeksi (Goldblatt D,2000). Keuntungan utama dari teknologi konjugasi yang digunakan pada vaksin bakteri, karena pembangkitan yang tergantung respon imun sel T, secara singkat diuraikan:



22



a)



Perbaikan priming: imunogenik juga di Indonesia bayi dan anak kecil (Ab-



b)



response, predomi dari isotipe IgG1). Kemampuan untuk memunculkan ingatan respon imunogenik (produksi memori lama B-sel) dan efek penguat pada kontak baru dengan antigen spesifik (vaksinasi



c)



ulang). Kemampuan menuju kematangan afinitas Respon-Ab, dengan konsekuensinya



d) e)



peningkatan ab - ag fit dan memperbaiki fungsi opsonising Membentuk respon imun mukosa (sekretori IgA dan IgG aktif mukosalnya). Pengurangan gerbong mukosa (prasyarat dari perlindungan kawanan) Antigen polisakarida adalah molekul besar yang terdiri dari epitop berulang



yang tidak diproses oleh sel penyajian antigen (APC) namun berinteraksi langsung dengan sel B, menginduksi sintesis antibodi tanpa adanya sel T (dengan demikian merupakan antigen T-independen). Sel T dapat mempengaruhi respons antibodi terhadap polisakarida tertentu, seperti polisakarida kapsular tipe S. pneumonia, namun persyaratan mutlak untuk sel T belum ditunjukkan. Respons T-Independent dibatasi dalam beberapa cara. Yang terpenting, mereka gagal menginduksi jumlah antibodi yang signifikan dan berkelanjutan pada anak-anak di bawah usia 18 bulan. Sementara polisakarida bersifat imunogenik pada anak-anak dan orang dewasa yang lebih tua, karakteristik respons antibodi agak terbatas. Mereka didominasi oleh IgM dan IgG2, hidup relatif singkat dan respon pendorong tidak dapat dipicu pada paparan berulang. Kegagalan untuk menginduksi memori imunologis juga tercermin dalam tidak adanya pematangan afinitas yang dapat ditunjukkan. Berbeda dengan polisakarida, respon antibodi terhadap antigen protein memiliki kebutuhan mutlak untuk sel T. Konsekuensi dari bantuan sel T ini adalah tanggapan antibodi terhadap antigen protein dapat ditimbulkan pada usia sangat muda dan kekebalannya sudah lama dijalani karena adanya ingatan imunologis. Respon antibodi terhadap antigen protein



23



didominasi oleh subkelas IgG1 dan IgG3 dan pematangan afinitas dapat ditunjukkan dari waktu ke waktu (Goldblatt D,2000).



Gambar 2. Glikoprotein Kojugasi (T-Dependent) Vaksin yang dikembangkan untuk melawan bakteri dengan kapsul polisakarida terbagi menjadi dua kategori utama: a. Vaksin Polisakarida b. Vaksin Konjugasi Polisakarida a) Vaksin Polisakarida Vaksin polisakarida telah digunakan selama beberapa dekade untuk membantu mencegah sejumlah penyakit, termasuk penyakit meningokokus, bakteri pneumokokus dan Hib. Polisakarida pada beberapa bakteri membantu tubuh mendeteksi dan menghancurkannya, jadi vaksin polisakarida biasa dikembangkan untuk melatih sistem kekebalan tubuh untuk membangun respons kekebalan terhadap kapsul polisakarida. Vaksin polisakarida telah efektif dalam melindungi individu



terhadap



penyakit invasif dan berpotensi mengancam nyawa, namun vaksin ini juga memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya: (a). Sedikit atau hanya berdampak jangka pendek pada bakteri carrier  Orang bisa terinfeksi bakteri selama berbulan-bulan atau bertahuntahun tanpa gejala, namun tetap bisa menularkannya ke orang lain. 24







Kontak dekat dengan carrier dapat meningkatkan risiko tertular bakteri hingga 800 kali lipat.



(b). Penurunan respon imun setelah pemberian dosis berulang 



Dalam



kasus



penyakit



meningokokus,



pihak



berwenang



merekomendasikan bahwa orang yang memiliki risiko tinggi infeksi 



menerima vaksinasi setiap beberapa tahun sekali. Orang yang berisiko tinggi adalah orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang dikenal karena wabah meningokokus



(c). Kemampuan terbatas untuk melindungi anak di bawah usia 2 tahun. b) Vaksin Konjugasi Vaksin polisakarida konjugasi - atau vaksin konjugasi - dikembangkan dengan menempelkan antigen polisakarida ke protein pembawa, yang membantu tubuh mengenali antigen sebagai zat asing yang harus dihancurkan. Metode ini meningkatkan respon kekebalan tubuh terhadap vaksin. Vaksin konjugasi memiliki beberapa kelebihan, diantaranya: (a). Perlindungan terhadap bakteri  Vaksin konjugasi memberikan perlindungan jangka panjang daripada 



vaksin polisakarida biasa Vaksin konjugasi juga lebih cenderung mempertahankan tingkat perlindungan yang konsisten dengan dosis berulang



(b). Mengurangi jumlah penularan 



Mengurangi jumlah orang yang membawa bakteri pada hidung atau tenggorokan sehingga dapat menurunkan jumlah orang yang







menyebarkan penyakit. Dengan mengurangi jumlah orang yang membawa bakteri, lebih sedikit orang akan bersentuhan dan berpotensi terjangkit penyakit, sebuah konsep yang dikenal sebagai imunitas kawanan.



(c). Mampu memberikan respon imun protektif pada bayi



25



Gambar 3. Gambaran Vaksin Polisakarida dan Vaksin Konjugasi Polisakarida 2.4. Reagen Teknik konjugasi tergantung pada gugus fungsional reaktif dari reagen crosslinking maupun dari molekul target. Jika salah satu tidak memiliki gugus reaktif, atau jika keduanya tidak kompatibel maka reaksi konjugasi tidak akan berhasil (Hermanson, 1996). Sehingga jika ingin mendapatkan hasil reaksi yang optimal, perlu dilakukan pemilihan antara reagen crosslinking dan molekul target yang tepat. Biokonjugasi adalah penghubung dua biomolekul untuk membentuk yang ketiga, yaitu bioconjugate, yang mempertahankan sifat masing-masing individu namun menambah kemampuan yang lebih besar kombinasi. Biomolekul ada dan berfungsi di lingkungan berair, oleh karena itu kimia bioconjugate terutama tentang "kimia dalam air." setiap biokonjugasi yang sesuai kimia harus kompatibel dengan lingkungan seperti itu, sekaligus pada saat yang sama melestarikan aktivitas biologis atau fungsi biomolekul apapun. Konjugasi umumnya terbentuk melalui pengenalan kelompok fungsional terpisah ke masing-masing dua biomolekul dan kemudian dicampur bersama untuk membentuk bioconjugate yang diinginkan. Dalam diagnostik, ELISA (enzyme-linked immunosorbent assays) paling banyak metode berbasis konjugasi yang digunakan secara luas untuk mendeteksi antigen terkait penyakit pada keduanya penelitian dan lingkungan klinis. Biokonjugat juga digunakan



26



dalam teknik imunohistokimia klasik yang menggunakan konjugat antibodi neon atau enzim melokalisasi dan mengenali komponen seluler secara spasial. Metode in situ sudah banyak digunakan untuk mendeteksi berbagai komponen seluler yang meliputi:     



Protein sitoplasma dan nuklir DNA genomik RNA, termasuk MRNA, RRNA, dan MIRNAS Komponen struktural seperti organel dan mikrofilamen.



Konjugasi Linker Reagen Semua reagen linker konjugasi SoluLinK berbagi seperangkat fitur yang kuat dengan manfaat yang signifikan: Stabil: membentuk ikatan hidrazon yang stabil (94ºC 2 jam) Terproteksi: konfirmasi spektral pembentukan konjugat dan pemurnian Konjugasi Kontrol: rasio substitusi molar yang mudah ditentukan Biokompatibel: mengurangi Zat yang tidak diperlukan, misalnya cyanoborohydride Specificity: linkers bereaksi







hanya satu sama lain dengan adanya -NH2, -SH, -COOH dan fungsi protein lainnya. Proses konjugasi memberi manfaat standar untuk semua reagen linker:



27



 Konjugasi Haptens (Peptida) ke Protein Pembawa Molekul dengan massa molar yang rendah, diantaranya, sebagai contoh peptida sintesis kimia, dimana dalam beberapa kasus tidak dapat masuk untuk menginduksi antibody pada hewan, dengan demikian molekul ini harus berikatan atau berkonjugasi dengan molekul pembawa. Beberapa contoh pembawa hemolymph dari eatable



snail



makromolekul adalah



keyhole limpet Megathura crenulata (KLH), Helix



pomatia,



hemolymph



dari



horseshoe



hemolymph dari crab



Limulus



polyphemus,Albumin serum kationisasi, telur ayam ovalbumin, thyreoglobulin, atau Dekstran. Adapun reagen kopling yang digunakan untuk hapten-carier konjugasi adalah sebagai berikut : 28



29



BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013, Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan. b. Berdasarkan proses dan mekanisme pertahanan tubuh imunisasi dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif (Baratawidjaja & Rengganis, 2014). c. Konjugasi (Crosslinking) merupakan suatu proses kimia untuk menggabungkan dua atau lebih molekul dengan suatu ikatan kovalen (Hayworth, 2014.). Sistem konjugasi dapat diaplikasikan untuk membuat suatu sistem termodifikasi berbasis protein yang berfungsi untuk deteksi, assay tracking atau mentarget suatu molekul biologi (Hermanson, 1996). d. Tujuan dari konjugasi ini adalah untuk menaikkan sifat farmakokinetik dari komponen terapinya (Witus, 2012). e. Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau liar. f. Pada dasarnya vaksin (imunisasi aktif), dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu (Suyitno, 2011) (a) Live attenuated (bakteri atau virus hidup yang dilemahkan) dan (b) Inactivated (bakteri, virus atau komponennya yang dibuat tidak aktif). g. Menurut Hadinegoro (2011), beberapa jenis vaksin yang dibuat berdasarkan proses produksinya antara lain : Vaksin hidup (live attenuated vacine) ; Vaksin Mati (Killed Vaccine/ Inactiveted Vaccine) ; Vaksin Subunit ; Vaksin Konjugat ; Rekombinan ; Vaksin DNA Plasma (Plasmid DNA Vaccine) dan Vaksin Idiotipe. h. Vaksin konjugasi adalah Vaksin yang mengandung bakteri kapsul polisakarida yang bergabung dengan protein untuk meningkatkan imunogenisitas; Terutama: salah satunya digunakan untuk mengimunisasi bayi dan anak-anak terhadap penyakit invasif yang disebabkan oleh bakteri Hib dan mengandung poliakkilkolitik kapsul 30



polisakarifin fosfat yang terikat ke difteri atau toksoid tetanus atau protein membran luar dari meningococcus. i. Vaksin konjugasi terdiri dari antigen (polisakarida atau oligosakarida) yang digabungkan secara kimiawi dengan pembawa protein (PC). j. Vaksin yang dikembangkan untuk melawan bakteri dengan kapsul polisakarida terbagi menjadi dua kategori utama: 1) Plain polysaccharide 2) Conjugate polysaccharide 3.2. Saran Demikianlah isi pembahasan dari makalah penulis. Namun sebagai manusia yang tidak sempurna kami menyadari bahwa ada banyak kesalahan serta kekurangan yang terdapat di dalamnya baik dalam dari segi isi, pengetikan, dan kesalahan-kesalahan lain yang terjadi. Untuk itu penulis mohon maaf. Namun segala masukan, tanggapan, saran, serta kritikan yang bersifat menbangun sangat kami harapkan untuk makalan ini guna bisa bermanfaat bagi banyak orang. Terima kasih.



31



DAFTAR PUSTAKA Baratawidjaja, K.G., & Rengganis, I. 2014. Imunologi Dasar Edisi ke-11 (Cetakan ke-2). Jakarta: FKUI. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Durando, P., Faust, S.N., & Torres, A. 2015. Immunological Features and Clinical Benefits of Conjugate Vaccines against Bacteria. Hindawi Publishing Corporation. Journal of Immunology Research, Volume 2015, Article ID 934504, 3 pages. Goldblatt, D. 2000. Conjugate vaccines. Clin Exp Immunol, 119:1–3. Hayworth, D., 2014, Chemistry of Crosslinking, http://www.piercenet.com/method/chemistrycrosslinking, diakses pada 28 April 2017. Novartis. Vaccine Development: Conjugate vs. Polysaccharide, http://preview.thenewsmarket.com/Previews/NVS/DocumentAssets/174577.pdf, diakses pada 28 April 2017. Radji, M., & Biomed, M. 2010. Imunologi & Virologi. Jakarta : PT. ISFI Penerbitan Sinaga, A. 2015. Modul Imunologi Program Studi Farmasi. Lubuk Pakam : STIKes Medistra. Subowo. 1993. Imunologi Klinik. Bandung : ANGKASA Subowo. 2010. Imunologi Klinik edisi ke-2. Bandung : ANGKASA SoluLink. 2007. Conjugation Reagent & Services. https://secure.eurogentec.com/EGT/files/SoluLinK%20Catalog%20No%20Prices.pdf, diakses pada 29 April 2017.



32