Contoh Draft Nota Pembelaan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NOTA PEMBELAAN (PLEIDOII) atas Tuntutan Jaksa Penuntut Umum melalui Surat Tuntutan No. Reg. PERK : PDM-341/06/2019 dalam perkara pidana No. 484/Pid.Sus/2019/PN Bpp Untuk dan atas nama Terdakwa : Nama Tempat & Tanggal Lahir Usia Jenis Kelamin Kewarganegaraan Tempat Tinggal



: : : : : :



Agama : Pekerjaan : Pendidikan : (selanjutnya disebut ‘Klien)



RUDY LEE Hessa Airgenting (Sumatera Utara), 15 Nopember 1982 35 Tahun Laki-Laki Indonesia Jl. Baronang, No. 20, RT21, Kelurahan Manggar Baru, Kecamatan Balikpapan Timur, Kota Balikpapan Budha Wiraswasta SLTA



Berdasarkan Surat Kuasa Khusus/Special Of Attorney tertanggal 6 Juli 2019 Perkenankanlah saya JERRY FERNANDEZ, SH.,CLA. Advokat pada Kantor Hukum J. Fernandez & Co, berkedudukan di Tarakan, beralamat di Jalan Cendrawasih, No. 56, RT11, Kel. Karang Anyar Pantai, Kecamatan Tarakan Barat, Kalimantan Utara,. KEPADA YTH, Majelis Hakim yang terhormat, Saudara Penuntut Umum yang kami hormati, Di,BALIKPAPAN Dengan hormat, Semoga Selalu Dalam Lindungan Allah SWT Dalam Menjalani Kehidupan Sehari-Hari. Setelah mendengar dan membaca tuntutan pidana atas klien kami pada sidang tertanggal 25 Juli 2019, maka pada sidang hari ini, Senin tanggal 29 Juli 2019 kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa menyampaikan hal ihwal yang berkaitan dengan Pembelaan atas diri klien kami sebagai berikut :



I.



PENDAHULUAN/OPENING STATEMENT; Majelis Hakim Yang Terhormat,



Bahwa sebelumnya perlu kami sampaikan atau setidak-tidaknya kita sesama penegak hukum dapat menyamakan persepsi atas hakikat keberadaan hukum. Dimana secara umum memiliki tujuan antara lain agar terciptanya keadilan, azas kepastian, dan kemanfaatan hukum. Namun dalam perkara a quo, tidaklah berlebihan jika di dalam benak kami dengan sendirinya timbul suatu persepsi bahwasanya betapa sulitnya tujuan hukum itu mendekati capaiannya. Utamanya dari segi formil, pemeriksaanpemeriksaan terhadap para terdakwa menimbulkan kesan dipaksakan. Bahkan dalam pada itu, saudara Jaksa Penuntut Umum seolah sengaja mem”buta”kan diri dan tidak mau tahu sehingga mengabaikan syarat-syarat keberlakuan atas ketentuan formalitas pemeriksaan perkara. Bertindak suka-suka (a bene placito), kaidah-kaidah hukum normatif formil telah nyata dikesampingkan dan bahkan dianggap tidak ada oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara a quo, yang mana jika kita bertolak ke fase pra-ajudikasi dalam pemeriksaan pendahuluan diketahui proses penyidikan tidak berlangsung secara adil dimana Terdakwa (Tersangka dahulu) dengan penyidik kepolisian tidak memiliki hak yang sebanding dengan kata lain kekuasaan penyidik terlalu dominan dan desisif/menentukan sehingga sudah barang tentu pembuatan BAP mengandung error in jurisdictio, apalagi berkas perkara yang seyogyanya diberikan Jaksa sebelum pembacaan Surat Dakwaan malah diberikan setelah Pembacaan Tuntutan. Padahal waktu penyerahan berkas perkara sebelum Surat Dakwaan itu bersifat Imperatif/Memaksa. Imbas daripada kandungan error in jurisdiction tersebut, mengakibatkan kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa sesungguhnya KEBINGUNGAN untuk menyusun upaya pembelaan dikarenakan tidak terpenuhinya syarat kelengkapan pelimpahan perkara sebagaimana dimaksud pada penjelasan pasal 72 KUHAP. Tidak hanya kami selaku pembela, bahkan majelis hakim pun kami yakini akan sangat kesulitan untuk melakukan sekaligus menentukan langkah pembatasan ruang lingkup pemeriksaan sehingga nantinya keragu-raguanlah yang akan timbul dalam langkah-langkah normatif pengambilan keputusan penghukuman. Dalam hal ini, kami berharap majelis hakim yang kami muliakan dapat setidak-tidaknya menggenapi keraguan tersebut dengan senantiasa mengedepankan asas in dubio proreo (Vide-Yurisprudensi MA No.33K/MIL/2009) Majelis Hakim yang kami muliakan, Sesungguhnya Nota Pembelaan ini adalah salah satu alat peradilan untuk membantu majelis hakim agar sampai pada suatu keyakinan dan dengan keyakinan ini kesalahan atas suatu perbuatan dapat ditentukan secara benar, adil dan baik bagi Terdakwa, dan bagi Masyarakat secara luas agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang diperlihatkan Penuntut dalam perkara a quo uang justru bukan Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum yang didapat melainkan suatu bentuk pengebirian dalam



berusaha, berinvestasi dan/atau bekerja sebagaimana layaknya sehingga lebih bermuara pada suatu bentuk KRIMINALISASI Hal tuntutan yang demikian tidaklah mengherankan bagi kami lantaran hingga akhir pembacaan tuntutan baik Terdakwa maupun Penasehat Hukum ataupun Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo TIDAK PERNAH ditunjukkan dasar kompetensi Jaksa a quo sebagai requisitor dalam penuntutan pada tindak pidana perikanan padahal merupakan suatu prasyarat yang bersifat IMPERATIF pula bahwasanya penuntut umum perkara tindak pidana perikanan WAJIB telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan (Vide-Pasal 75 ayat (2) huruf b UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan). Lantas apakah Surat Dakwaan sertaTuntutan yang diajukan oleh requisitor yang tidak memenuhi persyaratan undang-undang seperti ini layak untuk dijadikan dasar pertimbangan bagi penguatan keyakinan hakim terhadap unsur kesalahan bagi diri terdakwa?; Persidangan yang dimuliakan, Bahwa kami sangat mengapresiasi cermat dan lengkapnya Saudara penuntut dalam menyusun kembali tiap-tiap keterangan saksi yang dihadirkan di persidangan sehingga tidak perlu kami ulangi secara utuh keterangan tersebut melainkan hanya yang berkaitan dengan pembelaan kami dalam Nota Pembelaan ini. Sebab, tidak dengan sendirinya keterangan atau pernyataan adalah fakta hukum melainkan harus terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap keterangan dan/atau pernyataan itu bernilai atau tidak secara hukum pembuktian sehingga dapat diterima sebagai fakta hukum guna membuktikan unsur-unsur delik sebagaimana disangkakan. II.



TENTANG PRADUGA HUKUM & PASAL YANG DISANGKAKAN;



Bahwa Terdakwa telah dituduh melakukan suatu kejahatan sebagaimana persangkaan hukum yang diatur dalam pasal 16 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang berbunyi “..Setiap orang dilarang memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia..” a. Bahwa Saudara penuntut TELAH SALAH/KELIRU dalam memaknai dan menerapkan persangkaan hukum sebagaimana dituduhkan kepada Terdakwa dengan sekonyong-konyong mengaitkannya dengan Permen KP No. 56 tahun 2016 tentang Larangan Pengeluaran Kepiting, Lobster dan Rajungan. Sebab terkait pasal yang dituduhkan itu, terang dan nyata dijelaskan bahwasanya dalam ayat (2) nya dimaktubkan yakni “..Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran, dan/atau pemeliharaan ikan sebagaimana dimaksud ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Hal in berarti jika terdakwa harus dijerat dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU 31 Th 2004 maka tentu saja menurut teori perundang-undangan harus dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2017 tentang Pembudidayaan Ikan sebagai aturan pelaksanaannya yang berfungsi



sebagai penjelas atau dengan kata lain agar dimaknai secara khusus keberlakuan perundang-undangan tersebut. Sebagai bukti korelasi perundang-undangan yang jelas antara UU No. 31/2004 dengan PP No. 28/2017 dapat kita lihat pada pasal 67, PP 28/2017 itu, sebagai berikut : (1) Setiap orang dilarang memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; (2) Kriteria Ikan yang merugikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ikan yang : a. Bersifat buas atau pemangsa bagi ikan spesies lain yang dapat mengancam penurunan populasi ikan lainnya; b. Mengandung racun/biotoksin; c. Bersifat parasit; dan/atau d. Melukai/membahayakan keselamatan jiwa manusia; (3) Ketentuan mengenai jenis ikan yang merugikan sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri berdasarkan pada ayat (3) PP. 28/2017 itu Menteri Kelautan dan Perikanan telah menentukan Jenis Ikan yang merugikan dengan tetap mengacu pada aturan yang tertuang dalam Permen KP No. 41/PERMENKP/2014 yang mana dalam lampiran Permen KP.41/2014 itu telah ditentukan 152 Jenis Ikan yang merugikan yang sedikitnya terdapat 5 Jenis Ikan yang dapat dipersamakan atau dengan kata lain memiliki bentuk yang sama berkategori memiliki capit dan dinamakan juga Kepiting karena masuk dalam Kelompok Crustacea yakni antara lain : 1. No. 22 : Carcinus Maenas/Kepiting Hijau



2. No. 26 : Charibdis Helleri



3. No. 27 : Charybdis Japonica



4. No. 48 : Eriocheirs Sinensis



5. No. 60 : Hemigrapsus Sanguineus



Sedangkan dalam perkara a quo, sebagaimana pula dibenarkan oleh keterangan saksi ANTON PANJI MAHENDRA dan juga oleh Terdakwa sendiri bahwasanya Kepiting yang dijadikan obyek perkara a quo adalah jenis Kepiting Bakau dengan nama latin Scylla Seratta yang dalam Permen KP.41/2014 BUKAN MERUPAKAN/TERMASUK IKAN YANG MERUGIKAN sebagaimana dimaksud Pasal 6, UU No. 31/2004 tentang Perikanan dan berikut peraturan turunannya sehingga dalam hal ini SECARA SAH DAN MEYAKINKAN saudara Terdakwa telah TIDAK TERBUKTI melakukan suatu pelanggaran/kejahatan sebagaimana dituduhkan saudara Penuntut Umum karena terdapat ketidaksesuaian antara rangkaian Fakta Peristiwa yang dikemukakan Saudara Penuntut dengan ketentuan pasal yang dijeratkan terhadap Terdakwa a quo sehingga berimplikasi hukum tuduhan/tuntutan Jaksa Penuntut Umum menjadi samar, tantar/kabur. Atas dasar itu demi menjunjung tinggi keadilan dan kepastian hukum sudah sepantasnyalah Terdakwa DIBEBASKAN DARI SEGALA TUDUHAN atau setidak-tidaknya DILEPASKAN DARI SEGALA TUNTUTAN (Vide-Yurisprudensi MA No. 492 K/Kr/1981); b. Sebagaimana pasal 5, UU No. 31 Tahun 2004 ayat (2) yang berbunyi “Pengelolaan Perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan dan/atau standar internasional yang diterima secara umum” maka dapat dimaknai bahwa usaha perikanan yang dilakoni Terdakwa merupakan kegiatan yang diatur pada Permen KP No. 56/2016. Untuk itu maka terhadap komoditas Kepiting (Scylla Serrata) tindakan pengawasannya hanya SAH jika dilakukan oleh Petugas Karantina dalam hal ini Balai Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (BKIPM) Kota Balikpapan sebagaimana termaktub dalam Pasal 8. “..(3) Pengawasan komoditas Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) ditempat pemasukan dan/atau pengeluaran dilakukan oleh petugas karantina..” . Sedangkan dalam perkara a quo, Tindakan pemeriksaan dilakukan oleh Ditreskrimsus Polda Kaltim yang tidak memiliki kompetensi khusus di Bidang Perikanan sehingga tidaklah mengherankan dan berlebihan jika dihadapkannya Terdakwa ke muka persidangan merupakan suatu tindakan yang Unprocedural dengan kata lain Terdakwa dalam hal ini telah dituntut dan diadili tanpa alasan UndangUndang;



Persidangan yang dimuliakan, Agar diketahui bersama baik para penegak hukum maupun masyarakat luas, tindakan pengawasan yang dilakukan petugas Karantina wajib berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan yang mana telah diatur secara pasti tindakan pengeluaran yang dilakukan Terdakwa telah melalui prosedur dan mekanisme yang sah secara hukum. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 31 ”.. Apabila setelah dilakukan pemeriksaan untuk Media Pembawa yang dikeluarkan dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia, ternyata Media Pembawa tersebut : a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan tidak tertular hama dan penyakit ikan yang disyaratkan oleh Negara tujuan, maka Media Pembawa tersebut dilakukan pembebasan dengan diberikan Sertifikat Kesehatan; b. merupakan Media Pembawa yang dilarang pemasukannya ke Negara tujuan, maka Media Pembawa tersebut ditolak pengeluarannya; c. busuk atau rusak, maka Media Pembawa tersebut ditolak pengeluarannya; d. tertular hama dan penyakit ikan yang disyaratkan oleh Negara tujuan, maka Media Pembawa tersebut diberi perlakuan; e. merupakan Media Pembawa yang pengeluarannya memerlukan tindakan pengasingan dan pengamatan, maka Media Pembawa tersebut diasingkan untuk diamati. Dalam perkara a quo, sebagaimana pernah diperlihatkan di muka persidangan bahwasanya Terdakwa telah memiliki Sertifikat Kesehatan yang diterbitkan oleh BKIPM sebagai prasyarat agar dapat melakukan pengiriman atas produk hasil perikanan ke luar negeri dan dikuatkan pula oleh keterangan saksi dalam persidangan dari BKIPM bernama FITRI NOERHIDAYANTI Binti SUKARJO (Vide. Hal 13-15 Surat Tuntutan) ANTON PANJI MAHENDRA (Vide-Hal 18 Surat Tuntutan JPU) yang dalam keterangannya tersebut menyatakan bahwasanya Terdakwa tidak melakukan pelanggaran Undang-Undang karena semua aspek persyaratan ekspor baik secara administrasi maupun teknis serta prosedur tentang tindak karantina ekspor telah dilakukan. Atas dasar itu, berdasarkan Asas Geen Straf Zonder Schuld (Tiada Pidana Tanpa Kesalahan) demi Kepastian Hukum dan Keadilan sudah sepatutnya Terdakwa DIBEBASKAN DARI SEGALA TUDUHAN atau setidak-tidaknya DILEPASKAN DARI SEGALA TUNTUTAN; III.



TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ATAS PERISTIWA; a. Bahwa perlu kami sederhanakan uraian peristiwa yang terjadi sebagaimana fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan yang dikaitkan dengan persangkaan hukum Bab II Huruf b Nota Pembelaan ini. agar timbul kesamaan persepsi atas nilai-nilai perbuatan yang terkandung di dalamnya serta akibat-akibat hukum yang dapat/menjadi timbul karenanya yakni :



-



-



-



-



Bahwa Terdakwa merupakan seorang pengusaha di bidang perikanan yang mana dalam menjalankan kegiatan usahanya telah dilengkapi perizinan-perizinan khusus sebagaimana terungkap dalam fakta persidangan segala perizinan telah dilengkapi semua; Bahwa pada suatu waktu tertentu Terdakwa berniat melakukan pengiriman produk hasil perikanan berupa Kepiting Bakau (Scylla Seratta) dengan tujuan Singapura; Bahwa menurut UU, persyaratan utama agar dapat melakukan pengiriman/ekspor adalah telah melalui fase tindakan karantina/pemeriksaan yang dilakukan oleh Petugas Karantina (BKIPM); Bahwa setelah dilakukan pemeriksaan dan atas hal rencana pengiriman itu disetujui maka Petugas Karantina menerbitkan Sertifikat Kesehatan; Bahwa dengan kata lain, jika tidak disetujui untuk dilakukan pengiriman maka BKIPM menurut hukum harus menerbitkan Surat Penolakan; Hal ini berarti segala tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa terang dan nyata atas PERSETUJUAN daripada PEJABAT BERWENANG dalam hal ini Petugas Karantina sebab Terdakwa TIDAK MUNGKIN PERNAH dapat melakukan tindakan pengiriman bilamana tanpa PERBUATAN HUKUM TERDAHULU yakni adanya pemberian izin berupa Sertifikat Kesehatan sebagaimana diatur dalam pasal 31 PP No. 25/2002 yang menyertainya maka menurut hukum unsur kesalahan (schuld) atas diri Terdakwa TIDAK TERPENUHI karena bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran, untuk itu sudah sepatutnyalah Terdakwa DILEPASKAN DARI SEGALA TUNTUTAN. (Vide-Yurisprudensi MA No. 54 K/KR/1975 tertanggal 25 November 1975)



b. Bahwa perbuatan Terdakwa dalam hal ini mengirimkan Kepiting Banci/Hanya Memiliki Sel Telur belum ada sanksi pidana atau BUKAN MERUPAKAN TINDAK PIDANA. Terlebih lagi, Saudara Penuntut sekali lagi kami katakan dalam mengemukakan kesalahan Terdakwa tidak beralasan atas ketentuan hukum sama sekali sehingga cenderung GAGAL dan/atau tidak dapat membuktikan sisi kesalahan mutlak Terdakwa. Maka dari itu secara sah dan meyakinkan perbuatan perbuatan Terdakwa tidaklah memenuhi unsur Kejahatan ataupun Pelanggaran sehingga berdasarkan asas “nullum dellictum nulla poena sine praevia lege poenali” telah terang dan nyata perbuatan Terdakwa TIDAK DIPIDANA; (Vide: Pasal 1 ayat 1 KUHP) IV.



TENTANG UNSUR DELIK; Bahwa oleh karena saudara penuntut telah terang dan nyata SALAH/KELIRU dalam menerapkan hukum yang berlaku berkaitan dengan kesalahan Terdakwa maka menurut kami unsur delik persangkaan yang terkandung didalam perkara a quo tidak perlu kami bahas lebih jauh;



V.



TENTANG KEGAGALAN PEMBUKTIAN JAKSA PENUNTUT UMUM; Bahwa untuk dapat membuktikan kesalahan Terdakwa saudara penuntut berkewajiban menyampaikan alat bukti yang sah sehingga dalam pada itu hakim boleh menjatuhkan hukuman karena telah tercukupi sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya (Vide-Pasal 183 KUHAP). Dalam lapangan hukum pidana di Indonesia menurut Doktrin sistem pembuktian pidana yang diberlakukan adalah sistem pembuktian negatif/negatief wettelijk bewijsleer karena yang dicari oleh hakim adalah suatu kebenaran materiil/materiele waarheid. Sehingga agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di Pengadilan diperlukan beberapa syarat-syarat sebagai berikut : 1. Diperkenankan oleh Undang-Undang untuk dipakai sebagai alat bukti; 2. Reability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (Misalnya, tidak palsu); 3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta; 4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan; Oleh karena relevansi alat bukti merupakan hal pertama yang harus diputuskan oleh majelis hakim dalam proses pembuktian suatu fakta di Pengadilan maka kami mengutamakan mengulas hal ihwal tentang relevansi alat bukti atas perkara a quo karena persyaratan utama diterimanya suatu alat bukti oleh pengadilan yakni alat bukti tersebut haruslah relevan dengan yang akan dibuktikan. Jika alat bukti tersebut tidak relevan, Pengadilan atau Majelis Hakim harus menolak bukti semacam itu karena menerima bukti yang tidak relevan akan membawa resiko tertentu bagi proses pencarian keadilan, yaitu : -



-



Membuang-buang waktu sehingga dapat memperlambat proses peradilan; Dapat menjadi misleading yang menimbulkan praduga-praduga yang tidak perlu; Penilaian terhadap masalah menjadi tidak proporsional dengan membesar-besarkan yang sebenarnya kecil, atau mengecilkan yang sebenarnya besar, Membuat proses peradilan menjadi tidak rasional



Suatu Relevansi alat bukti bukan hanya diukur dari ada atau tidaknya hubungan dengan fakta yang akan dibuktikan, melainkan dengan hubungan tersebut dapat membuat fakta yang bersangkutan menjadi lebih jelas. Oleh karena penentuan relevan atau tidaknya suatu alat bukti itu tidak selamanya mudah untuk diputuskan, maka kami pun dalam hal ini tidak menghalangi Majelis Hakim untuk melakukan pemeriksaan terhadap alat bukti tersebut secara terbuka terlebih



dahulu dengan penentuan “relevansi bersyarat” yakni didengar atau diterima dulu alat bukti tersebut untuk kemudian setelahnya diputuskan relevan atau tidaknya suatu alat bukti yang dikemukakan saudara Penuntut Umum. (Vide- Dr. Munir Fuady, SH.,MH.,LLm - Teori Hukum Pembuktian, Cetakan Kedua Tahun 2012, Hal – 2, 4, 25, 27, 29); Untuk itu, marilah kita bersama-sama mengkaji sampai sejauh mana Saudara penuntut dapat membuktikan tuduhan-tuduhannya terhadap Terdakwa yang mana akan kami uraikan sebagaimana dibawah ini sebagai “Benang Merah” persoalan/permasalahan/perkara ini : 1. Bahwa Terdakwa telah dituduh mengirimkan Kepiting Betina Bertelur; Majelis hakim yang kami muliakan, Jika kita sama-sama amati sejak mula tuduhan ini disematkan kepada Terdakwa, dimulai dari panggilan pihak penyidik dalam hal ini Ditreskrimsus Polda Kaltim sendiri agar Terdakwa hadir di Mapolda untuk dilakukan pemeriksaan sesungguhnya merupakan suatu hal yang melampaui tugas dan kewenangannya menurut UU, sebab seharusnya Petugas Karantina lah yang berwenang atas pemeriksaan itu dan/atau setidak-tidaknya melalui forum koordinasi menurut UU tentang Perikanan. Padahal sebelumnya pemeriksaan atas produk hasil perikanan milik Terdakwa telah dilakukan oleh Petugas Karantina akan tetapi kenapa kemudian pihak Kepolisian secara arogan memaksa untuk menghentikan proses pengiriman dan memaksa untuk memeriksa kembali produk perikanan milik Terdakwa yang sudah siap kirim itu tanpa adanya koordinasi dengan Pihak Petugas Karantina agar pemeriksaannya dapat akutabel dan transparan; Terlebih, dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik Ditreskrimsus Polda Kaltim yang tidak diketahui oleh Petugas Karantina dan juga Terdakwa sendiri langsung diklaim bahwasanya produk hasil perikanan tersebut dinyatakan BERTELUR padahal menurut Terdakwa sebelumnya dan dibenarkan oleh Petugas Karantina bahwasanya Kepiting tersebut TIDAK BERTELUR dan juga bahwa diklaim oleh Penyidik Ditreskrimsus lebar Kepiting itu dibawah 15 Cm menurut hasil pemeriksaan dengan Kode T1 sampai dengan T8. Padahal kenyataannya sebelum berangkat lebar karapas Kepiting milik Terdakwa telah lebih dari 15 cm sehingga oleh Pihak Petugas Karantina dikatakan LAYAK KIRIM dan diberikan pula sertifikat kesehatan sebagai prasayarat pengiriman sesuai undang-undang; Ironisnya, bukti hasil pemeriksaan atas produk perikanan sebagaimana dimaksud tidak dihadapkan ke persidangan untuk dilakukan suatu proses eksaminasi agar terbukti secara sah dan meyakinkan bahwasanya produk hasil perikanan itu adalah benar merupakan produk hasil perikanan milik Terdakwa sebagaimana diatur pada pasal 76B, UU 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Oleh karena bukti itu tidak dihadapkan ke persidangan sebagaimana perintah undangundang, maka akibatnya telah timbul suatu praduga yang tidak layak (undue prejudice) dan justru membuat permasalahan menjadi semakin membingungkan, yakni



-



Menjadi misleading atau menyesatkan Tidak cukup menolong untuk menjelaskan persoalan Menimbulkan praduga yang tidak fair



Selain itu, saudara penuntut juga telah menghadirkan seorang Ahli yang mengaku bernama Dosen dan Ketua Laboratorium Analisis Terpadu di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman, Samarinda bernama DR. ISMAIL FAHMY ALMADI, Spsi, Mp yang pada pokoknya kami telah berkeberatan atas kapasitasnya sebagai ahli dalam persidangan karena yang bersangkutan tidak dapat menunjukkan dasar kompetensinya baik sebagai Dosen (Sertifikasi Dosen dan NIDN/NIDK) dan Ketua Lab Analisis Terpadu di Fak. Perikanan (SK. Pengangkatan), Mulawarman maupun Surat Tugas yang setidak-tidaknya diberikan oleh Pejabat dengan kepangkatan akademik sekurang-kurangnya Lektor Kepala atau dalam jabatan struktural sekurang-kurangnya menjabat sebagai DEKAN Fakultas berdasarkan keilmuannya serta Curriculum Vitae agar menambah keyakinan majelis hakim bahwasanya keahliannya tersebut dapat diterima sebagai alat bukti; Atas dasar itu, sudah cukup alasan bagi majelis hakim yang memeriksa perkara a quo untuk MENOLAK segala pembuktian yang diajukan saudara penuntut yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan Penyidik dari Ditreskrimsus Polda Kaltim serta keterangan dari Ahli tersebut mohon agar dapat dikesampingkan sepanjang terdapat muatan yang merugikan/menyudutkan Terdakwa; 2. Bahwa Terdakwa telah dituduh mengirimkan Kepiting di luar jadwal yang telah ditentukan Undang-Undang; Majelis hakim yang kami muliakan, Berkaitan dengan musim penangkapan ikan, UU No. 31 Tahun 2004 telah diatur sebagaimana pasal 7 ayat (1) huruf h bahwasanya Menteri diberikan kewenangan untuk menetapkan jenis, jalur dan musim penangkapan ikan yakni jika dikaitkan dengan perkara a quo maka aturan tersebut termaktub dalam Permen KP No. 56/2016 yakni musim penangkapannya itu hanya boleh dilakukan pada tanggal 5 Februari sampai dengan tanggal 15 Desember untuk kondisi bertelur dan tidak bertelur dan 6 Februari sampai dengan 14 Desember untuk kondisi tidak bertelur dengan ukuran karapas 15 cm ATAU berat diatas 200 Gram/Ekor. Petugas Karantina dalam hal ini BKIPM merupakan pejabat pemerintah yang diberikan kewenangan untuk memberikan penilaian atas kelayakan baik secara teknis administrasi maupun persyaratan undang-undang terkait kondisi produk hasil perikanan yang akan dimasukkan dan/atau dikeluarkan ke luar wilayah Indonesia. Kesaksian pihak BKIPM yang menyatakan bahwasanya Terdakwa tidak melakukan pelanggaran dan dapat melakukan pengiriman produk hasil perikanannya tentu saja berdasarkan hasil pemeriksaan yang seksama sebagaimana ketentuan tersebut di atas yakni Kepiting dengan Kondisi Berat diatas 200 Gram/Ekor; Tentang Kepiting tersebut bertelur atau tidak maka sudah pula dijelaskan bahwasanya Kepiting Bakau hasil produk perikanan milik terdakwa adalah Kepiting Banci yang memiliki SEL TELUR. Tentu saja belum dapat disimpulkan seekor Kepiting dikatakan



memiliki sel telur sudah pasti BERTELUR. Sebab dalam fakta persidangan pun terungkap bahwasanya Kepiting dengan Kode T1 sampai dengan T8 itu tidak pernah disebutkan bahwasanya ia BERTELUR melainkan hanya memiliki SEL TELUR. Hal itu tentu saja harus dimaknai secara gramatikal bahwasanya Kepiting dengan Kode T1 sampai dengan T8 itu dalam kondisi TIDAK BERTELUR; 3. Bahwa Terdakwa telah dituduh tidak mendukung program Pemerintah dalam menjaga kelestarian sumber daya ikan dan tidak menunjang kegiatan perekonomian; Saudara penuntut sepertinya terbiasa dengan hal yang bersifat Copy dan Paste dalam menyusun suatu Surat Tuntutan atas dakwaannya yang tidak jelas atau kabur. Bahkan hanya karena ingin membuat agar Terdakwa dipersalahkan dan ditahan atas suatu hal yang belum tentu kebenarannya, jelas sekali terlihat bahwasanya saudara penuntut “mencomot-comot” sembarangan bunyi konsideran suatu perundang-undangan agar nampak terlihat legalistik dalam menyajikan tuduhan formil yang mana justru menunjukkan ketidakmampuannya dalam memahami hukum dan perundang-undangan secara materiil dengan tidak menyajikan bukti-bukti yang relevan terkait tuduhannya sendiri. Betapa tidak, jika memang Terdakwa telah tidak mendukung program pemerintah dalam menjaga kelestarian sumber daya ikan dan tidak menunjang kegiatan perekonomian maka seharusnya saudara penuntut membuktikan secara terang dan nyata perbuatan mana dari diri Terdakwa yang memiliki hubungan secara logis dan substansial sehingga mampu menjelaskan persoalan hingga mencapai pada kepemilikan unsur pembuktian atas tuduhan tersebut. Saudara penuntut sendiri dalam surat tuntutannya pada uraian peristiwa menyatakan bahwasanya ..Terdakwa mendapatkan Kepiting dengan cara membeli dari pengepul kepiting yang ditangkap oleh Para Nelayan. Pertanyaan besar justru timbul, yaitu : 1. Apakah membeli dari pengepul adalah bukan kegiatan yang menunjang kegiatan perekonomian? Apakah kegiatan jual-beli merupakan kegiatan yang dilarang oleh Hukum yang berlaku di Indonesia? 2. Ujung tombak pelestarian sumber daya ikan tentu saja berada pada pundak Para Nelayan karena Para Nelayanlah yang melakukan penangkapan di wilayah pengelolaan perikanan yang ditetapkan. Atas dasar itu, apa hubungan yang paling logis dari kegiatan jual-beli yang dilakukan Terdakwa dengan Pengepul dengan Agenda kegiatan yang berkaitan dengan Program Pemerintah dalam menjaga kelestarian sumber daya ikan? 3. Jika antara Pembeli (Terdakwa), Pengepul dan Penangkap (Para Nelayan) merupakan suatu mata rantai penyebab tidak terjaganya kelestarian sumber daya ikan, maka saudara penuntut diwajibkan untuk turut pula melengkapi dakwaannya dengan menarik pihak pengepul dan penangkap ikan (para nelayan) agar pihak yang bertanggung-jawab menjadi lengkap dan dapat menggenapi tuduhan-tuduhan yang disampaikan saudara Penuntut atas kegiatan yang menurut saudara penuntut merupakan suatu kesalahan itu.



4. Jika sudah demikian diputusnya mata rantai karena suatu peraturan yang “disesatkan” oleh saudara penuntut dalam menjerat pihak yang tergabung dalam mata rantai itu, lantas masyarakat mana yang menurut kita semua layak untuk disebut dirugikan dengan adanya penghentian kegiatan perekonomian ini? 5. Justru dengan ditangkap dan dipenjarakannya Terdakwa dalam hal ini, telah terang dan nyata masyarakat kecil khususnya Para Nelayan yang menggantungkan hidupnya secara ekonomi dengan menangkap kepiting sebagai sumber penghasilan sehari-hari akan “menjerit” karena tidak ada lagi yang bersedia membeli hasil tangkapan kepitingnya karena pembeli tersebut telah DITANGKAP dan DIPENJARAKAN karena membeli Kepiting. Hal ini tentu saja menghilangkan daya beli masyarakat atas Kepiting karena melihat kasus seperti ini para Pembeli Kepiting berpotensi DITANGKAP dan DIPIDANA sebagaimana Terdakwa dengan tuntutan selama 2 (dua) Tahun Penjara dan didenda sebanyak Rp. 1,000,000,000,- (satu miliar rupiah); Lantas sebenarnya apa tujuan daripada diciptakannya hukum itu sendiri jika tujuan KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM dan KEMANFAATAN telah nyata dikesampingkan sebagaimana dilakukan oleh Penegak Hukum utamanya Penuntut dalam perkara a quo. VI.



PENUTUP & PERMOHONAN;



Majelis Hakim yang terhormat Berdasarkan uraian nota pembelaan yang kami sampaikan pada BAB-BAB sebelumya diatas, bagi kami hanya Majelis Hakimlah yang sangat mengetahui hukum (Jus Curia Novit) dan pemaknaannya secara mendalam sehingga berbuah suatu keyakinan untuk dipakai sebagai pertimbangan hukum guna memutus perkara yang bermuatan KRIMINALISASI ini. Kami percaya, dalam konteks memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara a quo yang mulia majelis hakim tentu saja memakai penafsiran yang bermacam-macam bentuknya mulai dari Penafsiran Substantif, Gramatikal, Sistematis, Historis, Teleologis, Restriktif, Ekstensif hingga Penafsiran Futuristik yang mana tentu saja mengejar suatu bentuk KEADILAN, KEPASTIAN HUKUM dan KEMANFAATAN dalam upaya-upaya pencapaian tujuan hukum itu sendiri serta dalam menjalankan upaya penemuan hukum (Rechtsvinding) itu pula. Atas dasar itulah, dengan ini kami memohon kepada yang mulia majelis hakim agar kiranya dapat mengabulkan permohonan yang kami uraikan dalam pembelaan ini agar setidak-tidaknya dengan segala kebijaksanaan dan kewenangannya dapat memutus dengan irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” hal-hal sebagai berikut : MENGADILI 1. Menyatakan bahwa Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Kabur/Tantra/Obscuur Libel karena telah keliru dalam menerapkan peraturan-perundang-undangan yang dijeratkan kepada Terdakwa;



2. Menyatakan Terdakwa TIDAK TERBUKTI SECARA SAH & MEYAKINKAN telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU 45 Tahun 2009 tentang Perikanan; 3. Melepaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum; atau 4. Membebaskan Terdakwa dari segala tuduhan hukum; 5. Memulihkan Hak Terdakwa dalam Kemampuan, Kedudukan, Harkat dan Martabatnya sebagai orang yang tidak bersalah; 6. Memerintahkan agar Terdakwa segera dikeluarkan dari Rumah Tahanan (Rutan) segera setelah putusan ini diucapkan; 7. Memerintahkan Barang Bukti berupa : a. 1 (satu) unit Handphone dengan Nomor Simcard 08115445699 b. 76 (Tujuh Puluh Enam) ekor Kepiting Dikembalikan Kepada Terdakwa 8. Membebankan biaya perkara ini kepada negara; Atau bilamana Majelis Hakim berpendapat lain maka kami mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya (Ex Aeque et Bono) Balikpapan, 29 Juli 2019 Hormat Kami, Yang Mengajukan Pembelaan,



Jerry Fernandez, SH.,CLA Kuasa Hukum Terdakwa Tembusan : -



Jaksa Penuntut Umum Arsip