Contoh Kasus Malpraktek Pelayanan Farmasi Di Puskesmas [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KASUS KERACUNAN OBAT LITHIUM KARBONAT PADA PASIEN BIPOLAR DI PUSKESMAS Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Etika dan UndangUndang Dasar Kesehatan



Disusun oleh:



JULIA WINDA SARI KASHA JENNY RAHMAWATI RIZQINA IZZATUL ULYA NOVITA NUR AINI SITI KHOLIFAH HANIFAH MIFTAH MAFITRI DEWI MURTI SARI RAHMI M.N. ALIMUDDIN DINA KUSUMA FAJRI ISNAINI LUCYANA



NPM 72021050202 NPM 72021050203 NPM 72021050204 NPM 72021050207 NPM 72021050211 NPM 72021050213 NPM 72021050214 NPM 72021050216 NPM 72021050225 NPM 72021050253



PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS 2021



i



KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah Kasus Keracunan Obat Lithium Karbona di Puskmesmas dengan tepat waktu. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, referensi dan pedoman bagi pembaca dalam menerapkan persyaratan pengelolaan obat di industri di seluruh aspek. Terlepas dari itu semua, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima saran dan kritik guna memperbaiki makalah ini lebih baik lagi Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan inspirasi khususnya pada penulis dan pada pembaca.



Kudus, 14 Oktober 2021



Penyusun



ii



DAFTAR ISI JUDUL MAKALAH............................................................................................................. i KATA PENGANTAR.............................................................................................ii DAFTAR ISI......................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1 A.



Latar Belakang...........................................................................................1



B.



Perumusan Masalah..................................................................................3



C.



Tujuan Makalah.........................................................................................3



D.



Manfaat Makalah........................................................................................3



BAB III PEMBAHASAN KASUS............................................................................5 A.



Pekerjaan Kefarmasian..............................................................................5



B.



Praktik Pelayanan Kefarmasian.................................................................5



C.



Fasilitas Pelayanan Kefarmasian...............................................................6



D.



Pengertian Keracunan...............................................................................6



E.



Penyakit Bipolar.........................................................................................7



F.



Lithium Karbonat........................................................................................8



G. Kasus.......................................................................................................11 BAB III KESIMPULAN.........................................................................................15 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17



iii



BAB I PENDAHULUAN A.



Latar Belakang Masalah Pelayanan kesehatan diselenggarakan dalam rangka



memenuhi hak kesehatan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (selanjutnya disebut Undang-Undang Kesehatan). Hak atas pelayanan ini bersifat menyeluruh berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak tersebut. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat (1) berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan”. Pusat



Kesehatan



Masyarakat



yang



selanjutnya



disebut



Puskesmas merupakan “fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan”, yang diatur dalam Pasal 1 butir 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Puskesmas. Puskesmas merupakan



organisasi



fungsional



yang



menyelenggarakan



upaya



kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat. Konsep upaya kesehatan ini sebagai pedoman bagi semua fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia termasuk puskesmas. Memberikan pelayanan dengan baik dalam segala kebutuhan perawatan yang meliputi pelayanan kuratif, preventif, promotif dan rehabilitasi dengan harapan pasien memperoleh hak pelayanan kesehatan merasa terpuaskan. Pasal 11 ayat (1) disebutkan bahwa “Tenaga kesehatan dikelompokkan ke dalam: tenaga medis, tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian medis, tenaga teknik biomedika, tenaga kesehatan tradisional, dan tenaga kesehatan lain”. Tenaga kesehatan berperan



dalam



menyelenggarakan



upaya



pelayanan



kesehatan



dilaksanakan dalam mewujudkan hak hidup sehat. Setiap orang



1



memeperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau serta bertanggungjawab. Pekerjaan



kefarmasian



ini



diamanatkan



dalam



Peraturan



Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian (selanjutnya



disebut



Peraturan



Pemerintah



Tentang



Pekerjaan



Kefarmasian) yang akan menjaga dan meningkatkan mutu pelaksanaan pelayanan kefarmasian. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Tentang Pekerjaan Kefarmasian pada Pasal 4 disebutkan bahwa “Tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian untuk memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan



farmasi



dan



jasa



kefarmasian.



Mempertahankan



dan



meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundang-undangan, serta memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian”. Pelayanan kefarmasian di puskesmas merupakan pelayanan yang tidak dipisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan yang berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarat. Pelayanan kefarmasian mendukung program puskesmas sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan pusat pelayanan kesehatan strata pertama. Peraturan Menteri kesehatan



Nomor



74



Tahun



2016



Tentang



Standar



Pelayanan



Kefarmasian di Puskesmas, yang diamanatkan pada Pasal 2 disebutkan bahwa: Pengaturan standar pelayanan kefarmasian di puskesmas bertujuan untuk: a. meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian; b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien.



2



B.



Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penelitian



ini



ada



beberapa



permasalahan



yang



dirumuskan



dan



dicari



penyelesaiannnya secara ilmiah. Beberapa permasalahan tersebut sebagai berikut: 1. Bagaimana peraturan perlindungan hak pasien atas kelalaian dalam pelayanan kefarmasian di Puskesmas? 2. Bagaimana pelaksanaan perlindungan hak pasien atas kelalaian dalam pelayanan kefarmasian di Puskesmas? 3. Faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan perlindungan hak pasien atas kelalaian pelayanan kefarmasian di Puskesmas?



C.



Tujuan Makalah Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini



adalah: 1. Untuk mendapatkan gambaran pengaturan tentang perlindungan hak pasien atas kelalaian pelayanan kefarmasian di Puskesmas. 2. Untuk mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan perlindungan hak pasien atas kelalaian



dalam



pelayanan kefarmasian di



Puskesmas. 3. Untuk



mendapatkan



gambaran



faktor



yang



mempengaruhi



pelaksanaan perlindungan hak pasien atas kelalaian pelayanan kefarmasian di puskesmas.



D.



Manfaat Makalah



1. Manfaat Praktis a) Bagi pemerintah dapat memberikan perlindungan hak pasien dalam pelayanan kefarmasian di puskesmas. b) Organisasi Profesi IAI dan PAFI Pengurus Cabang Rembang melakukan pelayanan kefarmasian sesuai kewenangannya dengan memperhatikan perlindungan hak pasien. c) Bagi pasien mengetahui pentingnya perlindungan hak pasien dalam pelayanan kefarmasian di puskesmas.



3



d) Bagi peneliti dapat menambah wawasan pengetahuan mengenai perlindungan hak pasien atas kelalaian pelayanan kefarmasian di puskesmas. 2. Manfaat Teroitis a) Menambah khasanah pustaka tentang aspek hukum pelayanan kefarmasian. b) Menjadi bahan penelitian bagi peneliti selanjutnya.



4



BAB III PEMBAHASAN KASUS A. Pekerjaan Kefarmasian Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan sediaan farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan,mutu, dan kemanfaatan. 1. ”Nilai Ilmiah” adalah Pekerjaan Kefarmasian harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dalam pendidikan termasuk pendidikan berkelanjutan maupun pengalaman serta etika profesi. 2. ”Keadilan” adalah penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian harus mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau serta pelayanan yang bermutu. 3. ”Kemanusiaan” adalah dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian harus memberikan perlakuan yang sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial dan ras. 4. ”Keseimbangan” adalah dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian harus tetap menjaga keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat. 5. ”Perlindungan dan keselamatan” adalah Pekerjaan Kefarmasian tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan pasien.



B. Praktik Pelayanan Kefarmasian Praktik Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. UU kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 108 ayat (1) yang berbunyi: Praktik kefarmasiaan yang



meliputi



pembuatan



termasuk



pengendalian



mutu



sediaan



farmasi,



pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat



5



dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apoteker yang melaksanakan praktik kefarmasian wajib memiliki surat izin Permenkes No.889/Menkes/Per/V/2011 Tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian pasal 17 ayat (1) Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja yang sudah mempunyai izin dari pemerintah. UU No.36 tahun 2009 menyatakan praktik kefarmasian sedangkan dalam PP 51 tahun 2009 menyatakan pekerjaan kefarmasian, PP 51 tahun keluar sebelum dikeluarkan UU Kesehatan No.36 tahun 2009, Namun PP 51 masih tetap berlaku sepanjang tidak beretentangan dengan Undang-undang. Sehingga apoteker dapat berpraktik atau melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas Kefarmasian. Sampai saat ini belum ada Undang-Undang tentang praktik kefarmasian atau Peraturan Pemerintah tentang praktik kefarmasian.



C. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian Fasilitas Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian, tenaga kefarmasian dapat melaksanakan pekerjaan Kefarmasian di fasilitas kefarmasian meliputi: 1. Pekerjaan Kefarmasian dalam fasilitas pengadaan sediaan farmasi; yaitu pengadaan obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. 2. Pekerjaan Kefarmasian dalam fasilitas produksi sediaan farmasi; yaitu sarana yang digunakan untuk memproduksi obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika. 3. Pekerjaan kefarmasian dalam fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi; yaitu sarana yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan sediaan farmasi, yaitu pedagang besar farmasi dan instalasi sediaan farmasi. 4. Pekerjaan kefarmasian dalam pelayanan sediaan farmasi.yaitu sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian; yaitu apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktik bersama.



D. Pengertian Keracunan Racun adalah suatu zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi, menempel pada kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang relatif kecil dapat mengakibatkan cedera dari tubuh dengan adanya reaksi kimia. Racun merupakan zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian. Racun dapat diserap melalui pencernaan, hisapan, intravena, kulit, atau melalui rute 6



lainnya. Reaksi dari racun dapat seketika itu juga, cepat, lambat atau secara kumulatif. Sedangkan definisi keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah kondisi yang mengikuti masuknya suatu zat psikoaktif yang menyebabkan gangguan kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perlaku, fungsi, dan repon psikofisiologis. Sumber lain menyebutkan bahwa keracunan dapat diartikan sebagai masuknya suatu zat kedalam tubuh yang dapat menyebabkan ketidak normalan mekanisme dalam tubuh bahkan sampai dapat menyebabkan kematian.



E. Penyakit Bipolar Penyakit bipolar, sebelumnya dikenal dengan nama penyakit manik-depresi merupakan gangguan mood yang bersifat siklik dengan fluktuasi perasaan, energi, dan kelakuan dari ujungujung yang ekstrim. Bipolar merupakan gangguan psikiatrik yang unik karena bersifat genetik, dipengaruhi oleh lingkungan, dan gambaran penyakitnya berbeda satu orang dengan lainnya. Diagnosis penyakit ini melibatkan kemunculan mania, hipomania, atau kombinasi antar episode selama penjalanan penyakit (Tjay dan Rahardja 2008). Gejala-gejala penyakit bipolar termasuk depresi dan perasaan-perasaan putus asa. Gejala-gejala depresi lain termasuk pikiran-pikiran bunuh diri, perubahanperubahan pada pola-pola tidur, dan kehilangan minat pada aktivitas-aktivitas yang pernah menjadi sumber dari kesenangan. Penyakit ini umumnya berkembang pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa, namun mungkin ada juga yang memulai gejalanya sejak anak-anak (Tjay dan Rahardja 2008). Terdapat beberapa teori patofisiologi dari penyakit bipolar antara lain teori neurotransmitter, teori kation dan membran. 1. Teori Neurotransmiter Menurut teori ini gangguan mood disebabkan karena ketidakseimbangan neurotransmiter di SSP. Adanya kelebihan senyawa amin (norefinefrin “NE” dan dopamine “DA”) akan menyebabkan munculnya mania. Sedangkan pada kondisi dimana



terjadi



kekurangan



NE,



DA,



dan/atau



serotonin



(5-HT)



akan



menyebabkan terjadinya depresi. Ketidakseimbangan antara aktifitas NE dan DA akan menyebabkan terjadinya perubahan mood dari depresi menjadi mania (Ikawati, 2009). 2. Teori Kation Dan Membran Menurut teori ini gangguan mood disebabkan perubahan keseimbangan elektrolit, terutama Ca+ dan Na+ , yang diduga terkait dengan fluktuasi mood. Adanya perubahan konsentrasi Ca+ ekstrasel dan intrasel dapat mempengaruhi 7



pelepasan DA, NE dan 5-HT . Keadaan ini menyebabkan terjadinya eksitabilitas saraf yang akan mempengaruhi variasi (fluktuasi) perasaan sehingga terjadi perubahan dari depresi ke mania atau sebaliknya. Pasien bipolar yang tidak diobati memiliki konsentrasi Ca+ intrasel yang lebih tinggi pada limfosit dan plateletnya dibanding dengan orang normal (Ikawati, 2009). Obat-obat Ca-Bloker yang bekerja dengan memblok kanal Ca akan menyebabkan penurunan konsentrasi Ca+ intraseluler. Penurunan konsentrasi Ca+ akan menyebabkan pemblokan terhadap aktivitas 5-HT, dopamin, dan endorfin sehingga mengurangi mania. Obat lain seperti lamotrigin bekerja dengan memblok kanal Na sehingga menghambat pelepasan glutamate dan aspartat. Keadaan ini akan mengakibatkan penurunan aktifitas Ca+ (Ikawati, 2009).



F. Lithium Karbonat 1. Farmakologi Lithium karbonat adalah jenis garam lithium yang paling sering digunakan untuk mengatasi gangguan bipolar. Sejak disahkan oleh Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 1970 lithium digunakan sebagai obat untuk mengatasi mania akut, lithium masih efektif dalam menstabilkan mood pasien dengan gangguan bipolar. Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan lithium hampir serupa dengan efek mengonsumsi banyak garam, yakni tekanan darah tinggi, retensi air, dan konstipasi. Oleh karena itu, selama penggunannya obat ini harus dilakukan tes darah secara teratur (Therapy Drug Monitoring “TDM”) untuk menentukan kadar lithium mengingat dosis terapeutik lithium berdekatan dengan dosis toksiknya (Israr, dkk., 2008). a. Indikasi Mengatasi episode mania. Gejala hilang dalam jangka waktu 1-3 minggu setelah minum obat. Lithium juga digunakan untuk mencegah atau mengurangi intensitas serangan ulang pasien bipolar dengan riwayat mania (Israr, dkk., 2009). b. Mekanisme kerja Efek antimania lithium disebabkan oleh kemampuannya mengurangi ”dopaminereseptor supersensitivity” meningkatkan ”cholinergic muscarinic activity” dan menghambat ” cyclic AMP” (adenosine monophospat) (Israr, dkk., 2009). c. Efek Samping Efek samping lithium seperti tremor, diare, nausea, dan sering kencing, bergantung pada dosis yang dikonsumsi. Pada kadar lithium darah yang tinggi (> 2 mg), pasien akan mengalami ataksia, kebingungan, bahkan koma. Beberapa pasien dapat mencapai kadar lithium darah normal (sekitar 1 8



mg) dengan mengkonsumsi dua pil perhari sementara pada pasien lainnya perlu dua belas pil per hari. Jika kita dapat mengukur kadar obat dalam darah pada semua jenis obat serupa, kemungkinan kita dapat menemukan perbedaan individual. Ini dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien kizofrenia menunjukkan perbaikan dengan pemberian 200 mg klorpromazin per hari sementara yang lainnya memerlukan 2000 mg per hari (Israr, dkk., 2009). Gejala intoksikasi (kadar serum lithium > 1,5 mEq/L) dapat berupa:  Gejala dini: muntah, diare, tremor kasar, mengantuk, konsentrasi pikiran menurun, bicara sulit, pengucapan kata tidak jelas, dan gaya berjalan tidak stabil.  Dengan semakin beratnya intoksikasi terdapat gejala : kesadaran menurun dapat sampai koma dengan hipertoni otot dan kedutan, oliguria, dan kejangkejang. Tabel. Efek samping lithium dan penatalaksanaannya



d. Interaksi obat Penggunaan diuretik bersama lithium harus dilakukan hati-hati. Hal ini dikarenakan



diuretik



yang



menginduksi



pengeluaran



natrium,



bisa



mengurangi klirens renal lithium yang akan menyebabkan kadar lithium serum meningkat dan risiko toksisitas juga meningkat. Begitu juga pada pemberian bersamaan dengan beberapa obat lain seperti NSAID dan ACE inhibitor.Lithium sebaiknya tidak diberikan pada pasien jantung dan ginjal. Tapi jika kondisi psikiatri pasien mengancam jiwa dan pasien tidak berespon 9



dengan obat lain, maka lithium bisa diberikan dengan pengawasan yang sangat ketat (Israr, dkk., 2009). Pemeriksaan kadar lithium serum dilakukan tiap hari dan kemudian dilakukan pengaturan dosis. Lithium sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil karena diduga bisa mendatangkan efek merugikan bagi janin. Lithium juga disekresikan melalui air susu ibu, sehingga tidak dianjurkan diberikan pada wanita yang menyusui. Penggunaan lithium pada anak usia dibawah 12 tahun sebaiknya tidak dilakukan mengingat data keamanan dan keefektifan dari obat ini pada populasi ini belum ada. Pemberian lithium pada orang tua harus dilakukan pengaturan dosis (Israr, dkk., 2009). 2. Farmakokinetik Lithium diabsorbsi baik setelah pemakaian peroral. Kira-kira 97% diekskresikan dalam bentuk bebas melalui urin dalam 10 hari. Hanya sedikit obat diekskresikan melalui feses, saliva, dan keringat. Ekskresi lithium melalui urin akan lebih lambat pada pediatri dari pada pasien muda dan juga akan bertambah lambat dimalam hari. Ekskresi lithium juga dipengaruhi oleh kadar natrium dan kalium. Pada pasien yang asupan natriumnya rendah, lithium akan direabsorpsi melalui tubulus ginjal dan sebaliknya pada pasien dengan asupan natrium tinggi, ekskresi lithium akan meningkat. Lithium terdistribusi secara luas di tubuh dan konsentrasi tertinggi ditemukan di tulang, kelenjar tiroid, dan dan otak. Obat ini dapat melewati plasenta dan dapat diekskresikan melalui air susu ibu (Mofat, et al.,2005). Efek toksik dihasilkan apabila konsentrasi serum lithium lebih dari 2 mmol/L. Konsentrasi 5 mmol/L akan berakibat fatal. T ½ plasma kira-kira 20-24 jam setelah dosis tunggal tergantung dari lamanya pengobatan. Pada pasien yang pertama kali ditreatment dengan lithium, t ½ plasma lithium rata-rata 31 jam. Plasma t ½ lithium meningkat mencapai 40 jam pada pasien yang ditreatmen dengan lithium kurang dari satu tahun dan mencapai 58 jam pada pasien yang ditreatment lebih dari 1 tahun. T ½ akan meningkat pada pasien pediatric dan gangguan ginjal. Klirens plasma setelah dosis tunggal kira-kira 0,4 mL/min/kg, akan menurun pada pasien uremia dan pediatri (Mofat, et al.,2005). Dosis litihium dari satu pemberian ke pemberian yang lain menghsilkan bioavaibilitas yang sangat bervariasi. Dosis biasanya dijaga agar berada pada rentang konsentrasi serum 0,4-1 mmol/L, dimana dosis dimaintenance agar berada dibawah range atas konsentrasi (Mofat, et al.,2005)



10



G. Kasus Seorang wanita berusia 51 tahun dengan keterbelakangan mental meninggal dunia akibat keracunan lithium pada tanggal 13 Mei 2002. Sejarah medis yang dimiliki korban yaitu keterbelakangan mental, gangguan bipolar, hipotiroid, dan parkinsonism. Pada tanggal 13 April 2002, salah satu tersangka yang merupakan seorang farmasis melakukan kesalahan dalam pembacaan resep yang dibawa oleh korban. Farmasis memberikan lithium karbonat 300 mg/kapsul kepada pasien padahal dari resep yang dibawa pasien lithium yang diberikan adalah 150 mg/kapsul. Pada tanggal 25 April 2002, dokter pribadi korban (juga merupakan tersangka) melakukan pemeriksaan keluhan korban berupa diare selama tiga hari. Dokter pribadi korban mencatat bahwa korban tidak memiliki kelainan klinis berupa dehidrasi, oleh karenanya dia menyarankan agar korban meningkatkan asupan cairan serta diet seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Dokter pribadi korban (Primary Care Physician ‘PCP’) juga mengintruksikan agar keluarga korban melakukan perawatan dan melaporkan apabila korban menunjukkan gejala penurunan asupan cairan, perubahan tingkat aktifitas yang ditetapkan sebagai lesu, atau gejala memburuk. Selama beberapa hari berikutnya korban masih terus mengalami diare dan gangguan makan. Akan tetapi keluhan tersebut tidak dikomunikasikan ke PCP. Pada tanggal 30 April 2002, korban kembali diperiksa oleh terdakwa PCP. Tidak ada notasi tentang keluhan diare seperti yang terlihat pada lima hari sebelumnya, sehingga PCP mencatat bahwa symptom yang dialami korban telah membaik dan mulai hilang. PCP mencatat adanya sedikit perubahan pada kondisi korban, tetapi tidak mencari tahu penyebab perubahan kondisi tersebut. Perubahan kondisi pasien meliputi peningkatan kontraksi otot atau kekakuan otot. PCP memerintahkan korban melakukan tes darah selama kunjungan ini, tetapi melupakan pemeriksaan kadar lithium. Pada tanggal 2 Mei 2002, korban masih mengalami diare. Keluarga korban diberitahukan bahwa korban tidak diizinkan untuk kembali sampai perawatan medis korban selesai dilakukan. Perawat menghubungi PCP untuk melaporkan gejalagejala yang dialami pasien. Pada waktu itu PCP melakukan penghentian pemberian dosis pagi Zyprexa 2,5-mg untuk pengobatan kelesuan pasien. Pada tanggal 8 Mei 2002, salah seorang karyawan rumah hunian melaporkan bahwa korban mengalami gejala ketidakstabilan, hampir tidak bisa bergerak, dan sangat lemah dan tak berdaya. Akan tetapi keadaan ini tidak dilaporkan kepada Supervisornya. Pada tanggal 11 Mei 2002, korban dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan. Korban tercatat mengalami kelemahan dan gangguan 11



kestabilan selama 1 minggu. Korban juga menyatakan bahwa dirinya menderita hiponatremia berat, hiperkalemia. Kadar lithium yang tercatat dalam darah korban adalah 6,8 mEq/L. Hari berikutnya ia tercatat memiliki dehidrasi berat persisten dengan kekacauan metabolisme dan hipotensi, serta gagal ginjal akut, akibat tanda toksisitas lithium. Pasien meninggal pada tanggal 13 Mei 2002. Litigasi terus dilakukan dalam kasus ini. PCP dan psikiater menyatakan bahwa gejala toksisitas yang ditunjukkan korban tidak disampaikan kepada mereka oleh staf perumahan. Para PCP berpendapat bahwa gejala korban pada tanggal dan hari pada saat dilakukan pemeriksaan tidak sugestif menunjukkan adanya gejala keracunan lithium dan dia tidak bertanggung jawab untuk memantau pengobatan kerena dia bukanlah orang yang meresepkan obat. Psikiater yang meresepkan obat kepada korban berpendapat bahwa dia tidak diberitahu tentang kelemahan dan kelesuan yang diderita korban. Kasus ini berakhir dengan ganti rugi sebesar Satu Miliar Dolar ($ 1.000.000.000) oleh pihak farmasis. Kasus diatas merupakan salah satu dari kasus medication error yang melibatkan banyak pihak diataranya farmasis, dokter, psikiter pribadi serta keluarga selaku pengawas korban. Korban yang merupakan seorang wanita berumur 51 tahun dengan riwayat keterbelakangn mental, bipolar disorder, dan parkinson menerima terapi lithium untuk pengobatan penyakit bipolar disorder yang dideritanya. Kesalahan pengobatan bermula terjadi karena adanya kesalahan pembacaan resep dan dispensing obat yang dilakukan oleh farmasis tempat korban menebus resepnya. Farmasis memberikan 300 mg lithium karbonat per kapsul kepada pasien padahal pada resep tertulis 150 mg lithium per kapsul. Kesalahan ini mengakibatkan korban mengkonsumsi lithium karbonat perharinya dua kali lipat dari dosis yang diresepkan. Peningkatan dosis lithium hingga dua kali lipat ini mengakibatkan korban mengalami gejala toksisitas lithium yang ditandai dengan diare kronis yang dialami korban setelah tiga hari mengkonsumsi obat. Selain itu terjadi juga peningkatan kontraksi dan kekakuan otot, gangguang keseimbangan, dan lesu. Namun gejala ini tidak disadari oleh PCP dan dokter korban sampai akhirnya korban mengalami dehidrasi berat persisten dengan kekacauan metabolisme dan hipotensi, serta gagal ginjal akut dan meninggal dunia. Dari hasil pemeriksaan, kadar lithium darah korban mencapai 6,8 mEq/L setelah hampir satu bulan mengkonsumsi lithium. Kadar ini merupakan kadar yang sangat tinggi mengingat kadar lithium normalnya berkisar antara 0,6 dan 1,2 mEq/L (nonberacun). Lithium merupakan obat yang memiliki indeks terapi sempit (narrow terapeutic index) dimana konsentrasi yang digunakan untuk mencapai efek terapi 12



tidak jauh berbeda dengan konsentrasi yang menyebabkan toksisitas. T ½ plasma kira-kira 20-24 jam setelah dosis tunggal tergantung dari lamanya pengobatan dan akan meningkat pada pasien pediatri dan gangguan ginjal. Selain itu dosis litihium dari satu pemberian ke pemberian yang lain menghasilkan bioavaibilitas yang sangat bervariasi (Moffat, et al.,2005). Efek antimania lithium disebabkan oleh kemampuannya mengurangi ”dopaminereseptor supersensitivity” meningkatkan ”cholinergic muscarinic activity” dan menghambat ”cyclic AMP” (adenosine monophospat). Lithium diabsorbsi baik setelah pemakaian peroral. Kira-kira 97% diekskresikan dalam bentuk bebas melalui urin dalam 10 hari. Ekskresi lithium melalui urin akan lebih lambat pada pediatri. Ekskresi lithium juga dipengaruhi oleh kadar natrium dan kalium. Pada pasien yang asupan natriumnya rendah, lithium akan direabsorpsi melalui tubulus ginjal dan sebaliknya pada pasien dengan asupan natrium tinggi, ekskresi lithium akan meningkat. Klirens plasma setelah dosis tunggal kira-kira 0,4 mL/min/kg, akan menurun pada pasien uremia dan pediatri (Mofat, et al.,2005). Jika ditinjau dari farmakologi dan farmakokinetik obat, catatan medis korban, kondisi fisik korban, umur, serta penyakit yang dideritanya maka seharusnya perlu dilakukan monitoring kadar lithium dalam darah korban (Therapy Drug Monitoring). Korban merupakan seorang pediatri yang memiliki riwayat penyakit hipotirodisme, menderita hiponatremia berat dan hiperkalemia. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa lithium 97% diekskresikan dalam bentuk bebas melalui urin dalam 10 hari dan akan lebih lambat pada pediatri. Hal ini disebabkan karena terjadinya penurunan fungsi ginjal pada pasien pediatri sehingga klirens plasma akan menurun dan obat akan lebih lama berada didalam tubuh pasien. Korban juga menderita hiponatremia dan hiperkalemia berat. Keadaan ini tentunya akan berpengaruh besar pada ekskresi lithium dimana ekskresi lithium juga dipengaruhi oleh kadar natrium dan kalium. Pada kondisi dimana kadar natrium dalam tubuh rendah, lithium yang seharusnya diekskresikan akan direabsorpsi kembali melalui tubulus ginjal sehingga obat akan kembali berada pada sistem sistemik. Oleh karenanya sebelum korban meninggal korban mengalami dehidrasi berat persisten dengan kekacauan metabolisme dan hipotensi dan akhirnya terjadi gagal ginjal akut akibat toksisitas dari lithium. Pada review dokumen dan wawancara yang dilakuan sebelum dan selama litigasi, jelas bahwa staf perumahan mencatat dan menyatakan bahwa korban menunjukkan gangguan gaya berjalan, kelesuan, dan kelemahan sekitar satu bulan sebelum dia meninggal. Keadaan ini juga terjadi pada waktu dua kali kunjungan ke PCP. Akan tetapi tidak ada tanda-tanda atau gejala yang dicatat oleh PCP terkait 13



dengan evaluasi terhadap tingkat lithium yang dikonsumsi korban. Kasus ini diselesaikan dengan Satu Juta Dolar ($ 1.000.000) selama litigasi dengan farmasis. Akan tetapi jika dianalisis secara keseluruhan, pada kasus diatas tidak ada komunikasi yang baik antara PCP, psikiater, farmasis, dan keluarga korban. Pada saat melakukan pembacaan resep dan dispensing obat, farmasis hendaknya mampu melakukan evaluasi terhadap resep yang dibawa oleh korban dan lebih teliti sebelum dan pada saat melakukan peracikan obat. Bahkan jika perlu, menyarankan untuk dilakukan TDM pada korban karena obat yang diresepkan merupakan obat yang tergolong kedalam obat yang memiliki narrow terapeutic index dan menimbulkan bioavaibilitas yang bervariasi meskipun diberikan pada dosis yang tetap. PCP sebagai ahli medis pribadi korban seharusnya melakukan pemantauan terhadap obat-obat yang dikonsumsi korban sehingga apabila muncul efek samping atau gejala toksisitas obat dapat segera dikenali dan dikomunikasikan dengan tenaga medis lainnya dalam hal ini adalah psikiater korban. Psikiater korban sebagai orang



yang



meresepkan



korban



hendaknya



melakukan



evaluasi



terhadap



pengobatan yang diberikan. Dengan melihat riwayat penyakit korban dan obat yang diberikan seharusnya psikiater mampu meramalkan kemungkinan terburuk dari peresepan yang dilakukan dan tidak semata-mata menyerahkan evaluasi peresepan kepada tenaga medis lain. Apabila memang terjadi komunikasi yang baik dari tenaga medis terkait maka tentunya medication error seperti kasus diatas tidak akan terjadi.



14



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Obat merupakan unsur penunjang dalam sistem pelayanan kesehatan  dan kedudukannya sangatlah penting dalam upaya pengobatan karena sebagian besar intervensi medik menggunakan obat. Oleh karena itu, obat harus selalu tersedia pada saat diperlukan baik jenis dan jumlahnya serta pemberian obat harus rasional. Obat rasional yaitu: 1. Tepat diagnosis, jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat tidak sesuai dengan diagnosis dan akhirnya obat yang diberikan juka tidak sesuai. 2. Tepat pasien, tepat pemilihan obat keputusan pemilihan obat sesuai diagnosis yangsehingga obat yang dipilih memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit. 3. Tepat dosis, obat sangat dipengaruhi oleh dosis jika pemberian dosis berlebih khususnya obat yang indeks terapinya sempint akan sangat beresiko timbulnya efek samping. 4. Tepat cara pemberian, sesuai bentuk sediaan terutama dengan cara pemberian khusus seperti untuk inhealer dan suppositoria harus dijelaskan agar tidak salah dalam pemakaian. 5. Tepat interval waktu pemberian, setiap berapa kali sehari jika berlebih dapat menimbulkan efek samping serta interval yang terlalu banyak akan berpotensi ketidakpatuhan pasien. 6. Tepat informasi, harus tepat dalam penggunaan obat untuk menunjang keberhasilan terapi serta tepat penyerahan obat pada saat  pasien membawa resep kemudian dikaji dan disiapkan harus tepat jika tidak sesuai dapat teradi efek yang tidak diinginkan. Dalam praktek kefarmasian, apoteker memiliki tugas untuk pengendalian sediaan farmasi, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian obat hingga obat sampai kepada pasien yaitu saat pelayanan obat atas resep dokter serta pelayanan informasi obat. Namun dalam prakteknya masih banyak terjadi kesalahan dalam pengobatan dan terdapat laporan kasus setiap tahun bahkan setiap bulannya. Laporan kasus merupakan dokumentasi ilmiah pasien perorangan, Laporan ini sering ditulis untuk mendokumentasikan presentasi klinis yang tidak biasa, 15



pendekatan pengobatan, efek samping, atau respons terhadap pengobatan. Kebanyakan ahli melihat laporan kasus sebagai bukti pertama dalam perawatan kesehatan, yang terkadang dapat mengarah pada studi tingkat tinggi di masa depan. Dari data jurnal di negara-negara maju, penulisan resep dokter yang masih manual dan sering kali sulit dibaca merupakan faktor yang sangat sering terjadi diperkirakan setiap tahunnya dapat menyebabkan kematian 7000 kematian per tahun. Laporan kasus dapat menjadi kesempatan belajar yang hebat bagi apoteker dan mahasiswa farmasi untuk memahami perkembangan kasus dan respons dan efek obat yang tidak konvensional.



B. Saran Sebaiknya seorang tenaga kefarmasian harus lebih teliti dalam melakukan kegiatan kefarmasian agar tidak terjadi kesalahan yang fatal seperti pada contoh kasus yang telah di paparkan.



16



DAFTAR PUSTAKA Lubin and Mayer. 2010. Medication Error And Failure To Notice Signs And Lithium Toxicity Lead To Death Of 51 Year-Old Woman. (Cited: Dec 18, 2010) Available at: http//www.lubinandmayer.com/hoterneys/indek.html. Moffat, C Anthony, David Osselton, Brian Widdop. 2005. Clarke’s Analysis of Drugs and Poisons in Pharmaceutical, Body Fluids, and Post-Mortem Material. 3rd Edition. London: The Pharmaceutical Pres Israr, Y.A., W.R. Mardhiya.,dan N. Faradilla. 2009. Obat Antimania (Cited: Dec 18, 2010) Available at: http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/09/ antimania_files_of_drsmed.pdf Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2008. Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta: PT Elex Media Computindo Zullies, Ikawati. 2009. Bipolar-Disorder (Cited: Dec 18, 2010) Available at: http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/ bipolardisorder.pdf



17