Contoh Kasus Tax Planning PPN [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Contoh Kasus Tax Planning PPN



a. Kegiatan Membangun Sendiri PT Magetan Jaya mendirikan bangunan untuk kegiatan usahanya di bidang property seluas 400 m persegi di daerah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Pembangunan tersebut dilakukan oleh salah satu pemborong yang juga berdomisili di daerah Mampang yang belum dikukuhkan sebagai PKP.Biaya yang harus dikeluarkan pada bulan Januari 2012 adalah 1 M,termasuk pembelian tanah sebesar 400 juta dan PPN sebesar 150 juta.Berapakah PPN yang harus dibayar PT Magetan Jaya pada bulan Januari? Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan adalah kegiatan membangun bangunan baik yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang dilakukan oleh tukang batu atau tukang kayu harian atau pemborong bangunan yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai PKP,yang hasilnya digunakan



sendiri



atau



digunakan



pihak



lain.Berdasarkan



PMK



nomor



39/PMK.03/2010 yang juga diatur dalam PER-27/PJ/2010 yang menjadi dasar pengenaan pajak (DPP) adalah 40% dari seluruh pengeluaran (termasuk PPN) pada bulan yang bersangkutan tidak termasuk harga perolehan tanah. Tanpa tax planning: Jumlah PPN yang terutang: 10% x 40% x jumlah pengeluaran(kecuali harga tanah)= 10% x 40% x (1M-400 juta) = 24 juta Dengan tax planning: PT Magetan Jaya mengalokasikan/mengkapitalisasikan harga pembelian bangunan ke harga pembelian tanah sebesar 100 juta.Sehingga harga tanah menjadi 500 juta (400 juta+100 juta). Jumlah PPN yang terutang: 10% x 40% x (1M-500 juta) =20 juta Jadi,dengan tax planning PT Magetan Jaya dapat menghemat biaya pajak sebesar 4 juta. b. Kegiatan Membangun sendiri yang dilakukan bertahap Contoh ini masih sangat berkaitan erat dengan contoh sebelumnya yaitu tentang kegiatan membangun sendiri. Dulu sebelum PMK nomor 39/PMK.03/2010 dan Perdirjen Pajak nomor PER-27/PJ/2010 tentang ketentuan kegiatan membangun sendiri diterbitkan, peraturan yang ada waktu itu hanya menyebutkan bahwa yang dikenai PPN adalah luas



bangunan yang dibangun 300 m persegi atau lebih dan tidak menyebutkan berapa jangka waktu pembangunan bangunan dianggap sebagai satu kesatuan. Artinya, WP dapat membangun bangunan secara bertahap tanpa dikenai pajak. Contoh kasus: Untuk menghindari pengenaan PPN yang besar, PT Magetan Indah membangun halaman kantornya yang direncanakan seluas 400 m perseegi secara bertahap. Pada bulan Januari 2009 membangun seluas 200 m persegi .Tiga bulan kemudian PT Magetan Indah meneruskan proyeknya dengan membangun seluas 200 m persegi. Atas kegiatan tersebut PT Magetan Indah berhasil lolos dari pengenaan PPN karena waktu itu tidak ada peraturan tentang kegiatan membangun sendiri yang mengatur tentang pembangunan secara bertahap, yang ada hanya dikenai PPN jika membangun 300 m persegi atau lebih sedangkan PT Magetan indah hanya membangun 200 m persegi Sayangnya contoh ini sudah tidak bisa diterapkan dalam kehidupan perpajakan sekarang seiring dengan diterbitkannya PMK nomor 39/PMK.03/2010 dan Perdirjen Pajak nomor PER-27/PJ/2010 tentang ketentuan kegiatan membangun sendiri. Peraturan ini menyatakan bahwa “kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap,sepanjang jangka waktu antar tahapan-tahapan tidak lebih dari 2 tahun maka diperlakukan sebagai satu kesatuan kegiatan”. c. Melakukan pemusatan pajak terutang Sekarang dikenal adanya prinsip desentralisasi pengukuhan PKP. Artinya,antara perusahaan pusat dan cabang-cabangnya diperlakukan sebagai unit-unit yang berbeda dalam hal pengukuhan PKP. Baik pusat maupun cabang masing-masing dikukuhkan sebagai PKP oleh Kantor Pelayanan Pajak Setempat. Jadi,setiap penyerahan BKP dari pusat ke cabang dan atau antar cabang akan dikenai PPN. Akan tetapi,ketentuan mengenai desentralisasi pengukuhan PKP itu menjadi hilang jika entitas yang bersangkutan memperoleh izin pemusatan tempat pajak terutang. Keuntungan yang diperoleh seperti, setiap cabang tidak perlu lapor ke DJP mengenai penyerahan BKP antarcabang sehingga compliance cost perusahaan dapat semakin ditekan. Oleh karena itu,sebaiknya suatu entitas yang mempunyai banyak cabang meminta izin untuk melakukan pemusatan pajak terutang.



d. Lebih sering melakukan ekspor BKP/JKP daripada penyerahan dalam negeri Tarif PPN untuk ekspor BKP/JKP yang 0% sebaiknya dimanfaatkan PKP untuk lebih memaksimalkan ekspornya daripada penyerahan dalam negeri. Karena Bukan hanya tariff pajaknya saja yang jauh lebih rendah tapi juga keuntungan dalam pengkreditan pajak masukan yang menggiurkan pun siap didapat. Seperti yang kita tahu bahwa PPN yang harus PKP bayar adalah sejumlah pajak keluaran dikurangi dengan pajak masukan. Contoh kasus : PT Magetan Aman adalah PKP yang bergerak dalam industry baja. Selain melakukan penyerahan hasil industrinya di dalam negeri, PT Magetan Aman juga melakukan ekspor hasil produksinya. Pada masa pajak Januari 2012 mempunyai pajak masukan yang dapat dikreditkan sebesar 100 juta dan juga melakukan ekspor ke Negara Palestina sebesar 2 M. Berapakah jumlah PPN yang harus dibayar PT Magetan Aman pada masa pajak januari 2012? Jawab: Pajak keluaran atas ekspor BKP : 0% x 2 M = 0 Pajak masukan yang dapat dikreditkan= 100 juta Pajak Keluaran – pajak masukan = 0 – 100 juta = lebih bayar 100 juta Mari kita andaikan jika penyerahan sebesar 2 M itu dilakukan dalam negeri (bukan ekspor), maka: Pajak keluaran atas penyerahan BKP : 10% x 2 M = 200 juta Pajak keluaran – pajak masukan = 200 jua – 100 juta=kurang bayar 100 juta Jadi,berdasarkan contoh di atas terlihat bahwa ekspor BKP/JKP sangat menguntungkan pihak WP.