Makalah Tax Planning [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Makalah Tax Planning PERENCANAAN PAJAK PPH PASAL 22 DAN PERENCANAAN PAJAK INTERNASIONAL UNTUK BUT ( BADAN USAHA TETAP )



Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Tax Planning



Oleh : Kelompok 2 1. Abdul Kholik



( 2015120918 )



2. Dwi Intan Lestari



( 2015122208 )



3. Dwi Purwitasari



( 2015121669 )



4. Feriadi



( 2015121716 )



5. Hemas Tantri Rahayu



( 2015121358 )



6. Meisya Putri



( 2015121489 )



7. Resty Nurlia Gustaviahti



( 2015121887 )



8. Sherly Andira Aryani



( 2015121422 )



Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang Tangerang Selatan 2018



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan ke khadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini yang tentunya jauh dari kesempurnaan. Karena itu kelompok kami selalu membuka diri untuk setiap saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan karya kami selanjutnya. Terselesaikannya makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagi pihak. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Akhirnya semoga sumbangan amal bakti semua pihak tersebut mendapat balasan yang setimpal dari Nya. Dan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kelompok kami khususnya dan masyarakat pecinta ilmu pengetahuan pada umumnya.



Tangerang, November 2018



Kelompok II



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .......................................................................................................... DAFTAR ISI......................................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1.2 Tujuan Penulisan ................................................................................................... 1.3 Manfaat Penulisan ................................................................................................. BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................... 2.1 Perencanaan Pajak PPh Pasal 22........................................................................... 2.1.1



Pengertian PPh Pasal 22............................................................................



2.1.2



Subjek PPh Pasal 22..................................................................................



2.1.3



Objek PPh Pasal 22 ...................................................................................



2.1.4



Pemungut PPh Pasal 22.............................................................................



2.1.5



Pengecualian Dari Pemungutan PPh Pasal 22 ..........................................



2.1.6



Tarif Dari PPh Pasal 22.............................................................................



2.1.7



Pelunasan Dan Saat Terhutang PPh Pasal 22 ............................................



2.1.8



Pelaporan Dan Batas Waktu Setor PPh Pasal 22 ......................................



2.1.9



Studi Kasus Perencanaan PPh Pasal 22 ....................................................



2.2 Perencanaan Pajak Internasional Untuk BUT ....................................................... 2.2.1



Pengertian Pajak Internasional ..................................................................



2.2.2



Pengertian BUT ( Badan Usaha Tetap ) ....................................................



2.2.3



Kewajiban Pajak BUT ( Badan Usaha Tetap )..........................................



2.2.4



Tarif Pajak Penghasilan BUT ( Badan Usaha Tetap )...............................



2.2.5



Klasifikasi BUT ( Badan Usaha Tetap ) ...................................................



2.2.6



Cakupan Penghasilan BUT ( Badan Usaha Tetap ) .................................



2.2.7



Pajak Penghasilan Badan Dan Branch Profit Tax.....................................



2.2.8



Studi Kasus Perencanaan Pajak Internasional Untuk BUT .......................



BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 3.2 Saran ..................................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Negara Indonesia merupakan Negara berkembang, yang terdiri dari ribuan pulau yang memiliki budaya yang beraneka ragam, lautan, dan sumber daya alam yang melimpah. Dengan perkembangan yang terjadi saat ini mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan di segala sektor demi meningkatkan pendapatan atau kas negara guna membiayai pembangunan. Dalam melakukan perubahan tersebut, pastilah memerlukan dana yang sangat besar, dan dana itu berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran



Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dimana



sebagian besar bersumber dari penerimaan pajak. Ini menjelaskan bahwa pajak memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak sendiri merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam membangun pertumbuhan ekonomi karena Indonesia memiliki beraneka ragam kekayaan yang sangat kuat untuk menunjang segala kebutuhan dalam Negeri, namun pada kenyataannya Indonesia hanya mampu menjadi penonton ditengah persaingan global yang begitu selektif. Kebijakan yang sangat kontrofersialpun diambil oleh Pemerintah Indonesia yaitu dengan bergabung dalam pembebasan PPh Pasal 22 dengan Negara Cina, pada konteksnya kebijakan yang diambil sangat menggiurkan karena penduduk Cina yang begitu banyak dibandingkan jumlah penduduk Indonesia dan dapat menjadi sasaran empuk bagi para produsen dalam negeri, akan tetapi para produsen dalam negeri belum mampu untuk bersaing dengan produkproduk yang dikeluarkan oleh negeri tirai bambu tersebut. Dalam hal ini kedewasaan sangatlah diperlukan dalam melakukan suatu kebijakan karena



besar atau kecilnya pendapatan dari PPh Pasal 22 tergantung pada kebijakan yang diambil oleh Peraturan Pemerintah. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan Tata Cara Perpajakan bahwa “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badanyang bersifat memaksa berdasarkan Undang – Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Sumber penerimaan pajak berasal dari penghasilan yang sebagiannya dibayarkan kepada negara yang dikenakan untuk wajib pajak, baik wajib pajak dalam negeri maupun wajib pajak luar negeri. Salah satu penerimaan pajak ialah melalui Bentuk Usaha Tetap ( BUT ). Secara garis besar Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, serta badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, bentuk usaha tetap dalam sistem perpajakan Indonesia menempati suatu kedudukan yang khusus. Karena di samping pemajakan atas bentuk usaha tetap tersebut, berbeda dibandingkan dengan pemajakan atas wajib pajak pada umumnya. Dalam hal ini, kaitannya dengan perjanjian pajak (tax treaty), ada tidaknya suatu bentuk usaha tetap sangat menentukan dapat atau tidaknya suatu negara sumber mengenakan pajak atas laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang berkedudukan diluar negeri. Dalam perkembangannya, menurut Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap tidak lagi



dikelompokkan sebagai



subjek pajak badan dalam negeri, tetapi



dikelompokkan sebagai subjek pajak yang berdiri sendiri dan dianggap sebagai subjek pajak luar negeri. Namun demikian, kewajiban – kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak dalam negeri. Keadaan tersebut masih tetap tidak berubah setelah adanya Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagai Undang – Undang perubahan terhadap Undang –Undang Pajak Penghasilan yang terbaru. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dipungut sebagai objek pajak atas penghasilan yang diperoleh suatu perusahaan. Pajak Penghasilan akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha selaku wajib pajak yang memperoleh penghasilan. Setiap perusahaan yang bergerak di bidang jasa maupun non jasa sebagai wajib pajak diwajibkan untuk membayar pajak. Bagi perusahaan, pajak merupakan sumber pengeluaran tanpa adanya imbalan langsung untuk perusahaan tersebut. Sehingga biasanya, perusahaan melakukan upaya untuk membayar pajak terutangnya sekecil mungkin selama hal tersebut memungkinkan.



1.2



Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas Tax Planning mengenai Perencanaan Pajak PPh Pasal 22 Dan Perencanaan Pajak Internasional Untuk BUT ( Badan Usaha Tetap ).



1.3



Manfaat Penulisan Dari penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik secara langsung terkait dalam pembuatan makalah maupun yang membacanya. Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah: 1. Bagi Peneliti Hasil peneliti ini semoga dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dalam menambah pengetahuan dan memberikan keyakinan mengenai peranan



perencanaan pajak dalam mensejahterakan masyarakat khususnya dalam hal PPh pasal 22 dan BUT. 2. Bagi Akademis Diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademis sebagai referensi, bahan acuan bagi penelitian-penelitian yang sejenis di masa yang akan datang sebagai usaha pengembangan yang lebih lanjut, sehingga dapat mengetahui mengenai peranan perencanaan pajak dalam mensejahterakan masyarakat khususnya dalam hal pasal 22 dan BUT. 3. Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini di harapakan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan peranan perencanaan pajak dalam mensejahterakan masyarakat khususnya dalam pasal 22 dan BUT.



BAB II PEMBAHASAN



2.1



Perencanaan Pajak PPh Pasal 22 Pajak penghasilan pasal 22 atau disingkat PPh pasal 22 adalah pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain. Dasar hukum PPh pasal 22 adalah UU Pajak Penghasilan nomor 36 tahun 2008, pasal 22. Untuk lebih memahami secara mendalam dan komprehensif mengenai pajak penghasilan (pph) pasal 22, maka yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu mengenai subjek PPh pasal 22, objek, pemungut, pengecualian dari pengenaan pph pasal 22, saat terutang, batas waktu setor dan lapor, serta studi kasus yang berkaitan dengan pasal 22.



2.1.1



Pengertian PPh Pasal 22 PPh Pasal 22 atau Pajak Penghasilan Pasal 22 dikenakan kepada



badan-badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor dan re-impor. Melalui penerbitan peraturan No. 90/PMK.03/2015, pemerintah melebarkan badanbadan yang berhak memungut PPh Pasal 22 yaitu menjadi wajib pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap Wajib Pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang. Mengingat sangat bervariasinya obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, ketentuan PPh Pasal 22 relatif lebih rumit dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun



PPh 23. Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap ‘menguntungkan’, sehingga baik penjual maupun pembelinya dapat menerima keuntungan dari perdagangan tersebut. Karena itulah, PPh Pasal 22 dapat dikenakan baik saat penjualan maupun pembelian.



2.1.2



Subjek PPh Pasal 22 Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun



1983 tentang Pajak Penghasilan dengan perubahan terakhir dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008, Subjek PPh Pasal 22 adalah Wajib Pajak yang melakukan penyerahan kepada pemerintah, Wajib Pajak badan-badan tertentu yang melakukan kegiatan impor atau melakukan penyerahan barang yang tergolong sangat mewah. Subjek Pajak Penghasilan Pasal 22 atau PPh pasal 22 adalah siapa saja yang wajib menghitung, memungut, dan menyetorkan PPh Pasal 22 ke kas Negara. Mereka adalah : 1. Importir. 2. Rekanan pemerintah dan badan-badan tertentu yang merupakan pemungut PPh Pasal 22. 3. Konsumen semen, kertas, baja, dan otomotif. 4. Distributor dan agen pertamina serta badan usaha selain pertamina yang bergerak di bidang BBM jenis premix dan gas. 5. Industri dan eksportir di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.



2.1.3



Objek PPh Pasal 22 Adapun objek PPh pasal 22 adalah sebagai berikut : 1.



Pembelian a. Pembelian barang oleh bendaharawan. b. Pembelian



bahan-bahan



berupa



hasil



perhutanan,



perkebunan, pertanian, dan perikanan untuk keperluan industri dan ekspor dari pedagangan pengepul 2.



Impor Barang



3.



Penjualan oleh Industri Tertentu a. Industri baja b. Industri semen c. Industri kertas d. Industri otomotif



4.



Penjualan BBM dan Gas oleh PERTAMINA Premium, solar, premix/superTT, minyak tanah, gas/LPG, dan pelumas.



5.



Penjualan Barang yang tergolong sangat Mewah Pesawat udara pribadi, kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen sangat mewah dan kendaraan sangat mewah, dll.



2.1.4



Pemungut PPh Pasal 22 Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 Undang-



Undang Pajak Penghasilan adalah : 1.



Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas impor barang.



2.



Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan bendaharawan pemerintah pusat/daerah yang melakukan pembayaran atas pembeliaan barang.



3.



BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD.



4.



Bank Indonesia (BI), PT.Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia ( Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat,



PT Krakatau Steel, Petamina dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun nonAPBN. 5.



Badan usaha yang bergerak dibidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh kepala kantor pelayanan pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri.



6.



Pertamina dan badan usaha lainnya (produsen atau importir) yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix, serta super TT, pelumas dan gas, atas penjualan hasil produksinya.



7.



Industri dan eksportir perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan, yang ditunjuk oleh direktur jenderal pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dan pedagang pengumpul. Selain pemungut diatas, Peraturan Menteri Keuangan Nomor



253/PMK.03/2008 juga mengatur tentang wajib pajak badan tertentu sebagai pemungut PPh pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah yaitu wajib pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah, dinataranya : 1.



Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp200.000.000.000 (dua ratus miliar rupiah);



2.



Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah);



3.



Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan luas bangunan lebih dari 500 m² (lima ratus meter persegi);



4.



Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m² (empat ratus meter persegi);



5.



Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, Sport Utility Vehicle (SUV), Multi Purpose Vehicle (MPV), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari



Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.



2.1.5



Pengecualian Dari PemungutanPPh Pasal 22 Yang dikecualikan dari pemungutan PPh pasal 22 diantaranya



adalah : 1.



Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan Pajak Penghasilan tidak terutang Pajak Penghasilan.



2.



Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) : a.



Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik; (dengan syarat ada Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak).



b.



Barang untuk keperluan Badan Internasional yang diakui dan terdaftar pada pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia.



c.



Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan.



d.



Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan temmpat lain semacam itu yang terbuka untuk umum, dilakukan secara otomatis tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).



e.



Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, dilakukan secara otomatis tanpa SKB.



f.



Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya, dinyatakan dengan SKB PPh pasal 22 oleh DJP.



g.



Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah, dilakukan secara otomatis tanpa SKB.



h.



Barang pindahan, dilakukan otomatis tanpa SKB.



i.



Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, barang kiriman sampai dengan batas nilai/jumlah tertentu sesuai dengan peraturan kepabeanan.



j.



Barang yang diimpor oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum.



k.



Persenjataan, amunisi dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan Negara.



l.



Barang dan bahan yang digunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan Negara.



m. Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN). n.



Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.



o.



Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan penyebrangan, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keamanan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan dipergunakan perusahaan pelayaran niaga nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional.



p.



Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan dipergunakan oleh perusahaan angkutan udara niaga nasional.



q.



Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan dipergunakan PT Kereta Api Indonesia (KAI).



r.



Peralatan yang dipergunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan Tentara Nasional Indonesia (TNI).



3.



Dalam hal impor barang sementara jika pada waktu impornya nyatanyata dimaksudkan untuk diekspor kembali. Contohnya adalah barang pameran, setelah pameran selesai naka barang-barang pameran tersebut harus dieskpor kembali.



4.



Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah dieskpor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor karena membutuhkan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).



5.



Pembayaran atas penyerahan barang yang jumlahnya paling banyak Rp1.000.000 (bukan merupakan pembayaran yang terpecah-pecah).



6.



Pembayaran untuk keperluan pembelian BBM, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos.



7.



Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas dan untuk tujuan ekspor (syarat harus ada surat keterangan bebas PPh Pasal 22).



8.



Pembayaran/pencairan dana Jaringan Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor



Perbendaharaan dan Kas Negara (pelaksanaan tanpa surat



keterangan bebas).



2.1.6



Tarif PPh Pasal 22 1.



Tarif PPh pasal 22 atas Impor. a.



menggunakan Angka Pengenal Importir (API) sebesar 2,5% dari nilai impor;



b.



tanpa menggunakan Angka Pengenal Importir (API) sebesar 7,5% dari nilai impor;



c.



yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% dari harga jual lelang;



d.



impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API (tidak memiliki API, tidak dapat impor) sebesar 0,5% dari nilai impor.



2.



Tarif PPh pasal 22 atas Pembelian yang dilakukan oleh BUMN/BUMD yang menggunakan APBN/APBD dan non APBN/APBD. a.



Tarifnya sebesar 1,5% dari harga pembelian sebelum PPN/ PPnBM



3.



Tarif PPh pasal 22 atas Penjualan hasil produksi. a.



Industri semen, sebesar 0,25% dari dasar pengenaan pajak (DPP) PPN



4.



b.



Industri kertas, sebesar 0,1% dari DPP PPN



c.



Industri baja, sebesar 0,3% dari DPP PPN



d.



Industri otomotif, sebesar 0,45% dari DPP PPN



Tarif PPh pasal 22 atas Penjualan PERTAMINA KETERANGAN



Premium



Solar



Premix / Super TT



Minyak Tanah



Gas Elpiji



Pelumas



SPBU



SPBU



SWASTANISASI



PERTAMINA



0,3 % dari



0,25 % dari



penjualan



penjualan



0,3 % dari



0,25 % dari



penjualan



penjualan



0,3 % dari



0,25 % dari



penjualan



penjualan 0,3 % dari penjualan 0,3 % dari penjualan 0,3 % dari penjualan



5.



Tarif PPh pasal 22 atas Industri dan Eksportir yang bergerak disektor Perhutanan, Perkebunan, Pertanian, dan Perikanan. a.



Tarifnya sebesar 0,5% dari harga pembelian tidak termasuk PPN.



6.



Tarif PPh pasal 22 atas Penjualan barang yang tergolong sangat mewah. a.



Tarifnya sebesar 5% dari penjualan.



Pemungutan PPh pasal 22 yang bersifat tidak final terhadap wajib pajak yang



tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% (seratus persen)



daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang dapat menunjukkan NPWP. Pemungutan PPh pasal 22 bersifat tidak final, kecuali pemungutan PPh pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas kepada penyalur atau agen bersifat final. Tata cara pelaporan PPh Pasal 22 adalah sebagai berikut : 1.



Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus melaporkan PPh Pasal 22 yang telah dipungut kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 7 hari setelah penyetoran. Pelaporan dilakukan menggunakan formulir surat pemberitahuan masa PPh Pasal 22 impor.



2.



Surat pemberitahuan masa PPh Pasal impor disertai lampiran: a.



Tindasan PPUD



b.



Lembaran ke-2 SSP



c.



Lembaran ke-2 bukti pemungutan PPh Pasal 22 impor, dan



d.



Daftar dari bukti pemungutan PPh Pasal 22 impor dan PPUD atau nota pembetulan.



3.



Jumlah uang yang tercantum dalam surat setoran pajak harus sama dengan seluruh penjumlahan, sebagaimana yang tercantum dalam segi hitung dari bukti pemungutan PPh Pasal 22 yang tercantum dalam PPUD atau nota pembetulan yang bersangkutan.



2.1.7



Pelunasan Dan Saat Terutang PPh Pasal 22 JENIS PAJAK



SAAT TERUTANG / PELUNASAN



SIFAT



Bersamaan dengan saat pembayaran BEA masuk. Dalam hal pembayaran BEA masuk ditunda



Atas impor barang



atau dibebaskan,



Tidak final,



maka PPh pasal 22



sebagai kredit



terutang dan



pajak



dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) Atas pembelian barang dari Direktorat jenderal Perbendaharaan,



Pada saat



Bendahara



pembayaran



Pemerintahan baik di



Tidak final, sebagai kredit pajak



tingkat pusat maupun di tingkat daerah Atas pembelian barang dari Badan Usaha Milik Negara



Pada saat



dan Badan Usaha



pembayaran



Milik Daerah yang melakukan



Tidak final, sebagai kredit pajak



pembelian barang dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD Atas pembelian barang dari Bank Indonesia (BI), PT.Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA), Perusahaan Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (TELKOM), PT.



Pada saat pembayaran



Tidak final, sebagai kredit pajak



Perusahaan Tenaga Listerik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, PT. Pertamina, dan Bank–bank BUMN Atas penjualan hasil



Kertas–(tidak



produksi dari badan



final)



usaha yang bergerak



Semen-(tidak



dalam bidan usaha



Pada saat penjualan



final)



industeri semen,



Baja–(tidak final)



kertas, baja, dan



Otomotif–(tidak



otomotif



final)



Atas penjualan hasil produksi produsen atau importir bahan



saat penerbitan surat



bakar minyak , gas,



perintah



dan pelumas atas



pengeluaran barang



penjualan bahan



(Delivery Order)



bakar minyak, gas, dan pelumas Atas pembelian bahan-bahan industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan.



Saat pembelian



Kepada penyalur / agen, bersifat final. Selain penyalur / agen, bersifat tidak final



2.1.8



Pelaporan Dan Batas Waktu Setor PPh Pasal 22 PPh Pasal 22 yang telah dipungut dalam setiap hari kerja harus



disetorkan pada hari kerja berikutnya. PPh Pasal 22 yang dipungut pada tanggal 31 Maret harus disetorkan pada hari itu juga. Penyetoran dilakukan kekantor kas Negara, seperti kantor pos dan giro, serta bank pemerintah yang ditunjuk menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Pada formulir SSP tersebut harus dicantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari pemungut pajak. JENIS PAJAK



SAAT PENYETORAN



SAAT PELAPORAN



Pemungutan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus Atas impor barang



disetor ke bank persepsi atau kantor pos dan giro dalam jangka waktu sehari



Paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.



setelah pemungutan pajak dilakukan. Pada hari yang sama Atas pembelian barang



dengan pelaksanaan



dari Direktorat



pembayaran atas



jenderal



penyerahan barang,



Paling lambat 14



Perbendaharaan,



dengan menggunakan



(empat belas) hari



Bendahara



Surat Setoran Pajak



setelah Masa Pajak



Pemerintahan baik di



yang telah diisi atas



berakhir.



tingkat pusat maupun



nama rekanan serta



di tingkat daerah



ditandatangani oleh pemungut pajak.



Atas pembelian barang dari Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD



Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang,



Paling lambat 14



dengan menggunakan



(empat belas) hari



Surat Setoran Pajak



setelah Masa Pajak



yang telah diisi atas



berakhir.



nama rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.



Atas pembelian barang dari Bank Indonesia (BI), PT.Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA), Perusahaan Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (TELKOM), PT. Perusahaan



Paling lambat tanggal



Paling lambat 20 (dua



10 (sepuluh) bulan



puluh) hari setelah



takwim berikutnya.



Masa Pajak berakhir.



Paling lambat tanggal



Paling lambat 20 (dua



10 (sepuluh) bulan



puluh) hari setelah



takwim berikutnya.



Masa Pajak berakhir.



Tenaga Listerik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, PT. Pertamina, dan Bank– bank BUMN Atas penjualan hasil produksi dari badan usaha yang bergerak dalam bidan usaha



industeri semen, kertas, baja, dan otomotif Atas penjualan hasil produksi produsen atau importir bahan bakar minyak , gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak,



Sebelum surat perintah pengeluaran barang (delivery order) ditebus



Paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.



gas, dan pelumas Atas pembelian bahanbahan industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, perikanan, dan pertanian



Paling lambat tanggal



Paling lambat 20 (dua



10 (sepuluh) bulan



puluh) hari setelah



takwim berikutnya.



Masa Pajak berakhir.



2.1.9



Studi Kasus Perencanaan Pajak PPh Pasal 22



Contoh Kasus 1 Pada tanggal 1 Januari 2016, PT ABC mengimpor barang dari Jerman dengan harga faktur US$100.000. Barang yang diimpor adalah jenis barang yang tidak termasuk dalam barang-barang tertentu yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 16/PMK.010/2016. Biaya asuransi yang dibayar di luar negeri sebesar 5% dari harga faktur dan biaya angkut sebesar 10% dari harga faktur. Pertanyaan: Bea masuk dan bea masuk tambahan masing-masing sebesar 20% dan 10%. Kurs yang ditetapkan Menteri Keuangan pada saat itu sebesar US$1= Rp10.000. Hitunglah PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Ditjen Bea Cukai jika PT ABC memili API (Angka Pengenal Impor) dan jika tidak memiliki API? Jawaban: No Diketahui



Perhitungan



Nilai (US$)



a.



Harga faktur (cost)



b



Biaya asuransi (insurance)



(5% x US$100.000)



US$5.000



c



Biaya angkut (freight)



(10% x US$100.000)



US$10.000



(a+b+c)



US$115.000



CIF (cost, insurance & freight) d.



CIF (dalam rupiah)



e.



Bea masuk



f



Bea masuk tambahan Nilai Impor



US$100.000



(US$115.000 x Rp10.000) (20% x Rp1.150.000.000) (10% x Rp1.150.000.000) (d+e+f)



Rp1.150.000.000



Rp230.000.000



Rp115.000.000 Rp1.495.000.000



Jadi, PPh Pasal 22 yang dipungut oleh DJBC, jika PT ABC memiliki API (2,5% x Nilai Impor): 2,5% x Rp1.495.000.000 = Rp37.375.000 PPh Pasal 22 yang dipungut oleh DJBC jika PT ABC tidak memiliki API (7,5% x Nilai Impor): 7,5% X Rp1.495.000.000 = Rp112.125.000



Contoh Kasus 2 PT DTC berkedudukan di Jakarta, menjadi pemasok alat-alat tulis kantor bagi Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan. Pada tanggal 1 Oktober 2015, PT DTC melakukan penyerahan barang kena pajak dengan nilai kontrak sebesar Rp11.000.000 (nilai sudah termasuk PPN).



Pertanyaan : Maka, berapakah PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan? Jawaban: No Diketahui



Nilai (Rp)



1



Nilai kontrak termasuk PPN



Rp11.000.000



2



DPP (100/110) x Rp11.000.000



Rp10.000.000



3



PPN dipungut (10% dari DPP)



Rp1.000.000



4



PPh Pasal 22 yang dipungut (1,5% x Rp10.000.000)



Rp150.000



Jadi, besarnya PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan sebesar Rp150.000. PPh Pasal 22 = 1,5% x harga pembelian tidak termasuk PPN. Atas pembelian barang yang dananya berasal dari belanja negara atau belanja daerah yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah:



1. Pembayaran atas penyerahan barang (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah) yang meliputi jumlah kurang dari Rp1.000.000,00. 2. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak,listrik,gas,air minum/PDAM, dan benda-benda pos. 3. Pembayaran/ pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.



2.2



Perencanaan Pajak Internasional Untuk BUT Bentuk Usaha Tetap adalah Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.Pada dasarnya pengenaan pajak terhadap Wajib Pajak luar negeri menganut asas sumber, artinya atas setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber dari Indonesia dapat dikenakan pajak di Indonesia.



2.2.1



Pengertian Pajak Internasional Pajak internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku



diantara negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaannya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda). Perpajakan internasional merupakan studi atau penentuan pajak atas subjek orang atau bisnisdengan hukum pajak negara yang berbeda atau aspekaspek internasional dari hukum pajak negara individu. Pemerintah biasanya



membatasi ruang lingkup pajak pendapatan mereka dalam beberapacara teritorial atau menyediakan untuk offset dengan perpajakan yang berkaitan dengan pendapatan ekstrateritorial. Cara keterbatasan umumnya mengambil bentuk residensi, teritorial, atau sistem eksklusif.Beberapa pemerintah telah berusaha untuk mengurangi keterbatasan yang berbeda dari masing-masing tiga sistem yang luas dengan memberlakukan sistem hibrida dengan karakteristik dari dua atau lebih. Banyak pemerintah individu pajak dan atau badan usaha terhadap pendapatan.Sistem seperti perpajakan sangat bervariasi, dan tidak ada aturan umum yang luas. Variasi ini menciptakan potensi pajak ganda (dimana pendapatan yang sama dikenakan pajak oleh negara yang berbeda) dan tidak ada pajak (dimana pendapatan tidak dikenakan pajak oleh negara manapun).



2.2.2



Pengertian BUT ( Badan Usaha Tetap ) Sesuai Pasal 2 Ayat 5 UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan



Kedua UU Nomor: 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh), BUT diartikan sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh subyek pajak luar negeri (non resident taxpayer) baik orang pribadi (nature person) atau badan (legal person) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Menurut OECD Model, yang dimaksud BUT adalah: suatu tempat usaha tetap yang digunakan perusahaan untuk menjalankan seluruh atau sebagian besar usahanya. Pengertian tersebut mengandung beberapa karakteristik yang mewarnai suatu BUT perusahaan asing di Indonesia yaitu: (i) adanya tempat usaha berupa prasarana, (ii) tempat usaha ini harus bersifat tetap, (iii) kegiatan usaha perusahaan dilakukan melalui tempat usaha tersebut, dan (iv) sifatnya harus produktif, dimana BUT tersebut harus ikut andil dalam meberikan laba usaha bagi perusahaannya (kantor pusatnya). Sesuai Tax Treaty Model OECD, pengecualian timbulnya BUT yaitu sebagai berikut :







Apabila perusahaan dari suatu negara treaty partner menjalankan kegiatan-kegiatan yang terbatas di Indonesia yang cakupan kegiatankegiatannya adalah sebagai berikut : 1.



Penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dimaksudkan untuk menyimpan, memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;



2.



Pengurusan persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dimaksudkan untuk disimpan, dipamerkan atau diolah lebih lanjut oleh perusahaan lain;



3.



Pengurusan tempat usaha tetap semata-mata dimaksudkan untuk pembelian barang-barang atau barang dagangan, mengumpulkan informasi bagi keperluan perusahaan, untuk tujuan periklanan, memberikan informasi atau untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan ataupun penunjang bagi perusahaan.







Apabila perusahaan tersebut menjalankan usahanya melalui agen yang bertindak bebas (independent agent). Agen independen adalah agen yang menjalankan usahanya secara bebas tanpa instruksi dari perusahaan diluar negeri (non resident taxpayer) misalnya makelar, komisioner umum. Apabila suatu perusahaan yang berkedudukan di suatu negara treaty



partner yang menguasai atau dikuasai oleh perusahaan lain yang berkedudukan di negara treaty partner lainnya ataupun menjalankan usaha di negara treaty lainnya (baik melalui suatu BUT maupun dengan cara lain).



2.2.3



Kewajiban Pajak BUT ( Badan Usaha Tetap ) Walaupun BUT termasuk Wajib Pajak Luar Negeri, namun



kewajiban perpajakan BUT hampir sama dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri. Suatu BUT berkewajiban untuk ber NPWP. Apabila memenuhi ketentuan di Undang-undang PPN, BUT juga wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).



Setelah berNPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP, BUT berkewajiban menjalankan hak dan kewajiban perpajakan yang sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri. BUT Wajib menyampaikan SPT PPh Badan, SPT PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 23/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 4 ayat (2) dan/atau PPN sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perbedaan mendasar dalam perlakuian PPh antara Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan BUT terletak pada : a.



Sumber penghasilan BUT yang dikenakan PPh adalah penghasilan dari Indonesia saja karena BUT termasuk Wajib Pajak Luar Negeri.



b.



Adanya perlakuan khusus tentang penghasilan yang menjadi objek pajak BUT dan biaya yang boleh dikurangkan bagi BUT yang diatur dalam Pasal 5 UU PPh.



c.



Adanya kewajiban khusus pemotongan PPh Pasal 26 atas Penghasilan Kena Pajak setelah dikurang pajak di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh.



2.2.4



Tarif Pajak Penghasilan BUT ( Badan Usaha Tetap ) Pemajakan terhadap BUT menggunakan tarif sebagaimana



dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) Undang-undang PPh. Besarnya tarif pajak untuk tahun pajak 2009 sebesar 20% dan mulai tahun pajak 2010 menjadi sebesar 25% kecuali BUT tertentu yang penghasilannya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Khusus, maka tarifnya adalah tarif khusus yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.



2.2.5



Biaya / Pengurang Penghasilan BUT. Berdasarkan pasal 6 ayat (1) seperti halnya wajib pajak badan dalam



negeri, bentuk usaha tetap dapat mengurangkan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk : a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: 1. biaya pembelian bahan; 2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; 3. bunga, sewa, dan royalti; 4. biaya perjalanan; 5. biaya pengolahan limbah; 6. premi asuransi; 7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 8. biaya administrasi; dan pajak kecuali Pajak Penghasilan. b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A; c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; e. kerugian selisih kurs mata uang asing; f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;



h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat : 1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan 3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu 4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan i.sumbangan



dalam



rangka



penanggulangan



bencana



nasional



yang



ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Namun ada yang membuat BUT berbeda dengan Subjek Pajak badan dalam negeri yaitu bahwa selain diperbolehkan untuk mengurangkan biaya-biaya di atas, berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU PPh, BUT juga diperbolehkan untuk mengurangkan biaya-biaya yang berkenaan dengan:



a. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia; Contoh : Suatu perusahaan konsultan di luar negeri mempunyai BUT di Indonesia. Apabila kantor pusat perusahaan konsultan tersebut memberikan jasa konsultasi secara langsung di Indonesia yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan oleh BUT-nya di Indonesia, penghasilan kantor pusat tersebut akan dianggap sebagai penghasilan BUT yang ada di Indonesia. Karena penghasilan kantor pusat tersebut dianggap sebagai penghasilan BUT yang ada di Indonesia, biaya-biaya kantor pusat yang terkait dengan penghasilan tersebut dapat dikurangkan juga oleh BUT di Indonesia.



b. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 UU PPh yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud Contoh X Inc. mengadakan perjanjian lisensi dengan PT Y untuk mempergunakan merek dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT Y. Sehubungan dengan perjanjian tersebut, X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT Y melalui BUT-nya di Indonesia. Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif dengan BUT di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan BUT. Karena penghasilan X Inc. berupa royalti dianggap sebagai penghasilan BUT-nya, biaya-biaya X Inc. yang terkait dengan penghasilan royalti tersebut dapat dikurangkan juga oleh BUT di Indonesia.



c. biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak



104 | P a g e d. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-62/PJ./1995, biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh suatu BUT di Indonesia adalah biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat yang berkaitan dan dalam rangka untuk menunjang usaha atau kegiatan BUT yang bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Besarnya biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto di Indonesia sebagaimana dimaksud di atas setinggi-tingginya adalah sebanding dengan besarnya peredaran usaha atau kegiatan BUT di Indonesia terhadap seluruh peredaran usaha atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia. Atau, batas tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut: 𝐏𝐞𝐫𝐞𝐝𝐚𝐫𝐚𝐧 𝐮𝐬𝐚𝐡𝐚 𝐁𝐔𝐓 𝐝𝐢 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 × 𝑩𝒊𝒂𝒚𝒂 𝑨𝒅𝒎𝒊𝒏𝒊𝒔𝒕𝒓𝒂𝒔𝒊 𝑲𝒂𝒏𝒕𝒐𝒓 𝑷𝒖𝒔𝒂𝒕 𝑷𝒆𝒓𝒆𝒅𝒂𝒓𝒂𝒏 𝒖𝒔𝒂𝒉𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒖𝒔𝒂𝒉𝒂𝒂𝒏 𝒅𝒊 𝒔𝒆𝒍𝒖𝒓𝒖𝒉 𝒅𝒖𝒏𝒊𝒂



Seperti halnya Wajib Pajak badan dalam negeri, untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak BUT, berdasarkan pasal 9 ayat (1) UU PPh tidak boleh dikurangkan : a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali : 1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; 2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; 3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;



4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; 5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan 6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; h. Pajak Penghasilan; i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;



k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.



Yang membedakan BUT dari Subjek Pajak badan dalam negeri adalah bahwa selain tidak diperbolehkan mengurangkan biaya-biaya di atas, berdasarkan Pasal 5 ayat (3) huruf c UU PPh, BUT juga tidak diperbolehkan mengurangkan pembayaran kepada kantor pusat dalam bentuk: a. royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya; b. imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya; c. bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;



Konsisten dengan perlakuan ini, maka menurut UU PPh pembayaran dalam bentuk tersebut di atas yang diterima atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.



2.2.6



Klasifikasi BUT ( Badan Usaha Tetap ) Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia dapat



diidentifikasi kedalam beberapa kelompok yaitu : 1.



BUT Fasilitas Fisik (assets type) Keberadaan suatu BUT Perusahaan asing di Indonesia timbul apabila



perusahaan asing tersebut memiliki fasilitas fisik yang merupakan tempat untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. Fasilitas fisik tersebut merupakan milik sendiri atau disewa dari pihak lain. Sesuai pasal 2 ayat (5) huruf a s/d h Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 terdiri dari : 



Tempat kedudukan manajemen







Cabang perusahaan







Kantor perwakilan Pabrik







Bengkel







Perikanan/pertanian/kehutanan/perkebunan







Suatu gudang atau tempat penyimpanan barang sebagai tempat penjualan







Pertambangan dan penggalian sumber daya alam, wilayah kerja pengeboran untuk eksplorasi pertambangan



2.



BUT Aktivitas (activity type) Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia timbul apabila



perusahaan asing tersebut menjalankan kegiatan jasa-jasa di Indonesia dalam jangka waktu melebihi tes waktu. Sesuai pasal 2 ayat (5) huruf i dan j UndangUndang Nomor 17 Tahun 2000, termasuk antaranya : 



Proyek konstruksi, proyek perakitan, instalasi atau kegiatan pengawasan yang ada hubungannya dengan proyek tersebut, dan







Pemberian jasa termasuk jasa konsultan yang dilakukan oleh suatu perusahaan melalui karyawan atau orang lain yang dipekerjakan oleh perusahaan itu untuk tujuan tersebut, kegiatan itu berlangsung selama lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 bulan.



Keberadaan suatu BUT tipe aktivitas, baik aktivitas konstruksi maupun pemberian jasa ditentukan dari lamanya (time test) aktivitas tersebut dilakukan di negara sumber. Penentuan time test tidak melihat pada formalitas (kontrak) tetapi pada keadaan yang sebenarnya (Pasal 2 ayat (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000), Misalnya berdasarkan kontrak pemberian jasa, PT XYZ yang berkedudukan di Amerika mengirimkan Mr. Wong, penduduk Amerika ke Indonesia dari tanggal 10 April 2000 s/d 10 Juni 2000. Namun, pada kenyataannya, Mr. Wong sudah berada di Indonesia sejak bulan Januari 2000. Dengan demikian, syarat time test yang digunakan dihitung sejak Mr. Wong berada di Indonesia, yaitu sejak bulan Januari 2000.



3.



BUT Keagenan (agency type)



Dianggap timbul suatu BUT perusahaan asing di Indonesia apabila perusahaan asing di Indonesia apabila perusahaan asing tersebut menjalankan usahanya di Indonesia melalui perusahaan lain yang bertindak sebagai agen yang tidak bebas (dependent agent) sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (5) huruf k Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Yang dimaksud dengan agen dependen adalah agen yang didalam melaksanakan usahanya bertindak untuk dan/atau atas nama perusahaan diluar negeri atau kegiatan agen tersebut seluruhnya atau hampir seluruhnya di luar negeri.



4.



BUT Asuransi (insurance type) Keberadaan BUT perusahaan asuransi asing timbul di Indonesia apabila



Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 ayat (5) huruf l Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Keberadaan BUT tipe asuransi difokuskan pada ada atau tidaknya pemungutan premi dan penanggungan resiko di negara sumber. Dalam tax treaty, tes waktu dianggap timbulnya suatu BUT di Indonesia pada umumnya lebih lama ketimbang tes waktu yang diatur dalam UU PPh. Misalnya, tes waktu untuk pemberian jasa lain-lain sesuai UU PPh adalah 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan tetapi untuk tax treaty IndonesiaAustralia adalah 120 hari dalam 12 bulan. Perbedaan ini timbul dari hasil kesepakatan wakil dari kedua negara didalam perundingan. Negara-negara maju cenderung menginginkan tes waktu yan glebih lama sehingga kemungkinan timbulnya suatu BUT sehubungan dengan jasa konstruksi ataupun pemberian jasa-jasa lain di Indonesia dapat dihindari. Sehingga atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh perusahaan asing di Indonesia tidak dikenai pajak di Indonesia.



2.2.7



Cakupan Penghasilan BUT ( Badan Usaha Tetap ) Sesuai Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) UU PPh, penghasilan terutang



pajak suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah penghasilan yang diterima atau diperolehnya dari Indonesia. Dan sesuai Pasal 5 Ayat (1) UU Pajak Penghasilan, diatur mengenai cakupan penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia yaitu : 1.



Sesuai Attributiion Rule, penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah penghasilan yang berasal dari kegiatan usahanya di Indonesia. Misalnya apabila BUT perusahaan asing tersebut bergerak dibidang perdagangan, maka penghasilannya di Indonesia adalah penghasilan yang berasal dari kegiatan usahanya di Indonesia.



2.



Sesuai Force Of Attraction Rule, penghasilan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah termasuk penghasilan kantor pusatnya dari Indonesia yang diperolehnya dari kegiatan usaha yang sejenis dengan kegiatan BUT nya di Indonesia. Dengan demikian, penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusatnya dianggap sebgai penghasilan BUT nya di Indonesia.



3.



Sesuai Effectively-Connected Rule, penghasilan pasif (misalnya bunga dan royalty) yang diterima atau diperoleh kantor pusatnya dan memiliki hubungan efektif dengan kegiatan usaha BUTnya di Indonesia dianggap sebagai penghasilan BUTnya di Indonesia.



2.2.8



Pajak Penghasilan Badan Dan Branch Profit Tax Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya di atas bahwa tujuan



perpajakan, perlakuan perpajakan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia diperlakukan sama dengan WPDN lainnya yaitu antara lain : 1.



Kewajiban Perpajakan Tahunan Lapor dan setor PPh Pasal 29 atas Laba Usaha Badan PPh Badan



Terutang (Tarif Progresif) : -



10% X 50.000.000



-



15% X 50.000.000



-



30% X Sisanya



Lapor dan setor PPh Pasal 25 atas angsuran PPh Badan 2.



1/12 Bulan x (PPh Badan Terutang – Kredit Pajak PPh 21,22,23,24)



Kewajiban Perpajakan Bulanan 



Memotong PPh Pasal 21 atas gaji yang dibayarkan kepada Karyawan WNI







Memotong PPh Pasal



23 atas



pembayaran bunga/royalti,



pembayaran jasa dan pembayaran sewa 



Memotong PPh Pasal 26 atas gaji yang dibayarkan kepada karyawan WNA







Memotong PPh Pasal 26 atas gaji yang dibayarkan kepada karyawan WNA







Memotong PPh Pasal 4 Ayat (2) Final atas pembayaran sewa tanah dan/atau bangunan Namun demikian atas laba bersih setelah PPh Badan suatu BUT



perusahaan asing di Indonesia dikenakan tambahan pajak yang sering disebut sebagai branch profit tax dengan tarif sebesar 20% dari laba bersih setelah pajak. Apabila perusahaan asing tersebut berasal dari negara treaty partner maka besarnya tarif branch profit tax sesuai ketentuan tax treaty yang berlaku. Penentuan besarnya tarif branch profit tax sering menjadi perdebatan dalam perundingan tax treaty Indonesia dengan negara-negara lainnya karena



beberapa hal yaitu: (i) negara treaty partner tidak menerapkan branch profit tax di negaranya, atau (ii) untuk melindungi kepentingan Indonesia dibidang industri hulu Minyak Gas dan Bumi. Dalam rangka menentukan besarnya PKP suatu BUT perusahaan asing di Indonesia, pembayaran ke kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan sebagai deductible expenses adalah : 



Royalti atau imbalan lainnya yang berhubungan dengan penggunaan harta, paten atau hak-hak lain;







Imbalan yang berhubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;







Bunga kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan. Selain itu, biaya administrasi kantor pusat yang dialokasikan ke BUT



nya di Indonesia yang dapat dibebankan hanya sebesar rasio antara jumlah penghasilan BUTnya di Indonesia dengan jumlah penghasilan globalnya dikalikan dengan jumlah biaya administrasi kantor pusat. Insentif pajak yang diperoleh suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah pembebasan PPh Pasal 26 Ayat (4) atas branch profit tax apabila memenuhi persyaratan yang bersifat kumulatif yaitu: 



Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri;







Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambatlambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut; dan







Tidak melakukan pengalihan atas penanaman tersebut paling sedikit dalam jangka waktu 2 tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan produksi komersial.



2.2.9



Studi Kasus Perencanaan Pajak Internasional Untuk BUT



Contoh kasus Sun Smile Corp. merupakan perusahaan yang didirikan (incorporated), managed dan controlled di Amerika Serikat yang bergerak dalam bidang manufaktur dan penjualan alat-alat kedokteran. Pada bulan Juni 2009 Sun Smile Corp mendirikan sebuah Representative Office di Jakarta yang dimaksudkan untuk menyediakan brosur dan display barangbarang hasil produksi perusahaan sebagai contoh bagi calon konsumen. Apabila ada calon konsumen yang berminat untuk membeli produk perusahaan, dapat menghubungi salah satu distributor resmi perusahaan di Indonesia. Sun Smile Corp selama ini melakukan penjualan produknya di Indonesia melalui beberapa distributor, misalnya PT X, PT Y dan PT Z. Distributor-distributor ini tidak hanya menyalurkan produk Sun Smile Corp. Total penjualan yang dilakukan Sun Smile Corp di Indonesia padatahun 2009 adalah sebesar Rp 80 Milyar (diluar PPN). Melihat besarnya penjualan perusahaan di Indonesia, manajemen Sun Smile Corp memutuskan untuk mengubah Rep Office yang dimilikinya menjadi cabang (branch) perusahaan. Untuk keperluan ini, pada bulan Juli 2010 perusahaan mengirimkan dua orang karyawan perusahaan untuk mempersiapkan pembukaan cabang baru. Kedua karyawan tersebut berada di Indonesia sampai dengan Desember 2010. Pada tahun 2010 penjualan Sun Smile di Indonesia adalah sebesar Rp 65 Milyar (diluar PPN). Pada awal tahun 2011, Sun Smile Corp secara resmi membuka cabang di Indonesia. Berikut adalah hasil operasi cabang Sun Smile Corp selama tahun 2011: - Penjualan



Rp 170.000.000.000



- Harga Pokok Penjualan



Rp 140.000.000.000



- Biaya Umum dan Administrasi



Rp 110.000.000.000



Menyangkut biaya umum dan administrasi, diketahui hal-hal sebagai berikut:



-



Di dalam Biaya Umum dan Administrasi terdapat gaji dua orang karyawan kantor pusat yang mengawasi pendirian perusahaan dan operasi perusahaan pada tahun pertama. Gaji kedua karyawan tersebut adalah sebesar Rp 100 Juta



-



Terdapat pembayaran bunga kepada kantor pusat atas sejumlah dana yang dipinjamkan kepada Sun Smile Indonesia. Besarnya pembayaran bunga adalah sebesar Rp 500.000.000



Informasi lainnya: -



Selama tahun 2011 Sun Smile Indonesia membayar PPhPasal 22 sebesar Rp 200 Juta dan PPh Pasal 23 sebesar Rp 100 Juta



-



Hasil usaha Sun Smile Indonesia tidak akan digunakan untuk melakukan investasi lain di Indonesia, melainkan untuk mengembangkan usaha Sun Smile Corp di Indonesia



Pertanyaan : 1. Tentukan Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Undang-undang Pajak di Indonesia dan menjelaskan klasifikasi subjek pajak untuk BUT. 2. Tentukan besarnya Pajak Penghasilan Terutang untuk tahun 2011 bagi Sun Smile Corp (Indonesia). 3. Tentukan besarnya Branch Profit Tax tahun 2011 bagi Sun Smile Corp.



Jawaban 1. Menurut UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 2 ayat 5: “Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:



a. Tempat kedudukan manajemen; b. Cabang perusahaan; c. Kantor perwakilan; d. Gedung kandotr; e. Pabrik; f. Bengkel; g. Gudang; h. Ruang untuk promosi dan penjualan; i. Pertambangan dan penggalian sumber alam; j. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; k. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; l. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; m. Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; o. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan p. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.” BUT adalah subjek pajak luar negeri yang kewajiban perpajakannya diperlakukan relatif sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya. Sesuai OECD Model, yang dimaksud BUT adalah suatu tempat usaha tetap yang digunakan perusahaan untuk menjalankan seluruh atau sebagian besar usahanya. Pengertian tersebut mengandung beberapa karakteristik yang mewarnai suatu BUT perusahaan asing di Indonesia yaitu: (i) adanya tempat usaha berupa prasarana, (ii) tempat usaha ini harus bersifat tetap, (iii)



kegiatan usaha perusahaan dilakukan melalui tempat usaha tersebut, dan (iv) sifatnya harus produktif, dimana BUT tersebut harus ikut andil dalam memberikan laba usaha bagi perusahaannya (kantor pusatnya). Dalam rangka penghindaran pajak berganda, keberadaan suatu BUT sangat diperlukan sebagai kriteria untuk menentukan apakah Indonesia sebagai negara sumber memiliki hak untuk memajaki penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penduduk dari negara treaty partner. Namun kriteria tersebut tidak berlaku apabila penerima penghasilan (beneficial owner) berasal dari negara non treaty partner.



Klasifikasi subjek pajak untuk BUT: a. BUT Fasilitas Fisik (assets type) Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia timbul apabila perusahaan asing tersebut memiliki fasilitas fisik yang merupakan tempat untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. Fasilitas fisik tersebut merupakan milik sendiri atau disewa dari pihak lain. Contoh fasilitas fisik antara lain adalah tempat kedudukan manajemen (a place of management), suatu cabang (a branch), suatu kantor (an office), suatu pabrik (a factory), suatu bengkel (a workshop), suatu gudang atau tempat penyimpanan barang sebagai tempat penjualan (a warehouse or promises used as sales outlet), suatu tambang, sumur minyak atau gas, suatu tempat penggalian atau ekplorasi atau eksploitasi sumber daya alam, rig untuk pengeboran atau kapal yang dipergunakan untuk eksplorasi atau ekploitasi sumber daya alam. b. BUT Aktivitas (activity type) Keberadaan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia timbul apabila perusahaan asing tersebut menjalankan kegiatan jasa-jasa (furnishing of services) di Indonesia dalam jangka waktu melebihi tes waktu (time



treshold). Sesuai Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan, termasuk BUT Aktivitas adalah proyek konstruksi, proyek perakitan, instalasi atau kegiatan pengawasan yang ada hubungannya dengan proyek tersebut, dan pemberian jasa termasuk jasa konsultan yang dilakukan oleh suatu perusahaan melalui karyawan atau orang lain yang dipekerjakan oleh perusahaan itu untuk tujuan tersebut, kegiatan itu berlangsung selama lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. c. BUT keagenan (Agency type) Dianggap timbul suatu BUT perusahaan asing di Indonesia apabila perusahaan asing tersebut menjalankan usahanya di Indonesia melalui perusahaan lain yang bertindak sebagai agen yang tidak bebas (dependent agent). Yang dimaksud dengan dependent agent adalah agen yang didalam melaksanakan usahanya bertindak untuk dan/atau atas nama perusahaan di luar negeri atau kegiatan agen tersebut seluruhnya atau hampir seluruhnya untuk perusahaan di luar negeri. d. BUT asuransi (insurance type) Keberadaan BUT perusahaan asuransi asing timbul di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menutup resiko secara langsung di Indonesia. Pada umumnya, jenis BUT ini belum ada karena perusahaan asing dilarang berusaha secara langsung di Indonesia kecuali dalam bentuk joint venture.



2. Pada awal tahun 2011, Sun Smile Corp secara resmi membuka cabang di Indonesia. Berikut adalah hasil operasi cabang Sun Smile Corp selama tahun 2011: - Penjualan



Rp 170.000.000.000



- Harga Pokok Penjualan



Rp 140.000.000.000



- Biaya Umum dan Administrasi



Rp 110.000.000.000



Menyangkut biaya umum dan administrasi, diketahui hal-hal sebagai berikut: 



Di dalam Biaya Umum dan Administrasi terdapat gaji dua orang karyawan kantor pusat yang mengawasi pendirian perusahaan dan operasi perusahaan pada tahun pertama. Gaji kedua karyawan tersebut adalah sebesarRp 100 Juta







Terdapat pembayaran bunga kepada kantor pusat atas sejumlah dana yang dipinjamkan kepada Sun Smile Indonesia. Besarnya pembayaran bunga adalah sebesar Rp 500.000.000



Berdasarkan Tax Treaty antara Indonesia dengan Amerika Serikat article 8 ayat 3 dikatakan bahwa: “Dalam menentukan besarnya laba usaha suatu bentuk usaha tetap, dapat dikurangkan biaya-biaya yang berkaitan dengan laba usaha tersebut, termasuk biaya-biaya pimpinan dan administrasi umum, baik yang dikeluarkan di Negara Pihak pada Perjanjian di mana bentuk usaha tetap tersebut berada maupun yang dikeluarkan di tempat lain. Namun demikian, tidak diperkenankan untuk dikurangkan biaya-biaya, jika ada, yang dibayarkan (selain penggantian biaya-biaya yang benarbenar terjadi) oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor lain milik kantor pusatnya, dalam bentuk royalti, ongkos, atau pembayaran serupa lainnya sehubungan dengan penggunaan paten atau hak-hak lain, atau dalam bentuk komisi untuk jasa-jasa tertentu atau untuk manajemen, atau dalam bentuk bunga atas uang yang dipinjamkan kepada bentuk usaha tetap tersebut. Sebaliknya, tidak perlu diperhitungkan dalam penentuan laba bentuk usaha tetap, jumlah yang ditagihkan (selain penggantian biaya-biaya yang benarbenar terjadi) oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya atau kantorkantor lain milik kantor pusatnya, dalam bentuk royalti, ongkos, atau pembayaran serupa lainnya sehubungan dengan penggunaan paten atau hak-



hak lain, atau dalam bentuk komisi untuk jasa-jasa tertentu atau untuk manajemen, atau dalam bentuk bunga atas uang yang dipinjamkan kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor lain milik kantor pusatnya.” Sehingga, perhitungan Pajak Penghasilan Terutang nya adalah sebagai berikut: Biaya Umum dan Administrasi yang boleh dikurangkan Rp 110.000.000.000 (Rp



500.000.000)  pembayaran bunga kepada kantor pusat



Rp 109.500.000.000



Penjualan



Rp 170.000.000.000



- HPP



Rp (140.000.000.000)



- Biaya Umum dan administrasi



Rp (109.500.000.000)



Penghasilan Kena Pajak



Rp (79.500.000.000)



Karena Sun Smile Corp mengalami kerugian jadi tidak ada pemotongan Pajak Penghasilan pada tahun 2011. Kerugian ini dapat dikompensasikan selama 5 tahun ke depan dan kompensasi kerugian ini mulai berlaku pada tahun 2012.



3. Pada tahun 2011, Sun Smile Corp mengalami kerugian sebesar Rp 79.500.000.000 sehingga tidak adanya pemotongan Pajak Penghasilan. Selanjutnya, berdasarkan UU PPh Pasal 26 ayat 4, “Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”



Karena tidak ada pemotongan Pajak Penghasilan untuk Sun Smile Corp pada tahun 2011, jadi tidak ada juga pemotongan pajak branch profit tax terhadap cabang dari Sun Smile Corp di Indonesia pada tahun tersebut.



BAB III PENUTUP



3.1



Kesimpulan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh Bendahara Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. Yang menjadi objek PPh 22 antara lain Pembelian, Impor Barang, Penjualan oleh Industri Tertentu, Penjualan BBM dan Gas oleh PERTAMINA serta Penjualan Barang yang tergolong sangat Mewah Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh wajib pajak luar negeri untuk menjalankan usah/kegiatan di indonesia. Untuk dapat menentukan apakah wajib pajak luar negeri tersebut mempunyai BUT di indonesia atau tidak adalah dengan melakukan time test (uji waktu). Time test dilakukan baik dalam UU Perpajakan domestik ataupun Tax treaty. apabila telah melewati time test, maka WPLN tersebut mempunyai BUT di indonesia. Artinya, BUT tersebut harus terdaftar di indonesia dan melaksanakan kewajiban perpajakan di indonesia sesuai dengan UU Perpajakan di indonesia sebaliknya, apabila tidak melewati time test, maka WPLN tersebut tidak mempunyai BUT di indonesia. Artinya, BUT tersebut tidak harus melaksanakan kewajiban perpajakannya di indonesia. Bentuk usaha tetap ada empat tipe, yaitu BUT tipe fasilitas fisik, tipe aktvitas, tipe keagenan, dan tipe asuransi. Yang dimaksud BUT tipe keagenan adalah apabila perusahaan asing tersebut menjalankan usahanya di indonesia melalui perusahaan lain yang bertindak sebagai agen yang tidak bebas (dependent agent). sedangkan yang dimaksud BUT tipe asuransi adalah apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi



atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang/badan yang bukan agen independen.



3.2



Saran Setelah kelompok kami memaparkan hal-hal berkaitan dengan PPh pasal 22, kami menyarankan kepada pembaca untuk lebih taat melakukan pembayaran pajak guna membantu meningkatkan APBN dan APBD khusunya pada PPh pasal 22. Perlu



adanya



partisipasi



masyarakat



dunia



usaha



untuk



menginformasikan keberadaan suatu BUT (Badan Usaha Tetap) perusahaan asing di indonesia. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang dimanfaatkan secara luas di dalam dunia usaha, disarankan agar pengertian BUT (Badan Usaha Tetap) perlu diperluas dalam undang-undang Pphsehingga Indonesia dapat memajaki transaksi tersebut.



DAFTAR PUSTAKA 



https://www.scribd.com/doc/212406190/Makalah-PPh-pasal-22-docx







https://www.scribd.com/document/329237472/Makalah-BUT







https://www.scribd.com/document/367497030/Makalah-PerpajakanInternasional-Bentuk-Usaha-Tetap







https://www.online-pajak.com/pph-pajak-penghasilan-pasal-22







http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=25&list=&q=&hl m=8