Contoh Proposal Efektifitas Pembinaan Narapidana [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SKRIPSI



EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR



NI MADE DESTRIANA ALVIANI NIM. 1103005081



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015



SKRIPSI



EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR



NI MADE DESTRIANA ALVIANI NIM. 1103005081



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015



ii



EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR



Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana



NI MADE DESTRIANA ALVIANI NIM. 1103005081



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015



iii



Lembar Persetujuan Pembimbing



SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 05 MEI 2015



Pembimbing I



Prof. Dr. I Ketut Mertha,SH.,M.Hum NIP. 19461231 197602 1 001



Pembimbing II



I Made Tjatrayasa,SH.,MH NIP. 19501231 197903 1 019



iv



SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL : 02 JULI 2015



Panitia Penguji Skripsi Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor : 245/UN14.1.11/PP.05.02/2015 Tanggal 24 JUNI 2015



Ketua



: Prof.Dr. I Ketut Mertha,SH.,M.Hum



(



)



Sekretaris



: I Made Tjatrayasa,SH.,MH



(



)



Anggota



: 1. Dr. Ida Bagus Surya Dharma jaya,SH.,MH (



)



2. I Gusti Ngurah Parwata, SH., MH 3. Sagung Putri M.E Purwani, SH., MH



v



(



) (



)



KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb Puji syukur alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah menganugerahkan nikmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Pada kesempatan ini dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini atas bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga dengan penuh rasa hormat kepada : 1.



Bapak Prof. Dr. I



Gusti Ngurah Wairocana,SH.,MH., Dekan Fakultas



Hukum Univeristas Udayana; 2.



Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana;



3.



Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana;



4.



Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana;



5.



Bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, SH.,MH., Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana;



vi



6.



Bapak I Gst. Ngr. Parikesit Widiatedja SH.,M.Hum, Pembimbing Akademik (PA) yang selama ini telah memberikan saran dan nasihat kepada penulis;



7.



Bapak Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH.,M.Hum,dosen pembimbing I yang telah membimbing dan memberikan pengarahan dalam penulisan skripsi ini;



8.



Bapak I Made Tjatrayasa,SH.,MH,dosen pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya, membimbing dan memberikan motivasi dalam penyusunan skripsi ini ;



9.



Bapak/Ibu Dosen serta seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan pengetahuan dan bimbingan yang sangat bermanfaat selama masa studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana;



10. Bapak/Ibu Pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana dan pegawai perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang turut membantu kelancaran proses penyelesaian skripsi ini; 11. Bapak I Wayan Agus Miarda, A.Md.IP.SH, Kepala Satuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, yang telah memberikan bantuan dan keterangan-keterangan yang sangat berguna; 12. Bapak I Wayan Putu Sutresna,Amd.IP.SH.,MH, A.Md.IP.SH, Kasi Bimbingan dan Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan, yang telah memberikan bantuan dan keterangan-keterangan yang sangat berguna ; 13. Bapak Dewa Gede Astara,SH.MH, Ka.Sub Bagian Tata Usaha Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, yang telah memberikan data terkait dengan data pegawai Lapas Klas IIA Denpasar ;



vii



14. Bapak Mikha Simanjuntak, SH, Staff Pegawai Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, yang turut serta memberikan keterangan yang sangat berguna ; 15. Bapak Ida Bagus Sedana, SH, Kasi. Pencegahan BNN Kota Denpasar, yang bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan pendapatnya terkait kebijakan yang dapat diterapkan pemerintah dalam pembinaan narapidana ; 16. Kepada orang tua penulis, Bapak I Nengah Sukandia dan Ibu Yani Suryani, yang senantiasa mendukung dan percaya kepada penulis, serta selalu menyertakan nama penulis dalam setiap munajatnya. 17. Kepada saudara kandung penulis, Ni Putu Hilda Septian Andriyani, Dikri Lazuardi, Ni Komang Intan Tri Pujiani, I Ketut Andika Pramudia yang terus memberikan dukungan serta doa tiada henti. Selain itu terimakasih untuk nenek, paman, bibi, saudara-saudara sepupu, dan seluruh anggota keluarga yang telah memberi dukungan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 18. Untuk Sahabat-sahabat penulis, Andhika Ramadian Afsiandi, Akbar Nugraha, Windi Dianti Agustin, Amalia Rani, M. Syamsul Islam, Daud Jusuf Aritonang, Irma Putri Labora, Arya Utamayasa, A.A Ayu Mirah Kartini Irawan, Ni Luh Intan Ayu Megawati, M Zainal Abidin, I Wayan Edy Kurniawan, Ida Ayu Merta Dewi yang telah memberikan doa, dukungan serta warna tersendiri dalam hidup penulis;



viii



19. Keluarga Besar ALSA, UMCC, SOLIH Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan banyak pengalaman serta pelajaran berharga dalam setiap kegiatannya ; 20. All crew Pro2fm Denpasar, Ayu Rasminiati SH, Alan Bawana, Theresa P Turker, Cahyo Suryo Andre A, Diah Karang, IAP Widya Indah Sari, Ida Bagus Tri Pramana, Yogi Ari Dwipayana, Desak Putu Kurnia, Erica Wahyuni, Komang Pratama Putra, Kadek Windy Pranata Putra, Made Arya, yang telah memberikan semangat, motivasi, serta bersedia menggantikan tugas penulis selama pembuatan skripsi ini; 21. Segenap pihak yang membantu dan mendukung penulis baik secara material maupun immaterial yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.



Penulis menyadari dengan keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki, maka skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini, penulis persembahkan skripsi ini kepada almamater tercinta, Fakultas Hukum Universitas Udayana, semoga bermanfaat bagi kita semua. Wassalamu’alaikum Wr.Wb



Denpasar, 15 Mei 2015



Penulis



ix



SURAT PERNYATAAN KEASLIAN



Dengan



ini



penulis



menyatakan



bahwa



Karya



Ilmiah/



Penulisan



Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/ atau sanksi hukum yang berlaku. Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggung jawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.



Denpasar, 28 Mei 2015 Yang menyatakan,



( Ni Made Destriana Alviani) NIM.1103005081



x



DAFTAR ISI



HALAMAN SAMPUL DEPAN HALAMAN SAMPUL DALAM ...................................................................... ii HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ..................... iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN ................ iv HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ......................... v HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................. vi HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ...................................... x HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................... xi ABSTRAK ......................................................................................................... xv ABSTRACT ........................................................................................................ xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 9 1.3 Ruang Lingkup Masalah ................................................................. 9 1.4 Orisinalitas ...................................................................................... 10 1.5 Tujuan Penelitian ............................................................................ 12 a. Tujuan Umum ............................................................................. 12



xi



b. Tujuan Khusus ............................................................................ 12 1.6 Manfaat Penelitian .......................................................................... 12 a. Manfaat Teoritis ........................................................................ 12 b. Manfaat Praktis ......................................................................... 13 1.7 Landasan Teoritis ............................................................................ 13 1.8 Metode Penelitian ........................................................................... 22 a. Jenis Penelitian.......................................................................... 22 b. Jenis Pendekatan ....................................................................... 23 c. Sifat Penelitian .......................................................................... 24 d. Sumber Data.............................................................................. 24 e. Teknik Pengumpulan data......................................................... 25 f. Teknik Penentuan Sampel Penelitian........................................ 26 g. Pengolahan dan Analisis Data .................................................. 27 BAB II



TINJAUAN UMUM MENGENAI SISTEM PEMASYARAKATAN DAN SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA 2.1 Sistem Pemasyarakatan di Indonesia ............................................ 28 2.1.1 Pengertian Sistem Pemasyarakatan ...................................... 28 2.1.2 Sejarah Singkat Sistem Pemasyarakatan di Indonesia .......... 31 2.1.3 Tujuan Sistem Pemasyarakatan ............................................ 36 2.1.4 Asas Penyelenggaraan Sistem Pemasyarakatan ................... 37 2.2 Pengertian Sistem Pembinaan dan Pola Pembinaan Narapidana . 40



xii



2.2.1 Pengertian Sistem Pembinaan ............................................... 40 2.2.2 Pola Pembinaan Narapidana ................................................. 43 2.3 Sejarah Singkat Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar ... 48 BAB



III



PEMBINAAN



NARAPIDANA



DI



LEMBAGA



PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPPASAR 3.1 Gambaran Umum dan Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar ......................................................................... 49 3.1.1 Gambaran Umum Lapas Klas IIA Denpasar ........................ 49 3.1.2 Struktur Organisasi dan Tata Kerja ...................................... 51 3.2 Penyelenggaraan Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar ............................................................................ 55 BAB



IV



FAKTOR PEMBINAAN



PENGHAMBAT



DALAM



NARAPIDANA



DI



PELAKSANAAN LEMBAGA



PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA 4.1 Faktor Penghambat dalam Penyelenggaraan Pembinaan Terhadap Narapidana ................................................................................ 75 4.2 Upaya yang Telah dilakukan Oleh Lapas untuk Meminimalisir Faktor Penghambat Dalam Pembinaan Narapidana .................. 80



xiii



4.3 Upaya yang dapat dilakukan untuk Memaksimalkan Pembinaan Narapidana ................................................................................ 80 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 84 5.2 Saran ............................................................................................... 85 DAFTAR BACAAN DAFTAR INFORMAN DAFTAR RESPONDEN LAMPIRAN-LAMPIRAN



xiv



Abstrak



Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan Pada prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana, hilang kemerdekaannya setelah di putuskan melalui putusan pengadilan, yang selanjutnya terpidana di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai narapidana untuk disana kembali di proses sesuai dengan hukum yang berlaku agar nantinya dapat kembali hidup bermasyarakat. Namun dalam lembaga ini banyak terjadi kendala, seperti kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang memperihatinkan, dan juga dalam hal pembinaan narapidana. Berdasarkan hal tersebut maka dibuatlah skripsi berjudul Efektivitas Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Adapun permasalahan yang diangkat adalah Bagaimanakah Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Apa yang menjadi faktor penghambat dalam pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dan Bagaimana Upaya Penanggulangannya. Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode empiris, dengan menggunakan data primer dan data sekunder yang kemudian di analisis secara analisis deskriptif kualitatif. Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dilaksanakan pada sebuah sarana yang cukup memadai yang disebut bengkel kerja. Pembinaan terhadap warga binaan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan dan petugas pengamanan. penyelenggaran pembinaan dimulai dengan tahap pembinaan, tahap asimilasi, dan tahap Integrasi. Adapun pola pembinaan yang dilakukan yaitu Pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Denpasar merupakan salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang mengalami keadaan over kapasitas hingga saat ini dan mengalami beberapa faktor penghambat proses pembinaan bagi narapidana yaitu Tidak semua warga binaan pemasyarakatan bersedia mengikuti pembinaan yang diprogramkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, Keterbatasan sarana dan prasarana, Kurangnya tenaga pengajar pembinaan. Adapun upaya yang dapat dilakukan antara lain Pengurangan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan, pembuatan Kartu Brezzi, Adanya sosialisasi terhadap masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan yaitu Kondisi pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dapat dikatakan tidak berjalan dengan maksimal hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya permasalahan yang terjadi di Lapas Klas IIA Denpasar. Kata Kunci :Efektivitas, Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana, Pembinaan



xv



Abstract



Recovery referred to the prison staff is to undertake the construction of the residents and Protégé detention in principle everyone offenders undergoing criminal, lost its independence after the break through a court order, which is then convictedpersons placed in rehabilitation institutions as a prisoner not to return in the process according to the law so you can eventually return to public life. But many agencies are constraints, such as the concerned recovery facilities, as well as in the field of the construction of the residents. Based on this categorization made entitled the effectiveness of recovery in coaching inmates In Klas IIA Denpasar Correctional Intitutions. of the issues raised is how prisoners in Klas IIA Denpasar State construction recovery facility at this time. How the construction of the policies of the residents in the days to come. Legal methods used is the method of empirical laws, using primary data and secondary data analysis the analysis at a later deskriptif kualitatif. For the results obtained in this study was the construction of the prison in Kerobokan recovery facility has been implemented in a sufficient way known as workshops. The construction of the building was carried out by Security officers and correctional officers. the construction of the venue began with the construction of the stage, stage of assimilation. For pattern construction construction of personality and construction of independence. Klas IIA Denpasar correctional institution rehabilitation (prison staff) is one who suffers from excess capacity and experience to date between the factors restricting the construction process for inmates that not all citizens are willing to follow correctional building construction are in Klas IIA Denpasar correctional facility, lack of guidance of the coaching. For policies that can be used by the Government in the days to come, among other things, a reduction in the number of people in our prisons, make cards, there is a socialization to society. Brezzi Based on the research results can be drawn the conclusion that the condition of building the prison in Klas IIA Denpasar recovery facilities can be said not to walk with maybe this is evidenced by the large number of problems still occur in Klas IIA Denpasar prison staff.



Key words: Effectiveness, Correctional Institutions, Prisoner, Developmment



xvi



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang luas dan merupakan negara hukum. Pembangunan nasional dalam garis besar haluan negara mencakup semua aspek kehidupan masyarakat,



berbangsa dan bernegara dengan tujuan



untuk



mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadilan. Adanya proses penegakan hukum yang baik hendaknya dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, atau tidak terjadi ketimpangan didalam proses penerapannya. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Menegakan tertib hukum guna mencapai tujuan negara Republik Indonesia yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila, maka dalam upaya mencapai tujuan tersebut tidaklah jarang terjadi permasalahan-permasalahan hukum yang disebabkan karena luasanya negara Indonesia sangatlah berdampak pada permasalahan di negara ini yang kompleks terjadi dalam aspek perkembangan hukum di Indonesia, Selain itu para pihak (pejabat) dalam melaksanakan tugasnya kurang atau tidak berdasarkan kepada hukum yang berlaku di Indonesia saat ini. Hukum merupakan hasil dari interaksi sosial dengan kehidupan masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum



1



2



(timbulnya, berubahnya,lenyapnya ) sesuai dengan perkembangan masyarakat. Perkembangan hukum merupakan kaca dari pembangunan masyarakat.1 Bicara pembangunan hukum kuat dan merata diseluruh kalangan masyarakat, maka dari itu pembangunan hukum tersebut dapat dikatakan berjalan sesuai dengan rencana, namun tidak bisa dipungkiri lagi bahwa didalam proses pembangunan hukum yang kuat masih banyak terjadi kendala, misalnya saja hukum di Indonesia ini seakan menjadi milik segelintir orang yang mempunyai kedudukan penting di negara ini, mereka bisa dengan mudah membeli hukum itu sendiri, namun dilain pihak masyarakat terus menjerit ketika hukum tersebut tidak lagi berpihak kepadanya. Masyarakat di buat frustasi dengan keadaan seperti ini, hak asasi manusia (HAM) yang ada seakan tidak dapat menolongnya. Keadaan seperti ini membuat masyarakat tidak memiliki jalan keluar lain, sehingga mereka melakukan tindak kejahatan yang berdampak pada di jebloskannya orang tersebut ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pada prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana, hilang kemerdekaannya setelah di putuskan melalui putusan pengadilan, yang berkekuatan hukum tetap selanjutnya terpidana di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai narapidana untuk disana kembali di proses sesuai dengan hukum yang berlaku agar nantinya dapat kembali hidup bermasyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan dari hukum pidana itu sendiri yaitu, untuk memenuhi rasa



1



Riduan Syahrini, 1999, Rangkuman Intisari Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.51.



3



keadilan dalam masyarakat dengan cara melaksanakan dan menegakan aturan hukum pidana demi terciptanya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.2 Penjatuhan pidana kepada seseorang dengan menempatkannya kedalam Lembaga Pemasyarakatan pada dasarnya melihat bahwa pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara, sehingga dengan dimasukannya ke dalam Lembaga Pemasyarakatan orang tersebut tidak mengulangi perbuatannya. Namun dalam lembaga ini banyak terjadi kendala, seperti kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang memperihatinkan, dan juga dalam hal pembinaan narapidana. Disini akan sedikit dijabarkan mengenai apa itu Lembaga Pemasyarakatan,



narapidana dan proses pembinaannya. Menurut Undang-



Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ( Selanjutnya di sebut UU Pemasyarakatan ) khususnya Pasal 1 angka ke-3 menyebutkan bahwa pengertian “Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan”. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka ke-7 menyebutkan bahwa narapidanaadalah “terpidana yang menjalani hilang kemerdekannya di Lapas”.



Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa 2



Muhammad Zainal Abidin & I wayan Edy Kurniawan, 2013, CatatanMahasiswaPidana, Indie Publishing, Depok, hal. 6.



4



narapidana (napi) atau bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangani pembinaan narapidana dan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan disebut Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu lebih dikenal dengan istilah sipir penjara.



Pidana penjara dalam sejarahnya dikenal sebagai reaksi masyarakat sebagai adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelanggar hukum, oleh karena itu pidana penjara juga disebut sebagai pidana hilang kemerdekaan. sistem kepenjaraan yang di gunakan tidak konsisten dan sistem perlakuan yang diterapkan sifatnya kurang mendidik para narapidana.Selain itu, dalam sistem penjara, hak-hak asasi manusia sangat tidak di perhatikan. Narapidana di perlakukan secara tidak manusiawi dan tidak kenal perikemanusiaan. Itu sebabnya mengapa dikatakan secara konsepsional sistem kepenjaraan bertentangan dengan tujuan yang dianutnya, dan sistem kepenjaraan tidak sesuai untuk di terapkan. Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1963. Tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat. Sesuai dengan tujuan utama didirikannya Lembaga Pemasyarakatan yang disebutkan dalam Pasal 2 UU Pemasyarakatan yaitu membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya yang menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat serta



5



menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Hal ini bertujuan supaya fungsi



Lembaga



Pemasyarakatan



untuk



menyiapkan



warga



binaan



permayarakatan agar dapat berintegritas secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 UU Pemasyarakatan dapat terwujud. Tak lepas juga pola pembinaan (pembinaan karakter, pembinaan mental, dan pembinaan iman) dalam Lembaga Pemasyarakatan harus benar-benar dijalankan. Pembinaan Narapidana sebagaimana diatur dalam UU Pemasyarakatan, pembinaan narapidana diatur juga dalam Peraturan Pemerintah No.31 tahun 1999 tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya ditulis PP No.31 Tahun 1999 ), yakni dalam ketentuan : Pasal 2 PP No. 31 Tahun 1999 (1) program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian. (2) program pembinaan diperuntukan bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan (3) program pembimbingan



Pembinaan dan pembimbingan narapidana meliputi program pembinaan dan bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan kemandirian. Semua ini dilakukan bawasannya narapidana merupakan masyarakat dari bangsa Indonesia sendiri yang mempunyai hak-hak yang patut dipenuhi, diantaranya hak untuk hidup dan hak atas perlindungan dan bebas dari ancaman.



6



Hak-hak yang dimiliki oleh narapidana hendaknya dapat diberikan dengan jalan adanya pembinaan kepribadian yang diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar narapidana menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa dan bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar nantinya narapidana dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Perkembangan tujuan pembinaan narapidana berkaitan erat dengan tujuan pembinaan. Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan, dapat dibagi dalam tiga hal yaitu : a. Setelah keluar dari Lapas tidak lagi melakukan pidana. b. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan Negara. c. Mampu mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa dan mendekatkan kebahagiaan di duia maupun di akhirat3.



Pembinaan narapidana yang sekarang dilakukan pada kenyataannya tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakekat yang tumbuh dimasyarakat. dalam hal ini yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakikat hidup yang tumbuh di masyarakat maksudnya dalam pembinaan narapidana para petugas pembina narapidana terkadang melakukan penyimpangan dalam melaksanakan tugasnya kurang atau tidak berdasarkan kepada hukum yang



3



Andi Hamzah, 1983, Tinjauan Ringkas Sistem Pemindanaan di Indonesia, Cetakan Pertama, Nopember, Jakarta, hal.17.



7



berlaku seperti yang diamanahkan pada Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan mengenai hak-hak narapidana dan dalam ketentuan PP No.31/1999 tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan, merupakan dasar bagaimana seharusnya narapidana diberlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pemindanaan yang terpadu. Pembinaan



yang



diberikan



terhadap



narapidana



di



Lembaga



Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar masih berada jauh dibawah standarisasi nasional, masih banyak terjadi penyimpangan dan pelanggaran di Lembaga Pemasyarakatan yang terbesar di Bali tersebut. 4 Sebagai contoh nyata adalah peristiwa kerusuhan yang dilakukan oleh narapidana hingga berujung pada pembakaran sejumlah fasilitas Lembaga Pemasyarakatan yang terjadi pada tanggal 28 Februari 2012.5 Kerusuhan yang diwarnai aksi pembakaran tersebut bermula dari peristiwa penusukan pada narapidana yang dilakukan oleh narapidana lain terkait adanya perlakuan khusus atau sikap diskriminasi oleh petugas pemasyarakatan yang dianggap tidak adil.6 Peristiwa kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar juga disebabkan terkait dengan terjadinya over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Lembaga Pemasyarakatan yang berkapasitas 336 hunian, pada kenyataannya dihuni oleh sekitar 1.050 Warga Binaan Pemasyarakatan yang 4



Diakses dari http://www.ditjenpas.go.id/Lapas/denpasar pada 17 Mei 2013 Pukul 11.38



5



Kerusuhan di Lapas Klas IIA Denpasar, Bali Post, 29 Februari, 2012, hal.1.



6



Diakses dari http://www.nasional.new.viva.co.id/read/news/290303-ada-senjata-yangdirampas-napi-kerobokan 22 Oktober 2014 Pukul 12.34.



8



terdiri dari narapidana dan tahanan.7 Sementara itu, faktor internal terkait dengan terjadinya kerusuhan tersebut dikarenakan terbatasnya jumlah petugas keamanan Pemasyarakatan, minimnya Sumber Daya Manusia petugas pemasyrakatan dan kurangnya pemahaman dari petugas pemasyarakatan terhadap P.P.L.P (Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan) yang wajib dibawa dan dipahami ketika melakukan pengawasan terhadap narapidana.8 Pembinaan terhadap narapidana merupakan komponen penting yang tidak dapat dipisahkan dalam menjalankan sistem pemasyarakatan yang berlandaskan pengayoman oleh setiap Lapas Khususnya Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Sistem keamanan sebagai langkah awal dari pembinaan terhadap narapidana harus berjalan seimbang, sehingga Warga Binaan Pemasyarakatan dapat memahami dan mematuhi segala peraturan yang berlaku di Lembaga Pemasyarakayan Klas IIA Denpasar pada khususnya. Apabila semua proses tersebut sudah diterapkan dan dilaksanakan dengan benar sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku, maka akan tercipta ketertiban dan keharmonisan terhadap seluruh penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang meliputi narapidana, tahanan, anak didik pemasyarakatan, petugas Lembaga Pemasyarakatan, sehingga penyelenggaraan pembinaan berjalan dengan lancar. Pada akhirnya narapidana siap untuk dikembalikan kepada masyarakat dan diharapkan tidak akan



7



Diakses dari http://www.regional.kompas.com/read/inilah-penyebab-kerusuhan-Lapaskerobokan , 24 Oktober 2014 pukul 12.57. 8



Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham R.I, 2009, Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, hal.136.



9



mengulangi tindak pidana lagi serta menjadi warga yang baik dan bertanggung jawab sesuai yang diamanatkan dalam Pasal 2 UU Pemasyarakatan.9 Berdasarkan latar belakang bahwa terdapat ketimpangan dalam hal pembinaan terhadap narapidana sesuai yang diamanahkan Pasal 2 UU pemasyarakatan, maka mengangkat permasalahan ini ke dalam skripsi yang berjudul “EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA DI LAPAS KLAS IIA DENPASAR”.



1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga PemasyarakatanKlas IIA Denpasar ? 2. Apa yang Menjadi Faktor Penghambat dalam Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dan Bagaimana Upaya Penanggulangannya ?



1.3 Ruang Lingkup Masalah Agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan sebagaimana yang telah diuraikan, maka akan dipaparkan mengenai batasan-batasan yang menjadi ruang lingkup permasalahan dalam penulisan penelitian ini. 9



Ibid, hal.32.



10



Pokok permasalahan yang pertama dalam penulisan skripsi ini, akan dibahas mengenai pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Ruang lingkup masalah ini diperlukan untuk menghindari terjadinya kekaburan permasalahan yang akan dibahas. Pelaksanaan pembinaan meliputi program pembinaan apa saja yang diberikan kepada seluruh narapidana dalam sistem pemasyarakatan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, karena pembinaan yang dilakukan sangat penting dan wajib diperoleh setiap narapidana, oleh karena fungsi dari Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 UU Pemasyarakatan, sehingga narapidana yang sudah diberikan pembinaan serta pembekalan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar siap untuk dikembalikan ke dalam masyarakat dan tentunya tidak mengulangi perbuatannya. Pokok permasalahan yang kedua akan dibahas mengenai faktor apa saja yang dapat menghambat kelangsungan pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana khsususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, selain itu akan dibahas pula mengenai upaya-upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. 1.4 Orisinalitas Skripsi



ini



merupakan



karya



tulis



asli



sehingga



dapat



dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk memperlihatkan orisinalitas skripsi ini maka dapat dilihat perbedannya dengan skripsi terdahulu yang sejenis, yaitu



11



skripsi berjudul Pembinaan Narapidana Lanjut Usia di Lapas Karang Asem dengan penulis bernama



Agung Beliferdo di Fakultas Hukum Universitas



Udayana pada tahun 2013. Dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk pembinaan terhadap narapidana lanjut usia di LP kelas II A kabupaten Karangasem? 2. Faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pembinaan narapidana lanjut usia dan upaya apa yang dilakukan ?



Adapun skripsi lain berjudul Efektivitas Pelaksanaan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dengan penulis bernama Realizhar Adillah Kharisma Ramadhan di Universitas Hasanudin Makasar pada tahun 2013. Dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Upaya-upaya



apa



sajakah



yang



dilakukan



oleh



pihak



Lembaga



Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa dalam menekan angka ketergantungan Narkotika bagi warga binaan? 2. Bagaimanakah efektifitas pelaksanaan pidana pelaku penyalahgunaan narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa ?



Penulis dapat memastikan bahwa penelitian yang dilakukan dapat terjamin keorisinalitasannya dan berbeda dengan skripsi yang telah di sebutkan di atas. Karena dalam penelitian yang dilakukan penulis lebih menekankan pada efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana.



12



1.5 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini ada 2 (dua) tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus a. Tujuan Umum Adapun tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu untuk memperoleh pemahaman mengenai efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. b. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini, antara lain: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelenggaraan pembinaan terhadap Narapidana di Lapas Klas IIA Denpasar 2. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam memaksimalkan pembinaan narapidana di Lapas Klas IIA Denpasar



1.6 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan wawasan



bagi



para



pembaca



tentang



bagaimana



efektivitas



Lembaga



Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana khususnya di Lapas Klas IIA Denpasar sebagaimana yang diamanahkan dalam ketentuan undang-undang yang mengatur. Adapaun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat memperoleh



13



pencerahan tentang permasalahan hukum yang dihadapi sehingga dapat menjadi dasar pemikiran yang teoritis, bahwa suatu Perundangan-undangan yang ada belum tentu berjalan sesuai, serta sempurna dalam prakteknya. b. Manfaat Praktis 1. Bagi penulis, penelitian ini adalah untuk mendapatkan bahan informasi dalam menganalisa serta sebagai suatu pemecahan masalah-masalah terhadap permasalahan-permasalahan yang penulis hadapi, khususnya mengenai



efektivitas



Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaan



narapidana. 2. Bagi Petugas Lapas hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam



hal



membuat



perencanaan



pembinaan



Narapidana



yang



berlandaskan UU Pemasyarakatan agar efektivitas Lapas tersebut dalam memberikan pembinaan dapat terjamin. 3. Bagi pembuat kebijakan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan sebagai bahan dalam mengambil dan membuat kebijakan yang akan dilaksanakan dalam upaya peningkatan pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan.



1.7 Landasan Teoritis Secara umum Lembaga Pemasyarakatan berada dibawah pengawasan direktorat jenderal pemasyarakatan ( Dirjenpas ) Departemen Hukum dan Ham RI, dimana departemen ini bertugas mengayomi masyarakat dalam bidang hukum



14



dan hak asasi manusia. Kewenangan departemen ini ditangan pemerintah pusat yang diserahkan menjadi kewenangan daerah otonom.10 Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat



untuk



memproses



atau



memperbaiki seseorang ( people processing organization ), dimana input maupun outputnya adalah manusia yang dilabelkan penjahat.11Demi mewujudkan sistem pemasyarakatan



yang



berlandaskan



pancasila,



maka



dibentuklah



UU



Pemasyarakatan. Secara yuridis Lembaga Pemasyarakatan diatur dalam UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 ayat (3) UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat



untuk



melaksanakan



pembinaan



narapidana



dan



anak



didik



pemasyarakatan. Sedangkan sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Berdasarkan ketentuan UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 angka ke-1 yang dimaksud dengan pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. 10



Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham R.I, 2009 Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan,hal.136. 11



Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, hal. 124.



15



Selain itu berdasarkan surat keputusan kepala daerah direktorat pemasyarakatan No.K.P.10/3/7, tanggal 8 Februari 1965, dimana disampaikan suatu konsepsi pemasyarakatan, yaitu : pemasyarakatan adalah suatu proses, proses therapeuntie dimana si narapidana pada masuk Lapas berada dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai hubungan yang negatif dengan masyarakat. Sejauh itu narapidana lalu mengalami pembinaan yang tidak lepas dari unsur-unsur lain dalam masyarakat yang sekelilingnya tersebut merupakan suatu keutuhan dan keserasian (keharmonisan) hidup dalam penghidupan, tersembuhkan dari segi-segi yang merugikan (negatif). Secara umum Lembaga Pemasyarakatan memiliki sarana dan prasarana fisik yang cukup memadai bagi pelaksana seluruh proses sistem pemasyarakatan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan, seperti adanya sarana perkantoran, sarana perawatan (balai pengobatan), sarana untuk melakukan peribadatan sesuai dengan kepercayaan yang dipeluk setiap Warga Binaan Pemasyarakatan, sarana pendidikan dan perpustakaan, sarana olahraga baik diluar ruangan (outdor) maupun didalam ruangan (indoor), sarana sosial yang terdiri dari tempat kunjungan keluarga, aula pertemuan, sarana konsultasi, dan sarana transportasi (mobil dinas). Narapidana diberikan makanan tiga kali sehari pagi, siang, dan sore setiap harinya.12 Pembinaan terhadap narapidana dikenal dengan nama pemasyarakatan. pembinaan dilakukan oleh petugas pemasyarakatan. Menurut Pasal 7 ayat (1) UU Pemasyarakatan yang dimaksud dengan petugas pemasyarakatan adalah pejabat 12



Ibid,hal.174.



16



fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas dibidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Tujuan dari pembinaan menurut Pasal 2 UU Pemasyarakatan adalah untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat kembali ke dalam lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Untuk melaksanakan proses pembinaan, maka dikenal 10 prinsip pokok pemasyarakatan, yaitu : 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat 2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara 3. Rasa tobat tidaklah dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan bimbingan 4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat dari pada ia sebelum masuk Lapas 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu semata hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditunjukan untuk pembangunan negara



17



7. Bimbingan dan didikan yang diberikan terhadap narapidana harus berdasarkan pancasila 8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat 9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan 10. Sarana fisik lembaga ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.13 Pembinaan narapidana tidak hanya pembinaan terhadap mental spritual (pembinaan kemandirian), tapi juga pemberian pekerjaan selama berada di Lembaga Pemasyarakatan (pembinaan keterampilan) dan olahraga. Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 PP No. 31 Tahun 1999, pelaksanaan pembinaan meliputi kepribadian dan kemandirian. Hukum pidana mengenal teori penjatuhan pidana, Ada tiga teori untuk membenarkan penjatuhan pidana :14 1. Teori absolute atau teori pembalasan ( Vergeldings theorin ) 2. Teori relative atau Tujuan ( doeltheorien ) 3. Teori gabungan ( Verenigings theorien ) Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18.Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti 13



A Josias dan Simon R-Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung, hal.1. 14



Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemindanaan Indonesia, PT.Pradnya Paramita, Jakarta. 1993,hal.21.



18



memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana adalah pembalasan.15 Pidana terlepas dari dampaknya dimasa depan, karena telah dilakukan suatu kejahatan, maka harus dijatuhkan hukuman, dalam ajaran absolute ini terdapat keyakinan yang mutlak atas pidana itu sendiri, sekalipun penjatuhan pidana sebenarnya tidak berguna bahkan memiliki dampak yang lebih buruk terhadap pelaku kejahatan. Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah yaitu : a. Ditujukan pada penjahatnya ( Sudut Subjektif ) b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat ( Sudut Objektif ) Teori yang kedua ialah teori relative



atau teori tujuan. Teori ini



berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib ( hukum ) dalam masyarakat. Pidana adalah untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Dalam teori relatif penjatuhan pidana tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakni agar seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Sementara itu, sifat pencegahan dari teori ini ada 2 ancaman yaitu :



15



Ibid, hal. 29.



19



a. Teori pencegahan umum. Menurut teori ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi



pidana itu dijadikan contoh oleh



masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. b. Teori pencegahan khusus. Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan kejahatan dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu kedalam bentuk perbuatan nyata. Teori yang ketiga adalah teori gabungan.Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat. Dengan kata lain, dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan dapat dibedakan menjadi dua yaitu : a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankan tata tertib dimasyarakat. b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.16 Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa inggris “effective” yang telah mengintervensi kedalam bahasa Indonesia dan 16



Muhammad zainal abidin & Iwayan Edy kurniawan, Op.cit, hal. 39



20



memiliki makna “berhasil” dalam bahasa Belanda “effectief” memiliki makna “berhasil guna”. Sedangkan efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasil-gunaan hukum, dalam hal ini berkaitan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu sendiri. L.J Van Apeldoorn, menyatakan bahwa efektivitas hukum berarti keberhasilan, kemajemukan hukum atau Undang-Undang untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai.17 Secara terminologi pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing. Soerjono Soekanto berbicara mengenai efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya.18 Efektivitas hukum dilain pihak juga dipandang sebagai tercapainya tujuan hukum. Menurut Soerjono Soekanto, dalam ilmu sosial antara lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatutan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini hukum.19 Efektivitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum baik penegak hukum, subtansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga tidak terjadi ketimpangan antara das solendan das sein. Hal ini sesuai dengan



17



Van Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Ke 30, hal.11. 18



Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Bandung, hal.62.



19



Ibid, hal.20.



21



pendapat Lawrence M.Friedman yang mengemukakan bahwa dalam sistem hukum terdapat tiga unsur yaitu struktur, substansi dan kultur hukum.20 Struktur adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, jadi termasuk didalamnya kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan jaksanya, pengadilan dengan hakimnya. Substansi adalah keseluruhan aturan hukum termasuk asas hukum dan norma hukum, baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis termasuk putusan pengadilan. Kultur hukum diartikan sebagai kebiasaankebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan cara berpikir. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, antara lain :21 1. Faktor hukumnya sendiri, yakni didalam tulisan ini akan dibatasi UndangUndang saja 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. 20



Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence) Volume I Pemahaman Awal. Kencana, Jakarta, hal.225 21



Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo, Jakarta,hal.5.



22



Substansi hukum itu adalah Peraturan Perundang-undangan, Struktur Hukum itu sering disebut penegak hukum, budaya hukum itu sangat luas, dapat dipahami budaya hukum itu adalah kepatuhan masyarakat. Kebudayaan (Culture) berarti keseluruhan dan hasil manusia hidup bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat kebiasaan, pengertian ini pertama kali dikemukakan oleh E.B Tylor dalam bukunya Primitive Culture di New York.22 Jadi dari pengertian itu, kebudayaan lebih dari kesenian, melainkan ada kepandaian, hukum, moral, dan termasuk kepercayaan, itu menunjukan budaya bukan hanya seni. penulisan ini menggunakan teori pemasyarakatan, teori efektivitas hukum, dan teori pemidanaan khususnya teori tujuan (relative).



1.8 Metode Penelitian a. Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis yuridis empiris. Pendekatan yuridis artinya mendekati permasalahan dari segi hukum yakni berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.



22



Hassan Shadily, 1989, Sosiologi Untuk Orang Indonesia, PT Pembangunan, Jakarta, hal.81.



23



Sedangkan pendekatan dari segi empiris yaitu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Pendekatan empiris adalah penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai perilaku angggota masyarakat dalam hubungan hidup bermasyarakat. Penelitian hukum empiris bertujuan untuk mengetahui sejarah mana bekerjanya hukum di dalam masyarakat.23 Penelitian yuridis empiris ini, permasalahan dikaji dengan melakukan pendekatan langsung di Lapas Klas IIA Denpasar, yaitu dalam hal pelaksanaan pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar lalu dikaitkan dengan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku yaitu UU Pemasyarakatan dan PP No. 31/1999 khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemasyarakatan. b. Jenis Pendekatan Pembahasan dalam penelitian ini akan di kaji dengan pendekatan Perundang-undangan ( the statue approach ), pendekatan analisis konseptual (analitycal and conceptual approach), dan pendekatan Fakta (The Fact Approach). Pendekatan Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemasyarakatan, kemudian dikaitkan dengan permasalahan pelaksanaan pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar. Pendekatan konseptual, yaitu penelitian terhadap konsep-konsep hukum, Seperti sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum, dan sebagainya. Pendekatan fakta dalam hal ini penulis



23



Fakultas Hukum, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal.68.



24



juga melihat fakta – fakta yang ada di Lapas Klas IIA Denpasar yang berkaitan dengan efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam Pembinaan narapidana. c. Sifat Penelitian Sifat penelitian yaitu deskriptif yakni penelitian secara umum termasuk pula



didalamnya



ilmu



hukum



yang



bertujuan



menggambarkan



secara



komferhensif gejala-gejala dalam masyarakat. Serta, menghubungkan antara gejala



satu



dengan



gejala



lainnya.24



Penelitian



ini



bermaksud



untuk



mendeskripsikan mengenai penyelenggaraan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. d. Sumber Data Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. 1. Data primer adalah data yang bersumber dari suatu penelitian lapangan, yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber lapangan yaitu baik dari responden maupun informan. Data primer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan melakukan wawancara langsung di ruang Kepala Pengamanan Lapas dan di ruang Kasi. Binadik Lapas Klas IIA Denpasar. 2. Data sekunder, yaitu suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan, yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber



24



Zainudin Ali, 2009, Merode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,hal.25.



25



pertamanya,



melainkan



bersumber



dari



data-data



yang



sudah



terdokumenkan. Terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji Menyatakan bahwa dalam suatu penelitian ini mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer (bahanbahan hukum yang mengikat), bahan hukum sekunder (yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer), dan bahan hukum tertier (bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder).25 Ketiga bahan hukum tersebut disebut data sekunder yang memiliki kekuatan mengikat. Bahan hukum primer yang terdiri dari Peraturan Perundangundangan, yaitu UU Pemasyarakatan dan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. e. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a) Teknik Wawancara Teknik wawancara menurut Norman K.Densim dapatlah diartikan sebagai “any face to conversational excange where one person elicits



25



Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1998, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, hal.39.



26



information from another”26 yang dimaksud dengan hal ini adalah segala bentuk percakapan, dimana seseorang mendapatkan informasi dari orang lain. Teknik wawancara yang dilakukan dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan permasalahan penelitian terhadap Bapak I Wayan Agus Miarda selaku Kepala Satuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, Bapak I Wayan Putu Sutresna selaku Kasi. Bimbingan napi dna anak didik, dan Bapak Mikha Simanjuntak sebagai staff bimbingan kemasyarakatan dan perawatan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. b) Teknik Studi Dokumen Teknik studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian yaitu UU Pemasyarakatan, PP No.31/1999 serta bahan bacaan yang berkaitan dengan efektivitas Lapas dalam pembinaan narapidana. f. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Teknik penentuan sampel penelitian dalam penelitian ini adalah dengan teknik non probability sampling khususnya dengan menggunakan teknik purposive sampling. Sampel penelitian ditentukan sendiri oleh si peneliti dengan mencari key information (informasi kunci) ataupun responden kecil yang dianggap mengetahui tentang penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti. 26



Sri Mamuji, 2004, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Pradnya Paramita, Jakarta, hal.



47.



27



g. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan analisa kualitatif. Kualitatif yaitu menganalisis atau menggambarkan data hasil penelitian dilapangan dengan cara kata-kata tanpa menganalisis angka dan selanjutnya pengolahan data disajikan secara deskriptif analisis yaitu menggambarkan secara lengkap tentang aspek yang berkaitan dengan masalah berdasarkan literatur dan data lapangan. Kemudian pengolahan dan analisis data dilakukan dengan cara deskripsi, sistematis, dan eksplanasi.



BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI SISTEM PEMASYARAKATAN DAN SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA



2.1 Sistem Pemasyarakatan di Indonesia 2.1.1 Pengertian Sistem Pemasyarakatan Sampai saat ini masih banyak perselisihan paham tentang apa yang dimaksud dengan pemasyarakatan, sebagai pelaksanaan dalam gerak usahanya mengidentikan pemasyaraktan itu dengan memberikan kelonggaran-kelonggaran yang lebih banyak kepada narapidana. Sudarto memberikan definisi tentang pemasyarakatan yaitu : Istilah pemasyarakatan dapat disamakan dengan “resosialisasi” dengan pengertian bahwa segala sesuatunya ditempatkan dalam tata budaya Indonesia, dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat Indonesia. Istilah yang digunakan itu sebenarnya tidak begitu penting, kita tidak boleh terpancing kepada istilah, dalam hal ini yang penting ialah pelaksanaaan dari prinsip-prinsip pemasyarakatan itu sendiri, bagaimanakah cara-cara pembinaan para narapidana itu dalam kenyataannya dan bagaimanakah hasilnya. 27 Mengenai pengertian resosialisasi ini Rosslan Saleh menyatakan bahwa



27



Hendro Purba, Pengertian Tentang Sistem Pemasyarakatan, data diakses pada tanggal 2 Februari 2015, available from : URL : Http ://online-hukum-blogspot.com/2011/01/pengertiantentang-sistem.html#



28



29



usaha dengan tujuan bahwa terpidana akan kembali kedalam masyarakat dengan daya tahan, dalam arti bahwa dia dapat hidup dalam masyarakat tanpa melakukan lagi kejahatan-kejahatan.28 Kemudian Romli Atmasasmita memberikan batasan tentang resosilialisasi ini sebagai berikut : Suatu proses interaksi antara narapidana, petugas Lembaga Pemasyarakatan dan masyarakat, dan ke dalam proses interaksi mana termasuk mengubah sistem, nilai-nilai daripada narapidana, sehingga ia akan dapat dengan baik dan efektif mereadaptasi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.29Jelas inti dari proses resosialisasi ini adalah mengubah tingkah laku narapidana agar sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yag dianut oleh masyarakat dengan mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan motivasi narapidana sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna. Surat keputusan kepala direktorat Pemasyarakatan Nomor.K.P.10.13/3/1, tanggal 8 Februari 1985, menentukan suatu konsepsi tentang Pemasyarakatan sebagai berikut : Pemasyarakatan adalah suatu proses, proses theurapeuntie dimana si narapidana pada waktu masuk Lembaga Pemasyarakatan berada dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai hubungan yang negative dengan masyarakat. Sejauh itu narapidana lalu mengalami pembinaan yang tidak lepas dari unsur-unsur lain dalam masyarakat yang bersangkutan tersebut, sehingga pada akhirnya narapidana dengan masyarakat sekelilingnya merupakan suatu keutuhan dan keserasian ( keharmonisan hidup dan penghidupan, tersembuhkan dari segi-segi yang merugikan). 28



Ibid.



29



R.Achmad S.Soema Dipradja,Romli Atmasasmita,1979, Sistim Pemasyarakatan di Indonesia, Bandung : Percetakan Ekonomi, hal.19.



30



Sistem pemasyarakatan adalah proses pembinaan bagi narapidana yang bertujuan mengadakan perubahan-perubahan yang menjurus kepada kehidupan yang positif, para petugas pemasyarakatan merupakan yang menjalankan peran penting sebagai pendorong, penjurus dan pengantar agar proses tersebut dapat berjalan dengan lancar sehingga mencapai tujuan dengan cepat dan tepat. Pasal 1 butir 2 UU Pemasyarakatan, menentukan bahwa sistem Pemasyarakatan adalah : Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu anatara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.



Sistem pemasyarakatan juga dapat diartikan sebagai suatu cara perlakuan terhadap narapidana yang dijatuhi pidana hilang kemerdekaan, khususnya pidana penjara, dengan mendidik, membimbing dan mengarahkan narapidana, sehingga setelah selesai menjalani masa pidananya ia dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna bagi bangsa dan negara, serta tidak melakukan kejahatan lagi.



31



2.1.2 Sejarah Singkat Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Upaya perbaikan terhadap pelanggar hukum, baik yang berada dalam penahanan sementara maupun yang sedang menjalani pidana, terus diadakan dan ditingkatkan sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Upaya tersebut tidak hanya terjadi pada bangsa Indonesia, akan tetapi juga pada bangsa-bangsa lain sejalan dengan pergerakan kemerdekannya, terutama setelah perang dunia ke-2. Pada tahun 1933 The International Penal and Penitentiary Comission (IPPC) atau dalam bahasa Indonesianya Komisi Internasional Pidana dan Pelaksanaan Pidana, telah merencanakan perbaikan sistem pemindanaan di seluruh negara dan pada tahun 1934 mengajukan rencana tersebut untuk disetujui oleh The Assembly Of The League Of Nation ( Rapat Umum Organisasi Bangsabangsa). Setelah diadakan perbaikan-perbaikan oleh sekretariat PBB, naskah IPPC tersebut disetujui oleh kongres PBB pada tahun 1955, yang kita kenal dengan Standart Minimum Rules (SMR) dalam pembinaan narapidana, Standart Minimum Rules (SMR) ini menetapkan hak-hak bagi narapidana yaitu : 1. Akomodasi 2. Kebersihan pribadi 3. Pakaian dan tempat tidur 4. Makanan 5. Latihan dan olahraga 6. Pelayanan kesehatan



32



7. Disiplin dan hukum 8. Alat-alat penahanan 9. Informasi kepada dan keluhan oleh narapidana 10. Hubungan dengan dunia luar 11. Mendapatkan buku/informasi ( Koran/TV ) 12. Berhak menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianut narapidana tersebut 13. Penyimpanan harta kekayaan narapidana 14. Pemberitahuan mengenai kematian, sakit, pemindahan, dan sebagainya 15. Personal lembaga 16. Pengawasan terhadap narapidana Kemudian pada tanggal 31 Juli 1957 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Resolusi No.663c XXIV) menyetujui dan menganjurkan pada pemerintahan dari setiap negara untuk menerima dan menerapkannya.30 Bahroedin Soerjobroto menggambarkan susunan pertumbuhan ajaran untuk pidana penjara di Indonesia dimulai dari beralihnya teori retributif kepada teori punitif, yang dianggap memulai peranan sebenarnya sebagai ancaman pidana. Selanjutnya tiba giliran teori punitif mendapat tantangan aliran baru dari teori rehabilitatif. Sedangkan dikemudian hari teori rehabilitatif mulai terdesak oleh pembinaan ( Treatment ).31Teori punitif yang memegang peranan hukuman yang 30



Sipirprodeo, Sejarah Sistem Pemasyarakatan, data diakses pada tanggal 2 Februari 2015, available from : URL:Http :// polsuspas.wordpress.com/2011/01/05/sejarah-sistempemasyarakatan/ 31



Bahroedin Soerjobroto, 1969, The Treatment Of Offenders, Undip, Semarang, hal.9.



33



sebenarnya sebagai ancaman pidana penjara inilah yang kemudian dapat membawa perkembangan pidana penjara ke arah non-punitif, yaitu dengan metode pembinaan dan bimbingan dalam upaya treatment ( pembinaan ).32 Sebelum menganut sistem pemasyarakatan, di Indonesia sistem pemidanaan yang dianut ialah sistem penjara. Sistem penjara ini memandang bahwa hukuman merupakan isolasi terhadap penjahat untuk melindungi masyarakat, lebih mengutamakan pembalasan atau memuaskan dendam masyarakat terhadap si penjahat, dan sama sekali tidak ada unsur pembinaan terhadap sipelaku kejahatan tersebut. Titik awal transformasi sistem pemidanaan Indonesia dari sistem penjara ke sistem pemasyarakatan ini ialah, berkat peran ilmu kriminologi dan hukum pidana yang mulai memikirkan usaha-usaha rehabilitasi terhadap narapidana, dan disepakati Standart Minimum Rules For the Treatment of Prisoners. Upaya untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan dibidang tata perlakuan narapidana di Indonesia diawali oleh Sahardjo yang menjabat sebagai Menteri Kehakiman pada saat itu. Tepatnya pada tanggal 15 Juli 1963 di Istana NegaraRI dalam penganugrahan gelar Doctor Honoris Causa bidang hukum, ia mengemukakan pada saat itu bahwa : Tiap orang adalah manusia dan harus pada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.33Pandangan ini yang menjadi dasar dari Lembaga Pemasyarakatan, yaitu Griya Winaya Jamna Miwarga Laksa 32



33



Bambang Poernomo, Op.cit, hal.52.



Akhmad Sekhu, Sejarah hari Penjara ke LAPAS, data diakses pada tanggal 2 Februari 2015, available from : URL:Http://sejarah.kompasiana.com/2010/07/21/sejarah-dari-penjara-ke-LAPASnapi-juga-manusia/.



34



Dharmesti. Yang artinya rumah untuk pendidikan manusia yang salah jalan agar patuh kepada hukum dan berbuat baik. Gagasan tentang pemasyarakatan ini mencapai puncaknya pada tanggal 21 April 1964 konferensi nasional kepenjaraan di grand hotel Lembang, Bandung. Konferensi yang diikuti oleh setiap direktur penjara seluruh Indonesia, konferensi ini berhasil merumuskan prinsip-prinsip pokok yang menyangkut perlakuan terhadap narapidana dan anak didik. Kesepuluh prinsip pemasyarakatan yang disepakati sebagai pedoman, pembinaan terhadap narapidana di Indonesia tersebut, yaitu34 : 1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna 2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara 3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertaubat 4. Negara tidak berhak membuat mereka lebih buruk atau jahat dari pada sebelum dijatuhi hukuman pidana 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan menjunjung usaha peningkatan produksi.



34



Marlina, Op.cit,hal.124.



35



7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan pancasila 8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia 9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dialaminya 10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif, dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan. Perkembangan selanjutnya, pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang telah dilaksanakan sejak lebih dari 40 tahun tersebut semakin mantap dengan diundangkannya UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, diatur pula tentang hak-hak bagi narapidana. Hak-hak yang dimaksud dapat dilihat pada Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa narapidana berhak untuk : 1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan 2. Mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani 3. Mendapat pendidikan dan pengajaran 4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak 5. Menyampaikan keluhan 6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak di larang 7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan



36



8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya 9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) 10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga 11. Mendapatkan pembebasan bersyarat 12. Mendapatkan cuti menjelang bebas, dan 13. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Adanya Pemasyarakatan maka semakin kokoh usaha-usaha mewujudkan suatu sistem pemasyarakatan yang bersumber dan berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 2.1.3 Tujuan Sistem Pemasyarakatan Perkembangan pembinaan terhadap narapidana berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan. Pembinaan narapidana yang sekarang dilakukan pada awalnya berangkat dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakekat yang tumbuh di masyarakat.35 Tujuan perlakuan terhadap narapidana di Indonesia dimulai sejak tahun 1964 setelah Sahardjo mengemukakan dalam konferensi kepenjaraan, jadi mereka yang berstatus



35



C.I.Harsono, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta,hal.13.



37



narapidana bukan lagi dibuat jera melainkan dibina untuk kemudian dimasyarakatkan kembali.36 Tujuan dari pembinaan dan tujuan dari penyelenggaraan Sistem Pemasyarakatan dapat ditemukan dalam Pasal 2 dan 3 UU No.12 Tahun 1995tentang pemasyarakatan, yaitu : Pasal 2 : Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Pasal 3: sistem Pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyakarat, sehingga dapat berperan aktif kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.



Pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan merupakan bagian dari sistem pemasyarakatan untuk menegakan hukum pidana. Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemasyarakatan maka dapat diketahui bahwa tujuan dari sistem pemasyarakatan adalah untuk mengembalikan warga binaan menjadi warga yang baik sehingga dapat diterima kembali di dalam masyarakat.



2.1.4 Asas Penyelenggaraan sistem Pemasyarakatan



36



Soedjono, 1972, Kisah Penjara-Penjara di Berbagai Negara, Alumni, Bandung, hal.86.



38



Menurut Pasal 5 UU Pemasyarakatan, sistem pembinaan terhadap narapidana harus dilaksanakan berdasarkan asas :



1. Pengayoman Yang dimaksud dengan pengayoman adalah perlakuan kepada warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari pengulangan perbuatan pidana oleh Warga Binaan dengan cara memberikan pembekalan melalui proses pembinaan.37 2. Persamaan Perlakuan dan Pelayanan Seluruh Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan diperlakukan dan dilayani sama tanpa membeda-bedakan latar belakang orang ( non diskriminasi ) 3. Pendidikan dan Pembimbingan Pelayanan di bidang ini dilandasi dengan jiwa kekeluargaan, budi pekerti, pendidikan rohani, kesempatan menunaikan ibadah, dan keterampilan dengan berlandaskan pancasila. 4. Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia Asas ini dijelaskan sebagai bentuk perlakuan kepada warga binaan yang dianggap orang yang “tersesat”, tetapi harus diperlakukan sebagai manusia. 5. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan



37



A Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung, hal.1.



39



Yang dimaksud diatas adalah bahwa Warga Binaan hanya ditempatkan sementara waktu di Lembaga Pemasyarakatan untuk mendapatlan rehabilitasi dari negara 6. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu 7. Adanya upaya didekatkan dan dikenalkan kepada masyarakat sehingga tidak menimbulkan keterasingan dengan cara kunjungan, hiburan ke dalam Lapas, serta berkumpul dengan sahabat maupun keluarga. Asas-asas pembinaan tersebut pada prinsipnya mencakup 3 pikiran pemasyarakatan yaitu sebagai tujuan, proses dan motode.38 a. Sebagai tujuan berarti dengan pembimbingan pemasyarakatan diharapkan narapidana dapat menyadari perbuatannya dan kembali menjadi warga yang patuh dan taat pada hukum yang berlaku b. Sebagai proses berarti berbagai kegiatan yang harus dilakukan selama pembinaan dan pembimbingan berlangsung c. Sebagai metode merupakan cara yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan pembinaan dan pembimbingan dengan sistem pemasyarakatan. Seluruh proses pembinaan narapidana dengan sistem pemasyarakatan merupakan suatu kesaturan yang integral untuk mengembalikan narapidana kepada masyarakatan dengan bekal kemampuan (mental, phisik, keahlian,



38



Romli Atmasasmita, 1996, Beberapa Catatan Isi Naskah RUU Pemasyarakatan, Rineka, Bandung, hal.12.



40



keterpaduan, sedapat mungkin pula financial dan material) yang dibutuhkan untuk menjadi warga yang baik dan berguna.39 2.2 Pengertian Sistem Pembinaan dan Pola Pembinaan Narapidana 2.2.1 Pengertian Sistem Pembinaan Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang yang telah melakukan tindak pidana dan dijatuhi vonis oleh pengadilan akan menjalani hari-harinya didalam rumah tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan sebagai perwujudan dalam menjalankan hukuman yang diterimanya. Dalam Lembaga Pemasyarakatan itu, orang tersebut akan menyandang status sebagai narapidana dan menjalani pembinaan yang telah di programkan. Dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan disebutkan bahwa “Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik Pemasyarakatan”. Pembinaan narapidana yang dikenal dengan pemasyarakatan untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Sahardjo, pada waktu diadakan konferensi Dinas



39



Djisman Samosir, 1982, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pembinaan Narapidana di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta,hal.13.



41



Kepenjaraan di Lembang, mengenai perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan.40 Efektivitas pidana penjara terletak pada aspek pencegahan, yaitu seberapa jauh pidana penjara berpengaruh terhadap narapidana sehingga dapat mencegah narapidana



tersebut



untuk



tidak



mengulangi



kejahatannya/menjadi



residivis.R.M.Jackson menyatakan, bahwa suatu pidana adalah efektif apabila si pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode tertentu. Selanjutnya ditegaskan, bahwa efektivitas adalah suatu pengukuran dari perbandingan antara jumlah



pelanggar



yang



dipidana



kembali



dan



yang



tidak



dipidana



kembali.41Sistem pembinaan inilah yang menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan efektivitas pidana penjara sehingga jumlah narapidana yang menjadi residivis akan semakin menurun. Satu hal yang harus selalu diingat bahwa tindakan apapun yang dilakukan terhadap narapidana baik dalam rangka pembinaan atau lainnya harus bersifat mengayomi dan tidak bertentangan dengan tujuan pemasyarakatan. Seperti yang diungkapkan



oleh



bahrudin



Surjobroto



:



Dengan



menerapkan



sistem



pemasyarakatan, narapidana harus diayomi dengan cara memberinya bekal hidup supaya ia menjadi warga yang berguna dalam masyarakat. Dengan memberikan



40



Serikat Putra Jaya, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Universitas Dipenogoro, Semarang, hal.38. 41



Ibid,hal.218.



42



pengayoman tersebut jelas bahwa penjatuhan pidana penjara bukanlah dimaksud sebagai tindakan balas dendam dari negara.42 Mengenai perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. Dasar hukum sistem perlakuan terhadap narapidana ialah : 1. Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch Indie ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ) S.1915 No.732 jo. 1917 No.947, Undang-Undang No.1 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No.73 Tahun 1958, Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 dan Pasal 1 peraturan Presiden No.2 Tahun 1945 tanggal 10 oktober 1945. 2. Gestichen Reglemen (Reglemen Penjara) S.1917 No.708 3. Dwangopvoeding Regeling (DOR) S.1917 No. 749 4. Regeling vorwaardelijke veroodeiling S. 1926 487.43 Sistem kepenjaraan bertujuan untuk membuat narapidana jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi, maka orientasi pembinaannya lebih bersifat “Top Down Approach”,44 yaitu program-program pembinaan yang diberikan kepada narapidana. Penentuan program yang bersifat “ Top Down Aprroach “ ini dilandasi



pertimbangan



keamanan, keterbatasan sarana



pembinaan, dan



pandangan bahwa narapidana hanyalah objek semata, dimana narapidana sebagai objek tidak dapat mengembangkan dirinya sesuai dengan kebutuhannya. Lahirnya Undang-Undang Pemasyarakatan telah melalui proses perjalanan yang panjang, Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan sesungguhnya telah



42



Bahrudin Surjobroto, 1991, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Pemasyarakatan, Departemen kehakiman RI, jakarta, hal. 5 43



Serikat Putra jaya, loc.cit.



44



Serikat Putra Jaya, Loc.it.



43



selesai pertama kali pada tahun 1972, tetapi karena dianggap belum mendesak oleh pemerintah yang berkuasa saat itu, maka Rancangan Undang-Undang tersebut tidak dilanjutkan kembali. Begitu pula dengan Rancangan UndangUndang pemasyarakatan yang kedua, dimana Rancangan Undang-Undang tersebut tidak dilanjutkan kembali ke DPR oleh pemerintah. Sedangkan dalam hal pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. PP No.31 Tahun 1999 ini merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Berdasarkan ketentuan tersebut maka program pembinaan warga binaan pemasyarakatan di



Lembaga Pemasyarakatan ditekankan pada kegiatan



pembinaan kepribadian seperti menyadari kesalahannya, dapat memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Adapun pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar warga binaan pemasyarakatan berperan kembali warga masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. 2.2.2. Pola Pembinaan Narapidana Sistem pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan berbagai tahapan dan dilakukan oleh para pembina. Sejak narapidana masuk ke dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan, maka saat itu narapidana menjalani pembinaan yang dalam pelaksanaan programnya tidak terlepas dari unsur



44



masyarakat



dan



bersama-sama



dengan



masyarakat



sekitarnya,



sehingga



narapidana dengan masyarakat itu dapat sembuh kembali dari segi-segi negatif. Jangka waktu dari masing-masing tahap yang satu kepada tahap berikutnya tidak sama serta dalam pelaksanaan proses pembinaan ini maju mundurnya tergantung dari narapidana yang bersangkutan dan kadang-kadang ada kalanya mengulangi lagi sebagian dari proses atau tahap yang dilalui terutama jika belum mencapai hasil yang memadai. Artinya masing-masing narapidana membutuhkan waktu yang berbeda-beda tergantung dari keadaan narapidana yang bersangkutan. Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1991 tentang Pembinaan dan Pembimbingan warga Binaan Pemasyarakatan menyebutkan bahwa pembina pemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan yang melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasayarakatan di Lapas. Jadi, hanya pembina pemasyarakatan inilah yang berhak untuk memberikan pembinaan bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Dalam sistem pemasyarakatan, pembinaan dan bimbingan yang dilakukan oleh para pembina, melalui tahap-tahap yaitu : adminisi/orientasi, pembinaan dan asimilasi.45 a. Tahap admisi dan orientasi, dimulai sejak warga binaan pemasyarakatan memasuki lembaga dengan suatu kegiatan, meliputi pengenalan terhadap suasana lembaga, petugas-petugas lembaga/pembina, tata tertib/disiplin, hak dan kewajiban selama berada dilembaga. Jangka waktu tahap admisi ini adalah 1 (satu) minggu bagi tahanan dan 1 (satu) bulan bagi warga binaan



45



Serikat Putra Jaya, Op.cit, hal.39.



45



pemasyarakatan. Pada tahapan ini dikenal sebagai pengenalan dan penelitian lingkungan (MAPENALING). b. Tahap pembinaan, dilaksanakan pada 1/3 (satu per tiga) sampai 1/2 (satu per dua) dari masa pidana, pada tahap ini pengawasan dilakukan sangat ketat (maximum security) dengan tujuan agar warga binaan pemasyarakatan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan peraturan-peraturan yang berlaku terutama dalam hal perilaku. c. Tahap asimilasi, pelaksanannya dimulai 1/2 (satu per dua) sampai 2/3 (dua per tiga) dari masa pidana. Pada tahap ini mulai diperkenalkan warga binaan pemasyarakatan dengan jati diri (kecerdasan, mental, dan iman) secara lebih mendalam pada masyarakat sekeliling lembaga melalui olahraga, pramuka dan lain-lain. Pada tahap ini pengawasan agak berkurang (medium security). d. Tahap integrasi, dilaksanakan setelah warga binaan pemasyarakatan menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana sampai dengan berakhirnya masa pidana. Pada tahap ini pengawasan sudah sangat berkurang (minimum security). Bagi warga binaan pemasyarakatan yang betul-betul sadar dan berkelakuan baik berdasarkan pengamatan tim pengamat pemasyarakatan dapat mengusulkan : cuti biasa, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat. Sedangkan ruang lingkup pembinaan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Tahun 1990 No. M-02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, dapat dibagi dalam 2 (dua) bidang yakni : 1. Pembinaan kepribadian yang meliputi : a. Pembinaan Kesadaran Beragama



46



Usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan imannya terutama memberikan pengertian agar warga binaan pemasyarakatan dapat menyadari akibatakibat dari perbuatan-perbuatan yang benar-benar dan perbuatan-perbuatan yang salah. Pembinaan kesadaran beragama ini bertujuan agar para narapidana dapat meningkatkan kesadaran terhadap agama yang mereka anut. b. Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara Usaha ini dilaksanakan melalui pembinaan pengenalan pancasila. Untuk itu pembinaan ini diberikan dengan tujuan untuk menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara dalam diri para narapidana. Dengan tumbuhnya kesadaran berbangsa dan bernegara, diharapkan setelah para narapidana keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, mereka dapat menjadi warga binaan yang baik dapat memberikan sesuatu yang berguna bagi bangsa dan negaranya. c. Pembinaan Kemampuan Intelektual ( Kecerdasan) Usaha ini diperlukan agar pengetahuan serta kemampuan berpikir warga binaan pemasyarakatan semakin meningkat sehingga dapat menunjang kegiatan-kegiatan positif yang diperlukan selama masa pembinaan. Pembinaan intelektual dapat dilakukan baik melalui pendidikan formal maupun



melalui



pendidikan



non



formal,



pendidikan



formal,



diselenggarakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada yang ditetapkan oleh pemerintah agar dapat ditingkatkan semua warga binaan pemasyarakatan.



47



d. Pembinaan kesadaran hukum Pembinaan kesadaran hukum warga binaan pemasyarakatan dilaksanakan dengan memberikan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai anggota masyarakat, mereka menyadari hak dan kewajibannya dalam rangka turut menegakan hukum dan keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan terbentuknya perilaku setiap warga negara indonesia yang taat pada hukum. Penyuluhan hukum bertujuan lebih lanjut untuk membentuk keluarga sadar hukum (KADARKUM)



yang dibina selama berada didalam lingkungan



pembinaan maupun setelah berada kembali di tengah-tengah masyarakat. e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat Pembinaan dibidang ini dapat dikatakan juga pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan, yang bertujuan pokok agar bekas narapidana mudah dapat diterima kembali oleh masyarakat lingkungannya. Untuk mencapai ini, kepada mereka selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dibina terus untuk patuh beribadah dan dapat melakukan usaha-usaha sosial secara gotong royong, sehingga pada waktu mereka kembali kemasyarakat mereka telah memiliki sifat-sifat positif untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat lingkungannya. 2. Pembinaan Kemandirian a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri misalnya kerajinan tangan, industri rumah tangga dan sebagainya



48



b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya pengolahan bahan mentah dari sektor pertanian dan bahan alam menjadi bahan setengah jadi c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing, dalam hal ini bagi mereka yang memiliki bakatnya itu. Misalnya kemampuan dibidang seni, maka diusahakan untuk disalurkan ke perkumpulan seniman. Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan tidak hanya memperhatikan kesalahan narapidana semata, melainkan juga memperhatikan ke masa depan mereka setelah keluar dari Lapas. Hal ini dapat dilihat dari pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana meliputi bidang yang bersifat kepribadian dan kemandirian (keterampilan). 2.3 Sejarah Singkat Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar Sekitar tahun 1936, yaitu zaman kolonial belanda telah dibangun rumah penjara di daerah Pekambingan Jalan Dipenogoro Denpasar, semenjak Indonesia merdeka maka seluruh peninggalan Hindia Belanda diambil alih oleh pemerintah RI, kemudian pada tahun 1964 penjara yang ada di Indonesia berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan dengan dicanangkan sistem Pemasyarakatan oleh Suhardjo, sebagai pengganti dari sistem kepenjaraan. Bertolak dari pandangan



49



Sahardjo, tentang hukum sebagai pengayoman. Hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara.46 Pada tahun 1976 baru di Badung Lapas Klas IIA Denpasar yang terletak di Jl. Tangkuban Perahu PO.BOX. 884 Banjar Pengubengan Kangin, Desa Kerobokan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Lapas Klas IIA Denpasar Merupakan pindahan dari Lapas di Jalan Dipenogoro dan mulai dioperasikan pada tahun 1983. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar berdiri di atas tanah seluas 43.220 m2, dengan memiliki kapasitas bangunan sebanyak 336 orang penguhi, selain itu pula terdapat perumahan dinas bagi petugas Lapas Klas IIA Denpasar, yang berada di luar bangunan Lapas seluas 3220 m2.



46



Dwija Priyatno, Op.cit, hal.97.



BAB III PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR



3.1 Gambaran Umum dan Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar 3.1.1 Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar Lapas Klas IIA Denpasar merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan narapidana yang bernaung di bawah kantor wilayah kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Propinsi Bali. Lembaga Pemasyarakatan ini baru di Resmikan pada tanggal 15 Agustus 1983. Adapun perbatasannya, sebelah timur berbatasan dengan pemukiman penduduk, sebelah selatan berbatasan dengan pemukiman dan pertokoan, sebelah barat berbatasan dengan pemukiman penduduk. Secara fisik keseluruhan bangunan yang dimiliki oleh Lapas Klas IIA Denpasar terdiri dari beberapa bangunan dan ruang perkantoran, agar lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 01 Jenis dan Luas Bangunan Lapas Klas IIA Denpasar



50



51



Wisma



Luas Bangunan (dalam m2)



1



A



156



2



B



156



3



C



225



4



D



225



5



E



225



6



F



225



7



G



225



8



H



225



9



I



225



10



J



225



11



K



96



12



Tahanan Wanita



96



13



Narapidana Wanita



396



14



Maksimum Security



396



15



Pengangsingan



64



Sumber : Kasubag Tata Usaha Lapas Klas IIA Denpasar Selain itu, terdapat pula bangunan lain pendukung Lapas Antara Lain : - 3 buah bangunan perkantoran dengan luas 6000 m2 - 1 buah bangunan poliklinik dan ruang laboratorium dengan luas 120 m2 - 1 buah bangunan dapur dengan luas 120 m2



52



- 2 buah bangunan bengkel kerja dengan luas 216 m2 - 1 buah bangunan masjid dengan luas 33 m2 - 1 buah bangunan pura dengan luas 33 m2 - I buah bangunan gereja dengan luas 33 m2 - I buah bangunan vihara dengan luas 16 m2 - 1 buah lapangan tennis, lapangan volley dengan luas 750 m2 - 1 buah lapangan upacara dengan luas 750 m2 - 7 buah pos jaga dengan luas masing-masing 63 m2 - 25 rumah dinas dengan type : a. 11 buah type E luas 396 m2 b. 8 buah type D luas 350 m2 c. 6 buah type C luas 140 m2 - 1 buah lapangan parkir mobil dan sepeda motor dengan luas 700 m2



3.1.2 Struktur Organisasi dan Tata Kerja Sebagai efektifnya pada suatu organisasi dalam menjalankan mekanisme guna tujuan bersama, harus memiliki struktur organisasi. Menurut SK Menteri Kehakiman RI No. M.01-PR 35 35.31-03 Tahun 1985 tentang Struktur Organisasi Lapas Klas IIA Denpasar di perlukan guna menentukan garis komando, wewenang atau hak dan kewajiban setiap personel di atau lingkungan organisasi sehingga tercipta sasaran kerja yang tertib, disiplin dan dinamis yang merupakan syarat untuk mencapai tujuan.



53



Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak. Dewa Gede Astara selaku Kasubag. tata usaha Lembaga Pemasyarakatan



Klas IIA Denpasar pada hari



Senin tanggal 6 April 2015 Pukul 10.15 Wita di ruangan bagian tata usaha, dalam struktur organisasi di Lapas Klas IIA Denpasar, terdapat 1 (satu) orang kepala ( yang selanjutnya disebut KALAPAS ), 2 (dua) orang Ka. Sub Bagian yaitu Ka.Sub Bag. Tata Usaha ( Ka. SUBAG TU) dan Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan ( Ka. KPLP ), 2 dua) orang Ka. Ur yaitu urusan kepegawaian dan urusan umum. 3 (tiga) orang, Ka. Seksi yaitu bimbingan napi dan anak didik ( Kasie Binadik ), seksi kegiatan kerja ( Kasie. Giatja) dan seksi administrasi kemanan dan tata tertib ( Kasie Minkamtib), dan 6 (enam) orang Ka. Sub Seksi terdiri dari Sub. Sie bimbingan kemasyarakatan dan perawatan narapidana dan anak didik (Ka. Subsie Bikemaswat ), Sub Sie Registrasi ( Ka. Subsie Registrasi ), Sub Sie Bimbingan kerja dan pengelolaan hasil kerja ( Ka. Subsie Bimker dan Lolahaker ), Sub Sie Saranan Kerja, Sub Sie Kemanan dan Sub Sie Pelaporan dan Tata Tertib.



54



Struktur Organisasi Lapas Klas IIA Denpasar



KALAPAS Sudjonggo,Bc.Ip,SH KA SUB BAG.TATA USAHA DEWA GEDE ASTARA,SH.MH



KAUR KEPEG & KEU NI GUSTI AYUMUDIARTINI,SH



KEPALA KPLP I WAYAN AGUS MIARDA,A.Md.IP.SH



KASI BINADIK I WAYAN PUTU SUTRESNA,A.Md.IP.SH.MH



KASUBSI REGISTRASI I MADE SUARDANA, SH



KASI KEGIATAN KERJA I GEDE PURWATA,SH



KASUBSI BIMKER & LOLAHAKER DADANG FIRMANSYAH,Amd.IP,.SH



KAUR UMUM Drs.I GEDE SUARDIKA



KASI ADMINISTRASI KAMTIB HERMANUS SETYO HARTANTO,BcIP.,SH



KASI ADMINISTRASI KAMTIB HERMANUS SETYO HARTANTO,BcIP.,SH



KASUBSI BIMKEMASY & PERAWATAN NI NYOMAN BUDI UTAMI,Amd.IP.S.Sos.MM PETUGAS KEAMANAN



KASUBSI SARANA KERJA I WAYAN SUMAKERTA,SH



KASUBSI PEPAORAN& TATIB SARIJEM ,SE



Uraian tugas dari bagian-bagian maupun seksi-seksi yang ada di Lapas Klas IIA Denpasar adalah sebagai berikut : a. Sub Bagian Tata Usaha Bertugas melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Lapas yang terdiri atas : - Urusan kepegawaian dan keuangan memiliki tugas dalam hal kepegawaian dan keuangan



55



- Urusan umum mempunyai tugas melakukan surat menyurat, perlengkapan dan rumah tangga Lapas. b. Sub Bagian Narapidana dan Anak Didik Bertugas memberikan bimbingan dan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang terdiri dari : - Sub seksi registrasi memiliki tugas dalam melakukan pencatatan, administrasi dan pembuatan statistik (database), pemberian remisi serta dokumen sidik jari narapidana (daktiloskopi) - Sub seksi bimbingan kemasyarakatan dan perawatan memiliki tugas dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan rohani dan memberikan pelatihan olahraga, peningkatan pendidikan dan pengetahuan, program asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelas bebas, dan pembebasan bersyarat, memberikan kesejahteraan dan perawatan bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan serta mengurus kesehatannya. c. Seksi Kegiatan Kerja Bertugas memberikan petunjuk dan bimbingan kegiatan kerja bagi narapidana yang terdiri atas : - Sub seksi bimbingan kerja dan pengelolaan hasil kerja mempunyai tugas memberikan bimbingan dan pelatihan kerja kepada narapidana serta mengelola hasil dari pekerjaan tersebut. - Sub seksi sarana kerja mempunyai tugas dalam mempersiapkan fasilitas dan sarana kerja



56



d. Seksi administrasi keamanan dan tata tertib - Sub seksi keamanan mempunyai tugas dalam menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta mempersiapkan laporan berkala di bidang kemanan dan penegakan tata tertib.



3.2 Penyelenggaraan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan dikenal dengan nama pemasyarakatan. Berhasilnya pembinaan warga binaan pemasyarakatan di Lapas merupakan tujuan yang paling utama sebagai akhir dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Tujuan dari sistem pemasyarakatan adalah setelah warga binaan pemasyarakatan mengikuti seluruh program pembinaan, diharapkan mereka akan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Masa pengenalan lingkungan atau admisi dan orientasi merupakan tahap awal pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Setelah ditetapkan di blok hunian atau wisma masing-masing, warga binaan akan diberitahukan oleh pertugas pemasyarakatan mengenai tata tertib yang ada di Lapas, nama-nama petugas serta seluruh staff pegawai, kewajiban dan hak warga binaan, cara menyampaikan keluhan, dan segala sesuatu yang ada di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan



Klas



IIA



Denpasar.



Masa



pengenalan



lingkungan



57



(MAPENALING) dilakukan selama 7 hari (satu minggu). Sangat diharapkan agar warga binaan dapat menyesuaikan diri dalam beradaptasi, sehingga diharapkan agar warga binaan dapat menyesuaikan diri dan dapat beradaptasi, sehingga dapat berinteraksi secara normal di dalam Lapas. Pada tahap ini dilakukan pengawasan yang sangat ketat (maximum Security). Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan



Klas IIA Denpasar dilaksanakan pada sebuah sarana yang



cukup memadai yang disebut bengker atau bengkel kerja. Pembinaan terhadap warga binaan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan dan petugas pengamanan. Hasil



wawancara



dengan



Bapak



I



Wayan



Putu



Sutresna,Amd.IP,SH.,MH, menjabat sebagai Kasi. Binadik ( Bimbingan Napi dan Anak Didik ) Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar pada hari senin tanggal 13 April 2015 pukul 10.10 Wita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, Proses pembinaan



yang dilakukan terhadap Warga Binaan



Pemasyarakatan dimulai saat pertama kali narapidana tersebut masuk Lapas yang kemudian dilakukan pemeriksaan fisik sampai pada pada registrasi. Tahap selanjutnya, Warga Binaan Pemasyarakatan ditempatkan dalam wisma khusus untuk menjalani proses Masa Pengenalan Lingkungan (MAPENALING) selama 7 hari (satu minggu). Setelah menjalankan proses MAPENALING, maka Warga Binaan Pemasyarakatan akan di masukan kedalam wisma untuk selanjutnya menjalankan proses pembinaan, yang terbagi ke dalam :



58



1. Tahap pembinaan, dilaksanakan pada 1/3 (satu per tiga) sampai 1/2 (satu per dua) dari masa pidana, pada tahap ini pengawasan dilakukan sangat ketat (maximum security). 2. Tahap asimilasi, pelaksanannya dimulai 1/2 (satu per dua) sampai 2/3 (dua per tiga) dari masa pidana. Pada tahap ini pembinaan mulai dilakukan di dalam Lapas ataupun di luar Lapas. Untuk diluar Lapas narapidana dengan kasus tindak pidana umum akan ditempatkan di perusahan yang ingin menampung Warga Binaan Pemasyarakatan dan mendapatkan Upah. Sedangkan untuk narapidana dengan kasus Tindak pidana Khusus (Tipisus) khususnya Tindak Pidana Korupsi akan melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan sosial, yang mana Warga Binaan Pemasyarakatan ini tidak mendapat upah karena dalam hal ekonomi sudah di anggap mampu. Pada tahap ini pengawasan agak berkurang (medium security). 3. Tahap integrasi, dilaksanakan setelah warga binaan pemasyarakatan menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana sampai dengan berakhirnya masa pidana. Pada tahap ini pengawasan sudah sangat berkurang (minimum security) . Apabila Warga Binaan Pemasyarakatan di nilai sudah berkelakuan baik selama menjalani pembinaan, maka pada tahap ini dapat diajukan remisi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarat, dan Cuti mengunjungi Keluarga. Semua proses tersebut harus melalui pengajuan terlebih dahulu yang kemudian akan di tentukan lewat proses persidangan.



59



Selanjutnya



Bapak



I



Wayan



Putu



Sutresna,Amd.IP,SH.,MH



menjelaskan mengenai pola pembinaan yang diberikan kepada warga binaan pemasyarakatan (WBP) meliputi : 1. Pembinaan kepribadian yang meliputi : 1) Pembinaan kesadaran beragama atau ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pembinaan kesadaran beragama dianggap pembinaan yang paling awal harus diikuti oleh warga binaan pemasyarakatan di Lapas Klas IIA Denpasar. Pembinaan dibidang ini diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan dan kesadaran terhadap agama mereka masing-masing dan insyaf atau menyadari bahwa perbuatan yang mereka lakukan sebelum ditempatkan pada Lapas adalah perbuatan yang dilarang oleh agama mereka masing-masing. Dalam melaksanakan pembinaan kesadaran beragama selaku Kasi. Binadik ( Bimbingan Napi dan Anak Didik )melakukan kerjasama dibidang kegamaan, ataupun relawan yang bersedia memberikan waktunya secara Cuma-Cuma. Dalam menjalankan pembinaan di bidang keagamaan, di Lapas Klas IIA Denpasar terdapat sarana dan prasarana peribadahan seperti : a. Pura Padmasari Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar Pura padmasana merupakan saranan persembahyangan bagi warga binaan



pemasyarakatan



yang



beragama



Hindu.



Kegiatan



persembahyangan dilakukan tiga kali sehari (trisandya), dan kegiatan persembahyangan bulanan pada hari purnama serta tilem. Warga



60



binaan khususnya yang beragama Hindu wajib menjaga kesucian dan kebersihan pura padmasari. Dalam hal pembinaan kesadaran beragama bagi warga binaan yang memeluk agama Hindu, diadakan darma wacana setiap dua minggu sekali mulai dari pukul 10.00 hingga 12.00 wita yang diberikan oleh para narasumber dari Departemen Keagamaan (Depag). Pemberian dharma wacana diharapkan mampu memberikan kesadaran bagi warga binaan agar selalu mematuhi segala perintahNYA dan menjauhi segala laranganNYA, sadar akan kesalahan yang diperbuat, tidak mengulangi tindak pidana lagi, dan mampu memotivasi merega agar menjadi warga yang baik dan bertanggung jawab. b. Mesjid Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar Seperti kita ketahui mesjid merupakan tempat peribadatan bagi umat muslim. Mesjid Lapas Klas IIA Denpasar digunakan bagi warga binaan yang memeluk agama Islam. Kegiatan rutinitas mereka adalah melakukan shalat lima waktu dan shalat jumat termasuk juga hari besar keagamaan seperti hari raya idul fitri dan idul adha. Pembinaan kesadaran beragama bagi warga binaan yang memeluk agama Islamadalam



pemberian



pengajian,



membaca



Al-Qur’an,



dan



kewajiban agar selalu ikut serta dalam menjaga kebersihan mesjid. Lapas Klas IIA Denpasar bekerjasama dengan kementerian agama melalui narasumber yang mewakili. Dalam hal ini, Warga Binaan



61



Pemasyarakatan Perempuan membentuk kelompok pengajian yang terdapat struktur organisasi didalamnya. c. Gereja Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar Sejak terjadi kerusuhan Lapas 21 Februari 2012 lalu, perayaan kebaktian bagi warga binaan pemeluk agama Kristen hanya dilakukan pada hari raya natal. Namun, di tahun 2015 ini umat kristiani di Lapas Klas IIA Denpasar justru termasuk ke dalam Warga Pemasyarakatan dengan aktivitas terdapat dalam bidang keagamaan. Setiap minggunya ada pendeta dari berbagai kalangan baik dari departemen keagamaan maupun dari LSM. Kegiatan rutinitas mereka adalah melakukan kebaktian di gereja yang dipimpin oleh FKPK ( Forum Komunitas Persatuan Kristen) yang berjumlah sebanyak 17 komunitas. d. Cetia Dharmameta Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar Cetia dharmameta merupakan tempat peribadatan bagi warga binaan Lapas Klas IIA Denpasar yang memeluk agama Budha. Dalam hal ini warga binaan yang memeluk agama Budha melakukan rutinitas persembahyangan yang diawasi oleh pegawai LAPAS. Perayaan hari besar dilakukan pada hari besar keagamaan yaitu waisak. Dari ketiga pemeluk agama lainnya, warga binaan pemasyarakatan yang beragama Budha berjumlah paling sedikit yaitu sebanyak 14 warga binaan.



62



2) Pembinaan kesadaran Hukum Sejak warga binaan melakukan tindak pidana, mereka sudah dianggap tidak sadar hukum atau peraturan yang berlaku, maka ketika mereka ditempatkan di dalam Lapas, sangat diharapkan warga binaan pemasyarakatan mampu menyadari akan hukum yang berlaku atau setidaknya menaati peraturan-peraturan yang berlaku. Pembinaan kesadaran hukum kepada warga binaan pemasyarakatan (WBP) di Lapas Klas



IIA



Denpasar



adalah



kewajiban



seluruh



warga



binaan



pemasyarakatan tidak terkecuali menaati dan mematuhi segala peraturan dan tata tertib yang berlaku di Lapas Klas IIA Denpasar. kewajiban warga binaan pemasyarakatan selain mentaati dan mematuhi seluruh peraturan yang berlaku di Lapas Klas IIA



Denpasar adalah sebagai



berikut : a. Taat menjalankan ibadah sesuai agama dengan kepercayaan masingmasing serta memelihara kerukunan beragama di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar b. Mengikuti seluruh kegiatan yang telah diprogramkan c. Patuh, taat, dan hormat kepada seluruh petugas d. Mengenakan seragam yang telah diberikan e. Memelihara kerapian dalam berpakaian sesuai dengan norma kesopanan f. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan hunian



63



g. Mengikuti apel pagi yang di pimpin langsung oleh petugas pengamanan pada pukul 08.00 Wita h. Mengikuti senam pagi yang dilaksanakan setiap hari dibedakan dalam atas masing-masing wisma hunian mulai pukul 08.00 Wita. 3) Pembinaan kemampuan intelektual Pembinaan kemampuan intelektual yang diprogramkan Lapas Klas IIA Denpasar adalah program kursus bahasa inggris, Lapas Klas IIA Denpasar bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ingin memberikan pelajaran kursus bahasa inggris kepada warga binaan pemasyarakatan. kursus bahasa inggris seharusnya wajib diikuti oleh warga binaan, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua warga binaan yang mau mengikuti pembelajaran bahasa inggris, melainkan warga binaan yang memang tertarik untuk mengenal bahasa inggris. Kursus bahasa inggris diadakan setiap hari kamis dan jumat yang dilakukan diruangan perpustakaan Lapas Klas IIA Denpasar. Tujuan diadakan kursus bahasa inggris adalah agar setelah menyelesaikan masa pidana di Lapas, mereka mempunyai kemampuan berbahasa inggris dengan baik untuk



terjun



langsung



dibidang



pekerjaan



yang



membutuhkan



kemampuan berbahasa inggris. Adapun hasil dari kursus bahasa inggris ini, Warga Binaan Pemasyarakatan akan mendapatkan sertifikat dari LSM terkait.



64



4) Pembinaan kesehatan jasmani dan rohani Hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Bapak Mikha Simanjuntak SH selaku staff bimbingan dan kemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar pada hari kamis tanggal 16 April 2015 pukul 10.00 Wita di Lapas Klas IIA Denpasar, pembinaan kesehatan jasmani dan rohani yang diprogramkan di Lapas Klas IIA Denpasar adalah : a. Terjaminnya kesehatan seluruh warga binaan pemasyarakatan Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar tersedia sarana poliklinik atau tempat untuk melakukan pemeriksaan kesehatan bagi warga binaan pemasyarakatan. dalam poliklinik terdapat empat dokter yang terdiri dari satu dokter umum, dua dokter gigi, dan dibantu oleh delapan orang perawat yang mana mereka berada di Lapas setiap hari senin sampai jumat terkecuali hari sabtu mereka hanya bertugas setengah hari (sampai dengan pukul 12.00 Wita). Meski demikian, Dokter Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar yang tinggal di rumah dinas harus siap 24 (dua puluh empat) jam apabila ada pemanggilan



terhadapnya



terkait



kesehatan



warga



binaan



pemasyarakatan. b. Pemberian makanan yang layak Warga binaan pemasyarakatan di Lapas Klas IIA Denpasar setiap harinya memperoleh makanan yang dibagi menjadi dua jenis makanan, yaitu menu makanan bagi WNI dan WNA. Di dalam pembuatan menu makanan, warga binaan pemasyarakatanlah yang



65



harus memasak sendiri menu makanan di dapur yang tersedia pada Lapas Klas IIA Denpasar namun masih diawasi oleh petugas dapur yang berjumlah dua orang. Meskipun demikian, warga binaan juga diperbolehkan menerima makanan yang diberikan kepada pihak keluarga pada waktu jam besuk atau membeli makanan yang ada di kantin Lapas yang dikelola oleh Koperasi Lapas Klas IIA Denpasar. Tujuan warga binaan membuat menu makanan sendiri tidak lain adalah memberikan bekal hidup khususnya dalam kemampuan memasak dan mengolah makanan agar setelah warga binaan keluar dari Lapas mereka bisa mempraktekan kemampuan yang telah didapatkan



pada



saat



menjalani



hukuman



di



Lembaga



Pemasyarakatan. c. Sarana olahraga sebagai penunjang kesehatan jasmani Prasarana olaharaga seperti lapangan tennis, lapangan bola volley, lapangan basket, lapangan sepak bola meski tidak seluas lapangan pada umumnya, alat-alat fitness atau kebugaran, dan yang trerakhir tennis meja. Dengan adanya fasilitas ini, warga binaan diharapkan selain mengikuti program pembinaan yang lain, mereka dapat bersantai dengan berolahraga di jam-jam tertentu. Fasilitas tersebut dapat digunakan oleh seluruh warga binaan tanpa terkecuali.



66



2. Pembinaan Kemandirian yang meliputi : 1) Pembinaan keterampilan kerja Pembinaan keterampilan kerja yang diprogramkan di Lapas Klas IIA Denpasar adalah keterampilan membuat kipas tangan, mengamplas, memasang benang dan lem. Pembinaan dilaksanakan di bengker atau bengkel kerja Lapas Klas IIA Denpasar yang diawasi oleh petugas pengamanan dan staff pegawai. Dalam melaksanakan pembinaan dibidang keterampilan kerja, Lapas Klas IIA Denpasar yang sebelumnya bekerja sama dengan perusahaan wiraswasta yang bernama Wiracana dimana perusahaan ini yang menyediakan bahan setengah jadi selanjutnya warga binaan pemasyarakatanlah yang harus menyelesaikan kipas tangan tersebut. Namun, saat ini Lapas Klas IIA Denpasar mulai melakukan pembinaan keterampilan kerja ini sendiri dan akan segera mengaktifkan museum Lapas sebagai tempat penjualan hasil karya Warga Binaan Pemasyarakatan. 2). Latihan kerja dan produksi Seperti halnya pembinaan keterampilan, latihan kerja dan produksi juga dilaksanakan pada bengkel kerja Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar yang wajib diikuti warga binaan pemasyarakatan dari hari senin sampai jumat pada pukul 09.00 wita dibawah pengawasan petugas pengamanan yang dibantu oleh beberapa staff pegawai. Pembinaan latihan kerja dan produksi yang diprogramkan Lapas Klas IIA Denpasar meliputi : latihan menyablon kaos, seni melukis, melaundry pakaian,



67



menjahit, kerajinan perak, keterampilan desain grafis, pembuatan kipas, serta dalam bidang pertanian dan peternakan. Hasil dari produksi tersebut akan diserahkan kepada pihak ketiga yang bekerjasama dengan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Segala proses pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar, dilakukan dengan pengawasan yang cukup ketat. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Bapak I Wayan Agus Miarda selaku Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas Klas IIA Denpasar pada wawancara hari Jumat tanggal 17 April 2015 Pukul 10.45 Wita, keamanan di Lapas Klas IIA Denpasar dilakukan oleh regu pengamanan yang terdiri dari 4 regu. Setiap 1 (satu) regu terdiri dari 15 orang dan dibagi menjadi 4 set, yaitu : pagi, siang, malam dan istirahat. Sistem pengawasan di Lapas Klas IIA Denpasar dilakukan secara tertutup, artinya pengawasan berada didalam tembok Lapas. Selain itu, pengawasan dibantu dengan CCTV di 20 titik tertentu. Selanjutnya, Bapak I Wayan Agus Miarda menuturkan, bahwa banyak ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan ataupun oleh Petugas Sipir. Petugas pengamanan Lapas Klas IIA Denpasar melakukan sidak setiap 1 (satu) Bulan 4 kali, dalam setiap sidak ini, masih ditemukan Warga Binaan Pemasyarakatan yang kedapatan mengkonsumsi narkoba di dalam Lapas, hal lain yang ditemui dalam Lapas Klas IIA Denpasar masih maraknya penggunaan alat telepon genggam atau Handphone di dalam Lapas. Setelah ditelusuri, Warga Binaan Pemasyarakatan menggunakan Handphone beralasan untuk berkomunikasi dengan keluarga. Selain Warga



68



Binaan Pemasyarakatan, Petugas Sipir masih ada yang kedapatan melakukan Pungutan Liar (PUNGLI) di dalam Lapas. Pada dasarnya, pemberian pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar sudah mengacu pada prosedur yang ada yaitu UU Pemasyarakatan sebagai dasar acuan pemberian Pembinaan dan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, dalam beberapa hal masih saja ditemukan ketimpangan selama proses pembinaan di dalam Lapas tersebut. Di lain pihak, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Putu Sutresna,Amd.IP.SH.,MH selaku Kasi. Bimbingan dan Anak Didik (BINADIK) Lapas Klas IIA Denpasar pada hari Senin, 20 April 2015 pukul 10.00 Wita. Bahwa, Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) merupakan miniatur dari masyarakat luar, dengan kata lain apa yang ada di masyarakat luar pasti ada di dalam Lapas. Hal ini berarti masih adanya penggunaan narkoba di dalam Lapas, Tawuran antar wisma bahkan sampai pada oknum petugas sipir yang kedapatan melakukan pungli atau membiarkan narkoba masuk kedalam Lapas. Saat dilakukan Sidak, pernah kedapatan alat pembuatan narkoba secara manual di dalam wisma Lapas Klas IIA Denpasar.walau sudah diberikan sanksi kepada setiap pelanggar sampai pada sanksi terberat yaitu dimasukan kedalam ruang isolasi, hal ini tidak memberikan efek jera kepada pelaku. Selanjutnya



Bapak



I



Wayan



Putu



Sutresna,



Amd.IP.SH.,MH



menambahkan, angka recidivice di Lapas Klas IIA Denpasar tergolong sedikit, hanya saja mantan narapidana



yang kembali menjadi Warga Binaan



69



Pemasyarakatan di Lapas Klas IIA Denpasar masih banyak dengan kasus yang berbeda. Contoh : sebelumnya narapidana tersebut melakukan pembunuhan, dan saat keluar Lapas ia menjadi pengedar narkoba. Bahkan diantara mereka ada yang masih dalam pengawasan atau wajib lapor oleh Balai Pengawasan (BAPAS) dan sudah melakukan tindak pidana lainnya. Padahal Lapas Klas IIA Denpasar sudah melakukan pembinaan secara maksimal, hanya saja saat kembali ke masyarakat stigma dari masyarakat kepada mantan narapidana belum dapat dirubah bahkan cenderung tidak bisa menerima mantan narapidana termasuk dalam sulitnya membuat



Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) untuk melamar



pekerjaan, hal inilah yang pada akhirnya membuat mantan narapidana tersebut melakukan tindak pidana kembali. Jika mengacu pada teori efektivitas hukum yang menyebutkan efektivitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum baik penegak hukum, substansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga tidak terjadi ketimpangan antara das solen dan das sein.47 Struktur adalah keseluruhan instisusi hukum beserta aparatnya, dalam hal ini Petugas Sipir Lapas Klas IIA Denpasar. Namun, pada pelaksanaannya masih terdapat oknum petugas sipir yang melakukan pungli dan membiarkan beberapa fasilitas seperti televisi, telepon genggam sampai pada narkotika bisa masuk kedalam Lapas. Kurangnya pengawasan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan, menyebakan pembinaan tidak dilakukan secara maksimal yakni



47



Soerjono Soekanto, Loc.cit.



70



masih kurangnya kesadaran Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengikuti kegiatan di Bengkel Kerja. Substansi adalah keseluruhan aturan hukum termasuk asas hukum dan norma hukum, baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis termasuk putusan pengadilan. Mengacu pada Pasal 2 UU Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, Lembaga Pemasyarakatan bisa menjadikan seseorang menjadi lebih jahat lagi atau bahkan menjadi seseorang yang lebih baik. Masih banyaknya mantan Narapidana yang kembali masuk ke Lapas Klas IIA Denpasar, menyebabkan tujuan dari sistem pemasyarakatan belum dapat terwujud. Budaya hukum menunjukan adanya kepandaian, hukum, moral dan termasuk kepercayaan. Stigma masyarakat yang cenderung tidak percaya terhadap mantan Narapidana sulit diubah, sehingga mantan narapidana tersebut kesulitan untuk hidup di luar Lapas yang pada akhirnya lebih memilih untuk kembali ke dalam Lapas. Hal tersebut dikuatkan dengan pernyataan dari Warga Binaan Pemasyarakatan di Lapas Klas IIA Denpasar, yaitu Ibu Lasmana pada hari Selasa tanggal 14 April 2015 di Lapas Klas IIA Denpasar Pukul 09.15 Wita, bahwa Ibu



71



Lasmana terlibat dalam kasus pengedaran narkotika tingkat internasional dan tertangkap di Bandar Udara Ngurah Rai Denpasar. Selama 1 tahun menjalani pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar, Ibu Lasmana mengatakan proses pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar masih belum efektif karena masih banyaknya pengguna sabu di dalam Lapas Klas IIA Denpasar khususnya wisma perempuan. Selain itu pada saat menjalani proses MAPENALING, hanya di tempatkan di dalam wisma dan diamkan selama satu minggu. Kegiatan pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar hanya diikuti oleh beberapa Warga Binaan Pemasyarakatan saja dan tidak ada sanksi tegas dari petugas sipir terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang tidak mengikuti kegiatan di Bengkel Kerja. Selanjutnya ibu Lasmana menambahkan, Lembaga Pemasyarakatan dapat membuat seseorang menjadi lebih baik atau bahkan menjadi lebih buruk. Berdasarkan ungkapan narasumber yang berbeda, seperti pernyataan Bapak Edik sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan Lapas Klas IIA Denpasar pada wawancara hari Selasa tanggal 14 April 2015 pukul 10.02 Wita di Lapas Klas IIA Denpasar, bahwa Edik sudah menjalani proses pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar selama 2 tahun karena terlibat kasus pembunuhan berencana. Edik menjelaskan, pada saat di masukan kedalam Wisma untuk mengikuti MAPENALIG,



edik



melakukan



perkenalan



dengan



anggota



wisma.



Selanjutnya,kegiatan di bengkel kerja hanya diikuti oleh Warga Binaan Pemasyarakatan yang baru masuk Lapas Klas IIA Denpasar. Sementara, Warga Binaan Pemasyarakatan yang sudah lama lebih memilih diam di dalam wisma bahkan ada yang melakukan judi. Edik membenarkan bahwa masih banyak Warga



72



Binaan Pemasyarakatan yang menggunakan narkoba jenis sabu dan pemakaian alat telepon genggam, bahkan banyaknya organisasi masyarakat (ORMAS) di dalam Lapas seperti misalnya “Pemuda Bali Bersatu”. Ia selaku wakil ketua dari ormas tersebut mendapatkan fasilitas berupa ruang wisma sendiri yang dilengkapi dengan radio atau televisi. Pembinaan di dalam Lapas Klas IIA Denpasar menurutnya belum efektif karena masih adanya napi yang lebih berkuasa dari petugas sipir. Dari ketiga elemen hukum baik struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum masyarakat yang belum dapat terpenuhi, maka dapat diketahui bahwa penyelenggaraan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar belum efektif. Relevan dengan teori efektivitas hukum, Romli Atmasasmita mengatakan faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.48 Narapidana merupakan mereka yang melakukan tindak pidana dan menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan. meskipun mereka telah melakukan tindak pidana, namun mereka tetap mempunyai hak yang wajib mereka dapatkan serta wajib dihormati oleh siapapun.49 Dalam melakukan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan yang tidak terlepas adalah



48



Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Bandung, Mandarmaju, hal.55. 49



Mangasa Sidabutar, 2001, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.17.



73



pemenuhan hak dan kewajiban mereka sebagai manusia. Kewajiban warga binaan pemasyarakatan adalah mentaati segala peraturan yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan, sementara hak-hak mereka antara lain, hak mendapatkan pelayanan kesehatan, hak untuk mendapatkan makanan yang layak, informasi dan sebagainya. Dilaksanakan



program



pembinaan



kepada



warga



binaan



pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar adalah tujuan dari sistem pemasyarakatan tersebut dimana sesudah mereka menjalani seluruh proses pembinaan di Lapas dan telah dinyatakan bebas, diharapkan mereka agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar yang baik dan bertanggung jawab.



BAB IV FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA



4.1. Faktor Penghambat dalam Penyelenggaraan Pembinaan terhadap Narapidana. Lembaga Pemasyarakatan ( Lapas ) sebagai institusi yang menampung dan melakukan pembinaan terhadap para pelaku kejahatan (narapidana) hendaknya harus memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses pembinaan atau pemasyarakatan itu sendiri. Tersedianya fasilitas yang memadai di dalam Lembaga Pemasyakaratan menjadi faktor yang sangat penting dalam menjalankan fungsi Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan terhadap narapidana. Secara umum jumlah penghuni di Lembaga Pemasyarakatan seluruh indonesia telah melebihi daya tampung yang semestinya (over kapasitas).50 Akibat dari penghuni yang melebihi daya tampung di Lembaga Pemasyarakatan, terdapat Lembaga Pemasyarakatan anak yang kemudian separuh lokasinya digunakan untuk menampung narapidana dewasa. Bahkan terdapat pula Lembaga Pemasyarakatan yang sekaligus menampung narapidana dewasa lakilaki, dewasa perempuan, tahanan, dan narapidana anak. Dibeberapa Lembaga



50



A Josias dan R-Thomas Sunaryo, Op.cit, hal.129.



74



75



Pemasyarakatan lain diperkirakan jumlah penghuni yang melebihi kapasitas adalah akibat banyaknya kasus-kasus penyalahgunaan narkoba dan perjudian yang ditangkap.51 Secara umum, Lembaga Pemasyarakatan mengalami beberapa faktor yang dapat menghambat proses pembinaan, selain tidak seimbangnya penghuni terhadap Lembaga Pemasyarakatan, keadaan minimnya dana untuk kesehatan juga dijumpai dibeberapa Lembaga Pemasyarakatan, antara lain tidak terdapatnya poliklinik dan dokter di Lembaga Pemasyarakatan.52Permasalahan di tubuh Lembaga Pemasyarakatan tidak dapat teratasi dengan mudah mengingat minimnya dana untuk membuat Lembaga Pemasyarakatan baru dan terbatasnya lahan yang bisa digunakan untuk membuat Lembaga Pemasyarakatan baru.53 Lembaga Pemasyarakatan



Klas IIA Denpasar yang dipilih sebagai



tempat penelitian merupakan salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang mengalami keadaan over kapasitas hingga saat ini dan mengalami beberapa faktor penghambat proses pembinaan bagi narapidana. Permasalahan over kapasitas menjadi sulit diatasi mengingat tingginya tingkat kriminalitas dan keterbatasan dana untuk membuat Lembaga Pemasyarakatan yang baru di daerah Denpasar. Melakukan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan bukanlah suatu hal yang mudah dan merupakan tantangan dari waktu ke waktu bagi setiap Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas 51



A Josias dan R-Thomas Sunaryo, Op.cit, hal.30



52



A Josias dan R-Thomas Sunaryo, Loc.cit



53



A Josias dan R-Thomas Sunaryo, Loc.cit



76



adalah instansi yang sangat berperan penting dalam memasyarakatkan kembali para narapidana sebagai bagian akhir sistem peradilan pidana di Indonesia. Hasil dari wawancara yang dilakukan penulis dengan Bapak I Wayan Agus Miarda selaku Kepala Satuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan ( Ka. PLP) Lapas Klas IIA Denpasar pada hari Kamis tanggal 16 April 2015 di ruangan Ka.PLP Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, ditemui beberapa faktor penyebab yang dapat menghambat pelaksanaan sistem keamanan dan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan seperti : 1. Tidak



seimbangnya



jumlah



petugas



pengamanan



Lembaga



Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dengan jumlah warga binaan pemasyarakatan, sehingga pelaksanaan sistem keamanan menjadi tidak maksimal 2. Terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung pengamanan di Lapas Klas IIA Denpasar seperti kurangnya jumlah kamera pengamanan (CCTV), tidak tersedianya alat pendeteksi logam (metal detector), dan senjata pengamanan bagi petugas pengamanan Lapas Klas IIA Denpasar. Selanjutnya, Bapak I Wayan Putu Sutresna,Amd.IP,SH.,MH selaku Kasi.Binadik ( Bimbingan dan Anak Didik ) Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dalam wawancara pada hari Kamis tanggal 16 April 2015, menyebutkan faktor penghambat lainnya di Lapas Klas IIA Denpasar. Yaitu : 1. Keadaan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar yang mengalami over kapasitas (tidak memadai daya tampung Lembaga Pemasyarakatan



77



dibandingkan



jumlah



warga



binaan



pemasyarakatan).



Lembaga



Pemasyarakatan memiliki kapasitas daya tampung sebanyak 336 orang, sedangkan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan di Lapas Klas IIA Denpasar hingga saat ini berjumlah 900 orang. Melihat kondisi ini, Lapas Klas IIA Denpasar sudah mengalami over kapasitas sebesar 300 %. 2. Tidak semua warga binaan pemasyarakatan bersedia mengikuti pembinaan yang diprogramkan di Lembaga PemasyarakatanKlas IIA Denpasar. Dalam hal ini hanya Warga Binaan Pemasyarakatan barulah yang mengikuti program pembinaan, sementara yang lainnya lebih memilih tinggal di dalam wisma. Meski demikian, hal ini akan berdampak pada penilaian petugas sipir kepada warga binaan pemasyarakatan yang bersangkutan. 3. Keterbatasan sarana dan prasarana yang mendukung proses pembinaan. Semenjak kerusuhan yang terjadi pada tahun 2012 lalu, banyak sarana dan prasarana yang ikut terbakar. 4. Kurangnya tenaga pengajar pembinaan, hal ini berkaitan dengan kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di Lapas Klas IIA Denpasar. 5. Kurangnya tingkat kesejahteraan yang dirasakan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan.



kesejahteraan



memang



bersifat



relatif,



tingkat



kesejahteraan setiap warga binaan pemasyarakatan berbeda satu sama lain. Salah satunya yaitu, banyaknya keluhan kepada petugas sipir terkait dengan kesehatan warga binaan pemasyarakatan.



78



4.2



Upaya yang Telah dilakukan Oleh Lapas untuk Meminimalisir Faktor Penghambat Tugas



pokok



dan



Fungsi



Lembaga



Pemasyarakatan



adalah



melaksanakan pembinaan kepribadian dan kemandirian yang di tunjang dengan keamanan, antara pembinaan dan keamanan seperti satu mata uang yang tidak dapat di pisahkan, yaitu jika keadaan aman pembinaan di depan dan keamanan membantu,serta jika keadaan darurat keamanan di depan dan pembinaan yang membantu. Direktorat Jendral Pemasyarakatan mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pemasyarakatan. Disamping tugas pokok tersebut, Lembaga Pemasyarakatan juga mempunyai tugas pelayanan dan perawatan, yaitu terkait dengan pelayanan kesehatan dan makanan. Pada dasarnya, segala proses penyelenggaraan Pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar tidak akan berjalan secara maksimal apabila tidak ada peran serta dari pemerintah terkait seperti kementerian hukum dan Ham. Peran serta tersebut dapat berbentuk suatu kebijakan yang dilakukan agar dapat tercapainya tujuan yang diharapkan. Berbicara mengenai kebijakan, Menurut Carl Friedrich: Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari



79



peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.54 Sehubungan dengan itu berdasarkan hasil wawancara Bapak I Wayan Putu Sutresna, Amd.IP,SH.,MH selaku Kasi Bimbingan dan anak didik (BINADIK) Lapas Klas IIA Denpasar pada hari SeninTanggal 20 April 2015 Pukul 10.15 Wita,



bahwa pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal



Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) telah banyak memberikan sutau kebijakan terkait dengan pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar diantaranya dengan memperketat penjagaan di Lapas Klas IIA Denpasar, mengadakan sidak baik sidak secara rutin maupun sidak dadakan. Selain itu, Pemerintah Daerah juga sudah membantu dalam Penyaluran dana untuk Lapas Klas IIA Denpasar, saat ini Lapas Klas IIA Denpasar sudah mendapat saluran dana untuk perbaikan gedung akibat kerusuhan yang terjadi pada tahun 2012 lalu. Di sisi lainnya, menurut pernyataan Bapak I Wayan Agus Miarda selaku Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas Klas IIA Denpasar dalam wawancara pada hari Senin tanggal 20 April 2015 Pukul 11.25 Wita, bahwa terkait dengan kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini banyaknya sidak yang



dilakukan



oleh



Kementerian



Hukum



dan



Hak



Asasi



Manusia



(Kemenkumham). Dalam setiap pelaksanaan sidak, dilakukan pemeriksaan baik



54



Ali Imron, 2002,Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, Jakarta, PT Bumi Aksara, hal. 37.



80



dari administrasi maupun langsung melakukan pengecekan langsung ke dalam wisma. Melihat adanya faktor penghambat jalannya proses pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan, pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar sebagai institusi yang melakukan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan sudah tentu memiliki langkah atau upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang dapat menghambat jalannya proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan seperti yang telah dijelaskan diatas. Upaya-upaya yang dilakukan tidak lain adalah tindakan seadanya yang mampu dilakukan petugas pembinaan maupun pengamanaan mengingat kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang sudah mengalami over kapasitas. Dari hasil wawancara dengan Bapak Mikha Simanjuntak, SH selaku staff bimkesmaswat ( Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan ) pada hari Senin, 20 April 2015 pukul 09.05 Wita di ruangan Bimkesmaswat Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, bahwa sejauh ini upaya-upaya yang telah dilakukan Lapas Klas IIA Denpasar, bahwa sejauh ini upaya-upaya yang telah dilakukan Lapas Klas IIA Denpasar dalam mencegah hambatan proses pembinaan meliputi : 1.



Memaksimalkan pengamanan terhadap Lapas Klas IIA Denpasar melalui penempatan titik rawan seperti dimenara penjagaan atas, tembok pembatas, dan didalam wisma hunian



2.



Mengajukan permohonan penambahan petugas pengamanan kepada kantor Wilayah Hukum dan Ham Provinsi Bali (Kanwil Hukum dan Ham)



81



3.



Petugas pengamanan meminta bantuan kepada staff bagian umum untuk membantu mengawasi penjagaan di sekitar Lapas mengingat minimnya jumlah petugas di bidang pengamanan



4.



Petugas di bidang pembimbingan dibantu dengan petugas pengamanan melakukan pendekatan secara halus kepada warga binaan yang tidak bersedia mengikuti program pembinaan



5.



Kekurangan tenaga pengajar keterampilan dibidang melukis membuat pegawai Lapas Klas IIA Denpasar turut serta memberikan pengajaran semampunya.



4.3 Upaya yang dapat dilakukan untuk Memaksimalkan Pembinaan Narapidana. Berbagai permasalahan yang ada di Lapas Klas IIA Denpasar, menyebabkan Penyelenggaraan pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar belum berjalan secara maksimal. Jika dikaitkan dengan teori efektivitas hukum yang disampaikan oleh Soerjono Soekanto, adanya faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, antara lain :55 1. Faktor hukumnya sendiri, yakni didalam Peraturan Perundang-undangan 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum



55



Soerjono Soekanto, Loc.cit.



82



4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup Adapun kelima faktor penegakan hukum tersebut belum diterapkan secara maksimal. Hal ini dapat diketahui dari faktor penegak hukum yaitu petugas Sipir yang belum tegas dalam membina narapidana sehingga masih banyak Warga Binaan Pemasyarakatan Lapas Klas IIA Denpasar yang tidak mengikuti kegiatan di bengkel kerja, adanya Petugas Sipir yang menjadi oknum kurir pengedaran narkoba di Lapas Klas IIA Denpasar, sarana dan prasana yang terbatas sampai pada stigma masyarakat yang belum dapat menerima mantan narapidana. Pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana dapat dikatakan berhasil apabila tujuan dari pembinaan yang diamanatkan Pasal 2 UU Pemasyarakatan dapat tercapai, yaitu mengembalikan narapidana menjadi manusia seutuhnya dan dapat kembali dalam lingkungan masyarakat. Guna mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan suatu upaya yang dapat dilakukan dalam memaksimalkan pelaksanaan pembinaan narapidana di Lapas Klas IIA Denpasar. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Agus Miarda pada hari Jumat tanggal 17 April 2015 di Lapas Klas IIA Denpasar, adapun Upaya yang dapat dilakukan antara lain :



83



1. Pengurangan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan



dengan pemberian



Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarat dan Cuti Mengunjungi Keluarga yang saat ini sudah mulai diterapkan Lapas Klas IIA Denpasar 2. Penambahan SDM di Lapas Klas IIA Denpasar dalam hal ini adalah petugas Sipir agar pengawasan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dapat dilakukan secara maksimal Selanjutnya, Bapak I Wayan Putu Sutresna Amd.IP,SH.,MH dalam wawancara pada Hari Jumat tanggal 17 April 2015, adapun kebijakan yang dapat dilakukan dalam memaksimalkan pelaksanaan pembinaan narapidana, antara lain : 1. Akan di buat Kartu Brezzi yang bekerjasama dengan Bank BRI berfungsi sebagai alat pembayaran Warga Binaan Pemasyarakatan layaknya seperti kartu ATM, pembuatan kartu breezi ini di harapkan dapat meminimalisir pengedaran uang di Lapas untuk membeli hal-hal yang tidak di inginkan, contoh : narkoba di dalam Lapas 2. Perlunya kerjasama dengan banyak pihak seperti LSM, tokoh masyarakat, Konsulat setiap negara, dll 3. Perlu dikurangi interpensi atau ikut campur dari pihak lain, seperti misalnya instansi dalam tindak pidana korupsi, sehingga narapidana merasa di pidana lebih dari dari satu kali 4. Adanya sosialisasi terhadap masyarakat agar mau menerima mantan narapidana di lingkungan masyarakat luas



84



5. Perlu kebijakan khusus bagi Narapidana. Misalnya dalam pembuatan SKCK, sehingga mantan narapidana tersebut tetap dapat bekerja di lingkup masyarakat. Mengenai Upaya yang adapat dilakukan dalam memaksimalkan pembinaan terhadap narapidana tidak hanya mengandalkan Kementerian Hukum dan Ham khususnya Petugas Sipir. Namun, memang di rasa perlu kerjasama segala komponen baik aparatur negara maupun masyarakatan luas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak Ida Bagus Sedana, SH selaku Kasi pencegahan BNN Kota Denpasar dalam wawancara pada hari kamis tanggal 16 April 2015 pukul 13.00 Wita di kantor BNN Kota Denpasar. Adapun menurutnya upaya yang dapat dilakukan, antara lain : 1. Lembaga Pemasyarakatan harus dikembalikan pada fungsi Lapas yang disebutkan dalam UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 2. Pelaku teknis dengan auditor harus berkoordinasi 3. Narapidana harus di tempatkan berdasarkan kasusnya. Contoh : narapidana dengan kasus narkoba berada di dalam satu wisma agar, narapidana dengan kasus lain tidak menjadi pecandu narkoba 4. Perlunya komponen dari masyarakat luas 5. UU yang menjadi dasar Lembaga Pemasyarakatan sudah bagus, hanya saja perlu penegakan yang maksimal dari apatur penegak hukum.



BAB V PENUTUP 5.1



Kesimpulan Berdasarkan uraian sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka dapat



ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kondisi pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dapat dikatakan tidak berjalan dengan maksimal. Hal ini dibuktikan dengan keterbatasan sarana dan prasarana penunjung program pembinaan, keadaan Lapas yang mengalami over kapasitas, tidak semua Warga Binaan Pemasyarakatan bersedia mengikuti program pembinaan, Banyaknya Warga Binaan Pemasyarakatan yang menggunakan narkoba di dalam Lapas, oknum petugas sipir yang kedapatan melakukan pungutan liar, dan yang terakhir kurangnya petugas pemasyarakatan di bidang pembinaan serta tenaga pengajar program pembinaan keterampilan melukis sehingga sistem pemasyarakatan tidak berjalan baik di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. 2. Untuk mencapai tujuan dari sistem Pemasyarakatan yang diamanatkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, maka upaya yang dapat dilakukan terhadap pembinaan narapidana di Lapas klas IIA Denpasar, yaitu : pengurangan jumlah peredaran uang di Lapas dengan



pembuatan



kartu



brezzi,



penempatan



Warga



Binaan



Pemasyarakatan berdasarkan kasus, sosialisasi kepada masyarakat agar



85



86



dapat merubah stigma terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan, sehingga mantan narapidana dapat diterima kembali di masyarakat.



5.2



Saran 1. Narapidana yang menjalani hukuman di bawah 3 bulan hendaknya tidak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan, melainkan dengan cara merehabilitasi di suatu tempat dengan memindahkan Warga Binaan Pemasyarakatan yang ada di luar Bali agar over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar bisa diatasi. 2. Diperlukan penambahan petugas dibidang pengamanan dan alat-alat pengamanan seperti kamera pengawas (CCTV) , alat pendeteksi logam (metal detektor), dan senjata pengamanan di Lapas Klas IIA Denpasar agar pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan dapat berjalan dengan maksimal serta tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran atau penyimpangan. Pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar harus menemukan suatu solusi untuk mengatasi apabila terdapat Warga Binaan Pemasyarakatan yang tidak bersedia mengikuti. Sehingga Warga Binaan Pemasyarakatan mendapatkan pembekalan hidup selama mengikuti pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, tidak mengulangi tindak pidana, serta dapat diterima kembali di dalam masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Abidin, Muhammad Zainal & Kurniawan Edy, I Wayan,2013, Catatan Mahasiswa Pidana, Indie Publishing, Depok. Abdulkadir, Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Abdulrahman, Soejono, H.2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Ali Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-undang (LegisPrudence) Volume I Pemahaman Awal. Kencana, Jakarta. Arief, Barda Nawawi, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung --------------2008,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana ( Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru ), kecana Prenada Media Grup, Jakarta. Apeldoorn Van, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. AtmasasmitaRomli, 1996, Beberapa Catatan Isi Naskah RUU Pemasyarakatan, Rineka, Bandung. ----------------- 2001, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Bandung. Departemen Pendidkan Nasional, 2002,Kamus Besar Bahasa Indonesia( edisi ketiga), Balai Pustaka, Jakarta. Dipradja, R.Achmad S.Soema,Romli Atmasasmita,1979, Sistim Pemasyarakatan di Indonesia, Percetakan Ekonomi, Bandung. Fakultas Hukum, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. Hamzah, Andi, 1983, Tinjauan Ringkas Sistem Pemindanaan di Indonesia, cetakan pertama, November, Jakarta. Harsono CI , 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta.



Imron, Ali. 2002. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara. Kansil C.S.T, Dan Christine S.T Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana Untuk Tiap Orang. Cetakan Kedua, PT Pradnya Paramita.Jakarta. Mamuji, Sri.2004, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Pradnya Paramita, Jakarta. Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung. Prodjodikoro, Wirjono, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT Eresco, Bandung. Samosir Djisman, 1982, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pembinaan Narapidana di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta Shadily Hassan, 1989, Sosiologi Untuk Orang Indonesia, PT Pembangunan, Jakarta. Simon, R A Josias dan Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung. Soekanto Soerjono, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Bandung. ----------------------- 2007, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo, Jakarta. ----------------------- Sri Mamuji, 1998, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta. Soedjono, 1972, Kisah Penjara-Penjara di Berbagai Negara, Alumni, Bandung. Soerjobroto Bahroedin, 1969, The Treatment Of Offenders, Undip, Semarang. ---------------------- 1991, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Pemasyarakatan, Departemen kehakiman RI, Jakarta. Syahrini Riduan, 1999, Rangkuman Intisari Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.



2.



Peraturan Perundang-undangan



Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-undang Nomor.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Peraturan Pemerintah No.31 tahun 1999 tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan. 3. Internet Http:/Wikipedia.com/Lembaga Pemasyarakatan/, di akses pada tanggal 5Oktober 2014 Http://id.m.wikipedia.org/wiki/lembaga_pemasyarakatan_Kerobokan/, di akses pada tanggal 20 Oktober 2014. Http ://online-hukum-blogspot.com/2011/01/pengertian-tentang-sistem.html/ di akses pada tanggal 2 Februari 2015. Http :// polsuspas.wordpress.com/2011/01/05/sejarah-sistem-pemasyarakatan/di akses pada tanggal 2 Februari 2015. Http://sejarah.kompasiana.com/2010/07/21/sejarah-dari-penjara-ke-LAPAS-napijuga-manusia/di akses pada tanggal 2 Februari 2015. Http://Regional.kompas.com/read/2012/02/22/08252280/, diakses pada tanggal 20 Oktober 2014



DAFTAR INFORMAN



1. Nama Jabatan



:



I Wayan Agus Miarda, A.Md.IP.SH



:



Kepala Satuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan



:



Rumah Dinas Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan,



Kerobokan Alamat



Jln. Tangkuban Perahu 2. Nama Jabatan



:



I Wayan Putu Sutresna,Amd.IP.SH.,MH



:



Kasi Bimbingan dan Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan



Alamat



:



Rumah Dinas Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan No.5, Jl.Gunung Tangkuban Perahu, Kerobokan, Kuta Badung.



3. Nama Jabatan



:



Dewa Gede Astara,SH.MH



:



Ka.Sub Bagian Tata Usaha Lembaga Pemasyarakatan



Kerobokan Alamat



:



Rumah Dinas Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan Jl.Gunung Tangkuban Perahu, Kerobokan, Kuta Badung.



4. Nama Jabatan



:



Mikha Simanjuntak, SH



:



Staff Pegawai Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan



Alamat



:



Rumah Dinas Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan Jl.Gunung Tangkuban Perahu, Kerobokan, Kuta Badung.



5. Nama Jabatan



:



Ida Bagus Sedana, SH



:



Kasi. Pencegahan BNN Kota Denpasar



DAFTAR RESPONDEN



6. Nama



:



Lasmana



Umur



:



46 Tahun



Kasus



:



Peredaran Narkotika



Asal



:



Ci Amis, Jawa Barat



7. Nama



:



Edik



Umur



:



23 Tahun



Kasus



:



Pembunuhan Berencana



Asal



:



Tanggerang, Banten



EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR Oleh Ni Made Destriana Alviani Prof. Dr. I Ketut Mertha,SH.,M.Hum I Made Tjatrayasa,SH.,MH Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana



Abstract The writing is titled effectiveness of correctional institutions in coaching Inmates on the Review of the Act No. 12 of 1995 concerning Corrections. In principle, all convicted person undergoing criminal court ruling, after going through the next convict placed in correctional institutions, however a lot of institutions going constraints, such as the concerned correctional facility condition, and also in terms of the construction of the inmates. As for the goals of this research is to gain an understanding of the effectiveness of the correctional institutions inmates in coaching. Research methods used are empirical juridical. venue construction begins with the construction of the stage, stage of assimilation and integration phase. As for policies that can be applied by the Government in the days to come, among others, a reduction in the number of People in our Prisons, making a breezi card, there is a socialization against society. Based on the research results can be drawn the conclusion that the condition of the Building construction of prisons in Klas II A Denpasar correctional facility can be said not to walk with maybe this is evidenced by the large number of problems still occur in Klas II A Denpasar prison staff. Key Word : Key words: Effectiveness, Correctional Institutions, prisoner, Treatment Abstrak Penulisan ini berjudul Efektivitas Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar.Pada prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana setelah melalui putusan pengadilandi tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan, Namun dalam lembaga ini banyak terjadi kendala, seperti kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang memperihatinkan, dan juga dalam hal pembinaan narapidana. Adapun tujuan yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris. penyelenggaran pembinaan dimulai dengan tahap pembinaan, tahap asimilasi dan tahap integrasi.



1



Adapun kebijakan yang dapat diterapkan oleh pemerintah di masa yang akan datang antara lain Pengurangan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan, pembuatan Kartu Brezzi, Adanya sosialisasi terhadap masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan yaitu Kondisi pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Lapas Klas II A Denpasar dapat dikatakan tidak berjalan dengan maksimal hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya permasalahan yang terjadi di Lapas Klas II A Denpasar Kata Kunci :Efektivitas, Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana, Pembinaan



I. 1.1



PENDAHULUAN Latar Belakang Pada prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana, hilang



kemerdekaannya setelah di putuskan melalui putusan pengadilan, yang selanjutnya terpidana di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai narapidana untuk disana kembali di proses sesuai dengan hukum yang berlaku agar nantinya dapat kembali hidup bermasyarakat. Namun dalam lembaga ini banyak terjadi kendala, seperti kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang memperihatinkan,



dan



juga



dalam



hal



pembinaan



narapidana.Adapun



permasalahan yang diangkat adalah Bagaimanakah Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar saat ini. Apa yang menjadi faktor penghambat dalam pembinaan narapidana dan bagaimana upaya penanggulangannya ? 1.2



Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui dan menganalisis



penyelenggaraan pembinaan terhadap Narapidana di Lapas Klas IIA Denpasar serta untuk mengetahui upaya penanggulangan yang dapat dilakukan dalam memaksimalkan pembinaan narapidana. II.



ISI MAKALAH



2.1



Metode Penelitian



2



Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis empiris yaitu terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektivitas hukum.56sehingga dalam penyusunannya dilakukan dengan penelitian lapangan yang memanfaatkan data-data primer dari hasil wawancara dan observasi yang didukung dengan data sekunder. 2.2



Hasil dan Pembahasan



2.2.1 Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar Lapas Klas II A Denpasar merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan narapidana yang bernaung di bawah kantor wilayah kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Propinsi Bali. Lembaga Pemasyarakatan ini baru di Resmikan pada tanggal 15 Agustus 1983. Proses



pembinaan



yang



dilakukan



terhadap



Warga



Binaan



Pemasyarakatan dimulai saat pertama kali narapidana tersebut masuk Lapas yang kemudian dilakukan pemeriksaan fisik sampai pada pada registrasi. Untuk tahap selanjutnya, Warga Binaan Pemasyarakatan ditempatkan dalam wisma khusus untuk menjalani proses Masa Pengenalan Lingkungan (MAPENALING) selama 7 hari (satu minggu). Setelah menjalankan proses MAPENALING, maka Warga Binaan Pemasyarakatan akan di masukan kedalam wisma untuk selanjutnya menjalankan proses pembinaan, yang terbagi ke dalam :



56



Bambang Sunggono, 2009, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.41.



3



4. Tahap pembinaan, dilaksanakan pada 1/3 (satu per tiga) sampai ½ (satu per dua) dari masa pidana, pada tahap ini pengawasan dilakukan sangat ketat (maximum security). 5. Tahap asimilasi, pelaksanannya dimulai ½ (satu per dua) sampai 2/3 (dua per tiga) dari masa pidana. Pada tahap ini pembinaan mulai dilakukan di dalam LAPAS ataupun di luar LAPAS. Pada tahap ini pengawasan agak berkurang (medium security). 6. Tahap integrasi, dilaksanakan setelah warga binaan pemasyarakatan menjalani 2/3 (dua pertiga) masa pidana sampai dengan berakhirnya masa pidana. Pada tahap ini pengawasan sudah sangat berkurang (minimum security) Pada dasarnya, pemberian pembinaan di LapasKlas II A Denpasar sudah mengacu pada prosedur yang ada yaitu UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai dasar acuan pemberian Pembinaan dan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, dalam beberapa hal masih saja ditemukan ketimpangan selama proses pembinaan di dalam Lapas tersebut.Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) merupakan miniatur dari masyarakat luar, dengan kata lain apa yang ada di masyarakat luar pasti ada di dalam Lapas. Hal ini berarti masih adanya penggunaan narkoba di dalam Lapas, Tawuran antar wisma bahkan sampai pada oknum petugas sipir yang kedapatan melakukan pungli atau membiarkan narkoba masuk kedalam Lapas. Saat dilakukan Sidak, pernah kedapatan alat pembuatan narkoba secara manual di dalam wisma LapasKlas II A Denpasar.



4



Jika mengacu pada teori efektivitas hukum yang menyebutkan efektivitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum baik penegak hukum, substansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga tidak terjadi ketimpangan antara das solen dan das sein.57 Dari ketiga elemen hukum baik struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum masyarakat yang belum dapat terpenuhi, maka dapat diketahui bahwa penyelenggaraan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar belum efektif. 2.2.2 Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Di Lembaga



Pemasyarakatan



Klas



Iia



Denpasar



Dan



Upaya



Penanggulangannya Secara umum, Lembaga Pemasyarakatan mengalami beberapa faktor yang dapat menghambat proses pembinaan, selain tidak seimbangnya penghuni terhadap Lembaga Pemasyarakatan, keadaan minimnya dana untuk kesehatan juga dijumpai dibeberapa Lembaga Pemasyarakatan. antara lain tidak terdapatnya poliklinik dan dokter di Lembaga Pemasyarakatan.58 Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Klas II A Denpasar merupakan salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang mengalami keadaan over kapasitas hingga saat ini dan mengalami beberapa faktor penghambat proses pembinaan bagi narapidana yaitu Tidak semua warga binaan pemasyarakatan bersedia 57



Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legis Prudence) Volume 1 Pemahaman Awal, Kencana, Jakarta,hal.225. 58



A Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung,hal.129.



5



mengikuti pembinaan yang diprogramkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar, Keterbatasan sarana dan prasarana, Kurangnya tenaga pengajar pembinaan. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan pembinaan narapidana di lapas Klas IIA Denpasar antara lain Pengurangan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan, pembuatan Kartu Brezzi, Adanya sosialisasi terhadap masyarakat. III KESIMPULAN Kondisi pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar dapat dikatakan tidak berjalan dengan maksimal. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya permasalahan yang terjadi di LapasKlas II A Denpasar seperti masih banyak narapidana yang menggunakan narkoba di dalam Lapas serta terdapat pungutan liar yang dilakukan oknum sipir LapasKlas II A Denpasar. Selain itu upaya yang dapat dilakukan terhadap pembinaan narapidana, yaitu : pengurangan jumlah peredaran uang di Lapas dengan pembuatan kartu brezzi, penempatan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan kasus.



6



DAFTAR PUSTAKA BUKU Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legis Prudence) Volume 1 Pemahaman Awal, Kencana, Jakarta. Atmasasmita, Romli, 2001, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Bandung. Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung. Sunggono, Bambang, 2009, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.



PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Peraturan Pemerintah No.31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.



7