Contoh Skenario Konseling Individu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

CONTOH SKENARIO KONSELING INDIVIDU Skenario konseling ini Anggi buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknik dan Laboratorium BK 1 pada saat semester 3 dulu. Ini merupakan kasus rekaan, namun terinspirasi dari kasus nyata. Skenario ini belum sempurna, namun tak ada salahnya untuk dijadikan referensi kawan-kawan yang juga mempunyai tugas yang sama, terutama untuk Mahasiswa jurusan Bimbingan dan Konseling di Universitas Bengkulu.. di baca yahh....(^_^)



Tugas Individu Teknik dan Lab. BK 1



Oleh : Nama : Anggi Cahya Trisnawati NPM : A1LO10004 Dosen : Prof.Dr.Pudji Hartuti, Psi. PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING



FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN



UNIVERSITAS BENGKULU 2011



Biodata Klien Nama



: Amira Kusnanda (Nama samaran)



Jenis Kelamin



: Perempuan



Tempat/Tgl lahir



: Bengkulu,12 September 1993



Pekerjaan



: Pelajar kelas 3 SMA



Umur



: 18 tahun



Agama



: Islam



 Latar belakang klien Amira adalah seorang siswi kelas tiga di sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di kota Bengkulu. Ia merupakan anak sulung dari dua bersaudara pasangan suami istri, Sulaiman dan Ningsih. Mempunyai seorang adik perempuan yang masih berumur 5 tahun. Ayahnya bekerja sebagai pegawai swasta sebuah PT perkebunan. Sedangkan ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga biasa.



 Deskripsi kasus “Perselingkuhan dengan rekan kerja” Pernikahan adalah momen membangun kehidupan baru bersama pasangan. Suka duka akan dihadapi berdua, sebisa mungkin tidak melibatkan pihak lain untuk menyelesaikan masalah. Namun masalah rumah tangga kadang tidak sesederhana yang dihadapi ketika masih pacaran. Bukan cinta lagi yang dibutuhkan, tetapi komitmen untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Seperti pendapat psikolog Prof. Dr Sarlito Wirawan Sarwono, “Cinta paling lama bertahan tiga tahun, lalu hilang. Sisanya adalah komitmen, kesetiaan dan tanggung jawab.” Salah satu penyebab retaknya rumah tangga adalah perselingkuhan. Ancaman perselingkuhan selalu terbuka bagi siapapun, kapanpun dan dimanapun. Bahkan ikatan pertemanan tak jarang membuahkan ruang perselingkuhan.



Perselingkuhan itu sendiri biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah “Workaholic”. Hubungan pernikahan akan terasa hambar dan terasa sama saja dengan rutinitas hidup yang lain. Rasa hambar ini kelak akan berujung pada keinginan untuk mencari “selingan”. Siapa yang menjadi “selingan” tersebut? Kemungkinan besar adalah rekan kerja, partner bisnis atau siapapun yang biasa dijumpai saat bekerja atau beraktivitas. Frekuensi kebersamaan yang terlalu sering akan menumbuhkan benih-benih asmara. Hubungan yang semula bersifat profesional kemudian beralih menjadi jalinan cinta. Demikian yang dialami Sulaiman, ayah Amira. Awalnya ia yang sehariharinya bekerja sebagai karyawan di sebuah PT perkebunan merasa pekerjaannya terlalu mudah dan tidak membuat dia sibuk. Ia mencoba mencari pekerjaan sampingan. Akhirnya ia mendapat pekerjaan sampingan di sebuah bisnis Produk Multilevel. Ningsih, istri Sulaiman yang juga merupakan ibu Amira, merasa tidak nyaman dengan pekerjaan sampingan suaminya itu. Karena setelah rutin menjalani pekerjaan barunya itu, Sulaiman berubah menjadi orang super sibuk. Ia tak mempunyai banyak waktu lagi untuk berada di rumah, bercengkerama bersama keluarga. Bahkan makan malam bareng, kini jarang ia lakukan lagi karena ia selalu pulang larut malam dengan alasan sibuk dengan pekerjaan. Tak banyak yang diketahui Ningsih, apa yang dilakukan suaminya tersebut di luar, karena ia hanyalah seorang ibu rumah tangga yang bisa dibilang tidak pernah keluar rumah. Ketidak nyamanan Ningsih menjadi semakin besar ketika suatu hari ia memergoki di handphone suaminya terdapat “SMS mencurigakan” dari seorang wanita yang menurut penjelasan Sulaiman, wanita itu adalah rekan kerjanya. Awalnya Ningsih percaya saja dengan penjelasan suaminya itu, karena ia yakin suaminya bukan tipe orang yang suka “neko-neko”. Tapi, kecurigaan Ningsih semakin menjadi lantaran secara tidak sengaja ia mendengar percakapan suaminya dengan wanita itu melalui telepon. Kalau hanya sekedar rekan kerja, kenapa suaminya sering menelpon wanita itu lama-lama



dengan percakapan tidak wajar pula. Dan juga setiap pagi ketika suaminya belum bangun, ia sering mengecek handphone suaminya, dan ternyata di inbox handphone tersebut banyak terdapat SMS dari wanita itu. sungguh SMS yang tidak wajar! Mereka membuat janji untuk ketemu, jalan-jalan, dll. Akhirnya terbukti bahwa suaminya selingkuh dengan rekan kerjanya. Kejadian itu membuat Amira, putri sulung Sulaiman shock. Sebagai seorang remaja kelas tiga SMA, ia bisa melakukan hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri terlebih ketika ia sering mendapati ayah dan ibunya bertengkar. Prestasi di sekolahnya pun menjadi menurun. Ia sering bolos sekolah. Dalam pergaulan dengan teman-temannya, ia menjadi orang yang sengat pendiam dan tidak bergairah yang disebabkan karena terlalu banyak hal yang ada di pikirannya terutama masalah keluarganya tersebut. Hal ini ditakutkan akan mempengaruhi kondisi mentalnya sebagai remaja yang masih labil.



 Teori Yang Digunakan dalam Kasus ini 1. Teori Gestalt Membantu klien untuk selalu tegar dan kuat dalam menghadapi segala masalah yang dihadapinya. 2. Teori Psiko Analisis Menolong klien untuk tidak takut dalam menghadapi masalahnya.



 Skenario: 



Klien:



Skrip 1 Klien :



“Assalamualaikum. Selamat siang.” (Memberi salam)



Konselor:



“Walaikumsalam. Iya, selamat siang juga.” (Tersenyum)



“Benar, ini dengan Ibu Anggi Cahya Trisnawati, konselor yang buka praktek



di



sini?“ Konselor:



“Iya, saya sendiri. Apakah ini dengan Saudara Amira Kusnanda, yang kemarin telah membuat janji dengan sekretaris saya untuk konsultasi dengan saya?” Klien :



“Iya, Bu, benar!”



Konselor:



“Oh, iya, silahkan duduk! Emm, ada yang bisa saya bantu?”



Klien



“Iya, Bu, saya sedang ada masalah. Saya tidak bisa



:



memecahkannya.” “Bisa diceritakan, apa masalah Anda?”



Konselor: Klien:



“Jadi begini Bu, akhir-akhir ini Ayah dan Ibu saya sering sekali bertengkar, semenjak Ayah saya mempunyai pekerjaan sampingan di sebuah Produk Obat Multilevel. Pekerjaan tetap Ayah saya adalah sebagai karyawan swasta disebuah PT Perkebunan. Karena merasa masih sering mempunyai waktu luang dan dirasa pekerjaannya tersebut ringan, maka Ayah memutuskan mencari pekerjaan sampingan, yaa... sekedar untuk mengisi waktu luang. Nah, dia akhirnya dapat pekerjaan sampingan di produk obat multilevel. Setelah mendapat pekerjaan sampingan itulah, kata Ibu, Ayah selingkuh.” (tertunduk sedih)



Konselor:



“Saya bisa merasakan apa yang Anda rasakan. (Empati) Tapi bagaimana bisa Ibu Anda beranggapan kalau Ayah Anda selingkuh? Apakah ada bukti atas tuduhan tersebut?”



Klien:



“Ada Bu, Ibu saya pernah membaca SMS tidak wajar di handphone Ayah. Nah, dari situlah Ibu saya sering marah-marah dan akhirnya bertengkar dengan Ayah. Saya pusing sekali Bu, setiap melihat Ibu marah-marah.”



Konselor:



“Ooh, begitu yaa!(Paraphrasing) Emm, tadi Anda bilang bahwa Ibu Anda pernah membaca SMS tidak wajar di handphone Ayah Anda. Bisa diceritakan seperti apa bentuk SMS-nya?” (Eksplorasi)



Klien:



“Saya kurang tahu Bu, karena Ibu saya tidak pernah memperlihatkan SMS di handphone Ayah itu. Tapi yang jelas, SMS itu yang sering membuat Ibu saya marah-marah.”



Konselor:



“Oo, jadi Anda tidak tahu ya! Seperti apa bentuk SMS tersebut? (Paraphrasing) Ehem... tidakkah ada hal lain yang bisa membuat Ibu Anda marah-marah, selain hanya karena SMS?”



Klien:



Klien:



“Iya, ada Bu.”



Konselor:



“Apa itu? Bisa Anda ceritakan?” (Clarifying)



“Baiklah. Ayah saya sering sekali pulang malam, dan dia sangat sibuk. Jarang bisa kumpul-kumpul ataupun makan bersama keluarga. Padahal sebelumnya, sebelum Ayah mempunyai pekerjaan sampingan itu, Ayah tidak pernah sibuk, apalagi



sampai pulang malam. Hal itu yang menambah keyakinan Ibu saya kalau Ayah benar selingkuh.” Konselor:



“Apakah tuduhan Ibu Anda tersebut sudah pernah dibicarakan dengan Ayah Anda? Lalu bagaimana tanggapan Ayah Anda?” (Eksplorasi)



Klien:



“Sudah Bu, tapi Ayah santai saja tanggapannya. Dia bilang tuduhan Ibu itu salah. Soal SMS, itu hanya SMS dari rekan kerjanya yang menanyakan tentang pekerjaan. Terus, kalau sering pulang malam, itu memang karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Tapi Ibu saya tidak percaya dengan penjelasan Ayah saya tersebut. Ibu bilang, itu semua hanya alasan Ayah saja.”



Konselor:



“Apakah Ibu Anda tidak mencari bukti lain untuk memperkuat tuduhannya tersebut? Atau mengkin Anda sendiri yang mencari bukti itu?”



Klien:



“Iya Bu. Pernah suatu malam ketika Ibu saya sudah tidur, saya pernah memergoki Ayah menelpon seseorang. Awalnya saya pikir Ayah sedang menelpon Om Yusuf, teman kerja Ayah di kantor PT. Karena biasanya yang sering ditelpon Ayah tentang pekerjaan adalah Om Yusuf itu. Tapi kok kali ini ada yang lain. Sekilas terdengar suara wanita di suara handphone tersebut. Memang waktu Ayah saya sedang menelpon tidak di speaker, tapi karena waktu itu sudah cukup malam, jadi sedikit terdengar suara wanita itu, walaupun tidak terlalu jelas.” (Sedih)



Konselor:



“Lalu, apa yang Anda dengar dari pembicaraan itu?” (Eksplorasi)



Klien:



“Saya mendengar ada percakapan tidak wajar antara Ayah dengan wanita itu.”



Konselor:



“Percakapan tidak wajar?”



Klien:



“iya, Bu.”



Konselor:



“Lalu...” (Minimal Encouragement)



Klien:



“Mereka membuat janji, Bu.”



Konselor:



:Janji? Bisa Anda lebih perjelas lagi, janji seperti apa yang mereka buat?” (Clarifying)



Klien:



“Mereka membuat janji ketemuan dan jalan. Tapi saya tidak begitu tahu dimana mereka akan ketemuan. Yang jelas besok mereka akan ketemuan.”



Konselor:



“Terus?” (Minimal Encouragement)



Klien:



“Dan benar, ketika pagi harinya, pagi-pagi sekali Ayah saya sudah bersiap-siap. Ketika ditanya Ibu, katanya hari ini banyak kerjaan. Jadi harus berangkat cepat.”



Konselor:



“Apakah Anda diam saja? Tidak terpikirkah oleh Anda untuk mengikuti perginya Ayah Anda tersebut?” (Konfrontasi)



Klien:



“Yang pasti ada Bu, tapi keadaan tidak mendukung. Saya urungkan niat saya tersebut. Saya hanya memantau perkembangan keadaan selanjutnya.”



Konselor:



“Lalu... (Minimal Encouragement) Bagaimana selanjutnya?”



Klien:



“Hari itu Ayah saya pulang malam, saya sangat yakin kalau memang Ayah saya ketemuan dengan wanita tersebut.”



Konselor:



“Apakah Anda tahu, siapa wanita itu?”(Eksplorasi)



Klien:



“Wanita itu adalah teman kerjanya Ayah di produk obat multilevel itu. Nah, yang jadi masalah, bagaimana Saya bisa membuat Ayah Saya mengakui perbuatannya kalau memang benar dia selingkuh. Kalaupun tidak selingkuh, setidaknya dia sadar kalau perbuatannya itu salah dan tidak pantas dia lakukan mengingat statusnya sudah berkeluarga. Tidak pantaslah dia ketemuan dengan wanita seperti itu. Lalu, apa yang harus saya lakukan Bu? Pernah terpikir untuk menegur Ayah. Tapi saya takut..!” (Tertunduk)



Konselor:



“Jadi setelah kita berdiskusi beberapa waktu, alangkah baiknya jika kita simpulkan terlebih dahulu pembicaraan kita, biar lebih jelas hasil pembicaraan kita ini. Dari topik pembicaraan kita tadi, kita sudah sampai pada dua hal. Pertama, Anda ingin benar-benar memastikan apakah Ayah Anda selingkuh atau tidak, sekaligus untuk mencari bukti atas tuduhan Ibu Anda selama ini. Kedua, Anda ingin mengingatkan kalau perbuatan Ayah Anda itu salah dan tidak pantas dilakukan, tapi Anda belum ada keberanian untuk mengatakannya. Nah, apa yang membuat Anda takut untuk menyampaikan hal itu kepada Ayah Anda?” (Summarizing)



Klien: Konselor:



“Takut Ayah marah.” “Kenapa harus takut. Lalu, apakah Anda terus akan membiarkan Ayah Anda seperti itu?” (Konfrontasi)



Klien:



“Tidaklah Bu, saya pasti akan mengingatkan Ayah. Tapi saya harus mencari waktu yang tepat untuk membicarakan semuanya.”



Konselor:



“Bagus, saya setuju dengan Anda. (Memberi dukungan)



“Tapi Bu, bagaimana kalau Ayah saya marah ketika saya mengingatkannya?”



Klien:



(Cemas) “Itu semua tergantung pada Anda. Gunakanlah kata-kata yang sopan dan halus!



Konselor:



Jangan sampai memancing emosinya!. Ingatkan pelan-pelan, jangan seperti menggurui! Tetap hargai pendapatnya, jangan dibantah!” (Memberi nasihat) “Iya, Bu, saya akan mencobanya.”



Klien:



“Baiklah kalau begitu. Dari pembicaraan kita awal hingga sekarang, kita bisa



Konselor:



menyimpulkan bahwa, mulai sekarang Anda tidak akan takut lagi untuk mengingatkan kepada Ayah Anda kalau perbuatannya itu salah. Lalu, Anda akan mencoba berbicara kepada Ayah Anda untuk mengingatkan kekeliruannya tersebut. Benar begitu kan?” (Menyimpulkan) “Benar sekali, Bu. Terimakasih ya Bu, atas masukan dan nasehatnya. saya merasa



Klien:



ada solusi untuk masalah saya setelah saya konsultasi dengan ibu.” “Iya, sama-sama. Bukan saya yang memberi solusi, tapi Anda sendiri. Anda



Konselor:



hebat! Saya salut dengan Anda. Karena Anda yang semuda ini sudah bisa berpikir dewasa dalam menghadapi masalah. Semoga dapat cepat selesai ya masalahnya!” (Memberi pujian) “Oya Bu, bagaimana kalau kita adakan pertemuan lagi setelah saya berbicara



Klien:



dengan Ayah, Bu?” Konselor:



“Ooh, tentu saja boleh kalau memang Anda maunya seperti itu.”



Kien;



“iya, Bu. Sekali lagi terimakasih. Baiklah, saya pamit dulu. Assalamualaikum.” (Menjabat tangan konselor, dan beranjak) “Walaikumsalam. Saya tunggu kedatangan Anda kembali.” (Menyambut jabatan



Konselor:



tangan klien sambil tersenyum^_^) 



Skrip 2



Klien:



“Assalamualaikum.”



Konselor:



“Walaikumsalam. Oh, Amira ya? Mari silahkan masuk, silahkan duduk.”



Klien:



“Iya, Bu. Trimakasih.”



Konselor:



“Bagaimana, Anda sudah berbicara dengan ayah Anda?”



Klien:



“Sudah, Bu. Saya sudah berbicara dengan Ayah. Setelah melalui diskusi panjang, akhirnya Ayah saya mengakui kesalahannya. Kecurigaan ibu saya selama ini



memang benar. Dan Ayah telah mengakui semuanya. Beliau meminta maaf kepada kami semua. Beliau mengaku khilaf atas perbuatannya kemarin.” Konselor:



“Benarkah begitu?” (Closed question)



Klien:



“Iya, Bu, saya lega atas pengakuan Ayah tersebut.”



Konselor:



“Saya juga turut bahagia atas kebahagiaan Anda.”



Klien:



“ Tapi, Bu, mengapa dalam hati saya ada perasaan mengganjal. Saya tidak bisa menerima perbuatan Ayah tersebut karena dia telah menyakiti hati Ibu saya, walaupun Ibu saya telah memaafkannya.”



Konselor:



“Mengganjal seperti apakah? Bisa Anda lebih perjelas lagi?” (Eksplorasi)



Klien:



“ Ya..mengganjal Bu. Rasanya berat sekali bagi saya untuk memaafkan Ayah. Saya takut Ayah mengulang perbuatannya itu lagi, dan akhirnya menyakiti Ibu saya lagi.”



Konselor:



“Kenapa Anda berfikir seperti itu kepada Ayah Anda? Bukannya Beliau sudah minta maaf kepada Anda dan Ibu Anda. Dan Ibu Anda sudah memaafkannya, begitupun dengan Anda. Lalu, kenapa Anda masih berfikiran seperti itu?” (Konfrontasi)



Klien:



“Saya takut Ayah tidak tulus minta maafnya, Bu.”



Konselor:



“Lalu, apa yang akan Anda lakukan?”



Klien:



“Saya juga tidak tahu, Bu, apa yang harus saya lakukan. Tapi...setelah dipikirpikir, bener juga kata Ibu tadi. Ayah saya, sudah minta maaf kepada semuanya sekaligus mengaku kalau beliau kemarin khilaf, dan kami telah memaafkannya. Jadi buat apa saya berfikir negatif ke Ayah saya ya , Bu, yang ada malah memperpanjang masalah. Bukannya selama ini saya berharap keluarga saya utuh kembali seperti dulu. Tidak ada masalah dan hidup tentram.”



Konselor:



“Lalu...” (Minimal Encouragement)



Klien:



“Ya sudah, Bu, saya tidak akan berfikir negatif lagi tentang Ayah saya. Buat apa saya tidak memaafkannya dan tidak memberi kesempatan buat Ayah saya untuk bertobat dan memperbaiki kesalahannya.”



Konselor:



“Iya, Anda benar. Saya setuju dengan Anda. Jadi mulai sekarang Anda tidak akan ragu akan ketulusan maaf Ayah Anda.”



Klien:



“Iya, Bu, saya yakin kalau Ayah saya benar-benar tulus. Ya sudah, Bu, sepertinya sudah tidak ada masalah lagi, saya sudah lega dan tenang, tidak ada sesuatu yang mengganjal lagi. Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Bu. Terimakasih atas bantuannya.”



Konselor:



“Iya, sama-sama. Anda sendiri yang menyelesaikan masalah Anda, sekali lagi, Anda hebat!”



Klien:



“Ah Ibu, bisa saja.” (tersenyum malu)



Konselor:



“Memang kenyataannya seperti itu.”



Kllien:



“ya sudah, Bu, assalamualaikum.” “Walaikumsalam



Konselor:



Warohmatullahi



Wabarokatuh.”



(end.ha)



Referensi: http://female.kompas.com/read/2011/08/23/14273580/3.Hal.yang.Memicu.Perseli ngkuhan