Critical Discourse Analysis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Critical Discourse Analysis (Teun Van Dijk) Oleh Idham Cholik CDA merupakan jenis discourse analytical research yang terutama mempelajari social power abuse, dominasi, dan ketidaksetaraan (inequality) yang terbentuk, diproduksi, dan ditentang oleh teks dan pembicaraan (talks) dalam konteks sosial dan politik. Prinsip-prinsip (tenets) CDA sudah ditemukan dalam critical theory dari Frankfurt School sebelum Perang Dunia II (Rasmussen, 1996). Aliran ini fokus pada bahasa dan discourse yang diinisiasikan dengan ‘critical linguistics’ yang muncul (terutama di Inggris dan Australia) pada akhir tahun 1970-an (Fowler Hodge, Kress & Treww, 1979; lihat juga Mey, 1985). CDA meliputi seperti pragmatics, conversation analysis, narative analysis, rhetorics, sociolinguistics, ethnography, dan media analysis. Analisa Wacana dan Masyarakat Fungsi analis wacana kritis bagi masyarakat yaitu memberikan kesadaran nyata (explicit awareness) atas peran mereka. Pemikiran ini bersumber dari bahwa ilmu itu ‘value-free’. Critical Discourse Research (CDR) harus memenuhi prasyarat sebagai berikut, agar efektif dalam mencapai tujuannya, yaitu: - Karena termasuk riset yang marginal, CDR harus menjadi lebih baik daripada riset lainnya agar dapat diterima. - Fokus utamanya pada permasalahan sosial dan isu-isu politik, daripada paradigma dan fashions (kebiasaan) saat ini. - Secara empiris, analisa kritis masalah sosial biasa multidisciplinary. - Bukan hanya menjelaskan struktur wacana, tetapi ini mencoba menjelaskan pengertian interaksi sosial dan khususnya struktur sosial. -



Lebih khusus lagi, CDA memfokuskan pada struktur wacana yang membuat, mengkonfirmasikan, melegitimasi, mereproduksi, atau menentang hubungan power (kekuasaan) dan dominasi dalam masyarakat.



Fairclough dan Wodak (1997:271-280) menyimpulkan prinsip utama CDA sebagai berikut: 1. CDA tertuju pada masalah sosial 2. Hubungan power itu diskursif 3. Wacana membentuk masyarakat dan budaya 4. Wacana mengkaji (melakukan kerja) ideologi 5. Wacana itu historis 6. Keterkaitan antara teks dan masyarakat itu termediasi 7. Analisa wacana itu interpretif dan eksplanatori 8. Wacana adalah sebuah bentuk social action Untuk memahami tema ini dengan lebih sistematis lihat Caldas-Coulthard & Coulthard, 1996; Faircloug, 1995; Fairclough & Wodak, 1997; Fowler, Hodge, Kress & Trew, 1979; van Dijk, 1993 b.



Kerangka Konseptual dan Teoritis Karena banyak jenis CDA, sehingga ini menjadi sangat beragam secara teoritis dan analitis. Analisa Konversasi/percakapan (conversation) kritis sangat berbeda analisa berita atau belajar/mengajar. Tetapi sebenarnya ada perspektif dan tujuan CDA yang sama yaitu tentang struktur wacana yang berkaitan dengan reproduksi dominasi sosial, apakah itu berbentuk konversasi atau berita atau genre dan konteks lainnya. Dan untuk kata-kata yang sering menjadi pembahasan CDA yaitu power (kekuasaan), dominasi, hegemoni, ideologi, kelas, gender, ras, diskriminasi, kepentingan, reproduksi, institusi, struktur sosial atau tatanan sosial. Boleh jadi jika riset CDA sering merujuk pada ilmuan dan filosof sosial kritis ternama –seperti Frankfurt School, Habermas, Foucault dsb. atau aliran neo-marxist- ketika ingin menteorikan dan memahaminya. Lalu untuk menemukan kerangka teoritis sebaiknya fokus pada konsep dasar yang berkaitan dengan discourse, cognition, dan society. Makro versus Mikro Penggunaan bahasa, wacana, interaksi verbal, dan komunikasi termasuk pada analisa microlevel dari tatanan sosial (social order). Power, dominasi dan ketidaksetaraan antara kelompok sosial termasuk pada analisa macro-level. CDA (sebagai meso-level) secara teoritis bertugas menutup ‘gap’ antara pendekatan makro dan mikro tersebut atau untuk mencapai keutuhan analisa (unified whole) (Alexander, et al, 1987; Knorr-Cetina & Cicourel, 1981). Dalam mencapai unified critical analysis, ada tiga hal yang sangat penting untuk dianalisa,yaitu: a. Members-Groups; penguna bahasa (language user) yang menggunakan wacana dianggap sebagai anggota social group, organisasi, atau institusi; dan sebaliknya kelompok tersebut bertindak berdasarkan anggotanya. b. Action-Process; social act seorang individu menjadi bagian konstituen tindakan kelompok dan proses sosial, seperti legislasi, pemberitaan atau reproduksi rasisme. c. Context-Social Structure; situasi interaksi diskursif sama halnya dengan struktur sosial, seperti press confrence, ini termasuk konteks ‘lokal’ dan untuk konteks ‘global’ seperti pembatasan wacana. d. Personal and Social Cognition; pengguna bahasa memiliki personal and social cognition: personal memory, pengetahuan, dan opini. Kognisi ini mempengaruhi interaksi dan wacana seseorang. Power sebagai Kontrol Power (kekuasaan), atau lebih khusus lagi social power, adalah kajian sentral dari critical discourse. Social power dapat didefiniskan dengan istilah control. Power digunakan untuk mengkontrol tindakan (act) dan pikiran (mind) anggota kelompok tersebut, sehingga ini juga membutuhkan power base dalam bentuk seperti uang, force, status, popularitas (fame), pengetahuan, informasi, budaya, atau yang terpenting ‘public discourse’ dan komunikasi (lihat Lukes, 1986; Wrong, 1978). Power dibedakan berdasarkan pada sumberdaya yang menggunakannya seperti orang kaya selalu memiliki power karena uangnya yang banyak, profesor memiliki power karena pengetahuannya, dsb. power pada dasarnya tidak bersifat mutlak (seldom absolute). Dan untuk power yang dimiliki oleh dominant group (kelompok dominan) biasanya terintegrasi dalam bentuk hukum, peraturan, norma, kebiasaan, dan juga konsensus atau disebut oleh Gramsci yaitu ‘hegemony’ (Gramsci, 1971). Dominasi kelas, sexisme, dan rasisme adalah contoh hegemoni. Di sisi lain juga, sebenarnya bahwa power tidak selalu digunakan untuk kegiatan



abusif (penyalahgunaan), karena dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan taken-forgranted action (tidakan yang dianggap benar). Demikian pula, tidak semua anggota powerful group (kelompok yang berkuasa) lebih powerful daripada anggota dominated group (kelompok terdominasi); power disini dimiliki oleh semua kelompok. Untuk analisa hubungan antara wacana dan power, pertama, harus dilihat pada power resource (sumber kekuasaan) seperti politik, media, atau ilmu. Kedua, proses mempengaruhi pikiran seseorang dan secara tidak langsung mengkontrol tindakannya. Dan ketiga, ketika pikiran seseorang terpengaruh oleh teks dan pembicaraan, ini sebenarnya didapati bahwa wacana setidak-tidaknya secara tidak langsung mengkontrol tindakan orang tesebut –melalui persuasi dan manipulasi. CDA memfokuskan pada abuse of power, dan khususnya pada dominasi, yaitu bahwa adanya discourse control yang digunakan untuk mengkontrol keyakinan dan tindakan seseorang. ‘Abuse’ ini disebut juga norm-violation (pelanggaran norma) dan untuk dominasi didefinisikan sebagai illegitimate exercise of power (penggunaan power yang tak sah/benar). Ada tiga pertanyaan tentang hal ini dalam riset CDA yaitu: 1. apakah powerful group mengkontrol public discourse? 2. bagaimana wacana tersebut mengkontrol pikiran dan tindakan powerful group, dan apa konsekuensi sosial dari kontrol tersebut, misalnya social inequality ? 3. bagaimana dominated group secara diskursif menentang power tersebut? Akses dan Kontrol Wacana Kebanyakan orang melakukan active control atas pembicaraan keluarga, teman atau kolega dan untuk passive control dalam hal penggunaan media. Dan untuk public discourse, biasanya yang memiliki akses dan yang melakukan kontrol tersebut adalah kaum elit dari social group. Misalnya seorang profesor mengkontrol scholarly discourse (wacana ilmiah), jurnalist media discourse (wacana media jurnalis), politician policy (kebijakan politikus), dsb. Pengertian discourse access (akses wacana) dan discourse control (kontrol wacana) adalah sangat general, dan ini menjadi salah tugas CDA untuk mengartikan bentuk power itu sendiri. Jadi, jika wacana didefinisikan dalam istilah complex communicative events (peristiwa komunikatif yang kompleks), maka akses dan kontrol dapat didefinisikan baik sebagai konteks dan/atau struktur teks dan pembicaraan. Kontrol Konteks Konteks didefinisikan sebagai struktur (terrepresentasikan secara mental) dari sifat situasi sosial yang relevan untuk produksi atau komprehensi wacana (Duranti & Goodwin, 1992; van Dijk, 1998). Ini terdiri dari kategori seperti situasi, setting (waktu atau tempat), tindakan yang terjadi (meliputi wacana dan genre wacana), peserta dalam berbagai peran komunikatif, sosial, atau institusional, serta mental representation: tujuan, pengetahuan, opini, sikap, dan ideologi. Kontrol Teks dan Pembicaraan Group power (kekuasaan kelompok) digunakan untuk mengkontrol struktur teks dan pembicaraan dan ini dapat menentukan genre wacana atau speech act atas suatu kejadian. Misalnya seorang guru meminta jawaban langsung dari siswa (Wodak, 1984a, 1996). Tetapi seringkali terjadi bahwa powerful speaker melakukan abuse of power.



Dalam kontrol wacana terdapat hal yang kontekstual atau global, kejelasan makna, pilihan lexical items atau jargon dalam suatu kondisi atau tempat tertentu (Martin Rojo, 1994). Misalnya, dalam suatu budaya menginginkan agar wanita menjadi silenced (pendiam) dan ini dianggap baik (Houston & Kramare, 1991). Tapi di sisi lain juga, ada budaya yang mengharuskan agar orang ‘mumble’ (cerewet) sebagai bentuk respek (Albert, 1992). Jadi mengkontrol wacana adalah kegiatan utama power dan ini merupakan bentuk reproduksi dominasi dan hegemoni –dimana penerima sepenuhnya termanipulasi. Tetapi dalam riset psikologi dan komunikasi massa dinyatakan bahwa penerima sangat otonom (memiliki alternatif atau freedom) dalam menginterpretasikan dan menggunakan teks dan pembicaraan, ini merupakan fungsi gender, kelas, atau budaya (Liebes & Katz, 1990). Dan yang jelas bahwa keyakinan atau pengetahuan kita tentang dunia diperoleh melalui discourse dan komunikasi. Menganalisa Pikiran Agar dapat menganalisa bagaimana wacana mengkontrol pikiran seseorang, maka harus dipisahkan antara mental representation dan cognitive operation (yang dipelajari dalam cognitive science). (untuk lebih jelasnya lihat, seperti, Graeser & Brower, 1990; van Dijk & Kinstch, 1983; van Oostendorp & Zwaan, 1994; dan Weaver, Mannes & Fletcher, 1995). Pemisahan tersebut menghasilkan dua hal yaitu pertama memori pribadi dan memori sosial yang merupakan tempat pengalaman atau subjective representations, ini disebut mental model, yang terdiri dari pengetahuan dan opini yang terakumulasi selama hidupnya atau ini juga disebut context model (van Dijk, 1998b). dan, kedua, social representation seperti pengetahuan sosio-budaya, sikap atau ideologi, atau ini merupakan pengalaman kolektif atau specific historical event. Kontrol tersebut akan menjadi sebuah bentuk dominasi (power abuse) jika ini merupakan kepentingan dari powerful group dan mengabaikan kepentingan yang lainnya (terjadinya manipulasi). Dalam riset CDA dinyatakan bahwa kontrol tersebut mempengaruhi pengetahuan (factual beliefs) dan socially shared opinions (evaluative beliefs) seperti sikap dan ideologi kelompok. Strategi Wacana dalam Mengkontrol Pikiran Wacana dalam mengkontrol pikiran seseorang, dilakukan melalui struktur teks dan pembicaraan serta bersifat kontekstual. Ini dikarenakan bahwa orang tidak hanya memahami dan merepresentasikan teks dan pembicaraan saja, tetapi juga menciptakan communicative situation/event (Giles & Coupland, 1991). Communicative event juga ternyata dapat mengkontrol pikiran seseorang (Martin Rojo & van Dijk, 1997). Struktur wacana mempengaruhi mental representation dapat dilihat pada dua level yaitu global dan lokal. Contoh level global seperti tema headline berita mempengaruhi pikiran orang dengan lebih powerful, karena ini dianggap sebagai informasi yang sangat penting. Peristiwa ini dinamakan preferred mental model (Duin, et al., 1998; van Dijk, 1991). Dan untuk level lokal, dimana dinyatakan bahwa wacana secara implisit memberikan keyakinan (belief) atau ini dikategorikan sebagai jenis manipulasi. Struktur wacana dapat berbentuk leksikal dan sintaksis (Gile & Coupland, 1991; Scherer & Gile, 1979). Contoh kata leksikal yang sangat terkenal dalam politik seperti ‘freedom fighter’ vs ‘terorist’. Untuk sintaksis biasanya menggunakan ‘critical linguistics’ yang memfokuskan pada



pengunaan kata yang terbiaskan (biased), yang sangat mempangaruhi opini penerima seperti metapora, kiasan, hiperbola, atau eufemisme. Kompilasi Seperti dijelaskan di atas, dominant group, khususnya kaum elit, sangat powerful dalam mengkontrol wacana publik dan strukturnya (melalui dominasi atau abuse of power), tetapi yang sebenarnya terjadi bahwa tidak selalu setiap orang dapat terpengaruh oleh teks atau apa yang dibicarakan. Ini menunjukan ternyata struktur wacana tidak dapat sepenuhnya mempengaruhi formasi dan merubah mental model serta social representation. Inilah yang disebut kompilasi. Jadi yang menghubungkan wacana dan masyarakat itu ialah kognisi (cognition), dan ini memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Karena dalam masyarakat ada banyak kolusi, konsensus, legitimasi, dan bahkan joint production dalam ketidaksetraan (inequality). Kompleksitas ini menjadi menarik dalam analisa wacana –dalam mencapai keutuhan gambaran sosial. Riset dalam CDA Teori hubungan antara wacana dan ketidaksetaraan sosial yang dituliskan di atas memperbolehkan kita untuk menguji dan mengevaluasinya dalam bentuk sebuah riset yang berkerangka CDA (lihat Caldas-Coulthard & Coulthard, 1996; Fairclough, 1995; Fairclough & Wodak, 1997; van Dijk, 1993). Dalam persepektif CDA, selain power, dominasi, dan ketidaksetaraan, gender (feminist) juga menjadi satu kajian yang menarik, bahkan feminist ini menjadi satu paradigma dalam CDA – ketika ada dominasi dan ketidaksetaraan sosial (lihat Cameron, 1990, 1992; Kotthoff & Wodak, 1997; Seidel, 1988; Thorne, Kramae & Henley, 1983; dan Wodak, 1997). Dalam studi feminist ada beberapa isu-isu yang menarik seperti: - Power membedakan interaksi konvensasional dalam kehidupan sehari-hari antara lelaki dan perempuan. - Rangsangan seksual verbal pada perempuan. - Ketidaksetaraan gender dalam teks dan pembicaraan birokratis dan profesional. - Akses terbatas dan kontrol pada berbagai bentuk wacana media. - Diskriminasi pada promosi (perempuan seringkali menjadi bintang sebagai daya tarik audiens) yang dilakukan oleh organisasi yang memproduksi wacana seperti industri media dan percetakan. - Representasi sexis dan stereotip perempuan dalam wacana yang terdominasi lelaki pada umumnya, dan media massa pada khususnya. Etnosentrisme, Antisemitisme, Nasionalisme, dan Rasisme Pada tahun 1960-an ada gerakan oposisi menetang ketidaksetaraan etnis dan rasial, ini menjadi bahasan (materi) CDA yaitu fokus pada representasi etnosentris dan rasis dalam media massa, literatur, dan film (Unisco, 1977; Wilson & Gutierrez, 1985; Hartman & Husband, 1974; van Dijk, 1991). Ini diakibatkan pada adanya keterbatasan sosio-ekonomi dan sosio-budaya. Dominant group mencitrakan bangsa Afrika dan Amerika-Afrika (orang negro) diadaptasikan pada sosio-ekonomi perbudakan, pengasingan, perlawan, penurut (affirmative action), dianggap pemalas, suka pamer, suka memberontak, keras, jahat, dan sekarang ini terkait narkoba dan hidup sejahtera. Keterbatasan sosio-budaya seperti ini akan merubah (melanggar) norma dan



nilai tentang hubungan etnis. Selain kedua hal tersebut, ada juga keterbatasan lain yaitu keterbatasan sosio-politik, seperti perang terorisme. Ini menunjukan bagaimana wacana menggambarkan dan mereproduksi representasi sosial dalam konteks sosial dan politik. Ter Wal 1997), misalnya, telah melakukan studi tentang wacana media politik Italia yang secara bertahap berubah dari anti-racist commitment dan representasi extra-communitary (Non-Eropa) menjadi gambaran yang lebih stereotip dan negatif tentang imigran dengan istilah kejahatan, penyimpangan, dan ancaman. Selain Ter Wal, ada banyak para ahli yang melakukan penelitian seperti: - Siegfreid Jager mengkaji struktur wacana dalam pembicaran sehari-hari, serta wacana politik dan media tentang orang Turki dan imigran lainnya di Jerman. - Ruth Wodak (1990), di Austria, meneliti wacana antisemitik masa lalu dan sekarang terhadap masalah Waldheim. Analisanya menilai banyak genre, obrolan warung kopi (street talk) yang spontan, hingga berita TV dan wacana politik. Selain itu juga ia dengan paradigma wacana historis memfokuskan pada representasi imigran dari Rumania dan tentang nasionalisme. - Wetherell & Potter (1992), dengan kerangka psikologi diskursif, merekonstruksi representasi tersangka Pakeha (orang kulit putih Selandia Baru) tentang Moaris. Mereka memfokuskan pada praktek diskursif dan tindakan interpretatif (interpretative repertoires), dan menguji bagaimana ketidaksetaraan dan eksploitasi minoritas aborigin terlegitimasi dalam obrolan sehari-hari. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa: - adanya perbedaan sosio-budaya - deviasi (penyelewengan) norma dan nilai dominan - adanya kekerasan dan ancaman sehingga permasalahan seperti teritorial, nasionalitas, lingkungan, ruang (space), pendapatan, perumahan (housing), pekerjaan, bahasa, agama, kesejahteraan, dsb. menjadi sangat perlu diperhatikan dalam CDA (lihat Whillock & Slayden, 1995). Dari Dominasi Kelompok ke Power Profesional dan Institusional Selain mengkaji dominasi kelompok dalam kehidupan masyarakat, ada banyak studi kritis yang memfokuskan pada berbagai genre wacana institusional dan profesional seperti teks dan pembicaraan dalam ruang pengadilan, wacana politik, wacana ilmiah, wacana korporat, wacana media, dsb. Semua hal itu, dimana power dan dominasi diasosiasikan pada social domain tertentu (yaitu politik, media, hukum, pendidikan, ilmu pengetahuan, dsb.) –yang berbasis profesionalisme dan institusional. Untuk memahami konteks ini dengan benar, maka harus dilihat bahwa sebenarnya elit profesional dan institusional serta peraturan dan kebiasaannya yang melatarbelakangi reproduksi diskursif power seperti domain dan institusi tersebut. Kondisi menyatakan akan pentingnya ‘critical studies’ pada bahasa, wacana, dan komunikasi. Wacana Media Media memiliki power yang nyata (pengaruh) pada masyarakat dan ini juga telah menginspirasikan banyak ‘critical studies’ dalam berbagai disiplin ilmu, setidak-tidaknya untuk bidang komunikasi massa, dan selain itu juga, untuk studi linguistik, semiotika, pragmatika



(pragmatics) dan wacana atas pemberitaan atau program TV. Mengenai representasi perempuan dan kaum minoritas di media, dalam ‘critical media studies’ ada pendekatan tradisional (content-analytical) yang menganalisa citra terbiaskan (biased image), stereotip-sexis atau rasis di media, baik dalam teks serta ilustrasi dan photo (gambar). Critical media studies ini adalah studi yang paling menarik dan banyak dilakukan di Negara Inggris. Meskipun riset media termasuk dalam discourse studies tetapi Stuart Hall menggkaji media dengan cultural studies paradigm (untuk referensi studi wacana lihat Hal, et al., 1980; dan critical cultural studies lihat Angger, 1992). Studi media ini sebenarnya didasari pada kombinasi Neo-Marxis Eropa (Gramsci, Althusser, Pecheux) dengan pendekatan sosio-budaya Inggris (Richard Hoggart, E.P. Thompson, Raymond Williams) dan analisa film (Screen). Mereka mengabungkan analisa teks dengan analisa citra (images) dalam pendekatan budaya yang luas pada media. Analisa kritis wacana media di sini berkaitan dengan perspektif budaya lebih luas seperti dialektika antara kesadaran sosial dan mahluk sosial (social being) (Hall), seperti praktek sosial –termasuk signifying practices yang memproduksi budaya dan ideologi- terkait dengan yang praktek yang lainnya, dan bagaimana orang mengalami (merasakan) kondisi sosialnya. Banyak ahli yang melakukan studi media dengan critical paradigm seperti: - Studi linguistik dan wacana, pertama kali, dilakukan oleh Roger Fowler (lihat Fowler, Hodge, Kress & Trew, 1997). Ia juga fokus pada media. Di Inggris dan Australia, ada studi yang menggunakan paradigma ini seperti studi ‘transitivity’ pola kalimat sintaksis yang menggunakan kerangka teoritis grammar fungsional-sistemik Halliday (Fowler, 1991; Hodge & Kress, 1993; van Dijk, 1991). - Fowler (1991) dengan menggunakan paradigma ‘cultural studies’ Inggris mendefinisikan bahwa berita bukan seperti refleksi realitas, tetapi sebuah produk yang terbentuk oleh kekuatan politik, ekonomi, dan budaya. Selain itu, dia juga fokus pada alat (tool) linguistik untuk studi kritis tersebut seperti analisa transivititas dalam sintaksis, struktur leksikal, modalitas, dan speech act. - Van Dijk (1988) juga mengaplikasikan teori wacana berita dalam ‘critical stides’ tentang berita internasional, rasisme dalam pers dan cara pemberitaan gelandangan (squatters) di Amsterdam. Selain riset media tersebut di atas, di Amerika Serikat, Chomsky dan Herman mengkaji struktur wacana seperti dalam propaganda model yang sangat mengkritik media AS yang berkolusi dengan Pejabat AS dalam kebijakan luar negeri, dan jelas mereka merujuk pada penggunaan kata persuasif dan terbiaskan (seperti eufemisme atas kekejaman yang dilakukan AS dan negara sekutunya) yang tidak mengemukakan analisa wacana media yang sebenarnya (lihat Herman & Chomsky, 1988). Wacana Politik Wacana politik memiliki peran dalam membentuk, mereproduksi, dan melegitimasi power dan dominasi. Ini ternyata telah memunculkan banyak harapan atas kehadiran ‘critical discourse studies’ pada teks dan pembicaraan politik. Studi tersebut dapat dilakukan melalui analisa linguistik sebab ilmu politik hampir mirip dengan disiplin ilmu sosial, dimana ilmu sosial sangat memungkinkan untuk penggunaan pendekataan postmodernisme atas wacananya (Derian & Shepiro, 1989; Fox & Miller, 1995). Ini tidak bermaksud menyatakan bahwa ilmu politik tidak mengenal ‘citical studies’ atas wacana politik, tetapi biasanya ilmu politik sering dibatasi pada studi kata dan konsep terisolasi (isolated), dan jarang studi teks politik yang sistematis (lihat



Edelman, 1977, 1985). Dan untuk studi ilmu komunikasi, tentunya ada juga banyak studi komunikasi politik dan retorika politik, ini sering terjadi overlap (antara ilmu politik dan ilmu komunikasi) dalam discourse analytical approach-nya (Nemmo & Sanders, 1981). Ada satu hal yang dapat lebih mendekatkan pada analisa wacana teks dan pembicaraan politik yaitu frames approach (satu pengertian yang dipinjam dari ilmu kognitif) (Gramson, 1992). ‘Frames’ tersebut adalah struktur konseptual atau sekumpulan keyakinan yang mengorganisir pemikiran, kebijakan, dan wacana politik, dan sama hal dengan pengertian (super)struktur skematik yaitu ketegori standard dalam persepsi dan analisa tentang sebuah isu. Contoh gerakan sosial dianalisa dalam terminologi collective action, ini terbentuk karena adanya ketidakadilan (injustice), agency, dan identitas. Selain studi wacana politik dengan pendekatan frames, ada juga pendekatan lainnya seperti linguistik, pragmatika (pragmatics), sosioliguistik, dsb. Yang digunakan para ahli, yaitu: - Geis (1987) melakukan studi linguistik antara media dan politik, yaitu bagaimana politik diliput atau diberitakan oleh media Amerika Serikat. Ia terpengaruh pada pemikiran Murray Edelman (yaitu Mythic Themes [tema-tema dongeng] seperti ‘The Conspirational Enemy’). Dalam studinya ini, ia fokus pada bahasa politik yang secara tidak langsung berpengaruh (indirect impact) lebih kuat pada pemikiran politik seseorang daripada pikiran yang lainnya. - Wilson (1990) dengan, pendekatan pragmatika, melakukan studi pada sejumlah fenomena dalam wacana politik seperti penggunaan metafora; pertanyaan, jawaban, dan pengingkaran (evasion); implikasi dan perkiraan (presupposition); dan referensi, inklusi (inclusion), eksklusi (exclusion), dan kesetiaan (allegiances) kelompok. - Ruth Wodak (1988), di Austria, meneliti antisemitisme dan nasionalisme dalam wacana politik. Ia mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dan analisa dalam bentuk discoursehistorical approach, meliputi psikologi (sosial dan kognitif), sosio-linguistik dan sejarah (history). - Di Jerman, banyak studi wacana politik yang telah dilakukan seperti di Jerman Barat Zimmerman (1969) meneliti politikus Bonn dan di Jerman Timur, yang pertama kali, Klaus (1971) meneliti wacana politik sehingga menciptakan semiotic-materialist theory (lihat Bachem, 1979). Kemudian, Pasierbsk (1983) melakukan studi bahasa perang dan damai, dan Holly (1990) mengkaji speech act dalam wacana politik. Selain itu juga ada tradisi yang kuat untuk mempelajari bahasa dan wacana fasis (facist) seperti dalam bentuk lexicon (kosakata), propaganda, media, dan politik bahasa (Ehlich, 1989). - Di spanyol dan khususnya di Amerika Latin telah banyak dilakukan studi wacana politik kritis, seperti yang sangat terkenal yaitu, studi Donald Duck dengan semiotika kritis (anticolonialist) oleh Dorfman & Mattelart (1972) di Chili. Lavandera, et al. (1986, 1987), di Argentina, dengan menggunakan sociolinguistics approach dalam tipologi wacana otoriter (authoriterian discourse). Ini kemudian dikembangkan oleh Pardo (1996) dalam wacana hukum (legal discourse). Kemudian Sierra (1992), di Mexico, dengan menggunakan wacana ethnogarfi dalam mengkaji proses pembuatan keputusan dan otoritas lokal. Diantara banyak critical studies dalam bidang politik di Amerika Latin, ada yang perlu diperhatikan yaitu Teresa Carbo (1995), di Mexico, dengan menggunakan parliementary discourse (wacana parlemen).



Wacana dan Rasisme Sistem rasisme terdiri dari dua dimensi utama yaitu kognitif dan sosial. Dimensi kognitif dari representasi sosial prejudiced (tersangka) yang dibuat oleh kelompok atau orang dominan (orang kulit putih, bangsa Eropa, dan terkadang yang lainnya), berdasarkan pada ideologi superioritas dan perbedaan. Dan pengertian dimensi sosial memiliki dua level yaitu level lokal dan level global. Untuk level lokal (mikro), ini didefinisikan dalam istilah everyday racism (rasisme seharihari) (Essed, 1991) yaitu adanya banyak ketidaksetaraan interaksional sehari-hari dan bentuk discriminatory exclusion, marginalization, dan problematization terhadap minoritas etnis atau orang asing (foreigners). Sedangkan untuk level global (makro) rasisme, kita dihadapkan pada organisasi ketidaksetaraan etnis, seperti sistem Apartheid dan Segregation (pengasinngan), dan sekarang melaluui kebijakan imigrasi, liputan media terbiaskan, teksbook dan pendidikan yang monokultural dan stereotip (lihat Davido & Gaertner, 1986; Katz & Taylor, 1988; Miles, 1989; Solomos & Wrench, 1993; Wellman, 1993). Sedangkan D’Souza mendefinisikan rasisme sebagai ideologi rasional dan ilmiah untuk menjelaskan perbedaan besar dalam pengembangan peradaban (civilization development) yang tidak dijelaskan oleh lingkungan (environment). Tetapi jika dilihat dalam konsep rasisme bernilai negatif, adalah apa yang dijelaskan dalam istilah ilmu dan rasionalitas positif, yaitu sebagai bentuk (hallmarks) dari peradaban Barat (western civilization) –yang diagung-agungkan.



CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS (CDA) Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besar dari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Bagaimana bahasa dipandang dalam analisis wacana. Dalam analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis / CDA), wacana disini tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Pada akhirnya, analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis disini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks disini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. PERBEDAAN ANALISIS WACANA DALAM PARADIGMA POSITIVIS, KONSTRUKTIVIS, DAN KRITIS. 



PARADIGMA POSITIVIS



Penganut aliran ini, bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek diluar dirinya. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Oleh karena itu, tata bahasa, kebenaran sintaksis adalah bidang utama dari aliran positivisme-empiris tentang wacana. Analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana lantas diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran (menurut sintaksis dan semantik). 



PARADIGMA KONSTRUKTIVIS



Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makn-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. 



PARADIGMA KRITIS



Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak diluar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa, batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi



wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. KONSEPTUAL TEORITIK YANG MENDASARI ANALISIS 



WACANA IDEOLOGI



Makna itu diproduksi secara dinamis, baik dari sisi pembuat maupun khalayak pembaca. Keduanya memiliki andil dalam proses pemaknaan, pada titik inilah ideologi bekerja. Menurut Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah yaitu: a. Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorgnisasikan dalam bentuk yang koheren. Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk oleh pengalaman seseorang, tetapi ditentukan oleh masyarakat di mana ia hidup, posisi sosial dia, pembagian kerja, dan sebagainya. b. Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat, ide palsu atau kesadaran palsu yang bisa dilawankan dengan pengetahauan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu di mana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Di sini, ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen dari pendidikan, politik, sampai media massa. Ideologi di sini bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial tampak nyata, wajar, dan alamiah, dan tanpa sadar kita menerima kebenaran. c. Proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Di sini, ada suatu proses produksi makna dan ide yang terlihat jelas dalam teks dengan berbagai komentar yang ada, dan diterima apa adanya tanpa dipertanyakan. 



INTERPELASI



Ideologi dalam pengertian Althusser selalu memerlukan subjek, dan subjek memerlukan ideologi. Ideologi adalah hasil rumusan dari individu-individu tertentu. Keberlakuannya menuntut tidak hanya kelompok yang bersangkutan akan tetapi selain membutuhkan subjek ideologi juga menciptakan subjek. Usaha inilah yang dinamakan interpelasi. Ideologi dalam pandangan Althusser bukan hanya membutuhkan subjek tetapi juga menciptakan subjek. Dengan kata lain ideologi menempatkan seseorang bukan hanya posisi tertentu dalam suatu relasi sosial, tetapi juga hubungan antara individu dengan relasi sosial tersebut. Dan relasi tersebuat adalah imajiner karena ia bekerja melalui pengenalan atau pengakuan dan identifikasi untuk menempatkan atau menyapa seseorang dalam posisi seseorang. Ideologi menginterpelasi individu sebagai subjek dan menempatkan seseorang dalam posisi tertentu. Konsep interpelasi adalah konsep yang penting dalam dunia komunikasi. Semua tindakan komunikasi, menurut John Fiske, pada dasarnya menyapa seseorang, dan dalam penyapaan atau penyebutan itu selalu terkandung usaha menempatkan seseorang dalam posisi dan hubungan sosial tertentu.



Dalam penyapaan dan penyebutan itu dan dalam menanggapi komunikasi, kita berpartisipasi dalam lingkungan sosial kita, dan lebih ideologis, konstruksi. Semua tindakan komunikasi pada dasarnya adalah proses interpelasi yang menempatkan individu dalam subjek tertentu. Dua konsekuensi dari penyapaan dan komunikasi ini adalah pertama, bagaimana wartawan atau lebih luas media menempatkan khalayak pembacanya dalam posisi tertentu. Kedua, bagaimana khalayak menempatkan dirinya dalam kisah dan berita yang disajikan media. 



REPRESENTASI



Istilah representasi sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Representasi ini penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, kelompok, atau gagasan tersebutditampilkan sebagaimana mestinya. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan. Dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto macam apa seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak. Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau objek tersebut ditampilkan? Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan sebagai realitas. Pada level kedua, bagaimana realitas itu digambarkan. Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. TOKOH-TOKOH YANG TERKAIT DENGAN KONSEPTUAL TEORITIK YANG MELANDASI ANALISIS WACANA 



ALTHUSSER



Inti dari gagasan Althusser adalah mengkombinasikan teori narsis dan psikoanalisis. Ada dua gagasan Althusser, pertama mengenai interpelasi yang berhubungan dengan pembentukkan subjek ideologi dalam masyarakat. Argumentasi dasarnya adalah organ yang secara tidak langsung mereproduksi kondisi-kondisi produksi dalam masyarakat. Gagasannya yang kedua adalah mengenai kesadaran. Kalau interpelasi berhubungan dengan begaimana individu ditempatkan sebagai subjek dalam tata sosial, maka kesadaran berhubungan dengan penerimaan individu tentang posisi-posisi itu sebagai suatu kesadaran. Mereka menerima hal itu sebagai suatu kenyataan, suatu kebenaran. 



FOUCAULT



Konsep Foucault mengenai wacana adalah bagaimana wacana diproduksi, siapa yang memproduksi, dan apa efek dari produksi wacana. Salah satu yang menarik dari konsepnya adalah tesisnya mengenai hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Kuasa menurutnya tidak dimiliki tetapi dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam. Kekuasaaan baginya, selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan menurutnya slalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya. Hampir tidak mungkin kekuasaan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran. Konsepnya ini membawa konsekuensi untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran bukan suatu yang abstrak, tetapi ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring



untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Menurut nya kuasa tidak bersifat subjektif. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Strategi kuasa bekerja melalui normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk publik yang disiplin. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang sifatnya fisik tetapi dikontrol, diatur, dan didisiplinkan lewat wacana. Kekuasaan dalam pandangaannya disalurkan melalui hubungan sosial, dimana memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagi baik atau buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku lebih dari secara sederhana digambarkan sebagai bentuk restriksi. 



ROGER FOWLER, ROBERT HODGE, GHUNTER KRESS, DAN TONY TREW



Dalam membangun model analisisnya Roger Fowler, dkk mendasarkan pada penjelasan Halliday mengenei struktur dan fungsi bahasa. Fungsi dan struktur bahasa ini menjadi dasar struktur tata bahasa, dimana tata bahasa itu menyediakan alat untuk dikomunikasikan kepada khalayak. Yang dilakukan oleh Roger dkk, adalah meletakkan tata bahasa dan praktik pemakaiannya tersebut untuk mengetahui praktik ideologi. Yang menjadi titik perhatian penganalisisan teks berita dengan memakai kerangka yang dibuat oleh Fowler, dkk adalah pada praktik pemakaian bahasa yang dipakai. Ada dua hal yang dapat diperhatikan: a. Kata Kata-kata yang digunakan bukan hanya penanda atau identitas tetapi dihubungkan dengan ideologi tertentu, makna apa yang ingin dikomunikasikan pada khalayak, serta pihak-pihak yang diuntungkan dan mana pihak yang dirugikan dengan pemakaian kata tersebut. b. Susunan Kata / Kalimat Yang ditekankan disini ialah bagaimana pola pengaturan, penggabungan, penyusunan tersebut menimbulkan efek tertentu, apakah membuat satu pihak diuntungkan atau punya citra positif dibandingkan pihak lain atau peristiwa tertentu dipahami dalam katagori tertentu yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan kategori pemahaman lain. 



THEO VAN LEEUWEN



Leeuwen memeprkenalkan model analisis wacana untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu keompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana. Bagaimana suatu kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemaknaannya, sementara kelompok lain yang posisinya rendah cenderung untuk terus menerus sebagai objek pemaknaan, dan digambarkan secara buruk. Analisis Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak dan aktor (bisa seseorang atau kelompok) ditampilkan dalam pemberitaan. Ada dua pusat perhatian yaitu: a. Proses pengeluaran (exclusion). Apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan, dan strategi wacana apa yang dipakai untuk itu. Proses pengeluaran ini secara tidak langsung bisa mengubah pemahaman khalayak akan suatu isu dan melitimasi posisi pemahaman tertentu.



b. Proses pemasukan (inclusion). Inclusion berhubungan dengan pertanyaan bagaimana masing-masing pihak atau kelompok itu ditampilkan dalam pemberitaan. Proses inclusion ini juga menggunakan strategi wacana dengan memakai kata, kalimat, informasi atau susunan bentuk kalimat tertentu, cara bercerita tertentu, masing-masing kelompok direpresentasikan dalam teks. 



PERBEDAAN KARAKTERISTIK ANALISIS ISI MEDIA YANG KONVENSIONAL DENGAN ANALISIS WACANA KRITIS



Pembeda



Analisis isi



Sifat



Kuantitatif



Teks atau yang diteliti



Analisis wacana kritis



Kualitatif



pesan Teks komunikasi yang bersifat Teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata) laten (tersembunyi)



Kualitas pesan



Hanya mempertimbangkan “apa Lebih kepada “bagaimana ia yang dikatakan” (what) dikatakan” (how)



Tujuan



Melakukan generalisasi, bahkan Tidak untuk melakukan prediksi generalisasi



melakukan



MODEL-MODEL ANALISIS WACANA KRITIS 



SARA MILLS



Titik perhatian Sara Mills terutama pada wacana mengenai feminisme yaitu bagaimana wanita ditampilkan dalam teks, baik dalam novel, gambar, foto, ataupun dalam berita. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Sara Mils sering juga disebut sebagai perspektif feminis. Titik perhatian dari perspektif wacana feminis adalah menunjukkan bagaimana teks bias dalam menampilkan wanita. Sara Mills lebih melihat pada bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Selain posisi-posisi aktor dalam teks, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks. Sehingga pada akhirnya cara penceritaan dan posisi-posisi yang ditampilkan dan ditempatkan dalam teks ini membuat satu pihak menjadi legitimate dan pihak lain menjadi illegimate. A. Posisi: Subjek-Objek Bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan, atau peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana berita yang mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh khalayak. Mills lebih menekankan pada bagaimana posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa itu ditempatkan dalam teks, posisi tersebut pada akhirnya menentukan bentuk teks yang hadir ditengah khalayak.Wacana media bukanlah sarana yang netral, tetapi cenderung menampilkan aktor tertentu sebagai subjek, yang mendefinisikan peristiwa atau kelompok tertentu. Posisi itulah yang



menetukan semua bangunan unsur teks, dalam arti pihak yang mempunyai posisi tinggi untuk mendefinisikan realitas akan menampilkan peristiwa atau kelompok lain dalam bentuk struktur wacana tertentu yang akan hadir pada khalayak. B. Posisi Pembaca Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks. Dalam suatu teks posisi pembaca sangatlah penting dan haruslaah diperhitungkan dalam teks. Model yang diperkenalkan Mills, teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. Oleh karena itu, pembaca disini tidaklah dianggap semata sebagai pihak yang hanya menerima teks, tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat akan teks. Bagi Mills, membangun suatu model yang menghubungkan antara teks dan penulis disatu sisi dengan teks dan pembaca disisi lain, mempunyai sejumlah kelebihan. 1. Akan secara komprehensif melihat teks bukan hanya berhubungan dengan faktor produksi tetapi juga resepsi. 2. Posisi pembaca disini ditempatkan dalam posisi yang penting. Hal ini karena teks memang ditujukan secara langsung atau tidak berkomunikasi dengan khalayak. Berita bukanlah semata hasil produksi dari awak media atau wartawan, dan pembaca tidaklah ditempatkan semata sebagai sasaran, karena berita adalah hasil negosiasi wartawan dengan pembaca. Oleh karena itu, dalam mempelajari konteks tidak cukup hanya konteks dari sisi wartawan, tetapi perlu juga mempelajari konteks dari sisi pembaca. C. Kerangka Analisis Sara Mills dengan memakai analisis Althusser lebih menekankan bagaimana aktor diposisikan dalam teks. Posisi ini dilihat sebagai bentuk pensubjekan seseorang: satu pihak mempunyai posisi sebagai penafsir sementara pihak lain yang menjadi objek yang ditafsirkan. Secara umum, ada dua hal yang diperhatikan dalam analisis. 1. Bagaimana aktor sosial dalam berita tersebut diposisikan dalam pemberitaan sapa pihak yang diposisikan sebagai penafsir dalam teks untuk mamaknai peristiwa dan apa akibatnya. 2. Bagaimana pembaca diposisikan dalam teks. Teks berita dimaknai disini sebagai hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. Disini tentu saja bisa bermakna khalayak macam apa yang diimajinasikan oleh penulis untuk ditulis. 



TEUN VAN DJIK



Model yang dipakai oleh van Dijk sering disebut sebagai “kognisi sosial”. Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Perlu juga dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Wacana oleh van Dijk mempunyai tiga dimensi/bangunan: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu satuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan tema tertentu. Pada level kognisi sosial, dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan



koteks sosial, mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. A. Analisis Sosial Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi oleh individu/kelompok pembuat teks. Cara memandang atau melihat suatu realitas sosial itu yang melahirkan teks tertentu. Analisis sosial melihat bagaiman teks itu dihubungkan lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat atas suatu wacana. Ketiga dimensi ini merupakan bagian yang integral dan dilakukan secara bersama-sama dalam analisis van Dijk. B. Teks Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur atau tingkatan yang masingmasing bagian saling mendukung. Ia membaginya dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro: makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur merupakan struktur wacana berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro, adalah makana wacana yang dapat diamati dari bagian kecil suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, dan gambar. 



NORMAN FAIRCLOUGH



Analisis Norman Fairclough, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Dia berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatiannya adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Bahasa secara sosial dan historis adalah bentukan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Analisis harus dipusatkan pada bagaimana bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu. Bahasa sebagai praktik sosial mengandung sejumlah implikasi. Pertama, wacana adalah bentuk tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia dan khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat dunia atau realitas. Kedua, model mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial. Analisa teks menurut Fairclough dilihat dari tiga unsur berikut : Unsur Representasi Relasi Identitas 



Yang ingin dilihat Bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan, atau apapun ditampilkan dan digambarkan dalam teks Bagaimana hubungan antara wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks Bagaimana identitas wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam tek



PERBANDINGAN MODEL-MODEL ANALISIS WACANA



Persamaan model-model analisa wacana di atas : pertama, ideologi menjadi bagian yang sentral bahkan bagian terpenting dari analisi semua model. Kedua, semua model berpandangan kekuasaan menjadi bagian yang sentral dalam setiap analisis. Ketiga, semua model berpandangan bahwa wacana dapat dimanipulasi oleh kelompok dominan atau kelas yang berkuasa dalam masyarakat untuk memperbesar kekuasaannya. Keempat, unit bahasa untuk mendeteksi ideologi dalam teks. Perbedaan terutama terletak pada bagaimana hubungan antara teks dengan konteks sosial masyarakat. Secara umum ada tiga tingkatan analisis dalam analisis wacana yaitu: mikro, meso, dan makro. Analisis mikro yaitu analisis pada teks semata yang dipelajari terutama unsur bahasa yang dipakai Analisis meso yakni analisis pada diri individu sebagai penghasil teks, terrmasuk juga analisis pada sisi khalayak sebagai konsumen teks. Analisis makro yakni analisis struktur sosial ekonomi, politik, dan budaya masyarakat. Model Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, Tony Trew Theo van Leeuwen, Sara Mills, menggunakan tingkat analisis mikro dan makro, sedangkan Van dijk dan Norman Fairclough menggunakan analisis mikro, meso, dan makro. Model Roger Fowler dkk, dan Theo Van Leeuwen memusatkan analisisnya terutama pada keterkaitan pada analisis ditingkat makro dan analisis di tingkat mikro. Sementara model Sara Mills dipertanyakan bagaimana subjek membentuk dan memposisikan subjek pada posisi tertentu. Bagaimana pembaca ditempatkan dalam relasi sosial tertentu yang seringkali timpang dalam hubungan sosial. Pada model van Dijk dan Fairclough bukan semata memasukkan konteks sebagai variabel penting dalam analisis tetapi juga analisis pada tingkat meso, bagaimana konteks itu diproduksi dan dikonsumsi. Baik Van Djik maupun Fairclough menyadari adanya kesenjangan yang besar diantara teks yang sangat mikro dan sempit dengan masyarakat yang luas dan besar. Analisis wacana pad dasarnya ingin memperlihatkan bagaimana pertarungan-pertarungan kekuasaan yang ada di masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA Eriyanto. 2001, Analisis Wacana- Pengantar Analisis Teks Media, LKIS, Yogyakarta Sobur, Alex. 2001, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Remaja Rosdakarya, Bandung.



Critical Discourse Analysis (CDA) - Dyah Paramita Saraswati (1804101190031) Dyah Paramita Saraswati 180410110031 A – Class Reading for Scientific Texts Keyword Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis) Discourse Etimology Discourse (Wacana) berasal dari bahasa Latin, discursus. Yang berarti “running to and from”. Discourse “Discourse is language-in-action, and investigating it requires attention both to language and to action.“ (Hanks, 1996) “Wacana adalah bahasa dalam tindakan, dan untuk meneliti hal itu membutuhkan perhatian yang dalam, baik dari aspek untuk berbahasa dan maupun aspek untuk pertindak.” (Hanks, 1996) The History of Critical Discourse Analysis Pada mulanya analisis wacana kritis (critical discourse analysis) sebenarnya sudah ada dari tahun 1952 saat Zellig Harris menuliskan sebuah artikel yang berjudul Discourse Analysis yang dimuat pada jurnal Language. Barulah linguist di tahun 1970-an menyadari pentingnya analisis wacana dan teks yang berkenaan dengan peran bahasa dalam strukturisasi hubungan kekuasaan di masyarakat. Mulai bermunculanlah teoriteori tentang Analisis Wacana Kritis. Sociolinguistic and Critical Discourse Analysis



Sosiolinguistik merupakan cikal bakal dari pekerjaan kritikal tersebut dan, pada kenyataannya, orang dapat berargumentasi bahwa sosiolinguistik muncul dari keprihatinan atau perhatian akan pola distribusi diferensial varietas bahasa dan bentuk penggunaan bahasa dalam masyarakat – atau dengan kata lain, perbedaan dan ketidaksetaraan. Telah ada, dan masih terus ada, berbagai cabang sosiolinguistik. Salah satunya kutub yang terbentuk oleh cabang yang memiliki kedekatan erat dengan tradisi linguistik-antropologis. Perbedaan antara CDA dan pendekatan sosiolinguistik lainnya dapat paling jelas terlihat adalah dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum dari CDA itu sendiri. Pada dasarnya CDA memiliki perhatian akan hal yang berbeda dengan yang lainnya. Critical Discourse Analysis Analisis Wacana Kritis (CDA) adalah hal yang penting, karena aspek penting dari pemahaman teks adalah identifikasi topik dari wacana tersebut. Analisis Wacana Kritis (CDA) adalah analisis dari perspektif kritis dengan mengacu pada pengetahuan, sehingga mampu untuk berbicara analisis wacana 'dengan sikap'. Analisis Wacana Kritis (CDA) berfokus kepada pada masalah-masalah sosial, dan terutama, pada peran wacana dalam produksi dan reproduksi penyalahgunaan atau dominasi kekuasaan. Demikian adalah pendapat beberapa orang yang berkecimpung dibidang linguistik: “Deskripsi lebih atau aplikasi dasar, ilmu kritis dalam setiap domain menanyakan pertanyaan lebih lanjut, seperti tanggung jawab, kepentingan, dan ideologi. Alih-alih berfokus pada masalah murni akademis atau teoritis, mulai dari masalah sosial yang berlaku, dan dengan demikian memilih perspektif mereka yang paling menderita, dan analisis kritis terhadap mereka yang berkuasa, mereka yang bertanggung jawab, dan mereka yang memiliki sarana dan kesempatan untuk memecahkan masalah tersebut.” (van Dijk, 1986: 4) “Beyond description or superficial application, critical science in each domain asks further questions, such as those of responsibility, interests, and ideology. Instead of focusing on purely academic or theoritical problem, it starts from prevailing social problems, and thereby chooses the perspective of those who suffer most, and critically analyses those in power, those who are responsible, and those who have the means and the opportunity to solve such problems.” (van Dijk, 1986: 4) “Menggambar konsekuensi bagi tindakan politik dari teori kritis adalah aspirasi dari mereka yang memiliki niat yang serius, namun tidak ada rekomendasi umum kecuali adalah perlunya wawasan tanggung jawab sendiri.” (Horkheimer dikutip dari O’Neill, 1979) “To Draw consequences for political action from critical theory is the aspiration of those who have serious intentions, and yet there is no general prescription unless is the necessity for insight into one’s own responsibility.” ( Horkheimer quoted in O’Neill, 1979)



“Sebuah akun wacana yang sepenuhnya kritis demikian akan membutuhkan teorisasi dan deskripsi dari kedua proses sosial dan struktur yang menimbulkan pembuatan suatu teks, dan struktur sosial dan proses dimana individu atau kelompok sebagai subjek sejarah sosial, menciptakan makna dalam berinteraksi dengan teks.” (Fairclough dan Kress, 1993) “A fully ‘critical’ account of dicsourse would thus require a theorization and description of both the social processes and structures which give rise to the production of a text, and of social structures and processes within which individuals or groups as social historical subjects, create meanings in their interaction with texts.” (Fairclough and Kress, 1993) Theory and Methodology Norman Fairclough Usaha yang paling rumit dan ambisius dalam berteori tentang progam CDA adalah , yang tak diragukan lagi, milik Fairclough dalam Discourse and Social Change (1992), dilanjutkan dengan Discourse in Late Modernity (1999) yang ia tulis bersama dengan Chouliaraki. Fairclough menggambarkan kerangka tiga dimensi dari menganalisis suatu wacana. Dimensi yang pertama adalah discourse-as-text (wacana sebagai teks). Fitur linguistik dan organisasi dari contoh konkret wacana. Seperti, pemilihan dan pola pada kosakata (contoh: wording, methapor), grammar (contoh: trasitivity, modality), ke-kohesif-an (contoh: conjuction, schemata), dan struktur teks (contoh: episode marking, turn-taking system) Dimensi yang kedua adalah discourse-as-discursive-practice (wacana sebagai praktik diskursif). Wacana sebagai sesuatu yang diproduksi, tersirkulasi, terdistribusi, dan dikonsumsi di dalam masyarakat. Fairclough melihat proses tersebut secara besar sebagai sirkulasi dari konsentrasi objek lingusitik. Dimensi yang ketiga adalah discourse-as-social-practice. Efek ideologis dan proses hegemoni (pokok/ utama/ yang memimpin) di mana wacana terlihat untuk beroperasi/ dioprasikan. Pemegang kekuasaan (hegemoni) menaruh perhatian kepada daya yang dicapai dengan membangun aliansi dan mengintegrasikan kelas dan kelompok melalui persetujuan, sehingga artikulasi dan peng-artikulasi-an kembali dari pesan suatu wacana dapat sepaham dengan pemegang kekuasaan tertinggi (hegemonic struggle). Dari ketiga dimensi tersebut, Fairclough menambahkan tiga kali lipat perbedaan dalam metodelogi penelitian. Menurut Fairclough, sebaiknya dibuat suatu tahapan dari description (deskripsi), lalu interpretation (interpretasi), dan lalu explaination (penjelasan). Works Cited (2012, November 17). Retrieved from Kompasiana. Blommaert, J. (2005). Discourse. Cambridge University Press. Cohe, S. (n.d.). Identification of Written Discourse Topics.



Ruth Wodak, Michael Meyer. (2001). Methods of Critical Discourse Analysis. SAGE Publications.



TOKOH-TOKOH ANALISIS WACANA KRITIS AWK IDEOLOGI AWK KONTEKS SOSIAL



BAB. I A. Latar Belakang Analisis wacana sebagai salah satu disiplin ilmu dengan metodologi yang eksplisit dapat dikatakan sebagai ilmu baru karena perkembangannya baru dilihat pada awal tahun 70-an dan bersumber pada tradisi keilmuan Barat. Istilah analisis wacana muncul sebagai upaya untuk menghasilkan deskripsi bahasa yang lebih lengkap sebab terdapat unsur-unsur bahasa yang tidak cukup bila dianalisis dengan menggunakan aspek struktur dan maknanya saja. Sehingga memalui analisis wacana dapat diperoleh penjelasan mengenai korelasi antara apa yang diujarkan, apa yang dimaksud dan apa yang dipahami dalam konteks tertentu. Analisis wacana Kritis (AWK) adalah analisis bahasa dalam penggunaannya dengan menggunakan bahasa kritis. Analisis ini dipandang sebagai oposisi terhadap analisis wacana deskriptif yang memandang wacana sebagai fenomena teks bahasa semata, karena analisis jenis ini selain berupaya memperoleh gambaran tentang aspek kebahasaan, juga menghubungkannya dengan konteks, baik itu konteks sosial, kultural, ideologi dan domain-domain kekuasaan yang menggunakan bahasa sebagai alatnya. Dalam Analisis wacana kritis ini terdapat tokoh-tokoh yang memiliki sudut pandang dan cara analisis yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing pandangan tersebut hanya ditujukan pada satu pokok permasalahan yaitu Analisis wacana Kritis (Critical Discourse Analysis). Dari sudut pandang para tokoh Analisis Wacana Kritis, terdapat pandangan bahwa wacana adalah alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, dominasi budaya dan ilmu pengetahuan. Untuk itu, dalam menganalisis wacana juga harus memperhatikan masalah ideologi dan sosio kultural yang melatarbelakangi penulisan suatu wacana.



B. Target pembahasan makalah : 1. Untuk mengetahui siapa saja tokoh-tokoh Analisis wacana kritis dan bagaimana pandangan-pandangannya. 2. Untuk memahami bagaimana menganalisis wacana ideologi. 3. Untuk menjelaskan bagaimana menganalisis wacana berdasarkan konteks sosial. BAB II PEMBAHASAN A. TOKOH-TOKOH ANALISIS WACANA KRITIS Terdapat banyak tokoh AWK diantaranya adalah : 1. Michel Foucault ü Lahir di Poitiers Perancis, tahun 1926. ü Bidang ilmu yang digelutinya : filsafat, sejarah, psikologi dan psikopatologi. ü Buku-buku hasil karyanya : Penyakit Mental dan Kepribadian, Sejarah Kegilaan, The Birth of The Clinic, Archeology of Human Sciences, Disciplines and Punish dan trilogi The History of Sexuality. ü Karier : Sebagai staf pengajar pada Universitas Uppsala (Swedia) untuk bidang sastra dan kebudayaan Perancis, Dosen di berbagai Universitas di Perancis, dan pendiri Universitas Paris Vincenes. ü Meninggal dunia dalam usia 57 tahun pada tahun 1984. ü Inti Pemikiran Foucault : a) Wacana Wacana menurut Foucault bukan hanya sebagai rangkaian kata atau proposisi dalam teks, melainkan sesuatu yang memproduksi sesuatu yang lain. Sehingga dalam menganalisis wacana hendakny memperimbangkan peristiwa bahasa dengan melihat bahasa sebagai dua segi yaitu segi arti dan referensi. Wacana merupakan alat bagi kepentingan kekuasaan, hegemoni, diminasi budaya dan ilmu pengetahuan. Dalam masyarakat, ada wacana yang dominan dan ada wacana yang terpinggirkan. Wacana yang dominan adalah wacana yang dipilih dan didukung oleh kekuasaan, sedangkan wacana lainnya yang tidak didukung akan terpinggirkan (marginalized) dan terpendam (submerged). b) Discontinuitas Foucault menolak teori mengenai sejarah yang berjalan linier dan kontinyu “contonuous history”, karena itu dia mengajukan konsep discontinuitas sejarah. Foucault lebih tertarik pada kejadian biasa atau peristiwa kecil yang diabaikan oleh ahli sejarah, daripada analisis sejarah tradisional yang cenderung mempertanyakan strata dan peristiwa mana yang harus diisolasi dari yang lain, jenis hubungan yang harus dikonstruksi serta kriteria periodisasi. Biasanya analisis tradisional hanya menyoroti sejarah “orang-orang besar.” c) Kuasa dan Pengetahuan Menurut Foucault, kekuasaan dan pengetahuan adalah dua hal yang selalu berkaitan. Menurutnya, kekuasaan selalu terakumulasi melalui pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa.Konsep ini membawa konsekuensi untuk mengetahui bahwa untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Foucault meyakini bahwa kuasa tidak bekerja melalui represi, tetapi melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif.



d)



Episteme Foucault membedakan tiga jaman episteme yaitu : Abad Renaisan yang menekankan pada resemblance (kemiripan), Abad Klasik yang menekankan pada representastion (representasi) dan Abad Modern yang menekankan pada signification (signifikasi) atau pemaknaan.



2. Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew (Fowler dkk) ü Fowler, Hodge, Kress dan Trew adalah sekelompok pengajar di Universitas Eart Anglia (aliran Linguistik Eropa Kontinental). Karya mereka adalah sebuah buku yang berjudul Language and Central (1979) dengan pendekatan Critical Linguistic yang memandang bahwa bahasa dikenal sebagai praktik sosial. Pendekatan ini dikembangkan dari teori linguistik para peneliti yang melihat bagaimana tata bahasa (grammar) tertentu menjadikan kata tertentu (diksi) membawa implikasi dan ideologi tertentu (Darma ü Dalam membangun model analisisinya, mereka mendasarkan pada penjelasan Halliday mengenai struktur dan fungsi bahasa yang menjadi struktur tata bahasa. ü Dalam praktik penggunaan tata bahasa, maka kosa kata merupakan pilihan kata (diksi) untuk mengetahui praktik ideologi. Adapun fungsi kosa kata diantaranya sebagai berikut : 1. Kosakata Karena bahasa merupakan sistem klasifikasi, maka bahasa yang berbeda itu akan menimbulkan realitas yang berbeda pula ketika diterima oleh khalayak. 2. Kosakata : membuat klasifikasi Bahasa pada dasarnya menyediakan klasifikasi, sehingga dapat dibedakan antara realitas yang satu dengan yang lainnya. Klasifikasi ini bermakna bagaimana suatu peristiwa itu dilihat dari suatu sisi sehingga memaksa kita untuk bagaimana memahami realitas. 3. Kosakata : Membatasi Pandangan Menurut Fowler dkk, bahasa pada dasarnya bersifat membatasi. Kosakata berpengaruh terhadap bagaimana kita memahami dan memaknai suatu peristiwa. Sehingga ketika suatu kosakata tertentu, akan dihubungkan dengan realitas tertentu. 4. Kosakata : Pertarungan wacana Kosakata haruslah dipahami dalam konteks pertarungan wacana. Setiap pihak memiliki pendapat sendiri-sendiri dalam suatu masalah, sehingga selalu berusaha supaya hanya pendapatnya saja yang paling benar. Dalam upaya memenangkan opini publik, masing-masing pihak menggunakan kosakata sendiri-sendiri dan berusaha memaksakan agar kosakata itulah yang lebih diterima oleh publik. 5. Kosakata : marginalisasi Kosakata membawa nilai ideologis, kata bukan sesuatu yang netral, tetapi membawa ideologi tertentu. 6. Tata Bahasa Fowler dkk menyatakan bahwa minimal ada dua hal yang harus diperhatikan yakni efek bentuk kalimat pasif dan efek nominalisasi. Kedua efek ini cenderung menghilangkan pelaku dalam sebuah teks. 3. Theo Van Leeuwen ü Theo Van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarginalisasikan posisinya dalam



suatu wacana. Kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemakaiannya, sementara kelompok lain yang posisinya rendah cenderung untuk terus-menerus menjadi obyek pemaknaan dan digambarkan secara buruk. ü Ada dua pusat perhatian dalam analisis Van leeuwen, yaitu : 1. Proses pengeluaran (eksklusi) apakah dalam suatu teks berita ada aktor atau kelompok yang dikeluarkan dari pemberitaan, dan strategi wacana apa yang dipakai untuk itu. 2. Proses pemasukan (inklusi) yaitu proses dimana suatu pihak atau kelompok ditampilkan lewat pemberitaan. 4. Sara Mills ü Sara Mills menjadikan teori wacana Foucault sebagai ground teori untuk analisis wacana kritis. ü Konsep dasar pemikiran Mills lebih melihat pada bagaimana aktor ditampilkan dalam teks baik dia berperan sebagai subyek maupun obyek. ü Ada dua konsep dasar yang diperhatikan yaitu posisi Subyek-Obyek, menempatkan representasi sebagai bagian terpenting. Bagaimana seseorang, kelompok, pihak, gagasan dan peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana dan memengaruhi makna khalayak. Penekanannya adalah bagaimana posisi dari aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa ditempatkan dalam teks. ü Selain posisi aktor dalam teks, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis bisa ditampilkan. Posisi pembaca memengaruhi bagaimana seharusnya teks itu dipahami dan bagaimana aktor sosial ditempatkan. Penceritaan dan posisi ini menjadikan satu pihak legitimate dan pihak lain illegitimate. Karena Sara Mills adalah seorang feminist, maka aktor yang sering dia tampilkan dalam karyanya adalah perempuan. 5. Teun A. Van Dijk ü Analisis Wakana Kritis Moden van Dijk dikenal denganmodel “kognisi sosial” yaitu medel analisis yang tidak hanya mendasarkan pada analisis teks semata, tetapi juga proses produksi wacana tersebut yang dinamakan kognisi sosial. Dijk berusaha untuk menyambungkan wacana dengan konteks sosialnya. Dalam hal ini konteks sosial sebagai elemen besar struktur sosial (stuktur makro) dan elemen wacana seperti gaya bahasa, kalimat dan lain-lain (struktur mikro). ü Wacana menurut Van Dijk memiliki tiga dimensi : teks, kognisi sosial dan konteks. 1. Dalam teks (stuktur mikro)Van Dijk berusaha meneliti dan mamaknai bagaimana struktur teks dan strategi wacana secara kebahasaan (bentuk kalimat, pilihan kata, metafora yang dipakai) 2. Pada level kognisi sosial dipelajari bagaimana proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. 3. Pada level konteks sosial (struktur makro) mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah 6. Norman Fairclough ü Analisis Wacana Kritis Model Fairclough disebut dengan model perubahan sosial (social change), yaitu mengitegrasikan secara bersama-sama analisis wacana yang didasarkan pada linguistik, pemahaman sosial politik terhadap perubahan sosial. ü Menurut Fairclough bahasa sebagai praktik sosial mengandung implikasi bahwa :



1.



Wacana adalah bentuk dari tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai tindakan pada dunia dan khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat realita. 2. Adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial , kelas, dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dan institusi tertentu seperti pada buku, pendidikan, sosial dan klasifikasi. ü Fairclough membagi wacana dalam tiga dimensi yaitu teks, discourse practice, dan Sociocultural Practice . 1. Teks dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosa kata, semantik dan tata kalimat termasuk keherensi dan kohesivitas yang bertujuan untuk melihat elemenelemen idesional, relasi dan identitas suatu wacana. 2. Discourse practice berhubungan dengan bagaimana proses produksi dan konsumsi teks. 3. Sociocultural Practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks seperti konteks situasi, konteks dan praktik institusi dari media dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya politik tertentu. B. Analisis Wacana Kritis Ideologi A. Pengertian Ideologi · Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata idea dan logic yang artinya adalah pengucapan dari yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus di dalam pikir sebagai hasil dari pemikiran. · Menurut KBBI (2007:417) ideologi adalah : 1. Kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup; 2. Cara berpikir seseorang atau suatu golongan; 3. Paham, teori dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik. · Menurut kamus Sosiologi (Sukanto, 1985; Darma, 2009) ideologi adalah : 1. Perangkat kepercayaan yang ditentukan secara sosial; 2. Sistem Sosial yang melindungi kepentingan golongan elit; 3. Sistem kepercayaan. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi adalah seperangkat gagasan/kepercayaan yang dimiliki oleh golongan tertentu yang mempunyai tujuan sehingga menuntuk orang yang meyakininya melakukan tindakantindakan tertentu. B. Penggunaan istilah ideologi Secara Umum ideologi dimaknai sebagai : 1. Ideologi sebagai kesadaran palsu; menurut Magnis-Suseno : ideologi dianggap sebagai sistem berpikir yang sudah terkena distorsi entah disadari atau tidak. Ideoologi dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya secara tidak wajar. Contohnya pada zaman Soeharto media massa diposisikan secara sistematis sebagai aparatus ideologis negara meskipun posisinya diluar kekuasaan. Fungsinya adalah untuk menciptakan kesadaran palsu bagi masyarakat agar kepentingan-kepentingan (penguasa) negara bisa berjalan. 2. Ideologi dalam arti netral Nilai ideologi dalam hal ini terganting dari isinya, kalau isinya baik, ideologi itu baik, kalau isinya buruk, dia buruk. Ideologi ini dianut oleh negara-negara. 3. Ideologi : keyakinan yang tidak ilmiah



C. 1.



Ø Ø Ø 2. a.



b.



3.



Ideologi menurut ilmu filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang berhaluan positivistik adalah segala pemikiran yang tidak dapat tites secara matematis-logis atau empiris. Ideologi itu tidak rasional, di luar nalar, jadi merupakan kepercayaan dan keyakinan subyektif semata-mata tanpa kemungkinan untuk mempertanggungjawabkannya secara obyektif. Ideologi dalam Kerangka Multidisiplin : Wacana, Kognisi dan Masyarakat Ideologi sebagai kognisi sosial Ideologi merupakan aspek kesadaran “asli” dan “palsu” tingkat kognisi seseorang yang berhubungan dengan : Jenis keyakinan Ideologi memiliki dimensi evaluative karena biasanya suatu ideologi bertentangan dengan ideologi lainnya Memori dan representasi (pengetahuan sosial budaya, latar masyarakat, pendapat dan sikap dan ideologi sebagai representasi sosial Struktur ideologi Ideologi memiliki sistem dan struktur sebagai berikut : Format proposisi keyakinan ideologis yaitu makna yang mengekspresikan pikiran lengkap entah itu benar atau salah. Misalnya : “laki-laki dan perempuan harus mempunyai hak yang sama”. Organisasi Ideologi : Setidaknya ada enam kategori dalam struktur ideologi antara lain Kriteria keanggotaan, kegiatan umum, tujuan, norma-norma/nilai-nilai, posisi dan sumber Dari ideologi ke wacana dan sebaliknya : Ideologi dapat berupa ideologi sikap atau ideologi pengetahuan. Ideologi dapat mempengaruhi sikap dalam bertindak, Demikian juga ideologi dapat memengaruhi pengetahuan. Untuk menghubungkan ideologi dengan wacana dapat terjadi melalui bentuk-bentuk lain dari kognisi sosial, atau pengetahuan kelompok. Hubungan antara kognisi sosial dan wacana dapat diskemakan sebagai berikut : Interaksi/wacana Kognisi sosial Grup pengetahuan



Sikap kelompok Ideologi grup Pengetahuan Sosial-Budaya (Common Ground) 4. Struktur Wacana Ideologi Ideologi mempengaruhi proses produksi wacana. Ideologi mungkin ditunjukkan di hampir semua struktur teks atau pembicaraan, tapi di sisi lain mungkin lebih khas untuk beberapa struktur lainnya seperti gaya dan makna semantik lebih mungkin akan



terpengaruh oleh ideologi baik dalam segi morfologi (pembentukan kata) maupun aspek sintaksis (kalimat).



1.



2.



3.



4. 5.



6.



7.



8.



Strategi Praktis Analisis Ideologi Umum Karena wacana sangat kompleks, dan karena struktur ideologis dapat dinyatakan dalam berbagai cara, sangat berguna untuk memiliki metode praktis ‘heuristic’ untuk menemukan ideologi dalam teks dan pembicaraan. Dengan kata lain, wacana memiliki banyak cara dalam menekankan/menentukan arti dan setelah memiliki ideologi dasar, kita dapat menganalisis ekspresi ideologi pada tingkat banyak wacana, seperti : Arti. Konten ideologis yang paling langsung disajikan dalam wacana adalah makna. Karena arti kata-kata, kalimat dan wacana seluruhnya luar biasa kompleks. Makna biasanya tersirat dalam topik, tingkat deskripsi ; tingkat detail, implikasi dan pengandaian, koherensi lokal, sinonim dan parafrase, kontras, contoh dan ilustrasi serta penyangkalan. Struktur proposisional. Makna wacana diungkapkan dalam bentuk proposisi. Satu kalimat menyatakan satu atau lebih proposisi yang mungkin benar atau salah. Struktur proposisional wacana ideologi meliputi : aktor, modalitas, Bukti, perlindungan dan ketidakjelasan nilai, topik baik dalam mendefinisikan teks rasis maupun anti-rasis. Struktur Formal. Secara tidak langsung ideologi yang mendasari suatu wacana dapat mempengaruhi struktur formal teks dan pembicaraan : bentuk klausa atau kalimat, bentuk argumen, urutan sebuah berita, ukuran informasi utama dan seterusnya. Struktur kalimat. Dengan menggunakan kalimat yang berbeda bentuk, urutan katakata memiliki implikasi ideologis. Bentuk wacana. Secara umum, seperti dalam kalimat, informasi yang diungkapkan pada awal teks sehingga menerima penekanan ekstra: itu harus dibaca secara keseluruhan terlebih dahulu agar memiliki kontrol yang lebih atas interpretasi dari sisa teks dari informasi yang dinyatakan di akhir teks. Argumentasi. Dalam wacana argumentatif setiap peserta mencoba untuk membuat sudut pandangnya lebih dapat diterima, dengan merumuskan ‘argumen’ yang konon untuk mempertahankan sudut pandang yang dipilih. Retorika. Biasanya struktur digambarkan dalam bentuk retorika klasik dalam hal gaya bahasa seperti aliterasi, metafora, simile, ironi, litotes dan eufemisme. Contoh, wacana rasis akan menampilkan banyak eufemisme ketika mengacu pada ketimpangan etnis, rasisme atau diskriminasi. Aksi dan interaksi. Salah satu komponen penentu sebuah wacana adalah aksi dan interaksi. Wacana yang diucapkan dalam situasi tertentu mungkin menyelesaikan tindak tutur dari pernyataan, tuduhan janji pertanyaan, atau ancaman. Analisis Wacana Kritis untuk Menggali Suatu Ideologi AWK mempelajari tentang dominasi suatu ideologi serta ketidakadilan dijalankan dan dioperasikan melalui wacana. Fairclough mengemukakan bahwa AWK melihat wacana sebagai bentuk dan praktik sosial. Praktik wacana menampilkan efek ideologi. Ideologi merupakan konsep sentral dalam AWK, misalnya wacana sastra adalah bentuk ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Ideologi ini dikontruksikan oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strateginya adalah membuat kesadaran khalayak, bahwa dominasi



itu diterima secara taken for granted. Ideologi dalam hal ini secara inheren bersifat sosial dan AWK melihat wacana sebagai bentuk dari praktik sosial. Studi kritis terhadap bahasa menyoroti bagaimana konvensi dan praktik berbahasa terkait dengan hubungan kekuasaan dan proses ideologis yang sering tidak disadari oleh masyarakat. Beberapa pokok pikiran tentang studi kritis terhadap bahasa adalah: 1. Wacana dibentuk oleh masyarakat 2. Wacana membantu membentuk dan mengubah pengetahuan serta objekobjeknya, hubungan sosial, dan identitas sosial 3. Wacana dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan terkait dengan ideologi 4. Pembentukan wacana menandai adanya tarik-ulur kekuasaan (power struggles) 5. Wacana mengkaji bagaimana masyarakat dan wacana saling membentuk satu sama lain C.Analisis Wacana Kritis Konteks Sosial Konteks Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi : siapa yang mengomunikasikan, dengan siapa dan mengapa, dalam jenis khalayak dan situasi apa, melalui medium apa, bagaimana perbedaan tipe dan perkembangan komunikasi, dan hubungan untuk masing-masing pihak. Tiga hal sentaralnya adalah teks, konteks, dan wacana. 1. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi semua jenis ekspresi komunikasi. 2. Konteks adalah memasukan semua jenis situasi dan hal yang berada diluar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, situasi dimana teks itu diproduksi serta fungsi yang dimaksudkan. 3. Wacana dimaknai sebagai konteks dan teks secara bersama. Titik perhatianya adalah analisis wacana menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam proses komunikasi. Titik tolak dari analisis wacana di sini, bahasa tidak bisa dimengerti sebagai mekanisme internal dari linguistik semata, bukan obyek yang diisolasi dalam ruang tertutup. Bahasa di sini dipahami dalam konteks secara keseluruhan. Ada dua konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana : Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnis, agama, dalam banyak hal relevan dalam menggambarkan wacana. Misalnya, seseorang berbicara dalam pandangan tertentu karena ia laki-laki, atau karena ia berpendidikan. Kedua, setting sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana. Misalnya pembicaraan di tempat kuliah berbeda dengan di jalan. Setting, seperti tempat itu privat atau publik, dalam suasana formal atau informal, atau pada ruang tertentu memberikan wacana tertentu pula. Berbicara di ruang kelas berbeda dengan berbicara di rumah, dan juga di pasar, karena situasi sosial atau aturan yang melingkupinya berbeda, menyebabkan partisipan komunikasi harus menyesuaikan diri dengan konteks yang ada. Oleh karena itu,



wacana harus dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan sosial yang mendasarinya. Analisis Wacana Kritis dan Penggunaan Bahasa dalam Konteks Sosial Analisis wacana berarti menganalisis kaidah, perpindahan, dan strategi tuturan berbahasa sehari-hari dengan konteks sosial yang amat terbatas. Para analis wacana semakin menyadari akan beragamnya pilihan dan keluasan objek penelitian linguistik, yaitu penggunaan bahasa yang aktual dalam konteks sosialnya. Paradigma psikologi dan intelektual disangsikan keakuratannya dalam menganalisis wacana yang sarat dengan berbagai fitur konteks sosial yang luas, seperti gender, kekuasaan, status, etnis, peran, dan latar institusi. Baik teks maupun wacana secara bergantian digunakan dalam analisis wacana. Kress mengungkap tentang istilah teks dan wacana cenderung digunakan tanpa perbedaan yang jelas. Kajian wacana lebih menekankan pada persoalan isi, fungsi, dan makna sosial dalam penggunaan bahasa. Sedangkan diskusi-diskusi dengan dasar dan tujuan yang lebih linguistis cenderung menggunakan istilah teks. Kajian teks lebih menekankan pada persoalan matrialitas, bentuk, dan struktur bahasa. Brunner dan Grafaen (Wodak, 1996:13) mengemukakan bahwa istilah wacana berakar pada sosiologi, sementara istilah teks berakar pada filologi dan sastra. Wacana dipahami sebagai unit-unit dan bentuk-bentuk tuturan dari interaksi yang menjadi bagian dari perilaku linguistis sehari-hari, tetapi dapat muncul secara sama dalam lingkungan institusional. Wacana memerlukan kehadiran bersama dari penutur dan pendengar (interaksi face to face), tetapi dapat dikurangi ke arah kehadiran bersama yang temporal (misalnya dalam telepon). Dalam konteks teori perilaku linguistis, adalah penting untuk menentukan “teks”, perilaku linguistis itu yang materinya dibuat dalam teks dipisahkan dari situasi tuturan umum yang hanya sebagai perilaku reseptif pembaca, dasar umumnya dipahami dalam makna sistematis, bukan makna historis. Dalam teks, perilaku ujaran memiliki kualitas pengetahuan dalam melayani transmisi serta disimpan untuk penggunaan sesudahnya dalam bentuk tertulis yang konstitutif untuk penggunaan istilah sehari-hari. Oleh karena itu, teks lebih dipandang sebagai fenomena linguistis yang berdiri sendiri dan terpisah dari situasi tuturan. Sementara itu, wacana merupakan teks yang berada dalam situasi tuturan menurut van Dijk wacana adalah teks “dalam konteks”. Dalam wacana terkandung makna konteks yang lebih luas. Wodak merumuskan wacana sebagai totalitas interaksi dalam ranah tertentu (misalnya wacana gender). Wacana itu dikuasai secara sosial dan dikondisikan secara sosial. Untuk tujuan analisis wacana harus dilihat dari tiga dimensi secara simultan (Fairclough, 1995: 98), yaitu teks-teks bahasa, praktis kewacanaan, praktis sosialkultural. Menganalisis sebuah wacana secara kritis pada hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana tersebut sebagai aplikasi dialektis. Bahasa, Teks, dan Konteks Sosial dalam Analisis Wacana Kritis Bahasa sebagai Semiotik Sosial Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna, seperti tradisi, mata pencaharian, dan sistem sopan santun, secara bersama-sama membentuk budaya manusia. Dalam proses sosial ini, konstruk realitas tidak dapat dipisahkan dari konstruk sistem semantis, di tempat realitas itu dikerjakan. Dalam tingkatan yang sangat konkret, bahasa tidak berisi kata-kata, klausa-klausa atau kalimat-kalimat,



tetapi bahasa berisi teks atau wacana, yakni pertukaran makna. Dalam konteks interpersonal, konteks tempat makna itu dipertahankan, sama sekali bukan tanpa nilai sosial. Melalui tindakan makna sehari-hari, masyarakat memerankan struktur sosial, menegaskan status dan peran yang dimilikinya, serta menetapkan dan mendefinisikan sistem nilai dan pengetahuan. Teks Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan dikatakan oleh masyarakat dalam situasi yang nyata. Halliday (1978:40) menyatakan bahwa teks adalah suatu pilihan semantis data konteks sosial, yaitu suatu cara pengungkapan makna melalui bahasa lisan atau tulis. Semua bahasa hidup yang mengambil bagian tertentu dalam konteks situasi dapat disebut teks. Dalam hal ini ada empat catatan mengenai teks yang perlu dikemukakan sebagai berikut: 1) Teks pada hakikatnya adalah sebuah unit semantis 2) Teks dapat memproyeksikan makna pada level yang lebih tinggi 3) Teks pada hakikatnya sebuah proses sosiosemantis 4) Situasi merupakan faktor penentu teks Konteks Situasi Halliday menyebutkan bahwa situasi merupakan lingkungan tempat teks datang pada kehidupan. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya. Dalam pandangan Halliday, konteks situasi terdiri dari tiga unsur, yaitu medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Jones memandang medan wacana sebagai konteks situasi yang mengacu pada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusional tempat satuan-satuan bahan itu muncul. Dalam medan wacana terdapat tiga hal yang perlu diungkap, yaitu ranah pengalaman, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang. Jones melihat bahwa pelibatan wacana sebagai konteks situasi yang mengacu pada hakikat hubungan timbal balik antarpartisipan termasuk pemahaman dan statusnya dalam konteks sosial dan linguistik. Ada tiga hal yang perlu diungkap dalam pelibat wacana, yaitu peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial. Ada tiga wacana tentang realitas sosial, yaitu: 1) Wacana adalah bagian dari aktivitas sosial 2) Representasi, yaitu suatu proses dari praktik-praktik sosial Wacana menggambarkan bagaimana sesuatu terjadi dalam identitas-identitas konstitusi



3)



BAB III PENUTUP I.



Kesimpulan



Dari uraian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa : 1. Tokoh-tokoh Analisis Wacana yaitu Michel Foucault, Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew, Theo Van Leeuwen, Sara Mills, Teun A. Van Dijk, dan Norman Fairclough. Masing-masing dari mereka memiliki cara pendekatan tersendiri dalam menganalisis suatu wacana. Terdapat empat tokoh yang memiliki pandangan dan pendekatan yang sama yaitu Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew (Fowler dkk). 2. Karena wacana sangat kompleks, dan karena struktur ideologis dapat dinyatakan dalam berbagai cara, sangat berguna untuk memiliki metode praktis ‘heuristic’ untuk menemukan ideologi dalam teks dan pembicaraan. Setelah diketahui ide dasarnya, maka wacana dapat dianalisis melalui : arti (konten ideologis), struktur proposisional, struktur formal, struktur kalimat, retotika, argumentasi, aksi dan reaksi. 3. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya. Dalam pandangan Halliday, konteks situasi terdiri dari tiga unsur, yaitu medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. II. Saran Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu masukan-masukan dan kritik yang konstruktif sangat kami perlukan sebagai bahan perbaikan dan penyempurnaan ke depan. Namun demikian, kami sangat mengharapkan bahwa makalah ini nantinya bermanfaat bagi para pembacanya.



DAFTAR PUSTAKA Badara, Aris. 2012. Analisis wacana Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Darma, Yoce, A. 2014. Analisis Wacana Kritis. Bandung : PT. Refika Aditama.



**(Dari berbagai sumber) Van Dijk Foucault