Crohn Disease & Kolitis Ulseratif [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1.1. DEFINISI Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada saluran cerna dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohn’s disease dapat melibatkan setiap bagian dari saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering menyerang usus halus dan colon ([1]).



1.2. ASPEK SEJARAH CROHN’S DISEASE Kasus Crohn’s disease pertama kali didokumentasikan dan dideskripsikan oleh Morgagni pada tahun 1761. Pada tahun 1931, Dalziel, seorang ahli bedah berkebangsaan Skotlandia, mendeskripsikan sembilan kasus penyakit inflamasi saluran cerna. Deskripsi mengenai gambaran klinis dan patologis yang terperinci mengenai penyakit ini dilakukan oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun 1932 (1). Meskipun penyakit ini akhirnya diberi nama Crohn’s disease, namun masih belum dibedakan secara sempurna dari penyakit colitis ulcerativa hingga tahun 1959 ([2]). Saat ini, diagnosis Crohn’s disease mencakup aspek klinis, radiologis, endoskopis, patologis, dan pemeriksaan spesimen faeces. Radiografi dengan menggunakan zat kontras dapat menentukan luasnya kelainan, tingkat keparahan dan perjalanan penyakit. Pencitraan computed tomography (CT scanning) memungkinkan pencitraan potong lintang untuk menentukan keterlibatan mural dan ekstramural. Endoskopi memungkinkan visualisasi langsung ke mukosa dan memungkinkan pengambilan spesimen biopsi untuk kepentingan pemeriksaan histologis. Ultrasonografi and MRI memberikan alternatif pencitraan potong lintang terhadap individu-individu yang tidak memungkinkan menerima paparan radiasi (2).



1.3. EPIDEMIOLOGI Secara umum Crohn’s disease merupakan penyakit bedah primer usus halus, dengan insidens sekitar 100.000 kasus per tahun. Insidens tertinggi didapatkan di Amerika Utara dan Eropa Utara (1). Di Amerika Serikat, dan Eropa Barat insidens Crohn’s disease mencapai 2 kasus per 100.000 populasi, dengan prevalensi sekitar 20 – 40 kasus per 100.000 populasi (2). Dilaporkan bahwa telah terjadi peningkatan insidens Crohn’s disease secara dramatis di Amerika Serikat antara tahun 1950-an hingga 1970-an, untuk selanjutnya menjadi stabil pada tahun 1980-an ([3]). Menurut jenis kelamin, insidens Crohn’s disease lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, dengan rasio 1,1 – 1,8 : 1. Beberapa ahli percaya bahwa distribusi jenis kelamin ini berhubungan dengan proses-proses autoimun yang terjadi pada Crohn’s disease (2).



Crohn’s disease mempunyai 2 puncak insidens berdasarkan kelompok usia. Puncak insidens pertama adalah pada 18 – 25 tahun. Puncak usia berikutnya adalah antara 60 – 80 tahun. Pada pasien yang berusia lebih muda dari 20 tahun Crohn’s disease lebih banyak menyerang usus halus, sedangkan pada yang berusia diatas 40 tahun Crohn’s disease lebih banyak menyerang colon. Penyebab perbedaan lokasi penyakit ini tidak diketahui (2,3). Meskipun Crohn’s disease dapat menyerang setiap bagian dari saluran cerna, namun terdapat tiga lokasi primer baik secara klinis maupun anatomis yang paling sering, yaitu hanya usus halus saja (30%), usus halus bagian distal dan colon (45%), dan hanya colon saja (25%). 30% dari seluruh kasus Crohn’s disease terjadi bersamaan dengan penyakit rektal, dan 33 – 50% terjadi bersamaan dengan penyakit perianal seperti fisura ani, abses perianal, dan fistula perianal (1,2).



1.4. ETIOLOGI DAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO Etiologi dari Crohn’s disease masih belum diketahui (1,2,3,[4]). Terdapat beberapa penyebab potensial yang diperkirakan secara bersama-sama menimbulkan Crohn’s disease, yang paling mungkin adalah infeksi, imunologis, dan genetik. Kemungkinan lain adalah faktor lingkungan, diet, merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan psikososial. (1,2,3,[5]). 1.4.1. Faktor Infeksi Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga merupakan penyebab potensial Crohn’s disease, namun terdapat dua agen infeksi yang paling menarik perhatian yaitu mycobacteria, khususnya Mycobacterium (1) paratuberculosis dan virus measles . Infeksi lain yang diperkirakan menjadi penyebab Crohn’s disease adalah Chlamydia, Listeria monocytogenes,Pseudomonas sp, dan retrovirus (3). 1.4.2. Faktor Imunologis Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada pasien-pasien dengan Crohn’s disease mencakup reaksi-reaksi imunitas humoral dan seluler yang menyerang sel-sel saluran cerna, yang menunjukkan adanya proses autoimun. Faktorfaktor yang diduga berperanan pada respons inflamasi saluran cerna pada Crohn’s disease mencakup sitokin-sitokin, seperti interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8, dan TNF (tumor necroting factor). Peranan respons imun pada Crohn’s disease masih kontroversial, dan mungkin timbul sebagai akibat dari proses penyakit dan bukan merupakan penyebab penyakit (1).



1.4.3. Faktor Genetik Faktor genetik tampaknya memegang peranan penting dalam patogenesis Crohn’s disease, karena faktor risiko tunggal terkuat untuk timbulnya penyakit ini adalah adanya riwayat keluarga dengan Crohn’s disease (1). Sekitar 1 dari 5 pasien dengan Crohn’s disease (20%) mempunyai setidaknya satu anggota keluarga dengan penyakit yang sama (3). Pada berbagai penelitian didapatkan bahwa Crohn’s disease berhubungan dengan kelainan pada gen-gen HLA-DR1 danDQw5 (2). 1.4.4. Faktor-faktor Lain Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI merupakan faktor proteksi terhadap timbulnya Crohn’s disease (3). Merokok dan penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko timbulnya Crohn’s disease dan risiko ini meningkat sejalan dengan lamanya penggunaan (2).



1.5. PATOLOGI Stadium dini Crohn’s disease ditandai dengan limfedema obstruktif dan pembesaran folikel-folikel limfoid pada perbatasan mukosa dan submukosa. Ulserasi mukosa yang menutupi folikel-folikel limfoid yang hiperplastik menimbulkan pembentukkan ulkus aptosa. Pada pemeriksaan mikroskopis, ulkus aptosa terlihat sebagai ulkus-ulkus kecil yang berbatas tegas dan tersebar, dengan diameter sekitar 3 mm dan dikelilingi oleh daerah eritema. Sebagai tambahan, lapisan mukosa menebal sebagai akibat dari inflamasi dan edema, dan proses inflamasi tersebut meluas hingga melibatkan seluruh lapisan usus (3,5). Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih dalam dan sering menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin buruknya penyakit, dinding usus menjadi semakin menebal dengan adanya edema dan fibrosis, dan cenderung menimbulkan pembentukkan striktura. Karena lapisan serosa dan mesenterium juga mengalami inflamasi, maka lengkungan-lengkungan usus menjadi saling menempel. Akibatnya, ulkus-ulkus yang telah meluas hingga keseluruhan dinding usus akan membentuk fistula antar lengkungan usus yang saling menempel. Tetapi lebih sering terjadi saluran sinus yang berakhir buntu ke dalam suatu cavitas abses di dalam ruang peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum (5).



1.6. DIAGNOSIS 1.6.1. Anamnesis Gambaran klinis umum pada Crohn’s disease adalah demam, nyeri abdomen, diare, dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen merupakan gejala utama keterlibatan colon. Perdarahan per rectal lebih jarang terjadi. Keterlibatan usus halus



dapat berakibat nyeri yang menetap dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen (2,3,5). 1.6.2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen yang dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien juga dapat menderita anemia ringan, leukositosis, dan peningkatan LED (2). Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Pada stadium dini, obstruksi pada ileum yang terjadi akibat edema dan inflamasi bersifat reversibel. Sejalan dengan makin memburuknya penyakit, akan terbentuk fibrosis, yang berakibat menghilangnya diare yang digantikan oleh konstipasi dan obstruksi sebagai akibat penyempitan lumen usus (2). Pembentukkan fistula sering terjadi dan menyebabkan abses, malabsorpsi, fistula cutaneus, infeksi saluran kemih yang menetap, atau pneumaturia. Meskipun jarang, dapat terjadi perforasi usus sebagai akibat dari keterlibatan transmural dari penyakit ini (2,3). 1.6.3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto polos, x-foto kontras tunggal saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus halus atauenteroclysis dengan CT, dan pemeriksaan kontras ganda usus halus. USG dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang jika terdapat masalah dengan penggunaan kontras. Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang berguna dalam diagnosis Crohn’s disease, atau yang berhubungan dengan aktivitas klinis penyakit. Pemeriksaan radiologi pada Crohn’s disease akan dibahas lebih lanjut pada Bab II.



1.7. DIAGNOSIS BANDING Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai doagnosis banding Crohn’s disease antara lain (2):  Cholangitis  Colitis iskemik  Colitis pseudomembranosa  Diverticulitis colon  Tuberculosis gastrointestinalis  Colitis ulserativa  Enteritis infeksiosa



 Colitis infeksiosa



1.8. PENATALAKSANAAN 1.8.1. Terapi Medikamentosa Penatalaksanaan medikamentosa Crohn’s disease dapat dibagi menjadi terapi terhadap kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan. Dalam terapi terhadap kekambuhan akut, pemicu-pemicu seperti infeksi yang mendasari, fistula, perforasi, dan proses patologi lainnya harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum dilakukannya terapi glukokortikoid intravena (2). Obat-obatan yang digunakan dalam terapi terapi Crohn’s disease mencakup antibiotika, aminosalisilat, kortikosteroid, dan imunomodulator (3). Sebagai terapi utama pada kondisi akut, hidrokortison atau metilprednisolon intravena sering digunakan sebagai tambahan terhadap metronidazole dan pengistirahatan usus. Penggunaan terapi steroid terbatas untuk mencapai respons yang cepat dalam waktu singkat karena pada penggunaan jangka lama mempunyai berbagai efek samping, seperti osteonekrosis, myopati, osteoporosis, dan gangguan pertumbuhan. Dapat pula digunakan inhibitor imunitas yang diperantarai sel yaitu cyclosporine secara intravena jika pasien menunjukkan respons yang buruk terhadap terapi kortikosteroid (2,3). Tujuan dari terapi kronis adalah menghilangkan inflamasi usus. Aminosalisilat merupakan terapi pilihan karena aktivitas antiinflamasinya. Berbagai obat telah digunakan, yang masing-masing mempunyai target lokasi yang berbeda pada usus. Sulfasalazine dan balsalazide terutama dilepaskan di colon. Dipentum dan Asacol terutama dilepaskan di ileum distal dan colon. Pentasa dapat dilepaskan di duodenum hingga colon bagian distal, sementara Rowasa secara spesifik digunakan untuk rectum dan colon bagian distal (2,3). Methotrexate, azathioprine, dan 6-mercaptopurine adalah modulator sistem imun non-steroid yang dapat ditoleransi dengan baik. Azathioprine, yang secara nonenzymatis dikonversi di dalam tubuh menjadi 6-mercaptopurine, selanjutnya dimetabolisme menjadi asam thioinosinic, yang merupakan zat inhibitor sintesa purin. Efek samping dari azathioprine and 6-mercaptopurine jarang terjadi dibandingkan dengan steroid (2,3). Methotrexate, efektif untuk pasien-pasien yang tidak memberikan respons terhadap azathioprine dan 6-mercaptopurine. Efek samping utamanya mencakup leukopenia, nyeri pada saluran cerna, dan pneumonitis hipersensitivitas (2,3). Terapi yang baru adalah Infliximab, Etanercept dan CDP571 yang merupakan anti TNF-α, yang semakin luas dipergunakan dan menunjukkan hasil yang menjanjikan, dengan adanya peningkatan tingkat remisi hingga 48% setelah 4 minggu



terapi dan dengan penutupan fistula secara sempurna pada 55% pasien setelah 80 hari pemberian infliximab. Obat-obat lain seperti mycophenolate telah dikembangkan untuk menghambat sintesa nukleotida guanin dan oleh karena itu menghambat limfosit B dan T (2,3). 1.8.2. Terapi Bedah Antara 70 – 80% pasien dengan Crohn’s disease membutuhkan terapi bedah. Indikasi terapi bedah pada Crohn’s disease mencakup kegagalan terapi medikamentosa dan/atau timbulnya komplikasi, seperti obstruksi saluran cerna, perforasi usus dengan pembentukan fistula atau abses, perforasi bebas, perdarahan saluran cerna, komplikasi-komplikasi urologis, kanker, dan penyakit-penyakit perianal (1,2). Terapi bedah pada pasien dengan Crohn’s disease harus ditujukan kepada komplikasinya, hanya segmen usus yang terlibat dalam komplikasi saja yang direseksi dan tidak boleh lebih luas, untuk menghindari terjadinya short bowel syndrome (1). Anak-anak penderita Crohn’s disease dengan gejala-gejala sistemik seperti gangguan tumbuh-kembang, akan mendapatkan keuntungan dengan menjalani terapi bedah reseksi usus. Meskipun komplikasi ekstraintestinal Crohn’s disease bukan merupakan indikasi utama terapi bedah, namun sering mengalami perbaikan setelah reseksi usus (1). Reseksi segmental usus yang terbukti terlibat penyakit yang diikuti dengan anastomosis merupakan prosedur pilihan dalam terapi bedah Crohn’s disease. Alternatif prosedur lain dari reseksi segmental dari lesi-lesi yang mengobstruksi adalah stricturoplasty. Teknik ini memungkinkan ditinggalkannya daerah permukaan usus dan terutama cocok untuk pasien dengan penyakit yang menyebar luas dan telah mengalami striktura fibrotik yang mungkin telah pernah menjalani operasi sebelumnya dan dalam risiko timbulnya short bowel syndrome. Namun teknik stricturoplasty mempunyai risiko kekambuhan yang cukup tinggi. Prosedurprosedur bypass usus kadang-kadang perlu dilakukan jika telah terjadi abses-abses intramesenterial atau jika usus yang sakit telah bersatu membentuk massa inflamasi yang padat, yang tidak memungkinkan dilakukannya mobilisasi usus. Prosedur bypass (gastrojejunostomy) juga digunakan jika telah terjadi striktura duodenum, dimana prosedur stricturoplasty maupun reseksi segmental sulit dilakukan. Sejak tahun 1990-an, telah dilakukan prosedur operasi laparoskopik terhadap pasienpasien dengan Crohn’s disease, namun hasilnya masih belum memuaskan dan teknik operasinya sulit (3).



KOLITIS ULSERATIF



2.1



DEFINISI Kolitis ulseratif adalah salah satu dari 2 jenis utama penyakit radang usus (IBD) , bersama dengan penyakit Crohn . Tidak seperti penyakit Crohn, yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari saluran pencernaan, kolitis ulseratif bersifat hanya melibatkan usus besar, dan ileum terminal pada 10% pasien. (Gambar 1 dan 2). (Adam, 2010)



Gambar 1 Colitis sebagai divisualisasikan dengan kolonoskop



Gambar 2 Pada foto rontgen dengan single kontras pada pasien dengan kolitis total menunjukkan radang mukosa dengan berbagai bentuk



2.2



EPIDEMIOLOGI Penyebaran penyakit kolitis ulseratif ini sama dengan penyakit chron. Banyak ditemukan di negara barat dan sedikit di negara Asia dan Afrika. Akan tetapi akhir-akhir ini lebih banyak kasus Crohn ditemukan di Indonesia, mungkin juga karena lebih banyak orang berobat ke dokter dan adanya kemajuan di bidang



teknik untuk diagnosa. Insidensi penyakit kolitis ulseratif di Amerika Serikat kira-kira 15 per 100.000 penduduk secara respektif dan tetap konstan. Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000 penduduk. Sementara puncak kejadian penyakit tersebut adala usia 15-35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi dalam setiap dekade kehidupan. (Glickman RM, 2000) Di RSCM tahun 2001 – 2006 terdapat 3,9% pasien yang terdeteksi dari 1541 pasien yang dilakukan endoskopi, dan di RSGS tahun 2002 – 2006 terdapat 6,95% pasien yang terdeteksi sebagai kolitis ulseratif dari 532 pasien yang dilakukan endoskopi.( Djojoningrat dkk, 2011) 2.3



ETIOLOGI Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap belum diketahui, gambaran tertentu penyakit ini telah menunjukan beberapa kemungkinan penting. Hal ini meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikogenik. (Glickman RM, 2000)



 Faktor familial/ genetik Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih dibandingkan orang kulit hitam atau cina, dan insidensinya meningkat (3 sampai 6 kali lipat) pada orang Yahudi dibandingkan dengan non Yahudi. Hal ini menunjukan bahwa dapat ada predisposisi genetik terhadap perkembangan penyakit ini. (Glickman RM, 2000)  Faktor infeksi Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Disamping banyak usaha untuk menemukan agen bakteri, jamur, virus, belum ada yang sedemikian jauh diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel Pseudomonas atau agen lain yang dapat ditularkan yang dapat menghadirkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih harus dikonfirmasi. (Glickman RM, 2000)  Faktor imunologik Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini (misalnya artritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat menunjukkan



efek mereka melalui mekanisme imunosupresif. Pada 60-70% pasien dengan kolitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA (perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam patogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2, di mana pasien dengan p-ANCA negatif lebih cenderung menjadi HLADR4 positif. (Glickman RM, 2000)  Faktor psikologik Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang, sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi rentan terhadap stres emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya. (Glickman RM, 2000)  Faktor lingkungan Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit kolitis ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis ulseratif menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada dekade ke-3. Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit kolitis ulseratif di antara perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan risiko penyakit kolitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan yang bukan perokok. (Glickman RM, 2000)



2.4



PATOGENESIS Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria oleh limfosit, makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya belum jelas. Virus dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun sedikit yang mendukung adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD. Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen mikroba non patogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal. Hasilnya suatu mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada fungsi sel T atau produksi



sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora normal kolon. Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu autoantigen yang dihasilkan oleh epitel intestinal. Pada teori ini, pasien menghasilkan respon imun inisial melawan antigen lumenal, yang tetap dan diperkuat karena kesam/aan antara antigen lumenal dan protein tuan rumah. Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel epitelial oleh sitotoksisitas seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas cell-mediated secara langsung. (Price , 2005) Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam patogenesis IBD. Ada peningkatan sekresi antibodi oleh sel monomuklear intestinal, terutama IgG dan IgM yang melengkapi komplemen. Kolitis ulseratif dihubungkan dengan meningkatnya produksi IgG (oleh limfosit Th2) dan IgG, sub tipe yang respon terhadap protein dan antigen T-cell-dependent. Ada juga peningkatan produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-α [TNF-α], terutama pada aktivasi makrofag di lamina propria. Sitokin yang lain (IL-10, TGF-β) menurunkan imun respon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga terlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain dalam pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil, mediator soluble yang meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi, komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi dan edema. ( Djojoningrat dkk, 2011) 2.5



KLASIFIKASI KOLITIS ULSERATIF Klasifikasi kolitis ulseratif (Tabel 1) adalah: a. Kolitis ulserosa dini aktif Pada pemeriksaan endoskopik tampak mukosa rektum hipermia dan edema, erosif dan ulserasif kecil. Gambaran histopatologi biopsi, menunjukkan kelainan kombinasi antara erosi dan ulserasi. Kuantitas elemen kelenjar mukosa berkurang atau menghilang dan vaskularisasi pada lamina propria bertambah. Pada kripta tampak mikroabses yang terdiri dari kumpulan sel radang neutrofil dan limfosit. Mikroabses kemudian pecah dan proses radang meluas pada submukosa. (Jugde TA, 2009) b. Kolitis ulserosa kronik aktif Pada tahap ini, terdapat lesi kombinasi radang aktif dan proses penyembuhan dengan regenerasi mukosa. Mikroabses pada kripta jumlahnya berkurang atau



menghilang, pada lamina propria jaringan limfoid mengalami hiperplasia. Kelenjar mukosa mengalami hiperplasia, muncul dalam bentuk psedopolip. (Jugde TA, 2009) c. Kolitis Ulserosa Tenang Pada stadium tenang, mukosa lebih tipis. Walaupun ada proses regenerasi kelenjar, menonjol, akan tetapi vaskularisasi sudah berkurang. Bila kolitis ulserosa sudah berlangsung lama, dapat dijumpai displasia atau prakanker. Itulah alasannya ulserosa dianggap sebagai resiko tinggi untuk karsinoma kolon dan rektum. (Jugde TA, 2009)



Tabel 1. Klasifikasi kolitis ulseratif



Vascular congestion Mucin depletion Cryptitis, crypt abcess Epithelial lost and ulcer PMN, eosinophil and mast cell Luminal pus Basal plasma cell Epithelial regeneration Expantion of mitotic active



Acute



Resolving



Chronic-healed



Stage ++ + ++ ++



Stage + + -



Stage



++ ++ ++ -



+ ++ ++



cell ++ Architectural distortion: • atrophy • branching • crypt shortening • villous surface Metaplasia pyloric Metaplasia Paneth cell Lymphoid hyperplasia Epithelial displacement Increased mononucleous Endocrine cell hyperplasia Squamous metaplasia (Judge TA, 2009)



++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++



2.6



GAMBARAN KLINIS Gejala klinis yang paling dominan pada penderita kolitis ulseratf adalah sakit pada perut dan diarrhea yang disertai pendarahan. Di samping itu dapat juga dijumpai anemia, kelelahan (mudah lelah), kehilangan berat badan, pendarahan pada rektum, kehilangan nafsu makan, kehilangan cairan tubuh dan gizi, lesi pada kulit dan radang sendi, pertumbuhan yang terganggu, terutama anak-anak. Hanya sebagian pasien yang terdiagnosa dengan kolitis ulseratf yang mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang menderita demam, diarrhea dengan perdarahan, nausea, rasa nyeri pada perut yang hebat. Kolitis ulseratf juga dapat menimbulkan gejala seperti arthritis, radang pada mata (uveitis), hati (sclerossing cholangitis) dan osteoporosis. Hal ini tidak dapat diketahui bagaimana bisa terjadi di luar dari kolon, tetapi para ahli berfikir komplikasi ini dapat terjadi akibat pencetus dari peradangan yaitu sistem immune. Sebagian problem seperti ini tidak jadi masalah jika kolitis dapat diobati. Ada pun organ yang terlibat pada kolitis ulseratif seperti pada gambar 3 dibawah ini. (Judge TA, 2009)



Gambar3. Keterlibatan organ pada kolitis ulseratif. (Judge TA, 2009)



Tabel 2. Perbedaan kolitis ulseratif dan penyakit crohn Kolitis Ulceratif Hanya usus yang terlibat Terus-menerus memperluas peradangan proksimal dari dubur



Penyakit Crohn Panintestinal Skip-lesi dengan intervening mukosa normal



Peradangan pada mukosa dan hanya submucosa



Peradangan Transmural



Tidak ada granuloma



Noncaseating granuloma Asca positif



Perinuclear Anca (PANCA) positif



Pendarahan (umum) Hanya sebagian pasien yang Pendarahan terdiagnosa dengan kolitis ulseratf yang (jarang) mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang menderita demam, diarrhea dengan perdarahan, nausea, rasa nyeri pada perut yang hebat. Kolitis ulseratf juga dapat menimbulkan gejala seperti arthritis, radang pada mata (uveitis), hati (sclerossing cholangitis) dan osteoporosis. Hal ini tidak dapat diketahui bagaimana bisa terjadi di luar dari kolon, tetapi para ahli berfikir komplikasi ini dapat terjadi akibat pencetus dari peradangan yaitu sistem immune. Sebagian problem seperti ini Fistula (jarang) Fistula (umum) (Marc D, 2011) 2.7 DIAGNOSIS Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen, seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit yang ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik. (Marc D, 2011) Derajat klinik kolitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan, berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove) ( tabel 3). Perjalanan penyakit kolitis



ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun



dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan lapisan mukosa. Secara endoskopik penilaian aktifitas penyakit kolitis ulseratif relatif mudah dengan



menilai gradasi berat ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian usus yang terlibat. Pada kolitis ulseratif, terdapat reaksi radang yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal. (Djojoningrat, 2007) Tabel 3. Truelove and Witts classification of severity of ulcerative colitis Activity



Mild



Moderate



Severe



Number of bloody stools per day (n)



6



Temperature (°C)



Afebrile Intermediate



>37.8



Heart rate (beats per minute)



Normal



Intermediate



>90



Haemoglobin (g/dl)



>11



10.5–11



30



Erythrocyte sedimentation rate (mm/h) 5 (dalam lumen usus halus/ ileum terminalisdan kolon proximal) serta lebih efektif dalam penggunaan oral (coated) maupun rektal (foam-enema/suppository). (b) Dosis rata-rata 5-ASA untuk mencapai



remisi adalah 2-4 gram/hari. Setelah remisi tercapai yang umumnya setelah 16-24 minggu diberikan kemudian dosis pemeliharaan yang bersifat individual.Terapi jangka panjang 5-ASA dapat pula mencegah karsinoma kolorektal dengan cara apoptosis



dan



menurunnya



proliferasi



mukosa



kolorektal



pada



IBD.



( Djojoningrat dkk, 2011)



c. Immunomodulators Immunomodulators adalah obat-obat yang melemahkan sistem kekebalan tubuh. Pada pasien dengan penyakit Crohn dan kolitis ulceratif, bagaimanapun, sistem



kekebalan



tubuh



secara



abnormal



dan



kronis



diaktifkan.



Immunomodulators mengurangi peradangan jaringan dengan mengurangi populasi sel kekebalan tubuh dan / atau dengan mengganggu produksi protein yang



mempromosikan



Immunomodulators



aktivasi



termasuk



kekebalan azathioprine,



dan



peradangan. 6-mercaptopurine



Contoh (6-



MP), siklosporin, dan methotrexate. ( Djojoningrat dkk, 2011) Azathioprine atau metabolit aktifnya 6-MP, memerlukan waktu pemberian 2-3 bulan sebelum memperlihatkan efek terapeutiknya. Umumnya sebagai introduktor/ substituensi pada kasus kasus steroid dependent atau refrakter. Umumnya dosis initial 50 mg sampai tercapai efikasi substitusi, kemudian dinaikan bertahap 2,5 mg/kgbb untuk Azathioprine atau 1,5 mg/kgbb untuk 6-MP. Efek samping yang sering timbul adalah nausea dan dispepsia, leukopenia, limfoma, hepatitis, dan pankreatitis. ( Djojoningrat dkk, 2011)



d. Pembedahan Kolitis toksik merupakan suatu keadaan gawat darurat. Segera setelah terditeksi atau bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat anti-diare dihentikan, penderita dipuasakan, selang dimasukan ke dalam lambung atau usus kecil dan semua cairan, makanan dan obat-obatan diberikan melalui pembuluh darah. ( Djojoningrat dkk, 2011)



Pasien diawasi dengan ketat untuk menghindari adanya peritonitis atau perforasi. Bila tindakan ini tidak berhasil memperbaiki kondisi pasien dalam 2448 jam, segera dilakukan pembedahan, dimana semua atau hampir sebagian besar usus besar diangkat. (Adam, 2010) Jika didiagnosis kanker atau adanya perubahan pre-kanker pada usus besar, maka pembedahan dilakukan bukan berdasarkan kedaruratan. Pembedahan non-darurat juga dilakukan karena adanya penyempitan dari usus besar atau adanya gangguan pertumbuhan pada anak-anak. Alasan paling umum dari pembedahan adalah penyakit menahun yang tidak sembuh-sembuh, sehingga membuat penderita tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi. Pengangkatan seluruh usus besar dan rektum, secara permanen akan menyembuhkan kolitis ulserativa. ( Djojoningrat dkk, 2011) Penderita hidup dengan ileostomi (hubungan antara bagian terendah usus kecil dengan lubang di dinding perut) dan kantong ileostomi. Prosedur pilihan lainnya adalah anastomosa ileo-anal, dimana usus besar dan sebagian besar rektum diangkat, dan sebuah reservoir dibuat dari usus kecil dan ditempatkan pada rektum yang tersisa, tepat diatas anus. (Marc D, 2011)



2.11



KOMPLIKASI 1. Perdarahan, merupakan komplikasi yang sering menyebabkan anemia karena kekurangan zat besi.Pada 10% penderita, serangan pertama sering menjadi berat, dengan perdarahan yang hebat, perforasi atau penyebaran infeksi. (Marc D, 2011) 2. Kolitis Toksik, terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan dinding usus. Kerusakan ini menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan dinding usus terhenti, sehingga isi usus tidak terdorong di dalam salurannnya. Perut tampak menggelembung. Usus besar kehilangan ketegangan ototnya dan akhirnya mengalami pelebaran. Rontgen perut akan menunjukkan adanya gas di bagian usus yang lumpuh. Jika usus besar sangat melebar, keadaannya



disebut megakolon toksik. Penderita tampak sakit berat dengan demam yang sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan jumlah sel darah putih meningkat. Dengan pengobatan efektif dan segera, kurang dari 4% penderita yang meninggal. Jika perlukaan ini menyebabkan timbulnya lubang di usus (perforasi), maka resiko kematian akan meningkat. (Marc D, 2011) 3. Kanker Kolon (Kanker Usus Besar). Resiko kanker usus besar meningkat pada orang yang menderita kolitis ulserativa yang lama dan berat. Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar terkena dan penderita telah mengidap penyakit ini selama lebih dari 10 tahun, tanpa menghiraukan seberapa aktif penyakitnya. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) secara teratur, terutama pada penderita resiko tinggi terkena kanker, selama periode bebas gejala. Selama kolonoskopi, diambil sampel jaringan untuk diperiksa dibawah mikroskop. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi kanker. Bila diagnosis kanker ditemukan pada stadium awal, kebanyakan penderita akan bertahan hidup. (Marc D, 2011)



2.12 



PROGNOSIS (Marc D, 2011) Remisi pada 10%; eksaserbasi intermiten sebanyak 75%; penyakit aktif berlanjut sebanyak 10%.







Mortalitas