Daerah Asal Suku Komering [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DAERAH ASAL SUKU KOMERING Bedasarkan legenda, DAERAH ASAL SUKU KOMERING Dahulu didaerah Pegunungan Perbatasan Burma / Siam ( Thailand ) hidup berdampingan secara damai antara beberapa suku yakni suku Melayu Kuno, Igorot , Ranau, Toraja, dan lain – lain . Suku Komering berada ditengah-tengah suku lainnya namun ia mampu mempertahankan identitasnya terutama pada alat komunikasi yaitu bahasa, bahasa Komering sementara pengamat menyatakan banyak kesamaan dengan bahasa Batak, yang ceritanya antara 2 suku tersebut sering bercanda untuk menyatakan siapa yang tertua diantara Nenek Moyang mereka yang bersaudara. Suku Batak adalah bagian dari Melayu Kono yang mendiami pergunungan perbatasan Burma / Siam ( Thailand ). Selain suku Melayu Kono juga adanya suku IGOROT, Ranau, Toraja dan lain-lain . Semua suku yang menghuni pegunungan Siam, menolak segala hubungan dengan dunia luar. Kemudian sekitar tahun 1000 sebelum Masehi Bangsa Mongol memperluas daerah sampai ke sungai Mekong.dengan demikian suku – suku yang berada di pegunungan Siam merasa terdesak dan memberanikan diri pergi menyeberangi lautan, di antara suku tersebut adalah suku ranau yang mendarat di Sumatera Selatan dan berkurung disekitar Danau Ranau ± 2500 tahun. Sedangkan Suku Batak mendarat di Pantai Barat Andalas, lalu kemudian Suku Batak dan terpencar di Pulau Andalas ( Sumatera ), tulisan suku Ranau hampir sama dengan tulisan Batak, sedangkan Bahasa Batak logatnya hampir dengan Bahasa Igorot ( Philipina ). Pada saat itu terjadi perpindahan besar besaran dari daratan Asia ke Daerah Nusantara.Suku Bangsa Melayu Kuno ( India Selatan ) dalam pengungsianya bergerak menyeberangi laut Andaman, kemudian berpencar dalam beberapa kelompok, diantaranya ada yang sampai di ujung Utara Sumatera, yang terpecah menjadi Batak Karo, Toba, Dairi dan Alas, sedang kelompok lainya berlayar ke pantai barat dan menuju ke ujung Selatan sementara, tepatnya di daerah Keroi dan menyebar di daerah pegunungan, ada yang menetap di Bukit Pasagi dan juga di gunung Seminung. Kemudian ketiganya berkembang berasimilasi dengan penduduk asli yang lebih dahulu mendiami sekitar gunung Seminung tersebut, sehingga timbulah Ras baru, diantaranya : Komering, Ranau, Daya, Lampung. Pada waktu itu kepercayaan mereka adalah Animisme, dalam perkembangannya, mereka meminta kekuatan gaib dan kesaktian dengan melakukan Pertapaan di bukit Pasagi dan Gunung Seminung, kemudian mereka menyebar disekitar Danau Ranau dan mendirikan perkampungan yang bernama SAKALA BERAK, Sakala berarti Penjelmaan/ titisan, sedang kata berak berarti Besar / lebar, dalam Bahasa Komering sekarang. jadi SAKALA BHRAartinya Titisan atau Penjelmaan Dewa dari Gunung Seminung. Anggapan demikian dapat dilihat pada persamaan bagi Sesepuh



dengan istilah PU –HYANG (Puhyang ) berarti Tuanku Barasal Dari Dewa wangsa Sakala Bhra sebagai “ MULAN “ mulan bearti generasi yang kemudian. ( Pak Sipak ). Jadi Suku Komering asimilasi antara penduduk asli Gunung Seminung dengan pendatang dari Suku melayu kuno. 2.



ASAL MULA NAMA KOMERING



Menurut informasi penduduk dan cerita orang tua –tua setempat, Komering berasal dari bahasa India yang berarti PINANG, kerena sebelum abad ke IX daerah ini marak dengan perdagangan buah pinang, dengan pedagang dari India, sebagai bahan rempah – rempah.diantara jenis rempah lainya sebagai juragan Pinang.Kemudian juragan pinang yang berasal dari India tersebut dimakamkan di dekat pertemuan sungaiSelabung dan Waisaka, di hulu Kota Muara Dua. Dari tempat makam tersebut mengalir sungai sampai Ke muara ( Minanga ), sehingga mulai saat itu semua penghuni di sepanjang pinggiran sungai tersebut dinamakan Orang Komering dan daerahnya dinamakan Daerah Komering. Setelah terjadinya perubahan geografis karena peristiwa alam, Muara Sungai Komering ( Minanga sekarang ) terjadi pendangkalan sepanjang 125M pertahun kearah Bangka. Sebelum abad ke VIII Minanga masih berada di tepi pantai / muara sungai komering.Setelah terjadi pendangkalan aliran sungai Komering terpecah menjadi 2 cabang sungai mulai dari Minanga kearah hulu sekitar 20 km tepatnya di Rasuan lama. 2 aliran tersebut : a. Aliran sungai yang lama menyempit disebelah timur sampai diminanga dan rawa / lebak ( Bekas Lautan Purba). b.Aliran sungai yang baru di sebelah Barat mengalir ke daerah Tobong, Plaju dan bermuara di Musi, kepada mereka yang menghuni aliran sungai Komering yang baru disebut orang Komering Ilir, walaupun kebanyakan dari mereka bukan penduduk yang berbudaya Komering, sedangkan di bagian hulu sungai Komering mulai dari Selabung sampai ke Ranau penduduknya tidak mau disebut orang komering, karena mereka tidak tinggal dipinggiran sungai Komering, mereka menaman dirinya “ JELMA DAYA “ yang berarti (aktif,dinamis ) tapi mereka pendukung Budaya Komering ( Y.W.Van Royan 1927 ). c. Sepanjang aliran sungai Komering dari Hulu ( Muara Dua ) sampai dengan Gunung Batu dan juga yang tidak disekitar sungai Komering penduduknya terbagi menjadi 2 Kewedanaan yaitu : 1



Kewedanaan Muara Dua Beribukota di Muara Dua.



2



Kewedanaan Komering Beribukota di Martapura.



Komering adalah pendukung budaya Seminung yang mendiami tepian sungai komering mulai dari Batu Raja Bungin sampai dengan Gunung Batu, dan ada juga yang mendiami daratan yang agak jauh dari pinggiran ungai Komering.Sesuai dengan pemekaran desa / dusunya masing – masing, khusus penduduk yang



pendatang bersal dari berbagai daerah = ada yang dari :Batak, Padang, Jawa, Sunda, Ogan dll. Kebanyakan masyarakat pendatang mendiami daratan dan aliran sungai buatan / bendungan peninggalan zaman Belanda, yang sekarang tetap di renovasi dan dikembangkan masyarakat OKU TIMUR dengan sebagian besar bermata pencaharian di bidang pertanian, yang sekarang menggunakan teknologi pertanian yang lebih baik, terbukti dengan sebutan lumbung pangan Sumatera Selatan. Di bidang Kebudayaan; Masyarakat OKU TIMUR terdiri dari beberapa etnis, maka Seni Budaya pun bermacam – macam, meskipun demikian kebudayaan asli masih tetap lestari di tengah – tengah masyarakat pendukungnya yaitu Adat Budaya Komering. PUHYANG / RUMPUN SAKALA BHRA . Sebagaimana dijelaskan dalam asal – usul suku komering SAKALA BHRA berarti Titisan / Jelmaan Dewa dari Gunung Seminung, yang sIstem pemberian nama bagi sesepuh atau leluhur disebut Pu – Hyang,berarti tuanku berasal dari Dewa ( dokumentasi Pemda OKU tahun 1979 ) didapat cerita asal – usul berdirinya marga – marga yang menyebar dan adanya 7 Kepuhyangan di sepanjang aliran Sungai Komering. Pertama kali sekelompok suku dari pegunungan Muaradua ingin mencari tempat – tempat yang dapat memberikan jaminan kehidupan, kemudian bergeraklah mereka menelusuri sungai Komering kearah utara atau hilir dengan menggunakan rakit, dengan berbahasa Komering lama yang disebut (SAMANDA) jadi Samanda adalah Bahasa Komering lama. Kelompok pertama yang pergi turun gunung adalah kelompok Semendawai. Kata Semendawai berasal dari kata SAMANDA di WAY yang berarti menelusuri sungai dari hulu, terakhir mendarat dimuara ( Minanga ) kemudian mereka berpencar mencari tempat – tempat strategis untuk menetap dan mendirikan 7 ke Puhyangan diantaranya:



1. Puhyangan Ratu Sabibul pendiri daerah Gunung Batu, gunung batu berarti (Manusia Gunung ). 2. Puhyang Kai Patih Kandi pendiri daerah Maluway (Maluway / Manduway ) berarti petunjuk arah. 3. Puhyang Minak Ratu Damang Bing pendiri daerahMinanga ( Muara ) i. Kemudian menyusul kelompok ke 2 ( dua ) yang turun gunung adalah : 4. Puhyang Umpu Sipandang pendiri daerahGunung Terang yang berarti orang gunung menempati



i. tempat yang terang ( Padang rumput ).Dalam kegiatannya mereka membuka lahan padang ii. rumput yang luas, kegiatan tersebut dinamakan MADANG 5. Puhyang Minak Adi Pati, pendiri daerah Pemuka Peliung. Kegemaran Puhyang tersebut membawa (PELIUNG) sejenis Kampak.



a. Sehingga daerah ini dinamakan Pemuka Peliung ( sekitar ± abad ke 13 pernah terjadi perang Abung)setelah perang abung, berakhir adanya kepuhyangan baru yaitu: 6. Puhyang Ratu Penghulu, pendiri daerah Banton. 7. Puhyang Umpu Ratu, pendiri daerah Pulau Negara 8. Puhyang Jati Keramat, pendiri daerah Bunga Mayang, bunga mayang berasal dari nama Permaisurinya yang keluar / datang dari Bunga Mayang Pinang ( Peri Bunga Pinang ) 9. Puhyang Sibala Kuang / Puhyang DAYA, pendiri daerah Mahanggin terdiri dari Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap dll. Nama marga / kepuhyangan ini menggunakan nama BHU WAY /KEBHUAYAN merupakan istilah yang dibawa orang Sakala Bhra baru, ( generasi Paksipak atau penerus Sakala Bhra ) setelah pengusiran orang – orang abung dari daerah Komering . Dari ke 7 puhyang yang mendiami sekitar sungai Komering masing – masing berdiri sendiri yang dipimpin oleh seseorang sesepuh disebut puhyang. 3. ASAL USUL NAMA DAERAH DI WILAYAH OKU TIMUR 1. Asal Nama Bunga Mayang Daerah Bunga Mayang didirikan oleh Puhyang Jati Keramat, yang diambil dari nama istrinya yang konon ceritanya istrinya tersebut keluar / datang dari kembang Bunga Mayang Pinang, sampai sekarang nama daerah ini adalah Kecamatan Bunga Mayang ( Sumber : buku adat perkawinan Komering Ulu, ( Tahun 2003). 2. Kota Martapura. Sekitar ± 1835 Masehi,bermula dari seorang ustadz pendatang dari pulau Borneo (Kalimantan ) bernama H. Jamaludin bin Azhar bin H. Mahmud yang masih muda belum beristri, mengajar ngaji di mesjid agung Desa Tanjung Kemala, yang pada waktu itu Tanjung Kemala dipinpin oleh Pangeran Aguscik Putra dari mantan Pasirah dari Marga Paku Senggkunyit yaitu Pangeran Muhamad Ali. Setelah usia ± 25 tahun H. Jamaludin menikah dengan saudara sepupu dari Pageran Aguscik yang bernama Halimah dari keluarga Limas. Atas jasa – jasanya mengajarkan agama Islam H.



Jamaludin dianggkat menjadi sebagai Pemangku Adat oleh Pengghulu tertua atas persetujuan masyarakat ketua didaerah Tanjung Kemala. Dalam perkembangannya daerah Tanjung Kemala semakin bagus maka terbentuklah perkampungan baru terletak di sebelah hilir desa tanjung kemala disebut kampung hilir namanya Martapura. Tercetus ketika H. Jamaludin sedang mengajar ngaji dengan mengatakan : “ murid – muridku semuanya kampong kita ini belum mempunyai nama sedangkan penduduknya yang sudah memadai bagaimana kalau kita beri nama daerah kelahiran saya yaitu Martapura ? Spontan disetujui dan diterima oleh masyarakat, mulai saat itulah kampung hilir yang bersebelahan dengan Tanjung Kemala bernamaMartapura (Sumber : Tamrin. A. Roni.) 3. Asal Nama Buay Pemuka Peliung Buay pemuka adalah kephuyangan nama Marga yang dibawa orang Sakala Bhra. Peliung adalah senjata khas / seperti kampak yang sering dibawa dan disenangi oleh puhyang minak Adipati, pendiri Buay Pemuka Peliung sampai sekarang namanya adalah Buay Pemuka Peliung(Sumber : buku adat perkawinan Komering Ulu ,Tahun 2003) 4. Asal Nama Madang Padang rumput yang luas dan terang 5. Asal Nama Kurungan Nyawa Pada zaman kolonial Belanda setiap orang Belanda memasuki daerah ini selalu di tangkap dan di tawan oleh masyarakat pribumi, maka daerah ini di sebut Kurungan Nyawa. 6. Asal Nama Belitang Daerah yang dialiri sungai berliku, berbelok-belok dan banyak pohon yang melintang di atas sungai, maka disebutlah daerah ini, daerah Belitang. 7. Asal Mula Nama Rasuan Sebelumnya nama rasuan daerah ini bernama karangcangging rasuan berarti menggelar tikar untuk bermusyawarah / Rasan. ( Sumber : Bapak Yani ) 8. Asal Nama Semendaway Berasal dari kata Samanda dan di Way, Samanda berarti menelusuri sungai Komering dari hulu sampai ke hilir. di Way berarti di Air, disebutlah Semendaway 9. Asal Nama Gunung Terang Masyarakat yang datang dari daerah pegunungan yang menetap di daerah padang rumput pada dataran rendah.



10. Asal Nama Campang Tiga Yaitu Desa yang letaknya di jalan darat yang mempunyai cabang tiga/tiga persimpangan. ( sumber : Bapak Monang Jaya ). 11. Asal Kata Adu Manis Berasal dari Mistuha Mis berarti manis, Tuha Berarti Tua ( lebih dahulu ) maka jadilah adu manis. Nenek moyang adu manis bernama darusalam adik dari tuan Tandi Pulau 12. Asal Nama Betung. Betung adalah junjungan Seklian lama atau Kratun Nanggum Magedung didirikan oleh Batin Mulajadi, kemudian daerah ini pindah ke Hilir dimana banyak terdapat pohon bambu Betung maka disebutlah daerah ini daerah Betung ( Sumber : Ismail). 13. Asal Nama Minanga Dalam bahasa Komering Minanga berarti Muara Sungai. 14. Asal Nama Cempaka Daerah ini ditengah-tengah dusun tumbuh pohon Cempaka ( Sumber : Monang Jaya ). 15. Asal Nama Gunung Batu Masyarakat yang datang dari pegunungan dengan semangat untuk berjuang . Yang kedua saya mengambil dari :http://saliwanovanadiputra.blogspot.com/2011/11/asal-muasal-oranglampung.html Asal Muasal Orang Komering Suku Komering berasal dari Kepaksian Sekala Brak yang telah lama bermigrasi ke dataran Sumatera Selatan pada sekitar abad ke-7 dan telah menjadi beberapa Kebuayan atau Marga. Nama Komering diambil dari nama Way atau Sungai di dataran Sumatera Selatan yang menandalam sajak dialek Komering/Minanga: "Adat lembaga sai ti pakaisa buasal jak Belasa Kapampang, Sajaman rik tanoh pagaruyung pemerintah bunda kandung, Cakak di Gunung Pesagi rogoh di Sekala Berak, Sangon kok turun temurun jak ninik puyang paija, Cambai urai ti usung dilom adat pusako" Terjemahannya berarti "Adat Lembaga yang digunakan ini berasal dari Belasa Kepampang (Nangka Bercabang, Sezaman dengan ranah pagaruyung pemerintah bundo kandung di Minang Kabau, Naik di Gunung Pesagi turun di Sekala Berak, Memang sudah turun temurun dari nenek moyang dahulu, Sirih pinang



dibawa di dalam adat pusaka, Kalau tidak pandai tata tertib tanda tidak berbangsa". ( Wikipedia ) -----------------------------------------------------------------------------------------Dalam kesempatan ini, penulis menyempatkan diri untuk membuat artikel yang berjudul “Suku Komering adalah Orang Lampung Juga”. Hal yang mendasari penulis membuat artikel ini adalah di karena ada pandangan dari sebagian masyarakat Komering (Sumatera Selatan) yang tidak mengaku sebagai bagian dari masyarakat Lampung. Hal tersebut perlu dikaji dengan bukti sejarah mengenai asal-usul dan perpindahan suku Komering, terutama ke Lampung. Untuk lebih jelasnya mengenai asal-usul dan perpindahan suku Komering (dikutip dari Wacana Nusantara : Perjalanan Komering di Lampung) akan dijelaskan sebagai berikut : 1. Asal-Usul Tujuh Kepuhyangan Pada suatu ketika bergeraklah sekelompok besar turun dari dataran tinggi Gunung Pesagi menyusuri sungai dengan segala cara seperti dengan rakit bambu, dan lainlain. Menyusuri Sungai Komering menuju muara. Menyusuri atau mengikuti dalam dialek Komering lama adalah Samanda. Kelompok pertama ini kita kenal kemudian dengan nama Samandaway dari kata Samanda-Di-Way berarti mengikuti atau menyusuri sungai. Pada artikel yang berjudul Kebesaran Sriwijaya yang Tak Tersisa -The Rise of Sriwijaya Empire- (Komentar Agung Arlan), disebutkan bahwa Kepuhyangan Samandaway yang merupakan kepuhyangan tertua komering menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Sriwijaya dengan Pu Hyang Jaya Naga (Sri Jaya Naga) sebagai Raja Sriwijaya pertama yang berkedudukan di daerah dekat Gunung Seminung dan kemudian berpindah ke Minanga (Setelah itu Pusat Ibu Kota berpindah ke Palembang, dan yang terakhir ke Jambi pada beberapa kurun masa Kerajaan Sriwijaya). Kelompok ini akhirnya sampai di muara (Minanga) dan kemudian berpencar. Mereka mencari tempat-tempat strategis dan mendirikan tiga kepuhyangan. Kepuhyangan pertama menempati pangkal teluk yang agak membukit yang kini dikenal dengan nama Gunung Batu. Mereka berada di bawah pimpinan Pu Hyang Ratu Sabibul. Kepuhyangan kedua menempati suatu dataran rendah yang kemudian dinamakan Maluway di bawah pimpinan Pu Hyang Kaipatih Kandil. Kepuhyangan ketiga menempati muara dalam suatu teluk di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Ratu Damang Bing. Di tempat ini kemudian dikenal dengan nama Minanga. Tak lama setelah rombongan pertama, timbul gerakan penyebaran rumpun Skala Brak ini. Menyusul pula gerakan penyebaran kedua yang seterusnya mendirikan kepuhyangan keempat. Kepuhyangan keempat menemukan suatu padang rumput



yang luas kemudian menempatinya. Mereka di bawah pimpinan Pu Hyang Umpu Sipadang. Pekerjaan mereka membuka padang ini disebut Madang dan kemudian dijadikan nama Kepuhyangan Madang. Tempat pertama yang mereka duduki dinamakan Gunung Terang. Kepuhyangan kelima di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Adipati yang konon kabarnya suka membawa peliung. Dari kegemarannya ini dinamakan pada nama kepuhyangan mereka menjadi “Pemuka Peliung”. Dari kepuhyangan ini kelak kemudian hari setelah Perang Abung menyebar mendirikan kepuhyangan baru, yaitu Kepuhyangan Banton oleh Pu Hyang Ratu Penghulu. Kepuhyangan Pakuon oleh Puhyang itu dan Kepuhyangan Pulau Negara oleh Pu Hyang Umpu Ratu. Kepuhyangan Keenam di bawah pimpinan Pu Hyang Jati Keramat. Istrinya, menurut kepercayaan setempat, berasal dari atau keluar dari Bunga Mayang Pinang. Kepercayaan ini membekas dan diabadikan pada nama kepuhyangan mereka, yaitu Bunga Mayang (kelak kemudian hari, inilah cikal bakal Lampung Sungkai). Kepuhyangan ketujuh di bawah pimpinan Pu Hyang Sibalakuang. Mereka pada mulanya menempatkan diri di daerah Mahanggin. Ada yang mengatakan kepuhyangan daya (dinamis/ulet). Kelak kemudian hari kepuhyangan ini menyebar mendirikan cabang-cabang di daerah sekitarnya seperti Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap, dan lain-lain. Nama-nama marga atau kepuhyangan yang berasal dari rumpun kepuhyangan ini banyak menggunakan nama Bhu-Way (buway). Nama kebhuwayan ini dibawa orang-orang dari Skala Brak baru generasi Paksi Pak. Ketujuh kepuhyangan yang mendiami lembah sungai yang kini dinamakan “Komering”. Masing-masing pada mulanya berdiri sendiri dengan pemerintahan sendiri. Di bawah seorang sesepuh yang dipanggil pu hyang. Mereka menguasai tanah dan air yang mereka tempati dengan batas-batas yang disepakati. Ditinjau dari tujuan gerakan penyebaran (mempertahankan kelanjutan hidup kelompok untuk mencari tempat yang memberi jaminan kehidupan) serta cara mencari tempat yang strategis dalam mengikuti aliran sungai (samanda-diway), tampaknya Kepuhyangan Samandaway adalah yang pertama dan tertua. Orangorang Samandaway menempati muara sampai di ujung tanjung (Gunung Batu).



PEMBERIAN JAJULUK/ADOK (GELAR) Assalaamualaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh, Bapak/Ibu segenap hadirin yang kami muliakan. Pemberian Gelar didaerah Kumoring Ulu Sumatera Selatan, di sebut “NABUH JAJULUK” “NABUH” artinya membunyikan sesuatu meminta perhatian kepada khalayak ramai bahwa ada masalah penting yang akan diberitahukan. “JAJULUK” disebut juga “ADOK” diartikan dalam bahasa Indonesia Gelar, Namun demikian bukanlah berarti bahwa jajuluk didaerah Kumoring sederajat dengan Titel Kesarjanaan dan bukan pula gelar kebangsawanan yang berlaku turun temurun. Tetapi semata mata gelar kemasyarakatan yang diatur dan ditetapkan oleh adat setempat.



Gelar diberikan kepada anak lelaki atau perempuan yang sudah menikah dengan tujuan; Membedakan antara lelaki yang sudah atau pernah beristri dengan lelaki yang belum beristri, dan antara perempuan yang sudah bersuami dan yang belum pernah bersuami Untuk mengetahui asal usul keturuan penyadang gelar Melalui gelar, dapat pula diketahui status yang bersangkutan, apakah anak laki – laki pertama , kedua dan seterusnya. Karena rangkuman kata-kata dikemas dalam gelar tersebut tercermin identitasnya. Dengan menggunakan gelar dalam panggilan sehari-hari berarti resmi telah diakui menjadi warga baru kaum dewasa, yang telah dibebani tugas-tugas kemasyarakatan. Sebagai pengantar dari pengumuman /penyampaian gelar ini Mohon izin sejenak kepada hadirin untuk melantunkan salah satu kesenian daerah Kumoring yang disebut “CANGGOT”SIKANDUA NGALIMPURA PARMISI DIKAWARI GA NUMPANG BUCURITA AMBITI ANDI-ANDI Pemberian Gelar atau Adok (Julukan) di daerah komering diberikan menurut kedudukannya di masyarakat : Kedudukan Bangsawan (bila dia laki-laki diberi gelar yakni DALOM untuk anak cucu tua); MANGKU untuk anak laki-laki di bawah DALOM; MENTERI untuk anak laki-laki di bawah MANGKU; PRABU untuk anak tua – cucung tua; RADEN untuk dibawah PRABU-adiknya; RATU untuk gelar dibawah RADEN; BUNGSU untuk anak paling akhir. 1.



Bedasarkan legenda, DAERAH ASAL SUKU KOMERING



Dahulu didaerah Pegunungan Perbatasan Burma / Siam ( Thailand ) hidup berdampingan secara damai antara beberapa suku yakni suku Melayu Kuno, Igorot , Ranau, Toraja, dan lain – lain . Suku Komering berada ditengah-tengah suku lainnya namun ia mampu mempertahankan identitasnya terutama pada alat komunikasi yaitu bahasa, bahasa Komering sementara pengamat menyatakan banyak kesamaan dengan bahasa Batak, yang ceritanya antara 2 suku tersebut



sering bercanda untuk menyatakan siapa yang tertua diantara Nenek Moyang mereka yang bersaudara.



Suku Batak adalah bagian dari Melayu Kono yang mendiami pergunungan perbatasan Burma / Siam ( Thailand ). Selain suku Melayu Kono juga adanya suku IGOROT, Ranau, Toraja dan lain-lain . Semua suku yang menghuni pegunungan Siam, menolak segala hubungan dengan dunia luar. Kemudian sekitar tahun 1000 sebelum Masehi Bangsa Mongol memperluas daerah sampai ke sungai Mekong.dengan demikian suku – suku yang berada di pegunungan Siam merasa terdesak dan memberanikan diri pergi menyeberangi lautan, di antara suku tersebut adalah suku ranau yang mendarat di Sumatera Selatan dan berkurung disekitar Danau Ranau ±2500 tahun. Sedangkan Suku Batak mendarat di Pantai Barat Andalas, lalu kemudian Suku Batak dan terpencar di Pulau Andalas ( Sumatera ), tulisan suku Ranau hampir sama dengan tulisan Batak, sedangkan Bahasa Batak logatnya hampir dengan Bahasa Igorot ( Philipina ). Pada saat itu terjadi perpindahan besar besaran dari daratan Asia ke Daerah Nusantara.Suku Bangsa Melayu Kuno ( India Selatan ) dalam pengungsianya bergerak menyeberangi laut Andaman, kemudian berpencar dalam beberapa kelompok, diantaranya ada yang sampai di ujung Utara Sumatera, yang terpecah menjadi Batak Karo, Toba, Dairi dan Alas, sedang kelompok lainya berlayar ke pantai barat dan menuju ke ujung Selatan sementara, tepatnya di daerah Keroi dan menyebar di daerah pegunungan, ada yang menetap di Bukit Pasagi dan juga di gunung Seminung. Kemudian ketiganya berkembang berasimilasi dengan penduduk asli yang lebih dahulu mendiami sekitar gunung Seminung tersebut, sehingga timbulah Ras baru, diantaranya : Komering, Ranau, Daya, Lampung. Pada waktu itu kepercayaan mereka adalahAnimisme, dalam perkembangannya, mereka meminta kekuatan gaib dan kesaktian dengan melakukan Pertapaan di bukit Pasagi dan Gunung Seminung, kemudian mereka menyebar disekitar Danau Ranau dan mendirikan perkampungan yang bernama SAKALA BERAK, Sakala berarti Penjelmaan / titisan, sedang kata berak berarti Besar / lebar, dalam Bahasa Komering sekarang. jadi SAKALA BHRA artinya Titisan atau Penjelmaan Dewa dari Gunung Seminung. Anggapan demikian dapat dilihat pada persamaan bagi Sesepuh dengan istilah PU –HYANG (Puhyang ) berarti Tuanku Barasal Dari Dewa wangsa Sakala Bhra sebagai “ MULAN “ mulan bearti generasi yang kemudian. ( Pak Sipak ). Jadi Suku Komering asimilasi antara penduduk asli Gunung Seminung dengan pendatang dari Suku melayu kuno.



2.



ASAL MULA NAMA KOMERING



Menurut informasi penduduk dan cerita orang tua –tua setempat, Komering berasal dari bahasa India yang berarti PINANG, kerena sebelum abad ke IX daerah ini marak dengan perdagangan buah pinang, dengan pedagang dari India, sebagai bahan rempah – rempah.diantara jenis rempah lainya sebagai juragan Pinang.Kemudian juragan pinang yang berasal dari India tersebut dimakamkan di dekat pertemuan sungai Selabung dan Waisaka, di hulu Kota Muara Dua. Dari tempat makam tersebut mengalir sungai sampai Ke muara ( Minanga ), sehingga mulai saat itu semua penghuni di sepanjang pinggiran sungai tersebut dinamakanOrang Komering dan daerahnya dinamakan Daerah Komering. Setelah terjadinya perubahan geografis karena peristiwa alam, Muara Sungai Komering ( Minanga sekarang ) terjadi pendangkalan sepanjang 125M pertahun kearah Bangka. Sebelum abad ke VIII Minanga masih berada di tepi pantai / muara sungai komering.Setelah terjadi pendangkalan aliran sungai Komering terpecah menjadi 2 cabang sungai mulai dari Minanga kearah hulu sekitar 20 km tepatnya di Rasuan lama. 2 aliran tersebut : a. Aliran sungai yang lama menyempit disebelah timur sampai diminanga dan rawa / lebak ( Bekas Lautan Purba).



b. Aliran sungai yang baru di sebelah Barat mengalir ke daerah Tobong, Plaju dan bermuara di Musi, kepada mereka yang menghuni aliran sungai Komering yang baru disebut orang Komering Ilir, walaupun kebanyakan dari mereka bukan penduduk yang berbudaya Komering, sedangkan di bagian hulu sungai Komering mulai dari Selabung sampai ke Ranau penduduknya tidak mau disebut orang komering, karena mereka tidak tinggal dipinggiran sungai Komering, mereka menaman dirinya “ JELMA DAYA “ yang berarti ( aktif,dinamis ) tapi mereka pendukung Budaya Komering ( Y.W.Van Royan 1927 ). c. Sepanjang aliran sungai Komering dari Hulu ( Muara Dua ) sampai dengan Gunung Batu dan juga yang tidak disekitar sungai Komering penduduknya terbagi menjadi 2 Kewedanaan yaitu : §



Kewedanaan Muara Dua Beribukota di Muara Dua.



§



Kewedanaan Komering Beribukota di Martapura.



Komering adalah pendukung budaya Seminung yang mendiami tepian sungai komering mulai dari Batu Raja Bungin sampai dengan Gunung Batu, dan ada juga yang mendiami daratan yang agak jauh dari pinggiran ungai Komering.Sesuai dengan pemekaran desa / dusunya masing – masing, khusus penduduk yang pendatang bersal dari berbagai daerah = ada yang dari :Batak, Padang, Jawa, Sunda, Ogan dll.



Kebanyakan masyarakat pendatang mendiami daratan dan aliran sungai buatan / bendungan peninggalan zaman Belanda, yang sekarang tetap di renovasi dan dikembangkan masyarakat OKU TIMUR dengan sebagian besar bermata pencaharian di bidang pertanian, yang sekarang menggunakan teknologi pertanian yang lebih baik, terbukti dengan sebutan lumbung pangan Sumatera Selatan. Di bidang Kebudayaan; Masyarakat OKU TIMUR terdiri dari beberapa etnis, maka Seni Budaya pun bermacam – macam, meskipun demikian kebudayaan asli masih tetap lestari di tengah – tengah masyarakat pendukungnya yaitu Adat Budaya Komering. PUHYANG / RUMPUN SAKALA BHRA . Sebagaimana dijelaskan dalam asal – usul suku komering SAKALA BHRA berarti Titisan / Jelmaan Dewa dari Gunung Seminung, yang sIstem pemberian nama bagi sesepuh atau leluhur disebut Pu – Hyang, berarti tuanku berasal dari Dewa ( dokumentasi Pemda OKU tahun 1979 ) didapat cerita asal – usul berdirinya marga – marga yang menyebar dan adanya 7 Kepuhyangan di sepanjang aliran Sungai Komering. Pertama kali sekelompok suku dari pegunungan Muaradua ingin mencari tempat – tempat yang dapat memberikan jaminan kehidupan, kemudian bergeraklah mereka menelusuri sungai Komering kearah utara atau hilir dengan menggunakan rakit, dengan berbahasa Komering lama yang disebut (SAMANDA) jadi Samanda adalah Bahasa Komering lama. Kelompok pertama yang pergi turun gunung adalah kelompok Semendawai. KataSemendawai berasal dari kata SAMANDA di WAY yang berarti menelusuri sungai dari hulu, terakhir mendarat dimuara ( Minanga ) kemudian mereka berpencar mencari tempat – tempat strategis untuk menetap dan mendirikan 7 ke Puhyangan diantaranya:



Puhyangan Ratu Sabibul pendiri daerah Gunung Batu, gunung batu berarti ( Manusia Gunung ). Puhyang Kai Patih Kandi pendiri daerah Maluway ( Maluway / Manduway ) berarti petunjuk arah. Puhyang Minak Ratu Damang Bing pendiri daerah Minanga ( Muara ) Kemudian menyusul kelompok ke 2 ( dua ) yang turun gunung adalah : Puhyang Umpu Sipandang pendiri daerah Gunung Terang yang berarti orang gunung menempati tempat yang terang ( Padang rumput ). Dalam kegiatannya mereka membuka lahan padang rumput yang luas, kegiatan tersebut dinamakan MADANG



Puhyang Minak Adi Pati, pendiri daerah Pemuka Peliung. Kegemaran Puhyang tersebut membawa (PELIUNG) sejenis Kampak. Sehingga daerah ini dinamakan Pemuka Peliung ( sekitar ± abad ke 13 pernah terjadi perang Abung )setelah perang abung, berakhir adanya kepuhyangan baru yaitu: Puhyang Ratu Penghulu, pendiri daerah Banton. Puhyang Umpu Ratu, pendiri daerah Pulau Negara. Puhyang Jati Keramat, pendiri daerah Bunga Mayang, bunga mayang berasal dari nama Permaisurinya yang keluar / datang dari Bunga Mayang Pinang ( Peri Bunga Pinang ). Puhyang Sibala Kuang / Puhyang DAYA, pendiri daerah Mahanggin terdiri dari Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap dll. Nama marga / kepuhyangan ini menggunakan nama BHU WAY / KEBHUAYAN merupakan istilah yang dibawa orang Sakala Bhra baru, ( generasi Paksipak atau penerus Sakala Bhra ) setelah pengusiran orang – orang abung dari daerah Komering . Dari ke 7 puhyang yang mendiami sekitar sungai Komering masing – masing berdiri sendiri yang dipimpin oleh seseorang sesepuh disebut puhyang. (sumber:http://badanpariwisataokutimur.blogspot.com/) BUDAYA KESENIAN ADAT KOMERING SUMATERA SELATAN BUDAYA KOMERING Gelar dalam masyarakat komering berhubungan dengan status yang ada dalam dirinya yaitu ketika seorang laki-laki komering menikah dia akan mendapat gelar atau sebutan, gelar ini dapat diberikan saat silelaki tersebut menikah ataupun pada waktu-waktu mendatang (beberapa waktu setelah menikah).



Pemberian gelar ini sangat penting dalam masyarakat komering sehingga adat ini masih dipegang kuat dalam masyarakat komering dari zaman ke zaman, pemberian gelar ataupun biasa disebut juluk ataupun Golar…… tergantung pada gelar yang di dapat dari orang tua misalkan gelar yang didapat ayah dari lelaki komering adalah prabu maka biasanya gelar sang anak yang telah menikah akan turun menjadi prabu, dan diikuti nama juluk atau nama gelar nya anak tersebut yang diberikan oleh ketua adat dengan persetujuan orang tua, bila orang tuanya ber-gelar-raden maka anak laki-laki yang telah menikah tersebut akan mendapat gelar Raden dan dikuti dengan nama juluk nya, begitu pula bila nama orang tuanya bergelar ratu dan seterusnya hingga proses pemberian gelar tersebut terjadi. Biasanya pemberian gelar tersebut dibarengi dengan berbagai Ritual yang bercampur dengan ritual keagamaan (Islam) yang berisi doa dan pengharapan orang tua maupun keluarga serta masyarakat agar dengan gelar yang diberikan si



lelaki tersebut dapat menjadi orang yang akan memimpin dalam kebaikan baik memimpin diri, keluarga dan lebih-lebih masyarakat luas nantinya.



Setelah sedikit banyak mengulas tentang siapa yang berhak menerima gelar tersebut mungkin diantara pembaca ada yang bertanya mengapa bercerita tentang lelaki yang telah berkeluarga.bukan pada setiap lelaki komering. Inilah salah satu fungsi utama mengapa pemberian gelar tersebut diberikan pada lelaki yang telah menikah yaitu sebagai pembeda penyebutan nama karena biasanya penyebutan nama (memanggil) seseorang dilakukan dengan menyebut nama yang telah diberikan oleh orang tua ataupun keluarga sejak lahir, tetapi bila dia telah menikah dia akan di berikan Gelar yang nantinya ketika penyebutan nama nya (memanggil) orang tersebut dia akan dipanggil dengan gelar yang telah didapat ketika telah menikah. Penyebutan tersebut berlaku pada siapapun yang memanggil termasuk orang tua dari lelaki yang telah menikah jadi ketika contohnya bila dia sedang berkumpul dengan kerabat yang lebih muda (belum menikah) dia akan mendapat perbedaan status di depan orang banyak, dengan adat pemberian gelar inilah dapat diketahui status seseorang walaupun orang lain tidak mengetahui status yang telah didapatkannya (menikah atau belum).



Mungkin banyak pembaca yang bertanya bagaimana dengan gelar yang jatuh pada istrinya, gelar tersebut diberikan oleh ketua adat untuk seorang yang telah menikah dengan secara otomatis mengikutkan penyebutan (memanggil) sang istrinya sama dengan gelar yang diterima sang suami contoh bila sang suami mendapat gelar raden makan sang istri akan di sebut nyiraden atau niai raden dan seterusnya yang berlaku pada gelar yang diberikan pada sang suami.



Demikianlah salah satu adat yang masih bertahan di masyarakat komering yang masih tetap bangga kami pegang dan kami pelihara semoga tulisan ini akan membuka wacana baru tentang adat dan istiadat masyarakat komering……..



Komering merupakan salah satu suku atau wilayah budaya di Sumatra Selatan, yang berada di sepanjang aliran Sungai Komering. Seperti halnya suku-suku di Sumatra Selatan, karakter suku ini adalah penjelajah sehingga penyebaran suku ini cukup luas hingga ke Lampung. Suku Komering terbagi beberapa marga, di antaranya marga Paku Sengkunyit, marga Sosoh Buay Rayap, marga Buay Pemuka Peliyung, marga Buay Madang, dan marga Semendawai. Wilayah budaya Komering merupakan wilayah yang paling luas



jika dibandingkan dengan wilayah budaya suku-suku lainnya di Sumatra Selatan. Selain itu, bila dilihat dari karakter masyarakatnya, suku Komering dikenal memiliki temperamen yang tinggi dan keras. Berdasarkan cerita rakyat di masyarakat Komering, suku Komering dan suku Batak, Sumatra Utara, dikisahkan masih bersaudara. Kakak beradik yang datang dari negeri seberang. Setelah sampai di Sumatra, mereka berpisah. Sang kakak pergi ke selatan menjadi puyang suku Komering, dan sang adik ke utara menjadi puyang suku Batak. Berdasarkan temuan dan analisa sejarah, Dusun Minanga Tuha, di daerah marga Semendawai Suku I, atau dusun keenam dari Dusun Gunung Jati diperkirakan merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya bagian awal. Sedangkan Palembang diyakini sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya bagian tengah, dan Jambi sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya bagian akhir. Kala itu, Minanga Tuha, sebagai kota pelabuhan, atau tempat berlangsungnya aktivitas bongkar dan muat barang serta bersandarnya kapal-kapal Sriwijaya maupun kapal-kapal asing yang memiliki baik hubungan dagang, politik, budaya, maupun religi dengan Sriwijaya. Sejak abad pertengahan, suku Komering, sama halnya dengan rumpun Melayu lainnya, menerima Islam sebagai sebuah agama dan kepercayaan. Kedatangan Islam itu melahirkan mitos. Mitosnya mengenai seorang panglima dari bala tentara Fatahilah, Banten, bernama Tandipulau, yang menjadi tamu di daerah marga Semendawai Suku III. Ia datang menggunakan perahu menelusuri Sungai Komering. Tandipulau berlabuh dan menetap di daerah marga Semendawai Suku III, tepatnya di Dusun Kuripan. Keturunan Tandipulau membuka permukiman baru di seberang



Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur



Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatra Selatan. Kabupaten ini terbentuk sebagai pemekaran Kabupaten Ogan Komering Ulu. Iklim di Kabupaten OKU Timur termasuk tropis basah dengan variasi curah hujan antara 2.554 - 3.329 mm/tahun.Topografi di wilayah Kabupaten OKU Timur dapat digolongkan ke dalam wilayah datar (Peneplain Zone), bergelombang



(Piedmont Zone), dan berbukit (Hilly Zone).



Batas-batas Wilayah Utara Kecamatan Tanjung Lubuk dan Lempuing (Ogan Komering Ilir) Timur Kecamatan Lempuing dan Mesuji (Ogan Komering Ilir) Selatan Kabupaten Way Kanan (Provinsi Lampung) dan Kecamatan Simpang (Ogan Komering Ulu Selatan) Barat Kecamatan Lengkiti, Sosoh Buay Rayap, Baturaja Timur dan Peninjauan (Ogan Komering Ulu) dan Muara Kuang (Ogan Komering Ilir) Kabupaten OKU Timur memiliki potensi lahan pertanian yang cukup luas. Kabupaten OKU Timur juga merupakan salah satu daerah penghasil beras terbesar di Sumatera Selatan. Hal ini di dukung oleh Bendun Perjaya dan jaringan irigasi yang memadai di daerah ini. Di sektor perkebunan, komoditi andalan dari Kabupaten OKU Timur adalah karet dan kelapa sawit.



HUBUNGAN SUKU KOMERING & LAMPUNG



Tulisan ini dimaksudkan untuk memperkaya khazanah budaya semata. Mohon maaf kepada tetua adat jika ada yang kurang berkenan dalam penyampaiannya. Tulisan ini kami kutip dari salah satu sumber yang tertera pada bagian akhir artikel ini. Bicara mengenai Komering, akan tak terpisahkan dari suku Lampung karena ia merupakan bagian etnis Lampung seperti halnya Ranau, Cikoneng, yang terletak di luar batas administratif Provinsi Lampung. Tak terelakkan lagi, banyak orang komering yang keluar dari daerah asal mereka di sepanjang aliran Way Komering untuk mencari penghidupan baru pindah ke wilayah yang dihuni etnis Lampung lain. Mereka membuka umbul maupun kampung (tiuh). Perpindahan kali pertama mungkin oleh marga Bunga Mayang yang kelak kemudian hari menjadi Lampung Sungkai/Bunga Mayang. Seperti diutarakan Suntan Baginda Dulu (Lampung Ragom, 1997): "Kelompok Lampung Sungkai asal nenek moyang mereka adalah orang komering di tahun 1800 M. pindah dari Komering Bunga Mayang menyusur Way Sungkai lalu minta bagian tanah permukiman kepada tetua Abung Buway Nunyai pada tahun 1818 s.d. 1834 M kenyataan kemudian hari mereka maju. Mampu begawi menyembelih kerbau 64 ekor dan dibagi ke seluruh kebuayan Abung." Oleh Abung, Sungkai dinyatakan sebagai Lampung pepadun dan tanah yang sudah diserahkan Buay Nunyai mutlak menjadi milik mereka. Kemungkinan daerah



sungkai yang pertama kali adalah Negara Tulang Bawang membawa nama kampung/marga Negeri Tulang Bawang asal mereka di Komering. Dari sini kemudian menyebar ke Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Jaya dsb. Di daerah Sungkai Utara, seperti diceritakan Tjik Agus (64) pernah menjabat kacabdin di daerah ini, banyak penduduk yang berasal dari Komering Kotanegara. mereka adalah generasi keempat sampai kelima yang sudah menetap di sana. Perpindahan berikutnya, yang dilakukan Kebuayan Semendaway, khususnya Minanga. Menyebar ke Kasui, Bukit Kemuning, Napal Belah/Pulau Panggung, Bunglai, Cempaka (Sungkai Jaya) di Lampung Utara. Ke Sukadana Lampung Timur dekat Negeri Tuho. Juga masuk ke Pagelaran, Tanggamus. Dua Kampung Komering di Lampung Tengah (Komering Agung/Putih), menurut pengakuan mereka, berasal dari Komering. Nenek Moyang mereka berbaur dengan etnis Abung di Lampung-Tengah. Akan tetapi, mereka kurang mengetahui asal kebuayan nenek moyangnya (mungkin orang yang penulis temui kebanyakan usia muda < 50 tahun). Mereka menyebut Komering yang di Palembang "nyapah" (terendam). Kemungkinan mereka juga berasal dari Minanga. Karena kampong ini yang paling sering terendam air. Daerah Suka Banjar (Tiuh Gedung Komering. Negeri Sakti) Gedongtataan seperti diceritakan Herry Asnawi (56) dan Komaruzaman (70) (pensiunan BPN). Penduduk di sana mengakui mereka berasal dari Komering (Dumanis) walaupun dialek mereka sudah tercampur dengan dialek Pubian. Tidak menutup kemungkinan dari daerah lain di komering seperti Betung dsb., yang turut menyebar masuk daerah Lampung lain. Melihat perjalanan dan penyebaran yang cukup panjang, peran dalam menyumbang etnis Lampung (Sungkai), serta menambah kebuayan Abung (Buay Nyerupa), tak ada salahnya kita mengetahui tentang dialek, tulisan, marga, maupun kepuhyangan yang ada di daerah Komering. Bahasa Komering dalam banyak literatur bahasa Lampung termasuk dialek "a". Sedangkan dialek bahasa Komering, menurut Abu Kosim Sindapati (1970), terbagi menjadi dialek Bengkulah, dialek Tanjung Baru, dialek Semendaway, dan dialek Buay Madang. Kemudin Zainal Abidi Gaffar (1981) membagi menjadi dialek Martapura Simpang dan Buay Madang-Cempaka-Belitang. Perbedaan utama kedua dialek ini bahwa dialek Martapura Simpang memiliki fonem /e/ dan /?/ sedangkan Buay MadangCempaka-Belitang tidak.



Bahasa Komering juga memiliki tulisan yang disebut Ka-Ga-Nga. Akan tetapi, orang Komering sering pula menyebutnya tulisan Ulu/Unggak. Tulisan ini dipakai orang tua pada zaman dahulu. Sekarang tulisan ini hampir tidak pernah dipakai lagi dan generasi muda tidak seberapa mengenalnya. Adapun marga yang terdapat di Komering Ulu, di antaranya marga Semendawai suku I/II/III dengan wilayah Minanga, Betung, Gunung Batu, Cempaka, dan sekitarnya. Marga Madang Suku I/II, Marga Buay Pemuka Bangsa Raja dengan wilayahnya Rasuan, Kotanegara, Muncak Kabau, Marga Belitang I/II/III dengan wilayah Gumawang, Sumber Jaya, Kota Sari, Marga Buay Pemaca, Marga Lengkayap.



Pakaian Adat Suku Komering Marga Kiti dengan wilayah Simpang Tanjung, Gedung Pakuan, Marga Paku Sengkunyit. Marga Bunga Mayang. Marga Buay Pemuka Peliung dengan wilayah Martapura, Kambang Mas, Banton. Marga-marga tersebut kemungkinan tidak sesuai lagi dengan daerahnya karena adanya pemekaran wilayah. Sementara itu, di daerah ilir, bahasa Komering dipakai di daerah Tanjung Lubuk, Pulau Gemantung, dan sebagainya. Sedangkan daerah Kayu Agung merupakan sebuah marga di Kecamatan Kayu Agung. Di daerah Kayu Agung terdapat dua bahasa, yaitu bahasa Kayu Agung (BKA) dan bahasa Ogan dialek /e/. Ada variasi dialek dalam BKA. Variasi dialek yang terdapat di dusun marga Kayu Agung dianggap sebagai variasi asli, yang merupakan suatu dialek mirip dengan bahasa Komering. Adapun asal kepuhyangan/buay/marga yang ada di daerah Komering, seperti yang diuraikan dalam Adat Perkawinan Komering Ulu oleh Hatta/Arlan, Ismail. 2002: Riwayat etnis komering yang menyebar mendirikan tujuh kepuhyangan di sepanjang aliran sungai yang kini dinamakan Komering, ringkasnya sebagai berikut. Pada suatu ketika bergeraklah sekelompok besar turun dari dataran tinggi Gunung Pesagi, Lampung Barat menyusuri sungai dengan segala cara seperti dengan rakit bambu, dan lain-lain. Menyusuri Sungai Komering menuju muara. Menyusuri/mengikuti dalam dialek komering lama adalah samanda. Kelompok pertama ini kita kenal kemudian dengan nama Samandaway dari kata Samanda-DiWay berarti mengikuti atau menyusuri sungai. Kelompok ini akhirnya sampai di muara (Minanga) dan kemudian berpencar. Mencari tempat-tempat strategis dan mendirikan tiga kepuhyangan. Kepuhyangan



pertama menempati pangkal teluk yang agak membukit yang kini dikenal dengan nama Gunung Batu. Mereka berada di bawah pimpinan Pu Hyang Ratu Sabibul. Kepuhyangan kedua menempati suatu dataran rendah yang kemudian dinamakan Maluway di bawah pimpinan Pu Hyang Kaipatih Kandil. Kepuhyangan ketiga menempati muara dalam suatu teluk di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Ratu Damang Bing. Di tempat ini kemudian dikenal dengan nama Minanga. Tak lama setelah rombongan pertama, timbul gerakan penyebaran rumpun Sakala Bhra ini. Menyusul pula gerakan penyebaran kedua yang seterusnya mendirikan kepuhyangan keempat. Kepuhyangan keempat menemukan suatu padang rumput yang luas kemudian menempatinya. Mereka di bawah pimpinan Pu Hyang Umpu Sipadang. Pekerjaan mereka membuka padang ini disebut Madang. Yang kemudian dijadikan nama Kepuhyangan Madang. Tempat pertama yang mereka duduki dinamakan Gunung Terang. Kepuhyangan kelima di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Adipati yang konon kabarnya suka membawa peliung. Dari kegemarannya ini dinamakan pada nama kepuhyangan mereka menjadi "Pemuka Peliung". Dari kepuhyangan ini kelak kemudian hari setelah Perang Abung menyebar mendirikan kepuhyangan baru, yaitu Kepuhyangan Banton oleh Pu Hyang Ratu Penghulu. Kepuhyangan Pakuon oleh Puhyang itu dan Kepuhyangan Pulau Negara oleh Pu Hyang Umpu Ratu. Kepuhyangan Keenam di bawah pimpinan Pu Hyang Jati Keramat. Istrinya, menurut kepercayaan setempat, berasal dari atau keluar dari Bunga Mayang Pinang. Kepercayaan ini membekas dan diabadikan pada nama kepuhyangan mereka, yaitu Bunga Mayang (kelak kemudian hari, inilah cikal bakal Lampung Sungkai). Kepuhyangan ketujuh di bawah pimpinan Pu Hyang Sibalakuang. Mereka pada mulanya menempatkan diri di daerah Mahanggin. Ada yang mengatakan kepuhyangan daya (dinamis/ulet). Kelak kemudian hari kepuhyangan ini menyebar mendirikan cabang-cabang di daerah sekitarnya seperti Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap, dan lain-lain. Nama-nama marga atau kepuhyangan yang berasal dari rumpun kepuhyangan ini banyak menggunakan nama Bhu-Way (buway). Nama kebhuwayan ini dibawa orang-orang dari Sakala Bhra Baru generasi Paksi Pak. Ketujuh kepuhyangan yang mendiami lembah sungai yang kini dinamakan "Komering". Masing-masing pada mulanya berdiri sendiri dengan pemerintahan sendiri. Di bawah seorang sesepuh yang dipanggil pu hyang. Mereka menguasai tanah dan air yang mereka tempati dengan batas-batas yang disepakati. Ditinjau dari tujuan gerakan penyebaran (mempertahankan kelanjutan hidup kelompok untuk mencari tempat yang memberi jaminan kehidupan) serta cara



mencari tempat yang strategis dalam mengikuti aliran sungai (samanda-diway), tampaknya Kepuhyangan Samandaway adalah yang pertama dan tertua. Orangorang Samandaway menempati muara sampai di ujung tanjung (Gunung Batu). Yang patut kita tiru akan rasa solidaritas yang tinggi di antara mereka mengingat akan asal-usul mereka berasal dari kelompok yang sama. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam melengkapi tentang marga etnis komering seperti yang telah dilakukan Unila dalam memetakan marga serta wilayah suku Lampung.