Dangerous Boyfriend PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



2



3



DANGEROUS BOYFRIEND copyright©2022 SEUNGWAN97 Dilarang memperbanyak, menjual kembali sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin dari author.



Penulis: SEUNGWAN97 Desain Cover : SEUNGWAN97 Layouter & Editor : SEUNGWAN97



4



CONTENTS Being Baratas’s Girlfriend Barata Saputra Birawa Obedient Real Fighter First Meeting With Barata King of Kings Barata’s Reputation Second Meeting With Barata Monster (Part 1) Monster (Part 2) Darker Break Up Plan Deception Deeper Nadia’s Scheme Mission: Impossible Execution Obsession Love is Madness 5



Barata’s World Strangers Dangerous Boyfriend Before Dangerous Boyfriend: Falling After Dangerous Boyfriend: Lover



6



BEING BARATA’S GIRLFRIEND



“Nadia.” Aku tersentak saat baru saja diam-diam hampir masuk ke bilik kamar



mandi.



Kebiasaan



yang



selalu



kulakukan



tiap



istirahat⸺yang selalu aku harap untuk berhasil kulakukan. Aku menoleh. Ada lima perempuan tak kukenal yang berdiri agak jauh dariku. Seperti biasa, tatapan mereka seolah ketakutan saat melihatku. “Kenapa?” tanyaku pelan, was-was. Dalam hati aku tahu apa yang akan mereka katakan. “Lo dicariin Barata.” Oh, tidak. Benar apa dugaanku. Gagal sudah usahaku untuk melarikan diri kali ini. Niatku bersembunyi di sini malah dengan cepat ketahuan. Aku memperhatikan raut mereka yang tidak tenang 7



seakan mereka akan mendapat masalah jika aku tidak segera menemui laki-laki itu. Bahkan ketika menyebut nama laki-laki itu saja suara mereka gemetaran. “Dia… dimana?” tanyaku hati-hati. “Di kantin.” “Bisa bilang kalau gue bakal lama di kamar mandi, nggak?” Pintaku memohon. Salah satu perempuan berambut paling panjang menggeleng cepat, wajahnya gusar luar biasa, “Nggak berani, Nad. Barata bilang lo harus secepetnya nemuin dia.” “Please ya, Nad. Lo ke Barata sekarang aja gimana? Kita cuma nggak mau dapet masalah sama dia dan temen-temennya.” yang berambut pendek memegang tangannya sendiri yang sudah gemetaran. Melihat wajah mereka yang memohon padaku, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku juga tidak mau mereka kenapa-kenapa. Hanya karena aku tidak mematuhi laki-laki itu. Pada akhirnya aku mengangguk.



“Thanks, ya. Udah sampaiin pesan Bara ke gue.” “Emang udah kewajiban kita, Nad.”



8



Mereka berlima mengangguk dan langsung menghindar membuka jalan. Aku hampir keluar saat salah satu dari mereka mengataka, “Hati-hati, Nad.” Kata-kata yang sering aku dengar dari semua orang sejak tiga bulan ini. Begitu aku keluar kamar mandi, aku bisa merasakan semua murid menatapku dengan tatapan yang selalu mereka tujukan untukku. Ketakutan, ngeri, dan hormat. Bahkan beberapa sampai menunduk dan tak jarang lebih memilih berbalik atau menghindar bila berpapasan denganku di koridor, maupun kantin. Aku yang merasa tidak nyaman tidak bisa berbuat apaapa. Bahkan teman-teman dekatku pun lebih memilih untuk menghindariku. Cepat-cepat aku berjalan. Aku tidak mau membuatnya marah. Saat aku sudah masuk ke wilayah kantin, semua kegaduhan reda seketika. Kondisi sunyi senyap, semua mata mengarah padaku, menanti apa yang akan terjadi. Lalu di kursi kantin paling pojok, aku melihat Barata dan teman-teman satu gengnya. Formasi mereka lengkap berlima. Masih memakai kaos basket khas SMA. Pandangan mereka berlima mengarah padaku saat menyadari aku berjalan 9



menghampiri mereka. Di tengah-tengah, ada dia, yang tiba-tiba menatapku tajam. Aku berjalan dengan ketakutan. Ini bukan yang pertama kali aku datang padanya, tapi reaksiku tetap sama. Badanku gemetaran, jantungku berdentam-dentam keras. Karena aku tahu siapa sosok mereka sebenarnya. Bahkan semua orang tahu. “Kesayangan lo udah dateng, tuh, Bar.” kata Rio, salah satu dari antara mereka. Saat aku sudah dekat, dia mengulurkan tangannya. Kepalanya miring dan sebelah alisnya terangkat saat aku memilih untuk diam berdiri di antara mereka, ragu-ragu apakah aku harus menyambut uluran tangannya atau lari—menurut instingku. Tapi aku tahu aku tidak bisa berbuat apa-apa. “Nadia?” Nadanya dingin dan tajam. Dengan takut dan terpaksa, aku menyambut tangannya. Walau pun ekspresi datar dan sedikit dinginnya tak berubah, aku bisa merasakan dia puas dengan balasanku. Aku dibawanya duduk tepat di sampingnya. Tangan besar dan kekarnya sekalikali mengelus belakang kepalaku. Tapi aku sama sekali tidak bisa melepaskan ketakutan dan kecanggunganku.



10



“Nah gitu dong, Nad. Tinggal ngulurin tangan aja apa susahnya? Masih malu-malu aja lo.” kata Brian, tapi aku diam. Hati-hati untuk menjawab jika berada di antara mereka. “Cewek lo kayaknya laper tuh, Bar,” kata Arga yang duduk di seberangku persis, “Dari tadi lihat ke arah makanan lo terus.” Arga tidak tahu saja aku menunduk karena sama sekali tidak berani menatap wajah satu pun dari antara mereka. Bahkan bukan aku saja. Seluruh murid pun tidak ada yang pernah berani menatap atau pun berinteraksi dengan mereka. Tiba-tiba kurasakan tangannya mencengkeram bahuku agar lebih dekat ke arahnya, ke pelukannya. Aku tersentak saat bibirnya mendekat ke arah wajahku dan berkata pelan. “Kamu lapar?” Aku menggeleng cepat dan kaku. “Nggak… Aku nggak lapar.” Aku tidak mau lebih lama berada di sini. Berada di antara orang-orang mengerikan ini dan menjadi pusat perhatian semua orang. Bahwa seorang Nadia Aulia, diriku yang seorang perempuan biasa bisa berada di posisi ini. Selang beberapa detik aku diam, tangannya tiba-tiba menarik daguku hingga aku bisa melihat tatapan matanya yang tajam dan 11



berbahaya itu. Rahangnya mengeras. Dia terlihat marah. Oh,



tidak. Aku salah apa lagi kali ini? “Perlu aku ingetin aturan pertama, Nadia?” Ah! Aku bergidik ngeri mendengar desisan dinginnya. Aku lupa. Dia tidak suka jika saat aku berbicara tidak menatap matanya. Perlahan aku mengangguk, “Ma-maafin aku... Nggak akan kuulangi. Maaf ya, Bar?” Aku bisa bernapas lega setelah dia melepas tangannya dari daguku, walaupun kini bahuku harus menjadi gantinya. Garagara itu, aku bisa melihat jelas tatapan mata keempat temannya yang menatapku dengan senyum miring. “Be a good girl, Nadia.” bisik Bara pelan, ada nada mengerikan yang tersirat. Tangannya mengulurkan sesuap nasi goreng ke arah mulutku. Aku yang tak ingin makan tak punya pilihan lain selain patuh, jika tidak mau dia marah. Jika itu sampai terjadi, maka habislah aku. Tidak akan pernah ada yang menyangka apa yang bisa dia lakukan agar semua sesuai dengan kehendaknya. Barata Saputra Birawa.



12



Dia adalah pacarku. Monster berbahaya dan mengerikan yang tidak pernah aku bayangkan bisa berada di sampingku, sedang merangkulku sekarang. Keinginan dan harapanku yang terbesar, bahkan satu-satunya adalah agar aku bisa putus darinya. Aku, Nadia. Dan ini adalah kisahku.



13



BARATA SAPUTRA BIRAWA



Aku berhenti tepat di depan pintu masuk sebuah klab malam di Jakarta Pusat, menunggu teman Bara yang akan menjemputku untuk masuk ke dalam karena penjaga di depan pintu masuk gedung klab malam ini sama sekali tidak mengijinkanku masuk. Hanya pemilik VVIP member saja yang berhak masuk ke dalam. Selang beberapa detik, Arga—dengan sepuntung rokok di tangannya dan Rio—dengan satu botol bintang di tangannya keluar, berjalan ke arahku. Lebih tepatnya mengawalku setelah mengkonfirmasi pada penjaga di depan bahwa aku bersama mereka berdua. “Ijinin nih cewek masuk,” kata Arga setelah menghisap puntungnya, “Ini ceweknya Barata.” Dalam sekejap, kedua ekspresi penjaga terlihat kaget dan ketakutan. Aku sudah sering melihat ekspresi seperti ini pada orang-orang begitu mendengar bahwa aku adalah pacar Bara. Bagi mereka, this is such a big deal. 14



Sejujurnya, aku sama sekali tidak merasa senang atau pun bangga. Aku tidak suka dipandang seperti itu seakan-akan keberadaanku adalah hal besar dan aku harus dihormati—hanya karena Bara adalah pacarku. Pacar yang tidak pernah kuinginkan. Mereka mengangguk, “Silahkan. Maaf, Mas. Kalau aja mbaknya tadi kasih tahu kami kalau—” “Kasih tahu kalian atau enggak menurut gue kalian tetep nggak akan ngijinin ini cewek masuk kan, sampai ngelihat Barata dengan mata kepala lo sendiri?” desis Arga yang membuat kedua lelaki bertubuh kekar itu bungkam. “Besok-besok langsung ijinin ini cewek masuk aja,” Rio mendekat dan berbisik di antara kedua penjaga, “Itu pun kalau lo nggak mau bikin Bara marah sama kalian berdua. Paham?” “Baik, Mas Rio.” Aku kaget saat mereka tahu nama Rio. Memang mereka sudah sering kesini? Dengan sigap, kedua penjaga langsung membuka jalan untukku. Aku mendapati eskrpresi kaku dan ngeri mereka sebelum masuk ke dalam. Sepertinya nama Bara punya arti penting di tempat ini. Aku tidak heran, karena ini bukan pertama 15



kalinya seseorang ketakutan begitu mendengar nama Bara seakan nama lelaki itu punya efek khusus bagi mereka. Aku mengikuti Rio yang ada di depan sedangkan Arga berada di belakangku, mengawalku, seakan melindungiku. Lorongnya gelap, pengap, bau asap rokok menyengat, dan perlahan suara hentakan dan dentuman musik mulai terdengar. “Kalian udah sering ke sini?” tanyaku hati-hati. Bicara dengan mereka masih hal yang canggung untukku—mengingat reputasi mereka selama ini di mata orang-orang. “Nggak. Baru beberapa bulan,” kata Arga dari belakang, “Lo cewek pertama yang dibawa Bara ke sini.” “Dan hebatnya Bara sendiri yang nyuruh kita berdua langsung jemput lo,” ujar Rio, tangannya sibuk menyalakan pemantik. “Oh, ya?” aku bingung harus menjawab apa. Sebenarnya ini juga yang pertama kali aku datang ke tempat begini. Aku bukan tipe perempuan yang suka menghabiskan malam minggu di klab malam. Karena Bara yang menyuruhku, aku sama sekali tidak punya pilihan. Mana berani aku membantah perintahnya. Teman-temannya saja sebisa mungkin tidak pernah membuat laki-laki itu marah, begitu pula denganku.



16



“Tuan Puteri harus dikawal sampai selamat dong,” kata Rio, tapi nadanya menyindir, “Gue salut sama lo, Nad. Lo cewek Bara pertama yang bisa sampe bikin kita jemput lo. Lo ngomong apa emangnya ke Bara?” Aku mengernyit tidak paham. “Gue nggak ngomong apa-apa.” “Serius?” Rio menoleh ke arahku pelan seraya tersenyum miring, tidak percaya. Aku memang tidak pernah bicara apa-apa ke Bara. “Nad, lain kali bilangin ke Bara deh kalau lo bisa masuk sendiri. Nggak perlu pakai ditemenin kita segala.” kata Arga. “Kenapa kalian… nggak langsung ngomong aja ke Bara?” tanyaku. Rio mendengus. Sedangkan Arga tertawa miris, “Nad, lo udah jadian sama Bara hampir tiga bulan dan sampe sekarang belum ngerti juga?” “Ya kali kalau lo pengen kita berdua mampus.” kata Rio. Ah, jadi begitu. Aku sudah mulai paham. Rio dan Arga tidak menyukai perintah Bara untuk menjemputku. Ya, siapa sih yang suka harus membuang waktunya untuk mengantar pacar temannya? Tapi



17



aku juga tahu, mana berani mereka membantah. Mereka saja takut dengan kemarahan Bara, apalagi aku? “Oke… nanti gue usahain ngomong ke Bara.” kataku akhirnya. Arga dan Rio membawaku ke sebuah lounge yang jauh dari keramaian. Di sana sudah ada ketiga lainnya. Brian, Cakra, dan Bara. Dan satu perempuan—Aileen, pacar baru Arga. Ini yang kedua kali aku bertemu dengannya. Aileen tersenyum ke arahku sambil melambaikan tangan. Aku balas senyumnya. “Tuh, Tuan Puteri udah gue anter dengan selamat,” sergah Arga seraya duduk di samping Aileen. Rio duduk di samping Arga. “Thanks.” kata Bara pelan. Kini tinggal aku yang berdiri sendiri. Bingung dan enggan. “Nadia?” Nada rendah dan dingin itu lagi. Bara mengulurkan tangannya.



Semua



orang



menatapku,



menanti



dalam



diam.Mataku sempat berpapasan dengan mata Aileen yang menatapku tegang. “Nad?” peringat Bara, nadanya meninggi. Aku tak punya pilihan. Aku menyambut uluran tangannya dan duduk di sebelahnya. Setelah itu baru semua orang mengalihkan 18



perhatiannya ke lain. Tangan Bara masih menggenggam tanganku. Aku duduk dengan kaku. Tubuh kami terlalu dekat. “Kamu udah makan?” Aku tersentak. Bara bertanya tapi tatapannya terarah ke arah depan, tangannya sibuk menyuap makanan. Tiap bicara dengan Bara, aku selalu hati-hati. Aku harus menatap matanya. Aturan pertama adalah aku harus menatap matanya. Aturan kedua, kata-kataku harus manis di telinganya. Tidak ada bantahan. Gawat jika aku sampai salah bicara. “Udah, Bar. Tadi di rumah.” “Mau pesen?” tanyanya. “Pesenin aja koktail, Bar,” sahut Cakra yang duduk di seberang kami, “Cewek-cewek pada seneng. Apalagi yang rasa lemon.” Bara melirikku, wajahnya datar. “No alcohol for Nadia. Pesen jus aja. Mau?” katanya mutlak tak dapat dibantah. Dalam hati aku bersyukur. Bara tahu saja aku tidak mau minum alkohol. Jenis apa pun itu walau pun kandungannya ringan. “Emm, ya udah aku jus alpukat aja.” Bara melambaikan tangan sebelum pelayan datang. Bara memesankan aku jus alpukat, teman-temannya menambahkan beberapa makanan ringan. Setelah itu pelayan pergi. Bara mulai 19



berbincang dengan teman-temannya. Kadang tersenyum, tapi tidak sampai menyentuh matanya. Wajahnya sering terlihat datar dan tanpa ekspresi. Aku? Aku cuma diam, memperhatikan mereka. Sekali-kali memainkan ponsel. Kadang menyesap jus alpukat yang sudah diantarkan. Aku memperhatikan Aileen yang tersenyum, sekalikali tertawa bersama Arga. Yang seperti itu yang seharusnya dilakukan bersama pacar, kan? Sedangkan aku? Jangankan tertawa, ngobrol dengan santai saja aku tidak bisa. Selang beberapa lama, salah satu penjaga yang berada di depan gedung tadi tiba-tiba masuk dan menghampiri kami, diikuti oleh seorang laki-laki berhoodie hitam dengan tudung yang menutupi sebagian kepalanya. Ada simbol lingkaran dengan huruf X di tengahnya. Aku tahu simbol itu. Simbol milik geng Bara. “Bos,” panggilan penjaga menyita perhatian kami, “Ada masalah.” “Kenapa?” Sahut Bara. Wajahnya berubah kaku. Tatapannya tajam. Aku kaget saat yang dipanggil penjaga itu adalah dia. Lelaki berhoodie maju ke arah kami. Wajahnya tak terlihat. “Zero, mereka tahu lo di sini. Mereka di depan, nantangin lo, Barata.” 20



Keempat wajah berubah siaga, sedangkan Bara diam, berpikir. Aku dan Aileen saling bertatapan. Ekspresi kami tegang dan cemas. Aku pernah berada di posisi seperti ini sekali, mendengarkan perbincangan antara Bara dan anak buahnya mengenai musuh mereka. “Zero yang ketuanya si Arsyad-Arsyad itu?” Cakra mendengus remeh, sepertinya tahu siapa lawan mereka kali ini, “Bar, this



would be so easy.” “Tapi kita harus tetep waspada. Bisa aja ini jebakan.” sergah Brian. “Berapa jumlahnya?” tanya Bara, suaranya terdengar tenang. Saat aku menoleh, Bara sedang menyalakan puntung rokoknya. “Tiga puluh, Barata.” Aku terkesiap. Tiga puluh?! Itu jumlah yang cukup banyak untuk bisa mengeroyok kami! Semua diam. Menunggu perintah Bara. Setelah dia menghisap puntungnya, dia mematikan ke arah asbak dan berdiri. “Panggil yang lain.” titahnya. “Berapa, Barata?” tanya laki-laki berhoodie hitam.



21



Aku baru-baru ini sadar, tiap berbicara dengan Bara, anak buahnya harus menyebut namanya lagi dengan lengkap. Sikap untuk menunjukkan penghormatan padanya. “Sepuluh cukup.” katanya. Jika ditambah, jumlah pasukan milik Bara hanya lima belas. Setengah jumlah orang-orang Zero. Aku tidak kaget, kekuatan yang dimiliki Bara dan teman-temannya jauh lebih hebat dari siapa pun. Mereka tak terkalahkan. Walau pun begitu, sebagai perempuan biasa, aku masih merasa gelisah dan takut. Bagaimana jika ada yang masuk dan malah memburu aku dan Aileen?! Keempat lainnya langsung berdiri, bersiap menerima perintah Bara. Perintah pemimpin mereka. Bara melepas jaket kulit yang sedari tadi dipakainya. Untuk beberapa detik, Bara menatapku. Aku menatapnya khawatir. Sebagai manusia biasa, aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya maupun teman-temannya. Masalahnya, statusku di sini adalah pacar Bara. Pemimpin mereka. Aku takut bisa jadi aku jadi korban salah satu mereka. “Lo tunggu di sini, lindungin mereka berdua.” kata Bara pada lelaki berhoodie. Aku kaget saat tangan Bara mendarat di atas pucuk kepalaku, mengelusku pelan. 22



“Baik, Barata.” Seraya keempat lainnya bersiap—melepas jaket maupun meninggalkan barang-barang berharga di sini, Bara tiba-tiba menunduk ke arahku, bibirnya hampir menyentuh telingaku. Tangannya berada di belakang kepalaku. Dia berbisik sangat pelan. “Nadia, tunggu di sini.” “Berapa…



lama?”



tanyaku



pelan.



Aku



tidak



berani



menatapnya. Jika ingin bertarung, tatapannya berubah bengis seakan ingin membunuh seseorang. Dia diam sebentar. “Lima belas menit. Pesen makanan selama itu. Ngerti?” Aku



mengangguk



sebelum



dia



kembali



menegakkan



tubuhnya. Setelah itu, dia pergi bersama keempat temannya, meninggalkanku bersama Aileen dan lelaki berhoodie. Aileen diam di tempatnya, wajahnya cemas luar biasa. Sedangkan aku memilih untuk mematuhi perintah Bara. Menunggu seraya memesan makanan ringan. Apa pun. Barata Saputra Birawa. Aku dan teman-temannya memanggilnya Bara. Anak buahnya memanggilnya Barata. Tidak ada satu pun orang yang 23



tidak pernah mendengar namanya. Aku pernah mendengar, hanya dengan mendengar namanya saja, orang-orang berubah tegang. Bara, pemimpin salah satu kelompok gangster berbahaya yang didirikan olehnya sendiri. Mereka terorganisir, dan sudah menjadi salah satu basis kelompok terbesar dengan jaringan terluas. Dia kejam dan bertangan besi. Dia ditakuti dan dihormati, termasuk aku. Dan di sinilah aku, menunggu dirinya sampai dia kembali dengan selamat. Tapi aku tahu betul, bahwa dia tidak pernah kalah. Dia akan selalu kembali. Tanpa luka.



24



OBEDIENT



“Nad, kayaknya temen-temennya Barata lagi berantem deh di lapangan.” Mika menghampiri mejaku dan langsung memberitahu informasi ini. Saat aku menoleh sekitar, seisi kelas sudah menatapku seakan membenarkan perkataan Mika. Tapi sayang mereka terlalu enggan bicara denganku. Sebelum berpacaran dengan Bara, aku dekat sekali dengan Mika. Kemana-mana kami selalu berdua. Dulu kami juga sering nongkrong dan jalan-jalan bersama.Tapi setelah tahu aku mulai berpacaran dengan Bara tiga bulan yang lalu, Mika langsung menjaga jarak. Pun dengan teman-teman sekelas mau pun yang kukenal. Teman-teman yang sering ngobrol dan main bersamaku perlahan menjauh. Lama-lama, tidak ada yang berani bicara padaku. Keadaan berubah total. Tiap aku lewat, mereka 25



menghindar, atau bahkan sampai menunduk hormat. Setiap aku masuk kelas, kondisi kelas yang semula gaduh langsung sunyi senyap. Semua mata memperhatikanku. Begitu juga dengan Mika yang hanya berani melirikku. Alasannya satu. Bara. Mereka terlalu takut. Pasalnya jika mereka terlalu dekat denganku bisa saja membawa masalah pada mereka. Apalagi, Bara tidak terlalu suka jika aku terlalu dekat dengan temantemanku. Dia bahkan menyeleksi mana orang yang berhak atau pantas berada di dekatku! Aku yang lemah dan tidak berdaya tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perkataannya. Beberapa hari yang lalu, aku yang sudah tidak tahan tidak punya teman untuk bicara—Bara menganggap aku hanya boleh bicara saja dengannya dan teman-temannya—memberanikan untuk mengungkapkan keluh kesahku. Butuh beberapa hari aku mengumpulkan keberanianku. “Bara.” panggilku. Saat itu kami sedang di mobil. Tiap pulang sekolah, dia selalu mengantarku ke rumah. “Hm?” “Aku boleh ngomong sesuatu, nggak?” Dia menoleh sebentar. Ekspresinya datar. “Ngomong aja.” 26



Aku diam-diam menghela napas, menenangkan diri. Aturan pertama, tatap matanya. Aturan kedua, kata-kataku harus manis, menyenangkan hatinya dulu. Aku pokoknya tidak boleh membuat dia marah jika tidak mau pulang kebut-kebutan. Bara kalau sedang ngebut bisa sampai di atas 120 km/jam. Gila, kan? “Emm—Bar, aku ngerti maksud kamu baik kenapa kamu



ngelarang aku temenan sama temen-temen aku yang dulu. Kamu pilihin mana temen yang baik buat aku. Iya, kan?” Aku diam sebentar untuk memastikan reaksinya. Tidak ada perubahan ekspresi, aku memutuskan untuk melanjutkan. “Kamu… masih inget Mika? Temen deket aku dulu yang



sekelas, punya poni, rambutnya panjang. Tingginya sama kayak aku.” Dulu, aku masih sempat dekat dengan Mika selang beberapa hari aku berpacaran dengan Bara. Tapi karena sikap Bara dan tatapannya yang seakan tidak suka dengan keberadaan Mika di sampingku, sejak itu Mika tidak pernah menemuiku lagi. Kami bagai orang tidak kenal. Aku paham sih, kalau jadi dia. Tapi jujur rasanya sedih kehilangan sahabat hanya karena laki-laki egois macam Bara yang selalu mengaturku! “Kenapa?” tanyanya. 27



“Aku boleh temenan sama dia lagi?” Dia diam sebentar. Sedangkan aku menanti dengan harapharap cemas. Dia melirik ke arahku, “Harus dia?” Harus dia katanya? Iya, harus!



“Bar, temanku cuma dia. Aku nggak punya teman dekat lain selain dia.” “Nadia,” nadanya yang tiba-tiba lebih rendah seketika membuatku waspada, “Memang kamu anggap apa Rio, Brian,



Cakra, Arga?” Aku menganga. Bara serius? Yang seperti mereka disebut teman-temanku? Perlu dicatat, aku sama sekali tidak akrab dengan mereka. Jangankan bicara, menatap mata keempat temannya saja kadang membuatku takut. “Mereka kan temen-temen kamu, Bar.” kilahku hati-hati. “Teman-temanku, teman-teman kamu juga, Nadia.” Kata-katanya diakhiri sebelum membelokkan kemudi dengan kasar saat tikungan tajam yang membuatku hampir terlonjak. Aku paham. Ini artinya dia sudah tidak ingin dibantah. Aku mengalihkan tatapanku ke jendela samping. Aku marah. Pada Bara yang egois dan marah pada diriku yang seperti pengecut, dengan mudahnya mengalah padanya. 28



Saat itu, kami menghabiskan sisa perjalanan dalam diam sampai akhirnya tiba di depan rumahku. Sebelum keluar dan mengucapkan terima kasih padanya, Bara tiba-tiba memanggil namaku. “Nadia.” dia melirikku, tapi wajahnya masih lurus ke depan. “Iya…?” “Biar aku pikir lagi.” Dan semenjak itu, Bara mengijinkanku berteman lagi dengan Mika. Aku dan Mika mulai dekat lagi hari-hari ini. Hanya meminta untuk berteman dengan satu orang saja aku harus repot memikirkan cara supaya Bara tidak marah. Bisa dibayangkan betapa frustasinya aku, kan? “Ada si Bara di lapangan?” tanyaku, kembali ke topik awal. Mika duduk di bangku sebelahku yang kosong. “Nggak ngerti, Nad. Itu kayaknya yang lagi berantem si Rio sama Cakra, sih. Gue denger kali ini lawannya anak baru. Kayaknya gara-gara nggak terima keberadaan geng Barata di sekolah ini.” Aku menghela napas, merasa kasihan pada anak baru—yang entah bernama siapa itu—karena tidak mengetahui siapa sebenarnya sosok Barata dan teman-temannya. Tak beberapa lama lagi, pasti akan ada ambulan yang datang ke sekolah ini. 29



Tapi sisi positifnya, hari ini aku tidak perlu mencoba bersembunyi lagi di bilik kamar mandi untuk menghindari Bara. “Ke kantin aja, yuk? Gue laper.” aku berdiri. Mika ikut berdiri, “Lo nggak dicariin Barata, Nad?” tanyanya gusar. Dia tahu tiap istirahat sudah menjadi kewajiban aku bersama dengan Bara walau pun kulakukan dengan terpaksa. “Kalau temennya lagi berantem, Bara biasanya ikut. Jadi hari ini gue bebas,” aku tersenyum, menyeret Mika keluar kelas menuju kantin. “Yakin, Nad?” “Ayuk, deh.” Kapan lagi aku bisa merasakan kebebasan begini? Begitu keluar kelas, aku dapat melihat para siswa yang menggerombol membentuk lingkaran besar, diikuti berbagai macam sorakan dan bentuk tatapan dari arah lapangan. Beberapa bersorak mengelukan nama kelompok Bara, namun tak jarang juga yang memilih untuk diam, menyaksikan tanpa mengatakan apa pun seakan mereka terlalu takut untuk bereaksi. “Tuan Puteri mau kemana? Kabur lagi?” Aku yang sudah sangat muak dengan tontonan seperti itu hampir saja pergi saat Brian, tiba-tiba muncul dari arah 30



belakangku. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Aku langsung menatapnya penuh waspada. Para murid menghindar begitu melihat kami. Mika yang ketakutan bahkan sampai mundur ke belakangku. “Gue bukan Tuan Puteri.” kataku. Aku tidak suka panggilan yang lebih terdengar menyindir itu. Teman-teman Bara mulai memanggilku seperti itu sejak Bara kadang mulai menyuruh mereka untuk mengawalku. Hubunganku dengan Bara tidak seperti mereka mau pun yang orang-orang lihat. Dari luar mungkin kami memang terlihat biasa saja. Bara bahkan beberapa kali mengupload fotoku di akun



instagram-nya. Tapi sebenarnya tiap berhadapan dengan lelaki itu aku harus selalu menahan ketakutanku dan waspada supaya aku tidak membuatnya marah. Bara itu monster. Dia egois dan suka mengaturku. Terlalu menuntutku sehingga semua harus sesuai dengan kehendaknya. Entah apa yang akan terjadi padaku jika aku sampai menentangnya atau pun marah padanya. Aku tidak berani membayangkan. Jadi, selama ini aku cuma cari aman saja. “Bukan dari mana? Lo kan emang Tuan Puteri-nya Bara. Apaapa sekarang lo yang jadi nomor satu di mata tuh orang,” Brian 31



mendengus, “Sekarang lo mau kemana? Sembunyi di toilet lagi kayak biasanya?” Mataku terbelalak. Jadi mereka sudah tahu kalau selama istirahat aku selalu bersembunyi di bilik kamar mandi? Pantas saja aku tidak pernah berhasil karena orang suruhan Bara selalu bisa menemukanku. “Nggak… gue mau ke kantin sama temen gue.” “Dan bikin Bara nunggu lo?” nada Brian meninggi seakan menantangku, “Yakin lo?” Dan detik itu juga aku mulai ketakutan, mulai terancam dengan kata-kata Brian. “Tapi Bara lagi ada urusan, kan?” kilahku sambil menunjuk gerombolan yang makin banyak di lapangan. “Nad, Nad,” Brian menggeleng, “Bener kata Rio. Lo udah hampir tiga bulan jadian sama Bara tapi belum kenal juga tingkahnya Bara.” Aku diam. “Inget kata-kata Bara, Nad. Be a good girl, Nadia.” kalimat Brian yang menirukan nada Bara sebelum meninggalkan kami menuju kerumunan menyadarkanku.



32



Pegangan tangan Mika sontak mengetat di tanganku. “Mending lo ke sana aja deh, Nad. Gue nggak mau lo dapet masalah.” katanya. Aku mengangguk sebelum aku dan Mika mengikuti Brian dari belakang, menuju kerumunan. Murid-murid yang melihatku secara



otomatis



langsung



membuka



jalan



seakan



menghindariku. Hingga akhirnya aku berada di barisan paling depan, melihat segalanya. Pemandangan yang sudah sering kulihat di sini, tapi entah kenapa selalu membuat bulu kudukku merinding. Di tengah sudah berdiri Bara dan teman-temannya. Formasi lengkap berlima. Bara di barisan paling belakang, seakan menjadi penonton. Cakra, Arga, dan Brian berada tepat di depan Bara. Sedangkan



Rio



di



barisan



paling



depan,



tengah



mencengkeram kerah seragam sang murid baru, sampai-sampai murid berkacamata itu terangkat, kakinya hampir tidak menyentuh tanah. Wajahnya babak belur, seragamnya kotor. Aku melihat Rio dan ada luka lebam di pipinya. Aku berasumsi si anak baru adalah penyebabnya. “Masih berani nantangin?!” bentak Rio. Detik setelah itu ia langsung menjatuhkan si anak baru ke lantai. Rintihan kesakitan 33



terdengar. Aku meringis, merasa iba dengan pemandangan yang kulihat. Tapi sepertinya lukanya tidak parah. “Bar,” panggilan Rio membuatku mengangkat wajah, “Enaknya nih anak diapain?” “Siap-siap panggil Ambulans kagak, nih?” Cakra berkata enteng. “Gimana nih, Bar enaknya?” tanya Rio lagi. Arga tersenyum miring, “Yah, Cak. Kayaknya si Rio belum puas. Iya kagak, Yo?” yang dibalas senyum miring Rio juga. Kami semua diam, menanti titah Bara. Termasuk aku yang makin menggenggam tangan Mika dengan erat. Bara maju mendekat ke arah si anak baru yang terkapar. Ekspresinya datar, seakan tidak tertarik. Dia berjongkok. “Raditya Gunawan,” Bara membaca name tag murid baru dengan tenang, “Ini peringatan pertama buat lo. Ngerti?” Keempat teman Bara di belakang berseru kecewa. “Gitu doang, Bar?” sungut Arga. “Wah, wah. Beruntung juga si anak baru. Haha.” Brian tertawa. “Lo kenapa, Bar? Tumben lo. Lagi baik hati, nih?” kata Cakra. Anak baru diam. Jelas terpancar sinar kebencian yang teramat sangat di matanya. Tapi Bara yang sepertinya terlihat tak peduli 34



memilih untuk berdiri menyudahi ini semua. Mataku langsung membelalak begitu Raditya tiba-tiba bangun saat Bara sudah berbalik, siap melancarkan tinjuan kuat. Tapi sebelum itu terjadi, Bara sudah lebih dulu berbalik dan menahan kepalan tangan Raditya, dengan kasar mencengkeram kerah baju seragamnya, lebih kencang dan tinggi dibanding yang dilakukan Rio tadi, sampai-sampai kaki Raditya jauh dari tanah. “Sampah.” desisnya.



BRUK! Detik setelah itu, Bara dengan kuat melempar tubuh Raditya hingga terhempas jauh menuju tepat di depanku, di depan mataku. Suara terperangah saling bersaut-sautan. Aku tersentak. Sosok anak baru itu babak belur dan sudah tak sadarkan diri. Saat kuangkat wajah, mataku bertemu dengan mata Bara. Tatapan bengis yang paling kutakuti, seakan dia ingin membunuh seseorang. Lalu tiba-tiba dia mengangkat tangannya, mengulurkan tangannya ke arahku walau pun posisinya jauh dari posisiku saat ini, hal yang selalu dia lakukan begitu tahu aku berada di dekatnya, seakan memanggilku untuk menggapainya. Demi Tuhan, aku ketakutan setengah mati. Badanku kini bahkan sudah gemetaran. Aku baru melihatnya melempar orang 35



dan sekarang dia ingin aku menggapai tangannya yang digunakannya tadi? “Nad,” Mika menyadarkanku, “Lo kayaknya dipanggil Barata.” “Mik, gue takut…” “Lo bakal baik-baik aja, Nad. Percaya aja sama Barata, ya?” Percaya sama Bara? Mika pasti bercanda. Itu mungkin jadi hal terakhir yang akan kulakukan mengingat bagaimana sifat aslinya. Keempat teman Bara ikut menatapku. Rio dan Arga tersenyum miring, sedangkan Brian dan Cakra menatapku seakan berkata aku harus cepat menuju mereka jika tak ingin mendapat masalah. Aku tidak punya pilihan lain. Dia menanti dengan tatapan matanya yang dingin seakan menusukku. Aku benci diriku yang seperti ini. Yang tidak punya keberanian untuk menghadapinya dan melawannya. Yang tidak berdaya jika berhadapan dengannya. Aku benci diriku yang memilih untuk melewati anak baru yang terkapar tak sadarkan diri. Aku benci diriku yang sudah menggapai tangannya yang kotor. Dan aku benci diriku, yang tidak pernah punya pilihan selain mematuhi perintahnya.



36



REAL FIGHTER



Gawat. Aku mempercepat langkahku setelah turun dari grab yang kupesan. Susah payah aku berlari sambil terengah-engah. Aku mengecek jam tanganku lagi, untuk yang kesekian kalinya. Aku sudah terlambatsetengah jam dari jam yang ditentukan Bara untuk datang kebasecamp-nya malam ini. Tiap malam minggu, aku selalu pergi dengannya, dan dia yang selalu menjemputku. Tapi karena kebetulan malam ini dia tidak bisa—yang katanya ada masalah serius yang harus dia bereskan terlebih dahulu dengan gengnya sekarang—aku terpaksa harus berangkat sendiri kesini. Di depan gedung basecamp sudah ada Brian dengan sepuntung rokok di tangannya, sedang menyenderkan punggungnya, menungguku.



Badannya



langsung



berdiri



tegap



begitu



menyadari keberadaanku.



37



“Tuan Puteri udah dateng rupanya,” sindir Brian begitu aku tiba di hadapannya, masih mengatur napasku yang terengahengah karena sedari tadi aku lari sekuat tenaga. “Gue bukan Tuan Puteri,” kataku yang entah sudah keberapa kalinya. Semenjak Bara memerintahkan teman-temannya untuk menjemputku menggantikan dirinya saat tidak bisa, temanteman Bara mulai memanggilku Tuan Puteri—panggilan yang sama sekali kubenci. “Lo telat setengah jam,” kata Brian setelah melihat jam tangannya, “Udah ditungguin Bara dari tadi.” Aku tahu, dan sekarang aku sedang berusaha untuk menenangkan diriku untuk siap menerima konsekuensi dari keterlambatanku. Ini bukan yang pertama kali. Dulu saat awalawal berpacaran dengannya, aku pernah membuatnya marah hanya karena aku terlambat datang lima menit! Dan baginya it was such a big deal mengingat salah satu prinsip Bara adalah kalau lo nggak bisa on time, sama aja lo nggak



menghargai keberadaan gue. Bara tahu saja, mana bisa aku menghargai keberadaannya kalau setiap berhadapan dengan dia harapanku satu-satunya agar aku bisa lenyap saat itu juga.



38



Saat itu, dia langsung mengeluarkan jurus andalannya— tatapan super tajam dan kebisuannya yang membuatku langsung gelisah, menanti apa yang akan dia lakukan. Ujungnya, malam itu dia mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh. Saat aku lihat speedometer, sudah hampir mencapai 180km/jam!



“Bara…” lirihku kalut, tanganku sudah mencengkeram erat handle grip mobil, “Pelan-pelan aja… Jangan ngebut-ngebut…” Tatapan Bara masih ke depan, rautnya tenang, tapi aku bisa melihat genggaman tangannya pada kemudi yang mengerat,



“Kalau ada yang telat, harus ngebut. Iya, kan?” Aku yang sudah berpikir akan mati saat itu juga baru bisa bernapas lega setelah Bara menghentikan mobilnya di tengah jalan sebelum mobil masuk ke gerbang masuk jalan tol. Saat aku menoleh, tatapan Bara sudah terarah kepadaku, tatapan peringatan mengerikan yang membuat sekujur tubuhku lemas seketika.



“Bara…” “Kamu tahu apa kesalahan kamu?” tanyanya, nadanya rendah dan pelan, tapi ada maksud berbahaya. Aku mengangguk cepat, “Maafin aku, Bar. A-aku nggak bakal



telat lagi kayak tadi.” 39



“Janji?” nadanya yang terdengar menuntut memaksaku mengangguk lagi, menyetujui apa pun yang dia inginkan.



“Iya, aku janji. Jangan… ngebut lagi, ya?” Bara saat itu yang sepertinya puas dengan jawabanku hanya mengangguk tanpa ekspresi, melanjutkan kembali mengemudi dengan kecepatan normal. Aku langsung menghela napas lega. Semenjak itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak terlambat jika dia menyuruhku menemuinya, atau pun untuk tidak membuatnya marah. Aku tidak berani membayangkan perbuatannya lebih dari ini. Karena



itu,



selama



ini



aku



selalu



menuruti



semua



perkataannya.Seperti yang selalu ia bilang, be a good girl, Nadia, aku berusaha jadi pacar yang baik dan menyenangkan hatinya, paling tidak di hadapannya. “Bara… marah?” tanyaku hati-hati. Brian mendengus, senyum miringnya tersungging, “Menurut lo? Lo tahu sendiri Bara paling anti yang namanya ngaret tapi lo masih berani telat. Lo sengaja?” Aku meneguk ludah. Mau bagaimana lagi? Tadi siang aku sempat ketiduran dan baru sadar sudah tidur terlalu lama. Aku bahkan cuma mandi selama lima menit dan sampai memilih baju 40



asal. Datang tepat waktu di hadapan Bara lebih penting ketimbang memikirkan penampilanku. “Nggak mungkin gue sengaja. Gue ketiduran soalnya tadi.” kilahku. “Kita lihat apa alasan lo bisa bikin Bara nggak ngamuk,” Brian berbalik dan mulai berjalan masuk, “Ati-ati aja. Mood Bara lagi anjlok parah sekarang. Dan sekarang lo malah nambahnambahin dengan dateng telat. Good job, Nad.” “Maksud lo… apa?” “Let’s see, then.” Brian menoleh sekilas dan tersenyum miring padaku. Aku mengekori Brian masuk melalui jalur lorong gelap, lalu menaiki tangga sampai tiba di lantai. Ini adalah yang pertama kalinya aku kesini. Sampai akhirnya kami tiba di depan pintu sebuah ruangan. “Good luck, Nad.” Begitu pintu terbuka, ruangan sudah penuh terisi dengan anak buah Bara, membelakangiku. Jumlahnya sekitar lima puluh, semuanya berhoodie hitam dengan tudung yang menutupi sebagian kepala mereka. Ada simbol lingkaran dengan huruf X di



41



tengahnya, simbol geng Bara. Mereka terlihat mengerikan dan berbahaya. “Minggir, gue malu lewat.” titah Brian yang baru kusadari tengah memakai jaket hoodie sama seperti mereka, namun bedanya ada gambar bara api di sekitar lingkaran. Gambar yang hanya dimiliki



Bara dan keempat temannya, tanda bahwa



mereka adalah penguasa di tempat ini. Semua orang menoleh, dan serempak membuka jalan untuk kami berdua. Dari sini, aku bisa melihat Bara dan ketiga temannya duduk bersamaan—dengan hoodie yang sama yang dikenakan Brian, kecuali hanya Bara yang memakai kaos hitam dengan jaket kulit hitamnya. Semua menatapku dalam diam ketika aku melewati mereka. Mungkin ini pertama kalinya bagi mereka melihatku yang berstatus sebagai pacar seorang Barata, pemimpin mereka. Brian duduk di samping Rio, membuat Bara berada tepat di tengah-tengah mereka. Aku berdiri dengan harap-harap cemas. “Wah, Tuan Puteri bisa telat juga,” Cakra menyeringai. “Nggak sayang nyawa nih kesayangan lo, Bar. Mungkin dia udah lupa kalau lo nggak suka sama orang yang nggak on time.” kata-kata Rio bagai menyiram minyak ke dalam api. 42



Aku diam, menanti sepatah kata keluar dari mulut Bara yang masih bungkam menatapku tajam. Terlihat



jelas dari



ekspresinya bahwa dia memang marah. Entah karena aku yang terlambat atau karena masalah yang terjadi di sini. Aku tadi sempat menoleh ke sekitar, dan tak bisa dipungkiri ada atmosfir penuh ketegangan di sini. “Kamu kenapa telat?” Pertanyaan Bara membuat semua mata tertuju ke arahku, termasuk anak buahnya, “Maaf, Bar. Aku… aku tadi ketiduran. Begitu bangun aku langsung cepet-cepet kesini tadi.” "Tiga puluh menit, Nad.” "Iya... maaf ya, Bar?" lirihku. Dia diam cukup lama sampai akhirnya berkata, “Nanti kita bahas lagi,” lalu seperti biasa dia mengulurkan tangannya padaku. Diam-diam aku menghela napas lega. Untuk sementara, aku sudah aman. Tapi entah apa yang akan Bara lakukan padaku nanti. Cepat-cepat aku menggapai tangannya. Aku dibawanya duduk tepat di sebelahnya setelah Arga dan Cakra bergeser. Aku tidak suka di sini, situasi di sini membuatku tidak nyaman. Ditambah lagi, melihat berpuluh orang bertudung 43



tanpa ekspresi di hadapanku, membuat nyaliku langsung ciut. Tanpa sadar, badanku mendekat ke Bara, aku menggenggam tangannya lebih erat. Dia sempat melirikku sekilas. Aku kaget saat tangannya yang lain mengelus punggung tanganku pelan. Setelah itu, perhatian Bara kembali terarah pada segerombol anak buahnya. “Sekarang mereka di mana?” tanya Bara pada anak buahnya. “Kami belum bisa mendekteksi keberadaan mereka, Barata.” kata salah satu anak buah Bara berhoodie yang berdiri paling depan dari antara anak buah lainnya. “Gue yakin ini anak buahnya si Triple X,” sahut Arga, “Gue kemarin lusa lihat gerombolan mereka di deket sekolah kita. Pas gue keluar, mereka ngikutin gue. Tapi untungnya gue berhasil menghindar.” Bara menoleh, “Dan lo baru bilang sekarang?” Aku menahan napas saat mendengar nada dingin dengan intonasi tinggi Bara. Aku tidak berani menatap matanya. Di antara mereka berlima, yang kutahu Bara yang paling lihai mengontrol emosi. Ekspresinya tenang, walau pun tatapannya sering menusuk. Melihatnya yang seperti ini, aku tahu kemarahannya sudah di ambang batas. 44



“Gue waktu itu belum bisa mastiin karena belum ngeh, Bar. Lo tahu gue nggak mungkin nerka-nerka kejadian yang belum kebukti bener atau enggaknya.” kata Arga. Aku sadar dari nadanya, nyalinya sedikit menciut. “Arga bener. Kita nggak bisa gegabah,” tukas Brian. Lalu semua diam, menanti titah Bara. Bara mengangkat wajahnya, tatapannya seketika menggelap, “Pengkhianat,” desisnya, “Gue ijinin eksekusi.” Semua terperangah, kecuali aku yang bingung dengan apa yang terjadi saat ini, dan Bara yang memilih untuk duduk dalam diam, walaupun jelas sekali dia kelihatan marah sekarang. Sebenarnya ada masalah apa ini? Sampai-sampai saat aku menoleh ke arah teman Bara yang lain, ekspresi mereka berubah serius dan tajam. Apa maksudnya dengan eksekusi? “Lo yakin, Bar?” Rio sudah berdiri dari tempatnya, “Kita bahkan belum tahu berapa jumlah si kampret itu! Gimana kalau kita yang habis?!” “Yo, tenang,” Brian mengingatkan, “Bara pasti udah memperhitungin semuanya. Iya kan, Bar?”



45



Bara menoleh ke arah Rio, “Pengkhianat harus ditumpas habis,” desisnya, lalu tatapannya menoleh ke arah anak buah mereka, “Gue kasih waktu satu minggu. Paham?” “Baik, Barata.” jawab mereka semua serentak. Setelah itu, semua



laki-laki



berhoodie



di



hadapanku



ini



pamit,



melaksanakan perintah, yang langsung dibalas Bara dengan sekali anggukan. Rio kembali menghempaskan tubuhnya ke sofa, Brian menghela



napas,



Cakra



memijit



pelipisnya,



dan



Arga



menggeleng pelan. Rasanya aku ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Tapi aku tidak berani. Ini bukan urusanku. Masalah mereka biarlah menjadi masalah mereka. “Eksekusi semuanya, ya? Udah geng keberapa, nih?” tanya Arga. “Tujuh,” seringai Cakra, “Going for extra miles, Bar? Lo emang selalu totalitas kalau nyangkut beginian.” Aku bingung saat semua tersenyum puas. Dari antara mereka, Rio yang masih terlihat muram. Laki-laki itu tiba-tiba berdiri, “Bar, gue minta ijin lo buat terjun langsung ke masalah ini.” Yang disambut oleh tatapan semua orang. “Kenapa?” tanya Bara. Ekspresinya tenang. 46



“Kalau dalangnya beneran Triple X, gue mau bikin siasat. Yang gue tahu, mereka nggak pernah main-main. Lo masih inget kan mereka biang kerok kasus pembakaran basecamp geng Mad Dog tahun lalu? Gue mau mastiin mereka kagak bakal bisa nyentuh, bahkan nyusup ke anggota kita lagi.” kata Rio. Bara diam sebentar sebelum mengambil keputusan, “Oke. Gue ijinin.” Aku bisa mendengar Rio langsung menghela napas, “Thanks,” ujarnya, “Kalau gitu gue cabut.” kata Rio sebelum mengambil ponsel di meja hadapanku dan berbalik, keluar dari ruangan ini. Bara tiba-tiba ikut berdiri setelah kepergian Rio. “Gue juga cabut,” katanya pada yang lain seraya mengulurkan tangan ke arahku, “Kalau ada kabar langsung kasih tahu gue.” Aku langsung menyambut tangannya dan berdiri, tahu bahwa kami harus pergi sesuai rencana kami tiap malam minggu—atau lebih tepatnya perintah Bara yang mengharuskan aku bersamanya seperti sekarang ini. Kami berdua sudah berjalan keluar saat aku memberanikan bertanya, “Bara…” “Hm?” Dia sama sekali tak menoleh.



47



“Emm—kamu tadi nggak lagi nyuruh mereka bunuh orang, kan?” Nah, keluar sudah pertanyaan yang menghantuiku sejak tadi! Sebenarnya, menanyakan pertanyaan begini dari orang luar sepertiku cukup berbahaya, pertanyaan menyangkut geng mereka. Semenjak menjadi pacar Bara, aku tidak punya pilihan selain ikut terlibat dalam geng mereka. Termasuk sedikit tahu tentang informasi, anak buah, maupun rencana kelompok ini yang lebih cocok disebut organisasi ketimbang geng biasa. “Kenapa? Takut?” Dia mendengus. Pakai ditanya. Jelas aku takut! Aku cuma perempuan biasa yang sama sekali tidak punya keahlian bela diri. Pacarku ketua geng berbahaya, punya banyak musuh, dan sifatnya lebih mirip monster ketimbang manusia. Mana bisa aku tenang setiap hari? “Lumayan, sih,” ringisku, “Bar, aku… nggak pengen kamu sama yang lain kenapa-kenapa, makanya jangan bunuh mereka, ya…” Kalau dia kenapa-kenapa, imbasnya di aku juga. Dia menoleh ke arahku sebentar, “Aku nggak suka berurusan sama polisi,” lalu tiba-tiba tangannya berada di pucuk kepalaku, mengelusku pelan, “Nggak usah khawatir.”



48



Aku terhenyak, kaget. Saat aku menoleh, ekspresinya sudah tidak terlihat sekaku dan sedingin tadi. Diam-diam aku menghela napas. Berarti, Bara tidak akan melakukan dosa besar seperti pembunuhan, kan? Punya status sebagai pacar pembunuh rasanya bukan hal yang pantas didengar. Dia juga sepertinya sudah lupa perihal keterlambatanku tadi. Oke, tapi aku tetap harus waspada. Bisa saja setelah ini tangannya malah bergerak menjambak rambutku, mengingat sifatnya yang tidak pernah bisa kutebak. Kuputuskan untuk tidak mengungkit lagi perihal tadi malam. “Mmm… kita mau kemana?” tanyaku begitu aku sudah duduk di samping kemudi mobilnya. Dia memasang sabuk pengaman dan mulai mengemudi keluar area parkir basecamp. “Kamu maunya kemana?” tanyanya balik. Aku berpikir keras. Jawaban apa yang paling aman? Tumben sekali Bara mau meminta pendapatku. Biasanya, dia yang memutuskan segalanya, dimulai dari kami mau kemana, apa yang mau dilakukan, sampai makan dan minum pun dia yang tentukan! Apalah dayaku yang hanya bisa menurutinya. Selama ini, aku selalu berperan menjadi pacar yang manis dan baik, yang selalu menyenangkan hatinya. Aku selalu hati-hati 49



saat menjawab dan memperlakukannya. Bisa dibilang, aku ini tipe gadis penurut, karena aku terlalu pengecut untuk menentangnya. Bagiku, pacar hanya status. Aku merasa tidak memiliki kebebasan sama sekali semenjak pacaran dengannya. Aku jadi sering bertanya-tanya, kapan ya aku bisa lepas dari dia? Kapan aku punya keberanian untuk minta putus darinya? “Terserah kamu aja, Bar. Aku nurut kamu.” kataku sambil memaksakan senyum.



“Fine.” Saat mobil Bara sudah hampir masuk mencapai ke jalur jalan raya, tiba-tiba dua buah mobil Jeep hijau tua menghentikan kami, berhenti tepat di depan mobil Pajero Bara. Dari arah belakang sudah ada tiga mobil Jeep lainnya. Perasaanku sudah tidak enak. "Bar..." lirihku seraya melihat ke sekitar. Gawat, sama sekali tidak ada orang. Kueedarkan tatapan ke sekitar. Jalanan sepi dan gelap, "Mereka... siapa?" Instingku berkata kami dalam bahaya. Apalagi setelah melihat eskpresi Bara yang mengeras dan tangannya yang mengerat memegang kemudi. Dia mematikan mesin mobil, membuatku tambah panik. Bara tidak mungkin menyerahkan diri, kan? "Bara..." 50



“Triple X.” gumamnya, tepat ketika kelima mobil Jeep yang mengepung kami terbuka, jumlahnya lebih dari dua puluh pria keluar dengan jaket hoodie hitam bertudung menutupi kepala mereka. Ada tulisan XXX di depannya. Mereka sepertinya geng yang dibicarakan Bara dan anak buahnya tadi. Oh, tidak. Aku tahu sekarang aku dan Bara berada dalam bahaya. Dalam gelap, Bara mengambil ponsel sebelum menempelkan ke telinganya. Matanya fokus mengintai sekitar, mengamati para pria berhoodie yang mengpung tak jauh dari mobil kami. “Gue di deket jalur masuk jalan raya. Lo berempat ke sini.” titahnya.



“Kenapa lo?” Itu suara Brian di telepon. “Triple X,” Bara mendesiskan nama itu dengan geram, “Gue diserang. Jumlahnya lebih dari dua puluh.”



“Bangsat! Tuh kampret beraninya keroyokan! Lo tunggu di sana. Kita cabut sekarang.” “Gue kasih waktu sepuluh menit.” Dan setelah itu, Bara mematikan ponselnya. Aku menatapnya dalam diam, menanti keputusannya. Bisa saja Bara nekat tetap menjalankan mobil dan menabrak semua orang sampai mereka 51



mati, kan? Atau mungkin dia berencana memberikanku pada mereka sebagai jaminan? “Nadia,” Aku tersentak saat tiba-tiba Bara melepas jaket kulit hitam yang sedari tadi dipakainya, lalu menarik tanganku, memakaikannya ke badanku, “Dingin?” “Hah?” Aku tidak paham. Kemana sebenarnya arah pembicaraan ini, dan apa yang akan dilakukan dia? “Kamu kedinginan?” Dia memakaikan jaket ke lenganku satunya. Aku makin panik saat gerombolan pria berhoodie mendekat ke arah mobil, “Bar, itu mereka di belakang kamu…” “Kamu tetep di sini,” ujarnya setelah berhasil memakaikan jaket ke badanku, lalu membenarkannya sebentar sebelum menatap mataku dengan sorot tajam dan berbahaya. Tatapan bengis yang selalu berhasil membuatku gemetaran seperti dia akan membunuh seseorang, “Tunggu di sini. Sepuluh menit. Ngerti?” Bukannya mengangguk, aku malah menggeleng. Bara sepertinya menyadari tanganku yang gemetaran saat tanpa sadar kutarik tangannya, “Kamu… nggak bakal mati, kan?” bisikku. Kalau dia mati, aku juga bisa jadi korban di sini. 52



“Kunci pintunya,” katanya tegas sebelum memakaikan tudung



hoodienya ke kepalaku dan keluar dari mobil, meninggalkan dengan mesin yang masih menyala. Aku duduk dalam diam, memperhatikan Bara dari dalam mobil. Dia sudah berjalan menuju orang-orang yang mengepung kami. Kubuka jendela mobil Bara pelan, aku ingin dengar apa yang mereka bicarakan. “Halo, Barata Saputra Birawa. Akhirnya gue isa ketemu lo secara langsung.” sapa laki-laki dengan badan paling besar dan paling depan dari antara mereka. Aku berasumsi mungkin dia ketua kelompok Triple X. “Dua puluh lawan satu orang,” Bara mendengus, nadanya tenang, “Nggak nyangka lo sepengecut itu.” Raut ketua Triple X terlihat geram, “Apa pun bisa gue lakuin asal lo sujud di kaki gue,” aku kaget saat tiba-tiba lelaki itu memiringkan kepalanya, melongok ke arahku. Cepat-cepat aku membungkuk, meringkuk dalam kegelapan, “Lo bawa siapa? Cewek lo?” Aku bisa melihat kepala Bara yang bergerak sedikit ke arahku begitu sang ketua tertawa.



53



“Gue kagak nyangka, seorang Barata yang hebat bisa punya cewek. Bisa hidup normal juga lo ternyata,” pria berhoodie itu mendekat, “Apa cewek lo tahu kalau lo itu monster?” Aku mendengus mendengarnya. Tentu saja tahu, sangat tahu malah! Tiga bulan kami berpacaran dan sudah banyak hal yang terduga yang dilakukan Bara—kenyataan yang baru kusadari setelah aku menyandang status sebagai pacarnya. “Mau lo apa?” “Pake ditanya, gue pengen lo mampus, bangsat!” Sang ketua tertawa lagi, “Alone and no weapon, kalau lo pengen cewek lo selamet. Gue kagak bakal nyentuh cewek lo.” Mataku langsung membelalak. Sendiri dan tanpa senjata? Ketua itu pasti sudah gila. Aku tahu kemampuan Bara memang tidak bisa diragukan jika menyangkut masalah begini. Tapi dua puluh lawan satu orang? Keselamatanku juga menjadi ancaman di sini. Oke, sekarang aku harus apa? Apa aku harus panggil polisi? Aku bingung, karena baru ingat Bara sama sekali tidak mau terlibat maupun berurusan dengan kantor kepolisian. Aku sudah tidak sempat berpikir lagi saat tiba-tiba suara Bara yang tenang dan dingin terdengar, “Deal.” 54



Badanku lemas, kalut. Namun aku teringat kata-katanya tadi.



Sepuluh menit. Aku harus menunggunya dengan tenang. Detik setelah itu, penyerangan dimulai. Aku menatap ngeri ke arah lima orang mulai menyerbu Bara. Bara dapat menghindar beberapa kali, bahkan dengan mudahnya menghajar para lelaki beringas yang mengepungnya. Dengan sigap, dia menyingkir dan menjegal langkah para pria berhoodie lain yang mencoba menyerangnya sekaligus hingga mereka jatuh bersimpuh. Aku menganga saat sepuluh orang sudah terkapar di tanah. Beberapa mulai bangkit dengan terseokseok. Kali ini, Ketua Triple X yang kelihatan tak terima mengambil tongkat pemukul baseball dari dalam mobil, diikuti para anak buahnya di belakang yang bersiap menyerang Bara.Tepat setelah itu, Sepuluh orang sekaligus langsung mengepungnya, bersiap untuk



menghajar



Bara.



Dengan



cepat



dia



mengindar,



menendang, dan menangkis para tangan yang nyaris mengenai tubuhnya, seakan Bara tidak sudi jika badannya tersentuh. Aku bisa melihat sinar terkejut dan gemang ketua sebelum dia berteriak dan hendak melayangkan pemukul baseball ke arah Bara. Baramenghindar, dengan gesit, ia mencengkeram tongkat 55



itu dengan kuat dan langsung melemparnya kasar, hingga membuat sang ketua terperangah di tempatnya. “Sekarang satu lawan satu. Kayak yang lo bilang,” Bara berkata tenang dengan nada menusuk di sela-sela napasnya yang tersengal-sengal, “Alone and no weapon.” Badanku gemetaran melihat dua puluh orang yang terkapar tak berdaya dengan muka dan badan penuh babak belar. Aku tahu Bara itu kuat dan buas, tapi jika sampai mengalahkan dua puluh orang dengan tangan kosong, ini di luar kepalaku, di luar ekspetasiku. “Kurang ajar!” Geraman ketua Triple X menggelegar. Bara seperti mengatakan sesuatu pada pria itu. Aku tidak bisa mendengarnya, mungkin karena suaranya terlalu pelan. Setelah itu, sang ketua tanpa kuduga menoleh ke arahku sebelum kembali pada Bara dan mengangguk walau pun ekspresinya sama sekali kelihatan tidak rela. Apa yang mereka bicarakan? Ketua Triple X berbalik masuk ke dalam mobil, diikuti sisa beberapa para anak buah mereka yang tiba-tiba bangun, menyisakan belasan pria yang tersungkur tak sadarkan diri, sebelum mobilnya Jeep pergi dari sini. 56



Aku turun dari mobil saat mendapati tangan Bara yang terulur ke arahku, tangan yang baru digunakannya untuk memukul mereka. Kugapai tangannya, menatapnya, tapi bukan tatapan dingin yang biasa dia tujukan di saat begini. “Masih dingin?” Aku



termangu,



menatap



tangannya,



lalu



mengamati



wajahnya. Tidak ada luka sama sekali. Detik itu aku sadar, aku belum tahu betul siapa sosok laki-laki dihadapanku ini. Bara, apa kamu memang sekuat ini? Aku menggeleng, di saat yang bersamaan dia membenarkan letak jaketnya yang kupakai, lalu membenahi tudung yang menutupi kepalaku. Tangannya berhenti di bahuku, menatapku sebentar dengan tatapan yang bahkan sama sekali tidak bisa kuartikan. “Udah sepuluh menit?” tanyanya. Aku mengerjapkan mataku, baru sadar, “Udah. Udah sepuluh menit…” kataku, “Bar… kamu nggak papa, kan? Ada yang luka?” Aku bertanya untuk memastikan. Wajahnya mendekat, “Nad, kamu tahu sendiri nggak akan ada orang yang bisa nyentuh aku.” Tangannya berada di belakang kepalaku, mengelusku pelan, “Kecuali waktu itu.” 57



Aku diam.Tepat setelah itu, beberapa mobil menghampiri kami, diikuti keluarnya keempat teman-teman Bara dengan terburu-buru. Brian berlari menuju kami berdua, diikuti Arga, Cakra, dan Rio tak lama kemudian. Tatapan mereka menyapu sekitar. “Bar, lo yang habisin mereka semua? Gila lo!” tanya Cakra, takjub. “Jadi beneran ulah Triple X, nih?” Arga menyeringai, “Ceroboh juga si kampret! Kita jadi kagak perlu cari dalang kasus kemarin.” “Sekarang kasih tahu ke kita apa perintah lo, Bar.” perkataan Brian sontak membuat tiga lainnya menoleh. “Perintah gue tetep sama. Eksekusi. Semuanya.” Aku menoleh ke arah Bara, tatapan dingin dan menusuk itu sudah kembali. Lalu tiba-tiba aku teringat. Kejadian saat itu, saat pertama kali aku bertemu dengannya.



58



FIRST MEETING WITH BARATA



Aku masih ingat betul. Kejadiannya sekitar satu tahun yang lalu, saat pertama kali aku bertemu Bara. Saat itu, aku baru pindah ke Jakarta setelah mengetahui bisnis Papa yang hampir diambang kebangkrutan, mengharuskannya untuk tetap tinggal di Singapura, sampai urusan Papa selesai, dan hutang-hutang yang dimilikinya lunas. Sejak umur sepuluh tahun, setelah kematian Mama, aku pindah ke Bandung, setelah sebelumnya sejak lahir aku tinggal di Jakarta. Sekarang, karena masalah Papa, rumah di Bandung— yang lebih besar dari rumah lama di Jakarta—harus dijual, mengharuskanku untuk kembali ke sini, tinggal sendirian di rumah ini. Seminggu setelah keberangkatan Papa ke Singapura, aku jatuh sakit, sampai harus di opname. Dokter mengatakan bahwa aku 59



terkena typus. Tante Feby, adik satu-satunya Papa yang merawatku selama aku di rumah sakit. “Maaf ya tante, kalau Nadia ngerepotin tante.” ujarku sambil tersenyum miris. Infus sudah terpasang di tangan kiriku. Sepanjang hari aku cuma bisa berbaring di atas ranjang rumah sakit. “Nggak ngerepotin sama sekali, Nadia. Papamu kan lagi jauh, kalau bukan tante memang siapa lagi yang rawat kamu?” Bisa kurasakan Tante Feby tersenyum tulus ke arahku. Setahuku, Tante Feby sudah bercerai dengan suaminya sekitar lima tahun yang lalu. Beliau punya satu anak laki-laki. Setelah bercerai, hak asuh putranya jatuh di tangan suaminya. Dari kabar yang kudengar, mereka sekarang tinggal di Surabaya. Beliau sebenarnya sudah sering menawariku untuk tinggal bersamanya. Tapi aku menolak. Selain karena tidak ingin merepotkan, aku lebih suka tinggal di rumah lama yang di Jakarta, karena berisi kenangan-kenangan lamaku dengan Mama. “Makasih ya, Tante.” Selama dirawat, Tante Feby selalu menjengukku tiap pulang kerja. Lalu beliau akan pulang sebelum pukul delapan malam. 60



Saat itu, adalah hari ketiga aku dirawat di rumah sakit, saat dimana pertama kali aku bertemu dengan dia. Bertemu dengan Barata. Malam itu, sudah pukul sepuluh malam, saat tiba-tiba aku terjaga dari tidurku. Aku juga tidak tahu kenapa. Hanya saja aku merasa tidak nyaman. Berkali-kali kucoba memejamkan mata, tapi kantuk rasanya sudah menguap entah kemana. Kuputuskan untuk keluar dari kamar rawat inap, berjalanjalan sebentar menyusuri koridor rumah sakit yang sudah sepi, sambil menggerettiang infus di tangan. Sampai tiba-tiba, mataku menangkap sesosok laki-laki yang tergopoh kesakitan dengan darah mengucur di perut bagian kanannya. Aku menutup mulutku yang hampir berteriak histeris, karena laki-laki itu sepertinya sudah tidak tahan menahan sakit di perutnya. Susah payah aku berlari sambil menggeret tiang infusku menujunya. “Ya ampun! Kamu berdarah! Kamu kenapa?!” Aku panik, karena lelaki itu sudah jatuh tersimpuh dengan wajah pucat luar biasa. Erangan kesakitan keluar dari mulutnya. Aku mengedarkan pandanganku. Sepi, tidak ada siapa-siapa.



61



“Kamu nggak papa?” tanyaku lagi, badanku menunduk, “Biar saya bantu ber—” Tanganku terulur, hendak membantunya berdiri. Namun buru-buru itu terjadi, aku kaget saat lelaki itu menepis tanganku, lalu menjauhkan tubuhnya dariku, seakan tak membiarkanku menyentuhnya. Tatapannya berubah tajam. Aku bergeming karena baru pertama kali ditatap seperti itu. Jenis tatapan yang dapat membuat siapa pun langsung bergidik ketakutan. Tapi aku tak peduli. Keselamatan orang yang bahkan tak kukenal di depanku ini lebih penting ketimbang ketakutanku. “Kamu tenang dan tunggu di sini dulu, biar saya cariin dokter, ya. Jangan kemana-mana!” seruku panik seraya berlari mengelilingi koridor rumah sakit, meninggalkannya yang masih mengerang kesakitan. Aku berlari ke arah satpam yang menjaga informasi. Dengan sigap mereka langsung bertindak. Salah satu memanggil perawat, satu lainnya mengikutiku ke arah laki-laki terluka tadi, membantu membaringkan ke ranjang matras yang dibawa beberapa perawat yang sudah tiba. Aku mengikuti mereka—seraya menggeret tiang infusku. Saat para perawat membuka denim yang dipakai untuk memastikan 62



lukanya, aku kaget saat mendapati tattoo naga yang menjulur dari dada kiri ke bahu, sampai ke lengan bagian atas. Ada tattoo lain, tapi aku tidak sempat melihat karena langkahku buru-buru terhenti saat mereka masuk ke IGD. Yang barusan aku lihat tadi… apa? Saat itu, banyak hal yang menghantui pikiranku semalaman. Apa orang itu orang jahat? Semacam preman mungkin? Dari mana luka tusuk begitu? Dan kenapa dia hanya sendirian? Aku berusaha mencari tahu keesokan paginya. Aku tanya beberapa suster, laki-laki kemarin sudah dipindah ke ruang rawat inap tak jauh dari kamarku, karena luka tusuknya tidak dalam. “Oh, Mas Barata Saputra, ya? Yang kemarin malam kena luka tusuk itu, kan?” Aku mengangguk. Jadi namanya Barata? “Iya. Kondisinya kemarin gimana, sus? Saya kemarin yang bantuin dia soalnya.” “Oh, mbaknya kemarin yang nolong? Masnya lukanya sudah dijahit. Untungnya nggak dalam. Mbak jenguk saja sudah bisa di ruang VIP 1.” begitu kata suster.



63



Saat aku sudah berada tepat di depan kamarnya—seraya menggenggam beberapa buah-buahan yang dibawakan tante Feby—aku ragu. Tapi aku yang sudah terlanjur penasaran untuk melihat kondisinya memutuskan untuk mengetuk sebelum masuk, membuka pintu dengan perlahan. “Permisi…” Aku melongok ke pintu. Dia sedang duduk di ranjang. Baju pasiennya terbuka, menampakkan perban tebal yang melilit perut. Aku juga bisa melihat tattoo naga yang kemarin kulihat. Kurasakan tatapannya yang berubah waspada begitu melihatku, dia langsung mengancingkan bajunya. “Boleh masuk? Saya kemarin yang nolongin kamu. Inget, nggak?” tanyaku hati-hati, karena tiba-tiba aku bisa merasakan hawa ketegangan aneh yang tak pernah kurasakan sebelumnya. “Ngapain lo?” nadanya dingin. “Saya bawain buah.” ringisku, mengangkat dua apel dan beberapa pisang. Aku masuk ke dalam, lalu diam sebentar untuk memastikan reaksinya. Tidak ada perubahan ekspresi, aku menutup pintu dan berjalan ke arahnya.



64



Tatapan tajamnya terus terarah padaku sementara aku berjalan menuju nakas di sebelah ranjang untuk meletakkan buah yang kubawa. “Ini saya bawain buah, ya. Kondisi kamu gimana? Udah mendingan?” tanyaku berbasa-basi. Tapi dia malah memicingkan matanya, “Lo tahu siapa gue?” nadanya lebih terkesan menuduh. Apa dia tahu ya kalau tadi aku sempat tanya suster? “Barata… Saputra, kan? Saya tanya suster di depan tadi soalnya.” Dia diam sebentar, seakan menimbang jawabanku. Bagus. Sekarang rasanya aku sedang dicurigai di sini. Aku mengulurkan tanganku, memecah kecanggungan. “Saya Nadia. Kamu panggilannya Barata atau… Bara?” Saat itu aku tidak tahu bahwa pertanyaanku adalah pertanyaan lancang hanya karena menyangkut namanya. Tapi anehnya, saat itu dia tidak marah dan memberikan jawaban yang tak pernah dikatakan pada semua orang yang menanyakan hal yang sama. “Bara.”



65



Dia menyambut tanganku. Kami berjabat tangan. Tangannya yang besar dan dingin meremasku dengan agak kuat. Aku tersenyum canggung. Setelah itu, ponsel di atas nakas berdering. Ponsel Bara. Selagi dia mengangkat telepon, kuputuskan untuk mengupas dan memotong



apel



sambil



diam-diam



mendengarkan



percakapannya. “Di ruang VIP satu,” Bara diam sejenak, “Nggak ada yang serius,” dia diam lagi, “Gue tunggu.” dan setelah itu ponsel dimatikan. Aku heran. Memang ada ya orang telepon sesingkat itu? “Ada yang mau kesini, ya?” Dia tak menjawab pertanyaanku, tapi tangannya mengambil sepotong apel yang kuulurkan padanya. Tak lama, pintu ruang inap terbuka. Aku tersentak saat empat orang dengan seragam SMA bergegas masuk ke dalam, menghampiri Bara dengan napas terengah-engah. Semuanya kelihatan khawatir. Kulirik Bara yang malah kelihatan tenang. “Siapa biang keroknya? Zero? Apa si cecunguk Agro?” yang berambut paling pendek maju ke depan. Kulirik name tag-nya. Agra Pradana. 66



“Penguasa wilayah mana yang nantangin?” kali ini laki-laki bername tag Rio Erlano maju. Bungkamnya Bara menambah nuansa ketegangan di sini. Diam-diam aku memperhatian mereka. Bingung. Sosok-sosok di depanku ini entah kenapa terlihat menakutkan di mataku. Terlihat garang. “Utara.” jawab Bara pelan. Mereka berempat menghembuskan napas kasar. Terlihat frustasi. “Kurang ajar! Jadi mereka ngajakin perang?” tanya laki-laki berambut merah satu-satunya. Cakra Brajaya. “Ini pertama kali lo luka sampe parah kayak begini kan, Bar?” perkataan laki-laki bername tag Brian Nugraha membuat semua diam, seperti tenggelam dengan pikiran masing-masing. Aku berdiri dari tempatku dengan perlahan. Merasa bahwa aku harus segera pergi dari sini karena sepertinya aku baru saja mendengarkan percakapan yang tak seharusnya kudengarkan. “Emm—permisi. Saya pamit, ya,” semua orang sontak menoleh ke arahku, seakan baru sadar keberadaanku di sini, “Bara, saya keluar dulu aja—”



67



“Lo barusan berani sebut dia apa?!” Cakra tiba-tiba berjalan cepat ke arahku dengan ekspresi marah. Aku yang kaget secara tak sadar mundur ke belakang dengan ketakutan sampai membentur tembok. Keempat teman Bara menatapku penuh waspada. Bara merentangkan tangannya menghalangi Cakra yang sudah hampir menghampiriku, “Gue yang ijininin dia.” Semua kelihatan kaget, menatap Bara seakan meminta penjelasan. Kemudian Bara balik menatapku, “Lo boleh pergi. Sekarang.” Aku mengangguk dan tersenyum kikuk, “Oke… cepet sembuh, Bar.” Aku berlari menuju pintu dan keluar dari sana. Untuk sepersekian detik, aku berusaha meredakan jantungku yang berdentam-dentam. Kuangkat wajahku, dan aku sudah tidak bisa menahan kengerian di wajahku saat menyadari berpuluh-puluh orang berdiri berjejeran dari ujung koridor ke ujung yang lain. Semuanya berhoodie hitam dengan tudung yang menutupi sebagian kepala mereka. Ada simbol lingkaran dengan huruf X di tengahnya. Saat itu, aku yang tidak tahu apa-apa untuk pertama kali aku melihat simbol itu. Simbol geng milik Bara. Aku yang panik 68



langsung berlari menerobos mereka, takut jika mereka berencana melukaiku. Malamnya, aku tidak bisa tidur, memikirkan kejadian siang tadi. Barata dengan tattoo naga dan luka tusuknya, keempat temannya yang tak kalah kelihatan beringas, dan berpuluh orang yang menunggu di depan ruang rawat inap Bara. Mereka siapa sebenarnya? Malam itu, aku bermimpi. Seseorang masuk ke kamar rawat inapku. Bisa kudengar suara keratan pintu yang terbuka dan tertutup, juga langkah kaki pelan yang semakin mendekat. Seseorang berdiri di sampingku, menatapku cukup lama dalam kegelapan. Aku bahkan bisa merasakan ada tangan yang sdang menyentuh dan memainkan rambutku. Mataku terbuka perlahan. Aku melihat wajahnya. Wajah Barata, yang menatapku tajam dalam siluet kegelapan. Lalu tangannya terangkat, menutup mataku. “Tidur, Nadia.”



gumamnya, sebelum



mataku



kembali



terpejam, dan kantuk kembali menyergapku. Begitu bangun, aku tersadar. Bahwa yang kualami malam itu bukanlah mimpi. 69



KING OF KINGS



Aku kira, ketakutan terbesarku adalah saat-saat bersama dengan Bara. Tapi aku baru sadar bahwa pikiran naifku sudah salah total, begitu ada hal yang lebih berbahaya dibanding hanya berdua dengannya. Yaitu, terjun langsung ke dunianya. Dunia Bara. Dunia gelap yang bahkan tak pernah kusangka bisa kulihat dengan mata kepalaku, dan kuinjak dengan kakiku sendiri. Aku terperangah menatap pemandangan di hadapanku. Malam ini, malam minggu, seharusnya aku pergi dengannya, entah kemana. Setelah tadi dia menjemputku—dengan mobil



sport yang katanya baru dibeli dua minggu lalu, yang sempat membuatku sampai melongo selama beberapa menit, karena aku tahu harganya pasti sangat mahal. Di dalam mobil, Bara sama sekali tidak mengatakan kemana kami akan pergi. Aku yang masih takut dan canggung setengah



70



mati tiap ngobrol dengannya memutuskan untuk diam saja, menurut. Aku kaget saat mobilnya melaju melewati jalan tol, lalu membelok ke tikungan sepi dengan penerangan remang-remang. Saat itu, aku yang sudah ada pikiran buruk mendadak jadi ketakutan, hampir berteriak dan berniat lompat dari mobil sebelum tiba-tiba aku melihat titik-titik cahaya dari jarak pandang kami. Lalu mobilnya masuk melewati sebuah pagar besar. Mataku berubah waspada seketika, begitu aku menyadari, bahwa tidak hanya kami berdua di sana. Ada sebuah gedung tua yang kelihatannya tak terpakai. Di depannya, sebuah lapangan terhempar luas, berpuluhpuluh mobil sport berderetan, dan tak kalah ratusan, atau mungkin ribuan orang berhoodie dan bertudung berdiri di dekat api-api unggun, seakan-akan menjadikan penerangan satusatunya di sana. Saat mobil Bara memasuki kawasan, aku bisa merasakan tatapan dan perhatian semua orang kini tertuju ke arah mobil Bara yang terparkir di depan mereka. Bagus. Sekarang apa?



71



Diam-diam, kutahan ketakutanku. Masalahnya, aku sama sekali belum menangkap perempuan satu pun di sini. “Aku… ikut turun?” Bara melepas sabuk pengamannya, “Kamu mau di sini?” “Enggak. Enggak mau.” Aku menggeleng cepat. Walau pun aku juga takut padanya, saat ini aku tidak punya pilihan lain lagi selain percaya dan menempel padanya. Kalau aku tetap di sini di luar jangkauan Bara, berada di antara orang-orang berkurumanan mengerikan ini, entah apa yang akan terjadi padaku. Kubuka sabuk pengaman. Aku hampir membuka pintu kalau saja tangan Bara tiba-tiba tidak menarik tanganku. “Jaket,” gumamnya, seperti biasa dia memakaikan jaket kulit hitamnya ke tubuhku. Dia melirikku, ekspresinya datar, “Di luar dingin.” Aku diam, dan menurut. Dan sekarang, terpasanglah jaket kulit kedodoran itu di badanku. Setelah itu, aku keluar dari mobil, mengekorinya, tepat di belakang tubuh tinggi dan tegapnya, seakan-akan aku berusaha berlindung di balik tubuhnya. Semua orang menatap kami. Aku bahkan sama sekali tidak berani menatap siapa pun selain tetap



72



berjalan mengekori Bara, membelah kerumunan, berada di antara orang-orang ini. Sebenarnya siapa mereka? Dari ekor mataku, aku bisa menangkap mereka semua memakai jaket hoodie yang sama, namun berbeda warna. Ada yang berwarna abu-abu, putih, merah, dan terakhir hitam. Yang hitam dengan simbol lingkaran dengan X di tengahnya. Jelas itu adalah simbol geng milik Bara. Yang warna abu-abu, ada simbol tiga lingkaran yang saling terhubung. Yang warna putih, ada simbol sayap patah di belakang sisinya. Dan yang merah, ada simbol tengkorak yang dikelilingi segitiga terbalik. Kemudian, Bara berhenti. Kuberanikan melirik kesekitar, lalu diam-diam aku melongok ke depan dari tubuh Bara. Mengintip. Tiga orang laki-laki menghadap Bara. Masing-masing memakai jaket dengan tiga warna yang berbeda. Aku berasumsi bahwa mereka adalah ketuga geng yang mewakili jaket hoodie yang mereka pakai. Seketika, aku panik. Jangan-jangan mereka ingin menantang Bara…? Tapi ketakutanku lenyap begitu tanpa diduga, Bara maju ke arah mereka, sebelum menjabat tangan ketiganya. Ekspresi 73



mereka berubah lebih ramah. Aku bingung. Tapi detik setelah itu, aku bisa menangkap ada dua orang perempuan seusiaku yang sedang berdiri di belakang mereka. Perempuan! Aku lega, berarti aku bukanlah satu-satunya perempuan di sini. “Tumben lo molor, Barata,” yang memakai hoodie abu-abu tersenyum setelah menjabat tangan Bara, “Pacaran dulu?” dagunya bergerak menunjukku. Sontak, orang-orang menatap ke arahku. Termasuk Bara yang melirikku. Bisa kurasakan tatapan penasaran orang-orang tertuju padaku. “Sejak kapan lo punya pacar?” kali ini yang bicara laki-laki berhoodie merah, “Orang kayak lo bisa punya cewek juga? Salut gue!” Aku melotot. Wah, gila, ya? Bara jelas pasti marah mendengarnya! Tapi rupanya prasangkaku salah besar. Bara hanya mendengus. Badannya setengah berbalik, lalu dia mengangkat tangannya, mengulurkannya ke arahku. Aku yang selalu tak punya pilihan langsung menggapai tangannya, membiarkan orang-orang melihat pemandangan yang mungkin saja jarang ditunjukkan oleh seorang Barata. “Nadia,” Bara menunjuk ketiga orang di hadapan kami, “Dia Nakula,” dia menunjuk pria berhoodie abu-abu, “Ini Ray,” dia 74



menunjuk yang berhoodie putih bercoat hitam, “Galang.” Dan yang terakhir berhoodie merah, tengah memakai kacamata hitam. Ragu-ragu, kusambut uluran tangan mereka. Sebisa mungkin, kutahan rasa takutku karena firasatku mengatakan mereka sama berbahayanya dengan Bara. Tiga bulan berpacaran dengannya, aku sedikit tahu tentang siapa saja orang yang bisa berteman, atau bahkan bergaul dengannya. Dan bukan dari sembarang orang. Kebanyakan, mereka punya latar belakang seperti Bara.



Berbahaya, dan kuat. Sedangkan aku? Bukan keduanya. Katakan saja aku orang yang sedang sial karena bisa kenal atau bahkan jadi pacarnya. “Temen-temen gue?” tanya Bara yang sepertinya merujuk Brian dan lainnya. “Di dalem, tuh. Nongkrong sama lainnya. Nungguin lo.” ujar Ray. Bara mengangguk, “Ada berita apa?” nadanya pelan. Nakula terkekeh dan tersenyum miring, “Khas Barata. Urusan geng selalu nomor satu. Santai dulu lah, Bar. Enjoy the game,” Nakula merentangkan tangannya ke arah mobil-mobil sport yang berjejer, “Gimana? Ready?” 75



Aku mengernyit bingung. Kurasa hanya Bara yang mengerti ke mana arah pembicaraan ini karena setelah itu dia mengatakan, “Okay.”



You’d better be ready now,” Galang tersenyum miring, menepuk bahu Bara sebelum mereka bertiga pergi membelah kerumunan, menuju tiga mobil sport yang terparkir tak jauh dari kami. Aku baru bisa bernapas lega setelah kerumunan perlahan bubar, kini hanya menyisakan aku, Bara, dan seorang perempuan yang sedari tadi berdiri di belakang Ray. Perempuan seusiaku, tinggi dan berambut panjang. Cantik sekali. Dia tersenyum ke arahku dengan percaya diri. Lalu mengulurkan tangan. “Gue Citra. Lo Nadia, ya?” Kubalas senyumnya, menyambut uluran tangannya, tapi diam-diam juga melirik ke arah Bara. Kalau-kalau dia tidak menyetujui tindakanku—seperti yang selalu dia lakukan, mengatur siapa saja yang boleh jadi temanku. Tapi rupanya Bara terlihat biasa saja. “Iya… Nadia.” “Akhirnya gue bisa ketemu lo.” 76



Hah? “Kamu ikut atau mau di sini?” tanya Bara tiba-tiba. “Kamu… mau kemana?” Dagunya bergerak menunjuk deretan mobil sport yang mesinnya sudah menyala, “Tanding sama lainnya.” Kalau yang dimaksud Bara adalah balapan mobil, aku jelas tidak akan pernah mau ikut. Punya pengalaman berkendara bersamanya dengan kecepatan penuh satu kali sudah cukup bagiku. Tidak ada yang kedua kali lagi. Terakhir kali rasanya aku sudah hampir mati. Kuamati dia, menimbang-nimbang jawaban paling aman apa yang harus kukatakan. Melihat sinar matanya yang tak setajam biasanya, aku berasumsi kali ini jawaban apa pun akan baik-baik saja. "Mm... aku boleh di sini? Aku... nggak mau ganggu kamu sama temen-temen kamu lainnya." Kupaksakan diriku tersenyum semanis mungkin ke arahnya. Dia menatapku sejenak sebelum berkata, "Terserah kamu," lalu menghadap Citra. Bisa kurasakan tatapannya berubah tajam, "Gue titip Nadia ke elo."



77



Citra meringis kaku seraya melirikku yang diam-diam menghela napas lega. Entah ini hanya perasaanku atau bukan tapi Citra kelihatan lebih waspada, "Oke. Nadia aman di tangan gue. Lo tenang aja, Barata." Setelah itu, Bara hanya melirikku sekilas sebelum berbalik dan hilang membelah kerumunan para manusia berhoodie. Aku kaget saat tangan Citra tiba-tiba merangkul bahuku. "Yuk, ke sana. Udah ditunggu sama yang lain." "Siapa...?" tanyaku bingung begitu dia menuntunku berjalan. Sekilas aku bisa melihat Brian dan Arga yang tersenyum miring sebelum melewati kami berdua menuju kerumunan. Kuketatkan jaket kulit Bara yang melekat di tubuhku begitu menyadari aku sudah menjadi pusat perhatian semua orang yang kami lewati. Citra hanya diam sebelum kami sampai di depan gedung, sudah ada dua perempuan cantik lainnya yang sepertinya tengah menungguku. Mereka tersenyum, tapi tampak ragu-ragu saat mengulurkan tangannya kepadaku dan memperkenalkan diri mereka. Yang berwajah setengah bule, namanya Bella—pacarnya Galang. Perempuan satunya, memakai jaket hoodie abu-abu



78



yang punya simbol sama dengan lainnya, namanya Raisa—pacar Nakula. "Lo nggak tahu betapa senengnya kita-kita akhirnya bisa ketemu lo, Nad." kata Citra. "Iya, bener," Raisa mengangguk, "Selama ini kita penasaran banget sama cewek yang berhasil jadi pacarnya Barata." Oh? Aku tahu Raisa bermaksud memuji, tapi entah kenapa kalimatnya terdengar bagai hantaman palu besar ke kepalaku. Bagiku status sebagai pacar Bara adalah beban berat. Entah apa yang akan kulewati setiap hari. Seandainya saja mereka tahu, diam-diam selama ini aku selalu berdoa dan mencari cara agar bisa putus dari Bara.



Hmm... kapan ya Bara bosan denganku? "Dan tipe ceweknya beda banget sama yang selama ini kita kira," jelas Bella. Sebelah alisku terangkat, "Oh, ya?" "Iya! Lo kelihatan uhmm—lebih normal dari yang kita bayangin. Bayangan kita sebelumnya, sosok lo itu bakal kayak bad girl type. Gimana caranya lo bisa jadi pacarnya Barata, Nad?" 79



Aku meringis mendengar pertanyaan Bella. Sampai detik ini pun aku masih tidak menemukan jawaban kenapa Bara mau denganku. "Tanya aja sama Baranya." Dan bisa kulihat wajah mereka berubah ngeri, "Ya kali kalau kita bertiga udah nggak sayang nyawa," ujar Citra, "Jangankan gue, Ray aja yang notabenya sesama penguasa wilayah aja harus selalu hati-hati sama pacar lo, Nad." Dahiku mengernyit bingung, "Penguasa... wilayah?" Ekspresi Citra, Bella, dan Raisa yang kaget dan menatapku aneh, "Iya, Ray di bagian utara sedangkan Barata bagian selatan. Lo... pasti tahu, kan?" jelas Citra, tapi aku sama sekali tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini. Melihatku yang masih kebingungan, Citra berjalan mendekat ke arahku "Nad, elo beneran nggak ngerti?" Aku menggeleng. Mereka bertiga saling bertatapan. Setelah itu, Citra menceritakan semuanya secara detail, tentang dunia seorang Barata yang jauh lebih luas, rahasia, dan gelap dari apa yang pernah kubayangkan.



80



BARATA’S REPUTATION



Tidak ada yang pernah mengetahui dari mana, kapan, dan bagaimana tepatnya pertama kali sosoknya muncul. Bagaimana semuanya bermula. Dan bagaimana sosok Barata berada di posisinya saat ini. Ada yang berkata, sosoknya pertama kali muncul dalam balutan hoodie hitam yang menutupi wajahnya, muncul dari kegelapan. Ada yang mengatakan, dia datang menghabisi dua puluh orang sekaligus. Dengan tangan kosong. Seorang diri.



Tiga tahun yang lalu; Malam itu, malam yang lebih kelam dari biasanya. Sebuah gedung tua yang sudah tak berpenghuni selama belasan tahun berada di kawasan yang tak perpenghuni di pinggir kota Jakarta, namun menjadi salah satu tempat berkumpulnya mereka. Mereka, para penguasa wilayah, dengan ribuan pengikut setia. Bukan hanya disebut kelompok, namun bukan juga sebuah organisasi. Terbagi atas empat wilayah—utara, timur, barat, dan 81



selatan. Sampai saat ini pun, tidak ada yang pernah tahu bagaimana dan sejak kapan mereka terbentuk. Di dalam ruangan termaram, ada sebuah meja besar berbentuk segi empat. Tiap sisinya duduk mewakili para penguasa wilayah. Utara—berhoodie abu-abu, Timur—merah, Barat⸺putih, dan Selatan—hitam. Pengikuti setia mereka berdiri dengan hoodie masing-masing mewakili warna dan simbol wilayah mereka. Wajah mereka tak terlihat. Berdiri kaku seakan mengamati, ikut menjadi saksi pertemuan rahasia di antara keempatnya. Salah satu kursi kosong. Kursi bagian selatan. Sudah hampir satu jam pertemuan dimulai, pemilik kursi sama sekali belum menampakkan diri. “Gue nggak bisa nunggu lebih lama lagi,” pemimpin bagian utara—Ray memecah keheningan mencekam di dalam ruangan, “Udah hampir sejam. Tumben tuh cecunguk telat?” Galang, yang sudah sejak awal menjadi pemimpin bagian Barat sama seperti Ray terkekeh, “Something is wrong gue rasa. Gue pernah denger omongan aneh dari anak-anak.” “Maksud lo?” tanya Ray. Nakula, pemimpin paling muda dari antara mereka mengangguk, “Gue bisa nebak. Barata Saputra Birawa?” 82



Semua ekspresi berubah tegang. Para pemimpin dan anak buah saling memandang begitu nama itu terucap di antara mereka. Entah sejak kapan nama itu punya efek khususbagi siapa pun orang yang mendengar. Efek mencekam dan perasaan ngeri semenjak nama itu mulai disebut akhir-akhir ini. Padahal siapa pun tahu, bahwa posisi mereka tidak mainmain. Untuk menjadi pemimpin underground suatu wilayah, dia haruslah yang paling kuat. Yang memiliki otoritas dan kuasa. Dan tentu saja dihormat oleh banyak orang. Termasuk para



pengikut-pengikut setianya. Mungkin, semua itu bermula setelah berbagai macam gosip mengenai sosok Barata Saputra Birawa menyebar. Dimulai dari bagaimana kuatnya lelaki itu menghabisi dua puluh orang lelaki dewasa bersenjata dengan tangan kosong, atau mungkin karena sosoknya yang misterius dan disebut-sebut tidak kenal ampun saat bertarung. Ada yang mengatakan matanya setajam elang dengan tatapan bengis dan atmosfir mengerikan, siap menghabisi siapa pun yang mencoba



melawannya,



bahkan



orang



yang



tidak



bisa



memuaskan keinginannya.



83



Nakula melempar map cokelat ke tengah meja, yang sedari tadi dipegang anak buah di belakanganya. “Gue nggak bisa nemuin satu pun informasi soal tuh orang. Selain nama panjangnya.” Galang mengambil map dan mengeluarkan isinya. Selembar kertas data diri, namun hanya nama panjangnya saja yang terisi. “Serius, nih? Fotonya bahkan juga kagak ada?” Pemimpin utara berdiri dan menyambar kertas itu tidak sabar. Benar. Satu lembar kertas tanpa informasi apa pun selain daripada nama panjang. Geram, pemimpin utara saat itu meremas kertas di tangannya lalu membuangnya asal. “Ini emang kagak ada informasi sama sekali apa emang lo aja yang kagak becus ngurus beginian?” desisnya. Nakula yang tidak terima menggebrak meja dan berdiri, “Lo pikir selama ini gimana kerjaan gue buat cari informasi beginian?!” Nakula geram, perlahan dia memutari meja, lalu dengan kasar mencengkeram kerah baju Ray, “Asal lo tahu, nih



orang kagak main-main. Gue udah cari ke underground yang paling dalam and we can’t even find him.” desisnya sebelum melepas tangannya.



84



Keempat pemimpin ada hidup saling berdampingan. Bukan hanya menjadi penguasa, mereka mempunyai tugas masingmasing untuk menjaga kedamaian di antara mereka. Mau tidak mau, mereka harus saling bekerja sama. “Udah. Stop it. Mau sampai kapan begini? Sampai lo semua bonyok?” Galang berdecak menengahi, “Gue setuju sama Nakula.



Barata Saputra Birawa. Gue rasa ini orang bukan orang sembarang. Gue denger kabar miring dia ngincar salah satu posisi kita.” Sudah menjadi rahasia umum bahwa kehebatan sesosok Barata dapat membuat salah satu dari keempat mereka kehilangan posisi sebagai penguasa wilayah. Nakula kembali ke tempat duduknya dengan napas memburu, “Ngomong-ngomong, kenapa si selatan belum muncul sampai sekarang?”



BRAAAK! Pintu ruangan terdobrak hingga kedua engselnya patah. Daun pintu terlempar jauh, hampir mengenai para anak buah mereka. Tiba-tiba dari kegelapan, dia muncul.



Barata Saputra Birawa.



85



Semua orang tersentak. Pasalnya, Barata datang tidak seorang diri. Melainkan bersama penguasa selatan, dengan posisi tak sadarkan diri, dimana rambut gondrongnya menjadi pegangan Barata untuk menarik tubuhnya. Lebam dan darah di muka maupun badan. Galang memicingkan matanya, “Barata Saputra Birawa…?” ucapnya tak yakin. Yang dipanggil menoleh, menatapnya dengan jenis tatapan yang selalu dibicarakan orang-orang. Tatapan bengis seakan



hendak menghabisi seseorang. “Gue rasa gue bukan orang asing lagi di sini.” Barata bergumam pelan dengan nada rendah dan beratnya, tapi semua orang di dalam ruangan dapat mendengar. Dengan kasar, dia melepas tangannya dari rambut penguasa



selatan, membiarkan tubuh itu terkapar mengenaskan di lantai. Begitu Barata mendekat, semua orang berposisi siaga. Sebagian besar siap untuk menyerang. Tapi Barata terlihat tenang. Ketenangan yang bahkan makin membuat suasana makin mencekam. Ditambah, lelaki itu dengan berani berjalan, dan duduk di kursi paling dekat dengan posisinya. Kursi milik



penguasa wilayah selatan. 86



“Jadi lo… yang namanya



Barata?” Galang



tak bisa



menyembunyikan gemetar dalam kata-katanya. Barata tak menjawab. Dengan tenang, dia mengambil pemantik dan sekotak rokok dari dalam sakunya, sebelum menghisap salah satu puntungnya. Semua orang terdiam mengamati, menanti apa yang akan dilakukan lelaki itu. Yang menjadi pertanyaan mereka, bagaimana pemimpin selatan bisa babak belur dan tak sadarkan diri? Bagaimana Barata bisa kesini? Kemana anak buah yang lain? Karena di dalam gedung ini, bahkan di halaman banyak anak buah yang menjaga. Jumlahnya puluhan, atau bahkan ratusan. Salah satu anak buah berhoodie abu-abu masuk ke dalam ruangan dengan tampang panik luar biasa. Lalu berbisik kepada ketiga pemimpin.



“Semua anak buah di luar maupun dalam gedung habis tak sadarkan diri. Tak bersisa satu pun.” Lalu mereka saling bertatapan, secara tidak langsung saling melempar kalimat Barata yang mengalahkan semua anak buah



mereka.



87



Dengan tegang, mata mereka terarah pada sosok Barata yang baru saja mematikan puntung di asbak tengah meja. Monster. Mereka sekarang tahu bahwa sosok lelaki di ini adalah monster. “Apa… mau lo? Kenapa lo kesini? Lo punya dendam sama salah sau dari kita?” Nakula bertanya seraya matanya melirik ke arah penguasa selatan yang tergeletak. Tiba-tiba, segerombol pria berhoodie hitam dengan simbol lingkaran dengan huruf X ditengah masuk memenuhi ruangan, berdiri di belakang Barata. Anak buah Barata.



“Kursi selatan,” Barata berucap tajam, “Gue mau kursi penguasa wilayah selatan.”



“Dan… jadilah Barata di posisinya sekarang. Penguasa wilayah selatan,” Citra mengakhiri ceritanya, “Dan yang gue denger dari Ray, makin hari pengikutnya makin banyak. Barata emang yang paling muda, tapi punya anak buah paling banyak di antara mereka. Because no one can beat him. He is the king of kings. Jadi, Nad. Lo sekarang ngerti kan gimana mengerikannya pacar lo itu?” ujarnya. Namun tatapannya ragu-ragu, menunggu reaksiku. 88



Setelah Citra menceritakan semuanya dari awal dan bagaimana mereka menyebut empat penguasa wilayah,aku sama sekali tak dapat mengatakan apa pun. Ditambah lagi, Bara bisa mengalahkan orang sebanyak itu…? Otakku serasa berhenti. Mungkin karena aku terlalu takut untuk mencerna ini semua. Dan menerima kenyataan bahwa Barata yang kukenal lebih



berbahaya dibanding yang kupikirkan sebelumnya selama ini. “Selama ini lo pacaran sama dia… tanpa ngerti sedikit pun tentang latar belakangnya?” Raisa bertanya. Aku menatap tanganku yang bertaut, “Nggak separah yang kalian kira, kok,” Aduh… bagaimana aku mengatakannya, ya? “Aku juga ngerti selama ini Bara ngapain aja kalau di luar sekolah. Kurang lebih kayak yang lo ceritain, Cit.” Tapi tidak sedalam dan segelap yang baru saja dia ceritakan. Mereka bertiga mengangguk. “Nad, gue boleh nanya sesuatu nggak… tentang kalian berdua?” Bella bertanya dengan hati-hati. “Tanya aja. Kenapa musti izin segala?” “Ya kan siapa tahu lo marah terus bilang ke Barata misalnya…?” Bella berkata seraya menggantung kalimatnya.



89



Bisa kurasakan ekspresi ketiga perempuan di hadapanku berubah canggung dan waspada. Aku tersenyum kecil, teringat akan ekspresi teman-teman di sekolah saat menatapku, semenjak aku berstatus sebagai pacar Bara. “Nggak bakal. Kalian tenang aja. Lagian… gue juga tahu kalian nggak mau berurusan lebih sama Bara.” Bella melirik Citra sekilas sebelum bertanya padaku, “Gini, Nad. Kita bertiga sebenernya penasaran. Gimana… lo bisa jadian sama Barata? Maksud gue… gimana kronologisnya? Apa yang bisa bikin lo berani pacaran sama Barata? Apa dia… maksa lo? Atau itu emang kemauan lo sendiri?” Jika ditanya bagaimana Bara mau berpacaran denganku, sampai detik ini pun aku tidak tahu apa yang dia lihat dalam diriku. Namun jika ditanya bagaimana bisa aku mau berpacaran dengannya, aku tidak pernah yakin bisa menjawab pertanyaan ini. Pertanyaan yang bahkan pernah ditanyakan Mika padaku, namun sampai detik ini tak bisa kujawab. “Dan jangan bilang ke kita lagi kalau musti tanya sama Baratanya langsung. Goodbye langsung sama nyawa kita bertiga, deh.” Ucapan Citra membuatku tersenyum geli. 90



“Jangan salah sangka ya, Nad. Kita nanya begini karena penasaran aja. Secara, nggak ada yang tahu track record Barata soal beginian. You know, such a romance stuff.” kata Citra. Aku juga sebetulnya tidak tahu menahu track record Bara dalam berpacaran. “Lo bahkan nggak tahu betapa kagetnya pacar-pacar kita pas tahu… Barata punya cewek. Si Nakula sampai pernah bilang ke gue, kalau dilihat dari sifat Barata… mustahil banget dia bisa jalan bahkan ngelakuin hal-hal romantis—AWW!” Raisa memekik kecil saat dengan sengaja Citra menginjak kakinya dan memberikannya tatapan peringatan. Hal-hal romantis? Mm… mereka bahkan tahu aku dan Bara tidak pernah melakukan hal-hal itu seperti yang pasangan lain lakukan—setidaknya menurutku. Ciuman? Jarang, hanya tiga kali. Skinship? Lumayan. Jika diingat dia selalu mengulurkan tangannya ke arahku seakan aku harus menggapai tangannya. “Lupain yang tadi ditanyain Raisa. Intinya, kita cuma mau ngerti aja gimana kronologisnya. Itu pun kalau lo bersedia cerita.” kata Citra. Kupandangi wajah mereka yang menanti jawabanku. “Waktu itu kita—” 91



“Pada ngapain kalian?” Aku agak tersentak saat suara berat dari arah belakang menginterupsiku. Mereka berempat sudah kembali, berjalan ke arah kami. Keempat penguasa wilayah. Ray—utara, Galang— barat, Nakula—timur, dan terakhir Bara—selatan. Menghampiri masing-masing pacar mereka. Termasuk Bara, yang datang paling belakang dengan topi hitam yang hampir menutupi mukanya. Seraya berdiri di belakangku, tangannya mendarat dan meremas bahuku pelan. Bisa kurasakan tatapan lainnya tertujupada kami berdua. “Kamu ngapain aja?” Aku melongok sedikit ke belakang. Matanya tertutup bayangan hitam dari topi yang dikenakannya. “Mm—cuma ngobrol aja sama yang lainnya.” kataku hati-hati. Bisa gawat kalau Bara tahu apa yang kami bicarakan tadi. Bara tidak pandang bulu. Termasuk jika harus berurusan dengan ketiga pacar para penguasa wilayah. “Udah selesai tandingnya? Gimana… tadi? Menang?” tanyaku berusaha mengalihkan Bara yang hampir mengorek apa saja yang dari tadi aku dan para pacar teman-teman Bara bicarakan. “Menang. As always.” Ujarnya datar. 92



“Sombong lu, Bar!” Galang menyahut dari tempatnya duduk. Bara memicingkan matanya ke arah Galang sebelum duduk di sampingku. Dia mulai berbincang dengan lainnya. Aku hanya diam, mengikuti pembicaraan mengenai kelompok mereka yang bahkan tak kupahami. Sekali-kali, kulirik dia, ke arah wajahnya yang tanpa ekspresi saat mengobrol. “Kamu lapar?” “Emang ada makanan… di sini?” “Biar aku suruh yang lain beli. Mau?” Ekor mataku dapat menangkap keenam orang di hadapanku yang diam-diam menyaksikan interaksi kami. Kupaksakan diriku untuk tersenyum, mengingat-ingat aturan yang dia buat. Pertama, tatap matanya. Kedua, perkataanku harus manis dan menyenangkan dirinya. “Mmm—terserah kamu aja, Bar. Kalau boleh, aku mau minum aja.” “Minum apa?” Seperti biasa, jawabanku adalah, “Terserah kamu. Aku ngikut kamu aja.” Aku pacar yang penurut dan selalu bergantung padanya, kan?



93



Bara memanggil salah satu anak buahnya. Dia sempat menawarkan pada yang lain sebelum berbincang kembali dengan mereka. Citra, Bella, dan Raisa menatapku secara bersamaan. Kemudian aku teringat akan pertanyaan mereka. Kulirik Bara diam-diam. Lalu aku teringat akan saat-saat itu,



how I could end up becoming his girlfriend.



94



SECOND MEETING WITH BARATA



Saat-saat itu yang membuatku berada di posisiku sekarang, sebagai pacar Bara, sama sekali tidak pernah kulupakan. Hal yang paling kusesalkan selama hidupku adalah, bagaimana aku bisa menjadi begitu bodoh dan naif, hingga akhirnya menjadi salah satu dari segelintir orang terdekatnya. Satu tahun yang lalu, tepat dua minggu setelah aku keluar dari rumah sakit. Semenjak pertemuan kami yang terakhir kali di rumah sakit, aku tidak pernah melihat Bara lagi. Di depan ruang rawat inapnya selalu berdiri berderet dan berjejer pria berhoodie hitam—seakan tengah menjaga ruangannya—yang mana membuatku takut untuk menjenguknya lagi. Sejak hari itu, jelas aku merasa ada yang aneh dengan mereka.



95



Kucoba untuk melupakan semuanya. Dari kejadian aku menemukan Barata di koridor rumah sakit, sampai insiden para lelaki berhoodie di depan ruang rawat inap. Karena aku tahu, aku tidak akan pernah bertemu, bahkan berurusan dengan mereka lagi. Tapi, nyatanya aku sudah salah besar. “Nad, lo udah pernah denger soal Barata, belum?” Seminggu setelah keluar dari rumah sakit, aku masuk ke sekolah baru. Salah satu sekolah swasta bergengsi di Jakarta Selatan. Karena kondisi ekonomi Papa yang sedang jatuh, aku masuk ke sekolah ini dengan beasiswa penuh melalui nilai rapor yang untungnya selalu bagus tiap semester saat aku di Bandung dulu. Semenjak usaha Papa bangkrut, aku berusaha untuk mengurangi



beban



Papa



menyekolahkanku.



Jadi



siswi



berprestasi dan mempertahankan beasiswa adalah satu-satunya pilihan yang kupunya. Sebisa mungkin, aku harus menghindari masalah. Saat itu aku sedang berada di selasar depan kelas menunggu jam pertama dimulai. Aku dan teman-teman baruku saat itu— Mika dan Rena—punya kebiasaan selalu datang ke sekolah 96



setengah jam lebih awal. Pagi itu, aku tidak pernah menyangka akan mendengar namanya lagi. “Barata… siapa?” tanyaku. Walau pun aku tahu Barata siapa yang dimaksudkan Mika. “Barata Saputra Birawa.” Benar apa dugaanku. Barata yang itu. Sosok lelaki bertattoo naga yang kujumpai beberapa minggu yang lalu saat aku masuk rumah sakit. Laki-laki dengan luka tusuk di perutnya yang kutolong. “Nggak… emangnya dia siapa?” Aku menggeleng. Memilih untuk tidak menceritakan apa pun pada mereka soal pertemuan pertamaku dengan Bara. Mika dan Rena saling bertatapan sebelum memberitahu, “Bisa dibilang, orang nomor satu yang harus kita hindari di sekolah ini. Pokoknya, lo harus hati-hati kalau suatu saat ketemu, bahkan papasan sama Barata. Termasuk temen-temennya.” jelas Mika. Rena mengangguk, memberiku tatapan memperingatkan, “Bisa dibilang, mereka itu bahaya. Nggak ada satu pun orang yang mau berurusan sama mereka, Nad. Sekali lo terlibat, nama lo nggak akan pernah kedengaran lagi di sini.”



97



Dahiku mengernyit, “Mereka... tukang bully, ya?” adalah yang terlintas di pikiranku untuk yang pertama kali. “Nggak gitu juga, sih. Kelompok mereka juga nggak bakal ngapa-ngapain sama orang yang nggak ada urusan sama mereka. Mereka cuma nggak suka sama orang-orang yang nggak ada angin nggak ada hujan nyari masalah sama mereka.” jelas Rena. Aku mengangguk walau pun sepenuhnya tak paham. Otakku masih belum bisa mencerna ini semua. Aku tahu memang ada yang aneh dengan Barata setelah melihat dengan mata kepalaku sendiri berpuluh-puluh lelaki berhoodie hitam yang berjejer menjaga di depan kamar rawat inapnya saat itu.



Orang normal tidak akan pernah melakukan hal seperti itu. “Gue juga denger dari kakak-kakak kelas kalau Barata semacam punya kelompok. Ada yang pernah lihat dia lagi kumpul sama cowok-cowok berhoodie hitam gitu. Banyak yang bilang kalau dia itu ketuanya. Dan lo tahu yang lebih parah? Katanya, Barata bisa ngalahin dua puluh orang sekaligus. Dengan tangan kosong. Dari umur lima belas tahun.” “Serius?” Aku menganga. Pertama kali mendengar ada orang sekuat itu. Di usia semuda itu. 98



“Dua rius,” Mika mengangguk, “Yang gue denger dari kakak kelas, banyak anak yang coba lawan dia. Tapi ujung-ujungnya nggak ada yang menang,” Mika mendekatkan wajahnya dan berbisik ke telingaku, “Gosipnya, nggak ada satu pun orang yang nggak masuk rumah sakit. Bahkan ada yang pernah sampai koma.” Penjelasan Mika membuatku bergeming. Aku terlalu shock untuk menerima dan merespon informasi ini. Baru pertama kali kudengar ada orang semengerikan itu. Walau pun anehnya ada sebagian kecil dalam diriku yang bahkan tidak mau mempercayai semua ini. “Itu mereka.” Aku bisa melihat Mika dan Rena, menatap ke arah gerbang sekolah dengan tatapan ngeri sekaligus ekspresi ketakutan. Saat kuikuti pandangan mereka, ada lima laki-laki yang berjalan masuk dari arah parkir mobil sekolah. Tak sedikit murid yang menghindar, berbalik, atau bahkan menunduk memberi hormat ke arah mereka. Kenapa mereka begitu? “Formasi selalu lengkap berlima. As always.”



99



Aku mengernyit mendengar penuturan Mika, tapi detik setelah itu, aku baru ingat. Selain Barata, mereka adalah empat laki-laki yang kujumpai saat di rumah sakit beberapa minggu yang lalu. Keempat laki-laki dengan muka garang dengan atmosfir aneh yang menusuk. Termasuk dia, yang berjalan paling tengah dan paling depan dari antara lainnya. Barata. “Cakra, Rio, Barata, Arga, Brian,” Rena menunjuk ke limanya dengan jari telunjuknya, “Banyak yang bilang, dari awal, mereka selalu sama-sama. Nggak ada yang tahu gimana mereka bisa temenan sampai sekarang,” Rena menjelaskan, “Nggak ada yang nggak tahu nama mereka, Nad. Apalagi siapa Barata.” Aku melirik ke arah Rena yang tiba-tiba menatapku serius, “Lo harus inget. Jangan pernah manggil Barata pakai nama singkat.



That’s the rule.The most important rule.” Aku mengernyit bingung, “Maksudnya?” “Jangan pernah panggil dia Bara,” Mika menjawab, “Cuma mereka berempat,” Mika menunjuk keempat teman Barata, “Yang boleh panggil Barata sama sebutan itu.” “Kenapa bisa... gitu?”



100



Aku mengerjap. Merasa aneh. Karena saat itu di rumah sakit, Barata mengijinkanku memanggilnya Bara. Rena mengangkat bahunya, “No one knows. Pokoknya jangan sebut namanya kalau lo nggak pengen kena masalah.” Aku memijit pelipisku. Pusing. Pikiranku melayang. Apakah saat itu di rumah sakit, aku sudah kelewatan menanyakan namanya, ya? Tidak heran, keempat teman-teman Barata marah padaku saat itu saat tahu aku memanggilnya Bara. Tapi kenapa



dia mengijinkanku memanggilnya dengan sebutan itu? Aku yang saat itu bingung secara tidak sadar sudah mengarahkan pusat perhatianku padanya. Lalu tiba-tiba dia menoleh. Ke arahku. Aku panik dan segera berbalik, bersembunyi di balik pilar selasar, bertanya-tanya apakah lelaki



itu melihatku. “Nad, lo kenapa?” Pertanyaan Mika tak kugubris. Beberapa detik aku menunggu sebelum mengintip. Barata dan teman-temannya sudah menghilang. Baru setelah itu, aku bisa bernapas lega. Mika dan Rena benar. Aku harus menghindari dia. Sebisa mungkin, aku harus menghindari masalah. Namun rupanya, aku sudah salah besar. 101



Siang itu, aku dan kedua temanku tengah berada di kantin menikmati makan siang. Hingga tiba-tiba, mereka datang. Barata dan teman-temannya. Kondisi kantin yang semula gaduh langsung berubah sunyi senyap, seakan menanti apa yang akan



mereka lakukan. Ada atmosfir ketegangan aneh yang kurasakan, sama seperti saat pertama kali aku bertemu Barata di rumah sakit saat itu. Formasi mereka lengkap berlima. Barata berjalan paling belakang. Wajahnya datar. Cakra menunjuk tempat duduk kosong di dekat bangku kursi makan yang kami tempati. Aku panik ketika dia mengarahkan kepalanya pada tempat kami. Cepat-cepat aku menunduk dan menutupi kepalaku dengan tangan dan rambutku. Berharap bahwa dia tidak melihatku. “Nad... lo ngapain?” Mika berbisik ke arahku. Tapi aku sama sekali tak berani mengangkat kepala. Takut. Kalau-kalau dia menyadari keberadaanku. Selama seminggu ini, aku merenungi benar peringatan Mika dan Rena. Barata tidak boleh menyadari keberadaanku di sekolah ini. Bukannya aku ge-er. Tapi tidak ada yang pernah tahu apa yang terjadi. Aku hanya berharap, dia lupa denganku. Dengan begitu, aku bisa menjalani masa sekolah dengan tenang. 102



“Nad...?” Ketika suasana kantin sudah mulai bising, mataku menilik kecil dari celah rambutku. Semuanya tampak normal kembali, walaupun tak segaduh tadi. Barata dan teman-temannya sudah duduk di meja dekat posisi kamu, saling berbincang dan menikmati makanan. “Nad, lo nggak apa-apa?” tanya Mika. Aku menggeleng, “Mmm... badan gue agak nggak enak aja. Kita balik ke kelas aja gimana?” Aku harus segera pergi dari sini. “Oh, ya udah. Kirain kenapa. Kalau gitu, bayar makanan dulu. Ayok.” Aku mengikuti kedua temanku yang berdiri dan berjalan menuju konter kantin untuk membayarkan makanan. Sekuat tenaga aku berusaha menyembunyikan wajahku dari posisi Barata duduk. Aku baru bisa bernapas lega saat sudah berdiri membelakangi mereka. Cepat-cepat aku menanyakan harga makanan yang tadi kubeli seraya membuka dompet. Hingga tiba-tiba, kantin menjadi sunyi seketika.



103



Aku menoleh, merasa aneh. Pandangan seluruh murid kini mengarah padaku. Dalam sekejap, hawa ketegangan aneh yang mengintimidasi seperti di rumah sakit saat itu muncul kembali. Ada seseorang berdiri tepat di belakangku. Bayangannya yang menjulang tinggi bisa kulihat dan kurasakan. Aku baru saja hendak melongok ke belakang saat sebuah tangan terulur ke depan melewatiku, memberikan selembar uang lima puluh ribu pada penjaga konter kantin. Tangan kekar yang pernah kulihat. “Uangnya nggak perlu diganti,” dia berbisik pelan, “Nadia.”



Oh, tidak. Aku berbalik dengan kaku. Dia ada di hadapanku. Barata. Menatapku dengan tatapan tajam dan penuh arti. “Bara...?” aku yang terlalu terkejut tanpa sadar sudah memanggil nama yang seharusnya tak boleh kusebut. Dari sudut mataku kulihat Mika—yang entah mengapa sudah berdiri jauh dariku—menggeleng dengan penuh ketakutan, dan tatapan ngeri semua orang di kantin. Barata diam. Gawat. Apa dia marah? Aku panik. “Ma-maaf... Barata... nggak seharusnya...”



104



“Bara,” dia memotong perkataanku dengan bisikan pelannya, ada nada perintah yang tersirat, “Bukan Barata. Ngerti?” Apa...? Bara tidak menunggu jawabanku. Dia langsung berbalik menghampiri



teman-temannya



yang



sudah



berdiri



menunggunya. Lalu mereka pergi meninggalkan kantin. Mika dan Rena yang takut bahkan sampai mundur menjauh begitu kelompok mereka lewat. Saat itu, aku tidak tahu bahwa aku adalah perempuan pertama yang berinteraksi dengan Bara. Tidak ada seorang pun yang berani menanyakan apa yang baru saja mereka lihat padaku. Termasuk Rena dan Mika, yang tiba-tiba bersikap aneh, seakan mereka tengah berhati-hati tiap bersamaku. Ada yang lebih aneh. Mungkin ini hanya perasaanku saja. Tapi sejak saat itu, tiap pulang sekolah, aku selalu merasa ada seseorang yang mengikutiku dari belakang.



105



MONSTER (Part 1)



“Nad, lo yakin nggak mau ke kantin?” Perhatianku teralihkan ketika menyadari Mika sudah berdiri di sampingku bersama Rena yang berdiri di belakangnya. Sekilas aku bisa merasakan Rena seperti menghindari tatapanku. Semenjak



insiden



seminggu



yang



lalu—dimana



Bara



membayarkan makanan dan berbicara padaku—aku sudah menjadi pusat perhatian, pembicaraan, dan keiingintahuan semua orang. Tiap berangkat sekolah, bisa kurasakan semua tatapan siswa mengarah



padaku,



seakan-akan



mereka



sedang



membicarakanku. Anehnya, tidak ada seorang pun yang berani menanyakan bagaimana aku bisa ngobrol, bahkan mengenal Barata. Termasuk Mika dan Rena. “Nggak, gue nggak laper kok,” aku tersenyum meyakinkan mereka, “Kalian berdua ke kantin aja. Gue lagi belajar buat ulangan jam terakhir nanti soalnya,” aku tidak sepenuhnya 106



bohong, walaupun sebenarnya itu hanyalah alasanku saja untuk menghindari dia. Semenjak kejadian itu, ada satu hal yang kusadari. Bara punya reputasi yang tidak main-main di sekolah ini. Aku bertanyatanya, apakah benar yang dikatakan Mika dan Rena saat mereka memperingatkanku betapa berbahayanya Bara dan temantemannya? Sebagai bentuk antisipasi untuk menghindari masalah, aku berusaha untuk tidak keluar kelas. Sebisa mungkin, aku tidak boleh menarik perhatian banyak orang. Apalagi jika harus sampai bertemu dengan dia. “Nad, lo seminggu sama sekali nggak ke kantin. Lo bahkan nggak makan apa pun di kelas. Kita berdua tahu, kok.” Aku diam. Sama sekali tak ada alasan bohong lain yang melintas di kepalaku. Lama aku diam, Mika tiba-tiba duduk di sebelahku, sedangkan Rena perlahan maju ke depan mejaku, seakan menutupiku dari teman-teman yang berada di kelas. “Kita bukannya mau ikut campur atau gimana, tapi…” ekspresi Mika agak ragu saat bertanya, “Lo... kenal Barata, ya?”



107



Ini dia. Aku tahu cepat atau lambat, mereka berdua akan bertanya walaupun dalam hati mereka pasti butuh keberanian yang besar mengingat bagaimana reputasi Barata di sekolah ini. Butuh beberapa detik sebelum aku menjawab, “Iya,” dan memperhatikan raut mereka yang tiba-tiba berubah menjadi pucat paci. Rena tanpa sadar sudah berjalan mundur menghindariku. Ekspresinya kelihatan kaget saat menatapku. “Kalian... deket?” Pertanyaan Mika membuatku cepat-cepat menggeleng. “Nggak. Gue bahkan baru beberapa kali ketemu sama Barata,” Setelah itu aku menceritakan bagaimana aku bisa mengenal dia, kecuali bagian dimana aku bertemu dengannya dengan kondisi terluka parah dengan luka tusuk di perutnya, “Kenapa kalian tanyanya gitu?” “Nad, lo masih inget kan kita berdua pernah bilang kalau mereka adalah orang nomor satu yang musti kita hindari di sekolah ini... kalau lo nggak mau kena masalah.” Aku mengangguk pelan, “Iya, gue masih inget.” Walau pun sampai sekarang pun aku masih tidak paham dan belum memahami mengapa harus begitu.



108



Mereka berdua mengangguk, walau ada raut gelisah luar biasa di wajah mereka. “Emangnya kenapa?” tanyaku. Mika agak sungkan saat menjelaskan, “Setahu gue... lo murid cewek pertama... yang berinteraksi sama Barata.” Dahiku mengernyit. “Hah? Maksudnya?” “Lo satu-satunya murid cewek yang pernah ngobrol normal sama dia, Nad.” Aku kaget. Takjub sekaligus heran. “Oh, ya? Gue? Kenapa bisa... gitu?” “Nad, anak-anak bahkan nggak ada yang berani papasan sama kelompok mereka di koridor. Apalagi ngobrol sama mereka.” jelas Mika. Saat itu, aku sangat naif. Naif, karena masih tidak bisa mempercayai teman-temanku. Naif, karena berpikir Barata dan teman-temannya tidak semengerikan yang kukira. Semenjak itu, aku diam-diam memperhatikan dia. Mengamati dan bertanya-tanya, siapa sebenarnya mereka? Apa benar yang dikatakan teman-teman? Kenapa semua orang begitu takut dan segan dengan mereka? 109



Melihat Bara dan teman-temannya yang tengah makan di kantin, atau tengah bermain basket bersama tim basket sekolah, membuatku berpikir. Barata dan keempat temannya mungkin



tidak berbahaya dan semenyeramkan yang Rena dan Mika katakan. Di mataku, mereka bahkan tampak normal. Sayangnya, aku baru sadar, bahwa pikiranku saat itu benarbenar sangat pendek dan bodoh. Di suatu sore setelahnya, aku pulang sekolah di saat kondisi sekolah sudah sangat sepi. Selesai kelas, aku menyempatkan diri ke perpustakaan untuk mengembalikan dan meminjam buku pelajaran. Untuk meningkatkan nilai, aku harus belajar lebih banyak materi jika aku ingin mempertahankan beasiswa. Walau pun tanganku agak kesulitan membawa lima buku super besar, aku berusaha untuk berlari menuruni tangga mengingat jika tidak cepat-cepat pulang, aku akan kesulitan mendapatkan bus kalau sudah terlalu sore. Saking tergesagesanya, aku kurang hati-hati hingga tanpa sadar aku sudah menabrak badan tinggi seseorang di tengah tangga. Aku terjatuh beserta buku yang sudah berserakan di lantai. “Maaf. Maaf, gue nggak sengaja.” lirihku.



110



Aku yang masih tersungkur di lantai bingung menelusuri buku yang berserakan di lantai. Hingga tiba-tiba, sosok yang kutabrak tadi berjongkok. Sosok laki-laki berpostur tinggi dan berbadan kekar. Sedang memakai seragam basket sekolah. Dia mengambil kelima bukuku yang berserakan. “Hati-hati,” dia mengulurkan buku ke arahku seraya berbisik pelan, “Nadia.” Aku tahu suara ini. Kuangkat kepalaku. Mataku membelalak. Hawa ketegangan aneh dan menusuk saat di kantin minggu lalu dapat kurasakan kembali.



Barata. Sedikit gentar, tanganku terulur mengambil buku dari tangannya. Aku agak tersentak saat tanpa sengaja jemari kami bersentuhan. Rasanya seperti ada sengatan listrik aneh yang mengalir ke tubuhku. Kuberanikan menatap matanya balik. Dia tidak marah, kan? “Bisa berdiri?” “Apa?” aku mengerjap cepat saat wajahnya tiba-tiba mendekat, menatapku dengan tatapan tajam yang sulit kuartikan. Diam-diam aku menelan ludah. Wajah kami terlalu



111



dekat. Saking dekatnya, aku bahkan dapat merasakan deru napas panasnya yang sedikit mengenai wajahku. “Bisa berdiri?” ulangnya pelan. Suaranya lembut. Tangannya terulur ke arahku. Walau pun ragu, aku menyambut



tangannya.



Dia



menuntunku



berdiri.



Aku



mengernyit saat merasakan genggamannya yang mengerat. Sangat erat seakan bisa menimbulkan bekas kemerahan di telapak tanganku. “Makasih... Bara.” aku sengaja memanggil nama yang seharusnya tak boleh kusebut untuk melihat reaksinya. Anehnya, dia sama sekali tidak marah. Dia menatapku tanpa ekspresi. Diam seperti itu selama beberapa detik sebelum bergumam pelan, seakan menjawab ucapan terima kasihku. Lalu setelah itu, dia berjalan melewatiku, naik ke anak tangga. Cepat-cepat aku berbalik. Ada yang ingin kutanyakan. Tapi tanpa sadar aku sudah menarik tangannya dari belakang punggungnya. Begitu kepalanya menoleh kecil ke bawah, aku yang tersadar cepat-cepat melepaskan tanganku. Saat itu, aku tidak menyadari raut wajah Barata berubah selama beberapa detik saat mengamati tangannya yang tadi kugenggam. 112



“Anu... itu...” Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Bingung dan ragu. Apakah aku harus menanyakannya? “Kenapa?”



kali



ini



badannya



berbalik



sepenuhnya



menghadapku. Melihat dia memicingkan mata, aku meringis. “Itu... uang kemarin...” “Nggak usah diganti.” potong Bara. Aku mengerjap. “Beneran…?” “Ya.” Aku mengangguk, berusaha tersenyum walau pun dalam hati sedikit was-was. “Oke... makasih, Bara.” Setelah itu, dia tidak menjawab ucapan terima kasihku dan langsung berbalik, berjalan naik ke anak tangga hingga akhirnya menghilang di balik koridor lantai dua. Baru setelah sosoknya menghilang, aku menghela napas yang rupanya sedari tadi kutahan. Jantungku berdentam sangat kuat. Entah karena aku takut atau karena hal lain. Aku berbalik untuk turun dari tangga. Baru beberapa langkah, kaki ku berhenti. Tubuhku berubah kaku. Mereka berjalan naik. Keempat teman-teman Bara. Rio, Arga, Brian, Cakra. Mereka 113



yang semula berbincang langsung terdiam begitu menyadari kehadiranku. Dari sudut mataku, bisa kurasakan tatapan mereka terarah padaku selama berjalan melewatiku. Aku menunduk, terus berjalan karena mendadak aku bisa merasakan atmosfir penuh ketegangan di sini. Aku mempercepat langkahku, memilih untuk mengindari mereka. Dari



perjalanan



pulang



sampai



mengikuti



pelajaran



keesokannya pun, aku memikirkan kejadian sore itu. Barata yang menolongku, keempat temannya yang menatapku dengan tatapan miring seakan-akan mereka pernah membicarakanku sebelumnya. Aku menghela napas dan menoleh ke luar jendela saat menyadari ada sosok laki-laki yang tengah berdiri di pinggir lapangan basket. Kepalanya menengadah ke arahku. Itu Bara. Selama beberapa detik mata kami bersitubruk dari kejauhan. Detik setelah itu, ia berbalik kembali ke lapangan bersama yang lain. Yang tadi itu... Bara tidak sedang melihat ke arahku, kan?



114



MONSTER (Part 2)



Aku menoleh ke belakang. Gelap. Sunyi. Tidak ada siapa pun. Yang tadi itu, apa perasaanku saja? Aku merasa aneh akhir-akhir ini. Perasaanku selalu tidak tenang. Entah ini hanya perkiraanku saja atau memang benar adanya, aku merasa seseorang selalu mengikutiku dari belakang. Kemana pun aku berada. Berangkat ke sekolah, saat istirahat, pulang sekolah, bahkan saat di rumah sekali pun. Seakan-akan ada orang yang tengah menungguku di luar rumah. Seperti sekarang. Saat-saat itu, aku memang selalu pulang malam—mengingat tambahan pelajaran wajib bagi seluruh siswa di sekolah menjelang ujian akhir semester ganjil. Ditambah, aku yang mengikuti kepanitiaan osis sekolah mengharuskanku untuk ikut rapat, walau pun aku tidak memiliki jabatan apa pun. Mau tidak 115



mau, aku harus mengikuti kegiatan sekolah mengingat salah satu cara untuk mempertahankan beasiswaku adalah dengan aktif dalam anggota kepanitiaan. Aku mengecek jam di ponselku. Sudah pukul tujuh malam. Sejujurnya, aku takut jika harus pulang malam hampir setiap hari. Aku seorang pendatang di Jakarta, baru beberapa minggu menyesuaikan di tempat ini, sendirian, dan merasa diikuti. Aku cepat-cepat menoleh saat tiba-tiba aku mendengar suara gemerisik dari arah belakang. Tidak ada siapa pun. Aku sedang berjalan menuju arah rumah. Kondisi jalan gelap. Aku bahkan tidak bisa melihat ujung jalan. Aku yang merasa ketakutan segera berlari, sebelum langkah-langkah cepat kudengar dari arah belakang. Seseorang tengah mengejarku. Aku panik. Lari sekuat tenaga. Suara derap langkah makin mendekat. Aku yang pasrah memejamkan mata, sebelum menubruk seseorang. Sebuah tangan menangkup kedua lenganku. Erat sekali. Napas panas dan terengah-engahnya berhembus mengenai seluruh permukaan mukaku. Begitu aku membuka mata, yang pertama kali kulihat adalah manik mata hitam dengan sorot yang sangat tajam, tengah menatap ke dalam bola mataku juga. 116



“Ba… ra?” Aku kaget, menemukan Bara berada di hadapanku. Bagaimana bisa dia ada di sini? Apa yang dilakukannya di sini? Tapi dibanding bertanya, buru-buru kuputar kepalaku, menoleh ke belakang. Seorang laki-laki berhoodie hitam yang langsung berbalik dan berlari begitu melihat kami. Pikiran buruk menggerayai kepalaku. Jadi benar, sedari tadi ada orang yang tengah mengikutiku. Jika tidak ada Bara, entah apa yang akan terjadi denganku. Tubuhku tiba-tiba gemetaran. Aku takut sekali. “Kamu nggak papa?” Perhatianku teralihkan oleh suara rendah dan berat Bara. Aku baru sadar, wajah kami begitu dekat. Badan kami menempel. Tangannya naik, meremas pelan bahuku. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa melepaskan diri darinya. Aku mengangguk. “Ta-tadi… orang itu…kayaknya…” aku tidak bisa menyelesaikan kata-kataku. Barata hanya diam. Menatapku dengan tatapan aneh, tetapi sama sekali tidak mengatakan sepatah kata pun, mau pun bertanya lagi, seakan membiarkanku menenangkan diri. Begitu napasku berubah lebih teratur, dia bertanya. “Sudah tenang?” 117



Aku mengangguk. Begitu kesadaran dan akal sehatku kembali, baru kusadari posisi tubuh kami hampir menempel. Aku langsung mundur menjauh, merasa seperti ada getaran aneh yang menjulur ke seluruh tubuhku. “Biar aku yang antar pulang.” Bara bertanya, tapi entah kenapa nadanya terdengar seperti sebuah perintah. “Uhm—makasih, Bar. Tapi kayaknya aku—” Tiba-tiba, dia menjulurkan tangannya. Saat itu, adalah saat pertama kalinya Bara mengulurkan tangan padaku. Aku raguragu, tapi ketakutan akan kejadian barusan lebih menguasaiku ketimbang rasa canggungku padanya. Kugapai tangannya, bertanya-tanya. Kenapa dia mengulurkan tangannya padaku? Aku masuk ke dalam mobilnya. Selama perjalanan pulang, tidak ada dari antara kami yang berbicara. Di dalam mobil, suasana mendadak menjadi canggung luar biasa. Aku melirik ke arahnya. Matanya menatap tajam, fokus ke arah jalan. Saat itu, aku yang naif sama sekali tidak menaruh kecurigaan pada Barata. Yang entah kenapa, tiba-tiba bisa berada di hadapanku, di sekitar rumahku. Yang entah kenapa, tiba-tiba bisa menolongku di saat yang tepat. 118



“Rumahnya yang itu.” Mobilnya berhenti tepat di depan rumahku begitu aku menunjuk ke arah sebuah rumah tingkat dua berpagar pendek. “Makasih, Bar. Buat yang tadi, sama yang sekarang.” Aku memaksakan diri untuk tersenyum, walau pun ada hawa dan atmosfir aneh yang tidak kupahami. Melihatnya yang mengangguk, aku sudah membuka pintu dan bersiap keluar dari mobil saat tiba-tiba tangannya mencengkeram pergelangan tanganku. Aku menoleh. “Mulai sekarang, biar aku yang antar dan jemput tiap berangkat dan pulang sekolah.” Aku menatap ke arah tangan dan wajahnya bergantian dengan bingung, dahiku mengkerut, “Makasih, Bar. Tapi nggak usah repot-repot. Aku… bisa pulang sendiri.” Bara mengernyitkan dahinya. Seakan-akan aku telah mengatakan jawaban yang salah. Saat itu, aku tidak tahu, bantahanku adalah sesuatu yang paling tidak disukainya. Hal kecil yang dapat membuatnya marah. Kurasakan cengkeraman tangannya yang menguat, dan tatapannya yang menajam, “Kalau begitu,” dia berbisik sangat pelan, “Kamu harus hati-hati dengan orang yang tadi, Nadia.” 119



Peringatan Barata membuat sekujur tubuhku bergidik. Aku menatapnya



sepersekian



detik,



menimbang-menimbang,



membayangkan sosok orang tak dikenal berhoodie hitam yang mengikutiku dalam kegelapan. “Oke… aku… ikut kamu aja.” Putusku. Bara tersenyum puas sebelum melepaskan tanganku. Sekali lagi, aku berpamitan sebelum masuk ke dalam rumah, menyaksikan kepergian mobilnya dari celah jendela. Semenjak itu, aku selalu berangkat dan pulang sekolah bersama Barata. Itu adalah awal dari semuanya. Saat itu, aku terlalu naif. Menganggap bahwa hari-hari yang kami lalui dalam mobil adalah sesuatu yang berarti. Saat itu, aku terlalu naif, menganggap bahwa ada sesuatu di antara kami. Saat itu, aku terlalu naif, mensalahartikan tiap Bara menatapku, dan segala kedekatan kami. Dan saat itu, aku terlalu naif, karena tidak mengindahkan peringatan Mika akan sosok Bara yang sesungguhnya. Bahwa Bara, jauh lebih berbahaya dari yang pernah orang-orang katakan, dan kuduga sebelumnya. Aku telah mengambil keputusan besar yang kusesali seumur hidup. Aku membiarkan Bara berada di dekatku, aku membiarkannya



menggenggam



tanganku,



dan



aku 120



membiarkannya mencium bibirku. Seakan-akan aku sudah terjerumur ke lubang yang kelam dan tidak akan pernah bisa keluar lagi. Aku berpacaran dengannya. Sejak itu, semuanya berubah. Berita aku berpacaran dengan Bara menyebar dengan sangat cepat. Semua murid menatapku dengan tatapan yang tak pernah kusangka-sangka sebelumnya. Ketakutan, ngeri, bahkan hormat. Teman-teman satu kelas menghindariku. Jangankan berbicara, berpapasan denganku saja mereka berbalik. Termasuk Mika dan Rena. “Nggak usah temenan sama mereka lagi.” Aku mengernyit mendengar komentar Bara saat kami berada di dalam mobil, baru pulang sekolah. Aku baru saja menceritakan apa yang terjadi pada Bara, bagaimana perlakuan temantemanku, terutama Mika yang menjauhiku. Saat itu, Mika bahkan kelihatan ketakutan melihatku. Saat itu aku tidak mengerti atas respon aneh teman-teman. “Mereka teman sekelas aku, Bar,” aku mencoba menjelaskan pelan-pelan, “Terutama Mika. Aku nggak ngerti kenapa mereka



121



jadi gitu,” kupejamkan mata, “Aku nggak mungkin nggak temenan sama mereka, lah.” “Kamu barusan nggak dengar aku ngomong apa, Nadia?” Cara bicara Bara yang pelan dan dalam seketika membuatku bergidik. Nada bicaranya terdengar tenang sekali, tetapi aku tahu ada kemarahan yang tersimpan di sana. Saat itu, aku yang masih belum tahu monster apa yang kuhadapi saat itu, merasa marah. “Bukan aku yang nggak denger, tapi kamu yang seenaknya, Bar.” Raut muka Bara mengeras. Bara yang terlihat kaget akan bantahanku langsung menepi dan menghentikan mobilnya mendadak. Aku menggunakan kesempatan ini untuk keluar dari mobil, dan berlari sekuat tenaga, masuk melewati gang sempit yang tak bisa dijangkau oleh mobil besarnya. Aku marah, karena merasa Bara tidak mendengarkan keluh kesahku. Aku sengaja kabur ke tempat sempit ini supaya Bara tidak bisa mengejarku. Sampai aku tahu, bahwa rupanya aku dalam bahaya. Seorang lelaki berhoodie tiba-tiba muncul dalam kegelapan. Aku ingat. Itu adalah orang yang mengejarku beberapa minggu yang lalu. Tapi kali ini dia tidak sendiri. Dia bersama dua orang



122



temannya—yang sama-sama memakai jaket hoodie hitam, yang tudungnya menutupi sebagian mukanya. “Kalian… siapa?” Aku panik. Aku sudah dikepung dari dua arah jalan. Aku tidak bisa kabur. “Lo nggak perlu tahu siapa gue,” yang paling tengah tersenyum miring, “Nadia, kan?” “Darimana… lo… tahu…” “Nggak ada yang nggak tahu ceweknya Barata.” Aku mengernyit, “Kalian tahu… Bara?” Pertanyaanku sepertinya dianggap lucu karena mereka langsung tertawa terbahak-bahak, berbanding balik denganku yang ketakutan setengah mati. Aku yang ketakutan diam-diam dan perlahan memasukkan tangan ke dalam saku rok, berniat mengambil ponsel dan menghubungi Bara. “Siapa sih, yang nggak tahu seorang Barata Saputra Birawa?” yang paling tengah berbicara lagi, kali ini dia mengeluarkan sebilah belati dari saku hoodie, lalu mengayunkannya seraya menatapku, seakan menimbang reaksiku, “Jadi gini, tipe si brengsek itu. Gue nggak nyangka, seberapa lama lo bisa tahan pacaran sama orang macam Barata.” 123



Lelaki berhoodie yang paling kiri tertawa culas melihatku, “Woy! Tapi kalau dipikir-dipikir, ceweknya cantik juga? Mau kita apain dulu, nih?” Aku mundur sampai menatap ke tembok di belakang. Secara impulsif, aku langsung berteriak meminta tolong dan cepatcepat mengeluarkan ponsel, mencari kontak Bara, sebelum tibatiba aku ditampar dengan sangat keras. Kepalaku pening dan berdengung. Aku jatuh bersimpuh, memegang pipiku yang terasa panas. “Gimana rasanya kena tamparan? Bentar lagi, lo bakal—”



BRAAK!! Samar-samar, aku melihat seseorang datang dalam kegelapan. Itu Bara. Dia baru saja membanting salah satu dari mereka ke arah tumpukan tempat-tempat botol-botol kaca, sampai isi-isinya tercecer, dan serpihan-serpihan kacanya mengenai muka lelaki berhoodie. Aku yang kaget berusaha berdiri, melihat dengan mata kepalaku sendiri, Bara yang tengah menarik rambut gondrong tubuh lelaki itu yang tak sadarkan diri. Setelah itu, yang kulihat adalah pemandangan mengerikan yang tak pernah kusangka sebelumnya. Bagaimana brutalnya 124



Bara menghabisi mereka bertiga tanpa ampun. Membanting, menghajar, memukul, bahkan sampai menghantam tubuh mereka dengan papan kayu yang entah bagaimana bisa ada di tangannya. Secara berulang-ulang. Lagi dan lagi. Tidak ada habisnya. “Bara…” Dia tidak berhenti. “Bar… di-dia… udah pingsan…” Aku panik saat melihat tatapan matanya yang menggelap berubah makin bengis, seakan benar-benar akan membunuh mereka. Ketiga orang itu sudah tidak sadarkan diri, terkapar dengan sangat mengenaskan. Darah berceceran di mana-mana, muka mereka babak belur. Lalu, dia berhenti. Kepalanya menengadah ke arah udara, menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma amis darah yang menyengat. Sudut bibirnya terangkat, seakan puas akan apa yang dilakukannya. Dia berdiri, menyisir rambut dengan tangannya sebentar, sebelum menoleh ke arahku. Dia mengulurkan tangannya. “Nadia.”



125



Dia memanggilku dengan suara pelan dan dalam. Seluruh tubuhku gemetaran melihatnya menatapku dengan tatapan tajam dan berbahaya. Bagai sihir, badanku secara refleks berjalan ke arahnya, menggapai tangannya, sebelum dia merangkulku. Sudut bibirnya terangkat. “Kamu nggak mau kejadian tadi keulang, kan?” Pertanyaannya yang pelan bagaikan ancaman mengerikan yang menelusup di telingaku. Aku memejamkan mata.



“Be a good girl, Nadia.” Dia mengelus pipi dan kepalaku, dengan tangan besarnya yang terlumur oleh darah. Aku menangis dalam diam, terlalu takut untuk membantah, terlalu takut untuk mengangkat wajah melihat ekspresi mengerikannya. Saat itu, untuk pertama kalinya aku sadar. Bara adalah monster. Aku sudah masuk ke kubangan malapetaka dan tidak akan bisa keluar lagi. Sejak saat itu, keinginan dan harapanku yang terbesar, bahkan satu-satunya adalah agar aku bisa putus darinya. Aku harus mencari cara supaya bisa putus dari Bara.



126



DARKER



“Gue nggak mau tahu. Pokoknya gue mau nih komplotan dieksekusi!” Aku yang tengah meminum jus alpukat tersentak begitu Cakra menggebrak meja. Dia kelihatan marah sekali. Ini hari Sabtu. Dan aku sedang berada di salah satu klab malam di Jakarta Pusat bersama Bara dan teman-temannya. Seperti biasa, tidak ada yang bisa kulakukan selain duduk diam tanpa berani melakukan apa pun. Lima menit yang lalu, Cakra yang baru sampai langsung meletakkan beberapa foto laki-laki berhoodie abu-abu ke hadapan Bara. Aku yang penasaran hanya bisa menyaksikan dalam diam. Ini bukan satu atau dua kali aku mendengarkan percakapan mengenai urusan geng mereka. Aku selalu tidak pernah punya pilihan selain terlibat. Termasuk sedikit tahu tentang informasi,



127



masalah, anak buah, maupun rencana kelompok ini yang lebih cocok disebut organisasi ketimbang geng biasa. “Lo telat sepuluh menit,” adalah respon pertama Bara seraya menatap Cakra tajam. “Lo masih mikirin gue telat, Bar?” Cakra yang kelihatan marah atas respon Bara hampir saja meledak jika saja Brian tidak merentangkan tangannya dan menahan Cakra. Akan sangat gawat jika keduanya bertengkar. Aku sendiri tahu, Cakra selamanya tidak akan pernah menang dari Bara—walau pun mereka berdua punya kekuatan yang luar biasa, juga ketiga yang lain. “Cak, lo tenang dulu. Kita kumpulin dulu anak-anak yang lain.” Brian berujar seraya berjalan ke arah lantai dansa, memanggil Rio dan Arga—yang rupanya tengah bersama Aileen. Aku dan Aileen bertukar senyum sebelum mereka duduk. “Kenapa, nih?” tanya Arga. “Utara,” kali ini Cakra sudah bisa mengatur napasnya yang tadi terengah-engah, “Mereka nyari masalah lagi sama kita. Tapi ini bukan komplotannya Ray.” “Again?!” pekik Arga.



128



Diam-diam aku mengernyit, mendengarkan percakapan mereka. Ray adalah pemimpin penguasa wilayah utara. Aku jadi ingat, bulan lalu, Bara pernah mengajakku bertemu dengan keempat penguasa wilayah. Utara—Ray, kelompok mereka punya ciri khas berhoodie abuabu, Timur—ada Nakula, merah, Barat—Galang, berhoodie putih, dan Selatan—Bara, berhoodie hitam. Tiap wilayah memakai hoodie dengan perwakilan warna dan simbol berbeda. Aku yang tiba-tiba menjadi penasaran menyimak baik-baik percakapan mereka. “Gue denger Ray disekap.” Aku membelalakkan mata, begitu juga dengan Bara dan teman-temannya. Mataku dan mata Aileen sempat berpapasan sebelum aku melirik ke arah Bara, melihat ekspresinya. Raut wajahnya mengeras, rahangnya menguat. Aku tahu, Bara tengah marah besar. Aku mengalihkan pandangan, tak berani melihat tatapan matanya yang tajam. “Lo bilang apa? Ray?” Arga sampai berdiri dari tempatnya. “Siapa pelakunya?” Rio bertanya. “Komplotan sama yang bakar markas kita tahun lalu. Itu cecunguk masih ada sisanya. Gue dapet info dari Galang. Katanya 129



jumlahnya kagak bisa keprediksi. They’re too many. Galang sama Nakula sekarang minta bantuan lo, Bar. Gue mau komplotan mereka dieksekusi.” Ekspresi lainnya kelihatan tegang dan berubah waspada. Sampai sekarang aku bahkan tidak tahu makna eksekusi dalam geng mereka. Aku tidak pernah berani bertanya. Kami semua menunggu dalam diam, menunnggu perintah Bara. Selang beberapa detik, salah satu penjaga yang selalu berada di depan gedung tiba-tiba masuk dan menghampiri kami, diikuti oleh seorang berhoodie hitam dengan tudung yang menutupi sebagian kepalanya. Rambut panjangnya terurai keluar. “Bos,” panggilan penjaga menyita perhatian kami, “Ada masalah.” “Kenapa?” sahut Bara. Bersamaan dengan itu, dalam kegelapan, perempuan berhoodie maju ke hadapan kami, lalu membuka tudungnya. “Barata.” Aku kaget saat menemukan Citra—pacar Ray yang pernah kutemui bulan lalu—tengah berdiri di hadapan kami. Semuanya kelihatan terkejut, termasuk Bara, walau pun setelah itu ekspresinya berubah tenang. 130



“Halo semua,” Citra tersenyum ke arah kami, “Hai, Nad,” dia tersenyum ke arahku, sebelum menoleh ke arah Aileen, “Ada Aileen juga ternyata. Gue nggak nyangka, ternyata penjagaan di sini ketat juga,” Citra menatap Bara penuh arti, lalu tersenyum miring, “Gue bahkan sampai harus pakai hoodie hitam buat masuk ke sini.” Aku melirik Bara yang tengah memicingkan matanya. “Ngapain lo di sini?” Pertanyaan Arga membuat Citra terdiam sebentar. Aku tahu, dari gerak-geriknya, butuh keberanian yang besar bagi Citra untuk datang ke sini, ke wilayah penguasa selatan. Aku



pernah



ngobrol



dengannya,



dan



Citra



sempat



mengatakan bahwa sebenarnya, dia pun belum punya cukup keberanian untuk menghadapi Barata secara langsung. Tapi melihatnya yang ke sini seorang diri, aku tahu ada hal penting dan mendesak yang harus ia katakan. “Ray lagi dalam masalah. Dia diculik,” Citra memberanikan diri menatap ke arah Bara yang menatapnya tajam, “Dan mereka minta ketemu sama lo, Barata.” Kami semua saling berpandangan, kecuali Bara yang masih menatap Citra. Aku tahu jenis tatapan itu. Tatapan yang sering 131



kali Bara tujukan padaku, seakan-akan dia tengah mencari tahu, apakah yang dikatakan adalah sebuah kebenaran atau kebohongan. Semua diam, menanti respon Bara. “Berapa jumlahnya?” “Dua…” Citra menggantungkan katanya, hati-hati menatap Bara, “…ratus.” Tanpa sadar, aku yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka menahan napas keras, sampai napasku tercekat. Bara yang sepertinya mendengarku sempat melihat ke arahku sebentar. Dua ratus adalah jumlah yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Walau pun aku tahu bahwa jumlah anak buah Bara lebih dari itu, tetapi mengetahui ada ratusan orang yang ingin melawan Bara membuatku bergidik ngeri. “Tujuan mereka adalah lo,” Citra membuka resleting tas yang sedari tadi dibawanya, sebelum membalik dan mengeluarkan isinya.



Berlembar



dan



bertumpuk-tumpuk



uang



jatuh



berhamburan ke atas meja. Aku yakin jumlahnya bisa mencapai jutaan, bahkan belasan atau mungkin puluhan juta. “What a bunch of money,” Rio menyeringai.



132



“Gue bisa kasih lo lebih, Barata. Gue bakal kasih apa pun yang lo mau, asal lo bisa selamatin Ray dan habisin komplotan mereka. Gue pengen eksekusi. Gue pengen lo habisin mereka sampai mereka nggak akan pernah berani mikir buat lawan kita lagi.” Aku memejamkan mataku, sudah tidak bisa mendengarkan percakapan ini lebih lagi. Aku seperti bisa membayangkan apa yang dimaksud Citra. Ini terlalu mengerikan. Jantungku berdegup sangat kencang, sampai-sampai tanpa sadar tanganku sudah menggenggam erat tangan Bara. Bara hanya diam seraya melirikku sekilas.



“Fine,” Bara bergumam pelan, yang mana membuat keempat teman lainnya menatapnya terkejut, “Eksekusi habis semuanya.” “Tumben lo langsung setuju, Bar?” Cakra tersenyum miring, “Ada apa, nih? Tangan lo udah gatel pengen mampusin tuh para cecunguk?” “Lebih cepat lebih baik,” Brian berkomentar, “Gue juga males kalau besok-besok berurusan lagi sama yang beginian.” Kali ini tatapan Brian menatap ke arah Citra yang sedari tadi berdiri dengan waspada. “Bener, lagian nih cewek juga udah kasih trade yang sepadan,



right?” Arga menambahkan. 133



Walau pun aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dari pembicaraan mereka aku berasumsi Bara mengijinkan teman-teman dan kelompoknya untuk membantu Ray— penguasa utara. Aku tahu Bara dan kelompoknya memang dikenal hebat dalam bertarung, tapi aku tidak menyangka, bahkan lebih hebat dibanding ketiga penguasa wilayah lain. Bara tiba-tiba menghela dagunya ke arah salah satu anak buah berhoodie hitam yang berjaga di sekitar mereka, “Lo anterin Nadia pulang. Dengan selamat.” Nadanya tajam penuh ancaman. Aku yang masih bingung karena Bara menyuruhku untuk pulang, tiba-tiba Aileen—pacar Arga—beranjak dari tempatnya, “Gue bisa anterin Nadia, Barata. Gue bisa jamin keselamatan dia.” Bara melihatku dan Aileen sekilas. Aku sudah memejamkan mata, menyangka bahwa Bara akan marah. Tapi rupanya prasangkaku salah besar. Bara mengangguk, mengijinkan aku pulang bersama Aileen. Aku heran, karena biasanya Bara tidak akan mengijinkanku pergi bersama orang yang tidak dekat dengannya. “Nadia,” Bara tiba-tiba mendekapku erat, mendorong kepalaku hingga menubruk dada bidangnya. Aku kaget saat kepalanya menunduk ke arahku, hidungnya berada di leherku, 134



menghirup kencang udara di sana, seraya memejamkan mata, “Hati-hati.” Bisiknya. Aku yang kaget hanya bisa membeku, merasa canggung dan waspada—terutama saat semua orang menatap kami seakanakan mereka tengah mendapatkan tontonan menarik. Rio yang tersenyum miring menatapku, sebelah alis Arga yang terangkat, dengusan Cakra, sampai Brian yang menatap kami tanpa ekspresi. Entah ini hanya perasaanku saja atau bukan, rasanya teman-teman Bara seperti tidak menyukai kedekatanku dengan Bara. “Ayo, Bar. Lo kagak pengen si Ray mati duluan, kan?” Rio bertanya seraya masih duduk di sofa bersama puntung rokok di tangannya. Bara melepaskan pelukannya, kemudian menatapku dalam sebelum menjauh, meninggalkanku yang hanya bisa menatap punggungnya bersama kerumunan teman-teman dan anak buahnya. Mereka memasang tudung hoodie sampai menutupi sebagian kepalanya sebelum menghilang dari tempat ini. “Nadia,” Aku menoleh ke arah Aileen yang memanggilku, tersenyum ke arahku, “Lo nggak mau selamanya di sini, kan?”



135



Aku menggeleng pelan, tersenyum kecut, “Kalau pun nggak, gue tetep nggak punya pilihan lain kalau Bara tetep ngajak gue ke sini.” Senyum di muka Aileen luntur, berganti dengan tatapan sayu, “Nad, gue tahu apa yang diam-diam lo rasain selama ini. Tiap ketemu Barata. Lo takut, kan?” Aku terdiam selama beberapa detik. Selama ini, tidak ada satu pun orang yang berani mengatakan hal seperti ini padaku. Aku menatap kesekitar, memastikan tidak ada siapa pun, bahkan anak buah Bara yang mungkin bisa mendengar percakapan kami. “Maksud… lo? Gue nggak paham apa yang—” “Barata punya sisi lain yang nggak lo ketahui sama sekali, Nad. Sisi yang nggak pengen lo tahu.” Dahiku mengernyit. Aku tidak tahu kemana arah pembicaraan ini. “Sisi… lain?” Aileen mengangguk, “Gue mau nunjukin lo sesuatu. Lo mau, kan?” Beberapa detik terdiam, pada akhirnya aku memilih untuk mengikuti Aileen keluar dari klab.



136



Dua penjaga yang selalu berdiri di depan klab menunduk begitu melihat Aileen dan aku lewat. Kami masuk ke dalam mobil Aileen sebelum dia mengemudikan mobilnya. Aku sudah hampir bertanya saat tiba-tiba mobilnya memasuki kawasan tak berpenghuni di samping jembatan. Jalannya gelap, sempit, dan berbatu. “Kita mau kemana, Leen?” tanyaku waspada. Kami perempuan dan hanya berdua saja. Aku takut jika sampai-sampai ada preman—atau lebih parahnya musuh kelompok Bara berhenti di depan mobil dan mencegat kami. “Tenang aja, Nad. Gue pacaran sama Arga bukannya nggak ada alasan,” Aileen tersenyum penuh arti, “Barata nggak bakal ngijinin cewek yang nggak bisa tarung buat ngantar lo, kan?” Perkataan Aileen terdengar masuk akal. Selama ini, aku tidak begitu mengenal Aileen. Kami hanya pernah beberapa kali bertemu dan ngobrol saat Bara sedang berkumpul bersama teman-temannya—mengingat aku harus selalu menjadi pacar yang manis dan penurut, selalu disamping Bara tiap bersamanya. Mobil Aileen tiba-tiba mendekati sebuah gedung pabrik tua tak berpenghuni. Ada belasan mobil Jeep yang memenuhi parkir



137



dan depan jalan. Aileen memutar mobilnya melewati gedung dan menempuh jalur belakang. Mobil Aileen berhenti. “Kita udah sampai.” Aileen membuka sabuk pengaman. Aku melihat ke luar jendela. Gedung pabrik yang kelihatan lama, tak berpenghuni, dan sudah reyot. Pepohonan lebat dan rindang di sekitar area, semak-semak belukar panjang mengitari sekitar gedung. Gelap. Dan sunyi. Aku menatap Aileen tidak yakin. “Kita… dimana?” “Di tempat Barata ada sekarang.” Apa? Aku tidak bisa menahan belakan mataku. “Maksud lo… Bara sama temen-temennya… ada di sini?” aku bahkan tidak yakin akan pertanyaan yang kulontarkan sendiri. Aileen mengangguk sebelum keluar dari mobil. Aku berdiam diri, ragu dan takut. Jika yang dikatakan Aileen benar bahwa Bara dan teman-temannya di sini, artinya di dalam sana pasti tengah terjadi pertarungan—hal mengerikan yang tak pernah ingin kulihat selama ini.



138



Apa ini tidak berbahaya? Mendengar rencana mengerikan kelompok Bara saja membuatku bergidik, sekarang aku harus melihatnya langsung? Sayangnya, rasa penasaran mengalahkan rasa takutku. Kuputuskan untuk keluar, menatap ke sekitar dengan hati-hati. Tidak ada siapa pun. Sepi dan sunyi. Aku mengikuti Aileen, berjalan mengendap-endap, masuk melalui pintu belakang pabrik yang tertutup semak-semak. Kami melewati lorong gelap. Sama sekali tidak ada pencahayaan. Aku bahkan sampai tersandung bebatuan berulang kali. “Hati-hati, Nad.” Aileen berbisik sangat pelan, kepalanya menoleh kecil. Kami naik tangga. Karena gelap, aku melangkah naik sepelan mungkin, takut kalau-kalau kakiku tidak berpijak pada anak tangga dan jatuh. Kami sampai di lantai 3, di balkon kecil bagian atas, yang memperlihatkan space utama pabrik yang tampak lapang dan luas. Dari atas sini, aku bisa melihat semuanya. “Lo harus lihat dengan mata kepala lo sendiri,” ada nada ironi dalam bisikan Aileen, “Apa aja yang bisa Barata lakuin, yang mungkin nggak pernah mau dia tunjukin ke lo.” 139



Aku memejamkan mataku sebentar, mempersiapkan hatiku untuk melihat semuanya. Aku tahu, Bara memang orang



mengerikan. Dia sangat kuat dan tak kenal ampun dalam bertarung.



Aku



sudah



pernah



melihatnya



menghabisi



seseorang—bahkan sekelompok orang sendirian dengan tangan kosong—dengan mata kepalaku sendiri, tapi aku tidak bisa membayangkan hal yang lebih buruk dari yang pernah kulihat sebelumnya. Dari atas sini, aku bisa melihat semuanya, orang-orang berhoodie hitam yang bertarung di bawah sana. Jumlahnya ratusan. Mereka saling memukul, menghantam, melempar, bahkan



melakukan



hal-hal



mengerikan



lainnya.



Aku



memejamkan mata, tidak sanggup melihat semuanya. “Itu dia. Barata.” Perkataan Aileen membuka mataku. Di sana, banyak orang tumbang, tak sadarkan diri dengan luka parah di sekejur tubuh dan darah berceceran dimana-mana. Dari kegelapan, aku melihatnya. Bara. Dalam balutan hoodie hitam yang selalu dia pakai, bersama keempat temannya yang mengikutinya di belakang.



140



Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan di bawah sana. Bara berbicara di hadapan ratusan pria berhoodie yang tumbang, sebelum dia melangkah maju, lalu berjongkok ke arah salah satu pria di barisan paling depan yang tengah tersungkur dengan sangat mengenaskan. Dia menarik kerah baju lelaki itu, sebelum menarik rambut gondrong tinggi-tinggi, hingga membanting kepalanya ke lantai dengan keras.



DUAK! Suaranya terdengar sampai atas sini, bunyi gedebuk yang sangat kencang. Aku menganga, tubuhku membeku, tanganku gemetaran, bulu kudukku meremang. Darah mengalir keluar dari kepala lelaki itu yang kuyakin sudah tak sadarkan diri. Aku bahkan yakin mukanya hancur lebur. Seakan belum cukup, Bara menendang lelaki itu sangat kuat sampai terlempar jauh menubruk tumpukan ban-ban bekas. Lalu dia berdiri dan berkata kepada para anak buahnya yang menunggu di belakang. Seketika itu juga, para anak buah Bara mengeluarkan benda-benda tajam dari dalam saku celana mereka, sebelum jeritan dan erangan kesakitan terdengar bersaut-sautan, bergema memenuhi ruangan.



141



Aku memejamkan mata dan menutup kedua telingaku, tidak sanggup lagi melihat, bahkan mendengar semua ini. Napasku memburu. Aku ketakutan setengah mati, mendengar rintihan demi rintihan yang semakin keras, dan teriakan meminta ampun mereka. “Nad,” Bisa kurasakan tangan Aileen yang meremas pundakku. Dia berbisik, “Gue bisa bantu lo putus dari dia.” Seketika itu juga, mataku terbuka. “A… pa?” “Gue bisa bantu lo lepas dari Barata.” Aku mengerjap. Apa aku tidak salah dengar? “Kenapa lo bisa bilang—” “You’re not supposed to be here, Nad. Tempat lo bukan di sini,” Aileen menatapku lamat-lamat, “Walau pun kita cuma pernah ketemu beberapa kali, tapi gue tahu jelas selama ini betapa nggak nyamannya lo di samping Barata. Gue tahu, lo diam-diam pengen lepas dari dia, kan?” Aku kaget. Selama ini, aku selalu bersikap menjadi pacar yang manis dan penurut di depan Bara, sampai-sampai tidak ada yang tahu bahwa diam-diam aku selalu berdoa dan mencari cara agar aku bisa putus darinya. 142



“Kenapa lo… mau bantu gue?” Aileen tersenyum tulus, “Karena gue tahu lo cewek baik-baik. Lo nggak pantas ada di antara mereka,” Tangan Aileen tertunjuk ke arah bawah, “Dan gue pengen lo bebas. Bebas dari Barata.” Aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan. Selama ini, aku yang pengecut hanya bisa menunggu sampai Bara bosan denganku. Atau menunggu sampai ada perempuan lain yang mengambil hatinya. Sekarang,



di



hadapanku,



ada



seseorang



yang



ingin



membantuku lepas dari Bara. Ini adalah kesempatan emas yang selama ini kutunggu-tunggu. Kesempatan untuk bisa putus dari Bara sudah ada di depan mataku, kesempatan yang tidak akan pernah kusia-siakan. Aku mengangguk dan tersenyum kecil. Benar, apa pun yang terjadi, aku harus putus dari Bara.



143



BREAK UP PLAN



Sebenarnya, banyak alasan kenapa sampai sekarang aku tidak berani meminta putus dari Bara. Kami sudah berpacaran selama empat bulan. Dan benar apa kata Rio, sampai sekarang pun aku masih belum mengenal Bara sepenuhnya. Bara adalah laki-laki paling misterius dan berbahaya yang pernah kukenal. Walau pun terkadang aku mengerti bagaimana perasaannya, namun tak jarang aku salah sangka menangkap ekspresinya. Jangankan aku, terkadang keempat temannya pun bingung bagaimana suasana hatinya. Terkadang saat Bara diam, rupanya dia tengah menahan emosi. Atau pun kelihatannya tengah marah seakan siap meledak-ledak, ternyata dia bersikap tenang. Aku bingung. Aku tidak bisa mengukur emosi dan apa yang ia rasakan. Karena itulah, selama ini aku hanya mencari aman saja. Menjadi pacar yang manis dan penurut. Menuruti segala yang ia mau dan perintahkan. 144



Aku tahu hubungan kami tidak sehat. But I don’t have any



choices. Aku ini memang pengecut. Terlalu takut bahkan untuk mengutarakan pendapat dan keinginanku. Termasuk meminta putus darinya. Selama ini, yang bisa kulakukan hanyalah berdoa dan berharap, agar suatu hari nanti Bara bosan denganku. Atau mungkin ada seorang gadis cantik yang berhasil mengalihkan perhatian Bara. Aku hanya bisa menunggu saat-saat seperti itu tiba. Sampai pada akhirnya, kesempatan itu datang.



“Kayak yang gue bilang tadi, gue bisa bantu lo putus dari Barata, Nad.” Malam itu, Aileen mengatakan keinginannya sekali lagi padaku. Kami sedang berada di dalam mobilnya dan baru sampai di depan rumahku, setelah dia membawaku ke sebuah bangunan gudang tua tak terpakai yang menjadi tempat Bara berperang. Pengalaman mengerikan yang masih membekas diingatanku, bahkan yang tidak akan pernah bisa kulupakan.



“Gimana… caranya?” aku bertanya bingung. Otakku terasa buntu, sama sekali tidak ada satu pun ide yang tercetus.



145



“Lo tunggu aja, Nad. Gue punya rencana, tapi belum bisa kasih



tahu ke lo. Buat keamanan lo juga.” Aku mengernyit bingung. Baiklah.



“Emm—terus, gue sekarang musti ngapain? Rencana yang lo maksud… juga aman buat gue, kan?” sebelah alisku terangkat, memastikan dengan hati-hati. Mengingat sifat Bara yang tak bisa kutebak, aku hanya mencari aman saja.



“Buat sekarang, jalanin aja kayak biasanya,” Aileen tersenyum kecil, “Gue yakin, lo bakal aman selamanya.”



“Maksud… lo?” Kali ini, Aileen terkekeh, “Intinya, lo nggak usah khawatir. Lo



tunggu aja kabar dari gue, Nad.” Aku akhirnya mengangguk, memutuskan untuk menunggu walau pun sebenarnya bingung apa yang sebenarnya Aileen rencanakan. Apa benar akan aman? Maksudku, aku hanya ingin putus dari Bara dengan cara baik-baik. Aku tidak mau ada keributan, bahkan membahayakanku. Aku yang saat itu sudah membuka pintu penumpang dan hampir keluar dari mobil terhenti begitu Aileen mencengkeram lenganku. Aku menoleh.



146



“Nad, kalau lo penasaran gimana respon Barata, gue punya ide kecil buat lo,” Aileen mendekatkan wajahnya dan berbisik pelan, “Barata paling benci sama cewek yang nggak bisa nurut katakatanya dia, kan?” Aileen memiringkan kepalanya, “Kalau gitu, jadi aja sosok cewek yang paling nggak dia suka.” sebelum tersenyum dan melepaskan cengkeramannya dariku. Hah?



“Lo yakin?” Aileen mengerdikkan bahunya dan tersenyum, “Kalau misal lo



nggak yakin, gue ada usul lain. Jadi cewek yang paling dia suka.” Aku mengerjap, merasa bingung. Apa ini maksudnya selama ini yang kulakukan belum cukup menyenangkan hatinya?



“Gue masih nggak ngerti.” Aileen menahan tawanya, “Di mata gue, lo itu kelihatan kayak



kelinci kecil yang cuma bisa nunggu sampai dimakan serigala. Menurut lo, gimana kalau serigala yang ternyata terlalu terlena dan malah dimakan si kelinci?” Malam itu, aku terbaring di atas tempat tidur memikirkan semuanya. Memikirkan perkataan Aileen, dan memikirkan respon Bara. Aku… tidak mematuhi perkataan Bara? Aku



147



menggeleng. Tidak. Tidak mungkin. Aku pernah beberapa kali mencoba membantah perkataannya. Selama ini aku menahan diri. Hanya saja aku takut. Mengingat respon Bara yang tak pernah terduga… bisa saja dia menjambak atau memukulku, kan? Atau lebih parahnya, bisa saja dia malah menyerahkanku



ke



kerumunan



musuhnya—walau



pun



semuanya belum pernah terjadi, dan aku harap tidak akan pernah terjadi. Sementara ini, selama menunggu rencana Aileen, aku punya dua pilihan. Menjadi cewek yang nggak disukai Bara, atau menjadi cewek yang lebih disukai Bara. Aku mempertimbangkan kemungkinan dan resiko yang ada. 1. Cewek yang nggak disukai Bara. Itu artinya, aku harus selalu melanggar aturan dan membantah kata-katanya, kan? Empat bulan berpacaran dengan Bara, aku tahu Bara tidak senang saat aku membantah perkataannya. Tapi, bisa saja Bara bosan dan muak denganku karena aku selalu membantahnya, kan? Oh, tidak. Bara itu monster. Dia egois, dan semuanya harus sesuai dengan apa yang dia mau. Aku tidak yakin. Hanya



148



saja, aku terlalu takut membayangkan dan menghadapi resiko yang bisa saja terjadi padaku. 2. Cewek yang lebih disukai Bara. Sampai sekarang pun, aku bahkan tidak tahu alasan yang sebenarnya mengapa Bara mau berpacaran denganku. Seperti yang selalu Bara bilang, be a good girl, Nadia. Aku sudah berusaha menjadi pacar yang baik, manis, dan penurut. Lalu, hal lebih apalagi yang bisa kulakukan? “Nadia.” Aku tersentak. Menyadari bahwa sedari tadi aku tengah melamun. Aku menoleh ke arah Bara yang baru sama memanggilku. “Iya… Bar?” “Udah sampai.” Aku mengerjap, melihat ke arah luar mobil. Aku baru sadar kalau ternyata kami sudah sampai. Bara mengatakan, malam ini dia



dan



beberapa



teman-temannya



akan



merayakan



kemenangan besar mereka—dimana aku melihat dengan mata kepalaku sendiri betapa mengerikan dan bengisnya dia menghabisi semua musuhnya. “Oh… iya, udah sampai ternyata,” aku tersenyum kaku. 149



Tanganku sudah memegang gagang pintu dan hampir keluar sebelum Bara tiba-tiba menarik tanganku dan seperti biasa memakaikan jaket kulit hitamnya ke badanku. Aku kaget, saat menyadari Bara menatap mataku tajam, seraya tangannya meremas bahuku pelan. Susah payah aku menelan ludah saat matanya memicing, seakan mengamatiku dan menilai. “Nad.” “Iya… Bar?” Dia diam lagi. Ketenangan ini entah mengapa membuatku tegang. “Nggak ada apa-apa.” Aku baru bisa bernapas lega setelah dia melepas tanganku. Kupikir aku sudah melakukan kesalahan. Aku bahkan mulai berspekulasi kalau saja Bara tahu apa yang kurencanakan dengan Aileen. Kalau dia benar sampai tahu, maka habislah aku. Kami berdua keluar, demikian juga dengan keempat teman Bara—Brian, Rio, Arga, dan Cakra—yang rupanya sedari tadi mengikuti mobil Bara dari belakang. Kami baru saja sampai di sebuah gedung berlantai empat, di pinggir kawasan Jakarta Selatan. Aku tidak pernah ke sini sebelumnya.



150



“Tuan Puteri ikut juga nih ceritanya?” Cakra tersenyum miring mendapati kehadiranku di antara mereka. “Harus dong,” Arga membalas dari arah mobilnya, “Apa-apa sekarang si kesayangannya Bara kan harus ikut. Gue yakin Nadia juga pengen seneng-seneng hari ini. Iya nggak, Nad?” Arga tertawa sumbang, sengaja menyindirku. “Emang si Tuan Puteri bisa seneng-seneng juga?” Rio menambahi. Jujur aku marah. Selain karena aku yang tidak suka dipanggil dengan sebutan itu, aku kesal karena teman-teman Bara seakan senang menyebarkan minyak ke dalam kobaran api. Aku bahkan tidak pernah melakukan kesalahan pada mereka, tapi aku selalu merasa mereka tidak suka dengan keberadaanku. Sayangnya, aku bahkan tidak berani melawan mereka. “Kagak bakal bisa,” Brian yang paling terakhir turun dari mobil menghampiri kami semua, “Pawangnya bisa-bisa ngamuk.” Aku diam-diam melirik ke arah Bara yang menatap temantemannya dengan sebelah alis terangkat. Oh, kupikir dia akan marah. Dilihat dari ekspresinya, sepertinya mood Bara sedang baik. Mungkin karena beberapa hari yang lalu, Bara dan kelompoknya



berhasil



mendapatkan



kemenangan



besar. 151



Kemenangan yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Pengalaman yang sampai sekarang membuatku ngeri tiap kuingat. “Kali ini siapa aja yang dateng?” Arga beralih tanya. “Semuanya. Termasuk penguasa yang lain.” jawab Brian. “Bakal rame dong?” Rio tersenyum miring, “Kagak sabar gue. Gue pengen have fun malem ini.” “Gue juga,” Cakra menyahut, “Finally gue puas banget tuh para cecunguk dieksekusi tuntas. Bisa tidur tenang gue malam ini.” Kami berjalan menuju pintu masuk gedung. Dua pria dengan perawakan tinggi dan kekar menjaga depan pintu. Bisa kulihat tatapan mereka yang terkejut melihat kedatangan kami. Saat kami sudah tiba di hadapan mereka, mereka berdua menunduk sopan dan penuh penghormatan sebelum mempersilahkan kami masuk ke dalam. “Silahkan masuk, Mas Barata.” Bara mengangguk. Kami masuk ke dalam, melewati lorong panjang sebelum turun tangga, menuju lantai bawah yang menghubungan sebuah ruangan. Bara membuka pintu. Bau asap rokok menyengat, suara dentuman musik dan hingar bingar yang memekan telinga. 152



Begitu kami masuk, sorak-sorai terdengar, mengelukan nama



selatan dan nama Bara. “Barata! Barata! Barata!” Rio, Arga, Cakra, dan Brian yang dibelakangku ikut bersorak, menyambut uluran tangan dan high five orang-orang. Aku mengintip dari balik tubuh tinggi Bara. Jumlah mereka sangat banyak. Mungkin ratusan. Tidak hanya laki-laki, tapi juga ada perempuan seusia kami. “Congrats, Barata!” “Barata! Barata!” “As expected of Barata.” Di tengah sorakan mereka, kami berjalan membelah kerumunan. Bara beberapa kali menjabat beberapa orang, namun tak jarang dia hanya mengangguk, seakan tengah menikmati sorak penuh hormat yang memang layak ia terima. Di saat itulah, aku sadar tatapan orang-orang yang menatap ke arahku dengan penasaran, seakan-akan keberadaanku adalah hal yang aneh dan tak wajar. Aku paham betul apa yang ada di pikiran mereka saat ini. Barata dengan seorang perempuan. Perempuan sepertiku yang mungkin terlihat paling normal di antara mereka semua. 153



Merasa tidak nyaman, aku membenahi rambutku, sebisa mungkin membuat wajahku tak terlihat di antara orang-orang mengerikan ini. “Akhirnya lo dateng juga!” Aku melongok kecil dari punggung Bara. Kami sudah sampai di area lounge. Sudah ada ketiga penguasa wilayah lain. Mereka bertiga berdiri sebelum menjabat tangan Bara dan keempat lainnya. Aku hanya tersenyum saat berpapasan dengan mata mereka—keberadaan



mereka



sampai



sekarang



masih



membuatku waspada. “Eksekusi?” Nakula—penguasa wilayah timur—menyeringai ke arah Bara, sebelum disambut dengusan penguasa lain, “Salut gue. Lo berani eksekusi cecunguk sebanyak itu.” “Cuma Barata yang berani ambil resiko gede. Iya, nggak?” Galang—penguasa wilayah barat—melirik ke arah penguasa lain. Setelah itu, aku bisa melihat Ray yang berjalan ke arah Bara sebelum berbisik ke arahnya, entah apa yang mereka bicarakan. Pandanganku melayang ke arah orang-orang yang menikmati pesta. Bau rokok, alkohol, dentuman musik yang sangat menggelegar, seketika membuatku tidak nyaman. Tiba-tiba, 154



mataku bersitubruk dengan mata Aileen yang rupanya sejak tadi berdiri tak jauh dari kami. Kedua alisnya terangkat, seakan memberiku kode untuk ke sana. “Nad,” aku tersentak kaget, menyadari Citra tengah mengait lenganku, “Gue yakin lo nggak mau ganggu perayaan kemenangan pacar-pacar kita, kan?” Sebelah alisku terangkat bingung. Bara melirikku sekilas. Tidak ada ekspresi. Sepertinya tidak apa-apa kalau aku meninggalkannya sebentar. “Aku ikut sama mereka dulu ya, Bar?” kupaksakan seulas senyum, meminta persetujuannya. Dia hanya bergumam sebelum Nakula menariknya duduk di sofa. Citra menarikku ke area dansa. Di sana, aku bertemu Aileen dan Raisa—pacar Nakula. Aku baru tahu ternyata Aileen sudah kenal dengan pacar-pacar para penguasa. Tidak salah lagi! Aku yakin Aileen pasti bisa membantuku putus dari Bara! “Kita udah nunggu lo lama, Nad! Apa kabar?” Raisa berteriak, berusaha mengalahkan dengungan musik yang super keras. “Iya, baik!” seruku ganti, “Lo semua gimana?” “We’re fine!” jawab Raisa, “Congrats ya, Nad! Barata emang nggak ada tandingannya. Gue salut sama pacar lo!” 155



Bisa kulihat tatapan kagum dan hormat Raisa yang menatap ke arah Barata sepintas. Aku tersenyum dan mengangguk, walau pun kejadian malam itu—dimana aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, kejamnya dia dalam bertarung—masih membuatku bergidik. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Raisa dan Citra kalau tahu aku berniat mencari cara supaya bisa putus dari Bara. Apa mereka akan kaget? Apakah mereka akan menentangku? Atau malah mendukungku? Yang pasti, tidak ada yang boleh tahu keputusanku sementara ini. Demi keamananku. “Sekarang, mumpung lo sama kita, lo harus seneng-seneng di sini, oke?” Hah? Aku yang bingung sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi saat Citra dan Raisa menarikku ke tengah-tengah area orang-orang menari. Aileen hanya tersenyum seraya mengikuti orang-orang yang sudah berlonjak mengikuti irama musik. Aku yang kikuk hanya bisa tersenyum seraya menggerakkan badanku. Aku bukan tipe perempuan yang suka menghabiskan malam minggu di klab malam bersama teman-teman—kecuali karena Bara yang menyuruhku. Aku hanya bisa menggerakkan bahuku 156



secara tidak nyaman. Di sini terlalu ramai. Di sini terlalu bising. Tapi ini lebih baik ketimbang bersama Bara dan keempat penguasa lain yang bahkan sampai sekarang masih kutakuti. “Oops!” Aku tersentak saat menyadari sebuah punggung besar mendorongku. Aku agak terhuyung, tapi langsung berdiri begitu Raisa membantuku. Pandanganku terarah pada seorang lelaki berbadan besar yang baru saja menubrukku. Dia tersenyum meminta maaf. “Sorry! Lo nggak apa-apa?!” serunya, mengalahkan hingar bingar musik. Tangannya tiba-tiba meraihku, ikut membantuku berdiri. Dia bahkan sampai membenahi lekukan pakaianku. “Oh… iya… nggak papa, makasih.” Aku tersenyum dan berbalik. Tunggu dulu. Aku berbalik lagi, mengamati laki-laki barusan yang tak sengaja menubrukku dengan seksama. Badannya tinggi, memakai



hoodie



merah—dari



wilayah



timur—kelihatan



seusiaku, dan yang terutama, tidak terlihat semenyeramkan kebanyakan orang-orang di sini. Sesuatu terpikirkan di otakku.



157



Sesuatu yang gila, tetapi mungkin bisa memenuhi rasa penasaranku. “Permisi,” aku menyenggol pelan lengannya. Dia menoleh dengan kernyitan di dahinya, “Kaki gue… agak… linu…” Aku ragu-ragu mengatakannya. Entah dia akan mempercayai kebohonganku atau tidak. Tapi yang jelas, dari sudut mataku, aku tahu Bara diam-diam mengawasiku. “Oh! Gara-gara gue?” Dia menunduk, lalu berbisik di telingaku. Aku agak kaget karena jarak kami terlalu dekat. Tapi tidak masalah. Semakin dekat semakin bagus. “Kayaknya iya,” aku mengangguk meyakinkan, “Bisa minta tolong temenin gue ke toilet?” aku pura-pura meringis untuk membuatnya percaya. Sungguh tak terduga. Bisa kulihat raut penuh penyesalan di mukanya. “Oke.” Dia tiba-tiba merengkuh bahuku dan menuntunku yang berjalan



agak



terseok.



Aileen



menatapku



seakan-akan



menanyakan apa yang sedang kulakukan, sedangkan Citra dan Raisa sedang asik melonjak-lonjak. Aku dituntun ke area toilet. Suara musik lama kelamaan makin teredam. Aku menyenderkan punggung di dekat pintu toilet, 158



sambil berpura-pura meringis dan mengaduh. Ya ampun. Ini terlalu sempurna! “Aduh, sorry, gara-gara gue, ya? Kayaknya gue terlalu semangat tadi. Kakinya gimana?” “Uhm—udah mendingan,” aku tersenyum, merasa tidak enak karena melibatkan orang ini ke dalam ide gilaku, “Nggak apa-apa kok. Begini… udah mendingan,” ringisku. Semua terlihat semakin dramatis saat tiba-tiba orang ini berjongkok di hadapanku, memegang kedua kaki, “Kakinya mana yang linu? Atau perlu gue anter ke lounge area?” Tidak perlu. Begini saja cukup. Sangat cukup malah. Dan aku yakin dia sebentar lagi akan da— “Nadia?” Ini dia. Aku tahu suara ini. Suara dingin dan berat yang sudah kukenal selama berbulan-bulan. Ini suara Bara. Kuangkat wajahku. Benar apa dugaanku. Bara di sini, di hadapanku. Dalam kegelapan, dia muncul, menatapku dan lelaki yang tengah berjongkok di bawahku. Orang itu agak kaget saat menyadari tokoh utama pesta



perayaan malam ini berada di hadapan kami. Dia berdiri,



159



mundur beberapa langkah. Ekspresinya kelihatan ketakutan. Respon yang sudah kuduga sebelumnya. Terutama Bara. “Aku… tadi nggak sengaja tubrukan sama dia,” aku berusaha untuk bersikap tenang dan tetap tersenyum, walau pun tak bisa kupungkiri tanganku gemetaran menyadari rahangnya yang mengeras dan tatapannya yang menggelap, “Dia bantuin aku ke sini. Kakiku… agak linu soalnya,” lalu aku tersenyum ke arah laki-laki ini yang membantu, “Makasih, ya. Pacar gue udah di sini sekarang. Lo nggak usah bantuin gue lagi.” Wajah orang itu memucat, seakan-akan berkata pada dirinya sendiri bagaimana dia bisa tidak mengenaliku dan malah berurusan dengan orang yang paling ditakuti di sini. Tatapan Bara menajam seiring dengan kepergian laki-laki itu. Kini, perhatian Bara terpusat padaku. Ini dia. “Kenapa kamu bisa di sini?” Sudah kuduga. Dia akan berkata seperti ini. Alurnya bahkan terlalu mudah untuk ditebak. Aku tahu Bara akan begini. Kuberanikan diriku, menatap mata Bara lekat-lekat, lalu tersenyum manis. Kuraih tangannya sebelum kutangkupkan ke pipiku. 160



“Tadi… aku nggak sengaja nabrak dia, Bar. Aku dibantu ke sini. Kakiku agak sakit soalnya.” Bara mengernyitkan dahi, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya akan tindakan impulsifku ini. Aku yang biasanya, tidak pernah berbuat seperti ini lebih dahulu. Bara bahkan tidak berkata apa-apa. Tatapannya seolah menerkanerka kenapa aku begini. Aku tidak boleh berhenti sampai di sini. Kulepaskan tangannya, dan memeluk Bara. Aku menunggu responnya dalam diam. Jantungku berdegup kencang. Seluruh tubuhku diliputi ketegangan dan ketakutan akan kemungkinan terburuk bagaimana respon Bara akan tindakan impulsifku ini. Tapi sepertinya aku sudah salah besar. Bara tiba-tiba membalas pelukanku, dengan lebih erat. Dalam penerangan termaram, dan hanya ada kami berdua di sini. Kepalanya menunduk ke arahku, hidungnya berada di leherku, menghirup kencang udara di sana, seraya memejamkan mata. Dia bahkan mengecup tengkukku berulang kali, sebelum mendaratkan dagunya di sana.



161



“Nad, kalau lo penasaran gimana respon Barata, gue punya ide kecil buat lo. Menurut lo, gimana kalau si serigala yang ternyata terlalu terlena dan malah dimakan si kelinci?” Saran Aileen malam itu terlintas di kepalaku. Aku berusaha menyembunyikan senyum miringku di pelukannya. Malam itu, Bara tidak lagi membahas apa yang terjadi dengan kakiku. Tapi satu hal yang aku tahu, aku tahu bagaimana aku bisa lepas dari Bara.



162



DECEPTION



“Nadia.” Aku yang sudah sepuluh menit berada di balik bilik kamar mandi mengangkat wajahku, mendengar seseorang mengetuk pintu dan memanggil namaku. Kebiasaan yang selalu kulakukan saat-saat awal aku menjadi pacar Bara—sembunyi di bilik kamar mandi, berharap dia tidak akan menemukanku—walaupun usahaku selalu gagal total. Aku menghela napas sebelum membuka pintu, mendapati dua orang perempuan yang menatapku gusar dan waspada—tatapan yang selalu orang-orang tujukan padaku selama empat bulan ini, semenjak aku menyandang status sebagai pacar Bara. “Kenapa? Gue dipanggil Bara, ya?” Perempuan berambut pendek mengangguk, sedangkan yang berambut panjang meringis. “Lo… lo disuruh ke kantin sama Barata.” Aku tersenyum miris. Sudah kuduga. 163



“Hmm… sekarang?” “Iya, Nad,” suaranya bergetar saat menjawabku. Aku yang tak ingin membuatnya ketakutan tersenyum, “Oke. Makasih, ya.” Aku keluar dari bilik kamar mandi, melewati mereka berdua yang langsung menyingkir dan menghindar. Seperti biasa, tiap jam istirahat Bara menyuruhku untuk datang padanya, makan siang bersama dia dan teman-temannya—kebiasaan yang selama empat bulan ini selalu kulakukan. Seperti biasa, semua murid menatap ke arahku, beberapa menghindar saat hampir berpapasan denganku. Langkahku terhenti begitu aku hampir sampai di kantin. Aku memejamkan mata dan menghela napas panjang sebelum memasang senyum manisku—senyum terbaikku—sebelum berusaha sekuat tenaga untuk terlihat santai dan ceria di hadapan Bara. “Kesayangan lo udah dateng, tuh.” Cakra berkata begitu melihatku berjalan ke arah mereka, yang membuat Bara menoleh ke belakang—ke arahku. Aku bisa. Aku harus berani. “Hai, Bar.” 164



Perlahan aku duduk di sebelahnya—bangku kosong yang selalu dia sediakan untuk kutempati. Dengan hati-hati aku tersenyum. Rasanya aneh sekali. Selama berpacaran dengan Bara, aku tidak pernah menyapanya duluan. Selalu Bara yang memulai. Tapi aku harus berani. Ini harus kulakukan. “Dari mana?” Dia bertanya dengan sebelah alis terangkat. “Ya dari mana lagi, Bar. Biasalah, kebiasaan Tuan Puteri kan ngumpet di kamar mandi.” Celetukan Arga membuat ketiga teman Bara lainnya menahan senyum culasnya. Bara tidak merespon, seakan dia memang sudah tahu kebiasaan yang kulakukan selama empat bulan ini sebelum bertemu dengannya adalah sembunyi dari balik bilik kamar mandi—walau pun selalu gagal. Aku tidak boleh marah. Aku juga harus menahan ketakutanku. Aku harus fokus dan tenang. Aku yang biasanya selalu menunduk dan menunggu Bara mengeluarkan titah mutlaknya. Tapi kali ini, aku tidak akan menjadi Nadia yang dahulu. “Bar.” aku tersenyum semanis mungkin.



165



Bara yang baru saja menyuap dan mengunyah makanan bergumam tanpa melihat ke arahku. Dia terlihat lebih tenang dari biasanya. “Pulang sekolah kamu… ada waktu? Aku mau ajak kamu jalan.” Jantungku seperti diremas saat pertanyaan itu keluar dari mulutku. Aku tidak menyangka bisa menanyakan hal begini ke Bara. Ya ampun! Ini adalah sesuatu yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Teman-teman Bara bahkan sampai berhenti makan dan menatapku seakan aku bukanlah Nadia yang mereka kenal. Bara sendiri, akhirnya menoleh ke arahku. Tidak ada perubahan ekspresi. “Nanti pulang sekolah?” Aku mengangguk manis, diam-diam menelaah raut wajahnya. Dia tidak marah, tidak kelihatan senang juga. Seperti biasa, aku tidak bisa membaca suasana hatinya. “Iya, pulang sekolah. Kamu… mau, kan?” “Wah, ada angin apa, nih? Seorang Nadia ngajak jalan duluan?” Cakra berkomentar lagi. Kali ini punggungnya sudah bersender pada kursi, kedua tangannya terlipat di depan dada.



166



Teman-teman lainnya memicing ke arahku. Kecuali Rio yang diam menatapku sambil tersenyum miring. “Curiga nih gue. Ada maunya nih pasti kesayangan lo, Bar.” sahut Arga. Aku kesal. Tidak kusangka di hari pertama perubahan sikapku langsung menimbulkan tanda tanya besar pada teman-teman Bara. Kecurigaan mereka membuat degup jantungku berderu makin kencang. Aku hanya takut, jika teman-temannya saja sudah berpikir seperti ini, lalu bagaimana dengan Bara? “Kamu mau kemana?” Bara bertanya tanpa repot-repot menoleh ke arahku. “Hm… ada… ada tempat makan yang mau aku datengin. Kamu bisa kan, Bar?” “Ya, udah.” Oh? Saking tidak percayanya, aku bahkan sampai mengedipkan mataku berulang kali untuk memastikan penglihatanku. Ekspresinya terlihat biasa saja. Terlampaui biasa saja malah. Tidak ada ekspresi curiga, atau pun bertanya-tanya kenapa aku begini. Aku tidak menyangka, ini bahkan lebih mudah dibanding yang kubayangkan. 167



Sebenarnya, selama satu minggu ini, aku sudah memikirkan semuanya secara matang dan diam-diam. Insiden saat perayaan kemenangan Bara minggu lalu menyadarkanku akan perkataan Aileen.



“Nad, kalau lo penasaran gimana respon Barata, gue punya ide kecil buat lo. Menurut lo, gimana kalau si serigala yang ternyata terlalu terlena dan malah dimakan si kelinci?” Itu dia. Aku hanya perlu membuat Bara terlena denganku. Walaupun kedengarannya sangat mustahil—karena selama ini Bara berhasil membuatku selalu menurut padanya, mengingat dia egois dan keinginannya harus terpenuhi—tapi tidak ada salahnya mencoba, bukan? Aku bahkan sampai berkonsultasi dengan Aileen—kami bertemu diam-diam tanpa sepengetahuan Bara—dan katanya dia akan menyesuaikan rencanaku. Saat ini, yang perlu kulakukan hanyalah membuat Bara bertekuk lutut padaku. Saat pertama kali memikirkannya, aku sampai tertawa miris. Bertekuk lutut? Yang ada aku yang selama ini patuh, tidak pernah bisa membantahnya. Tapi setelah insiden di klab malam minggu lalu, melihat perubahan ekspresi Bara setelah aku 168



menyentuh dan memeluknya, saat itu kemarahan Bara reda dalam sekejap. Aku tahu bagaimana cara menaklukkan Bara. Setelah itu, Bara tidak akan mungkin bisa melukaiku atau melakukan hal-hal mengerikan setelah aku meminta putus padanya. Paling tidak, itu adalah rencana awal sementara aku menunggu rencana Aileen. Selama itu, aku harus memberanikan diri dan menahan segala ketakutanku, mendekatkan diriku ke Bara. “Barata.” Aku yang sedang meminum jus alpukat menoleh kecil ke arah beberapa siswa yang menghampiri kami, lalu berbicara serius dengan Bara dan teman-temannya. Pembicaraan mengenai



pertarungan yang tak ingin kuketahui. Selagi



menunggu



mereka,



aku



menundukkan



kepala,



memikirkan ide yang sudah kurencanakan setelah berkonsultasi dengan Aileen. Semalam aku sempat menelepon dia untuk menanyakan pendapatnya, apa ide gilaku ini adalah ide yang bagus.



“Jadi… maksudnya lo mau baikin Barata, Nad?”



169



Suara Aileen dari telepon malam itu tanpa sadar sudah membuatku mengangguk—walau aku tahu dia tak bisa melihatku.



“Iya… menurut lo gimana? Bakal berhasil nggak, ya? Atau malah bikin Bara tambah marah sama gue?” aku bertanya khawatir. Ada hening sejenak dari sana. Aku menunggu dalam diam, sampai akhirnya Aileen berkata, “Oke, Nad. Kalau gitu ini bakal



jalan sama rencana yang udah gue pikirin. You just need to be innocent. Kita bakal buat Barata nggak punya pilihan lain selain mutusin lo. Akhir minggu ini gue bakal ngomongin rencana kita. Gimana?” Aku tersenyum kecil, seakan menemukan secercah harapan, bahwa pada akhirnya mungkin memang ini saatnya aku bisa putus dari Bara.



“Oke, makasih ya, Leen. Gue nggak tahu mau gimana lagi kalau enggak ada lo.” Bisa kudengar suara senyumnya dari balik telepon, “No



problem, Nad. Emang udah tugas gue. Gue ikut seneng kalau lo akhirnya bisa lepas dari Barata.”



170



Malam itu, aku bahkan sampai tidak bisa tidur memikirkan rencana gilaku. Aku jadi was-was dan cemas. Aku melakukan sesuatu yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Pada Bara, yang notabenya orang paling kutakuti. Tapi melihatnya sekarang yang terlihat biasa saja, aku yakin rencanaku akan berhasil. “Si Tuan Putri ngapain ikut? Tumben?” Arga bertanya dengan sebelah alis terangkat, bersamaan dengan keempat lain yang langsung menoleh ke arah belakang—ke arahku yang dengan berani mengikuti mereka. Tiap jam istirahat kedua, Bara mengijinkanku untuk tidak menemaninya. Biasanya aku lebih memilih berdiam di kelas bersama Mika. Tapi kali ini beda. Aku tidak boleh menyianyiakan kesempatan untuk membuat Bara takluk padaku. Bahkan di saat aku harus merelakan kebebasanku di jam istirahat. “Kenapa? Emangnya nggak boleh?” tanyaku balik, agak berani dibanding biasanya. Aku sudah tidak peduli dengan pendapat teman-teman Bara. Opini Bara adalah prioritasku sekarang. “Biasanya lo kan pasti ngumpet di kamar mandi?” Cakra tersenyum menyindirku.



171



“Jangan gitu lah,” kali ini Brian menyahut, “Kesayangannya Bara kan cuma pengen sama pacar tercinta. Iya nggak, Bar?” Bara menoleh ke arahku tanpa ekspresi. Dia yang seperti ini membuatku berani untuk menggandeng tangannya. Aku tersenyum manis, berjalan beriringan dengannya menuju lapangan basket. Tiap jam istirahat kedua, mereka punya kebiasaan bermain basket di lapangan bersama teman-teman satu angkatan mereka. Bara menyambut genggaman tanganku lebih erat, lalu berjalan menghadap ke depan, membiarkan kami berdua menjadi tontonan menarik para murid yang sedang istirahat di area lapangan. Aku duduk di tangga penonton, mengamati Bara yang tengah berbincang dengan teman-teman sekelasnya—mereka semua sama-sama tengah mengenakan kaos basket khusus sekolah— sebelum siap bertanding. “Kamu mau di sini?” Bara bertanya seraya meminum botol minumannya. “Eh—iya. Aku mau nonton kamu,” aku tersenyum manis, “Mm… nggak apa-apa, kan? Atau kamu mau aku belikan minum?” 172



Ya ampun. Aku ini memang pacar yang super baik dan manis, kan? “Gue pesen cola,” Rio berseru dari arah samping kami. “Kalau gitu gue mau dipesenin bakso sekalian,” Arga menyahut dari samping kanan. Cakra tersenyum miring, “Gue bintang yang radler ya, Nad. Tuan Puteri emang terbaik, deh,” yang disambut tawa keempat teman Bara lain. Belum sempat aku menjawab, Bara buru-buru berbalik, lalu menatap teman-temannya. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan tapi aku bisa melihat punggungnya yang menegang. Temanteman Bara langsung bungkam, mendadak tersentak dan langsung mengalihkan tatapan. “Oops, sorry, Nad.” Brian tersenyum tidak ikhlas sebelum mereka berempat berjalan menjauhi kami ke arah kerumunan teman-teman Bara yang lain. Kenapa mereka begitu? “Kamu di sini aja.” Bara berbalik dan menaruh botol minumannya. Aku mengangguk, membiarkan dia dan teman-temannya yang lain bermain. Dari sini, aku mengamati Bara. Lalu pikiranku 173



melayang ke rencanaku dan Aileen, bertanya-tanya dan berharap, apa rencana kami akan berhasil, ya? “Nadia!” Aku terperanjat saat mendengar Bara meneriakkan namaku keras. Di saat yang bersamaan, tubuh tinggi dan besarnya sudah menutupiku, menghalau bola basket yang terlempar cepat ke arahku. Oh, gawat. Melihat sekujur tubuh Bara yang membeku, punggungnya yang menegang dan rahangnya yang menegang, aku tahu Bara pasti marah besar. Dia menatap penuh amarah ke salah satu teman satu angkatannya yang berdiri gamang. Tatapan bengis yang paling kutakuti, seakan dia ingin membunuh seseorang. Aku sudah sering melihat ini, dan aku tahu betul hal buruk apa yang bisa Bara lakukan. Aku yang panik cepat-cepat beranjak dan memeluk Bara dari belakang, menahannya berjalan ke arah temannya yang aku yakin tidak sengaja melemparkan bola basket ke arahku. Aku harus mencegah sebelum masalah besar terjadi. Aku hanya tidak ingin orang lain menjadi korban karena aku. Bara itu monster.



174



Dia bisa saja menghabisi temannya di sini, di depan banyak orang, hanya karena orang itu tidak menyenangkan hatinya. “Bara…” lirihku pelan, merasakan sekujur tubuhnya yang tiba-tiba membeku. Dia menoleh kecil ke arahku. Aku memaksakan diriku untuk tersenyum lagi, senyum polos dan tulus kepura-puraanku, lalu menarik lengannya pelan agar dia melihatku. “Aku nggak apa-apa, sayang. Nggak luka sama sekali. Kamu sendiri nggak apa-apa? Ada yang sakit?” kubuat suaraku selembut dan seperhatian mungkin. Aku bahkan sampai purapura mengecek tangan, bahu, dan wajahnya, apakah ada luka di sana. Diamnya Bara membuatku makin berani menangkup kedua pipinya, mengelusnya pelan dengan jemariku. Jantungku berdegup kencang, menanti responnya. Tiba-tiba, rahangnya meregang dan tatapannya melunak. “Sayang?” aku memanggilnya lagi. Dia memejamkan mata, menyentuh kedua tanganku yang menangkup pipinya, seakan-akan merasakan apa benar tanganku berada di sana. Dua detik kemudian, matanya terbuka. “Aku nggak apa-apa,” bisiknya, “Nggak usah khawatir.” 175



Aku mengangguk kaku, “Kamu… lanjutin aja mainnya. Temen-temen kamu udah nungguin kamu dari tadi,” bisa kulihat dari ekor mataku mereka menatap penuh waspada ke arah kami, “Aku bakal duduk di tangga paling atas, biar enggak kena bola lagi.” “Jangan terlalu jauh,” pesannya. Aku mengangguk, “Oke.” kusempatkan untuk menyeka keringatnya sebentar sebelum berbalik naik ke anak tangga duduk paling atas, menyaksikan kembali pertandingan mereka. Mereka bermain lagi, walau aku tahu teman-temannya pasti bertanya-tanya. Astaga. Aku tidak percaya ini. Aku baru saja menghentikan masalah besar yang hampir terjadi. Lebih-lebih melihat Bara yang kembali bermain seakan-akan dia tidak mengingat hal buruk apa yang hampir menimpaku, membuat semua orang di lapangan tertegun.



176



DEEPER



“Dari kemarin, anak-anak kenapa lihatin lo terus ya, Nad? Apa cuma perasaan gue aja?” Mika bertanya padaku tepat setelah jam pelajaran terakhir berakhir, menyadari sejak dua hari yang lalu, para murid selalu menatap ke arahku semenjak kejadian itu. Kejadian di mana aku yang menghentikan keributan besar yang hampir terjadi. Seraya memasukkan semua buku dan alat tulisku ke tas, dari ekor mata aku bisa melihat teman-teman satu kelas yang tak berhenti menoleh ke arahku, ditambah para murid dari kelas lain yang dengan gamblang mengintipku dari balik jendela kelas. “Lo bener Mik,” sahutku seraya menghela napas, “Mereka ngelihatin gue.” “Loh, kenapa? Ini soal… Barata?” Aku tersenyum kecut, “Gitu, deh.”



177



“Ada apa? Lo… lagi buat masalah sama dia, Nad?” Mika bertanya dengan raut muka khawatir. “Masalah besar,” aku menahan senyum melihat wajah Mika yang memucat mendengar perkataanku. Setelah itu, aku menceritakan semuanya, semua hal yang kulakukan pada Bara, dan apa yang terjadi setelah itu di lapangan—tentu saja aku merahasiakan alasanku melakukan itu semua. Mika menggaruk kepalanya, “Jadi gitu… aneh juga, sih. Gue paham sekarang kenapa temen-temen lain ngelihatin lo kayak begitu,” Mika melirik ke arah teman-teman sekelasku yang menoleh ke arahku sebelum keluar kelas, “Selama ini yang gue tahu ya, Nad… Barata dan temen-temennya nggak pernah tinggal diam kalau ada yang sampai ganggu mereka. Sekecil apa pun masalah yang mereka bikin.” Nah, itu dia. Saat itu aku bahkan sampai duduk melongo memperhatikan Bara diam-diam. Tingkahnya yang terlalu tenang dan biasa saja sempat membuatku bergidik. Bara… bukan Bara yang kukenal. Atau mungkin rencanaku yang berhasil, ya?



178



“Tapi setelah denger cerita lo… Barata mungkin… berubah jadi lebih baik?” Aku hampir tertawa mendengar nada Mika yang terdengar tidak yakin. “Kayaknya nggak mungkin, deh.” komentarku. “Mungkin aja… Ini pertama kali gue denger Barata nggak ambil tindakan sama orang yang ganggu dia lho, Nad. Asal lo tahu aja. Dulu sebelum lo pindah ke sekolah ini, pernah ada kejadian Barata yang mukulin kakak kelas gara-gara cuma nggak sengaja numpahin minum ke baju dia. Habis itu, nggak tahu kenapa si kakak kelas nggak pernah dateng lagi ke sekolah. Sama sekali nggak ada yang tahu keberadaan dia.” Aku menggelengkan kepala mendengar cerita Mika. As



expected of Barata. Bara tidak pernah bisa mentolerir hal kecil yang mengusiknya. Apa pun itu. Mika tidak tahu saja, hal mengerikan apa saja yang bisa dia dan anak buahnya lakukan di luar sekolah. “Dan setelah denger kejadian yang barusan lo ceritain, Nad… gue bener-bener nggak nyangka. Barata yang gue tahu, paling nggak itu kakak kelas pasti udah babak belur. Apalagi… dia hampir ngelempar bola ke arah lo.”



179



Mika benar. Bara yang kukenal pasti tidak akan berpikir dua kali untuk menghabisi temannya—hanya karena dia tidak sengaja melemparkan bola basket ke arahku. Saat itu, aku masih ingat betul, ekspresi mengerikan Bara yang sudah siap menghabisi temannya. Lalu tubuhnya yang tiba-tiba merileks saat kuulurkan tanganku memeluknya, aku mendapatkan suatu kesimpulan. Aku dapat mengendalikan Bara. Saat itu, saat aku tiba-tiba memeluknya dari belakang, aku sudah siap akan responnya yang menepis tanganku, atau bahkan lebih parahnya dia bisa saja mendorongku sampai aku terjungkal ke tanah. Tapi itu semua tidak terjadi. Empat bulan berpacaran dengannya, aku baru sadar Bara sangat attached dengan



skinship—bila diingat dia selalu mengulurkan tangannya padaku, mengusap kepalaku, atau merangkulku. Apa itu artinya… Bara luluh dengan pelukanku? Aku menahan senyum. Aneh sekali rasanya menyadari hal ini. Selama ini, aku tidak sadar aku punya senjata andalan untuk menghadapinya saat dia marah padaku. Sekarang aku tahu bagaimana caranya mengendalikan situasi. Bukankah ini artinya rencanaku akan berhasil? 180



Paling tidak, di saat nanti aku memutuskan dia, Bara tidak akan bisa menolak atau menentang keputusanku—atau yang lebih parah dia tidak akan mungkin bisa marah atau berbuat kasar padaku. “Bagus, deh. Gue juga pengennya begitu. Dia jadi orang yang lebih baik,” aku tersenyum seakan memberikan harapan, walau dalam hati aku tahu itu tidak akan pernah terjadi. Mika mengangguk-angguk sebelum berdiri, “Yuk, pulang. Jangan lupa Senin ada laporan praktikum yang musti dkumpul.” “Udah selesai semua, dong.” Mika tidak tahu saja aku sudah selesai mengerjakan semua tugasku untuk besok Senin dan seterusnya. Bagaimana pun juga, aku harus mempertahankan nilaku untuk mendapatkan beasiswa—mengingat sampai saat ini Papa masih harus mengurus segala hutang-piutangnya di Singapura. “Bukan namanya Nadia kalau enggak rajin begini.” “Hehe.” Aku dan Mika adalah siswa terakhir yang keluar dari kelas. Seraya berjalan menuju parkir mobil, aku memikirkan cara apalagi yang harus kulakukan untuk membuat Bara luluh padaku. Dua hari yang lalu, setelah insiden bola basket, pulang 181



sekolah aku hanya sempat mengajaknya untuk makan di salah satu tempat makan pilihanku. Setelah itu kami pulang. Aku tidak sempat kepikiran apa-apa. Sekarang hari Jumat, hari terakhir kami sekolah dalam minggu ini. Karena besok—seperti biasa—Bara akan berkumpul bersama teman-teman satu gengnya, hari ini aku harus memikirkan sesuatu untuk membuatnya takluk padaku. Tapi apa, ya? “Gue pulang dulu ya, Nad.” “Oke, hati-hati, Mik!” aku melambaikan tangan ke arah Mika yang sudah berjalan menuju parkir motor. Aku berjalan ke arah mobil hitam Bara yang terparkir menyala. Aku tidak bisa melihat dia karena kaca mobilnya sangat gelap. Begitu membuka pintu, Bara tengah duduk di kursi kemudi dengan ponsel di telinganya. Dia melirikku sekilas saat aku masuk dan memasang sabuk pengaman. “Dua puluh… Ya,” alisnya mengernyit saat lawannya berbicara, “You have wrong timing, gue mau dua minggu lalu. Tunggu sampai umpannya selesai. Lo ngerti?” Setelah



itu



dia



memutus



teleponnya



sepihak



dan



melemparkan ponselnya ke dashboard depan, bahkan sebelum 182



aku mengetahui apa yang dia bicarakan—yang tentu saja tidak ingin kuketahui. “Kamu… udah nunggu lama, Bar?” tanyaku hati-hati. Ekspresinya yang tegang membuatku waspada. Oh, bagus. Aku yang terlambat menemuinya ditambah suasana hatinya yang sepertinya sedang tidak baik seakan memperburuk situasiku. Dengan jantung berdebar, secepat mungkin kugenggam tangan kirinya, lalu tersenyum manis, “Kamu nggak apa-apa? Lagi… ada masalah sama yang lain, ya?” Dia tidak menoleh. Tatapannya lurus ke depan. Aku menanti dengan harap-harap cemas. Lalu kekhawatiranku seakan terangkat begitu kurasakan tangannya yang menggenggamku balik. Dia hanya bergumam dan memejamkan mata. Entah apa yang dia pikirkan. “Oh, gitu. Kalau kamu mau… kita jalan-jalannya ditunda aja. Biar kamu selesaiin masalah kamu, Bar.” aku mencoba menjadi pacar yang pengertian. “Nggak perlu. Sisanya tinggal diurus yang lain,” aku tahu yang dia maksud adalah keempat temannya, “Kamu mau kemana?” Dia yang tiba-tiba membuka mata dan menatap dalam ke arahku membuatku sedikit terkesiap, “Eh… maksudnya?” 183



“Kamu bilang ada yang mau didatangin hari ini.” Aku berkedip salah tingkah mendengar suaranya yang pelan dan dalam—hal yang sangat jarang dilakukan Bara. Tumben sekali Bara mau meminta pendapatku. Biasanya, dia yang memutuskan segalanya, dimulai dari kami mau kemana, apa yang mau dilakukan, sampai makan dan minum pun dia yang tentukan! “Oh, iya. Ada tempat makan yang mau aku datengin. Aku dapat rekomennya dari Mika… temen sekelas aku… kamu ingat, kan? Aku pengen ke sana… sama kamu.” Aku tersenyum lebih lebar dibanding yang tadi. “Ya, udah.” Dia menyalakan mesin mobil lalu mengemudi tanpa melepaskan tautan tangan kami. Aku mengernyit bingung. Bara tidak



pernah



menggenggam



tanganku



saat



menyetir



sebelumnya. Ini sebaiknya kulepas atau tangan kami tetap seperti ini, ya? Kalau tiba-tiba kulepas, aku takut dia marah. Tapi kalau tetap seperti ini, bisa saja Bara salah menyetir lalu mobilnya jatuh ke jurang, kan?!



184



Sayangnya, dugaanku sudah salah saat dia membelokkan kemudi dengan memutar satu tangan. Oh, oke. Bara ternyata lebih pintar dibanding yang kupikirkan. “Kenapa?” “Hah?” aku mendongak. “Kenapa kamu?” Bara bertanya tanpa menoleh ke arahku. Aku baru sadar ternyata sejak tadi posisi dudukku sudah menyamping, menerawang ke arah tangan kami yang tertaut dengan tangannya yang memegang kemudi bergantian. Cepat-cepat kubetulkan posisi dudukku dan menggeleng. “Eh—nggak lihat kemana-mana, Bar. Cuma ngelamun…” aku meringis mendengar jawabanku sendiri. Dia tidak membalas perkataanku. Sore



itu,



aku



memutuskan



untuk



tidak



melepaskan



genggaman tangan kami, bisa saja tiba-tiba suasana hatinya berubah dalam sekejap. Kami menghabiskan waktu di dalam mobil



dalam



diam.



Kesempatan



ini



kugunakan



untuk



merenungkan ide gila yang membuatku penasaran sejak berbincang dengan Mika di kelas. Tentang bagaimana aku bisa mengendalikan suasana hatinya. 185



Kami sempat berganti pakaian sebelum menuju ke tempat makan yang ingin kutuju. Tempatnya agak jauh dari sekolah. Sebenarnya, Mika tidak pernah menyarankanku tempat makan ini. Aku sengaja memilih daerah yang cukup sepi—sebisa mungkin



aku



harus



menghindari



keramaian



untuk



meminimalisir bertemu dengan teman-teman atau anak buah Bara. Dan seperti yang kuharapkan, tempat makan ini cukup sepi. Sedikit sekali pengunjung yang datang, walau pun sebenarnya tempat ini punya dekorasi interior yang unik. Kami duduk di sebelah jendela, saling berhadapan. Bara bahkan tidak melepas topi dan jaket kulit yang selalu dia kenakan saat memesan. “Bar, kamu nggak lepas jaket?” aku bertanya setelah pelayan pergi membawa catatan pesanan kami. “Mau pakai?” dia bertanya balik, hampir melepas jaketnya. “Eh, nggak usah, Bar. Soalnya di sini lagi nggak begitu dingin. Aku kira kamu lupa lepas.” aku meringis. “Nggak, udah kebiasaan. Kalau kamu mau pakai, nanti langsung ngomong.” “Oh… oke. Makasih, Bar.”



186



Ponsel Bara bergetar. Saat dia tengah berkutat dengan ponselnya, aku menerawang ke arah luar jendela, memikirkan ide gila yang sedari tadi berputar-putar di kepalaku. Bukan rencana… hanya saja aku ingin melakukan percobaan apa betul aku memang bisa mengendalikan situasi dan suasana hatinya. Singkatnya,



aku



akan



menghancurkan



moodnya,



lalu



mengembalikannya ke semula. Gila, kan? Sebenarnya, aku agak takut memikirkan konsekuensi apa yang akan kuterima kalau Bara sampai marah. Tapi, mengingat dua kejadian yang pernah kualami akhir-akhir ini—saat pesta kemenangan Bara dan insiden lapangan basket dua hari yang lalu—aku jadi punya sedikit harapan kalau mungkin saja Bara tidak akan mempermasalahkan kelakuanku. Aku menarik napas panjang. Dia yang tengah fokus menelepon menoleh ke arahku. Seperti biasa, dia pasti sedang berbicara dengan anak buahnya. “Bara…” Dia hanya mengangkat sebelah alisnya. “Bar… bisa tutup teleponnya bentar, nggak?”



187



Hah! Aku tahu aku sudah gila. Walau pun aku pacarnya, Bara paling tidak suka kalau ada orang yang sampai menganggu bahkan menginterupsi saat dia tengah serius berbincang mengenai masalah kelompoknya. Termasuk pacarnya sendiri. “Apa?” dia bertanya seakan yang tadi kutanyakan tak dia dengar. “Kamu bisa tutup teleponnya bentar?” “Kenapa?” Oke, bagus. Melihat tatapannya yang menajam, aku tahu kalau aku sampai salah menjawab dia akan marah. Sekuat tenaga aku berusaha untuk terlihat biasa saja. “Makanannya mau dateng, Bar,” aku menunjuk pelayan yang baru keluar dari pintu dapur sedang berjalan menuju ke arah kami, “Makan dulu, ya? Nanti keburu dingin soalnya,” melihat dia yang masih memasang ekspresi sama, cepat-cepat aku menggenggam tangannya dan tersenyum memohon. Makanan sampai di depan meja, tapi Bara belum mematikan ponselnya. “Nadia,” ini dia… apa dia marah? “Kamu makan dulu kalau mau. Nggak perlu nunggu aku.” Oh?



188



“Bukan gitu… aku cuma…” hmm… aku berpikir keras memikirkan alasan paling masuk akal, “Cuma… mau makan sama-sama.



Kamu



nggak



mau?”



kueratkan



genggaman



tanganku. Dia menatapku sebentar sebelum berkata di telepon, “Gue hubungin lagi besok. Lanjutin rencana yang Brian omongin kemarin. As soon as possible,” lalu menutup telepon. Aku menghela napas. Super lega! Kupikir dia akan marah. Nyatanya, Bara sama sekali tidak mempermasalahkan, atau pun mengomentari perkataanku. Aku yang biasanya mana pernah berkata begitu. Dulu, aku pasti akan duduk diam menunggunya sampai selesai tanpa berniat menyela, lalu makan setelah dia makan. Yang begitu sudah jadi kebiasaan kami. Aku berasumsi, percobaan pertama berhasil. Oke, percobaan kedua. Aku akan melakukan hal yang lebih gila dari yang tadi. Tanganku yang terulur menuju gelas sengaja kupelesetkan. Aku baru saja berpura-pura menjadi ceroboh, menumpahkan minumanku ke arah Bara. Jus alpukat yang kupesan tumpah ke arahnya, airnya berceceran sampai ke bawah meja. Aku yakin pasti sampai mengenai celananya.



189



Jantungku rasanya seperti diremas melihatnya yang refleks mundur. Aku tidak berani melihat wajahnya. Takut! Kutahan gemetaran di tanganku untuk segera mengambil tisyu. Pura-pura aku bersikap panik dan memutar meja, duduk di sebelahnya, mengelap tangan dan celananya yang memang sedikit basah terkena tumpahan. “Sayang… maaf… aku nggak sengaja…” lirihku seraya menyeka air di tangannya, “Tangan kamu nggak apa-apa, kan?” “Nadia…” “Maafin aku, sayang… aku nggak sengaja tadi. Kayaknya tanganku kepleset. Dingin airnya?” kukeluarkan senjata andalan yang sejak tadi kutahan. Kugenggam tangannya, sisi yang terkena bekas tumpahan kuelus lembut dengan jemariku. Aku bahkan sampai mengapit lengannya, lalu menyandarkan kepalaku ke bahunya seraya sibuk membelai tangannya. Lalu tiba-tiba, reaksinya sama sekali tak kuduga. Bara mengambil tanganku, lalu dibawanya menuju bibirnya. Saat aku mendongak, mata kami bertemu. Dia mengecup tanganku, membuatku merasakan hangat bibirnya yang mengenai kulitku. Aku terperangah dalam sekejap.



190



“Lain kali hati-hati, Nadia,” katanya pelan, “Bisa aja airnya tumpah ke kamu.” Aku berkedip cepat. “Kamu nggak apa-apa? Kamu… nggak marah aku tumpahin minum ke kamu?” “Minumnya bisa beli lagi. Nggak usah khawatir kalau habis.” Bara sepertinya tidak menangkap poin yang kutanyakan. Tapi walaupun begitu, reaksinya tetap membuatku takjub. Dia sama sekali tidak marah atau pun mengancam karena aku membuat masalah. Bara yang biasanya pasti akan marah dan mengatakan



Be a good girl, Nadia dan menuntutku untuk menjadi gadis yang manis. Apa perhatian dan sentuhan yang kuberikan memang punya efek khusus untuknya, ya? Aku yang masih merasa bersalah padanya mengambil tisyu lagi dan mengelap tumpahan air di sisi meja. Tapi tangannya dengan cepat mencengkeram dan menghentikanku. “Nggak usah dilap. Biar aku panggil pelayan.” katanya. “Makasih, Bar.” Tidak



kusangka,



Bara



bisa



menjadi



begitu



sabar



menghadapiku. Tanpa repot-repot marah padaku pula! Sebagai percobaan terakhir, aku bahkan sampai berpura-pura tidak 191



sengaja menyandung ponselnya hingga jatuh ke lantai—yang untungnya tidak pecah. Tapi dia tetap tidak marah. Wajahnya biasa saja. Selama kami di luar, dia mengatakan kalau ingin berjalanjalan sebentar. Langit sudah gelap. Tangan kami saling bertaut saat berjalan beriringan. Aku hanya diam. Pikiranku kemanamana. Sebenarnya, kebaikan Bara sedikit membuatku takut. Rasanya aku seperti menunggu bom atom yang siap meledak— mengingat aku pun sering tidak bisa menebak isi hatinya. Tapi di lain sisi, aku berasumsi ketiga percobaanku hari ini berhasil. Sikapku yang berubah total menjadi lebih manis dan perhatian dan mengendalikan amarahnya. Kenyataan bahwa hari ini kami melewati waktu seperti pasangan normal juga mengejutkanku. Aneh. Rasanya aneh sekali. “Dingin?” Bara menggenggam tanganku lebih erat. Tangan besarnya yang hangat begitu terasa di tanganku yang dingin. “Lumayan…” Dan seperti yang sudah kuduga, dia melepas jaket kulit kedodorannya sebelum memakaikannya ke tubuhku. “Nadia. Kita pulang aja. Tangan kamu dingin.” Aku mengecek jam tangan. Sudah pukul sembilan. 192



“Oke, Bar… ini juga udah malem.” Di dalam mobil, kami tidak berbicara sepatah kata pun. Aku terlalu sibuk berpikir dan mencerna yang terjadi sepanjang sore hingga malam ini. Banyak yang kupertimbangkan dan yang membuatku bertanya-tanya. Sampai aku tidak sadar mobil sudah berhenti di depan rumah. “Nadia, udah sampai.” “Hah? Oh, iya. Udah sampai ternyata. Makasih, ya… Aku seneng hari ini bisa makan sama kamu, Bar.” Bara hanya bergumam. Aku buru-buru membuka sabuk pengaman dan mengucapkan salam perpisahan sampai dia memanggil namaku kembali. “Nadia. Aku mau ke kamar kecil.” Butuh



beberapa



detik



mencerna



perkataannya.



Dia



mematikan mesin mobil dan ikut melepas sabuk tangannya dan turun dari mobil—bahkan sebelum aku mengijinkannya. Kami masuk ke dalam rumah setelah aku membuka kunci. Aku baru sadar kalau Bara pertama kali masuk ke dalam rumahku. “Kamar mandinya di sebelah dapur, di belakang tangga, Bar.” kataku setelah menyalakan lampu ruang tamu.



193



Dia tidak berkata apa pun sebelum berjalan melewatiku, masuk ke dalam kamar mandi. Sebelumnya, tidak ada satu pun teman yang pernah main ke rumah. Mengetahui Bara—yang notabenya pacarku sedang berada di sini… rasanya canggung dan aneh. Aku jadi gelisah sendiri, entah kenapa. Aku yang tiba-tiba merasa kikuk segera berjalan menuju dapur, mengambil gelas dan air minum dari galon. Sampai tibatiba sebuah sentuhan kurasakan pada kulitku. Bara sudah berdiri di belakangku. Dalam kegelapan, kedua tangannya meremas bahuku, seperti tengah menahanku untuk berbalik. Hangat napasnya berhembus menerpa sisi permukaan wajahku. “Bar…” Bara hanya bergumam pelan menanggapi, pelan sekali sampai aku yakin gumamannya hanya bisa didengar dari jarak sedekat ini. Satu tangannya berpindah menyentuh punggung tanganku, sebelum wajahnya terbenam di leherku dan mengecupnya berulang kali di sana. Lembut sekali. Aku yang berada di posisi ini sama sekali tak berkutik. Tak sanggup bergerak barang sedikit pun. Tanpa sadar, deru napasku sudah mencepat, beriringan dengan deru napasnya yang tepat mengenai daun telingaku. 194



“Bara…” “Nadia…” Bara mengangkat wajahnya dan menangkup kedua pipiku. Tubuhku membeku. Dia menatapku sangat dalam. Tatapannya yang gelap dan penuh arti seakan membuatku tersesat di sana. Aku seperti kehilangan pegangan. Lalu saat bibirnya menyentuh bibirku, aku yang terbuai memejamkan mata, menikmati sapuan bibirnya yang terasa panas dan basah. Bara… tidak pernah menciumku selembut dan seintim ini sebelumnya, sampai-sampai membuatku lengah. Lengah akan sentuhannya yang membuatku membuka mulut, membalas ciumannya.



195



NADIA’S SCHEME



“Apa gue bilang? Itu si Zero kayaknya dari dulu nyari masalah mulu sama kita-kita.” Cakra berdiri seraya mondar-mandir, menatap keempat temannya satu per satu. “Itu cecunguk nyiapin berapa pasukan?” tanya Brian. “Lebih banyak dari yang dulu. Gue denger dari mata-mata kalau kali ini kira-kira nyampe lima puluh.” Jawaban Cakra berhasil membungkam semua orang yang berada di sini. Aku hanya diam seraya menyesap jus alpukat di tanganku, menyaksikan mereka—yang seperti biasa—sedang membahas rencana kelompok mereka. Sudah setengah jam semenjak aku berada di sini. Seperti biasa, tiap malam minggu Bara akan mengajakku ke gedung basecamp yang juga merangkap sebagai klab malam ini. Rio bertepuk tangan dan tersenyum miring, “Lima puluh? Itu berengsek kayaknya makin banyak aja pengikutnya.” 196



“Ketuanya masih si Arsyad-Arsyad itu?” Cakra bertanya. “Infonya simpang siur. Ada yang bilang udah bukan, tapi ada yang bilang ini orang masih di belakang layar,” Brian—yang selama ini bertugas sebagai pencari informasi—menjelaskan, “Bar, gimana tanggapan lo? Apa rencana lo?” Bara menghembuskan asap rokok ke atas. Wajahnya mengernyit. Kelihatan tenang, namun tengah berpikir keras. “Berapa punya kita yang bisa dipakai?” Bara bertanya pelan. “Buat sekarang, sekitar tiga puluh.” Penjelasan Brian membuatku diam-diam menahan napas. Gila. Tiga puluh? Mereka bahkan sudah kalah jumlah— walaupun aku yakin sisanya bisa dihabiskan Bara seorang diri. Tapi, setahuku selama beberapa kali aku mendengar informasi tentang kelompoknya, Bara jarang mau ikut terjun dalam pertarungan—selain jika memang lawan mereka punya kekuatan dan jumlah yang hampir sebanding. “Gue nyesel kagak kita eksekusi itu cecunguk dari dulu. Siapa yang tahu bakal bikin ulah begini?” Arga menggeleng seraya mendengus. Aku yang tengah mengaduk-aduk jus alpukat dengan tidak minat tanpa sengaja berpapasan mata dengan Aileen yang juga 197



menatapku—tersenyum ke arahku. Dia tengah duduk di sebelah Arga seraya menyenderkan kepala ke bahu pacarnya. “Lo bener, Ga. Harusnya tuh brengsek udah kita habisin dari dulu. Waktu itu kayaknya lo terlalu baik hati, Bar.” Rio melipat kedua tangannya di depan dada. Bara menaikkan sudut bibirnya kecil, tersenyum masam. Aku tahu dari ekspresinya, dia kelihatan sangat tidak suka dengan kondisi yang mereka hadapi kali ini. Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dari cerita yang kudengar, sepertinya kelompok bernama Zero yang dulu pernah membuat masalah dengan kelompok Bara muncul kembali. “Mereka bukan tandingan kita.” kata Bara. “Tapi jumlah mereka makin nambah, Bar. Rio bener. Kadang lo terlalu baik hati sama mereka. Lo bukannya numpas habis, tapi lo malah sisain mereka. They’re back for revenge now.” Brian menjelaskan dengan perlahan, tidak ingin membuat Bara marah. “Brian, lo pikir kita semua nggak bisa numpas mereka?” Bara bertanya



sama



pelannya,



dengan



nada



tajam



dan



mengintimidasi, yang membuat mereka semua bungkam. Diam-diam aku tersenyum miring. Bara baik hati? Oh, itu adalah salah satu kalimat ajaib yang tak pernah kubayangkan 198



sebelumnya. Jika topik ini saja disebut baik hati, lalu bagaimana dengan perbuatan buruknya? Aku tidak perlu membayangkan lagi untuk mengingat semua hal mengerikan yang telah dia lakukan pada lawan-lawannya. “Mereka kagak bakal kapok. Kita eksekusi pun tuh para cecunguk juga bakal nongol lagi.” Cakra membuka suara setelah keheningan yang cukup lama. Brian menghela napas, “Oke. Sekarang apa rencana lo, Bar? Gue bisa cari info ke underground yang lebih dalam. Gue pastiin kita bakal tahu rencana mereka. You have my words. Lo tahu sendiri gue yang paling ahli soal beginian, bahkan lebih dari tiga penguasa yang lain.” Bara memejamkan mata sebelum berkata, “Gue mau semua info terkumpul. Lengkap. Setelah itu, kita susun strategi. Kayak yang semua lo mau, gue ijinin eksekusi.” Titah Bara mengakhiri perbincangan mereka. Keempat teman Bara lainnya mengangguk, beberapa menghela napas puas. Aku yang sejak tadi mendengarkan mereka menghembuskan napas diam-diam. Akhirnya selesai juga. Aku jadi tidak perlu mendengarkan rencana mengerikan mereka lagi.



199



Aku bahkan sampai sekarang masih tidak paham kenapa Bara mengijinkanku duduk bersama-sama mereka—di saat mereka tengah berdisuksi penting mengenai pertarungan. Apa Bara tidak khawatir suatu saat bisa saja aku membocorkan rencana atau ide ke lawan mereka—walau pun aku tidak berani melakukannya. Baru-baru ini, aku juga menyadari kalau aku adalah satusatunya perempuan biasa yang menjadi pacar dari antara empat penguasa. Pacar para penguasa lain—Bella, Citra, Raisa— ternyata punya background sama seperti mereka. Yang artinya, mereka juga orang berbahaya, walaupun perempuan. Aileen bahkan punya kemampuan bela diri dan sudah tidak asing dengan dunia gelap. Aku tidak heran kalau dia bisa jadi pacar Arga. “Dry martini, French Martini, Mojito, Sunset Rum, Absolut



from Swedish—kesukaan Mas Barata, dan terakhir, jus alpukat seperti biasa untuk Mbak Nadia.” Seorang pelayan klab menghampiri kami dan meletakkan masing-masing minuman beralkohol yang sudah kami pesan untuk yang kedua kali. Aileen memesan minuman sama dengan Arga, Bara seperti biasa memesan vodka kesukaannya, dan di sinilah aku. Jus alpukat dengan kadar alkohol nol persen. 200



“Jus alpukat as always?” Rio mengomentari pesananku dengan senyum miringnya. “Kasian amat lo, Nad. Sekali-kali nyoba Mojito mau? Nih gue kasih,” Cakra berinisiatif memberiku gelasnya yang masih belum diminum ke arahku sebelum Bara tiba-tiba menyeka dengan tangannya. “No alcohol for Nadia.” Bara berkata mutlak. Arga mendengus dan menyeruput minumannya, “Kenapa? Emang favorite apa nggak dibolehin sama pacar?” Bara memang tidak pernah menanyakan apakah aku mau minuman



seperti



yang



mereka



minum



dan



langsung



menentukan apa yang boleh dan tidak untukku. Walau pun begitu, aku bersyukur karena aku tidak suka minuman beralkohol. Apa pun jenis dan berapa pun kadar kandungan alkoholnya. “Gue… nggak suka alkohol.” aku tersenyum, menyadari Bara melirikku. “Aw, what a good girl. Tapi sekali-kali coba aja, punya gue kadarnya nggak nyampe sepuluh persen malah. Iya kan, sayang?” Arga bertanya pada Aileen yang mengangguk dan tersenyum kecil ke arahku. 201



Aku melirik ke arah Bara yang baru saja menaruh minumannya sebelum mengambil dan menghisap puntung rokoknya. Melihatnya yang lengah, cepat-cepat tanganku terulur mengambil gelas Bara dan menyesapnya sedikit, merasakan rasa manis yang berubah cepat jadi pahit. Teman-teman Bara tidak bisa



menyembunyikan



keterkejutan



mereka



melihat



kenekatanku. Bara yang sadar langsung menyambar gelas dari tanganku dan menaruhnya ke meja dengan kasar, sampai-sampai isinya tumpah. Dia mencengkeram tanganku. Aku tahu dia pasti marah dan sebentar lagi mengamuk. Tapi sebelum itu terjadi, aku yang tahu



cara



mengendalikan



situasi



segera



menggenggam



tangannya balik dan mengernyit. “Nadia—” “Pahit juga ya, Bar… ternyata enggak enak…” komentarku pelan dan hati-hati, “Ternyata begini toh rasanya…” aku menjulurkan lidah dan menggelengkan kepala, menunjukkan kalau aku kapok meminumnya, “Aku nggak mau minum kayak begitu lagi.” Aku memejamkan mata, menarik lengannya dan menaruh kepalaku di sana. Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, 202



tindakanku ini berhasil menahan amarahnya. Bara tidak berkata apa-apa lagi. Tangannya berada di pipiku, mengelusku pelan. Aku diam seakan menikmati sentuhannya. “Anjrit!” aku bisa dengar umpatan pelan Cakra. “Mimpi apa gue semalem lihat beginian.” itu suara Brian. “Pengen muntah.” Kubuka mataku sedikit dan melihat Rio yang tengah berpurapura mual dan mau muntah. Brian menggelengkan kepala, Aileen bahkan sampai menutup mulutnya yang menganga. Mereka pasti terkejut melihatku yang menjadi manja begini. Aku yakin pasti di mata mereka tingkahku yang begini pasti terlihat menjijikkan. Aku tidak akan kaget kalau mereka sampai membalik mejja melihatku begini. “Pahit?” Bara bertanya pelan, masih mengelus pipiku. “Banget. Mm… Nggak mau lagi minum begituan.” aku mengernyit untuk menunjukkan kalau aku jera. “Jangan minum yang begitu lagi. Ini buat pertama dan yang terakhir.” tandasnya. Aku mengangguk dan membuka mata, langsung berhadapan dengan matanya yang menatapku lamat-lamat. Ditatap dari jarak sedekat ini, aku merasa canggung bukan main. Apalagi aku 203



bisa merasakan deru napasnya yang mengenai mukaku. Dan melihat bibirnya sedekat ini… aku teringat malam kemarin. Aku melepaskan diri, tanpa berani memandang Bara. Entah kenapa pikiranku campur aduk. Rasanya… tak bisa kujelaskan. Memori kemarin dan keberadaanku yang sedekat ini dengannya bercampur jadi satu. Jari kelingking kami yang saling bersentuhan seakan membuatku terpaku. Kulirik Bara yang rupanya sudah ngobrol dengan



Rio.



Kelingkingnya



bergerak-gerak,



sampai



menelungkup kelingking kananku. “Lo jadi mau ngundang siapa aja, Bar?” “Not many. Yang gue kenal aja. Anak buah, tiga penguasa, and



a bit more.” Aku menjauhkan tanganku darinya dan mengambil jus alpukat kedua yang kupesan, mengaduknya sebelum kuminum, sambil mendengarkan percakapan mereka. “Kapan mau dibikin partynya?” Arga yang duduk di seberang kami menimbrung mereka. “Minggu depan, Sabtu.” Bara lalu menyebutkan salah satu hotel rooftop bintang lima kawasan Jakarta Selatan.



204



Aku mengernyit, bingung ke arah mana pembicaraan mereka. Bara mau mengadakan pesta kemenangan lagi? “Gue bisa pesenin tim keamanan kalau lo mau, Bar. Jangan sampe kasus tahun lalu keulang lagi,” Brian yang duduk di sebelah Rio berdiri sambil mengangkat minumannya, “Lo kagak mau kan kalau para tikus jalanan ngerusak party ultah lo lagi?” Oh. Aku menoleh ke arah Bara. Bara ulang tahun? Setelah kuingat-ingat lagi, tanggal akhir bulan ini memang ulang tahun Bara. Dulu saat awal-awal kami berpacaran—saat hubungan kami tidak seaneh ini—aku sering menanyakan beberapa hal personal padanya, termasuk kapan dia ulang tahun. “Gue serahin sisanya sama lo. Lo urus semua yang belum beres.” Bara berkata, namun nadanya lebih condong ke perintah dibanding meminta. “Oke. Serahin aja ke gue.” Brian mengangguk setuju. “Kamu datang, kan?” “Hah?” aku yang kaget mendengar bisikan Bara tepat ke depan telingaku langsung terperanjat, “A… apa?” “Kamu Sabtu datang?” suara Bara yang pelan lebih terdengar seperti ancaman dibanding pertanyaan.



205



Aku tersenyum manis, “Dateng… ulang tahun kamu aku pasti dateng, Bar.” Walaupun dalam hati aku sudah memikirkan alasan apa yang akan kupakai untuk tidak hadir di acara ulang tahunnya. Bukan apa-apa, hanya saja berada dalam kumpulan



orang-orang berbahaya seperti mereka ini sering membuatku gelisah. “Nanti biar Brian atau Rio yang antar kamu ke hotel.” “Kamu nggak bisa jemput, ya? Aku bisa naik gojek jadi nggak perlu ngerepotin mereka.” Lebih baik aku datang sendiri dibanding harus dijemput salah satu temannya. “Nggak. Kamu nggak boleh datang sendiri. Harus mereka.” “Kenapa, Bar?” tanyaku hati-hati. Bara mengernyit. Matanya berubah tajam saat menyesap minumannya, “Bahaya.” setelah itu dia diam, seakan tidak ingin melanjutkan lagi. Oke, bagus. Empat bulan bersamanya sudah membuatku cukup tahu. Bara yang seperti ini tidak ingin dibantah. Suasana hatinya sedang buruk. Biasanya, kalau dia seperti ini, keempat temannya pun tidak ada yang berani kenapa-kenapa dengan dia sementara waktu, sampai dia tenang.



206



Tapi kuberanikan diri untuk menelusupkan jemariku ke jemarinya, menggenggam tangannya. Aku tersenyum kecil saat dia menoleh ke arahku. “Oke… aku ngerti… aku paham. Aku… juga nggak mau kamu khawatir, Bar.” Aku berusaha untuk menjadi pacar yang baik hati dan pengertian. Tapi… entah kenapa kali ini berbeda dari biasanya. Yang berbeda adalah diriku. Entah mengapa… ini bukan paksaan atau kebohongan belaka. Aku benar-benar



tidak ingin



membuatnya khawatir—mengingat memang betapa bahayanya di luar sana. Bara menatap tangan kami yang bertaut. Cukup lama. Seakan mengamati, apa benar tangan kami sedang saling menggenggam seperti ini. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Tapi melihat sudut bibirnya yang tiba-tiba terangkat, aku terpana. Bara… tersenyum? Oh. Ini pemandangan yang jarang sekali kutemukan. Tapi… kenapa dia tersenyum? Aku mengalihkan wajahku saat wajahnya menoleh ke arahku. Entah kenapa, lagi-lagi aku tidak berani menatap matanya. Bukan karena takut, tetapi karena hal



lain. 207



Kutarik tanganku, lepas dari genggamannya. Aku berdiri, “Aku… mau ke kamar mandi dulu.” aku tersenyum kikuk sebelum cepat-cepat pergi dari sana. Begitu sampai di toilet, aku memandangi pantulan diriku sendiri di cermin. Kacau. Kacau sekali. Bukan penampilanku. Tapi pikiran dan hatiku. Aku bahkan tidak tahu mengapa aku begini. Lalu pikiranku kembali ke malam kemarin. Malam dimana Bara menciumku. Bukan ciuman yang pertama darinya, tetapi aku tidak pernah merasakan yang seperti itu sebelumnya. Malam itu, sentuhannya lembut dan tidak buru-buru. Rasanya aku seperti kembali di saat awal-awal kami berpacaran… di saat aku belum tahu siapa dirinya… di saat kami masih menjadi pasangan



normal. “Nadia?” Pintu toliet terbuka. Aileen masuk ke dalam dan tersenyum. “Gue nyariin lo dari tadi. Ternyata lo di sini.” “Ada apa, Leen?” Aileen berjalan mengitari toilet, mengecek satu-satu bilik kamar mandi, apakah ada orang di sana atau tidak. Memastikan



208



tidak ada siapa pun di sini kecuali kami berdua, Aillen mendekatiku. “Kayak yang udah gue bilang, Nad. Gue mau ngomongin tentang rencana kita. Rencana biar lo bisa putus dari Barata.” Aku berkedip cepat. Mendadak jantungku seperti berhenti berdetak. “Oh? Sekarang?” “Iya. Mumpung kita sendiri di sini. Gawat kan kalau kita ngobrol di luar, terus salah satu dari mereka denger pembicaraan kita?” Aileen berkata pelan. Aku



mengangguk



kaku.



Masih



belum



mempercayai,



kesempatan akan datang secepat ini. “Terus… gue musti gimana?” “Kayak yang gue bilang, you just need to be innocent. Gue punya cara yang bisa bikin kalian nggak punya pilihan lain selain



putus.” Rasanya… aku tidak siap. “Oh… apa?” “Perselingkuhan.” Aku berkedip cepat. “Selingkuh? Lo yakin, Leen? Gue mau putus dari dia dengan cara baik-baik.” Kalau aku harus berpura209



pura selingkuh, yang habis adalah aku. Aku tidak bisa membayangkan kengerian pada ekspresi Bara saat melihatku bersama laki-laki lain. Entah apa yang akan dia lakukan padaku. Bisa saja aku sampai babak belur menghadapi amukannya. Aileen menggeleng dan terkikik kecil, “Bukan lo Nad yang selingkuh. Tapi Barata.” “Hah? Bara selama ini selingkuh?!” Aku yang kelihatan shock malah makin membuat Aileen tertawa. “Bukan! Kita bikin Barata biar kelihatan selingkuh. Sabtu minggu depan, di party ulang tahun Barata, gue bakal bikin sesuatu yang bikin dia drunk dan sama cewek lain. Di situ, lo bakal dateng sebagai pacar innocent dia yang terkhianati. Lo tinggal playing victim dan minta putus dari dia.” “Apa ini… aman?” “Of course! Di sini dia yang kelihatan salah, Nad. Bukan lo. Gue yakin dia pasti nggak akan punya pilihan lain. Yang gue tahu dari Arga, Barata nggak akan ngelakuin apa-apa kalau dia udah ngelakuin kesalahan.” Aku termangu, mencerna ini semua. Ini terlalu mendadak. Rencana ini… bukankah terlalu terdengar berlebihan? 210



“Lo kenapa, Nad?” Aileen berjalan mendekat, “Lo… ragu-ragu, ya?” Aku tersenyum kecil. Banyak yang ada di pikiranku saat ini. Semua campur aduk, seakan melebur jadi satu dan pecahannya tak bisa kulihat. Aku terlalu memikirkan banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini dengan rencana kami. “Nad, lo sebenernya… ada perasaan nggak sih sama Barata? Maksud gue, kenapa dari awal lo mau pacaran sama dia? Atau mungkin lo baru tertarik sama dia? Nggak tahu ini perasaan gue atau bukan… tapi ngelihat lo tadi sama Barata—” Aku mundur, menyenderkan punggungku ke dinding toilet dan tersenyum getir, “Gue nggak mungkin pacaran sama orang yang nggak gue sayang, Leen.” Aileen terperangah, jelas dia kaget mendengar ucapanku. Kalimat yang bahkan tak pernah kuucapkan, bagaimana perasaanku selama ini pada siapa pun. Seakan-akan kututup rapat hanya untukku. Aku jadi ingat, saat pacar ketiga penguasa lain—Raisa, Citra, dan Bella—menanyakan bagaimana aku bisa berpacaran dengan Bara. Saat itu aku bingung untuk menjawab. Melihatnya untuk yang pertama kali di rumah sakit, saat aku menolongnya, saat dia 211



memberikan uangnya untuk menggantikan uangku di kantin, menolongku saat jatuh di tangga, atau mengijinkannya mengantarku, dan selalu melihatnya dari kejauhan… saat itu aku terlalu naif. Lalu semuanya terlambat. Saat aku sudah terikat dengannya, Bara bukanlah Bara yang seperti kukira. Dia berbahaya. Sangat berbahaya untuk disandingkan denganku yang terlalu biasa. Dunianya yang selamanya tidak akan pernah bisa kumasuki. “Jadi… maksud lo, lo—” Aileen kehilangan kata-kata, “Ya ampun, Nad. Gue kira selama ini… lo nggak ada perasaan apa-apa sama Barata. Gue pikir… Barata maksa lo jadi pacar dia,” aku menggeleng menyahuti dugaannya, “Berarti sampai sekarang… masih ada rasa itu?” Aku tersenyum getir menanggapi pertanyaannya. Aileen menghela napas, “Terus kenapa lo mau ikut rencana ini, Nad? Kenapa lo mau putus sama dia kalau lo selama ini… sayang sama Barata?” Aku memejamkan mataku, menahan gejolak rasa di hatiku. “Kita nggak baik buat satu sama lain, Leen. We’re not good for



each other. Kayak yang pernah lo bilang, tempat gue bukan di sini. Dunia gue bukan di sini. Dunia gue dan Bara terlalu beda. 212



Hubungan kami juga nggak sehat. Kadang… rasa sayang aja nggak cukup, kan?” Aileen tidak berkata apa-apa lagi, menatapku dengan pilu yang menyeka air mata, jatuh ke pipiku. “Nad… lo… yakin mau lanjut rencana ini?” Entah kenapa, emosiku bergejolak. Aku takut. Takut akan semuanya. Aku takut, pada dunia Bara. Pada dunianya yang gelap dan mengerikan. Pada kekerasan yang dia lakukan pada orang lain. Aku takut pada Bara yang bisa kapan saja melukaiku. Tapi yang lebih buruk, aku takut, di saat dia sudah melakukan hal yang buruk padaku… aku masih tetap menyayanginya. Aku menyeka air mataku, menatapnya teguh, “Ya… gue tetep lanjutin rencana ini, Leen. Gue ikutin rencana lo. Gue harus putus dari Bara.” Dan aku takut… kalau-kalau perasaan ini semakin besar, sampai membuatku terikat dan tidak bisa melepasnya, tidak peduli seburuk apa pun yang sudah dia lakukan, pada orang lain mau pun pada diriku sendiri.



213



MISSION: IMPOSSIBLE



Aku tidak pernah menyangka, akan datang hari di mana pada akhirnya aku bisa lepas dari Bara. Aku sampai tidak bisa tidur memikirkan rencana yang akan kulakukan malam ini. Aku akan putus dari Bara. Ironisnya, semua ini terjadi tepat di hari ulang tahunnya. Tidak kusangka, aku yang seorang pengecut malah dengan berani menghadiahinya sebuah perpisahan. Selama ini, aku sering bertanya-tanya. Akan jadi apa hidupku setelah lepas darinya? Aku membayangkan mungkin aku akan



sebebas dulu—sebelum berpacaran dengan Bara. Bebas berteman dengan siapa saja, bebas pergi kemana saja, bahkan bebas bersikap dan berkata apa pun tanpa harus takut dengan siapa yang kuhadapi. Lalu, bagaimana ya hidup Bara setelah putus denganku nanti? Aku tersenyum getir.



214



Aku tidak perlu memikirkannya lagi. Bagaimana pun, Bara akan tetap baik-baik saja tanpaku. Sampai sekarang aku bahkan tidak tahu mengapa dia mau berpacaran denganku. Kenapa dia mau bersamaku yang normal ini—berbeda sekali dengan pacarpacar para penguasa wilayah lainnya—dan juga apa saja yang dia lihat dariku sampai-sampai dia mau bersamaku. Apa sih yang kupikirkan? Benar, aku tidak perlu mengkhawatirkan semuanya. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Lebih baik seperti ini. Berpisah dengannya adalah jalan yang terbaik. “Tumben lo diem aja.” Suara Brian menghentikan lamunanku. Saat ini aku sedang duduk di kursi penumpang bersama Brian di sampingku. Dia menggantikan Bara yang tidak bisa menjemputku. Aku tersenyum kaku, berbicara dengan teman-teman Bara masih menjadi hal yang canggung untukku—walau pun aku sudah sering bertemu mereka selama empat bulan ini. “Nggak ada yang mau diomongin aja.” gumamku hati-hati. Padahal biasanya aku juga berdiam diri seperti ini. “Bawa kado apa lo?” Brian bertanya seraya dagunya menunjuk tas kertas yang kupangku dan kugenggam erat. 215



“Cuma… baju.” Aku membelikan Bara hoodie berwarna biru. Selama ini, aku sama sekali tidak pernah melihatnya mengenakan pakaian selain warna



hitam,



putih,



dan



abu-abu.



Mungkin,



hadiah



antimainstream sebelum berpisah dengannya adalah opsi yang bagus. Ini sesuatu yang bisa dikenang, kan? “Biru banget?” Brian tersenyum miring setelah mengintip



hoodie yang terlihat dari cela tas, “Setahu gue Bara nggak begitu suka biru.” “Mungkin setelah ini dia bakal suka warna biru.” aku tersenyum dengan berani, walau dalam hati sudah takut kalau hadiah terakhirku ini gagal. Brian tertawa sumbang, “Maybe. Tuan Puteri kan yang selalu jadi prioritasnya seorang Barata. Gue yakin kalau lo suruh Bara cium kaki lo, tuh orang pasti bakal dengan senang hati sujud di kaki lo.” Rasanya aku ingin tertawa mendengar lelucon Brian yang lebih terdengar menyindir ketimbang jenaka. Selama ini aku bahkan tidak berani membantahnya, bagaimana mungkin Bara bersikap begitu?



216



“Gue bukan Tuan Puteri.” entah sudah berapa kali kukatakan pada mereka kalau aku tidak suka sebutan ini. “Kenapa? Harusnya lo tersanjung dong, Nad. Lo jadi orang nomor satu di matanya Bara. Apa-apa sekarang lo. Semuanya tentang lo. Apa yang sebenernya udah lo lakuin ke Bara sih, Nad?” Memang apa yang sudah kulakukan pada Bara? Yang ada, apa saja yang sudah dia lakukan padaku selama ini. Aku merasa tidak pernah melakukan apa-apa. “Gue nggak pernah ngapa-ngapain Bara.” Lagi-lagi Brian tersenyum miring, “Awas aja, Nad. Bara itu kayak bom atom. Lo nggak akan bisa tahu kapan meledaknya. Termasuk gue sama lainnya.” “Gue tahu.” Aku melirik ke arah Brian yang menatap ke depan dengan tampang serius. Jantungku berdebar tak karuan. Entah kenapa ketakutan tiba-tiba menyergapku. Kami sampai di basement salah satu hotel bintang lima kawasan Jakarta Selatan. Begitu keluar dari mobil, aku mengikuti Brian melewati lobby depan ke gedung area belakang. Ada sebuah pintu masuk yang agak tersembunyi dengan pengawasan 217



lebih ketat. Beberapa penjaga dengan pakaian formal dengan badan besar menjulang tinggi mencegat kami. “Empat kosong lima tiga,” Brian bergumam pelan, “Rooftop sama Barata. Gue temennya. Ini ceweknya.” Beberapa penjaga itu melirikku sekilas sebelum memberi jalan dan mempersilahkan kami masuk ke akses gedung belakang. Aku yang bingung hanya bisa mengikuti Brian dari belakang. “Yang tadi itu apa?” tanyaku seraya menoleh ke belakang, sadar beberapa penjaga tadi juga tengah memperhatikanku. “Kode masuk. Bara ningkatin tim keamanan tahun ini.” Penjelasan



Brian



membuatku



makin



mengerti



begitu



mendapati banyak penjaga di dalam lobby belakang. Mereka berdiri di semua sudut ruangan seakan berjaga. Aku tidak menyangka. Memang apa yang terjadi tahun lalu sampai-sampai Bara mengerahkan penjagaan formal seketat ini di perayaan ulang tahunnya? “Tahun lalu pesta Bara diserang. Ancur semua pestanya.



Everything became a mess. Bara marah besar, yang ada si tikustikus malah kececeran,” Brian menjelaskan, “Terutama sekarang ada lo. Gue yakin lo juga kagak bisa tarung kan, Nad?”



218



Aku meneguk ludah dengan kaku. Tentu saja. Aku adalah satusatunya orang normal dari antara mereka. Aku berasumsi mungkin kali ini ada banyak orang juga yang berusaha menghancurkan pestanya—karena itu Bara menyuruhku untuk tidak datang sendiri. Kami berdua naik ke elevator sebelum berhenti di lantai paling atas. Rooftop hotel. Begitu pintu elevator terbuka, beberapa penjaga masih berdiri di depan pintu, memeriksa identitas kami sebelum mempersilahkan masuk. Musik bergema makin keras begitu aku masuk ke area terbuka



rooftop. Aku menganga. Meriah sekali! Semua orang bersenangsenang, menikmati dentuman musik yang bergema. Ada kolam renang yang sudah diisi banyak orang. Para pelayan mondarmandir menyajikan makanan dan minuman yang diambil dari bar dekat ruang indoor. Aku agak kaget menyadari ada banyak perempuan juga di sini. Aku bahkan tidak mengenal satu pun dari antara mereka— kecuali keempat teman Bara dan tiga penguasa wilayah lain yang sudah berbaur dengan pesta. Tidak kusangka Bara bisa mengadakan perayaan semegah ini. “Tuh, Bara di sana.” 219



Brian menunjuk sosok Bara yang tengah duduk dikelilingi teman-teman laki-lakinya. Ada Rio, Cakra, Nakula—penguasa wilayah timur—dan beberapa laki-laki yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku tidak tahu lingkup pertemanan Bara ternyata luas. Bara sepertinya menyadari keberadaanku begitu matanya menatap ke arahku yang tengah berjalan ke arahnya dari balik kerumunan. Sedikit canggung, aku menuju perkumpulan mereka. Kuulurkan tas kertas berisi hadiah yang kusiapkan begitu sampai tepat di hadapannya. “Happy Birthday, Bar. Ini hadiah buat kamu.” aku tersenyum semanis mungkin, berusaha menelan tatapan penasaran temantemannya yang menusuk padaku. Bara mengambil tas dari tanganku dan meletakkannya di meja sebelum menggenggam tanganku, membawaku berdiri lebih dekat padanya. “Thanks, Nadia.” “Widih, siapa nih cewek?” salah satu dari mereka bertanya seraya tersenyum miring melihatku. “Jangan-jangan ini Nadia-Nadia yang lo bilang cewek lo?”



220



Pertanyaan lugas dan keras salah satu temannya yang lain membuat beberapa orang berada di dekat kami menoleh ke arahku, memperhatikanku terang-terangan. Tatapan penasaran yang sudah sering kujumpai, apa benar aku yang begini adalah pacar Bara. Bara bergumam seraya memperkenalkanku pada mereka. Aku hanya bisa tersenyum kaku, terlalu waspada dan bertanya-tanya teman jenis apalagi yang kujumpai kali ini. “WOW! Jadi yang begini tipe lo ternyata?” salah satu dari mereka dengan berani bertanya. “Kagak nyangka lo bisa punya cewek juga, ya?” tanya lelaki yang lain. “Gue waktu pertama tahu juga sama kagetnya kayak lo. Bisabisanya ya nih anak,” Rio menanggapi dari ujung sofa seraya menatap Bara penuh arti. Bara hanya mendengus menanggapi pertanyaan temannya. Melihatnya yang tidak marah, mereka pasti teman-teman dekat Bara yang lain. Atau mungkin karena mood Bara sedang bagus saja, ya? “Mau makan?” Bara yang masih duduk bertanya padaku yang masih berdiri di hadapannya—tanpa melepaskan genggaman tangan kami berdua. 221



“Boleh.” aku mengiyakan agar bisa segera keluar dari



perkumpulan ini. Bara berdiri dan mengambil tas hadiah yang kuberi tadi, “Gue cabut kesana dulu.” katanya pada teman-temannya. Masih menggandeng tangannya, aku mengikuti Bara melewati kerumunan orang-orang yang sibuk menikmati acara. Aku tersenyum miris, ini akan jadi terakhir kali kami bergandengan begini. Bara beberapa kali menjabat tangan dan mengangguk ke arah teman-temannya yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Kami berdua sampai di bar indoor terbuka. “Mau makan apa? Biar aku yang pesanin.” Salah satu pelayan dengan hati-hati menjulurkan buku menu. Aku mengernyit, bingung memilih. Karena malam ini akan menjadi malam terakhirku bersamanya, aku mencoba menjadi Nadia yang dulu. Yang manis dan penurut. “Terserah kamu, Bar. Aku bisa makan apa aja.” Bara terdiam sebentar begitu mendengar jawabanku sebelum memesankan makanan dan minuman yang biasanya dia pesankan untukku. Yang jelas, seperti biasa dia tidak akan mengijinkanku untuk memesan alkohol. Jenis apa pun itu.



222



“Apa ini?” Bara membuka tas hadiah yang kuberikan padanya tadi, lalu mengeluarkan hoodie biru dari sana, “Hoodie biru?” Aku meringis, teringat akan perkataan Brian tentang warna yang tidak disukainya. “Iya… aku beliin kamu hoodie. Jarangjarang kan kamu punya hoodie yang warnanya biru?” “Hmm.” “Kamu suka… warnanya? Aku beliin kamu yang warna biru soalnya aku jarang lihat kamu pakai warna begini.” Bara menatap hoodie di tangannya sebentar sebelum mengangguk, “Nanti aku pakai.” Oh? “Beneran?” tanyaku tak yakin. Bara seperti menerawang ke arah hoodie itu di tangannya dan mengangguk kecil, “Ya.” Tanpa sadar aku sudah menghela napas lega, ingat apa yang dikatakan Brian di dalam mobil tadi kalau Bara tidak begitu suka warna yang kupilih. Tapi bisa saja Brian salah kira, kan? Kami berdua duduk di kursi bar. Selama menunggu makanan dan minuman yang kupesan, beberapa teman-teman Bara yang baru datang menghampiri kami, memberi ucapan selamat dan



223



berbasa-basi. Aku yang merasa canggung memilih untuk berbalik, pura-pura menunggu pesananku. Aku cukup bersyukur Bara tidak meninggalkanku sendiri, berada di kumpulan orang-orang ini. Tadi aku sempat melihat Citra dan Raisa yang sedang rumpi dengan orang-orang tak kukenal. Aku bahkan belum bertemu Aileen malam ini. “Barata, yang lain udah pada nunggu lo di luar.” salah satu temannya menghampiri kami dan menunjuk orang-orang yang tengah menikmati perayaan di outdoor rooftop. “Udah pada dateng semua?” tanya Bara. “Kayaknya udah. Lagian juga udah jam tujuh lebih. Mending lo kasih ucapan ke mereka sekarang.” Bara beranjak dari kursi bar dan mendekat ke arahku, “Aku ke sana dulu. Kamu tunggu di sini. Jangan kemana-mana.” Aku mengangguk patuh, membiarkannya pergi bersama temannya ke tengah-tengah kerumunan. Salah satu anak buahnya mengisyaratkan untuk memusatkan perhatian mereka. Suasana menjadi sunyi mendadak. Kini, Bara menjadi pusat perhatian semua orang yang hadir. Termasuk aku yang memperhatikannya seraya menyesap jus alpukat pesananku yang baru datang. 224



“Thanks buat semua orang yang udah datang malam ini,” Bara berseru keras, lalu mengucapkan basa-basi lain sebelum sorakan para tamu terdengar. Melihatnya yang berbicara di depan banyak orang begini, berada di perkumpulan seperti ini, bersama dengannya seperti sekarang ini… akan menjadi momen kami yang terakhir, sebelum kami berpisah. Mendadak aku merasa kalut. Dadaku seperti diremas, oleh perasaan sakit yang tak kumengerti. Setelah empat bulan bersama Bara, setelah perlakuan anehnya padaku akhir-akhir ini yang berbeda, aku seperti melihat sisi Bara yang lain. Seandainya saja rencana ini berjalan tidak lama setelah kami berpacaran… mungkin aku tidak akan merasa sesakit ini. Tapi aku tahu ini adalah yang terbaik. Aku tidak bisa dan tidak boleh lebih lama bersamanya, berada di antara orangorang berbahaya ini, sebelum kewarasanku menghilang dan aku terbutakan oleh perasaanku sendiri. Aku takut akan tiba saatnya… perasaanku mengalahkan ketakutanku padanya. “Sendirian aja, Nad?” Aileen tersenyum begitu duduk di kursi bar tempat Bara duduk tadi. “Iya. Gue nggak kenal siapa-siapa di sini.” 225



“Mau gue kenalin ke beberapa temen gue?” Aileen menyarankan. Aku menggeleng, “Nggak usah. Gue nunggu Bara aja,” lebih baik aku tidak berhubungan dengan siapa pun orang di sini mengingat sebentar lagi mungkin aku tidak akan pernah bertemu mereka lagi. “Gimana, Nad? Lo… udah siap? Lo beneran yakin, kan?” Aku tahu maksud Aileen adalah rencana kami. “Mau nggak mau, gue harus siap.” Aileen mengangguk sebelum menggeser kursinya mendekat ke arahku, lalu berbisik pelan, “Semuanya udah sesuai rencana, Nad. Lo nggak usah khawatir. Nanti gue kasih aba-aba, kapan lo harus ketemu Bara.” Kupaksakan seulas senyum, mempersiapkan hatiku. “Makasih ya, Leen. Gue nggak tahu gimana lagi kalau nggak ada lo.” Lagi-lagi dia tersenyum, “Nggak masalah, Nad. Emang udah kewajiban gue. Maksud gue—gue tahu udah dari lama lo nggak begitu nyaman di perkumpulan begini, kan? Karena itu gue mau bantu lo.”



226



Aku mengangguk, sekali lagi mengucapkan terima kasih. Begitu Bara selesai, dia tidak menghampiriku. Aku hanya bisa duduk di sini, menunggu Aileen seraya menyantap pesanan yang sudah tiba. Lama sudah aku menunggu, hampir satu jam. Kemana semua orang yang kukenal? “Nad,” Aileen tiba-tiba muncul dari belakangku, “Sekarang lo musti ikut gue.” Ini dia. Inilah saatnya. Aku langsung berjalan mengikuti Aileen masuk ke dalam area indoor, seraya menarik napas dalam-dalam untuk mempersiapkan hatiku. Kami masuk ke dalam lorong panjang. Beberapa orang yang berdiri di sana langsung terkejut begitu melihatku, entah mengapa. Aileen membawaku tiba di depan sebuah pintu kamar betuliskan nomor



suite room. “Barata di sini, Nad.” Bisikan Aileen membuatku tegang seketika. Kupandangi nomor kamar dengan ragu-ragu. “Sekarang, Leen?” Aileen mengangguk, “Iya, Nad. Sesuai rencana kita, Bara udah sama cewek di dalem. Lo tinggal masuk, playing victim, jadi pacar



227



yang diselingkuhi, dan minta putus dari Barata. Selesai. Lo lepas dari Barata.” Kutatap dia dan nomor kamar bergantian. Jantungku berdegup sangat kencang. Ada keraguan, ketakutan yang terlintas, tapi tekad mengalahkan kebimbanganku. Kesempatan untuk aku bisa lepas dari dirinya sudah di depan mata. Kucoba meyakinkan diriku sendiri, walau pun sejujurnya aku tidak begitu suka cara yang Aileen ajukan ini. Aileen mundur beberapa langkah, mempersilahkanku untuk masuk. Kubuka gagang pintu. Napasku tertahan melihat Bara yang memang benar sedang bersama perempuan lain— perempuan yang sudah masuk dalam rencana kami. Setiap langkah yang kuambil terasa berat melihat kedekatan mereka. Bara kelihatan agak lost, tengah duduk di atas ranjang, dengan seorang perempuan di pangkuannya, tengah merengkuh lehernya, dengan bibir mereka yang hampir bersentuhan. Ada satu gelas berisi alkohol yang sudah habis setengah. Kucoba menahan gemetaran di tanganku. Walau pun ini semua sandiwara, melihat pemandangan seperti itu di depan mataku terasa menyesakkan. Sama sekali tidak pernah kulihat



228



Bara akrab dengan perempuan mana pun. Ironisnya, aku melihatnya di saat begini. “Bara…?” panggilku. Bara dan perempuan itu menoleh. Perempuan berambut panjang dengan warna coklat terang, pakaiannya terbuka di bagian dada, rok mininya tersingkap. Mereka kelihatan vulgar sekali. Ya ampun. “Siapa lo?” tanya perempuan itu. Aktingnya bagus juga. “Kalian… ngapain? Bar?” aku memulai sandiwara. Kupasang wajah penuh keterkejutanku—walau sebagian bukan kepurapuraan. Mereka beranjak dari ranjang. Aku mundur selangkah, menyadari Bara yang melepaskan perempuan itu kasar dan berjalan pelan ke arahku. Kumainkan peranku, menjadi korban seorang pacar yang berselingkuh. Walaupun sekarang ini rasanya aku takut sekali, kuberanikan diriku, untuk yang terakhir kali. “Dia siapa, Bar? Kenapa kamu berdua aja di sini? Kalian berdua ngapain di kamar begini?” nadaku meninggi. Bara menoleh ke arah perempuan di belakangnya sekilas sebelum menatapku tajam. “Bukan siapa-siapa.” 229



Apa? Bukan siapa-siapa? Sejujurnya aku kecewa akan responnya yang kelihatan… biasa saja. Apa memang Bara ternyata begini? Dia tidak begitu peduli dengan pendapatku? Aku baru saja memergokinya bersama perempuan lain tapi kenapa dia tidak kelihatan merasa bersalah? “Kamu… bilang apa? Jelas-jelas… aku lihat kamu berdua sama cewek itu. Kalian pelukan… dan hampir…” aku memejamkan mata, berpura-pura marah, “Aku kecewa sama kamu, Bar.” Aku diam, membiarkannya untuk membela diri, sambil memikirkan kata-kata apalagi yang harus kulontarkan untuk menyanggah dan memojokkannya. Tapi itu semua tidak terjadi. Bara hanya diam menatapku, mengambil tanganku dan menggenggamnya erat. “Kenapa? Kamu nggak bisa jawab pertanyaanku?” Dia masih diam. Keheningan ini entah mengapa membuat jantungku seperti mau meledak. Kenapa dia diam saja? Aku bahkan tidak bisa membaca ekspresinya. Apa mungkin ini pengaruh obat? Aku tidak peduli. Mungkin inilah saat yang tepat. “Aku nggak bisa sama kamu lagi, Bar,” kutepis tangannya keras sebelum mundur menjauhinya, “Kita… sampai sini aja. Aku mau kita putus.” 230



Tenggorokanku seperti tercekat saat mengatakannya. Aku seperti berada di ambang jurang yang sebentar lagi akan jatuh. Aku sudah siap menerima reaksinya yang marah besar padaku. Tapi itu tidak terjadi. Bara termangu. Auranya yang gelap menusuk tiap rongga kulitku. Atmosfir ini… atmosfir yang paling kutakuti. Tapi, Bara sama sekali tidak marah. Dia memejamkan mata sebelum menegakkan tubuhnya, menatapku lebih tajam dari sebelumnya. “Aku paham.” Hah? Aku bahkan sampai berkedip mendengar jawabannya. Apa… aku tidak salah dengar? Semudah… ini? Aku bahkan sudah menyiapkan jurus andalanku kalau dia sampai marah besar padaku—melakukan skinship padanya, percobaan yang sudah kulakukan beberapa hari ini. Tapi semua kekhawatiranku tidak terjadi. Semuanya sia-sia. Aku merasa kecewa. Bara bahkan tidak mencoba membujukku atau membela dirinya. Apa aku sebegitu tidak pentingnya sampai dia semudah ini melepasku?



231



Melihatnya yang berbalik dan menjauhiku, aku sadar bahwa sudah saatnya aku pergi dari sini. Aku berjalan menuju pintu. Sosok Bara yang berdiri membelakangiku malam itu adalah yang terakhir kulihat. Malam itu, hubungan kami telah berakhir.



232



EXECUTION



Bukannya aku tidak bersyukur dan senang pada akhirnya aku bisa lepas dari Bara. Tetapi, kejadian semalam membuatku bingung dan bertanya-tanya. Kenapa Bara hanya bersikap biasa saja? Dia melepasku dengan sangat mudah. Aku membayangkan akan ada pertengkaran, atau adegan dimana dia mengejarku, marah padaku, dia yang menjelaskan semuanya, lalu usahaku untuk mengontrol emosinya dengan skinship yang akhir-akhir ini sudah kucoba lakukan, setelah itu aku bisa memintanya putus dengan tenang. Selesai. Bukankah... seharusnya seperti itu tahapannya? Mengingat sifat Bara selama ini, bukankah paling tidak seharusnya dia membela diri? Aku bahkan tidak akan kaget kalau dia sampai marah padaku. Ini... terlalu mudah dan cepat. Malam itu, setelah aku menutup pintu kamar suite room, aku segera pergi dari sana. Berulang kali aku menoleh ke belakang 233



hanya untuk memastikan pintu itu terbuka, dan muncul Bara yang berusaha mengejarku. Tapi itu tidak terjadi. "Cuma perasaan gue, atau kayaknya kok lo bentar banget ya Nad di dalem tadi?" Saat itu, Aileen bertanya setelah kami masuk ke dalam elevator. "Gue... juga nggak tahu. Bara langsung setuju setelah gue minta putus." Aileen



mengernyit



sebentar



sebelum



tersenyum



menenangkan, "Paling nggak, sekarang lo udah putus dari Barata, Nad. Keinginan lo udah tercapai. Lo udah bebas sekarang." Kubalas senyumnya, walau pun merasa janggal. “Gue tahu.” ada kepahitan saat aku mengatakannya. Malam itu, Aileen mengantarku pulang dengan mobilnya. Aku sempat berterima kasih padanya sebelum turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Begitu sampai di kamar, semua memori yang terjadi malam itu terulang kembali di otakku. Ada yang aneh, tapi aku tidak tahu itu apa. Aku tahu seharusnya aku merasa bahagia, atau pun lega karena pada akhirnya aku bisa lepas dari Bara. Tapi apa yang terjadi malam itu benar-benar menggangguku. Tidak mungkin semua ini 234



berakhir semudah ini. Bukan khas Bara. Walau pun kadang aku mengerti tahu jalan pikirannya, tapi aku tahu Bara seharusnya tidak melepaskanku begitu saja—mengingat perlakuan anehnya akhir-akhir ini. Aku bahkan tidak mengerti apa yang dia maksud. Paham? Paham apa? Apa yang dia pahami? Apa maksudnya dia memahami keputusanku untuk berpisah dengannya? Atau dia paham karena dia sudah melukaiku dan menyetujui persetujuan ini—walau pun semuanya sandiwara. Entahlah. Aku tak tahu dan tak ingin kupikirkan. Aku yang masih belum bisa percaya ingin memastikan bahwa hubungan



kami



sudah



selesai—dengan



menunggunya



menjemputku Senin pagi untuk berangkat ke sekolah. Tapi setelah waktu biasanya dia menjemputku, dia sama sekali tidak datang. Saat aku sampai di sekolah, mobil hitam Bara sudah terparkir di lapangan parkir. Baiklah. Berarti dia memang tidak menjemputku. Kedatanganku yang seorang diri tanpa sosok Bara sepertinya membuat gempar satu sekolah. Aku berusaha meredakan degup jantungku, menelan tatapan penasaran para murid yang



235



melihatku secara terang-terangan. Mereka pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa datang sendiri. Jam istirahat pun, Bara tidak mengirimku pesan untuk menghampirinya. Aku memilih untuk berdiam di kelas dan membaca buku sambil ngobrol dengan Mika selama jam istirahat pertama dan kedua. Pulang sekolah, semuanya makin jelas bagi murid satu sekolah begitu melihat Bara pulang tanpa menungguku bersama teman-temannya. Setelah itu, statusku yang sebelumnya pacar, sekarang menjadi mantan pacar Bara. Statusku berubah, begitu pula perubahan sikap anak-anak yang mulai takut mulai terbuka padaku. Sedikit berani mereka menanyakan kenapa aku tidak bersama Bara sepanjang hari ini—dan hanya bisa kubalas dengan senyum singkat. “Lo beneran putus dari Barata, Nad?” Mika bertanya padaku setelah kondisi kelas sepi. Saat jam istirahat pertama, kukatakan padanya akan kujelaskan saat pulang sekolah nanti. “Hmm, gue sekarang udah nggak sama Bara lagi.” Aku mengangguk dan terpikir. Apa setelah ini… aku harus memanggilnya dengan sebutan Barata, ya? Mengingat dia tidak suka sembarang orang memanggil namanya dengan Bara. 236



“Serius? Lo? Putus, Nad? WOW! Gimana ceritanya?” Kugaruk kepalaku yang tak gatal. Bingung. “Panjang ceritanya. Intinya… gue yang minta putus duluan sih, Mik.” “Dan Barata setuju gitu aja?” Aku mengangguk, menyisakan kehampaan aneh di dadaku. Mika kelihatan speechless dan tak mampu berkata-kata. “Ngeliatnya biasa aja kali, Mik,” aku terkekeh melihatnya yang melongo, “Yang penting sekarang gue udah bebas. Gue udah putus dari Bara. Sekarang kita bisa main sama temen-temen kayak dulu lagi.” Kalau diingat-ingat lagi, kapan terakhir kali aku ngobrol dengan teman sekelasku yang lain, ya? “Kok gue ngerasa aneh, ya.” “Aneh… gimana?” tanyaku. “Lo sendiri… nggak apa-apa kan? Maksud gue, lo nggak diapaapain waktu minta putus ke Barata?” Aku menggeleng bingung. Mika mengangguk mengerti, “Gue lega lo-nya enggak kenapakenapa. Gue nggak nyangka, ternyata Barata seikhlas itu, serela itu lo pergi.” Oke. Bagus. Sekarang kami bertanya-tanya akan hal yang sama. 237



“Gue juga sebenernya nggak nyangka. Gue pikir… Bara bakal marah, atau coba ngomong ke gue. Tapi nggak ada yang terjadi. Bara langsung lepas gue gitu aja, Mik.” aku berkata penuh ironi. Apa mungkin… selama ini hanya aku yang memiliki perasaan padanya? Lalu… kenapa dia mau pacaran denganku? Ah, aku tidak perlu memikirkannya. Sekarang ini, yang terpenting adalah aku sudah bebas dari dia. Walau pun ada perasaan tidak nyaman di dadaku, menganggap semua ini berjalan terlalu



sempurna. “Berarti… lo udah bisa kayak dulu lagi, Nad? Kayak sebelum lo pacaran sama Barata, bisa sebebas dulu.” “Mungkin… gue harap juga gitu.” Jadi seperti dulu, yang artinya menjalani hidup normal sebelum aku berpacaran, bahkan mengenal Bara. Setidaknya, itu yang kupikirkan saat ini. Tiga hari setelahnya, kedatanganku yang seorang diri—aku selalu naik angkutan umum untuk pulang pergi sekolah sebelum berpacaran dengan Bara—masih menjadi pusat perhatian para siswa sampai



saat ini. Terang-terangan. Jam



istirahat,



kuberanikan diri untuk pergi ke kantin bersama Mika.



238



Baru saja aku memasuki area kantin, suasana yang semula gaduh menjadi sunyi seketika. Reaksi para murid yang diamdiam menatapku, karena sadar ada Bara dan teman-temannya di sana. Entah kenapa napasku terasa sesak. Gugup dan takut menjadi satu. Bara bahkan duduk membelakangiku. Sampai aku duduk di tempat duduk kantin bersama Mika, Bara sama sekali tak menyempatkan diri untuk menoleh atau melirikku, barang sedikit pun—berbeda sekali dengan keempat temannya yang menatapku tajam. “Lo nggak apa-apa, Nad?” Mika berbisik setelah kami berdua duduk, dan suasana kantin kembali ramai. Beberapa murid yang duduk di dekatku diam-diam melirikku. “Santai aja, Mik. Gue udah nggak ada apa-apa sama Bara.” “Anak-anak pada lihatin lo… Lo ngerasa nyaman, nggak? Atau kita pindah aja balik ke kelas?” “Nggak, nggak perlu,” sanggahku, “Kita di sini aja. Lagian juga udah pesen makan.” Aku tidak mau menjadi penakut seperti dulu. Hubungan kami sudah selesai. Aku tidak perlu merasa apa-apa lagi. Tidak ada



239



yang kukhawatirkan. Sampai tiba-tiba, sebuah obrolan aneh menginterupsi perhatianku.



“Bagas udah nggak masuk berapa hari, sih?” “Dari Senin, kan?” “Empat hari dong, ya? Nggak ada kabar juga dari tuh anak, ya?” Aku mengaduk es teh manis yang baru datang seraya tak sengaja mendengarkan percakapan dua kakak kelas perempuan yang duduk tak jauh dariku.



“Aneh banget nggak, sih? Tiba-tiba ngilang setelah kejadian itu? Mungkin nggak, ya?” “Kejadian apa?” “Lo waktu itu nggak liat, ya? Gue malah dikasih tahu sama anak kelas sebelah. Kejadiannya di lapangan basket. Sekitar satu dua minggu lalu. Si Bagas waktu itu lagi main sama Barata.” Gerakan tanganku terhenti begitu mendengar namanya.



“Barata? Terus emang kenapa?” “Gue denger si Bagas kena masalah sama Barata.” “Hah? Masalah apaan?” Jantungku mendadak makin berdegup kencang menanti kalimat yang sudah ada di pikiranku, namun tak ingin kudengar. 240



“Jadi, kronologisnya… si Bagas lagi main basket sama Barata dan temen-temennya. Pas tanding, dia nggak sengaja ngelempar bola basket ke arah pacarnya si Barata. Yang gue denger, nih… Barata keliatan marah banget, tapi enggak tahu kenapa waktu itu nggak kejadian apa-apa.” “What?! Ya ampun. Gila, sih. Gue jadi Bagas udah pindah sekolah langsung. Lo ngerti sendiri kan gosipnya kalau sampai cari masalah sama orang itu, jangan harap lo bisa hidup tenang...” “Nah, dan lo tau, ada desas desus yang bilang, si Bagas lagi di rumah sakit luar kota. Tapi gue nggak tahu itu bener atau cuma omongan lalu lalang doang.” Tubuhku tiba-tiba melemas. Tanganku yang memegang gelas gemetaran. Pikiranku seketika kosong. Aku tidak bisa berpikir apa-apa. Aku ingat kejadian itu. Insiden dimana teman satu kelasnya yang tak sengaja hampir mengenai bola basket ke kepalaku kalau saja saat itu Bara tidak cepat menangkisnya. Ekspresi bengis penuh amarahnya saat itu tidak bisa kulupakan sampai sekarang. Tidak mungkin. Tidak mungkin Bara masih menyimpan dendam itu, kan? Tapi mengingat



241



bagaimana sikapnya… aku takut. Aku takut dia bisa melakukan hal setega itu. Kepalaku tanpa sadar sudah menoleh ke arahnya, yang tanpa kuduga sedang menoleh ke arahku juga. Bara menatapku. Aku tidak bisa membaca ekspresinya. Kubalik badanku lagi, membelakanginya. Kepalaku menggeleng. Aku tidak boleh berprasangka buruk. Ini pasti hanya salah paham. Bara tidak akan tega, kan…? Sepanjang pelajaran, otakku terasa buntu. Tidak ada materi yang masuk ke otakku karena pikiranku selalu tertuju kepada pembicaraan dua kakak kelas tadi. Aku yang hanya ingin sendiri, memutuskan pulang paling akhir. Aku menunggu sampai sekolah benar-benar sepi—memastikan pula mobil Bara dan teman-temannya sudah tidak di lapangan parkir. Sore itu, aku pulang dengan angkutan umum sebelum terhenti di jalan besar, dan berjalan menuju rumah. Sudah pukul setengah enam sore. Matahari sudah mulai terbenam, kegelapan mulai melingkupi langit. Aku yang ingin cepat-cepat sampai di rumah, mengambil jalan pintas kecil. Jalannya sempit, gelap, dan becek. Aku cepat-cepat menoleh saat tiba-tiba aku mendengar suara gemerisik dari arah belakang. Tidak ada siapa pun. Aku yang 242



merasa ketakutan segera berlari, sebelum langkah-langkah cepat kudengar dari arah belakang. Seseorang tengah mengejarku. Aku tidak berani menoleh ke belakang.



“ARGHH!” Aku terhenyak, mendengar erangan pria dari arah belakangku beserta suara debaman benda jatuh. Kutolehkan kepalaku, tapi aku tak menemukan siapa pun. Siapa itu? Atau ini hanya perasaanku saja? Aku yang takut jika sesuatu terjadi segera berlari kembali menuju tempat paling terang di ujung gang. Ada minimarket kecil di sana. Aku masuk dengan napas tersengal-sengal, menatap ke sekitar melalui kaca besar minimarket, memastikan kalau aku tidak sedang diikuti. Langkahku yang semakin mundur tanpa sadar menabrak orang di belakangku. Aku berbalik, barang-barang bawaannya jatuh. “Maaf, saya nggak sengaja,” kuambil botol minuman yang jatuh dan menengadah untuk kuberikan. Baru kusadari, orang itu tanpa sadar mundur saat melihatku. Aku terperangah. Laki-laki yang sepertinya seumuranku, mukanya hancur sekali, babak belur di mana-mana. Badannya penuh memar dan luka parah, satu tangannya memakai gips. 243



Yang kusadar, lukanya pasti parah sekali. Tapi yang lebih mengejutkanku… adalah reaksinya saat melihatku. “Ini, botol minumnya ja—” “Gue mohon jangan deket-deket gue!” Aku tersentak saat dia menjerit, sampai-sampai penjaga kasir minimarket menoleh ke arah kami. “Saya cuma mau ngembaliin minumannya...” “Nggak puas lo? Apa lo nggak puas bikin gue kayak gini?” rintihannya membuatku bingung. Tangan laki-laki itu bahkan sampai gemetaran saat melihatku. Dari geraknya, dia sedang menghindariku. “Kenapa…? Saya nggak ngerti apa maksud kamu…” Orang itu kelihatan bingung. Matanya bahkan sampai memanas. Bisa kurasakan sinar ketakutan yang teramat sangat dari matanya yang berair. Hingga tiba-tiba, badannya bersimpuh, berlutut di depan kakiku. Matanya terpejam dan kepalanya menggeleng. “Kamu ngapain—” “Maafin gue… Gue nggak bermaksud ganggu lo. Please, gue mohon tinggalin gue… Kalau gue tahu lo pacar orang itu, gue nggak akan berani deket-deket lo… Waktu itu gue bener-bener 244



nggak sengaja… Tolong gue sekali ini aja… Jangan bilang dia kalau kita ketemu di sini. Gue janji nggak akan muncul di hadapan kalian lagi…” Aku yang sudah mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Orang itu. “Apa maksud kamu… Bara… yang bikin kamu jadi kayak… begini?” susah payah pertanyaan ini keluar dari mulutku. Orang itu menatapku sebentar—seakan menyadari bahwa sebelumnya aku tidak tahu apa-apa. Lalu dia mengangguk pelan dan menundukkan wajahnya. Aku ingat. Aku ingat siapa orang ini. Laki-laki yang kutemui di klab saat pesta kemenangan Bara. Laki-laki yang pernah tidak sengaja menubrukku, lalu menolong menuntunku sampai ke depan toilet. Lelaki yang kugunakan sebagai percobaan cara untuk mengendalikan suasana hati Bara. Ya, Tuhan. Tidak mungkin. Tidak mungkin Bara bisa setega ini. Dia menghabisi



orang



ini…



hanya



karena



tidak



sengaja



menubrukku? Saat itu orang ini bahkan dengan baik hati menolongku! Dan sekarang yang orang ini dapatkan adalah kondisi tubuh penuh luka dan babak belur. 245



“Awas aja, Nad. Bara itu kayak bom atom. Lo nggak akan bisa tahu kapan meledaknya. Termasuk gue sama lainnya.” Seluruh tubuhku diselimuti kengerian saat kata-kata Brian tiba-tiba terpintas di otakku. Aileen. Aileen! Aku keluar dari minimarket dan cepat-cepat menekan nomor telepon Aileen. Tidak tersambung. Berkali-kali kuhubungi, tapi panggilanku tidak diangkatnya. Ketakutan menyergapku. Tidak. Aku tidak akan sanggup jika sampai ada korban yang jatuh karena aku. Kukirim pesan singkat padanya, menanyakan kabarnya dan memintanya untuk segera menghubungiku setelah melihat pesanku. Malam itu, aku pulang dengan keadaan kacau. Aku tidak bisa tidur, menunggu kabar Aileen. Lalu, sebuah pemikiran muncul di otakku. Apa mungkin… Bara tahu rencana kami? Jika itu sampai terjadi, maka habislah aku. Aku bangun dalam keadaan tak terkondisikan. Masih belum adanya pesan dari Aileen membuatku sama sekali tidak siap datang



ke



sekolah.



Selama



pelajaran,



aku



tidak



bisa



berkonsentrasi. Seharian tidak ada makanan yang masuk ke perutku. Kegelisahanku membuat kondisi badanku drop. Saat dua jam pelajaran terakhir, aku ijin ke UKS. 246



Sampai sore pun, masih belum ada kabar dari Aileen. Rasanya aku ingin menangis. Aku terlalu bingung dengan kondisi yang kualami sekarang. Ingin kutanyakan langsung pada Bara mengenai apa yang terjadi, tapi aku terlalu takut mendengar kebenaran yang tak siap kuhadapi. Ketika bel pulang berbunyi, aku yang terlalu lemah untuk berjalan hanya bisa duduk di atas ranjang UKS, sebelum tiba-tiba sosok Bara muncul



dari balik pintu. Badanku refleks



menjauhinya begitu dia tiba tepat di hadapanku. Tatapan tajam yang seminggu ini tak kulihat membuatku merinding. “Nadia,” dia menyerahkan tasku yang ternyata dibawanya, sebelum tangannya terulur, “Ikut aku.” Kutatap tangannya beberapa detik dengan kalut. “Kenapa? Kenapa… aku harus ikut kamu?” aku tak berani menatap matanya sama sekali. “Kamu mau tahu di mana Aileen, kan?” Aku memejamkan mata, menahan rasa takut dan tangisku yang hampir keluar. “Kamu… kamu tahu dimana dia…?” sekuat tenaga kutahan gemetaran dalam bibirku. “Aku tahu.” 247



Jawabannya membuatku terdiam sejenak. Kuberanikan diri menatap wajahnya sebelum menggapai tangannya. Kubiarkan dia menggenggam tanganku dengan erat dan menuntunku ke mana mobilnya terparkir. Kami diam selama perjalanan. Entah kemana dia akan membawaku. “Kamu apakan Aileen, Bar…?” keluar sudah pertanyaan yang sedari tadi kutahan dalam hati. Pikiranku terlalu kalut. Bara diam. Aku memejamkan mata dan mengalihkan wajahku pada jendela mobil, “Temen sekelas kamu… sama cowok yang di klab… apa kamu… yang ngelakuin itu semua?” Lagi-lagi



Bara



tidak



menjawab.



Kebisuannya



seakan



menandakan bahwa memang benar dialah penyebab dari semua ini. Sekarang, aku yakin diriku sedang menuju mimpi buruk yang tak siap kulihat. Begitu mobil Bara sampai di depan sebuah gudang tua tak terpakai pinggir kota, aku dibawanya masuk. Gelap, pengap, dan sepi. Hanya cahaya malam dari luar yang menjadi penerangan di dalam. Lalu, keempat teman Bara muncul. Brian, Rio, Arga, dan Cakra. Mereka mengikuti Bara yang berjalan di depanku— 248



mereka berjalan di belakangku, seakan mengawalku supaya tidak dapat kabur. Kami sampai tepat di depan pintu yang dikawal oleh beberapa laki-laki berhoodie hitam—anak buah Bara. Begitu masuk, tubuhku membeku, lututku seketika melemas. Aku melihat Aileen di sana. Kondisi tak sadarkan diri, duduk terikat di atas kursi, bersama dengan orang-orang lain yang tak kukenal. Mereka semua babak belur. “Aileen… Bar…? Kenapa…?” kutatap dia dengan tatapan tak mengerti. Bara menatapku tanpa ekspresi. Tapi sorot mata dingin dan bengisnya membuatku sekali lagi bergidik. “Aku paham, Nadia. Aku paham apa yang kamu rencanakan semua ini sama perempuan itu,” Bara menunjuk Aileen dengan dagunya, namun jelas matanya masih menatapku tajam, “Kamu pikir, dari awal aku nggak tahu apa yang kalian rencanakan, Nadia? Aku tahu. Selama ini aku ikutin permainan kamu. Setelah semua tingkah aneh yang kamu lakukan akhir-akhir ini, jadi begini ujungnya?” Bara tahu. Bara tahu dari awal.



249



“Dia nggak salah apa-apa, Bar… Please… Tolong lepasin Aileen…” aku sudah tidak bisa menahan air mataku lagi, “Dia itu perempuan… Kenapa… kenapa kamu bisa tega…” “Aku nggak peduli. Mau dia perempuan atau laki-laki,” Bara berbisik tepat di depan wajahku, “Asal kamu tahu, Nadia. Orang yang kamu anggap bantu kamu ini,” Bara menunjuk Aileen tanpa melepaskan matanya dariku, “She’s trying to stab us. Tujuannya buat hancurin kita semua.” Aku terdiam mencerna perkataan Bara. Teman-teman Bara seperti puas melihat responku. Dan Arga—yang notabenya adalah pacar Aileen—menatap ke arahku dengan muram. Aku hampir ambruk bila saja Bara tidak menopang tubuhku, memaksaku untuk berdiri, melihat dengan mata kepalaku sendiri perbuatannya. “Arga,” Bara memanggil di tengah-tengah kesunyian. Arga melangkah ke arah kami dengan satu balok kayu tebal dan panjang di tangannya. “Eksekusi.” Arga tersenyum muram mendengar perintah Bara. Dia mengangguk, sebelum berbalik bersama para anak buah Bara yang entah datang dari mana, ke arah tahanan-tahanan mereka. 250



Di depan mataku, mereka memukul dengan membabi buta. Tanpa ampun. Terus tanpa henti. Rintihan dan erangan terdengar menggema di ruangan. Aku yang tak kuasa mendengar semua ini memejamkan mata. Air mataku tidak dapat berhenti mengalir, merasakan dekapan Bara, begitu pula tangannya yang mengelus pipiku lembut. “Butuh aku ingetin berapa kali, Nadia? Be a good girl. Kamu tahu betul, sejauh apa yang bisa aku lakukan buat kamu, kan?” Tangisku semakin keras, semakin meraung. Duniaku seperti hancur. Ketakutanku terbesar terjadi. Karena aku… mereka terluka. Ini semua karena aku… Aku lupa, kalau Bara adalah monster. Dia bisa melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang dia mau. Termasuk melukai orang lain, untuk mendapatkanku.



251



OBSESSION



Brian dan Rio adalah dua orang yang pertama kali mengetahui eksistensi seorang Barata. Kekuatan dan kemampuan di atas rata-rata bocah seusia mereka saat itu. Mereka bertemu pertama kali dibawah guyuran hujan dalam kegelapan malam, dimana keduanya menjadi saksi hidup peristiwa mengerikan yang dilakukan oleh seorang bocah lakilaki berumur dua belas tahun. Pukulan, tendangan, hantaman yang terus menerus pada sosok pria dewasa yang sudah tersungkur mengenaskan tak sadarkan diri. Mata gelapnya menatap nyalang, menghantam tanpa henti. Tanpa ampun. Lagi dan lagi. Setelah puas, tubuhnya berdiri tegap, menatap tanpa ekspresi ke arah kedua tangannya yang sudah penuh berlumur darah. “Wow. Keren banget!” Barata menoleh ke arah dua bocah seusianya. Brian yang menganga, dan Rio yang tersenyum lebar seraya bertepuk 252



tangan, menatap kagum sosoknya di kegelapan malam, dibawah guyuran hujan lebat. “Begitu cara mukul yang bener.” Barata berkata pelan, menggosok tangannya yang penuh dengan bekas darah pada baju korban yang baru saja habis di tangannya. Brian mengerjap penuh waspada, tidak pernah sekali pun dia melihat orang sehebat ini. Mata Brian mengernyit, menyadari suatu hal. “Kamu… anaknya Om Birawa, kan?” Barata menoleh, seketika tatapannya berubah tajam. Kedua bocah itu secara refleks mundur dan bersikap siaga. Tapi Barata tidak marah, karena dia menyadari satu hal. Jika kedua bocah itu mengetahui siapa dirinya, maka mereka berada dalam lingkup dunia yang sama. Dunia gelap yang mungkin tak orang awam tahu. Dunia gelap yang membelenggu dan tak ada jalan keluar. “Barata pasti!” senyum Rio melebar, kali ini dia tertawa keras. Merasa puas setengah mati. Akhirnya. Akhirnya dia menemukan sosok ini. Sosok yang sudah menjadi perbincangan keluarga dan



dunianya. Barata Saputra Birawa.



253



Brian dan Rio jelas tahu siapa sosok yang berada di hadapannya ini. Keberadaannya yang masih dirahasiakan oleh dunia mereka adalah salah satu alasan mengenai betapa



berbahayanya sosok ini. Di usia yang kedua belas tahun, bocah ini sudah berhasil menghabisi seorang pria dewasa berbekal kemampuan bela diri tingkat tinggi. Jika jenis pria ini berhasil tumbang oleh anak berusia dua belas tahun, akan jadi apa sosoknya saat dewasa nanti? Walau pun masih muda, Brian dan Rio mengetahui bahwa



keluarga Birawa adalah salah satu wangsa terhebat dalam dunia mereka. Mereka berdiri di belakang layar, mengelola kongsi untuk menyembunyikan identitas asli mereka yang berbahaya. Organisasi berbahaya di bawah bayang-bayang ekonomi hitam. Keluarga mereka jelas tak ada yang bisa menandingi, tak terkecuali putra generasi terakhir mereka sekalipun. “Aku udah denger semuanya. Tentang kamu, Barata. Kenapa kamu nyelamatin kami berdua?” Brian bertanya serius, berkebalikan dengan respon girang Rio tadi. Sejak kecil mereka sudah dididik seni bela diri walau belum sehebat orang dewasa lain. Malam tadi, Barata tiba-tiba datang 254



menolong mereka berdua yang sudah hampir babak belur diserang lawan tak dikenal. Barata memenangkan pertarungan, tanpa meninggalkan luka sedikit pun. Barata berjalan mendekat, lalu berkata di bawah gemuruh petir yang menggelegar, “Aku bisa ajarin kalian jadi seperti aku. Kuat dan nggak ada yang bisa ngalahin. Kalian mau?” Penawaran mengejutkan dari bocah tak terduga. Saat itu, mereka berdua belum paham, bahwa Barata sedang mencari aliansi. Sebuah tugas besar yang diberikan keluarganya, persyaratan utama supaya secara resmi menjadi bagian dari



dunia mereka. Hujan lebat malam itu menjadi saksi bisu ketiga bocah yang menjadi sekutu. Dua tahun kemudian, Arga Pradana dan Cakra Brajaya bergabung. Lima anak muda dari dunia gelap yang berkumpul membentuk kelompok tersembunyi dan berbahaya. Di usia yang ke lima belas tahun, mereka menduduki kursi



penguasa selatan, dimana Barata menjadi sang pemimpin. Empat kelompok penguasa wilayah dengan sektor kecil, namun memiliki pengaruh besar. Awal dari dunia yang lebih dalam dan gelap dari apa yang mereka masuki sekarang.



255



Barata, sebagai pemimpin kelompok memiliki cara pandang yang unik dan tak tertebak. Dia pintar menyembunyikan emosi, manipulatif, dan pergerakannya yang samar hampir tak terdeteksi. Baru mereka tahu, bahwa dia tak kenal ampun. Semua musuh habis, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan—siapa sebenarnya sosok Barata ini? Walau pun banyak rumor yang simpang siur, sampai sekarang identitasnya masih menjadi tanda tanya besar. Bahkan di beberapa kalangan orang umum. Termasuk sekolah mereka.



“Eksekusi habis semuanya.” Saat Barata mengeluarkan pertintah eksekusi pertamanya— Brian, Rio, Cakra, dan Arga baru menyadari cara kerja Barata. Mereka membantai habis musuh hingga benar-benar tuntas dan tak bersisa, seakan menunjukkan bahwa kelompok mereka bukanlah tandingan kelompok yang menginginkan permainan



kecil. Jangkauan mereka besar dan sangat berbahaya. Saat itu juga, keempatnya menarik kesimpulan. Jangan harap bisa selamat setelah bermain-main dengan Barata. He was so



dark, a nightmare, tanpa ampun dan tak manusiawi—seperti bom atom yang siap meledak, gerakannya tak terduga. Diam dan



256



mematikan. Dalam segala hal. Termasuk orang-orang terdekat di sekitarnya. Nadia. “Lo? Pacaran sama dia, Bar? Seriously? Lo lagi kagak waras apa gimana?” Rio adalah orang pertama yang mempertanyakan keputusan Bara. Pertama kali Bara mengambil keputusan yang membuat mereka resah. “Kenapa?” Bara bertanya seraya menghisap rokoknya dengan santai, berbanding terbalik dengan keempat temannya yang menatapnya tak percaya. “Lo bilang kenapa?” Rio tersenyum miring, “Dia terlalu normal. Banyak cewek yang bisa lo pilih dari dunia kita dan lo milih dia?” Rio berusaha mengendalikan emosinya. Gawat jika dia sampai kelewatan. “Rio bener. Lo tahu bener kalau lo bakal repot ngurusin tikus-



tikus kalau pacar lo orang normal. Kelewat normal malah, Bar. Resikonya terlalu gedhe.” “Tinggal gue beresin mereka.” Bara memejamkan mata seakan tak peduli. Rio dan Arga mendengus.



257



“Lo gila apa gimana? Kenapa lo mau pacaran sama dia?” Kali ini Cakra ikut bertanya. Sampai akhir, Bara tidak pernah mengungkapkan apa yang membuatnya menjalin hubungan dengan perempuan itu. Nadia. Perempuan satu-satunya yang berhasil memiliki ikatan terdekat dengannya.



No one knew what he was thinking about. Kehidupan pribadi Bara yang selama ini tersimpan rapat, jauh dari jangkauan teman terdekat sekali pun. Keempat



temannya



hanya



bisa



memperhatikan



dan



mengawasi, apa saja yang Bara dan Nadia lakukan. Mereka hanya waspada, akan sifat tak terduga Bara. Saat semuanya menjadi semakin rumit, mereka berempat melihat sendiri perubahan Bara—hal yang membuat mereka sampai detik ini tidak menyukai Nadia. Mereka tahu, Nadia membawa dampak buruk bagi Bara. Kemungkinan besar yang terburuk terjadi. Bara sudah terikat dengan Nadia. Dan Bara bisa melakukan hal lebih gila dan tak manusiawi dari yang pernah dia lakukan selama ini—seperti jerat yang bisa kapan saja membuatnya tersandung. Seperti malam itu. 258



“Lo barusan bilang apa, Bar?” Brian mengernyit begitu Bara menyampaikan sebuah perintah.



Perintah khusus hanya untuk dirinya. Brian



mematikan puntung rokok yang baru dihisapnya ke asbak, sebelum menarik napas yang sedari tadi ditahannya begitu melihat tatapan Bara, tatapan bengis penuh keseriusan yang bahkan selama ini selalu membuat keempat teman dan para anak buahnya berubah waspada. “Atur dan cari tahu semua. Tentang Nadia.” Brian tahu apa yang dimaksud Bara. Semua hal tentang Nadia. Apa yang perempuan itu lakukan, dengan siapa perempuan itu berhubungan dan bertemu. Semuanya. Secara rinci. Bara pasti mencium sesuatu yang mencurigakan. Tapi kali ini, dari Nadia—pacarnya sendiri. Brian ingin tertawa jika dia tidak memperhitungkan ekspresi muram Bara saat ini. Pada akhirnya, saat-saat seperti ini akan tiba. Dari keempat teman Bara, Brian memang menjadi salah satu anggota yang bertugas mencari dan menggali informasi—sampai ke underground yang paling dalam, bahkan melebihi informan ketiga penguasa wilayah lain. Semua bisa dia dapatkan, termasuk hal kecil mengenai pacar pemimpin mereka, Nadia. 259



“Kenapa? Kalau gue boleh tahu… apa yang pengen lo cari, Bar?” Brian melekatkan kedua tangannya, bertanya serius. “Semua. Celah sekecil apa pun.” Melihat atmosfir kelam Bara, Brian tahu kali ini Bara tidak main-main. “Oke. Gue ngerti. Gue paham. Kasih gue waktu seminggu. Gue bakal kasih apa yang lo mau.” Keempat



lainnya



baru



mengerti,



mengapa



Bara



memerintahkan penyelidikan khusus kali ini. Perubahan sikap Nadia yang terlalu drastis, membuat Bara menaruh kecurigaan. Bara bukan orang yang lengah—perubahan sekecil apa pun dia tahu. Bara tahu segalanya. Termasuk rencana Nadia. “Lo bener, Bar. Ada yang musti lo tahu.” Bara masuk ke dalam ruangan pribadi basecamp, keempat temannya sudah berkumpul di sana. Jika mereka berada di sini, maka ini bukanlah permasalahan main-main. Bara duduk di kursi tunggal utama, “Jelasin semuanya.” Brian menaruh sebuah map di hadapan Bara, “Semua di sini. Semua kecurigaan lo emang bener. Nadia emang ada rencana sama Aileen, pacarnya Arga.” Bara melirik ke arah sosok Arga yang duduk dengan muram sebelum mengambil map dan mengeluarkan isinya. Beberapa 260



lembar kertas berupa informasi pertemuan dan aktivitas Nadia bersama Aileen dan identitas sesungguhnya perempuan itu. Aileen memang berasal dari dunia yang sama dengan mereka. Perempuan dengan underground sama, dengan tujuan yang berbeda. “Setelah gue sama anak-anak lain pantau, ada pergerakan mencurigakan dari mereka. Dari pihak Aileen. Dia punya base di belakang layar. Cukup gedhe. Dan gue udah tau siapa dalang semuanya.” “Apa hubungannya sama Nadia?” Bara bertanya tanpa melepaskan tatapannya sedetik pun dari selembar kertas yang memaparkan foto Nadia dan Aileen di sana. “Dia mau pakai Nadia, buat jatuhin lo,” kali ini jawaban keluar dari mulut Arga, “Gue kagak tahu ternyata cewek gue—tuh cewek ada rencana. Brian bilang, Aileen bakal pakai Nadia sebagai kelemahan lo. Kalau seandainya gue tahu… gue kagak tahu harus nebus semua ini ke lo gimana, Bar.” Brian melirik ke arah tangan Arga yang bertaut gemetaran. Bara bisa saja marah. Aksi pembalasdendamannya tak pernah kira-kira. Bahkan kepada teman satu anggotanya sendiri. Secara



261



tidak langsung, Arga sudah membawa musuh dalam selimut di kelompok mereka. “Ikuti permainan mereka. Jangan ada pergerakan. Kita serang di akhir.” Bara memberi perintah. Keempat lain saling bertatapan. “Gimana soal Nadia, Bar?” Brian bertanya hati-hati, memastikan. “Biar gue sendiri yang urus semuanya.” Malam itu, tatapan nyalang Bara mengakhiri pertemuan mereka. Bara seakan menentukan batas bahwa hanya dialah yang berhak menyelesaikan segala hal yang bersangkutan tentang Nadia. Sampai akhir, Bara tetap mengikuti permainan ini. Pesta ulang tahunnya. Berada di kamar bersama perempuan yang berusaha membuatnya mabuk. Lalu, saat Nadia masuk, dengan ekspresi terkejut kepura-puraannya, Bara masih membiarkan semuanya. Dia paham, ujung dari semua skenario ini adalah Nadia yang ingin mengakhiri hubungan mereka. Setelah Nadia pergi, malam itu Bara tidak keluar dari kamar hotel sedetik pun. Perempuan bayaran yang baru bersamanya memilih untuuk pergi meninggalkannya secepat mungkin, 262



seakan mengerti bahwa kali ini dia sudah berurusan dengan orang yang salah, begitu merasakan atmosfir aneh sosok Barata di kursi sofa ujung ruangan. Sampai akhir pesta, baru keempat temannya menemukan sosok Bara masih duduk diam di ruangan. Mata mereka saling bersitubruk, menyiratkan bahwa mereka tak berani melangkah barang sedikit pun mendekati Bara. “Bar? Ngapain lo?” Brian memanggil pelan dari arah pintu, diikuti tatapan bingung ketiga lain dari belakang punggungnya. “Eksekusi.” “Apa?” Bara mengangkat wajahnya. “Eksekusi. Habis. Semuanya.” Nada rendah dan dingin, dengan tatapan tajam mengerikan itu. Sorot mata bengis yang paling membuat mereka waspada. Pada akhirnya, tiba juga saat-saat seperti ini. Saat-saat dimana Bara bisa melakukan hal paling ekstrim dan mengerikan untuk Nadia. Pembalasan dendam Bara—hal sekecil apa pun tak pernah dia lupakan. Dua laki-laki, Bagas—teman satu kelasnya yang melemparkan bola basket ke kepala Nadia—dan salah stau anggota wilayah 263



timur, yang menubruk Nadia, bahkan membawanya ke tempat jauh dari mata jangkauan Bara. “Halo, Farhan.” Farhan yang baru saja sampai di rumah melonjat saat mendengar suara dari arah ruang tamu yang termeram. “Siapa lo?!” Begitu mendekat, langkahnya terhenti saat menyadari, di sana duduk tenang sosok penguasa selatan di ujung sofa, menatapnya nyalang dari kegelapan. “Barata…? Lo ngapain di sini? Gimana bisa lo di rumah gue—” “Bulan lalu, gue lihat lo.” Farhan mengernyit bingung. Entah mengapa, ada atmosfir gelap menakutkan yang menusuk kulitnya, “Lihat apa… maksud lo?” “Gue lihat apa yang lo lakuin ke pacar gue.” Farhan berusaha sekuat tenaga mengingat apa yang dimaksud Barata. Pacar Barata. Bulan lalu. Pesta kemenangan Barata. Dimana dia tak sengaja menubruk seorang gadis pendek dan menolongnya. Oh, Tuhan. “Maksud lo… gue yang nggak sengaja… nubruk… pacar lo?” “Sampai jatuh.” Nada tenang Barata entah mengapa makin membuat Farhan ketakutan. 264



“Gue nggak sengaja, Barata,” Farhan berusaha menjelaskan semuanya, “Sumpah. Gue nggak sengaja… Gue bahkan bantuin bawa pacar lo sampai ke depan toilet.” “Cuma berdua.” Farhan tahu dia dalam bahaya. Dia langsung berbalik untuk segera pergi dari rumahnya begitu menyadari sudah ada keempat teman Bara yang lain, dan beberapa anak buah ber hoodie hitam di seluruh penjuru ruangan. Dia sudah dikepung. “Apa yang mau lo lakuin ke gue, Barata?!” Farhan menahan tangannya yang gemetaran, “Orang tua gue bakal dateng habis ini dan lo mau sampai mereka sadar dan lapor polisi?!” “Orang tua lo lagi nggak di Jakarta, Farhan. Mereka beda kota sama lo. Tepatnya di Surabaya.” Suara Brian dari arah belakang terdengar. Sebelah alis Bara yang terangkat seakan menyiratkan bahwa Farhan sudah tidak bisa kabur sekarang. Secara impulsif, Farhan cepat-cepat berlutut, memohon ampun. “Please, Barata… gue mohon… gue nggak sengaja… Bahkan pacar lo itu yang minta gue bantu dia! Gue nggak salah!” Penjelasan Farhan seakan menyulut api di dada Bara. Bara berdiri dan berjalan mendekat, memberi kode pada para anak 265



buahnya yang bersiaga di belakang—sebelum mereka memaksa Farhan untuk berdiri. Farhan sudah tidak bisa melepaskan diri. Dia meraung memohon ampun untuk dilepaskan. Tapi itu semua sia-sia. “Eksekusi. Sekarang.” Perintah Bara mengawali adegan sadis dimana malam itu, di rumahnya sendiri, Farhan dihabisi oleh anak buah penguasa



wilayah selatan. Berbagai makian, permohonan ampun, dan erangan kesakitan bergema memenuhi ruangan. Semua dilakukan di depan mata Bara yang menatapnya tanpa ekspresi, tanpa kedipan mata sekali pun. Brian, Rio, Cakra, dan Arga yang menyaksikan semuanya saling berpandangan, mereka memiliki pemikiran yang sama. Hanya karena hal kecil, Bara bisa melakukan hal setega ini. Itulah mengapa, keempat teman Bara tidak pernah menyukai hubungan mereka. Entah hal ekstrem apa lagi yang bisa dia lakukan bila Nadia benar-benar terluka. Mereka tidak akan kaget jika Bara sampai bisa membunuh untuk yang pertama kali. Dan itu semua, Bara lakukan agar Nadia tetap berada di sisinya.



266



LOVE IS MADNESS



Sama sekali tidak pernah kubayangkan dalam hidupku, aku akan mengalami kejadian seperti ini. Sepanjang perjalanan pulang di dalam mobil Bara, tubuhku terdiam kaku, tanganku gemataran, dan mataku sama sekali tidak berani menoleh bahkan melirik ke arah Bara yang menyetir di sampingku. Aku memejamkan mata berulang kali, mencoba melupakan pemandangan mengerikan beserta suara erangan dan jeritan kesakitan mereka. Tapi gagal. Suara-suara itu… Mataku memanas kembali, tapi cepat-cepat ku seka air mataku sebelum Bara sadar kalau aku menangis diam-diam. Hati dan pikiranku sudah hancur semenjak melihat sosok Aileen dan tahanan-tahanannya dihabisi di depan mataku. Aku tidak bisa berpikir jernih. Semuanya terasa berputar-putar menjadi bayang-bayang mengerikan yang mengelilingi otakku. Mustahil aku bisa melupakan semua rentetan kejadian ini. “Nadia.” 267



Aku tersentak saat jemarinya tiba-tiba menyentuh punggung tanganku. Tanpa sadar kutepis tangan Bara kasar. Napasku memburu ketakutan. Aku tidak mau menatapnya. Terlalu takut untuk menebak ekspresi apa yang sedang ia tunjukkan sekarang. “Udah sampai rumah, Nadia.” Nada pelannya entah kenapa membuat dadaku sesak. Suaranya



seperti



ditahan.



Bara



tidak



mencoba



untuk



menyentuhku lagi—berlainan dengan yang selalu dia lakukan setelah mengantarku pulang. Kutahan bibirku rapat-rapat, menolak untuk menjawab ucapannya barang sepatah kata pun. Cepat-cepat aku membuka pintu mobil dengan tanganku yang gemetaran sejak tadi, lalu berlari masuk ke dalam pekarangan rumah. Aku bahkan tidak mau repot-repot mengunci pagar. Yang aku inginkan sekarang adalah masuk ke dalam rumah. Setelah menutup dan mengunci pintu, aku sudah tidak bisa menahan tangisku lagi. Tubuhku ambruk ke lantai. Dalam kegelapan, aku menangis dalam diam, meratapi hidupku, meratapi orang-orang yang terluka karena aku. Rasa bersalah benar-benar menyesakkan dadaku. Bara… kenapa kamu bisa setega itu? 268



Aku tahu dia orang yang berbahaya. Aku tahu Bara memang bisa melakukan hal-hal menakutkan. Tapi tidak pernah terbesit sedetik pun di pikiranku sebelumnya kalau dia tega melukai orang lain sejauh ini dengan mengatasnamakan diriku. Aku marah pada diriku sendiri yang tidak bisa menyadari atau mencurigai sikap Bara. Seharusnya aku tidak melibatkan orang lain. Terlepas dari kesalahan Aileen dengan Bara… bagaimana dengan orang-orang lain yang terluka karena berurusan dengan aku? Sekarang, aku sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Selama ini aku seperti terjebak di sebuah labirin yang tak ada jalan keluarnya, selalu kembali lagi ke tengah-tengah. Pusatnya, adalah Bara. Selalu Bara. Semuanya tentang Bara. Aku sudah putus asa. Rasanya seperti tidak ada jalan keluar lagi. Aku meneguhkan hatiku dan berdiri. Kubuka sedikit gorden jendela ruang tamu. Mobil Bara masih menyala di depan rumah. Entah apa yang membuatnya menunggu di sana, keberadaannya seketika membuatku waspada. Malam itu, aku benar-benar tidak tidur sedetik pun sampai memastikan kepergian mobil Bara saat tengah malam.



269



Aku bangun pukul sepuluh pagi. Tubuhku rasanya lemas. Aku tak sanggup bangun. Mataku lembab dan hidungku merah karena habis menangis semalaman. Kuraih ponselku untuk melihat notifikasinya. Pesan dari Mika yang menanyakan kondisiku kemarin karena harus ke UKS. Tiga telepon tak terjawab dari Bara. Dan dua telepon dari Papa. Papa… Aku membuka kunci ponsel, berniat untuk menelepon nomor Papa sebelum jemariku tertahan di depan layar. Tidak. Papa tidak boleh tahu kondisiku sekarang. Aku akan jadi anak yang egois kalau sampai membebani pikiran Papa dengan masalah yang kuciptakan sendiri. Aku tidak berani menelepon Papa untuk mengatakan apa yang terjadi padaku. Hari ini aku bersyukur Bara tidak mengajakku pergi seperti biasanya



tiap



malam



minggu.



Mungkin



dia



sedang



memberikanku ruang dan waktu setelah insiden semalam. Aku tidak membalas pesan dan panggilan dari Bara sama sekali. Tapi aku tahu, saat hari Senin tiba, aku tidak bisa menghindarinya lagi di sekolah. Aku masih belum siap saat melihat mobilnya berada di depan rumah, menungguku untuk masuk dan berangkat ke sekolah 270



bersama. Tapi aku tidak punya pilihan. Aku yang sudah tidak ada tenaga dan terlalu takut untuk melawannya, memberanikan diri untuk masuk. Bara tidak berbicara sepatah kata pun. Aku bahkan tidak mau repot-repot menoleh atau ngobrol dengannya. Aku ingin menjalani dua puluh menit dalam mobil dengan tenang dan damai. Sampai di sekolah, bisa kurasakan tatapan satu sekolah ke arah kami yang berjalan bersama. Statusku yang minggu lalu sebagai mantan pacar, sekarang berubah kembali menjadi pacar Barata. Miris, memang. Sejak awal harusnya aku sadar kalau kami memang tidak benar-benar putus. Atau lebih tepatnya tidak bisa. “Nad?” Aku duduk diam di kursiku setelah Bara mengantarkan ke depan kelas—masih tanpa berbicara sama sekali. Ku topang wajahku dengan tangan ke arah berlawanan dengan temanteman yang sedari tadi menatapku penasaran. “Hm?” “Anak-anak kayaknya pada penasaran. Gue juga barusan lihat Barata nganter lo kesini, Nad. Bukannya lo bilang lo sama Barata udah putus?” 271



Situasi yang kuhadapi lebih rumit dari yang mereka kira. Kemudian, saat aku ingat hal gila apa yang bisa Bara lakukan, pada siapa pun itu, aku sadar tidak baik jika Mika dekat-dekat denganku. “Mik… gue boleh minta tolong?” “Tolong apaan, Nad?” Aku memejamkan mata sebelum menatpnya meminta maaf, “Buat sementara ini mending lo jangan deket-deket gue dulu…” Mika kelihatan terkejut dengan permintaanku. “Maksud lo gimana? Kenapa?” “Gue nggak bisa jelasin sekarang. Tapi buat sementara gue nggak bisa deket-deket sama lo dulu, Mik. Apalagi di sekolah.” “Ini soal… Barata, ya? Apa lo balikan lagi sama dia?” Aku tersenyum miris, menjawab tebakan Mika. Mika menghela napas, seakan mengerti kondisiku walaupun aku tidak memberitahunya. Ini lebih baik. Selain untuk keamanan Mika— aku hanya berjaga-jaga kalau Bara sampai bertindak melebihi dugaanku lagi—aku butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri. “Nad, gue nggak tahu apa omongan gue ini bisa bantu lo. Tapi kalau misalnya lo ada masalah sama Barata, lebih baik lo 272



selesaiin baik-baik, Nad. Selama ini gue selalu merhatiin lo. Gue cuma ngerasa… lo nggak bahagia selama ini.” Aku termenung mendengar perkataan Mika. “Makasih, Mik, buat sarannya,” Aku tersenyum. Rasanya seperti kembali di saat awal-awal aku mengetahui siapa sebenarnya sosok Bara. Tapi kali ini, jauh lebih parah dan mengerikan. Aku jadi lebih pengecut dibanding sebelumnya. Sepanjang istirahat, aku kembali ke kebiasaan lamaku— sembunyi di balik bilik kamar mandi, berharap Bara atau temantemannya tidak mencariku. Seperti sebelumnya, Bara akan menyuruh salah satu murid untuk memberitahuku bahwa aku harus segera ke kantin menemuinya. “Lo dicariin Barata di kantin, Nad.” “Makasih, ya. Udah ngasih tahu gue.” Aku tersenyum berterima kasih setelah salah satu murid bersama teman-temannya mengetuk pintu bilik kamar mandi tempat



aku



sembunyi.



Mereka



membuka



jalan



untuk



mempersilahkan aku lewat. Aku menghela napas kesusahan sebelum membuka pintu, mempersiapkan hatiku yang tidak akan pernah siap. 273



Masih sama seperti dulu, sosokku yang berjalan ke arah Bara dan keempat temannya yang sudah duduk di kantin menyita perhatian para murid di sana. Mungkin mereka bertanya-tanya kenapa aku bisa duduk kembali bersama kumpulan mereka di saat aku sudah putus dari Bara. Aku duduk di sisi kanan Bara yang memang disediakan untukku. Sama sekali aku tak berani mengangkat wajahku, menatap salah satu dari mereka. Keempat teman Bara yang biasanya selalu berkomentar begitu aku datang, kali ini hanya ada kesunyian di antara mereka. Bara mendorong sepiring nasi goreng yang sudah dia pesan ke arahku, “Makan, Nadia. Kamu pasti lapar.” Aku tidak nafsu makan sama sekali. Tapi karena takut dia marah, aku langsung mengambil sendok dan menyuapkan ke arah mulutku. Jika dia sampai marah, maka habislah aku. Aku tidak mau menjadi salah satu seperti orang-orang yang dihabisi Bara dan gengnya malam itu. “Kita lanjutin yang tadi, Bar. Jadi semua udah beres. Para cecunguk udah kagak ada sisanya. Kita menang total.”



274



Perkataan Brian membuatku sulit menelan makanan. Apa yang dia maksud itu Aileen dan komplotannya? Aileen… apa yang terjadi dengannya? Aku tidak berani bertanya sama sekali. “Bagus, lah. Lama kelamaan gue tepar juga ngadepin



pengkhianat macam mereka. Gue udah sampaiin nih berita ke wilayah lain. Gue yakin tikus-tikus kecil udah kagak berani cari masalah sama kelompok kita.” Cakra berkomentar seraya mengetuk-ngetukkan sendoknya ke mangkuk yang dia pesan. “Sisa yang lain?” Bara bertanya pelan. Brian menggeleng, “Lo tenang aja. Kali ini kita mainnya bersih. Semua tuntas. Kejadian kayak kemarin kagak bakal kejadian lagi.” Aku melepaskan sendok dan secepat mungkin meminum jus alpukat yang disediakan di depanku, tak kuasa mendengarkan lagi. Insiden tempo hari yang masih memberikan pukulan berat ditambah perbincangan mereka mengenai itu membuat napasku sesak. Sekuat tenaga kutahan gemetaran di tanganku. Bara yang sepertinya menyadari apa yang terjadi denganku, tiba-tiba tangannya terulur dan hampir menggapai tanganku bila saja aku tidak cepat-cepat bergeser menjauhinya. Bara dan keempat 275



temannya sepertinya terkejut melihat tindakan impulsifku ini saat tidak sengaja kutengadahkan kepalaku ke arah mereka. Gawat. Gawat. Apa yang sudah kulakukan? Di hadapan teman-teman Bara pula… “Maaf, Bar… Aku… aku nggak sengaja…” kutundukkan kepalaku. Aku hanya takut… dia bisa menyakitiku seperti dia menyakiti orang-orang itu. Bara mengepal tangannya yang terulur ke arahku, sebelum menariknya kembali. “Kamu mau balik ke kelas?” Aku mengangguk, “Iya… aku udah nggak lapar.” Dan tidak mau bersama dengannya lagi. “Kamu balik aja kalau begitu.” “Oke, Bar… aku balik dulu. Makasih.” Cepat-cepat aku berdiri sebelum setengah berlari kembali ke kelas, tidak mempedulikan sosok kami yang sedari tadi jadi tontonan para murid lain. Aku melewati satu minggu seperti ini dalam diam, kembali menjadi gadis pengecut dan penurut. Aku hanya menjawab saat dia bertanya. Aku bahkan mematuhi dan menyetujui semua yang Bara katakan. Selama satu minggu ini, tubuh, pikiran, dan hatiku terasa hampa. Setiap pulang sekolah aku selalu menangis di atas



276



kasur, menangisi hidupku dan orang-orang yang terluka karenaku. Setelah menangis semalaman, mataku menerawang kosong ke arah plafond kamar. Kata-kata Mika tiba-tiba berputar-putar di otakku. Perkataan Mika benar. Selama ini aku tidak pernah merasa bahagia. Aku harus menyelesaikan masalah ini segera. Ada keteguhan di hatiku yang muncul tiba-tiba. Dahiku mengernyit, mataku membulat penuh tekad. Kupejamkan mata untuk meyakinkan diriku sendiri, sebelum mengambil jaket, ponsel, dan memanggil taxi, pergi ke apartemen Bara. Sepanjang perjalanan, perasaanku campur aduk. Ada rasa takut, khawatir, tapi tekad mengalahkan semuanya. Aku pernah satu kali ke sini sebelumnya, bangunan apartemen menjulang tinggi di khawasan elit Jakarta Selatan. Aku memberitahukan kedatanganku pada security yang akan disampaikan melalui resepsionis ke nomor apartemen Bara.



Security bahkan mengawalku sampai ke depan pintu kamarnya begitu tahu aku adalah Nadia. Seakan-akan, Bara sudah menantikan kedatanganku sejak lama. “Makasih ya, Pak.” Aku tersenyum kecil berterima kasih. 277



“Baik, Mbak. Saya titip salam buat Mas Barata, ya. Selamat malam.” Aku tersenyum miris. Security itu bahkan sampai tahu siapa Barata. Aku tidak akan kaget kalau dia sampai mendapatkan perlakuan istimewa di sini. Aku yang gugup setengah mati raguragu saat tanganku hampir menekan bel interkom. Tepat di saat itulah, pintu apartemen terbuka. Aku tersentak kaget melihat Rio dari balik pintu. “Masuk aja. Lo udah ditunggu Bara di dalem.” Rio membukakan pintu apartemen. Aku masuk perlahan, mendapati satu per satu dari ketiga teman Bara lainnya yang kebetulan juga berada di sini. “Bara dimana?” tanyaku. Cakra menunjuk sebuah pintu dengan dagunya, “Di dalem kamar. Lo disuruh masuk kalau udah sampe ke sini.” Situasi ini entah mengapa terasa aneh. Mereka diam menatapku seakan menungguku masuk ke dalam kamar, untuk bertemu Bara. Aku berasumsi mungkin mereka tahu maksud kedatanganku. Tapi aku tidak peduli. Aku sudah bertekad untuk mengakhiri segalanya malam ini.



278



Aku masuk ke dalam kamar. Bara ada di sana, duduk di atas sofa tunggal menghadap ke arah jendela kamar yang menampakkan pemandangan malam Kota Jakarta. Gelap dan dingin. Hanya dua lampu nakas di samping kasur yang menjadi satu-satunya penerangan di ruangan ini. “Kamu datang.” Suaranya yang pelan masih bisa kudengar dari sini. Aku memilih untuk tidak beranjak selangkah pun. “Ada yang mau aku omongin,” kataku lantang, walaupun aku tidak bisa menyembunyikan gemetaran di suaraku. Bara tidak menjawab. Dia menarik napas dengan kasar sebelum berdiri dan menghadap ke arahku. Perlahan dia berjalan ke arahku tepat saat suara gemuruh petir mulai terdengar. “Apa yang mau kamu omongin, Nadia?” Kutatap matanya lamat-lamat saat dia benar-benar sudah mendekat. “Aku mau kita selesai, Bar.” Lagi, suara gemuruh petir terdengar. Aku diam menanti responnya. Aku sudah menyiapkan hati, kalau dia sampai memukul atau menjambakku. Aku sudah mempersiapkan skenario terburuk yang bisa saja teradi padaku. Tapi, respon Bara 279



yang



menatapku



tanpa



ekspresi,



kemudian



berbalik



membelakangiku membuatku mengernyit. “Bara,” kupanggil lagi namanya, “Aku lagi nggak bercanda. Aku mau kita putus.” Kutekan setiap kata yang kusampaikan dengan yakin. “Kenapa? Karena perempuan di kamar waktu pesta ulang tahun itu?” Bara mungkin tengah menertawaiku dalam hati karena aku tidak bisa menipunya dengan sandiwara yang kususun bersama Aileen. Aileen… Kak Bagas… dan laki-laki di klab. Atau mungkin, aku berikutnya. Ada kengerian yang menggelayar di seluruh tubuhku saat memikirkannya. “Kamu mau tahu kenapa, Bar?” aku tersenyum miring, “Biar aku kasih tahu semuanya. Kenapa selama ini aku susun rencana sama Aileen buat bisa putus dari kamu. Kenapa selama ini aku selalu mikir buat putus dari kamu. Kenapa selama ini aku selalu jadi pacar yang baik dan penurut di depan kamu. Kenapa selama ini aku berusaha buat nahan takut tiap sama kamu. Kamu mau tahu kan, Bar?!” Aku sudah tidak bisa menahan bentakan dan getaran di kalimatku. Kakiku secara refleks mundur begitu Bara berbalik. 280



“Alasan yang sama kenapa kamu bisa tega ngelukain mereka yang nggak bersalah. Kenapa kamu bisa ngelukain Aileen di depan mataku. Karena kamu itu monster, Bar.” Aku tidak tahu apakah kata-kataku ini mempengaruhinya, tapi bisa kulihat kilatan mata Bara yang berubah. “Aku lakukan itu semua buat kamu.” “Kamu bilang itu semua buat aku. Kamu tega ngelakuin apa pun buat aku. Tapi apa aku pernah minta? Nggak, Bar! Aku benci sama sifat kamu yang begini. Kamu itu egois, selalu menuntut aku sesuai keinginan kamu. Semuanya tentang kamu. Apa-apa tentang kamu. Kamu. Kamu. Kamu. Nggak pernah sekali pun tentang kita!” Aku mendorong dadanya saat dia mencoba mendekatiku. Aku sudah tidak bisa menahan mataku yang memanas sejak tadi. Aku segera menghindar saat tangannya terulur untuk meraihku. Tapi secepat kilat Bara mencengkeram lenganku dan menarikku ke arahnya. Kupejamkan



mata,



menyiapkan



hatiku



kalau-kalau



tangannya bergerak untuk menjambak rambutku, menampar, atau memukulku, seperti yang selama ini kutakutkan. Tapi itu semua tidak terjadi. Mataku perlahan terbuka, bersitubruk 281



dengan mata Bara yang menatapku pilu, seakan tak menyangka akan respon ekstrim penuh ketakutanku. Dia mengusap air mataku yang turun. Aku membiarkan belaian tangannya menyentuh pipiku. Dadaku sakit saat melihat ekspresinya yang kesakitan—ekspresi yang tidak pernah kulihat sebelumnya. “Aku… nggak akan pernah… sampai kapan pun nyakitin kamu, Nadia.” suaranya yang pelan dan serak sekali lagi membuat hatiku pilu. “Tapi kamu nyakitin orang lain demi aku, Bar. Dari awal kita emang nggak bisa sama-sama, kan? Dari awal nggak ada yang cocok sama kita. Dunia kita terlalu beda, Bar.” Bara memejamkan mata saat mendengar kalimatku. Lalu dia melepaskan diri. Berbalik, mengacak rambutnya, menoleh ke arahku, sebelum berbalik membelakangiku lagi. “Aku nggak peduli. Kamu tahu sendiri sejauh apa yang bisa aku lakuin buat kamu. Aku nggak akan biarin kamu pergi.” Egois. Sampai akhir pun, Bara tetap egois. Selalu tentang dia. Semuanya tentang dia. Apa-apa harus sesuai dengan kehendak dia. Di saat mataku sudah bercucuran air mata begini pun, Bara tetaplah Bara. Aku marah. Marah pada diriku yang masih tidak 282



bisa berbuat apa-apa. Marah pada Bara yang sampai akhir masih begini. Pikiran dan perasaanku mendadak kacau. Aku sudah tidak bisa menahan amarah lagi saat melihat sebuah pisau di atas piring buah di atas nakas. “Kamu mungkin bener, Bara. Kamu bilang kamu nggak akan ngelukain aku,” perlahan kuambil pisau itu, “Tapi kamu lupa. Aku bisa ngelukain diriku sendiri karena kamu.” Mendengar perkataanku, Bara langsung berbalik, melihat gerakan tak terduga dariku saat aku mengarahkan ujung mata pisau ke arah pergelangan tanganku. Bara secepat kilat menarik dan memelintir lenganku yang memegang pisau sebelum secara kasar melempar dan membuang benda itu sampai ke sudut kamar. “Kamu udah gila, apa?!” Aku tersentak begitu dia berteriak tepat di depan mukaku. Napasnya yang memburu mengenai seluruh permukaan wajahku. Bisa kurasakan kedua tangannya yang bergetar saat mencengkeram kedua pergelangan tanganku. Baru kali ini… aku bisa melihat sinar kalut, panik, dan ketakutan yang teramat sangat dari matanya. 283



“Bar…” Bara memejamkan mata, mengatur napasnya yang berhembus kasar dan tak teratur. Detik setelah itu, Bara bersimpuh di hadapanku,



tanpa



melepaskan



tangannya



sama



sekali.



Kepalanya menunduk, dan aku bisa melihat air mata yang menetes ke dagunya. “Bara…” Kupanggil namanya, tapi dia tidak menjawab. Ya, Tuhan. Aku sudah tidak bisa menahan air mataku lagi melihatnya seperti ini, bersimpuh di depan kakiku dengan kepala menunduk, dan tangannya yang gemetaran, seperti orang yang tidak berdaya. Aku mencoba melepaskan tanganku darinya, hingga akhirnya berhasil. Tapi Bara masih tak bergeming. Aku menghela napas, “Kalau kamu bisa ngelakuin hal kayak gitu demi aku, aku juga bisa ngelakuin hal seekstrim ini buat diriku sendiri. Kamu paham kan, Bar? Ujung-ujungnya nggak akan ada penyelesaian. Kita tetep nggak bisa sama-sama lagi.” Kuseka air mataku, sekuat tenaga bersikap tegar. Aku memejamkan mata, dan dengan langkah pasti berjalan melewatinya. Aku sudah membuka pintu untuk keluar dari kamar—yang ternyata keempat teman Bara sedari tadi 284



menunggu di depan pintu—saat aku mendengar suara tangisan. Tangisan Bara. Kupandangi satu per satu mereka yang terkejut begitu aku mendengar suara debaman keras dari arah belakang. Suara teriakan, erangan, dan isakan frustasi yang memeka ke seluruh ruangan. Keras sekali. Begitu kerasnya sampai-sampai aku tidak berani menoleh ke belakang. Aku menutup pintu, membiarkan suara Bara yang teredam masih terdengar. Aku berjalan melewati mereka berempat yang sudah berlari membuka



pintu



kamar,



masuk



kesana.



Pemandangan



menyakitkan terakhir yang kulihat sebelum aku keluar dari apartemen Bara, adalah sosoknya yang tengah membenturkan kepalanya sendiri ke lantai kayu berulang kali, meronta-ronta di sela-sela erangan dan tangisnya.



285



BARATA’S WORLD



Dunia Bara yang sesungguhnya, bukanlah dunia yang bisa dimasuki oleh sembarang orang. Dunia gelap dimana hanya orang-orang kuat, tak terkalahkan, dan berbahaya saja yang menjadi bagian dari perkumpulan ini. Bukan sebuah kelompok kecil, namun juga bukan disebut organisasi. Banyak orang menyebutnya sebagai ekonomi hitam dan ekonomi bawah tanah, sebuah aktivitas ilegal dalam negeri yang sulit dilacak oleh kepolisian negara. Penyelundupan, perjudian, prostitusi, penggelapan dana, pencucian uang, dan banyak tindak kriminal yang bernaung dibawah sektor ini. Mereka tersembunyi, berdiri di belakang layar, dengan pergerakan aktivitas yang tak terdeteksi. Mengelola kongsi untuk menyembunyikan identitas asli mereka. Keluarga Birawa adalah salah satu dari banyak wangsa ekonomi hitam terkuat. Berkedok sebuah perusahaan dagang besar yang namanya banyak diketahui publik di Indonesia, 286



menyembunyikan organisasi gelap sebagai tumpuan bisnis mereka. Banyak mengatakan, keluarga mereka termasuk salah satu dari jejeran keluarga konglomerat yang tertutup. Kehidupan pribadi yang tidak pernah terendus media dan khalayak umum. Mereka seperti memiliki dua sisi kehidupan. Satu sisi sebagai masyarakat biasa, di sisi lain mereka hidup dalam dunia gelap. Di siang hari mereka menjalankan bisnis sehat, namun saat malam orang-orang berbahaya berkumpul menyelesaikan bisnis hitam. Yang membuat Keluarga Birawa menjadi penguasa dalam sektor gelap ini, karena adanya campur tangan, bahkan permintaan dan permohonan dari pebisnis besar, orang-orang penting, dan petinggi negara. Sebuah bisnis tak kasat mata yang terlibat dalam berbagai sektor ekonomi perdagangan. Yang lebih tak terduga, sektor ini masuk ke dalam partai, kemiliteran, dan istana negara. Bisnis penting yang dikelola secara turun temurun, dari generasi ke generasi. Hanya yang paling tangguh dapat menempati posisi sebagai penerus bisnis ini. Baik dari sisi intelektual, maupun kekuatan fisik. Barata Saputra Birawa adalah putra tunggal, sekaligus generasi terakhir keluarga Birawa. Pewaris bisnis hitam yang 287



dikelola keluarganya selama empat generasi. Dan selama itu pula, mereka tetap mempertahankan tradisi yang sama mengenai pemilihan pewaris penguasa. Anak yang dipilih haruslah berjenis kelamin laki-laki, berwawasan luas, kuat, jeli, dan punya kemampuan bela diri yang tinggi. Ayah Barata, Rajendra Birawa adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Tiga putra, satu perempuan yang paling bungsu. Saat masa generasinya, ayah Rajendra memiliki aturan



khusus untuk menentukan siapa yang layak menjadi penerus kursi penguasa pengganti ayahnya. Perebutan kekuasaan. Tradisi lama yang masih digunakan untuk menilai kelayakan dari sang penerus. Termasuk Barata. Sejak kecil, karena berasal dari keluarga yang termasuk dalam keluarga konglomerat, Barata selalu mendapatkan segalanya, apa yang dia mau. Dari mainan, makanan, kemana dia pergi, sampai pelayanan penuh dari para pesuruh dan penjagaan ketat para pengawal yang siap sedia dua puluh empat jam di sekitarnya. Barata mulai menyadari bahwa hidupnya sangat berbeda dibanding anak lain seusianya di umur yang ke lima tahun. Saat 288



itu, ibu dan ayahnya, dengan pakaian serba hitam berangkat bersama dalam sebuah mobil, diikuti mobil-mobil sedan yang berjajar



mengawal.



Mereka



sampai



di



sebuah



tempat



pemakaman elit dengan penjagaan ketat. Barata yang berumur lima tahun merasa heran, mendapati ratusan pria berjas hitam formal berbaris di belakang kedua orang tuanya. Saat itu adalah prosesi pemakaman kakeknya. Sekaligus, menjadi pertanda resmi bahwa kursi penguasa berada di tangan ayahnya, Rajendra Birawa. Dua tahun kemudian, di usia Barata yang ke tujuh, untuk pertama kali ibunya masuk ke dalam kamarnya, memberi sebuah



petuhan sebelum Barata tidur. “Bara, Barata Saputra Birawa. Kamu tahu apa arti nama Birawa?” “Enggak, Mama…” Barata kecil menggeleng, melihat tatapan dingin ibunya dalam ruangan gelap yang termaram. Ibu yang sejak kecil memiliki latar belakang hitam yang sama. “Nama yang memiliki arti hebat, dan dahsyat. Nama yang sudah ada dari ayahmu, bahkan kakungmu, dan kakung buyutmu. Dan sekarang, nama Birawa ada dalam namamu, 289



Barata. Mulai sekarang, Bara bukan lagi Bara yang sama, yang merengek meminta makanan atau mainan ke Mama. Kamu harus menghidupi nama itu sungguh-sungguh. Jangan sampai



tempatmu diambil orang lain. Kamu paham, Barata?” Barata kecil langsung mengangguk. Di usianya yang masih cilik, sama sekali tidak ada sinar mata ragu, ketakutan, dan bimbang. Jenis tatapan sama yang dimiliki ayahnya, seakan diturunkan langsung. Sejak saat itu, ibunya selalu memanggilnya Barata, dan menunjuk diri dengan kata saya. Hidup Barata berubah dalam sekejap. Dia yang tidak pernah melihat kekerasan, sejak itu adegan pukulan, tendangan, penyerangan, bahkan aksi tusuk menusuk dilihatnya setiap hari. Yang paling mencengangkan untuk pertama kali, adalah saat seseorang tiba-tiba berusaha menyelinap rumahnya—yang bahkan berdinding tinggi sampai lima meter—dan menculiknya. Sebuah aksi nekat yang dapat dipastikan hasilnya: gagal. Barata melihat para anak buah ayahnya menghabisi secara langsung dengan brutal di depan matanya. Menusuk, mencekik, dan memukul secara membabi buta sampai tidak ada pergerakan napas sekali pun dari sang pelaku. 290



Ayahnya melihat dari jauh, membiarkan para anak buah menyelesaikan masalah ini dengan cepat. Tidak ada satu pun pihak kepolisian yang datang. “Tuan Muda,” kata salah satu pengawal, “Tidak ada yang terluka, tuan muda?” Barata menyerapi dua kata itu. Tuan Muda. Pertanda dia adalah putra sang penguasa di sini. Dia mengangguk, dengan pandangan masih menatap lurus ke arah ayahnya yang menatap para korban tanpa belas kasihan. Satu tahun kemudian, di usia yang ke delapan, Barata mempelajari ilmu bela diri. Semua macam dia ambil. Dari boxing, judo, jujitsu, muay thai, sampai seni bela diri militer yang hanya diketahui segelintir orang. Persiapan yang bahkan terlalu cepat untuk anak usia delapan tahun. Terkecuali, untuk Keluarga Birawa. Lalu di usianya yang ke sepuluh, tradisi itu dimulai. “Kita pergi. Jangan bertanya, dan jangan bicara satu kata pun selama perjalanan. Duduk tenang dan konsentrasi. Buktikan pada saya kalau kamu memang layak.” Barata yang sudah dididik untuk diam dan patuh pada yang lebih



berkuasa—yaitu



ayahnya—mengikuti



Rajendra, 291



melakukan perjalanan di dalam mobil selama tiga jam, menuju sebuah daerah terpencil yang dikelilingi hutan belantara. Mereka turun. Barata dibawa masuk ke dalam hutan—bersama para pengawal yang masih berjaga-jaga. “Kamu tahu itu apa?” Rajendra bertanya seraya menunjuk sebuah lubang besar dengan pinggiran batu kali yang tersusun. “Itu sumur, Papa.” “Naik ke atas pinggirannya.” Diam, tidak boleh bertanya, dan tidak boleh membantah. Sepuluh tahun-Barata dengan patuh naik ke atas pinggiran sumur, walau dalam hati bingung apa yang akan dilakukan ayahnya dan mengapa dia diperintah untuk seperti ini. “Kamu masih ingat apa yang harus dimiliki seorang Birawa?” “Kuat, cerdas, tidak kenal takut, dan tangguh.” Barata mengulangi empat kata yang selama dua tahun ini selalu dikatakannya sebelum memulai sesi latihan berbagai macam seni bela diri. Empat aspek penting yang harus dimiliki seorang



Birawa. “Kalau begitu, buktikan pada saya, kalau kamu memang layak menyandang nama Birawa. Buktikan kalau kamu memang kuat,



292



cerdas, tidak kenal takut, dan tangguh. Bertahan hiduplah sampai akhir.” Barata yang bahkan masih belum sepenuhnya mencerna perkataan Rajendra langsung dikejutkan saat tiba-tiba, beliau mendorong tubuh mungilnya, jatuh terjungkir masuk ke dalam sumur. Lubangnya besar dan tidak terlalu dalam, namun tetap membuat Barata kecil terkejut. Ditambah, rupanya dia tidak sendirian di dalam sini. Ada lima orang anak laki-laki seusianya, berpakaian compang-camping. Lima anak preman dengan kemampuan bela diri yang sama. Mereka anak-anak jalanan yang hidup liar dan bertahan hidup dengan bertarung. Insting bertahan hidup mereka bahkan melebihi bocah laki-laki kaya raya yang kebutuhan hidup selalu terpenuhi. Barata perlahan bangun, bersikap tenang saat kelima anak itu mengacungkan kepalan tangan, membentuk posisi menyerang.



Pertarungan pertama Barata. Bersama lima preman tanpa ada jalan keluar. Sebuah posisi dimana Barata mau tidak mau harus menghadapi mereka. “Kamu anak orang itu?!” salah satu dari mereka berteriak marah. 293



Barata menengadah. Ayahnya melongok ke bawah untuk melihat dirinya. “Iya.” jawabnya. “Orang itu bilang, kalau bisa kalahin kamu, kita semua bakal dikeluarin dari sini dan diberi uang. Katanya kamu harus mati.” Saat itu, Barata mengalami titik balik penting dalam emosionalnya. Mati. Ayahnya menyuruh para preman ini untuk membunuhnya. Sedangkan Barata tidak pernah diajarkan untuk membunuh. Hanya bertarung sampai di titik sang lawan tak sadarkan diri. Hati Barata menggelap. Matanya menatap satu per satu mereka dengan nyalang. “Kalian semua… mau bunuh aku?” Beberapa dari mereka seperti memiliki insting bahwa yang dihadapan mereka kali ini bukan orang sembarang. Pembawaan yang tenang dalam situasi berbahaya, tatapan dingin dan tanpa ekspresi. Ketenangan yang bahkan makin membuat suasana makin mencekam. “Iya, kalau enggak, kita semua nggak bisa bebas!” Barata kecil menatap mereka satu persatu. Naluri petarung yang dia kira tidak pernah ada muncul dalam sekejap.



294



Setelah itu, kelima mereka menyerang secara langsung. Pertarungan dimulai. Teriakan demi teriakan, erangan suara debaman keras yang menggema, menyerebak dalam hutan. Satu jam kemudian, tidak ada suara. Sunyi. Rajendra mendekat ke arah sumur, melongok ke bawah, dan menemukan Barata berdiam diri di tengah-tengah, dengan kepalan tangan penuh darah, napas yang tersengal-sengal. Berdiri dikelilingi kelima anak jalanan yang terkapar tak berdaya.



Barata



memenangkan



pertarungan



pertama.



Mengalahkan lima anak dengan tanpa senjata. Sendirian. Tanpa luka. Rajendra melihat sesuatu dalam diri putra tunggalnya. Anak berumur sepuluh tahun dengan teknik seni bela diri tinggi, sebuah pencapaian yang bahkan tidak pernah terjadi selama tiga generasi wangsa Birawa sebelumnya. Saat Barata dibawa naik keluar dari sumur, dia bisa melihat senyum penuh kepuasan di wajah ayahnya. Barata telah berhasil dalam seleksi pertama. Tradisi yang dilakukan oleh keluarga mereka secara turun menurun. Ujian penentuan kelayakan sebagai seorang penerus.



295



Tidak ada yang memberinya ucapan selamat. Tidak ada ucapan bangga. Tidak ada pertanyaan yang menanyakan kondisinya. Baik dari ayah, ibu, maupun orang sekitarnya. Semua hanyalah kewajibannya sebagai seorang Birawa. Lalu, di usia yang ke sebelas, Barata mendapatkan sebuah petuah, sebagai persyaratan utama dan yang terakhir untuk secara resmi menjadi bagian dari dunia mereka. Dia harus mencari aliansi. Membentuk sekutu dengan latar belakang dunia



hitam seperti keluarga mereka. Bukan sembarang orang, melainkan orang berbahaya yang berkecimpung di dunia yang sama. Di usia yang ke dua belas, Barata bertemu dengan Brian dan Rio. Dua tahun kemudian, di usia yang ke empat belas, Arga dan Cakra bergabung. Lima anak muda berkumpul membentuk kelompok tersembunyi dan berbahaya. Di usia yang ke lima belas tahun, mereka menduduki kursi



penguasa selatan, dimana Barata menjadi sang pemimpin. Empat kelompok penguasa wilayah dengan sektor kecil, namun memiliki pengaruh besar. Awal dari dunia yang lebih dalam dan gelap dari apa yang mereka masuki sekarang.



296



“Empat penguasa bawah tanah. Kelompok pinggiran, tapi kamu bisa belajar dari sana. Anggap saja ini latihan kecil sebelum kamu terjun langsung ke dunia hitam yang lebih besar. Jadi penguasa salah satu wilayah, cari sekutu dari latar belakang yang sama, dan anak buah yang bisa dipercaya. Hiduplah secara mandiri, dan buktikan pada saya di tugas terakhir ini kalau kamu memang layak jadi penerus saya.” Rajendra berkata di kursi utama ruang kerja pribadinya, menghadap Barata yang berdiri siap menerima tugas terakhir. Setelah berhasil menempati kursi penguasa selatan, Barata harus menjalankan sesuai cara kerjanya sendiri. Ayahnya akan melihat dari jauh, seberapa besar cakupan yang dapat dia raih, atau tingkat kemenangan dan keberhasilan dalam pertarungan antar kelompok. “Gimana kata bokap lo? Dia puas?” Arga bertanya saat mereka berlima tengah berkumpul di basecamp. Bara menyesap rokok dan mengepulkan asap ke udara, “Banyak yang harus dibasmi. Masih banyak yang belum tuntas katanya.” Cakra terkekeh dan menggeleng pelan, “Bokap lo emang tiada duanya, gue akui. Kita baru satu tahun nempatin wilayah selatan, 297



dan asal lo tahu, komplotan dan jangkauan kita lebih banyak daripada tiga wilayah lain.” “Nggak kaget lagi gue. Keluarga Birawa emang nomor satu. Boro-boro ditanya, bokap gue malah nyeramahin asal gue kagak babak belur pulang ke rumah.” Arga tersenyum masam, mengingat wangsa keluarganya yang pesimis akan dirinya. “Lo kalau nggak sama kita udah gelantungan di jalanan. Jadi



tikus-tikus kececeran cari tameng.” Brian berkomentar, yang disambut tawa lainnya. Lima anak laki-laki, lima wangsa yang berbeda, lima berlatarbelakang yang sama. Semua kelihatan sempurna. Semuanya terlihat berjalan sesuai dengan apa yang Barata rencanakan. Sekutu, penguasa wilayah, menjadi pemimpin dengan pengikut setia. Tidak ada yang bisa mengalahkannya. Reputasinya yang ditakuti banyak orang, identitasnya yang disembunyikan, kursi pewaris yang sudah ada di tangannya.



Everything is absolutely perfect. Kemudian, penyerangan itu terjadi. Serangan tak terduga dari



kelompok bawah tanah besar dari wilayah utara. Para pengkhianat-pengkhianat dan sekumpulan orang-orang yang ingin membalasdendam padanya—mereka yang tidak bisa 298



menerima kekalahan. Luka tusukan di malam hari. Barata tergopoh masuk ke area rumah sakit. Apa dia akan mati? Apakah semua rencana yang telah dia susun akan hancur? Di sela-sela erangan kesakitan akan luka tusuk yang menyengat di bagian perut bawahnya, seseorang datang. Seorang perempuan berambut panjang dengan tanpa takut menuju ke arahnya, membantunya. Persetan dengan semua orang. Barata tidak pernah ditolong oleh orang lain. Dia adalah yang terkuat. Sejak kecil dia melakukan semua sendiri. Tidak ada seorang pun yang dia percaya. Tidak ada yang boleh dia percaya. Satu langkah penuh kewaspadaan yang diajarkan pada dirinya sejak kecil. Tidak pernah ada kawan yang abadi, demikian juga musuh yang abadi. Tapi malam itu, dia membiarkan diri untuk ditolong orang lain. Oleh seorang perempuan hampir seusianya, dengan tiang infus tersambung ke tangannya, yang hampir menangis melihat dirinya dibawa ke dalam ruang IGD. Membiarkan orang yang bahkan tidak dia kenal untuk memanggil namanya dengan sebutan Bara—sebutan yang tidak semua orang bisa panggil. Nadia. 299



Awalnya, hanya itu. Untuk membalas budi karena telah menolongnya. Saat mengetahui bahwa perempuan itu berada di satu sekolah yang sama dengannya—salah satu sekolah swasta terbaik dimana tidak banyak orang tahu bahwa banyak orang-orang dengan latar belakang sama sepertinya berkumpul disini— Barata terpikirkan sesuatu. Sesuatu yang bahkan tidak pernah muncul di otaknya, yang tidak pernah ada dalam rencananya. Sesuatu yang sederhana, namun entah kenapa selalu memenuhi pikirannya. Kehidupan normal yang tidak pernah ia alami. Kehidupan normal seperti orang biasa. Menjalin hubungan dengan normal bersama perempuan normal. Hal yang tidak pernah terpikirkan di kepala Bara selama delapan belas tahun dia hidup. Kehidupannya yang dipenuhi dunia hitam, penguasa wilayah, dan pertarungan. Kini ada satu aspek lain yang ingin dia coba, hanya bersama orang itu. Nadia. Ada rasa ingin melindungi yang teramat sangat, rasa ingin melihatnya setiap hari, rasa ingin menggenggam tangannya, perasaan ingin bersamanya. Hanya dengan orang itu. Nadia. Sesederhana itu. Ketika pada akhirnya mereka bersama, seperti



300



pasangan normal lain, rasanya seperti hatinya yang ternyata selama ini ada ruang kosong terisi. Bara hanya tidak ingin dia pergi. Lalu semua berubah. Penyerangan malam hari, pukulan demi pukulan bengis membabi buta Bara pada orang yang berusaha mencelakai



Nadia.



Bara



memperlihatkan



segalanya.



Memperlihatkan siapa sosok sebenarnya dia. Tidak ada yang ditutupi. Rasa hausnya akan hantaman dan darah, kebiasaan yang sudah dilakukannya semenjak umur delapan tahun. Dunianya. Dunia gelapnya. Dunianya yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari Nadia, membuat hubungan mereka berubah.



“Nadia? Kamu nggak mau kejadian tadi keulang, kan? Be a good girl, Nadia.” Malam itu, setelah menghabisi orang yang berusaha melukai Nadia, tangan besarnya yang terlumur darah mengelus pelan pipi dan kepalanya. He meant it. Barata hanya tidak ingin kejadian seperti ini terulang. Dia hanya ingin Nadia mematuhi apa yang dia katakan, seperti sebuah perintah yang selalu dikatakan ayahnya kepadanya. Dia hanya ingin Nadia aman dan tidak terluka. 301



Bara hanya tidak ingin dia pergi. Secara tanpa sadar, dia mencampurkan apa yang menjadi kebiasannya sejak kecil kepada hubungannya yang normal. Detik setiap melihat tatapan ketakutan Nadia yang tertuju padanya, sikapnya yang selalu berhati-hati tiap bersamanya, senyum yang tidak pernah Bara lihat lagi… selalu berhasil membuat dadanya terasa sesak. Barata tidak peduli. Dia akan melakukan apa pun untuk membuat Nadia tidak pergi dari sisinya. Termasuk saat tahu bahwa Nadia merencanakan bersama Aileen—si brengsek yang berkhianat dan berencana menusuk kelompok mereka dari belakang, dan ujung dari rencana yang Nadia inginkan adalah perpisahan, Bara membiarkan semuanya. Karena Bara akan melakukan segala hal untuk membuat Nadia kembali. Termasuk melakukan tindakan ekstrim dengan melukai orang lain. Sekali lagi, Bara hanya tidak ingin dia pergi. Tapi, saat melihat Nadia menangis karena dirinya, sebuah percobaan untuk melukai dirinya sendiri, dan penyebabnya adalah dirinya, Bara seperti mendapat hantaman palu yang kuat di dadanya. Selama ini, dia yang berusaha untuk melindungi



302



Nadia dari orang-orang yang berusaha melukainya, pada akhirnya dia sendirilah yang menyakiti perempuan itu. Pertahanan hati yang selama ini Bara bangun kuat dan kokoh sejak kecil, hancur berkeping-keping. Dunianya yang selama ini gelap dan berbahaya, tergantikan dengan dunia yang baru. Nadia adalah dunianya yang baru. Dan sekarang, dia harus kehilangan dunia itu.



303



STRANGERS



Badanku terasa kaku, kakiku lemas. Aku berdiam cukup lama di depan pintu, sebelum badanku ambruk. Bahkan dari luar begini pun, aku masih bisa mendengar suara berisik dari erangan dan teriakan Bara di dalam. Aku menutup kedua telingaku begitu suara keributan dan saut menyaut teriakan dari teman-teman Bara makin keras. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Bara. Mengapa dia bisa sampai seperti itu? Seperti seseorang yang selama ini telah menahan semuanya, lalu pertahanan dirinya hancur dalam sekejap. Rasa kecewa, ketakutan, amarah yang selama ini terpendam dalam hatiku luntur dalam sekejap. Pemandangan memilukan yang sekilas kulihat tadi, Bara yang sampai membenturkan kepalanya sendiri ke lantai sambil berteriak seperti itu, sangat mengena di hatiku. Jantungku seperti



304



merosot turun ke dada. Tanganku bahkan sampai gemetaran begini, dan air mataku tidak mau berhenti keluar. Sekuat tenaga kutahan diriku untuk tidak kembali ke dalam, menghampirinya, dan menanyakan bagaimana dia bisa jadi seperti ini, tapi aku tahu aku akan goyah lagi. Keputusanku sudah bulat untuk mengakhiri segalanya, walaupun harga yang harus kubayar adalah melihat sosok Bara yang meledak. “Nadia.” Aku tersentak saat sadar Brian keluar dari pintu apartemen dan menghampiriku yang terduduk di lantai. Brian kelihatan sama kacaunya. Mungkin dia kaget sepertiku, melihat Bara yang kehilangan arah seperti sekarang. “Gue bakal anterin lo pulang.” Aku menggeleng, “Nggak usah, gue bisa pulang sendiri.” kemudian aku berdiri, mengabaikan erangan demi erangan yang teredam sebelum Brian menghalangi jalanku. “Nggak. Lo musti dianter. Bara pasti nggak pengen lo pulang sendiri.” “Gue udah nggak ada apa-apa lagi sama Bara. Begitu juga kalian berempat yang udah nggak perlu antar jemput gue lagi.”



305



Brian mendengus, seperti tidak menyangka mendengar ucapanku yang berani dan memang apa adanya. “Lo pikir di luar aman? Saat semua orang tahu kalau lo masih ada hubungan sama Bara? Fine, kalian emang udah selesai. Tapi apa si tikus-tikus lain tahu apa yang terjadi sama lo,” Brian menunjuk ke arah pintu apartemen, “Dan Bara yang jadi kayak begitu?!” Walau sedikit tidak paham, aku berasumsi yang dimaksud



tikus-tikus adalah musush-musuh kecil Bara yang lain. Kulirik pintu apartemen yang ditunjuk dengan jari Brian, dadaku terasa sesak. Aku yang ingin cepat pergi dari tempat ini mengangguk. “Oke… gue ikut sama lo.” Brian menghela napas, “Bagus. Lo pasti juga kagak mau denger Bara ngalamin mental breakdown kayak sekarang.” Napasku tertahan dan lidahku kelu. Aku memutuskan untuk mengikuti Brian turun melalui elevator ke lobby apartemen, sebelum menghampiri mobilnya yang terparkir di depan gedung apartemen. Selama perjalanan, pikiran dan perasaanku masih kacau. “Gue kagak pernah nyangka hubungan kalian berdua separah itu.”



306



Aku melirik ke arah Brian yang masih fokus menjalankan mobilnya. Mungkin, ini kali pertama Brian berbicara padaku tanpa nada mencibir atau meledek. “Dari awal… hubungan gue sama Bara emang nggak normal.” Dan ini mungkin kali pertama aku bisa bebas berbicara dengan salah satu dari keempat teman Bara yang kutakuti. Brian mendengus, “Kita berempat udah tahu kalau soal itu. Dari sekian banyak cewek, sampai sekarang gue kagak pernah ngerti kenapa Bara bisa milih lo yang notabenya cewek normal.



Terlalu normal malah. Lo bukan berasal dari dunia kita. Lo orang normal yang kagak ada hubungannya sama sekali sama dunia kita berlima. Dunia gelap yang mungkin nggak akan pernah ada di bayangan lo.” Brian saja heran, apalagi aku. Sampai sekarang pun, apa yang dirasakan Bara, dan alasan mengapa dia memilihku menjadi pacarnya masih menjadi tanda tanya besar bagiku. “Jadi… itu alasan kalian nggak suka sama gue?” Brian tersenyum miring, “Ini lebih rumit dibanding yang lo kira. Dunia lo sama dunia kita berlima yang beda emang jadi salah satu alasan kita berempat nggak suka lo jadian sama Bara.



307



Tapi lebih dari itu, yang kita semua takutin udah kejadian hari ini. Bara. He lost control. Karena lo.” Kueratkan tanganku yang mulai gemetaran lagi. “Bara kadang bisa jadi nggak manusiawi. Sampai sekarang kita berempat juga nggak tahu apa isi otak kepala dia. Nggak ada yang bisa nebak. Banyak hal yang menurut gue terlalu berlebihan dia lakuin. Termasuk urusan tentang lo. Dan kejadian barusan,” Brian menghela napas, “Nggak pernah seumur hidup gue lihat Bara meledak kayak tadi.” Aku juga tidak pernah menyangka Bara bisa jadi begitu. “Bara… gimana tadi di dalem? Dia… baik-baik aja?” “Lo pikir, dia jedutin kepalanya ke lantai berulang kali, teriakteriak kayak orang gila, nangis segitu frustasinya itu tanda kalau dia baik-baik aja? Siapa pun yang lihat pasti tahu he’s broken as



fuck, Nad. Kita berempat nggak tahu gimana cara nenangin dia. Apa sih yang lo lakuin ke Bara sampai dia bisa jadi begitu?” Aku bungkam. Terlalu menyakitkan mengingat kilas balik apa yang terjadi antara aku dan Bara tadi di dalam kamarnya. Pertengkaran kami, bungkamnya dia, dan percobaan menyakiti diriku sendiri yang sekejap membuatnya seperti orang linglung dan hilang arah, sosok Bara yang tak pernah kulihat sebelumnya. 308



Brian menoleh ke arahku yang mengalihkan wajah ke arah jendela. “Gue cuma berharap Bara kagak jadi gila setelah kejadian ini.” Dahiku mengernyit, “Kenapa? Kenapa Bara bisa sampai segitunya?” “Nggak salah lo nanya gue, Nad?” Brian menoleh lagi ke arahku dengan singkat seraya tersenyum sinis sebelum menggelengkan kepala, “Butuh berapa kali gue bilang sama lo? Selama ini, gue selalu bilang, lo itu Tuan Putrinya Bara, lo nomor satu di mata dia, lo prioritas utama dia. Lo pikir selama ini gue ngomong asal-asalan?” Selama ini aku tidak pernah menganggap serius omongan mereka yang cenderung dengan nada menyindir dibanding berbicara yang sesungguhnya. Aku juga tidak pernah tahu alasan Bara mau berpacaran denganku, bersamaku yang normal ini, dan juga apa saja yang dia lihat dariku sampai-sampai dia mau bersamaku. Sikap Bara yang egois, selalu menuntutku untuk sesuai dengan apa yang dia mau, aturan-aturan tidak masuk akalnya yang selalu dia ingatkan mungkin saja membuatku tidak bisa melihat apa yang sebenarnya dia rasakan. 309



“Gue sebenernya… selama ini takut sama Bara. Gue juga… takut sama kalian.” Aku menunduk saat mengatakan apa yang menjadi pergumulanku selama ini. “Lo pikir kita semua kagak tahu?” Brian lagi-lagi tersenyum miring, “Honestly gue nikmati banget ekspresi lo pas bareng kita berlima. Kayak tikus kebingungan yang lagi mikir cara buat kabur. Amusing banget. Gue juga bingung apa yang bikin Bara masih mau sama lo. Kita semua emang tahu Bara orang yang nggak bisa ketebak. Tapi orang macam Bara, bisa sampai histeris kayak tadi, dan itu karena lo… what an unepected thing to see.” Perkataan Brian ada benarnya. Sepanjang perjalanan, aku tidak berkata lagi. Pikiranku kalut, terlalu ralut akan apa yang kulihat di dalam apartemen tadi. Begitu sampai, aku cepat-cepat mengucapkan terima kasih dan membuka pintu sebelum Brian tiba-tiba berbicara. “Gue ngomong ini semua bukan ada maksud pengen lo balikan lagi sama Bara,” dia berbicara tanpa menoleh ke arahku, “Tapi yang gue tahu, cuma lo yang bisa bikin Bara balikin dia ke normal. Normal versi Bara maksud gue.” Aku tidak menjawab. Entah apa maksud Brian—yang notabenya bahkan tidak menyukaiku—bisa mengatakan hal 310



seperti itu. Segera kubuka pintu mobil sebelum masuk ke dalam rumah.



Sepanjang



malam,



aku



tidak



bisa



tidur.



Tiap



memejamkan mata, bayangan Bara yang menangis, meraung, dan membenturkan kepalanya tidak bisa hilang di kepalaku. Berulang kali aku menyalakan ponsel dan membuka nomor kontaknya, tapi tanganku selalu berhenti sebelum menyentuh layar. Aku sudah bertekad, bahwa hari ini akan menjadi hari terakhirku berurusan dengan Bara. Aku sudah tidak punya urusan lagi dengan dia. Hari Senin, aku tidak perlu memastikan apakah Bara menjemputku dengan menunggunya lagi. Aku berangkat sendiri seperti sebelumnya. Saat aku sampai di sekolah, aku belum melihat mobil hitam Bara. Kedatanganku yang seorang diri membuat gempar satu sekolah. Mereka pasti bingung dan bertanya-tanya karena minggu kemarin aku sempat berangkat bersama, sekarang aku sendiri lagi. “Mik, jadwal UAS udah keluar belum?” Aku bertanya pada Mika tepat setelah bel istirahat berbunyi. Aku tidak mau terlalu memikirkan semuanya. Untuk saat ini, aku fokus harus dengan nilai UAS ku untuk mempertahankan beasiswa. 311



“Lusa, Nad. Kalau gue nggak salah denger dari temen-temen,” Mika



mengernyit



menyadari



aku



yang



mendekatinya,



“Bukannya minggu kemarin lo bilang kita jangan deket-deket dulu, ya?” Aku tersenyum kecil, “Sekarang udah nggak apa-apa. Udah aman.” “Aman gimana?” Pandanganku menyapu seluruh ruang kelas sebelum berkata pelan, “Gue putus dari Bara.” Mika mengernyit, “Ini putus beneran atau nanti bakal balik lagi kayak kemarin, nih?” Aku tersenyum geli, walaupun dadaku sesak saat mengatakan, “Putus beneran. Gue sama Bara udah selesai kemarin.” “Serius?!” Aku mengangguk, merasa lucu melihat ekspresi kagetnya. Aku tidak berani menceritakan apa yang terjadi malam itu di antara kami berdua. Aku yang dengan berani berusaha melawannya dan mencoba melukai diriku sendiri, dan Bara yang menangis sambil bersimpuh di hadapanku. “Terus… sekarang gimana?”



312



Aku mendengus, “Ya nggak gimana-gimana. Gue bukan lagi pacar Bara. Gue udah bebas, Mik. Gue nggak perlu lagi kumpul sama kelompok dia.” Aku merasa aneh karena Mika menatapku begitu lama, seakan dia tengah memperhatikan ekspresiku lamat-lamat.



“Are you okay, Nad?” Pertanyaan sederhana dari Mika, tapi anehnya lidahku kelu untuk sekedar menjawab. Bohong, kalau aku bilang aku baikbaik saja. Aku tersenyum meyakinkannya, “Iya. Gue nggak apa-apa, Mik.” “Beneran?” Aku tersenyum, lagi. Ingin mengakhiri topik ini. Mika sepertinya mengerti mengapa responku begini. Jam istirahat kedua, aku dan Mika memutuskan untuk ke kantin. Baru saja aku memasuki area kantin, suasana yang semula gaduh menjadi sunyi seketika. Reaksi para murid yang diam-diam menatapku, karena sadar ada Bara dan temantemannya di sana. Aku bisa merasakan tatapan bingung dan tanda tanya besar mereka mengapa kali ini lagi-lagi aku duduk berpisah 313



dengannya. Dengan Bara, yang rupanya tengah duduk membelakangiku mengenakan hoodie biru, hadiah yang kuberikan saat ulang tahunnya. Aku ingat Brian mengatakan Bara tidak menyukai warna itu, tapi



melihat



Bara



mengenakan



hadiah



pemberianku,



membuatku tidak berani menatap ke arah sosoknya. “Lo mau gue pesenin, Nad?” Mika berdiri dari kursinya. “Oke. Gue bakso sama es teh ya, Mik. Nanti uangnya gue ganti.” “Nggak masalah.” Aku tidak berani memesan karena letak konter kantin dekat dengan tempat dimana Bara dan keempat temannya duduk. Aku tidak siap melihatnya, melihat bagaimana ekspresinya saat mungkin mata kami bertemu. Walau pun dalam hati aku penasaran dan khawatir bagaimana keadaannya semenjak



insiden itu. Aku memilih untuk mengeluarkan ponsel, dan mengecek akun sosial media, berusaha mengalihkan pikiranku darinya, sebelum tiba-tiba sebuah tangan terulur, dan satu gelas jus alpukat muncul di atas mejaku. Aku bisa mendengar dengan jelas orang-orang yang saling berbisik. Kepalaku menengadah, mendapati Bara—dengan 314



hoodie biru—menatapku tanpa ekspresi. Dia tidak mengatakan apa pun sebelum berbalik dan pergi dari kantin bersama keempat lainnya. Mataku terpaku pada sosoknya yang menghilang sebelum tertuju pada satu gelas jus alpukat kesukaanku yang sudah ada di depan mata. Tapi tanganku terlalu kaku untuk sekedar menarik gelas itu mendekat dan meminumnya. Pada akhirnya, jus alpukat pemberian Bara siang itu tidak kuapa-apakan. Aku bahkan sama sekali tidak berani menyentuhnya. Aku takut, jika hatiku akan goyah. Selama sisa pelajaran, tidak ada materi yang masuk ke otakku. Aku terlalu sibuk memikirkan kejadian tadi. Saat menjelang jam pelajaran selesai, suara gemeruh terdengar. Hujan. Aku harusnya sadar, dipenghujung tahun ini, musim hujan tiba. “Lo pulang gimana, Nad? Lo mau nebeng gue?” Mika bertanya seraya memasukkan buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas. Aku mengerdik bingung, “Tapi lo kan cuma bawa jas hujan satu. Yang set celana lagi.” “Hmm, bener juga, sih,” setiap hari Mika memang berangkat dan pulang sekolah berkendara motor sendiri, “Berarti lo nunggu sampai hujan reda?” 315



“Gitu, deh. Gue nggak bawa payung soalnya.” “Gue pulang duluan lo nggak apa-apa, kan?” “Nggak apa-apa. Paling juga banyak anak-anak yang masih nunggu kayak gue.” “Hmm, oke deh.” Aku harus menunggu sampai hujan reda baru bisa pulang— mengingat setiap hari, setelah putus dari Bara, aku selalu jalan kaki ke jalan raya untuk mencegat transportasi umum. Aku dan Mika berpisah setelah dia pamit pulang. Beberapa siswa masih menunggu sampai hujan benar-benar reda. Di saat itulah, aku baru sadar mobil hitam Bara masih terparkir. Yang artinya, dia masih berada di sekolah. Takut kalau-kalau bertemu dengannya, aku memejamkan mata, sebelum bersiap menerjang hujan. Di saat itulah, tiba-tiba lenganku ditarik, dan sebuah tangan terulur menaruhkan gagang payung ke tanganku. Bara. Masih dengan hoodie birunya menatapku penuh arti, tiba-tiba muncul dari arah belakang. Lagi-lagi, dia tidak mengatakan apa pun. Dalam diam, memberikanku sebuah payung yang sudah terbuka lebar, membuatku tidak basah kuyup oleh air hujan, berkebalikan



316



dengan dirinya yang hanya tertutup oleh tudung hoodie, terkena derasnya hujan. “Bara…” Aku yang terlalu kaget tidak sadar sudah memanggil namanya saat dia bersiap pergi. Bara berbalik sebentar, menatapku lama. “Payungnya…” “Jangan kehujanan,” gumamnya rendah dan pelan, sebelum senyum kecilnya tersungging, dan pergi menuju mobilnya yang terparkir. Sampai di rumah, aku hanya bisa berdiam diri di dalam kamar memikirkan semuanya. Kenapa… kenapa harus sekarang? Setelah hubungan kami berdua benar-benar berakhir, di saat aku sekarang sudah benar-benar lepas darinya, di saat kami berdua sudah jadi dua orang asing tanpa hubungan apa pun. Bara bahkan sama sekali tidak menghapus foto-fotoku atau foto kami yang pernah dia upload di akun instagramnya. Ini sudah hampir tiga minggu semenjak hubungan kami berakhir. Saat di kantin, aku sering mendapatinya menatap ke arahku. Dan sepanjang tiga minggu ini, Bara tidak pernah absen mengenakan



hoodie biru pemberianku.



317



Hanya saja… aku merasa ada yang berubah dari Bara. Saat itu, saat jam istirahat pertama, aku tidak sengaja melihat Bara dengan seorang siswa yang tidak sengaja menumpahkan minuman ke arahnya. Bara yang biasanya, pasti akan marah, atau membalaskan



dendamnya. Aku bahkan tidak akan kaget jika sampai terjadi peristiwa baku hantam. Tapi itu semua tidak terjadi. Bara membiarkan semuanya. Tidak ada hal buruk yang tertuju pada siswa itu. Beberapa hari kemudian, aku melihat Kak Bagas—teman satu kelas Bara yang pernah tidak sengaja melempar bola basket ke arahku—datang ke sekolah. Dalam keadaan baik-baik saja. Aku bahkan beberapa kali melihat mereka berbincang dan bermain basket bersama di lapangan. Kemudian, aku mulai mempertanyakan semua ini. Aku terbaring di atas tempat tidur. Kilas balik rentetan kejadian yang terjadi dalam hidupku selama aku bertemu dengan Bara bercampur menjadi satu. Aku mengalami dilema. Di satu sisi, pada akhirnya tujuanku untuk bisa lepas dari Bara selamanya tercapai. Aku tidak lagi bersama dia, tidak lagi harus 318



terbelenggu dengan aturan-aturan gilanya, tidak lagi berurusan dengan dunianya yang berbahaya, yang sangat berbeda dengan duniaku. Tapi di sisi lain, semua ini terasa menyakitkan. Bayangan Bara yang mengusap air mataku, menangis bersimpuh di hadapanku, adegan dimana dirinya menyakiti dirinya sendiri, bisikannya yang mengatakan kalau dia tidak akan pernah menyakitiku terlintas di kepalaku. Aku tersenyum miris, menyadari kalau mungkin selama ini aku hanya melihat dari satu sisi saja. Benar apa yang dikatakan Rio. Sampai akhir pun, aku tidak bisa mengenali Bara. Selama ini, mungkin memang benar Bara hanya ingin melindungiku, walaupun dengan caranya yang salah. Bara selalu berada di sekitarku. Sore itu, aku melihatnya. Aku yang tengah menunggu lampu hijau penyeberangan pejalan kaki di jalan raya. Di kerumunan banyak orang, di sisi sana, ada Bara, dengan hoodie hitamnya, menatap balik ke arahku.



319



Aku mendengus dan tersenyum kecil. Benar. Sampai kapan pun, apa pun yang terjadi, Bara tidak akan meninggalkanku. Dia akan selalu di sana, menjaga dan melindungiku dari jauh. Saat lampu penyeberangan berubah hijau, di tengah hiruk pikuk orang-orang yang menyeberang jalan, aku berlari menuju Bara. Bisa kulihat ekspresi terkejutnya melihatku bergegas ke arahnya, sebelum aku tiba tepat di hadapannya, dan memeluknya. Kupeluk tubuhnya yang kaku dengan erat. Bara diam selama beberapa saat, seakan mencerna perbuatanku yang tiba-tiba, yang mungkin tidak pernah disangkanya. Lalu setelah itu, dia merengkuhku balik lebih kuat, membenamkan kepalanya di leherku, menghirup kencang udara di sana, seraya memejamkan mata. “Nadia…” Aku bisa mendengar lirihannya yang sangat pelan di sela-sela hiruk pikuk lalu lintas. Aku tersenyum dalam diam, membiarkan kami berdua dalam posisi seperti ini, seakan-akan Bara tidak akan melepasku lagi. Lama seperti ini, pada akhirnya aku mendorong pelan tubuhnya, tersenyum ke arah Bara yang rupanya sudah 320



bercucuran air mata. Aku menghela napas. Astaga. Siapa yang menyangka bisa melihat sisi Bara yang seperti ini, sisi yang tak banyak orang lain ketahui. Kalau saat itu Bara yang menyeka air mataku, kali ini giliran tanganku yang terangkat, menyapu sisa air matanya. Kalau biasanya Bara yang selalu mengulurkan tangannya untuk menggapaiku, kali ini aku sendirilah yang menggenggam tangannya, sambil tersenyum, dengan kemauanku sendiri. “Ayo, kita pulang.”



321



DANGEROUS BOYFRIEND



Sebenarnya, saat ini banyak sekali hal yang ingin kubicarakan dengan Bara. Kami berdua sekarang berada di dalam mobilnya dengan kondisi mesin yang menyala, terparkir di depan rukoruko tak jauh dari penyeberangan jalan. Sudah sepuluh menit kami di sini, dengan tangan saling bertaut, dan tanpa ada satu pun dari kami yang mulai berbicara.



Awkward. Aneh sekali rasanya. Lebih aneh lagi, aku tidak merasa takut seperti yang selalu kurasakan tiap berdua dengan Bara. Dulu, aku pasti bersikap waspada, hati-hati dalam bicara. Sekarang, entah mungkin karena sejak melihat Bara malam itu di apartemennya, atau mungkin karena keputusanku yang bulat untuk kembali padanya, semua ketakutanku luntur. Aku menatap ke arah tangan kami yang bertautan, beberapa kali melirik ke arah Bara yang rupanya juga tengah melirikku walaupun wajahnya jelas menunduk melihat tangan kami.



322



Kucoba melepaskan genggaman kami, tapi Bara malah memegang tanganku lebih erat, seakan dia tidak mau melepasku. Aku pura-pura berdeham, memecah kecanggungan ini dan bertanya padanya, “Kamu… UAS kemarin gimana?” Oh, ya ampun. Rasanya aku ingin mengutuk diriku sendiri karena malah menanyakan perihal UAS yang kami lewati minggu lalu, saking bingungnya apa yang musti kami bicarakan. Dahi Bara mengerut menatapku dan tersenyum kecil, “Biasa aja.” Oh, oke. Aku tahu walaupun dibalik aktivitas berbahaya yang Bara lakukan bersama kelompoknya, Bara ini sebenarnya pintar. Mungkin kalau dia mau, dia bisa mendapatkan beasiswa untuk angkatannya, seperti aku. Tapi, kenapa aku sebal ya mendengar jawabannya? “Kamu?” Dia bertanya. “Sama… ada beberapa soal yang nggak bisa.” jawabku canggung. Lalu hening lagi. Aku yang sudah tidak tahan dengan situasi penuh kecanggungan ini menghela napas, mempersiapkan diriku untuk bertanya, bercerita, dan menumpahkan segala yang



323



kupendam selama ini. Termasuk kompromi apa saja yang ingin kuutarakan jika kami berdua kembali bersama. “Kamu pasti bingung kenapa aku kayak gini kan, Bar?” aku bertanya hati-hati, memperhatikan responnya. Bara memejamkan mata dan mengangguk kecil. Secara tibatiba, kuangkat tanganku, dan mengelus sisi kepalanya—hal yang sangat jarang, atau bahkan tidak pernah kulakukan selama aku berpacaran dengannya. Bara membuka mata. Dia pasti kaget. Ekspresinya yang sejak tadi tegang perlahan melunak saat dia merasakan usapan tanganku di sisi kepalanya. “Kepala kamu gimana?” tanyaku, tulus. Kejadian dimana dia menangis dengan meraung-raung dan menggedor-gedorkan kepalanya ke lantai masih menghantuiku sampai saat ini. Tangan Bara terangkat dan menangkup tanganku, “Aku baikbaik aja, Nadia. Lebih baik aku yang terluka daripada kamu. Jangan pernah lagi coba-coba ngelukain diri kamu sendiri lagi.” “Maaf. Waktu itu aku nggak maksud buat begitu,” ujarku seraya menurunkan tangan. aku sendiri sampai sekarang tidak mengerti akan tindakan impulsifku waktu itu dimana tiba-tiba, aku mengambil sebilah pisau dan mencoba melukai tanganku.



324



Saat itu, sebenarnya aku tidak ada maksud apa-apa. Aku tidak pernah berniat melukai diriku sendiri. Hanya saja saat itu aku melihat akan jadi kesempatan untuk mengancam Bara— walaupun responnya di luar dugaanku. “Nggak, kamu nggak perlu minta maaf. Kamu bener, Nadia. Selama ini aku emang selalu berusaha ngelindungin kamu, tapi aku sendiri yang malah bikin kamu ngelukain diri kamu sendiri. Aku bisa gila kalau kamu sampai terluka. Dan ironisnya penyebab itu semua karena aku.” “Tapi gara-gara aku kamu juga…” kata-kataku tertahan di tenggorokan saat aku mengingat Bara yang membenturkan kepalanya, “Bar… kamu jangan gitu lagi, ya… Aku takut banget waktu kamu benturin kepala kamu ke lantai. Harusnya waktu itu aku langsung datengin kamu, nanya kondisi kamu, bukannya malah pergi…” Bara tersenyum miris dan menggeleng pelan, “Nggak. Kamu nggak perlu lakuin itu semua. I don’t even deserve you, Nadia.” Dadaku rasanya sesak mendengar perkataannya. Bara bilang dia tidak layak untukku. Dia tidak pantas untukku. Itu adalah kalimat paling memilukan yang pernah dikatakan orang lain padaku. Dan ironisnya, kata-kata itu keluar dari Bara. 325



“Kalau emang bener gitu, aku nggak mungkin lari-lari meluk kamu, terus berada di sini sekarang.” Bara terdiam mencerna perkataanku, seakan bertanya-tanya kemana



arah



pembicaraan



ini.



Aku



menarik



napas,



mempersiapkan hati dan memberanikan diri untuk mengatakan semua hal yang kurasakan selama ini. “Aku selama ini takut sama kamu, Bar. Sama temen-temen kamu juga. Sama dunia kamu yang beda banget sama duniaku. Kamu itu egois, semua harus sesuai sama apa yang kamu mau. Apalagi soal Kak Bagas, orang yang diklab, dan Aileen… oke kalau Aileen aku ngerti kenapa kamu ngelakuin itu ke dia. Tapi sisanya… aku cuma nggak mau kamu seenaknya gitu,” aku berusaha menjelaskan semua dengan selembut dan sepalan mungkin, agar dia mengerti. Dia tersenyum kecut, “Aku tahu.” Oh. Apa Bara sudah sadar kalau yang dia lakukan itu salah? Aku jadi ingat melihat Kak Bagas yang masuk sekolah beberapa minggu lalu dengan kondisi sehat dan baik-baik saja. Wajah Bara yang tiba-tiba mengeras membuatku meraih tangannya dan menepuk-nepuknya pelan, menenangkan dia. 326



Aku juga tidak pernah sadar sebelumnya, kalau sentuhan semacam ini yang kugunakan untuk mengendalikan emosinya, bisa kupakai agar membuatnya nyaman dan tenang. Seperti sekarang. “Maksudnya… kamu nggak akan begitu lagi sama mereka?” Rasanya seperti menanyakan suatu hal yang mustahil, yang sudah menjadi kebiasaan Bara dan sulit untuk dihilangkan. Tapi, aku harus memastikan dulu sebelum kuutarakan keputusanku untuk kembali dengannya. “Akan aku lakuin semua yang kamu mau. Asal kamu nggak pergi lagi.” Oke. Baiklah. Aku sedikit lega, tapi juga senang. Artinya, masih ada harapan buat kami berdua. Bagus sekali. Sekarang, pilihan ada di tanganku. Aku merasa aneh, Bara yang biasanya menentukan apa pun dalam hubungan kami, kini dia memberiku kesempatan untuk memilih dan menentukan. Sekarang aku malah yang jadi bingung sendiri. “Janji, ya…” aku memicingkan mata. Bara menatapku sebentar sebelum tersenyum sedih. Kelihatan putus asa sekali. “Oke.” 327



Aku tersenyum dan mengangguk. Baiklah. Kupegang janjinya. Tiba-tiba, aku merasa antusias membahas ini lebih lanjut. Membahas kompromi ini. “Aku mau kita kayak awal pacaran dulu… jangan putusin semua sepihak… kalau marah atau ada yang nggak kamu suka bilang… jangan bikin aturan aneh…” “Kayak be a good girl, Nadia?” Aku merinding mendengar Bara mengatakan kalimat keramat itu. Dulu, kalau dia sudah biacara begitu, rasanya aku mau langsung kabur saja. Apalagi mengingat sifat dia yang tak tertebak, aku takut kalau-kalau dia melakukan hal yang buruk padaku. Misal… menjambak rambutku mungkin?—walaupun kini aku tahu Bara tidak akan melakukan hal begitu padaku. “Iya… itu jangan. Aku nggak suka dengernya...” aku meringis dan menggeleng. Trauma. “Oke. Aku paham.” Baik, masalah itu sudah selesai. Hmm… sekarang apalagi ya yang harus kubahas? Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Bingung.



Bara



bahkan



hanya



duduk



bersender



miring



menghadap ke arahku di kursi kemudinya, seakan dia tengah mendengarkanku dengan seksama. 328



“Kamu juga jangan banyak berantemnya… Dikurangkurangin…” aku mengernyit, hati-hati berusaha memikirkan alasan yang mungkin bisa membuatnya luluh, “Kalau kamu babak belur gimana? Nanti kalau kamu luka? Aku nggak mau ngupasin apel kalau kamu sampai masuk rumah sakit lagi…” Bara mendengus, seakan alasanku adalah alasan paling tidak masuk akal yang pernah didengarnya. Bara babak belur? Bara terluka? Sepertinya itu adalah hal paling terakhir yang bisa terjadi padanya—kecuali di malam saat aku menolongnya di pertemuan pertama kami. “Nggak usah khawatir. Nggak bakal terjadi.” Hmm, baiklah. Aku mengerti. Sepertinya, untuk yang satu itu tidak banyak yang bisa kuperbuat. Aku sendiri sadar dan sudah memikirkan semuanya matang-matang. Ada resiko yang harus kuhadapi kalau aku mau kembali bersama Bara. Ibaratnya, ada harga mahal yang harus kubayar untuk bisa bersamanya. Setelah melalui dilema beberapa minggu ini, aku dihadapkan pilihan, memilih antara perasaan atau akal sehat. Pada akhirnya ketakutanku terjadi. Perasaanku yang semakin besar, sampai membuatku terikat dan tidak bisa melepas Bara.



329



Aku memilih Bara. Artinya, aku juga harus menerima dunia dia, teman-teman dia, yang berbeda seratus delapan puluh derajat denganku. Aku bisa menerima semuanya, asalkan Bara bisa melindungiku saja. “Oke… kalau gitu… jadi kita udah sama-sama setuju nih, ya?” Bara sepertinya menganggap pertanyaanku ini lucu karena dia langsung tersenyum geli. Tersenyum geli! Hal yang tidak pernah kulihat dari awal kami bertemu, bahkan saat awal-awal kami berpacaran dengan normal. “Pakai jari kelingking?” Aku yang terlalu shocked sampai terperangah dan berjengit. Hah… Aku tidak salah dengar? Bara bisa bercanda? Walaupun candaannya tidak lucu, sih. “Nggak, pakai jempol kaki,” jawabku sembarangan. Bara tersenyum lagi dan menepuk-nepuk sebelum mengelus punggung tanganku pelan. Aku tahu, dia sekarang pasti lega karena urusan kami kini sudah selesai. Kesalahpahaman dan



kompromi kami sudah tuntas. “Makasih, Nadia,” dia tiba-tiba berucap pelan, “For not giving



up on me. Nggak semua orang bisa begitu.”



330



Bara jarang sekali mengucapkan terima kasih. Dan aku tahu, saat dia begini, he really meant it. Tiba-tiba, suasana seperti ini membuatku sedih. Aku menghela napas, mencoba mencairkan suasana. “Memang… kamu nggak bakal nemu orang kayak aku dimanamana, Bar.” Dia mendengus lagi, “Kamu bener.” “Oke… berarti sekarang udah, ya…” kataku mengakhiri



kompromi ini. Sore itu, Bara tidak melepaskan tanganku selama dia mengendarai mobilnya. Kami sempat mampir untuk makan malam sebelum dia mengantarku pulang ke rumah. Aku tidak memungkiri kalau masih bersikap hati-hati dan was-was tiap berbicara dengan dia. Tapi yang kusadari, Bara sebenarnya juga mengingkan hubungan yang begini. Hubungan yang normal, yang mungkin tidak pernah dia rasakan—ini cuma asumsiku saja. Bara masih jadi Barata yang sama. Yang berbahaya, yang jalan pemikirannya



tak



tertebak—termasuk



aku—masih



jadi



pemimpin penguasa selatan, yang masih bertarung dengan para komplotan yang berusaha melawannya demi kekuasaan, yang 331



masih menjalankan perintah eksekusi untuk para pengkhianat kelompoknya. Aku mengaduk-aduk jus alpukat yang baru kupesan lima menit lalu. Sekarang ini, aku sedang berada di klab malam kawasan Jakarta Pusat bersama keempat temannya yang lain, beberapa anak buah berhoodie hitam mereka, dan beberapa perempuan yang baru kutahu sebagai pacar baru Arga dan Rio— pacar yang kuyakin memiliki latar belakang sama seperti mereka. Mereka berempat sampai sekarang pun juga tidak berubah. Masih suka memanggilku Tuan Puteri, masih kesal jika Bara memerintahkan untuk menjemputku. Tapi aku lega, setidaknya mereka berempat sudah mulai menerima keberadaanku sebagai



pacar Barata—semenjak insiden apartemen waktu itu. Bara sedari tadi tengah berdiskusi bersama keempat temannya dan beberapa anak buah yang berdiri di hadapan kami. Aku yang tengah menyesal jus alpukat di tanganku langsung memicing melihat tatapan Bara yang menajam ke arah salah satu anak buahnya. “Lagi?” desisnya.



332



Aku bisa melihat ekspresi mereka yang ketakutan sebelum berkata, “Mereka datang lagi. Zero. Mereka tahu lo di sini, Barata. Ternyata banyak tikus yang nggak ikut penyerangan terakhir. Mereka masih nyimpen pasukan buat lawan kita.” Keempat wajah teman Bara berubah siaga. Sedangkan Bara diam, berpikir. “Berapa jumlah mereka?” “Lima puluh.” Kedua pacar baru Rio dan Arga terperangah, menyadari kalau kelompok Bara kalah jumlah. Aku? Aku bersikap biasa saja. Aku malah lebih memilih untuk melahap roti bakar keju yang ada di atas meja. Entah sejak kapan hal seperti ini—perbincangan yang selamanya tak ingin kutahu—menjadi biasa di telingaku. “Ini ketuanya masih Arsyad-Arsyad itu apa emang udah ganti?” Cakra bertanya. “Mereka punya ketua baru. Katanya kali ini lebih kuat. Gue pikir ini cuma angin lalu, Bar. Makanya gue kagak ngomong ke lo.” Brian berkata hati-hati, gawat kalau Bara sampai marah. Bara berdiam diri, berpikir sejenak, sebelum mematikan rokoknya ke asbak. “Panggil yang lain. Sepuluh cukup. Kita



eksekusi mereka.” 333



Kulirik Bara diam-diam. Sinar matanya menggelap. Aku tahu jenis tatapan itu. Tatapan bengis seakan hendak menghabisi seseorang. Terkadang aku masih tidak berani jika harus berhadapan dengan tatapannya yang begitu—walaupun dia tidak pernah menatapku begitu. “Eksekusi lagi nih berarti? Udah geng keberapa, nih?” tanya Arga seraya tersenyum miring. “Sepuluh, maybe? Atau dua belas?” seringai Cakra, “As



expected. Going for extra miles, Bar? Selalu totalitas.” Mereka berlima berdiri, melepas satu per satu aksesoris yang menempel di tubuh mereka—jam tangan, gelang rantai, ponsel, dompet. Bara melepaskan jaket kulit hitam yang selalu dipakainya sebelum memakaikannya ke tubuhku. Hmm, tiba-tiba aku merasa déjà vu. “Kamu tunggu di sini. Aku cuma sebentar,” Bara berkata pelan, masih memakaikan jaket kulit hitamnya yang kedodoran. Aku tersenyum paham, “Aku ngerti. Aku tunggu kamu.” Bara



mengusap



pucuk



kepalaku



sebentar



sebelum



menegakkan tubuhnya. Setelah itu, dia dan keempat temannya pergi, meninggalkan beberapa anak buah berhoodie hitam untuk menjaga kami bertiga. Bara sempat menoleh ke arahku saat 334



sudah hampir keluar. Aku tersenyum ke arahnya, seakan meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja di sini. Aku juga yakin, Bara akan kembali dengan keadaan baik-baik saja. Tanpa luka. Barata Saputra Birawa. Orang-orang memanggilnya Barata. Aku memanggilnya Bara. Banyak yang mengatakan, dia adalah orang yang sangat berbahaya. Dia ditakuti dan dihormati banyak orang. Dia adalah pacarku. Pacar yang dulu pernah kutakuti seperti banyak orang. Pacar berbahaya yang tak pernah kubayangkan bisa berada di sisiku. Jika dulu aku selalu mencari segala cara untuk berpisah dengannya, kali kini aku akan selalu mencari cara untuk mempertahankan hubungan ini. Aku, Nadia. Dan ini adalah kisahku, sebagai pacar Barata. Kisah yang tidak akan berhenti saja di sini, walaupun sampai sekarang aku tidak tahu akan kemana ujungnya. Aku sudah memilih untuk bersamanya. Dan sampai kapan pun aku tahu, kisahku ini tidak akan berakhir begitu saja.



335



BONUS CHAPTER



BEFORE & AFTER DANGEROUS BOYFRIEND



336



BEFORE DANGEROUS BOYFRIEND : FALLING



Aneh. Ini aneh sekali. Kuketukkan bolpoin hitam ke meja berulang kali, seraya menerawang ke bawah, ke arah lapangan basket yang kosong dari jendela tepat di samping tempat dudukku. Sedari tadi, selama pelajaran aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi memikirkan berbagai kejadian aneh⸺atau lebih tepatnya sikap aneh orang itu yang ditujukan padaku. Barata Saputra Birawa. Aku tidak mau ge-er. Tapi aku yang bahkan tidak pernah punya pacar sebelumnya sadar betul kalau Barata, sepertinya akhir-akhir ini… sedang mendekatiku. Ada beberapa alasan kenapa aku bisa berpikir begini. Dimulai dari dia yang mengijinkanku memanggilnya dengan Bara⸺nama yang bahkan hanya boleh disebut oleh beberapa orang saja, termasuk aku⸺lalu aku yang katanya menjadi 337



satu-satunya murid perempuan yang pernah berinteraksi atau ngobrol dengan dia, dan pertemuan tak terduga kami beberapa kali sepulang sekolah yang berakhir dia menawarkanku tumpangan pulang. Lalu pertanyaan Mika dan Rena yang menaruh kecurigaan padaku, “Nad, lo… lagi deket sama Barata, ya?” adalah momen pertama yang membuatku sadar kalau akhir-akhir ini aku memang menjadi satu-satunya murid perempuan yang dekat dengan orang itu. Waktu ditanya begitu, aku langsung mematung. “HAH?” “Lo sama Barata. Kayaknya akhir-akhir ini gue sering lihat lo sama dia, deh?” Rena bertanya ragu, ada sinar khawatir dan sedikit takut di sana. “Masa, sih?” aku yang saat itu masih shock hanya bisa melongo. Mika mengangguk, “Iya. Anak-anak pada nanya begitu soalnya. Gue juga denger kakak-kakak kelas pada cari info apa kalian pacaran. Mereka nggak ada yang berani nanya ke lo.” “Nggak!” lebih tepatnya nggak tahu, “Kenapa bisa gitu?” tanyaku, makin bingung. 338



“Nad, lo inget kan apa yang pernah kita berdua bilang, Barata itu orang nomor satu yang musti kita hindari di sekolah ini... kalau lo nggak mau kena masalah.” Mika memperingatkan. Aku tahu. Semenjak Mika dan Rena memberitahuku bahwa Barata beserta keempat temannya adalah orang-orang yang lebih baik dihindari di sekolah ini, aku memang sudah bertekad untuk menjalani sekolah dengan tenang. Aku harus menghindari



dia. Sebisa mungkin, aku harus menghindari masalah. Tapi setelah beberapa hari kupikirkan kembali, aku tidak mengerti kenapa banyak orang takut dengan mereka, terutama



dia.



Apa



karena⸺katanya⸺Barata



yang



berhasil



mengalahkan dua puluh orang sekaligus dengan tangan kosong? Atau karena mereka punya semacam kelompok yang berbahaya? Aku ingat saat pertemuan pertama kami di rumah sakit, setelah menjenguknya di ruang rawat inap, di depan kamar berdiri berderet dan berjejer pria berhoodie hitam. Apa yang dimaksud dengan kelompok adalah mereka? Semenjak pertemuan pertama kami di rumah sakit, semenjak dia yang dengan sukarela mengijinkanku memanggil namanya, semenjak dia membayarkan makanan yang kupesan, semenjak



339



dia menolongku di tangga, semenjak kami yang jadi sering pulang bersama… aku jadi sering memikirkan dia. Aku jadi sering memikirkan segala hal tentang Barata. Tentang bagaimana tatapan dalamnya saat kami berbicara walau hanya sepatah



dua



kata,



tentang



dia



yang



ternyata



sama



sepertiku⸺berada di peringkat atas angkatannya, dan juga mengapa dia mendekatiku. Apa karena ingin kami jadi teman? Atau karena balas budi perihal aku yang menolongnya saat pertemuan pertama kami di rumah sakit. Aku tidak mau ge-er. Tapi, seandainya dia memang ingin mendekatiku… aku bingung kenapa dia begitu. Apa karena wajahku? Aku melengos diam-diam. Menyadari sebesit pemikiran naif itu membuatku langsung menatap samar pantulan diriku dari jendela. Aku mengernyit. Kulitku



tidak



putih,



aku



tidak



pernah



pakai



makeup⸺membuat wajahku kadang kelihatan lebih pucat dibanding biasanya⸺hidungku tidak mancung, alisku tidak setebal kebanyakan orang, dan aku bahkan tidak tinggi alias aku ini pendek. Pendek sekali malah. Aku ingat saat berdiri di samping Bara, tinggiku hanya sebatas dagunya saja. 340



Secara penampilan, aku masuk kategori biasa saja. Banyak sekali murid perempuan yang jauh lebih cantik dariku. Banyak alumni yang mengikuti kontes kecantikan dan beberapa bahkan pernah menang Abang None Jakarta dan menjadi duta pariwisata.



Merekalah



primadona-primadona



dan



dewi



sesungguhnya di sekolah. Jika dibandingkan dengan mereka, aku bagaikan pelayan yang bertugas menuangkan minum untuk Tuan Puteri. Dan perlu diingat, sekolah tempatku belajar adalah sekolah elit



swasta



nomor



satu



dimana



sekolah



ini



memang



diperuntukkan untuk golongan anak-anak dengan latar belakang keluarga luar biasa⸺anak pengusaha, pejabat, sampai artis papan atas⸺mereka adalah orang-orang golongan elit. Alasan utama kenapa Papa ingin aku bersekolah di sini adalah bukan hanya karena metode pembelajaran, fasilitas, dan kualitas yang ditawarkan, sekolahku bisa dikatakan setara dengan sekolah internasional lain di Indonesia. Lulusan sekolah di sini memiliki peluang yang sangat besar untuk dapat masuk ke kampus bergengsi⸺baik dalam negeri maupun luar. Aku masuk ke sekolah ini murni dari prestasi dan beasiswa, mengingat Papa yang bisnisnya tengah diambang kebangkrutan 341



tidak akan sanggup menyekolahkanku, bahkan untuk membayar uang sekolah bulanan. Jadi, opsi karena latar belakang keluarga sudah pasti bukan. Setelah kupikirkan, satu-satunya kelebihan yang kupunya adalah rambut panjang lurus tebal⸺yang katanya membuat banyak orang iri⸺dan fakta kalau aku peringkat satu di sekolah. Selain itu… lalu karena apa? Atau mungkin... ternyata memang benar aku saja yang ge-er, ya? Aku berasumsi mungkin Barata memang betul ingin membalas budi karena sudah pernah kutolong dulu. “Pelajaran kita akhiri sampai di sini. Kita lanjutkan lagi pembahasan lusa. Jangan lupa tugas yang tadi saya beri ke kalian. Selamat siang semuanya.” “Thank you, Miss.” Aku mengerjap, tersadar dari lamunan begitu mendengar suara bel pulang yang dibarengi sapaan teman-teman sekelas, sebelum guru kelas keluar. Kukeluarkan dua paket pelajaran beserta kartu ID perpustakaan dari tas dan berdiri sebelum beberapa teman perempuan satu kelasku menghampiriku. “Hey, Nad. Lo mau ke perpus, ya?” 342



“Eh, hey. Iya, nih. Kenapa?” Aku bingung saat mereka bertiga menyerahkan beberapa novel beserta ketiga kartu ID mereka ke atas mejaku. Aku melirik Mika yang menatap sinis ke arah mereka. “Kita-kita boleh minta bantuan lo, nggak? Minta tolong sekalian kembaliin buku kita bisa?” yang berambut pendek mengerjapkan matanya dengan sengaja. “Iya, Nad. Kita dipanggil guru BK soalnya. Sedangkan bukunya paling lambat musti dikembaliin hari ini. Lo bisa, kan?” kali ini yang berbicara adalah yang berambut panjang dengan curly di bagian bawah. Aku tersenyum sebelum Mika sempat menimpali mereka, “Oke. Nggak masalah.” Lalu mereka tersenyum, senyum tidak tulus yang sengaja dibuat-buat di depanku, sebelum berbalik dan keluar dari kelas. Mika yang keliatan kesal membanting ketiga ID mereka. “Apaan sih mereka? Seenaknya banget. Dikira mereka siapa bisa suruh-suruh lo sembarangan? Lo juga kenapa mau aja ngembaliin buku mereka sih, Nad?” “Udahlah, nggak apa-apa, sekalian nolong temen,” aku merapikan ID mereka dan mengambil novel beserta buku yang 343



kupinjam dari perpustakaan, “Mereka juga katanya musti ke ruang BK, kan?” “Alesan doang itu. Yang ada mereka pasti lagi nonton anakanak main basket di lapangan. Emang pada dasarnya mereka mau ngerjain lo aja.” Aku hanya tersenyum, tidak ingin membantah. Memang betul apa yang dikatakan Mika. Aku tahu mereka bertiga sengaja. Sebetulnya bukan hanya mereka bertiga. Beberapa teman sekelasku bisa dibilang memperlakukanku hampir sama seperti mereka⸺walaupun sebagian besar anak-anak di kelas masih sangat baik padaku. Alasannya satu, hanya karena aku anak beasiswa. Setelah kepindahanku, entah bagaimana caranya anak-anak bisa langsung mengetahui bahwa aku dapat masuk ke sekolah ini, murni seratus persen berdasarkan beasiswa. Sejujurnya, aku bahkan lebih takut akan fakta bahwa mereka bisa dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi apa pun mengenai siapa pun di sekolah. Kecuali satu orang. Barata.



344



“Tuh, kan. Coba lihat ke arah lapangan basket. Mereka di sana,” Mika menunjuk ke arah lapangan yang sudah dipenuhi kerumunan para siswa, begitu pula dengan ketiga temanku tadi, “Gue denger hari ini Barata sama temen-temennya ikut tanding juga, Nad.” Mika berkata sambil melirikku. Aku mengerjap, “Oh.” kataku, pura-pura tidak peduli. Tapi aku jadi penasaran setengah mati karena belum pernah melihatnya bermain basket sebelumnya. “Lo… nggak ke sana?” tanya Mika hati-hati. “Kenapa musti kesana?” “Bukannya biasanya lo pulang bareng sama Barata, ya?” Aku meringis dan menggeleng, mendapati nada penasaran Mika, “Kadang-kadang. Bukan sering. Kayaknya… Barata nggak seburuk apa yang diomongin anak-anak, deh. Buktinya, dia baik mau nganterin gue pulang.” Lengkungan bibir Mika turun dalam sekejap. Dia melongo dan tersenyum kaku, “Nad, itu namanya bukan baik. Barata mau nganterin lo pulang emang ada maksudnya… karena dia mau deket sama lo. Mungkin dia suka sama lo…”



345



Kali ini, giliran aku yang melongo. Nada keraguan Mika membuatku making sangsi dan tidak percaya. “Itu makin nggak mungkin kali, Mik.” “Ya kan kali aja…” Aku menggeleng-geleng. Menyangkal, namun pada akhirnya tetap kupikirkan. Aku mengemasi barang-barangku sebelum keluar dari kelas bersama Mika, melewati lapangan basket yang penuh dengan kerumunan para siswa yang tengah menonton pertandingan. Mika yang berhenti membuatku ikut terhenti, membaur bersama anak-anak yang terperangah pada satu titik fokus siswa. Barata. Ada dia di sana, sibuk bermain basket bersama sembilan tim basket lainnya⸺termasuk keempat teman dekatnya. Barata merebut bola dari lawan, sebelum mendribble dengan kecepatan



penuh.



Tangannya



membentang



ke



samping



menghalangi tim lawan yang berusaha merebut bola dari tangannya. Kemudian, dengan gesit, dia melompat tinggi dan melakukan slam dunk ke ring lawan dengan kedua tangannya.



BAM! Dan bola pun masuk, diikuti sorakan satu timnya. Semua murid yang menonton menjadi heboh. Ada yang bertepuk 346



tangan, ada yang terperangah, menggelengkan kepala, namun ada juga diam-diam terpesona. Termasuk aku. Tubuhku membeku, dan entah mengapa mataku hanya bisa terfokus pada dirinya. Keren. Keren sekali. Aku tidak pernah melihat orang melakukan slam dunk sebelumnya. Dan kenyataan bahwa orang pertama yang kulihat adalah Barata… Sudut bibirnya terangkat, seakan puas akan apa yang dilakukannya. Dia berdiri tegak, menyisir rambut dengan tangannya sebentar, lalu menyeka keringatnya, sebelum menoleh tepat ke arahku. Aku tertegun. Para kumpulan siswa di depanku terkesiap dan menhindari arah tatapan mata Barata⸺yang mereka kira ditujukan untuk mereka. Aku yang tiba-tiba gugup menyenggol lengan Mika. “Mik, gue lanjut ke perpus dulu, ya. Dah!” “Eh, Nad!” Aku tidak sempat lagi menoleh ke belakang begitu cepat-cepat aku pergi dari sana, kembali ke tujuan awalku untuk mengembalikan tumpukan buku-buku yang tengah kubawa.



347



Aku masuk ke gedung perpustakaan dan mengetuk pintu, mendapati penjaga perpustakaan yang tengah bertelepon di meja administrasi. “Bukunya…” aku setengah berbisik seraya menunjuk buku yang baru kutaruh. Penjaga perpustakaan mengisyaratkan dengan tangannya agar aku menaruh ID siswa ke atas meja dan mengembalikan buku sendiri ke rak. Aku mengangguk, menaruh empat ID ke atas meja dan berjalan menuju deretan rak, mencari dimana letak buku-buku ini sebelumnya ditaruh. Buku terakhir yang kubawa terletak di deretan paling belakang, di urutan paling atas rak. Aku menggeser kursi tangga lipat dan pelan-pelan naik untuk menjangkau area paling atas. Aku yang pendek, bahkan susah sekali untuk menjangkau area paling tinggi. Aku berjinjit, berusaha untuk menaruh ke sela-sela buku sebelum tiba-tiba aku kehilangan keseimbangan dan tergelincir, jatuh ke bawah. Aku yang panik tanpa sadar ternyata sudah menubruk seseorang,



berada



dalam



tangkapan



orang



itu



seakan



melindungiku.



BRAK! 348



Suara debrakan tangga terdengar, mengenai sosok laki-laki yang mendekapku. Itu Barata. Dia tengah menahan ringisannya saat aku menyadari bahwa rupanya tanganku sedang menekan posisi bekas luka tusuk yang pernah kulihat saat pertemuan pertama kami di rumah sakit dulu. Astaga! Aku panik, beranjak dari tubuhnya dan menggeser tangga lipat yang ternyata mengenai dia. “Nadia.” Tanganku gemetaran. “Nadia.” Aku tersentak, saat Barata menggenggam tanganku. Dia sudah memposisikan tubuhnya duduk, dan wajahnya begitu dengan wajahku, seakan meneliti apakah aku baik-baik saja. “Kamu baik-baik aja?” tanyanya, pelan. Aku mengangguk. “Bisa berdiri?” tanyanya lagi, mengecek pergelangan kakiku, memastikan apakah kakiku terkilir. Aku mengangguk, lagi. Tapi aku tidak bisa menahan mataku yang memanas dan air mata yang hampir merebak keluar.



349



Kenapa? Kenapa dia harus melindungiku sampai begini? Karena aku… “Hey. Nadia,” tangan besar dan kekar Bara terangkat, mengusap pucuk kepalaku, pelan dan lembut, “Kenapa? Ada yang luka? Ada yang sakit?” walaupun ekspresi wajahnya yang datar dan tegas tidak berubah, aku bisa merasakan kalau dia khawatir padaku. Aku menggeleng, “Kamu yang kayaknya sakit…” aku menunjuk perut bekas lukanya dulu yang tadi sempat tertindih tanganku, “Maaf. Gara-gara aku, kamu jadi gini.” Dia menyentuh bekas luka di perutnya dan memejamkan mata. Itu pasti belum sembuh sepenuhnya. “Kita ke UKS aja, ya? Coba dicek dan diobatin di sana.” Di saat aku membantunya berdiri Tatapan tajamnya terus terarah padaku selama aku merangkul tangannya, membantunya berdiri dan berjalan menuju pintu perpustakaan. Ibu penjaga perpustakaan yang melihat kami terkejut dan langsung mematikan telepon. “Mas Barata! Ada apa?! Bagaimana bisa terluka begini?!” Aku baru tahu ternyata ibu penjaga perpustakaan mengenal Barata. Kalau dipikir-dipikir kembali, aku bingung kenapa dan 350



bagaimana Barata bisa berada di sini sedangkan terakhir kali yang kulihat dia sedang bermain basket dengan anak-anak seangkatannya. Barata mengangkat tangan, seakan mendakan kalau dia baikbaik saja dan penjaga perpustakaan tidak perlu mengurusnya. “Bu… ini tadi kartu ID siswanya. Ada titipan dari teman-teman saya yang lain juga.” Ibu penjaga mengangguk dan tersenyum, mengambil keempat ID tepat saat tatapan tajam dan gelap Barata tertuju di sana. Aku yang tertegun sempat teralihkan begitu kami melewati pintu, sampai akhirnya kami sampai di ruang UKS yang tak jauh dari perpustakaan. Tidak ada siapa-siapa di sini. Guru maupun siswa yang bisa menjaga ruang UKS sepertinya sudah pulang. Aku menuntun Bara duduk di kasur terdekat. Lalu mengecek tangan dan kaki⸺bagian bawah yang terlihat karena saat dia tengah mengenakan kaos basket. Di saat itulah, tangan Barata terulur, dan menyentuh ujungujung



jemariku,



yang



membuatku



langsung



terdiam



menatapnya. Aku sama sekali tidak bisa melihat ekspresinya.



351



Wajahnya menunduk, memandang ke arah jemari kami yang saling bersentuhan. Secara tiba-tiba, kuberanikan diri, lalu kuangkat tanganku dan mengelus sisi kepalanya. Bara membuka mata. Ada jejak terkejut di sorot matanya, namun wajahnya yang biasanya dingin, tegang, dan keras, saat ini melembut, menatapku intens sekali. Di saat itulah, aku seperti tersihir, membiarkan tangannya yang berpindah ke sisi wajahku. Dia menarikku pelan sebelum aku sempat tersadar kalau Barata sedang mengecup bibirku. Jantungku berdegup kencang sekali. Saking kerasnya, sampaisampai aku takut Barata bisa mendengar suara dentamannya. Kupejamkan mata, karena aku merasa malu dengan apa yang dia lakukan sekarang. Begitu dia melepaskan bibirnya dari bibirku, aku bisa merasakan tatapan dalam dan intensnya, seraya berkata, “Mulai sekarang, aku mau kamu bergantung sama aku, Nadia.



Just depend on me, and I’ll protect you from this world.” Di saat itulah, aku sadar. Kalau ternyata, selama ini, aku sudah jatuh cinta dengan sosok Barata. Aku sudah memberikan hatiku untuknya.



352



AFTER DANGEROUS BOYFRIEND : LOVER



“Lo berubah.” “Apa?” “Lo. Berubah. Sekarang lo beda.” Bara terdiam sesaat dan jemarinya berhenti bergerak sebelum perhatiannya kembali terpusat pada berlembar-lembar foto para pria garang berhoodie hitam di atas meja. Para calon sekutu⸺anak buah yang secara rahasia akan bergabung bersama kelompok mereka. Sebelum bergabung bersama kelompok mereka, para calon anggota akan menjalani berbagai penyaringan sebelum diseleksi. Puncaknya, keputusan akhir akan diambil oleh pemimpin mereka, Bara. “Apa tadi maksudnya?” Brian duduk di sofa belakang Bara. “Cewek lo. Nadia.”



353



Sekarang, hilang sudah fokus dan konsentrasi Bara saat nama itu disebut. Dia berdiri tegak dan berbalik. Matanya tajam dan penuh ancaman. Brian yang menyadari sedikit gentar, namun berusaha untuk terlihat tenang. Hanya menyebut nama perempuan itu saja sudah berhasil membuat radar berbahaya Bara menyala, apalagi jika sesuatu terjadi dengan perempuan itu. “Tenang. Gue nggak bakal ngapa-ngapain cewek lo. Yang mau gue omongin adalah, gue nggak pernah ngelihat lo treat a girl like



that. Like your girlfriend is your lover.” Bara memicingkan mata, menunjukkan tatapan penuh peringatan, “She is.” desisnya. Brian menahan diri untuk tertawa. Dia tersenyum miring, “Dia beda jauh sama mantan-mantan lo sebelumnya. Dan lo nggak pernah sebegitu memprioritaskan pacar-pacar lo dulu sepenting pacar lo sekarang. Kenapa lo pilih Nadia?” Bara yang tahu kemana arah pembicaraan ini langsung berbalik lagi, memfokuskan kembali dirinya meneliti profil para calon anak buahnya. “None of your business.” Pertanyaan, yang jawabannya bahkan tidak akan pernah bisa diketahui oleh siapa pun kecuali Bara sendiri. Kenapa Bara 354



memilih Nadia, kenapa harus perempuan itu, apa yang dilihat Bara, dan apa mau Bara sesungguhnya dalam hubungan mereka. Brian adalah salah satu orang yang menjadi saksi hidup kisah



hubungan Bara dengan perempuan lain. Ada tiga orang sebelum ini. Semuanya berasal dari dunia gelap⸺dunia yang sama seperti dunia mereka. Tiga perempuan seusia mereka dengan latar belakang yang sama, latar belakang keluarga super power⸺dimana banyak misteri dan rahasia juga di balik keluarga mereka. Tapi



sayanganya,



seingat



Brian,



Bara



tidak



begitu



memperlakukan ketiga mantan pacarnya sebaik perlakuan Bara ke pacarnya sekarang, Nadia. Tidak pernah selembut itu, seperhatian itu, bahkan mengutamakan mereka di atas kepentingan Bara. Mereka tahu identitas sesungguhnya Bara. Keluarga mereka juga adalah aliansi. Bara selalu berhubungan dengan perempuan dengan latar belakang dan aliansi yang sama. Seperti yang tengah dia lakukan bersama keempat teman dekatnya⸺Bara mencari sekutu. Brian menyaksikan semuanya.



355



Berciuman di depan keempat lainnya, mereka bahkan juga tidur bersama. Para mantan-mantan pacar Bara yang mencoba untuk bergantung dan menempel padanya hampir setiap saat tidak membuat Bara tergugah. Ekspresi yang sama. Emosi yang sama. Seakan dia bosan dengan mereka. He was very cold



towards them. Dan Bara adalah orang yang selalu memutuskan hubungan mereka⸺seperti membuang mereka di saat dia sudah tidak memiliki keperluan lagi. Bukan urusan Brian sebetulnya jika menyangkut hubungan pribadi Bara⸺dengan siapa dia berkencan, dengan siapa dia tidur, dengan siapa dia menjalin relasi. Tapi melihat apa yang terjadi Bara beberapa waktu lalu⸺tentang kegilaannya dengan sosok Nadia, how madness he was saat Nadia meninggalkannya⸺Brian bertanya-tanya, apa yang ada di dalam sosok Nadia ini sehingga membuat Bara⸺pemimpin penguasa selatan, sekaligus pewaris dan generasi terakhir keluarga Birawa, bisa begitu terobsesi dan tergila-gila dengan perempuan yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan



dunia gelap mereka. “She is different. Lo tahu Nadia bukan dari dunia kita. She’s



way too different from you. From us.” 356



Bara mengerjap. “I know.” “Dan gue belum kasih tahu lo kalau gue, Rio, Arga, dan Cakra nggak suka sama cewek lo. Kita semua mengusahakan segala cara karena pengen lo putus sama Nadia. Termasuk bikin nggak nyaman cewek lo beberapa bulan lalu.” Brian berekspetasi jika Bara akan marah besar padanya, atau menatapnya kembali dengan tatapan tajam penuh ancaman. Tapi itu semua tidak terjadi. Dia kelihatan tenang, selagi menjawab;



“I know.” Brian speechless. “Sejak kapan?” “Sejak awal.”



Sialan, batin Brian. Bara tahu sejak awal. Tahu bahwa keempat temannya tidak menyukai Nadia. Bara selama ini tidak pernah menyinggung bahkan menegur sindiran atau sarcasm penuh kesengajaan yang diutarakan mereka berempat untuk membuat Nadia tidak nyaman agar mereka bisa berpisah. Berpisah untuk kebaikan. Berpisah untuk dua dunia yang berbeda. “Lo… kagak marah?” 357



Bara diam, lagi. Enggan menjawab. Pertanyaan lainnya, yang jawabannya tidak diketahui siapa pun selain Bara sendiri. “Apa Nadia tahu… rencana lo delapan tahun ke depan?” Brian melirik respon Bara, ke arah jemarinya yang terangkat begitu saja di atas foto-foto yang terurai. Wajahnya mengeras. Sorot matanya berubah keruh dan kosong. Brian tidak pernah melihat sosok Bara seperti itu. “Dia nggak perlu tahu.” “Lo lakukan semuanya untuk dia. Tapi apa dia bisa terima apa yang bakal lo lakuin ke depannya? Kalau dia tahu, she might



leave you anytime.” Delapan tahun. Masa depan. Rencana penuh matang. Dunianya. Dunia gelap Bara. Dunia mereka. Dan satu perempuan.



“I know.”



358



ABOUT AUTHOR



Penulis hanyalah seorang perempuan biasa yang tinggal di pusat kota, yang hidupnya berkutat di bidang arsitektur. Menulis untuk



menyalurkan



hobby



dan



stress.



Lebih



sering



menghabiskan waktu di depan laptop. Pecinta drama korea dan china bergenre historical, romance, dan comedy. Suka membaca, nonton film, dan karaoke. Penyuka group K-Pop BTS, Red Velvet, EXO, TXT, aespa. Jungkook BTS dan Yeri Red Velvet adalah inspirasi utama pembuatan buku ini. Akun wattpad : seungwan97



359



SEQUEL



DANGEROUS HUSBAND



"It's all about secrets and deception." Namanya Barata. Aku memanggilnya Bara. Delapan tahun terlewati dengan cepat. Dan sekarang, setelah dia kembali, aku memilih untuk bersamanya, menghabiskan sisa hidupku bersama dengan dia, pria yang kupilih. Aku, Nadia. Dan ini adalah kisahku, sebagai istri Barata. Dimana aku baru menyadari bahwa banyak rahasia berbahaya yang



selama ini



tersembunyi, bahkan disembunyikan dariku. Rahasia dan dusta Keluarga Birawa, yang membuatku sadar bahwa kini sudah tidak ada tempat persembunyian, bahkan jalan keluar lagi bagiku. 360



361