Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Reading Journal



Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring Review Article Early Detection of Nasopharyngeal Carcinoma Citation: Tabuchi K, Nakayama H, Nishimura B, et al (2011). Early Detection of Nasopharyngeal Carcinoma. Hindawi Publishing Corporation. doi: 10.1155/2011/638058 Oleh: Bagus Irawan W, S.Ked Ike Annisa Yuwelza, S.Ked



Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan THT RSUD dr. M Yunus- FKIK UNIB Tahun 2014



Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring



1. Pengantar (1) • KNF  penyakit unik dibandingkan karsinoma sel skuamosa leher-kepala lainnya.



• Berbeda dari kanker kepala dan leher lain dalam hal: – etiologi, epidemiologi, patologi, presentasi klinis, dan respon terhadap pengobatan. • KNF berkaitan dengan infeksi Epstein Barr virus (EBv), ras, dan distribusi geografik. • Hasil terapi KNF lanjut menggunakan radioterapi sering tidak memuaskan.



1. Pengantar (2) • Jenis karsinoma sel skuamosa non limfomatosa, terjadi pada lapisan epitel nasofaring. • menunjukkan berbagai tingkat diferensiasi. • sering terjadi pada resesus faringius (Fossa Rosenmuller), posteromedial ke arah kruris medial pada pembukaan tuba Eustachius di nasofaring.



1. Pengantar (3)



Gambaran Anatomi Karsinoma Nasofaring (KNF)



1. Pengantar (4) • Di luar wilayah endemik Asia Tenggara, KNF jarang terjadi, hanya kurang dari 1/1, 000,000 orang [3]. • Di Amerika Utara, KNF menyumbang sekitar 0,2% dari seluruh keganasan, dengan sekitar 0,5-2 kasus per 100.000 laki-laki dan sekitar sepertiga dari jumlah itu terjadi pada wanita. • Prevalensi tinggi: China Selatan, Asian Tenggara, dan Timur-Tengah. • Insiden lebih tinggi pada keturunan China yang berpindah ke Asia Tenggara dan Amerika Utara. Dan lebih rendah pada orang China yang lahir di America Utara dibandingkan yang lahir China Selatan.



2. Epidemiologi dan Etiologi (1) • Ho [12]  KNF sbg jenis kanker ketiga yang paling umum pada laki-laki, dengan kejadian antara 50 per 100.000 populasi di Provinsi Guangdong Cina Selatan. • Emigrasi dari daerah dengan insidensi tinggi ke daerahinsidensi rendah seperti Amerika Serikat dan Kanada mengurangi kejadian KNF pada generasi pertama ras Cina, • Tapi angka ini masih tetap lebih tinggi dari tujuh kali insidensi di Kaukasia.



2. Epidemiologi dan Etiologi (2)



Karsinoma nasofaring (KNF)



• KNF sbg penyakit kompleks yang disebabkan oleh interaksi antara • infeksi kronis dengan virus herpes gamma onkogenik Epstein-Barr virus (EBV) • lingkungan • faktor genetik, yang melibatkan seluruh tahapan proses karsinogenik.



2. Epidemiologi dan Etiologi (3) • EBV terdapat di seluruh dunia, dan menginfeksi lebih dari 95% dari populasi orang dewasa secara global. • Di Hong Kong, 80% dari anak-anak terinfeksi pada usia 6 tahun, dan hampir 100% telah mengalami serokonversi pada usia 10 tahun . • Meskipun EBV primer Infeksi biasanya subklinis, virus ini terkait dengan perkembangan selanjutnya dari beberapa keganasan, termasuk KNF.



2. Epidemiologi dan Etiologi (4) Karsinoma nasofaring (KNF) • Virus ini ditularkan melalui air liur, dan infeksi utama terjadi selama masa kanak-kanak dengan replikasi virus dalam selsel lapisan orofaringeal, diikuti oleh infeksi laten limfosit B (target utama EBV).



2. Epidemiologi dan Etiologi (5) • Titer peningkatan EBV terkait antigen (khususnya IgA), • infeksi laten EBV diidentifikasi dalam sel neoplastik dari hampir semua kasus KNF, • klonal EBV genom secara konsisten terdeteksi pada sel karsinoma invasif dan lesi displastik tinggi yang menunjukkan peran penting dari EBV dalam patogenesis KNF di daerah endemik [10].



2. Epidemiologi dan Etiologi (6) • Eksposur nonviral melibatkan konsumsi garam-ikan yang diawetkan, sebagai makanan utama tradisional di beberapa daerah endemik KNF. • Dalam studi pada populasi Cina, risiko relatif KNF pada sampel dengan konsumsi garam mingguan, dibandingkan dengan yang tidak pernah atau jarang mengonsumsi, umumnya berkisar 1,4-3,2 per 100.000. • Sementara untuk sampel dengan konsumsi setiap hari angka berkisar antara 1,8 sampai 7.5.



2. Epidemiologi dan Etiologi (7) • Makanan dengan garam yang diawetkan adalah makanan utama pada semua populasi endemik KNF. • Dengan demikian, makanan ini dapat menjelaskan pola distribusi kejadian KNF secara internasional. • Potensi karsinogenik ikan yang diberi garam dan diawetkan ini didukung oleh percobaan pada tikus, yang berkembang menjadi tumor ganas hidung dan nasofaring setelah mengkonsumsi ikan asin.



2. Epidemiologi dan Etiologi (8) • Proses pengawetan garam yang tidak efisien, memungkinkan ikan dan makanan lain untuk menjadi rusak. • Akibatnya, tingkat nitrosamin karena makanan ini menumpuk secara signifikan, yang dikenal karsinogen dalam hewan. • Ikan dengan garam dan diawetkan juga mengandung bakteri mutagen, genotoksin langsung, dan zat EBV-reaktif, salah satu atau semua yang dapat berkontribusi terhadap penyakit ini diamati hubungannya. • Namun, belum ada studi mengenai hubungan resiko KNF dengan konsumsi ikan yang diberi garam-diawetkan, atau hampir semua paparan lingkungan lainnya, di daerah endemis.



2. Epidemiologi dan Etiologi (9) • Beberapa hubungan telah dijelaskan tentang frekuensi dari antigen leukosit manusia (HLA) kelas I gen dalam populasi tertentu dan risiko berkembangnya KNF. Sebagai contoh, peningkatan risiko KNF diamati pada individu dengan alel HLA-A2, khususnya HLA-A0207. • Studi terkini yang menjelaskan hubungan genome, menegaskan keterlibatan molekul HLA pada generasi KNF. • Gen seluler terhadap perubahan yang juga berkontribusi terhadap pengembangan KNF, terutama inaktivasi gen supresor tumor, SPLUNC1, UBAP1, BRD7, Nor1, NGX6, dan LTF.



3. Patologi (1) Karsinoma Nasofaring (KNF) • Pada tahun 1978, pedoman klasifikasi histologis yang diusulkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkategorikan KNF menjadi tiga kelompok: • tipe 1 (keratinizing karsinoma sel skuamosa), • tipe 2 (nonkeratinizing karsinoma), dan • tipe 3 (Karsinoma tidak terdiferensiasi).



3. Patologi (2)



Gambaran Karsinoma nasofaring (KNF)



3. Patologi (3)



Pada 1991 klasifikasi WHO membagi karsinoma nasofaring menjadi dua kelompok:



Karsinoma sel skuamosa (keratinizing karsinoma sel skuamosa, tipe 1 dari klasifikasi sebelumnya)



Nonkeratinizing karsinoma (tipe 2 dan 3 dari klasifikasi sebelumnya digabungkan menjadi satu kategori).



Karsinoma terdiferensiasi Karsinoma tidak terdiferensiasi.



3. Patologi Karsinoma nasofaring (KNF) • Klasifikasi ini lebih berlaku untuk penelitian epidemiologi dan juga telah terbukti memiliki makna prognostik. • Karsinoma tidak terdiferensiasi memiliki tingkat kontrol tumor lokal yang lebih tinggi dengan pengobatan dan insiden yang lebih tinggi terhadap metastasis jauh dibandingkan karsinoma terdiferensiasi.



3. Patologi Karsinoma nasofaring (KNF) • Data menunjukkan proporsi yang lebih tinggi pada keratinizing karsinoma sel skuamosa antara semua KNF di daerah nonendemis dibandingkan dengan daerah endemis. • Beberapa penelitian melaporkan bahwa jumlah karsinoma sel skuamosa sekitar 25% dari semua KNF di Amerika Utara, tetapi hanya 1% di daerah endemik; sedangkan jumlah karsinoma tidak terdiferensiasi untuk 95% dari semua kasus di daerah insidensi, tetapi hanya 60% kasus di Amerika Utara.



CT Scan



Karsinoma Nasofaring (KNF)



4. Terapi Awal (1) Radioterapi merupakan terapi utama untuk KNF.



Karena tingginya insidensi metastasis kelenjar servikal, radiasi leher profilaksis dianjurkan bahkan pada kasus N0.



4. Terapi Awal (2) • Penelitian terbaru: penambahan kemoterapi → meningkatkan hasil terapi pada pasien KNF. • Terdapat peningkatan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun dengan adanya penambahan kemoterapi • Namun masih terdapat perdebatan tentang efektivitas penambahan kemoterapi ajuvan



5. Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring (1) Gejala pada pasien KNF terbagi menjadi 4 kategori: (1) gejala yang disebabkan oleh adanya massa tumor di nasofaring



(3) gejala yang terkait dengan ekstensi superior dari tumor



(4) massa leher



(2) gejala yang berhubungan dengan disfungsi tuba Eustachii



5. Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring (2) Gejala yang berhubungan dengan KNF pada stadium awal biasanya tidak spesifik Pasien KNF kebanyakan didiagnosis pada stadium lanjut Padahal hasil terapi untuk KNF stadium lanjut tidak memuaskan Diagnosis dini dan manajemen tepat penting untuk mencapai hasil terapi optimal



5. Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring (3) Bentuk endemik KNF dikaitkan dengan EBV Titer IgA untuk EBV-VCA dan EBV-EA dalam tes imunofluoresen dapat digunakan untuk skrining serologi KNF ELISA yang memanfaatkan antigen EBV rekombinan murni juga semakin dianjurkan dalam tes imunofluoresen Tes ini sering digunakan sebagai tumor marker pada keadaan remisi dan kambuh



5. Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring (6) Ji et al.: Peningkatan level antibodi EBV mendahului onset klinis KNF



Namun belum ada skrining serologis yang memuaskan karena rendahnya tingkat sensitivitas dan spesifisitas Deteksi gen EBV pada swab nasofaring dari pasien yang memiliki gejala terbukti cukup prediktif pada kasus KNF



5. Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring (7) Wei et al. → analisis sampel serum pasien KNF → puncak 4 protein di 4.097, 4.180, 5.912, dan 8.295 Da → membedakan pasien KNF dengan sensitivitas dari 94,5% dan spesifisitas 92,9%. Chang et al. → penggunaan panel tiga-marker → berkontribusi meningkatkan deteksi KNF



Ada kemungkinan bahwa penggabungan tes ini dalam skrining rutin KNF dapat meningkatkan deteksi dini



5. Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring (8) Gejala klinis, anamnesis, dan pemeriksaan klinis → diagnosis awal KNF



Orang dewasa → otitis media serous unilateral yang tidak dapat dijelaskan → diperiksa seksama untuk menyingkirkan KNF.



Keluhan paling umum: rasa sakit di atas massa leher atau adanya massa



5. Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring (9) Endoskopi memainkan peran penting dalam mendeteksi lesi awal KNF, dan biopsi endoskopik memungkinkan untuk penegakan diagnosis definitif Ketika KNF dicurigai dengan kuat, pemeriksaan pencitraan dan/atau biopsi mukosa nasofaring dianjurkan meskipun permukaan mukosa tampak normal.



5. Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring (10) Perhatian cermat harus diberikan ketika dilakukan MRI pada pasien otitis media serosa unilateral atau limfadenopati servikal Otitis media serosa diakibatkan obstruksi dari orifisium faring pada tuba Eustachii. 60 sampai 96% dari pasien KNF menunjukkan adenopati kelenjar getah bening servikal pada saat datang MRI dapat membantu untuk menggambarkan kanker subklinis yang tidak tampak pada endoskopi



5. Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring (11) Telah dikemukakan bahwa MRI lebih unggul dibandingkan 18-fluoro-2deoksiglukosa (FDG) tomografi emisi positron (PET) untuk penilaian invasi locoregional dan metastasis nodus retrofaringeal



PET tidak cocok untuk mendeteksi nodus retropharngeal kecil atau untuk membedakan nodus retrofaringeal dari tumor primer yang berdekatan



6. Diagnosis Dini KNF Rekurens (1) • Diagnosis – Pemeriksaan klinis & “imaging studies” (flexible fiberscope, NBI, MRI, FDG-PET);  Flexible fiberscope • Inspeksi flexible fiberscope -> peran utama follow up • Reaksi mukosa pada radioterapi menghambat dx KNF (sekret & kerak menutupi mucosa nasofaring) • Lapisan submukosa dan lapisa yang lebih dalam sulit diidentifikasi flexible fiberscope







6. Diagnosis Dini KNF Rekurens • NBI (narrow band imaging) - Meningkatkan sensitivitas diagnostik pada endoskopi -> karakter jaringan - Mukosa letak superficial dapat terdeteksi -> nonangiogenetik, proliferasi mikrovaskuar - Lin & wang melaporkan penggunaan NBI & konevensional endoskopi berhasil mendeteksi lesi KNF rekurens



6. Diagnosis Dini KNF Rekurens • MRI - MRI lebih baik dalam mendeteksi abinormaitas soft tissue dibanding CT-scan - MRI dilakukan 2-3 bulan setelah initial treatment -> tiap 3-6 bulan posttreatment selama 2 tahun pertama ( tanda abnormalitas stabil/berkurang ) - jika tidak ada tanda kekambuhan dilanjutkan setiap 6-12 bulan



6. Diagnosis Dini KNF Rekurens • FDG-PET - Dapat membedakan lesi rekurens dari perubahan radiasi seperti nekrosis jaringan, fibrosi, edema - Liu et al -> sensitivitas deteksi lesi residual/rekurens: CT (76), MRI (78), PET (95) - Konsumsi FDG meningkat karena reaksi inflamasi pada periode awal radioterapi



Kesimpulan Deteksi KNF pada stadium awal sulit karena gejalanya tidak spesifik tes serologi - EBV digunakan sebgagai alat skrining pada pupulasi yang memiliki faktor resiko



Biomarker molekular merupakan alat baru yang sedang diteliti untuk mendeteksi lesi awal KNF



Kesimpulan Reaksi mukosa postradiasi menyulitkan diagnosa pasti KNF



MRI masih merupakan modalitas utama yang digunakan untuk deteksi lesi KNF. Penggunaan PET dibenarkan apabilla pada pemeriksaan MRI tidak ditemukan kelainan



Ketelitian klinisi dan pengetahuan masyarakat umum mengenai KNF berperan penting dalam diganosis dini penyakit ini



TERIMA KASIH