Di Bawah Bayang Sakura [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Di bawah bayang sakura Mayra… Aku diterima..Aku diterima.. Akhirnya setelah mencoba lebih dari 10 orang Professor , profilku berhasil menarik perhatian Professor Yutaka Watanabe di Universitas Tsukuba, Jepang untuk program Life Science. Dan artinya hari ini juga semua persyaratan kelengkapan aplikasi beasiswa pemerintah Jepang sudah bisa aku kirimkan. Selebihnya, aku tinggal mengikuti proses seleksi dari ribuan pelamar yang masuk. Semoga Ramadhan kali ini membawaku pada mimpi yang selama ini selalu mengganggu tidurku. Ya, mimpi sekolah di negeri sakura. Mimpi yang secara nyata sulit kuwujudkan tanpa bantuan beasiswa, karena seperti permasalah ribuan penduduk Indonesia pada umunya, orang tuaku tak berdaya untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang universitas.Aku tahu, kemungkinan untuk mendapatkan beasiswa itu pun masih sepersekian ribu, mengingat banyaknya pesaing. Tapi, entah mengapa, aku percaya dengan mimpi yang kujaga hingga kini, kubalut dengan asa yang membara, semuanya bisa terwujud, tahun ini. Insya Allah. “Jadi, nama kamu masuk dalam daftar yang akan diwawancara nduk?” kulihat mata Bapak berbinar sambil menyantap bihun goreng, menu favorit keluarga kami. “Iya, Pak, alhamdulilah yah. Ini tahapan terakhir, Pak. Kalau sukses, aku bisa berangkat bulan April nanti” mendengar nada suaraku sendiri aku pun bahagia tak terkira. Fantasiku sudah terbang jauh meyakini diri bahwa aku pasti lolos tahapan wawancara. “Hebat kamu ya, nduk. Bapak doakan semoga lancar. Bapak antar ya wawancaranya. Kapan? Di kedutaan Jepang itu kan yang di Jalan Thamrin?” Sesaat aku terpaku, dan dapat kurasakan lirikan mata Bapak terhadapku. “Kenapa? Malu dianter Bapakmu naik vespa butut?” “Tuh, Bapak sensitif amat sih. Aku tuh mikir Pak, siang-siang begitu naik motor, nanti kita berdua kepanasan, ditambah minggu depan sudah masuk jadwal puasa lagi. Aku kasihan sama Bapak” “Sudah, jangan ngarang. Bapak ini puluhan tahun lebih kuat daripada kamu. Minggu depan Bapak antar, kalau kamu berhasil setidaknya Bapak ikut andil nyekolahin kamu walaupun nggak pake uang Bapak. Lagian lalu lintas di Jakarta ini mana bisa diharapkan. Macet sana-sini, kamu mau telat terjebak macet?” Dan aku pun mengalah. Sejujurnya, sebersit rasa khawatir tiba, takut vespa Bapak yang makin renta itu ngadat,kedatanganku bisa terlambat, wawancaraku pun berantakan. Ini kan tahapan terakhir, masa harus



hilang mimpiku gegara si vespa butut. Tapi, hati kecilku pun menyetujui ucapan Bapak, setidaknya Bapak ingin menunjukkan tanggung jawabnya untuk mendukung anak bungsunya ke sekolah tinggi, dengan usaha yang dia bisa. Beberapa hari berikutnya. Bapak diam terpaku. Di tempat yang aneh itu, hanya dia, Mayra dan awan hitam yang berbicara. Sebelumnya tak pernah ia melihat kekecewaan yang terpapar dari wajah anak bungsu kesayangannya ini. Sering kali saat Mayra sedih, marah, atau kecewa, semua ekspresi tak pernah ditampakkan di depan mukanya. Bukan karena Mayra tak ingin membuat Bapak kecewa tapi mungkin Mayra terlalu takut untuk bersedih di depan Bapak. Bapak menyadari, dirinya tak bisa bersikap lembut terhadap setiap anaknya. Semua anaknya tahu, Bapak itu galak, tegas, dan keras. Tapi di antara anak-anaknya, hanya terhadap Mayra-lah Bapak bisa lebih lembut, lebih tenang. Namun, semua sikap Bapak terhadap Mayra belum bisa membuat Mayra menunjukkan emosinya di depan Bapak. Sebaliknya, kali ini Bapak bisa merasakan kesedihan Mayra, bisa melihat buliran air mata yang semakin deras mengalir di pipinya yang gembil. Anakku, kegagalan itu rasa dalam hidup. Jangan halangi mereka untuk datang menghampiri, sambut mereka dengan sukacita. Jangan takut, anakku, dibalik kegagalan keberhasilan menunggumu. Hanya butuh sedikit langkah lagi menuju ke sana. Seluruh kata-kata rasanya sudah Bapak ucapkan untuk menghibur Mayra, tapi tangis Mayra tak kunjung berhenti. Mayra seperti sibuk dengan seluruh sedihnya, sepertinya dia tak menghiraukan kata-kata Bapak. Ah Mayra, hidupmu masih panjang nak, simpan air matamu untuk kisah hidup yang nanti menunggu. Kalau beasiswa itu tak menghampirimu saat ini, jangan berhenti. Namun, Mayra tetap tak bergeming, tangisnya pun semakin menjadi saat Bapak mencoba memeluknya.



Mayra duduk membisu di bangku taman Doho , salah satu taman terbesar di Tsukuba, sekitar 56 km dari pusat kota Tokyo. Angin musim semi mulai menyapa, bunga sakura bermekaran seperti tak perduli tahun ini mereka datang terlalu cepat. Setahun yang lalu semua terjadi. Tetiba mata Mayra basah, tangannya mengenggam foto dia dan Bapak. Ah Bapak, aku rindu. Andai bisa kusampaikan padamu, mimpiku jadi nyata. Tapi Bapak, tahukah engkau, mimpiku datang bersamaan dengan pergimu? Mengapa Bapak?Mengapa? Kata orang, kita harus punya mimpi, yang besar. Kata para motivator itu, bermimpilah menjadi venus, walau saat ini engkau menjadi lumut yang menjalar di dasar bebatuan hulu sungai. Tapi tak ada yang bilang, mimpi itu memiliki harga yang harus kau bayar. Dan tak pernah ada yang bilang harga mimpiku adalah Bapakku sendiri.



Air mata Mayra pun semakin deras. Di seberang danau Doho, tempat kerumunan pohon sakura berada dilihatnya beberapa orang tertawa, bahagia tersenyum seakan datangnya sakura memberikan mereka kabar berita bahagia. Saat angin musim semi bertiup, buliran sakura pun berjatuhan. Indah, romantis, tapi di saat yang sama Mayra hanya merasakan pilu. Pilu yang sangat ketika seakan melihat bayangan Bapak dengan vespa bututnya. Ingatannya melayang ke peristiwa setahun lalu. Saat Bapak mengalami kecelakaan akibat tabrak-lari mobil yang menyambutnya dari arah yang berbeda selepas mengantar Maya wawancara untuk program beasiswa yang gagal ia dapatkan. Bapak menderita luka bakar parah, karena vespanya terguling dan terbakar. Hampir 80 % tubuh Bapak dipenuhi luka bakar, namun Bapak sempat sadarkan diri selama dua hari. Sebelum akhirnya Bapak pergi dengan tenangnya. Yang paling menyakitkan adalah saat orang lain bersuka cita menyambut Ramadhan, Mayra harus mengantarkan Bapak ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Mayra menyapu airmatanya. Sesaat ia rasakan kehangatan di sela-sela musim semi yang masih sangat dingin itu. Kehangatan yang sama ia rasakan saat ia berada di makam Bapak, seolah Bapak memeluknya. Mayra tahu, saat itu Bapak ada, memberikan semangatnya, memberikan dukungannya untuk terus tetap hidup menjaga mimpi. Sampai sebulan setelah kejadian itu, Mayra mendapatkan sponsor dari pihak lain yang bersedia memberikan beasiswa ke negeri Jepang dengan program yang sama. Mayra menengadah ke kerumunan pohon sakura yang berjajar indah. Seiring hembusan angin yang melayangkan sakura jatuh dari pohonnya, bayang-bayang Bapak pun kian pudar. Bapak, aku rindu. Rindu pada diammu, yang dengannya sejuta rasa kurasa. Datanglah lagi nanti, saat sakura kembali bersemi.



Tentang penulis : Atetamala, berdomisili di Tsukuba, Jepang. Senang buku, terutama yang bergenre science-fiction, senang menulis, walaupun masih tergopoh-gopoh menjaga konsistensi. Memiliki cita-cita alternative sebagai science-journalist khususnya di Indonesia. Dan, penikmat café au latte di kala musim semi dan gugur tiba. Contact me : @atetamala