Dian Cholika - Pengaruh Pemberian Kapsul Ekstrak Ikan Gabus Lansia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENGARUH PEMBERIAN KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP KADAR ALBUMIN DAN STATUS GIZI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA GAU MABAJI KABUPATEN GOWA SULAWESI SELATAN



INFLUENCE OF GIVING SNAKEHEAD FISH EXTRACT CAPSULE ON ALBUMIN CONTENT AND NUTRITIONAL STATUS OF OLDFOLKS AT OLDFOLKS HOME TRESNA WREDHA GAU MABAJI GOWA REGENCY SOUTH SULAWESI



DIAN CHOLIKA HAMAL



PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2008 i



PENGARUH PEMBERIAN KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP KADAR ALBUMIN DAN STATUS GIZI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA GAU MABAJI KABUPATEN GOWA SULAWESI SELATAN



Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister



Program Studi Kesehatan Masyarakat



Disusun dan Diajukan Oleh DIAN CHOLIKA HAMAL



Kepada



PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2008



ii



A. Halaman Pengesahan Ujian Hasil



PENGARUH PEMBERIAN KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP KADAR ALBUMIN DAN STATUS GIZI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA GAU MABAJI KABUPATEN GOWA SULAWESI SELATAN



DIAN CHOLIKA HAMAL Nomor Pokok P180 32 06 008



Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, MSc. Sp.GK



Dr. Drs. Faisal Attamimi, MSc



Ketua Komisi Penasihat



Anggota Komisi Penasihat



Ketua Program Studi Kesehatan



Ketua Konsentrasi Gizi



Masyarakat



Dr. drg. A. Zulkifli Abdullah, MS Nip. 131 909 788



Dr. dr. Burhanuddin Bahar, MS Nip. 131 569 699



iii



PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama



: DIAN CHOLIKA HAMAL



Nomor Mahasiswa



: P1803206008



Program Studi



: Kesehatan Masyarakat



Konsentrasi



: Gizi



Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benarbenar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebahagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.



Makassar,



Desember 2008



Yang Menyatakan,



Dian Cholika Hamal



iv



KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan hasil penelitian yang berjudul “Pengaruh Pemberian Kapsul Ekstrak Ikan Gabus terhadap Kadar Albumin dan Status Gizi Lansia di Panti Sosial Tresna Wredha Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan”. Penyusunan hasil penelitian ini tidak dapat diselesaikan dengan sempurna tanpa bimbingan dan arahan dari penasehat kami. Oleh karena itu, pada kesempatan ini izinkanlah kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, MSc. Sp.GK selaku ketua komisi penasihat dan Dr. Drs. Faisal Attamimi, MSc selaku anggota penasihat. Semoga dengan segala bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amin. Terkhusus penulis sampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua bapak/ibu, kakek/nenek yang ada di panti sosial tresna wreda gau mabaji yang telah bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini. Semoga segala bantuan yang diberikan bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Amin. Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada :



v



1. Rektor dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk bisa melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pascasarjana. 2. Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat beserta staf yang telah banyak memberikan bantuan bagi penulis demi kelancaran penelitian ini. 3. Ketua Konsentrasi Gizi dan Seluruh dosen Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan begitu banyak ilmu kepada penulis selama penulis dalam proses perkuliahan 4. Tim Penguji Tesis :



Prof. Dr. dr. Nurpudji A. Taslim, MPH. SpGK, Dr.



dr. Burhanuddin Bahar, MS, atas segala masukan dan saran yang diberikan bagi penulis. 5. Kepala Panti Sosial Tresna Wredha Gau Mabaji Kabupaten Gowa beserta seluruh staf yang telah memberikan izin dan bantuan untuk melakukan penelitian 6. Kepala Laboratorium Kesehatan Sulawesi Selatan beserta staf atas bantuannya dalam melakukan pemeriksaan Albumin serum pada lansia. 7. Kepala Laboratorium Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat beserta seluruh staf atas bantuannya dalam penggunaan alat. 8. Seluruh teman-teman di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya teman-teman angkatan 2006 dan 2007 konsentrasi gizi reguler dan nonreguler



vi



9. Terkhusus penulis sampaikan rasa hormat dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada



ayahanda H. Hamal, M, ibunda Hj. St.



Ruhana dan kakak-kakakku tercinta Ir. Haruna Hamal, Ir. Basri Hamal M.P, Ir. Hasriani Hamal, Ir. Wartini Hamal, Ulfa Maulin Hamal A,Md. Ir. Ratnasari Rahman, MP, Ratnasari Rachim A,Md, Ir Zaqlul Mas’ud, Nasution, SE, serta semua ponakan-ponakanku. 10. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan hasil penelitian ini, semoga segala apa yang telah mereka berikan bernilai ibadah dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih sangat



jauh



dari



kesempurnaan,



oleh



karena



itu



kami



sangat



mengharapkan segala bentuk masukan dan saran demi penyempurnaan dan perbaikan hasil penelitian ini. Makassar,



Desember 2008



Penulis



vii



ABSTRAK DIAN CHOLIKA HAMAL. Pengaruh Pemberian Kapsul Ekstrak Ikan Gabus Terhadap Kadar Albumin dan Status Gizi Lansia di Panti Sosial Tresna Wredha Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan (Dibimbing oleh Suryani As’ad dan Faisal Attamimi) Lansia adalah salah satu kelompok yang rentan malnutrisi. Serum Albumin merupakan parameter penting dalam mengukur status gizi lansia . Salah satu sumber makanan yang kaya akan albumin adalah ikan gabus. Ikan gabus mengandung albumin yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan lain yang diperlukan oleh tubuh yang berfungsi meningkatkan daya tahan tubuh, mempercepat penyembuhan luka dan membantu proses metabolisme tubuh lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian kapsul ekstrak ikan gabus terhadap kadar albumin, status gizi, dan asupan zat gizi lansia di panti sosial tresna wredha gau mabaji kabupaten gowa sulawesi selatan. Desain penelitian yang digunakan adalah Quasi Eksperimental dalam bentuk randomized control group pre-post test design. Sampel dalam penelitian ini adalah lansia berumur diatas 55 tahun. Sampel terdiri atas kelompok intervensi yang mendapat kapsul ekstrak ikan gabus dan kelompok kontrol yang mendapat kapsul placebo, masing-masing berjumlah 27 orang. Sebelum intervensi, dilakukan pengukuran kadar albumin, asupan zat gizi dan status gizi (IMT). Setelah 30 hari intervensi, dilakukan pengukuran albumin, asupan zat gizi, status gizi (IMT). Data dianalisis dengan menggunakan uji paired t-test dan independent t-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi terjadi peningkatan bermakna untuk serum albumin (p < 0,05), sedangkan asupan energi dan karbohidrat mengalami peningkatan yang tidak bermakna. Berat badan, IMT, asupan protein, dan lemak mengalami penurunan yang tidak bermakna (p > 0,05). Pada kelompok kontrol hanya serum albumin yang meningkat secara bermakna. Berat badan dan IMT, menurun secara bermakna, sedangkan asupan energi, protein, dan lemak mengalami penurunan secara tidak bermakna dan asupan karbohidrat mengalami peningkatan yang tidak bermakna (p > 0,05). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian kapsul ikan gabus selama 30 hari dapat meningkatkan kadar albumin, asupan energi, dan karbohidrat masing-masing sebesar 1,79 mg/dl; 103,5 kal; dan 70,3 g, tetapi tidak memberikan peningkatan terhadap berat badan, IMT, asupan protein dan lemak. Kata Kunci : Ikan gabus, lansia, albumin, status gizi



viii



ABSTRACT



ix



DAFTAR ISI ISI HALAMAN HALAMAN JUDUL.................................................................................i HALAMAN PENGAJUAN .....................................................................ii HALAMAN PENGESAHAN..................................................................iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS....................................iv KATA PENGANTAR..............................................................................v ABSTRAK...........................................................................................viii DAFTAR ISI...........................................................................................x DAFTAR TABEL.................................................................................xiv DAFTAR GAMBAR.............................................................................xvi DAFTAR LAMPIRAN........................................................................xviii I



PENDAHULUAN A. Latar Belakang .........................................................................1 B. Rumusan Masalah ....................................................................9 C. Tujuan Penelitian 1.Tujuan Umum .......................................................................10 2.Tujuan Khusus .....................................................................10 D. Manfaat Penelitian ..................................................................11



II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Usia Lanjut..................................................12 1. Pengertian Lansia...............................................................12 2. Batasan-batasan Lanjut Usia.............................................14



x



3. Proses Penuaan.................................................................17 4. Status Gizi pada Lansia.....................................................29 5. Patofisiologi Malnutrisi pada Lansia...................................35 6. Hipoalbuminemia pada Lansia...........................................37 7. Asupan Makan Lansia........................................................41 B. Peranan Protein dalam Proses Fisiologis................................44 1.Absorpsi dan Metabolisme Protein.......................................48 2.Kebutuhan Protein................................................................53 C. Albumin....................................................................................54 1.Fungsi Albumin.....................................................................54 2.Sifat Biokimia Albumin..........................................................55 D. Ikan Gabus (Ophiocephalus Streatus)....................................59 E. Penilaian Status Gizi................................................................64 1.Penilaian Status Gizi secara Antropometri...........................64 2.Penilaian Status Gizi secara Biokimia..................................68 F. Kerangka Pikir..........................................................................70 G. Kerangka Konsep dan Variabel Penelitian..............................75 1. Kerangka Konsep...............................................................72 2. Variabel Penelitian..............................................................73 H. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif................................74 I. Hipotesis Penelitian.................................................................76 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian..............................................................77 B. Lokasi dan Waktu Penelitian....................................................79



xi



C. Populasi dan Sampel...............................................................79 1. Populasi..............................................................................79 2. Sampel...............................................................................79 3. Besar Sampel.....................................................................80 4. Prosedur Penelitian............................................................81 D.



Instrumen Penelitian................................................................82 E. Teknik Pengumpulan Data.......................................................82 F. Pengolahan, Penyajian dan Analisis Data...............................83 G. Kontrol Kualitas........................................................................85 H. Pertimbangan Etik....................................................................85 I. Proses Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian......................86 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian........................................87 B. Hasil Penelitian........................................................................88 1. Analisis Deskriptif...............................................................88 2. Analisis Paired t-test...........................................................94 3. Analisis Uji T Independent..................................................98 C. Pembahasan..........................................................................101 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan.............................................................................119 D. Saran......................................................................................119 DAFTAR PUSTAKA..........................................................................120 LAMPIRAN ......................................................................................124



xii



DAFTAR TABEL Tabel 2.1



Teks



Halaman



Kandungan protein ikan per 100 gram 63



2.2



Kandungan Zat Gizi dalam 100 CC ekstrak ikan gabus 64



2.3



Kandungan zat gizi dalam 100 gram tepung ikan gabus 66



4.1



Distribusi karakteristik sampel menurut umur di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 92



4.2



Distribusi karakteristik sampel menurut jenis kelamin di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 92



4.3



Distribusi karakteristik sampel berdasarkan tingkat pendidikan di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 93



4.4



Distribusi karakteristik sampel berdasarkan IMT di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 93



4.5



Analisis perbedaan kadar albumin kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi di PSTW Gau Mabaji



xiii



Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 94 4.6



Analisis perbedaan berat badan kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 95



4.7



Analisis perbedaan IMT kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 96



4.8



Analisis perbedaan asupan zat gizi kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 97



4.9



Analisis perbedaan kadar albumin pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di PSTW



Gau



Mabaji



Kabupaten



Gowa



Sulawesi Selatan, Tahun 2008 100 4.10



Analisis



perbedaan



berat



badan



pada



kelompok intervensi dan kelompok kontrol di PSTW



Gau



Mabaji



Kabupaten



Gowa



Sulawesi Selatan, Tahun 2008 100 4.11



Analisis perbedaan IMT pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol di PSTW



xiv



Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 101 4.12



Analisis



perbedaan



asupan



zat



gizi



pada



kelompok intervensi dan kelompok kontrol di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 102



DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1



Teks



Halaman



Patofisiologi Malnutrisi pada Lanjut Usia 38



2.2



Metabolisme Protein (Linder, 1992) 51



2.3



Ikan Gabus 66



2.4



Kapsul Ekstrak Ikan Gabus 66



4.1



Perbedaan kadar albumin sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol 94



xv



4.2



Perbedaan berat badan sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol 95



4.3



Perbedaan IMT sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol 96



4.4



Perbedaan asupan energi sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol 98



4.5



Perbedaan



asupan



protein



sebelum



dan



sesudah intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol 98 4.6



Perbedaan asupan lemak sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol 98



4.7



Perbedaan asupan karbohidrat sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol 99



DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Teks



Halaman



xvi



1



Kuesioner pengumpulan data 124



2



Formulir food recall 24 jam 125



3



Pengukuran berat badan 126



4



Pengukuran tinggi badan 127



5



Pengukuran tinggi lutut 128



6



Inform Concent 129



7



Gambar pada saat recall 24 hours 130



8



Gambar pengambilan darah 131



9



Surat-surat ijin penelitian 132



xvii



BAB I PENDAHULUAN A.



Latar Belakang



Undang – undang Kesehatan No.23 pasal 4 tentang hak dan kewajiban dijelaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal, tidak terkecuali orang yang berusia lanjut. Salah satu hasil pembangunan nasional di bidang kesehatan adalah meningkatnya umur harapan hidup. Sejalan dengan hal tersebut akan meningkat pula kelompok lansia di masyarakat. Dari data USA- Bureau of the Census 1993, melaporkan bahwa Indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan warga lansia terbesar di dunia, antara tahun 1990 – 2025, yaitu sebesar 414%, suatu angka tertinggi di seluruh dunia, dan pada tahun 2020 Indonesia merupakan urutan ke 4 jumlah usia lanjut paling banyak sesudah Cina, India dan Amerika (Kinsella & Taeuber, 1993). Data BPS memperlihatkan bahwa angka usia harapan hidup (UHH) untuk penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, dari 60 tahun pada tahun 1990 meningkat menjadi 65 tahun pada tahun 2000, tahun 2004 UHH 66 tahun, kemudian meningkat menjadi 69 tahun pada tahun 2006, bahkan diperkirakan pada tahun 2018 akan meningkat menjadi 70 tahun. UHH untuk Penduduk provinsi Sulawesi Selatan juga mengalami peningkatan dari 64 tahun pada tahun 1998 meningkat menjadi 68 tahun pada tahun 2000, 2001, dan 2003 (BPS 2004). Lansia yang jumlahnya akan semakin meningkat ini secara alami akan mengalami perubahan fisik, mental, dan psikososialnya. Oleh sebab itu maka sangat diharapkan terjadinya peningkatan kualitas hidup pada lansia seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup setiap tahunnya.



xviii



Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia akan membawa dampak terhadap sosial ekonomi baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam pemerintah. Setiap penduduk usia produktif akan menanggung semakin banyak penduduk usia lanjut. Diperkirakan angka ketergantungan usia lanjut pada tahun 1995 adalah 6,93% dan tahun 2015 menjadi 8,74% yang berarti bahwa pada tahun 1995 sebanyak 100 penduduk produktif harus menyokong 7 orang usia lanjut yang berumur 65 tahun ke atas sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 100 penduduk produktif harus menyokong 9 orang usia lanjut yang berumur 65 tahun ke atas (Wirakartakusuma dan Anwar, 1994). Ketergantungan lanjut usia disebabkan kondisi orang lanjut usia banyak mengalami kemunduran fisik maupun psikis, artinya mereka mengalami perkembangan dalam bentuk perubahanperubahan yang mengarah pada perubahan yang negatif (http://www.damandiri.or.id). Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2000). Masalah umum yang dialami lanjut usia yang berhubungan dengan kesehatan fisik, yaitu rentannya terhadap berbagai penyakit karena berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi pengaruh dari luar. SKRT tahun 1980 menunjukkan angka kesakitan penduduk usia 55 tahun ke atas sebesar 25,7 persen. Berdasarkan SKRT tahun 1986 angka kesakitan usia 55 tahun 15,1%, dan menurut SKRT 1995 angka kesakitan usia 4559 sebesar 11,6 persen (Wirakartakusumah, 2000) Dalam penelitian Profil Penduduk Usia Lanjut Di Kodya Ujung Pandang ditemukan bahwa lanjut usia menderita berbagai penyakit yang berhubungan dengan ketuaan antara lain diabetes melitus, hipertensi, jantung koroner, rematik dan asma sehingga menyebabkan aktifitas bekerja terganggu (Ilyas, 1997). Demikian juga temuan studi yang dilakukan Lembaga Demografi Universitas Indonesia di Kabupaten Bogor tahun 1998, sekitar 74 persen lansia dinyatakan mengidap penyakit kronis. Tekanan darah tinggi adalah penyakit kronis yang banyak diderita lanjut usia,



sehingga



mereka



tidak



dapat



melakukan



aktifitas



kehidupan



sehari-hari



(Wirakartakusumah, 2000).



xix



Proses menua merupakan suatu proses normal yang ditandai dengan perubahan secara progresif dalam proses biokimia, sehingga terjadi kelainan atau perubahan struktur dan fungsi jaringan, sel dan non sel. (Widjayakusumah, 1992). Proses menjadi tua disebabkan oleh faktor biologi, berlangsung secara alamiah, terus menerus dan berkelanjutan yang dapat menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, biokemis pada jaringan tubuh dan akhirnya mempengaruhi fungsi, kemampuan badan dan jiwa (Constantinides,1994). Penderita usia lanjut lebih mudah terkena penyakit akut (infeksi dan penyakit akut lain), namun terjadinya perubahan pada semua orang yang mencapai usia lanjut tidak disebabkan oleh proses penyakit, (Brocklehurst and Allen,1987). Usia lanjut merupakan kelompok yang rentan terhadap malnutrisi (WHO, 2002). Pertambahan usia akan menurunkan kemampuan indera perasa, umumnya dimulai pada usia 60 tahun, perubahan ini akan menyebabkan gangguan pada selera makan lansia sehingga dapat memicu timbulnya masalah gizi (malnutrisi) (Wirakusumah, 2004). Dengan menurunnya fungsi biologis sel dan organ, maka daya adaptasi fungsi-fungsi tersebut untuk mengatasi gangguan fisik dan mental juga menurun. Gangguan pada indera pengecap yang dihubungkan dengan kekurangan kadar Zn dapat menurunkan nafsu makan. Gangguan fungsi mengunyah akibat banyaknya gigi geligi yang sudah tanggal berdampak pada kurangnya asupan zat gizi baik itu zat gizi makro maupun zat gizi mikro. Penurunan mobilisasi usus, menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan seperti perut kembung, nyeri yang menurunkan nafsu makan usia lanjut. Menurunnya indera penglihatan dan pendengaran serta adanya osteoartritis akan mempengaruhi mobilisasi sehingga mengurangi akses untuk memperoleh makanan. Di lain pihak, kondisi mobilisasi sendiri akan menurunkan kadar albumin serum yang bila berlanjut akan menjadi malnutrisi. (Harjodisastro dkk, 2006). Perubahan yang terjadi pada lanjut usia ini sangat mempengaruhi kehidupan lanjut usia dan sering menimbulkan gangguan psikososial seperti depresi, apatis dan isolasi sosial. Interaksi faktor-faktor tersebut semakin memperbesar penurunan asupan makanan, sehingga rentan terjadi malnutrisi. Malnutrisi energi protein merupakan



xx



penyebab utama imunodefisiensi, hal ini disebabkan sel imun mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap energi dan asam amino yang diperlukan saat pemisahan sel dan sintesa protein. Sistem daya tahan (sistem imun) tubuh lansia akan berkurang fungsinya, yang mana sistem imun tidak bereaksi secepat atau seefisien yang didapati pada usia yang lebih muda. Adapun perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem imun meliputi perubahan di dalam sel, perubahan kimiawi dan protein pada pembungkus (membran) sel, maupun pada organ tubuh (www.waspadaonline.com 2006). Dari studi pendahuluan yang kami lakukan, ditemukan bahwa rata-rata asupan energi pada lansia sebesar 1494.07±359.45 kkal dan rata-rata asupan protein pada lansia sebesar 51.08±12.81 gram. Dari hasil studi pendahuluan tersebut terlihat bahwa asupan energi dan protein pada lansia defisit. Salah satu indikator malnutrisi adalah rendahnya albumin serum. Hal ini akibat asupan protein yang tidak cukup dalam periode waktu yang lama atau akibat kesalahan sintesis dari albumin. (Robinson, et al, 1990). Malnutrisi biasanya terjadi apabila kadar albumin serum rendah. Peran protein albumin untuk tujuan klinis semakin penting terutama untuk mencegah kekurangan energi protein. Serum albumin merupakan salah satu parameter penting dalam mengukur status gizi pada pasien-pasien dengan usia lanjut sebab kekurangan albumin pada darah lebih banyak terjadi pada usia lanjut (The Cleveland Clinic Foundation, 2005). Beberapa studi menunjukkan bahwa lanjut usia memerlukan lebih banyak protein dibanding orang dewasa muda untuk memelihara keseimbangan nitrogen. Walaupun yang lain telah mengusulkan asupan protein yang rendah (Robinson, et al, 1990). Gersovitz dan Comorkers menemukan bahwa lansia sehat (70 sampai 99 tahun) akan mengalami keseimbangan nitrogen negatif ketika mereka diberi makan protein telur dengan RDA (0,8 gram per kg). Mereka direkomendasikan dengan protein yang lebih tinggi dibanding RDA untuk umur diatas 70 tahun (Robinson et al., 1990). Konsentrasi serum albumin normal pada orang dewasa sehat sekitar 35 sampai 50 g/dl. Angka ini akan berkurang pada keadaan hypoalbuminemia pada pasienpasien dengan penyakit serius demikian pula pada lansia (Kashmita et al., 1999).



xxi



Albumin dapat dipergunakan untuk mengukur status gizi sebagai prediksi protein energi malnutrisi. Abumin meskipun tidak berhubungan dengan penurunan berat badan tetapi berhubungan dengan peningkatan risiko kesakitan dan kematian. Level serum albumin merupakan elemen yang akurat dalam menyimpulkan status gizi yang dapat dilanjutkan dengan perencanaan terapi gizi yang efektif untuk mengatasi kesakitan dan kematian (Kirby, 2002). Peningkatan serum albumin selama ini dilakukan salah satunya berupa pemberian makanan yang mengandung kadar albumin yang tinggi yaitu pemberian telur (putih telur). Dengan mengkonsumsi telur maka pasien yang rendah albuminnya akan mengalami peningkatan, namun terjadi pula peningkatan kadar kolesterol yang mengganggu proses metabolisme tubuh. (Johannes, 1998). Selain itu, untuk mengatasi hipoalbuminemia, pasien diberikan preparat albumin sebanyak 4 ampul dengan harga satuan sekitar Rp 1.500.000. Bagi pasien dengan penghasilan rendah, tentu harga ini sangat mahal, oleh karena itu perlu dicari alternatif lain sebagai sumber protein albumin. Ikan gabus merupakan alternatif lain sebagai sumber protein albumin karena diketahui mengandung senyawa-senyawa penting bagi tubuh manusia diantaranya protein yang cukup tinggi, lemak, air dan mineral. Terutama mineral zink (Zn) yang merupakan zat gizi mikro sangat penting diperlukan oleh tubuh dalam meningkatkan daya tahan tubuh, mempercepat penyembuhan luka dan membantu proses metabolisme tubuh lain (Anonimous, 2003). Nilai albumin dalam plasma merupakan penentu utama absorbsi Zn. Albumin merupakan alat tranport utama Zn. Absorbsi Zn menurun bila nilai albumin menurun misalkan dalam keadaan gizi kurang. Absorbsinya sangat tergantung dari sumber bahan makanan. Zn lebih banyak ditemukan pada sumber protein yang berasal dari binatang seperti ikan dan daging, dimana Zn akan terikat pada asam amino sehingga mudah diabsorbsi (As’ad, 2001). Menurut Wirakusumah (2002) Zink dibutuhkan tubuh untuk melawan infeksi, memperbaiki jaringan tubuh, serta mencegah gangguan prostat dan ketidaksuburan atau infertilisasi. sehubungan dengan proses penuaan mineral ini dapat mengembalikan fungsi kekebalan dan melawan radikal bebas. Zink juga dapat kembali mengaktifkan kelenjar thymus untuk memprosuksi hormon timulan yang berfungsi



xxii



merangsang sel T. Disamping itu, meningkatkan produksi interleukin-1 yang mempunyai fungsi sama dengan hormon timulan (Suara merdeka, 2004). Kandungan protein pada ikan gabus yaitu 25,2 gram relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan beberapa jenis ikan lainnya, misalnya ikan bandeng 20 gram, kembung 22 gram, dan ikan teri 16 gram. Protein ikan mempunyai daya cerna 95% (Johanes, 1998). Albumin dari ikan gabus tersebut dapat menggantikan albumin telur yang selama ini dipergunakan, yang berasal dari putih telur. Hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa dengan pemberian konsumsi ikan gabus masak beserta fitrat hasil rebusannya ternyata mampu meningkatkan kadar albumin darah dan pengurangan luas permukaan luka pada pasien (Johannes, 1998). Pemberian albumin telah banyak dilakukan. Telah dilaporkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Suprayitno menyimpulkan bahwa pemberian ekstrak dari 2 kilogram ikan gabus per hari pada sejumlah pasien yang memiliki kadar albumin rendah (1,8g/dl), dapat meningkatkan kadar albumin dalam darah pasien menjadi normal, yakni 3,5-5,5 g/dl. (http:www.gatra.com/2003). Telah ditunjukkan pula bahwa pemberian ekstrak ikan gabus sebanyak 100 ml setiap hari selama 10 hari dapat meningkatkan kadar albumin dan protein total pasien. Hal ini tampaknya diikuti oleh peningkatan status gizi dan konsumsi pada kelompok intervensi.



Rata-rata besar peningkatan kadar albumin yang terlihat



dalam penelitian ini sebesar 0.6 g/dl dibandingkan dengan kelompok kontrol (Taslim, dkk 2005). Walaupun demikian, mekanisme pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap kadar albumin dan status gizi terutama pada lansia, sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti begitu pula bagaimana mekanisme imun yang terjadi masih dalam tahap pencarian.



B. 



Rumusan Masalah



Rendahnya kadar albumin (hipoalbuminemia) sebagai akibat malnutrisi pada lansia menimbulkan perkiraan adanya hubungan antara hipoalbuminemia dengan malnutrisi pada lansia



xxiii







Belum



diketahuinya



patomekanisme



hubungan



hipoalbuminemia



dengan



terjadinya malnutrisi pada lansia. Khususnya peranan ekstrak ikan gabus dalam mekanisme tersebut. Kedua hal tersebut diatas memotivasi kami untuk melakukan penelitian intervensi pada lansia hipoalbuminemia dengan suplementasi protein albumin ikan gabus. Pertanyaan Penelitian 1.



Apakah pemberian ekstrak ikan gabus berpengaruh terhadap perubahan berat badan lansia



2.



Apakah pemberian ekstrak ikan gabus berpengaruh terhadap perubahan kadar albumin serum lansia.



3.



Apakah pemberian ekstrak ikan gabus berpengaruh terhadap perubahan asupan makan lansia.



C. 1.



Tujuan Penelitian



Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap perubahan status gizi lansia.



2.



Tujuan Khusus a.



Menilai besar perbedaan peningkatan berat badan kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah pemberian ekstrak ikan gabus.



b.



Menilai besar perbedaan peningkatan kadar albumin serum kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah pemberian ekstrak ikan gabus.



c.



Menilai besar perbedaan peningkatan asupan makan kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah pemberian ekstrak ikan gabus.



D.



Manfaat Penelitian



xxiv



a.



Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk peningkatan pelayanan gizi masyarakat dalam upaya pelayanan kuratif, preventif, dan promotif untuk lansia.



b.



Dari hasil penelitian ini dapat diketahui strategi alternatif untuk penanggulangan masalah kesehatan dengan pemberian albumin dan makanan lengkap yang cukup dan seimbang pada lansia.



c.



Bermanfaat untuk penyusunan kebijakan program penanggulangan gizi secara umum dan perhatian terhadap status gizi lansia secara khusus.



d.



Bertambahnya wawasan dan informasi peneliti dalam bidang gizi khususnya pada asuhan nutrisi lansia.



xxv



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. 1.



Tinjauan Tentang Usia Lanjut



Pengertian Lansia Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan



kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2000). Menua



adalah



proses



menghilangnya



kemampuan



jaringan



untuk



memperbaiki atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya (Darmodjo, 2002). Menjadi tua atau menua adalah suatu keadaan yang terjadi karena suatu proses, yang disebut proses menua. Proses menua adalah proses sepanjang hidup, tidak dimulai dari suatu waktu yang pasti, berlangsung sejak awal sampai akhir kehidupan (Rohmah, 2002). Proses menua yang berlangsung sebelum usia 30 tahun, akan berjalan bersamaan dengan proses tumbuh kembang, dan akan mengakibatkan perubahan anatomi, fisiologi dan biokimia menuju titik kehidupan maksimal sebagai seorang manusia pada puncak kehidupan produktif. Selama proses menua, akan terjadi perubahanperubahan yang meliputi jumlah, konfigurasi, komposisi sel serta perubahan perbandingan komposisi tubuh. Perubahan-perubahan yang terjadi menyebabkan meningkatnya jumlah persentase jumlah sel lemak, menurunnya jumlah sel solit, massa tulang dan air dalam tubuh (Mariman, 1989). Proses menua pada akhir kehidupan adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang rapuh, disertai penurunan kapasitas fisiologis hampir seluruh tubuh, dan peningkatan secara eksponensial



xxvi



kerentanan orang tersebut terhadap penyakit dan kematian (Miller R.A., 1994 dalam Nurhayati, 2005). Manula adalah fenomena alamiah sebagai faktor akibat proses menua. Oleh karena itu fenomena ini bukanlah suatu penyakit yang terjadi pada manula, melainkan suatu keadaan yang terjadi secara wajar yang bersifat universal. Proses menua bersifat regresif dan mencakup proses organobiologis, psikologis serta sosial budaya (Sirait dan Riyadina, 1999). Usia lanjut adalah seorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas (Darmodjo R.B, 1999). Sedangkan menurut Arisman (2004) usia lanjut adalah mereka yang berumur 65 tahun ke atas. Berbagai perubahan fisik dan psikososial akan terjadi sebagai akibat proses menua. Telah banyak teori yang menjelaskan tentang proses menua, salah satunya adalah teori kerusakan akibat radikal bebas. Kerusakan acak di jaringan akibat terbentuknya radikal bebas pada metabolisme aerob normal dianggap penyebab proses menua. Radikal bebas juga menyebabkan disfungsi sel yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit degeneratif. Tubuh sebenarnya telah menyiapkan pertahanan berupa antioksidan terhadap serangan radikal bebas di tingkat sel, membran dan ekstra sel, sehingga akan ada keseimbangan antara akibat produksi radikal bebas dan kerja antioksidan (Istanti, 2002).



2.



Batasan-Batasan Lanjut Usia Mengenai kapan orang disebut usia lanjut, sulit dijawab secara memuaskan.



Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan umur usia lanjut. a.



Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Menurut WHO, usia lanjut meliputi: 1)



Usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun



2)



Lanjut usia (elderly) = antara 60 dan 74 tahun



3)



Lanjut usia tua (old) = antara 75 dan 90 tahun



xxvii



4) b.



Usia sangat tua (very old) = diatas 90 tahun Menurut Prof. DR. Ny. Sumiati Ahmad Mohammad



Beliau adalah Guru Besar Universitas Gajah Mada pada Fakultas Kedokteran, membagi periodisasi biologis perkembangan manusia sebagai berikut: 1) 0 – 1 tahun



: masa bayi



2) 1 – 6 tahun



: masa prasekolah



3)



: masa sekolah



6 – 10 tahun



4) 10 – 20 tahun



: masa pubertas



5) 40 – 65 tahun



: masa setengah umur



6) 65 tahun ke atas c.



: masa usia lanjut



Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (Psikolog UI) Beliau mengatakan bahwa usia lanjut merupakan kelanjutan dari usia



dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi empat bagian: 1) Fase iuventus



: antara 25 dan 40 tahun



2) Fase verilitas



: antara 40 dan 50 tahun



3) Fase praesenium



: antara 55 dan 65 tahun



4) Fase senium



: antara 65 hingga tutup usia



d.



Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro Pengelompokan usia lanjut sebagai berikut:



e.



1)



Usia dewasa muda (elderly adulthood)



: 18 atau 20-25 tahun



2)



Usia dewasa penuh (middle years) : 25-60 atau 65 tahun



3)



Lanjut usia (geriatric age)



: Lebih dari 65 atau 70 tahun



Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1965 Pasal 1 Bantuan penghidupan orang jompo/usia lanjut yang termuat dalam pasal 1



dinyatakan sebagai berikut : ”seorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau usia lanjut setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain”. Namun pengertian ini sudah diperbaharui dengan adanya Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998, tentang kesejahteraan usia lanjut



xxviii



yang berbunyi sebagai berikut: ” Usia lanjut adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Nugroho, 1999) f.



Menurut Widya Karya Pangan dan Gizi Widya Karya Pangan dan Gizi (1988) yang digolongkan manula adalah



mereka yang berumur di atas 60 tahun g.



Birren dan Jenner Tahun 1977, Birren dan Jennifer mengusulkan untuk membedakan antara: 1) Usia Biologis, yang menunjukkan kepada jangka waktu seseorang sejak lahirnya berada dalam keadaan hidup, tidak mati. 2) Usia Psikologis, yang menunjukkan kepada kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian kepada situasi yang dihadapinya. 3) Usia Sosial, yang menunjukkan kepada peran-peran yang diharapkan atau diberikan masyarakat kepada seseorang sesuai dengan usianya.



3.



Proses Penuaan a. Karakteristik Proses Penuaan 1)



Menurut H.P. Von Hahn (1975), proses penuaan merupakan suatu proses biologis yang kompleks: a)



Adanya perubahan dalam tubuh yang terprogram oleh jam biologis (biological clock).



b)



Terjadi aksi dari zat metabolik akibat mutasi spontan, radikal bebas dan adanya kesalahan di molekul DNA (Strehler, 1962).



c)



Perubahan yang terjadi di dalam sel dapat primer akibat gangguan sistem pengaturan pertumbuhan, atau secara sekunder akibat pengaruh dari luar sel.



2)



Menurut Vincent J. Cristofalo (1990), beberapa karakteristik tentang proses penuaan yang terjadi pada hewan menyusui dan manusia adalah sebagai berikut: a)



Peningkatan kematian sejalan dengan peningkatan usia.



xxix



b)



Terjadinya perubahan kimiawi dalam sel dan jaringan tubuh mengakibatkan



massa



tubuh



berkurang,



peningkatan



lemak



dan



lipofuscin yang dikenal sebagai age pigment, serta perubahan di serat kolagen yang dikenal dengan cross-linking. c)



Terjadinya perubahan yang progresif dan merusak.



d)



Menurunnya kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan di lingkungannya.



e)



Meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit tertentu.



b. Teori Penuaan Penuaan



merupakan



proses



yang



secara



berangsur



mengakibatkan



perubahan yang kumulatif dan mengakibatkan perubahan di dalam yang berakhir dengan kematian. Penuaan juga menyangkut perubahan struktur sel, akibat interaksi sel dengan lingkungannya, yang pada akhirnya menimbulkan perubahan degeneratif (Mary Ann Christ et al. 1993). Teori biologis tentang proses penuaan dapat dibagi menjadi teori intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik berarti perubahan yang berkaitan dengan usia timbul akibat penyebab di dalam sel sendiri, sedangkan teori ekstrinsik menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi diakibatkan oleh pengaruh lingkungan. 1) Teori Genetik Teori ini merupakan teori intrinsik yang menjelaskan bahwa di dalam tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan jalannya proses penuaan. Setiap spesies mempunyai jam biologis sendiri dan masing-masing spesies mempunyai batas usianya. teori genetik mengakui adanya mutasi somatik (somatic mutation), yang mengakibatkan kegagalan atau kesalahan di dalam penggandaan desoxyribonucleic acid atau DNA. Sel tubuh sendiri membagi diri maksimal 50 kali (Hayflick limit). Teori ini menyatakan bahwa proses menua terjadi akibat adanya program jam genetik didalam nuklei. Jam ini akan berputar dalam jangka waktu tertentu dan jika jam ini sudah habis putarannya maka, akan menyebabkan berhentinya proses



xxx



mitosis. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Haiflick, (1980) dikutif Darmojo dan Martono (1999) dari teori itu dinyatakan adanya hubungan antara kemampuan membelah sel dalam kultur dengan umur spesies Mutasi somatik (teori error catastrophe) hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam menganalisis faktor-aktor penyebab terjadinya proses menua adalah faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya mutasi somatik. Sekarang sudah umum diketahui bahwa radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur. Menurut teori ini terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel tersebut. Kegiatan gen pada manusia dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu yang mengontrol



perkembangan



organisme



dan



yang



lain



berperan



dalam



pemeliharaan struktur serta fungsi organisme yang telah dewasa. Dengan demikian di samping mempengaruhi proliferasi sel, gen berperan dalam pembentukan berbagai enzym yang melindungi sel dari zat-zat yang berbahaya seperti radikal bebas seperti superoxide dismutase, hidrogen peroksidase, glutathione peroksidase, glutathione reduktase. Gen berpengaruh juga pada pembentukan enzym DNA polymerase, yang berperan pada penggandaan DNA dan perbaikan DNA yang rusak, sehingga mengurangi akibat dari mutasi sel. Beberapa gen bertanggungjawab atas pembentukan enzym proteolitik, yang dapat menemukan dan memperbaiki sel yang mengalami degradasi protein. Dengan demikian gen akan mengurangi pengaruh protein yang abnormal, yang sering terdapat pada kelompok Lanjut Usia. Berdasarkan penyelidikan mutakhir ditemukan gen yang menghambat proses methylasi DNA yang sering terjadi pada usia lanjut. Methylasi DNA dikaitkan dengan X-kromosom yang tak aktif, sehingga menimbulkan kerusakan sel pada lanjut usia. 2) Teori Non Genetik Teori ini merupakan teori ekstrinsik dan terdiri dari berbagai teori seperti:



xxxi



a)



Teori Radikal Bebas Radikal bebas yang terdapat di lingkungan seperti asap kendaraan bermotor dan rokok, zat pengawet makanan, radiasi, sinar ultraviolet mengakibatkan terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada proses penuaan. Penuaan dapat terjadi akibat interaksi dari komponen radikal bebas dalam tubuh manusia. Radikal bebas dapat berupa : superoksida (O2), Radikal Hidroksil (OH) dan Peroksida Hidrogen (H2O2). Radikal bebas sangat merusak karena sangat reaktif , sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, dan asam lemak tak jenuh. Menurut Oen (1993) yang dikutip dari Darmojo dan Martono (1999) menyatakan bahwa makin tua umur makin banyak terbentuk radikal bebas, sehingga poses pengrusakan terus terjadi , kerusakan organ sel makin banyak akhirnya sel mati. Radikal bebas merupakan molekul, fragmen molekul atau atom dengan elektron bebas tak berpasangan. Radikal bebas ini terjadi dalam sistem metabolik, akibat polusi asap industri atau kendaraan bermotor, radiasi, pestisida, zat pengawet makanan, kerusakan sel atau sel mati pada penyakit seperti hepatitis dan kanker. Karena radikal bebas sangat aktif, zat ini mudah terikat dengan molekul lain dan fungsi molekul berubah. Radikal bebas dapat terikat pada DNA dan RNA pada inti sel, sehingga terbentuk protein yang abnormal dan menimbulkan gangguan fungsi sel. Radikal bebas cepat dirusak oleh enzym di dalam tubuh seperti superoxide dismutase, catalase dan glutathione peroxidase. Radikal bebas yang tak terikat merusak sel dan mengganggu fungsi sel dan dapat menimbulkan penyakit, degenerasi sel serta mempercepat proses penuaan. Di dalam sel, umumnya radikal bebas terdapat dalam bentuk peroxydase dan molekul yang terjadi akibat interaksinya dengan sel.



b)



Teori Cross-link (Cross-link Theory) Teori ini menjelaskan bahwa molekul kolagen dan zat kimia mengubah fungsi jaringan, megakibatkan terjadinya jaringan yang kaku pada proses penuaan.



xxxii



c)



Teori Kekebalan (Immunologic Theory) Teori ini menjelaskan bahwa perubahan pada jaringan limfoid mengakibatkan tidak adanya keseimbangan dalam sel T sehingga produksi antibody dan kekebalan menurun. Proses menua dapat terjadi akibat perubahan protein pasca translasi yang dapat



mengakibatkan



mengenali



dirinya



berkurangnya



sendiri



(Self



kemampuan



recognition).



sistem Jika



imun



mutasi



tubuh somatik



menyebabkan terjadinya kelainan pada permukaan sel, maka hal ini akan mengakibatkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya Goldstein (1989) dikutip dari Azis (1994). Hal ini dibuktikan dengan makin bertambahnya prevalensi auto antibodi pada lansia (Brocklehurst,1987 dikutip dari Darmojo dan Martono, 1999). Dipihak lain sistem imun tubuh sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya serangnya terhadap antigen menjadi menurun, sehingga sel-sel patologis meningkat sesuai dengan meningkatnya umur (Suhana,1994 dikutip dari Nuryati, 1994) Sistem kekebalan tubuh merupakan bagian dari pertahanan tubuh dan bersifat seluler dan humoral. Sistem ini diperlukan seseorang dalam interaksinya dengan lingkungan. Berbagai faktor eksternal sepert usia tua, makanan, pencemaran lingkungan, zat kimia, radiasi sinar ultraviolet, genetika, penyakit terdahulu dan sistem hormonal mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Pada usia lanjut fungsi kekebalan dan mekanisme pertahanan tubuh menurun sejalan



dengan



bertambahnya



usia



dan



hal-hal



ini



terkait



dengan



meningkatnya angka kesakitan dan angka kematian akibat penyakit infeksi tertentu



seperti



meningitis,



tuberkulosis,



pneumonia,



pneumokokkus,



influenza, AIDS dan bakteriaemia.



xxxiii



Peningkatan angka kesakitan dan kematian pada lanjut usia ini sejalan pula dengan mengecilnya kelenjar thymus. Pegaruh kelenjar thymus sangat penting dalam upaya mengendalikan reaksi kekebalan tubuh. Sistem kekebalan terlaksana berkat berfungsinya dengan baik jaringan kelenjar limfa, limpa, sumsum tulang, tonsil, kelenjar thymus dan kelenjar limfa yang terletak dekat saluran pencernaan makanan dan saluran pernafasan. Jaringan ini terdiri dari sekumpulan sel yang berfungsi mengatur kekebalan atau berdiferensiasi menjadi sel plasma, granulosit dan limfosit, yang terdiri dari sel B pembentuk immunoglobulin dan sel T (Thymus derived) yang berada di Reticulo Endothelial System. Sel T juga mempengaruhi sel-sel lainnya seperti monocyte, makrophag untuk membunuh antigen dan sel NK (Natural Killer) yang berfungsi menghancurkan sel tumor dan mematikan kuman. Sel B membentuk immunoglobulin, yang terbagi dalam: IgM



: membantu phagositosis.



IgA



: berada di selaput lendir.



IgD



: berada di permukaan sel B.



IgE



: berada di saluran pernafasan.



IgG1



: membunuh bakteri, virus.



IgG2



: membunuh bakteri, virus.



IgG3



: membunuh bakteri, virus.



IgG4



: membunuh bakteri, virus.



Pada lanjut usia perubahan fungsi kekebalan yang dapat diukur adalah: 1. Penurunan produksi kelenjar thymus. 2. Produksi dan reaksi terhadap IL-2 (T Cell Growth Factor, TGCF) terbukti in vitro 3. Penurunan proliferasi sel. 4. Menurunnya T cell dengan CD8 antigen (Cytotoxic/suppressor Cell). 5. Sensitivitas sel terhadap Prostaglandin E2.



xxxiv



6. Sintesa Anti-idiotype antibodies. 7. Penurunan tingkat reaksi antibodi. 8. Peningkatan autoimmune antibodies. 9. Peningkatan serum monoclonal immunoprotein. 10. Fungsi sel NK tak berubah 11. Limfosit B tak berubah. 12. Hipersensitivitas hilang. 13. Tak ada perubahan limfosit di darah tepi. d)



Teori Fisiologi Teori ini merupakan teori intrinsik dan ekstrinsik. Terdiri dari teori oksidasi stress (oxidative stress theory) dan teori dipakai aus (wear-and-tear theory) Penyebab terjadinya stres oksidasi adalah penyakit seperti penyakit Parkinson dan penyakit degenerasi basal ganglion lainnya, penyakit Alzheimer dan penyakit motoneuron. Keadaan ini menimbulkan terjadinya toksin dan keracunan, seperti keracunan MPP 5-OHDA, Nitric oxide dan amyloid toxicity. Hal ini menyebabkan kematian (Jenner, 1994). Setelah menginjak usia dewasa, sel dan jaringan tidak tumbuh lagi. Selanjutnya terjadi fase disintegrasi jaringan dan organ tubuh yang sering dipakai. Bila tidak ada proses perbaikan atau penggantian sel atau jaringan, proses tersebut akan diakhiri dengan kematian. Mekanisme dipakai dan aus merupakan hal yang dialami oleh organisme. Proses perbaikan dan penggantian sel dimungkinkan bila pada lanjut usia tersedia daya dan sarana yang memang ada pada saat itu atau telah disiapkan jauh sebelumnya, misalnya mempertahankan kebugaran tubuh pada saat masih muda (Kirkwood, 1981) perbaikan juga dimungkinkan oleh reaktivasi sistem cell untuk mengembalikan fungsi sel yang berkurang atau rusak.



c. Perubahan Sel dalam Proses Penuaan



xxxv



Dalam abad ke-19, seorang ahli biologi bernama Weissman membedakan dua jenis sel manusia, yaitu sel tubuh (somatic cells) dan sel kelamin (germ cells). Karena diferensiasi sel tubuh dan kegagalan untuk membelah diri, akhirnya sel tubuh mengalami proses penuaan dan akhirnya terjadi kematian pada manusia tersebut. Pendapat tersebut ditentukan oleh Alexis Carel dari Universitas Rockefeller pada tahun 1911, yang berhasil mempertahankan kehidupan sel jantung anak ayam selama 34 tahun. Menurut pendapatnya, sel tubuh dapat dipertahankan lama, yang mengalami proses penuaan justru jaringan tubuh. Pada awal tahun 1960, Hayflick dan Moorhead melakukan percobaan menanam sel tubuh manusia dalam kultur jaringan dan menemukan bahwa setelah terjadi proliferasi atau pembelahan sel yang cepat, disusul dengan penurunan proliferasi yang diartikan mereka sebagai proses penuaan sel dan kemudian disusul dengan kematian sel. Dengan demikian, kematian timbul bila seseorang kehilangan kapasitas untuk menjalankan fungsinya, menyusul kehilangan fungsi sel-selnnya, baik sel fibroblast, sel otot polos, sel endotel, sel glia dan limfosit. masing-masing sel mempunyai jalur perjalanan menuju masa penuaannya sendiri dan bila sel tidak dapat lagi mempertahankan homeostasisnya, jalur perjalanannya terhenti walaupun sel lainnya belum mati. 1)



Perubahan yang terjadi pada sel ketika seseorang menjadi lanjut usia adalah: a)



Adanya



perubahan



genetik



yaang



mengakibatkan



terganggunya metabolisme protein. b)



Gangguan metabolisme nuclic acid dan deoxynucleic acid (DNA).



c)



Terjadinya ikatan DNA dengan protein stabil yang mengakibatkan gangguan genetik.



d)



Gangguan kegiatan enzym dan sistem pembuatan enzym.



xxxvi



e)



Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah dan hati.



f)



Terjadinya pengurangan parenchym.



g)



Penambahan lipofuscin.



2)



Perubahan juga terjadi di sel otak dan saraf, berupa: a)



Jumlah sel menurun, dan fungsi digantikan sel yang tersisa



b)



Terganggunya mekanisme perbaikan sel



c)



Kontrol nukleus sel terhadap cytoplasma menurun.



d)



Terjadi perubahan jumlah dan struktur mitochondria.



e)



Degenerasi lysosom yang mengakibatkan hidrolisa sel.



f)



Berkurangnya butir Nissl.



g)



Terjadi penggumpalan kromatin.



h)



Terjadi penambahan pigmen lipofuscin



i)



Terjadi vakuolisasi protoplasma



3)



Perubahan yang terjadi di otak lanjut usia adalah: a)



Otak



menjadi



atrofis,



beratnya



berkurang



5-10%,



ukurannya mengecil, terutama di bagian parasagital, frontal dan parietal (Perry dan Perry). b)



Jumlah neuron berkurang dan tak dapat diganti baru (Pearson, Gatter, Powell, 1983). Disamping itu terjadi penyusutan sel pyramidal cortex cerebral dan pengurangan sel non pyramidal.



c)



Terjadi pengurangan neutrotransmitter (Jones, 1980). - Sel Pyramidal



: Asam amino, asam glutamik dan asam aspartik



- Sel non Pyramidal : Gamma Amino Butyric Acid (GABA), neuropeptides, somatostatin. - Lain-lain



: Monoamines, dopamine, noradrenaline, serotonin.



xxxvii



d)



Terbentuknya



struktur



abnormal



di



otak



dan



terakumulasinya pigmen organik-mineral seperti lipofuscin, amyloid, plak dan neurofibrillary tangle. e)



Perubahan biologis lainnya yang mempengaruhi otak, seperti gangguan indera telinga, mata, gangguan kardiovaskular, gangguan kelenjar thyroid dan kortikosteroid.



4)



Perubahan jaringan: a)



Terjadi penurunan cytoplasma protein



b)



Peningkatan metaplasmic protein seperti kolagen dan elastin



4.



Status Gizi pada Lansia Status gizi merupakan hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang



masuk ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient output) akan zat gizi tersebut (Supariasa, 2002). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2001). Lansia seperti juga tahapan-tahapan usia yang lain dapat mengalami keadaan gizi lebih maupun kekurangan gizi. Gangguan gizi yang muncul pada usia lanjut dapat menjelaskan munculnya penyakit. Terjadinya kekurangan gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang bersifat primer dan sekunder. Sebab-sebab primer meliputi ketidaktahuan, isolasi sosial, hidup seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup, gangguan fisik, gangguan panca indera, gangguan mental, kemiskinan. Sebab sekunder meliputi gangguan nafsu makan/selera, ganguan mengunyah, malabsorbsi, obat-obatan dan peningkatan kebutuhan zat gizi. Pola makan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi asupan zat gizi atau pemenuhan kebutuhan gizi. Kebutuhan gizi seseorang bervariasi yaitu gizi menurut golongan umur, jenis kelamin, aktivitas dan kondisi khusus seperti pada masa kehamilan dan menyusui. Kebutuhan gizi usia lanjut tidak hanya dilihat dari kuantitas tetapi harus diperhatikan unsur kualitasnya.



xxxviii



Laju metabolisme tubuh pada usia lanjut cenderung menurun, sehingga tingkat kegiatan tubuh biasanya berkurang yang mengakibatkan kebutuhan kalori relatif lebih rendah daripada ketika masih muda atau dewasa. Kebutuhan nutrisi seperti vitamin, mineral, protein, dan sebagainya boleh jadi tidak berkurang, bahkan bertambah. Kalsium, misalnya, dibutuhkan lebih banyak oleh orang dewasa, terlebih wanita yang telah mencapai masa menopause. Hal ini untuk memperbaiki kerusakan–kerusakan pada jaringan tulang (osteoporosis) sehingga tulang tidak cepat rapuh. Pola makan yang sehat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keadaan kesehatan seseorang. Agar usia lanjut selalu sehat, maka pola makan setiap hari diusahakan bisa memenuhi gizi seimbang, yaitu makanan yang dikonsumsi harus dapat memenuhi kebutuhan setiap zat gizi, yaitu mengandung zat penghasil tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur. Pola makan yang memenuhi gizi seimbang dapat dilakukan dengan menerapkan 13 Pesan Umum Gizi Seimbang (PUGS) (Depkes, 1995), namun bagi usia lanjut hanya meliputi 7 (tujuh) pesan (Depkes, 2002), yaitu:



a.



Makanlah aneka ragam makanan



b.



Makanlah makanan untuk memenuhi kecukupan energi



c.



Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat kecukupan energi



d.



Makanlah makanan sumber zat besi



e.



Biasakan sarapan pagi



f.



Minumlah air bersih, aman yang cukup jumlahnya



g.



Lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur. Proses biologis yang terlihat secara fisik dengan perubahan yang terjadi pada



tubuh dan berbagai organ serta penurunan fungsi organ tersebut. Perubahan secara biologis ini dapat mempengaruhi status gizi pada masa tua, yaitu: 1.



Massa otot yang berkurang dan massa lemak yang bertambah, mengakibatkan jumlah cairan tubuh juga berkurang, sehingga kulit kelihatan mengerut dan kering,



xxxix



wajah keriput serta muncul garis-garis yang menetap. Oleh karena itu pada usia lanjut sering



kelihatan



kurus.



Penuaan



menyusutkan



massa



otot



dan



sekaligus



menyuburkan massa lemak. Massa tubuh yang tidak berlemak berkurang sebanyak 6,3%, sementara massa lemak meningkat 2% dari berat badan per dekade setelah usia 30 tahun. Dengan demikian, pertumbuhan lemak total sepanjang hayat diperkirakan sebesar 10 – 15%. Penyusutan massa otot ditaksir mencapai 5 kilogram (untuk wanita) sampai 12 kilogram (untuk pria) pada usia 25 – 70 tahun, sementara ukuran otot mengkerut hingga 40%. Organ tubuh lain yang juga ikut mengecil ialah ginjal (9%), hati (18%), dan paru-paru (11%). Sejalan dengan pengecilan ini, jumlah total cairan tubuh ikut berkurang, dari 70% menjadi 60% (Arisman, 2004). 2.



Penurunan indera penglihatan akibat katarak pada usia lanjut sehingga dihubungkan dengan kekurangan vitamin A, vitamin C dan asam folat. Sedangkan gangguan pada indera pengecap yang dihubungkan dengan kekurangan kadar Zn dapat menurunkan nafsu makan. Penurunan indera pendengaran terjadi karena adanya kemunduran fungsi syaraf pendengaran.



3.



Banyaknya gigi-geligi yang sudah tanggal, mengakibatkan gangguan fungsi mengunyah yang berdampak pada kurangnya asupan zat gizi pada usia lanjut.



4.



Penurunan mobilitas usus, menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan seperti perut kembung, nyeri yang menurunkan nafsu makan usia lanjut. Penurunan mobilitas usus dapat juga menyebabkan susah buang air besar yang dapat menyebabkan wasir.



5.



Kemampuan motorik menurun, selain menyebabkan usia lanjut menjadi lamban, kurang



aktif



dan



kesulitan



untuk



menyuap



makanan,



dapat



mengganggu



aktivitas/kegiatan sehari-hari. 6.



Pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi sel otak, yang menyebabkan penurunan daya ingat jangka pendek menyebabkan melambatnya proses informasi, kesulitan berbahasa, kesulitan mengenal benda-benda, kegagalan melakukan aktivitas.



xl



7.



Akibat proses menua, kapasitas ginjal untuk mengeluarkan air dalam jumlah besar juga berkurang. Akibatnya dapat terjadi pengenceran Natrium sampai terjadi hiponatremia yang menimbulkan rasa lelah.



8.



Incotenensia Urine (IU) adalah pengeluaran urine di luar kesadaran, menjadi masalah yang dialami usia lanjut, sehingga mereka sering mengurangi minum yang dapat menyebabkan dehidrasi (Arisman, 2004) Khomsan A, (2002) mengemukakan ada lima faktor fisiologis yang



menyebabkan usia lanjut rawan terhadap masalah gizi, yaitu: 1.



Kemampuan indera menurun. Sensitivitas terhadap rasa manis dan asin berkurang, dan indera penciuman juga mengalami penurunan, sehingga tidak bisa lagi menikmati makanan secara maksimal.



2.



Berkurangnya sekresi hormon saliva, berdampak pada merusaknya gigi-geligi. Diperkirakan 50% golongan usia 65 tahun ke atas sudah kehilangan semua giginya. Keadaan ini akan mempengaruhi penerimaan usia lanjut pada makanan.



3.



Sekresi HCl berkurang, menyebabkan rendahnya penyerapan kalsium, vitamin C dan zat besi. Bila berlanjut terus, keadaan ini dapat menyebabkan anemia.



4.



Berkurangnya sekresi empedu menyebabkan pencernaan lemak menjadi lambat. Akhirnya penyerapan vitamin A, D, E dan K juga menurun.



5.



Berkurangnya motilitas gastrointestinal menyebabkan terjadinya konstipasi (sulit buang air besar).



Pada



usia



lanjut



terjadi



perubahan-perubahan



yang



mempengaruhi gizi yaitu : 1. Menurunnya kebutuhan berbagai zat gizi Penurunan kebutuhan energi disebabkan menurunnya aktivitas fiisk pada usia lanjut disamping menurunnya metabolisme basal. Apabila masukan energi tidak dikurangi akan menyebabkan terjadinya obesitas pada usia lanjut. Makanan yang mengandung lemak lebih disenangi



xli



para usia lanjut selain karena gurih juga makanan lebih empuk. Kondisi demikian itu memicu naiknya masukan lemak makanan yang berpengaruh terhadap kadar lemak dan kolesterol darah yang merupakan awal dari penyakit jantung koroner. Demikian pentingnya pembahasan konsumsi energi pada usia lanjut terbukti dari hasil penelitian Schlenker terhadap sejumlah wanita pada tahun 1948. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi energi terutama karbohidrat dan lemak rendah. b. Gangguan kemampuan menikmati cita rasa makanan Penelitian oleh Cohen dan Gitman menunjukkan pada usia lanjut, 39,9% wanita dan 25,8% pria mengalami kemunduran indera pengecap. Dan indera yang paling banyak terganggu adalah indera pengecap rasa manis dan rasa asin. Karena itu pada usia lanjut, makanan



yang



bercitarasa



dan



aroma



keras



lebih



disenangi.



Pemakaian garam, gula dan berbagai bumbu penyedap jadi lebih tinggi. Penyakit diabetes mellitus, hipertensi pada usia lanjut menjadi lebih mudah terjadi akibat keadaan itu. c. Penurunan fungsi saluran pencernaan Penurunan fungsi saluran cerna pada usia lanjut menyebabkan berkurangnya sekresi getah cerna. Derajat keasaman cairan lambung berkurang dan hal itu menyebabkan terganggunya penyerapan zat kapur, zat besi dan mineral lain. Lembaga Usia Lanjut Amerika Serikat menduga anemia gizi merupakan salah satu penyebab terjadinya “ sindroma otak “ pada usia lanjut, seperti mudah lupa, kepikunan, dan



xlii



sebagainya. Gastritis khronis dan konstipasi juga berkenaan dengan penurunan fungsi saluran pencernaan. d. Gangguan keseimbangan hormonal Pada usia lanjut produksi berbagai hormon sangat menurun. Produksi hormon thyrosin, insulin, adrenalin glucagon, epinerphrin, ergosteron, testosteron dan hormon lain sangat menurun pada usia lanjut sehingga keseimbangan hormon dalam tubuh terganggu. Hal ini membawa dampak terhadap metabolisme zat gizi, sehingga penyakit gangguan metabolisme lebih sering terjadi pada usia lanjut (Moehji, 2003).



5.



Patofisiologi Malnutrisi pada Lansia



Sejalan dengan bertambahnya usia, maka kemampuan indera penciuman dan pengecapan perlahan-lahan mulai menurun. Perubahan ini acap kali tidak disadari oleh yang bersangkutan. Perubahan cita rasa kerap kali terjadi pada usia lanjut. Cita rasa dikontrol oleh jumlah dan tingkat fungsi perasa di lidah dan faring serta integritas suplai persyarafan ke wilayah tersebut. Pada usia lanjut terjadi penurunan jumlah perasa serta atrofi pada perasa yang ada. Perubahan yang ternyata lebih berperan adalah meningkatnya ambang rasa terhadap rasa manis, asin, asam dan pahit. Kebutuhan terhadap rasa manis meningkat pada sebagian orang tua. Berkurangnya saliva turut mengurangi makanan yang dapat dilarutkan, sementara perasa hanya dapat membedakan rasa makanan yang terlarut. Selain itu, dengan berkurangnya saliva, makanan di dalam mulut tidak dicerna secara sempurna karena enzim yang diperlukan untuk pencernaan awal, yang terdapat pada saliva, berkurang. Kondisi mulut kering (xerostomia) juga merupakan faktor risiko terjadinya karies dan hygiene



xliii



mulut yang makin buruk karena aliran bolus menjadi kurang lancar. Pemakaian gigi palsu serta buruknya hygiene mulut akan menimbulkan rasa residu/tersisa sehingga menutupi rasa yang lain. Obat-obat tertentu juga dapat turut berkontribusi dalam berkurangnya cita rasa. Status gizi sendiri akan mempengaruhi cita rasa, demikian pula berkurangnya kadar zink walaupun bukan merupakan penyebab utama berkurangnya cita rasa pada usia lanjut (Harjodisastro,2006). Pengecapan, penciuman menurun



Ganguan gigi mulut



Penglihatan, pendengaran menurun



Nafsu makan menurun



Gangguan mengunyah



Mobilisasi menurun



Aktivitas fisik menurun



Asupan makanan menurun



Albumin serum menurun



Penyakit kronik



MALNUTRISI



Kemiskinan



Absorbsi zat gizi terganggu



Isolasi



Gangguan kognitif



Gangguan pencernaan Gambar 2.1. Patofisiologi Malnutrisi pada Usia Lanjut 6.



Hipoalbuminemia pada Lansia Hipoalbuminemia, atau rendahnya albumin di dalam darah, adalah suatu



kondisi yang umum terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit yang serius dan dihubungkan dengan peningkatan kesakitan dan kematian



xliv



Hipoalbuminemia adalah kekurangan albumin pada darah, lebih banyak terjadi pada pasien usia lanjut. Albumin adalah protein yang terdapat dalam darah. Beberapa penyebab rendahnya serum albumin yaitu sebagai berikut: 1. Status gizi yang buruk 2. Meningkatnya ekskresi atau kehilangan albumin dalam tubuh Kadar Albumin serum yaitu dari 3.5-4.5 gr/dL, dengan total 300-500 gram. Sintesis terjadi hanya di dalam hati dengan jumlah kadar kira-kira 15 gr/dL pada orang yang sehat, tetapi kadar itu bisa berubah tergantung dari tekanan physiologic. Waktu paruh dari albumin serum adalah kira-kira 20 hari, dengan derajat penurunan kira-kira 4% per hari. Hypoalbuminemia adalah suatu masalah yang umum terjadi pada orang-orang dengan kondisi medis akut dan kronis. Di rumah sakit 20% dari pasien-pasien menderita hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk sindrom nephrotic, cirrhosis hepatic, gagal jantung, dan malnutrisi. Bagaimanapun, kebanyakan kasus-kasus dari hipoalbuminemia disebabkan oleh penyakit-penyakit akut dan kronis. Di Amerika Serikat hipolabuminemia lebih sering di dapati pada pasien-pasien yang lebih tua. Albumin serum yang rendah merupakan alat ukur yang penting dalam kesakitan dan kematian. pada sebuah studi kohor meta analisis ditemukan bahwa dengan setiap penurunan albumin serum sebanyak 10 g/L, akan meningkatkan kematian sebanyak 137% dan kesakitan sebanyak 89%. Pasien-pasien dengan albumin serum yang kurang dari 35 gr/dl pada 3 bulan yang dikeluarkan dari rumah sakit 26 kali lebih besar mengalami kematian di tahun ke lima dibanding mereka yang mempunyai albumin serum lebih besar dari 40 gr/dL. Perubahan konsentrasi albumin serum biasanya terjadi dalam bentuk penurunan (hipoalbuminemia). Berbagai keadaan dapat menyebabkan hipoalbuminemia. Secara sistematis, penyebab hipoalbuminemia dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar. Kelompok pertama ialah hipoalbuminemia yang disebabkan oleh kurangnya ketersediaan bahan mentah sintesis protein, yaitu asam-asam amino yang berasal dari makanan. Kelompok kedua ialah yang disebabkan oleh gangguan tempat sintesis, yaitu



xlv



organ hati. Kelompok ketiga disebabkan oleh terjadinya kehilangan albumin melalui alat pembuangan atau eksresi. Sumber bahan baku untuk sintesis protein apapun di dalam tubuh ialah asamasam amino yang berasal dari hasil hidrolisis protein makanan. Apabila jumlah bahan baku ini, yaitu protein makanan, tidak mencukupi keperluan yang paling dasar, tubuh tidak akan mampu mensintesis protein termasuk albumin, dalam jumlah yang cukup. Keadaan seperti ini terjadi pada bencana kelaparan dan pada penyakit kekurangan kalori dan protein (KKP), yang lazim juga disebut sebagai malnutrisi (malnutrition).



Keadaan



hipoalbuminemia juga dapat terjadi, meskipun jumlah protein yang masuk ke dalam tubuh cukup dan sel-sel hati berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hal ini gangguan dapat terjadi misalnya dalam enzim-enzim pencernaan sehingga pemecahan protein menjadi asam-sam amino tidak berjalan dengan lancar. Akibatnya, jumlah asam-asam amino yang dihasilkan dalam proses pencernaaan untuk diserap menjadi tidak cukup lagi. Bila keadaan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, tentu akan terjadi kekurangan asam amino yang kronis sehingga proses sintesis protein akan terganggu. Selain itu, mungkin saja fungsi pencernaan berjalan sempurna, tetapi sel-sel mukosa usus yang berfungsi melakukan penyerapan mengalami gangguan, sehingga jumlah asam amino yang sampai ke berbagai organ, termasuk hati yang mensintesis albumin, juga berkurang. Jelaslah bahwa salah satu dari keadaan tersebut akan menyebabkan berkurangnya asam amino yang tersedia bagi sintesis protein oleh berbagai organ, termasuk hati. Berbagai gangguan pada sel-sel hati, tempat sintesis albumin akan menyebabkan berkurangnya konsentrasi protein ini di dalam darah, meskipun tidak ada masalah sama sekali dengan pasokan, asupan protein dan ketersediaan asam amino bagi sel-sel hati. Pada kenyataannya, memang dalam kelainan hepatosit yang disebabkan oleh faktor apapun juga, hipoalbuminemia merupakan gejala umum yang selalu ditemukan. Penyakit-penyakit seperti radang hati (hepatitis) yang disebabkan oleh berbagai virus atau mikroorganisme lain seperti cacing, kerusakan sel-sel hati yang disebabkan oleh keracunan berbagai senyawa kimia, termasuk obat-abatan dan alkohol, penyakit



xlvi



degenerasi hati seperti sirosis hati, sampai kanker sel-sel hati, selalu ditandai oleh keadaan hipoalbuminemia. Albumin akan hilang dari darah melalui alat eksresi, terutama ginjal. Dalam beberapa penyakit ginjal, seperti radang glomerulus (glomerulonefritis), penyakit nefrosis atau sindroma nefrotik terjadi kebocoran albumin melalui pori-pori membran basal dari glomerulus. Seharusnya, membran ini tidak dapat ditembus oleh albumin, oleh karena pori-porinya lebih kecil daripada ukuran molekul protein ini. Akan tetapi dalam penyakitpenyakit ginjal, albumin dapat lolos melalui lubang pori tersebut dan keluar bersama air kemih. Akibatnya, di samping mengalami hipoalbuminemia, orang tersebut juga mengalami albuminuria (adanya albumin di dalam air kencing). Selain dalam kelainan ginjal, albuminuria ini juga terjadi pada penyakit kehamilan, yaitu eklampsia dan preeklampsia. Hipoalbuminemia selalu menyebabkan terjadinya pergeseran air ekstrasel dari dalam ruang pembuluh darah ke ruang antar sel di luar pembuluh darah. Keadaan ini akan menyebabkan sembabnya jaringan, yang dapat dilihat dan diraba. Keadaan ini dikenal juga sebagai edema. Dari fakta ini dapat disimpulkan, bahwa salah satu dari fungsi albumin ialah mempertahankan keseimbangan cairan antara ruang intravaskuler dengan ruang interstisial. Menurunnya konsentrasi albumin akan menyebabkan berkurangnya jumlah molekul yang mempertahankan air di dalam ruang intravaskuler, sehingga air akan mudah bergeser ke jaringan interstisial di luar ruang pembuluh darah. 7.



Asupan Makan Lansia Berkurangnya asupan makan lansia juga biasanya disebabkan masalah pada



gigi geligi dan menurunnya nafsu makan. Berkurangnya nafsu makan pada usia lanjut antara lain disebabkan faktor fisik dan sosial, seperti rasa terisolasi (sendiri tanpa ada teman), masalah keuangan, depresi, dan beberapa penyakit seperti parkinson dan konstipasi (Liza, 2007). Dengan meningkatnya usia, fungsi fisiologis tubuh akan menurun. Hal yang sama juga terjadi pada nafsu makan karena fungsi organ pencernaan termasuk gigi geligi menurun fungsinya. Daya kecap serta daya penciuman juga sudah tidak setajam saat



xlvii



masih muda. Waktu



pengosongan lambung



berjalan



lebih lambat yang akan



menyebabkan lansia selalu merasa kenyang. Sehingga selain gizi seimbang, beberapa vitamin dan mineral seperti beta karoten (pro-vitamin A), B, C, D, E, Zink (Zn), Mangan (Mn) dan Tembaga (Cu), Zat Besi, Kalsium, dan Fosfor perlu ditambahkan pada makanan lansia. Lestiani, dari Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menjelaskan bahwa defisiensi kalsium, fosfor dan vitamin D akan menyebabkan terjadinya osteoporosis dan fraktur tulang. Defisiensi Zink menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh, nafsu makan dan penyembuhan luka yang lama. Sementara defisiensi asam folat dan vitamin B12 menyebabkan anemia dan kepikunan. Vitamin C dan E diperlukan untuk mengatasi stress oksidatif. Mn diperlukan untuk mengatasi kelelahan otot dan hipertensi, Zat besi diperlukan untuk anemia zat besi. Nafsu makan lansia menurun karena faktor sosial, psikologis dan penyakit sehingga status nutrisinya terganggu. Tiap lansia rata-rata menderita empat jenis penyakit, antara lain hipertensi, gangguan kolesterol, ginjal dan rematik. Hal itu menyebabkan para lansia cepat merasa lelah dan lemah serta mudah bingung (Balipost, 2008). Semakin bertambahnya umur pada lansia, maka indera mereka makin berkurang kemampuannya. Kepekaan terhadap rasa manis dan rasa asin makin berkurang. Disamping itu indera penciuman juga mundur. Oleh karena itu menjelang usia senja orang tidak lagi menikmati makanan secara maksimal. Reaksi orang dalam keadaan demkian bisa bermacam-macam sehingga hal ini menimbulkan beberapa akibat buruk bagi tubuh, pertama, mulai menghindari makanan atau tidak mau makan sehingga keadaan gizi dan kesehatan makin merosot. Akibatnya banyak lansia yang menderita busung lapar (honger oedeem). Berkurangnya produksi air liur pada lansia akan mengurangi kemampuan untuk menelan makanan. Air ludah yang berkurang ini juga akan menyebabkan kerusakan gigi karena salah satu fungsi air ludah adalah sebagai pembersih gigi. Lansia dengan gigi yang tidak lengkap lagi akan mempunyai masalah dalam mengunyah makanan. Lambat



xlviii



laun daya penerimaan makanan oleh lambung makin berkurang. Ada kecenderungan mereka hanya makan yang lunak-lunak, seringkali berenergi ( kalori dan lemak) tinggi, tetapi kandungan zat gizi lainnya rendah. Produksi asam lambung juga berkurang yang menyebabkan rendahnya penyerapan zat kapur (kalsium) dan zat besi, juga penyerapan vitamin B12 menurun. Apabila keadaan ini berlangsung cukup lama maka akan muncul gejala kurang darah (anemia). Kekurangan zat kalsium akan menyebabkan tulang belulang menjadi cepat rapuh dan mudah patah. Berkurangnya produksi empedu menyebabkan pencernaan lemak menjadi lebih lambat. Akhirnya penyerapan lemak dan vitamin A, D, E, K juga menurun. Kemampuan mencerna protein juga menurun. Berkurangnya gerakan usus menyebabkan terjadinya sembelit sehingga sisa ampas makanan semakin banyak. Sejalan dengan bertambahnya usia, maka kemampuan indera penciuman dan pengecapan perlahan-lahan mulai menurun. Perubahan ini acapkali tidak disadari oleh yang bersangkutan. Perubahan cita rasa kerapkali terjadi pada usia lanjut. Cita rasa dikontrol oleh jumlah dan tingkat fungsi perasa di lidah dan faring serta integritas suplai persyarafan ke wilayah tersebut. Pada usia lanjut terjadi penurunan jumlah perasa serta atrofi pada perasa yang ada. Perubahan yang ternyata lebih berperan adalah meningkatnya ambang rasa terhadap rasa manis, asin, asam, dan pahit (Harjodisastro dkk, 2006). B.



Peranan Protein dalam Proses Fisiologis



Protein merupakan zat gizi penting karena yang paling erat hubungannya dengan proses-proses kehidupan serta merupakan polimer asam amino yang mencapai jumlah sekitar 17% dari jaringan tubuh. Secara umum fungsi protein adalah untuk memelihara stuktur tubuh, mobilisasi konsentrasi myosin/aktin pada otot rangka, sebagai alat transport membran, untuk sintesis protein visceral seperti albumin dan imunoglobulin (Stepanuk, 2000, Linder, 1992). Asam amino terdapat dalam tubuh yang setiap saat siap untuk dipergunakan sebagai cadangan, terdiri atas asam amino di dalam darah maupun di dalam jaringan hati dan otot (Kartasapoetra, 2005).



xlix



Sejumlah asam amino terdapat dalam tubuh yang setiap saat siap untuk dipergunakan sebagai cadangan. Cadangan ini terdiri atas asam amino di dalam darah maupun di dalam jaringan (hati, otot) yang cukup labil dan mudah dimobilisasikan untuk penggunaan yang lebih penting (Stepanuk, 2000). Sepertiga kebutuhan asam amino diperlukan setiap hari dalam diit dan sebagai sintesis albumin dan protein plasma yang kemudian memasuki sirkulasi. Hampir semua protein plasma didegradasi terutama oleh hati, tetapi tidak ada satu organ yang menjadi tempat katabolisme utama (Linder, 1992). Albumin sebagai protein transport mempunyai fungsi sebagai cadangan atau sumber asam amino yang siap digunakan, sebagai alat transport asam amino ke jaringan permukaan untuk menggantikan yang hilang, sintesis di hati, otot dan organ lain, berfungsi dalam sistem enzimatik, dan bertanggung jawab dalam kekebalan alamiah (Price, 1984, Stepanuk, 2000). Setiap hari tubuh diperkirakan mensintesis protein aktif sebanyak 205 gram dan sebanyak 35 gram pada organ lain yang membutuhkan sejumlah asam amino. Sepertiga dari kebutuhan asam amino ini harus disediakan dari makanan harian (asam amino eksogen) dan selebihnya dari turnover protein endogen (Linder, 1992; Stepanuk, 2000). Jumlah ekskresi produk akhir metabolisme protein tergantung dari konsumsi protein harian dan keadaan fisiologis individu. Bila dalam keadaan puasa dimana konsumsi protein rendah, maka ekskresinya sedikit. Bila konsumsi meningkat atau terdapat demam ekskresinya akan meningkat (Linder, 1992, Stepanuk 2000). Metabolisme protein dimulai setelah protein dipecah menjadi asam amino, melalui sistem darah porta, asam amino masuk ke hati. Oleh sel-sel hati sebagian besar asam amino dipergunakan untuk pembentukan protein tubuh. Bila kelebihan asam amino atau tidak tersedia cukup karbohidrat dan lemak untuk energi, sebagian asam amino dipecah untuk menghasilkan energi, dan masuk dalam siklus Tricarboxil Citric Acid (TCA). Hanya sedikit asam amino yang disimpan sebagai cadangan (Amino Acid Pool).



l



Amino



acid



pool



merupakan



cadangan



yang



sewaktu-waktu



dapat



dimobilisasikan oleh tubuh, tetapi sebenarnya mempunyai suatu fungsi tertentu di dalam jaringan, misalnya sebagai albumin dalam cairan darah atau sebagai sel otot skelet atau pula sebagai protein metabolik yang terdapat dalam sitoplasma. Namun bila diperlukan dalam sintesa protein lain yang lebih penting, sedangkan bahan dari protein makanan tidak cukup, maka amino acid pool ini dapat melepaskan fungsi yang sedang dipenuhi dan tersedia untuk dipergunakan dalam sintesa protein baru tersebut (Sediaoetama, 1985). Terdapat suatu keseimbangan dinamis antara asam amino di dalam jaringan dan asam amino di dalam pool, artinya asam amino di dalam pool dan di dalam jaringan tersebut selalu saling dipertukarkan, dengan flux total yang sama menuju ke kedua arahnya. Amino acid pool yang terbesar terdapat dalam bentuk jaringan otot skelet. Bila penyediaan protein dari makanan tidak mencukupi dan diperlukan asam-asam amino untuk sintesa protein tubuh yang tidak dapat ditunda, maka sel otot-otot tertentu dipecah dan asam aminonya masuk ke dalam pool untuk dipergunakan. Maka otot-otot menjadi atrofis, dan kekuatannya menurun. Namun hal ini tidak mengganggu fungsi tubuh secara keseluruhan, karena otot yang dimanfaatkan tersebut tidak begitu sering dipergunakan atau diperlukan (Sediaoetama, 1985). Asam-asam amino dikatabolisme dengan cara : sepertiga asam amino (alanin, serin, glisin, metionin, triptopan) diubah menjadi piruvat, disebut asam amino glukogenik; Sepertiga asam amino (fenilalanin, tirosin, leusin, isoleusin, lisin) diubah menjadi asetil Co-A, disebut asam amino ketogenik, dapat diubah jadi lemak; Sepertiga asam amino sisanya kecuali asam aspartat diubah menjadi glutamat, dideaminase dan langsung masuk ke dalam siklus TCA (Linder, 1992; Stepanuk, 2000, Almatsier, 2001). Deaminase asam amino terjadi bila asam amino digunakan sebagai sumber energi atau membentuk lemak tubuh. Hasil deaminase adalah asam keto dan ammonia (NH3). Amonia merupakan basa yang bersifat racun, bila berlebihan dalam tubuh akan mengganggu keseimbangan asam basa. (Linder, 1992). Perubahan amonia hasil deaminase asam amino menjadi ureum oleh sel-sel hati. Kelebihan amonia harus didetoksikasi. Amonia yang tidak digunakan bergabung



li



dengan CO2 dan menghasilkan ureum yang tidak terlalu beracun. Perubahan ini melalui siklus urea yang kompleks. Ureum oleh hati dikeluarkan melalui peredaran darah melalui ginjal. Oleh ginjal ureum akan dikeluarkan dari tubuh melalui urine. Dalam keadaan normal, hati dapat mengubah semua amonia menjadi ureum dan mengeluarkan ke dalam aliran darah masuk ke ginjal. Ginjal kemudian membersihkan darah dari amonia dan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui urine. Bila konsumsi protein berlebihan, produksi ureum akan meningkat. Untuk mengeluarkannya diperlukan air agar dapat keluar dalam keadaan larut (Linder, 1992; Stepanuk, 2000). Nitrogen yang dilepaskan pada proses deaminase masuk ke dalam siklus urea dan diekskresikan melalui ginjal dalam air seni. Bila air seni dibiarkan di udara terbuka, ureum akan dipecah oleh mikroba, menghasilkan amonia yang menguap dan memberikan bau khas air seni (pesing). Nitrogen yang dilepaskan pada proses transaminase tidak dibuang ke luar tubuh, tetapi dipergunakan lagi dalam sintesa protein tubuh. Ada pula nitrogen yang terbuang di permukaan kulit dalam sel-sel yang aus terlepas atau dalam rambut yang putus terbuang. Nitrogen juga ada yang ikut terbuang dalam tinja, karena terbuang di dalam cairan pencernaan atau dalam sel-sel epitel usus yang terlepas dan terbuang aus (Sediaoetama, 1985; Linder, 1992). 1. Absorpsi dan Metabolisme Protein Protein yang telah dihidrolisis dalam lambung oleh pepsin menjadi polipeptida dan asam amino, dalam rongga duodenum mengalami pencernaan lebih lanjut. Polipeptida dicerna lagi oleh enzim tripsin dan chimotripsin menjadi peptida yang lebih sederhana. Agar supaya dapat diserap oleh villi usus, peptida dihidrolisir lagi oleh enzim erepsin menjadi asam amino. Dalam Yeyunum proses pencernan protein telah selesai dengan hasil akhir protein adalah asam amino yang siap untuk diabsorbsi. Proses absorbsi sebagian besar terjadi di dinding ileum. Sebagian asam amino diserap melalui villi ileum secara pasif dan sebagian lainnya diserap secara aktif selektif, kemudian dialirkan melalui darah ke seluruh sel-sel jaringan tubuh (Tirtawinata, 2006).



lii



Metabolisme protein dimulai setelah protein dipecah menjadi asam



amino.



Melalui sistem darah porta, asam amino masuk ke hati. Oleh sel-sel hati sebagian besar asam amino digunakan untuk pembentukan protein tubuh. Sebagian dari asam amino hasil pencernaan protein dirubah menjadi senyawa-senyawa lain misalnya darah, enzim, hormon, dan zat kekebalan tubuh (Kartasapoetra, 2005).



(Sumber: Linder, 1992) Gambar 2.2 Metabolisme protein manusia (berat badan 62,5 kg dengan 10.900 8 protein1) 240g disintesis dan didegradasi setiap hari2). Angka menunjukkan per hari. (1) Penyerapan asam amino dan peptida setelah pencernaan; (2) Pengambilan asam amino oleh hati; (3) sintesis protein hati dan plasma, terutama albumin; (4) katabolisme kelebihan asam amino; (5) distribusi asam amino ke bagian tubuh lainnya: (6) Pengambilan oleh sel-sel urat daging pankreas dan epitel; (7) ekskresi N-asam amino dalam berbagai bentuk. Catatan kaki: 1) 10.900 g protein berdasarkan pada 17,5 96 protein dari berat badan; 2) 240 g sintesis protein/degradasi setiap hari berdasar pada kalkulasi Clifford (1980) ; 3) Irwin (1971b); 4) Cahill (1973); 5) Dihitung dari Tannenbaum (1978). (Sumber: Modifikasi dari Munro dan Crim, 1980).



liii



Hasil metabolisme protein diperlukan untuk pembentukan sel-sel jaringan baru yang menghasilkan pertumbuhan badan, membentuk otot dan struktur tubuh serta untuk menggantikan sel-sel yang telah usang. Disamping itu digunakan pula untuk pembentukan sel-sel antibodi dari sistim kekebalan tubuh yang berperan dalam mempertahankan badan terhadap macam-macam penyakit, demikian juga untuk pembentukan sel-sel darah merah, berbagai enzim dan hormon ikut serta mempertahankan keseimbangan asam basa (Tirtawinata, 2006, Prosiding, 2004, Hill L., 2000). Asam amino diperlukan sekitar 1/3 setiap hari dalam diit dapat dilaporkan sebagai sintesis albumin dan protein plasma lain yang kemudian memasuki sirkulasi. Hampir semua protein plasma di degradasi terutama oleh hati, tetapi tidak ada satu organ yang menjadi tempat katabolisme utama. Jadi yang mungkin adalah bahwa albumin sebagai asam amino simpanan/yang disimpan sementara atau sebagai alat pengangkut asam amino kejaringan permukaan untuk menggantikan yang hilang (Linder, 1992). Pada keadaan sakit berat kehilangan nitrogen dalam urine biasanya meningkat 50 sampai 100%. Karena 1 gr nitrogen mewakili kira-kira 30 gr massa otot tubuh. Penyakit berat akan menyebabkan hilangnya 0,6 kg massa otot tubuh perhari, sebagian besar kehilangan ini berasal dari otot rangka dan pengeluaran asam amino dari otot rangka meningkat 2-6 kali lipat pada pasien yang sakit kritis. Peningkatan pengeluaran dari otot rangka disebabkan oleh



peningkatan



katabolisme



protein



dari



pada



penurunan



sintesa



protein



(Harrison,1999). Setiap hari tubuh diperkirakan mensintesis protein aktif sebanyak 205 gram dan sebanyak 35 gram pada organ lain yang membutuhkan sejumlah asam amino. Sepertiga dari kebutuhan asam amino ini harus disediakan dari makanan harian (asam amino eksogen) dan selebihnya dari turnover protein endogen (Linder, 1992). Dalam keadaan darurat, apabila glikogen dan lemak sebagai cadangan energi habis terpakai, misalnya waktu bekerja berat atau kelaparan, maka asam amino dapat dimetabolisme untuk menghasilkan energi (Almatsier, 2002). Mula-mula asam amino mengalami deaminase yaitu melepaskan gugus amino (NH2). Proses ini membutuhkan



liv



vitamin B6 sebagai ko-enzim. Kemudian asam amino mengalami katabolisme (Tirtawinata, 2006). Asam-asam amino dikatabolisme dengan cara: Sepertiga asam amino (alanin, serin, glisin, metionin, triptopan) diubah menjadi piruvat, disebut asam amino glukogenik; Sepertiga asam amino (fenilalanin, tirosin, leusin, isoleusin, lisin) diubah menjasi asetil CoA, disebut asam amino ketogenik, dapat diubah jadi lemak; Sepertiga asam amino sisanya kecuali asam aspartat diubah menjadi glutamat, dideaminase dan langsung masuk siklus TCA (Linder, 1992; Stepanuk, 2000; Almatsier, 2002). Deaminasi asam amino terjadi bila asam amino digunakan sebagai sumber energi atau membentuk lemak tubuh. Hasil deaminasi adalah asam keto dan amonia (NH3). Amonia merupakan basa yang bersifat racun, bila berlebihan dalam tubuh akan mengganggu keseimbangan asam basa. (Linder, 1992; Almatsier, 2002). Perubahan amonia hasil deaminase asam amino menjadi ureum oleh sel-sel hati. Kelebihan amonia harus didetoksikasi. Amonia yang tidak digunakan bergabung dengan CO2 dan menghasilkan ureum yang tidak terlalu beracun. Perubahan ini melalui siklus urea yang kompleks. Ureum oleh hati dikeluarkan melalui peredaran darah melalui ginjal. Oleh ginjal ureum akan dikeluarkan dari tubuh melalui urin (Tirtawinata, 2006). Dalam keadaan normal, hati dapat mengubah semua amonia menjadi ureum dan mengeluarkan ke dalam aliran darah masuk ke ginjal. Ginjal kemudian membersihkan darah dari amonia dan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui urin. Bila konsumsi protein berlebihan, produksi ureum akan meningkat. Untuk mengeluarkannya diperlukan air agar dapat keluar dalam keadaan larut (Linder, 1992; Stepanuk, 2000; Almatsier, 2002). Nitrogen yang dilepaskan pada proses deaminase masuk ke dalam siklus urea dan diekskresikan melalui ginjal dalam air seni. Bila air seni dibiarkan di udara terbuka, ureum akan dipecah oleh mikroba, menghasilkan amonia yang menguap dan memberikan bau khas air seni (pesing). Nitrogen yang dilepaskan pada proses transaminasi tidak dibuang ke luar tubuh, tetapi dipergunakan lagi dalam sintesa protein tubuh. Ada pula nitrogen yang terbuang dipermukaan kulit dalam sel-sel yang aus terlepas atau dalam rambut yang putus terbuang. Nitrogen juga ada yang ikut terbuang dalam tinja, karena



lv



terbuang di dalam cairan percernaan atau dalam sel-sel epitel usus yang terlepas (Sediaoetama, 2004; Linder, 1992; Almatsier, 2002).



2. Kebutuhan Protein Kebutuhan basal protein untuk orang dewasa sehat adalah 0,8-1 gr/kg BB/24 jam, pada kondisi dimana terjadi katabolisme berat, kebutuhan tersebut meningkat sampai 1,5-2 gr/hari (Jaya W., 2002). Dalam membantu terpenuhinya energi, tiap gram protein mensuplai 4 kalori. Dengan demikian untuk mencukupi kekurangan energi 210 kalori misalnya diperlukan 52,5 gr protein (Kartasapoetra, 2005). Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna melalui dinding saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringanjaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Kekurangan protein, menyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi. Seseorang yang menderita kekurangan protein lebih rentan terhadap bahan-bahan racun dan obat-obatan. Serta ketidakmampuan membentuk antibodi dalam jumlah yang cukup (Almatsier, 2002, Tirtawinata, 2006). Gejala-gejala kekurangan protein : pertumbuhan kurang baik, daya tahan tubuh menurun, rentan terhadap penyakit, kreativitas dan produktifitas kerja merosot, mental lemah dan lain-lain (Kartasapoetra, 2005). Penatalaksanaan dengan melibatkan asam amino rantai cabang merupakan salah satu komponen penting yang perlu disertakan guna membantu mendorong metabolisme dan sintesis seretonin di otak serta aktifitas serotonergit hipotalamus. Asam amino rantai cabang mempunyai efek anabolik yang memicu sintesa protein intraseluler dan pengaruh antikatabolik yang mencegah proteolitik jalur intraseluler. Dengan intervensi nutrisi dini diharapkan dapat mencegah wasting, meningkatkan kualitas hidup dan dapat memperpanjang usia harapan hidup penderita (Choudry HA et el, 2006, Charllton M, et el 2006).



C.



Albumin



Salah satu bentuk protein adalah albumin merupakan protein serum yang penting dan membantu untuk mempertahankan tekanan osmotik koloid darah. Kadar



lvi



albumin normal dalam darah 3,5-5,5 gr/dl. 60% albumin tubuh terdapat dalam plasma dan sekitar 40% terdapat dalam ruang antar sel. Tekanan osmotik normal adalah 25 mmHg dan sampai 75-80% tekanan osmotik ini disebabkan oleh albumin (Julius, 2005)



1. Fungsi Albumin Albumin mempunyai fungsi utama memberikan tekanan osmotik koloid kapiler yang mencegah cairan plasma keluar dari kapiler (Linder, 1992, Gibson, 2005, Kertawinata, 2006). Albumin juga berperan sebagai protein transport yang mempunyai fungsi sebagai cadangan atau sumber asam amino yang siap digunakan, sebagai alat transport asam amino ke jaringan permukaan untuk menggantikan yang hilang, sintesis di hati, otot dan organ lain, berfungsi dalam sistem



enzimatik serta bertanggung jawab



dalam kekebalan alamiah (Stepanuk, 2000, Gibson S, 2005). Nilai albumin dalam plasma merupakan penentu utama absorbsi Zn. Albumin merupakan alat tranport utama Zn. Absorbsi Zn menurun bila nilai albumin menurun misalkan dalam keadaan gizi kurang. Absorbsinya sangat tergantung dari sumber bahan makanan. Zn lebih banyak ditemukan pada sumber protein yang berasal dari binatang seperti ikan dan daging, dimana Zn akan terikat pada asam amino sehingga mudah diabsorbsi (As ad,2001). Albumin dapat dipergunakan untuk mengukur status gizi sebagai prediksi protein energi malnutrisi. Albumin berhubungan dengan peningkatan risiko kesakitan dan kematian. Level serum albumin merupakan elemen yang akurat dalam menyimpulkan status gizi yang dapat dilanjutkan dengan perencanaan terapi gizi yang efektif untuk mengatasi kesakitan dan kematian (Kirby, 2002). Albumin serum menurun pada klien malnurisi dan merupakan parameter yang sering dipakai dalam pengkajian status gizi. Kadar albumin berkisar dari 1 hingga 2,9 mg/dl jika dibanding dengan nilai 4,0 mg/dl pada orang sehat.



2. Sifat biokimia albumin:



lvii



a. Sintesa albumin terutama pada hati, dihasilkan albumin 12 gr/hari, 25%



dari



seluruh protein yang dihasilkan di hati. b. Molekul albumin merupakan suatu rantai polipeptida dengan 585 residu asam amino dan sebanyak 17 buah jembatan desulfida. c.



Molekul albumin mempunyai bentuk elips yang tidak menambah kepekatan darah.



d. Menyumbangkan 75-80% tekanan osmotik darah (25 mmHg). e. Gangguan tekanan osmotik pada defisiensi albumin (edema). f.



Pada pH normal albumin bermuatan negatif, sehingga pada elektroforesis albumin bergerak ke kutub positif (Julius, 2005). Albumin merupakan protein aktif, bersifat labil yang disintesis di hati secara cepat



dan terus-menerus. Sintesis ini sangat bergantung dari suplai asam amino dari diit yang beredar dalam darah. Albumin kemudian dikeluarkan dan masuk pada sirkulasi dan beredar menuju ke berbagai sel dan jaringan yang diperlukan sebagai sumber asam amino untuk sintesis protein sel dan jaringan (Wilson, 1996). Proses pencernaan dan absorbsi yang lama menyebabkan konsentrasi albumin relatif stabil. Masa jedah albumin antara 18 – 20 hari. Albumin terkandung dalam seluruh cairan tubuh (sekitar 4 – 5 gr/kg) (Linder, 1992). Albumin merupakan protein plasma yang larut dalam air dan memiliki muatan negatif yang kuat (19 dan pH 7,4), yang akan berikatan dengan ion positif dari Na yang mengatur dan mempertahankan keseimbangan cairan kapiler (Wilson, 1996, Gibson S, 2005). Perubahan kadar albumin serum yang bermakna klinis berupa penurunan kadar albumin. Penurunan ini dapat disebabkan oleh sintesis yang kurang (disfungsi hati, diit rendah protein), perluasan kompartemen sebaran (kebocoran kapilar, sepsis), pengaruh penyebaran (distribusi) lebih besar daripada sintesis, dan bila seseorang tidak makan maka kadar albumin baru menurun sampai di bawah batas normal setelah seminggu (Julius, 2005). Albumin serum yang rendah merupakan pertanda yang tidak spesifik dari penyakit. Albumin serum akan menurun bila menjadi sakit, dan kembali normal pada saat



lviii



pasien membaik kondisinya. Pada penyakit-penyakit kritis dan adanya infeksi, terdapat penurunan pada produksi albumin oleh karena hati lebih memproduksi protein-protein fase akut seperti globulin, fibrinogen dan haptoglobin (Neligan Patrick, 2001). Pada kasus malnutrisi berat, jika tidak cepat teratasi maka dapat menyebabkan terganggunya proses penyembuhan, menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi dan lamanya hari rawat dirumah sakit (Baterham 2005, Kaiser et al, 2006). Berdasarkan informasi (data) antropometri, biokimia dan status imun, ditemukan 3 tipe malnutrisi yaitu: 1.



Marasmus atau kekurangan energi protein, dihubungkan dengan kehabisan cadangan protein massa jaringan dan energi.



2.



Hipoalbuminemi malnutrition atau kwashiorkor yaitu kekurangan protein yang ditandai dengan penurunan kadar albumin serum dan transferin serta kerusakan imunitas seluler.



3.



Kombinasi antara marasmus dan kwashiorkor yang ditandai dengan deplesi. Menurut Finelli C (2001) pemberian nutrisi tambahan melalui pipa nasogatrik pada



kelompok malnutrisi berat dapat mempercepat pemulihan kadar albumin. Ini membuktikan adanya hubungan antara nutrien dengan albumin plasma. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pemeriksaan albumin sewaktu tidak dapat digunakan sebagai petanda status gizi, tetapi pemeriksaan albumin secara serial menggambarkan status gizi penderita. Pengaturan gizi dan terapi albumin sangat penting bagi pasien – pasien dirumah sakit. Vincent dkk (2003) menguji 9 penelitian Prospektif kontrol dengan total pasien 535 menyimpulkan bahwa rata-rata komplikasi dapat diturunkan dengan memberi terapi albumin lebih dari 30 g/dl. Peningkatan kadar albumin berhubungan dengan kadar albumin darah. Albumin mensuplai asam amino untuk sintesis protein aktif cytokine seperti C-reaktive protein, protein phase akut, dan lain-lain, yang dibutuhkan pada pembentukan makrofa pada system pagositosis serta pembentukan antibodi (Linder, 1992, Gibson S., 2005). Albumin disintesis oleh sel hati yang kemudian di distribusi ke dalam sirkulasi



lix



darah. Untuk mensintesis albumin diperlukan asam amino yang berasal dari makanan (luar) dan dari recycle protein tubuh. Kemudian sel hati akan menangkap/mengambil asam amino dari peredaran darah porta setelah pencernaan dan absorbsi. Influk asam amino dalam darah permukaan akan merangsang dibebaskannya insulin untuk mempercepat pengambilan asam amino dengan meningkatkan sintesis protein (Linder, 1992, Stepanuk, 2000, Gibson, 2005). Hasil penelitian Edy S (2003) menyimpulkan bahwa terapi albumin dengan pemberian ekstrak dari ikan gabus perhari pada sejumlah pasien operasi yang memiliki kadar albumin rendah (1,8 g/dl), dapat meningkatkan kadar albumin darah pasien menjadi normal, yakni 3,5 – 5,5 g/dl, tanpa efek samping setelah diberikan selama delapan hari (Anonimous 2003). Hasil penelitian Taslim dkk., (2005) menunjukkan bahwa pemberian terapi albumin dengan ekstrak ikan gabus sebanyak 100 ml setiap hari pada sejumlah pasien dengan hipoalbumin dirumah sakit Wahidin makassar selama 10 hari telah dapat meningkatkan kadar albumin dan protein total pasien. Hal ini tampaknya diikuti oleh peningkatan status gizi dan konsumsi pada kelompok intervensi. Rata – rata besar peningkatan kadar albumin yang terlihat dalam penelitian ini sebesar 0.7 g/dl dibanding dengan kelompok kontrol. Hasil penelitian Hidayanti H, (2006) menunjukkan bahwa pemberian terapi Albumin dengan kapsul kosentrat ikan gabus setiap hari selama 10 hari pada pasien pasca bedah yang hipoalbumin dirumah sakit Wahidin makassar telah dapat meningkatkan kadar albumin rata-rata sebesar 0,74 gr/dl diikuti oleh peningkatan status gizi dibanding dengan kelompok kontrol.



D.



Ikan Gabus (Ophiocephalus Streatus)



Ikan gabus (Ophiocephalus striatus) merupakan jenis ikan yang hidup di air tawar dan sudah banyak dikenal oleh masyarakat. Ikan gabus berkembang biak dan hidup di daerah sungai, sawah, empang dan sering juga ditemukan di daerah rawa. Ikan gabus juga dapat ditemukan di berbagai perairan umum di Indonesia diantaranya Jawa,



lx



Sumatera, Sulawesi, Bali, Lombok, Flores, Ambon dan Maluku dengan nama yang berbeda (Brotowijoyo, 1995). Ikan gabus memang kurang digemari oleh masyarakat luas karena jarang dijual di pasar dan dianggap oleh masyarakat ikan jenis ini suka memakan kotoran dan bangkai hewan serta bentuknya yang seperti ular. Namun akhir-akhir ini banyak masyarakat yang mulai menyukai ikan gabus, karena mereka telah mengetahui kandungan gizi yang terdapat dalam ikan gabus sangat tinggi dan banyak faedahnya. Hal ini diketahui oleh masyarakat karena mereka terinspirasi dari orang-orang Cina yang mengobati luka bakar dengan memakan ikan gabus (Anonimous, 2003). Sebagai bahan pangan, ikan merupakan sumber protein, lemak, vitamin, dan mineral yang sangat baik dan prospektif. Keunggulan utama protein ikan dibandingkan dengan produk lainnya adalah kelengkapan komposisi asam amino dan kemudahannya untuk dicerna. Mengingat besarnya peranan gizi bagi kesehatan, ikan merupakan pilihan tepat untuk diet di masa yang akan datang (Siswono, 2003). Ikan olahan yang sudah dikeringkan umumnya mengandung protein lebih tinggi daripada ikan segar. Hal ini karena proses pengeringan telah mengurangi kadar air sedemikian rupa hingga kandungan protein per 100 gram bahannya menjadi lebih tinggi. Berikut adalah kandungan gizi beberapa ikan : Tabel 1.2 Kandungan Protein ikan per 100 gram IKAN



PROTEIN



Bandeng



20.0



Ikan Mas



16.0



Kembung



22.0



Sarden



21.1



Pindang



28.50



Gabus Kering



58,0



Ikan Asin



42.0



Teri Kering 33.4 Sumber: Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup, Jakarta, (2004)



lxi



Hasil penelitian Cavallo (1998) menunjukkan bahwa dalam 100 cc ekstrak ikan gabus, mengandung 6,2224 gram albumin dengan jumlah kalori 69 kal serta zat-zat gizi lainnya. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:



Tabel 2.2 Kandungan Zat Gizi dalam 100 cc Ekstrak Ikan Gabus Jenis Zat Gizi Kalori (kal) Protein (gram) Lemak (gram) Albumin (gram) Besi (mg) Fosfor (mg) Kalsium (mg) Seng (mg) Vitamin A (mg) Vitamin B1 (mg) Sumber: Cavallo,1998.



Menurut Eddy (2003),



Kandungan per 100 cc 69 25,5 1,7 6,2 0,9 176 62 1,74 150 0,04



ikan gabus mempunyai kandungan



albumin yang tinggi dan mengandung asam amino essensial yang lengkap. Albumin merupakan jenis protein terbanyak di dalam plasma yang mencapai kadar 60%. Pemberian terapi albumin dengan ekstrak ikan gabus dapat membantu proses penyembuhan luka operasi lebih cepat. Untuk membuat ekstrak ikan gabus sebagai penyembuh luka operasi hanya membutuhkan sekitar 24 kilogram. Biayanya pun lebih murah dengan perhitungan, satu hari tiga kilogram. Itu dilakukan selama



lxii



delapan hari penyembuhan. Harga per kilogram ikan gabus Rp 20 ribu. Jadi paling tidak 24 kilogram X Rp 20 ribu, total Rp 480 ribu. Luka dapat sembuh tiga hari lebih cepat ketimbang menggunakan serum albumin yang menghabiskan 3 (tiga) ampul serum albumin. Satu ampul serum albumin saja harganya Rp. 1.300.000 (satu juta tiga ratus ribu rupiah) (Anonimous, 2003). Ikan gabus merupakan alternatif lain sebagai sumber protein albumin karena diketahui mengandung senyawa-senyawa penting bagi tubuh manusia diantaranya protein albumin yang tinggi, lemak, air dan mineral. Terutama mineral Zn dan Fe ( Taslim, dkk., 2005). Taslim, dkk., (2005) Ikan yang tak disukai karena baunya yang amis ini, menjadi suplemen makanan yang berbentuk kapsul berfungsi menjaga metabolisme tubuh, menaikkan kadar albumin, dan mempercepat pemulihan kesehatan. Cara ini berhasil karena pemberiannya lebih mudah, dan pasien tak lagi menolak baunya. Dengan pemberian dua kapsul sekali minum, tiga kali sehari selama 10 hari, bila dibanding dengan parenteral albumin kemampuan menaikkan kadar albuminnya sama (Anonimous, 2007). Oleh karena itu alternatif pemberian kapsul ikan gabus sangat tepat. Tabel 2.3 Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram tepung Ikan gabus



Jenis Zat Gizi



Kandungan



Protein



70 gr



Kadar Albumin



21 gr



Mineral



lxiii



Kalsium (Ca)



146,40 mg



Magnesium (Mg)



63,6 mg



Zat besi (Fe)



2,32 mg



Tembaga (Cu)



0,52 mg



Seng (Zn)



3,5 mg



Mangan (Mn)



0,35 mg



Nikel (Ni)



0,39 mg



Cobal (Co)



0,31 mg



Sumber: Taslim dkk., 2005.



Gambar 2.3. Ikan gabus dari depan



E.



Gambar 2.4. Kapsul Ikan Gabus



Penilaian Status Gizi



Status gizi adalah keadaan individu suatu kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat gizi lain, diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri. Untuk memperkirakan status gizi seseorang, perlu dilaksanakan pengukuran-pengukuran penilaian status gizi dilakukan melalui penilaian konsumsi pangan, penilaian klinik, pemeriksaan laboratorium dan pengukuran antropometri (Almatsier, 2002, Supariasa, 2002). Sedangkan menurut Gibson S. (2005), status gizi adalah hasil keseimbangan konsumsi zat-zat gizi dengan expenditure sehingga individu dikatakan dalam keadaan gizi normal apabila terdapat keseimbangan normal.



lxiv



Penilaian status gizi sejak pasien masuk perawatan harus dilakukan sebagai bagian dari perawatan dan skrining awal untuk mengindentifikasi risiko malnutrisi. Penilaian status gizi dapat dilakukan secara antropometri, biokimia dan klinik.



1.



Penilaian Status Gizi secara Antropometri Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi



tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2002). Pemeriksaan antropometri adalah pengukuran variasi berbagai dimensi fisik dan komposisi tubuh secara umum pada berbagai tahapan umur dan derajat kesehatan. Pengukuran yang dilakukan meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit. Semua hasil pengukuran tersebut harus dikontrol terhadap umur dan kenis kelamin. Dalam melakukan interpretasi, digunakan berbagai buku (standar) Internasional maupun nasional seperti buku WHO, NCHC, Harvard, dan sebagainya. Perlu ditekankan disini bahwa pemeriksaan tinggi badan pada usia lanjut dapat memberikan nilai kesalahan yang cukup bermakna oleh karena terjadinya osteoporosis pada usia lanjut yang akan berakibat pada kompetisi tulang-tulang commna vertebral (Darmojo, R.B 1999). a.



Berat Badan Pengukuran berat badan menjadi prinsip dasar pengkajian nutrisi dalam asuhan medik. Perlu dipertimbangkan kalau kita mengunakan berat badan sebagai satusatunya kriteria untuk menentukan keadaan nutrisi. Berat badan harus dimonitoring untuk memberi informasi yang memungkinkan intervensi nutrisi preventif secara dini, guna



mengatasi



kecenderungan



penurunan/penambahan



berat



yang



tidak



dikehendaki. b.



Tinggi Badan



lxv



Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat. Disamping itu tinggi badan merupakan ukuran kedua yang penting, karena dengan menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan (Quac stick), faktor umur dapat dikesampingkan (Supariasa, 2002). Perlu ditekankan bahwa pemeriksaan tinggi badan pada usia lanjut dapat memberikan nilai kesalahan yang cukup bermakna oleh karena terjadinya osteoporosis pada usia lanjut yang akan berakibat pada kompetisi tulang-tulang commna vertebral. (Darmojo, R.B 1999). Untuk itu pengukuran tinggi lutut pada lansia dapat dilakukan sebab pengkuran tinggi lutut erat kaitannya dengan tinggi badan dan dapat mengestimasi tinggi badan (bagi lansia yang tidak dapat berdiri tegak). Pengukuran tersebut harus dikontrol terhadap umur dan seks. Tinggi lutut diukur dengan centimeter, dengan posisi duduk di kursi yang rendah, menggunakan kaki kiri dan lutut membentuk sudut 90 0, diukur dari bawah tumit sampai diatas lutut (Nugroho, 2000). TB pria : 59,01 + (0,28 x TL) TB wanita : 75,00 + (1,91 x TL) – (0,17 x U) Catatan : TL = tinggi lutut ; U = Umur Untuk laki-laki



: 64,19 – (0,40 x lansia) + (2,02 x TL)



Untuk perempuan: 84,88 – (0,24 x lansia) + (1,83 x TL) c.



Indeks Massa Tubuh (IMT) Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun ke atas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Oleh karena itu pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan, salah satu cara dengan mempertahankan berat badan yang ideal atau normal. Indeks Masa Tubuh (IMT) digunakan untuk pengukuran bobot berat badan yang memiliki hubungan linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal pertambahan berat badan searah dengan pertambahan tinggi badan dan merupakan indikator yang baik untuk



lxvi



mendapatkan proporsi tubuh yang normal dan untuk membedakan orang kurus dan gemuk. Berat badan yang sesuai dengan tinggi badan tertentu dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Berat Badan (kg) IMT



= Tinggi Badan (m) x tinggi Badan (m)



Bila berat badan sebelum sakit lebih/diatas normal maka penurunan karena sakit/kurang gizi menjadi tidak akurat karena berat badannya masih termasuk normal. Bila ada edema, acites dapat mengoreksi berat badan menjadi normal yang sebenarnya telah menjadi malnutrisi. Bila terjadi peningkatan berat badan dapat digunakan untuk mengestimasi kecukupan intake zat gizi (Supariasa, 2002, Gibson S., 2005). Status gizi kurang



: IMT = 16 – 18,4



Status gizi baik



: IMT = 18,5 – 25,0



Status gizi lebih



: IMT = 25 – 30



(Tirtawinata, 2006).



2.



Penilaian Status Gizi Secara Biokimia Pemeriksaan biokimia dalam penilaian status gizi memberikan hasil yang lebih



tepat serta obyektif daripada menilai konsumsi makanan dan pemeriksaan lain. Pemeriksaan biokimia yang sering digunakan adalah teknik pengukuran kandungan berbagai zat gizi dan substansi kimia lain dalam darah serta urin. Hasil pengukuran tersebut kemudian dibandingkan dengan standar normal yang telah ditetapkan. Cara ini dapat memberikan gambaran perubahan komposisi akut dalam waktu yang singkat (Supariasa, 2002, Gibson S., 2005). a. Status Protein Visceral Cara ini adalah cara tidak langsung yaitu dengan mengukur kadar protein transport untuk mengidentifikasi risiko malnutrisi.



lxvii



1). Kadar Albumin Serum Albumin merupakan protein aktif, bersifat labil yang disintesis di hati secara cepat dan terus-menerus. Sintesis ini sangat bergantung dari suplai asam amino dari diit yang beredar dalam darah. Masa jedah albumin antara 18-20 hari. Albumin mempunyai fungsi utama memberikan tekanan osmotic koloid kapiler yang mencegah cairan plasma keluar dari kapiler (Wilson, 1996). Depresi kadar albumin juga dihubungkan dengan penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi yang memperlambat penyembuhan, peningkatan morbiditas dan mortalitas serta lamanya masa perawatan di rumah sakit (Stepanuk, 2000).



Nilai kadar albumin memberikan indikasi sebagai berikut : Penurunan ringan



: 3-3,5 gr %



Penurunan sedang



: 2,4-2,9 gr %



Penurunan berat



: < 2,4 gr %



Nilai normalnya



: 3,5-4,5 gr %



(Daldiyono dan Thaha, 1989, Tirtawinata, 2006, Wilson 1996) 2). Kadar Transferin Transferin juga termasuk protein aktif, mempunyai masa jedah lebih pendek dibanding albumin yaitu sekitar 6 hari. Transferin adalah senyawa pengikat zat besi yang dapat mencegah penyakit infeksi. Apabila ada kuman penyakit yang menyerang tubuh maka trasferin akan mengikat zat besi dari kuman itu sehingga tidak dapat berkembang biak, dengan demikian infeksi dapat dicegah. Penurunan kadar transferin juga mengindikasikan adanya defisiensi protein yang lebih cepat (status akut protein) dibanding dengan kadar albumin. Normal



: 200 – 300 mg%



Penurunan sedang



: 100 – 250 mg%



Penurunan berat



: < 100 mg%.



(Tirtawinata, 2006) F.



Kerangka Pikir



lxviii



Secara nyata usia lanjut berarti memasuki kenyataan dan lingkungan yang baru, yang seringkali berbeda dengan keadaan sebenarnya, sehingga memerlukan persiapan yang cukup matang. Mereka secara individual merupakan penduduk yang potensial menjadi beban keluarga dan masyarakat ditambah lagi dengan umur harapan hidup manusia yang menjadi lebih panjang dan umur rata-rata penduduk menjadi lebih tua. Tetapi, menambah panjang umur tanpa peningkatan kualitas hidup tentunya tidak cukup, karena hanya akan menambah panjang penderitaan bagi individu tersebut maupun keluarga



dan



masyarakat.



Dengan



bertambahnya



usia,



ditunjang



kemunduran



kemampuan psikis dan fisik, serta menderita berbagai penyakit, merupakan keadaan yang sangat tidak diharapkan. Lansia seperti juga tahapan-tahapan usia yang lain dapat mengalami gangguan gizi. Gangguan gizi yang muncul pada usia lanjut dapat menjelaskan munculnya penyakit. Terjadinya kekurangan gizi pada lansia oleh karena berbagai sebab dintaranya gangguan nafsu makan/selera makan, gangguan mengunyah, malabsorbsi serta laju metabolisme tubuh pada usia lanjut yang cenderung menurun, sehingga tingkat kegiatan tubuh biasanya berkurang, hal ini menyebabkan kebutuhan kalori relatif lebih rendah daripada ketika masih muda atau dewasa. Salah satu indikasi keadaan kurang gizi adalah protein yang terdapat dalam sel darah jumlahnya rendah atau yang sering disebut dengan hipoalbuminemia. Serum albumin merupakan salah satu parameter penting dalam mengukur status gizi pada pasien-pasien dengan usia lanjut sebab kekurangan albumin pada darah lebih banyak terjadi pada usia lanjut. Untuk meningkatkan serum albumin pada lansia yang hipoalbuminemia maka alternatif sumber protein yang dapat diberikan adalah protein albumin ikan gabus. Protein albumin ikan gabus merupakan suplemen alternatif lain sebagai sumber protein albumin yang tinggi serta mengandung mineral Zn dan Fe. Pada penelitian sebelumnya terbukti bahwa ikan gabus memiliki kadar protein albumin yang tinggi. Dapat meningkatkan kadar albumin pasien, memperbaiki status gizi, dan diikuti oleh peningkatan konsumsi melalui pemberian ekstrak ikan gabus.



lxix



Adanya dukungan nutrisi dan



pemberian ekstrak ikan gabus pada lansia



sebagai suplemen diharapkan dapat membantu meningkatkan kadar albumin dan memperbaiki status gizi (IMT) lansia sehingga kualitas hidup mereka di masa tua akan lebih baik.



G. Kerangka Konsep dan Variabel Penelitian 1. Kerangka Konsep



Penyakit Infeksi



Albumin



Pembentukan jaringan Zat imun



Status Gizi Lansia IMT Kadar Albumin



Hipoalbuminemia



Gangguan pengecap, penciuman



Asupan makanan (Energi dan Protein)



Nafsu Makan



Gangguan mengunyah,



Penyakit kronik, Isolasi, gangguan kognitif, kemiskinan



Variabel yang diteliti



Gangguan gigi, Variabel mulutyang tidak diteliti Variabel bebas Variabel tergantung



2.



Variabel Penelitian



lxx



a. Variabel Tergantung/Dependen : Status gizi b. Variabel Bebas/Independen a.



Variabel Antara



c.



Variabel Kendali/Kontrol



: Albumin (kadar albumin serum) : pembentukan jaringan, zat imun : Hipoalbuminemia, asupan makanan



d. Variabel Pengganggu (confounder)



:



Penyakit kronik, Penyakit infeksi,



isolasi, gangguan kognitif, kemiskinan, gangguan pengecapan, gangguan penciuman, nafsu makan, gangguan gigi dan mulut, gangguan mengunyah.



H.



Definisi Operasional dan Kriteria Objektif



Definisi Operasional Ekstrak ikan gabus adalah konsentrat ikan gabus 0.5 gram



Kriteria Objektif



dalam bentuk serbuk yang dimasukkan dalam kapsul nomor 00. Setiap kapsul mengandung 100 cc ekstrak ikan gabus yang dikeringkan menjadi 0,5 gram konsentrat. Lansia adalah umur 55 tahun ke atas (berdasarkan kriteria WHO). Asupan zat gizi adalah pola konsumsi makanan lansia yang



a.



Cukup



:



Bila



energi



dan



dapat diketahui dengan melihat apa yang dimakan selama 24



konsumsi



jam yang lalu (recall 24 hours),



protein berada pada kisaran



lalu dianalisis dan



dibandingkan dengan berdasarkan standar energi dan protein masing-masing lansia yaitu 2050 kkal dan 60 kg untuk laki-



80-110% dari AKG b.



laki, 1600 kkal dan 50g untuk perempuan (AKG 2004).



Kurang konsumsi



:



Bila



energi



dan



protein kurang 80% dari AKG Status Gizi adalah keadaan gizi yang merupakan penetapan



a.



berat badan sehat bagi orang dewasa (IMT) (Arisman, 2004).



Kurus bila IMT < 18,5



b.



Normal



bila



IMT



18,5 –25,0 c.



Gemuk bila IMT >



lxxi



IMT diperoleh dengan cara mengukur tinggi dan berat badan



25,0



dengan rumus: Berat Badan (kg) IMT



= Tinggi Badan (m) x tinggi Badan (m)



Responden yang tidak dapat berdiri/bungkuk, TB diperoleh dengan cara mengukur tinggi lutut kemudian dihitung dengan rumus berikut (Nugroho, 2000). TB pria



: 59,01 + (0,28 x TL)



TB wanita : 75,00 + (1,91 x TL) – (0,17 x U) Catatan : TL = tinggi lutut ; U = Umur Hipoalbuminemia adalah suatu keadaan penderita dewasa



d.



dengan kadar albumin serum di bawah batas normal.



Berat : < 2,4 g/dl



e.



Sedang : 2,4- < 2,8g/dl



f.



Ringan : 2,8 – 3,4 g/dl



g.



Normal: 3,5 – 4,5 g/dl



(Wilson, 1996; Daldiyono, 1989; Robinson, 1990). I. Hipotesis Penelitian



Hipotesis alternatif (Ha) sebagai berikut : a) Ada pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap kadar albumin lansia b) Ada pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap status gizi lansia



Hipotesis nol (Ho) adalah sebagai berikut : a)Tidak ada pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap kadar albumin lansia



lxxii



b)Tidak ada pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus terhadap status gizi lansia



BAB III METODE PENELITIAN



A.



Rancangan Penelitian



Penelitian ini adalah studi experimental semu (Quasi Eksperimen) dengan menggunakan rancangan randomized double blind pretest-posttest controlled. Double blind artinya pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian, baik peneliti, penerima maupun pemberi ekstrak ikan gabus tidak mengetahui perbedaan jenis kapsul yang diberikan. Untuk menghilangkan perbedaan tersebut, maka setiap kapsul dibuat dalam bentuk, ukuran, dan warna yang sama. Subyek penelitian dibagi dua kelompok yaitu kelompok intervensi mendapat ekstrak ikan gabus, kelompok pembanding/kontrol mendapat



placebo. Sebelum



suplementasi, dilakukan pengukuran awal (pretest) tentang status gizi secara antropometri (IMT), pengukuran intake makanan (food recall 24 hours), dan pengukuran kadar albumin serum. Setelah masa perlakuan selesai dilakukan posttest dengan penentuan status gizi secara antropometri (IMT), pengukuran intake makanan (food recall 24 hours), dan pengukuran kadar albumin serum.



lxxiii



Rancangan Penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :



Lansia



Status Gizi (Pre) 1. Antropometri - IMT 2. Hasil Laboratorium - Albumin 3. Asupan Zat Gizi - Energi, Protein, Zink, dan Fe Kontrol (n = 27 orang) tanpa ekstrak ikan gabus Status Gizi (Post) 1. Antropometri - IMT 2. Hasil Laboratorium - Albumin 3. Asupan Zat Gizi - Energi, Protein, Zink, dan Fe



Intervensi ( n = 27 orang) dengan ekstrak ikan gabus 30 hari



Status Gizi (Post) 1. Antropometri - IMT 2. Hasil Laboratorium - Albumin 3. Asupan Zat Gizi - Energi, Protein, Zink dan Fe



Analisa Data



lxxiv



B. Lokasi dan Waktu Penelitian



Penelitian ini dilaksanakan di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji di Kabupaten Gowa dengan melakukan intervensi pada lansia selama 30 hari (September – Oktober 2008).



C. Populasi dan Sampel 1.



Populasi Populasi adalah semua lansia yang berumur > 55 tahun, yang berada di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji di Kabupaten Gowa yang berjumlah 100 orang.



2.



Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah lansia yang berada di panti werdha Gau Mabaji Gowa. Pemilihan sampel dilakukan secara Simple Random Sampling pada semua lansia yang memenuhi kriteria inklusi penelitian ini. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan adalah: a.



Kriteria Inklusi 1. Lansia berusia > 55 tahun pada saat penelitian dimulai 2. Dapat berkomunikasi dengan baik 3. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini, dengan menandatangani surat persetujuan (informed consent) 4. Tidak menderita penyakit ginjal 5. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa lansia mengalami hipoalbuminemia (< 3,5 mg/dl).



b.



Kriteria Eksklusi: 1. Lansia yang mengalami penyakit ginjal.



lxxv



2. Memerlukan perawatan di rumah sakit sehingga sulit dipantau 3. Tidak mengikuti prosedur penelitian



3. Besar Sampel Besar sampel ditentukan secara estimasi berdasarkan perubahan ratarata kadar albumin dari penelitian sebelumnya dengan menggunakan rumus (Sastroasmoro, 1995) sebagai berikut :



2 2 (Z1/2 + Z)2 N= ( 1 -  2) Ket : N



= Besar sampel setiap kelompok perlakuan







= Standar deviasi kadar albumin : 0,64 (studi Taslim, 2005)



Z1/2 =



Standar deviasi normal, digunakan 1,96 sesuai dengan kemaknaan 95%



Z



= Power test 90% (1,28)



1



= Mean kadar Hb sebelum intervensi



2



= Mean kadar Hb setelah intervensi



Dengan menggunakan  = 0,05,  = 0,10,  = 0,64 dan (1 - 2) yaitu perkiraan rata-rata perubahan albumin sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok perlakukan dan kelompok kontrol = 0,6 g/dl (Taslim, 2005), maka dibutuhkan jumlah sampel minimal pada tiap kelompok sebesar 24 orang. Memperhitungkan terjadinya drop



lxxvi



out, maka ditambahkan cadangan 10% (2,4) sehingga menjadi 26,4 orang dan dibulatkan menjadi 27 orang pada tiap kelompok. Jumlah keseluruhan sampel yang terdiri dari kelompok perlakuan dan kelompok kontrol adalah sebanyak 54 orang. 4.



Prosedur Penelitian a. Setiap lansia atau petugas dihubungi oleh peneliti dan diminta persetujuannya apabila memenuhi kriteria yang telah ada. b.



Pengukuran asupan makan dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan formulir Food Recall 24 hours.



c.



Pengukuran status gizi secara antropometri (IMT) Sedangkan pemeriksaan



dilakukan oleh peneliti.



secara biokimia (albumin) menggunakan metode



Calorimetrik determination dilakukan oleh petugas laboratorium yang terlatih. d. Setiap lansia diberi penjelasan oleh peneliti tentang cara pemberian ekstrak ikan gabus (2x1) setiap hari selama 30 hari. Disamping itu, akan mengikuti terus perkembangan lansia. D. Instrumen Penelitian 1.



Kuesioner (Daftar pertanyaan)



2.



Formulir Food Recall 24 Hours



3.



Timbangan injak dengan ketelitian 0,1 kg,



4.



Microtoice



5.



Pita centimeter.



6.



Liasys pentra 400. E. Teknik Pengumpulan Data



1.



Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dua tahap, tahap pertama dilakukan screening untuk menentukan kasus dan kontrol. Setelah itu ditentukan sampel yang memenuhi kriteria sesuai dengan hasil perhitungan. Setelah terpilih kelompok kasus dan kontrol dilanjutkan dengan pengumpulan data tahap kedua yaitu data yang dikumpulkan



lxxvii



meliputi data dari semua variabel yang diangkat dalam penelitian. Pengumpulan data ini dilakukan oleh peneliti dibantu oleh 2 enumerator dengan latar belakang 1 orang S1/DIII Gizi yang telah dilatih sebelumnya. a.



D ata Primer 1.



Data identitas pasien, diukur dengan cara wawancara menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner).



2.



Data kadar albumin serum dilakukan dengan cara pengambilan serum darah oleh petugas laboratorium, yang diukur dengan Liasys pentra 400 (Cara pengukuran terlampir).



3.



Data Antropometri yaitu IMT, dilakukan dengan mengukur berat badan menggunakan



timbangan



injak



dan



tinggi



badan/tinggi



lutut



lansia



menggunakan Microtoice/pita meter (Cara pengukuran terlampir). 4.



Data asupan makanan dengan menggunakan formulir food recall 24 hours dikumpulkan sebelum dan sesudah intervensi.



b.



D ata Sekunder Data sekunder berupa kondisi sosiodemografi, geografi, dan data terkait lainnya (keadaan panti werdha dan sarana pelayanan) akan dikumpulkan dari instansi terkait.



F. Pengolahan, Penyajian dan Analisis Data 1. Pengolahan data Pengolahan data akan dilakukan dengan menggunakan komputer dengan program SPSS for windows versi 11. Data karakteristik subyek (yang diperoleh dari wawancara sebelum intervensi) disajikan dalam tabel distribusi frekuensi dengan skala ordinal dan ada dengan skala interval (nilai mean). Kadar Albumin ditampilkan dalam tabel skala interval (nilai mean).



lxxviii



Data recall 1 x 24 hours diolah dengan program komputer Word Food dan out-putnya berupa bobot asupan menurut jenis gizi, ditampilkan dalam bentuk skala interval (nilai mean). 2. Penyajian data Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk narasi distribusi frekuensi persentase variabel baik variabel independen maupun variabel dependen. Selain itu juga dilakukan tabel silang antara variabel independen dan variabel dependen. 3. Analisis data



Uji statistik yang dipakai : (Siegel, 1997) a.



Untuk melihat perubahan IMT, sebelum dan sesudah intervensi dianalisis dengan uji paired t-test. Sedangkan untuk menganalisis perbedaan



IMT antara kelompok kasus dan kelompok kontrol



digunakan unpaired t-test. b.



Untuk melihat perubahan kadar albumin sebelum dan sesudah intervensi dianalisis dengan uji paired t-test. Sedangkan untuk menganalisis perbedaan kadar albumin antara kelompok kasus dan kelompok kontrol digunakan unpaired t-test.



c.



Asupan zat gizi sebelum dan sesudah intervensi dianalisis dengan



uji



paired



t-test.



Sedangkan



untuk



menganalisis



perbedaan asupan zat gizi antara kelompok kasus dan kelompok kontrol digunakan unpaired t-test. d.



Batas kemaknaan yang digunakan pada penelitian ini adalah  = 0,05 H. Kontrol Kualitas



Untuk menjaga kualitas data yang dikumpulkan, akan dilakukan standardisasi berupa:



lxxix



1.



Petugas lapangan : sebelum turun lapangan semua petugas akan dilatih selama sehari untuk menyamakan persepsi antara petugas lapangan dengan peneliti



2.



Uji coba kuesioner untuk menilai kelayakan penggunaannya



3.



Alat yang digunakan: sebelum digunakan semua alat akan dikalibrasi



4.



Peneliti melakukan monitoring aktivitas petugas lapangan



I. Pertimbangan Etik 1.



Sebelum memulai penelitian, terlebih dahulu minta ijin tertulis kepada pejabat yang berwenang di tingkat Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan Desa.



2.



Sebelum dilakukan penelitian, informasi dan penjelasan rinci tentang apa yang akan dilakukan, kemungkinan yang akan terjadi telah diberitahukan kepada lansia. Bila setuju,



lansia yang berangkutan/petugas



menandatangani persetujuan



keikutsertaan dalam penelitian (informed consent). 3.



Teknik pengukuran dijamin tidak memberi dampak negatif pada lansia.



4.



Kerahasiaan setiap lansia dijaga dengan baik.



5.



Penelitian ini dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari komisi Etik Kedokteran Universitas Hasanuddin. I. Proses Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian



1.



Persiapan penelitian a.



Mengurus ijin penelitian



b.



Meminta pertimbangan Komisi Etik Penelitian



c.



Penjajakan pendahuluan lokasi penelitian



d.



Rekrutmen



dan



pelatihan



enumerator



dan



tenaga lapangan 2.



Pelaksanaan penelitian a.



Pengumpulan data sekunder keadaan umum demografi, sosial ekonomi dan budaya serta kependudukan dan informasi lain yang dianggap dibutuhkan dalam penelitian



lxxx



b.



Penjaringan sampel berdasarkan kriteria sampel yang telah ditetapkan.



c.



Mendatangi subyek yang terpilih baik kelompok kasus maupun kelompok kontrol untuk menandatangani surat kesediaaan (informed consent) untuk mengikuti penelitian ini.



d.



Pengukuran



antropometri



berdasarkan



IMT



untuk penetapan sampel e.



Pemeriksaan kadar albumin serum awal



f.



Pengumpulan data recall 1 x 24 hours



g.



Supervisi lapangan 3 kali dalam seminggu selama penelitian



h.



Pemeriksaan kadar Albumin pada akhir bulan intervensi (1 hari setelah perlakuan).



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN



A.



Gambaran Umum Lokasi Penelitian



Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Gau Mabaji Kabupaten Gowa terletak di Jalan Jurusan Malino Km. 26 Samaya Kabupaten Gowa. PSTW Gau Mabaji Gowa merupakan salah satu UPT Departemen Sosial yang menyediakan sumber pelayanan kesejahteraan sosial usia lanjut terlantar. PSTW Gau Mabaji Gowa didirikan pada tanggal 07 juli 1976 dengan kapasitas tampung 100 orang. Tujuan pelayanan dari PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa adalah sebagai berikut: a.



Terpenuhinya kebutuhan lansia mencakup biologis, psikologis, sosial dan spiritual.



b.



Memperpanjang usia harapan hidup dan masa produktivitas lansia.



c.



Terwujudnya kesejahteraan sosial lansia yang diliputi rasa tenang, tentram dan bahagia serta mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.



lxxxi



PSTW Gau Mabaji Gowa berdiri di atas lahan seluas 3 Ha. Saat ini memiliki 12 buah asrama program reguler yang diperuntukkan bagi lanjut usia yang berasal dari keluarga kurang mampu. Asrama ini terdiri atas 5 buah kamar dan setiap kamar diperuntukkan untuk 2 klien. Fasilitas yang tersedia di setiap asrama berupa: tempat tidur dan lemari untuk klien, televisi 21 inchi, alat pendingin ruangan, 2 buah kamar mandi, radio, dispenser, sofa tamu, meja makan dan meja pembina. Serta dilengkapi dengan tangkai pengaman pada dinding-dinding asrama untuk mengurangi risiko kecelakaan pada lansia. Selain itu, ada 2 buah asrama program subsidi silang yang diperuntukkan bagi lansia yang berasal dari keluarga mampu. Lingkungan PSTW Gau Mabaji Gowa telah dilengkapi dengan prasarana jalan beraspal yang menghubungkan antar bangunan dalam kompleks dengan luas 5.210 meter. Jalanan selain berfungsi sebagai sarana aksesibilitas klien, juga berfungsi sebagai jogging track bagi klien untuk mengisi hari-hari mereka dalam panti. Selain itu, pada PSTW Gau Mabaji Gowa juga dilengkapi dengan poliklinik, sarana hiburan karaoke dan elekton, taman-taman bunga yang dikelola oleh klien, air bersih, sarana olahraga, sarana pemakaman dan lain-lain.



B. 1.



Hasil Penelitian



Analisis Deskriptif Penelitian ini dilaksanakan di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten



Gowa, dimana sampel yang memenuhi syarat hanya sebesar 54 orang setelah pengumpulan data selama 3 minggu yang terdiri dari 27 sampel kelompok intervensi dan 27 sampel kelompok kontrol. Peneliti hanya mendapatkan jumlah ini dengan berbagai pertimbangan antara lain kurangnya jumlah lansia, lansia yang tidak bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian, waktu studi, dan pertimbangan biaya. Data yang diperoleh dari sampel yaitu data primer dan data sekunder dengan beberapa karakteristik umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, IMT, dan asupan zat gizi. Adapun nilai distribusi frekuensi dari data pendukung disajikan sebagai berikut :



lxxxii



Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Sampel menurut Umur di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 Umur (thn) 55 – 64 > 65 Jumlah Sumber: Data primer, 2008



Intervensi n = 26 N % 3 11.5 23 88.5 26 100.0



Kontrol n = 23 n % 4 17.3 19 82.7 23 100.0



Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi distribusi umur terbanyak pada umur > 65 tahun sebanyak 23 orang (88,5 %) dan terendah adalah sampel yang berumur 55 - 64 tahun sebanyak 3 orang (11,5%), sedangkan pada kelompok kontrol distribusi umur terbanyak juga pada umur > 65 tahun sebanyak 19 orang (82,7%) dan terendah pada umur 55 - 64 tahun sebanyak 4 orang (17,3%). Tabel 4.2 Distribusi Karakteristik Sampel berdasarkan Jenis Kelamin di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Sumber: Data primer, 2008



Intervensi n = 26 n % 6 23,1 20 76,9 26 100.0



Kontrol n = 23 n % 12 52,2 11 47,8 23 100.0



Tabel di atas menunjukkan bahwa sampel terbanyak pada kelompok intervensi adalah perempuan sebanyak 20 (76,9%) dan laki-laki sebanyak 6 (23,1%), sedangkan pada kelompok kontrol sampel terbanyak adalah laki-laki 12 (52,2%) dan perempuan 11 (47,8%).



Tabel 4.3 Distribusi Karakteristik Sampel berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 Tingkat Pendidikan Terakhir Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA/STM/SMEA/SMK Sarjana Jumlah Sumber: Data primer, 2008



Intervensi n = 26 n % 16 61,5 5 19,3 3 11,5 2 7,7 0 0 26 100.0



Kontrol n = 23 n % 10 43,5 11 47,8 2 8,7 0 0 0 0 23 100.0



Tabel diatas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi sampel terbanyak berdasarkan pendidikan terakhir adalah tidak tamat SD sebanyak 16 orang (61,5%) dan tidak ada yang sampai sarjana, sedangkan pada kelompok kontrol yang paling banyak



lxxxiii



adalah tamat SD sebanyak 11 orang (47,8%) dan tidak ada sampel yang tamat SMA/STM/SMEA/SMK dan sarjana. Tabel 4.5 Distribusi Karakteristik Sampel berdasarkan IMT di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 IMT Kurus Normal Gemuk Jumlah Sumber: Data primer, 2008



Intervensi n = 26 n % 3 11,5 14 53,8 9 34,6 26 100.0



Kontrol n = 23 n % 1 4,3 6 26,1 16 69,6 23 100.0



Tabel diatas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi sampel terbanyak berdasarkan IMT yaitu pada status normal dengan jumlah 14 (53.8%) dan terendah pada status IMT kurus dengan jumlah 3 (11.5%), sedangkan pada kelompok kontrol IMT terbanyak adalah status gemuk dengan jumlah 16 orang (69.9%) dan yang terendah adalah pada status kurus yaitu 1 orang (4.3%).



2.



Analisis Paired t-test Analisis Paired t-test digunakan untuk menganalisis perbedaan kadar albumin,



Berat badan, IMT serta asupan zat gizi (energi, protein, lemak, dan karbohidrat) sebelum dan sesudah intervensi, baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol. Tabel 4.6 Analisis perbedaan Kadar Albumin Sebelum dan Sesudah intervensi di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 Albumin Albumin awal Albumin akhir



Intervensi (Mean  SD) 2.65 ± 0.27 4.44± 0.65



P 0.000



Kontrol (Mean  SD) 2.69 ± 0.38 4.66 ± 0.61



P 0.000



Sumber: Data primer, 2008



Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, ada perbedaan bermakna antara kadar albumin awal dan kadar albumin akhir dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05), dimana terjadi peningkatan nilai albumin sebesar 1,785 g/dl dan pada kelompok kontrol juga terdapat perbedaan



lxxxiv



bermakna antara albumin awal dan albumin akhir dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Dimana terjadi peningkatan nilai albumin sebesar 1,969 g/dl. P = 0.000



P = 0.000



Gambar 4.1. Perbedaan kadar albumin sebelum dan sesudah intervensi baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol



Tabel 4.7 Analisis Perbedaan Berat Badan Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah Intervensi di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 Berat Badan Berat badan awal Berat badan akhir



Intervensi (Mean  SD) 41.35 ± 8.35 40.29 ± 8.40



P 0.003



Kontrol (Mean  SD) 48.16 ± 7.75 47.12 ± 7.98



P 0.000



Sumber: Data primer, 2008



Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, ada perbedaan bermakna antara berat badan awal dan berat badan akhir dengan nilai p = 0,003 (p < 0,05), dimana terjadi penurunan berat badan sebesar 1,058 kg dan pada kelompok kontrol, juga terdapat perbedaan bermakna antara berat badan awal dan berat badan akhir dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05), dimana terjadi penurunan berat badan sebesar 1,039 kg.



lxxxv



P = 0.000



P = 0.003



Gambar 4.2. Perbedaan Berat badan sebelum dan sesudah intervensi baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol



Tabel 4.8 Analisis Perbedaan IMT Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah Intervensi di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 IMT IMT awal IMT akhir Sumber: Data primer, 2008



Intervensi (Mean  SD) 22.46 ± 3.51 22.18 ± 3.93



P 0.438



Kontrol (Mean  SD) 25.76 ± 4.03 25.06 ± 4.19



P 0.002



Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, tidak terdapat perbedaan bermakna antara IMT awal dan IMT akhir dengan nilai p = 0,438 (p > 0,05), dimana terjadi penurunan IMT sebesar 0,277 sedangkan pada kelompok kontrol, terdapat perbedaan bermakna antara IMT awal dan IMT akhir dengan nilai p = 0,002 (p < 0,05). Dimana terjadi penurunan IMT sebesar 0,695.



lxxxvi



P = 0,002



P = 0,438



Gambar 4.3. Perbedaan IMT sebelum dan sesudah intervensi baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol



Tabel 4.9 Analisis perbedaan Asupan Zat Gizi Kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 Kelompok Intervensi (mean ± SD) Energi awal 1725.26± 460.76 Energi akhir 1828.80± 765.73 Protein awal 47.04± 42.61 Protein akhir 39.96±13.20 Lemak awal 29.42± 29.79 Lemak akhir 28.45± 7.52 KH awal 269.73± 73.04 KH akhir 340.07± 175.77 Sumber : Data Primer, 2008 Asupan Zat Gizi



Kelompok Kontrol (mean ± SD)



P 0.482 0.308 0.876 0.086



1754.34± 986.33 1731.43± 747.95 44.23± 31.93 36.17± 11.83 30.76± 36.54 28.41± 9.30 295.76± 133.66 341.69± 174.36



P 0.919 0.267 0.771 0.229



Tabel di atas menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi terjadi penurunan asupan protein dan lemak yang tidak



bermakna sebelum dan sesudah intervensi



(p>0,05). Besar penurunan untuk tiap asupan masing-masing 7,077 g dan 0,969 g. Sedangkan pada asupan energi dan karbohidrat



mengalami peningkatan yang tidak



lxxxvii



bermakna sebelum dan sesudah intervensi dengan nilai 103,538 kal dan 70,338 g. Pada kelompok kontrol, terjadi penurunan asupan untuk energi, protein, dan lemak yang tidak bermakna (p>0,05) sebelum dan sesudah intervensi. Besar penurunan untuk tiap asupan masing-masing 22,913 kal; 8,061 g dan 2,352 g. Sedangkan pada asupan karbohidrat mengalami peningkatan yang tidak bermakna sebelum dan sesudah intervensi dengan nilai 45,926 g. P = 0,482



P = 0,919



Gambar 4.4. Perbedaan Asupan energi sebelum dan sesudah intervensi baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok P = 0,308 P = 0,267 kontrol



Gambar 4.5. Perbedaan Asupan protein sebelum dan sesudah intervensi baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol



P = 0,771



lxxxviii



P = 0,876



Gambar 4.6. Perbedaan Asupan lemak sebelum dan sesudah intervensi baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol



P = 0,086



P = 0,229



Gambar 4.7. Perbedaan Asupan karbohidrat sebelum dan sesudah intervensi baik pada kelompok intervensi maupun pada kelompok kontrol 3.



Analisis Uji T Independent Analisa t-independent digunakan untuk melihat perbedaan kadar albumin, berat



badan, IMT, dan asupan zat gizi (energi, protein, lemak, dan karbohidrat) antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa.



Tabel 4.11 Analisis Perbedaan Kadar Albumin pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 Albumin



n



Mean  SD



P



Mean  SD



P



lxxxix



Intervensi 26 Kontrol 23 Sumber: Data primer, 2008



Pre 2.65 ± 0.27 2.69 ± 0.38



0,729



Post 4.44 ± 0.65 4.66 ± 0.61



0,235



Tabel di atas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan kadar Albumin Pre dengan nilai p = 0,729 (p>0,05). Demikian pula pada Albumin Post tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai p = 0,235 (p>0,05).



Tabel 4.12 Analisis Perbedaan Berat badan pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 Berat Badan



n



Intervensi 26 Kontrol 23 Sumber: Data primer, 2008



Mean  SD Pre 41.35 ± 8.35 48.16 ± 7.75



P 0,05



Mean  SD Post 40.29 ± 8.40 47.12 ± 7.98



P 0,05



Tabel di atas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan Berat badan Pre dengan nilai p = 0,05 (p=0,05). Demikian pula pada Berat badan Post tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai p = 0,05 (p=0,05). Tabel 4.12 Analisis Perbedaan IMT pada Kelompok Intervensi dan Kontrol di PSTW Gau Mabaji Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Tahun 2008 IMT



n



Intervensi 26 Kontrol 23 Sumber: Data primer, 2008



Mean  SD Pre 22.46 ± 3.51 25.76 ± 4.03



P 0.004



Mean  SD Post 22.18 ± 3.93 25.06 ± 4.19



P 0.017



xc



Tabel



di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna



antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan IMT Pre dengan nilai p = 0,004 (p 0,05.



Kadar albumin pada kelompok intervensi mengalami kenaikan yang tidak



bermakna begitupula dengan kadar albumin kelompok kontrol juga mengalami kenaikan yang tidak bermakna. Hal ini disebabkan waktu penelitian yang bertepatan dengan bulan ramadhan, dimana lansia yang berpartisipasi dalam penelitian ini berpuasa dan konsumsi protein lansia meningkat pada saat itu sehingga sangat berpengaruh terhadap peningkatan albumin lansia. Peningkatan kadar albumin dapat dihubungkan dengan adanya perbaikan sistem imunitas, perbaikan jaringan/sel yang rusak akibat infeksi. Albumin akan mensuplai asam amino untuk sintesis protein aktif cytokine seperti C-reaktive protein, protein phase akut, dan lain-lain, yang dibutuhkan pada pembentukan makrofa pada sistem pagositosis serta pembentukan antibodi (Linder, 1992, Karyadi, 2001, Gibson S., 2005). Albumin disintesis oleh sel hati yang kemudian di distribusi kedalam sirkulasi darah. Untuk mensintesis albumin diperlukan asam amino yang berasal dari makanan (luar) dan dari recycle protein tubuh. Kemudian sel hati akan menangkap/mengambil asam amino dari peredaran darah porta setelah pencernaan dan absorbsi. Influk asam amino dalam darah permukaan akan



xcii



merangsang dibebaskannya insulin untuk mempercepat pengambilan asam amino dengan meningkatkan sintesis protein (Linder, 1992, Stepanuk, 2000, Gibson, 2005). Perubahan kadar albumin serum yang bermakna klinis berupa penurunan kadar albumin (hipoalbuminemia). Perubahan ini dapat disebabkan oleh sintesis yang kurang (disfungsi hati, diit yang kurang), perluasan kompartmen sebaran (kebocoran kapiler, sepsis, atau renjatan), “kehilangan” ke ruang ketiga respons fase akut dan kehamilan. Pengaruh penyebaran (distribusi) lebih besar daripada sintesis, dan bila seseorang tidak makan maka kadar albumin baru akan menurun sampai di bawah batas normal setelah seminggu (Julius, 2005). Albumin serum yang rendah merupakan pertanda yang tidak spesifik dari penyakit. Rendahnya kadar albumin serum menunjukkan suatu kemunduran dan peningkatannya menunjukkan suatu perbaikan. Kadar yang sangat rendah dari albumin terlihat dengan kurangnya pengeluaran. Albumin serum akan menurun bila menjadi sakit, dan kembali normal pada saat pasien membaik kondisinya (Patrick Neligan, 2001). Menurut Stepanuk (2000) ada hubungan depresi kadar albumin dengan penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi yang memperlambat penyembuhan, peningkatan mordibitas dan mortalitas serta lamanya masa perawatan di Rumah Sakit. Sebaliknya peningkatan kadar albumin dapat dihubungkan dengan adanya perbaikan sistem imunitas dan perbaikan jaringan/sel yang rusak akibat infeksi. Hasil penelitian dengan menggunakan paired t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna kadar albumin lansia sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi dan pada kelompok kontrol. Rata-rata kadar albumin lansia sebelum intervensi adalah sebesar 2,65 gr/dl dan setelah intervensi meningkat menjadi 4,44 gr/dl, demikian pula dengan kelompok kontrol yang mengalami peningkatan dari 2,69 gr/dl meningkat menjadi 4,66 gr/dl. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pemberian kapsul ekstrak ikan gabus selama 30 hari dapat meningkatkan kadar albumin darah lansia. Hasil penelitian ini sama dengan hasil yang pernah dilaporkan oleh Taslim dkk. (2005) dengan pemberian nutrisi TKTP dan tambahan ekstrak ikan gabus pada sejumlah pasien yang dirawat di Rumah Sakit terjadi peningkatan kadar albumin secara bermakna



xciii



sebesar 0,7 mg/dl, dibanding kelompok kontrol. Hidayanti H. (2006) pemberian nutrisi TKTP dan tambahan kapsul konsentrat ikan gabus pada pasien pasca bedah terjadi peningkatan kadar albumin secara bermakna sebesar 0,74 mg/dl, dibanding kelompok kontrol. Salma (2007) pemberian nutrisi TKTP dan tambahan kapsul ikan gabus pada pasien ODHA selama 14 hari dapat meningkatkan kadar albumin darah pasien secara bermakna sebesar 0.6 gr/dl 2.



Analisis Perbedaan Berat Badan Antara Kelompok Intervensi dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Hasil analisis dengan menggunakan t-independent menunjukkan bahwa



tidak



ada perbedaan bermakna berat badan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai p = 0,05. Pada kelompok intervensi rata-rata berat badan lansia sebesar 41,35 kg turun menjadi 40.29 kg setelah diberikan intervensi selama 30 hari, Demikian pula pada kelompok kontrol rata-rata berat badan lansia sebesar 48.16 dan mengalami penurunan menjadi 47.12 setelah 30 hari. Jika asupan energi dari makanan lebih besar dari energi yang dikeluarkan sebagai panas dan kerja, tubuh akan menyimpan energi dan berat badan akan bertambah. Dipihak lain, jika kandungan kalori dari makanan yang dimakan lebih kecil daripada out put akan ada imbangan energi negatif. Dan cadangan protein dan lemak akan digunakan sehingga berat badan menurun (Hill L., 2000). Berdasarkan analisis dengan menggunakan paired t-test diperoleh bahwa pada kelompok intervensi terjadi penurunan berat badan secara bermakna sebesar 1,058 kg (p = 0.003) demikian pula pada kelompok kontrol terjadi penurunan berat badan secara bermakna sebesar 1,039 kg (p = 0.000) Penurunan berat badan pada lansia selama penelitian terjadi karena waktu penelitian berlangsung pada bulan ramadhan, dimana lansia yang berpartisipasi dalam penelitian berpuasa sehingga hal ini berakibat pada penurunan asupan.



xciv



Tanpa dukungan nutrisi yang adekuat, stres metabolik akibat infeksi akan menimbulkan kehilangan berat badan dan rusaknya sel bagian tubuh (organ vital). (Drain, PK, et al ,2006). Penurunan berat badan 10-20 % akan mengurangi daya tahan tubuh dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas, bahkan kehilangan 40 % berat badan dapat menyebabkan kematian. Konsekuensi langsung dari pola konsumsi yang tidak adekuat dapat menimbulkan masalah gizi salah satunya kurang gizi, sehingga asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan dalam upaya mencegah terjadinya kurang gizi pada lansia karena untuk beraktifitas memerlukan pengeluaran energi maka diet yang cukup menjadi faktor yang sangat penting. Sebab kalori yang dihasilkan dari makanan terutama yang berasal dari karbohidrat akan mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Juga dapat mempertahankan berat badan karena kesenjangan energi pada tingkat ini akan bermanifestasi dalam bentuk mobilisasi himpunan lemak tubuh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi kapsul ekstrak ikan gabus 3x1 selama 30 hari tidak dapat meningkatkan berat badan lansia secara bermakna Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salma (2007) yang melaporkan bahwa terjadi peningkatan berat badan secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan intervensi kapsul konsentrat ikan gabus sebesar 2.7 kg (p = 0.001). 3.



Analisis Perbedaan IMT Antara Kelompok Intervensi



dengan



Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan salah satu pengukuran untuk menentukan status gizi. Digunakan untuk pengukuran bobot berat badan yang memiliki hubungan linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal pertambahan berat badan searah dengan pertambahan tinggi badan dan merupakan indikator yang baik untuk mendapatkan proporsi tubuh yang normal dan untuk membedakan orang dengan status



xcv



gizi kurang, status gizi baik atau status gizi lebih. (Supariasa, 2002, Hartono 2000, Gibson S., 2005). Hasil analisis dengan menggunakan t-independent menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna IMT antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai p < 0,05. Pada kelompok intervensi rata-rata IMT lansia sebesar 22.46 menurun menjadi 22.18 setelah diberikan intervensi selama 30 hari, demikian pula pada kelompok kontrol IMT lansia sebesar 25.76 dan mengalami penurunan menjadi 25.06 setelah 30 hari. IMT yang dihubungkan dengan risiko paling rendah terhadap kesehatan adalah antara 22 dan 25. Berat badan lebih adalah IMT antara 25 dan 30, sedangkan obesitas bila IMT lebih besar dari 30 (Almatsier, 2005). Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun ke atas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Oleh karena itu pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah dengan mempertahankan berat badan/meningkatkan berat badan hingga mencapai status gizi baik (Tirtawinata, 2006). Berdasarkan analisis dengan menggunakan paired t-test diperoleh bahwa pada kelompok intervensi terjadi penurunan IMT secara tidak bermakna sebesar 0,277 (p = 0.438) dan pada kelompok kontrol terjadi penurunan IMT secara bermakna sebesar 0,695 (p = 0.002). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salma (2007) yang melaporkan bahwa terjadi peningkatan IMT secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan intervensi kapsul konsentrat ikan gabus sebesar 0,9 (p = 0.001). 4.



Analisis Perbedaan Asupan Energi Antara Kelompok Intervensi dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Pada penelitian ini terlihat bahwa asupan energi antara kelompok intervensi dan



kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna berdasarkan uji t-independen dimana p



xcvi



> 0,05.



Tingkat asupan energi pada kelompok intervensi mengalami peningkatan



sedangkan pada kelompok kontrol mengalami penurunan. Pada kelompok intervensi rata-rata asupan energi lansia sebesar 1725,26 kal menurun menjadi 1828,8 kal setelah diberikan intervensi selama 30 hari, sedangkan pada kelompok kontrol asupan energi lansia sebesar 1754,34 kal dan mengalami penurunan menjadi 1731,43 kal setelah 30 hari. Kandungan kapsul ikan gabus selain mengandung albumin dan asam amino esensial yang lengkap juga mengandung zat gizi mikronutrien yaitu Zn sehingga terjadi peningkatan asupan makan pada kelompok intervensi dibanding kelompok kontrol. Namun dari rata-rata asupan kalori memperlihatkan bahwa meskipun pada kelompok intervensi mengalami kenaikan tetapi sebagian besar masih kurang dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan berdasarkan perhitunganan per individu dengan menggunakan rumus Harris Benedict (Hartono, 2000). Kebutuhan energi seseorang menurut FAO/WHO (1985) adalah konsumsi energi yang berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang sesuai dengan kesehatan jangka panjang, dan memungkinkan pemeliharaan aktivitas fisik yang dibutuhkan secara sosial dan ekonomi. Kebutuhan energi total orang dewasa diperlukan untuk metabolisme basal, aktivitas fisik, efek makanan atau pengaruh dinamik khusus, dan kebutuhan energi terbesar pada umumnya diperlukan untuk metabolisme basal (Almatsier, 2001). Kekurangan energi akan terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang diperlukan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif. Akibatnya, berat badan kurang dari berat badan seharusnya. Berdasarkan analisis dengan menggunakan paired t-test diperoleh bahwa pada kelompok intervensi mengalami peningkatan asupan energi secara tidak bermakna sebesar 103,538 kal (p = 0.482) dan pada kelompok kontrol terjadi penurunan asupan secara tidak bermakna sebesar 22,913 kal (p = 0.919). Ini menunjukkan bahwa konsumsi



xcvii



kapsul ekstrak ikan gabus yang diberikan selama 30 hari tidak dapat



meningkatkan



asupan energi lansia. Hasil peningkatan asupan energi ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya, dimana terjadi peningkatan asupan energi yang bermakna, pada penelitian Taslim dkk (2005) terjadi peningkatan energi sebesar 231,69 kal dengan pemberian ekstrak ikan gabus pada sejumlah pasien. Hasil penelitian Hidayanti H. (2006) memperlihatkan bahwa dengan pemberian kapsul konsentrat ikan gabus pada pasien pasca bedah memberikan peningkatan asupan energi sebesar 653 kal. Demikian pula pada penelitian Salma (2007) terhadap pasien ODHA yang memperlihatkan peningkatan asupan energi sebesar 811,98 kal. 5.



Analisis Perbedaan Asupan Protein Antara Kelompok Intervensi dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Kebutuhan protein didefinisikan sebagai asupan protein yang aman untuk



kebutuhan faali, dan memelihara kesehatan hampir semua orang, sesuai dengan golongan umur dan jenis kelamin. Protein merupan zat pembentuk tubuh yang penting di samping air, lemak, vitamin, mineral dan karbohidrat yang terdapat atau ditemukan pada seluruh tubuh, yaitu otot, kulit, rambut, jantung, paru-paru, otak dan organ tubuh lainnya. Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna melalui dinding saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan-jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Kekurangan protein, menyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi. Seseorang yang menderita kekurangan protein lebih rentan terhadap bahan-bahan racun dan obat-obatan. Serta ketidakmampuan membentuk antibodi dalam jumlah yang cukup. (Almatsier, 2002, Tirtawinata, 2006). Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein kompleks atau protein dengan nilai biologis tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan.



xcviii



Dengan menggunakan uji t-Independent tingkat asupan protein antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak berbeda secara bermakna dengan nilai p > 0,05. Konsumsi protein rata-rata lansia sebelum intervensi sebesar 47,04 g dan setelah intervensi selama 30 hari menurun menjadi 39,96 g, sedangkan pada kelompok kontrol konsumsi rata-rata lansia sebelum intervensi adalah sebesar 44,23 g dan selama 30 hari juga mengalami penurunan asupan protein menjadi 36,17 g. Makanan yang mengandung karbohidrat seperti nasi, jagung, kentang, singkong, ubi jalar, mie dan roti. Sangat penting karena kalori yang dihasilkannya akan mencegah pengunaan protein sebagai sumber energi. Sebaliknya protein dapat digunakan untuk mempertahankan sistem kekebalan dan ukuran otot , mengatur keasaman darah serta memproduksi jutaan substansi yang dibutuhkan untuk mengatur proses tubuh. Jika protein digunakan sebagai sumber energi maka akan terjadi defisiensi protein yang sering menyebabkan depresi sistem kekebalan, sehingga kerentangan terhadap infeksi makin meningkat (Stepanuk, 2000, Swarth J., 2004, Tirtawinata, 2006). Dengan menggunakan analisis paired t-test, diperoleh penurunan asupan protein yang tidak bermakna pada kelompok intervensi sebesar 7,077 g, demikian pula pada kelompok kontrol mengalami penurunan asupan protein yang tidak bermakna sebesar 8,061 g. Ini menunjukkan bahwa konsumsi kapsul ekstrak ikan gabus yang diberikan pada lansia selama 30 hari tidak tdapat meningkatkan asupan protein lansia secara bermakna. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Taslim, dkk (2005) dimana terjadi peningkatan asupan protein pada kelompok intervensi sebesar 8,85 g, Hidayanti H. (2006) dengan peningkatan asupan protein pada kelompok intervensi sebesar 25,15 g dan Salma (2007) dengan peningkatan asupan protein sebesar 28.533 g. 6.



Analisis Perbedaan Asupan Lemak Antara Kelompok Intervensi dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Hasil analisis tingkat asupan lemak antara kelompok intervensi dan kelompok



kontrol tidak berbeda secara bermakna dengan nilai p > 0,05. Asupan lemak rata-rata sebelum mendapatkan kapsul konsentrat ikan gabus adalah 29.42 g dan mengalami



xcix



penurunan menjadi 28.45 g pada kelompok intervensi begitu pula pada kelompok kontrol asupan rata-rata sebelum intervensi adalah sebesar 30,76 g dan menurun menjadi 28.41 g. Berdasarkan hasil uji paired t-test diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi yang mendapatkan kapsul ekstrak ikan gabus selama 30 hari. Pada kelompok intervensi terjadi penurunan asupan lemak yang tidak bermakna sebesar 0,969 g, demikian pula pada kelompok kontrol terjadi penurunan asupan lemak yang tidak bermakna sebesar 2,352 gram. Ini menunjukkan bahwa pemberian kapsul ekstrak ikan gabus selama 30 hari tidak dapat meningkatkan asupan lemak lansia secara bermakna. Hasil ini berbeda dengan penelitian Taslim, dkk (2005) yang mendapatkan peningkatan asupan lemak yang tidak bermakna sebesar 1,22 gram. Demikian pula pada hasil penelitian Hidayanti H. (2006) yang mendapatkan peningkatan asupan lemak yang bermakna sebesar 22,815 gram.



7.



Analisis Perbedaan Asupan Karbohidrat Antara Kelompok Intervensi dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Peranan utama karbohidrat di dalam tubuh adalah menyediakan glukosa bagi sel-



sel tubuh, yang kemudian diubah menjadi energi. Glukosa memegang peranan penting dalam metabolisme karbohidrat. Jaringan tertentu hanya memperoleh energi dari karbohidrat seperti sel darah merah serta sebagian besar otak dan system syaraf (Almatsier, 2001). Hasil penelitian dengan menggunakan uji t-independent di peroleh bahwa tidak ada perbedaan bermakna asupan karbohidrat antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai p > 0,05. Untuk kelompok intervensi rata-rata asupan karbohidrat adalah sebesar 269.73 g dan setelah intervensi selama 30 hari asupan ini meningkat menjadi 340.07 g begitu pula pada kelompok kontrol asupan rata-rata karbohidrat adalah sebesar 295.76 g dan setelah 30 hari meningkat menjadi 341.69 g.



c



Berdasarkan uji paired t-test, pada kelompok intervensi tidak terdapat perbedaan bermakna antara sebelum dan sesudah intervensi. Pada kelompok ini terjadi peningkatan asupan karbohidrat yang tidak bermakna sebesar 70,338 g (p = 0,086), demikian pula pada kelompok kontrol terjadi peningkatan asupan karbohidrat yang tidak bermakna sebesar 45,926 g (p = 0,229). Ini menunjukkan bahwa konsumsi kapsul ekstrak ikan gabus dapat meningkatkan asupan karbohidrat lansia secara tidak bermakna. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Taslim, dkk (2005), dimana terjadi peningkatan asupan karbohidrat sebesar 45,09 gram. Demikian pula pada hasil penelitian Hidayanti H. (2006) yang mendapatkan peningkatan asupan karbohidrat secara bermakna sebesar 89,5 g.



8.



Analisis Perbedaan Asupan Zink Antara Kelompok Intervensi dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Zink menupakan salah satu mineral yang penting dalam proses penyembuhan.



Zink akan meningkatkan kekuatan tegangan (gaya yang diperlukan untuk memisahkan tepi-tepi) penyembuhan luka. (Mary Courtney, 1997). Hasil analisis dengan menggunakan uji t-independent diperoleh bahwa tidak ada perbedaan bermakna asupan zink antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai p > 0,05. Pada kelompok intervensi konsumsi zink rata-rata lansia sebelum intervensi adalah sebesar 6,54 mg dan setelah pemberian protein ekstrak ikan gabus selama 30 hari menurun menjadi 4,28 mg begitu pula pada kelompok kontrol asupan ratarata zink lansia adalah sebesar 6,72 mg setelah 30 hari menurun menjadi 3,97 mg. Zink merupakan salah satu mikronutrien antioksidan, komponen berbagai protein, hormon dan enzim, diperlukan dalam perkembangan berbagai sel dan jaringan penyembuhan luka serta dapat memperbaiki nafsu makan, (Gibson S., 2005).



ci



Analisis dengan menggunakan paired t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna asupan zink sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intrvensi. Pada kelompok ini terjadi penurunan zink secara bermakna sebesar 2,261 mg (p = 0,007), sedangkan pada kelompok kontrol penurunan asupan zink juga terjadi secara bermakna sebesar 2,749 mg (p = 0,025). Zinc berperan dalam berbagai aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lemak dan asam nukleat. Taraf darah zink yang tinggi dapat mencegah terjadinya kehilangan indera perasa yang biasanya disertai penurunan nafsu makan. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Taslim, dkk (2005), dimana terjadi peningkatan asupan zink sebesar 2,01 mg. Demikian pula dengan hasil penelitian Hidayanti H. (2006) yang mendapatkan peningkatan asupan zink sebesar 7,3 mg.



9.



Analisis Perbedaan Asupan Fe Antara Kelompok Intervensi dengan Kelompok Kontrol pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Besi memainkan peranan yang penting pada trasportasi dan penggunaan oksigen



pada produksi energi oksidatif (Haas, 2001). Besi juga merupakan bagian dari beberapa protein yang terlibat dalam rantai trasportasi elektron, metabolisme obat dan sistem kekebalan tubuh (Smolin, 1994). Di dalam sum-sum tulang zat besi digunakan untuk membuat hemoglobin yang merupakan bagian dari sel darah merah. Sisanya dibawa ke jaringan tubuh lain yang membutuhkan. Kelebihan zat besi dapat mencapai 200-1500 mg, disimpan sebagai protein feritin dan hemosiderin di dalam hati (30%), sum-sum tulang (30%) dan selebihnya di simpan di dalam limpa dan otot. Dari simpanan tersebut sampai 50 mg sehari dapat dimobilisasi untuk keperluan tubuh seperti pembentukan Hb. Feritin yang bersirkulasi dalam darah mencerminkan simpanan zat besi di dalam tubuh (Almatsier, 2001).



cii



Pada penelitian ini terlihat bahwa asupan Fe antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak ada perbedaan bermakna berdasarkan uji t-independen dimana p > 0,05.



Tingkat asupan Fe pada kelompok intervensi mengalami penurunan dan



sebaliknya pada kelompok kontrol rata-rata mengalami kenaikan. Pada kelompok intervensi rata-rata asupan Fe lansia sebesar 15,18 mg menurun menjadi 8,01 mg setelah diberikan intervensi selama 30 hari, sedangkan pada kelompok kontrol asupan Fe lansia sebesar 6,39 mg dan mengalami peningkatan menjadi 7,43 mg setelah 30 hari. Dengan menggunakan analisis paired t-test, diperoleh penurunan asupan Fe yang tidak bermakna pada kelompok intervensi sebesar 7,177 mg sedangkan pada kelompok kontrol mengalami peningkatan asupan Fe yang tidak bermakna sebesar 1,049 mg. Keseimbangan zat besi di dalam tubuh perlu dipertahankan yaitu jumlah zat besi yang dikeluarkan dari tubuh sama dengan jumlah zat besi yang diperoleh tubuh dari makanan. Bila zat besi dari makanan tidak mencukupi, maka dalam waktu lama akan mengakibatkan anemia. Sel-sel darah merah berumur 120 hari, jadi sesudah 120 hari selsel darah merah mati, dan diganti dengan yang baru. Proses penggantian sel darah merah dengan sel-sel darah merah baru disebut turn over (Husaini ,1989).



ciii



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.



Kesimpulan 1. Pemberian kapsul albumin ikan gabus selama 30 hari dapat meningkatkan kadar albumin darah lansia sebesar 1,79 mg/dl demikian pula pada kontrol 2. Pemberian kapsul albumin ikan gabus selama 30 hari tidak dapat meningkatkan berat badan lansia, dimana terjadi penurunan berat badan sebesar 1,058 kg. 3. Pemberian kapsul albumin ikan gabus selama 30 hari tidak dapat meningkatkan IMT lansia, dimana terjadi penurunan IMT sebesar 0,28. 4. Pemberian kapsul albumin ikan gabus selama 30 hari dapat meningkatkan asupan zat energi dan karbohidrat masing-masing sebesar 103,5 kal, dan 70,3 g. Berbeda dengan asupan protein dan lemak yang mengalami penurunan masingmasing sebesar 7,08 g dan 0,97 g.



civ



B.



Saran 1.



Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pemberian kapsul albumin ikan gabus diluar bulan puasa.



2.



Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melibatkan lansia yang tidak sedang



mengkonsumsi



suplemen



atau



obat



yang



mungkin



akan



mempengaruhi absorbsi kapsul albumin ikan gabus.



DAFTAR PUSTAKA



Alderson P, et al. Human albumin solution for resuscitation and volume expansion in critically ill patients. Cochrane Database Syst Rev 2002; 1:CD001208. Almatsier S. 2001. Prinsip-prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. Almatsier. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Almatsier, Sunita. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Puataka Utama. Jakarta. Anonimous. 2003. Gabus Temuan Sang Profesor. (http://www.gatra.com diakses 9 mei 2008). Arisman, MB, “ Gizi Dalam Daur Kehidupan “, Buku Ajar Ilmu Gizi Kedokteran, Jakarta, 2004. Arisman. 2004. Buku Ajar Ilmu Gizi; Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta, EGC. As’ad Suryani, 2001. Pengaruh Pemberian Zink terhadap Profil Sitokin dan Diare pada Anak Balita Gizi Buruk. Disertasi. Unhas, Makassar.



cv



Baime MJ, Nelson JB, Castell DO. Aging of the gastrointestinal system, In : Hazzard WR, Bierman EL, Blasss JP, Ettinger WH, Halter JB, eds, Principle of Geriatric Medicine and Gerontology, 2003. Bappenas, 2007. Jumlah Lansia 2025 Diproyeksikan 62,4 juta jiwa, Forum Jakarta untuk Perlindungan Lansia Digelar di Bappenas. http://www.bappenas.go.id Biro Pusat Statistik, 2000 Brocklehurst, JC & Allen, SC, 1987, Geriatric Medicine For Students, 3rd Ed. Churchiil & Livingstone. Brotowijoyo, M.D. 1995. Pengantar Lingkungan dan Budidaya Air. Liberty. Jogjakarta. Chaourdhy, Pan M, Karinch, Souba, 2006. Branched Amino Acid –Enriched nutritional Support in Surgical n cancer Patients, J Nutr. 136: 314SCharlton M, 2006. Branched-Chain Amino Acid Enriched Supplements as Terapy for liver Disease.J Nutr.136:314S-8S Cohen HJ, Crawford J. Hematologic Problems. In: Calkins E, Davis PJ, Ford AB,editors. The Practice of Geriatrics. Philadelphia: WB Saunders Company. 1986. p. 519–31 Daldiyono dan Thaha. 1998. Kapita Selekta Nutrisi Klinik. Perhimpunan Nutrisi Enteral dan Parenteral Indonesia. Jakarta. Darmojo, R.D dan Martono M.D, “Buku Ajar Geriatri, Edisi I”, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 1999. Darmojo R. B. . 2002. Teori Proses Menua. Dalam Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Balai Penerbit FKUI. Jakarta DB Reuben, et al. Correlates of hypoalbuminemia in community-dwelling older persons. American Journal of Clinical Nutrition, 1997. Departemen Kesehatan RI, “Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas kesehatan”, Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Jakarta, 1995. Depkes. 1995. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta, Depkes RI. Depkes. 1998. Pedoman pembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan; Materi Pembinaan. Jakarta, Depkes RI. Finelli C, et al. 2001. Use and Abuse of Albumin : A Survey of Clinical Records from An Internal Medicine Ward. Journal of Nutrition 21:183-5. Gibson S. 2005. Principles of Nutritional Assesment, Published by oxford University Prees. Inc.198 Madison Avenue. New York. Harjodisastro Daldiyono dkk ,2006 Dukungan Nutrisi pada Kasus Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI Jakarta. Harrison. 1999. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam; Ilmu Gizi dan Kebutuhan Gizi. Edisi 13. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.



cvi



Herawati I, Wahyuni, 2004, Perbedaan Pengaruh Senam Otak dan Senam Lansia Terhadap Keseimbangan Pada Orang Usia Lanjut. http://eprints.ums.ac.id/524/1/infokes_8_(1)_isnaeni.pdf. Hidayanti Healthy. 2006. Pengaruh Pemberian Kapsul Konsentrat Ikan Gabus Terhadap Kadar Albumin dan Proses Penyembuhan pada Pasien Pasca Bedah di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar. Tesis. Makassar. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Hill L Graham. 2000. Disorders of Nutrition and Metabolism in Clinical Surgery. University of Leeds. Consulting Surgeon, St Marks Hospital. London. Ismayadi,



2004. Proses Menua (Proses http://library.usu.ac.id/modules.php



Aging).



USU



digital



library.



Johanes, Cavalo. 1998. Studi Profil Asam Amino Albumin dan Mineral Zn pada Ikan Gabus (Ophicepalus striatus) dan Ikan Tomang. Fakultas Perikanan Unibraw. Malang. Julius.



2005. Metabolisme Protein pada Penyakit Hati. www.internafkunand.or.id/metabolisme%20albumin.htm, diakses 8 2008)



http:// maret



Kartasapoetra. 2005. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktifitas Kerja). Rineke Cipta. Jakarta. Kashmita et al., 1999. Hypoalbuminemia, What is Hypoalbuminemia?. Human Serum Albumin Research Kashima et al., Hypoalbuminemia, What is hypoalbuminemia. Kementrian



Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kedeputian Kesejahteraan Sosial, Lansia Masa Kini dan Mendatang. Jakarta.



I



BIdang



Khomsan A. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada. Kinsella, K & Tauber, 1993. An Aging World II. Washington DC : International Population Report. US, Bureau of The Census. Kirby, D.F., 2002. Low Serum Albumin and I Creased Risk of Mortality After Percueneous Endoscopic Gastrotomy. American Society For Parenteral & Enteral Nutrition (Abstract) Koswara Sutrisno, Menu Sehat Bagi Lansia. http://www.ebookpangan.com/ARTIKEL. Linder, M. C. 1985. Biokimia Nutrisi Dan Metabolisme. Diterjemahkan oleh Aminuddin Parakkasi. 1992. Jakarta : UI-Press. Mutiara Erna, 2003. Karakteristik Penduduk Lanjut Usia di Propinsi Sumatera Utara Tahun 1990. Digitized by USU digital library, Medan. Neligan, Patrick. 2001. Critical Care Medicine : Tutorial. University of Pennsylvania Notoatmojo, Soekidjo,Dr, “ Metodologi Penelitian Kesehatan “ Edisi Revisi Aneka Cipta, cetakan kedua, januari 2002, page :188. Nugroho, 2000, Keperawataan Gerontik. EGC, Jakarta



cvii



Nurhayati. 2005. Mental-Emosinal, Kemandirian, Pola Makan dan Status Gizi Usia Lanjut di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi Kecamatan Rappocini Kota Makassar. Skripsi. FKM Unhas. Prosiding. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Editor: Soekirman, dkk. Diterbitkan LIPI. Jakarta. Rahmi, 2008. Beberapa Perubahan Fisik Saat Usia Lanjut. http://www.halohalo.co.id Read M, Schlenker ED. Food selection patterms among the aged. In Schlenker ED. Nutrition in aging.2nd ed. 1993 Riza, 2008. Potensi Albumin dari Ikan Gabus. http://www.kompas.com. Rohmah W. 2002. Tua dan Proses Menua. Kumpulan makanan shortcourse "Asuhan Gizi Geriatri ". Yogyakarta, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat F Supariasa IDN, Bakri B, Fadjar I. 2002. Penilaiaan Status Gizi. Jakarta, ECG K UGM. Sadikin Mohammad, Biokimia Darah. Widya Medika, 2002 Sediaoetama, Achmad Djaeni. 1985. Il mu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa. Dian Rakyat. Jakarta. Sediaoetama. 2004. Ilmu Gizi. Jilid I. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta. Siburian



Pirma, 2007, Empat Belas http://www.waspada.co.id.



Masalah



Utama



pada



Lansia.



Sirat, A.M, dan Riyadina. W “Faktor-Faktor yang mempengaruhi Status Kesehatan Lanjut Usia, Majalah Kedokteran Indonesia,1998” Siswono. 2003. Ikan Tawar Kaya Protein dan Vitamin. (bin/berita/fullnew.cgi, diakses 6 September 2006). Stepanuk. 2000. Biochemical and Physiological Aspecs of Human Nutrition. Wb. Saunders company. Philadelphia. Pensylvania. Sung, Jin; Bochicchio, Grant V; Et al. Admission Serum Albumin Is Predicitve of Outcome in Critically Ill Trauma Patients. The American Surgeon. 2004 Supariasa, I. D. N. dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta. Syarfaini. 2007. Pengaruh Formula Biskuit Dengan Tambahan Tepung Ikan Gabus Terhadap Status Gizi Balita KEP Umur 12-36 Bulan Di Kelurahan Pannampu Kota Makassar. Tesis. Program Pascasarjana UNHAS. Taslim, N. A. dkk. 2005. Pembuatan Tepung Ikan Gabus sebagai Makanan Tambahan Sumber Albumin Dan Pemanfaatannya. Pusat Penelitian Pangan, Gizi Dan Kesehatan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Taslim, N. A. 2004. Penyuluhan Gizi, Pemberian Soy Protein Dan Perbaikan Status Gizi Penderita Tuberkulosis di Makassar. Jurnal Medika Nusantara. Vol. 25. No. 2. www.med.unhas.ac.id Diakses 24 Desember 2006.



cviii



Tirtawinata. 2006. Makanan dalam Perspektif Al-Quran dan Imu Gizi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Vincent Jean Louis.2003. Hipoalbumenia in Acute Ilneas is the Irationale for intervention Ann.Surg. 237 (3):319-334. Watik Pratiknya Ahmad, Dr “ Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran & kesehatan “ PT Raja Grafindo Persada, edisi ke 4, Jakarta 2001 Widjayakusumah Djauhari, Perubahan fisiologis pada usia lanjut dan berbagai masalahnya, Majalah Kedokteran Indonesia, 1992, 42 (9)



Lampiran 1. Kuesioner Pengumpulan Data Form Pengumpulan Data



PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP KADAR SERUM ALBUMIN DAN STATUS GIZI LANSIA DI PANTI WERDHA GAU MABAJI KABUPATEN GOWA SULAWESI SELATAN I.



Identitas Lansia Nama



:



Jenis Kelamin



:



Umur



:



Agama



:



Alamat



:



Pekerjaan



:



Status Perkawinan



L/P



:



cix



II.



Antropometri & Status Gizi No. 1. 2. 3. 4.



Parameter Berat Badan (Kg) Tinggi Badan/Tinggi Lutut (cm) IMT Albumin serum (g/dl)



Awal



Akhir



Lampiran 2. Formulir Food Recall 24 Jam



FORMULIR RECALL 24 JAM Waktu Dikonsumsi Makan Pagi



Jenis Makanan



Pengolahan/Cara masaknya



Jumlah (ukuran RT)



Jumlah (Gram)



Snack Makan Siang



Snack MakanMalam



cx



Sebelum Tidur



Lampiran 3. Pengukuran Berat Badan Berat badan saat ini diukur dengan timbangan injak digital yang sudah dikalibrasi. Tingkat ketelitian 0,1 kg. Caranya : (Hadju, 1997) a.



Tempatkan timbangan pada tempat yang rata.



b.



Subyek menggunakan pakaian biasa (menutup aurat). Isi kantong yang berat dapat dikeluarkan. Subyek tidak menggunakan sepatu/sandal dan kaus kaki.



c.



Subyek berdiri di atas timbangan dengan beratnya tersebar merata pada kedua kaki dan posisi kepala tegak lurus menghadap lurus ke depan.



d.



Kedua lengan tergantung bebas di samping badan dan telapak tangan menghadap kearah paha.



e.



Pengukur berdiri di belakang subyek dan mencatat hasil timbangan.



Lampiran 4. Pengukuran Tinggi Badan Tinggi badan diukur dengan microtoise, dengan ketelitian 0,1 cm. Caranya (Hadju, 1997) :



cxi



a.



Subyek dengan pakaian biasa dan tanpa sepatu/sandal dan kaus kaki.



b.



Subyek berdiri pada tempat yang rata dan tepat di bawah microtoise.



c.



Berat badan terdistribusi merata pada kedua kaki dan posisi kepala tegak lurus menghadap lurus ke depan.



d.



Tangan tergantung secara bebas pada kedua sisi badan dengan arah telapak tangan menghadap paha.



e.



Kedua tumit subyek berdekatan dan menyentuh dasar dari dinding vertikal bagian medial dari kaki membentuk sudut 60 derajat.



f.



Scapula dan bagian belakang (pantat) subyek menyentuh dinding vertikal.



g.



Perintahkan subyek untuk menarik nafas dan menahannya dalam posisi tegak tanpa merubah beban dari kedua tumit.



h.



Bagian microtoise yang dapat digerakkan dipindahkan sampai pada bagian paling atas dari kepala dengan sedikit menekan rambut.



i.



Pengukuran dilakukan sampai mendekati 0,1 cm.



Lampiran 5. Pengukuran Tinggi Lutut Tinggi lutut diukur dengan pita centimeter, Caranya sebagai berikut: Responden duduk di kursi yang rendah, menggunakan kaki kiri dam lutut ditekuk membentuk sudut 900.



Pita centimeter diletakkan dibagian atas kondilus tulang paha



anterior dan tepat bagian proksimal tulang patella kemudian ditarik sampai bawah tumit.



cxii



Lampiran 6. Inform concent 1.



Saya yang bertanda tangan di bawah ini setuju untuk berpartisipasi pada penelitian yang berjudul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Ikan Gabus Terhadap Kadar Albumin Serum Dan Status Gizi Lansia di Panti sosial Tresna Werdha Gau Mabaji Kabupaten Gowa”.



2.



Saya telah diberi penjelasan lengkap oleh sdr. Dian Cholika Hamal tentang tujuan dan manfaat penelitian ini.



3.



Saya diberi kesempatan untuk bertanya pada sdr. Dian Cholika Hamal tentang semua aspek penelitian ini dan saya mengerti mengenai semua keterangan yang diberikan.



4.



Saya setuju untuk memenuhi dan mematuhi serta melaksanakan dengan ikhlas instruksi yang diberikan.



5.



Saya diberi kesempatan dan kebebasan untuk menarik diri dari partisipasi penelitian ini setiap saat tanpa harus memberi penjelasan tentang pengunduran diri saya.



cxiii



Semua informasi yang Bapak/Ibu berikan kepada peneliti akan dijaga kerahasiaanya dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian ini.



Nama dan tanda tangan Peserta penelitian



Peneliti



tanggal



tanggal



cxiv