Diktat KHK Tugas Gereja Mengajar Dan Menguduskan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Buku III: Tugas Gereja Mengajar (Kan. 747-833)



A. Dasar-dasar teologis 1. Kewajiban dan hak Gereja terhadap kebenaran yang diwahyukan dan diberikan oleh Kristus kepadanya. Kan. 747 - § 1. Kepada Gereja dipercayakan oleh Kristus Tuhan khazanah iman agar Gereja dengan bantuan Roh Kudus menjaga tanpa cela kebenaran yang diwahyukan, menyelidikinya secara lebih mendalam, mewartakan dan menjelaskannya dengan setia; Gereja mempunyai tugas dan hak asli untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa, juga dengan alat-alat komunikasi sosial yang dimiliki Gereja sendiri, tanpa tergantung pada kekuasaan insani mana pun juga. § 2. Gereja berwenang untuk selalu dan di mana-mana memaklumkan prinsipprinsip moral, juga yang menyangkut tata-kemasyarakatan, dan untuk membawa suatu penilaian tentang segala hal-ikhwal insani, sejauh hak-hak asasi manusia atau keselamatan jiwa-jiwa menuntutnya. Kanon 747 memuat tiga prinsip menyangkut khazanah iman, prinsip-prinsip moral dan membawa suatu penilaian tentang segala hal insani. Gereja harus menjaga khazanah iman dengan menjaga tanpa cela kebenaran yang diwahyukan, menyelidikinya secara mendalam, yaitu mengupayakan pendalaman-pendalaman baru dan penerapan-penerapan baru pada waktu dan orang, mewartakan dan menjelaskannya dengan setia kepada semua bangsa. Kuasa Gereja ini satu dan berasal dari misi Kristus; Kristus memerintah para rasul untuk mewartakan Injil; para rasul digantikan oleh para uskup, yang dibantu oleh para imam. Perintah Yesus kepada rasul berlaku juga bagi Gereja. Gereja yang lahir dari pewartaan Kristus dan para rasul menjadi utusan Kristus untuk mewartakan. Elemen yuridis dari kanon 747 adalah: a) Hak-kewajiban Gereja untuk mewartakan Injil: kepada seluruh bangsa, tanpa tergantung dari kuasa manusiawi manapun, serta melalui alat-alat komunikasi sosial b) Tugas Gereja adalah: mewartakan selalu dan di manapun prinsip-prinsip 1



moral, juga yang menyangkut tata-kemasyarakatan, membawa suatu penilaian atas segala hal ihwal insani, sejauh hak-hak asasi manusia atau keselamatan jiwa-jiwa menuntutnya. Contoh: ensiklik-ensiklik Paus 2. Kewajiban dan hak semua orang untuk mencari dan menemukan kebenaran atas Allah Kan. 748 - § 1. Semua orang wajib mencari kebenaran dalam hal-hal yang menyangkut Allah dan Gereja-Nya, dan berdasarkan hukum ilahi mereka wajib dan berhak memeluk dan memelihara kebenaran yang mereka kenal. § 2. Tak seorang pun boleh memaksa orang untuk memeluk iman katolik melawan hati nuraninya. Kan. 748 ini a) Meneguhkan hak semua manusia untuk mencari kebenaran akan Allah dan atas Gereja dan ketika mengenalnya, berdasarkan hukum ilahi, memeluk dan memeliharanya b) Menetapkan bahwa tak seorang pun dapat dipaksa untuk memeluk iman katolik melawan hati nuraninya. Kebebasan beragama merupakan prinsip utama dan dasar semua kebebasan lainnya; c) Orang yang telah katolik mempunyai kewajiban, juga yuridis, untuk bertahan dalam iman itu. Orang yang murtad akan dihukum (bdk. kan. 1364). 3.



Ketidak-dapat-sesatan kuasa Mengajar Gereja



Kan. 749 - § 1. Berdasarkan jabatannya Paus memiliki ketidak-dapat-sesatan (infallibilitas) dalam Magisterium, apabila selaku Gembala dan Pengajar tertinggi seluruh kaum beriman, yang bertugas untuk meneguhkan iman saudara-saudaranya, memaklumkan secara definitif bahwa suatu ajaran di bidang iman atau di bidang moral harus diterima. § 2. Ketidak-dapat-sesatan dalam Magisterium dimiliki pula oleh Kolegium para Uskup, apabila para Uskup, tergabung dalam Konsili Ekumenis, melaksanakan tugas mengajar dan selaku pengajar dan hakim iman dan moral, menetapkan bagi seluruh Gereja bahwa suatu ajaran di bidang iman atau moral harus diterima secara definitif; ataupun apabila mereka, tersebar di seluruh dunia, namun memelihara ikatan persekutuan antara mereka dan dengan pengganti Petrus, mengajarkan secara otentik, bersama dengan Uskup Roma itu, 2



sesuatu dari iman atau dari moral dan mereka seia-sekata bahwa ajaran itu harus diterima secara definitif. § 3. Tiada satu ajaran pun dianggap sudah ditetapkan secara tak-dapat-sesat, kecuali hal itu nyata dengan pasti. Berdasarkan kanon 749 Paus mempunyai infallibilitas dalam hal ini a) Sebagai pengganti Petrus, dengan tugasnya untuk meneguhkan iman para saudara b) Ketika bertindak sebagai Gembala dan Pengajar tertinggi seluruh kaum beriman, bukan secara sederhana sebagai uskup kota Roma atau seorang teolog yang mengungkapkan pandangan pribadinya; c) Dan bersama menyatakan suatu ajaran harus diterima dengan ketaatan iman; d) Dan menyatakannya dengan tindakan resmi yang jelas Contohnya: dogma Maria dikandung tanpa noda dosa (1854) dan Diangkat ke Surga (1950). Kolegium para uskup memiliki infallibilitas dalam dua hal: a) Ketika uskup-uskup, bergabung dalam konsili ekumenis (bdk. kan. 336337), sebagai guru dan hakim iman dan moral, menyatakan untuk Gereja universal bahwa suatu kebenaran iman atau moral harus diterima secara definitif; b) Ketika para uskup, dalam kebersamaan di antara mereka dan Paus, meskipun tersebar di seluruh dunia, mengajarkan secara otentik sesuatu dari iman dan moral dan mereka seia-sekata bahwa ajaran itu harus diterima dengan pasti. Di sini perlu diperhatikan maksud untuk “diterima secara definitif” agar ajaran itu tak-dapat-sesat. “Nyata dengan pasti” berarti bahwa suatu ajaran dapat dianggap sebagai tak-dapat-sesat hanya jika dilakukan dengan cara jelas dan tidak meragukan. 4. Kebenaran yang menuntut ketaatan iman ilahi dan katolik Kan. 750 - § 1. Dengan sikap iman ilahi dan katolik harus diimani semuanya yang terkandung dalam sabda Allah, yang ditulis atau yang ditradisikan, yaitu dalam khazanah iman yang satu yang dipercayakan kepada Gereja, dan sekaligus sebagai yang diwahyukan Allah dikemukakan entah oleh Magisterium Gereja secara meriah, entah oleh Magisterium Gereja secara biasa dan umum; 3



adapun khazanah iman itu menjadi nyata dari kesepakatan orang-orang beriman kristiani di bawah bimbingan Magisterium yang suci; maka semua harus menghindari ajaran apapun yang bertentangan dengan itu. § 2. Dengan teguh harus juga dipeluk dan dipertahankan semua dan setiap hal yang menyangkut ajaran iman atau moral yang dikemukakan secara definitif oleh Magisterium Gereja, yaitu hal-hal yang dituntut untuk menjaga tanpa cela dan menerangkan dengan setia khazanah iman tersebut. Maka dari itu adalah melawan ajaran Gereja katolik orang yang menolak proposisi yang harus dipegang secara definitif tersebut. Dari pihak orang katolik dituntut dua konsekuensi bersifat yuridis-kanonis: a. Mereka terikat kewajiban dari suara hatinya untuk menghindari ajaran apapun yang bertentangan dengan kebenaran iman dan taat serta mengikutinya secara total dengan budi dan kehendak; b. Dengan menaati Magisterium Gereja yang tak-dapat-sesat, orang katolik ambil bagian dalam ketidak-dapat-sesatan ajaran itu Kanon ini menjelaskan obyek iman adalah kebenaran yang terkandung dalam Sabda Allah tertulis (Kitab Suci) dan Tradisi, yang diberikan kepada Gereja lewat: a. Ajaran meriah melalui Paus ketika berbicara dari Takhta (ex cathedra) (kan. 331), konsili ekumenis (kan. 337, § 1); tindakan para uskup yang tersebar di seluruh dunia, namun secara kolegial (kan. 337, § 2); b. Magisterium Gereja biasa dan universal 5.



Tingkatan penolakan dalam hal ketaatan iman



Kan. 751 - Yang disebut bidaah (heresis) ialah menyangkal atau meragukan dengan membandel suatu kebenaran yang harus diimani dengan sikap iman ilahi dan katolik sesudah penerimaan sakramen baptis; kemurtadan (apostasia) ialah menyangkal iman kristiani secara menyeluruh; skisma (schisma) ialah menolak ketaklukan kepada Paus atau persekutuan dengan anggota-anggota Gereja yang takluk kepadanya. Bidaah: menyangkal atau meragukan dengan membandel suatu kebenaran yang harus diimani dengan sikap iman ilahi dan katolik sesudah penerimaan sakramen baptis 4



Kemurtadan: menyangkal iman kristiani secara menyeluruh Skisma: ialah menolak ketaklukan kepada Paus atau persekutuan dengan anggota-anggota Gereja yang takluk kepadanya 6. Ketaatan religius intelektual dan kehendak dari pihak kaum beriman pada pengajaran otoritas tertinggi: paus dan kolegium para uskup Kan. 752 - Memang bukan persetujuan iman, melainkan ketaatan (obsequium) religius dari budi dan kehendak yang harus diberikan terhadap ajaran yang dinyatakan atau oleh Paus atau oleh Kolegium para Uskup mengenai iman atau moral, bila mereka menjalankan tugas mengajar yang otentik, meskipun tidak bermaksud untuk memaklumkannya secara definitif; maka umat beriman kristiani hendaknya berusaha menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran itu. 7.



Ketaatan religius kaum beriman atas pengajaran para uskup



Kan. 753 - Uskup-uskup yang berada dalam persekutuan dengan kepala dan anggota-anggota Kolegium, entah sendiri-sendiri entah tergabung dalam Konferensi para Uskup atau dalam konsili-konsili partikular, adalah guru dan pengajar otentik dari iman kaum beriman yang dipercayakan kepada reksa mereka, meskipun mereka tidak memiliki ketidak-dapat-sesatan dalam mengajar; orang beriman kristiani wajib menganut Magisterium yang otentik dari Uskup-uskup mereka dengan sikap ketaatan religius. 8. Kewajiban menepati konstitusi dan dekret yang dikeluarkan oleh otoritas gerejawi berwenang Kan. 754 - Semua orang beriman kristiani berkewajiban menepati konstitusikonstitusi dan dekret-dekret yang ditetapkan oleh kuasa Gereja yang legitim untuk mengemukakan suatu ajaran atau untuk menolak pendapat-pendapat yang sesat; tetapi secara khusus hal ini berlaku bagi ketetapan yang dikeluarkan oleh Paus atau Kolegium para Uskup. 9. Kewajiban otoritas gerejawi untuk memajukan dan memimpin gerakan ekumenis Kan. 755 - § 1. Seluruh Kolegium para Uskup dan Takhta Apostolik mempunyai tugas utama untuk memajukan dan membimbing gerakan ekumenis di kalangan umat katolik, yang tujuannya ialah pemulihan kesatuan antara 5



semua orang kristiani yang menurut kehendak Kristus harus diperjuangkan oleh Gereja. § 2. Demikian pula para Uskup dan, menurut norma hukum, konferensi para Uskup, wajib memperjuangkan kesatuan tersebut dan, sesuai dengan bermacammacam kebutuhan atau kesempatan, wajib memberikan norma-norma praktis dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas tertinggi Gereja. B. 1. 1.1



Pelayanan Sabda Allah secara umum Penanggung jawab pelayanan Sabda otoritas tertinggi



Kan. 756 - § 1. Sejauh menyangkut Gereja universal, tugas untuk memaklumkan Injil dipercayakan terutama kepada Paus dan kepada Kolegium para Uskup. 1.2



Para uskup



§ 2. Sejauh menyangkut Gereja partikular yang dipercayakan kepadanya, tugas itu dilaksanakan oleh masing-masing Uskup, sebab di sana mereka adalah pemimpin seluruh pelayanan sabda; tetapi adakalanya beberapa Uskup melaksanakan bersama-sama tugas itu secara serentak untuk beberapa Gereja yang berbeda-beda, menurut norma hukum.



1.3



Para imam



Kan. 757 - Tugas khas dari imam-imam yang adalah rekan kerja para Uskup ialah memaklumkan Injil Allah; terutama para pastor paroki dan mereka yang diserahi tugas reksa jiwa-jiwa, mempunyai kewajiban ini terhadap umat yang dipercayakan kepada mereka; juga para diakon, dalam persatuan dengan Uskup dan presbiteriumnya, harus mengabdi umat Allah dalam pelayanan sabda.



6



1.4



Para diakon



Kan. 757 - Tugas khas dari imam-imam yang adalah rekan kerja para Uskup ialah memaklumkan Injil Allah; terutama para pastor paroki dan mereka yang diserahi tugas reksa jiwa-jiwa, mempunyai kewajiban ini terhadap umat yang dipercayakan kepada mereka; juga para diakon, dalam persatuan dengan Uskup dan presbiteriumnya, harus mengabdi umat Allah dalam pelayanan sabda.



1.5



Anggota tarekat hidup bakti



Kan. 758 - Para anggota tarekat-tarekat hidup bakti, berdasarkan pembaktian khas dirinya kepada Allah, memberikan kesaksian secara khusus tentang Injil; mereka pun diikutsertakan sepantasnya oleh Uskup untuk membantu pemakluman Injil.



1.6



Awam



Kan. 759 - Kaum beriman kristiani awam, berkat sakramen baptis dan penguatan, adalah saksi-saksi warta injili dengan perkataan dan teladan hidup kristiani; mereka dapat dipanggil pula untuk bekerjasama dengan Uskup dan para imam dalam melaksanakan pelayanan sabda.



2.



Obyek pelayanan sabda



Kan. 760 - Dalam pelayanan sabda yang harus berdasarkan pada Kitab Suci, Tradisi, liturgi, Magisterium dan kehidupan Gereja, hendaknya misteri Kristus diwartakan secara utuh dan setia.



7



3.



Sarana-saran dalam pelayanan sabda



Kan. 761 - Hendaknya dipergunakan segala macam sarana yang tersedia untuk mewartakan ajaran kristiani, terutama khotbah serta pengajaran kateketik yang senantiasa menduduki tempat paling penting, tetapi juga penyampaian ajaran di sekolah-sekolah, di akademi-akademi, konferensi-konferensi dan semua jenis pertemuan; demikian pula penyebaran ajaran kristiani lewat pernyataanpernyataan publik yang dikeluarkan oleh otoritas yang legitim pada kesempatan pelbagai peristiwa, lewat pers dan sarana-sarana komunikasi sosial lainnya.



C. 1.



PEWARTAAN SABDA ALLAH Kewajiban umum untuk pewartaan



Kan. 762 - Oleh karena umat Allah dihimpun pertama-tama oleh sabda Allah yang hidup, yang sangat patut diperoleh dari mulut para imam, maka para pelayan rohani hendaknya menjunjung tinggi tugas mereka berkhotbah; dan memang di antara tugas-tugas mereka yang utama adalah mewartakan Injil Allah kepada semua orang.



2. 2.1



Kewajiban pewartaan secara khusus Para uskup



Kan. 763 - Para Uskup berhak untuk berkhotbah di mana-mana, tak terkecuali di dalam gereja dan ruang doa dari tarekat-tarekat religius bertingkat kepausan, kecuali Uskup setempat, dalam kasus-kasus khusus, melarangnya secara jelas.



2.2



Para imam dan diakon



Kan. 764 - Dengan tetap berlaku ketentuan kan.765, para imam dan diakon mempunyai kewenangan untuk berkhotbah di mana-mana dengan persetujuan, yang setidak-tidaknya diandaikan, dari rektor gereja, kecuali Ordinaris yang berwenang membatasi kewenangan itu atau malah mencabutnya, atau juga jika menurut undang-undang khusus diperlukan suatu izin yang jelas. 8



Kan. 765 - Untuk berkhotbah bagi religius di dalam gereja atau tempat doa mereka, dibutuhkan izin dari Pemimpin yang berwenang, menurut norma konstitusi.



2.3



Para awam



Kan. 766 - Kaum awam dapat diperkenankan untuk berkhotbah di dalam gereja atau ruang doa, jika dalam situasi tertentu kebutuhan menuntutnya atau dalam kasus-kasus khusus manfaat menganjurkannya demikian, menurut ketentuanketentuan Konferensi para Uskup dengan tetap mengindahkan kan. 767, § 1.



3.



Bentuk khusus pewartaan: homili



Kan. 767 - § 1. Di antara bentuk-bentuk khotbah, homililah yang paling unggul, yang adalah bagian dari liturgi itu sendiri dan direservasi bagi imam atau diakon; dalam homili itu hendaknya dijelaskan misteri-misteri iman dan normanorma hidup kristiani, dari teks suci sepanjang tahun liturgi. § 2. Dalam semua Misa pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya wajib yang dirayakan oleh kumpulan umat, homili harus diadakan dan tak dapat ditiadakan, kecuali ada alasan yang berat. § 3. Jika cukup banyak umat berkumpul, sangat dianjurkan agar diadakan homili, juga pada perayaan Misa harian, terutama pada masa adven dan prapaskah atau pula pada kesempatan suatu pesta atau peristiwa duka. § 4. Pastor paroki atau rektor gereja wajib mengusahakan agar ketentuanketentuan ini ditepati dengan seksama.



4.



Isi dan gaya pewartaan



Kan. 768 - § 1. Hendaknya para bentara sabda Allah terutama menyajikan kepada umat beriman kristiani apa yang harus mereka imani dan lakukan demi kemuliaan Allah dan demi keselamatan manusia. § 2. Hendaknya mereka juga menyampaikan kepada kaum beriman ajaran yang diajukan oleh Magisterium Gereja tentang martabat dan kebebasan pribadi 9



manusia, tentang kesatuan dan kemantapan keluarga serta tugas-tugasnya, tentang kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan manusia sebagai anggota masyarakat dan pula tentang hal-hal keduniaan yang harus diatur menurut tatanan yang ditetapkan oleh Allah.



5.



Pewartaan luar biasa



Kan. 769 - Hendaknya ajaran kristiani disajikan dengan cara yang cocok dengan keadaan para pendengar dan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman. Kan. 770 - Hendaknya para pastor paroki pada waktu-waktu tertentu, menurut ketentuan-ketentuan Uskup diosesan, menyelenggarakan pewartaan yang disebut latihan rohani dan retret umat (sacrae missiones), atau bentuk-bentuk lain yang sesuai dengan kebutuhan. 6.



Pewartaan kepada kelompok khusus



Kan. 771 - § 1. Hendaknya para gembala jiwa, terutama para Uskup dan pastor paroki, memperhatikan agar sabda Allah juga diwartakan kepada orang-orang beriman yang oleh karena keadaan hidup mereka, tidak cukup menikmati pelayanan pastoral umum dan biasa atau malahan sama sekali tidak menikmatinya. § 2. Hendaknya mereka juga berusaha agar warta Injil menjangkau orang-orang tak beriman yang tinggal di daerah itu, karena memang reksa jiwa-jiwa harus meliputi juga mereka yang tidak beriman, sama seperti kaum beriman.



7.



Pedoman khusus dari uskup diosesan



Kan. 772 - § 1. Mengenai pelaksanaan pewartaan itu, selain ketentuanketentuan di atas, norma-norma yang dikeluarkan oleh Uskup diosesan harus diindahkan oleh semua. § 2. Untuk menyampaikan pembahasan tentang ajaran kristiani lewat siaran radio atau televisi hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Konferensi para Uskup. 10



D.



PENGAJARAN KATEKETIK



Kata katekese berasal dari bahasa latin catechesis, dari bahasa Yunani: katēkhēsis, turunan dari katēkhéō, artinya: saya mengajar dengan suara. Katekese adalah pengajaran iman kristiani. 1.



Penanggung jawab katekese secara umum



Kan. 773 - Menjadi tugas khusus dan berat, terutama bagi para gembala jiwajiwa, untuk mengusahakan katekese umat kristiani agar iman kaum beriman melalui pengajaran agama dan melalui pengalaman kehidupan kristiani, menjadi hidup, berkembang, serta penuh daya. Katekese Paus setiap hari Rabu siang waktu Italia (17.00 atau 18.00 WIB). Kan. 774 - § 1. Perhatian terhadap katekese, dibawah bimbingan otoritas gerejawi yang legitim, menjadi kewajiban dari semua anggota Gereja, masingmasing sesuai dengan perannya. § 2. Melebihi semua yang lain, orangtua wajib untuk membina anak-anak mereka dalam iman dan dalam praktek kehidupan kristiani, baik lewat perkataan maupun teladan hidup mereka; demikian pula terikat kewajiban yang sama mereka yang menggantikan orangtua dan para wali baptis.



2.



Penanggung jawab katekese secara khusus



2.1



Uskup diosesan



Kan. 775 - § 1. Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dari Takhta Apostolik, Uskup diosesan bertugas menerbitkan norma-norma mengenai katekese, demikian pula mengusahakan agar tersedia sarana-sarana kateketik yang sesuai, juga dengan mempersiapkan katekismus, jika dianggap tepat, serta mendorong dan melakukan koordinasi atas prakarsa-prakarsa di bidang kateketik. Komisi kateketik Keuskupan. Katekismus bahasa daerah: 100 Sungkunsungkun agama Katolik.



11



2.2



Konferensi waligereja



kan. 775 - § 2. Adalah tugas Konferensi para Uskup mengusahakan, jika dianggap berguna, agar diterbitkan buku-buku katekismus bagi wilayah yang bersangkutan, setelah memperoleh aprobasi dari Takhta Apostolik. § 3. Pada Konferensi para Uskup dapat didirikan suatu lembaga kateketik dengan tugas utama memberi bantuan kepada masing-masing keuskupan di bidang kateketik. Ketua: Mgr. Paulinus Yan Olla, MSF Sekretaris Eksekutif: RD Fransiskus Emanuel Da Santo Komisi Kateketik KWI bekerja sama dengan Penerbit PT Kanisius Yogyakarta, menyusun buku Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti ini mulai dari Kelas 1 SD sampai dengan kelas 12 SMA, baik buku Guru maupun buku Siswa dengan sub judul masing sesuai jenjang pendidikan. Buku SD bersub judul “Belajar Mengenal Yesus. Buku SMP, “Belajar Mengikuti Yesus”. Buku SMA bersub judul “Diutus sebagai Murid Yesus”. Sejumlah buku katekismus diterbitkan: Iman Katolik. Buku Informasi dan Referensi Katekismus Gereja Katolik 2.3



Pastor paroki



Kan. 776 – Pastor paroki, berdasarkan jabatannya, harus mengusahakan pembinaan kateketik orang-orang dewasa, orang muda dan anak-anak; untuk tujuan itu hendaknya ia mempergunakan bantuan para klerikus yang diperbantukan kepada paroki, para anggota tarekat hidup bakti dan serikat hidup kerasulan, dengan memperhitungkan ciri khas masing-masing tarekat, serta orang-orang beriman kristiani awam, terutama para katekis; mereka itu semua hendaknya bersedia dengan senang hati memberikan bantuannya, kecuali secara legitim terhalang. Hendaknya pastor paroki mendorong dan memupuk tugas orangtua dalam katekese keluarga yang disebut dalam kan. 774, § 2. Kan. 777 - Dengan tetap memperhatikan norma-norma yang ditetapkan oleh 12



Uskup diosesan, secara khusus hendaknya pastor paroki berusaha: 10 supaya diberikan katekese yang sesuai untuk perayaan sakramen-sakramen; 20 supaya anak-anak, dengan pengajaran kateketik selama waktu yang cukup, disiapkan dengan pantas untuk penerimaan pertama sakramen-sakramen tobat dan Ekaristi mahakudus serta untuk penerimaan sakramen penguatan; 30 supaya anak-anak itu, sesudah penerimaan komuni pertama, ditumbuhkembangkan dengan pengajaran kateketik yang lebih melimpah dan mendalam; 40 supaya pengajaran kateketik diberikan pula kepada mereka yang menyandang cacat fisik atau mental, sejauh keadaan mereka mengizinkannya; 50 supaya iman kaum muda dan kaum dewasa diteguhkan, diterangi dan diperkembangkan dengan bermacam-macam bentuk dan prakarsa.



2.4



Superior religius



Kan. 778 - Hendaknya pemimpin-pemimpin religius dan serikat hidup kerasulan berusaha agar di dalam gereja mereka sendiri, di sekolah atau karyakarya lain yang dengan salah satu cara dipercayakan kepada mereka, diberikan pengajaran kateketik dengan rajin.



3.



Orang-orang menjadi sasaran katekese



4.



Sarana-sarana teknis untuk pengajaran kateketik



Kan. 779 - Hendaknya pengajaran kateketik diberikan dengan mempergunakan segala bantuan, sarana didaktis dan alat-alat komunikasi sosial yang dipandang lebih efektif, agar kaum beriman, mengingat sifat, kemampuan, umur dan keadaan hidupnya, dapat mempelajari ajaran katolik dengan lebih lengkap dan dapat mempraktekkannya dengan lebih tepat.



5.



Persiapan para katekis 13



Kan. 780 - Hendaknya para Ordinaris wilayah berusaha agar para katekis disiapkan dengan semestinya untuk dapat melaksanakan tugas mereka dengan sebaik-baiknya, yakni supaya dengan diberikan pembinaan yang terus-menerus mereka memahami dengan baik ajaran Gereja dan mempelajari secara teoretis dan praktis norma-norma yang khas untuk ilmu-ilmu pendidikan. Semua norma yang digariskan dalam kanon-kanon saat ini akan menjadi sia-sia jikalau para katekis tidak dipersiapkan dengan baik. Kanon ini menekankan betapa petingnya peran setiap ordinaris wilayah, sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab lebih besar perihal katekese di Gereja partikular. Ada perbedaan arti “katekis” dalam kanon ini dengan arti katekis dalam kanon 785. 1. Kan. 780 tidak mempunyai kanon yang sejajar dengan KHK 17; sumber dari kanon ini adalah dekret konsili vatikan Christus Dominus 14; yang memantulkan gema Catechesi tradendae, 71; di sini referensi adalah hidup biasa dalam Gereja yang telah terbentuk; dibicarakan di sini tentang katekis dalam arti luas, bukan katekis yang bekerja penuh waktu 2. Kan. 785 mempunyai sumber langsung yang utama Ad Gentes 17; dibicarakan di sini Gereja di daerah misi; ditegaskan di sini bahwa para katekis seharusnya menerima suatu pengutusan kanonik dengan sebuah perayaan liturgi publik; mereka haruslah bekerja penuh waktu dan mendapat upah Ordinaris wilayah harus menyelenggarakan bahwa para katekis mempunyai rangkaian pembinaan awal yang membuat mereka mampu memenuhi tugas mereka. Persiapan demikian mengarah bahwa katekis: 1. Mengenal doktrin Gereja dengan cara memadai pada lingkungan dan budaya kaum beriman yang hendak diajari; 2. Mengetahui teori dan praktek pedagogis. Kepada para katekis harus disediakan pembinaan permanen, yang memungkinkan penyegaran berkelanjutan dalam pendalaman doktrinal, atas metode-metode pengajaran, pemakaian instrumen yang diberikan oleh dunia teknik, yang memperkaya secara spiritual, dengan demikian mereka dapat memberikan, dengan pengajaran teoretis yang benar, juga kesaksian iman, yang bersatu dengan contoh otentik hidup kristiani dan kerelaan berkurban. Kewajiban ordinaris wilayah juga sejalan dengan hak kaum awam untuk memperoleh pengetahuan perlu akan doktrin kristiani yang harus mereka hidupi 14



dan wartakan, khususnya jika mereka dihunjuk secara permanen pada tugas tertentu. E.



KEGIATAN MISIONER GEREJA



Karakter kegiatan misioner Gereja adalah: a. Sasaran adalah bangsa-bangsa dan grup-grup yang masih belum percaya kepada Kristus, di daerah di mana Gereja belum berdiri secara kokoh, belum memiliki akar; b. Isi dari pewartaan adalah pewartaan Injil untuk pertama kali, tentang Kristus yang diutus Bapa untuk keselamatan dunia; c. Tujuannya adalah agar Gereja baru kiranya didirikan secara penuh, yakni dipenuhi oleh daya dan sarana memadai untuk mampu memenuhi dari dirinya karya evangelisasi.



1.



Kewajiban fundamental Umat Allah



kan. 781 - Karena seluruh Gereja dari hakikatnya misioner dan karya evangelisasi harus dipandang sebagai tugas pokok dari umat Allah, maka hendaknya semua orang beriman kristiani, sadar akan tanggungjawabnya sendiri, mengambil bagian dalam karya misioner itu. Tugas misioner secara benar disebut oleh kanon ini sebagai kewajiban dasar bagi seluruh kaum beriman dalam Gereja. Juga dalam kan. 211 disebut bahwa merupakan salah satu hak dan kewajiban setiap orang beriman untuk mengusahakan agar pewartaan ilahi tentang keselamatan kiranya disebarkan ke seluruh umat manusia dalam setiap masa dan tempat. Dalam kanon ini tugas ini diingatkan kembali untuk mengantar kanon-kanon mengenai karya misioner dan meneguhkan kewajiban moral yang diemban oleh semua kaum beriman sebagai pekerjaannya dan sadar akan tanggung jawab tersebut. Yang dimaksud dengan kaum beriman adalah paus, para uskup, masing-masing umat beriman, baik klerikus maupun awam. Bagi para gembala tugas ini berasal dari tahbisan suci dan tugas eksplisit dari Kristus: “Pergilah... wartdakanlah (Mat 28 19); bagi awam tugas ini berasal dari penerimaan sakramen baptisan dan krisma. Masing-masing harus mewujudkan kewajiban dasariah ini menrut perannya masing-masing.



15



2. 2.1



Tanggung jawab khusus Paus dan dewan para uskup



Kan. 782 - § 1. Kepemimpinan tertinggi dan koordinasi dari prakarsa dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan karya misi dan kerjasama misioner adalah wewenang Paus dan Kolegium para Uskup. Pada tangan paus dan kolegium para uskup, sebagai penanggung jawab utama dalam hidup Gereja dan evangelisasi dunia, terletak tanggung jawa terbesar dalam kegiatan misioner, yakni sebagai “Kepemimpinan tertinggi dan koordinasi dari prakarsa dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan karya misi dan kerjasama misioner”. Apa alasannya? Paus adalah subyek utama dan promotor pertama dari seluruh kegiatan pastoral yang menyangkut organisasi dan perkembangan kerasulan dari negara-negara misi, dan kerjasama misioner yang berlangsung di negara-negara kristiani. Kolegium para uskup berperan khususnya dalam kasus luar biasa. Secara biasa, semua hal ini berada dalam diri Paus. Baginya sembagai suatu sarana berperan Kongregasi untuk Evangelisasi para bangsa, yang bertugas untuk memimpin dan mengkoordinasi di seluruh dunia karya evangelisasi, kecuali di wilayah yang di bawah wewenang kongregasi untuk Gereja Timur (bdk. Pastor Bonus no. 85). Oleh karena itu kongregasi ini memajukan penelitian-penelitian berkarakter teologis, spiritualitas, pastoral misioner dan menunjukkan garisgaris tindakan. Kongregasi ini berusaha untuk meluaskan panggilan misioner dalam umat Allah dan meningkatkan panggilan misioner, termasuk membentuk klerus sekuler (keuskupan) dan katekis dalam wilayah kerja mereka. Congregation for the Evangelization of Peoples, Guide for Catechists. Document of vocational, formative and promotional orientation of Catechists in the territories dependenton the Congregation for the Evangelization of Peoples, 1993. Congregation for the Evangelization of Peoples, Pastoral Guide for Diocesan Priests in Churches Dependent on the Congregation for the Evangelization of Peoples, Rome, June 1989 2.2



Para uskup



§ 2. Setiap Uskup, selaku penanggungjawab atas Gereja universal dan semua Gereja, hendaknya menaruh perhatian khusus terhadap karya misi, terutama dengan membangkitkan, memupuk dan mendukung prakarsa-prakarsa misioner 16



dalam Gereja partikularnya sendiri. Dasar dari tanggung jawab para uskup bagi karya misioner terletak pada prinsip bahwa mereka adalah penjamin Gereja semesta dan masing-masing Gereja partikular. Ketika berbicara tentang uskup sebagai kepala Gereja lokal, masingmasing uskup tidak boleh dianggap sebagai penanggung jawwab dari suatu bagian Gereja yang terpisah sama sekali (bdk. Ad gentes 38). Dengan menajdi penanggung jawab dari suatu Gereja lokal, uskup memerintah Gereja itu sebagai bagian dari Gereja universal dan dalam persekutuan dengan Gerejagereja partikular lainnya, termasuk yang masih dalam pembentukan (bdk. kan. 368). Persekutuan ini mencakup tawaran bantuan, sikap berbagi inisiatif dan permasalahan di seluruh Gereja lokal. Wujud dari gerakan memajukan karya misioner itu adalah membangkitkan, memupuk dan mendukung inisiatif-inisiatif misioner. Tidak tertutup kemungkinan bahwa para uskup dapat bertindak dalam konferensi para uskup. KHK 1983 berbicara tentang hal ini dalam hal menerima dan membantu orangorang yang datang dari daerah misi demi tugas belajar atau pekerjaan. 2.3



Anggota tarekat hidup bakti



Kan. 783 - Anggota-anggota tarekat hidup bakti, karena mempersembahkan diri bagi pelayanan Gereja berdasarkan pembaktian dirinya, wajib berkarya secara khusus dalam kegiatan misioner, dengan cara yang khas bagi tarekat mereka sendiri. Kelompok lain yang mempunyai kewajiban khusus memberikan karya misioner adalah anggota tarekat hidup bakti. Istilah tarekat hidup bakti mencakup anggota tarekat religius dan tarekat sekular. Dalam arti luas hidup eremit atau anakoret dan para perawan adalah bentuk hidup di samping tarekat hidup bakti; dengan kata lain, mereka ini secara yuridis termasuk bagian tarekat hidup bakti dalam arti luas (bdk. kann. 603 dan 604). 3.



Penunjukan para misionaris



Kan. 784 - Para misionaris, sebagai yang diutus oleh otoritas gerejawi yang berwenang untuk melaksanakan karya misi, dapat dipilih baik putra daerah maupun bukan, entah klerikus sekular, entah anggota tarekat hidup bakti atau serikat hidup kerasulan, entah umat beriman kristiani awam lain. Para misionaris, dalam arti sempit dan sebenarnya, adalah mereka yang diutus 17



oleh otoritas gerejawi yang berwenang untuk melaksanakan karya misi. Sementara konsep tradisional tentang misionaris adalah imam dari negara kristiani yang diutus ke negara lain di mana kekristenan belum tertanam atau sedang berada dalam pembentukannya. Oleh karena itu dapatlah diutus misionaris: penduduk asli sendiri; orang asing; klerikus sekular; anggota tarekat hidup bakti dan serikat karya kerasulan (klerikus, awam, laki-laki, wanita); kaum awam. Agar dapat diutus sebagai misionaris, orang kiranya memiliki elemen-elemen berikut: a. b.



Syarat pertama, bahwa memiliki panggilan khusus (bdk. AG 23)



Kan. 785 - § 1. Dalam menjalankan karya misi hendaknya diikutsertakan katekis-katekis, yakni umat beriman kristiani awam yang dibekali dengan semestinya dan unggul dalam kehidupan kristiani; di bawah bimbingan seorang misionaris, mereka itu membaktikan diri bagi ajaran injil yang harus diwartakan dan bagi perayaan-perayaan liturgi serta karya amalkasih yang harus diatur. § 2. Hendaknya katekis-katekis dibina di sekolah-sekolah untuk maksud tersebut atau, kalau tidak ada, dibimbing oleh para misionaris. Kan. 786 - Kegiatan khas misioner untuk menanamkan Gereja di tengah-tengah bangsa atau kelompok dimana Gereja belum berakar, dilaksanakan oleh Gereja terutama dengan mengutus bentara-bentara Injil sampai Gereja-gereja muda itu tumbuh dewasa, yakni memiliki tenaga sendiri dan sarana cukup yang diperlukan untuk dapat meneruskan sendiri karya evangelisasi. Kan. 787 - § 1. Hendaknya para misionaris dengan kesaksian hidup dan perkataan mengadakan suatu dialog yang tulus dengan mereka yang belum percaya akan Kristus agar terbukalah bagi mereka jalan untuk mengenal warta injili dengan cara yang cocok dengan watak dan budaya mereka. § 2. Hendaknya para misionaris berusaha agar orang-orang yang mereka nilai siap menerima pewartaan injil mendapat pelajaran mengenai kebenarankebenaran iman sedemikian sehingga mereka dapat diterima untuk dibaptis jika mereka memintanya dengan bebas. 4. 5.



Penerimaan para katekis Karakter dinamis kegiatan misioner 18



6. 6.1 6.2 6.3 7.



Metode misioner Pertemuan pertama dengan orang yang tak beriman Perjalanan katekumen Pendampingan orang orang baru lahir wewenang dalam daerah misi



Kan. 788 - § 1. Mereka yang telah menyatakan kemauan untuk memeluk iman akan Kristus, setelah menyelesaikan masa prakatekumenat, diterima ke dalam katekumenat dengan upacara liturgi; dan nama mereka hendaknya dicatat dalam buku yang dimaksudkan untuk itu. § 2. Para katekumen, melalui pengajaran dan masa percobaan hidup kristiani, hendaknya diperkenalkan dengan tepat kepada misteri keselamatan serta diantar masuk ke dalam kehidupan iman, liturgi dan cinta kasih umat Allah serta hidup kerasulan. § 3. Konferensi para Uskup bertugas untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan tentang katekumenat, dengan menentukan apa yang harus dilaksanakan oleh para katekumen dan merumuskan hak-hak istimewa yang diakui bagi mereka. Kan. 789 - Hendaknya orang yang baru dibaptis dibina agar mereka melalui suatu pengajaran yang tepat dapat semakin mengenali kebenaran injili dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diterima dalam baptis; hendaknya mereka diresapi dengan cinta sejati terhadap Kristus dan Gereja-Nya.



8. Sistem yuridis penyerahan misi 8.1 Sistem Commissionis Sampai tahun 1969 berkaitan dengan pengelolaan misi berlaku sistem commissionis. Dengan sistem ini Takhta Suci, melalui KOngregasi untuk Evangelisasi para Bangsa, menyerahakan kepada tarekat religius tertentu, atau serikat hidup kerasulan, suatu wilayah dengan membangun suatu prefektur apostolik, vikariat apostolik atau missio sui iuris. Menunjuk pemimpin wilayah itu dengan pengajuan daftar nama dari pemimpin umumnya. Ius commissionis ini berakhir dengan pendirian daerah misi menjadi sebuah keuskupan. Takta suci mempercayakan suatu daerah misi kepada suatu tarekat religius Tarekat menerimanya, lalu wajib mengirim tenaga misionaris yang 19



dibutuhkan dan menyediakan semua kebutuhannya Takhta Suci umunya tidak mengirim tarekat klerikal lainnya ke daerah itu. Tetapi dapat mengirim tenaga religius wanita, religius pria sebagai rekan kerja Pemimpin gerejawi dipilih dari antara anggota tarekat 8.2 Sistem mandatum Adalah sistem baru yang menggantikan sistem commissionis. Bentuk sistem ini adalah kerja sama antara tarekat dan uskup daerah misi. Suatu tarekat religius dapat bekerja sama dengan uskup diosesan dari daerah misi Mandat diawali dengan permintaan uskup misi Semua tarekat religius atau serikah hidup kerasulan dapat amenerima mandat Tarekat ini dan Ordinaris misi membuat kesepakatan tertulis: karya, jumlah tenaga, ekonomi. 9. Kerja sama misioner 9.1 Tingkat keuskupan 9.2 Tingkat konferensi waligereja Kan. 790 - § 1. Uskup diosesan di daerah misi bertugas untuk: 10 memajukan, memimpin dan mengkoordinasi prakarsa dan karya yang berhubungan dengan kegiatan misioner; 20 berusaha agar diadakan perjanjian-perjanjian yang perlu dengan Pemimpinpemimpin lembaga yang membaktikan diri bagi karya misioner dan agar hubungan-hubungan dengan mereka menguntungkan misi. § 2. Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Uskup diosesan, sebagaimana disebut dalam § 1, 10, haruslah ditaati oleh semua misionaris, juga para religius beserta pembantu-pembantu mereka yang tinggal dalam daerah Uskup itu. Kan. 791 - Di setiap keuskupan, untuk memajukan kerja-sama misioner: 10 hendaknya dipromosikan panggilan-panggilan misioner; 20 hendaknya ditugaskan seorang imam untuk memajukan secara efektif prakarsa-prakarsa untuk misi, terutama Karya Misi Kepausan; 30 hendaknya setiap tahun dirayakan hari misi; 20



40 hendaknya setiap tahun bagi misi diberikan suatu sumbangan (stips) yang layak yang harus dikirimkan kepada Takhta Suci.



KARYA MISI KEPAUSAN THE PONTIFICAL MISSION WORKS



Karya Misi Kepausan (The Pontifical Mission Works) atau juga disebut Serikat Misi Kepausan (The Pontifical Mission Societies) atau lebih dikenal dengan istilah yang lebih singkat Karya Kepausan adalah sebuah lembaga yang membantu tugas Bapa Paus yang secara struktural berada di bawah Kongregasi Suci untuk Penginjilan (Evangelisasi) Bangsa-bangsa (Sacred Congregation for Evangelization of Peoples). Prefek Kongregasi Suci untuk Penginjilan Bangsa-bangsa saat ini adalah His Eminence Kardinal Fernando Filoni; sedangkan Presiden untuk Karya Kepausan saat ini adalah His Excellency Mgr. Protase Rugambwa. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, Presiden Karya Kepausan dibantu oleh empat (4) Sekretaris Jenderal yang membawahi empat Serikat Kepausan yang ada di bawah tanggungjawabnya masing-masing. Empat Serikat Kepausan tersebut adalah: 1. Serikat Kepausan untuk Pengembangan Iman (The Pontifical Society for the Propagation of Faith). Serikat ini didirikan oleh: Pauline Marie Jaricot (1799-1862), pada tanggal 3 Mei 1822. Sekretaris Jenderal Serikat Kepausan untuk Pengembangan Iman saat ini adalah : Msgr. Timothy Lahane, SVD 2. Serikat Kepausan St. Petrus Rasul untuk Pengembangan Panggilan (The Pontifical Society of St. Peter Apostle). Serikat ini didirikan oleh seorang ibu bersama putrinya, Stephanie dan Jeanne Bigard (1859-1934), pada tahun 1889. Sekretaris Jenderal Serikat Kepausan St. Petrus Rasul saat ini adalah : Msgr. Jan Dumon 3. Serikat Kepausan Anak/Remaja Misioner (The Pontifical Society of The Holy Childhood) didirikan oleh Mgr. Charles de Forbin Janson (1785-1844), pada tanggal 19 Mei 1843. Sekretaris Jenderal Serikat Kepausan Anak/Remaja Misioner saat ini adalah: Miss. Dr. Baptistine Joanne Ralamboarison 21



4. Serikat Kepausan Persekutuan Misioner untuk Imam, Religius dan Awam (The Pontifical Missionary Union for Priest, Religious and Laity), didirikan oleh: Beato Paolo Manna, PIME (1872-1952), pada tahun 1916. Sekretaris Jenderal Serikat Kepausan Persekutuan Misioner untuk Imam, Religius dan Awam saat ini adalah: Mgr. Vito del Prete, PIME. Tiga serikat yang pertama yaitu Serikat Kepausan untuk Pengembangan Iman, Serikat Kepausan St. Petrus Rasul untuk Pengembangan Panggilan dan Serikat Kepausan Anak/Remaja Misioner mendapat status kepausan pada tanggal 3 Mei 1922, sementara Serikat Kepausan Persekutuan Misioner untuk Imam/Religius/Awam baru mendapat status kepausan pada tanggal 28 Oktober 1956. Dengan penganugerahan status tingkat kepausan berarti telah mengangkat status serikat-serikat itu dari serikat lokal menjadi serikat yang bersifat mondial atau internasional langsung di bawah kewenangan (yurisdiksi) Bapa Paus. Tujuan keempat serikat ini secara umum adalah untuk membangkitkan kesadaran dan tanggung jawab misioner dalam hati setiap umat Katolik yang terbaptis, sehingga seluruh umat Allah memiliki kepekaan dan tanggungjawab terhadap tugas karya perutusan Gereja secara universal. Di setiap negara atau gabungan beberapa negara, terdapat Biro Nasional Karya Kepausan yang menjalankan fungsinya untuk pengembangan karya-karya misi Gereja universal di setiap negara atau gabungan beberapa negara tersebut. Dan setiap Biro Nasional Karya Kepausan dipimpin oleh seorang Direktur Nasional (Dirnas). Khusus untuk negara Indonesia: Karya Kepausan di Indonesia baru mulai hadir setelah Perang Dunia I, tepatnya pada tahun 1919. Pada saat itu Indonesia masih berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda (Nederlands Indie) sehingga Karya Kepausan Indonesia (KKI) masih di bawah koordinasi Karya Kepausan Negeri Belanda. Selama kurang lebih lima dasawarsa, Karya Kepausan Indonesia (KKI) tidak dapat berkembang dengan baik antara lain karena pada saat itu Indonesia masih dalam masa penjajahan Belanda, yang kemudian dilanjutkan oleh penjajahan Jepang. Dengan demikian perhatian Gereja (dan bangsa Indonesia) pada masa itu lebih terfokus pada perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan. Bahkan setelah kemerdekaan-pun, perhatian Gereja (dan bangsa Indonesia) masih difokuskan pada usaha pemulihan dan pembenahan keadaan dalam negeri yang serba memprihatinkan. 22



Baru pada tahun 1970-an, boleh dikatakan bahwa Karya Kepausan Indonesia (KKI) mulai bangkit dan mendirikan kantor pusat di Jakarta dengan nama Biro Nasional Karya Kepausan Indonesia. Dalam hubungan dengan dunia Internasional, kantor pusat ini disebut The National Office of The Pontifical Mission Societies of Indonesia. Dalam sidang MAWI (sekarang KWI) tanggal 22 November – 4 Desember 1971, para Uskup Indonesia telah mengakui keberadaan dan peran penting Karya Kepausan Indonesia (KKI) dalam mengemban tugas untuk membangkitkan kesadaran dan tanggung-jawab misioner di dalam hati seluruh umat Katolik Indonesia. Sejak itu Karya Kepausan Indonesia mulai diperkenalkan di keuskupan-keuskupan seluruh Indonesia. Para Direktur Nasional yang pernah memimpin Karya Kepausan Indonesia adalah : 1.



R.P. H. Bastiaanse, SJ ( … – 3 Juni 1971)



2.



R.P. Diaz Viera, SVD (1972 – 1982)



3.



R.P. Theo Tidja Balela, SVD (1984 – 1993)



4.



R.D. Petrus Turang (1993 – 1998)



5.



R.D. Th. Terry Ponomban (1998 – 2003)



6.



R.P. Patrisius Pa, SVD (2003 – 2009)



7.



R.P. Romanus E. Harjito, O.Carm (2009 – 2014)



8.



RD. Markus Nur Widipranoto (2014 -…)



Di setiap Gereja lokal atau keuskupan, diangkat seorang pejabat Direktur Diosesan (Dirdios) KKI yang menjalankan fungsi-fungsi Karya Kepausan Indonesia. Berikut ini adalah para pejabat KKI baik sebagai Direktur Nasional (Dirnas) maupun sebagai Direktur Diosesan (Dirdios) Karya Kepausan Indonesia: Kan. 792 - Konferensi para Uskup hendaknya mendirikan dan memajukan karya-karya untuk menerima mereka yang datang dari tanah misi ke wilayahnya untuk bekerja atau untuk belajar, dalam semangat persaudaraan dan membantu mereka dengan pelayanan pastoral yang cocok. 23



24



d. 1.



PENDIDIKAN KATOLIK Prinsip umum mengenai pendidikan



1.



Hak dan kewajiban utama orang tua: kan. 793



Pendidikan adalah salah satu tema yang sangat penting dalam masyarakat sipil dan religius. Dari berbagai sudut, KHK menyoroti pendidikan, misalnya: -



Pendidikan kristiani: kan. 217 dan 226, § 1 Pendidikan katolik, kan. 793 Pendidikan moral: kan. 799 dan 804, § 1 Pendidikan religius: kan 799 dan 804, § 1 Pendidikan budaya, sosial dan fisik: kan. 1136



Semua orang berhak mendapat pendidikan (UUD 1945, Pasal 31) 1) “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. 2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. 3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional”. Gravissimum Educationis no. 1, Deklarasi KV II mengenai Pendidikan kristiani, “Semua orang dari suku, kondisi atau usia manapun juga, berdasarkan martabat mereka selaku pribadi mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan, yang cocok dengan tujuan maupun sifat-perangai mereka, mengindahkan perbedaan jenis, serasi dengan tradisitradisi kebudayaan serta para leluhur, sekaligus juga terbuka bagi persekutuan persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain, untuk menumbuhkan kesatuan dan damai yang sejati di dunia”. GE 3: “Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat kewajiban amat berat untuk mendidik anak mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama”. Surat YP kepada Keluarga Gratissimam sane (2 februari 1994), n. 16: https://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/letters/1994/documents/hf_jp-ii 25



let_02021994_families.html “Parents are the first and most important educators of their own children” Deklarasi HAM 1948: 1) Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit. (2) Education shall be directed to the full development of the human personality and to the strengthening of respect for human rights and fundamental freedoms. It shall promote understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or religious groups, and shall further the activities of the United Nations for the maintenance of peace. (3) Parents have a prior right to choose the kind of education that shall be given to their children. Charter of the Rights of the Family, https://web.archive.org/web/20101212204809/http://www.vatican.va/roman_cur ia/pontifical_councils/family/documents/rc_pc_family_doc_19831022_familyrights_en.html Article 5 Since they have conferred life on their children, parents have the original, primary and inalienable right to educate them; hence they must be acknowledged as the first and foremost educators of their children. a) Parents have the right to educate their children in conformity with their moral and religious convictions, taking into account the cultural traditions of the family which favor the good and the dignity of the child; they should also receive from society the necessary aid and assistance to perform their educational role properly. b) Parents have the right to freely choose schools or other means necessary to educate their children in keeping with their convictions. Public authorities must ensure that public subsidies are so allocated that parents are truly free to exercise this right without incurring unjust burdens. Parents should not have to 26



sustain, directly or indirectly, extra charges which would deny or unjustly limit the exercise of this freedom. c) Parents have the right to ensure that their children are not compelled to attend classes which are not in agreement with their own moral and religious convictions. In particular, sex education is a basic right of the parents and must always be carried out under their close supervision, whether at home or in educational centers chosen and controlled by them. d) The rights of parents are violated when a compulsory system of education is imposed by the State from which all religious formation is excluded. e) The primary right of parents to educate their children must be upheld in all forms of collaboration between parents, teachers and school authorities, and particularly in forms of participation designed to give citizens a voice in the functioning of schools and in the formulation and implementation of educational policies. f) The family has the right to expect that the means of social communication will be positive instruments for the building up of society, and will reinforce the fundamental values of the family. At the same time the family has the right to be adequately protected, especially with regard to its youngest members, from the negative effects and misuse of the mass media. 2. Hak dan kewajiban Gereja: kan. 794 GE 3 memberi dua alasan: Karena Gereja dikenal sebagai komunitas yang mampu menyelenggarakan pendidikan Karena Gereja mempunya misi ilahi untuk mewartakan kepada semua manusia jalan keselamatan dan mengkomunikasikan kepada kaum beriman hidup Kristus, dengan menolong mereka mencapai kepenuhan 2. Tujuan dan isi pendidikan yang sejati: kan. 795 Sejalan dengan GE 1: pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya, yang memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus pula kesejahteraan umum dari masyarakat maka anak-anak dan kaum muda hendaknya dibina sedemikian sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara 27



harmonis, “dengan menggunakan kemajuan ilmu psikologi, pedagogi dan pengajaran” (GE 1) mereka memperoleh rasa tanggungjawab yang lebih sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan benar, dan terbina pula untuk berperan-serta secara aktif dalam kehidupan sosial. Termasuk pendidikan seksual (Kongregasi Pendikan Katolik, Educational Guidance in Human Love, Outlines for sex education, 8 Desember 1983, http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/ccatheduc/documents/ rc_con_ccatheduc_doc_19831101_sexual-education_en.html) Dewan Kepausan untuk keluarga, The Truth and Meaning of Human Sexuality, Guidelines for Education within the Family, http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/family/documents/ rc_pc_family_doc_08121995_human-sexuality_en.html Sekolah 1.1 Pentingnya Sekolah: kan. 796, § 1 GE 5 “Diantara segala upaya pendidikan sekolah mempunyai makna yang istimewa. Sementara terusmenerus mengembangkan daya kemampuan akalbudi, berdasarkan misinya sekolah menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun oleh generasi-gerasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata nilai, menyiapkan siswa untuk mengelola kejuruan tertentu, memeupuk rukun persahabatan antara para siswa yang beraneka watak-perangai maupun kondisi hidupnya, dan mengembangkan sikap saling memahami”. 1.2 Kerja Sama timbal balik antara orangtua dan guru: kan. 796, § 2 Sekolah tidak mengganikan keluarga. Fungsi sekolah bersifat sekunder, menjadikan utuh, karena orangtua tidak mampu jika sendirian mendidik anaknya. Perlu kerja sama timbal balik antara sekolah dan keluarga. “The primary right of parents to educate their children must be upheld in all forms of collaboration between parents, teachers and school authorities, and particularly in forms of participation designed to give citizens a voice in the functioning of schools and in the formulation and implementation of educational policies (Charter of the Rights of the Family, art. 5, huruf e). 1.2.1 Pilihan atas sekolah: kan. 797 28



Hak bebas memilih sekolah dari pihak orangtua. 1.2.2 Perlunya pendidian katolik 1.2.3 kewajiban-hak orangtua untuk mendidik anak-anak secara katolik 1.2.4 kewajiban kaum beriman mengusahakan undang-undang adil tentang sekolah 1.3 Sekolah katolik 1.3.1 konsep sekolah katolik 1.3.2 hak Gereja untuk memiliki sekolah sendiri 1.3.3 misi khusus beberapa tarekat religius 1.3.4 tanggung jawab untuk mendirikan sekolah katolik 1.3.5 otoritas bertanggung jawab dalam pengajaran religius 1.4 Universitas-universitas katolik 1.4.1 hak Gereja atas universitas katolik 1.4.2 pemakaian nama Universitas Katolik 1.4.3 Tanggung jawab dari konferensi waligereja Kan. 793 - § 1. Orangtua dan juga para pengganti mereka berkewajiban dan berhak untuk mendidik anaknya; para orangtua katolik mempunyai tugas dan juga hak untuk memilih sarana dan lembaga yang menyelenggarakan pendidikan katolik untuk anak-anak mereka dengan lebih baik, sesuai dengan keadaan setempat. § 2. Para orangtua berhak pula untuk mendapat bantuan yang harus diberikan oleh masyarakat sipil dan yang mereka butuhkan bagi pendidikan katolik anakanak mereka. Kan. 794 - § 1. Secara khusus tugas dan hak mendidik itu mengena pada Gereja yang diserahi perutusan ilahi untuk menolong orang-orang agar dapat mencapai kepenuhan hidup kristiani. § 2. Para gembala jiwa-jiwa mempunyai tugas untuk mengatur segala sesuatu sedemikian sehingga semua orang beriman dapat menikmati pendidikan katolik. Kan. 795 - Karena pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya, yang memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus pula kesejahteraan umum dari masyarakat, maka anak-anak dan kaum muda hendaknya dibina sedemikian sehingga dapat mengembangkan bakatbakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis, agar mereka memperoleh rasa tanggungjawab yang lebih sempurna dan dapat menggunakan 29



kebebasan mereka dengan benar, dan terbina pula untuk berperan-serta secara aktif dalam kehidupan sosial.



BAB I SEKOLAH Kan. 796 - § 1. Di antara sarana-sarana penyelenggaraan pendidikan, hendaknya umat beriman kristiani menjunjung tinggi sekolah-sekolah yang sangat membantu para orangtua dalam memenuhi tugas mendidik. § 2. Para orangtua yang mempercayakan anak mereka kepada para guru sekolah, harus bekerjasama dengan mereka secara erat; dan hendaknya para guru dalam pelaksanaan tugas mereka, bekerjasama erat dengan orangtua yang harus didengarkan dengan rela; hendaknya didirikan persatuan-persatuan orangtua atau diadakan pertemuan-pertemuan yang semuanya pantas dijunjung tinggi. Kan. 797 - Para orangtua harus menikmati kebebasan yang sungguh-sungguh dalam hal memilih sekolah; karena itu orang-orang beriman kristiani harus memperhatikan agar masyarakat sipil mengakui kebebasan ini bagi para orangtua dan, dengan mengindahkan keadilan distributif, melindunginya juga dengan bantuan-bantuan. Kan. 798 - Hendaknya para orangtua mempercayakan anak mereka kepada sekolah-sekolah tempat pendidikan katolik diselengga-rakan; jika hal itu tidak mungkin, mereka wajib mengusahakan agar pendidikan katolik mereka yang semestinya itu dilaksanakan di luar sekolah. Kan. 799 - Hendaknya kaum beriman kristiani berusaha agar undang-undang yang dalam masyarakat sipil mengatur pembinaan kaum muda, memperhatikan juga di sekolah-sekolah itu pendidikan keagamaan dan moral mereka, sesuai dengan suara hati orangtua. Kan. 800 - § 1. Gereja berhak untuk mendirikan dan mengarahkan sekolahsekolah dari jurusan, jenis dan jenjang mana pun. § 2. Hendaknya kaum beriman kristiani mendukung sekolah-sekolah katolik 30



dengan membantu sekuat tenaga dalam mendirikan dan menopang sekolahsekolah itu. Kan. 801 - Hendaknya tarekat-tarekat religius yang mempunyai perutusan khas di bidang pendidikan, dengan setia mempertahankan perutusannya itu dan mencurahkan segala tenaganya di bidang pendidikan katolik, juga melalui sekolah-sekolah yang mereka dirikan dengan persetujuan Uskup diosesan. Kan. 802 - § 1. Kalau belum ada sekolah dimana diberikan pendidikan yang diresapi semangat kristiani, Uskup diosesan bertugas mengusahakan agar didirikan. § 2. Sejauh berguna hendaknya Uskup diosesan berusaha agar didirikan juga sekolah-sekolah kejuruan dan teknik, serta juga sekolah-sekolah lain yang menjawab kebutuhan-kebutuhan khusus. Kan. 803 - § 1. Sekolah katolik ialah suatu sekolah yang dipimpin oleh otoritas gerejawi yang berwenang atau oleh badan hukum gerejawi publik atau yang diakui demikian oleh otoritas gerejawi melalui dokumen tertulis. § 2. Pengajaran dan pendidikan di sekolah katolik harus berdasarkan asas-asas ajaran katolik; hendaknya para pengajar unggul dalam ajaran yang benar dan hidup yang baik. § 3. Tiada satu sekolah pun, kendati pada kenyataannya katolik, boleh membawa nama sekolah katolik, kecuali dengan persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang. Kan. 804 - § 1. Otoritas Gereja berwenang atas pengajaran dan pendidikan agama katolik, yang diberikan di sekolah-sekolah mana pun atau diselenggarakan dengan pelbagai sarana komunikasi sosial; Konferensi para Uskup bertugas mengeluarkan norma-norma umum di bidang kegiatan itu, dan Uskup diosesan bertugas mengatur dan mengawasinya. § 2. Hendaknya Ordinaris wilayah memperhatikan agar mereka yang diangkat menjadi guru-guru agama di sekolah, juga di sekolah bukan katolik, adalah orang-orang yang unggul dalam ajaran yang benar, dalam kesaksian hidup kristiani dan juga ahli dalam pendidikan. Kan. 805 - Ordinaris wilayah berhak mengangkat atau menyetujui guru-guru agama untuk keuskupannya, demikian pula memberhentikan atau menuntut 31



pemberhentian mereka jika alasan keagamaan atau moral menuntutnya. Kan. 806 - § 1. Uskup diosesan berhak mengawasi dan mengunjungi sekolahsekolah katolik yang berada di wilayahnya, termasuk sekolah-sekolah yang didirikan atau dipimpin oleh anggota-anggota tarekat religius; Uskup diosesan berhak pula untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang menyangkut penyelenggaraan umum sekolah-sekolah katolik: ketentuan-ketentuan itu berlaku pula bagi sekolah-sekolah yang dipimpin oleh anggota tarekat tersebut, dengan tetap mengindahkan otonomi mereka sejauh menyangkut kepemimpinan intern sekolah-sekolah itu. § 2. Hendaknya para Pemimpin sekolah-sekolah katolik, dibawah pengawasan Ordinaris wilayah, mengusahakan agar pendidikan yang diberikan di sekolahsekolah itu unggul secara ilmiah, sekurang-kurangnya setingkat dengan pendidikan di sekolah-sekolah lain di daerah itu. BAB II UNIVERSITAS KATOLIK DAN PERGURUAN TINGGI LAIN Kan. 807 - Adalah hak Gereja untuk mendirikan dan memimpin universitasuniversitas, yang memang memajukan kebudayaan bangsa manusia ke taraf lebih tinggi dan pribadi manusia ke taraf lebih penuh, dan juga untuk memenuhi tugas Gereja mengajar. Kan. 808 - Tiada satu universitas pun, kendati pada kenyataannya katolik, boleh membawa sebutan atau nama universitas katolik, kecuali dengan persetujuan otoritas gerejawi yang berwenang. Kan. 809 - Hendaknya Konferensi para Uskup berusaha agar, jika mungkin dan berguna, didirikan universitas-universitas atau sekurang-kurangnya fakultasfakultas yang tersebar secara baik di wilayah itu; adapun di universitas dan fakultas itu, dengan tetap mengindahkan otonomi ilmiah, hendaknya diselidiki dan diajarkan pelbagai matakuliah dengan cahaya ajaran katolik. Kan. 810 - § 1. Adalah tugas otoritas yang berwenang menurut statuta, untuk mengusahakan agar di universitas-universitas katolik diangkat dosen-dosen, yang selain memiliki kecakapan ilmiah dan pedagogis, juga utuh ajarannya dan tak tercela hidupnya; dan jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, adalah tugasnya untuk memberhentikan mereka dari jabatan dengan menepati prosedur yang 32



ditentukan dalam statuta. § 2. Konferensi para Uskup dan Uskup diosesan yang bersangkutan, berkewajiban dan berhak untuk mengawasi agar di universitas-universitas itu dengan setia dipegang teguh asas-asas ajaran katolik. Kan. 811 - § 1. Hendaknya otoritas gerejawi yang berwenang berusaha agar di universitas-universitas katolik didirikan fakultas atau institut atau sekurangkurangnya suatu mimbar bagi teologi dimana mahasiswa awam juga dapat mengikuti kuliah. § 2. Di setiap universitas katolik hendaknya diberikan kuliah-kuliah dimana dibahas terutama masalah-masalah teologis, yang mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu dari fakultas itu. Kan. 812 - Mereka yang memberikan kuliah-kuliah teologi dalam perguruan tinggi mana pun, haruslah mempunyai mandat dari otoritas gerejawi yang berwenang. Kan. 813 - Uskup diosesan hendaknya sungguh memperhatikan reksa pastoral bagi para mahasiswa, juga dengan mendirikan paroki khusus atau sekurangkurangnya dengan mengangkat secara tetap imam-imam untuk tugas itu, dan hendaknya ia berusaha agar di universitas-universitas, juga yang tidak katolik, didirikan pusat-pusat kegiatan katolik tingkat universitas, yang memberi bantuan kepada kaum muda, lebih-lebih di bidang rohani. Kan. 814 - Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan mengenai universitasuniversitas juga berlaku sama bagi perguruan-perguruan tinggi lain. BAB III UNIVERSITAS DAN FAKULTAS GEREJAWI Kan. 815 - Berdasarkan tugasnya untuk mewartakan kebenaran yang diwahyukan, Gereja mempunyai universitas-universitas atau fakultas-fakultas gerejawi untuk menelaah ilmu-ilmu suci atau ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu suci itu dan untuk mendidik mahasiswa-mahasiswa dalam ilmu-ilmu tersebut secara ilmiah. Kan. 816 - § 1. Universitas-universitas dan fakultas-fakultas gerejawi hanya dapat didirikan oleh Takhta Apostolik atau dengan aprobasi yang diberikan olehnya; juga pada dialah kewenangan kepemimpinan tertinggi atasnya. 33



§ 2. Setiap universitas dan fakultas gerejawi harus mempunyai statuta dan pedoman studi sendiri yang mendapat aprobasi dari Takhta Apostolik. Kan. 817 - Gelar-gelar akademis yang mempunyai efek kanonik dalam Gereja, hanya dapat diberikan oleh universitas atau fakultas yang didirikan oleh atau mendapat aprobasi dari Takhta Apostolik. Kan. 818 - Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan mengenai universitas katolik dalam kan. 810, 812 dan 813 berlaku pula bagi universitas-universitas dan fakultas-fakultas gerejawi. Kan. 819 - Sejauh kepentingan keuskupan, atau tarekat religius atau bahkan kepentingan seluruh Gereja sendiri menuntut, para Uskup diosesan atau Pemimpin tarekat yang berwenang harus mengirim kaum muda baik klerikus maupun anggota tarekat religiusnya, yang unggul dalam watak, keutamaan dan bakat, ke universitas-universitas atau fakultas-fakultas gerejawi. Kan. 820 - Hendaknya para Pemimpin dan guru besar dari universitasuniversitas dan fakultas-fakultas gerejawi berusaha agar pelbagai fakultas dari satu universitas saling bekerjasama sejauh bahannya mengizinkannya, dan agar antara universitas atau fakultas sendiri dengan universitas-universitas atau fakultas-fakultas lain, juga yang bukan gerejawi, ada kerja sama timbal-balik; tujuannya ialah agar universitas atau fakultas itu dengan karya terpadu, pertemuan-pertemuan, penelitian-penelitian ilmiah yang terkoordinasi dan sarana-sarana lainnya, dapat bersama-sama menyumbang bagi perkembangan ilmu-ilmu. Kan. 821 - Hendaknya Konferensi para Uskup dan Uskup diosesan mengusahakan, dimana mungkin, agar didirikan lembaga-lembaga tinggi ilmu keagamaan dimana diajarkan ilmu-ilmu teologis dan ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan kebudayaan kristiani. JUDUL IV SARANA KOMUNIKASI SOSIAL DAN KHUSUSNYA BUKU Kan. 822 - § 1. Hendaknya para gembala Gereja, dengan menggunakan hak Gereja dalam memenuhi tugasnya, senantiasa memanfaatkan sarana-sarana komunikasi sosial. § 2. Hendaknya para gembala itu berusaha untuk mengajar umat beriman bahwa 34



mereka wajib bekerjasama agar penggunaan sarana-sarana komunikasi sosial dijiwai oleh semangat manusiawi dan kristiani. § 3. Semua kaum beriman kristiani, terutama mereka yang dengan salah satu cara mengambil bagian dalam pengaturan atau penggunaan sarana-sarana itu, hendaknya sungguh-sungguh membantu kegiatan pastoral sedemikian sehingga Gereja, juga dengan sarana-sarana itu, dapat melaksanakan tugasnya secara efektif. Kan. 823 - § 1. Supaya keutuhan kebenaran iman dan moral terpelihara, para gembala Gereja berkewajiban dan berhak untuk men-jaga agar iman dan moral dari kaum beriman kristiani tidak dirugikan oleh tulisan-tulisan atau penggunaan sarana-sarana komunikasi sosial; demikian juga untuk menuntut agar tulisan-tulisan mengenai iman dan moral yang akan diterbitkan oleh orangorang beriman kristiani, diserahkan kepada penilaian mereka; dan juga untuk menolak tulisan yang merugikan iman yang benar atau moral yang baik. § 2. Kewajiban dan hak yang disebut dalam § 1 dimiliki para Uskup, baik sendiri maupun bila berkumpul dalam konsili-konsili partikular atau dalam Konferensi para Uskup, sejauh menyangkut umat beriman kristiani yang dipercayakan kepada reksa mereka; tetapi bila menyangkut seluruh umat Allah, dimiliki otoritas tertinggi Gereja. Kan. 824 - § 1. Kecuali ditentukan lain, Ordinaris wilayah yang izinnya atau aprobasinya harus diminta untuk menerbitkan buku-buku sesuai dengan kanonkanon Judul ini, adalah Ordinaris wilayah dari pengarang sendiri atau Ordinaris wilayah dimana buku itu akan diterbitkan. § 2. Hal-hal yang ditentukan dalam kanon-kanon Judul ini mengenai bukubuku, harus diterapkan pula pada segala macam tulisan yang dimaksudkan bagi peredaran umum, kecuali nyata lain. Kan. 825 - § 1. Buku-buku Kitab Suci hanya boleh diterbitkan dengan aprobasi Takhta Apostolik atau Konferensi para Uskup; demikian pula untuk dapat diterbitkan terjemahan-terjemahannya dalam bahasa setempat dituntut agar mendapat aprobasi dari otoritas yang sama dan sekaligus dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang perlu dan mencukupi. § 2. Umat beriman kristiani katolik, dengan izin Konferensi para Uskup, dapat mempersiapkan dan menerbitkan terjemahan-terjemahan Kitab Suci yang dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang cocok, juga dalam kerjasama 35



dengan saudara-saudara terpisah. Kan. 826 - § 1. Mengenai buku-buku liturgi hendaknya ditepati ketentuanketentuan kan. 838. § 2. Agar buku-buku liturgi dan terjemahan-terjemahannya dalam bahasa setempat atau bagian-bagian dari padanya dapat diterbitkan ulang, haruslah pasti mengenai kesesuaiannya dengan penerbitan yang mendapat aprobasi berdasarkan kesaksian Ordinaris wilayah dimana buku itu diterbitkan. § 3. Jangan diterbitkan buku-buku doa, entah dipakai oleh orang beriman secara umum atau secara pribadi, tanpa izin Ordinaris wilayah. Kan. 827 - § 1. Untuk menerbitkan katekismus dan juga tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan pengajaran kateketik ataupun terjemahanterjemahannya, dibutuhkan aprobasi dari Ordinaris wilayah, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 775, § 2. § 2. Buku-buku yang menyangkut soal-soal yang berhubungan dengan Kitab Suci, teologi, hukum kanonik, sejarah Gereja, ilmu agama atau ilmu moral, tidak boleh dipakai sebagai buku pegangan di sekolah dasar, sekolah menengah atau sekolah tinggi, kecuali buku itu diterbitkan dengan aprobasi otoritas gerejawi yang berwenang atau kemudian mendapat aprobasi darinya. § 3. Dianjurkan agar buku-buku yang membahas masalah-masalah yang disebut dalam § 2, diserahkan kepada penilaian Ordinaris wilayah, biarpun buku itu tidak dipakai sebagai buku pegangan dalam pengajaran; anjuran yang sama berlaku pula bagi tulisan-tulisan yang berisi sesuatu yang secara khusus menyangkut martabat agama atau moral. § 4. Di dalam gereja-gereja atau ruang-ruang doa tidak dapat dipamerkan, dijual atau dihadiahkan buku-buku atau tulisan-tulisan lain tentang soal-soal agama atau moral, kecuali yang diterbitkan dengan izin otoritas gerejawi yang berwenang atau yang mendapat aprobasi darinya kemudian. Kan. 828 - Kumpulan-kumpulan dekret-dekret dan akta-akta yang diterbitkan oleh suatu otoritas gerejawi, tak boleh diterbitkan kembali tanpa izin terlebih dahulu dari otoritas yang berwenang tersebut dan menepati syarat-syarat yang ditetapkannya. Kan. 829 - Aprobasi atau izin bagi penerbitan salah satu karya berlaku bagi teks 36



yang asli, tetapi tidak berlaku bagi terbitan-terbitan ulang atau terjemahannya. Kan. 830 - § 1. Dengan tetap utuh hak setiap Ordinaris wilayah untuk menyerahkan penilaian buku-buku kepada orang-orang yang dipilihnya, Konferensi para Uskup dapat membuat daftar pemeriksa buku yang unggul di bidang ilmu, ajaran yang benar dan kearifan, yang membantu kuria-kuria diosesan atau juga dapat membentuk suatu panitia pemeriksa buku yang bisa diminta nasihatnya oleh para Ordinaris wilayah. § 2. Pemeriksa buku dalam melaksanakan tugasnya hendaklah bersikap tanpa pandang bulu dan hanya memperhatikan ajaran Gereja di bidang iman dan moral, sebagaimana diajarkan oleh Magisterium Gereja. § 3. Pemeriksa buku harus memberikan penilaiannya secara tertulis; jika penilaian itu positif, hendaknya Ordinaris menurut keputusannya yang arif memberi izin penerbitan dengan menyebut namanya dan juga tanggal dan tempat izin itu diberikan; jikalau ia tidak memberikan izin itu, hendaknya ia memberitahukan alasan-alasannya kepada penulis karya itu. Kan. 831 - § 1. Kaum beriman kristiani jangan menulis sesuatu dalam harianharian, majalah-majalah dan terbitan-terbitan berkala yang biasa terangterangan menyerang agama katolik atau moral, kecuali ada suatu alasan yang wajar dan masuk akal; sedangkan para klerikus dan anggota-anggota tarekat religius hanya boleh menulis dengan izin Ordinaris wilayah. § 2. Konferensi para Uskup bertugas menetapkan norma-norma dan syaratsyarat bagi peranserta para klerikus dan anggota-anggota tarekat religius dalam siaran radio atau televisi mengenai soal-soal yang menyangkut ajaran katolik atau moral. Kan. 832 - Para anggota tarekat religius membutuhkan izin dari Pemimpin tinggi mereka menurut norma konstitusi, bila mereka mau menerbitkan tulisantulisan tentang soal-soal agama atau moral.



JUDUL V PENGAKUAN IMAN 37



Kan. 833 - Mereka yang disebut di bawah ini wajib menyatakan pengakuan iman secara pribadi menurut formula yang disahkan oleh Takhta Apostolik: 10 semua peserta konsili Ekumenis atau partikular, sinode para Uskup dan sinode keuskupan, yang hadir dengan hak suara entah deliberatif entah konsultatif, di hadapan ketua atau delegatusnya; sedangkan ketua di hadapan Konsili atau sinode; 20 mereka yang diangkat untuk martabat kardinal, menurut statuta dari Kolegium suci itu; 30 semua yang diangkat untuk jabatan Uskup, demikian pula yang disamakan dengan Uskup diosesan, di hadapan utusan dari Takhta Apostolik; 40 Administrator diosesan, di hadapan kolegium konsultor; 50 Vikaris jenderal, Vikaris episkopal dan juga Vikaris yudisial, di hadapan Uskup diosesan atau delegatusnya; 60 semua pastor paroki, rektor, dosen teologi dan filsafat dalam seminari, di hadapan Ordinaris wilayah atau delegatusnya, pada awal memangku jabatan; juga mereka yang akan ditahbiskan menjadi diakon; 70 rektor dari Universitas gerejawi atau katolik di hadapan Kanselir Agung atau, jika ia tidak hadir, di hadapan Ordinaris wilayah atau delegatus mereka pada awal memangku jabatan; para dosen yang memberikan kuliah-kuliah berhubungan dengan iman atau moral di Universitas mana pun, di hadapan rektor jika ia seorang imam, atau di hadapan Ordinaris wilayah atau delegatus mereka, pada awal memangku jabatan; 80 para Pemimpin dalam tarekat religius dan dalam serikat-serikat hidup kerasulan klerikal, menurut norma konstitusi.



38



Sakramen Baptis (Kan 849 – 878) Tujuan a. Menguasai kodrat, efek rahmat dan unsur esensial S. Baptis b. Menguasai ritus, persiapan calon baptis, kriteria air, cara, nama baptis, waktu, tempat c.Menguasai pelayan biasa dan luar biasa, dalam kasus mendesak, ijin membaptis d. Menguasai kriteria penerima baptis dewaa, baptis bayi, baptis bersyarat e. Menguasai tugas bapak/ibu baptis, jumlah, syarat f. Mampu menangani Pembuktian dan Pencatatan baptis



Kan. 849: kodrat, efek rahmat dan unsur esensial S. Baptis Kodrat: Sakramen Baptis adalah pintu bagi sakramen-sakramen lainnya, yang berguna untuk keselamatan. Rahmat 1. Melalui baptisan seseorang dibebaskan dari dosa-dosa, dilahirkan kembali sebagai anak Allah (Rm. 8,15; 2Ptr 1: 4), berpakaian Kristus (Gal 3: 27), menjadi anggota Kristus (1Kor 12: 12-13.27), 2. menjadi anggota Umat Allah dan mengambil bagian seturut dengan caranya masing-masing dengan tugas imamat, kenabian dan rajawi kristus (bdk. kan. 204, § 1) 3. disatukan dengan Gereja dan menjadi persona, yakni pemilik hak dan kewajiban orang-orang kristiani (bdk. kan. 96). Unsur esensial



39



Baptisan dilayankan dengan sah hanya melalui bejana air baptis (materia prossima) yang berisi air alami (materia remota) yang diikuti dengan forma, yakni rumusan kata-kata trinitaris (bapa, Putera dan Roh Kudus)1



Perayaan Baptis: Kann. 850 – 860 1.1.



Perayaan Baptis (Kan. 850)



Dalam perayaan sakramen Babtis, ritus yang harus dipakai dan diikuti yaitu ritus yang latin (romawi) yang telah direvisi. Kanon ini membedakan dua situasi yakni dalam situasi normal dan mendesak. Dalam situasi normal, baptisan harus diterimakan menurut ritus liturgi yang resmi. Dalam situsai darurat diterimakan dengan cara menepati hal-hal yang dituntut demi sahnya baptisan tersebut. Baptisan dengan kasus darurat seperti dalam keadaan bahaya maut, dalam masa pengejaran dan pengeniayaan, ada ketidaksetujuan atau penolakan keras terhadap keluarga.2 1.2.



Persiapan Baptis (Kan. 851)



Persiapan untuk perayaan baptis adalah sesuai dengan ketentuan dari kanon 836 dan 834, yang menegaskan tentang perlunya suatu persiapan secukupnya bagi perayaan baptis, untuk baptisan orang dewasa maupun bayi. a. Pembahasan tentang baptis dewasa (kan.862), dalam persiapan baptisan melibatkan mereka yang mau dibaptis dengan mengikuti pra ketekumenat sebelumnya, yang sudah ditetapkan dalam konsili vatikan II, dan jika memungkinkan melaksanakan melalui bermacammacam sakramen menurut ritus yang sudah ditetapakan oleh konfrensi para Uskup dan norma khusus yang ditetapkan oleh Uskup Diosesan. Periode yang sering disebut sebagai pra katekumenat adalah masa pencarian bagi katekumen dan masa evengelisasi bagi Gereja. Masa ini berakhir dengan upacara penerimaan menjadi katekumen. Dengan diterimanya calon baptis, maka mereka akan mendapat nama baru, bukan lagi “pencari” tetapi katekumen. 1



Herman Yosef Ga I, Sakramen dan Sakramentali menurut Kitab Hukum Kanonik, Vol. 1, (Bogor:



Grafika Mardi Yuana, 2014), hlm. 60. 2



Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 65.



40



b. Pembahasan tentang baptisan bayi, persiapannya melibatkan orang tua dan wali baptis (bapa permandian), dengan mana mereka hendaknya diberikan pengajaran yang cukp atas arti baptis dan kewajibankewajiban yang berkaitan dengannya. Tanggung jawab untuk mempersiapkannya itu ada pada pastor paroki, yang menyelenggarakan secara pribadi atau melalui kerjasama dengan orang lain. Kanon ini menganjurkan diadakan suatu persiapan kateketik dan spiritual yakni suatu kegiatan pengajaran yang memungkinkan serta disediakan waktu untuk doa bersama, perkumpulan kelurga dan kunjungan-kunjungan keluarga.3 1.3.



Pengertian Dewasa dan Anak-anak (Kan. 852)



Dalam ketentuan-ketentuan tentang baptis, dibedakan antara baptisan orang dewasa dan anak. Seorang anak, dikatakan belum dewasa apabila ia belum berusia mencapai 7 tahun (kan.97-2), sebaliknya dikatakan sebagai dewasa apabila ia sudah mencapai usia 7 tahun dan dalam waktu yang sama sudah dapat menggunakan akal budinya. Orang yang telah melebihi usia anak-anak, tetapi terganggu secara psikis/mental maka dianggap tidak dapat bertanggungjawab atau tidak dapat menggunakan akal budi, maka untuk dapat menerima baptisan ia disamakan dengan kanak-kanak.4 1.4.



Air yang Digunakan dalam Baptisan (Kan. 853)



Materi untuk baptisan adalah air alami yang berasal sungai, danau, sumur, mata air, air hujan. Air seperti itu harus diberkati terlebih dahulu menurut ketentuan dalam buku liturgi. Pemberkatan air mempunyai tujuan untuk penghormatan sebagai suatu sakramen dan juga mau menyatakan bahwa air dalam dirinya sendiri tidak mempunyai daya penyucian tetapi daya itu diterima dari Allah. 1.5.



Dimasukkan ke dalam air atau dituangi air (Kan. 854)



Materi prossima adalah permandian, yakni mengalirkan/menuangkan air diatas pribadi yang dibaptis dalam bentuk permandian. Permandian dapat dilakukan dengan 2 cara:



3



Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 68.



4



Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 74.



41



a. Dengan penuangan air, menuangkan air keatas kepala atau dahi, penuangan air diatas kepala atau dahi adalah suatu yang paling baik dan penting dari tubuh manusia. b. Dengan dimasukkan ke dalam air, yakni menenggelamkan orang yang dibaptis kedalam air. Cara ini merupakan ritus dari komunitas Gereja perdana dan biasa dilakukan sampai dengan akhir abad XII, dan masih dipertahankan dalam Gereja Orintalis. Dalam ritus ini dihadirkan suatu kegembiraan besar berkat kelahiran kembali orang kristian melalui pembaptisan yang menurut ajaran paulus adalah suatu pembaharuan dari misteri paskah kristus. Kedua cara ini dipertimbangkan sebagai sah untuk pembaptisan. Kodeks 1983 mempertahankan 2 cara ini yang lebih tepat yang dipergunakan untuk pembaptisan. Sebagaimana disetujui oleh konferensi para uskup, antara penuangan atau harus sesuai dengan keadaan-situasi setempat, seperti kebiasaan, budaya, dan tradisi dan pelayan babtis hendaknya memperhatikan kebersihan air yang akan dipakai dalam babtisan tersebut.5 1.6.



Pemberian Nama (Kan. 855)



Disposisi kanon 761 KHK 1917 masih sangat kentara. Kanon ini menegaskan bahwa pastor paroki hendaknya memberikan nama baptis kristiani, dan jika tidak memungkinkan, maka ia harus menggabungkan dari inisiatifnya suatu nama dari seorang santo, menerangkan dua nama dalam buku paroki. Ketentuan dari kodeks 1983 menegaskan bahwa cukuplah kalau tidak memberikan nama yang asing dari cita rasa kristiani. Dalam sebuah ritus romawi, para katekumen diberi kebebasan untuk menggunakan nama-nama yang dipilih oleh para katekumen sendiri sebagai nama kristiani atau setidak-tidaknya memiliki cita rasa kristiani. Kebebasan yang lebih luas ini sekaligus sebagai peringatan agar jangan mengabaikan begitu saja nama-nama dari para kudus.6 1.7.



Waktu Perayaan (Kan. 856)



Penerimaan sakramen Baptis dapat dilakukan pada hari apa saja. Hukum kananok mengizinkan pembaptisan untuk dirakayakan pada apa saja. Ketentuan ini bermakna bahwa calon baptis, bukan pada situasi darurat, pada masa 5



Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 78-79.



6



Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 80.



42



prapaskah kiranya tidak diadakan pembaptisan, karena mengingat kelahiran baru, sangat tudak cocok dengan makna sengsara atau kematian. Akan tetapi sangat dianjurkan bila dilaksanakan pada hari minggu dan jika memungkinkan pada hari paskah sebagai suatu pengungkapan atas kemuliaan dalam hubunganya dengan misteri Kristus. Malan paskah merupakan waktu yang sangat tepat, maka dengan itu sangat dianjurkan untyk melaksankan perayan baptis pada malam paskah untuk orang dewasa maupun untuk anakanak.7 1.8.



Tempat Perayaan (Kan. 857-859)



Baptis adalah suatu sakramen, suatu ritus tentang rahmat. Tempat perayaannya adalah gereja atau ruang doa, kecuali karena alasan mendesak dapat juga dirayakan di tempat lain. Dengan baptis, seseorang diinkorporasikan pada Gereja dan berkat hasil dari rahmat sacramental itu, baptis menuntut bahwa inkorporasi itu dating melalui konunitas ekklesial yang konkrit (contoh: paroki sebagai satu komunitas, menerima tanggung jawab dan kewajibab untuk membantu pembaptisan baru dalam menumbuhkan dan mengembangkan iman serta dalam mendewasakan hati nurani kristiani). Menurut aturan, bejanan baptis haruslah ditempatkan di gereja paroki yang akan dipakai untuk pembaptisan dewasa maupun pembaptisan bayi. Dalam pembabtisan dewasa akan melibatkan peran orang yang dibaptis itu sendiri, sedangkan dalam baptis bayi hendaknya melibatkan orang tua anak.. Atas aturan tentang tempat bejana baptis, mengajunrkan bahwa di setiap gereja paroki hendaknya tersedia bejana baptis, yang menghadirkan suatu komunitas parochial. Demi kemudahan dan juga karena alasan lain, setelah mendengarkan pastor paroki ordianaris wilayah dapat mengijinkan untuk menempatkan bejana baptis itu di gereja atau ruang doa lain di wilayah paroki tersebut.8 1.9.



Rumah Pribadi dan Rumah Sakit (Kan. 860)



Memperhatikan karakter suci dari sakramen baptis dilaksanakan di gereja dan janganlah dirayakan di rumah pribadi, kecuali ordianaris wilayah mengijinknnya karena kasus khusus. Perintah kanon ini baru, jika dibandingkan kodeks sebelumnya yang meminta hanya “ karena alasan yang wajar dan masuk akan”. Kan. 776 menegaskan “dalam kasus yang luar biasa” 7



Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 81-82.



8



Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 81-89.



43



Dalam kasus darurat (bahaya mati, sakit, lanjut usia), untuk melaksanakan pembaptisan di rumah pribadi atau dirumah sakit, tidak membutuhkan otoritas ordinaris wilayah. Kanon yang sama mengijinkan , “hanya dalam keadaan darurat” Di sejumlah rumah sakit dan klinik bersalin, dari dirinya sendiri dapat dilayankan sakramen baptis dalam keadaan darurat dan karena alasan pastoral yang masuk akal, menurut norma yang ditetapkan oleh Uskup Diosesan.9



2. Pelayan Baptis (Kan. 861 – 863) 2.1.



Pelayan biasa dan pelayan luar biasa (Kan. 861)



Penerimaan baptis, dengan sendirinya dikhususkan bagi seorang pelayan10 suci: Uskup, imam dan diakon (bdk. Kan. 1009, §1). Perayaannya diserahkan kepada Pastor paroki, yakni pastor yang bertanggungjawab atas komunitas paroki (Kan. 536, §1), atau kepada imam lain atau kepada seorang diakon, yang mempunyai wewenang dari Pastor paroki atau Ordinaris wilayah. Namun demikian, Pastor paroki tetaplah yang bertanggungjawab untuk mempersiapkan baptisan, menurut kan. 851.11 Dalam kasus ketiadaan atau terhalangnya pelayan biasa, baptis dapat dilayankan oleh katekis atau oleh orang lain yang ditunjuk oleh Ordinaris wilayah untuk tugas tersebut. Perayaan baptis dapat dilakukan, baik oleh pria atau pun wanita, menurut kan. 742, §2 Kodeks 1917, namun dalam §3 ditegaskan bahwa dilarang untuk orang tua (ayah atau ibu) mempermandikan anaknya sendiri.12



9



Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 89-91.



10



Kata pelayan (minister) secara umum tidak hanya berlaku bagi mereka yang tertahbis, melainkan



juga kepada mereka yang tidak tertahbis seperti orang tua, katekis ibu dan bapa baptis yang disebut sebagai pelayan luar biasa. Namun dalam kanon ini kata pelayan ditujukan kepada mereka yang tertahbis. [lihat Herman Yosef Ga I, Sakramen dan Sakramentali menurut Kitab Hukum Kanonik, Vol. 1, (Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2014), hlm. 93.] 11



Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary on the Code of Canon Law (New York:



Paulist Press, tanpa penerbit), hlm. 1049-1050. 12



Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary..., hlm. 1049-1050.



44



Dalam keadaan darurat, dipertimbangkan dalam hubungannya dengan keselamatan abadi, baptisan - in re vel saltem in voto ad salutem necessarius (Kan. 849) – dapat dilayankan oleh siapa pun: seorang heretik, yang terkena eskkomunikasi, orang tak dibaptis, orang murtad atau atheis, tetapi dilakukan dengan maksud semestinya, yakni menurut suatu ungkapan dari Konsili Trente, tetapi secara nyata mempunyai maksud seperti yang dilakukan oleh Gereja.13 Pengharapan atas kemungkinan tentang pelayanan baptis dalam keadaan darurat, kanon menugaskan kepada para gembala jiwa-jiwa, terutama Pastor paroki untuk memperhatikan kaum beriman: diberitahukan tentang bagaimana cara membaptis yang benar dalam keadaan darurat (bahaya mati).14 2.2.



Izin untuk membaptis (Kan. 862)



Semua umat beriman awam, berdasar pada imamat umum, terutama para orangtua dalam tugas-tugas mereka, para katekis, bidan dan pembantu rumah tangga serta pekerja sosial, para perawat, tenaga medis dan ahli bedah, perlu memperoleh pengetahuan yang lebih baik tentang cara yang lebih baik untuk melayankan baptis dalam keadaan darurat. Para Pastor paroki, diakon, katekis diberi tugas untuk mengajarkannya; para Uskup di dioses mereka hendaknya menyediakan sarana-sarana untuk pengajaran itu.15 Di luar keadaan darurat, adalah tidak licit bagi seseorang untuk melayankan baptis di wilayah teritorial lain, sekalipun untuk bawahannya sendiri bila tanpa izin. Hal ini didasari pada pentingnya sakramen baptis sebagai pintu masuk ke dalam komunitas atau kelompok umat beriman setempat. Dalam (kan 862), secara jelas ditekankan bahwa izin dapat diberikan oleh ordinaris setempat.16 2.3.



Baptis orang dewasa (Kan. 863)



Baptis untuk orang dewasa diserahkan kepada Uskup diosesan. Uskup dikaruniai kepenuhan tahbisan dan dari dirinya tergantung baik imam maupun diakon dalam kuasa mereka. Uskup adalah kepala gereja lokal. Uskup adalah



13



Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary..., hlm. 1049.



14



Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary..., hlm. 1050.



15



Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary..., hlm. 1049.



16



Herman Yosef Ga I, Sakramen..., hlm. 97.



45



Penentu pelaksanaan tahbisan baik secara pribadi atau diserahkan kepada Pastor paroki atau kepada imam lain atas namanya dengan delegasi khusus.17 Apabila pelayanan inisiasi diberikan secara lengkap kepada baptisan orang dewasa oleh Pastor paroki atau imam lain, maka menurut Kan. 866, mereka harus diberi wewenang (fakultas) untuk melayankan sakramen krisma.18 Konsep tentang dewasa dalam kanon ini sesuai dengan Kan 852, §1, yang membicarakan tentang orang dewasa yang sudah dapat menggunakan akal budinya dengan baik. Dalam Kan 836, konsep orang dewasa (adulti) adalah mereka yang minimal berusia 14 tahun atau bahkan lebih tua dari umur tersebut. Sedangkan dalam Kan 817 kodeks 1980 dijelaskan bahwa pemberian baptisan dewasa adalah mereka yang berusia enam belas tahun.19



3. Calon Baptis (Kan. 864 – 871) 3.1.



Syarat utama calon baptis (Kan. 864)



Ada tiga syarat utama seorang dapat dibaptis: syrat pertama yang utama ialah: semua manusia dan hanya manusia, belum dibaptis dan manusia yang hidup. KHK kanon ini tidak sama sekali menyinggung pembabtisan dalam kandungan ibunya yang menghadapi bahaya mati. Dalam Rituale Romawi 1962, Paus Paulus VI menegaskan bahwa tidak boleh membabtis bayi dalam kandungan kalau jelas bisa dilahirkan kecuali jelas ada bahaya mati mendesak, jika bayi dapat dilahirkan hendaknya dibaptis ulang bersyarat(Lih. Kan 746) kasus ini berpijak pada ketentuan Kan. 19-20 untuk belajar dari Jurisprudensi dan pendapat ahli.20



3.2.



Syarat baptis orang dewasa (Kan. 865)



17



Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary..., hlm. 1051.



18



Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary..., hlm. 1056.



19



Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary..., hlm. 1051.



20



Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 102.



46



Dalam baptisan orang dewasa persyaratan baptisan dibagi menjadi dua yaitu: 1.



Membahas tentang persyaratan pembabtisan orang dewasa dalam keadaan biasa (Kan. 865 §1)



Ada empat syarat yang ditetapkan Kanon ini diluar kasus darurat, dan bahaya maut. Dituntut kemampuan konstitutif seorang sebagai syarat untuk baptis. a. Kehendak atau Maksud Hati Kehandak ini harus dimanifestasi secara lahiria, hal ini akan tampak pada perbuatan positif bagi publik, kehendak Habitual berupa kerinduan yang amat besar dan kehendak atau mksd hati implisit. Syarat ini diminta demi validitas pembabtisan. b. Pengetahuan akan Iman Katolik Hal ini sangat tergantung dari kemampuan pribadi, keadaan lingkungan dan latar belakang hidup, serta umur calon baptis itu sendiri, sebab ketiadaan iman menjadikan baptisan invalid. c. Katekumenat: Persiapan untuk Inisiasi Kristiani Masa katekumenat terdiri dari tiga tahap penerimaan, pemilihan dan pembabtisan d. Menyesali Dosa Seorang calon baptis dianjurkan untuk menyesali dosa-dosanya terlebih dahulu. Dengan ini seluruh dosa calon babtis akan dihapuskan ketika ia menerima pembaptisannya.21 2. Syarat baptis orang dewasa dalam bahaya maut (Kan. 865 §2) a. Kehendak atau Maksud Hati untuk Dibaptis dalam Bahaya Maut Bahasa Kanon In Quovis Modo (dalam cara tertentu) bisa perkataan atau perbuatan. Bila ia seorang katekumen, keanggotaanya merupakan manifestasi kehendaknya untuk dibaptis. Bila ia bukan seorang katekumen harus ada sesuatu yang mengindikasikan bahwa ia mau dibaptis. b. Pengetahuan dalam Bahaya Maut 21



Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 105-106.



47



Tetap dituntut bahwa si calon mengakui kebenaran pokok pokok iman yang perlu untuk keselamatan. Untuk kebaikan si calon maka jika ia bukan ketekumen ada kemauan untuk mengikiti proses bila sembuh. Jika ia seorang katekumen, hendaknya mengikuti kembali masa ketekumenat. c. Berjanji Sesuai dengan kodrat liturgi publik, maka janji harus diuangkapkan secara lahiriah di depan publik pula.22 3.3.



Inisasi Penuh (Kan. 866)



Dalam kanon ini ditegaskan bahwa penguatan dan komuni harus diterima oleh baptisan baru (neophytus) segera setelah pembaptisan, yang diadakan dalam satu upacara liturgis. 3.4.



Persyaratan untuk baptis kanak-kanak Kan. 867-868



Persyaratan yang diberikan untuk baptisan bayi yaitu: a. Orangtuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang secara legitim menggantikan orangtuanya, menyetujuinya; b. Ada harapan yang beralasan anak itu akan dididik dalam agama Katolik23



3.5.



Keadaan Khusus (Kan. 869-871)



Baptisan bersyarat Kan. 869, lihat juga Kan, 845. Adapun alasan baptisan bersyarat terjadi ketika dari gereja non katolik hendak masuk atau menjadi katolik. Mengapa baptisan bersyarat perlu dilakukan:



a. Karena Sakramen baptis tidak dapat diulang b. Karena baptisan, pintu masuk dalam gereja dan semua sakramen lainnya. Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan baptisan bersyarat: a. Masih ada keraguan 22



Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 106-108.



23



Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm.115.



48



b. Telah melakukan penyelidikan secara seksama Dalam kanon ini ditegaskan kembali penyelidikan yang seksama untuk memastikan bahwa bayi belum dibaptis. (Kan. 870.) Baptisan khusus juga berlaku pada janin yang keguguran (Kan. 871). Adapun alasan pembabtisan janin yaitu; a. Janin atau embrio pada tahap mana pun adalah manusia b. Untuk bayi abortus yang dipakai ialah pembaptisan Absulete bukan pembabtisan Sub Conditione, jika yakin bayi masih hidup.24 4. Bapak/Ibu Babtis (Kan. 872 – 874) 4.1.



Tanggung Jawab Ibu/Bapa Baptis (Kan. 872)



Adapun baptisan dibedakan menjadi dua bentuk, yakni baptis dewasa dan anak. konsep tanggung jawab dari wali baptis untuk baptisan dewasa dan anak sama. Secara umum baik dalam baptisan dewasa dan anak, wali baptis membantu sekurang-kurangnya dalam persiapan akhir pembaptisan. Wali baptis juga menyertai calon baptis dewasa dan anak dalam mengajukan pembaptisan sebagai saksi iman, moral dan maksud baik dari calon baptis. Prinsipnya, wali baptis ialah orang yang dipilih calon baptis dewasa atau anak bila calon baptis ialah bayi maka dipilih oleh orangtua calon baptis, disesuaikan dengan delegasi Gereja setempat dalam peresetujuan imam yang berwenang. Wali baptis memiliki tanggung jawab mengajar dan membantu orangtua calon baptis terkait dengan mempraktekan pesan Injil dalam hidup pribadi dan sosial. Dalam tugas ini, wali baptis serentak menjadi pembawa atau pemberi kesaksian Injil dan pelindung atas pertumbuhan dan perkembangan iman calon baptis sebagai buah Sakramen Baptis.25



4.2.



Jumlah dan Syarat menjadi Ibu/Bapa Baptis (Kan. 873 - 874)



Dalam kanon dinyatakan bahwa jumlah wali baptis sekurang-kurangnya hanya satu entah pria atau wanita. (Kan. 873). Kanon menentukan beberapa syaratsyarat untuk menjadi wali baptis, yakni: 24



Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 117-122.



25



Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 125-128; bdk. Angel Marzoa et al.,



Exgetical Commentary on the Codex of Canon Law vol. III/I (Canada: MTF, 2004), hlm. 480.



49



a. Wali baptis adalah orang yang dipilih oleh calon baptis (untuk baptisan dewasa) dan oleh orangtua (untuk baptisan bayi) atau oleh Pastor Paroki yang dengan catatan ali baptis menerima pilihan Pastor Paroki. b. Memiliki kualitas dan kehendak untuk menjalankan peran sebagai wali baptis c. Telah berumur enam belas tahun dengan syarat melalui persetujuan Uskup Diosesan dan alasan pertimbangan yang dapat dibenarkan. d. Seorang katolik yang telah menerima sakramen inisasi dan memiliki hidup kekatolikan yang baik e. Tidak terhalang oleh hukuman gerejawi tertentu f. Bukan bapa/ibu calon baptis sendiri. Selain syarat-syarat di atas Uskup Diosesan memiliki fakultas untuk menetukan syarat untuk mempertegas menjadi wali baptis.26



5. Pembuktian dan Pencatatan Babtis yang telah diberikan (Kan. 875 878) 5.1.



Bukti Baptis (Kan. 875 – 876)



Pembuktian penyelenggaraan baptis harus memiliki kejelasan secara yuridis. Seseorang yang sudah dibaptis harus dapat dibuktikan kebenarannya melalui adanya surat baptis. Jika tidak ada surat baptis, maka dibutuhkan seseorang yang menjadi saksi. Kanon 875 menyatakan bahwa “Yang melayani baptis hendaknya mengusahakan agar, kecuali ada Wali Baptis, sekurang-kurangnya ada seorang saksi yang dapat membuktikan baptis itu.” Kanon ini menjelaskan bahwa pembuktian baptis harus memiliki Wali Baptis atau sekurang-kurangnya ada seorang saksi untuk memberi kesaksian atas pelaksanaan baptis yang sudah dilaksanakan. Sementata itu, kanon 876 menerangkan tentang keabsahan pembaptisan melalui seorang saksi atau berdasarkan sumpah dari orang yang sudah dibaptis (bila baptis dewasa). Kesaksian ini dibutuhkan agar seseorang yang sudah dibaptis dapat menerimakan sakramen-sakramen lainnya.27 26



Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 129-132. 27



Herman Yosef Ga I, Sakramen dan Sakramentali …, hlm. 133-134.



50



5.2.



Buku dan Pencatatan Baptis (Kan. 877 – 878)



Adalah tugas dan tanggungjawab pastor paroki untuk mencatat dengan tepat dan teliti nama orang-orang yang sudah dibaptis dalam sebuah buku baptis di wilayah parokinya. Sedangkan kanon 878 menegaskan bahwa pastor paroki memiliki wewenang untuk mengetahui semua pembaptisan yang ada di wilayah parokinya.28 Sebuah paroki harus memiliki buku baptis. Hal ini ditegaskan dalam kanon 535, § 1 “Dalam setiap paroki hendaknya ada buku-buku paroki, yakni buku baptis […].” Buku baptis adalah salah satu dari beberapa buku penting yang wajib dimiliki dalah sebuah paroki. Seluruh baptisan yang sudah dilaksanakan harus senantiasa dicatat dalam buku baptis. Adapun hal-hal yang wajib dicatat dalam buku baptis menurut ketentuan kanon 877, § 1, adalah nomor urut, nama yang terbaptis, nama orangtua, nama pelayan baptis, nama wali baptis, nama saksi-saksi (jika ada), tempat baptis, tanggal, bulan dan tahun baptis, tempat kelahiran, tanggal,bulan dan tahun kelahiran. Berdasarkan kanon 535, § 2, dijelaskan tentang hal-hal penting lainnya yang juga harus dicantumkan dalam buku baptis ialah penerimaan penguatan, pentahbisan, perkawinan, adopsi, profesi atau kaul kekal dan perpindahan ritus Gereja.29



Penutup Sakramen baptis adalah pintu utama untuk sakramen-sakramen yang lainnya (Kan.849) untuk mencapai keselamatan. Karena sakramen baptis adalah pintu utama, maka penting bagi para pelayan baptis untuk mempersiapkan segala sesuatunya agar para calon baptis dapat sampai pada penghayatan akan imannya kepada Yesus Kristus.



Bibliografi



28



Herman Yosef Ga I, Sakramen dan …, hlm. 138.



29



Herman Yosef Ga I, Sakramen dan …, hlm. 135-136.



51



Jhon P Beal, James A Cordien. dkk. New Commentary on the Code of Canon Law. New York: Paulist Press (tanpa tahun penerbit). Angel Marzoa et al. Exgetical Commentary on the Codex of Canon Law vol. III/I. Canada: MTF. 2004. Yosef Ga I. Herman. Sakramen dan Sakramentali menurut Kitab Hukum Kanonik, Vol. 1. Bogor: Grafika Mardi Yuana. 2014.



52



Anggota Kelompok Ardiansyah Laia (150510014) Agusman Zalukhu (150510005) Indra Tamba (150510030) Mario L. Barus (150510036) Syukurniaman Halawa (150510055) Tohapna Silaban (150510058) Willy Vitalis (150510060)



53



EKARISTI MAHAKUDUS I. Pengantar Istilah Ekaristi berasal dari Bahasa Yunani eucharistia, yang berarti puji syukur. Istilah tersebut diterjemahkan dari Bahasa Yahudi birkat. Birkat berarti doa puji syukur sekaligus permohonan atas karya penyelamatan Allah yang kemudian ditekankan sebagai karya penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus.30 Pada malam Yesus diserahkan (1Kor 11: 23), Ia menetapkan Kurban Ekaristi tubuh dan darahNya. Ekaristi menjadi penghadiran Sakramental Yesus Kristus yang kurban salib-Nya diabadikan sepanjang masa.31 Dengan Ekaristi, hakikat misteri Gereja ditegaskan dalam pengalaman iman sehari-hari. Gereja pun mengaturnya dalam aturan hukum Gereja, secara khusus Kitab Hukum Kanonik (KHK). Karena itu, tulisan ini hendak mengulas aturan khusus yang terdapat dalam KHK Buku IV. II. Hal-hal Yang Berlaku Dalam Perayaan Ekaristi Judul III Ekaristi Mahakudus Sakramen yang terluhur ialah Ekaristi mahakudus, di dalamnya Kristus Tuhan sendiri dihadirkan, dipersembahkan dan disantap, dan melaluinya Gereja selalu hidup dan berkembang. Ekaristi adalah Tuhan sendiri yang hadir di tengah-tengah kita dalam rupa roti dan anggur.32 Seperti kehadiran YHWH yang kudus di tengah umat menuntut umat menjadi kudus, demikian juga sebenarnya, kehadiran Yesus dalam Ekaristi menuntut disposisi batin tertentu. Orang tidak bisa seenaknya menerima Tubuh Tuhan. Ini sebenarnya merupakan dosa sakrilegi. (Kan. 897) Umat beriman Kristiani hendaknya menaruh hormat yang sebesar-besarnya terhadap Ekaristi mahakudus dengan mengambil bagian aktif dalam perayaan Kurban mahaluhur itu. Penghormatan yang layak diberikan kepada Sakramen Ekaristi, baik selama perayaan atau di luar itu, adalah penyembahan latria, yaitu penyembahan yang layak diberikan kepada Allah.33 Gereja membawanya orang sakit dan mereka yang tidak mungkin berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi; juga mentahtakan dalam adorasi kepada umat beriman, dan mengaraknya dalam prosesi. Gereja menganjurkan umat beriman untuk mengunjungi dan menghormati Sakramen Mahakudus yang di simpan dalam tabernakel. (Kan. 898) Bab I E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 269. Surat Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Seri Dokumen Gerejawi No. 67, Ecclesia De Eucharistia (Jakarta: KWI, 2004), hlm. 5. 32 Y.B. Prasetyantha (Ed), Ekaristi dalam Hidup kita (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 95. 33 Komisi Waligereja Indonesia, Kompendium Katekismus Gereja Katolik (Jakarta: KWI, 2009), hlm. 103. 30 31



54



Perayaan Ekaristi Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus sendiri dalam Gereja. Ekaristi adalah sebuah perayaan pertama-tama adalah perayaan seluruh Tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni Kepala dan anggota-Nya (SC 7).34 Dengan kata lain, subjek Perayaan Ekaristi adalah Tuhan Yesus Kristus dan Gereja-Nya. Ekaristi sebagai tindakan Kristus sudah sangat jelas karena Kristuslah Sang Imam Agung Sejati, satu-satunya Imam Agung Perjanjian Baru. Kehadiran pribadi Kristus dan karya penebusan-Nya dalam kurban salib itu mengalami penampakan objektif dalam kehadiran real Tubuh dan Darah-Nya dalam rupa roti dan anggur. Dari tradisi ini kita mengenal istilah transsubstantiatio (Kan. 899).35 Artikel I Pelayan Ekaristi Mahakudus Ekaristi adalah sakramen terluhur dan pusat hidup Kristiani. Maka perlu ada pelayan khusus untuk memimpinnya. Pelayan Khusus ini dibuat supaya sakramen itu sungguh dilindungi dari penyalahgunaan dan juga dari kehadiran para imam “palsu”. Pelayan Ekaristi adalah hanyalah imam yang ditahbiskan secara sah (kan. 900). Merayakan ekaristi berarti imam itu yang dapat memimpin perayaan ekaristi dan mengkonsekrasi roti dan anggur secara sah (valid) dan licit. Pelayan Ekaristi bertindak sebagai in persona Christi atau sebagai pribadi Kristus. Merekalah yang membawa dan memprsembahkan kurban Ekaristi kepada Allah atas nama seluruh umat beriman. Para imam berhak mengaplikasikan Misa bagi siapa pun, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal (Kanon. 901). Dalam KHK 1983 dijelaskan bahwa misa dapat dipersembahkan bagi siapa saja, baik mereka yang sudah dibaptis atau belum, baik mereka yang percaya atau tidak percaya, baik mereka yang berdosa atau yang suci, baik mereka yang murtad atau yang saleh, baik yang masih hidup atau sudah meninggal. Tetapi, untuk mencegah sandungan, hendaknya intensi misa untuk orang-orang tertentu tidak diumumkan kepada publik tetapi cukup secara diam36. Dalam perayaan Misa ada juga yang disebut konselebrasi (kan. 902). Konselebrasi adalah merayakan secara bersama-sama atau orang-orang yang merayakannya bersama-sama di altar. Konselebrasi ini merujuk kepada perayaan Misa yang dipimpin oleh seorang imam dan didampingi oleh bebebapa imam. Mereka bersama-sama mengucapkan kata-kata atau doa-doa dalam Ekaristi. Tujuan konselebrasi adalah mewujudkan kesatuan kurban, imamat, menandai, memaknai, dan memperkokoh ikatan persaudaraan antara para imam. Perayaan Misa itu harus unicita, yaitu yang dikonsekrasikan hanya ada satu patena/hosti dan satu anggur untuk semua imam. 34



E. Martasudjita, Ekaristi, Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Patoral (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 106.



35



E. Martasudjita, Ekaristi, Tinjauan Teologis…, hlm. 356. Herman Yosef, Sakramen dan Sakramentali Menurut Kitab Hukum Kanonik, (Jakarta: obor, 2014), hlm. 224.



36



55



Dalam KHK 1983 dijelaskan bahwa konselebrasi selalu diijinkan. Tetapi asalkan konselebrasi itu tidak bertentangan dengan atau mengabaikan kebutuhan umat beriman. Artinya disini adalah bahwa imam tidak diijinkan untuk mengikuti konselebrasi bila pada saat yang sama umatnya memerlukannya untuk Misa yang lain dan tidak ada imam lain dapat menggantikannya. Karena seorang imam bukanlah imam untuk dirinya sendiri tetapi adalah seorang pelayan umat37. Para imam yang hendak memimpin Misa harus memiliki selebret (kan. 903). Selebret adalah surat pernyataan dan rekomendasi dari ordinaris atau superior imam yang bersangkutan yang memberikan kesaksian dan membenarkan validitas tahbisan serta kelayakan atau tidak ada halangan apa pun pada diri imam tersebut untuk merayakan Misa atau mendengarkan pengakuan dosa. Tujuan selebret adalah untuk melindungi umat dari imam palsu. Selebret ini hanya berlaku sah untuk masa satu tahun sejak tanggal dikeluarkannya38. Para imam dianjurkan dan bukan “diwajibkan” (kan. 904) untuk merayakan Ekaristi setiap hari walaupun umat beriman tidak dapat hadir setiap hari. Para imam hanya boleh merayakan Misa satu kali dalam sehari kecuali ada alasan khusus. Alasan bahwa imam hanya boleh merayakan Misa satu kali dalam sehari adalah untuk mencegah penyalahgunaan banyaknya Misa untuk maksud dan alasan tidak patut atau dari motif dan intensi yang keliru, seperti hanya untuk mendapatkan stips. Stipendium (stips) adalah derma, sedekah, dan gaji 39. Stips adalah persembahan yang dihaturkan agar misa diaplikasikan bagi sebuah intensi tertentu 40. Persembahan ini bertujuan untuk membantu kesejahteraan Gereja dan mendukung kehidupan para imam (kan. 946). Selain itu, merayakan ekaristi terlalu banyak setiap hari membuat imam pelayan berlaku seperti robot pembuat misa, karena kelelahan41. Kanon 906; Jika tiada alasan yang wajar dan masuk akal, imam jangan merayakan kurban Ekaristi tanpa ikutsertanya paling tidak satu orang beriman42. Sejarah mencatat larangan bagi imam untuk merayakan Misa seorang diri tanpa kehadiran satu orang beriman pun telah berlangsung sejak Abad XII, pada zaman Paus Aleksander III. Sejak itu, setiap Misa dituntut kehadiran sekurang-kurangnya satu orang umat beriman. Alasannya adalah karena makna teologis Misa yang adalah perayaan komunitas serta tuntutan rubrik yang sepanjang Misa penuh dengan dialog antar imam dan peserta Misa.



Herman Yosef, sakramen…, hlm. 227. Herman Yosef, Sakramen…, hlm. 234. 39 Silvester Susianto Budi, Kamus Kitab Hukum Kanonik, (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 224. 40 Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983), Edisi Bahasa Indonesia, Diterjemahkan oleh Sekretariat KWI (Jakarta: KWI, 2016), Kan. 946. Penulisan Kitab Hukum Kanonik selanjutnya disingkat dengan Kan dan diikuti oleh nomor. 41 Herman Yosef, Sakramen…, hlm. 238. 42 Kan. 906. 37 38



56



Dalam KHK 1983 dijelaskan bahwa kanon 906 ini mengubah peraturan lama dalam dua hal, yaitu kehadiran seorang minister tidak lagi diwajibkan, cukup sebgai umat, cukup sebgai umat, dan alasan untuk mengijinkan Misa pribadi, yaitu asalakan wajar dan masuk akal. Alasan wajar dan masuk akal misalnya bila imam dalam perjalanan, sedang sakit, cacat dan lain-lain43. Pelayan Ekaristi mempunyai doa khusus dalam perayaan Misa (Kan. 907). Hal ini sudah ditentukan Gereja yang diatur secara hierarki. Dalam Misa ada doa-doa khusus untuk para imam (doa presidensial). Doa ini khusus untuk orang yang memimpin perayaan Misa. Hanya ada satu presiden dalam satu perayaan yaitu selebran utama44. Ada 4 doa presindensial di dalam ekaristi, yaitu; doa pembuka, doa persembahan, doa syukur agung, dan doa sesudah komuni. Pelayan ekaristi dilarang merayakan konselebrasi antar gereja (kan. 908) karena konselebrasi macam ini hanya mengungkapkan bahwa tidak adanya kesatuan. Konselebrasi sebenarnya mengungkapkan dan mewujudkan kesatuan Gereja serta kesatuan atau persaudaraan antar imam.



Dalam perayaan Misa, para imam mempunyai doa pribadi khususnya untuk



persiapan dan syukur setelah Misa (kan. 909). Misalnya: Doa sebelum mengenakan pakaian Misa, saat mencuci tangan untuk meminta kemurnian, saat mengenakan amik sebagai tanda kekebalan terhadap godaan dan lain-lain. Pelayan Ekaristi dibagi menjadi dua yaitu pertama; pelayan biasa komuni suci yang terdiri dari Uskup, imam dan diakon (Kan 910). Mereka ini adalah umat beriman yang sudah menerima tahbisan. Kedua; Pelayan luar biasa komuni adalah akolit dan juga orang beriman lain yang ditugaskan sesuai ketentuan (kan. 230 §-3). Pelayan luar biasa ialah mereka yang telah dilantik dalam Gereja. Dalam pelayanan Ekaristi ada juga disebut sebagai viaticum (kan. 911). Viaticum adalah makanan untuk yang mengadakan perjalanan45. Viaticum adalah penerimaan komuni bagi mereka yang sakit. Viaticum bagi orang sakit jangan terlalu tertunda-tunda (kan. 922). Pelayan Viaticum ini adalah pastor paroki, vikaris paroki, kapelan, superior lembaga hidup bakti, rektor seminari keuskupan (kan. 911). Tetapi, ada juga pelayan lain yang dapat melakukan pelayanan ini. Mereka adalah diakon dan awam jika pelayan-pelayan semua yang di atas tidak tersedia46. ARTIKEL II Partisipasi Dalam Ekaristi Mahakudus Seorang yang telah menerima baptisan di Gereja katolik dan oleh hukum yang berlaku, dapat menerima komuni suci tanpa terkecuali. Dalam penerimaan komuni suci, hanya mereka yang bisa sudah mampu memahami Ekaristi itu sendiri. Sesuai hukum yang berlaku, seorang anak yang Herman Yosef, Sakramen…, hlm. 245. Herman Yosef, Sakramen…, hlm. 249. 45 Silvester Susianto Budi, Kamus…hlm. 248. 46 Herman Yosef, Sakramen…, hlm. 267-269. 43 44



57



menerima Ekaristi harus mampu memahami ajaran, arti Ekaristi, dan sungguh percaya pada Kristus dengan seksama. Dengan demikian, seorang anak tersebut bisa menerima Ekaristi dengan imannya sendiri. Tetapi, seorang anak yang dalam keadaan maut, sesuai anjuran dapat diberi komuni suci dengan alasan bahwa anak tersebut memiliki pengetahuan tentang komuni suci. Tugas utama orangtua dan juga pastor paroki ialah mengajarkan anak-anak yang mampu menggunakan akal budi penerimaan sakramen tobat. Sakramen tobat diajarkan agar anak tersebut memiliki hati dan pikiran yang baik dan menerima komuni dengan baik. Dan anak yang kurang mampu memahami tentang komuni dan belum bisa menyambut, pastor paroki atau pelayan lain memberi petunjuk secara khusus tanpa diberi komuni suci.47 Dalam penerimaan komuni suci kepada umat, terutama kepada mereka yang tidak memiliki hak menerima komuni tidak diperbolehkan. Seperti terkena ekskomunikasi karena tidak menghormati Perayaan Ekaristi atau tidak percaya pada ajaran Gereja. Juga kepada mereka yang memiliki dosa berat karena melakukan pembunuhan, atau meragukan kebenaran. Jika mereka menerima komuni, mereka harus terlebih dahulu menjalankan hukum yang diberi oleh otoritas setempat. Contoh menerima pengakuan dosa serta membuat tobat sempurna.48 Umat yang telah menerima komuni suci pada perayaan Ekaristi, dan pada hari itu juga bisa menyambut komuni lagi sesuai ketentuan yang berlaku dalam kan. 921§2- meskipun pada hari yang sama telah menerima komuni suci, sangat dianjurkan agar mereka yang berada dalam bahaya maut menerima komuni lagi. Tetapi ketentuan ini bisa tidak dilaksanakan sejauh yang bersangkutan tidak menginginkan. Jika si sakit meminta, maka akan dengan mengindahkan liturgi. Sesuai dengan hukum yang berlaku bahwa sebelum menyambut komuni, umat diwajibkan untuk puasa makan, kecuali air minum, satu jam sebelum perayaan. Dengan tujuan ialah agar umat yang menyambut komuni dapat disegarkan dan dikuatkan oleh tubuh Tuhan yang telah diberkati. Tetapi bagi mereka yang sakit, ketentuan tersebut tidak berlaku. Sesuai perintah Gereja, umat beriman wajib menyambut komuni sekali setahun pada masa paska. Sekali setahun ini berlaku bagi pelayanan pastoral yang jarang dikunjungi pastor paroki atau rekan pastor paroki karena jauh.49 Viaticum dalam arti harafiah adalah makanan untuk yang mengadakan perjalanan. Viaticum adalah penerimaan komuni bagi umat beriman kristiani yang berada dalam bahaya maut. 50 Bagi pelayan pastoral kepada umat yang mengalami sakit dan tidak dapat datang ke perayaan Ekaristi, harus secepat diberikan komuni kepada mereka. Dengan demikian, mereka dikuatkan oleh tubuh



Surat Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Seri Dokumen Gerejawi, Ecclesia…, hlm. 42. Y. B. Prasetyantha, Ekaristi Dalam Hidup Kita (Yogyakarta: Kanisius, 2008), Hlm. 92. 49 Y. B. Prasetyantha, Ekaristi Dalam…, hlm. 95. 50 Silvester Susianto Budi, Kamus Kitab …, hlm. 248. 47 48



58



Tuhan dalam kesadaran mereka. Dan umat beriman yang tidak sakit wajib menerima komuni dalam perayaan yang telah ditentukan oleh Gereja. 51 Artikel 3 Ritus upacara perayaan Ekaristi (kan. 924 – 930) Perlu diketahui bahwa kanon-kanon yang terdapat dalam KHK ini berkaitan dengan ajaran resmi Gereja Katolik. Baik itu dari tinjauan dogma teologis maupun ketentuan liturgis Gereja Katolik. Selain itu, kanon-kanon dalam KHK ini berlaku dalam Gereja Katolik Ritus Latin. 52 Jadi, ketentuan dan ritus perayaan dalam Kan. 924-930 berasal dari pedoman umum Gereja Ritus Latin atau PUMR.53 Kanon 924-930, berbicara tentang ritus dan upacara perayaan Ekaristi Suci. Dalam perayaan Ekaristi terdapat hal yang paling esensial yang harus ada. Hal yang paling esensial itu terdiri dari bahan material (anggur, roti, dan air)54 dan bahan forma (doa-doa yang dilakukan oleh seroang imam ketika konsekrasi). Penggunaan roti dan anggur bersumber dari pemakluman Yesus ketika perjamuan terakhir (bdk. Luk 22:19-20), diteruskan oleh Para Rasul dan jemaat perdana (bdk. Kis 2:41). Gereja Katolik sungguh berakar dari sejarah perkembangan iman umat Kristen awal. Demikianlah yang dituliskan dalam bukunya yang terkenal itu, Essay on the Development of Christian Doctrine (1845), berikut ini adalah kutipannya: “Sejarah Kekristenan bukanlah Protestanisme. Jika ada yang namanya kebenaran yang aman, inilah dia. Dan Protestanism juga merasakan hal ini… Ini terlihat dalam keyakinan… untuk membuang semua sejarah kekristenan, dan membentuk Kekristenan dari Alkitab saja: orang-orang tidak akan pernah membuang sesuatu kecuali jika mereka sudah berputus asa tentang hal itu…. Untuk menjadi seseorang yang berakar pada sejarah, maka ia berhenti menjadi seorang Protestan.”55 Jadi, tradisi penggunaan roti dan anggur dalam Gereja Katolik merupakan warisan dari perkembangan iman Kristen awal. Untuk itu, bahan-bahan material (Hosti dan Anggur) harus terjamin originalitasnya. Keoriginalitas ini dipelihara agar warisan iman itu dihayati dan diteruskan kepada Gereja yang sedang berjiarah di dunia sampai sekarang dan untuk mencegah adanya bahanbahan anggur dan hosti yang palsu. Keaslian itu juga menggambarkan keyakinan iman akan segala sesuatu yang dilakukan oleh Kristus. Umat Kristiani harus melakukan apa yang dikatakan oleh



Surat Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Seri Dokumen Gerejawi, Ecclesia…, hlm. 27. Kan. 1. 53 Komisi Liturgi KWI, Pedoman Umum Misale Romawi, Cetakan IV (Flores: Nusa Indah Ende, 2008), hlm. 124. No. 324. Penulisan Pedoman Umum Misale Romawi selanjutnya disingkat dengan PUMR dan diikuti oleh nomor. 54 Kan. 924-1§ -3. 55 John Henry Cardinal Newman, Essay on the Development of Christian Doctrine (Notre Dame, Indiana: Notre Dame Press, 1989), hlm. 7-8. 51 52



59



Yesus. Tindakan itu mau menunjukkan keberadaan iman komunitas kristiani tidak hanya dalam bentuk imitasi (meniru), tetapi squela (mengikuti Kristus).56 Selain alasan di atas, bahan roti yang digunakan dalam Ekaristi benar-benar murni dan tidak basi. Penekanan bahwa roti harus murni, mengandaikan bahwa roti yang digunakan pada perayaan misa sungguh-sungguh tidak tercampur bahan material lainnya. Pewaspadaan terhadap material lain tidak boleh bercampur dengan roti Ekaristi bertujuan untuk menjaga keawetan hosti serta keaslian roti itu sendiri. Sehingga roti benar-benar berasal dari bahan gandum yang murni.57 Begitu juga dengan anggur yang digunakan saat Ekaristi. Dalam PUMR, anggur untuk perayaan Ekaristi harus berasal dari buah pohon anggur (bdk. Luk 22:18). Anggur itu benar-benar murni dan asli, tanpa campuran bahan lain. Bahkan dalam pedoman umum misale romawi menegaskan, seandainya terjadi kekeliruan saat konsekrasi, karena salah satu bahan material Ekaristi tertukar atau kesalahan teknis lainnya, selekas itu juga seorang imam melakukan konsekrasi terhadap bahan material Ekaristi yang sah.58 Komuni yang diterimakan kepada umat beriman hanya dalam bentuk roti saja. Pemberian komuni dengan hanya roti dilatarbelakangi dengan dua nilai penting yaitu nilai teologis dan nilai praktis. Pemberian hosti dalam bentuk roti tidak mengurangi keutuhan substansi Tubuh Kristus sendiri. Bisa dikatakan dengan cara sederhana, bahwa di mana ada tubuh yang hidup, di sana juga terdapat darah yang hidup. Dalam Katekismus no. 1378, menyatakan kehadiran Yesus dalam Ekaristi seutuhnya. Bahkan sampai pada partikel yang terkecil dan dalam setiap tetes anggur terdapat keutuhan Tubuh Kristus. Dengan demikian tidak ada alasan bahwa harus dalam komuni dua rupa baru sempurna kehadiran Kristus.59 Dalam perayaan Ekaristi tersebut perlu memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku dalam norma-norma liturgi. Bila karena alasan tertentu, komuni bisa diterimakan dalam bentuk anggur saja.60 Alasan kedua pemberian komuni dalam rupa roti dengan alasan nilai praktis. Alasan ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan sederhana. Dalam hal ini, pemberian komuni dalam rupa roti tidak membuat permasalahan baru dalam perasaan umat. Ada indikasi bahwa bila hosti dan anggur diberikan kepada umat saat pemberian komuni, maka umat yang terakhir merasa kecewa karena tidak kebagian anggur. Untuk itulah pemberian komuni dalam rupa roti saja. Adapun alasan-



56 Dr. Manangar C. Marpaung, Spiritual Awam, Imam, Religius (Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 2018), hlm. 18 [diktat]. 57 PUMR, No. 320. 58 PUMR, No. 324. 59 Konferensi Waligerja Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, Edisi Resmi Bahasa Indonesia, diterjemahkan berdasarkan edisi Jerman oleh P. Herman Emburub (Ende: Nusa Indah, 2014), hlm. 350. No. 1378. 60 Kan. 925.



60



alasan lain, mengapa hanya dalam rupa roti saja disebabkan alasan ekonomis dan keterbatasan imam Dalam ritus dan upacara perayaan Ekaristi ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan tentang bahan hosti yang digunakan oleh imam. Roti yang digunakan dalam perayaan Ekaristi tidak mengandung ragi. Ketentuan ini berlaku tanpa ada pengecualian. Dimana pun imam merayakan, imam hanya menggunakan roti tak beragi. Penegasana kanon ini berkaitan dengan Ketentuanketentuan yang dipertegas dalam “Pedoman Umum Misale Romawi” (No 320) dan yang paling akhir dalam “Redemptionis Sacramentum” (“Bahan Ekaristi Mahakudus,” No 48). Dalam “Redemptionis Sacramentum” menyatakan hal ini dengan jelas: “Roti yang dipergunakan dalam perayaan Kurban Ekaristi Maha Kudus harus tak beragi, semuanya dikerjakan dari tepung dan segar, sehingga menghindari bahaya dari basi, Karena itu roti yang dibuat dari bahan lain, dari gandum atau yang dicampur dengan suatu bahan yang bukan tepung demikian rupa sehingga orang tidak lagi memandang itu sebagai roti, tidak merupakan bahan sah untuk dipergunakan pada perayaan kurban dan sakramen Ekaristi, Adalah pelanggaran berat untuk memasukan bahan lain ke dalam roti untuk Ekaristi itu, misalnya buah-buahan atau gula atau madu, tentu saja hendaknya hosti-hosti dikerjakan oleh orang yang bukan hanya menyolok Karena kesalehannya tetapi juga terampil dalam hal mengerjakan seraya diperlengkapi dengan peralatan yang sesuai.”61 Patokan-patokan lain yang terdapat dalam kanon 926-927, merupakan ketentuan-ketentuan sah tidak sahnya perayaan Ekaristi. Kanon 926 mengandung penegasan penting tentang keabsahan sebuah tindakan Ekaristi. Keabsahan itu tejadi ketika memenuhi bahan-bahan yang dikonsekrasi yang diaprobasi secara legitim dan waktu pengkonsekrasian bahan-bahan Ekaristi. Keabsahan ini penting karena ketetapan-ketetapan terjadinya perayaan Ekaristi sesuai dengan ketentuan PUMR (no. 319). 62 Selain patokan-patokan di atas, perayaan Ekaristi selalu mengindahkan kesatuannya dengan gereja universal dalam ritus latin yang menggunakan bahasa latin dan juga bahasa daerah setempat (kan. 928-929) yang sudah diaprobasi secara Geraja Katolik. Selain ketentuan penggunaan bahasa latin, dalam perayaan Ekaristi perlu memperhatikan aksesoris yang digunakannya dalam perayaan misa sesuai dengan kewajiban-kewajiban dan hak-hak klerus sebagaimana terdapat dalam kanon. 284, pakaian-pakaian liturgis yang berlaku PUMR (No. 335-347).63 Pada bagian kanon terakhir ritus dan upacara perayaan Ekaristi dalam kanon. 930 berbicara tentan seorang imam yang memiliki masalah kesehatan. Tetapi, ada kerinduan merayakan Ekaristi sebagai konsekuensi dari jabatan imamatnya sesuai dengan kanon 276-§2. Hakekat imamat seorang F. X. Agis Triatmo, Iman Katolik Media Informasi dan Katekese, dalam Redemptioneis Sacramentum. http://www.imankatolik.or.id/kvii.php?d=Redemptionis+Sacramentum&q=0-1000. 62 PUMR, No. 319. 63 PUMR, No. 335-347. 61



61



imam mengharuskan dia untuk menyadari tugasnya dalam melakukan tugas suci. Seorang imam bisa merayakan Ekaristi dalam keadaan sakit atau lanjut usia, tetapi dengan mengindahkan hukumhukum liturgy setempat, tidak dihadapan umat, kecuali dengan izin ordinaris wilayahnya. Pada paragraph ke dua, seorang imam yang mengalami sakit khusus dibantu oleh seorang imam lain atau daikon, atau oleh seorang awam yang telah dipersiapkan untuk membantunya.64 Waktu dan tempat perayaan Ekaristi menurut KHK 931-932 Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus bersama umat Allah yang tersusun secara hirarkis. Baik Gereja universal, Partikular maupun bagi setiap orang beriman, ekaristi merupakan pusat seluruh kehidupan Kristen. Sebab dalam peryaan Ekaristi terletak puncak karya Allah yang menguduskan dunia dan puncak karya manusia memuliakan Allah Bapa lewat Yesus Kristus Putera Allah dalam Roh Kudus. Oleh karena itu, perayaan Ekaristi pengenangan misteri penebusan sepanjang tahun dihadrikan untuk umat sebagai sumber iman dan puncak kehidupan sehari-hari. 65 Sebagaimana yang terungkap dalam KHK 931 bahwa Ekaristi dapat dirayakan pada hari dan jam manapun sepanjang tahun. Kecuali pada hari-hari tertentu yang telah ditentukan dalam normanorma liturgi. Misalnya pada masa Jumat Agung setiap tahun tidak ada sama sekali perayaan Ekaristi. Karena Jumat Agung adalah Jumat dalam pekan suci atau jumat sebelum paskah, bagian dari Trihari Paskah yakni Jumat Agung, sabtu Suci dan Hari raya Paskah. Pada Jumat Agung ini Gereja mengenang sengsara dan wafat Tuhan Yesus Kristus. Jumat Agung ini diisi dengan peringatan sengsara dan wafat Tuhan Yesus Kristus melalui ibadat Sabda dan pembacaan kisah sengsara Tuhan Yesus Kristus menurut Yohanes, doa umat meriah, penghormatan salin dan pemabgian komuni yang telah dikonsekrarirdalam perayaan misa pada kamis malam sebelum Jumat Agung.66 Perayaan Ekaristi hendaknya dilakukan ditempat yang suci, gereja pada Umumnya. Kecuali dalam kasus kebutuhan khusus menuntut hal lain. Misalanya perayaan Ekaristi bagi kelompokkelompok khsusus seperti Perayaan Ekaristi bagi para peserta Ret-ret, Rekoleksi, pertemuanpertemuan yang membahas perkembangan pastoral di Paroki selama dua atau tiga hari dan kelompok-kelompok khusus lainnya yang menuntut perayaan ekaristi khusus. Maka perlu diperhatikan:



Kan. 928-930. Komisi Liturgi KWI, Pedoman Umum Misale Romawi (Ende-Flores: Nusa Indah, 2018), No. 16. Selanjutnya, Pedoman Umum Misale Romawi, disingkat dengan PUMR dan diikuti dengan Nomor. 66 Mengkonsakrir berasal dari kata konsekrasi atau consecrare dalam bahasa Latin yang berarti memberkati dan menguduskan. Dengan konsekrasi orang atau barang dikuduskan dan disisihkan untuk memuliakan Allah. Istilah konsekrasi hanya dipakai untuk roti dan anggur dalam Perayaan Ekaristi. Kaum beriman Kristiani percaya bahwa dalam konsekrasi roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus. [Lihat. Pusat Kateketik: Gereja dan…, hlm.16. Bdk. Ernest Maryanto, Kamus Liturgi, (Yogyakarta Kanisius, 2004), hlm.91-92. 64 65



62



Ekaristi harus dilaksanakan di atas Altar atau meja yang layak untuk digunakan sebagai Altar untuk mempersembahkan Misa. Altar harus ditutup sekurang-kurangnya dengan sehelai kain puith Korporal, di dekatnya dipasang sekurang-kurang dua lilin bernyala dengan sebuah salib dengan sosok Kristus Yang tersalib terpajang pada Altar di dekatnya. Buku injil (evagenliarum), Buku bacaan misa (lectionarium) harus ada dan dipersiapkan. Kemudian Piala, korporale, Purifikatorim, palla bila ada, sibori, hosti (imam dan umat), ampul (tempat air dan anggur, patena untuk komuni umat dan perlengkapan untuk membasuh tangan imam, hendaknya dipersiapkan dengan baik. Bisa diletakan di atas altar dan bias juga disiapkan disebuah meja kecil di sekita altar. Untuk pakain imam yang memimpin perayaan Ekaristi tersebut hendaknya disediakan alba, stola dan kasula. Bila dimulai denan peraraka hendakan dipersiapkan dengan baik sebagaimana yang berlaku pada Misa umat pada umumnya.67. Sesuai dengan tradisi liturgi segala bentuk misa berlaku penghormatan altar dan kitab suci, berlutut dan membungkuk pada momen-monen tertentu dan pembersihan benjana-benjana suci.68 Misa untuk berbagai keperluan ini dapat dirayakan dapat dirayakan dalam atau pada saatsaat tertentu di tempat-tempat yang dianggap layak dan cocok untuk menjawab kebutuhan kelompok-kelompok, ssperti di sebuah ruang ibadat, Gereja, alam terbuka asalkan teratur dan sesuai dengan keperluan khsusu kelompok, demi meningkatkan karya pastoral terhadap umat dan izin dari ordinaris wilayah tertent.69 Selain meperhatikan ketentuan ini, misa-untuk kelompok-kelompok khusus hendaknya disesuiakan dengan rumus-rumus Misa untuk berbagai keperluan yang ditetapkan oleh Konferensi Uskup dalam kurun tahun liturgi untuk menghindarkan sandungan dalam liturgi Gereja.70 Maka, perayaan misa dalam berbagai bentuk apapau tidak boleh disisip dalam suatu perjamuan biasa yang sedang berlangsung. Tanpa alas an yang berat misa tidak boleh dirayakan pada sebuah meja makan biasa,



71



atau dalam sebuah rumah makan diaman ada tersedia makanan



atau ditempat dimana para hadiri terpaksa harus duduk-duduk di atas meja. Jika karena alasan berat, Misa dapat dirayakan di tempat dimana perjamuan biasa diadakan setelahnya maka janganlah makanan di tempatkan dihadapan para peserta selama misa sedangfn berlangsung. 72 Tidak diizinkan mengaitkan perayaan Misa dengan peristiwa-peristiwa profan datau duniawi yang tidak spenuhnya berkitan dengan ajaran Gereja katolik supaya Ekaristi tidak kehilangan artinya yang otentik. 73 Bab II PUMR, no. 117-119. PUMR, no. 273-287. 69 PUMR, no.374 70 PUMR, no.373. bdk Kan. 932-933. 71 Kongregasi Suci untuk Ibadat Ilahi, Instruksi Liturgicae Instauraurationes, no. 95. 72 Komisi liturgi-KWI, Redemtionis Sacramentum (Sakramen Penebusan), (Jakarta: Obor, 2004), no. 77. 73 Komisi liturgi-KWI, Redemtionis Sacramentum…, no. 78. 67 68



63



Menyimpan dan Menghormati Ekaristi Kudus Ekaristi Kudus tidak diperkenankan dibawa-bawa atau disimpan oleh seseorang secara pribadi, kecuali karena alasan pastoral di mana imam harus tinggal berjauhan dari tempat penyimpanan resmi Ekaristi Kudus. Mengenai hal tersebut, diatur oleh Uskup secara khusus (Kanon 935). Ekaristi Kudus harus disimpan. Jenis tempat yang memperoleh izin kanonis untuk menyimpan Ekaristi Kudus ialah katedral, gereja paroki, rumah religius atau rumah apostolik. Di luar tempattempat tersebut, seperti di kapel uskup, kapel dan tempat doa lainnya, diperlukan izin khusus (Kanon 934 §1). 74 Tempat-tempat tersebut harus dijaga (walaupun tidak harus oleh seorang imam) dan dirayakan misa, minimal dua kali dalam sebulan (Kanon 934 §2). Ekaristi Kudus dapat disimpan untuk dibagikan kepada yang sakit apabila kedua persyaratan tersebut dipenuhi. Sehubungan dengan rumah religius dan pendidikan, hanya diperkenankan ada satu tempat khusus untuk penyimpanan Ekaristi Kudus, kecuali dalam lingkungan tersebut ada lebih dari dua komunitas, maka diperlukan izin khusus (Kanon 936).75 Gereja sebagai tempat penyimpanan Ekaristi Kudus harus terus dibuka, kecuali karena alasan khusus yang darurat, seperti adanya pencurian padahal tempat tersebut tidak selalu diawasi. Dalam keadaan tersebut, tempat tersebut dapat dibuka setidaknya selama beberapa jam (Kanon 937). 76 Ekaristi Kudus hanya disimpan di satu tabernakel (Kanon 938 §1). Tabernakel sebaiknya diletakkan di kapel yang terhubung dengan Gereja. Jika hal tersebut tidak bisa terpenuhi, tabernakel dapat diletakkan di dekat altar. Bahan material untuk tabernakel harus keras dan padat (Kanon 938 §3). Tabernakel harus dijaga (Kanon 938 §5).77 Di dekat Tabernakel, diletakkan lampu minyak atau lilin. (Kanon 940).78 Kanon mengatur bahwa jumlah Hosti Kudus yang disimpan sebaiknya bergantung pada kebutuhan dan ditaruh seminimal mungkin. Pembaruan Hosti Kudus bergantung pada iklim dan kondisi lingkungan. Tempat Hosti Kudus dapat berupa Siborium atau benda lain yang berupa kayu. Anggur Kudus sebaiknya tidak disimpan kecuali memang untuk orang sakit dan kalau disimpan harus dijaga supaya tidak tumpah dari piala (Kanon 939).79 Selain tentang penyimpanan, bab II juga mengatur tentang penahtaan Ekaristi Kudus. Ada beberapa prinsip berkaitan dengan hal ini, salah satunya menjaga kesatuan umat dalam Ekaristi. John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary on the Code of Canon Law (New York: Paulist Press, 2000), hlm. 1123, klm. 2. 75 John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1124, klm. 1 dan 2. 76 John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1125, klm. 1. 77 John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1125, klm. 2 dan hlm. 1126, klm. 1. 78 John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm.1126, klm. 2 dan hlm. 1127, klm. 1. 79 John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1126, klm. 1 dan 2. 74



64



Penahtaan tidak perlu dilakukan lebih dari satu hari. Penahtaan juga tidak perlu dilakukan lebih dari dua kali dalam satu hari, bisa dilakukan hanya pagi dan sore saja. Dalam ritus singkat, harus diadakan bacaan, mazmur, doa, dan waktu hening meditasi. (Kanon 941 dan 942). 80 Dalam penghormatan terhadap Ekaristi Kudus, ada juga tradisi perarakan yang diatur oleh Uskup (Kanon 944).81 Pelayan dalam penahtaan dibagi dua. Pertama, pelayan biasa, yaitu imam dan diakon. Kedua, pelayan luar biasa, yaitu akolit, pelayan komuni khusus, atau orang yang ditugaskan oleh ordinaris wilayah. Para pelayan luar biasa dapat membuka tabernakel, memasukkan Ekaristi Kudus ke Monstrans atau tempat penahtaan, dan mengganti Sakramen Kudus, tapi tidak boleh memberikan berkat (Kanon 943).82 Bab III Stips yang Dipersembahkan untuk Perayaan Misa Bagian pertama mengatur persembahan dan intensi misa. Persembahan merupakan hak seorang imam, namun imam tidak boleh mengabaikan orang miskin bahkan walau tidak menyumbang (Kanon 945). Dalam Firma in Traditione, Paus Paulus VI menyatakan bahwa pemberian stipendium merupakan tanda turut serta membangun Gereja di mana umat menyatukan diri dengan pengurbanan Kristus di salib (Kanon 946). Stipendium harus dihindarkan dari praktek komersialisasi yaitu sekedar mencari keuntungan (Kanon 947).83 Pada awalnya, imam hanya boleh menerima satu stips untuk satu misa. Pada tahun 1991, Kongregasi Para Imam memperkenankan agar kumpulan intensi disatukan dalam satu misa dengan syarat bahwa pemberi harus mengetahui bahwa intensinya akan digabung. Dan kepadanya diberitahukan tempat Misa. Misa yang demikian tidak boleh dilakukan lebih dari sekali dalam dua minggu. Biar bagaimanapun, kelebihan stips harus diberi kepada ordinaris wilayah (Kanon 948 dan 956).84 Apabila stips sudah diterima, imam bertanggung jawab merayakan Misa, bahkan walaupun hilang. Ini berkaitan dengan kanon 1308-1309 (Kanon 949). Stipendium diberikan dalam jumlah tertentu tanpa kejelasan berapa misa yang diadakan, sebaiknya digunakan aturan setempat di tempat tinggal pemberi (Kanon 950).85 Imam boleh menerima persembahan dalam satu hari, tapi yang menjadi haknya hanya satu dalam sehari. Bagi setiap misa yang persembahannya memang



80 81



klm. 1.



82 83



klm. 1.



84 85



klm. 1.



John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1127, klm. 1 dan 2. John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1128, klm. 2 dan hlm. 1129, John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1128, klm. 1 dan 2. John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1131, klm. 2 dan hlm. 1132 John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1132, klm. 1. John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1132, klm. 2 dan hlm. 1133,



65



ditujukan untuk paroki, stipendium wajib disetor kepada ordinaris wilayah. Imam tidak boleh menerima stips untuk misa yang kedua walaupun dengan alasan untuk ordinaris (Kanon 951).86 Jumlah stipendium diatur secara khusus oleh Konferensi Para Uskup setempat untuk menjamin kesamaan jumlah antar keuskupan yang berdekatan. Bila tidak ada, uskup setempat bisa mengatur sendiri (Kanon 952). Kanon 953 mencegah imam menerima terlalu banyak dengan kekhawatiran tidak sanggup. Pencegahan ini hanya berlaku bagi imam secara pribadi, bukan mencegah imam tersebut untuk memberikannya pada yang lain.87 Apabila ada kelebihan intensi misa dalam satu gereja, intensi misa dapat dilaksanakan di tempat yang lain dengan izin dari pemberi (Kanon 954). Dan, apabila intensi misa sudah cukup untuk satu tahun, intensi dapat dialihkan kepada yang lain. Misa dengan intensi dapat dilakukan selambatnya setahun dari masa persembahan kecuali diberitahukan waktu definitif (Kanon 955). Pelaksanaan Misa dengan intensi wajib diawasi ordinaris wilayah (Kanon 957). Setiap pemberian stipendium dan pelaksanaan Misa harus dibuat sebuah catatan khusus (Kanon 958).88 III. PENUTUP Perayaan Ekaristi bukan lagi hal yang baru bagi kita sebagai umat beriman tetapi kepada kita dituntut untuk semakin menghayati Ekaristi itu dalam menyambut tubuh Tuhan. Dalam perayaan Ekaristi, setiap orang banyak cara yang dibuat demi kecintaannya terhadap perayaan. Bukan berarti mengurangi nilai perayaan Ekaristi yang paling luhur. Dalam perayaan Ekaristi, umat membutuhkan imam karena melalui tangan mereka sebagai tangan Tuhan, kita dapat menerima komuni suci. Bahwa misteri ini harus dialami dan dihayati dalam kebenaran, baik dalam perayaan maupun dalam kemesraan dialog dengan Yesus, yang terjadi sesudah komuni. KHK menjadi aturan yang mengakomodir umat beriman untuk semakin menghayati Kristus dalam pengalaman hidup beriman sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA Agis Triatmo, F. X. Iman Katolik Media Informasi dan Katekese, dalam Redemptioneis Sacramentum. http://www.imankatolik.or.id/kvii.php?d=Redemptionis+Sacramentum&q=01000. Cardinal Newman, John Henry. Essay on the Development of Christian Doctrine Notre Dame, Indiana: Notre Dame Press, 1989. John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1132, klm. 2 dan hlm. 1133, klm. 1 dan 2. 87 John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1133, klm. 2 dan hlm. 1134, klm. 1. 88 John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm.1134, klm. 2 sampai hlm. 1136, klm. 1. 86



66



James A Coriden dan Thomas J Green, John P Beal. New Commentary on the Code of Canon Law New York: Paulist Press, 2000. Komisi liturgi-KWI. Redemtionis Sacramentum (Sakramen Penebusan) Jakarta: Obor, 2004. Komisi Liturgi-KWI. “Tahun Liturgi”, dalam, Kumpulan Dokumen Liturgi, Bina Liturgia Jakarta: Obor, 1988. Komisi Liturgi -KWI, Pedoman Umum Misale Romawi Ende-Flores: Nusa Indah, 2018. Komisi Liturgi KWI, Pedoman Umum Misale Romawi, Cetakan IV Flores: Nusa Indah Ende, 2008. Komisi Waligereja Indonesia, Kompendium Katekismus Gereja Katolik.Jakarta: KW, 2009. Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja Yogyakarta: Kanisius, 2003. _____________ Ekaristi, Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Patoral, Yogyakarta: Kanisius, 2004. Maryanto, Ernest. Kamus Liturgi, Yogyakarta Kanisius, 2004. Prasetyantha (ed.), Y.B. Ekaristi dalam Hidup kita, Yogyakarta: Kanisius, 2008. Prasetyantha, Y. B. Ekaristi Dalam Hidup Kita Yogyakarta: Kanisius, 2008. Susianto Budi, Silvester. Kamus Kitab Hukum Kanonik, Yogyakarta: Kanisius, 2014. Surat Ensiklik Paus Yohanes Paulus II. Seri Dokumen Gerejawi No. 67, Ecclesia De Eucharistia Jakarta: KWI, 2004. Yosef, Herman. Sakramen dan Sakramentali Menurut Kitab Hukum Kanonik, Jakarta: obor, 2014.



67