Diktat Perataan Komplit 2017 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DIKTAT KULIAH



HITUNG PERATAAN



Penyusun: Ir. Nurrohmat Widjajanti, MT., Ph.D. Ir. Rochmad Muryamto, M.Eng.Sc. Leni Sophia Heliani, ST., M.Sc., D.Sc. Yulaikhah, ST., MT. PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK GEODESI



DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2017



i



ISI DIKTAT



I. PERSAMAAN LINIER



A. Learning Outcome



:



Menjelaskan pengertian persamaan linier, mengidentifikasi macam-macam persamaan linier dan menyelesaikan persamaan linier (A1) Menentukan macam-macam persamaan linier (konsisten dan inkonsisten, dependen dan independen) (A1). Menyelesaikan persamaan linier (A1).



:



Minggu ke-



1



B. Materi



B.1. PENDAHULUAN Pada kasus pengukuran jarak, kenapa kita perlu mengukur pulang dan pergi?Bukankah dengan sekali pengukuran saja kita sudah bisa mendapatkan besaran jarak obyek tersebut? Contoh lain, kenapa kita mengukur semua sudut dalam segitiga? Bukankah dengan dua ukuran sudut saja kita sudah bisa tahu satu sudut lainnya, atau dengan kata lain kita sudah tahu bentuk segitiga tersebut. Dapat dikatakan kebanyakan pengukuran yang kita lakukan (seperti pada kasus pengukuran jarak dan sudut segitiga tersebut di atas) berlebih. Pada umumnya hal tersebut dilakukan untuk tujuan cek.Perhatikan ilustrasi berikut : 99,12 A



B



apakah hasil tersebut benar? Jawabannya kita tidak akan tahu



99,95 B



A 99,15 A



Jika suatu jarak AB hanya diukur sekali hasilnya 99,12 m, karena tidak ada acuannya untuk mengatakan apakah hasil tersebut benar atau salah.



B



Jika jarak tersebut diukur dua kali hasil yang kedua sebesar 99,75 m, kita tahu bahwa ukuran jarak tersebut ada yang salah, tapi ukuran yang mana yang mendekati benar dana ukuran yang yang salah kita tidak tahu. Jika diukur lagi dan hasilnya 99,15 m maka dapat diperkirakan ukuran mana yang mendekati benar dan ukuran mana yang salah. Ukuran jarak yang pertama 1



dan ketiga yang mendekati benar. Jika jarak AB diukur sebanyak n kali, berapakah nilai yang mendekati nilai yang benar? Orang sering menggunakan nilai rata-rata sebagai nilai yang mendekati benar. Ilustrasi tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam suatu pengukuran perlu dilakukan beberapa ukuran lebih untuk cek. Akibatnya adalah solusi yang diperoleh (misalnya besaran jarak pada ilustrasi di atas) banyak atau tidak unik. Untuk memperoleh suatu hasil yang unik perlu suatu cara atau metode tertentu. Pada ilustrasi di atas digunakan dengan menentukan nilai rata-rata. Bagaimana untuk kasus pengukuran tiga sudut pada segitiga atau kasus yang lain? Banyak metode atau konsep yang bisa digunakan, salah satunya dengan menggunakan hitung perataan kuadrat terkecil (HKT). Namun sebelum membahas mengenai HKT, perlu dibahas mengenai materi tentang sistem persamaan linier dan non linier serta materi terkait dengan matrik. Materi ini menjadi dasar yang penting dalam penyelesaian HKT.



B.2. PERSAMAAN LINIER Persamaan linier adalah sebuah persamaanaljabar, yang tiap sukunya mengandung konstanta, atau perkalian konstanta dengan parameter (variabel) tunggal berpangkat satu dan tidak ada perkalian antar parameter. Persamaan linier bisa terdiri atas satu atau dua parameter bahkan lebih. Sebuah himpunan berhingga dari persamaan-persamaan linier didalam n variable: x1, x2, …, xn disebut sistem persamaan linier (SPL). Contoh sistem persamaan linier dengan dua parameter : x + 3y = 7 2x + 2y = 6 4x – y = 10



(I.1)



Contoh sistem persamaan linier dengan tiga parameter : 2x + 3y – z = 20 3x + 2y + z = 20 x + 4y + 2z = 15



(I.2)



2x + 5y + 4z - 12 = 0 3y =0 4x + y + 9z - 30 = 0 -x - 7y - 32 = 0



(I.3)



Persamaan (I.2) dikatakan sebagai tiga persamaan linier dengan tiga parameter sedangkan persamaan (I.3) dikatakan sebagai empat persamaan linier dengan tiga parameter yaitu parameter x, y dan z. Istilah yang sering digunakan dalam materi persamaan linier adalah :



2







Parameter, sering juga disebut dengan variabel yaitu suatu nilai yang belum diketahui atau nilainya bisa berubah-ubah, misal: x, y, z.







Koefisien parameter, yaitu nilai pada tiap suku yang ada parameternya.







Konstanta persamaan, yaitunilai pada tiap suku yang tidak ada parameternya.



B.2.1. Persamaan konsisten dan inkonsisten Apabila ada dua atau lebih persamaan linier, tidak ada satupun parameter yang memenuhi semua persamaan tersebut, maka salah satu atau lebih dari persamaan tersebut tidak konsisten (inkonsisten) terhadap persamaan lainnya, dengan kata lain sistem persamaan tersebut inkonsisten. Sebaliknya apabila bisa didapatkan satu atau lebih nilai parameter yang memenuhi semua persamaan linier, semua persamaan linier tersebut merupakan persamaan yang konsisten, dengan kata lain sistem persamaan linier tersebut konsisten. Persamaan konsisten dan tidak konsisten pada sistem persamaan linier dua parameter dapat ditunjukkan dengan lebih jelas melalui grafik pada Gambar I.1.



Gambar I.1. (a) inkonsisten, (b) konsisten dengan solusi unik, (c) konsisten dengan solusi banyak Gambar I.2. menunjukkan pengelompokan sistem persamaan linier yang konsisten dan tidak konsisten.



Mempunyai penyelesaian disebut KONSISTEN



Solusi tunggal Solusi banyak



SPL Tidak mempunyai penyelesaian disebut TIDAK KONSISTEN 3



Gambar I.2. Sistem persamaan linier yang konsisten dan tidak konsisten. Contoh sistem persamaan linier dengan 3 parameter : 2x + 4y + 2z - 8 = 0



... (1)



3x + 2y



... (2)



-6=0



(I.4)



Kedua persamaan linier tersebut merupakan persamaan yang konsisten, karena dari kedua persamaan tersebut bisa diperoleh satu atau lebih pasangan nilai parameter yang memenuhi kedua persamaan tersebut. Pasangan nilai parameter pada Tabel 1 akan memenuhi kedua persamaan linier pada persamaan (I.4). Nilai pasangan parameter yang memenuhi persamaan (I.4) Pasangan parameter x



I



II



III



IV



0



2



1



4



y



3



0



1,5



-3



z



-2



2



0



6



dst



Jika persamaan (I.4) di atas ditambah satu persamaan lagi sehingga menjadi tiga persamaan linier berikut : 2x + 4y + 2z - 8 = 0



... (1)



3x + 2y



-6=0



... (2)



- 2z - 8 = 0



... (3)



4x



(I.5)



Maka pasangan nilai parameter pada Tabel 1 tidak ada satu pasangan pun yang memenuhi persamaan ke 3 pada persamaan (I.5), oleh karena itu persamaan tersebut disebut inkonsisten. Jika persamaan ke 3 pada persamaan (I.5) diganti dengan persamaan yang lain misalnya 4x + 3y - 2z - 13 = 0, maka persamaan tersebut menjadi konsisten karena terdapat pasangan nilai parameter yang memenuhi ketiga persamaan pada (I.5) yaitu 0, 3, -2 untuk x, y dan z. Contoh persamaan konsisten dan inkonsisten : x + y =5



...(1)



x - y =5



...(2)



2x + 2y = 15



...(3)



(I.6)



Persamaan (2) merupakan persamaan yang konsisten terhadap pers. (1). Persamaan (3) merupakan persamaan yang inkonsisten terhadap persamaan (1), persamaan yang konsisten terhadap persamaan (1) yaitu : 2x + 2y = 10.



4



Persamaan konsisten, jika ada satu nilai x dan y yang dapat memenuhi kedua persamaan tersebut.Persamaan yang inkonsisten apabila harga x dan y tidak memenuhi kedua persamaan tersebut.Untuk persamaan (1) dan (2) nilai x dan y yang memenuhi adalah : x = 5, y = 0.



B.2.2. Persamaan dependen dan independen Suatu persamaan yang konsisten bisa bersifat dependen atau independen. Suatu persamaan dikatakan dependen terhadap satu atau sejumlah persamaan lainnya, jika persamaan tersebut merupakan fungsi dari persamaan lainnya. Sebaliknya jika bukan merupakan fungsi dari persamaan lainnya maka persamaan tersebut dikatakan independen. Sistem persamaan linier disebut sebagai konsisten dan independen jika memiliki tepat satu penyelesaian. Jika sistem persamaan ini diselesaikan secara aljabar, selalu diperoleh tepat satu pasang nilai parameter. Sebaliknya jika memiliki penyelesaian yang banyak atau tak terhingga, maka persamaan tersebut disebut sebagai konsisten dan dependen.Jika sistem persamaan ini diselesaikan secara aljabar, diperoleh sebuah pernyataan yang selalu benar. Sebagai contoh kita lihat empat persamaan dengan tiga parameter berikut ini : 2x + 4y + 2z - 7 = 0 ... (1) 3x + 2y



- 6 = 0 ... (2)



x + 6y + 4z - 8 = 0 ... (3) x - y - 2z + 5 = 0 ... (4)



(I.7)



Dari keempat persamaan pada persamaan (I.7), persamaan (3) merupakan fungsi dari persamaan (1) dan (2) yaitu diperoleh dari penguranganpersamaan (2) terhadap dua kali persamaan (1). Dengan kata lain persamaan (3) sama dengan dua kali persamaan (1) dikurangi persamaan (2).Dengan demikian dapat dikatakan persamaan (3) dependen terhadap persamaan (1) dan (2), sehingga semua parameter yang memenuhi persamaan (1) dan (2) juga memenuhi persamaan (3). Selanjutnya dari persamaan I.7, dapat dikatakan persamaan (1), (2) dan (4) adalah independen, artinya tidak semua nilai parameter yang memenuhi salah satu persamaaan juga pasti akan memenuhi persamaan yang lain.



B.2.3. Penyelesaian persamaan linier Yang dimaksud dengan penyelesaian persamaan linier adalah mencari atau menghitung satu atau lebih pasang nilai parameter yang memenuhi sistem persamaan linier.



5



Seperti diuraikan sebelumnya bahwa terdapat tiga kemungkinan penyelesaian sistem persamaan linier : 1. Persamaan yang konsisten dan independen akan memberikan hasil penyelesaian tunggal/unik 2. Persamaan yang konsisten dan dependen akan memberikan hasil penyelesaian yang banyak 3. Persamaan yang inkonsisten tidak mempunyai penyelesaian Oleh karena itu sebelum dilakukan perhitungan untuk mencari nilai parameter, terlebih dahulu perlu diketahui sifat-sifat persamaan linier tersebut, apakah konsisten atau inkonsisten, apakah dependen atau independen. Jika persamaan tersebut inkonsisten dan tidak memiliki penyelesaian maka kita tidak perlu menyelesaikan persamaan tersebut. Dari uraian pada sub bab sebelumnya maka dapat dibuat diagram tentang persamaan linier dengan sejumlah n persamaan dan uparameter seperti pada Gambar I.3.



Gambar I.3. Diagram kondisi penyelesaian persamaan linier Dari Gambar I.3, terdapat beberapa kondisi persamaan linier sebagai berikut : 1. Apabila ada u parameter, maka paling banyak pasti hanya akan ada u persamaan yang independen. 2. Apabila ada u parameter dengan u persamaan independen, maka pasti hanya akan ada satu pasang nilai parameter yang memenuhi persamaan tersebut (penyelesaiannya unik). 6



3. Apabila ada u parameter dengan jumlah persamaan independen < u, maka bisa didapat banyak pasangan nilai parameter yang memenuhi semua persamaan tersebut (penyelesaiannya tidak unik). 4. Sejumlah persamaan yang penyelesaiannya tidak unik dapat dibuat unik dengan memberikan kondisi persyaratan tertentu, misalnya dengan jumlah kuadrat parameter yang dicari yang minimum atau jumlah nilai absolut parameter yang dicari minimum. Salah satu cara untuk mengetahui sifat persamaan linier tersebut adalah dengan melakukan hitungan-hitungan dasar dari metode eliminasi Gauss. Metode Eliminasi Gauss merupakan metode yang dikembangkan dari metode eliminasi, yaitu menghilangkanatau mengurangi jumlah parameter sehingga dapat diperoleh nilai dari suatu parameter yang bebas. Adapun hal-hal yang perlu diketahui dalam perhitungan menggunakan metode eliminasi Gauss adalah : 1. Nomor urut persamaan dapat diubah bebas, misalnya persamaan pertama dapat menjadi kedua dan sebaliknya. 2. Setiap persamaan dapat dikalikan dengan sembarang nilai, kecuali nilai nol. 3. Sebuah persamaan dapat diubah dengan persamaan



baru, yang merupakan hasil



ditambah atau dikurangi dengan persamaan lain. Cara ini termasuk yang paling praktis dan sering digunakan pada kasus yang menggunakan data yang besar dan diselesaikan dengan menggunakan program komputer. Apabila persamaan linier disusun dalam bentuk matrik, maka metode Eliminasi Gauss ini pada prinsipnya adalah melakukan operasi baris elementer sehingga elemen non diagonal bagian bawah dari matrik berisikan nilai 0. Dengan menggunakan metode tersebut dapat diketahui sifat-sifat masing-masing persamaan linier. Jika diketahui bahwa persamaan tersebut adalah konsisten, maka selanjutnya dapat dicari penyelesaiannya yaitu nilai-nilai parameter yang memenuhi dan yang paling dikehendaki. Contoh : terdapat tiga persamaan linier dengan tiga parameter sebagai berikut : x - y + 2z = 7



(1)



x - 2y + 4z = 14



(2)



3x - 5y + 10z = 15



(3)



Untuk mengetahui sifat dari persamaan linier tersebut dengan metode Eliminasi Gauss adalah sebagai berikut : 1. Tahap 1 : menyusun persamaan baru sedemikian sehingga persamaan (1) tetap dan koefisien x persamaan (2) dan (3) bernilai 0. 7



Persamaan baru: (1)



= tetap



x - y + 2z = 7



(2)



= pers. (1) - pers. (2)



0x + y - 2z= -7



(3)



= 3 pers. (1) - pers. (3)



0x +2y - 4z= 6



2. Tahap 2 : menyusun persamaan baru sedemikian sehingga persamaan (1) dan (2) pada tahap 1 tetap dan koefisien y persamaan (3) bernilai 0 dengan acuan persamaan (2). Persamaan baru : (1)



= tetap



x - y + 2z = 7



(2)



= tetap



0x + y - 2z = -7



(3)



= pers. (2) –0,5. pers. (3)



0x + 0y + 0z = -20  -20 adalah residu



Bila persamaan ke-n semua koefisisen parameter dapat dibuat nol maka ada dua kemungkinan, yaitu: persamaan tersebut DEPENDEN atau INKONSISTEN. Untuk mengetahui dependen atau inkonsisten dengan melihat nilai residunya. Jika residu ≠ 0 , maka persamaan tersebut bersifat inkonsisten Jika residu = 0, maka persamaan tersebut bersifat dependen Berdasarkan contoh diatas dapat disimpulkan bahwa persamaan (3) bersifat inkonsisten, karena residu ≠ 0. Oleh karena itu tidak ada penyelesaian yang bisa memenuhi ketiga persamaan tersebut. Untuk mencari penyelesaiannya (menentukan nilai x, y, dan z) maka persamaan (3) diabaikan atau membuat persamaan (3)dependen terhadap persamaan yang lain.



B.3. MATRIK



B.3.1. Definisi matrik Aljabar matrik paling tidak memiliki dua kelebihan yaitu : a. mereduksi suatu sistem persamaan yang komplek menjadi bentuk yang lebih sederhana yang dapat divisualisasikan dan dimanipulasi dengan lebih mudah. b. Menyediakan model matematis yang sistematik sehingga penyelesaian masalah dapat dilakukan dengan lebih mudah menggunakan program komputer. Permasalahan dalam bidang surveying, geodesi dan photogrametri seringkali melibatkan data yang cukup besar, yang berarti melibatkan sistem persamaan yang cukup besar pula. Data yang besar ini selanjutnya diolah dengan metode hitung perataan kuadrat terkecil untuk 8



mendapatkan solusi yang paling memungkinkan untuk parameter dan pengukuran. Pada hitung perataan kuadrat terkecil seringkali harus dilakukan perhitungan yang berulang-ulang (iterasi) sehingga proses perhitungan dengan komputer sangat diperlukan. Metode matrik ini sangat cocok diterapkan pada hitung perataan kuadrat terkecil dengan menggunakan komputer. Matrik dapat didefinisikan sebagai sekumpulan bilangan yang disusun secara khusus dalam bentuk m baris dan n kolom sehingga berbentuk persegi panjang atau bujursangkar. Penempatan angka dalam tiap baris dan kolom sesuai dengan fungsi dalam suatu persamaan. Sebagai contoh terdapat empat persamaan linier berikut ini : a11 x1 + a12 x2 + a13 x3 = c1 a21 x1 + a22 x2 + a23 x3 = c2 a31 x1 + a32 x2 + a33 x3 = c3 a41 x1 + a42 x2 + a43 x3 = c4



(I.8)



Persamaan (I.8) a adalah koefisien parameter x dan c adalah konstanta. Sistem persamaan tersebut dapat direpresentasikan dalam bentuk penjumlahan sebagai berikut :



Persamaan tersebut dapat juga ditulis dalam bentuk matrik sebagai berikut : (I.9)



Persamaan (I.9) dapat dinyatakan dalam bentuk notasi matrik sebagai berikut : AX = C Biasanya notasi matrik menggunakan huruf besar sedangkan notasi elemen matrik menggunakan huruf kecil yang bersesuaian. Pada persamaan (I.9) matrik A adalah matrik 9



koefisien parameter dengan elemennya adalah a, matrik X adalah matrik parameter dengan elemennya adalah x dan matrik C adalah matrik konstanta dengan elemennya adalah c. Untuk membedakan elemen dalam suatu matrik, indeks pada setiap elemen matrik menunjukkan posisi pada baris maupun kolom tertentu. Sebagai contoh aij adalah elemen matrik A pada baris ke-i dan kolom ke-j.



B.3.2. Ukuran/dimensi dan jenis matrik Ukuran atau dimensi suatu matrik ditentukan oleh jumlah baris dan jumlah kolomnya. Matrik dikatakan berdimensi m,n berarti memiliki m baris dan n kolom. Berdasarkan dimensi dan elemennya, terdapat beberapa jenis atau tipe matrik. Jenis-jenis matrik tersebut adalah : 1. Matriks umum (general matriks) jika nilai n maupun m dan nilai aijmasih bebas



2. Matriks baris, yaitu matrik yang hanya terdiri dari satu baris saja(m=1) 3. Matriks kolom, yaitu matrik yang hanya terdiri dari satu kolom saja (n=1)



4. Matriks bujursangkar yaitu matriksyang jumlah barisnya sama dengan jumlah kolom(n=m)



5. Matrik diagonal yaitu matrik bujursangkar yang elemen diagonalnya tidak sama dengan nol sedangkan elemen selain diagonal sama dengan nol (nilai aij = aji = 0 untuk i ≠ j)



6. Matrik segitiga atas, seperti halnya matrik diagonal tetapi elemen bagian atas diagonal tidak sama dengan nol sedangkan yang bagian bawah diagonal sama dengan nol.



10



7. Matrik segitiga bawah, kebalikan dari matrik segitiga atas, matrik ini memiliki elemen sama dengan nol pada bagian atas diagonal sedangkan yang bagian bawah diagonal tidak sama dengan nol.



8. Matriks simetris yaitu matrik bujursangkar yang elemen pada baris ke-i, kolo ke-j nilainya sama dengan elemen pada baris ke-j, kolom ke-i. Dengan kata lain nilai aij = ajiuntuk semua i dan j.



9. Matriks skew-simetris adalah matrik bujursangkar yang semua elemen diagonal utama sama dengan nol sedangkan untuk elemen selain diagonal utama berlaku nilai aij = -aji



10. Matriks identitas (unit matriks) adalah matrik diagonal yang semua elemen diagonalnya sama dengan 1. Matrik ini disebut juga sebagai unit matrik dan diberi simbol I atau In dimana n merupakan ukuran matrik tersebut. Dengan kata lain nilai aij = aji = 0 kecuali untuk i = j nilai aij = 1 sehingga merupakan matrik diagonal dengan elemen diagonal = 1



11. Matrik skalar, yaitu matrik diagonal yang semua elemen diagonalnya memiliki nilai yang sama k. Matrik identitas merupakan bentuk khusus dari matrik skalar dimana k=1.



11



12. Matrik nol, yaitu matrik yang semua elemennya bernilai nol, biasanya diberi simbol 0.



13. Matrik singular, yaitu matrik bujursangkar yang memiliki determinan sama dengan nol.



B.3.3. Operasi pada matrik Apabila terdapat matrik umum A dan B, maka dapat diperoleh matrik C yang merupakan hasil operasi dari A atau B saja, atau hasil operasi dari kedua matrik A dan B. Beberapa operasi matrik adalah sebagai berikut : 1. Matrik transpose. Transpose dari suatu matrik A (aij)mn adalah suatu matrik baru yang elemen-elemennya diperoleh dengan baris-baris pada matrik A menjadi kolom dan sebaliknya kolom-kolom pada matrik A menjadi baris. Dengan kata lain baris ke-i pada matrik A berubah menjadi kolom ke-i pada matrik yang baru. Matrik Cmerupakan transpose dari A apabila cij = aji,ditulis dengan simbol C =AT. 2. Kesamaan dua matrik. Matrik C dikatakan sama atau identik dengan matrik A jika kedua matrik tersebut berdimensi sama dan elemen-elemen yang bersesuaian memiliki nilai yang sama. Dengan kata lain matriks C = A apabila semua elemen cij = aij (C=A) 3. Penjumlahan dan pengurangan dua matrik. Matriks C merupakan jumlah matriks A dan B apabilamasing-masing elemen pada matrik C merupakan hasil penjumlahan elemen-elemen yang bersesuaian pada matrik A dan B. C = A+B cij = aij + bij C = A-B cij = aij- bij 4. Perkalian matrik. Matriks C yang merupakan perkalian matriks A dan B bisa dilakukan hanya jika jumlah kolom pada matrik A sama dengan jumlah baris pada matrik B. Elemen cij merupakan jumlah dari perkalian elemen-elemen baris ke-i matrik A dengan elemen-elemen kolom ke-j matrik B. 12



(C = A.B)cij = ∑ aik bkjdimana k = 1, 2, 3, ... sesuai jumlah kolom matrik A atau baris matrik B 5. Matrik Adjoint. Matriks C disebut sebagai adjoint dari A apabila matrik C merupakan hasil kali antara invers A dengan determinan A. CA = AC=|determinan A| . I CA = AC=|determinan A| 6. Matrik kofaktor. Matrik C adalah kofaktor dari A apabila matrik C merupakan transpose matrik adjoint dari A. 7. Matrik invers. Matriks C merupakan invers matriks A apabilahasil kali antara A dan C merupakan matrik identitas. AC = AC = I  C = A-1 Terdapat beberapa hukum yang berlaku pada operasi matrik di atas. Apabila A, B, C adalah matriks umum dengan masing-masing elemen aij, bij, cij; r,s, dan t adalah konstanta, O adalah matriks nol dan I adalah matriks identitas, maka berlaku ketentuan-ketentuan berikut ini : 1. A = B apabila aij = bij 2. A+O = O+A = A 3. A+B = B+A 4. A+(-1)A = O 5. (A+B) + C = A +(B+C) 6. s(A+B) = sA + sB 7. (s+t)A = sA + tA 8. S(t)A = (st)A = t (sA) 9. A(B+C) = AB + AC 10. A-B = O → A = B+O → A=B 11. A(BC) = (AB)C 12. B = C →AB = AC 13. AB = O →belum tentu A dan B sama dengan nol 14. AB ≠ BA → AB = BA hanya keadaan khusus 15. AI = IA = A 16. A-1A = AA-1 = I 17. (ABC)T = CT BT AT 18. (A+B)T = AT + BT 19. ATA disebut matriks kuadrat dari A 20. A linier dependen maka AB juga linier dependen sehingga AAT singuler 21. AT = A→ A merupakan matriks simetris 13



B.3.3. Invers matrik Invers matrik berukuran 2x2 :



a12  a A =  11  a 21 a 22 



A-1=



1 a11.a 22  a 21.a12



 a 22  a12   a   21 a11 



Untuk matrik yang berukuran lebih besar, invers matrik dapat dicari dengan metode adjoint dengan rumus sebagai berikut : A-1 =



1 . adj (A) A



A-1 =



1 . [kofaktor A]T A



1  a11 1  1 A-1 = .  a21 A  1 a  m1



1 a12 1 a22 1 a32



a1n1  1  a23  1  a mn 



T



Perlu dihitung determinan terlebih dahulu dengan cara sebagai berikut (contoh untuk matrik berukuran 3x3)



 a11 a12 Matriks A3x3 = a 21 a 22 a31 a32



│A│= a11



a 22 a 32



a13  a 23  a33 



a a a 22 a 23 a 23 – a12 21 + a13 21 a 31 a32 a 31 a33 a33



disebut minor determinan, baris ke-i dihapus kolom ke-j dihapus. aij, misal a11, sehingga i = 1, j = 1 sehingga baris ke-1 dihapus kolom ke-1 dihapus. Cara lain:



4 a11 a12 │A│= a 21 a 22 a31 a32



5 6 a13 a11 a12 a 23 a 21 a 22 a33 a31 a32 3 1 2 14



│A│= {(a11.a22.a33) + (a12.a23.a31) + (a13.a21.a32)}– {(a13.a22.a31) + (a11.a23.a32) + (a12.a21.a33)} Menghitung invers matrik dengan cara adjoint : 1 a11 1  1 = a 21 A-1 = A 1 a31 



1 a12 1 a 22 1 a32



1  a13 1  a 23  1  a33 



T



aij1 (kofaktor ke-ij) apabila: 1+j  genap maka tanda (+),1+j  ganjil maka tanda (–), atau (–) i+j. 1 11



a



1+1



= (-1)



a 22 a32



a 23



a32 = {(a22.a33) – (a32.a23)}



a 21 a 23 1 = (-1)1+2 a a12 a33 = –{(a21.a33) – (a31.a23)} 31



1 13



a



1 21



1+3



= (-1)



a 21 a 22 a31



a32 = {(a21.a32) – (a31.a22)}



a11



a13



a32



a33 = –{(a11.a33) – (a32.a13)}



a11



a13



a11



a12



a12 1 a31 = (-1)3+1 a 22



a13



a



2+1



= (-1)



2+2



1 = (-1) a 22



a



a



1 23



1 32



2+3



= (-1)



3+2



= (-1)



a31 a33 = {(a11.a33) – (a13.a31)}



a31 a32 = –{(a11.a32) – (a12.a31)}



a11



a 23 = {(a12.a23) – (a13.a22)}



a13



a 21 a 23 = –{(a11.a23) – (a13.a21)}



15



a11 a12 1 = (-1)3+3 a a33 a 22 = {(a11.a22) – (a12.a21)} 21



C. Contoh Soal/Pertanyaan dan Jawaban 1. Jelaskan apakah persamaan linier berikut ini konsisten, inkonsisten, dependen ataukah independen? 2x + y - 4z = 5



...(1)



x - y + 2z = 7



...(2)  Pers. konsisten dan independen



x - y



...(3)  Pers. konsisten dan independen



3x



=3 - 2z = 12



...(4)  Pers. dependen thd pers. (1) dan (2), krn penjumlahan pers. (1) dan (2)



2x - 2y + 2z = 0



...(5)  Pers. inkonsisten thd pers. (2) & (3). Apabila pers. (5) menjadi 2x – 2y + 2z = 10, maka pers. (5) yg baru dependen thd pers. (2) dan (3)



4x - y - 4z = 11



...(6)  Pers. dependen thd pers. (1) dan (3). Karena pers. (6) = pers (1) + (2 x pers. (3))



Berarti persamaan konsisten mungkin dependen atau independen dan persamaan inkonsisten pasti independen. 2. Terdapat 5 persamaan dengan 3 parameter. Tentukan sifat persamaan-persamaan tersebut dengan menggunakan cara Eliminasi Gauss! 2x + 4y + 2z = 8



... (1)



3x + 2y



=6



... (2)



=8



... (3)



=2



... (4)



x + 2y + z 2x



- z



x - y - 2z = -5



... (5)



Jawaban : a. Tahap 1 : menyusun persamaan baru sedemikian sehingga persamaan (1) tetap dan koefisien x pada persamaan lainnya bernilai 0. (1): Tetap



2x + 4y + 2z = 8



(2): 3 Pers. (1) - 2 Pers. (2)



0 + 8y + 6z = 12



(3): Pers. (1) - 2 Pers. (3)



0 + 0 + 0 = -8



(4): Pers. (1) - Pers. (4)



0 + 4y + 3z = 6



(5): Pers. (1) - 2 Pers. (5)



0 + 6y + 6z = 18



16



Pada tahap 1 ini menghasilkanpersamaan (3) yang memiliki nilai koefisien x, y, z = 0 dan residu tidak sama dengan nol, maka persamaan (3) adalah inkonsisten terhadap persamaan (1) karena hanya didapat dari operasi dengan persamaan (1). Dengan demikian tidak akan didapat nilai x, y, z yang memenuhi semua persamaan tersebut atau bila ada nilai x, y, z yang memenuhi persamaa (1), (2), (4) dan (5) maka nilai x, y, z tersebut tidak memenuhi persamaan (3). b. Tahap 2 : menyusun persamaan baru sedemikian sehingga persamaan (1) dan (2) pada tahap 1 tetap dan koefisien y persamaan lainnya bernilai 0 dengan acuan persamaan (2). Pada tahap ini persamaan (3) diabaikan karena inkonsisten. Persamaan baru : (1) : Tetap



2x + 4y + 2z = 8



(2) : Tetap



0 + 8y + 6z = 12



(3): Inkonsisten (4) : Pers. (2) – 2 Pers. (4)



0 + 0 + 0 =0



(5): 6 Pers. (2) - 8 Pers. (5)



0 + 0 - 12z = -72



Pada tahap 2 ini menghasilkan persamaan (4) yang memiliki nilai koefisien x, y, z = 0 dan residu juga sama dengan nol, maka persamaan (4) adalah dependen terhadap persamaan (1) dan (2) karena didapat dari operasi dengan persamaan (1) dan (2). Sedangkan persamaan (5) bersifat independen terhadap persamaan (1) dan (2).Persamaan (4) tidak selalu dependen terhadap persamaan (1) dan (2), bisa juga hanya dependen terhadap persamaan (2) saja. Jika dengan meletakkan persamaan (2) pada baris paling atas kemudian dengan cara perhitungan yang sama diperoleh residu persamaan (4) sudah = 0 pada tahap pertama maka persamaan (4) dependen hanya pada pers. (2) saja. Dapat disimpulkan bahwa persamaan yang independen adalah persamaan (1), (2) dan (5). Dengan ketiga persamaan tersebut dan tiga parameter, maka dapat diperoleh nilai parameter x, y, z yang unik. •



Pers. (5)



-12z = -72 z=6







Pers. (2)



-8y + 6z = 12 y + 36 = 12



8y = -24 y = -3 17







Pers. (1)



2x + 4y + 2z = 8 2x - 12 + 12 = 8 2x = 8 x=4



hasilnya adalah x = 4, y = -3, z = 6, tidak akan diperoleh nilai-nilai selain nilai tersebut. 3. Hitunglah invers dari matrik berikut :



  1 6 a. A =    4 3



a12  a A =  11  a 21 a 22 



A-1 =



A-1 =



 a 22  a12  1 a11.a 22  a 21.a12  a 21 a11 



 3  6 1 1  3  6   1 / 9 2 / 9  = =    3  24  4  1  27  4  1 4 / 27 1 / 27



4. Hitunglah invers dari matrik berikut dengan cara adjoint :



3 2 1  Matriks A3x3 = 2 1 1  3 2 2



4 3 2 13 │A│= 2 1 1 2 3 2 23 1



5 6 2 1 2 2 3



= {(3x1x2) + (2x1x3) + (1x2x2)} – {(3x1x1) + (2x1x3) + (2x2x2)} = (6+4+4) – (3+6+8) = 16 – 17 = –1 a11 =



1 1 = (2 – 2) = 0 2 2



a12 = –



2 1 = – (4 – 3) = –1 3 2



a13 =



2 1 = (4 – 3) = 1 3 2 18



a21 = –



2 1 = – (4 – 2) = –2 2 2



a22 =



3 1 = (6 – 3) = 3 3 2



a23 = –



3 2 = – (6 – 6) = 0 3 2 2 1



a31 =



1 1



= (2 – 1) = 1



a32 = –



3 2 = – (3 – 2) = –1 1 1



a33 =



3 2 = (3 – 4) = –1 2 1



 0 1 1  kofaktor A = K =  2 3 0   1  1  1 A-1 =



 0 2 1  adj A =  1 3  1  1 0  1



1 .adj A A



 0 2 1  1   1 3  1 =  1  1 0  1 2  1 0  =  1  3 1   1 0 1 



-1 3A 3A3=



1 0 0 0 1 0    0 0 1



D. Soal/Pertanyaan 1.



Ada 6 persamaan dengan 3 parameter: 2x + y - 3z



=3



... (1) 19



4x - 2z = 8 -2x - 8y - 5z = 8 4x - 2y + 2z = 10 2x - 10y - 3z = 14 14x - 26y = 54



... (2) ... (3) ... (4) ... (5) ... (6)



a. Identifikasi persamaan mana yang bersifat independen, dependen dan inkonsisten? b. Hitunglah nilai x, y dan z 2.



Jika NIM anda adalah ABCDE, maka 5 persamaan linier dengan 3 parameter disajikan sebagai berikut : Bx + Cy - 5z = 20 -6x - y + 3z = 12 (2A)x - 12y - 4z = 24 -4x - 2/3 y + 2z = 8 (1,5A)x + 9y - 3z = -16



... (1) ... (2) ... (3) ... (4) ... (5)



a. Identifikasi persamaan mana yang bersifat independen, dependen dan inkonsisten? b. Hitunglah nilai x, y dan z (hasilnya bisa pecahan) 3.



Pada contoh soal no 2, buktikan apakah persamaan (4) dependen terhadap persamaan (1) saja ataukah dependen terhadap persamaan (1) dan (2)! Tentukan nilai parameter x, y dan z!



4.



Pada contoh soal no 2, jika persamaan (3) diletakkan pada baris paling atas, bagaimana sifat masing-masing persamaan tersebut? Tentukan nilai parameter x, y dan z! Samakah hasilnya dengan contoh diatas?



5.



Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis matrik berikut : b.



a.



c.



d.



6.



Buatlah matrik simetris dan skew-simetris dengan ukuran 4 x 4!



7.



Diketahui a. Hitunglah ATA, apa jenis matrik yang dihasilkan? b. Hitunglah AAT, apa jenis matrik yang dihasilkan? c. Apakah hasil ATA sama dengan AAT ? 20



d. Hitunglah (A+B)T dan AT + BT, apakah hasilnya sama? e. Hitunglah 3(BT) dan (3B)T, apakah hasilnya sama? f. Tunjukkan bahwa (AC)T = CT AT dan (BC)T = CTBT



 4 3 2 8. Matriks A3x3 = 2 1 1  Hitunglah A-1 dengan cara adjoint! 1 2 2



E. Pustaka 1. Hadiman, 2000, Hitung Perataan, DepartemenTeknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2. Hadiman, 2003, RPKPS dan Bahan Hitung Perataan, DepartemenTeknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 3. Muryamto, 2004, Aljabar Vektor dan Matrik, DepartemenTeknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 4. Ghilani, 2010, Adjustment Computations Spatial Data Analysis, Fifth Edition, John Wiley & Son, Inc., Hoboken, New Jersey



21



PERSAMAAN TIDAK LINIER A. Learning outcome



:



Menjelaskan prosedur linierisasi dengan deret Taylor dan proses iterasi pada penyelesaian persamaan tidak linier (A1). Mengidentifikasi persamaan tidak linier dan melakukan proses linierisasi dengan deret Taylor dan hitungan iterasi untuk menyelesaikan persamaan tidak linier (A1)



Minggu ke



:



3



B. Materi (berisi penjelasan topik/sub topik) B.1. PENDAHULUAN



C. Contoh Soal/Pertanyaan dan Jawaban ( contoh soal dan jawaban) D. Soal/Pertanyaan (contoh soal ujian) E. Pustaka ( susun pustaka yang digunakan sebagai sumber pokok/subpokok bahasan)



F. Pustaka 5. Hadiman, 2000, Hitung Perataan, DepartemenTeknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 22



6. Hadiman, 2003, RPKPS dan Bahan Hitung Perataan, DepartemenTeknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.



23



II. PENYELESAIAN PERSAMAAN TIDAK LINIER



A. Learning Outcome



:



Menjelaskan prosedur linierisasi dengan deret Taylor dan proses iterasi pada penyelesaian persamaan tidak linier (A1). Mengidentifikasi persamaan tidak linier dan melakukan proses linierisasi dengan deret Taylor dan hitungan iterasi untuk menyelesaikan persamaan tidak linier (A1).



Minggu ke-



:



2



B. Materi



II.1. Persamaan Tidak Linier Persamaan tidak linier adalah suatu kalimat matematika terbuka yang variabel berderajat tidak sama dengan satu atau mengandung nilai fungsi tidak linier, seperti log, sin dan lain sebagainya. Contoh persamaan tidak linier 1, 2 dan 3 variabel adalah: 2x2 = 6 x2 + 5y = 10 2xy + 6y = 4 log (x) x + 2y1/2 – z = 2x2 Sistem persamaan tidak linier Suatu sistem persamaan tidak linier adalah kumpulan dari beberapa persamaan tidak linier yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu.



Contoh Sistem persamaan tidak linier dengan 2 variabel dari 2 persamaan.



Sistem persamaan tidak linier dengan 3 variabel dari 3 persamaan



24



Salah satu cara penyelesaian persamaan tidak linier dengan Deret Taylor.



II.2. Deret Taylor Apabila diketahui f (x, y, z, ...) = 0 dengan x = xo + dx, y = yo + dy dan z = zo + dz akan diperoleh Deret Taylor seperti pada persamaan (2.1).



(2.1) Deret Taylor sampai dengan turunan pertama diperoleh persamaan (2.2).



(2.2) Persamaan benar jika dx, dy, dz ~ 0 (kecil sekali dibandingkan x o , yo , zo). Apabila xo , yo , zo diketahui, persamaannya menjadi linier dengan parameternya dx, dy, dz. Contoh: Persamaan titik potong 2 lingkaran (2.3) (2.4)



25



Gambar 2.1. Perpotongan dua buah lingkaran Linierisasi dengan Deret Taylor menjadi:



(2.5) (2.6) Persamaan menjadi : c1 + a1 dx + b1 dy = 0 c2 + a2 dx + b2 dy = 0 Hitungan titik A Hitungan 1: Xo = 0; Yo = 4 c1 = 0, a1 = -8, b1 = 6 c2 = -3, a2 = 12, b2 = 10 Diperoleh: dx = 0,118; x = 0,118 dy = 0,158; y = 4,158 Hitungan 2: Xo = 0,118; Yo = 4,158 c1 = 0,039; a1 = -7,763; b1 = 6,316 26



c2 = 0,039; a2 = 12,.237; b2 = 10,316 Diperoleh: dx = 0,001; x = 0,119 dy =- 0,005, y = 4,153 Hitungan 3: Xo = 0;119; Yo = 4,153 c1 = 0,00003; a1 = -7,761; b1 = 6,306 c2 = 0,00003; a2 = 12,239; b2 = 10,306 Diperoleh: dx = 0,0000; x = 0,119 dy = 0,000; y = 4,153 Jadi koordinat A (0,119; 4,153) Hitungan titik B Hitungan 1: Xo = 2; Yo = -4 c1 =4; a1 = -8; b1 = -10 c2 =9; a2 = 16; b2 = -6 Diperoleh: dx = -0,359; x = 1,641 dy = 0,543; y = -3,457 Hitungan 2: Xo = 1,641; Yo = -3,457 c1 = 0,424, a1 = -4,717; b1 = -8,913 c2 = 0,424, a2 = 15,283, b2 = -4,913 Diperoleh: dx = 0,010; x = 1,631 dy = 0,054; y = -3,403 Hitungan 3: Xo = 1,631; Yo = -3,403 c1 = 0,003; a1 = -4,739; b1 = -8,807 27



c2 = 0,003; a2 = 15,261, b2 = -4,807 Diperoleh: dx = 0,0000; x = 1,631; dy = 0,000; y = -3,403 Jadi koordinat B (1,631; -3,403) Apabila diketahui persamaan tidak linier dengan 3 parameter sebagai berikut: 1. F1(x,y,z)



(2.7)



2. F2(x,y,z)



(2.8)



3. F3(x,y,z)



(2.9)



(2.10)



(2.11)



(2.12) Tahapan hitungan iterasi/pengulangan: 1. Menentukan nilai pendekatan. 2. Menghitung konstanta dan koefisien parameter. 3. Menghitung dx, dy, dz (kesalahan pendekatan). 4. Menghitung X, Y, Z (nilai parameter).



II.3. Linierisasi Persamaan Pengamatan Persamaan yang membentuk hubungan antara pengukuran sudut maupun jarak dengan koordinat titik-titik estimasi merupakan persamaan tidak linier. Untuk itu perlu dilakukan linierisasi menggunakan Deret Taylor (Soeta’at, 1996). Secara umum proses linierisasi dengan menggunakan Deret Taylor adalah melakukan diferensial persamaan terhadap parameter yang ingin diketahui nilainya sampai suku pertama dan menganggap suku kedua hingga seterusnya (atau suku ke-n) mendekati nol.



28



II.3.1. Linierisasi persamaan pengamatan jarak Fungsi data ukuran jarak datar terhadap parameter posisi 2D (X,Y) merupakan persamaan yang tidak linier sehingga perlu dilakukan proses linierisasi menggunakan deret Taylor seperti persamaan (2.13).



....



(2.13)



Dalam hal ini: Lb



: nilai pengamatan



F



: selisih nilai estimasi pengamatan dengan nilai pengamatan



V



: residu/koreksi pengamatan



Gambar 2.2. Jarak antara koordinat A dan B Berdasar gambar 2.2. dapat diperoleh model matematik pengamatan jarak datar seperti dalam persamaan (I.27).



(2.13)



Diasumsikan bahwa koordinat A telah diketahui maka dengan menggunakan Deret Taylor dapat dilakukan linierisasi persamaan (2.13) terhadap



dan



sehingga diperoleh linierisasi



sebagai persamaan (2.14):



29



(2.14)



Jika



=



dan



=



maka dengan notasi Leibneitz suatu persamaan



diferensial seperti dalam persamaan (2.15).



(2.15)



Sehingga persamaan jarak datar



dapat dibentuk sebagai persamaan (2.16) dan (2.17).



(2.16) (2.17) dan dari kedua persamaan tersebut didapatkan hasil diferensial sebagai persamaan (2.18) dan (2.19).



(2.18)



(2.19)



dengan menggunakan aturan Leibneitz pada persamaan (2.19) didapatkan hasil diferensial terhadap koordinat



, begitu juga dengan cara yang sama dilakukan proses diferensial



terhadap koordinat



menghasilkan persamaan (2.20) dan (2.21).



(2.20)



(2.21)



Linierisasi persamaan pengamatan jarak miring hampir sama dengan persamaan jarak datar. Namun pada persamaan ditambahkan komponen Z. Fungsi ukuran jarak miring dibentuk dari parameter posisi 3D (X,Y,Z) seperti pada persamaan (2.22).



30



(2.22)



Proses diferensial persamaan jarak miring tehadap ZB menghasilkan persamaan (2.23).



(2.23)



Contoh: Y



Y



2



2 d



1



X Gambar 2.3. Jarak datar antara titik 1 dan 2 Diketahui model matematik pengamatan jarak seperti pada persamaan (2.24).







d 12  x 2  x 1   y 2  y1  2







1 2 2



(2.24) . . . . . . . .. .. . . . . . . .. . . . . ................... . . . . .(I - 16)



Linearisasi persamaan (2.24) dengan Deret Taylor didapat persamaan (2.25).



o  a 2 x  x o x 1  b 2 x  x o y1  c 2 x  x o x 2  d 2 x  x o y 2 (2.25) d 12  Vd 12  d 12 (I - 17)



31



Dalam hal ini:



d 12 : nilai pengamatan jarak d 12 Vd 12 : koreksi pengamatan jarak d 12



d



o 12







: nilai pendekatan jarak d 12  x



 d a 2   12  x 1



 x  x1    2 d 12 



 d b 2   12  y 1



 y  y1    2 d 12 



 d c 2   12  x 2



 x 2  x1   d 12 



 d d 2   12  y 2



o



2



x



o



  y 2



1



o



2



y



o



1







1 2 2



 y 2  y1   d 12 



II.3.2. Linierisasi persamaan pengamatan sudut Besar sudut horizontal suatu geometri jaring adalah selisih bacaan arah horizontal yang satu dengan arah horizontal lainnya pada azimuth tertentu yang diilustrasikan seperti pada Gambar (2.3) berikut.



Gambar 2.4. Sudut yang dibentuk dari titik BAC



32



Berdasarkan Gambar (2.3) dapat diperoleh model matematik pengamatan sudut seperti pada persamaan (2.26). (2.26) Dimana: (2.27) (2.28)



Karena sudut



merupakan persamaan tidak linier maka perlu dilinierisaikan dengan



menggunakan Deret Taylor, sehingga persamaan sudut



menjadi persamaan (2.29). (2.29)



Diasumsikan koordinat titik ikat adalah koordinat A



dan B



. Persamaan sudut



dibentuk dari persamaan fungsi sinklometri yaitu kebalikan (invers) fungsi dari trigonometri. Karena dalam kasus ini diferensial hanya pada titik koordinat C



maka dengan



menggunakan aturan Leibneitz pada persamaan (2.26) didapatkan dua persamaan (2.30) dan (2.31). (2.30)



(2.31)



karena



merupakan fungsi sinklometri maka diperlukan suatu metode khusus dalam



proses diferensial



terhadap



diferensial dari fungsi trigonometri



, sehingga dalam perhitungan ini juga diperlukan hasil sebagai persamaan (2.32).



(2.32)



Perlu dicatat bahwa dalam persamaan trigonometri



, maka



didapatkan persamaan (2.33).



33



(2.33) dengan menggunakan fungsi invers didapat persamaan (2.34) (2.34)



Hasil akhir dari proses ini didapat dengan menggunakan aturan Leibneitz pada persamaan (2.32), dengan proses diferensial terhadap koordinat yang dilakukan terhadap koordinat



, begitu juga dengan cara yang sama



menghasilkan seperti dalam persamaan (2.35) dan



(2.36).



(2.35)



(2.36)



Contoh: Y 3



Y U



3 d



1



 1



2



2 d X



Gambar 2.5. Sudut horizontal antara titik 1, 2, dan 3 Diketahui model matematik pengamatan sudut seperti pada persamaan (2.37).



312 = arc atau



x2  x1 x x  arc atau 3 1 ` ........................................... y2  y1 y3  y1



(2.37)



Linearisasi persamaan (2.37) dengan sudut Deret Taylor didapat persamaan (2.38). 312 + V312 = o312 + (a1)x-xo x1 + (b1)x=xo Y1 +(c1) x=xo x2 + (d1)x=xo y2 34



+ (e1) x=xo x3 + (f1)x=xo y3 .................................................................



(2.38)



Dalam hal ini: 312



: nilai pengamatan sudut 321



V312



: koreksi pengamatan sudut 312



o312



: nilai pendekatan sudut 312



o312 = arc



x o .3  x o1 x o .2  x o1 tan   arc y o 3  y o1 y o 2  y o1



   y  y y y a1 =  312   2 2 1  3 2 1 D12 D13   1 



   x  x x  x b1 =  312   2 2 1  3 2 1 D12 D13   1 



   y  y    x x c1 =  312   2 2 1 ; d1   312    3 2 1 D12 D13   1    2     y  y    x x e1 =  312   3 2 1 ; f1   312    3 2 1 D13 D13   3    3 



II.4. Kriteria Berhentinya Iterasi Penyelesaian perataan dengan cara kuadrat terkecil pada model matematis tidak linier dilakukan dengan cara yang sama dengan model yang linier, dengan terlebih dahulu melinierkan model yang tidak linier menurut Deret Taylor. Penderetan ini mengabaikan suku orde kedua dan seterusnya. Akibatnya hasil hitungan tidak akan memenuhi model matematis yang dibentuk. Untuk menghilangkan pengaruh pengabaian suku orde kedua dan seterusnya pada Deret Taylor, maka hitungan dilakukan secara berulang-ulang (iterasi) sampai model matematis terpenuhi. Nilai parameter pendekatan dipilih nilai yang semakin mendekati nilai sebenarnya atau nilai koreksi parameternya semakin kecil. Dengan kata lain tingkat iterasi dibedakan satu dengan yang lain dalam perbedaan nilai pendekatan pada linierisasi dengan Deret Taylor. Pada iterasi awal digunakan nilai pendekatan awal parameter yang bisa dicari dengan cara grafis maupunnumeris tergantung permasalhannya sedang nilai pendekatan awal pengamatan digunakan nulai pengamatannya. Dalam proses iterasi perlu membicarakan soal konvergensi yang pada prinsipnya tidak semua proses iterasi konvergen. Beberapa iterasi bisa divergen, yang lainnya berulang-ulang dalam siklus tertentu atau yang lainnya dapat konvergen, namun tidak menemukan



35



penyelesaian yang dikehendaki. Apabila melakukan hitung perataan dengan iterasi, maka perlu pertimbangan untuk menghentikan iterasi sebagai berikut: 1. Usaha untuk mencapai sedekat mungkin suatu jawaban terhadap penyelesaian teoritik dan pambatasan praktis karena pertimbangan digital. 2. Faktor ekonomi, tidak ekonomis apabila iterasi dilanjutkan tetapi hanya merubah ketelitian yang relatif kecil. Ada beberapa kriteria penghentian iterasi, antara lain (Mikhail,1976): a. Berdasarkan faktor akar varian aposteori 



1.     1 



(2.39)







2.  i   i 1   2 



3.



(2.40)







 i   i 1 



 i



 3



(2.41)



Dalam hal ini:



 1 ,  2 ,  3 : nilai toleransi yang ditentukan i



: indeks iterasi (iterasi ke-i)



b. Berdasarkan koreksi bobot atau penambahan bobot (Pi) 1. Nilai tiap penambahan bobot (Pi) harus mendekati nol. Dalam hal ini  mempunyai nilai kecil yang digunakan untuk menguji.



Pi  



(2.42)



2. Menguji maksimal penambahan bobot.



Pi max  



(2.43)



3. Menguji perubahan penambahan bobot yang sesudahnya dengan parameter sebelumnya.



Pi 1  Pi  



(2.44)



Pi Dalam beberapa kasus digunakan bentuk yang berbeda seperti pada persamaan (2.45).



Pi 1  Pi  



(2.45)



Pada kenyataannya, sulit menentukan besarnya nilai  dan  yang didapatkan secara empiris dan untuk tiap kasus akan berbeda. 36



C. Soal/Pertanyaan Soal: Diketahui segitiga ABC AC = 4 m BC = 5 m Hitung C dengan Deret Taylor, C pendekatan (2.1;5.1) m.



Jawaban: F1 ≡ (xc – 2)2 + (yc – 1)2 = 16 (xc2 + yc2 – 4xc – 2yc – 11) = 0 F2 ≡ (xc – 5)2 + (yc – 1)2 = 25 (xc2 + yc2 – 10xc – 2yc + 1) = 0



Deret Taylor: a0 + a1 dx + a2 dy = 0 b0 + b1 dx + b2 dy = 0 Dengan pendekatan (2,1;5,1), diperoleh: a0 = 4,41 + 26,01 – 8,4 – 10,2 – 11 = 0,82 a1 = ∂F1/∂x = 2xc – 4 = 0,2 a2 = ∂F1/∂y = 2yc – 2 = 8,2 Dengan pendekatan (2,1;5,1), diperoleh: b0 = 4,41 + 26,01 – 21 – 10,2 + 1 = 0,22 b1 = ∂F2/∂x = 2xc – 10 = – 5,8 b2 = ∂F2/∂y = 2yc – 2 = 8,2 Persamaan menjadi: 37



0,82 + 0,2 dx + 8,2 dy = 0 0,22 – 5,8 dx + 8,2 dy = 0 0,6 + 6 dx = 0 6 dx = – 0,6 dx = – 0,1 0,82 – 0,02 + 8,2 dy = 0 0,8 + 8,2 dy = 0 8,2 dy = – 0,8 dy = – 0,1 Maka: xc= xco + dx = 2,1 – 0.1 = 2 yc= yco + dy = 5,1 – 0.1 = 5 D. Soal/Pertanyaan 1. Diketahui koordinat titik A, B, dan C berturut-turut (0,200), (200, -100) dan (0,0). Jika jarak AP = 200,01 m, BP = 99,98 m dan CP = 223,5 m, tentukan koordinat titik P dengan deret Taylor



E. Pustaka 1. Ghilani, C.D., 2010, Adjustment Computation Spatial Data Analysis, 5th Edition, John Wiley and Sons, Inc, New Jersey. 2. Hadiman, 2000, Hitung Perataan, DepartemenTeknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.



38



III. TEORI KESALAHAN DAN HITUNGAN PERAMBATAN KESALAHAN



A. Learning Outcome



: Menjelaskan keterkaitan antara teori kesalahan dengan kuadrat terkecil (A1). Melakukan hitungan perambatan kesalahan acak (A1).



Minggu ke-



:



3



B. Materi



III.1. Pengukuran Hampir semua pekerjaan rekayasa, termasuk pekerjaan dalam bidang survei dan pekerjaan geodesi pada umumnya, dimulai dengan pekerjaan pengumpulan data. Pekerjaan pengumpulan data pada dasarnya adalah pekerjaan pengukuran atau pengamatan, seperti pengukuran jarak horizontal menggunakan teodolit (jarak optis), pengukuran jarak dengan alat ukur jarak elektronis (EDM), pengukuran sudut horizontal maupun vertikal, tinggi dan sebagainya. Istilah pengamatan maupun pengukuran, dalam uraian ini digunakan untuk pengertian yang sama, yaitu operasi atau proses (pengamatan.pengukuran) itu sendiri, maupun hasil dari operasi (pengamatan.pengukuran) data yang bersangkutan. Jika suatu pengukuran telah dilakukan, yang berarti data telah terkumpul, data tersebut perlu ditata (diatur), dievaluasi dan diinterpretasi lebih lanjut untuk akhirnya dapat disimpulkan bagaimana hasil pengukuran tersebut. Operasi yang dinamakan pengukuran yang nampaknya sederhana itu, kalau diperhatikan lebih lanjut, sebetulnya merupakan suatu proses yang kompleks. Beberapa sifat dari operasi pengukuran adalah: a. Mengukur, berarti melakukan suatu operasi fisik, dan umumnya terdiri atas operasi elementer, seperti persiapan, mendirikan alat, melakukan kalibrasi, mengarah, menyamakan dan membandingkan. b. Hasil pembacaan numerik, dianggap mewakili hasil proses pengukuran. Angka yang diperoleh dari pembacaan atau proses adalah sebagai hasil pengukuran, sehingga secara otomatis akan mengikut sertakan kondisi lingkungan dan data historis yang relevan, yang menyertai data bersangkutan. c. Pengukuran



hampir



selalu



dilaksanakan



dengan



alat



(alat),



bagaimanapun



sederhananya alat tersebut. 39



d. Pengukuran selalu menunjuk pada suatu standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Pada hakekatnya, mengukur adalah membandingkan dengan suatu standar. Untuk itu diperlukan satuan atau dimensi. e. Kalau ditinjau lebih lanjut, terlihat bahwa satu pengukuran umumnya mengarah pada suatu konsep yang agak teoritis, seperti abstraksi geometris yang digunakan untuk jarak dan sudut, yang sebenarnya tidak mempunyai kesamaan langsung dengan sifat fisis. Pemilihan konsep tersebut, agar dapat dilukiskan beberapa unsur alam, seperti lokasi, luas dan lain-lainnya. f. Walaupun pelaksanaan pengukuran adalah suatu operasi atau proses, hasil yang didapat hanya mempunyai arti jika dikaitkan dengan konsep teoritis yang menjadi pedoman atau menjadi dasarnya. g. Abstraksi teoritis yang menjadi tumpuan pengukuran dinamakan model. Di dalam ilmu pengetahuan maupun rekayasa, model umumnya berupa model matematik. Pengetahuan tentang konsep model, akan sangat membantu dalam pengukuran. Semua pekerjaan engineering membutuhkan pengukuran. Geodesi berperan dalam pengumpulan data (pengukuran). Berbagai alat digunakan dalam pengukuran yaitu pita ukur, kompas, teodolit, EDM, Total Station (TS), Disto, GPS, gravimeter, echosounder, Terrestrial Laser Scanner (TLS), LIDAR, Radar, dll. h. Terdapat pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran secara langsung misalnya sudut dan jarak. Pengukuran secara tidak langsung misalnya luas (dari pengukuran panjang dan lebar) dan beda tinggi (dari pengukuran rambu belakang dan muka). i. Hasil pengukuran merupakan data kuantitatif. j. Prosedur pengukuran: 1. Persiapan alat meliputi pengecekan dan kalibrasi. 2. Pengaturan alat di lapangan. 3. Pembacaan hasil ukuran. 4. Pencatatan hasil pengukuran. 5. Pendokumentasian hasil pengukuran (manual dan digital). k. Surveyor perlu mengetahui: 1. Sumber-sumber kesalahan. 2. Tipe-tipe atau jenis-jenis kesalahan. 3. Efek masing-masing jenis kesalahan terhadap hasil pengukuran. 4. Cara pemakaian alat agar dapat diperoleh hasil pengukuran sesuai dengan batas ketelitian yang ditetapkan. 40



5. Untuk keperluan apa data yang diperoleh akan digunakan. 6. Data “outlier” atau data pencilan, yaitu data yang menyimpang jauh dari data lainnya.



III.2. Model Matematik Dalam pengukuran, selalu berhubungan dengan data kuantitatif. Pada pekerjaan survei untuk pemetaan maupun pekerjaan Geodesi pada umumnya, pengamatan (untuk mengumpulkan data kuantitatif), jaeang sekali dilakukan secara langsung. Untuk dapat mendapatkan data kuantitatif suatu pengukuran atau pengamatan, diperlukan suatu model matematik. Model ini ditentukan sebagai suatu sistem teoritis atau suatu keadaan fisis atau suatu kumpulan peristiwa. Karena model dibuat untuk melayani suatu tujuan tertentu, maka pembentukannya berbeda-beda, sesuai tujuannya. Model adalah suatu pengganti situasi fisis yang bertujuan untuk mencapai situasi yang diinginkan. Berikut adalah model-model matematik yang digunakan dalam pengukuran (pengamatan) pada pekerjaan pemetaan secara teristris. a. Pengukuran sudut: untuk mendapatkan data suatu sudut, diukur arah, selanjutnya besarnya sudut diperoleh dari model matematika persamaan (3.1).



  a1  a2



(3.1)



Dalam hal ini:







: besar sudut yang diperoleh berdasar selisih hasil pengamatan atau pengukuran dua arah



a1



: arah ke titik (1)



a2



: arah ke titik (2)



b. Pengukuran beda tinggi dengan menggunakan alat penyipat datar: untuk mendapatkan beda tinggi antara titik A dan titik B dilakukan pengamatan terhadap rambu ukur yang diletakkan tegak lurus di atas titik A dan titik B. Untuk mendapatkan beda tingginya digunakan model matematik persamaan (3.2).



H AB  bt A  bt B



(3.2)



Dalam hal ini:



H AB : beda tinggi antara ke dua titik A dan B 41



bt A



: bacaan (angka) pada rambu ukur di titik A, yang berhimpit dengan benang tengah teropong alat penyipat datar



bt B



: bacaan (angka) pada rambu ukur di titik B, yang berhimpit dengan benang tengah teropong alat penyipat datar



c. Luasan suatu segiempat: untuk mendapatkan luasan suatu bentuk segi empat, digunakan model matematik persamaan (3.3). L  a.b



(3.3)



Dalam hal ini: L



: luas segi empat yang dicari



a dan b : panjang sisi-sisi segiempat, yang diperoleh dengan cara melakukan pengukuran atau pengamatan panjangan suatu jarak (sisi) d. Panjang suatu jarak (horizontal) dengan cara optis, untuk keperluan ini digunakan model matematik persamaan (34).



J  k (ba  bb )



(3.4)



Dalam hal ini: J



: panjang jarak yang akan dicari



ba dan bb : hasil bacaan (pengamtan) angka-angka pada rambu ukur, yang berhimpit dengan benang mendatar atas san benang mendatar bawah teodolit k



: suatu konstanta, umumnya k = 100



e. Jarak horizontal yang diperoleh dari pengukuran jarak miring, digunakan model matematik persamaan (3.5). J  k (ba  bb ) cos 2 



(3.5)



Dalam hal ini:







: besar sudut miring yang dibaca pada lingkaran vertikal teodolit



Sedangkan keterangan notasi ba , bb dan k sama dengan notasi pada pengukuran panjang jarak horizontal.



42



f. Beda tinggi dengan menggunakan alat ukur teodolit, dibaca sudut miring  . Model matematiknya persamaan (3.6).



H AB  1 k (ba  bb ) sin 2  Ti  bt  2



(3.6)



Dala hal ini:



Ti bt



: tinggi sumbu II teodolit (tinggi alat), yang diukur menggunakan pita ukur : bacaan (pengamatan) angka pada rambu ukur yang berhimpit dengan benang tengah (benang mendatar)



Keterangan notasi lainnya sama dengan keterangan pada rumus sebelumnya. Model matematik biasanya dipisahkan dalam dua bentuk, yaitu model fungsional dan model stokastik. Model fungsional umumnya menggambarkan sifat geometris atau sifat fisis dari kejadian yang disurvei. Model stokastik adalah bagian model matematik yang menggambarkan sifat-sifat statistik yang melekat pada semua elemen yang ada pada model fungsional, Model-model matematik yang disebutkan tadi, kesemuanya termasuk dalam model fungsional. Kedua model fungsional dan stokastik harus diperhatikan secara bersama pada setiap pengukuran, karena ada kemungkinan dapat terjadi beberapa kombinasi dari kedua model tersebut, yang mana kombinasi kedua model tersebut dapat mewakili suatu model matematika tertentu.



III.3. Hubungan Model Fungsional dengan Pengamatan Apapun pengukuran yang dilakukan, pemilihan model fungsional adalah untuk mewakili baik suatu sistem fisis atau fiktif, dengan sistem mana pengukuran-pengukuran yang dilakukan dikaitkan. Pada umumnya pengukuran dilakukan untuk memperoleh nilai dari beberapa atau semua parameter dari model fungsional. Suatu model fungsional adalah suatu bangun yang sepenuhnya fiktif, yang dipakai untuk melukiskan kejadian fisis dengan sistem yang dapat dimengerti dengan jelas untuk keperluan analisis lebih lanjut. Hubungan model fungsional dengan realita fisis dapat diperoleh dengan pengukuran atau pengamatan. Pengamatan itu sendiri adalah merupakan suatu operasi fisis menggunakan suatu peralatan betapapun sederhananya peralatan tersebut. Haruslah diakui bahwa pada kenyataannya tidak ada objek yang bernama titik, jarak atau koordinat. Objek-objek tersebut hanyalah unsur-unsur model fungsional yang dipakai untuk melukiskan wujud dari objek alam yang bersangkutan atau hubungan objek tersebut dengan letak atau posisinya. 43



Model fungsional kadang-kadang tidak dinyatakan secara eksplisit. Misalnya seorang surveyor mengatakan bahwa ia mengukur suatu jarak, maka ia menunjuk pada dua buah objek yang diabstraki dan menganggapnya sebagai suatu titik geometris. Walaupun surveyor yang bersangkutan boleh jadi tidak menunjuk pada jarak dalam pengertian geometris secara langsung, tetapi mungkin pada proyeksinya di bidang datar ataupun elipsoid acuan. Begitu juga jika dikatakan sudut CAB, umumnya yang dimaksud adalah proyeksi sudut CAB pada bidang datar. Pada umumnya model fungsional harus konform dengan realita fisis dengan ketelitian yang cukup untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Dalam keadaan yang sederhana, pengukuran sekurang-kurangnya ditujukan pada beberapa unsur dari model fungsional. Adalah tidak perlu, bahkan tidak praktis jika semua unsur dari model adalah besaran ukuran. Misal pada pengukuran jarak optis, besaran ukuran adalah cukup bacaan rambu (bacaan benang atas dan benang bawah). Dalam banyak hal, pengukuran tidak selalu berhubungan langsung dengan unsur-unsur dari model yang bersangkutan. Sebagai contoh dalam pengukuran, jarak elektronis menggunakan EDM, pada pengukuran jarak elektronis tersebut yang diukur sebenarnya adalah waktu atau selisish waktu rambat gelombang elektromagnetis atau selisih fase, bukan jarak secara langsung. Dalam soal ini lebih banyak teori-teori yang terlibat yang harus dimasukkan dalam model. Pada kenyataanya banyak variabel yang perlu diikut sertakan dan hubungan fungsional yang baru perlu ditambahkan, dengan demikian meluaskan konsep model di luar tugas pengukuran jarak yang kelihatannya sederhana. Sebagai akibat hal tersebut, maka untuk menghubungkan hasil dari pengukuran dengan unsur-unsur model, perlu model tersebut diperluas. Evaluasi dari pengamatan atau pengukuran tergantung bagaimana dengan alat apa serta metode apa pengamatan atau pengukuran tersebut dilaksanakan. Pengukuran jarak misalnya, antara lain akan tergantung pada proses pengukurannya sendiri, peralatan dan bagaimana kalibrasi alat tersebut dilakukan, dengan cara reduksi yang mana diterapkan. Demikian dengan pengukuran sudut, akan juga tergantung pada proses pengukuran, peralatan yang digunakan maupun seberapa jauh kalibrasi dilakukan, cara reduksi dan juga tergantung pada penentuan arah nol serta menempatkannya dalam model. Jadi diperlukan suatu proses yang relatif panjang, sebelum hasil pengukuran dapat dikaitkan dengan unsur dari model. Kadang-kadang pembacaan langsung dari operasi pengukuran harus direduksi atau diproses terlebih dahulu sebelum dianggap layak untuk dikaitkan dengan model. Dalam mengkaitkan pengamatan-pengamatan dengan model, banyak segi yang terpaksa dibuang untuk menyederhanakan atau memudahkan persoalan. Misalnya dalam pengukuran jarak, jarang diperhitungkan keadaan yang sesungguhnya dimana pengukuran jarak tersebut dilakukan. Dalam rangka perluasan model, maka modeling dari bagian ini 44



disederhanakan. Namun demikian, perubahan yang diadakan terhadap model fungsional, perlu juga diberlakukan terhadap model stokastik.



III.4. Model Stokastik dan Sifat-sifat Statistik Pengukran Sebagaimana dialami dalam praktek, pengamatan atau penngukuran selalu menjadi subjek dari pengaruh yang tidak dapat diperhitungkan, antara lain menjadi subjek dari pengaruh fisis yang tidak dapat dikontrol yang mengakibatkan hasil pengukuran akan berlainan jika suatu pengukuran diulang. Hasil yang berlainan ini, yang disebut juga variasi statistik, disebabkab baik oleh pengabaian pengaruh-pengaruh fisis maupun oleh sebab-sebab kualitas alamiah dari proses fisis, dan hal tersebut merupakan dasar dari pengukuran. Dahulu, variasi hasil pengukuran tersebut dikatakan karena kesalahan pengamatan. Dewasa ini, variasi hasil ukuran diterima sebagai variabilitas atau keacakan dari hasil pengamatan atau pengukuran yang merupakan sifat utama dari suatu pengamatan atau pengukuran. Untuk menjelaskan variabilitas dan keacakan tersebut perlu konsep statistik. Dari sudut praktis, agak sukar untuk memperoleh sifat-sifat statistik dari suatu pengamatan. Salah satu jalan untuk mempelajari sifat-sifat statistik adalah mengadakan pengamtan berulang dan menjabarkan sifat-sifat yang diperlukan. Jalan lain yang banyak dipakai adalah mengasumsikan sifat-sifat statistik tersebut atas dasar ketentuan umum yang berlaku terhadap pengamatan serupa yang dilaksanakan dengan kondisi serupa di masa lalu. Oleh karena itu, selama periode pengukuran dilaksanakan hendaknya semua keadaan lingkungan dan fisis yang relevan perlu dicatat, agar dapat dilakukan penilaian yang tepat. Dalam kenyataannya, kadang-kadang diterima pendekatan kasar untuk sifat-sifat statistik dari pengamatan. Misalnya dalam Geodesi, pengamatan selalu dianggap (secara statistik) tidak tergantung satu sama lain (independen), dan kadang-kadang data pengamatan dianggap mempunyai ketelitian yang sama, sehingga dalam proses hitungan dan analisis, masingmasing data diberi bobot yang sama. Keseluruhan asumsi terhadap sifat-sifat statistik dari variabel-variabel yang bersangkutan dinamakan model stokastik. Hal ini menyangkut semua variabel random, baik yang diketahui maupun yang ditentukan apriori dan variabel-variabel yang dianggap bebas. Teori klasik dalam hitungan perataan dengan kuadrat terkecil tidak menyatakan secara eksplisit konsep daripa model stokastik ini. Dalam teori klasik tersebut digunakan istilah “kesalahan pengamatan” atau “sifat-sifat kesalahan dari suatu pengamatan”. Dalam pengertian sekarang, pengamatan adalah tiap besaran yang dianggap sabagai variabel stokastik (bersifat random) dan untuk mana suatu estimasi diperlukan apriori. Dalam model



45



stokastik dimasukkan segala informasi tentang presisi relatif dari masing-masing variabel, yang dalam prakteknya dituangkan dalam bentuk matriks varian-kovarian pengamatan.



III.5. Ketelitian Pengukuran (Pengamatan) Setiap orang (observer) yang melaksanakan pengamatan atau pengukuran harus menyadari bahwa kenyataannya dalam setiap pengamatan atau pengukuran tidak dapat sepenuhnya mutlak benar hasilnya. Kebenaran hasil suatu pengukuran hanya dapat mencapai suatu batas tertentu saja. Hal itu karena adanya kesalahan-kesalahan (atau tepatnya ketidakpastian) yang tidak dapat dihilangkan. Derajat atau tingkat ketelitian suatu pengukuran tergantung pada metode pengukuran, alat yang digunakan, dan kondisi (alam) sekitar tempat berlangsungnya pengukuran. Diharapkan setiap pengukuran dilaksanakan seteliti-telitinya, agar hasilnya seteliti-telitinya. Akan tetapi untuk itu akan dibutuhkan waktu dan tenaga yang lebih banyak, sehingga tidak efisien. Untuk itu kewajiban seorang surveyor adalah tetap menjaga tingkat ketelitian cukup tinggi sesuai dengan keperluannya, tetapi efisiensi kerja tetap terjaga. Untuk menjaga agar hasil pengukuran tetap terjaga ketelitiannya di satu pihak, sedangkan di pihak lain efisien kerja juga tetap terjaga, maka sangat penting bagi seorang surveyor memahami hal berikut: a. Dalam setiap pengamatan atau pengukuran tidak dapat sepenuhnya hasilnya mutlak benar, b. Kebenaran suatu hasil pengukran atau pengamatan hanya dapat mencapai suatu batas tertentu saja (karena adanya ketidakpastian/kesalahan yang tidak dapat dihilangkan), c. Derajat atau tingkat ketelitian suatu pengukuran tergantung kepada alat yang digunakan, metode pengukuran, kondisi sekitar tempat pengukuran atau pengamatan (kadang-kadang juga kualifikasi pengamatannya), d. Diharapkan setiap pengukuran atau pengamatan dilaksanakan seteliti-telitinya agar hasilnya pun dapat seteliti-telitinya. Perlu dipertanyakan, batasan ataupun criteria seteliti-telitinya itu bagaimana. Perlu diingat, bahwa pengukuran atau pengamatan semakin teliti dibutuhkan waktu biaya dan tenaga yang semakin banyak sehingga menjadi tidak efisien. Untuk itu seorang surveyor perlu menjaga agar tingkat ketelitian hasil pengamatannya cukup tinggi, sesuai dengan keperluan tetapi efisiansi kerja tetap terjaga. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana dapat melakukan hal ini? Selain itu, sangat penting bagi seorang surveyor untuk mengetahui tentang: a. Sumber-sumber kesalahan, 46



b. Tipe-tipe atau jenis-jenis kesalahan, c. Efek masing-masing jenis kesalahan terhadap hasil pengukuran, d. Cara pemakaian alat agar dapat diperoleh hasil pengukuran sesuai dengan batas ketelitian yang ditetapkan, e. Untuk keperluan apa data yang diperoleh akan digunakan, f. Data “outlier” atau data pencilan, yaitu data yang menyimpang jauh dari data lainnya. III.6. Kesalahan Pengukuran (Pengamatan) Pelaksanaan pekerjaan selalu berdasarkan perencanaan, tanpa perencanaan sulit sekali pelaksanaan pekerjaan mencapai hasil yang optimal. Dasar dari perencanaan adalah pengukuran. Pengukuran adalah pekaerjaan untuk mengumpulkan atau mendapatkan informasi dan disini dibatasi informasi untuk keperluan pemetaan. Pengukuran selalu diikuti kesalahan, kecuali pengukuran bilangan diskrit misalnya jumlah orang di dalam ruangan. Karena pengukuran selalu mempunyai kesalahan maka perlu pengukuran tersebut dievaluasi untuk menentukan ketelitiannya. Pengukuran (panjang, berat, arah, sudut, isi dll) adalah menentukan besarnya hasil pengukuran tehadap unit standar (satuan), misalnya meter untuk panjang, kilogram untuk berat, derajat untuk sudut dll. Apabila memakai unit meter disebut unit metriks dan ada juga yang menggunakan unit yang lain, misalnya feet, inci. Menurut sejarah 1 meter diperoleh dari 1/10.000.000 jarak equator ke kutub (jarak di permukaan bumi).



III.7. Konsep Kesalahan Surveyor selalu terkait dengan pengukuran termasuk perataan dan analisis di kantor maupun pengujiannya di lapangan. Pengukuran adalah suatu proses yang hasilnya dapat bervariasi. Tidak ada hasil ukuran ulang yang persis sama, hal ini disebabkan adanya keterbatasan



alat



dan



kemampuan



surveyor



untuk



memusatkan,



mengarahkan,



menggabungkan, menetapkan dan membaca alat. Karena semua ukuran pasti bervariasi, maka tidak ada hasil ukuran yang didapat dengan tepat nilainya. Suatu nilai yang tetap, suatu besaran yang dianggap nilai yang benar bisa dicari, tapi sebelumnya yang didapat hanya berupa nilai estimasi dari nilai yang benar. Apabila diharapkan nilai bervariasi, maka diharapkan perbedaan antara nilai ukuran dengan nilai yang benar, apapun yang terjadi. Perbedaan ini disebut kesalahan dari nilai ukuran. Jika x ' sebagai nilai yang benar dari suatu besaran, dan x nilai pengamatan, maka nilai kesalahan x didapat dengan persamaan (3.7).



47



e  x  x'



(3.7)



Jika estimasi yang baik bisa diperoleh, maka dapat menggunakan nilai estimasi untuk mengganti nilai sebagai dasar untuk nilai pengamatan. Jika x adalah ukuran estimasi dari x ' , perbedaan antara x dan nilai ukuran x , didefinisikan sebagai residu ( v ) seperti pada persamaan (3.8). vxx



(3.8)



Residu digunakan untuk menunjukkan variasi ukuran.



III.8. Macam-macam Kesalahan 1. Kesalahan kasar Kesalahan kasar merupakan hasil blunder atau kekeliruan akibat kekurang hati-hatian pengukur. Dengan kecermatan dan hati-hati, baik ketika melakukan pembacaan, dalam menuliskan hasil bacaan maupun dalam hitungan, dan dengan pengulangan pengukuran yang independen (tidak terpengaruh hasil ukuran yang lain) maupun hitungan (ukuran berulang yang menyimpang jauh dari nilai rata-rata dibuang), kesalahan besar ini biasanya dapat dihindari, pembacaan biasa dan luar biasa pada pembacaan sudut selisih tidak boleh dari 180o. Misalnya: salah baca, salah target, salah catat.



2. Kesalahan sistematik Kesalahan ini tergantung pada beberapa sistem yang dapat ditentukan. Apabila suatu pengukuran diulang dengan keadaan yang sama, kesalahan sistematiknya akan mengikuti pola yang sama. Apabila sepanjang proses pengukuran kesalahan sistematik mempunyai tanda dan nilai yang sama disebut kesalahan tetap (konstan). Jika tandanya berlawanan tapi nilainya tetap sama disebut aksiwalan. Suatu sistem yang mendasari kesalahan sistematik dapat tergantung pada pengamat, alat yang digunakan, keadaan fisik, lingkungan saat pengukuran, oleh penggunaan model matematik yang tidak benar atau campuran dari keadaan tersebut. Ada tiga tipe kesalahan sistematik, yaitu:



48



a. Kesalahan karena percobaan. Jika suatu alat digunakan dalam kondisi percobaan tertentu, misalnya tekanan dan temperatur yang tetap, yang berbeda dengan kondisi saat alat tersebut dikalibrasi, maka akan timbul suatu kesalahan sistematik. b. Kesalahan yang bersumber dari alat. Alat yang tidak terkoreksi, misalnya garis arah nivo tidak sejajar dengan vizir, kesalahan konstruksi alat, panjangan pita ukur yang seharusnya 30 m ternyata kurang 1 cm, titik nol rambu tidak seragam. c. Cara pengukuran yang kurang sempurna. Cara pengukuran yang tidak menurut prosedur yang seharusnya diikuti, bisa mengakibatkan timbulnya kesalahan sistematik. Misalnya pengukuran sudut yang hanya dilakukan satu kali pengamatan, yaitu dengan teodolit dalam keadaan biasa, pengukuran sipatdatar hanya dilakukan pagi hari saja. Pengaruh ataupun efek dari kesalahan sistematik dapat dikurangi atau dieliminir dengan beberapa cara, diantaranya adalah: a. Menggunakan model matematik yang lebih baik atau menggunakan peralatan yang lebih baik. b. Dicari besarnya kesalahan sistematik terlebih dahulu (untuk mencari atau menentukan besarnya



kesalahan



sistematis,



dilakukan



terpisah



dengan



saat



melakukan



pengukuran); kemudian hasil pengukuran dikoreksi dengan nilai kesalahan sistematiknya. c. Digunakan cara pengukuran yang dapat mengeliminir pengaruh kesalahan sistematik, misalnya untuk pengukuran sudut dengan teodolit, dilakukan dengan cara biasa dan luar biasa, selanjutnya hasilnya adalah rata-rata dari kedua pengukuran biasa dan luar biasa tersebut.



3. Kesalahan acak Dalam suatu pengukuran berulang, meskipun kesalahan kasar dan kesalahan sistematiknya telah dihilangkan, akan tetap terlihat adanya variasi hasil pengukuran, yaitu hasil pengukuran yang satu tidak bersesuaian dengan hasil pengukuran lainnya. Perbedaan antara nilai (hasil pengukuran) yang satu dengan yang lainnya, merupakan sebab timbulnya beda antara nilai hasil pengukuran dengan nilai yang sebenarnya. Kesalahan yang masih tertinggal setelah kesalahan kasar dan kesalahan sistematik diambil, disebut kesalahan acak atau kesalahan kebetulan. Kesalahan acak ini tidak bisa dihindarkan. Dalam setiap pengukuran berulang akan selalu terdapat kesalahan acak, kesalahan acak umumnya kecil, dan kesalahan ini betul-betul acak, baik dari hal kejadiannya maupun dalam besarnya, harganya, dan nilainya. Kesalahan acak tidak mengikuti hukum alam 49



sebagaimana halnya kesalahan sistemaik. Adanya variasi ukuran diakibatkan adanya kesalahan pengamatan yang hubungan ubahnya atas dasar sistem yang dapat ditentukan tidak diketahui. Kesalahan ini bisa plus atau minus, frekuensi plus dan minus sama besar. Dalam plaksanaan pengukuran hanya kesalahan random saja yang boleh tersisa, kesalahan blunder dihindari dengan pengulangan pengukuran dan kesalahan sistematik dihindari dengan koreksi alat. Jika sebuah besaran dilakukan pengukuran banyak kali, pengkuran dilakukan dengan alat yang sama dan dalam kondisi yang relatif sama, maka tampak suatu hasil ukuran yang akan mengikuti suatu pola tertentu dengan sifat-sifat sebagai berikut: a. Semua hasil ukuran akan berfluktuasi sekitar nilai pusat, b. Penyimpangan nilai positif dan nilai negatif terhadap nilai pusat mempunyai jarak yang sama, c. Penyimpangan yang kecil frekuensinya lebih banyak daripada penyimpangan besar.



III.9. Sumber-sumber Kesalahan Dalam suatu pengukuran, beberapa macam sumber kesalahan yang terjadi bisa berasal dari satu sumber yang sama, akan tetapi umumnya masing-masing jenis kesalahan bersumber dari sumber yang berbeda. Sumber kesalahan dapat dikelompokkan dalam tiga sumber utama, yaitu kesalahan yang bersumber dari alam, dari alat dan dari si pengamat. a. Kesalahan yang bersumber dari alam atau disebut kesalahan natural, adalah kesalahan akibat fenomena alam, misalnya pengaruh atmosfer pada pengukuran EDM, pengaruh refraksi sinar, akibat perubahan temperatur, tekanan udara, kelembaban suhu, salinitas dan Total Suspended Matter (TSM). b. Kesalahan yang ditimbulkan karena alat atau disebut kesalahan instrumental, adalah kesalahan akibat ketidak sempurnaan konstruksi alat, bisa juga disebabkan oleh kalibrasi yang belum sempurna, power supply, penuaan. Kesalahan akibat alat ini misalnya, pembagian graduasi lingkaran horizontal pada teodolit yang tidak sama besarnya, nivo pada alat penyipat datar yang belum seimbang benar. c. Kesalahan yang disebabkan oleh si pengamat atau manusia, atau disebut human error atau personal error. Kesalahan ini disebabkan oleh keterbatasan manusia baik keterbatasan fisik maupun kemampuannya, bisa juga akibat kebiasaan si pengamat yang bersangkutan. Misalnya seorang yang mengukur selalu akan mengarah ke kanan (lebih besar), seorang pengamat dalam mengestimasi perpuluhan ada kecenderungan



50



untuk memilih angka genap, kemampuan reaksi pengamat yang sangat jelek untuk menentukan kapan stop watch dimulai dan diakhiri. d. Kesalahan yang diakibatkan oleh pengaruh atau efek dari beberapa fenomena alam yang berfluktuasi secara teratur dan telah diketahui model matematiknya, akan berupa kesalahan sistematik. e. Penggunaan model matematik yang tidak benar, misal untuk menghitung jarak secara optis digunakan model j  k (b a bb ) , dengan memasukkan nilai k = 100. Sedangkan untuk



alat



yang



bersangkutan



seharusnya



lebih



tepat



digunakan



rumus



j  k (b a bb )  C , dengan nilai k  100  x , dan nilai C tertentu. Seorang pengukur atau surveyor haruslah familier dengan macam-macam kesalahan, sumber kesalahan, perkiraan besarnya kesalahan yang bakal terjadi, sifat-sifat perambatan kesalahan, sehingga seorang surveyor dapat memilih atau mencari suatu prosedur pengukuran yang cukup efisien dan efektif untuk mengatasi efek kesalahan pengukuran yang terjadi. Dengan demikian seorang surveyor akan dapat mengantisipasi ataupun menghindari segala kemungkinan yang akan merugikan. Mengelakkan sama sekali dari semua kesalahan adalah tidak mungkin, usaha seorang pengamat dapat meminimumkan efek dari kesalahan-kesalahan tersebut.



III.10. Pengukuran Variasi Kelompok Ukuran pemusatan belum dapat memberikan deskripsi yang mencukupi bagi gugus data. Sering masih perlu mengetahui, bagaimana segugus data itu menyebar dari rata-ratanya. Sangat mungkin memiliki dua kumpulan data yang mempunyai nilai tengah sama atau median yang sama, tetapi sangat berbeda keragamannya. Sebagai contoh, kumpulan data A dan B: Data A



0,97



1,00



0,94



1,03



1,11



Data B



1,06



1,01



0,88



0,91



1,14



Kedua kelompok data tersebut memiliki nilai rata-rata yang sama, yaitu 1,00. Akan tetapi nampak jelas kedua kelompok data tersebut memiliki keragaman yang berbeda. Pada data A keragaman atau dispersinya lebih seragam daripada kelompok data B. Nilai statistik yang digunakan untuk mengukur keragaman data adalah rentang (selang, interval) dan ragam (varian, deviasi).



51



Rentang dari sekumpulan data adalah beda antara data terbesar dan data terkecil. Dari kedua kelompok data A dan B, rentang kelompok data A adalah 0,17, sedangkan rentang kelompok data B adalah 0,26. Rentang, ternyata bukan merupakan ukuran keragaman yang baik. Rentang hanya memperhatikan nilai ekstrim dan tidak memberi informasi apa-apa mengenai sebaran bilangan-bilangan yang terdapat di antara kedua nilai ekstrim tersebut. Sebagai contoh, kumpulan data P dan Q: Data P Data Q



3



3



4



5



6



8



9



10



12



7



7



7



8



8



8



9



15



15



Kelompok data P dan Q tersebut, keduanya memiliki rentang 12. Selanjutnya dapat dilihat, keduanya memiliki median yang sama, yaitu 8. Jika dihitung, kedua kelompok data tersebut juga memiliki nilai rata-rata yang sama, yaitu 8. Sadangkan jika diperhatikan, kedua kelompok data tersebut jelas memiliki sebaran yang berbeda. Untuk mengatasi kekurangan yang dimiliki oleh rentang, diperlukan bentuk nilai statistik maupun parameter yang lain, yaitu nilai ragam, yang memperhatikan posisi relatif setiap data terhadap nilai rata-rata (nilai tengah) gugus data tersebut, yaitu simpangan dari nilai tengahnya. Dalam praktek, tidak digunakan simpangan terhadap nilai tengah, tetapi digunakan kuadrat semua simpangan tersebut, yaitu ragam populasi (varian populasi) dan varian sampel. Untuk menjelaskan keadaan kelompok, dapat juga didasarkan pada tingkat variasi data yang terjadi pada kelompok tersebut. Untuk mengetahui tingkat variasi kelompok data dapat dilakukan dengan melihat rentang data dan simpangan baku dari kelompok data yang telah diketahui. 1. Rentang data Rentang data dapat diketahui dengan jalan mengurangi data yang terbesar dengan data yang terkecil yang ada pada kelompok itu. Rentang data dihitung dengan persamaan (3.9).



R  Xt  Xr



(3.9)



Dalam hal ini: R



: rentang



Xt



: data terbesar dalam kelompok



Xr



: data terkecil dalam kelompok



52



2. Varian Salah satu teknik statistik yang digunakan untuk menjelaskan homogenitas kelompok adalah dengan varian. Varian merupakan jumlah kuadrat semua deviasi nilai-nilai individu terhadap rata-rata kelompok. Akar varian disebut simpangan baku. Varian populasi diberi simbol  2 dan simpangan baku populasi diberi simbol  . Sedangkan untuk varian sampel diberi simbol S 2 dan simpangan baku sampel diberi simbol S . Varian populasi dari sekelompok data dari suatu variabel tertentu dihitung dengan persamaan (3.10) dan simpangan baku populasi dihitung dengan persamaan (3.11): ( x  xi ) 2   N 2



(3.10)



Sedangkan simpangan bakunya:







( x  xi ) 2 N



(3.11)



Persamaan (3.10) dan (3.11) tersebut digunakan untuk data populasi, sedangkan untuk data sampel persamaannya menjadi (3.12) dan (3.13) tidak hanya dibagi dengan N saja, tetapi dibagi dengan n  1 , dalam hal ini n  1 adalah derajat kebebasan.



S2 



( x  x i ) 2 n 1



(3.12)



Sedangkan simpangan bakunya:



S



( x  x i ) 2 n 1



(3.13)



III.11. Korelasi Antar Data Salah satu penentuan nilai yang mewakili pada data yang jumlahnya banyak, yang dianggap baik adalah dengan mencari nilai rata-rata dari keseluruhan data. Apabila distribusi data betul-betul normal atau mendekati normal maka nilai rata-rata merupakan nilai yang paling mendekati benar. Simpangan baku menunjukkan letak titik belok dari kurva normal yang menunjukkan penyebaran data ukuran, yang berarti juga bahwa nilai yang benar berada diantara titik belok dengan kemungkinan sebesar 68%. Dalam banyak pekerjaan satu macam data atau lebih dari satu macam data sebetulnya saling terkait. 53



Misalnya: Pada dua macam data seperti absis dan ordinat selain dapat ditentukan rata-rata dan simpangan bakunya juga dapat ditentukan keterkaitan kedua data, dengan mencari nilai korelasi antara absis dan ordinat. Nilai korelasi dikenal sebagai koefisien korelasi antara dua variabel, menunjukkan kedekatan hubungan diantara keduanya yaitu hubungan linier antara kedua variabel. Nilai korelasi (r) dari -1 s.d. +1 dan tidak mempunyai satuan. Korelasi dihitung dengan persamaan (3.14).



r



( x  xi )( y  yi )  ( x  xi ) 2 .  ( y  y i ) 2



(3.14)



Simpangan baku dan korelasi antar dua macam data, tergantung dari penyebaran datanya. Apabila data berada tepat sepanjang garis lurus maka korelasinya +1 atau -1, tergantung arah garis lurusnya. Apabila salah satu data mempunyai simpangan baku nol, maka nilai korelasinya juga nol.



III.12. Kovarian Antar Data Nilai varian adalah kuadrat simpangan baku dan nilai kovarian adalah akar perkalian antara korelasi dengan perkalian kedua simpangan baku. Varian data X dihitung dengan persamaan (3.15), varian data Y dihitung dengan persamaan (3.16) dan kovarian antara data X dan Y dihitung dengan persamaan (3.17). ( x  x i ) 2 S  n 1



(3.15)



( y  y i ) 2 S  n 1



(3.16)



2 x



2 y



S x, y 



( x  xi )( y  yi )  r S x2 S y2 n 1



(3.17)



Berdasar persamaan tersebut diketahui bahwa nilai varian harus positif atau tepat nol dan nilai kovarian harus antara negatif perkalian kedua simpangan baku dan nilai positifnya. 54



Kumpulan varian-kovarian dalam bentuk matriks disebut matriks varian-kovarian atau sering disebut matriks kovarian saja seperti pada persamaan (3.18).  S x2   S x , y



 x, y



S x, y   S y2 



(3.18)



Bentuk matriks varian-kovarian adalah simetris, elemen diagonalnya selalu positif atau nol, dan dimensi matriksnya sama dengan jumlah parameter yang direpresentasikan. Matriks kovarian karena ada dua variabel X dan Y, maka matriksnya berdimensi 2x2. Contoh hitungan: Penentuan koordinat titik A (X dan Y) masing-masing absis dan ordinat sebanyak 10 kali dengan cara pemotongan kemuka diperoleh data sebagai berikut. Akan ditentukan nilai ratarata, simpangan baku, varian, korelasi, kovarian dan matriks varian-kovarian. No Absis (x) Ordinat (y) ( x  xi )



( y  yi )



( x  xi )( y  y i )



( x  xi ) 2



( y  yi ) 2



1 147,19



345,88



5



-5



-25



25



25



2 147,17



345,82



7



1



7



49



1



3 147,22



345,77



2



6



12



4



36



4 147,32



345,76



-8



7



-56



64



49



5 147,28



345,81



-4



2



-8



16



4



6 147,32



345,78



-8



5



-40



64



25



7 147,18



345,92



6



-9



-54



36



81



8 147,25



345,94



-1



-11



11



1



121



9 147,26



345,80



-2



3



-6



4



9



10 147,21



345,82



3



1



3



9



1



1472,40



3458,30



0



0



272



352



Rata-rata X (m) x



-158



:



xi 1472,40   147,24 n 10



Simpangan baku X (cm)



Sx 



( x  x i ) 2  n 1



:



272  5,5 9 55



Kesalahan baku X (m)



:



Sx 5,5   1,74 n 10



Kx 



Varian X (cm2) S x2 



:



( x  xi ) 2 272   30,22 9 n 1



Rata-rata Y (m) y 



:



yi 3458,30   345,83 n 10



Simpangan baku Y (cm)



( y  y i ) 2 352   6,3 9 n 1



Sy 



Kesalahan baku Y (m) Sy



Ky 



n







:



6,3  1,99 10



Varian Y (cm2) S y2 



:



( y  yi ) 2 352   39,11 n 1 9



Korelasi X dan Y



r



:



:



( x  xi )( y  yi )  ( x  xi ) .  ( y  y i ) 2



Kovarian X dan Y (cm2)



S x, y 



2







 158 (272).(52)



 0,504



:



( x  xi )( y  yi )  r S x2 S y2  0,504 x5,5 x6,3  17,46 n 1



Matriks varian-kovarian



:



56



 39,11  17,46 2  x, y    cm  17,47 30,22 



III.13. Pengukuran Berulang Suatu pengukuran tidak ada yang sempurna, baik dalam melakukan pengamatan, pencatatan



hasil



pengamatan,



maupun



dalan



penyelenggaraan



pengamatan



secara



keseluruhan. Proses pengukuran selalu menjadi subjek dari berbagai kesalahan, oleh karena itu pengukuran terhadap suatu besaran yang dilakukan berulang kali, hampir dapat dipastikan, hasil dari setiap pengukuran tidak akan pernah bersesuaian satu dengan lainnya. Kalaupun ada hasil yang sama, itu adalah suatu kebetulan saja. Kalau setiap kali pengukuran didapat hasil yang berbeda, mestinya akan timbul pertanyaan, hasil manakah yang benar, atau nilai manakah yang bisa dipercaya. Oleh karena keadaan yang demikian, maka patutlah kalau bersikap kurang percaya terhadap hasil pengukuran yang hanya dilakukan satu kali saja (pengukuran tunggal), karena tidak tahu, apakah hasil dari satu kali pengukuran itu tidak akan berbeda jauh jika dilakukan pengukuran kedua, ketiga dan seterusnya. Menurut teori kemungkinan, nilai hasil ukuran yang mendekati benar baru dapat diketahui, apabila dilakukan pengukuran yang tidak terhingga banyaknya. Akan tetapi jelas bahwa pengukuran yang demikian (pengukuran sebanyak tak terhingga kali) tidak mungkin dilakukan, karena baik orangnya (pengamat) sudah tidak mampu lagi untuk melakukan pengukuran, maupun peralatannya tentu akan rusak atau musnah sebelum pengukuran itu sendiri selesai dikerjakan, belum lagi jika dihitung berapa biaya yang harus dikeluarkan. Untuk itu maka perlu dicari jalan keluarnya, bagaimana bisa diperoleh nilai hasil pengukuran yang mendekati benar, tanpa harus melakukan pengukuran sebanyak tak terhingga kali. Sehubungan dengan keadaan tersebut, sebelum dilakukan pengukuran, ada beberapa hal yang perlu dipecahkan terlebih dahulu, yaitu: a. Jika pengukuran sebanyak tak terhingga kali tidak dapat dilakukan, berapa banyakkah pengukuran harus dilakukan untuk memenuhi nilai hasil ukuran yang dianggap mendekati benar. b. Nilai manakah dari sekian banyak nilai (data) yang akan dipilih sebagai nilai terbaik (mendekati paling benar). c. Seberapa jauhkah pilihan itu dapat dipercaya, atau dengan kata lain, berapkah nilai terbaik ini menyimpang dari nilai yang benar, dan bagaimana cara menentukan simpangan ini.



57



d. Hubungan apakah yang ada antara nilai terbaik dan tingkat kepercayaan di satu pihak dan jumlah data yang diambil di pihak lain. Keterpercayaan pengukuran ditunjukkan dengan: a. Kecermatan (kepresisian): tingkat kedekatan atau kesamaan dari ukuran ulang untuk besaran yang sama. Jika ukuran ulang dekat mengumpul artinya pengukuran mempunyai kecermatan tinggi. Jika ukuran ulang jauh menyebar artinya pengukuran mempunyai kecermatan rendah. Kecermatan ditunjukkan dengan penyebaran data pada distribusi kemungkinan, makin sempit distribusinya makin tinggi kecermataanya dan sebaliknya. Nilai kecermatan ditunjukkan dengan simpangan baku, kecermatan tinggi nilai simpangan baku kecil dan sebaliknya. b. Kehandalan (keakuratan): tingkat kesamaan atau kedekatan dari suatu ukuran terhadap nilai sebenarnya. Kehandalan bukan hanya akibat dari kesalahan acak tapi juga pengaruh akibat tidak terkoreksinya kesalahan sistematik. Jika tidak ada kesalahan sistematik, simpangan baku dapat digunakan sebagai ketelitian pengukuran. c. Ketidakpastian: selang dari kesalahan yang diperkirakan akan terjadi selama pengukuran berlangsung. Tingkat tertentu dari kemungkinan biasanya diandaikan sebagai ketidakpastian. Jika dikatakan 90% ketidakpastian artinya kemungkinan hasil pengukuran selangnya terletak pada 90%. Secara umum, jika kepastian diketahui sebetulnya nilai pengukuran itu sendiri telah disyaratkan.



III.14. Variabel Acak Variabel acak berkaitan dengan peristiwa statistik, riil atau hipotesis. Suatu peristiwa adalah hasil dari suatu eksperimen statistik. Kalau suatu peristiwa statistik mempunyai beberapa kemungkinan hasil, maka peristiwa itu dapat dikaitkan dengan suatu variasi stokastik atau variabel acak. Suatu variabel acak adalah variabel yang dapat memiliki beberapa nilai, dimana masing-masing nilai dikaitkan dengan suatu probabilitas. Dalam probabilitas, umumnya dicari kelakuan suatu sistem atas dasar model matematik yang ditetapkan. Keseluruhan unsur-unsur yang dipelajari, dari mana informasi akan ditarik, disebut populasi. Secara teoritis, populasi dianggap memuat jumlah pengamatan yang tak terhingga. Populasi



memasukkan



semua



kemungkinan



nilai



variabel



acak



dalam



pertimbangannya untuk mencari informasi kelakukan yang akan dicari. Dengan kata lain, populasi adalah keseluruhan semua hasil yang mungkin dari peristiwa statistik yang berhubungan dengan variabel acak. Populasi adalah begitu besarnya sehingga tidak mungkin 58



dipelajari masing-masing unsur untuk menilai sifatnya. Berhubung dengan itu, perlu dipilih sejumlah kecil pengamatan dari populasi tersebut, yang disebut sampel. Dari hasil studi sampel akan ditarik kesimpulan dan dibuat pernyataan-pernyataan tentang populasi. Kesimpulan yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh metode pemilihan sampel maupun besarnya sampel. Makin besar sampel,  keyakinan terhadap hasil yang diperoleh akan semakin besar. Untuk memilih sampel harus hati-hati, jangan sampai pemilihan sampel mengikuti suatu pola yang sama. Kalau ini terjadi, bisa-bisa dihadapkan papa resiko mempunyai unsur-unsur sampel yang memperlihatkan efek kesalahan sistematik, sehingga kaitan antara sampel dan populasi menjadi tidak syah. Untuk menghindari hal tersebut, maka sampel harus dipilih secara sembarang (acak), dengan kata lain setiap unsur dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel atau pemilihan masingmasing unsur dari sampel tidak tergantung satu sama lain.



III.15. Perambatan Kesalahan Acak Apabila akan dicari parameter U dan W yang merupakan fungsi dari X dan Y, yang diukur adalah hanya X dan Y saja. Jika X dan Y diukur sebanyak n kali maka rata-rata dan matriks kovarian X dan Y dapat diperoleh menjadi persamaan (3.19) dan (3.20). x1, x2, x3, ... , xn rata-ratanya x 



x i n



(3.19)



y1, y2, y3, ... , yn rata-ratanya y 



y i n



(3.20)



Berdasar rata-rata dan ukuran tersebut, matriks varian-kovarian x,y dapat diperoleh dengan elemennya pada persamaan (3.21), (3.22) dan (3.23). S x2 



( x  xi ) 2 dxi  n 1 n 1



(3.21)



S y2 



( y  yi ) 2 dyi  n 1 n 1



(3.22)



S xy2 



( x  xi )( y  yi ) (dxi )(dyi )  n 1 n 1



(3.23)



Dalam hal ini:



xi  x  dxi



yi  y  dyi



59



Masing-masing nilai x dan y dapat digunakan untuk menghitung nilai u dan w, sehingga diperoleh sejumlah n nilai u dan w seperti pada persamaan (3.24) dan (3.25).



ui  a1 xi  a2 y i a3



(3.24)



wi  b1 xi  b2 y i b3



(3.25)



i nilainya dari 1 sampai dengan n dan a1 , a2 , a3 , b1 , b2 , b3 adalah konstanta.



Nilai rata-rata U dan W dapat dihitung dengan persamaan (3.26) dan (3.27).



U  a1 X  a2Y  a3



(3.26)



W  b1 X  b2Y  b3



(3.27)



Hubungan antara nilai rata-rata U dan W dengan masing-masing nilai u dan w adalah sebagai persamaan (3.28) dan (3.29).



ui  U  dui



(3.28)



wi  W  dwi



(3.29)



Persamaan (3.24) dan (3.25) dapat diubah menjadi persamaan (3.30) dan (3.31).



U  dui  a1 ( X  dxi )  a2 (Y  dyi ) a 3



(3.30)



W  dwi  b1 ( X  dxi )  b2 (Y  dyi ) b 3



(3.31)



Dengan mengeliminir persamaan (3.28) dan (3.29) ke persamaan (3.30) dan (3.31) diperoleh persamaan (3.32) dan (3.33).



dui  a1dxi  a2 dyi



(3.32)



dwi  b1dxi  b2 dyi



(3.33)



Elemen matriks varian-kovarian dari U dan W ditulis seperti persamaan (3.34), (3.35) dan (3.36). S u2 



(U  u i ) 2 du i  n 1 n 1



(3.34)



S w2 



(W  wi ) 2 dwi  n 1 n 1



(3.35)



(U  ui )(W  wi ) (dui )(dwi )  n 1 n 1



(3.36)



2 S uw 



60



Apabila hanya diketahui nilai rata-rata X dan Y serta varian-kovariannya, maka dari persamaan (3.34) s.d. persamaan (3.36) diperoleh persamaan (3.37), (3.38) dan (3.39). S u2 



(a1 dxi  a 2 dyi ) 2 n 1



(3.37)



S u2 



(a12 dxi2  a 22 dyi2  2a1 a 2 dxi dyi ) n 1



(3.38



 dxi2   dy12   dxi dyi    a 22    S u2  a12  a a 2   1 2    n 1   n 1   n 1 



(3.39)



Berdasar persamaan (3.34) s.d. (3.36) dan (3.39) diperoleh persamaan (3.40), (3.41) dan (3.42).



S u2  a12 S x2  a22 S y2  2a1a2 S xy



(3.40)



S w2  b12 S x2  b22 S y2  2b1b2 S xy



(3.41)



2 S uw  a1b1 S x2  (a1b2  a2 b1 )S xy  a2 b2 S y2



(3.42)



Persamaan (3.40) s.d. (3.42) adalah rumus perambatan kesalahan dengan memperhatikan adanya korelasi antara X dan Y. Apabila tidak ada korelasi antara X dan Y, berarti nilai kovarian X dan Y tepat nol, maka menjadi persamaan (3.43), (3.44) dan (3.45).



S u2  a12 S x2  a22 S y2



(3.43)



S w2  b12 S x2  b22 S y2



(3.44)



2 S uw  a1b1 S x2  a2 b2 S y2



(3.45)



Rumus umum perambatan kesalahan acak tanpa ada korelasi antar parameternya adalah persamaan (3.46) dan (3.47). Apabila U  aX  bY  cZ  ... (3.46) Maka SU2  a 2 S X2  b 2 SY2  c 2 S Z2  ...



(3.47)



Apabila diketahui persamaan (3.48), (3.49) dan (3.50).



 S2  XY   X  S XY



S XY   S Y2 



(3.48)



 S2 UW   U  SUW



SUW   SW2 



(3.49) 61



a G   1  b1



a2   b2 



(3.50)



Maka persamaan (3.48), (3.49) dan (3.50).ditulis dalam bentuk matriks (3.51). UW  G XY G T



(3.51)



Rumus perambatan kesalahan acak tetap berlaku pada persamaan U dan W yang tidak linier, pemecahannya dengan melinierkan persamaan tersebut menurut deret Taylor sampai turunan pertama saja. Apabila diketahui persamaan (3.52) dan (3.53). U = F(X,Y,Z,...)



(3.52)



W = F(X,Y,Z,...)



(3.53)



Maka menjadi persamaan (3.54) dan (3.55). u  dui  F ( X , Y , Z ) 



U U U .dxi  .dyi  .dz i x y z



(3.54)



W W W .dxi  .dyi  .dz i x y z



(3.55)



w  dwi  F ( X , Y , Z ) 



Dari persamaan (3.52) dan (3.53) dapat diketahui persamaan (3.56) dan (3.57). u = F(x,y,z,...)



(3.56)



w = F(x,y,z,...)



(3.57)



Sehingga persamaan (3.54) dan (3.55) dapat ditulis menjadi persamaan (3.58) dan (3.59).



du i  a1dx i a2 dyi  a3 dzi  ...



(3.58)



dwi  b1dx i b2 dyi  b3 dzi  ...



(3.59)



Masing-masing nilai a dan b adalah diferensial parsial fungsinya ke masing-masing parameternya, sehingga bentuk matriks G untuk hitungan perambatan kesalahan persamaan (3.60).



62



 u  x G  w  x 



u y w y



u  ... z    a1 w   ...  b1 z 



a2 b2



a 3 ...  b3 ...



(3.60)



Contoh: Empat persegi panjang diukur panjangnya 200 m dengan simpangan baku = 4 cm, sedangkan lebarnya diukur 100 m dengan simpangan baku = 4 cm. Berapa luas empat persegi panjang tersebut dan nilai simpangan bakunya? Hitungan: p = 200 m ± 0,04 m l = 100 m ± 0,04 m L = p.l



 L  G pl G T



L  S p  l  0



 L S L2    p S L2  l



2



 0,04 2 p   0



0 T G S l2  0  l    0,04 2  p 



 0,04 2 S  100 200  0 2 L



0  100    0,04 2  200 



S L2  80 m Luas empat pesegi panjang L = p.l = 200x100 = 20000 m2 Simpangan baku persegi pamjang = ±



80 m



Apabila antar pengukuran tidak berkorelasi, maka rumus peramatan kesalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: Suatu fungsi Y = F(a,b), dimana pengukuran a dan b tidak berkorelasi.



Y  G X GT



(3.61)



63



 F  0   a    S b2   F   b 



2 F   S a  b   0



 F S Y2    a



 F S Y2   .S a2  a



(3.62)



 F  F 2   a  .S b    b   F   b 



(3.63)



2



2



 F  2  F  2 S   .S b  .S a    b   a  2 Y



(4.46)



Contoh pada analisis awal pengukuran sipatdatar. Pengukuran dilakukan dengan mengukur rambu (yang diletakkan tegak lurus) dengan alat sipatdatar yang didatarkan dengan bantuan nivo atau pendulum, oleh karena itu ada dua sumber kesalahan, yaitu kesalahan karena nivo dan rambu. Rambu



Rambu



Sn



Sn



D.S n



D



D



Gambar 3.1. Pengukuran beda tinggi



Kesalahan nivo ( S n )



= 0,2” s.d. 2,5”



Kesalahan rambu ( S r )



= 0,001 mm s.d. 0,0015 mm untuk pengukuran berjarak 1 m.



Kesalahan tiap kedudukan alat S k adalah: S k2  2{(D.S n ) 2  D 2 S r2 }



(4.47) 64



S k2  2D 2 (S n2  S r2 )



(4.48)



Kesalahan tiap seksi: Misalkan 1 seksi terdiri atas n kedudukan alat dan S merupakan panjang seksi, maka: 2 S seksi  n.S k2 2 S seksi  2nD 2 (S n2  S r2 )



(4.49)



Panjang 1 seksi = 2nD  S , dengan D = jaral alat ke rambu. 2 S S2  S seksi



(4.50)



S S2  2nD 2 (S n2  S r2 )



(4.51)



S S2  (2nD).D.(S n2  S r2 )



(4.52)



S S2  S.D.(S n2  S r2 )



(4.53)



Contoh: Seksi sepanjang 10000 m (10 km) diukur dengan alat sipatdatar dengan ketelitian 2,0” dan rambu dengan ketelitian 0,012 mm tiap 1 m jarak pandangan. Tentukan kesalahan seksi. Hitungan: S S2  S.D.(S n2  S r2 )



  2,0"  2  0,012  2    S  10000x60    206265   1     2 S



  10000 x602,380 x10 



S S2  10000 x60 9,4015x10 11  1,14 10 S S2







10



S S2  1,428x10 4 m2



S S  0,012 m



III.16. Toleransi Dalam suatu pengukuran pasti mengandung suatu kesalaan. Namun demikian berapa besarnya kesalahan terbesar yang masih diperbolehkan disebut sebagai suatu toleransi pengukuran. Untuk menyatakan bahwa suatu pengukuran memenuhi toleransi, toleransi perlu dinyatakan sebagai ketidakpastian. Yang umum dipakai toleransi adalah  3S . Dengan kata



65



lain, suatu pengukuran dinyatakan memenuhi suatu toleransi t  , apabila memenuhi 3S  t , dalam hal ini S merupakan nilai simpangan baku pengukurannya. Contoh: Dua buah BM yang berjarak 1,5 km akan diukur dengan alat sipatdatar yang mempunyai ketelitian 2,0” dan rambu dengan ketelitian 0,012 mm tiap 1 meter jarak pandangan. Berapa jarak alat ke rambu ( D ) maksimum yang diperbolehkan, sehingga kesalahan seksi (jarak dua BM) memenuhi toleransi (t) = ±10 mm. Hitungan: t  10 mm



S S  t / 3  0,0033 m S  1,5 km  1500 m



S S2  S.D.(S n2  S r2 )



D



D



D



S S2 S ( S n2  S r2 )



0,00332   2,0"  2  0,012  2    1500    206265   1    







0,0033 2



1500 0,97 x10 5



  1,2 x10   2



5 2



D  30,5 m



Jadi jarak alat ke rambu maksimum 30 m.



C. Contoh Soal/Pertanyaan dan Jawaban



Soal: Diketahui data absis (X) dan ordinat (Y) dalam satuan meter sebagai berikut: X (m)



Y (m)



1



8 66



3



6



2



9



5



4



8



3



7



3



12



2



2



7



4



7



Hitunglah: a. Rata-rata X dan Y. b. Simpangan baku X dan Y. c. Varian X dan Y. d. Kesalahan baku X dan Y. e. Kovarian XY. f. Korelasi XY. g. Matriks varian-kovarian.



Jawaban: Rata-rata X (m) x



:



xi 44   4,8 9 n



Xi



x - Xi



( x - Xi)2



1



3,8



-14,44



3



1,8



3,24



2



2,8



7,84



5



-0,2



0,04



8



-3,2



10,24



7



-2,2



4,84



12



-7,2



51,84



2



2,8



7,84



4



0,8



0,64 67



100,96 Simpangan baku X (m)



( x  xi ) 2 100,96   3,55 n 1 8



Sx 



Kesalahan baku X (m) Kx 



:



( x  xi ) 2 100,96   12,6 n 1 8



Rata-rata Y (m) y



:



Sx 3,55   1,18 9 n



Varian X (m2) S x2 



:



:



yi 49   5,4 9 n



Yi



y - Yi



( y - Yi)2



8



-2,6



6,76



6



-0,6



0,36



9



-3,6



12,96



4



1,4



1,96



3



2,4



5,76



3



2,4



5,76



2



3,4



11,56



7



-1,6



2,56



7



-1,6



2,56 50,24



Simpangan baku Y (m)



Sy 



:



( y  yi ) 2 50,24   2,51 n 1 8



Kesalahan baku Y (m)



:



68



Sy



Ky 







n



2,51  0,84 9



Varian Y (m2)



:



( y  yi ) 2 50,24 S    6,28 n 1 8 2 y



Xi



x - Xi



( x - Xi)2



Yi



y - Yi



( y - Yi)2



( x - Xi).( y - Yi)



1



3,8



-14,44



8



-2,6



6,76



-9,88



3



1,8



3,24



6



-0,6



0,36



-1,08



2



2,8



7,84



9



-3,6



12,96



-10,08



5



-0,2



0,04



4



1,4



1,96



-0,28



8



-3,2



10,24



3



2,4



5,76



-7,68



7



-2,2



4,84



3



2,4



5,76



-5,28



12



-7,2



51,84



2



3,4



11,56



-24,48



2



2,8



7,84



7



-1,6



2,56



-4,48



4



0,8



0,64



7



-1,6



2,56



-1,28



50,24



-64,52



100,96 Korelasi X dan Y r



:



( x  xi )( y  yi )  ( x  xi ) .  ( y  yi ) 2



Kovarian X dan Y (cm2)



S x, y 



2







- 64,52  0,91 (100,96).(50,24)



:



( x  xi )( y  yi )  r S x2 S y2  0,91x3,55 x2,51  8,07 n 1



Matriks varian-kovarian



:



 12,6  8,07 2  x, y   m  8,07 6,28 



Soal: Empat persegi panjang diukur panjangnya 200 m dengan simpangan baku = 4 cm, sedangkan lebarnya diukur 100 m dengan simpangan baku = 4 cm. Berapa luas empat persegi panjang tersebut dan nilai simpangan bakunya. 69



Jawaban: Diketahui: p = 200 m ± 4 cm l = 100 m ± 4 cm Ditanya: Luas dan keliling persegi panjang. Simpangan baku luas dan keliling persegi panjang. L=pxl = 200 x 100 = 20000 m2 K = 2p + 2l = 2x200 + 2 x 100 = 600 m



 p2  pl  0,16 0  2  pl    m 2  pl  l   0 0,16



 L  p G  K  p



L  l   l p  100 200   K  2 2   2 2  l 



 LK  G plG T



  L2   LK



 L  p   LK     K2   K  p



  L2   LK



 LK  100 200 0,16 0  100 2 0 , 16    200 2    2 2  0  l  K2   2  



  L2   LK



 LK  800 96    K2   96 1,28



L   L 2   p     l p pl   K   pl  l2   L    l l 



K  p   K  l 



 L2  8000 m2  L  89,44 m



 K2  1,28 m2 70



 K  1,13 m Soal: Dilakukan pengukuran jarak miring (m) = 100 m dengan simpangan baku 0,02 m dan sudut (h) = 30o dengan simpangan baku 20”. Hitunglah beda tinggi dH dan simpangan bakunya.



m dH h



Jawaban: Diketahui: d = 100 m ± 0,02 m h = 30o ± 20” Ditanya: Beda tinggi (dH) Simpangan baku beda tinggi (σdH) dH = m.sin h = 100 sin 30o = 50 m



 2  mh   m  mh



0,02 2   mh     h2   0  



 dH G  m



dH   sin(h) m. cos(h)  0,5 86,602 h 



0     20    180 x60 x60      



2



  0   0,0004  0 9,4.10 4     



 dH  G mhGT



71



2  dH



 dH   m



 dH  2 dH    m  mh   m     h   mh  h2   dH   h  0   0,5  0,0004 9,4.10 4  86,602  0



2  0,5 86,602  dH



0   0,5  0,0004 9,4.10 4  86,602  0



2  0,5 86,602  dH 2  dH  1,705.10-4 m2



 dH  1,305.10-2 m



D. Soal/Pertanyaan Perambatan Kesalahan Acak 1.



Dilakukan pengukuran jarak AB sebesar l1= 10 m dengan simpangan baku 3 cm, dan jarak BC sebesar l2= 5 m dengan simpangan baku 4 cm. Hitunglah berapa panjang AC terkoreksi dan simpangan bakunya.



2.



Dilakukan pengukuran panjang AC = 15 m dengan simpangan baku 4 cm, dan jarak BC = 7 m dengan simpangan baku 3 cm. Hitunglah berapa panjang AB dan simpangan bakunya.



3.



Dilakukan pengukuran jarak datar (d) = 100 m dengan simpangan baku 0,02 m dan sudut (h) = 30o dengan simpangan baku 20”. Hitunglah beda tinggi (dH) dan simpangan bakunya.



72



4.



Pada gambar segitiga berikut ini, diukur jarak a dan b berturut-turut 416,050 m dan 202,118 m dengan simpangan baku a = 0,020 m dan simpangan baku b = 0,012 m. Hitunglah nilai c dan β beserta simpangan bakunya. Hitung pula korelasinya jika ada.



a b β c 5.



Dilakukan pengukuran asimut titik P ke titik Q = 65o (aPQ) dan jarak titik P ke titik Q (dPQ) = 100 m. Simpangan baku asimut aPQ = 3” dan simpangan baku jarak dPQ = 4 cm. Jika diketahui koordinat titik P (10, 10) m hitunglah koordinat Q dan simpangan bakunya.



6.



Suatu lingkaran diukur diameternya = 14 m dengan simpangan baku 2 cm. Berapa luas dan keliling lingkaran tersebut beserta simpangan baku masing-masing.



7.



Pada sebuah segitiga siku-siku, dilakukan pengukuran panjang (P) = 16 m dengan simpangan baku = 2 cm dan lebar (L) = 9 dengan simpangan baku = 3 cm. Berapa luas segitiga tersebut dan simpangan bakunya.



Q aPQ dPQ 73



P(10,10) m



8.



Pada sebuah segitiga PQR diukur panjang RP = 11 m dengan simpangan baku = 2 cm, panjang RQ = 9 m dengan simpangan baku 1 cmdan sudut di titik R = 56 o dengan simpangan baku 3’. Berapa luas segitiga PQR dan simpangan bakunya.



9.



Sebuah persegi panjang diukur panjangnya 15 m dengan simpangan baku 3 cm dan lebarnya 7 m dengan simpangan baku 2cm. Berapa luas dan keliling persegi panjang tersebut beserta simpangan bakunya.



10. Dilakukan



pengukuran



koordinat



titik



A(300±0,05;500±0,03)



m



dan



titik



B(400±0,02;600±0,04) m, hitunglah jarak AB beserta nilai simpangan bakunya. 11. Dalam suatu segitiga PRQ diukur panjang RP = 320 ± 0,03 m, panjang RQ = 240 ± 0,04 m m dan sudut R = 60o ± 2. Berapa luas segitiga dan berapa nilai simpangan baku luas segitiga. 12. Dilakukan pengukuran sudut h = 60o±5” dan jarak datar d = 100±0,04 m. Berapa nilai beda tinggi dH serta nilai simpangan bakunya.



dH h d 13. Diketahui koordinat titik A (0,0) dilakukan pengukuran asimut dari titik A ke B = 45o, dengan simpangan baku = ±2’, jarak antara titik A ke titik B = 300 m, dengan simpangan baku = ±5 cm. Hitung koordinat titik B dan simpangan bakunya.



74



14. Titik BM mempunyai simpangan baku pada nilai X = ±0,37 m, simpangan baku pada nilai Y = 0,24 m, serta nilai korelasi antara X dan Y = ±0,7. Hitunglah parameter elips kesalahan kemudian sket hasilnya!.



E. Pustaka 1. Hadiman, 2000, Hitung Perataan, DepartemenTeknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2. Hadiman, 2003, RPKPS dan Bahan Hitung Perataan, DepartemenTeknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 3. Mikhail, E.M., and Gordon Gracie, 1981, Analysis and Adjustment of Survey Measurement, Van Nostrand Reinhold, Co, New York. 4. N. Widjajanti, 2002, Hitung Kuadrat Terkecil Metode Parameter, DepartemenTeknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.



75



IV. BOBOT UKURAN



:



A. Learning Outcome



Menjelaskan pengertian bobot ukuran (A1). Menyusun bobot ukuran (A1).



:



Minggu ke-



4



B. Materi



IV.1. Bobot Apabila dilakukan suatu pengukuran jarak dengan data sebagai berikut: Hasil ukuran group I: No.



Nilai Jarak (m)



1



147,25



2



147,29



3



147,34



4



147,33



5



147,.26



6



147,36



7



147,25



8



147,32



Jumlah



1178,40



Hasil ukuran group II: No.



Nilai jarak (m)



1



147,32



2



147,25



3



147,23



4



147,28



Jumlah



589,08



Rata-rata group I (xI) = 1178,40/8 = 147,30 m Rata-rata group II (xII) = 589,08/4 = 147,27 m



76



Tanpa memperhatikan masing-masing ukuran dan hanya menggunakan nilai rata-rata (xI dan xII), nilai akhir x dapat dicari dengan rata-rata kedua nilai yaitu: Rata-rata panjang (x) = (xI+xII)/2 = (147,30+147,27)/2 = 147,285



(4.1)



Apabila rata-rata panjang (x) dihitung langsung dari kedua belas ukuran jarak, maka: Rata-rata panjang (x) = = (x1+x2+...+x12)/12 = 1767,48/12 = 147,29



(4.2)



Seharusnya nilai pada persamaan (4.1) dan (4.2) harus sama, perbedaan tersebut karena kekeliruan pengguna rumus rata-rata. Apabila hitungan (x) pada nilai persamaan (4.1) diulangi dengan persamaan (4.3).



x



x I p I  x II p II p I  p II



(4.3)



Apabila pI = 8 dan pII = 4 maka nilai x adalah:



x



(147,30 x8  147,27 x1)  147,29 84



(4.4)



pI dan pII disebut dengan bobot rata-rata nilai xI dan xII. Apabila masing-masing kedua belas ukuran tersebut dianggap mempunyai ketelitian yang sama, sehingga varian x1, x2, x3, ..., x12 adalah sama sebesar ( S o ), maka dengan rumus perambatan kesalahan acak dapat dihitung varian xI dan xII , masing-masing sebesar:



S x2I 



(S 2  S 2  S 2  S 2  S 2  S 2  S 2  S 2 ) (1 / 8) 2



(4.5)



 (1 / 8) S 2



S x2II 



(S 2  S 2  S 2  S 2 ) (1/ 4) 2



(4.6) 77



S x2II  (1 / 4)S 2



Dari dua nilai xI dan xII serta nilai varian masing-masing, dan karena tidak ada korelasi antar pengukuran yang berarti nilai kovariannya nol, maka nilai rata-rata (x) dapat dihitung dengan persamaan (4.7).



x



(1 / S x2I ).x I  (1 / S x2II ).x II (1 / S x2I )  (1 / S x2II )



(4.7)



Hubungan varian dengan bobot yaitu: S 2  k / p atau p  k / S 2



(4.8)



k adalah konstanta sembarang yang digunakan sebagai pembanding saja dalam menentukan bobot. Nilai k dapat diganti dengan varian ukuran dengan bobot tunggal ( S o2 ) atau disebut juga varian dengan bobot tunggal atau faktor varian atau varian referensi atau varian baku atau varian apriori. Apabila jumlah ukuran banyak maka masing-masing bobot ukuran dapat dihitung dengan persamaan (4.9).



S2 p 1  o2 S1



S o2 p2 2 S2



p3



S o2 S o2 ... p  n S 32 S n2



(4.9)



Penulisan bobot dalam bentuk matriks seperti persamaan (4.10), (4.11) dan (4.12).



 p1   P   



p2 p3 ...



      pn 



(4.10)



78



 S o2  2  S1    P      



         ...  S o2  S n2 



S o2 S 22



1 S2  1   2 P  So      



S o2 S 32



1 S 22 1 S 32



(4.11)



        ...  1   S n2 



(4.12)



Anggapan bobot ukuran sipatdatar: ΔHslag = RB – RD



(4.13)



ΔHAB = ΣΔHslag = RB1+RB2+ ... +RBn – RD1+RD2+ ... +RDn



(4.14)



Banyaknya slag = n Apabila S RB1 = S RB2 = S RBn = S RD1 = S RD2 = S RDn = S Maka: S H AB  S 2n



Sehingga:



S H AB  S 2n 1



S H BC  S 2n 2



S H CD  S 2n 3



(4.15)



n1 , n2 , n3 : banyaknya slag AB, BC, CD



Bobot ΔH menjadi:



PAB



S o2  2n1 S 2



PBC



S o2  2n 2 S 2



PCD



S o2  2 n3 S 2



(4.16)



79



Apabila  o2  2. o .2. 2 .k maka: k n1



PAB 



P BC 



k n2



PCD 



k n3



(4.17)



Apabila setiap slag panjangnya sama, maka: PAB 



k d1



P BC 



k d2



PCD 



k d3



(4.18)



Dalam hal ini d : jarak ukuran, bobot fungsi seper jarak Besaran pengamatan yang didapat dari suatu proses pengamatan mempunyai tingkat ketelitian yang bervariasi, maka dalam perhitungannya harus diberikan bobot yang besarnya sesuai dengan harga ketelitian dari suatu pengamatan. Besaran yang diberikan disebut bobot pengamatan. Bobot pengamatan merupakan pembanding ketelitian dari suatu besaran pengamatan secara relatif terhadap pengamatan lain. Karena itu bobot pengamatan digunakan sebagai pembanding ketelitian dalam hitung kuadrat terkecil. Pemberian bobot pengamatan biasanya berdasarkan kaidah umum bahwa bobot suatu pengamatan berbanding terbalik dengan variannya seperti pada persamaan (4.19).



P 



k



2



(4.19)



Dalam hal ini, k adalah nilai apriori sebagai pembanding varian pengamatan. Apabila suatu pengamatan mempunyai bobot sama dengan satu maka varian pengamatan sama dengan varian apriori σo2, maka menjadi persamaan (4.20).



1



k



o



2



(4.20)



dari persamaan (4.19) dan persamaan (4.20) diperoleh persamaan (4.21).



 O2 P 2 



(4.21)



Dalam hal ini: 80



o2



: varian apriori



σ2



: varian hasil pengamatan



Bobot dalam bentuk matriks dapat ditulis seperti pada persamaan (4.22). P = o2 -1LB



(4.22)



Dalam hal ini,



 LB1



       



1



0



 12



1



 22



...



...



...



...



0



0



..



0



0   0   ...   1 2 n 



...



(4.23)



Jika dalam pengamatan tidak saling berkorelasi, maka bobot pengukuran dalam matriks merupakan suatu matriks diagonal.



0



1



 12



 2



P = 







0



0



1







0



















0



0







1



 22



(4.24)



 n2



Jika dalam pengamatan tidak saling berkorelasi dan nilai varian apriori sama dengan 1 maka bobot pengukuran dalam matriks merupakan suatu matriks diagonal.    P    



1



 12



0



0 1



...



 22



...



...



...



...



0



0



..



0   0   ...   1 2 n 



(4.25)



IV.2. Bobot Pengukuran Jarak, Sudut Horizontal dan Beda Tinggi 81



Untuk memperoleh nilai varian pengukuran jarak dan sudut horizontal yang selanjutnya digunakan untuk mencari nilai bobot pengukuran digunakan model varian menurut Mikhail. Model varian jarak seperti pada persamaan (4.26). D2 = a2 + b2 . D



(4.26)



Dalam hal ini: D2



: varian total jarak pengukuran



D



: jarak (km)



B



: ketelitian relatif alat (ppm)



A



: ketelitian jarak yang tidak tergantung jarak (mm)



Model varian sudut seperti pada persamaan (4.27). B2 =BC2 + BR2 + BP2 + BT2



(4.27)



Dalam hal ini: B2



: varian total sudut ukuran



BC



: kesalahan akibat pemusatan alat ukur dan target



BR



: kesalahan akibat pembacaan pada skala piringan horizontal



BP



: kesalahan akibat pembidikan



BT



: kesalahan akibat penempatan target



s2 = BC2 + BR2 + BP2 + BT2 Dimana: BC2 = [ {(C12/d12) + (C22/d22 + (C2/d32)} . {d12 + d22 - 2 d12 . d22 cos s} ] . ” Dalam hal ini: C1,C2: kesalahan pemusatan target satu dan target dua C3



: kesalahan pemusatan alat ukur



d1, d2 : jarak ke target satu dan ke target dua s



: sudut ukuran



”



: 206265”



BR2



: R2 / 2n2 (untuk teodolit repetisi)



R



: 3 x d (untuk ketelitian piringan horizontal 10” s/d 1’)



D



: pembacaan terkecil piringan horizontal



BP2



: P2 / n 82



N



: jumlah pengamatan



P2



: 60” / M



M



: perbesaran teropong alat ukur teodolit



BT2



: [ (d12 + d22) / (d12 . d22) ] . T2 . ”



T2



: ketelitian target



Bobot untuk beda tinggi.  02 0   2h1   02  0 P  2h 2  ... ...  0  0 



   ... 0   ... ...    02 .. 2   hn 



...



0



Dalam hal ini:



 2hi



: varian pengukuran beda tinggi = 2 Dij2 (  2 +  2 )



 2



: setting accuracy = 0,5” = 2,4241 x 10-6 m (manual auto level)



 2



: varian ketelitian rambu = 0,05 mm/m = 5 x 10-5 m (manual auto level)



 02



: 2 ( +



Dij2



: kuadrat jarak antar titik



2



 2



)



C. Contoh Soal/Pertanyaan dan Jawaban Soal: Dilakukan pengukuran jarak titik A dan B sebanyak empat kali seperti berikut (dalam meter). Jarak



Simpangan Baku



7829,614



0,020



7829,657



0,014



7829,668



0,020



7829,628



0,010



Hitung rata-rata jarak titik A dan B! Jawaban: 83



X



P1.D1  P2 .D2  P3 .D3  P4 .D4 P1  P2  P3  P4 1



X 







2 D1



1



.D1 







1







2 D1



2 D2







.D2  1







2 D2







1







2 D3



1







2 D3



.D3 



1



 D2



.D4



4







1



 D2



4



1 1 1 1 .7829,614  .7829,657  .7829,668  .7829,628 2 2 2 0,020 0,014 2 0,020 0,010 2 X 1 1 1 1    2 2 2 0,020 0,014 2 0,020 0,010 2 X



2500 x7829,614  5000 x7829,657  2500 x7829,668  10000 x7829,628 2500  5000  2500  10000



X



156592770,000  7829,6385 m 20000



 X2 



1  0,0005 P



 X  0,00707 Cara lain: Apabila diketahui  o2  0,0004 X



P1.D1  P2 .D2  P3 .D3  P4 .D4 P1  P2  P3  P4



 o2  o2  o2  o2 .D1  2 .D2  2 .D3  2 .D4  D2 D D D X 2 2 2 2 o o o o     D2  D2  D2  D2 1



2



1



3



2



3



4



4



0,0004 0,0004 0,0004 0,0004 .7829,614  .7829,657  .7829,668  .7829,628 2 2 2 0,020 0,014 2 0,020 0,010 2 X 0,0004 0,0004 0,0004 0,0004    0,020 2 0,014 22 0,020 2 0,010 2 X



1x7829,614  2 x7829,657  1x7829,668  4 x7829,628 1 2 1 4



X  7829,6385 m



  2 X



 o2 P







0,0004  0,0005 8



 X  0,00707 84



D. Soal/Pertanyaan Diketahui suatu pengukuran koordinat titik A(x,y) dengan korelasi antara x dan y = -0,1, simpangan baku y = 2,1 cm dan simpangan baku x = 3,4 cm, susunlah matriks variankovarian koordinat x,y serta bentuklah matriks bobot koordinat titik A!



E. Pustaka 1. Ghilani, C.D., 2010, Adjustment Computation Spatial Data Analysis, 5th Edition, John Wiley and Sons, Inc, New Jersey. 2. Hadiman, 2000, Hitung Perataan, DepartemenTeknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 3. Hadiman, 2003, RPKPS dan Bahan Hitung Perataan, DepartemenTeknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 4. Harvey, B.R., 1991, Practical Least Squares and Statistics for Surveyor, Monograph 13, School of Surveying The University of New South Wales, Australia. 5. Mikhail, E.M., and Gordon Gracie, 1981, Analysis and Adjustment of Survey Measurement, Van Nostrand Reinhold, Co, New York. 6. N. Widjajanti, 2002, Hitung Kuadrat Terkecil Metode Parameter, DepartemenTeknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.



85



V. Konsep Hitungan Kuadrat Terkecil



A. Learning Outcome Minggu ke-



:



Menjelaskan konsep dasar hitungan kuadrat terkecil (A1).



:



5



B. Materi



C. Contoh Soal/Pertanyaan dan Jawaban D. Soal/Pertanyaan E. Pustaka 1. Ghilani, C.D., 2010, Adjustment Computation Spatial Data Analysis, 5th Edition, John Wiley and Sons, Inc, New Jersey. 2. Hadiman, 2000, Hitung Perataan, DepartemenTeknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 3. Hadiman, 2003, RPKPS dan Bahan Hitung Perataan, DepartemenTeknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 4. Mikhail, E.M., and Gordon Gracie, 1981, Analysis and Adjustment of Survey Measurement, Van Nostrand Reinhold, Co, New York. 5. N. Widjajanti, 2002, Hitung Kuadrat Terkecil Metode Parameter, DepartemenTeknik Geodesi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 6. Uotila, U.A., 1985, Adjustment Computation, Part I and II, Department of Geodetic Science and Surveying, Ohio. 7. Wolf, P. R., 1980, Adjustment Computation, Second Edition, P.B.L. Publishing Co., Madison Wisconsin.



86



VI. HITUNGAN KUADRAT TERKECIL METODE PARAMETER



A. Learning Outcome



:



Menjelaskan prosedur penyelesaian hitungan kuadrat terkecil metode parameter (A2, A3, C3). Menerapkan hitungan kuadrat terkecil metode parameter (A2, A3, C3).



Minggu ke-



:



6,7,8



B. Materi Istilah estimasi parameter maksudnya tidak lain adalah untuk menggantikan istilah adjustment atau perataan. Hal ini didasarkan pada pengertian bahwa proses kuadrat terkecil bukanlah hendak meratakan data pengamatan ataupun koordinat stasiun, akan tetapi hendak menghitung (secara statistik) atau mengestimasi harga-harga bilangan anu (parameter) berdasarkan data pengamatan yang tersedia (diberikan). Jadi nilai rata-rata pengamatan tidak akan pernah diratakan ataupun dikoreksi walaupun residu-residunya dapat dihitung, karena data pengamatan ialah data yang telah lalu (past) dimana seseorang tidak mungkin dapat kembali ke masa lalu. Adapun pengertian estimasi adalah suatu proses menaksir to the best knowledge sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya berdasarkan data yang tersedia. Metode yang umum digunakan dalam perhitungan estimasi parameter adalah dengan metode perataan parameter atau hitung kuadrat terkecil metode parameter. Pada hitung kuadrat terkecil metode parameter, parameter yang akan dicari nilainya dihitung secara langsung. Penyelesaiannya didasarkan pada sekumpulan persamaan yang menyatakan hubungan fungsional antara besaran pengamatan dan besaran parameter. Pada persamaan tersebut besaran pengamatan merupakan fungsi dari besaran parameter. Ketentuan yang harus diperhatikan dalam metode parameter yaitu jumlah persamaan sama dengan jumlah pengukuran. Metode parameter disebut juga metode tidak langsung atau metode standar II. Pengamatan yang dilakukan terhadap suatu objek digunakan untuk menentukan nilai parameter. Hasil pengamatan dan parameter yang akan ditentukan mempunyai hubungan matematik. Oleh karena itu sebelum pengamatan dilakukan perlu ditentukan model matematik. Pengamatan dinyatakan sebagai fungsi dari parameter. Dalam proses hitungannya akan diperoleh nilai koreksi yang diberikan kepada nilai parameter pendekatannya, apabilai model matematik yang ditentukan merupakan model linier linier. 87



Pada metode ini nilai parameter yang akan ditentukan harus memiliki hubungan linier dengan besaran pengukuran. Persamaan yang menghubungkan keduanya disebut persamaan pengamatan. Dalam hitung perataan, jumlah pengamatan melebihi jumlah parameter yang akan ditentukan nilainya. Rumus untuk menghitung derajat kebebasan (f) seperti pada persamaan (6.1). f = n – u ............................................................................................................... (6.1) Dalam hal ini: n : jumlah pengamatan u : jumlah parameter Contoh: Diketahui jaring sipatdatar berbentuk segitiga dengan titik A dan B diketahui tingginya, dilakukan pengukuran beda tinggi dari titik A ke titik P dan pengukuran beda tinggi dari titik P ke titik B. Tentukan tinggi titik P! P Δh1



Δh2



A



B Pada pengukuran sipat datar, diketahui model matematisnya: Δh1 = HP - HA Δh2 = HB - HP Ukuran



: Δh1, Δh2



Parameter



: HP



Pada Metode Parameter, n merupakan banyaknya pengamatan dan u merupakan banyaknya parameter yang harus ditentukan. Banyaknya persamaan yang harus ditentukan adalah sama dengan banyaknya pengamatan = n Dalam hitung perataan metode parameter, jumlah persamaan yang ditentukan sama dengan jumlah pengukuran. Model fungsional pada metode parameter seperti pada persamaan (6.2). 88



La = F(Xa)



(6.2)



Dalam hal ini La adalah besaran estimasi terbaik pengamatan Linierisasi dengan Deret Taylor sampai turunan I: La = F(Xa)



(6.3)



Dengan L + V = F(Xa); La = L + V; F(Xa) = F(Xo+X), maka persamaan (6.3) menjadi persamaan (6.4).



F .X Xa



L+V = F(Xo) + V=



(6.4)



F . X + F(Xo) – L Xa A .X



(6.5)



F



Hubungan fungsional antara besaran pengukuran dan parameter dilakukan dengan membuat sejumlah n persamaan pengamatan, sehingga diperoleh persamaan (6.6). +



=



+



+ ... +



+



..............................................................(6.6)



Selanjutnya, dapat diperoleh persamaan (6.6) dalam fungsi residu (v) seperti persamaan (6.7). =



+



+ ... +



+



-



..............................................................(6.7)



Persamaan (6.7) dapat ditulis dalam bentuk matriks seperti persamaan (6.8). nV1



= nAuX1 + nF1



(6.8)



Dalam hal ini:



=



V



;



=



;



=



;



=



: vektor koreksi yang elemen matriksnya terdiri atas besaran-besaran koreksi pengamatan (v1, v2, ..., vn) dengan dimensi n x 1 89



A



: matriks koefisien parameter yang elemen matriksnya terdiri atas koefisienkoefisien parameter (a1,1, a1,2, ..., an,u) dengan dimensi n x u



X



: vektor parameter yang elemen matriksnya terdiri atas parameter-parameter yang akan ditentukan nilainya (x1, y2, ..., yn) dengan dimensi u x 1



F



: vektor sisa yang elemen matriksnya terdiri atas selisih dari tiap konstanta persamaan linier (a1,1, a1,2, ..., an,u) dengan besaran pengamatan (



,



, ...,



)



yang bersesuaian dengan dimensi u x 1



VI.1. Penyelesaian Bobot Sama Proses hitungan jika menggunakan matriks bobot (P) sama dengan matriks I maka jumlah kuadrat residunya (VTPV) dapat dicari dengan persamaan (6.9). VTV = (AX+F)T(AX+F) T



T



T



T



(6.9)



V V = (A X +F ) (AX+F)



(6.10)



VTV = XTATAX + XTATF + FTAX+FTF



(6.11)



VTV matriks 1x1, masing-masing suku ditranspos hasilnya tetap sama XTATF = FTAX, oleh karena itu persamaan (6.11) menjadi persamaan (6.12). VTV = XTATAX + FTAX + FTAX + FTF



(6.12)



VTV = XTATAX + 2 FTAX + FTF



(6.13)



Supaya nilai VTPV minimum maka turunan pertama VTPV terhadap vektor parameter (X) harus sama dengan nol.



V TV = 2 XTATA + 2 FTA = 0 X



(6.14)



XTATA + FTA = 0



(6.15)



ATAX + ATF = 0



(6.16)



X = -(ATA)-1ATF



(6.17)



Dari persamaan (6.8) dan (6.17) diperoleh: V= -A(ATA)-1ATF + F



(6.18)



selanjutnya: La = L + V dan Xa = Xo + V 90



VI.2. Penyelesaian Matriks Kovarian Ada Proses hitungan jika menggunakan matriks kovarian sama maka jumlah kuadrat residunya (VTPV) dapat dicari dengan persamaan (6.17). Persamaan koreksi: nV1



= nAuX1 + nF1



(6.17)



VTΣL-1V = (AX+F)T ΣL-1 (AX+F)



(6.18)



VT ΣL-1V = (ATXT+F T) ΣL-1 (AX+F)



(6.19)



VT ΣL-1V = XTAT ΣL-1AX + XTAT ΣL-1F + FT ΣL-1AX+FT ΣL-1F



(6.20)



VT ΣL-1V = XTAT ΣL-1AX + 2 FT ΣL-1AX + FTF ΣL-1



(6.21)



Supaya nilai VTΣL-1V minimum maka turunan pertama VTPV terhadap vektor parameter (X) harus sama dengan nol.



V T L1V X



= 2 XTATA + 2 FT ΣL-1A = 0



(6.22)



XTAT ΣL-1A + FT ΣL-1A = 0



(6.23)



X = -(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1F



(6.24)



Dari persamaan (6.17) dan (6.24) diperoleh: V= -A(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1F + F



(6.25)



selanjutnya: La = L + V dan Xa = Xo + V



VI.3. Penyelesaian dengan Bobot Pengukuran Proses hitungan jika menggunakan matriks bobot (P) sama maka jumlah kuadrat residunya (VTPV) dapat dicari dengan persamaan (6.26).



Dari persamaan X = -(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1F dan ΣL-1 =



P



 o2



maka:



91



X = -(AT



P







2 o



A)-1AT



P



 o2



X = -(AT PA)-1  o AT 2



P



 o2



F



(6.26)



F



(6.27)



X = -(AT PA)-1ATPF



(6.28)



Dari persamaan (6.17) dan (6.28) diperoleh: V= -A(AT PA)-1ATPF + F



(6.29)



selanjutnya: La = L + V dan Xa = Xo + V



VI.4. Matriks Varian-Kovarian X, V dan La Menghitung matriks varian-kovarian parameter X: X = -(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1F



(6.30)



F



X = -(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1 L L



(6.31)



F = F(Xo) – L



(6.32)



F  ( F ( X o )  L) = -I, sehingga: = L L



(6.33)



X = +(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1 L



(6.34)



Hukum perambatan kesalahan acak: ΣY = G ΣX GT X = -(A



T



ΣL-1A)-1AT



(6.35) ΣL-1F



(6.36)



ΣY = ΣX



(6.37)



ΣX = ΣL



(6.38)



X L



(6.39)



G=



ΣX = [(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1] ΣL [(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1]T



(6.40) 92



ΣX = (AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1 ΣL ΣL-1A(AT ΣL-1A)-1



(6.41)



ΣX = (AT ΣL-1A)-1 (AT ΣL-1 A) (ΣL ΣL-1) (AT ΣL-1A)-1



(6.42)



ΣX = (A



T



ΣL-1A)-1



(6.43)



Menghitung matriks varian-kovarian residu V: V= -A(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1F + F



(6.44)



V = A(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1 – I L



(6.45)



ΣV = [A(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1-I] ΣL [A(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1 – I]T



(6.46)



ΣV = [A(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1-I] ΣL [ΣL-1 A(AT ΣL-1A)-1AT – I]



(6.47)



ΣV = A(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1 ΣL ΣL-1 A(AT ΣL-1A)-1AT + ΣL – A(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1 ΣL – ΣL ΣL-1 A(AT ΣL-1A)-1AT



(6.48)



ΣV = A(AT ΣL-1A)-1(AT ΣL-1 A) ΣL ΣL-1 (AT ΣL-1A)-1AT + ΣL – A(AT ΣL-1A)-1AT (ΣL-1 ΣL) – (ΣL ΣL-1) A(AT ΣL-1A)-1AT



(6.49)



ΣV = A(AT ΣL-1A)-1AT + ΣL – A(AT ΣL-1A)-1AT– A(AT ΣL-1A)-1AT



(6.50)



ΣV = ΣL – A(A



T



ΣL-1A)-1AT



(6.51)



Menghitung matriks varian-kovarian pengukuran La: La = L + V



(6.52)



La = L – A(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1F + F



(6.53)



La = I + A(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1 – I L



(6.54)



La = A(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1 L



(6.55)



ΣLa= [A(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1] ΣL [A(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1]T



(6.56)



ΣLa= A(AT ΣL-1A)-1AT ΣL-1ΣL ΣL-1A(AT ΣL-1A)-1AT



(6.57)



ΣLa= A(AT ΣL-1A)-1(ATΣL-1A) ΣL ΣL-1 (AT ΣL-1A)-1AT



(6.58)



ΣLa= A(AT ΣL-1A)-1AT



(6.59)



Apabila matriks bobot pengukuran diketahui, matriks varian-kovarian X adalah: 93



ΣX = (AT ΣL-1A)-1 ΣL-1 =



P



(6.60) (6.61)



 o2



Sehingga: ΣX = (AT



P







2 o



A)-1



ΣX = (AT PA)-1



(6.62) (6.63)



Apabila matriks bobot pengukuran diketahui, matriks varian-kovarian V adalah: ΣV = ΣL – A(AT ΣL-1A)-1AT



(6.64)



ΣV =  o2 P-1 –  o2 A(AT PA)-1AT



(6.65)



ΣV =  o2 [P-1 – A(AT PA)-1AT]



(6.66)



Apabila matriks bobot pengukuran diketahui, matriks varian-kovarian La adalah: ΣLa = A(AT ΣL-1A)-1AT ΣLa = A(AT



P



(6.67)



A)-1AT



(6.68)



ΣLa =  o2 A(ATPA)-1AT



(6.69)







2 o



Kontrol hitungan metode parameter: 1. La = F(Xa) = AX + F(Xo) harus terpenuhi. 2. VTPV harus = FTPV 3. VTPV harus = FTPF + FTPAX Bukti: VTPV = [-A(ATPA)-1AT PF + F]T P [-A(ATPA)-1AT PF + F] VTPV = [-FTPA(ATPA)-1AT + F T] P [-A(ATPA)-1AT PF + F] VTPV = FTPA(ATPA)-1ATPA (ATPA)-1ATPF + FTPF – FTPA (ATPA)-1ATPF - FTPA (ATPA)-1ATPF 94



VTPV = FTPA(ATPA)-1ATPF + FTPF – FTPA (ATPA)-1ATPF – FTPA (ATPA)-1ATPF VTPV = FTPF – FTPA(ATPA)-1ATPF VTPV = FTPF – FTPA . X VTPV = FTP(F + AX) VTPV = FTPV



(6.70)



Kontrol ini hanya kontrol hitungan. Kesalahan penentuan parameter dan persamaan koreksi mengakibatkan hasil salah.



C. Contoh Soal/Pertanyaan dan Jawaban



Soal: Berikut ini contoh hitungan yang sederhana pada jaring sipatdatar B l2



l1 A



l3



C



Gambar 6.1. Jaring sipatdatar Diketahui: l1 = 14,15 m l2 = 17,28 m l3 = 31,49 m Jarak AB = 1 km Jarak BC = 4 m Jarak AC = 2 km Tentukan tinggi TB,TC, beserta simpangan bakunnya apabila diketahui TA = 100 m! Jawaban: TA = 100 m 95



Ukuran: l1, l2, l3 Parameter: TB,TC n=3;u=2 Persamaan pengamatan: l1 = TB - TA l2 = TC - TB l3 = TC - TA Persamaan linierisasi: l1 + V1 = TB - TA



V1 = TB - TA - l1



l2 + V2 = TC - TB



V2 = TC - TB - l2



l3 + V3 = TC - TA



V3 = TC - TA - l3



  1 0 A =  - 1 1   0 1 



T A  X=   TC   TA  l1   114,15  F =   l 2  =  17,28  m  TA  l3   131,49 Misal 2 = 4



1 0 0   4 0 0   P = 4 0 1 0   0 1 0  4   0 0 1  0 0 2  2  X = (ATAP)-1ATPF



4 0 0  1   1 - 1 0 0 1 0  - 1 ATPA =   0 1 1  0 0 2 0



0 1 1



96



5 - 1  ATPA =   - 1 3 Det(ATPA) = 14 1 3 N = (A PA) = 14 1 -1



T



-1



3 1 1  14 14 0,2143   5  1 5  0,0714  14 14



0,0714 0,3571



4 0 0   114,15 1  1 0  0 1 0  17,28  A PF =    0 1 1  0 0 2   131,49    T



 439,32  ATPF =    280,26 X = - (ATPA)-1ATPF



0,2143 X=-  0,0714



0,0714  439,32 0,3571  280,26



V = AX + F



1 V = - 1 0



0  114,15  114,1586      17,28  1   131,4729  131,49 1 



0.0086  V = 0,0343   0,0171 2 =



V T PV nu



4 0 0  0,0086  2 =[ 0,0086 0,0343 - 0,0171] 0 1 0 0,0343  0 0 2  - 0,0171 2 = 0,0021 ΣX = 2 N-1



0,2143 0,0714 ΣX = 0.0021   0,0714 0,3571 



97



4,408,10 4 1,469,10 -4  ΣX =   4 7,347,10 -4  1,469,10



Jadi tinggi titik B dan C adalah: TB =114,1586 + 0,021 m TC = 131,4729 + 0,0271 m Soal: Prinsip hitung perataan kuadrat terkecil pada jaring GPS. A



C



B



Titik ikat Titik yang akan ditentukan posisinya. Vektor baseline



Jawaban: Persamaan pengamatan metode parameter. La = F(Xa) dengan La = L + V Berdasar geometri jaring, dapat disusun persamaan pengamatan sebagai berikut: x1 + V2 = xB – xA y1 + V2 = yB – yA z1 + V2 = zB – zA x2 + V4 = xC – xB y2 + V5 = yC – yB z2 + V6 = zC – zB x3 + V7 = xA– xC y3 + V8 = yA – yC 98



z3 + V9 = zA – zC Terdapat 9 persamaan pengamatan (telah linier), terdapat 6 buah parameter yaitu (x B,yB,zB) dan (xC,yC,zC), bobot pengamatan ditentukan berdsarkan nilai varian-kovarian komponen baseline. Persamaan pengamatan dalam notasi matriks: V = AX + L



V1  V   2 V3    V4  V  V5    V6  V   7 V8  V   9



V1  V   2 V3    V4  X  V5    V6  V   7 V8  V   9



X B  Y   B Z  V B XC   YC     Z C 



99



0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0   0 0 1 0 0 0   0 1 0 0  1 0 A   0 1 0 0 1 0   0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0   0 0 0 1 0  0 0 0 0 0 0  1 



  x 1  x A    x  y  1 A     x 1  z A      x 2  X    y 2      z 2    x  x  A 3     y 3  y A    z  z  A9  3 



Adapun matriks bobot pengamatan P adalah:



X 11  P   02  O  O 



O   O  X 31 



O X 21 O



Dengan O adalah matriks nol (3x3) dan matriks varian-kovarian komponen baseline X i1 (3x3) adalah:



  2xi  P   xi yi  x z  i i



 x y  2y  y z i



i



i



i



i



  i i   i 



 x z  y z  2z i



i



Dengan i = 1,2,3



100



Soal: P1



P2 P



P3



P4



Diketahui koordinat titik P1, P2, P3 dan P4 sebagai berikut: Titik



X (m)



Y (m)



P1



842,281



925,523



P2



1337,544



996,249



P3



1831,727



723,962



P4



840,408



658,345



Dilakukan pengukuran jarak dan sudut sebagai berikut: No.



Ukuran



l



σ



1



Jarak P1P (l1)



244,512 m



0,012 m



2



Jarak P2P (l2)



321,570 m



0,016 m



3



Jarak P3P (l3)



773,154 m



0,038 m



4



Jarak P4P (l4)



279,992 m



0,014 m



5