Dinamika Identitas Dalam Bahasa Dan Sastra [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Dokumen Milik Pustaka Jaya



DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



DINAMIKA IDENTITAS dalam Bahasa dan Sastra



EDITOR Agus Sri Danardana Dessy Wahyuni Edi Setiyanto Ratih Rahayu



Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA ©Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra Badan Riset dan Inovasi Nasional Editor: Agus Sri Danardana Dessy Wahyuni Edi Setiyanto Ratih Rahayu Diterbitkan Oleh PT Dunia Pustaka Jaya Jl. Gumuruh No. 51 Bandung 40275 Telp. 022 7321911 Fax. 022 7330595 e-mail: [email protected] Website: https//www.pustakajaya.com Anggota IKAPI Bekerja sama dengan Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra Badan Riset dan Inovasi Nasional Hak cipta dilindungi undang-undang All Rights Reserved Desain sampul oleh Ayi R. Sacadipura Desain isi oleh Tim Kreatif DPJ Cetakan pertama, 2022 ISBN 978-623-221-865-9 978-623-221-866-6 (PDF)



PUSAT RISET BAHASA, SASTRA, DAN KOMUNITAS ORGANISASI RISET ARKEOLOGI, BAHASA, DAN SASTRA BADAN RISET DAN INOVASI NASIONAL



Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



KATA PENGANTAR KEPALA ORGANISASI RISET ARKEOLOGI, BAHASA, DAN SASTRA BADAN RISET DAN INOVASI NASIONAL



KONSEP identitas dalam rumpun ilmu pengetahuan sosial-hu­ ma­ niora—termasuk bahasa dan sastra, akhir-akhir ini menempati po­ sisi yang penting. Berbagai arena perjumpaan, termasuk tweet-war di media sosial, saling hujat di berbagai WhattsApp Group (WAG), pem­beritaan media mainstream seperti surat kabar, televisi, dan radio, serta perjumpaan fisik pada arena sosial perdesaan, perkotaan, wilayah tambang, wilayah industri, dan sebagainya. Konflik yang berujung pa­ da kekerasan yang bernuansa etnis dan agama menjadi pengalaman bangsa Indonesia pada kurun waktu 1998–2004. Buku Small Town War yang ditulis oleh Gerry van Klinken tentang kekerasan antar etnisagama di Maluku, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah dapat menjadi contoh bahwa menggunakan identitas untuk ke­ pentingan-kepentingan sesaat sungguh membahayakan. Keseharian “kita” (saya dan pembaca) juga dipenuhi oleh beragam peristiwa yang mempunyai makna identitas, mulai dari profil picture sen­diri maupun teman yang memperlihatkan identitas kesukubangsaan, keagamaan, kemodernitasan, ataupun komunitas tertentu, hingga tanpa foto. Semua itu memberikan pesan makna identitas tertentu. Penggunaan bahasa untuk mengucapkan selamat ulang tahun, turut berbela sung­ kawa, ataupun berbagai peristiwa khusus yang membahagiakan atau me­nyedihkan, menggunakan pengucapan kata yang berbeda dari dua puluh tahun ke belakang. Dukung-mendukung pada saat pilkada, pil­ pres, pileg bahkan pilkades seringkali membawa identitas, entah itu terkait agama, suku bangsa, kelas sosial, bahkan turunan dalam sejarah



v Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



suatu daerah. Bahkan apa yang disebut dengan ilmiah-semu (pseudo science) dilakukan oleh kelompok tertentu terkait nama suatu cagar budaya bertingkat dunia, latar belakang pahlawan nasional, hingga latar belakang tokoh-tokoh di daerah. Terdapat hal lain yang yang membuat miris, atas nama identitas agama, pemilihan seorang ketua organisasi siswa intra sekolah (OSIS) membuat oknum guru ikut terlibat berkampanye agar siswa memilih yang seagama. Bagaimanakah nasib bangsa ini ketika seorang guru yang digugu dan ditiru memberikan pengajaran tentang kebangsaan yang sedemikian dangkal. Bukankah menjadi pemimpin itu yang di­per­ lukan adalah kepemimpinan yang adil, berpihak pada yang lemah, dan mengayomi seluruh siswa yang menjadi anggota institusi, apa pun latar belakang agama, etnis maupun kelas sosialnya. Pengertian identitas yang sebelumnya lebih bermakna tunggal pada asal-usul seseorang terkait agama, asal-usul suku bangsa, kedaerahan, kelas sosial ekonomi, tempat tinggal, cara berpakaian, dan cara berba­ hasa kini bergeser pada makna identitas yang lebih majemuk, cair, ko­ lektif, politik, interseksi, serta berbagai konsep lainnya. Kini identitas bu­kan lagi bersifat individual berupa data kependudukan yang statik. Seseorang bisa saja dilahirkan dari kedua orang tua yang berasal dari etnis migran, tetapi dalam kesehariannya menggunakan bahasa lokal di daerah tersebut, ikut ormas berbasis etnis lokal, ikut pilkada dengan mo­del kampanye yang disukai oleh anggota etnis daerah tersebut, ka­ lau perlu mendapat julukan yang berasal dari wilayah tempatan yang didatanginya. Akan tetapi, ketika ada kepentingan pragmatik yang ada hubungannya dengan etnis orangtuanya, dengan mudah ia bergeser menjadi bagian dari puak kedua orang tuanya. Amartya Sen (2006) menyebutkan bahwa identitas itu bersifat ma­­ jemuk, dalam diri seseorang menempel berbagai identitas seperti iden­ titas etnis, identitas agama, dan identitas kelompok profesi. Namun, seseorang harus mengambil pilihan—secara tegas ataupun tidak—me­ ngenai kepentingan relatif manakah yang mungkin harus diberikan se­ suai konteksnya di antara berbagai kesetiaan dan prioritas yang saling berebut untuk diutamakan. Terkait hal ini, pada suatu daerah konflik, warga etnis Madura yang sebelumnya kental menggunakan bahasa Ma­ dura, pada situasi pascakonflik menyesuaikan logat bahasanya men­ jadi Banjar agar lebih mudah diterima komunitas di daerah itu, atau tidak dianggap ekslusif menggunakan bahasa, dialek, dan logat aslinya.



vi Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Kata Pengantar



Dalam hal ini, pengalaman traumatik kekerasan antaretnis telah meng­ ubah identitas berbahasa. Mengapa identitas dapat menjadi rotan pemersatu antaranggota komunitas, tetapi sekaligus menjadi pemantik yang dapat meledakan bom waktu yang menghancurkan suatu wilayah dalam waktu sekejap? Se­kali lagi, mengutip Amarthya Sen, “…rasa keterikatan yang kuat (dan ekslusif) pada suatu kelompok bisa mengandung di dalamnya persepsi ten­tang jarak dan keterpisahan dari kelompok lain, kesetiakawanan ke­ lompok bisa memicu tumbuhnya perselisihan antarkelompok. Ke­ter­ ikatan etnis, agama, rasial, atau keterikatan-keterikatan selektif lainnya telah dimanfaatkan secara berlebihan untuk mengobarkan kekerasan ter­­hadap kelompok lainnya”. Bunga rampai ini hadir ketika persoalan identitas sedang me­nge­­­­­ muka dalam keseharian kehidupan bangsa dengan teks yang di­ha­dirkan berasal dari sumber-sumber media sosial, film, tradisi lisan, ce­rita pendek, maupun novel. Teks memang dapat berasal dari mana saja. Para ahli antropologi dan sosiologi sesuai dengan metodologinya lebih melihat aspek tingkah laku, tindakan, dan budaya materi yang hidup dalam keseharian sebagai sumber teks dalam kajiannya. Para pe­neliti bahasa dan sastra tentunya mempunyai sumber teks yang kaya, khu­­ susnya dengan teknologi digital seperti sekarang ini. Dalam kaitannya dengan momentum kelembagaan, bunga rampai ini lahir pada tahun pertama transformasi peneliti bahasa dan sastra ke da­lam wadah Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (Arbastra), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sebagai sebuah bagian dari or­ganisasi riset, terdapat beberapa kelompok riset (kelris) yang ada pada sebuat pusat riset (Pusris). Para peneliti menghimpun diri dalam kelris ka­rena bidang kepakaran dan minat yang sama dalam kegiatan riset. Berbeda dengan Pusris yang dibentuk secara topdown dan menjadi ba­ gian dari “struktur” yang ada di BRIN. Kelris bersifat lebih cair dan di­bentuk karena kesamaan minat dan kepakaran dalam suatu riset ter­ tentu. Dengan demikian, Kelris Bahasa, Sastra, dan Identitas adalah se­ kum­pulan peneliti yang mempunyai minat dalam persoalan identitas dan menjadikan bahasa dan sastra sebagai sumber riset. Kehadiran kelompok riset sebagai “kumpulan” peneliti bahasa dan sast­ra diharapkan akan menghasilkan luaran hasil riset yang bermutu ting­gi, karena mulai dari usulan riset akan dilihat pada dua tataran, yaitu kompetitif dan kolaboratif. Disebut kompetitif karena semua usulan riset



vii Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



harus melalui penilaian dari pakar yang berasal dari luar OR Arbastra. Kemudian dibuat peringkat berdasarkan nilai dari reviewer. Sementara itu, disebut kolaboratif karena riset yang ada diharapkan melibatkan pe­ neliti dari luar BRIN, dengan kriteria mempunyai rekam jejak riset yang kuat dan mempunyai potensi kolaborasi yang kuat ke depannya. Riset yang kompetitif sekaligus kolaboratif akan membiasakan pe­neliti untuk mengusulkan dan menjalankan riset dengan luaran yang berkualitas. Selain itu, berkumpulnya para peneliti dalam suatu kelris sangat ber­potensi untuk mengusulkan kegiatan riset dalam berbagai skema pen­danaan yang ada di BRIN, antara lain untuk Pusat Koloborasi Riset (PKR), Prioritas Riset Nasional, Riset dan Inovasi untuk Indonesia Ma­ju (RIIM), Pendanaan Ekspedisi dan Eksplorasi, Hari Layar, dan se­bagainya. Selain itu, program akuisisi pengetahuan lokal yang ber­ asal dari Direktorat RMPI BRIN dapat pula menjadi salah satu opsi pe­nerbitan suatu karya tulis ilmiah. Semoga penerbitan bunga rampai ini dapat memberikan inspirasi ke­pada seluruh peneliti di lingkungan Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Ko­munitas, BRIN dan Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra untuk terus menerus melakukan produksi pengetahuan melalui pe­ner­ bitan karya tulis ilmiah (KTI) melalu berbagai media publikasi. Selamat kepada tim penulis buku.



Jakarta, November 2022 Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra



Dr. Herry Jogaswara, M.A.



viii Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



KATA PENGANTAR KEPALA PUSAT RISET BAHASA, SASTRA, DAN KOMUNITAS ORGANISASI RISET ARKEOLOGI, BAHASA, DAN SASTRA BADAN RISET DAN INOVASI NASIONAL



MANUSIA, sebagai makhluk individual sekaligus sosial, memiliki iden­titas yang tidak sama satu dengan yang lain. Identitas merupakan hal penting yang dapat menunjukkan jati diri seseorang ataupun suatu ke­ lompok dengan sederet karakteristik unik yang melekat. Pada sebagian orang, identitas merupakan pilihan yang mengelompokkan diri berada dalam kategori tertentu. Akan tetapi, pada kebanyakan orang, identitas adalah hal yang “terberi”, seperti nasionalitas, etnisitas, ras, agama, gen­der, bahasa, dan sebagainya. Bahasa memang bukan satu-satunya penanda sebuah identitas. Akan tetapi, sebuah budaya tanpa ada penutur asli sama artinya dengan seekor elang tanpa sayap besarnya. Ia dapat dikatakan sebagai elang ka­­rena memiliki sayap yang besar dan dapat membawanya terbang tinggi. Elang tanpa sayap yang besar itu sama artinya ia dengan burung biasa lainnya. Begitulah arti pentingnya bahasa sebagai penanda suatu budaya. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Akan tetapi, bahasa da­pat menjadi media untuk mengekspresikan emosi, perasaan, ide, atau­pun gagasan penuturnya sehingga bahasa berpeluang membangun interaksi sosial. Melalui ekspresi inilah dapat pula terlihat identitas pe­ nuturnya. Ekspresi melalui bahasa dapat dituangkan dalam karya sastra yang tidak pernah terlepas dari kepentingan pihak tertentu. Karya sastra me­ rupakan entitas bermakna yang tidak pernah berhenti menggarap apa­ pun dalam kehidupan dengan bermediakan bahasa. Bahasa dalam karya sastra bukanlah sebuah entitas yang otonom atas dirinya, sebab dibuat



ix Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



oleh subjek yang memiliki kepentingan tertentu. Bahasa dalam karya sastra tersebut berfungsi sebagai alat untuk melihat sebuah per­soalan sosial. Dengan demikian, karya sastra juga menjadi sebuah struk­tur yang membentuk sekaligus dibentuk oleh struktur sosial yang mem­ perlihatkan identitas seseorang ataupun suatu kelompok. Menanggapi kian maraknya kajian identitas, buku Dinamika Identitas dalam Bahasa dan Sastra menghadirkan tulisan hasil Ke­ lompok Riset Bahasa, Sastra, dan Identitas; Pusat Riset Bahasa, Sas­ tra, dan Ko­mu­nitas; Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra yang berada di bawah naungan Badan Riset dan Inovasi Nasional. Beragam aspek ter­kait identitas yang terungkap melalui kebahasaan dan kesastraan di­telisik melalui perspektif yang berbeda-beda. Bunga ram­pai yang akan diterbitkan secara berkesinambungan ini diharapkan selain dapat meng­­giatkan aktivitas riset juga dapat membuka wawasan masyarakat pem­bacanya dalam memperkuat identitas kebangsaan. Semoga buku Dinamika Identitas dalam Bahasa dan Sastra ini dapat bermanfaat dan menjadi rujukan bagi siapa pun yang mempunyai per­­hatian terhadap identitas bangsa. Jakarta, September 2022 Kepala Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas



Ade Mulyanah, S.Pd., M.Hum.



x Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



PROLOG



Bahasa, Sastra, dan Identitas Agus Sri Danardana



GLOBALISASI ternyata tidak hanya membuat masyarakat menjadi semakin homogen, tetapi juga membentuk cara pandang masyarakat Indonesia terhadap dunia (terhadap identitas, citra diri, dan nilai-nilai hidup) berubah. Sekarang ini ukuran ideal menurut nilai-nilai lokal atas segala hal di hampir semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara telah terpinggirkan oleh pencitraan yang dilakukan secara masif oleh negara-negara maju, pengusung arus globalisasi itu. Sebagai akibatnya, mes­kipun mungkin tidak menyadari, masyarakat telah digiring pa­da ukuran ideal yang dicitrakan pengusungnya: citra Indo-Eropa/Ame­ rika. Globalisasi, dengan demikian, telah menggusur kebudayaan lokal dan menggantinya dengan bentuk-bentuk peradaban modern yang pa­­ da akhirnya mereduksi dan menafikan fakta-fakta partikular se­hing­ ga kebudayaan tidak lagi bersifat plural dan multikultural, tetapi si­ ngular dan monokultural.1 Semua nilai, pola pikir, dan gaya hidup di­ standarkan: diseragamkan, dihomogenisasi, dan disingularisasikan ke dalam satu bentuk nilai dan budaya. Bahkan, diam-diam politik budaya ma­syarakat pun bergeser—mengarah ke kapitalisme dan feodalisme global—menjauhi gerakan demokratisasi yang semula diperjuangkan. Pola semacam itu akhirnya menggilas dan menenggelamkan bu­daya1 Dalam hal ini, Budianta (2007) membuat batasan standar tentang lokalitas: bahwa yang lokal bersifat partular (“yang tertentu”), berkebalikan dengan global/universal yang bersifat “umum” dan menyeluruh.



xi Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



budaya lokal yang justru merupakan basis eksistensi bangsa Indonesia. Ketika masyarakat dipaksa keluar dari tatanan budayanya yang lokal dan khas tersebut, konsekuensinya adalah terjadinya ke­ter­asingan. Itulah sebabnya, belakang ini ramai dibicarakan munculnya ke­ sa­daran baru: kembali kepada lokalitas. Kembali kepada lokalitas, se­ cara fungsional, dimaknai sebagai upaya untuk melakukan resistensi dan menghentikan proses dominasi penyeragaman dan homogenisasi yang menjadi proyek peradaban global tersebut.2 Kesadaran lokalitas ini diwujudkan dengan cara merevitalisasi budaya-budaya lokal yang se­belumnya telah terkubur dan bahkan hilang musnah ditelan oleh monster globalisasi. Revitalisasi budaya lokal, menurut Pilliang (2004), adalah pem­ baruan dan/atau penyesuaian prinsip atau sistem-sistem lokal dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat masa kini. Artinya, sistem-sistem lokal harus diberi nafas baru. Dengan pemahaman semacam ini, me­ revitalisasi budaya lokal, bukan sekadar mereproduksi bentuk-be­ntuk budaya secara apa adanya, tetapi harus tetap diberi makna dan roh baru sehingga bisa tampil lebih segar dan up to date untuk kondisi sekarang. Meskipun demikian, kebangkitan kesadaran baru akan lokalitas itu, disadari atau tidak, telah pula menimbulkan kegamangan banyak orang. Kesadaran baru: yang antara lain melahirkan keyakinan bahwa ke­­arifan lokal mampu menjadi penapis efek negatif globalisasi itu be­ lum teraplikasi secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Contoh efek negatif globalisasi di bidang bahasa adalah menipisnya nilai kesantunan dalam berkomunikasi. Menipisnya nilai kesantunan berkomunikasi itu tidak hanya terlihat pada pilihan bahasa yang di­ gunakan, tetapi juga terlihat pada sikap dan perilaku berbahasanya. Umumnya, karena tidak memiliki sikap dan perilaku berbahasa yang baik, mereka abai terhadap kaidah dan sering memaksakan kehendak agar orang lain memahami (bentuk) bahasa yang kadang kala justru be­rtentangan dengan keinginannya. Program pengentasan kemiskinan, mi­salnya, pada awalnya tentu dimaksudkan sebagai program untuk 2 John Naisbitt melalui bukunya, Global Paradox, menggambarkan betapa ketika dunia sedang terobsesi gerakan pengaburan batas-batas negara dan berupaya menjadi “satu”, ketika itu pula tengah terjadi gerakan pembentukan “negara baru”. Terbentuknya Uni Eropa, misalnya, ditengarai Naisbitt sebagai indikator gerakan yang kemudian melahirkan konsep globalisasi itu.



xii Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Prolog



mengurangi atau bahkan menghilangkan kemiskinan di negeri ini. Namun, karena kata pengentasan berarti ‘proses mengentas; meng­ ang­kat’, program itu benar-benar paradoks: berhasil mengangkat (jika tidak boleh dikatakan memamerkan) kemiskinan, tetapi gagal mem­bas­ minya. Sebagai alat komunikasi (fungsi informatif dan ekspresif), bahasa juga memiliki fungsi direktif, estetik, dan fatik. Ketiga fungsi bahasa yang akhir-akhir ini mulai terabaikan itu sangat menentukan ke­ber­ hasilan sebuah komunikasi. Itulah sebabnya orang yang tidak mem­­pu­ nyai pekerjaan, rumah, dan pendengaran diperhalus menjadi tu­na­karya, tunawisma, dan tunarungu; tempat sidang di pengadilan, penj­ara, dan mati (agar tidak menimbulkan kesan menakutkan) disebut meja hijau, terali besi, dan meninggal dunia; serta agar terkesan hormat, kata kamu tidak digunakan untuk menyapa, tetapi Saudara, Anda, Bapak, Tuan, dsb. Berbahasa ternyata juga membutuhkan kecermatan. Sekalipun ter­ kesan santun, kata mengamankan (alih-alih menangkap) dalam kalimat Polisi telah mengamankannya perlu dicermati sungguh-sung­guh. Da­ lam proses penangkapan pesakitan, pada kenyataannya polisi sering kali melakukannya dengan kekerasan sehingga rasa aman itu be­lum tentu diperoleh pesakitan. Sikap kurang terpuji lainnya adalah “pemerkosaan” bahasa. Kata di mana, misalnya, diperkosa sebagai bukan kata tanya (mungkin agar terkesan beridentitas global). Perhatikan, lalu bayangkan, apa yang tergambar dalam angan ketika mendengar pernyataan seseorang seperti ini, “Pekanbaru, di mana kita dilahirkan, sungguh mengasyikkan.” Bagi orang yang merdeka (terbebas dari paksaan pembuat per­nya­ taan), kalimat Pekanbaru, di mana saya dilahirkan, sungguh meng­ asyikkan itu tentu sangat menggelikan. Mengapa? Karena kalimat itu tidak hanya memperlihatkan kekerdilan pengetahuan bahasa pem­bu­ at­nya, tetapi juga memperlihatkan kelinglungannya: sudah tahu tem­ pat kelahirannya: Pekanbaru, tetapi masih bertanya, “Di mana saya di­ lahirkan.” Pemerkosaan juga terjadi pada kata kita. Kata ganti itu telah di­ perkosa untuk menggantikan kata saya atau kami. Lebih celaka lagi, kita sering digunakan untuk tujuan manipulasi. Dalam salah satu konferensi pers, misalnya, ada politisi yang berucap, “Mohon doa restu, pimpinan



xiii Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



sedang membenahi kader-kader kita yang diduga terlibat korupsi.” Anehnya, pada sesi tanya-jawab, polisi itu menjawab, “Saya sendiri yang menangkap Brigadir Suyono itu.” Mengapa kader-kader kita yang disebut, bukan kader-kader kami, ketika berbicara keaibannya (korupsi)? Mengapa pula polisi itu tidak menyebut kita, tetapi saya, ketika berhasil menangkap Brigadir Suyono? Sungguh, jika terjadi terus-menerus, gejala ini mengakibatkan terjadinya krisis identitas. Dalam kasus ini, identitas diri (personal) yang dilambangkan oleh kata ganti saya (tunggal) dan kami (jamak) itu telah diperkosa menjadi iden­ titas bersama (komunal) yang dilambangkan oleh kata kita. Dulu, nenek moyang kita juga gemar menyembunyikan iden­ti­tas­ nya. Akan tetapi, penyembunyian itu dilakukan untuk tujuan mulia: agar tidak ada kesan menyombongkan diri. Itulah sebabnya, dulu, ba­ nyak karya yang anonim. Karya-karya itu tidak diketahui secara pasti siapa penciptanya sehingga dianggap karya bersama. Kesantunan berbahasa juga diperlihatkan oleh nenek moyang kita melalui pantun. Sebagaimana lazimnya jenis sastra dan bentuk seni lainnya, pantun mengemban tugas yang dirumuskan Horace: dulce et utile ‘indah dan berguna’. Di samping secara bentuk telah ter­­­polakan (bersajak a/b/a/b setiap baitnya) sehingga indah jika di­ den­dangkan, pantun juga mengandung pembelajaran berlogika yang sangat bermanfaat bagi pengembangan olah-pikir (imajinasi) manusia. Si­­maklah pantun lama berikut ini. Jika ada sumur di ladang Bolehlah kita menumpang mandi Jika ada umur yang panjang Bolehlah kita berjumpa lagi Hubungan antara sampiran dan isi pada pantun di atas tidak hanya terletak pada kesamaan sajak: ng/i/ng/i, tetapi juga terletak pada kan­ dungan maknanya.Kemungkinan seseorang dapat menumpang man­­di (baris kedua) dan dapat berjumpa lagi (baris keempat) ditentukan oleh dua hal yang memiliki kadar ketermungkinannya sama: keberadaan su­mur di ladang (baris pertama) dan keberadaan umur yang panjang (baris ketiga). Padahal, semua orang tahu bahwa tidak semua ladang memiliki sumur dan tidak semua orang memiliki umur (yang panjang). Keberadaan sumur di ladang yang memungkinkan orang dapat me­



xiv Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Prolog



numpang mandi (sampiran), dengan demikian, sangat berkolerasi de­ ngan keberadaan umur panjang yang memungkinkan orang dapat ber­ jumpa lagi (isi). Artinya, jika tidak ada sumur di ladang dan tidak ada umur yang panjang, harapan (orang) untuk dapat menumpang mandi dan dapat berjumpa lagi itu pun akan sirna. Bukankah ini sebuah pem­ belajaran berlogika tingkat tinggi? Begitulah, di samping dapat berperan sebagai alat pemelihara ba­­­­­hasa (yang santun dan indah), pantun juga dapat berperan sebagai pen­­jaga alur berpikir manusia. Pantun tidak hanya melatih seseorang berpikir secara logis tentang makna kata, tetapi juga melatih seseorang ber­pikir secara asosiatif tentang kaitan kata yang satu dengan kata yang lain. Pertanyaannya sekarang adalah sudahkan kita memelajari ke­ arifan lokal (seperti pantun dan bentuk ungkapan lain) secara sung­ guh-sungguh? Wallahualam bissawab. Yang pasti, kita tidak dapat mem­ bendung bentuk-bentuk ungkapan (pantun) seperti berikut ini. Anak Pak Dolah makan lepat makan lepat sambil melompat nak hantar kad raya dah tak sempat pakai sms pun ok wat? Identitas dan Etnisitas Konon, konsep identitas dan etnisitas adalah konsep tentang iden­ tifikasi diri dan asal-usul sosial yang bersifat relasional. Menurut Fredrik Barth (1969), etnisitas dapat dikatakan eksis ketika orang mengklaim identitas tertentu bagi dirinya dan didifinisikan oleh orang (yang) lain juga dengan identitas yang diklaimnya itu. Etnisitas, dengan demikian, harus dimaknai sebagai identifikasi seseorang dalam berafiliasi dengan kelompok sosialnya. Sementara itu, Schultz & Lavenda (2001) ber­ pendapat bahwa identitas dan etnisitas sesungguhnya merupakan se­ buah konsep yang dikontruksi secara budaya. Identitas dan etnisitas di­ciptakan oleh proses sejarah yang menggabungkan kelompok-ke­ lompok sosial yang berbeda ke dalam struktur politik yang tunggal di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu. Selanjutnya, Schultz & Lavenda me­mberi penjelasan sebagai berikut. Identitas dan etnisitas merupakan hasil konstruksi (proses) sosial yang lazim disebut askripsi (ascription). Askripsi, proses penandaan



xv Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



sekelompok orang/masyarakat tertentu dengan sembarang: apa pun tan­danya (sebagai ciri khas, labelling kelompok tertentu), umumnya ber­langsung hingga berabad-abad lamanya. Dalam proses itu terjadi interaksi orang dari aneka latar belakang di berbagai bidang kehidupan. Artinya, proses askripsi tidak akan berlangsung/terjadi justru ketika orang-orang benar-benar menyendiri, tidak berinteraksi. Itulah se­bab­ nya, dalam banyak hal, seseorang sering tidak diperlakukan sebagai pri­badi yang mandiri, tetapi diperlakukan sebagai anggota atau wakil kelompok/masyarakat tertentu dengan askripsi tertentu pula. Senada dengan pendapat itu, Phinney dan Alipora (1990) pun me­ nulis bahwa identitas etnik adalah sebuah konstruksi yang kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan (sense of be­longing) pada kelompok etnik, evaluasi positif pada kelompok, ber­ minat di dalam dan berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi masa depan yang berhubungan dengan etnisitas. Jadi, identitas etnik akan membuat seseorang memiliki harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya. Dari berbagai pendapat itu, dapat diketahui bahwa identitas etnik se­­ seorang ternyata tidak berhenti ketika seseorang itu ditasbihkan sebagai anggota etnik tertentu melalui bukti darah/garis keturunan. Identitas terbentuk melalui sosialisasi, baik dalam keluarga maupun masyarakat lingkungannya. Seorang yang terlahir sebagai keturunan Jawa, misalnya, tidak akan merasa memiliki identitas etnis Jawa jika se­belumnya tidak ada sosialisasi identitas terhadapnya. Hal ini di­ kuatkan oleh Weinreich (1985) yang berpendapat bahwa identitas so­ sial (termasuk identitas etnik) merupakan penggabungan ide-ide, pe­ rilaku, sikap, dan simbol-simbol bahasa yang ditransfer dari generasi ke generasi melalui sosialisasi. Begitulah, faktor utama yang mendorong terbentuknya identitas etnik adalah adanya kesamaan-kesamaan besar (seperti pengalaman, latar belakang, adat-istiadat, bahasa, dan perilaku) antaranggota kelompok masyarakat (etnik) yang terbentuk melalui sebuah proses (sosialisasi). Kesamaan-kesamaan itu pada awalnya akan menumbuhkan perasaan seidentitas dan pada gilirannya akan menumbuhkan pula kesadaran bah­wa mereka adalah kelompok yang berbeda dengan kelompok lain. Dengan kata lain, terbentuknya identitas etnik ternyata juga me­ merlukan kehadiran entitas atau etnik lain sebagai komparasi dan pe­



xvi Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Prolog



negas identitas etnik yang bersangkutan. Hal ini menegaskan kembali bahwa identitas etnik merupakan hasil dari interaksi sosial. Kelompok yang tidak berinteraksi dengan kelompok lain mungkin tidak akan menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan-kesamaan yang besar. Hanya dengan interaksi dengan kelompok lain identitas etnik mereka terbangun, dan semakin intens interaksi itu, semakin berkembang pula identitas etniknya. Sebagai sebuah proses sosial, dalam kenyataannya, indentitas dan etnisitas tidak selalu dapat diperlakukan sebagai fenomena objektif, tetapi juga subjektif (Hocoy, 1996). Artinya, indentitas dan etnisitas se­seorang tidak hanya dapat diukur melalui kriteria-kriteria tertentu yang pasti (secara objektif), tetapi juga harus diukur derajat perasaan ke­pemilikan (sense of belonging) akan kelompok etniknya (secara subjektif). Dalam perspektif inilah persoalan indentitas dan etnisitas itu sering timbul. Seseorang bisa saja sangat memuja etniknya karena sense of belonging-nya tinggi. Pun dapat terjadi sebaliknya: seseorang yang menurut kriteria umum diakui sebagai anggota kelompok etnik tertentu (karena keturunan misalnya), dengan berbagai penyebab/alasan, justru menolak untuk memakai etnik itu sebagai identitasnya. Bunga rampai ini, Dinamika Identitas dalam Bahasa dan Sastra, berisi empat belas tulisan tentang berbagai gejala dan persoalan ke­ identitasan yang ter­cermin dalam bahasa dan sastra. Dilihat dari judulnya, tiga belas tulisan dalam buku ini membincangkan identitas etnis, suku bangsa, atau ke­lompok tertentu yang ada di Indonesia. Satu tulisan membincangkan identitas kelompok (suku) Penan Muslim di Serawak, Malaysia. Untuk memudahkan pembacaan, Dinamika Identitas dalam Ba­ hasa dan Sastra di­susun dalam dua bagian: bahasa dan sastra, Bagian bahasa, terdiri atas sembilan tulisan, berjudul (1) “Bahasa dan Identiti Penan Muslim di Sarawak, Malaysia” karya Chong Shin dan Hendrikus Mangku; (2) “Bahasa, Ketaksantunan Tutur, dan Identitas: Studi Kasus pada Ko­lom Komentar Laman Yahoo” karya Edi Setiyanto; (3) “Identitas Ke­pancasilaan dalam Peribahasa Bahasa Indonesia” karya Erlinda Rosita dan Syarifah Lubna; (4) “Bahasa Balinya Komunitas Remaja Bali sebagai Identitas Etnis Bali” karya Sang Ayu Putu Eny Parwati; (5) “Peribahasa Sunda sebagai Identitas dan Kearifan Lokal Etnis/Ma­ syarakat Sunda” karya Riani dan Santy Yulianti; (6) “Loyalitas dan Ke­ banggaan Bahasa serta Upaya Penutur untuk Menjaga Identitasnya”



xvii Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



karya Mukhamdanah; (7) “Geliat Penguatan Identitas Kedaerahan da­lam Film Indonesia” karya Ratih Rahayu dan Rini Widyastuti; (8) “Wujud Relasi Emosional Bobotoh kepada Persib dalam Identitas Bahasa Sunda” karya Yusup Irawan, Irmayani, dan Dedy Ari Asfar; dan (9) “Identitas Kemelayuan dalam Praktik Perekonomian: Eksistensi Identitas Melalui Papan Nama” karya Irmayani, Yusup Irawan, dan Dedy Ari Asfar. Sementara itu, bagian sastra, terdiri atas lima tulisan, berjudul (1) “Melayu Kacukan dan Kegelisahan Marhalim Zaini” karya Agus Sri Danardana; (2) “Identitas Budaya Remaja Metropolitan Tahun 2000-an melalui Karya Sastra” karya Nurweni Saptawuryandari; (3) “Wacana Identitas Etnis Betawi dalam Dua Novel Indonesia” karya Purwaningsih; (4) “Konstruksi Identitas Melayu (Riau) dalam Karya Sastra Sebelum Reformasi” karya Dessy Wahyuni; dan (5) “Kompleksitas Identitas dalam 9 dari Nadira (Leila Chudori) dan Madre (Dewi Lestari)” karya Sastri Sunarti, Atisah, dan Ninawati Syahrul. Setidaknya terdapat satu isu utama yang menonjol dalam bunga rampai Dinamika Identitas dalam Bahasa dan Sastra ini, yakni harapan untuk men­jadikan bahasa dan (karya) sastra sebagai sumber identitas. Jika harapan itu terwujud, sudah pasti harapan yang terdapat dalam isu nasional yang belakangan ini mengemuka: membangun jati diri dan ka­ rakter bangsa akan terwujud pula. Selamat membaca.



xviii Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ........................................................................ v Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra KATA PENGANTAR ........................................................................ ix Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas PROLOG Bahasa, Sastra, dan Identitas ....................................................... xi — Agus Sri Danardana I. BAHASA ............................................................................................ 1 Bahasa dan Identiti Penan Muslim di Sarawak, Malaysia .................... 2 — Chong Shin dan Hendrikus Mangku Bahasa, Ketaksantunan Tutur, dan Identitas: Studi Kasus pada Kolom Komentar Laman Yahoo...................... 23 — Edi Setiyanto Identitas Kepancasilaan dalam Peribahasa Bahasa Indonesia ............ 47 — Erlinda Rosita dan Syarifah Lubna Bahasa Balinya Komunitas Remaja Bali sebagai Identitas Etnis Bali ..... 60 — Sang Ayu Putu Eny Parwati Peribahasa Sunda sebagai Identitas dan Kearifan Lokal Etnis/Masyarakat Sunda ............................................................. 80 — Riani dan Santy Yulianti



xix Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Loyalitas dan Kebanggaan Bahasa serta Upaya Penutur untuk Menjaga Identitasnya ..................................................... 102 — Mukhamdanah Geliat Penguatan Identitas Kedaerahan dalam Film Indonesia ......... 122 — Ratih Rahayu dan Rini Widiastuti Wujud Relasi Emosional Bobotoh Kepada Persib dalam Identitas Bahasa Sunda .......................... 136 — Yusup Irawan, Irmayani, dan Dedy Ari Asfar Identitas Kemelayuan dalam Praktik Perekonomian: Eksistensi Identitas Melalui Papan Nama ................................. 152 — Irmayani, Yusup Irawan, dan Dedy Ari Asfar II. SASTRA........................................................................................ 165 Melayu Kacukan dan Kegelisahan Marhalim Zaini ......................... 166 — Agus Sri Danardana Identitas Budaya Remaja Metropolitan Tahun 2000-an Melalui Karya Sastra ................................................................ 187 — Nurweni Saptawuryandari Wacana Identitas Etnis Betawi dalam Dua Novel Indonesia ........... 203 — Purwaningsih Konstruksi Identitas Melayu (Riau) dalam Karya Sastra Sebelum Reformasi .................................. 219 — Dessy Wahyuni Kompleksitas Identitas dalam 9 Dari Nadira ( Leila Chudori) dan Madre (Dewi Lestari) ......................................................... 244 — Sastri Sunarti, Atisah, dan Ninawati Syahrul EPILOG Kuasa Bahasa ............................................................................ 259 Agus Sri Danardana BIOGRAFI PENULIS .................................................................. 263



xx Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



I BAHASA



Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



BAHASA DAN IDENTITI PENAN MUSLIM DI SARAWAK, MALAYSIA1 Chong Shin2 Hendrikus Mangku



A. Pengantar Di Borneo Barat, konsep masuk Melayu sejajar dengan hujah Shamsul (1999), iaitu “secara subjektif, sesiapa yang memeluk agama Islam boleh dianggap sebagai “Melayu”. Pada masa yang sama, suku bu­kan muslim dan bukan Melayu boleh dilabel sebagai “Melayu” selagi mereka mengamalkan cara hidup Melayu, menuturkan bahasa Melayu, memakai pakaian Melayu, memasak masakan Melayu dan terlibat me­ nyeluruh dalam rangkaian perdagangan Melayu”. Pemelukan agama Islam boleh dikatakan merupakan titik transisi untuk “menjadi Melayu”. Untuk senario di Kalimantan Barat (Kalbar), Indonesia, batas etnik 1 Makalah yang ditulis Chong Shin dan Hendrikus Mangku ini merupakan revisi dari makalah berjudul “Bahasa dan Identiti Penan Muslim di Kampung Tanjong Belipat, Niah: Satu Tinjauan Awal” yang diterbitkan di Melayu: Jurnal Antarabangsa Dunia Melayu (Shin, 2020). Data dalam makalah ini diperoleh hasil wawancara bersemuka dengan Ketua Kampung Tanjong Belipat, En. Mohammad Yusuf @ Jimmy di Kampung Jambatan Suai dan penduduk-penduduk di kedua-dua kampung tersebut. Pada kesempatan ini, penulis ingin merakamkan penghargaan kepada semua informan atas bantuan yang diberikan semasa menjalankan penelitian. Projek yang berjudul Menerokai Konsep Baru “Masuk Melayu” Melalui Etnolinguistik Suku Penan Muslim dan Melayu-Melanau Sarawak (FRGS/1/2015/ SSI01/UKM/02/8) merupakan sebuah proyek yang didukung oleh Kementerian Pengajian Tinggi Malaysia. Sebagai sebuah makalah yang direvisi menjadi bab dalam buku, tulisan untuk telah distruktur semula dengan penambahan informasi-informasi. 2 Prof. Madya Dr. Chong Shin merupakan narasumber Webinar Identitas dalam Kebahasaan dan Kesastraan yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas pada 19 Agustus 2022. Prof. Madya Dr. Chong Shin menyampaikan satu



2 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa dan Identiti Penan Muslim di Sarawak, Malaysia



antara “Melayu” dengan suku Dayak adalah agama Islam. Berangkat dari pemikiran Sellato (1989), Mauriati (2004: 85) mengatakan sekitar 90% orang Melayu di Borneo Barat pada mulanya adalah orang Dayak yang masuk Islam. Faktor yang mendorong sesetengah suku Dayak memeluk agama Islam selanjutnya “masuk Melayu” berkait rapat de­ ngan status sosial suku beragama Islam yang lebih tinggi kerana sejak ratusan tahun, suku Melayu telah mendirikan kesultanan-kesultanan Melayu di pelbagai wilayah di Borneo Barat. Umpamanya kesultanan Sambas (lihat Musa, 2003), kesultanan Pontianak (J. Ibrahim, 1971), dan sebagainya. Dari segi bahasa, seperti yang diketahui umum, bahasa ibunda suku Melayu adalah bahasa Melayu lokal. Justeru kerana identiti sasaran yang ingin suku non-Muslim, non-Melayu ini pilih adalah “Melayu”, maka setelah “masuk Melayu”, mereka secara langsung akan memilih dialek Melayu sebagai bahasa ibunda. Pertukaran bahasa ibunda ini bukan berlaku secara mendadak tetapi memakan waktu satu atau dua generasi. Sesungguhnya, banyak kosa ilmu lepas yang menyatakan isu “masuk Melayu” di Kalbar misalnya tulisan Enthoven (1903), King (1993), Isman (2001), Yusriadi & Hermansyah (2003), Yusriadi (2005), dan sebagainya. Di Sarawak (Malaysia), fenomena masuk Melayu paling ketara dijumpai dalam ko­ muniti Melanau. Menurut Hazis (2008), seseorang Melanau Muslim boleh menggelar dirinya sebagai Melayu kerana dia akan memilih bahasa Melayu Sarawak setelah bertukar agama. Jika ditafsir berdasarkan konsep “bahasa identiti bangsa” atau “bahasa jiwa bangsa”, konsep ini yang sebenarnya bermaksud “identiti suku bangsa dilambangkan melalui bahasa etnik keturunan asal mereka”, telah bertukar kepada konsep yang berkaitan dengan bahasa kontemporari (ataupun bahasa baru) fenomena menarik dari sisi sosiolinguistik berkenaan dengan bahasa dan identitas penutur Penan yang beragama Muslim di Sarawak, Malaysia. Ia mengungkapkan data lapangan yang memperlihatkan ketidaklaziman konstruksi ilmu abad ke-20 di Borneo Barat yang menyatakan bahwa masuk Islam berarti menjadi Melayu dan berbahasa Melayu. Namun, Penan Muslim di Niah-Suai berdasarkan kajian lapangan secara so­ siolinguistik tidak mendukung konsep tersebut. Suku Penan yang memeluk agama Islam pada awal abad ke-20 tidak berbahasa Melayu, tetapi memilih bahasa Bintulu, yaitu ba­ hasa Muslim bukan Melayu sebagai bahasa ibunda mereka. Tulisan ini menampilkan data baru dari lapangan dengan memperlihatkan pemakaian bahasa berdasarkan ranah-ra­ nah secara sosiolinguistik, seperti ranah keluarga dan masyarakat. Artikel ini berbeda dengan Shin (2020) yang hanya menampilkan perbedaan kosakata Melayu, Iban, Bintulu, dan Penan secara leksikal. Tulisan ini menyajikan analisis data secara sosiolinguistik dan teks lisan yang kontekstual. Menariknya tulisan ini karena memperlihatkan dinamika etnik



3 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



yang digunakan oleh mereka. Daripada contoh-contoh “masuk Melayu” yang dikemukakan, da­­pat diperhatikan bahwa ia berkait langsung dengan memilih ba­ hasa Me­layu sebagai bahasa ibunda untuk identiti baru mereka. Ko­ nsep ini boleh diringkaskan dengan pernyataan berikut: Memeluk agama Islam akan menjadi “Melayu” dan selanjutnya akan menu­ turkan bahasa Me­layu sebagai bahasa Ibunda. Persoalannya, di alam Borneo yang luas membentang, adakah konsep ini bersifat sta­ tik dan konsisten un­tuk semua komuniti yang bertukar agama (ke



Peta 1: Lokasi Penelitian



serta Penan sebagai bagian dari diaspora orang Punan di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Dengan demikian, tulisan ini dapat dijadikan pijakan untuk pengkajian lebih lanjut mengenai Penan dan Punan dari sisi dua negara bertetangga melalui perspektif bahasa dan identitas secara antropologis (catatan editor).



4 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa dan Identiti Penan Muslim di Sarawak, Malaysia



agama Islam)? Dalam satu penelitian ke atas suku Penan Muslim di Sarawak telah berjaya memperluaskan konsep ini. Suku Penan Mu­slim didapati bukan me­milih bahasa Melayu sebaliknya bahasa Bintulu (iaitu bahasa suku Bintulu di sekitar mereka yang beragama Islam). Penelitian ini di­la­kukan di dua kampung Penan Muslim, iaitu Kampung Tanjong Belipat dan kampung Uma Penan Pruan (Kam­pung Jambatan Suai). Kedua-dua kampung ini berlokasi di lem­bah Sungai Baram, iaitu se­batang sungai utama di bagian Utara Sa­rawak; lihat Peta 1 dan Peta 2.



Peta 2: Peta Persebaran Suku Penan di Bahagian Barat Baram (Needham, 1955)



5 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



B. Suku Penan Suku Penan juga dikenali sebagai “Punan Hutan” (Jungle Punan). Pada asalnya suku ini merupakan suku nomadik. Namun demikian, sejak lebih dari seratus tahun, mereka telah meninggalkan kawasan per­gunungan di pedalaman dan tinggal menetap di tanah rata dan ka­ wasan persisir. Dari segi sumber kehidupan, mereka mula bercucuk tanam (Needham, 1955). Pendorong mereka menjalankan kehidupan yang kekal menetap kerana terlibat dengan aktiviti perdagangan barter dan bertukar kepercayaan kepada adat Bungan atau agama Kristian (baca: Katolik, tetapi di Malaysia, sering disebut secara umum, iaitu Kristian). Di samping itu, terdapat juga bantuan dari pihak kerajaan untuk membina rumah panjang yang lebih baik, memperbaiki sistem pertanian dan membekalkan ladang yang lebih luas (Langub, 1975). Walaupun kini mereka menanam padi sebagai sumber makanan ruji, tetapi mereka masih terlibat dengan aktiviti memburu hidupan liar di hutan, mencari rotan, serta membuat tikar dan bakul daripada rotan tersebut. Malah ada di kalangan mereka masih makan sagu—makanan yang suatu ketika menjadi makanan ruji mereka. Suku Penan juga me­ rupakan tukang besi (membuat parang dan pisau) yang mahir. Hasil produk mereka mendapat sambutan yang baik dari suku lain dan para peniaga Cina. Penan dibahagikan kepada dua suku, iaitu Penan Timur dan Penan Barat. Sungai Baram merupakan sempadan pemisah kepada kedua-dua suku ini. Sumber genealogi mengatakan suku Penan Barat berasal dari Bateu Kéng Sian (Batu Cengkerang Kura-kura) di hulu Sungai Lua, cabang Sungai Peliran di Lembah Rejang. Pada perpindahan yang berlaku pada sekitar tahun 1810, terdapat suku Penan Barat yang ber­ pindah ke Balui dan ada yang berpindah ke sungai Ivan, Pejungan, dan Luda. Sejarah perpindahan suku Penan Timur sebaliknya sukar dikesani kerana pengetahuan mereka tentang genealogi dan sejarah lampau agak kurang. Namun, mereka dipercayai berasal dari daerah Pejungan dam Lio Matu di hulu Sungai Baram. Dari situ mereka berpindah ke barat daya memasuki cabang Sungai Limbang dan ke pedalaman Brunei (Needham, 2007). Menurut perangkaan rasmi dari Pejabat Residen Miri, pada tahun 2008, terdapat 121 pertempatan Penan di Sarawak. Daerah yang me­ ngandungi pertempatan Penan merangkumi kawasan Baram hingga Belaga (Ghani et al., 2009). Selain itu, suku Penan juga dijumpai di



6 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa dan Identiti Penan Muslim di Sarawak, Malaysia



Lembah Niah dan Kemena. Dari segi jumlah penduduk, menurut Year Book of Statistic Sarawak 2015 (Department of Statistics Malaysia, 2015), jumlah penduduk Penan adalah seramai 12,485 orang. Jumlah ini adalah angka kumulatif untuk Penan nomad, semi-nomad dan ting­ gal menetap. Walaupun suku Penan Timur dan Barat mengaku mereka adalah Penan yang “sebenar”, tetapi kedua-dua kelompok ini berbeza dari segi linguistik dan perbezaan sosial. Dari segi linguistik, bahasa Penan Timur dan Barat tergolong dalam keluarga bahasa Kenyah. Walaupun atas nama bahasa Penan, bahasa Penan Timur dan Barat tidak saling me­mahami. Kedua-dua bahasa ini juga dikatakan cenderung menyerap kata-kata bahasa di sekeliling mereka, misalnya bahasa Kayan, Kelabit, Kenyah, Iban, dan Melayu. Sebagai suku nomad, ekonomi utama suku Penan ialah memburu dan mengumpul hasil hutan. Corak ekonomi sedemikian secara lang­ sung mempengaruhi corak pertempatan mereka. Suku Penan Timur akan membina satu tapak utama di daerah yang dieksplotasi. Kemudian me­reka akan berpindah secara kelompok dari satu tapak sementara ke tapak lain. Tapak utama yang asal akan dijadikan tempat penyimpanan hasil hutan sehingga mereka merasakan perlu pindah ke tempat lain atau ketika hendak ke pertemuan urusniaga. Pertemuan urusniaga ini diadakan lebih kurang tiga kali setahun dengan suku Kenyah di rumah panjang mereka. Urusniaga ini dilakukan dalam bentuk barter. Untuk suku Penan Barat pula, mereka akan tinggal agak lama di sesuatu tapak dan membuka tanah tersebut. Tempoh tinggal mereka biasa men­ cecah beberapa tahun (Needham, 2007). Perlu ditegaskan bahwa ru­ jukan Needham (2007) tentang pertempatan suku Penan bukan suatu informasi terbaru kerana artikel tersebut merupakan artikel terbit ulang dari bab dalam buku yang diterbitkan pada tahun 1972, dengan nama judul yang sama. Dalam zaman kontemporari, suku Penan jarang menjalankan ke­ hidupan nomadik. Dalam Ghani et al. (2009) dipaparkan dua corak per­ tempatan suku Penan, iaitu berbentuk rumah panjang dan sulap. Con­ toh-contoh suku Penan yang tinggal di pertempatan berbentuk rumah panjang adalah seperti di Long Latei’, Long Keluan, Ba’ abang, dan Long Lewe’. Sulap adalah pertempatan yang berbentuk pondok kayu kecil yang sangat sederhana. Penan di Ba’ Puak diam di pondok kecil se­perti ini. Untuk Penan di Long Kevok, mereka sebenarnya tinggal



7 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



di rumah panjang, tetapi setelah kebakaran pada tahun 2003, mereka mula tinggal di rumah-rumah yang berbentuk individu. Untuk suku Penan yang telah memeluk agama Islam (dalam makalah ini dinamakan sebagai Penan Muslim), kajian penulis di Kampung Tanjong Belipat, Suai Jambatan, dan Kampung Iran mendapati mereka tinggal di rumah kampung yang berbentuk individu. Rumah-rumah tersebut dibina sejajar dengan jalan di kampung. Dari segi keagamaan, suku Penan mula didedahkan dengan agama Kristian selepas Perang Dunia Kedua. Di antaranya, suku Penan Timur memeluk agama Protestan manakala Penan Barat memeluk agama Katolik. Dalam kalangan mereka, terdapat ramai yang masih pagan. Un­tuk golongan yang telah lama tinggal di kawasan persisiran, mereka adalah beragama Islam. Kawasan persebaran suku Penan Muslim ialah di bahagian barat su­ngai Baram; Lihat Peta 2. Needham (1955) telah menyenaraikan 5 daerah Penan muslim, iaitu Bakong, Mesekat, Niah, Sebubon, dan Suai. Penelitian ini mendapati selain 5 kampung tersebut, terdapat juga sebuah kampung, iaitu Kampung Penan Muslim Batu 10 di hilir Sungai Kemena, Bintulu. Berdasarkan Peta 2, didapati kawasan yang dinyatakan oleh Needham (1954) mengandungi suku Penan mus­lim kesemuanya terletak berhampiran dengan pesisir pantai (lihat ling­ kungan yang ditandakan). Sorotan terhadap kajian Needham (1954) men­dapati belum ramai suku Penan yang memeluk agama Islam pada akhir 40-an dan awal 50-an. 1. Penan Muslim di Tanjong Belipat, Niah Kampung Tanjong Belipat terletak berhampiran dengan Gua Niah, sebuah tapak warisan dunia yang diwartakan oleh UNESCO. Ja­rak kawasan ini dari bandaraya Miri ialah kira-kira 60 km. Menurut in­ forman, kampung itu mendapat nama dari bentuk geografi Sungai Niah yang berbentuk lekukan, iaitu seolah-olah “berlipat-lipat”. Lokasi kam­ pung yang sekarang adalah pindahan dari kampung lama yang terletak di pinggir sungai yang berliku-liku di kawasan hilir. Menurut Ketua Kam­ pung, penduduk mula berpindah ke kampung tersebut sekitar tahun 1980-an. Kampung itu boleh dicapai dengan menggunakan jalan darat. Terdapat dua jalan darat utama yang melintasi kampung ini, iaitu Jalan



8 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa dan Identiti Penan Muslim di Sarawak, Malaysia



Persisir Bintulu—Miri dan Jalan Pan Borneo. Bagi pelancong yang hendak berkunjung ke gua Batu Niah, akan melalui simpang bulatan ke kampung ini. Penduduk di kampung ini kebanyakan bekerja sebagai petani, iaitu peladang kelapa sawit. Boleh dikatakan bahwa kampung tersebut dan kampung-kampung Penan Muslim yang berdekatan dikelilingi oleh pohon-pohon sawit. Dengan itu, penamanan kelapa sawit adalah sumber ekonomi utama penduduk di kawasan ini. Namun terdapat segelintir yang sebagai petani sawah, menanam sayur, bekerja di sektor swasta dan kerajaan. Dari segi fizikal, bentuk struktur luar rumah di kampung Penan Muslim tidak jauh berbeza dengan rumah-rumah kaum lain di kampung. Terdapat rumah yang dibina dengan kayu dan bertiang tinggi, ada yang dibina di atas tanah sama ada dengan kayu ataupun batu-bata. Untuk pen­ duduk yang berkemampuan, rumah mereka rata-ratanya dibina dengan menggunakan bata. Bentuk penempatan di kampung ini ialah berbentuk sejajar, iaitu dibina di sepanjang jalan dari pangkal hingga ke hujung kampung. Namun terdapat beberapa buah rumah yang dibina jauh dari jalan kampung yang utama dan di tapak ladang sawit pemilik ladang tersebut. 2. Penan dan Penan Muslim di Kampung Jambatan Suai Kampung Jambatan Suai terletak di tepi Jalan Pan Borneo, sebuah jalan utama yang menghubungkan bandar-bandar besar di Sarawak, seperti Kuching dan Miri. Jalan itu juga bersifat antarbangsa kerana dilintasi oleh bas dari Pontianak (Indonesia) menuju ke Brunei. Oleh kerana terletak berhampiran dengan jambatan, kampung itu mendapat nama umum iaitu Kampung Jambatan Suai. Menurut informasi daripada golongan tua, jambatan itu didirikan sekitar tahun 1980-an. Pada mu­ lanya jambatan itu dibuat daripada kayu dan terletak di hilir jambatan yang baru. Sebelum jalan Pan-Borneo dibina, kampung itu tidak dilalui oleh jalan darat sebaliknya penduduk kampung itu bergantung kepada Sungai Suai sebagai jalan pengangkutan. Jalan yang melalui kampung itu mulai dibina pada tahun 1980-an dan hanya merupakan jalan tanah merah. Pada tahun 1990-an, jalan yang berturap mula dibina. Kampung tersebut berjiran dengan beberapa rumah panjang Iban. Di arah barat, kampung itu bersempadan dengan Rumah Panjang Robert, di sebelah utara bersempadan dengan Rumah Panjang Gelasah (Suai Bawah), Gelesah (Suai atas), dan Kampung Selukun; lihat Peta 3.



9 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Peta 3: Kampung Jambatan Suai (Sumber: Google My Maps dan Mangku [2017])



Sejak tahun 2014, Kampung Jambatan Suai dibahagi kepada empat kampung, iaitu Kampung Penan Muslim, Kampung Mareng, Kampung Semaling, dan Kampung Uma Penan Pruan. Berdasarkan data lisan dari lapangan pada tahun 2008, sebelum berpecah kepada empat kampung, jumlah penduduk di Kampung Jambatan Suai ialah seramai 500 orang. Jadual 1 berikut adalah bilangan keluarga yang terdapat pada setiap kampung di Jambatan Suai. Jadual 1: Jumlah keluarga di Kampung Jambatan Suai tahun 2015/2016 No



Nama Kampung



Jumlah Keluarga



1



Kampung Penan Muslim



53



2



Kampung Mareng



38



3



Kampung Semaling



36



4



Kampung Penan Pruan (Ugos)



80



Jumlah



10 Dokumen Milik Pustaka Jaya



207



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa dan Identiti Penan Muslim di Sarawak, Malaysia



Pembahagian kampung di Jambatan Suai berlaku atas dua sebab, iaitu faktor keserasian sesama penduduk dan faktor keagamaan. Sektor yang beragama Islam telah dijadikan satu kampung, begitu juga dengan sektor yang beragama Katolik. Penduduk di kampung Jambatan Suai ke­ banyakannya terdiri daripada orang Penan asli. Suku lain yang ting­gal di sana seperti orang Melayu, Iban, Cina, Melanau, dan suku pen­­da­tang lain dari Indonesia dan Filipina. Mereka berada di kampung itu kerana faktor perkahwinan atau bekerja sebagai buruh di ladang sawit. Secara umum, pekerjaan utama masyarakat Penan di Kampung Jambatan Suai adalah petani kelapa sawit. Pada tahun 1970-an ramai di kalangan mereka bekerja di sektor pembalakan. Setelah tahun 1980-an, sebahagian penduduk beralih pekerjaan dan sebagai pekebun lada. Kelapa sawit mulai diperkenalkan di kampung tersebut pada tahun 1990-an. Semenjak kelapa sawit ditanam di kampung itu, taraf hidup penduduk semakin meningkat. C. Bahasa dan Identiti Penan Muslim 1. Bahasa Jadual 2 berikut menunjukkan perbandingan contoh beberapa lek­sikal (fokus kepada anggota badan manusia) untuk empat bahasa yang dikuasai oleh suku Penan Muslim baik di Kampung Jambatan Suai ataupun di Tanjong Belipat. Perbincangan tentang perbezaan ciri fonologi juga akan disentuh sepintas lalu. Jadual 2: Perbandingan Leksikal Bahasa Penan, Bintulu, Melayu Sarawak dan Iban Erti Tangan Siku Kuku Kulit Perut Darah Kepala Otak Rambut Hidung



Penan ɔjuəɁ sikəun siləun kuliet bɔriy da:Ɂ uləun utək bɔ:k r:oŋ



Bintulu agəm sikəw siləw qulieɁ tənaɁiɁ ɣa:Ɂ uləw utəq ɓo:q uɣoŋ



Bahasa Melayu Sarawak taŋan sikuw kuku kulit pəɣut daɣah palaɁ utak bu:Ɂ idoŋ



Iban jari siku kukuət kuliet pəruət dareah palaɁ unteak buoɁ iduoŋ



11 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Daripada Jadual 2 tersebut, terbukti bahwa bahasa Penan dan Bintulu mempunyai perbezaan yang nyata dari segi kosakata. Boleh dikatakan bahwa kedua-dua bahasa tersebut tidak saling memahami jika tidak mempelajarinya. Walaupun terdapat leksikal yang mirip ben­ tuknya, tetapi tetap menyerlah perbezaan dari segi fonologi, mi­salnya antara /uləun/ dengan /uləw/, /ro:ŋ/ dengan /uɣoŋ/. Secara li­nguistik perbandingan, bahasa Penan menduduki subcabang bahasa Kayan-Ke­ nyah manakala bahasa Bintulu menduduki subcabang Bin­tulu, dalam cabang bahasa Sarawak Utara; lihat Soriente (2013). Ber­beza dengan bahasa Melayu Sarawak dan bahasa Iban, kedua-dua bahasa tersebut sangat berdekatan dari segi leksikal dan fonologi kerana berasal dari cabang bahasa Melayik; lihat K. A. Adelaar (1992). Penggunaan dan Pemilihan Bahasa Berbeza dengan kes suku Dayak di Kalbar dan suku Melanau di Sarawak yang masuk Islam, suku Penan setelah memeluk agama Islam, tidak memilih dialek Melayu setempat sebagai bahasa ibunda me­­reka. Di sekeliling mereka, memang wujud bahasa lain seperti ba­ ha­sa Kedayan, Iban, dan Penan, kesemua bahasa itu juga tidak dipilih oleh mereka setelah bertukar agama. Bahasa yang dipilih sebaliknya adalah bahasa Bintulu, iaitu satu bahasa muslim bukan Melayu. Kalau dianalisis berdasarkan kedudukan geografi, jarak antara lembah Kemena (kawasan pertuturan bahasa Bintulu) dengan lembah Niah-Suai agak berjauhan di hilir dan berdekatan di bahagian hulu. Berkemungkinan besar titik pertemuan sungai itu menjadi tempat pertama suku Penan muslim berkontak dengan bahasa Bintulu dan dari situ mereka tersebar ke daerah lain seperti Tanjong Belipat dan Kampung Iran, berserta dengan bahasa Muslim baru mereka. Dakwaan ini ada asasnya jika melihat kepada statistik Needham (2007) tentang bilangan suku Penan yang beragama Islam di lembah Suai-Niah pada akhir tahun 1940-an dan 1950-an. Di Mesekat, hanya 3 keluarga yang memeluk agama Islam (daripada 60 individu penduduk). Begitu juga di Sebubun, hanya 3 daripada 50 keluarga yang beragama Islam. Bilangan yang paling ramai memeluk agama Islam ialah suku Penan di Suai (sungai Lai, cabang Sungai Suai), iaitu terdapat kira-kira 30 daripada 40 orang yang masuk Islam. Berdasarkan perangkaan tersebut, jelas bahwa pernah wujud sekelompok besar Penan yang memeluk agama Islam di Suai. Justeru



12 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa dan Identiti Penan Muslim di Sarawak, Malaysia



kerana Suai terletak tidak jauh dari hulu Sungai Kemena, maka setelah mereka beragama Islam, mereka telah memilih bahasa Bintulu sebagai bahasa ibunda baru kerana ia adalah satu-satunya bahasa Muslim yang berstatus lingua franca. Dalam Yusriadi (2005) dinyatakan bahwa tujuan penduduk Iban Muslim di kampung Sungai Buah (Kalbar) memilih berbahasa Melayu kerana terdapat tanggapan bahwa sekiranya telah beragama Islam, mereka juga harus berbahasa Melayu. Begitu juga de­ ngan suku Penan Muslim, mungkin tanggapan tersebut wujud dalam kalangan mereka juga. Maka, hal itu telah mendorong mereka berbahasa Bintulu agar agama dan bahasa mereka sejajar dengan komuniti Muslim di kawasan sekitar mereka. Pada ketika itu, komuniti beragama Islam yang paling ramai di sekitar mereka adalah orang Bintulu. Jika dibandingkan antara kampung Jambatan Suai dengan Tanjong Belipat, penduduk di kampung Jambatan Suai masih merupakan kam­ pung campuran antara suku Penan asli yang beragama Katolik dan suku Penan Muslim yang beragama Islam. Di kampung tersebut, dapat diobservasikan bahwa bahasa Penan masih dikuasai oleh pen­ duduk setempat, baik golongan muda mahupun golongan tua. Namun demikian, penelitian lapangan mendapati bahwa suku Penan yang beragama Islam menuturkan bahasa Bintulu di rumah daripada ber­ bahasa Penan. Fenomena tersebut berbeda dengan kampung Tanjong Be­lipat. Di kampung itu, justeru kerana kesemua penduduknya telah ber­ agama Islam, bahasa Bintulu merupakan bahasa utama dalam keluarga. Bahasa Penan asli hanya dikuasai oleh orang-orang tua sahaja. Anakanak muda sudah tidak didedahkan dengan bahasa Penan kerana orang tua mereka lebih cenderung berbahasa Bintulu dengan mereka. Dengan singkat, peranan bahasa Penan asli semakin berkurang di kampung itu. Wawancara dengan penduduk kampung mendapati bahwa informan tua hanya berbahasa Penan jika mereka berkunjung ke kampung Jambatan Suai ataupun bertemu dengan penduduk Penan asli. Dalam aktiviti se­ harian, bahasa Bintulu telah menggantikan bahasa Penan sebagai ba­ hasa utama di Kampung Tanjong Belipat. Di sini, dapat dirumuskan bahwa tahap penguasaan bahasa Penan asli dan bahasa Bintulu adalah ditentukan oleh faktor umur, di samping lingkungan. Di Kampung Tanjong Belipat yang kesemuanya Penan Mus­lim, golongan tua didapati masih menguasai bahasa Penan dan hal itu sebaliknya pada golongan muda. Untuk golongan muda, peluang mereka didedahkan dengan bahasa Penan agak kurang kerana mereka



13 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



menetap di kawasan persisir yang terasing dari Penan di kawasan hulu. Di kampung Suai, faktor umur tidak mempengaruhi penguasaan bahasa Penan sebaliknya lingkungan yang menentukannya. Maksudnya justeru kerana kampung itu adalah kampung campuran suku Penan yang ber­ agama Katolik dan Islam, penduduk di situ fasih berbahasa Penan, tidak mengira faktor usia. Di Sarawak, terdapat dua bahasa lingua franca utama, iaitu dialak Melayu dan bahasa Iban (lihat Mis, 2010). Dua bahasa yang berstatus lingua franca itu seharusnya memainkan peranan tertentu da­lam isu pertukaran bahasa baru suku Penan. Akan tetapi, kenyataan adalah se­baliknya kerana mereka memilih bahasa Bintulu. Faktor bahasa Iban tidak dipilih mungkin kerana tidak sejajar dengan identiti agama mereka, walaupun kajian lapangan ini mendapati bahwa rata-rata orang Penan dewasa fasih berbahasa Iban. Dalam erti kata lain, bahasa Iban adalah bahasa ibunda suku Iban, yakni suku bukan beragama Islam dan pada ketika itu, banyak yang masih animisme. Tiada alasan untuk mereka menukar ke bahasa bukan Islam lain kerana bahasa Penan sen­diri adalah sejenis “bahasa bukan muslim”. Dialek Melayu pula walaupun merupakan “bahasa orang Muslim”, tidak dipilih pada tahap awal mereka menukar agama kerana persebaran dialek Melayu Sarawak belum sampai ke lembah Kemena, Bintulu. Dialek Melayu Sarawak yang kini dituturkan di daerah tersebut adalah dialek yang dibawa oleh penduduk luar terutamanya selepas pertumbuhan industri gas asli dan petroleuam. Dengan itu, pada tahap awal, dialek Melayu Sarawak tidak popular di Lembah Kemena, apatah lagi di daerah pedalaman yang sukar dijangkau. Ini berlainan dengan bahasa Bintulu yang sejak turun temurun menjadi lingua franca di lembah tersebut. Dari segi penguasaan bahasa, keberadaan mereka di komuniti mul­­­­tilingual menyebabkan suku Penan Muslim menjadi penutur yang multilingual. Mereka mampu menguasai bahasa Iban, Melayu, selain bahasa Bintulu. Daripada hasil wawancara, suku Penan di kedua-dua kampung itu didapati fasih berbahasa Iban kerana majoriti penduduk di sekitar mereka adalah suku Iban. Bahkan informan memberitahu bahwa keberadaan mereka di persekitaran sedemikian akan menyebabkan mereka menguasai bahasa Iban secara semula jadi. Berdasarkan sta­ tistik dalam Year Book of Statistic Sarawak (Department of Statistics Malaysia, 2015), jumlah orang Iban yang tinggal di lingkungan BintuluMiri-Marudi adalah seramai 183,785 orang dan ini diikuti oleh suku



14 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa dan Identiti Penan Muslim di Sarawak, Malaysia



Cina (117,207 orang). Bahasa Iban, yang dikuasai oleh suku Penan Mus­lim, sesungguhnya berpengaruh dari aspek sosiolinguistik iaitu se­ bagai medium interaksi. Namun, dalam keluarga Penan Muslim yang berkahwin campur dengan Iban, didapati bahawa bahasa Iban tidak di­ gunakan di rumah mereka. Sebaliknya, mereka berbahasa Bintulu se­ sama suami isteri. Apabila berbicara dengan orang luar yang tidak dikenali, suku Pe­ nan cenderung menggunakan dialek Melayu Sarawak kerana menurut in­forman dialek itu umum digunakan oleh masyarakat berbilang suku. Dalam domen tertentu, misalnya dengan kehadiran orang luar (iaitu peneliti dan rakan) di rumah informan, informan Penan Muslim ke­ li­hatan menelefon kawan Penannya (untuk bertanyakan sesuatu), dalam dialek Melayu Sarawak, dan bukannya berbahasa Bintulu se­ perti kelazimannya. Untuk penduduk luar yang telah lama tinggal di Kam­pung Penan Muslim, mereka akan berbahasa Bintulu juga. Wa­ laupun terdapat sejumlah suku Cina tinggal di sekitarnya, semasa berkomunikasi dengan mereka, suku Penan Muslim mengaku mereka akan berbahasa Melayu Pasar untuk berinteraksi. Semasa wawancara, informan rata-rata bersetuju bahwa bahasa Penan wajar dipelajari, paling tidak, dikenali oleh golongan muda kerana ia ada bahasa ke­ tu­runan mereka. Tujuannya adalah agar golongan muda tidak lupa ten­tang keturunan asal mereka. Namun demikian pengakuan mereka agak berkontras dengan kenyataan sebenar kerana pada hakikatnya, suku Penan Muslim telahpun melepaskan bahasa ibunda mereka dan memilih bahasa Bintulu. Sesungguhnya, aspek pemilihan bahasa, identiti, dan agama merupakan suatu fenomena yang kompleks dalam komuniti ini. 2. Identiti Dalam konteks Sarawak yang multietnik dan multilingual, isu identiti dan etnisiti ditafsirkan jauh lebih kompleks jika berbanding dengan Semenanjung Malaysia yang telah pun kompleks. Di negeri ini, terdapat lebih dari 30 kumpulan etnik dan merupakan sebuah masyarakat yang multikultural. Menurut King (dalam Jehom, 1999), “…it should pointed out that the delimitation of ethnic categories and groupings become extremely problematic in an area such as Sarawak when a variety of criteria is used in combination, for example political organization, economic activity, territorial proximity, and various



15 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



aspects of culture such as clothing, ritual, myth and language”. Sesungguhnya, kekompleksiti etnik dan identiti di Sarawak bahkan mencapai tahap yang tidak koresponden dengan pendekatan antropologi Barat, misalnya pendekatan Barth (1969). Menurut Tischler & Berry (1978), kelompok etnik adalah dinamik, ciri yang boleh tampak seperti kepercayaan dan adat mungkin boleh berubah. Dalam konteks Borneo, Babcock (1974) yang mengulas ten­ tang perubahan identiti suku Iban di Saribas ke “Melayu” melalui kahwin campur dan suku Melanau ke “Melayu” akibat pengembangan dan pendedahan komuniti tersebut terhadap agama Islam telah menarik kesimpulan bahwa “indigenous ethnicity, unlike racial identity, was not held to be immutable, and indeed was characterized by impermanence. If we are to have an accurate understanding of traditional Borneo, we must form a picture of populations continually “becoming” something else...”. Menurut Perkara 160 (2) Perlembagaan Malaysia, seseorang diiktiraf sebagai orang Melayu mestilah beragama Islam, mengamalkan adat budaya Melayu dan bertutur menggunakan bahasa Melayu. Dari sudut skop yang mikro, identiti berkenaan “Melayu” amat kompleks dari hakikat yang termaktub dalam perlembagaan. Umpamanya, Sham­ sul (1999) menyatakan, “secara subjektif, sesiapa yang memeluk aga­ ma Islam boleh dianggap sebagai “Melayu”. Pada masa yang sama, suku bukan muslim dan bukan Melayu boleh dilabel sebagai “Melayu” selagi mereka mengamalkan cari hidup Melayu, menuturkan bahasa Melayu, memakai pakaian Melayu, memasak masakan Melayu, dan ter­ libat menyeluruh dalam rangkaian perdagangan Melayu”. Sifat sesuatu identiti adalah cair dan sentiasa berubah-ubah. Sifat ini amat menonjol dalam komuniti Penan Muslim di kampung Tanjong Belipat. Pada umumnya mereka masih mengaku sebagai suku Penan, tetapi telah beragama Islam, dan terasing daripada suku Penan yang lain. Namun demikian, atas faktor keagamaan, timbul pelbagai lapis identiti. Justeru kerana suku yang beragama Islam identik dengan “orang Melayu”, penduduk luar sering menganggap Penan Muslim sebagai orang “Melayu”. Sebenarnya gelaran ini tidak disepakati oleh Penan Muslim kerana sesetengah informan berpendapat bahwa identiti bangsa dan agama harus dibezakan dan mereka harus mengekalkan identiti “Penan” agar tidak merugikan suku Penan dari sudut politik. Dari segi ekonomi, terdapat satu contoh perubahan identiti Penan Muslim di



16 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa dan Identiti Penan Muslim di Sarawak, Malaysia



Tanjong Belipat yang dikenal pasti berkaitan dengan ekonomi. Menurut informan, semasa beliau bertugas sebagai ketua kampung, terdapat kunjungan pegawai dari pihak pemerintah yang menggalakkan suku Penan Muslim melabur di Amanah Saham Nasional (sejenis ekuiti). Pada mulanya mereka belum memahami tujuan kedatangan pegawai tersebut, maka mereka menggunakan identiti Melayu untuk menyambut kedatangan mereka. Sejurus selepas memahami tujuan kedatangan pegawai tersebut iaitu untuk membantu suku Penan, mereka terus me­ ngatakan mereka adalah Penan Muslim. Sesungguhnya, kehidupan suku Penan yang telah beragama Islam tidak boleh dipisahkan dari identiti Melayu, walaupun ada usaha untuk mempertahankan identiti Penan, seperti yang diterangkan di atas. Dalam sebuah keluarga di Tanjong Belipat yang diwawancarai, didapati seorang kanak-kanak Penan telah “menjadi Melayu” kerana bapa angkatnya yang berketurunan Melayu telah mengisi “berketurunan Melayu” di surat beranak. Kanak-kanak tersebut walaupun adalah “orang Melayu” secara undang-undang, tetapi dia membesar di Kampung Penan Muslim, menjalani kehidupan dengan keluarga Penan Muslim dan berbahasa Bintulu sebagai bahasa ibunda. Daripada kajian, didapati ada informan yang tidak bermasalah dengan identiti “Melayu”. Contohnya seorang informan Iban yang berkahwin campur dengan Penan Muslim akur bahwa beralih ke agama Islam bermakna telah “masuk Melayu” kerana telah mengadaptasi amalan dan adat Melayu dalam kehidupan. Bagi beliau, perbezaan yang wujud antara mereka dengan Melayu cuma dari segi bahasa baru yang dipilih, iaitu bahasa Bintulu. Bagi komuniti di Kampung Jambatan Suai, identiti dan bahasa lebih jelas digambarkan melalui penggunaan bahasa kerana suku Penan asli dan Penan Muslim mendukung identiti yang berbeda kerana faktor keagamaan. Berikut dipaparkan dua contoh interaksi yang menunjukkan suku Penan asli dan Penan Muslim memanfaatkan bahasa sebagai simbol perlambangan identiti etnisiti. Contoh 1: Bermain Sepak Bola di Lapangan Latar Belakang Lokasi



:



Peserta



:



Di jalan menuju ke Surau Darul Hijrah Perkis (di halaman surau). Pemuda Penan Muslim dan Pelajar Pondok Pesantren.



17 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Pelaku Interaksi Situasi Sosial



: :



Semua pemain dan orang di sekitar padang. Padang bola sepak itu terletak di tepi surau. Hampir setiap hari remaja Penan Muslim bermain bola sepak di padang tersebut. Selama observasi, belum terjumpa Penan bukan Muslim yang mengikuti permainan bola sepak di padang tersebut. Selain pemuda Penan Muslim, terdapat pelajar pondok yang berasal dari Kuching (berketurunan Melayu).



Rumusan Penggunaan Bahasa



No



Pelaku



1.



Sesama Pemain



2.



Pemain Penan dengan pemain Melayu Kuching



3.



Pemain Penan dan Ibunya



Laporan Observasi Semasa permainan, bahasa Bintulu dituturkan oleh para pemain misalnya menyuruh menendang atau berteriak kepada temannya. Namun, dengan orang Penan yang baru memeluk agama Islam, mereka menggunakan bahasa Penan bersilih ganti dengan bahasa Bintulu. Bahasa Melayu digunakan untuk menyebut angka skor. Selain remaja Penan Muslim yang bermain bola, pelajar pesantren juga ikut bermain bersama. Pelajar yang berasal dari Kuching ini menggunakan dialek Melayu Sarawak dengan pemain Penan Muslim. Di pondok pesantren, terdapat beberapa orang Penan Muslim dari Kampung Batu Sepuloh. Semasa bermain bola sepak, diperhatikan mereka berbahasa Bintulu dengan pemain Penan Muslim dan berbahasa Melayu Sarawak dengan pelajar pondok tersebut. Semasa perlawanan berlangsung, seorang wanita menyuruh anaknya balik ke rumah dalam bahasa Bintulu.



Dalam Contoh 1 tersebut, jelas bahwa bahasa utama yang di­gunakan sesama Penan Muslim di kampung Jambatan Suai ialah bahasa Bintulu. Para pemuda yang baru memeluk agama Islam kelihatan coba berbahasa



18 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa dan Identiti Penan Muslim di Sarawak, Malaysia



Bintulu dengan bercampur bahasa Penan asal mereka. Ibu salah seorang pemain, yang merupakan suku Penan Muslim juga berbahasa Bintulu apabila menyuruh anaknya pulang ke rumah. Situasi itu menunjukkan bahwa suku Penan Muslim berusaha menggunakan bahasa Bintulu, walau­ pun mereka baru memeluk agama Islam dan masih boleh berbahasa Penan. Contoh 2: Mandi di Tebing Sungai Suai Latar Belakang Lokasi Peserta



: :



Pelaku Interaksi Situasi Lokasi



: :



Sungai Suai atau di Jambatan Suai Remaja Penan Muslim dan juga Penan bukan Muslim Semua orang yang mandi di sungai. Sungai Suai dahulunya menjadi tempat mandi penduduk kampung. Namun setelah ada kemudahan air paip, fungsi sungai sudah tidak penting lagi. Jika terdapat gangguan bekalan air, barulah penduduk kampung mandi di sungai.



Rumusan Penggunaan Bahasa



No



Pelaku



1.



Orang Penan yang mandi di sungai



2.



Ahli keluarga



Laporan Observasi



Bahasa yang digunakan semasa remaja Penan Muslim bermain di tebing sungai (seperti memanggil kawan mereka terjun dari jambatan) kelihatan menggunakan tiga bahasa, iaitu bahasa Bintulu, Iban dan Penan secara bersilih ganti. Namun, bahasa yang lebih sering kedengaran ialah bahasa Bintulu. Semasa mandi di sungai, informan PC (52), berinteraksi dengan anaknya H (24) dan DR (20) dalam bahasa Penan. Namun, semasa bercakap dengan ZD (3), iaitu cucu kepada PC (52), mereka berbahasa Bintulu.



Pengamatan di tempat mandi di tebing Sungai Suai mendapati bahwa tempat itu merupakan tempat umum dan tempat pengaulan Penan Muslim dan bukan Muslim. Tiga bahasa yang digunakan secara bersilih



19 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



ganti iaitu bahasa Iban, Penan, dan Bintulu. Pemuda Penan Muslim didapati lebih cenderung berbahasa Bintulu. Sesama anggota keluarga, situasi perbualan tersebut menunjukkan generasi tua (informan Penan Muslim) masih berbahasa Penan dengan anak mereka yang berusia ling­ kungan 20-an. Namun, dengan cucunya yang berusia 3 tahun, bel­iau akan berbahasa Bintulu. Contoh itu dapat ditafsirkan terdapat kecenderungan suku Penan Muslim mengubah pewarisan bahasa asal untuk generasi berikutnya. Pada lazimnnya, generasi tua cenderung mem­­pertahankan bahasa asal mereka dan berusaha mewarisi kepada generasi muda, tetapi dalam contoh tersebut, didapati bahwa generasi tua sebaliknya memilih bahasa Bintulu (yakni bahasa “muslim”) de­ngan generasi baru yang baru berumur 3 tahun. Adakah bentuk peng­gunaan bahasa sedemikian wujud kerana hendak mengukuhkan status bahasa Bintulu yang sejajar dengan identiti agama Islam dalam keluarga mereka ataupun ada faktor lain? Persoalan ini perlu diteliti dengan lebih mendalam lagi. D. Penutup Hasil penelitian yang dilaporkan dalam makalah ini bertitik tolak dari anggapan umum bahwa “masuk Melayu” akan memilih bahasa Melayu sebagai bahasa ibunda. Kes Penan Muslim di Niah-Suai ke­lihatan tidak mendukung konsep ini. Suku Penan yang memeluk agama Islam pada awal abad ke-20 tidak berbahasa Melayu tetapi memilih ba­hasa Bintulu, iaitu bahasa suku Muslim bukan Melayu sebagai bahasa ibunda mereka. Setelah beragama Islam, wujud pelbagai lapisan identiti di kalangan mereka dan identiti ini didapati agak lentur dan boleh disesuaikan mengikut keadaan. Sesungguhnya, laporan yang dikemukakan dalam bab ini jauh lagi dari sempurna kerana penelitian identiti merupakan suatu topik yang sensitif. Semua laporan data yang dikemukakan untuk tulisan ini didasari dengan metode yang terarah dan dibahaskan berdasarkan hasil wawancara (pengakuan) dari informan-informan di lapangan. Bab ini bukan sebuah diskusi yang bersangkut dengan isu-isu politik suku etnik, tetapi bertujuan menampilkan bahwa perubahan sosial dalam komuniti Penan di Sarawak mampu memberi sumbangan besar kepada konsep masuk Melayu dalam tradisi ilmu so­sial di Borneo Barat. Dalam arti kata lain, melalui penelitian ini, konsep “masuk Melayu” yang sudah dikonseptualkan sejak puluhan tahun dalam tulisan-tulisan ilmiah lepas kini diperluaskan lagi dengan penemuan dalam penelitian ini, iaitu penambahan frasa “…dan pilihan bahasa muslim yang lain”.



20 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa dan Identiti Penan Muslim di Sarawak, Malaysia



Daftar Referensi Adelaar, K. A. (1992). Proto-Malayic: The Reconstruction of its Phonology and Parts of its Morphology and Lexicon. In Pacific Linguistics C-119. Australia National University. Babcock, T. G. (1974). Indigenous ethnicity in Sarawak. Sarawak Museum Journal, XXII(43), 191–202. Department of Statistics Malaysia, S. (2015). Yearbook of Statistics Sarawak. Department of Statistics Malaysia, Sarawak. Enthoven, J. J. K. (1903). Bijdragen tot de geographie van Borneo’s Wester-Afdeeling Part 1. Brill. Ghani, B. A. A., Dit, T. J., & Taip, M. (2009). People of the forest: The Penan. Pustaka Negeri Sarawak. Hazis, F. S. (2008). Contesting Sarawak Malayness: Glimpses of the life and identity of the Malays in southwest Sarawak. In Z. Ibrahim (Ed.), Representation, Identity and Multiculturalism in Sarawak (p. 263—296). Kuching, Sarawak and Kajang, Selangor: Dayak Cultural Foundation and Malaysian Social Science Association. https://ideas.repec.org/a/ umk/journl/v3y2011i2p387-390.html Ibrahim, J. (1971). Dua Ratus Tahun Kota Pontianak. Pemda Kotamadya Pontianak. Isman, Z. (2001). Orang Melayu di Kalimantan Barat, kajian perubahan budaya pada komuniti pesisir dan komuniti pedalaman. Universiti Kebangsaan Malaysia. Jehom, W. J. (1999). Ethnicity and ethnic identity in Sarawak. Akademika, 55(1), 83–98. King, V. T. (1993). The peoples of Borneo. Blackwell Publishers. Langub, J. (1975). Distributions of Penan and Punan in the Belaga District. Borneo Research Bulletin, 7(2), 45–48. Mangku, H. (2017). Pemilihan Bahasa Suku Penan Muslim di Niah, Sarawak. Universiti Kebangsaan Malaysia. Mauriati, Y. (2004). Identitas Dayak: Komodifikasi & politik Kebudayaan. LKiS Yogyakarta. Mis, M. A. (2010). Lingua Franca Di Sarawak: Aplikasi Teori Pilihan Bahasa. GEMA: Online Journal of Language Studies, 10(2), 97–116. http:// journalarticle.ukm.my/2331/ Musa, P. H. (2003). Sejarah kesultanan Sambas, Kalimantan Barat. Kajian



21 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



naskhah asal raja-raja dan silsilah Raja Sambas. STAIN Pontianak Press. Needham, R. (1954). Penan and Punan. Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, 27, No. 1(165), 73–83. https://hi.booksc.org/ book/46767543/715ce9 Needham, R. (1955). Punan Ba. Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. 28(19): Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, 28(1 (169)), 24–36. https://www.jstor. org/e/41503166?searchText=Punan+ba&searchUri=%2Faction%2FdoBasicSearch%3FQuery%3DPunan%2Bba%26so%3Drel&ab_segments=0%2Fbasic_search_gsv2%2Fcontrol&refreqid=fastly-default%3A01bd08fc6244531864e486db08e1e1a9#metadata_info_ tab_contents Needham, R. (2007). Penan. In P. G. Sercombe & B. Sellato (Eds.), Beyond the Green Myth: Hunter-Gatherers of Borneo in the Twenty-First Century (p. 50–60). Nordic Institute of Asian Studies. https://www. researchgate.net/publication/314281570_2007_Beyond_the_Green_ Myth_Borneo%27s_Hunter-Gatherers_in_the_Twenty-First_Century#fullTextFileContent Shamsul, A. B. (1999). Identity contestation in Malaysia: A comparative commentary on “Malayness” and “Chiness.” Akademika, 55(1), 17–39. Shin, C. (2020). Bahasa dan Identiti Penan Muslim di Kampung Tanjong Belipat, Niah: Satu Tinjauan Awal. Melayu: Jurnal Antarabangsa Dunia Melayu, 13(1), 63–82. https://doi.org/https://doi.org/10.37052/ jm.13(1)no3 Soriente, A. (2013). Undergoer Voices in Borneo: Penan, Punan, Kayan and Kenyah Languages. In A. Adelaar (Ed.), Voice variation in Austronesian languages of Indonesia (p. 175–203). NUSA. http://hdl.handle. net/10108/71811 Tischler, H. L., & Berry, B. (1978). Race and ethnic relations. Houghton Mifflion Company. Yusriadi. (2005). Bahasa dan identiti di Riam Panjang. Universiti Kebangsaan Malaysia. Yusriadi, & Hermansyah. (2003). Orang Embau: Potret masyarakat pedalaman Kalimantan Barat. STAIN Pontianak Press.



22 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



BAHASA, KETAKSANTUNAN TUTUR, DAN IDENTITAS: STUDI KASUS PADA KOLOM KOMENTAR LAMAN YAHOO1 Edi Setiyanto



A. Pengantar Sebagai bangsa timur, bangsa Indonesia terkenal karena ke­san­ tunannya, termasuk dalam bertutur sapa. Menurut (Pranowo, 2009: 3), bahasa yang santun akan mencerminkan penutur yang juga ber­ kepribadian santun. Karena dinilai penting, di Indonesia kesantunan diajarkan secara turun-temurun melalui peribahasa. Misalnya, me­la­ lui peribahasa, “Bahasa menunjukkan bangsa,” atau, “Mulutmu, ha­ri­ maumu,” yang kurang lebih bermakna bertuturlah dengan santun demi ke­hormatan atau demi kebaikanmu. Bukan hanya dalam bahasa Indonesia, maksud yang kurang le­ bih sama juga ditemukan dalam berbagai peribahasa bahasa daerah. Misalnya, dalam peribahasa Jan tasingguang urang dek kanaiak, jan talantuang urang dek katurun ‘Jangan tersinggung orang karena akan naik, jangan terlantung orang karena akan turun’ (Minangkabau); Aji­ ning dhiri ana ing pucuking lathi ‘Kehormatan diri ada pada lidah’ (Jawa); Letah leuwih seukeut manan pedang ‘Lidah lebih tajam da­ ri­pada pedang’ (Sunda); Awi pulut santan kapehe, awi nyama bereng kapehe ‘Karena pulut santan binasa, karena mulut badan binasa’ (Dayak Ngaju); Tabarusuk batis kawa dicabut, tabarusuk basa jadi hual 1 Tulisan ini merupakan revisi dari tulisan dengan judul “Ketaksantunan dalam Laman Berita Yahoo Indonesia: Studi Kasus pada Kolom Komentar” yang terbit dalam jurnal Ranah, Volume 1, No. 2, tahun 2012.



23 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



‘Ter­pe­rosok kaki dapat dicabut, terperosok kata dapat menimbulkan ma­salah’ (Banjar); Sabda mappabati’ ada, ada mappabati’ gau’, gau’ mappabati’ tau ‘Bunyi mewujudkan kata, kata mewujudkan perbuatan, perbuatan mewujudkan manusia’ (Bugis); Atutui mappasung pau lao di tau ‘Berhati-hatilah jika bertutur sapa’ (Mandar); Aw hoka hatu ana-i la metene, aw wawai takuasale ‘Saya lempar batu ke laut, saya ti­dak dapat mengambilnya kembali’ (Seram Barat); Kabo dini mana ko gene-gene boda-boda tiyake, mee kaa umitou ko woo enakida tiyaa (Mee) ‘Bahasa dan perkataan sebagai hasil pemikiran manusia akan me­nentukan kehidupannya kelak’ (Papua) (Santosa, 2016: 47–61). Lu­asnya persebaran ajaran kesantunan seperti diungkapkan dalam berbagai peribahasa bahasa daerah menyiratkan keidentikan yang dapat dipahami sebagai bagian identitas Indonesia. Dalam perkembangannya, sesuai dengan semakin maraknya ko­ munikasi melalui jejaring sosial, pengedepanan prinsip kesantunan terlihat mulai diabaikan. Sekadar contoh ialah penggunaan bentuk Spesialis⁕⁕⁕⁕⁕ (data 1), Iwan Presiden RI 2024 (data 2), dan Pilih yg pribumi aja (data 3) sebagai unsur komentar pada data (1)–(3) berikut. (1) Sisi G O B L O K Manusia + PESULAP COKLAT (Dengan latar berupa foto wanita yang viral diisukan mengutil cokelat di Alfamart)·  Komentar: - Angga Galih Bagus Setiawan Spesialis ⁕⁕⁕⁕⁕ (https://web.facebook.com/sisigoblok/posts/fbid02RLRyTFJ rpu9-31wn8miwhxy3nKNXiRgkqz4XiRqK2GXNbzu5gmPq gDRNye-PfLPNCl; diunduh, 20-8-2022, pukul 18.44) (2) Football Troll Indonesia – Official + Ketua PSSI Respons Netizen: Saya ini Jaga Timnas Sampai Berdarah-darah Komentar: - Rizki Aditya Iwan Presiden RI 2024 (Football Troll Indonesia – Official; 17-8-2022; diunduh 19-82022; pukul 11.01)



24 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa, Ketaksantunan Tutur, dan Identitas



(3) tvOneNews  + Menjelang Bursa Pilpres 2024, Kader Partai Gerindra Mohamad Taufik menghadapi pilihan sulit dalam menentukan sosok yang akan didukungnya, apakah Anies atau Prabowo (Diikuti foto Anis dan Prabowo) Komentar:- Samsudin Udin Pilih yg pribumi aja G neko neko ... Sekedar merubah nama jl Dan Rmh sakit... prestasi mendunia katanya..wah klo jdi Presiden indonesia akan ganti nama amnesia karena akan melupakan semua jasa para pahlawan pendiri bangsa. (https://web.facebook.com/; diunduh 21-8-2022, pukul 12.08) Penggunaan tiga bentuk tadi tergolong tak santun karena me­ rupakan bentuk yang mengancam muka (face thretahning act) (Brown & Levinson, 1987; Nadar, 2009). Penggunaan bentuk spesialis (data 1) menyiratkan maksim penghinaan; bentuk Iwan Presiden RI 2024 (data 2) menyiratkan maksim pengabaian; dan penggunaan Pilih yang pribumi aja (data 3) menyiratkan maksim SARA. Kajian ketaksantunan komentar dalam jejaring sosial sudah cukup sering dilakukan, di antaranya oleh Maulidi (2018) dengan judul “Ketidaksantunan Berbahasa pada Media Jejaring Sosial Facebook”; Kusmanto & Purbawati (2019) dengan judul “Ketidaksopanan Ber­ komentar pada Media Sosial Instagram: Studi Politikopragmatik”; dan Vani & Sabardila (2020) dengan judul “Ketidaksantunan Berbahasa Ge­nerasi Milenial dalam Media Sosial Twitter”. Berdasarkan kajian tersebut, diketahui bahwa pertuturan dalam jejaring sosial sering mem­perlihatkan adanya penggunaan bentuk tidak santun. Misalnya, mem­buat tuturan yang sifatnya melanggar maksim pujian, maksim kesimpatian, dan maksim kedermawanan yang diajukan oleh Leech (1983) atau yang sifatnya menghina, mengabaikan, dan mengancam sebagai bagian dari tuturan yang mengancam muka (face threatening acts) (Brown & Levinson, 1987). Kajian ketaksantunan tutur dalam jejaring sosial besar kemungkinan akan terus bertambah dan lebih variatif mengingat akan semakin ma­ raknya penggunaan jejaring sosial sebagai model komunikasi ma­ syarakat. Dalam kaitan itu, jarang ditemukan kajian kesantunan dalam jejaring sosial pada masa-masa awal penggunaan internet. Dari yang



25 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



penulis ketahui, kajian seperti dimaksudkan umumnya masih belum ke ranah jejaring sosial. Objek kajian masih pada model komunikasi kon­ vensional yang bercirikan kejelasan ruang, waktu, dan identitas setiap partisipan. Misalnya, yang dilakukan oleh Gunawan (2014: 16—27) dengan judul “Representasi Kesantunan Brown dan Levinson dalam Wacana Akademik”. Berdasarkan kajiannya, Gunawan (2017) me­ nyim­pulkan bahwa strategi kesantunan mahasiswa terhadap dosen di­ wujudkan dalam strategi kesantunan negatif dan kesantunan positif. Strategi negatif di antaranya meliputi penggunaan ungkapan tidak langsung, honorifik, dan apologia. Strategi positif di antaranya meliputi penggunaan basa-basi, presuposisi, dan pemberian janji. Berdasarkan penjelasan tadi, diketahui bahwa kajian ketaksantunan komentar dalam jejaring sosial pada masa-masa awal penggunaan inter­net, misalnya tahun 2010-an, masih sulit ditemukan. Karena alasan itu, pada kesempatan ini dikaji ketaksantunan berbahasa pada kolom Komentar laman “Berita Yahoo Indonesia” tahun 2012, yang masih tergolong tahun-tahun awal penggunaan jejaring sosial. Judul kajian ialah ”Bahasa, Ketaksantunan Tutur, dan Identitas: Studi Kasus pada Kolom Komentar Laman Yahoo”. Kajian ini menggunakan “teori muka” (face theory) (Brown & Levinson, 1987; Wijana, 1996; Nadar, 2009). Berdasarkan teori itu, muka adalah citra diri yang ditawarkan dan diharapkan diterima oleh se­tiap peserta tutur (Wardhaugh, 1986: 285). Muka dipilah menjadi “muka positif” dan “muka negatif”. Muka positif adalah kepribadian positif yang dapat berupa ide-ide, atribut, atau prestasi yang juga dihargai oleh lawan tutur. Muka negatif adalah wilayah atau hak perseorangan untuk bebas bertindak dan bebas dari kewajiban me­ lakukan sesuatu. Ber­dasarkan pengertian itu, yang dimaksudkan tu­ turan santun adalah tuturan yang tidak mengancam muka, baik mu­ka positif maupun negatif, setiap peserta tutur (Wijana, 1996: 63; Pra­ nowo, 2009: 4). Berkebalikan dengan tuturan santun, tuturan tidak santun adalah tuturan yang melanggar muka peserta tutur, baik muka positif, muka negatif, maupun muka positif dan muka negatif. Tindak tutur yang tergolong melanggar muka disebut “tindakan mengancam muka” (face threatening acts). Untuk muka positif, terperinci dalam 8 bidal (maksim), yaitu (1) penghinaan, (2) penolakan, (3) keemosionalan, (4) ketabuan, (5) kesombongan, (6) SARA (suku, agama, ras, dan



26 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa, Ketaksantunan Tutur, dan Identitas



antargolongan), (7) pengabaian, dan (8) salah penyapaan. Untuk muka negatif, terperinci dalam 3 bidal, yaitu (1) perintah, (2) (menagih) janji, dan (3) kebencian ( Wijana, 1996; Nadar, 2009). Pelanggaran terhadap muka positif maupun negatif, secara umum, menghasilkan tuturan tidak santun. Namun, penetapan itu harus memperhatikan “parameter pragmatik” yang melatari pertuturan. Tiga parameter pragmatik yang dimaksudkan meliputi (1) tingkat jarak sosial, (2) tingkat status sosial, dan (3) tingkat peringkat tindak tutur (Brown & Levinson, 1987; Wijana, 1996: 65). Bentuk umpatan, seperti bangsat, monyet, dan bedebah, secara umum menjadikan tuturan tidak santun. Akan tetapi, jika ditujukan kepada teman akrab—jadi sesuai dengan parameter “peringkat jarak sosial”, penggunaannya justru untuk menjaga kedekatan hubungan. Pada kasus semacam itu, tuturan dikategorikan tuturan santun. Kasus lain, misalnya, penggunaan imperatif. Imperatif biasanya dinilai tidak santun. Namun, jika dituturkan sebagai dukungan atas pilihan sebuah sikap—jadi sesuai dengan parameter “peringkat tindak tutur”, imperatif dapat bernilai santun, setidaknya netral. Dengan alasan itu, bentuk imperatif, “jangan mau pak sultan........... Jadi Raja tak kalah terhormat drpd jd presiden.” sebagai komentar dari berita berjudul “Sultan Tolak Dampingi Ical” tetap bernilai santun di mata O2, yaitu Sultan HB IX selaku penerima perintah. Namun, bagi O3, yaitu Gandung Pardiman (selaku pengusul agar Sultan HB IX ditetapkan sebagai calon wakil presiden), tuturan dapat dinilai tidak santun karena mencerminkan bidal penolakan. Kajian ini bersifat deskriptif kualitatif. Kajian mengikuti tiga lang­ kah kerja. Pertama, pencarian, penyortiran, dan klasifikasi data. Ke­ dua, analisis data. Ketiga, pelaporan hasil penelitian. Klasifikasi me­ manfaatkan jenis-jenis bidal pelanggar muka (Brown & Levinson, 1987; Nadar, 2009). Analisis yang digunakan memanfaatkan metode agih. Tekniknya berupa teknik lesap, ganti, perluas, atau sisip ber­ gantung permasalahan (Sudaryanto, 1993). Penerapan teknik-teknik itu di­maksudkan untuk menguji sifat ketaksantunan. Jadi, sesuai dengan kenyataan bahwa ketaksantunan dapat terjadi karena (1) tiadanya unsur penghalus, (2) salah dalam memilih kata/ungkapan, atau (3) keberlebihlebihan dalam membahasakan. Data dalam kajian ini diambil dari jejaring sosial kolom Komentar laman “Berita Yahoo Indonesia”. Data bersumber dari berbagai jenis berita: politik, budaya, hiburan, sosial, atau yang lain yang diunggah



27 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



antara bulan Mei–Agustus 2012. Daftar sumber data dapat dilihat pada bagian akhir (LAMPIRAN) tulisan ini. Data berupa tuturan yang dibuat oleh komentator sebagai tanggapan pribadi atas sebuah berita. Data berwujud tuturan yang, berdasarkan teori muka, tergolong tuturan tidak santun. Data ditampilkan seperti apa adanya. Ubahan atau penambahan hanya dilakukan jika memang diperlukan demi kejelasan pesan. Ubahan atau penambahan dituliskan di dalam tanda kurung siku. B. Macam Tuturan Tak Santun pada Kolom Komentar Laman “Berita Yahoo Indonesia” Tuturan tak santun adalah tuturan yang melanggar muka peserta tutur. Secara teoretis, pelanggaran dapat terjadi pada salah satu aspek muka, yaitu muka positif atau muka negatif atau gabungan muka positif dan negatif. Berikut ialah macam tuturan tidak santun pada kolom Komentar dalam laman “Berita Yahoo Indonesia” berdasarkan jenis pe­ lang­garannya terhadap muka. 1. Pelanggaran pada Muka Positif Muka positif adalah citra yang didasarkan pada berbagai ide, atribut, prestasi, dan tujuan yang melekat pada diri seseorang yang diharapkan juga dihargai/diakui oleh mitra tutur (Wijana, 1996: 64; Gunarwan, 1997: 227 dan 228; Nadar, 2009: 32;). Berdasarkan pengertian itu, pelanggaran muka positif dalam kolom Komentar pada laman “Berita Yahoo Indonesia” berkenaan dengan penggunaan bidalbidal berikut. a. Bidal Penghinaan Bidal penghinaan adalah bidal yang terwujud melalui penggunaan ungkapan yang bagi si penerima dipahami sebagai sebuah penghinaan. Tercakup ke dalam bidal penghinaan ialah ungkapan yang secara pragmatik bermakna merendahkan, mempermalukan, mendakwa, dan menghina. Berikut contoh ketaksantunan karena bidal penghinaan.







(4) Wong Jowo Asli, Putune Ro ...: sampah ini mah... bukan orang....hajar terus.... cecer terus, [...] (“Besok Anas Urbaningrum Diperiksa KPK Lagi”)



28 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa, Ketaksantunan Tutur, dan Identitas



(5) Jermia: Salut untuk Anang yg tak terganggu oleh gangguan orang yang pikiran n mentalnya sedang terganggu krn blm pernah berhasil mendapat ‘duren baru’. Semua durennya bekas melulu... [...] (“Raul Lemos Twitwar Dengan Penggemar Anang”) (6) Moch.: Kasihan semangat mengajar tidak di dukung.....dasar anggota dewan sialan...korupsi aja yg loe pikirin. (“Sekolah Kartini Kembali Akan Digusur”) Data (4) merupakan komentar atas berita berjudul “Besok Anas Urbaningrum Diperiksa KPK Lagi”. Komentar berkenaan de­ngan bantahan Anas terhadap kemungkinan keterlibatannya dalam pe­ ngurusan sertifikat tanah untuk proyek Hambalang yang bermasalah. Pada data (4) ketaksantunan karena bidal penghinaan terwujud dengan di­gunakannya kata sampah yang berarti ‘barang/benda yang sudah tidak terpakai; kotoran; hina’ dan bukan orang yang berarti ‘benda; hewan’ untuk mengatributi Anas Urbaningrum. Berdasarkan pengertian sampah dan bukan orang yang seperti itu, atribut berkategori me­ rendahkan. Agar tuturan tidak merendahkan, kata sampah dapat diganti dengan, misalnya keterlaluan. Untuk ungkapan bukan orang, jika tidak ditemukan pengganti yang lebih santun, dapat dihilangkan (off record) (Brown & Levinson, 1987: 68–71; Gunarwan, 1997: 236). Data (5) merupakan komentar atas berita berjudul “Raul Lemos Twitwar Dengan Penggemar Anang”. Komentar berkenaan dengan sin­ diran Lemos terhadap Anang yang masih mendiami ruko cicilan yang dibeli Anang dan Kris ketika masih berstatus sebagai suami istri. Pada data (5) ketaksantunan karena bidal penghinaan terwujud dengan di­ gunakannya ungkapan orang yang pikiran n mentalnya sedang terganggu yang dapat diartikan ‘gila’ untuk mengatributi Raul Lemos. Berdasarkan pengertian ungkapan orang yang pikiran n mentalnya sedang terganggu yang seperti itu, komentar dikategorikan penghinaan. Agar tidak menghina, ungkapan orang yang pikiran n mentalnya sedang terganggu diubah dengan, misalnya, orang yang sedang memasuki kehidupan baru. Data (6) merupakan komentar atas berita berjudul “Sekolah Kar­ tini Kembali Akan Digusur”. Komentar berkenaan dengan si­ kap ketakacuhan DPR terhadap keberadaan sekolah Kartini, yaitu se­kolah yang diperuntukkan bagi warga tidak mampu. Pada data (6)



29 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



ketaksantunan karena bidal penghinaan terwujud dengan digunakannya kata sialan yang berarti ‘penyebab sial; umpatan’ dan korupsi aja yang berarti ‘selalu menyelewengkan dana untuk keuntungan pribadi’ untuk mengatributi anggota dewan. Berdasarkan pengertian itu, predikasi dikategorikan sebagai tindak pendakwaan. Agar menjadi santun dan tidak mendakwa, komentar.....dasar anggota dewan sialan...korupsi aja yg loe pikirin sebaiknya diubah. Misalnya, menjadi .....dasar anggota dewan yang kurang tanggap... yang kayak gini ni yg harus loe pikirin. b. Bidal Penolakan Bidal penolakan adalah bidal yang terwujud melalui ungkapan-ung­ kapan yang bagi si penerima dipahami sebagai sebuah ketaksetujuan. Tercakup ke dalam bidal penolakan ialah ungkapan yang secara prag­matik bermaksud memperlihatkan ketakpercayaan, ketaksetujuan, per­lawanan, dan tantangan. Berikut contoh ketaksantunan karena bidal pe­no­lakan. (7) Binusdpkap: “ketersediaan produk belum dipastikan”....lalu harus gimana.... masa hanya melongo aja baca informasi.......?! (“Acer Perkenalkan 6 Produk Terbaru Dengan Windows 8“) (8) Yudi: ... kami sudah bosan dgn kebohongan dan politik tipu muslihat,,, (“Besok Anas Urbaningrum Diperiksa KPK Lagi”) (9) Gatot: [...] Saya rasa hal ini tidak bisa dibiarkan dan dimaafkan. Rakyat Papua berhak merebut kembali SDA yang sangat berharga tersebut. [...] Biarkan rakyat Papua mengurus sendiri wilayahnya. [...] (“Freeport Siap Bahas Divestasi 51 Persen Sahamnya”) Data (7) merupakan komentar atas berita berjudul “Acer Perkenalkan 6 Produk Terbaru Dengan Windows 8”. Komentar berkenaan dengan informasi mengenai 6 produk terbaru Acer yang semuanya berteknologi layar sentuh dan beraplikasi Window 8. Pada data (7) ketaksantunan karena bidal penolakan terwujud dengan digunakannya ungkapan ....masa hanya melongo aja baca informasi.......?! yang dapat diapahami sebagai



30 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa, Ketaksantunan Tutur, dan Identitas



‘sikap tak setuju’. Agar tersirat kesan agak setuju, bentuk komentar harus diganti. Misalnya, dengan Wah, masih harus nunggu nih! Data (8) merupakan komentar atas berita berjudul “Besok Anas Urbaningrum Diperiksa KPK Lagi”. Komentar berkenaan de­ngan ban­ tahan Anas terhadap kemungkinan keterlibatannya dalam pe­ngurusan sertifikat tanah untuk proyek Hambalang. Pada data (8) ketaksantunan karena bidal penolakan terjadi karena digunakannya ungkapan sudah bosan yang dapat diartikan ‘muak’. Karena pengertian yang seperti itu, komentar dikategorikan sebagai ketaksetujuan. Agar tidak terkesan sepenuhnya tak setuju, bentuk komentar sudah bosan perlu diubah. Misalnya, dengan kami mulai bosan! Data (9) merupakan komentar atas berita berjudul “Freeport Siap Bahas Divestasi 51 Persen Sahamnya”. Komentar berkenaan dengan ke­pemilikan pemerintah atas saham Freeport yang terlalu sedikit, yaitu hanya 9,36%. Pada data (9) ketaksantunan karena bidal penolakan terwujud dengan digunakannya ungkapan tidak bisa dibiarkan dan dimaafkan yang dapat diartikan ‘menolak dan menuntut kesalahan pemerintah’. Berdasarkan pengertian itu, komentar dikategorikan tin­ dak perlawanan. Agar tidak terlalu mencerminkan perlawanan, ko­men­ tar yang berbunyi tidak bisa dibiarkan dan dimaafkan harus diubah. Misalnya, dengan bentuk perlu dikaji ulang. c. Bidal Keemosionalan Bidal keemosionalan adalah bidal yang terwujud melalui ung­ kapan-ungkapan yang bagi si penerima dipahami sebagai ekspresi yang tidak terkontrol. Ekspresi itu memunculkan rasa takut dalam diri penerima. Tercakup ke dalam bidal keemosionalan ialah ungkapan yang berdampak menakutkan atau menjadikan petutur merasa terancam. Berikut contoh untuk bidal keemosionalan. (10) Qontol Memex: rakyat sudah tidak sabar ingin gantung Anas di monas !!!! (“Besok Anas Urbaningrum Diperiksa KPK Lagi”) (11) Tak: hajar bleh injak2 sekalian mati’in biar mampus tuh anggota dewan (“Tiga Anggota Dewan Dikeroyok Warga”)



31 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



(12) Wong Jowo Asli, Putune Ro ...: [...] ....hajar terus.... cecer terus, keluarkan nyalimu KPK... daeng Samad, tunjukkan wibawamu bagi Rakyat Indonesia, injak terus tikus2 politik... (“Besok Anas Urbaningrum Diperiksa KPK Lagi”) Data (10) merupakan komentar atas berita berjudul “Besok Anas Urbaningrum Diperiksa KPK Lagi”. Komentar berkenaan de­ ngan bantahan Anas terhadap kemungkinan keterlibatannya dalam pengurusan sertifikat tanah untuk proyek Hambalang yang bermasalah. Pada data (10) ketaksantunan karena bidal keemosionalan terwujud dengan digunakannya ungkapan tidak sabar ingin gantung Anas yang berarti ‘membunuh Anas dengan cara menggantungnya’. Berdasarkan pengertian itu, komentar dikategorikan sebagai tindak mengancam. Agar tidak mengancam, ungkapan tidak sabar ingin gantung Anas di­ganti bentuk lain. Misalnya, tidak sabar ingin mengingatkan janji Anas. Jadi, sesuai dengan kronologi peristiwanya yang memang dipicu oleh Anas. Data (11) merupakan komentar atas berita berjudul “Tiga Anggota Dewan Dikeroyok Warga”. Komentar berkenaan dengan tindakan para ibu yang mengeroyok tiga anggota Komisi II, DPRD Kota Palopo yang tidak pernah melakukan sosialisasi sebelum pembangunan jaringan sutet di tengah pemukiman warga. Pada data (11) ketaksantunan ka­ rena bidal keemosionalan terwujud dengan digunakannya ungkapan, ter­utama, sekalian mati’in biar mampus yang berarti ‘saran agar ketiga anggota DPRD sekalian dibunuh’. Berdasarkan pengertian itu, komentar dikategorikan sebagai tindak mengancam. Agar tuturan tidak terasa mengancam, ungkapan sekalian mati’in biar mampus diganti dengan bentuk lain. Jika bentuk pengganti sulit ditemukan, komentar sebaiknya dibatalkan. Data (12) merupakan komentar atas berita berjudul “Besok Anas Urbaningrum Diperiksa KPK Lagi”. Komentar berkenaan dengan bantahan Anas terhadap kemungkinan keterlibatannya dalam pengurusan sertifikat tanah untuk proyek Hambalang yang bermasalah. Pada data (12) ketaksantunan karena bidal keemosionalan terwujud dengan digunakannya ungkapan ....hajar terus.... cecer terus, injak terus tikus2 politik... yang berarti ‘saran agar koruptor terus disakiti.’ Pada kasus ini, perintah diberikan kepada KPK; sasaran ialah Anas Urbaningrum. Berdasarkan pengertian seperti itu, komentar dikategorikan ancaman. Agar tidak terasa



32 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa, Ketaksantunan Tutur, dan Identitas



mengancam, bentuk ungkapan ....hajar terus.... cecer terus, injak terus tikus2 politik... harus diganti. Jika tidak ditemukan pengganti yang lebih santun, baru dipilih strategi terakhir, yaitu membatalkan komentar. d. Bidal Ketabuan Bidal ketabuan adalah bidal yang terwujud melalui penggunaan ungkapan yang bagi si penerima dirasa sebagai sesuatu yang melanggar larangan atau kepantasan. Tercakup ke dalam bidal ketabuan ialah ung­ kapan yang secara pragmatik dipercaya dapat menyebabkan terj­adinya hal yang tidak diinginkan atau, setidaknya, menimbulkan rasa jengah. Ungkapan tabu, meskipun pada setiap masyarakat dan bahasa dapat bervariasi, di antaranya berkenaan dengan seks, kematian, ekskresi, agama, serta organ dan fungsi organ tubuh (Wardhaugh, 1986: 230). Berikut contoh ketaksantunan karena bidal ketabuan. (13) Anto: Babi Timur Leste ... (“Raul Lemos Twitwar Dengan Penggemar Anang”) (14) Phil: ...Tinggal ampasnya doang, Indonesia dikasih hiburan saham...anjing loe Freeport, anjing loe Amerika!!! (“Freeport Siap Bahas Divestasi 51 Persen Sahamnya”) (15) Tina: SBY bisa ikutan balapan donk..... (“Ada Barapan Kebo di Sumbawa Barat”) Data (13) merupakan komentar atas berita berjudul “Raul Lemos Twitwar Dengan Penggemar Anang”. Komentar berkenaan dengan sindiran Lemos terhadap Anang yang masih mendiami ruko cicilan yang dibeli Anang dan Kris ketika masih berstatus suami istri. Pada data (13) ketaksantunan karena bidal ketabuan terwujud dengan digunakannya ungkapan Babi yang berarti ‘hewan; semacam celeng, tetapi tidak liar’ untuk mempredikati Raul Lemos. Bagi masyarakat Indonesia, yang mayoritas beragama Islam, babi ialah hewan terlarang karena najis. Babi menjadi sesuatu yang tabu. Berdasarkan itu, penyebutan babi bersifat melanggar ketabuan. Agar tidak melanggar ketabuan, ungkapan babi diganti dengan bentuk lain, misalnya, kebiasaan. Modus juga diubah menjadi modus tanya.



33 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Data (14) merupakan komentar atas berita berjudul “Freeport Siap Bahas Divestasi 51 Persen Sahamnya”. Komentar berkenaan dengan kepemilikan pemerintah atas saham Freeport yang terlalu sedikit, yaitu hanya 9,36%. Pada data (14) ketaksantunan karena bi­ dal ketabuan terwujud dengan digunakannya ungkapan anjing yang memiliki pengertian ‘hewan, semacam srigala, tetapi tidak liar’ untuk mempredikati Freeport dan Amerika. Bagi masyarakat Indonesia, anjing (seperti halnya babi) ialah hewan yang harus dijauhi karena najis. Anjing menjadi sesuatu yang tabu. Oleh sebab itu, penggunaan anjing melanggar ketabuan. Agar tidpadaak melanggar ketabuan, ungkapan anjing diganti bentuk lain, misalnya, vampir sehingga komentar berbunyi ...vampir loe Freeport, vampir loe Amerika!!! Data (15) merupakan komentar atas berita berjudul “Ada Barapan Kebo di Sumbawa Barat”. Komentar berkenaan dengan berita yang menyatakan bahwa di Sumbawa Barat dikenal tradisi balapan kerbau. Pada data (15) ketaksantunan karena bidal ketabuan terwujud melalui komentar yang berbunyi SBY bisa ikutan balapan yang dapat diartikan ‘SBY juga kerbau’. Karena pengartian yang dapat seperti itu, komentar bersifat melanggar ketabuan. Ketabuan terjadi karena menyamakan presiden dengan seekor kerbau. Agar tidak melanggar ketabuan, ungkapan SBY bisa ikutan balapan diubah. Misalnya, SBY perlu tau tu! Dengan demikian, pengertiannya menjadi multitafsir. Misalnya, selaku presiden, SBY perlu mengetahui kekayaan budaya negaranya lalu mempromosikannya ke luar negeri. e. Bidal Kesombongan Bidal kesombongan adalah bidal yang terwujud melalui peng­ gunaan ungkapan yang bersifat menghina atau merendahkan mitra tutur. Di sisi lain mempertegas kelebihan penutur. Tercakup ke dalam bidal kesombongan ialah ungkapan yang secara pragmatik menjelekjelekkan atau menyalahkan mitra tutur. Namun, secara tersirat meng­ implikasikan bahwa penuturlah yang benar atau yang lebih baik. Beri­ kut contoh untuk bidal kesombongan. (16) Marhadan: maju terus ical pantang mundur, siapapun wakilnya saya tetap mendukung. Kalau ada yang mengonggong anggaplah .......... (“Sultan Tolak Dampingi Ical”)



34 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa, Ketaksantunan Tutur, dan Identitas



(17) Gatot: Ini bukti tolol dan gobloknya pengurus negara ini. Nggak punya rasa malu walaupun goblok blok blok blok.........! [...] Biarkan rakyat Papua mengurus sendiri wilayahnya. [...] (“Freeport Siap Bahas Divestasi 51 Persen Sahamnya”) (18) Eko: Ya Ada bener nya Pak JK, Pilot mungkin suka manuver, Sok jago, Kemaki.. pingin Atraksi di Gunung Salak biar dianggap keren ( yah intinya ini lah aku nggak pinter berkata kata ). hanya Pilot2 Indonesia yang tahu suasana Penerbangan Alam Indonesia dan bisa memahami sesuatu yg sulit di jelaskan secara teknis. Semoga menjadi pelajaran untuk Yang keminter dan sombong. (“Kemungkinan Penyebab Jatuhnya Sukhoi”) Data (16) merupakan komentar atas berita berjudul “Sultan Tolak Dampingi Ical”. Komentar berkenaan dengan inti berita yang menyatakan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono X keberatan dijadikan cawapres mendampingi Aburizal Bakrie (Ical) sebagai capres pada Pilpres 2014. Pada data (16) ketaksantunan karena bidal kesombongan terwujud dengan digunakannya ungkapan saya tetap mendukung [Ical] dan Kalau ada yang menggonggong anggaplah .... Ungkapan saya tetap mendukung [Ical] dapat diartikan sebagai ‘pengakuan bahwa Ical masih tetap yang terbaik’. Ungkapan Kalau ada yang mengonggong anggaplah ... dapat diartikan ‘mereka yang tak menyetujui hanyalah anjing’. Ungkapan kedua itu berfungsi untuk menegaskan bahwa pendapat penuturlah yang benar. Berdasarkan dua pengertian tersebut, komentar dikategorikan tindak berkesombongan. Agar tidak terkesan sombong, ungkapan Kalau ada yang mengonggong anggaplah.... harus diganti. Misalnya, rambut sama hitam, pendapat boleh beda. Dengan demikian, tak ada lagi penekanan bahwa hanya pendapat komentator yang benar. Data (17) merupakan komentar atas berita berjudul “Freeport Siap Bahas Divestasi 51 Persen Sahamnya”. Komentar berkenaan dengan kepemilikan pemerintah atas saham Freeport yang terlalu sedikit, yaitu hanya 9,36%. Pada data (17) ketaksantunan karena bidal kesombongan terwujud dengan digunakannya ungkapan tolol dan gobloknya; Nggak punya rasa malu; goblok blok blok blok; dan Biarkan rakyat Papua mengurus sendiri wilayahnya. Ungkapan tolol dan gobloknya; Nggak punya rasa malu; dan goblok blok blok blok yang ditujukan kepada pengurus negara dapat diartikan ‘pemerintah tak mampu mengelola



35 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



sumber daya alam, tetapi tidak pernah mengakui’. Ungkapan ini berfungsi merendahkan peran pemerintah. Ungkapan Biarkan rakyat Papua mengurus sendiri wilayahnya dapat diartikan sebagai ‘model pengelolaan lain yang diyakini lebih baik’. Ungkapan ini menegaskan bahwa pendapat komentator lebih baik. Berdasarkan pengartian itu, komentar digolongkan tindak berkesombongan. Agar terkesan tidak sombong, ungkapan tolol dan gobloknya; Nggak punya rasa malu; dan goblok blok blok blok harus diganti. Misalnya, .........bukti keteledoran Pemerintah yang harus diperbaiki. Ungkapan Biarkan rakyat Papua mengurus sendiri wilayahnya diganti dengan, misalnya, Biarkan rakyat Papua menikmati SDA wilayahnya. Data (18) merupakan komentar atas berita berjudul “Kemungkinan Penyebab Jatuhnya Sukhoi”. Komentar berkenaan dengan ketidakjelasan berita mengenai penyebab jatuhnya pesawat Sukhoi. Pada data (18) ketaksantunan karena bidal kesombongan terwujud dengan digunakannya ungkapan suka manuver, Sok jago, Kemaki..; biar dianggap keren dan hanya Pilot2 Indonesia yang tahu suasana Penerbangan Alam Indonesia dan bisa memahami sesuatu yg sulit di jelaskan secara teknis. Ungkapan suka manuver, Sok jago, Kemaki..; biar dianggap keren dapat diartikan ‘ceroboh’. Ungkapan itu bermakna menuduh bahwa pilotlah penyebab musibah. Ungkapan hanya Pilot2 Indonesia yang tahu suasana Penerbangan Alam Indonesia dan bisa memahami sesuatu yg sulit di jelaskan secara teknis dapat diartikan sebagai ‘hanya pilot Indonesia yang andal menerbangkan pesawat di wilyah Indonesia’. Ungkapan ini untuk menegaskan bahwa pendapat komentatorlah yang benar. Berdasarkan dua pengartian tadi, komentar dikategorikan sebagai tindak kesombongan. Agar tidak terkesan sombong, bentuk ungkapan suka manuver, Sok jago, Kemaki..; biar dianggap keren harus diganti. Misalnya, memaksa-maksakan gaya penerbangan demi sebuah demonstrasi. Ungkapan hanya Pilot2 Indonesia yang tahu suasana Penerbangan Alam Indonesia dan bisa memahami sesuatu yg sulit di jelaskan secara teknis diganti dengan, misalnya, Pilot2 Indonesia lebih tahu suasana Penerbangan Alam Indonesia dan bisa lebih memahami sesuatu yg sulit di jelaskan secara teknis. f. Bidal SARA Bidal SARA adalah bidal yang terwujud melalui penggunaan ung­ kapan-ungkapan yang bagi si penerima dapat dirasa sebagai sikap dis­



36 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa, Ketaksantunan Tutur, dan Identitas



kriminasi. Tercakup ke dalam bidal sara ialah ungkapan yang secara prag­ matik menyiratkan pembedaan sikap berdasarkan perbedaan suku, ras, agama, atau kelompok. Berikut contoh ketaksantunan karena bidal sara. (19) mohammed: ANYWAY KOH AHOK TOLONG DONG HIMBAU WARGA TIONG HOA JAKARTA KALAU ‘BERANAK’ JANGAN BANYAK2X...POPULASI JAKARTA KETURUAN TIONG HOA MEMBLUDAK DASHYAT TUH DI JAKARTA... SURUH KB DONG KOH AHOK!! (“LSI Kukuhkan Kemenangan Jokowi”) (20) Ahmad: si budi pasti dari betawi, mau menghina jokowi dari etnis Jawa ya ? memang udah terbukti bego tu betawi.... (“Rhoma Irama Dibela Para Penggemar”) (21) DARa SEMpurna: Indonesia harus dipimpin oleh orang muslim !! arep korupsi, kek arep opo kek sing penting MUSLIM TITIK..........nyang laen minggguuuaaaattttt sono !!!!!!!!!!!!!!!!! (“Rhoma Irama Klaim Dakwah Tidak Bermuatan Sara”) Data (19) merupakan komentar atas berita berjudul “LSI Kukuhkan Kemenangan Jokowi”. Komentar berkenaan dengan hasil quick count Lembaga Survei Indonesia yang mencatatkan kemenangan suara pasangan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atas pasangan FokeNachrowi Ramli (Nara). Pada data (19) ketaksantunan karena bidal SARA terwujud dengan digunakannya ungkapan WARGA TIONG HOA JAKARTA KALAU ‘BERANAK’ JANGAN BANYAK2X dan SURUH KB DONG yang dapat diartikan ‘selama ini warga Tionghoa boleh beranak banyak dan tidak KB’. Implikatur itu mencerminkan adanya diskriminasi berdasarkan suku. Berdasarkan pengartian itu, komentar digolongkan tindak SARA. Agar tidak SARA, sesudah ungkapan SURUH KB DONG perlu ditambahkan informasi lain. Misalnya, BIAR SAMA DENGAN SUKU LAIN. Kenyataannya, program KB memang diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Data (20) merupakan komentar atas berita berjudul “Rhoma Ira­ ma Dibela Para Penggemar”. Komentar berkenaan dengan pem­ be­­ri­ taan mengenai adanya spanduk ‘Jangan Sakiti Ulama Kami’ se­bagai



37 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



pembelaan terhadap Rhoma Irama yang sempat dipanggil Pan­waslu karena isu ceramahnya yang dianggap SARA. Pada data (20) ke­ taksantunan karena bidal SARA terwujud dengan adanya ungkapan ... Betawi mau menghina Jawa ... udah terbukti bego tu Betawi yang dapat diartikan ‘ingat, Jawa tidak bego seperti Betawi’. Pengertian itu mencerminkan diskriminasi suku berdasarkan kemampuan. Karena pengartian yang seperti itu, komentar dikategorikan SARA. Agar tidak SARA, ungkapan harus diganti. Jika tidak ditemulan bentuk lain yang lebih sopan, komentar sebaiknya dibatalkan. Data (21) merupakan komentar atas berita berjudul “Rhoma Irama Klaim Dakwah Tidak Bermuatan Sara”. Komentar berkenaan dengan sanggahan Rhoma bahwa ia telah melakukan ceramah (kampanye) bernilai SARA karena saat itu dalam kapasitas sebagai mubalig. Pada data (21) ketaksantunan karena bidal SARA terwujud dengan digunakannya ungkapan Indonesia harus dipimpin oleh orang muslim !! arep korupsi, kek arep opo kek sing penting MUSLIM TITIK [...] yang dapat diartikan ‘selain muslim tidak boleh memimpin Indonesia’. Pengartian yang seperti itu mencerminkan diskriminasi perlakuan berdasarkan suku. Karena pengartian itu, komentar dikategorikan tindak SARA. Agar tidak SARA, komentar harus diubah. Misalnya, Indonesia sebaiknya dipimpin oleh orang muslim !! tidak korupsi, tidak macam-macam dan MUSLIM TITIK..........nyang laen juga harus gitu !!!!!!!!!!!!!!!!! g. Bidal Pengabaian Bidal pengabaian adalah bidal yang terwujud melalui penggunaan ungkapan-ungkapan yang bagi si penerima dirasa sebagai ketakpedulian. Tercakup ke dalam bidal pengabaian ialah penggunan bentuk-bentuk sela, respons yang tak gayut, atau hal-hal yang memperlihatkan ketak­ pedulian penutur atas tuturan sebelumnya. Berikut contoh ketak­san­ tunan karena bidal pengabaian. (22) Kere kelaparan: ni orang laki pa pajantan jadi2an sih??? (“Nelayan Temukan Lebih Banyak Lobster Warna Aneh dalam Tangkapan”) (23) Aquenk: yahoo takut ma guwa..comentnku ga di muat ( padahal cm mw nawarin gorengan, harganya sdh turun) (“Rhoma Irama Dibela Para Penggemar”)



38 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa, Ketaksantunan Tutur, dan Identitas



(24) tassouvenir.co.id: sedia aneka tas untuk kebutuhan maupun untuk menambah gaya anda (“Jika Anda Hidup Sampai 2045, Mungkin Tak Perlu Takut Pada Kematian”) Data (22) merupakan komentar atas berita berjudul “Nelayan Temukan Lebih Banyak Lobster Warna Aneh dalam Tangkapan”. Berita berisi informasi mengenai semakin sering ditemuknnya lobster berwarna aneh dan kemungkinan penyebabnya. Dalam hubungan itu, bentuk komentar, yaitu ni orang laki pa pajantan jadi2an sih??? justru berisi tanggapan komentator atas “kejatian” komentator lain. Karena isi komentar yang tidak gayut dengan topik berita, komentar dikategorikan sebagai pengabaian. Agar menjadi santun, topik komentar harus diubah. Ubahan harus sesuai topik berita. Data (23) merupakan komentar atas berita berjudul “Rhoma Irama Dibela Para Penggemar”. Berita berisi informasi mengenai adanya spanduk ‘Jangan Sakiti Ulama Kami’ sebagai pembelaan terhadap Rhoma Irama yang sempat dipanggil Panwaslu DKI terkait isu ceramahnya yang dianggap SARA. Dalam hubungan itu, bentuk komentar, yaitu yahoo takut ma guwa..comentnku ga di muat (padahal cm mw nawarin gorengan, harganya sdh turun) justru berisi keheranan komentator atas komentarnya yang tak dimuat. Karena isi komentar yang tidak gayut dengan topik, komentar dikategorikan pengabaian. Agar menjadi santun, topik komentar harus diubah. Ubahan harus sesuai dengan topik berita. Data (24) merupakan komentar atas berita berjudul “Jika Anda Hidup Sampai 2045, Mungkin Tak Perlu Takut Pada Kematian”. Berita berisi informasi mengenai kemungkinan pentransferan akal dan kepribadian manusia sebelum meninggal ke sebuah robot pada tahun 2045 demi diperolehnya keabadian secara holografik. Dalam hubungan itu, komentar dari tassouvenir.co.id justru berisi iklan mengenai tas. Karena isi yang tidak gayut dengan berita, komentar dikategorikan sebagai pengabaian. Agar menjadi santun, komentar harus diubah. Ubahan harus sesuai dengan topik berita. h. Bidal Salah Penyapaan Bidal salah penyapaan adalah bidal yang terwujud melalui peng­ gunaan sapaan yang bagi mitra tutur dirasa tidak sesuai dengan kondisi



39 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



dan status sosialnya. Tercakup ke dalam bidal salah penyapaan ialah kesalahan penggunaan sapaan, sebutan, atau penstatusan dalam me­ nunjuk mitra tutur, baik dilihat berdasarkan kekerabatan, gelar, profesi, usia, atau yang lain. Secara sintaktis, bidal salah penyapaan berciri pa­ da fungsi sapaan yang atributif, aposisional, atau vokatif (Alwi et al., 1998: 422). Berikut contoh untuk itu.\ (25) Herman: [...] termos,,,kok kamu jadi lebay ya!!! (“Raul Lemos Twitwar Dengan Penggemar Anang”) (26) Bayer: 3/4 NEGARA INI PUNYA AMRIK BESERTA ANTEK2X SISANYA PUNYA PENGUASA KITA RAKYAT HANYA BONEKA [...] (“Freeport Siap Bahas Divestasi 51 Persen Sahamnya”) (27) Rendi: roma amora perlu dibawa ke klinik tompang ne suapaya berubah menjadi roma manohara..lebay soalnya kelakuanya.. (“Rhoma Irama Dibela Para Penggemar”) Data (25) merupakan komentar atas berita berjudul “Raul Lemos Twitwar Dengan Penggemar Anang”. Komentar dikaitkan dengan sindiran Lemos terhadap Anang yang masih mendiami ruko cicilan yang dibeli Anang dan Kris ketika masih berstatus sebagai suami istri. Pada data (25) ketaksantunan karena bidal salah penyapaan terwujud dengan digunakannya kata termos yang berarti ‘botol untuk menyimpan minuman agar tetap panas’ untuk menyapa Lemos. Berdasarkan pengertian kata termos yang jelas-jelas berbeda dengan Lemos, komentar dikategorikan kesalahan penyapaan. Agar penyapaan tidak salah, ungkapan termos harus diganti; dikembalikan ke bentuk aslinya, yaitu Lemos. Data (26) merupakan komentar atas berita berjudul “Freeport Siap Bahas Divestasi 51 Persen Sahamnya”. Komentar dikaitkan dengan kepemilikan pemerintah atas saham Freeport yang terlalu sedikit, yaitu hanya 9,36%. Pada data (26) ketaksantunan karena bidal salah penyapaan terwujud dengan digunakannya kata ANTEK2X (antek-anteknya) yang berarti ‘orang (negara) yang diperalat orang (negara) lain; kaki tangan; budak’ untuk menyebut pihak-pihak yang membantu Amerika memperoleh hak kontrak pengelolaan tambang di Papua. Berdasarkan



40 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa, Ketaksantunan Tutur, dan Identitas



pengertian itu, komentar dikategorikan salah penyapaan. Agar penyapaan tidak salah, kata antek harus diganti. Misalnya, dengan kelompoknya. Data (27) merupakan komentar atas berita berjudul “Rhoma Irama Dibela Para Penggemar”. Komentar dikaitkan dengan informasi mengenai adanya spanduk ‘Jangan Sakiti Ulama Kami’ sebagai pembelaan terhadap Rhoma Irama yang sempat dipanggil Panwaslu DKI terkait isu ceramahnya yang dianggap SARA. Pada data (27) ketaksantunan karena bidal salah penyapaan terwujud dengan digunakannya ungkapan roma amora dan roma manohara yang sebenarnya tidak memiliki atau merancukan referen yang sesungguhnya. Berdasarkan itu, komentar tergolong kategori salah pe­ nyapaan. Agar tidak salah penyapaan, kata roma amora dan roma mano­ha­ ra harus diganti. Misalnya, dengan Irama Rhoma dan Rhoma Irama. 2. Pelanggaran pada Muka Negatif Muka negatif adalah citra yang didasarkan pada wilayah dan hak peserta tutur untuk bebas melakukan sesuatu dan bebas dari kewajiban untuk melakukan sesuatu (Wijana, 1996: 64; Gunarwan, 1997: 227 dan 228; Nadar, 2009: 32). Berdasarkan pengertian itu, pelanggaran ter­ ha­dap muka negatif dalam kolom Komentar laman “Berita Yahoo In­ donesia” berkenaan dengan penggunaan bidal-bidal berikut. a. Bidal Perintah Bidal perintah adalah bidal yang terwujud melalui penggunaan ung­­kapan-ungkapan perintah sehingga oleh si penerima dipahami se­ bagai pelanggaran atas wilayah dan hak untuk tidak melakukan se­suatu. Tercakup ke dalam bidal perintah ialah ungkapan-ungkapan yang se­ cara pragmatik bertujuan memerintah, melarang, menasihati, atau meng­­ingatkan. Berikut contoh untuk itu. (28) Utcok Rambe: Urus dulu Lapindo Wa dengan benar baru calonkan diri RI 1 (“Sultan Tolak Dampingi Ical”) (29) Rani: SDA PAPUA HAK RAKYAT PAPUA....PEMERINTAH RI NGGA USAH IKUT CAMPUR TANGAN...BIARKEAN MEREKA [Papua] MENTUKAN NASIBNYA SENDIRI...... JAYALAH PAPUA........ (“Freeport Siap Bahas Divestasi 51 Persen Sahamnya”)



41 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



(30) King of Mummy: ini akibatnya PEDANGDUT nyambi jd penceramah agama, seenak jidat jdnya.., Udah Rom, lu Dangdutan aja.... Tariiiikkkkkk neng.............. (“Rhoma Irama Dibela Para Penggemar”) Data (28) merupakan komentar atas berita berjudul “Sultan Tolak Dampingi Ical”. Komentar dikaitkan dengan inti berita yang menyatakan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan keberatan dipasangkan sebagai cawapres mendampingi Aburizal Bakrie selaku capres pada Pilpres 2014. Pada data (28) ketaksantunan karena bidal perintah terwujud dengan digunakannya ungkapan Urus dulu Lapindo Wa dengan benar yang dapat diartikan ‘perintah untuk menunda pencalonan Presiden’. Berdasarkan pengartian yang seperti itu, komentar dikategorikan tindak perintah. Agar tidak bermakna perintah, ungkapan Urus dulu Lapindo Wa dengan benar harus diganti. Misalnya, dalam bentuk tanya Mengapa tidak urus dulu Lapindo dengan benar Wa? Data (29) merupakan komentar atas berita berjudul “Freeport Siap Bahas Divestasi 51 Persen Sahamnya”. Komentar dikaitkan dengan kepemilikan pemerintah atas saham Freeport yang terlalu sedikit, yaitu hanya 9,36%. Pada data (29) ketaksantunan karena bidal perintah terwujud dengan digunakannya ungkapan PEMERINTAH RI NGGA USAH IKUT CAMPUR TANGAN...BIARKEAN MEREKA [Papua] MENTUKAN NASIBNYA SENDIRI yang dapat diartikan ‘melarang Pemerintah (ikut) mengelola SDA Papua’, yang berarti menentang UU yang berlaku. Berdasarkan pengertian yang seperti itu, komentar dikategorikan tindak perintah. Agar tidak berupa perintah, ungkapan PEMERINTAH RI NGGA USAH IKUT CAMPUR TANGAN...BIARKEAN MEREKA [Papua] MENTUKAN NASIBNYA SENDIRI harus diganti. Misalnya, PEMERINTAH RI SEBAIKNYA MENGURANGI CAMPUR TANGANNYA...BIARKEAN MEREKA DAPAT LEBIH MENTUKAN NASIBNYA SENDIRI Data (30) merupakan komentar atas berita berjudul “Rhoma Irama Dibela Para Penggemar”. Komentar dikaitkan dengan adanya spanduk “Jangan Sakiti Ulama Kami” sebagai pembelaan terhadap Rhoma Irama yang sempat dipanggil Panwaslu DKI terkait isu ceramahnya yang dianggap SARA. Pada data (30) ketaksantunan karena bidal perintah terwujud dengan digunakannya ungkapan Udah Rom, lu Dangdutan



42 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa, Ketaksantunan Tutur, dan Identitas



aja yang dapat diartikan ‘perintah agar Roma hanya bermusik dangdut’. Berdasarkan pengartian itu, komentar dikategorikan tindak perintah. Agar tidak menjadi perintah, ungkapan Udah Rom, lu Dangdutan aja diubah. Misalnya Rom, lu cocok kok jadi pimpinan Soneta. b. Bidal Kebencian Bidal kebencian adalah bidal yang terwujud melalui penggunaan ungkapan-ungkapan tertentu yang oleh si penerima dipahami sebagai ekspresi negatif yang kuat yang langsung atau tidak langsung melanggar hak atau wilayah petutur. Tercakup ke dalam bidal kebencian ialah ungkapan-ungkapan yang secara pragmatik mengekspresikan perasaan seperti kebencian atau kemarahan, tetapi tidak sampai bermakna ancaman. Berikut contoh ketaksantunan tuturan karena penerapan bidal kebencian. (31) aria: mudah2an saja [Anas] diperiksa lagi minggu depan hari jumat (“Besok Anas Urbaningrum Diperiksa KPK Lagi”) (32) Boss Zoel: Mantap. Lanjutkan...!!! (“Tiga Anggota Dewan Dikeroyok Warga”) (33) Edi Suryo:orang jawa timur kalau mau di calonkan wapres berarti PENGHIANAT yang MENGHIANATI daerahmu (“Sultan Tolak Dampingi Ical”) Data (31) merupakan komentar atas berita berjudul “Besok Anas Urbaningrum Diperiksa KPK Lagi”. Komentar dikaitkan de­ngan bantahan Anas terhadap kemungkinan keterlibatannya dalam pe­ ngurusan sertifikat tanah untuk proyek Hambalang yang bermasalah. Pada data (31) ketaksantunan karena bidal kebencian terwujud dengan digunakannya ungkapan mudah2an saja [Anas] diperiksa lagi yang dapat diartikan ‘doa agar Anas akhirnya dihukum’. Berdasarkan pengartian itu, komentar dikategorikan tindak kebencian. Agar se­ tidaknya netral, ungkapan mudah2an saja [Anas] diperiksa lagi diubah. Mi­salnya, mudah2an saja [Anas] tabah menjalani. Data (32) merupakan komentar atas berita berjudul “Tiga Anggota



43 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Dewan Dikeroyok Warga”. Komentar dikaitkan dengan pengeroyokan yang dilakukan oleh para ibu atas tiga anggota dewan karena tidak melakukan sosialisasi sebelum pelaksanaan jaringan sutet di tengah permukiman. Pada data (32) ketaksantunan karena bidal kebencian terwujud dengan digunakannya ungkapan Mantap. Lanjutkan [meng­ hajarnya] yang dapat diartikan ‘dukungan atas tindakan main hakim sendiri’ yang ditujukan kepada anggota dewan. Berdasarkan pengartian itu, komentar dikategorikan tindak kebencian. Agar menjadi netral, ungkapan Mantap. Lanjutkan diubah, misalnya dengan Itu akibat jika meremehkan rakyat. Data (33) merupakan komentar atas berita berjudul “Sultan Tolak Dampingi Ical”. Komentar dikaitkan dengan berita bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono X keberatan dipasangkan sebagai cawapres men­ dampingi Aburizal Bakrie sebagai capres pada Pemilu 2014. Pada data (33) ketaksantunan karena bidal kebencian terwujud dengan digunakannya ungkapan PENGHIANAT yang MENGHIANATI yang dapat diartikan ‘tidak berpendirian; penuh tipu daya’. Berdasarkan pengartian itu, komentar dikategorikan tindak kebencian. Agar ti­ dak mencerminkan kebencian, ungkapan PENGHIANAT yang MENG­­­HIANATI diubah, misalnya dengan (ORANG YANG) TIDAK BERPERASAAN yang TEGA (TERHADAP). C. Penutup Berdasarkan analisis tadi, diketahui bahwa ketaksantunan tutur dalam jejaring sosial tidak hanya terjadi pada tahun-tahun terakhir ini, ketika penggunaan internet semakin mendominasi. Sejak tahun 2012, pada kolom komentar laman “Berita Yahoo Indonesia”, telah ditemukan komentar yang tidak santun. Dari 8 bidal ketaksantunan berdasar muka positif dan 3 bidal berdasar muka negatif, hanya ketaksantunan muka negatif karena bidal janji yang tidak ditemukan. Meskipun produktivitas komentar tidak santun, masa itu maupun saat ini, masih jauh di bawah komentar yang sifatnya santun atau netral; gejala seperti dimaksudkan perlu diantisipasi. Langkah antisipasi diperlukan dengan pertimbangan (1) dapat memudarkan kesadaran akan kesantunan tutur sebagai salah satu identitas bangsa dan (2) semakin dominannya komunikasi melalui jejaring sosial yang cenderung akan lebih memproduktifkan tuturan tidak santun karena “keterbebasannya” dari setidaknya pertimbangan parameter pragmatik.



44 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa, Ketaksantunan Tutur, dan Identitas



Idealnya antisipasi melibatkan berbagai pihak, setidaknya pengguna jejaring sosial, pengelola/admin jejaring sosial, dan pemerintah. Kepada pengguna perlu dilakukan sosialisasi mengenai bentuk-bentuk tutur santun dan tidak santun beserta efek sosial dan yuridisnya. Pengelola jejaring perlu diingatkan fungsi kepengawasannya. Pengelola hendaknya memverifikasi terlebih dahulu setiap komen sebelum diunggah pada kolom komentar. Pemerintah perlu pula disampaikan pentingnya so­ sialisasi secara terus-menerus atas UU No. 19 Tahun 2016 (selaku peng­ganti UU No. 11 Tahun 2008) mengingat adanya sanksi yang harus diterima oleh pelanggar. Antisipasi dapat memanfaatkan jalur formal (lembaga-lembaga pendidikan) maupun informal (kepengurusan RT, RW, maupun berbagai komunitas). Daftar Referensi



Alwi, H., Dardjowidjojo, S., Lapoliwa, H., & Moeliono, A. M. (1998). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Ketiga). Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Balai Pustaka. Brown, P., & Levinson, S. C. (1987). Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge University Press. Gunarwan, A. (1997). Tindak Tutur Mengkritik dengan Parameter Umur di Kalangan Penutur Jati Bahasa Jawa: Implikasinya pada Usaha Pembinaan Bahasa. Prosiding Kongres Bahasa Jawa II: Buku II Makalah Bahasa. Gunawan, F. (2017). Representasi Kesantunan Brown dan Levinson dalam Wacana Akademik. Kandai, 10(1), 16–27. https://doi.org/https://doi. org/10.26499/jk.v10i1.309 Kusmanto, H., & Purbawati, C. (2019). Impoliteness Commenting On Social Media Instagram: Politicopragmatic Study. Jurnal Kata: Penelitian Tentang Ilmu Bahasa Dan Sastra, 3(2), 217–227. https://doi.org/ http://doi.org/10.22216/kata.v3i2.4338 Leech, G. (1983). Principles of Pragmatics. Longman. Maulidi, A. (2018). Ketidaksantunan Berbahasa pada Media Jejaring Sosial Facebook. Multilingual, 17(1). https://doi.org/10.26499/multilingual.v17i1.15 Nadar, F. X. (2009). Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Graha Ilmu. Pranowo. (2009). Berbahasa secara Santun. Pustaka Pelajar. Santosa, I. B. (2016). Peribahasa Nusantara: Mata Air Kearifan Bangsa. PDI Perjuangan.



45 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Sudaryanto. (1993). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Sanata Dharma University Press. Vani, M. A., & Sabardila, A. (2020). Ketidaksantunan Berbahasa Generasi Milenial dalam Media Sosial Twitter. Pena Literasi: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, 3(2), 90–101. https://doi.org/ https://doi.org/10.24853/pl.3.2.90-101 Wardhaugh, R. (1986). An Introduction to Sociolinguistics. Basil Blackwell. Wijana, I. D. P. (1996). Dasar-Dasar Pragmatik. Penerbit Andi.



Daftar Sumber Data 1. “Kemungkinan Penyebab Jatuhnya Sukhoi”; 11 Mei 2012 2. “Ada Barapan Kebo di Sumbawa Barat”; 4 Juni 2012 3. “Malaysia Dituduh Sebagai Pencoleng Budaya Indonesia”; 19 Juni 2012 4. “Tiga Anggota Dewan Dikeroyok Warga”; 19 Juni 2012 5. ” Peneliti LIPI Temukan Anggrek Baru Asal Kinabalu”; 2 Juli 2012 6. “Sultan Tolak Dampingi Ical”; 2 Juli 2012 7. “Besok Anas Urbaningrum Diperiksa KPK Lagi”; 3 Juli 2012 8. “Raul Lemos Twitwar Dengan Penggemar Anang”; 12 Juli 2012 9. “Nelayan Temukan Lebih Banyak Lobster Warna Aneh dalam Tangkapan”; 26 Juli 2012 10. “Sekolah Kartini Kembali Akan Digusur”; 24 Juli 2012 11. “Aksi Koboi Bupati Bima, Todongkan Pistol ke Mahasiswa”; 3 Juli 2012  13. “Freeport Siap Bahas Divestasi 51 Persen Sahamnya”; 9 Juli 2012 14. “LSI Kukuhkan Kemenangan Jokowi”; 12 Juli 2012 15. “Nelayan Temukan Lebih Banyak Lobster Warna Aneh dalam Tangkapan”; 26 Juli 2012 16. “KPK Rumuskan Pemiskinan Koruptor”; 27 Juli 2012 17. “Jika Anda Hidup Sampai 2045, Mungkin Tak Perlu Takut Pada Kematian”; 3 Agustus 2012 18. “Rhoma Irama Klaim Dakwah Tidak Bermuatan Sara”; 8 Agustus 2012 19. “Rhoma Irama Dibela Para Penggemar”; 13 Agustus 2012



46 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



IDENTITAS KEPANCASILAAN DALAM PERIBAHASA BAHASA INDONESIA Erlinda Rosita Syarifah Lubna



A. Pengantar Adat dijunjung, lembaga disanjung, pusaka sama dijaga. Peri­ bahasa tersebut mengandung makna yang sangat dalam, bahwa adat is­ tiadat, kebiasaan lama, segala peraturan, dan keindahannya yang telah ada sejak zaman nenek moyang harus selalu dihormati, dipatuhi, serta dijaga kelestariannya. Itu adalah sebuah pesan pada segenap bangsa un­ tuk menjaga tradisi dan kebiasaan lama yang bernilai luhur karena nilainilai luhur dalam tradisi lampau tersebut yang pada akhirnya men­jadi pe­doman hidup dan identitas bangsa Indonesia. Identitas, menurut Iswardhana (2020), merupakan ciri atau penanda yang dimiliki oleh individu, kelompok, ataupun masyarakat yang mem­ bedakannya dengan pihak lain. Berdasarkan pemikiran Samuel Hun­ tington, Bakry (2020) mendefinisikan identitas sebagai perasaan diri individu atau kelompok. Perasaan akan kesadaran diri terhadap per­ bedaan kualitas yang dimiliki setiap orang untuk membedakan diri dari orang lain (self from others) yang sangat penting akan membentuk sikap individu ataupun kelompok. Sikap-sikap inilah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Ciri khas dalam bentuk identitas yang menjadi falsafah bangsa dan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila. Pancasila, sejak Indonesia mem­ proklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, me­mang telah menjadi satu di antara empat pilar kebangsaan, yaitu (1) Pancasila, (2)



47 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Undang-Undang Dasar 1945, (3) Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan (4) Bhinneka Tunggal Ika. Empat pilar inilah, khususnya Pancasila, yang diharapkan mampu membuat para penerus bangsa menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat, berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi kebersamaan dalam bingkai persatuan, mengutamakan musyawarah untuk mufakat, serta mengedepankan keadilan bagi seluruh warga bang­sa (Sudarsa, 2013). Sejalan dengan pendapat tersebut, Sisman et al. (2016) menjelaskan bahwa Pancasila sebagai dasar (filsafat) negara mengandung makna bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi pedoman bagi penyelenggaraan bernegara. Sementara itu, nilai didefinisikan se­ bagai suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya (Danandjaya, 1986). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016) dituliskan definisi nilai adalah ‘sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan’; ‘sesuatu yang me­nyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya’. Sisman et al. (2016) juga menjelaskan bahwa nilai dapat menjadi pendorong hidup ma­nusia. Tindakan manusia digerakkan oleh nilai yang diyakini dapat menghasilkan sesuatu yang diinginkan dan bermanfaat. Sementara itu, istilah nilai menurut Sehandi (2018) yang mengutip pemikiran Bartens merupakan sesuatu yang baik sehingga menarik, menyenangkan, me­ nyukai, dan menginginkannya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa nilai adalah sesuatu yang berharga atau penting bagi kehidupan ma­nusia sehingga dapat menyempurnakan kehidupan dengan kebaikan dan mendapatkan kebahagiaan serta kebermanfaatan. Idealnya, jika negara ini diselenggarakan dengan baik berdasarkan nilai-nilai Pancasila, tidak akan terjadi berbagai aksi yang saling me­ nyakiti, mengkhianati, dan sejenisnya di Bumi Pertiwi. Pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila, contohnya melakukan penistaan agama, memperlakukan orang lain dengan semena-mena, tidak mau membantu orang lain yang membutuhkan, mengutamakan kepentingan pribadi, hilang rasa cinta terhadap tanah air, main hakim sendiri, mengabaikan pendapat orang lain, dan menyalahgunakan kekuasaan atau jabatan (Kristina, 2021). Hal tersebut tentu harus dicarikan solusi agar berbagai kondisi



48 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Kepancasilaan dalam Peribahasa Bahasa Indonesia



yang berpotensi merusak kehidupan berbangsa dan bernegara nantinya dapat direduksi. Sebagai bangsa besar yang multietnik dan telah teruji ketangguhan dalam menghadapi berbagai masalah, baik internal mau­ pun eksternal, rakyat Indoensia harus mengembalikan tujuan berdirinya bangsa ini untuk menciptakan kehidupan yang berkeadilan, aman, dan damai bagi seluruh rakyat Indonesia. Upaya untuk menjaga dan menginternalisasikan kembali nilai-nilai Pancasila dalam jiwa anak bangsa dapat dilakukan dengan menggali berbagai produk budaya bangsa, antara lain berupa peribahasa. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016) dijelaskan bahwa peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu. Peribahasa juga diartikan sebagai ungkapan atau kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, atau aturan tingkah laku. Sejalan dengan definisi tersebut, Waridah (2014) menyatakan su­ sunan kata di dalam peribahasa bersifat tetap karena jika diubah susunan kata itu tidak dapat lagi dikatakan sebagai peribahasa melainkan ka­ limat biasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa peribahasa ada­ lah susunan kata yang tetap susunannya dan mempunyai maksud atau pesan tertentu. Peribahasa sebagai satuan lingual yang konstituennya bersifat ajeg dapat berupa (1) satuan frasa, (2) satuan kalimat, dan (3) satuan klausa (Pulungan, 2011). Rizal (2008) dalam Kamus Peribahasa Indonesia men­jelaskan asal mula peribahasa, yaitu (1) peribahasa yang berasal dari pepatah seperti pungguk merindukan bulan; (2) peribahasa yang berasal dari pameo, contohnya Belanda minta tanah; (3) peribahasa yang berasal dari kiasan/ungkapan, contohnya makan angin, patah hati; (4) peribahasa yang berasal dari pantun, contohnya peribahasa ber­sakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian berasal dari pantun berakit-rakit kehulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian; (5) peribahasa yang berasal dari gurindam, contohnya burung pipit sama enggang, mana boleh sama terbang; (6) peribahasa yang berasal dari ibarat, contohnya ibarat bunga, segar dipakai, layu dibuang; dan (7) peribahasa yang berasal dan berbentuk tamsil, contohnya datang tampak muka, pulang tampak punggung. Peribahasa Indonesia dengan berbagai bentuk dan ragamnya ini sangat banyak jumlahnya. Gandasudirja (1986) mendokumentasikan



49 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



700 peribahasa, Zakaria & Syofyan (1984) mendokumentasikan 1.500 peribahasa, Brataatmadja (1982) mendokumentasikan 2.082 peri­bahasa, dan Rizal (2008) mendokumentasikan 5.757 peribahasa. Penelitian tentang peribahasa pun sudah banyak dilakukan sebelumnya, antara lain dilakukan oleh Harja (2014) yang meneliti bentuk dan makna peribahasa Indonesia yang terbentuk oleh unsur tumbuhan, jenis-jenis tumbuhan, dan hal-hal yang berkaitan dengan tumbuhan dan Suhendar (2014) yang membahas kesepadanan makna peribahasa bersumber pada nama binatang dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai suatu kajian etnosemantik. Sekian banyak peribahasa telah melekat dan menjadi bagian dari budaya dan bahasa suatu bangsa (Untoro, 2009). Dalam menggunakan suatu peribahasa tentunya juga harus terlebih dahulu mengetahui mak­ na yang terkandung dalam peribahasa tersebut. Pemaknaan secara mak­ simal dapat mengantarkan peribahasa sebagai media pembentuk dan pengembang moralitas bagi bangsa (Thereana, 2018). Peribahasa berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Peribahasa mengandung nilai-nilai so­ sial, budaya, ekonomi, religiositas, pandangan hidup, ke­pemimpinan, dan politik. Peribahasa selain berfungsi sebagai nasihat, kritik, ataupun prin­sip hidup, terkandung pula nilai-nilai karakter (Ma­neechukate, 2018). Sesuai dengan konsep tersebut, dapat dipastikan bahwa di dalam peribahasa bahasa Indonesia terkandung berbagai nilai atau pesan yang berharga bagi bangsa ini. Sebagai produk budaya dapat dipastikan akan banyak nilai yang ada di dalam peribahasa, termasuk nilai-nilai Pancasila yang berharga karena mengandung kebaikan yang dapat di­ jadikan sebagai dasar bertingkah laku. Tulisan ini berfokus pada identitas Pancasila dalam peribahasa bahasa Indonesia. Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang te­lah menjadi kesepakatan sejak adanya negara ini dan telah diim­plementasikan sebelum berdirinya Indonesia (Iswardhana, 2020). Untuk menelisik nilai-nilai Pancasila dalam peribahasa bahasa Indonesia digunakan metode deskriptif analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka. Analisis data dilakukan dengan tahapan berikut: (1) menginventarisasi peribahasa bahasa Indonesia yang bernilai Pan­casila, (2) mengklasifikasi peribahasa bahasa Indonesia berdasar sila-sila Pancasila, (3) mendeskripsikan nilainilai Pancasila dalam peri­bahasa bahasa Indonesia sesuai klasifikasinya, (4) mendeskripsikan relasi nilai-nilai Pancasila dengan nilai atau makna yang terkandung dalam data, dan (5) menyimpulkan.



50 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Kepancasilaan dalam Peribahasa Bahasa Indonesia



B. Nilai-nilai Pancasila dalam peribahasa Adhani (2016) menyebutkan bahwa peribahasa mengandung nasihat dan makna kiasan berupa ungkapan yang bernilai positif. Na­ sihat dan makna yang dikandung tersebut mempunyai korelasi positif de­ngan nilai-nilai Pancasila. Berikut beberapa nilai yang terkandung dalam peribahasa berbahasa Indonesia yang mempunyai hubungan erat de­ngan Pancasila. 1. Nilai Ketuhanan Nilai ketuhanan merupakan pengakuan dan keyakinan bangsa ter­ hadap adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Beberapa peri­ba­ hasa yang mengandung nilai ketuhanan adalah sebagai berikut. a. Adat mendaki, syarak memakai Makna yang terkandung di dalam peribahasa tersebut adalah adat istiadat harus sesuai dengan agama (Islam). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016), adat didefinisikan sebagai aturan, cara, norma, hukum, dan aturan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu yang telah menjadi kebiasaan. Syarak berarti hukum yang bersendi ajaran Islam. Ajaran Is­lam menjadi dasar Pancasila sehingga dijadikan sebagai sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian dapat di­ pahami bahwa segala aturan, cara, hukum, norma, dan kelakuan yang di­jalani harus bersesuaian dengan ajaran Islam. Harmonisasi antara adat dan syarak akan menciptakan suasana yang aman dan damai. Sebagai contoh ketika akan melaksanakan kegiatan sehari-hari dan pekerjaan apapun jenisnya dalam agama Islam harus dimulai de­ ngan mengucapkan bismillah atau bismillahirohmanirohim. Dengan ha­rapan semua yang dilakukan mendapat rida Allah Swt. dan memiliki keberkahan serta manfaat. Hasil yang diharapkan dari yang dikerjakan dapat dinikmati oleh banyak orang dan tidak ada pihak lain yang dirugikan. b. Kata terlanjur emas tentangannya Peribahasa tersebut mengandung makna jika janji sudah ter­ucap­kan, harus ditepati. Makna peribahasa itu sejalan dengan ajaran Islam yaitu



51 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



tentang tiga ciri orang yang munafik, yaitu: 1) jika berkata, ia bohong; 2) jika berjanji, ia ingkari; dan 3) jika dipercaya, ia khianati. Oleh karena itu, siapa pun yang berjanji, hukumnya adalah wajib untuk menepatinya. Masalah janji-berjanji terjadi secara masif manakala tiba masa kampaye pemilihan calon pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Akan tetapi, fenomena yang kerap terjadi, jika telah terpilih dan sukses, oknum yang berjanji mengalami “amnesia” (‘lupa’) akan semua janjinya. Ke­ su­ ksesan yang diraihnya seakan hanya karena kerja kerasnya. Oleh ka­rena itu, banyak oknum yang mendapat nilai buruk bahkan hingga di­mak­ zulkan dari jabatannya. Pengingkaran janji dapat dipastikan terkait rasa ketuhanan dalam diri oknum yang patut dipertanyakan. Agama apa pun di Indonesia melarang umatnya untuk berbohong atau mengingkari janji. c. Manusia mati meninggalkan nama Peribahasa tersebut mengandung makna saat manusia meninggal dunia, amal baiknya akan selalu dikenang. Makna peribahasa ini sejalan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang mengajarkan manusia untuk selalu berbuat baik. Dalam ajaran agama diperkenalkan tentang ketakwaan, yaitu taat dan patuh pada perintah Tuhan serta takut untuk melanggar larangan-Nya. Jika dikaitkan dengan peribahasa “Manusia mati meninggalkan nama”, dapat dipahami bahwa Tuhan menghendaki setiap hamba-Nya untuk selalu berbuat baik semasa hidup sehingga ketika maut datang menjemput tetap dikenang. Dengan demikian akan terwujudlah maksud penciptaan semasa awal kejadian manusia yaitu menjadi khalifah di muka bumi (Surah Al Baqarah: 30). Manusia sebagai khalifah di muka bumi maksudnya adalah setiap manusia harus memiliki kemampuan mengelola alam semesta sesuai dengan perintah Allah. Hal ini sejalan pula dengan hadis Nabi Muhammad Saw. “Masing-masing kalian adalah pemimpin dan ia akan dimintai pe­rtanggungjawaban tentang orang yang dipimpinnya” (Mustinda, 2022). Jadi, sangat jelas norma atau pedoman bagi manusia untuk berbuat jika ingin selamat dunia dan akhirat. 2. Nilai Kemanusiaan Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral dalam kehidupan bersama. Berikut beberapa contoh peribahasa yang mengandung nilai kemanusiaan.



52 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Kepancasilaan dalam Peribahasa Bahasa Indonesia



a. Adat sepanjang jalan, cupak sepanjang betung Peribahasa tersebut bermakna setiap langkah dan perbuatan harus berdasarkan etika, aturan, dan tata cara yang berlaku. Adab, budi pekerti, atau akhlak harus terinternalisasi dalam hati sehingga segala gerak laku berada dalam kebenaran di mana pun berada. Cupak merupakan takaran atau ukuran beras yang terbatas jumlahnya. Jika melakukan sesuatu hanya menganut aturan sendiri tentang baik dan buruk tentu saja dapat menyebabkan permasalahan yang tidak baik. Oleh karena itu, sebagai manusia yang berkeadilan dan beradab hendaklah berperilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku secara umum. b. Hidup di kandang adat, mati di kandang tanah Peribahasa tersebut bermakna selama hidup, hendaknya manusia taat pada adat kebiasaan dalam masyarakat. Peribahasa ini mengajarkan kepada segenap bangsa Indonesia untuk mematuhi aturan atau hukum yang berlaku di mana pun berada. Sebagaimana dipahami bersama, hukum merupakan peraturan atau adat mengikat yang dikukuhkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, jika seseorang melanggar peraturan yang berlaku, misalnya korupsi, dia harus dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Siapa pun dan apa pun jabatannya, hukum harus ditegakkan baginya. c. Lengkuas di tepi kendang, tegak puas badan penyandang Peribahasa tersebut mengandung makna bertanggung jawab atas segala perbuatan yang telah dilakukan. Makna peribahasa tersebut sejalan dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Sikap adil berarti tidak sewenang-wenang terhadap orang lain. Sikap beradab berarti mempunyai perilaku yang baik dan sopan. Berani bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan merupakan cermin nilai adil dan beradab. Seperti halnya hukum di Indonesia, seorang aparat yang sedang menjabat sekali pun, jika melakukan tindak kriminal, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Jabatannya tidak akan dapat membebaskan dirinya dari sanksi hukum yang berlaku. 3. Nilai Persatuan Nilai persatuan Indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kedaulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme



53 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



dalam NKRI. Beberapa peribahasa berikut merupakan contoh yang mengandung nilai persatuan. a. Elok kampung oleh orang tua, elok kampung oleh orang muda Peribahasa tersebut bermakna indahnya suatu daerah karena ada orang tua yang bijak dan indahnya tepian karena ada orang muda yang berbudi. Nilai persatuan Indonesia dalam peribahasa tersebut dapat dipahami dengan melihat pelaksanaan NKRI. Sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum sekaligus negara demokrasi. Oleh karena itu, kedaulatan berada di tangan rakyat. Tua dan muda mendapat kesempatan untuk berkontribusi dalam membangun bangsa dan sekaligus menikmati semua kekayaan alam Indonesia. Kesamaan rasa untuk mengisi kemerdekaan dapat terjadi dengan adanya saling asah, asih, dan asuh antara yang senior dan junior. Negara ini tetap terselenggara dengan baik, meskipun terdapat kekurangan dalam berbagai aspek, disebabkan adanya kerja sama yang baik antara generasi pendahulu dengan generasi mudanya. b. Hidup senasib sepenanggungan, hidup seaib dan semalu Peribahasa tersebut bermakna menjalani hidup seiya sekata, senang susah ditanggung bersama. Hal ini sudah menjadi prinsip bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala. Di berbagai daerah di Nusantara terdapat petatah petitih yang senada: seiya sekata, sehina semalu. Jika bangsa ini telah berhasil mengenyahkan penjajahan dari Bumi Pertiwi bukan karena usaha si A atau si B, tetapi keberhasilan dapat diraih karena kesamaan tekad, kerelaan menderita bersama, serta pengorbanan jiwa, raga, harta, dan bahkan orang-orang tercinta. Penderitaan ditanggung bersama. Harkat dan martabat yang dihina oleh penjajah dengan segala upaya diperjuangkan hingga tetes darah penghabisan karena cinta tanah air dan bangsa. 4. Nilai Kerakyatan Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah/ mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan. Berikut adalah beberapa contoh peribahasa yang mengandung nilai kerakyatan tersebut.



54 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Kepancasilaan dalam Peribahasa Bahasa Indonesia



a. Habis adat karena berkelerahan, habis cupak karena buatan Peribahasa tersebut bermakna mengubah suatu keputusan harus melalui perundingan. Mengaitkan makna peribahasa tersebut dengan nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah semua aturan yang berlaku di negeri ini tidak akan ada artinya jika tidak berdasar pada nilai kerakyatan. Apa arti peraturan jika dilanggar sendiri oleh yang membuatnya? Apa guna hukum jika hanya berlaku tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Segala upaya leluhur mendirikan bangsa ini akan tercerabut dan luruh karena tiadanya kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Oleh karena itu, sedianya, segala peraturan, kebijaksanaan, hukum, dan norma yang ada harus dan wajib mengedepankan nilai kerakyatan yang berbasis kebijaksanaan. b. Ingat-ingat yang di atas, yang di bawah akan menimpa Peribahasa tersebut mengandung makna pemimpin harus berhatihati dalam memimpin agar tidak mendapat kesulitan dari rakyat yang dipimpinnya. Tentulah ini menjadi peribahasa yang sangat elok diinternalisasikan dalam jiwa pemimpin bangsa. Ingat yang di atas bermakna bahwa Allah aja wa jalla yang selalu mengawasi segala tingkah laku manusia, apalagi yang sedang mengemban amanah se­ bagai pemimpin. Meski selalu dianjurkan untuk melihat ke atas, se­ seorang tidak boleh pula lupa melihat ke bawah, Seorang pemimpin, misalnya, harus selalu melihat rakyat yang dipimpin. Rakyatlah yang me­nyebabkan adanya pemimpin. Rakyat yang mendukung kerja pemimpin dan rakyat pula idealnya yang ikut merasakan karya pe­ mim­pin. Dalam arahan pemimpin yang bijak, rakyat akan patuh dan taat. Namun, manakala rakyat mengalami perlakuan khianat, jangan salahkan jika rakyat menjadi anarkis dan bar-bar. c. Jalan di tepi-tepi, benang orang jangan dipijak Peribahasa tersebut mengandung makna berhati-hati dalam setiap langkah, jangan sampai melanggar hak orang lain. Jika dikaitkan dengan sila keempat Pancasila, tidak akan terjadi saling melanggar hak antarwarga. Setiap orang akan memahani apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing sehingga tidak merugikan orang lain. Siapa pun berhak untuk beraksi dan berjaya. Siapa pun berhak mendapatkan



55 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



kesempatan untuk berbakti pada nusa dan bangsa. Namun, dalam aksi dan kesempatan yang ada jangan sampai melanggar hak orang lain. Seseorang tidak boleh khilaf dalam urusan dunia, karena sekali pun cacing di dalam tanah, pasti ada rezekinya. 5. Nilai Keadilan Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan tercapainya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara lahiriah dan batiniah. Beberapa peribahasa berikut adalah contoh yang mengandung nilai keadilan. a. Hukum adil benar terletak Peribahasa ini mengandung makna jika hukum diletakkan dengan benar, keadilan dan ketenteraman akan tercapai. Pemikiran untuk men­ ciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia telah menjadi pe­ mikiran besar para leluhur bangsa. Keinginan untuk menjadikan se­genap bangsa memiliki kehidupan yang makmur secara lahir dan batin. Harapan tersebut akan tercapai jika segenap bangsa, khususnya para pemimpin bangsa ini, memiliki pemahaman dan cita-cita yang sama dengan para pendahulu. Artinya, bukanlah semerta-merta bangsa ini akan berkeadilan tanpa upaya nyata untuk mewujudkannya. Telah menjadi pengetahuan bersama bahwa makna adil adalah ‘tidak berat sebelah; tidak memihak’; keadilan merupakan ‘perbuatan/perlakuan yang adil’; dan keadilan sosial adalah ‘kerja sama untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organis sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup berdasarkan kemampuan aslinya’ (KBBI, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016). Dengan demikian, sangat jelas bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam arti sebenarnya adalah adanya kesempatan yang sama kepada seluruh bangsa Indonesia dalam segala aspek kehidupan sehingga tercapai kemakmuran yang sama pula. b. Hukum tegak pada yang benar, undang tegak pada yang lurus Peribahasa mengandung makna hukum harus dilaksanakan dengan adil tanpa pandang bulu. Peribahasa ini dimaksudkan sebagai pengingat yang penting bagi setiap insan yang mengemban amanat sebagai



56 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Kepancasilaan dalam Peribahasa Bahasa Indonesia



aparat hukum. Arti pentingnya hukum dalam hidup dapat dipahami dalam definisi berikut, yaitu: (1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; (2) undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur per­ gaulan hidup masyarakat; (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; dan (4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan) (KBBI, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016). Dengan demikian dapat dipahami bahwa hukum adalah peraturan resmi atau patokan yang mengikat yang dikukuhkan oleh Pemerintah yang dimaksudkan untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat. c. Ibarat perahu, takkan karam sebelah Peribahasa tersebut mengandung makna berkenaan dengan se­ buah usaha yang dimiliki bersama. Apabila mengalami kerugian, akan ditanggung bersama. Sebuah usaha dalam makna tersebut jika di­ibaratkan dalam bernegara dapat dikatakan upaya bersama untuk mencapai keberhasilan bersama. Buah dari usaha hendaknya dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula jika usaha itu mengalami kegagalan atau kehancuran harus ditanggung bersama pula. Keberhasilan dan kegagalan bukan milik individu ataupun golongan. Harmonisasi berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi impian bangsa Indonesia sejak masa lampau. Cita-cita luhur ini, idealnya, dapat terwujud jika setiap insan Indonesia menginternalisasikan jiwa keadilan dalam detak nadi dan helaan napas. Sebagai produk budaya masa lampau, peribahasa dapat dijadikan media untuk menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila kepada anak bangsa. Karakter bangsa yang senantiasa menghargai dan dicontohkan leluhur dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan seperti kacang lupa kulitnya, generasi penerus harus mewarisi dan menerapkan keselarasan pemikiran dalam nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila sebagai identitas bangsa sebagaimana kacang yang buahnya terbungkus kulit. Kulit berfungsi menjaga kacang agar tidak mudah rusak, begitu pula penerapan nilai-nilai Pancasila dalam peribahasa yang diharapkan dan diupayakan dapat mewujudkan keselarasan di segala bidang, baik secara teori maupun praktik. Pene­ rapan nilai-nilai tersebut demi terwujudnya bangsa Indonesia yang se­ suai dengan sila-sila Pancasila sebagai identitas bangsa.



57 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Penutup Masa kini yang penuh tantangan harus dihadapi dengan penuh perhitungan. Hal penting dan bermakna yang harus dilakukan adalah membekali generasi penerus bangsa dengan nilai-nilai Pancasila yang dapat menjadi pedoman dalam bersikap dan berkeputusan pada masanya nanti. Tak ada gading yang tak retak, demikian pepatah bijak warisan nenek moyang, memanglah menjadi fakta kini. Dari sekian banyak insan Indonesia yang dibina dengan sebaik-baiknya, akan ada saja oknum yang mencederai harapan pendiri bangsa. Ibarat pisang, tak semua sisir di tandannya menjadi buah yang besar sempurna. Namun, setidaknya ikhtiar untuk menjadikan negara ini berharkat dan bermartabat serta berperan penting dalam era global telah diupayakan dengan maksimal. Pesan mulia yang ditujukan kepada bangsa Indonesia melalui sepenggal larik lagu yang berjudul Pelajar Pancasila karya Eka Gustiwana patut dibanggakan. “Kita Pelajar Pancasila, kita bernapas dalam sila-silanya. Kita pelajar Pancasila, ayo kita jaga untuk Indonesia”. Ketika membaca dan mendengarkan lagu tersebut, kita dapat merasakan betapa dalam pesan yang ingin disampaikan. Jika setiap pelajar dan/atau seluruh bangsa Indonesia memaknai dan mengukir nilai-nilai Pancasila dalam jiwanya, cita-cita menjadikan bangsa Indonesia madani bukan hanya angan. Daftar Referensi Adhani, A. (2016). Peribahasa, Maknanya, dan Sumbangannya terhadap Pendidikan Karakter. Magistra, 28(97), 97–110. Al-Qur’an. (2021). Surah Al Baqarah. In A. S. Hasanudin & Setiawati (Eds.), Al-Qur’anulkarim (p. 6). PT AlQosbah Karya Indonesia. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia. In KBBI Daring. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/jati diri Bakry, U. S. (2020). Multikulturalisme & Politik Identitas dalam Teori dan Praktik. RajaGrafindo Persada. Brataatmadja, H. K. (1982). Kamus Peribahasa Indonesia. Yayasan Kanisius. Danandjaya, J. (1986). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lainlain. Pustaka Grafiti Press. Gandasudirja, R. H. M. (1986). 700 Peribahasa Indonesia dan Tambahannya. Toko Buku Ekonomi. Harja, R. S. (2014). Bentuk dan Makna Peribahasa Indonesia yang Terbentuk oleh Unsur Tumbuhan, Jenis-jenis Tumbuhan dan Hal-hal yang Ber-



58 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Kepancasilaan dalam Peribahasa Bahasa Indonesia



kaitan dengan Tumbuhan. Jurnal Bahtera Sastra Indonesia, 2(2), 1–8. https://ejournal.upi.edu/index.php/BS_Antologi_Ind/article/view/639 Iswardhana, M. R. (2020). Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan: Merajut Kebinekaan dalam Menghadapi Tantangan Revolusi Industri. Kanisius. Kristina. (2021). 25 Contoh Perilaku yang Melanggar Nilai Pancasila dalam Kehidupan Sehari-hari. DetikEdu. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5731664/25-contoh-perilaku-yang-melanggar-nilai-pancasila-dalam-kehidupan-sehari-hari Maneechukate, S. (2018). Karakter Masyarakat Indonesia Berdasarkan Peribahasa. Indonesian Language Education and Literature, 4(1), 91–102. https://doi.org/10.24235/ileal.v4i1.2628 Mustinda, L. (2022). Surat Al Baqarah Ayat 30, Manusia sebagai Khalifah di Muka Bumi. DetikEdu. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5883544/surat-al-baqarah-ayat-30-manusia-sebagai-khalifah-di-muka-bumi Pulungan, A. H. (2011). Kajian Etnolinguistik terhadap Peribahasa dalam Bahasa Indonesia: Sebuah Tinjauan Pragmatic Force (Daya Pragmatik). Universitas Negeri Medan. Rizal, Y. (2008). Kamus Peribahasa Indonesia. Pustaka Beta. Sehandi, Y. (2018). Mengenal 25 Teori Sastra (2nd ed.). Penerbit Ombak. Sisman, W. P. P., Rauf, R., & Gazali. (2016). Pendidikan Kewarganegaraan Bingkai NKRI (Gazali (ed.)). Mitra Wacana Media. Sudarsa, A. G. (2013). Pancasila Sebagai Rumah Bersama. RMBooks. https://psbsekolah.kemdikbud.go.id/kamaya/index.php?p=show_detail&id=188765 Suhendar, E. N. M. (2014). Kesepadanan Makna Peribahasa Bersumber Nama Binatang dalam Bahasa Indonesia dan Berbagai Bahasa Daerah (Suatu Kajian Etnosematik). Prosiding KIMLI 2014. https://doi.org/ cet. 1 ISBN 978-602-17161-1-3 Thereana, A. (2018). Merajut Kearifan Lokal melalui Proverb pada Era Global. SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG©2018. https://jurnal.univpgri-palembang.ac.id/index.php/Prosidingpps/article/view/1953 Untoro, S. (2009). Peribahasa Bahasa-Bahasa Daerah sebagai Cermin Keanekaragaman Budaya di Indonesia. Makalah Ringkas KIMLI. Waridah, E. (2014). Kumpulan Majas, Pantun, & Peribahasa Plus Kesusastraan Indonesia. Ruang Kata. Zakaria, S., & Syofyan, S. M. (1984). Kamus 1500 Peribahasa Indonesia. Sinar Baru.



59 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



BAHASA BALINYA KOMUNITAS REMAJA BALI SEBAGAI IDENTITAS ETNIS BALI Sang Ayu Putu Eny Parwati



Pengantar Bahasa, yang merupakan salah satu unsur budaya, menjadi indikator utama bagi orang atau masyarakat yang mendiami sebuah wilayah. Dengan kata lain, bahasa menunjukkan keberadaan sebuah etnis atau kelompok masyarakat tertentu. Etnis (suku bangsa) merupakan su­ atu kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan yang lain ber­ dasarkan identitas kebudayaan, terutama bahasa. Hubungan antara bahasa dan etnis merupakan hasil konstruksi yang dikondisikan secara sosial, kontekstual, dan historis. Hubungan itu bukan merupakan suatu kondisi yang ada dengan sendirinya. Hal tersebut sejalan dengan pen­ dapat Tabouret-Keller (dalam Sugiyono & Sasangka, 2011: 60) yang menyatakan bahwa bahasa yang diucapkan oleh seseorang tidak dapat dipisahkan dari identitasnya sebagai penutur bahasa di wilayah itu. Se­ bagai contoh, yaitu bahasa Bali selaku identitas masyarakat etnis Bali di Provinsi Bali. Bahasa Bali, yang selanjutnya disingkat BB, merupakan salah satu bahasa daerah yang dipelihara dengan baik oleh masyarakat penuturnya, baik sebagai penopang budaya Bali maupun sebagai bahasa ibu (first language) oleh etnis Bali. Saville-Troike (2006: 3–4) mengungkapkan bahwa first language (B1) adalah bahasa yang diperoleh dan dipelajari sejak saat usia anak-anak atau sekitar 3 tahun dan terus mengalami per­kembangan karena pengaruh lingkungan masyarakat penuturnya. Penutur BB tersebar di beberapa daerah Indonesia, terutama di Provinsi



60 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa Balinya Komunitas Remaja Bali sebagai Identitas Etnis Bali



Bali, NTB bagian barat, ujung timur Pulau Jawa, dan beberapa daerah kantong transmigrasi asal Bali, seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Timor, NTT, dan Sumbawa. Jumlah penutur BB kurang lebih sebanyak empat juta jiwa. Dalam perkembangannya, penggunaan BB sering diaplikasikan dalam kebudayaan masyarakatnya tanpa disadari. Meskipun proses modernisasi terus terjadi, terutama di daerah perkotaan, kecenderungan tetap menunjukan bahwa hubungan antara BB dan etnisnya tetap me­ nonjol. Hal itu tecermin melalui penggunaan BB dalam berbagai aktivitas budaya yang dilakukan hampir setiap waktu. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa saat ini intensitas dan frekuensi penggunaan bahasa tersebut juga dibayangi oleh adanya kontak dan kompetisi dengan bahasa lain (bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing) yang dapat melemahkan penggunaan BB, termasuk kehidupan tra­disional masyarakatnya. Kontak antara BB dengan bahasa lain yang berkembang di wi­ layah Provinsi Bali, termasuk dengan bahasa Indonesia sebagai ba­ hasa nasional yang wajib digunakan di berbagai jenjang pendidikan dan aktivitas profesional, terasa mulai menggeser keberadaan dan pe­ran BB. Hal tersebut seperti terungkap pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Kagami (2010) yang mengungkapkan pola pemakaian kedua bahasa tersebut di lingkungan anak-anak di wilayah Gianyar dan Denpasar. Diungkapkan bahwa pola pemakaian bahasa anak-anak sekolah dasar dalam percakapan dengan teman dan orang tua di wilayah Denpasar telah didominasi dengan bahasa Indonesia. Sebaliknya, untuk percakapan yang sama, di wilayah Gianyar masih dominan digunakan BB. Sementara itu, untuk anak-anak usia sekolah menengah di kedua wilayah tersebut, pola penggunaannya berbeda. Saat berbicara kepada teman-temannya, mereka cenderung menggunakan bahasa Indonesia. Sebaliknya, saat berbicara dengan orang tua, mereka cenderung meng­ gunakan BB. Pola pemakaian tersebut dipengaruhi oleh lingkungan luar rumah yang heterogen atau luasnya pergaulan orang tua di luar rumah yang langsung atau tidak langsung akan memengaruhi pola pemakaian bahasa anak-anak mereka. BB sebagai bahasa identitas etnis Bali masuk dalam kategori ba­ hasa Austronesia yang dipergunakan sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat sesama etnis Bali. Bagus (2009) menyebutkan bahwa dalam sejarah perkembangannya, BB menyerap



61 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



banyak kosakata dari bahasa lain, seperti bahasa Jawa, Cina, Belanda, dan Arab. Namun, bahasa terbanyak yang diserap menjadi BB adalah Sansekerta dan Jawa Kuno yang masuk sekitar abad VII hingga X. Per­ paduan kedua bahasa tersebut melahirkan BB Alus (basa Bali alus). Berkaitan dengan hal tersebut, penggunaan BB di Provinsi Bali disesuaikan dengan tingkat tutur BB. Tingkat tutur itu disebut sor singgih basa (tingkat tutur BB). Secara tradisi, penggunaan sor singgih basa erat kaitannya dengan sejarah perkembangan masyarakat Bali yang mengenal sistem stratifikasi sosial, yaitu wangsa (golongan). Sistem wangsa ini tersusun secara hierarkis, yang disebut dengan istilah catur wangsa, yaitu Brahmana, Satria, Wesia, dan Jaba/sudra. Dalam artikel ini, wangsa tersebut dibagi menjadi dua golongan, yaitu golongan tri­ wangsa (Brahmana, Ksatria, dan Wesia) dan non-triwangsa (Sudra/ Jaba). Sehubungan dengan hal tersebut, tingkat tutur dalam BB dibagi menjadi dua ragam. Pertama, basa Bali alus (BBA), yaitu ragam BB yang diakui mempunyai nilai tinggi (highly valued). Kedua, basa Bali lumrah atau kasar (BBL), yaitu ragam BB yang diakui mempunyai nilai yang lebih rendah (less valued). BBA juga merupakan BB yang mempunyai nilai rasa tinggi atau hormat; dipergunakan sebagai bahasa sehari-hari dalam pergaulan sopan untuk menghormati lawan bicara atau digunakan di dalam doa dan acara-acara resmi keadatan. Berkebalikan dengan itu, BBL adalah bahasa biasa yang tidak bersifat honorifik dan umumnya digunakan pada golongan jaba (non-triwangsa) untuk menunjukkan keakraban. Pada dasarnya, sistem nilai budaya dalam catur wangsa tersebut sangat memengaruhi perilaku orang berbicara. Orang yang memiliki wangsa tinggi memperoleh bentuk alus, sedangkan orang yang berwangsa rendah memperoleh bentuk lumrah atau kasar. Secara se­ derhana, Bagus (2009) menyatakan bahwa tingkat tutur dalam BB ditandai dengan adanya oposisi bentuk hormat (ragam tinggi) dan lepas hormat (ragam rendah) yang ditentukan oleh peristiwa tutur, tempat, dan waktu. Peristiwa tutur tersebut mempunyai tiga komponen pelaku, yaitu P1, P2, dan P3 sehingga tingkat tutur juga terbagi tiga: basa alus, basa madia, dan basa kasar. Basa alus diperinci lagi ke dalam empat tipe, yaitu (1) alus mider, (2) alus madia, (3) alus singgih, dan (4) alus sor. Basa alus mider digunakan ketika seseorang berkomunikasi atau memuja Tuhan; berbicara dengan pemuka agama, guru, pejabat



62 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa Balinya Komunitas Remaja Bali sebagai Identitas Etnis Bali



pemerintah, tokoh masyarakat, dan orang yang belum dikenal; serta saat berada dalam rapat. Basa alus madia dipakai ketika berbicara dengan keluarga (suami-istri, kakak-adik, anak, dan saudara-saudara lainnya). Selain itu, basa alus juga dipakai untuk semua orang pada situasi bicara P1 dan P2 yang wangsa atau kastanya tidak sama, sedangkan basa kasar dipakai ketika orang mengumpat/marah yang ditujukan kepada binatang. Gambaran penggunaan sor singgih basa tersebut tecermin melalui penggunaan kata ganti orang berikut ini.



Kata Ganti O1 O2 O3



Tabel 1 Kata Ganti dalam Sor Singgih Basa Alus Sor titiang ipun



Alus Madia tiang, yang, raga ragane, ida ragane, dane



Alus Singgih



lumrah/kasar



ida



icang cai iya



Dhanawaty (2002: 88–89) menjelaskan bahwa berbicara soal ting­ kat tutur tidak dapat terlepas dari kosakata yang merupakan bahasa baku di dalam membangun ragam tutur, baik lumrah, madia, maupun alus. Berdasarkan hal tersebut, kosakata BB dapat dibedakan atas kosakata netral (kosakata yang tidak memiliki ciri unda usuk), kosakata lumrah (kata-kata biasa atau kosakata umum yang tidak mengandung ciri honorifik), dan kosakata alus (kata-kata yang memiliki ciri honorifik yang tinggi). Kosakata alus dapat dibedakan atas kosakata alus singgih, yaitu kata-kata alus yang digunakan untuk meninggikan orang kedua (O2) atau ketiga (O3); kosakata alus sor adalah kata-kata yang digunakan untuk merendahkan diri O1 atau O3 di depan O2 yang dihormati, baik oleh O1 maupun O3; kosakata alus mider adalah katakata alus yang bersifat netral dan dapat digunakan, baik untuk orang yang ditinggikan maupun untuk pihak yang meninggikan. Bagus (2009: 110–113) menyebutkan bahwa dilihat dari lek­ sikalnya, bentuk hormat dalam BB melingkupi hal-hal yang ada hu­ bungannya dengan kehidupan sehari-hari dengan menggunakan kelas kata, seperti kata kerja, kata benda, termasuk kata ganti orang, kata penghubung, kata bilangan, kata tanya, kata penunjuk, kata depan, dan



63 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



kata keterangan. Selain itu, kosakata yang khusus menunjuk medan leksikal mengenai diri manusia, seperti yang menyatakan milik, sifat, tindakan, bagian tubuh, kekerabatan, dan jenis upacara, umumnya termasuk dalam alus singgih dan alus sor. Bagus juga menyebutkan bahwa persentase jumlah kata-kata alus mider merupakan yang terbanyak dibandingkan dengan kosakata alus lainnya, yaitu kira-kira sebanyak 50,59%, alus madia 3,71%, alus singgih 37, 22%, dan alus sor 8,48%. Berikut beberapa kosakata basa Bali alus (a) sebagai bentuk hormat yang dioposisikan dengan basa Bali lumrah/kasar (l/k) sebagai bentuk lepas hormat. plebon (a) cangkem (a) rauh (a) anggen (a) masucian, masiram (a) lemat (a) parab, wasta (a) punapi, napi (a) sampun, ampun (a)



x x x x x x x x x



abén : upacara ngaben bungut (k) : mulut teka (l) : datang anggon (l) : pakai manjus (k), kayeh (l) : mandi tiuk (l) : pisau adan (l) : nama apa (l) : apa suba (l) : sudah



Artikel ini akan mengungkap realita kebahasaan, terutama tentang BB komunitas remaja etnis Bali yang menjadi identitas keetnisannya melalui pengamatan (observasi) dan perekaman. Pengungkapan realita kebahasaan tersebut berkaitan dengan pilihan ragam BB komunitas remaja etnis Bali dalam beberapa ranah penggunaan bahasa sekaligus menjabarkan penerapan atau pengetahuan tentang sor singgih basa komunitas remaja etnis Bali, baik dalam bahasa tulis maupun lisan. Tingkat tutur BB (sor singgih basa) dalam artikel ini dibagi ke dalam dua ragam. Pertama, ragam hormat sebagai BB ragam tinggi (BBrT), yaitu ragam bahasa yang dihargai dan diakui oleh masyarakat mempunyai nilai tinggi (highly valued). Raga mini terdiri atas basa Bali alus (alus singgih, alus sor, dan alus mider). Kedua, ragam lepas hormat sebagai BB ragam rendah (BBrR), yaitu ragam bahasa yang dianggap mempunyai nilai lebih rendah (less valued). Raga ini disebut juga basa Bali lumrah atau kasar. Masyarakat Bali, termasuk komunitas remajanya, berperan sebagai ujung tombak kebahasaan di Bali. Dalam berkomunikasi, mereka



64 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa Balinya Komunitas Remaja Bali sebagai Identitas Etnis Bali



dihadapkan pada situasi pilih-memilih bahasa, termasuk ragam BB sebagai pengantar komunikasi dengan sesama etnis berdasarkan situasi tutur (komunikasi), baik dalam situasi formal maupun nonformal. Fishman dalam Parwati (2011) mengatakan bahwa bentuk dan pilihan bahasa atau ragamnya dipengaruhi oleh beberapa unsur: siapa yang berbicara, dengan siapa, tentang apa (topik), dalam situasi yang bagai­ mana, dan dengan cara apa (lisan atau tulis). Selain itu, Evin-Tripp (dalam Grosjean, 1982: 125) mengidentifikasikan empat faktor utama penanda pilihan bahasa penutur dalam interaksi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi, (2) partisipan dalam interaksi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti lingkungan keluarga (rumah), lingkungan sekolah, dan tempat-tempat terjadinya transaksi jual-beli. Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan peran dalam hubungannya dengan mitra tutur. Faktor ketiga berupa topik, dapat tentang pelajaran sekolah, peristiwa-peristiwa aktual, atau harga-harga barang. Faktor keempat berupa hal-hal seperti informasi, permohonan, doa, dan ungkapan hubungan silaturahim (salam, permintaan maaf, atau ucapan terima kasih). Selanjutnya, Evin-Tripp juga menyatakan bahwa hubungan yang mantap antara ranah penggunaan bahasa dengan pola penggunaan bahasa akan mengukuhkan pemertahanan bahasa, sedangkan hubungan yang goyah akan mengarah pada pergeseran bahasa. Dinamika masyarakat yang seperti itu tergambar pada kondisi masyarakat di Provinsi Bali dewasa ini. Beberapa hasil penelitian sebe­ lum­nya menunjukkan bahwa BB di wilayah Provinsi Bali masih bertahan dan dituturkan oleh mayoritas masyarakatnya pada taraf pemakaian yang beragam walaupun masyarakat Bali merupakan masyarakat yang dwibahasawan, bahkan multibahasawan. Kondisi tersebut dinyatakan berdasarkan hasil penelitian tentang sikap masyarakat etnis Bali di Bali terhadap BB yang dilakukan oleh Suteja (2007). Hasil penelitian Suteja mengungkapkan bahwa sikap (konatif, afektif, dan kognitif) masyarakat, khususnya kelompok mahasiswa etnis Bali di Denpasar terhadap pemakaian ragam BB lisan dalam komunitas pergaulan seharihari, rata-rata cenderung negatif. Sikap yang sedemikian itu tecermin pada kelompok yang tinggal di perkotaan maupun di pedesaan. Na­ mun, sikap mereka terhadap pemakaian BB secara umum dalam konteks pilihan antara bahasa Indonesia dan bahasa Bali sebagai alat



65 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



komunikasi informal masih terpilah. Untuk kelompok yang tinggal di daerah perkotaan, mereka bersikap negatif, sedangkan untuk kelompok yang tinggal di pedesaan, mereka bersikap netral. Sementara itu, Sudiarta (2015), berdasarkan penelitiannya tentang kemampuan berbahasa Bali remaja di Desa Peraupan, Denpasar, me­ nilai rendah. Namun, penggunaan BB di kalangan orang tua masih lebih didominasi dengan bahasa Bali alus karena dianggap masih wajar dan lebih mudah dibandingkan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kagami (2010) menyebar angket pada beberapa sekolah untuk tingkat SD dan SLTP di sekitar wilayah Denpasar dan Gianyar kepada anak yang kedua orang tuanya berasal dari Bali dan memfokuskan penelitiannya pada ranah keluarga dan pendidikan. Pada hasil penelitian dinyatakan bahwa pola pemakaian bahasa di lingkungan rumah tangga pada da­ sarnya ditentukan oleh kebiasaan orang tua yang juga dipengaruhi oleh lingkungan di luar rumah. Hal ini menyiratkan bahwa kondisi ke­majemukan sosial di wilayah tempat tinggal dan luasnya pergaulan orang tua di luar rumah dapat memengaruhi pola pemakaian bahasa anak. Hasil penelitian di kedua wilayah tersebut mengungkapkan bahwa terjadi tiga pola pemakaian bahasa anak-anak pada tingkat pendidikan SD dan SLTP, yaitu (1) dominan berbahasa Indonesia dalam percakapan dengan teman-teman maupun orang tua (SLTP Denpasar); (2) dominan berbahasa Indonesia dengan teman-teman, tetapi dominan berbahasa Bali dengan orang tua (SD Denpasar, SD Gianyar, dan SLTP Gianyar); serta (3) dominan berbahasa Bali dengan teman-teman maupun orang tua (SLTP Ubud dan SD Bona). Dalam kaitannya dengan pembelajaran BB sejak tingkat pen­ didikan dasar, Dhanawaty (2013) mengungkapkan pentingnya metode pem­belajaran yang bersifat rekreatif dan sesuai dengan ciri keanakanakan bagi siswa sekolah dasar yang multikultural dan multilingual. Pembelajaran yang demikian dapat diantarkan melalui cerita dengan bermain peran, lagu dan musik, aktivitas kelompok, atau permainan serta pembelajaran multimedia yang mengarah pada pengembangan kemampuan komunikatif berbahasa Bali siswa. Melalui metode tersebut diharapkan akan tumbuh gairah belajar para siswa dengan semangat kompetitif yang kuat. Semua siswa tentu ingin tampil me­ yakinkan sesuai peran dan ingin menjadi pemenang dalam sebuah per­ mainan. Selain itu, Beratha (2007) mengungkap tentang kebutuhan pem­belajaran bahasa Bali siswa sekolah dasar di Daerah Tingkat I



66 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa Balinya Komunitas Remaja Bali sebagai Identitas Etnis Bali



Provinsi Bali diukur berdasarkan (1) kemampuan berbahasa Bali lisan, (2) kemampuan berbahasa Bali sesuai dengan aras-tutur, dan (3) kemampuan berbahasa Bali tulis, baik dengan huruf Latin maupun huruf Bali (aksara). Ber­dasarkan hasil penelitian, dijelaskan bahwa siswa sekolah dasar ma­sih perlu diajari keterampilan-keterampilan berbahasa sesuai dengan jenjang pendidikannya, yaitu membangun ko­sakata, bercakap-cakap, me­nyimak, serta menulis dengan huruf La­ tin dan aksara Bali. Sejalan dengan berbagai penelitian sebelumnya tersebut, melalui artikel ini diharapkan pembaca memiliki gambaran secara lebih ter­ perinci dan konkret mengenai pilihan ragam BB dan bentuk-bentuk li­ ngual ragam BB yang mampu dituturkan dan diungkapkan remaja Bali sebagai bahasa Balinya remaja etnis Bali. B. Bahasa Balinya Komunitas Remaja di Bali Komunitas remaja di sini mengacu pada kelompok individu dalam suatu masyarakat yang memiliki ciri dan karakter tersendiri berdasarkan periode dan parameter usia. Mappiare (dalam Ali & Asrori, 2006: 9) mengategorikan remaja apabila seseorang berada pada rentang usia 12–22 tahun. Kategori ini dibagi lagi menjadi remaja awal (usia 12– 18 tahun) dan remaja akhir (usia 18–22 tahun). Berdasarkan kriteria tersebut, remaja dalam hal ini merupakan pewaris sekaligus penentu keberlangsungan khazanah bahasa dan budaya Bali. Mereka dianggap telah memiliki kematangan dalam memilih bahasa serta memiliki pe­ luang yang sangat luas untuk melakukan interaksi di masyarakat dan berkomunikasi dengan pihak-pihak yang lebih beragam. Mereka juga mampu berkomunikasi lebih luas daripada kelompok usia yang lain, terutama dalam komunikasi sehari-hari secara nonformal (dalam ba­ hasa lisan). Berkaitan dengan penggunaan BB, dalam penelitian ini diungkap penggunaan dua ragam BB (BBrT dan BBrR) oleh ko­mu­ nitas remaja Bali ketika berkomunikasi atau berinteraksi dengan mitra tuturnya sesuai data yang diperoleh. Selain itu, dipaparkan pula gambaran tentang penggunaan sor singgih basa oleh komunitas re­ maja Bali, baik dalam bahasa tulis maupun lisan. Untuk mengetahui penggunaan BB dalam bahasa tulis diperoleh dari kemampuan leksikal responden terhadap sor singgih basa dengan menerapkan tes sinonim yang direkomendasikan oleh (Romaine, 1995). Tes diwujudkan dengan menugasi siswa melakukan alih bahasa (menerjemahkan) sebuah



67 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



wacana cerita rakyat berbahasa Indonesia ke dalam BB sesuai dengan sor singgih basa-nya. Merujuk pada pernyataan Pastika (2013), komunitas remaja Bali saat ini masuk dalam kategori sebagai penutur dwibahasa (atau aneka bahasa) yang memiliki kemampuan menguasai dua bahasa atau lebih pada derajat penguasaan yang seimbang atau tidak seimbang. Sebagai penutur dwibahasa seimbang (balanced bilinguals), komunitas remaja Bali memperoleh bahasa daerah (BB) sebagai bahasa ibu di keluarga dan lingkungan sekitarnya serta memperoleh bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di sekolah dan pergaulan yang lebih luas. Sementara itu, sebagai penutur dwibahasa takseimbang (dominant bilinguals), remaja Bali memperoleh bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan BB sebagai bahasa kedua dari keluarga luas. Dalam kaitannya dengan penggunaan BBrT dan BBrR, komunitas remaja kategori remaja awal, baik dari golongan triwangsa dan nontriwangsa yang tinggal di daerah pedesaan sudah dapat dipastikan se­­bagai penutur dwibahasa takseimbang. Kemampuan penggunaan salah satu ragam BB-nya lebih kuat jika dibandingkan dengan peng­ gu­naan ragam yang lain. Hal itu terjadi karena kesempatan mereka menggunakan satu ragam BB (BBrR) lebih kerap dibandingkan ragam lain (BBrT). Hal itu terbukti dari pengakuan sebagian besar remaja di Bali yang menyatakan memilih lebih banyak menggunakan BBrR (BBL) daripada BBrT (BBA). Berdasarkan pengakuan dan pengetahuan komunitas remaja tersebut, BBL selalu digunakan pada ranah keluarga, ketetanggaan, dan transaksi; sedangkan BBA digunakan pada ranah religi ketika berdoa dan pada ranah lingkungan pendidikan (sekolah) ketika komunikasi dengan guru pada kualitas yang rendah. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan pengakuan remaja ka­ te­gori awal yang tinggal di daerah perkotaan, baik dari golongan tri­ wangsa maupun non-triwangsa. Sebagian besar dari mereka mengaku lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia daripada BB dalam setiap komunikasinya. Ragam BB yang digunakannya pun ialah BBrR (BBL). Hal ini menunjukkan bahwa BB telah mengalami kontak dengan bahasa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa pada ranah-ranah penggunaan ba­ hasa kelompok remaja, mereka lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia. Ketika mitra tuturnya berbahasa Bali, kelompok remaja ini pun tetap merespons dengan bahasa Indonesia, seperti pada percakapan seorang nenek dengan cucunya berikut ini.



68 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa Balinya Komunitas Remaja Bali sebagai Identitas Etnis Bali



Nenek Cucu



: Tu, dija ibué? Orain jeb ibué nyemakang dadong iyéh anget, nah. (Tu, di mana ibunya? Tolong suruh Ibu mengambilkan Nenek air hangat, ya.) : Ibu di luar, Dong. (sambil berteriak) Ibu, ambilkan dadong air hangat, ka­tanya.



Berdasarkan percakapan singkat tersebut, tergambar bahwa pada dasarnya remaja Bali paham dengan penggunaan BB, tetapi tanpa disadari tetap merespons setiap tuturan BB dengan berbahasa Indonesia. Sementara itu, kemampuan remaja berbahasa Bali sebagai bahasa ibu di kedua wilayah tersebut sebenarnya merupakan potensi bawaan sejak lahir yang dapat dikuasai dengan mudah dan cepat sesuai dengan sense of language dari bahasa ibu yang hampir setiap hari dituturkan oleh orang tua di lingkungan keluarga. Penguasaan kosakata yang dimiliki anak-anak sangat berpengaruh terhadap kemampuan memahami sesuatu. Kosakata yang dimiliki se­ makin lama semakin bertambah sesuai dengan perkembangan pe­nge­ tahuan, pendidikan, dan tingkat intelektualnya. Semakin tinggi ting­kat pendidikan seseorang, semakin baik keterampilan berbahasanya. Kemampuan menggunakan BB oleh remaja kategori awal ini juga dapat diketahui dari bahasa tulis yang mengungkapkan aktivitas re­maja tersebut saat berlibur. Dalam tulisan yang terdiri atas 2–4 paragraf ditemukan penggunaan variasi kosakata BB yang tersusun dengan baik dalam setiap kalimatnya, seperti verba sebanyak 95 kata, nomina sebanyak 49 kata, adjektiva sebanyak 25 kata, dan numeralia sebanyak 18 kata. Variasi kosakata yang digunakan dalam bahasa tulis tersebut sebagian besar menggunakan BBrR. Untuk penggunaan BBrT ditemukan sebanyak 13 verba, 2 adjektiva, 5 nomina, dan 4 numeralia. BBrT yang digunakan dalam bahasa tulis tersebut, di antaranya verba budal, lunga, masiram, rauh, melancaran, numbas, magenah, mawali, nyanggra, tangkil, mamargi, dan telas; adjektiva becik dan seneng; nomina ulam, jero, sabeh, semeton, dan ajeng-ajengan; serta numeralia siki, kalih tali, sami, dan akeh. Selain BB, dalam bahasa tulis tersebut ditemukan penggunaan bahasa Indonesia yang tidak mampu dihindari oleh remaja tersebut. Misalnya, kata asap, arang, jalan, berenang, berangkat, lagu, sore,



69 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



meletus/meledak, minum, melukis, dan melanjutkan. Hal tersebut me­ nunjukkan kurangnya pengetahuan remaja tentang kosakata sejati da­ lam bahasa Bali walaupun kosakata tersebut kerap digunakan dalam aktivitas sehari-hari. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa katakata tersebut sudah merupakan kosakata BB. Dengan keyakinan bahwa semakin bertambah usia, pengetahuan, pendidikan, dan tingkat intelektual seseorang, akan semakin baik ke­ terampilan berbahasanya. Dengan demikian, komunitas remaja pada ke­lompok itu dapat dikatakan sebagai penutur dengan kedwibahasaan seimbang. Penutur dapat mengekspresikan pikirannya dalam bahasa verbal berperangkat linguistik setara, baik dari aspek linguistik mikro (pelafalan, pembentukan kata, pembentukan kalimat, dan pemaknaan) maupun aspek linguistik makro (sosiolinguistik dan pragmatik). Penutur dalam kategori itu biasanya memperoleh bahasa pertama (BB) dari keluarga dan lingkungan sekitar, sementara bahasa kedua diperoleh di sekolah dan pergaulan yang lebih luas. Hal itu dialami oleh komunitas remaja Bali kategori remaja akhir yang berusia antara 18—22 tahun dalam hal penggunaan sor singgih basa. Berdasarkan pengakuan ter­ hadap pilihan ragam BB yang digunakan saat berkomunikasi dengan mitra tutur dari berbagai golongan dan status sosial, terlihat adanya kecenderungan pemakaian BBrR pada tingkat yang lebih tinggi di­ bandingkan dengan penggunaan BBrT. Pilihan penggunaan BBrT oleh komunitas remaja ini lebih banyak digunakan pada ranah religi (berdoa) dan lingkungan lebih luas dengan sesama etnis Bali. Pada saat berdoa, komunitas remaja ini telah menunjukkan ke­ mampuannya dalam menggunakan BBrT, seperti pada kutipan saat ber­ doa berikut ini. “(1) Nggih Ratu Betara sane melinggih driki, tiang ngaturang bakti nika mangkin hari raya Pagerwesi. (2) Tiang mohon mangde Ratu Betara rauh mriki nyuryanang baktin tiang niki. (3) Nggih tiang mohon nika mangde tiang polih kerahayuan nika sareng sami sareng keluarga sami di jero. (4) Mangde tiang selalu sehat lan rahayu…. (5) Nggih tiang ngaturang suksma nika.”



Ketika berdoa, seseorang akan berkomunikasi dengan Tuhan dan dalam BB seharusnya menggunakan BBrT. Alus singgih untuk meninggikan (Tuhan) dan alus sor untuk merendahkan diri di hadapan



70 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa Balinya Komunitas Remaja Bali sebagai Identitas Etnis Bali



Tuhan. Pada kutipan tersebut terjadi kekurangtepatan penggunaan sor singgih basa (BBrT). Pendoa menggunakan alus madia dan kosakata alus sor yang seharusnya dengan alus singgih, BBrR (BBL), serta bahasa Indonesia. Penggunaan alus madia tampak setiap kalimat pada kata tiang ‘saya/hamba’, seperti pada kalimat (1), kosakata nggih, bakti, dan tiang. Kosakata tersebut dipakai ketika berbicara kepada mitratutur yang tidak dikenal atau kepada yang berkedudukan lebih rendah daripada Tuhan. Namun, jika seseorang hendak menyatakan peng­ hormatan yang setinggi-tingginya dan memuja mitrawicaranya (Tuhan), sebagai orang yang lebih rendah daripada Tuhan, pendoa tersebut harus menggunakan alus singgih, yaitu dengan kosakata inggih, sembah, dan titiang. Pada kalimat (2) kata mangde ‘agar/supaya’ dan kata rauh ‘datang’ merupakan alus sor. Namun, karena pendoa memohon kepada Tuhan, kata yang digunakan harusnya alus singgih: dumogi dan tedun. Kata jero pada kalimat (3) merupakan kosakata alus madya yang berarti ‘rumah’ untuk golongan triwangsa. Kata tersebut digunakan karena pendoa merupakan remaja dari golongan triwangsa (weisya). Kata penunjuk niki dan nika merupakan alus madia yang digu­ nakan ketika berdoa. Dalam situasi tersebut seharusnya digunakan alus sing­gih, yaitu puniki dan punika. Kata nyuryanang pada kalimat (2) kurang tepat sebab kata tersebut dimaksudkan agar yang dimuliakan melihat atau memperhatikan orang yang memuja-Nya. Kata yang tepat ialah nyuryanin. Selain itu, penggunaan BBrR, yaitu BBL tampak pada kata di pada kalimat (3) yang dalam BBrT adalah ring. Campur kode dengan BI seperti pada kata mohon dan keluarga, jika dialihbahasakan dalam BBrT, seharusnya menggunakan alus sor: nunas, dan sameton. Pada tataran frasa, yaitu hari raya dan selalu sehat, jika dialihbahasakan akan menjadi rahina dan stata kénak. Pada situasi percakapan lisan lainnya, dapat disimak komunikasi antara dosen (non-triwangsa) dengan mahasiswa (triwangsa) berikut ini. Dosen : Pram. Dados tyang metakén? (Pram. Boleh saya minta tolong?) Mahasiswa : Nggih. Wenten napi Ibu? Dosen : Akuda wenten mahasiswa Bali sane wentén di kelas sami, Pram? Tyang perlu mahasiswa 20. (Berapa ada mahasiswa Bali yang ada di kelas



71 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



semua, Pram? Saya perlu 20 mahasiswa). Mahasiswa : Wenten 15 orang Bali niké. Saran tyang, Ibu pakai angkatan 20 niki. Soalnya angkatan tiang sampun persiapan proposal sareng wentén kegiatan dados panitia niki. Tiang kirim kontaknya sekarang nggih. Ampura nggih Bu (maaf ya Bu). Dosen : Oh, nggih Pram. Ten kenapi. Suksma. (Oh, baik Pram. Tidak apa. Terima kasih) Mahasiswa : Nggih Bu. Sama-sama. Pada komunikasi lisan tersebut tampak mahasiswa menggunakan BBrT dengan baik, tetapi pada pertengahan percakapan, mahasiswa menggunakan BBrC antara BBrT (alus madia) dan bahasa Indonesia. Penggunaan BBrC tersebut digunakan dengan sadar untuk mempercepat dan mengefektifkan komunikasi, tetapi tetap menjaga kesopanan saat berbicara dengan dosen walaupun dosen bersangkutan tetap menggunakan BBrT. Selain itu, komunitas remaja tersebut beranggapan bahwa BBrT pada umumnya dianggap tidak mencerminkan kesetaraan sosial dan kurang praktis karena pemakaian kosakata yang dianggap sangat rumit. Dengan demikian, penggunaan bahasa Indonesia menjadi alternatif BBrT untuk tetap menjaga kesopanan bertutur. Kemampuan komunitas remaja dalam menggunakan BB de­ngan kedua ragamnya juga dapat diperhatikan pada implementasi peng­ gunaan sor singgih basa pada sebuah cerita pendek yang berjudul “Sang Ancruk” dan hasil terjemahan cerita tersebut ke dalam BB oleh salah satu responden berikut ini. Sang Ancruk



(1) Men Laluk luas ka alase sabilang wai. (2) Sedek dina anu ipun ningalin punyan nyuh pungkat. (3) Ring pangkal punyan nyuhne ento ada sarang ancruk. (4) Ipun nyemak ancrukne ento. (5) Men Laluk ngadep ancrukne ento ka peken. (6) Bek orang meli ancrukne ento. (7) Sang Prabu Gegalang meli sisan ancrukne lima ikuh. (8) “kita masak di puri”, kata Sang Prabu. (9) Ring istana, ancrukne ento dimasak. (10) Dugas ancrukne ento lebeng, aromanya sedap sekali, “Aba padaku” pengidih Sang Prabu. (11)“Nggih tuanku” saur I pelayan. (12) Sang Prabu ngajeng ancrukne ento lan ipun sangat senang. (13) Sang prabu menyuruh pelayan ngalih ancruk sabilang



72 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa Balinya Komunitas Remaja Bali sebagai Identitas Etnis Bali



wai dan memasaknya. (14) Ring alase ancruk hanya tinggal satu ikuh. (15) I Ancruk sebet lan gedeg. (16) Lantas ipun luas ka puri. (17) Ring jalan, I Ancruk kacunduk teken I lelipi. (18) “kamu lakar kija, Ancruk?” takon I Lelipi, (19) “Aku lakar ka puri. Sang Prabu suba nelahang makejang timpal-timpal tiange”, Saur I Ancruk. (20) I Lelipi ngorahang, “depang aku dogen ane kema”. (21) Petengne, I Lelipi macelep ka beten bantal Sang Prabu. (22) Ipun nyegut Sang Prabu. (23) Sang Prabu minta tolong. (24) Sampai akhirnya Sang Prabu mati.



’SANG ANCRUK



(1) Men Laluk pergi ke hutan setiap hari. (2) Suatu hari dia melihat pohon kelapa tumbang. (3) Di pangkal pohon kelapa itu ada sarang ancruk. (4) Dia mengambil ancruk itu. (5) Men Laluk menjual ancruk itu ke pasar. (6) Banyak orang membeli ancruk itu. (7) Sang Prabu Gegalang membeli sisa ancruk lima ekor. (8) ”Kita masak di puri,” kata sang prabu. (9) Sampai di istana, ancruk itu dimasak. (10) Saat ancruk itu matang, aromanya sedap sekali, ”Bawa padaku!” pinta sang raja. (11) ”Baiklah Tuanku,” jawab pelayan. (12) Sang raja memakan ancruk itu dan dia sangat senang. (13) Raja meminta pelayan mencari ancruk setiap hari dan memasaknya. (14) Di hutan hanya tinggal satu ekor ancruk. (15) Si ancruk itu sedih dan marah. (16) Lalu dia pergi ke puri. (17) Di jalan, I Ancruk berjumpa dengan I Lelipi. (18) ”Kamu mau ke mana, Ancruk?” tanya I Lelipi. (19) ”Aku mau ke puri. Sang prabu telah memakan habis temantemanku,” jawab I Ancruk. (20) Kata I Lelipi, ”Biar aku saja yang ke sana.” (21) Malam itu, I Lelipi masuk ke bawah bantal sang prabu. (22) Dia menggigit sang prabu. (23) Sang prabu minta tolong. (24) Sampai akhirnya, sang prabu mati.’



Cerita pendek tersebut merupakan hasil terjemahan atau alih bahasa Indonesia ke BB oleh salah satu remaja Bali. Setiap tuturan dalam cerita tersebut mencerminkan penggunaan sor singgih basa yang hingga saat ini masih digunakan oleh sebagian besar masyarakat Hindu Bali karena pengaruh stratifikasi sosial masyarakatnya. Namun, dalam penggunaan sor singgih basa pada cerita di atas ditemukan beberapa ketidaktepatan karena penggunaan BBrT yang digantikan dengan BBrR dan penggunaan bahasa Indonesia.



73 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Dalam cerita tersebut terdapat empat orang pembicara (tokoh), yaitu tokoh 1 (P1) sebagai seorang pembawa cerita, tokoh 2 (P2) se­ bagai raja dari golongan triwangsa, tokoh 3 (P3) sebagai abdi/pelayan, dan tokoh 4 (P4) sebagai ancruk dan lelipi (binatang). Pada awal ka­ limat, pembawa cerita memulai dengan menggunakan BBrR (BBL) yang menceritakan keseharian seorang Men Laluk dari golongan nontriwangsa. Pada kalimat (2) dan (4) di atas penggunaan kata ganti ipun sebagai kata ganti orang ketiga untuk dia tidak tepat karena kata tersebut merupakan alus sor dan dalam BBL adalah ia. Demikian juga dengan kata ningalin (alus madia) yang dalam BBL adalah nepukin. Selanjutnya, P1 mengisahkan P2 yang seorang raja (golongan ksatria) yang dalam cerita disebut Sang Prabu Gegalang. Dalam BBrT, sebutan itu seharusnya menjadi Anaké Agung Murdaning Jagad atau Anaké Agung Prabu Gegalang. Dalam cerita dikisahkan sang raja yang mem­ beli ancruk yang tersisa sepuluh ekor. Namun, pada kalimat (7) itu di­gunakan BBrR meli. Karena yang membeli ialah seorang raja, kata yang tepat menggunakan BBrT numbas. Pada kalimat (8), tuturan“kita masak di puri,” kata Sang Prabu, yang tidak diungkapkan dalam bahasa Bali, seharusnya menggunakan BBrR karena merupakan tuturan raja yang ditujukan kepada abdinya. Dalam BBrR, tuturan itu akan menjadi “ajaké lebengin ancruké ené di puri,” pangandikan ida (Anaké Agung). Kalimat (10) menceritakan ancruk tersebut telah matang dan raja menginginkan abdinya untuk menghidangkan ancruk kepadanya. Da­ lam BBrR tuturan akan berbentuk “Abaang gelah mai”. Namun, remaja pada data tersebut tidak mampu mengungkapkannya dalam BB sehingga memilih frasa padaku. Sebagai penguasa, seorang raja berhak meninggikan derajatnya di hadapan orang lain dengan menggunakan kata ganti gelah ‘aku’. Demikian juga, penggunaan kata “pengidih” ‘pinta/meminta’ pada teks itu, yang merupakan BBrR (BBL), kurang tepat karena diungkapkan oleh pembawa cerita (P1) untuk meninggikan raja (P2). Kata yang tepat adalah menggunakan BBrT alus mider, yaitu pinunas. Kata ganti ipun pada kalimat (12) juga kurang tepat. Karena diungkapkan oleh P1 untuk P2 (raja), kata ganti tersebut seharusnya menggunakan alus madia, yaitu dané. Kalimat (13) pada kata ng(alih) (BBrR) ‘mencari’ sebagai permintaan seorang raja yang diungkapkan oleh seorang non-triwangsa (P1) seharusnya menggunakan BBrT alus madia “(ng)rereh”. Pada kalimat (16) dan (22) kata ganti ipun untuk binatang (ancruk dan lelipi) seharusnya menggunakan BBrR, yaitu



74 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa Balinya Komunitas Remaja Bali sebagai Identitas Etnis Bali



ia. Kalimat (17) pada kata kacunduk (BBrT) ‘bertemu’ untuk ancruk yang tepat adalah matepuk. Kata ganti tiang (alus sor) untuk binatang (ancruk) tidak tepat. Seharusnya digunakan BBrR icang ‘aku’. Pada kalimat (24) penggunaan kata mati untuk seorang raja yang tepat ialah BBrT alus mider, yaitu séda. Pada tataran frasa ditemukan penggunaan frasa dalam bahasa Indonesia. Secara berturut-turut frasa-frasa tersebut merupakan pe­ ra­saan/pernyataan seorang raja yang diungkapkan oleh P1 yang se­ harusnya menggunakan BBrT alus mider. Pada (12) bentuk sangat senang menjadi lédang pisan; pada (13) bentuk menyuruh pelayan menjadi ngandika ring parekan dané; pada (23) bentuk minta tolong menjadi nunas pitulungan, dan pada (24) bentuk sampai akhirnya menjadi pamuputné. Selain frasa-frasa tersebut, ditemukan juga frasa dalam bentuk campuran, yaitu campuran antara BB dan BI, seperti pada frasa ring pangkal, ada sarang, bek orang, lima ikuh, ring istana, nggih tuanku, ring jalan, kamu lakar, Aku lakar, dan aku dogen. Frasafrasa tersebut secara berturut-turut seharusnya menggunakan (1) BBrR menjadi di bongkol, ada sebun, liu anak/wong, limang ukud, di marganné, cai lakar, icang lakar, dan icang dogen dan (2) BBrT menjadi ring puri dan inggih Ratu Dewa Agung. Fenomena penerapan sor singgih basa yang terjadi pada tuturan di atas menunjukkan bahwa telah terjadi kebocoran diglosia yang meng­acu pada situasi yang salah satu bahasa atau ragamnya merembes ke dalam fungsi-fungsi yang semula diperankan oleh BBA (BBrT) digantikan oleh BBL (BBrR) dan bahasa Indonesia. Kondisi seperti itu menyebabkan munculnya penggunaan bahasa baru, yaitu ragam bahasa campuran antara BBA, BBL, dan bahasa Indonesia. Kondisi tersebut menyiratkan bahwa telah terjadi gejala pergeseran BBrT oleh BBrR dan bahasa Indonesia sehingga dapat mengancam eksistensi sor singgih basa tersebut. Selain kekurangpahaman dalam menggunakan sor singgih basa, pada situasi lain ditemukan juga kekurangcermatan komunitas remaja Bali dalam memahami tata bahasa BB. Sears (2004) menyebutkan bahwa bahasa menyediakan perbendaharaan kata atau tanda (voca­ bulary) serta perangkat aturan bahasa (grammar dan sintaktis) yang harus dipatuhi jika hendak menghasilkan sebuah ekspresi yang bermakna, secara tepat, dan runtut sehingga pesan yang disampaikan dapat dimengerti oleh orang lain. Berkaitan dengan hal itu, pada data



75 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



tersebut ditemukan kesalahan terhadap penggunaan akhiran né yang seharusnya é. Dinyatakan oleh Kersten S.V.D. (1984: 74–75)) bah­ wa dua akhiran tersebut merupakan akhiran penghubung kata yang digunakan untuk menghubungkan dua kata sehingga menjadi satu kesatuan dalam kalimat dan sebagai penghubung empunya dalam ka­ limat tertentu. Pembubuhan akhiran né pada data tersebut kurang tepat karena tidak berfungsi sebagai penghubung empunya, tetapi sebagai kata sandang yang berarti itu. Dari sisi lain, kata ento cukup dengan menggunakan akhiran é sehingga menjadi nyuhé (ento), an­cruké (ento), dan petengé. Selain itu, pilihan kata yang kurang tepat pada sebuah kalimat yang dibuat oleh komunitas remaja Bali, baik lisan atau tulis, ditemukan pada penggunaan kata-kata seperti (1) jak (ajak) dengan maksud ‘dan’ yang seharusnya lan ‘dan’; (2) jak (ajak) dengan maksud ‘dengan/bersama/ oleh’ yang seharusnya tekén; (3) ngidupin atau ngendihin ‘menghidupkan sesuatu dengan api’ yang seharusnya ngenjit ‘menyalakan/menyulut’; (4) pasih ‘laut’ dengan maksud pantai yang seharusnya pesisi; (5) nganggo ‘menggunakan’ dengan maksud ‘memakai, mengenakan’ yang seharusnya nyaluk; (6) bek (kebek) ‘penuh’ dengan maksud ‘banyak’ yang seharusnya liu; (7) mesalin dengan maksud ‘mengganti pakaian’ yang seharusnya meséh; dan (8) ngantosang dengan maksud ‘menanti kehadiran orang lain’ yang seharusnya ngantiang ‘menunggu’. Katakata tersebut kurang tepat jika digunakan dalam kalimat-kalimat: (1) … malali ke mumbul ajak ke sangeh; (2) Jam dasa peteng tiang ajak beli lan adin tiang meli kembang api …; … lantas tingalina ajak dagangne; (3) Tiang masih ngidupang kembang api jak timpal tiange; (4) Di pasihe titiang nepukin anak melayangan; (5) Sesuut manjus tiang nganggo baju; (6) Tiang ningalin bek buron lan asalne; (7) sampunang ring hotel tiang mesalin klambi’; dan (8) Sambilang ngantosang nyama ane len, tiang .... Keterbatasan penggunaan kedua ragam BB yang terjadi pada ta­ taran kata, frasa, dan kalimat serta kata baku BB ini muncul karena: (1) kurangnya pemahaman komunitas remaja terhadap penggunaan BB, terutama tentang sor singgih basa sebagai akibat dari faktor lingkungan masyarakat yang multibahasawan dan mayoritas masyarakatnya yang bergolongan NT; (2) faktor keluarga yang tidak menuntut remaja untuk berkomunikasi dengan menggunakan sor-singgih basa sehingga mereka beranggapan bahwa sor-singgih basa tidak mutlak untuk diketahui dan



76 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa Balinya Komunitas Remaja Bali sebagai Identitas Etnis Bali



dipelajari; (3) faktor pendidikan (sekolah) yang yang sangat kurang dalam mengalokasikan waktu sehingga tidak memungkinkan terjadinya proses pembelajaran bahasa daerah (BB) secara lebih mendalam; (4) faktor politik bahasa nasional yang menganjurkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dalam lingkungan dan dunia pen­ didikan; serta (5) faktor kemajuan teknologi, informasi, dan ko­mu­ nikasi yang cenderung disampaikan dalam bahasa internasional (ba­hasa Inggris). Faktor-faktor tersebut terjadi karena kecenderungan orang tua yang sejak dini telah mengenalkan bahasa Indonesia alih-alih BB kepada anak-anaknya walaupun secara alamiah mereka masih dapat memahami aktivitas dan budaya Bali seutuhnya, termasuk BB. Kecenderungan itu dalam jangka pendek memang dapat memberikan dampak positif pada kelancaran penggunaan bahasa Indonesia dan pemahaman sejumlah aspek pengetahuan awal. Namun, dalam jangka panjang anak-anak akan berkembang menjadi individu dengan kemampuan linguistik, kog­­nisi, dan sikap terhadap budaya Bali yang sangat terbatas sebagai etnis Bali. Selain itu, anak-anak yang dibesarkan hanya dengan bahasa Indonesia dan BB lumrah yang dominan dan BB alus yang terbatas akan kehilangan jati dirinya sebagai pendukung budaya dan BB yang juga merupakan bagian dari kebudayaan lokal dan menjadi kebanggaan masyarakatnya sebagai identitas daerahnya. Apabila kondisi ini di­ biarkan, dalam jangka panjang keberadaan BB dengan sor singgih basa-nya akan terancam karena secara perlahan ditinggalkan oleh pe­ nuturnya. Selain itu, penggunaan BB alus oleh anak-anak dan remaja sudah mulai berkurang karena dianggap sulit dan menakutkan dibandingkan dengan penggunaan bahasa Indonesia. Terkait itu, timbul kecenderungan pada para remaja untuk menggunakan bahasa campuran antara bahasa Bali lumrah dan serpihan-serpihan kosakata bahasa Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan animo untuk berbahasa Bali alus (BBrT) di kalangan remaja etnis Bali selaku penerus bahasa dan budaya Bali di daerahnya sendiri. Untuk itu, perlu dilakukan pembinaan yang serius, baik di lingkungan rumah tangga maupun pen­ didikan. Pemerintah, dengan didukung oleh lembaga terkait, baik lembaga pendidikan maupun pemerhati bahasa dan budaya Bali, harus bekerja sama untuk menciptakan program nyata yang mendorong lembaga



77 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



pendidikan dari tingkat prasekolah hingga tingkat menengah untuk men­ciptakan metode pengajaran yang efektif, kreatif, dan inovatif. Metode itu diharapkan dapat meningkatkan minat dan pemahaman pe­ la­jar tentang penggunaan BB yang tepat, termasuk ragam-ragamnya. C. Penutup Bahasa Bali sebagai wahana kebudayaan Bali tampaknya terus mengalami perubahan di satu sisi dan upaya pelestarian di sisi yang lain. Berdasarkan uraian yang ada dapat dinyatakan bahwa komunitas remaja Bali masih menggunakan dan mempertahankan BB sebagai identitas etnis Bali dalam berkomunikasi dengan mitra tutur yang seetnis. Na­ mun, telah terjadi perubahan dalam penerapan sor singgih basa pada tataran kosakata, khususnya pada BBrT. Perubahan dimaksudkan untuk mewujudkan BBrT yang lebih humanis dengan mengubah kosakatanya dengan kosakata BBrR, BB lumrah, atau bahasa Indonesia. Dengan pengubahan itu, tuturan tetap mengedepankan kesopanan tetapi tanpa ada yang merasa lebih ditinggikan atau direndahkan. Pemakaian kosakata yang mengarah kepada kesetaraan derajat dalam sor singgih basa sudah mulai tampak jelas, terutama pada kosa­ kata alus sor dan alus mider/alus madia yang telah digunakan oleh se­mua golongan masyarakat Bali, termasuk komunitas remaja dalam percakapan sehari-hari. Selain itu, komunitas remaja Bali juga masih sangat memegang teguh konsep stratifikasi masyarakat Hindu Bali yang berkaitan erat dengan sejarah leluhur orang Bali. Konsep wangsa tetap menjadi dasar pemilihan kosakata dalam pergaulan komunitas remaja Bali saat ini, tetapi dengan penggunaan yang tidak lagi bersifat feodal, seperti pada masa kerajaan. Penggunaannya lebih mengedepankan ko­ sakata yang mencerminkan sikap kesetaraan dalam berbahasa melalui berbagai upaya, seperti penggunaan BBrT alus sor dan alus madia wa­ lau kadang dengan tetap menyisipkan kosakata bahasa Indonesia. Kesetaraan dalam sikap berbahasa Bali penting ditanamkan kepada semua masyarakat penutur BB agar BB sebagai bahasa ibu dan identitas kedaerahan tidak ditinggalkan oleh penuturnya. Selain itu, pengenalan dan pengetahuan tentang sor singgih basa atau BBrT dan BBrR ha­rus tetap dilakukan sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun pen­ didika,n secara bertahap serta tetap mengharapkan dukungan pihakpihak terkait.



78 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Bahasa Balinya Komunitas Remaja Bali sebagai Identitas Etnis Bali



Daftar Referensi



Ali, M., & Asrori, M. (2006). Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Bumi AksaraBumi Aksara. Bagus, I. G. N. (2009). Perubahan Pemakaian Bentuk Hormat dalam Masyarakat Bali: Sebuah Pendekatan Etnografi Berbahasa. : Balai Bahasa. Balai Bahasa Denpasar. Beratha, N. L. S. (2007). Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali Siswa Sekolah Dasar di Daerah Tingkat I Provinsi Bali (p. Vol. 3 No. 2 Oktober 2007). https://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16720 Dhanawaty, N. M. (2002). Variasi Dialektal Bahasa Bali di Daerah Transmigrasi Lampung Tengah. Universitas Gadjah Mada. Dhanawaty, N. M. (2013). Perlunya Pembelajaran Bahasa Bali yang Rekreatif di Sekolah Dasar Multikultural dan Multilingual. Jurnal Madah, 4(2), 120—130. https://doi.org/https://doi.org/10.31503/madah.v4i2.76 Grosjean, F. (1982). Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism. Harvard University Press. Kagami, H. (2010). Pemakaian Bahasa Nasional/Daerah di Kalangan Remaja: Sebuah Studi Kasus dari Bali. In Geliat Bahasa Selaras Zaman: Perubahan Bahasa-Bahasa di Indonesia Pasca-Orde Baru. PT Gramedia. Kersten S.V.D., J. (1984). Bahasa Bali: Tata Bahasa dan Kamus Bahasa Lumrah. Nusa Indah. Parwati, S. A. P. E. (2011). Kebertahanan Bahasa Bali Komunitas Remaja Kuta, Badung. Universitas Udayana. Pastika, I. W. (2013). Pendekatan Kedwibahasaan Sejak Anak Usia Dini: Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia. Kongres Bahasa X Di Jakarta, 20–21 Oktober 2013. Romaine, S. (1995). Bilingualism (Second Edi). Blackwell. Saville-Troike, M. (2006). Introducing Second Language Acquisition. Cambridge University Press. Sears. (2004). Social Psychology. Erlangga. Sudiarta, I. G. (2015). Kemampuan Berbahasa Bali pada Kalangan Remaja di Desa Pakraman Peraupan. Jurnal Penjaminan Mutu, 1(2), 59—70. https://doi.org/https://doi.org/10.25078/jpm.v1i02.1371 Sugiyono, & Sasangka, S. S. T. W. (2011). Sikap Masyarakat Indonesia terhadap Bahasanya. Elmatera Publishing.



79 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



PERIBAHASA SUNDA SEBAGAI IDENTITAS DAN KEARIFAN LOKAL ETNIS/MASYARAKAT SUNDA Riani Santy Yulianti



A. Pengantar Bahasa merupakan salah satu penanda identitas yang membedakan satu etnis dengan etnis lainnya (Edwards, 2009). Bahasa Sunda merupakan identitas masyarakat Sunda karena bahasa Sunda digunakan dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehari-hari masyarakat Sunda (Rosidi, 2018). Bahasa Sunda mengalami perkembangan yang dinamis karena kontak bahasa dengan berbagai budaya lainnya, yaitu Hindu Budha (bahasa Sansekerta), Arab (huruf Arab pegon), Jawa (bahasa Jawa), Eropa (bahasa Belanda) (Dienaputra, 2012). Pada mulanya ba­ hasa Sunda memegang prinsip egaliter. Masuknya kerajaan Mataram selama 57 tahun memberikan pengaruh terhadap perkembangan ba­ hasa Sunda sehingga bahasa menjadi tidak egaliter ditandai dengan mun­culnya undak usuk (Dienaputra, 2012; Rosidi, 2018). Undak usuk adalah ragam berbahasa dengan memperhatikan konteks yang meliputi situasi tutur (formal atau tidak formal), lawan tutur (orang yang dihormati, sesama, atau bawahan), dan yang dituturkan (Kulsum, 2020). Undak usuk mencerminkan hierarki atau tingkatan ragam bahasa yang digunakan yang terbagi menjadi tiga ragam, yaitu ragam bahasa lemes untuk orang yang dihormati; ragam bahasa loma untuk sesama atau orang yang dianggap akrab, dan ragam bahasa kasar untuk orang atau sesuatu di bawah status penutur, misal berbicara kepada hewan.



80 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Peribahasa Sunda sebagai Identitas dan Kearifan Lokal Etnis/Masyarakat Sunda



Eksistensi bahasa Sunda salah satunya didukung oleh banyaknya jumlah penutur, yaitu 32,4 juta atau menduduki peringkat kedua jumlah penutur terbanyak setelah bahasa Jawa (Anindryati & Mu­ fidah, 2020). Meskipun memiliki jumlah penutur yang banyak, se­ iring perkembangan waktu, bahasa Sunda mengalami kemunduran (Rosidi, 2018; Dienaputra, 2012). Kemunduran itu disebabkan ka­ re­na penutur bahasa Sunda semakin berkurang (Tondo, 2009). Ber­ kurangnya jumlah penutur disebabkan beberapa faktor. Pertama, pe­nutur bahasa Sunda merasa khawatir salah menggunakan undak usuk sehingga enggan meng­gunakannya. Hal itu disebabkan adanya ang­gapan jika salah meng­gunakan undak usuk dikatakan tidak tahu sopan santun atau tidak terpelajar (Rosidi, 2018). Kedua, pengaruh bahasa Indonesia dan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris yang dianggap lebih memiliki prestise dibandingkan bahasa Sunda (Aljamaliah & Darmadi, 2021). Padahal, kekayaan dan karakteristik budaya masyarakat Sunda ini diekspresikan melalui bahasa Sunda sebagai bentuk ekspresi budaya. Salah satu bentuk ekspresi budaya etnis Sunda adalah peribahasa bahasa Sunda yang menurut Rosidi (2018) sebaiknya diutamakan da­ lam pengajaran bahasa Sunda agar memperkuat resistensi bahasa dan budaya Sunda dari kematian atau kepunahan. Di dalam peribahasa Sunda juga banyak terkandung nilai kerifan lokal etnisnya (Kodariah & Gunardi, 2015). Menurut Hasanah et al. (2016), kearifan lokal adalah segala sesuatu yang berasal dari pengetahuan dan didasari akal budi serta dianggap baik oleh agama. Di dalam kearifan lokal terdapat kekayaan budaya lokal yang berisikan kebijakan dan pandangan hidup se­bagai pedoman dalam menjalani segala aspek kehidupan. Adhani (2016) mengutip pernyataan Darmasoetjipta (1984) yang mengatakan bahwa peribahasa adalah rumusan kebijaksanaan ma­ syarakat sebagai sikap waspada lan eling karena dalam peribahasa tersebut terdapat moral dan kebajikan hidup dalam menjalani hidup dan kehidupan. Sementara itu, Kridalaksana (2011) mendefinisikan pe­ ribahasa sebagai kalimat atau penggalan kalimat yang bersifat beku, baik dari segi bentuk, makna, dan fungsinya dalam suatu masyarakat. Beberapa fungsi peribahasa di antaranya sebagai penghias karangan, percakapan, nasihat, pedoman hidup. Lebih lanjut, pernyataan Car­ ventes yang dikutip Danandjaja (1997) disebutkan bahwa peri­bahasa merupakan kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang



81 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



panjang. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa peribahasa Sunda adalah identitas etnis Sunda karena lahir dari hasil pemikiran dan pengalaman etnis Sunda dan berfungsi sebagai pedoman hidup dan berperilaku, nasihat, penghias percakapan, atau karangan dalam etnis Sunda. Peribahasa Sunda selain menjadi cerminan identitas etnis Sunda juga merupakan bagian dari warisan kebudayaan nusantara (Logita, 2018). Peribahasa sebagai ekspresi budaya terdapat pada beberapa etnik di nusantara dan negara tetangga yang terlihat dari beberapa ka­ jian peribahasa yang dilakukan oleh Normawati (2016), Saputra et al. (2020), Akbari (2020), dan juga Azhar (2020). Normawati (2016) meneliti berbagai nilai yang terkandung dalam peribahasa Balim, Papua. Saputra et al. (2020) meneliti bentuk, fungsi, dan makna pe­ ri­bahasa Minangkabau. Akbari (2020) meneliti citraan dalam peri­ bahasa Banjar dengan teori semiotika. Sementara, Azhar (2020) meng­ kaji metafora peribahasa Mbojo beranah air, api, tanah, dan udara sebagai ekspresi budaya etnis Bima di Nusa Tenggara Barat. Daud et al. (2021) dan Daud & Subet (2022) meneliti peribahasa bahasa M­elayu yang berasal dari negara Malaysia. Daud et al. (2021) meneliti peribahasa Melayu dengan objek leksikon ayam yang mengandung makna semantik inskusitif rujukan bermakna berhati-hati, sia-sia, dan khianat. Sementara itu, Daud & Subet (2022) meneliti peribahasa Melayu dengan objek burung gagak yang memiliki sisi negatif melalui pendekatan semantik akuisitif. Penelitian peribahasa Sunda juga sudah banyak dilakukan dari berbagai perspektif, di antaranya Kusumawati (2016), Logita (2018), Zulaikha & Purwaningsih (2019), dan Rosadi (2022). Kusumawati (2016) meneliti leksikon budaya dalam ungkapan dan peribahasa Sunda. Lo­­gita (2018) meneliti makna dan fungsi peribahasa Sunda sebagai pe­ doman hidup yang mendorong untuk berbuat kebaikan. Zulaikha & Purwaningsih (2019) meneliti identitas perempuan dalam ranah do­ mestik yang terdapat dalam peribahasa Sunda dengan menggunakan pendekatan semiotika budaya. Kemudian, Rosadi (2022) meneliti dehumanisasi peribahasa Sunda yang terlihat dari temuannya bahwa terdapat nama hewan, benda, dan tumbuhan untuk merepresentasikan gender dan si­kap. Berbagai kajian tersebut belum menelaah bagaimana peribahasa Sunda mencerminkan identitas masyarakatnya. Oleh sebab itu, tulisan ini bertujuan mendeskripsikan bagaimana peribahasa Sunda



82 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Peribahasa Sunda sebagai Identitas dan Kearifan Lokal Etnis/Masyarakat Sunda



dapat menjadi identitas masyarakat dan berbagai kearifan lokal yang terdapat di dalam peribahasa tersebut serta fungsinya bagi masyarakat Sunda. B. Bahasa dan Peribahasa Sunda sebagai Identitas Masyarakat Sunda Douglas (2009) yang mengutip pemikiran Jakobson (1960) me­ nyatakan bahwa bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat ber­ko­mu­ nikasi, tetapi juga berfungsi sebagai simbol identitas. Douglas (2009) juga mengutip pemikiran Edwards (1985) mengenai fungsi bahasa sebagai identitas suatu kelompok atau komunitas yang di­tandai oleh ke­samaan bahasa atau variasi bahasa. Bahkan, menurut Douglas (2009) berdasarkan pemikiran McCrone (1983), bahasa dapat di­sebut juga sebagai pengidentifikasi budaya saat digunakan untuk membedakan satu etnis dengan etnis lainnya. Selain sebagai pembeda yang menunjukkan kekhasan suatu etnis tersebut, bahasa juga secara langsung dapat di­ gunakan untuk menyatukan individu sebagai anggota satu kelompok atau komunitas atau pun mengeluarkannya. Oleh sebab itu, dalam diri seorang anggota komunitas linguistik timbul rasa kepemilikan tehadap kelompok etnis karena adanya rasa kesamaan tujuan dan ideologi (Joseph, 2004). Bahasa Sunda digunakan sebagai alat komunikasi sekaligus ber­ fungsi sebagai identitas etnis Sunda. Secara geografis, bahasa Sunda digunakan etnis Sunda yang berada di wilayah Jawa Barat. Selain itu, bahasa Sunda juga digunakan di sebagian selatan Kabupaten Brebes dan sebagian barat Cilacap karena beberapa kecamatan di wilayah ter­sebut dikuasai oleh Kerajaan Galuh. Bahasa Sunda pun digunakan di wilayah di luar pulau Jawa karena banyak orang Sunda mengikuti program transmigrasi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua (Dienaputra, 2012). Berbicara tentang identitas etnis Sunda tidak terlepas dari pe­ma­ haman akan identitas individu sebagai anggota etnis Sunda atau urang Sunda sebab etnis tersebut terdiri atas kumpulan individu yang memiliki kesamaan rasa kepemilikan terhadap bahasa dan budaya Sunda. Karena penutur bahasa Sunda tidak lagi dibatasi oleh geografis, identitas orang Sunda dapat dikatakan sebagai individu yang mengaku dirinya sebagai bagian dari etnis Sunda dan diakui oleh orang lain sebagai bagian



83 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



etnis tersebut di mana pun ia berada. Selain itu, identitas kesundaan seseorang juga didasari oleh keturunan atau hubungan darah. Bahkan, menurut Joseph (2004), identitas keanggotaan seseorang dalam suatu etnis ditandai oleh kemampuan berbahasa dalam bahasa etnisnya. Lebih lanjut, Maulana (2016) mengatakan bahwa Mikihiro Moriyama (peneliti budaya Sunda dari Jepang) menekankan bahwa apabila orang Sunda sudah tidak dapat lagi mempertahankan atau menggunakan bahasa Sunda, jati dirinya sebagai orang Sunda dapat pula menghilang. Dalam hal ini, masuk tidaknya identitas individu ke dalam etnis Sunda dilihat dari kemampuannya berbahasa Sunda. Di sisi lain, identitas kesundaan dapat pula dicirikan oleh perasaan keterikatan ideologi, kepemilikan, dan kesamaan terhadap masyarakat, tempat tinggal, kehidupan sosial budaya, dan bahasa Sunda yang dalam kehidupannya menghayati serta menggunakan norma dan nilai budaya Sunda (Die­ naputra, 2012). Selain sebagai alat untuk berkomunikasi, bahasa Sunda juga di­ gu­ nakan untuk mengekspresikan budaya sebagai penanda identitas (Rosidi, 2018). Salah satu bentuk ekspresi budaya yang dilakukan etnis Sunda melalui bahasa adalah peribahasa. Peribahasa sebagai ekspresi budaya merupakan identitas masyarakat Sunda karena mengandung berbagai nilai budaya Sunda yang berbeda dengan budaya etnis lain. Dengan mengutip pemikiran Koentjaraningrat (1980), Kusumawati (2016) mendefinisikan kebudayaan sebagai hasil dari budi dan akal. Menurutnya, terdapat tiga wujud kebudayaan: 1) ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya; 2) aktivitas manusia yang berpola da­­lam komunitas masyarakat; dan 3) benda-benda karya manusia. Berdasarkan definisi tersebut, peribahasa Sunda merupakan ekspresi budaya yang mencerminkan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, akti­ v­itas manusia yang berpola, dan benda-benda hasil dari budi dan akal masyarakat Sunda. Sementara itu, Sudaryat (2003) berpendapat bahwa peribahasa Sun­da mencerminkan budaya masyarakatnya untuk tidak berbicara langsung pada tujuannya. Hal ini dilakukan agar orang yang diajak bicara merasa dihargai dan tidak tersinggung ketika dinasihati. Prinsip ini dimiliki masyarakat Sunda untuk menjaga kerukunan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut beberapa nasihat yang disampaikan secara tidak langsung yang dikemas menggunakan peribahasa.



84 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Peribahasa Sunda sebagai Identitas dan Kearifan Lokal Etnis/Masyarakat Sunda



Tabel 1. Peribahasa Sunda Berisi Nasihat No 1



2



3



Peribahasa Tong cueut ka nu hideung, ponténg ka nu konéng. Cenderung memilih warna hitam, mengabaikan warna kuning. Ngeduk cikur kedah mitutur, nyokél jahe kedah micarék. Menggali kencur harus berbicara, menyongkel jahe harus berbicara. Ulah ngaliarkeun taleus ateul. Jangan mengeluarkan talas gatal.



Makna Tong teu adil, pilih kasih. Jangan tidak adil, pilih kasih. Kudu jujur, kudu menta idin ka nu boga. Harus jujur, harus meminta izin kapada yang punya. Tong ngucah ngacéh kagoréngan batur. Senang mengumbar kejelekan orang lain.



Sumber: Peperenian Urang Sunda (R. T. Hidayat et al., 2018)



Peribahasa pada contoh (1) mengandung nasihat agar seseorang berlaku adil dalam mengambil keputusan dan tidak pilih kasih. Peri­ bahasa pada contoh (2) berisi nasihat agar seseorang bersikap jujur atau kalau menginginkan sesuatu hendaklah meminta izin terlebih dahulu kepada yang memilikinya. Peribahasa pada contoh (3) berisi nasihat agar seseorang tidak mengumbar kejelekan orang lain. Penggunaan kata yang menguatkan larangan atau nasihat seperti jangan (tong dan ulah) dan harus (kedah) menjadi unsur penekanan dalam memberikan nasihat dalam peribahasa tersebut. Dari ketiga contoh tersebut terlihat bahwa untuk menasihati seseorang sebaiknya disampaikan secara tidak langsung, baik untuk melarang maupun memerintah. Peribahasa membungkus nasihat dengan bahasa kias yang bermaksud menyindir. Sindiran tersebut bertujuan agar orang yang dimaksud dapat memahami maksud dan melaksanakan yang diharapkan pembicara. Etnis Sunda terkenal akan keramahtamahannya (someah) kepada orang lain, murah senyum (amis budi) saat bertemu orang lain, serta berkata dan bersikap sopan santun kepada orang lain (Hidayat & Hafiar, 2019). Nilai-nilai keramahtamahan (someah), kesopansantunan, dan kerukunan itu tercermin pada peribahasa berikut.



85 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Tabel 2. Peribahasa Sunda Berisi Keramahtamahan dan Kesopansantunan No 4



Peribahasa datang katingali tarang undur katingali punduk. datang terlihat dahi pulang terlihat tengkuk.



5



kudu hadé gogog hadé tagog. Harus baik menyalak.baik tagog apa?. Hadé ku omong goréng ku omong. Baik perlu dibicarakan, jelek perlu dibicarakan.



6



Makna Kudu nyarita mun datang atawa rek balik ka nu boga imah. Datang ke rumah seseorang memberitahulah atau memintalah izin dahulu dan apabila hendak pergi dari rumah seseorang berpamitanlah dahulu. Hadé basa hadét ata jeung hadé paripolahna. Bertutur kata dan bersikap baik terhadap orang lain. Sagala rupa rupa perkara bisa disebut hadé atawa goréng lantaran omonganana. Segala macam urusan dapat dikatakan baik atau jelek disebabkan cara mengatakannya atau menyampaikannya.



Sumber: Peperenian Urang Sunda (R. T. Hidayat et al., 2018)



Peribahasa pada contoh (4) berisi nilai kesopansantunan ketika bertamu ke rumah seseorang. Peribahasa tersebut mengandung nasihat apabila bertamu ke rumah seseorang hendaknya meminta izin atau salam terlebih dahulu dan apabila akan pulang sebaiknya pamit, meminta izin, atau memberi tahu terlebih dahulu kepada tuan rumah. Peribahasa pada contoh (5) berisi keramahtamahan dan kesopansantunan yang harus menjadi landasan ketika berbicara atau pun bersikap kepada orang lain secara baik dengan berkata sopan dan ramah, lemah lembut, menghargai, dan melindungi. Peribahasa pada contoh (6) berisi nilai kesantunan saat berkomunikasi atau menyampaikan pesan kepada orang lain. Penggunaan kata seperti terlihat (katingali) dan baik (hade) menjadi unsur penekanan kesantunan. Peribahasa ini berisi anjuran bahwa segala hal yang baik apabila disampaikan dengan cara yang tidak benar justru akan membawa keburukan. Begitu juga sebaliknya,



86 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Peribahasa Sunda sebagai Identitas dan Kearifan Lokal Etnis/Masyarakat Sunda



apabila kejelekan dibungkus dengan komunikasi atau penyampaian yang baik akan diterima dengan baik. Oleh sebab itu, perlu cara yang bijak dan arif serta kesantunan dalam berbicara dengan maksud yang baik. Etnis Sunda merupakan masyarakat yang harmonis, rukun, dan demokratis dengan memegang prinsip egaliter dan kebersamaan (Rosidi, 2018). Kerukunan dan kedemokratisan etnis Sunda tersebut ter­cermin pada beberapa contoh peribahasa berikut. Tabel 3. Peribahasa Berisi Kerukunan dan Demokratis No 7



8



9



Peribahasa Nangtung di kariungan, ngadeg di karageman. Berdiri di kumpulan, menghadap barempug. Ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak. Ke air menjadi satu sungai yang dalam ke darat menjadi satu sungai kecil. Paheuyeuk-heuyeuk lengeun. Saling berpegangan tangan.



Makna Kumpulan barempug (ragem), musyawarah. Berkumpul untuk berembug atau bermusyawarah. Hirup babarengan sauyunan. Hidup bersama dengan rukun.



Sauyunan, babarengan, silih melaan, silih matuan. Rukun, bersama-sama, saling membela, saling membantu.



Sumber: Peperenian Urang Sunda (R. T. Hidayat et al., 2018)



Peribahasa pada contoh (7) berisi nilai musyawarah dalam meng­ ambil keputusan. Musyawarah merupakan salah satu ciri demokratis karena setiap orang dianggap memiliki kedudukan yang sama sehingga pendapat setiap individu dihargai dalam mengambil keputusan. Peri­ bahasa pada contoh (8) berisi nilai kebersamaan dalam kehidupan sosial di masyarakat yang dijalani dengan keharmonisan dan kerukunan. Kerukunan memberikan perasaan nyaman, aman, damai, dan tentram kepada setiap individu maupun masyarakat. Oleh sebab itu, peribahasa



87 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



ini menganjurkan kepada setiap individu dan masyarakat agar dapat hidup bersama dan menjaga kerukunan dengan cara saling bertoleransi, saling menghargai perbedaan, dan saling membantu. Peribahasa pa­ da contoh (9) berisi nilai kebersamaan dan kerukunan sama se­per­ ti peribahasa pada contoh (8). Pemaknaan seperti kebersamaan (ka­ riungan dan karageman), satu kesatuan (saleuwi dan salebak) dan saling membantu (paheuyeuk-heuyeuk) menjadi unsur penekanan nilai kerukunan dan demokrasi dalam peribahasa tersebut. Kerukunan dan kebersamaan akan menciptakan persatuan sehingga tidak akan mudah dipecah belah dan menciptakan kedamaian di masyarakat. Etnis Sunda senantiasa menjaga keseimbangan dan hubungan yang harmonis dengan lingkungan alamnya (Indrawardana, 2013). Alam sekitarnya tidak hanya dimanfaat untuk tempat tinggal dan memenuhi kehidupannya, tetapi juga alam dijadikan sebagai media pembelajaran hidup manusia. Keseimbangan dan keharmonisan dengan alam ter­cer­ min dari peribahasa Sunda yang mengandung atau mengambil per­ umpamaan atau simbol dari alam sekitarnya sebagaimana terlihat pada contoh peribahasa Sunda berikut. Tabel 4. Peribahasa Berisi Perumpamaan dari Alam No 10



Peribahasa Mapatahan ngojay ka meri. Manasihati berenang kepada bebek.



11



12



Nyaeuran gunung ku taneuh, nyaeuran sagara ku uyah. Menimbun gunung dengan tanah, menimbun laut dengan garam. jati kasilih ku junti. Pohon jati tergantikan oleh pohon junti.



Makna Mapatahan ka jalma nu leuwih loba kanyaho jeung pangamanana. Memberi nasihat kepada orang yang memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman. Méré atawa nambah kauntungan (kakayaan) ka anu geus beunghar. Memberi atau menambah keberuntungan (kekayaan) kepada orang yang sudah kaya. Pribumi kaelehkeun ku semah. Pribumi terkalahkan oleh tamu.



Sumber: Peperenian Urang Sunda (R. T. Hidayat et al., 2018)



88 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Peribahasa Sunda sebagai Identitas dan Kearifan Lokal Etnis/Masyarakat Sunda



Peribahasa pada contoh (10) mengungkap bahwa orang yang sudah punya pengetahuan dan pengalaman tidak perlu dinasihati lagi. Ibarat bebek yang sudah pandai berenang sejak lahir tidak perlu diajari cara berenang. Peribahasa (11) ibarat orang kaya seperti gunung dan laut. Gunung terdiri atas tanah yang jumlahnya banyak sehingga tidak perlu ditimbun atau diberi tanah. Laut pun tidak perlu ditimbun atau diberi garam karena sudah kaya akan garam. Begitu pula orang kaya sudah memiliki keberuntungan dan kekayaan yang banyak sehingga tidak memerlukan belas kasihan orang lain untuk memberi keberuntungan atau kekayaan kepadanya. Akan tetapi, mungkin saja ada peristiwa atau orang yang masih memberinya kekayaan atau keberuntungan. Pada contoh peribahasa (12), pribumi diibaratkan pohon jati. Pohon jati adalah kayu berkualitas terbaik karena kuat dan tahan lama serta tidak mudah kena serangan jamur. Oleh sebab itu, kayu jati digunakan untuk bahan baku bangunan dan furnitur. Sementara itu, tamu diibaratkan pohon junti. Pohon junti disebut juga sempur dan kayunya sangat keras, tetapi tidak begitu awet sehingga jarang digunakan sebagai bahan baku furnitur dan bangunan. Dari peribahasa tersebut tergambar bahwa tuan rumah atau pribumi seharusnya memiliki kualitas dan kemampuan yang unggul seperti halnya kayu jati, tidak seperti tamu yang diibaratkan kayu junti, terlihat kuat dan kokoh padahal tidak berkualitas. Akan tetapi, tuan rumah dengan segala keunggulan yang seharusnya dapat menjadi tuan di rumahnya sendiri malah bisa dikalahkan oleh orang lain atau tamu yang jelas tidak mempunyai keunggulan. Peribahasa ini mengandung peringatan secara umum bahwa apabila sebagai tuan rumah tidak dapat menjaga maruah dan kualitas diri bukan hal yang mustahil dapat dikuasai atau ditundukkan oleh orang lain sebagai pendatang atau tamu. Dalam peribahasa Sunda juga terdapat kata-kata yang berhubungan dengan mata pencaharian etnis Sunda (Kusumawati, 2016). Berikut beberapa peribahasa yang mengandung makna mata pencaharian. Tabel 5. Peribahasa Berisi Mata Pencaharian No 13



Peribahasa Dagang oncom rancatat emas. Berdagang oncom pikulan emas.



Makna Modal nu kacida gédena, ari nu dijual jeung diarah batina teu sabaraha. Modal yang sangat besar, tetapi yang dijual dan didapatkan keuntungannya tidak seberapa.



89 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



14



15



Lungguh tutut bodo kéong, sawah sakotak kaider kabéh. Pendiamnya siput sebodonya keong, sawah sekotak dikelilingi semua. Mélak cabé moal jadi bonteng. Menanam cabai tidak akan jadi timun.



Siga lungguh katénjona, padahal bangor. Terlihat seperti pendiam, tetapi sebenarnya nakal. Mélak hadé moal jadi goreng. Menanam kebaikan tidak akan menjadi keburukan.



Sumber: Peperenian Urang Sunda (R. T. Hidayat et al., 2018)



Pada contoh peribahasa (13)–(15) terdapat kata yang berkaitan dengan mata pencaharian, yaitu dagang, sawah, mélak, cabé, dan bonteng. Pada contoh peribahasa (13) terdapat kata dagang yang menandakan bahwa mata pencaharian berdagang. Pada peribahasa (14) dan (15) terdapat kosakata sawah, mélak ‘menanam’, cabé ‘cabai’, dan bonteng ‘mentimun’ yang menandakan adanya mata pencaharian sebagai petani. Berdasarkan maknanya, ketiga peribahasa tersebut berkaitan erat dengan perlaku tetapi disampaikan melalui aspek mata pencaharian sebagai bentuk identitas masyarakat. Pada contoh (13) berisi nasihat secara tidak langsung bahwa agar berhati-hati dalam menggunakan modal. Karena apabila tidak hati-hati dan terencana dengan baik, modal besar akan menyebabkan kerugian (keuntungan tidak berarti). Sementara itu, contoh peribahasa (14) mengacu kepada perilaku orang yang terlihat pendiam ternyata berperilaku nakal. Oleh sebab itu, peribahasa ini mengisyaratkan agar berhati-hati dalam m­enilai orang atau hendaknya dalam menilai orang tidak hanya dilihat dari penampilannya saja. Peribahasa contoh (15) berisi nasihat bahwa pe­rbuatan baik akan menghasilkan kebaikan begitu pula perbuatan ja­ hat akan menghasilkan kejahatan. Dari paparan tersebut dapat dikatakan peribahasa merupakan ekspresi budaya yang melambangkan hal yang menjadi jati diri atau identitas etnis Sunda. Berdasarkan isi peribahasa dapat diketahui seperti apa dan bagaimana kehidupan sosial dan budaya etnis Sunda. Etnis Sunda dicirikan sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi sopan santun, keramahtamahan (someah), harmonis, rukun, dan demokratis. Selain itu, terkait dengan alam etnis Sunda, peribahasa dapat menjaga



90 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Peribahasa Sunda sebagai Identitas dan Kearifan Lokal Etnis/Masyarakat Sunda



keseimbangan dan hubungan harmonis dengan alam. Dilihat dari mata pencahariannya, mayoritas etnis Sunda bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. C. Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Peribahasa Sunda Menurut pemikiran Wales yang dikutip Rahyono (2015), kearifan lokal adalah ciri kebudayaan milik suatu etnis karena adanya perasaan kebersamaan dan kesamaan pengalaman pada masa lalu. Kearifan lokal juga dapat dimaknai sebagai seperangkat pengetahuan suatu etnis yang didapatkan secara turun-menurun atau pengalaman etnis tersebut dalam berhubungan dengan lingkungannya digunakan untuk mengatasi bermacam masalah serta tantangan (Sibarani, 2012). Dalam peribahasa Sunda pun terdapat kearifan lokal. Peribahasa Sunda mengandung nilai-nilai yang sarat dengan pengalaman, larangan berbuat berbuat salah, dan perintah berbuat baik (Sudaryat, 2012). Dengan demikian, peribahasa Sunda berfungsi sebagai pedoman hidup yang bertujuan untuk membentuk karakter orang Sunda yang cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (terampil), wanter (berani), dan pinter (pandai/cerdas) dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat menjadi warga negara yang baik. Di dalam peribahasa Sunda terdapat nasihat untuk menjaga kondisi agar cageur (sehat) baik secara lahiriah maupun batiniah. Sudaryat (2012) mendefinisikan sehat (cageur) adalah perilaku sehat jasmani dan rohani. Sehat lahiriah berkaitan dengan kesehatan badan atau fisik dan batiniah berhubungan dengan kesehatan jiwa. Kesehatan batiniah itu salah satunya berkaitan dengan hubungan spiritual manusia dengan pencipta-Nya. Dalam peribahasa Sunda terdapat nilai-nilai atau nasihat agar manusia dekat dengan Tuhan (Effendi, 2014). Berikut beberapa peribahasa Sunda yang berkaitan dengan kesehatan fisik. Tabel 6. Peribahasa Berisi Nasihat Menjaga Kesehatan (Cageur) No 16



Peribahasa Pait daging pahang tulang. Pahit daging pahang tulang.



Makna Mulus awak tara katerap panyakit. Badan sehat jarang kena penyakit.



91 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



17



18



Paéh teu hos, hirup teu neut. Mati tidak hos, hidup tidak neut. Dihin pinasti anyar pinanggih. Lebih dulu dipastikan baru ditemukan.



19



Kulak canggeum bagja awak. Takaran segenggam bahagia badan.



Hirup tapi teu eureun eureun gering. Hidup tapi tidak berhenti sakit atau sakit-sakitan. Sagala nu kaalaman ayeuna saéstuna geus. ditangtukeun ti heula ku Pangéran. Semua yang terjadi sekarang tentu sudah terlebih dahulu ditentukan oleh Tuhan. Milik hadé atawa goréng geus ditangtukeun ku Gusti Nu Mahasuci. Nasib baik atau jelek sudah ditentukan oleh Tuhan Yang Mahasuci.



Sumber: Peperenian Urang Sunda (R. T. Hidayat et al., 2018)



Peribahasa (16) dan (17) mengacu pada kondisi kesehatan. Pe­ ribahasa (16) mengacu pada kondisi kesehatan seseorang yang selalu dapat menjaga kesehatan sehingga jarang menderita sakit. Peribahasa (17) mengacu pada kondisi kesehatan seseorang yang tidak dapat menjaga kesehatan dengan baik sehingga sering sakit-sakitan. Kedua peribahasa mengandung nasihat agar dapat menjaga kesehatan sehingga selalu sehat, sebaliknya kalau tidak dapat menjaga kesehatan akan menderita sakit yang berkelanjutan. Peribahasa (18) dan (19) mengacu pada ajaran spiritual agar ke­ sehatan batiniah tercapai. Peribahasa (18) dan (19) berisi nasihat agar berperilaku ikhlas dan rida dengan apa pun yang terjadi dalam kehidupan karena semua itu, baik atau jelek, telah ditentukan oleh Tuhan. Adanya gagasan seperti rasa sakit atau tidak enak (pait, pahang, dihin, kulak) dan kondisi diri (hirup, anyar, bagja) menjadi nilai kearifan dalam peribahasa tersebut. Adakalanya, manusia merasa tertekan dan depresi tidak dapat menerima ketentuan yang sudah diterimanya sehingga menjadi sakit secara kejiwaan bahkan memutuskan bunuh diri. Peribahasa tersebut bertujuan menanamkan kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan bergantung kepada penciptaNya. Kesadaran itu akan memberikan ketenangan dan kepasrahan diri sehingga dapat menerima kenyataan dan tantangan yang dihadapinya



92 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Peribahasa Sunda sebagai Identitas dan Kearifan Lokal Etnis/Masyarakat Sunda



dengan penuh keikhlasan, kesabaran, dan keyakinan bahwa ada Tuhan yang selalu mendampinginya dalam menjalani kehidupan. Di dalam peribahasa Sunda terdapat nasihat bagaimana berpe­ rilaku baik (bageur) kepada sesama. Berperilaku baik (bageur) berarti bermoral, baik hati, serta taat terhadap semua aturan dan norma ber­ masyarakat dan hukum negara (Sudaryat, 2012). Peribahasa Sunda mengandung perintah atau anjuran agar berperilaku baik (paribahasa panjurung laku hadé) dan larangan agar tidak berperilaku salah atau menyimpang (paribahasa panyaram langkah salah) (Logita:2018). Berikut contoh peribahasa yang mengandung anjuran untuk berperilaku baik dan larangan berperilaku salah. Tabel 7. Peribahasa berisi Nasihat Berperilaku Baik (Bageur) No 20 21



22



Peribahasa Neukteuk curuk dina pingping. Memotong jari di paha. Ulah cara ka kembang malati, kudu cara ka picung. Jangan seperti bunga melati, harus seperti bunga picung. Kudu silih asih, silih asah, jeung silih asuh. Harus saling sayang, saling bertukar pikiran, saling membimbing.



Makna Nyilakakeun baraya atawa batur. Mencelakan saudara atau orang lain. Ulah babari bosen, kudu mayeng kanyaah, kudu mimitina asih beuki lila beuki asih. Jangan cepat bosan, harus terus menyayangi, harus dari awal menyayangi semakin lama semakin menyayangi. Kudu silih pikanyaah ka sasama, silih mantuan, silih asuh. Harus saling menyayangi kepada sesama, saling membantu, saling membimbing dan melindungi.



Sumber: Peperenian Urang Sunda (R. T. Hidayat et al., 2018)



Peribahasa (20) berisi larangan untuk berperilaku salah, yaitu men­celakakan saudara atau orang lain. Peribahasa (21) berisi larangan sekaligus anjuran. Peribahasa tersebut melarang perilaku tidak baik, yaitu cepat bosan terhadap pasangan atau sahabat serta anjuran agar selalu sabar dan terus menyayangi. Oleh karena itu, semestinya kasih sayang perlu dipertahankan dan dipelihara agar semakin bertambah



93 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



dari sejak pertama kali bertemu pasangan atau sahabat. Peribahasa (22) berisi anjuran berperilaku baik terhadap sesama dengan cara sa­ling menyayangi, saling membantu, saling bertukar pikiran kalau ada masalah untuk mencari solusi bersama, saling melindungi, dan saling menasihati dalam kebaikan. Menjaga persaudaraan dan menjaga perilaku dalam berkehidupan menjadi pesan yang tersirat dalam peribahasa tersebut. Di dalam peribahasa Sunda terdapat nasihat bagaimana berperilaku benar (bener). Berperilaku bener adalah perilaku beriman, jujur, adil, amanah, dan berintegritas (Sudaryat, 2012). Berikut contoh peribahasa yang mengandung anjuran berperilaku benar (bener). Tabel 8. Peribahasa berisi Nasihat Berperilaku Benar (Bener) No 23



Peribahasa Sacangreud pageuh sagolek pangkek. Mengikat kuat mengikat menjadi satu kesatuan.



Makna Pageuh nyekel janji tara sulaya tina omongan. Memegang teguh janji tidak pernah mengkhianati yang sudah dikatakan.



24



Taraje nanggeuh dulang tinande.



Sadia ngajalaneun sagala parentah nepi ka anggeusna. Bersedia menjalankan semua perintah sampai dengan selesai.



Tangga menyandar, dulang terbuka. 25



Bobot pangayom timbang taraju. Berat gantungan, timbangan tangga.



Pangadilan, kaputusan nu adil. Pengadilan, pertimbangan atau keputusan yang adil.



Sumber: Peperenian Urang Sunda (R. T. Hidayat et al., 2018)



Peribahasa (23) berisi nasihat agar bersikap jujur dengan cara menepati janji dan tidak berkhianat sehingga dapat dipercaya. Peribahasa (24) berisi nasihat agar bersikap amanah apabila mendapatkan tugas. Tugas dilaksanakan sampai tuntas dengan semaksimal mungkin. Peri­ bahasa (25) berisi nasihat agar dalam mengambil keputusan dapat ber­ sikap adil dan bijaksana. Peribahasa tersebut menyampaikan agar kita selalu menjaga keharmonisan dan berperilaku adil dalam bermasyarakat.



94 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Peribahasa Sunda sebagai Identitas dan Kearifan Lokal Etnis/Masyarakat Sunda



Di dalam peribahasa Sunda terdapat nasihat bagaimana berperilaku terampil (singer). Berperilaku singer adalah perilaku terampil, ma­hir, atau piawai dalam pergaulan (Sudaryat, 2012). Berikut contoh peri­ bahasa yang mengandung anjuran untuk berperilaku terampil (singer). Tabel 9. Peribahasa berisi Nasihat Berperilaku Terampil (Singer) No 26



Peribahasa Kudu bisa kabula kabalé. Harus bisa kesana kemari.



Makna Kudu bisa nyaluyukeun diri kana lingkungan di mana wae. Harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana saja.



27



Kudu bisa mihapékeun maneh. Harus bisa menitipkan diri.



Nyieun pikanyaaheun jeung pikaresepeun dunungan. Menyebabkan disayang dan disukai oleh atasan.



28



Pindah cai pindah tampian.



Nyaluyukeun diri kana adat kabiasaan di tempat anyar. Menyesuaikan diri dengan adat dan kebiasaan di tempat baru.



Pindah air pindah tempat pemandian.



Sumber: Peperenian Urang Sunda (R. T. Hidayat et al., 2018)



Peribahasa (26) berisi nasihat agar di mana pun urang Sunda berada harus terampil menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pergaulan tersebut. Peribahasa (27) berisi nasihat agar terampil dalam berkomunikasi, bekerja, dan budaya tempat bekerja agar atasan me­ nyu­kai dan menyayangi kinerjanya. Peribahasa (28) berisi nasihat agar dapat menyesuaikan diri dengan adat dan kebiasaan di tempat baru agar dapat diterima dan dihargai di tempat baru serta dapat segera berbaur dengan masyarakat di tempat baru. Makna peribahasa tersebut juga menyarankan agar hidup harus selalu bermanfaat bagi sesama. Di dalam peribahasa Sunda terdapat nasihat bagaimana berperilaku berani (wanter). Berperilaku wanter adalah perilaku yang mencerminkan rasa percaya diri dalam menghadapi tantangan dan kesulitan (Sudaryat, 2012). Berikut contoh peribahasa yang mengandung anjuran untuk berperilaku berani (wanter).



95 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Tabel 10. Peribahasa berisi Nasihat Berperilaku Berani (Wanter) No 29 30



31



Peribahasa Leutik-leutik cabé rawit. Kecil-kecil cabe rawit. Teu gedag bulu salambar. Tidak bergeming buku selembar. Ulah kumeok memeh dipacok. Jangan kalah sebelum dipatuk.



Makna Leutik waruga tapi wanian. Badannya kecil, tetapi berani. Teu sieun saeutik eutik acan ku ancaman musuh. Tidak takut sama sekali akan ancaman musuh. Ulah sieun saacan ngalaksanakeun nu di maksud atawa euweuh kawani. Jangan takut sebelum melaksanakan apa yang menjadi tujuan.



Sumber: Peperenian Urang Sunda (R. T. Hidayat et al., 2018)



Peribahasa (29) berisi nasihat untuk bersikap berani meskipun berbadan kecil karena keberanian itu tidak dilihat dari besar kecilnya fisik. Keberanian ada dalam diri seseorang karena ada kemauan, tekad, serta kepercayaan diri untuk bertindak dan berbuat dalam kebaikan. Peribahasa (30) berisi nasihat untuk bersikap berani ketika berhadapan dengan musuh. Musuh tidak dicari, tetapi kalau musuh ada di hadapan dan mengancam, hendaknya tidak takut dan melarikan diri. Peribahasa (31) berisi nasihat agar berani menghadapi tantangan dan kesulitan dalam mengerjakan atau mencapai satu tujuan. Hidup tidak boleh putus asa. Di dalam peribahasa Sunda terdapat nasihat bagaimana berperilaku cerdas (pinter). Berperilaku pinter adalah mampu mengatasi masalah dan tantangan hidup, beretos kerja tinggi, dan berprestasi (Sudaryat, 2012). Berikut contoh peribahasa yang mengandung anjuran untuk berperilaku baik dan larangan berperilaku salah. Tabel 11: Peribahasa berisi Nasihat Berperilaku Cerdas (Pinter) No 23



Peribahasa Sato busana daging, jalma busana élmu. Hewan berbusana daging, manusia berbusana ilmu.



96 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Makna Jalma mah minangka nu jadi papakéannana élmu, lain daging kawas sato. Manusia berbusana ilmu, berbeda de­ ngan hewan yang berpakaian daging.



Dokumen Milik Pustaka Jaya Peribahasa Sunda sebagai Identitas dan Kearifan Lokal Etnis/Masyarakat Sunda



24



25



Cikaracak ninggang batu laun laun jadi dekok. Air menetes sedikitsedikit lama-lama menjadi berlubang. Mun teu ngopek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih. Kalau tidak kreatif tidak akan mengunyah, kalau tidak berpikir tidak akan makan, kalau tidak usaha tidak akan masak.



Awahing ku leukeun laun-laun jadi bisa. Karena dibiasakan melakukan sesuatu yang sulit, lama-lama menjadi dapat melakukannya. Mun teu usaha moal bisa kalakonan naon nu dimaksud atawa dipikahayang atawa minuhan kabutuhan hirup. Kalau tidak mau berusaha tidak akan mencapai apa yang dicitacitakan atau diinginkan atau tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup.



Sumber: Peperenian Urang Sunda (R. T. Hidayat et al., 2018)



Peribahasa (23) berisi nasihat agar manusia menggunakan akal dan pikirannya untuk mencari ilmu. Dengan ilmu manusia menjadi tahu apa yang benar dan salah. Dengan ilmu manusia dapat berperilaku baik dengan berpegang kepada aturan, norma, dan nilai demi kehidupan yang damai, sejahtera, dan harmonis. Dengan ilmu, manusia dapat meninggikan harkat sehingga berada lebih tinggi daripada hewan yang tidak diberi kemampuan membedakan yang benar dan salah, serta yang patut dan tidak patut. Peribahasa (24) berisi nasihat untuk tidak pantang menyerah dalam meraih cita-cita. Pada awalnya cita-cita tersebut terlihat sulit dan tidak mungkin diraih. Dengan keteguhan hati, kerja keras, dan ketekunan, kesulitan dan rintangan dihadapi atau dijalani se­dikit demi sedikit, lama-kelamaan dengan usaha tersebut hal yang awalnya tidak mungkin menjadi dapat terwujud. Peribahasa (25) berisi nasihat agar selalu berusaha dengan mengerahkan segala kemampuan dan kreativitas untuk memenuhi kebutuhan atau meraih cita-cita. Apabila hanya diam atau tidak mau berusaha, hal yang dicita-citakan atau dibutuhkan tidak dapat terpenuhi. Oleh sebab itu, perlu semangat dan ketekunan untuk mendapatkan apa yang dicita-citakan itu. Dalam peribahasa Sunda terdapat nilai-nilai kearifan lokal de­ngan konsepsi menjaga alam, tubuh, dan pikiran agar selaras dengan ke­hidupan. Di dalam peribahasa Sunda terdapat nasihat yang mendorong untuk



97 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



berbuat kebaikan (paribahasa panjurung laku hadé) dan la­rangan agar tidak berperilaku salah atau menyimpang (paribahasa panyaram langkah salah). Nilai-nilai kearifan lokal dalam peribahasa Sunda memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Sunda, yaitu sebagai pedoman dalam bersikap dan berperilaku cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (terampil), wanter (berani), dan pinter (pandai/cerdas). D. Penutup Bahasa Sunda lahir di dalam masyarakat Sunda. Bahasa Sunda digunakan sebagai alat berkomunikasi sekaligus juga sebagai penanda identitas keberadaan masyarakat dan budaya Sunda. Keidentitasan etnis Sunda dapat dimaknai sebagai identitas individu (urang Sunda) atau identitas kelompok yang disatukan oleh perasaan kebersamaan dan kepemilikan atas budaya, bahasa, tanah kelahiran, sejarah, dan ideologi etnis Sunda. Selain bahasa Sunda, peribahasa sebagai ekspresi budaya berfungsi sebagai penanda identitas kebudayaan etnis Sunda. Melalui peribahasa tercermin berbagai nilai, norma, keyakinan, kepercayaan, etos kerja, kehidupan sosial, mata pencaharian, kesenian, dan peralatan etnis Sunda. Dalam peribahasa Sunda diketahui identitas etnis Sunda sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi kesopansantunan, kera­ mahtamahan (someah), keharmonisan, kerukunan, kedemokratisan; men­jaga keseimbangan dan hubungan harmonis dengan alam; serta mencerminkan mata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Peribahasa Sunda juga mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang berfungsi sebagai pedoman etnis Sunda dalam menjalani kehidupan. Peribahasa Sunda berisi nasihat agar berbuat kebaikan (paribahasa pan­jurung laku hadé) dan larangan untuk berperilaku salah atau me­ nyimpang dari norma, ajaran, peraturan, dan nilai yang berlaku di te­ ngah masyarakat (paribahasa panyaram langkah salah). Anjuran atau perintah dan larangan tersebut memberikan petunjuk dalam men­ja­lani kehidupan agar dapat menjadi manusia (urang Sunda) yang cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (terampil), wanter (berani), dan pinter (pandai/cerdas). Daftar Referensi



Adhani, A. (2016). Peribahasa, Maknanya, dan Sumbangannya terhadap Pendidikan Karakter. Magistra, 28(97), 97–110.



98 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Peribahasa Sunda sebagai Identitas dan Kearifan Lokal Etnis/Masyarakat Sunda



Akbari, S. (2020). Citraan Dalam Peribahasa Banjar. Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pembelajarannya (JBSP), 10(1), 25–40. Aljamaliah, S. N. M., & Darmadi, D. M. (2021). Penggunaan Bahasa Daerah (Sunda) Di Kalangan Remaja Dalam Melestarikan Bahasa Nasional Untuk Membangun Jati Diri Bangsa. Jurnal Ilmiah SARASVATI, 3(2), 9–12. Anindryati, A. O., & Mufidah, I. (2020). Gambaran Kondisi Vitalitas Bahasa Daerah di Indonesia. Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Azhar, F. (2020). METAFORA PADA PERIBAHASA BAHASA MBOJO BERANAH SUMBER AIR, API, TANAH, DAN UDARA Faisal Azhar. Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 18, 1–7. Danandjaja, J. (1997). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, DOngeng, dan lainlain. PT Pustaka Utama Grafiti. Daud, M. Z., Abdullah, N. A., & Subet, M. F. (2021). Refleksi Sisi Negatif Burung Gagak Dalam Peribahasa Melayu: Analisis Semantik Inkuisitif. Issues in Language Studies, 10(2), 24–44. https://doi.org/10.33736/ ils.2764.2021 Daud, M. Z., & Subet, M. F. (2022). Ayam Sebagai Rujukan Makna Inkuisitif Berhati-hati, Sia-Sia dan Khianat Dalam Peribahasa Melayu. Kajian Malaysia, 40(1), 179–213. https://doi.org/10.21315/km2022.40.1.9 Dienaputra, R. (2012). Sunda: Sejarah , Budaya , dan Politik (Pertama). Sastra Unpad Press. Douglas, F. M. (2009). Scottish newspapers, language and identity. In Scottish Newspapers, Language and Identity. Edinburg Univesity Press Ltd. https://doi.org/10.3366/edinburgh/9780748624379.001.0001 Edwards, J. (2009). Language and Identity. Cambridge University Press. Effendi, A. S. (2014). Nilai-Nilai Keislaman Dalam Peribahasa Sunda Untuk Mengembangkan Bahan Ajar Bahasa Sunda Berbasis Karakter Di Smp. Lokabasa, 5(1), 12–25. https://doi.org/10.17509/jlb.v5i1.3150 Hasanah, A., Gustini, N., & Rohaniawati, D. (2016). Cultivating Character Education Based on Sundanese Culture Local Wisdom. Jurnal Pendidikan Islam, 2(2), 231. https://doi.org/10.15575/jpi.v2i2.788 Hidayat, D., & Hafiar, H. (2019). Nilai-nilai budaya soméah pada perilaku komunikasi masyarakat Suku Sunda. Jurnal Kajian Komunikasi, 7(1), 84. https://doi.org/10.24198/jkk.v7i1.19595



99 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Hidayat, R. T., Haerudin, D., Muhtadin, T. A. N., Darpan, & Sastramidjaja, A. (2018). Peperenian Urang Sunda. PT Kiblat Buku Utama. Indrawardana, I. (2013). Kearifan Lokal Adat Masyarakat Sunda Dalam Hubungan Dengan Lingkungan Alam. KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society and Culture, 4(1), 1–8. https://doi. org/10.15294/komunitas.v4i1.2390 Joseph, J. E. (2004). Language and Identity: National, Ethnic, Religious. Palgrave Macmillan. Kodariah, S., & Gunardi, G. (2015). Nilai Kearifan Lokal Dalam Peribahasa Sunda: Kajian Semiotika. Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya, 7(1), 113. https://doi.org/10.30959/patanjala.v7i1.88 Kridalaksana, H. (2011). Kamus Linguistik (4th ed.). Gramedia Pustaka Utama. Kulsum, U. (2020). Penguasaan Undak Usuk Bahasa Sunda untuk Meningkatkan Sopan Santun. Caraka: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Serta Bahasa Daerah, 9(3), 143–148. Kusumawati, S. (2016). Leksikon Budaya dalam ungkapan peribahasa sunda (kajian antropolinguistik). Lokabasa, 7(1), 87–93. Logita, E. (2018). Makna dan Fungsi Paribasa Sunda (Panjurung Laku Hade). Bahtera Indonesia, 3(2), 54–66. Maulana, A. (2016). Prof. Mikihiro Moriyama, “Ada Arus Balik yang Mengokohkan Bahasa Lokal di Era Globalisasi.” Kantor Komunikasi Publik Universitas Padjajaran. https://www.unpad.ac.id/2016/03/ prof-mikihiro-moriyama-ada-arus-balik-yang-mengokohkan-bahasa-lokal-di-era-globalisasi/ Normawati. (2016). Nilai-nilai luhur budaya dalam peribahasa masyarakat lembah balim papua. Kibas Cendrawasih, 13(1), 51–64. Rahyono, F. X. (2015). Kearifan budya dalam kata (Kedua). Wedatam Widya Sastra. Rosadi, E. M. (2022). Dehumanisasi dalam Peribahasa Sunda. Ranah, 11(2021), 111–119. https://doi.org/K https://doi.org/10.26499/rnh.v11i1.4485 111 Rosidi, A. (2018). Masa depan budaya daerah: Kasus bahasa dan sejarah Sunda (Elektronik). PT Dunia Pustaka Jaya. Saputra, D., Suryadi, S., & Supadi, S. (2020). Analisis Peribahasa Minangkabau Di Pasaman Barat Kajian Bentuk Fungsi Dan Makna. Wacana: Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra Dan Pengajaran, 18(2), 124–131. https://doi.org/10.33369/jwacana.v18i2.14847



100 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Peribahasa Sunda sebagai Identitas dan Kearifan Lokal Etnis/Masyarakat Sunda



Sibarani, R. (2012). Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Asosiasi Tradisi Lisan. Sudaryat, Y. (2003). Ulikan Semantik Sunda. CV Geger Sunten. Sudaryat, Y. (2012). Nilai Kearifan Lokal Ungkapan Tradisional dalam Membangun Pendidikan Karakter. Kearifan Lokal Dan Pendidikan Karakter, 105–115. Tondo, F. H. (2009). Kepunahan Bahasa-Bahasa Daerah: Faktor Penyebab Dan Implikasi Etnolinguistis. Jurnal Masyarakat & Budaya, 11(2), 277–296. Zulaikha, F. I., & Purwaningsih, S. (2019). Representasi Identitas Perempuan dalam Ranah Domestik– Sebuah Kajian Semiotika Budaya pada Peribahasa Sunda. Nusa: Jurnal Ilmu Bahasa Dan Sastra, 14(3), 341. https://doi.org/10.14710/nusa.14.3.341-352



101 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



LOYALITAS DAN KEBANGGAAN BAHASA SERTA UPAYA PENUTUR UNTUK MENJAGA IDENTITASNYA Mukhamdanah



A. Pengantar Bahasa yang digunakan seseorang merupakan bagian penting dari perasaan tentang jati dirinya (Edwards, 2009). Dalam Language and Identity: An Introduction, Edwards (2009) menguraikan hubungan an­ tara identitas sebagai anggota kelompok-etnis, nasional, agama, jenis kelamin, dan ragam bahasa yang penting bagi setiap kelompok. Bahasa sering digunakan sebagai salah satu ciri untuk mengidentifikasi sebuah bangsa atau kelompok etnis; kelompok etnis menggunakan bahasa sebagai salah satu ciri identitas kelompok. Kelompok etnis yang ting­ gal di Moru, misalnya, menurut Katubi (2005) mereka memiliki ke­ samaan nama etnis dengan nama bahasanya, seperti orang Hamap de­ ngan bahasa Hamap, orang Kui dengan bahasa Kui, dan orang Kelon de­ngan bahasa Kelon. Sebagian besar kelompok etnis percaya bahwa bahasa yang mereka miliki merupakan medium terbaik untuk menjaga dan mengungkapkan tradisi mereka. Dalam suatu masyarakat dwibahasa (bilingual), yang melibatkan ba­hasa pendatang dan bahasa setempat, beberapa temuan menunjukkan bahwa tiap bahasa itu tetap dipelihara penggunaannya. Bahasa yang satu digunakan untuk beberapa fungsi yang tidak sama dengan bahasa yang lainnya yang ada pada repertoar bahasa masyarakat tersebut. Bah­kan, dalam masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan



102 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Loyalitas dan Kebanggaan Bahasa serta Upaya Penutur untuk Menjaga Identitasnya



sosiokultural yang cepat pun gejala yang serupa kelihatan dalam ber­ bagai konteks. Dalam penelitiannya tentang Hamap, Katubi (2005: 90) men­ jelaskan bahwa sebagian besar kelompok etnis percaya bahasa mereka merupakan medium terbaik untuk menjaga dan mengungkapkan tradisi lokal. Oleh karena itu, mereka tetap menginginkan adanya trans­misi kebahasaan kepada generasi berikutnya dan sama sekali tidak meng­ inginkan adanya upaya untuk meninggalkan bahasa etnik. Mereka ber­anggapan bahwa hilangnya bahasa Hamap berarti hilang pula ke­ budayaan mereka. Kondisi yang hampir sama terjadi atau ditemukan juga pada penutur bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia, terutama di wilayah Indonesia bagian timur yang jumlah bahasanya banyak. Bahasa-bahasa daerah dengan penutur yang sering melakukan kontak bahasa dan mobilitas tinggi ke pusat-pusat pemerintahan, pen­ didikan, atau pusat ekonomi berpeluang besar untuk kian tergerus. Salah satu bahasa daerah tersebut adalah bahasa Tehit yang dituturkan di wilayah Kabupaten Sorong Selatan. Untuk mengetahui eksistensi (terpelihara dan terjaganya) bahasa Tehit serta loyalitas dan kebanggaan etnis penutur terhadap bahasa daerah mereka tersebut, dalam penelitian ini dilakukan observasi partisipatif. Dengan melibatkan 120 orang yang dipilih secara acak bertujuan, penelitian ini dilakukan di empat desa/ kam­pong, yaitu Serebau (Sirbau), Gorolo, Tegerolo, dan Srer. Desadesa itu dipilih karena merupakan wilayah tutur bahasa Tehit di Sorong Selatan. Sejumlah pernyataan diajukan untuk mengetahui kebanggaan dan loyalitas mereka terhadap bahasa Tehit. Skala 1–5 untuk setiap butir pernyataan yang diberikan digunakan untuk mencari rerata dan indeks. Jenjang kriteria yang digunakan ialah 1,00–1,80 sangat negatif, 1,81– 2,60 negatif, 2,61–3,40 kurang positif, 3,41–4,20 positif, dan 4,21–5,00 sangat positif. Sementara itu, untuk penggunaan bahasa, rentang rerata yang digunakan ialah 1,00–1,80 tidak pernah, 1,81–2,60 pernah, 2,61– 3,40 jarang, 3,41–4,20 sering, dan 4,21–5,00 selalu meng­gunakan bahasa Tehit. Berdasarkan rerata dan indeks itu, dapat diketahui loyalitas mereka berdasarkan kecenderungan penutur dalam menggunakan bahasa Tehit serta penilaian/persepsi mereka terhadap bahasa Tehit tersebut. B. Situasi Kebahasaan dan Gambaran Umum Penutur Papua Barat merupakan wilayah dituturkannya banyak bahasa daerah. Dalam Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia (Sugono et al.,



103 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



2017), dari 718 bahasa yang dituturkan di Indonesia, terdapat sebanyak 395 bahasa dituturkan di wilayah Papua dan Papua Barat. Dari jumlah tersebut, sebanyak 96 dituturkan di Papua Barat. Beberapa bahasa daerah yang dituturkan di wilayah Papua Barat yaitu bahasa Kalabra, Seget, Salkma, Sough, Hatam, Yaben, Tehit, dan Wamesa. Bahasa Tehit merupakan bahasa daerah di Papua Barat yang mem­ punyai penutur cukup banyak. Dalam buku Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia (Sugono et al., 2017: 278–279) itu disebutkan bahwa wilayah tutur bahasa Tehit antara lain Kampung/Kelurahan Kohoin, Distrik Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat. Menurut pengakuan penduduk setempat, bahasa Tehit dituturkan juga di sebelah utara, timur, dan barat Kampung Kohoin, sedangkan bahasa Ogit dituturkan di sebelah selatan desa itu. Bahasa Tehit dituturkan di wilayah Sorong, Sorong Selatan, dan wilayah sekitarnya. Namun, tampaknya penutur ini mulai menjadi dwibahasawan karena intensitas pertemuan dengan penutur bahasa lain dan kontak bahasa yang terjadi. Hal itu berkenaan dengan semakin meluasnya penggunaan bahasa Indonesia yang menjadi lingua franca di wilayah tersebut. Hal yang menarik ialah ketika kelompok penutur atau suku Tehit yang berusia dewasa atau lebih dari 40 tahun mempunyai kekhawatiran terhadap bahasa Tehit. Mereka mulai melihat bahwa banyak dari generasi di bawahnya, terutama generasi yang masih anakanak, tidak lagi menggunakan dan memahami bahasa Tehit. Padahal, dari sinilah identitas mereka sebagai suku Tehit dikenali. Pada Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia yang disusun oleh Hidayah (2015) disebutkan bahwa Tehid (Tehit, Tahiyid, Kaibus) meru­pakan suku bangsa yang berdiam di jazirah Kepala Burung Irian, yaitu antara bagian barat daya dan barat lautnya. Pemukiman mereka terkonsentrasi di 35 desa di sekitar Kecamatan Teminabuan, Provinsi Papua. Jumlah populasinya diperkirakan sekitar 25.000 jiwa. Berikut ini adalah lokasi wilayah tutur bahasa Tehit di Provinsi Papua Barat, tepatnya di Kabupaten Sorong Selatan. Dalam bukunya, Hidayah (2015) menyebutkan bahwa kata “tehit” berasal dari tahiyid, yang berarti ‘mereka(lah) Tehid’, arti leksikalnya telah hilang. Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa suku Tehit mungkin datang ke daerah ini beberapa ratus tahun yang lalu dan mendesak penduduk yang lebih dahulu datang, yaitu Safledrar.



104 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Loyalitas dan Kebanggaan Bahasa serta Upaya Penutur untuk Menjaga Identitasnya



Gambar Peta Provinsi Papua Barat (Dok. BPSNT Papua).



Berdasarkan informasi penutur, terdapat beberapa suku Tehit di Sorong dan Sorong Selatan. Seperti disebutkan dalam Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia (Sugono et al., 2017), selain bahasa Tehit ada juga Tehit Dit (Tehit Tua). Penutur Tehit di Distrik Teminabuan, misalnya, mengatakan bahwa bahasa yang mereka gunakan berbeda dengan Tehit yang digunakan di wilayah lain. Di Kampung Wersar, misalnya, dituturkan juga bahasa Tehit Imyan dan Tehit Saifi. Untuk memngetahui keberadaan Tehit Imyan dan Tehit Saifi merupakan dua bahasa yang berbeda ataukah hanya merupakan dialek dari Tahit, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Selain bahasa Tehit, di wilayah Sorong Selatan juga terdapat ba­ hasa lain yang namanya mengandung unsur Tehit, yaitu bahasa Tehit Dit (Tehit Tua). Bahasa tersebut merupakan dua bahasa yang berbeda sebagaimana disebutkan dalam Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia (Sugono et al., 2017). Bahasa tersebut dituturkan di Kampung Wersar, Distrik Teminabuan. Selain di Kampung Wersar, bahasa tersebut juga dituturkan di kampung-kampung lain seperti Sirbau, Keyen, dan Wermit. Masyarakat Kampung Wersar terdiri atas beberapa kelompok penutur bahasa. Di sana juga terdapat kelompok penutur bahasa Ayamaru dan bahasa Ogit. Menurut pengakuan penduduk, di sekeliling Kampung Wersar dituturkan bahasa-bahasa lain seperti bahasa Maibrat, Tehit Imyan dan Tehit Saifi, bahasa Moi, dan bahasa Ogit (Yaben). Dengan



105 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



demikian, wilayah tutur bahasa Tehit adalah wilayah dengan banyak bahasa. Dalam Ethnoloque: Languages of Asia (Lewis, 2015: 204) dije­ laskan bahwa bahasa Tehit disebut juga dengan Kaibus, Tehid, Tahit, atau Teminabuan. Bahasa Tehit mempunyai kesamaan leksikal se­ba­ nyak 60% dengan bahasa Kalabra yang sama-sama dituturkan di sekitar wilayah Sorong dan Sorong Selatan. Dialek-dialek bahasa Tehit antara lain yaitu dialek Tehit Jit, Mbol Fle, Saifi, Imyan, Sawiat, Fkar, dan Salmeit. Namun, Wim Stokhof dalam tulisannya “Some Notes in Tehit” yang terdapat dalam Tales from a Concave World menyebutkan bahwa bahasa Tehit sangat berbeda dengan Kalabra (Voorhoeve, 1995: 170). Beberapa bahasa daerah yang terdapat di wilayah Papua dan Papua Barat telah mengalami penurunan jumlah penutur. Hal ini disebabkan oleh semakin menurun atau berkurangnya penggunaan bahasa daerah di kalangan penutur. Dalam beberapa laporan dan pengamatan di lapangan, penutur bahasa daerah adalah mereka yang tergolong generasi tua. Hal ini sesuai dengan ditemukannya anak-anak penutur bahasa Tehit Dit yang sudah tidak menguasai lagi bahasa Tehit Dit (Tehit Tua). Ketika orang tua menggunakan bahasa Tehit Dit, anak-anak atau generasi muda hanya bisa mendengar; tetapi menjawab dengan menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu Papua. Kasus serupa terjadi juga pada kelompok penutur bahasa Wandamen, Sumuri, dan Wamesa (Mukhamdanah et al., 2021: 50). C. Penutur Tehit, Loyalitas Bahasa, dan Upayanya Menjaga Identitas Pada masyarakat dwibahasa ataupun multibahasa terdapat pola ke­­dwibahasaan yang mampu menunjukkan kedudukan atau fungsi ma­sing-masing bahasa yang terdapat di dalam repertoar bahasa ma­ syarakat tersebut. Di Indonesia, repertoar bahasa ini biasanya terdiri atas bahasa Indonesia dan bahasa daerah dengan ranah dan kekhasan norma penggunaan pada masing-masing ranah. Misalnya, menurut sen­sus 1981, lebih dari 80% penduduk Indonesia menggunakan ba­ hasa daerahnya selain bahasa Indonesia, khususnya ketika di rumah. De­ngan demikian, melalui sensus itu dapat diketahui bahwa “rumah” merupakan ranah penggunaan bahasa yang penting bagi bahasa-bahasa daerah di dalam situasi kebahasaan di Indonesia (Siregar, 2011: 156).



106 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Loyalitas dan Kebanggaan Bahasa serta Upaya Penutur untuk Menjaga Identitasnya



Salah satu bagian dari penelitian vitalitas adalah memerikan berbagai fenomena sosial dan linguistik yang muncul akibat adanya penggunaan dua bahasa atau lebih di dalam masyarakat. Dengan mengutip pe­ mikiran Weinreich (1953), Siregar (2011: 155) memperkenalkan is­ tilah interferensi linguistik (linguistic interference) pada gejala ke­ dwibahasaan, yaitu adanya “pelanggaran norma linguistik” sebagai aki­bat kontak bahasa. Sampai sekarang, jenis pelanggaran tersebut te­ lah mendapat perhatian saksama bersama-sama dengan bidang peng­ kajian sosiolinguistik lainnya. Hal yang disebut Weinreich dengan pe­­langgaran itu sebenarnya sesuatu yang normal pada perilaku ba­ hasa dwibahasawan atau bilingual. Sementara itu, berangkat dari pe­ mikiran Reyes (1982), Siregar (2011: 15) beranggapan bahwa istilah interferensi secara negatif berarti proses refleks yang menunjukkan kegagalan penutur dalam berkomunikasi sesuai dengan model yang ingin digunakannya. Padahal, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa fenomena ini mengikuti pola yang teratur dan ditentukan oleh be­berapa kendala yang tidak rumpang. Istilah pemertahanan bahasa pasif merujuk pada suatu masyarakat bahasa yang tidak ditemukan atau tidak terdapat nilai dan sikap yang eksklusif di antara bahasa-bahasa yang ada dalam repertoar disebutkan oleh Siregar (2011: 156). Dalam pemertahanan bahasa yang pasif tidak terdapat kaidah-kaidah penggunaan bahasa yang sifatnya komplementer. Meskipun anggota masyarakat mengakui bahasa ibu mempunyai fungsi jati diri dan sebagai lambang identitas kedaerahan (etnik), pengakuan yang demikian tidak disertai perilaku berbahasa mereka secara ajek (kon­sisten) dalam berinteraksi. Berbeda dengan pemertahanan bahasa pasif, pada masyarakat yang memiliki pemertahanan bahasa aktif tampaknya terdapat se­macam hubungan yang hampir satu-lawan-satu antara bahasa dan kon­teks sosial. Dalam masyarakat seperti ini, bahasa dibedakan untuk meng­ ungkapkan dua atau lebih perangkat nilai, sikap, dan perilaku yang eks­ klusif. Dua pola nilai muncul membentuk dimensi tinggi-rendah (TR) sehingga terdapat pula pengutuban ragam bahasa tinggi dan ragam bahasa Rendah (Siregar, 2011: 156). Dalam pemertahanan bahasa yang pasif, tidak terdapat perbedaan yang jelas antara nilai-nilai yang berhubungan dengan ragam R seperti nilai keakraban, solidaritas, dan ketakresmian serta nilai-nilai yang berhubungan dengan ragam T seperti nilai status, kedudukan, dan



107 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



keresmian. Pemertahanan bahasa yang pasif sering ditandai dengan adanya rangkaian (kontinum) penggunaan bahasa, terentang antara bahasa ibu ke bahasa kedua. Di tengah-tengah rangkaian tersebut ter­ dapat perilaku bahasa seperti campur bahasa atau alih kode yang sa­ ngat menonjol dalam sejumlah konteks sosiolinguistik yang berbeda (Siregar, 2011: 157). Untuk kedua jenis pemertahanan bahasa yang disebutkan di atas terdapat sejumlah konteks sosial yang berhubungan dengan bahasa. Tiap konteks memiliki komponen peubah (variabel) tertentu seperti si­ tuasi sosial, kemampuan (kompetensi) linguistik, dan sikap linguistik yang memengaruhi penggunaan bahasa. Pengkajian terhadap jenis hubungan antara bahasa dan konteks sosial ini dapat berupa pengkajian pilih ragam bahasa, campur bahasa, dan sikap bahasa yang sering dikelompokkan ke dalam kajian sosiolinguistik. Sejalan dengan pengkajian bilingualisme yang tumbuh bersamasama dengan beberapa pendekatan antardisiplin, pengkajian sosio­lin­ guistik pun mengalami hal yang sama. Banyak penelitian sosio­linguistik akhir-akhir ini yang berusaha menyelidiki persoalan-per­so­alan dasar tentang perilaku bahasa bilingual seperti pilih bahasa, campur bahasa, dan sikap bahasa. Penelitian ini memanfaatkan berbagai pendekatan yang berasal dari disiplin yang berbeda. Suhardi (1996: 35) menyatakan bahwa sikap bahasa adalah tata ke­percayaan yang berhubungan dengan bahasa yang secara relatif ber­ langsung lama mengenai suatu objek bahasa yang memberikan ke­ cenderungan kepada seseorang (yang memiliki sikap bahasa itu) untuk ber­tindak dengan cara tertentu yang disukai. Sumarsono (1993: 357–359) menyimpulkan beberapa pendapat pa­kar psikologi, seperti Allport Agheysi dan Fishman, mengenai tiga kom­ponen sikap sebagai berikut. a. Komponen kognitif menyangkut pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori. b. Komponen afektif menyangkut perasaan atau emosi yang mewarnai atau menjiwai pengetahuan atau gagasan yang terdapat dalam komponen kognitif. Komponen ini menyangkut nilai “baik” atau “tidak baik”, “senang” atau “tidak senang”. Rasa baik atau senang me­nunjukkan sikap positif dan sebaliknya rasa tidak senang dan tidak baik menunjukkan sikap negatif.



108 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Loyalitas dan Kebanggaan Bahasa serta Upaya Penutur untuk Menjaga Identitasnya



c. Komponen konatif menyangkut kecenderungan seseorang untuk berbuat atau bereaksi dengan cara tertentu. Dalam masyarakat multilingual, sikap bahasa seseorang ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu topik pembicaraan, kelas sosial masyarakat pemakai, kelompok umur, jenis kelamin, dan situasi pemakaian. Dengan demikian, sikap bahasa penutur bahasa dapat diketahui apakah cenderung sikap bahasa yang negatif ataukah positif. Merujuk pada pemikiran Garvin dan Mathiot (1968), Mukhamdanah (2005) mengemukakan tiga ciri sikap positif terhadap bahasa, yaitu: a. kesetiaan bahasa (language loyalty), yang mendorong suatu ma­ syarakat mempertahankan bahasanya; bila perlu mencegah adanya pe­ngaruh bahasa lain; b. kebanggaan bahasa (language pride), yang mendorong orang me­ ngembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat; c. kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm), yang men­ dorong orang untuk menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya ter­hadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use). Berdasarkan ciri-ciri tersebut, sikap bahasa penutur sebuah bahasa dapat diketahui apakah cenderung positif atau negatif. Demikian juga dengan loyalitas ataupun kebanggan terhadap bahasanya. Loyalitas bahasa oleh penutur bahasa dapat diketahui misalnya bagaimana dia mempertahankan bahasanya dan menggunakan bahasa tersebut dalam ranah-ranah penggunaannya. Sementara, kebanggaan bahasa dapat di­ tun­jukkan dengan tetap menggunakannya sebagai lambang identitas penutur. Anggota komunitas biasanya tidak bersikap netral terhadap ba­ hasa mereka sendiri. Mereka dapat memiliki sikap yang berbeda-beda. Berbagai kemungkinan sikap mereka, antara lain menganggap bah­ wa bahasa merupakan hal utama bagi komunitas mereka sekaligus sebagai penanda jati diri sehingga perlu dipromosikan; menganggap bahasa merupakan hal esensial bagi komunitas mereka dan juga sebagai penanda jati diri, tetapi tidak perlu dipromosikan; mungkin



109 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



juga merasa malu menggunakan bahasa mereka sehingga merasa tidak perlu mempromosikannya; atau bahkan mereka menganggap bahwa bahasa mereka tidak patut dipertahankan sehingga secara aktif dan sadar menghindari penggunaan bahasa itu. Untuk itu, UNESCO membuat peringkat/skala (grade) kondisi sikap penutur bahasa terhadap bahasanya. Berikut ini adalah daftar peringkat tersebut (Lauder dalam Multamia R.M.T. [ed]., 2016). Tabel 1. Kondisi Sikap Penutur Peringkat



Sikap Penutur terhadap Bahasanya



5



Semua penutur bersikap positif dan menghargai bahasanya.



4



Hampir semua penutur bersikap mendukung pemeliharaan bahasa mereka.



3



Banyak penutur bersikap mendukung pemeliharaan bahasa, tetapi lainnya merasa bahwa bahasa mereka tidak perlu dipertahankan.



2



Hanya sebagian penutur bersikap mendukung pemeliharaan bahasa mereka, tetapi sebagian lainnya merasa bahwa bahasa mereka tidak perlu dipertahankan.



1



Hanya beberapa penutur saja yang bersikap mendukung pemeliharaan bahasa mereka, tetapi sebagian besar justru tidak mendukung, bahkan merasa bahwa bahasa mereka tidak perlu dipertahankan.



0



Tidak ada seorang penutur pun yang bersikap mendukung pemeliharaan bahasa. Semua penutur memilih untuk beralih menggunakan bahasa dominan.



Jika diperhatikan, pada skala 5, penutur menganggap bahwa ba­ hasa mereka memiliki nilai inti budaya, sangat vital bagi komunitas, dan mereka ingin melihat bahwa bahasa itu dipromosikan sebagai penanda identitas etnis. Hal ini berbeda dengan apa yang terdapat pada skala 0. Sikap pada skala 0 tersebut terbentuk ketika bahasa mereka dianggap sebagai penghalang untuk melakukan mobilitas ekonomi



110 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Loyalitas dan Kebanggaan Bahasa serta Upaya Penutur untuk Menjaga Identitasnya



dan integrasi ke dalam masyarakat arus utama. Tanpa disadari, mereka mengembangkan sikap negatif terhadap bahasa mereka sendiri (Lauder dalam Multamia R.M.T. [ed]., 2016). Sikap bahasa penutur terhadap bahasanya juga sering berkaitan dengan seberapa dominan bahasa tersebut dalam masyarakat luas. Pada bahasa-bahasa nondominan, penutur cenderung tidak menggunakan bahasanya dan memilih menggunakan bahasa yang dominan. Pada sebagian besar wilayah di Indonesia, penggunaan bahasa Indonesia semakin meluas atau semakin dominan dan mulai menggeser ranahranah penggunaan bahasa daerah. Tabel 2 berikut menyajikan proporsi jumlah penutur Tehit berdasarkan persepsi responden. Tabel 2. Proporsi Jumlah Penutur Bahasa Tehit Berdasarkan Persepsi Responden Pertanyaan Apakah penduduk desa ini berbahasa daerah Anda?



Average 3,94



Indeks 0,79



Kecenderungan Hampir semua penduduk berbahasa daerah saya.



Selain bahasa daerah Anda, apakah penduduk desa ini juga menggunakan atau memahami bahasa daerah lain?



4,12



0,82



Sedikit penduduk berbahasa daerah lain.



Dibanding dengan bahasa daerah Anda, bagaimana perbandingan jumlah penutur bahasa daerah lain di desa ini? Rata-rata



4,08



0,82



Penutur bahasa daerah lain lebih sedikit dari penutur bahasa daerah saya.



4,05



0,81



Penutur bahasa daerah lain lebih sedikit dari penutur bahasa daerah saya.



Berdasarkan Tabel 2 tersebut, di wilayah yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Seribau, Tegerolo, Gorolo, dan Srer, jumlah penutur



111 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



bahasa lain cenderung lebih kecil atau lebih sedikit. Kecenderungan ini sepertinya dipengaruhi oleh bentuk permukiman di wilayah Papua dan Papua Barat. Di wilayah tersebut, kampung atau desa cenderung menjadi permukiman dari etnis atau komunitas yang sama. Anggota komunitas (bahasa) biasanya tidak bersikap netral terhadap bahasa mereka sendiri. Mereka dapat memiliki sikap yang berbedabeda. Berbagai kemungkinan sikap mereka, antara lain menganggap bahwa bahasa mereka merupakan hal utama bagi komunitas sekaligus sebagai penanda jati diri sehingga perlu dipromosikan; menganggap bahasa mereka merupakan hal esensial bagi komunitas dan juga sebagai penanda jati diri, tetapi tidak perlu dipromosikan; mungkin juga merasa malu menggunakan bahasa mereka sehingga merasa tidak perlu mempromosikannya; atau bahkan menganggap bahwa bahasa mereka tidak patut dipertahankan sehingga secara aktif dan sadar menghindari penggunaan bahasa itu. Loyalitas dan kebanggaan bahasa oleh penutur atau suku Tehit dijaring melalui sikap bahasa mereka. Dengan menggunakan instrumen yang terdiri atas beberapa pernyataan yang berkatian dengan sikap bahasa mereka, hasilnya tersaji pada Tabel 3. Hasil itu memperlihatkan rerata sikap bahasa responden terhadap bahasa Tehit. Rerata diperoleh berdasarkan lima belas butir pernyataan yang diberikan. Dengan menggunakan skala 1–5, responden diminta menjawab pernyataan dengan memilih opsi jawaban yang berupa sangat setuju, setuju, kurang setuju, tidak setuju, atau sangat tidak setuju sebagai cerminan sikap bahasa mereka. Berikut ialah lima belas pernyataan yang berkaitan dengan sikap bahasa mereka. 1. Anak-anak perlu menguasai bahasa daerah Anda. 2. Bahasa daerah Anda harus dikuasai dan digunakan oleh setiap anggota kelompok suku Anda. 3. Bahasa daerah Anda merupakan sarana komunikasi antarindividu, keluarga, dan masyarakat di daerah. 4. Anda bangga dapat berbahasa daerah Anda dengan baik. 5. Bahasa daerah Anda dapat menunjukkan jati diri/dentitas kedaerahan Anda. 6. Bahasa daerah Anda harus digunakan di antara sesama anggota keluarga di rumah. 7. Anda yakin bahasa daerah Anda akan dapat berkembang sesuai



112 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Loyalitas dan Kebanggaan Bahasa serta Upaya Penutur untuk Menjaga Identitasnya



dengan perkembangan zaman. 8. Bahasa daerah Anda sama penting dengan bahasa Indonesia dalam konteks kedaerahan. 9. Anda lebih suka menggunakan bahasa daerah Anda dalam setiap komunikasi dengan anggota kelompok suku Anda. 10. Anda lebih suka membaca buku-buku yang menggunakan bahasa daerah Anda. 11. Bahasa daerah Anda lebih mudah menggambarkan perasaan dibandingkan dengan bahasa Indonesia. 12. Bahasa daerah Anda lebih memberikan manfaat daripada bahasa Indonesia. 13. Bahasa daerah Anda lebih bermartabat dibandingkan dengan bahasa Indonesia. 14. Kosakata bahasa daerah Anda lebih mudah dipelajari daripada bahasa Indonesia. 15. Anda lebih memilih menggunakan bahasa daerah ketika menyapa orang walaupun dia tidak tahu bahasa daerah Anda. Tabel 3 Sikap Bahasa Responden terhadap Bahasa Tehit Anova: Two-Factor Without Replication Anak-anak perlu menguasai bahasa daerah Anda. Bahasa daerah Anda harus dikuasai dan digunakan oleh setiap anggota kelompok suku Anda. Bahasa daerah Anda merupakan sarana komunikasi antarindividu, keluarga, dan masyarakat di daerah. Anda bangga dapat berbahasa daerah Anda dengan baik. Bahasa daerah Anda dapat menunjukkan jati diri/identitas kedaerahan Anda.



Count



Sum



Average



Variance



120



542



4,52



0,29



120



527



4,39



0,43



120



526



4,38



0,32



120



522



4,35



0,43



120



519



4,33



0,46



113 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Bahasa daerah Anda harus digunakan di antara sesama anggota keluarga di rumah. Anda yakin bahasa daerah Anda akan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Bahasa daerah Anda sama penting dengan bahasa Indonesia dalam konteks kedaerahan. Anda lebih suka menggunakan bahasa daerah Anda dalam setiap komunikasi dengan anggota kelompok suku Anda. Anda lebih suka membaca bukubuku yang menggunakan bahasa daerah Anda. Bahasa daerah Anda lebih mudah menggambarkan perasaan dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Bahasa daerah Anda lebih memberikan manfaat daripada bahasa Indonesia. Bahasa daerah Anda lebih bermartabat dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Kosakata bahasa daerah Anda lebih mudah dipelajari daripada bahasa Indonesia. Anda lebih memilih menggunakan bahasa daerah ketika menyapa orang walaupun dia tidak tahu bahasa daerah Anda.



Count



Sum



Average



Variance



120



502



4,18



0,45



120



489



4,08



0,98



120



484



4,03



1,33



120



465



3,88



1,19



120



448



3,73



0,99



120



447



3,73



1,50



120



419



3,49



1,60



120



418



3,48



1,76



120



387



3,23



1,74



120



323



2,69



1,17



Rerata berada pada rentang 1,17—4,52. Rerata terendah terdapat pada pernyataan Anda lebih memilih menggunakan bahasa daerah ketika menyapa orang walaupun dia tidak tahu bahasa daerah Anda.



114 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Loyalitas dan Kebanggaan Bahasa serta Upaya Penutur untuk Menjaga Identitasnya



Sementara itu, rerata tertinggi pada butir pernyataan Anak-anak perlu menguasai bahasa daerah Anda. Berdasarkan rerata pada Tabel 3, sikap bahasa responden dapat dikelompokkan, apakah cenderung sangat positif, positif, cukup positif, negatif, atau bahkan sangat negatif. Kecenderungan sikap bahasa responden disajikan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Sikap Bahasa Responden terhadap Bahasa Tehit



Pernyataan



Average



Indeks



Anak-anak perlu menguasai bahasa daerah Anda. Bahasa daerah Anda harus dikuasai dan digunakan oleh setiap anggota kelompok suku Anda. Bahasa daerah Anda merupakan sarana komunikasi antarindividu, keluarga, dan masyarakat di daerah. Anda bangga dapat berbahasa daerah Anda dengan baik. Bahasa daerah Anda dapat menunjukkan jati diri/identitas kedaerahan Anda. Bahasa daerah Anda harus digunakan di antara sesama anggota keluarga di rumah. Anda yakin bahasa daerah Anda akan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Bahasa daerah Anda sama penting dengan bahasa Indonesia dalam konteks kedaerahan. Anda lebih suka menggunakan bahasa daerah Anda dalam setiap komunikasi dengan anggota kelompok suku Anda.



4,52



0,9



Kecenderungan Sikap Bahasa Penutur Sangat positif



4,39



0,88



Sangat positif



4,38



0,88



Sangat positif



4,35



0,87



Sangat positif



4,33



0,87



Sangat positif



4,18



0,84



Positif



4,08



0,82



Positif



4,03



0,81



Positif



3,88



0,78



Positif



115 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Pernyataan



Average



Indeks



Anda lebih suka membaca bukubuku yang menggunakan bahasa daerah Anda. Bahasa daerah Anda lebih mudah menggambarkan perasaan dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Bahasa daerah Anda lebih memberikan manfaat daripada bahasa Indonesia. Bahasa daerah Anda lebih bermartabat dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Kosakata bahasa daerah Anda lebih mudah dipelajari daripada bahasa Indonesia. Anda lebih memilih menggunakan bahasa daerah ketika menyapa orang walaupun dia tidak tahu bahasa daerah Anda. Total rata-rata dan indeks nilai sikap bahasa responden



3,73



0,75



Kecenderungan Sikap Bahasa Penutur Positif



3,73



0,75



Positif



3,49



0,7



Positif



3,48



0,7



Positif



3,23



0,65



Kurang positif



2,69



0,54



Kurang positif



3,72



0,74



Positif



Sikap bahasa yang sangat positif dari responden ditunjukkan dengan jawaban mereka yang sangat setuju terhadap lima butir pernyataan. Kelima butir tersebut adalah sebagai berikut. 1. Anak-anak perlu menguasai bahasa daerah Anda. 2. Bahasa daerah Anda harus dikuasai dan digunakan oleh setiap anggota kelompok suku Anda. 3. Bahasa daerah Anda merupakan sarana komunikasi antarindividu, keluarga, dan masyarakat di daerah. 4. Anda bangga dapat berbahasa daerah Anda dengan baik. 5. Bahasa daerah Anda dapat menunjukkan jati diri/identitas ke­da­ erahan Anda.



116 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Loyalitas dan Kebanggaan Bahasa serta Upaya Penutur untuk Menjaga Identitasnya



Berdasarkan sikap atau respons dari penutur bahasa Tehit terhadap kelima butir pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa mereka menyadari bahwa anak-anak mereka dan anak-anak generasi muda Tehit perlu menguasai bahasa Tehit. Selain perlu dikuasai, bahasa Te­ hit juga harus digunakan oleh setiap anggota kelompok suku Tehit. Bahwa bahasa Tehit digunakan sebagai sarana komunikasi antarinvidu, keluarga, dan antarmasyarakat di daerah juga mendapat respons yang sangat positif. Selain itu, kemampuan mereka berbahasa Tehit juga patut mereka banggakan. Kebanggaan karena mampu berbahasa Tehit dengan baik ini juga mereka nyatakan karena bahasa Tehit adalah jatidiri dan identitas mereka sebagai orang atau suku Tehit. Beberapa pernyataan yang mendapat respons positif dari responden adalah sebagai berikut. 1. Bahasa daerah Anda harus digunakan di antara sesama anggota keluarga di rumah. 2. Anda yakin bahasa daerah Anda akan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. 3. Bahasa daerah Anda sama penting dengan bahasa Indonesia dalam konteks kedaerahan. 4. Anda lebih suka menggunakan bahasa daerah Anda dalam setiap komunikasi dengan anggota kelompok suku Anda. 5. Anda lebih suka membaca buku-buku yang menggunakan bahasa daerah Anda. 6. Bahasa daerah Anda lebih mudah menggambarkan perasaan di­ ban­dingkan dengan bahasa Indonesia. 7. Bahasa daerah Anda lebih memberikan manfaat daripada bahasa Indonesia. 8. Bahasa daerah Anda lebih bermartabat dibandingkan dengan bahasa Indonesia. 9. Anda lebih suka menggunakan bahasa daerah Anda dalam setiap komunikasi dengan anggota kelompok suku Anda. 10. Anda lebih suka membaca buku-buku yang menggunakan bahasa daerah Anda. Pernyataan Bahasa daerah Anda harus digunakan di antara sesama anggota keluarga di rumah sepertinya tidak didukung dengan



117 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



penggunaan bahasa Tehit oleh responden. Hal ini dapat diketahui dari rendahnya frekuensi penggunaan bahasa Tehit oleh mereka. Mereka cenderung hanya berada pada kategori pernah untuk penggunaan bahasa Tehit. Hal ini berarti bahwa kategori tersebut lebih rendah di bawah frekuensi jarang. Hal ini menandakan bahwa pemertahanan mereka terhadap bahasa Tehit merupakan pemertahanan bahasa yang pasif. Responden juga cenderung bersikap positif terhadap pernyataan Anda yakin bahasa daerah Anda akan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, nampaknya hal itu akan sulit tercapai jika upaya-upaya untuk memuat bahasa Tehit berkembang tidak dilakukan. Pengembangan bahasa Tehit melalui pemerkayaan kosakata, tidak atau belum ditemukan. Hal lain misalnya menciptakan media atau ranah baru penggunaan bahasa Tehit juga tidak dilakukan atau tidak ditemukan. Tanpa upaya dari penutur bahasa Tehit untuk mengembangkan bahasa mereka, bahasa Tehit akan sulit berkembang. Bahasa daerah Anda sama penting dengan bahasa Indonesia da­ lam konteks kedaerahan. Butir pernyataan ini juga mendapat respons positif. Namun, upaya membuat agar bahasa Tehit menjadi bahasa yang penting, belum atau tidak dilakukan. Bahkan, ranah penggunaannya semakin kecil atau berkurang. Rerata untuk dua butir pernyataan (9 dan 10) yaitu 3,88 dan 3,73. Kedua rerata itu masih berada pada kategori sikap bahasa yang positif. Namun, sebagaimana pada pembahasan awal terhadap ranah penggunaan bahasa, penutur di Sorong Selatan yang merupakan pe­ milik bahasa Tehit, ternyata cenderung jarang menggunakan bahasa Tehit pada komunikasi antarsesama kelompok suku Tehit. Hal ini me­nunjukkan bahwa sikap bahasa yang positif tidak selalu didukung dengan penggunaan atau pemertahanan yang tinggi terhadap bahasa Tehit. Merujuk pada istilah yang dikemukakan Siregar (2011), suku Tehit di Sorong Selatan cenderung menunjukkan pemertahanan yang pasif terhadap bahasa Tehit. Sementara itu, sikap bahasa yang cenderung positif terhadap pernyataan Anda lebih suka membaca buku-buku yang menggunakan bahasa daerah Anda juga tidak didukung dengan tindakan nyata. Bisa jadi tidak adanya tindakan dari penutur disebabkan tidak tersedianya bahan bacaan yang menggunakan bahasa Tehit, bahasa daerah mereka. Sebagaimana diketahui, hampir sebagian besar wilayah di Indonesia, bahan bacaan yang menggunakan bahasa daerah masih sangat terbatas.



118 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Loyalitas dan Kebanggaan Bahasa serta Upaya Penutur untuk Menjaga Identitasnya



Penutur bahasa Tehit di Sorong Selatan mempunyai sikap yang cenderung kurang positif terhadap kosakata bahasa daerah mereka. Hal itu mereka tunjukkan dengan pengakuan bahwa kosakata bahasa Tehit tidak lebih mudah dipelajari daripada kosakata bahasa Indonesia. Mereka lebih mudah mempelajari kosakata bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Tehit. Oleh karena itu, perlu dibuat cara agar kosakata bahasa daerah menjadi lebih mudah dipelajari. Menjadi tugas para orang tua, tokoh masyarakat dan adat, guru, juga pemerintah setempat untuk mewujudkan hal ini. Dengan digunakannya atau ditemukannya cara yang mudah dan menarik, anak-anak akan tertarik juga untuk belajar dan menggunakan bahasa Tehit sebagai bahasa sehari-hari mereka. Terpeliharanya bahasa Tehit akan turut serta pula memelihara identitas mereka sebagai suku atau orang Tehit. Seperti yang terdapat dalam penelitian Katubi (2005: 90) tentang Hamap yang menjelaskan bahwa sebagian besar kelompok etnis percaya bahasa mereka merupakan medium terbaik untuk menjaga dan mengungkapkan tradisi. Oleh karena itu, mereka tetap menginginkan adanya transmisi kebahasaan kepada generasi berikutnya dan sama sekali tidak menginginkan adanya upaya untuk meninggalkan bahasa etnik mereka. Mereka beranggapan bahwa hilangnya bahasa Hamap berarti hilang pula kebudayaan mereka. Dalam suatu masyarakat dwibahasa (bilingual) yang melibatkan bahasa pendatang dan bahasa setempat, beberapa temuan pada umumnya menunjukkan bahwa tiap bahasa itu tetap dipelihara penggunaannya. Meskipun penggunaan bahasa Indonesia sebagai lingua franca se­ makin meluas terutama di kalangan generasi muda, transmisi bahasa Tehit kepada generasi berikutnya tetap dilakukan. Upaya generasi tua untuk melakukan transmisi bahasa ini tampaknya kurang mendapat respons oleh kalangan generasi muda. Sebagian besar orang tua me­ ngeluhkan penggunaan bahasa Tehit yang semakin menurun. Mereka juga mengatakan bahwa anak-anak mereka akan merespons komunikasi atau proses transmisi bahasa Tehit yang dilakukan orang tua atau generasi di atasnya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Langkah-langkah untuk menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa dan budaya Tehit dan memelihara identitas Tehit telah dilakukan, mi­ salnya di Kelurahan Seremuk. Beberapa orang yang mempunyai ke­ pedulian terhadap nasib dan masa depan bahasa dan budaya Tehit de­ ngan sukarela telah mengajarkan hal itu kepada generasi muda dan anakanak. Kegiatan itu dilakukan secara berkala. Dengan dukungan tokoh



119 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



adat, tetua-tetua suku, juga orang tua, kegiatan itu diharapkan akan terus berjalan. Salah satu faktor yang juga penting untuk diperhatikan adalah sikap pemerintah: sejauh mana pemerintah mendukung dan melindungi eksistensi bahasa-bahasa nondominan. Wilayah tutur yang lain juga bisa menerapkan hal yang sama yang dilakukan di Seremuk. Dengan kecintaan dan kepedulian semua pihak, bahasa dan budaya Tehit akan tetap terpelihara. Bahasa Tehit adalah me­dium terbaik untuk menjaga dan mengungkapkan tradisi etnis atau suku Tehit. D. Penutup Bahasa Tehit sebagai identitas suku Tehit di Papua Barat, khususnya di wilayah Sorong Selatan, tampaknya masih akan ter­pe­lihara. Komunitas tutur bahasa Tehit di wilayah ini memiliki ke­banggaan dan loyalitas sebagai penutur bahasa Tehit. Upaya untuk tetap menjaga bahasa mereka sebagai penanda jati diri dan kearifan lokal, terus dilakukan. Kontak bahasa dan budaya dengan penutur bahasa dan pendukung budaya lain diharapkan tidak memudarkan kebanggaan generasi mudanya terhadap bahasa dan budaya Tehit di tengah situasi makin meluasnya penggunaan bahasa Indonesia. Dengan demikian, tidak terjadi pelanggaran norma linguistik. Penggunaan bahasa antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah secara diglosia akan tetap terpelihara. Upaya untuk mengembangkan dan membuat bahasa Tehit lebih diminati oleh generasi muda harus dilakukan. Kemudahan dalam mem­ pe­lajari kosakata bahasanya serta cara-cara menarik lainnya perlu dilakukan dengan melibatkan generasi atau penutur muda bahasa ter­ sebut. Daftar Referensi Edwards, J. (2009). Language and Identity: An Introduction. University Press. Hidayah, Z. (2015). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Katubi. (2005). Identitas Etnolinguistik Orang Hamap: Kode Etnisitas dan Bahasa Simbol. LIPI Press. Lauder, & Multamia R.M.T. (ed). (2016). Vitalitas Beberapa Bahasa di Wilayah Indonesia Bagian Timur (Multamia R.M.T. (ed.) (ed.)). LIPI Press.



120 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Loyalitas dan Kebanggaan Bahasa serta Upaya Penutur untuk Menjaga Identitasnya



Lewis, M. P. et. a. (Eds. . (2015). Ethnoloque: Languages of Asia. SIL International Publication. Mukhamdanah. (2005). “Pemertahanan dan Sikap Bahasa WNI Keturunan Cina di Medan dalam Konteks Kebahasaan.” Universitas Sumatera Utara. Mukhamdanah, Palupi, D., & Sanjoko, Y. (2021). “Vitalitas Bahasa Tehit di Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat.” Siregar, B. U. (2011). Seluk Beluk Fungsi Bahasa. Pusat Kajian Bahasa dan Budaya, Universita Katolik Indonesia Atma Jaya. Sugono, D., Sasangka, S. S. T. W., & Rivay, O. S. (2017). Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. https://repositori.kemdikbud.go.id/7191/ Suhardi, B. (1996). Sikap Bahasa. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sumarsono. (1993). Pemertahanan Bahasa Melayu Lolan di Bali. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Voorhoeve, L. A. B. (1995). Tales from a Concave World. Leiden University.



121 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



GELIAT PENGUATAN IDENTITAS KEDAERAHAN DALAM FILM INDONESIA Ratih Rahayu Rini Widiastuti



A. Pengantar Film menurut Wibowo (2007) merupakan alat untuk menyampaikan berbagai pesan kepada khalayak melalui media cerita sebagai medium ekspresi artistik serta alat bagi para seniman dan insan perfilman mengutarakan berbagai gagasan dan ide. Menurut Sobur (2018), film dapat memengaruhi dan membentuk masyarakat sesuai dengan muatan pesan di baliknya tanpa pernah berlaku sebaliknya. Film biasanya merekam berbagi realitas yang tumbuh dan berkembang di masyarakat yang kemudian diproyeksikan ke atas layar. Ibrahim (2007) mengungkapkan bahwa sebagai sebuah industri, film menjadi bagian dari produksi ekonomi suatu masyarakat yang harus dipandang dalam hubungannya dengan beragam produk industri lainnya. Sebagai bagian dari komunikasi, film menjadi bagian penting dari sistem yang digunakan oleh individu dan kelompok untuk mengirim serta menerima pesan. Dengan demikian, secara singkat film diartikan sebagai salah satu media komunikasi massa dalam bentuk audio dan visual yang merekam beragam realitas di masyarakat serta memiliki nilai ekonomi. Film dapat digunakan sebagai media penyampai pesan melalui berbagai dialog para tokoh dalam alur cerita atau gambar yang ditampilkan sesuai skenario. Sebagai media komunikasi massa, film memiliki fungsi untuk menyampaikan pesan dalam bentuk informasi, edukasi, dan hiburan. Sebagai media komunikasi, film memiliki



122 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Geliat Penguatan Identitas Kedaerahan dalam Film Indonesia



pengaruh yang cukup signifikan terhadap pembentukan pola pikir ma­ syarakat. Selain sebagai media komunikasi, film juga dapat dijadikan se­ bagai media sosialisasi dan publikasi budaya yang bersifat persuasif. Pendapat tersebut sejalan dengan Mcquail (1992) yang menyatakan bahwa media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, ma­na­ jemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan se­ba­ gai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya.  Media massa sesungguhnya menjadi agen dalam transformasi dan internalisasi nilai-nilai budaya yang di dalamnya termasuk identitas seseorang berdasar daerah tempat ia dibesarkan. Identitas tidak dapat dipisahkan dari budaya tertentu karena dimiliki secara kolektif dalam suatu kelompok. Berangkat dari pemikiran Rutherford, Dewi (2011) mengungkapkan bahwa identitas merupakan satu mata rantai masa lalu dengan berbagai hubungan sosial, kultural, dan ekonomi di dalam ruang dan waktu suatu masyarakat hidup. Dengan kata lain, identitas sebagai sebuah objek komunal berfungsi sebagai pembeda antara satu anggota masyarakat budaya atau daerah tertentu dengan budaya atau daerah lainnya. Pada era globalisasi seperti sekarang ini, film Indonesia diharapkan dapat menjadi tameng melunturnya budaya dan identitas kedaerahan yang ada di Nusantara dari gempuran budaya luar. Identitas bangsa yang bersumber dari berbagai identitas kedaerahan perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Dengan demikian, segala upaya memajukan perfilman Indonesia haruslah se­ jalan dengan dinamika masyarakat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa meninggalkan identitas bangsa. Bagaimanakah perkembangan perfilman Indonesia dari awal muncul hingga kini? Apakah film-film Indonesia yang tayang di bioskop sudah memuat unsur identitas kedaerahan? Dari daerah mana saja identitas kedaerahan yang muncul dalam film Indonesia? Beberapa pertanyaan tersebut akan dijawab dalam uraian berikut. B. Perkembangan Film Indonesia Berdasarkan hasil Statistik Sosial Budaya 2021 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, film merupakan jenis pertunjukan yang paling banyak ditonton oleh penduduk umur 5 tahun ke atas, yaitu



123 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



sekitar 63,61% (Badan Pusat Statistik, 2022). Data hasil statistik tersebut seyogianya dapat dimanfaatkan untuk memecahkan berbagai per­soalan bangsa. Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang dan menarik. Film Indonesia perdana muncul pada masa kolonial yang dulu hanya dapat ditonton oleh orang-orang Eropa dan Amerika. Jenis filmnya pun lebih banyak film dokumenter yang berisi kehidupan warga lokal Indonesia dan keindahan alam. Saat itu, film-film panjang masih banyak diimpor dari Prancis dan Amerika Serikat. Sejarah mencatat bahwa film Indonesia pertama (film bisu) yang diproduksi adalah Loetoeng Kasaroeng pada 31 Desember 1926. Selan­ jutnya, muncul film yang berjudul Terang Boelan pada tahun 1934 yang dibintangi oleh pasangan bintang film lokal Indonesia, yaitu Roekiah dan Raden Mochtar (Wikipedia, 2022). Periode 1942–1949, pada masa penjajahan Jepang, ada tiga film yang diproduksi dan dijadikan alat propaganda Jepang. Pada 31 Maret 1950, Usmar Ismail mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) dengan memproduksi film Darah dan Doa (Long March Siliwangi). Pengambilan gambar pertama dilakukan pada 30 Maret 1950 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional (Wikipedia, 2022). Pada 1955 muncul ajang perfilman berskala nasional untuk mengapresiasi kerja para insan film, yaitu Festival Film Indonesia (FFI). Selanjutnya pada periode 60–70, kondisi perfilman Indonesia memasuki era yang tidak baik karena dipengaruhi kondisi ekonomi dan politik akibat adanya isu PKI. FFI sempat mengalami pasang surut selama beberapa kali hingga tahun 1973 FFI kembali digelar dan kembali terhenti pasca-1992. Hal tersebut disebabkan terlalu ba­ nyak peraturan dan kebijakan pemerintah terhadap kontrol sosial dan budaya. Akhirnya, kondisi tersebut membelenggu perkembangan industri perfilman tanah air (Wikipedia, 2022). Film Indonesia sempat menjadi tuan rumah di negara sendiri pada periode 1980-an. Masa tersebut merupakan puncak pencapaian industri film Indonesia setelah periode kemerdekaan karena film Indonesia merajai berbagai bioskop lokal. Beberapa film yang terkenal pada saat itu di antaranya Catatan Si Boy dan Blok M. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina,



124 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Geliat Penguatan Identitas Kedaerahan dalam Film Indonesia



Lydia Kandou, Nike Ardilla, Paramitha Rusady, dan Desy Ratnasari (Wikipedia, 2022). Pada periode 1980–1990-an acara FFI masih diadakan setiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Namun, karena satu hal perfilman Indonesia semakin menurun awal 1990 hingga 2000. Saat itu, hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang menjual sensualitas dan membuat film Indonesia tidak menjadi tuan rumah di negara sendiri karena filmfilm dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut (Wikipedia, 2022). Pertumbuhan film Indonesia dari tahun ke tahun dilihat dari jumlahnya dapat dilihat pada grafik berikut ini. Grafik Pertumbuhan Film Indonesia



Sumber: Wikipedia (2022)



Pertengahan tahun 2000 mulai kembali terlihat kebangkitan per­ filman Indonesia setelah munculnya film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf. Film itu merupakan film musikal bergenre anak-anak yang telah mengisi kekosongan film anak Indonesia selama sekian tahun. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar telah berjasa besar menghidupkan kembali perfilman Indonesia yang sempat mati suri. Antrean panjang di bioskop selama se­bulan lebih cukup menandakan kesuksesan film tersebut secara komersial (Wikipedia, 2022).



125 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Setelah itu, beraneka film lain bermunculan dengan segmen yang berbeda-beda, misalnya film Jelangkung yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu, ada pula film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ke kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film bertema serupa dengan film Petualangan Sherina, yang mirip dengan Jelangkung (Di Sini Ada Setan, Tusuk Jelangkung), dan juga film remaja lain seperti Biarkan Bintang Menari dan Eiffel I’m in Love menjamur. Ada juga film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan! karya Nia Dinata (Wikipedia, 2022). Selain film-film komersial tersebut, ada beberapa film nonkomersil yang berhasil memenangkan berbagai penghargaan, antara lain Pasir Berbisik, Daun di Atas Bantal, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, Marsinah, Beth, Novel tanpa huruf R, dan Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga kembali diadakan pada 2004 setelah vakum selama 12 tahun (Wikipedia, 2022). Pada periode 2010–2019, perfilman Indonesia mengalami berbagai peningkatan sangat signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut dibuktikan dengan pembangunan beberapa bioskop baru di wilayah luar Jawa. Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah meng­ geliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat. Namun demikian, pandemi Covid-19 pada awal tahun 2020 me­ lumpuhkan industri perfilman di dalam dan luar negeri. Indonesia yang tidak luput dari pandemi telah memaksa pemerintah untuk membuat keputusan Penegakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat, yaitu pembatasan berbagai kegiatan berkelompok. Salah satu dampaknya membuat beberapa pengusaha bioskop menutup usahanya dan kegiatan pembuatan film pun harus ditunda untuk sementara waktu sejak pertengahan Maret 2020 (Wikipedia, 2022). Pandemi ternyata tidak serta merta melumpuhkan kreativitas anak bangsa untuk menulis dan membuat film. Pengusaha rumah produksi



126 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Geliat Penguatan Identitas Kedaerahan dalam Film Indonesia



pun ternyata tetap melanjutkan kegiatan profesional mereka melalui platform daring. Hal itu ditandai dengan mulai berkembangnya tren penonton daring dari platform baru seperti Netflix. Fenomena tersebut mendorong industri lokal meningkatkan kualitas mereka dengan berbagai cara dan ada sebagian yang bekerja sama dengan pihak televisi nasional untuk memperoduksi berbagai jenis tayangan (Wikipedia, 2022). Saat ini, pada tahun 2022, dunia perfilman Indonesia kembali bang­kit setelah mulai dibukanya kembali bioskop-bioskop di tanah air. Beragam tema dan jenis film Indonesia mulai tayang di bioskop yang raihan jumlah penontonnya tidak kalah dengan film Hollywood. C. Film Indonesia Mengusung Identitas Kedaerahan Indonesia terkenal memiliki kekayaan sumber daya alam, kebiasaan, adat istiadat serta budaya yang beragam. Amat disayangkan bila kekayaan alam dan budaya Indonesia tidak diketahui oleh masyarakat dunia. Melalui film, pegiat seni dapat memberikan kontribusi dalam menggambarkan keadaan lingkungan serta masyarakat yang ada di sebuah daerah, baik berdasarkan kisah nyata maupun rekaan.  Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman (2009) dijelaskan bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat untuk memperkuat ketahanan nasional. Film merupakan salah satu media pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional. Pemerintah sangat menyadari bahwa sebagai media komunikasi massa film dan perfilman Indonesia perlu dikembangkan dan dilindungi. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman (2009) Pasal 10 secara jelas menegaskan bahwa kegiatan perfilman dan pelaku usaha pertunjukan film wajib mengutamakan film Indonesia dan dengan mengutamakan penggunaan sumber daya dalam negeri secara optimal. Dalam Pasal 12 juga dijelaskan bahwa pelaku usaha pertunjukan film dilarang mempertunjukan film hanya dari satu rumah produksi. Selain itu, pengedarannya dilarang mengimpor film melebihi 50% dari jam pertunjukannya selama enam bulan berturut-turut demi menghindari praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.



127 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Dengan adanya regulasi yang mendukung perfilman Indonesia, insan film Indonesia pun mulai menunjukkan kreativitas. Mereka mulai berani menjajal berbagai festival film berskala internasional untuk melombakan hasil karya. Para insan film pun tidak segan untuk mulai mengangkat beraneka tema berunsur kedaerahan yang cukup menarik bagi masyarakat internasional. Tema film seputar kota metropolitan yang sudah banyak diangkat ke layar lebar telah membuat penonton mengalami kejenuhan. Kalangan produser film Indonesia pun meyakini berbagai film yang mengangkat tema kedaerahan akan menjadi masa depan industri film di Indonesia. Indonesia memiliki keragaman budaya lokal serta kekayaan cerita yang berkembang di daerah yang layak diangkat sebagai tema film layar lebar. Hasil penelusuran menunjukkan cukup banyak film Indonesia yang bermuatan kedaerahan. Identitas kedaerahan muncul melalui sebagian dialog tokoh sesuai dengan latar film tersebut. Selain melalui dialog para tokoh, identitas kedaerahan juga dapat secara langsung terlihat dari judul film karena memang menggunakan istilah atau kosakata bahasa daerah. Berdasarkan data statistik hasil sensus penduduk tahun 2010, urutan sepuluh etnis terbanyak jumlah populasinya yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (2022) terlihat pada tabel berikut. Tabel 1 Hasil Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010 No 1



2



Suku Jawa*



Sunda



Jumlah 2010 95.217.022



36.701.670



128 Dokumen Milik Pustaka Jaya



%



Kawasan Utama



40,22%



Jawa Tengah, Jawa Timur,  DI Yogyakarta, Lampung,  Sumatra Utara, DKI Jakarta,  Jawa Barat



15,50%



Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan



Dokumen Milik Pustaka Jaya Geliat Penguatan Identitas Kedaerahan dalam Film Indonesia



No



Suku



Jumlah 2010



%



Kawasan Utama



3



Batak



8.466.969



3,58%



Sumatra Utara, Riau, Kota Batam Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat



4



Asal  Sulawesi*



7.634.262



3,22%



Sulawesi



5



Madura



7.179.356



3,03%



Pulau Madura Jawa Timur, Kalimantan Barat



6



Betawi



6.807.968



2,88%



DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten



7



Minangkabau



6.462.713



2,73%



Sumatra Barat, Riau



8



Bugis



6.359.700



2,69%



Sulawesi Selatan



9



Melayu



5.365.399



2,27%



Riau, Kalimantan Barat, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Kepulauan Riau



10



Asal  Sumatra Selatan*



5.119.581



2,16%



Sumatra Selatan



Sumber: Badan Pusat Statistik (2022)



Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa etnis Jawa, Sunda, dan Batak mengisi tiga peringkat teratas berdasarkan jumlah populasi. Melalui penelusuran dari berbagai sumber ditemukan bahwa identitas kedaerahan ketiga etnis tersebut juga banyak terdapat dalam film-film Indonesia. Dengan demikian, dalam tulisan ini hanya akan dibahas film-film yang memuat identitas kedaerahan dari ketiga etnis teratas berdasarkan jumlah penduduk. Judul-judul film Indonesia berikut tahun pembuatan yang ber­ muatan identitas kedaerahan Batak, Jawa, dan Sunda dari masa awal munculnya film bioskop hingga tahun 2022 dapat dilihat dalam tabel berikut.



129 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Tabel 2 Film-film Indonesia Bermuatan Identitas Batak, Jawa, dan Sunda Batak



Jawa



Sunda



1. A Sing Sing So (1963) 2. Bulan di Atas Kuburan (1973) 3. Secangkir Kopi Pahit (1985) 4. Rokkap (2010) 5. Anak Sasada (2011) 6. Permata di Tengah Danau (2012) 7. Demi Ucok (2013) 8. Mutiara dari Toba (2013) 9. Mursala (2013) 10. Bulan di Atas Kuburan (2015) 11. Toba Dreams (2015) 12. Lamaran (2015) 13. Pariban: Idola dari Tanah Jawa (2019) 14. Horas Amang: Tiga Bulan untuk Selamanya (2019) 15. Ngeri-Ngeri Sedap (2022)



1. Mas Suemo Bojong (1942) 2. Perempuan Berkalung Sorban (2009) 3. Negeri di Bawah Kabut (2011) 4. Soegija (2012) 5. Air Mata Bunda (2013) 6. Tenggelamnya Kapal van der Wijck (2013) 7. Street Society (2014) 8. Jenderal Sudirman (2015) 9. Turah (2016) 10. Mobil Bekas dan Kisah-Kisah dalam Putaran (2017) 11. Ziarah (2017) 12. Kartini (2017) 13. YoWis Ben (2018) 14. Yowis Ben 2 (2019) 15. Yowis Ben 3 (November 2021) 16. Yowis Ben Finale (Desember 2021) 17. Calon Bini (2019) 18. Bumi Manusia (2019) 19. Say I Love You (2019) 20. Perempuan Tanah Jahanam (2019)



1. Loetoeng Kasaroeng (1926) 2. Tjioeng Wanara (1941) 3. Toha, Pahlawan Bandung Selatan (1961) 4. Si Kabayan (1975) 5. Kabayan Saba Kota (1989) 6. Si Kabayan dan Gadis Kota (1990) 7. Komar Si Glen Kemon Mudik (1990) 8. Si Kabayan dan Anak Jin (1991) 9. Si Kabayan Saba Metropolitan (1992) 10. Si Kabayan Cari Jodoh (1994) 11. Kabayan Jadi Milyuner (2010)



130 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Geliat Penguatan Identitas Kedaerahan dalam Film Indonesia



Batak



Jawa



Sunda



21. Jack (2019) 22. Gundala (2019) 23. Sobat Ambyar (2021) 24. KKN Di Desa Penari (2022) 25. Lara Ati (2022) 26. Srimulat: Hil yang Mustahal (2022) Sumber: Wikipedia (2022)



Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa film Indonesia yang mem­ bawa identitas Jawa memiliki jumlah terbanyak, yaitu 26 film. Film yang membawa identitas Batak meraih peringkat kedua dengan jumlah 15 film. Sementara, film yang membawa identitas Sunda berjumlah 11 film. Bila dikaitkan dengan hasil sensus penduduk dalam tabel se­belumnya dapat dilihat bahwa peringkat jumlah penduduk ber­dasarkan etnis tidak selalu sejalan dengan jumlah film yang membawa identitas kedaerahan. Film Indonesia yang mengandung muatan identitas Jawa mulai mun­cul sejak tahun 1942 dengan film yang berjudul Mas Suemo Bojong. Kemudian diikuti film kedua pada tahun 2009 dengan film berjudul Perempuan Berkalung Sorban, Negeri di Bawah Kabut (2011), Soegija (2012), Air Mata Bunda (2013), Tenggelamnya Kapal van der Wijck (2013), Street Society (2014), Jenderal Sudirman (2015), Turah (2016), dan selanjutnya. Bila dicermati, sejak tahun 2011 hingga 2022, film Indonesia di bioskop yang membawa identitas Jawa hampir selalu ada setiap tahunnya (Wikipedia, 2022). Film Indonesia yang mengandung muatan identitas Sunda sudah muncul sejak film yang diputar di bioskop masih berupa film bisu dan dicatat dalam sejarah menjadi film Indonesia pertama, yaitu Loetoeng Kasaroeng (1926). Film kedua berjudul Tjioeng Wanara (1941), kemudian diikuti kemunculan film berjudul Toha, Pahlawan Bandung Selatan (1961), serta Si Kabayan (1975). Film Indonesia yang membawa identitas Sunda mulai kerap hadir setiap tahun sejak 1989, yaitu sejak munculnya film berjudul Kabayan Saba Kota yang diperankan oleh aktor Didi Petet. Film Indonesia berikutnya yang membawa identitas



131 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Sunda berjudul Si Kabayan dan Gadis Kota (1990), Komar Si Glen Kemon Mudik (1991), Si Kabayan dan Anak Jin (1991), Si Kabayan Saba Metropolitan (1992), Si Kabayan Cari Jodoh (1994), dan terakhir Kabayan Jadi Milioner (2010). Setelah itu, tidak ada lagi film Indonesia di bioskop yang membawa identitas Sunda (Wikipedia, 2022). Film Indonesia yang membawa identitas Batak mulai hadir se­ jak munculnya film berjudul A Sing Sing So (1963). Sepuluh tahun kemudian muncul film yang berjudul Bulan di Atas Kuburan (1973), diikuti film Secangkir Kopi Pahit (1985), Rokkap (2010), Anak Sasada (2011), Permata di Tengah Danau (2012), Demi Ucok (2013), Mutiara Dari Toba (2013), Mursala (2013), Bulan di Atas Kuburan (2015), Toba Dreams (2015), Lamaran (2015), Pariban: Idola dari Tanah Jawa (2019), Horas Amang: Tiga Bulan untuk Selamanya (2019), dan terakhir berjudul Ngeri-Ngeri Sedap (2022). Bila diperhatikan, film Indonesia yang membawa identitas Batak memiliki judul yang lebih bervariasi dibanding film yang membawa identitas Sunda dan tidak sungkan menggunakan kosakata bahasa Batak (Wikipedia, 2022). Dalam tabel hanya dimuat beberapa film yang tayang di bioskop dan tidak disertakan judul berbagai film pendek berbahasa Batak, Jawa, dan Sunda yang diproduksi oleh sineas lokal. Bila ditambah dengan film-film pendek karya sineas muda daerah, jumlah film yang bermuatan identitas Jawa, Sunda, dan Batak tentu akan lebih banyak lagi. Beberapa judul film pendek yang membawa identitas Jawa yang meraih berbagai penghargaan di tingkat nasional maupun internasional, antara lain Anak Lanang (2017), Tilik (2017), Dluwang: The Past from the Trash (2017), Har (2018), Bura (2019), Cipto Rupo (2019), dan Fitrah (2020). Film Anak Lanang merupakan satu-satunya pemenang yang berasal dari Indonesia dalam Short Film Competition yang perdana diadakan oleh Indonesian Film Festival Australia tahun 2019. Film ini pernah mendapatkan Honorable Mention dalam Panasonic Young Filmmaker 2017 dan menjadi Official Selection di Jogja-NETPAC Asian Film Festival ke-12 (Wikipedia, 2022). Film pendek berjudul Tilik sukses di media sosial dan menarik perhatian masyarakat karena dianggap dekat dan merefleksikan kehidupan sehari-hari. Film berjudul Bura memenangkan penghargaan Jury Award, Best Cinematography Award, dan Best Sound Award di Sea Shorts Film Festival. Film yang sama di Jogja-NETPAC Asian Film Festival ke-15 mendapat kategori Student Award dan Blencong Award serta dinominasikan



132 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Geliat Penguatan Identitas Kedaerahan dalam Film Indonesia



di Festival Film Indonesia untuk Film Cerita Pendek Terbaik. Film Cipto Rupo memenangkan kategori Special Mention Short Documentary Festival Film Dokumenter 2019 dan dinominasikan sebagai Film Dokumenter Pendek Terbaik Festival Film Indonesia. Selain itu, ada film pendek berjudul Dluwang: The Past from the Trash yang merupakan sebuah film dokumenter pendek Indonesia tahun 2017 yang disutradarai oleh Agni Tirta. Film ini menjadi salah satu nominasi Film Dokumenter Pendek Terbaik di Festival Film Indonesia tahun 2017. Kesuksesan beberapa film pendek di kancah nasional maupun internasional menunjukkan kebangkitan film pendek karya kreatif sineas muda Indonesia. D. Penutup Film sebagai salah satu karya seni budaya masyarakat merupakan hasil proses kreatif warga negara yang diramu dengan memadukan keindahan dan kecanggihan teknologi serta sistem nilai, gagasan, nor­ma, dan tindakan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan ber­negara. Film sebagai karya seni budaya juga merupakan media komunikasi massa yang berisi beragam gagasan dan pesan kepada masyarakat dengan daya pengaruh yang besar. Film merupakan salah satu unsur dari media komunikasi massa yang menggambarkan kehidupan sosial dalam masyarakat. Sebagai salah satu kreasi budaya, film memberikan gambaran-gambaran hidup dan pelajaran penting dengan sangat jelas kepada penontonnya. Di era teknologi seperti sekarang ini, film sebagai bagian dari media massa menjadi sarana komunikasi yang paling efektif. Dengan tema yang menarik serta kualitas audio dan visual yang baik, film dapat menjadi media yang sangat ampuh dalam pembentukan pola pikir masyarakat. Film sebagai bagian dari karya seni merupakan satu dari delapan objek pemajuan kebudayaan yang tercantum dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan (2017). Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pemerintah senantiasa berupaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui berbagai cara, yaitu pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan. Berdasarkan uraian-uaraian sebelumnya, dapat diketahui bahwa pada saat ini mulai terlihat geliat munculnya film-film bioskop yang menggunakan bahasa daerah dan/atau bertemakan kedaerahan, terutama



133 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Jawa dan Batak. Film beretnis Sunda terhenti sejak 2010 dan film di luar etnis Jawa dan Batak masih sedikit. Film-film yang membawa identitas kedaerahan tersebut tidak sungkan mengangkat tema-tema yang cukup sensitif terkait dengan identitas suatu etnis. Film sebagai bagian dari hasil produksi budaya masyarakat me­ miliki fungsi pendidikan, hiburan, informasi, dan juga pendorong kreativitas masyarakat. Film juga dapat berfungsi secara ekonomi dan mampu memajukan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai bidang terkait. Film yang membawa identitas kedaerahan seperti yang diuraikan da­lam subbab sebelumnya membuktikan bahwa film bermuatan un­ sur kedaerahan memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, tanpa kita sadari film menyentuh berbagai segi kehidupan manusia dalam ber­ masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebagai hasil produksi budaya, film juga dapat membentuk sikap suatu masyarakat. Seperti dikemukakan Anderson (1974), sikap di masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu sikap kebahasaan dan sikap non­kebahasaan. Dengan semakin seringnya masyarakat melihat film yang memiliki muatan identitas kedaerahan, diharapkan akan mun­cul sikap positif ma­ syarakat terhadap nilai-nilai kedaerahan, baik sikap kebahasaan maupun nonkebahasaan. Keterkaitan antara film, pema­haman dalam masyarakat, dan sikap masyarakat terlihat pada bagan berikut ini. Bagan 1. Skema Keterkaitan Film dan Sikap Masyarakat



Karena fungsi yang seperti itu, sudah sewajarnya film-film Indonesia lebih sering mengangkat identitas kedaerahan. Pada sisi yang lain, filmfilm impor yang diputar di Indonesia idealnya dibatasi pada film-film yang



134 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Geliat Penguatan Identitas Kedaerahan dalam Film Indonesia



lebih dapat mewujudkan terbinanya akhlak mulia, kecerdasan kehidupan bangsa, terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatnya harkat dan martabat bangsa, berkembang dan lestarinya nilai budaya bangsa, meningkatnya kesejahteraan masyarakat, dan berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang pernah maupun yang masih hidup. Munculnya film-film Indonesia yang memuat identitas kedaerahan diharapkan dapat menciptakan masyarakat yang peka dan mampu untuk mengempati suatu budaya. Selain itu, kemunculan tersebut juga menciptakan masyarakat yang dapat mengakui, menerima, dan meng­ hargai berbagai perbedaan yang mendasar antara diri sendiri dan orang lain yang berasal dari budaya yang berbeda. Dengan kondisi yang seperti, suatu saat diharapkan akan tercipta masyarakat yang memiliki kesadaran dan kemampuan yang tinggi dalam bernegosiasi terhadap realitas baru tentang dirinya, yaitu realitas sebagai bagian budaya kel­ ompok lain demi terciptanya sebuah harmonisasi sosial. Daftar Referensi



Anderson, A. E. (1974). Language Attitudes, Belief, Values: A Study Linguistic Cognitive Framework. University Washington D.C. Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik Sosial Budaya 2021. Www.Bps. Go.Id. https://www.bps.go.id/publication/2022/06/30/6a2dabc16d556ab9d075f918/statistik-sosial-budaya-2021.html Dewi, P. A. R. (2011). Konstruksi Identitas Kedaerahan oleh Media Massa Lokal. Jurnal ASPIKOM, 1(2), 149—158. https://doi.org/http://dx.doi. org/10.24329/aspikom.v1i2.14 Ibrahim, I. S. (2007). Budaya Populer sebagai Komunikasi Dinamika popscape dan mediascape di Indonesia kontemporer. Jalasutra. Mcquail, D. (1992). Media Performance: Mass Cumunication and Publik Interest. SAGE Publication. Sage. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman, (2009). https:// peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38772/uu-no-33-tahun-2009 Undang Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan, (2017). Sobur, A. (2018). Semiotika Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Wibowo, F. (2007). Teknik Produksi Program Televisi. Pinus Book Publisher. Wikipedia. (2022). Sinema Indonesia. Id.Wikipedia.Org. https://id.wikipedia. org/wiki/Sinema_Indonesia



135 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



WUJUD RELASI EMOSIONAL BOBOTOH KEPADA PERSIB DALAM IDENTITAS BAHASA SUNDA Yusup Irawan1 Irmayani2 Dedy Ari Asfar3



A. Pengantar Indonesia adalah sebuah negara yang penduduknya memiliki ketertarikan yang tinggi kepada sepak bola. Disebutkana bahwa orang Indonesia berada pada ranking kedua di dunia yang tertarik kepada olahraga tersebut. Bahkan, orang Indonesia berada pada posisi ketiga di antara negara-negara Asia Tenggara yang aktif berpartisipasi dalam sepak bola (Repucom, 2014). Gejala ketertarikan yang tinggi terhadap olahraga sepak bola terjadi juga pada masyarakat Jawa Barat, khususnya masyarakat Bandung yang sangat mengidolakan kesebelasan Persib. Persatuan Sepak Bola Indonesia Bandung atau lebih populer disebut Persib adalah salah satu klub sepak bola yang identik dengan kultur Sunda. Bisa dikatakan klub sepak bola yang bermarkas di Kota Bandung ini merupakan bagian dari representasi identitas Sunda. Kalimat berikut merepresentasikan relasi kuat antara orang Sunda dan Persib.



Abdi mah asli Sunda wajib weh ngadukung Persib heu euh. ‘Aku asli orang Sunda wajib mendukung Persib ya’.



1 Penulis kontributor utama 2 Penulis kontributor anggota 3 Penulis kontributor anggota



136 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Wujud Relasi Emosional Bobotoh kepada Persib dalam Identitas Bahasa Sunda







Aing bangga hirup nangtung di tanah Sunda, aing bangga ngadukung Persib ‘Aku bangga hidup berdiri di tanah Sunda, aku bangga mendukung Persib’.



Klub sepak bola yang berjulukan Maung Bandung ‘Harimau Ban­dung’ ini memiliki pendukung setia bahkan fanatik yang disebut bobotoh. Kata bobotoh sudah lama melegenda dalam alam pikiran masyarakat Sunda, khususnya masyarakat Kota Bandung sebagai ko­ mu­ nitas inti pendukung Persib. Kamus Umum Basa Sunda (1980) yang disusun Lembaga Basa Jeung Sastra Sunda terbitan Geger Sunten men­­deskripsikan kata bobotoh dengan makna purah ngagédean hate atawa ngahudang sumangét ka nu rek atawa keur ngadu jajaten ‘orang yang membesarkan hati atau membangkitkan semangat orang yang akan atau sedang mengadu kesaktian. Kata turunan bobotoh adalah ngabobotohan, yaitu sebuah verba yang bermakna ngagédekeun hate anu rek atawa keur ngadu ‘membesarkan hati orang yang sedang atau akan bertanding’. Pembentukan identitas sosial suporter sebuah klub sepak bola, seperti hasil analisis Doewes dan Riyadi (2016) terhadap komunitas Are­ mania, dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa karaktersitik suporter itu sendiri, sedangkan faktor eksternal berupa aspek budaya, politik, ekonomi, dan eksistensi kolompok su­ porter sepak bola lainnya. Menurut Hadi (2017), para bobotoh Persib mulai melembagakan dukungannya dalam beberapa komunitas sejak tahun 1990-an. Sampai saat ini sudah terdapat beberapa komunitas bobotoh yang eksis ngebobotohan Persib dalam setiap laganya, seperti FCC, BF33, The Bombs, Bomber, dan Viking. Melalui pelembagaan sosial, komunitas bobotoh ingin mengonkretkan ide “perluasan ma­ syarakat sunda”. Ide tersebut tidak saja melibatkan orang Sunda asli, tetapi juga para pendatang di tanah Pasundan. Dalam konteks bobotoh, orang sunda asli dapat menguatkan identitas kulturalnya. Di sisi lain, para pendatang memperoleh penerimaan sekaligus pengakuan sebagai bagian dari warga Jawa Barat khususnya warga Bandung (Hadi, 2017). Rivalitas Persib dengan klub-klub sepak bola lain, khususnya dengan Persija, semakin memperkukuh pembentukan identitas bobotoh sebagai sebuah wadah sosial pendukung Persib. Sejak tahun 1933 lebih dari 150 kali pertemuan antara Persib dan Persija di lapangan. Rivalitas



137 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



bebuyutan di antara kedua tim berdampak pada situasi hubungan di antara pendukung kedua tim. Situasi itu sering kali diwujudkan dengan penguatan identitas kelompok yang kadang-kadang diwujudkan dalam bentuk kekerasan. Yang lebih menarik, pada saat ini, muncul pula komunitas-komunitas bobotoh Persib perempuan, di antaranya Ladies Vikers, Maung Geulis, Blue Flower, dan Bobotoh Unyu-Unyu. Dasar dari pembentukan komunitas bobotoh perempuan itu sama, yaitu ke­ cintaannya kepada Persib. Komunitas-komunitas itu memberikan cita rasa tambahan kepada komunitas bobotoh yang sudah ada. Sering kali kehadiran mereka disebut bidadari tribun.



Gambar 1. Salah Satu “Bidadari Tribun” Bobotoh Persib Sumber: Pratama, 2018 (https://www.grid.id/)



Selain dari julukan nama kelompok pendukung yang berlek­ si­kon Sunda, yaitu bobotoh, relasi Persib dengan Sunda dapat ter­ iden­tifi­kasi dari ungkapan-ungkapan verbal yang berbahasa Sunda yang menggambarkan hubungan bobotoh dengan klub yang di­cin­ tai­ nya. Ungkapan-ungkapan verbal dalam bahasa Sunda tersebut meng­­ gambarkan relasi emosional bobotoh kepada Persib sekaligus



138 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Wujud Relasi Emosional Bobotoh kepada Persib dalam Identitas Bahasa Sunda



menggambarkan kuatnya akar budaya Sunda dalam komunitas bobotoh. Artikel ini mengupas pola relasi emosional bobotoh Persib sebagai komunitas pendukung klub sepak bola terhadap klub sepak bola yang mereka cintai, yaitu Persib. Berbagai meme yang menggambarkan re­ lasi emosinal itu menjadi bahan kajian. Meme tersebut diperoleh se­cara digital dari berbagai sumber media sosial. B. Sekilas Mengenai Persib Sejarah Persib berawal sebelum kemerdekaan Indonesia. Persib yang dijuluki Pangeran Biru didirikan pada tahun 1933. Klub Persib merupakan hasil peleburan dua klub sepak bola yang kala itu bernama persatuan Sepak Bola Indonesia Bandung (PSIB) dan National Voet­ ball Bond (NVB). Adanya kata Indonesia pada nama klub ketika itu me­nunjukkan sebuah semangat nasionalisme yang dibangun oleh pa­ ra pendirinya. Ketua pertama klub sepak bola Persib adalah Anwar St. Pamoentjak. Yang unik, Anwar bukanlah orang Sunda, melainkan se­ orang keturunan Minang. Selepas pendiriannya itu, Persib mengalami per­kembangan pasang surut. Menurut situs persib.co.id, situs resmi kesebelasan Persib, Aang Witarsa dan Anas adalah pemain pertama Persib yang tampil di pentas nasional. Mereka bergabung dalam tim nasional Indonesia untuk ber­ tanding di Asian Games 1950. Nama Persib semakin diperhitungkan ketika pemain-pemain Persib, yaitu Aang Witarsa dan Ade Dana, ber­ partisipsi dalam tim nasional dan berlaga dalam Olimpiade Mel­bourne 1956. Pada masa kemerdekaan, Persib menorehkan berbagai prestasi kejuaraan sepak bola nasional, di antaranya Juara Piala Presiden Kompetisi Liga Indonesia I 1994–1995, Juara LSI U-21 2010, Juara Indonesia Super League 2014, dan Juara Piala Presiden 2015 (Soendoro, 2022). Pada 2008-an, Persib mengalami transformasi. Sesuai Permendagri nomor 32 tahun 2011 dan 39 tahun 2012, Persib harus mengubah diri menjadi badan usaha perusahaan profesional dan tidak lagi di­ per­ bolehkan menerima anggaran dari APBN atau APBD. Pembiayaan klub harus dilakukan mandiri dan atau didukung oleh dana sponsor. Kini, Persib berada di dalam manajemen PT Persib Bermartabat (Perdana, 2020). Pada tahun 2018 Persib mengalami masa suram. Sebuah tragedi penganiayaan oleh oknum bobotoh mengakibatkan tewasnya Haringga Sirla, seorang suporter Persija. Hal itu menyebabkan PSSI menjatuhkan



139 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



sanksi kepada Persib berupa tidak boleh bermain di kandang sendiri dan para bobotoh tidak boleh menyaksikan langsung pertandingan Persib di lapangan hijau (Yunita, 2018). C. Ekspresi Relasi Emosional Bobotoh Dalam komunitas bobotoh terdapat lima ekspresi relasi emosional yang terbentuk terhadap Persib, yaitu relasi posesif, relasi cinta, relasi loyalitas, relasi prioritas, dan relasi kerinduan. 1. Relasi Posesif Relasi posesif adalah relasi paling kental para bobotoh kepada Persib. Rasa sangat memiliki sering kali ditunjukkan oleh para bobotoh pada banyak kesempatan, baik lisan maupun tulisan. Slogan Persib nu aink! ‘Persib milik aku’ adalah slogan populer dalam komunitas bobotoh, bahkan slogan tersebut sudah dikenal luas di kalangan pencinta sepak bola tanah air. Ekpresi posesif Persib nu aing! tidak hanya ditulis di spanduk atau di sembarang media, tetapi ditulis juga di dalam produk yang memiliki nilai jual, misalnya ditulis dalam jam tangan atau kaus. Hal tersebut merupakan pertanda positif bahwa sepak bola bukan hanya hiburan yang menghambur-hamburkan uang, tetapi juga menyediakan peluang usaha bagi masyarakat.



2a 2b Gambar 2. Ekspresi Relasi Emosional Posesif Bobotoh kepada Persib



140 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Wujud Relasi Emosional Bobotoh kepada Persib dalam Identitas Bahasa Sunda



Ekpresi posesif Persib nu aing yang juga sering ditulis dengan Persib nu aink ini kemudian berkembang menjadi lelucon konyol sebagai hiburan yang membuat pembaca tersenyum, misalnya Persib nu aing, ari aing nu saha? ‘Persib punya aku, tapi aku punya siapa?’ Ekpresi tersebut menyampaikan pesan bahwa Persib ada pemiliknya, tetapi dalam waktu bersamaan si pembuat ekpresi memiliki kegalauan bahwa dia tidak ada yang memiliki alias jomlo. Ekspresi tersebut seolah mendapat tanggapan dari orang lain dengan tulisan Nya teuing eta sugan? ‘Ya tidak tahu emang (kamu) punya siapa?’ Ekspresi emosional dalam bentuk relasi posesif bobotoh kepada Persib mulai populer sejak munculnya lagu berjudul Persib Nu Aing dalam album kompilasi Viking Persib Jilid I. Album tersebut berisi lagu-lagu yang dinyanyikan oleh beberapa band bergenre rock asal Kota Bandung. Lagu Persib Nu Aing dinyanyikan oleh sebuah band bergenre electronic rock bernama Mobil Derek. Lagu itu bisa dibilang lagu wajib sebagai penyemangat para bobotoh untuk mendukung kesebelasan Persib kala berlaga di lapangan. Berikut adalah sebagian lirik dari lagu yang berjudul Persib Nu Aing yang dinyanyikan oleh grup band Mobil Derek. Persib nu aing Maung Bandung nu aing Persib nu aing Maung Bandung nu aing 2. Relasi Cinta Jenis relasi kedua dari emosional bobotoh kepada kesebelasan Persib adalah relasi kecintaan para bobotoh kepada Persib. Ekpresi Teu paduli teu boga kabogoh nu pénting Persib salawasna di hate aing ‘Tidak peduli tidak punya pacar yang penting Persib selamanya di dalam hati aku’ adalah gambaran bahwa bobotoh Persib sangat mencintai kesebelasan kebanggaannya itu. Saking besarnya perasaan cinta kepada Persib, bobotoh merasa tidak memiliki pacar pun tak menjadi masalah karena bobotoh telah memiliki cinta sejati, yaitu cinta kepada Persib. Walaupun ini belum tentu benar dalam kenyataannya, ekspresi tersebut sudah sangat menggambarkan begitu besar rasa cinta bobotoh kepada Persib.



141 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA







3a 3b Gambar 3. Ekspresi Relasi Emosional Kecintaan Bobotoh kepada Persib



Ekspresi lain yang menggambarkan kecintaan bobotoh kepada Persib adalah Nyaah k’kabogoh mah bisa putus tapi nyaah k’Persib salawasna ‘Sayang kepada pacar bisa putus, tapi sayang kepada Persib selamanya’. Dalam ekspresi tersebut terungkap perasaan emosional bobotoh kepada Persib bahwa rasa sayang kepada Persib takkan pernah putus meski rasa sayang kepada pacar bisa putus kapan saja. Relasi kecintaan bobotoh yang bersifat “abadi” ini menjadi modal besar bagi kesebelasan Persib untuk terus mendapat dukungan, baik di lapangan maupun di luar lapangan. Kehadiran rasa cinta dalam sebuah hubungan merupakan elemen penting dalam sebuah hubungan atau relasi yang berhasil (Kochar & Sharma, 2015). Menurut Sternberg (2004), cinta memiliki tiga komponen utama, yaitu (1) keintiman yang mencakup perasaan dekat, keterhubungan, dan keterikatam; (2) gairah berupa dorongan yang mengarah para romantisme; dan (3) komitmen untuk menjaga hubungan dalam jangka panjang (Sternberg, 2004). Teori segitiga cinta yang dirumuskan oleh Sternberg dapat digunakan un­tuk menelaah berbagai aspek termasuk di dalamnya menelaah relasi ke­ cintaan bobotoh kepada Persib. Pertama, adanya komponen keintiman berupa keterikatan batin bobotoh kepada Persib. Selanjutnya, komitmen untuk terus mencintai dan gairah romantisme yang menjadi penanda keberhasilan hubungan antara para bobotoh dan Persib.



142 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Wujud Relasi Emosional Bobotoh kepada Persib dalam Identitas Bahasa Sunda



3. Relasi Loyalitas Loyalitas bobotoh kepada Persib tak perlu diragukan. Loyalitas itu ditunjukkan dengan cara menonton setiap laga Persib di stadion atau televisi. Semua orang tahu bahwa jika Persib bertanding di stadion, apalagi jika bertanding di kandang sendiri, para bobotoh akan membanjiri stadion tersebut. Jalan-jalan akan dipadati oleh arakarakan para pendukung Persib yang berbaju biru sehingga sering kali menimbulkan kemacetan. Tak sampai di situ, ketika Persib berlaga di lapangan rumput hijau, jalan-jalan di Kota Bandung cenderung lebih sepi dari biasanya. Gang-gang menjadi lengang. Semua punya satu aktivitas, yaitu menonton Persib bertanding di televisi.







4a



4b



Gambar 4. Ekspresi Relasi Emosional Kecintaan Bobotoh kepada Persib



Selain dari kehadiran yang masif dalam setiap laga Persib, loyalitas bobotoh kepada Persib dapat diamati dari berbagai ekspresi bahasa mereka. Ekspresi lingual Rek eleh, rek meunang, pokona mah tétép Persib ‘Akan kalah atau akan menang pokoknya tetap Persib, menujukkan begitu besar loyalitas persib. Ekspresi lainnya yang juga menunjukkan relasi loyalitas bobotoh kepada Persib berupa Eleh meunaang, hade goreng, Persib nu aing. Ulah ngaku bobotoh mun eleh sok ngahina Persib ‘Kalah atau menang, baik atau jelek (mainnya), Persib punya aku. Jangan mengaku bobotoh jika Persib kalah, suka menghina Persib. Ekspresi sanajan loba ujian ngahontal juara, dukungan bobotoh tétép



143 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



ngagalura menggambarkan perasaan emosional bahwa dukungan besar akan terus diberikan kepada Persib walaupun langkah-langkah Persib menjadi juara banyak mengalami kendala. Ekspresi berikut pun me­ nunjukkan sikap loyalitas bobotoh kepada Persib. Di mana ada Persib, di situ ada aink jauh deukeut di udag Di mana ada Persib, di situ ada aku, jauh dekat dikejar. Kabogoh datang dan pergi, tapi Persib salawasna di hate. Pacar datang dan pergi, tetapi Persib selamanya di dalam hati. Persib Bandung, arek baraha kali eleh oge moal pundung. Persib Bandung, akan berapa kali kalah juga tidak akan marah. Loyalitas suporter sepak bola merupakan sikap yang mencakup komitmen, emosi, dan keterikatan psikologis kepada klub sepak bola. Afiliasi kelompok, stimulasi emosi, motif ekonomi, dan identitas diri berkorelasi positif dengan loyalitas suporter (Bühler, 2021). Bahkan, loyalitas suporter sepak bola “mengangkangi” logika, bersifat emosional, dan menyentuh aspek psikologis (Tapp, 2003). Sikap loyalitas perilaku pendukung tim sepak bola ternyata dipengaruhi oleh faktor atribut dan benefit. Namun, faktor atribut ternyata lebih kuat memengaruhi sikap pendukung sebuah kesebelasan daripada faktor benefit (Irianto & Kartikasari, 2020). Banyaknya atribut dalam klub sepak bola Persib, misalnya jersey, jam, dan bendera, serta atribut sejarah dan akar budaya yang melekat pada Persib menguatkan loyalitas para pendukung kepada klub Maung Bandung tersebut. Selain itu, sosial self image atau pencitraan yang membuat para penggemar mengelu-elukan secara ekstrem juga menjadi hal penting. Loyalitas akan mencapai puncak ketika menggambarkan loyalitas dalam citra diri sebagai suporter yang loyal (Tapp, 2003). 4. Relasi Prioritas Persib merupakan prioritas para bobotoh dalam banyak peristiwa. Sudah menjadi kelaziman bahwa para bobotoh akan memberikan prioritas untuk menonton Persib bertanding. Sering kali terjadi, sebuah pertemuan/rapat, belanja, dan berbagai kegiatan lainnya ditunda agar bisa menyaksikan Persib berlaga. Jika sebuah pertemuan bersamaan waktunya dengan jadwal Persib bertanding, tidak mengherankan per­



144 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Wujud Relasi Emosional Bobotoh kepada Persib dalam Identitas Bahasa Sunda











5a



5b



Gambar 5. Ekspresi Relasi Emosional Prioritas Bobotoh kepada Persib



temuan itu tidak akan dihadiri oleh banyak orang. Oleh karena itu, siapa pun yang akan membuat jadwal pertemuan perlu mengupayakan agar tidak bersamaan waktunya dengan jadwal pertandingan Persib. Relasi prioritas juga terbaca dari meme yang tersebar di media sosial. Bejaan barudak Persib ke peuting maen. Pamajikan antép heula adalah ekspresi yang menunjukkan bahwa pertandingan Persib merupakan prioritas jika dibandingkan aktivitas lainnya. Arti dari ekspresi tersebut adalah ‘Anak-anak beri tahu, Persib nanti malam bermain. Istri biarkan dulu’. Ekspresi tersebut menunjukkan bahwa bobotoh sangat memprioritaskan untuk menonton Persip sehingga istri “jangan dulu disentuh”. Dengan kata lain, pada malam pertandingan Persib, bobotoh tidak memprioritaskan istri dahulu. Ada juga ekspresi Peupeujeuh ulah ulin. Persib ek maen ayeuna ‘Pesan untuk anak-anak jangan bermain karena Persib sekarang akan bermain’. Ekspresi tersebut menggambarkan relasi prioritas emosional bobotoh kepada Persib. Pada kenyataannya, memang betul ketika Persib sedang berlaga, anak-anak pun cenderung berada di rumah untuk ikut menonton. Kedua ekspresi berikut juga menggambarkan relasi prioritas bobotoh kepada Persib Ulah gandeng! Persib rek maen. ‘Jangan ribut! Persib akan bermain’; Cicing Persib keur maen! ‘Diam Persib sedang bermain’; Moal ulin ayeuna Persib maen ‘Tidak akan bermain sekarang Persib main’. Ada juga relasi prioritas yang disampaikan dengan cara guyon, misalnya Teu lalajo Persib teu kasep ‘Tidak menonton Persib tidak tampan’. Tentu saja yang membaca meme tersebut akan tersenyum.



145 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



5. Relasi Kerinduan Relasi kerinduan merupakan ekspresi lainnya yang meng­gam­ barkan perasaan emosional bobotoh kepada Persib. Ekspresi itu menggambarkan seolah-olah Persib adalah seseorang yang amat di­ tunggu-tunggu kehadirannya. Abdi sono ka anjeun ‘Aku rindu ke­ padamu’ adalah pernyataan lugas bobotoh Persib mengenai rasa rindunya kepada Persib. Geus teu kuat nungguan Persib ‘Sudah tidak kuat menunggu Persib’ adalah sebuah ekspresi kuat yang menunjukkan rasa ingin melihat Persib tampil kembali. Ekspresi ini disebarkan oleh bobotoh ketika dilarang untuk menonton langsung Persib di lapangan rumput hijau setelah PSSI menjatuhkan sanksi kepada bobotoh atau pada saat jadwal laga Persib dirasa masih terlalu lama.







6a



6b



Gambar 6. Ekspresi Relasi Emosional Kerinduan Bobotoh kepada Persib



Kerinduan merupakan ekspresi batin seseorang yang mendalam. Rasa rindu yang yang tidak terpenuhi membuat orang merasa nelangsa atau menderita. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika terdapat ke­ terkaitan antara kerinduan dan kebahagian. Bahkan, kerinduan sebagai pengalaman subjektif mungkin sangat dekat terkait dengan kesehatan dan kesejahteraan karena kerinduan merupakan ekspresi dari keunikan dunia batin seseorang (Ueland et al., 2018). Menurut Hemberg kerinduan yang yang dapat dipenuhi dianggap sebagai sesuatu yang positif, se­ dangkan kerinduan yang tidak terpenuhi sebagai sesuatu yang negatif



146 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Wujud Relasi Emosional Bobotoh kepada Persib dalam Identitas Bahasa Sunda



(Hemberg et al., 2020). Menjadi masuk akal bahwa kerinduan bobotoh kepada Persib yang tidak terpenuhi menjadi penghalang mereka untuk mencapai kebahagiaan, bahkan kesehatan. Bobotoh Persib menjadi amat bahagia ketika dapat menyaksikan Persib berlaga. Tidak terlalu menjadi masalah bahwa Persib akan menang atau kalah dalam pertandingan itu. Yang terpenting adalah dapat terpenuhinya perjumpaan bobotoh dengan kesebelasan kesayangan. Sebaliknya, bobotoh akan merasa menderita jika dalam keadaan lama tidak berjumpa dengan Persib. Penutup Mempertahankan relasi emosinal para suporter sepak bola pada era ini menjadi penting karena klub sepak bola sudah harus mandiri menjadi sebuah badan usaha. Pada era klub sepak bola di Indonesia tidak boleh lagi menerima dana dari APBN atau APBD, suporter sepak bola merupakan aset yang amat berharga. Persib merupakan klub se­ pak bola yang beruntung karena memiliki suporter yang sangat kuat mengakar. Ikatan identitas Persib dan masyarakat Sunda merupakan komponen timbal balik yang saling menguntungkan. Bobotoh bukan sekadar penonton, tetapi sebagai pilar penyangga keberhasilan persib di lapangan plus sebagai sumber energi keuangan Persib. Manajemen Persib tidak boleh terlena dengan melimpahnya du­ kungan dari bobotoh karena dukungan itu bersifat dinamis. Bagai­ mana pun juga Persib adalah sebuah produk yang tidak berbeda dengan produk olahraga lainnya, kerap mengalami relasi pasang surut dengan para pendukung. Persib adalah sebuah brand dan bobotoh adalah kon­ sumen. Dalam bisnis, termasuk olahraga, brand harus memuaskan konsumennya. Karena itu, relasi emosional bobotoh harus terus dirawat, tidak boleh dianggap remeh. Partisipasi aktif bobotoh harus terus ditingkatkan dalam berbagai kesempatan. Prestasi Persib harus terus dikembangkan sehingga bisa membanggakan para bobotoh. Memang ada pengaruh positif dan signifikan dari loyalitas dan keterikatan merek terhadap ekuitas atau kepemilikan merek jika dilihat dari kacamata loyalitas berbasis konsumen (Fakhri, 2021). Akan tetapi, kesetiaan atau loyalitas semata tidak bisa diandalkan. Manajemen klub harus melihat aspek lain di balik loyalitas, misalnya citra diri suporter, keyakinan, dan derajat keterlibatan suporter dalam komunitas. Pihak manajemen tidak bisa hanya melihat kepuasan terhadap produk saja, seperti klub olahraga, karena perbedaan karakteristik dengan produk-produk lain pada



147 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



umumnya (Tapp, 2003). Pada saat loyalitas merek meningkat, ekuitas/ nilai merek itu akan meningkat juga. Mengembangkan strategi yang efektif untuk menarik penggemar olahraga profesional membutuhkan pemahaman hubungan antara penggemar olahraga profesional dan/ atau loyalitasnya terhadap merek (Lin & Lin, 2008). Merek atau brand dalam konteks ini adalah klub sepak bola. Daftar Referensi



Bühler, M. (2021). The determinants of brand loyalty of football supporters . A study of Bundesliga (Issue June). Universidade Católica Portuguesa and Kozminski University. Doewes, R. I., & Riyadi, S. (2016). The Social Identity of Football Supporters In Providing Sportive Support To Arema Player (A Phenomenology Study to Supporter of Aremania in Malang). The 1st International Conference on Teacher Training and Education (ICTTE) FKIP UNS 2015, 1(1), 718–725. Fakhri, E. A. (2021). Measurıng consumer loyalty. Asia-Pacific Management and Business Application, 9(3), 211–230. https://doi.org/10.217766/ ub.apmba.2021.009.03.2 Hadi, A. (2017). “ Bobotoh Persib ” and Identity Construction in the. Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 19(1), 131–152. Hemberg, J., Nyqvist, F., Ueland, V., & Näsman, M. (2020). Experiences of longing in daily life and associations to well-being among frail older adults receiving home care: a qualitative study. International Journal of Qualitative Studies on Health and Well-Being, 15(1). https://doi.or g/10.1080/17482631.2020.1857950 Irianto, D., & Kartikasari, D. (2020). Fan loyalty toward international football team: the role of brand image. International Journal of Applied Business Research, 2(01), 58–72. https://doi.org/10.35313/ijabr.v2i01.95 Kochar, R. K., & Sharma, D. (2015). Role of love in relationship satisfaction. International Journal of Indian Psychology, 3(1). https://doi. org/10.25215/0301.102 Lin, Y., & Lin, C. (2008). Factors influencing brand loyalty in professional sports fans. Global Journal of Business Research, 2(1), 69–85. Perdana, K. E. (2020). Manajemen Public Relations PT. Persib Bandung



148 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Wujud Relasi Emosional Bobotoh kepada Persib dalam Identitas Bahasa Sunda



Bermartabat Di Twitter Dalam Mempertahankan Citra Perusahaan Klub Sepakbola Persib Bandung. Linimasa: Jurnal Ilmu Komunikasi, 3, 11–24. Pratama, A. (2018). Gara-gara Sepakbola, Ladies Viking ini Bertemu dengan Jodohnya di Stadion. Grid.ID. https://www.grid.id/read/04187103/ gara-gara-sepakbola-ladies-viking-ini-bertemu-dengan-jodohnya-di-stadion?page=all Repucom. (2014). World Football: From consumption to sponsorship: How fans are changing the commercial landscape of the beutiful game. M Www.Nielsensport.Com/Worldfootball/. Soendoro, R. (2022). Sejarah Persib. Persib.Co.Id. https://persib.co.id/clubs/ history Sternberg, R. J. (2004). A triangular theory of love. Close Relationships: Key Readings, 93(2), 258–276. https://doi.org/10.4324/9780203311851 Tapp, A. (2003). The loyalty of football fans — We’ll support you evermore? Database Marketing and Customer Strategy Management, 11, 203–215. Ueland, V., Nåden, D., & Lindström, U. Å. (2018). Longing - a dynamic power in the becoming of health when suffering from cancer. Scandinavian Journal of Caring Sciences, 32(2), 924–932. https://doi.org/https:// doi.org/10.1111/scs. 12527 Yunita, N. W. (2018). 15 Sejarah Persib dari Masa ke Masa. Sport.Detik.Com. https://sport.detik.com/sepakbola/liga-indonesia/d-4349083/15-sejarah-persib-dari-masa-ke-masa Bühler, M. (2021). The determinants of brand loyalty of football supporters . A study of Bundesliga (Issue June). Universidade Católica Portuguesa and Kozminski University. Doewes, R. I., & Riyadi, S. (2016). The Social Identity of Football Supporters In Providing Sportive Support To Arema Player (A Phenomenology Study to Supporter of Aremania in Malang). The 1st International Conference on Teacher Training and Education (ICTTE) FKIP UNS 2015, 1(1), 718–725. Fakhri, E. A. (2021). Measurıng consumer loyalty. Asia-Pacific Management and Business Application, 9(3), 211–230. https://doi.org/10.217766/ ub.apmba.2021.009.03.2 Hadi, A. (2017). “ Bobotoh Persib ” and Identity Construction in the. Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 19(1), 131–152.



149 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Hemberg, J., Nyqvist, F., Ueland, V., & Näsman, M. (2020). Experiences of longing in daily life and associations to well-being among frail older adults receiving home care: a qualitative study. International Journal of Qualitative Studies on Health and Well-Being, 15(1). https://doi.or g/10.1080/17482631.2020.1857950 Irianto, D., & Kartikasari, D. (2020). Fan loyalty toward international football team: the role of brand image. International Journal of Applied Business Research, 2(01), 58–72. https://doi.org/10.35313/ijabr.v2i01.95 Kochar, R. K., & Sharma, D. (2015). Role of love in relationship satisfaction. International Journal of Indian Psychology, 3(1). https://doi. org/10.25215/0301.102 Lin, Y., & Lin, C. (2008). Factors influencing brand loyalty in professional sports fans. Global Journal of Business Research, 2(1), 69–85. Perdana, K. E. (2020). Manajemen Public Relations PT. Persib Bandung Bermartabat Di Twitter Dalam Mempertahankan Citra Perusahaan Klub Sepakbola Persib Bandung. Linimasa: Jurnal Ilmu Komunikasi, 3, 11–24. Pratama, A. (2018). Gara-gara Sepakbola, Ladies Viking ini Bertemu dengan Jodohnya di Stadion. Grid.ID. https://www.grid.id/read/04187103/ gara-gara-sepakbola-ladies-viking-ini-bertemu-dengan-jodohnya-di-stadion?page=all Repucom. (2014). World Football: From consumption to sponsorship: How fans are changing the commercial landscape of the beutiful game. M Www.Nielsensport.Com/Worldfootball/. Soendoro, R. (2022). Sejarah Persib. Persib.Co.Id. https://persib.co.id/clubs/history Sternberg, R. J. (2004). A triangular theory of love. Close Relationships: Key Readings, 93(2), 258–276. https://doi.org/10.4324/9780203311851 Tapp, A. (2003). The loyalty of football fans — We’ll support you evermore? Database Marketing and Customer Strategy Management, 11, 203–215. Ueland, V., Nåden, D., & Lindström, U. Å. (2018). Longing - a dynamic power in the becoming of health when suffering from cancer. Scandinavian Journal of Caring Sciences, 32(2), 924–932. https://doi.org/https:// doi.org/10.1111/scs. 12527 Yunita, N. W. (2018). 15 Sejarah Persib dari Masa ke Masa. Sport.Detik.Com. https://sport.detik.com/sepakbola/liga-indonesia/d-4349083/15-sejarah-persib-dari-masa-ke-masa



150 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Wujud Relasi Emosional Bobotoh kepada Persib dalam Identitas Bahasa Sunda



Referensi Internet



https://www.grid.id, Gara-gara Sepakbola, Ladies Viking ini Bertemu dengan Jodohnya di Stadion, dilihat pada 1 September 2022 pukul 20.15 WIB https://www. persib.co.id, Sejarah Persib, dilihat pada 20 Agustus 2022 pukul 15.00 WIB https://sport.detik.com/sepakbola/liga-indonesia/d-4349083/15-sejarah-persib-dari-masa-ke-masa, dilihat pada 28 Agustus 2022 pukul 19.35 WIB



151 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



IDENTITAS KEMELAYUAN DALAM PRAKTIK PEREKONOMIAN: EKSISTENSI IDENTITAS MELALUI PAPAN NAMA Irmayani Yusup Irawan Dedy Ari Asfar



A. Pengantar Kota Pontianak merupakan kota dengan luas 107,82 Km2 yang didiami oleh 658.685 jiwa dan tersebar di enam kecamatan, yaitu Ke­ camatan Pontianak Kota, Pontianak Barat, Pontianak Selatan, Pon­ tianak Tenggara, Pontianak Timur, dan Pontianak Utara (Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2022). Jika ditinjau dari sisi etnisitas, pen­ duduk Kota Pontianak sangat heterogen dengan didominasi oleh Tiong­ hoa 31,24% dan diikuti oleh Melayu Pontianak sejumlah 26,05%. Etnik lainnya yang juga mendiami Kota Pontianak adalah Bugis, Jawa, Dayak, Madura, Sunda, Banjar, Batak, Minangkabau, dan lain-lainnya. Masing-masing etnik tersebut berada di bawah 14% (Wikipedia, 2022). Dengan melihat hasil penghitungan jumlah penduduk berdasarkan identitas etnik tersebut, terlihat bahwa Melayu Pontianak termasuk etnik mayoritas kedua di kota itu. Etnik Melayu Pontianak memiliki dan menggunakan bahasa Me­ layu sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai alat pewarisan budaya kelompok tutur mereka yang dikenal dengan nama bahasa Melayu Pontianak. Bahasa Melayu Pontianak merupakan rumpun bahasa Aus­ tronesia. Bahasa Austronesia berasal dari bahasa Austrik yang



152 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Kemelayuan dalam Praktik Perekonomian



berkembang menjadi bahasa Austro Asiatik yang menyebar ke daratan Cina, seperti Indo China, Thailand, dan Munda di India Selatan. Berdasarkan penelitian Kasnowihardjo yang dikutip Irmayani (2020: 90), bahasa tersebut berkembang di Philipina, Indonesia, Malaysia, hing­ga Pasifik. Dengan jumlah 658.685 jiwa, penduduk Kota Pontianak, baik Melayu, Tionghoa, Bugis, Jawa, maupun etnik lainnya merupakan pen­ duduk yang konsumtif. Hal ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik Kota Pontianak yang menyatakan bahwa hingga tahun 2016, ratarata persentase pengeluaran konsumsi makanan dan nonmakanan per kapita sebulan di Pontianak, mencapai 52,70% untuk nonmakanan dan 47,30% untuk kategori makanan. Untuk kategori makanan, persentase konsumsi makanan dan minuman jadi lebih besar daripada kategori makanan lainnya, yaitu sebesar 12,76%. Ini dapat menjadi tanda bahwa masyarakat Pontianak konsumtif di bidang makanan dan minuman jadi. Makanan dan minuman jadi yang dimaksud di sini adalah makanan dan minuman yang sudah siap disantap oleh konsumen dan biasanya dijual di warung-warung makanan dan minuman (Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2022). Kota Pontianak sangat “marak” dengan banyaknya didirikan tempat penjualan minuman dan makanan jadi. Misalkan saja, Lamongan Mas Sito, Bakso Mas Ari, Soto Sregep Wong Jowo, ataupun Jamu Bude Ayu. Tidak itu saja, di Pontianak juga banyak ditemukan Aming Coffee, Nasi Akwang, Sop Ikan Ahan, Angow Juice, ataupun Toko Buah Asua. Di Pontianak juga dapat kita temukan Bakso Cuanki Kang Gelo dan Seblak teteh Moy2. Jika diperhatikan, nama-nama warung makanan dan minuman itu “seakan” mengusung identitas etnik atau budaya pemilik warung. Bakso Mas Ari dapat dipastikan pemiliknya adalah orang Jawa ka­ rena menggunakan sapaan “mas”. Sebaliknya, Sop Ikan Ahan dapat dipastikan pemiliknya adalah orang Tionghoa. Sebab, nama Ahan adalah nama Tionghoa, seperti halnya Angow, Akwang, Aheng, Aming, ataupun Asiang. Dengan begitu, dapat pula dipastikan bahwa Kang Gelo—pemilik bakso cuanki—dan Teteh Moy—pemilik warung makan seblak—adalah orang-orang beretnis Sunda. Melihat fenomena ini, dapat dikatakan bahwa bidang perekonomian dapat mengusung identitas budaya, bahkan dapat mengukuhkan iden­ titas budaya. Dalam hal ini, Suleman (2021: 2) menjelaskan bahwa



153 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator keberhasilan pe­ merintahan dalam menjalankan dan mengelola suatu negara. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa perkembangan perekonomian tumbuh seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi dan adanya penyesuaian kelembagaan serta ideologi. Sejalan dengan hal itu, Ari­ bowo & Nugroho (2018: 270) juga menjelaskan bahwa secara aktual, praktik-praktik penggunaan bahasa dapat mengungkap ideologi bahasa masyarakat lokal dalam kaitannya dengan kebijakan bahasa nasional. Sementara itu, ideologi memiliki tiga arti utama. Salah satunya dalam pengertian netral. Ideologi yang mengandung makna netral adalah idelogi tentang keseluruhan berpikir, nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu (Asshiddiqie, 2008: 1). Itu artinya, perekonomian dan kebudayaan dapat berjalan beriringan. Perekonomian dapat menjadi faktor pendukung pengembangan kon­ sep budaya. Ini sejalan dengan pemikiran Hoed (2008: 102) yang mengatakan bahwa peran ekonomi dan teknologi sangat penting dalam pe­ngembangan sistem budaya dunia. Berbicara tentang keterkaitan antara perekonomian dengan bahasa dan sistem budaya serta perannya dalam mengeksiskan identitas budaya, media yang terlintas di benak kita adalah penggunaan papan nama di ruang publik. Papan nama adalah papan yang dipasang di depan rumah, toko, kantor, atau perusahaan yang bertuliskan nama, baik orang, organisasi, lembaga, toko, perusahaan, dan sebagainya yang berguna untuk menyampaikan informasi yang berkaitan dengan tentang nama, alamat, nomor telepon, produk, dan lain-lain (Hestiyana, 2018: 149). Lebih jauh tentang papan nama dan kaitannya dengan perekonomian, Muhammadin et al. (2018) menggunakan istilah yang lebih khusus untuk bahasa dan sistem budaya, yaitu papan nama per­ niagaan. Papan nama perniagaan yang terpapar pada premis perniagaan dapat diibaratkan sebagai ‘duta’ kepada sesebuah perniagaan meskipun tidaklah seratus peratus bergantung pada papan nama perniagaan. Kejayaan atau kegagalan sebuah perniagaan meskipun tidaklah seratus peratus bergantung pada papan nama perniagaan, tetapi papan nama perniagaan yang berkesan diyakini berupaya memberikan imej yang baik kepada perniagaan berkenaan. Papan nama perniagaan



154 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Kemelayuan dalam Praktik Perekonomian



secara tidak langsung dapat berkomunikasi secara senyap dengan pelanggan dan bakal pelanggannya. Komunikasi tanpa suara itu berlangsung apabila paparan imej yang terdapat pada papan nama perniagaan itu dibaca oleh khalayak yang melihatnya (Muhammadin et al., 2018: 41–42).



Dilihat dari peletakan atau penggunaanya, papan nama merupakan media yang memanfaatkan ruang publik. Dalam hal ini, ruang publik disebut sebuah media yang diletakkan di luar ruangan yang pada saat ini sudah menjadi sebuah bagian dari kehidupan dalam masyarakat serta mempunyai tujuan untuk menyampaikan pesan promosi pada suatu jasa atau pun produk. Ruang publik di Indonesia merupakan ruang umum atau ruang untuk siapa saja khususnya masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa. Oleh karenanya ruang publik merupakan cerminan dari identitas (Syahrul, 2018: 183). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa sektor perekonomian dalam mendukung identitas (dalam hal ini identitas identik dengan budaya) adalah hal yang penting. Itu artinya, nama-nama toko dan warung makanan yang menggunakan penamaan Tionghoa berusaha mengukuhkan ketionghoaannya. Begitu pula dengan papan nama yang menggunakan unsur bahasa Jawa ataupun Sunda. Mereka juga berusaha mengembangkan atau mengukuhkan identitas dan konsep budaya masing-masing. Lantas, bagaimana dengan masyarakat Pontianak yang merupakan komunitas etnik terbesar kedua setelah Tionghoa? Apakah komunitas yang berbahasa Melayu Pontianak tidak mengukuhkan identitas bu­ daya mereka sebagaimana komunitas Tionghoa, Jawa, dan Sunda me­ lalui papan nama? Dengan metode deskriptif, tulisan ini berusaha me­ maparkan dan menggambarkan hal tersebut. B. Nama Toko dan Warung Makan Berunsur Bahasa Melayu Di antara sekian banyak nama toko dan warung makan di Pontianak yang memperlihatkan identitas budaya pemiliknya, ada beberapa toko atau warung milik masyarakat Pontianak yang berupaya mengeksiskan identitas budaya melalui papan nama toko ataupun warung makan dengan berbahasa Melayu Pontianak. Berikut adalah bentuk-bentuk tersebut.



155 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Gambar 1 Warung Makan Tomyam & Dimsum Pak Long (Sumber: dokumentasi Pribadi)



Gambar 2 Warung Makan Bubur Pedas Pa’ Ngah (Sumber: dokumentasi Pribadi)



156 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Kemelayuan dalam Praktik Perekonomian



Gambar 3 Warung Makan Ayam Pak usu (Sumber: dokumentasi Pribadi)



Tiga papan nama tersebut menggunakan istilah kekerabatan untuk menamai warung makan mereka masing-masing. Ketiganya menggunakan istilah “Pak”—yang diikuti dengan kata Long, Ngah, dan Usu. Kata “Pak” tersebut merupakan bentuk sapaan untuk menyebut kerabat berjenis kelamin laki-laki yang berada pada level setingkat dengan ayah atau ibu ego. Kerabat yang dimaksud adalah saudara ayah atau ibu—di dalam bahasa Indonesia istilah itu semakna dengan kata paman. Pembeda tiga papan nama tersebut adalah unsur setelahnya. Papan nama pertama menggunakan istilah Long, sedangkan papan nama kedua menggunakan istilah Ngah, dan ketiga menggunakan istilah Usu. Long merupakan singkatan dari kata sulong. Sulong bermakna ‘sulung’. Senada dengan Long, kata Ngah merupakan bentuk sing­ katan dari kata Angah. Kata itu digunakan untuk menyebut anak te­ ngah, yaitu lahir setelah anak pertama dan sebelum anak terakhir. Begitu pula dengan Usu. Istilah tersebut merupakan bentuk sapaan singkat untuk menyebut saudara termuda atau yang terakhir dan tidak mempunyai adik lagi. Di dalam bahasa Indonesia, kata itu semakna dengan bungsu. Dua papan nama berikut adalah nama warung makan yang juga menggunakan istilah kekerabatan.



157 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Gambar 4 Warung Makcik (Sumber: dokumentasi Pribadi)



Gambar 5 Warung Mak Kundil (Sumber: dokumentasi Pribadi)



158 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Kemelayuan dalam Praktik Perekonomian



Pada dua papan nama terlihat adanya penggunaan kata “Mak “yang diikuti dengan kata “Cik” dan “Kundil”. Di dalam bahasa Melayu Pontianak, kata Mak merupakan bentuk sapaan kekerabatan yang merujuk pada saudara perempuan ayah atau ibu. Istilah tersebut semakna dengan kata bibi dalam bahasa Indonesia. Setelah kata Mak, terlihat penggunaan kata Cik, untuk papan nama pertama. Cik adalah bentuk singkatan untuk kata Acik. Acik merupakan bentuk kekerabatan untuk menyapa saudara yang terlahir dengan postur tubuh terkecil di antara saudara lainnya. Sapaan itu biasanya muncul untuk sebuah keluarga yang memiliki anak lebih dari tiga dan salah satunya berpostur paling kecil. Kata Mak pada papan nama kedua diikuti dengan kata “Kundil”. Kata Kundil merupakan sebuah nomina atau nama diri yang khas di kalangan masyarakat Melayu Pontianak, seperti nama Asep di kalangan Masyarakat Sunda dan Tigor di kalangan masyarakat Batak.



Gambar 6 Toko Sirwal QTE (Sumber: dokumentasi Pribadi)



Papan di atas adalah bentuk papan nama pertokoan yang meng­ gunakan pronomina berbahasa Melayu. Pronomina yang dimaksud adalah QTE yang dibaca kite. Dapat dikatakan demikian karena huruf Q pada kata tersebut dibaca Qi—dalam pengejaan masyarakat Melayu menjadi ki—sehingga secara lengkap akan dieja menjadi kite ‘kita’. Selain menggunakan pronomina, ada pula pelaku usaha yang



159 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Gambar 7 Warkop Dare (Sumber: dokumentasi Pribadi)



menggunakan nomina dare untuk menamai warung kopinya. Berikut adalah bentuk nama warung tersebut. Bahasa Indonesia memiliki sebuah istilah khusus untuk menyebut anak perempuan yang belum kawin; gadis; ataupun perawan. Istilah yang dimaksud adalah dara. Istilah ini memiliki konsep dan makna yang sama dengan bahasa Melayu Pontianak. Namun demikian, cara penyebutannya sedikit berbeda. Jika di dalam bahasa Indonesia disebut dara, di dalam bahasa Melayu Pontianak disebut dare. Berikutnya adalah dua papan nama yang menggunakan kata berimbuhan bahasa Melayu untuk menamai warung makan. Nama warung makan yang dimaksud adalah Bebek Bekaes dan Bebek Betangas.



Gambar 8 Warung Makan Bebek Bekaes (Sumber: dokumentasi Pribadi)



160 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Kemelayuan dalam Praktik Perekonomian



Gambar 9 Warung Makan Bebek Betangas (Sumber: dokumentasi Pribadi)



Kata bekaes merupakan kata yang terbentuk dari kata dasar yang dibubuhi imbuhan. Kata dasar yang dimaksud adalah kaes dan imbuhan yang dimaksud adalah prefiks be-. Kata kaes semakna dengan kais di dalam bahasa Indonesia. Di dalam KBBI, kata kais atau mengais bermakna ‘mencakar-cakar atau menggaruk-garuk tanah untuk mencari makanan’. Selanjutnya, nama kedua, adalah betangas. Kata tersebut terdiri atas prefiks be- dan kata dasar tangas. Kata betangas semakna dengan kata bertangas di dalam bahasa Indonesia. kata tersebut berarti ‘memanaskan diri dengan uap’ atau ‘mandi uap’. C. Pengeksisan Identitas melalui Papan Nama Bahasa mencerminkan identitas budaya. Pendapat ini tidak berlebihan dan sangat autentik dan rasional. Thornborrow (2007: 248– 250) dalam salah satu tulisannya berpendapat bahwa matinya sebuah bahasa seringkali dikaitkan dengan matinya identitas budaya. Demi menguatkan pendapat, ia mengutip cerita fiksi mengenai hubungan antara Denmark dan Greenland yang dikarang oleh Hoeg. Pada akhirnya, pembelajaran yang dapat diperoleh dari cerita itu adalah peng­gunaan bahasa memiliki keterkaitan erat dengan identitas sosial, etnis, dan nasional. Di samping itu, Barker (2016: 174) juga memiliki pendapat yang sama. Identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial



161 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



dan tidak mungkin “eksis” di luar representasi kultural dan akulturasi. Dua pendapat tadi menegaskan pentingnya bahasa untuk mengukuhkan keberadaan identitas budaya. Di samping itu, melalui kajian tentang bahasa di ruang publik di Surakarta, Aribowo & Nugroho (2018: 272) menemukan bahwa memanfaatkan aksara dan huruf Latin, Jawa, Arab, dan Pinyin berarti mengukuhkan identitas bahasa dan budaya masyarakatnya. Itu pula yang coba dilakukan oleh masyarakat Melayu Pontianak. Komunitas etnik tersebut berusaha mengeksiskan keberadaan identitas budaya mereka dengan memanfaatkan unsur-unsur bahasa Melayu Pontianak pada nama toko dan warung makan. Di tengah “hiruk pikuknya” pemakaian nama toko dan warung makan berunsur etnik lain, masyarakat Melayu Pontianak berusaha mengeksiskan keberadaan mereka di wilayah tuturnya sendiri. Itu merupakan sikap komunitas Melayu Pontianak terhadap bahasa mereka. Meskipun dianggap sepele, sikap berbahasa seperti ini memiliki pengaruh yang kuat berupa penilaian terhadap sebuah komunitas etnik, baik secara individual maupun kelompok sosial (Thomas & Wareing, 2007). D. Penutup Tulisan ini, pada akhirnya, ditutup dengan mengutip pendapat Thornborrow, “Salah satu dari cara yang paling dasar untuk menentukan identitas kita dan untuk memengaruhi cara orang lain memandang diri kita adalah lewat cara kita menggunakan bahasa. Masalah identitas itu tentang siapa diri kita, bagaimana cara kita memandang diri kita sendiri, bagaimana cara orang lain memandang diri kita” (Thornborrow, 2007: 223–224). Jika bukan kita pemilik budaya itu, siapa yang akan me­ mandang bahwa kita ada? Daftar Referensi



Aribowo, E. K. R., & Nugroho, A. J. S. (2018). Ancangan Analisis Bahasa di Ruanag Publik: Studi Lanskap Linguistik Kota Surakarta dalam Mempertahankan Tiga Identitas. Lanskap Bahasa Ruang Publik: Dimensi Bahasa, Sejarah, Dan Hukum, 268–279. https://doi.org/10.31227/osf. io/qa5p8 Asshiddiqie, J. (2008). Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi. In Mahkamah Konstitusi (p. 10–23). https://www.academia.edu/download/64713734/ MAHKAMAH_KONSTITUSI_REPUBLIK_INDONESIA_I.pdf



162 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Kemelayuan dalam Praktik Perekonomian



Barker, C. (2016). Cultural Studies: Teori dan Praktik (Penerjemah Nurhadi (ed.)). Krasi Wacana. Hestiyana. (2018). Penggunaan Bahasa pada Papan Nama di Ruang Publik Kabupaten Tanah Laut. Lanskap Bahasa Ruang Publik: Dimensi Bahasa, Sejarah, Dan Hukum, 146–162. Hoed, B. H. (2008). Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Komunikasi Bambu. Irmayani. (2020). Orang Melayu Pontianak dan bahasanya. In D. A. Asfar (Ed.), Cermat Berbahasa Indonesia: Esai Inspiratif dan Kalimantan Barat (p. 87–96). Muhammadin, M., Kamaruddin, R., & Sha’ri, S. N. (2018). Penggunaan Bahasa Melayu pada Papan Nama Premis Perniagaan di Sekitar Bandaraya Kuala Terengganu. International Journal of the Malay World and Civilisation, 6(1), 41–50. https://doi.org/https://doi.org/10.17576/ jatma-2018-0601-04 Pontianak, R. B. P. S. K. (2022). Kota Pontianak. Badan Pusat Statistik Kota Pontianak. https://pontianakkota.bps.go.id/ Suleman, A. R. (2021). Perekonomian Indonesia. Editor (A. Karim (ed.)). Yayasan Kita Menulis. Syahrul, N. (2018). Bahasa Ruang Publik: Representasi Jati Diri Bangsa. Lanskap Bahasa Ruang Publik: Dimensi Bahasa, Sejarah, Dan Hukum, 175–191. Thomas, L., & Wareing, S. (2007). Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan. In : Pustaka Pelajar. Thornborrow, J. (2007). Bahasa dan Identitas. In L. Thomas & S. Wareing (Eds.), Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan (Penerjemah, p. 223– 251). Pustaka Pelajar. Wikipedia. (2022). Kota Pontianak. Wikipedia. https://id.wikipedia.org/wiki/ Kota_Pontianak



163 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



II SASTR A



Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



MELAYU KACUKAN DAN KEGELISAHAN MARHALIM ZAINI Agus Sri Danardana



A. Pengantar Persoalan identitas dan etnisitas Melayu (Riau), meskipun su­ dah dianggap selesai,1 masih sering menjadi perbincangan, bahkan perbalahan, di kalangan sastrawan. Marhalim Zaini (MZ), misalnya, pada 13 November 2011 melontarkan persoalan itu melalui tulisannya, “Akulah Melayu yang Berlari (Percakapan-percakapan yang Tak Selesai Tentang Ideologi dan Identitas Kultural)”, di Riau Pos. Menariknya, tulisan yang menyiratkan kegelisahan atas identitas kemelayuannya itu 1 Dalam banyak referensi disebutkan bahwa orang Melayu lazimnya diindentifikasi sebagai orang yang beragama Islam, berbahasa Melayu, dan mempraktikkan adat, kebiasaan, dan resam Melayu. Jika seorang Keling (Tamil, India) memeluk agama Islam, berbahasa Melayu, dan beradat Melayu, ia disebut orang Melayu. Seorang Arab, sekalipun bergama Islam, tetapi tidak berbahasa Melayu, tidak akan disebut Melayu (tetap Arab). Sebagai konsekuensinya, kriteria seperti itu jika diterapkan di Indonesia, akan secara otomatis menjadikan orang Papua yang bergama Islam dan berbahasa Melayu/Indonesia, misalnya, sebagai Melayu. Sebaliknya, orang keturunan asli Melayu (sekalipun berbahasa Melayu dan mempraktikkan adat dan resam Melayu), karena tidak beragama Islam, tidak dianggap sebagai Melayu. Kriteria identitas dan etnisitas Melayu seperti itu (beragama Islam, berbahasa Melayu, dan mempraktikkan adat, kebiasaan, dan resam Melayu) dianggap tidak pas dan harus dipikirkan kembali karena menciderai sejarah. Pendapat itu dapat dilihat, misalnya, pada tulisan Mahyudin Al-Mudra: Redefinisi Melayu: Upaya Menjembatani Perbedaan Konsep Kemelayuan Bangsa Serumpun (2008), Yusmar Yusuf: Langit, Melayu, dan Aras Mustari (2009) Yusuf (2009), dan puisi Eddy Ahmad R.M.: “Penat Tak Sudah Jadi Melayu” (2011). Sejak Provinsi Riau berdiri (1957) telah dibuat rumusan tentang siapa putra daerah, yang memuat tiga ukuran, yaitu: yang beribu-bapak Melayu, atau salah satu dari orang tuanya Melayu, atau yang lahir di Riau meski kedua orang tuanya bukan Melayu (Al-Karim, 2011).



166 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Melayu Kacukan dan Kegelisahan Marhalim Zaini



justru diangkat dari orasi MZ ketika ditetapkan sebagai Seniman Pilihan Sagang 2011.2 Tak ayal tulisan MZ itu pun menimbulkan polemik di Riau Pos. Setidaknya ada tiga penanggap, yakni Syaukani Al-Karim (“Ihwal Melayu dan Jalan Kemelayuan”, Riau Pos, 20 November 2011), Alvi Puspita (“Apa yang Sebenar, Apa yang Semesti”, Riau Pos, 25 Desember 2011), dan Agus Sri Danardana, (“Identitas dan Etnisitas [Melayu]”, Riau Pos, 20 Februari 2012) ikut meramaikan perbincangan itu. Esensi polemik itu adalah mempertanyakan apakah identitas etnis Melayu (kemelayuan) itu sudah pasti: bersifat tetap, tertutup, dan tidak tergantikan atau sebaliknya, tidak pasti: bersifat berubah, terbuka, dan tergantikan (mengada). Identitas dan etnisitas adalah konsep tentang identifikasi diri dan asal-usul sosial yang bersifat relasional. Menurut Barth (1969), etnisitas dapat dikatakan eksis ketika orang mengklaim identitas tertentu bagi dirinya dan didifinisikan oleh orang (yang) lain juga dengan identitas yang diklaimnya itu. Etnisitas, dengan demikian, harus dimaknai se­ bagai identifikasi seseorang dalam berafiliasi dengan kelompok so­ sialnya. Sementara itu, Schultz & Lavenda (2017) dan Lavenda & Schultz (2017) berpendapat bahwa identitas dan etnisitas sesungguhnya merupakan sebuah konsep yang dikontruksi secara budaya. Identitas dan etnisitas diciptakan oleh proses sejarah yang menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang berbeda ke dalam struktur politik yang tunggal di bawah kondisi-kondisi sosial tertentu. Hasil konstruksi (proses) sosial itu lazim disebut askripsi (ascription), yakni proses penandaan sekelompok orang/masyarakat tertentu dengan sembarang: apa pun tandanya (sebagai ciri khas [labelling] kelompok tertentu), umumnya berlangsung hingga berabad-abad lamanya. Dalam proses itu terjadi interaksi orang dari aneka latar belakang di berbagai bidang kehidupan. Artinya, proses askripsi tidak akan berlangsung/terjadi justru ketika orang-orang benar-benar menyendiri, tidak berinteraksi. Itulah sebabnya, dalam banyak hal, seseorang sering tidak diperlakukan sebagai pribadi yang mandiri, tetapi diperlakukan sebagai anggota atau wakil kelompok/masyarakat tertentu dengan askripsi tertentu pula. Senada dengan pendapat itu, Abdillah S. (2002: 27) berpendapat 2 Anugerah Sagang diberikan kepada tokoh, lembaga, dan karya yang telah berperan mengagungkan Riau. Anugerah Sagang diberikan setiap tahun (sejak 1996) dalam beberapa kategori (lihat Danardana, Edt. [Tim Balai Bahasa Riau], 2011: 231–232 dan 312–315).



167 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



bahwa identitas bukan merupakan suatu entitas yang final, statis, dan sukses, melainkan sesuatu yang selalu tumbuh. Setiap individu atau kelompok akan terus menerus mengidentifikasi diri, mencari diri, dan membentuk identitasnya, baik dalam konteks pribadi maupun kelompok budaya. Oleh karena itu, lanjut Abdillah S. (2002), pencarian identitas adalah sebuah “proses menjadi”. Selain mencari, setiap individu juga akan secara aktif menjaga, memelihara, dan memperkaya identitasnya yang merupakan sine qua non dari stabilitas kepribadian dan kestabilan emosi. Dengan demikian, setiap individu akan terus menjaga identitas pribadinya karena identitas memberikan jaminan keberadaan diri dengan meminjam kekuatan bersama suatu kelompok untuk menjalani kehidupan bermasyarakat. Maka dapat dikatakan bahwa identitas amatlah vital keberadaannya karena menjadi sesuatu yang hakiki bagi setiap individu. Dari berbagai pendapat itu, dapat diketahui bahwa identitas etnik seseorang ternyata tidak berhenti ketika seseorang itu ditasbihkan sebagai anggota etnik tertentu melalui bukti darah/garis keturunan. Identitas terbentuk melalui sosialisasi, baik dalam keluarga maupun masyarakat lingkungannya. Seorang yang terlahir sebagai keturunan Jawa, misalnya, tidak akan merasa memiliki identitas etnis Jawa jika sebelumnya tidak ada sosialisasi identitas terhadapnya. Hal ini di­ kuatkan oleh Weinreich (1985) yang berpendapat bahwa identitas so­ sial (termasuk identitas etnik) merupakan penggabungan ide-ide, perilaku, sikap, dan simbol-simbol bahasa yang ditransfer dari generasi ke generasi melalui sosialisasi. Begitulah, faktor utama yang mendorong terbentuknya identitas etnik adalah adanya kesamaan-kesamaan besar (seperti pengalaman, latar belakang, adat-istiadat, bahasa, dan perilaku) antaranggota kelompok masyarakat (etnik) yang terbentuk melalui sebuah proses (sosialisasi). Kesamaan-kesamaan itu pada awalnya akan menumbuhkan perasaan seidentitas dan pada gilirannya akan menumbuhkan pula kesadaran bahwa mereka adalah kelompok yang berbeda dengan kelompok lain. Dengan kata lain, terbentuknya identitas etnik ternyata memerlukan kehadiran etnik lain sebagai komparasi dan penegas identitas etnik yang bersangkutan. Hal ini menegaskan kembali bahwa identitas etnik merupakan hasil dari interaksi sosial. Kelompok yang tidak berinteraksi dengan kelompok lain mungkin tidak akan menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan-kesamaan yang besar. Hanya melalui interaksi



168 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Melayu Kacukan dan Kegelisahan Marhalim Zaini



dengan kelompok lain identitas etnik mereka terbangun. Semakin in­ tens interaksi itu, semakin berkembang pula identitas etniknya. Sebagai sebuah proses sosial, dalam kenyataannya, identitas dan etnisitas tidak selalu dapat diperlakukan sebagai fenomena objektif, tetapi juga subjektif (Hocoy, 1996). Artinya, indentitas dan etnisitas seseorang tidak hanya dapat diukur melalui kriteria-kriteria tertentu yang pasti (secara objektif), tetapi juga harus diukur derajat perasaan kepemilikan (sense of belonging) akan kelompok etniknya (secara subjektif). Dalam perspektif inilah persoalan indentitas dan etnisitas itu sering timbul. Seseorang bisa saja sangat memuja etniknya karena sense of belonging-nya tinggi. Pun dapat terjadi sebaliknya: seseorang yang menurut kriteria umum diakui sebagai anggota kelompok etnik tertentu (karena keturunan misalnya), dengan berbagai penyebab/alasan, justru menolak untuk memakai etnik itu sebagai identitasnya. Dalam peta kesusastraan Riau, nama MZ sudah tidak perlu diragukan lagi keberadaannya.3 Sastrawan serba bisa ini telah aktif menulis sejak berkuliah. Ia tidak hanya menulis karya sastra (puisi, prosa, dan drama), tetapi juga menulis esai dan resensi. Tulisan-tulisannya bertebaran di berbagai media (baik lokal, nasional, maupun internasional), seperti Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Republika, Koran Seputar Indonesia, Riau Pos, Riau Mandiri, Riau Tribune, Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Tabloid Fajar, Padang Ekspres, Yogya Pos, Bernas, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Pos Kita, Jawa Pos, Surabaya Post, Mimbar, Suara Merdeka, Bali Post, Pikiran Rakyat, Lampung Post. Gelanggang Rakyat, Jurnal Puisi, Jurnal Nasional, Horison, Sagang, Berdaulat, Tepak, Bakti, Kuntum, Koran Malioboro, On Off, Gong, serta Prince Claus Fund Journal. Magister antropologi budaya kelahiran 1976 ini setidaknya telah menerbitkan dua belas buku berbagai genre, baik puisi, cerpen, novel, drama, maupun esai. Tulisan ini tak hendak membicarakan semua karya MZ. Tulisan ini hanya akan membicarakan dua karya MZ: 1 puisi, “Solilokui Para Penunggu Hutan” (Kompas, 1 Februari 2015) dan 1 cerpen, “Amuk Tun Teja” (dalam Amuk Tun Teja, 2007: 93–99). Puisi dan cerpen tersebut dibicarakan di sini karena, menurut penulis, keduanya memperlihatkan adanya gagasan, pemikiran, keinginan, dan/atau kritikan MZ atas 3 Informasi lengkap tentang Marhalim Zaini dapat dilihat pada Danardana, Edt. (Tim Balai Bahasa Riau), (2011: 170–176).



169 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



bumi Lancang Kuning. “Solilokui Para Penunggu Hutan”, merupakan penegasan pendapat MZ atas identitas kemelayuan dirinya yang oleh sebagian orang disebut Melayu kacukan.4 Sementara itu, “Amuk Tun Teja” merupakan wujud kegelisahan (bahkan kemarahan) MZ atas kenyataan rendahnya tingkat apresiasi sastra dan sejarah masyarakat Melayu (Riau). Penegasan pendapat dan kegelisahan tentang identitas (kemelayuan) dan rendahnya tingkat apresiasi sastra itu tidak hanya penting untuk dirinya (MZ), tetapi juga penting untuk orang lain.5 Masalah utama yang hendak dibicarakan dalam tulisan ini adalah gagasan, pemikiran, keinginan, dan/atau kritikan MZ atas bumi Lancang Kuning melalui dua karyanya: “Solilokui Para Penunggu Hutan” (puisi) dan “Amuk Tun Teja” (cerpen). Masalah itu dapat dijabarkan dalam bentuk pertanyaan berikut. (1) Apa saja gagasan, pemikiran, keinginan, dan/atau kritikan MZ atas bumi Lancang Kuning melalui dua karyanya: “Solilokui Para Penunggu Hutan” (puisi) dan “Amuk Tun Teja” (cerpen)? (2) Bagaimana gagasan, pemikiran, keinginan, dan/atau kritikan MZ atas bumi Lancang Kuning tersebut dikemukakan dalam “Solilokui Para Penunggu Hutan” dan “Amuk Tun Teja”? Sebagai wacana, “Solilokui Para Penunggu Hutan” dan “Amuk Tun Teja” pantas diduga merupakan tindakan (action) yang dilakukan MZ secara sadar, terstruktur, terkontrol, dan berkesinambungan un­ tuk berinteraksi/berkomunikasi dengan pembacanya. Dengan de­ mikian, “Solilokui Para Penunggu Hutan” dan “Amuk Tun Teja” pun dipastikan memiliki tujuan tertentu, seperti memengaruhi, membujuk, menyanggah, dan/atau mendebat. Atas dasar itu, di samping untuk mengetahui apa/bagaimana isi teks, tulisan ini juga dimaksudkan untuk mencoba mengetahui ba­ gaimana dan mengapa teks (“Solilokui Para Penunggu Hutan” dan “Amuk Tun Teja”) itu dihadirkan. 4 Pada 1997 istilah Melayu kacukan digunakan Henk Maier dalam menelaah ke­ ambiguitasan tokoh Hang Tuah. Menurut amatan Maier, Hang Tuah pun mengaku Melayu kacukan, campuran Jawa Majapahit (lihat Mohamad, 2013). 5 Di Riau, masalah indentitas dan etnisitas masih menjadi fokus perbincangan untuk mengidentifikasi seseorang sebagai Melayu atau bukan Melayu (lihat Danardana, 2012).



170 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Melayu Kacukan dan Kegelisahan Marhalim Zaini



Dalam teori strukturalisme, menurut Abrams (1980: 8–14), sastra dapat dikaji melalui empat pendekatan: (1) pendekatan objektif, me­ nitikberatkan pada karya sastra secara otonom atau mandiri (work); (2) pendekatan mimesis, menitikberatkan pada alam semesta (universe); (3) pendekatan pragmatik, menitikberatkan pada pembaca atau publik (audience); dan (4) pendekatan ekspresif, menitikberatkan pada diri sastrawan (artist). Mengingat masalah utamanya berkaitan dengan gagasan, pemikiran, keinginan, dan/atau kritikan MZ atas bumi Lancang Kuning, kajian ini menggunakan dua pendekatan sekaligus: pendekatan ekspresif dan pendekatan mimesis. Pendekatan ekspresif tidak semata-mata hanya memberikan per­ hatian terhadap bagaimana karya itu diciptakan, tetapi juga dalam bentuk apa karya itu dihasilkan. Wilayah studi pendekatan ini adalah diri pengarang, pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil karyanya. Pendekatan ini dapat dimanfaatkan untuk menggali ciri-ciri individualisme, nas­ ionalisme, komunisme, feminisme, dan sebagainya dalam karya, baik karya sastra individual maupun karya sastra dalam kerangka periodisasi. Pada hakikatnya, pendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi pengarang. Pengarang sendiri menjadi pokok yang melahirkan produksi persepsi, pikiran, dan perasaan yang dikombinasikan (Abrams, 1980: 22). Praktik analisis dengan pendekatan ini mengarah pada penelusuran kesejatian visi pribadi pe­ ngarang yang dalam paham struktur genetik disebut pandangan dunia. Seringkali pendekatan ini mencari fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman sastrawan yang secara sadar atau tidak telah membukakan dirinya dalam karyanya tersebut. Dengan demikian, secara konseptual dan metodologis, dapat diketahui bahwa pendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai (1) wujud ekspresi pengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi, pikiran, dan perasaannya, serta (3) produk pandangan dunia pengarang. Sementara itu, Wellek & Warren (2016: 134–153) mengategorikan studi sastra yang berhubungan dengan pandangan atau pemikiran pengarang sebagai studi sastra dengan pendekatan ekstrinsik. Wellek & Warren (2016) beralasan bahwa sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk pemikiran yang ter­ bungkus secara khusus. Dengan demikian, sastra dianalisis untuk meng­ ungkapkan sejarah pemikiran pengarang. Pemikiran pengarang tentu bertolak dari realitas atau ke­nyataan dunia yang dihadapinya. Jadi, sas­ tra merupakan representasi kenyataan hidup yang dihadapi manusia,



171 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



baik secara personal maupun secara berkelompok. Sebagai representasi kenyataan hidup manusia, dengan demikian, sastra juga merupakan tiruan (mimesis) kenyataan hidup di dunia. Langkah kerja yang dapat dilakukan melalui pendekatan ini adalah (1) memerikan sejumalah pikiran, persepsi, pikiran, dan perasaan pengarang yang hadir secara langsung atau tidak di dalam karyanya, (2) memetakan sejumlah pikiran, persepsi, dan perasaan pengarang yang ditemukan dalam karyanya ke dalam beberapa kategori faktual teks berupa watak, pengalaman, dan ideologi pengarang, (3) merujukkan data yang diperoleh pada tahap (1) dan (2) ke dalam fakat-fakta khusus menyangkut watak, pengalaman hidup, dan ideologi pengarang secara faktual luar teks (data sekunder berupa data biografis), serta (4) membicarakan secara menyeluruh, sesuai tujuan, pandangan dunia pengarang dalam konteks individual maupun sosial dengan mem­pertimbangkan hubungan-hubung­ an teks karya sastra hasil ciptaannya dengan data biografisnya. Tulisan ini menggunakan metode deskriptif-analisis. Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan respresentasi pandangan dunia pe­­­­­­ngarang dalam karya sastra secara sistematis, faktual, dan akurat (Nazir, 1985: 63). Teknik yang digunakan adalah analisis teks, yaitu meng­­­analisis teks berdasarkan pada sampel beberapa karya MZ. Kri­ teria pengambilan sampel dilakukan secara random atau acak, tetapi tetap disesuaikan dengan tujuan penulisan. Karena tulisan ini bersifat ku­alitatif, pengambilan sampel dilakukan secara subjektif. B. Representasi Pandangan MZ dalam “Solilokui Para Penunggu Hutan” Bahwa karya sastra merupakan visi dan sekaligus pandangan dunia (world-view) pengarangnya, bukanlah pendapat yang mengada-ada. Karya sastra lahir tidak dari kekosongan, tetapi lahir karena diciptakan pengarang dengan maksud dan tujuan tertentu (Luxemburg et al., 1984: 90). Tujuan pengarang menciptakan karya sastra tentu bermacammacam. Di samping hendak berkomunikasi dengan pembaca, bisa jadi, pengarang juga hendak menghibur pembaca, menyindir pemerintahan yang sedang berkuasa, atau hanya sekadar berusaha mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Bahkan, ada pula pengarang yang menciptakan karya sastra berdasarkan pesanan penerbit yang mem­ berinya honororarium.



172 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Melayu Kacukan dan Kegelisahan Marhalim Zaini



Karena diciptakan pengarang dengan maksud dan tujuan tertentu, karya sastra bersifat multidimensi dan multi-interpretasi. Pengarang menciptakan karya sastra bukan sekadar merangkai kata-kata tidak bermakna, melainkan berbicara tentang kehidupan, baik kehidupan se­ cara realitas yang ada dan nyata dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan yang hanya terjadi dalam gagasan, angan-angan, atau citacitanya saja. Dalam salah satu esainya, “Genetic Structuralism in The Sociology of Literature”, Goldman (1973: 118–119) pun menjelaskan bahwa ada tiga kemungkinan yang dilakukan seorang pengarang, termasuk MZ tentunya, dalam menghadapi realitas lingkungannya: (1) mencatat dan memaknai, (2) bersikap dan bereaksi, serta (3) mengubah dan menciptakan realitas yang baru di dalam karyanya. Senada dengan hal itu, Kuntowijoyo (1987: 127) pun menulis bahwa ada tiga peranan sastrawan dalam menciptakan karya sastra, yaitu menanggapi realitas (mode of comprehension), berkomunikasi dengan realitas (mode of communication), dan menciptakan kembali realitas (mode of creation). Atas dasar itu, pantas diduga “Solilokui Para Penunggu Hutan” pun merupakan tanggapan atas realitas yang terjadi di berbagai sudut bumi Lancang Kuning, tanah kelahiran yang telah membesarkannya. Apa dan bagaimana tanggapan itu terepresentasikan dalam “Solilokui Para Penunggu Hutan”?, mari kita awali dengan membacanya. SOLILOKUI PARA PENUNGGU HUTAN – batu geliga (bezoar) sepulang dari eropa, racun-racun dalam tubuhku sibuk berkelahi, berdengung-dengung bagai lebah bergelayut di jantung, bagai suara kambing gunung yang di lehernya lembing bergantung. suara-suara itu lalu-lalang secepat cahaya di urat darah kacukanku, jejaknya menanam sengat silau, beribu sengat, yang sakitnya lekat pada setiap kali mataku memandangmu terhantuk-hantuk di sampan kayu



173 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



di pelataran sungai senja maka, kuminta, maniskan darahku, siapa pun dikau wahai para penunggu hutan, dengan sebutir batu geliga itu, sebutir saja atau, kikiskan ke dalam segelas anggur, agar jadi jimat abad tujuh belas di limbung mabuk badanku. kau bukan orang asli, Bung             kau para munsyi yang mualaf             pergilah ke selat, atau ke tanjung,             atau hanyutkan saja dirimu ke persia             ke perdangangan terselubung alahmak, setengah gelepar ini, rupanya tak membuatmu patuh, tak sekejap saja diam dari seranah. aku orang kota, terbuang dari kampung, disumpahi orang darat, dikutuki orang laut. maka darahku kadang pahit, kadang sepat, kadang kelat. tapi hati-hati, ujung lidahku asin, merapal jampi-jampi untuk memikat hatimu, untuk menciumi aroma gaharu di tubuhmu, bismillahku masih bersirih, masih lekat urat pinang merah di bibirku, andai kelak kusepah semah di bibirmu. kau ingat, sujud sembahmu di kakiku dulu, adalah tersebab kata, padam kemilau emas pada mata. dan ratusan tahun, kau dengar, doa sejarah yang itu-itu saja, yang ditadahkan ke pintu langit tenggara. sampai aku hafal berapa tiang layar yang tumbang ke cina. wahai, tak mungkin sembuh, itu derita, bahkan jatuh, itu raja. tapi, batu geliga dari perut gajah telah lenyap,



174 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Melayu Kacukan dan Kegelisahan Marhalim Zaini



            dijual ke aceh, diberi nama pedro de porco siacca,             binatang-binatang hutan merajuk, juga mengamuk             ke kota, mereka kini makan roti di mal-mal,             tak lagi suka daun-daun tropis             yang membangkai di api gambut aku tahu, sepulang dari eropa, mulutmu mulutku bau jerebu. yang punah oleh api adalah ranah. kita tumbuh dari selera orang lapar yang bangkit dari kuburan hutan. masa depan kita tinggal sungai, yang kita minum siang malam, yang kita tangisi siang petang. tapi, batu geliga, tak ada di sungai. perut ikan-ikan hanya menyimpan pasir, lumut limbah dari pabrik, dan serpih syair yang terbenam di rawa. ikan-ikan yang hidup dalam perut kita, adalah juga ikan puaka, menjelma racun-racun yang sibuk berkelahi tentang warna sirip dan sisik, sibuk mencari mitos-mitos tentang asal-usul dari kepingan uang logam yang berkarat di bawah bantal kapuk nenek monyang. maka, tolong, maniskan saja darahku, dengan batu geliga itu, yang mungkin, masih tersisa di dalam degup jantungmu. rotan jernang (dragon’s blood) ia hanya tahu, suatu hari, ia akan menjelma jadi pohon dracaena, di hutan hitam belakang rumah. rasanya, ia tak tahan lagi, tubuhnya dipaku di tiang-tiang sembahyang, jadi penyebat anak-anak yang tak pandai mengaji alif-ba-ta, dijual dibeli di pasar raja-raja, ditenggak para penyair yang tergagap



175 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



kehilangan kuasa kata. konon, kemenyan merah dibakar di bawah kapur, saat magrib menabuh bedug di surau-surau, yang terus memanggil-manggil tuhan di mata kapak orang kampung, adalah permaisuri surga yang tak menjadi bini. tapi sejak lama, ia telah tahu, itu orang bunian yang tak berumah di surga, tak bertanah di bumi, tak mungkin ia pagut asap, seperti ia memagut remang senja yang lindap. pernah, bagai lepas urat nadinya dari akar-akar tanah, saat tak dapat ia ucap alif-lam-mim di depan madrasah, tempat ia pernah terhimpit berhari-hari di halaman-halaman kita suci. saat itu, yang terdengar oleh daun-daunnya, adalah gaung hutan, meraung panjang, bunyi semak yang disibak-sibak, dan batang-batang getah tua yang ditetak-tetak.             suara tuhankah itu?             al-faaatihah… ia hanya tahu, hari-hari akan lepas dari tubuhnya, seperti kulit yang terlepas dari dagingnya. tak pernah ia membenci tukang kayu, seperti ia membenci tukang tebang. ia berani bersumpah, atas nama matahari, yang telah melahirkannya, bahwa di seluruh dataran rendah, orang-orang menguliti seluruh hikayat, seluruh riwayat, dari ujung ke pangkal, sebagaimana mereka membuang – dengan rasa benci – duri-duri dari batang. dan, suatu hari, ia tak lagi ingin tahu, di mana harus mengucap assalamualaikum,



176 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Melayu Kacukan dan Kegelisahan Marhalim Zaini



ketika tubuhnya terpanggang, melelehkan resin merah ke tanah, bagai melelehkan darah ke merah darah. – lebah sialang (apis dorsata) kami tinggi, karena langit tujuan kami, teriakmu dari atas bukit. tapi orang belanda, sebagaimana juga aku melihat gumpalan mendung di langit utara, langitnya orang sumatera, seperti ribuan sarang lebah menggantung di rimbun sialang bersiap jatuh ke jantung ladang. itukah langitmu,             yang kakinya bengkak-bengkak             kena sengat teluh             orang kacuk dari siak. tidak katamu. orang sakai kebal nujum tersebab darah madu kami minum, seperti orang jakarta mereguk limun dari lambung tanah kami yang tambun. bahkan kepada inggris, di tahun 1823, bukankah raja-raja telah menjual silsilah kami dalam lima ribu karung lilin. maka kita ini siapa, peramu atau pemburu, atau binatang-binatang liar abad tujuh belas: yang bertanya kepada hutan,             jawabnya rumah.             yang bertanya pada sungai,             jawabnya tanah. maka kau yang tinggi atau aku yang terbenam, adalah adik beradik yang bermain galah panjang di halaman belakang. sebab, di depan, kau tengok, di sepanjang sungai besar berarus lambat



177 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



kapal-kapal tiap petang berbaris menadahkan periuk bagai pengemis, bahkan sejak berabad lampau menanti kau bilang puah, menunggu aku bilang puih. kami, tak lagi tinggi, sebab langit adalah tempat tinggal kami, bisikmu dari dalam tanah. Dalam analisis wacana, judul sering menjadi kunci pemahaman.6 Judul akan membentuk skemata, segala pengetahuan tentang sesuatu (yang disebut dalam judul), pembaca/apresiator. Saat membaca “Solilokui Para Penunggu Hutan”, misalnya, setidaknya ada dua hal yang menggoda untuk segera ditafsirkan: apa itu solilokui dan siapa (saja) para penunggu hutan itu? Solilokui, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badan Pe­ ngembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016: 1266) dan Teraurus Bahasa Indonesia (Endarmoko, 2007: 608), sama artinya dengan senandika, yakni ‘wacana seorang tokoh dalam karya sastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut, atau untuk menyajikan informasi yang diperlukan pembaca atau pendengar’. Dengan demikian, secara tekstual “Solilokui Para Penunggu Hutan” dapat (harus) dibaca sebagai wacana/dialog para penunggu hutan dengan dirinya (mereka) sendiri untuk mengungkapkan perasaan, firasat, maupun konflik batinnya yang paling dalam atau untuk me­ nyajikan informasi yang diperlukan pembaca atau pendengar. Lalu, siapa (saja) para penunggu hutan itu? Ungkapan atau informasi apa pula yang disampaikan kepada pembaca/pendengar? Jawabannya tentu tersembunyi dalam tiga bagian “Solilokui Para Penunggu Hutan”: batu geliga (bezoar), rotan jernang (dragon’s blood), dan lebah sialang (apis dorsata) berikut ini. 6 Pemberian judul “Solilokui Para Penunggu Hutan” (yang tidak langsung menyebut nama, dalam hal ini nama tempat) justru memberi kebebasan kepada pembaca untuk “meliarkan” asosiasinya. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Prancis Mallarme (dalam Damono, 2010: 3) bahwa memberi nama suatu objek berarti menghilangkan tiga perempat kenikmatan sebuah puisi, yang semestinya diperoleh dari kepuasan menebak sedikit demi sedikit. Membangkitkan sugesti, menghadirkan rasa, itulah yang menggairahkan imajinasi.



178 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Melayu Kacukan dan Kegelisahan Marhalim Zaini



1. Batu Geliga (bezoar) Pada bagian ini si aku lirik (MZ) bersenandika tentang “kesangsian” orang atas eksistensi diri-(kemelayuan)-nya. Baginya, kata-kata tuduhan (bahkan hardikan): //kau bukan orang asli, bung/kau para munsyi yang mualaf/pergilah ke selat, atau ke tanjung/atau hanyutkan saja dirimu ke persia/ke perdagangan terselubung//, tidak hanya membuatnya gelisah dan dongkol, tetapi juga heran dan berang. alahmak, setengah gelepar ini, rupanya tak membuatmu patuh, tak sekejap saja diam dari seranah. Begitulah keheranan itu MZ ucapkan. Ia pun lalu membuat penga­ kuan dan kesaksian: /aku orang kota, terbuang dari kampung/disumpahi orang darat, dikutuki orang laut/maka darahku kadang pahit/kadang sepat, kadang kelat/tapi hati-hati, ujung lidahku asin/merapal jampijampi untuk memikat hatimu/untuk menciumi aroma gaharu di tubuhmu/ bismillahku masih bersirih/masih lekat urat pinang merah di bibirku/ andai kelak kusepah semah di bibirmu/kau ingat, sujud sembahmu di kakiku dulu/adalah tersebab kata, padam kemilau emas pada mata//. Oleh karena itu, setelah membeberkan berbagai peristiwa dan kejadian (di ranah Melayu), ia pun berharap: //maka, tolong maniskan saja darahku/dengan batu geliga itu/yang mungkin, masih tersisa/di dalam degup jantungmu//. Masalah identitas diri (kemelayuan), rupanya, sudah sejak lama mengusik pikiran MZ. Saat dikukuhkan sebagai Seniman Pilihan Sagang 2011, misalnya, MZ mengangkat masalah itu dalam orasinya. Orasi berjudul “Akulah Melayu yang Berlari (Percakapan-percakapan yang Tak Selesai tentang Ideologi dan Identitas Kultural)” itu dimuat Riau Pos (13 November 2011) dan mendapat respons dari beberapa penulis (antara lain Syaukani Al Karim, Alvi Puspita, dan Agus Sri Danardana) sehingga sempat menjadi polemik. Kegelisahan akan kekacukannya itu, bahkan, diabadikan dalam Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu (kumpulan puisi Marhalim Zaini, 2013) yang justru mengantarnya mendapat dua penghargaan sekaligus: Anugerah Hari Puisi Indonesia 2013 dan Penghargaan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa 2013.



179 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



2. Rotan Jernang (dragon’s blood) dan Lebah Sialang (apis dorsata) Dua bagian ini berkisah tentang “ratapan” rotan jernang dan lebah sialang. Rotan jernang meratap karena, meskipun sudah mengetahui dan memaklumi /bahwa di seluruh daratan rendah/orang-orang menguliti seluruh hikayat/seluruh riwayat, dari ujung ke pangkal/sebagaimana mereka membuang/—dengan rasa benci—duri-duri dari batang//, dari waktu ke waktu nasibnya tidak berubah. Ia meratap karena dirinya hanya dijadikan penyebat anak-anak yang tak pandai mengaji dan/atau hanya dijadikan penabuh bedug di surau-surau. Bahkan, ia pun meratap justru karena mengetahui bahwa peran dan fungsi dirinya itu diyakini oleh masyarakat (orang kampung) dapat mengantar mereka memeroleh permaisuri di surga nanti. Padahal, ... ia telah tahu, itu orang bunian/ yang tak berumah di surga, tak bertanah di bumi/. Sementara itu, ratapan lebah sialang bermula dari rasa pe­nyesalan atas keberadaan dirinya. Semula ia merasa memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat. “Kami tinggi, karena langit tujuan kami,” demikian akunya. Namun, setelah mendapat pencerahan (melalui berbagai penjelasan dan perdebatan), lebah sialang pun tersadar. “Kami, tak lagi tinggi/sebab langit adalah tempat tinggal kami,” bisiknya. Nah, ternyata batu geliga (bezoar), rotan jernang (dragon’s blood), dan lebah sialang (apis dorsata) tidak sedang bersenandika. Para penghuni hutan itu (di)hadir(kan) ternyata bukan sebagai sub­ jek, melainkan objek. Mereka tidak sedang berbicara, tetapi sedang dibicarakan. Oleh siapa? Tentu oleh penciptanya, si aku lirik: MZ. De­ ngan demikian, dapat disimpulkan bahwa puisi yang sedang dibicarakan ini bukan solilokui para penunggu hutan, melainkan solilokui tentang para penunggu hutan. C. Representasi Pandangan MZ dalam “Amuk Tun Teja” Berbeda dengan kebanyakan cerpen pada umumnya, “Amuk Tun Teja” dibangun dalam dua bentuk penuturan: (menyerupai) monolog dan narasi. Monolog (dilakukan oleh tokoh perempuan renta) disajikan dengan cakapan langsung, sedangkan narasi (tentang tokoh aku) disajikan dengan cakapan tidak langsung.7 Anehnya, dua bentuk tuturan itu hadir secara bergantian sehingga seolah-olah membentuk sebuah 7 Penjelasan lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk tuturan: monolog, dialog, dan narasi dapat dibaca pada Teori Pengkajian Fiksi (Nurgiyantoro, 1998).



180 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Melayu Kacukan dan Kegelisahan Marhalim Zaini



kisah percakapan (dialog) yang tidak hanya terkesan tidak monoton, tetapi juga terasa variatif dan segar. Padahal, dialog (percakapan) antartokoh itu tidak pernah terjadi. Perhatikan kutipan berikut. Tanpa mengetuk pintu, tanpa mengucap salam, seorang perempuan renta berkebaya lusuh masuk ke kantorku, dan langsung duduk di kursi tepat di depanku. Dari tatapan matanya yang sempit dan hampir terjepit oleh kulit kelopak-keriputnya, ia tampak sedang memendam sesuatu yang teramat dalam. Dan dari mulutnya yang masih tersisa warna merah sirih, melompatlah peluru kata-kata. ”Air dalam bertambah dalam/hujan di hulu belum lagi teduh/hati dendam bertambah dendam/dendam dahulu belum lagi sembuh! Sampai hati kau, Tuah! Kau renjis-kan minyak wangi guna-guna itu ke ranjangku. Pengecut itu namanya!” Alahmak, orang tua gila mana pula ini? Pagi-pagi berpantun-pantun menuduh orang sembarangan. Mulutnya bau gambir pula. Kok bisabisanya sampai tersesat masuk ke kantorku? “Begitukah cara seorang pahlawan besar yang diagung-agungkan menaklukkan hati seorang perempuan? Tak adakah cara yang lebih jantan? Aku ini perempuan, Tuah! Perempuan yang sama dengan perempuan lain di dunia ini. Sama-sama punya hati dan perasaan yang kapan saja bisa luluhuntuk menerima cinta dari seorang lakilaki. ....” (Zaini, 2007: 93–94).



Begitulah, cerpen “Amuk Tun Teja” dimulai. Setelah membaca bagian awal cerpen itu, seolah-olah kita (pembaca) dibiarkan secara langsung melihat dan mendengar sendiri kata-kata tokoh, dialog antar­ tokoh, bagaimana wujud kata-katanya, dan apa isi dialognya. Artinya, dialog kemasan MZ itu telah membuat kisah dalam cerpen ini menjadi konkret, dapat ditangkap secara inderawi, sehingga dapat memunculkan kesan bahwa kisah itu nyata dan benar-benar terjadi. Karena konkret (dapat ditangkap secara inderawi: dapat dilihat dan didengar), citraan (imagery) pun telah terbangun. Padahal, dua tokoh (aku dan perempuan renta/Tun Teja) dalam cerpen itu tidak sedang saling berinteraksi. Di samping tidak saling kenal (perempuan renta mengira tokoh aku sebagai Tuah, tokoh aku tidak mengenali perempuan renta sebagai Tun Teja), keduanya asyik dengan topik masing-masing. Tokoh aku asyik mengomentari ulah dan ucapan tokoh perempuan renta yang tibatiba duduk di kursi tepat di depannya, sedangkan tokoh perempuan



181 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



renta asyik berceloteh tentang kekecewaannya atas perlakuan (Hang) Tuah terhadap dirinya. Hal seperti itu terus berlangsung hingga cerita berakhir. Kutipan bagian akhir cerita berikut memperjelas hal itu. Bangsat, orang tua ini, ayo mendekatlah kalau berani. Peduli apa aku dengan Jebat, dengan Tuah, atau dengan siapapun. Yang jelas, kalau kau berani menusukkan keris itu, aku takkan tinggal diam. “Tuah, betul-betul tak mau kaumakan sirih itu? Tak mau, Tuah! Berarti kau memang tak pernah mencintai aku ‘kan? Atau kau lebih baik mati daripada berkhianat dan membenci raja, begitu? Lebih baik mengkhianati hatimu sendiri, Tuah! Kau mendurhaka, Tuah! Kau mendurhakai dirimu sendiri. Dan jika itu memang pilihanmu, baiklah, aku akan memilih jalan ini! Kalau menunggu gelombang tidur, sampai kiamat takkan ke laut! Hiyaaaap!!!” menusukkan keris ke perutnya sendiri. Ya, Tuhan. Apa pula ini! Hei, Nenek! Ya ampun, kenapa pula kau harus bunuh diri! Aduh, bagaimana ini? Hei, tolong ......tolong....... tolong......*** (Zaini, 2007: 99).



Hal lain yang penting dan menarik dari cerpen tersebut adalah judulnya, “Amuk Tun Teja”. Dikatakan penting karena tanpa judul itu, pembaca dapat dipastikan tidak akan pernah tahu (mengalami kesulitan) bahwa tokoh yang berceloteh secara langsung dan terus-menerus di sepanjang cerita itu adalah Tun Teja. Mengapa? Karena, di samping tidak disebut sama sekali dalam cerita, tokoh itu juga digambarkan sebagai perempuan renta, lusuh, keriput, bau gambir, dsb. sehingga bertentangan dengan pengetahuan umum tentang Tun Teja, yang cantik jelita dan putri bangsawan. Sementara itu, dikatakan menarik karena melalui judul itu pula pembaca terbimbing pada satu tafsir: Tun Teja mengamuk. Atas tidak disebutkannya Tun Teja dalam cerita mungkin se­ buah kesengajaan (MZ). Sebagai sebuah mitos (mitologi), Tun Teja memang tidak perlu diterang-jelaskan lagi. Ia sudah selayaknya hidup di hati sanubari masyarakat (Melayu) sesuai dengan interpretasi ma­ sing-masing. Jika dalam cerpen ini Tun Teja tampak sedang menebar kemarahan atas perlakuan (Hang) Tuah terhadap dirinya, mudahmudahan hal itu benar-benar merupakan interpretasi MZ. Akan tetapi, mengapa tokoh aku (dalam cerpen ini) tidak mengenali tokoh



182 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Melayu Kacukan dan Kegelisahan Marhalim Zaini



perempuan renta itu sebagai Tun Teja? Jangan-jangan MZ berkehendak lain, ingin melontarkan isyarat bahwa sekarang ini banyak di antara kita (masyarakat Melayu) yang sudah tidak lagi mengenal Tun Teja. Betulkah demikian? Wallahualam bissawab. Yang pasti, dalam cerpen MZ itu, Tun Teja telah diberi karakter baru. Tun Teja tidak digambarkan lagi sebagai perempuan lemah dan pasrah, tetapi sebagai perempuan pemberontak. Sejalan dengan pendapat Junus (1983: 87), dapat dikatakan bahwa dalam teks “Amuk Tun Teja” telah terjadi demitefikasi terhadap teks atau bagian teks lain (dalan hal ini Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah), yakni berupa penentangan secara radikal terhadap tokoh Tun Teja: dari perempuan lemah ke perempuan pemberontak. Hal itu sekaligus menjadi bukti bahwa melalui “Amuk Tun Teja” MZ telah mencoba meruntuhkan (merevitalisasi) mitos dan legenda Tun Teja yang selama ini berkembang dan dipahami masyarakat Melayu. D. Penutup Dengan pembacaan seperti itu, dapat ditarik du simpulan. Pertama, senyatanyalah “Solilokui Para Penunggu Hutan” merupakan wacana/ dialog MZ dengan dirinya sendiri untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin, dan/atau menyajikan informasi kepada pembaca tentang para penunggu hutan. Jika dikaitkan dengan kegelisahannya selama ini (dituduh sebagai Melayu kacukan), bisa jadi, melalui puisinya (“Solilokui Para Penunggu Hutan”) itu, MZ sedang/hendak melakukan pembelaan. Dengan pembacaan seperti itu pula, simbol-simbol yang ada pada “Solilokui Para Penunggu Hutan” pun akan menjadi lebih mudah dipahami. Simbol (kata) hutan, misalnya, di samping dapat dimaknai arti harfiahnya (sebagai kawasan flora dan fauna), juga dapat dimaknai arti metaforisnya: Melayu dengan segala resamnya. “Solilokui Para Penunggu Hutan”, dengan demikian, dapat dimaknai sebagai senandika MZ tentang para pemangku kepentingan (stakeholder) “hutan” Melayu (terutama yang ada di Provinsi Riau). Lalu, apa kira-kira yang diharapkan MZ? Sebagaimana yang tertulis dalam “Solilokui Para Penunggu Hutan”, ia bermohon agar diobati (dipulihkan namanya) dengan batu geliga. Atau, sekurang-kurangnya ia berharap agar masalah etnisitas (Melayu kacukan) tidak digunjingkan lagi. Baginya, tindakan merawat dan mengembangkan kemelayuan



183 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



itu jauh lebih penting daripada meributkan asli-tidaknya kemelayuan seseorang. “Mengapa kacukan harus diributkan? Bukankah batu geliga telah lenyap dari perut gajah? Bukankah rotan jernang telah melelehkan resin merah ke tanah? Bukankah lebah sialang tak lagi tinggi? Pikirkan itu!” begitu kira-kira pemikiran yang ada di benaknya. Betulkah demikian? Bisa jadi, betul. Sekalipun tidak ter­eks­ plisitkan, “pembaca” Riau yang baik pasti dapat memahami hal itu. Me­ngapa? Karena di masyarakat (Riau) telah berkembang faham bahwa pemerintah pusat (Jakarta, Indonesia), terutama rezim Orde Baru, selama ini telah berlaku zalim terhadap pemerintah daerah Riau sehingga memunculkan rasa kebencian yang mendalam bagi sebagian besar masyarakat Riau terhadap pemerintah pusat. Celakanya, oleh para pemangku kepentingan (stakeholder), keadaan itu justru dijadikan proyek. Banyak program di Riau (baik yang diucapkan maupun yang ditulis) hanya berupa dongeng(an) dan janji-janji (baca, misalnya, dalam Tragedi Riau Menegakkan Demokrasi, [Al-Mudra, 2004]). Kedua, senyatanyalah MZ telah berkisah tentang Tun Teja meng­ amuk. Kisah itu dikemasnya dengan sangat apik dan menarik dalam sebuah cerpen, “Amuk Tun Teja”. Secara eksplisit, Tun Teja mengamuk karena sakit hati atas perlakuan Hang Tuah pada dirinya (lihat pada monolog Tun Teja). Secara implisit, Tun Teja mengamuk, bisa jadi, karena (sebagai tokoh yang sudah melegenda) merasa kecewa dirinya tidak dikenal (mulai dilupakan) oleh masyarakatnya, masyarakat Melayu Riau. Bayangkan, tokoh setenar (Yong) Dolah—pencerita ulung dari Bengkalis itu—saja tidak mengenal Tun Teja. Apalagi orang awam, kemungkinan besar mereka juga tidak mengenalnya. Hal itu sekaligus memperlihatkan bahwa pada kenyataannya masalah lokalitas masih menyisakan persoalan di era globalisasi seperti sekarang ini. Sebagai penulis serba bisa, senyatanyalah MZ tidak hanya memiliki kepekaan atas realitas lingkungannya, tetapi juga memiliki daya ungkap (ketrampilan mengutarakan) yang khas. Sebagai sebuah informasi, bisa jadi, peristiwa yang terkisah dalam “Solilokui Para Penunggu Hutan” dan “Amuk Tun Teja” tidak lagi mengejutkan banyak orang. Akan tetapi, pun besar kemungkinan banyak orang yang tidak menyangka bahwa peristiwa itu sudah demikian fulgar sehingga “Solilokui Para Penunggu Hutan” dan “Amuk Tun Teja” pun berkisah tentang peristiwa itu.



184 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Melayu Kacukan dan Kegelisahan Marhalim Zaini



Daftar Referensi



Abdillah S., U. (2002). Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Indonesiatera. Abrams, M. H. (1980). The Mirror and Lamp: Romantic Theory and The Critical Tradition. Oxford; Oxford University Press. Ahmad R.M., E. (2011). Penat Tak Sudah Jadi Melayu. Riau Pos. Al-Karim, S. (2011, November). Ihwal Melayu dan Jalan Kemelayuan. Riau Pos. Al-Mudra, M. (Edt. . (2004). Tragedi Riau Menegakkan Demokrasi. Adi Cita. Al-Mudra, M. (Edt. . (2008). Redefinisi Melayu: Upaya Menjembatani Perbedaan Konsep Kemelayuan Bangsa Serumpun. Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia. In KBBI Daring. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/jati diri Barth, F. (1969). Ethnic Groups and Boundaries: The Social Organization of Culture Difference. Waveland Press. Damono, S. D. (2010). Simbolisme dan Imajisme dalam Sastra Indonesia. Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional. Danardana, A. S. (2012, February). Identitas dan Etnisitas (Melayu). Riau Pos. Endarmoko, E. (2007). Tesaurus Bahasa Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Goldman, L. (1973). Genetic Structuralism in The Sociology of Literature. In Elizabeth & T. Burns (Eds.), Sociology of Literature and Drama. Penguin. Hocoy, D. (1996). Empirical Distinctiveness Between Cognitive and Affective Elements of Ethnic Identity and Scales for Their Measurement. Key Issues in Cross-Cultural Psychology, 128—137. Junus, U. (1983). Dari Peristiwa Ke Imajinasi: Wajah Sastra dan Budaya Indonesia. Gramedia. Kuntowijoyo. (1987). Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana. Lavenda, R. H., & Schultz, E. A. (2017). Anthropology: What Does it Mean to Be Human? (Fourth Edi). Oxford University Press. Luxemburg, J. van, Bal, M., & Weststeijn, W. G. (1984). Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Gramedia.



185 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Mohamad, G. (2013, January). Kacukan. Tempo.Com. Nazir, M. (1985). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Nurgiyantoro, B. (1998). Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada University Press. Puspita, A. (2011, December). Apa yang Sebenar, Apa yang Semesti. Riau Pos. Schultz, E. A., & Lavenda, R. H. (2017). Cultural Anthropology: A Perspective on the Human Condition (Tenth Edit). Oxford University Press. Tim Balai Bahasa Riau. (2011). Ensiklopedia Sastra Riau (A. S. Danardana (ed.)). Palagan Press. http://repositori.kemdikbud.go.id/1795/1/Ensiklopedia Sastra Riau %282011%29.pdf Weinreich, U. (1985). Language in Contact Finding. Problema. Wellek, R., & Warren, A. (2016). Teori Kesusastraan. Gramedia Pustaka Utama. Yusuf, Y. (2009). Langit, Melayu, dan Aras Mustari. Pemerintah Kabupaten Pelalawan bekerja sama dengan Riau Jazz Turbulence. Zaini, M. (2007). Amuk Tun Teja. Pustaka Pujangga. Zaini, M. (2011, November). Akulah Melayu yang Berlari (Percakapan-percakapan yang Tak Selesai tentang Ideologi dan Identitas Kultural). Riau Pos. Zaini, M. (2013). Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu. Seligi Press. Zaini, M. (2015, February). Solilokui Para Penunggu Hutan. Kompas.



186 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



IDENTITAS BUDAYA REMAJA METROPOLITAN TAHUN 2000-AN MELALUI KARYA SASTRA Nurweni Saptawuryandari



A. Pengantar Membicangkan identitas kehidupan suatu bangsa bukanlah per­ bincangan yang dianggap remeh. Pada saat ini banyak rumor atau keluhan bahwa kita sudah kehilangan identitas seperti yang terlihat dari perilaku kehidupan dalam berbagai bidang, seperti politik, sosial, ekonomi, budaya, bahkan juga ideologi. Beragam diskusi atau seminar hadir membincangkan antisipasi agar identitas kehidupan bangsa tetap kokoh dan terjaga dari menderasnya arus globalisasi sehingga dapat terjaga pula dengan segala fungsinya. Salah satu yang dianggap paling rentan dari identitas kehidupan suatu bangsa adalah kehidupan remaja dengan segala renik budaya yang melingkupinya. Sikap dan perilaku yang terkesan unik dan nyentrik merupakan salah satu ciri dari kehidupan remaja. Ada anggapan bahwa sebagian besar kehidupan remaja sering dianggap menyalahgunakan gaya hidup (lifestyle), terutama remaja yang tinggal di kota metropolitan. Mereka dianggap lebih mengikuti trend (mode masa kini), seperti cara berpakaian yang meniru dan bergaya kebarat-baratan. Ironisnya, contoh ini mereka dapatkan dari orang sekeliling atau pengaruh iklan, termasuk menjelajah lewat internet yang bisa dilakukan dengan mudah dan relatif murah. Fenomena gaya hidup juga muncul diikuti dengan adanya mo­­ dernisasi yang banyak mengubah kehidupan pada zaman ini. Per­ kembangan kebutuhan hidup manusia dipicu oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Kebutuhan hidup menuntut terjadinya peningkatan



187 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



gaya hidup. Modernitas yang muncul zaman sekarang diikuti dengan kemajuan teknologi serta fasilitas canggih yang banyak membantu kehidupan masyarakat. Dampak dari modernisasi pada remaja sudah sangat mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Tampak ada perbedaan nilai pada remaja zaman sekarang, terutama dari ke­cen­ derungan perilaku pada remaja yang dihadapkan dengan gaya hidup yang cenderung konsumtif dan mengutamakan kesenangan semata dan membuat remaja yang satu berbeda dengan yang lain (Pangestu, 2021). Senyampang itu, masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan biologis dan psi­ kologis. Remaja adalah masa transisi bagi seorang anak menuju dewasa. Bagi orang tua, mengetahui batasan usia dari anak-anak menjadi remaja serta perubahan yang terjadi pada buah hati dapat menjadi dasar untuk mendampingi mereka untuk melalui fase yang terasa seperti roller coaster ini. Definisi mengenai batas usia remaja sendiri sangat beragam. Menurut organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO), batas usia remaja adalah 10–19 tahun, tetapi juga ada istilah “anak muda” dengan rentang usia 15–24 tahun. Sementara itu, menurut penelitian yang diterbitkan jurnal The Lancet, batas usia remaja adalah 10–24 tahun atau setara dengan anak muda versi WHO. Kesimpulan riset ini berdasarkan kriteria bahwa remaja adalah orang yang berada pada masa transisi dan belum menikah atau memiliki tanggungan hidup apa pun (Harismi, 2020). Selanjutnya, para ahli mengatakan masa remaja merupakan masa sturm und drang (topan dan badai), masa penuh emosi dan adakalanya memiliki emosi yang meledak-ledak, yang muncul karena adanya pertentangan nilai-nilai. Emosi yang menggebu-gebu ini adakalanya menyulitkan, baik bagi si remaja maupun bagi orang tua/orang dewasa di sekitarnya. Namun, emosi yang menggebu-gebu ini juga bermanfaat bagi remaja dalam upayanya menemukan identitas diri. Reaksi orangorang di sekitarnya akan menjadi pengalaman belajar bagi si remaja untuk menentukan tindakan yang kelak akan dilakukannya. Di sisi lain, usia remaja kadang juga dianggap sebagai masa coba-coba. Mereka kadang juga dianggap masih labil dalam melakukan berbagai hal. Bahkan, kesalahan yang tidak perlu juga sering terjadi karena kecerobohan. Mereka juga memiliki kebiasaan buruk yang pada akhirnya berpengaruh dengan gaya hidup mereka sehari-hari. Jadi,



188 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Budaya Remaja Metropolitan Tahun 2000-an Melalui Karya Sastra



tidak mengherankan jika kebanyakan dari mereka hidupnya nyentrik, kurang teratur, dan terkadang sedikit ngawur (Hall, 1990; Sarwono, 2011). Karena itu, menjadi hal menarik untuk menelisik sisi kehidupan budaya remaja, terutama remaja metropolitan melalui karya sastra. Karya sastra sebagai salah satu hasil dari kebudayaan merupakan hasil karya individu yang dalam penyampaiannya tidak terlepas dari kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat. Dengan demikian, dapat juga dinyatakan bahwa kebudayaan mempunyai cakupan yang luas dan kompleks sehingga dapat tercermin dalam karya sastra. Sas­­­ tra merupakan cerminan budaya suatu masyarakat. Kehadiran kar­ ya sastra tidak dapat dilepaskan dari fenomena sosial budaya yang melingkupinya, seperti sosial politik, ekonomi. agama, dan sebagainya. Dalam proses kelahiran karya sastra, baik sastra Indonesia maupun daerah, secara tidak langsung terjadi saling keterkaitan antara pencip­ taan sastra dengan fenomena kehidupan masyarakat di sekitarnya. Mak­sudnya, proses penciptaan sangat dipengaruhi oleh perkembangan dan perubahan kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan budaya yang terjadi. Karena itu, membaca kehidupan sosial dan budaya ma­ sya­ rakat dalam karya sastra adalah suatu hal yang lumrah sebab sastra merupakan cerminan dari masyarakat itu. Nurgiyantoro (2018) berpendapat bahwa tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah yang kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan cara bersikap. Sastra yang lahir di tengah kehidupan masyarakat, dalam banyak hal, akan mencerminkan keadaan kehidupan sosial budaya masyarakat itu. Pesan-pesan yang terdapat dalam karya sastra pada umumnya juga berupa berbagai nilai yang ada kaitannya dengan nilainilai yang terdapat dalam latar belakang sosial budaya masyarakat di tempat pengarang hidup dan menjadi salah seorang anggotanya. Dalam hubungan ini, Abrams (1981) menyatakan bahwa karya sastra mencerminkan kehidupan masyarakat yang secara tak terelakkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Jadi, seorang pengarang tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh kerangka sosial budaya masyarakat. Karena itu, fenomena yang terungkap dalam karya sastra juga memberikan banyak informasi tentang budaya pada zamannya, seperti gaya hidup remaja metropolitan yang dipenuhi hedonisme dan semangat zaman yang penuh dengan budaya instan dan kekinian.



189 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Kajian terhadap karya sastra, terutama cerpen, yang mengung­ kapkan budaya remaja metropolitan merupakan tantangan tersendiri. Melalui buku Kumpulan Cerpen: Kupu-Kupu Tak Berkepak (Lantang, 2004) yang di dalamnya terdapat beberapa cerpen, antara lain yang di­tulis oleh Gola Gong, Zara Zetira, dan Boim Lebon, disinyalir dapat meneroka identitas budaya remaja metropolitan tahun 2000-an, terutama yang terkait dengan gaya hidup, gaya bicara, gaya rambut, atau gaya berbusana. Karena itulah, tulisan ini membincang kajian terhadap karya sastra terutama cerpen yang mengungkapkan budaya remaja metropolitan tahun 2000-an. Melalui penelitian kualitatif dalam perspektif sastra mencoba memberikan ruang kepada peneliti untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan makna atas data dan fakta yang ada secara kontekstual. Selanjutnya, Ratna (2008: 46) mengatakan bahwa penelitian kualitatif harus mampu menjelaskan interpretasi dan penafsiran berbagai fakta sosial, yaitu fakta sebagaimana ditafsirkan oleh subjek. Kajian yang erat kaitannya dengan sastra dan budaya ini adalah kajian sosiologi sastra. Istilah “sosiologi sastra” dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudah terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Hal ini dapat dipahami karena karya sastra (novel dan cerpen) dianggap lebih dekat dengan realitas zamannya. Selain mampu merepresentasikan zamannya, karya sastra berupa novel atau cerpen juga memiliki efek sosiologis yang besar terhadap pembaca. Efek sosiologis tersebut dapat ditandai dengan lahirnya ikon sosial anak muda yang dibangun dari imaji tokoh dalam novel. Tokoh-tokoh tersebut menjadi representasi anak muda pada zaman tersebut, sekaligus juga pada saat yang bersamaan membangun imaji tentang sosok anak muda yang ideal. Oleh karena itu, karya sastra berupa novel atau cerpen tidak dapat diabaikan dalam kaitannya dengan realitas sosial dan kesejarahan pada zamannya masing-masing, terutama yang berkaitan dengan problematika kehidupan anak muda. Jadi, selain sebagai representasi zaman, karya sastra berupa novel atau cerpen juga memiliki kecenderungan sebagai penentu budaya pada zamannya. Ia tidak hanya mereproduksi realitas, tetapi juga memiliki potensi untuk memproduksi realitas. Hal ini dikuatkan dengan pandangan Storey (2007: 4) yang



190 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Budaya Remaja Metropolitan Tahun 2000-an Melalui Karya Sastra



menyatakan bahwa teks budaya tidak sekadar merefleksikan atau merepresentasikan realitas pada zamannya, tetapi juga memproduksi sejarah dan merupakan bagian dari berbagai proses dan praktik sejarah tersebut. Dengan begitu, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra dengan landasan suatu pandangan. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra. Hal itu sejalan dengan pemikiran Damono (2020: 10) bahwa karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Karya sastra itu merupakan objek kultural yang rumit. B. Identitas Budaya Remaja Metropolitan dalam Karya Sastra Tahun 2000-an 1. Identitas Budaya Identitas mengandung makna kesamaan atau kesatuan dengan yang lain dalam suatu wilayah atau hal-hal tertentu (Santoso, 2017). Konsep identitas dapat dilihat dari aspek budaya yang didefinisikan sebagai emotional signifikan, yang membuat seseorang dilekatkan pada suatu hal, yang membedakannya dengan orang lain sehingga lebih mudah untuk dikenal. Identitas mengacu pada karakter khusus individu atau anggota suatu kelompok atau kategori sosial tertentu. Identitas juga merupakan hal yang penting di dalam suatu masyarakat yang memiliki banyak anggota. Identitas membuat suatu gambaran mengenai seseorang, melalui penampilan fisik, ciri, ras, warna kulit, bahasa yang digunakan, penilaian diri, dan faktor persepsi lain yang semuanya digunakan dalam mengonstruksi identitas budaya. Identitas menurut Klap (yang dikutip Roli A., 2022) meliputi segala hal pada seseorang yang dapat menyatakan secara sah dan dapat dipercaya tentang dirinya sendiri—status, nama, kepribadian, dan masa lalunya. Secara umum, Hall (1990) mengungkapkan bahwa konsep



191 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



identitas diartikan sebagai citra yang membedakan suatu individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lainnya yang dibangun serta dimodifikasi secara terus-menerus melalui interaksi dengan pihakpihak lain. Identitas memberi sense of belonging dan eksistensi sosial pada setiap individu. Identitas juga dimaksudkan untuk memberi batas-batas sosial antarseseorang atau sekelompok orang dan orang lain atau kelompok lain. Identitas yang dimiliki oleh individu dapat berupa identitas personal (persona/identity) dan identitas sosial (social identity). Identitas personal merupakan hasil dari suatu identifikasi diri oleh dirinya sendiri dengan penilaian dari orang lain. Identitas merupakan suatu karakter tertentu yang dimiliki oleh individu yang menjadi pembeda dari orang lain. Identitas personal dapat berupa ciriciri fisik seperti wajah dan tinggi badan, atau ciri psikologis seperti sifat, tingkah laku, dan gaya bicara. Selanjutnya, Hall (1990) melalui karyanya Cultural Identity and Diaspora menjelaskan bahwasanya identitas budaya sedikitnya dapat dilihat melalui dua cara pandang, yaitu identitas budaya sebagai wujud (identity as being) dan identitas budaya sebagai proses menjadi (identity as becaming). Dalam cara pandang pertama, identitas budaya dilihat sebagai suatu kesatuan yang dimiliki bersama atau merupakan bentuk dasar seseorang serta berada dalam diri banyak orang yang memiliki kesamaan sejarah dan leluhur. Sudut pandang ini lebih melihat bahwasanya ciri fisik atau lahiriah lebih mengidentifikasi mereka sebagai suatu kelompok. Liliweri (2003) menyatakan bahwa identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang karena orang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok tertentu yang meliputi pembelajaran tentang penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, dan keturunan dari suatu kebudayaan. Fashion dan pakaian juga dapat sebagai komunikasi dan merupakan fenomena kultural yang di dalam budaya tersebut bisa dipahami sebagai suatu sistem penandaan, sebagai cara bagi keyakinan, nilai, ide, dan pengalaman dikomunikasikan melalui berbagai praktik dan artefak. Dalam hal ini, fashion, pakaian, dan busana merupakan cara yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, bukan hanya sesuatu seperti perasaan dan suasana hati, tetapi juga nilai, harapan, dan keyakinan kelompok sosial yang diikuti dan direproduksi masyarakat. Dalam kehidupan modern, penilaian terhadap identitas seseorang seolah-olah hanya diperoleh melalui fashion karena merupakan komunikasi nonverbal oleh pemakai, tidak diungkapkan secara lisan, melainkan terbatas pada simbol-simbol dalam mengungkapkan iden­



192 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Budaya Remaja Metropolitan Tahun 2000-an Melalui Karya Sastra



titasnya. Kemudian, Dorais (1998) mempertegas bahwa identitas bu­ daya juga merupakan kesadaran dasar terhadap karakteristik khusus kelompok yang dimiliki seseorang dalam hal kebiasaan hidup, adat, bahasa, dan nilai-nilai. Dengan begitu, beberapa karakteristik identitas budaya mempunyai petanda dan penanda serta kekhasaan tersendiri, terutama bila dikaitkan dengan identitas budaya remaja. Karena mempunyai kekhasan dan karakteristik tersendiri, identi­ fikasi suatu identitas pun merujuk pada nuansa yang digambarkan me­ lalui keberagaman ciri budaya. Namun, identitas budaya kadang juga mengalami proses dan dinamika yang disesuaikan pada zamannya. Setiap identitas budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, psi­ kologis, lingkungan, situasi, dan konteks. Identitas tidak hanya ditandai oleh perubahan sosial ekonomi dan kondisi lingkungan, tetapi juga oleh budaya lain (Iskandar, 2004). Jadi, jika membincang identitas budaya, tidak hanya berbicara tentang karakteristik tertentu, seperti karakteristik yang berkaitan dengan gaya hidup, gaya bicara, gaya berpakaian, gaya sikap dan perilaku, dan gaya rambut, tetapi juga berbicara berbagai faktor budaya yang melingkupinya. 2. Identitas Budaya Remaja Metropolitan melalui Karya Sastra: Cerpen Tahun 2000-an Keberagaman kehidupan budaya remaja metropolitan melalui karya sastra, terutama cerpen tahun 2000-an, sangat unik. Keberagaman itu, misalnya, terungkap melalui paparan dari gaya hidup (lifestyle), seperti gaya bicara, gaya hidup, atau gaya busana. Gaya hidup budaya remaja metropolitan dengan segala reniknya terlihat melalui bagaimana tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam cerpen “Napas”, “Corel”, dan “Mbah Sarip”. Meskipun tokoh Bondan, Corel, dan Reza mempunyai karakter, sikap, dan perilaku yang berbeda, dalam keseharian mereka tetap menampilkan ciri khas gaya hidup remaja bernuansa budaya metropolitan. Kekhasaan tersebut menunjukkan bahwa remaja me­ tropolitan mempunyai ciri khas dan nuansa tersendiri dengan tampilan karakter yang beragam, tetapi cenderung hampir sama, yaitu cuek dan sedikit urakan. Sejatinya, mereka mempunyai keinginan, cita-cita, angan-angan, dan impian yang kuat. Sebagai contoh, tokoh Bondan di­tampilkan dalam kondisi kurang sehat karena penyakit asma yang dideritanya, tetapi masih bersemangat untuk mengikuti lomba balap



193 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



motor. Dengan napas tersengal-sengal, Bondan ingin sekali menjadi pembalap. Bondan ingin menunjukkan bahwa dia mampu mengendarai sepeda motor di hadapan teman-temannya. Selain itu, di rumah Bondan mempunyai sepeda motor yang sudah dimodifikasi dengan gaya khas remaja bernuansa budaya metropolitan. “Yang lumayan menganggu pikiranku adalah aku sangat ingin menjadi pembalap. Aku selalu senang melihat tayangan balap motor di TV dan aku selalu membayangkan aku salah satu anak yang ikutan berlomba.” “Di rumahku ada sebuah motor bebek, yang telah kumodifikasi. Tapi untuk memakai motor itu, izinnya sungguh sulit luar biasa. Harus bolak-balik menemui nyokap. Kalau perlu pakai sogokan mijitmijitin kaki bokap! Atau kalau perlu bantu-bantu apa saja di dapur!” (Cerpen “Napas” karya Boim Lebon dalam Lantang, 2004: 59)



Gaya dan ucapan tokoh aku (Bondan) menunjukkan gaya bicara dan sikap yang bernuansa budaya khas generasi muda/remaja (Harus bolakbalik menemui nyokap. Kalau perlu pakai sogokan mijit-mijitin kaki bokap! Atau kalau perlu bantu-bantu apa saja di dapur!) Kosakata “nyokap dan bokap” adalah kata-kata bernuansa khas remaja kota besar (metropolitan/ Jakarta). Kedua kata itu merupakan sebuatan untuk ibu (nyokap) dan bapak (bokap) merupakan kosakata Jakarta/Betawi yang diucapkan oleh mereka yang berada di lingkungan metropolitan. Kekhasaan budaya bernuansa lokal mencirikan bahwa generasi muda masih menyuarakan kosakata tersebut di tengah derasnya budaya asing. Generasi muda secara tidak langsung menjaga marwah budaya lokal dengan mengungkapkan kosakata tersebut dalam dialog keseharian di antara teman-temannya. Balap motor merupakan kegiatan lomba yang digandrungi oleh generasi muda/remaja perkotaan/metropolitan. Dapat dikatakan bah­ wa dengan mengikuti balap motor, seseorang dianggap memiliki ke­ piawaian dan modal lebih. Karena membutuhkan kepiawaian dan modal lebih, balap motor oleh sebagain remaja harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, baik dengan cara berlatih maupun memodifikasi motornya. Melalui cara-cara seperti itu, gaya hidup remaja yang menggandrungi balap motor menunjukan bagaimana identitas remaja metropolitan pada saat itu.



194 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Budaya Remaja Metropolitan Tahun 2000-an Melalui Karya Sastra



“Hai!” teriakku, melambaikan tangan. “Hai juga,” jawabnya “Mau ikut?”tawarku. “Ah, nggak. Lihat aja, deh!” katanya lagi. “Benar, ya? lihat aku ngebut, ya?” “Eh, kamu udah nggak bengek lagi?’ “Nggak. Aku selama ini cuma pura-pura bengek untuk menarik perhatianmu, kok!” (Cerpen “Napas” karya Boim Lebon dalam Lantang, 2004: 63)



Dialog antara tokoh aku (Bondan) dengan temannya, tampak meng­ gunakan bahasa remaja perkotaan yang tidak formal dengan suasana santai. Kosakata “bengek” merupakan khas Betawi/metropolitan. Ga­ya dialog yang terjadi pun terkesan adanya nuansa budaya bangsa ber­ciri lokal. Sebenarnya, tanpa disadari, meskipun menyandang gaya bu­ daya pop, seperti gaya bicara dan bersikap, kosakata yang digunakan generasi muda/remaja tetap mencirikan budaya bangsa. Gaya berbicara yang dimiliki individu yang menjadi ciri khasnya disebut dengan ideolek (Malmkjaer, 1995). Ketika seseorang berbicara akan dapat di­ ketahui usia penutur tersebut, apakah anak-anak, orang dewasa, atau orang lanjut usia. Dari gaya berbahasanya dapat diketahui identitas penuturnya. Sementara, dari gaya berbicara dapat dibedakan gaya ber­ bahasa dengan orang tua atau dengan temannya. Pemilihan kata da­ lam berbahasa juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi identitas seseorang. Melalui cerpen “Corel”, Gola Gong berkisah tentang seorang laki-laki bernama Corel. Dinamai Corel karena ayahnya sangat meng­ gandrungi komputer yang programnya bernama Corel. Corel hidup bersama ayah dan ibunya yang kaya raya. Setiap hari, dia ditemani beberapa pembantu sedang ayah dan ibunya sibuk urusan bisnis di dalam dan luar negeri. Corel bekerja sebagai fotografer dan mempunyai pacar bernama Cyntia. Seorang pembantunya bernama Marni sangat genit dan cantik. Sementara, Corel adalah seorang remaja laki-laki yang manja, cuek, dan urakan. “Corel (perlu diketahui, papanya memberi nama begitu karena saking gilanya pada komputer, sehingga memberi nama anak lelakinya dengan nama program komputer) menyeka keringat di keningnya.



195 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Rambutnya yang panjang ditarik ke belakang. Disatukannya jadi buntut kuda. Diikat dengan akar kayu, bahan yang akan langsung membaur dengan bumi dan tidak akan menimbulkan pencemaran lingkungan.” (Cerpen “Corel” karya Gola Gong dalam Lantang, 2004: 150)



Kecintaan pada komputer menjadikan ayah Corel memberi nama anaknya Corel. Dibesarkan di lingkungan keluarga yang sangat mewah di metropolitan membuat gaya hidup Corel selalu nyaman. Sebagai remaja metropolitan pada umumnya, sikap dan perilaku Corel terkesan cuek dan apa adanya serta berambut panjang. Di sisi lain, akibat kehidupan keluarganya yang memberi banyak kenyamanan membuat Corel bersikap “semau gue” sebagai remaja sehingga terkesan urakan dan mudah emosi. “Kebingungan dan sikap semaunya sendiri tampak dari tokoh Corel, Marni, dan Cinthia. “Begitu lagu selesai, Corel betul-betul jemu. Kini dia beralih pada remote control. Dipijatnya angka sekian. Ada berita pagi di televisi. Selalu saja menu-menu yang disuguhkan di televisi adalah kebohongan-kebohongan. Peremajaan pasar dengan cara kebakaran, napi kelas kakap kabur, suku bunga yang naik, erosi, polusi, pelecehan seksual, isu inflasi, hak azasi, lingkungan hidup, keadilan, dan persoalan bangsa ini. Dia bosan. Diambilnya senapan. Ditembaknya layar kaca itu. Bum! Hancur berkeping-keping!” (Cerpen “Corel” karya Gola Gong dalam Lantang, 2004: 155)



Dalam masyarakat modern, semua manusia adalah performer. Setiap orang diminta untuk bisa memainkan dan mengontrol peranan diri sendiri. Melalui sikap dan perilaku Corel sebagai remaja metropolitan, budaya yang terlihat tampak dari gaya bicara, sikap, perilaku, dan gaya rambut dengan segala macam aksesori yang menempel, selera musik, atau pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri. Synnott (1993) berhasil memberikan penjelasan tentang rambut. Dalam beberapa hal, rambut tidak sekadar berarti simbol seks penanda laki-laki dan perempuan. Ia juga simbol gerakan politik kebudayaan tertentu. Melalui gaya hidup yang dipertontonkan oleh Corel terlihat budaya remaja metropolitan yang dipaparkan sehingga dapat tergambar



196 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Budaya Remaja Metropolitan Tahun 2000-an Melalui Karya Sastra



identitas budaya remaja metropolitan. Meskipun yang dipertontonkan kurang baik karena Corel menunjukan sikap dan perilaku yang kurang etis, tetapi di sisi lain, Corel sebagai remaja metropolitan tetap peduli dengan kondisi bangsanya melalui sikap yang dipertontonkan ketika melihat televisi. Ia memperlihatkan sikap bosan dengan situasi dan kondisi bangsanya yang dianggap belum juga menunjukan kondisi yang dianggap baik. Selanjutnya, melalui tokoh Reza dalam cerpen “Mbah Surip” karya Zara Zetira tergambar kehidupan budaya remaja metropolitan di Jakarta. Reza adalah seorang remaja yang lahir dan dibesarkan di kota metropolitan dengan segala kebutuhan kehidupan yang serba me­ wah dan mapan. Meskipun hidup di tengah keluarga yang memiliki perekonomian mapan, kedua orang tua Reza super sibuk, ditambah lagi Reza mengalami urusan percintaan ala anak muda yang kurang nyaman. Reza bernasib kurang baik dengan kekasihnya bernama Sarita. Namun, sebagai remaja metropolitan, Reza ternyata berburu ilmu dan infomasi kepada Mbah Surip. Mbah Surip dianggap oleh sebagian orang dapat membantu orang yang mengalami kesulitan secara spiritual. “Bentar, gue cek jam tayang film studio 3 di PI Mall.” Ikang membuka tabloid hiburan yang ke mana-mana selalu ditentengnya, “Kalo filmnya mulai setengah jam lalu artinya lu masih keburu. Susulin aja, Ja! Labrak dia di depan umum. Biar tahu rasa! Biar tahu malu! Emangnya lu kurang apa jadi cowok? Tampang ada, tongkrongan di atas dua ratus juta, masa depan berkilau, kesetian dijamin. Apa lagi?” (Kupu-Kupu Tak Berkepak, cerpen “Mbah Surip” karya Zara Zettira: 23) “Reza menggendarai jaguar merah burgundy-nya yang baru dibelinya minggu lalu. Tepatnya, dibelikan oleh papinya setelah dua bulan Reza merengek minta Mercedes-nya diganti karena joknya sudah nggak empuk lagi. Meskipun di Jakarta banyak tukang bekleding khusus jok Mercedes, mulai dari yang palsu sampai autorized dealer, Reza tetep keukeh minta dibelikan mobil baru. Dan papinya yang laing nggak nahan mendengar rengekan anak kecil, akhirnya mengabulkan. Apalagi maminya ikutan membujuk si papi. Negosisasi mami yang menjadi peratara antara Reza papi pun berjalan mulus. Permintaan Reza dikabulkan dengan catatan Reza tidak bolek minta mobil baru lagi sampai tahun depan. (Cerpen “Mbah Surip” karya Zara Zettira dalam Lantang, 2004: 27)



197 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Gaya bicara melalui ucapan yang disampaikan tokoh Ikang me­ nunjukkan bahwa Reza adalah produk remaja perkotaan/metropolitan dengan fasilitas mewah yang diberikan oleh orang tuanya. Mobil mewah terbaru dengan mudah dimilikinya. Kosakata bentar, gue, keukeh, dan tongkrongan merupakan kosakata keseharian yang tidak formal di­ ucapkan sesama remaja yang berdialog. PI Mall merupakan mal ber­ kelas yang terletak di Jakarta Selatan dengan suasana yang berbeda de­ngan mal lainnya karena suasana dan barang-barang yang dijual pun barang-barang mewah atau branded. Pengunjung yang berbelanja di mal tersebut tergolong masyarakat menengah ke atas dengan gaya hidup mewah. Selanjutnya, gambaran status sosial dan gaya hidup Reza dan Sarita yang hidup di kota metropolitan terpapar jelas. “Pertemuan bersejarah itu pun terjadi di suatu pagi nan indah di Coffe Shop lantai sepuluh gedung pencakar langit di jalan protokol ibukota. Di mana segelas kopi berharga lima puluh ribu rupiah dan sepotong telur dadar isi keju impor dan jamur ajepang dipatok de­ ngan harga tujuh puluh ribu rupiah dalam menu buku.” (Cerpen “Mbah Surip” karya Zara Zettira dalam Lantang, 2004: 32) “Sarita mengenakan gaun putih, seolah-olah ingin menunjukan citra dirinya sebagai gadis lugu, innocent, tak berdosa. Tak ada yang ber­ ubah dalam diri Sarita, rambutnya bergelombang dan ditata rapi seperti biasanya. Bulu mata lentiknya dan alis matanya yang bagaikan bulan sabit pun tersisir cantik dengan sikat mascara kecoklatan. Hanya saja pagi ini, ada yang lain dalam gerak-gerik Sarita. Bola matanya yang biasanya selalu tenang dan bergulir ke kanan dan kiri dengan teratur pagi ini kelihatan tak terkendali. Gerak tubuhnya yang biasanya sangat teratur bagai sebuah koreografi, kini berubah seperti anak kecil yang tak mampu menutupi kegelisahannya.” (Cerpen “Mbah Surip” karya Zara Zettira dalam Lantang, 2004: 32–33)



Paparan gaya hidup budaya remaja metropolitan dengan keluar masuk coffee shop untuk sekadar minum kopi dan makan roti merupakan suatu hal yang biasa dalam kehidupan mereka. Sikap, perilaku, dan gaya hidup dapat menunjukkan kelas sosial seseorang. Suasana yang dipaparkan menunjukan kelas sosial tokoh dalam pergaulan sehari-hari yang menunjukkan identitas dari si tokoh tersebut. Selain itu, dapat pula



198 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Budaya Remaja Metropolitan Tahun 2000-an Melalui Karya Sastra



diketahui kelas sosial si tokoh berasal. Selain sikap dan perilaku tokoh, tampilan gaya berbusana dan berdandan menunjukkan keterdidikan dan kelas sosial seseoang. Orang yang terdidik dan berada pada kelas sosial yang tinggi akan berpenampilan berbeda dengan orang biasa atau kebanyakan pada umumnya. Hal ini dapat dikategorikan bahwa da­lam suatu komunitas terdapat beragam nuansa gaya kehidupan antara individu yang satu dengan lain sehingga terlihat identitas budaya dan sosial seseorang. Batas sosial tersebut merupakan elemen-elemen yang membedakan identitas sosial tertentu yang terwujud dalam tindakan informal. Batas sosial meliputi pandangan tentang etika berinteraksi sampai pada batasan akses terhadap sumber daya. Di samping itu, identitas juga menandai kesamaan seseorang dengan yang lain pada tataran posisi yang sama sekaligus sebagai penanda perbedaan dengan mereka yang tidak sama posisinya. Dalam cerpen “Mbah Surip” terlihat Reza sempat bertanya pada Mbah Surip yang dikenal sebagai paranormal. Reza ingin agar ke­ hidupan percintaannya dengan Sarita berjalan aman. Namun, keinginan Reza merupakan keinginan di luar kebiasaan pada umumnya. Keinginan remaja/anak muda seperti itu dapat dikatakan tidak lazim, berada di luar nalar atau logika. “Bukan harta yang saya mau tanyakan, tapi… kepribadian kekasih saya. Saya ingin dia kembali menjadi pacar saya yang dulu. Yang suka bohong. Bukannya gadis jujur seperti sekarang! Reza jadi emosi sendiri. “Saya lebih suka dibohongi daripada tau segala-ga­ la­ nya. Mendengar semua kejujuran ternyata lebih menyakitkan daripada dibohongi. Pria itu menggelengkan kepala. “Maaf, saya tidak bisa memberikan jawaban. Permisi.” (Cerpen “Mbah Surip” karya Zara Zettira dalam Lantang, 2004: 40–41)



Kejujuran kadang kala dianggap tabu, tidak menguntungkan, dan kurang menyenangkan. Hal itu tentu saja kurang etis dan di luar kebiasaan kehidupan sehari-hari. Gaya dan sikap pacar Reza yang bernama Sarita awalnya tidak jujur dianggap berterima dan menyenangkan Reza. Ter­ nyata, saat ia bersikap jujur justru sangat menyakitkan. Mbah Surip



199 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



yang diminta untuk mengubah sikap dan perilaku pacar Reza tidak berkenan dan tidak dapat memenuhi keinginan Reza yang dianggap aneh. Gaya kehidupan atau budaya remaja pada saat itu dianggap di luar kebiasaan sehari-hari atau, dengan kata lain dapat, dianggap bersikap sedikit “nyentrik”. Sikap yang ditunjukkan Reza dianggap sangat ironis dan kontras dengan kebiasaan dan etika budaya remaja di Indonesia. Jika ditelisik, mungkin saja budaya remaja pada saat itu memang ingin bersikap aneh dan nyentrik agar aroma kehidupan dan identitas budaya remaja mempunyai ciri khas tersendiri. Dalam hal ini, tokoh Reza ingin menunjukan identitas dirinya sebagai remaja yang berbeda dengan identitas budaya remaja lainnya. Kehidupan budaya remaja/anak muda yang dikonstruksi melalui ketiga cerpen tahun 2000-an tersebut memperlihatkan remaja/anak muda yang memiliki kekuatan dan kesungguhan untuk maju dengan semangat pantang menyerah sehingga mampu melampaui norma-norma konvensional yang berlaku di dalam masyarakat. Hal ini menjadi suara baru tentang kehidupan anak muda yang selama ini selalu diidentikkan dengan budaya instan. Remaja/anak muda yang disuarakan melalui ketiga cerpen tersebut menunjukan bahwa remaja atau anak muda yang menjalani kehidupan dengan penuh proses dan meyakini dengan penuh kesadaran bahwa kekuatan terbesar adalah kekuatan dirinya sen­diri, identitas yang ada dalam dirinya sendiri. Remaja/anak muda yang disuarakan dalan ketiga cerpen tahun 2000-an itu adalah remaja/ anak muda yang ingin mencari jati diri sesuai kemampuan dan citacita yang ingin diraih. Hal itu ditunjukkan melalui kekuatan individual tokoh anak muda yang berani berhadapan dengan struktur sosial dalam upaya mewujudkan impian sehingga menunjukan identitas diri dengan berbagai gaya hidup yang dilakukannya. C. Penutup Gambaran terkait identitas budaya dapat diartikan sebagai suatu ciri berupa budaya yang membedakan suatu bangsa atau kelompok masyarakat dengan kelompok yang lainnya. Setiap kelompok masyarakat atau bangsa pasti memiliki budaya sendiri yang berbeda dengan bangsa lainnya. Dalam hal ini, Indonesia yang memiliki berbagai macam suku bangsa juga memiliki berbagai macam budaya yang berbeda-beda. Demikian pula halnya dengan alam masyarakat modern, seperti masyarakat metropolitan. Budaya yang menyeruak di kalangan remaja metropolitan, misalnya tahun



200 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Identitas Budaya Remaja Metropolitan Tahun 2000-an Melalui Karya Sastra



2000-an mempunyai nuansa dan ciri khas tersendiri yang berbeda dengan tahun 90-an. Secara kasat mata, ada keunikan budaya yang ditampilkan oleh remaja metropolitan, terutama pada gaya busana, dandanan, rambut, bicara, bah­kan sikap dan perilaku. Hal itu dapat ditandai, misalnya melalui selera musik dan segala macam aksesori yang menempel. Semua itu menunjukan beberapa bagian dari identitas remaja metropolitan dengan segala kepribadian masing-masing individu. Budaya remaja yang digambarkan pada ketiga cerpen tahun 2000-an tersebut adalah remaja yang mempunyai semangat tinggi, impian atau cita-cita, keberanian, dan kekuatan untuk memperjuangkan impian, serta sedikit “nyentrik” dalam bersikap dan berperilaku di luar kebiasaan pada umumnya. Namun, di samping itu semua, mereka mewakili identitas remaja yang mempunyai kesungguhan yang diwujudkan dalam bentuk impian-impian. Melalui tokoh Bondan, Corel, dan Reza ditunjukkan bahwa iden­ titas budaya remaja metropolitan tahun 2000-an yang diungkap me­lalui cerpen karya Gola Gong, Boim Lebon, dan Zara Zettira sarat dengan gaya hidup, sikap, perilaku, bicara, busana, dan rambut. Bahasa yang digunakan adalah bahasa gaul khas metropolitan diselingi dengan dialek bahasa Betawi seperti nyokap, bokap, dll. Semua hal yang telah dipertontonkan lewat tubuh, gaya pakaian, gaya rambut, serta aksesori pelengkapnya bukan saja sekadar demonstrasi penampilan, melainkan juga demonstrasi identitas. Identitas budaya yang dibangun dalam teks berelasi dengan realitas sosial ketika teks cerpen tersebut ditulis oleh pengarangnya sebagai bagian dari sistem sosial. Hal itu juga menunjukkan bahwa karya sastra dapat merepresentasikan dan mendokumentasikan budaya yang melingkupinya. Beragam budaya remaja metropolitan dapat menjadi catatan dan dokumentasi sejarah bahwa budaya remaja metropolitan tahun 2000-an terungkap dalam karya sastra yang ditulis oleh ketiga pengarang tersebut. Catatan dan dokumentasi itu merupakan gambaran atau potret fenomena sosial budaya yang berlangsung pada masanya. Daftar Referensi Abrams, M. H. (1981). Teori Pengantar Fiksi. Hanindita. Damono, S. D. (2020). Sosiologi Sastra. Gramedia. Dorais, L.-J. (1998). Language, Culture, and Identity. Universite Laval Departement.



201 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Hall, S. (1990). Cultural Identity and Diaspora. Lawrence & Wishart. Harismi, A. (2020). Mengenal Rentang Batasan Usia Remaja pada Laki-Laki dan Perempuan. Www.Sehatq.Com. https://www.sehatq.com/artikel/ batasan-usia-remaja-dan-perubahannya-secara-fisik-dan-mental Iskandar, D. (2004). “Identitas Budaya dalam Komunikasi antarbudaya: Kasus Etnik Madura dan Etnik Dayak.” Jurnal Masyarakat Dan Budaya, 6(2), 119–140. https://doi.org/https://doi.org/10.14203/jmb.v6i2.208 Lantang, B. (2004). Kumpulan Cerita Pendek: Kupu-kupu Tak Berkepak. Gramedia Pustaka Utama. Liliweri, A. (2003). Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Pustaka Pelajar. Malmkjaer, K. (1995). The Linguistics Encyclopedia. Routledge. Nurgiyantoro, B. (2018). Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada University Press. https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=p4JqDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA1&dq=fiksi&ots=OWGc5ftqoK&sig=q9HJARNkFk4SMyIT1MK53C_BXgo&redir_esc=y#v=onepage&q=fiksi&f=false Pangestu, G. (2021). Gaya Hidup Remaja Zaman Sekarang. Mijil.Id. https:// mijil.id/t/gaya-hidup-remaja-zaman-sekarang/4095 Ratna, N. K. (2008). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Pustaka Pelajar. Roli A., T. (2022). Pembentukan Identitas Diri Remaja Menggunakan Media Sosial. Portal Berita Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. https://jatengprov.go.id/beritadaerah/pembentukan-identitas-diri-remaja-menggunakan-media-sosial/ Santoso, B. (2017). “Bahasa dan Identitas Budaya.” Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan, 1(1), 44–49. https://doi.org/DOI: https://doi.org/10.14710/ sabda.1.1.44–49 Sarwono, S. (2011). Psikologi Remaja. PT Rajagrafindo Persada. Storey, J. (2007). Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies (D. Nurdin (ed.)). Qalam. Synnott, A. (1993). Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Jalasutra.



202 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



WACANA IDENTITAS ETNIS BETAWI DALAM DUA NOVEL INDONESIA Purwaningsih



A. Pengantar Sebutan Betawi sebenarnya tidak populer hingga tahun 1950an (Saidi, 2010: 44). Sebutan Betawi baru populer pada zaman Ali Sadikin dalam era Orde Baru. Menurutnya, orang asli Jakarta dahulu mengidentifiasi diri mereka dengan sebutan orang sini atau menyebut nama kampung kelahirannya, tidak menyebut diri sebagai orang Betawi. Etnis Betawi pada kenyataannya adalah etnis minoritas secara jumlah di Indonesia. Bahkan di Jakarta sekalipun, mereka bukanlah etnis mayoritas (Saputra, 2005). Berkurangnya etnis Betawi di Ja­ karta ini bisa jadi karena program pembangunan yang cukup besar di Jakarta, terutama sejak era 1970-an. Masyarakat beretnis Betawi kini banyak yang pindah ke pinggiran Jakarta dan tinggal di Depok, Ta­ ngerang, Bekasi, dan Serang. Etnis Betawi seringkali dinarasikan sebagai kelompok etnik yang terpinggirkan, tidak berpendidikan, malas, dan stereotipe negatif lainnya (Erwantoro, 2014; Farlina, 2012; Kusumawardhani, 2012). Meski minoritas, etnis Betawi termasuk memiliki peran yang cukup signifikan dalam kehidupan di ibu kota. Cerita-cerita tentang iden­titas etnis Betawi banyak terekam pada karya sastra, seperti novel dan film. Sebut saja film Si Doel, Si Pitung, Ca Bau Kan, dan Tiga Hati, Dua Dunia, Satu Cinta. Belum lagi yang ditampilkan oleh televisi, seperti sinetron Bajaj Bajuri, sinetron Juragan Lenong, sketsa komedi Ngelenong Nyok, sampai yang paling melegenda, sinetron Si Doel Anak Sekolahan (Anom, 2003). Dalam penelitiannya, Hasfi (2011)



203 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



menyebutkan bahwa Betawi hingga kapan pun akan menjadi primadona televisi di Indonesia. Ia juga meyakini pendapat sutradara S.M. Ardan yang menyatakan bahwa Betawi memang layak dijual karena cerita tentang Betawi selalu memiliki daya pikat. Namun sayangnya, kemunculan mereka di media massa seringkali digambarkan dengan penggambaran yang cenderung stereotipe. Banyak program televisi yang merepresentasikan suku Betawi sebagai suku yang terbelakang dan miskin (Hasfi, 2011: 47). Sejak zaman kolonial, identitas orang Betawi selalu dipandang se­bagai komunitas pinggiran yang terbelakang. Pencitraan buruk itu, menurut Afandi (2005), tidak terhapus ketika Indonesia sudah merdeka. Pada masa Orde Lama, stereotipe keterbelakangan orang Betawi dijadikan alasan oleh Presiden Soekarno bahwa Betawi tidak cocok direpresentasikan sebagai identitas budaya lokal Jakarta sehingga kebudayaan Betawi tidak pantas disebut sebagai kebudayaan Jakarta. Ketika pemerintahan digantikan oleh Soeharto pun etnis Betawi lagilagi tidak mendapatkan pengakuan identitas. Pemerintahan Orde Baru dengan sewenang-wenang sangat tidak mengindahkan orang Betawi di tanahnya sendiri dalam bentuk-bentuk penghilangan unsur dan peran kebetawian yang begitu kentara (Afandi, 2005). Cara pandang negatif yang selama ini dibiarkan akan berujung pada upaya stigmatisasi terhadap orang Betawi, yaitu mengurung identitas Betawi dengan asumsi yang sudah melekat. Lebih jauh dengan kondisi tersebut, orang Betawi dengan citra negatif yang melekat akan mengafirmasikan diri lewat tindakan keseharian mereka (Muhammad, 2012: 2). Stereotipe itu memunculkan kesadaran dari beberapa karya sastra yang mencoba menggambarkan kembali tentang identitas orang Betawi. Karya sastra dianggap sebagai salah satu medium untuk menghadirkan gagasan atau ideologi baru yang merupakan “kenyataan” dalam masyarakat (Budianta, 1998: 8). Hal itu digambarkan dalam dua novel Betawi, yaitu Kronik Betawi karya Ratih Kumala (2009) dan The Da Peci Code karya Ben Sohib (2007). Dua novel itu membahas persoalan orang Betawi dalam perspektif yang berbeda. Melalui metode kualitatif analisis, dua novel tersebut dikaji untuk melihat konstruksi identitas baru yang ditawarkan. Novel The Da Peci Code (2007) karya Ben Sohib merupakan novel yang menyajikan kebudayaan masyarakat Betawi keturunan Arab yang tinggal di wilayah Jakarta. Tokohnya yang bernama Rosid



204 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Wacana Identitas Etnis Betawi dalam Dua Novel Indonesia



adalah satu-satunya anak lelaki keluarga Mansur al Gibran yang me­ rupakan keluarga terpandang dan masih mewarisi tradisi etnis Betawi. Namun, Rosid memiliki pandangan baru atau pandangan lain yang berbeda dengan keyakinan orang tuanya. Berawal dari hal itulah, konflik identitas dibangun di dalam novel tersebut. Kemudian, novel Kronik Betawi (2009) karya Ratih Kumala mengisahkan tentang ke­ luarga Betawi yang mampu mempertahankan kehidupan tradisional orang Betawi dalam perkembangan modernitas Jakarta dan menepis pan­dangan negatif tentang etnis Betawi. Penelitian ini menggunakan pendekatan konstruksionis, yaitu re­ presentasi yang tidak hanya menghadirkan dunia apa adanya, tetapi mengonstruksi realitas yang baru sesuai dengan keinginan pelaku sosial yang menghadirkan representasi tersebut (Hall, 1990: 51). Dalam sebuah representasi yang dikonstruksi bukan hanya makna tetapi juga identitas. Stuart Hall (1990) dalam Cultural Identity and Dispora menjelaskan bahwa identitas berlangsung terus menerus dan tidak pernah selesai. Identitas budaya dapat dilihat dari dua cara pandang, yaitu identitas budaya sebagai sebuah wujud (identity as being) dan identitas budaya sebagai sebuah proses (identity as becoming). Pengertian yang pertama mendefinisikan identitas budaya dalam pengertian sebagai satu budaya bersama yang dilatarbelakangi oleh kesamaan sejarah dan kode-kode budaya yang membentuk satu kelompok yang sama. Sementara, pada pengertian kedua, identitas budaya merupakan suatu proses yang terus berkembang. Identitas tidak bersifat statis, selalu dikonstruksi dalam ruang dan waktu, serta bersifat kompleks dan majemuk. Pola perubahan identitas terbentuk oleh faktor pendukungnya. Ber­ bagai unsur budaya baru yang diserap dari kehidupan masyarakat yang dimasukinya akan menjadi bagian dari kehidupannya. Sebagai sesuatu yang sifatnya cair, identitas tidak pernah lepas dari permainan kekuasaan yang melingkupinya. Kekuasaan untuk mengonstruksi identitas nasional dan kultural, termasuk mendefinisikan golongan yang ekslusi dan inklusi, biasanya berada di tangan para pembuat kebijakan yang memandang identitas sebagai sesuatu yang pasti dan tidak berubah. Hoon (2006: 11) yang mengutip pemikiran Woodward (2002) men­ jelaskan bahwa identitas dibentuk lewat penandaan perbedaan (the mark­ ing of difference). Penandaan perbedaaan itu terjadi lewat sistem simbolis bernama representasi ataupun bentuk-bentuk tertentu. Simbol identitas bisa dilihat melalui bahasa, pakaian, adat, dan kebiasan masyarakat.



205 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



B. Identitas Etnis Betawi dalam Novel The Da Peci Code dan Kronik Betawi Etnis Betawi yang digambarkan dalam novel The Da Peci Code dan Kronik Betawi masih mengusung identitas orang Betawi tentang keislaman yang menjadi ciri khas etnis tersebut. Orang Betawi begitu lekat dan identitk dengan Islam (Chaer, 2015; Amsir, 2011; Koentjaraningrat, 1975). Anak-anak Betawi sudah dididik untuk menjadi orang Islam sejak usia dini. Mereka belajar melalui guru ngaji. Di dalam novel The Da Peci Code, simbol keislaman yang di­ wa­canakan menjadi perdebatan antara ayah (Mansur) dan anak (Rosid) yang kemudian memberikan perspektif baru terkait simbol tersebut. Sang ayah sebagai orang Betawi totok menanamkan ideologi keislamannya melalui paksaan. Mansur al Gibran yang mencoba mem­ pertahankan tradisi penggunaan peci dan baju koko sebagaimana nenek moyangnya dulu gagal mewarisi hal itu pada anaknya, Rosid. Peci dan baju koko menjadi simbol keislaman yang dipercayai Mansur. Sementara itu, Rosid menolak untuk menggunakan keduanya. Selain itu, Rosid pun mempertanyakan makna dari atribut itu. Menurut Mansur, Rosid dianggap telah menyeleweng dari ajaran Islam karena ke­ tidakpatuhannya. Mansur memanggil guru ngaji (kiai) untuk mendidik Rosid agar lebih mengenal Islam. Hal yang dilakukan oleh tokoh Mansur sebagai sebuah kepercayaan tunggal. Kepercayaan ter­ hadap agama memang sesuatu yang tidak bisa dilacak berdasarkan logika karena dilandasi pada kenyakinan yang mutlak. Selain persoalan peci dan baju koko, pengarang juga memetakan kelompok-kelompok Islam yang ada dalam masyarakat Betawi. Kelompok tersebut antara lain: kelompok Radikal (Remaja Didikan Allah) yang dipimpin Lukman, kelompok Moderat (Majelis Doa Demi Perdamaian Umat) yang dipimpin Hisyam, dan kelompok Formalin (Forum Masyarakat Anti Aliran Lain). Semua kelompok itu merupakan representasi dari masyarakat muslim yang tumbuh subur di Betawi. Identitas lainnya yang digambarkan dalam novel The Da Peci Code adalah hampir 97% penduduk di wilayah Condet Jakarta adalah muslim. Mereka sering menggalakkan majelis taklim dan mendirikan kelompok kasidah, serta memunculkan ulama-ulama yang sangat disegani oleh para pengikut. Hal yang sama juga digambarkan dalam novel Kronik Betawi. Islam menjadi atribut dari perbuatan heroik yang dilakukan oleh Juned dalam melawan tentara Jepang. Peristiwa heroik tersebut berupa pemasangan



206 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Wacana Identitas Etnis Betawi dalam Dua Novel Indonesia



pagar gaib terhadap rumah-rumah penduduk agar tidak terlihat dan tertembak oleh tentara Jepang dengan cara membaca ayat Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Sunda seperti yang terlihat pada kutipan berikut. …Di antara derap suara-suara sepatu tentara Jepang tiba-tiba terdengar suara Juned menembang…. Juned sedang keliling sambil nembang bahasa Sunda bercampur Arab dari sebuah surat di Quran. (Kronik Betawi, Kumala, 2009: 41)



Dalam Kronik Betawi, tembang dikonstruksi sebagai senjata am­ puh dalam melawan penjajah Jepang. Tembang tersebut diperoleh Ju­ned dari guru mengajinya yang bernama Haji Ung. Haji Ung selain sebagai seorang ulama Betawi juga memiliki keahlian bersilat. Alhasil, Juned disegani di kampungnya dan menjadi orang kepercayaan dalam bekerja sebagai tukang pasang pagar gaib di rumah Tuan Henk (tentara Belanda). Pada masa penjajahan, Islam memberi makna khusus dalam melawan penjajah melalui bacaan ayat-ayat keislaman seperti berzikir, ratib, manakib Syekh Saman, maulei Barjanji, dan Diba. Tokoh yang dihormati oleh masyarakat Betawi sejak masa lalu adalah ulama, kemudian jagoan (orang yang pandai ilmu bela diri) (Saidi, 2010; Shahab, 2001: 11). Di dalam dua novel tersebut, ciri lain yang juga melakat pada etnis Betawi adalah kepercayaan masyarakat pada takhayul. Meskipun orang Betawi sangat taat pada ajaran agama, tetapi masih banyak yang percaya pada takhayul. Takhayul adalah kepercayaan kepada hal-hal sakti. Seperti Juned yang menyakini bahwa tembang yang ia bacakan memiliki kesaktian untuk mengusir penjajah. Begitu juga yang terajadi dalam novel The Da Peci Code, berkat hasutan Said, Mansur mendatangi seorang dukun untuk mengubah anaknya agar mau menurut kepadanya dan memotong rambut kribonya. Alhasil, Rosid tetap akan memelihara rambut kribonya dan tidak akan bisa memakai peci. Di dalam novel Kronik Betawi, etnis Betawi diwacanakan se­ba­ gai kelompok minoritas yang terpinggirkan akibat pembangunan dan penggusuran. Penggusuran ini merupakan bagian dari program pe­ merintah untuk tata kelola area pemukiman di Jakarta sehingga tempat tinggal kumuh dan kampung-kampung harus digusur. Mayoritas etnis Betawi saat itu tinggal di Jakarta sehingga mereka banyak yang digusur, seperti pada kutipan berikut.



207 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



...memang betul lagu di sinetron itu: Anak Betawi ketinggalan jaman. Udah taun gini juga orang kita begini-begini saja, tidak ada perkembangan yang berarti, malah yang ada digusur melulu. Sementara orang-orang sudah bikin gedung tinggi-tinggi, orang kita juga masih gini-gini aja. (Kronik Betawi, Kumala, 2009: 169)



Akibat penggusuran itu banyak etnis Betawi harus berpindah dari rumah asal dan menempati rumah yang disediakan oleh pemerintah. Meskipun di dalam cerita Jaelani menolak untuk menempati rumah relokasi yang dibuat pemerintah, setidaknya telah terbangun wacana keterpinggiran masyarakat Betawi tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, etnis Betawi digambarkan mengandalkan hasil rumah kontrakan (hasil penjualan tanah). Selain itu, banyak dari mereka yang menjadi tukang ojek. Ada pula yang bermata pencaharian sebagai pekerja seni, seperti tokoh Jaelani. Wacana mengenai etnis Betawi yang berkembang dalam masyarakat, seperti tidak berpendidikan, pemalas, tukang kawin, hidup dari sekadar menjaga kontrakan, dan hanya mengandalkan wa­ risan orang tua dalam menjalani hidup rumah tangga tergambar pula dalam kehidupan keluarga Jaelani pada novel Kronik Betawi. Tokoh Jaelani membangun rumah kontrakan dari hasil menjual tanah yang digusur untuk diberikan kepada anak-anaknya. Sebagian anaknya hi­ dup mengandalkan uang kontakran tersebut. Namun, asumsi tersebut tidaklah selalu benar karena salah satu anak Jaelani yang bernama Fauzan berhasil menepis citra tersebut. Etnis Betawi diwacanakan sebagai etnis yang kalah bersaing de­ ngan etnis pendatang. Pendatang dimaknai sebagai orang-orang kaya, berkuasa, serta pemilik modal yang mengubah wajah ibu kota Ja­ karta dan menyingkirkan orang-orang miskin dari Jakarta, termasuk di dalamnya orang-orang Betawi seperti Jaelani dan keluarganya. Meskipun orang Betawi banyak yang tergusur, tetapi mereka masih tetap eksis di Jakarta dan bangga menjadi etnis pertama yang tinggal di ibu kota negara tersebut. Walaupun secara geografis orang Betawi tergusur, mereka merasa tetap eksis karena yakin bahwa mereka tidak pernah tergusur dari Jakarta sebagai kampung halaman mereka. Selama masih ada Jakarta, orang Betawi baru akan terus bermunculan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Sapardi Joko Damono yang dikutip Windarsih (2013: 187) bahwa orang Betawi mengalami fase perubahan



208 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Wacana Identitas Etnis Betawi dalam Dua Novel Indonesia



pesat akibat proses asimilasi, tetapi tidak membuat mereka punah melainkan bermetamorfosis menjadi etnis atau Betawi baru. Identitas lain yang terlihat adalah orang Betawi senang melestarikan kesenian daerah. Hal itu tampak pada kegigihan tokoh Jarkasi dalam novel Kronik Betawi yang melestarikan kesenian gambang kromong, kesenian khas Betawi. Dikisahkan juga pada masa lalu bahwa gambang kromong sangat diminati oleh penduduk Jakarta. Akan tetapi, sejak ba­ nyaknya pembangunan di mana-mana dan masuknya hiburan mo­dern, kesenian itu menjadi terlupakan. Jarkasih sendiri sampai saat ini, selain mengurus lima buah rumah petak yang dikontrakan, juga tak pernah absen mengurus kelompok gambang kromong meskipun nyaris tidak ada lagi yang menanggap kesenian tradisional itu. (Kronik Betawi, Kumala, 2009: 45)



Tidak hanya orangnya yang terpinggirkan, kebudayaanya pun ter­ pinggirkan. Setidaknya pesan itu yang ingin disampaikan dalam novel Kronik Betawi. Tokoh Jakarsi masih setia pada kesenian tersebut dan tidak ingin menutup sanggarnya meskipun sudah tidak ada lagi yang menanggap keberadaannya. C. Membongkar Tradisi yang Ajek Novel The Da Peci Code dan Kronik Betawi memberikan wacana baru yang berbicara tentang kemajuan generasi muda yang tinggal di ibu kota (Jakarta). Tokoh Rosid dalam The Da Peci Code dan Fauzan dalam Kronik Betawi mengubah pola pikir (mindset) tentang karakter orang Betawi. Kedua novel ini menggunakan identitas masyarakat Betawi dengan latar belakang kehidupan masyarakat Betawi masa lalu dan masa sekarang. Dari dua kehidupan yang berbeda jarak tersebut terlihat bahwa identitas etnis Betawi mengalami pergeseran pola pikir dan ideologi dalam memandang kehidupan. Generasi orang tua Rosid selalu berkomunikasi menggunakan bahasa dialek Betawi Codet, sedangkan Rosid berbicara dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa gaul dan bahasa Inggris. Orang tuanya memutar lagu dangdut dan masih percaya pada jampi-jampi, sedangkan Rosid penyuka lagu “Maria-Maria” karya Carlos Santana dan membaca



209 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



novel terjemahan Ernest Hemingway serta mengagumi tokoh-tokoh dunia seperti Che Guevara, Hugo Chavez, dan juga Ahmadinejad. Rosid yang ingin sekolah di IKJ dan mencintai gadis nonmuslim juga menjadi perdebatan yang sengit antara ia dan ayahnya. Rosid sebagai anak muda dari keluarga Mansur al Gibran (Betawi totok keturunan Arab) memiliki karakter dengan simbol identitas anak muda dengan rambut panjang dan keriting (kribo). Rosid selalu me­ nentang jika dipaksa menggunakan peci oleh ayahnya. Alasan Rosid tidak ingin memakai peci adalah karena rambutnya yang kribo itu sulit menggunakan peci sehingga ayahnya meminta untuk memotong ram­butnya itu. Bagi Rosid, rambut kribonya adalah identitas dirinya sebagai anak muda zaman sekarang yang mencintai seni. Dari persoalan peci tersebut timbul konflik antara Rosid dengan ayahnya, Mansur al Gibran, yang ingin mempertahankan tradisi ke­ islaman. Bagi Mansur, memakai peci adalah kewajiban bagi orang Is­ lam karena nenek moyang mereka selalu memakai peci. Sementara, Rosid berpendapat bahwa memakai peci hanyalah tradisi semata, bukan suatu kewajiban sebagaimana yang disarankan Nabi Muhammad, ka­ rena nabi tidak memakai peci melainkan serban. Nabi juga tidak me­ makai sarung melainkan jubah. Rosid juga mempertanyakan peci yang berwarna putih itu merupakan tradisi leluhur atau hanya produk budaya semata. Berikut kutipan terkait pernyataan Rosid tentang peci. “…Terus kenapa gara-gara peci putih, Rosid musti ngorbanin ini rambut? Emangnye pake peci putih itu kewajiban agame?” “Kalau cuma gare-gare orang-orang tua kite yang pake, berarti kagak ade hubungannya ame agame dong. Itu kan cuma tradisi gimane orangorang kite aje, kagak ade kaitannye sama agame.” (The Da Peci Code, Sohib, 2007: 87) “Ya kayak yang Rosid udeh bilang, peci putih itu bukan ajaran agame. Nabi nggak pernah pake peci putih. Nabi pakenya sorban. Dan itu pun kite kagak musti ngikutin. Itu bukan busana Islam, tapi busana orang Arab zaman itu dimane Nabi hidup. Zaman itu, di Mekkah dan Madinah, orang Islam ame orang kafir Quraish samasama pake sorban. Abah tau, di Ethiopia, ampe sekarang orang Nasrani pake sorban putih, percis ame yang dipake orang Islam. Di India orang Hindu juga ade yang pake peci putih. Terus orang Sikh



210 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Wacana Identitas Etnis Betawi dalam Dua Novel Indonesia



pake sorban putih, ada juga yang item. Orang Yahudi ade yang pake peci putih dan item, Paus juga pake peci putih. Semuanye sama, Cuma beda-beda dikit aje,” Rosid mengakhiri penjelasan panjang dengan terengah-engah. “Kite ini terjebak ame simbol-simbol yang kite ciptain sendiri. Kalau ane kagak mau pake peci putih, kagak mau pake kain sarung, dan kagak mau pake baju koko, alasannye semue same aje, itu bukan ajaran Nabi Muhammad. Dalam agame-agame Ibrahimik, kayak Yahudi, Kristen, dan Islam, juge dalam sebagian agame non Ibrahimik, nutupin kepale itu emang termasuk dalam kesopanan. Malahan dalam Islam sebagian ade yang bilang itu sunnah…. Tapi perkare model, warna, motif, dan bentuknye, itu kaitannye ame budaye masing-masing. Jadi, model peci putih yang kayak dipake ama leluhur kite itu bukan ajaran agame, bukan sunnah, apalagi wajib. Itu cuma tradisi yang berkembang di mane leluhur kite hi­ dup. Kesimpulannye, peci putih model leluhur kite itu setare ame blangkon atau penutup-penutup kepale yang lainnye, same-same sopan, same-same Islami. Same juga soal sarung….” (The Da Peci Code, Sohib, 2007: 185—186)



Rosid mencoba mendobrak tradisi orang Betawi dengan simbolsimbol yang masih melekat pada keluarga besarnya itu. Islam dan simbol-simbolnya menjadi identitas utama dalam masyarakat Be­ tawi. Dia mempertentangkan pola pikir tradisional ayahnya yang di­ anggap masih kolot. Baginya, simbol-simbol agama itu yang justru me­munculkan eksklusivitas dalam kehidupan yang majemuk dan heterogen. Rosid tidak melihat bahwa menggunakan peci menjadi ke­ harusan dan memiliki nilai lebih. Dalam cerita lainnya digambarkan sosok Said sebagai tokoh antagonis yang suka menghasut Mansur untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Said adalah orang yang menyarankan Mansur untuk mendatangi seorang dukun dan memiliki perangai yang licik. Rosid dan Said sangat kontras digambarkan dalam novel itu. Said digambarkan oleh Ben Sohib sebagai orang yang licik, penghasut, dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Padahal, Said selalu digambarkan menggunakan baju koko, sarung, dan peci. Di dalam novel Kronik Betawi, etnis Betawi digambarkan dalam



211 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



tiga periode, yaitu etnis Betawi pada masa kolonial, masa Orde Baru, dan masa Reformasi melalui tokoh tiga generasi, yaitu Juned, Jaelani, dan Fauzan. Juned seorang laki-laki Betawi asli yang hidup sebatang kara dan bekerja pada seorang tentara Belanda bernama Tuan Henk. Dalam gambaran novel itu, Juned mampu menaklukkan musuh dengan cara nembang dalam bahasa Sunda bercampur Arab. Juned melawan Jepang dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang dinyanyikan sambil berkeliling agar rumah-rumah terlindungi dari tembakan Jepang. Sejak saat itu, Juned menjadi orang yang disegani dan dianggap pahlawan. Ia pun diberi identitas baru dengan nama panggilan “bung” Juned. Kelihatannya, pengarang terinspirasi dari cerita rakyat Betawi “Si Pitung” sebagai sosok pahlawan yang membantu rakyat kecil. Identitas baru Juned menjadi keyakinan bahwa orang Betawi juga mampu berkontribusi dalam mempertahankan tanah air. Hal itu berbeda dengan tokoh Jaelani yang hidup pada masa Orde Baru dengan segala hiruk pikuk kehidupan ibu kota Jakarta, terutama persoalan pembangunan yang saat itu sangat gencar dilakukan di Kota Jakarta. Pengarang mengangkat problem penggusuran orang-orang Betawi yang tinggal di Jakarta akibat pembangunan yang merajalela. Jealani dan keluarganya harus menerima kenyataanya untuk pergi dari tanah leluhur yang selama ini mereka tempati. Jaelani pun menolak untuk menempati lahan relokasi yang sudah dibangun oleh para pe­ ngembang. Kekesalan itu ia gambarkan melalui kutipan berikut. ...memang betul lagu di sinetron itu: Anak Betawi ketinggalan jaman. Udah taun gini juga orang kita begini-begini saja, tidak ada perkembangan yang berarti, malah yang ada digusur melulu. Sementara orang-orang sudah bikin gedung tinggi-tinggi, orang kita juga masih gini-gini aja. (The Da Peci Code, Sohib, 2007: 169)



Akibat penggusuran di ibu kota, etnis Betawi banyak berpindah ke pinggiran ibu kota, seperti Bekasi, Tangerang, Citayam, dan Bogor. Kutipan tersebut mematahkan stereotipe yang sangat kuat yaitu “orang Betawi tukang jual tanah” yang selama ini melekat pada mereka. Mereka hanya terpaksa karena desakan dari pemerintah dan tidak mam­ pu melawan kehendak para penguasa.



212 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Wacana Identitas Etnis Betawi dalam Dua Novel Indonesia



Akibat penggusuran dan tekanan hidup membuat Jaelani terobsesi untuk mencetak generasi intelektual melalui tokoh Fauzan, anaknya di dalam cerita. Jaelani ingin mencetak kaum intelek agar orang Betawi tidak sekadar menjadi calo tanah atau tukang ojek. Sebagaimana dibuktikan oleh sejarah terkini, Jaelani ingin anaknya menjadi orangorang yang diperhitungkan, disegani, dan bukan kuli di kampung sendiri. Maka, ia pun berusaha menyekolahkan anaknya sampai ke perguran tinggi. Fauzan berhasil melanjutkan sekolahnya di luar negeri, seperti kutipan berikut. “Beh!” Fauzan memutus kalimat ayahnya, “Paujan ke Amerika mau kuliah S2. Ini, lolos.” Fauzan menunjuk surat di tangannya, “Paujan sekolah gratis di Amerika!” “Hah?! Serius lu?!” “Iye. Ini....” Haji Jaelani berusaha membaca tapi tak bisa, sebab surat itu berbahasa Inggris. Haji Jaelani langsung sujud syukur di tempat. (The Da Peci Code, Sohib, 2007: 252)



Perubahan nasib tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam novel Kronik Betawi tersebut telah memberikan gambaran kepada para pembaca bahwa anak Betawi yang dilabeli stereotipe bodoh dan ketinggalan zaman telah berhasil berjuang untuk membuktikan bahwa itu tidak lagi benar. D. Mengonstruksi Kesadaran Identitas Baru Orang Betawi yang teralienasi akibat pembangunan dan stereotipe inferior yang dilekatkan pada kelompok etnik itu menyebabkan feno­ mena kebangkitan Betawi amat menarik. Kuatnya stereotipe inferior yang dilekatkan pada mereka tidak menjadikan mereka larut tenggelam di tengah-tengah masyarakat Jakarta yang multikultural, tetapi justru menjadi modal dasar untuk membangun narasi baru tentang Betawi. Novel The Da Peci Code merekonstruksi suatu kesadaran baru, yakni kesadaran multikultural yang sedang berkembang pada masa



213 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



kini. Sebagaimana yang dikatakan Melani Budianta (2007) bahwa sebenarnya sulit untuk mencari identitas budaya yang asli. Hal yang diyakini Mansur sebagai identitas budaya Islam, misalnya, seperti baju koko dan sarung, ternyata dilihat dari sejarahnya adalah pengaruh Cina dan India. Stuart Hall (1990) juga mengatakan bahwa identitas budaya itu senantiasa berproses sesuai ruang dan waktu. Ben Sohib, melalui tokoh Rosid, hendak mengatakan bahwa yang terpenting adalah substansi ajaran agamanya, bukan pada simbol-simbol agama, seperti pakaian dan mode yang harus dilestarikan. Identitas dengan sendirinya merupakan satu unsur kunci dari ke­ nyataan subjektif, berhubungan secara dialektis dalam masyarakat. Iden­titas dibentuk oleh proses-proses sosial. Berbagai proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan identitas diten­ tukan oleh struktur sosial. Sebaliknya, identitas yang dihasilkan oleh interaksi antara organisme, kesadaran individu, dan struktur sosial be­reaksi terhadap struktur sosial yang dipelihara, dimodifikasi, atau dibentuk kembali (Berger & Luckman, 1990: 248). Proses sosial dan pengetahuan yang dimiliki tokoh Rosid akhirnya membentuk identitas baru Rosid sebagai orang Betawi, yaitu orang yang mampu berpikir kritis, menerima perbedaan, dan tidak memercayai takhayul. Meskipun demikian, Rosid tidak serta merta menghapus semua identitas yang melekat di dalam dirinya sebagai orang Betawi. Bagian akhir dari novel The Da Peci Code adalah kesadaran Mansur akan kesalahannya. Ia merasa bersalah telah memaksakan kehendak kepada Rosid—generasi milenial—yang sudah berbeda zaman. Mansur al Gibran yang mencoba mempertahankan tradisi penggunaan peci dan baju koko sebagaimana nenek moyangnya dulu gagal mewariskannya pada sang anak, Rosid, yang telah melakukan internalisasi terhadap globalisasi. Pengarang novel, Ben Sohib, mencoba membongkar tradisi penggunaan peci melalui The Da Peci Code. Dalam novel Kronik Betawi, kesadaran baru tercermin pada pandangan tokoh Jaelani dan Fauzan. Jaelani sebagai etnis Betawi yang terobsesi hendak mencetak kaum intelek agar orang Betawi tidak sekadar menjadi juragan kontrakan, calo tanah, atau tukang ojek. Sebagaimana dibuktikan oleh sejarah terkini, Jaelani ingin kaumnya menjadi orangorang yang diperhitungkan, disegani, dan bukan kuli di kampung sendiri. Kesadaran atas pentingnya pendidikan ia buktikan melalui Fauzan yang berhasil menempuh pendidikan tinggi S-2 di luar negeri.



214 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Wacana Identitas Etnis Betawi dalam Dua Novel Indonesia



Pendidikan dijadikan sebagai kunci untuk keluar dari label ke­ tinggalan zaman menuju etnis yang lebih modern. Citra baru tersebut merupakan usaha perlawanan yang dilakukan oleh para tokoh. Sebut saja Fauzan dalam Kronik Betawi, dimunculkan sebagai generasi ber­ pendidikan tinggi dalam keluarga besar Juned yang merupakan keluaga asli Betawi. Fauzan tidak berhenti pada jenjang sarjana. Usai resmi menjadi seorang arsitek dan bekerja pada sebuah perusahaan, Fauzan berhasil mendapatkan beasiswa ke Amerika. Tokoh Fauzan dapat dianggap sebagai kunci dari pembentukan label atau citra baru yakni orang Betawi tidak ketinggalan zaman. Identitas ini sekaligus menunjukkan bahwa intelektualitas etnis Betawi semakin berkembang pesat. Mereka kini lebih cerdas, mampu bersaing, berhasil tidak tersingkir secara akademis, dan memiliki masa depan yang cerah. Melalui identitas mahasiswa, telah dihadirkan konstruksi etnis Betawi yang tidak lagi bodoh, tetapi unggul dalam akademik. Fau­zan juga dibentuk sebagai generasi Betawi yang tidak sekadar me­mentingkan urusan akademik tetapi juga ikut berjuang dalam per­ ubahan bangsanya ke arah yang lebih baik. Pengarang tampaknya ingin menghadirkan kembali tokoh seorang anak Betawi yang mampu meng­ubah nasibnya melalui jalur pendidikan. Kesadaran baru tersebut terlihat dalam kutipan berikut. Fauzan tahu, ia harus jadi “sesuatu” dulu. Baru dapat mengubah sistem. Ia lelah melihat Indonesia yang sekarang. Ia ingin negaranya berubah. (Kronik Betawi, Kumala, 2009: 252)



Novel Kronik Betawi dan The Da Peci Code mengubah konsepkonsep lama yang menjadi stereotipe yang dilekatkan pada etnis Be­ tawi melalui sikap aktif dan kritis dalam karakter Fauzan dan Rosid. Sikap kritis yang identik dengan cerdas ini ternyata tidak ditampilkan dalam tingkat pikiran saja (karena diperbincangkan), tetapi juga dalam tingkat perbuatan. Seperti sikap kritis Fauzan yang menentang program pemerintah berupa judi legal Porkas dan sikap kritis Rosid dalam menentang ideologi ayahnya. Label anak Betawi “ketinggalan jaman” diubah melalui sebuah iden­titas baru, yaitu mahasiswa. Identitas mahasiswa ini merupakan sebuah lompatan status yang cukup tinggi bagi etnis Betawi seperti halnya yang digambarkan dalam sinetron Si Doel Anak Sekolah.



215 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



D. Penutup Penelitian ini menunjukan bahwa novel The Da Peci Code dan Kronik Betawi mencoba menggali kembali stereotipe yang berkembang pada etnis Betawi dengan cara pandang yang berbeda dalam melihat orang Betawi. Identitas yang melekat pada etnis Betawi yang digambarkan melalui dua novel tersebut adalah identitas keislaman. Dari kedua novel tersebut, wacana keislaman menjadi reprsentasi dari gambaran etnis Betawi. Betawi adalah Islam, yang kemudian tokoh Rosid mengkritik prilaku orang Betawi yang selalu mengatasnamakan ajaran agama Islam. Kritik inilah yang menjadi dasar perubahan identitas tokoh Rosid yang tidak sama dengan identitas orang tua atau generasi sebelumnya. Sesungguhnya identitas seseorang itu tidak dapat dikekang atau dimaknai secara umum. Identitas terus berproses dan selalu dikonstruksikan dalam ruang dan waktu. Hal itu tampak pada perbedaan generasi antara Rosid dan Fauzan dengan kedua orang tua mereka yang sangat memengaruhi pembentukan identitas seseorang. Identitas yang melekat dapat diupayakan atau dinegosiasikan untuk berubah demi berbagai kepentingan yang lain. Stereotipe orang-orang Betawi yang kerap ditampilkan sebagai orang yang bodoh, tidak berpendidikan, tidak maju pikirannya, dan tertinggal dari etnis-etnis lain dibantah melalui kedua novel ini. Melalui tokoh Rosid dan tokoh Fauzan, stereotipe tersebut diubah dengan memasukkan cara pandang kedua tokoh dalam melihat kehidupan modern pada masa kini. Pengarang novel melalui tokoh-tokoh yang dibangun telah merekonstruksi suatu kesadaran baru, yaitu kesadaran multikultural dan pluralitas ideologi. Hal yang dilakukan tokoh Rosid dan Fauzan merupakan usaha perlawanan untuk mengubah identitas stereotipe negatif tentang etnis Betawi. Bentuk identitas baru tersebut dimanifestasikan dalam bentuk menjadi mahasiswa yang berpikir kritis serta memiliki pandangan terbuka terhadap globalisasi dan kemajuan bangsa. Rosid yang me­ lakukan sikap kritis terhadap cara pandang ayahnya telah membawa dirinya untuk mengenal makna keislaman sesungguhnya. Perubahan nasib yang dihadirkan tokoh dalam Kronik Betawi ini telah memberikan gambaran kepada para pembaca bahwa anak Betawi yang dilekati stereotipe bodoh dan “ketinggalan jaman” telah berhasil berjuang untuk membuktikan bahwa stereotipe itu tidak lagi benar.



216 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Wacana Identitas Etnis Betawi dalam Dua Novel Indonesia



Daftar Referensi Afandi. (2005). Perkampungan Budaya Betawi sebagai Representasi Identitas Kebetawian. Universitas Indonesia. Amsir, S. (2011). Budaya Betawi Reflika Ajaran Islam Sejati. Prosiding Kongres Kebudayaan Betawi. Anom, A. K. (2003). Betawi Kagak Ade Matinye. Majalah.Tempointeraktif. Com. http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/01/20/ Berger, P. L., & Luckman, T. (1990). Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. LP3ES. Budianta, M. (1998). Sastra dan Ideologi Gender. Horison, XXXII/4, 8. Budianta, M. (2007). Aspek Lintas Budaya dalam Wacana Multikultural. Makalah Seminar Kajian Wacana Dalam Konteks Multikultural Dan Perspektif Multidisiplin. Chaer, A. (2015). Betawi Tempo Doeloe: Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi. Masup. Erwantoro, H. (2014). Etnis Betawi: Kajian Historis. Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya, 6(2), 1–16. http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/view/179 Farlina, N. (2012). Representasi Identitas Betawi dalam Forum Betawi Rempug [Universitas Indonesia]. lib.ui.ac.id/file?file=digital/20307701-T31114-Representasi identitas.pdf%0A Hall, S. (1990). Cultural Identity and Diaspora. In J. R. (Ed.) (Ed.), Cultural Identity and Diaspora: Identity: Community, Culture, Difference (p. 222–237). Lawrence and Wishart. Hasfi, N. (2011). Kekerasan Simbolik Terhadap Suku Jawa dalam Program TV “Hidup Ini Indah” di Trans TV. E-Journal Undip, 39(2), 45–51. http:// eprints.undip.ac.id/33025/ Hoon, C.-Y. (2006). Reconceptualising Ethnic Chinese Identity in Post-Suharto Indonesia. University of Western Australia, School of Social and Cultural Sciences. Koentjaraningrat. (1975). Masyarakat Desa di Selatan Jakarta. In Masyarakat IndonesiaIndonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan. Kumala, R. (2009). Kronik Betawi. Gramedia Pustaka Utama. Kusumawardhani, R. (2012). Liyan dalam Arsitektur Betawi: Studi Kasus pada Rumah Betawi Ora di Tangerang Selatan. Universitas Indonesia.



217 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Muhammad, W. A. (2012). Stereotip Orang Betawi dalam Sinetron. Jurnal Masyarakat Dan Budayaan Budaya, 14(2), 349–366. Saidi, R. (2010). Sejarah Jakarta dan Peradaban Melayu Betawi. Perkumpulan Renaissance Indonesia. Saputra, Y. A. (2005). Menelisik Identitas Betawi. Republika. http://www.republika.co.id Shahab, A. (2001). Robin Hood Betawi. Republika. Sohib, B. (2007). The Da Peci Code. Rahat Books. Windarsih, A. (2013). Memahami “Betawi” dalam Konteks Cagar Budaya Condet dan Setu Babakan. Jurnal Masyarakat & Budaya, 15(1), 177—200. https://jmb.lipi.go.id/jmb/article/view/146



218 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Konstruksi Identitas Melayu (Riau) dalam Karya Sastra Sebelum Reformasi



KONSTRUKSI IDENTITAS MELAYU (RIAU) DALAM KARYA SASTRA SEBELUM REFORMASI Dessy Wahyuni



A. Pengantar Karya sastra adalah fiktif. Namun demikian, karya sastra bukanlah imajinatif belaka. Meskipun fiktif, ia kerap menjadi media penyampai berbagai nilai kehidupan. Tidak hanya itu, karya sastra bahkan sering pula dijadikan media bermuatan politis. Politik yang dimaksud dalam hal ini adalah berbagai siasat yang digunakan untuk mempertahankan atau memperebutkan kekuatan sosial. Dengan demikian, karya sastra tidak pernah terlepas dari kepentingan pihak tertentu dalam masyarakat. Meskipun dikemas dalam ruang imajinasi, tidak sedikit pengarang menyusupkan berbagai fakta di dalam karya mereka (Wahyuni, 2019a: 237). Seperti halnya Seno Gumira Ajidarma, di dalam cerpen-cerpennya, ia menyampaikan berbagai fakta untuk melakukan perlawanan, baik tersirat maupun tersurat. Ketika hak bersuaranya dicabut melalui jurnalisme, ia menggunakan karya sastra dalam menyampaikan kebenaran (Ajidarma, 1999: 164–171). Pada dasarnya, seorang pengarang yang menghasilkan karya sastra harus peka terhadap berbagai hal di sekitarnya, seperti masalah ling­kungan, sosial, budaya, politik, dan sebagainya. Kepekaan yang diperoleh melalui pengamatan, pengamalan, ataupun perenungan terhadap berbagai persoalan tersebutlah yang kemudian diangkat men­ jadi karya sastra. Para pengarang memiliki kebebasan dalam mengangkat cerita kehidupan yang tidak terbatas. Mereka juga dapat mengusung berbagai tema untuk menemukan jati diri melalui karya sastra. Tidak hanya itu, karya sastra pun diyakini memiliki andil terhadap dinamika



219 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



kehidupan yang berlangsung. Sastra bahkan dianggap dapat berperan dalam pembentukan identitas diri (bangsa). Di Riau, seiring berkembangnya kesastraan di Indonesia dan mem­buruknya moral politik di tanah air, banyak pengarang me­nyu­ arakan situasi yang sebenarnya tengah melanda masyarakat. Mi­sal­ nya, Taufik Ikram Jamil dengan cerpen “Jangan”, “Suami Saya”, “Me­nyeberang”, ataupun “Menjadi Batu”, serta Abel Tasman dengan ce­rpen “Metropolitan Sakai” yang memperlihatkan ketertinggalan ma­ syarakat Melayu Riau dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Tidak hanya cerpen, karya sastra yang menggambarkan situasi moral politik yang memburuk, khususnya Riau, hadir pula dalam bentuk lain, seperti novel, puisi, ataupun naskah drama. Pada penghujung era Orde Baru, warna karya di tengah geliat sastra Riau mulai menunjukkan corak yang berbeda dari sebelumnya. Mereka mulai bersuara melalui karya sastra menyorot perilaku so­ sial-politik yang berdampak pada kehidupan masyarakat. Dalam du­ nia cerpen, muncul sastrawan produktif yang sangat peka dengan ber­­bagai persoalan, khususnya di Riau, yaitu B.M. Syamsuddin. Ia ada­lah seorang cerpenis yang muncul pada era 1990-an. Ia memulai ka­rier kepenulisannya melalui novel yang diterbitkan secara nasional. Namun, semenjak hadirnya halaman budaya “Sagang” di harian Riau Pos, B.M. Syamsuddin menjadi sangat produktif dalam menghasilkan cerpen. Melalui karya-karyanya, pembaca seperti disuguhi realitas sosial Riau pada saat itu. Dengan memanfaatkan kekuatan kata, ia dapat mengangkat sisi lain dari gegap-gempitanya pembangunan yang terjadi di Riau. Untuk dapat melihat konstruksi identitas ataupun relasi sosial yang berkontribusi terhadap perubahan sosial masyarakat melalui karya sastra tersebut, analisis wacana kritis yang diusung Norman Fairclough dapat dijadikan alat pembedah. Dalam tulisan ini, penulis mengkaji beberapa karya sastra berupa cerpen untuk melihat konstruksi identitas masyarakat Melayu Riau sebelum beralihnya era Orde Baru menjadi Reformasi. Beberapa cerpen tersebut ialah (1) “Pemburu Rusa Sepanjang Pipa” karya B.M. Syamsuddin (1991); (2) “Wan Itah” karya B.M. Syamsuddin (1993); dan (3) “Menjadi Batu” karya Taufik Ikram Jamil (1997).



220 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Konstruksi Identitas Melayu (Riau) dalam Karya Sastra Sebelum Reformasi



B. Bahasa, Sastra, dan Identitas Karya sastra merupakan entitas bermakna yang tidak pernah berhenti menggarap apa pun dalam kehidupan dengan bermediakan bahasa. Bahasa dalam karya sastra bukanlah sebuah entitas yang otonom atas dirinya karena dibuat oleh subjek yang memiliki kepentingan tertentu. Bahasa juga berfungsi sebagai alat untuk melihat sebuah persoalan sosial. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karya sastra sebagai entitas yang bermediakan bahasa menjadi sebuah struktur yang membentuk sekaligus dibentuk oleh struktur sosial (Udasmoro, 2018b: viii). Dalam karya sastra, bahasa dimanfaatkan sebagai alat untuk menjelaskan sebuah konteks sosial secara lebih komprehensif de­ngan mengikutsertakan aspek-aspek di luar bahasa (seperti aspek sosial, budaya, ataupun politik yang memengaruhi pemroduksian dan pengonsumsian teks). Oleh sebab itulah bahasa dalam karya sastra tersebut merupakan sebuah praktik sosial yang patut dilihat secara mendalam. Karya sastra, sebagai praktik sosial, menggunakan bahasa berupa teks untuk mewujudkan ideologi tertentu. Ideologi yang terdapat di dalam karya sastra itu dapat diungkap melalui penguraian satuan kebahasaan yang membangun teks. Berbagai elemen pembangun teks yang menjadi satuan kebahasaan dapat dibongkar antara lain melalui kata, gramatika, metafora, dan juga gaya bahasa. Teks dalam karya sastra tersebut merupakan perbauran sistem tanda dan sosial yang berisi makna tentang peristiwa sosiologis (Halliday, 1978). Perbauran itu memperlihatkan adanya berbagai interaksi sebagai fitur esensial yang menyebabkan munculnya pemaknaan ganda dalam menafsir karya sastra. Sifat teks yang tidak pernah bermakna tunggal inilah yang dimanfaatkan para pengarang untuk menyusupkan berbagai ideologi dalam karya sastra (Wahyuni, 2022). Pengarang, teks, pembaca, dan masyarakat saling bertautan mem­ bentuk rangkaian wacana yang dimaknai sebagai penggunaan bahasa pada praktik sosial (Fairclough, 1989: 23; Fairclough, 1995a: 73; Munfarida, 2014: 9). Untuk itu, keempat elemen tersebut tidak dapat di­pisahkan. Kesadaran subjek akan terciptanya makna pada kurun wak­tu tertentu dapat diungkapkan melalui berbagai unsur politis yang berkaitan dengan situasi sosiohistoris tertentu dalam teks pada rang­ kaian wacana. Wacana, menurut Annabell dan Nairn (2019), dapat mengungkapkan identitas yang berkembang melalui perangkat kebahasaan dan strategi



221 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



konstruktif persuasif yang digunakan di dalam teks. Wacana tersebut dapat dimanfaatkan sebagai media untuk mengekspresikan, mengubah, dan membongkar berbagai aspek identitas. Dengan mengoperasikan analisis wacana kritis dapat diungkapkan cara wacana membentuk hubungan kekuasaan, baik itu yang menghasilkan, mengubah, dan menentang ideologi dan hegemoni (Annabell dan Nairn, 2019). Se­ mentara itu, Flowerdew dan Wang (2015) mengkaji bahwa identitas sosial dibangun melalui praktik wacana dalam suatu praktik komunitas. Identitas dapat dikatakan sebagai posisi sosial yang diasumsikan individu ketika berinteraksi dengan orang lain dalam komunitas dengan mengikuti aturan dan konvensi tertentu. Dalam kesempatan lain, Zhang et al., (2018) mengungkapkan bahwa pembangunan identitas dapat dilakukan melalui pemanfaatan ingatan transnasional yang kompleks akan imajinasi warisan budaya dan rasa kepemilikan yang cukup tinggi dengan mendefinisikan memori kolektif untuk “self” dan “other”. Identitas dapat dibangun kembali melalui negosiasi yang melegitimasi dan perlawanan dalam wacana warisan kebudayaan tersebut. Dalam karya sastra, pengarang menggunakan tanda linguistik tertentu untuk mengeksplorasi bahasa yang digunakannya agar mem­ peroleh efek tertentu pula, termasuk pengonstruksian identitas. Peng­­ ungkapan konstruksi identitas yang terdapat dalam eksplorasi kreativitas berbahasa tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pen­­dekatan analisis wacana yang menerapkan pandangan kritis ter­ hadap penggunaan bahasa. Dengan menganalisis berbagai nilai yang ter­kandung di dalam teks, hubungan kekuasaan dalam konteks sosial dan institusional yang dikonstruksi oleh pengarang teks dapat tersingkap (Wahyuni, 2022). Dengan menganalisis satuan kebahasaan pembangun teks, ideologi yang diusung pengarang dapat terungkap. Dalam pandangan Fairclough (1989: 110–111), secara garis besar, satuan kebahasaan yang perlu dieksplorasi dalam analisis wacana kritis adalah kosakata, tata bahasa, dan struktur teks. Analisis yang dilakukan secara memadai terhadap berbagai unsur linguistik yang terkandung di dalam teks tersebut dapat membantu pemahaman terhadap hubungan kekuasaan pembangun identitas dan proses terbentuknya ideologi. Satuan kebahasaan dalam wacana mengandung tiga nilai yang mere­ presentasikan sikap pengarang terhadap realitas sosial. Ketiga nilai tersebut adalah nilai eksperiensial atau pengalaman yang berkaitan



222 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Konstruksi Identitas Melayu (Riau) dalam Karya Sastra Sebelum Reformasi



dengan jejak ideologis pengarang teks dalam menggambarkan realitas; nilai relasional yang menunjukkan hubungan sosial yang dimunculkan di dalam teks; dan nilai ekspresif yang memperlihatkan jejak evaluasi pengarang teks terhadap realitas sosial. Nilai eksperiensial berguna untuk mengungkapkan muatan ideologis (ideasional) di dalam teks melalui pemilihan kata, kelompok kata, kalimat, ataupun metafora. Dalam teks, nilai eksperiensial dapat direalisasikan melalui pemanfaatan satuan kebahasaan yang merujuk pada peristiwa tertentu sehingga membentuk relasi makna. Nilai relasional berguna untuk mengungkapkan kons­ truksi relasi dalam realitas sosial di dalam teks melalui pemilihan kata formal, informal, ataupun ungkapan. Nilai ekspresif berguna untuk meng­ungkapkan konstruksi identitas melalui evaluasi positif ataupun negatif terhadap teks (Fairclough, 1989: 109–139; Munfarida, 2014: 9). Dengan menarik nilai eksperiensial, relasional, dan ekspresif yang terdapat di dalam karya sastra, substansi makna yang terdapat dalam teks dapat diungkapkan. Melalui satuan kebahasaan yang digunakan pengarang, identitas dan relasi kuasa yang dikonstruksi para pengarang teks akan tersingkap. Dalam analisis wacana kritis, Fairclough menyatukan beberapa tradisi kajian diskursus, yakni linguistik, interpretatif, dan sosiologi. Untuk itu, Fairclough mengajukan kerangka tiga dimensi analisis wa­ cana kritis, yaitu analisis tekstual, praktik wacana, dan praktik sosial yang saling berhubungan secara dialektis (Fairclough, 1992: 193–217). Kerangka tiga dimensi tersebut dianalisis melalui tiga model, yaitu deskripsi untuk menganalisis teks, interpretasi untuk menganalisis proses produksi dan interpretasi teks, serta eksplanasi untuk menganalisis praktik sosial (Fairclough, 1989: 26; Fairclough, 1995a: 1–20). Analisis ketiga dimensi terhadap wacana itu dapat mengonstruksi identitas dan relasi sosial, serta memberikan kontribusi terhadap perubahan sosial. C. Melayu dan Kemelayuan Riau Kata Melayu memiliki beragam arti dan makna. Dalam keseharian, kata Melayu dapat memiliki arti dan makna positif di samping juga negatif. Berbagai hal positif yang berkaitan dengan Melayu yang kerap muncul antara lain seni budaya Melayu, bahasa Melayu, kesultanan Melayu, tari Melayu. Sementara, beberapa hal negatif yang berkaitan dengan Melayu antara lain janji Melayu, bual Melayu, mata-mata Melayu, Melayu pemalas.



223 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Melayu kerap dianggap sebagai suku, etnis, ras, bangsa, politik, budaya, bahasa, ataupun wilayah. Perbincangan mengenai Melayu da­ lam segala aspek terus berlangsung. Kata Melayu memiliki arti yang berbeda pada berbagai negara di Asia Tenggara. Maknanya terusmenerus didefinisi ulang untuk berbagai tujuan ideologis. Menurut Yusuf (2009), dalam kajian ilmu sosial, Melayu dipandang sebagai entitas kultural. Dengan demikian, Melayu dapat dikatakan sebagai komunitas yang dibentuk oleh bahasa, sebab bahasa diyakini sebagai elan vital dalam pembentukan berbagai bangsa di dunia. Hal itu sejalan dengan ungkapan yang disampaikan oleh Raja Ali Haji, “Bila hendak melihat bangsa, lihatlah kepada budi bahasa.” Yusuf (2009) meyakinkan bahwa “bahasa menunjuk bangsa”. Selain itu, Darussamin dan Mawardi (2015) juga menekankan bahwa yang menjadi asas kebudayaan Melayu adalah bahasa Melayu. Menurut Maier (2011), bahasa memiliki hubungan kolateral dengan suku, etnis, komunitas, ataupun bangsa tertentu. Bahasa berkaitan pula dengan jangkauan wilayah tertentu. Di Asia Tenggara, suatu komunal cenderung mendefinisikan dan mempertahankan budaya dan identitas mereka berdasarkan bahasa. Begitu pula halnya yang terjadi dalam komunitas Melayu. Namun, Maier (2011) mencatat bahwa Melayu cen­derung terbuka dalam perubahan dan asimilasi berbagai unsur bahasa lain. Ia pun mendapati bahwa bahasa Melayu digunakan pula oleh orang yang bukan dianggap dari komunitas Melayu, seperti Batak Karo, Jawa, atau Aceh yang berbicara dalam bahasa Melayu. Milner (2008) berpendapat bahwa komunitas Melayu itu, secara substansial, berbeda-beda dari satu tempat dengan tempat lainnya, bahkan dalam hal penyebutan. Di Malaysia, misalnya, Melayu dika­ tegorikan sebagai rakyat atau bangsa Melayu (dalam cakupan yang luas), sedangkan di Indonesia, Melayu dikategorikan sebagai bentuk komunitas yang membentuk suku (dalam cakupan yang lebih sempit). Orang Indonesia menyebut “bangsa” secara ekslusif. Melayu hanyalah sebagai salah salah satu dari banyak suku di Indonesia. Konsep Melayu di Sumatra Timur berbeda dengan Semenanjung. Di Semenanjung, meskipun diberi penekanan “lokal”, Melayu membuka kemungkinan asimilasi Jawa, Bawean, Minangkabau, Bugis, bahkan Batak Kristen. Se­mentara, di Sumatra Timur (dan bagian lain dari bekas Hindia Belanda), Melayu adalah kategori yang lebih sempit, cenderung mengecualikan kelompok tersebut. Bagi orang Melayu di Sumatra



224 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Konstruksi Identitas Melayu (Riau) dalam Karya Sastra Sebelum Reformasi



Timur, khususnya organisasi nasionalis, Indonesia terus terlihat sebagai agen dominasi Jawa. Hal itu terjadi akibat kurangnya kepemimpinan yang kuat dan indipenden untuk bangsa Melayu di Sumatra Timur (Milner, 2008). Oleh sebab itu, Maier (2011) berpendapat bahwa Melayu bersifat heterogeneous and porous (heterogen dan berpori [cenderung terbuka]). Melayu menampilkan konfigurasi yang selalu berbeda pada setiap wilayah dan komunitas. Melayu tidak hanya muncul dalam percakapan, tetapi juga dalam penulisan, upacara, perilaku, kehidupan beragama, dan kehidupan bermasyarakat (Maier, 2011). Melayu yang mengacu pada budaya yang heterogen itulah yang disebut Maier (2011) sebagai “kemelayuan”. Akibat penanda Melayu yang sering kali berubah-ubah dan menyebabkan berbagai perbalahan, Milner (2008) pun cenderung tertarik mengkaji kemelayuan daripada Melayu. Dalam hal ini, Maier (2011) menunjukkan bahwa kisah-kisah Hang Tuah merupakan realitas sejarah yang menjadi simbol kemelayuan, yakni ambivalen dan beragam. Menurut Reid (2001), Hikayat Hang Tuah merupakan contoh gaya modern Melayu yang paling ambivalen. Melayu selalu bergeser dan berubah dalam memanifestasikan dirinya terhadap orang-orang yang menampilkan kemelayuan dengan membuat diri mereka terlihat, dapat dikenali, dan dapat didengar melalui bahasa Melayu (Maier, 2011). Milner (2008) bahkan mencatat bahwa semua Melayu adalah Melayu lain (kacukan) karena ke mana pun berpaling, ada migrasi dan heterogenitas dalam komunitas tersebut. Menurut hasil pengamatan Milner (2008), komunitas Melayu telah menjadi subjek rekayasa ideologis (termasuk identitas) selama berabad-abad, seperti menjadi muslim, menjadi lebih disiplin, dan juga menekankan kesetiaan. Semua rekayasa ideologis membawa asumsi bahwa bangsa Melayu terus menjadi konsep yang bergerak. Sebuah gagasan komunitas sama sekali tidak tetap, melainkan terbuka untuk redefinisi dan perombakan. Konsep Melayu yang bergerak dipahami sebagai budaya, tidak berhenti pada ras sebagai bentuk peradaban. Dalam peradabannya, Melayu memang telah bersentuhan dengan beragam kebudayaan. Akan tetapi, meskipun mendapat pengaruh dari hampir semua kebudayaan tersebut, kebudayaan Melayu kerap diwarnai keislaman. Kepercayaan animisme-dinamisme yang dianut masyarakat dan kemudian diperkokoh oleh ajaran Hindu-Budha perlahan mulai ditinggalkan oleh masyarakat Melayu. Mereka beralih kepada ajaran



225 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Islam yang diperkenalkan oleh para pedagang yang masuk ke kepulauan orang Melayu. Peralihan kepercayaan tersebut memunculkan istilah “masuk Melayu” atau “menjadi Melayu”. Orang-orang yang semula meyakini kepercayaan animisme-dinamisme ataupun ajaran HinduBudha beralih ke agama Islam sehingga muncul rumusan bahwa menjadi Melayu adalah orang yang berbahasa Melayu, beradat-istiadat Melayu, dan beragama Islam (Hamidy, 2002; Darussamin dan Mawardi, 2015). Dalam perjalanan peradaban Melayu, sungai menjadi bagian pen­ ting dalam kehidupan masyarakatnya. Menurut Yusuf (2009), sungai dan seperangkat kosmografi yang ada di dalamnya, merupakan cara yang efektif dalam penyebaran agama. Pesisir sungai dan juga pantai menjadi sangat identik dengan Melayu dan kemelayuan. Perairan menjadi sumber penting bagi persemaian peradaban sebuah kerajaan Melayu. Perairan bukan hanya berfungsi sebagai jalur komunikasi dan transportasi, tetapi penyedia segala khazanah dan sumber kehidupan. Bahan baku yang tersedia di kawasan perairan memberi peluang ke­ pada kebudayaan Melayu untuk berkembang, terutama dalam bidang maritim. Hal itu memungkinkan pula bagi bahasa Melayu menyebar dengan cepat sepanjang pantai hingga mencakup kawasan yang sangat luas. Melalui jalur pantai itulah bahasa Melayu dapat menjadi perekat sekaligus bahasa dalam perdagangan, sehingga bahasa Melayu menjadi lingua franca. Menjadi Melayu bukan berarti selalu sama dalam periode yang berbeda, termasuk lokasi yang berbeda. Hal itulah yang disebut dengan peradaban Melayu. Peradaban mengacu pada keadaan pikiran dan representasi yang membawa gagasan struktur dengan perkiraan bahwa struktur akan mengalami perubahan atau setidaknya rentan terhadap pembangunan kembali. Perubahan struktur tersebut didasarkan pada prinsip logika yang berpotensi untuk diserap atau menyerap yang lain di luar Melayu (Milner, 2008). Di Indonesia, berdasarkan pengamatan yang dilakukan Milner (2008) dengan berbasis sensus tahun 2000, jumlah orang Melayu sekitar 7 juta. Mereka tersebar di Riau (dan Kepulauan Riau), wilayah pesisir Sumatra, dan Kalimantan. Menurut Putten (2011), Riau menyajikan kasus menarik dalam proses sosial-politik dan budaya di perbatasan karena berpengaruh terhadap situasi di tiga negara yang memiliki populasi “Melayu”. Ketiga negara tersebut adalah Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Kegiatan budaya dianggap sebagai perspektif yang baik



226 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Konstruksi Identitas Melayu (Riau) dalam Karya Sastra Sebelum Reformasi



dalam mendapatkan gambaran lebih transnasional tentang berbagai isu Melayu. Menjadi daerah perbatasan ketiga negara tersebut, Riau (dan Kepulauan Riau) kerap kali dipertahankan, dibentengi, diperebutkan, dan didekonstruksi. Riau menjadi penentu sebagian besar kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya masyarakat sehingga cenderung ber­dampak pada keputusan yang dibuat di pusat negara-negara yang berbatasan tersebut. Itulah sebabnya Riau disebut sebagai jantung Melayu. Akan tetapi, sebagai daerah yang berada di perbatasan, mobilitas masyarakat sering kali terhambat dan dibatasi. Riau berada dalam agenda pembangunan kolektif Singapura, Malaysia, dan Indonesia yang dikenal sebagai “Segitiga Pertumbuhan” (Growth Triangle). Skema ini bertujuan untuk mengumpulkan sumber daya dari tiga negara untuk pembangunan yang saling melengkapi. Dengan demikian, Riau berada di persimpangan penting dari formasi politik dan budaya yang berinteraksi satu sama lain dalam hubungan kekuasaan yang asimetris. Saling terkait antara interaksi ini, agenda internal dan eksternal penduduk lokal Riau dan Segitiga Pertumbuhan masing-masing sering bertemu. Dalam hal ini, Riau bukan hanya sebuah nama tempat untuk realitas geografis yang tidak berubah, tetapi referensi untuk realitas politik yang berbeda dibentuk oleh kekuatan yang berbeda pula (Wee dan Chou, 1997). Namun sayang, menurut Wee dan Chou (1997), Riau dalam Segitiga Pertumbuhan melemahkan orang Melayu sebagai mayoritas yang terpinggirkan. Hamidy (2002) mengatakan bahwa masyarakat Melayu adalah pewaris tradisional daerah Riau sebab nenek moyang merekalah yang mula-mula mendiami daerah itu dan membangunnya hingga terus berkembang. Kesatuan masyarakat Melayu yang berada di Riau ter­ jalin dalam bahasa, budaya, dan agama sebagai identitas untuk mem­ pertahankan persaudaraan. Merekalah yang kemudian menamai diri sebagai Melayu Riau. Menurut Darussamin dan Mawardi (2015), Melayu Riau adalah masyarakat Melayu yang tinggal dalam wilayah Provinsi Riau atau tepatnya masyarakat Melayu yang bermukim di daerah bekas wilayah Kesultanan Melayu-Siak. Pengertian orang Melayu Riau, menurut Hamidy (2002), dapat dibedakan atas dua kategori, yaitu Melayu tua (proto Melayu) dan Melayu muda (deutro Melayu). Melayu tua adalah perantau pertama yang datang ke Kepulauan Melayu, sedangkan Melayu muda adalah perantau berikutnya. Beberapa komunitas yang tergolong Melayu tua,



227 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



antara lain Talang Mamak, Sakai, dan suku Laut. Mereka terkesan sangat tradisional dan cenderung hidup terpencil serta jauh dari perkampungan Melayu muda. Sementara itu, Melayu muda cenderung lebih terbuka. Ketika agama Islam hadir di kepulauan itu, mereka dengan cepat dapat menerimanya. Beberapa komunitas Melayu muda yang dicatat Hamidy (2002) adalah Melayu Riau-Lingga, Melayu Siak, Melayu Kampar, Melayu Inderagiri, Melayu Rantau Kuantan, dan Melayu Petalangan. D. Identitas Melayu Riau Sebelum Reformasi dalam Beberapa Cerpen Berbagai peristiwa dalam kehidupan masyarakat Melayu Ri­ au diangkat oleh beberapa pengarang (sastrawan) dalam bentuk kar­ ya sastra yang disajikan secara subjektif. Mereka secara aktif me­ ngonstruksi citra kenyataan yang dianggap sebagai lukisan realitas me­lalui berbagai sarana kewacanaan. Untuk mengonstruksi ideologi tertentu, pengarang telah menjadikan karya sastra sebagai hal yang utama, sedangkan realitas hanyalah dampak dari proses konstruksi diskursif (Haryatmoko, 2017a: 9–19). Dengan mewujudkan ideologi me­ lalui karya sastra, pengarang telah mengemukakan relasi sosial dengan proses yang rumit menggunakan bahasa sebagai media. Mereka menggunakan bahasa untuk berdialektika dengan ideologi. Bahasa dijadikan alat untuk mengartikulasikan kekuasaan dengan merumuskan pengetahuan (pengarang) menjadi pernyataan (Haryatmoko, 2015: 153–192). Relasi kuasa sering kali tidak seimbang dalam praktik sosial. Pada sebuah kekuasaan dengan relasi yang terkait di dalamnya terdapat dominasi dan hegemoni. Pada sebuah wacana, ketidakseimbangan relasi kuasa, dominasi, dan hegemoni muncul dalam bentuk kebahasaan. Dalam hal ini, karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai media hadir dengan mengusung ideologi (yang menjadi fondasi kognitif) tertentu untuk memperlihatkan adanya relasi kuasa, dominasi, dan juga hegemoni (Fairclough, 1995a: 76). Berpijak pada pemikiran Fairclough tersebut, dapat dikatakan bahwa karya sastra yang terdiri atas teks merupakan sebuah produk dari proses produksi teks dengan mengusung wacana sebagai proses terjadinya interaksi sosial. Wacana yang diusung dalam karya sastra memiliki peranan dalam mengonstruksi identitas dan relasi sosial, serta sistem pengetahuan dan makna (Jorgensen dan Phillips, 2002: 65–66). Karena itu, dibutuhkan analisis wacana kritis



228 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Konstruksi Identitas Melayu (Riau) dalam Karya Sastra Sebelum Reformasi



untuk membongkar berbagai hal yang dikonstruksi melalui wacana tersebut. Dalam dunia cerpen, muncul pengarang produktif yang sangat peka dengan berbagai persoalan di Riau, yaitu B.M. Syamsuddin. Ia seorang cerpenis yang muncul pada era 1990-an, era sebelum tercetusnya Reformasi (21 Mei 1998). Ia memulai karier kepenulisannya melalui novel yang diterbitkan secara nasional. Namun, semenjak hadirnya halaman budaya “Sagang” di harian Riau Pos (18 Januari 1991), B.M. Syamsuddin menjadi sangat produktif dalam menghasilkan cerpen. Melalui karya-karyanya, pembaca seperti disuguhi realitas sosial Riau pada saat itu. Dengan memanfaatkan kekuatan kata, ia dapat mengangkat sisi lain dari gegap-gempitanya pembangunan yang terjadi di Riau. Selain B.M. Syamsuddin, sebelum Reformasi tercetus muncul pula beberapa nama pengarang yang mulai mempersoalkan kondisi sosial Melayu Riau. Mereka adalah Taufik Ikram Jamil, Syamsul Bahri Judin, Abel Tasman, dan lain sebagainya. Kondisi sosial Riau yang mereka sorot menunjukkan berbagai ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, seperti ketimpangan ekonomi, sosial, dan juga pendidikan. Ketimpangan itu terjadi akibat adanya kontradiksi antara sumber daya alam Riau yang kaya dan masyarakat Melayu Riau yang lemah dan miskin. Kekayaan alam Riau itu dikelola dan dikuasai oleh para pemilik modal yang mendapat pengesahan dari pemerintah. Tidak sekadar menyorot beragam persoalan yang ada, karya sastra tersebut sedikit banyak memiliki andil dalam berbagai perubahan sosial di Riau. Untuk melihat kondisi Riau yang demikian itu, penulis menganalisis dua cerpen karya B.M. Syamsuddin (“Pemburu Rusa Sepanjang Pipa” dan “Wan Itah”) serta satu cerpen Taufik Ikram Jamil (“Menjadi Batu”). Ketiga cerpen tersebut dianggap representatif dalam menggambarkan tujuan pengarang untuk memperlihatkan identitas kemelayuan melalui penggambaran kondisi sosial masyarakat Melayu Riau saat itu. Ketimpangan sosial yang mengerucut pada persoalan marginalisasi tergambar dalam ketiga cerpen tersebut. Seperti yang disimpulkan Bodden (2005: 137–168) dalam penel­ itiannya, untuk melawan marginalisasi, masyarakat Melayu Riau me­ lakukan aksi melalui kesunyian (silence) yang digunakan sebagai senjata. Dalam hal ini, Derks (1997) berpendapat bahwa kesunyian itu bisa mengandung unsur bahasa, mantra, dan budaya lokal dalam



229 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



membangun teks di luar orang Melayu. Artinya, hanya orang Melayu (yang mengetahui konteks) yang mengerti berbagai unsur tersebut. Hal itu dimaksudkan untuk menyadarkan masyarakat akan terpuruknya identitas mereka, serta memperlihatkan kepada orang luar bahwa mereka akan bangkit dengan mengangkat muruah Melayu. Untuk mengupas eksistensi ideologi yang tersembunyi di balik wacana bermedia bahasa yang berperan mengonstruksi identitas sosial, relasi sosial, serta sistem pengetahuan dan makna dalam karya sastra, pada kajian ini digunakan analisis wacana kritis dengan model tiga dimensi yang diusung oleh Norman Fairclough. Ketiga dimensi tersebut adalah analisis tekstual, praktik wacana, dan praktik sosial budaya. Dengan demikian, dinamika kemelayuan Riau akan terlihat dengan lebih jelas. Melalui analisis tekstual yang dilakukan terhadap teks cerpen dapat diperoleh gambaran gambaran yang menyeluruh dan komprehensif mengenai kemelayuan Riau. Dalam tahap ini, analisis yang dilakukan adalah mempertimbangkan berbagai fitur kebahasaan melalui kosakata dan tatabahasa pada tataran tekstual. Substansi makna yang ada di dalam teks tersebut dapat ditarik melalui nilai eksperiensial, relasional, dan ekspresif. Dengan menganalisis satuan kebahasaan berupa formulasi kata ataupun cara penulisan kata tersebut, konteks pembangun teks cerpen dapat diuraikan. Satuan diskursif yang membangun teks terlihat melalui berbagai kata yang dipilih pengarang, sementara penyampaian ide yang memberi efek tertentu disampaikan melalui metafora. Nilai eksperiensial dalam cerpen pada penghujung Orde Baru ter­ sebut memberikan gambaran pengetahuan atau keyakinan yang dikonstruksi pengarang mengenai wacana yang muncul sebelum Reformasi. Dalam cerpen “Pemburu Rusa Sepanjang Pipa”, yang mengisahkan kehidupan suku Sakai, diperlihatkan keberadaan pipa minyak di tengah perkampungan masyarakat. Keberadaan pipa minyak itu memberikan berbagai dampak terhadap kehidupan, tetapi masyarakat Sakai berusaha menyikapi hal itu secara positif, sesuai tunjuk ajar yang telah diperoleh secara turun-temurun. Dalam cerpen “Wan Itah”, diceritakan tentang kehidupan masyarakat Melayu Riau, yakni Melayu dan Sakai, yang bergantung pada hasil sungai seperti udang dan ikan. Namun, sayang sungai yang menjadi sumber vital kehidupan masyarakat tercemar oleh limbah industri, baik dari perusahaan sawit maupun minyak bumi. Selain itu, digambarkan pula keberadaan jalan



230 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Konstruksi Identitas Melayu (Riau) dalam Karya Sastra Sebelum Reformasi



yang berminyak milik perusahaan yang telah banyak memakan korban. Sementara itu, dalam cerpen “Menjadi Batu”, tergambar kehidupan suku Montai (yang dikonstruksi pengarang mirip dengan suku Sakai) yang tergusur akibat adanya pembangunan industri, seperti minyak bumi dan kelapa sawit. Dari sisi lain, nilai relasional yang terdapat di dalam tiga cerpen tadi hadir untuk mengonstruksi relasi sosial antarpartisipan yang terdapat dalam wacana. Pada cerpen “Pemburu Rusa Sepanjang Pipa”, diperlihatkan ketergantungan masyarakat Sakai yang sangat tinggi terhadap keberadaan hutan. Namun, karena meyakini bahwa setiap makhluk memiliki kegunaan, masyarakat Sakai tidak merasa terganggu akan keberadaan pipa (operasional industri minyak) di lingkungan mereka dengan memanfaatkan apa saja yang ada di sekitar. Sebagai yang berkuasa, pihak perusahaan memanfaatkan kesederhaan masyarakat Sakai tersebut dengan mengendalikan kehidupan mereka. Pada cerpen “Wan Itah”, diperlihatkan kehidupan masyarakat Melayu yang dikuasai oleh berbagai pihak perusahaan industri, baik perusahaan minyak, kayu atau kertas, maupun kelapa sawit. Perusahaan minyak raksasa yang ada di Riau itu telah menguasai beberapa daerah demi kepentingan perusahaan. Perusahaan kertas pun telah berkuasa atas kehidupan ma­ syarakat. Mereka menghabiskan lahan warga dan menggunduli hutan, sementara masyarakat kehilangan lahan pekerjaan. Dalam hal ini, masyarakat merasa tertindas dan tidak dapat menikmati kegemilangan seperti masa lalu. Pada cerpen “Menjadi Batu”, diperlihatkan kekuasaan perusahaan industri terhadap penduduk lokal. Masyarakat diposisikan sebagai pihak yang tidak memiliki daya dan berdaya guna, serta tidak memiliki ruang untuk bersuara. Sementara itu, nilai ekspresif yang terdapat di dalam cerpen me­ rupakan penilaian pengarang terhadap realitas dalam wacana, baik berupa evaluasi positif maupun negatif, sehingga tampak keberpihakan pengarang terhadap wacana yang dikonstruksi di dalam cerpen. Evaluasi positif dalam ketiga cerpen terlihat pada keberadaan penduduk asli Melayu Riau (Sakai, Melayu, dan Montai), sedangkan evaluasi negatif merujuk pada pihak pengusaha industri serta para penguasa (pemerintah) yang berpihak pada perusahaan. Pengekspresian nilai positif dalam cerpen dilakukan pengarang untuk mempertegas nilai negatif yang hendak ditonjolkan. Dengan demikian, pengarang memperlihatkan ketidakberdayaan masyarakat akan maraknya pembangunan yang telah



231 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



merusak tatanan kehidupan mereka. Melalui ketiga nilai yang dianalisis tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat Melayu Riau dikategorikan sebagai bentuk ko­ munitas berupa suku bangsa yang memiliki karakteristik dan ciri ber­beda pada setiap daerah. Masyarakat yang identik dengan Islam tersebut sangat mementingkan keturunan, adat, dan budaya dalam keseharian. Garis keturunan akan menentukan sistem kekerabatan masyarakat Melayu. Sistem kekerabatan itu menggambarkan struktur sosial masyarakat. Oleh sebab itu, adat dan budaya bagi masyarakat Melayu Riau merupakan konsep yang menjelaskan keseluruhan cara hidup. Sementara itu, dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Melayu Riau yang tergambar di dalam cerpen cenderung terperangkap dalam bayang-bayang kejayaan masa lalu. Mereka telah menghabiskan waktu merenungi nasib buruk yang terus menimpa. Sikap seperti itu justru tidak sesuai dengan jati diri yang selama ini mereka agungkan. Agar dapat menjaga muruah Melayu, pengarang menilai bahwa masyarakat harus bersikap cerdas menghadapi berbagai persoalan yang terjadi. Kemudian, melalui analisis praktik wacana yang disebut sebagai prosedur interpretatif terhadap teks dan konteks dapat disingkap ter­ bentuknya wacana berdasarkan kerangka berpikir tertentu. Koherensi teks yang terdapat dalam area interpretatif tampak melalui intertekstualitas. Intertekstualitas yang berupa reaksi atau tanggapan (evaluasi, ekspresi, asimilasi, reproduksi, dan sebagainya) terhadap teks lain dalam sebuah konstruksi wacana dapat terlibat secara eksplisit ataupun implisit. Pada dimensi ini, yang menjadi fokus analisis adalah intertekstualitas manifes dan intertekstualitas konstitutif (interdiskursivitas). Analisis intertekstualitas yang berfokus pada representasi wacana (discourse representation) digunakan untuk menunjukkan proses terja­dinya suatu peristiwa; presuposisi (presupposition) dan negasi (negation) merupakan kalimat yang kerap muncul untuk menghadirkan polemik bagi pembaca atau penerima teks; ironi (irony) merupakan sindiran yang dilontarkan pembuat teks (pengarang); dan metawacana (metadiscourse) digunakan dengan membatasi objek pembicaraan sehingga terbentuk jarak antara pembuat teks dan teks yang dihasilkan. Sementara, analisis intertekstualitas konstitutif atau interdiskursivitas yang berfokus pada genre merupakan bagian dari konvensi yang dihubungkan dengan tindakan; tipe aktivitas (activity type) merupakan genre tertentu yang dihubungkan dengan struktur komposisi yang



232 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Konstruksi Identitas Melayu (Riau) dalam Karya Sastra Sebelum Reformasi



juga tertentu sehingga tindakan, subjek, dan objek diatur dengan tata aturan yang membentuk suatu tipe aktivitas; gaya (style) menentukan suatu partisipan dalam sebuah interaksi melalui kata dan istilah yang digunakan, baik secara formal, informal, dan sebagainya; dan wacana (discourse) merujuk pada dimensi yang disampaikan oleh teks secara umum melalui ide, isi, tema, topik, dan sebagainya. Wacana dominan yang dikonstruksi dalam cerpen tentang Riau sebelum Reformasi (“Pemburu Rusa Sepanjang Pipa”, “Wan Itah”, dan “Menjadi Batu”) adalah identitas kemelayuan Riau yang umumnya terlihat secara eksplisit. Melalui representasi wacana pada analisis intertekstualitas terungkap beberapa wacana yang diusung, antara lain ketertindasan masyarakat Melayu Riau, legalitas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya, sikap adaptif masyarakat Melayu Riau terhadap perubahan, dan sikap toleransi masyarakat Melayu Riau terhadap berbagai perbedaan. Sementara itu, pada analisis interdiskursivitas terkuak beberapa praktik wacana, yaitu kooptasi kapitalisme serta per­ benturan antara kemajuan dan kemiskinan dalam kehidupan ma­syarakat Melayu Riau. Meskipun kisahan yang disampaikan dalam ketiga cerpen tersebut berbeda, secara garis besar memiliki tema mengenai keresahan ma­ syarakat akan keterpinggiran dan ketidakadilan yang mereka rasakan. Masyarakat Melayu Riau mulai bersuara bahwa mereka telah dilecehkan secara ekonomi dan sosial oleh para penguasa dan pengusaha. Riau yang tumbuh menjadi daerah industri, baik perminyakan dan kelapa sawit, tidak berjalan beriringan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Pemanfaatan sumber daya alam Riau yang dilakukan secara besar-besaran tidak memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat, tetapi justru menghasilkan ketimpangan sosial. Selain intertekstualitas, dalam praktik diskursif, fokus analisis lain­ nya adalah interdiskursivitas. Intertekstualitas dan interdiskursivitas bersifat dialektikal terhadap kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, teks di luar cerpen yang berada dalam kehidupan merupakan hasil ataupun sumber rujukan bagi teks yang terdapat di dalam cerpen. Dalam mengonstruksi wacana, kedua elemen tersebut membangun mekanisme diskursif yang bersifat kontekstual. Menurut Fairclough, (2006), interdiskursivitas adalah bagian dari intertekstualitas yang berupa intertekstualitas konstitutif de­ ngan mengacu pada wujud konstitusi wacana yang muncul dalam



233 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



pemroduksian teks. Analisis interdiskursivitas mengungkapkan cara suatu wacana melalui perangkat tekstual dengan menggabungkan berbagai elemen diskursif pada wacana lain yang berkaitan dengan persolan di dalam teks. Konsep interdiskursivitas mengacu pada teks atau jenis wacana lain yang terdapat dalam proses interpretasi. Dengan demikian, pelacakan hubungan berbagai peristiwa diskursif dapat dilakukan melalui analisis praktik diskursif tersebut. Interdiskursivitas mengacu pada konfigurasi konvensi wacana yang hadir dalam suatu teks. Praktik diskursif yang berkaitan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi teks secara interdiskursif menggabungkan wacana lain, mengartikulasikan konteks, argumen, dan ide dari genre lain, serta wacana dan gaya yang sesuai dengan ideologi pengarang. Keresahan masyarakat Melayu Riau pada penghujung Orde Baru dipicu oleh kesadaran masyarakat terhadap pelecehan ekonomi dalam beberapa kasus yang berujung pada ketidakadilan dan keterpinggiran masyarakat. Menurut Derks (1997), masyarakat Melayu Riau mu­lai menyadari bahwa mereka tergusur dari tanah leluhur, tidak men­da­ patkan bagian yang sepantasnya dalam pembangunan ekonomi, tidak mendapatkan porsi kerja yang layak, dan tidak mendapatkan porsi yang wajar dalam birokrasi daerah dan pusat. Riau merupakan wilayah penghasil uang bagi banyak orang (di luar Riau), tetapi tidak bagi masyarakat Melayu Riau. Masyarakat Melayu Riau tidak hanya sadar akan realitas bahwa mereka diperlakukan tidak adil atas manfaat dari peningkatan ekonomi di wilayah mereka, tetapi juga menyadari adanya pelecehan dan intimidasi yang dialami. Derks (1997) mencatat bahwa pertumbuhan populasi di Riau sangat pesat, yaitu empat persen setiap tahunnya. Pertumbuhan itu disebabkan oleh masuknya migran dari daerah lain, terutama Jawa. Ironisnya, para pendatang itulah yang malah mendapatkan sebagian besar pekerjaan yang diciptakan oleh berbagai industri yang meluas di Riau. Dalam hal ini, sekelompok intelektual (seperti jurnalis, seniman, penyair dan akademisi) Melayu lokal terbentuk untuk memproses dan menganalisis berbagai fenomena yang muncul mengenai krisis identitas tersebut. Mereka mencoba melawan ketidakadilan dengan menempuh jalan yang “sunyi”, seperti bersuara melalui puisi (bagi penyair), baik yang disampaikan secara lisan maupun tertulis. Para penyair, melalui puisi, dapat membacakan (berteriak, menjerit, berdesis, mengumpat,



234 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Konstruksi Identitas Melayu (Riau) dalam Karya Sastra Sebelum Reformasi



bersumpah, dan sebagainya) puisi di depan orang banyak untuk me­ nuntut hak yang semestinya diperoleh (Derks, 1997). Berkaitan dengan hal tersebut, Bodden (2005) berpendapat bahwa akibat ke­ tidakpuasan terhadap pemerintahan, sastra dan budaya nasional di Indonesia, termasuk Riau, kerap diwarnai kritik sosial. Para sastrawan terus mencari cara menyampaikan ideologi mengenai pentingnya kritik terhadap kondisi lingkungan. Kritik tersebut terus bergulir meskipun kadang terselubung dan seolah jinak di bawah kekuasaan Orde Baru yang represif. Berbagai hal yang diuraikan Derks (1997) dan Bodden (2005) tersebut tergambar pula dalam cerpen yang terbit pada era 1990-an, yakni tergusurnya masyarakat dari tanah yang telah turun-menurun didiami, hilangnya hak masyarakat yang seharusnya dimiliki dalam pem­bangunan ekonomi, hilangnya lahan pekerjaan masyarakat, dan juga ketiadaan tempat bagi masyarakat untuk turut andil dalam bi­ro­­­ krasi, baik dalam pemerintah daerah maupun pusat. Selain itu, ma­ syarakat Melayu Riau juga tidak mendapatkan hak yang wajar dalam dunia pendidikan sehingga mereka dianggap tidak layak karena tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk turut andil dalam pem­ bangunan tersebut. Kaum kapitalis sebagai kelompok pemilik modal, dalam hal ini, memiliki kekuasaan. Kaum kapitalis menjebak masyarakat kecil menjadi konsumen mereka. Mereka memiliki hak istimewa, sedangkan masyarakat sulit mendapatkan hak yang seharusnya dimiliki. Kaum kapitalis mendapatkan keuntungan yang besar serta akses sosial politik yang mudah. Apa saja yang dilakukan oleh kaum kapitalis cenderung terlegitimasi sehingga memunculkan kesenjangan dalam distribusi pendapatan. Meskipun memiliki sumber daya alam yang potensial, di Riau masih banyak terdapat masyarakat yang hidup miskin. Dengan latar belakang yang seperti itu, semakin banyak orang Melayu Riau yang mengatakan bahwa mereka tertindas (oppressed) atau bahkan terjajah (colonized) (Mubyarto, 1997: 543–546). Ketimpangan ekonomi dan ketegangan sosial yang mengganggu pembangunan provinsi Riau terus berlanjut. Eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang memicu konflik kepentingan ekonomi melahirkan bentuk kemiskinan yang tidak terhindarkan. Benturan kepentingan semakin meningkat dalam program pembangunan. Bentuk pembangunan yang seperti itu hanya akan memperlebar ketimpangan



235 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



sosial ekonomi pada berbagai sektor sehingga kemiskinan dan ketidak­ adilan terus menjadi pemicu adanya ketegangan sosial. Untuk terus bergantung pada alam yang telah rusak, bukanlah hal mudah. Kehidupan masyarakat yang ada di Riau terus terancam dan tergusur. Kehidupan suku asli yang terasing menuju ke arah kepunahan. Meskipun telah berupaya menjaga keharmonisan dan kelestarian alam, mereka kalah oleh kemajuan teknologi. Hidup di hamparan luas ladang minyak pada sebuah provinsi yang kaya, semestinya membuat mereka turut menikmati kekayaan alam. Sayangnya, meskipun berada di sela angkuhnya bentangan pipa raksasa, kemiskinan terus melilit mereka. Keberadaan perusahaan yang menyedot minyak bumi telah membuat eksistensi masyarakat Riau terpinggirkan. Sungai-sungai yang tercemar membuat mereka kehilangan pegangan hidup. Diungkapkan oleh Booth (1992: 39) dalam penelitiannya, Riau kurang mencolok dalam memperlihatkan identitas regional yang kuat. Pembangunan yang ada seolah-olah berperan dalam membantu meningkatkan kualitas dan taraf hidup masyarakat kecil, padahal di balik itu telah terjadi benturan berbagai kepentingan antara pemilik mo­dal sebagai pengusaha dengan para pejabat yang berkuasa dalam me­raup keuntungan yang besar. Pembangunan direkayasa oleh pemilik modal dengan perencanaan yang matang. Dengan adanya kekuasaan, masyarakat kecil mudah diperdaya. Sektor ekonomi masyarakat lokal menjadi lemah, terbelakang, dan tidak mampu bersaing dalam pem­ bangunan. Ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial tidak dapat dihindari. Sementara itu, melalui analisis praktik sosial yang berada pada tingkat situasional merespons situasi atau konteks sosial tertentu dalam memproduksi teks. Wacana yang muncul akan berbeda karena setiap peristiwa dibalut oleh konteks situasi yang berbeda yang dihasilkan dalam kondisi atau suasana yang khas atau unik. Situasi sosial dalam cerpen tentang Melayu Riau yang terbit pada penghujung era Orde Baru menunjukkan beragam wacana yang khas. Beberapa situasi sosial yang dikonstruksi para pengarang memperlihatkan bahwa Riau termasuk sebagai provinsi yang kaya di Indonesia dengan sumber daya alam yang berlimpah. Akan tetapi, kekayaan itu telah melahirkan ketimpangan sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu, analisis praktik wacana hadir untuk memberikan inter­ pretasi pada tingkat meso yang berfungsi sebagai jembatan antara



236 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Konstruksi Identitas Melayu (Riau) dalam Karya Sastra Sebelum Reformasi



analisis tekstual pada tingkat mikro dengan analisis praktik sosial pada tingkat makro. Analisis praktik sosial tersebut bertujuan menjelaskan berbagai wacana yang berkembang dengan mengusung dampak ideo­ logis yang memengaruhi dan/atau dipengaruhi teks dalam karya sastra. Ideologi yang terdapat di dalam teks membentuk wacana yang berdampak kausal terhadap aspek kehidupan sosial pada tingkat makro. Pada perspektif makro tersebut, berbagai faktor kontekstual yang terdapat di dalam wacana diungkapkan untuk menentukan dampak ideologis yang dimobilisasi oleh teks dalam karya sastra. Teks yang dikonstruksi sedemikian rupa akan memperlihatkan praktik sosial yang terkandung dalam berbagai wacana yang berkembang. Sementara itu, berbagai teks saling berkaitan dan memiliki kekuatan memengaruhi perubahan sosial. Hal itu tidak terlepas dari latar belakang sosial pe­ ngarang dan karya yang dihasilkan serta berbagai faktor eksternal lainnya (seperti faktor sosial, ekonomi, budaya). Dengan demikian, praktik wacana pada tingkat meso yang terdapat dalam teks pada ting­ kat mikro memengaruhi perubahan sosial yang terlihat pada tingkat makro (Fairclough, 1995). Dengan kata lain, model analisis dalam praktik sosial ini mengintegrasikan analisis wacana yang berlandaskan pada linguistik dan pemikiran sosial terhadap perubahan sosial (social change). Pergesekan sumber daya alam yang kaya dengan sumber daya manusia yang lemah dan miskin di Riau merupakan pangkal berbagai permasalahan yang muncul menimpa masyarakat Melayu Riau. Kaum kapitalis mendapatkan legalitas untuk menguasai sumber daya alam Riau dari pemerintah selaku penguasa. Legalitas tersebut menghasilkan materialisme yang mengikis nilai-nilai moral yang semestinya dijunjung tinggi dalam kehidupan beradat budaya. Legalitas dan moralitas merupakan dua hal yang sejalan dengan beragamnya tanggapan terhadap epos kepahlawanan Hang Tuah dalam kehidupan masyarakat Melayu Riau. Hang Tuah dianggap pantas menjadi pahlawan karena menaati titah raja, meskipun harus membunuh Hang Jebat, sahabatnya sendiri. Legalitas yang diperoleh Hang Tuah membuat ia lupa diri bahwa sesungguhnya ia tengah dibela oleh Hang Jebat. Legalitas itu telah mengesampingkan moralitas yang berusaha ditegakkan oleh Hang Jebat. Dalam hal ini, Lancang Kuning hadir sebagai lambang kegemilangan Melayu Riau. Melalui berbagai pesan yang disampaikan dalam lagu



237 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Lancang Kuning, masyarakat Melayu Riau diimbau untuk tidak lengah dan terlena menghadapi lajunya arus peradaban. Masyarakat Melayu Riau harus berpegang teguh pada tunjuk ajar dalam adat dan budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun. Selama nilai moral, sosial, dan budaya Melayu ditegakkan, dunia Melayu tidak akan lenyap dari muka Bumi. F. Punutup Keterkaitan antarkonsep yang dihadirkan melalui berbagai kata dominan yang muncul dalam cerpen sebelum tercetusnya Reformasi, yaitu cerpen “Pemburu Rusa Sepanjang Pipa”, “Wan Itah”, dan “Menjadi Batu”, memperlihatkan beberapa topik yang diwacanakan oleh pengarang. Topik itu antara lain identifikasi Melayu Riau, keka­ yaan sumber daya alam Riau, kelemahan sumber daya manusia Me­ layu Riau, dan pertumbuhan industrialisasi yang berada di Riau se­ hingga mengarah pada kesenjangan sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat. Sementara itu, beberapa cerpen tersebut memuat sebuah wacana dominan, yaitu identitas kemelayuan Riau yang umumnya terlihat secara eksplisit. Selain itu, melalui representasi wacana pada analisis inter­ tekstualitas terungkap beberapa wacana lainnya, antara lain ketertindasan masyarakat Melayu Riau, legalitas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya, sikap adaptif masyarakat Melayu Riau terhadap perubahan, dan sikap toleransi masyarakat Melayu Riau terhadap berbagai perbedaan. Selanjutnya, melalui analisis interdiskursivitas, terkuak beberapa praktik wacana, yaitu kooptasi kapitalisme serta perbenturan antara kemajuan dan kemiskinan dalam kehidupan masyarakat Melayu Riau. Persoalan mendasar yang terlihat di dalam cerpen yang terbit pada penghujung Orde Baru adalah pergesekan antara sumber daya alam Riau yang kaya dengan sumber daya manusia yang terbilang lemah, baik dari segi ekonomi maupun pendidikan. Dalam hal itu, kaum ka­ pitalis mendapat legalitas dari pemerintah selaku penguasa untuk mengelola (bahkan menguasai) sumber daya alam Riau. Pada akhirnya, legalitas tersebut menciptakan materialisme yang mengikis nilai moral masyarakat Melayu Riau. Diketahui bahwa komunitas Melayu itu, secara substansial, me­ miliki beragam perbedaan karakteristik dan ciri dari satu tempat dengan



238 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Konstruksi Identitas Melayu (Riau) dalam Karya Sastra Sebelum Reformasi



tempat yang lain. Perdebatan mengenai identitas telah menggema di segala penjuru, begitu juga dengan Provinsi Riau yang heterogen secara etnis. Persoalan identitas kemelayuan dengan cepat mengemuka dalam berbagai debat publik. Komunitas Melayu berbeda-beda secara substansial dari satu tempat dengan tempat lainnya, penyebutannya pun berbeda-beda. Di Malaysia, misalnya, Melayu disebut sebagai rakyat atau bangsa. Konsep Melayu di Sumatra Timur berbeda dengan di Semenanjung. Melayu adalah sebuah konsep yang relatif baru. Sejarah Melayu sulit untuk ditelusuri karena penanda yang terus berubahubah. Namun, di Indonesia, Melayu dikategorikan sebagai satu bentuk komunitas yang berupa suku (bangsa) atau ras. Beberapa ideologi yang bergerak di balik tekstualitas, praktik wacana, dan praktik sosial dalam kajian ini adalah ideologi Hang Tuah dan Lancang Kuning. Epos kepahlawanan Hang Tuah dimunculkan sebagai sosok yang berilmu, pintar, perkasa, gagah berani, cakap, tidak mementingkan diri sendiri, dan setia, baik kepada pemimpin (pe­­merintah) maupun negara. Komunitas Melayu yang berbeda-beda secara substansial dari satu tempat dengan tempat lain dapat ber­ baur satu sama lain dengan konsep hibriditas yang ditawarkan Hang Tuah. Melayu, sebagai bangsa yang terus menjadi konsep yang ber­ gerak, terbuka untuk redefinisi dan perombakan. Melayu dipahami ti­dak berhenti sebagai sebuah etnis, tetapi sebagai budaya yang terus beradaptasi terhadap peradaban. Sementara itu, dalam menghadapi peradaban, menjadi Melayu harus berpegang teguh pada tunjuk ajar yang telah diwariskan secara turun-temurun. Ibarat Lancang Kuning yang berlayar malam, dalam mengarungi peradaban, menjadi Melayu harus selalu meninggikan nilai moral dan budaya agar tidak hilang Melayu di Bumi. Dengan demikian, Melayu akan bisa menjadi tuan di atas tanah sendiri. Dalam ketiga cerpen tersebut, beberapa identitas kemelayuan Riau yang ditemukan, antara lain hidup berkoloni; berbahasa Melayu; ber­agama Islam; hidup mengandalkan hasil hutan dan sungai; menempatkan keturunan sebagai hal yang sangat penting; menjadikan adat dan budaya sebagai pegangan hidup; serta kerap terperangkap dalam lamunan (melamunkan kejayaan Melayu pada masa silam). Masyarakat Melayu Riau terus-menerus mencari jati diri, bahkan mulai memberontak dengan bersikap anarkis demi mempertahankan ego. Sebelum tahun 1990-an, masyarakat cenderung tidak menyadari akan



239 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



adanya ketertindasan yang mereka alami. Semua terlihat wajar/lazim. Mulai 1990-an, seperti terlihat dalam beberapa cerpen dan kajian, masyarakat Melayu Riau mulai menyadari akan adanya ketertindasan yang menimpa mereka. Ideologi yang ditemukan dalam cerpen-cerpen tersebut dapat mengubah pandangan masyarakat tentang kemelayuan Riau. Beberapa definisi kemelayuan Riau dalam cerpen-cerpen tersebut terungkap melalui analisis tekstual, praktik wacana, dan praktik sosial. Definisi itu, antara lain, menjadi Melayu tidak melulu harus memaki, menyesali, atau­pun merenungi nasib yang dianggap “tertunda”. Akan tetapi, men­ jadi Melayu adalah berani membuka diri terhadap perubahan, lalu beradaptasi terhadap perubahan itu; menjadi Melayu harus cerdas dalam menghadapi persoalan; menjadi Melayu bukanlah harus lahir di tanah Melayu, tetapi harus mampu berbaur dengan masyarakat luas dan turut andil dalam kehidupan sosial budaya Melayu (Riau); menjadi Melayu dituntut untuk bersikap adaptif dalam menghadapi perubahan yang terjadi dengan sangat cepat agar terus dapat bertahan hidup; menjadi Melayu bukanlah harus selalu sama dalam setiap periode dan tempat, tetapi beradaptasi melalui peradaban. Daftar Referensi



Ajidarma, S. G. (1999). “Fiction, Journalism, History: A Process of Self-Correction.” Indonesia, 68 (October), 164–171. https://www.jstor.org/ stable/3351300 Andaya, L. Y. (2001). “The Search for the ‘Origins’ of Melayu.” Journal of Southeast Asian Studies, 32(3), 315–330. https://www.jstor.org/stable/20072349 Annabell, T., & Nairn, A. (2019). “Flagging A ‘New’ New Zealand: The Discursive Construction of National Identity in The Flag Consideration Project.” Critical Discourse Studies, 16(1), 96–111. https://doi.org/10 .1080/17405904.2018.1521857 Bodden, M. (2005). “Zaman Akhir Orde Baru dan Perubahan Suara Lokal dalam Sastra Indonesia.” Susastra: Jurnal Ilmu Sastra Dan Budaya, I(1), 137–168. Booth, A. (1992). “Can Indonesia Survive As A Unitary State?” Indonesia Circle. School of Oriental & African Studies. Newsletter, 20(58), 32–47. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1080/03062849208729784



240 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Konstruksi Identitas Melayu (Riau) dalam Karya Sastra Sebelum Reformasi



Darussamin, Z., & Mawardi. (2015). Integrasi Kewarisan Adat Melayu-Riau dengan Islam. Suska Press. Derks, W. (1997). “Malay Identity Work.” Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde, Riau in Transition, 153(4), 699–716. https://brill.com/ view/journals/bki/153/4/article-p699_12.xml Fairclough, N. (1989). Language and Power. Longman Inc. Fairclough, N. (1992). “Discourse and Text: Linguistic and Intertextual Analysis within Discourse Analysis.” Discourse Society, 3(2), 193–217. https://doi.org/10.1177/0957926592003002004 Fairclough, N. (1995). Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Longman. Fairclough, N. (2006). Discourse and Social Change (11th ed.). Polity Press. Flowerdew, J., & Wang, S. H. (2015). “Identity in Academic Discourse.” Annual Review of Applied Linguistics, 35, 81–99. https://doi.org/10.1017/ S026719051400021X Halliday, M. A. K. (1978). Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning. Edward Arnold. Hamidy, U. U. (2002). Riau Doeloe—Kini Dan Bayangan Masa Depan. Pusat Pengkajian Melayu, Universitas Islam Riau. Haryatmoko. (2017). “Memetakan Arena Sosial ‘Gadis Pantai’ Untuk Membongkar Ideologinya: Kajian Sastra Melalui Analisis Wacana Kritis Salah Satu Karya Pramoedya Ananta Toer.” In S. P. Putri & H. H. Setiajid (Eds.), Membongkar Sastra, Menggugat Rezim Kepastian (p. 9–19). Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Universitas Sanata Dharma. https:// www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwiF0KvFutH0AhWskNgFHUZ7DaoQFnoECA0QAQ&url=https%3A%2F%2Fusd. ac.id%2Ffakultas%2Fsastra%2Fsasing%2Ff1l3%2FDownloads%2FProsiding%2520HISKI%25202017.pdf&usg=AOvVaw1o8rMmPe Haryatmoko, J. (2015). “Kondisi Ideologis dan Derajat Keteramalan Analisa Wacana Kritis Norman Fairclough.” Diskursus, 14(2), 153–192. https://doi.org/10.26551/diskursus.v14i2.20 Heri, Z. (2005). “Mainstream Politik Kongres.” In D. Juniarto & K. Anwar (Eds.), Riau dalam Tiga Opsi: Otonomi, Federal atau Merdeka (I, p. 233–238). ISDP (Indonesian Society for Democracy and Peace).



241 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Jorgensen, M., & Phillips, L. J. (2002). Discourse Analysis as Theory and Method. Sage Publications Ltd. http://www.mrdowoportal.com/uploads/1/0/1/8/10183165/__discourse_analysis_as_theory_and_method.pdf Kurniadi, H. (2015). “Corporate Social Responsibility (CSR) Industri Ekstraktif di Indonesia (Studi Kasus CSR PT Chevron Pacific Indonesia pada Masyarakat Minas di Provinsi Riau).” Jurnal Communiverse, 1(1), 26–45. file:///C:/Users/HP/AppData/Local/Temp/CORPORATESOCIALRESPONSIBILITY.pdf Maier, H. (1997). “‘We Are Playing Relatives’: Riau, the Cradle of Reality and Hybridity.” Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde, 153(4), 672—698. https://www.jstor.org/stable/27865394 Maier, H. M. J. (2011). Melayu and Malay — A Story of Appropriate Behavior. In M. Mohamad & S. M. K. Aljunied (Eds.), Melayu, The Politic, Poetics, and Paradoxes (p. 300–329). NUS Press Singapore. https:// doi.org/https://doi.org/10.1080/14631369.2013.828970 Milner, A. (2008). The Peoples of South-East Asia and the Pacific: The Malays. Wiley-Blackwell. Mubyarto. (1997). “Riau: Progress and Poverty.” Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde, 153(4), 542–556. https://www.jstor.org/stable/27865388 Munfarida, E. (2014). “Analisis Wacana Kritis dalam Perspektif Norman Fairclough.” Komunika: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 8(1), 1–19. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.24090/kom.v8i1.746 Putten, J. van der. (2011). “Riau: A Malay Heartland at the Borders.” In M. Mohamad & S. M. K. Aljunied (Eds.), Melayu: The Politics, Poetics and Paradoxes of Malayness (p. 219—240). NUS Press National University of Singapore. https://www.tandfonline.com/doi/ abs/10.1080/14631369.2013.828970?journalCode=caet20 Reid, A. (2001). “Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern Identities.” Journal of Southeast Asian Studies, 32(3), 295–313. https://www.jstor.org/stable/20072348 Udasmoro, W. (2018). “Pengantar.” In W. Udasmoro (Ed.), Hamparan Wacana dari Praktik Ideologi, Media hingga Kritik Poskolonial (p. vi– xxv). Penerbit Ombak. Wahyuni, D. (2019). “Pertarungan Jurnalisme dan Sastra dalam Menguak Ke-



242 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Konstruksi Identitas Melayu (Riau) dalam Karya Sastra Sebelum Reformasi



benaran.” Paradigma Jurnal Kajian Budaya, 9(3), 231–255. https:// doi.org/http://dx.doi.org/10.17510/paradigma.v9i3.325 Wahyuni, D. (2022). Wacana Kemelayuan Riau dalam Cerpen Periode 1990an dan 2000-an [Universitas Gadjah Mada]. http://etd.repository. ugm.ac.id/penelitian/detail/209074 Wee, V., & Chou, C. (1997). “Continuity and Discontinuity in the Multiple Realities of Riau.” Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde, 153(4), 527–541. https://www.jstor.org/stable/27865387 Yusuf, Y. (2009). Studi Melayu (Pertama). Penerbit Wedatama Widya Sastra. Zhang, C. X., Morgan, N., Xiao, H., & Ly, T. P. (2018). Politics of Memories: Identity Construction in Museums. Annals of Tourism Research, 73(November), 116–130. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.annals.2018.09.011



243 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



KOMPLEKSITAS IDENTITAS DALAM 9 DARI NADIRA ( LEILA CHUDORI) DAN MADRE (DEWI LESTARI) Sastri Sunarti Atisah Ninawati Syahrul



A. Pengantar Identitas menjadi sebuah isu yang sedang hangat dibicarakan dalam konteks budaya global yang semakin tak bersekat dan cenderung mengaburkan identitas individu maupun kelompok. Hal ini senada dengan pandangan Hall (1990) yang mengatakan bahwa identitas ada­ ah sebuah produksi yang cair, yang selalu mengalir dan tidak pernah berhenti untuk berproduksi. Individu juga selalu membentuk dan me­re­presentasikan identitasnya. Demikian juga Bilbargoya (2017) mengatakan identitas masyarakat postmodern lebih menunjukkan sifat yang sangat cair dan konstruktif, identitas yang mudah berubah dan disesuaikan menurut kebutuhan. Kebutuhan dalam konsep postmodern berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi. Proses tersebutlah yang mempengaruhi dan membentuk identitas individu. Pembacaan terhadap dua karya pengarang perempuan Indonesia berikut yakni 9 dari Nadira karya Leila Chudori (2009) dan Madre: Kumpulan Cerita karya Dee Lestari (2011) memerlukan suatu teknik pembacaan khusus (close reading) untuk melihat isu identitas yang menjadi topik dalam karya kedua pengarang tersebut. Isu identitas yang terdapat dalam karya dua perempuan pengarang tersebut merupakan persoalan yang sedang menjadi sorotan bagi manusia yang hidup pada



244 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Kompleksitas Identitas dalam 9 Nadira dan Madre



zaman yang tidak lagi mengenal batas wilayah (borderless) sebagai dampak dari globalisasi. Identitas adalah salah satu isu dalam karya sastra yang banyak dibahas dalam pendekatan pascakolonial dan pascamodernisme. Salah satu pendekatan yang berbasis pascakolonial adalah persoalan identitas dan hibriditas budaya yang relatif lebih dekat dengan persoalan dan tema sentral yang sering dibicarakan dalam karya penulis Indonesia terkini. Dalam pandangan Jameson (1985: 114–123), ekspresi budaya periode postmodern diwarnai oleh preferensi pada pastische, reinter­ pretasi tanpa henti, dan skizofrenia. Pastiche marak dalam konteks yang berkaitan dengan gagasan bahwa yang penting adalah teks yang dipa­dukan dengan devaluasi poststrukturalisme terhadap subjek yang utuh—akhir dari individualisme—dan mengaburnya kesadaran sejarah. Singkatnya, ledakan pastiche, kolase, dan mimikri mencerminkan kemunduran postmodernisme dari gagasan modernis tentang diri yang utuh. Sebagai gantinya, postmodernisme menemukan hilangnya diri dan kesadaran historis tentang tempat, suatu eksistensi dalam “masa kini yang langgeng” tanpa kedalaman definisi atau identitas. Dengan kata lain, menurut Jameson (1985: 115) terdapat kesadaran lain pada penulis atau seniman masa kini bahwa mereka tidak mampu lagi menciptakan sesuatu yang “orisinal” atau berbagai gaya dan dunia baru—sebab hal itu sudah tercipta; sehingga hanya berhasil mengombinasikan sejumlah unsur kecil yang paling unik yang dapat mereka pikirkan. Perubahan budaya yang sering mempengaruhi perubahan identitas inilah yang hendak dilihat dalam kedua karya sastra Indonesia, yakni kumpulan cerpen 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori (2009) dan Madre karya Dee Lestari (2011). Kedua pengarang tersebut mem­ bahas identitas para tokoh dalam ceritanya dengan sudut pandang in­ konvensional. Pada kedua kumpulan cerita tersebut ditemukan berbagai per­gulatan identitas dalam diri para tokoh akibat pertemuan budaya dan gaya hidup yang berbeda sehingga melahirkan identitas baru yang disebut sebagai budaya hibrida dalam kacamata pascakolonial. Isu pertemuan budaya yang melahirkan identitas baru itu kemudian melahirkan beberapa konflik batin bagi para tokoh. Konflik batin yang muncul kadang sampai pada keputusan yang dramatis dan tragis seperti yang terjadi pada tokoh Kemala dalam 9 dari Nadira. Selain itu, pembacaan terhadap teks sastra juga melibatkan pe­ ran pembaca; suatu gagasan yang melicinkan jalan bagi para kritisi



245 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



seperti Riffaterre (1966) yang menetapkan suatu fungsi lebih sentral bagi pembaca sebagai “pencipta” makna. Ia berpendapat bahwa tanggapan pembaca terhadap sebuah teks merupakan unsur vital dalam pembentukan makna sastra. Iser (1974) menyebutnya sebagai resepsi sastra (rezeption-aesthetik). Keduanya menolak gagasan karya sastra sebagai unsur objektif yang berdiri sendiri dan menawarkan wajah sama kepada setiap pembaca dalam setiap periode. Sebaliknya, dalam resepsi sastra, teks bukan sekadar akal-akalan pembaca. Iser (1974) menjelaskan peran pembaca adalah membongkar makna melalui per­ mainan antara deduksi dan induksi. Belsey (1994: 144) menambahkan pula bahwa kerja kritik sastra bertugas melepaskan makna-makna yang memungkinkan (bukan men­ cari maksud pengarang). Dalam hal ini ditemukan adanya pluralitas makna pada sebuah teks tertentu yang diambil oleh pembaca kritis. Keputusan-keputusan interpretif dari seorang pembaca kritis akan me­ lahirkan makna baru. Namun, bukan berarti makna itu lebih baik atau lebih buruk dari pemaknaan lainnya (Allen et al., 2004: 21). Dengan de­mikian, “narasi kecil” sebagai ciri dari karya postmodernisme dan pasca­kolonialisme yang ditulis oleh kedua pengarang perempuan Indo­ nesia tersebut merupakan gagasan awal yang akan ditafsirkan dalam penelitian ini. B. Identitas Keluarga Tradisional dan Global Nadira merupakan tokoh utama dalam antologi cerpen karya Leila S. Chudori. Tokoh Nadira digambarkan sebagai seorang perempuan kota yang lahir dari hasil pernikahan bapak-ibu yang hidup dan besar di kota besar seperti Jakarta dan sekolah di luar negeri. Kedua orang tua Nadira merupakan representasi dari segelintir kalangan menengah atas Indonesia pada awal kemerdekaan yang mengecap pendidikan tinggi di Belanda. Ayahnya bernama Bramantyo dan ibunya bernama Kemala. Keduanya bertemu dam menikah di Belanda. “Tentu saja kami tak perlu berkisah bahwa tingkahku yang tidur bermalam-malam di apartemennya membuat Bram gelisah dan serta-merta mengajakku kawin. Dia sudah mantap dan aku sudah melekat. Bagiku hij is de man.” (Chudori, 2009: 22)



246 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Kompleksitas Identitas dalam 9 Nadira dan Madre



Setelah menyelesaikan pendidikan, Bramantyo memboyong istri dan anak-anaknya Kembali ke Jakarta, tepatnya ke rumah ayahnya di Gang Bluntas, Salemba. Meski sama-sama pernah mengecap pen­ didikan di Belanda, latar belakang keluarga orang tua Nadira memiliki cara pandang dan nilai yang sama sekali berbeda. Bramantyo, dibe­ sarkan dalam lingkungan keluarga Cirebon-Jawa-NU yang fanatik. Sebaliknya, Kemala berasal dari Sumatra. Ayahnya, Abdi Yunus, meru­ pakan pengusaha yang dekat dengan istana serta berpandangan sekuler. Perbedaan dalam pendidikan keluarga itu awalnya tidak menjadi ma­ salah ketika mereka masih berada di Belanda. Akan tetapi, ketika kem­bali ke Indonesia dan bertemu dengan keluarga besar Bramantyo, perbedaan identitas dan latar belakang keluarga yang berasal dari etnis yang berbeda tersebut menimbulkan konflik batin yang berdampak sangat tragis bagi Kemala. Identitas dan nilai-nilai pendidikan dalam keluarga yang berbeda itu makin meruncing ketika Kemala dipaksa menerima secara sepihak aturan ibu mertuanya yang mengharuskan anak-anaknya diasuh oleh keluarga besar Bramantyo. Keluarga besar Suwandi, ayah Bramantyom adalah pengikut par­ tai NU yang fanatik dan memiliki aturan-aturan yang ketat jika itu menyangkut pendidikan agama keluarga dan anak-cucu mereka. Oleh sebab itu, mereka sangat peduli pada pendidikan agama anak-anak Bra­ mantyo. Hal pertama yang mereka tanyakan pada Bramanatyo adalah: “apakah ia sudah mengajari anak-anaknya salat dan mengaji?”; “apakah Kemala salat?”. Identitas tradisional Jawa NU menjadi identitas dalam keluarga besar Suwandi yang sama sekali asing bagi identitas Kemala yang sekuler. Latar pendidikan keluarga kedua orang tuanya itu akan membentuk identitas baru dalam keluarga Nadira. Gaya hidup sekuler Kemala, sebagai Ibu Nadira yang berasal dari seberang (Sumatra) dan memiliki gaya hidup “bebas” bertolak belakang dengan gaya hidup dan nilainilai dalam keluarga Bramantyo yang NU dan tradisional. Gaya hidup sekuler itu terlihat dalam pergaulannya semasa kuliah di Belanda seperti yang ditemukan oleh Nadira dalam catatan harian ibunya setelah meninggal. “Amsterdam, April 1957 De Groene Bar selalu menjadi tujuan Bea dan aku, jika kami ingin bertingkah semaunya. Lebih tepatnya: jika Bea sedang gatal ingin



247 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



lelaki dan aku sedang haus mencari alkohol. Kami memang baru saja mendekam seharian dengan Sense and Sensibility karya Jane Austen, sebuah novel yang harus kami diskusikan besok, se­mentara aku heran sekali kenapa tahun pertama kami dijejali oleh novel-novel karya penulis Inggris abad ke-19 yang selalu mengkhawatirkan jodoh dan harta. Bea dan aku mulai gelisah. Austen membuat kami resah dan bosan. Kelihatannya aku butuh le­laki dan alkohol.” (Chudori, 2009: 10)



Kebebasan cara bergaul Kemala sebagai mahasiswa terekam dalam catatan hariannya yang ditemukan oleh Nadira. Hal itu sangat bertolak belakang dengan sikap dan penampilan Bram sebagai mahasiswa pada waktu yang bersamaan di Belanda. Bram adalah mahasiswa yang tekun dan taat. Ketaatan sikap Bram terlihat dari caranya menghabiskan waktu selama di Belanda. Ia memanfaatkan waktu senggangnya de­ ngan bekerja sebagai bartender di kafe ketimbang berfoya-foya atau menikmati masa mudanya sebagaimana yang dilakukan oleh Kemala. Pada saat menjadi bartender itulah Kemala bertemu dengan Bram dan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dengan laki-laki yang semula dikiranya berasal dari Jazirah Arab itu. “Tiba-tiba saja, tanpa sadar aku sudah meluncur mendekati bar. Pasti tulang hidungnya (yang mancung itu) terbuat dari magnet dan seluruh tubuhku terbuat dari besi murah-meriah yang bersedia menyeret-nyeret diri untuk berpelukan dengan magnet ini. Dan sang magnet itu menatapku hanya dengan satu lirikan yang tajam. “Mau minum apa?” Lo, dia tahu aku bisa bahasa Indonesia? “Kasih dia Ouwe…, kata Bea cekikikan, aku pilsje.” Aku diam, dan lelaki mancung yang bisa berbahasa Indonesia itu mengambil minuman yang dipesan itu sambil matanya tetap menatapku. “Kamu dari Jakarta…,” katanya yakin. “saya betul-betul menyangka kau dari Lebanon atau Maroko.” Dia mendorong gelas Ouwe itu ke depanku. “Ya , banyak yang menyangka aku dari Jazirah…” (Chudori, 2009: 12–13)



248 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Kompleksitas Identitas dalam 9 Nadira dan Madre



Pernikahan antara Kemala dan Bramantyo terjadi dengan sangat cepat dan sederhana. Bram yang masih berpegang teguh pada ajaran orang tuanya semakin khawatir akan kehadiran Kemala setiap malam di apartemennya. Setelah menikah, keduanya hidup dengan sangat sederhana di Belanda hingga ketiga anak mereka lahir, yakni Nina, Arya, dan Nadira. Untuk mengetahui minat dan ideologi seseorang dapat dilihat me­lalui bahan bacaan yang disukai. Seperti halnya kedua orang tua Nadira: Kemala cenderung membaca buku-buku Simone de Beauvoir sebagai bacaannya selama kuliah, sebaliknya Bramantyo memiliki buku-buku Muhammad Natsir sebagai pemimpim Partai Masyumi di apartemen Bram (Chudori, 2009: 18). Berdasarkan bahan bacaan kedua orang tua Nadira tersebut dapat diketahui “ideologi politik” keduanya yang sangat bertolak belakang. Kemala menganut ideologi feminisme yang menggambarkan orientasi politik feminis barat seperti Simone de Beauvoir. Sementara, Bram hidup dan dibesarkan dalam nilai-nilai Masyumi yang kuat hingga ketika sudah kuliah ke Belanda sekali pun, buku M. Natsir yang tradisonalis masih menjadi idelogi politiknya. Asal-usul, bibit, bobot, dan bebet Kemala sebagai menantu dalam keluarga besar Suwandi segera dinilai oleh keluarga Suwandi, terutama oleh ibunda Bram. Setelah Kemala kembali ke Jakarta, banyak kekurangan dari sikapnya yang ditemukan sang ibu mertua. Pertama, Kemala tidak berasal dari Sunda atau Jawa; kedua, Kemala tidak sembahyang; ketiga, Kemala dan anaknya menikah di Belanda tanpa izin kedua orang tua Bramantyo; dan keempat, Kemala dan suaminya tiba-tiba pulang ke Jakarta setelah Bram selesai kuliah di Belanda dengan membawa tiga orang anak ke rumah orang tuanya. Situasi itu sangat mengejutkan bagi keluarga besar Bram. Kehadiran Bram beserta keluarga kecilnya menjadi perhatian besar bagi keluarga besar Suwandi yang tradisional dan konvensional. Identitas santri Jawa yang tradisional dari keluarga besar Bramantyo dalam mendidik anak kemudian menjadi masalah bagi keluarga kecil Bram, terutama Kemala. Bagi ayah dan Ibu Bram, anak-anak sudah harus dididik mengaji dan salat sejak kecil. Sementara Kemala sebagai ibu justru tidak pernah belajar salat dan sudah lama tidak mengerjakan salat. “Ya sudah, panggil istrimu. Kita pikirkan bagaimana memper­kenalkan Quran pada anak-anakmu. Sepupunya pada sudah jauh­nya belajarnya.



249 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Tapi pasti Nina dan Arya bisa cepat mengejar ketertinggalannya.” … Bapak mertua mengeringkan tenggorokan. “Nah, Kemala … tadi Bapak sudah bicara dengan suamimu, anakanakmu itu harus belajar mengaji ….” (Chudori, 2009: 26–27)



Itulah salah satu catatan yang ditemukan oleh Nadira dalam buku diari ibunya setelah ibunya mati bunuh diri. Persoalan identitas dan asal-usul Kemala sebagai menantu dari seberang dan dibesarkan dengan nilai-nilai keluarga yang nontradisional membuatnya kesulitan menyesuaikan diri dalam keluarga besar Bramantyo. Mulailah segala tindak-tanduknya menjadi sorotan bagi ibu mertua hingga ketaatannya sebagai muslim yang jarang salat menjadikannya sebagai menantu yang buruk dalam keluarga besar Islam NU yang tradisional. Kemala menjadi menantu dan istri yang buruk di mata ibu mer­ tuanya. Terlebih ketika mereka mengetahui Kemala tidak pernah meng­ ajarkan anak-anaknya salat dan mengaji. Hal itulah yang pertama kali menjadi pembahasan kedua orang tua Bramantyo ketika menerima anak, menantu, dan cucu-cucu mereka yang baru datang dari Belanda. Sejak datang ke Jakarta dan menjadi menantu keluarga besar Su­ wandi, Kemala menjadi orang yang berbeda sebagai perempuan yang dulu sangat bebas dalam pergaulan ala mahasisiwi di Belanda. Ia serta merta harus menyesuaikan diri dengan segala keteraturan dan tata cara keluarga tradisional Sunda-Cirebon, NU, dan muslim yang taat. Sebaliknya jika melihat catatan diari Kemala semasa muda, dia terlanjur memamah buah-buah pikiran dan idealisme Simone de Beauvoir; tokoh utama dalam gerakan feminisme Eropa. Kehidupannya di Jakarta bersama suami dan anak-anaknya yang tumbuh besar sebagai warga Jakarta tidak mampu memberinya kebahagian pada akhir hayatnya sehingga Kemala memilih mengakhiri hidupnya dengan minum pil tidur. “Kemala Suwandi, Ibu Nadira, telah lama memilih bahwa hidupnya sudah selesai. Itu terjadi setahun lalu, tahun 1991. Hingga detik ini, Nadira tak pernah tahu kenapa ibunya memutuskan untuk pergi. Apa yang ada dalam pikiran ibunya; apa yang dirasakannya hingga ia memutuskan untuk menenggak pil tidur itu di suatu pagi yang suram.” (Chudori, 2009: 70–71)



250 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Kompleksitas Identitas dalam 9 Nadira dan Madre



Keputusan ibunya membunuh diri itu menjadi awal dari segala persoalan yang kemudian membentuk Nadira sebagai sosok yang dingin dan kaku kepada lawan jenis. Nadira mulai memahami keputusan ibunya melakukan aksi itu setelah ia membaca buku harian ibunya yang tersimpan di gudang rumah mereka. Buku harian tersebut menceritakan kisah awal percintaan Kemala dan Bramantyo saat masih kuliah di Belanda pada tahun 1957. Melalui buku harian itu pula pandangan Nadira terhadap keluarga neneknya berubah. Ia pun memiliki empati hingga keberpihakan pada keputusan ibunya. Sejak datang dari Belanda, Kemala dan Bramantyo dipaksa untuk tinggal satu rumah dengan orang tua Bramantyo di Salemba. Sejak itulah Kemala merasa berada dalam penjara, sebab penilaian ibu mertua yang selalu melihat kekurangannya. Kebebasan yang terenggut itu menyebabkan Kemala mengalami keruntuhan kepercayaan diri. Ia cenderung memilih diam saat berhadapan dengan aturan dan nilai-nilai identitas tradisional keluarga NU Jawa yang selalu berseberangan dengan nilai-nilai identitas Sumatra yang egaliter dan bebas mengungkapkan sikap. Ia kerap berada pada sudut pandang yang berbeda dengan ibu mertuanya dalam banyak hal. Krisis identitas yang dibicarakan dalam kumpulan cerpen itu merupakan persoalan identitas personal yang erat sekali kaitannya dengan kompleksitas kejiwaan para tokoh, terutama Kemala dan Nadira, ibu dan anak perempuan. Penanda identitas yang paling menonjol dalam antologi cerpen ini adalah keyakinan dan asal-muasal para tokohnya. Kemala pe­ rempuan sebrang dan Bramantyo adalah laki-laki Jawa-Sunda yang dibesarkan dalam nilai-nilai Islam NU yang kental. Kehadiran menantu perempuan dari seberang pada tahun 60-an bagi masyarakat Jawa dan juga sebaliknya masih merupakan perkawinan yang sulit diterima. Ketidakharmonisan hubungan Kemala dengan keluarga suaminya membuat Kemala menjadi orang asing dalam keluarga besar tersebut. Keterasingan itu memicu ketidakbahagian Kemala hingga memutuskan untuk bunuh diri. C. Alur dalam 9 dari Nadira Alur dalam 9 dari Nadira tidak berjalan dengan lurus. Cerita berawal dari peristiwa kematian ibu Nadira yang tiba-tiba karena bunuh diri. Lalu, alur bergerak mundur ke masa muda tokoh ibu dan



251 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



ayah Nadira yang pernah kuliah di Belanda. Alur kemudian meloncat lagi pada peristiwa titik berangkat cerita yakni kematian ibu Nadira. Setelah itu, pergerakan alur terjadi secara bolak-balik di dalam cerita. Peristiwa setelah kematian ibunya merupakan peralihan yang pertama dari karakter Nadira sebagai tokoh yang seolah kehilangan identitas: Nadira yang semula periang kemudian berubah menjadi seorang yang pemurung dan melarikan diri ke pekerjaan hingga tanpa batas. “Kematian ibunya yang mendadak telah membuat Nadira begitu tua. Sejak penguburan ibunya setahun yang silam, lingkaran hitam di bawah kedua matanya tak pernah hilang. Dan sejak kematian itu pula, Nadira memandang segala sesuatu di mukanya tanpa warna. Semuanya tampak kusam dan kelabu. Dia tidur, bangun, dan merenung di kolong meja kerjanya. Setiap hari. Dia hanya pulang sesekali menjenguk ayahnya, tidur dua malam di rumah, untuk kembali lagi merangsek kolong meja itu.” (Chudori, 2009: 72–73)



Perubahan karakter Nadira yang drastis itu merupakan dampak kematian ibunya yang yang tragis tersebut. Sejak kecil Nadira digambarkan sebagai anak yang riang, kreatif, dan peduli kepada orang lain. Ia memiliki sikap yang lebih matang dan dewasa dibandingkan kedua kakaknya, Nina dan Arya. Sikapnya yang lebih matang itu juga disuarakan oleh ibunya sehingga jauh-jauh hari sebelum memutuskan kematiannya, Kemala sudah berpesan kepada Nadira untuk menyiapkan hal-hal yang harus dilakukan oleh Nadira jika kelak kematian itu harus dihadapinya. Semua yang disampaikan oleh ibunya ternyata terbukti. Nina menangis dan histeris saat menghadapi kematian ibunya, sebaliknya Nadira langsung bertindak dan mencari bunga seruni yang diinginkan oleh ibunya sebagai bunga yang akan mengiringi jenazahnya. Meski tidak mudah menemukan bunga itu, berkat bantuan Utara Bayu, Nadira berhasil menemukannya untuk dipasang di keranda sang ibu. Nadira menjadi kunci semua peristiwa yang disampaikan dalam keseluruhan cerita. Melalui suaranya sebagai narator yang terlibat dalam teks, pembaca mendapatkan gambaran keutuhan cerita atau melalui peristiwa yang saling berkaitan dengan dirinya. Pembaca mendapatkan keutuhan kumpulan cerita pendek tersebut. Sudut pandang yang digunakan berasal dari narator yang terlibat ataupun tidak terlibat. Sudut



252 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Kompleksitas Identitas dalam 9 Nadira dan Madre



pandang narator yang terlibat berasal dari beberapa tokoh seperti sudut pandang Kemala, Nadira, Utara, dan Arya. Satu contoh pengenalan tokoh dan peristiwa dari sudut pandang narator yang terlibat adalah ketika Utara Bayu menyampaikan pada pembaca perihal kematian ibu Nadira seperti dalam kutipan berikut. “Untuk waktu yang cukup lama aku, aku tidak pernah bertemu dengan Nadira. Bahkan aku lupa kehadirannya; sampai akhirnya aku mendengar berita yang sungguh mengguncang. Pada tahun 1991, dua dua tahu setelah nadira bergabung dengan kantor ini, Ibu nadira tewas bunuh diri, Ah….” (Chudori, 2009: 72–73)



Kompleksitas narator dalam antologi cerpen 9 dari Nadira mem­ buat karya ini istimewa karena peristiwa tidak disampaikan dari satu sudut pandang. Berbagai poit of view yang membuat teknik penceritaan menjadi kaya, tetapi pengulangan penyajian peristiwa tidak dapat di­ hindari. D. Identitas dalam Madre Konsep identitas yang kabur sebagai bagian dari proses pengimajian komunitas terepresentasi dalam kumpulan cerita Madre (2011) karya Dee Lestari yang direpresentasikan melalui tokoh utamanya, Tansen Wuisan, seorang keturunan India, Manado, dan Tionghoa. Kumpulan cerita Madre mengandung ideologi yang berkaitan dengan persoalan identitas sebagai manusia Indonesia. Pernyataan ini didasarkan pada pengamatan terhadap beberapa karya Dee Lestari yang tidak lagi mempersoalkan identitas kesukuan yang sempit. Kita menemukan betapa pengarang Supernova ini sudah masuk ke ranah global dan membawa isu-isu manusia urban yang memiliki jati diri atau identitas yang semakin mencair dan tidak lagi terpaku pada darah keturunan yang “asli” ataupun “murni”. Identitas manusia urban yang cair itu juga disinggung oleh Bilbargoya (2017: 25) yang menjelaskan bahwa identitas masyarakat postmodern lebih menunjukkan sifat yang sangat cair dan konstruktif, identitas yang mudah berubah dan disesuaikan menurut kebutuhan. Isu identitas dalam kumpulan cerita Madre (2011). Dalam Madre



253 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



diungkapkan pencarian jati diri tokoh Tansen campuran India-Tionghoa mengenai leluhurnya dari marga Tan yang mewarisi sebuah toko roti di Jakarta. Petualangan Tansen dimulai pada sebuah kompleks pekuburan saat mencari tokoh bernama Tan Sie Gie yang belum diketahui siapa orang tersebut. “Kubaca nisan itu : Tan Sie Gie. Wafat pada usia 93 tahun. Dia telah hidup selama itu mencantumkan namaku sebagai ahli warisnya dan tak ada secuilpun aku mengetahui keberadaannya, Siapa kamu? Kenapa aku? (Lestari, 2011: 2)



Cerita dimulai dengan menggambarkan tokoh utama Tansen yang berkulit gelap dengan ciri fisik sebagai orang India yang tidak hanya sekadar berziarah ke kompleks kuburan Tionghoa, melainkan berupaya mengenali leluhur yang belum diketahui keterkaitan dengan dirinya sebagai orang India. Dia tidak bisa menjawab ketika pengacara Tan Sie Gie bertanya bagaimana dia mengenal almarhum Tan Sie Gie yang notabene orang Tionghoa tetapi mewarisi sesuatu kepadanya. Tansen Wuisan pun kemudian menjelaskan identitasnya sebagai keturunan India tetapi bukan sebagai keturunan Tionghoa. “Kamu turunan India? “Katanya. Sedikit,” jawabku sekenanya. Dibawa langsung dari Lahore tahun 1920-an, nenekku tumbuh besar di Indonesia. Nenek menikahi orang Manado, jadilah aku. Tansen Roy Wuisan. Kulitku menggelap lebih karena jejak matahari. Nama “tansen, hidung Panjang, dan mata besar berbulu lentik, adalah jejak India yang tersisa padauk”. (Lestari, 2011: 3)



Deskripsi identitas Tansen diperoleh melalui suara narator tokoh Tansen. Namun, jika dicermati terlihat bahwa “nada” suara pengarang tersirat atau the implied author yang muncul pada dialog tersebut. Bagaimana mungkin seorang tokoh membicarakan dirinya pada orang yang baru dikenal seolah-olah orang itu adalah lawan bicara yang sudah lama akrab dengannya. Deskripsi fisik tokoh Tansen itu sesungguhnya



254 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Kompleksitas Identitas dalam 9 Nadira dan Madre



lebih cocok disuarakan oleh narator tak terlibat yang menggambarkan karakter dan ciri fisik para tokoh dalam cerita. Sejak awal cerita, pembaca sudah disuguhi oleh isu identitas yang “kabur” dari tokoh utamanya, yakni Tansen. Kebingungan tokoh Tan­ sen mengenai identitas dirinya yang tiba-tiba dikaitkan dengan etnis Tionghoa yakni Tan Sin Gie tidak hanya membingungkan Tansen me­ lainkan juga berhasil menggoda keingintahuan pembaca untuk me­ nelusuri siapa tokoh Tansen tersebut. Teknik bekerja alur cerita dalam kum­pulan cerita Madre tersebut menunjukkan suatu pengembangan alur yang canggih dari pengarang. Identitas Tansen kemudian diketahui setelah ia menerima kunci yang diberikan oleh pengacara Tan Sin Gie padanya. Kunci tersebut ter­nyata merupakan kunci sebuah toko roti tua yang terletak di wilayah kota tua Jakarta. “Tempat itu adalah bekas toko tua tanpa plang di daerah Jakarta Tua. Ruko kuno dua lantai yang tak terurus, cat mengelupas di sana-sini, kayu-kayu melunak oleh rayap dan air hujan.” (Lestari, 2011: 5)



Pencarian identitas tokoh Tansen sebagai keturunan Tionghoa mulai terkuak ketika ia menerima kunci toko roti di Jakarta Tua. Ia menemui seorang lelaki Tionghoa bernama Hadi yang ternyata telah menunggu kehadirannya. Melalui tokoh Pak Hadi, identitas Tansen yang semula kabur sebagai ahli waris Tan Sin Gie menjadi terang setelah diceritakan masa lalu ibunya dan Tan Sin Gie. “Tan bertemu dengan nenekku, Lakshmi, waktu mereka masih muda. Mereka sama-sama bekerja di sebuah toko roti. “Kata Tan, Roti buatan Lakshmi pasti beda rasanya dengan buatan pegawai lain. Padahal adonan yang diuleninya sama”. Dengan demikian bagian awal yang dikisahkan oleh Pak Hadi. Melihat talenta Lakhsmi, Tan mengajaknya kerja sama… Pak Hadi geleng-geleng. “Ya, ndak mungkin. Zaman itu, India Kawin sama Cina. Ya, susah. Tapi mereka ndak peduli. Nenekmu diusir keluarganya. Tan juga sama. Malangnya lagi, nenekmu ndak Panjang umur. Nak lama setelah Kartika lahir, Lakshmi meningga. Tan sempat kacau-balau. Dulu sudah hamper bangkrut dia, tapi akhirnya ditolong keluarganya.



255 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Setelah Laksmi ndak ada, Tan dan orangyanya akur akur lagi. Ya jadilah toko roti ini.” (Lestari, 2011: 11)



Perkawinan Tan (Tionghoa) dan Laskhmi (India) melahirkan Tan­ sen sebagai generasi kedua setelah ibunya yang bernama Kartika. Salah satu penanda identitas yang paling mudah diidentifikasi adalah ciri fisiologis (Hall, 1997). Ciri fisik tokoh Tansen lebih banyak mewarisi ciri fisiologis orang India, yakni berhidung mancung, berkulit gelap, dan memiliki garis wajah sebagai orang Asia Kecil. Sementara, ciri fisik identitas ketionghoaan tidak terlalu terlihat pada fisik Tansen. Ketidaktahuannya sebagai bagian dari darah Tionghoa juga disebabkan oleh kematian ibunya pada usia muda yang belum sempat membuka hubungan nenek dan kakeknya dari marga Tan. Pertemuannya dengan Pak Hadi kemudian memperjelas identitas Tansen sebagai bagian dari Tionghoa yang mengalir dalam tubuhnya. Penguatan identitas ketionghoaan pada diri Tansen dalam kumpulan cerita Madre didukung oleh upaya Pak Hadi dan kehadiran seorang perempuan bernama Mei yang notabene adalah gadis Tionghoa. Mei memiliki minat dan usaha toko roti bernama Fairy de Bread seperti warisan usaha toko roti Tan de Bakker yang dimiliki oleh Kakek Tan­ sen. Kesamaan minat itu kemudian menimbulkan empati dan cinta yang menjadi faktor pendukung bagi berkembangnya kembali toko roti Tan De Bakker yang diwariskan kepada Tansen. Identitas etnis Tionghoa dikenal memiliki etos dan naluri bisnis yang kuat kemudian mempengaruhi Tansen yang awalnya tidak peduli dengan warisan dari kakeknya tersebut. Dalam konteks ini, penemuan identitas baru sebagai Tionghoa pada diri Tansen menjadikannya sebagai individu baru, yakni sebagai Tansen yang menjadi pengusaha toko roti. Menjadi pengusaha toko roti merupakan sebuah bidang usaha yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan oleh Tansen. F. Penutup Isu identitas yang dibahas dalam kedua karya pengarang Indonesia, yakni Leila S. Chudori dan Dee Lestari (Dewi Lestari) memperlihatkan persoalan identitas yang kerap dialami oleh banyak individu. Dalam 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori, isu identitas yang muncul berkaitan dengan identitas tradisional dan juga identitas global. Identitas



256 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Kompleksitas Identitas dalam 9 Nadira dan Madre



tradisional direprsentasikan oleh keluarga besar Bramantyo yang NUJawa, sedangkan identitas global direpresentasikan oleh Kemala yang berasal dari seberang (Sumatra) yang mendapat pendidikan liberal dalam keluarganya. Perbedaan identitas pada kedua latar keluarga tersebut kemudian menimbulkan masalah psikologi yang berakhir pada keputusan yang tragis, yakni berakhirnya kehidupan Kemala karena bunuh diri. Dalam kumpulan cerita Madre karya Dee Lestari, identitas menjadi lebih cair dan mengabur. Identitas Tansen yang semula mengira diri­ nya hanyalah berdarah India dipatahkan oleh fenomena lain ketika menerima warisan dari seseorang bernama Tan Sie Gin yang notabene dari etnis Tionghoa. Dee mengantarkan satu gagasan dan fenomena ke­ cairan identitas pada masyarakat modern dan urban yang beradapatasi dengan cepat terhadap perubahan gaya hidup dan nilai-nilai baru. Jika dulu perkawinan antaretnis seperti Tionghoa dan India merupakan fenomena yang jarang dan tabu, Dee mencoba menunjukkan bahwa itu adalah hal yang wajar dan alamiah. Dalam kasus Tansen terlihat adanya proses blended identity dan blurry indentity dengan cara yang alamiah, yakni cinta dan empati. Kompleksitas identitas tidak lagi menjadi runyam dalam kasus Tansen dan Mei, gadis Tionghoa pujaannya yang mencintai toko roti Tan de Bakker seperti kakek Tansen mencintai toko roti tersebut bersama Lakhsmi. Daftra Referensi Allen, P., Satriati, W., & Sumanto, N. B. (2004). Membaca, dan Membaca Lagi:Re-interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995. Indonesiatera. Belsey, C. (1994). Critical Practice. Routledge. Bilbargoya, A. (2017). Konstruksi Identitas dalam Social Network Sites: kasus realava di Twitter [Universitas Airlangga]. https://repository.unair. ac.id/60708/ Chudori, L. S. (2009). 9 dari Nadira. Kepustakaan Populer Gramedia. Hall, S. (1990). Cultural Identity and Diaspora. In J. R. (Ed.) (Ed.), Cultural Identity and Diaspora: Identity: Community, Culture, Difference (p. 222–237). Lawrence and Wishart. Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representations dan Signifying Practices. Sage Publications.



257 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Iser, W. (1974). The reading process: A phenomenological approach. In New directions in literary history (p. 125–145). Routledge. Jameson, F. (1985). Postmodernism and Consumer Society. In H. Foster (Ed.), Postmodern Culture (p. 111–125). Pluto Press. Lestari, D. (2011). Madre: Kumpulan Cerita (S. Srengenge (ed.)). Bentang Pustaka. Riffaterre, M. (1966). Describing Poetic Stucture: Two Approaches to Baudelaire’s “Les Chats.” Yale French Studies, 36(37), 200–242.



258 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



EPILOG



Kuasa Bahasa Agus Sri Danardana



MINDA Raja Ali Haji: Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa (Gurindam 12, Pasal 5, Ayat 1), disadari atau tidak, telah menjadi salah satu pedoman masyarakat Indonesia untuk menilai dan menentukan baik-buruknya seseorang dalam berperilaku se­hari-hari. Orang yang santun bahasanya diyakini memiliki gagasan dan sikap/perilaku baik, sedangkan orang yang tidak santun bahasanya diyakini memiliki gagasan dan sikap/perilaku buruk. Serta-merta min­da Raja Ali Haji itu pun menegaskan bahwa bahasa menentukan cara dan jalan pikiran manusia. Bangsa yang berbeda bahasanya, de­ ngan demikian, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Karena bahasa memengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap, perilaku, dan budaya penuturnya. Bahkan, perbedaan cara ber­bicara seseorang pun diyakini memiliki perbedaan pandangan dunia (world view) dengan orang lain. Sejalan dengan minda Raja Ali Haji itu, Hipotesis Sapir-Whorf pun menjelaskan bahwa manusia cenderung membuat penggolongan, klasifikasi, atau kategori kenyataan (realitas) berdasarkan bahasa, bukan berdasarkan realitas itu sendiri. Struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa. Orang Inggris dan orang Hunaco (Filipina), misalnya, berbeda dalam melihat warna karena bahasa mereka berbeda. Orang Inggris mengenal banyak warna: white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey,



259 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



sedangkan orang Hunaco hanya mengenal empat warna: mabiru ‘hitam dan warna gelap lain’, melangit ‘putih dan warna cerah lain’, meramar ‘kelompok warna merah’, dan malatuy ‘kuning, hijau muda, dan coklat muda’. Padahal, sebagai kenyataan (realitas), jenis warna di dunia ini sama. Itulah sebabnya, orang Eskimo memiliki banyak kata/istilah untuk menyebut salju. Mereka memberi label yang berbeda pada setiap objek salju: salju yang baru saja turun dari langit berbeda namanya dengan salju yang sudah mengeras dan berbeda lagi dengan salju yang sudah meleleh. Begitu pula orang Hunaco di Filipina (juga orang Indonesia) memiliki banyak nama untuk berbagai jenis padi (rice) serta orang Arab memiliki beberapa nama untuk unta (camels). Terminologi/istilah yang beragam tersebut menyebabkan penutur bahasa Eskimo, Hunaco (juga Indonesia), dan Arab, masing-masing, mempersepsikan salju, padi, dan unta secara berbeda dengan penutur bahasa bangsa lain. Perbedaan bahasa sering mengakibatkan perbedaan pandangan ten­tang dunia. Dalam banyak kasus, perbedaan itu juga sering me­ mun­culkan “olok-olok” bahasa. Masalah kata sapaan, kala (tenses), dan salam (greeting) dalam bahasa Indonesia, misalnya, dituduh se­ ba­gai salah satu penyebab melemahnya mentalitas bangsa. Kata hu­ bungan kekerabatan yang digunakan untuk menyapa: Bapak, Ibu, dan Saudara, misalnya, dicurigai telah menyuburkan sifat familiar dan nepotis(me) bangsa Indonesia. Pun bahasa Indonesia yang memang tidak mengenal penanda kala (tenses), seperti bahasa Inggris, dianggap telah mengakibatkan penuturnya tidak disiplin dalam masalah waktu. Sementara itu, salam: Apa kabar? juga dianggap tidak mencerminkan semangat kerja pemakainya. Hal itu, katanya, berbeda dengan perilaku bangsa yang menggunakan salam: How do you do! Menurut mereka, kata do memiliki sugesti untuk berbuat sesuatu, sedangkan apa kabar memiliki sugesti untuk “memburu” berita. Sebagai akibatnya, bangsa yang menggunakan How do you do! terbiasa bekerja dan bekerja, sedangkan bangsa yang menggunakan Apa kabar? terbiasa ngobrol. Begitulah, setiap bahasa “mendirikan” dunia tersendiri bagi masyarakat penuturnya. Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman dalam pemahaman kenyataan sosial. Ihwal sikap/watak manusia (baik sebagai individu maupun kelom­ pok) dapat diamati melalui bentuk bahasa yang digunakannya. Sikap hormat orang Jawa, Sunda, Bali, Madura, dan Sasak dalam memandang



260 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Epilog



hubungan manusia, misalnya, di samping terefleksi melalui gerakan tubuh, juga terefleksikan pada munculnya oposisi kosakata halus-tidak halus (kromo-ngoko) dalam bahasa mereka. Artinya, perilaku verbal dan perilaku nonverbal manusia sering mem­perlihatkan kesinkronan. Hal itu dapat diamati pada pemakaian kata tabik dan halo. Umumnya, ketika mengucapkan tabik, orang akan me­nundukkan kepala dan/ atau membungkukkan badan. Sebaliknya, ketika mengucapkan halo, orang akan mendongakkan kepala. Padahal, oleh bangsa Indonesia, menundukkan kepala dan/atau membungkukkan ba­dan itu diyakini me­refleksikan kesopanan dan kesantunan, sedangkan mendongakkan kepala itu diyakini merefleksikan kecongkakan dan ke­sombongan. Mem­biasakan penggunaan halo, dengan demikian, sama artinya dengan membiasakan orang (Indonesia) berlaku congkak dan sombong, menjauhi kesopanan dan kesantunan. Kecenderungan masyarakat untuk tampil dalam ketidakberbedaan ditengarai telah melahirkan masyarakat yang antistruktur: masyarakat sebagai komunitas, bukan masyarakat sebagai societas. Modalitas hubungan sosial yang hadir adalah hubungan yang sederajat dan terlepas dari struktur sosial (baik kasta, kelas, maupun tingkat-tingkat hierarkis lainnya). Persekutuan antarindividu dalam masyarakat tidak bersifat hierarkis, tetapi bersifat sederajat. Perjalanan hidup seseorang, pada akhirnya, terbentuk melalui dialektika antara struktur dan komunitas. Dialektika seperti itulah yang membentuk perjalanan hidup seba­ gian masyarakat Indonesia akhir-akhir ini: bergerak dari struktur ke komunitas. Hal itu, antara lain, terlihat pada penggunaan bahasanya. Dalam sapa-menyapa, misalnya, masyarakat antistruktur (sebagai ko­ munitas) cenderung menggunakan pronomina solidaritas (pronouns of solidarity), seperti persona pertama: aku atau saya (untuk dirinya) dan bentuk persona kedua: Anda, kamu, engkau, kalian, atau nama diri (jika saling mengacu). Pronomina kekuasaan (pronouns of power) yang memperlihatkan adanya hubungan hierarkis, seperti bapak dan ibu, tidak lagi mereka gunakan. Apakah bergesernya sifat hubungan pengguna bahasa dalam ma­ syarakat: yang semula bersifat societas (terstruktur) menjadi komunitas (antistruktur) itu menjadi salah satu penyebab melemahnya mentalitas serta memudarnya rasa nasionalisme, jatidiri, dan karakter bangsa Indonesia? Wallahualam bissawab. Yang pasti, Koentjaraningrat (1974) telah melakukan klasifikasi



261 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



atas sikap budaya (yang dapat dikaitakan dengan sikap bahasa) bangsa Indonesia. Menurutnya, ada tiga sikap budaya yang positif (harus ditumbuhkan) dan enam sikap budaya yang negatif (harus ditinggalkan). Tiga sikap budaya positif itu adalah (1) bangga pada produk Indonsia, (2) setia pada prinsip hidup bangsa Indonesia, dan (3) sadar akan norma moral, hukum, dan (ke)disiplin(an). Ketiga sikap budaya positif itu harus ditumbuhkan karena akan membawa serta pada kebanggaan terhadap bahasa Indonesia dan bahasa etnis Nusantara; pada kesetiaan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional; serta pada kesadaran akan norma bahasa yang adab. Sementara itu, enam sikap budaya negatif yang harus ditinggalkan adalah (1) sikap budaya tuna-harga-diri terhadap bangsa asing, yang akan menulari sikap terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa yang belum bermartabat; (2) sikap budaya meremehkan mutu, yang akan menumbuhkan sikap kepuasan terhadap bahasa yang asal jadi; (3) sikap budaya suka berlaku latah, yang akan menumbuhkan sikap bahasa untuk membenarkan salah kaprah dalam pemakaian bahasa; (4) sikap budaya suka menerabas (jalan pintas), yang akan menumbuhkan anggapan bahwa kemahiran berbahasa dapat dicapai tanpa bertekun; (5) sikap budaya menjauhi disiplin, yang akan menumbuhkan pendirian bahwa kaidah bahasa tidak perlu dipatuhi karena bahasa itu untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk bahasa; serta (6) sikap budaya enggan bertanggung jawab, yang akan menumbuhkan pikiran bahwa urusan bahasa bukan tanggung jawab masyarakat, melainkan tanggung jawab ahli bahasa. Nah, senyatanyalah bahwa bahasa memiliki peran besar sebagai pe­ nentu kebudayaan. Setiap bahasa telah “mendirikan” satu dunia ter­­sendiri bagi masyarakat penuturnya. Bahasa tidak hanya berperan sebagai alat dalam mekanisme berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman dalam pemahaman kenyataan sosial. Itulah sebabnya, seseorang akan berbicara (mengungkapkan pendapatnya) dengan cara/ bahasa yang berbeda karena berpikir dengan cara yang berbeda pula.



262 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya



BIOGRAFI PENULIS



AGUS Sri Danardana lahir di Sragen, 23 Oktober 1959. Tamatan FSUGM pada 1985 ini bekerja di Pusat Bahasa, Jakarta, sejak 1988. Danar (panggilan akrabnya) tamat magister FIB-UI pada 2003, dengan tesis “Pelanggengan Kekuasaan: Analisis Struktur Teks Dramatik Lakon Semar Gugat Karya N. Riantiarno”. Pada dekade 80/90-an, esai-esainya dimuat di beberapa surat kabar ibukota, seperti Suara Karya, Pelita, Terbit, Berita Buana, Mer­ deka, dan Jayakarta. Pada dua dekade berikutnya, Danar menulis di Lampung Post, Radar Lampung, Riau Pos, Haluan Riau, Haluan Padang, Padang Ekspres, Pikiran Rakyat, Jawa Pos, dan majalah Tempo. Sebagian besar esai-esainya itu terkumpul dalam tiga antologi: Anomali Bahasa (2011); Pelangi Sastra: Ulasan dan Model-model Apresiasi (2013); dan Bahasa Perilaku (2016). Bersama teman, Danar juga menulis buku, seperti Peran Majalah Hiburan Tahun 1970– 1980 dalam Perkembangan Kesusastraan Indonesia Modern (2004), Pandangan Dunia Motinggo Busye (2007), dan Ajari Aku, Riauku (2016). Puisi-puisi Danar dapat ditemukan dalam antologi Dari Sragen Memandang Indonesia (2012), Puisi Menolak Korupsi (2013), Puisi Menolak Korupsi 2a (2013), Pengantin Langit: Antologi Puisi Menolak Terorisme (2014), dan Tamsil Tanah Perca: Antologi Puisi dan Cerpen Sumatera (2014). Kini, peneliti dan penyuluh bahasa/sastra ini menjadi Peneliti Ahli Madya di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).



263 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



ATISAH lahir di Ciamis, Jawa Barat, 11 November 1962. Ia menyelesaikan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, Surakarta, tahun 1986. Ia pernah mengajar di STKIP Galuh, Ci­ amis, Jawa Barat, tahun 1987. Ia juga pernah bekerja di Badan Bahasa, Kemendikbudristek tahun 1988–2021. Pada 2022, ia beralih tugas ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Karyanya yang pernah terbit antara lain: “Narasi Kebangsaan dalam Karya Budaya Indonesia/Cinta Tanah Air dalam Cerita Lisan Jambi: Orang Kayo Hitam” (Bunga Rampai, 2019, LIPI Press); “Religiosity In The Story “A Deer That Always Remembers God”: Fable From Sunda Land” (Jurnal Keilmuan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2021); “Representasi Identitas dan Demokrasi dalam Cerita Asal-Usul Suku di Wilayah Mentawai dan Nias” (Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 2021); “The Rice Myths” in Asia The Comparative, International Conference Democracy and Social Transformation, Kalimantan Tengah.



CHONG Shin, Ph.D. adalah seorang Profesor Madya dan Felo Pe­ nyelidik Kanan di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Uni­ versiti Kebangsaan Malaysia. Ia mempunyai pengalaman luas meneliti dialek dan bahasa Austronesia dan Sinitik di Kalimantan Barat (In­ donesia) dan Sarawak (Malaysia). Beberapa terbitan terbaru yang di­ garapnya antara lain Bahasa dan Masyarakat di Lembangan Sungai Saribas (2019, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka), Bahasa Ibanik di Borneo Barat (2019, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka), “Iban as a koine language in Sarawak” (2021, Jurnal Wacana), dan “An Initial Qualitative Exploration of Economic, Cultural, and Language Changes in Telok Melano, Sarawak, Malaysia” (2022, Sustainability).



DEDY Ari Asfar adalah peneliti ahli muda di Badan Riset dan Inovasi Nasional. Ia lahir pada 17 Januari 1979. Ia banyak meneliti kasus sosial kebahasaan dalam masyarakat suku Dayak. Kajian utamanya di bidang linguistik interdisipliner. Dedy, begitu ia biasa disapa, pernah bekerja di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Pendidikan terakhirnya adalah program magister S-2 di Universitas Kebangsaan Malaysia.



264 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Biografi Penulis



DESSY Wahyuni adalah seorang peneliti sastra yang telah berkiprah di Balai Bahasa Provinsi Riau, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) selama 15 tahun. Namun, sejak 1 Januari 2022, ia pindah ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai Peneliti Ahli Madya dalam bidang sastra interdisipliner. Tulisan yang pernah dihasilkannya berupa esai, cerpen, artikel ilmiah, cerita anak, dan juga buku ajar. Tulisannya pernah dimuat pada beberapa media massa, seperti Riau Pos, Haluan, Padang Ekspres, Sumut Pos, dan berbagai jurnal kebahasaan dan kesastraan. Beberapa artikel ilmiahnya yang telah diterbitkan antara lain “Menguak Budaya Matrilineal dalam Cerpen ‘Gadis Terindah’”; “Bencana Kabut Asap sebagai Dampak Budaya Konsumsi dalam Cerpen ‘Yang Datang Dari Negeri Asap’”; “Pertarungan Jurnalisme dan Sastra dalam Menguak Kebenaran”; “Cultural Discourse in Reading Texts of Indonesian Language Proficiency Test”; “Maintaining The Self-Existence Through Short Story ‘Jalan Sumur Mati’”; “Local Wisdom in The Flow of Capitalism in Short Story ‘Pemburu Rusa Sepanjang Pipa’”, dan lain seba­gainya. Perempuan kelahiran Bumi Lancang Kuning, Riau, ini telah me­ nyelesaikan studi di Ilmu-ilmu Humaniora, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan judul disertasi “Wacana Ke­melayuan Riau dalam Cerpen Periode 1990-an dan 2000-an”.



EDI Setiyanto lahir lahir di Kebumen pada 12 Agustus 1962. Sesudah lulus S-1, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada (UGM), sejak tahun 1991, Drs. Edi Setiyanto, M.Hum. bekerja di Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sesudah lulus S-2 Program Magister of Humaniora, UGM, tahun 2000; selain melanjutkan sebagai peneliti di Balai Bahasa DIY, ia juga mengajar di FKIP UST hingga tahun 2016. Sampai pertengahan 2022, secara insidental, penulis juga mengisi mata kuliah Bahasa Indonesia Laras Akademik di Program Magister Akuntansi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM. Selain kegiatan tersebut, ia pun kerap menjadi pemakalah; menulis di jurnal dan media massa; serta menjadi penyunting dan penyuluh bahasa. Namun, sejak Januari 2022 penulis bertugas di Badan Riset dan Inovasi Nasional.



265 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Beberapa kegiatan dan karya tulis terakhirnya ialah (1) menjadi koordinator tim penelitian “Keberterimaan Bahan Bacaan Literasi Ter­bitan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa bagi Siswa SD Kelas III” (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tahun 2021); (2) menjadi anggota tim penelitian “Bentang Bahasa: Wacana Mural di Kota Pati” (LP3M Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta, tahun 2021); (3) menulis artikel “Grafiti Kampanye Pelestarian Lingkungan Hidup: Studi Kasus Grafiti Pelajar Kota Pati” (dalam Widyaparwa, Vol. 50, No.1, tahun 2022); dan (4) menulis artikel “Tindak Tutur Ekspresif Mudik Lebaran” (dalam Widyaparwa, Vol. 48, No. 2, tahun 2020).



ERLINDA Rosita lahir di di Prabumulih, Sumatra Selatan, 11 Mei 1970. Tahun 2001, ia menyelesaikan pendidikan S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sriwijaya. Kemudian, tahun 2016, ia menyelesaikan pendidikan S-2 Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana di Universitas Sriwijaya. Sejak 2005—2020 menjadi PNS di Lingkungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, UPT Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Pada 2022 per 3 Januari, ia memilih bergabung dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai peneliti dengan kepakaran sastra interdisipliner. Beberapa karya ilmiah yang dihasilkannya yaitu: (1) “Mere­ vitalisasi Sastra Lisan di Sumatra Selatan dengan Gerakan Literasi Nasional”, Jurnal Didactique Bahasa Indonesia, Vol, 3, No 2, Juli 2022; (2) “Membaca Kritis Katak Hendak Jadi Lembu Karya Nur St. Iskandar Sebuah Upaya Menguatkan Karakter Bangsa”, Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebahasaan dan Kesastraan, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak, 2021; (3) “Strategi membangun Akhlak Islami dalam Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy”, Jurnal Bidar, Vol. 10, No. 2, 2020; (4) “Kritik Sosial Versi Masyarakat Kelas Bawah dalam ‘Kelakar Pance’ Karya Hendra Alfani”, Jurnal Kibas Cendrawasih, Volume 15, Nomor 2, Oktober, 2018. (5) “Pembelajaran Sastra untuk Menumbuhkan Budaya Literasi Siswa” dalam Sastra Terapan: dari Konsep ke Aplikasi, Bab 3, Editor: Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum, 2018.



266 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Biografi Penulis



HENDRIKUS Mangku kini bertugas sebagai dosen di Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK) Sekadau dan Ketua Redaksi Jurnal Tawak, ITKK. Ia menyelesaikan M.A. dalam bidang Antropologi Lingustik dan Religi di Universiti Kebangsaan Malaysia. Ia pernah bertugas sebagai Graduate Research Asistant (GRA) dalam projek FRGS/1/2015/SSI01/UKM/02/8. Hendrikus adalah salah satu pendiri dan Project Manager di Yayasan Pemberdayaan Sumber Daya Keling Kumang. Dalam dunia kepenulisan, ia aktif menulis beberapa artikel, di antaranya “Pemilihan Bahasa Komuniti Penan Muslim di Sarawak” (2018) yang diterbitkan di jurnal GEMA Online.



IRMAYANI  adalah Peneliti Ahli Muda di Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas, Badan Riset dan Inovasi Nasional. Ia lahir pada 10 November 1978. Ia sering melakukan pengkajian di bidang semantik, dialektologi, dan etnolinguistik. Pendidikan terakhirnya adalah Program Magister S-2 di Universitas Gadjah Mada.



MUKHAMDANAH menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Setelah itu, ia melanjutkan studi di Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, hingga meraih gelar S-2 bidang linguistik. Hingga kini ia aktif terlibat dalam kegiatan penelitian berbagai bahasa daerah terutama tentang bahasa punah dan bahasa di wilayah perbatasan. Selain itu, ia ikut dalam pemetaan bahasa di Indonesia terutama di wilayah Indonesia bagian timur, seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Nana, begitu ia akrab disapa, aktif di berbagai seminar nasional dan internasional, baik sebagai pemakalah maupun peserta.



NINAWATI Syahrul lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, 8 Agustus 1969, dari pasangan Syahrul dan Jurni. Ia menyelesaikan sekolah dasar di SDN XI Bukittinggi, tahun 1982. Ia menyelesaikan pendidikan di SMPN 2 Bukittinggi tahun 1985 dan di SMAN 2 Bukittinggi tahun 1988. Kemudian, ia berkuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan,



267 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



Padang, dan menyelesaikan pendidikannya pada Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 1993. Tahun 2006, ia melanjutkan studi S-2 ke Universitas Negeri Jakarta dan selesai pada Oktober 2008. Tahun 2019, ia lulus Ujian Sertifikasi Asesor Jabatan Fungsional Pe­ neliti yang diselenggarakan di Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong. Ia bekerja di Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan; Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra; Badan Riset dan Inovasi Nasional. Saat ini ia berkantor di Gedung Sasana Widya Sarwono Jalan Jendral Gatot Subroto No. 10, lantai 8, Jakarta Selatan, 12710. Ia dapat di­ hubungi melalui pos-el: [email protected]. Alamat ru­mahnya di Kompleks Andrawina Jalan Cemara 1 Blok D Nomor 2, Pamulang Barat, Tangerang Selatan, 15417. Nomor ponselnya adalah 081212819984. Beberapa karyanya berupa artikel termuat dalam tautan https://scholar.google.com/citations?user=GWUgEgkAAAAJ&hl=id.



NURWENI Saptawuryandari lahir di Jakarta, 22 Januari 1962. Ia adalah lulusan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Sejak Januari 2022, ia menjadi peneliti Ahli Madya di Badan Riset dan Inovasi Nasional. Sebelumnya, tahun 1994–2021, ia adalah peneliti di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud. Selain sebagai penyunting, Weni, panggilan akrabnya, pada 2010–2015, pernah menjadi koordinator dan narasumber kegiatan Bengkel Sastra: Apresiasi Sastra di beberapa provinsi di Indonesia. Pada 2005–2015, ia mengoordinatori kegiatan siaran Pujangga di RRI, Jakarta, sekaligus sebagai penulis naskah siaran. Karya-karyanya diterbitkan di beberapa jurnal seperti Aksara, Atavisme, Gramatika, Kandai, Litera, Pangsura, Sawerigading, dan lain sebaginya. Beberapa tulisannya terhimpun pula dalam beberapa prosiding seminar nasional dan internasional. Di samping dua buku berjudul (1) Bentuk, Isi, dan Fungsi Teks Puisi Dolanan Anak-Anak, dan (2) Sastrawan dan Karya Sastra, ia juga menulis buku bersama teman berjudul Memahami Cerita Anak-Anak: Studi Kasus Majalah Bobo, Ananda, dan Amanah. Selain itu, ia pernah pula menulis beberapa cerita anak, seperti (1) Kisah Kartawiyoga, (2) Panji Wulung, (3) Petualangan Baron Sakonder, (4) Tong Gendut, dan (5) Mengenal Pahlawan Nasional: Ki Hadjar Dewantara dan WR. Soepratman.



268 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Biografi Penulis



PURWANINGSIH lahir di Purworejo, 4 Januari 1982. Ia bekerja di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sejak tahun 2005 sampai dengan 2021. Kemudian, ia pindah ke Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) sejak Januari 2022. Saat ini, ia berada di bawah naungan Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas, Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra. Pendidikan terakhirnya adalah program S-2 pada Kajian Asia Tenggara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Ia memiliki kepakaran penelitian di bidang sastra interdispiliner dan kajian budaya Asia Tenggara. Sejak menekuni dunia penelitian pada 2010, hingga kini ia telah menghasilkan kurang lebih sekitar enam pu­ luh karya berupa laporan penelitian, buku, dan artikel dalam jurnal, prosiding, dan sebagainya, serta beberapa cerita anak. 



RATIH Rahayu lahir di Bandung pada 21 April 1976. Penulis me­ nyelesaikan S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pen­didikan Bahasa dan Seni di UPI tahun 2000. Setelah lulus S-2 dari Program Magister Pendidikan, UPI, pada tahun 2005, penulis ini sempat mengajar di beberapa perguruan tinggi swasta dan juga menjadi editor lepas di sebuah penerbit. Pada tahun 2006, ia diangkat menjadi PNS dan mengabdi sebagai pegawai teknis di Kantor Bahasa Provinsi Lampung. Untuk saat ini, selain menjadi peneliti di bawah naungan Or­ ganisasi Riset Arkologi, Bahasa, dan Sastra; Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas; BRIN, penulis ini juga mengisi mata kuliah umum Bahasa Indonesia di beberapa program studi di Universitas Lampung. Selain kegiatan-kegiatan tersebut, ia juga aktif menulis artikel di jurnal terakreditasi dan nonakreditasi serta di beberapa media massa, seperti Lampung Post, Radar Lampung, Harian Rakyat Sultra, Haluan, dan Riau Pos.



RIANI lahir di Bandung pada tanggal 18 Juni 1976. Ia adalah peneliti di Organisasi Riset  Arkeologi, Bahasa, dan Sastra; Pusat Riset Baha­ sa, Sastra, dan Komunitas; Badan Riset dan Inovasi Nasional. Ia me­ nyelesaikan pendidikan S-1 di Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan S-2 di Universitas Gadjah Mada, jurusan Linguistik. Ia telah menulis beberapa karya berkaitan



269 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



dengan Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing di antaranya Profil BIPA DIY dan Menjelajah Kearifan Yogyakarta (Bahan Pendukung BIPA) dan Bahasa Sunda bagi Penutur Asing. Selain itu, ia melakukan beberapa penelitian di antaranya “Pemetaan Penguasaan Bahasa Jawa di Kabupaten Sleman”, “Sikap Bahasa Pengusaha Hotel di Daerah Istimewa Yogyakarta”, “Permasalahan Perencanaan Bahasa pada Ma­ syarakat Multikultural”, dan sebagainya. Riani dapat dihubungi melalui alamat pos-el: [email protected].



RINI Widiastuti lahir di Bandung pada 2 Februari 1975. Ia me­ nyelesaikan S-1 Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) tahun 2001. Setelah lulus S-1, ia sempat mengajar di sekolah swasta. Pada 2006 ia diangkat menjadi PNS dan mengabdi sebagai pegawai teknis di Balai Bahasa Provinsi Ujung Pandang. Untuk saat ini, selain menjadi peneliti di bawah naungan Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas pada Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra, BRIN, ia juga aktif menulis artikel di berbagai jurnal terakreditasi dan nonakreditasi.



SANG Ayu Putu Eny Parwati lahir di Badung, Bali tahun 1974. Pendidikan terakhirnya di Magister Linguistik, Universitas Udayana (2011). Tahun 2006–2021, ia bekerja sebagai ASN di Balai Bahasa Provinsi Bali dan tahun 2022 dialihkan ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam jabatan Peneliti Ahli Muda. Hingga saat ini, penulis telah memublikasikan beberapa karya tulis ilmiah yang diterbitkan, baik dalam jurnal akreditasi (Sinta 2) dan nonakreditasi maupun pada seminar nasional dan internasional yang diterbitkan dalam prosiding, di antaranya: (1) “Bahasa Bali di Tengah Masyarakat Multietnis: Kajian Vitalitas Bahasa”, jurnal Tuah Talino, 15 (2), Des­ember 2021; (2) “Budaya Bali sebagai Media Motivasi dalam Pembelajaran BIPA Tingkat Pemula (A1)” jurnal Aksara, 33 (2) tahun 2021; (3) “Fenomena Pilihan Bahasa Ibu (B1) Anak-Anak Etnik Bali di Bali” dalam seminar dan diterbitkan dalam prosiding Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Daerah I (Sinar Bahtera 1), Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah; dan (4) “Iklan Politik dalam



270 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya Biografi Penulis



Pemilihan Kepala Daerah Bali 2018: Kajian Semiotika”. jurnal Kandai, 16 (1) tahun 2020. Untuk dapat berkomunikasi dengan penulis dapat menghubungi nomor ponsel 081353099974 atau posel: sang001@brin. go.id atau [email protected].  SANTY Yulianti lahir di Bandung, 10 Juli 1980. Ia menyelesaikan pendidikan Sarjana Bahasa Inggris di Universitas Padjajaran tahun 2003 dan Magister Ilmu Linguistik di Universitas Indonesia tahun 2018. Pada 2006 ia diangkat menjadi PNS di Balai Bahasa Provinsi Kalimanta Barat dan dilanjutkan di Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa pada 2012. Sejak Januari 2022, ia bergabung sebagai periset di Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas pada Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra, BRIN. Ia kerap melakukan penelitian di bidang linguistik interdispliner dengan fokus antropolinguistik. Publikasi terakhirnya ber­ fokus pada masyarakat Sunda (“Preposisi Bahasa Sunda” tahun 2019 dan “Sistem Penamaan Masyarakat Baduy” tahun 2020). SASTRI Sunarti lahir di Padang, 30 September 1968. Ia menyelesaikan pendidikan S-1 pada Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Uni­ versitas Andalas Padang tahun 1992; S-2 pada Program Studi Ilmu Su­ sastra, FIB, Universitas Indonesia pada 1999; dan S-3 pada Program Studi Ilmu Susastra FIB Universitas Indonesia tahun 2011. Pada 1993 hingga 2021, ia menjadi peneliti di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Sejak 2022, ia bergabung sebagai periset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan diangkat menjadi Kepala Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan pada Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra, BRIN. Beberapa karya yang pernah dihasilkannya antara lain (1) “Roman­ tisisme Puisi-Puisi Indonesia Tahun 1935–1939 dalam Maja­lah Pujangga Baru”, dalam Puitika Jurnal Humaniora, Volume 8 N0.1, Februari 2012; (2) “Sorotan Atas Kritik dan Esai dalam Majalah Panji Islam, Poejangga Baroe, Panji Poestaka, Pantja Raja, Siasat, dan Daja” (1940–1949) dalam Salingka Majalah Ilmiah Bahasa dan Sastra, Vol. 10 N0.1, Juni 2013; (3) Kajian Lintas Media: Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859–1940-an), 2013, Kepustakaan Po­ puler Gramedia, Jakarta; (4) “Pribumi, Tionghoa, dan Indo dalam Ka­ trologi Pramudya Ananta Toer” dalam Jurnal Salingka, Juni 2015; (5)



271 Dokumen Milik Pustaka Jaya



Dokumen Milik Pustaka Jaya DINAMIKA IDENTITAS DALAM BAHASA DAN SASTRA



“Oka Rusmini Mengritik Tradisi Bali dalam Novel Tarian Bumi, Ke­ nanga, dan Tempurung” dalam Jurnal Kandai, Juni 2016; (6) “Fungsi Sosial dan Fungsi Transendental dalam Tradisi Lisan Dero Sagi, Bajawa, NTT” dalam Jurnal Jentera, Desember 2016; (7) “Kosmologi Laut dalam Tradisi Lisan Orang Mandar” dalam Jurnal Aksara, Desember 2017; (8) “Lego-Lego: An Attempt to Cultivate and Nurture Plurality in The Alor Tradition” (makalah disampaikan dalam seminar di IIAC [India]), Februari 2018; dan Mendengar Nenek Moyang Turun dari Langit: Cerita Asal-Usul dari Alor, Pura, dan Pantar (LIPI Press 2018). SYARIFAH Lubna lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 11 Januari 1982. Ia menyelesaikan S-1 Pendidikan Bahasa Inggris di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tanjungpura, pada 2005 dan S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia, Pascasarjana, Universitas Tan­ jungpura pada 2019. Lubna, begitu sapaan akrabnya, mengabdi di Balai Bahasa Kalimantan Barat pada 2006–2021 dan dialihtugaskan ke Badan Riset dan Inovasi Nasional sejak 2022. Selain sudah terbiasa dengan dunia tulis menulis sejak SMA, Ia juga akrab dengan dunia pengajaran bahasa asing dan akhirnya menjadi penggiat BIPA. Sebagai peneliti ahli muda, beragam pemikiran, kajian, dan penelitiannya dalam bidang linguistik telah dilaporkan dan diterbitkan dalam artikel surat kabar, bunga rampai, jurnal, dan prosiding. Ia pun aktif sebagai narasumber di televisi dan radio lokal dan pemakalah seminar, baik secara nasional maupun internasional. Ia pernah menjadi awardee pada John Thompson Fellowship Program yang dilaksanakan oleh Educational International dan Canadian Teacher serta Specialist of Curriculum Material Deve­ lopment yang diselenggarakan oleh SEAMEO RELC Singapore. Ia dapat dihubungi melalui pos-el [email protected]. YUSUP Irawan adalah seorang peneliti ahli muda di Pusat Riset Ba­ hasa, Sastra, dan Identitas dalam Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra, Badan Riset dan Inovasi Nasional. Pria kelahiran 15 Februari 1976  ini sekarang tinggal di Cisarua, Kabupaten Bandung Ba­rat. Pendidikan terakhir Yusup Irawan adalah S-2 dari Universitas Indonesia dengan gelar magister humaniora. 



272 Dokumen Milik Pustaka Jaya