10 0 9 MB
DIRECTOR TREATMENT FILM NGILO A.
TEMA DAN MOOD/ATMOSFIR Ngilo adalah gambaran dua generasi masyarakat Indonesia
saat ini yang masih mengamalkan dan hanya menghafalkan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila. Film ini menggambarkan nuansa kekeluargaan dan jiwa tolong menolong (gotong royong) yang masih melekat di masyarakat. Kedekatan dan keakraban menjadi potret kerinduan pada suatu masa (di Indonesia) dimana masyarakat masih mengenal
satu
sama
lain,
tidak
ada
kecurigaan,
dan
tidak
membedakan antara ras, agama, maupun golongan (bhineka tunggal ika). Sikap jujur, apa adanya, dan tidak pura-pura yang akan dibangun
dalam
film
Ngilo,
sehingga
menggambarkan
situasi
kehangatan dalam kehidupan bermasyarakat. B.
FILM STYLE
1.
Mise en Scene
-‐ Setting Setting yang akan digunakan sebagai ruang film Ngilo berada ditengah-tengah kehidupan masyarakat desa. Masyarakat pedesaan adalah
gambaran
jujur
sebuah
kehidupan
manusia
yang
masih
memiliki ikatan emosional yang kuat antara orang satu dengan yang lainnya walaupun tidak ada ikatan darah. Hal ini dapat dilihat
dari
interaksi
sifat
jika
yang
mereka
masih
bertemu
saling dalam
peduli satu
dan
ruang.
terjadi Hal
ini
sebagaimana tergambarkan dalam aktifitas kehidupan sehari-hari dimana terdapat warga yang membutuhkan, maka orang disekitar akan
membantu
tanpa
adanya
ajakan
apalagi
paksaan.
Untuk
menggambarkan hal yang demikian, maka warung menjadi tempat yang akan digunakan menjadi setting tempat film Ngilo.
Gambar 1.1 Warung Makan (Sumber : google.co.id)
Warung atau tempat orang berjualan makanan adalah tempat dimana bertemunya masyarakat dalam satu ruang untuk kegiatan membeli makanan atau minuman. Dalam konteks ini, masyarakat desa yang sedang berangkat bekerja atau sedang beristirahat setelah dari bekerja (sawah atau kebun), akan mampir ke warung untuk beristirahat atau bersosialisasi, sehingga terjadi interaksi antara orang satu dengan orang yang lain. Pemilihan warung sebagai setting tempat selain memunculkan suasana interaksi antar manusia, juga sebagai penanda letak geografis lokasi berada di pedasaan. Untuk itu, setting warung film Ngilo adalah sebuah bangunan yang terbuat dari gedek. Pemilihan setting warung
yang
terbuat
dari
gedek
pada
film
Ngilo
ini
juga
terinspirasi film Sang Penari (lihat gambar 1.2). Dalam film ini, warung juga menjadi tempat masyarakat bersosialisasi dan bertukar informasi.
Gambar 1.2 Setting Warung Film Sang Penari (Sumber : Screen Shot Film Sang Penari)
-‐ Lighting Film Ngilo memanfaatkan cahaya matahari pagi pada aspek pencahayaan.
Pemanfaatan
cahaya
matahari
pagi
ini
untuk
mendapatkan warna kuning/tungsten pada color temperature sebagai bentuk representasi nilai kekeluargaan dan kehangatan yang ada pada masyarakat desa. Karakteristik kuning sebagai warna hangat (Darmaprawira,
2002:40)
selain
dapat
menguatkan
nilai
kekeluargaan juga memunculkan kesan natural pada gambar. Warna cokelat
tua
yang
memiliki
karakteristik
warna
gelap
(Darmaprawira, 2002:40) yang dihasilkan tekstur gedek menjadi bentuk representasi ironi kondisi masyarakat Indonesia saat ini khususnya
dalam
memahami
dasar
negara
(Pancasila).
Teknik
pencahayaan film Ngilo juga akan menggunakan back light saat pengambilan gambar menggunakan ukuran close up. Teknik ini untuk mendukung
terciptanya
penekanan
ekspresi
karakter
dan
menghasilkan ruang tiga dimensional pada gambar. -‐ Akting Hendro adalah karakter yang memiliki pembawaan konyol, polos dengan gaya bicara ceplas ceplos kepada siapa saja. Maria adalah karakter yang centil dan murah senyum, namun menjadi serius dan bahkan keras saat tidak sesuai dengan prinsip yang diyakini (prinsip yang dimaksud tentang pengalaman pancasila dalam kehidupan sehari-hari). Koh Sam adalah karakter yang memiliki sifat pemalu dan Ahmad karakter yang memiliki sifat penggoda. Ketiga karakter anak SMA memiliki sifat slengean. Pembawaan dan gaya bicara ceplas-ceplos Hendro sebagai pemantik terciptanya interaksi antar pemain terutama dengan Maria. Centinya Maria membuat keduanya terlihat akrab, sehingga dapat memberikan gambaran interaksi dan kekeluargaan masyarakat desa saat berada di warung. Mendukung sifat centilnya Maria diperkuat dengan sifat Koh Sam dan Ahmad. Kemunculan ketiga karakter SMA menjadi pemantik terciptanya perubahan karakter Maria yang menjadi keras. Interaksi antara Maria, Hendro, dan Ketiga anak SMA inilah menjadi inti dari narasi yang dibangun
film Ngilo. Akting para pemain film Ngilo dengan banyaknya sifat masing-masing
karakter
dibuat
untuk
saling
mengisi
dalam
membangun suasana kekeluargaan. -‐ Tata Rias dan Busana
Gambar 1.3 Kostum Hendro dan Anak SMA (Sumber: google.co.id)
Tata Rias film Ngilo secara keseluruhan menerapkan gaya natural, hanya Maria yang memiliki sifat centil, sehinga tata riasnya sengaja dibuat agak sedikit menor. Busana menyesuaikan peran masing-masing karakter, Maria menggunakan baju dengan warna menyala (lihat gambar 1.4), Hendro, Koh Sam, Ahmad, dan Ngatmin menggunakan kaos oblong dan celana pendek dengan kondisi agak lusuh, sedangkan ketiga anak SMA masih menggunakan seragam (lihat gambar 1.3).
Gambar 1.4 Kostum Maria (Sumber: google.co.id)
2.
Sinematografi Sinamtografi film Ngilo secara keseluruhan menerapkan gaya
pengambilan gambar konvensional, artinya penentuan lensa, angle, type of shot, komposisi, pergerakan kamera, dan durasi shot dipilih menyesuaikan kebutuhan pada penekanan narasi. Konsep ini bertujuan supaya penonton dapat secara fokus mengikuti jalannya cerita,
sehingga
penonton
dapat
menerima
informasi
secara
obyektif dan lengkap, karena film Ngilo banyak menggunakan dialog dan ekspresi pemain dalam menyampaikan informasi.
Gambar 1.5 Adegan film Daun di atas Bantal (Sumber: screen shot film Daun di atas bantal)
Penentuan ini walaupun secara keseluruhan konvensional, namun ada beberapa hal yang perlu dicapai dengan cara khusus dan konsisten. Penekanan ekspresi dengan type of shot MS dan CU, gambar yang dihasilkan wajib menggunakan lensa ukuran 24mm. Pemilihan ukuran lensa ini bertujuan supaya menghasilkan bokeh yang tidak terlalu padat, sehingga layer pada background masih dapat
teridentifikasi,
dan
dengan
ukuran
lensa
ini
tidak
menghasilkan efek optik seperti penggunaan lensa 50mm yang menghasilkan kesan subyektif kepada penonton. Selanjutnya film Ngilo pada penempatan komposisi di beberapa frame menempatkan teknik framing frame in frame. Pemilihan ini selain bertujuan untuk menciptakan kesan 3 dimensional, adanya sebuah frame di
dalam frame merupakan cara dalam melekatkan 2 informasi yang saling berkesinambungan dalam 1 shot. Dua layer dalam satu gambar
dapat
menghasilkan
surprise
perubahan
layer
terjadi
dengan pengadeganan yang tak terduga. Teknik ini sebagaimana yang dilakukan dalam film Daun di atas Bantal (lihat gambar 1.5). 3.
Suara Suara merupakan aspek penting yang menjadi kekuatan film
Ngilo. Hal ini dikarenakan narasi film banyak diinformasikan melalui dialog, sehingga kualitas source suara dari dialog saat pengambilan gambar menjadi harga mati. Oleh karena itu menjadi catatan penata suara saat perekaman pada proses produksi. Aspek
suara
lainnya
pendukung
narasi
dan
emosi
yang
dibangun film Ngilo akan dihadirkan secara diagetic dan non diagetic. Teknik diagetic digunakan pada saat source pengumuman kerja bakti di rumah Pak Warto lewat toa masjid dan aktifitas Pak Jokowi saat memberikan Kuis lewat speaker HP. Maka hadirnya kedua source ini harus benar-benar terdengar seperti suara aslinya.
Selanjutnya
teknik
non
diagetic
digunakan
untuk
ilustrasi musik hasil cover lagu Garuda Pancasila. Cover musik lagu
ini
menjadi
salah
satu
cara
membangkitkan
nilai
nasionalisme pada penonton. Pemilihan lagu ini menjadi strategi untuk mengiring pikiran dan emosi penonton akan konteks ideologi pancasila, sehingga perlu dilakukan penciptaan ulang supaya nada,
ritme,
dan
nuansa
lagu
dapat
mendramatisasi
adegan.
Sebagai contoh adegan film Soekarno time code 1.42.44 – 1.46.00. Adegan ini menceritakan Soekarno berpidato mengenai pandangannya tentang dasar Negara Indonesia. Untuk mendramatisasi adagen tersebut
dimunculkan
strategi
mengiring
source pikiran
lagu dan
Indonesia emosi
kecintaannya terhadap negara Indonesia. 4.
Editing
Pusaka
penonton
sebagai
pada
rasa
Pada
aspek
Editing
tidak
banyak
ekplorasi
yang
akan
dilakukan. Hanya saja dalam mendukung tercapainya metode cut to cut, maka dalam proses syuting dilakukan pengulangan gerakan yang sama saat diakhir dan di awal shot yang terdapat kontinuiti adegan. C.
Daftar Pustaka
Darmaprawira, Sulasmi. 2002. Warna Teori dan Kreatifitas Penggunaan. Bandung: ITB Press. Ifansyah, Ifa. 2011. Sang Penari. Salto Films. Brahmantyo, Hanung, 2013. Soekarno. Dapur Film.