11 Cerpen Singkat Kisah Seorang Penjual Koran [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERJUANGAN SEORANG IBU Suatu hari disebuah desa terpencil ada seorang ibu yang baru saja melahirkan jabang bayinya disebuah Bidan terdekat rumahnya. Selailah sudah proses lahiran tersebut, kemudian ibu itu pun ingin melihat keadaan bayinya yang baru saja ia lahirkan. "Bisa saya melihat bayi saya?" pinta ibu itu kepada bidan tersebut. Namun, ketika gendongan berpindah tangan dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi perempuan mungil itu, si ibu terlihat menahan napasnya. Ternyata bayi yang dilahirkannya itu tidak lahir dengan sempurna, tanpa kedua belah telinga! Meski terlihat sedikit kaget, si ibu tetap menimang bayinya dengan penuh kasih sayang. Dengan berjalannya waktu yang lama kini anak perempuan itu tumbuh dengan dewasa dengan kekurangan yang dimilikinya, kini anak perempuan itu selalu saja ada yang mengejeknya karna ia tidak mempunyai kedua daun telinga. Akan tetapi dengan kasih sayang dan dorongan semangat orang tuanya, meski punya kekurangan, ia tumbuh sebagai wanita cantik yang cerdas. Rupanya, ia pun pandai bergaul sehingga disukai teman-teman sekolahnya. Suatu hari, ayah anak perempuan itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga. "Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuk putri Bapak. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter. Maka, orang tua anak perempuan itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya kepada anak mereka. Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak perempuan itu, "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia," kata si ayah. Operasi berjalan dengan sukses. Ia pun seperti terlahir kembali. Wajahnya yang cantik, ditambah kini ia sudah punya daun telinga, membuat ia semakin terlihat Indah. Beberapa waktu kemudian, ia pun menikah oleh seorang lelaki tampan dan terhormat yang sangat mencintainya. Ia lantas menemui ayahnya, "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar, namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya." Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, "Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini." Tahun berganti tahun. Kedua orang tua perempuan itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari, tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga tersebut. Pada hari itu, ayah dan anak perempuan itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, si ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku. Sang ayah lantas menyibaknya sehingga sesuatu yang mengejutkan si anak perempuan terjadi. Ternyata, si ibu tidak memiliki telinga. "Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisik si ayah. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya, ‘kan?" Melihat kenyataan bahwa telinga ibunya yang diberikan pada si anak, meledaklah tangisnya. Ia merasakan bahwa cinta sejati ibunya yang telah membuat ia bisa seperti saat ini. Cinta dan pengorbanan seorang ibu adalah wujud sebuah cinta sejati yang tak bisa dinilai dan tergantikan. Karena itu, sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan jasa seorang ibu. Sebab, apa pun yang telah kita lakukan, pastilah tak akan sebanding dengan cinta dan ketulusannya membesarkan, mendidik, dan merawat kita hingga menjadi seperti sekarang. Jadikan ibu kita sebagai suri teladan untuk terus berbagi kebaikan. Jadikan beliau sebagai panutan yang harus selalu diberikan penghormatan, sebab, dengan memperhatikan dan memberikan kasih sayang kembali kepada para ibu, kita akan menemukan cinta penuh ketulusan dan keikhlasan, yang akan membimbing kita menemukan kebahagiaan sejati dalam kehidupan.



KISAH SEORANG PENJUAL KORAN Di ufuk timur, matahari belum tampak. Udara pada pagi hari terasa dingin. Alam pun masih diselimuti embun pagi. Seorang anak mengayuh sepedanya di tengah jalan yang masih lengang. Siapakah gerangan anak itu? Ia adalah seorang penjual Koran, yang bernama Doni. Menjelang pukul lima pagi, ia telah sampai di tempat agen koran dari beberapa penerbit. “Ambil berapa Doni?” tanya Bang Karno. “Biasa saja.”jawab Doni. Bang Karno mengambil sejumlah koran dan majalah yang biasa dibawa Doni untuk langganannya. Setelah selesai, ia pun berangkat. Ia mendatangi pelanggan-pelanggan setianya. Dari satu rumah ke rumah lainnya. Begitulah pekerjaan Doni setiap harinya. Menyampaikan koran kepada para pelanggannya. Semua itu dikerjakannya dengan gembira, ikhlas dan rasa penuh tanggung jawab. Ketika Doni sedang mengacu sepedanya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah benda. Benda tersebut adalah sebuah bungkusan plastik berwarna hitam. Doni jadi gemetaran. Benda apakah itu? Ia ragu-ragu dan merasa ketakutan karena akhir-akhir ini sering terjadi peledakan bom dimana-mana. Doni khawatir benda itu adalah bungkusan bom. Namun pada akhirnya, ia mencoba membuka bungkusan tersebut. Tampak di dalam bungkusan itu terdapat sebuah kardus. “Wah, apa isinya ini?’’tanyanya dalam hati. Doni segera membuka bungkusan dengan hati-hati. Alangkah terkejutnya ia, karena di dalamnya terdapat kalung emas dan perhiasan lainnya. “Wah apa ini?”tanyanya dalam hati. “Milik siapa, ya?” Doni membolak-balik cincin dan kalung yang ada di dalam kardus. Ia makin terperanjat lagi karena ada kartu kredit di dalamnya. “Lho,…ini kan milik Pak Alif. Kasihan sekali Pak Alif , rupanya ia telah kecurian.”gumamnya dalam hati. Apa yang diperkirakan Doni itu memamg benar. Rumah Pak Alif telah kemasukan maling tadi malam. Karena pencuri tersebut terburu-buru, bungkusan perhiasan yang telah dikumpulkannya terjatuh. Doni dengan segera memberitahukan Pak Alif. Ia menceritakan apa yang terjadi dan ia temukan. Betapa senangnya Pak Alif karena perhiasan milik istrinya telah kembali. Ia sangat bersyukur, perhiasan itu jatuh ke tangan orang yang jujur. Sebagai ucapan terima kasihnya, Pak Alif memberikan modal kepada Doni untuk membuka kios di rumahnya. Kini Doni tidak lagi harus mengayuh sepedanya untuk menjajakan koran. Ia cukup menunggu pembeli datang untuk berbelanja. Sedangkan untuk mengirim koran dan majalah kepada pelanggannya, Doni digantikan oleh saudaranya yang kebetulan belum mempunyai pekerjaan. Itulah akhir dari sebuah kejujuran yang akan mendatangkan kebahagiaan di kehidupan kelak.



GADIS PENJAJA TIKAR



Suasana Kebun Raya Bogor dipenuhi dengan pengunjung. Laki-laki, perempuan, tua maupun muda semuanya ada disana. Saat itu adalah hari libur panjang sekolah sehingga banyak pengunjung yang pergi liburan. Mereka ingin menikmati suasana malam dan menghilangkan kejenuhan. Seorang anak kecil tiba-tiba datang. Dengan pakaian sederhana, ia menjajakan tikar dari plastik kepada para pengunjung ke pengunjung lain, ia terus menawarkan tikarnya. “Pak, mau sewa tikar?”katanya pada Pak Umar. “Berapa harga sewa satu lembar tikarnya?”tanya Pak Umar. “Lima ribu rupiah, Pak!”jawabnya dengan suara lembut. “Bagaimana kalau Bapak ambil tiga puluh ribu rupiah?”tanya Pak Umar lagi. Gadis itu diam sejenak. Kemudian ia pun berkata,”Baiklah kalau begitu. Silahkan pilih, Pak!” Pak Umar memilih tikar plastik yang akana disewanya. Dalam hati Pak Umar ada rasa tak tega terhadap gadis itu. Gadis berusia delapan tahun harus bekerja keras untuk mendapatkan uang. “Kamu sekolah?”tanya Pak Umar. “Sekolah, Pak! Saya kelas empat SD. “jawabnya.”Mengapa kamu menyewakan tikar plastik ini?”tanya Pak Umar lagi. “Saya harus membantu ibu saya. “jawab gadis itu. “Kemana ayahmu?”Pak Umar bertanya lagi. “Bapak telah lama meninggal dunia. Untuk itu, saya harus membantu ibu untuk mencari uang,”jawab gadis itu pelan. Mendengar cerita gadis tersebut, Pak Umar merasa terharu. Pak Umar merasa kasihan terhadap anak tersebut. Diambilnya beberapa lembar uang dua puluh ribuan lalu diberikannya kepada gadis kecil itu. “Pak maaf, saya tidak boleh menerima uang jika tidak bekerja, “katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Mengapa?”tanya Pak Umar heran. “Kata ibu, saya boleh menerima uang kalau memamg hasil bekerja. Saya tidak boleh meminta belas kasihan dari orang. “Mendengar perkataan gadis itu, Pak Umar makin terharu. Ia tahu kalau ibu gadis kecil itu seorang yang berbudi luhur. “Begini saja, kalau memang harus bekerja, sekarang bantu Bapak beserta keluarga. Tolong kamu bawakan rantang ini. Kita akan makan bersama di bawah pohon yang rindang itu!” kata Pak Umar ramah. Pak Umar dan keluarga menuju ke bawah pohon yang rindang tersebut. Mereka pun menggelar tikar plastik yang baru saja disewanya. Gadis kecil itu pun diajak untuk makan bersama



ARTI SEBUAH WAKTU Alkisah ada seorang wanita yang hidup di sebuah desa terpencil, dia ingin pergi kerja ke kota agar dia bisa mengoprasi wajahnya. Kemudian dia mengutarakan keinginannya untuk kerja di kota kepada kedua orang tuanya, tapi keinginannya tersebut di tolak oleh kedua orang tuanya. Mendengar kata kedua orang tuanya yang menolak keinginannya dia pun menangis, tapi tak berapa lama kemudian ibunya datang menghampiri dia. Dan tibatiba ibunya bilang “Kamu boleh pergi ke kota nak”. Mendengar perkataan ibunya dia pun tersenyum. Dan pagi harinya dia bersiap-siap untuk pergi ke kota. Di tengah perjalanan yang lama dan melelahkan dia istirahat di sebuah rumah, dan dia pun membayangkan, ” andai ku bisa membangun rumah mewah dan dapat mengoprasi wajah ku yang biasa menjadi luar biasa ini.” Tiba-tiba di tengah-tengah hayalannya datang seorang nenek tua menghampirinya, dan bertanya “kenapa nak kamu tersenyum sendiri?” “Saya sedang membayangkan andaikan saja ku bisa sukses di kota dan dapat mengoprasi wajahku ini”, kata dia. Dan nenek itu mengeluarkan jam kecil dari kantongnya, kemudian nenek itu berkata “Kamu tinggal putar jam itu sesuai dengan putaran jarum jam, bila kamu ingin segera meraih cita-citamu”. “Baik nek”, kata wanita tadi. Kemudian tak berapa lama dia memutar jam tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan nenek tadi. Dan tiba-tiba dia bisa bekerja di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Tapi dia tak puas dengan lamanya waktu yang di perlukan agar bisa mengoprasi wajahnya. Kemudian dia kembali memutar jam tersebut, dan wajahnya pun menjadi cantik.



KETIDAK JUJURAN, ITU YANG SALAH Pernah nggak loe ngrasain, loe suka sama seseorang tapi posisi loe sebagai sahabat baiknya? Loe nggak mau do’i tahu kalo loe suka sama do’i, karena takut do’i bakalan ngejauhin loe. "Kapan gue bisa terlepas dari derita ini, kenapa, kenapa loe gak ngerti..." disetiap mimpi, gue hanya bisa berharap ada keajaiban sehingga ia akhirnya tahu apa yang gue rasakan. Tap ya, begitulah, semua akhirnya berlalu sampai akhirnya hatiku beku... Gue ngrasain hal itu, beberapa tahun yang lalu…. Gue pertama kenal do’i saat gue masih duduk dibangku SMP, masih lugu banget kan tuh? Awalnya gue sama do’i temenan, ya temen biasa, tapi lambat laun temen biasa itu berubah jadi sahabat. Karena do’i selalu ada saat gue butuh, selalu ada saat gue ngarepin ada seseorang yang ngibur gue, selalu member gue apa yang gue butuhin. "Kamu kemarin kemana kok gak masuk siih?" "Aku sakit, agak batuk dikit gitu..?" "Oh..... kok sekarang berangkat, emang udah sembuh, udah ke dokter belum, udah minum obat, kok gak bilang ke aku sih kali kamu sakit..." Begitulah, hari demi hari tidak tahu bagaimana akhirny kedekatan guw sama do'i semakin terasa. Akhirnya jJadi sahabat deket banget, dari curhat bareng, hang out bareng, yah pokoknya sering bareng gitu. Hingga gue sadar, gue merasa kesepian kalau nggak ada do’i disamping gue. Suatu saat do’i curhat ke gue, do’i lagi seneng sama seseorang. Sikap gue saat itu, ya gue seneng dengernya, tapi didalem, rasanya ada sesuatu yang salah sama perasaan gue. Perasaan takut. Perasaan takut kalau do’i ninggalin gue. Kalau posisi gue –orang terdekatnya, digantikan oleh cewek itu. Gue gusar. Do’i mulai dekatin cewek itu. Memberi perhatian sama cewek itu, baik sama cewek itu. Gue perhatiin do’i, do’i seneng banget deket cewek itu. Sedikit demi sedikit, do’i mulai ninggalin gue. Sendiri. Meski kadang do’i tetep curhat ke gue, tapi itu malah membuat gue sakit. Karena do’i cuma bercerita mengenai pujaan hatinya. Saat itu, dalam hati gue mengutuknya. Cowok bodoh, maska do’i nggak peka sama perasaan gue sih? Dan akhirnya gue tahu apa yang salah sama perasaan gue. Gue suka sama do’i….~ Cintanya bertapuk sebelah tangan ternyata, do’i sedih. Gue juga ikutan sedih. Tapi entah kenapa, ada rasa lega didalam hati gue. Gue aman. Do’i akan kembali deket sama gue. Cowok yang nggak peka ini kembali sama gue. Gue berharap do’i peka sama gue. Suatu saat, waktu misahin kami berdua. Sampai detik inipun do’i nggak ngucapin hal yang gue harepin. Hingga gue berpisah sama do’i, bukan karena ada masalah. Tapi karena tempat studi gue beda sama do’i. Meski jauh, tapi gue dan do’i tetep menjalin komunikasi. Meskipun nggak sedeket awalnya. Semakin bertambahnya umur, kita jalani hidup masing masing. Semakin jarang pula kami berkomunikasi. Tapi gue nggak kesepian, karena gue bertemu banyak orang dan sahabat baru. Perasaan itupun hilang. Gue ketemu do’i lagi. Bercengkrama lagi, deket lagi. Beberapa bulan kemudian, do’i ngomong jujur sama gue. Do’i pernah suka sama gue. Gue kaget. Sejak kapan? Sejak do’i pertama kenal gue, tapi pada akhirnya do’i nyerah karena gue nggak pernah nanggepin perasaannya. Bahkan saat do’i bilang do’i suka sama cewek lain pun, gue malah seneng. Do’i semakin yakin, bahwa gue cuma nganggep do’i sebagai sahabat, nggak lebih. Do’i nyerah sama perasaannya. Gue diem. Jadi, do’i selalu ada saat gue butuh karena do’i suka sama gue? Do’i deket sama gue? Sering telpon, sms, dan komunikasi



lain-lain itu meskipun sering ketemu? Dan... Waktu itu do’i nggak serius suka sama cewek itu? Cuma buat mancing perasaan gue? Gue mikir, sebenarnya salah siapa sih? Salah gue yang nggak peka? Gue terlalu bodoh? Atau salah ketakutan gue ngrusak persahabatan kami? Atau... salah do’i yang nggak mau jujur saat do’i ngrasain itu? Dan…. jawabannya adalah.. kami sama sama takut untuk mengungkapkan perasaan ini. Karena takut rasa ini hanya bertepuk sebelah tangan dan malah hubungan bersahabatan ini hancur. Itu yang salah, ketidak jujuran….



NGANGSU, HUKUMAN UNTUK PEMBOROS Dunia ini memang sudah benar-benar mendekati ajal, dunia sudah semakin gila saja. Banyak hal yang dahulu tersedia dengan melinpah tanpa susah sekarang sudah banyak menjadi lading perebutan, contohnya air. Air sebagai satu kebutuhan sangat penting telah banyak diperjual belikan, diperdagangkan. Kebayang kalau semua kebutuhan air manusia harus beli, hancur dunia ini. Disini, sekarang ini mungkin adalah awal dari akan hancurnya sebuah peradaban umat manusia. Aku tidak berbicara seperti ini karena aku adalah ahli atau orang pintar di bidang ini, tapi aku berbicara seperti ini justru karena aku orang lemah, orang biasa yang mewakili puluhan jutaan yang lain. Aku mengakui, aku juga serakah, masih ada nafsu untuk memiliki banyak, namun bukan hal yang bersifat seperti itu. Bayangkan, jika air dimiliki satu orang, bayangkan jika gas alam dimiliki satu orang, bayangkan jika udara dimiliki satu orang? Realitas kehidupan semacam itu merupakan gambaran dari neraka, yang sejatinya telah tampak geliat cirinya dalam kenyataan hidup. Aku menjadi salah satu warga yang merasakan dampak kesewenang-wenangan dan keserakahan tersebut. Dulu di lingkungan, tidak ada yang pernah merasakan kemarau bahkan meski saat kemarau sekalipun dan sekarang ini kami merasakan kemarau meski di musim penghujan sekalipun. Bagaimana tidak, di musim penghujan kami tetap sulit mendapatkan air bersih apalagi di musim kemarau. Awal kondisi lingkungan seperti ini adalah saat kemajuan mulai merambah ke wilayah kami. Disini, dulu belum ada tembok raksasa, belum ada gedung bertingkat dan sekarang sudah sangat padat. Dulu sumber air mudah ditemukan, dengan menggali beberapa meter tanah kami sudah bisa mendapatkan air bersih dan sekarang kami harus menggali ratusan meter dengan mesin baru bisa mendapatkan sumber air bersih. Sumber sumur tradisional sekarang ini sudah tidak digunakan, kalah dengan ribuan sumur bor yang tak tempatnya tak beraturan. Tempat rindang dan segar kini telah menjadi lokasi yang penuh dengan gemerlap lampu, bising suara kendaraan. Seringkali aku mengumpat, memaki ketika aku harus mengalami hal ini berulang kali. Dibalik tembok itu orang bisa mandi ribuan kali dalam sehari dan di sini, (Cerpen Singkat Terbaru Tentang Air) kami harus ngantri untuk mendapatkan air bersih. Aku hanya bisa tertegun, “mau jadi apa dunia ini kelak?”, ucapku lirih dalam hati. “Tak terasa, hidup sekarang tambah susah… dulu air kita bisa sesuka hati, sekarang ngantri…” “Dulu kamu boros air sih!...” Percakapan-percakapan seperti itu seringkali terdengar di telinga, entah pagi buta, malam hari atau siang hari. “Bukan karena aku yang boros, tapi dunia ini memang sudah semakin tua…“ “Kalau masih ada kita yang peduli lingkungan pasti bisa lebih baik….” “Benar, semakin banyak yang kembali ke alam semakin baik untuk bumi kita…”



Meski semua tampak sudah begitu kacau namun masih ada harapan, seperti yang ditunjukkan oleh bang Juned – preman pasar yang sangat peduli dengan lingkungan. Kalau aku lihat di matanya, seperti ada bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Ia seperti sedang menyusun rencana untuk memutar balik keadaan ini. “Aku ingin alam kembali asri seperti dulu… gak ada yang kekurangan air” ucapnya padaku.



SAAT PERTAMA MASUK SMP Tahun ini aku sudah lulus sekolah SD, dan itu berarti aku sebentar lagi akan menjadi siswa SMP, keren bukan? Meski hasil belajar di ujian kemarin tidak begitu bagus tapi aku masih masuk peringkat sepuluh besar. Kata ayah dan ibu aku harus masuk ke smp favorit, tidak boleh sampai gagal.... "Besok kamu daftar smp, sendiri berani kan?" tanya bunda "Aku daftar di mana bunda...?" tanyaku ragu "Ya di smp sini, kan sudah favorit, yang dari jauh saja daftar disini..." jawab bunda "Ya beranilah kalau di sana, kan banyak kakak-kakak kelas yang dulu..." jawabku dengan percaya diri "Bagus, jadi anak laki emang harus berani..., ya sudah kamu siap-siap" Karena sudah mendapatkan mandat maka aku menyiapkan semua yang dibutuhkan. Karena tidak tahu apa saja yang dibutuhkan untuk mendaftar sekolah maka aku mencari tahu dengan temanku yang mau daftar di sana juga... Proses pendaftaran sudah selesai, seperti yang diharapkan akhirnya aku dapat diterima di sekolah itu. Sudah ada pengumuman, sebentar lagi sudah mulai masuk belajar. Aku mempersiapkan semua yang akan digunakan. Ya, mulai dari baju seragam, buku dan lain sebagainya. Saat itu terjadi sesuatu yang sangat membuat aku malu. Mungkin karena aku terlalu semangat jadi sampai lupa... "Bunda....mana baju sekolahku....??" "Memang mau diapain? ya dilemarilah..." Karena kesiangan aku benar-benar buru-buru, langsung ku pakai seragamku, ku ambil buku seadanya, "mungkin hari ini belum pelajaran" fikirku. Selesai bersiap-siap jam tanganku sudah menunjukkan pukul 07:00 jadi aku langsung berlari menghambur ke meja makan.... "Mana susu aku bunda....??" "Itu.... loh, kamu kok...???" "Iya bunda, dah kesiangan, aku gak sarapan minum susu aja.... aku berangkat ya...." "Eii.....tun.... " Aku sudah tak peduli lagi bunda mau bilang apa, setengah berlari aku menuju pintu depan dan langsung menuju ke sekolah yang tak jauh dari rumahku. Sepuluh menit, tinggal beberapa meter lagi aku sampai di gerbang...."Kenapa masih sepi gini...." pikirku dalam hati... Semakin dekat ke gerbang, ku dapati sekolah masih sangat sepi dan aku pun semakin gusar, "apa mungkin sudah masuk?" tanyaku gugup. Sesampainya di gerbang... "Loh, pak.... kenapa sepi banget ya... sudah masuk ya pak?" tanyaku pada seseorang yang sedang menyapu "Ya iyalah sepi...." jawab bapak itu singkat "La anak yang sekolah pada kemana pak?" tanyaku lagi "Sekolah, bukanya hari ini hari minggu ya...? bapak itu kembali bertanya padaku.... "Ass...." Rupanya aku salah hari, ku pikir ini hari senin dan ternyata..... Aku langsung menengok ke jam dan langsung mencari handphone di tas, "Ais, ternyata ini hari minggu". Tanpa pikir panjang aku langsung putar balik dan berlari ke rumah sebelum ada yang melihat aku. Beruntung, tidak ada anak lain yang lewat... Aku langsung berlari membuka pintu rumah tanpa mengucap salam lagi... "Brugh...... bundaa.......!!" teriakku, "kenapa bunda tidak bilang kalau ini hari minggu???" Ayah dan bunda yang sedang duduk di ruang tengah sontak langsung tertawa terbahak-bahak.... "He e e e.... tadi bunda mau bilangin kamu tapi kamu sudah keburu kabur gitu...", jawab bunda sambil menahan geli. Aku terus saja masuk kamar dan langsung melepas semua pakaianku... "Malunya, untung tak ada anak lain yang melihat, coba kalau ada yang lihat, bagaimana sih, bisa sampai lupa gini...." ucapku menggerutu dalam hati. Selesai ganti baju tiba-tiba perutku berteriak-teriak, aku baru ingat bahwa tadi aku belum sarapan... "Bunda masak apa...." tanyaku "Kesukaanmu



tuh, sayur asem, sambal, tempe goreng dan lalapan lengkap..." jawab bunda Aku langsung mengambil makanan di mejaku... "Gimana tadi hari pertama masuk SMP?" tanya ayah meledek "Ah.... ayah...." balas ku sedikit kesal. Ke esokan harinya aku berangkat ke sekolah, memakai baju rapi dengan semua peralatan yang sudah siap di tempat. Aku berjalan dengan gagah dan penuh percaya diri. Meski ini merupakan awal sekolah namun aku sama sekali tidak merasa canggung, takut atau cemas. Ya, maklum meski bagi semua murid lain ini adalah hari pertama namun bagiku ini adalah hari kedua jadi aku sudah tidak takut lagi... Sedikit hikmah dari kesialan dan keteledoranku kemarin.



ANAK SMA BARU DI SEKOLAH Panggil saja aku Melati, aku adalah salah satu anak sma baru yang ada di sekolah. Aku bersama teman-teman lain baru saja di terima di sekolah SMA terbaik ini. Bukan yang terbaik di negara ini sih, namun sekolah baru ku tersebut merupakan sekolah favorit di daerahku. Aku dan kedua temanku; Mawar dan Bunga berhasil mengalahkan saingan lain saat tes masuk. Kami bertiga sejak dulu memang sudah berambisi untuk bisa masuk ke sekolah baru ini. Saat dulu kami sama-sama punya tujuan mendapatkan nilai terbaik agar bisa masuk dengan mudah ke sma ini, meski sebenarnya masing-masing memiliki dorongan dan tujuan lain yang berbeda. Terus terang, aku sangat ingin bersekolah di sekolah baru ini pertama karena jaraknya yang dekat dengan rumahku. Yang kedua, sekolah ini, jika dibanding dengan beberapa yang lain, memiliki gedung yang cukup bagus, taman indah dan parkir luas. Cukup cocok untuk santai kalau lagi istirahat. Berbeda dengan aku, Mawar mengaku memilih sekolah ini awalnya karena ikut-ikutan aku, kemudian ia juga mengatakan bahwa ada alasan lain yang benar-benar bikin aku tertawa. "Disana banyak cowok yang cakep-cakep, sumpeh deh.... nanti kita buktikan sendiri ya...." ucap Mawar kala bercerita. Ya, SMA Atap Atap memang terkenal memiliki murid yang keren-keren mulai dari tampang bahkan sampai tongkrongannya. Kebanyakan anak di sekolah ini menggunakan kendaraan pribadi, motor dan mobil, padahal di lingkungan masih banyak tersedia transportasi umum. Berbeda dengan aku dan Mawar, Flamboyan masuk ke sekolah ini dengan alasan lain yang cukup membuat kami tersenyum dan tertawa terbahak-bahak. Setiap kali kami bertanya alasan dia ingin masuk ke sekolah ini ia pasti terus menjawab dengan hal yang sama. "Aku gak punya alasan lain..." "Masak mau sekolah gak ada alasannya..." Iya...memang begitu, kalau Melati suka gedungnya yang indah, Mawar suka cowoknya yang keren tidak dengan aku..." "Emang kenapa, lalu alasan kamu apa...? "Aku tak punya alasan lain selain karena aku tak ingin kehilangan sahabat-sahabat terbaikku..." ".... haa, haa a aaa.... apa!!!" "Oh.... cocwuit.....?!" Flamboyan memang benar, bahkan tanpa kami sadari ternyata keputusan untuk mendaftar di sekolah ini sangat dipengaruhi oleh hubungan persahabatan kami. Ya, kami memang seperti sudah tidak bisa dipisahkan, satu sama lain saling mempengaruhi dan saling berpengaruh. Dari berbagai alasan yang ada dalam diri kami ternyata masing-masing dari kami menyadari bahwa kami sebenarnya tetap ingin bersama dan tak terpisahkan dalam persahabatan ini. "Ya, apapun yang kita sukai disana kita tetap harus menjadikan belajar sebagai tujuan akhir kita..." "Benar kata Melati, cowok cakep dan sekolah baru yang indah hanya bonus belajar kita saja..." "Iya, aku setuju, dimanapun kita harus tetap belajar dan selalu bersahabat!!"



Seperti sudah menjadi ikrar dan janji suci, persahabatan kami di sekolah baru itu ternyata sudah membuktikan diri. Buktinya saat masa MOS yang kebetulan diadakan saat bulan ramadhan kami bisa saling bahu membahu, kita saling membantu. Sekarang masa orientasi siswa telah selesai, idul fitri dan lebaran pun sudah dilaksanakan, kami Mawar, Melati dan Flamboyan - sudah siap untuk berjuang untuk meraih cita-cita kami. --- Tamat ---



BERANI MENCOBA Aku bernama Rivan aku berusia 12 tahun aku sudah kelas 6 SD. Hobiku membaca. Di sekolah aku termasuk kategori anak pendiam, tapi entah kenapa di sekolah banyak sekali yang meledekku, “Dasar payah. Dasar payah!!” Kata orang yang meledekku, aku hanya terdiam dan membaca buku novel kegemaranku. Keesokkan harinya aku pergi ke sekolah dengan sepedaku, setelah sampai di sekolah aku melihat di papan pengumuman ada beberapa lomba yang akan dilaksanakan di SD GBRJ, ada lomba lari, lomba menari, lomba menyanyi, dan lomba menulis cerpen. Saat aku tengah asyik melihat lihat pengumuman tiba-tiba terdengar suara bel masuk. Ting, Tong. Akhirnya aku masuk kelas, wali kelasku -Bu Rima- bicara kepada murid-muridnya. “Nah murid-murid tadi kalian sudah melihat kan di papan pengumuman? Ada berbagai macam lomba? nah Ibu ingin kalian ikut serta dalam lomba tersebut, apa ada yang ingin ikut lomba?” Tidak ada satu pun murid yang ingin ikut lomba. Lalu Bu Rima berkata, “Tidak apa.. jangan malu, pede saja!! Lebih baik berani mencoba daripada menjadi orang yang takut untuk mencoba..” Mendengar perkataan Bu Rima tadi aku langsung mengajukan diri untuk ikut lomba menulis cerpen. Saat aku mengajukan diri tiba-tiba ada yang meledekku, “Hahaha mana mungkin dia bisa!!” aku hanya diam walaupun mendapat ledekan dari teman-temanku. Saat waktunya pulang aku baru ingat. Lomba akan diadakan besok. Akhirnya aku bergegas pulang dan mencoba melihat-lihat cerpen di google. Keesokan harinya, aku ikut kumpul di tempat lomba (SD GBRJ). Saat ada di sana, tiba-tiba aku mendengar suara. “Bagi yang merasa ikut lomba menulis cerpen silahkan masuk kelas B. Aku dan para peserta lainnya mencari-cari kelas tersebut, dan ketemu. Setelah masuk kelas ternyata yang mengikuti lomba menulis cerpen ada 107 anak. Sontak aku kaget. Tba-tiba.. Kring, Kring waktunya lomba menulis cerpen dimulai. Akhirnya aku duduk di kursi yang telah disediakan. Para peserta dibagikan kertas HVS yang ukurannya lumayan besar. Beberapa menit kemudian. “Lomba menulis cerpen dimulai dari 3-2-1!” kata salah seorang panitia. Para peserta langsung menulis cerpen hanya aku yang terdiam dan nyaris mengangis. Tiba-tiba dalam pikiranku teringat perkataan Bu Rima, “Lebih baik berani mencoba daripada menjadi orang yang takut untuk mencoba..” karena ingat dengan perkataan itu aku akhirnya menjadi semangat dan terus menulis. 15 menit kemudian. “Ya. Lomba menulis cerpen telah selesai. Silahkan kumpulkan hasil karya kalian..” Para peserta mengumpulkan hasil karyanya. Setelah ke luar dari kelas semua peserta terlihat ada yang senang, sedih, dan lainnya. Aku merasa gembira karena aku berani mencoba. Keesokan harinya. Kepala Sekolah -Pak Ian- Mengumpulkan murid-murid di lapang sekolah. Kemudian Pak Ian berkata, “Murid-murid, kali ini salah satu murid kita ada yang mengharumkan nama baik sekolah kita. Siapakah dia.. Rivan. Silahkan maju ke depan Rivan dan wali kelasnya Bu Rima…” Aku kaget dan merasa sangat senang. “Rivan telah menjadi juara 3 menulis cerpen di SD GBRJ. Tepuk tangan untuk Rivan.” Kata Pak Ian. Prok, Prok, Prok. “Dan ini dia pialanya!! Dipersilahkan Rivan untuk mengambilnya. Setelah hari itu tidak ada lagi yang meledekku dan orang-orang yang meledekku meminta maaf kepadaku. Dan aku maafkan. Aku senang dan bangga karena Berani Mencoba.



CINTA SMA Aku menduduki kursi Sekolah Menengah Atas tepatnya kelas 10 SMA. Kelasku bersebelahan dengan seorang lelaki yang bernama Rehan, karena alasan kelas bersebelahan kami mulai mengenal satu sama lain, kita memang saling dekat. Namun hanya sebagai teman, kami saling menyapa dan tersenyum saat bertemu dan kami selalu berkomunikasi via media, apa pun pembahasannya tak pernah membuat kami saling bosan untuk berkomunikasi. Suatu ketika, aku dipanggil sebagai perwakilan sekolah untuk seminar di suatu tempat. Perwakilannya hanya dua orang, yaitu aku dan Fikri. Kami tak saling mengenal, tak saling menoleh satu sama lain, bahkan tak melontarkan satu kalimat sedikit pun. Namun ketika aku dan Fikri sampai di tempat yang kami tuju pukul 08.00 WIB, kami mulai berbincang satu demi satu kata. Entah apa yang kami bicarakan namun itu dapat membuatku sedikit merasakan hal yang membuatku merasa nyaman. Kami salat bersama, makan bersama, dan menghabiskan waktu 10 jam bersama. Fikri yang awalnya tak acuh, ternyata sangat sempurna. Bergantilah hari. Setiap aku melihat Fikri selalu terlintas perkataan dalam hati. “Kapan bisa menghabiskan waktu bersama ia lagi?” namun semua mustahil terjadi, kami saling bertemu dan bertatap. Tapi Fikri kembali seperti awal, tak acuh bahkan seperti tak saling mengenal. Entah mengapa aku merasa sedih terhadap hal itu? dia bukan siapa-siapa aku, begitupun sebaliknya. Tapi makin hari aku semakin merasa bahagia jika bertemu Fikri walau Fikri tak pernah acuh terhadap aku. Suatu ketika, aku melihat Fikri dan Rehan berbincang seakan saling bersahabat dekat. Seiring berjalannya hari, aku semakin tahu tentang mereka berdua. Dan ternyata mereka adalah sahabat karib. Bahagia rasanya dapat mengenal dua sahabat karib dekat. Namun, bahagia itu berubah setelah Rehan menyatakan cinta padaku. Tidak disangka memang, semua terasa tak terduga. Karena dari awal aku hanya menganggap Rehan sahabatku, dan yang ku harapkan adalah Fikri. Tapi nyatanya? Rehan jauh lebih acuh dan perhatian terhadap diriku dibandingkan dengan Fikri yang aku harapkan. Semua terbukti dari sebuah dialog yang aku, Fikri dan Rehan lakoni ketika pulang sekolah. “Ef, doain gue menang ya lomba.” kata Rehan. Aku tak sedikit pun peduli dengan perkataan Rehan. “Fik, doain gue lomba ya di luar kota.” Fikri sibuk dengan bermain gadget. “Lo mau lomba di mana emang Ef? nanti pasti gue doain supaya lo menang kok, semangat ya Ef.” tambah Rehan. Semua tak sesuai dengan apa yang aku harapkan. Perlahan aku mencoba melupakan Fikri dan belajar acuh terhadap Rehan. Namun cinta memang tak bisa dipaksa, sampai detik ini aku masih mengharapkan Fikri yang tak pernah menoleh aku yang sangat mengharapkannya. The End



AKHIR PENANTIAN Mungkin salah jika ku berharap dia menjadi milikku suatu saat. Dia sholeh, paham akan agama dan dia benar-benar sangat sempurna bagi para akhwat di kampus. Ku mengenalnya sejak SMA, dia adalah salah seorang senior yang aktif dalam bidang dakwah dan sampai kuliah pun dia masih menjadi aktivis dakwah. Ku telah menyimpan perasaan itu sejak SMA, entah mengapa jika ku berusaha melupakannya maka perasaan ini semakin kuat setiap malam dia menghantui ku dalam mimpi. Aku merasa sangat berdosa jika terus seperti ini, tak ada hentinya ku ucapkan istighfar setiap melihatnya, kaki ku terasa berat untuk melangkah jika berpapasan dengannya, hanya pandangan ku yang tertunduk melihat tanah. Waktu terus berjalan, hari ini dia wisuda jurusan Bahasa Arab. Ku sudah memutuskan bahwa hari ini ku harus mengungkapkan perasaan itu padanya dan dia ingin memberikan sesuatu untukku entah itu apa? Selepas acara wisudahnya selesai, aku bertemu dengannya di depan kampus sejenak suasana hening. “Aisyah, ada yang akan ku berikan buatmu. Ku harap kau dapat memenuhinya” katanya sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Jantung ku berdetak kencang, nafasku serasa sesak, darahku berhenti mengalir, airmataku seakan tak sanggup ku bendung. “Barakallahu laka ya akhi” ucapku sambil tertunduk, ku pegang erat-erat undangan yang dia berikan kepadaku. Undangan itu tertera namanya Muhammad Al Furqan dan Zahrah, nama akhwat itu adalah temanku sendiri. “syukron ukhti, selama dari SMA engkau adalah saksi atas perjuangan dakwah ku, ku harap kau bisa datang ke pernikahan ku dengan Zahrah dan semoga engkau cepat menyusul” “Aamiin” Dia pergi, ku berjalan menuju mesjid kampus, kerudung ku basah karena air mata. Sejenak ku tenangkan diri kemuadian mengambil wudhu dan shalat, inilah akhir penantian ku yang panjang tapi ini bukanlah akhir dari segalanya.



Sungguh sakit rasanya, namun ku yakin suatu saat ada yang terbaik buatku dariNya.