37 522 1 SP [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PEMBARUAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA BERBASIS HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL



ORASI ILMIAH DALAM RANGKA PENGUKUHAN GURU BESAR FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SRIWIJAYA TANGGAL 28 OKTOBER 2016



Oleh:



ABDULLAH GOFAR



UNIVERSITAS SRIWIJAYA FAKULTAS HUKUM OKTOBER 2016



1



PEMBARUAN HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA BERBASIS HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL 1. Pendahuluan. Judul orasi imiah saya adalah ”Pembaruan Hukum Acara Peradilan Agama Berbasis Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional”. Pemilihan judul tersebut saya anggap tepat untuk diangkat, sebab salah satu kewenangan Peradilan Agama tentang Perkawinan dan Perceraian oleh media nasional Republika diangkat sebagai topik penting dan menjadi berita utama (headline) selama lima hari berturut-turut, yakni hari Senin tanggal 3 Oktober 2016 hingga Jum’at tanggal 7 Oktober 2016. Berbagai sisi yang diangkat mengungkap tentang latar belakang lembaga perkawinan dan alasan penyebab dan akibat terjadinya perceraian, masing-masing diberi judul “Tingkat Perceraian Mengkhawatirkan, Indramayu Masih Puncaki Perceraian, Lonjakan Perceraian Ancam Kualiras Anak, Pernikahan Dini Rentan Perceraian dan kasus Anak Korban Peceraian Tinggi. Semua kajian dan bahasannya masuk pada ranah hukum materiil dan aspek non hukum yang mempangaruhinya. Tidak satu pun bahasan tentang perkawinan dan perceraian tersebut menyentuh bidang hukum acara (hukum formal) di Peradilan Agama. Padahal



tingginya angka perceraian tiap tahun, juga terletak pada lemahnya



hukum acara peardilan yang berlaku saat ini. Sehubungan dengan hal tersebut saya mengungkap latar belakang sejarah lahirnya regulasi dan kelembagaan peradilan agama dan suasana batin perjuangan umat Islam Indonesia menghadapi kekuatan politik negara di era Orde Baru ketika memperjuangkan lahirnya undang-undang peradilan agama. Pengesahan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada era Orde Baru, adalah pertama kali pasca kemerdekaan secara khusus mengatur lingkup kewenangan peradilan agama dan mendudukkannya sederajat dengan badan pengadilan lain di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Di awal kemerdekaan Paradilan Agama tidak diakomodir negara dalam UndangUndang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Kekuasaan Kehakiman hingga lahirnya UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Akan tetapi lahirya undang-undang peradilan agama ternyata masih meninggalkan pekerjaan rumah yang harus diperjuangkan khususnya Hukum Acara Peradilan Agama Di dalam Pasal 54 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 disebutkan “hukum acara yang berlaku di



2



lingkungan Paeradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, kecuali diatur khusus dalam undang-undang ini”. Rumusan tersebut menegaskan dalam menyelesaikan sengketa di Peradilan Agama menggunakan hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Pengadilan Negeri maupun Pengadian Tinggi. Tidak lain adalah H.I.R (Het Herziene Inlands Reglement) dan R.B.g (Rechts Reglement Buiten Gewesten) yang bersumber dari B.R.V (Bergerlijke Rechts Voordering) yakni Hukum Acara Perdata Belanda lahir pada abad ke 19 Masehi. Tujuan utama lahirnya hukum acara tersebut adalah untuk melindungi dan menyelesaikan sengketa bagi orang Nederland atau Eropa dan orang yang dipersamakan di Hindia Belanda. Secara filosofis Hukum Barat baik hukum materiil perdata (Burgerlijke Wetboek) dan hukum formil/acara perdata (HIR dan Rbg), dirancang dan disusun menggunakan pendekatan individualisme dan sekuler dan mengutamakan niai kepastian hukum versi Hukum Barat. Sifat sengketa dilihat dari optik hukum benda (Zaak) dan bersifat materi (Profan) belaka. Sedangkan hukum materiil di Peradilan Agama adalah hukum yang bersumber dari Hukum Islam dan berpangkal nilai filosofis Islam, membagi hukum pada tidak secara dikotomis ke dalam hukum publik dan hukum privaat, namun dikelompokkan pada syariah ibadah dan syariah muamalah. Di dalam praktek penerapan syariah mualamah tidak semua dapat diklasifikasi masuk pada ranah perdata. Bidang hukum materiil yang menjadi kewenangan peradilan agama, baik menyangkut bidang hukum keluarga di dalamnya hukum perkawinan, hukum kewarisan dan bidang lainnya, tidak semuanya dapat dilakukan dengan pendekatan perdata yang dalam hal-hal tertentu ada nilai keagamaan harus diperhatikan. Jadi ketika Hukum Acara Perdata Barat (HIR dan Rbg) digunakan sebagai hukum acara peradilan agama, ada hal-hal yang tidak tepat bahkan menjauh dari nilai syariah Islam yang menjadi dasar filosofisnya. Sejak tahun 1989, HIR dan RBg digunakan sebagai hakum acara peradilan agama, berarti dalam kurun waktu 27 tahun umat Islam Indonesia bergulat menyelesaikan masalah hukum di peradilan agama dalam bingkai hukum Barat. Keadaan tersebut hingga sekarang belum terlihat tanda-tanda usaha umat Islam untuk merubah atau mengganti hukum acara peradilan agama yang berpijak pada nilai hukum Islam ke dalam undang-undang sistem hukum nasioanal. Sejarah Peradilan agama (dahulu Mahkamah Syariah) telah berkembang seusia dengan masuknya Islam di Nusantara. Pada masa VOC kurun waktu antara tahun 1596 atau tahun 1602 hingga tahun 1820-an, kenyataan yang ada di masyarakat Islam dalam



3



menyelesaikan sengketa bidang hukum keluarga adalah hukum bersumber pada hukum Islam, menerapkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, serta mekanismenya tidak formalistik dan memakan waktu yang lama. Bahkan VOC tidak memaksakan aturan hukum kapal (hukum yang berasal dari hukum Belanda Kuno dan hukum Romawi) berlaku bagi orang Islam di Nusantara/Hindia Belanda. Ketika Pemerintah Kolonial Belanda mengambil alih kekusaan dari VOC, mulailah muncul politik hukum Belanda, bahwa peradilan agama diberi dengan stigma negatif sebagai Kantoor Voor Inlansche Zaken, tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan agama Islam dan hukum Islam sebagai hukum materiilnya. Sehubungan dengan judul orasi ilmiah ini, permasalahannya sebagai berikut: 1. Bagaimana suasana batin dan strategi perjuangan umat Islam Indonesia menghadapi kekuatan politik ketika memperjuangkan lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama ? 2. Mengapa hukum acara Perdata Barat yang sifat sengketa mengkedepankan nilai materialisme dan kebenaran formal dijadikan hukum acara peradilan agama, padahal secara filosofis orientasinya tidak selaras dengan hukum materiil yang berdasarkan hukum Islam ? 3. Bagaimana upaya pembaruan melalui reformulasi hukum acara peradilan agama agar selaras dengan hukum materiil dalam sistem hukum nasional, berorientasi pada keadilan hukum Islam dan menjadikan peradilan agama sebagai peradilan berwibawa ?



Hadirin yang saya hormati; 1. Sejarah Dan Dinamika Perkembangan Peradilan Agama Peradilan agama sebagai subsistem sistem peradilan di Indonesia, lahir sejalan dengan perkembangan agama Islam dan hukum Islam serta perkembangan politik ketatanegaraan, baik pada masa pra dan pemerintahan Kolonial Belanda maupun setelah kemerdekaan. Keberadaan peradilan agama yang diatur dalam konstitusi, di dalam sistem hukum Indonesia memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Keberadaan peradilan agama dipengaruhi dinamika politik hukum dan pengaruh perkembangan global, sehingga mempengaruhi wibawanya sebagai pengadilan dalam sistem peradilan Indonesia. Eksistensi peradilan agama tidak dapat dipisahkan dengan



4



perkembangan agama Islam, maupun pemenuhan kebutuhan umat Islam di Indonesia yang berlandaskan pada ajaran Islam. Peradilan Agama Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yg beragama Islam. Sedangkan Kompetensi Peradilan Agama di dalam Pasal 49 ayat (1) jo Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 menyatakan Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a). perkawinan, b). kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan c). waqaf dan shadaqah. Kemudian perubahan pertma dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, dinyatakan Pengadilan Agama juga diberi wewenang menyelesaikan sengketa di bidang zakat dan ekonomi syariah. Perluasan kewenangan tersebut menempatkan Pengadilan Agama tidak terbatas menyelesaikan perkara di bidang hukum keluarga, namun telah meluas pada bidang hukum ekonomi. Masuknya kompetensi bidang ekonomi Syariah, membuka kesempatan bagi orang non muslim untuk beracara di peradilan agama. Hal tersebut menerobos asas personalitas keislaman yang sebelumnya sangat di proteksi oleh peradilan agama. Sejarah lahirnya H.I.R dan R.Bg sebagai hukum acara diperuntukkan bagi Landraad (sekarang Pengadilan Negeri), untuk daerah Jawa-Madura dan luar JawaMadura. Sedangkan B.Rv adalah hukum acara peradilan untuk Raad van Justitie, yaitu pengadilan tingkat pertama untuk orang Eropah atau dipersamakan dan pengadilan tingkat banding bagi bumi putera (bersama Landraad juga menjadi Pengadilan Negeri). Sementara BW adalah hukum perdata materiil dan sebagian perdata formal untuk orang Eropa/dipersamakan dan orang Timur Asing. Jadi, baik H.I.R, R.Bg, B.Rv, maupun BW, sejak semula memang dibuat pemerintah Belanda dan diberlakukan pemerintah Kolonial di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi, untuk mengabdi kepada hukum materiil yang berlaku di Landraad atau Raad van Justitie. Sejak awal hukum acara HIR, R.Bg dan BRv dibuat tidak untuk lembaga peradilan lain selain dari Landraad maupun Raad van Justitie. Melihat sejarah perkembangan politik hukum masa penjajahan Kolonial Belanda, terhadap golongan Bumi Putera sangat menghormati penyelesaian sengketa bagi yang tidak masuk golongan Eropa dan atau yang dipersamakan dengan mereka ternyata tidak dipaksakan. Di dalam Regeling Reglement (RR) Pasal 75 ayat (2) secara tegas memberi otonomi hukum pada golongan Bumi Putera bidang hukum keluarga, sepanjang tidak



5



diatur secara tegas dalam ordonansi. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pun sangat menghormati keberadaan hukum Islam dan tata cara penyelesaiannya. Jadi ketika Pasal 54 Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menunjuk hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum adalah HIR dan Rbg, maka telah terjadi kesesatan sejarah, karena umat Islam sendiri yang mau mengakui dan mau tunduk pada tata cara penyelesaian perkara di peradilan dengan tatacara dan mekanisme filosofi Hukum Barat. Kendala pada proses penegakan hukum (law enforcement), dilihat pada nilai filosofisnya. Ketika hukum materiil menggunakan hukum acara yang secara filosofis berbeda, maka tujuan akhir yang dicapai adalah cita rasa keadilan juga berbeda. Ketika hukum acara yang digunakan Pengadilan Agama adalah hukum Barat, proses berperkara dan putusan Pengadilan Agama juga menggunakan sistem pembuktian hukum acara bersifat mekanistik formal dengan cita rasa hukum Barat. Berarti putusan hakim pun jauh dari nilai filosofis dan cita rasa keislaman, tidak menggunakan nilai kepastian dan nilai kemanfaatan hukum Islam. Prinsip peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan kenyataannya belum memenuhi harapan, terutama pada sengketa perkawinan. Perkara perkawinan melalui permohonan cerai ataupun gugat cerai, mengikuti tahapan hingga proses banding dan kasasi. Padahal objek sengketa perkawinan adalah memutuskan hubungan perkawinan antara para pihak yang menurut pandangan Islam harus diselesaikan secara cepat. Begitu juga terhadap perkara cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama bersamaan dengan perkara objek harta benda dan menyangkut hak pihak ketiga, maka perkara cerai menjadi panjang dan butuh waktu yang lama, karena lebih dahulu harus menunggu putusan dari peradilan umum. Keberadaan Pengadilan Agama dalam sistem peradilan di Indonesia adalah wujud negara memfasilitasi kebebasan umat Islam untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan nilai filosofi hukum Islam. Positivisasi hukum substantif ke dalam hukum nasional perlu dibarengi dengan melakukan reformulasi hukum acara Barat yang digunakan saat ini, dengan cara melakukan perubahan hukum acara dengan cara memasukkan nilai dan filosofi hukum Islam, sejalan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia masyarakat Islam. 2. Suasana Kebatinan Pembahasan Undang-Undang Peradilan Agama dan Pemberlakuan Hukum Acara Perdata Barat.



6



Pemberlakuan hukum acara perdata Barat sebagai hukum acara peradilan agama tidak lepas dari suasana kebatinan dan kekuatan politik pada waktu pembahasan dan pengundangan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Kekuatan politik di DPR di era pemerintahan Soeharto yang mayoritas didominasi kekuatan fraksi nasionalis (Golkar) dan fraksi ABRI turut mewarnai produk undang-undang tersebut. Usaha mengangkat hukum Islam ke dalam hukum nasional juga menghadapi berbagai tantangan, baik dari internal umat Islam maupun di luar umat Islam. Pada saat tersebut umat Islam Indonesia tidak punya kekuatan secara politik di DPR, maka mendekati fraksi ABRI melalui para petinggi ABRI mempunyai kedekatan yang cukup harmonis dengan organisasi dan kelompok Islam. Selain itu GOLKAR punya peran besar muncul memperjuangkan positivisasi hukum materiil Islam ke dalam hukum nasional. Dipihak lain mendapat hambatan dari kelompok penentang dari sebagian internal umat Islam, sebab kelompok umat Islam tertentu menghendaki negara tidak perlu mengatur hal-hal yang masuk domain syariat dan keyakinan umat Islam. Di pihak lain kelompok di luar Islam lebih menghendaki aturan harus didasarkan pada kepentingan nasional, tanpa memprioritaskan dan mengistimewakan hukum yang berasal dari agama dan keyakinan tertentu. Pemberlakuan hukum acara peradilan agama secara mutatis mutandis pada Hukum Acara Perdata Barat adalah kenyataan dan pilihan yang hatus diterima oleh Umat Islam pada saat disahkan, karena kekuatan Islam sangat bergantung dan mengharuskan merapat pada kekuatan politik DPR pada waktu itu. Orientasi hukum Barat yang mekanistik dan formal, memunculkan berbagai persoalan dari aturan hukum maupun praktik penyelesian perkara di Peradilan Agama, terutama hukum perkawinan yang penyelesaiannya bergeser dari syariat Islam yang sesungguhnya. Aspek sakralitas agama dalam penyelenggaraan maupun pembinaan hubungan perkawinan, mulai bergeser pada sisi mekanistik berdasarkan hukum acara yang berlaku. Begitu juga halnya di bidang kewarisan, wasiyat, zakat, wakaf serta ekonomi syariah sesuai dengan kewenangan peradilan agama. Beberapa problem penggunaan Hukum Acara Perdata Barat di Pengadilan Agama khusus bidang perkawinan yaitu: 1. Kepastian hukum status perkawinan, karena jangka waktu proses perceraian yang panjang dan terbuka dilakukan upaya hukum banding dan kasasi. Akibatnya sangat merugikan para perempuan terutama alat reproduksi akibat lamanya proses cerai.



7



2. Putusan Verstek yang diterapkan dalam kasus perceraian adalah tidak tepat, karena dalam putusan verstek hanya diperuntukkan pada sengketa perdata murni. Pihak yang merasa dirugikan dalam putusan hakim dapat mengajukan perlawanan (verzet maupun denden verzet), namun dalam perkara perceraian tidak ada suami atau isteri yang mengajukan perlawanan (verzet); 3. Putusan hak asuh anak sebelum berumur 12 tahun. Ketika pengadilan agama diberi kewenangan eksekusi terhadap putusannya, ternyata dalam perkara hak asuh anak eksekusi tidak jalan, karena sengketa perdata murni objek hukum adalah benda. Sedangkan dalam perkara cerai, anak bukanlah objek hukum melainkan subjek hukum; 4. Itsbat Nikah atas kasus yang menimpa WNI yang bekerja di luar negeri yang tidak mempunyai akta pernikahan dan anak hasil perkawinannya. Perlu keberpihakan Pengadilan Agama melakukan tindakan pro aktif. Apabila menerapkan Hukum Acara Perdata Barat bahwa pengadilan bersifat menungggu, maka banyak Warga Negara Indonesia yang tidak terlindungi hak-haknya maupun anak keturunannya. 5. Dalam perkara kewarisan Islam terhadap hak waris anak hasil perkawinan poligami oranguanya tidak terdaftar. Pengutamaan pembuktian formal bukti tertulis dari negara, sangat mungkin menghilangkan garis dan hak waris seseorang, karena hubungan nasab antara orangtua dan anak harus dibuktikan secara formal. Begitu juga akan memutuskan hubungan saudara seayah di antara anak-anak dari dua orang perempuan yang dinikahi seorang laki-laki, akibat pernikahan poligami tidak terdaftar. 6. Ketika Kompilasi Hukum Islam mengadopsi hak anak angkat (adopsi) untuk mendapat wasiyat wajibah dari orangtua angkat atau sebaliknya sebagaimana dalam Pasal 209 KHI, jelas merupakan lompatan menerobos syariat Islam yang dikuatkan dalam hukum negara, namun jelas dikuti oleh hakim Pengadilan Agama dalam praktek mengadili hukum kewarisan Islam. 7. Perlindungan hak waris anak hasil perkawinan antar warga negara yang bersangkutan erat dengan Undang-Undang Kewarganegaraan. Fakta ditemui banyak sekali WNI yang menikah dengan orang asing terutama di Timur Tengah yang tidak terlindungi oleh negara. 8. Perjanjian perkawinan secara faktual belum banyak diikuti oleh pasangan yang menikah baik sebelum maupun pada saat perkawinan berlangsung. Dalih yang



8



diangkat perjanjian perkawinan tidak begitu penting dan tidak sejalan dengan budaya timur masyarakat Indonesia. Padahal jika dicermati perjanjian perkawinan sangat melindungi para pihak yang terikat pernikahan maupun harta yang didapat sebelum pernikahan terjadi maupun pasca pernikahan. Adanya perjanjian perkwinan antara para pihak adalah untuk menghindari pengingkaran asal usul harta yang didapat, serta mengkedepankan asas kepastian hukum karena perjanjian perkawinan bersifat tertulis. Selain itu perjanjian perkawinan memberi peluang kepada pejabat publik (notaris) untuk berperan serta membuat akta otentik yang dibutuhkan baik oleh para pihak maupun oleh pihak ketiga yang berkepentingan dengan harta yang didapat dalam suatu perkawinan. Juga terhadap anak-anak yang dihasilkan dari satu pasangan yang menikah tanpa dibuat perjanjian perkawinan, jika terjadi perceraian antara suami isteri baik sesama Warga Negara Indonesia (WNI), maupun antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing (WNA) dapat saja anakanaknya lebih menyukai ikut kepada orangtuanya yang berwarga negara asing. Sebagai antisipasi hal demikian, maka perjanjian perkawinanlah yang dapat melindungi para pihak terikat pada pernikahan tersebut. 9. Permasalahan hak ahli waris yang berbeda agama diberikan bagian wasiyatul wajibah. Adalah agak aneh ketentuan tentang ayat waris yang secara tegas mengatur bahwa perbedaan agama menyebabkan seseorang terhalang menjadi ahli waris, tetapi beberapa putusan Mahakmah Agung membuat puusan yang memberi ahli waris berbeda agama tersebut dengan cara wasyiyatul wajibah. Hal demikian perlu dikaji dari aspek normatif apakah tepat wasiyatul wajibah diberi kepada ahliwaris berbeda agama sebagai terobosan hukum. Lantas apakah terobosan hukum tersebut tidak melanggar norma yang sudah eksis bagi umat Islam. Sebagai gambaran jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Agama setiap tahun terjadi peningkatan cukup signifikan di atas 10 persen. Dari 32 item perkara yang dapat diselesaikan pengadilan agama, umumnya didominasi sengketa di bidang perkawinan. Dari 22 item sengketa perkawinan, umumnya adalah perkara perceraian, baik permohonan cerai maupun cerai gugat yang diikuti hak pengasuhan anak dan penyelesaian harta bersama perkawinan. Dari 2,5 juta hingga 3 juta jumlah pasangan yang menikah setiap tahun, ada 250.000 hingga 300.000 pasangan atau 10 persen yang bercerai. Pada tahun 2009 jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Agama 257.798 perkara, 74 persen adalah perkara cerai. Jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan



9



Agama setiap tahun ternyata mengalahkan jumlah perkara yang masuk ke Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Melihat trend peningkatan tersebut, cerai seakan-akan sudah menjadi solusi pertama, bukan solusi terakhir yang dihadapi pasangan dalam penyelesaian perselisihan perkawinan. Ikatan perkawinan sebagai satu ikatan suci, sakral (mitsaqan ghalidhan) yang menyatukan dua pasangan, telah mulai bergeser (terjadi desakralisasi) dan hanya dilihat sebagai hubungan relasi pada dua pihak dan bersifat kebendaan belaka. Dikhawatirkan pergeseran tersebut akan menghidupkan kembali lembaga perkawinan sebagaimana rumusan Pasal 26 KUHPerdata yang dinyatakan sudah tidak belaku. Peningkatan jumlah perceraian dilatarbelakngi makin longgarnya pemahaman dan penghayatan sendi rumah tangga. Patut dicatat 75 persen dari jumlah perceraian di Pengadilan Agama datang dari isteri (cerai gugat). Sebanyak 80 persen perceraian menimpa pasangan yang usia pernikahannya di bawah lima tahun. Apakah fenomena tersebut hanya bersifat sementara, ataukah sebagai suatu perubahan yang bersifat permanen. Fakta tersebut perlu diantisipasi, sebab keadaannya tidak hanya dapat dijawab dari ketentuan undang-undang saja, namun perlu ditinjau dari berbagai aspek, seperti pergeseran pemahaman agama, pergeseran budaya keluarga, gaya hidup, perkembangan sosial dan teknologi. Ketika gugatan cerai diajukan isteri, hukum acara perdata Baratlah yang digunakan. Sebagian besar perkara gugatan cerai yang diajukan tidak dihadiri oleh pihak suami selaku tergugat meskipun telah menggunakan surat panggilan (relaas) resmi dari pengadilan. Meskipun pemerintah menyatakan terus berupaya menekan jumlah angka cerai yang mengalami peningkatan setiap tahun, ternyata norma hukum materiil dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga memberikan rumusan syarat-syarat dan prosedur perceraian yang bersifat mekanistik formal. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.1 Tahun 2008 Tentang Mediasi dalam perceraian, ternyata belum mampu mencegah pasangan yang berperkara di Pengadilan Agama agar kembali berdamai dan rukun sebagai suami isteri. Beberapa pandangan seperti Nasruddin Umar menegaskan kunci utama keberhasilan mempertahankan rumah tangga keluarga harmonis, jika menegakkan sendi agama di dalam tumah tangga. Tuti Alawiyah menyatakan perceraian menyisakan masalah bukan hanya bagi orangtua (pasangan suami isteri yang bercerai), tetapi turut mengorbankan kepentingan dan masa depan anaka. Hal yang lebih penting adalah



10



mempersiapkan proses perkawinan berlangsung lebih baik. Prinsipnya, menikah mesti didasari cinta, kasih sayang dan amanat serta ”sakralitas perkawinan harus kembali ditanamkan”. Berbagai faktor penyebab perceraian, seperti kesenjangan ekonomi, perselingkuhan, kecemburuan dan faktor lingkungan, dapat dihindari dengan menerapkan ajaran agama di keluarga. Masyitoh Chusnan, Ketua PP Aisyiyah menyatakan telah terjadi pergeseran nilai keluarga dan hidup rumah tangga. Nilai keharmonisan rumah tangga yang dulu erat dipegang kian terkikis. Kerapuhan iman disinyalir manjadi salah satu penyebab utama timbul perceraian. Selanjunya Iffah Ainur Rochmah menyatakan lembaga perkawinan sebagai basis membangun keluarga telah mengalami disfungsi dan disorientasi. Pembangunan keluarga dipengaruhi sistem kapitalisme, ternyata berperan besar bagi kehancuran keluarga Indonesia. Akibatnya perpecahan keluarga yang tidak dapat dihindari tersebut, sehingga mempertinggi tingkat perceraian di Indonesia. Wahyu Widiana menyatakan pada tahun 2001 angka perkara masuk ke peradilan agama berjumlah 171.335 perkara dan diputus sebanyak 159.299 perkara. Pada tahun 2010 jumlah perkara yang masuk ke peradilan agama melonjak menjadi 320.788 perkara dan yang diputus 295.589 perkara. Jumlah perkara yang tertunggak pada tahun 2011 berjumlah 25.199 perkara. Pada tahun 2013 meningkat menjadi 418.378 perkara. Kemudian tahun 2014 meningkat mejadi 452.138 perkara. Pada tahun 2015 jumlah perkara yang masuk ke pengadilan agama meningkat lagi menjadi 477.825 perkara. Dalam sepuluh tahun terjadi lonjakan perkara yang sangat signifikan. Lonjakan perkara tersebut benarkah imbas reformasi, atau sebagai wujud kesadaran hukum masyarakat terutama kaum perempuan dalam bentuk cerai gugat (khulu’), Wahyu Widiana tidak sependapat dengan pemikiran bahwa lonjakan gugatan cerai dari perempuan akibat dari faktor ekonomi, sebab berdasarkan temuannya banyak perempuan yang menggugat cerai suaminya adalah orang yang keadaan ekonomi keluarganya baik dan mapan. Jangan dilupakan bahwa hak talak dalam Islam adalah hak laki-laki, tetapi fakta seolaholah dikaburkan. Jika alasan isteri yang menggugat suami adalah dizalimi tentunya dapat dibantah, sebab pada saat sekarang juga banyak isteri yang mendzalimi suaminya. Fakta antara tahun 2010 hingga 2014, penyebab utama terjadi cerai adalah masalah ekonomi (23,8 persen), perselingkuhan (7,07 persen), cemburu (3,52 persen), kekerasan fisik (0,77 persen), sisanya perkawinan lintas agama dan lintas negara, pernikahan di bawah umur serta perkawinan tanpa dilandasi rasa cinta. Pada hasil



11



penelitian yang tidak dilandasi pada faktor agama, prediksi kebahagiaan seseorang (predictor of happiness) ditentukan dari pernikahan dan hadirnya anak, sebanyak 42 persen perempuan menyatakan bahagia dengan menikah, sedangkan laki-laki 37 persen menyatakan bahagia dengan menikah. Setelah lembaga pernikahan, hal yang menjadi kebahagiaan seseorang adalah pekerjaan serta struktur kepribadian diri. Berdasarkan data Mahkamah Agung (MA) R.I, terdapat 4 (empat) faktor penyebab cerai suami isteri yaitu 1.



Masalah Moral dikategorikan poligami tidak sehat, terjadi karena krisis akhlak, tetapi tanpa ada batasan krisis akhlak, baik dari aspek agama dan keyakinan.



2.



Meninggalkan kewajiban, bila pasangan menikah ada unsur kawin paksa. Perceraian terjadi karena faktor ekonomi dan penghasilan tetap sebagai masalah terjadi cerai.



3.



Menyakiti jasmani/rokhani, yaki menyakiti pasangan, baik menyakiti jasmani, cacat fisik atau melakukan penganiayaan yang berakibat terganggunya aktivitas secara normal, baik di bidang pekerjaan maupun dari aspek biologisnya.



4.



Terus menerus berselisih, perceraian terjadi dengan alasan politis. Pasangan suami isteri dapat bercerai karena antara keduanya mempunyai partai politik yang berbeda. Pada era otonomi daerah dengan multi partai, tuntutan untuk diakui aktualisasi diri baik laki-laki dan perempuan adalah sama. Implikasinya terdapat pasangan suami isteri yang bernaung partai politik dan ideologi yang berbeda. Sehingga hal-hal yang bersifat publik terbawa ke ranah privaat dalam rumah tangga dan digunakan sebagai penyebab dan dijadikan alasan perceraian. Meningkatnya angka perceraian di tiap Pengadilan Agama, dapat dijadikan dasar



sebagai alasan ntuk merubah undang-undang hukum acara dan aturan pelaksana. Cerai tidak dipandang proses mekanistik formal saja. Meskipun berbagai pihak melihat angka perceraian sebagai faktor meningkatnya kesadaran hukum termasuk Kementrian Agama R.I, namun sebagai benteng tegaknya aturan terletak pada kinerja hakim Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama yang cenderung mudah menyetujui gugatan perceraian. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinann telah beberapa kali diusulkan untuk direvisi. Terakhir telah dilakukan uji materiil Pasal 39 Ayat (2) dan Pasal 19 Huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ke Mahkamah Konstitusi R.I. Halimah Agustina Kamil pada tahun 2011 telah mengajukan Uji materiil terhadap



12



rumusan alasan perceraian “perselisihan secara terus menerus”, sebab cenderung berlaku secara subjektif suami terhadap isteri. Namun alasan tersebut ternyata juga banyak digunakan seorang isteri untuk menggugat cerai suaminya. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memuat tentang alasan untuk putusnya perceraian, yaitu “antara suami isteri tidak dapat hidup rukun sebagai suami isteri”. Makarim Wibisono melihat pasal tersebut sangat merugikan kaum perempuan dan berpotensi merugikan para isteri. Alasannya di dalam huruf (f) bertentangan dengan konsep hak asasi manusia. Konsep HAM tidak membenarkan adanya diskriminasi dalam bentuk apapun karena etnis, ras, jender, pendidikan, kekayaan, warna kulit, agama, pekerjaan, dan kondisi fisik seseorang. “Konsep huruf (f) merugikan isteri, karena tidak memberikan keadilan yang mencerminkan tidak ada persamaan hak kaum perempuan dan isteri dengan hak suami”. Para suami dapat dengan mudah menceraikan isteri dengan alasan terus terjadi perselisihan, karena ketentuan tersebut tidak meminta kejelasan tentang siapa pemicu atau apa yang menjadi penyebabnya. Pendapat Makarim Wibisono dapat dibantah bahwa pada saat sekarang dari jumlah angka cerai justru dominan datang dari isteri dengan cerai gugat.



Hadirin yang saya hormati; 3. Orientasi Hukum Acara Peradilan Agama Mengacu pada Hukum Islam dan Cita Hukum Pancasila. Cita hukum (rechstidee) berisi gagasan, dijadikan dasar pijakan pembuatan konsep hukum. Gagasan dan proses penyusunan norma dilandasi cita hukum (rechstidee) yang terarah, tercermin dalam penormaan baik sebagai pedoman dasar. Cerminan tujuan hukum dilihat dari nilai filosofi, landasan pembuatan norma hukum tercermin dalam konstitusi negara. Peran hukum sebagai sarana membangun masyarakat dan negara dengan konsep modern, muncul beberapa konsep: Pertama, arah dan orientasi hukum yang hendak dicapai. Kedua, fungsi hukum sebagai alat penyusun bangunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ketiga, dalam proses penormaan semaksimal mungkin norma hukum yang dibuat fungsinya dapat dijalankan. Sebagai pedoman hidup, hukum harus dipandang holistik baik sebagai kumpulan ide atau sistem aturan yang abstrak, dengan titikberat pada lembaga otonom maupun sebagai sarana yang berfungsi mengatur masyarakat. Cita hukum (rechtsidee) secara garis besar untuk mencapai masyarakat yang tertib dan damai serta tercipta keadilan dan kesejahteraan.



13



Pembangunan hukum formal maupun hukum materiil, harus dihubungkan dengan cita hukum (rechtsidee) Pancasila. Di dalamnya terkandung pedoman umum apa yang harus dilihat sebagai hukum dalam sistem budaya yang hidup di Indonesia. Unsur rasional cita hukum mengendap menjadi suatu konsepsi hukum dan disusun satu pengertian hukum umum (algemene rechtsbegriffen) menurut yang dikandung dan dimaksud oleh cita hukum Pancasila. Semua perangkat aturan yang dikeluarkan negara, harus berada dalam senyawa isi cita hukum (rechtsidee) Pancasila yang membentuknya. Pancasila sebagai norma fundamental negara membentuk norma hukum di bawahnya secara berjenjang. Sehingga tidak terdapat pertentangan antara norma hukum lebih tinggi dan yang lebih rendah, begitu sebaliknya. Pasal 29 UUD 1945 menjamin kebebasan beragama kepada umat Islam untuk memperjuangkan hukum Islam masuk ke dalam hukum nasional. Tidak berarti masuknya hukum Islam dalam hukum negara, Indonesia sebagai negara Islam, tetap sebagai negara yang berasaskan Pancasila. Deliar Noer menyatakan ada “Negara Islam” sebagai nama dan ada “Negara Islam” sebagai konsep. Negara Islam sebagai nama tidak dituntut oleh partai dan cendekiawan. Hal yang lebih penting adalah negara Islam sebagai konsep, yaitu bahwa isi dan pelaksanaan hidup bernegara bersumber dan sesuai dengan ajaran Islam. Selanjutnya Deliar Noer menegaskan negara Islam sebagai konsep memiliki kriteria bahwa al-Qur’an dan Hadits/Sunnah dijadikan sebagai pegangan dalam hidup bernegara, aturan hukum dijalankan, prinsip musyawarah dijalankan. Negara Islam sebagai konsep sesungguhnya masih dapat dipertanyakan, karena tidak masuk kategori syariat, tetapi fikih sehingga tidak ada kesatuan pendapat tentang hal tersebut. Hazairin menganalisis agar Hukum Islam berlaku di Indonesia, tidak berdasarkan pada Hukum Adat. Berlakunya Hukum Islam menurut Hazairin, supaya disandarkan pada penunjukan peraturan perundang-undangan. Sedangkan M.Tahir Azhary berpendapat bahwa Indonesia sebagai negara hukum bercirikan nomokrasi (Islam), harus memenuhi kriteria dan menjunjung prinsip negara hukum menurut hukum Islam. Setiap produk hukum dalam bentuk undang-undang, harus mengakomodasi nilai-nilai yang tekandung di dalam syariat Islam. Kegigihan perjuangan Hazairin memberlakukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia dinyatakan oleh Daniel S. Lev, sebagai tokoh yang menginginkan



14



pembaharuan aturan hukum Islam di dalam sistem hukum Indonesia secara spektakuler dan radikal untuk melaksanakan ijtihad dalam rangka mengembangkan mazhab Indonesia. Hazairin menghendaki ada perubahan terhadap aturan yang diberlakukan kepada masyarakat Islam yang tidak berangkat dari nilai-nilai filosofi Islam. Lahirnya UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagai titik keberhasilan perjuangan untuk mendudukkan Pengadilan Agama sederajat lembaga peradilan umum. Pasca berlaku mengundang perdebatan, terutama di bidang hukum acara. Pemberlakuan hukum acara menggunakan hukum acara peradilan umum (HIR dan R.Bg) yang notabene peninggalan kolonial Belanda terasa sangat mengganggu. Harus diakui hukum Islam telah di terima sebagai sistem yang berlaku sepenuhnya bagi umat Islam dengan mengeluarkan Hukum Adat. Dengan kata lain Hukum Adat baru berlaku apabila tidak bertentangn dengan Hukum Islam, wacana materiilnya terbatas pada hukum yang diatur dalam perundang-undangan. Munculnya teori receptie excit dari Hazairin atau receptio a contrario dari Sayuti Thalib menghendaki pemurnian hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional. 4. Menselaraskan Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Materiil berdasarkan Nilai dan Asas Hukum Islam. Reorientasi sebagai langkah melakukan pembaruan hukum acara peradilan agama, dengan cara meletakkan alur berpikir yang berangkat dari cita hukum (rehtsidee) Pancasila. Pemberian wewenang kepada Pengadilan Agama, maupun hukum acara tidak semua dilihat dari cara pandang hukum administrasi negara. Keberadaan Pengadilan Agama juga tidak dapat mengasingkan diri dari konsep hukum yang berlaku umum. Beberapa produk hukum materiil nasional yang menjadi kewenangan peradilan agama sebagai pengejawentahan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 adalah: 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 2. Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2006 dan Undang-Undang No.50 Tahun 2009; 3. Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf; 4. Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; 5. Undang-Undang No.38 Tahun 1999 tentang Zakat yang diubah dengan UndangUndang No.23 Tahun 2011; 6. Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;



15



7. Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1990 tentang Tatacara Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS); 8. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991. Proses penegakan hukum materiil peradilan agama dalam sistem peradilan di Indonesia, tetap mengacu pada Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tahapan penyelesaian sengketa yang masuk kewenangan peradilan agama, dipengaruhi oleh birokrasi peradilan.



5. Reformulasi Hukum Acara Peradilan Agama Secara Sisipan. Hukum acara peradilan agama yang bersandar pada H.I.R dan R.Bg, sudah saatnya dilakukan gerakan pembaruan melalui reformulasi. Meskipun masih banyak umusan di dalam H.I.R dan R.Bg masih sejalan dengan prinsip hukum acara pada umumnya, serta tidak bertentangan dengan asas hukum materiil di peradilan agama, dipandang sudah waktunya di lakukan pembaruan melalui proses legislasi. Langkah refomulasi pembaruan beberapa asas-asas maupun norma di dalam di dalam H.I.R dan R.Bg yang tidak sesuai dengan hakikat dan nilai hukum materiil peradilan agama yang berbasis pada nilai hukum Islam. Metode reformulasi hukum acara peradilan agama dapat dilakukan dengan langkah perubahan secara menyeluruh, atau dapat dilakukan secara parsial sepanjang hal-hal yang tidak sejalan dengan hukum materiil yang berlaku di lingkungan peradilan agama. Sejak Indonesia merdeka hingga pasca era reformasi, pembangunan hukum acara perdata baru dilakukan secara sisipan terhadap bab-bab maupun pasal-pasal tertentu di dalam H.I.R maupun R.Bg. Artinya langkah yang dilakukan tidak secara total terhadap hukum acara di dalam H.I.R dan R.Bg tersebut. Ketika Pengadilan Agama diberi wewenang dan tanggung jawab yang sama dengan lembaga peradilan lain sejak berlaku Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, ternyata tidak ada hukum acara secara khusus. Model penyelesaian perkara lebih cenderung mengikuti tahapan dan prosedural mekanistik dengan durasi waktu panjang. Prinsip peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, tidak tergambar dalam penyelesaian perkara di peradilan agama, terutama di bidang sengketa perkawinan. Reformulasi terhadap H.I.R dan R.Bg dilakukan secara sisipan adalah memasukkan nilai-nilai dan prinsip hukum acara peradilan Islam terhadap bab-bab,



16



maupun pasal-pasal tertentu. Ketika Pengadilan Agama melaksanakan proses peradilan dalam kompetensi absolutnya, baik di bidang perkawinan, kewarisan, zakat, infaq, shadaqoh, dan ekonomi syariah, tetap berada pada koridor dan prinsip nilai hukum Islam berdasarkan prinsip dan asas-asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya murah. Namun pada pelaksanaan berbicara lain, format dan asas hukum acara peradilan agama tetap menggunakan H.I.R dan R.Bg. Hanya saja dilakukan beberapa penyesuaian dengan hal-hal yang berlaku di lingkungan peradilan agama. Pembangunan hukum acara peradilan agama secara sisipan terhadap H.I.R dan R.Bg, menegaskan bahwa dalam ranah dogmatik hukum, baik pengertian, metode perumusan, batasan serta sistematika tidak mengalami perubahan. Dengan kata lain nilai-nilai dan asas hukum Islam lah yang perlu disesuaikan dengan ranah dogmatik hukum Barat. Seharusnya yang perlu dilakukan adalah keberanian untuk memotong dogmatik hukum Barat yang tidak sesuai dengan tahapan penyelesaian sengketa yang sangat panjang ke dalam nilai penyelesaian perkara berdasarkan hukum Islam. Reformulasi hukum acara secara sisipan melalui perubahan undang-undang yang ditawarkan dalam Tabel 3. 6. Reformulasi Hukum Acara Peradilan Agama Secara Menyeluruh. Metode reformulasi hukum dengan melakukan penggantian secara menyeluruh H.I.R dan R.Bg sebagai hukum acara peradilan agama, dengan undang-undang baru (ius constituendum), merupakan langkah mewujudkan hukum nasional. Langkah dan perjuangan untuk melakukan perubahan hukum acara peradilan agama melalui proses legislasi, memerlukan perjuangan dan menghadapi tantangan yang tidak ringan, baik secara politik maupun secara birokrasi. Tantangan akan datang dari di internal umat Islam, sebab tidak semua umat Islam mempunyai pandangan sama tentang pentingnya mengganti hukum acara yang masih berlaku dengan undang-undang yang baru. Hal tersebut, didasari pada gradasi dan tingkat pemahaman berbeda-beda terhadap hukum Islam, serta dipengaruhi cara pandang maupun ideologi yang dipahami dalam kehidupan bernegara. Oleh karenanya bagi masyarakat yang berpaham sekuler, menganggap sudah cukup penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama menggunakan hukum acara di dalam H.I.R dan R.Bg. Secara eksternal tantangan datang dari para pemangku kepentingan di bidang pemerintahan maupun kekuatan partai politik. Sepanjang aturan yang tidak begitu kuat



17



bersinggungan dengan kepentingan pemerintah maupun kekuatan politik, maka reformulasi hukum acara peradilan agama melalui proses legislasi akan mengalami hambatan. Berdasarkan dua metode refomulasi hukum acara peradilan agama tersebut, maka yang sangat memungkinkan dilakukan adalah menggunakan metode reformulasi undang-undang secara sisipan. Alasannya adalah pada reformulasi secara sisipan tenaga dan biaya diperlukan lebih sedikit dan lebih ringan, dibandingkan dengan metode reformulasi undang-undang secara menyeluruh. Perubahan rumusan pasal undangundang di bidang hukum acara, hanya menyesuaikan dengan kebutuhan di lingkungan peradilan agama saja. Secara substansi nilai-nilai berdasarkan hukum Islam tetap terjaga, sehingga usaha reformulasi hukum acara peradilan agama dalam bentuk formalisasi dan legislasi dianggap tidak mendesak. Anggapan tersebut, bahwa hukum acara berdasarkan Pasal 54 s.d 91 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditambah dengan hukum acara di dalam H.I.R dan R.Bg sudah cukup memadai, serta tidak akan menggeser nilai hukum Islam yang berlaku. Hingga sekarang hukum acara peradilan agama tersebut, tetap dipatuhi masyarakat sebagai hukum yang diakui dalam kehdupan masyarakat. Di dalam melakukan proses pembangunan hukum, maupun proses pembuatan norma aturan, harus jeli dan serius membedakan antara aturan hukum dasar yang bersifat ushuli (principle/foundation) dan thawabit (unchangable) dengan aturan hukum yang bersifat furu’ (cabang) dan mutaghayyirat (mutable). Oleh karena, bila terjadi kegagalan mengindentifikasi perbedaan tersebut, maka pembarun aturan hukum yang dilakukan dapat berakibat fatal bagi Islam sebagai agama dan umat Islam sebagai penggunanya. Penyebab kegagalan dapat terjadi, karena salah meletakkan nilai dan asas-asas yang seharusnya sebagai hal yang ushuly, pada kenyataannya diubah atau ditempatkan menjadi hal yang furu’iy dan sebaliknya. Tidak kala penting diperhatikan adalah realitas sosial masyarakat dan pandangan para ulama Islam. Perkembangan masyarakat modern dan bersifat global, tidak dapat dijangkau oleh nash baik yang bersifat ushuly, bahkan yang bersifat furuiy sekalipun. Terhadap hal demikian perlu terobosan pemikiran untuk mengangkat realitas kehidupan sosial masyarakat, ke dalam bentuk hukum formal, sehingga tetap sejalan dengan nilai hukum yang bersifat usuly.



18



Meskipun tidak semua sejalan dengan pendapat para ulama menetapkan urf atau adat kebiasaan masyarakat setempat sebagai sandaran hukum, namun secara faktual banyak urf telah menjelma menjadi aturan yang dipatuhi masyarakat secara sosial tanpa diberi bentuk formal. Untuk menciptakan sinkronisasi aturan maupun harmonisasi aturan hukum, maka pembangunan hukum harus dilakukan dari cara pandang, nilai-nilai serta asas hukum yang sama. Sangat sulit untuk menciptakan sinkronisasi aturan, maupun harmonisasi aturan hukum, jika aturan hukum tidak dibangun dari titik pandang filosofi yang sama. Andaikan, terdapat kesamaan perumusan di dalam norma, tetapi diangkat dari nilai-nilai dan asas hukum yang berbeda, maka sinkronisasi hukum maupun haromonisasi hukum terjadi pada tataran atau aras formal saja, tidak menyentuh pada tataran nilai-nilai dan asas-asas hukum secara substansial. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman, perlu ada upaya melakukan penyederhanaan tatacara berperkara di lingkungan peradilan agama. Khusus tentang perceraian, perlu disederhanakan, yakni penentuan waktu pemutusan perkara cerai, tidak perlu dilakukan upaya hukum ke tingkat banding, maupun kasasi. Mekanisme peradilan yang berlaku sekarang, perkara cerai yang berlarut-larut memakan waktu yang lama akibat upaya hukum, berakibat pasangan yang terlibat perkara yakni menggantung status perkawinan. Selain itu, perkara cerai yang datang dari isteri ternyata mendominasi perkara di peradilan agama, sebagai akibat hanya dilihat dari prosedur mekanistik dalam rumusan pasal undangundang, bukan disandarkan pada kepentingan syariat boleh tidaknya orang menggugat cerai suaminya. Jika rumusan undang-undang tetap dipertahankan, maka kecendrungan dan dominasi percerian tetap terjadi di peradilan agama. Terhadap eksekusi putusan peradilan agama baik menyangkut tentang perkara perceraian, maupun perkara lain yang masuk kompetensi peradilan agama perlu disesuaikan dengan karakter filosofi hukum Islam sebagai rujukannya, bukan pada konsep sekular sebagaimana yang berlaku di dalam hukum Barat. Reformulasi Menyeluruh Hukum Acara Atas Hukum Materiil Peradilan Agama, Berorientasi Pada Hukum Islam, sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:



N No



Bidang Kompetensi



Formulasi Undang-Undang Materiil



Reformulasi UndangUndang Hukum Acara Peradilan Agama secara Menyeluruh (Ius Constituendum)



Keterangan



19



1 Perkawinan .



1. Pasal 3 Ayat (2), Ps 4 dan Ps.5 Izin beristeri/ poligami;



2. Pasal 6 ayat (2) Izin perkawinan belum berumur 21 th dan wali berselisih;



3. Pasal 7 ayat Dispensasi perkawinan;



(2)



4. Pasal 13 s.d Pencegahan perkawinan;



19,



5. Pasal 20, Penolakan perkawinan PPN;



21,



6. Pasal 22 s.d Pembatalan perkawinan;



oleh



28,



Penyederhanaan tatacara dan syarat pelaksanaan poligami untuk mencegah serta menghindari terjadinya perkawinan tidak tercatat. Proses hukum acara dan administrasi yang panjang dan membebani, pada kenyataannya merugikan pihak yang terikat dalam hubungan hukum perkawinan. Kemudian mengingkari hubungan hukum keluarga secara syariat sudah sah. Munculnya keharaman maupun tidak jelas dari perbuatan hukum yang halal berdasarkan agama dan keyakinan. Pembatasan usia perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki sudah tepat. Perlu ditegaskan sebagai kearifan lokal bahwa batas usia 21 Tahun ternyata multi tafsir untuk dibawa pada ranah hukum pidana. Tata cara pernikahan yang terjadi di masyarakat, sebab sangat erat dengan pandangan hidup masyarakat Indonesia yang pluralistik. Proses pengajuan permohonan yang dilakukan setiap pasangan yang akan menikah berdasarkan hukum acara yang berlaku sudah tepat dan perlu dipertahankan. Namun tetap menghindari prinsip mudharat dan manfaat. Alat bukti ikatan perkawinan dengan akta nikah tetap dipertahankan. Hal yang perlu dilakukan penyempurnaan adalah perlu diberi akses kemudahan dan penyederhaan prosedur pengurusan status perkawinan, agar tidak terjadi hubungan perkawinan yang tidak jelas status hukumnya. Perlu dibuat standarisasi pelayanan yang diberikan oleh Kantor Urusan Agama selaku Pejabat Pencatat Nikah, maupun pada Pembantu Pencatat Nikah (PPN) dalam melayani warga masyarakat yang minta dicatatkan pernikahan, baik dari aspek administrasi maupun biaya yang harus dikeluarkan masyarakat. Ketidakjelasan berakibat munculnya praktek yang menyimpang dalam pelayanan pencatatan pernikahan. Penyederhanaan permohonan pembatalan perkawinan perlu dilakukan untuk memperjelas status perkawinan yang telah terjadi. Pengajuan pembatalan yang disebabkan



Pada umumnya praktek poligami yang dilakukan sangat sedikit yang berizin, baik dari isteri-isteri terdahulu, maupun dari atasan atau lembaga berwenang. Meskipun negara membuat aturan yang ketat, praktek poligami yang terjadi umumnya tidak berizin. Kenyataan tersebut sulit dijangkau oleh undang-undang, maupun oleh pihak yang merasa dirugikan dalam hubungan perkawinan poligami tersebut. Pembatasan usia 21 Tahun mengikuti ketentuan hukum perdata Barat, serta pandangan tentang perkawinan sangat administratif. Ternyata batasan usia tersebut menggiring perbuatan ke arah pidana. Praktek telah membawa “korban” sebagai akibat pandangan bahwa perkawinan sebelum usia 21 Tahun tanpa izin wali. Perlu dilanjutkan formulasi dan tahapan pengajuan izin menikah bagi pasangan yang masih terikat ikatan dinas



Seringkali muncul problematika pasangan yang menikah tidak mempunyai akta nikah dalam memutuskan hubungan perkawinan, maupun membangun ikatan perkawinan baru terkendala pada status hukum perkawinan yang dijalanninya. Munculnya gratifikasi terhadap Pejabat maupun Pembantu Pencatat Nikah (PPN) sebagai akibat tidak ada standarisasi pelayanan yang diberikan. Penyalahgunaan wewenang muncul dan terus berkembang di masyarakat, sebagai akibat memanfaatkan celah hukum dan kebutuhan masyarakat sebagai pengguna jasa Pejabat Pencatat Nikah (PPN). Pembatalan muncul dari pihak yang merasa dirugikan atas terlaksananya satu perkawinan, karena terdapat ikatan. Pembatalan bertujuan untuk



20



adanya pelanggaran syarat dan rukun, sepanjang tidak bersintuhan dengan aspek agama dan keyakinan perlu dipermudah. Hal-hal yang menyangkut perbedaan keyakinan dan perbedaan agama, perlu dipertegas. 7. Pasal 34 Ayat 3), Gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri;



8. Pasal 39 Perceraian karena talak;



9. Pasal 40, Gugatan perceraian;



10.



Pasal 35, 36, Penyelesaian harta bersama;



Tatacara pengajuan gugatan kelalaian kewajian suami yang dilakukan oleh isteri tidak harus untuk memutuskan hubungan perkawinan yang sedang dijalankan. Namun gugatan yang dilakukan oleh isteri terhadap suami adalah untuk memperbaiki hubungan perkawinan yang sedang berjalan. Pengajuan gugatan kelalaian semata untuk memenuhi hak-hak isteri yang dilalaikan suami, baik terhadap nafkah lahir maupun bathin. Prosedur dan mekanisme pengajuan cerai talak yang dilakukan oleh suami terhadap isteri perlu disederhanakan. Artinya pemeriksaan perkara tidak perlu dilakukan upaya hukum banding maupun kasasi, sebab perkara cerai menyangkut hal yang perlu disegerakan status hukumnya, dikarenakan menyangkut hajat hidup dan masa depan pasangan setelah bubarnya perkawinan. Dibuka kesempatan upaya hukum perkara cerai talak dapat berakibat tidak jelasnya status perkawinan hukum pasangan dalam kurun waktu yang panjang. Munculnya kemudahan pengajuan gugatan cerai yang dilakukan oleh isteri terhadap suami, serta pemeriksaan perkara yang bersifat mekanistik di Pengadilan Agama telah menyebabkan meningkatnya jumlah perkara cerai yang sangat signifikan. Cerai gugat perlu ada pedoman yang jelas ketika isteri didaftarkan di Pengadilan Agama, benar-benar didasarkan alasan yang bersifat syar’iyah. Alasan menggunakan Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 KHI ternyata sangat berpengaruh baik kepada isteri maupun suami untuk memutuskan perkawinan melalui perceraian. Meskipun penyelesaian harta bersama dapat dilakukan secara serentak dengan perkara cerai, sebaiknya perkara cerai lah yang lebih diutamakan. Andaikan penyelesaian harta bersama dapat dilakukan upaya hukum banding maupun kasasi, maka terhadap perkara pokok cerai harus diselesaikan terlebih



membenahi hubungan perkawinan yang telah terjadi. Sepanjang perkawinan tidak melanggar hukum agama, maka pembatalan diarahkan untuk memperbaiki keadaan yang telah terjadi. Tuntutan yang berbentuk gugatan menghadapi dilema di dalam praktek. Sebab putusan akhir pengadilan akan menghasilkan putusan yang bersifat menghukum. Perlu dibuat terobosan pengadilan agama tidak harus bersifat menghukum, tetapi memperbaiki hubungan perkawinan yang sedang berjalan. Fakta yang ditemui dalam praktek hukum acara yang berlaku, semua perkara dapat diajukan upaya hukum termasuk perkara cerai talak. Menggantungnya status perkawinan akibat upaya hukum dapat berakibat terjadi hal-hal yang sesuai dengan ajaran agama, seperti terjadi perzinahan baik oleh suami maupun isteri yang status perkawinan dalam proses perkara. Fenomena ada kemudahan menggugat cerai suami dalam ikatan perkawinan yang dilakukan oleh isteri, telah menggeser makna dan hakikat suatu perkawinan. Pasal 16 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975, tadinya merupakan pasal yang tidak melindungi suami, namun fakta yang terjadi adalah isteri lah yang sangat dominan menggunakan pasal tersebut sebagai alasan menggugat cerai suaminya.



Objek harta bersama adalah benda, sedangkan peran penting dalam cerai adalah orang sebagai subjek hukum. Sepanjang menyangkut status hukum perkawinan, maka secepatnya harus diperjelas statusnya. Menyangkut harta



21



11. Pasal 41 (a), Mengenai penguasaan anak;



12. Pasal 41 (b), Ibu yang memikul biaya anak dan bapak lalai memenuhinya;



13. Pasal 41 (c), Penentuan kewajiban biaya oleh suami kepada bekas isteri;



14. Pasal 43 (1, 2), 44, Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;



15. Pasal 47 (1, 2), Penentuan pencabutan kekuasaan orang tua;



dahulu tanpa perlu ada upaya hukum, dalam melindungi hak dan masa depan pihak-paihak yang melaksanakan perceraian. Sengketa tentang penguasaan anak dalam perceraian hanya menyangkut hak asuh sebelum anak berusia 12 tahun. Oleh karena itu sepanjang hak asuh, maka perlu disederhanakan bahwa ibu lah yang mempunyai hak asuh atas anak dalam sengketa cerai. Hak asuh anak tidak perlu ada upaya eksekusi, sebab anak merupakan subjek hukum yang secara kodrati adalah sebagai pengemban hak dan kewajiban secara penuh. Pengadilan Agama perlu diberi peran dalam melindungi hak-hak anak atas kelalaian yang dilakukan oleh ayahnya, meskipun ikatan perkawinan antara dan ibu si anak telah putus. Sebagai catatan, jumlah anak yang telantarkan oleh ayah kandungnya sebagai akibat perceraian orangtuanya cukup tinggi. Perlu dipertegas peran Pengadilan Agama terhadap pembebanan kewajiban kepada suami yang bercerai dengan isterinya. Beban yang dipikul suami berdasarkan syariat islam adalah nafkah pisah, nafkah iddah, kiswah dan maskan serta mut’ah. Sedangkan kewajiban suami terhadap bekas isterinya berdasarkan ketentuan kepegawaian perlu ditinjau kembali, sebab pada kenyataannya menemui kendala di dalam ptaktek. Keabsahan anak sah sudah tegas serta jelas nasab dan hubungan perwarisan. Pengakomodir status anak yang lahir di luar perkawinan, maupun hasil hubungan zinah, kiranya tidak menggeser ketentuan syariat Islam. Pengakuan secara formal hubungan perdata antara anak di luar nikah dengan ayah biologis berdasarkan putusan Mahkamah konstitusi dan Mahkamah Agung, perlu dibatasi, serta sepanjang tidak menggeser dan bertentangan ketentuan syariat Islam. Cara pandang dan tatacara pencabutan kekuasaan orangtua oleh Pengadilan Agama yang sangat bergantung pada gugatan atau permohonan perlu disederhanakan. Ketika terjadi pelanggaran maupun kejahatan yang merusak hubungan nasab antara anak dan orangtua, maka prosedur beracara lebih menguntungkan kedudukan anak.



bersama yakni benda, maka dapat dilakukan upaya hukum yang memakan waktu lama. Usia anak dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang mengikuti kurun waktu. Oleh karena itu jangan menjadikan anak objek sengketa dalam perkara cerai, sebab anak sebelum berumur 12 tahun secara naluriah lebih dekat kepada ibunya. Seorang bapak wajib menanggung biaya anak yang dilahirkan dari ikatan perkawinan tersebut Tuntutan tentang hadlanah perlu diberi porsi yang besar, sebab kenyataan banyak orangtua yang tidak melaksanakan kewajiban terhadap anak kandung sendiri. Pembebanan kewajiban biaya yang dipikul oleh suami terhadap isteri yang telah diceraikan, terutama setelah masa iddah, pada kenyataannya tidak ada syariat Islam yang menentukan. Praktek undangundang di Indonesia, meskipun suami telah menceraikan isterinya tetap terikat pada ketentuan kepegawaian yang kenyataannya sulit untuk ditaati pasca putusan pengadilan. Perlu dilakukan sinkronisasi antara rumusan undang-undang dengan keputusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkah Agung tentang cara pandang terhadap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Batasan hubungan perdata, perlu dikawal dalam cara pandang yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Rusaknya hubungan antara orangtua dan anak disebabkan faktor sosial yang berkembang di dalam masyarakat



22



16. Pasal 49 (1,2), Pencabutan kekuasaan wali;



17. Pasal 50, 51, Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan;



Perlu dibuat secara operasional kekuasaan wali yang merugikan kepentingan hukum anak, setiap anak berhak atas rasa aman dan nyaman serta terjamin masa depannya. Prosedurnya beracara lebih disederhanakan, serta hak-hak setiap anak terlindungi dari kekuasaan wali yang tidak amanah. Wali yang ditunjuk oleh pengadilan melalui proses berperkara sebatas kepentingan anak dalam kepentingan perdata serta tidak terkait dengan kepentingan pernikahan dan perwarisan.



18. Pasal 50, 51, Penunjukan wali anak yang belum berumur 18 tahun yang ditinggal oleh kedua orang tuanya;



Perlu dipertahankan kewenangan Pengadilan Agama, sepanjang bertujuan untuk mempertahankan kepentingan hukum anak terhadap harta kekayaan dan masa depan pendidikan, tidak termasuk pada wali pernikahan.



19. Pasal 52, 53, Pembebanan kewajiban ganti rugi terhadap wali merugikan anak;



Perlu dibuat rumusan administratif secara tegas dan ketat batasan yang dapat dilakukan untuk memperjuangkan hak anak yang dirugikan, sebagai akibat wali yang merugikan kepentingan hukum anak di bawah perwaliannya. Penentuan nasab anak dengan orangtua yang melahirkan, maupun orangtua perlu diatur secara terperinci dan ketat, supaya tidak terjadi pengkaburan nasab anak, terutama anak perempuan. Begitu juga terhadap pengangkatan anak, perlu diluruskan dengan syariat Islam, terutama tidak ada pengalihan nasab anak angkat dari ayah kandung ke ayah angkatnya. Perlu ada perumusan dan tafsiran tunggal terhadap perkawinan campuran, apakah dilihat dari perbedaan kewarganegaraan ataukah dari aspek perbedaan agama dan keyakinan. Artinya perlu penegasan bahwa di Indonesia tidak ada tempat terjadinya perkawinan antara sepasang laki-laki dan perempuan yang tidak mempunyai agama dan keyakinan yang sama. Perlu ada terobosan untuk melindungi kepentingan dan hak hukum warga negara Indonesia yang beragama Islam, baik yang berada di Indonesia maupun di luar negeri. Dalam praktek rumusan unudang harus mengatur hal-hal yang akan terjadi ke depan, bukan



20. Pasal 55 (1), Penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak berdasar hukum Islam;



21. Pasal 56, Putusan penolakan tentang perkawinan campuran;



22. Pernyataan sah perkawinan sebelum berlaku UU No.1 Th 1974. Izin beristeri/ poligami;



Hak-hak anak sangat diutamakan, maka prosedur acara di Pengadilan Agama lebih cepat dan sederhana



Perlu dibatasi kewenangan Pengadilan dalam penunjukan wali terbatas kepentingan perdata, tidak masuk pada ranah dan kepentingan dalam perwalian perkawinan, maupun lingkup kewarisan. Kepentingan hukum anak yang ditinggal meninggal dunia atau hilang (mafqud), maka perbuatan hukum anak perlu di an-tara-i oleh wali yang bertanggung jawab serta tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan. Meskipun lebih cenderung mengikuti hukum perdata, namun sepanjang ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh wali, maka perlu ada langkah konkrtit untuk melindumgi hak-hak anak. Fenomena kaburnya asal usul anak yang dilahirkan oleh pasangan yang tidak terikat perkawinan (zinah), seringkali dimanfaatkan pihak-pihak yang menginginkan anak, akibat tidak punya keturunan. Jalan yang dimungkinkan adalah melalui pengangkatan anak. Pemaknaan dan standar ganda terhadap cara pandang perkawinan campuran, berakibat munculnya pola-pola yang bervarisasi di masyarakat atas permintaan pernikahan yang dilakukan pasangan yang berbeda agama dan keyakinan.



Di dalam praktek baik di Indonesia, maupun warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri yang hilang hakhaknya untuk mendapat perlindungan negara, terutama status perkawinan mapun hak



23



membatasi pada peristiwa yang sudah terjadi. Itsbath nikah perlu dibuat jalan keluarnya, sebab jangan menghukum hak hukum warga negara yang sebetulnya perbuatan tidak terdaftarnya perkawinan bukan kesalahan dirinya. 2 Kewarisan



1. Penentuan siapa yang menjadi ahli waris; 2. Penentuan mengenai harta peninggalan; 3. Penentuan bagian ahli waris dan pelaksanaannya;



3 Wasiat;



1. Syarat sahnya Wasiyat; (pihak berwasiyat, penerima wasiyat, objek wasiyat, pelaksanaan wasiyat); 2. Persinggungan wasiyat dengan hukum kewarisan Islam; 3. Batasan wasiyat



4 Hibah;



1. Rukun dan Syarat Hibah [Penghibah (al-wahib), penerima hibah (almauhublah) dan objek hibah(alhibah); 2. Hibah terhadap semua harta; 3. Penarikan hibah;



5 Wakaf;



1. Lembaga wakaf adalah mempertahankan objek harta dan memberi manfaat bagi kepentingan sosial keagamaan; 2. Objek wakaf bervarisasi, baik benda bergerak, maupun cash wakaf.



.



.



.



.



Undang-Undang No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan beberapa perubahan tidak mengatur secara rinci tatacara mengajukan gugatan di dalam perkara kewarisan Islam. Pengajuan gugatan perkara kewarisan yang merujuk pada Pasal 142 H.I.R/118 R.Bg, perlu penyederhanaan, sebab yang diselesaikan dilihat aspek menang kalah, tetapi penentuan dan pendistribusian harta warisan kepada ahli warislah yang sangat diutamakan. Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tidak mengatur secara tegas tatacara berperkara di bidang wasiyat. Pengaturan wasiyat dalam KHI Psl 194 s.d Psl 209, perlu diimbangi dengan teknis berperkara. Selain itu penggunaan wasiyat wajibah dalam perkembangan hukum di Indonesia, terutama di dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2012 yang memberi wasiyat wajibah terhadap anak yang dihasilkan dari perbuatan zina. Sebagai pranata keagamaan, hibah tidak diatur secara terinci dalam UU No.7 Tahun 1989, secara materiil diatur dalam Ps 171 (g) KHI. Pemasyarakatan penggunaan hibah berdasarkan hukum Islam harus dibedakan dengan berdasarkan hukum Barat (schenking). Perlu dimunculkan aspek keagamaan yang lebih ditonjolkan dalam pemberian hibah dengan sesama. Konsep hibah Islam lebih ditujukan pada Notaris sebagai pejabat publik, maupun masyarakat pada umumnya. Wakaf adalah lembaga sosial ekonomi Islam yang cepat berkembang. Paradigma tidak lagi konvensional dan pemberdayaan objek wakaf terus berkembang ke arah hal-hal yang produktif. Pengelolaan dan pemberdayaan menggunakan prinsip manajemen modern.



hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak terdaftar. Itsbat nikah perlu tindakan aktif dari Pengadilan Agama, sebagai wujud hadirnya negara membela kepentingan hukum warga negaranya. Perkara di bidang kewarisan sebagai pintu masuk (entry point) terhadap objek harta warisan yang diatur dalam berbagai undang-undang. Oleh karena itu wewenang Pengadilan Agama di bidang kewarisan perlu perumusan yang dapat menampung berbagai persoalan terhadap harta warisan. Perlu penegasan dan pembedaan secara tegas pandangan tentang wasiyat dalam syariat Islam dengan testament yang berada dalam pengaturan hukum Barat. Selain itu perlu penegasan penggunaan wasiyat wajibah dalam pengaturan serta praktek yang terjadi di Indonesia, terutama terhadap anak hasil zina.



Pelaksanaan hibah dalam rangka memunculkan aspek hukum Islam, perlu ditonjolkan dalam pengaturann nya, sebab umumnya masyarakat Indonesia lebih tersentuh, jika perbuatan amal baiknya digandengkan dengan pendekatan agama dan religius.



Unsur-unsur yang tersangkut pada lembaga wakaf, baik wakif, objek wakaf, akad (sighat) wakaf, nadhir, PPAIW dan program kerja nadhir, perlu dilakukan berdasarkan manajemen moderrn. Pengawasan terhadap objek wakaf, perlu dibuat lembaga independen yang secara khusus diberi kewenangan terhadap



24



6 Zakat



3. Nadhir adalah sekelompk orang atau badan hukum yang diberi tugas mengelola objek wakaf agar dikembangkan dan dimanfaat orang banyak 1.Kewajiban mengeluarkan harta bagi setiap muslim, setelah terpenuhinya nshab dan haulnya; 2. Macam-macam zakat, zakat fitrah, zakat maal, zakat profesi, zakat penghasilan. dll



agar tujuan masyarakat



7 Infaq;



1.



1. Perlu formulasi tatacara yang mengatur kemudahan setiap muzakki untuk menunaikan kewajiban membayar zakat, sejalan dengan UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No.23 Tahun 2011 tentang Zakat. 2. Mempermudah pelaksanaan pembayaran zakat baik melalui badan yang dibentuk oleh pemerintah maupun oleh organisasi yang dibentuk masyarakat; 3. Tatakelola secara transparan dalam penampungan, pengelolaan serta distribusi zakat kepada mustahik, baik konsumtif maupun produktif. Formulasi dan pengaturan secara formal dalam undang-undang hindari menghilangkan esensi dari infaq, sebagai bentuk keimanan seorang muslim. Pengaturan lebih ditujukan pada aspek pengelolaan, pendayagunaan dan pertanggung jawaban pengurus, dibuat batasan agar infaq yang diberikan tidak disalahgunakan, maupun penggelapan dana.



Munculnya tarik menarik kepentingan dalam pembuatan pengaturan di bidang zakat sangat kuat, karena menyangkut nilai uang yang dikumpulkan oleh masyarakat. Transaparansi pengumpulan, pengelolaan dan pendistribusian, zakat merupakan titik lemah dalam penunaian zakat. Zakat dapat menjadi ikon perubahan, jika porsi aturan, tujuan dan mekanisme pengeloaan dilakukan berdasarkan tatakelola yang baik. Meskipun sengketa tentang infaq di Pengadilan Agama sangat jarang, namun sebagai antisipasi ke depan, perlu hukum acara yang selaras dengan nilai hukum Islam. Tidak jelasnya hukum acara yang tidak sesuai dengan hukum materiil infaq, maka tujuan yang dihendaki setiap pelaku infaq jadi terabaikan.



8 Shadaqah;



1. Sedekah adalah Sedekah sebagai lembaga khusus Islam pemberian atas suatu bertujuan untuk mendekatkan seorang benda dengan cara muslim kepada Allah swt dengan cara sukarela mengharap memberikan harta kekayaan pahala di akhirat. dimilikinya untuk dinikmati setiap 2. Sedekah merupakan orang. Formulasi aturan perlu bentuk ibadah menyentuh aspek religius dan maliyah, seringkali keyakinan setiap pemberi sedekah. diterjemahkan Formulasi tentang sedekah perlu menjadi sedekah perhitungan, agar norma yang dibuat wajib (zakat) dan tidak mencapai sasaran. sedekah thatawwu (infaq) 1. Ekonomi Syariah 1. Pemberian kewenangan pada adalah perbuatan atau Pengadilan Agama dalam kegiatan usaha yang penyelesaian sengketa ekonomi dilaksanakan menurut syariah, merupakan terobosan baru. prinsip syariah, seperti Namun pemberian kewenangan Bank syariah, tersebut perlu disiapkan sumber daya Lembaga keuangan hakim yang khusus memahami mikro syariah, prinsip ekonomi pada dan praktek Asuransi syariah, perbankan umum dan bank syariah; Reasuransi syariah, 2. Praktek ekonomi syariah tidak hanya



1. Kewenangan absolut peradilan agama tentang sedekah, di dalam praktek perlu perhitungan dalam pembuatan aturan formal yang diatur oleh negara. 2. Penyelesaian sengketa di bidang sedekah lebih baik berbentuk mendahulukan aspek mashlahat, ketimbang menggunakan tatacara formal.



.



.



.



.



lembaga Wakaf mensejahterakan tercapai.



9 Ekonomi Syariah



Infaq merupakan salah bentuk sedekah thatawwu sebagai wujud ibadah maliyah; 2. Infaq merupakan wujud dari sifat kedermawanan muslim dalam bentuk keshalehannya.



1.Pemberian kewenangan ekonomi syariah pada Pengadilan Agama sudah menerobos prinsip personalitas keislaman, sebab masuknya kewenangan ekonomi syariah, sudah membuka keran bagi non muslim untuk menyelesaikan perkaranya di Pengadilan



25



Reksa dana syariah, terbatas orang Islam saja, tetapi Agama; Obligasi syariah & orang non Islam dapat 2. Praktek Mahkamah Syariah surat berharga menggunakannya. Formulasi ke di negara Islam, tidak berjangka menengah depan akan sulit, sebab Pengadilan memasukkan sengketa syariah, Sekuritas Agama bukan satu-satunya lembaga ekonomi syariah dalam syariah, Pembiayaan yang dapat menyelesaikan perkara kewenangannya, melainkan syariah, Pegadaian ekonomi syariah: ada pengadilan khusus. syariah (Rahn), Dana 3. Penyelesaian sengketa ekonomi dapat 1. Hukum acara tetap pensiun lembaga dipilih menggunakan madiasi, menggunakan undangkeuangan syariah; dan negosiasi, arbitrasi umum atau undang yang berlaku Bisnis syariah; syariah, serta dapat dilakukan melalui menggunakan prinsip yang 2. Penyelesaian sengketa peradilan umum; berlaku umum. di bidang ekonomi syariah diberi kewenangan kepada Pengadilan Agama;



Peradilan agama yang berwibawa dapat diwujudkan melalui proses penegakan hukum yang adil, berlandaskan pada aturan hukum, prilaku hakim sebagai penegak hukum memperhatikan lingkungan sosial masyarakat. Penegakan hukum yang adil dapat tercapai, jika aturan hukum acara dan hukum materiil peradilan agama yang ditegakkan maupun tatacara penegakan hukum adalah benar dan adil. Aturan hukum yang benar, bila dibuat dengan cara yang benar, materi muatan (substansi) sesuai dengan kesadaran hukum, serta memberi manfaat besar bagi kepentingan masyarakat banyak. Hukum acara dan hukum materiil peradilan agama tidak baik, jika dibuat hanya untuk kepentingan kekuasaan dan mempunyai jarak begitu jauh dengan kesadaran dan kenyataan sosial masyarakat (situation gebundenheit). Walaupun sistem hukum di lingkungan peradilan masih sangat dipengaruhi oleh konsep positivistik, peran hakim diharapkan dapat menterjermahkan hal-hal yang terjadi di depan pengadilan dengan realitas yang terjadi di dalam masyarakat. Hakim sebagai refleksi dari Pengadilan Agama, memiliki kedudukan dan peran penting dalam pembaruan hukum. Peran sebagai pembaharu hukum bagi semua hakim, termasuk hakim di lingkungan peradilan agama. Mulai hakim tingkat pertama, tingkat banding maupun kasasi. Melalui kedudukan dan kewenangan yang dimilikinya, hakim dapat aktif sebagai tokoh sentral pembaruan hukum. Melalui putusannya, diharapkan mampu bersikap aktif dan progresif berperan melakukan pembaruan hukum. Hakim mengisi kekosongan hukum melalui penggunaan instrumen dan metode interpretasi terhadap rumusan tekstual suatu peraturan perundang-undangan maupun penemuan hukum.



26



Hakim Pengadilan Agama dapat pula melakukan re-interpretasi terhadap interpretasi yang ada sebelumnya. Hal tersebut dimaksudkan sebagai upaya reaktualisasi maupun re-vitalisasi bahkan reorientasi makna terhadap rumusan tekstual aturan perundang-undangan bidang hukum materiil peradilan agama, disesuaikan dengan cita hukum Pancasila. Tidak ada tafsir yang bersifat permanen dan berlaku selamanya, terkecuali interpretasi authentik yang memang sengaja dibuat selamanya. Dalam menjalankan kewenangan, hakim peradilan agama dapat melakukan tindakan yang bersifat menguji relevansi berlaku satu undang-undang, apabila menurut penilaian dan keyakinannya undang-undang tersebut tidak memiliki relevansi. Prinsipnya hakim berwenang menyingkirkan atau tidak memberlakukan (contralegem). Pembaruan hukum melalui proses peradilan oleh hakim akan dirasakan lebih nyata (das sein) dibandingkan dengan pembaruan hukum melalui proses legislasi (das sollen). Seorang hakim senantiasa hadir (present), melebur (involve) serta meng-ada (to-be) di tengah kehidupan sosial secara nyata, tanpa harus merasa takut atau khawatir (akan) kehilangan jati diri sebagai hakim yang harus tetap besikap objektif, adil, indefenden, imparsial. Tatkala harus menciptakan sesuatu hukum baru, hakim peradilan agama harus memiliki keberanian moral dan intelektual untuk keluar dari pengaruh dan belenggu pakem konvensional paham legisme, yakni berpikir dan bertindak out of the box. Prinsip kepatutan, kemanfaatan serta keadilan merupakan sumber referensi paling penting ketika hakim harus mengambil tindakan menciptakan hukum (baru) dengan menggunakan paradigma berpikir out of the box. Namun perlu diakui untuk melakukan hal tersebut tidaklah mudah. Terkadang harus berani menggunakan cara berpikir secara assymetris terhadap pakem pemikiran yang bersifat stagnan. Roh putusan hakim terletak pada ratio decidendi, sedangkan mahkota putusan hakim terletak pada irah-irahnya. Tidak masalah jika nanti putusan yang dijatuhkan akan menimbulkan kontroversi, silang pendapat, pro dan kontra di kalangan masyarakat maupun pihak yang berperkara. Sikap pendirian hakim dalam suatu perkara dituangkan di dalam putusan yang dijatuhkan berdasarkan keyakinan sejati, selaras dengan prinsip universal tentang independence of judiciary yang telah diatur secara konstitusional. Penegakan hukum peradilan agama yang berwibawa sebagai bagian penegakan hukum (law enforcement) dapat terwujud, jika fungsi membuat hukum (law making) dan fungsi menjalankan hukum (law appliying), tidak berjalan tumpang tindih



27



(overlapping). Penegakan hukum tidak hanya dimaksudkan untuk mempertahankan hukum dalam arti represif semata, tetapi juga mencakup tindakan preventif. PENUTUP. Hadirin yang saya hormati, Sebagai penutup orasi ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Perjuangan melahirkan Undang-Undang Peradilan Agama sangat dipengaruhi suasana batin umat Islam terhadap kekuatan politik Orde Baru. Orientasi hukum acara peradilan agama secara normatif yang mengadopsi hukum acara di lingkungan peradilan umum, yakni Hukum Barat merupakan kenyataan yang harus diterima pada saat itu. Ketika Hukum Barat diterapkan di Pengadilan Agama membawa polarisasi dan bias nilai, asas-asas, norma maupun proses aktualisasinya adalah kenyataan yang tidak dapat dihindari. Mekanisme penyelesaian perkara di lingkungan peradilan agama dilakukan berdasarkan nilai-nilai filosofi yang tercantum hukum acara perdata Barat, membawa konsekuensi terjadi pergeseran karakteristik pada hukum materiil sebagai dasar kewenangan peradilan agama. 2. Hukum Acara Peradilan Agama yang hingga saat ini masih menggunakan Hukum Perdata Barat (HIR dan Rbg) jelas membawa pengaruh dalam penegakan hukum materiil peradilan agama yang berbasis pada huku Islam. Sebagai langkah preventif untuk menghindari terjadinya pergeseran dan bias dalam pelaksanaan kewenangan, sudah saatnya hukum acara peradilan agama dilakukan pembaruan dengan membuat hukum acara yang berangkat dari hukum nasional. Peletakan dasar dan basis nilai filosofi hukum acara harus sejalan dengan hukum materiil hukum Islam. Secara konstitusional sistem hukum acara peradilan agama dilaksanakan berdasarkan cita bernegara. Penegakan hukum perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama, seharusnya dilaksanakan dalam bingkai hukum nasional sejalan dengan cita hukum Pancasila sebagai dasar negara, maupun sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. 3. Reformulasi norma hukum acara peradilan dari aspek nilai dan asas, dilakukan dengan cara mendesain ulang perumusan yang disesuaikan dengan ciri dan karakter hukum Islam, dengan tetap memperhatikan asas peradilan yang dianut dalam sistem peradilan Indonesia. Reformulasi bertujuan untuk menselaraskan nilai-nilai, asasasas, maupun norma hukum yang terdapat di dalam hukum acara dengan hukum



28



materiil yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama sebagai sus sistem peradilan Indonesia. Reformulasi hukum acara peradilan agama secara sisipan hanya dilakukan untuk mengatasi persoalan yang bersifat temporer. Sementara reformulasi hukum acara peradilan agama secara menyeluruh, merupakan upaya mewujudkan hukum acara peradilan agama sebagai subsistem peradilan Indonesia yang berbasis pada nilai-nilai dan asas-asas hukum berdasarkan cita negara hukum berdasarkan Pancasila, sehingga pada akhirnya menjadikan peradilan agama lebih berwibawa.



DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cetakan kedua, Jakarta: Akademika Presindo, 1995. Abu Zahrah. Muhammad, Ushul Fiqh, Terjemahan oleh Saifullah Maksum, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Cetakan Pertama,I, Jakarta: Bp Iblam, 2004. Afdhal, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil, Cetakan Kedua, Surabaya: Airlangga University Press 2006. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cetakan 4, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Ahmad Zaini, et all, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1987. Aji. Oemar Seno, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1980. Alawy. Zainal Abidin, Ijtihad Kontemporer dan Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Mahmud Syaltut, Jakarta: Yayasan Haji Abdullah Amin, 2003. Ali, H.Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1996. -------------, Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Jakarta: Rajawali Press 1995. Anshori, Abdul Ghofur. Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Cetakan 1, Yogyakarta: UII Press, 2007. Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.



29



Arto, A. Mukri. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Putaka Pelajar 2004 Assegaf. Syekh Alwi Ahmad, Fawa Idul Makkiyah Fi Sab’ati Kutub Almufidah, Reprod, Bandung: Al-Maarif, 1953. Asshidieqie. Jimly, Perihal Undang-Undang, Cetakan ke-1, Jakarta: RajaGafindo Persada, 2010.



-------------------, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, cetakan kedua, Bandung: Angkasa, 1996. Attamimi. A. Hamid, Hukum Tentang Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Jakarta: Fakultas Hukum UI, 1993. Azhary, Muhammad Tahir. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam: Implementasinya pada Periode madinah dan Masa Kini, cetakan pertama, Jakarta: Bulan Bintang 1992/ Bahnasi. Ahmad Fathi, al-‘Uqûbah fi al-Fiqh al-Islâmî, Cairo/Bairut: Dâr asy-Syurûq, 1989/1409. Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, Jakarta, Raja Grafindo Persada 2004. Basah. Sjahran, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Cetakan ketiga, Bandung: Alumni, 1997. Basyir. Achmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1977 Brown. Nathan J, The Rule of Law in the Arab World (Cambridge: Cambridge University Press, 1997. Contterrel, Roger, Jurispudence: A Critical Introduction to Legal Philosohpy, Philadelpia, University of Pennsylvania Press, 1992. Coulson, Noel J. Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah (The History Of Islamic Law). Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1987. Daly, H.Peunoh. Kontekstualisasi Ilmu Fiqh dalam Upaya Transformasi Hukum Islam ke dalam Hukum Nasional. Palembang: Seminar Nasional Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasinal, Nopember 1992. Darmodiharjo, Darji dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995. Djalil, H.A. Basiq, Peradilan Islam, Jakarta: Amzah, 2012. Edi Riyadi, Paradigma Baru Hukum Waris Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.



30



El-Affendi. Abdel Wahab, Masyarakat Tak Bernegara (Who Need an Islamic State), diterjemahkan Amiruddin ar-Rani, cetakan pertama, Yogyakarta: LKIS, 1994. Fyzee, Asaf A.A. Outlines of Muhammad Law, 4 ed, Delhi: Oxford University Press, 1974. Gerven. W. An, Kebijaksanaan Hakim, Jakarta: Erlangga 1990. Goesniadhie S. Kusnu, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan, (Lex Spesialis Suatu Masalah), Surabaya: PT.Temprina Media Grafika 2006. Haidar, M.Ali. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), Hallaq. Wael, A History of Sunni Legal Theories: An Intoduction to Sunni Ushul al-Fiqh, Cambridge: Cambridge University Press, 1997. Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, Jakarta: Bulan Bintang, 1974. ---------, Sejarah Umat Islam,Jakarta:Bulan Bintang,1981 Harahap. M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cetakan kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2005. -----------,“Informasi materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam” dalam Kompilasi hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional,(Jakarta: Logos, 1999. Hartono, CFG. Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Alumni, 1994. Hazairin, Demokrasi Pancasila. Jakarta: Rineka Cipta, 1990. ----------, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Jakarta: Tintamas, 1974. ----------, Hukum Kewarisan Islam Menurut Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: Tintamas, 1975. ----------, Mahmud Junus dan Toha Jahja Omar, Perdebatan dalam Seminar Hukum Nasional tentang Faraid, Jakarta: Tintamas 1964. Heijer. Johannes den, dan Syamsul Anwar (ed), Islam, Negara dan Hukum, Jakarta: INIS 1993. Hiujbers.Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius 2000. Indriati. Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan (Dasar-dasar dan Pembentukannya), Yogyakarta: Kanisius, 1998.



31



Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: PT.Citra Adtya Bakti, 2005. Ka’bah, Rifyal. Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan N.U Jakarta: Universitas Yarsi, 1999. ----------, Penegakan Syari‘at Islam di Indonesia, Jakarta: Penerbit Khairul-Bayang, 2003. Kamali. Mohammad Hashim, Principles of Islamic Jurisprudence, Kuala Lumpur: Ilmiah Publishers Sdn. Bhd, second revised edition, 1998 Keraf. Gorys, Argumentasi dan Narasi, Jakarta, 1989. Kharofa. Ala’eddom, Islamic Family Law: A Comparative Study with Other Religiions (Kuala Lumpur” Internationl Law Book Services, 2004. Lev, Daniel,S. Peradilan Agama Islam di Indonesia (Islamic Courts in Indonesia), alih bahasa oleh H.Zaini Achmad Noeh. Jakarta: Intermasa, 1986. Lili Rasjidi dan B.Arief Sidharta, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. Lukito. Ratno, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Studi Tentang Konflik dan Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia, terjemahan dari Sacred And Secular Law (A Study of Conflict and Reolution in Indonesia), Jakarta: Pustaka Alvabet, Juni 2008. Madjid, Nurkholish. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi baru Islam di Indonesia, cetakan 1, Jakarta: Paramadina, 1995. Manan. Abdul, Aneka masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Media Pradana Group, 2006). ------------, Penerapan Hukum Acara Perdata Islam di Lingkungan Peradilan Agama, Cetakan ke-5, (Jakarta: Kencana Media Pradana Group, 2008). Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syariah, cetakan pertama, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.) Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. Masud, Muhammad Khalid. “Pencarian Landasan Normatif Syariah Para Ahli Hukum Islam” Dalam Dinamika Kontemporer dalam Masyarakat Islam, dihimpun oleh Dick van der Meij, diterjemahkan oleh Soemardi, Jakarta: INIS, 2003. Mertokukuso, Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan ketujuh Yogyakarta: Liberty, 1998. MD.Moh. Mahfud, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Press, 2010.



32



----------, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998. Muhammad. Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Alumni, 1978. Natabaya. H.A.S, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2006. Nasr, Sayyed Husein. The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan (The Heart of Islam: Endung Values for Humanity), diterjemahkan oleh Nuraslah Fakih Sutan Harahap, cetakan 1, Bandung: Mizan, 2003. Nurhadi, Teori Perundang-Undangan:Prinsip-prinsip Legialasi, Hukum Perdata, Hukum Pidana, terjemahan dari Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, Bandung: Nusa Media & Penerbit Nuansa, 2006. Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Jakarta: Rajawali, 1982. ---------, Pancasila Dasar Negara, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1984. Nyazee. Imran Ahsan Khan, Theories of Islamic Law: The Methodology of Ijtihad (Kuala Lumpur: The Other Press, 2002. Otje Salman dan Anton F.Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Bandung: PT. Refika Aditama, 2004. Praja. Juhaya S., Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya, cetakan pertama Maret 2000. Projodikoro. Wirjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1962. Purbacaraka, Purnadi. Penggarapan Disiplin Pendidikan Tinggi dan Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali Press 1989. --------------- dan Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 1990. --------------, Perihal Kaedah Hukum, Bandung: Alumni, 1988. Puteh. H.M. Saleh, Eksistensi Mahkamah Syar’iyah Menurut Peraturan Perundangundangan dan Qanun, Banda Aceh: Mahkamah Syar’iyah 2010. Rahardjo. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996. Rahardjo. Satjipto, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Alvabet, 2004. --------------, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1993. --------------, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa 1980.



33



Ramulyo, M.Idris. Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Ind-Hell Co, 1985 Sabrie. Zuffran, et.al. (Ed), Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1999. Saleh. Roeslan, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional, Jakarta: CV. Karya Dunia, 1986. Salim. Fahmi, Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Perspektif 2010. Schacht, Joseph. An Intoduction to Islamic Law, London: Oxford University Press, 1965, diterjemahkan oleh Joko Supomo, Pengantar Hukum Islam, Cetakan I, Bandung: Penerbit Nuansa, 2010. Siddiqi. Muhammad Iqbal, The Penal law of Islam (Lahore: Kazi Publications, April 1985. Sieglar, Jay A. dan Benyamin R. Beede, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, 1997. Shiddiqi. Nouruzzaman, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Shihab, M.Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, cet II 2007. Sjadzali. Munawir, “Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama”, dalam Tjun Suryaman (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, cetakan kedua, Bandung: 1994. Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Sukardja. Ahmad, Piagam Madinan dan Undang-Undang dasar 1945, Kajian Perbandingan tentang dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majeluk, Jakarta: UII Press, 1995. Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, cetakan I, Bandung: Alumni, 1993. Soepomo, Sistim Hukum Indonesia Sebelum Perang Dunia Kedua, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980. Surajiyo, Filsafat Ilmu & Perkembangannya. Jakarta Bina Aksara, 2008. Suriasumantri, Yuyun S. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. Sutantio. Retno Wulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Madju, 1989.



34



Soetiksno, Filsafat Hukum,Cetakan-12 Jakarta: Pradnya Paramita, 2008. Syaifuddin. Muhammad, dan Mada Apriandi Zuhir, Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Lokal, (Malang: Tunggal Mandiri Publishing 2009 Thalib, Sayuti, Receptio a Contrario, Jakarta: Pura Aksara, 1982. Tresna. R, Komentar Atas Reglemen Hukum Acara di dalam Pemeriksaan di Muka Pengadilan Negeri atau HIR, Jakarta: Pradnya Paramita, 1972 Utrech E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1960.



B. Disertasi, Tesis, Jurnal dan Tulisan Ilmiah. Asshidieqie. Jimly, ”Memperjuangkan Hukum Islam Kategori Publik Ke Dalam Hukum Nasional”, dalam Makalah Seminar Posisi Hukum Islam dalam Hukum Nasional. Jakarta, Kamis 8 April 2010. Assidiq. Yusuf, “Kriteria Hakim yang Ideal”, dalam Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIV No.299, Oktober 2010. H.M. Arsyad Sanusi, “Keadilan Substantif dan Problematika Penegakannya” dalam Malajah Hukum Varia Peradilan, No. 288 November 2009. Mertokusumo. Sudikno, “Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatan bagi Kita Bangsa Indonesia”, (Disertasi Doktor), Yogyakarta: Universitas Gajahmada, 1971. Mohammad Syaifuddin, Struktur dan Prosedur Penelitian Hukum Hermenutik, Palembang: Pascasarjana Universitas Sriwijaya 2010. Nirwan Syafrin, “Liberalisasi Syariat Islam” Direktur Eksekutif INSIST Republika, Kamis 15 Oktober 2009. Rifyal Ka’bah, “Islam Menghadapi Perubahan di Era Global”, Disampaikan dalam Seminar Internasional di IAIN Imam Bonjol Padang, Senin 28 November 2007. ---------, “Beberapa Permasalahan Dalam Al-Ahwal Asy-Syakshiyyah (Hukum Keluarga) Mesir, makalah disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung di Denpasar, Bali, 18 s/d 22 September 2005. Zen Zanibar, “Sistem Peradilan di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Pelatihan Advokat, Bogor: 22 Januari 2008. C. Artikel Majalah, Artikel Koran dan Laporan. Ali. Moh. Daud, ”Perundang-Undangan dan Perkembangan Hukum Indonesia” dalam Jurnal Mimbar Hukum:Aktualisasi Hukum Islam Nomor 21 Thn VI 1995. Jakarta: Ditbinbapera Departemen Agama R.I, 1995.



35



Bagir Manan, “Restrukturisasi Badan Peradilan” dalam Varia Peradilan No.239 Agustus 2005. ----------, ”Mediasi Sebagai Alternatif Menyelesaikan Sengketa” dalam Varia Peradilan No. 248 Juli 2006. ----------, “Menuju Hukum Waris Nasional” dalam Majalah Hukum Varia Peradilan No. ----------, ”Disertasi Dr. Syamsuhadi Irsyad” dalam majalah Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXIV No.283 Juni 2009. ----------, “Hasbi Doktor Dalam Ilmu Syariah” dalam majalah Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXV No.291 Februari 2010. ----------, “Hukum Materiil di Lingkungan Peradilan Agama” dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XXV No. 294 Mei 2010. Bustanul Arifin, “Asas-Asas Hukum Acara Perdata Menurut Hukum Islam” dalam Jurnal Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam No.35 Thn VII November-Desember 1997. Basuki Rekso Wibowo, “Peranan Hakim dalam Pembangunan Hukum dalam Majalah Pro Justitia, Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Tahun XV, Nomor 4 Oktober 1997 Goenawan Wanaradja, “Potret Buram Pengadilan Negeri di NAD Pasca Undang-Undang Pamerintah Aceh” dalam Malajah Hukum Varia Peradilan No.249 Agustus 2009. Ibrahim Hosen, “Menyongsong Abad ke-21: Dapatkah Hukum Islam Direaktualisasikan ?”, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam No. 12 Th V, Februari 1994. Ichtijanto, “Hendak Kemana Hukum Indonesia” dalam Jurnal Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam No. 54 Th XII, September-Oktober 2001. Iffah Ainur Rochmah, “Ibu Berperan Jadi Benteng Keluarga” dalam Republika, Sabtu tanggal 17 Desember 2011. Masdar F. Mas’udi, “Pemidanaan Kawin Siri Tidak Logis”, dalam Republika, Kamis 18 Pebruari 2010. Muhammad Alim, “Sekilas tentang Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan” dalam Varia Peradilan No.305 April 2011. Muhammad Isna Wahyudi, “Menuju Hukum Perkawinan Islam Yang Progresif”, Republika, Selasa 6 Desember 2011.



36



Mukti Arto, “Garis Batas Kekuasaan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri” dalam Majalah Hukum Varia Peradilan No.253 Desember 2006. Nasih Nasrullah “Angka Perceraian Semakin Meningkat”, Republika, Sabtu 8 Januari 2011. Pardede. Marulah, “Eksistensi dan Kedudukan Hukum Peradilan Agama dalam Tata Hukum Indonesia” dalam Harian Angkatan Bersenjata, Jakarta 24 Agustus 1989. Rifyal Ka’bah,“Kodifikasi Hukum Islam Melalui Perundang-undangan Negara di Indonesia” dalam Seminar Nasional Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta tanggal 12 Pebruari 2005. -------------, “Permasalahan Hadhanah”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tanggal 5 Juli 2007. ------------, ”Penegakan Syariat/Hukum Islam Di Indonesia” dalam Varia Peradilan No. 285 Agustus 2009. Soepeno Sahid “Tinjauan Hukum Terhadap Praktik Perkawinan WNI/TKI di Sabah dan Implikasinya Bagi Kepentingan Isteri dan hak dasar Anak” dalam Majalah Hukum Varia Peradilan No.307 2011. Taufik, “Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Islam” di dalam Jurnal Mimbar Hukum; Aktualisasi Hukum Islam No.35 Thn VII November-Desember 1997.



D. Majalah dan Surat Kabar. Asrorun Niam Sholeh, Lembaga Studi Agama dan Sosial (el SAS), ”Pemidanaan Kawin Siri Tidak Logis”, Republika, Kamis 18 Pebruari 2010. Ferry Kisihandi “Syariat Bersemi Selepas Musim Semi Arab”, Republika, Kamis 27 Oktober 2011. Harian Kompas, tanggal 11 Agustus 2011. Harian Kompas tanggal 15 April 2002. “Kerancuan Berpikir dalam RUU Hukum Terapan Peradilan Agama” dalam Republika, 5 Oktober 2004. “Lembaga Peradilan Menjadi Satu Atap” dalam Republika, Kamis 1 April 2004. Mimbar Hukum No. 7 Thn III 1992, Jakarta: Al-Hikmah & DEPAG R.I 1992. Mimbar Hukum No. 8 Thn IV 1993. Jakarta: Al-Hikmah & DEPAG R.I 1993. Mimbar Hukum No. 17 Tahun V 1994. Jakarta: Al-Hikmah & DEPAG R.I, 1993.



37



Mimbar Hukum No.21 Thn VI 1995, Jakarta: Al-Hikmah & DEPAG R.I 1995. Mimbar Hukum No.66 Thn XVI 2005, Jakarta: Al-Hikmah & DEPAG R.I 2005. Majalah Hukum Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXIV No.283 Juni 2009 “Nasib Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia dan Itsbat Nikah” Republika, tanggal 21 Juni 2011. Nasir Jamil “Aspek Hukum Nikah Massal” dalam Republika, Sabtu 27 Februari 2010. “Richard Zakarias Leirissa dan Sejarah VOC” dalam Kompas tanggal 15 April 2002. RIWAYAT HIDUP Nama Tempat/Tgl Lahir Pekerjaan Alamat



: Dr. H. ABDULLAH GOFAR, SH.,MH. : Rantau Kasih/09 Desember 1961 : Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya : Jalan Politeknik, Lrg. Padang Kapas No.34 Rt. 44 Rw. 03 Kelurahan Bukit Lama Palembang (30139).



STATUS PERKAWINAN: Kawin Nama Isteri: Hj.SITI ASTATI, SH Nama Anak : RIZQIYAH PUTRI RIWAYAT PENDIDIKAN: 1. Sekolah Dasar Negeri (SDN) Tahun 1974 Rantau Kasih MUBA 2. Madrasah Tsanawiyah Pesantren Raudhatul Ulum Sakatiga OKI, Tahun 1977. 3. Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTs.N). Sakatiga OKI, 1977 4. Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Tahun 1981 Palembang. 5. Sarjana Hukum (SH) Fakultas Hukum UNSRI Tahun 1987 Palembang. 6. Magister Ilmu Hukum (MH) Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia Tahun 1999 Jakarta. Doktor Ilmu Hukum UNSRI Angkatan Tahun 2008, Tamat tanggal 27 Juni 2013.