5.2 Disposal, Soil, Stokepile [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

5.2.1 Disposal Secara Umum



Suatu kegiatan pertambangan umumnya memindahkan tanah penutup untuk mengambil bahan galian yang berada di dalam bumi. Oleh karena itu, diperlukan suatu area tertentu untuk membuang material tanah penutup tersebut sehingga tidak menutupi area yang masih mengandung bahan galian yang ekonomis. Tempat penimbunan dapat dibagi menjadi dua, yaitu waste dump / disposal dan stockpile. Waste dump / disposal adalah daerah pada suatu operasi tambang terbuka yang dijadikan tempat membuang material kadar rendah dan/atau material bukan bijih. Material tersebut perlu digali dari pit demi memperoleh bijih/material kadar tinggi, sedangkan stockpile digunakan untuk menyimpan material yang akan digunakan pada saat yang akan datang. Stockpile juga dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan bijih kadar rendah yang dapat diproses pada saat yang akan datang maupun tanah penutup atau tanah pucuk yang dapat digunakan untuk reklamasi. Berdasarkan alasan sosiologis di masyarakat, banyak perusahaan menjauhi nama waste dumps. Istilah yang dipakai adalah disposal area, waste rock storage area, rock piles, dan lain-lain. Disposal biasanya dibuat pada lubang-lubang bekas penambangan ataupun bekas penambangan kuari, seperti yang terlihat pada gambar . Ketika lubang tersebut telah penuh, maka permukaan dari disposal ini akan ditutupi dengan lapisan tanah penutup (top soil) untuk dijadikan daerah penghijauan. Sudah menjadi tanggung jawab tiap perusahaan penambangan untuk melakukan penghijauan kembali setelah area penambangan ditutup. Oleh karena itu, suatu area yang berupa lubang atau lereng bekas penambangan harus disiapkan untuk menjadi disposal area.



Gambar 2.1 Pemindahan lapisan tanah penutup Rancangan disposal sangat penting untuk perhitungan keekonomian. Lokasi dan bentuk dari disposal akan berpengaruh terhadap jumlah gilir truk, biaya operasi dan jumlah truk dalam satu armada yang diperlukan. Pada umumnya daerah yang diperlukan untuk disposal luasnya berkisar antara 2–3 kali dari daerah penambangan (pit). Hal ini berdasarkan pertimbangan diantaranya: 1) Material yang telah dibongkar (loose material) berkembang 30 – 45 % dibandingkan dengan material in situ. 2) Sudut kemiringan untuk suatu dump umumnya lebih landai dari pit. 3) Material pada umumnya tidak dapat ditumpuk setinggi kedalaman dari pit.



5.2.2 Tipe-Tipe Disposal Pada PT. MANTUL COAL



Tipe-tipe disposal yang biasa diterapkan dalam pertambangan menggunakan jenis penambangan open cast mining seperti pada PT. Inco terbagi atas tiga jenis, yaitu: Finger Disposal, Semi Induced Disposal dan Induced Fow Dsposal (Sunarno, 2008).



5.2.2.1 Finger Disposal Finger Disposal adalah disposal yang dibuat maju dengan bantuan dozer. Disposal tipe ini memiliki ciri-ciri yaitu ketinggian kurang dari 15 meter dengan kemiringan lereng yang landai kurang dari 400. Dibutuhkan kontinuitas dari material sipil sebagai landasan Dump Truck agar tidak terjadi longsoran. Jika diperlukan dapat dibuat dyke untuk melindungi area yang belum terganggu dan juga untuk meningkatkan kapasitas disposalnya. Sama seperti tipe dumping Semi Induced Flow, material didorong dengan dozer hingga ujung lereng. Dozer mendorong material buangan dari jarak 7,5 meter dari crest yang merupakan posisi truk menongkang muatannya (Sunarno, 2008).



Gambar Rancangan Finger Disposal (Sunarno,2008)



Karena kemiringannya yang landai, pengaruh gaya gravitasi tidaklah terlalu besar sehingga dibutuhkan dozer yang lebih banyak untuk mendorong material. Disposal ini dapat bergerak maju setelah dilakukan pembatuan dengan menggunakan material sipil seperti slag, material



reject, dan material kuari. Kelebihan dari jenis ini yaitu dapat memaksimalkan kapasitas disposal itu sendiri. Sedangkan kerugiannya, membutuhkan biaya untuk pembatuan atau kontinuitas material sipil.



5.2.2.2 Disposal Tipe Induced Flow



Induced Flow Disposal adalah tipe disposal yang memanfaatkan beda ketinggian > 15 meter untuk mendumping material, dengan sudut kemiringan antara 500 maksimum 700. Disposal tipe ini dibangun di atas tanah asli yang stabil (original), pada area blue zone atau pada area yang direkomendasikan oleh engineer geoteknik. Disposal ini juga dilengkapi dengan backstop sebagai dudukannya (bund wall) setinggi setengah ban roda truk yang terletak pada ujung crest seperti yang terlihat pada gambar 2.3 dan 2.4. Untuk mendorong material yang cukup padat ke bawah bisa disemprot dengan air. Selain itu, juga diperlukan instalasi alat pemantauan untuk mengamati ada tidaknya pergerakan tanah pada lereng, alatnya berupa inclinometer.



Gambar 2.3 Rancangan Induced Flow (Sunarno,2008)



Gambar Rancangan Backstop Induced Flow (Sunarno,2008)



Kekurangan tipe dumping ini yaitu tidak dapat diterapkan pada semua slope karena batuan landasannya harus cukup kuat untuk menahan live road dari truk beserta muatannya hingga ke crest-nya, kapasitas disposal-nya kurang maksimal dan membutuhkan banyak biaya untuk pengadaan backstop (Sunarno, 2008).



5.2.2.3 Disposal Tipe Semi Induced



Disposal Semi Induced Flow, umumnya sama atau memiliki kemiripan dengan Induce Flow tetapi truk hanya bisa dumping pada jarak tertentu yang diperbolehkan yaitu 12.5 m dari original crest. Setelah itu tanah penutup di dorong oleh dozer hingga ujung crest. Crest ke toe adalah 30 meter dengan kemiringan lereng antara 260- 360. Semi Induce Flow membutuhkan pembatuan material sipil pada landasan truk yang akan menongkang untuk menambah daya dukung tanah agar tidak terjadi longsoran (subsidence). Karena kemiringannya lebih besar, disposal tipe ini membutuhkan dozer yang lebih sedikit dari pada Fnger Flow. Namun batas dorongan dozer pada disposal jenis ini tidak bergerak maju. Sebagai langkah antisipasi kelongsoran, perlu dilakukan pemantauan dengan alat extensometer (Sunarno, 2008).



Kelebihan dari jenis ini yaitu tidak mengeluarkan biaya untuk melakukan pembatuan di dumping area. Kekurangannya dibanding Disposal Induced Fow adalah mengeluarkan biaya untuk pengadaan dozer dan apabila dibandingkan dengan Finger disposal, kapasitas disposalnya kurang maksimal.



Gambar Semi Induced Flow Disposal (Sunarno,2008)



Dari jenis-jenis disposal dapat diketahui bahwa material sipil digunakan sebagai bahan untuk perkuatan, baik itu perkuatan untuk jalan dozer, maupun sebagai landasan untuk tempat backstop. Landasan dozer dibutuhkan agar nantinya dozer yang digunakan tidak terperosok. Pada backstop, perkuatan dilakukan agar cukup kuat untuk menahan beban sehingga tidak terjadi longsor.



5.2.3 Manajemen Stockpile Batubara Manajemen stockpile merupakan suatu proses dalam perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian dan pengontrolan stockpile batubara denganbaik untuk mencapai sasaran secara efektif dan efesien. Dimana efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan rencana, dan efesien berarti bahwa tugas yang telah ada dilaksanakan secara benar, terorganisir dan sesuai dengan perencanaan. Dalam kaitanya dengan fungsi dari ROM stockpile batubara sebagai tempat penimbunan sementara maka diperlukan sistem manajemen stockpile yang tepat (Muchjidin,2006). Manajemen stockpile yang baik dibutuhkan untuk mengatur kegiatan operasi alat berat (bulldozer) dan mengevaluasi kemampuan bulldozer yang bekerja pada setiap jamnya (tonase) pada stockpile sehingga dapat bekerja dengan efisien untuk meningkatkan produksi batubara yang diinginkan, mengatur tata penumpukan batubara dan tonase minimum yang diperlukan setiap harinya pada stockpile, dan mengendalikan unit pengolahan dan pengecilan ukuran (Crushing Plant) batubara untuk mencapai spek batubara sesuai yang dibutukan. Manajemen stockpile menjelaskan bagaimana cara mengelola stockpile batubara dan mengontrolnya dengan baik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen stockpile adalah sebagai berikut (Mulyana, 2005). 1) Pemantauan kuantitas dan movement batubara di stockpile, meliputi pencatatan batubara yang masuk (coal in) dan pencatatan batubara yang keluar (coal out) di stockpile, termasuk pencatatan batubara yang tersisa (coalbalance). 2) Menghindari batubara yang terlalu lama di stockpile, dapat dilakukan dengan penerapan aturan FIFO (First in first out) dimana batubara yang terdahulu masuk harus dikeluarkan terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi resiko penurunan kualitas batubara dan kejadian swabakar. 3) Pemantauan kuantitas batubara yang masuk dan keluar dari stockpile termasuk pengecekan temperatur pada batubara untuk mengantipasi self heating dan spontaneous combustion. Permasalahan yang umum terjadi pada stockpile adalah pengaturan tata tumpuk yang kurang baik sehingga menyebabkan kurangnya efesiensi operasi alat-alat berat, yang pada akhirnya mengakibatkan rendahnya produksi pengolahan yang kualitasnya sangat terkait dengan permintaan pasar, sehingga diperlukan usaha untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan pengawasan produk yang dihasilkan. Upaya peningkatan kerja manajemen stockpile yaitu dengan melakukan pemindahan tumpukan-tumpukan tersebut ketempat yang lebih luas sehingga tidak mengganggu aktivitas produksi dan kerja alat-alat berat menjadi lebih optimal. Guna menghindari penimbunan batubara yang terlalu lama, maka sistem pembongkaran timbunan batubara menggunakan sistem First In First Out (FIFO) yaitu batubara yang pertama masuk ke stockpile akan keluar pertama juga (Carpenter, 1999). Selain itu juga untuk mengamati kemampuan jaringan produksi, serta merencanakan suatu sistem manajemen stockpile yang lebih baik. Sehingga masalah yang dihadapi dapat diatasi dengan segera sehingga dapat menunjang tercapainya target produksi yang telah direncanakan.



5.2.3 Stockpile Stockpile berfungsi sebagai penyangga antara pengiriman dan proses, sebagai persediaan yang baik, strategis dan meminimalkan gangguan yang bersifat jangka pendek atau jangka panjang. Selain itu juga berfungsi tempat pencampuran dan pembagian menurut jenis batubara agar sesuai dengan permintaan yang disyaratkan. Stockpile juga merupakan tempat penyimpanan atau penumpukan sementara batubara hasil penambangan dari pit yang lokasinya dibuat berada dekat dengan lokasi hopper atau feeder untuk memperlancar proses pengangkutan. Disamping tujuan tersebut, stockpile juga digunakan untuk mencampur batubara agar homogenasi sesuai dengan kebutuhan. Homogenasi bertujuan untuk menyiapkan produk dari satu tipe material dimana fluktuasi dalam kualitas batubara dan distribusi ukuran disamakan. Untuk proses penyiapan batubara di stockpile diharapkan jangka waktunya tidak lama, karena akan berakibat pada perubahan kualitas batubara. Proses perubahan kualitas biasanya lebih dipengaruhi oleh proses oksidasi dan alam (Daulay, 2001). Hal ini memiliki artian bahwa area stockpile atau area timbunan harus selalu diatur dan diawasi dengan baik untuk menjaga kualitas batubara, meliputi : 1) Desain Stockpile Desain atau bentuk dari suatu stockpile didasarkan atas pertimbangan berikut, seperti : kapasitas volume batubara yang akan ditimbun, lokalisasi jumlah dan jenis kualitas batubara yang dikelompokkan di stockpile tersebut, sistem blending yang dilakukan, dan sistem penumpukan yang diterapkan. Menurut (Mulyana, 2005) desain suatu stockpile bergantung pada: 1. Kapasitas volume batubara yang akan dikelola 2. Jumlah pengelompokkan kualitas yang akan dijadikan produk utama 3. Blending system yang akan diterapkan 4. Sistem penumpukan atau stocking system yang digunakan



2) Syarat Teknis Penumpukan atau Penimbunan Menurut (Mulyana, 2005), dalam pelaksanaan penimbunan dan pembongkaran yang dilakukan harus apat dilakukan pengaturan penimbunan atau pembongkaran yang baik. Hal ini untuk menghindari terjadinya penimbunan yang melebihi kapasitas penimbunan, maka perlu diperhatikan teknis penimbunannya. Syarat teknis penimbunan atau penumpukan meliputi : 1. Desain Permukaan Dasar Stockpile Permukaan dasar dari suatu stockpile harus dibuat stabil dan dibuat bedding dengan menggunakan material yang cukup kuat untuk menopang berat tumpukan batubara. Selain itu permukaan dasar stockpile harus dibuat agak cembung agar drainase pada stockpile lancar. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi genangan air yang terjebak di tengah stockpile saat hujan (Mulyana, 2005). Pada penumpukan batubara yang menyerupai kerucut, titik berat akan berada di sekitar pusat lingkaran. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan dasar stockpile, (Mulyana, 2005).



2. Keadaan Tempat Penimbunan Keadaan tempat timbunan yang berpengaruh terhadap syarat teknis penimbunan adalah sebagai berikut : 1) Area Penimbunan yang Bersih Hal ini dikarenakan area ini akan memiliki suhu yang lebih tinggi dari sekitar karena pengaruh batubara, untuk itu area yang bersih diperlukan untuk mengurangi potensi terjadinya kebakaran (Carpenter, 1999). 2) Pembuatan Saluran Air di Sekeliling Stockpile Air yang melewati tumpukan batubara akan melarutkan batubara halus dari tumpukan batubara, sehingga partikel batubara yang halus tersebut akan terbawa oleh aliran air. Oleh karena itu, sebelum air tersebut dialirkan ke sungai perlu ada pengolahan air pada stockpile (Carpenter, 1999). 3) Sistem Penumpukan dan Pola Penimbunan Pola penimbunan batubara bertujuan untuk mengatur jumlah tonase batubara yang akan ditimbun sesuai dengan kebutuhan handling atau penanganan batubara. Pola penimbunan disesuaikan dengan keadaan cuaca di daerah penimbunan, kapasitas batubara yang akan ditimbun, dan alat yang akan digunakan untuk dorongan menimbun batubara .Pola Penimbunan harus diatur sedimikan rupa guna mencegah resiko terjadinya swabakar dan pemisahan berdasarkan kualitas dapat berjalan dengan baik. Menurut (Mulyana, 2005) terdapat 4 pola penimbunan antara lain : 1. Cone Ply Merupakan pola dengan bentuk kerucut pada salah satu ujungnya hingga ketinggian tertentu kemudian dilanjutkan menurut panjang stockpile. Alat yang biasa digunakan pada pola penimbunan seperti ini adalah stacker reclaimer.



Gambar Pola Penimbunan Cone Ply



2. Chevron Merupakan pola penumpukan yang dilakukan dengan menempatkan satu baris material sepanjang stockpile secara bolak-balik sampai mencapai ketinggi yang ditentukan. Pola ini biasanya berbentuk kerucut yang dibentuk oleh alat curah seperti belt conveyor maupun stacker reclaimer



Gambar Pola Penimbunan Chevron 3. Chevcon Merupakan pola kombinasi antara pola penimbunan chevron dan cone ply, biasanya digunakan untuk penyimpanan dengan kapasitas yang besar dengan bentuk limas terpancung.



Gambar Pola Penimbunan Chevcon



4. Windrow Merupakan Pola Penimbunan dengan baris sejajar sepanjang lebar stockpile dan diteruskan sampai ketinggian yang dikehendaki (Gambar 2.4). Alat yang biasa dipakai adalah backhoe, buldozer, dan loader.



Gambar Pola Penimbunan Windrow



Gambar. Ilustrasi Dorongan Batubara 4) Volume Stockpile Untuk memenuhi target produksi, perlu direncanakan luasan area stockpile serta kapasitasnya. Bentuk bangun atau dimensi stockpile yang umum dijumpai antara lain berupa kerucut, limas, atau kerucut dan limas terpancung. Penentuan volume dimensi stockpile dilakukan melalui perhitungan menggunakan rumusan bangun ruang sesuai dengan bentuk stockpile. Geometri stockpile dapat diartikan sebagai bentuk dan ukuran dari suatu stockpile batubara yang ditimbun. Geometri stockpile terdiri dari tinggi stockpile, sudut slope, panjang dan lebar stockpile, serta bentuk bangun atau dimensi dari stockpile itu sendiri. Dimensi dari suatu stockpile dipengaruhi oleh kapasitas volume dari batubara yang ditimbun, jumlah pengelompokan kualitas batubara, serta sistem penumpukan yang digunakan (Rangkuti, 2004). Bentuk dari dimensi stockpile dilapangan pada umumnya adalah kerucut terpancung dan limas terpancung. Menurut rumus untuk volume dimensi stockpile bentuk kerucut dan limas terpancung (Carpenter, 1999), antara lain:



1. Volume Kerucut Terpancung V = 3 π x t (R2 + r2 + R x r)…………………………….....(Sumber: Carpenter, 1999) Dimana: V = Volume Kerucut Terpancung t = Tinggi Kerucut Terpancung r = Jari-jari Lingkaran Atas R = Jari-jari Lingkaran Bawah



2. Volume Limas Terpancung Limas terpancung merupakan bidang yang sejajar dengan bidang alas memotong semua rusuk tegak lurus limas, sehingga limas tersebut menjadi dua bagian (Mulyana, 2005). Bentuk ini dinilai merupakan bentuk yang paling efektif yang bisa diaplikasikan di area timbunan, karena bentuk ini mudah untuk diawasi dan pemadatan yang lebih mudah dilakukan dengan alat mekanis, Maka digunakan rumus untuk volume dimensi stockpile limas terpancung yaitu (Carpenter, 1999) : V = 3 x t (B + A +√+) Dimana : V = Volume Limas Terpancung t = Tinggi Limas Terpancung A = Jari-jari Bidang Atas B = Jari-jari Bidang Bawah



5.2.3 Definisi TSSIR (Top Soil Sub Soil Salvage, Inventory, and Reclamation) TSSIR merupakan informasi yang komprehensif dalam hal penyelamatan tanah, penimbunan di stockpile, dan penyebaran tanah penutup untuk rehabilitasi area tambang Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara sampai proyek selesai.Tanah yang diselamatkan bersumber dari beberapa daerah yaitu inpit soil dan outpit soil. 1. Inpit Soil Inpit soil merupakan tanah yang bersumber dari dalam pit, yang diperoleh dari penggalian tanah selama proses stripping di daerah dalam batas pit utama. 2. Outpit Soil Outpit soil merupakan tanah yang bersumber dari luar pit, yang diperoleh dari penggalian tanah selama pengembangan waste dump dan stockpile.



5.2.3.1 Definisi Tanah Definisi tanah dibagi menjadi beberapa pengertian berdasarkan pendekatan – pendekatan yang dilakukan. Uraian mengenai pengertian tanah dapat dibagi menjadi beberapa macam yaitu berdasarkan geologi, pedologi, dan dunia keteknikan. 1. Definisi tanah berdasarkan geologi. Tanah merupakan hasil akhir dari proses pelapukan batuan baik secara fisika dan kimia (Noor, 2008). 2. Definisi tanah berdasarkan pendekatan pedologi. Tanah adalah bahan padat (bahan mineral atau bahan organik) yang terletak dipermukaan, yang telah dan sedang serta terus menerus mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh faktor – faktor yaitu bahan induk, iklim, organisme, topografi dan waktu (Dokuchaev ,1877). 3. Definisi tanah dalam keteknikan. Tanah diartikan sebagai kumpulan butir – butir mineral alam yang melekat tidak erat sehingga mudah untuk dipisahkan (Budi S, 2000). 5.2.3.2 Profil Tanah Pengertian profil tanah adalah irisan vertikal dari lapisan paling atas hingga ke batuan induk tanah. Tanah yang mengalami perkembangan lanjut akan memiliki horisonisasi yang lengkap, yang terdiri dari horison O, horison A, horison eluviasi, horison B dan horison C serta batuan induk tanah (Hardjowigeno, 1993). 1. Horison O. Horison O adalah horison tanah yang tersusun dari sisa – sisa tanaman (Oi) dan bahan organik tanah (BOT) hasil dekomposisi serasah (Oa).



2. Horison A. Horison A adalah horison yang tersusun dari bahan mineral berkandungan bahan organik tinggi sehingga berwarna agak gelap. 3. Horison Eluviasi. Horison Eluviasi adalah horison yang telah mengalami proses eluviasi (pencucian) sangat intensif sehingga kadar bahan organik tanah, liat silikat, Fe dan Ai rendah, tetapi kadar pasir dan debu kuarsa (seskuoksida) serta mineral resisten lainnya tinggi, sehingga berwarna agak terang. 4. Horison B. Horison B adalah horison illuvial atau horison pengendapan sehingga terjadi akumulasi dari bahan – bahan yang tercuci dari horison di atasnya. 5. Horison C.



Horison C adalah lapisan tanah yang bahan penyusunannya masih serupa dengan batuan induk (R) atau belum terjadi perubahan. 6. Batuan induk tanah (R) Batuan induk tanah (R) merupakan bagian terdalam dari tanah dan masihberupa batuan.



5.2.3.3 Asumsi Tanah Top soil merupakan lapisan tanah pertama dengan rata–rata ketebalan satumeter dan tanah yang tersisa dibawahnya diklasifkasikan sebagai sub soil. Top soil dan sub soil digali dengan recovery factor sebesar 70%. Selama penggalian, rata-rata lapisan tanah setebal satu meter harus dibiarkan tetap berada di atas bagian tanah yang menggumpal. Dalam perhitungan volume tanah, volume akan meningkat menjadi 12% untuk slope face yang sebenarnya dengan asumsi tanah yaitu perbandingan dua kali horizontal terhadap vertikal (2H : 1V)



Gambar Asumsi Tanah



2.3.4. Penggunaan Fungsi Tanah Penyelamatan dan penyimpanan tanah ( soil salvage dan invetory) dilakukan dengan cara menimbun top soil dan sub soil di soil stockpile yang akan dimanfaatkan untuk soil channel pad dan reklamasi (PTNNT, 2008). 1. Channel Pad Channel Pad terdiri dari dua bagian yaitu rock pad pada bagian bawah dan soil pad pada bagian atasnya. Material yang digunakan sebagai rock pad adalah waste, tetapi khusus di daerah Sejorong channel yang digunakan adalah low grade dan medium grade. Sedangkan untuk soil pad, material yang digunakan adalah clay atau top soil/sub soil. Penggunaan clay/soil ini bermaksud karena sifat porositas clay sangat kecil. Hal ini dapat menghambat air masuk ke pori – pori tanah sehingga air dapat mengalir di atas permukaan tanah. Tahapan pembuatan channel pad terdiri dari beberapa bagian yaitu rock pad, soil pad, dan trimming.



1. Rock Pad, yaitu menimbun material keras sebagai dasar channel. Material kerasnya bisa berupa waste dan low/medium grade. 2. Soil Pad, yaitu menimbun tanah sebagai bagian atas channel, yaitu bagian yang akan langsung bersentuhan dengan air. Material yang dipakai adalah sub soil. 3. Trimming, yaitu pekerjaan memotong soil pad yang telah ditimbun sebelumnya. Tujuan pemotongan ini adalah untuk membuat saluran yang penampang melintangnya berbentuk trapesium, dan memotong sebelah tepi soil pad kemudian menggantinya dengan timbunan rock pad. Terdapat dua macam channel pad yaitu hanging channel dan contcact channel. 1) Hanging channel adalah saluran pengalih air yang dibuat pada topografi asli dan berada di atas permukaan timbunan. Berfungsi untuk mengalihkan air bersih dari air kotor. 2) Contact channel adalah saluran pengalir air yang dibuat pada kontak antara timbunan dengan topografi asli. Contact channel dibuat di atas permukaan timbunan. Tanah yang dibutuhkan untuk final contact channel adalah sebesar 20 m dengan tebal 4 m (sepanjang kemajuan timbunan), sedangkan untuk temporary contact channel adalah selebar 20 m dan 3,5 m.