Acls 2021 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PANDUAN KURSUS



BANTUAN HIDUP JANTUNG LANJUT



PANDUAN KURSUS BANTUAN HIDUP JANTUNG LANJUT



Kontributor Achyar, dkk



Editor Radityo Prakoso, dkk



Penerbit Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2021



PANDUAN KURSUS BANTUAN HIDUP JANTUNG LANJUT Kontributor dr. Achyar, SpJP (K), FIHA dr. Adrianus Kosasih, SpJP, FIHA dr. Agus Harsoyo, SpJP(K), FIHA dr. Agus Subagyo, SpJP(K), FIHA dr. Afdallun A. Hakim, SpJP (K), FIHA dr. Budi Bhaktijasa Dharmadjati, SpJP(K), FIHA dr. Erika Maharani, SpJP(K) FIHA dr. Endang Ratnaningsih, SpJP (K), FIHA dr. Farial Indra, SpJP(K), FIHA dr. Firman Fauzan, SpJP FIHA dr. Liliek Murtiningsih, SpJP(K), FIHA dr. Made Satria, SpJP FIHA dr. Radityo Prakoso, SpJP(K), FIHA dr. Reza Octavianus, SpJP, FIHA dr. Rizki, SpJP, FIHA dr. Santoso Karo - Karo SpJP(K), FIHA dr. Samuel Sudanawijaya, SpJP(K), FIHA dr. Tantani Sugiman, SpAn-KIC, MKes



Editor dr. Radityo Prakoso, SpJP(K), FIHA dr. Rizki, SpJP, FIHA dr. Firman Fauzan, SpJP, FIHA dr. Made Satria, SpJP, FIHA dr. Dian Aris Priyanti dr. Tamara Ey Firsty



ISBN 978-602-7885-93-6



Penerbit Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2021



ii



KATA PENGANTAR Assalammu'alaikum Wr. Wb. Pertama-tama kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang dengan rahmatNya maka buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut (BHJL) dalam bahasa Indonesia dapat diselesaikan. Buku ini merupakan buku pedoman untuk pelatihan Advanced Cardiac Life Support (ACLS) di seluruh Indonesia. Diharapkan bahwa buku ini dapat menjadi pedoman dan acuan bagi peserta pelatihan ACLS serta dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kepada seluruh tim Instruktur ACLS yang menjadi kontributor dan telah bersusah payah menyusun buku ini, Pengurus Pusat PERKI mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Buku pedoman pelatihan ACLS ini akan terus dievaluasi dan disempurnakan sesuai dengan perkembangan ilmu kardiologi.



Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia



Dr. dr. Isman Firdaus, Sp.JP(K), FIHA, FAPSIC, FESC, FACC, FSCAI Ketua Umum PP PERKI



iii



Daftar Isi



Daftar isi ............................................................................................................... iv Bab I. Tinjauan Pelatihan ....................................................................................... 6 Bab II. Tata Laksana Jalan Napas ......................................................................... 13 Bab III. Terapi Listrik Defibrilasi, AED, Kardioversi, dan Pacu Jantung ................. 41 Bab IV. Perawatan Pasca Henti Jantung .............................................................. 51 Bab V. Bradikardia ............................................................................................... 60 Bab VI. Takikardia ................................................................................................ 65 Bab VII. Sindrom Koroner Akut (SKA) .................................................................. 81 Bab VIII. Hipotensi, Syok, dan Edema Paru Akut ............................................... 106 Bab IX. Obat-obatan yang Digunakan dalam Bantuan Hidup Jantung Lanjut .... 118 Bab X. Tim Darurat Medis ................................................................................. 134 Bab XI. Bantuan Hidup Lanjutan Pediatri .......................................................... 139



iv



DAFTAR SINGKATAN



DEO BHJD BHJL CD DD EKG ETT IMA IKP IKPP IO IV LBBB LMA NSTEMI



Defibrilator Eksternal Otomatis / Automatic External Defibrilator (AED) Bantuan Hidup Jantung Dasar Bantuan Hidup Jantung Lanjut Compact Disc Diagnosis Diferensial Elektrokardiogram Endo Tracheal Tube Infark miokard akut Intervensi Koroner Perkutan/PCI (Percutaneus Coronary Intervention) Intervensi Koroner Perkutan Primer Intraosea Intravenous Left Bundle Branch Block Laryngeal Mask Airway Non-ST Elevation Myocardial Infarction



OPA



Oropharyngeal Airway



PJK PVC PSVT



Penyakit Jantung Koroner Premature Ventricular Complexes Paroxysmal Supraventricular Tachycardia



RBBB



Right Bundle Branch Block



RJP ROSC



Resusitasi Jantung Paru Return of Spontaneous Circulation



SKA



Sindroma Koroner Akut



SL



Sublingual



STEMI



ST Elevation Myocardial Infarction



VT



Ventricular Tachycardia



VF



Ventricular Fibrillation



v



BAB I TINJAUAN PELATIHAN A. Pendahuluan Kejadian mati mendadak masih merupakan penyebab kematian utama baik di negara maju maupun negara berkembang seperti di Indonesia. Henti jantung (cardiac arrest) bertanggung jawab terhadap 60% angka kematian penderita dewasa yang mengalami penyakit jantung koroner (PJK). Di Eropa diperkirakan terdapat 700.000 kasus henti jantung setiap tahunnya. Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia tahun 2007 yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008 di Jakarta, prevalensi nasional penyakit jantung adalah 7,2% (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018, hanya disebutkan prevalensi nasional penyakit jantung semua umur sebesar 1,5% dan meningkat seiring bertambahnya usia, namun angka kejadian henti jantung mendadak di Indonesia belum didapatkan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada sekitar 40% pasien sindroma koroner akut (SKA) dapat terjadi irama fibrilasi ventrikel (ventricular fibrillation/VF), suatu irama yang menyebabkan henti jantung mendadak (sudden cardiac death/SCD). Kebanyakan pasien mengalami takikardia ventrikel (ventricular tachycardia/VT) sebelum akhirnya berubah menjadi VF, dan pada saat pasien akhirnya direkam irama jantungnya, irama jantung sudah mengalami perburukan lagi menjadi asistol. Terapi optimal untuk mengatasi VF adalah resusitasi jantung paru (RJP) dan defibrilasi elektrik. Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut (BHJL) dirancang bagi para tenaga kesehatan yang berperan langsung dalam resusitasi pasien, baik di dalam maupun di luar rumah sakit. Pada pelatihan ini, anda diharapkan mampu meningkatkan keterampilan dalam penanganan pasien henti jantung dan penanganan keadaan sebelum henti jantung. Pelatihan menggunakan metode partisipasi aktif melalui serangkaian simulasi kasus kardiopulmoner. Simulasi ini dirancang untuk memperkuat konsep-konsep penting: • Identifikasi dan penanganan kondisi medis pada pasien yang mengalami risiko terjadinya henti jantung • Survei Primer Bantuan Hidup Jantung Dasar (BHJD) • Survei Sekunder Bantuan Hidup Jantung Lanjut (BHJL) 6



• Algoritma BHJL • Dinamika tim resusitasi yang efektif Kursus BHJL dirancang sedemikian rupa dengan menekankan pentingnya tindakantindakan berkelanjutan yang saling terkait satu sama lain agar memperoleh hasil yang maksimal untuk menyelamatkan hidup pasien. Tindakan yang berkesinambungan ini disebut dengan rantai kelangsungan hidup (the chain of survival). Rantai pertama adalah mendeteksi segera kondisi korban dan meminta pertolongan (early access), rantai kedua adalah resusitasi jantung paru (RJP) segera (early cardiopulmonary resuscitation), rantai ketiga adalah defibrilasi segera (early defibrillation), rantai keempat adalah tindakan bantuan hidup jantung lanjut segera (early advanced cardivascular life support) dan rantai kelima adalah perawatan pasca henti jantung (post cardiac-arrest care). Jika hal tersebut di atas adalah urutan tindakan pada orang dewasa, pada anak-anak ada perbedaan sedikit yakni dimulai dengan RJP segera sebelum meminta bantuan.



B. Tujuan Pelatihan Ketika lulus pelatihan ini, anda diharapkan mampu: • Menunjukkan



kemahiran



dalam



melakukan



tindakan



BHJD,



termasuk



mendahulukan kompresi dada dan mengintegrasikan penggunaan Automated External Defibrillator (AED)/Defibrilator Eksternal Otomatis (DEO). • Mengelola henti jantung hingga kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation (ROSC)), penghentian resusitasi, atau melakukan rujukan. • Mengenali dan melakukan pengelolaan dini terhadap kondisi sebelum henti jantung yang dapat menyebabkan terjadinya henti jantung atau mempersulit resusitasi. • Mengidentifikasi dan mempercepat penanganan pasien yang menderita sindroma koroner akut. • Mendemonstrasikan komunikasi yang efektif sebagai seorang anggota atau pemimpin tim resusitasi.



C. Gambaran Pelatihan Untuk membantu peserta mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas, maka disiapkan 7



pembelajaran melalui praktek, yang meliputi: • Simulasi skenario klinis • Diskusi dan bermain peran • Praktik perilaku tim resusitasi Pada akhir pelatihan, anda akan menjalani suatu ujian Megacode untuk memvalidasi pencapaian anda akan tujuan pelatihan ini. Suatu simulasi skenario henti jantung akan menguji hal-hal berikut ini: • Pengetahuan mengenai materi kasus inti dan keterampilan • Pengetahuan mengenai algoritma • Pemahaman mengenai interpretasi aritmia • Penggunaan terapi obat BHJL yang tepat • Kinerja sebagai pemimpin tim yang efektif



D. Prasyarat dan Persiapan Pelatihan Pelatihan BHJL / ACLS ini hanya diperuntukkan bagi tenaga kesehatan yang berperan langsung dalam resusitasi pasien, baik di dalam maupun di luar rumah sakit. Peserta yang mengikuti pelatihan harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar tentang halhal berikut: • Keterampilan BHJD • Interpretasi irama EKG untuk irama inti BHJL • Obat dan pengetahuan farmakologi dasar BHJL • Aplikasi praktis irama dan obat-obatan BHJL • Konsep resusitasi tim yang efektif



Keterampilan BHJD Keterampilan BHJD yang kuat merupakan dasar dari Bantuan Hidup Jantung Lanjut. Anda harus lulus evaluasi RJP/DEO dengan 1 penolong untuk menyelesaikan pelatihan BHJL dengan sukses.



Interpretasi Irama EKG untuk Irama Inti BHJL Anda perlu mengetahui irama yang tampak pada monitor ataupun yang tercetak pada kertas yang berhubungan dengan algoritma dasar henti jantung atau keadaan 8



menjelang henti jantung. Irama-irama ini adalah: • Irama sinus • Atrial Fibrillation dan Atrial flutter • Bradikardia • Takikardia • Blok atrioventrikular • Asistol • Pulseless electrical activity (PEA) • Ventricular tachycardia (VT) • Ventricular fibrillation (VF)



Selama pelatihan Anda harus dapat mengidentifikasi dan menginterpretasikan irama, baik pada saat praktik maupun pada saat ujian Megacode.



Obat dan Pengetahuan Farmakologi Dasar BHJL Anda harus mengetahui farmakologi yang digunakan dalam algoritma BHJL. Dalam pelatihan ini anda diharapkan mengetahui obat dan dosis yang digunakan dalam algoritma BHJL. Anda juga harus mengetahui kapan menggunakan obat yang mana berdasarkan situasi klinis yang dihadapi.



Aplikasi Praktis Irama Jantung dan Obat-Obatan BHJL Anda harus mengetahui indikasi, kontraindikasi, dosis, dan cara pemberian semua jenis obat-obat untuk penanganan BHJL dan bagaimana penerapannya pada kondisi klinis dengan mempertimbangkan irama EKG pada pasien tersebut. Terutama harus dipahami irama- irama EKG yang fatal.



Konsep Tim Resusitasi Sepanjang pelatihan ini, kemampuan anda sebagai pemimpin tim dan anggota tim akan dievaluasi. Hal utama yang dinilai adalah kemampuan anda untuk mengarahkan integrasi BHJD dan BHJL yang dilakukan anggota tim.



E. Syarat-Syarat untuk Lulus Pelatihan 9



Untuk lulus pelatihan BHJL ini dan memperoleh sertifikat, anda harus: • Lulus ujian RJP/DEO dengan 1 penolong • Berpartisipasi, mempraktekkan, dan menyelesaikan semua topik pembelajaran • Lulus ujian Megacode • Lulus ujian tertulis tutup buku dengan nilai minimal 75%



10



REFERENSI 1. Hayakawa, M., Gando, S., Okamoto, H., Asai, Y., Uegaki, S., & Makise, H. (2009). Shortening of cardiopulmonary resuscitation time before the defibrillation worsens the outcome in out-of-hospital VF patients. The American journal of emergency medicine, 27(4), 470-474. 2. Neumar, R. W., Otto, C. W., Link, M. S., Kronick, S. L., Shuster, M., Callaway, C. W., ... & Passman, R. S. (2010). Part 8: adult advanced cardiovascular life support: 2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S729-S767. 3. Ecc Committee. (2005). 2005 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation, 112(24 Suppl), IV1 4. Morrison, L. J., Henry, R. M., Ku, V., Nolan, J. P., Morley, P., & Deakin, C. D. (2013). Single-shock defibrillation success in adult cardiac arrest: a systematic review. Resuscitation, 84(11), 1480-1486. 5. American Heart Association in collaboration with the International Liaison Committee on Resuscitation. (2000). Guidelines 2000 for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care: an international consensus on science. Circulation, 102. 6. Atkins JM. Emergency medical services system in acute cardiac care state of the art. Circulation. 1986;74 (pt2):IV 4-8 7. Berg, R. A., Hemphill, R., Abella, B. S., Aufderheide, T. P., Cave, D. M., Hazinski, M. F., ... & Swor, R. A. (2010). Part 5: adult basic life support: 2010 American Heart Association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation, 122(18_suppl_3), S685-S705. 8. Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, et al. 2015 American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care; Part 5: Adult Basic Life Support and Cardiopulmonary Resuscitation Quality. Circulation. 2015;132[suppl 2]:S414–S435. 9. Soar, J., Nolan, J. P., Böttiger, B. W., Perkins, G. D., Lott, C., Carli, P., ... & Sunde, K. (2015). European resuscitation council guidelines for resuscitation 2015: section 3. Adult advanced life support. Resuscitation, 95, 100-147. 10. Perkins, G. D., Handley, A. J., Koster, R. W., Castrén, M., Smyth, M. A., 11



Olasveengen, T., ... & Ristagno, G. (2015). European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2015: Section 2. Adult basic life support and automated external defibrillation. Resuscitation, 95, 81-99. 11. Koster, R. W., Baubin, M. A., Bossaert, L. L., Caballero, A., Cassan, P., Castrén, M., ... & Raffay, V. (2010). European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010 Section 2. Adult basic life support and use of automated external defibrillators. Resuscitation, 81(10), 1277-1292. 12. Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch, K. G., ... & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic and Advanced Life Support: 2020 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 142(16_Suppl_2), S366-S468.



———»»»œ«««———



12



BAB II TATA LAKSANA JALAN NAPAS TUJUAN PEMBELAJARAN • Menjelaskan cara mengoptimalkan oksigenasi jaringan • Menjelaskan terapi suplementasi oksigen • Melakukan pengelolaan jalan napas, pembukaan dan pemeliharaan jalan napas atas • Penggunaan alat bantu jalan napas dasar dan lanjut • Penyedotan jalan napas yang tersumbat • Pengelolaan sirkulasi pada hipoksia



A. Pendahuluan Hipoksia merupakan penyebab kegawatan yang fatal. Hipoksia merupakan penyebab awal terjadinya gangguan fungsi organ tubuh multipel yang sering berakhir menjadi gagal fungsi organ dan berakhir dengan kematian. Oleh karena itu mengenali hipoksia lebih dini dan segera mengelola dengan tepat merupakan langkah yang penting dalam mengelola pasien dengan kegawatan kardiovaskular. Hipoksia harus segera dikelola dengan cepat dan tepat, sebab beberapa organ yang vital (otak dan jantung) sangat rentan terhadap hipoksia, yaitu akan mengalami kerusakan yang bersifat menetap dan meninggalkan kecacatan selamanya (sequelae). Fungsi pernapasan adalah menjamin ventilasi yang baik, sehingga O2 yang berdifusi dari alveoli ke kapiler berlangsung baik dan difusi CO2 dari kapiler ke alveoli baik. Hasil akhirnya adalah oksigenasi dan homeostasis CO2 baik.



B. Oksigenasi Jaringan Secara garis besar syarat agar oksigen sampai ke sel / jaringan dan bisa digunakan untuk metabolisme membentuk energi adalah fungsi pernapasan dan sirkulasi yang baik. Secara rinci syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Fraksi inspirasi O2 (FiO2) cukup. 2. Fungsi respirasi adekuat: a. Jalan napas baik b. Volume tidal cukup 13



c. Frekuensi napas cukup d. Irama napas teratur e. Keadaan alveoli/ paru baik 3. Pembawa O2 baik: a. Kadar Hb cukup b. Sifat Hb baik 4. Fungsi kardiovaskuler/sirkulasi baik: a. Volume cairan darah cukup b. Kontraktilitas otot jantung baik c. Pembuluh darah dalam keadaan baik d. Irama & frekuensi denyut jantung baik e. Mikrosirkulasi baik 5. Sel/ jaringan tubuh masih baik Apabila salah satu dari syarat-syarat tersebut diatas mengalami gangguan maka akan terjadi hipoksia. Tanda-tanda dini hipoksia secara klinis antara lain: 1. Pasien gelisah 2. Tampak pucat pasi 3. Pernapasan mengalami “distress” yang ditandai : a. Cepat dan dangkal b. Tak teratur 4. Denyut nadi kecil, cepat 5. Irama denyut jantung sering tidak teratur 6. Tekanan darah meningkat 7. Keringat dingin.



C. Pengelolaan Hipoksia dan Pemberian Bantuan Napas/Ventilasi 1. Pemberian Suplementasi Oksigen Tujuan pemberian O2 ialah agar FiO2 meningkat, sehingga tekanan parsial O2 yang dihirup meningkat maka tekanan parsial O2 di alveoli (PAO2) juga akan meningkat, bila jalan napas dan ventilasi baik. Kalau PAO2 meningkat, yang berdifusi ke darah akan lebih banyak sehingga kandungan O2 dalam darah meningkat. Bila fungsi sirkulasi (mengedarkan O2 keseluruh tubuh sampai ke sel / jaringan) 14



optimal maka hipoksia dapat teratasi. Pada kegawatan kardiopulmoner, pemberian oksigen harus dilakukan secepatnya jika saturasi kurang dari 94%. Pemberian oksigen dapat dilakukan dengan memakai berbagai alat. Keefektifan masing-masing alat ditentukan oleh kemampuan alat untuk menghantarkan oksigen dengan kecepatan aliran yang cukup tinggi untuk mengimbangi kecepatan aliran inspirasi pernapasan spontan pasien. Oleh karena itu, pemberian oksigen yang diinspirasi setinggi 100% (Fraksi oksigen inspirasi = FiO2:1,0) dianjurkan untuk kegawatan kardiopulmoner. Hal ini ditujukan untuk mengoptimalkan tekanan oksigen inspirasi yang akan memaksimalkan saturasi oksigen dalam darah arteri dan akhirnya memaksimalkan



pengangkutan



oksigen



sistemik



(Oxygen



Delivery



DO2).



Pengangkutan oksigen yang dibawa dalam tubuh ke jaringan dinyatakan dalam DO2 nilainya dipengaruhi oleh kadar hemoglobin, saturasi oksigen dalam arteri (SaO2) dan curah jantung.



Alat-Alat Pemberian Oksigen Agar dapat memberikan oksigen kepada pasien diperlukan peralatan dasar yaitu: • Sumber oksigen • Alat-alat suplementasi oksigen: kanul nasal, berbagai macam sungkup muka



Sumber Oksigen Yang dimaksud sumber oksigen adalah tabung oksigen atau unit yang tertempel pada dinding (oksigen sentral). Pada oksigen sentral, sumber oksigen dikendalikan dari ruang sentral oksigen yang biasanya terdapat di rumah sakit besar. Sumber oksigen ini disambungkan ke alat suplementasi agar oksigen dapat dialirkan ke pasien sesuai kebutuhan. Kelengkapan dari sumber oksigen adalah: • Pembuka katup untuk membuka tabung, pengukur tekanan, dan aliran gas



(pressure gauge dan flowmeter). • Pipa penghubung (tubing connector) ke alat suplementasi oksigen.



15



Gambar 2.1. Sumber Oksigen dengan pressure gauge yang tersambung ke sungkup muka dengan reservoir O2



Alat-alat suplementasi oksigen Alat-alat suplementasi oksigen (lihat tabel 1) dapat digolongkan menjadi sistem oksigen rendah atau sistem oksigen tinggi (dapat memberikan oksigen sampai 100%) dan sistem aliran rendah atau sistem aliran tinggi, yang artinya alat dapat mengalirkan oksigen dengan fraksi oksigen inspirasi yang diatur maksimal (100%). a. Kanul nasal Melalui kanul nasal, oksigen (100%) yang dialirkan dapat diatur dengan kecepatan aliran antara 1-5 liter per-menit. Konsentrasi oksigen yang diinspirasi pasien atau disebut fraksi oksigen inspirasi (FiO2) tergantung dari kecepatan aliran dan ventilasi semenit pasien, dengan demikian FiO2 tidak dapat dikendalikan. FiO2 maksimal yang dicapai dengan kanul nasal tidak lebih dari 0,40 (FiO2 =40%). Peningkatan kecepatan aliran oksigen 1 liter per menit hanya akan meningkatkan konsentrasi oksigen sebesar 4% (Tabel 3). Pemberian aliran yang lebih dari 5 liter per-menit tidak akan memberikan FiO2 yang tinggi, malah berakibat mengeringkan dan mengiritasi mukosa nasal. Oleh karena itu, kanul nasal disebut alat suplementasi oksigen sistem oksigen-rendah, aliran-rendah. Keuntungan kanul nasal adalah kenyamanan pasien dan aliran O2 yang terus menerus meskipun pasien sedang makan, diukur suhu, maupun selama pemakaian pipa nasogastrik. b. Sungkup muka sederhana Sungkup muka sederhana atau dikenal dengan sungkup muka Hudson. Sungkup muka ini mempunyai lubang tempat pipa saluran masuk O2 di dasarnya dan lubang-lubang kecil disekililing sungkup muka. Oksigen dapat dialirkan 16



dengan kecepatan 6-10 liter per menit dengan FiO2 yang dicapai sekitar 0,35-0,6. Bila kecepatan aliran oksigen kurang dari 6 liter per menit akan terjadi penumpukan CO2 akibat terjadi dead space mekanik. Alat ini termasuk sistem oksigen-sedang, aliran-tinggi. c. Sungkup muka non-rebreathing Sungkup muka ini terdiri atas sungkup muka sederhana yang dilengkapi dengan kantong reservoir oksigen pada dasar sungkup muka dan satu katup satu arah yang terletak pada lubang di samping sungkup dan satu lagi katup satu arah terletak di antara kantong reservoir dan sungkup muka. Pada saat inspirasi, katup yang terletak di bagian samping sungkup muka akan menutup sehingga seluruh gas inspirasi berasal dari kantong reservoir, sedangkan katup yang berada di antara kantong reservoir dan sungkup menutup sehingga gas ekspirasi tidak masuk ke kantong resevoir tetapi dipaksa keluar melewati lubang-lubang kecil di samping sungkup. Pada sistem ini, aliran oksigen terus menerus akan mengisi kantong reservoir. Kecepatan aliran oksigen pada sungkup ini sebesar 9-15 liter per-menit dapat memberikan konsentrasi oksigen sebesar 90-100%. Agar berfungsi semestinya, harus dijaga agar kantong



reservoir



mengembang-mengempis, tidak kolaps. d. Sungkup muka partial rebreathing Sungkup muka ini terdiri dari sungkup muka sederhana dengan kantong reservoir pada dasar sungkup. Oksigen mengalir ke kantong reservoir terus menerus. Ketika ekspirasi, sepertiga awal gas ekspirasi masuk ke kantong reservoir bercampur oksigen yang ada. Jadi saat inspirasi pasien menghisap kembali sepertiga gas ekspirasinya.



Sungkup muka yang dilengkapi dengan kantong reservoir merupakan alat sistem oksigen tinggi, aliran-tinggi. Sungkup muka dengan reservoir O2 digunakan pada: • Sakit kritis, kesadaran masih baik, ventilasi adekuat tetapi membutuhkan oksigen dengan konsentrasi tinggi. • Sebelum ada indikasi intubasi trakea, seperti pada edem paru akut, asma akut, PPOK, atau pasien tidak sadar tetapi ventilasi adekuat dengan refleks batuk masih ada. 17



Gambar 2.2. Berbagai alat suplementasi oksigen A.



Kanul nasal: aliran rendah, oksigen rendah



B.



Sungkup Venturi: aliran tinggi, oksigen bervariasi tergantung setting 1. Oksigen 100% berasal dari sumber oksigen (flowmeter) 2. Katup yang dapat diatur dengan besarnya % oksigen yang diinginkan



C.



Sungkup muka aerosol: aliran sedang, oksigen bervariasi 1. Oksigen yang masuk ke nebulizer



D.



Sungkup muka dengan reservoir O2: aliran tinggi, oksigen tinggi 1. Oksigen 100% masuk ke reservoir 2. dan 3. Katup satu arah yang mengatur gas/udara inspirasi dan ekspirasi 4. Katup pengaman masuknya udara



E. Sungkup muka Venturi Sungkup muka venturi terdiri dari sungkup muka dan mixing jet. Dengan alat ini FiO2 yang diberikan dapat dikendalikan. Oksigen yang diberikan dapat diatur berkisar 24%, 28%, 35% dan 40% dengan kecepatan aliran 4-8 liter per menit, dan 45-50% dengan kecepatan aliran 10-12 liter per menit.



Sungkup muka ini paling berguna pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yang diketahui memerlukan sedikit hipoksia untuk memicu pusat pernapasan, sehingga diperlukan pemberian titrasi FiO2 yang tepat untuk memperbaiki



saturasi



oksigen tanpa menekan ventilasi semenit.



Alat ini



termasuk sistem oksigen-terkendali, aliran-tinggi.



18



Tabel 2.1. Alat suplementasi oksigen, kecepatan aliran dan persentase oksigen yang dihantarkan Alat Kanul Nasal



Kecepatan Aliran 1 L/menit 2 L/menit 3 L/menit 4 L/menit 5 L/menit



% Oksigen 21%-24% 25%-28% 29%-32% 33%-36% 37%-40%



6-10 L/menit 6 L/menit 7 L/menit 8 L/menit 9 L/menit 10-15 L/menit



35%- 60% 60% 70% 80% 90% 95-100%



4-8 L/menit 10-15 L/menit



24%-35% 40%-50%



Sungkup Muka Sederhana Sungkup Muka dengan reservoir O2 Sungkup Muka Venturi



2. Pemantauan Pemberian Oksigen Untuk memantau keefektifan pemberian oksigen dan membantu melakukan titrasi FiO2, dapat dengan pemeriksaan invasif yaitu analisis gas darah (PaO2 dan SaO2) dan secara non-invasif dengan alat oksimetri denyut (Pulse Oxymetry). Oksimetri denyut akan mengukur saturasi oksigen yang berasal dari sinyal cahaya yang ditransmisikan melalui jaringan dengan memperhitungkan sifat-sifat denyutan aliran darah. Prinsip oksimetri denyut berdasarkan pada absorbsi yang berdenyut antara sumber cahaya dan detektor cahaya yaitu darah arteri; perbedaan absorbsi gelombang cahaya merah dan infra merah oleh oksihemoglobin dan hemoglobin tereduksi pada fraksi darah arteri yang berpulsasi di bawah alat sensor. Light Emitting Dioda (LED) pada probe alat ini akan mentransmisikan cahaya melalui jaringan (misalnya di ujung jari), dan intensitas cahaya yang ditransmisikan diukur oleh detektor cahaya pada sisi lainnya. Penggunaan oksimetri denyut dapat pula sebagai petunjuk pemilihan alat suplementasi oksigen (Tabel 2).



19



Tabel 2.2. Pemilihan Alat Suplementasi Oksigen Berdasarkan Nilai Oksimetri Nilai oksimetri



Arti Klinis



Pilihan alat suplementasi



denyut



Oksigen



95-100%



dalam batas normal



Kanul nasal O2 max 4L/menit



90-94%



Hipoksia ringan-sedang



Sungkup muka sederhana O2 610L/menit



85-89%



Hipoksia Berat



Sungkup muka dengan reservoir O2 10-15L/menit



150x/menit) atau bradikardi ekstrim (laju nadi 150x/menit) atau ekstrim lambat (bradikardi 2 detik), obat inotropik pilihan yang diberikan adalah dobutamin, dengan dosis 2-20 mcg/kgBB/menit. Titrasi hingga terjadi tekanan arteri rerata >65 mmHg sambil identifikasi dan atasi penyebab masalah pompa tersebut. Dobutamin tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada tekanan darah di bawah 90 mmHg disertai gejala syok.



Hipotensi disertai gejala-gejala dan tanda-tanda syok Kondisi ini memiliki angka kematian tinggi. Optimalkan tekanan pengisian ventrikel dengan uji cairan terlebih dahulu. Bila pemberian cairan sudah tidak berespon dan pasien masih dalam hipotensi dan disertai tanda-tanda syok, maka dibutuhkan obat110



obatan vasopressor (vasokonstriktor). Norepinefrin 0,1-0,5 mcg/kgBB/menit intravena mempunyai efek vasopressor kuat yang menjadi pilihan utama pada kondisi hipotensi disertai syok. Dopamin dosis 5-20 mcg/kgBB/menit dapat dipertimbangkan sebagai vasopressor sebagai alternatif norepinefrin pada terutama pada syok dengan laju frekuensi nadi yang rendah (92-98%) berikan bersamaan dengan pemasangan akses IV dan monitor EKG • Oksimetri denyut dapat memberi informasi keberhasilan terapi walaupun alat pemantauan SpO2 ini kurang akurat apabila terjadi penurunan perfusi perifer. Oleh karena itu dianjurkan melakukan pemeriksaan analisis gas darah untuk pemantauan oksigenasi ventilasi dan asam basa. 113



• Jika terjadi hipoventilasi berikan ventilasi tekanan positif dengan kantung napassungkup muka untuk menggantikan sungkup muka non-rebreathing. • Nitrogliserin atau ISDN efektif mengurangi edema paru karena mengurangi preload. Pemberian tablet atau spray sublingual yang dapat diulangi setiap 5-10 menit bila TD tetap > 90-100 mmHg, maksimal 3x pemberian. Pastikan tidak ada kontraindikasi pemberian nitrat (lihat bab farmakologi) • Furosemide 0,5-1 mg/kgBB IV. Efek bifasik pertama dicapai dalam 5 menit di mana terjadi venodilatasi, sehingga aliran balik ke jantung dan paru berkurang (mengurangi preload). Efek kedua adalah sebagai diuretik yang mencapai puncaknya setelah 30-60 menit. Keefektifan furosemide tidak harus dicapai dengan diuresis berlebihan. Bila furosemide sudah rutin diminum sebelumnya, maka dosis bisa digandakan. Bila dalam 20 menit belum didapat hasil yang diharapkan, ulangi bolus furosemid IV dua kali dosis awal. Dosis bisa lebih tinggi bila retensi cairan menonjol dan/atau fungsi ginjal terganggu • Morfin sulfat diencerkan dengan NaCl 0.9%, berikan 2-4 mg IV bolus pelan tekanan darah sistolik > 100mmHg. Efek venodilator meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran darah balik ke vena sentral dan paru, mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri (preload), dan juga mempunyai efek vasodilator ringan, sehingga afterload berkurang. Efek sedasi dari morfin sulfat menurunkan laju napas. • Untuk mencegah kolaps alveoli dan memperbaiki pertukaran gas dapat diberikan tekanan ekspirasi akhir positif (positive end-expiratory pressure) dapat diberikan



Tindakan Kedua • Jika respon pasien baik setelah mendapatkan tindakan pertama, maka tidak diperlukan pemeriksaan tambahan, karena menurun tingkat kegawatannya, khususnya bila normotensi. • Bila pasien masih belum respon dengan tatalaksana lini pertama, dan tekanan darah masih baik/tinggi, dapat diberikan nitrogliserin IV 10-200µg/menit (atau ISDN IV 1-10 mg/jam) dengan tetap memantau tekanan darah. • Bila tekanan darah turun, berikan inotropik atau vasopresor: 114







Dobutamin 2-20 µg/kgBB/menit IV bila hipotensi tanpa syok







Dopamin 5-20 µg/kgBB/menit IV (terutama dipilih bila frekuensi nadi 90 mmHg dan MAP >65 mmHg



116



REFERENSI 1. Van Diepen, S., Katz, J. N., Albert, N. M., Henry, T. D., Jacobs, A. K., Kapur, N. K., ... & Cohen, M. G. (2017). Contemporary management of cardiogenic shock: a scientific statement from the American Heart Association. Circulation, 136(16), e232-e268. 2. Thiele, H., Ohman, E. M., de Waha-Thiele, S., Zeymer, U., & Desch, S. (2019). Management of cardiogenic shock complicating myocardial infarction: an update 2019. European heart journal, 40(32), 2671-2683. 3. Vahdatpour C, Collins D, Goldberg S. Cardiogenic Shock. 2019 ; J Am Heart. DOI: 10.1161/JAHA.119.011991. 4. Purvey M, Allen G. Managing acute pulmonary oedema. 2017; Aust Prescr : (40) : 59-63. 5. Standl T, Annecke T, Cascorbi I, et all. The Nomenclature, Definition and Distinction of Types of Shock. Dtsch Arztebl Int 2018; 115: 757-68 6. Singletary EM, Charlton NP, Epstein JL, et all. 2015 AHA Guidelines update for CPR and ECC. 2015; Vol 132 No 18 7. Rivera FL, Martinez HRC, LaTorre CC, et all. Treatment of Hypertensive Cardiogenic Edema with Intravenous High-Dose Nitroglycerin in a Patient Presenting with Signs of Respiratory Failure: A Case Report and Review of the Literature. Am J Case Rep, 2019; 20: 83-90 8. Writing Committee Members, Antman, E. M., Anbe, D. T., Armstrong, P. W., Bates, E. R., Green, L. A., ... & Ornato, J. P. (2004). ACC/AHA guidelines for the management of patients with ST-elevation myocardial infarction—executive summary: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the 1999 Guidelines for the Management of Patients With Acute Myocardial Infarction). Journal of the American College of Cardiology, 44(3), 671-719. 9. Paul M, Maxwell W. Optimizing fluid therapy in shock. Critical care; 2019: 25: 246251 10. Cecconi M, Backer DD, Antonelli M, et all. Consensus on circulatory shock and hemodynamic monitoring. Task force of the European Society of Intensive Care Medicine. Intensive Care Med. 2014; 40: 1795-1815 117



BAB IX OBAT-OBATAN YANG DIGUNAKAN DALAM BANTUAN HIDUP JANTUNG LANJUTAN Tujuan Pembelajaran : 1. Mengetahui jenis obat-obatan vasoaktif 2. Mengetahui jenis obat-obatan antiaritmia 3. Mengetahui jenis obat-obatan antithrombotik 4. Mengetahui obat-obat lainnya yang sering digunakan pada kegawatan kardiovaskular 5. Memahami mekanisme kerja, dosis dan efek samping obat-obatan tersebut



A.



PENDAHULUAN Tujuan utama pemberian obat pada pasien-pasien henti jantung adalah membantu



mengembalikan sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation/ROSC) dan memelihara sirkulasi tersebut agar perfusi jaringan optimal dan akhirnya dapat meningkatkan keluaran pasien pasca henti jantung. B.



PEMBERIAN OBAT-OBATAN RESUSITASI JANTUNG OBAT-OBATAN INOTROPIK / VASOPRESSOR 1. Epinefrin Mempunyai efek adrenergik-α dan adrenergik-β dan efek inotropik dan kronotropik yang poten. Pada dosis tinggi mempunyai pengaruh sebagai vasopresor. 2. Norepinefrin Merupakan obat vasokonstriktor adrenergik-α1 yang potensinya lebih besar dibandingkan dengan dopamin atau fenilefrin. Kecuali itu norefinefrin mempunyai efek kronotropik dan inotropik melalui reseptor β1. Seperti obat vasokonstriktor lainnya, pemberian norefinefrin dapat menurunkan curah jantung seiring dengan peningkatan afterload dan tekanan darah. Peningkatan denyut jantung jarang terjadi. Pada pasien yang telah dilakukan resusitasi cairan adekuat, norefinefrin dapat meningkatkan aliran darah ginjal. 118



3.



Dopamin Merupakan obat vasoaktif yang mempunyai efek inotropik dan vasopresor tergantung dosis yang diberikan. Pada infus dosis rendah (2-3 µg/kg BB/menit), dopamin mempunyai efek inotropik dan kronotropik. Dan mempunyai aksi sebagai reseptor dopaminergik pada ginjal dan dapat meningkatkan jumlah urin; meskipun demikian penggunaan dengan tujuan efek pada ginjal tidak dianjurkan karena tidak dapat mencegah disfungsi ginjal atau memperbaiki keluaran. Pada infus dosis sedang (6-10 µg/kg BB/menit) efek utama dopamin adalah sebagai inotropik, sedangkan pada infus dosis lebih tinggi (> 10 µg/kg BB/menit) merupakan vasokonstriktor karena adanya efek agonist α yang bermakna.



4.



Dobutamin Merupakan agonis adrenergik-β non selektif dengan efek inotrofik. Infus dosis 5 - 20 µg/kg BB/menit akan meningkatkan curah jantung, yang diperantarai dengan peningkatan stroke volume. Tekanan darah arteri tetap tidak berubah, menurun atau sedikit menurun atau meningkat. Pada pasien hipotensi harus hati-hati; pada resusitasi cairan yang tidak adekuat, pemberian dobutamin malah dapat menurunkan tekanan darah dan mengakibatkan takikardi. Efek kronotropik bervariasi tergantung respons pasien.



Tabel 9.1 Indikasi, Dosis, dan Cara Pemberian Obat-obatan Inotropik dan Vasopresor Nama Obat Epinefrin



Indikasi



Dosis dan Cara pemberian



• Henti jantung : VF, VT



• Epinefrin tersedia dengan konsentrasi 1:10.000



tanpa nadi, asistol, PEA. • Hipotensi berat : pada hipotensi dengan bradikardia dapat digunakan ketika gagal dengan atropine atau pada hipotensi akibat penggunaan phosphodiesterase enzyme inhibitor. • Anafilaksis, reaksi alergi berat dikombinasi dengan cairan, kortikosteroid dan antihistamin.



dan 1:1000 (gunakan sediaan 1:1000 untuk kasus henti jantung, atau 10 ml dosis 1:10.000) • Kasus henti jantung : IV/IO: 1 mg (1 ml dari 1 : 1000) diberikan tiap 3 5 menit selama resusitasi, setiap pemberian diikuti dengan flush 20ml NaCl 0,9% dan menaikkan lengan selama 10- 20 detik setelah pemberian dosis Rute endotrakeal : 2 - 2,5 mg diencerkan dengan 10 ml NaCl 0.9% diikuti dengan pemberian bantuan napas/ventilasi. • Kasus bradikardia / hipotensi berat



Infus (untuk bradikardi tidak stabil): 2 - 10 µg/menit, dititrasi sesuai respon pasien.



119



Norepinefrin



Dopamin



Dobutamin



▪ Syok kardiogenik berat yang membutuhkan vasopressor terutama pada syok kardiogenik dengan frekuensi nadi normal/tinggi ▪ Syok dengan vasodilatasi (contoh: syok sepsis)



• Untuk masalah pompa (gagal jantung kongestif) dan dengan tanda-tanda syok, terutama pada syok kardiogenik dengan frekuensi nadi rendah (50% Dosis maksimal 17 mg/kg 100 mg (1.5 mg/kgBB) dalam 5 menit Hindari bila QT memanjang



123



Obat bradiaritmia 1. Sulfas atropine Mekanisme kerja utama atropin adalah sebagai zat antagonisme yang kompetitif, dimana dapat diatasi dengan cara meningkatkan konsentrasi asetilkolin pada lokasi reseptor dari organ efektor. Atropin tidak berfungsi efektif pada AV block level infra nodal (high degree AV block yaitu AV block derajat II tipe 2 dan derajat 3) 2. Dopamin Lihat bab inotropik/vasopressor. Mekanisme kerja dopamin sebagai obat bradiaritmia adalah dengan berikatan dengan reseptor beta 1 adrenergik pada jantung sehingga memberikan efek kronotropik positif dan meningkatkan laju frekuensi nadi 3. Epinephrine Lihat bab inotropik/vasopressor. Mekanisme kerja epinefrin sebagai obat bradiaritmia adalah dengan berikatan dengan reseptor beta 1 adrenergik pada jantung sehingga memberikan efek kronotropik positif dan meningkatkan laju frekuensi nadi



Tabel 9.3 Indikasi, Dosis, dan Cara Pemberian Obat-obatan Bradiaritmia Nama Obat Sulfas Atropin



Dopamin



Epinefrin



Indikasi Dosis dan Cara pemberian • Bradikardi tidak stabil (lini • Pada bradikardia berikan 1 mg IV (4 ampul) pertama) setiap 3-5 menit sesuai kebutuhan tidak melebihi 0,04 mg/kg BB. • Penggunaan dengan interval jangka pendek (3 menit) dan dosis yang lebih tinggi (>0,04mg/kg BB) diberikan pada kondisi klinis yang berat. • Tidak respon pada AV block high degree (Mobitz II dan derajat 3) • Bradikardi tidak stabil yang • Infus: 5 - 20 µg/kg BB/menit, dititrasi sesuai tidak respon dengan respon pasien, dosis dinaikkan perlahan Perhatian: atropin • Koreksi hipovolemia dengan penggantian volume sebelum pemberian dopamin. • Dapat menyebabkan takiaritmia, vasokonstriksi eksesif. • Bradikardia simtomatis : Infus kontinyu: dosis inisial 0,1 - 0,5 dapat dipertimbangkan µg/kg/menit setelah pemberian atropin • Kasus bradikardia / hipotensi berat dan alternatif dopamin. • Infus (untuk bradikardi tidak stabil): 2 - 10 • Hipotensi berat dengan µg/menit, dititrasi sesuai respon pasien. bradikardia



124



PEMBERIAN OBAT ANTI TROMBOTIK A. Aspirin Aspirin menghambat pembentukan thromboxan A2 yang menyebabkan agregasi platelet dan membuat konstriksi arteri. Penggunaan obat ini menurunkan mortalitas SKA, reinfark dan stroke-non fatal. B. Clopidogrel Merupakan antagonis dari ADP (Adenosine Diphosphate) yang merupakan antiplatelet. C. Ticagrelor Ticagrelor merupakan salah satu jenis antiplatelet antagonis P2Y12 nonthienopyridine yang terbaru dengan mekanisme yang berbeda jika dibandingkan dengan pendahulunya seperti clopidogrel atau prasugrel. D. Unfractionated heparin (UFH) Unfractionated heparin (UFH) bekerja sebagai antikoagulan dengan membentuk kompleks dengan antitrombin (AT) sehingga menyebabkan penghambatan pada beberapa faktor koagulasi darah, yaitu trombin (faktor IIa), faktor IXa, Xa, XIa dan XIIa. Hal ini mencegah pembentukan fibrin dan menghambat trombin dalam mengaktivasi platelet dan faktor V, VIII dan XI E. Low Molecular Weight Heparin (LMWH) / Enoxaparin Obat ini menghambat pembentukan trombin oleh inhibisi faktor Xa dan juga menghambat trombin indirek dengan pembentukan kompleks dengan antitrombin III. Obat ini tidak dinetralisir oleh protein binding heparin. F. Fondaparinux Fondaparinux menghambat pembentukan thrombin dengan menghambat faktor Xa. G. Streptokinase Merupakan obat trombolitik yang bersifat non-fibrin spesifik H. Alteplase Merupakan obat trombolitik yang bersifat fibrin spesifik



125



Tabel 9.4 Indikasi, Dosis, dan Cara Pemberian Obat-obatan Antitrombotik Nama Obat Aspirin



Indikasi Indikasi: Diberikan pada semua pasien SKA, terutama kandidat revaskularisasi.



Kontraindikasi: • Absolut: hipersensitif pada aspirin • relatif : pasien dengan ulser aktif atau asma Clopidogrel Indikasi: Semua kasus SKA Perhatikan penggunaan pada kasus: • Jangan diberikan pada pasien perdarahan aktif (misalkan ulkus peptikum) • Pergunakan dengan hati-hati pada pasien dengan risiko perdarahan • Pergunakan dengan hati-hati pada pasien gangguan hepar • Bukti terbatas bila digunakan pada pasien berusia diatas 75 tahun • Dapat menggantikan aspirin bila pasien intoleransi Ticagrelor Indikasi: pasien NSTEMI atau STEMI yang diterapi dengan strategi invasif dini. Unfractionated Indikasi: heparin (UFH) • Terapi tambahan pada Infark Miokard Akut (IMA) • Berikan heparin sebelum pemberian agen litik yang spesifik fibrin (alteplase, reteplase, tenecteplase)



Low Molecular Weight Heparin (LMWH) / Enoxaparin



Kontraindikasi: • Kontraindikasi sama dengan kontraindikasi pada terapi fibrinolitik, yaitu: perdarahan aktif; baru saja menjalani operasi intrakranial, intraspinal atau mata; hipotensi berat; kelainan perdarahan; perdarahan saluran cerna. • Dosis dan target nilai laboratorium harus sesuai ketika digunakan bersama dengan terapi fibrinolitik. • Jangan digunakan jika hitung trombosit < 100.000 atau diketahui adanya riwayat trombositopenia yang diinduksi heparin/ Heparin-Induced Thrombocytopenia (HIT). Untuk pasien seperti ini dapat dipertimbangkan pemberian agen direct antithrombin. Indikasi: untuk pasien SKA, spesifik untuk pasien UA/NSTEMI Perhatian: • Perdarahan merupakan komplikasi dari penggunaan LMWH. Kontraindikasi pada



Dosis dan Cara pemberian • 160 – 320 mg tablet (bukan salut selaput) secepat mungkin (dikunyah lebih baik) • Dapat digunakan sediaan supositoria sebesar 300mg bila tidak dapat diberikan peroral STEMI / UAP-NSTEACS risiko sedang-tinggi : dosis awal 300 mg, diikuti 75mg/hari Berikan loading dose 600 mg bila direncanakan intervensi koroner perkutan (IKP)



Dosis awal 180 mg mg, diikuti 90mg per 12 jam • Dosis awal: bolus 60 unit/KgBB (maksimum bolus 4000 IU), dilanjutkan 12 unit/KgBB/jam (dosis maksimum: 1000 IU/jam). • Pertahankan nilai aPTT 1.5 – 2 kali nilai kontrol selama 48 jam atau hingga dilakukan angiografi. • Cek inisial aPTT setelah 3 jam, kemudian tiap 6 jam hingga stabil, kemudian tiap hari. • Ikuti protokol pemberian heparin



Protokol STEMI • Usia