Advanced Life Support [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT ADVANCED LIFE SUPPORT



Disusun Oleh : Cynthia Devi Aristiana 030.14.041



Pembimbing : 1. dr. H. Ucu Nurhadiat, Sp.An 2. dr. Ade Nurkacan, Sp.An 3. dr. Catur Pradono Sp. An



KEPANITRAAN KLINIK ILMU ANESTESI RSUD KARAWANG PERIODE - 2018 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA



1



LEMBAR PERSETUJUAN



Referat dengan judul: “ADVANCED LIFE SUPPORT”



Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang periode – 2018



Pada Hari Jumat, Tanggal 6 April 2018



Karawang, 3 April 2018 Pembimbing,



dr. H. Ucu Nurhadiat, Sp.An



2



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur Penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan referat ini sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan referat ini, terutama kepada dr.Ucu, Sp.An selaku pembimbing yang telah memberikan waktu dan ilmu selama penulisan referat ini. Sepenuhnya Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangatlah penulis harapkan untuk menyempurnakan referat ini. Terlepas dari segala kekurangan yang ada penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.



Karawang, 2018



Penyusun Cynthia Devi Aristiana



3



DAFTAR ISI



HALAMAN LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. 2 KATA PENGANTAR ............................................................................................ 3 DAFTAR ISI ........................................................................................................... 4 BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6 2.1 Pengertian Advanced Life Support ....................................................................6 2.2 Advanced Life Support ..................................................................................... 6 2.3 Tatalaksana Henti Jantung .................................................................................9 2.3.1 Tatalaksana Henti Jantung Pada VT / VF ................................................. 9 2.3.2 Tatalaksana Henti Jantung Pada PEA / Asystole ......................................12 2.4 Penyebab Terjadinya Henti Jantung .................................................................13 2.5 Sirkulasi Cairan ................................................................................................15 2.6 Perawatan Pasca Resusitasi ..............................................................................15 BAB III KESIMPULAN .......................................................................................................17 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................18



4



BAB I PENDAHULUAN Di negara barat, 20% dari total kematian pada usia 20 hingga 80 tahun terjadi secara mendadak. Kematian mendadak sering terjadi akibat gangguan irama jantung, ventrikular fibrilasi (VF) atau ventrikular takikardi (VT) yang mempengaruhi fungsi jantung memompa darah ke sirkulasi sehingga menyebabkan henti jantung (cardiac arrest). Pada kasus kegawatdaruratan seperti pada henti jantung perlu dilakukan tindakan bantuan hidup dasar atau basic life support (BLS) dan dilanjutkan dengan bantuan hidup lanjut atau advance life support (ALS) yang merupakan suatu tindakan resusitasi untuk mencegah kematian pasien. Tujuan utama dari BLS adalah memberikan oksigenisasi secara efektif untuk melindungi otak dari kerusakan yang irreversibel akibat hipoksia. Tindakan ini harus dilakukan sesegera mungkin dengan golden period kurang dari 10 menit sebelum terjadi kerusakan otak yang permanen. ALS merupakan protokol kegawatdaruratan medis yang dilakukan setelah bantuan hidup dasar, dalam upaya mempertahankan hidup pasien. Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik yang ditujukan untuk memperbaiki ventilasi dan oksigenasi secara adekuat dengan menggunakan alat, menstabilisasikan sirkulasi, dan pemberian terapi farmakologis sesuai dengan indikasi. Umumnya, dilaksanakan oleh petugas medis yang terlatih dan profesional di fasilitas kesehatan. Dengan dilakukannya prosedur BLS serta ALS pada kasus kegawatdaruratan diharapkan angka survival rate pada pasien akan meningkat.



5



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Pengertian Advanced Life Support Diketahui juga dalam menolong seorang pasien gawat darurat harus mempunyai kriteria prioritas yang dimana untuk memudahkan penolong atau tenaga medis untuk menentukan pasien mana yang membutuhkan pertolongan. Prioritas penanganan tindakan gawat darurat berdasarkan urutan system dari yang paling cepat membuat terjadinya kematian sampai yang derajatnya paling ringan, yaitu : Bleath ( pernapasan ), Bleed ( sirkulasi ), Brain ( kesadaran dan susunan saraf pusat ), Bladder ( traktus urogenital ), Bowel ( traktus digestivus ), Bone ( tulang ). Dengan disusun nya tingkatan prioritas, apabila terjadi keterlambatan maka akan menyebabkan gangguan system, cacat tubuh atau bahkan kematian. Pada awalnya akan dilakukan Basic Life Support dengan triase Airway – Breathing – Circulation, lalu diikuti dengan Advanced Life Support dengan tujuan untuk mengembalikan dan mempertahkan sirkulasi spontan, dan menstabilkan system kardiovaskular. 2.2 Advanced Life Support Tahapan dalam penatalaksanaan prosedur Advanced Life Support yaitu : 1) Mengetahui adanya henti jantung dan memanggil bantuan secepat mungkin, Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui adanya henti jantung adalah melihat response dari pasien, membuka dan melihat jalan napas dan melihat bagaimana pernapasan dan melihat tanda tanda kehidupan, untuk melihat nadi karotis selama 10 detik setelah itu panggil bantuan jika memang melihat tandanya henti jantung.



6



2) Resusitasi Jantung. Hal tersebut terlebih dahulu sambil menunggu tim resusitasi, dengan Teknik 30:2 , kompresi dilakukan di pertengahan sternum dengan kedalaman



5 – 6 cm, dengan kecepatan 100 kali per menit, sebisa



mungkin jangan terlalu banyak melakukan interupsi selagi melakukan resusitasi ( < 5 detik ) interupsi yang terjadi < 5 detik biasanya dilakukan untuk mengecek ritme nadi, intubasi trakea ( hanya dilakukan oleh tenaga medis yang terampil dan tidak menganggu tindakan resusitasi jantung ) setelah itu kita bisa menentukan apakah dia termasuk ke dalam Shockable ( Ventrikel Fibrilation / Ventrikel Takikardia ) atau Non – Shockable ( PEA / Asystole ). Hal yang dilakukan selama resusitasi jantung adalah : -



Melakukan kompresi jantung dengan kualitas yang baik, dan jangan terlalu banyak melakukan interupsi selagi melakukan kompresi.



-



Memberikan pasien oksigen.



-



Menggunakan waveform capnography untuk memantau sistem respirasi selama melakukan resusitasi jantung, dan untuk menilai bagaimana kualitas kompresi jantung yang dilakukan.



-



Memberikan cairan intravena untuk keseimbangan cairan, biasanya menggunakan cairan kristaloid, dikarenakan pada resusitasi sel sel endothelium pembuluh darah bocor dan diikuti dengan diikuti keluarnya molekul protein besar ke dalam interstitial dan diikuti air dan elektrolit dikarenakan ada gradien osmosis, cairan kristaloid berguna untuk mengisi kosongnya cairan intravaskuler yang keluar ke dalam cairan interstitial.



-



Pemberian adrenaline 1 mg, pada henti jantung non- shockable diberikan selama dilakukannya resusitasi jantung, untuk henti jantung yang shockable setelah 3 kali pemberian kejutan listrik, dosis dapat di berikan kembali setiap 3 – 5 menit. Pemberian 7



adrenalin ditujukkan untuk merangsang reseptor alfa adrenergic dan meningkatkan aliran darah ke otak dan ke jantung. -



Pemberian amiodarone 300 mg setelah pemberian 3 kali pemberian kejutan listrik, dengan tujuan untuk mengatur irama jantung.



3) Defibrilasi. Defibrilasi dilakukan apabila didapatkan Shockable ( VT / VF ). Defibrilasi dapat dilakukan strategi syok tunggal dan pemberian tiga kali syok, dengan menggunakan gelombang bifasik dibandingkan gelombang monofasik, dalam literature dikatakan kedua gelombang tersebut tidak ada yang menjamin keberhasilan tindakan, tetapi gelombang bifasik dikatakan dapat mencapai tingkat first-shock lebih dapat dicapai walaupun dengan menggunakan level rendah bifasik dan menyebabkan syok disfungsi miokard lebih rendah dibanding monofasik. Gelombang bifasik yang dipakai menurut studi kohort yang dilakukan pada 104 pasien didapatkan 90,4% biasanya menggunakan terminasi awal di tenaga 150 Joule, tidak didapatkan banyak literature yang mengatakan bahwa terminasi awal tidak banyak di bawah 150 Joule. 4) Tindakan Setelah Defibrilasi. Setelah dirasakan tindakan defibrilasi berhasil maka dapat dilakukan beberapa step, yaitu : -



Lakukan kembali A-B-C-D-E terhadap pasien.



-



Memasang saturasi oksigen SpO2 dan di atur sampai tekanan 94-98%



-



Memasang EKG pada 12 lead, untuk memonitoring detak jantung.



-



Melakukan terapi terhadap penyebab penyakit gawat darurat.



8



-



Melakukan tindakan untuk mencapai suhu yang optimal terhadap pasien.



2.3 Algoritma ALS pada Henti Jantung / Cardiac arrest 2.3.1



Etiologi Henti Jantung



Selama melakukan kompresi atau RJP pada pasien yang mengalami henti jantung, sebagai penolong kita harus tetap menilai penyebab paling mungkin bisa menyebabkan henti jantung, dan tetap mengamankan jalan nafas dan tetap mengatur cairan tubuh lewat akses intravena. Beberapa penyebab terjadinya henti jantung adalah 4H 4T, yaitu : -



Hipoksia



: pada hipoksia harus dipastikan



bahwa jalan nafas 100% lancar, pastikan bahwa terjadinya pengembangan dada secara bilateral. -



Hipovolemia



: pengembalian volume intravaskuler



sesegera mungkin dikarenakan banyaknya perdarahan yang terjadi, dan segera melakukan operasi untuk menghentikan adanya perdarahan tersebut, terlebih kalau dikarenakan trauma. -



Hiperkalemi



: dengan melakukan anamnesis bisa



didapatkan bahwa yang menjadi penyebab adalah gangguan metabolic, untuk mengkoreksi nya bisa menggunakan kalsium klorida intravena pada pasien hiperkalemi, hipokalsemi dan overdosis calcium channel blocker. -



Hipotermi



: biasanya didapatkan pada pasien



dengan kasus tenggelam, memberikan pasien handuk hangat dan uap hangat juga bisa dijadikan alternative untuk mengembalikan suhu ambang normal dari pasieen. -



Tension Pneumothorax



: untuk mengkoreksinya biasanya



melakukan dekompresi secepatnya dengan thorakosentesis jarum dan memasang drain.



9



-



Tamponade



: ekokardiografi transtorakal dapat



dilakukan untuk mengidentifikasi adakah terjadinya efusi pericardial. -



Toksin



: jika tersedia dan sudah dapat



mengidentifikasi zat toksin yang membuat pasien jatuh dalam keadaan henti jantung yaitu diberikan anti dot dan terapi suportif. -



Tromboembolisme



: jika henti jantung disebabkan oleh



emboli pulmoner maka dipertimbangkan untuk memberikan obat trombolitik sesegera mungkin kepada pasien.



2.3.2



Gambaran EKG Henti Jantung



Terdapat 4 ritme yang terlihat pada keadaan cardiac arrest. Keempat ritme ini adalah Ventrikel Takikardi (VT), Ventrikel fibrilasi (VF), asistol, dan PEA. Berdasarkan analisa ritme defibrilator pada cardiac arrest dikenal dua jenis kondisi yaitu shocakble rhytm (VT dan VF) dan non shockable rhyhtm (asistol dan PEA).







Gambaran ritme jantung ventrikel takikardi :



Ventrikular takikardi merupakan aritmia ventrikel. Aritmia ventrikel adalah gangguan irama yang muncul dari bawah nodus SA. Ventrikel takikardi ditandai dengan tiga premature ventricular contraction. Salah satu ritme yang merespon dengan baik terhadap defibrilasi.



10







Gambaran ritme jantung ventrikel fibrilasi :







Gambaran ritme jantung pada asistol :







Gambaran ritem jantung pada PEA :



11



2.3.3



Tatalaksana Henti jantung



12



2.3.3.1 Tatalaksana Henti Jantung Pada VT / VF Ketika resusitasi jantung sudah terlaksana, lalu akan melakukan pengecekan nadi dan apakah resusitasi berhasil atau tidak, atau malah terjadi henti jantung. Ritme jantung ventrikel takikardi dan ventrikel fibrilasi terjadi kurang lebih 25% pada kasus henti jantung, dan juga merupakan 25% ritme jantung yang berasal dari asistol. Apabila ketika memeriksa denyut nadi terdapat adanya henti jantung, segeralah menghubungi tim resusitasi untuk melakukan tindakan lebih lanjut, segera melakukan kompresi jantung sekaligus memasang alat defibrilasi dan alat pemantau jantung di bawah midclavicula kanan dan di lead V6 midclavicula kiri.



Selagi alat defibrillator dipasang, penolong lainnya tetap melakukan kompresi dada selagi mengatur defibrillator ( untuk syok pertama pengaturan 150 – 200 Joule bifasik dan untuk syok selanjutnya adalah 150 – 360 Joule ) setelah itu baru melakukan isi tenaga ke mesin defibrillator tersebut. Setelah itu peringatkan semua orang untuk menghindari area terdekat pasien, pastikan hanya satu orang saja yang dekat dengan pasien, yaitu orang yang akan melakukan kompresi dada setelah mesin melakukan defibrilasi. Setelah melakukan syok pertama,



13



lakukan kembali kompresi dada tanpa menunggu aba aba dengan menggunakan rasio 30:2, dan lakukan selama 2 menit, setelah itu lihat kembali ke layer monitor untuk melihat ritme jantung. Ketika selesai melakukan 1 siklus, maka lihat kembali monitor, jika: 1. Pada awalnya henti jantung dan ritme jantung menjadi VT atau VF maka ulangi semua langkah yang sudah disebutkan diatas, dan siap untuk melakukan syok kedua. 2. Apabila setelah itu masih didapatkan ritme jantung VT ataupun VF maka lanjutkan kompresi dada sesegera mungkin sambil menyuntikan adrenalin 1 mg dan amiodaron 300 mg IV sambil melakukan resusitasi selama 2 menit. 3.Jika masih didapatkan ritme jantung VT atau VF, maka ulangi kembali langkah diatas dan di akhir pemberian syok diberikan tambahan adrenalin 1 mg IV setiap 3 – 5 menit. Setelah itu apabila terdeteksi adanya aktivitas elektrik atau mulai terjadi peningkatan curah jantung, maka segera mencari tanda tanda Return Of Spontaneous Circulation ( ROSC ) yaitu teraba nya nadi karotis. Apabila tidak teraba lanjutkan resusitasi sambil mempersiapkan tatalaksana untuk henti jantung non-shockable yaitu PEA dan asistol.



2.3.3.1 Tatalaksana Henti Jantung Non- Shockable ( PEA / Asystole ) Pada PEA ( Pulseless Electrical Activity ) dimana tidak teraba nya denyut karotis tetapi masih terdapat aktivitas listrik pada jantung yang pada dasarnya terjadi kontraksi miokard tetapi masih lemah untuk menghasilkan denyut arteri atau tekanan darah sehingga tidak ditemukannya denyut arteri. Langkah yang dilakukan untuk tatalaksana henti jantung PEA adalah : -



Lakukan kompresi jantung sebanyak siklus kompresi shockable yaitu 30:2.



14



-



Masukkan adrenalin 1 mg sebagai pereseptor alfa adrenergic dan meningkatkan aliran darah ke otak dan ke jantung secepat mungkin jika infus intravena sudah dipasang.



-



Tetap melanjutkan kompresi dada 30:2 sampai jalan nafas sudah benar benar aman dan tetap memberikan ventilasi.



-



Mencari penyebab kemungkinan terjadinya PEA dan jika menemukan



penyebabnya



segera



mengoreksi



penyebab



tersebut. -



Setelah menjalankan 1 siklus / 2 menit periksa kembali nadi, lalu melihat EKG untuk menentukan ritme jantung, apabila masih dalam keadaan PEA maka : o Melanjutkan kembali kompresi jantung paru selama 1 siklus, periksa ulang kembali pasien selama 2 menit lalu lanjutkan kompresi. o Memberikan adrenalin bolus 1 mg intravena diulang setiap 3 – 5 menit sekali dan dilakukan di tiap akhir siklus. o Jika sudah timbul ritme jantung VT ataupun VF maka lakukan kembali tatalaksana henti jantung pada shockable VT ataupun VF. o Jika sudah teraba denyut nadi atau ROSC maka lakukan perawatan pasca resusitasi.



Pada asystole/asistol atau tidak terdapat denyutan jantung sama sekali pada monitor, hendaklah kita tetap memantau atau melihat monitor EKG untuk menilai adakah aktivitas gelombang P, karena sebenarnya pada pasien yang tidak asistol tapi henti jantung dapat merespon gelombang P, ketika tidak ada aktivitas dari gelombang P maka itu dikatakan asistol sejati, dan sedikit indikasi atau manfaat untuk melakukan pacu jantung. Gelombang P dinilai untuk melihat apakah terdapat gambaran depolarisasi atrium, yang dimana setengah gelombang P pertama adalah depolarisasi atrium kanan dan setengah gelombang P 15



kedua adalah depolarisasi atrium kiri. Jika terdapat asistol, tatalaksana yang dilakukan adalah : -



Memulai siklus kompresi pertama yaitu 30:2, dan jangan lupa untuk memasang lead dengan posisi yang benar.



-



Ketika sudah memasang akses intravena maka masukkan adrenalin 1 mg secepatnya ke dalam tubuh pasien.



-



Lanjutkan kembali kompresi dengan siklus 30:2 selagi jalan nafas diamankan dan tetap melakukan kompresi walaupun ventilasi tetap dilakukan.



-



Periksa kembali kondisi pasien setelah 2 menit dilakukan kompresi, jika timbul VT atau VF lakukan algoritma tatalaksana henti jantung shockable dan berikan adrenalin 1 mg setiap 3 – 5 menit sekali setiap pergantian siklus kompresi, dan tetap melihat monitor EKG untuk melihat apakah terdapat gambaran gelombang P.



2.4 Perawatan Pasca Resusitasi Ketika selesai melakukan resusitasi dan terdapat adanya tanda tanda sirkulasi spontan ( ROSC ) maka itulah tanda yang mengartikan bahwa pemulihan sudah mulai terjadi setelah terjadinya henti jantung. Setelah dilakukannya resusitasi terdapat adanya sindrom pasca henti jantung diantaranya cedera otak pasca henti jantung yang biasanya terjadi diakibatkan gagalnya mikrosirkulasi, ketidakseimbangan autoregulasi dan kejang, disfungsi miokard pasca henti jantung relative sering didapatkan pasca henti jantung tetapi biasanya akan sembuh dalam 2 -3 hari, dan adanya respon iskemia sistemik terjadi akibat adanya aktivasi jalur imunologis dan koagulasi yang bisa menyebabkan gagal organ multiple dan peningkatan resiko infeksi pada pasien. Untuk pernapasan pertahankan saturasi oksigen pada 94 – 98%, dan pertimbangan intubasi endotrakeal, sedasi dan ventilasi terkontrol pada pasien



16



gangguan fungsi serebral. Untuk pengendalian kejang terjadi 5-15% pada pasien dewasa, pada kejang terjadi peningkatan metabolisme otak hingga 3 kali lipat dan dapat menyebabkan cedera otak lalu tangani dengan cepat dan efektif dengan benzodiazepine, fenitoin, valproate sodium, Propofol dan barbiturate. Untuk kontrol suhu, pada hipertermia atau hiperpireksia sering terjadi dalam 48 jam setelah terjadinya henti jantung beberapa literature mengatakan ada hubungan antara pireksia pasca henti jantung adalah hubungan yang kurang baik. Sedangkan hipotermia dapat menghalangi paparan eksitoksin ( di dalamnya terdapat konsentrasi kalsium dan glutamate yang tinggi ) dan hipotermia dapat menurunkan tingkat metabolisme oksigen otak sebesar 6% untuk setiap penurunan suhu 1 derajat celcius dan dapat menurunkan pelepasan asam amino eksitatorik dan radikal bebas. Metode pendinginan dengan monitoring suhu efektif untuk menghindari fluktuasi suhu dapat dicapai dengan perangkat pendinginan eksternal yaitu dengan ice packs sederhana / handuk basah, selimut pendingin, selimut bersirkulasi air yang dilapisi gel dan internal yaitu dengan infus 30 ml/kg cairan NaCl 0,9% yang bersuhu 4 derajat celcius larutan Hartmann dapat menurunkan suhu inti tubuh sekitar 1,5 derajat celcius dan mencakup umpan balik temperature secara kontinyu untuk mencapai suhu target yang ditargetkan. Konsentrasi elektrolit plasma, volume intravascular yang efektif dan tingkat metabolisme dapat berubah dalam onset waktu yang singkat selama tahap penghangatan kembali, biasanya dilakukan sekitar 0,25 – 0,5 derajat celcius per jam



17



BAB III KESIMPULAN Pasien dengan kondisi gawat darurat harus segera dilakukan tatalaksana dengan tepat, cermas, dan cepat. Apabila terdapat henti jantung hendaknya melakukan resusitasi kardio pulmonar ( RKP ) dengan Teknik 30:2 lalu jika terdapat henti jantung lakukan fibrilasi untuk shockable, sedangkan yang non shockable tidak dilakukan fibrilasi hanya dilakukan RKP, dan memberikan akses intravena, mengamankan jalan napas dan memberikan ventilasi, setelah itu koreksi keadaan pasca resusitasi untuk menghilangkan komplikasi yang ada.



18



DAFTAR PUSTAKA 1. W Clifton, Soar J, Abiki M, et al. Part 4 : Advanced Life Support. 2015 International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular



Care



Science



With



Treatment



Recommendations.



DOI:



10.1161/CIR.0000000000000273 2. American Heart Association. Fokus Utama Pembaruan Pedoman American Heart



Association



2015



Untuk



CPR



dan



ECC.



Available



at



:



https://eccguidelines.heart.org/wp-content/uploads/2015/10/2015-AHAGuidelines-Highlights-Indonesian.pdf. Accessed April 1st 2018. 3. Soar J. Resuscitation Council ( UK ) : Advanced Life Support Guidelines 2015. Scientific Symposium 2015.



19